MILITER DAN POLITIK Keterlibatan Purnawirawan Militer dalam Pilpres Era Reformasi (2004-2014)

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh Salsabila Larasati NIM: 11141120000007

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UIN SYARIF HIDAYATULAH JAKARTA

1441 H/2019 M

ABSTRAK

Penelitian ini membahas mengenai purnawirawan yang masuk ke dalam dunia politik setelah masa aktifnya di dunia militer dan keikutsertaan purnawirawan militer dalam kontestasi politik yang dapat dilihat sejak tahun 2004, 2009, dan 2014. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang membuat purnawirawan militer tertarik untuk memasuki dunia politik, dan mengetahui alasan mengapa purnawirawan militer dapat kembali terpilih menjadi presiden pada tahun 2004. Metode penelitian ini menggunakan studi pustaka dan wawancara yang dilakukan dengan dua orang. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kekuatan politik, pemilihan umum, dan suksesi politik. Temuan yang dihasilkan dari penelitian ini adalah purnawirawan yang masuk ke dalam politik dan ikut dalam kontestasi pilpres adalah Agum Gumelar, , , dan Prabowo Subianto. Cara mereka masuk ke dalam politik dan ikut pilpres hampir semua sama, yaitu dimulai dengan menjadi menteri atau posisi tinggi negara lainnya. Kendaraan politik yang digunakan purnawirawan militer melalui parpol untuk mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres pun beragam. Seperti Agum Gumelar, kemudian Wiranto dan Prabowo yang juga bergabung dengan parpol. Berbeda dengan SBY yang membentuk partainya sendiri. Setelah mengalami kekalahan, Wiranto dan Prabowo membentuk partainya sendiri. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah purnawirawan militer masuk ke dunia militer dengan berbagai alasan yang dibagi menjadi dua kategori, internal dan eksternal. Purnawirawan militer juga dianggap sebagai solusi untuk memimpin dengan latar belakang yang dimiliki tersebut.

Kata Kunci: Purnawirawan, Militer, Pemilihan Presiden, Politik, Partai Politik.

v

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT. atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam dicurakan kepada Nabi Muhammad SAW., rasul yang telah membawa umatnya semua dari kegelapan pada masa yang terang benderang hingga saat ini.

Skripsi yang berjudul Militer dan Politik: Keterlibatan Purnawirawan Militer dalam

Pilpres Era Reformasi (2004-2014) disusun dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Penulis menyadari betul dalam penyusunan skripsi ini belumlah sempurna, dan masih banyak kekurangan. Tanpa adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, penulis menyadari betul penelitian ini tidak dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A, selaku Rektor UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

vi

2. Dr. Ali Munhanif, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

(FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Iding Rasyidin, M.Si, selaku Kepala Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Suryani, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

5. Drs. Idris Thaha, M.Si, selaku dosen pembimbing dalam penelitian ini.

6. Seluruh dosen pengajar di Program Studi Ilmu Politik yang telah memberikan

ilmu yang bermanfaat bagi penulis selama kuliah.

7. Jenderal TNI (HOR) (Purn.) Agum Gumelar, M.Sc dan Drs. Andi Alfian

Mallarangeng yang telah menyempatkan waktunya untuk menjadi narasumber

wawancara dalam penelitian ini.

8. Ahmad Arsani dan Suprabawati Sunaryo selaku orang tua penulis serta Alisha

Janitra dan M. Hayel Raudha selaku adik yang selalu mendukung dan

mendoakan.

9. Keluarga Besar H. Ma’ruf bin Siung – Hj. Asmanah binti H. Usman dan

Keluarga Besar Sunaryo Sastrodiningrat – Sumarni.

10. Anisa Syifa Fauziah, Dian Fitria Hasanah, Tias Nofia Rofiqoh, Abduh

Suthadiwirya, Bagus Mauladanu, Faisal Darma, dan Teuku Tajul Muda

Lamkawan, sahabat yang telah menemani sejak masa sekolah.

11. Ahmad Faruq, Andre Kabakov Saputra, Chusnul Chotimah, Denny Rachmat

Ghaffari, Joko Lelono, M. Andhika Yusmana, M. Earvin Qushairy, M. Fariz,

vii

M. Reza Rizki, Oktavia Dwi Sucipto, Reni Rentika Waty, Robith Billah

Anshori, Rudi Saputra, yang sudah menemani sejak awal perkuliahan.

12. Nadya Nurul Milla, Berllyana Harintowati, yang sudah memberikan dukungan

penuh kepada penulis.

13. M. Jayakarta, Randy Andita, Shonyo Darmawan, dan sahabat PMII KOMFISIP

2014 lainnya.

14. Seluruh teman bimbingan skripsi, yang selalu mengingatkan.

15. Dan seluruh teman serta kerabat yang tidak dapat disebutkan satu persatu

namun telah memberikan segala dukungan dan doa kepada penulis dalam

proses penyelesaian skripsi.

Tanpa adanya mereka, penulis tidak yakin penelitian ini dapat selesai dengan baik.

Penulis berterima kasih dengan sepenuh hati, semoga Allah SWT. membalas kebaikan mereka. Namun demikian, penulis bertanggung jawab penuh atas segala kekurangan dalam penelitian ini, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jakarta, 11 Oktober 2019

Salsabila Larasati

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ...... i LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ...... ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... iii LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ...... iv ABSTRAK ...... v KATA PENGANTAR ...... vi DAFTAR ISI ...... ix DAFTAR SINGKATAN ...... xi BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Pernyataan Masalah ...... 1 B. Pertanyaan Masalah ...... 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 7 D. Tinjauan Pustaka ...... 8 E. Metode Penelitian ...... 10 E.1. Jenis Penelitian ...... 10 E.2. Teknik Pengumpulan Data ...... 11 E.3. Teknik Analisa Data ...... 11 F. Sistematika Penulisan ...... 13 BAB II LANDASAN TEORI DAN KONSEP ...... 15 A. Kekuatan Politik ...... 15 A.1. Militer sebagai Kekuatan Politik ...... 16 A.2. Militer dalam Politik ...... 18 B. Pemilu ...... 22 B.1. Fungsi Pemilu ...... 24 B.2. Jenis Sistem Pemilu ...... 25 B.3. Pilpres dalam UU ...... 28 C. Suksesi ...... 30 D. Partisipasi Politik ...... 32

ix

BAB III KARIER MILITER DAN POLITIK PURNAWIRAWAN MILITER ... 36 A. Agum Gumelar: Dari Kodam ke Gubernur Lemhanas ...... 36 B. SBY: Ketua Fraksi ABRI yang Melaju ke Istana ...... 38 C. Wiranto: Pangab RI dan Menkopolsuskam ...... 43 D. Prabowo: Panglima Kostrad menjadi Pengusaha ...... 45 BAB IV KETERLIBATAN PURNAWIRAWAN MILITER DALAM PILPRES ERA DEMOKRASI ...... 49 A. Pasca Militer ...... 49 B. Pengalaman Kepemimpinan ...... 54 B.1. Memiliki Bekal Kepemimpinan sejak Masa Pendidikan ...... 54 B.2. Mempunyai Pengalaman di Pemerintahan ...... 55 B.3. Menjalankan Dwifungsi ABRI ...... 56 C. Pemilu ...... 57 C.1. Proses menuju Pemilu ...... 57 C.2. Tingkat Kepercayaan Masyarakat pada Purnawirawan Militer ...... 60 BAB V PENUTUP ...... 69 A. Kesimpulan ...... 69 B. Saran ...... 70 DAFTAR PUSTAKA ...... 72

x

DAFTAR SINGKATAN

ABRI : Angkatan Bersenjata Republik AKABRI : Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia AMN : Akademi Militer Nasional Asintel Kasdam Jaya : Asisten Intelijen Kepala Staf Asintel : Asisten Intelijen Kopassus Bakin : Bandan Koordinasi Intelijen Negara Bakorstanasda : Badan Koordinasi Stabilitas Nasional Daerah BI : Bank Indonesia BIN : Badan Intelijen Negara BPK : Badan Pemeriksa Keuangan Capres : Calon Presiden Cawapres : Calon Wakil Presiden Dandim : Komando Distrik Militer Danrem : Komandan Korem Dispenad : Dinas Penerangan TNI AD DKP : Dewan Kehormatan Perwira DPD : Dewan Perwakilan Daerah DPR RI : Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah FORKI : Federasi Karatedo Indonesia GABSI : Gabungan Bridge Seluruh Indonesia Gerindra : Gerakan Indonesia Raya : Golongan Karya Hankam : Pertahanan dan Keamanan

xi

Hanura : Hati Nurani Rakyat HKTI : Himpunan Kerukunan Tani Indonesia HOR : Kehormatan JK : KASAD : Kepala Staf TNI Angkatan Darat Kasdam : Kepala Staf Daerah Militer Kasdam Jaya : Kepala Staf Kodam Jaya Kaster : Kepala Staf Teritorial Kasospol : Kepala Staf Sosial Politik Kodam : Komando Daerah Militer KOPASSUS : Komando Pasukan Khusus Koptamtib : Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Korem : Komando Resor Militer Korspri : Koordinator Staf Pribadi Kostrad : Komando Strategis Angkatan Darat KPK : Komisi Pemberantasan Korupsi KPU : Komsisi Pemilihan Umum KSAD : Kepala Staf TNI Angkatan Darat Latgab : Latihan Gabungan Lemhanas : Lembaga Ketahanan Nasional LIPI : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat MA : Mahkamah Agung Mabes : Markas Besar Menhan : Menteri Pertahanan Menhankam : Menteri Pertahanan dan Keamanan Menhub : Menteri Perhubungan

xii

Menko : Menteri Koordinator Menkopolkam : Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Menkopolsoskam : Menteri Koordinator Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan Mentamben : Menteri Pertambangan dan Energi MK : Mahkamah Konstitusi MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat Orba : Orde Baru PAN : Partai Amanat Nasional Pangab : Panglima Angkatan Bersenjata Pangdam Jaya : Panglima Kodam Jaya Pangkostrad : Panglima Komando Strategis Angkatan Darat Parpol : Partai Politik PBB : Partai Bulan Bintang PBB : Persatuan Bangsa-Bangsa PDI Perjuangan : Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Pemilu : Pemilihan Umum PEPABRI : Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI-POLRI Pilpres : Pemilihan Presiden PKB : Partai Kebangkitan Bangsa PKPI : Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia PKS : Partai Keadilan Sejahtera POLRI : Kepolisian Negara Republik Indonesia PPP : Partai Persatuan Pembangunan PSSI : Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia Purn. : Purnawirawan Puspassus AD : Pasukan Khusus Angkatan Darat SBY : Susilo Bambang Yudhoyono

xiii

SD : Sekolah Dasar Sesko TNI : Sekolah Staf dan Komando TNI Seskoad : Sekolah Staf dan Komando TNI AD SMA : Sekolah Menengah Atas SMP : Sekolah Menengah Pertama SU MPR 1999 : Sidang Umum MPR 1999 TKR : Tentara Keamanan Rakyat TNI : Tentara Nasional Indonesia TNI AD : Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat UNPKF : United Nation Peace Keeping Force UU : Undang-undang UUD : Undang-Undang Dasar UUD Negara RI 1945 : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Watimpres : Dewan Pertimbangan Presiden

xiv

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Penelitian ini membahas mengenai keikutsertaan purnawirawan militer dalam ajang pilpres 2004, 2009, dan 2014. Pada 2004, saat pilpres pertama kali diadakan dan dipilih langsung oleh rakyat, purnawirawan militer terpilih menjadi presiden hingga dua periode. Periode selanjutnya, purnawirawan justru kalah dari sipil dalam pilpres.

Keikutsertaan purnawirawan militer dalam kontestasi politik dapat dilihat sejak putaran pertama pilpres pada 2004 yang diikuti oleh lima pasangan calon, yaitu; pertama, Muhammad -; kedua, -

Agum Gumelar; ketiga, Megawati Soekarnoputri-; keempat, Susilo

Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla; dan kelima, Wiranto-.1

Dari seluruh calon tersebut, ada tiga nama yang memiliki latar belakang militer, yaitu, Agum Gumelar, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Wiranto. Memasuki putaran kedua terdapat dua calon yang bertahan, yaitu; pertama, Susilo Bambang

Yudhoyono-Jusuf Kalla dan kedua, Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi. Pada putaran ini, hanya SBY yang memiliki latar belakang militer.

Dalam pilpres 2009 terdapat tiga kandidat; pertama, Megawati Soekarnoputri-

Prabowo Subianto; kedua, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono; dan ketiga, Jusuf

1 Modul I Pemilih Untuk Pemula, https://www.kpu.go.id/ , h 44

1

Kalla-Wiranto.2 Dari tiga pasangan ini, yang memiliki latar belakang militer adalah

Prabowo, SBY, dan Wiranto.

Pada pilpres periode berikutnya, pasangan kandidat capres dan cawapres adalah, pertama, Joko Widodo-Jusuf Kalla; dan kedua, Prabowo Subianto-Hatta

Rajasa.3 Di tahun 2014 ini, Prabowo merupakan satu-satunya yang memiliki latar belakang militer.

Peran purnawirawan TNI dalam kegiatan politik telah memberikan karakteristik baru pada pola relasi sipil–militer di Indonesia pasca reformasi. Hal ini terkait dengan peran purnawirawan yang mampu menjadi jembatan komunikasi dan peredam konflik antara politisi sipil dengan militer. Keterlibatan purnawirawan TNI dalam politik praktis lebih didasarkan pada komitmen terhadap konstitusi dalam membangun konsolidasi demokrasi, yang mana bukan mewakili kepentingan militer.

Argumentasi ini merupakan kritik terhadap beberapa studi sebelumnya yang mengemukakan bahwa masuknya purnawirawan TNI ke dalam politik merupakan bagian dari upaya institusi militer menguasai pemerintahan melalui mekanisme demokrasi, atau disebut juga sebagai remiliterisasi.4

Kiprah militer dalam politik, khususnya dalam pemerintahan, bermula sejak masa perebutan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Soeharto yang merupakan

2 Modul I Pemilih Untuk Pemula, http:/www.kpu.go.id/II, h 46 3 http:/www.kpu.go.id/ 4 Aries S. Soesilo, “Jaringan Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia dalam Politik Relasi Sipil-Militer Pasca Reformasi TNI.” Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 19, No. 2, Juli 2014, h 195- 230.

2 militer karier dan seorang jenderal menempatkan dirinya sebagai Presiden Kedua

Indonesia dan merupakan orang pertama dari kalangan militer.

Secara historis, keterlibatan militer secara langsung di dalam kehidupan politik praktis pernah terjadi pada masa rezim pemerintahan Orde Baru. Di masa itu, rezim autoritarian Soeharto melakukan politisasi militer demi menjaga dan mempertahankan kekuasaannya. Alhasil, peran dan fungsi militer di masa itu lebih banyak terlihat pada kehidupan politik praktis.5

Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi lembaga paling dipercaya oleh masyarakat, sedangkan partai politik merupakan lembaga yang paling tidak dipercaya publik. Menurut survey Charta Politika, yang dilaksanakan dari tanggal 23-26

Agustus 2018, dengan metode wawancara melalui telepon di delapan kota, yakni

Medan, Palembang, Jakarta, , Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan

Makassar, menjelaskan bahwa 73,5% responden memilih TNI, 73,4 % memilih KPK,

68,5 % Presiden, DPR 49,3 %, dan paling buncit partai politik. Sebanyak 45,8 persen responden menyatakan partai politik sebagai lembaga yang paling tidak dipercaya.6

Soeharto menjadikan militer sebagai kekuatan politik yang dominan. Pada masa kepemimpinannya, militer mempunyai dua peran yang disebut dengan Dwifungsi

ABRI: fungsi pertama sebagai alat pertahanan negara dan kedua untuk mengatur pemerintahan. Ada beberapa pernyataan bahwa elemen yang dapat mengatasi ancaman pertahanan dan pembangunan nasional adalah dengan menyelaraskan

5 Al Araf, “Militer dan Politik”, http://www.imparsial.org/ pada 25 Januari 2016. 6 Ugo, “Survei Charta Politika: TNI Paling Dipercaya Publik”, https://www.cnnindonesia.com/ pada 28 Agustus 2018.

3 peranan ABRI yang tidak lagi hanya bergerak dibidang hankam tetapi bidang non- hankam. Akibatnya, tak terhitung banyaknya anggota militer yang menjadi anggota

DPR RI, DPRD, gubernur, bupati, walikota, atau posisi lainnya dalam birokrasi pemerintahan di Indonesia.

