Peranan Badan Pemeriksa Keuangan dalam Peningkatan Transparansi Fiskal1

1. Pengantar Era reformasi dewasa ini membuka pe1uang bagi pembangunan institusi BPK agar dapat berperan dalam penegakan transparansi fiskal sebagaimana diharapkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan kembali BPK perlu merehabilitasi kebebasan dan kemandiriannya yang dikekang selama era otoriter Orde Baru. Untuk itu, objek pemeriksaan BPK perlu diperluas untuk dapat memeriksa setiap sen pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara di mana pun disimpan dan digunakan. Agar dapat melakukan tugas seperti itu wewenang, metodologi, organisasi, dan sumber daya manusia maupun kode etik serta anggaran BPK perlu dilepaskan dari cengkeraman pemerintah yang sangat kokoh selama periode Orde Baru di masa lalu. Ini memerlukan amandemen UU Tahun 1973 tentang BPK. Untuk selanjutnya, makalah ini dibagi dalam tujuh bagian. Bagian berikut merupakan penjelasan kedudukan BPK dan sistem kenegaraan menurut versi asli UUD 1945 maupun setelah perubahannya yang keempat. Bagian kedua menguraikan perubahan sistem politik dan pemerintahan setelah amandemen UUD 1945 tersebut. Bagian ketiga menguraikan implikasi ketiga paket keuangan negara tahun 2003-2004 kepada fungsi BPK. Bagian keempat memuat alasan penting perluasan fungsi BPK pada pemeriksaan penerimaan negara. Bagian kelima menjelaskan pilihan yang tersedia untuk memungkin perluasan organisasi BPK sehingga dapat memeriksa anggaran Kabupaten/Kota. Bagian keenam menjelaskan arah pemeriksaan BPK ke depan. Bagian terakhir menjelaskan berbagai elemen penting yang diperlukan bagi amandemen UU No.5 Tahun 197 tentang BPK.

1 Makalah untuk Seminar di Universitas Udayana, Denpasar, , Sabtu, 26 Maret 2005.

2. Tugas dan kedudukan bpk dalam sistem kenegaraan Indonesia Seperti yang telah kita ketahui bersama, konstitusi negara kita, Undang-Undang Dasar 1945, membentuk BPK hanya untuk melaksanakan satu tugas, menegakkan transparansi fiskal guna membantu lembaga perwakilan rakyat dalam melaksanakan hak bujetnya. BPK melaksanakan tugas itu melalui pemeriksaan atau audit pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Naskah asli Undang-Undang Dasar 1945, yang disusun oleh the founding fathers kita menugaskan BPK sebagai satu-satunya auditor yang melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Berbeda dengan di banyak negara lain, Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan BPK sejajar dengan lembaga-lembaga negara yang ada dalam struktur negara kita. Di berbagai negara yang lain lembaga auditor ekstemal seperti BPK ditempatkan langsung di bawah lembaga legislatif sebagai pemegang hak bujet. Lembaga legislatif itulah yang menugaskan auditor eksternal untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Selain tetap mempertahankan pemberian hak eksklusif pemeriksaan keuangan negara kepada BPK, perubahan ketiga dari UUD 1945 justru telah memperkuat posisinya dengan memberikan kedudukan yang “bebas dan mandiri" kepada BPK. Baik naskah asli maupun perubahan, UUD 1945 menjunjung tinggi transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. ltulah sebabnya mengapa diberikan kedudukan tinggi, kebebasan dan kemandirian kepada BPK. Maksudnya adalah agar BPK dapat melaksanakan tugasnya secara objektif. BPK dapat memeriksa dan melaporkan keuangan negara sebagaimana adanya, bebas dari pengaruh maupun tekanan politik. Termasuk dari ketiga cabang pemerintahan, baik eksekutif, legislatif maupun judikatif. Hasil pemeriksaan BPK disampaikan kepada rakyat banyak, utamanya pembayar pajak, melalui wakil-wakilnya di DPR serta DPRD sebagai pemegang hak bujet. Seperti halnya DPR, DPD juga menerima laporan hasil pemeriksaan keuangan Pemerintah Pusat. Sementara itu, DPRD menerima laporan hasil pemeriksaan keuangan pemerintah daerahnya masing-masing. Semuanya itu diatur dalam UU No. 22 tentang Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD (Pasa147) dan UU No. 15 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Pasal 17, ayat 1). Walaupun DPD tidak memiliki hak bujet, posisinya sangat penting. Karena DPD memiliki fungsi memberikan pertimbangan kepada DPR dalam hal penyusunan Rancangan APBN Pemerintah Pusat maupun dalam mengawasi pelaksanaannya setelah menjadi APBN. Dengan menggunakan hak legislasinya, DPR dan DPRD memiliki hak dan wewenang masing-masing untuk menindaklanjuti temuan-temuan BPK. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyebut bahwa BPK memantau pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaannya itu. BPK pun dapat memproses secara pidana auditee yang tidak serius melakukan koreksi terhadap temuannya. Temuan-temuan yang mengandung unsur pidana seperti ini wajib diserahkan oleh BPK kepada penegak hukum. Temuan pemeriksaan BPK tersebut merupakan bukti awal yang dapat diperdalam dan ditindaklanjuti oleh penegak hukum. Dalam kaitan program pemerintah dewasa ini untuk memberantas KKN, seyogyanya pemerintah dan penegak hukum cukup melibatkan BPK dan menindaklanjuti temuan-temuan hasil pemeriksaannya. Pemerintah tidak perlu menciptakan lembaga-lembaga ad hoc baru yang tambal sulam dan tumpang tindih dengan lembaga-lembaga penegak hukum yang te1ah ada. Jika ternyata ada di antara lembaga penegak hukum itu yang belum bekerja sesuai dengan harapan maka, tugas kita bersama untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerjanya. Selain menambah inefisiensi pemerintahan dan meningkatkan keperluan anggaran yang tidak perIu, lembaga-lembaga ad hoc yang tumpang tindih juga menimbulkan konflik antar instansi yang memakan energi sia-sia.

3. Perubahan sistem politik dan struktur pemerintahan Perubahan konstitusi yang dilakukan dalam era reformasi dewasa ini telah merubah sistem politik dan pemerintahan kita. Sistem politik kita telah beralih dari sistem otoriter orde Baru ke arah demokrasi. Sistem pemerintahan kita telah beralih dari sistem yang sentralistis kepada otonomi daerah yang sangat luas. Pimpinan pemerintahan kita dewasa ini, Bapak Dr. Susilo Bambang Yudhoyono dan Bapak Muhammad , merupakan presiden dan wakil presiden yang pertama kali dipilih langsung oleh rakyat dalam sejarah Republik Indonesia. Rakyat memilih pasangan capres dan cawapres berdasarkan program kerja (platform) yang mereka tawarkan selama masa kampanye pemilu. Sebelumnya, presiden dan wakil presiden kita dipilih oleh MPR yang sekaligus menetapkan Garis-Garis Haluan Negara. Mulai tahun ini, para kepala daerah akan dipilih langsung oleh rakyat di daerahnya masing-masing dan tidak lagi ditunjuk ataupun direstui oleh pejabat Pemerintah Pusat. Berbeda dengan dahulu, kini tidak ada lagi utusan golongan kekaryaan, termasuk TNI dan Polri, dalam lembaga-lembaga perwakilan rakyat. Utusan daerah yang tadinya berbaur dalam MPR kini memiliki lembaganya sendiri berupa DPD. Terbentuknya DPD, yang memberikan pertimbangan kepada DPR sebagai pemegang hak bujet telah menambah "klien" BPK. Sebagaimana telah disebut di atas, DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang menerima laporan pemeriksaan BPK mengenai pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara tingkat nasional.

4. BPK dan ketiga paket keuangan negara Dalam kaitan perubahan ketatanegaraan kita yang sangat mendasar sebagaimana telah dikemukakan di atas DPR telah mengundangkan tiga paket keuangan negara, yaitu (1) Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan (3) Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelo1aan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Adanya perubahan UUD 1945 maupun ketiga paket Undang-Undang Keuangan Negara tersebut telah menuntut amandemen atau perubahan Undang-Undang No. 5 Tahun 1973 tentang BPK. Sementara menunggu amandemen UU BPK tersebut, ketiga paket Undang-Undang Keuangan Negara di atas berlaku sebagai dasar bagi BPK untuk melakukan pemeriksaan keuangan negara guna membantu DPR dan DPRD dalam melaksanakan hak bujetnya. Undang-Undang Dasar dan ketiga rangkaian Undang-Undang Keuangan Negara tahun 2003-2004 memberikan kewenangan kepada BPK untuk memeriksa setiap sen pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara di manapun uang negara itu disimpan dan dipergunakan. Seperti yang kita ketahui, dewasa ini keuangan negara di Indonesia dikelola melalui APBN, APBD, anggaran nonbujeter, ratusan jumlah BUMN dan BUMD, termasuk bank-bank milik negara serta BPD, maupun oleh berbagai yayasan yang terkait dengan kedinasan. Pada masa orde baru tidak ada transparansi fiskal. Objek pemeriksaan BPK hanya dibatasi pada (mencakup) sisi pengeluaran APBN saja. Pada waktu itu sisi penerimaan APBN, anggaran nonbujeter, BUMN/BUMD maupun yayasan-yayasan yang menggunakan fasilitas dari negara bukan merupakan objek pemeriksaan BPK. Di lain pihak, pengalaman kita dari rangkaian krisis, mulai dari krisis Pertamina tahun 1975, krisis PT Bank Duta dan PT Bank Bukopin pada era 1980-an hingga krisis keuangan dan perekonomian tahun 1997-1998, menggambarkan bahwa kerugian dari semua anggaran nonbujeter, BUMN/BUMD, serta yayasan-yayasan yang terkait dengan kedinasan itu telah menjadi contingent liabilities keuangan negara yang membebani rakyat banyak. Hutang pemerintah yang membubung tinggi sekarang ini, setelah krisis ekonomi tahun 1997-1998, terutama bersumber dari pengambilalihan hutang-hutang di luar APBN resmi itu. Pembatasan ruang gerak BPK telah mengurangi transparansi fiskal dan akuntabilitas pada keuangan negara di luar APBN resmi. Pada gilirannya, hal ini meredusi hak bujet yang dimiliki oleh rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR maupun DPRD. Pembatasan atas hak bujet tersebut ada kalanya terjadi karena kurang disadari oleh para penyusun undang-undang itu sendiri. Tidak sedikit undang-undang dan keputusan yang dibuat oleh DPR dan DPRD membatasi sendiri hak bujetnya. Apakah karena alasan lex spesialis ataukah karena kurangnya pengertian maupun koordinasi sehingga tidak selaras dengan konstitusi. Rangkaian undang-undang yang membatasi gerak BPK dan mengurangi hak bujet lembaga perwakilan rakyat itu, antara lain undang- undang yang mengatur tentang Badan Pengawas Pasar Modal, Badan Usaha Milik Negara, Yayasan, Perseroan Terbatas, Pajak serta Perbankan, khususnya tentang kerahasiaan bank. Padahal, dalam hal BUMN Pemerintah masih memiliki golden share, misalnya pada bank negara yang sudah go public. Artinya walaupun sudah go public, pengurus bank-bank negara itu masih diangkat dan hanya akuntabel kepada Pemerintah Indonesia. Kasus skandal Lie fiktif di Bank BNI pada tahun 2003 juga menggambarkan bahwa kerugian dari skandal yang memalukan tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung, telah dialihkan menjadi beban rakyat. Sementara itu, tidak satu pun dari pengurus bank tersebut yang sudah diproses secara hukum dan masuk penjara sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Perbankan. Undang-Undang Kerahasian Bank yang terlalu ketat di Indonesia telah menyebabkan industri perbankan nasional kita menjadi tempat persembunyian dan pencucian hasil kejahatan KKN dan penggelapan pajak.

5. BPK dan sisi penerimaan APBN Peranan BPK dalam rangka membantu DPR dan DPRD dalam menggunakan hak bujetnya pada sisi penerimaan negara semakin diperlukan saat ini. Hak bujet pada sisi penerimaan negara itu, mencakup penerimaan pajak dan bea cukai, privatisasi BUMN/BUMD, divestasi aset BPPN maupun PPA, serta tukar guling tanah milik negara. Peningkatan penerimaan pajak merupakan harapan terbesar untuk menguatkan posisi keuangan pemerintah dan meningkatkan APBN-nya. Rasio penerimaan pajak kita terhadap PDB (sekitar 14%) maupun jumlah penduduk yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), 2 juta orang dari penduduk di atas 200 juta jiwa, merupakan salah satu yang terendah di Asia. Selain merubah struktur tarifnya, administrasi perpajakan juga perlu kita perbaiki. Peningkatan penerimaan melalui penjualan aset negara sangat terbatas karena keterbatasan jumlah BUMN yang laku dijual di pasar. Sementara itu, aset BPPN dan PPA sudah semakin berkurang. Upaya penagihan kembali kekayaan hasil kejahatan korupsi maupun penagihan hutang konglomerat hitam, seperti BLBI, terhambat karena lemahnya sistem hukum nasional kita sendiri. Upaya penagihan piutang menjadi semakin sulit karena sebagian dari konglomerat hitam tersebut justru diberikan ijin menjalani "cuti sakit" yang berkepanjangan di luar negeri oleh penegak hukum kita sendiri. Dewasa ini, kurang lebih sepertiga dari pengeluaran APBN Pemerintah Pusat telah diserahkan kepada pemerintah daerah dalam rangka otonomi daerah. Kira-kira sepertiga lainnya digunakan untuk membayar bunga hutang pemerintah. Hutang yang membumbung setelah tahun 1997 adalah untuk menombok modal bank-bank nasional dan mengambil alih kerugian nasabahnya. Utamanya para konglomerat hitam. Sisanya adalah pengeluaran Pemerintah Pusat untuk membayar gaji pegawai negeri dan menjalankan roda pemerintahan, termasuk untuk pengeluaran angkatan bersenjata. Untuk menyehatkan keuangan negara, tekanan keperluan rekapitalisasi bank negara dan nasionalisasi kerugian BUMN, serta perusahaan milik konglomerat perlu dihentikan. Hal ini dilakukan dengan tujuan menghentikan ekspansi pengeluaran negara yang tidak perlu. Selain tidak perlu, pengeluaran seperti itu juga bertolak belakang dengan prinsip keadilan. Karena kerugian bank-bank negara, BUMN serta konglomerat hitam ditanggung oleh rakyat banyak, “wong cilik" pembayar pajak. Struktur hutang pemerintah setelah krisis tahun 1997 telah berubah secara mendasar. Dewasa ini, porsi hutang dalam negeri maupun hutang komersil di pasar keuangan internasional menjadi semakin bertambah besar. Tadinya hutang pemerintah hanya berupa hutang luar negeri dari sumber resmi dengan syarat lunak dan berjangka panjang. Berbeda dengan masa Orde Lama, beban hutang dalam negeri pemerintah tidak mungkin dikurangi melalui inflasi karena hutang obligasi negara dewasa ini sensitif terhadap tingkat laju inflasi maupun tingkat suku bunga serta terhadap gejolak kurs devisa. Cara yang terbuka pada upaya pengurangan beban pembayaran hutang jangka pendek adalah dengan memperpanjang masa pelunasan pokoknya. Baik melalui repro filing ataupun membuatnya menjadi perpetual bonds yang tidak memiliki masa jatuh tempo waktu pembayaran.

6. Perluasan objek pemeriksaan BPK hingga APBD Kabupaten/Kota Rangkaian perubahan sistem politik dan struktur pemerintahan kita dewasa ini menuntut perubahan sistem pengawasan dan pemeriksaan keuangan negara. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 memperluas tugas BPK untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan pemerintah daerah. Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut BPK ditugaskan agar dapat segera membuka kantor perwakilannya di seluruh ibu kota provinsi. Di lain pihak, karena keterbatasan kemampuan keuangan negara dewasa ini, tidak mungkin dapat dilakukan penambahan personil dan peralatan maupun gedung perkantoran yang diperlukan untuk membuka kantor-kantor perwakilan di semua ibukota provinsi. Salah satu alternatif pemecahan terhadap keterbatasan anggaran negara di atas adalah dengan menyerahkan setidaknya sebagian dari kantor, peralatan, dan personil yang dimiliki oleh pengawas internal pemerintah kepada BPK. Alternatif pemecahan seperti ini menghemat keuangan negara dan meningkatkan kinerja pemerintahan. Bersamaan dengan itu, perlu dilakukan penataan ulang atas sistem pengawasan internal pemerintah dan hubungan kerjanya dengan BPK sebagai pemeriksa eksternal. Sebagai alat manajemen, tugas utama dari pengawas internal adalah untuk menyusun sistem pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara dan sekaligus mengawasi bekerjanya sistem itu. Semakin baik sistem pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, semakin mudah pekerjaan BPK dalam melakukan pemeriksaan. Dewasa ini, pengawasan internal keuangan negara dilakukan oleh BPKP dan oleh Inspektur Jenderal di tingkat departemen, serta oleh Bawasda di tingkat pemerintahan daerah. Dalam berbagai hal, pengawas internal selama masa otoriter Orde Baru berfungsi sekaligus sebagai pemeriksa. lnilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa fungsi dan peranan BPK semakin diredusi pada masa itu. Tumpang tindih fungsi dan kewenangan tidak hanya antara BPK dengan pengawas internal, tapi juga antar sesama pengawas internal itu sendiri. Selain menciptakan pemborosan konflik antar instansi, hal seperti itu telah menghabiskan energi yang tidak perlu. Karena berbagai alasan, kebebasan dan kemandirian BPK pada saat ini sangat sempit. Alasan pertama karena pembatasan objek pemeriksaan BPK seperti yang telah disebut di atas. Alasan kedua, karena pengelolaan BPK sama dengan pengelolaan pengawas internal pemerintah. Sama-sama tunduk pada pengaturan pemerintah. Seperti halnya dengan personil pengawas internal pemerintah, karyawan BPK adalah pegawai negeri, organisasi BPK tunduk pada pengaturan Menpan dan anggarannya pun sama-sama bersumber dari APBN. Kemampuan BPK menjadi semakin terbatas karena jumlah personilnya hanya sepertiga jumlah personil BPKP, pendidikan rata- rata sumber daya manusia tidak sebaik karyawan BPKP dan anggaran BPK pun lebih kecil daripada BPKP. Gaji karyawan BPK mengikuti standar umum pegawai negeri. Di lain pihak, gaji karyawan BPKP mengikuti standar gaji karyawan Departemen Keuangan yang berlipat ganda dari standar gaji pegawai negeri. Jaringan kantor perwakilan BPK juga jauh lebih kecil daripada BPKP. Karena sudah lama tidak terpelihara, sebagian besar dari kantor BPK sekarang ini tidak lagi layak huni dan peralatan kerjanya pun jauh di bawah standar minimum. 7. Arah pemeriksaan BPK ke depan Kemampuan BPK baru terbatas pada pemeriksaan akuntasi keuangan umum. Dimulai dengan kebutuhan untuk melakukan audit terhadap penyaluran dan penggunaan BLBI setelah krisis ekonomi tahun 1997-1998. Secara bertahap, BPK telah meningkatkan kemampuannya melakukan forensic audit maupun audit kejahatan (fraud audit). Sebagai pimpinan BPK dewasa ini, BPK terus meningkatkan kemampuan BPK dalam melakukan forensic audit serta fraud audit itu guna memenuhi amanat UU No. 15 Tahun 2004 maupun dengan program kerja pemerintah untuk memberantas KKN. Memenuhi amanat konstitusi, BPK juga menerima penugasan dari lembaga pemegang hak bujet (DPR dan DPRD) untuk melakukan pemeriksaan khusus. Pemeriksaan khusus itu juga dapat dilakukan berdasarkan inisiatif sendiri, baik atas dasar permintaan pemerintah, pengaduan masyarakat maupun pendalaman pemeriksaan kami sendiri. Atas penugasan dari DPR, kini BPK tengah melakukan pemeriksaan atas penggunaan dana oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan tentang subsidi BBM. Beberapa Menteri Kabinet Indonesia Bersatu telah meminta kami untuk melakukan audit terhadap departemen ataupun lembaga yang mereka warisi dari pendahulunya. Atas inisiatif sendiri, BPK telah mengambil empat inisiatif dalam rangka pengawasan dan pemeriksaan terhadap pengelolaan bantuan kemanusiaan bagi korban bencana alam yang menimpa Provinsi Nangroe Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara pada akhir Desember 2004. Inisiatif pertama adalah, pada Januari 2005, BPK telah menulis surat kepada presiden menyarankan agar pemerintah menggunakan aparat pengawas internalnya membantu Bakornas dan Bakorda untuk membangun sistem administrasi bantuan kemanusiaan itu. Surat tersebut telah ditindaklanjuti dengan mengundang BPKP serta Inspektur Jenderal seluruh departemen untuk bertatap muka dengan BPK guna membahas pembangunan administrasi bantuan tersebut. lnisiatif BPK yang kedua adalah melakukan pemeriksaan terhadap pengelolaan bantuan kemanusiaan itu yang diterima pada tahap darurat, rehabilitasi maupun tahap rekonstruksi. Atas dorongan dan bantuan DPR, utamanya rekan-rekan di Panitia Anggaran dan Komisi XI, BPK akan segera membuka kantor perwakilan di guna memudahkan pemeriksaan bantuan kemanusiaan tersebut. Inisiatif ketiga adalah mengundang mitra kerja BPK dari supreme audit institutions negara-negara donor penting serta lembaga-lembaga intemasional untuk melakukan cooperative audit atas bantuan internasional yang telah dan akan diterima. Setidaknya mitra kerja BPK itu dapat memberikan bantuan teknis tentang persyaratan teknis audit yang berlaku di negara maupun institusinya masing-masing. Inisiatif keempat adalah mcnyclenggarakan konferensi intemasional dengan mengundang rekan-rekan sejawat dari negara-negara Asia yang dilanda bencana alam dan negara-negara donor utama maupun wakil-wakil dari lembaga-lembaga intemasional tersebut di atas. Bekerjasama dengan Asian Development Bank (ADB), konferensi itu akan diadakan di pada akhir April 2006. Selain membahas audit bencana alam, konferensi itu juga akan membahas cara melakukan audit di daerah konflik bersenjata. Sebagaimana diketahui, selain dilanda bencana alam, Provinsi NAD, beberapa provinsi di India, Sri Lanka dan Thailand Selatan juga merupakan daerah konflik bersenjata berkenaan dengan aksi kelompok separatis. Karena keterbatasan sumber daya manusianya, kemampuan BPK untuk melakukan audit kinerja masih sangat terbatas sekarang ini. Karena keterbatasan itu BPK belum dapat berperan memberikan saran kepada pemerintah dan entitas negara lainnya guna meningkatkan kinerja dan efisiensinya. Untuk dapat melakukan audit kinerja seperti itu, BPK perlu mcningkatkan kemampuannya dalarn melakukan analisis kebijakan publik.

8. Elemen pokok amandemen Undang-Undang BPK Pembangunan BPK ke depan dimulai dengan meletakkan pondasinya. Pondasi yang pertama adalah untuk mengoreksi ketentuan perundang- undangan yang membatasi objek pemeriksaan yang telah disebut di atas. Pondasi yang kedua adalah merubah UU No.5 Tahun 1973 tentang BPK. Undang-ndang tersebut mengekang kebebasan dan kemandirian BPK seperti disebut di atas dan membuat BPK tunduk pada cabang eksekutif pemerintahan. Pcrubahan Undang-Undang BPK itu diharapkan dapat memuat prinsip-prinsip kebebasan dan kemandirian BPK dalam hal kebijakan, wewenang, metoda kerja, organisasi, sumber daya manusia, dan kode etik karyawannya, status serta perlindungan hukum maupun anggarannya. Melalui pemulihan kewenangan serta kebebasan maupun kemandiriannya BPK diharapkan akan dapat menegakkan transparansi fiskal. Pada gilirannya ini akan memulihkan kembali penggunaan hak bujet milik rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR dan DPRD yang telah mengalami erosi dalam era otoriter Orde Baru. Pemulihan hak bujet rakyat itu diharapkan akan dapat memperbaiki pengelolaan serta pertanggungjawaban keuangan negara yang selama ini ”morat-marit” sehingga kita dilanda oleh krisis perekonomian sejak tujuh tahun terakhir. Transparansi fiskal sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat membayar pajak maupun kepercayaan mereka memegang Surat Utang Negara (SUN). Transparansi fiskal tersebut juga menambah kepercayaan kreditur internasional dalam memberikan hibah maupun pinjaman kepada Pemerintah Indonesia.

Perbaikan Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Negara dan Daerah di Indonesia1

1. Pengantar Perbaikan transparansi dan akuntabilitas fiskal merupakan salah satu kunci bagi keberhasilan perombakan sistem sosial yang kita lakukan selama era reformasi sejak krisis ekonomi tahun 1997-1998. Di sektor ekonomi, kita ingin beralih dari sistem perencanaan terpusat kepada sistem yang lebih banyak menggunakan mekanisme pasar. Dalam bidang politik, reformasi itu ingin menggantikan sistem politik otoriter masa lalu dengan sistem demokrasi. Dalam sistem pemerintahan, kita ingin merombak sistem pemerintahan sentralistis masa lalu diganti dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah. Perencanaan terpusat pada masa Orde Baru telah menciptakan kolusi, korupsi, dan nepotisme. Privatisasi dan deregulasi masa itu juga digunakan untuk memindahkan hak milik negara kepada kroni penguasa politik. Akibatnya, produktivitas dan efisiensi perekonomian nasional kita menjadi semakin menurun dan berakhir pada krisis tahun 1997-1998. Sistem politik yang demokratris sekarang ini memberikan jaminan kebebasan berserikat dan bersuara termasuk mendirikan partai politik. Dewasa ini, TNI dan Polri tidak lagi memiliki wakil di DPR dan menduduki jabatan sipil. Presiden dan wakil presiden serta kepala daerah kini dipilih langsung oleh rakyat berdasarkan platform atau janji politiknya dan tidak lagi dipilih oleh MPR atau DPRD. Di masa lalu, MPR sekaligus menyusun GBHN. Pada gilirannya, sistem ekonomi pasar hanya dapat berjalan secara efektif dan efisien jika ada perlindungan hak milik individu serta transformasi informasi pasar yang simetris. Yang terakhir ini termasuk transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. Sistem politik yang demokratis dan sistem pemerintahan yang didasarkan pada otonomi daerah juga menuntut adanya transparansi serta akuntabilitas keuangan negara. Tanpa itu, rakyat tidak akan mau membayar pajak dan investor tidak mau membeli Surat Utang Negara (SUN) kecuali dengan tingkat suku bunga yang sangat tinggi. Konflik antar daerah dapat dipicu

1 Ceramah pada Kuliah Pertama Semester Ganjil 2007/2008 Program Magister Akuntansi Universitas Trisakti (8 September 2007); ceramah pada Musyawarah III Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia, (9- 10 September 2007) Bahan ceramah di Universitas Andalas, Padang (26 Oktober 2007), Ceramah di Universitas Sebelas Maret, Solo (27 Agustus 2007); Makalah untuk Seminar Antar Semster IPDN (20 Juli 2007); Makalah pada Kuliah Umum di Universitas Nusa Cendana (27 Juli 2007), Keynote speech Seminar Nasional “Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Negara sebagai Upaya Pemberantasan Korupsi”, Brawijaya Accounting Fair 2006, FE Unbraw, (3 Juni 2006)

1 oleh perasaan curiga karena tidak transparan dan tidak akuntabelnya keuangan negara. UUD 1945 dan ketiga UU tentang Keuangan Negara Tahun 2003-20042 serta UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK menugaskan BPK sebagai satu-satunya auditor untuk memeriksa laporan keuangan ketiga lapis pemerintahan di Indonesia: Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Makalah ini menguraikan kemajuan perbaikan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara dan daerah sejak tahun 2005 serta tantangan yang masih dihadapi. Bagian kedua membahas berbagai elemen perbaikan sistem pengelolaan keuangan negara untuk menjadikannya transparan dan akuntabel sesuai dengan tuntutan era reformasi. Bagian ketiga membahas temuan pemeriksaan dan opini pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2004, 2005 dan 2006. Bagian keempat membahas tidak adanya transparansi dan akuntabilitas Direktorat Jenderal Pajak. Bagian kelima membahas berbagai aspek institusional daerah. Bagian keenam membahas peranan DPR dan DPRD untuk menindaklanjuti temuan BPK.

2. Upaya perbaikan sistem pengelolaan keuangan negara Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, pemerintah dalam era reformasi telah melakukan koreksi secara menyeluruh terhadap sistem keuangan negara yang dipergunakan pada masa Pemerintahan Orde Baru. Koreksi pertama adalah degan mengintegrasikan anggaran negara dengan meniadakan pembedaan antara anggaran rutin dan anggaran pembangunan yang terpisah di masa Orde Baru. Kontrol atas APBN kini sepenuhnya berada di tangan Menteri Keuangan. Tadinya anggaran pembangunan dikendalikan oleh Bappenas. Sementara itu, tahun anggaran kini dirubah sesuai dengan tahun kalender dari yang tadinya berakhir tanggal 31 Maret. Administrasi dan pertanggungjawaban keuangan negara dirubah secara mendasar. Jenis dan format laporan keuangan negara kini memberlakukan sistem pembukuan berpasangan, menggunakan sistem akuntansi terpadu yang dikomputerisasi, serta menerapkan desentralisasi pelaksanaan akuntansi secara berjenjang oleh unit-unit akuntansi baik di kantor pusat maupun di daerah. ICW yang digunakan selama Orde Baru merupakan warisan kolonial yang menggunakan single entry account dan bukan sistem pembukuan berpasangan, terpadu, dan berjenjang. Perubahan mendasar atas struktur APBN dan jenis, format serta cara pelaporannya dimuat dalam ketiga Undang-Undang Keuangan Negara tahun 2003-2004.

2 Ketiga Undang-Undang bidang Keuangan Negara tersebut adalah: (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; (2) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan (3) UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

2 Koreksi yang kedua adalah dengan menyosialisasikan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) pada tanggal 13 Juni 20053. SAP ini merupakan yang pertama dikeluarkan oleh pemerintah setelah enam puluh tahun Republik Indonesia berdiri. Koreksi yang ketiga adalah dengan menerbitkan UU No. 15 Tahun 20064 yang memulihkan kebebasan dan kemandirian BPK dan sekaligus memperluas objek pemeriksaannya. Setelah enam puluh tahun kita berbangsa dan bernegara, pertanggungjawaban keuangan negara yang transparan dan akuntabel baru dimulai dalam LKPP Tahun 2004. Walaupun masih jauh dari sempurna, LKPP itu memuat rangkaian perubahan sistem fiskal yang disajikan dalam bentuk neraca, lebih rinci dan lebih sistematis sehingga lebih mudah dipahami dan dicerna oleh masyarakat luas. Penyajian keuangan negara dalam bentuk neraca dan format baru, yang telah diaudit oleh BPK-RI tersebut, merupakan suatu tonggak sejarah kemajuan dan bagian dari perwujudan demokrasi politik yang juga menuntut adanya transparansi serta akuntabilitas keuangan negara. LKPP yang merupakan pertanggungjawaban keuangan negara dalam bentuk baru seperti sekarang ini adalah diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Ketentuan peralihan Pasal 36 ayat (2) UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara itu menyatakan bahwa ketentuan mengenai LKPP dalam bentuk sekarang ini akan berlaku mulai APBN Tahun 2006. Namun demikian, UU No. 28 Tahun 2003 tentang APBN Tahun 2004 telah memajukan awal mulai berlakunya penerapan LKPP format baru tersebut. Undang-Undang APBN Tahun 2004 menyebutkan bahwa laporan pertanggungjawaban APBN oleh Presiden sudah berupa LKPP format baru. LKPP format baru sekarang ini berbeda dengan laporan keuangan Pemerintah Pusat yang disusun berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Sistem Akuntansi Pemerintah dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP)5. LKPP yang berlaku sekarang ini terdiri dari Laporan Realisasi APBN (LRA) Pemerintah Pusat yang disusun berdasarkan LRA Kementerian Negara/Lembaga, Neraca, Laporan Arus Kas (LAK), dan Catatan atas Laporan Keuangan (CALK) yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara dan badan lainnya. Bagian-bagian LKPP yang lebih rinci, tertib dan sistematis tersebut merupakan hal

3 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan tanggal 3 Juni 2005. 4 Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan menggantikan UU No. 5 Tahun 1973. 5Surat Keputusan tersebut adalah SK Menteri Keuangan No.337/KMK/0.12/2003 tentang Sistem Akuntansi dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dan Peraturan Menteri Keuangan No. 59/KMK.06/2005 tentang hal yang sama. Kedua SK ini menggantikan Surat Keputusan No. 476/KMK.01/191 tentang Sistem Akuntansi Pemerintah dan Keputusan Menteri Keuangan No. 295/KMK.012/2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pembukuan dan Pelaporan Keuangan pada Departemen/Lembaga.

3 yang sangat penting bagi transparansi fiskal dan peningkatan akuntabilitas publik. Anggaran nonbujeter, yang sangat menonjol dalam masa Orde Baru, kini semakin ditertibkan dan diintegrasikan dengan APBN/APBD. Kini tidak boleh lagi menghimpun penerimaan nonbujeter dari mark-up pengadaan barang dan jasa. Instansi negara tidak boleh lagi mendirikan badan usaha, yayasan dan koperasi yang marak pada masa Orde Baru dan pada hakikatnya merongrong instansi induknya. Sementara itu, pemungutan Penerimaan Bukan Pajak semakin ditertibkan.

3. Temuan pemeriksaan atas LKPP dan opini pemeriksaan BPK Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) oleh BPK selama periode 2004-2006 menemukan bahwa pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN pada tingkat kementerian negara/lembaga belum seluruhnya direviu oleh aparat pengawasan internal, sebagaimana diharapkan oleh UU. Padahal dewasa ini pengawasan internal pemerintah di Indonesia merupakan yang terumit di dunia dan terdiri dari empat lapis, yakni: BPKP, Irjen/SPI, Bawasda Provinsi dan Bawasda Kabupaten/Kota6. Keempat pengawas internal pemerintah itu, terutama BPKP, memiliki jumlah sumber daya manusia, jaringan kantor, peralatan maupun anggaran yang jauh lebih besar daripada BPK-RI. Seharusnya BPKP itu dapat digunakan oleh pemerintah untuk membangun sistem akuntansi dan pertanggungjawaban keuangan negara serta mengatasi kelangkaan tenaga akuntan pada instansi teknis dan Bawasda agar dapat mengimplementasikan Paket Ketiga UU tentang Keuangan Negara Tahun 2003-2004. Dari segi teknis, setidaknya ada delapan kelemahan sistem pengendalian internal keuangan negara yang ditemukan oleh pemeriksaan BPK atas LKPP pada tahun anggaran 2004, 2005, dan 2006. Kelemahan tersebut yang pertama adalah masih perlunya perbaikan mendasar tentang sistem akuntansi keuangan negara agar dapat diseragamkan sesuai dengan sistem yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan pada tahun 2003 dan 2005. Kedua, perlunya sinkronisasi sistem komputer instansi pemerintah agar menjadi terintegrasi dan kompatibel antara satu dengan lainnya. Sebagaimana telah disebut di muka, dewasa ini sistem komputer pemerintah belum dapat menyamai sistem komputer perbankan. Ketiga, perlunya mengimplementasikan sistem perbendaharaan tunggal agar uang negara tidak lagi tersebar di berbagai rekening, termasuk rekening individu pejabat negara yang sudah lama meninggal dunia. Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 mengamanatkan

6 Di samping keempat aparat pengawas internal pemerintah di atas, pada masa Orde Baru, juga ada Irjenbang (Inspektur Jenderal Pembangunan) yang berada dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.

4 perlunya kesatuan rekening Kas Umum Negara dan Kas Umum Daerah. LKPP tahun 2004 melaporkan bahwa sebanyak 957 dari rekening-rekening pemerintah pada bank-bank senilai Rp20,55 triliun dicatat atas nama pribadi pejabat negara, termasuk yang sudah lama meninggal dunia. LKPP tahun 2005 dan 2006 melaporkan adanya peningkatan jumlah rekening seperti itu dengan jumlah uang yang lebih besar pula. Karena tersebarnya penyimpanan uang negara yang tidak terintegrasi pada rekening Bendahara Umum Negara (BUN), Menteri Keuangan tidak mengetahui posisi keuangan negara dan dana-dana yang tersebar itu tidak segera dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengatasi kesulitan likuiditasnya. Juga tidak jelas siapa yang menikmati balas jasa bunga rekening tersebut. Setidaknya alokasi sebagian dari Rekening Dana Investasi (RDI) merupakan praktik KKN. RDI menjadi alternatif bagi kredit bank dan diberikan kepada badan usaha yang sebenarnya mampu meminjam dari industri perbankan (bankable). Alokasi RDI, yang berbunga rendah dan risiko yang hampir tidak ada dibuat oleh pejabat Depkeu dengan cara yang kurang transparan dan penagihannya kembali pun hampir tidak pernah dilakukan secara serius. Besarnya RDI per 31 Desember 2005 adalah Rp60,5 triliun. Keempat, perlunya inventarisasi aset negara, baik ditingkat pusat maupun daerah. Kelima, perlunya penyediaan tenaga administrasi pembukuan pada setiap unit instansi pemerintahan, mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Tenaga-tenaga BPKP dapat digunakan untuk pembangunan sistem dan mengatasi kekurangan tenaga administrasi pembukuan itu. Keenam, perlunya transparansi dan akuntabilitas pemungutan pajak dan penyimpanannya sebelum ditransfer ke kas negara. Ketujuh, perlunya perbaikan pembukuan BP Migas7 (Badan Pengelola Migas) serta sinkronisasi penerimaan dan pengeluaran di sektor perminyakan. Sementara itu, perincian ongkos produksi penambangan migas oleh kontraktor swasta harus dirasionalisasi dalam perhitungan cost recover agar dapat mengoptimalkan penerimaan negara. Kedelapan, perlunya penertiban dasar pemungutan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), penyimpanan dan penggunaannya. Kesembilan, terbatasnya informasi tentang penerimaan negara. Bagian berikut akan membahas larangan Undang-Undang Pajak untuk melakukan pemeriksaan penerimaan negara dari pajak. Kesembilan, temuan pemeriksaan di atas telah menyebabkan BPK memberikan opini disclaimer pada LKPP selama tiga tahun berturut-turut. Yakni pada tahun 2004, 2005, dan 2006. Pemberian pendapat BPK atas pemeriksaan LKPP ketiga tahun anggaran itu adalah didasarkan pada ketentuan Pasal 16, Ayat (1), UU No. 15 Tahun 2004 BPK. Opini

7 BP Migas didirikan untuk sebagai instasi pemerintah untuk mengatur konsesi penambangan migas di Indonesia guna mengoptimalkan penerimaan negara.

5 pemeriksaan BPK diberikan berdasarkan tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan negara berdasarkan kesesuaiannya dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), kecukupan pengungkapan, efektifitas sistem pengendalian internal dan kepatuhan kepada perundang-undangan yang berlaku. Pemeriksaan terhadap LKPP selama tiga tahun terakhir ini belum ditujukan untuk menilai kinerja pemerintahan yang meliputi aspek ekonomi, efisiensi dan efektifitas. Karena disusun berbasis kas, LKPP tidak memperhitungkan kewajiban kontijensi pemerintah. LKPP juga tidak mengungkapkan strategi pemerintah untuk menunda pembayaran kepada kreditur maupun kontraktornya sebagai cara untuk mengurangi defisit anggaran berbasis kas itu. Perbaikan kesembilan, kelemahan mendasar administrasi pengendalian keuangan di atas merupakan upaya preventip bagi penanggulangan KKN. Hanya orang yang tidak mengerti tata negara dan tidak memahami ilmu akuntansi serta keuangan negara yang mengatakan bahwa temuan pemeriksaan BPK itu bernuansa politik. Dengan opini LKPP seperti ini, sulit kiranya bagi pemerintah untuk meningkatkan peringkat SUN (Surat Utang Negara) yang dijualnya di pasar dunia sehingga mencapai investment grade agar dapat menurunkan kupon atau tingkat suku bunganya. Sungguh menggembirakan bahwa mulai tahun 2007 pemerintah sudah mulai menertibkan penyimpanan uang negara dalam berbagai rekening instansi pemerintah dan individu pejabat negara tersebut. Namun demikian, konsolidasi keuangan negara masih jauh dari harapan karena belum kompatibelnya sistem komputer pemerintah dan belum adanya konsolidasi berbagai rekening instansi pemerintah yang tersebar luas tersebut.

