DINAMIKA LEMBAGA KEBUDAYAAN RAKYAT DI : AKTIVITAS DAN PERAN (1950-1965)

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

O

L

E

H

NAMA : FAJAR STEVEN

NIM : 130706031

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2021

KATA PENGANTAR

Dengan penuh kerendahan hati penulis ucapkan terimakasih dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kuasa-Nya dan jalan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini untuk melengkapi dan memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dari Program Strata-1 (S1) Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Dengan skripsi yang berjudul: Dinamika Lembaga Kebudayaan Rakyat Di Indonesia: Aktivitas Dan peran (1950-1965).

Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh staf pengajar di Program Studi Ilmu Sejarah dan para akademisi di Fakultas Ilmu Budaya yang telah memberikan semangat kepada penulis agar terus berjuang dalam penyelesaian skripsi ini.

Akhir kata, Kritik dan saran sangat diperlukan penulis dalam memperbaiki serta mengkaji lebih dalam skripsi ini, sebab penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Medan, 22 Oktober 2020

Penulis

Fajar Steven 130706031

i

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis haturkan atas kehadirat dan kebaikan Tuhan Yang

Maha Esa, yang telah berkenan memberikan berkat, penyertaan, kesempatan, dan kasih sayang- Nya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Dalam kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati dan rasa hormat penulis juga ingin mengucapkan terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan berupa tenaga, motivasi, bimbingan, serta sumbangan pemikiran dari berbagai pihak untuk mensukseskan pekerjaan skripsi ini:

1. Bapak Dr. Budi Agustono, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Sumatera Utara. Wakil Dekan I Prof. Drs. Mauly Purba, M.A,Ph.d. Wakil

Dekan II Dra. Heristina Dewi, M.Pd, dan Wakil Dekan III Prof. Dr.

Ikhwanuddin Nasution, M.Si, beserta seluruh staf pegawai, berkat bantuan

serta fasilitas yang penulis peroleh dan gunakan di Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Drs. Edi Sumarno, M. Hum sebagai Ketua Program Studi Ilmu Sejarah

Fakultas Ilmu Budaya USU, yang telah sangat bersabar dan berusaha

menahan diri atas keterlambatan akademik dan juga penulisan skripsi ini.

3. Ibu Dra. Nina Karina, MSP, sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Sejarah

yang telah banyak memberikan nasihat dan motivasi kepada penulis baik

selama perkuliahan dan saat mengerjakan penulisan skripsi ini.

ii

4. Bapak Drs. Wara Sinuhaji, M.Hum sebagai dosen pembimbing yang telah

sabar membimbing, membantu, dan memberikan banyak pengarahan, saran

serta masukan selama penulisan skripsi ini.

5. Kepada seluruh Bapak/Ibu Dosen Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu

Budaya USU yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama menjadi

Mahasiswa Ilmu Sejarah, Semoga ilmu yang diterima dapat bermanfaat

dalam kehidupan. Juga kepada Bang Amperawira sebagai Tata Usaha

Program Studi Ilmu Sejarah terima kasih bang atas dukungan, arahan serta

nasihatnya

6. Kepada orang tua penulis, Alm Lundu Panjaitan dan Ibu tercinta Meida

Pakpahan yang selalu mendukung dan mendoakan penulis dalam setiap

langkah mengarungi belantara kehidupan , terima kasih penulis ucapkan

untuk segala rasa cinta dan kasih sayang yang tak pernah bertepi. Juga

Kepada saudara penulis Taruli Noven Panjaitan, terimakasih untuk segala

semangat, nasihat dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis.

7. Kepada sahabat seperjuangan penulis dalam melewati waktu bersama di

kampus tercinta: Alm. Napol, Boccor, Doi, Fenrico, Gilbert, Helmy, Hengky,

Onok, Pak Jhon, Si Pal, Ijun, Rico, Tomy, Vikceng. Terimakasih untuk

segala kebersamaan yang penuh dengan kehangatan ini. Serta kalian semua

anggota Stambuk Tiga Belas yang tidak bisa disebutkan satu persatu terima

iii

kasih atas kebersamaan yang pernah kita lewati bersama dalam mengikuti

perkuliahan.

8. Keluarga Besar HIMIS (Himpunan Mahasiswa Ilmu Sejarah) USU Terutama

Pengurus periode 2018/2019 Ketua Teguh Marbun, sekretaris Josson Malau.

Beserta semua angkatan yang pernah menemani hari-hari penulis menjadi

mahasiswa sejarah.

9. Kepada segenap saudara-saudaraku di GEMAPRODEM (Gerakan

Mahasiswa Pro Demokrasi), terima kasih untuk proses yang selalu diberikan

dalam menumbuhkan sikap kritis dan militan kepada penulis. Demokrasi

Untuk Rakyat!

10. Kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam mengumpulkan

data, Bapak Martin Aleida dan Bapak Puttu Oka Susanta terimakasih telah

meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan penulis.

11. Kepada Teman-teman bunga sedap malam 8, Markus, Andre, Riki, Budi,

Petrus, Kristin, Awik, Ocen, terimakasih telah menemani penulis melewati

keseharian di jalan bunga sedap malam 8.

12. Seluruh kawan-kawan di Sol Kopi, Seperti coa-coa yang sering terucap.

“Tetap Sans, Badai Pasti berlalu.”

Medan, 22 Oktober 2020 Penulis

Fajar Steven 130706031

iv

ABSTRAK

Keterlibatan Lekra ke dalam perpolitikan Indonesia menimbulkan penolakan dari para seniman dan pekerja kebudayaan yang memandang tabu unsur seni dicampur- adukkan dengan unsur politik. Dalam hal inilah penulisan skripsi ini bermaksud untuk membuka kembali keterlibatan organisasi Lekra pada agenda- agenda kebudayaan di Indonesia masa periode demokrsasi liberal hingga Demokrasi Terpimpin.

Meski kemudian terjadi perdebatan-perdebatan sengit antara Lekra dengan Manikebu sampai awal tahun 1964, Lekra tetap berhasil mendominasi ruang kebudayaan Indonesia dan menggeser Manikebu dari ruang kebudayaan tersebut. Hal ini dinyatakan dengan pembubaran Manikebu oleh Soekarno pada Mei 1964.

Pada sekitaran tahun 1965 menjadi periode akhir dari dominasi Lekra di Indonesia, berawal dari peristiwa bersejarah 30 September yang menjadi titik balik bagi kehidupan Lekra. Aktifitas nya yang begitu menggemuruh dikancah kebudayaan nasional dalam periode 1950-1965 Seakan hilang tanpa jejak, dimatikan oleh kekuasaan yang jauh lebih tinggi.

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah, Heuristik yaitu tahap awal yang dilakukan untuk mencari data-data tentang Lekra melalui berbagai sumber yang relevan lalu melakukan penelitian lapangan melalui wawancara. Kemudia kritik sumber, merupakan proses yang dilakukan untuk mencari nilai kebenaran data melalui kritik intern dan kritik ekstern sehingga didapat keobjektifan dalam penelitian. Interpretasi, melakukan perbandingan dan analisa data terhadap sumber- sumber yang didapat sebelumnya. Metode terakhir yakni historiografi, melakukan pemaparan dan penyusunan hasil penelitian kedalam karya tulis sejarah yang deskriptif analisis.

Kata Kunci :Lekra,Aktifitas,Dinamika,Peran.

v

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...... i

Ucapan Terima Kasih ...... ii

Abstrak ...... v

Daftar Isi ...... vi

BAB I PENDAHULUAN ...... 1

1.1 Latar Belakang Masalah...... 1

1.2 Rumusan Masalah ...... 8

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 9

1.4 Tinjauan Pustaka ...... 9

1.5 Metode Penelitian ...... 14

BAB II PEMBENTUKAN LEMBAGA KEBUDAYAAN RAKYAT ...... 17

2. 1 Situasi Nasional Setelah Kemerdekaan 1945 ...... 18

2. 2 Surat Kepercayaan Gelanggang ...... 22

2. 3 Mukadimah Lekra ...... 29

2. 4 Kongres Nasional I ...... 35

2.4.1 Struktur Lekra ...... 40

2.4.2 Asas, Metode dan Kombinasi 1-5-1 ...... 42

vi

BAB III PERAN DAN AKTIVITAS LEKRA ...... 59

3. 1 Lembaga Kreatif Lekra ...... 59

3. 2 Lekra Dan PKI ...... 63

3. 3 Lekra Dan WargaDunia ...... 70

3.3.1 Konfrensi Sastrawan Asia Afrika ...... 73

3.3.2 Festival Film Asia Afrika ...... 79

3.4 Zaman Baru Media Massa KebudayaanLekra ...... 82

BAB IV PEMBENTUKAN BASIS IDEOLOGI LIBERAL DI BIDANG

KEBUDAYAAN ...... 85

4. 1 Agenda Politik Amerika dan Congress for Cultural Freedom (CCF) di

Panggung Indonesia ...... 86

4. 2 Manifes Kebudayaan ...... 90

4. 3 Politik Kesusasteraan ...... 100

4. 4 G.30.S Sebagai Ambang Kehancuran Lekra ...... 105

4.4.1 Stigmatisasi Yang Membunuh ...... 113

BAB V PENUTUP ...... 118

5. 1 Kesimpulan ...... 118

5. 2 Saran ...... 120

vii

Daftar Pustaka ...... 121

Data Informan ...... 124

Daftar Gambar...... 125

viii

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang Masalah

Setelah Perang Dunia II berakhir dan Indonesia memproklamasikan kemerdekannya, terjadilah era perang dingin antara dua kekuatan baru yaitu blok

Barat (imperialis) dan blok Timur (sosialis) yang berlanjut dengan kadar yang berbeda-beda sesuai dengan perkembangan situasinya. Era perang dingin sangat mempengaruhi rakyat Indonesia termasuk dalam proses pencarian bangunan kebudayaan nasional, sehingga secara garis besar rakyat Indonesia juga terbelah dua, yaitu yang setuju dengan paham kapitalis (golongan kanan) dan yang setuju dengan paham sosialis (golongan kiri).

Kondisi ini diketahui oleh negara‐negara maju sehingga mereka berlomba‐lomba menanamkan pengaruhnya di Indonesia, terutama negara‐negara kapitalis sesuai dengan kepentingan negaranya masing‐ masing. Mereka tertarik melihat bumi Indonesia, zamrud khatulistiwa yang demikian luas dengan kekayaan alam yang melimpah, yang bisa dijadikan sasaran yang sangat menarik, memiliki jumlah penduduk yang bisa “dimanfaatkan”, baik sebagai tenaga kerja murah maupun

1 sebagai tenaga cadangan untuk perang, di samping juga sebagai pasar yang potensial bagi hasil‐hasil industri negara maju.1

Pada oktober 1950, kelompok gelanggang mendeklarasikan pandangan mereka dalam sebuah pernyataan yang dikenal dengan nama surat kepercayaan gelanggang, yang menyatakan bahwa kebudayaan pada dasarnya bersifat universal dan harus bebas dari sekat-sekat politik dan ideologis.2 Gagasan ini seolah meniadakan perjuangan rakyat yang sedang gencar-gencarnya memperjuangkan kemerdekaan karena meniadakan garis antara penjajah atau kolonialisme dengan negara yang baru merdeka seperti Indonesia

Melihat kondisi tanah air pada masa itu yang mengalami kekalahan demi kekalahan di lapangan politik, yang secara tidak langsung akan mempengaruhi pandangan seniman-seniman. Lembaga Kebudayaan Rakyat didirikan untuk mencegah garis kemrosotan lebih lanjut dari revolusi dengan tujuan guna menghimpun kekuatan yang taat dan teguh mendukung revolusi dan kebudayaan nasional.

Seni sebagai salah satu bentuk dari kebudayaan memiliki posisi sendiri dalam perkembangan masyarakat. Tidak hanya sekedar perwujudan ide dan cetusan pikiran saja, melainkan juga sebagai alat untuk menyampaikan pesan tentang realita sosial

1Fakta Kebenaran Korban Tragedi 65 oleh LPRKROB, YPKP65, dan Pakorba http://kontak.club.fr/index.html diakses pada 20 November 2018. 2Keith Foulcher, Social Commitment In Literature And The Arts: “Institute Of People’s Culture 1950-1965 Clayton: Monash University, 1986, hal 3.

2 yang terjadi. Bentuk yang lebih terstrukur dalam menggagas seni sebagai cermin sosial adalah organisasi seni budaya.

Dalam konteks sosial politik, pada tahun 1950 sampai pertengahan 1960-an, seni dan kebudayaan menjadi salah satu mesin propaganda, lembaga seni budaya banyak yang berafiliasi dengan partai politik. Apalagi setelah Soekarno mengeluarkan pernyataannya yang dikenal dengan Manipol Usdek. Fenomena tersebut menunjukan bahwa seni serta kebudayaan telah dimanfaatkan secara ekstensif sebagai alat tindakan politik. Hampir dapat dipastikan setiap partai politik memiliki kantong massa yang terbesar hingga yang terkecil didalam lembaga seni dan kebudayaaannya masing-masing

Lekra bekerja khusus pada bidang kebudayaan, lekra menghimpun tenaga dari seniman-seniman, sarjana-sarjana, dan pekerja pekerja kebudayaan lainnya. Lekra membantah pendapat bahwa kesenian dan ilmu bisa terlepas dari realita masyarakat.

Lekra mengajak para pekerja kebudayaan untuk dengan sadar mengabdikan daya cipta, bakat serta keahlian mereka guna kemajuan Indonesia, Kemerdekaan Indonesia dan pembaruan Indonesia.

Lekra adalah salah satu organisasi kebudayaan yang besar dan berpengaruh dalam sejarah Indonesia, oleh karenanya organisasi ini sering dikaitkan dengan PKI.

Hal ini dikarenakan tujuan dan garis perjuangan PKI dengan lekra memiliki kemiripan, yaitu sama-sama untuk memerangi imperialisme serta berbasis

3 kerakyatan.Lekra juga mencoba memanuskripkan seni kedalam kehidupan masyarakat yang berarti memecah sistem feodalisme yang sanga kental dalam tubuh seni itu sendiri. Dalam kerja-kerja kebudayaannya Lekra melibatkan seniman dan juga budayawan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Dalam perjalanannya, roda organisasi Lekra telah mencampur adukan antara berkesenian dan berpolitik praktis.

Sulit dipisahkan garis batas yang jelas antara kerakyatan yang ingin diperjuangkan oleh seniman sejati dan kerakyatan yang ingin diperjuangkan oleh seniman aktivis, partisipasi partai.

Kebudayaan daripada sesuatu periode, adalah kebudayaan kelas yang berkuasa. Persamaan pandangan Soekarno dan Lekra adalah persamaan pandangan yang menggambarkan kondisi nyata bahwa produk-produk Imperialis (khususnya produk Amerika), membawa dampak negatif yang harus dibendung. Sebagaimana seni dan budaya yang datang dari luar negeri, mesti disaring dan dibendung dengan seni budaya dalam negeri. Sehingga dalam pandangan Lekra Politik tanpa kebudayaan masih berjalan. Tetapi kebudayaan tanpa politik tidak bisa berjalan sama sekali. Seni budaya yang tidak berpolitik hanya akan melemahkan semangat revolusi, karena seni tumbuh di ruang yang berbau keindahan saja dan tidak mencerdaskan.

Sebaliknya seni budaya yang didukung oleh politik akan beguna bagi masa depan seni dan negara itu sendiri.

Politik sebagai panglima diposisikan seniman-seniman Lekra sebagai parameter penilaian terhadap karya seni. Karena itu, seniman tidak menempatkan diri

4 sebagai pengabdi melulu artistik-estetik. Kemerdekaan tidak diartikan sebagai keleluasaan dalam lingkaran berkesenian, tanpa kesadaran akan peran seni dan kebudayaan sebagai media tuntutan. Seniman tidak boleh menempati peran sebagai alat penguasa, dan sebaliknya ia harus selalu berbaur dengan segenap keberagaman masyarakat.

Kedekatan lembaga ini dengan pemerintah tidak dapat dipungkiri, seperti nampak dalam pidato sambutan Presiden Republik Indonesia pada pembukaan

Kongres Nasional Lekra I, 23 januari 1959 bahwa:

“seni dan ilmu untuk rakyat hendaknya berisi pengertian „seni

dan ilmu dari rakyat untuk rakyat‟ yang berarti juga mengabdi

kepada kepentingan seluruh rakyat Indonesia”.

Sedang pengabdian pada rakyat itu tidak mungkin terjadi tanpa politik sebagai panglima, artinya bahwa politik disini adalah politik yang didasarkan atas garis massa.3 Upaya Lekra dalam memperjuangkan Seni Untuk Rakyat semakin terorganisasi setelah Kongres Nasional. Kecenderungan Lekra yang berkesenian dengan lingkup rakyat kecil ternyata menumbuhkan kreatifitas seni para petani dan rakyat-rakyat pedesaan. Banyak pertunjukan di daerah pedesaan. Peran Turba dari para seniman Lekra dari kota ke desa tempat rakyat kecil, ternyata menimbulkan semangat kebudayaan terkusus dikalangan masyarakat kecil.

3Pramoedya Ananta Toer, Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, Djakarta:Lentera Dipantara, 2003, hal. 100-101.

5

Ditengah dominasi Lekra dalam panggung kebudayaan Indonesia, pada tahun

1963 para budayawan, penulis, intelektual, dan seniman yang anti terhadap pemerintahan Soekarno dan gagasan kebudayaan lekra yaitu politik adalah panglima.

Memprakarsai sebuah Manifes kebudayaan yang merujuk pada konsep-konsep: kebebasan Intelektual, kebebasan berekspresi, dan kebebasan artistik. Semua konsep ini berakar pada semangat ideal barat (Liberal) atas prinsip-prinsip demokrasi dan persamaan yang salah satu aspeknya, didalam terminologi kebudayaan Indonesia dikenal dengan istilah Humanisme Universal.4

Maka semenjak kemunculan Manifes Kebudayaan perebutan pengaruh yang besar pun berlangsung beberapa waktu. Hampir setiap ekspresi yang tercetus kemasyarakat luas yang terkait dengan ide-ide kesenian dan kebudayaan saling bertentangan. Bahkan bisa dikatakan perdebatan yang sering sering terjadi pada saat itu tidak lagi perdebatan secara intelektual antara pemuda-pemuda yang masih membentuk kesadaran nasionalismenya, melainkan cenderung menjadi serangan sengit yang bersifat pribadi. dengan pergulatan besar itu dan pasti akan tersangkut pula dengan pergulatan politik saat itu.

Hingga tahun 1965, situasi politik Indonesia banyak diwarnai oleh perubahan- perubahan dalam sistem pemerintahan, pergolakan pun banyak terjadi di berbagai daerah, terutama konflik sengit antara Angkatan Darat (AD) dengan Partai Komunis

4Istilah ini pertama kali diserukan oleh Angkatan 45 dimaksudkan untuk mengungkapkan bahwa seluruh dunia itu satu, tidak ada sekat-sekat perbedaan diantara manusia. Namun kenyataan tidak menunjukan itu. Contohnya Indonesia yang baru saja merdeka, tidak mungkin sama dengan Belanda atau Negara-negara Imperiais lain yang selama ini telah menjajah bangsa-bangsa lain.

6

Indonesia (PKI). Dalam konflik AD dan PKI, Presiden Soekarno menempatkan dirinya sebagai penengah, yang mencoba meredam pertikaian diantara keduanya.

Namun demikian, kecondongan Presiden Soekarno terhadap PKI dan organisasi kiri lainnya, justru membuat perseteruan lebih meruncing hingga bermuara pada tragedi

Gerakan September 30 atau Gestapu 1965.

Peristiwa 30 september menyapu bersih pengaruh lekra dipanggung kebudayaan nasional, karena dianggap sebagai sayap PKI yang diklaim oleh pemerintah Orde Baru sebagai dalang dalam peristiwa kudeta tersebut. Sesudah dihancurkannya PKI dan organisasi-organisasi afiliasinya, termasuk lekra, oleh

Angkatan Darat ideologi humanisme universal menjadi satu-satumya haluan dalam membangun kebudayaan kontemporer di Indonesia dibawah rezim orde baru. Hampir seluruh penulis Lekra diburu, dibunuh, ditahan tanpa proses pengadilan di pulau buru atau melarikan diri keluar negeri sementara karya-karya mereka dihancurkan dan diberangus.

Dalam sejarahnya, manipulasi sejarah selalu didukung oleh kekuasaan. Ini adalah hubungan timbal balik : kekuasaan berfungsi melegitimasi sejarah dan sejarah mengukuhkan dan mengokohkan kekuasaan. Puluhan tahun, panggung itu tertutup rapat. Gemuruh yang hiruk pikuk berubah menjadi senyap tiada lagi terdengar.

Panggung kebudayaan sudah beres-beres, sudah dibersihkan dari lapangan politik.

Sastra harus kembali kesastra, Musik harus kembali kemusik. Seni pertunjukan harus kembali ke gedung kesenian yang megah dan kaya akan arsitektur-arsitektur lintas

7 kebudayaan. Film kembali menjadi film. Rakyat tidak lagi dibiarkan menyelenggarakan panggung-panggung secara bebas, urakan, dan liar. Semuanya kembali ke pakem, kembali ke kodratnya. Kebudayaan tanpa dipanglimai politik, kebudayaan harus kembali menjadi hiburan, dan semata hiburan. Tak ada lagi musik yang meneriakkan protes. Tak ada lagi puisi-puisi pamflet dan urakan yang teriak sana gugat sini. Takada lagi cerita pendek yang membela si kromo atau si marhaen yang terus-terusan dijahili para tuantanah lalu melawan dengan caranya sendiri (aksi sepihak). Semuanya harus berjalan normal, semuanya berjalan di rel keindahan yang tak boleh ngurusi politik atau menyeru-nyeru perlawanan.

1. 2 Rumusan Masalah

Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian ini berusaha untuk mengungkap dinamika lembaga kebudayaaan rakyat tahun 1950-1965. Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan diatas maka masalah utama dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana latar belakang sampai terbentuknya Lekra 1945-1950?

2. Apa peran dan aktifitas lekra dalam kebudayaan nasional 1950-1965?

3. Bagaimana dinamika-dinamika pergulatan kebudayaan yang dialami

Lekra1950-1965?

8

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dalam sebuah penelitian tentu memiliki tujuan dan manfaat. Tujuan dan manfaat yang dilakukan untuk dapat menjawab permasalahan-permasalahan.

Berdasarkan itu adapun tujuan penelitian ini dilakukan adalah:

1. Mengetahui latar belakang pendirian organisasi kebudayaan pertama di

Indonesia.

2. Mengetahui peran serta aktifitas lekra dalam kebudayaan nasional.

3. Memberikan wacana tentang dinamika-dinamika pergulatan kebudayaan

yang terjadi di Indonesia secara umum dan Lekra secara khusus.

Adapun manfaat penelitian adalah:

1. Sebagai referensi tentang organisasi seni budaya dan partai politik.

2. Memberikan gambaran Informasi tentang latar belakang kehadiran

Lembaga Kebudayaan Rakyat di Indonesia.

3. Memperjelas sebuah perjalanan sejarah kebudayaan di Indonesia pada

sekitaran tahun 1950-1966 yang selama ini cenderung masih dituliskan

dengan penuh kontroversi, terutama kesubjektifan yang terdapat pada

organisasi-organisasi yang bersifat kekiri-kirian seperti Lekra.

1. 4 Tinjauan Pustaka

Penelitian merupakan masalah yang harus dipahami sehingga diperlukan beberapa referensi yang dapat dijadikan panduan penulisan nantinya dalam bentuk

9 tinjauan pustaka. Bagian ini berisi sistematis tentang hasil-hasil penelitian terdahulu dan yang ada hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan dan harus di- review terlebih dahulu.5 Pada penelitian ini penulis menggunakan beberapa buku sebagai bahan referensi yang menimbulkan gagasan, konsep, teori, dan mengarah pada pembentukan hipotesa, dan sumber informasi atau pendukung tulisan yang akan dibuat. Berikut ini adalah tiga jenis buku yang menjadi literatur primer dalam penulisan skripsi ini:

Tinjauan pustaka dibutuhkan sebagai cara memperkaya materi sebuah penulisan sejarah. Dimana satu historiografi dapat mengisi kekurangan karya historiografi yang lain. Selain itu, tinjauan pustaka dipandang sebagai usaha untuk menghindari kerancuan obyek studi. Buku-buku yang menjadi acuan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

Lekra Tak Membakar Buku; Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian

Rakjat 1950-1965 (Rhoma Dwia Aria Muhidin M Dahlan, 2008). Buku ini bisa dapat dianggap sebagai buku yang paling komprehensif mengenai Lekra yang disusun secara sistematis dalam sepuluh bab plus daftar singkatan /akronim, lampiran, dan indeks. Kendati informasi dari buku ini didapat dari sumber tunggal yaitu Harian

Rakyat namun isi didalamnya tidak menghilangkan keakuratan terhadap jamannya yang selama orde baru dibiarkan senyap. Bagi sejarawan, buku ini menjadi sumber

5Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah, Logus Wacana Ilmu, , 1999, hlm. 51.

10 yang sangat berguna dalam melakukan penelitian lebih lanjut tentang peranan surat kabar dalam perkembangan kebudayaan nasional terutama pada periode Demokrasi

Liberal dan Demokrasi Terpimpin. Oleh karena itu, terlepas dari setuju atau tidak, buku ini merupakan salah satu buku yang sangat penting.

Prahara Budaya (D.S. Moeljanto dan Taufik Ismail, 1995). Buku ini hampir keseluruhannya berisikan tulisan tentang citra buruk Lekra terhadap pengaruhnya dalam kebudayaan Indonesia masa demokrasi terpimpinnya Soekarno. Siapa pun yang pernah membaca buku “Prahara Budaya” tanpa mengkritisi isinya akan terjerat oleh kesan betapa ganas, bahaya, dan biadabnya Lekra. Propaganda Orde Baru tentang komunisme sebagai makhluk jahat seperti satu partitur dengan buku ini.

Tidaklah berlebihan jika dapat dikatakan bahwa buku ini disusun dengan mengandalkan semangat propaganda, bukan dengan semangat ilmiah untuk mencari dan menemukan kebenaran sejarah. Buku ini banyak berisi tentang lampiran- lampiran yang bermuatan tulisan-tulisan dari para pelaku sejarah pada masa itu, akan tetapi teknik penyuntingan yang tidak begitu jelas teknik dan metodenya menyebabkan banyak pernyataan-pernyataan di dalam buku ini kurang bisa dibuktikan kebenaran dan keabsahannya. Namun begitu pun, terlepas dari ke- subjektivan yang terlalu dalam pada Prahara Budaya, buku ini tetap dirasa pantas menjadi sebuah bahan rujukan karena dapat menjadi bahan pembanding juga untuk memperoleh kejelasan fakta dari situasi konflik kebudayaan yang terjadi pada masa

11

1955-1965, terutama pertentangan antara Lekra dengan Manifesto Kebudayaan

(Manikebu).