Banyaknya anggota militer yang duduk di kursi pemerintahan pada saat itu menimbulkan dampak positif sekaligus negatif. Dampak positif ini cenderung banyak dirasakan oleh para anggota militer yang mendominasi kursi pemerintahan di

Indonesia pada era Soeharto. Dampak negatifnya justru cenderung banyak dirasakan oleh masyarakat Indonesia di mana mereka merasakan sistem pemerintahan Indonesia saat itu berada dalam dominasi militer yang memicu banyaknya praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme.7

Para militer ini memiliki alasan mengapa akhirnya mereka memilih masuk ke dalam dunia politik pasca purnanya dari tugas kemiliteran. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan masuknya militer ke dalam ranah politik.

Pertama, purnawirawan masuk ke dalam politik praktis karena dianggap menarik sebagai kader yang mumpuni. Ini disebabkan karena lemahnya kualitas kader sipil yang direkrut oleh parpol sebelumnya.8

Kedua, purnawirawan militer sudah mendapatkan bekal dari semasa pendidikannya, mereka sudah dibentuk pola pikir, sikap, dan tindakannya. Dalam

7 Sidratahta Mukhtar, Militer dan Demokrasi, (Malang: Intrans Publishing, 2017), h 40 8 Arie S. Soesilo, “Jaringan Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia dalam Politik Relasi Sipil-Militer Pasca Reformasi TNI”, Jurnal Sosiologi Masyarakat, Vol. 19, No. 2, Juli 2014, h 199- 200

4 pembentukan karakter ini, mereka dididik dengan keras, yang melarang munculnya pemikiran dan kepentingan pribadi yang bertentangan dengan Esprit deCorps.9

Karakter ini yang pada akhirnya melekat pada diri purnawirawan militer.

Karakter yang berorientasi pada kesetiaan dan pembangunan bangsa. Dalam masa

Pendidikan, purnawirawan militer pada saat itu dituntut untuk memiliki wawasan politik. Mereka juga dibekali pengetahuan non-militer untuk menjalankan tugasnya mengabdi pada bangsa dan negara. Pengetahuan non-militer ini memiliki tiga perspektif, yaitu; perspetif sosiologis militer, membahas mengenai hubungan sosial antara elit militer dengan masalah sosial budaya; perspektif perbandingan politik, militer memiliki kekuatan dalam politik yang berperan dalam proses perubahan yang direncanakan suatu negara; dan perspektif strategi dan ilmu hubungan internasional, militer memiliki peran dalam menjalin hubungan antar bangsa sebagai dampak perkembangan pemikiran strategis darinya.10 Ini yang diduga bisa mempengaruhi keputusan untuk masuk dalam politik.

Ketiga, setelah selesainya tugas kemiliteran, purnawirawan melepaskan status kemiliterannya dan kembali menjadi sipil. Sesuai dengan UU No. 34 Tahun 2004 yang mengatur kedudukan purnawirawan sebagai warga yang memiliki hak sama dengan warga negara sipil lainnya dalam hal kebebasan berpolitik.

9 Esprit de corps merupakan pemikiran yang mempengaruhi kinerja kelompok membentuk kesetiaan dan perasaan yang menyatukan anggota kelompok. Webmaster, “Kepemimpinan Moral Kerja dan Esprit de Corps”, http://fe.unpad.ac.id/, pada Rabu, 24 April 2013 10 Nurhasanah Leni, “Keterlibatan Militer dalam Kancah Politik di Indonesia”, Jurnal TAPIs, Vol. 9, No.1 Januari-Juni 2013

5

Keempat, usia pensiun, keinginan kekuasaan, dan kegiatan pasca-pensiun dari dunia militer. Tidak adanya aturan mengenai Batasan waktu yang jelas terhadap purnawirawan hingga mereka dapat berpolitik membuat purnawirawan leluasa kapan saja untuk terjun kedalam politik. Sejumlah purnawirawan seolah telah menemukan kendaraan baru bagi mereka untuk mengekspresikan dirinya setelah masa komandonya usai dengan masuk kedalam dunia politik.11

Kelima, purnawirawan sempat mengalami masa-masa Dwifungsi ABRI, menjadi latar belakang dari masa dinas aktif masing-masing purnawirawan.

Terlibatnya purnawirawan dalam politik sejak masih berdinas aktif di militer telah membiasakan purnawirawan untuk melihat bahwa politik juga merupakan panggilan tugas bagi dirinya sebagai prajurit militer. Jika purnawirawan TNI terbiasa pada ranah politik, maka masuk politik praktis merupakan satu kelanjutan karir yang wajar.12

Keenam, adalah adanya organisasi purnawirawan militer, yakni PEPABRI.

Merupakan organisasi yang menaungi purnawirawan TNI setelah purna tugas.

Organisasi ini pada praktiknya menyalurkan aspirasi sebagian purnawirawan TNI.

Meski tetap berkomitmen terhadap pengabdian kepada bangsa dan negara.13

PEPABRI juga memberikan dukungan kepada anggotanya yang terlibat dalam politik

11 Arie S. Soesilo, “Jaringan Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia dalam Politik Relasi Sipil-Militer Pasca Reformasi TNI”, Jurnal Sosiologi Masyarakat, Vol. 19, No. 2, Juli 2014, h 200 12 Ibid., h 200-201 13 Ibid., h 201-202

6 nasional. Hal tersebut membuktikan bahwa para purnawirawan masih dekat dengan institusinya setelah mereka pension.14

Dalam hal ini, apakah konsepsi diri dan doktrin militer menunjukan karakter tentara politik perlu dikaji. “Tentara politik” menganggap keterlibatan dalam, atau kontrol atas, politik domestik serta pemerintahan adalah bagian utama dari fungsi sah mereka. Mereka biasanya juga mempunyai identifikasi yang kuat dengan nasib bangsa dan nilai-nilai landasan negara, sangat menekankan keteraturan, persatuan, dan pembangunan, serta melihat “intervensi” atas nama kepentingan nasional masih sejalan dengan misi historis mereka.

B. Pertanyaan Masalah

Agar pembahasan tidak melebar, penulis merumuskan masalah dalam bentuk pertanyaan, yakni:

1. Apa yang menyebabkan tingkat kepercayaan masyarakat begitu tinggi

kepada calon presiden dari militer?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan diatas, tujuan yang ingin penulis capai dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

14 Joko Panji Sasongko, Politik Militer (Studi Kasus Persepsi Sipil terhadap Partisipasi Politik Purnawirawan di Indonesia Pasca Reformasi), (Skripsi S1 Universitas Gadjah Mada, 2014), h 4-5

7

1. Mengetahui faktor apa yang membuat purnawirawan militer tertarik untuk

memasuki dunia politik.

2. Mengetahui alasan mengapa purnawirawan militer dapat kembali terpilih

menjadi presiden pada tahun 2004.

D. Tinjauan Pustaka

Ada beberapa buku, jurnal, dan skripsi yang penulis baca untuk menunjang bacaan dan acuan penulis untuk membuat penelitian ini mengenai bahasan tentang politik dan militer.

Pertama, karya dari Ahmad Yani Basuki15 berisi mengenai reformasi internal dan refungsionalisasi peran TNI telah dilaksanakan dengan pola yang gradual, terprogram, dan berlanjut. Proses ini didorong oleh kesadaran kalangan internal dan eksternal TNI untuk memposisikan TNI secara tepat dalam tatanan kehidupan nasional sehingga dapat lebih fungsional bersama fungsi-fungsi atau komponen- komponen bangsa lainnya. Berdasarkan indikator yang ada, reformasi internal TNI juga dapat digolongkan sebagai proses mundurnya militer dari politik secara profesional. Ini juga telah membawa banyak perubahan, baik dari aspek struktur, kultur, maupun doktrin, sehingga menjadikan TNI lebih fungsional baik bagi internal

TNI, negara, maupun masyarakat. Dalam jurnal Dni juga disebutkan bahwa masih relevannya gagasan fungsionalis Robert K. Merton dan Talcott Parsons dalam

15 Ahmad Yani Basuki, “Reformasi TNI: Pola, Profesionalitas, dan Refungsionalisasi Militer dalam Masyarakat”, Jurnal Sosiologi Masyarakat, Vol. 19, No. 2, (Juli 2014).

8 membaca tranformasi struktural pada masyarakat, atau setidaknya sebagian komponen masyarakat.

Kedua, karya Yuddy Chrisnandi16 membahas mengenai kuatnya desakan dari masyarakat yang tidak lagi menginginkan militer berpolitik dan menuntut dihapuskannya dwifungsi ABRI pasca reformasi 1998, ternyata mampu melahirkan reformasi di tubuh TNI. Desakan ini, sejalan dengan mulai tumbuhnya kesadaran di internal militer yang memandang perlunya redefinisi peran ABRI, agar tidak lagi ikut campur masalah politik. Buku ini mengutip teori hubungan sipil-militer dari Larry

Diamond dan Marc. F. Plattner yang menyebutkan bahwa hubungan sipil-miiter terbaik akan ditemukan dalam sebuah negara, ketika otoritas sipil mampu memenangkan perselisihan kebijakan dengan militernya. Di sisi lain, kondisi hubungan sipil-militer di Indonesia pasca pemerintahan Soeharto malah menunjukkan model baru hubungan sipil-militer, yang lebih tepat disebut equal-controllable relations (hubungan-hubungan yang seimbang dan terkendali). Hubungan sipil- militer seperti yang dipraktikan oleh kepemimpinan pasca Soeharto ternyata melahirkan kendali sipil atas militer yang masih semu dan tiak mutlak, meskipun jauh lebih baik dari masa sebelum reformasi.

16 Yuddy Chrisnandi, Reformasi TNI: Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia, (Jakarta: LP3ES. 2005).

9

Ketiga, karya Hadi Nafis Kamil17 membahas mengenai lemahnya institusi negara yang dikelola oleh para politisi sipil yang akhirnya menjadikan militer mudah kembali masuk kedalam politik. Politisi sipil juga tidak memiliki posisi tawar yang kuat dengan militer. Militer saat ini tidak menyumbang secara signifikan terhadap konsolidasi demokrasi di Indonesia. Militer tidak mau dikoreksi disatu sisi dan lemahnya posisi politik elit sipil yang berkuasa, baik di parlemen maupun eksekutif, dihadapan TNI. Oleh karena itu sebagai kekuatan politik dari rezim lama, TNI tetap menjalankan watak otoriternya dengan pola terror, intimidasi, kekerasan atau pengintaian untuk menundukkan kekuatan politik lain atau massa rakyat. Posisi militer di dalam sebuah negara sudah semestinya berfungsi agar ancaman dan gangguan itu menjadi minimal. Fungsi itu bisa dikatakan sebagai kewajiban pokok dari sebuah institusi militer. Dengan demikian posisi militer atau angkatan bersenjata merupakan sebuah institusi yang sah atau lazim jika memang disepakati dalam sebuah organisasi yang bernama negara, yang mempunyai kewajiban berkaitan dengan perlindungan negara demi memprokteksi masyarakat dari ancaman fisik.

E. Metode Penelitian

E.1. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Metode tersebut menjelaskan bahwa mengungkapkan masalah dengan cara

17 Hadi Nafis Kamil, “Militer dan Kekuatan Politik: Studi tentang Keterlibatan TNI dalam Perpolitikan Nasional Era 1945-1998”, (Skripsi S1 Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009)

10 menggambarkan atau memaparkan dari penelitian.18 Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data, yaitu studi lapangan dengan metode wawancara mendalam dengan subjek penelitian, dan dokumentasi.

E.2. Teknik Pengumpulan Data

Ada beberapa Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu:

a. Wawancara

Wawancara yang digunakan adalah (in-depth interview), dimana proses

memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab

sambil bertatap muka antara pewawancara dan orang yang diwawancarai.19

Peneliti melakukan wawancara secara langsung dengan Andi Malaranggeng

sebagai Juru bicara Kepresidenan periode 2009-2014 dan Agum Gumelar

sebagai calon Presiden dalam Pemilu 2004.

b. Studi Literatur

Studi literatur adalah cara untuk mengumpulkan data dengan melakukan cara

dengan menelusuri sumber-sumber tulisan yang pernah dibuat sebelumnya,

seperti jurnal-jurnal, skripsi, buku-buku yang berkaitan dengan tema

Keterlibatan Purnawirawan Militer dalam Pilpres Era Reformasi 2004-2014.

E.3. Teknik Analisa Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan Teknik analisis deskripstif yang bertujuan memberikan gambaran suatu masyarakat tertentu atau gambaran tentang

18 Winarno S., Pengantar Penelitian Ilmilah Dasar, Metode dan Teknik (Bandung: Tarsiti, 1989), h 138. 19 H.B. Sutopo, Metode Penelitian Kualitatif, (Surakarta: UNS Press, 2006), h 27

11 peristiwa. Data kualitatif ini langsung dari pendapat orang-orang yang telah berpengalaman, pandangan serta sikapnya, dokumen-dokumen. Penelitian deskripstif merupakan penelitian untuk mengeksplorasi dan mengklasifikasikan suatu fenomena sosial, dengan mendeskripsikan variable yang berkenaan dengan masalah yang diteliti.20

Dalam penelitian ini data-data tersebut dianalisis berdasarkan teori kekuatan politik, teori pemilihan umum, dan teori suksesi, yang kemudian dari hasil analisis data tersebut dapat ditarik kesimpulan.

Pada penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif.

Pendekatan ini menekankan pada penjelasan deskriptif terhadap permasalahan yang sedang diteliti. Penelitian deskriptif ini untuk memberikan penjelasan mengenai suatu permasalahan sosial yang menjadi objek penelitian.

Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini peneliti menggunakan sistem wawancara dengan Purnawirawan uga menggunakan penelitian yang suda ada seperti bersumber dari buku skripsi, tesis, jurnal, dan artikel.

Peneliti menganalisis data yang sudah terkumpul dan dikorelasi dengan teori yang sesuai pada penelitian ini.

20 Syamsir Salam dan Jaenal Aripin, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h 14.

12

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan penelitian ini, secara umum terbagi menjadi lima bab, yang secara rinci dijelaskan sebagai berikut:

Bab I membahas mengenai purnawirawan yang masuk ke dalam dunia politik setelah masa aktifnya di dunia militer. Faktor yang menjadikan para purnawirawan ikut kontestasi dalam pilpres dan yang menyebabkan tingkat kepercayaan masyarakat begitu tinggi kepada calon presiden dari militer.

Bab II mencakup teori kekuatan politik, pemilihan umum, dan suksesi politik.

Ketiga teori ini digunakan untuk melihat keterlibatan purnawiraan militer dalam dunia politik, khususnya dalam pencalonan presidan dan wakil presiden pada era demokrasi (2004-2014).

Bab III berisi tentang profil dari purnawirawan militer yang mencalonkan dirinya menjadi capres dan cawapres pada 2004-2014. Masa saat di militer dan setelah di militer, dan proses bagaimana Agum Gumelar, Susilo Bambang

Yudhoyono (SBY), Wiranto, dan Prabowo Subianto memasuki dunia politik hingga mencalonkan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden.

Bab IV membahas bagaimana proses para purnawirawan militer terjun ke dunia politik setelah selesainya masa tugas dan ramai-ramai mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres pada tahun 2004, 2009, dan 2014. Kemudian apa yang menyebabkan tingkat kepercayaan masyarakat tinggi dengan capres atau cawapres yang memiliki latar belakang militer.

13

Bab V menyimpulkan bahwa purnawirawan militer masuk ke dunia politik dengan alasan, yaitu karena purnawirawan memiliki bekal kepemimpinan sejak masa pendidikan, mempunyai pengalaman di pemerintahan, dan terbukti mampu menjalankan dwifungsi ABRI.

14

BAB II

LANDASAN TEORI

Bab ini membahas mengenai teori kekuatan politik, pemilihan umum, suksesi, dan partisipasi politik. Keempat teori ini digunakan untuk mengupas keterlibatan purnawiraan militer dalam dunia politik, khususnya dalam pencalonan presidan dan wakil presiden yang diselenggarakan pasca Orde Baru. Beberapa purnawirawan militer mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres pada pilpres 2004, 2009, dan

2014. Mereka dipilih langsung oleh rakyat.

A. Kekuatan Politik

Purnawiraan militer dapat dikategorikan sebagai kekuatan politik. Mereka yang sudah selesai dari masa jabatannya di militer, otomatis menjadi sipil. Mereka bukan lagi disebut militer. Mereka adalah sipil yang memiliki latar belakang militer. Maka dari itu, mereka dapat dikategorikan sebagai kekuatan politik.