4. Tidak transparan dan akuntabelnya Ditjen Pajak Sebagaimana disebut di atas, salah satu alasan mengapa BPK memberikan opini disclaimer pada LKPP adalah karena tidak adanya transparansi dan akuntabilitas penerimaan pajak yang merupakan porsi terbesar dari penerimaan negara. UU No. 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 6 Tahun 1983 dan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan bahwa pemeriksaan pajak oleh BPK hanya boleh dilakukan dengan ijin tertulis dari Menteri Keuangan. Dalam realita, hampir tidak pernah Menteri Keuangan memberikan ijin untuk melakukan pemeriksaan pajak. Dengan demikian, Ditjen Pajak merupakan satu- satunya instansi negara yang berada di luar jangkauan pemeriksaan BPK. Dengan demikian BPK merupakan satu-satunya lembaga pemeriksa keuangan di dunia yang tidak boleh memeriksa Ditjen Pajak negaranya sendiri.

6 Walaupun sudah menghabiskan biaya yang sangat besar untuk pembangunannya, data base Ditjen Pajak sangat buruk. Sementara itu statistik perpajakan pun hampir tidak ada. Tidak ada informasi mengenai jumlah wajib pajak yang telah memiliki NPWP dan berapa jumlah yang benar-benar membayar pajak. Pada tahun 2006, Ditjen Pajak menyebut adanya kenaikan jumlah pemiliki NPWP sebesar 5 kali lipat dalam masa satu bulan, tapi yang diberikan nomornya langsung oleh presiden di Istana Negara adalah anggota TNI, PNS maupun karyawan perusahaan swasta skala besar. Dalam sistem withholding yang digunakan dewasa ini, pajak mereka itu dipotong langsung oleh kantor di mana mereka bekerja untuk disetorkan pada Ditjen Pajak. Akibatnya, kenaikan jumlah pemilik NPWP tersebut belum dapat meningkatkan tax ratio dari tingkat 13,5% dari PDB dewasa ini Tidak ada informasi distribusi wajib pajak menurut lapis tarif pajak, sektor ekonomi, skala usaha maupun daerah. Tidak ada informasi mengenai kepatuhan wajib pajak untuk memenuhi kewajiban pembayaran pajaknya dan apa upaya Ditjen Pajak untuk menerapkan berlakunya undang-undang pajak untuk meningkatkan tax ratio tersebut. Pengenaan pajak atas dasar kesadaran sukarela dari wajib pajak untuk menghitung sendiri kewajibannya (self assessment) merupakan lisensi untuk penggelapan pajak jika tidak disertai dengan penegakan hukum dan audit oleh auditor independen. Lebih dari 70% konsultan pajak sekarang ini merupakan pensiunan karyawan Ditjen Pajak sendiri yang tidak pernah diawasi dan direviu pekerjaannya. Sebagaimana yang berlaku secara universal, BPK tidak akan melakukan pemeriksaan atas wajib pajak. Fokus pemeriksaan BPK adalah pada ketertiban petugas pajak untuk melaksanakan tugasnya melaksanakan Undang-Undang Perpajakan. Pemeriksaan oleh BPK pun akan dilakukan dengan mengambil sampel yang dipilih secara acak. Setidaknya ada lima aspek perpajakan yang akan diperiksa oleh BPK. Pertama, pelaporan mengenai penerimaan pajak menurut daerah, sektor ekonomi, skala usaha. Kedua, menilai kewajaran penetapan perhitungan kewajaran penetapan perhitungan pajak PPh, PPN, dan Wajib Pajak oleh petugas pajak. Ketiga, menguji dan menilai penyelesaian keberatan dan peninjauan kembali penetapan pajak yang dilakukan oleh petugas pajak. Keempat, administrasi tunggakan dan penagihan pajak termasuk kewajaran penghapusan tunggakan pajak. Kelima, dasar pemberian restitusi pajak yang dilakukan oleh petugas pajak. Pada gilirannya, hasil pemeriksaan BPK itu wajib untuk dilaporkannya kepada DPR sebagai pemegang hak bujet.

5. Masalah insitusional daerah Kesembilan temuan BPK yang merupakan kelemahan LKPP yang disebut di atas juga

7 berlaku bagi kedua lapis pemerintahan daerah. Selama periode 2000-2007, jumlah provinsi di Indonesia telah bertambah dari 27 menjadi 33 sedangkan jumlah kabupaten/kota meningkat dari 292 menjadi 4838. Kondisi daerah menjadi semakin parah karena dua hal. Pertama karena tidak adanya desain yang jelas tentang otonomi daerah sehingga peraturan sering berubah selama periode 1999-2007. Alasan kedua adalah karena sebagian dari pemekaran daerah itu bukan didasarkan atas pertimbangan kelayakan ekonomi yang rasional, tapi lebih karena ambisi elit politik daerah untuk mendapatkan kekuasaan dan kekayaan. Tabel 1 dan Gambar 1 menggambarkan hasil pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun 2006. Perlu diingat bahwa pada umumnya LKPD itu belum melampirkan laporan keuangan BUMD. Pada tahun itu BPK sudah dapat memeriksa LKPD seluruh provinsi dan 306 kabupaten/kota. BPK memberikan 4 opini “wajar tanpa pengecualian” (WTP), 269 “wajar dengan pengecualian” (WDP), 47 “tidak memberikan pendapat” (TMP) dan 19 LKPD “tidak wajar” (TW) pada LKPD. Dari total temuan sebesar 4.352, sebanyak 831 temuan (dengan nilai Rp5,6 triliun) berindikasi adanya kerugian negara sehingga perlu dilaporkan untuk disidik oleh penegak hukum. Sebanyak 523 temuan (senilai Rp2,3 triliun) merupakan kekurangan penerimaan, kesalahan administratif sebesar 660 temuan (senilai Rp17 triliun), kekurangpatuhan kepada peraturan sebanyak 2.014 temuan (senilai Rp25,9 triluin) dan ketidakhematan sebanyak 884 temuan (senilai Rp16,1 triliun). Di negara-negara lain, otonomi daerah diberikan kepada pemerintah provinsi. Sebaliknya di Indonesia diberikan langsung kepada kabupaten/kota. Padahal, kabupaten/kota belum memiliki perangkat kelembagaan maupun personil untuk mewujudkan pelimpahan wewenang dan dana bagi peningkatan kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan rakyatnya sesuai dengan tujuan otonomi itu. Lemahnya institusi Pemda tercermin dalam tiga hal. Pertama, lemahnya kemampuan untuk merumuskan kebijakan untuk dapat memanfaatkan potensi daerah bagi sebesar-besarnya kemajuan daerah serta bagi peningkatan kemakmuran maupun kesejahteraan rakyat di daerahnya. Kedua, lemahnya kemampuan aparat daerah untuk mengimplementasikan kebijakan yang diperlukan bagi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat itu. Ketiga, kurang tersedianya personil dalam bidang keuangan, teknik, kesehatan, pendidikan maupun dalam bidang lainnya seperti pertanian dan perikanan. Ahli keuangan diperlukan untuk dapat mengelola keuangan daerah, meningkatkan penerimaan, menghemat dan mengefektifkan pengeluaran anggaran serta mengelola hutang. Diperlukan

8 Pada tahun 2000, Provinsi Timor Timur memisahkan diri dari Republik Indonesia untuk menjadi negara yang berdiri sendiri.

8 ahli teknik untuk memelihara dan membangun prasana ekonomi. Diperlukan dokter dan perawat untuk mengelola Puskesmas dan rumah sakit. Guru yang bermutu diperlukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sebaliknya dari pihak Pemerintah Pusat, ada keengganan untuk melimpahkan urusan dan kewenangan kepada Pemda. Walaupun kewenangan sudah dilimpahkan kepada Pemda (seperti pendidikan, kesehatan dan pemeliharaan serta pembangunan infrastruktur), dana dekonsentrasi masih dikuasai oleh departemen/kementerian pusat dan belum dilimpahkan kepada Pemda dalam bentuk Dana Alokasi Khusus. Padahal kontrol penggunaan anggaran Dana Dekonsentrasi dan Dana Alokasi Khusus itu sudah ditetapkan melalui penetapan SPM (Standar Pelayanan Minimum). Kekuasaan untuk memungut pajak di Indonesia adalah terutama berada pada Pemerintah Pusat. Oleh karena itu, penerimaan negara dari sumber terpenting (pajak pendapatan, pajak pertambahan nilai, royalti dari eksploitasi sumber daya alam serta pajak atas bumi dan bangunan) dipungut oleh Pemerintah Pusat. Sebagian dari penerimaan pajak tersebut (seperti PBB dan royalti dari eksploitasi SDA) dikembalikan kepada daerah asal pemungutannya. Akibatnya, sumber pendapatan Pemda sangat tergantung kepada transfer dari Pemerintah Pusat dan peranan Pendapatan Asli Daerah sangat terbatas. Untuk mengatasi berbagai masalah yang masih dihadapi oleh Pemda diperlukan kerjasama yang erat antara Pemerintah Pusat, Pemda serta DPR/DPRD. Pemerintah Pusat (khususnya Departemen Dalam Negeri dan Depkeu) perlu menetapkan enam langkah kebijakan. Pertama, menyusun pedoman pelaksanaan sistem akuntansi yang sesuai dengan Paket UU Keuangan Negara Tahun 2003-2004 dan Standar Akuntansi Pemerintahan Tahun 2005. Kedua, menyusun petunjuk pembuatan APBD bagi Pemda untuk merasionalisasi pembelanjaan dan menghindarkan pemborosan dan pembangunan proyek-proyek mercusuar yang tidak ada manfaatnya bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi rakyat. Ketiga, membantu Pemda untuk membangun dan meningkatkan kapasitasnya dalam pembuatan rencana pembangunan dan melaksanakannya. Keempat, memanfaatkan satelit komunikasi Palapa untuk menciptakan sistem teknologi informasi yang terpadu dan kompatibel antara satu dengan lainnya. Keempat, memindahkan tenaga akuntan terdidik dari BPKP ke Pemda untuk dapat mengatasi kelangkaan tenaga pembukuan. Keenam, memperlancar realisasi anggaran, baik Dana Perimbangan (Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus) maupun Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Dalam kaitan ini, departemen/kementerian negara seyogyanya segera menyerahkan penggunaan Dana Alokasi Khusus kepada Pemda.

9 Pemerintah Daerah sendiri perlu mengambil setidaknya empat tindakan bagi peningkatkan kemampuan institusionalnya. Pertama, meningkatkan kualitas pejabat daerah agar mampu mengidentifikasikan potensi daerah dan menyusun perencanaan serta menetapkan kebijakan pembangunan maupun dalam melaksanakan kebijakan serta rencana pembangunan tersebut. Universitas daerah dapat dimanfaatkan untuk keperluan itu. Kedua, peningkatan SDM bukan saja mendirikan bangunan fisik gedung sekolah dan rumah sakit. Peningkatan SDM juga termasuk penyuluhan bagi petani, pengrajin, nelayan, dan UKM agar mampu memanfaatkan globalisasi perekonomian. Pemda harus dapat menyediakan pelayanan umum sesuai dengan SPM yang telah ditetapkan. Ketiga, meningkatkan kualitas governance dan iklim usaha di daerah agar dapat merangsang penanaman modal swasta untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan produksi serta ekspor, maupun alih teknologi. Keempat, meningkatkan infrastruktur perekonomian daerah, khususnya di pedesaan untuk memperlancar pemasaran produksi rakyat.

6. Peranan DPR dan DPRD untuk menindaklajuti temuan BPK Peranan DPR dan DPRD perlu ditingkatkan untuk dapat mewujudkan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara maupun untuk membangun kemampuan institusional Pemda. Peranan DPR itu, disatu pihak, dapat dilakukan dengan melakukan sinkronisasi undang-undang agar jangan bertentangan antara satu dengan lainnya. Contoh pertentangan antara undang-undang itu adalah UU Perpajakan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Paket tiga UU Keuangan Negara Tahun 2003-2004. Di lain pihak, peranan DPR dan DPRD dalam meningkatkan transparansi dan akuntabilitas fiskal juga dapat diwujudkan melalui tindak lanjut temuan BPK untuk menyempurnakan sistem pengendalian internal keuangan negara. Untuk dapat menindaklanjuti perbaikan kelemahan mendasar administrasi keuangan negara dan daerah tersebut, BPK telah menyarankan kepada DPR dan DPRD untuk dapat membentuk suatu Panitia Akuntabilitas Publik (PAP). Di parlemen negara asing PAP itu disebut sebagai Public Account Committee (PAC). Di negara lain itu, PAP diketuai oleh anggota DPR dan DPRD dari partai oposisi untuk menjaga check and balance. PAP merupakan perwujudan dari kekuasaan DPR dan DPRD sebagai pemegang hak bujet. DPR dan DPRD di Indonesia sudah memiliki Panitia Anggaran untuk membahas rencana anggaran negara tingkat pusat dan daerah. DPR dan DPRD juga sudah memiliki komisi-komisi yang mengawasi penggunaan anggaran dan kinerja sektoral departemen teknis. Namun, DPR dan DPRD kita belum memiliki PAP yang memantau pelaksanaan RAPBN dan RAPBD secara

10 keseluruhan. Misalnya, tidak pernah dilakukan pengecekan oleh DPR dan DPRD bagaimana suatu instansi negara membelanjai dirinya, berapa dari sumber APBN/APBD dan berapa dari sumber lainnya. DPR, DPRD dan pemerintah seyogyanya dapat melakukan restrukturalisasi berbagai organisasi badan layanan umum setelah era reformasi. Otonomi daerah yang menyerahkan pengurusan sekolah dasar dan menengah, rumah sakit, dan sebagian dari infrastruktur kepada daerah menuntut cara pengorganisasian dan pembelanjaan yang berbeda daripada pada masa pemerintahan yang sentralistis di masa lalu. Sementara itu, dasar pemungutan PNBP dari segi tarifnya, cara penyimpanan serta penggunaannya perlu diatur dan diawasi oleh DPR dan DPRD agar tidak menjadi liar seperti Pungutan Departemen Kelautan dan Perikanan serta pungutan Mahkamah Agung yang terjadi dewasa ini. Pada hakikatnya, PNBP merupakan user charge atau pungutan biaya penggunaan jasa publik yang jelas dapat diidentikasikan konsumennya.

11

Tabel 1. DAFTAR REKAPITULASI OPINI LKPD 2006

ENTITAS YANG OPINI LHP NO PROVINSI SEHARUSNYA DIPERIKSA SELESAI WTP WDP TMP TW TOTAL Provinsi Kab/Kota Jumlah

1 NAD 1 22 23 21 0 19 2 0 21 2 Sumatera Utara 1 25 26 4 0 1 3 0 4 3 Sumatera Barat 1 19 20 6 0 4 2 0 6 4 1 11 12 6 0 6 0 0 6 5 Kep. Riau 1 6 7 7 0 4 3 0 7 6 Bangka Belitung 1 7 8 7 0 7 0 0 7 7 Sumatera Selatan 1 14 15 11 0 11 0 0 11 8 1 10 11 5 0 5 0 0 5 9 Bengkulu 1 9 10 4 0 3 1 0 4 10 1 10 11 11 0 11 0 0 11 11 DKI Jakarta 1 0 1 1 0 1 0 0 1 12 Banten 1 6 7 7 0 7 0 0 7 13 Jawa Barat 1 25 26 26 0 26 0 0 26 14 Jawa Tengah 1 35 36 36 0 35 0 1 36 15 DI 1 5 6 6 0 4 1 1 6 16 Jawa Timur 1 38 39 37 1 31 0 5 37 17 Bali 1 9 10 10 0 10 0 0 10 18 NTB 1 9 10 6 0 6 0 0 6 19 NTT 1 16 17 5 0 4 1 0 5 20 Kalimantan Barat 1 12 13 13 2 7 3 1 13 21 Kalimantan Selatan 1 13 14 12 1 8 1 2 12 22 Kalimantan Timur 1 14 15 12 0 0 11 1 12 23 Kalimantan Tengah 1 14 15 8 0 6 1 1 8

23 24 Sulawesi Selatan 1 23 24 20 0 19 1 0 20 25 Sulawesi Tengah 1 10 11 6 0 5 1 0 6 26 Sulawesi Tenggara 1 11 12 11 0 10 1 0 11 27 Sulawesi Utara 1 9 10 10 0 4 5 1 10 28 Sulawesi Barat 1563 02103 29 Gorontalo 1 5 6 6 0 6 0 0 6 30 Maluku 1 8 9 3 0 1 2 0 3 31 Maluku Utara 1 8 9 9 0 4 5 0 9 32 Papua 1 20 21 7 0 0 1 6 7 33 Irian Jaya Barat 1 9 10 3 0 2 1 0 3 Jumlah 33 437 470 339 4 269 47 19 339

WTP WDP TMP TW TOTAL 4 269 47 19 339 1% 79% 14% 19% 100%

24 LKPD

Gambar 1

25 BPK dan Transparansi Fiskal

Tuntutan masyarakat untuk melakukan reformasi sistem sosial, politik, dan ekonomi guna mewujudkan demokrasi telah mengubah sistem dan struktur pemerintahan Indonesia. Sementara itu, tuntutan untuk mengikis KKN memerlukan peningkatan transparansi fiskal atau pengelolaan maupun pertanggungjawaban keuangan negara. Transparansi fiskal merupakan komponen utama dari upaya penciptaan clean government dan good governance. Sebagai lembaga pemeriksa keuangan negara, BPK RI sangat berperan dalam mewujudkan transparansi fiskal itu. Tuntutan reformasi tersebut telah diwujudkan dalam bentuk rangkaian perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dan perubahan perangkat hukum lain, perubahan kebijakan pemerintah maupun perubahan mendasar dalam hal pengelolaan keuangan negara. Perubahan dalam sistem dan struktur pemerintahan antara lain tercermin dari perluasan otonomi daerah dan pembagian hak serta tanggung jawab antartingkat pemerintahan. Salah satu perubahan mendasar dalam hal pengelolaan keuangan negara adalah diaturnya kembali perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah. Perubahan sistem pemerintahan sekaligus mengubah lembaga negara. Salah satu perubahan dalam bidang ini adalah dengan menciptakan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan menata ulang fungsi serta peranan MPR. Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum. Sementara itu, MPR kini terdiri dari anggota DPR dan DPD, tidak lagi memilih presiden dan wakil presiden serta tidak lagi menetapkan Garis- Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pada masa lalu GBHN menjadi dasar penyusunan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang merupakan program pemerintah. Dewasa ini, program pemerintah itu disusun berdasarkan platform presiden yang langsung dipilih oleh rakyat.

Fungsi dan kedudukan BPK Dalam suatu negara demokratis, sektor pemerintah dipisahkan dengan tegas dari sektor negara maupun dari perekonomian secara keseluruhan. Kebijakan maupun fungsi manajemen dalam sektor negara harus dibuat transparan dan terbuka luas secara umum.

1 Dalam konteks kehidupan bernegara di Indonesia dewasa ini, UUD 1945 menciptakan BPK sebagai lembaga tinggi negara dengan tugas pokok melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, baik berupa stok asetnya maupun transaksi dalam membelanjai kegiatannya. BPK memeriksa keuangan negara di semua lapisan tingkat pemerintahan di Indonesia. Perubahan ketiga dari UUD 1945 menempatkan BPK dalam suatu bab tersendiri yang tadinya hanya disebut dalam ayat (5) Pasal 23 dalam UUD 1945 versi semula. Kedudukan, tugas, organisasi, dan cara pemilihan anggota BPK juga lebih jelas diatur dalam perubahan UUD 1945 yang ketiga itu. Untuk dapat melaksanakan tugasnya, Pasal 23 G, ayat 1 UUD 1945 menyebut bahwa, "BPK berkedudukan di ibu kota negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi." Dengan demikian, kedudukan maupun peranan BPK dalam mewujudkan transparansi fiskal dan menciptakan clean government dan good governance di Indonesia menjadi lebih jelas dan kokoh dalam perubahan UUD 1945 yang ketiga itu. Tujuan pemeriksaan oleh BPK adalah untuk memelihara transparansi fiskal guna menciptakan clean government dan good governance. Elemen pokok transparansi fiskal itu berupa integritas ataupun kebenaran laporan keuangan negara. Dalam pergaulan dunia internasional, standar akuntansi sektor negara disusun oleh the Public Sector Committee of the International Federation of Accountants (IFACPSC). Sementara itu, organisasi internasional lembaga tinggi yang melakukan pemeriksaan atau audit keuangan negara (INTOSAI-the International Organization of Supreme Audit Institutions) telah menyusun standar pemeriksaan keuangan negara. Standar yang disusun oleh kedua organisasi internasional, serta standar yang disusun oleh Dana Moneter Internasional (IMF), dianggap the best practices yang menjadi acuan dunia. Dilihat dari sudut ilmu manajemen, pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan oleh BPK merupakan mata rantai dari siklus perencanaan nasional jangka panjang maupun siklus anggaran tahunan. Dalam kaitan ini, Pasal 23E ayat (2) perubahan ketiga UUD 1945 mengamanatkan agar BPK dapat menyerahkan hasil pemeriksaannya secara tepat waktu kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya masing- masing. Amanat UUD 1945 tersebut diterjemahkan dalam UU No. 17 Tahun 2003 yang menugaskan BPK agar dapat menyampaikan laporan keuangan Pemerintah Pusat dan

2 daerah kepada DPR dan DPRD selambat-lambatnya enam bulan setelah berakhirnya tahun anggaran. Setelah selesai melakukan pemeriksaan, BPK menyusun laporan tertulis atas hasil pemeriksaannya. Laporan pemeriksaan itu hendaknya bersifat independen, objektif, adil, dan konstruktif. Suatu laporan bersifat membangun jika diikuti dengan saran-saran perbaikan atas temuan-temuan kekurangan maupun penyimpangan yang ada. Pasal 23E UUD 1945 mengamanatkan agar hasil pemeriksaan BPK ditindaklanjuti oleh lembaga- lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang. Isi laporan BPK itu sekaligus merupakan penilaian atas proyeksi fiskal maupun ekonomi makro yang menjadi dasar penyusunan anggaran negara. Agar dapat memberikan opini yang adil dan objektif, perubahan ketiga UUD 1945 menetapkan BPK sebagai suatu lembaga independen yang bebas dan mandiri (Pasal 23 F ayat 1). Ayat (2) pasal 23 F itu kemudian mengatur bahwa anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh presiden. Pimpinan BPK dipilih dari dan oleh anggotanya sendiri. Namun, masa jabatan dan cara pemberhentian anggota BPK masih perlu diatur dalam undang-undang tersendiri. Undang-undang tersendiri mengenai BPK itu diharapkan akan sekaligus mengatur lebih rinci mengenai tugas, kewenangan, dan akuntabilitas BPK. Termasuk di dalamnya menyangkut pengaturan tentang esensi independensi BPK dalam hal anggaran, perlindungan hukum serta hubungan maupun cara penyelesaian konflik dengan instansi pemerintahan lainnya. Independensi BPK bukan berarti ia tidak akuntabel, dapat berjalan sendiri tanpa kendali maupun pengawasan dari lembaga lain. Apakah dalam hal kebijakan maupun anggaran. Yang dimaksud dengan independensi BPK hanya menyangkut hubungan kerjanya dengan instansi pemerintah lainnya, terutama oleh penyampaian opini maupun saran-saran korektif atas hasil temuan pemeriksaannya.

Makna pemeriksaan keuangan oleh BPK Tugas pemeriksaan keuangan negara oleh BPK mempunyai dua makna yang saling berkaitan. Di satu pihak, tugas tersebut dapat diartikan sebagai pemeriksaan untuk mengetahui posisi ataupun nilai kekayaan negara pada suatu titik waktu tertentu. Di lain

3 pihak, pemeriksaan itu sekaligus menyangkut arus anggaran penerimaan maupun pengeluaran negara (APBN) dalam suatu kurun periode waktu tertentu. Pemeriksaan terhadap APBN dilakukan menyangkut sumber penerimaan maupun arah pengeluarannya, termasuk pembelanjaan defisit serta penempatan surplus anggaran. Defisit anggaran dibelanjai dari kombinasi antara penggunaan rekening pemerintah yang ada pada Bank Indonesia (BI) maupun bank umum dengan penjualan aset negara (termasuk privatisasi BUMN serta divestasi aset Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA) dan meminjam dari sumber dalam maupun luar negeri dengan mengeluarkan Surat Utang Negara (SUN). Dengan kata lain, defisit APBN dapat menambah stok utang negara maupun mengurangi stok kekayaannya. Sebaliknya, surplus anggaran dapat mengurangi stok utang negara maupun menambah stok kekayaannya. Kedua bentuk pemeriksaan keuangan negara oleh BPK di atas merupakan bagian dari penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (clean government) dengan sistem, proses maupun perangkat aturan yang baik. Good governance dapat diciptakan jika ada pengaturan yang jelas antar berbagai pihak yang terkait. Penyelenggaraan pemerintah yang bersih dan tertib itu menuntut adanya transparansi dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Pemerintahan yang bersih dan tertib tersebut akan mencegah terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme, termasuk kriminalitas berupa insider trading dan transaksi jual beli surat utang negara maupun surat berharga BI. Pihak terkait bukan saja terdiri dari rakyat (berupa pembayar pajak maupun bukan wajib pajak), lembaga-lembaga perwakilan (DPR, DPD, dan DPRD), serta Pemerintah Pusat, dan pemerintah daerah. Termasuk stakeholders adalah negara donor, lembaga keuangan internasional pemberi bantuan maupun pinjaman, dan investor dalam negeri serta asing yang membeli SUN. Pada masa Orde Baru, pinjaman pemerintah hanya bersumber dari pinjaman lunak (ODA-Official Development Aid) melalui IGGI/CGI yang merupakan konsorsium negara- negara donor. Dalam masa orba itu, pinjaman luar negeri itu disebut sebagai penerimaan pembangunan. Sebagian dari pengeluaran pembangunan itu pada hakikatnya merupakan pengeluaran rutin, seperti honorarium petugas proyek maupun biaya perjalanannya. Transparansi fiskal menjadi semakin penting setelah berakhirnya program IMF. Karena tidak lagi tersedia fasilitas penjadwalan kembali pinjaman luar negeri melalui

4 Paris Club maupun pinjaman baru setidaknya dari IMF, Indonesia kini semakin bergantung kepada penjualan aktiva negara maupun SUN untuk menutup defisit APBN. SUN dan obligasi luar negeri pemerintah yang ada dewasa ini mengandung syarat-syarat komersial. Sebagian besar dari SUN yang dijual di pasar dalam negeri merupakan obligasi pemerintah yang dipergunakan untuk merekapitalisasi bank-bank nasional, baik berupa bank negara, bank pembangunan daerah, maupun bank swasta. Keberhasilan pemerintah melakukan privatisasi BUMN/BUMND dan menjual SUN, apakah di pasar dalam negeri maupun di pasar keuangan internasional, sangat bergantung kepada integritas maupun ketepatan waktu laporan keuangan yang disajikan oleh pemerintah sendiri. Berbeda dengan APBN pada masa Orde Baru, penerimaan dari hasil penjualan SUN sekarang ini dibukukan sebagai utang pemerintah.

Transparansi fiskal Transparansi fiskal menekankan pada keterbukaan informasi mengenai struktur dan fungsi pemerintah, sasaran kebijakan fiskal, posisi keuangan sektor negara maupun proyeksi fiskal. Pada hakikatnya, transparansi fiskal mengandung empat elemen dasar pokok. Elemen dasar pertama adanya kejelasan peranan serta tanggung jawab lembaga negara. Dalam kaitan ini, termasuk kejelasan pembagian tugas, kewenangan, maupun tanggung jawab semua cabang pemerintah, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Kejelasan pengaturan itu juga mencakup mekanisme koordinasi dan manajemen kegiatan anggaran maupun nonanggaran. Hal yang sama juga berlaku bagi hubungan antara pemerintah dengan institusi negara nonpemerintah lainnya, seperti BI, Bulog, BUMN, dan BUMND. Keterlibatan pemerintah dalam kegiatan usaha, baik sebagai regulator maupun sebagai pemilik, hendaknya dilakukan secara terbuka, berdasarkan aturan maupun prosedur yang jelas yang berlaku secara umum tanpa diskriminasi sehingga dapat dihindarkan praktik monopoli dan oligopoli maupun persaingan pasar yang kurang sehat. Perlu diketahui sekali lagi bahwa transparansi fiskal memerlukan dasar hukum maupun kerangka administratif pengelolaan keuangan negara yang jelas. Komitmen yang

5 menyangkut pengeluaran negara hendaknya diatur dalam aturan anggaran dan aturan administratifnya terbuka lebar bagi masyarakat luas. Pajak, bea, maupun berbagai jenis pungutan oleh pemerintah harus didasarkan atas peraturan yang jelas. Undang-Undang Pajak maupun peraturan yang menjadi dasar pungutan pemerintah itu harus terbuka luas bagi masyarakat, mudah dipahami, dan mudah diterapkan. Standar kode etik pegawai negeri perlu diumumkan kepada masyarakat dan diawasi penerapannya. Elemen dasar kedua transparansi fiskal menuntut adanya keterbukaan informasi kepada masyarakat luas, baik berupa kegiatan di masa lalu, pada saat sekarang, maupun mengenai rencana ke depan. Dokumentasi anggaran, neraca, maupun laporan lainnya mengenai keuangan negara harus terbuka untuk umum dan mencakup transaksi anggaran resmi maupun kegiatan nonbujeter terkonsolidasi. Termasuk di dalam dokumen laporan itu kewajiban kontijensi, pajak terselubung, maupun kegiatan kuasi fiskal, posisi utang serta kekayaan negara. Elemen dasar ketiga transparansi fiskal adalah adanya keterbukaan informasi dalam proses penyusunan anggaran maupun pelaksanaan serta pelaporannya. APBN tahunan hendaknya disiapkan dan dipresentasikan dalam kerangka asumsi perkiraan besaran model ekonomi makro yang komprehensif dan konsisten. Asumsi ekonomi makro itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen APBN tersebut. UU No. 17 tahun 2003 menetapkan bahwa laporan pertanggungjawaban APBN/APBD setidaknya terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan yang disusun sesuai Standar Akuntansi Pemerintah. Pasal 11 Ayat (5) dan Pasal 15 Ayat (5) UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara memuat format APBN sesuai dengan format yang berlaku secara internasional (seperti Government Financial Statistics) yang disusun IMF dan sangat berbeda dengan format APBN era orde baru. Format APBN versi UU No. 17 tahun 2003 itu lebih transparan karena data anggaran disusun secara terpadu dan dilaporkan atas dasar gross basis dengan membedakan antara penerimaan dengan pengeluaran serta pembelanjaan defisit anggaran. Pasal 11 Ayat (5) UU No. 17 tahun 2003 membagi mata anggaran pengeluaran negara berdasarkan kelompok ekonomi, fungsional maupun kelompok administratif. Menurut rincian jenisnya secara ekonomi, belanja negara dirinci antara lain

6 terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga utang, subsidi, hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain. Menurut fungsi, belanja negara digolongkan dalam (1) pelayanan umum, (2) pertahanan, (3) ketertiban, keamanan dan hukum, (4) ekonomi, (5) perlindungan lingkungan hidup, (6) perumahan dan pemukiman, (7) kesehatan, (8) pariwisata dan budaya, (9) agama, (10) pendidikan, dan (11) perlindungan sosial. Secara administratif atau organisasi, belanja negara dibedakan antara belanja Pemerintah Pusat dan belanja pemerintah daerah. Anggaran belanja Pemerintah Pusat disesuaikan dengan susunan kementerian negara maupun lembaga negara. Anggaran nonbujeter dilaporkan bersama dengan dokumen anggaran resmi dengan mengikuti pengelompokan yang sama. Format baru itu diharapkan akan dapat diimplementasikan mulai tahun anggaran 2005. Format baru berdasarkan UU No. 17 tahun 2003 belum dapat menggolongkan pengeluaran anggaran berdasarkan kinerja. Dalam APBN masa lalu, anggaran nonbujeter terdiri dari berbagai sumber dan tidak dapat dilaporkan serta dipertanggungjawabkan kepada DPR. Artinya, ada bagian dari anggaran negara yang tidak mendapatkan persetujuan maupun pengawasan DPR. Akibatnya, DPR tidak sepenuhnya menjalankan hak bujetnya seperti yang diamanatkan dalam Pasal 23 UUD 1945. Anggaran nonbujeter yang tidak dikonsolidasikan sekaligus menyulitkan penilaian ongkos atau biaya yang sebenarnya atas kegiatan satuan kerja pemerintah. Sumber-sumber anggaran nonbujeter dalam APBN orde baru termasuk kredit program bank-bank negara, kredit dari BI untuk menutup gagal bayar PN Pertamina tahun 1970-an, Bulog, BUMN serta berbagai yayasan milik instansi resmi. Implementasi anggaran dilaporkan secara periodik, secara kuartalan maupun pertengahan tahun. Pertanggungjawaban realisasi anggaran dilakukan pada setiap akhir tahun. Publikasi mengenai informasi keuangan negara harus dapat dibuat tepat waktu, dan publikasi dibuat secara resmi, sehingga merupakan dokumen resmi yang mengikat bagi pemerintah. Elemen dasar keempat transparansi fiskal adalah menyangkut kebenaran ataupun integritas keuangan negara. Data anggaran mencerminkan proyeksi penerimaan dan pengeluaran negara yang disusun berdasarkan asumsi perkembangan ekonomi makro tertentu untuk mewujudkan komitmen kebijakan pemerintah yang tertentu pula.

7 Kebenaran data yang dimuat dalam dokumen anggaran perlu dipelihara dan disusun berdasarkan standar akuntansi baku dan perlu diperiksa konsistensi internalnya dan direkonsiliasikan dengan data dari sumber lainnya. Pada akhirnya, kebenaran dan konsistensi data anggaran itu diaudit oleh BPK.

8 dan Pembangunan Sistem Sosial Indonesia1

1. Pendahuluan Dalam era reformasi, sejak delapan tahun terakhir, Bangsa Indonesia tengah menghadapi lima bentuk tantangan berat yang sangat mengganggu kehidupan sosialnya. Tantangan pertama yang dihadapi dewasa ini adalah untuk membangun kembali fundamental perekonomian nasional yang telah mengalami krisis pada tahun 1997-1998 yang dampaknya masih terasa hingga sekarang. Tantangan kedua adalah menyiapkan perekonomian dan badan usaha nasional agar dapat memanfaatkan globalisasi dan mencegah dampak negatifnya. Tantangan ketiga adalah untuk menumbuhkan demokrasi politik. Tantangan keempat adalah menyukseskan otonomi daerah bagi peningkatan kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Tantangan kelima adalah mengatasi rangkaian konflik di berbagai daerah dan merajut kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Seperti lembaga-lembaga negara lainnya, BPK juga diharapkan dapat berperan aktif dalam mengatasi berbagai tantangan tersebut.

2. Lima tantangan sosial Krisis ekonomi yang terjadi de1apan tahun yang lalu salah satunya adalah karena lemahnya fundamental perekonomian nasional kita. Pada gilirannya, fundamental perekonomian nasional menjadi rapuh karena kurang baiknya sistem hukum maupun sistem akuntansi kita. Akibatnya laporan keuangan negara maupun badan usaha kita tidak dapat dijadikan pegangan untuk mengetahui dan mengantisipasi keadaan dan menjadi dasar bagi pengambilan keputusan. Laporan keuangan yang tidak dapat dipercaya, serta sistem hukum yang tidak menjamin adanya kepastian, telah menyebabkan terjadinya distorsi informasi sehingga meningkatkan biaya transaksi dan mengurangi efisiensi pasar dalam perekonomian nasional. Kelemahan fundamental

1 Makalah untuk “Rapat Koordinasi Nasional Pimpinan FPPP (Fraksi Partai Persatuan Pembangunan) DPR-RI, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan Pimpinan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota” di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Selasa, 18 Juli 2006.

1 perekonomian nasional seperti inilah yang merupakan tantangan pertama pada sistem sosial kita. Dalam pepatah kita sendiri, transparansi informasi pasar yang distortif atau asimetris seperti itu diumpamakan sebagai “beli kucing dalam karung”. Dari suaranya, pembeli tahu bahwa isi karung itu adalah benar-benar kucing, tapi ia tidak tahu bagaimana kualitasnya, apakah kucing kurap atau kucing anggora. Kondisi pasar yang kurang baik seperti itu menyebabkan mahalnya biaya dalam melakukan transaksi perekonomian di Indonesia. Pada gilirannya, biaya transaksi yang mahal menyebabkan produk Indonesia tidak mampu menyaingi produk asing dan membuat Indonesia tidak menarik bagi investasi modal swasta. Di tengah keterbatasan anggaran negara dewasa ini, peningkatan ekspor dan investasi swasta sangat diperlukan bagi pertumbuhan ekonomi nasional maupun bagi penciptaan lapangan kerja. Tantangan kedua adalah menyiapkan perekonomian nasional serta badan usaha maupun para pelaku ekonomi lainnya agar dapat memanfaatkan globalisasi bagi kepentingan nasional kita sendiri dan mencegah dampak negatifnya. Atas prakarsa kita sendiri maupun untuk memenuhi komitmen intemasional dalam pergaulan dunia, semua aspek perekonomian nasional telah semakin kita buka dan diintegrasikan dengan pasar global. Dewasa ini, pasar barang dan jasa maupun pasar faktor-faktor produksi kita telah semakin terbuka dan terintegrasi dengan pasar yang sama di luar negeri. Pemuda dan pemudi dari daerah pedesaan Indonesia telah banyak yang merantau dan mencari pekerjaan di seluruh pelosok dunia. Sebagaimana telah kita alami sendiri, selain mendatangkan manfaat, integrasi dengan pasar dunia itu juga dapat menimbulkan malapetaka yang sangat dahsyat. Arus balik aliran modal jangka pendek ke luar negeri yang terjadi pada tahun 1997 telah memicu krisis perekonomian kita. Tantangan ketiga adalah merubah sistem politik kita dari sistem otoriter masa pemerintahan Orde Baru ke sistem politik yang lebih demokratis. Demokrasi politik bukan saja menuntut adanya kebebasan berbicara, berkumpul dan berserikat, tapi juga untuk mendirikan organisasi maupun partai politik. Demokrasi pun bukanlah sekedar menyelenggarakan pemilihan umum secara reguler dengan jujur serta adil. Demokrasi politik itu sekaligus menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas pada pengelolaan aset negara maupun pada kedua sisi neraca keuangan negara, sisi penerimaan maupun sisi pengeluarannya dan stok hutang maupun piutangnya. Kesadaran masyarakat untuk

2 membayar pajak dan retribusi tidak mungkin dapat ditingkatkan kalau tidak ada transparansi dan akuntabilitas keuangan negara itu. Masyarakat enggan membayar pajak jika hasil pemungutan pajak itu temyata dikorupsikan atau digunakan untuk menutup kerugian usaha para konglomerat hitam dan bukan untuk meningkatkan kemakmuran bersama ataupun mengoreksi ketimpangan ekonomi. Tantangan keempat bangsa kita adalah beralih dari sistem pemerintahan yang tadinya sentralistis kepada sistem yang memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada kabupaten/kota dan kotamadya. Tujuan utama dari pemberian otonomi daerah itu adalah untuk meningkatkan pelayanan publik kepada rakyat sendiri. Pemerintah daerah yang lebih dekat dengan rakyat dianggap lebih mengetahui preferensi, selera dan kebutuhan masyarakat kita yang heterogen, majemuk atau bhinneka, baik dari segi suku, bahasa, agama, adat istiadat, budaya, perilaku maupun temperamennya. Kedekatan jarak tempuh mengurangi biaya penyediaan pelayanan publik kepada warga masyarakat. Di negara Republik Indonesia yang luas dan terdiri dari ribuan pulau-pulau, kebhinnekaan itu tercermin dari keragaman lokasi, iklim, kandungan sumber daya alam maupun struktur, bentuk. serta kesuburan tanahnya. Melalui otonomi, Pemda diharapkan dapat mengeksploitir potensi daerah yang dipimpinnya bagi kemakmuran ekonomi rakyat di daerah itu sendiri maupun bagi kemakmuran rakyat di seluruh nusantara. Tantangan kelima adalah mengatasi rangkaian konflik bersenjata yang telah melanda berbagai daerah guna memelihara ketertiban dan keamanan nasional serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Gangguan ketertiban dan keamanan telah menimbulkan dampak negatif pada kegiatan sosial masyarakat termasuk pada kegiatan ekonominya. Beban ekonomi rangkaian konflik bersenjata itu sudah semakin terasa peningkatan pada anggaran negara kita dan perekonomian nasional. Semakin besarnya porsi pengeluaran negara yang diperlukan bagi keperluan pemeliharaan ketertiban dan keamanan, semakin kecil porsi anggaran yang tersedia bagi peningkatan kemakmuran rakyat. Kemakmuran ekonomi rakyat hanya dapat ditingkatkan melalui pemeliharaan dan pembangunan infrastruktur perekonomian dan peningkatan SDM atau sumber daya manusia. Pada gilirannya, SDM dapat ditingkatkan melalui pemeliharaan kesehatan masyarakat, pendidikan serta peningkatan etos kerjanya. Rangkaian konflik bersenjata yang terjadi dewasa ini

3 sekaligus telah melemahkan kekuatan ekonomi kita sendiri dan potensi pertumbuhannya karena telah kita rusak sendiri dalam kancah perang saudara itu.