Pramoedya Ananta Toer Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (2003)

Penerbit Lentera Dipantara Jakarta, yang menjelaskan pertumbuhan realisme sosialis6 di Indonesia dari tahapan awal (masa kolonial) sampai menjelang munculnya orde baru. Buku ini merupakan pidato Pramoedya sebagai tamu kehormatan dalam seminar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tahun 1963. Lekra merupakan salah satu organisasi yang banyak disebut dalam buku ini. Sebagaimana Pramoedya juga menyebutkan bahwa proses pertumbuhan sastra tak lepas dari kondisi politik yang ada pada waktu itu. Dalam lampirannya, Pramoedya menambahkan hasil kongres nasional pertama Lekra di Surakarta 22-28 januari 1959. Beberapa sikap organisasi lainnya juga dilampirkan yang melengkapi perdebatan sikap seniman mengenai seni budaya itu sendiri. Data dari buku ini dapat berguna untuk menambah informasi dan wacana mengenai perkembangan Lekra dan sikapnya terhadap kondisi perpolitikan di Indonesia pasa saat itu.

Selanjutnya ada Buku Geger Lekra 1965 (2013) buku seri sejarah yang ditulis oleh Tempo ini memberikan pembahasan lain mengenai perkembangan Lekra dan hubungannya dengan PKI. Kumpulan tulisan dari Tempo ini juga memberikan

6Realisme sosialis merupakan realisme yang didasarkan pada tujuan sosialisme. Watak realisme adalah militansi sebagai ciri yang tidak kenal kompromi terhadap lawan. Realisme sosialisme terbuka akan hal yang baru namun dengan sikap yang progresif dan revolusioner Kata „Realisme Sosialis‟ diyakini dipelopori oleh pujangga besar Soviet, Maxim Gorki.

12 bahasan mengenai sosok para pendiri Lekra, serta mempertegas hubungan Lekra dan

PKI hanya sekedar kesamaan hubungan ideologi. Bukan hubungan hirarki partai atau organisasi.

Film Dokumenter Tjidurian 19: Rumah Budaya yang Dirampas besutan M

Abduh Aziz merupakan referensi yang berisi tentang wawancara dengan beberapa tokoh Lekra yang pernah aktif di kantor Lekra Jakarta. Tjidurian 19 tidak lain adalah markas utama Lekra di Jakarta yang sekaligus sanggar seni. Mereka antara lain Putu

Oka Sunanta, Martin Aleida, S Anantaguna, Oey Hai Djoen, Jean Luyke, Amrus

Natalysa, Hesri Setiawan, T Iskandar AS, dan Amarzan Lubis. Dalam dokumenter berdurasi 40 menit ini, tokoh-tokoh tersebut memaparkan kehidupan Lekra dan berbagai pahit manisnya. Termasuk kisah hidup mereka masing-masing. Hubungan seni dan politik serta hubungan Lekra dan PKI pun juga dibahas. Film dokumenter ini dapat memberikan tambahan informasi mengenai kehidupan Lekra dengan sisi lainnya; Seni, Politik, dan Sisi manusia para tokoh Lekra.

Terakhir buku Laporan Kebudayaan Rakyat. Buku yangditerbitkan oleh

Lembaga Kebudayaan Rakyat pada tahun 1959 ini, berisi tentang hasil kongres nasional ke-I yang dilaksanakan di Solo pada tanggal 22-28 Januari 1959. Kongres ini merupakan kongres terpenting bagi Lekra karena membahas langkah-langkah

Lekra ke depannya.Segala hal yang berkaitan dengan Lekra disusun dan diperbaharui kembali sehingga dapat menjadi suatu pegangan dalam melaksanakan program- program kerja. Kongres ini juga dihadari oleh para undangan dari luar negeri.

13

Kongres I ini, selain membahas langkah-langkah Lekra ke depan, juga membicarakan sumbangan Lekra pada jalannya revolusi.

1.5 Metode Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merekonstruksi sejarah dan menghasilkan sebuah penulisan sejarah yang bernilai ilmiah sehinggatahapan demi tahapan harus dilakukan untuk mencapai suatu hasil yang maksimal.

Langkah pertama yang penulis kerjakan yaitu heuristik yang berarti pengumpulan sumber-sumber atau data-data yang terkait dengan objek penelitian penulis dari berbagai sumber dalam hal ini penulis menggunakan metode library research (penelitian kepustakaan) dengan mencari data data terkait di Arsip Nasional

Republik Indonesia (ANRI) lalu Perpustakaan Nasional serta buku-buku lain yang mengangkat tema yang sama dengan tulisan yang ingin ditulis. Field research

(penelitian lapangan), sumber tersebut merupakan sumber primer dan sumber sekunder. Sebenarnya garis demarkasi perbedaan antara sumber pertama dan sumber kedua tidak begitu jelas atau sering dikaburkan karena setiap sejarawan mempunyai pendapat masing-masing.7 Sumber primer dapat dibagi dua yang pertama, berupa dokumen dan arsip -arsip atau laporan pemerintah dan yang kedua yaitu sumber lisan

7Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, Ombak, , 2007. hal. 107

14 berupa wawancara yang langsung dilakukan dengan pelaku atau saksi mata peristwa sejarah.8

Langkah kedua yang dilaklukan adalah kritik sumber. Dalam tahapan ini, kritik dilakukan terhadap sumber yang telah terkumpul. Tahap ini juga berfungsi untuk mengusahakan peneliti agar lebih dekat dengan nilai kebenaran dan keaslian sumber. Kritik yang dilakukan yaitu kritik intern dan juga ekstern. Kritik intern diperlukan guna menilai kekayaan data dengan menelaah tentang kebenaran isi atau fakta dari sumber baik sumber tersebut dari buku, arsip, artikel, serta wawancara.

Sedangkan kritik ekstern digunakan untuk menentukan keaslian sumber. Sangatlah penting melakukan kritik ekstern demi menjaga keobjektifan suatu data.

Langkah ketiga yang dilakukan yaitu interpretasi, setelah data tesebut melewati kritik sumber maka penulis melakukan tahapan yang ketiga yaitu penafsiran atau penganalisisan terhadap hasil dari kritik sumber. Dalam proses interpretasi ini bertujuan untuk menghilangkan kesubjektifitasan sumber walaupun kita ketahui ini tidak akan dapat dihilangkan sepenuhnya. Interpretasi ini dapat dikatakan data sementara sebelum penulis membuatkan hasil keseluruhan dalam suatu penulisan.

Langkah selanjutnya dan yang terakhir yaitu Historiografi, tahapan ini berisi tentang penulisan, pemaparan, atau pelaporan dari hasil rekonstruksi data-data terhadap penelitian sejarah yang telah dilakukan. Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah deskriptif-analitis. Yaitu dengan menganalisis setiap data dan

8Dudung Abdurahman, 1999, op.cit. hal. 56.

15 fakta untuk mendapatkan penulisan sejarah yang kritis dan ilmiah. Historiografi juga merupakan klimaks dari sebuah metode sejarah.9 Layaknya penelitian ilmiah, penulisan hasil penelitian sejarah hendaknya dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian, sejak dari awal (heuristik) sampai dengan akhir yaitu penarikan kesimpulan sehingga dapat dikatakan penulisan tersebut bersifat kronologis atau sistematis.

Ketika menganalisis berbagai peristiwa atau fenomena masa lalu, sejarawan menggunakan konsep-konsep dari berbagai ilmu sosial tertentu yang relevan hanya pokok kajian. Ini dikenal dengan pendekatan interdisiplin atau multidimensional yang memberikan karakteristik ilmiah kepada sejarah. Empat tahapan di atas akan saling berkaitan antara satu dengan yang lain.10 Berdasarkan penulisan sejarah itu pula akan dapat dinilai apakah penelitiannya berlangsung sesuai dengan prosedur yang digunakannya tepat atau tidak, apakah sumber dan data yang mendukung penarikan kesimpulannya memiliki validitas yang memadai atau tidak, jadi dengan penulisan sejarah itu akan dapat ditentukan mutu penelitian dan penulisan sejarah itu sendiri.11

9Sartono Kartodirjo, pemikiran dan perkembangan Historiografi Indonesia, Gramedia, Jakarta hal. 58. 10Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1994, hal. 95. 11Dudung Abdurahman, 1999, op.cit. hlm. 67.

16

BAB II

PEMBENTUKAN LEMBAGA KEBUDAYAAN RAKYAT

Proses pencarian bentuk dalam kebudayaan nasional sudah dirumuskan jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, tahun 1935 menjadi awal dari pencarian kebudayaan Indonesia baru. Dengan ditandai berdirinya majalah pujangga baru,12 dengan maksud melepaskan diri dari kekangan Balai Pustaka.13 Kehadiran majalah pujangga baru membawa arah baru dalam kehidupan kebudayaan khususnya seni sastra mulai menampakan pengaruhnya. Mengingat dari arus yang berkembang pada saat itu, Semangat Modernitas barat menjadi idola bagi kelompok Sutan Takdir di satu sisi. Sementara di sisi yang lain, pembelaan terhadap tradisi dan budaya lama didorong oleh pemikiran Ki Hajar Dewantara, Sanusi Pane, dan Dr. Sutomo.

Perbedaan pandangan dalam menetukan landasan berkebudayaan itu sejatinya bernapaskan satu tujuan, yaitu perjuangan menuju cita-cita kemerdekaan Indonesia.

12Nama Pujangga Baru, selain menjadi nama majalah yang terbit sejak 1933, juga dipakai sebagai nama angkatan yang menggambarkan gaya khas sastra yang juga merupakan ciri khas dari majalah tersebut. Sering dihubungkan dengan perjuangan kaum intelektual nasionalis Indonesia dalam usahanya menjelaskan “Indonesia” sebagai kesatuan budaya, juga harus disebut sebagai bentuk perlawanan terhadap institusi kebudayaan bentukan kolonial Belanda: Balai Pustaka. (Keith Foulcher, Pujangga Baru: Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942, Jakarta, Girimukti Pasaka. 1991, hlm. 57).

13 Berbagai tulisan masyarakat anti-Belanda bermunculan di koran-koran daerah skala kecil, sehingga perusahaan penerbitan ini lalu didirikan Belanda dengan tujuan utama untuk meredam dan mengalihkan gejolak perjuangan bangsa Indonesia lewat media tulisan dan menyalurkan nya secara lebih manusiawi sehingga tidak bertentangan dengan kepentingan Belanda di Indonesia. Balai Pustaka didirikan dengan nama Commissie voor de Inlansche School en Volkslectuur("Komisi untuk Bacaan Rakyat") oleh pemerintahHindia Belanda pada tanggal 15 Agustus1908. Lembaga itu berada di bawah naungan Adviseur voor Inlandsch Zaken, atau Biro Penasehat Urusan Pribumi, yang termasuk ke dalam Departement van Onderwijs en Eeredienst, Departemen Pendidikan dan Keagamaan. Diakses melalui Web Site: https://id.wikipedia.org/wiki/Balai_Pustaka. Diakses pada 18 April 2019.

17

Pada masa pendudukan tentara jepang, semua jabatan pemerintahan dipegang oleh orang-orang Indonesia, terutama struktur hukum dan pendidikan. Perubahan besar juga terjadi dengan bahasa Indonesia yang dijadikan sebagai bahasa persatuan oleh Kongres Pemuda Indonesia pada tahun 1928. Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa resmi dan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah seluruh

Indonesia.14 Kekuasan tentara Jepang tidak berlangsung lama di Indonesia.

Kekalahan Jepang pada sekutu dalam Perang Dunia II mengakibatkan kekosongan kekuasaan di Indonesia. Kekosongan kekuasaan ini dimanfaatkan oleh para pejuang bangsa untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus

1945.

2.1 Situasi Nasional Setelah kemerdekaan 1945

Menurut Perjanjian Wina tahun 1942, Negara-negara kolonialis bersepakat untuk mendapatkan kembali wilayah-wilayah yang pernah mereka kuasai, apabila

Jepang dapat diusir dari wilayah-wilayah yang didudukinya. Menjelang akhir perang tahun 1945, sebagian wilayah Indonesia telah dikuasai oleh tentara Sekutu.Satuan tentara Australia telah mendaratkan pasukannya di Makasar dan Banjarmasin, sedangkan Balikpapan telah diduduki oleh Australia sebelum Jepang menyatakan menyerah kalah.Sementara pulau Morotai dan Irian Barat bersama-sama dikuasai oleh tentara Australia dan Amerika Serikat dibawah pimpinan jenderal Douglas

14Asnawi Murani, dkk, Kapita Selekta Manifestasi Budaya Indonesia, 1884, , penerbit Alumni, hal. 228-229.

18

MacArthur, Panglima Komando Kawasan Asia Barat Daya (South West Pacific Area

Command/SWPAC). Setelah perang usai, tentara Australia bertanggung jawab terhadap Kalimantan dan Indonesia bagian Timur, Amerika Serikat menguasai

Filipina, dan tentara Inggris dalam bentuk komando SEAC (South East Asia

Command) bertanggung jawab atas India, Burma, Srilanka, Malaya, Sumatera, Jawa, dan Indonesia. SEAC dengan panglima Lord Mountbatten sebagai komando tertinggi

Sekutu di Asia Tenggara bertugas melucuti balatentara Jepang dan mengurus pengembalian tawanan perang dan tawanan warga sipil Sekutu (Recovered Allied

Prisoners of War and Interness/RAPWI).

Berdasarkan Perjanjian Urusan Sipil (Civil Affairs Agreement) pada tanggal

23 Agustus 1945, Inggris bersama tentara Belanda mendarat di Sabang, Aceh.

Tentara Inggris selaku wakil Sekutu tiba di Jakarta 15 September 1945, dengan didampingi Dr. Hubertus j. Van Mook, ia dipersiapkan untuk membuka perundingan atas dasar pidato siaran radio Ratu Wilhelmina tahun 1942 (statkundige concepti atau

Konsepsi Kenegaraan), tetapi ia mengumumkan bahwa ia tidak akan berbicara dengan Soekarno yang dianggapnya telah bekerjasama dengan Jepang. Pidato Ratu

Wilhemina itu menegaskan bahwa di kemudian hari akan dibentuk sebuah persemakmuran yang diantara anggotanya ialah Kerajaan Belanda dan Hindia

Belanda, dibawah Pimpinan Ratu Belanda.

Pada awal kemerdekaan, suasana revolusi belum dapat dikelola secara baik oleh para pemimpin, tetapi telah ada kesadaran akan kekuatan terbesar ialah rakyat.

19

Menurut , revolusi 1945 belum selesai. Oleh karena itu, Sukarno memerintahkan Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan untuk mengambil tindakan di bidang kebudayaan guna melindungi dan menjamin perkembangan kebudayaan nasional. Hal-hal yang harus dihapus seperti tari-tarian, musik, dan tulisan barat yang merupakan kebudayaan luar. Usaha menghapus kebudayaan

Imperialis ialah dengan mengaktifkan kembali kebudayaan asli Indonesia.

Kemerdekaan yang diperoleh tidak hanya berimbas pada hal yang bersifat politik tetapi juga memberikan dasar baru bagi lahirnya kebudayaan baru. Revolusi

Agustus mendorong perkembangan yang lebih maju dalam bidang kesusasteraan, seni rupa, seni musik, film, seni drama, seni tari, ilmu pengetahuan, dan pendidikan. Hal ini merupakan usaha untuk membebaskan kesenian dan ilmu dari belenggu penjajahan.

Indonesia sebagai negara yang baru saja merdeka berusaha menunjukan dirinya kepada dunia. Hal ini berguna untuk melepaskan diri dari pengaruh Belanda yang masih ingin kembali menguasai Indonesia. Kemerdekaan Indonesia yang ditandai dengan proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 tidak serta merta membuat penjajah meninggalkan Indonesia. Euforia kemerdekaan yang dirayakan rakyat secara serentak tidak berlangsung lama, sebab Belanda merasa berhak

20 memperoleh kembali tanah jajahannya. Atas dasar itu, kesatuan rakyat melakukan perlawanan terhadap musuh.15

Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, rakyat mulai mengadakan pembangunan untuk menuju masyarakat yang dicita-citakan bersama dengan Amanat

Proklamasi. Tantangan yang dihadapi oleh Sukarno dan rakyat lebih sulit dibandingkan dahulu. Pertentangan kelompok dengan ideologi yang bermacam- macam memperkeruh keadaan. Dilain hal, pembangunan tidak dapat berjalan semestinya akibat sering bergantinya kabinet selama demokrasi liberal.16

Negara Indonesia yang masih sangat muda, sejak kemerdekaan nya diproklamirkan oleh Soekarno dan Hatta yang mewakili bangsa Indonesia pada 17

Agustus 1945, pada hakikatnya sudah tercabik-cabik oleh kaum Kolinialis/Sekutu yang telah menguasai sebagian besar bumi nusantara, seperti penjelasan diatas. Selain itu, berbagai tokoh saling berganti mencoba memimpin, membawa Negara mengikuti cara dan pemikirannya. Dari satu tokoh bertukar ke tokoh lain, dan pihak lawan yang mengendaki kehancuran republik tidak tinggal diam berpangku tangan memakai para tokoh-tokoh yang dapat digunakan sebagai pionnya.

15Peter Kasenda, Bung Karno Panglima Revolusi, 2014, Yogyakarta, Galang Pustaka, hal. 163. 16Peter Kasenda, op.cit, hal.164.

21

2.2 Surat Kepercayaan Gelanggang

Sebagai manifesto kebudayaan pertama yang muncul setelah Indonesia merdeka, Surat Kepercayaan Gelanggang(SKG) tidaklah dihasilkan oleh sebuah organisasi kebudayaan. Karena itu sulit dicari penjelasannya secara utuh. Masing- masing pihak yang merasa ikut terlibat melahirkannya merasa berhak untuk menjelaskan. Penjelasan yang disesuaikan dengan pemahaman masing-masing, dan seturut dengan perkembangan keadaan. Karena itu interpretasi dan penjelasan SKG jadi beragam dan penuh warna, tidak jarang saling bertentangan. Ada yang meyatakanbahwa SKG adalah ibu kandung dari Manifes Kebudayaan, sebagai pengejawantahan unsur-unsur universalisme yang humanis. Karena itu dia berlawanan dengan, misalnya, Mukadimah Lekra yang dianggap menolak prinsip

Humanisme Universal dan menganut Realisme Sosialis. Namun dari kalangan Lekra sendiri melihat bahwa surat Kepercayaan Gelanggang tidak bertentangan dengan

Mukadimah Lekra, karena keduanya mempunyai sikap yang sama terhadap revolusi, kebebasan kreatif dan demokrasi.17

Pernyataan SKG sendiri pertama kali muncul dalam rubrik Cahier Seni dan

Sastera yang juga bernama “Gelanggang” dari Majalah Siasat,18 edisi Oktober 1950.

17Joebaar Ajoeb, Sebuah Mocopat Kebudayaan Indonesia, Teplok Press, Jakarta, 2004, hlm. 25 18Siasat adalah majalah mingguan politik dan kebudayaan yang diasuh oleh kalangan budayawan dan intelektual yang kemudian hari dekat dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI), seperti Soedjatmoko, Rosihan Anwar, Gadis Rasjid dan Soedarpo Sastrosatomo. Terbit pertama kali Januari 1947, sedangkan ruang kebudayaan “Gelanggang”-nya baru muncul pada awal 1948 atas inisiatif sekelompok seniman (yang bukan kebeteluan juga bernama) “Gelanggang” seperti Chairil Anwar dan

22

Redaksi ruang kebudayaan Gelanggang adalah Asrul Sani dan Rivai Apin. Sebelum diumumkan, Surat Kepercayaan ini sebelumnya pernah dibacakan dalam sebuah pertemuan budayawan dan intelektual di paviliun Hotel Indes Jakarta bulan Juni

1950.

Kalimat pembuka SKG ini seringkali dikutip oleh kalangan seniman dan sastrawan sebagai landasan argumen bahwa seni dan kebudayaan pada umumnya adalah universal. Melintasi batas-batas bahasa, suku, agama bahkan bangsa. Identitas kebudayaan mereka dapat dari cara mereka meneruskan bangunan kebudayaan itu dengan “cara kami sendiri”.. Dengan ini mereka juga menyatakan vitalnya kebebasan kreatif bagi perkembangan kebudayaan. Seturut dengan semangat universal itu, maka mereka tidak secara khusus mengidentifikasi masyarakat di mana mereka tumbuh selain “kumpulan campur baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan”. Pernyataan bahwa mereka adalah “ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia” di bagian pertama, adalah pernyataan sikap kultural yang kosmopolitan, yang meniadakan secara konseptual peniruan, adaptasi, akulturasi dan sejenisnya.

Paragraf kedua, ketiga dan keempat adalah penegasan ulang bahwa identitas mereka sebagai orang Indonesia bukan dari tampilan fisik, tapi dari apa yang mereka hasilkan sebagai insan pencipta budaya, dan diikuti dengan penolakan terhadap segala “pemeriksaan ukuran nilai” dalam kebudayaan yang sewenang-wenang.

Ida Nasution. Kelompok yang bernama lengkap “Gelanggang Seniman Merdeka” inilah yang kemudian oleh HB Jassin dikategorikan sebagai Angkatan 45 dalam sejarah sastra Indonesia.

23

Pernyataan ini mengedepankan subyektivitas dan kebebasan tanpa halangan dari pihak manapun. Mereka juga tidak mau “melap-lap hasil kebudayaan lama” tapi akan menciptakannya sendiri kebudayaan baru yang dihasilkan dari interaksi mereka dengan realitas dunia. Karenanya mereka setuju dengan revolusi nilai (mental), meletakkan nilai-nilai baru atas nilai- nilai usang yang harus dihancurkan. Mereka mengakui bahwa nilai-nilai lama masih tetap mempunyai pengaruh, sehingga bagi mereka revolusi di Indonesia masih belum selesai.

Walau kebaruan terus mereka dengungkan, namun pengaruh sejarah tidak mereka tolak karena sadar hal yang baru tidaklah mungkin sama sekali baru.

Semangat avant-gardisme muncul pada paragraf kelima ini, dalam arti kesiapan untuk memulai sesuatu yang benar-benar baru. Semangat pembaruan sebagai manusia pencipta budaya harus terus ada. Manusia sebagai subyek pencipta budaya menempati posisi sentral (humanisme).

Kalimat penutup yang merupakan pengakuan hubungan yang hakiki antara seniman dan masyarakatnya menjadi semacam penegasan untuk tidak melap-lap kabudayaan lama, mencipta sesuatu yang baru di tengah masyarakat dunia yang sekarang mereka hadapi. Sesuatu yang cukup menarik dari SKG ini adalah semangat

“internasionalismenya,”19 dengan meletakkan tanggung jawab penuh integritas

19Semangat internasionalisme ini menurut beberapa pengamat sejarah kesusateraan Indonesia modern dibawa terutama oleh Chairil Anwar yang berangkat dari identifikasi dengan estetika modern. Eropa. Lihat misalnya Foulcher, Keith, 1994, Angkatan 45: Sastra, Politik Kebudayan dan Revolusi Indonesia, Jakarta, Jaringan Kerja Budaya, hal. 23, atau Sastrowardoyo, Subagio, 1997, Sosok Pribadi dalam Sajak, Jakarta, Pustaka Pelajar hal. 24.

24 seniman secara individual sebagai pembangun budaya. Dalam pemikiran ini berarti seni mempunyai peran dalam proses pembangunan bangsa apabila seniman tetap setia pada cita-cita untuk melakukan pengujian pada diri sendiri dan penggalian ke dalam pribadi masing- masing untuk menemukan keaslian-keaslian pencapaian budaya.

Artinya, dalam konteks perjuangan bangsa keluar dari penjajahan dan pembangunan

Indonesia baru, revolusi sebagai perjuangan bersama rakyat (kolektif) dilihat sebagai perjuangan individu-individu.

Jika ditinjau dari konteks sosio politis jamannya, SKG cukup kontroversial.

Saat seluruh potensi bangsa dipusatkan untuk mempertahankan kemerdekaan, bersatu memantapkan identitas ke-Indonesia-an, SKG muncul merelatifkan semua itu. “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia” adalah pernyataan yang menisbikan batas-batas timur dan barat. Dalam konteks tahun 1950-an ini bisa diartikan menghilangkan perbedaan antara penjajah (barat) dan yang dijajah (timur).

Dengan watak pemerintahan Soekarno yang sangat anti Barat dengan slogan anti

Nekolim (neo kolonialisme dan imperialisme), SKG adalah sebuah pengkhianatan.20

Keadaan sosio politik tahun 1950-an memang dilihat dengan cara yang berbeda oleh para konseptor SKG ini. Situasi politik tahun-tahun itu, dengan hiruk pikuk aktivitas partai-partai, mereka baca dengan kritis dan sinis. Di tengah kejenuhan ini mereka ingin tampil lain dari pada yang lain, ingin meneruskan

20 Abdullah, Taufik, 1997, “Kata Pengantar” dalam Sani, Asrul, 1997, Surat-Surat Kepercayaan, Jakarta, Pustaka Jaya, hal. xxiv.

25

“dengan cara kami sendiri”, tidak mau “melap- lap kebudayaan lama”, dan menolak otoritas “pemeriksaan segala ukuran nilai”. Sinisme terhadap kondisi politik tahun

1950-an juga tampak jelas dalam 3 tulisan Asrul Sani yang berjudul “Fragmen

Keadaan”, dimuat berturut-turut dalam tiga edisi “Gelanggang”. Tiga tulisan tersebut menjelaskan latar belakang mengapa sampai dicetuskan SKG. Pada bagian pertama

Asrul menulis:

Kita lihat orang-orang mudah di tanah air kita sendiri berbaris-baris

masuk partai politik! Ya, tidak ada lagi yang bisa dilakukan yang

lebih mudah dari ini. Di sana orang mudah menjadi alat, dan

perkataan “aku” dapat disembunyikan di balik perkataan “kami”.

Semboyan- semboyan yang dulu dilupakan di segala dinding kakus

dan kamar mandi dan yang kemudian tidak dapat dipenuhi. Diganti

dengan disiplin partai untuk menutupi kelemahan mencari sendiri...21

Asrul Sani, mewakili sikap kalangan seniman dan budayawan yang bergabung dalam “Gelanggang Seniman Merdeka”, menyatakan kejenuhannya atas dominasi politik terhadap setiap sektor kehidupan, yang termanifestasi dalam kehidupan parta- partai politik. Dalam keadaan seperti ini kebenaran politik lalu mengatasi kebenaran lain, termasuk kebenaran kebudayaan.

21Asrul Sani, 1950. “Fragmen Keadaan I” Siasat, Minggu 22 Oktober 1950.

26

Orang tidak lagi bisa melihat sajak sebagai sajak bukan sebagai

manifestasi politik. Dengan kungkungan politik ini, kebudayaan

diperlakukan seperti orang memperlakukan bangkai binatang dalam

ruang anatomi, disuntik dengan formalin sehingga kaku sama sekali.