Kekuatan politik merupakan suatu usaha mempengaruhi proses pembuatan dan perumusan keputusan politik dengan sumber kekuatan yang dimiliki, dan mengakibatkan keputusan politik yang dibuat pemerintah menguntungkan suatu kelompok tertentu. Kelompok sosial mulai mempengaruhi suatu keputusan jika keputusan yang dibuat menyangkut kepentingan (interest) mereka.

Hal ini dilakukan suatu kelompok untuk mempengaruhi keputusan politik dengan berbagai upaya. Upaya yang dilakukan adalah dengan mengerahkan segala sumber kekuasaan (power) yang dimiliki dan melalui saluran-saluran yang tersedia

15 seperti yang dianggap paling efektif. Kelompok yang dianggap memiliki kekuatan politik adalah jika kelompok tersebut mampu melakukan tawar menawar, mengerahkan sumber kekuasaannya secara maksimal dan memilih saluran yang tepat sebagai alat untuk menyalurkan aspirasi/kepentingan mereka.1

Ada beberapa kelompok yang dapat disebut sebagai kekuatan politik, yaitu: militer, pengusaha, mahasiswa, pers, parpol, buruh, intelektual/cendekiawan, agama,

LSM, birokrasi, dan civil society.

Beberapa kelompok yang memiliki kekuatan politik kontemporer muncul sebagai militer, pemuda, mahasiswa, kaum intelektual dan golongan pengusaha, serta kelompok penekan lain dalam perubahan besar sosial, politik, dan ekonomi.

Perubahan ini bukan hanya menimbulkan pengaruh yang mendalam, tetapi juga dalam perkembangan sosial, politik, dan ekonomi.

Militer sebagai sebuah organisasi yang mempunyai sumber kekuatan yang bersinergi dengan negara berkewajiban atas keamanan dan kenyamanan dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik. Dengan sumber kekuatannya, militer telah menjelma sebagai salah satu kekuatan dalam negara.2

A.1 Militer sebagai Kekuatan Politik

Keterlibatan militer dalam politik senantiasa mengalami pasang surut. Bilveer

Singh menyebutkan bahwa keterlibatan militer dalam bidang non-militer (politik)

1 Haniah Hanafie, Ana Sabhana Azmy, Kekuatan Kekuatan Politik, (Depok: Rajawali Press, 2016), h 14 2 Hadi Nafis Kamil, “Militer dan Kekuatan Politik: Studi tentang Keterlibatan TNI dalam Perpolitikan Nasional Era 1945-1998”, (Skripsi S1 Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009)

16 disebabkan oleh faktor-faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor internal tersebut terdiri dari nilai-nilai dan orientasi para perwira militer, baik secara individu maupun kelompok, serta kepentingan-kepentingan material korps militer.

Hampir semua negara di dunia mempunyai militer sebagai pertahanan negara.

Di sebagian negara, militer ikut memegang kekuasaan dan sebagian lagi hanya sebagai penjaga keamanan. Khusus, di beberapa Negara Sedang Berkembang, militer biasanya berkuaasa dan terlibat dalam politik. Contohnya Indonesia Masa Orde Baru,

Thailand, Brazil, Myanmar, dan beberapa negara Afrika. Salah satu faktor pendukungnya adalah kepemilikan senjata oleh militer. Dengan senjata, militer dapat melakukan kudeta dan meraih kekuasaan. Oleh karena itu, militer dipandang sebagai salah satu kelopok yang memiliki kekuatan politik.3

Fungsi militer untuk menjaga kestabilan politik, sebagaimana dikatakan Taufik

Abdullah bahwa: “Salah satu ciri utama dari pemerintahan yang didominasi oleh militer adalah keinginan untuk mendapatkan kestabilan politik. Tidak satupun dari mereka yang tidak meletakkan kestabilan politik sebaga program pokok. Bahkan munculnya dominasi militer adalah justru untuk menciptakan situasi yang stabil itu”.4

Dengan demikian, tugas militer hanya dititik beratkan pada persoalan keamanan dan pertahanan suatu negara. Apabila negara dengan sistem pemerintahan demokratis, maka persoalan keamanan internal diserahkan kepada kepolisian.

Sedangkan keamanan eksternal diberikan kepada militer.

3 Haniah hanafie, Ana Sabhana Azmy, Kekuatan Kekuatan Politik, h 28 4 Ibid., h 29

17

Civil society adalah sebuah masyarakat, baik secara individual maupun secara kelompok dalam negara yang mampu berinteraksi dengan negara secara independent.

Menurut Eisenstadt, masyarakat memiliki komponen tertentu sebagai syarat adanya civil society. Terdapat empat komponen tersebut; otonomi; akses masyarakat terhadap

Lembaga negara; arena publik yang otonom; dan arena publik yang terbuka.5

Civil society mempersyaratkan adanya organisasi sosial dan politik yang memiliki tingkat kemandirian yang tinggi. Organisasi sosial dan politik tersebut harus memiliki kemandirian yang menyangkut derajat rekrutmen yang mereka miliki ataukah derajat aktivitas yang memungkinkan mereka mengisi ruang yang tersedia di antara negara dan rakyat. Barangkali, di antara organisasi sosial dan politik yang patut dicatat yang memiliki kemandirian cukup tinggi adalah organisasi yang termasuk

A.2 Militer dalam Politik

Keterlibatan militer dalam politik, dapat ditentukan oleh bentuk pemerintahan sipil yang ada di suatu negara. Terdapat tiga bentuk pemerintahan sipil, yaitu:

a. Model tradisional. Model ini memperlihatkan tidak ada perbedaan antara sipil dan militer, meskipun peran mereka berbeda. Keduanya memiliki pandangan yang sama, yaitu mempertahankan kekuasaan. Contoh model ini adalah pemerintahan

Feodal di Eropa abad 17 dan 19 di mana para aristrokrat kalangan sipil dan militer mendukung kekuasaan yang ada. Untuk saat ini, meskipun kekuasaan feodal semakin pudar ditambah lagi tampilnya kelompok sipil yang memegang kekuasaan,

5 Muslim Mufti, Kekuatan Politik di Indonesia, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), h 226-228

18 tampaknya model semacam ini masih ada. Kelompok militer dianggap sebagai kelompok yang berperan di bidang profesinya (militer profesional).

b. Model liberal. Model ini adalah model yang menunjukkan pemerintahan yang sudah maju dan relatif stabil, pembagian tugas antara sipil dan militer jelas.

Pemegang kekuasaan adalah sipil, sedangkan militer adalah posisi sebagai penjaga keamanan. Di sini posisi militer dibawah kendali sipil.

c. Model serapan. Pemerintahan dikendalikan sipil, pihak sipil berusaha menempatkan orang-orang sipil di tubuh militer, sehingga mudah dikendalikan.

Model semacam ini ditemui di negara komunis. Hal ini berkaitan dengan ideologi yang diusung kelompok sipil.6

Selain yang dikemukakan di atas, berikut ini juga memperlihatkan model pemerintahan militer yang dikemukakan Nordlinger, yaitu:

1. Model pretorian, dalam model ini, pihak sipil masih memegang kekuasaan,

tetapi di bawah kendali militer, sehingga semua keputusan politik

dipengaruhi oleh militer7

2. Pengawal pretorian, dalam model ini, militer telah mengambil alih

pemerintahan sipil, tetapi tidak dalam waktu lama. Militer hanya sebagai

pengawal, apabila pihak sipil sudah dianggap mampu memerintah, maka

6 Eric Nordlinger, Militer dalam Politik, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h 18-19. 7 Ibid., h 32

19

akan dikembalikan. Dalam pemerintahan ini, pihak milter tidak bersikap

otoriter, pers dan berserikat diberi kebebasan, tapi tetap dikontrol.8

3. Penguasa pretorian, pada model ini, militer menguasai pemerintahan, dan

bersikap otoriter. Seluruh bidang kehidupan dikuasai dan dikontrol militer.9

Meskipun naluri militer ingin terjun ke bidang politik, tetapi tergantung pada beberapa faktor, yaitu antara lain: latar belakang terbentuknya militer, situasi kondisi masyarakat dan sistem pemerintahan.

Menurut Talcot Parson dalam Arif Yulianto, terdapat tiga hal yang menyebabkan Militer terlibat dalam politik, yaitu:

1. Kelemahan struktural atau disorganisasi.

2. Adanya kelas-kelas yang cenderung terpecah belah dan tidak mampu

melancarkan aksi terpadu, termasuk kelas menengah yang secara politik

impoten.

3. Rendahnya tingkat aksi sosial dan mobilisasi sumber-sumber materiil.10

Persoalan disorganisasi, tak dapat dipungkiri, mengingat militer memiliki kelebihan daripada kelompok lain (sipil), yaitu kedisiplinan, sentralisasi sistem komando, disiplin tinggi, sehingga organisasi militer lebih solid dan mampu mengorganisir dengan baik, apabila militer tampil sebagai penguasa. Dengan

8 Ibid., h 35 9 Ibid., h 38 10 Haniah Hanafie, Ana Sabhana Azmy, Kekuatan-Kekuatan Politik, (Depok: Rajawali Press, 2018), h 32

20 kerapuhan secara struktural yang dialami masyarakat, maka titik kelemahan ini, menarik militer untuk tampil melakukan intervensi politik.

Heterogenitas dalam masyarakat, baik dari segi ideologi, pendidikan, status ekonomi, agama, budaya bisa menyebabkan friksi-friksi. Apabila perbedaan- perbedaan tersebut tidak dapat dijadikan sebagai suatu kekuatan untuk bersatu, maka akan mengundang militer tampil ke gelanggang politik, karena militer merasa terpanggil untuk menjaga kestabilan politik. Hal ini dilakukan militer dengan berperan menjadi penengah atau pemrakarsa dan akhirnya terjun langsung mengambil alih kekuasaan, karena kelompok-kelompok kelas menengah dianggap tidak mampu menjadi agen perubahan.

Suatu pemerintahan yang tidak mendapat legitimasi dari masyarakat, maka dapat menimbulkan konflik. Konfik akan terus berlarut dan masyarakat tidak mampu melakukan aksi-aksi sosial, serta memobilisasi sumber-sumber materiil, maka militer akan melihat ini sebagai suatu peluang untuk melakukan intervensi. Dengan organisasi yang rapuh, konsolidasi kurang dan ditunjang dengan ketiadaan sumber- sumber materiil, maka masyarakat tidak akan mampu menandingi militer. Kondisi semacam ini sangat kondusif bagi militer unuk mengambil alih kekuasaan (kudeta).

Menurut Amos Perlmutter, kudeta yang dilakukan militer pada saat rezim dalam kondisi rawan, tidak selalu dilakukan tentara secara sendirian, melainkan berkolaborasi dengan partai-partai yang kuat. Kondisi tersebut sengaja dimanipulasi oleh kekuatan politik yang terorganisir (contoh: Cina, Uni Soviet), termasuk tantara di dalamnya.

21

Motivasi politik tentara untuk terjun kedalam politik memang sudah ada pada rezim-rezim yang kekuasaannya mengalami kemunduran. Naluri militer untuk terjun ke politik dan kondisi pemerintahan yang tidak demokratis, adalah dua faktor yang mempengaruhi motivasi militer untuk melakukan kudeta. Menurut Amos Perlmutter,

Militer melakukan kudeta apabila:

a. Tentara merupakan kelompok yang kohesif dan secara politik terorganisir

paling baik pada suatu saat tertentu dan suatu sistem politik.

b. Apabila tidak ada kelompok oposisi yang relatif lebih kuat (contoh tentara

Turki 1961-1963 tidak berani melakukan intervensi, karena kapastas partai

politik sangat kuat).

B. Pemilu

Pemilu (dalam bahasa Inggris disebut general election atau biasanya disingkat saja dengan election) merupakan mekanisme memilih pemimpin yang akan menduduki jabatan politik strategis tertentu di dalam lembaga-lembaga politik formal, yaitu lembaga eksekutif dan lembaga legislatif di tingkat pusat dan daerah.

Istilah pemilu dalam studi politik di Indonesia identik dengan pemilihan dari mulai

Pemilihan Presiden sampai dengan Pemilihan Kepala Daerah (Bupati atau

Walikota).11

11 Ikhsan Darmawan, Mengenal Ilmu Politik, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2015), h 144

22

Pemilu menurut Ibnu Tricahyo dikutip oleh Efriza dan Yoyoh, pemilu merupakan instrument mewujudkankedaulatan rakyat yang bermaksud membentuk pemerintahan yang abash serta sarana mengartikulsikan aspirasi dan kepentingan rakyat.12

Menurut Huntington, pemilu sebagai media pembangunan partisipasi politik rakyat dalam negara modern. Partisipasi politik merupakan arena seleksi bagi rayat untuk mendapatkan jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan.13

Menurut Joseph Schumpeter, pemilu merupakan sebuah arena yang mewadahi kompetisi (kontestasi) antara actor-aktor politik yang meraih kekuasaan partisipasi politik rakyat untuk menentukan pilihan serta liberalisasi hak-haksipil dan politik warga negara.14

Pemilu merupakan instrumen dalam mewujudkan kedaulatan rakyat. Dalam pemilu dibutuhkan aturan-aturan yang spesifik. Pemilu merupakan cara didapatkannya legitimasi atas kekuasaan bagi rezim dalam memerintah.

Reformasi membawa beberapa perubahan fundamental. Pertama, dibuka kesempatan kembali untuk bergeraknya partai politik secara bebas, termasuk mendirikan partai baru. Ketentuan ini kemudian tercermin dalam pemilihan umum

1999 yang diselenggarakan dengan disertai banyak partai. Kedua, pada pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, sebelumnya presiden dan wakil

12 Efriza, Yoyoh Rohaniah, Pengantar Ilmu Politik: Kajian Mendasar Ilmu Politik, (Malang: Intrans Publishing, 2015), h 439 13 Ibid., h 440 14 Ibid., h 440

23 presiden dipilih melalui MPR. Ketiga, diadakan pemilihan untuk suatu badan baru, yaitu DPD yang akan mewakili kepentingan daerah secara khusus. Keempat, diadakan electoral threshold.15 Untuk pemilihan presiden dan wakil presiden, partai politik harus memperoleh minimal 3% jumlah kursi dalam badan yang bersangkutan atau 5% dari perolehan suara sah secara nasional.16

B.1 Fungsi Pemilu

Secara umum, pemilu berfungsi sebagai alat atas mekanisme rakyat sebuah negara atau wilayah untuk memilih pemimpin. Pemilu dapat dikatakan pula berfungsi sebagai cara pengambilan keputusan tentang siapa yang akan memerintah warga negara. Di samping fungsi utama itu, pemilihan umum juga memiliki fungsi-fungsi lain. Leduc et.al. menyebutkan bahwa pemilihan umum berfungsi juga untuk membentuk agenda kebijakan ke depan, memilih wakil-wakil, menentukan komposisi di parlemen, dan memengaruhi distribusi kekuasaan di pemerintahan.17

Tak hanya itu, fungsi dari pemilu juga tak dapat dilepaskan dari sistem politik apa yang diterapkan di sebuah negara. pemilu di negara yang demokratis jelas berbeda bila dibandingkan dengan negara yang tidak demokratis. Dalam negara yang demokratis, pemilu berfungsi sebagai legitimasi sebenarnya dari rakyat terhadap pemerintahan terpilih hasil pemilu. Siapa yang menang dalam sebuah pemilu artinya mayoritas rakyat mendukung pemenang tersebut. Dalam bahasa lain, juga dapat

15 Ketentuan bahwa untuk pemilihan legislatif setiap partai harus meraih minimal 3% jumlah kursi anggota badan legislatif pusat. 16 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), h 483 17 Efriza, Yoyoh Rohaniah, Pengantar Ilmu Politik: Kajian Mendasar Ilmu Politik, h 144

24 dikatakan bahwa dukungan rakyat yang rendah merupakan ancaman untuk sistem demokrasi.