3. Peranan BPK dalam merajut kembali sistem sosial RI Seperti lembaga pemerintahan lainnya, BPK diharapkan dapat berperan dalam pemecahan kelima masalah di atas guna menata kembali kehidupan sosial kita. Sebagaimana diketahui, BPK diberikan mandat oleh konstitusi untuk memeriksa pengelo1aan dan tanggung jawab setiap sen uang negara dari manapun asalnya dan di manapun disimpan serta dipergunakan. Tujuan pokok dari pemeriksaan oleh BPK tersebut adalah mewujudkan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. Selain memudahkan lembaga-lembaga perwakilan rakyat menjalankan hak bujetnya, transparansi dan akuntabilitas keuangan negara sekaligus menguatkan fundamental ekonomi nasional serta dunia usaha kita, terutama BUMN dan BUMD. Transparansi dan akuntabilitas keuangan negara juga merupakan kunci untuk meniadakan rasa cemburu maupun kecurigaan yang tidak berdasar antar sesama kita sendiri. Untuk dapat menjawab tantangan yang pertama, BPK diharapkan dapat memperbaiki kelemahan sistem akuntansi sektor negara kita, termasuk BUMN dan BUMD. Rangkaian krisis ekonomi Indonesia, termasuk krisis tahun 1997-1998, memberikan pelajaran bagi kita bahwa selain memperbaiki mutu pemeriksaannya, BPK juga dituntut untuk melakukan audit konsolidasi. Mutu pemeriksaan BPK akan terus kita tingkatkan dengan peningkatkan audit investigasi maupun fraud audit untuk memperoleh gambaran kondisi keuangan yang lebih akurat. Rangkaian krisis ekonomi itu sekaligus mencerminkan akan pentingnya untuk melakukan audit konsolidasi. Alasannya adalah karena transaksi keuangan sektor negara kita bukan saja tercermin dalam APBN dan APBD. Negara kita juga memiliki anggaran nonbujeter, BUMN dan BUMD dengan dana pensiun karyawannya. Pada gilirannya, hampir setiap instansi memiliki yayasan dan adakalanya koperasi serta badan usahanya sendiri-sendiri. Demikian pula dengan BUMN/BUMD yang memiliki satelitnya sendiri-sendiri pula. Pada waktu krisis 1997- 1998, kerugian BUMN/BUMD dan satelitnya telah dialihkan sebagai contingent liabilities keuangan negara. Hutang negara meningkat sebesar 50% terhadap PDB pada tahun 1998-1999 adalah dipergunakan untuk menambah modal bank-bank nasional, yang

4 telah bangkrut dilanda krisis, dan menutup kerugian para nasabah kreditnya. Untuk memperoleh gambaran tentang kondisi keuangan negara yang sebenarnya, BPK segera akan memperluas objek pemeriksaannya. Sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi, objek pemeriksaan BPK akan diperluas sehingga meliputi semua aspek aset dan hutang serta piutang negara, penerimaan dan pengeluarannya. Penerimaan negara, baik di tingkat pusat dan daerah, mencakup penerimaan pajak maupun penerimaan nonpajak. Dalam kondisi ketidakseimbangan anggaran negara dewasa ini, semakin perlu dilakukan audit penerimaan negara tersebut yang diukur sebagai rasio terhadap PDB, masih sangat rendah di antara negara-negara yang sepadan dengan Indonesia. Tanpa adanya peningkatan penerimaan negara dari sumber sendiri, tidak mungkin dapat mengoreksi ketidakkeseimbangan fiskal yang terjadi dewasa ini. Tanpa adanya peningkatan penerimaan negara, tidak mungkin dikurangi ketergantungan pembelanjaan kegiatan negara pada hutang. Baik hutang dari sumber dalam maupun dari luar negeri. Perlu juga dilakukan audit tentang sumber, arah penggunaan dan stok hutang negara yang semakin meningkat dan membebani msyarakat. Perbaikan fundamental ekonomi melalui perbaikan sistem akuntansi dan sistem hukum nasional sekaligus merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan efisiensi perekonomian dan badan usaha nasional. Peningkatan efisiensi seperti ini akan memungkinkan perekonomian dan badan usaha nasional kita mampu berperan dalam era globalisasi dan dapat bersaing di pasar nasional maupun pasar dunia. Cita-cita kita adalah bagaimana membuat PT Bank Mandiri ataupun BPD setidaknya dapat menyamai Development Bank of Singapore (DSB) yang mampu bersaing di pasar regional maupun intemasional. Tentunya kita ingin melihat perusahaan penerbangan kita, PT Garuda Indonesia, mampu bersaing dengan Silk Air, jika belum mampu menyaingi Singapore Airlines. Perbaikan sistem akuntansi pemerintahan sekaligus menjawab tantangan ketiga. Laporan keuangan negara yang transparan dan akuntabel yang disajikan tepat waktu dapat meningkatkan kesadaran masyarakat membayar pajak dan melunasi kewajiban lainnya kepada negara. Laporan keuangan yang baik itu sekaligus meningkatkan kepercayaan negara donor untuk memberikan pinjaman, keringanan pembayaran utang dan hibah bagi pemerintah, baik ditingkat pusat maupun daerah. Laporan yang sama

5 meningkatkan rating pemerintah di pasar keuangan nasional dan intemasional sehingga menambah kepercayaan pemodal untuk membeli obligasi negara maupun obligasi Pemda. Sistem akuntansi dan sistem hukum yang handal dan terpercaya sekaligus meniadakan keraguan pemodal untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara memberikan peranan penting bagi BPK untuk ikut menyukseskan otonomi daerah yang menyerahkan penyelenggaraan pemerintahan kepada kabupaten/kota dan kotamadya. Undang-Undang tersebut menugaskan BPK melakukan pemeriksaan dan pengawasan pengelolaan serta tanggung jawab keuangan Pemda dan menyerahkan laporan auditnya kepada DPRD Kabupaten/Kota setempat. Dalam kaitan tugasnya mengaudit keuangan Pemda Tingkat II, BPK yang sentralistis sekaligus berperan sebagai perekat dalam memelihara keutuhan NKRI dan melakukan audit konsolidasi guna memelihara kesehatan kondisi keuangan negara kita. Penegakan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara meniadakan ketidakadilan, kecurigaan ataupun rasa cemburu antara sesama bangsa sendiri.

4. Bentuk, format dan jadwal laporan keuangan Tuntuntan akan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara tercermin dalam bentuk dan format laporan keuangan yang perlu diaudit oleh BPK dan disampaikan kepada DPR maupun DPRD sebagai pemegang hak bujet. Ketiga undang-undang di bidang keuangan negara tahun 20032004 dan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) Tahun 20052 telah memperbaiki governance keuangan negara kita. Ketiga UU dan SAP itu telah merubah jenis dan format laporan keuangan negara, memberlakukan sistem pembukuan berpasangan, menggunakan sistem akuntansi yang terpadu dan dikomputerisasi serta menerapkan desentralisasi pelaksanaan akuntansi secara berjenjang oleh unit-unit akuntansi baik di kantor pusat instansi maupun di daerah. Bentuk laporan keuangan yang diminta oleh ketiga undang-undang mengenai

2 Ketiga Undang-Undang Keuangan tahun 2003-2004 itu adalab UU No. 17 Tabun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No.1 Tabun 2004 tentang Perbendabaraan Negara dan UU No. 15 Tabun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Peraturan Pemerintab (PP) No. 24 Tahun 2005 mengatur Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).

6 keuangan negara tahun 2003-2004 itu adalah jauh lebih rinci daripada laporan keuangan masa pemerintahan Orde Baru. Laporan keuangan yang diminta oleh Pasal 30 ayat 2dan Pasal 31 ayat 2, UU No. 17 Tahun 2003, maupun oleh Bagian Keempat UU No. 1 Tahun 2004 itu adalah lebih rinci daripada laporan keuangan pada masa sebelum berlakunya undang-undang itu. Laporan keuangan yang disebut dalam kedua UU tersebut meliputi Laporan Realisasi Anggaran (LRA) yang disusun berdasarkan LRA satuan unit pemerintahan, Neraca, Laporan Arus Kas (LAK), dan Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK), yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara dan badan lainnya. Untuk dapat merealisasi ketentuan undang-undang itu, pemerintah wajib membuat neraca awal dan mendeklarasikan semua sumber anggarannya, termasuk hibah serta anggaran nonbujeter maupun utang. Dengan demikian, berbeda dengan laporan sebelumnya, laporan keuangan negara berdasarkan format sekarang ini adalah lebih rinci dan sistematis sehingga lebih mudah dipahami dan dicerna oleh masyarakat luas. Jadwal pemeriksaan maupun laporan pertanggungjawaban keuangan negara dalam ketiga UU Keuangan Negara tahun 2003-2004 juga lebih ketat daripada sebelumnya. Pasal 30 dan 31 UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menetapkan bahwa pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD yang telah diperiksa oleh BPK sudah harus disampaikan kepada DPR dan DPRD selambat-lambatnya enam bulan setelah tahun anggaran berakhir. Pemeriksaan laporan keuangan oleh BPK diselesaikan selambat-lambatnya dua bulan setelah menerima laporan keuangan dari Pemerintah Pusat maupun daerah. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) berdasarkan ketiga Undang-Undang Keuangan Negara tahun 2003-2004 dan SAP Tahun 2005 sudah mulai diterapkan pada audit APBN Tahun 2004 yang laporannya telah disampaikan kepada DPR-RI pada 20 September 2005.

5. Reformasi BPK Untuk dapat menghadapi berbagai tantangan pembangunan kembali sistem sosial tersebut, diperlukan reformasi lembaga-Iembaga negara agar sesuai dengan tuntutan demokratisasi politik, otonomi pemerintahan dan globalisasi perekonomian nasional dalam era reformasi dewasa ini. Reformasi kelembagaan itu yang belum kita lakukan sejak delapan tahun terakhir ini. Organisasi pemerintahan dan lembaga negara yang ada

7 masih merupakan warisan dari masa pemerintahan Orde Baru yang otoriter, sentralistis dan perekonomian yang masih belum terbuka lebar seperti masa sekarang ini. Reformasi lembaga-lembaga negara termasuk dalam bidang pengawasan dan pemeriksaan keuangan negara. Sesuai dengan UUD 1945, Orde Baru juga menetapkan BPK sebagai satu-satunya lembaga pemeriksaan eksternal. Namun realitanya pemerintahan Orde Baru memberikan preferensi kepada pengawasan internal dan mengabaikan BPK sebagai pemeriksa eksternal. Dalam banyak hal, pengawas internal, seperti BPKP, diberikan kuasa untuk sekaligus merangkap sebagai pemeriksa keuangan negara, mengambil porsi objek pemeriksaan BPK. Preferensi kepada pengawasan internal juga tercermin dari alokasi anggaran, sumber daya manusia maupun jaringan kantor perwakilan (Tabel 1).

Tabel 1. Daftar Data Perbandingan BPK RI dengan BPKP (per 1 Agustus 2005) No. Uraian BPKRI BPKP Keterangan 1. Pegawai : 2.850 7.600* *Sebanyak ± 400 orang pindah ke MenPAN/dalam lingkungan Deputy Akuntabilitas a) - Administrasi 418 2.200 - Teknis/Auditor 2.382 5.000 b) Jenjang Pendidikan: -SMA 644 376 -D3 132 1.102 - SI 1.754 5.110 - S2 319 602 - S3 1 10 2. - Jumlah Kantor 9* 25 *Termasuk Perwakilan Perwakilan NAD - Luas Gedung 3.471 m2 -

8 3. Peralatan kantor : 1.202 2.400 Komputer (PC dan

Notebunk) 4. Transportasi (kendaraan 136 210 Roda empat) 5. Anggaran Rp. 273 M* Rp. 421 M * Termasuk bantuan Luar negeri Rp. 18 M.

Pengawasan internal pada masa Orde Baru terdiri dari lima lapis yaitu Inspektur Jenderal Pembangunan, BPKP, Irjen, Bawasda tingkat Provinsi dan Bawasda Kabupaten/Kota. Namun dalam realitanya, baik BPK maupun sistem pengawasan internal yang berlapis-lapis itu tidak independen dan mengabdi kepada penguasa. Akibatnya, selain boros, sistem pengawasan internal dan pemeriksaan eksternal seperti itu adalah tidak efektif, saling tumpang tindih dan sering bentrok antara satu dengan lainnya. Berbeda dengan di Jerman. Hanya ada dua lapis lembaga audit, yaitu Bundesrechnungshof di tingkat pusat (Federal) dan State Courts of Audit, di tingkat negara bagian. Agar efektif, baik BPK maupun sistem pengawasan internal perlu dibuat menjadi bebas dan mandiri serta melakukan reformasi atas dirinya sendiri agar sesuai dengan tuntutan manajemen pemerintahan modern dalam era reformasi. Secara umum, keperluan akan reformasi BPK itu telah tercermin dalam rencana strategis yang telah dikeluarkan pada akhir Juli bulan yang lalu. Pada gilirannya, Rencana Strategis BPK itu dijabarkan dalam Rencana Kerja Lima Tahun 2006-2010 dan Rencana Kerja Tahunan 2006. Rencana strategis BPK dan penjabarannya itu akan membuat BPK menjadi lembaga yang bebas dan mandiri. Auditor BPK diharapkan menjadi tenaga professional yang menjalankan tugasnya sesuai dengan rules of professional conduct dan code of ethic auditor yang berlaku secara universal. Rules of conduct serta code ethic universal itu diterjemahkan dalam bentuk Sapta Prasetya Jati BPK dan Ikrar Pemeriksa tanggal 29 Maret 1975. Untuk dapat meningkatkan kinerja serta mewujudkan kebebasan dan kemandiriannya BPK telah mengajukan usul kepada Pemerintah dan DPR untuk

9 mengamandemen Undang-Undang No. 5 Tahun 1973 tentang BPK. Independensi BPK itu seyogyanya tercermin dalam berbagai aspek. Pertama, independensi dalam hal pemilihan, pengangkatan, pemberhentian dan penetapan masa jabatan pimpinan dan anggota BPK. Sebaiknya, masa jabatan anggota BPK adalah lebih panjang daripada masa jabatan Presiden. Kedua, independensi dalam mengatur struktur organisasinya. Ketiga, independensi dalam mengatur kode etik, menentukan jumlah karyawannya sendiri, menetapkan kualifikasinya, membinanya, mengatur jenjang kepangkatannya, menetapkan gajinya maupun menyediakan perlindungan hukum. Keempat, independensi pemeriksaan yang bebas dari intervensi cabang-cabang pemerintahan eksekutif, legislatif maupun judikatif. Kelima, independensi dalam hal anggaran. Dalam kaitan ini, sesuai dengan kemampuan keuangan negara, secara bertahap, BPK akan terus memperluas jaringan kantor perwakilannya, menambah jumlah karyawan, meningkatkan pelatihan teknis, modernisasi sarana kerja maupun menambah penghasilan bagi seluruh karyawan. Dengan adanya kecukupan anggaran dari sumber APBN, BPK tidak perlu lagi mencarikan tambahan anggaran pemeriksaan dari auditee. Aspek keenam independensi BPK adalah dalam hal legislasi. Artinya, sebagai otorita pemeriksaan keuangan negara, BPK berwenang mengeluarkan peraturan audit keuangan negara, menguji dan mengambil sumpah Kantor Akuntan Publik (KAP) yang melakukan pemeriksaan keuangan sektor negara serta memeriksa hasil kerjanya. Secara teknis, BPK akan membina Bawasda yang menjadi mitra kerjanya. Kekuasaan legislasi seperti ini sangat penting karena seIain tidak akan mampu, BPK pun tidak perIu melakukan sendiri audit semua unit lembaga dan organ pemerintahan, termasuk BUMN serta BUMD. Sebagian besar dari pekerjaan audit tersebut akan didelegasikan kepada Bawasda maupun KAP dan BPK konsentrasi pada audit objek-objek pemeriksaan yang sangat penting dan strategis saja. Hak legislasi juga diperlukan oleh BPK untuk dapat menjalankan kekuasaannya dalam menetapkan penggantian kerugian negara. Kekuasaan BPK itu diatur dalam Pasal 62 hingga 64 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, maupun dalam Bab V pada UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Untuk dapat melaksanakan tugasnya tepat waktu, ketiga UU tentang Keuangan

10 Negara tahun 2003-2004 menugaskan BPK untuk membuka kantor perwakilan di semua ibu kota provinsi. Hingga kini, BPK baru memiliki kantor perwakilan di sembilan ibu kota provinsi3, yakni di Banda Aceh, Medan, Palembang, Jakarta, Yogyakarta, Denpasar, Banjarmasin, Ujung Pandang dan Jayapura. Pada tahun ini, mudah-mudahan akan dapat dibuka kantor perwakilan di lima ibu kota provinsi lainnya, yakni di Pekanbaru, Bandung, Surabaya, Pontianak dan Manado. Kantor Perwakilan BPK di Banda Aceh dibuka dengan bantuan keuangan Asian Development Bank untuk menyewa gedung kantor dan pengadaan peralatan. Kantor Perwakilan di Jakarta dan di lima kota yang akan dibuka itu adalah menggunakan pinjaman gedung dari Pemda setempat. Karena tiga alasan, perluasan kantor perwakilan BPK itu masih menghadapi kendala. Alasan pertama adalah karena keterbatasan anggaran negara maupun tenaga auditor yang tersedia. Alasan kedua, belum ada tanda-tanda bahwa pemerintah akan menyerahkan setidaknya sebagian dari kantor, peralatan maupun tenaga auditor BPKP kepada BPK. Ketiga Undang-Undang Keuangan Negara di atas telah meredusi peranan dan fungsi BPKP sebagai pengawas internal. Alasan ketiga yang membatasi perlunya BPK memiliki kantor perwakilan di semua ibu kota provinsi adalah karena perbedaan jumlah objek pemeriksaan yang sangat menonjol antar provinsi. Sementara itu, pemekaran daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota serta kotamadya, yang sangat cepat sejak tahun 2000, masih berupa euphoria dan belum memperhitungkan untung ruginya secara ekonomis. Oleh karena itu, bisa jadi kecenderungan pemekaran provinsi dan kabupaten/kota dewasa ini dapat berbalik menjadi penyatuan atau merjer kembali karena tidak mampu membelanjai dirinya sendiri atau pun tidak lagi layak menurut pertimbangan ekonomis. Proses penggabungan atau merjer kembali Pemda, setelah mekar pada periode 1980-an dan 1990-an, telah terjadi di berbagai negara seperti Jepang dan Afrika Selatan. Di tengah keterbatasan yang dialaminya, dewasa ini, prioritas audit BPK adalah ditekankan pada beberapa aspek pengeluaran dan penerimaan negara dan Pemda yang terpenting. Pada sisi pengeluaran negara, audit BPK itu diprioritaskan pada objek-objek yang sangat membebani keuangan negara, seperti bank-bank negara, Pertamina maupun Bank Indonesia. Audit rekonstruksi Provinsi NAD dan Nias yang mengalami musibah

3 Sampai akhir tahun 2007, BPK telah memiliki 28 kantor perwakilan di seluruh Indonesia

11 gempa serta gelombang tsunami pada Desember 2004 masuk dalam prioritas tinggi karena kekhususannya. Sebagaimana diketahui, dunia internasional memberikan bantuan dalam jumlah besar baik pada masa darurat maupun untuk membangun kembali daerah yang terkena bencana itu. Prioritas kedua audit BPK adalah pengeluaran negara yang rawan korupsi, kolusi dan nepotisme, seperti pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah. Prioritas ketiga adalah sektor-sektor yang strategis bagi perekonomian dan penting bagi hajad hidup orang banyak, seperti Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Departemen Sosial, Departemen Pendidikan Nasional dan Perusahaan Listrik Negara. Prioritas audit pada sisi penerimaan Negara dan Pemda termasuk penerimaan pajak, nonpajak, penjualan aset negara dan Pemda, termasuk privatisasi BUMN/BUMD, divestasi aset PPA maupun "tukar guling" aset negara.

6. Pertimbangan ekonomi penentuan besarnya daerah unit pemerintahan Sebagaimana disebut di atas, adakalanya pemekaran daerah yang marak setelah era reformasi hanya bersifat euphoria saja tanpa menimbang untung ruginya secara ekonomi. Sering dilupakan bahwa tujuan utama pendirian daerah baru atau unit baru administrasi pemerintahan adalah untuk menyediakan jasa-jasa publik (public goods) lebih baik dan pendiriannya itu memerlukan ongkos atau biaya yang cukup besar. Ditinjau dari sudut pandang ekonomi, ada berbagai keuntungan atau manfaat bagi suatu negara, Pemda dan wilayah dari penduduk yang besar4 agar dapat menekan biaya penyediaan jasa-jasa publik tersebut. Pertama, semakin besar jumlah penduduk semakin rendah biaya per kapita bagi penyediaan jasa publik karena akan semakin besar jumlah wajib pajak yang dapat memberikan kontribusi bagi penyediaannya. Contoh jasa-jasa publik adalah infrastruktur telekomunikasi, taman rekreasi, kesehatan masyarakat dan pendidikan. Daerah yang memiliki penduduk besar lebih mampu memiliki administrasi untuk memobilisasi jenis penerimaan pajak yang lebih adil dan efisien. Misalnya, daerah yang memiliki penduduk besar mampu memiliki administrasi pemungutan pajak pendapatan. Ilmu ekonomi percaya bahwa pajak pendapatan lebih efisien dan adil dibandingkan

4 Lihat, misalnya Alberto Alesina dan Enrico Spolaore, The Size of Nations, Canbridge, Ma: the MIT Press 2003.

12 dengan pajak tidak langsung maupun bea serta retribusi daerah. Keuntungan kedua bagi daerah yang memiliki penduduk besar adalah lebih mampu memelihara ketertiban masyarakat dan keamananan guna memerangi kriminalitas. Benar bahwa Polri kita adalah bersifat nasional. Namun, Pemda dapat menyediakan peralatan maupun kesejahteraan yang lebih baik bagi Polisi yang bertugas di daerahnya maupun menyediakan Polisi Pamong Praja serta pembantu Polisi. Biaya per kapita penyediaan ketertiban masyarakat yang lebih baik itu akan menurun sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk. Keuntungan ketiga bagi daerah dengan penduduk yang besar adalah karena daerah seperti itu memiliki pasar yang cukup besar sehingga memungkinkan bagi peningkatan pendapatan penduduk melalui peningkatan produktifitas. Pasar menjadi semakin meluas jika pasar daerah itu terintegrasi dengan pasar nasional serta pasar intemasional. Dewasa ini, berbagai Perda yang diintrodusi setelah otonomi daerah justru telah meningkatkan hambatan lalu lintas perdagangan serta mobilitas faktor produksi antar daerah. Di lain pihak, sebagaimana telah disebut di atas, perekonomian nasional kita telah semakin terintegrasi ke pasar dunia dengan adanya deregulasi yang semakin mengurangi hambatan lalu lintas perdagangan serta faktor produksi antar negara. Keuntungan keempat bagi daerah yang luas dengan penduduk besar serta perekonomian yang beragam adalah mampu menyediakan semacam polis asuransi bagi daerahnya. Suatu wilayah, dalam suatu daerah, yang tengah mengalami resesi menerima transfer anggaran dari daerah (pusat) untuk mengurangi beban kesulitan ekonomi di wilayahnya. Resesi ekonomi di wilayah yang monokultur dapat terjadi karena penurunan harga komoditi yang dihasilkan oleh wilayah tersebut. Jika wilayah yang monokultur seperti ini berdiri sendiri, perekonomiannya sangat tergantung kepada siklus perkembangan pasar komoditas yang dihasilkannya itu. Keuntungan kelima dari daerah yang memiliki penduduk besar adalah mampu memiliki sistem retribusi pendapatan antar individu maupun antar wilayah di daerah tersebut.

13 Transparansi dan Akuntabilitas Fiskal untuk Membangun Kembali Sistem Sosial Indonesia1

1. Pengantar Perbaikan transparansi dan akuntabilitas fiskal merupakan salah satu kunci bagi keberhasilan perombakan sistem sosial yang kita lakukan selama era reformasi, sejak krisis ekonomi tahun 1997-1998. Dalam rangka perombakan itu, sistem ekonomi kita tengah beralih dari sistem perencanaan terpusat kepada sistem yang lebih banyak menggunakan mekanisme pasar. Perencanaan terpusat pada masa Orde Baru telah menciptakan KKN. Di lain pihak, liberalisasi, deregulasi dan privatisasi masa itu juga digunakan untuk memindahkan hak milik negara kepada kroni penguasa politik. Akibatnya, efisiensi perekonomian nasional kita menjadi semakin menurun dan berakhir pada krisis tahun 1997- 1998. Dalam bidang politik, reformasi telah menggantikan sistem politik otoriter masa lalu dengan sistem demokrasi. Sistem politik yang demokratis itu memberikan jaminan kebebasan berserikat dan bersuara termasuk mendirikan partai politik. TNI dan Polri tidak lagi memiliki wakil di DPR dan menduduki jabatan sipil. Presiden dan wakil presiden serta kepala-kepala daerah kini dipilih langsung oleh rakyat berdasarkan platform atau janji politiknya dan tidak lagi dipilih oleh MPR atau DPRD. Di masa lalu, MPR sekaligus menyusun GBHN. Tanpa melalui konflik senjata, sistem pemerintahan Indonesia yang sentralistis di masa lalu telah diganti dengan otonomi daerah yang seluas-luasnya, lebih luas daripada tuntutan pemberontakan PRRI/Permesta masa lalu. Pada gilirannya, sistem ekonomi pasar hanya dapat berjalan secara efektif dan efisien jika ada perlindungan hak milik individu serta transformasi informasi pasar yang simetris. Untuk itu perlu ditegakkan tertib hukum, stabilitas sosial dan politik maupun governance, termasuk transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. Sistem politik yang demokratis dan sistem pemerintahan yang didasarkan pada otonomi daerah juga menuntut adanya transparansi serta akuntabilitas keuangan negara. Tanpa itu rakyat pun akan enggan membayar pajak dan investor enggan membeli Surat Utang Negara. Kurang transparan dan

1 Makalah dalam “Rapat Koordinasi Pengawasan Daerah secara Nasional (Rakorwasdanas)”. Departemen Dalam Negeri, Sahid Jaya Hotel, Jakarta, 13 Desember 2006. Makalah untuk program "pemantapan Konsepsi Nasional dan Kepemimpinan bagi Unsur Pimpinan dan Anggota DPRD Kota Se Indonesia, gel II" Lemhanas (9 April 2007); Makalah Press Gathering.

1 akuntabelnya keuangan negara akan memicu perasaan curiga antar daerah yang pada gilirannya menimbulkan konflik yang dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk selanjutnya makalah ini dibagi dalam tiga bagian. Bagian kedua menguraikan berbagai elemen perbaikan sistem fiskal untuk membuatnya transparan dan akuntabel sesuai dengan tuntutan reformasi. Bagian ketiga menguraikan beberapa temuan pokok pemeriksaan BPK Tahun 2004-2005. Bagian keempat menjelaskan hal-hal yang telah dilakukan oleh BPK sejak 2005. Bagian kelima menjelaskan upaya pemulihan independensi dan peningkatan kemampuan BPK untuk memperbaiki sistem keuangan negara dan memberantas korupsi.

2. Berbagai elemen perbaikan sistem fiskal Kelemahan dalam sistem keuangan negara Indonesia yang diwarisi dari pemerintahan Orde Baru adalah bersifat mendasar. Kelemahan tersebut meliputi desain dan pelaksanaan sistem pengendalian internal, ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, penyimpanan keuangan negara yang semerawut dan pengungkapan SAL yang tidak konsisten dan tidak memadai. Karena posisi keuangan negara tidak dilaporkan secara akurat, dan tepat waktu (tentang jumlah atau besarnya anggaran negara, struktur atau cara pembelanjaannya maupun struktur atau arah penggunaannya) rakyat dan DPR tidak dapat menggunakan hak bujetnya. Sistem yang buruk seperti itu tidak informatif untuk mengetahui posisi keuangan negara sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar pengambil keputusan serta melakukan antisipasi kedepan. Buruknya pengelolaan keuangan negara itu sekaligus telah menjadi salah satu faktor penyebab krisis ekonomi Indonesia pada tahun 1997 dan lambatnya pemulihannya hingga saat ini. Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, Pemerintah era reformasi telah melakukan koreksi secara menyeluruh sistem keuangan negara yang dipergunakan pada masa pemerintahan Orde Baru. Koreksi pertama adalah dengan menyatukan anggaran negara yang tadinya dibagi dalam dua kelompok, yakni anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Dalam masa Orde Baru, anggaran rutin dikontrol oleh Departemen Keuangan sedangkan besarnya anggaran pembangunan struktur pembelanjaannya maupun alokasinya adalah dikendalikan oleh Bappenas. Dengan sistem politik otoriter, sistem pemerintahan yang sentralistis dan ekonomi yang relatif tertutup, pada waktu itu kita menjalankan sistem perencanaan yang sentralistis. Koreksi kedua adalah semakin meniadakan anggaran nonbujeter. Koreksi ketiga adalah dengan mengintrodusi

2 ketiga Undang-Undang Keuangan Negara tahun 2003-20042. Bentuk koreksi keempat adalah dengan mengintrodusi Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) pada tanggal 13 Juni 20053. Penerimaan pembangunan dalam APBN Orde Baru terdiri dari dua sumber. Sumber pertama adalah penerimaan pembangunan yang terdiri dari hibah serta hutang luar negeri, terutama dari negara-negara donor yang tergabung dalam IGGI/CGI. Sumber kedua adalah surplus penerimaan dalam negeri setelah dikurangi dengan anggaran rutin. Di masa itu, sumber utama penerimaan dalam negeri adalah dari royalti penambangan migas serta eksploitasi hutan maupun sumber daya alam lainnya. Pada waktu itu, hutang luar negeri disebut sebagai penerimaan pembangunan dan berfungsi untuk menutup defisit APBN agar menjadi “seimbang”. Dewasa ini, hutang pemerintah (dari sumber dalam maupun luar negeri) hanya disebut hutang dan tidak lagi dinamakan sebagai “penerimaan pembangunan”. Pada hakikatnya sebagian dari pengeluaran pembangunan dalam masa Orde Baru merupakan suplemen dari pengeluaran rutin. Contohnya adalah biaya perjalanan dan honor pejabat yang langsung terlibat dalam menangani proyek-proyek pembangunan. Perbedaan gaji efektif antar pelaksana dengan nonpelaksana proyek menimbulkan kecemburuan di antara pegawai negeri sipil dan anggota ABRI. APBN sekarang ini semakin meniadakan anggaran nonbujeter yang sangat berperan pada masa Pemerintahan Orde Baru. Perbedaan anggaran nonbujeter, yang tidak transparan dan akuntabel, menimbulkan diskriminasi dan kecemburuan antar instansi. Anggaran nonbujeter itu semakin dikurangi dengan membubarkan atau memperkecil sumbangan badan usaha yang merupakan satelit organisasi maupun lembaga pemerintahan. Dalam masa Orde Baru, satelit badan atau instansi pemerintah tersebut adalah berupa berbagai bentuk badan usaha milik koperasi karyawan, yayasan dan dana pensiun yang terkait dengannya. Sumber ketiga dari anggaran nonbujeter berasal dari pungutan liar penerimaan nonpajak yang diatur dan dikumpulkan sendiri oleh instansi yang bersangkutan tanpa mengacu pada UU PNBP maupun setahu DPR serta Depkeu. Pungutan liar itu diadministrasikan sendiri oleh instansi yang bersangkutan dan digunakannya sendiri berdasarkan aturan yang dibuatnya sendiri pula. Termasuk dalam kelompok PNBP tidak resmi tersebut adalah balas jasa bunga uang negara yang ditahan oleh instansi ataupun badan pemerintah yang bersangkutan. Berdasarkan Paket Ketiga UU dibidang Keuangan Negara Tahun 2003-2004 di atas, mulailah disusun pertanggungjawaban keuangan negara yang transparan dan akuntabel dalam

2 Ketiga Undang-Undang bidang Keuangan Negara itu adalah: (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; (2) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan (3) UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. 3 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan tanggal 3 Juni 2005.

3 LKPP (Laporan Keuangan Pemerintah Pusat) 2004. Penyusunan LKPP Tahun 2004 itu adalah dua tahun lebih awal dari rencana semula sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 15 Tahun 2004 dan merupakan yang pertama dilakukan setelah 60 tahun kita merdeka. Walaupun masih jauh dari sempurna, LKPP Tahun 2004 dan 2005 telah memuat rangkaian perubahan sistem fiskal yang disajikan dalam bentuk neraca, lebih rinci dan lebih sistematis sehingga lebih mudah dipahami dan dicerna oleh masyarakat luas. Penyajian keuangan negara dalam bentuk neraca dan format baru, yang telah diaudit oleh BPK-RI tersebut, merupakan suatu tonggak sejarah kemajuan dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara kita. LKPP format baru sekarang ini adalah berbeda dengan laporan keuangan Pemerintah Pusat yang disusun berdasarkan aturan sebelumnya. Ada berbagai pokok perubahan yang mendasar dari ketentuan yang baru pada tahun 2003 tersebut. Perubahan itu meliputi jenis dan format laporan keuangan negara, memberlakukan sistem pembukuan berpasangan, menggunakan sistem akuntansi yang terpadu dan dikomputerisasi, serta menerapkan desentralisasi pelaksanaan akuntansi secara berjenjang oleh unit-unit akuntansi baik di kantor pusat instansi maupun di daerah. LKPP yang berlaku sekarang ini adalah terdiri dari Laporan Realisasi APBN (LRA) Pemerintah Pusat yang disusun berdasarkan LRA Kementerian Negara/Lembaga, Neraca, Laporan Arus Kas (LAK), dan Catatan atas Laporan Keuangan (CALK) yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara dan badan lainnya. Bagian-bagian LKPP yang lebih rinci, tertib dan sistematis tersebut merupakan hal yang sangat penting bagi transparansi fiskal dan peningkatan akuntabilitas publik.

3. Beberapa temuan pokok pemeriksaan tahun 2004-2005 Ada empat kelompok temuan pokok hasil pemeriksaan yang dilaporkan oleh BPK dalam LKPP Tahun 2004 dan 2005. Pertama, kelemahan dalam sistem internal keuangan negara. Kedua, keuangan negara disimpan dalam berbagai rekening yang tidak dikonsolidasi, termasuk rekening pribadi pejabat negara. Hal ini terjadi, antara lain, karena gabungan antara kurang adanya disiplin pengelola negara dan belum adanya suatu single treasury account yang terpadu. Kelemahan ketiga adalah kurang patuhnya pada undang-undang serta peraturan yang berlaku di bidang keuangan negara. Kelemahan yang keempat adalah belum adanya gambaran yang utuh atas besarnya Sisa Anggaran Lebih (SAL). Rangkaian kelemahan sistem pengendalian internal keuangan negara yang dilaporkan oleh BPK dalam LKPP Tahun 2004, antara lain meliputi: (1) prosedur penyusunan laporan

4 keuangan tidak sesuai dengan sistem akuntansi yang telah ditetapkan; (2) anggaran dan pembukuan Departemen Pertahanan, Markas Besar TNI dan Markas Besar Polri belum terintegrasi dengan sistem pengelolaan APBN dan akuntansi Pemerintah Pusat; (3) prosedur verifikasi dan rekonsiliasi pendapatan, hibah, dan belanja tidak efektif; (4) pengelolaan kas, investasi, aset tetap, aset lainnya, dan hutang tidak memadai; (5) organisasi pelaksana sistem akuntansi pemerintah belum seluruhnya terbentuk; dan (6) pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN pada tingkat kementerian negara/lembaga belum seluruhnya direviu oleh aparat pengawasan internal. Padahal, aparat pengawasan internal pemerintah di Indonesia cukup banyak selama masa 32 tahun Pemerintahan Orde Baru. Pengawas internal pemerintah pada masa itu terdiri dari lima lapis dan termasuk yang terumit di dunia serta memiliki jumlah auditor, jaringan kantor, peralatan maupun anggaran yang jauh lebih besar daripada BPK-RI. Aparat pengawasan internal pemerintah pada waktu itu adalah terdiri dari Irjenbang (Inspektur Jenderal Pembangunan), BPKP, Irjen di berbagai Departemen/Instansi di tingkat Pusat serta Bawasda ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Secara rinci, rangkaian kelemahan sistem pengendalian internal keuangan negara yang ditemukan oleh BPK, antara lain berupa: (1) prosedur verifikasi dan rekonsiliasi penerimaan perpajakan maupun nonpajak; (2) pengelolaan rekening-rekening pemerintah pada Bank Indonesia dan bank umum; (3) pengelolaan rekening dana investasi dan rekening pembangunan daerah; (4) pertanggungjawaban penyertaan modal pemerintah pada perusahaan negara; dan (5) pertanggungjawaban aset-aset yang diperoleh dari sisa aset program restrukturisasi BPPN yang tidak selesai. Belum adanya rekening pemerintah yang terpadu tercermin dari banyaknya rekening yang menyimpan uang negara yang tersebar di banyak instansi pemerintah dan individu pejabat negara. LKPP Tahun 2004 melaporkan bahwa sebanyak 957 dari rekening-rekening pemerintah pada bank-bank senilai Rp20,55 triliun dicatat atas nama pribadi pejabat Departemen Keuangan, termasuk yang sudah lama meninggal dunia. LKPP Tahun 2005 melaporkan adanya sebanyak 1.303 rekening dan deposito senilai Rp8,54 triliun atas nama pejabat pemerintah ataupun instansi yang tidak jelas statusnya. Karena tidak terintegrasi pada Rekening Bendahara Umum Negara (BUN) dana-dana itu tidak segera dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengatasi kesulitan likuiditasnya. Selain itu, tidak jelas siapa yang menikmati balas jasa bunga rekening tersebut. Setidaknya alokasi sebagian dari Rekening Dana Investasi (RDI) merupakan praktik KKN. RDI menjadi alternatif bagi kredit bank dan diberikan kepada badan usaha yang sebenarnya mampu meminjam dari industri perbankan

5 (bankable). Alokasi RDI, yang berbunga rendah dan risiko yang hampir tidak ada, dibuat oleh pejabat Depkeu dengan cara yang kurang transparan dan penagihannya kembali pun hampir tidak pernah dilakukan secara serius. Besarnya RDI per 31 Desember 2005 adalah Rp60,35 triliun. Ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain, meliputi: (1) pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), (2) pengelolaan barang milik/kekayaan negara; (3) pencatatan dan pelaporan belanja subsidi dan transfer serta belanja lain-lain; (4) eksekusi oleh Kejaksaan Agung atas hukuman uang pengganti yang telah terkumpul secara kumulatip selama bertahun tahun sebesar Rp6,67 triliun. Juga tidak jelas siapa yang menikmati balas jasa bunga rekening ini; (5) pengeluaran anggaran untuk dana reboisasi dari Rekening Bendahara Umum Negara sebesar Rp2,89 triliun. Dalam masa pemerintahan Orde Baru, dana reboisasi itu dikelola dan dipergunakan oleh kroni Presiden Suharto; dan (6) penerimaan dan belanja dalam perjanjian pengelolaan aset antara pemerintah dan Perusahaan Pengelola Aset (PPA). Terkait dengan SAL, pemerintah belum dapat memberikan gambaran tentang jumlah yang sebenarnya. SAL per 31 Desember 2004 dalam Laporan Realisasi APBN Tahun 2004, misalnya, dilaporkan sebesar Rp31,56 triliun, sedangkan SAL dalam neraca per 31 Desember 2004 dilaporkan sebesar Rp24,59 triliun. Selisih sebesar Rp7 triliun tidak dapat dijelaskan oleh pemerintah. Selain itu, keberadaan SAL tersebut tidak diungkapkan secara memadai dalam Catatan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2004.