Kebudayaan lalu menjadi urusan birokratis, mencari pejabat yang

akan mengurusinya dan membangun kantor baru sebagai tempat

pegawai-pegawainya.22

Asrul Sani disini menuntut kejujuran dalam mengembangkan kebudayaan, kembali pada subyek pencipta kebudayaan: manusia.

Karena itulah dalam menyikapi warisan polemik kebudayaan tahun 1930-an, baginya harus dikembalikan pada “kehendak mencari alasan”, motivasi sang pencipta budaya. Mencipta budaya membutuhkan energi keyakinan dan kejujuran, dan energi ini tidak bisa didapat dengan mempertentangkan atau membandingkan antara kita yang timur dan mereka yang barat. Lebih baik kita berpijak dari apa yang ada sekarang, tidak perlu malu kalau yang ada dalam darah kita sekarang tidak murni timur. Setidaknya kita jujur, dengan demikian kita bisa menciptakan kebudayaan yang terus terang. Dalam paparan selanjutnya, Asrul pada intinya menegaskan bahwa budayawan dan seniman yang memperkaya kehidupan kebudayaan bukanlah semata- mata tenaga kreatif, tetapi juga hati nurani bangsa. Karena itulah, di atas segala-

22Sani, Asrul, 1950. “fragmen keadaan II” siasat, minggu 29 Oktober 1950.

27 galanya adalah “kejujuran”, atau lebih tepat integritas pribadi sebagai pencipta adalah kemutlakan yang tak bisa diganggu gugat oleh seorang budayawan dan seniman.

Kemunculan SKG yang tidak segera mendapat reaksi, adalah hal lain yang perlu dicatat. Karena sifatnya yang semata-mata seruan dari sekelompok orang tanpa ikatan kerja-kerja bersama yang kongkrit, maka kita tidak akan menemukan hasil dari

SKG secara langsung, selain dia kemudian didefinisikan oleh sejarawan sastra

Indonesia sebagai konsep pandangan dunia yang mewakili seniman Angkatan 45.23

Definisi yang didapat dari individu-individu seniman dan sastrawan yang kemudian menonjol dengan tetap mengusung semangat Surat Kepercayaan Gelangggang ini seperti Asrul Sani, Rivai Apin dan Chairil Anwar.24 Pandangan ini terus diikuti sampai sekarang, karena nama-nama sastrawan inilah yang terus masuk dalam buku- buku pegangan sejarah sastra Indonesia. Sedangkan lekra yang nenjadi aktor utama dalam dekade 1950-1960-an tidak mendapat tempat karena kepentingan politis pemerintah untuk memisahkan sastra dan kesenian dari politik.

23Pada perkembangannya angkatan ini melahirkan banyak perdebatan sampai tahun 1965.Setalah tahun itu, hanya ada satu intehesrirpretasi tentang angkatan ini, yang dikembangkan secara konsisten dalam terbitan-terbitan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jaasin dan tulisan-tulisan di Majalah Kebudayaan Horison. 24Ajip Rosidi sebagai penyunting buku Asrul Sani 1997, Surat-Surat Kepercayaan, menyatakan bahwa konseptor Surat Kepercayaan Gelanggang adalah Asrul Sani.Ajip menolak pandangan umum selama ini yang menganggap Chairl Anwar-lah konseptornya. Sebab, menurut Ajip Rosidi, ketika surat itu diumumkan, Chairil Anwar sudah setahun meninggal (April 1949). Argumen Ajip ini sebenarnya tidak begitu kuat, karena bisa saja konsep surat itu sudah disusun jauh hari sebelumnya ketika Chairil Anwar masih hidup. Atau malah surat itu mereka susun bersama. Kita tidak akan masuk dalam pembahasan ini. Disinggung sedikit untuk sekedar menunjukkan betapa pentingnya surat kepercayaan gelanggang ini, karena dianggap sebagai konsep pandangan dunia para seniman Angkatan 45.

28

2. 3 Mukadimah Lekra

Berdirinya Lekra tak dapat dilepaskan dari geliat zaman untuk membangun

“kebudayaan baru”, sebuah frasa yang masih abstrak saat itu. Latar sosial dan kebijakan politik dalam negeri menjadi faktor penentu. Meski Belanda sudah hengkang, anasir-anasir kontrarevolusi dan pesimisme pasca-kemerdekaan membuat tak sedikit masyarakat skeptis akan masa depan negara yang baru berusia lima tahun ini.

Lembaga Kebudayaan Rakyat terlahir dari buaian perjuangan. Perjuangan pemerdekaan diri sebagai objek ditengah pergaulan antar bangsa, sekaligus perjuangan pencarian diri sebagai subjek ditengah pergaulan antar bangsa. Kata

“rakyat” yang menjadi pokok bagi kata “lembaga” dan “kebudayaan” yang mendahuluinya, tentu saja yang dimaksud ialah Bangsa Indonesia.

Lembaga Kebudayaan Rakyat berusaha berjuang untuk menghancurkan sisa- sisa imperialisme, feodalisme, dan budaya Barat yang masih ada di Indonesia.

Kebudayaan Barat yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa diusahakan untuk dihapusdan digantikan dengan kebudayaan asli Indonesia. Hal yang terpenting bagi

Lekra ialah menghidupkan kembali kebudayaan-kebudayaan asli dari berbagai daerah. Oleh sebab itu, karya-karya dari para seniman Lekra lebih banyak bertemakan semangat revolusi untuk melakukan perubahan dalam bidang kebudayaan dengan mengusung kesenian dari berbagai daerah.

29

Mukadimah Lekra adalah naskah proklamasi pendirian sebuah organisasi kebudayaan, Lembaga Kebudayaan Rakyat, 17 Agustus 1950, tepat lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Mukadimah ini dibuka dengan pernyataan yang sangat keras, bahwa “Revolusi Agustus 1945 telah gagal!” Revolusi

Agustus diyakini Lekra sebagai revolusi seluruh rakyat Indonesia dalam mencapai kemerdekaan total dari penjajahan, secara politis, ekonomi dan kultural. Dalam perjalanan lima tahun setelah proklamasi 17 Agustus 1945, kelanjutan revolusi

Indonesia dianggap gagal. Perjuangan rakyat dalam menuntaskan revolusi, diputus dan dihambat, diganti dengan apa yang disebut dengan “perjuangan diplomasi”, perjuangan yang dianggap meniadakan perjuangan dan pengorbanan rakyat selama revolusi Agustus 1945. Dalam laporannya pada kongres pertamanya di Solo,

Sekretaris Umum Lekra Joebaar Ajoeb menyatakan:

Demikianlah, Lekra didirikan tepat 5 tahun sesudah Revolusi

Agustus pecah, di saat revolusi tertahan oleh rintangan hebat yang

berujud persetujuan KMB, jadi, di saat garis revolusi sedang

menurun. Lekra didirikan untuk turut mencegah kemerosotan lebih

lanjut garis revolusi, karena kita sadar, karena tugas ini bukan hanya

tugas politisi, tetapi juga tugas pekerja-pekerja kebudayaan. Lekra

30

didirikan untuk menghimpun kekuatan yang taat dan teguh

mendukung revolusi.25

Pengertian “Perjuangan Diplomasi” adalah ketika Indonesia mulai membuka ruang untuk meja perundingan dengan Belanda. Hal ini dipandang sebagai langkah mundur, karena saat proklamasi pun tidak ada pendahuluan perundingan dengan

Belanda. Artinya, kemerdekaan yang telah direbut ini harus dipertahankan tanpa syarat. Sedangkan perundingan-perundingan yang ditempuh dalam “perjuangan diplomasi” justru memberi ruang pada Belanda untuk menuntut konsesi-konsesi.

Dimulai dengan Maklumat 1 November 1945 yang hasilnya antara lain Indonesia akan menanggung semua hutang yang dibuat Belanda sejak sebelum masuknya

Jepang, Indonesia mengembalikan seluruh perusahaan asing yang ada pada pemiliknya dan menyediakan sumber-sumber kekayaan alam untuk dieksploitasi negara lain, khusunya Belanda dan Amerika Serikat. Perundingan Linggarjati 25

Maret 1947 yang menyusul kemudian, malah menjadi pelaksanaan dari manifesto politik 1 November ditambah dengan daerah Republik yang diakui hanyalah Jawa,

Madura dan Sumatera. Terakhir, puncaknya adalah Konprensi Meja Bundar (KMB) 2

November 1949, di mana Indonesia menerima bentuk negara federal.

Kesibukan-kesibukan diplomatik ini dipandang Lekra sebagai suatu

“pengkhianatan” terhadap pertempuran-pertempuran yang terus berkobar di lapisan

25Joebaar Ajoeb, 1959, Perkembangan Kebudayaan Indonesia Sejak Agustus 1945 dan tempat serta peranan Lekra di Dalamnya. Dalam Dokumen Kongres Nasional I Lekra, Bagian Penerbitan Lekra, 1959. Hal.15.

31 bawah. Ia mengkhianati perjuangan rakyat dalam menuntaskan revolusi dengan mengambil alih kepemimpinan dan membawanya ke meja perundingan. Karena itu

Revolusi Agustus 1945 dianggap gagal. Tugas para pekerja budaya jugalah untuk mengembalikan kepemimpinan revolusi ke tangan rakyat dengan menegakkan asas seni untuk rakyat dan ilmu untuk rakyat.26

Menurut Lembaga Kebudayaan Rakyat, pekerja seni bukanlah seniman dan ilmuwan yang mengisolasi diri dari rakyat dan bersikap acuh tak acuh pada persoalan hidup. Lekra tidak ingin kehidupan kebudayaan dikuasai kaum priyayi dikota dan di desa yang secara sadar menjadi kaki tangan kapitalisme asing dan sisa-sisa feodalisme. Oleh karena itu, Lekra mengajak para seniman dan sastrawan yang berada dalam naungannya menyuarakan anti kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme.

Tujuan berdirinya Lekra mencegah kemerosotan lebih lanjut dibidang revolusi. Lekra menyadari bahwa hal ini bukan hanya menjadi tugas dari kaum politisi dan pemerintahan namun juga tugas para pekerja kebudayaan. Dalam pandangan Lekra, kebebasan menciptakan karya seni harus diikuti dengan tanggung jawab atas kesadaran politik. Hal ini disebabkan, revolusi memiliki arti penting bagi kebudayaan karena tanpa revolusi Agustus 1945 kebebasan dibidang kebudayaan tidak akan pernah terwujud.

26Joebaar Ajoeb,1959b, “Laporan Umum PP Lekra kepada Kongres NasionalILekra”,dalam Dokumen Kongres Nasional I Lekra,Jakarta, Bagian Penerbitan Lekra, hlm 16.

32

Menurut Lekra, unsur yang sangat penting dalam revolusi tidak hanya pergerakan politik, tetapi juga memerdekakan rakyat dari pola pikir yang merasa terbelakang dan terjajah. Rakyat bebas dalam berekspresi, hak atas pendidikan dan kehidupan yang layak. Fokus utama Lekra terletak pada kehidupan rakyat-rakyat kecil. Usaha untuk memperjuangkan kelayakan hidup bagi rakyat kecil yang tertindas dan menderita dilakukan lekra melalui Kerja-kerja nya. Beban revolusi menjadi tanggungan bersama untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur.

Sikap Lekra sudah terlihat kukuh saat arena Kongres Kebudayaan II27 dibuka di Bandung pada 6-11 Oktober 1951. Kongres yang diselenggarakan Lembaga

Kebudayaan Indonesia (LKI) ini menciptaakan perdebatan sengit, antara golongan idealisme atau individualisme dengan golongan realisme atau kolektifisme. Lekra melepas para pendebatnya, antara lain:28 Djoebaar Ajoeb (Pendebat Kebudayaan),

A.S. Dharta (pendebat Kesusasteraan), Boejoeng Saleh (pendebat kritik seni),

Herman Arjuna (pendebat hak pengarang) serta Sunjata dan M Isa (pendebat sensor film).

Lekra mempertanyakan pencarian bentuk kebudayaan Nasional yang mesti memberi kepuasan pada setiap orang tanpa harus mengujinya secara matang apakah

27Konggres Kebudayaan II diselenggarakan pada tahun 1951.Konggres ini lebih mengkhususkan diri pada usaha pemecahan di berbagai bidang kesenian, tidak pada kebudayaan secara umum. Ada 4 masalah yang dijadikan bahwan pembicaraan, yaitu a. hak pengarang atau hak cipta; b. perkembangan kesusastraan; c. kritik seni; d. mengenai sensor film; selain pembahasan tentang organisasi kebudayaan. 28Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M Dahlan, Lekra Tak Membakar Buku, Yogyakarta: Merakesumba, 2008, hal. 22.

33 pendapat dan pendirian itu benar-benar berakar dalam masyarakat dan merupakan pendapat dan pikiran rakyat banyak (nasional). Dalam mempertahankan dan membangun kebudayaan rakyat ini Lekra merumuskan “Konsepsi Kebudayaan

Rakyat,” sebagai landasan gerak organisasi. Konsepsi yang merupakan uraian lebih detil dari Mukadimah ini terbagi menjadi enam bagian.

Berdirinya Lekra tidak lepas dari situasi politik di Indonesia saat itu.

Kemerdekaan Indonesia belum sepenuhnya tercapai dalam membebaskan rakyat dari penderitaan. Sikap rakyat yang merasa terbelakang dan tertindas serta takut akan perubahan merupakan dampak dari kolonialisme bangsa asing. Lekra menolak semua pengaruh kebudayaan barat yang masuk baik melalui buku-buku, musik, dan film sebagai bagian dari sikap anti imperialisme dan neokolonialisme.29

Konsepsi kebudayaan menurut Lekra sama sekali bukan bersandar pada kesatuan pandangan hidup dan keyakinan aliran seni. Sebab mustahil hal itu terwujud. Konsepsi kebudayaan nasional memberikan kebebasan yang sepenuh- penuhnya kepada setiap pandangan hidup dan keyakinan seni dengan syarat mendahulukan kepentingan nasional, kepentingan rakyat banyak. Bagi Lekra

Pandangan hidup dan keyakinan seni yang menuntut kebebasan sepenuhnya dalam artian juga untuk bebas berbuat atau menghasilkan ciptaan-ciptaan kesenian yang tidak memperhatikan atau bertentangan dengan kepentingan rakyat banyak adalah

29Alexander Supartono, Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan 1950-1965, 2000, Jakarta, hlm. 31.

34 pandangan hidup dan keyakinan seni yang dihilangkan dari masyarakat nasionalnya.30

2. 4 Kongres Nasional I

Dalam Kongres Nasional I ini terdapat suatu simbol yang kemudian diartikan sebagai logo resmi dari Lekra dimuat di surat kabar Harian Rakyat. Lambang itu bergambarkan seekor burung merpati putih yang sedang terbang. Merpati putih tersebut tergambar sedang menjepit sekuntum bunga yang juga berwarna putih dengan paruhnya, sedangkan di bagian kaki sang merpati tersusun sebuah kalimat yang bertuliskan: “Seni kita untuk…”,31 dan dipaling bawahnya lagi terdapat gambar beberapa adegan tari tradisional. Simbol ini menunjukkan bahwa Lekra memproklamirkan diri bahwa mereka adalah sebuah lembaga atau organisasi yang membawa misi perdamaian (burung merpati sering dijadikan identitas perdamaian).

Kemudian bagi Lekra, perdamaian sejati hanya bisa diperoleh bila sebuah negeri berdaulat penuh atas tanah dan bangsanya.

Dalam kongres nasional pertama, langkah pertama yang dilakukan adalah merevisi mukadimahnya, Mukadimah revisi ini sebenarnya sudah disusun pada

Konfrensi Nasional Pertama Lekra Juli 1955, namun baru disahkan dalam Kongres

Nasional pertamanya tahun 1959 di Solo. Mukadimah 1950 dianggap tidak lagi cocok lagi dengan kondisi sosial politik jamannya. Dia tidak bisa lagi menjawab

30Harian Rakyat, 20 Oktober 1951. 31Rhoma Dwi Aria, op.cit, hlm. 33.

35 permasalahan-permasalah baru yang muncul seturut dengan perkembangan masyarakat Indonesia. Selain itu, Mukadimah 1950 yang hanya menjelaskan mengapa Lekra didirikan, dianggap tidak mencukupi lagi karena Lekra sudah berkembang sedemikian rupa sehingga perlu merumuskan kembali pokok-pokok utama tujuan gerak langkahnya.

Sekretaris Umum Lekra baru, yang dipilih dalam Kofrensi Nasional 1955,

Joebaar Ajoeb menyatakan dalam laporan umumnya bahwa faktor-faktor yang menghambat pertumbuhan kebudayaan rakyat seperti:32

1. Tiadanya kesadaran, bahwa perjuangan rakyat terutama perjuangan buruh

tani tidak mungkin dipisahkan dari perjuangan kebudayaan.

2. Sentimen terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan kebudayaan

sebagai akibat menyamaratakan kultur rakyat dengan kultur borjuis.

3. Tidak adanya dorongan dari gerakan rakyat, terutama gerakan buruh dan tani

untuk memperhatikan masalah kultur.

32Joebaar Ajoeb,1959b, “Laporan Umum PP Lekra kepada Kongres Nasional I Lekra”, dalam Dokumen Kongres Nasional I Lekra,Jakarta, Bagian Penerbitan Lekra, hlm 44- 45.

36

4. Ketidakmampuan seniman rakyat sebagai pekerja kebudayaan rakyat untuk

menarik garis kebudayaan rakyat dengan kebudayaan borjuis, meskipun

kebudayaan rakyat sendiri memberikan bahan yang berlimpah-limpah.

5. Ketidakmampuan dari gerakan rakyat, terutama gerakan buruh tani dalam

usaha menarik golongan inteligensia dan pelajar pemuda yang berpikiran

maju ke dalam barisannya.

Sedangkan dalam beberapa kerja-kerja lain Joebar menyatakan Lekra telah berhasil membawa perjuangan kebudayaan pada setiap sektor gerakan rakyat, sudah berhasil membangun wacana dan mengembangkan kebudayaan rakyat dan berhasil menarik kalangan intelektual untuk bergabung ke dalam gerakan kebudayaan rakyat.

Berangkat dari kenyataan itu Lekra melihat bahwa perjuangan kebudayaan harus berpindah dari garda depan penghancur faktor-faktor penghalang dan mempersiapkan kondisi yang mendukung pertumbuhan kebudayaan rakyat, dalam rangka besar memperbaiki kegagalan revolusi Agustus 1945. Gerakan kebudayaan harus menjadi bagian dari kepemimpinan revolusi nasional, karena Lekra melihat bahwa revolusi nasional haruslah juga merupakan revolusi kebudayaan. Dengan demikian perjuangan rakyat pun menjadi berubah:

37

…dari hanya yang bersifat materiil dan hanya memakai alat-alat

yang materiil atau fisik, ia berubah menjadi juga bersifat kulturil dan

juga memakai alat-alat kulturil.33

Perubahan cara pandang dan titik berangkat ini pun segera tercermin dalam perubahan konsep tentang “rakyat”. Kalau sebelumnya rakyat didefinisikan sebagai buruh dan tani dalam konteks perjuangan kelas, dalam Mukadimah 1959 konsep rakyat diperluas menjadi “semua golongan dalam masyarakat yang menentang penjajahan”. Karena itu kalimat pembukaan dalam Mukadimah ini menjadi,

“Menyadari, bahwa rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan ….. maka pada tanggal 17 Agustus 1950 didirikanlah Lembaga Kebudayaan Rakyat, disingkat

Lekra.” Kalimat ini meyiratkan bahwa Lekra adalah solusi dari pembangunan kebudayaan rakyat secara keseluruhan, bukan hanya kelas buruh dan tani.

Secara umum Mukadimah 1959 ini lebih kurang kaitannya dengan politik secara langsung, mereka tidak secara tegas menyebut kondisi sosial politik semisal

“kegagalan revolusi Agustus akan memperbudak rakyat Indonesia di lapangan politik, ekonomi, militer dan kebudayaan” seperti yang terdapat dalam versi sebelumnya.34 Mukadimah 1959 membuka ruang interpretasi lebih luas pada para pekerja budaya yang bergabung di dalamnya untuk diterapkan dalam pengambilan keputusan setiap hari di tataran praktisnya. Perkembangan situasi juga dilihat secara

33Joebaar Ajoeb, 1959b, op.cit. hlm. 25. 34Alexander Supartono, Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan 1950-1965, 2000, Jakarta, hlm. 31.

38 positif: “Revolusi Agustus adalah usaha pembebasan rakyat Indonesia dari penjajahan, peperangan penjajahan serta penindasan feodal. Hanya bila panggilan sejarah revolusi Agustus terlaksana…. kebudayaan rakyat bisa berkembang bebas.”

Tuntutan kondisi-kondisi tertentu, beserta langkah-langkah yang harus diambil bagi perkembangan kebudayaan rakyat sebagaimana dinyatakan pada

Mukadimah 1950, sudah dianggap selesai pada Mukadimah 1959. Kondisi itu dianggap sudah ada, sehingga langkah selanjutnya yang harus diambil adalah mengambil kepemimpinan pembangunan kebudayaan nasional. Dalam rangka ini, maka pokok-pokok pembangunan kebudayaan nasional menjadi dipertegas.

Watak kerakyatan tentu saja masih terus dibawa, dengan definisi “rakyat” yang diperluas seperti telah disinggung di atas. Rakyat ditempatkan sebagai pusat dan tujuan utama revolusi Agustus yang akan diteruskan: “Revolusi Agustus membuktikan, bahwa pahlawan dalam peristiwa bersejarah ini, seperti halnya dalam seluruh sejarah bangsa ini, tidak lain adalah rakyat”.. Kemerdekaan, perdamaian dan demokrasi kemudian ditetapkan sebagai syarat bagi perkembangan bebas kebudayaan rakyat. Tiga prasyarat tersebut, dengan penekanan pada demokrasi, diyakini sebagai hal yang universal. Karena itu Lekra juga “membantu pergulatan untuk kemerdekaan tanah air dan perdamaian bangsa-bangsa” Dengan demikian Lekra memasukkan perspektif internasionalisme dalam kesadaran kerakyatan yang dibangunnya.

39

Lekra menyatakan diri terbuka terhadap perkembangan dan kemajuan zaman.

Malah memasukkan tambahan: “memberikan bantuan aktif untuk memenangkan setiap yang baru dan maju”. Warisan tradisi yang menjadi latar belakang historis kebudayaan Indonesia, diperlakukan sama dengan hasil-hasil ciptaaan klasik dunia:

“dipelajari dengan seksama… dan dengan ini meneruskan secara kreatif tradisi agung dari sejarah bangsa kita, menuju penciptaan kebudayaan baru yang nasional dan ilmiah”

2. 4. 1 Struktur Lekra

Dalam Kongres Nasional ini juga dipilih dan ditetapkan struktur pengurus di pusat. Saat awal terbentuknya, Lekra tidak memiliki pemimpin yang hierarki dan hanya mengandalkan lembaga-lembaga seni dan budaya yang terbentuk di beberapa tempat di Indonesia. Secara struktur organisasi, dikenal beberapa struktur kepengurusan dalam Lekra. Sekretariat Pusat, dikoordinasi oleh sekretaris umum yang bermakas di Jakarta. Pengurus Daerah, berkedudukan di masing-masing wilayah setingkat propinsi. Kepengurusan Cabang, berkedudukan di tingkat Kabupaten yang mengkoordinasi pengurus Ranting. Sedangkan Pengurus Ranting, berkedudukan di tingkat kecamatan.

Pada perumusan struktur atau hierarki dalam Kongres Nasional ini, pembagian wilayah berdasarkan provinsi, kota dan desa ini tetap dipertahankan.

Namun Lekra pada wilayah-wilayah tersebut sudah memiliki garis komando, yaitu

40 komando terhadap Pengurus Pusat, yang bertempat di Jakarta. Dibentuknya struktur seperti demikian dirasa perlu oleh para stakeholder Lekra, agar semua daerah yang di mana terdapat Lekra dapat lebih mudah menyatukan aspirasi dari berbagai masing- masing wilayah. Akan tetapi banyak kalangan, terutama lawan ideologi Lekra beranggapan bahwa cara satu komando yang diusung dengan menciptakan pengurus pusat Lekra terhadap sektor-sektor wilayahnya dinilai mengekangi kreativitas kebudayaan kader-kader Lekra di berbagai wilayah tersebut.

Orang-orang yang masuk ke dalam struktur Pengurus Pusat Lekra sebanyak

42 anggota, dengan tetap menghadirkan muka-muka lama para founding father Lekra di dalam nya seperti Nyoto, Joebaar Ajoeb, M.S. Ashar, Rivai Apin, dan Henk

Ngantung. Dalam susunan Pengurus Sekretariat Pusat yang dibentuk pada Kongres

Nasoinal 1959, Joebaar Ajoeb diembankan tugas menjadi Sekretaris UmumLekra dan didampingi oleh Henk Ngantung beserta Sudharnoto masing-masing sebagai Wakil

Sekretaris Umum I dan II. Sedangkan untuk yang lainnya sebagai anggota sekretariat.

Selain dibentuknya Pengurus Sekretariat Pusat, Kongres Nasional Lekra 1959 juga menciptakan lembaga-lembaga kreatifnya yang bersifat otonom. Lembaga- lembaga kreatif tersebut dibagi menjadi empat macam bidang kreativitas. Pertama adalah Lembaga Seni Rupa Indonesia (Lesrupa) yang diketuai oleh Henk Ngantung, kedua Lembaga Film Indonesia dengan ketuanya Bachtiar Siagian, ketiga ada

Lembaga Sastra Indonesia (Lestra) yang dipimpin oleh Bakri Siregar dan yang terakhir adalah Lembaga Seni Drama Indonesia (LSDI/Lesdra) yang diketuai oleh

41

Rivai Apin. Untuk lembaga kreatif lainnya, yaitu Lembaga Musik Indonesia,

Lembaga Senitari Indonesia, dan Lembaga Ilmu Indonesia, dibentuk setelah sidang pleno Lekra Agustus selain membentuk Pengurus Pusat dan Lembaga-Lembaga

Kreatif.

2. 4. 2 Asas, Metode dan Kombinasi 1-5-1

Akhirnya, pada Konfernas Lekra 1962, ditetapkan perumusan pedoman gerak

Lekra, yang terkenal dengan nama prinsip 1-5-1. Dengan Berlandaskan azas politik sebagai panglima, menjalankan 5 kombinasi, yaitu meluas dan meninggi, tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu arstistik, memadukan tradisi yang baik dan kekinian yang revolusioner, memadukan kreativitet individuil dan kearifan massa, dan memadukan

Realisme Sosialis dan romantik revolusioner, melalui cara kerja turun ke bawah.