Sebaliknya, pemilu di negara yang tidak demokratis diselenggarakan tidak lebih sebagai formalitas dari rezim dan pemimpin yang berkuasa dari waktu ke waktu di sebuah negara. Penyelenggaraan pemilu di negara tidak demokratis itu umumnya penuh dengan kecurangan dan tidak menggambarkan keinginan sebenarnya rakyat akan pemimpin mereka.18

B.2 Jenis Sistem Pemilu

Pemilu dijalankan dengan mengacu kepada sistem pemilu yang dipakai di negara itu. Berbicara mengenai sistem pemilihan umum identik dengan tata cara pemilihan umum untuk pemilihan umum presiden, cara memilih presiden adalah dengan sistem suara terbanyak atau mayoritas. Ada beberapa jenis sistem pemilu di dunia, antara lain:

1. Plurality system. Sistem pluralitas, atau banyak dikenal sebagai first-past- the-post (FPTP), adalah sistem pemilu yang sederhana karena seorang kandidat perlu memililki suara yang lebih banyak daripada penantangnya yang lain. Sistem ini biasanya diterapkan di dalam single member districts. Meskipun demikian, sistem ini dapat dipakai juga di dalam multi-member districts. Sebagai contoh, pada pemilu presiden di Amerika Serikat, anggota dari electoral college dipilih di dalam tiap negara bagian dengan dasar winner-takes-all, yang artinya partai politik yang mendapat jumlah suara tertinggi maka parpol yang mendapat jumlah suara tertinggi

18 Ibid., h 44-145

25 maka parpol itu mendapatkan semua suara dari negara bagian itu di dalam Electoral

College

2. Majority system. Sistem mayoritas adalah sistem yang lebih kompleks daripada sistem pluralitas. Dalam sistem mayoritas, disyaratkan bahwa ada mayoritas dengan spesifikasi tertentu yang hal itu kemudian membuka kemungkinan tidak ada calon yang menang langsung ketika di satu putaran. Ada tiga cara untuk menuntaskan persoalan belum adanya pemenang suara mayoritas di satu putaran. Pertama, dalam sistem majority runoff, apabila di putaran pertama tidak ada pemenang mayoritas, maka di putaran kedua dua calon dengan suara terbanyak akan bertarung untuk menentukan siapa pemenangnya. Kedua, dalam sistem majority plurality, tidak ada pengurangan jumlah calon di putaran kedua dan pemenang adalah calon yang mendapatkan pluralitas dalam suara. Ketiga, alternative vote adalah opsi yang lebih tidak berbiaya di mana pemilih, meskipun memilih seorang calon, memeringkat calon dengan tujuan pemilihan. Pilihan pertama dihitung, dan calon yang memperoleh mayoritas di tahap ini ditetapkan sebagai pemenang. Pilihan kedua dan di bawahnya diperhitungkan jika tidak ada calon yang memperoleh mayoritas dari pilihan pertama.

Calon yang mendapat suara terendah di pilihan pertama dieliminasi, dan pilihan kedua diekspresikan pada suaranya yang dihitung dan “dipindah” ke calon lain. Jika belum didapatkan pemenang juga, dibuka pilihan ketiga dan di mana saat itu pilihan ketiga dieliminasi dan kemudian dipilih kembali.

3. Proportional. Sistem proporsional biasa digunakan hanya pada wilayah yang bertingkat dan banyak, sehingga tidak mungkin mendistribusikan satu kursi di antara

26 banyak parpol, kecuali pada basis kronologis. Ada dua tipe sistem proporsional.

Pertama adalah list systems. Kedua, single transferable vote. Tipe list systems dapat dibagi lagi menjadi lima jenis untuk pembuatan lima keputusan utama, yaitu district, formula, tiers, thresholds, dan preferences. Selanjutnya, tipe single transferable vote adalah tipe yang lebih sedikit memberi kontrol kepada partai dalam sebuah pemilu.

Dalam sistem ini, pemilih diberikan lebih banyak kebebasan. Seperti halnya dalam sistem daftar, anggota dipilih dalam distrik yang multi anggota. Namun, calon dikelompokkan dalam suara tunggal, kemudian diperingkat ditentukan oleh pemilih sebagai suara pilihan. Dalam hal ini, suara pilihan pertama diperhitungkan.

4. Mixed system. Secara teknis memang tidak mudah namun sangatlah mungkin untuk menggabungkan sistem pemilu berbeda secara bersama-sama dengan tujuan menggabung sistem. Penggabungan sistem terjadi dikarenakan tidak semua ilmuwan setuju dengan penerapan satu sistem. Sistem ampuran adalah sistem di mana formula berbeda digunakan secara bersama-sama dalam sebuah pemilu tunggal. Ada tiga cara mencampur perwakilan proporsional baik itu plurality ataupun majority. Cara pertama adalaha dengan menerpkan perwakilan proporsional sebagian di wilayah nasional itu baik plurality maupun majority. Cara kedua melibatkan dua ikatan anggota (beberapa dipilih oleh perwakilan proporsional, yang lain dipilih oleh plurality atau majority) di seluruh negara.19

19 Ibid., h 145-151

27

B.3 Pilpres dalam UU

UUD Negara Republik Indonesia 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakya. Salah satu wujud dari kedaulatan rakyat menurut UU Nomor 42 Tahun

2008 adalah untuk memilih presiden dan wakil presiden yang dilaksanakan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Dalam UU ini penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden dilaksanakan dengan tujuan untuk memilih presiden dan wakil presiden yang memperoleh dukungan kuat dari rakyat sehingga mampu menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan negara dalam rangka tercapainya tujuan nasional.

Disamping itu, pengaturan terhadap pemilu presiden dan wakil presiden dalam UU ini juga dimaksudkan untuk menegaskan sistem presidensil yang kuat dan efektif, dimana presiden dan wakil presiden terpilih tidak hanya memperoleh legitimasi yang kuat dari rakyat, namun dalam rangka mewujudkan efektifitas pemerintahan juga diperlukan basis dukungan dari DPR. UU ini diatur beberapa substansi penting yang signifikan antara lain mengenai persyaratan capres dan cawapres wajib memiliki visi, misi, dan program kerja yang akan dilaksanakan selama 5 (lima) tahun ke depan.

Dalam Bab III pasal lima bagian persyaratan capres dan cawapres, dijelaskan bahwa ada beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para capres dan cawapres. Salah satunya adalah menteri yang akan dicalonkan menjadi presiden atau wakil presiden harus mengundurkan diri pada saat didaftarkan ke KPU. Selain para

Menteri, UU ini juga mewajibkan kepada Ketua MA, Ketua MK, Pimpinan BPK,

28

Panglima TNI, Kepala POLRI, dan Pimpinan KPK mengundurkan diri apabila dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden. Pengunduran diri para pejabat negara tersebut dimaksudkan untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan terwujudnya etika politik ketatanegaraan. Untuk menjaga etika penyelenggaraan pemerintahan, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota perlu meminta izin kepada Presiden pada saat dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden.

Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih adalah pemimpin bangsa, bukan hanya pemimpin golongan atau kelompok tertentu. Untuk itu, dalam rangka membangun etika pemerintahan terdapat semangat bahwa Presiden atau Wakil

Presiden terpilih tidak merangkap jabatan sebagai Pimpinan parpol yang pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing parpol.

Proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan melalui kesepakatan tertulis parpol atau gabungan parpol dalam pengusulan pasangan calon yang memiliki nuansa terwujudnya koalisi permanen guna mendukung terciptanya efektifitas pemerintahan. Adapun mengenai pengaturan Kampanye, Undang-Undang ini mengatur perlunya dilaksanakan debat Pasangan Calon dalam rangka mengefektifkan penyebarluasan visi, misi, dan program Pasangan Calon yang bersifat edukatif dan informatif.20

20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden http://www.dpr.go.id/

29

C. Suksesi

Suksesi berasal dari kata Inggris succession, yaitu masalah penerusan atau pelanjutan.21 Di negara kita masalah suksesi ini sering disebut sebagai masalah estafet kepemimpinan. Artinya, penyerahan kepemimpinan dari generasi tua kepada generasi muda.22 Masalah suksesi pada dasarnya ialah masalah memilih manusia-manusia pengelola yang diperkirakan akan mampu membawa suatu dinasti, suatu negara, suatu organisasi politik atau suatu perusahanan mengarungi kehidupan yang terbentang di masa kini dan di masa depan. Masalah ini pada umumnya timbul pada waktu seorang pemimpin atau sekelompok pemimpin kelihatan munafik dan menurun kemampuannya untuk menyelesaikan dengan baik persoalan-persoalan yang dihadapi organsasinya, dan menurun pula kemampuannya untuk menangkap peristiwa- peristiwa yang terjadi dalam zamannya. Masalah suksesi mulai menjadi pembicaraan, mulai menjadi issue, apabila orang mulai meragukan kemampuan suatu pimpinan untuk mengemudikan jalan bahtera organisasi yang dipimpinnya.

Pada dasarnya ada dua cara yang ditempuh berbagai pihak untuk menghadapi masalah suksesi dan transfromasi ini. Pada satu pihak terdapat masyarakat- masyarakat yang menghadapi masalah suksesi dan transformasi ini secara antisipatoris, yatu memikirkannya sebelum soal suksesi dan transfromasi ini menjadi suatu kenyataan yang harus dipecahkan dengan segera. Tetapi pada pihak yang lain terdapat pula masyarakat-masyarakat yang menghadapi kedua masalah ini secara ex

21 Mochtar Buchori, Transformasi, Suksesi & Masalah-masalah Demokrasi: Kumpulan Karangan, (Jakarta: IKIP Muhammadiyah, 1994), h 146 22 Ibid., h 147

30 post facto, yaitu baru memikirkannya setelah mereka dihadapkan kepada kenyataan bahwa mereka harus segera memilih seorang pengganti atau menentukan suatu bentuk baru bagi kehidupan mereka.23

Menurut Peter Calvert, suksesi politik merupakan cara dimana kekuasaan

(kekuatan) politik diwariskan, atau ditransfer, dari suatu individu, pemerintahan atau rezim ke individu, pemerintahan atau rezim lainnya. Dalam pengertian sempit, suksesi politik merujuk pada cara dimana berbagai rencana rapi dibuat untuk melakukan transfer kekuasaan sedemikian rupa, sehingga krisis legitimasi bersifat sementara dan tak terelakkan, dapat dikendalikan.24

Suksesi merupakan sisi politik yang sangat fundamental, dan karena sifat biologis manusia menyebabkan suksesi itu harus terjadi. Bagaimanapun lamanya perubahan kepemimpinan itu ditangguhkan, proses suksesi pada akhirnya pasti terjadi. Umumnya, banyak pemegang kekuasaan yang enggan menghadapi kenyataan ini. Mereka mengidentifikasikan stabilitas sistem itu dengan terus terpegangnya jabatan di tangannya sendiri. Gaya kekuasaan seperti ini, jelas-jelas dapat menjadi faktor yang menentukan terjadinya destabilisasi tatanan politik. Harapan seorang pemimpin yang gagal dalm memperoleh dukungan, dapat cepat turun sampai tidak ada sama sekali kekuasaannya, kemudian ia dapat mengatur jalannya suksesi iu.

Tetapi hal itu tidak akan terjadi bila ada orang lain yang mampu menggantikannya;

23 Ibid., h 149 24 Peter Calvert, Proses Suksesi Politik, (Yogyakarta: PT Tirta Wacana Yogyakarta, 1995), h 1

31 karena upaya untuk mempertahankan keberlangsungan pemerintahan itu harus mengakhirinya dengan cara lain yang daoat dibenarkan secara publik.25

Karena itu, suksesi tidak hanya mempersoalkan masalah penerimaan atau tindakan memilih seorang pengganti, melainkan juga serangkaian keputusan untuk melakukan penerapan pilihan itu. Pada akhirnya, sebuah proses suksesi tidak hanya melibatkan suau interaksi antara pemerintah dengan pihak yang diperintah.

Kenyataan menunjukkan bahwa dalam suksesi, secara sadar atau tidak orang yang terlibat di dalamnya melakukan pembaruan kontrak antara penguasa dengan yang dikuasainya. Transaksi yang terjadi pada saat itu merupakan titik awal untk melakukan perombakan sistem atau melanjutkan sistem politik itu. Pengesahan formalnya, umumnya diwujudkan dalam sumpah jabatan yang menyertai pelantikan seorang pemimpin politik baru. Melalui formalitas penerimaan jabatan, kemudian pernyataan kewenangan pemegang kekuasaan, dan kekuasaan diperbaharui oleh pejabat baru.26

D. Partisipasi Politik

Partisipasi politik secara harfiah berarti keikutsertaan dalam konteks politik.

Hal ini mengacu pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik.

Keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan

25 Ibid., h 1-2 26 Ibid., h 2

32 keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan.27

Partisipasi politik menurut Miriam Budiardjo adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut sert secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara dan secra langsung atau tidak langsung, memengaruhi kebijakan pemerintah. Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan atau lobbying dengan pejabat pemerintah atau angota parlemen, menjadi anggota partai atau salah satu gerakan sosial dengan direct action nya, dan sebagainya.28

Menurut George dan Achilles dalam Efriza dan Yoyoh, partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak secara pribadi-pribadi dan dimaksud untuk memengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi jenis ini bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisasi atau spontan, mantap atau sportif, atau tiak efektif. Kegaiatan warga negara dalam partisisi politik dapat berupa pemberian suara, ikut dalam kampanye arau menjadi anggota parpol, dan lainnya. Maka secara umum, partisipasi politik dipahami sebagai keikutsertaan masyarakat dalam aktivitas- aktivitas yang dilakukan oleh kelompok dalam kehidupan sosial dan politik.29

27 Yalvema Miaz, Partisipasi Politik: Pola Perilaku Pemilih Pemilu Masa Orde Baru dan Refromasi, (Padang: UNP Press, 2012), h 20 28 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, h 367 29 Yoyoh Rohaniah, Efriza, Pengantar Ilmu Politik: Kajian Mendasar Ilmu Politik, h 470

33

Di samping beberapa definisi di atas, partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah.

Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.30

Umumnya para ahli mendefinisikan, partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekumpulan orang untuk turut terlibat secara aktif di dalam politik yaitu untuk memilih kepemimpinan negara bersama-sama secara langsung atau tidak langsung. Kegiatan-kegiatan ini mencakup pula menentukan pilihan saat pemilu, menghadiri kampanye partai politik, dan menjadi anggota politik atau ormas.

Bentuk-bentuk partisipasi politik menurut Cohen dan Uphoff dirangkum oleh

Yalvema adalah; partisipasi dalam pembuatan keputusan; partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan; partisipasi dalam pemanfaatan hasil; dan partisipasi dalam evaluasi.31

Partisipasi politik pada hakikatnya merupakan tindakan yang suka rela, penuh kesadaran tanpa paksaan atau tekanan dari siapapun. Karena itu, partisipasi politik terkait erat dengan pemahaman terhadap pendidikan politik masyarakat atau pemilih.

Partisipasi politik merupakan prasyarat yang mutlak dalam sebuah sistem politik yang

30 Yalvema Miaz, Partisipasi Politik: Pola Perilaku Pemilih Pemilu Masa Orde Baru dan Refromasi, h 23 31 Ibid., h 22

34 demokratis. Sebuah sistem politik yang sehat menghendaki terbukanya saluran- saluran komunikasi politik sebagai bentuk partisipasi warga.

35

BAB III

KARIER MILITER DAN POLITIK CAPRES DAN CAWAPRES

PURNAWIRAWAN MILITER

Bab ini membahas mengenai profil purnawirawan militer yang mencalonkan diri menjadi capres dan cawapres pada 2004-2014. Kehidupan purnawirawan ini dibahas sejak masa sebelum masuk ke dalam militer, saat di militer, setelah di milter, dan kehidupan pasca purnawirawan dari dunia militer.