4. Apa yang telah dilakukan oleh BPK sejak tahun 2005 Dalam dua tahun terakhir BPK telah semakin membuka diri, melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan perannya dalam reformasi sistem sosial kita dan sekaligus memulihkan independensi serta kemandiriannya. Dalam bidang tugas pokoknya, BPK membantu pemerintah dalam tiga hal. Pertama, mempercepat implementasi Paket Ketiga Undang-Undang Keuangan Negara Tahun 2003-2004. Kedua, melakukan restrukturalisasi BUMN maupun lembaga pelayanan umum seperti sekolah dan rumah sakit. Ketiga, berperan dalam upaya pemberantasan korupsi. Ketiga, untuk meningkatkan akuntabilitasnya, mulai tahun 2005, BPK tidak lagi menerima biaya pemeriksaan langsung dari auditee. BPK membantu pemerintah untuk mempercepat implementasi Ketiga Undang- Undang Keuangan Negara Tahun 2003-2004 melalui empat cara. Pertama, menyatukan anggaran nonbujeter dan kegiatan quasi fiskal kedalam APBN. Kedua, memperjelas peranan dan tanggung jawab lembaga negara pada semua tingkatan. Ketiga, mendorong proses

6 penyiapan, pelaksanaan dan pelaporan anggaran yang lebih transparan. Keempat, meningkatkan transparansi keuangan negara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, BUMN serta BUMD maupun institusi swasta bersubsidi. Dalam restrukturalisasi BUMN. Pada tahun 2006, BPK telah mendorong Pemerintah mempercepat restrukturalisasi kredit bermasalah bank-bank negara dan restrukturalisasi PT Garuda Indonesia. BPK mendorong Pemerintah untuk mempercepat restrukturalisasi Perguruan Tinggi Negeri menjadi BHMN. Semakin terbukanya BPK tercermin dari peningkatan komukasinya dengan semua pihak terkait (stakeholders) dan semakin terbukanya kontak langsung dengan pejabatnya. Berbeda dengan masa Orde Baru, kini, Laporan Pemeriksaan BPK sudah terbuka luas bagi masyarakat dan dimuat secara utuh dalam websitenya setelah diserahkan kepada DPR/DPRD. Cara penyajian Laporan Pemeriksaan BPK itu sendiri, kini sudah semakin disempurnakan agar dapat difahami oleh pembaca awam. Berbeda dengan pada masa lalu, kini, semua stakeholders dapat melakukan kontak langsung dengan BPK. Stakeholders itu dapat berupa instansi pemerintah serta BUMN/BUMD yang merupakan auditee, rakyat dan DPR/DPRD pemegang hak bujet, LSM, investor pembeli Surat Utang Negara (SUN) maupun penegak hukum yang melakukan penyidikan berdasarkan laporan audit BPK. Pada tahun 2005 BPK telah menyampaikan sepuluh laporan indikasi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum: masing-masing satu untuk DPR dan Kapolri dan delapan kepada Kejaksaan Agung dengan total nilai kerugian negara Rp2.9 triliun dan US39 juta. Pada semester I tahun 2006, dilaporkan lima dugaan tindak pidana korupsi kepada Kejaksaan Agung dengan jumlah kerugian negara Rp218 milyar dan US$4.2 juta. Rekapitulasi temuan yang berindikasi kerugian negara itu dimuat dalam Tabel 1. Dalam masa dekat mendatang, laporan indikasi tindak pidana korupsi oleh BPK diperkirakan akan semakin meningkat berkenaan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusianya, semakin luasnya cakupan audit serta jaringan kantor perwakilannya maupun karena adanya perluasan kapasitas telekomunikasi serta peralatan kerjanya. Peningkatan laporan audit dugaan tindak pidana korupsi oleh BPK juga berkaitan dengan semakin baiknya kerjasamanya dengan para penegak hukum seperti KPK dan PPATK.

7

TABEL 1 DAFTAR REKAPITULASI TEMUAN PEMERIKSAAN BERINDIKASI KERUGIAN NEGARA TAHUN 2005 S.D. SEMESTER I 2006

Juta Rupiah dan ribu Valas Kelompok Kerugian Negara/ Telah Diselamatkan/ Sisa Periode No Penanggung Daerah Disetor ke Kas Negara Kerugian Negara Pemeriksaan Jawab Kasus Nilai Kasus Nilai Kasus Nilai 1 TA 2005 Pemerintah 701 7.713.057,46 104 2.507.869,90 597 5.205.187,56 Pusat US$ 5.526,83 US$ 504,40 US$ 5.022,43 Pemerintah 2.330 1.352.224,56 226 89.187,12 2.104 1.263.037,44 Daerah BUMN 23 4.761.596,75 0 0,00 23 4.761.596,75 3.054 13.826.878,77 330 2.597.057,02 2.724 11.229.821,75 US$ 5.526,83 US$ 504,40 US$ 5.022,43 2 Semester I Pemerintah 165 16.055.783,27 18 142.972,78 147 15.912.810,49 TA 2006 Pusat Pemerintah 1.530 1.868.803,01 3 293,11 1.527 1.868.509,90 Daerah BUMN 26 1.320.940,03 5 56.287,32 21 1.264.652,71 1.721 19.245.526,31 26 199.553,21 1.695 19.045.973,10

Jumlah 4.775 33.072.405 356 2.796.610 4.419 30.275.795 US$ 5.526,83 US$ 504,40 US$ 5.022,43

8 5. Pemulihan independensi dan peningkatan kemampuan BPK

UUD 1945 memberikan posisi yang tinggi pada BPK sebagai suatu lembaga tinggi negara tersendiri agar dapat memeriksa seluruh sumber keuangan negara, penyimpanannya maupun penggunaannya secara objektif, sebagaimana adanya. Laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK itu berguna bagi auditee untuk memperbaiki sistem internalnya, bagi rakyat dan DPR/DPRD dalam melaksanakan hak bujetnya. LHP menjadi referensi bagi investor pembeli Surat Utang Negara untuk mengetahui posisi keuangan negara. LHP yang sama merupakan dasar bagi penegak hukum untuk melakukan penyidikan. Dalam realita, BPK di masa Pemerintahan Orde Baru berada di bawah kontrol pemerintah. Pemerintah mengontrol BPK melalui pengaturan organisasinya, personilnya, anggarannya, pemilihan objek dan metoda pemeriksaan maupun pelaporannya. Objek pemeriksaan BPK pun diatur oleh pemerintah sehingga tidak semua sumber penerimaan, tempat penyimpanan dan arah penggunaan keuangan negara terbuka bagi pemeriksaan BPK. Kantor perwakilan BPK hanya ada sembilan di seluruh Indonesia dan hanya ada dua di Pulau Jawa. Padahal, Pulau Jawa merupakan tempat tinggal 2/3 penduduk Indonesia, menyerap sebagian terbesar dari anggaran negara dan merupakan penyumbang terbesar pada penerimaan pajak di luar rente ekspolitasi sumber daya alam. Kualitas auditor dan kemampuan internal BPK serta kapasitas telekomunikasi dan komputernya pun jauh di bawah lembaga pengawasan internal pemerintah seperti BPKP. BPK dilarang untuk melakukan audit berbagai jenis penerimaan negara, baik dari sumber pajak maupun nonpajak, audit stok utang negara maupun instansi serta perusahaan negara yang sangat rawan terhadap KKN pada saat itu. Instansi atau lembaga pemerintah serta BUMN yang di luar jangkauan pemeriksaan BPK tersebut cukup diawasi oleh BPKP saja atau oleh pengawas internal instansi yang bersangkutan. Misalnya, Pasal 34 UU No. 17 Tahun 2000, tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, beserta penjelasannya, menyebutkan bahwa BPK-RI dapat mendapatkan informasi mengenai wajib pajak hanya dengan ijin tertulis dari Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak. Aturan serupa juga dikandung dalam UU Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan serta berbagai jenis pajak dan nonpajak lainnya.

9 Jika tidak dilarang untuk melakukan pemeriksaan, laporan pemeriksaan BPK dibahas dulu dengan pemerintah dan isinya pun disesuaikan agar tidak “mengganggu stabilitas politik”. Contohnya laporan pemeriksaan BPK atas ketiga instansi yang langsung di bawah kendali Sekneg, yakni Gelora Senayan, bekas Lapangan Udara Kemayoran dan Bulog. Padahal, dengan seijin Sekneg kompleks Gelora Senayan sudah semakin beralih fungsi dari fasilitas olahraga menjadi kawasan komersil. Melalui kontrak jangka panjang yang senantiasa dapat diperpanjang, kepemilikannya pun sudah semakin beralih dari negara kepada individu keluarga para pejabat tinggi Orde Baru. Perubahan mendasar dan pemulihan independensi serta kemandirian BPK baru dilakukan setelah terbitnya UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK sebagai pengganti UU No. 5 Tahun 1973. Perluasan audit BPK dilakukan setelah krisis ekonomi tahun 1997- 1998 yang telah menimbulkan biaya yang sangat mahal bagi perekonomian Indonesia hingga saat ini. Sebagaimana disebut di atas, liberalisasi, deregulasi serta privatisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru hanya memindahkan hak monopoli sektor negara kepada sekelompok individu yang menjadi kroni penguasa politik. Risiko proyek yang dialihkan pemilikannya itu, seperti listrik, telepon dan air minum, menjadi contigent liabilities pemerintah. Beban anggaran negara menjadi semakin bertambah besar karena kebijakan blanket guarantee mengalihkan semua kerugian yang diderita oleh industri perbankan dalam negeri beserta dunia usaha, yang menjadi nasabahnya, kepada pemerintah pada saat krisis tahun 1997-1998. Sejalan dengan perubahan statusnya, Bank Indonesia menjadi objek pemeriksaan BPK sejak dikeluarkannya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Karena besarnya kerugian mereka yang secara langsung atau tidak langsung digeser kepada negara, BPK juga mulai mengaudit bank-bank negara. Perluasan audit BPK pada BUMN semakin meluas karena DPR meminta BPK untuk mengaudit subsidi BBM, listrik dan pupuk, kontrak pertambangan dan bahkan Semburan Lumpur Panas Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Karena diduga menggelapkan bantuan internasional untuk pemeliharaan kesehatan masyarakat miskin, Bank Dunia minta BPK mengaudit kecurangan penyaluran bantuannya melalui Depkes. Dalam masa Orde Baru, BI, bank-bank negara, Pertamina dan berbagai BUMN lainnya maupun kontrak pertambangan merupakan objek pengawasan BPKP yang tidak boleh dicampuri oleh BPK.

10 Dalam masa transisi sekarang ini, BPK masih melakukan audit BUMN/BUMD yang sangat membebani keuangan negara. Pada saat ini, keuangan BUMN/BUMD belum terpisah dari keuangan negara karena kerugiannya merupakan contigent liabilities negara. Governance BUMN/BUMD Indonesia juga belum baik karena campur tangan pemerintah masih besar dalam penentuan pengurus maupun dalam pengambilan kebijakannya sehari-hari. Para pengurus BUMN/BUMD itu terdiri dari pejabat negara yang pada umumnya hanya mengharapkan tambahan penghasilan dari gaji dan honornya dari badan usaha milik negara itu. Objek pemeriksaan BPK semakin bertambah luas karena UU No. 17 Tahun 2003 menugaskan BPK untuk memeriksa laporan keuangan Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah yakni kabupaten dan kotamadya berikut BUMD-nya yang menerima aliran dana negara. Untuk dapat melakukan pemeriksaan atas objek yang semakin bertambah luas itu, BPK telah mengambil empat langkah strategis. Pertama, meningkatkan kualitas kerja melalui perbaikan gaji dan honor auditor serta meningkatkan disiplin kerja maupun ketaatannya atas kode etik auditor BPK. Keterampilan auditor BPK ditingkatkan melalui pendidikan dan latihan kerja, baik di dalam maupun di luar negeri. Kedua, memperluas kantor perwakilan dan menambah tenaga auditor. Ketiga, menambah kapasitas telekomunikasi dan komputernya sehingga dapat menjangkau seluruh objek pemeriksaan di seluruh pelosok tanah air. Keempat, seperti halnya dengan negara-negara yang sudah lebih tertib, BPK akan secara bertahap menyerahkan audit keuangan kepada Kantor Akuntan Publik (KAP) dan akan semakin beralih pada audit kinerja ataupun audit investigasi. UU No. 15 Tahun 2006 meningkatkan keterbukaan BPK melalui empat cara. Pertama, mewajibkan BPK untuk memuat laporan hasil pemeriksaannya dalam website agar semua pihak dapat menilai cara kerjanya. Kedua, menetapkan keikut sertaan unsur profesi dan akademisi dari luar untyuk duduk dalam Majelis Kehormatan Kode Etik BPK. Sementara itu, sistem pengendalian mutu BPK akan dilakukan oleh BPK negara lain yang menjadi anggota organisasi BPK sedunia (INTOSAI). Ketiga, pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan tahunan BPK dilakukan oleh akuntan publik. Keempat, memberikan kemandirian dan independensi BPK dalam hal organisasi, personil, anggaran maupun pengambilan keputusan termasuk penentuan objek

11 pemeriksaan, pemilihan metoda maupun cara pelaporan audit pemeriksaan.

12 Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas untuk Membangun Industri Keuangan Yang Sehat1

1. Pengantar Bertolak belakang dengan program penanggulangan korupsi yang dicanangkan oleh Presiden SBY, sudah mulai kelihatan adanya erosi komitmen nasional untuk melakukan restrukturalisasi industri perbankan yang praktis telah bangkrut diterpa krisis ekonomi pada tahun 1997. Dilihat dari nilai aktiva dan jaringan kantornya, pada saat ini sektor perbankan merupakan inti dari industri keuangan di Indonesia. Sebagaimana diketahui, di luar rekapitalisasi, peningkatan transparansi serta akuntabilitas maupun kualitas sumber daya manusia (SDM) industri perbankan dan dunia usaha merupakan program terpenting dari upaya restrukturalisasi tersebut. Komitmen untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas serta SDM perbankan, dengan jadwal pelaksanaan yang jelas, tercermin dalam Matriks Kebijakan Inpres No. 5 tanggal 15 September 2003 dan Kebijakan Bank Indonesia maupun Arsitektur Perbankan Indonesia (API)-nya. Ketiga dokumen itu disusun sendiri oleh Pemerintah dan BI, tanpa bantuan IMF dan Bank Dunia, sebagai pengganti program IMF. Erosi atas komitmen atas penerapan aturan prudensial industri perbankan nasional tercermin pada setidaknya empat hal. Pertama, masih maraknya skandal di berbagai bank-bank milik negara, seperti L/C fiktif Bank BNI sebesar Rp1,2 triliun pada tahun 2003. Kedua, belum adanya penerapan UU No. 10 Tahun 1988 tentang Perbankan yang menuntut akuntabilitas ataupun tanggung jawab semua pihak yang bertanggung jawab bank-bank bermasalah pemilik, pengurus, akuntan publik, maupun nasabah. Ketiga, bertentangan dengan UU perbankan itu, beberapa mantan pemilik dan pengurus bank yang sudah tercemar tersebut kini sudah diperbolehkan kembali menjadi pemilik pengendali maupun pengurus bank. Keempat, adanya kampanye gencar dan sistematis

1 Keynote Speech pada Seminar “Penanganan Tindakan Korupsi di Perbankan”, Harian Bisnis Indonesia, Diamond Room, Hotel Nikko, Jl. M.H. Thamrin, Rabu, 26 April 2006, pkl. 9:00-10:00. Makalah pada Pendidikan Kepemimpinan Eksekutif dalam Sekolah Staf Pimpinan Bank Indonesia (SESPIBI), (30 Juni 2006)

1 dari sementara politisi, pejabat otorita serta pengurus bank-bank negara untuk menolak pemeriksaan BPK maupun pengumuman Laporan Pemeriksaan BPK itu secara luas kepada masyarakat. Padahal masyarakat luas itulah yang kemudian menanggung beban kerugian bank-bank negara akibat dari kesalahan pengambil kebijakan maupun pengurus bank tersebut. Kampanye seperti ini berusaha melemahkan kembali transparansi dan akuntabilitas industri perbankan nasional yang telah menjadi penyebab utama krisis ekonomi tahun 1997-1998.

2. Dampak ekonomi bank yang sakit Adalah tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa Laporan Pemeriksaan BPK terhadap bank-bank negara telah memperlambat pemulihan ekonomi karena transparansi laporan itu telah menghambat ekspansi fiskal maupun ekspansi kredit perbankan. Menurut mereka, pemuatan nama penunggak kredit dalam Laporan Pemeriksaan BPK telah menyebabkan bank-bank negara menjadi takut memberikan kredit. Dengan demikian, bank-bank akan semakin banyak menempatkan dananya dalam portepel yang mengandung risiko kecil, seperti Reksadana (SUN), SBI, Fasbi, devisa maupun pinjaman antar bank. Pada saat yang sama, nasabah bank-bank negara juga pindah ke bank-bank lain agar namanya tidak diumumkan secara luas jika menunggak kredit. Pendapat di atas adalah keliru karena sumber penyebab utama kelambatan pertumbuhan kredit industri bank-bank nasional disebabkan oleh dua hal yang tidak ada kaitannya dengan transparansi pemeriksaan oleh BPK. Penyebab pertama kelambanan ekspansi kredit bank itu adalah karena masih belum pulihnya kesehatan industri perbankan nasional tersebut. Penyebab yang kedua adalah karena besarnya beban penyehatannya setelah dilanda oleh krisis ekonomi delapan tahun yang lalu pada tahun 1997-1998. Pada gilirannya, krisis ekonomi dan perbankan itu terjadi karena gabungan kebijakan ekonomi yang salah dan buruknya transparansi dan akuntabilitas keuangan negara serta badan usaha di Indonesia. Akibatnya, laporan keuangan negara, bank dan badan usaha tidak dapat dijadikan pegangan untuk mengetahui dan mengantisipasi keadaan serta menjadi dasar dalam pengambilan keputusan. Dalam keadaan seperti itu pemerintahan Presiden Suharto maupun Presiden Habibie memutuskan untuk merekapitalisasi semua bank nasional karena tidak dapat dibedakan mana bank yang

2 masih viable dan mana yang tidak. Biaya rekapitalisasi perbankan dan pembersihan kredit bermasalah perbankan nasional seluruhnya digeser menjadi tanggungan negara sehingga menjadi beban rakyat yang tidak berdosa. Berbeda dengan Cina yang membiayai sebagian dari rekapitalisasi bank-bank nasionalnya dengan menggunakan cadangan luar negerinya yang sangat besar, Indonesia hanya mampu merekap industri bank nasional dengan mengeluarkan surat utang negara (SUN). Pada saat itu, untuk melunasi kewajiban luar negeri yang jatuh waktu saja Indonesia tidak mampu karena tidak memiliki stok cadangan luar negeri yang cukup. Suntikan dana segar dalam bentuk valuta asing hanya disediakan pada Bank Indover dalam bentuk penempatan pledge deposit cadangan luar negeri Bank Indonesia. Jumlah SUN yang dikeluarkan mencapai sekitar Rp640 triliun atau setara dengan 50 persen dari nilai PDB kita pada tahun 1999. Jumlah itu juga setara stok dengan hutang luar negeri Pemerintah yang ada pada saat itu. Diukur dari persentase terhadap PDB itu, biaya krisis perbankan di Indonesia merupakan yang termahal di seluruh dunia dalam sejarah manusia. Mulai sejak krisis itulah anggaran negara tidak lagi dapat dipergunakan sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi karena besarnya porsi pengeluaran negara untuk melunasi beban hutang pemerintah. Selain membayar hutang, porsi pengeluaran negara juga cukup besar untuk membayar subsidi dan mengatasi konflik horisontal di berbagai daerah. Karena kurangnya anggaran, infrastruktur ekonomi kita sudah lama tidak terurus, kesehatan masyarakat dan pendidikan nasional sudah lama kurang terpelihara. Karena Pemerintah Republik Indonesia hanya mampu memberikan tambahan modal bank dalam bentuk SUN yang kurang likuid, kredit perbankan nasional tidak dapat ditingkatkan. Kurang likuidnya SUN terjadi karena pasar-nya yang masih sempit dan dangkal. Dewasa ini, secara praktis, bank-bank negara hanya beroperasi sebagai narrow bank, jual beli SUN, karena lebih dari separuh dari portepelnya adalah berupa surat utang negara (SUN), SBI dan Fasbi. Pada gilirannya, industri perbankan nasional yang kurang likuid itu tidak mampu melakukan ekspansi kredit. SUN yang kurang likuid tersebut memberikan balas jasa kupon dari negara yang sangat likuid guna dapat memenuhi kegiatan operasional bank dan melakukan ekspansi kredit. Selain dari menebus kembali yang sudah diserahkan kepada BPPN, sebagian dari kredit bank diberikan untuk kredit konsumsi untuk membeli barang-barang konsumsi tahan lama (durable goods), seperti

3 kendaraan bermotor maupun telepon genggam. Bank dapat menebus kembali asset BPPN dengan menggunakan SUN. Hambatan ekspansi kredit bank juga berkaitan dengan buruknya iklim investasi, kurang terpeliharanya infrastruktur fisik dan meningkatnya militansi serikat pekerja dalam era demokratisasi dan era otonomi daerah dewasa ini. Akibatnya, upaya menggerakkan ekonomi melalui peningkatan ekspor dan investasi swasta juga tersendat. Kalaupun ada peningkatan ekspor hanya terjadi karena adanya kenaikan harga komoditas primer di pasar dunia dan bukan karena peningkatan daya saing. Akibatnya pengangguran tenaga kerja menjadi semakin meningkat. Industri perbankan nasional yang masih belum sehat sekaligus meningkatkan tingkat suku bunga deposito bank didalam negeri dan erosi nilai tukar ataupun devaluasi rupiah. Tingginya tingkat suku bunga deposito bank itu terjadi karena adanya crowding out di pasar uang dan modal nasional yakni persaingan antara sektor negara dengan sektor swasta untuk memperebutkan tabungan nasional yang semakin mengecil dalam era pertumbuhan ekonomi yang rendah. Perbedaan (spread) antara tingkat suku bunga kredit dengan tingkat suku bunga deposito juga ikut naik bersamaan dengan peningkatan tingkat suku bunga deposito bank itu. Peningkatan spread bank, antara lain, didorong oleh peningkatan biaya modernisasi peralatan, seperti information technology, maupun biaya penghapusan kredit macet. Pada gilirannya, spread bank yang meningkat itu meningkatkan tingkat suku bunga pinjamannya pula. Sebelum krisis, hanya Bank Central Asia (BCA) di antara bank-bank nasional yang memiliki teknologi yang canggih dan menggunakan satelit Palapa untuk menghubungkan jaringan semua kantor dan ATM-nya. Pada waktu itu, Bank Indonesia dan bank-bank negara tidak punya fasilitas teknologi secanggih milik BCA itu. Baru setelah krisis, semua bank nasional melakukan modernisasi teknologi yang sangat mahal biayanya. Sementara itu, peningkatan harapan akan penurunan nilai tukar Rupiah terjadi karena peningkatan permintaan valuta asing untuk keperluan impor dan pelunasan hutang luar negeri melebihi penghasilan ekspor dan pemasukan baru modal asing. Gabungan antara peningkatan tingkat suku bunga (deposito serta kredit) di dalam negeri dengan peningkatan harapan kemerosotan nilai tukar Rupiah telah menyebabkan tingkat suku bunga di Indonesia senantiasa lebih tinggi daripada di luar negeri.

4 3. Peningkatan kualitas pengolahan badan usaha Kurang seriusnya kita meningkatkan transparansi, akuntabilitas serta SDM perbankan maupun dunia usaha juga telah sekaligus menghambat pemulihan kegiatan perekonomian nasional. Setelah mengalami krisis, negara lain segera berupaya meningkatkan transparansi dan akuntabilitas sistem pengelolaan keuangan negara (good and clean government) maupun pengelolaan badan usahanya (good corporate governance). Setelah terjadinya rangkaian skandal dunia usaha (seperti Worldcom dan Enron) Amerika Serikat mengintrodusi the Sarbanes-Oxley Act tahun 2002. Aturan itu menegaskan kembali tanggung jawab semua pihak terkait: pengurus badan usaha, akuntan publik, penasehat hukum, investment bank dan pemain pasar modal. Dalam industri perbankan, transparansi itu meliputi pengetatan aturan prudensial (seperti the Basel core principles), penyempurnaan sistem pembukuan dan peningkatan keterbukaan (disclosures) untuk mewujudkan akuntabilitas semua pihak terkait: otoritas atau pejabat pengatur, pemegang saham, nasabah maupun industri perbankan itu sendiri. Nasabah kredit bank juga dipaksa agar menjadi lebih transparan dan akuntabel. Di negara lain itu, sistem hukum ditingkatkan agar dapat menjadi lebih efektif dan efisien dalam menyelesaikan konflik kepentingan secara adil sehingga tidak bertele-tele dan tidak perlu pakai cara ancam mengancam ataupun menggunakan jasa debt collectors. Di negara lain, kualitas bankir ditingkatkan melalui proses pengujian kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) maupun pendidikan berjenjang. Korea Selatan meningkatkan pendidikan khusus dalam bidang-bidang ilmu yang belum dikuasai oleh para bankirnya, seperti derivatives. Kekurangan mutu SDM bank-bank di Asia di bidang ini merupakan salah satu pemicu krisis ekonomi pada tahun 1997-1998. Selain mendapatkan hukuman berat, pemilik dan pengurus bank dilarang untuk menjadi pemilik pengendali maupun pengurus bank. Pejabat yang bertanggung jawab penyebab krisis juga mendapatkan hukuman yang setimpal. Korea Selatan telah menghukum dua mantan presiden, mantan pangab dan jenderal bintang 4, beserta kerabatnya karena terlibat KKN. Sebaliknya, good corporate governance di Indonesia baru berupa semboyan yang hampa belaka sedangkan sistem hukum kita masih belum efektif dan efisien menyelesaikan perkara ekonomi.

5 4. Empat kritik terhadap Laporan Pemeriksaan BPK atas bank-bank negara Ada empat jenis kritik yang dilontarkan oleh sekelompok orang terhadap Laporan Pemeriksaan BPK atas bank-bank negara yang memuat nama-nama penunggak kredit. Kritik pertama adalah bahwa pengumuman seperti itu adalah bertentangan dengan UU Perbankan tahun 1988. Oleh karena itu, kelompok ini menyarankan agar BPK tidak perlu memeriksa BUMN, termasuk bank-bank negara, terutama yang sudah menjual saham di bursa efek (go public). Bank-bank itu cukup diperiksa oleh KAP, Bank Indonesia dan Bapepam. Pendapat dan tuduhan seperti ini tidak benar. Sebagaimana disebut di muka, kualitas pemeriksaan ketiga pihak itu yang sangat tidak memadai telah menjadi salah satu sumber pemicu krisis pada tahun 1997-1998. Peranan ketiganya pun sangat terbatas apakah pada waktu pemerintah dan IMF menetapkan bank mana yang akan dibubarkan rekap, merjer maupun diteruskan pada tahun 1997-1998 maupun dalam melakukan audit tentang BLBI yang telah membebani rakyat. Sementara itu, pemeriksaan bank yang wajib dirahasiakan menurut UU Perbankan tahun 1988 adalah yang dilakukan oleh Bank Indonesia karena sebagai bank sentral memeriksa seluruh aspek kegiatan usaha bank. Di lain pihak, mandat BPK hanya terbatas pada pemeriksaan yang berkaitan dengan keuangan negara saja. Pemuatan nama nasabah kredit bermasalah dalam Laporan Pemeriksaan BPK adalah dalam rangka peningkatan keterbukaan (disclosures), tidak mengungkapkan jumlah simpanan nasabah yang dilarang oleh pasal-pasal tentang kerahasian bank yang diatur dalam UU Perbankan Tahun 1998. Pengumuman nama nasabah penunggak kredit sudah dimulai oleh BPPN sejak awal berdiri pada tahun 1988 hingga masa akhir tugasnya pada tahun 2003. Dari daftar nama BPPN itu terungkap bahwa sebagian besar dari penerima kredit murah dari bank-bank negara, dan yang tidak melunasi hutangnya, adalah pihak yang erat kaitannya dengan praktik KKN penguasa politik Orde Baru. Sungguh bertolak belakang dengan pemerataan yang diindoktrinasikan dalam P-4 selama masa pemerintahan itu. Adalah juga tidak benar bahwa para nasabah penunggak kredit yang namanya diumumkan dalam Laporan BPK akan pindah ke bank-bank lain. Alasannya adalah karena para nasabah tersebut bukanlah merupakan nasabah yang berharga (nonvalued customers) dan, karena reputasinya yang buruk, akan sulit mendapatkan kredit dari bank lain. Biasanya, nasabah yang baik pindah dari satu ke bank lain adalah karena pelayanan

6 banknya yang lama kurang baik dan produknya yang terbatas. Karena tidak bankable di tempat lain, nasabah yang diumumkan namanya dalam Laporan Pemeriksaan BPK itu justru berusaha memperbaiki citranya dengan semakin melunasi hutangnya kepada bank- bank negara tersebut2. Dalam hal yang terakhir ini, bank sentral serta bank-bank negara seyogyanya berterimakasih kepada BPK yang secara tidak langsung berfungsi sebagai penagih hutang (debt collector). Alasan ketiga pihak yang mengkritisi Laporan Audit BPK adalah bahwa disclosures akan menghambat ekspansi kredit oleh bank-bank BUMN. Padahal, hambatan terbesar dari ekspansi kredit BUMN adalah karena struktur portepelnya yang kurang likuid, seperti yang disebut di atas. Sementara itu, sebagaimana disebut di atas, laporan BPPN mencerminkan bahwa cukup besar porsi kredit bank-bank negara di masa lalu yang diberikan berdasarkan KKN dan bukan berdasarkan analisis kredit berdasarkan kemampuan, karakter, kolateral maupun ketersediaan modal pemohon kredit. Cukup besar pula porsi kredit bank-bank negara tersebut yang digunakan untuk menambah kapasitas terpasang, yang selain tidak produktif juga hanya menyumbang pada peningkatan kredit bermasalah (NPL) dengan biaya yang digelembungkan atau di-mark up pula. Sebagian dari kredit bank negara masa Orde Baru digunakan oleh penerimanya untuk pelarian modal ataupun melakukan ekspansi usahanya di luar negeri. Skandal L/C fiktif di Bank BNI tahun 2003 adalah pencurian dan bukan kredit. Pengkritik Laporan Pemeriksaan BPK itu pun tidak faham struktur BUMN di Indonesia yang sangat berbeda dengan di negara-negara lain yang lebih maju dan teratur. Di negara lain itu, modal BUMN memang merupakan uang negara yang dipisahkan dan kerugiannya tidak lagi merupakan kewajiban kontijensi negara. Pengurusnya pun akuntabel dan bertanggung jawab penuh kepada prestrasi kerja perusahaan yang diurusnya. Sebaliknya, walaupun BUMN di Indonesia sudah go public, pemerintah masih tetap memiliki golden share dalam perusahaan itu. Artinya, Pemerintah Indonesia masih memiliki kekuasaan yang dominan dalam menentukan pengurus maupun arah kebijakan perusahaan itu. Dengan demikian, segala kerugiannya merupakan kewajiban kontijensi pemerintah. Lihatlah, misalnya, Bank BNI yang sudah go public jauh sebelum krisis

2 Peningkatan pelunasan hutang kepada negara setelah diperiksa oleh BPK juga terjadi pada beberapa dari 16 Bank-Bank Dalam Likuidasi (BDL), yang dilikuidir pada tahun 1997.

7 tahun 1997-1998. Pengurusnya masih tunjukan pemerintah dan pemberian kreditnya pun tidak beda dengan sebelum go public kental dengan nuansa KKN. Setelah krisis tahun 1997-1998 masih juga terjadi skandal L/C fiktif pada tahun 2003 yang menambah beban rakyat. Belum ada satu pun pengurus BUMN pada era krisis dan pada masa skandal sesudahnya yang sudah masuk penjara sesuai dengan Undang-Undang Perbankan yang disebut di atas. Tanpa adanya peningkatan transparansi dan akuntabilitas maupun mutu SDM industri perbankan maupun badan usaha, tidak mungkin kita dapat meningkatkan efisiensi perekonomian dan badan usaha nasional. Peningkatan efiensi seperti ini akan memungkinkan perekonomian dan badan usaha nasional kita mampu berperan dalam era globalisasi dan dapat bersaing di pasar nasional maupun pasar dunia. Lihatlah prestasi kantor cabang bank-bank nasional kita atau Indover, bank milik BI, di luar negeri. Hampir seluruhnya merupakan proyek rugi, menghamburkan aset bangsa karena hanya mengandalkan penempatan dana dari Kantor Pusatnya di Indonesia. Hampir semua kredit yang diberikan oleh kantor-kantor cabang di luar negeri itu menjadi bermasalah dan cukup besar yang diberikan kepada kepada nasabah-nasabah di Indonesia atas dasar KKN yang dalam istilah sekarang dapat disebut sebagai money laundering. Kita bercita-cita membuat Bank BNI, misalnya atau bank milik nasional lainnya setidaknya dapat menyamai Development Bank of Singapore (DSB) yang mampu bersaing di pasar regional dan internasional. Kita juga ingin melihat perusahaan penerbangan kita mampu bersaing dengan Silk Air jika belum mampu menyaingi Singapore Airlines. Untuk merubah citra perusahaan, tidak cukup hanya dengan sekedar merubah logo yang banyak membuang uang. Citra hanya dirubah melalui peningkatan kualitas pelayanan, ekspansi dan perolehan keuntungan usaha.

5. Peran BPK dalam mengkatkan transparansi dan akuntabilitas bank negara Sebagaimana diketahui UUD 1945 maupun ketiga UU dibidang keuangan negara yang disebut di atas menugaskan BPK melakukan pemeriksaan setiap sen uang negara dari mana pun sumbernya, di manapun disimpan dan untuk apapun dipergunakan. Dalam kaitan ini ada berbagai peran yang dilakukan oleh BPK untuk ikut meningkatkan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara termasuk bank-bank negara, apakah milik

8 Pemerintah Pusat dan daerah, anak perusahaan maupun milik yayasan yang terkait dengan kedinasan. Peran yang pertama adalah untuk meningkatkan kualitas pemeriksaannya. Pemeriksaan BPK terdiri dari dua kelompok besar. Kelompok pertama, adalah berupa pemeriksaan secara umum (keuangan, kinerja, atau pemeriksaan lainnya). Kelompok kedua adalah pemeriksaan khusus yang ditujukan untuk mendeteksi terjadinya tindak korupsi melalui pemeriksaan investigasi dan pemeriksaan khusus (investigative and fraud audit). Pemeriksaan investigasi dan pemeriksaan khusus itu dilakukan oleh BPK mulai tahun 1999 berkenaan dengan pemeriksaan BLBI. Laporan Pemeriksaan atas BLBI itu telah diserahkan oleh BPK untuk ditindak lanjuti kepada DPR dan Kejaksaan Agung pada tanggal 4 Agustus 2000. Tindak lanjut Laporan Pemeriksaan Khusus BPK mengenai BLBI sangat lambat, baik untuk menghukum para pelakunya maupun para pejabat negara yang terlibat. Pelacakan pelarian modal periode krisis 1997-1998 pun tidak pernah dilakukan, apalagi recovery-nya. Padahal, sangat mudah dan murah untuk melakukan pelacakan pelarian modal hasil korupsi dan BLBI itu dengan meminta daftar nama orang yang memindahkan uangnya keluar negeri pada periode itu yang disimpan pada tape computer beberapa bank devisa utama yang berkantor di Jakarta. Asal kita serius, penegak hukum negara lain pun bersedia membantu recovery hasil korupsi dan BLBI yang dilarikan dari Indonesia itu. Selama tahun 2005, BPK telah menyampaikan kurang lebih 14 temuan yang mengindikasikan terjadinya tindak pidana korupsi kepada Kejaksaan Agung dengan nilai sebesar Rp2,9 triliun dan US$ 39,08 juta. Peran kedua yang dilakukan oleh BPK adalah untuk ikut mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Peran ini dilakukan BPK melalui partisipasi aktif dalam perombakan sistem administrasi keuangan negara yang sangat tidak transparan dan tidak akuntabel selama masa Pemerintahan Orde Baru. Sebagaimana diketahui, anggaran negara dalam masa Orde Baru dibagi dalam dua bagian, yakni anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Anggaran rutin dikontrol oleh Ditjen Anggaran sedangkan Anggaran Pembangunan dikendalikan oleh Bappenas. Anggaran pembangunan juga meliputi suplemen anggaran rutin seperti honor dan gaji maupun biaya perjalanan pelaksana proyek. Di samping anggaran resmi juga ada anggaran nonbujeter yang bersumber dari yayasan, dana pensiun, koperasi/badan usaha. Baik modal awal maupun

9 kegiatan usaha instansi ataupun perusahaan satelit, pada hakikatnya, adalah bersumber dari induk instansinya. Tiga Paket UU di Bidang Keuangan Negara3 yang dikeluarkan tahun 2003–2004 telah memberikan design sistem akuntabilitas keuangan negara yang memadai. Tidak ada lagi pemisahan antara anggaran rutin dengan anggaran pembangunan sedangkan anggaran nonbujeter semakin ditiadakan. Tiga UU tersebut ditambah dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). SAP telah merubah jenis dan format laporan keuangan negara, memberlakukan sistem akuntansi berpasangan, menggunakan sistem akuntansi yang terpadu dan terkomputerisasi, dan menerapkan desentralisasi pelaksanaan akuntansi secara berjenjang. Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2004 menggambarkan bahwa sistem akuntabilitas keuangan negara yang diatur dalam ketiga paket UU tersebut belum sepenuhnya berjalan. BPK tidak dapat menyatakan pendapat (disclaimer) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun 2004 karena adanya kelemahan-kelemahan signifikan dalam Sistem Pengendalian Intern, pelaksanaan standar maupun ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. Beberapa temuan signifikan yang diperoleh BPK adalah belum berjalannya sistem akuntansi pemerintahan dengan baik. Dewasa ini, terdapat 957 rekening pribadi (termasuk yang sudah lama meninggal dunia) yang menyimpan uang negara dengan nilai sebesar Rp20,55 triliun. Berbagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan piutang negara lainnya tidak dilaporkan dan disetorkan ke kas negara. Contohnya adalah berupa denda pengganti hukuman yang dipungut oleh Kejaksaan Agung sebesar Rp6,6 triliun. Sudah menjadi pengetahuan umum dan ditemukan oleh pemeriksaan BPK berbagai penyelewengan atas penjualan tanah negara, royalti penambangan ataupun iuran hasil hutan ataupun dana pemeliharaan lingkungan oleh perusahaan pertambangan dan perkayuan. Di lain pihak, Australia, negara yang jauh lebih kaya daripada Indonesia, telah menjual gedung kedubesnya di Tokyo pada dasawarsa 1980-an untuk melunasi pembayaran hutang luar negerinya. Masih lemahnya sistem akuntansi keuangan negara

3 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

10 sekaligus mencerminkan bahwa good and clean government di Indonesia masih berupa cita-cita yang memerlukan waktu dan kerja keras untuk mewujudkannya. Secara bertahap, BPK akan memeriksa BPD (Bank Pembangunan Daerah) yang menerima aliran dana yang disalurkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemda. Sebagaimana diketahui, porsi APBN yang diserahkan kepada daerah telah meningkat dengan pesat dari 4% (2000) menjadi lebih dari sepertiga dewasa ini. Dana itu disalurkan kepada daerah dalam bentuk Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus serta Dana Penyeimbang. Sebagian dari dana tersebut ditempatkan oleh Pemda pada BPD-nya masing-masing. Pada gilirannya, BPD-BPD itu mendaurulangkan dengan menempatkan dana tersebut dalam bentuk Reksadana, SBI dan Fasbi serta pinjaman antar bank di Jakarta. Padahal, berbagai daerah mengeluh kekurangan dana. Daur ulang dana APBN seperti inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab mengapa menjamurnya pembukaan kantor-kantor cabang BPD berbagai daerah dilokasi mahal di Jakarta. Tidak jelas, arah kebijakan Pemerintah dan API yang membiarkan ekspansi kantor cabang BPD di Jakarta dan dengan penempatan dana yang seperti itu. Pasal 17 UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyebut bahwa penerima utama Laporan Pemeriksaan BPK adalah DPR dan DPD tingkat nasional serta DPRD Provinsi serta Kabupaten/Kota. Ketiga tingkat DPR itu merupakan pemegang hak bujet di daerahnya masing-masing. Pasal 14 UU tersebut mewajibkan BPK melaporkan secara khusus hal- hal yang diduga mengandung aspek kriminal kepada penegak hukum Kejaksaan Agung, Kepolisian maupun KPK. Pasal 19 menyebut bahwa Laporan Hasil Pemeriksaan yang telah disampaikan kepada lembaga perwakilan terbuka untuk umum. Berdasarkan ketentuan Pasal 19 itu, BPK memuat laporannya secara lengkap di website-nya untuk dapat diketahui dan dikritisi oleh umum. Disclosures seperti inilah yang tidak disukai oleh sekelompok politisi, bankir dan pengusaha itu.