Gerakan 1-5-1 adalah menempatkan politik sebagai panglima sebagai asas dan basis dari perpaduan lima kombinasi kerja. Yaitu: (1) meluas dan meninggi, (2) tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, atau 2 tinggi (3) tradisi baik dan kekinian revolusioner, (4) kreativitas individual dan kearifan masa, (5) realisme sosialis dan romantik revolusioner. Untuk memudahkan kelima hal itu diperlukan metode: turun kebawah atau turba. Guna memudahkan “prinsip kebudayaan” itu, Lekra meringkasnya menjadi sapaaan simbolik: 1-5-1. Untuk lebih rinci mengetahui penjelasan dari asas, metode, dan kombinasi 1-5-1 itu berikut penjelasannya:

42

1. Politik Sebagai Panglima

Nyoto yang merupakan salah satu pimpinan pusat lekra mula-mula memperkenalkan jargon ini dalam pidato sambutannya terhadap laporan umum pusat

Lekra di Kongres Nasional I lekra. Menurutnya hubungan perjuangan politik tidak dapat dipisahkan dengan perjuangan kebudayaan, politik dan kebudayaan harus ditempatkan di tempat yang semestinya. Keliru, bila membiarkan kebudayaan berjalan sendiri, tanpa bimbingan dari pengetahuan politik. Nyoto menolak pemikiran kolot yang menganggap bahwa kebudayaan harus bersih dari politik, bahwa seniman dan para pekerja kebudayaan tidak boleh ikut berpolitik karena hanya akan menurunkan mutu artistik dari karya-karya seninya sendiri. Menurut Nyoto, politik dan keudayaan tidak dapat dipisahkan dan belum ada bukti yang dapat dijadikan dasar bahwa seniman yang berpolitik akan melahirkan karya seni yang buruk. Lebih tegasnya Nyoto menyatakan:

“politik tanpa kebudayaan masih bisa jalan, tetapi kebudayaan tanpa

politik tidak… Sekali lagi kawan, politik itu penting sekali. Jika kita

menghindarinya, kita akan digilas mati olehnya. Karena itu dalam

hal apa pun dan kapan sajapun, politik harus menuntun segala

kegiatan kita: Politik adalah Panglima.”35

35Rhoma Dwi Aria, 2008, op.cit, hlm. 26.

43

Lebih jauh, nyoto memberikan hubungan antara seni dan politik dengan metafor seorang yang menuntut ilmu sambil berolahraga:

“perkenankanlah saya mengemukakan: orang yang berkata „hai,

jangan kamu berpolitik, karya senimu akan merosot‟, dia itu bisa

kita samakan denggan seorang guru yang berkata „hai, jangan kamu

olahraga, kau nanti bodoh‟. Menurut yang empunya cerita, tak lama

kemudian guru itu mati dan dikubur hanya karena dia tak pernah

berolahraga…”36

Pendapat serupa pernah dikemukakan oleh sastrawan pujangga baru Amir

Pasaribu yang mengatakan:

“seniman tidak berpolitik, itu benar, tidak berpolitik gerakan

subversif. 1001 kali seniman tidak berpolitik, 1001 kali pula politik

akan mencampuri seni dan seniman. Seniman itu peserta. Ia pal di

tengah-tengah kehidupan bangsa dan masyarakat. Ia bukanlah

penonton, spectateur…ia pemikir. Tiap masalah yang dihadapi harus

dijawabnya. Dengan sungguh-sungguh. Dengan jujur. Memikirkan

nasib kemajuan bangsanya dalam pemikiran semua segi hidupnya.

Dan ia bergiat untuk menyelamatkan bangsanya dari kerugian.”37

36Ibid., 37Ibid.,

44

1) Meluas dan Meninggi

Lekra menyatakan diri terbuka terhadap perkembangan dan kemajuan jaman.

Malah memasukkan tambahan: “memberikan bantuan aktif untuk memenangkan setiap yang baru dan maju”. Warisan tradisi yang menjadi latar belakang historis kebudayaan Indonesia, diperlakukan sama dengan hasil-hasil ciptaan klasik dunia:

“dipelajari dengan seksama… dan dengan ini meneruskan secara kreatif tradisi agung dari sejarah bangsa kita, menuju penciptaan kebudayaan baru yang nasional dan ilmiah”.

Ditambahkan pula secara khusus bahwa keragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia harus menjadi bahan yang tidak ada habis-habisnya dalam penciptaan-penciptaan baru. Kemungkinan-kemungkinan inilah yang selama ini dan terus akan digarap oleh Lekra. Dari bagian mukadimah inilah Joebaar Ajoeb, dalam kongres nasional pertama Lekra mengusulkan asas “Meluas dan Meninggi”:

Dengan usaha yang meluas ini sebagai landasan, Lekra mendorong serta menyelenggarakan kegiatan yang meninggi. Kegiatan meluas sebagai landasan kegiatan yang meninggi, dan kegiatan meninggi sebagai pengangkat kegiatan yang meluas.38 Kegiatan meluas yang dimaksud adalah rekruitmen pekerja-pekerja kebudayaan baru, mendidik dan mengembangkan bakat-bakatnya. Bersamaan dengan itu Lekra juga mengajak intelektual dan seniman yang sudah terkemuka untuk terus senantiasa mempertinggi mutu artistik, keilmuan dan idelogisnya. Lekra sebagai

38Joebar ajoeb. 1959 Op chit hal 9.

45 sebuah organisasi kebudayaan bekerja menyediakan seluruh kemungkinan, fasilitas- fasilitas, dan situasi yang kondusif untuk itu. Dengan demikian kerja penyebaran gagasan-gagasan yang diperjuangkan Lekra, yaitu kebudayaan berorientasi rakyat, nasional dan ilmiah.

2) Tinggi Mutu Ideologi dan Artistik

Dalam pandangan Lekra seni dan ilmu haruslah berpihak, dan dalam hal ini berpihak kepada “Rakyat yang tertindas”. Seni mesti berpihak, karena seni lahir dari kehidupan yang nyata dan tidak ada seni yang mengabdi untuk seni itu sendiri.

Keberpihakan Lekra terhadap Rakyat, lantas menciptakan ideologi kerakyatan yang harus dinyatakan dalam setiap karya cipta para seniman Lekra. Ideologi Rakyat inilah yang menjadi tumpuan bagi aktivitas proses berkebudayaan Lekra untuk melihat seberapa besar dan seberapa tinggi mutu suatu ideologi di dalam karya-karya seni mereka.

Mutu ideologi didapat dari kesadaran politik yang tinggi, sementara mutu artistik adalah bentuk karya yang diperoleh dari tafsir atas kenyataan dalam berkarya.

Kedua-duanya harus didapat, karena mutu ideologi yang diperoleh dari kesadaran politik tak mungkin dicapai tanpa mutu artistik yang tinggi pula.

46

3) Tradisi Baik dan Kekinian Revolusioner

Dalam konsep „tradisi baik‟, Lekra mengembangkan lebih lanjut makna „baik‟ pada tradisi baik itu dengan proses mencipta yang kemudian diberi nama “Tiga

Baik”: (1) bekerja baik; (2) belajar baik; dan (3) bermoral baik.

Bekerja baik mempunyai makna bahwa proses penciptaan harus ditempuh dengan pekerjaan-pekerjaan sesuai dengan prosedur-prosedur atau riset ilmiah, bukan dari “bualan kosong di kamar sambil ongkang-ongkang kaki menenggak alkohol atau sambil menghisap cerutu”.39 Belajar baik berarti adanya selalu rasa penasaran, ingin tahu tentang realitas- realitas kehidupan dalam hal mencari kebenaran dan menguji hal-hal baru secara kritis atau diuji secara intensif (terus-menerus). Hasil dari belajar dan bekerja baik itu belumlah cukup untuk menghasilkan sebuah karya cipta yang baik kalau dalam karya tersebut tidak bisa memberi teladan untuk paling tidak memupuk moral yang baik kepada Rakyat.

Karya cipta yang tidak menggunakan Tiga Baik akan menghasilkan karya- karya yang penuh dengan fantasi-fantasi vulgar yang tak senonoh, tak bertanggung jawab dan hanya akan merusak moralitas rakyat. Seperti yang dikatakan oleh

Pramoedya Ananta Toer dalam pidato menanggapi konsepsi Presiden Soekarno pada

1956:

39 Harian Rakyat, “Merah Kesumba”, 25 April 1961.

47

“Kesenian indonesia mesti punya moral, mesti mengandung

tugas…dalam hubungan ini, moral bukan berarti hubungan kelamin

antara pria dan wanita tok, sebagaimana orang lazim

mengartikannya, tetapi adalah perasaan bertanggung jawab…Seni

mempunyai pertanggung jawaban dan tugas dalam pembentukan

kejiwaan bangsa kita”.40

Konsep “Tiga Baik” dalam “Tradisi Baik” inilah yang menjadi modal Lekra untuk menciptakan suatu karya seni. Kader-kader Lekra dituntut untuk selalu tanggap atau peka dengan arus perkembangan zaman atau kekinian. Kepekaan tersebut harus dibekali dengan daya kritis agar tidak mudah terikut arus zaman yang dapat menghilangkan idealismenya. Daya kritis yang dimaksudkan oleh Lekra yaitu mampu menangkap akar permasalahan suatu realita dengan memakai sudut pandang revolusioner. Sedangkan, sudut pandang revolusioner itu sendiri adalah cara memandang kenyataan yang didasarkan pada bekerjanya dialektika dan ketegangan dalam masyarakat.41

4) Kreatifitaas Individual Dan Kearifan Massa

Kombinasi inilah yang jelas-jelas menampik anggapan bahwa dalam Lekra, individu sangat dikekang sehingga tidak dapat berkreatifitas dengan bebas.

Kenyataan yang sebenarnya adalah setiap individu Lekra berhak berkreasi se-kreatif

40 Rhoma Dwi Aria, op.cit, hlm. 29. 41 Rhoma Dwi Aria, 2008, loc.cit.

48 mungkin dalam menciptakan karya seni mereka. Tapi seni yang berkualitas menurut

Lekra ialah bagaimana kreatifitas individu bisa berkorelasi dengan kearifan massa.

Pengertian yang dimaksud dalam hal ini adalah bagaimana membuat karya seni yang dapat dipahami oleh Rakyat, bukan hanya sampai pada tahap memahami tapi juga dapat menginspirasi Rakyat.

“Seniman memang tidak bisa diatur ataupun disetir oleh kepentingan- kepentingan politik tertentu. Politik yang diyakini Lekra adalah semangat dalam revolusi kebudayaan untuk terus menyokong revolusi 1945, sedangkan tekanan ataupun ajakan untuk berpolitik praktis bagi Lekra bukanlah sebuah kewajiban.

Seniman memerlukan independensinya agar dapat menghasilkan karya yang matang.

Prinsip yang demikianlah yang juga dianut oleh seniman Lekra”.42

“Bahkan seniman Lekra yang satu memiliki pandangan dan pemikiran yang berbeda dengan seniman Lekra yang lain. Pemahaman ini juga berlaku pada perbedaan pemahaman pandangan mengenai karya seni antara seniman Lekra sebagai individu dengan Lekra secara organisasi. Seniman Lekra tidak menganggap ada teori satu bebek, artinya apa yang diperintahkan dari atas, akan selalu diamini oleh mereka yang ada di bawah. Dalam frame (bingkai berpikir Lekra, masing-masing seniman

42Pernyataan Oey Hay Djoen, Pengurus Pusat Lekra dan anggota PKI, dalam film documenterTjidurian 19. Lebih lengkapnya lihat film documenter Tjidurian 19: Rumah Budaya Yang Dirampas. Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Lembaga Kreativitas Kemanusiaan, 2009.

49 memiliki hak untuk bebas menentukan arah karyanya atau pemahaman pemikirannya”.43

Untuk bisa menghasilkan karya seni yang sesuai dengan kearifan massa harus mengenal aturan main massa itu terlebih dahulu. Tahapan inilah yang membuat banyak karya-karya seni Lekra bersinggungan dengan permasalahan-permasalahan yang terjadi pada rakyat, terkhusus kaum buruh dan tani. Kreativitas individual mendapat kehormatan apabila kreatifitas atau kecakapan individual itu digali dari kehidupan rakyat atau dari kearifan massa. Sederhananya kreativitas individual barulah berguna bila mengikuti komitmen sosial.

5) Realisme Sosialis dan Romantik Revolusioner

Kombinasi yang terakhir adalah realisme sosialis dan romantik revolusioner.

Kombinasi ini dapat dikatakan unik karena kedua istilah tersebut terambil dari istilah

Uni Soviet. Menurut Keith Foulcher kombinasi antara realisme sosialis dengan romantik revolusioner ini pertama kali dikemukakan oleh Mao Tse Tung, yang kemudian dipopulerkan oleh Chou Yang dalam tulisannya Red Flag, edisi Juni

1958.44

Istilah romantik sebenarnya selalu identik dengan era romantisisme yang muncul di Eropa pada akhir abad ke-18. Era ini muncul sebagai akibat terbentuknya

43Keterangan Amrus Natalsya dalam film dokumenter Tjidurian 19.

44Keith Foulcher, opp cit. 1986, hlm. 111.

50 gelombang reaksi dari era sebelumnya, zaman pencerahan, yang dianggap terlalu memberi tekanan pada rasional, sehingga situasi kehidupan berpolitik dan berkebudayaan saat itu terasa kering, dingin dan kaku. Maka itu Romantisisme muncul dengan upaya mengedepankan hal-hal yang lebih emosional, keunikan individu, hasrat akan kebebasan.

Bakri Siregar, salah satu pengurus pusat Lekra yang aktif di bidang sastra, menganggap bahwa Realisme Sosialis adalah sebuah metode kerja yang mutlak perlu digunakan oleh para seniman kebudayaan yang revolusioner:

“Pertama-tama, ini berarti bahwa kita harus mengenal hidup untuk

bisa melukiskannya dengan sebenarnya dalam suatu kerja seni, tidak

dengan cara sekolahan yang kering. Tidak hanya melukiskan

“kenyataan obyektif saja”, tapi melukiskan kenyataan dalam

pertumbuhan revolusionernya.

Dalam pada itu kenyataan dan watak historik yang konkret dari

lukisan artistik mesti dihubungkan dengan tugas pembentukan

ideologis dan pendidikan pekerja- pekerja dalam semangat

sosialisme. Metode kerja sastra dan kritik sastra ini kita namakan

metode Realisme Sosialis”.45

45 Andre Hardjana, “Metode Realisme Sosialis dalam Sastra Indonesia” dalam Kewaspadaan Nasional dan Bahaya Laten Komunis, Penerbit Intermasa, Jakarta, 1997, hal. 34.

51

Dalam pernyataan di atas metode Realisme Sosialis yang dianjurkan oleh

Bakri Siregar lebih merujuk kepada metode dalam kreativitas sastra. Maka tak heran realisme sosialis lebih identik kepada sastra dibandingkan dengan bidang film, seni rupa, musik, dll. Akan tetapi, Lekra dalam hal ini tidak memakai Realisme Sosialis hanya pada bidang sastranya saja, melainkan semua bidang kebudayaannya.

Realisme sosialis menurut pandangan Pramoedya Ananta Toer layak dijadikan suatu metode untuk diterapkan pada bidang kebudayaan selain sastra, dikarenakan Realisme Sosialis memiliki watak yang jelas. Pertama, realisme sosialis memiliki watak militansi yang tak kenal kompromi dengan lawan. Kedua, Realisme

Sosialis segaris dengan perjuangan politik sosialis, sehingga dia terus-menerus melakukan effensi atas musuh-musuhnya dan pembangunan yang cepat di kalangan barisan sendiri.46

Sedangkan makna revolusioner bagi Nyoto yaitu;

“Tidak patah hati dalam menjumpa rintangan, menjumpai kesukaran,

mengalami kemunduran dan kekalahan sementara sekali pun. Dan

kita tidak puas diri dalam mengalami kemajuan, dalam menerima

kemenangan sekalipun.”47

46 Pramoedya Ananta Toer, Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, Jakarta; Lentera Dipantara,2003, hal. 29. 47 Harian Rakyat. 7 Februari 1959.

52

Romantik revolusioner adalah sebagian integral dalam realisme sosialis. Pada tahap ini, sang seniman mesti menguasai realitas kehidupan sosial tanah-airnya sendiri, setelah dapat menguasai realitas kehidupan, seniman harus berjuang untuk mengubah realitas yang didapatinya itu sesuai dengan perkembangan dan arah yang dipilih untuk memenangkan sosialisme. Bukan hanya mengubah, terlebih menciptakan suatu pola-pola yang baru untuk kesejahteraan rakyat. Hal ini dengan sendirinya akan mewujudkan juga obyektivisme dalam karya seni di lapangan politik rakyat.48

Unsur realisme sosialis dan romantik revolusioner ini sebenarnya sudah sering diimplementasikan pada sastrawan-sastrawan Indonesia di masa kolonialisme. Marco

Kartodikromo atau yang sering dipanggil dengan “Mas Marco” sampai harus keluar masuk penjara karena karya-karya sastranya yang cenderung mengandung realisme sosialis dan romantik revolusioner. Mas Marco tidak hanya berkutat dengan pena dan secarik kertas yang menampung segala inspirasi revolusionernya, dia langsung menghampiri realitas yang menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial pada rakyat, dengan mengikuti pemberontakan tahun 1926. Pengorbanan pribadi dianggap sebagai salah satu bagian dari fondamen bagi kebahagiaan proletariat dan inilah konsekuensi yang harus diambil oleh seorang seniman revolusioner.49

48 Pramoedya Ananta Toer, op.cit. hal. 70. 49Ibid.,hal 72.

53

Menurut Putu Oka Susanta, dia tidak mengenal realisme sosialis. Yang dia tahu adalah realisme revolusioner karena, realisme sosialis basisnya adalah pada kekuatan rakyat pekerja yang proletariat. Sedangkan, di Indonesia tidak ada yang proletariat. Yang ada rakyat pekerja yang borjuis kecil. Pemahaman seniman pada umumnya mengenai kelas pekerja: dia buruh, tani, tapi tidak ada proletar. Sedangkan realisme revolusioner adalah kenyataan menuju masa depan yang lebih baik untuk

Indonesia. Tapi basisnya adalah borjuis kecil, bukan proletariat. Itu pemahaman saya.

Sehingga ketika saya berpendapat bahwa seni untuk rakyat, maka rakyat yang dia maksudkan adalah semua orang yang anti dan melawan feodalisme, anti dan melawan imperialisme. Ini pemahaman yang mereka dapat di masa sebelum Orde Baru.

Sehingga jelas, kalau dibilang musuh rakyat, adalah feodalisme dan imperialisme dalam berbagai macam bentuknya. Begitu juga di dalam mengekspresikan kenyataan ke dalam karya sastra, maka pemihakan kita menjadi jelas. Pemihakan kepada rakyat, yaitu borjuis kecil yang sedang memperjuangkan dirinya untuk hidup lebih baik lagi.50

1. Turun ke Bawah

Satu tahapan yang terakhir dalam lima kombinasi di atas agar dapat tercapai dengan baik hasilnya wajib menggunakan metode kerja yang sesuai dengan perjuangan Lekra terhadap Rakyat. Tahap terakhir dalam konsep 1-5-1 tersebut ialah

“Turun ke Bawah” atau yang biasa disingkat menjadi “Turba”. Turba diperuntukkan

50Wawancara langsung dengan Puttu Oka Susanta pada november 2018.

54 agar seniman-seniman dan buah karyanya mampu langsung menyentuh masa atau rakyat pekerja. Para seniman Lekra harus masuk ke perkampungan-perkampungan buruh, ke desa-desa kaum tani dan pemukiman-pemukiman kaum miskin kota untuk hidup dan bekerja bersama mereka sambil menyebarkan gagasan-gagasan kebudayaan rakyat.

Metode Turba ini diusulkan dalam Kongres Nasional I juga oleh Nyoto. Ia menginginkan agar para seniman harus mendapatkan “pemahaman yang tepat” dan

“mempelajari kebenaran yang hakiki” sebelum menghasilkan karya “seni untuk rakyat”. Sangat mustahil karya-karya seni yang berguna bagi rakyat didapatkan dari hayalan- hayalan individu dan didapatkan dari tumpukan-tumpukan buku dan lamunan.51

Setiap kader-kader Lekra, baik dari Pengurus Pusat sampai ke Pengurus

Ranting diwajibkan untuk melakukan Turba ke daerah yang telah ditentukan oleh para pengurusnya. Untuk memudahkan pelaksanaan Turba ini para pimpinan Lekra menciptakan suatu rumusan sebagai indikator untuk pelaksanaan Turba itu. Rumusan itu lantas disebut dengan “tiga sama”: bekerja bersama, makan bersama, dan tidur bersama.

Jadi yang pertama harus dilakukan adalah bekerja dulu, baru makan, kemudian tidur. Bekerja bersama itu tidak seperti kerja sama kuli dengan majikannya,

51 Rhoma Dwi Aria, 2008, op.cit. hal. 31.

55 melainkan sama-sama mengerjakan pekerjaan yang sederajat atau sama porsinya, tidak merendahkan ataupun meninggikan profesi kerja salah satu. Sedangkan yang didefinisikan dengan “makan bersama” bukan saja urusan makan bersama di satu meja makan yang sama, karena bisa saja seorang makan daging sapi dan seorang yang lain hanya makan ceker ayam. Satu meja atau tidak, bukan menjadi persoalan, yang terpenting kesamaan derajat dari jenis makanan yang disantap. Seorang makan tiwul, semua juga harus makan tiwul. Perihal tidur bersama pun juga demikian, bukan perkara tidur di satu tempat atau ruang yang sama, tapi seorang tidur dengan kasur empuk dilapisi selimut dan seorang yang lain tidur dengan tikar. Tidur bersama dalam hal ini sepenuhnya harus dimaknai dengan tidur di atas tempat tidur dengan adat tidur yang sama seperti si empunya rumah yang di turun- bawahi.

Politik sebagai panglima disahkan dalam konprensi dan diterima sebagai azas kerja kreatif52, bersama tuntutan lainnya yang tergabung dalam rumusan 1-5-1.Tidak pernah dibuatkan petunjuk resmi dan rinci mengenai hal ini.Para anggota bebas menginterpretasikan, memakai atau tidak memakainya dalam kerja dan karya.Latar belakang dari semboyan ini adalah agar para anggota Lekra memiliki pengetahuan politik yang memadai.Karena pada saat itu, di tengah tarik-menarik kekuatan politik yang semakin memanas, ada semacam propaganda untuk menjauhkan seniman dari gelanggang politik, dalam arti yang seluasnya dengan slogan “Politik itu kotor dan seniman itu suci”,dan Lekra menentang propaganda ini.

52Joebar Ajoeb, 2004.op.cit. Hal 9.

56

Sedangkan substansinya tertinggal sama. Kalaupun bisa dibuktikan bahwa ada karya orang-orang Lekra yang lebih layak disebut pamflet politik, maka ini adalah soal interpretasi. Sekali lagi, tak bisa dilepaskan dari pengaruh atmosfir jamannya.

Suatu atmosfir di mana terjadi mobilisasi politik besar-besaran, sehingga bahasa yang diterima pun menjadi sloganistik, bombastis dan membakar massa. Walau tidak jarang malah menunjukkan kedangkalan pemahaman.

Kalau dibandingkan secara literer penjelasan Joebaar Ajoeb di atas, dengan kutipan pidato Nyoto saat kongres nasional Lekra tahun 1959, yang mengusulkan agar politik dijadikan panglima, maka akan tertangkap kesan penghalusan. Dari yang gagah dan berapi-api menjadi kearifan mencari hikmat. Kunci perbedaannya adalah konteks, suasana dan semangat.53

Menurut Hesri Setiawan, kombinasi 1-5-1 bukan sepi dari cibiran. Banyak diantara mereka yang tidak sepakat dengan azaz 1-5-1 memplesetkan salah satu kombinasi itu, misalnya turun kebawah (turba) diplesetkan menjadi turu bareng (tidur sama) Tidak terlalu keliru, karena pihak yang bersangkutan – yaitu pelaksana “turba” itu sendiri pun – menjabarkan metode kerja “turun ke bawah” ini, demi mudah mencamkan pelaksanaannya, sebagai praktik “tiga sama”. Tiga Sama dengan urutan praktik pelaksanaan yang tidak boleh keliru, yaitu: pertama, “bekerja bersama”; kedua, “makan bersama”; dan ketiga, “tidur bersama”. Jadi pertama-tama bekerja dulu, baru kemudian makan, dan akhirnya tidur. Dia menambahi Kerja sama itu pun

53Alexander, 2000Op cit hal: 79-80

57 tidak seperti kerja samanya kusir dan kuda, atau kuli dan majikan. Tapi sama jenis pekerjaan yang dikerjakan. Makan bersama bukan hanya urusan makan bersama- sama di satu meja yang sama, tapi yang satu makan nasi dan yang lain makan thiwul.

Satu meja atau tidak, bukan soal. Tapi yang penting kesamaan jenis makanan yang disantap. Satu makan thiwul semua makan thiwul, satu makan nasi jagung semua makan nasi jagung, dan seterusnya. Juga perihal tidur bersama. Bukan perkara tidur di satu ruang yang sama, tapi yang satu berkasur dan yang lain tikar pun tidak. Juga bukan harus berarti bersama tidur di tempat tidur yang satu dan sama seperti pengantin baru. Tapi yang diutamakan ialah, si aktivis atau si seniman tidur di atas tempat tidur dan dengan adat tidur yang sama seperti si pemilik rumah yang diturun- bawahi.54

Sedangkan arti ”bawah” dalam turba ialah golongan dalam masyarakat yang paling menderita, oleh karena itu pun merupakan golongan yang paling pertama berkepentingan akan adanya perubahan. Terutama pada masyarakat desa, mereka itu ialah kaum tani miskin dan buruh tani atau tani yang tak bertanah. Kemudian pada masyarakat kota, mereka itu ialah kaum miskin kota dan kaum buruh yang hidup dari menjual atau menggadaikan tenaga kerja mereka. Sedangkan pada masyarakat pesisir, mereka itu ialah kaum nelayan miskin dan nelayan buruh.

54Wawancara elektronik dengan Hesri Setiawan, 19 Oktober 2019.

58

BAB III

PERAN DAN AKTIFITAS LEKRA

3.1 Lembaga Kreatif Lekra

Berdasarkan hasil rekomendasi dari kongres nasional, maka ditetapkan lah upaya-upaya untuk membentuk lembaga-lembaga kreatif daripada lekra, yang pimpinan-pimpinan dari lembaga-lembaga kreatif ini diambil dari pimpinan pusat lekra sendiri. Lembaga-lembaga kreatif ini, antara lain:

a) Lembaga Seni Rupa Indonesia (Lesrupa)

Lesrupa dibentuk pada februari 1959, dan diketuai oleh Henk Ngantung.