A. Agum Gumelar: Dari Kodam ke Gubernur Lemhanas

Jenderal TNI (HOR) (Purn.) Agum Gumelar lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 17 Desember 1945. Anak dari pasangan Tien Rukayah dan Muksin

Suriasantika, merupakan anak kedua dari Sembilan bersaudara.1 Menikah dengan

Linda Amaliasari dan memiliki dua anak, Haris Khaseli dan Ami Dianti.2

Meskipun lahir di Tasikmalaya, sejak kecil Agum Gumelar sudah tinggal di

Bandung mengikuti ayahnya yang pindah dinas. Ia bersekolah di SD Banjarsari I

(sekarang SD Banjarsari ada empat). Kemudian melanjutkan di SMP 2 dan SMA 2.3

1 Retno Kustiati, Fenty Effendi, Agum Gumelar: Jenderal Bersenjata Nurani, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004), h 3-5 2 Sandro Gatra, "Profil Agum Gumelar, Anggota Wantimpres", https://nasional.kompas.com/, pada, 17 Januari 2018. 3 Retno Kustiati, Fenty Effendi, Agum Gumelar: Jendral Bersenjata Nurani, h 6-7

36

Setelah tamat dari sekolah menengah atas, Agum Gumelar melanjutkan ke AMN tahun 1965 dan kemudian lulus di tahun 1968.4

Lulus dari AMN, ia langsung terpilih untuk bergabung dengan Puspassus AD, yang kini dikenal dengan nama KOPASSUS.5 Tahun 1970-an ia masuk dalam

BAKIN yang sekarang disebut BIN dan ditugaskan ke Taiwan. Selanjutnya di tahun

1973, Agum Gumelar menjabat sebagai staf Koptamtib.6

Tahun 1987 ia naik jabatan menjadi Wakil Asintel Kopassus sampai tahun

1988-1990. Setahun kemudian ia dipercaya menjadi Asintel Kasdam Jaya periode

1991-1992. Setelahnya ia dipindahkan ke Lampung untuk menjadi Danrem

043/Garuda Hitam Lampung. Tak lama kemudian, ia naik jabatan sebagai Kasdam I

Bukit Barisan sampai tahun 1996. Baru sekitar tahun 1996, ia ditarik ke ibukota menjadi staf ahli Panglima ABRI. Tugas terakhir dalam karier militernya adalah memimpin Kodam Wirabuana VII. Setelahnya ia mencalonkan diri sebagai Gubernur

Lemhanas dan kemudian pensiun dari dunia kemiliteran.7

Setelah pensiun dari militer, ia menjadi Gubernur Lemhanas di tahun 1998-

1999. Saat kepemimpinan (Gus Dur) ia dipercaya menjadi

Menhub; Menkopolsuskam; dan Menhan. Ketika Gus Dur lengser, dan digantikan

4 Ibid., h 14-17 5 Ibid., h 27 6 Andi Setiadi, Derap Politik Para Jenderal: Barisan Jenderal Penentu Arah Politik Orde Lama hingga Reformasi, (Yogyakarta: Palapa, 2016), h 30 7 Petrik Matanasi, “Sejarah Karier Agum Gumelar: Mantu Jenderal Melawan Mantu Presiden”, https://tirto.id/, artikel ini diakses pada 29 Maret 2019.

37 oleh Megawati, ia kembali menjabat sebagai Menhub. Di tahun 1999 hingga 2003

Agum Gumelar juga menjabat sebagai Ketum PSSI.

Pada tahun 2004, Agum dipercaya oleh parpol untuk digadang-gadang menjadi capres maupun cawapres. Akhirnya, (PPP) mencalonkan Agum Gumelar sebagai cawapres, mendampingi Hamzah Haz. Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal PPP

Lukman Hakim Syaifuddin mengaku pasangan tersebut kombinasi yang terbaik bagi

PPP. Latar belakang Agum sebagai seorang militer cocok dipadukan dengan Hamzah yang berbasis keagamaan dan Agum Gumelar di pandang memiliki track record yang baik. Dengan kombinasi seperti itu, Lukman berharap citra PPP bisa lebih baik.8

Akan tetapi, pasangan ini hanya meraih suara 3,01% di putaran pertama.9

Meskipun kalah pada pilpres 2004, Agum tidak kapok untuk tetap mencalonkan dirinya, Di tahun 2008 PDI Perjuangan, mengusung Agum Gumelar sebagai calon

Gubernur Jawa Barat berpasangan dengan Nu’man Abdul Hakim. Sama seperti saat pilpres, Agum dan Nu’man gagal meraup suara yang bisa membawa kemenangan.

B. SBY: Ketua Fraksi ABRI yang Melaju ke Istana

SBY lahir 9 September 1949 di Pacitan, Jawa Timur. Merupakan anak tunggal dari seorang tentara pensiunan bernama R. Soekotjo dan Sitti Habibah. SBY menikah

8 TIM Liputan 6, https://www.liputan6.com, pada 11 Mei 2004. 9 Andi Setiadi, Derap Politik Para Jenderal: Barisan Jenderal Penentu Arah Politik Orde Lama hingga Reformasi, h 32

38 dengan Kristiani Herawati, anak dari Jenderal (Purn.) Sarwo Edhi Wibowo. Memiliki dua anak, Agus Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono.10

Sejak duduk di bangku sekolah dasar, SBY memang sudah bercita-cita ingin menjadi tentara. Setelah lulus dari SMA di Pacitan tahun 1968, SBY mendaftar ke

AKABRI namun gagal karena terlambat mendaftar. Setahun kemudian, ia kembali mendaftar AKABRI dan lolos. SBY lulus dari AKABRI tahun 1973 dan mendapatkan penghargaan Adhi Makayasa karena menyandang predikat lulusan terbaik dengan prestasi tertinggi gabungan mental, fisik, dan kecerdasan intelektual.

SBY memulai kariernya di Kostrad sebagai Dan Tonpan Yonif Linud 330

Kostrad (Komandan Peleton III di Kompi Senapan A, Batalyon Infanteri Lintas

Udara 330/Tri Dharma, Kostrad) tahun 1974-1976.11

SBY terpilih untuk mengikuti Pendidikan lintas udara (airborne) dan

Pendidikan Pasukan Komando (ranger) di Pusat Pendidikan Angkatan Darat

Amerika Serikat, Ford Benning, Georgia, pada tahun 1975. SBY memangku jabatan

Komandan Peleton II Kompi A Batalyon Linud 305/Tengkorak (Dan Tonpan Yonif

305 Kostrad) tahun 1976-1977. Ia pun memimpin Peleton ini bertempur di Timor

Timur.12

10 Aswab Nanda Pratama dan Akbar Bhayu Tamtomo, ed., Inggried Dwi Wedhaswary, “Infografik Serial Presiden: Susilo Bambang Yudhoyono ", https://nasional.kompas.com, pada 2 Juli 2018. 11 Ibid., 12 Andi Setiadi, Derap Politik Para Jenderal: Barisan Jenderal Penentu Arah Politik Orde Lama hingga Reformasi, h 234

39

Sepulang dari Timor Timur, SBY menjadi komandan Peleton Mortir 81 Yonif

Linud 330 Kostrad (1977). Setelah itu, ia ditempatkan sebagai Pasi-2/Ops Mabrigif

Linud 17 Kujang I Kostrad (1977-1978), Dan Kipan Yonif Linud 330 Kostrad (1979-

1981), dan Paban Muda Sops SUAD (1981-1982).13

Selanjutnya, SBY dipercaya menjabat Dan Yonif 744 DAM IX/Udayana

(1986-1988) dan Paban Madyalat Sops Dam IX/Udayana (1988), sebelum mengikuti

Pendidikan di Seskoad di Bandung dan tamat sebagai lulusan terbaik Seskoad 1989.

SBY pun sempat menjadi dosen Seskoad (1989-1992), dan ditempatkan di Dispenad dengan tugas antara lain membuat naskah pidato KSAD Jenderal Edi Sudrajat. Ketika

Jenderal Edi Sudrajat menjabat Panglima ABRI, SBY ditarik ke Mabes ABRI untuk menjadi Korspri Pangab Jenderal Edi Sudrajat (1993).14

Ia dipercaya bertugas ke Bosnia Herzegovina untuk menjadi perwira PBB

(Perserikatan Bangsa-Bangsa) (1995). SBY menjabat sebagai kepala Pengamat

Militer PBB (Chief Military Observer United Nation Protection Force) yang bertugas mengawasi genjatan senjata di bekas negara Yugoslavia berdasarkan kesepakatan

Dayton, Amerika Serikat, antara Serbia, Kroasia, dan Bosnia Herzegovina.

Setelah kembali dari Bosnia, ia diangkat menjadi Kepala Staf Kodam Jaya

(1996). Setelah itu, Karier militernya terus meroket menjadi Pangdam II/Sriwijaya

(1996-1997) sekaligus Ketua Bakorstanasda dan Ketua Fraksi ABRI MPR juga

13 Ibid., h 235 14 Ibid., h 235

40 menjadi Juru Bicara Fraksi ABRI pada Sidang Istimewa MPR 1998. Karier militernya berhenti pada jabatan Kepala Staf teritorial (Kaster) ABRI (1998-1999).15

Atas pengabdian tersebut, SBY menerima 24 tanda kehormatan dan bintang jasa, di antaranya Satya Lencana UNPKF, Bintang Dharma, dan Bintang Maha Putra

Adipurna. Berkat jasa-jasanya yang melebihi panggilan tugas, ia menerima bintang jasa tertinggi di Indonesia, Bintang Republik Indonesia Adipurna. Berbagai jabatan kemiliteran dan pendidikan militer tinggi dicapai SBY.16 Setelah mengabdi sebagai perwira TNI selama 27 tahun, ia mengalami percepatan masa pensiun, maju lima tahun, ketika menjabat Menteri pada tahun 2000. Ia meraih pangkat Jenderal TNI pada tahun 2000. 17

Pada tahun 2000, SBY memulai langkah politiknya dengan memutuskan pensiun lebih dini dari militer. Kemudian, SBY ditunjuk menjabat sebagai

Mentamben selama masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Tidak lama kemudian, SBY harus meninggalkan posisinya sebagai Mentamben, karena Gus Dur meminta SBY untuk menjabat Menkopolsoskam.

15 Ibid., h 235-236 16 Aswab Nanda Pratama dan Akbar Bhayu Tamtomo, ed., Inggried Dwi Wedhaswary, “Infografik Serial Presiden: Susilo Bambang Yudhoyono ", https://nasional.kompas.com, pada 2 Juli 2018. 17 Andi Setiadi, Derap Politik Para Jenderal: Barisan Jenderal Penentu Arah Politik Orde Lama hingga Reformasi, h 231

41

Tahun 2001 Presiden Megawati mempercayai dan melantik SBY menjadi

Menkopolkam dalam Kabinet Gotong-Royong. Namun, pada 2004, SBY memilih untuk mengundurkan diri dari jabatan Menkopolkam.18

Pada 2004, SBY mundur dari jabatan Menteri. Ia memilih mendirikan Partai

Demokrat dan berkontestasi sebagai calon presiden melalui partai yang dibentuknya tersebut19 dan berpasangan dengan JK sebagai wakilnya.

Ia memperoleh suara tertinggi, mengalahkan Megawati. SBY berpasangan dengan JK meraih kepercayaan mayoritas rakyat Indonesa dengan perolehan suara di atas 60%. Dan pada 20 Oktober 2004, SBY dan JK dilantik menjadi presiden dan wakil presiden Republik Indonesia keenam.20 SBY memimpin Indonesia hingga

2009. Beberapa partai mulai tergabung dalam koalisi SBY, seperti Golkar, PPP, PBB

(Partai Bulan Bintang), PKB, PAN, PKP, dan PKS.21

SBY merupakan presiden keenam Republik Indonesia yang menjabat presiden selama dua periode. Ia terpilih pada pemilihan presiden langsung yang pertama, pada

2004. Setelah lima tahun, SBY kembali terpilih menjadi presiden pada Pilpres 2009.

18 Ibid., h 236 19 Aswab Nanda Pratama dan Akbar Bhayu Tamtomo, ed., Inggried Dwi Wedhaswary, “Infografik Serial Presiden: Susilo Bambang Yudhoyono ", https://nasional.kompas.com, pada 2 Juli 2018. 20 Andi Setiadi, Derap Politik Para Jenderal: Barisan Jenderal Penentu Arah Politik Orde Lama hingga Reformasi, h 236-237 21 Aswab Nanda Pratama dan Akbar Bhayu Tamtomo, ed., Inggried Dwi Wedhaswary, “Infografik Serial Presiden: Susilo Bambang Yudhoyono ", https://nasional.kompas.com, pada 2 Juli 2018.

42

Kali ini, ia berpasangan dengan Boediono, yang sebelumnya menjabat sebagai

Gubernur BI. Bersama Boediono, SBY memimpin hingga 2014.22

C. Wiranto: Pangab RI dan Menkopolsuskam

Wiranto merupakan putra keenam dari Sembilan bersaudara. Ia dilahirkan di

Yogyakarta pada 4 April 1947 dari pasangan RS Wirowijoto dan Suwarsijah. Sebulan setelah kelahirannya, Wiranto dan keluarganya pindah ke Solo.23 Ia menikah dengan

Hj. Uga Usman, dan dikaruniai dua orang putri serta seorang putra. Setelah pindah ke

Solo, Wiranto memulai pendidikanya hingga tamat SMA. Ia bersekolah di SMA

Negeri 4 Surakarta. Kemudian melanjutkan ke AMN di Magelang dan lulus tahun

1968.

Karier militer Wiranto di mulai sebagai perwira TNI AD dari Korps

Kecabangan Infanteri pada tahun 1968. Berkat kemampuannya dalam bidang militer, pada tahun 1989, ia di percaya oleh ABRI untuk menjadi ajudan presiden selama empat tahun.24 Pada 1993, karier Wiranto terus menanjak. Hal ini dibuktikan dengan diembannya jabatan sebagai Kasdam Jaya. Setelah setahun menjabat Kasdam Jaya, dan dinilai berhasil, kemudian Wiranto dipromosikan menjadi Pangdam Jaya, ini terjadi pada tahun 1994.

Karier Wiranto semakin gemilang ketika ia dilantik menjadi Pangkostrad pada tahun 1996. Rupanya, militer bagi Wiranto adalah dunia yang telah banyak

22 Ibid. 23 Andi Setiadi, Derap Politik Para Jenderal: Barisan Jenderal Penentu Arah Politik Orde Lama hingga Reformasi, h 268 24 Ibid., h 270-271

43 membesarkan namanya setelah suskses menjadi Pangkostrad, ia dipercaya untuk menjadi Direktur Latihan pada Latgab ABRI pada tahun 1996. Berkat jasanya ini, ia lagi-lagi dipercaya dan dilantik sebagai KASAD pada tahun 1997. Ini adalah sebuah pencapaian karier yang cukup gemilang bagi Wiranto.25

Rupanya, karier Wiranto tidak hanya berhenti di situ saja. Berkat dedikasi yang tinggi, pada tahun 1998, Wiranto dipercaya menjabat (Pangab) oleh Presiden

Soeharto. Setelah dilantik sebagai Pangab, beberapa bulan kemudian ia dilantik kembali sebagai Menhankam atau Pangab.26 Jabatan Wiranto kemudian berganti menjadi Menhankam setelah terjadi pemisahan POLRI dari organisasi kesatuan

ABRI pada 1 April 1999, yang kemudian sebutan ABRI berganti menjadi TNI.

Setelah SU MPR 1999, Wiranto ditunjuk oleh Presiden RI sebagai Menkopolkam. Ia mengemban jabatan ini hingga Mei 2000.

Wiranto memulai karier sebagai seorang ajudan Presiden selama empat tahun pada Orde Baru. Ketika Orde Baru ambruk, dan kemudian digantikan masa transisi,

Wiranto mendapat kepercayaan oleh Presiden Habibie untuk menjabat sebagai

Menhankam/Pangab. Tugasnya adalah mengurusi segala aktivitas keamanan negara.

Begitu juga di Era Gus Dur, Wiranto kembali mendapat kepercayaan untuk menjabat sebagai Menkopolkam. Meski jabatan ini tidak bertahan lama.27

Pada era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Wiranto menjabat sebagai Menhankam. Namun, masa jabatan itu tidak lama. Sebab, ada

25 Ibid., h 271 26 Ibid., h 271-272 27 Ibid., h 271-273

44 ketidakcocokan antara visinya dengan pandangan pemerintah zaman Gus Dur.

Ketidaksamaan visi tersebut menyebabkan Wiranto harus kehilangan jabatannya.

Selain itu, ia juga pernah memangku di luar jabaan militer, salah satunya sebagai

Ketum FORKI dan Ketum GASBI.28

Pada pemilu 2004, Wiranto kembali berkecimpung dalam dunia politik.

Bersama Salahudin Wahid, Wiranto mencalonkan diri sebagai presiden Indonesia.

Akan tetapi, perolehan suara yang mereka dapatkan tidaklah cukup besar. Mereka kalah pada pemilihan pada tahun tersebut dengan menempati posisi ketiga dalam perolehan suara. Kekalahan dalam pemilu 2004 tidak menjadikan Wiranto berhenti berpolitik. Sebaliknya, pada 21 Desember 2006, ia mendeklarasikan Partai

HANURA. Ia pun didaulat sebagai ketua partai tersebut.29

D. Prabowo: Panglima Kostrad menjadi Pengusaha

Prabowo Subianto Djojohadikusumo merupakan anak dari pakar ekonomi

Indonesia pada zaman Soekarno dan Soeharto, yaitu Prof. Soemitro

Djojohadikusumo dan istrinya Dora Marie Sigar. Lahir di Jakarta pada 17 Oktober

1951. Ia merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Kedua kakaknya perempuan;

Biantiningsih Miderawati dan Maryani Ekowati, dan satu adik laki-laki, Hashim

Djojohadikusumo. Prabowo menikah dengan Siti Hediati Hariyadi, anak dari

28 Ibid., h 270 29 Ibid., h 274

45

Presiden Soeharto. Dari pernikahannya dikaruniai satu orang anak bernama Ragowo

Didiet Hediprasetyo.