11 Keuangan Negara1

1. Pengantar Berhasil tidaknya reformasi sosial yang digalakkan sejak runtuhnya pemerintahan Orde Baru juga tergantung pada kemampuan kita semua menegakkan transparansi dan akuntabilitas serta good governance, apakah pada sektor publik maupun dunia usaha. Pada gilirannya, transparansi, akuntabilitas dan good governance itu sangat ditentukan oleh perbaikan sistem akuntansi dan sistem hukum nasional. Sebagaimana diketahui, reformasi yang kita lakukan dewasa ini adalah menyangkut sistem politik, sistem pemerintahan dan sistem perekonomian. Sistem politik kita tengah beralih dari sistem otoriter masa pemerintahan Orde Baru pada sistem demokrasi. Pada gilirannya demokrasi politik sekaligus menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas keuangan negara, baik di tingkat pusat maupun daerah. Sistem pemerintahan yang sentralistis kita rubah menjadi otonomi daerah yang sangat luas. Tanpa adanya transparansi dan akuntabilitas, akan terjadi saling curiga dan cekcok antar daerah maupun antar suku di negara yang majemuk seperti Indonesia. Dalam bidang ekonomi, kita meninggalkan sistem perencanaan dengan campur tangan pemerintah yang berlebihan dan beralih pada sistem pasar serta masuk arus globalisasi. Sistem ekonomi pasar hanya dapat berjalan secara efektif dan efisien jika, sistem akuntansi dapat menjamin adanya transparansi informasi. Sementara itu, sistem hukum seyogyanya dapat melindungi hak milik individu, memaksakan berlakunya kontrak serta menyelesaikan konflik kepentingan secara efektif dan efisien. Distorsi pasar berdasarkan transaksi yang tidak transparan, atau seperti “jual kucing dalam karung”, sangat tidak adil dan merugikan pembeli. Penyelesaian hukum yang bertele-tele dan tidak adil meningkatkan biaya transaksi pasar. Berbagai kasus perbankan dan dunia usaha (seperti Perusahaan Jawatan Kereta Api) yang terjadi akhir-akhir ini, menggambarkan bahwa mutu kerja akuntan nasional kita masih perlu ditingkatkan untuk dapat memelihara transparansi serta akuntabilitas

1 Keynote Speech pada Konggres Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) X, dengan topik “Peran Profesi Akuntan dalam Penegakan Good Governance antara Tuntutan dan Kemampuan”, Krakatau Room, Mercure Convention Center, Ancol, Jakarta, tanggal 21 November 2006, pukul 10:30-12:00.

1 laporan keuangan maupun peningkatan governance sektor publik dan dunia usaha. Peningkatan kualitas kerja akuntan kita tidak cukup hanya sekedar menterjemahkan standar akuntasi internasional kedalam Bahasa Indonesia dan, melalui upacara besar- besaran, mencanangkan penggunaan good governance dalam sektor publik dan dunia usaha. Perbaikan sistem hukum kita pun masih sebatas wacana, belum dapat melindungi hak milik pribadi dan memaksakan berlakunya kontrak dengan cepat secara efektif dan efisien. Kurang tertibnya sistem hukum dan sistem akuntansi nasional merupakan, antara lain, telah merupakan faktor penyebab akan kurang menariknya iklim usaha serta investasi di Indonesia.

2. Reformasi keuangan sektor publik Dalam kaitan dengan reformasi sistem sosial yang disebut di atas, pemerintah tengah melakukan reformasi struktur keuangan negara serta sistem akuntabilitasnya. Reformasi fiskal itu tercermin dalam ketiga paket UU Bidang Keuangan Negara yang diundangkan pada tahun 2003-2004 maupun dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) bulan Juli 2005. Ketiga UU dan SAP tersebut telah merubah design sistem akuntabilitas keuangan negara, struktur anggaran negara serta jenis maupun format laporan keuangan negara. Ketiga UU dan PP itu menerapkan perbendaharaan negara yang terpadu, memberlakukan sistem akuntansi berpasangan, menggunakan sistem akuntansi yang terpadu dan terkomputerisasi serta menerapkan desentralisasi pelaksanaan akuntansi secara berjenjang. Dalam APBN sekarang ini, tidak ada lagi pemisahan antara anggaran rutin dengan anggaran pembangunan yang dikenal dalam APBN Orde Baru. Dalam APBN masa pemerintahan Orde Baru, hutang luar negeri disebut sebagai penerimaan pembangunan dan merupakan penyeimbang APBN berimbang selama masa itu. Dalam APN sekarang ini, hutang dalam negeri dalan luar negeri disebut sebagai hutang dan tetap merupakan sumber pembelanjaan defisit anggaran negara. Penerimaan oleh berbagai instansi negara dari sumber nonpajak yang diatur, diadministrasikan dan digunakannya sendiri selama masa Orde Baru, kini semakin ditertibkan. Sementara itu, penyimpanan keuangan negara semakin dipadukan dalam suatu single treasury account dan tidak lagi disimpan dalam

2 rekening pribadi pejabat negara, termasuk anggota IAI yang sudah lama meninggal dunia, yang sangat marak selama masa pemerintahan Orde Baru. Reformasi fiskal sekaligus menuntut reformasi pengelolaan badan usaha milik negara (termasuk BUMN dan BUMD) untuk meningkatkan governance-nya maupun kemampuannya agar dapat menyumbang pada keuangan negara serta perekonomian nasional. Sebagaimana diketahui, sektor publik di Indonesia bukan saja memproduksi apa yang disebut oleh ilmu ekonomi sebagai public goods.2 Melalui badan usaha milik negara, sektor negara juga memproduksi private goods, komoditi yang dengan jelas dapat diidentifikasikan konsumennya. Pada hakikatnya, produksi private goods merupakan porsi dunia usaha swasta dan biaya pengadaannya tercermin pada harga pasar produk yang dibayar oleh konsumen. Biaya pengadaan berbagai jenis public goods yang penggunanya dapat diidentifikasikan dengan jelas juga dapat dibebankan langsung kepada konsumennya. Untuk memelihara ketertiban anggaran negara, penerimaan negara dari sumber ini, yang disebut sebagai penerimaan nonpajak, harus diatur oleh UU dan dipertanggung jawabkan kepada DPR/DPRD. Public goods yang dapat dibebankan pada konsumennya, adalah termasuk biaya pemeriksaan oleh BPK pada auditee yang mampu maupun, biaya pembuatan KTP, Ijin Mendirikan Bangunan serta biaya pengadilan perkara perdata.

3. Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 Tentang BPK

2 Menurut ilmu ekonomi mikro serta ilmu keuangan negara, public goods memiliki dua ciri khusus, yakni: (i) ‘nonrival’ dan (ii) ‘nonexcludability’. ‘Nonrival’ berarti bahwa konsumsi seseorang akan komoditi publik itu tidak mengurangi konsumsi bagi konsumen lainnya. Contoh dari komoditi publik adalah perlindungan Pemerintah, TNI dan Polisi yang menciptakan rasa aman dan tertib. ‘Nonexcludability’ artinya bahwa semua orang yang tinggal di Indonesia, apakah suka atau tidak suka, baik yang kaya maupun yang miskin dan baik penjahat maupun orang baik-baik, menikmati perlindungan keamanan dan ketertiban yang sama dari Pemerintah, TNI dan Polri yang sama. Satu-satu-nya cara bagi seseorang yang tidak menyukai perlindungan Pemerintah, TNI dan Polri adalah meninggalkan wilayah Indonesia.

3 UU No. 15 Tahun 2006, tanggal 30 Oktober 2006, telah memulihkan independensi BPK. Dalam sistem politik otoriter masa lalu, pemerintah mengontrol BPK tidak saja melalui organisasinya, personil dan angggarannya. Objek pemeriksaannya pun diredusir sehingga tidak mencakup objek-objek yang merupakan “tambang emas” penguasa pada waktu itu dan rawan KKN. Objek-objek tersebut, antara lain, adalah penerimaan pajak, berbagai penerimaan negara bukan pajak, bank-bank negara, kehutanan, Pertamina maupun kontraktor minyak asing. Di masa lalu, dengan alasan agar tidak mengganggu stabilitas nasional, Laporan Pemeriksaan BPK atas beberapa objek tertentu, seperti Bulog, Gelora Senayan dan Kompleks Kemayoran diatur sedemikian rupa agar sejalan dengan selera pemerintah. Pada masa tersebut, Laporan Pemeriksaan BPK hanya tersedia bagi pemerintah serta DPR dan tidak tersedia bagi konsumsi umum. Dalam dua tahun terakhir, pemerintah dan DPR telah memberikan fleksibilitas dalam hal pengaturan organisasi dan personil BPK. Anggarannya pun telah semakin bertambah untuk menambah auditor, meningkatkan penghasilannya agar setara dengan penghasilan karyawan BPKP dan memperluas jaringan kantor agar dapat memeriksa keuangan provinsi, kabupaten dan kota sesuai dengan tuntutan UU No. 15 Tahun 2004. Dengan tersedianya anggaran yang memadai dari sumber APBN, mulai tahun 2005, BPK tidak lagi menerima dana pemeriksaan dari auditee. Dalam dua tahun terakhir, jumlah tenaga auditor BPK telah bertambah dari sekitar 2.851 orang (2004) menjadi 3.463 orang (2006), sedangkan jumlah kantor perwakilannya bertambah dari 7 menjadi 16. Kecuali untuk melakukan audit penerimaan pajak, ruang lingkup pemeriksaan BPK pun sudah semakin melebar dan mendalam dalam memeriksa keuangan negara. Karena latar belakang pendidikan auditornya adalah terutama dalam ilmu akuntansi dan ilmu hukum, maka kemampuan BPK melakukan audit kinerja (performance audit) masih sangat terbatas. Pemulihan independensi BPK memudahkan pekerjaan BPK untuk menjalankan amanat konstitusi agar dapat melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab setiap sen uang negara darimana pun asalnya dan di mana pun disimpan serta untuk apapun dipergunakan. Pasal 6 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2006 menyatakan bahwa BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dalam arti luas, baik untuk keperluan produksi public goods maupun private goods. Secara kelembagaan,

4 produksi kedua jenis komoditi itu dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, BUMN, Badan Layanan Umum (BLU), BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara, termasuk yayasan-yayasan yang terkait dengan kedinasan. Barangkali, hanya Bank Indonesia yang merupakan satu-satunya bank sentral di dunia yang memiliki bank komersil, yakni Indover. Anak perusahaan Bank Mandiri termasuk Semen Kupang. Akuntabilitas publik menuntut agar BPK mengumumkan temuan pemeriksaannya mengenai keuangan negara, program serta hasil kerja pemerintah kepada semua pihak terkait (stakeholders) melalui website-nya. Pihak terkait itu adalah masyarakat luas yang menanggung pajak dan beban pengeluaran negara, DPR/DPRD yang merupakan pemegang hak bujet, instansi penyelenggaran pemerintahan maupun pemberi pinjaman serta investor yang membeli surat utang negara (SUN). UU No. 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN masih membatasi akses BPK melakukan pemeriksaan penerimaan pajak maupun BUMN yang sudah go public. Larangan mengaudit penerimaan pajak membuat Ditjen Pajak sebagai monster yang tidak akuntabel dan transparan. Hampir 43% dari konsulen pajak adalah pensiunan karyawan Ditjen Pajak sendiri. Buruknya administrasi pajak yang tidak dapat diaudit itu menjadi salah satu alasan pokok mengapa rasio penerimaan pajak terhadap PDB di Indonesia merupakan salah satu yang terendah didunia dan tidak dapat ditingkatkan dari sekitar 13% setelah 60 tahun merdeka. Dalam kondisi administrasi pajak yang buruk itu, Indonesia tetap menggunakan tarif pajak berlapis dengan pengurangan (deductions) dan pengecualian (exemptions) yang kompleks namun rawan terhadap interpretasi subjektif oleh oknum petugas maupun wajib pajak. Sementara itu, skandal seperti L/C fiktif di Bank BNI masih terus terjadi pada bank-bank negara yang sudah go public. Karena pemerintah masih memiliki golden share, pengurus BUMN yang sudah go public masih terdiri dari pejabat negara yang ingin mendapatkan tambahan penghasilan. Akibatnya, governance-nya masih tetap rendah. Sebagai ilustrasi, pemberitaan surat kabar menyebut bahwa Compliance Director Bank BNI justru memberikan uang pelicin berupa success fee kepada oknum Bareskrim, Mabes Polri. Padahal, Compliance Director itu justru diciptakan untuk mencegah

5 terjadinya perbuatan seperti itu. Kepala BPKP yang bertugas mengawasi keuangan negara diangkat menjadi komisaris BUMN yang diawasinya.

4. Penggunaan KAP dan Akuntan Publik/KAP Walaupun konstitusi memberikannya posisi sebagai otorita tunggal pemeriksaan keuangan negara, BPK tidak mungkin dapat melakukan sendiri pemeriksaan keuangan seluruh sektor negara. Pasal 9 UU No. 15 Tahun 2004 dan Pasal 9 UU No. 15 Tahun 2006 memberikan peluang bagi BPK untuk “menggunakan tenaga ahli dan/atau tenaga pemeriksa di luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK”. Untuk keperluan pemeriksaan keuangan negara itu, BPK mengundang partisipasi Kantor Akuntan Publik (KAP), baik untuk pemeriksaan BUMN dan BUMD maupun untuk instansi pemerintahan. Pemeriksaan keuangan negara ada persamaannya dengan pemeriksaan industri perbankan. Keduanya memerlukan dua jenis pemeriksaan. Pertama adalah pemeriksaan finansil (financial audit) untuk memeriksa apakah transaksi keuangan sudah dilakukan sesuai dengan standar akuntansi pemerintah. Jenis audit yang kedua adalah compliance audit atau audit kepatuhan kepada undang-undang maupun peraturan serta kebijakan Pemerintah yang berlaku. Karena keunikan akuntansi pemerintahan maka BPK akan mewajibkan individu akuntan yang akan melakukan pemeriksaan keuangan negara untuk mengikuti program pelatihan khusus mengenai pemeriksaan keuangan negara dan mendapatkan sertifikat tanda lulus program. Program pelatihan ini akan diorganisir oleh BPK sendiri dengan kurikulum yang akan ditetapkan olehnya sendiri pula. Program khusus ini diperlukan karena kurikulum ilmu akuntansi pada universitas kita hanya terfokus pada kebutuhan di sektor swasta. Barangkali, baru Business School pada Universitas Wina di Austria yang sudah memasukkan masalah public goods dalam kurikulumnya. Undang-Undang, peraturan dan kebijakan tentang keuangan negara (Pusat dan Daerah) serta sistem akuntansi maupun auditnya merupakan topik pelajaran tersendiri dalam program tersebut. BPK memberikan ijin kepada individu akuntan dan KAP yang telah memiliki sertifikat program pemeriksaan keuangan negara untuk melakukan pemeriksaan keuangan negara dalam arti luas. Nama individu akuntan bersertifikat tersebut akan

6 dimuat dalam daftar yang akan diumumkan secara luas dan diedarkan oleh BPK kepada semua instansi Pemerintah serta BUMN/BUMD. Instansi pemerintah ataupun BUMN/BUMD yang bersangkutan dipersilahkan memilih sendiri akuntan yang akan digunakannya dari daftar yang disusun oleh BPK itu. Instansi Pemerintah dan BUMN/BUMD yang bersangkutan sekaligus menegosiasikan berapa besarnya biaya pemeriksaan keuangannya berdasarkan tarif komersil yang berlaku. Untuk mengurangi beban keuangan negara, instansi (seperti universitas) ataupun badan usaha milik negara (BUMN dan BUMD) yang mampu akan membayar sendiri biaya jasa KAP yang dipergunakannya. Akuntan dan/ataupun KAP yang memeriksa instansi Pemerintah serta BUMD/BUMN wajib menyerahkan copy Laporan Pemeriksaannya kepada BPK. Pada gilirannya, BPK mempelajari laporan itu dan memeriksanya apakah telah memenuhi standar akuntansi pemerintahan yang berlaku. Menggunakan kewenangan quasi-judicial- nya, BPK dapat mengeluarkan nama akuntan ataupun KAP yang bersangkutan dari daftar pemeriksa keuangan sektor publik jika ternyata tidak memiliki dasar ilmu akuntansi yang memadai, tidak mengikuti standar akuntansi pemerintahan yang berlaku dan/ataupun berbuat hal-hal yang bertentangan dengan etika akuntan profesional. Program pendidikan akuntan bersertifikat pemeriksaan keuangan negara itu diharapkan akan dapat dimulai pada awal tahun 2007 mendatang.

7 BPK dan Pemeriksaan Keuangan Negara1

1. Tugas dan peranan BPK UUD 1945 memberikan posisi yang sangat tinggi pada BPK sebagai suatu lembaga negara sendiri. Tugas BPK adalah memelihara transparansi dan akuntabilitas seluruh aspek keuangan negara. BPK bertugas untuk memeriksa semua asal usul dan besarnya penerimaan negara dari mana pun sumbernya. BPK bertugas untuk memeriksa di mana uang negara itu disimpan. BPK sekaligus bertugas untuk memeriksa untuk apa uang negara tersebut dipergunakan. Sebagaimana akan dibahas lebih lanjut dalam bagian kedua, keuangan negara di Indonesia bukan saja tercermin pada APBN dan APBD. Keuangan negara itu juga tercermin pada kegiatan BUMN dan BUMD, yayasan, dana pensiun maupun perusahaan yang terkait dengan kedinasan. Bahkan, keuangan negara juga mencakup bantuan atau subsidi kepada lembaga sosial milik swasta. Dewasa ini, BPK belum mampu melakukan audit kinerja guna menilai efisiensi, efektifitas maupun nilai ekonomi kegiatan instansi pemerintah. Alasannya karena pemerintah sendiri belum menetapkan indikator tujuan kegiatannya. Sementara itu, kemampuan BPK sendiri masih perlu ditingkatkan agar dapat menilai efektifitas, efisiensi dan ekonomisnya kebijakan pemerintah. Prioritas pemeriksaan BPK sekarang ini masih bertumpu pada perbaikan tata kelola keuangan negara. Tata kelola keuangan negara itu kini beralih dari sistem Orde Baru yang kurang tertib menuju implementasi Paket Tiga Undang-Undang Keuangan Negara tahun 2003-20042. Buruknya tata kelola keuangan negara dalam masa Orde Baru merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya krisis ekonomi Indonesia pada tahun 1997-1998. Belum baiknya transparansi dan akuntabilitas fiskal sekaligus merupakan salah satu faktor penyebab akan lambannya pemulihan kegiatan ekonomi Indonesia dalam 10 tahun terakhir dan belum baiknya governance BUMN serta BUMD. Transparansi dan akuntabilitas keuangan negara diperlukan untuk mewujudkan empat aspek sasaran perbaikan sistem sosial Indonesia, terutama sejak era reformasi setelah

1 Makalah dalam “Pertemuan Gubernur se Kalimantan dengan Aparat Penegak Hukum dalam rangka pelaksanaan Good Governance di Kalimantan”, Hotel , Jakarta, 25 April 2007; Makalah dalam Seminar Nasional "Membangun Sistem Manajemen Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan sesuai Tata Kelola yang Baik" LKKFH-UI (26 April 2007) disampaikan pada kuliah tamu Permulaan Semester Genap TA 2006/2007 Universitas Brawijaya, Malang (14 Maret 2007)

2 Ketiga Undang-Undang mengenai Keuangan negara itu adalah masing-masing: (i) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; (ii) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan (iii) UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanngung Jawab Keuangan Negara. runtuhnya pemerintahan Orde Baru. Sasaran yang pertama reformasi itu adalah untuk menggantikan sistem politik yang otoriter dengan demokrasi. Demokrasi politik bukan saja meniadakan peran aktif TNI/POLRI dalam kancah politik, menjamin kebebasan bersuara dan berserikat, menyelenggarakan pemilihan umum yang jujur serta adil secara periodik. Demokrasi juga menuntut transparansi dan akuntabilitas keuangan negara agar rakyat melalui DPR/DPRD dapat menggunakan hak bujetnya. Sasaran kedua reformasi adalah untuk menggantikan sistem pemerintahan yang sentralistis dengan memberikan otonomi luas kepada kabupaten/kota. Sistem sosial Indonesia yang majemuk memerlukan transparansi dan akuntabilitas fiskal sebagai perekat bagi terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia agar tidak ada rasa curiga maupun kecemburuan antara satu kelompok dan daerah dengan kelompok dan daerah lainnya. Sasaran ketiga dari reformasi adalah untuk menggantikan sistem ekonomi yang mengandalkan perencanaan terpusat dan campur tangan pemerintah yang berlebihan dengan sistem yang semakin banyak menggunakan mekanisme pasar dan memasuki persaingan global. Sistem perencanaan terpusat dan campur tangan pemerintah yang berlebihan di masa lalu itu telah menghasilkan distorsi dan inefisiensi maupun korupsi, kolusi dan nepotisme. Sebaliknya, mekanisme pasar hanya dapat berjalan secara efektif dan efisien jika ada perbaikan kualitas informasi pasar. Pada gilirannya kualitas informasi pasar dapat ditingkatkan melalui perbaikan transparansi dan akuntabilitas pelaku ekonomi, termasuk negara. Jika di negara lain, liberalisme dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas ekonomi nasional, di Indonesia justru menimbulkan inefisiensi yang berujung pada krisis ekonomi tahun 1997-1998. Hal ini terjadi karena, a.l., liberalisasi, deregulasi, privatisasi Orde Baru hanya memindahkan hak monopoli dari sektor negara kepada segelintir kroni penguasa yang tidak punya modal, keahlian, maupun pengalaman. Transparansi dan akuntabilitas fiskal sekaligus memudahkan pemerintah untuk mengetahui setiap saat posisi keuangannya sendiri agar dapat melakukan pengaturan arus kas dengan baik. Krisis tahun 1997-1998 terjadi, antara lain, karena pemerintah tidak memiliki informasi dan kontrol atas posisi keuangannya sendiri yang tersebar di berbagai instansi dan BUMN/BUMD serta di berbagai rekening individu pejabat negara. Transparansi serta akuntabilitas fiskal itu perlu adalah untuk meyakinkan investor pembeli SUN. Masyarakat akan enggan membayar pajak dan investor ragu membeli SUN jika tidak ada transparansi dan akuntabilitas fiskal. Rating SUN di pasar keuangan internasional tetap rendah di bawah investment grade. Akibatnya tingkat suku bunga yang berlaku untuk Indonesia tetap lebih tinggi daripada tingkat suku bunga dunia. Reformasi sistem keuangan negara sekaligus dimaksudkan agar membuatnya semakin bermakna sebagai alat manajemen dan perencanaan pemerintah. Untuk dapat mencapai kedua sasaran ini, anggaran negara harus mencerminkan alokasi sumber-sumber ekonomi yang dikuasai dan dialokasikan oleh negara. Sasaran yang keempat adalah untuk meningkatkan governance dunia usaha nasional, utamanya BUMN/BUMD, agar mampu bersaing di pasar global. Transparansi dan akuntabilitas perekonomian, termasuk keuangan negara, sekaligus merupakan prasyarat bagi perekonomi nasional agar mampu bersaing di pasar dunia. Tanpa adanya informasi yang akurat dan terbuka mengenai keuangan negara, tidak mungkin pemerintah dapat menjual obligasi atau surat hutang di pasar keuangan nasional dan internasional guna menutup defisit anggarannya. Ketergantungan pembelanjaan defisit anggaran negara dengan penjualan obligasi di pasar komersil semakin meningkat sejak tahun 1998. Pada waktu itu, SUN dijual di pasar komersil dalam negeri untuk menambah modal bank-bank nasional yang telah bangrut secara teknis setelah dilanda oleh krisis. Penjualan SUN di pasar komersil internasional dimulai pada tahun 2004. Governance BUMN dan BUMD yang kurang baik membatasi akses mereka untuk memasuki pasar global. Pada saat ini, BUMN dan BUMD Indonesia bukan merupakan saingan BUMN Singapura.

2. Pemulihan independensi dan kemandirian BPK Sebagaimana dengan lembaga negara lainnya, BPK di masa pemerintahan otoriter masa lalu, adalah berada di bawah pengaturan pemerintah. Pada waktu itu, pemerintah mengatur BPK melalui pembatasan objek pemeriksaannya, kontrol organisasinya, kontrol anggarannya, kontrol personil termasuk karyawannya maupun pengawasan atas pemilihan metoda pemeriksaan serta isi laporan pemeriksaannya. UU Pajak yang diintrodusi pada masa Orde Baru mencegah BPK untuk mengaudit penerimaan negara dari perpajakan. Melalui kontrol seperti itu, BPK di masa lalu tidak lebih dari tukang stempel keinginan pemerintah. Agar tidak mengganggu ”stabilitas nasional”, laporan pemeriksaan BPK disesuaikan dengan selera pemerintah. Sektor negara di masa rezim otoriter itu juga sangat tidak transparan karena maraknya anggaran nonbujeter, luasnya perusahaan dan yayasan yang terkait dengan kedinasan yang tidak dicatat dalam APBN, tidak seijin Departemen Keuangan dan di luar pengetahuan DPR/D PRD serta rakyat banyak. Berkat kerja keras Panitia Kerja (Panja) Undang-Undang itu dan Komisi XI DPR serta Pemerintah, UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK telah dapat diterbitkan dalam masa satu tahun pembahasan untuk menggantikan UU No. 5 Tahun 1973. Penerbitan UU baru itu telah memulihkan kembali independensi dan kemandirian BPK secara formal. UU BPK yang baru tersebut sudah lebih dekat dengan keinginan independensi serta kemandirian lembaga pemeriksa keuangan sebagaimana diharapkan oleh Deklarasi Lima yang dihasilkan oleh Kongres IX INTOSAI3, organisasi BPK sedunia, di kota Lima, Peru, pada Oktober 1977. Independensi BPK bukan saja menyangkut organisasinya yang secara formal berada di luar cabang eksekutif, legislatif maupun judikatif pemerintahan. Independensi BPK, menurut Deklarasi Lima, seyogyanya juga tercermin dalam hal independensi personilnya dalam pengambilan keputusan, independensi dalam bidang keuangan serta anggaran. Independensi BPK sekaligus seharusnya tercermin dalam hal kewenangannya untuk melakukan pemeriksaan pada semua sumber penerimaan negara termasuk penerimaan pajak maupun bukan pajak. BPK yang independen juga memiliki kewenangan untuk memeriksa penyimpanan maupun penggunaan keuangan negara. Independensi yang tidak kurang pentingnya adalah dalam hal kebebasan untuk memilih metoda audit serta dalam penyusanan laporannya agar tidak distortif. Menurut UU No. 15 Tahun 2004, BPK wajib menyerahkan laporan pemeriksaannya kepada Lembaga Perwakilan Rakyat (DPR, DPD dan DPRD). Segera setelah diserahkan kepada Lembaga-lembaga Perwakilan Rakyat itu, BPK wajib untuk memuatnya dalam website agar dapat diakses oleh masyarakat luas. Hal-hal yang mengandung unsur pidana dilaporkan oleh BPK kepada penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan KPK-Komisi Pemberantasan Korupsi). Pada gilirannya pemerintah, Lembaga-Lembaga Perwakilan dan para penegak hukum tersebut menindaklanjuti temuan pemeriksaan serta rekomendasi BPK. Sebagai lembaga legislatif yang memiliki hak bujet, DPR dan DPRD dapat menerbitkan undang-undang dan mendesak pemerintah untuk memperbaiki sistem pengelolaan uang serta asetnya. Lembaga Perwakilan Rakyat juga dapat meneruskan kasus tindakan kriminal untuk diusut lebih lanjut oleh penegak hukum. Selain memulihkan hak independensi dan kemandirian BPK, UU No 15 Tahun 2006 tersebut sekaligus semakin membuka BPK agar juga menjadi transparan dan akuntabel. Keterbukaan BPK Dalam UU No. 15 Tahun 2006 tercermin dari setidaknya empat hal. Pertama, pemuatan laporan pemeriksaannya secara utuh pada website-nya sehingga dapat dibaca oleh umum. Kedua, Pasal 30, UU No. 15 Tahun 2006, menetapkan ikut sertanya unsur profesi dan akademis sebagai anggota Majelis Kehormatan Kode Etik BPK. Ketiga, Pasal 32, UU tersebut menyebut bahwa pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan

3 INTOSAI-The International Organisation of Supreme Audit Institutions. tahunan BPK dilakukan oleh akuntan publik. Keempat, Pasal 33 UU itu menetapkan bahwa sistem pengendalian mutu BPK dilakukan oleh BPK negara lain yang menjadi anggota organisasi pemeriksa keuangan negara sedunia (INTOSAI). Ringkasan perbandingan antara BPK di masa lalu dengan sekarang dimuat dalam Tabel 1.

Tabel 1 Perbandingan BPK Pada Masa Orde Baru Dengan Orde Reformasi Di bawah UU No. 5 Sejak Tahun 2005 dan Di Tahun 1973 dan Dalam bawah UU No. 15 Tahun Masa Pemerintahan Orde 2004 dan UU No. 15 Baru Tahun 2006 1. Kantor Perwakilan di Tidak diatur Ada di setiap Ibukota daerah Provinsi 2. Jumlah Ketua, Wakil 7 orang 9 orang Ketua dan Anggota 3. Pemilihan Pimpinan Diangkat oleh Presiden Dipilih dari dan oleh atas usul DPR Anggota BPK sendiri 4. Independensi 4.1 Organisasi Diatur oleh Menpan Ada fleksibilitas 4.2. Keuangan Bersumber dari APBN Anggaran tersendiri dalam APBN 4.3 Kepegawaian PNS PNS tapi lebih fleksibel 4.4 Laporan Dikonsultasikan dengan Diumumkan dalam website Pemeriksaan Pemerintah agat tidak BPK segera setelah mengganggu stabilitas diserahkan kepada nasional DPR/DPRD 5. Akuntabilitas 5.1 Kode etik Tidak jelas Mengikat dan pelaksanaannya diawasi oleh Majelis Kode Etik yang anggotanya termasuk unsure profesi dan akademisi dari luar BPK 5.2 Pemeriksaan Dilakukan oleh BPKP dan Dilakukan oleh Kantor Anggaran BPK tidak diumumkan kepada Akuntan Publik dan publik diumumkan secara luas 5.3 Penilaian mutu Tidak ada Dilakukan oleh BPK negara kerja BPK lain anggota INTOSAI 5.4 Laporan Tidak terbuka untuk Terbuka untuk umum Pemeriksaan umum sehingga dapat dinilai oleh masyarakat luas 6. Objek Pemeriksaan 6.1 Penerimaan Hampir tidak ada Mulai memeriksa kontrak Negara pertambangan, termasuk migas, dan PNBP. Namun, UU Pajak tetap menutup akses BPK pada pemeriksaan penerimaan pajak 6.2 Penyimpanan Hampir tidak ada Mulai melakukan Uang Negara pemeriksaan dan pada Tahun 2005 BPK melaporkan sebanyak 957 rekening pribadi pejabat negara yang menyimpan uang negara dan tahun 2006 sebanyak 1.303 rekening 6.3 Pengeluaran Terbatas pada Pemerintah Meliputi seluruh tingkat Negara Pusat saja dan dari sumber Pemerintahan: Pusat, APBN dan beberapa Provinsi dan Kabupaten/Kota provinsi yang dapat dan termasuk dari anggaran dijangkau oleh kantor nonbujeter perwakilan BPK. 6.4 Bank Indonesia, BI, Pertamina dan Merupakan objek Pertamina dan sebagian BUMN lainnya pemeriksaan BPK BUMN lainnya adalah bukan merupakan objek pemeriksaan BPK 7. Jadwal waktu Tidak diatur Diatur dengan jelas dalam penyusunan dan Bab IV UU No. 15 Tahun pemeriksaan serta 2004 pertanggungjawaban anggaran belanja negara 8. Laporan Pemeriksaan a.Disampaikan kepada a. Disampaikan kepada DPR, DPR; DPD dan DPRD; b.Dugaan kriminal b. Seluruh laporan yang dilaporkan kepada disampaikan kepada Pemerintah; DPR/DPRD/DPD dimuat c.Tidak dipublikasikan dalam website BPK agar untuk kepentingan diketahui oleh masyarakat umum luas; c. Dugaan kriminal dilaporkan kepada Kepolisian, Kejaksaan dan KPK 9. Tindak lanjut Tidak diatur Dilakukan oleh pejabat temuan negara dan pelaksaannya dipantau dan dilaporkan kepada BPK serta adanya sanksi pidana bagi yang tidak melaksanakan tindak lanjut. 10. Pengenaan Ganti Tidak diatur Ditetapkan oleh BPK dengan Kerugian Negara tatacara yang ditentukannya sendiri 11. Standar pemeriksaan Ditetapkan oleh BPK Ditetapkan oleh BPK setelah keuangan negara secara sepihak tanpa konsultasi dengan konsultasi dengan Pemerintah, akademisi dan Pemerintah, akademisi praktisi dan praktisi 12. Penggunaan Kantor Dilakukan dengan Diatur menurut ketentuan Akuntan Publik menerbitkan cover letter BPK. Akuntan publik dilatih untuk memeriksa tentang standar pemeriksaan sektor publik: maupun peraturan mengenai Pemerintah, BUMN keuangan negara dan dan BUMD memberikannya sertifikat dan surat ijin bagi yang telah lulus ujian. 13. Peraturan yang Tidak ada kewenangan Sebagai otorita, BPK dapat menyangkut menerbitkan peraturan yang pemeriksaan menyangkut pemeriksaan keuangan negara keuangan negara

Apa yang dimaksud dengan keuangan negara? Di negara seperti di Indonesia, Keuangan negara bukan saja meliputi APBN tapi juga meliputi anggaran nonbujeter serta BUMN/BUMD, yayasan maupun perusahaan yang terkait dengan kedinasan serta lembaga swasta yang mendapatkan subsidi dari negara. Ada dua alasan penggunaan definisi keuangan negara yang luas itu. Pertama adalah karena praktik dari jaman revousi kemerdekaan di mana tiap unit pasukan tentara dan pemerintah sipil, dengan Doktrin Perlawanan Rakyat Semesta, mencari dana sendiri, masih tetap dilanjutkan oleh pemerintah Orde Baru. Alasan kedua adalah karena sektor negara di Indonesia bukan saja memproduksi jasa-jasa publik ataupun public goods. Pada saat yang sama, negara juga memiliki badan usaha yang menghasilkan private goods ataupun mixed goods yang merupakan kombinasi dari keduanya4. Karena negara sekaligus memproduksi ketiga jenis komoditi itu, keuangan negara di Indonesia bukan saja tercermin dalam APBN, tapi juga

4 public goods memiliki dua ciri, yakni: (i) nonexcludability dan (ii) tidak bersaing konsumennya dalam menikmati komoditi yang sama. Contoh dari komoditi ini adalah jasa pertahanan dan keamanan negara. Suka atau tidak suka, semua penduduk yang tinggal dalam suatu negara menikmati perlindungan dan rasa aman yang sama, termasuk teroris, penjahat maupun gerombolan yang ada dirumah tahanan. Alokasi harga dalam mekanisme pasar tidak berlaku bagi produksi maupun distribusi public goods. Satu-satunya cara untuk tidak menikmati perlindungan dan rasa aman di satu negara adalah pindah ke negara lain. Karena jelas dapat diidentifikasikan siapa yang menikmatinya maka konsumen private goods membayar sendiri harga barang dan jasa yang dinikmatinya itu. Produsen private goods itu merupakan porsi dunia usaha sektor swasta yang tertarik oleh besarnya keuntungan yang diperolehnya dari kegiatan produksi serta distribusi komoditi itu. Mekanisme pasar dapat berfungsi secara efektip dan efisien untuk mengatur pengadaan maupun alokasi atau distribusi private goods. Karena mekanisme pasar dan alokasi harga tidak dapat berfungsi dalam pengadaan public goods maka pengadaannya diambil alih oleh negara dan alokasinya dilakukan denghan mekanisme nonharga. pada BUMN/BUMD, yayasan maupun badan usaha lainnya yang terkait dengan kedinasan. Badan pelayanan umum milik swasta, seperti sekolah, rumah sakit dan panti asuhan serta lembaga sosial lainnya juga mendapat subsidi dari negara. Sebagian dari public goods, seperti perkara perdata maupun administrasi nikah, talak dan rujuk, dapat didentifikasikan siapa yang menikmatinya. Oleh karenanya, biaya yang menikmati public goods seperti itu dapat dibebankan langsung kepada penggunanya. Penerimaan negara dari kegiatan seperti ini disebut sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Pada saat ini, berbagai instansi pemerintah memuat aturan sendiri untuk melakukan pungutan tanpa merujuk pada UU PNBP yang berlaku dan tanpa seijin DPR serta Departemen Keuangan sebagai bendahara negara. Pungutan liar seperti itu sekaligus diadministrasikan oleh instansi yang bersangkutan dan dipergunakannya tanpa dipertanggung jawabkan pada DPR sebagai pemegang hak bujet.

3. Reformasi BPK Peningkatan peran BPK sudah dimulai dalam masa dua tahun belakangan ini, sebelum terbitnya UU No. 15 Tahun 2006 di atas. Peningkatan peran BPK untuk mewujudkan cita- cita reformasi tercermin dalam Rencana Strategis BPK Tahun 2005-2010. Selama dua tahun terakhir ada empat peranan BPK yang menonjol. Keempat peranan itu digambarkan pada tiga lapis bawah dalam segitiga pada Grafik-1. Peran pertama adalah meningkatkan kegiatan dalam pemberantasan KKN. Kedua, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. Dalam hal ini, BPK telah meningkatkan kualitas pemeriksaannya dan telah semakin memperluas objek pemeriksaan yang tadinya tersumbat selama Orde Baru. Ketiga, BPK membantu Pemerintah untuk mengimplementasikan Paket tiga UU tentang Keuangan Negara Tahun 2003-2004. Keempat, selama dua tahun terakhir BPK pun telah membantu pemerintah untuk melakukan reformasi institusional, termasuk restrukturalisasi BUMN dan badan pelayanan umum, seperti sekolah/ Universitas dan rumah sakit. Peran seperti ini merupakan bagian dari tugas BPK untuk memberikan opini, kesimpulan dan rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh auditee serta oleh pemerintah. Secara bertahap BPK akan meningkatkan kemampuannya untuk melakukan audit kinerja guna menilai efisiensi, nilai ekonomi maupun efektifitas kegiatan instansi pemerintah. Dengan semakin berkembangnya BPK, diharapkan lembaga ini dapat memberikan kecenderungan serta pemikiran jangka panjang sebagai bahan pertimbangan bagi badan legislatif dan eksekutif serta masyarakat luas untuk mengambil keputusan. Berbeda dengan di negara-negara maju, hingga saat ini BPK belum memiliki kemampuan melakukan audit kinerja maupun pemikiran jangka panjang seperti itu. Sasaran jangka panjang kegiatan BPK digambarkan pada ketiga lapis atas (dengan garis patah) Grafik-1.

Grafik 1. Peranan BPK Masa Kini dan Masa Datang

Membantu masyarakat dan pengambil keputusan untuk melakukan alternatif pilihan masa depan

Mendalami kebijakan dan masalah publik

Melakukan evaluasi dan memberikan rekomendasi bagi peningkatan efektivitas dan efisiensi kebijakan pemerintah serta ketaatan atas aturan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan

Membantu Pemerintah melakukan perubahan struktural BUMN maupun badan pelayanan umum seperti sekolah, universitas dan rumah sakit

Membantu Pemerintah untuk mengimplementasikan paket ketiga UU tentang keuangan negara tahun 2003-2004 melalui: a. Penyatuan anggaran nonbujeter dan kegiatan quasi fiskal kedalam APBN; b. Memperjelas peranan dan tanggung jawab lembaga negara pada semua tingkatan; c. Mendorong proses penyiapan, pelaksanaan dan pelaporan anggaran negara yang transparan dan akuntabel . d. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas transaksi keuangan antara instansi pemerintah di tingkat pusat dan daerah serta antara keduanya maupun antara Pemerintah dengan BUMN, BUMD serta perusahaan swasta yang mendapatkan subsidi dari negara.