Tugas dari Lembaga ini sebagai fasilitator berbagai kegiatan dibidang

senirupa baik berupa pameran tunggal, atau pameran bersama. Dalam

Konferensi Nasional I Lesrupa pada 24-26 Mei 1961 di Yogyakarta diserukan

kepada seniman-seniman untuk menyokong pembangunan nasional semesta

berencana, mendukung dan memperjuangkan kembalinya Irian Barat,

mengembangkan senirupa Indonesia, serta menjalin kesetiakawanan anti

kolonialisme kepada organ-organ kebudayaan sepaham.55

b) Lembaga Film Indonesia (LFI)

Terbentuk sekira Maret-April 1959 yang merupakan tindak lanjut dari

Resolusi kongres Nasional I di Solo dengan Ketua Bachtiar Siagian dan Wakil

55Rhoma Dwi Aria, 2008, op.cit, hal 36.

59

Ketua Kotot Sukardi. LFI pertama kali mengadakan Konferensi Nasional pada

1960. Salah satu prestasi besar LFI adalah menjadi Tuan rumah yang baik

bagi berlangsungnya Festifal Film Asia-Afrika III56 pada April 1964 yang

diikuti oleh 27 negara. Ajang ini kemudian diikuti gerakan massif

pemboikotan agen-agen perfilman imperialis Amerika. Dibawah bendera

panitia pemboikotan Film Imperialis AS (PAPFIAS), gerakan nasional “tolak

film imperialis” berdentang yang berakhir klimaks: badan distribusi film

Amerika AMPAI dan vila-vilanya di Cisarua jatuh pada maret-april 1965,

selain itu LFI berhasil meretul Dewan Film Indonesia dan mengubah

komposisi panitia Sensor Film.57 c) Lembaga Sastra Indonesia ( Lestra)

Didirikan antara Maret-April 1959, yang merupakan tindak lanjut dari

Resolusi Kongres Nasional I solo dengan Ketua Bakri Siregar dan wakil ketua

Pramoedya Ananta Toer. Lestra melakukan Konferensi Nasional di Medan

dari tanggal 22 sampai 25 maret 1963. Dalam konfernas ini membahas

“laporan umum” Ketua Lestra Bakri Siregar, dan “laporan Pengajaran Sastra”

yang disampaikan Pramoedya Ananta Toer, dan “laporan Organisasi dan

Pendidikan Ideologi” yang disampaikan S.Anantaguna. konferensi ini juga

mendengar dan mendiskusikan “laporan-laporan pelengkap mengenai

kesusasteraan Revolusioner dan Gerakan Revolusioner” yang dismpaikan

56Festifal ini yang menghasilkan rencana tindak lanjut yaitu boikot film AS. 57Rhoma Dwi Aria, 2008, op.cit, hal 37.

60

Nyoto, tentang Kritik Sastra oleh Joebaar Ajoeb, tentang Puisi oleh Hr.

Bandaharo, tentang “Drama” oleh Rivai Apin, tentang “Novel”oleh Agam

Wispi, tentang “Hubungan Sasterawan Asia-Afrika dengan Gerakan Anti

Imperialis” oleh Ibrahim Isa, dan tentang “Penulisan Skenario Film” oleh

Bachtiar Siagian serta sambutan-sambutan lainnya dari Utuy Tatang Sontani

dan Basuki Resobowo.58 d) Lembaga Seni Drama Indonesia (LSDI)

Lembaga ini diketuai oleh Rivai Apin dan Dhalia sebagai wakil ketua.

Sebagaimana tercermin dari manifesto-manifesto LSDI, senidrama yang

hendak diperjuangkan adalah seni yang bersandar pada penguasaan Manipol

Resopim serta situasi politik kekinian (nasional maupun internasional) yang

membawa guna bagi pembebasan Rakyat. Revolusi menuntut dipanglimai

politik dan berbuat sebanyak mungkin, dan senidrama adalah salah satu

senjata ampuh menuju revolusi. Untuk mencapai revolusi maka diperluas

rombongan drama di setiap daerah, dengan pengintegrasian kerja Rakyat yang

meningkat dari folklore menjadi drama daerah. Lembaga ini mengurusi

beberapa seni pertunjukan kerakyatan, antara lain ketoprak, ludruk, sandiwara,

dan wayang orang. Untuk mengintensifkan seni pertunjukan itu, LSDI

menyerukan untuk memproduksi naskah drama sebanyak-banyaknya, baik

lewat cara memproduksi kisah-kisah lama seperti “Si Kabayan” dan “Si

58Ibid.,

61

Nandang”, maupun naskah hasil daya cipta kekinian yang merupakan hasil

riset yang didapatkan dari Turba seperti “Orang-orang baru dari Banten”.59 e) Lembaga Musik Indonesia (LMI)

Lembaga ini adalah lembaga yang dibentuk kemudian setelah Lesrupa, Lestra,

LFI, dan LSDI. LMI mengadakan konfernas I di markas besar Ganefo pada 31

Oktober 1964 dan dihadiri sekitar 38 orang seniman/senimati. Konfernas I

mengupas beragam soal, antara lain “Hak cipta dalam seni dan bermusik”.

Secara tegas konfernas mengambil sikap pencaplokan lagu-lagu Indonesia

secara membabi buta oleh Malaysia.60 Selain itu, LMI juga dibebani tugas

mengangkat musik daerah sebagai peluru dan mesiu untuk mengganyang

seteru-seteru yang melemahkan Revolusi. Penyempurnaan musik daerah

menjadi musik Rakyat harus dikenalkan dengan kerja dan upaya. Tokoh

musisi memiliki andil sebagai eksponen yang dapat membela musik untuk

menyelamatkan musik Indonesia dari musik cengeng, ngak ngik ngok yang

membawa pengaruh besar terhadap musik Indonesia. Maka langkah yang

dilakukan oleh lembaga ini adalah melakukan pendataan yang komprehensif

terhadap musik-musik daerah. Sebab dengan pendataan yang kuat, musik

daerah bisa diselamatkan dari kepunahan alamiah maupun karena

pencaplokan negara lain.61

59Ibid., 60Harian Rakyat. 25 Januari 1964. 61Rhoma Dwi Aria, 2008, op.cit, hal 38.

62

f) Lembaga Senitari Indonesia

Sama dengan Lembaga musik, lembaga ini juga dibentuk belakangan. Bahkan

lima tahun setelah rekomendasi Kongres Nasional I, lembaga ini melakukan

Konferensi Nasional nya yang pertama pada 24 Maret 1964. Konferensi ini

membahas ihwal penciptaan tari baru, membangun dan mengembangkan tari

nasional sebagai senjata memenangkan revolusi. Tari-tari daerah coba

direvitalisasi menjadi modal besar untuk membangkitkan solidaritas sosial.

Misalnya, bagaimana tari Lesno Maluku diangkat hingga tingkat nasional

sebagai tari pergaulan karena menggabungkan antara gerak tari Rakyat yang

diramu dengan gerak-gerak kerja kaum tani yang ceria.62

3. 2 LEKRA dan PKI

Lekra adalah sebuah gerakan kebudayaan nasional dan kerakyatan, yang di dalamnya memang ada orang-orang yang menjadi anggota PKI, tetapi yang sebagian besarnya, bukan. Lekra didirikan dan bekerja untuk kepentingan yang nasional dan kerakyatan di lapangan kebudayaan. Lekra, sebagaimana terlihat pada Mukaddimah nya, tidak mengazaskan kegiatannya pada pandangan klas dan atau Marxisme-

Leninisme. Juga organisasi yang mengatur kegiatannya tidak berbau Leninisme sedikitpun. Bahwa ada karya di lingkungan Lekra yang dialamatkan langsung kepada kepentingan Partai Komunis Indonesia, ia sudah tentu secara langsung menjadi

62Ibid.,

63 tangungjawab pencipta karya itu, yang mungkin saja anggota PKI. Orang berhak memuliakan sesuatu yang ia anggap demikian, namun haknya itu hendaklah pula diperlakukan dengan adil ketika ia mempertanggungjawabkannya.

Adapun tanggung jawab Lekra, ia berada di lingkup selama karya itu tidak anti Rakyat dan tidak anti Revolusi Agustus 45, atau seperti yang dinyatakan dalam

Mukaddimahnya, “Lekra menyetujui setiap aliran bentuk dan gaya, selama ia setia pada kebenaran, keadilan dan kemajuan, dan selama ia mengusahakan keindahan artistik yang setinggi-tingginya” dan “Lekra mengulurkan tangan kepada organisasi kebudayaan yang lain dari aliran atau keyakinan apapun untuk bekerjasama dalam pengabdian ini.”

Adapun PKI, sebuah partai politik. Politik merupakan pembidangan teoritis tersendiri, sama seperti seni, sastra, ilmu dan kebudayaan juga demikian.

Pengetahuan (ilmu) yang mengkategorasikan nya demikian, penjelasan sederhana ini untuk memudahkan kita memahami kenyataan yang sungguh luar biasa rumitnya, kenyataan itu hidup dan berubah, maka diperlukan pembatasan pengertian karakterisasi dan kategorisasi.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesian, pengertian politik: sehubungan dengan ilmu adalah, pengetahuan mengenai kenegaraan, seperti sistem dasar-dasar pemerintahan. Pengertian kedua ialah, segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat,dsb) mengenai pemerintahan negara. Pengertian ketiga kebijaksanaan, cara

64 bertindak. Sementara menurut Imam Ghazali merumuskan: “segala yang menyangkut negara adalah politik”. Melihat pengertian politik diatas, dapat disimpulkan bagaimana pengertian politik itu bekerja dalam kenyataannya, pada sebuah kasus dalam hal ini Lekra dan PKI dua organisasi yang kait-mengait dalam kerjasama tetapi juga tentang menentang dalam pembentukan arah organisasi.

Salah satu pertentangan pandangan arah organisasi antara Lekra dan Partai adalah ketika PKI menyampaikan gagasan untuk memerahkan lekra (menjadikan

Lekra sebagai underbouw resmi PKI). Jika tawaran tersebut diterima, maka hal itu akan diumumkan secara formal. Dalam pandangan Aidit, PKI membutuhkan organisasi resmi seniman sebagai motor pendulang suara. Maklum saja, kehadiran lekra sebagai lembaga kebudayaan yang dekat dengan rakyat dan banyak memiliki kantong-kantong massa didaerah-daerah membuat anggota partai bertambah pesat.

Secara tidak langsung Lekra memiliki peran dalam menambah jumlah anggota partai tersebut.

Menanggapi gagasan partai yang ingin memerahkkan Lekra ini dengan lantang ditolak oleh tokoh-tokoh teras pimpinan pusat lekra. Penolakan ini disampaikan dengan alasan yang sehat dan demokratis sejalan dengan cita-cita lekra dalam mengemban kerja-kerja kebudayaan. Nyoto yang Anggota Sekretariat

Pimpinan Pusat Lekra adalah juga Wakil Ketua II CC PKI, ikut serta menolak gagasan mem-PKI-kan Lekra. Pada tubuh Lekra, sosok Njoto amat disegani karena

65 kemampuan orasi dan pengetahuan yang luas tentang kesenian. Pertimbangan Nyoto praktis saja, di Lekra juga turut bergabung seniman non-komunis yang bukan anggota partai, seperti Pramoedya Ananta Toer, Utuy tatang Sotani dan lainnya. Menurut

Njoto membuat Lekra menjadi organ resmi partai hanya akan mendorong seniman- seniman terkenal dan berpengaruh itu hengkang.

Dapat dimengerti akibat-akibat yang timbul dari penolakan Lekra, jaman itu

PKI sedang kuat-kuatnya. Oleh karena penolakan itu, PKI menggelar Konferensi

Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) sebagai penegasan bahwa tanpa Lekra PKI tetap didukung Oleh seniman-seniman kebudayaan.

Menarik untuk dihubungkan kemudian bagaimana relasi antara Lekra dan PKI dalam pelaksanaan KSSR. Hubungan ini membawa kita kepada muara seperti apa posisi lekra dalam kelembagaan PKI: sebagai Underbouw (mengikuti garis perintah partai) atau hanya sekawan dalam pemahaman ideologi di jalan kebudayaan. Hal pertama yang perlu ditegaskan bahwa penyelenggaraan KSSR sepenuhnya dilakukan oleh PKI dan bukan Lekra secara institusional. Walau dalam kenyataan, seniman dan budayawan Lekra berpartisipasi penuh dalam menyukseskan acara itu. Diantara seniman dan budayawan Lekra yang memberikan ucapan atau kata sambutan dalam

KSSR ini tidak satupun menghubung-hubungkan Lekra secara Institusional dalam konferensi ini.

66

Berikut kutipan satu persatu seniman Lekra yang memberi sambutan pada

Konferensi tersebut:

S Anantaguna, Anggota Pimpinan Pusat Lekra

Ia mengapresiasi KSSR dan dalam tulisannya selalu menyebut Aidit

sebagai kawan ketua, tapi tak satu pun menyebut Lekra dalam

tulisannya63

Agam Wispi, Anggota Pimpinan Pusat Lekra

Wispi menyoroti trik bagaimana mengatasi kemalasan berkreasi dengan

menyampingkan berbagai alasan yang seharusnya diatasi. Dia tak lupa

memberikan rekomendasi pentingnya mengolah bahan disekitar

sastrawan yang cukup kaya. Kepada para sastrawan dan pekerja

kebudayaan itu dianjurkan membuat semacam catatan harian untuk dasar

tulisan. Kehadirannya bukan atas nama Lekra, dan tak pernah Membawa-

bawa lekra dalam sambutannya.64

Hr Bandaharo, anggota Pimpinan Pusat Lekra

Dalam sambutannya menyatakan bahwa para sastrawan dan seniman

harus memiliki emosi yang kuat, penuh gairah sehingga hasilnya bisa

mengubah setiap hati manusia. Tak hanya penyair, tapi juga sarjana

sastra, dosen fakultas sastra dan lain sebagainya.65

63Harian Rakyat, 11 oktober 1964. 64Harian Rakyat, 2 September 1964. 65Ibid.,

67

Bachtiar Siagian, anggota Pimpinan Pusat Lekra

Ia mempresentasikan seputar aksi-aksi boikot atas film-film Amerika

Serikat66

Nurbakti, anggota Pimpinan Pusat Lekra

Menyorot pentingnya seni fotografi: sebagai bagian dalam perjuangan

memenangkan revolusi dan mengusulkan dibentuknya lembaga fotografi.

Juga menguraikan tentang kekayaan folklore tanah air yang merupakan

bahan-bahan mentah untuk kreasi.67

Sugiarti Siswadi, anggota Pimpinan Pusat Lekra

Menjelaskan pentingnya pendidikan ideologi untuk bisa menghasilkan

karya-karya bermutu tinggi, pentingnya pengintegrasian diri dengan

rakyat terutama kaum tani dan menyambut penulisan Revolusi agustus

yang menjadi tugas sastrawan-sastrawan pada masa ini.68

Nyaris tidak ada satupun diantara anggota Lekra itu menyebutkan keikutsertaan Lekra sebagai institusi kebudayaan dalam KSSR. Harian rakyat pun hanya satu kali mengutip nama Lekra, setelah itu tak ada lagi kutipan baik sebagai lembaga kebudayaan yang sekawan maupun sebagai identitas dari pemrasaran.69

Ironisnya malah terjadi di tahun-tahun sesudah 1965. Banyak orang mem-PKI-kan

66Harian Rakyat. 31Agustus 1964. 67Ibid., 68Ibid., 69Rhoma Dwi Aria, 2008, op.cit, hal 60.

68

Lekra. Sehingga yang terjadi adalah, jika D.N. Aidit tidak berhasil, orang lain yang padahal atau tampak seperti anti PKI, malah “berhasil” mem-PKI-kan Lekra.

Saya ingin mengetuk perhatian anda bahwa mem-PKI-kan Lekra dapat membawa kerancuan dalam tubuh seni, sastra dan bahkan kebudayaan negeri ini karena penilaian dan penentangan yang tidak berujung pangkal.

Lekra begitu sering dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), dari segi ideologi dan prinsip kerakyatan dua organisasi ini memang banyak memiliki persamaan yang paling menonjol adalah kesamaan pandangan dalam menentang

Imperialisme. Sulit mencari bukti bahwa Lekra adalah organ resmi PKI. Joebaar

Ajoeb, Sekertaris Umum Lekra pada masa itu menulis “Mocopat Kebudayaan” yang ditulisnya, bahwa organisasi ini bersifat terbuka, anggotanya bisa siapa saja, bukan hanya seniman yang aktif di partai, bahkan yang tidak mendukung komunisme pun boleh. Kewajiban anggotanya hanya satu, yakni aktif di salah satu lembaga seni

Lekra.Sementara PKI memiliki Kongres, Lekra juga menggelar Kongres dan punya anggaran dasar sendiri yang sekaligus menegaskan bahwa mereka tak ada kaitan formal dengan PKI.

Martin aleida menjelaskan perihal Hubungan Lekra dengan PKI yang sebenarnya awalnya hanya karena persamaan pandangan namun yang terjadi kemudian banyak anggota-anggota lekra di daerah yang mengamini bahwa antara

PKI dengan Lekra itu sama secara organisasi, hanya bidang nya yang berbeda.

69

Kekeliruan yang sangat besar memang, mengingat para elit pimpinan Lekra secara tegas menolak penyeragaman tersebut70. Kenyataan yang terjadi pada jaman itu memang cukup kompleks. Kebudayaan sudah divulgarkan dengan kehidupan politik.

Popularitas Lekra yang luas membuat D.N. Aidit tertarik melegalkannya di bawah partai. Kerena itu Konferensi Nasional Sastra dan Seni Revolusioner yang dibuat oleh PKI, dan Aidit pun merumuskan “sastra dan seni revolusioner harus mengakui dan menaati pimpinan partai”. Inilah yang menjadi pembeda PKI dan

Lekra. Meskipun begitu ceritanya, tapi tidak sedikit yang mengganggap Lekra sama dengan PKI misalnya sastrawan Ajip yang menuliskan buku Lekra bagian PKI.

Hingga pada suatu waktu, saat salah satu pendirinya, D.N Aidit, gagal untuk mem-

PKI-kan Lekra, malah Lekra justru di-PKI-kan oleh lawan-lawan politiknya di Orde

Baru. Seniman Lekra disamakan dengan aktivis dan para petinggi PKI, sebagai dalih yang dipakai Soeharto untuk menumpas Komunis hingga akar-akarnya. Popularitas

Lekra yang luas pada masa itu membuat Pimpinan PKI tertarik melegalkannya dibawah partai.

3.3 Lekra dan Warga Dunia

Lekra merupakan salah satu organisasi kebudayaan yang paling aktif menjalin seluruh kerjasama dan ikatan antar Negara-negara di Asia Afrika selama satu dasawarsa (1955-1965). Lekra menyepakati segala bentuk aktifitas kebudayaan yang

70Wawancara dengan Martin Aleida pada september 2018.

70 bertujuan memperkuat benteng pertahanaan Negara-negara Asia Afrika.Terhitung dua peristiwa kebudaayaan besar yang melibatkan dua benua ini, yakni Konferensi

Film Asia Afrika dan Konferensi Sastrawan Asia Afrika.

Melihat perkembangan gerakan imperialisme yang terwujud dalam hasil-hasil kebudayaan dari Negara Barat dan Amerika tak bisa dilawan hanya dengan mengandalkan kekuatan dari negeri sendiri. Maka, diperlukan juga kerjasama internasional dari negara-negara sepaham. Momentum bertemunya negara-negara sepaham dalam taraf yang besar adalah Konferensi Asia Afrika pada 1955 yang berlangsung di Bandung. Sejak momentum itu, posisi Indonesia memang diperhitungkan dalam percaturan pertemuan antara Asia Afrika.

Konferensi asia Afrika melahirkan “Sepuluh Prinsip Bandung”. Dasasila

Bandung yaitu suatu pernyataan politik berisi prinsip-prinsip dasar dalam usaha memajukan perdamaian dan kerja sama dunia.71 Adapun isi dari Dasasila Bandung :

1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang

termuat di dalam piagam PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa).

2. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa.

3. Mengakui persamaan semua suku bangsa dan persamaan semua bangsa, besar

maupun kecil.

71Cheepy Hari Cahyono, Ensiklopedi Politika. Surabaya: Usaha Nasional, 1982, hal. 9-10

71

4. Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soalan-soalan dalam

negeri negara lain.

5. Menghormati hak-hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri secara

sendirian ataupun kolektif yang sesuai dengan Piagam PBB.

6. Tidak menggunakan peraturan-peraturan dari pertahanan kolektif untuk

bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu negara besar dan tidak

melakukannya terhadap negara lain.

7. Tidak melakukan tindakan-tindakan ataupun ancaman agresi

maupunpenggunaankekerasan terhadap integritaswilayah maupun

kemerdekaan politik suatu negara.

8. Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti

perundingan, persetujuan, arbitrasi (penyelesaian masalah hukum) , ataupun

cara damai lainnya, menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai

dengan Piagam PBB.

9. Memajukan kepentingan bersama dan kerjasama.

10. Menghormati hukum dan kewajiban–kewajiban internasional.

Seperti yang dikatakan Moh.Yamin, Ketua Panitia Kebudayaan Konferensi

Asia-Afrika di Bandung yang menilai Konferensi Bandung sebagai lahirnya tenaga baru untuk menyuburkan peradaban Asia Afrika. Konferensi ini diwakilkan oleh 29 wakil dari pemerintah Bangsa-Bangsa Asia Afrika yang mewakili rakyat Asia Afrika menyepakati ikrar bersama: Menghukum mati kolonialisme dan rasialisme untuk

72 memajukan perdamain dunia. Konferensi Asia Afrika di serukan secara terus menerus hingga menjadi momentum bagi berlangsungnya kontak-kontak kesetiakawanan yang lebih spesifik. Termasuk dalam dunia sastra menurut Lekra “Adalah bunuh diri disebuah Negara jika sastrawan-sastrawannya berjuang sendiri tanpa ada kontak dengan Negara-negara sepaham”.

3. 3. 1 Konferensi Sastrawan Asia Afrika

Inilah bentuk lain dari jaringan humanisme berbasis kerakyatan yang coba ditegakkan dan dijagai Lekra sebagai agenda kebudayaan. Konferensi sastra Asia

Afrika, sikap dan posisi Lekra adalah wajib ikut dan berpartisipasi secara aktif.72 Hal ini menjadi pertanggungjawaban bagi Lekra bahwa seni harus mengabdi kepada rakyat.H ingga Oktober 1965, tercatat baru dua kali konferensi sastrawan Asia Afrika berlangsung.

A. Konferensi Sastrawan Asia Afrika (KSAA) I : Uzbekistan

KSAA pertama berlangsung di Tasjkent, ibukota Republik Sosialis

Uzbekistan pada 7 Oktober 1958 dan diikuti oleh sekitar 20 negara antara lain :

Afganistan, Aljazair, Birma, Kamerun, Srilangka, Republik Rakyat Tiongkok, Ghana,

India, Indonesia, Iran, Jepang, Mongolia, Nigeria, Pakistan, Muang thai, Tunisia,

Turki, Uni Afrika Selatan, Republik Arab Persatuan dan Uni Soviet. Sedangkan

Indonesia sendiri mengirimkan delegasinya yang diwakili antara lain : Pramodeya

72 Rhoma Dwi Aria, 2008, op.cit. hal. 139.

73

Ananta Toer, Rivai Apin, Hurustiati Subanrio, Dodong Djiwapradja, Joebaar Ajoeb,

Utuy Tatang Sontani, Sitor Situmorang dan Asmara Hadi.73

Ide Konferensi ini bermula dari konferensi sastrawan Asia yang berlangsung di New Delhi, India, 1956.Belum ada bentuk konkrit dari konferensi ini selain persahabatan belaka. Kemudian menimbulkan ide untuk mengundang Afrika dalam konferensi selanjutnya dan kelak menjadi Konferensi Asia Afrika Pertama.

Pertemuan pertama para sastrawan ini menandai suatu pertemuan antar penulis yang memiliki kepedulian terhadap masa depan bangsa Asia Afrika, sebab mereka gandrung akan kemerdekaan tanpa investasi negara-negara adidaya.

Pada awalnya ditegaskan bahwa pertemuan sastrawan Asia Afrika bukan memperhadapkan Negara Asia-Afrika terhadap Barat, melainkan menciptakan kemungkinan-kemungkinan mempertemukan penulis-penulis Asia-Afrika dengan penulis Barat untuk menghubungkan kebenaran peradaban Asia dan Afrika dengan pembaruan besar Eropa. Sehingga sejak awal tidak ada batasan bahwa peserta yang hadir hanya dari kalangan sastrawan Asia-Afrika saja.

Muncul sebuah kesepahaman pada KSAA I dan diyakini bahwa konferensi pertama Oktober 1958 menjadi tanda-batas (mijlpaal) dalam sejarah kesetiakawanan

Rakyat Asia Afrika dalam perjuangannya melawan Imperialisme dan Kolonialisme.

73Harian Rakyat. 23 Juni 1962.

74

Sekaligus untuk mempererat hubungan pengarang-pengarang kedua benua ini dalam soal usaha bersama guna menciptakan kemerdekaan, kesejahteraan, dan perdamaian.

B. Konferensi Sastrawan Asia Afrika (KSAA) II : Mesir

Pada 13 hingga 20 November 1962, diadakan KSAA II di Kairo, Mesir,

Indonesia terlibat aktif, bahkan sejak persiapan. KSAA Kairo 1962 menetapkan perhatian terhadap: (I) Peranan pengarang dalam perjuangan Rakyat Asia-Afrika melawan imperialisme dan kolonialisme untuk mencapai kemerdekaan nasional dan perdamaian dunia; dan (II) Peranan penerjemahan dalam memperkuat semangat kesetiakawanan Rakyat Asia-Afrika dan dalam memajukan pertukaran kebudayaan antara Rakyat di kedua benua ini.74

Pengarang Asia-Afrika memberikan bukti dengan melibatkan diri menghantam imperialisme, yaitu tanggapan-tanggapan mereka dalam perkembangan politik di Kongo setelah PM Kongo Patrice Emery Lumumba dibunuh kelompok- kelompok reaksioner; sokongan perjuangan heroik Indonesia melawan agresi militer

Belanda di Irian Barat; mengutuk kegiatan kriminal imperialisme Portugal atas pejuang-pejuang kemerdekaan di Angola; mengutuk imperialis Prancis di Aljazair; mengutuk imperialis Prancis atas buka praktik usahanya di Kamerun; mengutuk intervensi imperialis di Laos.