Sejak kecil, Prabowo tinggal berpindah-pindah tempat di luar negeri karena mengikuti tugas orang tuanya. Dari satu negeri ke negeri lain. Begitu juga dengan

Pendidikan dasar hingga menenganhnya selalu berganti-ganti. Ia sekolah SD di

Hongkong, pindah ke Malaysia, Swiss dan Inggris. Pada usia 16 tahun, Prabowo menamatkan sekolah menengah di London pada 1967.

Pada tahun 1970 saat umurnya memasuki 19 tahun, Prabowo memutuskan untuk masuk Pendidikan di AMN di Magelang, Jawa Tengah. Prabowo menjadi lulusan AKABRI terbaik pada 1974. Dua tahun kemudian, ia menjadi Komandan

Peleton Para Komando Group-1 Kopassandha. Pada 1977, Prabowo menjabat

Komandan Kompi Para Komando Group-1 Kopassandha dengan pangkat letnan satu.30

Prabowo pernah dipercaya sebagai wakil komandan Detasemen 81 Gultor

Kopassus, pada tahun 1983. Setelah menyelesaikan pelatihan di Special Forces

Officer Course Fort Benning, Amerika Serikat, Prabowo Subianto diberi tanggung jawab sebagai komandan Batalion Infanteri Lintas Udara (Linud) 328 Kostrad hingga tahun 1987, dan diperpanjang sampai ahun 1991. Kemudian, ia dipercaya kembali mengemban tugas sebagai kepala Staf Brigade Infanteri Linud 17/Kujang/Kostrad sejak tahun 1991 hingga 1993.

30 Susilo Pranoto, Prabowo: Macan Asia Harapan Bangsa?, (Yogyakarta: Palapa, 2018), h 13

46

Setelah itu, Prabowo Subianto kembali ke Kopassus sebagai komandan Grup 3, yaitu komandan Pusat Pendidikan Pasukan Khusus di Batujajar, Jawa Barat, pada tahun 1993. Setahun kemudian, ia menjabat sebagai wakil komandan Kopassus. Dan, pada tahun 1994, ia dipercaya menjadi orang nomor satu di korps baret merah pasukan elit TNI AD itu.31

Pada tahun 1998, Prabowo ditarik kembali menjadi Panglima Kostrad dengan pangkat letnan jenderal, dalam usia relatif muda, yakni 47 tahun. Pada tahun inilah, ia tersandung Tragedi Mei yang menyebabkan ia dipindahkan menjadi komandan Sesko

TNI. Atas pertimbangan DKP, Prabowo diberhentikan dari dinas kemiliterannya.32

Setelah tidak menjabat dan pensiun dari militer, Prabowo meninggalkan

Indonesia dan tinggal di Yordania dan Jerman. Dia di sana menekuni bisnis bersama adiknya, Hasyim yang terlebih dulu menjadi pengusaha. Setelah sekitar 7 tahun menekuni bisnis dan hilang dari hingar bingar Indonesia, ia kembali ke tanah air dengan tampil di publik.

Pada tahun 2004, ia mencoba bertarung menjadi capres melalui konvensi Partai

Golkar. Belum berhasil di Golkar, dia membangun jaringan tani, ia terpilih sebagai

HKTI 2004. Ditahun yang sama, ia maju sebagai cawapres berpasangan dengan capres Megawati. Lagi-lagi belum berhasil. Pada 2008, ia mendirikan Partai Gerindra sekaligus sebagai Ketua Dewan Pembina. Pada Pilpres 2009, Prabowo Subianto

31 Andi Setiadi, Derap Politik Para Jenderal: Barisan Jenderal Penentu Arah Politik Orde Lama hingga Reformasi, h 166 32 Ibid., h 166-167

47 mendampingi Megawati Soekarnoputri sebagai calon wakil presiden. Namun, ia bersama Megawati gagal melenggang ke Istana.

Lima tahun berselang, pada Pilpres 2014, Prabowo kembali maju. Saat itu, ia sebagai capres. Prabowo bersama sebagai cawapres. Dalam proses pencalonan dalam pilpres 2014, PPP merupakan partai pertama yang mengumumkan resmi berkoalisi dengan Partai Gerinrda. Selain PPP, PAN juga bergabung untuk berkoalisi dengan Partai Gerindra.33 Namun, pasangan ini belum berhasil menang.

Tapi Partai gerindra, meraih kenaikkan suara yang signifikan pada Pemilu 2014 dengan menjadi peringkat ketiga setelah PDIP dan Golkar.

33 Mansur AM, ed., Thamzil Thahir, “Begini Peta Koalisi Parpol”, Pilpres 2004, 2009, dan 2014, http://makassar.tribunnews.com/, pada 13 Mei 2014.

48

BAB IV

KETERLIBATAN PURNAWIRAWAN MILITER

DALAM PILPRES ERA DEMOKRASI

Bab ini membahas mengenai para purnawirawan militer terjun ke dunia politik setelah masa tugas dan mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres pada tahun

2004, 2009, dan 2014. Pembahasan ini dilanjutkan dengan faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat memilih calon yang memiliki latar belakang militer.

A. Pasca Militer

Keterlibatan militer dalam politik memiliki landasan hukum yang kuat.

Disebutkan dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 pasal 39, bahwa prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan menjadi anggota parpol; kegiatan politik praktis; kegiatan bisnis; dan kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilu dan jabatan politis lainnya. Berhubungan dengan pasal tersebut, dalam pasal 47 ayat 1 dikatakan bahwa prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.1

Jika sudah tidak terlibat lagi dalam dunia kemiliteran dan selesai masa bakti di militer, maka status tentara menjadi purnawirawan, dan memiliki hak yang sama dengan masayarakat sipil untuk dapat memilih dan dipilih.2 Mereka juga dapat

1 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, http://dpr.go.id/ 2 Wawancara dengan Agum Gumelar, Calon Wakil Presiden Pemilu 2004, pada Selasa 26 maret 2019, pukul 13:00 WIB

49 memilih pilihan karier setelah purna, seperti berdagang, atau terjun ke politik (bupati, walikota, gubernur, menteri, presiden, pimpinan partai, dan sebagainya.)3

Tidak adanya aturan mengenai batasan waktu yang jelas terhadap purnawirawan hingga mereka dapat berpolitik membuat purnawirawan leluasa kapan saja untuk terjun kedalam politik. Sejumlah purnawirawan seolah telah menemukan kendaraan baru bagi mereka untuk mengekspresikan dirinya setelah masa komandonya usai dengan masuk kedalam dunia politik.4

Salim Said mengatakan dalam wawancara bersama Republika, tidak ada salahnya purnawirawan masuk ke dunia politik, namun perlu diatur dalam UU jangka waktu kapan purnawirawan dapat beraktivitas di dunia sipil termasuk politik. Dengan adanya jeda waktu, netralitas militer dan aparat keamanan dalam kontestasi politik bisa dijaga. Prasangka negatif dari masyarakat kepada purnawirawan militer juga bisa dihindari. Misalnya dugaan pemanfaatan kekuatan militer untuk kepentingan pribadi atau politik.5

Jangka waktu setelah melepas jabatan juga membuat perwira tetap fokus menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Karena bisa saja, menjelang akhir masa jabatan oknum perwira memanfaatkan kewenangannya untuk mempersiapkan karir politiknya. Di beberapa negara maju telah diatur jangka waktu seorang purnawirawan diperbolehkan memasuki karir di dunia sipil. Seperti di Israel dan Amerika Serikat

3 Wawancara dengan Andi Mallarangeng, Juru Bicara Kepresidenan periode 2004-2009, pada Rabu 15 Mei 2019, pukul 15:00 WIB 4 Arie S. Soesilo, “Jaringan Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia dalam Politik Relasi Sipil-Militer Pasca Reformasi TNI”, Jurnal Sosiologi Masyarakat, Vol. 19, No. 2, Juli 2014, h 200 5 Redaktur:Muhammad Hafil, Reporter: Ira Sasmita “Purnawirawan TNI Jadi Politikus Perlu Diatur Undang-Undang”, https://republika.co.id/, pada 23 Feb 2014

50 yang membatasi minimal dua tahun setelah pensiun purnawirawan diperbolehkan terjun ke dunia politik.6

Demikian juga di kalangan purnawirawan TNI, keterlibatan mereka dalam pemilu tanpa jeda waktu yang cukup panjang dikhawatirkan secara tidak langsung dalam menimbulkan friksi di kalangan internal militer. Posisi yang berseberangan antar mantan komandan di kalangan militer akan menjadikan para prajurit dapat berdiri pada kegamangan dalam kegiatan dan proses pemilu yang sedang berlangsung mengingat dalam struktur organisasi mereka kendali komando, memegang peranan penting. Kendali komando ini secara psikologis seringkali tidak bisa hilang dalam jangka waktu yang pendek. Oleh karenanya ke depan, purnawirawan yang akan terlibat dalam pemilu maupun politik praktis lainnya paling sedikit ia telah melalui satu periode masa pemilu. Hal ini selain untuk memberikan jeda pada para purnawirawan tersebut terlibat politik praktis serta mengurangi keuntungan mereka penggunakan struktur komando yang pernah dimilikinya untuk memenangkan kontetasi politik, sekaligus juga memberikan kesempatan dan ruang kompetisi yang sama antara calon yang berasal dan militer dengan yang non militer.7

Menurut Amos Perlmutter dikutip oleh Yuddy, ada beberapa alasan yang menyebabkan militer secara aktif terlibat dalam kegiatan politik, diantaranya; rangkaian sebab yang menyangkut adanya ketidakadilan sistem politik; rangkaian akibat ketidakmampuan pemimpin sipil untuk mempertahankan legitimasinya; dan

6 Ibid. 7 Sri Yanuarti, “Militer dan Pemilu-Pemilu di Indoensia”, Jurnal Penelitian Politik, Vol. 15 No. 2, (Desember 2018), h 247

51 rangkaian sebab yang berhubungan dengan political perspective kaum militer. Ada dua faktor yang membuat militer melakukan intervensi ke dalam aspek politik, yaitu faktor internal militer dan faktor eksternal militer. Faktor-faktor ini meliputi: a. Faktor internal militer, yaitu adanya dorongan dari dalam tubuh militer sendiri

untuk melakukan intervensi dengan berbagai alasan untuk membela atau

memajukan kepentingan militer sekalipun berlawanan dengan norma

konstitusional. Intervensi militer didorong oleh kepentingan kelas untuk

membela nilai-nilai dan aspirasi kelas menengah tempat mereka berasal. b. Faktor eksternal militer menjelaskan bahwa intervensi militer dalam politik

sebagai akibat struktur politik masyarakat yang masih rendah. Kegagalan

sistem politik dari kalangan sipil yang memerintah atau kelompok sipil

dipandang tidak mampu memberikan jaminan tertib politik dan stabilitas

politik.8

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh McCloud dikutip oleh Agust Riewanto, masuknya militer ke dalam politik praktis yang pada umumnya terjadi di Asia disebabkan beberapa hal;

Pertama, mahalnya harga stabilitas keamanan bagi publik, karena dalam negeri selalu terjadi perpecahan antar etnis, agama serta factor-faktor ekonomi dan politik lainnya, hingga memicu lemhanya dunia usaha dan penegakan hukum.

8 Yuddy Chrisnandi, Reformasi TNI: Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2005), h 23-24

52

Kedua, ketidakmampuan politisi sipil mengemban amanat kekuasaan, sehingga manajemen negara cenderung amburdul dan elit politik sipil cenderung sibuk berbgai kekuasaan ketimbang terus mengupayakan efektifitas sebuah pemerintahan.

Ketiga, tidak stabilnya alat-alat kekuasaan negara karena cenderung saling melempar tanggung jawab dan saling mencurigai.

Keempat, terjadinya krisis kepercayaan terhadap politisi sipil, karena tidak mampu membawa gerbang penderitaan rakyat, menuju kemakmuran dan kedaulatan.

Atas dasar realitas politik itulah, pada umumnya, public dirindukan oleh sosok pemimpin politik yng berasal dari kalangan militer, bahkan memitoskannya sebagai dewa penyelamat bangsa, bahkan ada yang menyebutkan sebagai satria pinginit.9

Menurut Arie, masuknya purnawirawan TNI ke ranah politik Indonesia disebabkan oleh lemahnya institusi kepartaian serta inkompetensi politisi sipil. Hal ini mendorong politisi purnawirawan TNI untuk menerapkan kapabilitasnya dalam bidang militer, seperti penguasaan teritorial, untuk menggerakkan mesin partai. Di samping itu, aspek lain yang menjadi mediator yang dapat menjelaskan masuknya purnawirawan TNI ke dalam politik, antara lain pembentukan karakter TNI,

Dwifungsi ABRI, purnawirawan TNI sebagai warga sipil, organisasi purnawirawan

TNI, usia pensiun, orientasi kekuasaan, dan kegiatan pasca pensiun purnawirawan

TNI.10

9 Agust Riewanto, Ensiklopedi Pemilu: Analisis Kritis Instropektif Pemilu 2004 Menuju Agenda Pemilu 2009, (Wonogiri: Lembaga Studi Agama & Budaya, 2007), h 152 10 Aries S. Soesilo, “Jaringan Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia dalam Politik Relasi Sipil-Militer Pasca Reformasi TNI.” Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 19, No. 2, Juli 2014, h 196

53

B. Pengalaman Kepemimpinan

B.1. Memiliki Bekal Kepemimpinan sejak Masa Pendidikan

Dalam pembentukan karakter, mereka dididik dengan keras, yang melarang munculnya pemikiran dan kepentingan pribadi yang bertentangan dengan Esprit deCorps.11 Karakter ini yang pada akhirnya melekat pada diri purnawirawan militer.

Karakter yang berorientasi pada kesetiaan dan pembangunan bangsa. Dalam masa pendidikan, purnawirawan militer pada saat itu dituntut untuk memiliki wawasan politik.

Mereka juga dibekali pengetahuan non-militer untuk menjalankan tugasnya mengabdi pada bangsa dan negara. Pengetahuan non-militer ini memiliki tiga perspektif, yaitu; perspektif sosiologis militer, membahas mengenai hubungan sosial antara elit militer dengan masalah sosial budaya; perspektif perbandingan politik, militer memiliki kekuatan dalam politik yang berperan dalam proses perubahan yang direncanakan suatu negara; dan perspektif strategi dan ilmu hubungan internasional, militer memiliki peran dalam menjalin hubungan antar bangsa sebagai dampak perkembangan pemikiran strategis darinya.12

Salah satu alasan mengapa akhirnya banyak purnawirawan yang memilih politik untuk karirnya setelah purna, ketika masih menjadi tentara mereka mengawal

11 Esprit de corps merupakan pemikiran yang mempengaruhi kinerja kelompok membentuk kesetiaan dan perasaan yang menyatukan anggota kelompok. Webmaster, “Kepemimpinan Moral Kerja dan Esprit de Corps”, http://fe.unpad.ac.id/, pada Rabu, 24 April 2013 12 Nurhasanah Leni, “Keterlibatan Militer dalam Kancah Politik di Indonesia”, Jurnal TAPIs, Vol. 9, No.1 Januari-Juni 2013

54 negara, dan biasa masuk dalam isu-isu kenegaraan.13 Seperti menjadi Dandim,

Danrem, lalu Pangdam, bahkan menteri yang menjadikan mereka terbiasa dengan berbagai isu kenegaraan.

B.2. Mempunyai Pengalaman di Pemerintahan

Masyarakat melihat purnawirawan TNI ini adalah orang-orang yang sudah teruji dan dipercaya untuk menjadi untuk mengurus negara. Mulai dari berbagai jenjang di eksekutif di daerah maupun di pusat. Sehingga mereka yang menjadi purnawirawan TNI juga banyak yang dipercaya jadi wakil rakyat, pejabat pemerintah, dan sebagainya.14

Pengalaman Agum Gumelar di pemerintahan cukup banyak, seperti menjabat sebagai Gubernur Lemhanas, Menkopolsoskam dan Menhan saat era Presiden

Gusdur, dan Menhub di dua periode, yaitu periode Gus Dur dan Megawati.

SBY dalam pemerintahan sempat menjabat sebagai Ketua Fraksi ABRI di

MPR, Mentamben dan Menkopolsoskam di era Gusdur, juga Menkopolkam saat era

Megawati.