Upaya Pemberantasan Korupsi dengan melaporkan dugaan tindakan kriminal kepada penegak hukum; Kepolisian; Kejaksaan Agung / Tastipikor dan Komisi Pemberantasan Korupsi

Untuk membantu pemberantasan korupsi, pada tahun 2005, BPK telah menyampaikan 10 laporan dugaan tindak pidana korupsi kepada DPR dan penegak hukum. Masing-masing satu dari laporan itu diserahkan kepada DPR dan Kapolri dan 8 kepada Kejaksaan Agung, dengan nilai total kerugian negara sebesar Rp2,9 triliun dan US$4.2 juta. Sebagai badan legislatif, DPR memiliki kewenangan untuk meneruskan kasus itu kepada penegak hukum, menciptakan undang-undang maupun mendesak pemerintah untuk melakukan koreksi dan perbaikan sistem guna mencegah terjadinya kembali kerugian negara. Rekapitulasi temuan yang berindikasi kerugian negara yang dilaporkan oleh BPK selama dua tahun terakhir dimuat dalam Tabel 2. Segera mungkin di masa mendatang, laporan BPK tentang indikasi tindak pidana korupsi akan semakin bertambah dengan adanya (i) peningkatan kemampuannya; (ii) perluasan objek pemeriksaannya; (iii) perluasan jaringan kantor perwakilannya; (iv) perbaikan peralatan kerja serta perluasan jaringan telekomunikasinya; (v) peningkatan kerjasamanya dengan lembaga penegak hukum, terutama dengan KPK serta PPATK. Ada tujuh langkah yang telah dilakukan oleh BPK untuk membantu pemerintah mengimplementasikan Paket tiga UU Tentang Keuangan Negara Tahun 2003-2004. Pertama, membantu pemerintah untuk menyusun standar akuntansi pemerintahan. Kedua, menetapkan standar pemeriksaan keuangan negara, setelah menerima masukan pemikiran dari pemerintah, akademisi dan kalangan profesi. Ketiga, mendorong agar pemerintah menggunakan tenaga-tenaga akuntansi dalam posisi struktural pengelola keuangan negara, baik di tingkat pusat hingga daerah, BUMN maupun BUMD. Keempat, mendorong dan membantu pemerintah untuk menyatukan semua anggaran nonbujeter dan kegiatan quasi fiskal kedalam APBN. Kelima, membantu Pemerintah memperjelas peranan dan tanggung jawab lembaga negara pada semua tingkatan. Keenam, mendorong proses penyiapan, pelaksanaan dan pelaporan anggaran negara yang transparan dan akuntabel. Ketujuh, membantu pemerintah meningkatkan transparansi dan akuntabilitas transaksi keuangan negara antar instansi pemerintah, antara Pemerintah Pusat dan daerah maupun antara pemerintah dengan BUMN/BUMD serta yayasan maupun lembaga swasta yang memperoleh subsidi dari pemerintah.

TABEL 2 DAFTAR REKAPITULASI TEMUAN PEMERIKSAAN BERINDIKASI KERUGIAN NEGARA

TAHUN 2005 S.D. SEMESTER I 2006*

Juta Rupiah dan ribu Valas Kelompok Kerugian Negara/ Telah Diselamatkan/ Sisa Periode No Penanggung Daerah Disetor ke Kas Negara Kerugian Negara Pemeriksaan Jawab Kasus Nilai Kasus Nilai Kasus Nilai 1 TA 2005 Pemerintah 701 Rp 7,713,057.46 104 Rp 2,507,869.90 597 Rp 5,205,187.56 Pusat US$ 5,526.83 US$ 504.40 US$ 5,022.43 Pemerintah 2,330 Rp 1,352,224.56 226 Rp 89,187.12 2,104 Rp 1,263,037.44 Daerah BUMN 23 Rp 4,761,596.75 0 Rp 0.00 23 Rp 4,761,596.75 3,054 Rp 13,826,878.77 330 Rp 2,597,057.02 2,724 Rp 11,229,821.75 US$ 5,526.83 US$ 504.40 US$ 5,022.43 2 Semester I Pemerintah 165 Rp 16,055,783.27 18 Rp 142,972.78 147 Rp 15,912,810.49 TA 2006 Pusat Pemerintah 1,530 Rp 1,868,803.01 3 Rp 293.11 1,527 Rp 1,868,509.90 Daerah BUMN 26 Rp 1,320,940.03 5 Rp 56,287.32 21 Rp 1,264,652.71 1,721 Rp 19,245,526.31 26 Rp 199,553.21 1,695 Rp 19,045,973.10

Jumlah 4,775 Rp 33,072,405 356 Rp 2,796,610 4,419 Rp 30,275,795 US$ 5,526.83 US$ 504.40 US$ 5,022.43 Catatan: Dari total kerugian negara pada tahun 2005 dalam Tabel 2 ini (sebesar Rp13,8 triliun dan USD5,5 juta) hanya Rp2,9 triluin dan USD4,2 juta saja yang dilaporkan kepada penegak hukum karena mengandung dugaan unsur pidana. Lainnya adalah berupa kerugian negara yang wajib diganti oleh bendahara.

Seperti yang tercermin pada Tabel 2, audit BPK telah menyumbang pada peningkatan penerimaan negara, antara lain, dari pemeriksaannya atas kontrak kerja sama kontraktor bagi hasil (KKKS) dengan perusahaan migas. Sumbangan pemeriksaan BPK kepada penyelamatan uang negara, antara lain, tercermin dari pemasukan pada kas negara uang setidaknya sebesar Rp3 triliun dari laporan pemeriksaannya pada tahun 2005 atas 957 rekening perorangan pejabat negara yang menyimpan uang negara pada berbagai bank senilai Rp20,44 triliun. Pada tahun berikutnya BPK melaporkan adanya 1.303 rekening dan deposito pejabat negara pada berbagai bank yang menyimpan uang negara dengan nilai Rp8,54 triliun.Penghematan terhadap pengeluaran, antara lain, digambarkan oleh penghematan pengeluaran negara atas subsidi listrik, pupuk maupun bahan bakar minyak. Rendahnya gaji dan penghasilan BPK telah menyulitkan bagi lembaga itu untuk memperoleh tenaga auditor yang berkualitas. Tuntutan akan tenaga auditor yang berkualitas semakin penting untuk dapat melakukan audit di luar keuangan, termasuk audit kinerja. Pasal 22 UU No. 15 Tahun 2004 memberikan kekuasaan quasi judisial kepada BPK dalam mengenakan ganti kerugian negara. Ketentuan ini juga berlaku bagi perusahaan yang sedikitnya 51% dari sahamnya dimiliki oleh negara. Berdasarkan kekuasaan tersebut, BPK menerbitkan surat keputusan batas waktu pertanggungjawaban bendahara atas kekurangan kas ataupun barang yang terjadi. Surat keputusan BPK bersifat final tanpa harus melalui proses hukum di pengadilan. BPK sekaligus memantau penyelesaian ganti kerugian negara tersebut. Dalam kaitan ini, setelah konsultasi dengan pemerintah, BPK tengah menyusun tatacaranya agar jelas bagi semua pihak. Untuk dapat meningkatkan kinerjanya, BPK juga telah melakukan pembenahan internal termasuk peningkatkan disiplin karyawannya serta ketaatannya terhadap kode etik. Auditor di mana pun di dunia ini, termasuk di BPK, wajib memelihara hubungan baik dengan auditee, memelihara kepercayaan dan harga diri auditee, dan tidak boleh memata-matainya. Perbuatan yang menyimpang dari aturan dan tindak pidana korupsi pun harus dibicarakan secara terbuka dan di rekonfirmasikan dengan auditee. Auditor BPK juga bukan seorang whistle blower karena informasi tentang sesuatu adalah diperolehnya karena kewenangan yang diberikan kepadanya oleh BPK. Auditor BPK tidak boleh menyampaikan sendiri temuan pemeriksaannya kepada siapapun di luar BPK, tanpa prosedur dan aturan yang berlaku, apalagi mengumumkannya sendiri kepada publik. Dengan bantuan Pemerintah dan DPR, anggaran BPK telah dapat ditingkatkan guna memperluas jaringan kantor perwakilan, menambah tenaga auditor, memodernisasi peralatan serta jaringan telekomunikasi, memperbaiki sistem penggajian serta penghasilan auditor. BPK juga menerima bantuan pinjaman gedung perwakilan dari berbagai Pemda provinsi. Gambaran perkembangan jumlah dan komposisi personil, peralatan dan anggaran BPK selama tiga tahun terakhir, 2004-2006, dimuat dalam Tabel 3. Secara bertahap, BPK akan semakin menambah auditornya dari berbagai disiplin ilmu agar mampu semakin meninggalkan audit keuangan dan melakukan audit investigasi serta audit kinerja. Seperti halnya dengan di negara-negara lain, secara bertahap, pemeriksaan keuangan akan semakin banyak diserahkan kepada Kantor Akuntan Publik (KAP) dengan pengawasan dari BPK. Sesuai dengan tuntutan UU No. 15 Tahun 2004, pemeriksaan BPK akan semakin beralih pada audit kinerja, audit lingkungan serta pembangunan berkelanjutan maupun audit lainnya sebagaimana digambarkan dalam lapisan atas Gambar 1. Pemanfaatan KAP dalam pemeriksaan sektor publik juga semakin mendesak dilakukan karena bertambah luasnya objek pemeriksaan BPK yang tersebar luas diseluruh Indonesia dan mencakup ketiga tingkatan pemerintahan pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Perluasan jaringan kantor perwakilan serta tambahan tenaga auditor dan peralatan, termasuk jaringan telekomunikasi, saja tidak mungkin untuk melaksanakan tugas yang cakupannya semakin bertambah luas itu. KAP yang akan digunakan untuk memeriksa sektor publik untuk dan atas nama BPK itu akan diseleksi, disertifikasi dan diawasi oleh BPK. Kurikulum, silabus dan modul yang harus dikuasai oleh KAP meliputi, antara lain, Standar Akuntansi Pemerintahan dan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara serta berbagai peraturan yang menyangkut sektor publik. Adanya tambahan anggaran, perbaikan alat kerja serta peningkatan penghasilan karyawan BPK sejak tahun 2005 telah memungkinkan lembaga itu untuk tidak lagi menerima dana pemeriksaan dari auditee sehingga mengurangi KKN. Walaupun nantinya, BPK kembali memobilisiasi dana tambahan dari luar anggaran negara, pengenaan, administrasi serta penggunaannya harus tetap mengacu kepada undang-undang dan aturan yang berlaku dan dipertanggungjawabkan kepada publik secara terbuka. UU No. 15 Tahun 2006 menambah dua orang Anggota BPK, memperluas pemeriksaan maupun lingkup pekerjaannya di masa datang. Dalam dua tahun terakhir, laporan pemeriksaan BPK sudah semakin diperbaiki agar lebih mudah dibaca oleh publik. Sementara itu, kapasitas website-nya sudah semakin ditambah agar laporan BPK semakin mudah diakses oleh masyarakat. Strategi komunikasi BPK semakin disempurnakan agar masyarakat dapat memahami fungsi dan peranan BPK serta manfaatnya bagi kepentingan umum. Tabel 3 Kondisi Personil, Peralatan dan Anggaran BPK, 2004 – 2006

2004 2005 2006 1.Jumlah Kantor Perwakilan 7 9 17 2.Jumlah karyawan 2.851 2.991 3.498 2.1 Kantor Pusat 1.682 1.673 1.771 a. Auditor 1.399 1.357 1.080 b. Administrasi/Teknik 283 316 691 2.2 Kantor Perwakilan 1.169 1.318 1.727 a. Auditor 963 1.021 981 b. Administrasi/Teknik 206 297 746 2.3 Tingkat pendidikan a. S-3 1 1 5 b. S-2 318 386 415 c. S-1 1.790 1.826 2.264 d. D-III, D-II dan D-I 162 162 164 e. SMU kebawah 580 616 650 2.4 Bidang Studi a. Akuntansi 1.061 1.255 1.483 b. Ilmu Hukum 155 185 232 2004 2005 2006 c. Ekonomi/Kebijakan 557 479 480 Publik d. Teknologi 36 39 42 e. Lainnya 462 417 611 f. SMU 580 616 650 3. Peralatan kerja a. Kapasitas komputer Memory (RAM) 128 MB, Memory (RAM) 512 MB Memory (RAM) 512 MB, Processor Pentium IV 2 GHz, HD Processor Pentium IV 3 GHz, Processor Pentium IV 3 GHz 40 GB HD 40 GB HD 40 GB b. Kapasitas website 64 Kbps 256 Kbps 1 MB c. Jumlah workstations 1.046 buah 1.290 buah 1.352 buah d. Jumlah laptop 517 buah 650 buah 718 buah e. Jenis program komputer: i. Words/grafik Ada Ada Ada ii. Akuntansi Tidak ada Tidak ada Tidak ada iii. Statistik/Ekonometri SPSS* SPSS* SPSS* iv. Earth Google Ada Ada Ada

f. Kendaraan operasional 84 kendaraan 103 kendaraan 116 kendaraan 4. Jumlah judul koleksi buku ±6,250 judul ±6,500 judul ±7.000 judul 2004 2005 2006 perpustakaan 5. Anggaran Belanja Rp234.613,50 juta Rp329.395,75 juta Rp690.131,16 Juta Tahunan** 6. Penghasilan rata-rata Eselon Gaji Tunjangan Gaji Tunjangan Gaji Tunjangan a. Eselon I A 6.073.505 2.455.000 7.145..300 2.700.000 7.859.830 3.913.022 b. Eselon IB 6.087.105 1.992.000 7.161.300 2.150.000 7.877.430 3.130.418 c. Eselon II A 4.164.712 1.372.000 4.899.661 1.500.000 5.389.627 2.666.113 d. Eselon III A 2.306.387 772.000 2.713.397 850.000 2.984.737 1.812.857 e. Eselon IV A 1.759.875 531.000 2.070.441 625.000 2.277.485 1.424.445

NonEselon a. Golongan IV 1.319.906 493.000 1.552.831 600.000 1.708.114 1.210.778 b. Golongan III 718.686 474.000 958.247 550.000 1.277.663 1.277.663 c. Golongan II 800.751 400.000 942.060 475.000 1.162.408 1.162.408 d. Golongan I 680.638 312.500 800.751 400.000 988.047 988.047

Catatan: *) Statistical Package for the Social Sciences; **) Mulai Tahun 2005, seluruh anggaran BPK adalah bersumber dari APBN dan tidak lagi menerima biaya pemeriksaan dari auditee.

4. Perbaikan Sistem Keuangan Negara Pelaksanaan tugas BPK untuk melakukan audit keuangan negara telah semakin dipermudah dengan terbitnya paket tiga Undang-Undang Keuangan Negara Tahun 2003- 2004. Paket tiga UU itu mengoreksi kelemahan sistem pengelolaan keuangan negara masa Orde Baru dengan mengubah jenis, format dan struktur laporan keuangan negara dan menetapkan jadwal penyusunan pertanggungjawabannya dengan jelas. UU Keuangan Negara tahun 2003-2004 tersebut memberlakukan sistem pembukuan berpasangan, menggunakan sistem akuntansi terpadu dan dikomputerisasi, serta menerapkan desentralisasi pelaksanaan akuntansi secara berjenjang oleh unit-unit akuntansi baik di kantor pusat maupun di daerah. Dalam hal jadwal pertanggungjawaban, ketiga UU Keuangan Negara itu mewajibkan pemerintah segera menyusun laporan keuangannya selambat-lambatnya enam bulan setelah tahun anggaran berakhir dan menyerahkannya kepada BPK melakukan pemeriksaan. Pada gilirannya, menurut UU No. 15 Tahun 2004, BPK wajib menyerahkan pemeriksaannya atas laporan keuangan pemerintah kepada Lembaga Perwakilan Rakyat (DPR,DPD dan DPRD) selambatnya setelah dua bulan setelah menerima laporan tersebut. Sementara itu, ikhtisar hasil pemeriksaan semester disampaikan kepada lembaga perwakilan selambat-lambatnya tiga bulan setelah berakhirnya semester yang bersangkutan. Di antara ketiga lembaga perwakilan rakyat itu hanya DPR dan DPRD yang memiliki hak bujet. DPD menyampaikan saran-saran kepada DPR. Laporan hasil pemeriksaan oleh BPK itu memuat opini, temuan, kesimpulan dan rekomendasi. Sistem keuangan masa Orde Baru merupakan sistem kuno, warisan dari ICW (Indonesische Comtabiliteistswet) warisan kolonial. Sistem ICW itu menggunakan single entry dan tidak ada suatu standar pencatatan transaksi pemerintah untuk keperluan anggaran. Karena didasarkan atas pengeluaran tunai (berbasis kas) selama tahun anggaran, kewajiban kontinjensi pemerintah tidak tercermin dalam APBN. Keuangan BUMN/BUMD tidak terintegrasi dengan APBN dan APBD. Padahal, kerugian mereka senantiasa dialihkan kepada pemerintah melalui Penyertaan Modal Pemerintah (PMP), penggunaan Rekening Dana Investasi (RDI) dan berbagai pengeluaran subsidi. Setelah terjadinya krisis ekonomi tahun 1997-1998, seluruh kerugian bank-bank nasional, termasuk para nasabahnya, telah digeser menjadi beban anggaran negara. Dengan

19 demikian, laporan keuangan itu tidak memuat informasi tentang apa kewajiban anggaran yang akan dihadapi oleh pemerintah di masa datang. Oleh karena itu, APBN dan laporan keuangan negara tidak banyak manfaatnya sebagai instrumen manajemen pemerintahan. Sistem ICW juga kurang bermanfaat sebagai instrumen perencanaan karena tidak memuat informasi tentang alokasi penggunaan sumber-sumber ekonomi. APBN Orde Baru tidak membedakan antara pengeluaran untuk menambah stok barang modal dengan pengeluaran operasional. Dalam kelompok “Pengeluaran Pembangunan” pada APBN era Orde Baru juga dikandung honorarium serta biaya perjalanan penyelenggara pembangunan yang pada hakikatnya merupakan pengeluaran rutin. Di luar APBN resmi, berbagai instansi pemerintahan dalama era Orde Baru juga memiliki anggaran nonbujeter yang jumlahnya cukup besar. Ada dua sumber utama penerimaan dalam anggaran nonbujeter selama masa Orde Baru. Sumber pertama adalah PNBP yang dipungut berdasarkan aturan yang dibuat sendiri oleh instasi pemungutnya, tanpa referensi pada undang-undang maupun peraturan yang dibuat oleh Menteri Keuangan sebagai Bendaharawan Negara. Uang yang dipungut dari sumber PNBP ilegal itu juga disimpan dan digunakan sendiri oleh instansi yang bersangkutan tanpa dilaporkan dalam APBN ataupun dilaporkan kepada DPR/DPRD sebagai pemegang hak bujet. Sumber yang kedua adalah keuntungan dari usaha milik instansi yang bersangkutan. Di masa lalu, berbagai instansi pemerintah, termasuk TNI/POLRI, memiliki badan usaha, yayasan dan koperasi yang menggerogoti instansinya ataupun menggunakan wibawa serta kewenangan instansi yang bersangkutan untuk mendapatkan penghasilan. Dengan demikian, pengertian BUMN/BUMD pada masa Orde Baru itu sangat luas. Perolehan dana oleh suatu instansi pemerintahan adalah berbanding lurus dengan kekuasaaan yang dimiliki oleh instansi tersebut. Berbagai kelemahan Sistem Keuangan Negara masa Orde Baru tersebut di atas telah dilaporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2004 dan 2005. Kelemahan pertama adalah pada sistem internal keuangan negara. Di masa Orde Baru, tidak ada Laporan Realisasi (LRA) Pemerintah Pusat yang disusun berdasarkan LRA Kementerian/Lembaga Negara, Laporan Arus Kas (LAK), dan catatan atas laporan keuangan (CALK) yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara maupun yayasan yang terkait dengan kedinasan. Hingga saat ini tidak ada konsistensi antara

20 besarnya dana yang ditransfer dari pusat dengan jumlah penerimaan dana oleh daerah maupun oleh satuan instansi pemerintahan serta badan pelayanan umum. Kelemahan yang kedua dari Sistem Keuangan Negara Orde Baru adalah tidak adanya suatu single treasury account yang terpadu sebagaimana diamanatkan oleh UU no. 1 Tahun 2004. Akibatnya, sebagaimana telah disebut di atas, uang negara disimpan pada berbagai rekening yang tersebar di banyak instansi negara termasuk ribuan individu pejabat negara. Individu pejabat negara yang sudah lebih dari sepuluh tahun meninggal dunia masih juga memiliki rekening deposito bank yang menyimpan uang negara. Uang negara yang disimpan dalam berbagai rekening pejabat negara itu tidak jelas statusnya dan tidak terintegrasi dengan rekening Bendahara Umum Negara (BUN). Akibat dari terseraknya penyimpanan uang negara di berbagai rekening instansi dan pribadi pejabat negara, Pemerintah tidak mengetahui posisi keuangannya sendiri dan dana itu tidak dapat dimanfaatkannya untuk mengatasi kesulitan likuiditasnya. Kelemahan ketiga sistem keuangan negara adalah kurang patuhnya pada undang-undang serta peraturan yang berlaku di bidang keuangan negara. Termasuk dalam kelompok ini adalah lembaga negara yang menetapkan pungutan sendiri, mengadministrasikannya dan menggunakannya sendiri pula. Hal itu dilakukan tanpa mengacu pada UU Penerimaan Negara Bukan Pajak dan tanpa sepengetahuan Departemen Keuangan sebagai bendahara negara. Kelemahan keempat adalah belum adanya gambaran yang utuh atas besarnya Sisa Anggaran Lebih (SAL). LRA melaporkan besarnya SAL per 31 Desember 2004 sebesar Rp31,56 triliun sedangkan neraca menyebutnya sebesar Rp25,59 triliun sehingga ada perbedaan yang tidak jelas sebesar Rp7 triliun.

5. BPK dalam pergaulan dunia Di lingkungan internasional, BPK telah meningkatkan kerjasama melalui ASOSAI (Asian Organisation of Supreme Audit Institutions) maupun INTOSAI beserta kelompok kerja kedua organisasi itu. BPK melakukan kerjasama dalam hal pemeriksaan, perumusan kebijakan, pertukaran informasi serta pengalaman maupun pelatihan dengan rekannya dari luar negeri, apakah melalui forum INTOSAI, ASOSAI maupun forum lainnya. BPK sekaligus menerima bantuan asing untuk meningkatkan kapasitasnya sendiri mutu sumber daya manusia (SDM), modernisasi peralatan maupun perombakan

21 organisasi menuju independensi dan kemandiriannya. Forum kerjasama dengan auditor negara lain semakin ditingkatkan setelah terjadinya gempa tektonik yang diikuti oleh gelombang tsunami yang melanda Provinsi NAD dan Sumut pada tanggal 26 Desember 2004. Sebagaimana diketahui gempa itu berkekuatan 9 skala richter dan terjadi akibat pergeseran lempengan tektonik Australia-Asia di sekitar 150 kilometer di Selatan Meulaboh. Gelombang tsunami yang ditimbulkannya telah melanda seluruh kawasan Lautan Hindia hingga ke Asia Selatan, Jazirah Arab dan Afrika. Bencana alam itu telah menelan korban sebanyak 160 ribu jiwa orang dan kerusakan dahsyat di Provinsi NAD dan Pulau Nias sehingga telah menarik simpati dan bantuan internasional. Pada waktu itu, Provinsi NAD juga tengah dilanda konflik bersenjata karena pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang sudah berlangsung selama hampir tiga puluh tahun. Untuk memulihkan kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri akan penyaluran bantuannya pada korban bencana alam di NAD dan Sumut, BPK telah melakukan audit atas bantuan tersebut. Dengan bantuan ADB (Asian Development Bank), BPK telah menyelenggarakan konferensi internasional tentang Promoting Financial Accountability in Managing Funds Related to Tsunami, Conflict and Other Disasters di Jakarta pada tanggal 25-27 April 2005. Konferensi itu dihadiri oleh 142 orang peserta dari enam negara yang mengalami bencana, 14 negara donor dan perwakilan 16 lembaga internasional. Konferensi itu antara lain menghasilkan kesepakatan untuk membantu BPK melakukan pemeriksaan, baik berupa pemberian bantuan teknis maupun kerjasama melakukan pemeriksaan. Bantuan teknis diberikan melalui Dewan Penasehat BPK (BPK Advisory Board) yang dengan jumlah anggota 12 orang dari 12 negara dan sudah bertemu dan memberikan nasehat kepada BPK pada bulan April 2006 di Jakarta. Menimba pelajaran dari Indonesia, pada tahun 2006, INTOSAI membentuk Task Force on Audit and Accountability of Disaster Related Aid yang diketuai oleh Ketua BPK Negeri Belanda dengan dua orang wakilnya yakni Ketua BPK Indonesia dan Korea Selatan. Salah satu pelajaran dari Indonesia adalah bahwa berbeda dengan di negara lain, seperti Sri Lanka dan Kashmir, Indonesia menggunakan bencana alam tersebut sekaligus memulihkan perdamaian dengan GAM berdasarkan perjanjian Helsinki pada Agustus tahun 2005.

22 Meneruskan yang sudah ada sejak tahun 2004, BPK menjadi Anggota Steering Committee dari The INTOSAI Working Group on Environmental Auditing (WGEA). Sampai dengan Kongres ke-10 ASOSAI di Shanghai pada September 2006, BPK menjadi salah satu dari auditornya. BPK sudah mulai diundang oleh lembaga-lembaga PBB untuk mencalonkan diri sebagai auditor eksternal. Walaupun akhirnya belum terpilih, BPK telah masuk dalam short list calon external auditor International Labor Office yang berkedudukan di Jenewa, Swiss, untuk periode 2008-2011. Dalam Seminar Ulang Tahun ke-60 bulan Januari 2007 y.l., BPK mengundang rekan-rekannya dari Australia, Brunei Darussalam, Iran, Malaysia, Rusia dan Thailand. Dari Rusia, BPK ingin mempelajari peranan auditor dalam negara yang mengalami transisi ke sistem demokratis. Sebagai Republik Islam yang pertama, Iran memberikan pengalamannya dalam mengelola akuntansi sistem keuangan yang berbasis Islam yang pada hakikatnya menjalankan prinsip bagi hasil. Malaysia juga sudah memiliki financial center yang berbasis Islam. Dengan negara tetangga BPK sekaligus telah menandatangani MOU untuk meningkatkan kerjasama mengenai hal-hal yang merupakan kepentingan bersama seperti audit kebakaran hutan, keselamatan pelayaran di Selat Malaka dan penanggulangan penyakit flu burung. BPK Thailand mengungkapkan dugaan penggelapan pajak dan transaksi yang bermasalah yang dilakukan oleh keluarga PM Thaksin Shinawatra selama masa pemerintahannya. Praktik KKN seperti ini telah menjadi salah satu alasan bagi pemakzulannya oleh angkatan bersenjata di negara itu. Dalam rangka STAR-SDP Project (State Audit Reform Sector Development Program) tahun 2005-2009, BPK menerima dana dari pinjaman ADB dan hibah dari Pemerintah Belanda guna meningkatkan mutu SDM, perluasan jaringan serta modernisasi sistem komputer dan perombakan organisasi guna mewujudkan kemandirian dan independensinya. Bantuan teknis dalam upaya peningkatan SDM berupa pelatihan dan beasiswa juga diterima oleh BPK dari Bank Dunia, USAID, AusAid, India, JICA, Negeri Belanda, Philipina, Swedia maupun ASOSAI serta INTOSAI. Amerika Serikat, Australia dan New Zealand memberikan kesempatan bagi auditor BPK untuk bekerja selama setahun pada lembaga pemeriksanya guna menimba ilmu dan pengalaman praktis. Perancis mengikut sertakan auditor BPK dalam penugasan PBB di negara-negara yang dilanda konflik bersenjata, seperti Kongo, Eritrera dan Kosovo. Dengan bantuan tenaga

23 pelatih asing, BPK melakukan kerjasama dengan instansi penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, KPK serta PPATK) dalam pelatihan audit investigasi.

Jakarta, 25 April 2007

24 Peranan dan Strategi Bpk dalam Pemberantasan Korupsi1

1. Pengantar

Pemberantasan korupsi memerlukan peningkatan transparansi serta akuntabilitas sektor publik dan dunia usaha. Pada gilirannya hal ini memerlukan upaya terpadu perbaikan sistem akuntansi dan sistem hukum guna meningkatkan mutu kerja serta memadukan pekerjaan lembaga pemeriksa dan pengawas keuangan (seperti BPK, Irjen, Bawasda dan PPATK) dengan penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, KPK maupun Kehakiman). Sebagaimana sudah kita alami sendiri, kelemahan dan korupsi dalam satu mata rantai kelembagaan itu telah membuat negara kita dewasa ini sebagai salah satu negara yang terkorup di dunia dan telah menyengsarakan rakyat sendiri. Akibat dari kelemahan dan ulah sendiri tersebut, perekonomian dan seluruh sendi-sendi kehidupan sosial kita telah runtuh sendiri pada tahun 1997-1998 itu. Timor Timur memisahkan diri dari NKRI dan Indonesia dianggap the sick man of Asia hingga saat sekarang ini. Makalah ini terdiri dari empat bagian. Bagian pertama memuat dampak buruknya sistem akuntansi dan sistem hukum bagi perekonomian nasional. Bagian kedua membahas peran BPK untuk memberantas korupsi. Bagian ketiga merupakan program reformasi BPK untuk meningkatkan perannya dalam perbaikan sistem keuangan negara dan BUMN maupun meningkatkan kualitas pemeriksaannya dalam rangka pemberantasan korupsi itu. Bagian terakhir menguraikan reformasi yang dilakukan oleh BPK dalam sistem politik yang beralih dari sistem otoriter Orde Baru ke sistem demokrasi serta peralihan sistem pemerintahan sentralistis Orde Baru ke otonomi daerah yang luas dewasa ini.

2. Rapuhnya fundamental ekonomi dan stagnasi perekonomian nasional

Dampak dari buruknya fundamental perekonomian, berupa sistem akuntansi serta sistem hukum tersebut, sudah kita rasakan dewasa ini. Laporan keuangan negara maupun

1 Keynote Speech pada Seminar “Sinergi Pemberantasan Korupsi: Peranan PPATK dan Tantangan Asset Recovery” dalam rangka Ulang Tahun ke-4 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ruang Chandra, Gedung Bank Indonesia Lt. 6, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa, 4 April 2006, pukul 9:00 WIB.

1 badan usaha di Indonesia yang kurang transparan dan kurang akuntabel sebelum krisis tahun 1997 tidak dapat dijadikan pegangan untuk mengetahui dan mengantisipasi keadaan serta menjadi dasar dalam pengambilan keputusan. Semua bank di rekapitalisasi karena tidak dapat dibedakan mana yang masih viable dan mana yang tidak. Biaya rekapitalisasi perbankan dan pembersihan kredit bermasalah perbankan nasional seluruhnya digeser menjadi tanggungan negara sehingga menjadi beban rakyat yang tidak berdosa. Biaya tersebut mencapai sekitar Rp640 triliun atau setara dengan 50% dari nilai PDB kita pada tahun 1999. Diukur dari persentase terhadap PDB itu, biaya krisis perbankan di Indonesia merupakan yang termahal di seluruh dunia dalam sejarah manusia, mulai dari Nabi Adam hingga generasi kita sekarang ini. Sejak delapan tahun terakhir, anggaran negara tidak dapat dipergunakan sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi karena besarnya porsi pengeluaran negara untuk melunasi beban hutang pemerintah, membayar subsidi dan mengatasi konflik horisontal di berbagai daerah. Karena kurangnya anggaran, infrastruktur ekonomi kita sudah lama tidak terurus, kesehatan masyarakat dan pendidikan nasional sudah lama kurang terpelihara. Kredit perbankan nasional tidak dapat ditingkatkan karena sebagian besar dari modal dan portepelnya adalah berupa surat utang negara (SUN), SBI dan Fasbi. Karena masih sempit dan dangkalnya pasar SUN, menyebabkan surat berharga itu kurang likuid. Sementara itu, upaya menggerakkan ekonomi melalui peningkatan ekspor dan investasi swasta tersendat karena rendahnya produktivitas ekonomi nasional dan buruknya iklim investasi. Kalaupun ada peningkatan ekspor hanya terjadi karena adanya kenaikan harga komoditas primer di pasar dunia dan bukan karena peningkatan daya saing. Akibatnya pengangguran tenaga kerja menjadi semakin meningkat. Kurang seriusnya kita memperbaiki sistem hukum dan sistem akuntasi itu juga telah sekaligus menghambat pemulihan kegiatan perekonomian nasional setelah terjadinya krisis tahun 1997-1998. Setelah mengalami krisis, negara lain segera berupaya meningkatkan transparansi dan akuntabilitas sistem akuntansinya sebagai bagian dari peningkatan kualitas pengelolaan keuangan negara (good and clean government) maupun pengelolaan badan usahanya (good corporate governance). Setelah terjadinya rangkaian skandal dunia usaha (seperti Dotcom dan Enron) Amerika Serikat menyempurnakan sistem akuntansinya dengan mengintrodusi the Sarbannes-Oxley Act tahun 2002. Dalam

2 industri perbankan, transparansi itu meliputi pengetatan aturan prudensial (seperti the Basel core principles), penyempurnaan sistem pembukuan dan peningkatan keterbukaan (disclosures) untuk mewujudkan akuntabilitas semua pihak terkait: otoritas atau pejabat pengatur, pemegang saham, nasabah maupun industri perbankan itu sendiri. Nasabah kredit bank juga dipaksa agar menjadi lebih transparan dan akuntabel. Sistem hukum ditingkatkan agar dapat menjadi lebih efektif dan efisien dalam menyelesaikan konflik kepentingan secara adil sehingga tidak bertele-tele dan tidak perlu memaakai cara ancam- mengancam ataupun menggunakan jasa debt collectors. Di negara lain, kualitas bankir ditingkatkan melalui proses pengujian kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) maupun pendidikan berjenjang. Para pelaku kejahatan maupun pejabat yang bertanggung jawab penyebab krisis dihukum berat. Sedangkan Korea Selatan telah menghukum dua mantan presiden, mantan Pangab dan Jenderal Bintang 4, beserta kerabatnya karena terlibat KKN. Di negara lain, bankir bermasalah dikenakan hukuman penjara atau dilarang menjadi pengurus ataupun pemilik pengendali bank.

3. Lambannya perbaikan sistem akuntansi dan sistem hukum di Indonesia

Di lain pihak, Indonesia dewasa ini belum banyak kemajuan dalam perbaikan sistem akuntansi dan sistem hukum maupun dalam meningkatkan mutu personil bankir, pengusaha serta birokratnya. Pihak-pihak yang ikut bertanggung jawab terjadinya krisis di Indonesia masih banyak yang belum disentuh hukum. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang mendapatkan opini disclaimer sejak tahun 2004. Praktik buruk Orde Baru yang menyimpan uang negara atas nama pribadi pejabat Depkeu (termasuk yang sudah lama meninggal dunia) masih terus berlanjut. Berbagai penerimaan negara bukan pajak maupun piutang lainnya belum dilaporkan dan dimasukkan ke kas negara. Yang lebih menyedihkan lagi adalah bahwa Menteri Keuangan sendiri menganggap enteng hal seperti ini dan mengatakan Don’t worry, be happy. Padahal, APBN dan perekonomian nasional sudah lama ambruk dan rakyat sudah lama menderita. Akibat buruknya administrasi dan kondisi keuangan negara dan perekonomian tersebut, rating kita di pasar internasional masih tetap rendah sehingga kupon surat utang negara yang kita tawarkan di pasar internasional tetap relatif tinggi dan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak

3 serta retribusi sulit untuk ditingkatkan. Walaupun Ditjen Pajak telah dapat meningkatkan jumlah pemilik Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sebesar empat kali lipat dalam waktu sebulan, tax ratio Indonesia tidak bergeming dari tingkat 13-14% dari PDB. Sementara itu, komitmen nasional untuk melakukan restrukturalisasi industri perbankan dalam rangka program IMF mulai ditinggalkan satu demi satu. Bankir yang sudah tercemar, kini diperbolehkan kembali menjadi pengurus serta pemilik pengendali bank. Sebagian bankir BUMN dan politisi kita mulai mengemukakan secara terbuka keberatan mereka atas pengumuman nama nasabah kredit bermasalah bank-bank negara dalam laporan audit BPK. Ada pula yang berkeinginan agar BPK tidak memeriksa BUMN, termasuk bank-bank negara. Alasan pihak yang mengkritisi Laporan Pemeriksaan BPK itu antara lain karena pengumuman seperti itu melanggar UU Kerahasian Bank dan UU Perbankan Tahun 1998. Menurut mereka, pengumuman seperti itu sekaligus mendorong nasabah yang namanya diumumkan itu akan pindah ke bank- bank lain. Tuduhan seperti itu tidak benar karena pemuatan nama nasabah kredit bermasalah tersebut adalah dalam rangka peningkatan keterbukaan (disclosures), tidak melanggar undang-undang kerahasian bank maupun dengan Pasal 33 UU Perbankan Tahun 1998. Pengumuman nama nasabah penunggak kredit sudah dimulai oleh BPPN sejak awal berdiri pada tahun 1988 hingga masa akhir tugasnya pada tahun 2003. Dari daftar nama BPPN itu terungkap bahwa sebagian besar dari penerima kredit murah dari bank-bank negara, dan yang tidak melunasi hutangnya, adalah pihak yang erat kaitannya dengan praktik KKN penguasa politik Orde Baru. Sungguh bertolak belakang dengan pemerataan yang diindoktrinasikan dalam Penataran P-4 selama masa pemerintahan itu. Nasabah yang tidak melunasi hutangnya yang disebut namanya dalam Laporan Pemeriksaan BPK itu bukanlah nasabah yang berharga (nonvalued customers) dan, karena reputasinya yang buruk, akan sulit mendapatkan kredit dari bank lain. Biasanya, nasabah yang baik pindah dari satu ke bank lain adalah karena pelayanan banknya yang lama kurang baik dan produknya yang terbatas. Karena tidak bankable di tempat lain, nasabah yang diumumkan namanya dalam Laporan Pemeriksaan BPK itu justru berusaha memperbaiki citranya dengan semakin melunasi hutangnya kepada bank-bank negara

4 tersebut2. Dalam hal yang terakhir ini, bank sentral serta bank-bank negara seyogyanya berterimakasih kepada BPK yang secara tidak langsung berfungsi sebagai penagih hutang (debt collector). Alasan kedua pihak yang mengkritisi Laporan Audit BPK adalah bahwa disclosures akan menghambat ekspansi kredit oleh bank-bank BUMN. Padahal, hambatan terbesar dari ekspansi kredit BUMN adalah karena struktur portepelnya yang kurang likuid, seperti yang disebut di atas. Sementara itu, sebagaimana disebut di atas, Laporan BPPN mencerminkan bahwa cukup besar porsi kredit bank-bank negara di masa lalu yang diberikan berdasarkan KKN dan bukan berdasarkan analisis kredit berdasarkan kemampuan, karakter, kolateral maupun ketersediaan modal pemohon kredit. Cukup besar pula porsi kredit bank-bank negara tersebut yang digunakan untuk menambah kapasitas terpasang, yang selain tidak produktif juga hanya menyumbang pada peningkatan kredit bermasalah (NPL) dengan biaya yang digelembungkan atau di mark up pula. Sebagian dari kredit bank negara masa Orde Baru digunakan oleh penerimanya untuk pelarian modal ataupun melakukan ekspansi usahanya di luar negeri. Skandal L/C fiktif di Bank BNI tahun 2003 adalah pencurian dan bukan kredit. Pengkritik Laporan Pemeriksaan BPK itu pun tidak faham struktur BUMN di Indonesia yang sangat berbeda dengan di negara-negara lain yang lebih maju dan teratur. Di negara lain modal BUMN memang merupakan uang negara yang dipisahkan dan kerugiannya tidak lagi merupakan kewajiban kontijensi negara. Pengurusnya pun akuntabel dan bertanggung jawab penuh kepada prestrasi kerja perusahaan yang diurusnya. Sebaliknya, walaupun BUMN di Indonesia sudah go public, Pemerintah masih tetap memiliki golden share dalam perusahaan itu. Artinya, Pemerintah Indonesia masih memiliki kekuasaan yang dominan dalam menentukan pengurus maupun arah kebijakan perusahaan itu. Dengan demikian, segala kerugiannya merupakan kewajiban kontijensi pemerintah. Lihatlah misalnya Bank BNI yang sudah go public jauh sebelum krisis tahun 1997-1998. Pengurusnya masih tunjukan pemerintah dan pemberian kreditnya pun tidak beda dengan sebelum go public kental dengan nuansa KKN. Setelah krisis tahun 1997- 1998 masih juga terjadi skandal L/C fiktif pada tahun 2003 yang menambah beban

2 Peningkatan pelunasan hutang kepada negara setelah diperiksa oleh BPK juga terjadi pada beberapa dari 16 bank-bank yang dilikuidasi pada tahun 1997.