74 Rhoma Dwi Aria, 2008, op.cit. hal. 143.

75

Sebelum melakukan KSAA II di Kairo, pengarang Asia Afrika telah mengadakan sidang darurat di Tokyo pada 27 hingga 30 Maret 1961.75 Delegasi

Indonesia diwakilkan oleh Sitor Situmorang dan mendapatkan kesempatan berpidato dalam sidang tersebut. Nyaris tak ada perubahan selama setahun setelah sidang darurat. Pada konferensi berikutnya Indonesia mengirimkan delegasi utamanya, yakni sastrawan-sastrawan Lekra yang dalam konferensi ini menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi karya para pengarang Indonesia dalam bahasa Inggris yang bertemakan perjuangan dan kebangkitan Rakyat Asia-Afrika. Judul-judul puisi tersebut adalah: “Jang Mati Hidup Abadi” (Aidit), “Djamila” (S Anantaguna),

“Setelah Panmunjom” (Hr. Bandaharo), “Haiku variations” (Njoto), “Solidaritas

Asia-Afrika” (Sitor Situmorang), dan “Peking” (Rivai Apin).76

Pada zaman itu, puisi memang dijadikan sebagai alat propaganda yang sangat massif digunakan dikarenakan sifatnya yang bersifat universal dan mudah dimengerti oleh rakyat. Semangat lekra dalam solidaritas Asia Afrika dapat dilihat dalam puisi- puisi yang ditulis oleh sastrawan-sastrawan Lekra, salah satu nya puisi Merah

Kesumba yang ditulis oleh Njoto.

75Ibid. 144. 76Ibid. 145.

76

Darah Lumumba Merah Kesumba

Darah Lumumba Merah Kesumba

Konggo!

Laparmu Lapar Kami

Lapar Revolusi

Darah Lumumba Merah Kesumba

Darah Lumumba Merah Kesumba

Konggo!

Revolusimu Revolusi Kami

Revolusimu Revolusi Kita

Revolusi Dunia

Dalam puisinya ini Njoto merefleksikan kemarahan yang luar biasa atas pembunuhan PM Konggo itu, dengan mengatakan “darah Lumumba merah kesumba” yang berarti darah Lumumba merah menyala. Perjuangan rakyat Konggo adalah perjuangan “kami”, bahkan perjuangan “kita” yang menunjukkan solidaritas yang tinggi bangsa Indonesia (pelopor persekutuan negara-negara Non Blok) terhadap

Lumumba dan Konggo.

Joebaar Ajoeb dan Pramoedya Ananta Toer menjadi delegasi dalam Mimbar perwakilan Indonesia serta diberi kesempatan untuk menyampaikan sikap sastrawan

Indonesia atas tema utama, yakni usaha konkrit menghalau agresi kebudayaan

77

Negara-negara pengekspor budak baru di Negara Asia-Afrika melalui jalur kebudayaan.77 Pramoedya Ananta Toer dalam pidatonya menyampaikan situasi politik nasional Indonesia dan Asia Tenggara dan bercokolnya kekuatan imperialisme lewat agen SEATO78 dan ANZUS.79 Serta pangkalan militer Amerika yang menciptakan kekacauan di Asia-Afrika dengan mensponsori senjata dalam pemberontakan PRRI-Permesta yang akhirnya gagal. Pram menyatakan pada dunia sastrawan mengenai peran etnik mereka menghadapi para pengacau kedaulatan sebuah Negara merdeka di Asia-Afrika.

Perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme oleh kalangan sastrawan, dalam hal ini Lekra, ternyata memiliki daya pukau luas. Kebenaran semata berada dalam seni itu sendiri. Berkarya untuk memuaskan diri sendiri dan para kritikus

Barat. Sikap kepengarangan itulah yang diambil secara sadar dan matang untuk berpihak kepada keselamatan bangsa dan rakyat bukan sekedar untuk kesenangan biasa. Sikap itu bukan hanya bualan sastrawan atau budayawan di Lekra, melainkan sikap sastrawan di Asia dan Afrika.

77 Rhoma Dwi Aria, 2008, op.cit. hal 146. 78Southeast Asia Treaty Organization (SEATO) atau Pakta Pertahanan Asia Tenggara. SEATO resmi berdiri pada 19 Februari 1955 di Bangkok, Thailand sebagai tindak lanjut dari penandatanganan Pakta Manila pada 8 September 1954. Anggotanya terdiri dari Australia, Perancis, Selandia Baru, Pakistan, Filipina, Thailand, Inggris, dan Amerika Serikat. 79ANZUS (Australia, New Zealand, United States Security Treaty) adalah pakta pertahanan dan keamananAmerika Serikat, Selandia Baru dan Australia.

78

3. 3. 2 Festival film Asia Afrika (FFAA)

FFAA I dilangsungkan di Tasjkent pada 1958, FFAA II dilaksanakan di Kairo pada 1960 dan FFAA III di Jakarta masih melanjutkan rangkaian dari FFAA sebelumnya. Pada FFAA III, Menteri Olahraga Maladi ditunjuk sebagai Ketua

Kehormatan Komite Nasional dan Nj. Utami Suryadarma ditunjuk sebagai Ketua

Umum sekaligus Ketua I Komnas FFAA III yang akhirnya menjadi Ketua Panitia

Aksi Pemboikatan Film Imperialis AS setelah festival usai digelar.80 Festival ini menarik karena menjadi peristiwa politik yang hiruk-pikuk, ketegasan dari pernyataan sikap atas kecendrungan orientasi politik, dan konsolidasi kekuatan.

Ketua umum FFAA III, Nj. Utami Suryadarma membagi dua kelompok besar film: Film The New Emerging Forces (Nefo) yang terdiri dari tritunggal: negeri sosialis, negeri baru merdeka dan kekuatan progresif di kekuatan kapitalis dan The

Old Established Forces (Oldefo) yang terdiri dari kekuatan imperialisme, kolonialisme, neokolonialisme, serta pembelanya. FFAA masuk dalam kelompok pertama, lantaran “festival ini yang tegas anti imperialisme, anti-kolonialisme, anti- neokolonialisme, dan anti pula terhadap segala jang terbelakang, lapuk, dan reaksioner”.81

80Ibid., 242. 81Harian Rakyat. 22 April 1964.

79

A. Film Alat Setiakawanan Politik

Pergelaran FFAA III dibuka pada 19 April 1964 dan dilaksanakan di Istora

Bung Karno Senayan Jakarta sekaligus menyanyikan lagu “Hallo-hallo Bandung” dan

“Asia Afrika Bersatu”. Festival dibuka oleh pidato Presiden Sukarno serta menekankan betapa sangat pentingnya kesetiakawanan AA (Asia-Afrika), kesetiakawanan AAA(Asia-Afrika-Amerika Latin) dan setiakawanan Nefo dalam perjuangan melawan imperialisme, kolonialisme, dan neokolonialisme.82 Dalam menyukseskan FFAA, Bung Karno mengharapkan adanya titik berat pada solidaritet politik, sebab menurut Bung Karno tak ada Revolusi di Negara-negara Asia-Afrika yang bisa sukses tanpa solidaritet. Bung Karno juga menyampaikan bahwa zaman itu adalah zaman yang ditandai oleh setiakawanan dan persatuan semua bangsa yang anti-imperialisme, kolonialisme, dan neokolonialisme.

Wakil Asia Satsui Yamamoto, menyatakan bahwa Rakyat Jepang telah membicarakan tujuan FFAA III. Mereka ikut serta dalam festival ini karena

Semangat Bandung serta merasa memiliki lawan yang sama yaitu imperialisme AS juga untuk memperkokoh setiakawanan untuk mencapai kemerdekaan sejati. Wakil dari Afrika, Said Salim Abdullah dalam Semangat Bandung memberi semangat berupa penghargaan agar Rakyat Indonesia sukses melawan ambisi imperialisme AS yang membikin rakyat di seluruh dunia menerima “American way of life”, juga untuk kemerdekaan nasional.

82 Rhoma Dwi Aria, 2008, op.cit, hal. 243.

80

Bagi Lekra, arah sikap yang dijelaskan oleh Presiden Sukarno di pembuka

FFAA dijalankan sebagai ideologi di dunia film Indonesia. Joebaar Ajoeb, Sekretaris

Umum Lekra mencoba menemukan hubungan antara dengan politik perjuangan rakyat Asia dan Afrika ditengah sikap inferioritas seniman pekerja film dan bahkan politikus-politikusnya. Joebaar menyaksikan diperjalanan festival ini, bahwa film- film di Asia dan Afrika umumnya diciptakan ditengah-tengah api Revolusi Nasional

Rakyat. Film yang memasukkan tradisi-tradisi artistik yang patriotik rakyatnya.

Joebaar membandingkan dengan film-film cowboy yang diproduksi Negara-negara imperialis seperti Amerika Serikat.83 Menurut Joebaar, pertentangan dan perbedaan tidak hanya pada ideologi, tapi juga secara teknis artistik film-film cowboy berbeda dengan film-film tentang Revolusi Rakyat Asia-Afrika.

Sebelumnya, Joebaar sudah secara tegas mengatakan bahwa Festival Film ini adalah perang kebudayaan film. Serta pesertanya adalah Negara-negara penyokong dan pendukung ”Semangat Bandung”. Menteri Kebudayaan Republik Demokrat

Vietnam Hoang Minh Gian sepakat dengan menyambut sedawarsa KAA-I di gedung

Megaria mengatakan bahwa mendukung penuh sikap Indonesia menghancurkan imperialisme.84

Kedekatan pada tiap Negara dalam festival ini telah membuka kesempatan bagi Indonesia untuk mengrimkan beberapa delegasinya ke Uni Soviet. Seperti yang

83Ibid., 244. 84Ibid., 245.

81 dikabarkan Harian Rakyatpada 1964 delegasi yang dikirimkan ialah : AW. Sardjono

(Produser), Major Harmono (Dewan Film), dan Sari Narulita.85 Para delegasi juga sempat membangun aliansi kebudayaan dengan Sri Langka. Komunike FFAA III dikenal sebagai akhir Festival, tepatnya pada 30 April 1964.

Penghancuran kekuatan imperialisme dan komprador-kompradornya yang bekerja dalam dunia film bukan hanya perjuangan dari aktivis kebudayaan Lekra, melainkan melibatkan seluruh elemen masyarakat. Setelah melahirkan Komunike

Antar negara peserta Festival, Lekra turut mengumumkan ikrar mereka di hadapan

Presiden Sukarno. Juru bicara atas nama artis dan pekerja film Indonesia adalah

Rendra Karno. Salah satu bunyi ikrar tersebut adalah menjadikan tanggal “30 April” sebagai Hari Film Nasional

3.4 Zaman Baru Media Massa Kebudayaan Lekra

Bagi Lekra, media masa merupakan alat vital bagi proses penyadaran massa rakyat serta alat kebudayaan untuk mengkampanyekan siapa yang berada di garis yang salah dan garis yang tepat. Karena itu, elite-elite lekra menyebar dibeberapa koran dan media masa sebagai pembantu mengasuh halaman kebudayaan koran tersebut. Harian rakyat adalah ruang tersubur untuk pekerja-pekerja kebudayaan lekra dikarenakan Nyoto yang juga pendiri lekra menduduki kepala redaksi koran politik

85Ibid., 246.

82 terbesar untuk masanya ini. Kemudian Bintang timur, ada Pramoedeya Ananta Toer dan S. Rukiah Kertapati yang mengasuh lembar kebudayaan Lentera.

Selain itu, Lekra juga memiliki tabloid bernama Zaman Baru. Tabloid Zaman

Baru ini mulai terbit sekitar tahun 1950-an. Awalnya tabloid ini berbasis di Surabaya, dan tidak berada dibawah naungan Lekra, namun dikemudian hari Lekra mengakuisisi (mengambil alih) nya. Tabloid seni budaya yang bernama Zaman Baru ini bukan bagian dari lembar budaya Harian Rakyat, walau setiap terbit iklannya selalu dimuat di Harian Rakyat. Zaman Baru adalah tabloid bulanan yang diterbitkan secara independen oleh Lekra, yang berisikan beragam soal seni kebudayaan.

Sebagai majalah yang bernaung di bawah Lekra, Zaman Baru cenderung menampilkan karya-karya yang bercorak realisme sosialis. Moto penerbitan majalah ini adalah "Majalah Sastra dan Seni".Kota-kota yang tercakup oleh peredaran majalah ini adalah Jakarta, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Krawang, Denpasar, Jambi,

Madiun, Malang, dan Pekanbaru.

Zaman Baru pada tahun 1957 dipimpin oleh Rivai Apin dan A.S Dharta.

Bagian redaksi diisi oleh Basuki Resobowo, S. Rukiah Kertapati, Banda Harahap,

Hendra Gunawan, S. Anantaguna, Boejoeng Saleh, S. Sudjodjono, M.S. Ashar, M.

Isa, Sudharnoto, Hadi S., Bakri Siregar, Bachtiar Effendi, dan Basuki Effendi.

83

Adapun Penyelenggara Redakdi Dikerjakan Oleh Trio A. Wakidjan, F.L. Risakotta, dan Agam Wispi.86

Melihat komposisi redaksi yang merupakan pentolan-pentolan budayawan, seniman dan juga sastrawan Lekra, Zaman Baru ini adalah bukti nyata dari Lekra sebagai senjata untuk penyadaran rakyat. Namun, walaupun telah diisi oleh pasukan inti Lekra dalam tubuh Zaman Baru seperti itu, dalam perkembangannya majalah yang terbit 10 hari sekali atau 3 kali dalam sebulan ini tetap juga tidak bisa lolos dari krisis terbit reguler seperti yang dialami majalah-majalah lainnya.

86Ibid., hal 48.

84

BAB IV

PEMBENTUKAN BASIS IDEOLOGI LIBERAL DIBIDANG KEBUDAYAAN

Pembentukan Ideologi anti rakyat (liberal) dilapangan kebudayaan adalah proses panjang pertarungan politik dan ideologi dalam rangka mencari identitas kebudayaan nasionsal Indonesia. Proses pencarian identitas ini mengambil bentuk pertarungan politik pada aktifitas kebudayaan dalam konteks perang dingin. Pada masa puncak ketegangan Perang Dingin 1950-an dan 1960-an, kekuatan-kekuatan politik dan kebudayaan pro-barat dengan dukungan pemerintah Amerika Serikat (AS) berupaya menciptakan medan pertempuran ideologi untuk menentang laju komunisme di Indonesia.

Selain menyediakan bantuan militer dan ekonomi untuk Indonesia, pemerintah AS juga memperluas pengaruhnya dengan membantu aktifittas pendidikan dan kebudayaan melalui institusi-institusi filantropi dan kebudayaannya untuk membangun aliansi komunis dikalangan Intelektual Indonesia. Gagasan untuk menggunakan kebudayaan sebagai alat propaganda merupakan bagian dari kebijakan politik luar negeri AS untuk melawan komunisme diseluruh dunia. Strategi kebudayaan ini, yang awalnya difokuskan dinegara-negara Eropa dan AS, kemudian diperluas kenegera-negara Afrika, Amerika Latin, dan Asia termasuk Indonesia.87

87Peter Coleman, The Liberal Conspiracy, New York:The Free Press, 1989, hal. 199-209.

85

Secara langsung maupun tidak, pengaruh AS dalam perang melawan komunisme di Indonesia secara khusus terlihat dalam oposisi sayap kanan terutama faksi sayap-kanan militer, Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Masyumi, dan yang paling penting: para seniman dan intelektual anti kommunis yang seiya sekata dengan tujuan tersebut, guna melenyapkan gaung kebudayaan kiri Lekra.

4.1 Agenda Politik Amerika dan Congress for Cultural Freedom (CCF) di

Panggung Indonesia

Bangkitnya kekuatan nasionalis dan komunis di Asia pada akhir Perang Dunia

II telah memaksa AS untuk bersiaga dan memperluas pengaruhnya di negara-negara

Asia termasuk Indonesia.88 Kepentingan AS dipicu setidaknya oleh dua faktor.

Pertama, kesadaran mereka tentang kekayaan alam indonesia yang berpengaruh pada kepentingan strategis AS. (misalnya, Indonesia saat itu berpotensi memproduksi 20 miliar barel minyak.89 Kedua, kewaspadaan mereka terhadap pesatnya pertumbuhan

PKI sejak 1950 di Indonesia, yang menjadikan PKI sebagai partai komunis terbesar kedua di Asia setelah .

88Upaya AS untuk memperluas pengaruhnya dimanifestasikan baik melalui cara halus dan kasar.. cara-cara halus itu misalnya melalui bantyan-bantuan keuangan,penyuapan, dan membentuk kelompok-kelompokparamiliternanti komunis. Sedangkan cara-cara kasar meliputi paksaan dan dukungan miiter untuk menentang pemerintahan Soekarno. Pada 1957 misalnya, kepala CIA dari markasnya di Jakarta, Val Goodel, berkordinasi dengan Kepala Divisi CIA timur jauh, AL Ulmer, mengirim pesan kepada bos mereka, Allen Dulles, bahwa para perwira militer di Sumatera telsah siap melancarkan operasi untuk melawan pemerintah pusat di Jakarta dan meminta bantuan perlengkapan militer. Lihat Tim Weiner, Membongkar Kegagalan CIA:Spionase Amatiran Sebuah Negara Adidaya (jakarta:Gramedia,2008), hal.181-183. 89Weiner, Membongkar KegagalanCIA, Jakarta:Gramedia, 2008, hal. 180.

86

Menyusul kegagalan agresi militer, Pemerintah Belanda mendapat kecaman luas dari PBB dan masyarakat internasional. Belanda mendapat tekanan dari AS dan dunia Internasional untuk melakukan negosiasi lanjutan dengan Indonessia, dan hasilnya, sebuah konferensi antara Indonesia dan Belanda digelar pada desember

1949 yang dikenal dengan nama Konferensi Meja Bundar.90 Hasil dari konferensi ini memang pengakuan kemerdekaaan Indonesia oleh Belanda, namun harga yang harus dibayar untuuk itu sangat mahal, yakni kewajiban menjamin kepentingan ekonomi

Belanda dengan cara: Indonesia harus menerima Belanda sebagai penguasa sementara di Papua Barat dan Indonesia harus membayar utang Belanda, yang sebagiannya adalah biaya perang dengan Indonesia.91 Dengan persetujuan ini Belanda dapat mempertahankan kendali atas perusahaan-perusahaan mereka di Indonesia, dan secara bersamaan, hubungan AS-Indonesia mulai terbangun.

Pada 1950-an, saat kebijakan politik luar negeri Indonesia dibawah Presiden

Sukarno kian dekat dengan blok Komunis menyusul pesatnya perkembangan PKI, para pemimpin Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumi juga mulai membangun hubungan dekat dengan AS92. Sebagian diplomat yang terlibat dalam lobi-lobi politik dengan AS pada saat itu adalah para tokoh PSI seperti Syahrir, iparnya Soedjatmoko

Mangoendiningrat, dan khususnya Sumitro Djojohadikusumo, Dekan Fakultas

Ekonomi Universitas Indonesia. Pada kunjungannya tahun 1949 yang disponsori oleh

90George Mc Turnan Kahrin, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, (terjemahan) Jakarta:Komunitas Bambu, 2013, hal 433-455. 91Robert Cribb, Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949: Pergulatan Antara Otonomi dan Hegemoni, Jakarta:Grafiti, 1990, hal. 193-194. 92David Hill, Journalism and Politics in Indonesia, New York:Routledge, 2010, hal 56.

87

Ford Foundation ke School of Advanced International studies di Washington,

Sumitro menjelaskan kepada hadirin tentang visi ekonominya, yaitu: “akses bebas terhadap sumber daya Indonesia dan intensif yang cukup bagi investasi korporat asing”93.

Pada 1951, rencana Sumitro menjalin kolaborasi dengan institusi-institusi pendidikan di AS, dengan dukungan lembaga-lembaga donor seperti Rockefeller dan

Ford Foundation, akhirnya terlaksana. Antara 1951-1955 sekitar 900 mahasiswa

Indonesia dari berbagai disiplin ilmu menerima beasiswa untuk pelatihan teknik di

AS.94 Strategi Sumitro ini sesuai dengan rencana AS untuk menyediakan dana bagi mahasiswa-mahasiswa Sumitro untuk mempelajari doktrin ekonomi AS, dengan harapan doktrin ini kelak akan diimplementasikan di Indonesia. Program pendidikan ekonomi yang disponsori AS ini dimaksudkan untuk memperluas pengaruh AS dan menyingkirkan komunisme di Indonesia.95

Mahasiswa yang dikirim ke Cornell dan Universitas lainnya atas beasiswa dari Ford Foundation ini diantaranya adalah Subroto, Mohamad Sadli, Ali Budiarjo dan istrinya Miriam Budiarjo (saudara perempuan Soedjatmoko), Widjojo Nitisastro, dan Emil Salim. Kelak para sarjana Indonesia yang disponsori oleh Ford Foundation ini dikenal sebagai arsitek kebijakan ekonomi Orde Baru dan kerap diejek oleh sebagian orang dengan julukan “mafia Berkeley”.

93George Mc Turnan Kahrin 2013 op.cit hal 339. 94Simpsons, Economic With Guns, hal 30. 95Ibid., hal 94.

88

.Salah satu jurnal kebudayaan Indonesia yang paling aktif dalam merepons diplomasi kebudayaan AS adalah Majalah Konfrontasi. Majalah Konfrontasi ini didirikan pada tahun 1954, Konfrontasi secara reguler mempublikasikan terjemahan esai dan sastra dari sumber-sumber Internasional. Redakturnya adalah para simpatisan PSI seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Beb Vuyk dan Hazil Tanzil.96

Konfrontrasi kemudian menjadi media untuk apa yang disebut Foulcher sebagai

“Lalu-lintas Kebudayaan” antara Indonesia dan Barat dalam kaitannya dengan pencarian identitas kebudayaan Indonesia dalam konteks nasionalisme pasca-perang.

Walaupun Konfrontasi didirikan secara independen dari pengaruh asing, namun jurnal tersebut memiliki kesejajaran dengan tujuan-tujuan diplomasi kebudayaan AS. Seperti ditunjukan oleh Foulcher bahwa Konfrontasi secara implisit dan konsisten merefleksikan pandangan Internasionalisme yang berorientasi barat sesuai dengan sikap partisannya pada PSI.97 Foulcher juga mencatat bahwa dari kelompok studi yang dibentuk lingkaran Konfrontasi interaksi antara intelektual simpatiskan PSI dan tokoh-tokoh kebudayaan Internasional menjadi lebih berkembang melalui diskusi-diskusi kebudayaan yang diadakan secara rutin. Hal ini pada gilirannya memungkinkan mereka untuk menjalin kontak dengan CCF.98

96Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965:Bagaimana Orde Baru Melegetimasi Anti-Komunisme Melalui Seni dan Sastra, Tanggerang:Marjin Kiri, 2015, hal 65 97Keith Foulcher, Bringing the World Back Home: Konfrontasi and the International Orientation in Indonesian National Culture, Leiden:Brill, 2012, hal 2. 98Wijaya Herlambang, 2015 op.cit, hal 62.

89

Menyusul terselenggaranya Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung,

Konfrontasi menerbitkan pidato Richard Wrightseorang penulis sayap kiri anti- komunis kulit hitam dari AS yang saat itu sedang berada di Indonesia untuk menghadiri KAA atas sponsor Congress for Cultural Freedom (CCF)99. Wright, salah satu penulis dalam antologi esai anti-komunis The God Thad Failed adalah salah satu perwakilan dari diplomasi kebudayaan AS yang langsung mengadakan diskusi dengan para penulis anti-komunis dalam kelompok studi jurnal Konfrontasi segera setelah digelarnya KAA. Foulcher, berpendapat bahwa pidato Wright di kelompok studi Konfrontasi mengenai maslah–masalah sosial-ppolitik di AS dan rasa simpatinya kepada orang-orang dan bangsa-bangsa tertindas diseluruh dunia diletakan dalam kerangka ideologi kiri non-komunis yang selama ini sudah dianut oleh angkatan „45 di Indonesia.100

4. 2 Manifes Kebudayaan

Sejak pertama kali diumumkannya Manifes Kebudayaan ini mengundang reaksi yang luar biasa, baik yang setuju maupun yang menentangnya. Manifes

Kebudayaan adalah kontroversi sejak titik awal. Namun yang menarik di sini adalah kontroversi itu tidak terjadi terutama pada “teks”-nya melainkan pada “konteks”- nya.

Artinya tendensi politik manifesto ini sudah kental sejak dia lahir. Karena itu di

99David, 2010, op.cit, hal 17. 100Foulcher, 2012, op.cit, hal 3.

90 bagian paling awal sebelum membahas isi dan gagasan dari Manikebu, Goenawan

Mohamad sudah menyatakan:

“Dengan segera terlihat manifes itu–apa pun niat kami semula untuk

menyusun dan mengumumkan tampil sebagai sebuah surat tantangan, atau,

juga, sebuah undangan untuk pengganyangan”.101

Dukungan yang sempat terkumpul dari individu dan berbagai kelompok kebudayaan yang hampir semuanya non parti-san,102 serta keberhasilannya menyelenggarakan KKPI (Konprensi Karyawan Pengarang se-Indonesia) 1-7 Maret

1964 atas dukungan militer (Jendral AH. Nasution dan Jendral Ahmad Yani),45 menjadi tidak ada artinya berhadapan dengan serbuan para penentangnya seperti

Lekra dan LKN. Pertarungan ini jelas tidak berimbang, karena institusi seperti Lekra pada saat itu adalah organisasi kebudayaan terbesar dan sedang berada di puncak kejayaan dan kedekatannya dengan kekuasaan (pemerintahSoekarno).

Dalam penerapannya, konsep kebebaasan dalam humanisme universal dimaksudkan sebagai senjata untuk menandingi gagasan komitmen politik didalam seni. Menariknya, konsep kebebassan berekspresi yang diasosiasikan dekat dengan paham “i art pour i art” (seni untuk seni) itu sebagaimana dikenal oleh para penulis lekra dalam perdebatan era 1960-an justru dikritik oleh H.B. Jassin, salah seorang

101Goenawan Mohamad, Peristiwa “Manikebu”: Kesusasteraan Indonesia dan Politik di tahun 1960-an, Dalam Kesusasteraan dan Kekuasaan, Jakarta:Pustaka Fidaus, 1993, hal 13. 102D.S Moeljanto dan Taufik Ismail, Prahara Budaya: Kilas Balik Offensif Lekra/PKI DKK, Bandung:Republika dan Mizan, 1995, hal 441.

91 pendukung “humanisme universal” itu sendiri.Menurutnya, humanisme universal memang menekankan pada pentingnya seni tapi bukan berarti konsep itu anti rakyat.103 Jassin percaya bahwa humanisme universal berupaya mencapai nilai-nilai kemanusiaan absolut.104 Namun, dalam konteks tekanan politk dari para penulis sayap kiri era 1960-an, jelas hal itu adalah sebuah upaya dari para pendukung manifes kebudayaan untuk menciptakan ruang kebebasan berekspresi yang lebih leluasa khususnya dalam penciptaan sastra.