Wiranto sempat merasakan kursi pemerintahan, ia sempat menjabat sebagai

Menhankam era Bj. Habibie, dan Menkopolkam di Gusdur. Namun, Prabowo belum merasakan menduduki kursi pemerintahan sebelum ia mencalonkan diri sebagai presiden.

13 Wawancara dengan Andi Mallarangeng, Juru Bicara Kepresidenan periode 2004-2009, pada Rabu 15 Mei 2019, pukul 15:00 WIB 14 Ibid.

55

B.3. Menjalankan Dwifungsi ABRI

Soeharto merupakan pemimpin Orde Baru selama bertahun-tahun. Soeharto yang kemudian menerapkan peran politik militer untuk ikut berpartisipasi melebihi kapasitasnya sebagai alat pertahanan negara.15

Salah satunya adalah mantan gubernur Lemhanas Sutopo Yuwono yang menyatakan bahwa hanya militer yang memiliki organisasi yang cukup rapi dan memiliki disiplin keras. Hal ini dibutuhkan untuk membangun negara yang sedang dalam masa transisi dari rezim otoriter menuju kepada reformasi seperti yang terjadi sekitar tahun 1990-an. Namun, hal ini juga karena dahulu ABRI merasa ikut memperjuangkan kemerdekaan ini dengan banyak korban, sehingga tidak rela kalau negara ini sampai hancur kembali.

Berdasarkan pernyataan perwira militer yang menduduki jabatan sipil bahwa stabilitas nasional merupakan prasyarat bagi pembangunan disegala bidang. Oleh karena itu, ABRI dengan perannya sebagai stabilisator dan dinamisator kehidupan bangsa, terpanggil untuk mendorong berfungsinya sistem kehidupan politik yang dapat melaksanakan kehidupan demokrasi.

Memiliki pengalaman dwifungsi ABRI menjadi latar belakang dari masa dinas aktif masing-masing purnawirawan. Terlibatnya purnawirawan dalam politik sejak masih berdinas aktif di militer telah membiasakan purnawirawan untuk melihat bahwa politik juga merupakan panggilan tugas bagi dirinya sebagai prajurit militer.

15 Ervina Juliani, “Militer dan Politik: Studi tentang Kelompok Pendukung dan Penentang terhadap Penghapusan Dwi Fungsi ABRI Tahun 1998-2001”, (Skripsi S1 Universitas Sumatera Utara, 2008), h 54.

56

Jika purnawirawan TNI terbiasa pada ranah politik, maka masuk politik praktis merupakan satu kelanjutan karir yang wajar.16

Dwifungsi ABRI membawa ABRI dapat menduduki jabatan di pemerintahan, yaitu adanya Fraksi ABRI di MPR. Salah satu tugas Fraksi ABRI ini adalah untuk bisa menjadi stabilisator dan dinamisator dalam MPR.17

C. Pemilu

C.1. Proses Menuju Pemilu

Pengamat militer dari LIPI, Muhamad Haripin menyebut sejumlah purnawirawan yang turun ke politik dengan membentuk partai. Dari zaman partai

Demokrat, SBY, kemudian Hanura, Wiranto, juga Prabowo di Gerindra.18

Saat Megawati akan naik menjadi presiden setelah turunnya Gusdur, SBY diminta menjadi menteri di jabatan yang sama dengan jabatan saat era Gusdur, yaitu

Menkopolsoskam. Tetapi berakhir dengan SBY yang mengundurkan diri sama seperti di era Gusdur. Karena sudah berhenti menjadi menteri, SBY waktu itu hanya ingin menjadi wakil presiden, karena saat itu orang-orang menganggap Megawati tidak terkalahkan. Tapi saat SBY keluar dari pemerintahan, justru dukungan kepada SBY sangat kuat. Bersama dengan itu Partai Demokrat didirikan. Ternyata SBY dan Partai

16 Arie, “Jaringan Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia”, h 200-201 17 Wawancara dengan Agum Gumelar, Calon Wakil Presiden Pemilu 2004, pada Selasa 26 maret 2019, pukul 13:00 WIB 18 Mehulika Sitepu, “Kivlan Zen: Para purnawirawan yang terjun ke politik dan dapat “menggerakkan massa”, https://www.bbc.com/, pada 29 Mei 2019

57

Demokrat juga mendapatkan simpati yang luar biasa. Akhirnya terpilih sebagai presiden.19

Saat itu Wiranto merupakan lawan politik SBY di pilpres 2004. Bahkan

Wiranto adalah atasannya SBY karena Wiranto dulu menjabat sebagai

Menhankam/Pangab sedangkan SBY dulu hanya Kasospol. Memang belakangan jadi

Menko, tetapi panglima TNI waktu itu adalah Wiranto. Wiranto kala itu di dukung oleh partai besar, Golkar. Tetapi orang melihat yang bisa dipercaya adalah sama-sama jenderal. Tetapi pilihannya justru sama SBY. Karena dianggap SBY yang berada di garis depan dalam proses reformasi TNI. Yang kepemimpinannya bisa dipercaya.

Dan Partai Demokrat waktu itu partai baru. Justru mendapat simpati. Sementara golkar waktu itu dianggap bagian dari orde baru yang justru ingin di koreksi.

Terpilihlah SBY.20

Tiga hari setelah SBY dan JK mendeklarasikan diri sebagai capres dan cawapres, ada satu partai yang mengundang dan meminta kesediaan Agum Gumelar untuk menjadi Cawapres dari capres suatu partai. Dalam raker partai tersebut, Agum digadang menjadi bursa kedua menjadi cawapres, di posisi pertama ada SBY. Namun

SBY sudah mendeklarasikan diri lebih dahulu.21

Sehari setelah Megawati dan Hasyim Muzadi mendeklarasikan diri menjadi pasangan Capres dan Cawapres, Agum diundang oleh seorang pimpinan partai.

19 Wawancara dengan Andi Mallarangeng, Juru Bicara Kepresidenan periode 2004-2009, pada Rabu 15 Mei 2019, pukul 15:00 WIB 20 Ibid. 21 Wawancara dengan Agum Gumelar, Calon Wakil Presiden Pemilu 2004, pada Selasa 26 maret 2019, pukul 13:00 WIB

58

Dikatakan bahwa partainya sudah memutuskan bahwa ketum nya harus maju. Dan partai juga memutuskan untuk meminta kesediaan Agum menjadi wakil nya. Setelah berkonsultasi dengan keluarga, Agum memtusukan untuk bersedia menerima pinangan partai tersebut dengan catatan, Agum Gumelar lapor kepada Megawati bahwa ia mencalonkan menjadi Cawapres pada pilpres 2004. Namun hal itu belum sempat terealisasikan karena pimpinan partai tersebut mendesak untuk segera deklarasi karena waktu tinggal dua hari lagi untuk deklarasi.22

Sebagian pengamat politik memperkirakan bahwa Pilpres 2009 merupakan pertarungan terakhir bagi figur purnawirawan seperti Wiranto (Akmil 1968), SBY

(Akmil 1973), Prabowo Subianto (Akmil 1974), atau purnawirawan lain segenerasi mereka. Perkiraan itu berdasarkan faktor usia, bahwa pada tahun 2009 itu, usia rata- rata generasi mereka dianggap terlalu senior bila maju lagi pada pilpres berikutnya.

Sementara di sisi lain, publik merindukan munculnya figur pimpinan dari generasi yang lebih baru.23

Sedangkan pada pemilihan presiden lebih banyak didominasi oleh para purnawiran TNI sebagai bakal calon. Untuk memenuhi ambisinya ketiga purnawirawan tersebut juga mendirikan partai politik. SBY mendirikan Partai

Demokrat, Wiranto dengan Partai Hati Nurari Rakyat (Hanura). Dalam menunjang mesin politiknya, para mantan jenderal tersebut tidak sedikit yang melibatkan koleganya sebagai tim kampaye untuk meraih suara pada pemilihan presiden yang

22 Ibid. 23 Aris Santoso, “Memberi Ruang Politik Bagi Purnawirawan, Apakah Manfaat Bagi Rakyat Kecil?”, https://www.dw.com/id/, pada 19 Januari 2019.

59 diikutinya. Wiranto misalnya menjadi calon wakil presiden pada pemilu tahun 2009.

Ia menyertakan sejumlah koleganya yang berasal dari TNI seperti Letjen. (purn) Arie

Mardjono dan Laksamana Muda (purn) Abu Hartono yang keduanya merupakan wakil ketua dalam dewan pertimbangan. Tujuh wakil ketua Hanura adalah Majen.

(purn) Aqlani Maza dan Laksamana (purn) Bernard Kent Sondakh, Letjen. (purn)

Fachrul Razi, Letjen. (purn) Suaidi Marassabessy dan Jenderal (purn) Soebagyo serta

Marsekal Muda (purn) Budhy Santoso. Sedangkan di kubu Prabowo terdapat Mayjen.

(purn) Muchdi Purwopranyoto yang merupakan wakil ketua, dan pensiunan perwira intel Mayjen. (purn) Gleny Kairupan. Di Kubu Demokrat, nama Letjen. (purn)

Muhammad Yasin adalah figur purnawirawan yang dikenal loyal dengan SBY.24

C.2. Tingkat Kepercayaan Masyarakat pada Purnawirawan Militer

Purnawirawan masuk ke dalam politik praktis karena dianggap menarik sebagai kader yang mumpuni. Ini disebabkan karena lemahnya kualitas kader sipil yang di rekrut oleh parpol sebelumnya.25 Seseorang yang memiliki latar belakang militer masih dianggap menjadi solusi untuk memimpin bangsa.

Beberapa faktor diungkapkan oleh Joko, yaitu; pertama, tingkat kedisiplinan purnawirawan yang tinggi, rasa nasionalisme dan cinta tanah air, serta kepercayaan penuhnya terhadap ketuhanan dalam hidup dapat menjadi dasar ideologi mereka

24 Sri Yanuarti, “Militer dan Pemilu-Pemilu di Indoensia”, Jurnal Penelitian Politik, Vol. 15 No. 2, (Desember 2018), h 243 25 Arie S. Soesilo, “Jaringan Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia dalam Politik Relasi Sipil-Militer Pasca Reformasi TNI”, Jurnal Sosiologi Masyarakat, Vol. 19, No. 2, Juli 2014, h 199- 200

60 sebagai pemimpin. Hal tersebut merupakan hasil dari tempaan selama pendidikan kemiliterannya; kedua, kekuatan fisik yang terlatih, kesigapan dan ketanggapan dalam berfikir dan bersikap, dan kewaspadaan dalam melangkah dan mengambil keputusan dapat menjadi kekuatan individu yang mendukung pergerakan mereka dalam memimpin. Dan ketiga, kepercayaan diri, kepercayaan terhadap teman, dan kepercayaan serta kepatuhan terhadap pemimpin menjadi bekal dalam kehidupan sehari-hari agar tetap terjaganya kekompakan dalam berkerja.26

Disebutkan dalam Agust, ada lima penyebab alasan publik begitu memitoskan militer dalam dunia politik; pertama, militer selama ini mendeklarasikan dirinya sebagai kelompok netral, tidak melakukan keberpihakan serta tidak terjebak dalam kubangan politik idiologis; kedua, militer di Indonesia masih dianggap sebagai basis penyelamat ancaman bangsa baik laten maupun transparan komunisme, ataupun terorisme; ketiga, militer di Indonesia masih dianggap sebagai penjelmaan nasionalisme Indonesia, pemersatu bangsa dan pengaspirasian lahirnya politik non aliran; keempat, militer juga masih dianggap sebagai representasi dan pendukung utama nilai Pancasila dan pengayom keamanan publik dari segala ancaman internal politik nasional maupun internasional; dan kelima, kalangan militer dianggap oleh public merupakan sebuah kesatuan politik yang berjalan dengan memperhitungkan kekompakan dan garis komando yang jelas.27

26 Joko Panji Sasongko, “Politik Militer (Studi Kasus Persepsi Sipil Terhadap Partisipasi Politik Purnawirawan di Indonesia Pasca Reformasi)”, (Skripsi S1 Universitas Gadjah Mada, 2014), h 9 27 Agust Riewanto, Ensiklopedi Pemilu: Analisis Kritis Instropektif Pemilu 2004 Menuju Agenda Pemilu 2009, (Wonogiri: Lembaga Studi Agama & Budaya, 2007), h 154-155

61

Sebagai partai baru di 2004, Partai Demokrat tidak menyangka bisa mendapatkan simpati yang begitu banyak dari masyarakat. Simpati publik dianggap mulai muncul saat SBY di ejek Jenderal kanak-kanak oleh Taufieq Kiemas. Menurut

Andi Mallarangeng, biasanya masyarakat akan simpati kepada orang yang justru dianggap disakiti yang akhrinya menyebabkan simpati publik muncul. Ini menyebabkan Partai Demokrat tidak disangka mendapat suara sebanyak 33,57% pada putaran pertama dan 60,62% saat putaran kedua yang akhirnya membawa SBY terpilih menjadi Presiden.28

Menurut Andi Mallarangeng:

“Kemenangan untuk SBY sudah terasa sejak masa kampanye. Sambutan yang luar biasa datang untuk SBY. Kemana saja SBY pergi, selalu disambut luar biasa oleh masyarakat. Kalau Wiranto naik pesawat kalau pergi ke suatu tempat pasar gempar karena Partai Golkar memiliki dana hingga bisa naik pesawat. Megawati juga sebagai presiden incumbent petahana kemana-mana naik pesawat. SBY karena partai baru dan tidak memiliki uang, kemana-mana naik bus. Tapi justru kalau naik bus SBY ketemu masyarakat. Dan sambutan luar biasa. Jelas sebabnya justru karena itu malah menang.”29

Agust menyebutkan aspek-aspek keunggulan suara SBY dalam pemilu 20004; pertama, aspek popularitas; kedua, pemilihan cawapres yang tepat; ketiga, di tengah buruknya citra dan rekam jejak (track record) capres yang lain; dan keempat, kerinduan pada sosok nostalgia dan satrio piningit.30

28 Wawancara dengan Agum Gumelar, Calon Wakil Presiden Pemilu 2004, pada Selasa 26 maret 2019, pukul 13:00 WIB 29 Wawancara dengan Andi Mallarangeng, Juru Bicara Kepresidenan periode 2004-2009, pada Rabu 15 Mei 2019, pukul 15:00 WIB 30 Agust Riewanto, Ensiklopedi Pemilu: Analisis Kritis Instropektif Pemilu 2004 Menuju Agenda Pemilu 2009, h 157-159

62

Pertama, aspek popularitas. Di antara empat pasangan lain, SBY merupakan satu-satunya sosok yang memiliki popularitas cukup kuat. Terutama, sejak perseteruannya dengan Taufiek Kiemas, suami Megawati, yang ketika itu SBY dikatakan sebagai Jenderal kanak-kanak. Peristiwa ini menjadikan publik memiliki simpati, bahkan empati yang mendalam kepada SBY hingga berhasil menaikkan suara Partai Demokrat masuk lima besar dalam Pemilu 2004. Kepopularitasan SBY juga ditambah dengan penampilan fisik yang cenderung sopan, murah senyum, ganteng dan pandai bernyanyi. Bahkan banyak pihak menduga popularitas SBY melebihi popularitas partai nya, yaitu Partai Demokrat.31

Kedua, pemilihan cawapres yang tepat. M. Yusuf Kalla adalah cawapres tepat pilihan SBY, mengingat ia merupakan figur sipil, pengusaha dan mantan menteri di bidang ekonomi, berasal dari luar Jawa, dari partai pemenang dalam pemilu 2004

(golkar) serta tokoh ormas Islam terbesar (NU). Sehingga, inilah yang barangkali menyiratkan konfigurasi politik: Militer-Sipil, Pengayom-Pemikir, Jawa-Non Jawa,

Parapol menengah-parpol atas, dan nasionalis-religius. Dalam memilih cawapres,

SBY-lah satu-satunya capres yang paling cepat mengambil keputusan, tanpa diiringi perdebatan yang Panjang, dengan perhitungan dan konsesi politik tertentu. Sehingga, dapat mengesankan publik pilihan cawapresnya tidak “berdagang sapi” dan cenderung bersih.32

31 Agust Riewanto, Ensiklopedi Pemilu: Analisis Kritis Instropektif Pemilu 2004 Menuju Agenda Pemilu 2009, (Wonogiri: Lembaga Studi Agama & Budaya, 2007), h 157-158 32 Ibid., h 158-159

63

Ketiga, di tengah buruknya citra dan rekam jejak capres yang lain. Munculnya isu-isu perseteruan seperti; rejim status quo vs rejim baru; sipil vs militer; NU vs

Muhammadiyah; pelanggar HAM masa lalu vs peduli HAM; tokoh orde baru vs orde reformasi; dan lainnya, sangat kental mewarnai perdebatan dalam ranah publik sepanjang proses pencalonan presiden. Ada asumsi bahwa, lima pasangan capres dan cawapres yang tersedia, tak satupun memenuhi kriteria ideal, melainkan terbaik diantara yang buruk. Wiranto saat itu terganjal isu militerisme, pelanggar HAM masa lalu, anak emas Orde Baru, berasal dari parpol cenderung ke Orde Baru. Sebaliknya,

SBY banyak diuntungkan dengan munculnya isu-isu yang menimpa capres lain, dalam hal ini SBY relatif aman, selamat dan lepas dari semua itu. Karena -memang kenyataannya- SBY adalah politisi baru yang rekam jejaknya jauh relatif bersih.