5 rakyat. Belum ada satu pun pengurus BUMN pada era krisis dan pada masa skandal sesudahnya yang sudah masuk penjara sesuai dengan Undang-Undang Perbankan yang disebut di atas. Tanpa adanya perbaikan sistem hukum dan sistem akuntansi itu, tidak mungkin kita dapat meningkatkan efisiensi perekonomian dan badan usaha nasional. Peningkatan efiensi seperti ini akan memungkinkan perekonomian dan badan usaha nasional kita mampu berperan dalam era globalisasi dan dapat bersaing di pasar nasional maupun pasar dunia. Lihatlah prestasi kantor cabang bank-bank nasional kita atau Indover, bank milik BI, di luar negeri. Hampir seluruhnya merupakan proyek rugi, menghamburkan aset bangsa karena hanya mengandalkan penempatan dana dari kantor pusatnya di Indonesia. Hampir semua kredit yang diberikan oleh kantor-kantor cabang di luar negeri itu menjadi bermasalah dan cukup besar yang diberikan kepada nasabah-nasabah di Indonesia atas dasar KKN yang dalam istilah sekarang dapat disebut sebagai money laundering. Kita bercita-cita membuat Bank BNI atau bank milik nasional lainnya setidaknya dapat menyamai Development Bank of Singapore (DSB) yang mampu bersaing di pasar regional dan internasional. Kita juga ingin melihat perusahaan penerbangan kita mampu bersaing dengan Silk Air jika belum mampu menyaingi Singapore Airlines. Untuk merubah citra perusahaan, tidak cukup hanya dengan sekedar merubah logo yang banyak membuang uang. Citra hanya dirubah melalui peningkatan kualitas pelayanan, ekspansi dan perolehan keuntungan usaha.

4. Peran BPK dalam usaha pemberantasan tindak pidana korupsi

Ada berbagai peran yang dilakukan oleh BPK untuk ikut memberantas korupsi dalam menjalankan fungsinya sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa keuangan negara. Peran yang pertama adalah untuk meningkatkan kualitas pemeriksaannya. Pemeriksaan BPK terdiri dari dua kelompok besar. Kelompok pertama, adalah berupa pemeriksaan secara umum (keuangan, kinerja, atau pemeriksaan lainnya). Kelompok kedua adalah pemeriksaan khusus yang ditujukan untuk mendeteksi terjadinya tindak korupsi melalui pemeriksaan investigasi dan pemeriksaan khusus (investigative and fraud audit).

6 Pemeriksaan investigasi dan pemeriksaan khusus itu dilakukan oleh BPK mulai tahun 1999 berkenaan dengan pemeriksaan BLBI. Laporan Pemeriksaan atas BLBI itu telah oleh BPK kepada DPR dan Kejaksaan Agung pada tanggal 4 Augustus 2000. Tindak lanjut Laporan Pemeriksaan BPK tersebut sangat lambat, baik untuk menghukum para pelakunya maupun para pejabat negara yang terlibat. Pelacakan pelarian modal periode krisis, 1997-1998, pun tidak pernah dilakukan, apalagi recovery-nya. Padahal, sangat mudah dan murah untuk melakukan pelacakan pelarian modal hasil korupsi dan BLBI itu dengan meminta daftar nama orang yang memindahkan uangnya keluar negeri pada periode itu yang disimpan pada tape computer beberapa bank devisa utama yang berkantor di Jakarta. Asal kita serius, penegak hukum negara lain pun bersedia membantu recovery hasil korupsi dan BLBI yang dilarikan dari Indonesia itu. Selama tahun 2005, BPK telah menyampaikan kurang lebih 14 temuan yang mengindikasikan terjadinya tindak pidana korupsi kepada Kejaksaan Agung dengan nilai temuan sebesar Rp2,9 triliun dan US$ 39,08 juta. BPK melaporkan secara khusus hal-hal yang diduga mengandung aspek kriminal kepada penegak hukum. Yaitu pada Kejaksaan Agung, Kepolisian maupun KPK. Penerima utama Laporan Pemeriksaan BPK adalah DPR tingkat nasional serta DPRD Provinsi serta Kabupaten/Kota. Ketiga tingkat DPR itu merupakan pemegang hak bujet di daerahnya masing-masing. Laporan Pemeriksaan BPK juga dimuat selengkapnya di website-nya untuk dapat diketahui dan dikritisi oleh umum. Peran kedua yang dilakukan oleh BPK adalah untuk ikut mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Peran ini dilakukan BPK melalui partisipasi aktif dalam perombakan sistem administrasi keuangan negara yang sangat tidak transparansi dan tidak akuntabel selama masa Orde Baru. Sebagaimana diketahui, anggaran negara dalam masa Orde Baru dibagi dalam dua bagian, yakni anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Anggaran rutin dikontrol oleh Ditjen Anggaran sedangkan Anggaran Pembangunan dikendalikan oleh Bappenas. Anggaran pembangunan juga meliputi suplemen anggaran rutin seperti honor dan gaji maupun biaya perjalanan pelaksana proyek. Di samping anggaran resmi juga ada anggaran nonbujeter yang bersumber dari yayasan, dana pensiun, koperasi/badan usaha. Baik modal awal maupun kegiatan usaha

7 instansi ataupun perusahaan satelit, pada hakikatnya, adalah bersumber dari induk instansinya. Tiga Paket UU di Bidang Keuangan Negara3 yang dikeluarkan tahun 2003 – 2004 telah memberikan design sistem akuntabilitas keuangan negara yang memadai. Tidak ada lagi pemisahan antara anggaran rutin dengan anggaran pembangunan sedangkan anggaran nonbujeter semakin ditiadakan. Tiga UU tersebut ditambah dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan telah merubah jenis dan format laporan keuangan negara, memberlakukan sistem akuntansi berpasangan, menggunakan sistem akuntansi yang terpadu dan terkomputerisasi, dan menerapkan desentralisasi pelaksanaan akuntansi secara berjenjang. Sebagaimana telah disebut di atas, temuan oleh BPK selama pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2004 menggambarkan bahwa sistem akuntabilitas keuangan negara yang diatur dalam ketiga paket UU tersebut belum sepenuhnya berjalan. Sebagaimana telah disebut di atas, BPK tidak dapat menyatakan pendapat atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun 2004 karena adanya kelemahan-kelemahan signifikan dalam sistem pengendalian intern serta ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dalam penyajian laporan keuangan tahun 2004. Beberapa temuan signifikan yang diperoleh BPK adalah belum berjalannya sistem akuntansi pemerintahan dengan baik. Dewasa ini, terdapat 957 rekening pribadi (termasuk yang sudah lama meninggal dunia) yang menyimpan uang negara dengan nilai sebesar Rp20,55 triliun. Berbagai penerimaan negara (PNBP) dan piutang negara lainnya yang tidak dilaporkan dan disetorkan ke kas negara. Contohnya adalah berupa denda pengganti hukuman yang dipungut oleh Kejaksaan Agung sebesar Rp6,6 triliun. Sudah menjadi pengetahuan umum dan ditemukan oleh pemeriksaan BPK berbagai penyelewengan atas penjualan tanah negara, royalti penambangan ataupun iruan hasil hutan ataupun dana pemeliharaan lingkungan oleh perusahaan pertambangan dan perkayuan. Di lain pihak, Australia negara yang jauh lebih kaya daripada Indonesia, telah menjual gedung Kedubesnya di Tokyo pada dasawarsa 1980-an untuk melunasi pembayaran hutang luar negerinya.

3 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

8

5. Reformasi BPK

Hal ketiga yang dilakukan oleh BPK dalam meningkatkan peran sertanya dalam pemberantasan korupsi adalah melakukan reformasi dan membangun kembali lembaga itu. Reformasi BPK dimuat secara lengkap dalam Rencana Strategis 2006-2010. Sama dengan lembaga negara lainnya, BPK dewasa ini juga tengah mengalami proses reformasi. Reformasi tersebut terjadi akibat, pertama, dari perubahan sistem politik kita dari sistem otoriter Orde Baru ke sistem politik yang demokratis. Kedua, adanya perubahan dari sistem pemerintahan yang sentralistis pada masa Orde Baru ke sistem dengan otonomi daerah yang luas dewasa ini. Dalam sistem politik dan sistem pemerintahan yang baru itu, Pasal 23 E Perubahan UUD 1945 menuntut BPK untuk dapat memeriksa setiap sen uang negara darimana pun sumbernya, di mana pun disimpan dan untuk apapun dipergunakan. UUD 1945 dan UU No. 15 Tahun 2004 menugaskan BPK melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan ketiga tingkat pemerintahan. Pusat, provinsi dan kabupaten/kotamadya di seluruh Indonesia. Dalam segi kelembagaan, BPK berusaha untuk menjadi suatu lembaga pemeriksa yang benar-benar independen, bebas dan mandiri, sesuai dengan harapan UUD 1945. Di masa pemerintahan otoriter, baik pada masa pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru, BPK berada di bawah kendali eksekutif. Kendali cabang pemerintahan eksekutif pada BPK tercermin dalam hal pemilihan anggota, pengaturan organisasi, karyawan, penetapan anggaran, pembatasan objek pemeriksaan dan penetapan metodologi pemeriksaan. Di masa itu, pemutahiran laporan pemeriksaan BPK dikonsuiltasikan dengan pemerintah agar tidak menganggu stabilitas politik. Setelah lebih dari 60 tahun Indonesia merdeka, kini BPK baru memiliki kantor perwakilan di 14 provinsi dan 5 di antaranya baru dibuka tahun 2005 y.l. termasuk di provinsi besar seperti Jawa Barat dan Jawa Timur. Kantor-kantor perwakilan baru itu menggunakan fasilitas yang sangat terbatas milik Pemda. Jumlah karyawan BPK hanya sepertiga dari karyawan BPKP dengan kualitas pendidikan yang lebih rendah pula. Perubahan sikap, mental dan moral pemeriksa BPK merupakan kunci sukses perubahannya. Untuk itu dilakukan melalui empat cara. Cara yang pertama adalah

9 menerapkan kode etik dan menegakkan aturan yang berlaku dengan lebih tegas. Sesuai dengan aturan dan kode etiknya, pemeriksa BPK tidak boleh mengungkapkan informasi yang diperolehnya dari pemeriksaannya kepada pihak lain di luar BPK. Pengungkapan laporan pemeriksaan dilakukan oleh BPK sebagai dan dan bukan oleh individu perseorangan ketua, anggota maupun karyawannya. Sebagaimana disebut di atas, ada tatacara penyampaian dugaan perbuatan kriminal kepada penegak hukum. Pemeriksa BPK bukan whistle-blower karena informasi itu ia peroleh adalah semata-mata karena kewenangan yang diperolehnya secara hukum sebagai pejabat ataupun petugas BPK. Pengungkapan informasi tentang auditee sewenang-wenang kepada pihak lain adalah bagaikan seorang Pastor Katolik Roma yang menceritakan kepada pihak lain aib jemaah yang mengaku dosa kepadanya. Cara kedua adalah menjatuhkan hukuman, termasuk pemberhentian dengan tidak hormat, auditor BPK yang diketahui menerima uang suap dari auditee. Untuk pertama kali dalam sejarahnya, BPK telah memecat karyawannya pada tahun 2005 yang terbukti menerima suap pemeriksaan Dana Abadi Umat, Departemen Agama. Cara ketiga untuk merubah moral pemeriksa BPK adalah dengan mengupayakan perbaikan penghasilan karyawan dan memberikan tanda jasa serta kenaikan pangkat dipercepat kepada auditor berprestasi. Dengan bantuan tambahan anggaran dari DPR dan pemerintah, mulai tahun 2005, BPK tidak lagi menerima dana pemeriksaan dari auditee. Mulai tahun 2006, penghasilan auditor BPK sudah dapat ditingkatkan sehingga setara dengan penghasilan karyawan Departemen Keuangan maupun BPKP. Tambahan anggaran untuk modernisasi peralatan komputer, gaji dan pendidikan lanjutan di luar negeri maupun tenaga ahli untuk pendidikan audit investigasi serta fraud audit dan penyusunan rencana strategis diperoleh dari sumbangan organisasi internasional maupun berbagai lembaga pemberi bantuan asing. Cara keempat adalah dengan melakukan rotasi kerja di antara pemeriksa agar tidak sempat mempunyai hubungan emosional dengan auditee yang diperiksanya. Sebagai otoritas pemeriksa keuangan negara, BPK berwenang mengeluarkan peraturan terkait pemeriksaan keuangan negara, menguji dan mengambil sumpah Kantor Akuntan Publik (KAP) yang melakukan pemeriksaan keuangan negara serta memeriksa hasil kerjanya. Secara teknis, BPK akan membina pengawas internal, termasuk Irjen dan

10 Bawasda, yang menjadi mitra kerjanya. Pendelegasian wewenang seperti ini sangat penting karena selain tidak akan mampu, BPK pun tidak perlu melakukan sendiri audit semua lembaga dan organisasi pemerintahan, termasuk BUMN dan BUMD. Sebagian besar dari pekerjaan audit tersebut akan didelegasikan kepada KAP sedang BPK akan berkonsentrasi pada audit objek-objek pemeriksaan yang sangat penting dan strategis saja. UUD 1945 sekaligus memberikan kewenangan legislasi kepada BPK. Kewenangan quasi-judicial seperti itu memberikan kewenangan kepada BPK untuk menetapkan ganti rugi kerugian negara dalam hal pelanggaran administrasi keuangan negara.

Pemerintah Orde Baru sangat membatasi objek pemeriksaan BPK. Di masa itu, Bank Indonesia, Pertamina, bank-bank negara dan berbagai BUMN lainnya bukan merupakan objek pemeriksaan BPK. Tanpa seijin Menkeu dan Dirjennya sendiri, BPK tidak dapat memeriksa Ditjen Pajak dan Bea Cukai. Demikian juga dengan BUMN yang sudah go public maupun yayasan yang terkait dengan kedinasan. Dewasa ini objek pemeriksaan BPK diperluas meliputi seluruh aspek keuangan negara, sejalan dengan amanat UUD 1945 dan Paket UU tentang Keuangan Negara yang telah disebut di atas. Mengingat luasnya objek pemeriksaannya dan terbatasnya kemampuannya, prioritas audit BPK dewasa ini diarahkan pada aspek pengeluaran dan penerimaan negara dan Pemda terpenting. Pada sisi pengeluaran, pemeriksaan BPK diprioritaskan pada objek-objek yang sangat membebani keuangan negara, seperti bank-bank pemerintah, Pertamina, Bank Indonesia, serta BUMN lainnya. Priotas kedua adalah pengeluaran negara yang rawan KKN, seperti pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah. Sebagai contoh, tidak mungkin Indonesia memiliki angkatan bersenjata yang tangguh jika dikorupsikan anggaran yang terbatas untuk membeli peralatan. Tidak mungkin prajurit mau mengikuti perintah komandan yang menilap anggaran kesatuan termasuk asuransi dan tabungan hari tuanya. Prioritas ketiga pemeriksaan BPK adalah sektor-sektor yang strategis bagi perekonomian dan penting bagi hajat hidup orang banyak, seperti Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Bulog dan Perusahaan Listrik Negara. Pada sisi penerimaan, pemeriksaan BPK

11 diprioritaskan pada penerimaan pajak, penerimaan negara nonpajak, penjualan aset negara dan Pemda, termasuk divestasi aset PPA, dan tukar guling aset negara.

12 Sistem Sosial Indonesia1

1. Pendahuluan Kedudukan BPK sebagai suatu lembaga negara sendiri sangat penting dan strategis dalam membantu Bangsa Indonesia mewujudkan cita-cita reformasi sistem sosial. Tugas BPK adalah untuk memelihara transparansi dan akuntabilitas seluruh aspek keuangan negara. BPK bertugas untuk memeriksa sejauh mana laporan keuangan negara telah disajikan sesuai dengan kaidah akuntansi yang berlaku, sejauh mana keuangan negara telah dikelola secara efektif dan efisien, dan apakah semua ketentuan perundang-undangan mengenai pengelolaan keuangan negara telah dipenuhi dalam mengelola negara. Untuk menjalankan amanah rakyat sebagaimana tertulis dalam UUD 1945 tersebut jelas sekali bahwa sebuah badan pemeriksa yang profesional, mandiri, independenden, dan unggul dalam hal teknologi pemeriksaan sangat diperlukan di samping perlu juga didukung oleh regulasi mengenai keuangan negara yang lebih baik. Kenyataan menunjukkan bahwa selama jaman Orde Baru yang lalu, lembaga BPK telah dikerdilkan sebagaimana nampak dengan banyaknya hambatan dan larangan untuk memeriksa departemen pemerintah serta BUMN-BUMN. BPK di masa itu tidak lebih dari ‘tukang stempel’ keinginan pemerintah. Agar tidak mengganggu ‘stabilitas nasional’, laporan hasil pemeriksaan BPK disesuaikan dengan selera pemerintah. Namun sejarah telah menunjukkan bahwa buruknya tata kelola keuangan negara dalam masa Orde Baru menjadi salah satu faktor penting penyebab terjadinya krisis ekonomi Indonesia pada tahun 1997- 1998. Sejarah juga menunjukkan bahwa setelah kita memasuki era reformasi pun buruknya transparansi dan akuntabilitas fiskal serta belum baiknya governance BUMN dan BUMD secara bersama-sama menjadi penyebab lambannya pemulihan kegiatan ekonomi Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir. Transparansi dan akuntabilitas keuangan negara merupakan kunci untuk mewujudkan empat aspek sasaran perbaikan sistem sosial Indonesia, terutama sejak era reformasi setelah runtuhnya pemerintahan Orde Baru. Sasaran yang pertama reformasi itu adalah untuk menggantikan sistem politik yang otoriter dengan demokrasi. Demokrasi politik bukan saja meniadakan peran aktif TNI/POLRI dalam kancah politik, menjamin kebebasan bersuara dan berserikat, menyelenggarakan pemilihan umum yang jujur serta adil secara periodik. Namun,

1 Makalah kuliah umum di Universitas Tanjungpura, Pontianak pada tanggal 3 Maret 2007. demokrasi juga menuntut transparansi dan akuntabilitas keuangan negara agar rakyat melalui DPR/DPRD dapat menggunakan hak bujetnya. Sasaran kedua reformasi adalah untuk menggantikan sistem pemerintahan yang sentralistis dengan memberikan otonomi luas kepada kabupaten/kota. Sistem sosial Indonesia yang majemuk memerlukan transparansi dan akuntabilitas fiskal sebagai perekat bagi terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia agar tidak ada rasa curiga maupun kecemburuan antara satu kelompok dan daerah dengan kelompok dan daerah lainnya. Sasaran ketiga dari reformasi adalah untuk menggantikan sistem ekonomi yang mengandalkan perencanaan terpusat dan campur tangan pemerintah yang berlebihan dengan sistem yang semakin banyak menggunakan mekanisme pasar dan memasuki persaingan global. Sistem perencanaan terpusat dan campur tangan pemerintah yang berlebihan di masa lalu itu telah menghasilkan distorsi dan inefisiensi maupun korupsi, kolusi dan nepotisme. Sebaliknya, mekanisme pasar hanya dapat berjalan secara efektif dan efisien jika ada transparansi dan akuntabilitas pelaku ekonomi, termasuk negara. Liberalisasi, deregulasi, privatisasi Orde Baru hanya memindahkan hak monopoli dari sektor negara kepada segelintir kroni penguasa yang tidak punya modal, keahlian, maupun pengalaman. Jika di negara lain, liberalisme dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas ekonomi nasional, di Indonesia justru menimbulkan inefisiensi yang berujung pada krisis ekonomi tahun 1997-1998. Sasaran keempat adalah untuk meningkatkan governance dunia usaha nasional, utamanya BUMN/BUMD, agar mampu bersaing di pasar global. Transparansi dan akuntabilitas perekonomian, termasuk keuangan negara, sekaligus merupakan prasyarat bagi perekonomi nasional agar mampu bersaing di pasar dunia. Tanpa adanya informasi yang akurat dan terbuka mengenai keuangan negara, tidak mungkin pemerintah dapat menjual obligasi atau surat utang di pasar keuangan nasional dan internasional guna menutup defisit anggarannya. Para calon investor dan kreditur tentu saja tidak ingin berisiko menginvestasikan ataupun meminjamkan dananya ke lambaga atau kegiatan yang sama sekali tidak mereka ketahui (gelap).

2. Pemulihan independensi dan kemandirian BPK Berangkat dari kondisi BPK seperti pada masa Orde Baru tersebut serta adanya empat tujuan reformasi sistem sosial yang harus dicapai, dari manakah pembaharuan dari sisi pemeriksaan keuangan harus dimulai? Sebagai negara yang mengakui supremasi hukum, pemberdayaan BPK dan perbaikan infrastruktur sistem keuangan negara Indonesia hanya bisa dilakukan jika ada regulasi baru Yang memungkinkan untuk itu. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, upaya perbaikan tata kelola keuangan negara telah dimulai dengan diterbitkannya Paket tiga Undang-Undang Keuangan Negara tahun 2003-2004. Dari sudut pemeriksaan, UU No. 5 Tahun 1973 juga telah diganti dengan UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK. Penerbitan UU baru tersebut telah memulihkan kembali independensi dan kemandirian BPK secara formal. UU BPK yang baru tersebut sudah lebih dekat dengan keinginan independensi serta kemandirian lembaga pemeriksa keuangan sebagaimana diharapkan oleh Deklarasi Lima yang dihasilkan oleh Kongres IX INTOSAI2, organisasi BPK sedunia, di kota Lima, Peru, pada bulan Oktober 1977. Independensi BPK bukan saja menyangkut organisasinya yang secara formal adalah berada di luar cabang eksekutif, legislatif maupun judikatif pemerintahan. Independensi BPK, menurut Deklarasi Lima, seyogyanya juga tercermin dalam hal independensi personilnya dalam pengambilan keputusan, independensi dalam bidang keuangan serta anggaran. Independensi BPK seharusnya tercermin dalam hal kewenangannya untuk melakukan pemeriksaan pada semua sumber penerimaan negara termasuk penerimaan pajak maupun bukan pajak. Regulasi baru tersebut juga mempertegas dan memperjelas cakupan pemeriksaan BPK, yaitu mencakup seluruh aspek keuangan negara. Di negara seperti di Indonesia, keuangan negara bukan saja meliputi APBN tapi juga meliputi anggaran nonbujeter serta BUMN/BUMD, yayasan maupun perusahaan yang terkait dengan kedinasan serta lembaga swasta yang mendapatkan subsidi dari negara. Ada dua alasan penggunaan definisi keuangan negara yang luas itu. Pertama adalah karena praktik dari zaman revolusi kemerdekaan di mana tiap unit pasukan tentara dan pemerintah sipil, dengan Doktrin Perlawanan Rakyat Semesta, mencari dana sendiri, masih tetap dilanjutkan oleh pemerintah Orde Baru. Alasan kedua adalah karena sektor negara di Indonesia bukan saja memproduksi jasa-jasa publik ataupun public goods. Pada saat yang sama, negara juga memiliki badan usaha yang menghasilkan private goods ataupun mixed goods yang merupakan kombinasi dari keduanya. Karena negara sekaligus memproduksi ketiga jenis komoditi itu, keuangan negara di Indonesia bukan saja tercermin dalam APBN, tapi juga pada BUMN/BUMD, yayasan maupun badan usaha lainnya yang terkait dengan kedinasan. Badan pelayanan umum milik swasta, seperti sekolah, rumah sakit dan panti asuhan serta lembaga sosial lainnya juga mendapat subsidi dari negara.

2 INTOSAI-The International Organization of Supreme Audit Institutions. SEBAGIAN dari public goods, seperti perkara perdata maupun administrasi nikah, talak dan rujuk, dapat diidentifikasikan siapa yang menikmatinya. Oleh karenanya, biaya yang menikmati public goods seperti itu dapat dibebankan langsung kepada penggunanya. Penerimaan negara dari kegiatan seperti ini disebut sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Pada saat ini, berbagai instansi pemerintah memuat aturan sendiri untuk melakukan pungutan tanpa merujuk pada UU PNBP yang berlaku dan tanpa seijin DPR serta Departemen Keuangan sebagai Bendahara Negara. Pungutan liar seperti itu sekaligus diadministrasikan oleh instansi yang bersangkutan dan dipergunakannya tanpa dipertanggungjawabkan pada DPR sebagai pemegang hak bujet. Menurut UU No. 15 Tahun 2004, BPK wajib menyerahkan laporan pemeriksaan-nya kepada Lembaga Perwakilan Rakyat (DPR, DPD dan DPRD). Segera setelah diserahkannya kepada lembaga-lembaga perwakilan rakyat itu, BPK wajib untuk memuatnya dalam website agar dapat di akses oleh masyarakat luas. Hal-hal yang mengandung unsur pidana dilaporkan oleh BPK kepada penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan KPK-Komisi Pemberantasan Korupsi). Pada gilirannya pemerintah, lembaga-lembaga perwakilan dan para penegak hukum tersebut menindaklanjuti temuan pemeriksaan serta rekomendasi BPK. Sebagai lembaga legislatif yang memiliki hak bujet, DPR dan DPRD dapat menerbitkan undang- undang dan mendesak pemerintah untuk memperbaiki sistem pengelolaan uang serta asetnya. Lembaga perwakilan rakyat juga dapat meneruskan kasus tindakan kriminal untuk diusut lebih lanjut oleh penegak hukum. Selain memulihkan hak independensi dan kemandirian BPK, UU No 15 Tahun 2006 tersebut sekaligus semakin membuka BPK agar juga menjadi transparan dan akuntabel. Keterbukaan BPK tercermin dari setidaknya empat hal. Pertama, pemuatan laporan pemeriksaannya secara utuh pada website-nya sehingga dapat dibaca luas oleh umum. Kedua, Pasal 30, UU No. 15 Tahun 2006, menetapkan ikut sertanya unsur profesi dan akademisi sebagai anggota Majelis Kehormatan Kode Etik BPK. Ketiga, Pasal 32, UU tersebut menyebut bahwa pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan tahunan BPK dilakukan oleh akuntan publik. Keempat, Pasal 33 UU itu menetapkan bahwa sistem pengendalian mutu BPK dilakukan oleh BPK negara lain yang menjadi anggota organisasi pemeriksa keuangan negara sedunia (INTOSAI). Ringkasan Perbandingan antara BPK di masa lalu dengan sekarang dimuat dalam Tabel 1.

Tabel 1 Perbandingan BPK Pada Masa Orde Baru Dengan Orde Reformasi Di bawah UU No. 5 Sejak Tahun 2005 dan Di Uraian Tahun 1973 dan Dalam bawah Masa Pemerintahan Orde UU No. 15 Tahun 2004 dan Baru UU No. 15 Tahun 2006 1. Kantor Perwakilan di Tidak diatur Ada di setiap Ibukota Provinsi daerah 2. Jumlah Ketua, Wakil 7 orang 9 orang Ketua dan Anggota 3. Pemilihan Pimpinan Diangkat oleh Presiden Dipilih dari dan oleh Anggota atas usul DPR BPK sendiri 4. Independensi 4.1 Organisasi Diatur oleh Menpan Ada fleksibilitas 4.2. Keuangan Bersumber dari APBN Anggaran tersendiri dalam APBN 4.3 Kepegawaian PNS PNS tapi lebih fleksibel 4.4 Laporan Dikonsultasikan dengan Diumumkan dalam website Pemeriksaan Pemerintah agat tidak BPK segera setelah diserahkan mengganggu stabilitas kepada DPR/DPRD nasional 5. Akuntabilitas 5.1 Kode etik Tidak jelas Mengikat dan pelaksanaannya diawasi oleh Majelis Kode Etik yang anggotanya termasuk unsure profesi dan akademisi dari luar BPK 5.2 Pemeriksaan Diperiksa sendiri oleh Dilakukan oleh Kantor Anggaran BPK auditor BPK yang Akuntan Publik dan membidangi Lembaga diumumkan secara luas Tinggi Negara (Lettina) dan hasilnya tidak diumumkan secara luas Di bawah UU No. 5 Sejak Tahun 2005 dan Di Uraian Tahun 1973 dan Dalam bawah Masa Pemerintahan Orde UU No. 15 Tahun 2004 dan Baru UU No. 15 Tahun 2006 5.3 Penilaian mutu Tidak ada Dilakukan oleh BPK negara kerja BPK lain anggota INTOSAI 5.4 Laporan Tidak terbuka untuk Terbuka untuk umum sehingga Pemeriksaan umum dapat dinilai oleh masyarakat luas 6. Objek Pemeriksaan 6.1 Penerimaan Hampir tidak ada Mulai memeriksa kontrak Negara pertambangan, termasuk migas, dan PNBP. Namun, UU Pajak tetap menutup akses BPK pada pemeriksaan penerimaan pajak 6.2 Penyimpanan Hampir tidak ada Mulai melakukan pemeriksaan Uang Negara dan pada Tahun 2005 BPK melaporkan sebanyak 957 rekening pribadi pejabat negara yang menyimpan uang negara dan tahun 2006 sebanyak 1.303 rekening 6.3 Pengeluaran Terbatas pada Pemerintah Meliputi seluruh tingkat Negara Pusat saja dan dari sumber Pemerintahan: Pusat, Provinsi APBN dan beberapa dan Kabupaten/Kota dan provinsi yang dapat termasuk dari anggaran dijangkau oleh kantor nonbujeter perwakilan BPK. 6.4 Bank Indonesia, BI, Pertamina dan Merupakan objek pemeriksaan Pertamina dan sebagian BUMN lainnya BPK BUMN lainnya adalah bukan merupakan objek pemeriksaan BPK Di bawah UU No. 5 Sejak Tahun 2005 dan Di Uraian Tahun 1973 dan Dalam bawah Masa Pemerintahan Orde UU No. 15 Tahun 2004 dan Baru UU No. 15 Tahun 2006 7. Jadwal waktu Tidak diatur Diatur dengan jelas dalam Bab penyusunan dan IV UU No. 15 Tahun 2004 pemeriksaan serta pertanggungjawaban anggaran belanja negara 8. Laporan Pemeriksaan a.Disampaikan kepada a. Disampaikan kepada DPR, DPR; DPD dan DPRD; b.Dugaan kriminal b. Seluruh laporan yang dilaporkan kepada disampaikan kepada Pemerintah; DPR/DPRD/DPD dimuat c.Tidak dipublikasikan dalam website BPK agar untuk kepentingan diketahui oleh masyarakat umum luas; c. Dugaan kriminal dilaporkan kepada Kepolisian, Kejaksaan dan KPK 9. Tindak lanjut Tidak diatur Dilakukan oleh pejabat negara temuan dan pelaksaannya dipantau dan dilaporkan kepada BPK serta adanya sanksi pidana bagi yang tidak melaksanakan tindak lanjut. 10. Pengenaan Ganti Tidak diatur Ditetapkan oleh BPK dengan Kerugian Negara tatacara yang ditentukannya sendiri 11. Standar pemeriksaan Ditetapkan oleh BPK Ditetapkan oleh BPK setelah keuangan negara secara sepihak tanpa konsultasi dengan Pemerintah, konsultasi dengan akademisi dan praktisi Di bawah UU No. 5 Sejak Tahun 2005 dan Di Uraian Tahun 1973 dan Dalam bawah Masa Pemerintahan Orde UU No. 15 Tahun 2004 dan Baru UU No. 15 Tahun 2006 Pemerintah, akademisi dan praktisi 12. Penggunaan Kantor Dilakukan dengan Diatur menurut ketentuan Akuntan Publik menerbitkan ‘cover letter’ BPK. Akuntan publik dilatih untuk memeriksa tentang standar pemeriksaan sektor publik: maupun peraturan mengenai Pemerintah, BUMN keuangan negara dan dan BUMD memberikannya sertifikat dan surat ijin bagi yang telah lulus ujian. 13. Peraturan yang Tidak ada kewenangan Sebagai otorita, BPK dapat menyangkut menerbitkan peraturan yang pemeriksaan menyangkut pemeriksaan keuangan negara keuangan negara 14. Kekebalan, Tidak diatur a. Anggota BPK tidak perlindungan dan dapat dituntut dalam bantuan hukum serta menjalankan tugas, jaminan keamanan kewajiban dan wewenangnya b. Anggota BPK, Pemeriksa dan pihak lain yang bekerja untuk dan atas nama BPK diberikan perlindungan hukum dan jaminan keamanan oleh instansi berwenang. c. BPK berhak atas bantuan hukum dengan biaya negara apabila terjadi gugatan dalam pelaksanaan Di bawah UU No. 5 Sejak Tahun 2005 dan Di Uraian Tahun 1973 dan Dalam bawah Masa Pemerintahan Orde UU No. 15 Tahun 2004 dan Baru UU No. 15 Tahun 2006 tugas dan wewenangnya.

3.Penataan struktural BPK Pemulihan independensi dan kemandirian yang dimiliki oleh BPK hanyalah merupakan sarana untuk menciptakan pengelolaan keuangan negara yang transparan dan akuntabel, sebagaimana diamanatkan dalam Paket Tiga Undang Undang Keuangan Negara. Hal ini menuntut BPK untuk lebih meningkatkan perannya dan sekaligus melakukan penataan struktural melalui pengembangan kapasitas dan kapabilitas organisasional yang memadai, sesuai dengan demand akan kebutuhan pemeriksaan yang meningkat drastis selama beberapa tahun terakhir ini, seiring dengan perubahan lingkungan yang cepat di sektor publik seperti diberlakukannya otonomi daerah, restrukturisasi pengelolaan rumah sakit dan universitas, dan peningkatan pengucuran dana ke pemerintah daerah. Berbagai bencana alam seperti banjir, gempa bumi, tsunami, dan flu burung turut meningkatkan kebutuhan akan pemeriksaan oleh BPK. Syukurlah, dalam masa dua tahun belakangan ini, sebelum terbitnya UU No. 15 Tahun 2006, BPK sudah menegaskan komitmen dan mempersiapkan diri untuk mengawal cita-cita reformasi sistem sosial Indonesia seperti tercermin dalam Rencana Strategis BPK Tahun 2005-2010. Selama dua tahun terakhir ada empat peranan BPK yang menonjol sebagaimana digambarkan pada tiga lapis bawah dalam segitiga pada Grafik-1, yaitu (i) meningkatkan kegiatan pemberantasan KKN; (ii) meningkatkan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. Dalam hal ini, BPK telah meningkatkan kualitas pemeriksaannya dan telah semakin memperluas objek pemeriksaan yang tadinya tersumbat selama Orde Baru; (iii) membantu Pemerintah untuk mengimplementasikan Paket tiga UU tentang Keuangan Negara Tahun 2003-2004; dan (iv) membantu Pemerintah untuk melakukan reformasi institusional, termasuk restrukturalisasi BUMN dan badan pelayanan umum, seperti sekolah/ Universitas dan rumah sakit. Peran seperti ini merupakan bagian dari tugas BPK untuk memberikan opini, kesimpulan dan rekomendasi untuk ditindak lanjuti oleh auditee serta oleh pemerintah. Secara bertahap, BPK akan meningkatkan kemampuannya untuk melakukan audit kinerja guna menilai efisiensi, nilai ekonomi maupun efektivitas kegiatan instansi pemerintah. Dengan semakin berkembangnya BPK, diharapkan lembaga ini dapat memberikan kecenderungan serta pemikiran jangka panjang sebagai bahan pertimbangan bagi badan legislatif dan eksekutif serta masyarakat luas untuk mengambil keputusan. Berbeda dengan di negara-negara maju, hingga saat ini BPK belum memiliki kemampuan melakukan audit kinerja maupun pemikiran jangka panjang seperti itu. Sasaran jangka panjang peranan BPK digambarkan pada ketiga lapis atas (dengan garis patah) Grafik-1. Meskipun masih jauh untuk bisa menilai keberhasilan Renstra 2005-2010, namun selama dua tahun terakhir ini BPK telah mampu meningkatkan kapasitas dan kapabilitas organisasional secara cukup signifikan, seperti dalam peningkatan jumlah auditor dengan latar belakang berbagai disiplin ilmu, kelengkapan infrastruktur pemeriksaan seperti teknologi informasi, peningkatan jumlah kantor perwakilan di setiap provinsi dan penguatan tenaga administratif penunjang. Berkat bantuan mitra kerja kami, DPR RI, di tahun 2007 ini BPK memperoleh alokasi dana sebesar Rp1,1 triliun. Pembenahan tidak hanya terfokus pada penambahan karyawan dan fasilitas kerja, namun juga menyangkut pembenahan budaya, etika kerja, sistem kompensasi dan metode kerja. Sistem remunerasi yang lebih sehat juga diperlukan agar para auditor BPK tetap tegar dalam menjalankan tugas walaupun menghadapi bermacam-macam risiko seperti risiko ancaman phisik, penyuapan, dan berbagai macam bentuk hambatan kerja di lapangan. Perbaikan sistem remunerasi juga semakin diperlukan manakala diingat bahwa BPK tidak diperbolehkan mengutip fee untuk meningkatkan kesejahteraan staffnya atas keberhasilan mereka menyelamatkan uang negara. Hal ini berbeda dengan pejabat Pemda yang mendapat upah pungut Pajak Bumi dan Bangunan ataupun beberapa departemen pemerintah yang diperbolehkan memiliki sumber dana tambahan di luar APBN yang bersumber dari pengeluaran izin. Sampai saat ini semua pejabat BPK juga dilarang menjadi Komisaris BUMN karena hal itu akan menyebabkan conflict of interest.

Grafik 1. Peranan BPK Masa Kini dan Masa Datang

Membantu masyarakat dan pengambil

Peningkatan kapasitas dan kapabilitas organisasi akan terus dilakukan, sejalan dengan tuntutan perubahan lingkungan. Dalam jangka panjang, seperti praktik umum di berbagai negara dan seusuai dengan semangat UU No. 15 Thaun 2004, pemeriksaan keuangan akan semakin banyak diserahkan kepada akuntan publik, dengan pengawasan dari BPK. KAP yang akan melakukan pemeriksaan sektor publik untuk dan atas nama BPK, akan diseleksi, disertifikasi dan diawasi oleh BPK. Selanjutnya, fokus pemeriksaan BPK akan lebih banyak pada pemeriksaan kinerja, lingkungan serta pembangunan berkelanjutan maupun pemeriksaan lainnya sebagaimana digambarkan dalam lapisan atas Grafik 1. Penataan struktural yang dilakukan BPK dalam dua tahun terakhir ini telah terbukti menjadi faktor penting yang menunjang pencapaian kinerja BPK yang pada gilirannya membantu perwujudan sasaran reformasi sistem sosial. Dalam rangka membantu pemberantasan korupsi, pada tahun 2005, BPK telah menyampaikan sepuluh laporan dugaan tindak pidana korupsi kepada DPR dan penegak hukum. Masing-masing satu dari laporan itu diserahkan kepada DPR dan Kapolri serta delapan kepada Kejaksaan Agung, dengan nilai total kerugian negara sebesar Rp2,9 triliun dan US$4.2 juta. Sebagai badan legislatif, DPR memiliki kewenangan untuk meneruskan kasus itu kepada penegak hukum, menciptakan Undang-Undang maupun mendesak Pemerintah untuk melakukan koreksi dan perbaikan sistem guna mencegah terjadinya kembali kerugian negara. Adapun rekapitulasi temuan yang berindikasi kerugian negara yang dilaporkan oleh BPK selama dua tahun terakhir dimuat dalam Tabel 2. Di masa mendatang, laporan BPK tentang indikasi tindak pidana korupsi akan semakin bertambah dengan adanya (i) peningkatan kemampuannya; (ii) perluasan objek pemeriksaannya; (iii) perluasan jaringan kantor perwakilannya; (iv) perbaikan peralatan kerja serta perluasan jaringan telekomunikasinya; (v) peningkatan kerjasamanya dengan lembaga penegak hukum, terutama dengan KPK serta PPATK.