Atas pandangan Humanisme Universal itulah mereka yang sepakat dengan ide

Manifes Kebudayaan mengambil langkah menjadi kelompok intelektual non-partisan, dan fenomena ini dilihat oleh kaum kiri berpotensi menjadi rintangan bagi perjuangan politik mereka. Paham politik non-partisan para penulis liberal ini, dalam pandangan

Goenawan Mohamad, adalah sifat yang umum dianut oleh para pendukung manifes kebudayaan.105 Kebanyakan dari mereka menganggap bahwa keanggotaan atau dedikasi untuk partai tidak terlalu berarti bagi kehidupan dan aktifitas kesenian mereka.106 Dengan demikian konsep humanisme universal juga merupakan justifikasi ideologis atas sikap politik non-aliansi diantara pendukung manifes kebudayaan, yang tujuannya sebagai dasar legitimasi atas proses depolitisasi kebudayaan.

103HB Jassin, Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik Esay IV, Jakarta:Gramedia, 1985, hal 119. 104Ibid., hal 118. 105Goenawan, 1993, op.cit, hal. 23-25. 106Ibid., hal 23.

92

Para penulis kiri baik yang secara resmi bernanung dalam Lekra maupun yang tidak seperti Pramoedya Ananta Toer, Bakrie Siregar, Joebaar Ajoeb, dan lainnya, mengkritik keras gagasan “non-partisan” tersebut. Menurut mereka, konsep humanisme universal tidak dapat dianut oleh rakyat Indonesia yang sedang berada ditengah-tengah perjuangan untuk membebaskan diri dari ancaman neokolonialisme dan imperialisme barat. Bagi mereka, humanisme harus diimplementasikan dengan cara berpihak kepada rakyat, petani, pekerja, dan buruh. Konsekuensinya, aktivitas kebudayaan khususnya kesusasteraan harus diabdikan untuk semangat kolektitifisme dam menolak individualisme yang dianggap sebagai “kemewahan” yang belum pantas dipertimbangkan. Dengan demikian, konsep yang paling sesuai adalah bahwa seniman, aktifis, dan institusi kebudayaan seharusnya berpihak kepada rakyat atau berafiliasi dengan salah satu partai politik karena tugas partai politik adalah untuk membela kesatuan kolektif dan juga untuk memerangi neokolonialisme dan imperialisme barat.107

Kalau Soekarno dan PNI-nya memiliki Lembaga Kebudayaan Nasional, kemudian PKI “memiliki” Lembaga Kebudayaan Rakyat, maka Militer memiliki kelompok Manifes Kebudayaan. Demikianlah mungkin gambaran sederhana ranah kebudayaan Indonesia menjelang akhir paruh pertama tahun 1960-an, dalam konteks hubungan kebudayaan dan (kekuatan) politik (praktis).

107Ibid., hal 62.

93

Pada tahun-tahun itu, tiga kekuatan politik dominan yang saling tarik menarik adalah Soekarno dengan dukungan penuh PNI, kemudian militer dalam hal ini

Angkatan Darat, dan PKI sebagai pihak ketiga yang menunjukkan peningkatan luar biasa setelah pemilu 1955. Dengan terbentuknya Front Nasional, lewat Nasakom

(Nasionalis, Agama dan Komunis), Soekarno berhasil menyatukan kekuatan- kekuatan partai-partai politik terbesar pemenang pemilu 1955.Tentu saja selain partai

Islam modernis Masyumi, yang bersama PSI dinyatakan terlarang sejak tahun 1960 karena terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta.Dengan konstelasi politik semacam itu, maka tinggalah militer yang sendirian tanpa afiliasi dengan kekuatan politik yang ada pada saat itu, bersama kecenderungan latennya yang anti partai dan pemerintahan sipil.

Kecenderungan anti partai ini sepertinya bersambut gayung dengan mereka yang kemudian bergabung dengan kelompok Manikebu, yang digambarkan oleh

Goenawan Mohamad sebagai orang-orang yang jauh dari “orang resmi”,yaitu mereka yang tidak terlibat dalam partai, tidak duduk dalam dewan nasional dan memilih

“menggelandang”.108 Mereka ini lebih cenderung mengambil sikap seperti HB Jassin dalam hal tidak menunjukkan bendera partai. Goenawan kemudian menambahkan bahwa sebagian dari mereka ini mungkin menyimpan simpati mereka pada PSI dan

Masyumi yang sudah dilarang.

108Ibid., hal 23.

94

Pertautan kecenderungan yang sama inilah yang membuatIwan Simatupang109 mengundang Goenawan Mohamad, Bur Rasuanto, A. Bastari Asnin dan Sjahwil

(semuanya kemudian menjadi penandatangan Manikebu), datang ke rumahnya untuk dipertemukan dengan orang Soksi (serikat buruh bentukan militer untuk menyaingi

Sobsi-nya PKI), yang menurut Iwan ingin membentuk organisasi kebudayaan. Ketika pertemuan ini disampaikan pada Wiratmo Soekito, dia hanya berkomentar: “Sudah saatnya kita menjelaskan pendirian kita”..Sambil kemudian mengusulkan agar gagasan-gagasan kebudayaan diantara mereka disusun dan didiskusikan. Jika orang

Soksi itu mau berkeja sama akan diterima dengan senang hati, tapi apabila tidak, pendirian tentang kebudayaan ini tetap akan diumumkan. Hubungan dengan orang

Soksi ini memang tidak jelas kelanjutannya, sampai Manikebu diumumkan 2 bulan kemudian.

Keith Foulche rmemahami Manifes Kebudayaan sebagai kelompok intelektual dan budayawan anti-Lekra yang menjadi bagian dari proses polarisasi kekuatan politik. Mereka Mendapat dukungan dari militer karena anti Lekra yang kiri, sejalan dengan militer yang berseberangan dengan PKI. Kemunculan kelompok ini Juli 1963,

109Tokoh yang dikenal dengan novel-novel absurditasnya Ziarah dan Merahnya Merah ini memang cukup misterius. Sampai akhir hayatnya tinggal di hotel salak Bogor dan selalu berpergian dengan mobil pribadi. Tanpa bisa menjelaskan dari mana dia mendapatkan biaya hidup mewahnya tersebut untuk masa-masa sulit pada waktu itu yang pasti bukan dari hasilnya menulis. Banyak yang menduga dia memiliki hubungan dengan militer dan menjadi salah satu mastermind Manikebu dibawah tanah (tidak ikut menandatangani naskah Manikebu). Perannya melengkapi Wiratmo yang muncul ke permukaan. Pikiran-pikiran Iwan lewat surat-surat yang dikirim pada sahabatnya St Sularto, yang dikumpulkan Frans M. Parera, Surat-Sura Politik Iwan Simatupang 1964-1966, Jakarta, LP3ES, menunjukan kepercayaannya pada militer (Angkatan Darat) sebagai penyelamat Indonesia dari kekacauan.

95 dilihat Keith sebagai “pameran kekuatan” dari suatu kelompok yang mewakili kepentingan kebudayaan anti komunis yang mendapat dukungan terselubung dari militer.110

Dukungan terselubung militer ini menjadi terbuka ketika kelompok Manikebu mengadakan Konprensi Karyawan Pengarang Indonesia 1-7 Maret 1964.Konprensi ini diadakan terutama untuk memberi wadah pada para pendukung Manikebu, semacam pelembagaan awal kegiatan mereka. Lewat forum ini diharapkan , mereka bisa merapatkan barisan menghadapi para penyerang, dengan mulai menterjemahkan gagasan menjadi aksi. Dukungan militer dalam konprensi ini mulai dari transportasi untuk para peserta dari luar Jakarta, penyediaan akomodasi dan tempat sampai mengirimkan wakilnya, Brigadir Jendral Soedjono sebagai ketua Presidium konprensi tersebut.

Sejauh sebagai sebuah acara yang mau mengelaborasi gagasan-gagasan yang ada dalam Manikebu, konprensi ini gagal. Dari keputusan yang dihasilkan, tidak tercermin pikiran-pikiran manifes kebudayaan di situ. Selain pernyataan-pernyataan umum pada masa itu, belum juga keluar dari idiom-idiom seperti “meneruskan revolusi”, “berhaluan Manipol/Usdek,” bahkan secara khusus menyatakan “taat pada garis Pemimpin Besar Revolusi. Beberapa program kerja memang berhasil dihasilkan, tapi karena sifatnya yang sangat umum maka tidak akan dibahas di sini.

Sedangkan soal spesifik Manikebu sendiri tidak masuk dalam agenda pembahasan

110Foulcher, 2012, op.cit, hal 124.

96 konprensi. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Priyono dalam pembukaan malah terang-terangan menyerang Manifes Kebudayaan. Kepala Staf Angkatan Bersenjata

A.H. Nasution dalam sambutannya lebih tegas lagi menyatakan ketidak setujuannya pada kelompok ini atas penolakan mereka pada azas “politik sebagai panglima” dan malah menyarankan agar menyusun sebuah :manifes” yang baru.111 Militer mendukung di belakang layar penyelenggaraan KKPI tersebut, tapi di atas pentas

Nasution menentang mereka. Sambutan Nasution ini semakin menunjukkan bagaimana kelompok Manikebu ini benar dijadikan komoditi politik militer. Kapan perlu mereka mendukung, pada saat tertentu ditentang.

Ironis memang bahwa dugaan Manikebu memiliki hubungan dengan militer, justru dikonfirmasi oleh pihak militer sendiri, dengan memberikan dukungan pada

KKPI tersebut. Hubungan inipun akhirnya disahkan oleh Wiratmo Soekito pada tahun 1982. Dalam salah satu tulisannya, Wiratmo mengaku bahwa dia “secara sukarela telah bekerja pada dinas rahasia angkatan bersenjata.”112 Goenawan menjelaskan skandal ini sebagai: “suatu kecenderungan yang normal untuk beraliansi di antara mereka yang dimusuhi, atau memusuhi PKI.”113

111D.S. Moeljanto, 1995, op.cit, hal 239-269. 112Wiratmo Soekito, “Satyagraha Hoerip atau Apologi Pro Vita Lekra”,Horison no. 11 th. 1982.Dalam esai panjangnya, “Afair Manikebu, 1963-1964” yang terdapat dalam buku Eksotopi: Tentang Kekuasaan, Tubuh, dan Identitas (2002), Goenawan Mohamad seolah-olah baru menyadari bahwa proses kelahiran Manifes Kebudayaan (Manikebu) tidak steril dari campur tangan militer. Ia menulis, “Dalam sebuah tulisan di tahun 1982, Wiratmo Soekito menyatakan bahwa ia bekerja secara sukarela pada dinas rahasia angkatan bersenjata” (hlm. 144). 113Goenawan, 1993, op.cit, hal 51.

97

Pengakuan Wiratmo Soekito itu sekaligus membuktikan bahwa ada skenario militer untuk menghadapi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang sepemahaman dengan PKI yang mendominasi wacana di bidang kebudayaan. Dapat disimpulkan bahwa satu-satunya kekuatan yang bisa menghentikan langkah PKI saat itu adalah angkatan bersenjata, terutama Angkatan Darat, yang menolak gagasan Ketua CC PKI

D.N. Aidit untuk mempersenjatai petani dan buruh sebagai angkatan kelima. Dalam bidang kebudayaan, Pramoedya Ananta Toer sering menggunakan istilah pengganyangan dan pembabatan, yang membuat takut sastrawan-sastrawan

Manikebu.

Sebagaimana diakui Goenawan Mohamad, membuat Lekra sebagai kendaraan

PKI di bidang kebudayaan yang berfungsi memuluskan langkah PKI menuju kekuasaan. Karena itulah pihak militer, melalui Wiratmo Soekitomembuat suatu gerakan dengan memanfaatkan mahasiswa dan pekerja media, dalam hal ini seperti

Goenawan Mohamad, Arief Budiman, Taufiq Ismail, dan H.B. Jassin serta D.S.

Moeljanto. Ternyata gerakan yang bermula dari selembar kertas yang berisi pernyataan Manifes Kebudayaan ini cukup efektif untuk menguras energi sastrawan- sastrawan Lekra dan sastrawan-sastrawan prokomunis.

Setelah kelompok Manikebu ini keluar sebagai pemenang bersama dengan kelahiran Orde Baru, diskusi lebih jauh atas gagasan-gagasan yang dibawanya pun tidak terjadi. Padahal ruang sudah terbuka lebar. Tulisan-tulisan dari mereka yang lahir pasca pergantian kekuasaan 1965, tidak menunjukkan hal itu. Kecuali tulisan-

98 tulisan yang berusaha terus menerangkan proses kelahiran Manikebu dan bagaimana mereka dulu diteror dan difitnah oleh Lekra.114 Selain ini kita hanya menemukan artikel-artikel pendek Wiratmo Soekito yang berusaha membahas gagasan-gagasan

Manikebu115. Begitu pula dengan para pendukung mereka yang sempat diorganisir lewat KKPI. Dengan keterbukaan yang sudah ada, pertemuan lanjutan dari konprensi itu juga tidak pernah dilangsungkan.

Sedangkan apa yang oleh HB Jassin disebut sebagai Angkatan 66 dalam sejarah sastra Indonesia, juga tidak berkaitan langsung dengan gagasan-gagasan

Manikebu. Produksi kebudayaan dari angkatan ini, terutama sastra, sejauh yang dicatat hanya berkaitan dengan perjuangan mahasiswa meruntuhkan Soekarno.

Karena itu “Puisi Demonstran”-lah yang dijadikan manifestasi. Gagasan Humanisme

Universal tidak hidup di kalangan ini. Karena itu Satyagraha Hoerip menyarankan pada HB Jassin mamasukkan “Angkatan Manifes” atau paling tidak “Angkatan

63,”116 dalam rangka mewadahi kerja-kerja kreatif yang dihasilkan kelompok

Manikebu.

114Tulisan tentang ini seperti menjadi ritual yang mereka lakukan setiap tahun di majalah Kebudayaan Horison. 115Tulisan-tulisan tersebut misalnya Soekito,Wiratmo “Kostradnya Kebudayaan” Merdeka 23-oktober 1966; Sudah tiba saatnya membangkitkan seni murni Merdeka 27-november 1966; Politik orang tidak berpolitik Harian Kami 01-mei 1968; Dwifungsi Kulturil kita, Harian Kami 08-mei 1968, proses pembebasan Manifes Kebudayaan 1964-1966 Sinar Harapan 1970. 116Hoerip, Satyagraha, “Angkatan 66 dalam Kesusasteraan Kita”, dalamHorison, Th. I, No. 6, Des.1966, hlm. 188-189.

99

4. 3 Politik Kesusasteraan

Dalam politik kesusasteraan Indonesia, Konfrontasi antara penandatangan

Manifesto Kebudayaan (Manikebu) dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) bisa dicatat menjadi salah satu perbenturan dua kutub kebudayaan yang paling keras.

Pertentangan itu tak lagi hanya melibatkan pertentangan gagasan dan orientasi kebersasteraan atau kebudayaan pada umumnya sebagaimana yang terjadi pada jaman

“polemik kebudayaan” semasa pujangga baru. Melainkan juga mengarah pada pertentangan orientasi politik sastrawan. Bahkan lebih dari itu, orientasi politik juga ikut menentukan nasib si sastrawan apakah dia berada di blok “kawan” atau “lawan”.

Sastrawan akan segera masuk blok lawan apabila ketahuan memberikan simpatinya kepada partai-partai terlarang (Masyumi, Murba, Dan PSI), memberikan apresiasinya atas peristiwa makar PRRI-Permesta dan DI/TII, tidak menunjukan jiwa patriotisnya mendukung usaha-usaha pencungkilan dan pengusiran kekuatan- kekuatan Imperialisme dan Koloniaslisme yang bercokol dalam negeri sebagaimana yang sudah menjadi cetak-biru orientasi politik Sukarno, Nasakom-Komunisto

Phobia, serta pengarang-pengarang yang karyanya mengurusi soal-soal abstrak, koboi-koboian, picisan, seks, dan cinta-cintaan yang melalaikan rakyat pada tugas revolusi.

Dengan berpegang pada prinsip “politik adalah panglima” dengan lima kombinasi serta proses berkarya yang mengharuskan “turun ke bawah” atau kemudian dikenal dengan gerakan 1-5-1, kategori “kawan” dan “lawan” dirumuskan.

Serta seturut semangat semasa, umumnya pertimbangan politik lebih dominan

100 ketimbang pertimbangan estetika sastra untuk menilai posisi sastrawan digelanggang kebudayaan Indonesia.

Hal seperti itu dapat dimengerti, karena memang Lekra menempatkan sastra sebagai alat semata untuk menyelesaikan proyek besar bernama Revolusi Indonesia.

Guna melihatbagaimana kuatnya benturan itu, bisa diikuti dari hadirnya dua sidang yang diselenggarakan oleh dua seteru itu dalam selisih 6 hari. Lekra mengadakan sidang pleno di Palembang pada 20-23 Februari 1964. Sementara seterunya,

Manikebu turut mensponsori Konferensi Karyawan Pengarang seluruh Indonesia

(KK-PSI) pada 1-7 Maret 1964 di jakarta.

Berikut hasil serta perbedaan sidang pleno Lekra dan konferensi kaywawan pengarang seluruh Indonesia yang berhasil dirangkum oleh Harian Rakyat.117

SIDANG PPLENO LEKRA KEPUTUSAN KK-PSI

Malaysia

Konfrontasi total terhadap neo- Mendukung secara aktif perjuangan kolonialisme ,,Malaysia” harus mengganyang apa yang dinamakan diteruskan secara konsekuen dan ,,Malaysia”,Imperialisme, revolusioner dan dasar untuk meneruskan kolonialisme, neo-kolonialisme dalam perundingan Bangkok sudah tidak ada segala bentuk manifestasinya yang maka itu supaya dihentikan. membahayakan perdamaian dunia.

117Harian Rakyat. 15 Maret 1964

101

Bandung ke II

Mengkonsolidasi lebih lanjut Semangat Menganggap mutlak segera bandung dan perjuangan diselenggarakannya Konferensi Asia- antiKolonialisme dan neo-kolonialisme Afrika ke II. Rakyat A-A Perlu diselenggarakan

Konferensi Bandung ke II.

Gotongroyong

Dengan kegotongroyongan nasional Mendukung secara aktif perjuangan berporoskan Nasakom Memperhebat mewujudkan kegotong royongan ofensif Manipolis di bidang Kebudayaan nasional yang revolusioner dengan dan dengan penuh tanggung jawab jiwa persaudaraan atas dasar dedikasi Menyelamatkan Kebudayaan nasional kita patriotik dengan konsekuen mengikis dari serangan- Serangan kebudayaan habis,, free fight liberalism”. imperialisme, terutama Kebudayaan Imperialis AS.

Integrasi

Benar-benar mengintegrasikan diri Dengan tegas dan menyeluruh ndengan kaum tani dan terutama sekali mengintegrasikan diri dengan kaum miskin Dan kaum tani tak revolusi Indonesia. bertananh, dengan jalan turun ke bawah dan menjalankan tiga sama.

Kerja

102

Menyambut gembira lahirnya karya- Kami akan terus-menerus mengarang Karya seni dan sastra yang baru, yang dan mencipta untuk menumbangkan mutu Ideologi dan artistiknya tinggi, dan pikiran-pikiran, kreasi, dan konsepsi- mengajak Kepada semua anggota LEKRA konsepsi baru, khusunya untuk untuk bekerja lebih Banyak dan lebih baik, melaksanakan revolusi dibidang dengan sungguh- sungguh dan rendah diri. mental.

Dalam tabel tersebut dapat dilihati mengapa Lekra tidak menyetujui KK-PSI yang kemudian membentuk organisasi bernama Persatuan Karyawan Pengarang

Indonesia (PKPI). Dalam beberapa hal memang ada persamaan dintara keputusan- keputusan dua seteru itu, namun ditingkat respon langsung atas peristiwa sehari-hari keduanya berbeda. Nyaris sepanjang tahun 1964, perseteruan antara sastrawan Lekra dengan Manikebu-KK-PSI tak pernah berhenti. Ruang-ruang kebudayaan di media masa sesak oleh adu argumen yang keras untuk saling menjatuhkan satu sama lain.

Kelompok Manikebu mengeluarkan dokumen riset mereka untuk menanggapi tuduhan-tuduhan Lekra yang kemudian dibalas oleh sastrawan-sastrawan Lekra yang dimuat dalam koran-koran sepaham, seperti Harian Rakyat dan Bintang Timur.

Namun, yang kemudian turut bermain dalam benturan ini bukan murni hanya dari kalangan sastrawan ataupun seniman saja sebagaimana polemik kebudayaan yang terjadi di masa pujangga baru, melainkan melibatkan jaringan politik kekuasaan yang besar dan “perang dingin” antara PKI dan AD. Lekra sebagai pendukung penuh kebijakan-kebijakan konfrontasi Soekarno dan sekaligus orientasi kebudayaannya

103 sejalan dengan PKI dalam memerangi secara total imprealisme hingga pada tingkat penindakan agen-agen kebudayaan yang bercokol di Indonesia. Berada dalam posisi lebih diuntungkan secara politik. Terbukti, hanya selang dua bulan setelah KK-PSI diselenggarakan Manikebu dilarang oleh Presiden Soekarno pada 8 Mei 1964. Sesuai dengan keputusan Presiden yang terdapat dalam kutipan koran Antara sebagai berikut:118

“Kami Presiden Republik Indonesia, Panglima Tertinggi Angkatan

Perang, Pemimpin Besar Revolusi, dengan ini menyatakan bahwa

demi keutuhan dan kelurusan jalannya Revolusi dan demi

kesempurnaan ketahanan Bangsa, apa yang disebut “Manifesto

Kebudayaan” yang disingkat menjadi Manikebu dilarang.

Sebab-sebab larangan itu ialah karena Manifesto Politik Republik

Indonesia sebagai pancaran Pancasila telah menjadi Garis Besar

Haluan Negara dan tidak mungkin didampingi dengan Manifesto

lain, apalagi kalau Manifesto lain itu menunjukan sikap ragu-ragu

terhadap revolusi dan memberi kesan berdiri disampingnya, padahal

demi suksesnya Revolusi, maka segala usaha kita, juga dalam

lapangan kebudayaan, harus kita jalankan diatas rel revolusi menurut

petunjuk-petunjuk Manipol dan bahan Indoktrinasi lain-lainnya.”

118D.S. Moelyanto, 1995, op.cit, hal 355.

104

Demikian Presiden Soekarno

Antara, 9 Mei 1964

Karena situasi politik Terpimpin pada 1960-an yang mengombang- ambingkan banyak seniman. Mereka yang menolak untuk terjun langsung ke

Gelangang politik memilih bergabung dengan Manifes Kebudayaan. Celakanya,

Manifes malah mengantar mereka jadi sasaran tembak Pemerintahan Sukarno beserta organisasi-organisasi pro-Manipol Usdek. Sebagian dari penanda tangan Manikebu menghadapi konsekuensi politis. Seperti H.B Jassin yang dipaksa mundur dari posisinya sebagai Dosen Universitas Indonesia, sementara Wiratmo Soekito dipecat dari posisinya sebagai penyiar radio nasional RRI. Arif Budiman ingat bahwa setelah dipecat dari RRI, Wiratmo bersama para aktivis Gemsos dan GPI memperkuat aliansi mereka dengan petinggi-petinggi militer untuk menjatuhkan rezim Sukarno.

Kendati intelektual-intelektual manikebu menerima konsekuensi poitik seperti yang sudah dijelaskkan, nasib mereka masih jauh lebih baik dibanding seniman-seniman Lekra yang dikejar-kejar, dipenjarakan, diasiingkan, dan dibunuh setelah arus perpolitikan di Indonesia berubah drastis pasca peristiwa G-30 S.

4.4 G.30.S sebagai Ambang Kehancuran Lekra

Saat menikmati dominasinya dalam panggung kebudayaan nasional, yang ditandai terjadinya pelarangan Manifes kebudayaan di Indonesia. Lekra bisa dikatakan tengah berada dalam masa-masa kejayaan. Namun hal tersebut tidak

105 dibarengi dengan kondisi politik di Indonesia, yang dari awal tahun 1960-an telah terjadi konflik sengit antara Angkatan Darat dengan PKI. Menyusul terjadinya peristiwa 30 September yang menandakan dimulainya babak baru pergantian kekuasaan. Sukarno yang sebelumnya sangat dipercaya oleh rakyat, tidak dapat berbuat apa-apa melihat pergantian kekuasaan yang secara terstruktur dan sistematis tengah berlangsung.

Puncak dari peristiwa 30 september itu, PKI beserta organisasi-organisasi afiliasinya termasuk Lekra dituduh sebagai dalang dibalik peristiwa pembunuhan dewan jendral. Namun tuduhan itu hanya sebuah hipotesa belaka tanpa diikuti dengan bukti-bukti yang akurat.

Soeharto menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) mendalangi G30S, dan selanjutnya menyusun rencana pembasmian terhadap orang‐orang yang terkait dengan partai itu. Tentara Soeharto menangkapi satu setengah juta orang lebih,

Semuanya dituduh terlibat dalam G30S. Dalam salah satu pertumpahan darah terburuk dalam abad kedua puluh, ratusan ribu orang dibantai Angkatan Darat dan milisi yang berafiliasi dengannya, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, dari akhir 1965 sampai pertengahan 1966.

Dalam kata pendahuluan buku Dalih Pembunuhan Massal, Prof. John Roosa mengatakan: “Soeharto menggunakan G30S sebagai dalih untuk merongrong legitimasi Soekarno, sambil melambungkan dirinya ke kursi kepresidenan.

106

Pengambil‐alihan kekuasaan negara oleh Soeharto secara bertahap, yang dapat disebut sebagai kudeta merangkak, dilakukannya di bawah selubung usaha untuk mencegah kudeta. Kedua belah pihak tidak berani menunjukkan ketidaksetiaan terhadap presiden. Juga bagi Presiden Soekarno, aksi G30S itu sendiri disebutnya sebagai “riak kecil di tengah samudera besar revolusi (nasional Indonesia),” sebuah peristiwa kecil yang dapat diselesaikan dengan tenang tanpa menimbulkan guncangan besar terhadap struktur kekuasaan, bagi Soeharto peristiwa itu merupakan pengkhianatan dan kejahatan, yang menyingkapkan adanya kesalahan yang sangat besar pada pemerintahan Soekarno.119

Soeharto menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) mendalangi G30S, dan selanjutnya menyusun rencana pembasmian terhadap orang‐orang yang terkait dengan partai itu. Tentara Soeharto menangkapi satu setengah juta orang lebih,

Semuanya dituduh terlibat dalam G30S. Dalam salah satu pertumpahan darah terburuk dalam abad kedua puluh, ratusan ribu orang dibantai Angkatan Darat dan milisi yang berafiliasi dengannya. Terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, dari akhir 1965 sampai pertengahan 1966.

Semenjak “ucapan” Soeharto, Pangkostrad yang mengangkat dirinya menjadi

Pangad, dan bertekad untuk menghancurkan dan menumpas PKI, maka pasukan‐pasukan Angkatan Darat, terutama pasukan Resimen Para Komando

119John Roosa. Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September Dan Kudeta Soeharto (Jakarta 2008).