Kalaupun ada nodanya, belum tampak ke permukaan karena SBY adalah politisi baru.33

Keempat, kerinduan pada sosok nostalgia dan satrio piningit. Dalam tradisi

Jawa sosok ksatria yang tegas, berani, kalem, pintar, murah senyum, penghibur dan pengayom, adalah syarat tak tertulis dari seorang pemimpin ideal dan SBY dianggap memiliki itu semua. Secara kebetulan SBY memiliki latarbelakang militer, dan ia merupakan sosok militer yang memiliki arti tersendiri di mata publik Indonesia.

Politisi sipil cenderung tak tegas dan berani mengambil keputusan yang tepat dalam memutuskan aneka konflik yang membelit bangsa. Sehingga, bermunculan konflik sosial dan kekerasan, semakin menjamurnya budaya korupsi, dan kemakmuran publik

33 Ibid., h 159

64 tak kunjung dapat diatasi. Masyarakat telah menanti adanya perubahan dan cenderung apatis pada para politisi sipil. Saat seperti inilah publik bernostalgia pada era Presiden

Soeharto, sosok militer yang tegas dan berani mengambil keputusan dalam mengelola bangsa pada masa-masa awal kepemimpinannya. publik menengarai, SBY adalah presentasi sosok militer yang tegas dan beani. Karena itu, SBY adalah jawaban atas nostalgia masa lalu dan sosok satrio piningit.34

Justru pada SBY rakyat menaruh harapan bahwa dengan SBY, TNI akan di reformasi. Mungkin persepsi publik terhadap Wiranto dianggap bagian dari Orba

Sementara SBY justru dianggap sebagai pembaharu dalam proses reformasi di

Indonesia terutama reformasi TNI. Dan justru anak-anak muda aktivis mahasiswa dukung SBY.35

Menurut Agum Gumelar, memang untuk ia menang sangat sulit. Karena Agum hanya mendapat suara hanya 8,16%.36 Salah satu faktor SBY menang menurut Agum adalah faktor psikologis. Partai baru dengan mesin partainya sedemikian rupa bisa meyakinkan kepada rakyat untuk melakukan perubahan. Karena pada dasarnya, rakyat selalu ingin ada perubahan.

Menurut Agum, rakyat lebih berpihak pada orang yang dinilai dizolimi. Secara psikologis, SBY mendapat simpati dari masyarakat yang kemudian simpati

34 Ibid., h 159-160 35 Wawancara dengan Andi Mallarangeng, Juru Bicara Kepresidenan periode 2004-2009, pada Rabu 15 Mei 2019, pukul 15:00 WIB 36 Wawancara dengan Agum Gumelar, Calon Wakil Presiden Pemilu 2004, pada Selasa 26 Maret 2019, pukul 13:00 WIB

65 berkembang menjadi dukungan. Pada saat itu seolah-olah SBY adalah orang yang dizolimi.37

SBY terpilih mungkin juga ada unsur militer tentaranya dalam arti bahwa di kepemimpinannya selama itu. Selama proses reformasi SBY berada di garis depan.

Terutama reformasi TNI yang kalau tidak ada reformasi TNI tidak mungkin TNI tidak mungkin negeri ini juga berubah dalam konteks reformasi. Karena TNI nya bisa seperti di Myanmar. Bisa seperti di beberapa negara lain yang resis atau menolak preses reformasi.

Menurut Andi Mallarangeng:

“Proses transisi rezim menimbulkan salah satunya adalah instabilitas di berbagai daerah. Ada konflik Poso, Ambon, Aceh, sehingga pada waktu itu masyarakat melihat perlu pemimpin yang kuat untuk memimpin negeri ini dan melihat bahwa SBY sebagai purnawirawan TNI, jenderal, adalah yang paling layak, paling pantas untuk memimpin negeri ini. Itulah mungkin mengapa dalam proses reformasi itu kita lihat perwira-perwira TNI terutama dalam kasus ini SBY menjadi pilihan masyarakat pilihan rakyat untuk memimpin negeri ini. Karena SBY dianggap bagian dari proses reformasi. Justru diharapkan SBY terus melakukan reformasi bahkan karena itu memang proses selama 10 tahun SBY reformasi TNI salah satunya diselesaikan. Termasuk dalam konteks bisnis TNI terakhir juga diselesaikan SBY. Orang melihat SBY kepemimpinannya bagus dibutuhkan oleh negeri ini. Dan mendapat kepercayaan. Orang melihat SBY ngomongnya juga baik, santun, tapi jelas, tegas, bersih.”38

37 Ibid. 38 Wawancara dengan Andi Mallarangeng, Juru Bicara Kepresidenan periode 2004-2009, pada Rabu 15 Mei 2019, pukul 15:00 WIB

66

Purnawirawan saat itu sangat mendukung. Jadi waktu pemilu bisa dilihat kalau

TNI tidak boleh memilih, tapi istrinya dan keluarganya boleh. Jadi di kompleks- kompleks TNI SBY bisa menang.39

Wantimpres Bidang Pemerintahan dan Reformasi Birokrasi Ryaas Rasyid mengatakan, salah satu faktor SBY memenangkan Pemilu Presiden 2004 adalah karena berwajah ganteng. Pada Pemilu 2004, saingan kuat SBY adalah Ketum PDI-P

Megawati Soekarnoputri. Ryaas menceritakan, dia kemudian mengetahui SBY ketika itu disukai media sehingga bisa unggul dari Megawati. Karena itu, lanjut Ryaas, media dapat menjadi penentu siapa yang menjadi presiden. Menurut dia, sosok ideal presiden adalah yang mengetahui permasalahan bangsa dan berupaya menyelesaikannya. Rakyat pun seharusnya memilih dengan penilaian obyektif.40

39 Ibid. 40 Dian Maharani, "SBY Terpilih Jadi Presiden karena Ganteng", https://nasional.kompas.com/, pada 3 November 2013

67

BAB V

PENUTUP

Bab ini menjelaskan kesimpulan dan saran mengenai hasil yang telah ditemukan dalam penelitian mengenai keterlibatan Agum Gumelar, Wiranto, SBY, dan Prabowo

Subianto sebagai purnawirawan militer yang masuk kedalam politik serta mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres dalam pilpres era demokrasi (2004-2014) dan alasan purnawirawan militer dapat terpilih menjadi presiden.

A. Kesimpulan

Militer yang sudah selesai dari masa jabatannya memiliki hak seperti sipil lainnya, dapat dipilih dan memilih dalam pilpres. Militer mulai memasuki dunia politik melalui dua faktor, yaitu faktor internal, melalui dorongan dari tubuh militer sendiri melakukan intervensi, dan faktor eksternal, karena kegagalan sipil dalam memerintah.

Purnawirawan masuk ke dalam politik praktis karena dianggap menarik sebagai kader yang mumpuni. Salah satu alasan yang mendorong purnawirawan militer masuk ke ranah politik Indonesia disebabkan oleh lemahnya institusi kepartaian serta inkompetensi politisi sipil. Di samping itu, aspek lain yang menjadi mediator yang dapat menjelaskan masuknya purnawirawan TNI ke dalam politik, antara lain pembentukan karakter TNI, Dwifungsi ABRI, purnawirawan TNI sebagai warga sipil,

69 organisasi purnawirawan TNI, usia pensiun, orientasi kekuasaan, dan kegiatan pasca pensiun purnawirawan TNI.

Kendaraan politik yang digunakan purnawirawan militer melalui parpol untuk mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres pun beragam. Seperti Agum Gumelar, kemudian Wiranto dan Prabowo yang juga bergabung dengan parpol. Berbeda dengan

SBY yang membentuk partainya sendiri sejak awal. Dan setelah mengalami kekalahan,

Wiranto dan Prabowo membentuk partainya sendiri.

Seseorang yang memiliki latar belakang militer masih dianggap menjadi solusi untuk memimpin, karena mereka memiliki; tingkat kedisiplinan yang dan nasionalisme tinggi; kekuatan fisik yang terlatih, kesigapan dan ketanggapan dalam berfikir, dan kewaspadaan dalam melangkah dan mengambil keputusan; dan kepercayaan diri, kepercayaan terhadap teman, dan kepercayaan serta kepatuhan terhadap pemimpin menjadi bekal dalam kehidupan sehari-hari agar tetap terjaganya kekompakan dalam berkerja.

B. Saran

Untuk kedepannya kualitas kader sipil dalam partai politik yang dianggap lemah perlu ditingkatkan melihat banyak partai politik melirik purnawirawan militer yang dinilai kompeten dalam memimpin, menangani konflik, dan lainnya. Kemudian, syarat mengenai berapa lama purnawirawan militer dapat masuk ke politik setelah purna

70 diperlukan agar mereka lebih fokus kepada tugas sebagai militer daripada mempersiapkan karir setelah purna.

Untuk kedepannya diharapkan lebih banyak peneliti yang membahas tentang militer dan politik agar dapat dilihat perspektif lain mengenai tema tersebut khususnya mengenai purnawirawan militer dalam dunia politik.

71

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Buchori, Mochtar. Transformasi, Suksesi & Masalah-masalah Demokrasi:

Kumpulan Karangan. Jakarta: IKIP Muhammadiyah, 1994.

Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 2009.

Calvert, Peter. Proses Suksesi Politik. Yogyakarta: PT Tirta Wacana Yogyakarta,

1995.

Chrisnandi, Yuddy. Reformasi TNI: Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di

Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2005.

Darmawan, Ikhsan. Mengenal Ilmu Politik. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,

2015.

Efriza dan Yoyoh Rohaniah. Pengantar Ilmu Politik: Kajian Mendasar Ilmu

Politik. Malang: Intrans Publishing, 2015.

Hanafie, Haniah dan Ana Sabhana Azmy. Kekuatan Kekuatan Politik. Ciputat:

UIN Jakarta Press, 2016.

Kustiati, Retno. Fenty Effendi. Agum Gumelar: Jenderal Bersenjata Nurani.

Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004.

Miaz, Yalvema. Partisipasi Politik: Pola Perilaku Pemilih Pemilu Masa Orde

Baru dan Reformasi. Padang: UNP Press, 2012.

Mufti, Muslim. Kekuatan Politik di Indonesia. Bandung: CV Pustaka Setia, 2013.

Mukhtar, Sidratahta. Militer dan Demokrasi. Malang: Intrans Publishing, 2017.

72 Nodlinger, Eric. Militer dalam Politik. Jakarta: Rineka Cipta.1994.

Perlmutter, Amos, Militer dan Politik, Jakarta: CV. Rajawali. 1984.

Pranoto, Susilo. Prabowo: Macan Asia Harapan Bangsa?. Yogyakarta: Palapa,

2018.

Riewanto, Agust. Ensiklopedi Pemilu: Analisis Kritis Instropektif Pemilu 2004

menuju Agenda Pemilu 2009. Wonogiri: Lembaga Studi Agama & Budaya,

2007.

S, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmilah Dasar, Metode dan Teknik. Bandung:

Tarsiti. 1989.

Salam, Syamsir. Jaenal Aripin. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: UIN Jakarta

Press, 2006.

Sasongko, Joko Panji. Politik Militer (Studi Kasus Persepsi Sipil terhadap

Partisipasi Politik Purnawirawan di Indonesia Pasca Reformasi).

Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2014.

Setiadi, Andi. Derap Politik Para Jenderal: Barisan Jenderal Penentu Arah

Politik Orde Lama hingga Reformasi. Yogyakarta: Palapa, 2016.

Sutopo, H. B. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press, 2006.

Skripsi dan Jurnal

Basuki, Ahmad Yani. “Reformasi TNI: Pola, Profesionalitas, dan

Refungsionalisasi Militer dalam Masyarakat”. Jurnal Sosiologi Masyarakat

Vol. 19 No.2.

73 Juliani, Ervina. “Militer dan Politik: Studi tentang Kelompok Pendukung dan

Penentang terhadap Penghapusan Dwi Fungsi ABRI Tahun 1998-2001”, (Skripsi

S1 Universitas Sumatera Utara, 2008).

Kamil, Hadi Nafis. “Militer dan Kekuatan Politik: Studi tentang Keterlibatan TNI

dalam Perpolitikan Nasional Era 1945-1998”, (Skripsi S1 Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009).

Leni, Nurhasanah. “Keterlibatan Militer dalam Kancah Politik di Indonesia”.

Jurnal TAPIs Vol. 9 No.1 Januari-Juni 2013.

Sasongko, Joko Panji. “Politik Militer (Studi Kasus Persepsi Sipil terhadap

Partisipasi Politik Purnawirawan di Indonesia Pasca Reformasi”, (Skripsi S1

Universitas Gadjah Mada, 2014).

Soesilo, Arie S. “Jaringan Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia dalam

Politik Relasi Sipil-Militer Pasca Reformasi TNI”. Jurnal Sosiologi

Masyarakat Vol. 19 No. 2, Juli 2014.

Yanuarti, Sri. “MIliter dan Pemilu-Pemilu di Indonesia”, Jurnal Penelitian

Politik, Vol. 15 No. 2, Desember 2018.

Berita dan Artikel

“Modul 1 Pemilih Untuk Pemula”, https://kpu.go.id

“SBY”, https://www.merdeka.com/, diakses pada 27 November 2019

“Wiranto”, https://m.merdeka.com/ , diakses pada 27 November 2019.

A.M. Mansur, ed., Thamzil Thahir. “Begini Peta Koalisi Parpol”, Pilpres 2004,

2009, dan 2014, http://makassar.tribunnews.com, 13 Mei 2014.

74 Araf Al, “Militer dan Politik”, http://www.imparsial.org/, pada 25 Januari 2016.

Gatra, Sandro (ed.), "Profil Agum Gumelar, Anggota Wantimpres",

https://nasional.kompas.com, 17 Januari 2018.

Maharani, Dian. "SBY Terpilih Jadi Presiden karena Ganteng",

https://nasional.kompas.com, 3 November 2013.

Matanasi, Petrik. “Sejarah Karier Agum Gumelar: Mantu Jenderal Melawan

Mantu Presiden”, https://tirto.id, 29 Maret 2019.

Movanita, Ambaranie Nadia Kemala. "Survei: Masyarakat Ingin Presiden Berlatar

Belakang Militer karena Tegas", https://nasional.kompas.com, 30 Januari

2016.

Pratama, Aswab Nanda dan Akbar Bhayu Tamtomo, ed., Inggried Dwi

Wedhaswary. “Infografik Serial Presiden: Susilo Bambang Yudhoyono",

https://nasional.kompas.com, 2 Juli 2018.

Red:Muhammad Hafil, Reporter: ira sasmita “Purnawirawan TNI Jadi Politikus

Perlu Diatur Undang-Undang”, https://republika.co.id, pada 23 Feb 2014

Santoso, Aris. “Memberi Ruang Politik bagi Purnawirawan, Apakah Manfaat bagi

Rakyat Kecil?”, https://www.dw.com/id/, 19 Januari 2019.

Sitepu, Mehulika, “Kivlan Zen: Para Purnawirawan yang Terjun ke Politik dan

Dapat Menggerakkan Massa’”, https://www.bbc.com, pada 29 Mei 2019

Tim Liputan 6, https://www.liputan6.com, 11 Mei 2014.

Ugo, “Survei Charta Politika: TNI Paling Dipercaya Publik”,

https://www.cnnindonesia.com/, 28 Agustus 2018.

75 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia,

http://dpr.go.id

Wawancara

Wawancara dengan Agum Gumelar, Calon Wakil Presiden Pemilu 2004, pada

Selasa 26 maret 2019, pukul 13:00 WIB

Wawancara dengan Andi Mallarangeng, Juru Bicara Kepresidenan periode 2004-

2009, pada Rabu 15 Mei 2019, pukul 15:00 WIB

76