107

Angkatan Darat (RPKAD), yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, menggalang milisi‐ milisi terutama dari organisasi‐organisasi keagamaan seperti

Banser NU, Pemuda Muhammadiyah, untuk memusnahkan anggota, simpatisan, bahkan anggota keluarga yang dianggap berafiliasi dengan PKI. Para pemuda dipersenjatai, dilengkapi dengan alat komunikasi dan transportasi, dan didorong untuk melakukan tindakan‐tindakan keji dan brutal terhadap orang‐orang yang masih belum jelas apa salahnya, dan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di Jakarta.

Banyak korban jatuh justru setelah mereka diwajibkan melapor dan

„diamankan‟ di kantor‐kantor polisi, militer atau institusi‐institusi negara lainnya, seperti kecamatan atau kelurahan dan kemudian, tanpa diadili, dengan berbagai cara, dibunuh begitu saja. Seterusnya, dengan segala siasat, Soeharto dalam bukunya mengatakan120, “Mereka masih mencoba mendirikan kubu pertahanan sewaktu kami mengejar mereka. Tetapi saya tidak mau melibatkan Angkatan Darat langsung … kecuali pada saat‐saat tepat dan terpaksa. Saya lebih suka memberikan bantuan kepada rakyat untuk melindungi dirinya sendiri dan membersihkan daerahnya masing‐masing dari benih‐benih yang jahat.”121

Dalam Forum Diskusi Sejarah Indonesia yang bertemakan “Peristiwa

September 1965 dalam Tinjauan Ulang”, yang berlangsung pada 23 September 2000

120G. Dwipayana dan Ramadhan K. H. Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Citra Lamtoro Gung Persada, (Jakarta, 1989).

121Yoseph Tugio. Mengorek Abu Sejarah Hitam Indonesia, 2010 Bandung Ultimus.

108 di Leuven Belgia, salah seorang pembicara, Paul Mudigdo, S.H., yang pernah mengajar di Universitas Parahyangan Bandung, bahkan pernah menjadi anggota

KASI (Komando Aksi Sarjana Indonesia) pada awal orde baru, dalam menanggapi perkataan Soeharto, tentang melibatkan rakyat dalam operasi penghancuran PKI, satu dan lain, adalah agar rakyat tidak melawan maupun mencegahnya, malah berbalik dan mendukung dan membantu Angkatan Darat. Manuver ini dilakukannya dengan cara dan langkah‐langkah berikut:

1. Mengindentikkan G30S dengan PKI;

2. Mengingkari kemanusiaan orang komunis, dan menggambarkan mereka

sebagai makhluk kejam, asusila dan ateis;

3. Menyalahgunakan rasa keagamaan untuk menghasut dan menanam kebencian

terhadap komunis; dan

4. Menggerakkan demonstrasi massal menuntut pembubaran dan/atau

pembasmian PKI.

Langkah pertama dilakukan antara lain dengan cara media massa kiri dilenyapkan. Tiga suratkabar tentara: Berita Yudha, Angkatan Bersenjata, dan Api

Pantjasila, serta seluruh media pers yang ada di bawah ancaman pemberangusan setiap hari menyiarkan berita‐berita yang disiapkan oleh Angkatan Darat. Operasi konyol G30S di Jakarta terus‐menerus digambarkan sebagai upaya kudeta yang didalangi oleh PKI, ataupun sebagai pemberontakan PKI untuk menggulingkan

109 pemerintahan yang sah. Gerakan 30 September tidak disingkat dengan akronim

G30S, melainkan dengan G30S/PKI, sehingga pada PKI dilekatkan cap pemberontak brutal.

Langkah kedua yaitu mengingkari kemanusiaan orang komunis, penggambaran mereka sebagai makhluk kejam, asusila dan ateis. Dilukiskan dengan rinci tentang pembentukan pendapat umum mengenai kebengisan, kelicikan, dan kebiadaban PKI dengan merujuk kepada Polisi Rahasia Nazi Jerman, Gestapo.

Laporan pemeriksaan bedah mayat para jenderal, tertanggal 5 Oktober 1965 dari tim lima dokter ahli ilmu kedokteran kehakiman, yang dibentuk atas perintah Presiden

Soekarno, yang melukiskan di bawah sumpah secara terperinci kondisi jenazah, disampaikan juga kepada Soeharto, diumumkan oleh Presiden Soekarnopada tanggal

9 Oktober 1965, tetapi tidak pernah disiarkan kepada masyarakat, baik oleh pemerintah maupun oleh media massa. Visum et Repertum ini jelas mengingkari adanya luka‐luka karena sayatan atau pencongkelan mata dan menyebut antara lain tentang keutuhan alat kelamin para korban.

Sebaliknya, bermunculan foto mayat‐mayat yang sudah mulai membusuk dan rusak di TV, koran dan majalah, disertai uraian bahwa tanda‐tanda bekas penganiayaan di sekujur tubuh korban, membuktikan kekejaman dan kebiadaban

G30S/PKI. Bahkan juga Jenderal Soeharto pribadi memberi pernyataan seperti itu.

Fitnah semacam ini, tentang kebiadaban, kekejian dan keasusilaan anggota PKI maupun simpatisan PKI berfungsi untuk meniadakan rasa salah rakyat, apabila

110 kemudian mereka dilibatkan untuk menganiaya, bahkan membunuh makhluk biadab dan asusila tersebut.

Langkah ketiga, yaitu penyalahgunaan rasa keagamaan untuk menghasut, dan menanam kebencian terhadap komunis.Tidak jarang komunis disebut tidak bertuhan, ateis, malah musuh Tuhan.Pandangan ini mengabaikan kenyataan bahwa hampir semua anggota PKI, seperti juga semua bangsa Indonesia beragama.Akan tetapi, hasutan‐hasutan di atas memang bukan bermaksud menggambarkan kebenaran, melainkan menanamkan kebencian, menabur gagasan bahwa memerangi PKI adalah wajib hukumnya, bahkan tidak haram untuk mengalirkan darah orang komunis.

Langkah keempat, yaitu menggerakkan demonstrasi massal menuntut pembubaran dan/atau pembasmian PKI. Terhitung mulai 2 Oktober 1965 dengan dorongan Angkatan Darat, didirikan Kesatuan Aksi Penggayangan Gestapu (KAP‐

Gestapu) dan organisasi‐organisasi KAMI, KAPPI, dll., yang memelopori demon‐ strasi mahasiswa/pelajar/pemuda yang terus‐menerus mengutuk “Gestapu/PKI” dan semua organisasi komunis. Angkatan Darat kemudian mengadakan operasi penangkapan tokoh, kader dan anggota PKI, dan organisasi‐organisasi yang berafiliasi dengannya.”

Sebagai orang yang ikut mengalami peristiwa di atas, sebagai kriminolog, meninjau secara retrospektif, rekayasa pembangkitan dan peningkatan rasa kebencian

111 dan kemarahan rakyat terhadap PKI dan organisasi pendukungnya, Paul Mudigdo,

S.H. mengakui dengan sejujurnya bahwa “rekayasa semacam itu sangat efektif.”122

Telegram Green, Duta Besar AS di Jakarta ke Washington tanggal 20

Oktober mengatakan: “Beberapa ribu kader PKI dilaporkan telah ditangkap di

Jakarta … beberapa ratus di antaranya telah dibunuh. Kami mengetahui hal itu … pimpinan PKI Jakarta telah ditangkap dan barangkali telah dibunuh…. RPKAD tidak mengumpulkan tawanan, mereka langsung membunuh PKI.”123

Green melanjutkan: “pembersihan oleh AD berlanjut di kampung dan tempat‐ tempat lain di daerah Jakarta. Pemuda Muslim “membantu” mengawani pasukan militer. Sumber mengatakan “beberapa” pembunuhan merupakan hasil dari pembersihan ini. Fakta lebih jauh tentang hubungan militer dengan kumpulan yang terorganisir dalam kampanye anti PKI ini, dapat dilihat dari pertemuan antara

Kolonel Ethel (CIA) dan pembantu dekat Jenderal Nasution, yang mengatakan bahwa demonstrasi anti PKI akan meningkatkan pengganyangan menjadi anti

Tionghoa.

Perusakan dan pendudukan kantor perdagangan Kedutaan Tiongkok di

Cikini, bukan dilakukan oleh AD akan tetapi oleh “mereka yang bertindak untuk kita”, yaitu Muslim dan Ansor. Hanya 3 bulan semenjak kampanye anti PKI, CIA

122Wiyanto Rahman, S.H., dalam Sarasehan Leuven Belgia: Peristiwa G30S dalam Tinjauan Ulang, http://arus.kerjabudaya.org/htm/1965_Seminar_Leuven.html. Diakses pada 17/06/2020, 15:18.

123Yosep Tughio. Op. cit hal 92.

112 melaporkan: “Hampir semua anggota Politbiro PKI ditangkap, banyak di antara mereka telah dibunuh, termasuk tiga pimpinan tertinggi partai. Berita besar hari ini, adalah: ditangkap dan dibunuhnya Ketua PKI D.N. Aidit. Sedang pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI di Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, terus berlangsung….” Bagi AS dan sekutunya, keberhasilan Angkatan

Darat Indonesia menghancurkan PKI adalah merupakan suatu kemenangan besar.”Demikian Marian Wilkinson menulis dalam Sydney Morning Herald, 10 Juli

1999.

4.4.1 Stigmatisaasi Yang Membunuh

Para anggota Lekra kemudian ditangkap setelah peristiwa 30 September

1965. Walau Lekra mati-matian menyangkal bahwa mereka bukanlah ormas bentukan PKI. “tidak semua anggota Lekra anggota PKI. Dan bahkan komunis.

“begitu singgah para anggota Lekra” namun bantahan hanya tinggal bantahan para

Anggota Lekra tetap ditangkapi, diperiksa, disiksa, dan banyak dari mereka dibuang ke Pulau Buru untuk kurun waaktu yang tidak tentu. Sisanya, menjalankan kehidupan dengan predikat komunis. Penjahat bangsa yang biadab, kartu Tanda

Penduduk mereka diberi cap ET yang merupakan singkatan dari Ekis Tahanan

Politik. Ruang gerak politik beserta intelektualnya dibatasi.

Martin Aleida salah satu saksi dan pelaku sejarah yang merasakan stigmatisasi negara terhadap Lekra. Menurut Martin ia dengan para teman-teman

113

Lekra yang lain selalu takut dan was-was setelah peristiwa G30S. Membaca kalimat

“PKI dan Ormas-Ormasnya” di media massa sudah membuathati ciut. Karena saat itu kata ormas sudah menunjuk Lekra walau Lekra bukaanlah underbouw PKI.

Penulis puisi dan novel Puttu Oka Sukanta pernah mengalami siksaan fisik yang luar biasa semasa ditahanan. Menurut cerita Martin tubuh Puttu hancur lebur akibat cambukan ekor pari. Putu tidak bisa tidur berhari-hari karena kesakitan.

Punggungnya penuh dengan luka siksaan hingga dia tidak bisa tengkurap.

Putu Oka Susanta dalam kesaksiannya di Tjidurian 19 mengatakan. Ia, tidak tahu sama sekali peristiwa G30S meletus. Puttu yang saat itu menjadi Guru mengaku pergi mengajar seperti biasa. Siang hari itu jumlah murid yang datang sedikit. Saya tanya kepada salah satu murid yang bernama Mei. Mei dimana teman-temannya yang lain. Mei lalu bertanya apa saya tidak tahu berita tentang pembunuhan Jenderal-

Jenderal semalam. Saat itulah saya baru mengetahui peristiwa itu.

Tidak lama setelah peristiwa itu, Puttu bersama Martin Aleida, dan T

Iskandar, kemudian ditangkap disebuah rumah yang mereka temapti bersama beberapa bulan setelah peristiwa G30S. Mereka bertiga lantas dibawa kesebuah gedung di jalan Budi Kemuliaan. Yang kini menjadi kantor Indosat di Jakarta Pusat.

Disinilah, Puttu disiksa.

114

T.Iskandar kemudian dalam film Tjidurian 19 mengatakan, demi keselamatan

Teman-temannya, Puttu kemudian terpaksa mengakui semua hal yang dituduhkan kepadanya.

Martin Aleida selamat dari siksaan fisik dipenjara ini, bahkan terakhir Martin dibebaskan, lantaran aparat menemukan Surat ayahnya yang mengatakan akan berangkat naik haji dikantong baju yang ia kenakan. Namun, meski selamat dari siksaan fisik, dia tak selamat dari siksaan sosial. Stigma komunis dan antek PKI menjauhkannya dari masyarakat. Ia, mengalami masa-masa sulit mencari pekerjaan, yang sebelum peristiwa G30S dia menjadi wartawan, setelah peristiwa itu dia tidak bisa menggeluti pekerjaan lama nya itu. Sebab ada larangan berupa Keputusan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no 1381 tahun 1965 menyatakan seluruh anggota Lekra tidak bisa bekerja di media. Seluruh Sastrawan-sastrawan Lekra seperti turut merasakan pengekangan ide ini.

Untuk menyambung hidup, Martin pun pernah menjalani beberapa pekerjaan yang tidak ada kaitan nya dengan tulis-menulis. Seperti penjaga kolam ikan dan pekerja toko pakaian jadi. Namun pekerjaan itu tidak memuaskan jiwanya untuk tetap terus menulis. Keinginan untuk menulis itu tetap membara, lantas Martin yang memiliki nama asli Nurlan mengirimkan tulisannya ke majalah Horison dengan nama samaran “Martin Aleida” karya tersebut dimuat, sejak itulah ia menggunakan nama tersebut. Stigma telah membuat seorang Martin mengganti namanya. Hanya dengan cara inilah ia dapat memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan keinginannya.

115

Penulis-penulis lain yang bergabung dengan Lekra mengalami hal serupa dengan Martin. Puttu oka yang secara tidak sengaja ketika dipenjara berada satu ruangan dengan seorang keturunan Tionghoa ahli akupuntur mewarskan ilmu nya kepada Puttu. Sejak saat itu, setelah bebas dari Pulau Buru dia aktif menggeluti pekerjaan barunya tersebut, sambil tetap menulis, karena menurutnya menuliis itu harus guna menjaga ide dan wacana untuk kehidupan yang lebih baik.Pramoedya

Ananta Toer, Amarzan, Bakri Siregar dan panyak anggota-anggota Lekra yang lain kemudian dibuang ke Pulau Buru. sampai usai menjalani masa hukuman, stigma itu tetap melekat pada mereka khususnya anggota Lekra.

Menurut Martin, ini adalah sebuah kelalaian hukum yang berakibat pada pelanggaran Hak Asasi Manusia. Mereka, anggota Lekra ditangkapi tanpa ada dokumen atau surat penangkapan yang jelas. Bukti bahwa Lekra adalah underbouw

PKI pun nihil ditemukan, yang ada hanya narasi-narasi palsu yang dibangun oleh lawan-lawan politik Lekra mengatakan bahwa Lekra bagian dari PKI. Martin pun menambahkan, ia dan teman-temannya di Lekra bahkan tidak tahu ada nya Biro

Chusus.

“Jangankan berpartai, aturan 1-5-1 saja, sering tidak saya ikuti ketika menulis, saya ikuti aturan saya saja, seniman itukan memang tidak bisa diatur”

Dalam suasana darurat nasional, tahap demi tahap Soeharto merebut kekuasaan Soekarno dan menempatkan dirinya sebagai presiden de facto (dengan

116 wewenang memecat dan mengangkat para menteri) sampai Maret 1966.Lekra pada akhirnya resmi dimusnahkan oleh Orde Baru berdasarkan Keputusan Tap. MPRS

No.XXV/MPRS/tahun 1966, tentang pelarangan ajaran Komunisme, Leninisme, dan pembubaran organisasi PKI beserta organisasi massanya, yang diumumkan langsung oleh Soeharto pada tanggal 12 Maret 1966.

117

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Lekra sebagai organisasi sudah tamat pada 2 oktober 1965. Gerakan gagal yang dilancarkan sehari sebelumnya, disusul penutupaan Harian Rakyat yang kebetulan menerbitkan edisi Sabtu dan Minggu sebagai edisi terakhirnya lalu penangkapan dan pembasmian orang-orang kiri membubarkan riwayat Lekra dari sejarah seni dan kebudayaan Indonesia. Meski telah dikerangkeng dan dibunuh, namun Lekra tetap menanggung dosa yang tidak terampuni sebagai “setan kebudayaan” dalam historiografi Orde Baru.

Orde Baru beserta agen-agen kebudayaannya, berhasil menenggelamkan dominasi Lekra di panggung kebudayaan Nasional. Meskipun sudah mati, Lekra sedikitnya mewariskan tiga hal pokok.Pertama dan yang terutama adalah Lekra menghormati rakyat sebagai satu-satunya pencipta kebudayaan. Mereka berusaha keras supaya kebudayaan menjadi milik rakyat dan dikembangkan rakyat dengan semaksimal mungkin demi kemaslahatan rakyat.

Kebudayaan yang dimusuhi Lekra tidak lain bersumber dari pengaruh negara- negara imperialis. Hegemoni budaya Barat, bacaan “ilmiah-populer”, dan film-film cabul yang destruktif bertebaran dalam industri kebudayaan masa itu.Perjuangan

Lekra sejak lahir hingga tamat di mahkamah sejarah semata-mata ditujukan untuk

118 mengembalikan rakyat pada kebudayaannya sendiri, mengembangkan, memodifikasi dan mengkreasikannya sesuai dengan derap semangat revolusi. Aspek “K” dalam

USDEK, yakni Kepribadian Indonesia, ditanggapi Lekra sebagai tantangan untuk memberi kesempatan bagi kebudayaan nasional agar berkembang secara aktif, partisipatif, dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Lekra pada perkembangannya mengajarkan seniman akan pentingnya berorganisasi. Secara tegas, Lekra menggariskan bahwa pembangunan kebudayaan berarti juga pembangunan kepribadian seniman sebagai pekerja budaya yang disiplin dan berorientasikan karya. Hal ini diwujudkan dengan menggerakkan, (bukan hanya menghimbau) seniman-seniman agar membangun organisasi kebudayaan yang aktif menyokong kerja-kerja kebudayaan lewat promosi, publikasi, dan donasi.

Dengan berorganisasi, Lekra mendapatkan kekuatan anggota berjumlah besar yang cakap dan kreatif serta wacana gagasan berkesenian yang tidak pernah kering.

Pada akhirnya, apa yang dilakukan Lekra belum tergantikan sampai hari ini: menyatukan seniman lintas rumpun, media dan aliran dalam sebuah blue print dengan kebulatan tujuan, konsepsi dan semangat.

Selain berorganisasi, seniman-seniman Lekra ditempa menjadi kokoh dan bersahaja. Seniman boleh (bahkan wajib) kreatif dan ekspresif, tetapi diharuskan memegang kuat moralitas baik sebagai pekerja budaya yang diharapkan tak hanya berdiri sebagai „penghibur‟ jalannya revolusi, tetapi menjadi bagian integral dalam

119 barisan penyokong revolusi. Lekra menggembleng seniman-senimannya agar menghindari minuman keras, gaya urakan dan sembrono. Tentang kebudayaan dan

“Politik sebagai Panglima” Lekra menunjukkan konsistensi sikap dan independensi organisasi dengan menolak upaya dijadikan onderbouw partai. Persaudaraan ideologis dengan PKI tidak meniadakan kemandirian Lekra sebagai organisasi kebudayaan besar yang pernah memberi torehan penting namun secara sistematis dilupakan dalam sejarah kebudayaandan secara umum sejarah Indonesia.

5. 2 Saran

Lekra sebagai Organisasi besar dan berpengaruh pada zamannya telah dihapus dalam historiografi Orde baru. Namun semangat, pemikiran, dan sumbangannya di negeri ini tidak akan pernah bisa dihilangkan. Semangat kerakyatan yang berusaha menjembatani masyarakat awal Indonesia menuju cita-cita berkpribadian dalam kebudayaan.

Harapannya, Negara dan Masyarakkat mulai terbuka dengan penulisan kembali Historiografi Lekra. Terlepas dari perseteruan yang pernah terjadi di lapangan kebudayaan pada masa itu, dan saling berebut pengaruh tentang landasan kebudayaan siapa yang paling benar. Sudah sepatutnya, kita selaku Rakyat Indonesia, mengetahui sejarah masa lalu di republik ini termasuk cerita-cerita Pembangunan

Manusia dalam bidang kebudayaan pada dekade 1950 – pertengahan 1960-an yang sarat akan pertarungan politik.

120

DAFTAR PUSTAKA

Ajoeb, Joebar. 2004. Sebuah Mocopat Kebudayaan Indonesia. Jakarta:Teplok Press.

______. 1959a. “Laporan Umum PP Lekra kepada Kongres Nasional I Lekra, dalam dokumen Kongres Nasional I Lekra”. Jakarta:Bagian Penerbitan Lekra.

______. 1959b. “Perkembangan Kebudayaan Indonesia Sejak Agustus 1945 dan Tempat Serta Peranan di Dalamnya, Dokumen Kongres Nasional I Lekra”. Jakarta:Bagian PenerbitanLekra.

Aria, Rhoma Dwi dan Muhidin M Dahlan. 2008. Lekra Tak Membakar Buku, Yogyakarta:Merakesumba.

Cahyono, Cheepy Hari. 1982. Ensiklopedi Politika. Surabaya:Usaha Nasional.

Coleman, Peter. 1989. The Liberal Conspiracy. New York:The Free Press.

Cribb, Robert. 1990. Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949: Pergulatan Antara Otonomi dan Hegemoni. Jakarta:Grafiti.

Foulcher, Keith. 1986. Social Commitment In Literature And The Arts: “Institute Of People’s Culture 1950-1965. Clayton: Monash University.

______. 2012. Bringing the World Back Home: Konfrontasi and the International Orientation in Indonesian National Culture. Leiden:Brill.

______. 1991. Pujangga Baru: Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942, Jakarta: GirimuktiPasaka.

______.1994.Angkatan45: Sastra,PolitikKebudayaandanRevolusiIndonesia.

Jakarta: Jaringan Kerja Budaya.

Gottschalk, Louis. 1985. Understanding History. Mengerti Sejarah (Terj) Nugroho Notosusanto. Jakarta:UI Press.

Hardjana, Andre.1997. “Metode Realisme Sosialis dalam Sastra Indonesia” dalam Kewaspadaan Nasional dan Bahaya Laten Komunis. Jakarta: Intermasa.

121

Herlambang, Wijaya. 2015. Kekerasan Budaya Pasca 1965:Bagaimana Orde Baru Melegetimasi Anti-Komunisme Melalui Seni dan Sastra. Tanggerang:Marjin Kiri.

Hill, David. 2010. Journalism and Politics in Indonesia. New York:Routledge.

Jassin, HB. 1985. Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik Esay IV. Jakarta:Gramedia.

Kahrin, George Mc Turnan. 2013. Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. (terjemahan) Jakarta:Komunitas Bambu.

Kasenda, Peter. 2014. Bung Karno Panglima Revolusi. Yogyakarta:Galang Pustaka.

Moeljanto, D.S. dan Taufik Ismail. 1995. Prahara Budaya:Kilas Balik Offensif Lekra/PKI DKK. Bandung: Republika dan Mizan.

Mohamad, Goenawan. 1993. Peristiwa “Manikebu”: Kesusasteraan Indonesia dan Politik di tahun 1960-an,Dalam Kesusasteraan dan Kekuasaan, Jakarta:Pustaka Fidaus.

Murani, Asnawi. Dkk. 1984. Kapita Selekta Manifestasi Budaya Indonesia. Bandung:Alumni.

Sani, Asrul.1997. Surat-Surat Kepercayaan. Jakarta:Pustaka Jaya.

Supartono, Alexander. 2000. Lekra VS Manikebu:Perdebatan Kebudayaan 1950- 1965. Jakarta:Wacana Sosialis.

Tempo Edisi Khusus 30 September 1965 - 6 Oktober 2013. 2014. Seri Buku Tempo:Lekra dan Geger 1965. Jakarta:Kompas

Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia. Djakarta: Lentera Dipantara.

Weiner. 2008. Membongkar Kegagalan CIA. Jakarta:Gramedia.

ARTIKEL/JURNAL

Sani, Asrul. 1950. “Fragmen Keadaan I” Siasat, Minggu 22 Oktober 1950.

Sani, Asrul.1950. “Fragmen Keadaan II” Siasat, minggu 29 Oktober 1950

122

KORAN DAN MAJALAH

Harian Rakyat. 20 Oktober 1951.

______. “Merah Kesumba”, 25 April 1961.

______. 7 Februari 1959.

______. 25 Januari 1964.

______. 11 Oktober 1964.

______. 2 September 1964.

______. 31 Agustus 1964.

______. 23 Juni 1962.

______. 22 April 1964.

FILM

Film Documenter Tjidurian 19: Rumah Budaya Yang Dirampas. Institut Sejarah Sosial Indonesia Dan Lembaga Kreativitas Kemanusiaan, 2009.

123

DAFTAR INFORMAN

1) Nama : Martin Aleida

Pekerjaan : Penulis

Usia : 75

Alamat : Jakarta Selatan

2) Nama : Putu Oka

Pekerjaan : Akupuntur dan penulis

Usia : 74

Alamat : Jakarta Timur

3) Nama : Hesri Setiawan

Pekerjaan : Penulis

Usia : 72

Alamat : Yogyakarta

124

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Majalah Gelanggang dan Ruangan Lekra

125

Gambar 2 Joebaar Ajoeb menyampaikan laporan pada Kongres Nasional Lekra I Solo Januari 1958. (Foto: Koleksi Oey Hay Djoen)

Gambar 3 Suasana pembukaan Kongres Lekra I, Solo, Januari 1959. (Foto: Koleksi Oey Hay Djoen)

126

Gambar 4 Oetomo Ramelan, Soeharto, Sukarno dan Hadi Subeno pada acara pembukaan Kongres Nasional Lekra I, Solo, 1959. (Foto: Koleksi Oey Hay Djoen)

Gambar 5 Pidato Presiden Soekarno pada Festifal Film Asia Afrika Jakarta 1964 Sumber: Institut Sejarah Sosial Indonesia

127

Gambar 6 Njoto salah satu Pendiri Lekra Sumber : Google

128

Gambar 7 Cover Buku Wijaya Herlambang dan Majalah Konfrontasi

Gambar 8 Lapangan Sriwedari Solo pada Kongres Nasional Lekra 1 Sumber: Institut Sejarah Sosial Indonesia

129

Gambar 9 Kritik Pramoedya Ananta Toer terhadap kebudayaan Imperialis Amerika Serikat dalam Lentera Kebudayaan Bintang Timur.

Gambar 10 Delegasi Indonesia dalam Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Tashkent Oktober 1958 (Dari kiri ke kanan: Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang, Utuy Tatang Sontani; atas: Dodong Djiwapradja) Sumber foto: Koran Berbahasa Rusia Literaturnaya Gazeta

130

Gambar 11

Harian Rakyat edisi Minggu 31 mei 1964

Sumber : Perpustakaan Nasional

131