TABEL 2 DAFTAR REKAPITULASI TEMUAN PEMERIKSAAN BERINDIKASI KERUGIAN NEGARA TAHUN 2005 S.D. SEMESTER I 2006* Juta Rupiah dan ribu Valas Kelompok Kerugian Negara/ Telah Diselamatkan/ Sisa Periode No Penanggung Daerah Disetor ke Kas Negara Kerugian Negara Pemeriksaan Jawab Kasus Nilai Kasus Nilai Kasus Nilai 1 TA 2005 Pemerintah 701 Rp 7.713.057,46 104 Rp 2.507.869,90 597 Rp 5.205.187,56 Pusat US$ 5,526.83 US$ 504.40 US$ 5,022.43 Pemerintah 2.330 Rp 1.352.224,56 226 Rp 89.187,12 2.104 Rp 1.263.037,44 Daerah BUMN 23 Rp 4.761.596,75 0 Rp 0,00 23 Rp 4.761.596,75 3.054 Rp 13.826.878,77 330 Rp 2.597.057,02 2.724 Rp 11.229.821,75 US$ 5,526.83 US$ 504.40 US$ 5,022.43 2 Semester I Pemerintah 165 Rp 16.055.783,27 32 Rp 532.051,78 133 Rp 15.523.731,49 TA 2006 Pusat Pemerintah 1.530 Rp 1.868.803,01 3 Rp 293,11 1.527 Rp 1.868.509,90 Daerah BUMN 26 Rp 1.320.940,03 5 Rp 56.287,32 21 Rp 1.264.652,71 1.721 Rp 19.245.526,31 40 Rp 588.632,21 1.681 Rp 18.656.894,10 Jumlah 4.775 Rp 370 Rp 4.405 Rp 33.072.405,08 3.185.689,23 29.886.715,85 US$ 5,526.83 US$ 504.40 US$ 5,022.43

Catatan: Dari total kerugian negara pada tahun 2005 dalam Tabel 2 ini (sebesar Rp13,82 triliun dan USD5.52 juta) hanya Rp2,9 triluin dan USD4,2 juta saja yang dilaporkan kepada penegak hukum karena mengandung dugaan unsur pidana. Lainnya adalah berupa kerugian negara yang wajib diganti oleh bendahara. Di sisi penyelamatan keuangan negara, hasil kerja BPK bisa dilihat dari pemasukan pada Kas Negara, setidaknya sebesar Rp3 triliun dari laporan pemeriksaannya pada tahun 2005 atas 957 rekening perorangan pejabat negara yang menyimpan uang negara pada berbagai bank senilai Rp20,44 triliun. Pada tahun berikutnya BPK melaporkan adanya 1.303 rekening dan deposito pejabat negara pada berbagai bank yang menyimpan uang negara dengan nilai Rp8,54 triliun.Penghematan terhadap pengeluaran, antara lain, digambarkan oleh penghematan pengeluaran negara atas subsidi listrik, pupuk maupun bahan bakar minyak. Di samping itu, BPK menemukan berbagai kelemahan sistem Keuangan Negara yang merupakan warisan sistem Orde Baru pada saat melakukan pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2004 dan 2005. Kelemahan pertama adalah dalam sistem internal keuangan negara. Pada masa Orde Baru, tidak ada Laporan Realisasi (LRA) Pemerintah Pusat yang disusun berdasarkan LRA Kementerian/Lembaga Negara, Laporan Arus Kas (LAK), dan Catatan atas Laporan Keuangan (CALK) yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara maupun yayasan yang terkait dengan kedinasan. Hingga saat ini tidak ada konsistensi antara besarnya dana yang ditransfer dari pusat dengan jumlah penerimaan dana oleh daerah maupun oleh satuan instansi pemerintahan serta badan pelayanan umum. Kelemahan kedua sistem keuangan negara di masa Orde Baru adalah tidak adanya suatu single treasury account yang terpadu sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 1 Tahun 2004. Akibatnya uang negara disimpan pada berbagai rekening yang tersebar di banyak instansi negara termasuk ribuan individu pejabat negara. Individu pejabat negara yang sudah lebih dari sepuluh tahun meninggal dunia masih juga memiliki rekening deposito bank yang menyimpan uang negara. Uang negara yang disimpan dalam berbagai rekening pejabat negara itu tidak jelas statusnya dan tidak terintegrasi dengan rekening Bendahara Umum Negara (BUN). Akibat dari terseraknya penyimpanan uang negara di berbagai rekening instansi dan pribadi pejabat negara, pemerintah tidak mengetahui posisi keuangannya sendiri dan dana itu tidak dapat dimanfaatkannya untuk mengatasi kesulitan likuiditasnya. Kelemahan ketiga sistem keuangan negara adalah kurang patuhnya pada undang- undang serta peraturan yang berlaku di bidang keuangan negara. Termasuk dalam

15 kelompok ini adalah lembaga negara yang menetapkan pungutan sendiri, mengadministrasikannya dan menggunakannya sendiri pula. Hal itu dilakukan tanpa mengacu pada UU Penerimaan Negara Bukan Pajak dan tanpa sepengetahuan Departemen Keuangan sebagai bendahara negara. Kelemahan keempat adalah belum adanya gambaran yang utuh atas besarnya Sisa Anggaran Lebih (SAL). LRA melaporkan besarnya SAL per 31 Desember 2004 sebesar Rp31,56 triliun sedangkan neraca menyebutnya sebesar Rp25,59 triliun sehingga ada perbedaan yang tidak jelas sebesar Rp6 triliun. Menyikapi temuan tersebut, BPK mengambil tujuh agenda utama dalam rangka membantu Pemerintah mengimplementasikan Paket Tiga UU Tentang Keuangan Negara Tahun 2003-2004. Pertama, membantu pemerintah untuk menyusun standar akuntansi pemerintahan. Kedua, menetapkan standar pemeriksaan keuangan negara, setelah menerima masukan pemikiran dari pemerintah, akademisi dan kalangan profesi. Ketiga, mendorong agar pemerintah menggunakan tenaga-tenaga akuntansi dalam posisi struktural pengelola Keuangan negara, baik di tingkat pusat hingga daerah, BUMN maupun BUMD. Keempat, mendorong dan membantu pemerintah untuk menyatukan semua anggaran nonbujeter dan kegiatan quasi fiskal kedalam APBN. Kelima, membantu pemerintah memperjelas peranan dan tanggung jawab lembaga negara pada semua tingkatan. Keenam, mendorong proses penyiapan, pelaksanaan dan pelaporan anggaran negara yang transparan dan akuntabel. Ketujuh, membantu pemerintah meningkatkan transparansi dan akuntabilitas transaksi keuangan negara antar instansi pemerintah, antara Pemerintah Pusat dan daerah maupun antara pemerintah dengan BUMN/BUMD serta yayasan maupun lembaga swasta yang memperoleh subsidi dari pemerintah. Penataan struktural juga dilaksanakan terkait dengan Pasal 22 UU No. 15 Tahun 2004 yang memberikan kekuasaan quasi judisial kepada BPK dalam mengenakan ganti kerugian negara. Ketentuan ini juga berlaku bagi perusahaan yang sedikitnya 51% dari sahamnya dimiliki oleh negara. Berdasarkan kekuasaan tersebut, BPK menerbitkan surat keputusan batas waktu pertanggungjawaban bendahara atas kekurangan kas ataupun barang yang terjadi. Surat keputusan BPK bersifat final tanpa harus melalui proses hukum di pengadilan. BPK sekaligus memantau penyelesaian ganti kerugian negara

16 tersebut. Dalam kaitan ini, setelah konsultasi dengan pemerintah, BPK tengah menyusun tatacaranya agar jelas bagi semua pihak. Untuk dapat meningkatkan kinerjanya, BPK juga telah melakukan pembenahan internal termasuk peningkatkan disiplin karyawannya dan ketaatannya terhadap kode etik. Auditor di mana pun di dunia ini, termasuk di BPK, adalah wajib memelihara hubungan baik dengan auditee, memelihara kepercayaan dan harga diri auditee dan tidak boleh memata-matainya. Perbuatan yang menyimpang dari aturan dan tindak pidana korupsi pun harus dibicarakan secara terbuka dan direkonfirmasikan dengan auditee. Auditor BPK juga bukan seorang whistle blower karena informasi tentang sesuatu adalah diperolehnya karena kewenangan yang diberikan kepadanya oleh BPK. Auditor BPK tidak boleh menyampaikan sendiri temuan pemeriksaannya kepada siapapun di luar BPK, tanpa prosedur dan aturan yang berlaku, apalagi mengumumkannya sendiri kepada publik.

4. BPK dalam pergaulan dunia Upaya BPK untuk mewujudkan cita-cita reformasi sistem sosial tidak hanya dilakukan dengan pembenahan ke dalam, tapi juga dengan meningkatkan pergaulan BPK di lingkungan regional dan global. Di lingkungan internasional, BPK telah meningkatkan kerjasama melalui ASOSAI (Asian Organisation of Supreme Audit Institutions) maupun INTOSAI beserta kelompok kerja kedua organisasi itu. BPK melakukan kerjasama dalam hal pemeriksaan, perumusan kebijakan, pertukaran informasi serta pengalaman maupun pelatihan dengan rekannya dari luar negeri, baik melalui forum INTOSAI, ASOSAI maupun forum lainnya. BPK sekaligus menerima bantuan asing untuk meningkatkan kapasitasnya sendiri mutu sumber daya manusia (SDM), modernisasi peralatan maupun perombakan organisasi menuju independensi dan kemandiriannya. Forum kerjasama dengan auditor negara lain semakin ditingkatkan setelah terjadinya gempa tektonik yang diikuti oleh gelombang Tsunami yang melanda Provinsi NAD dan Sumut pada tanggal 26 Desember 2004. Sebagaimana diketahui gempa itu berkekuatan 9 skala richter dan terjadi akibat pergeseran lempengan tektonik Australia-Asia di sekitar 150 km di Selatan Meulaboh. Gelombang tsunami yang ditimbulkannya telah melanda seluruh kawasan Lautan Hindia hingga ke Asia Selatan, Jazirah Arab dan Afrika. Bencana alam itu telah

17 menelan korban sebanyak 160 ribu jiwa orang dan kerusakan dahsyat di Provinsi NAD dan Pulau Nias sehingga telah menarik simpati dan bantuan internasional. Pada waktu itu, Provinsi NAD juga tengah dilanda konflik bersenjata karena pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang sudah berlangsung selama hampir tiga puluh tahun. Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri akan penyaluran bantuannya pada korban bencana alam di NAD dan Sumut, BPK telah melakukan audit atas bantuan tersebut. Dengan bantuan ADB (Asian Development Bank), BPK telah menyelenggarakan konferensi internasional tentang Promoting Financial Accountability in Managing Funds Related to Tsunami, Conflict and Other Disasters di Jakarta pada tanggal 25-27 April 2005. Konferensi itu dihadiri oleh 142 orang peserta dari enam negara yang mengalami bencana, 14 negara donor dan perwakilan 16 lembaga- lembaga internasional. Konferensi itu antara lain menghasilkan kesepakatan untuk membantu BPK melakukan pemeriksaan, baik berupa pemberian bantuan teknis maupun kerjasama melakukan pemeriksaan. Bantuan teknis diberikan melalui Dewan Penasehat BPK (BPK Advisory Board) yang dengan jumlah anggota 12 orang dari 12 negara dan sudah bertemu dan memberikan nasehat kepada BPK pada April 2006 di Jakarta. Menimba pelajaran dari Indonesia, pada tahun 2006, INTOSAI membentuk Task Force on Audit and Accountability of Disaster Related Aid yang diketuai oleh Ketua BPK Negeri Belanda dengan dua orang wakilnya yakni Ketua BPK Indonesia dan Korea Selatan. Salah satu pelajaran dari Indonesia adalah bahwa berbeda dengan di negara lain, seperti Sri Lanka dan Kashmir, Indonesia menggunakan bencana alam tersebut sekaligus memulihkan perdamaian dengan GAM berdasarkan perjanjian Helsinki pada bulan Agustus tahun 2005 Meneruskan yang sudah ada sejak tahun 2004, BPK menjadi anggota Steering Committee dari the INTOSAI Working Group on Environmental Auditing (WGEA). Sampai dengan Kongres ke-10 ASOSAI di Shanghai pada bulan September 2006, BPK adalah menjadi salah satu dari auditornya. Dewasa ini BPK juga mencoba ikut berkompetisi dengan BPK luar negeri untuk menjadi external auditor organisasi internasional. Dengan negara tetangga sekaligus diharapkan peningkatan kerjasama mengenai hal-hal yang merupakan kepentingan bersama seperti audit kebakaran hutan, keselamatan pelayaran di Selat Malaka dan penanggulangan penyakit flu burung.

18 Dalam rangka STARSDP Project (State Audit Reform Sector Development Program) tahun 2005-2009, BPK menerima dana dari pinjaman ADB dan hibah dari Pemerintah Belanda guna meningkatkan mutu SDM, perluasan jaringan serta modernisasi sistem komputer dan perombakan organisasi guna mewujudkan kemandirian dan independensinya. Bantuan teknis dalam upaya peningkatan SDM berupa pelatihan dan beasiswa juga diterima oleh BPK dari Bank Dunia, USAID, AusAid, India, JICA, Negeri Belanda, Philipina, Swedia maupun ASOSAI dan INTOSAI. Amerika Serikat, Australia dan New Zealand memberikan kesempatan bagi auditor BPK untuk bekerja selama setahun pada lembaga pemeriksanya guna menimba ilmu dan pengalaman praktis. Perancis mengikutsertakan auditor BPK dalam penugasan PBB di negara-negara yang dilanda konflik bersenjata, seperti Kongo, Eritrea dan Kosovo. Dengan bantuan tenaga pelatih asing, BPK melakukan kerjasama dengan instansi penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, KPK serta PPATK) dalam pelatihan audit investigasi.

Penutup Pemeriksaan terhadap keuangan negara tidak bisa dilihat semata-mata untuk keperluan menemukan kesalahan dalam pelaporan keuangan pemerintah. Lebih dari itu pemeriksaan juga berperan untuk memastikan bahwa pemerintah telah membuat kebijakan yang tepat dalam memakai uang rakyat (policy analysis), bahwa kebijakan itu dilaksanakan secara efektif dan efisien (i.e., hasil performance audit), dan bahwa dampak positif kebijakan itu benar-benar dirasakan seluruh golongan rakyat (fungsi keadilan sosal). Sejarah membuktikan tanpa kekuatan Pemeriksa yang memadai (di luar fungsi eksekutif-legeslatif-yudikatif) pengelolaan uang negara secara ugal-ugalan dalam konteks pembangunan di masa lalu ternyata justru menimbulkan kebocoran, utang LN, dan kesengsaraan rakyat. Jelas sekali di sini bahwa seluruh elemen masyarakat punya kepentingan untuk membantu terciptanya BPK “masa depan” yang independent, mandiri, dan mampu mengemban amanat rakyat. Dalam hal kerja sama dari lingkungan perguruan tinggi, seperti Universitas Tanjungpura, sangatlah penting. Lakukan riset dan ciptakanlah metodologi pemeriksaan yang canggih. Bantulah kami dengan mengirim para lulusan yang bermoral baik serta menguasai teknologi audit yang sempurna. Masa depan keberhasilan reformasi sistem sosial Indonesia berada di tangan kita semua.

19 Reformasi Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara di Indonesia1

1. Pengantar Perbaikan transparansi dan akuntabilitas fiskal merupakan salah satu kunci bagi keberhasilan perombakan sistem sosial yang kita lakukan selama era reformasi, sejak krisis ekonomi tahun 1997-1998. Di sektor ekonomi kita ingin beralih dari sistem perencanaan terpusat kepada sistem yang lebih banyak menggunakan mekanisme pasar. Perencanaan terpusat dan kredit program pada masa Orde Baru telah menciptakan KKN. Privatisasi dan deregulasi masa itu juga digunakan untuk memindahkan hak milik negara kepada kroni penguasa politik. Akibatnya, efisiensi perekonomian nasional kita menjadi semakin menurun dan berakhir pada krisis tahun 1997-1998. Dalam bidang politik, reformasi itu ingin menggantikan sistem politik otoriter masa lalu dengan sistem demokrasi. Sistem politik yang demokratris itu memberikan jaminan kebebasan berserikat dan bersuara termasuk mendirikan partai politik. TNI dan Polri tidak lagi memiliki wakil di DPR dan menduduki jabatan sipil. Presiden dan wakil presiden serta kepala-kepala daerah kini dipilih langsung oleh rakyat berdasarkan platform atau janji politiknya dan tidak lagi dipilih oleh MPR atau DPRD. Di masa lalu, MPR sekaligus menyusun GBHN. Dalam siste politik yang demokratis rakyat sekaligus menuntut pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara yang transparan dan akuntabel. Dalam sistem pemerintahan, kita ingin merombak sistem pemerintahan sentralistis masa lalu diganti dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah. Transparansi dan akuntabilitas fiskal mengurangi sumber konflik antara Pemerintah Pusat dengan pemerintah daerah sehingga dapat dipelihara keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia. The founding fathers kita yang menyusun UUD 1945 sadar akan pentingnya transparansi dan akuntabilitas fiskal untuk mewujudkan bhinneka tunggal ika. Bab VIIIA,

1 Makalah untuk luncheon discussion Musyawarah Nasional Ketiga Asosiasi Pemerintah Provinsi Indonesia, Surabaya, Senin, 22 Oktober 2007.

1 Pasal 23 E sampai dengan Pasal 23 G, UUD 1945 menciptakan BPK sebagai satu-satunya badan pemeriksa pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara pada ketiga lapis pemerintahan Republik Indonesia, yakni: pusat, provinsi dan kabupaten/kota2. Berbeda dengan di negara lain, UUD 1945 menciptakan BPK sebagai suatu lembaga negara sendiri yang sejajar dengan lembaga legislatif, eksekutif dan judikatif. Di negara lain, lembaga sebagai BPK merupakan aparat DPR sebagai pemegang hak bujet ataupun merupakan bagian dari cabang eksekutif. Pada gilirannya, sistem ekonomi pasar hanya dapat berjalan secara efektif dan efisien jika ada perlindungan hak milik individu serta transformasi informasi pasar yang simetris. Yang terakhir ini termasuk transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. Sistem politik yang demokratis dan sistem pemerintahan yang didasarkan pada otonomi daerah juga menuntut adanya transparansi serta akuntabilitas keuangan negara. Tanpa itu, rakyat tidak akan mau membayar pajak dan investor enggan membeli Surat Utang Negara. Konflik antar daerah dapat dipicu oleh perasaan curiga karena tidak transparan dan tidak akuntabelnya keuangan negara. Untuk selanjutnya makalah ini dibagi dalam lima bagian. Bagian kedua membahas berbagai elemen perbaikan sistem pengelolaan keuangan negara untuk menjadikannya transparan dan akuntabel sesuai dengan tuntutan era reformasi. Bagian ketiga membahas temuan pemeriksaan dan opini pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2004, 2005 dan 2006. Bagian keempat membahas kelemahan insitusional pemerintah daerah untuk dapat mewujudkan otonomi. Bagian kelima membahas peranan yang dapat dilakukan oleh DPR dan DPRD untuk menindaklanjuti temuan BPK.

2. Upaya perbaikan sistem pengelolaan keuangan negara Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, pemerintah dalam era reformasi telah melakukan koreksi secara menyeluruh atas sistem keuangan negara yang dipergunakan pada masa Pemerintahan Orde Baru. Koreksi

2 Penjabaran lebih lanjut ketentuan UUD 1945 mengenai BPK dituangkan dalam Paket Tiga Undang- Undang Keuangan Negara tahun 2003-2004 dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK. Ketiga UU Keuangan Negara itu adalah UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

2 pertama adalah degan mengintegrasikan anggaran negara dengan meniadakan pembedaan antara anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Kontrol atas APBN kini sepenuhnya berada ditangan Menteri Keuangan. Sementara itu, peranan anggaran nonbujeter semakin dikurangi. Administrasi dan pertanggungjawaban keuangan negara dirubah secara mendasar. Jenis dan format laporan keuangan negara kini memberlakukan sistem pembukuan berpasangan, menggunakan sistem akuntansi terpadu yang dikomputerisasi serta menerapkan desentralisasi pelaksanaan akuntansi secara berjenjang oleh unit-unit akuntansi baik di kantor pusat maupun di daerah. Perubahan mendasar atas struktur APBN dan jenis, format serta cara pelaporannya dimuat dalam ketiga Undang-Undang di bidang Keuangan Negara tahun 2003-2004. Koreksi yang kedua adalah dengan mengintrodusi Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) pada tanggal 13 Juni 20053. SAP ini merupakan yang pertama dikeluarkan oleh pemerintah setelah 60 tahun Republik Indonesia berdiri. Koreksi yang ketiga adalah dengan menerbitkan UU No. 15 Tahun 20064 yang memulihkan kebebasan dan kemandirian BPK dan sekaligus memperluas objek pemeriksaannya. Setelah 60 tahun kita berbangsa dan bernegara, pertanggungjawaban keuangan negara yang transparan dan akuntabel baru dimulai dalam LKPP Tahun 2004. Walaupun masih jauh dari sempurna LKPP itu memuat rangkaian perubahan sistem fiskal yang disajikan dalam bentuk neraca, lebih rinci dan lebih sistematis sehingga lebih mudah dipahami dan dicerna oleh masyarakat luas. Penyajian keuangan negara dalam bentuk neraca dan format baru, yang telah diaudit oleh BPK-RI tersebut, merupakan suatu tonggak sejarah kemajuan dan bagian dari perwujudan demokrasi politik yang juga menuntut adanya transparansi serta akuntabilitas keuangan negara. LKPP yang merupakan pertanggungjawaban keuangan negara dalam bentuk baru seperti sekarang ini adalah diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Ketentuan peralihan Pasal 36 ayat (2) UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara itu menyatakan bahwa ketentuan mengenai LKPP dalam bentuk sekarang ini akan berlaku mulai APBN Tahun 2006. Namun demikian, UU

3 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan tanggal 3 Juni 2005. 4 Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan menggantikan UU No. 5 Tahun 1973.

3 No. 28 Tahun 2003 tentang APBN Tahun 2004 telah memajukan awal mulai berlakunya penerapan LKPP format baru dimaksud. Undang-undang APBN Tahun 2004 tersebut menyebutkan bahwa laporan pertanggungjawaban APBN oleh presiden sudah berupa LKPP format baru. LKPP format baru sekarang ini adalah berbeda dengan laporan keuangan Pemerintah Pusat yang disusun berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Sistem Akuntansi Pemerintah dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP)5. LKPP yang berlaku sekarang ini adalah terdiri dari Laporan Realisasi APBN (LRA) Pemerintah Pusat yang disusun berdasarkan LRA Kementerian Negara/Lembaga, Neraca, Laporan Arus Kas (LAK), dan Catatan atas Laporan Keuangan (CALK) yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan Negara dan badan lainnya. Bagian-bagian LKPP yang lebih rinci, tertib dan sistematis tersebut merupakan hal yang sangat penting bagi transparansi fiskal dan peningkatan akuntabilitas publik.

3. Temuan pemeriksaan dan opini pemeriksaan BPK Pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN pada tingkat kementerian negara/lembaga dan APBD di daerah belum seluruhnya direviu oleh aparat pengawasan internal, sebagaimana diharapkan oleh undang-undang. Padahal, dewasa ini, pengawasan internal pemerintah di Indonesia merupakan yang terumit didunia dan terdiri dari empat lapis, yakni BPKP, Irjen/SPI, Bawasda Tingkat I dan Bawasda Tingkat II6. Keempat pengawas internal pemerintah itu, terutama BPKP, memiliki jumlah sumber daya manusia, jaringan kantor, peralatan maupun anggaran yang jauh lebih besar daripada BPK-RI. Seharusnya BPKP itu dapat digunakan oleh pemerintah untuk membangun sistem akuntansi dan pertanggungjawaban keuangan negara serta mengatasi kelangkaan tenaga akuntan pada instansi teknis agar dapat mengimplementasikan Paket Ketiga UU tentang Keuangan Negara Tahun 2003-2004.

5Surat Keputusan tersebut adalah SK Menteri Keuangan No.337/KMK/0.12/2003 tentang Sistem Akuntansi dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dan Peraturan Menteri Keuangan No. 59/KMK.06/2005 tentang hal yang sama. Kedua SK ini menggantikan Surat Keputusan No. 476/KMK.01/191 tentang Sistem Akuntansi Pemerintah dan Keputusan Menteri Keuangan No. 295/KMK.012/2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pembukuan dan Pelaporan Keuangan pada Departemen/Lembaga. 6 Pada masa Orde Baru, ada Irjenbang (Inspektur Jenderal Pembangunan) yang berada dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

4 Dari segi teknis, setidaknya ada tujuh kelemahan sistem pengendalian internal keuangan negara yang ditemukan oleh pemeriksaan BPK atas LKPP pada tahun anggaran 2004, 2005 dan 2006. Kelemahan tersebut adalah, pertama, masih perlunya perbaikan mendasar sistem akuntansi keuangan negara agar dapat diseragamkan sesuai dengan sistem yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan pada tahun 2003 dan 2005. Kedua, perlunya sinkronisasi sistem komputer instansi pemerintah agar menjadi terintegrasi dan kompatible antara satu dengan lainnya. Sebagaimana telah disebut dimuka, dewasa ini, sistem komputer pemerintah belum dapat menyamai sistem komputer perbankan. Ketiga, perlunya mengimplementasikan sistem perbendaharaan tunggal agar uang negara tidak lagi tersebar diberbagai rekening yang tidak terpadu dan dikonsolidasikan. Termasuk di dalamnya adalah rekening individu pejabat negara yang sudah lama meninggal dunia. Karena tidak dikonsolidasikan, dana-dana yang tersebar itu tidak segera dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengatasi kesulitan likuiditasnya. Agar dapat mengetahui posisi keuangannya setiap saat, pemerintah perlu segera menerapkan sistem perbendaharaan tunggal. Keempat, perlunya inventarisasi aset negara baik di tingkat pusat dan daerah. Dalam kaitan ini, perlu ada perbaikan administrasi penempatan modal pemerintah pada BUMN dan BUMD. Setidaknya alokasi sebagian dari Rekening Dana Investasi (RDI), yang merupakan bagian dari modal pemerintah itu, merupakan praktik KKN. RDI menjadi alternatif bagi kredit bank dan diberikan kepada badan usaha yang sebenarnya mampu meminjam dari industri perbankan (bankable). Alokasi RDI, yang berbunga rendah dan risiko yang hampir tidak ada, dibuat oleh pejabat Depkeu dengan cara yang kurang transparan dan penagihannya kembali pun hampir tidak pernah dilakukan secara serius. Kelima, perlunya penyediaan tenaga administrasi pembukuan pada setiap unit instansi pemerintahan, mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Keenam, perlunya pembangunan jaringan sistem komputer pemerintah yang kompatibel antara satu dengan lainnya Ketujuh, perlunya transparansi dan akuntabilitas penerimaan negara baik yang bersumber dari pajak, migas dan penambangan sumber daya alam lainnya maupun dari PNBP (penerimaan negara bukan pajak). Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga Atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

5 Perpajakan telah mengelimir kewenangan konstitusional BPK untuk memeriksa penerimaan pajak. Sistem menghitung pajak sendiri (self asessment) yang digunakan sejak tahun 1983, tanpa audit internal, telah membuka peluang bagi penyelewengan, baik oleh wajib pajak maupun oleh petugas pajak. Akibatnya, rasio perpajakan (tax ratio) tidak dapat ditingkatkan dari 13,5 dari PDB dewasa ini. Penetapan cost recovery oleh BP Migas yang tidak rasional sangat menganggu penerimaan negara di tingkat pusat maupun daerah penghasilnya. Sampai dengan bulan September 2007, Mahkamah Agung menolak pemeriksaan BPK atas biaya perkara yang dipungutnya Ketujuh temuan pemeriksaan di atas telah menyebabkan BPK memberikan opini disclaimer pada LKPP selama tiga tahun berturut-turut, yakni pada tahun 2004, 2005 dan 2006. Pemberian pendapat BPK atas pemeriksaan LKPP ketiga tahun anggaran itu adalah didasarkan pada ketentuan Pasal 16, Ayat (1), UU No. 15 Tahun 2004 BPK. Opini pemeriksaan BPK diberikannya berdasarkan tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan negara berdasarkan kesesuaiannya dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), kecukupan pengungkapan, efektifitas sistem pengendalian internal dan kepatuhan kepada perundang-undangan yang berlaku. Pemeriksaan terhadap LKPP selama tiga terakhir ini belum ditujukan untuk menilai kinerja pemerintahan yang meliputi aspek ekonomi, efisiensi dan efektifitas. Salah satu alasannya adalah karena Pemerintah sendiri belum menetapkan tolok ukur sasaran kegiatannya. Karena disusun berbasis kas, LKPP tidak memperhitungkan kewajiban kontijensi Pemerintah. LKPP juga tidak mengungkapkan strategi pemerintah untuk menunda pembayaran kepada kreditur maupun kontraktornya sebagai cara untuk mengurangi defisit anggaran berbasis kas itu. Perbaikan ketujuh kelemahan mendasar administrasi pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan di atas merupakan upaya preventif bagi penanggulangan KKN. Hanya orang yang tidak mengerti tata negara dan tidak memahami ilmu akuntansi serta keuangan negara yang mengatakan bahwa temuan pemeriksaan BPK itu bernuansa politik. Dengan opini LKPP seperti ini, sulit kiranya bagi pemerintah untuk meningkatkan peringkat SUN (Surat Utang Negara) yang dijualnya di pasar dunia sehingga mencapai investment grade agar dapat menurunkan kupon atau tingkat suku bunganya.

6

4. Kelemahan institusional pemerintah daerah untuk mewujudkan otonomi Karena lemahnya institusi Pemda, berbagai kelemahan internal dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban yang terjadi pada Pemerintah Pusat semakin menonjol pada Pemerintah Daerah. Hampir semua daerah melanggar UU karena menggunakan APBD untuk “membantu” instansi vertikal. Instansi vertikal yang “dibantu” pada umumnya adalah yang punya kekuasaan, seperti Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman dan TNI dan bukan guru-guru agama. Bentuk bantuan Pemda itu juga bukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, misalnya, membangun pos polisi dipersimpangan jalan untuk mengatur lalu lintas. ‘Bantuan’ itu biasanya diberikan sebagai “uang lelah” pada saat pejabat pindah. Selain dari penggunaan anggaran yang tidak tepat, sebagaimana disebut di atas, ketidak tertiban pengelolaan keuangan di berbagai daerah juga tercermin pada berbagai faktor lainnya. Pertama, pertanggungjawaban keuangan tidak disertai dengan bukti-bukti pengeluaran yang lengkap, benar dan sah. Kedua, penggunaan anggaran yang tidak hemat. Ketiga, penyelesaian uang muka/UUDP yang berlarut-larut. Keempat, adanya pembebanan kegiatan di luar mekanisme APBD. Kelemahan dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan semakin terasa pada provinsi dan kabupaten/kota yang baru dimekarkan. Berbagai daerah itu dimekarkan bukan berdasarkan pertimbangan kebutuhan dan kelayakan ekonomi yang rasional, tapi karena ambisi elit politik lokal untuk mendapatkan kekuasaan dan kekayaan. Pemekaran di berbagai daerah justru dipicu oleh konflik horisontal berdasarkan suku dan agama yang justru menimbulkan kesengsaraan rakyat. Sejak reformasi, jumlah provinsi telah bertambah sebanyak tujuh dan kabupaten/kota sebanyak 141. Dengan demikian jumlah provinsi telah bertambah dari 27 pada tahun 1988 menjadi 33 pada tahun 2007. Dalam periode yang sama, jumlah kabupaten/kota telah meningkat dari 292 menjadi 483. Provinsi Timor Timur memisahkan diri dari RI pada tahun 2000 untuk menjadi negara sendiri. Ada dua faktor penyebab ketidak siapan Pemda untuk untuk melaksanakan otonomi daerah. Penyebab pertama adalah karena, berbeda dengan di negara-negara lain,

7 otonomi daerah di Indonesia diberikan langsung kepada kabupaten/kota. Di lain pihak, kabupaten/kota belum memiliki lembaga atau personil yang mampu menjalankan tugas otonomi itu. Ini berbeda dengan di berbagai negara lain yang memberikan otonomi kepada provinsi yang sudah memiliki perangkat kelembagaan dan personil. Penyebab kedua adalah karena Pemda sendiri yang menciptakan kebijakan yang distortif sehingga memperburuk iklim usaha dan menimbulkan high cost di daerahnya sendiri yang menyebabkan perekonomian daerah tidak mampu bersaing di pasar dunia. Ini berbeda dengan Pemda di RRC yang justru berlomba menarik sebanyak mungkin investor asing untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan merangsang alih teknologi. Lemahnya institusi Pemda tercermin dalam berbagai hal. Pertama, lemahnya kemampuan aparat daerah untuk merumuskan kebijakan untuk dapat memanfaatkan potensi daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan rakyat di daerahnya. Kedua, lemahnya kemampuan aparat daerah untuk mengimplementasikan kebijakan yang diperlukan bagi peningkatan kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan rakyat tersebut. Ketiga, kurang tersedianya sumber daya manusia untuk melaksanakan tugas otonomi. Diperlukan ahli teknik untuk dapat memelihara dan membangun prasartana ekonomi. Diperlukan perawat dan dokter untuk dapat mengelola Puskesmas dan Rumah Sakit dan guru yang bermutu untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Berbagai Pemda memboroskan APBD untuk mendapatkan gelar akademis, termasuk doktor dan professor, bagi pejabat daerah tanpa adanya tambahan ilmu yang bermanfaat bagi pembangunan ekonomi daerahnya. Dalam kesempatan ini, saya beritahukan bahwa untuk pertama sekali dalam sejarah Republik Indonesia, dewasa ini BPK tengah melakukan pemeriksaan atas dana- dana yang ditransfer oleh Pemerintah Pusat kepada setiap Pemda. Hasil pemeriksaan itu akan dapat menjawab kesuaian jumlah yang ditransfer dari pusat dengan yang diterima oleh daerah, penempatan serta penggunaan dana-dana tersebut.

5. Peranan DPR dan DPRD untuk menindaklajuti temuan BPK Peranan DPR dan DPRD masih perlu ditingkatkan untuk dapat mewujudkan

8 transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. Peranan DPR itu, disatu pihak, dapat dilakukan dengan melakukan sinkronisasi undang-undang agar jangan bertentangan antara satu dengan lainnya. Contoh pertentangan antara undang-undang itu adalah UU Perpajakan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Paket tiga UU Keuangan Negara Tahun 2003-2004. Di lain pihak, peranan DPR dan DPRD untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas fiskal juga dapat diwujudkan melalui tindak lanjut temuan BPK untuk menyempurnakan sistem pengendalian internal keuangan negara, Untuk dapat menindak lanjuti perbaikan kelemahan mendasar administrasi keuangan negara tersebut, BPK telah menyarakan kepada DPR untuk dapat membentuk suatu Panitia Akuntabilitas Publik (PAP). Di Parlemen negara asing PAP itu disebut sebagai PAC-Public Account Committee. Dinegara lain itu, PAP diketuai oleh anggota DPR dari partai oposisi untuk menjaga check and balance. PAP merupakan perwujudan dari kekuasaan DPR dan DPRD sebagai pemegang hak bujet. DPR dan DPRD di Indonesia sudah memiliki Panitia Anggaran untuk membahas rencana anggaran negara tingkat Pusat dan Daerah. DPR dan DPRD juga sudah memiliki komisi-komisi yang mengawasi penggunaan anggaran dan kinerja sektoral Departemen teknis. Namun, DPR dan DPRD kita belum memiliki PAP yang memantau pelaksanaan RAPBN dan RAPBD secara keseluruhan. Misalnya, tidak pernah dilakukan pengecekan oleh DPR dan DPRD bagaimana suatu instansi negara membelanjai dirinya, berapa dari sumber APBN/APBD dan berapa dari sumber lainnya. Contoh dari anggaran nonbujeter yang tidak masuk dalam APBN adalah dana nonbujeter yang tidak dilaporkan DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan). Contoh lainnya adalah pungutan Mahkamah Agung atas biaya perkara yang dipungutnya dari pihak yang berperkara atas dasar aturan yang dibuat oleh MA sendiri. Aturan internal MA itu tidak mengacu kepada UU PNBP dan penerbitannya tidak memperoleh ijin dari Depkeu sebagai bendaharawan negara. Otonomi daerah yang menyerahkan pengurusan sekolah dasar dan menengah, rumah sakit dan sebagian dari infrastruktur kepada daerah menuntut cara pengorganisasian dan pembelanjaan yang berbeda daripada pada masa pemerintahan yang sentralistis di masa lalu.

9 Peran Auditor dalam Perwujudan Good Governance

Governance is the exercise of political, economic, and administratif authority to manage a nation’s affair at all levels”. UNDP

ABSTRACT

he role of audit is vital in ensuring the proper financial and performance accountability report. Auditing is a systematic process of objectively obtaining and evaluating evidence regarding assertations about economic TT actions and events to ascertain the degree of correspondence between these assertations and established criteria and communicating the results to interested users. Audit is an examination that provides an objective and constructive assessment of the extent to which financial, human and physical resources are managed with due regard to economy, efficiency and effectiveness; and accountability relationships are reasonable served.

Audit contributes in implementing good governance through government financial audit, performance audit, and special audit (Act # 15 year 2004). State losses could be found out by implementing an effective audit such as forensic audit, investigative audit, or other types of auditing. Audit opinion for government financial report will trigger government to work in better manner, more transparent, participative, and accountable. The misuse of public office for private gain, the improper and unlawful behavior of public-service officials, both politicians and civil servants, whose positions create opportunities for the diversion of money and assets from government to themselves and their accomplices can be detected and found by audit. . This paper analyzes the auditor role in implementing good governance concerning financial accountability, transparency, and participation in order to achieve better public services. Discussion will be derived to find out the understanding of auditor role and good governance terminology fits for Indonesia environment. The purpose of this paper is to achieve common knowledge about government auditing implemented in Indonesia. Besides, reader will find out explanation from both theoretical approach and pragmatical approach as well.

1

Pendahuluan

Globalisasi ekonomi telah menghasilkan praktik-praktik bisnis transnasional, di mana aktor utamanya terkonsentrasi di berbagai organisasi transnasional. Hal ini tentunya menuntut kewaspadaan dari anggota masyarakat internasional terhadap potensi munculnya konsentrasi kekuasaan ekonomi, etatisme ekonomi, dan pasar bebas tanpa regulasi. Salah satu wujud kepedulian masyarakat internasional terhadap hal tersebut, maka dibentuk Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/ WTO) sebagai produk Putaran Uruguay dan persetujuan umum tentang Bea Masuk dan Perdagangan (GATT), yang memberlakukan aturan-aturan perdagangan internasional yang lebih bersifat liberal, dengan aturan-aturan yang merupakan rambu-rambu yang disepakati bersama untuk menghindarkan kerugian yang tidak perlu terjadi akibat perbedaan kemampuan ekonomi antar negara. Kesemuanya itu mendorong seluruh negara-negara di berbagai belahan dunia untuk mempersiapkan diri menyongsong era perdagangan bebas dalam rangka menurunkan hambatan perdagangan dan investasi yang konsisten dengan keputusan GATT/WTO. Berbagai forum kerjasama ekonomi juga dibentuk seperti Tata Ekonomi Dunia Baru (TEDB), kerjasama antar negara Gerakan NonBlok (GNB), Kelompok 15 (G-15), kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) dan ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang dibentuk oleh Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN), yang diharapkan menjadi sarana kerjasama ekonomi yang berkualitas dan berorientasi pada pasar bebas; di samping kerjasama perdagangan lainnya seperti Konferensi Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD), Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), dan lain-lain. Serbuan globalisasi yang semakin ganas dari segala penjuru disertai liberalisasi perdagangan dan investasi menjadikan perekonomian Indonesia semakin terbuka yang perlu disikapi dengan seksama. Perkembangan dan perubahan yang mendasar sudah mulai nampak jelas bagi kita semua. Terjadinya pergeseran dari ekonomi industri menjadi knowledge-based economy, dari input-driven growth ke innovation-driven growth, dari scarcity of resources ke abundance of knowledge (Thurow:1999), dari

2 diminishing returns ke increasing returns, dari stability ke discontinous change, dan dari perfecting the known ke imperfectly seizing the unknown (Prahalad: 1999). Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) yang berpusat di Paris menyiratkan bahwa pemikiran liberal harus didukung dengan perlunya mengajukan gagasan dan implementasi mengenai prinsip hak azasi manusia dan rule of law, good governance, representative government, demokrasi parlementer, competitive market economy, dan concern for the environment dalam kehidupan masyarakat dan pemerintahan. Sementara itu, kondisi perekonomian Indonesia pasca krisis moneter masih sangat memprihatinkan. Krisis perekonomian di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari lingkup global, yakni krisis perekonomian di Asia. Berdasarkan kajian world bank (Saefuddin Hasan, 2000), perusahaan di Asia termasuk kategori perusahaan bubble, yakni perusahaan-perusahaan yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek dan bermasalah dalam pencapaian kinerja kompetitifnya. Menurut Asian Development Bank (ADB), ada beberapa penyebab krisis moneter di Asia, yakni (a) Dewan komisaris dan dewan direktur yang tidak efektif; (b) adanya kebocoran dalam pengendalian internal perusahaan; (c) tidak menyajikan pengungkapan memadai dalam laporan keuangan perusahaan; (d) laporan keuangan perusahaan disajikan secara tidak wajar (creative accounting); dan (e) kurang patuh terhadap kebijakan organisasi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kondisi yang dialami oleh perekonomian Indonesia lebih kompleks lagi, yakni di samping lima hal yang telah disebutkan di atas ditambah lagi dengan munculnya dualisme dalam praktik usaha. Dualisme tersebut mencakup adanya kebijakan pemerintah yang positif, antara lain semangat deregulasi dalam arus pasar bebas, disisi lainnya adalah orientasi yang negatif berupa indikasi tingkat korupsi yang tinggi. Orientasi positif dan negatif ini mencerminkan kondisi pengelolaan perusahaan yang tidak baik. Secara agregat hal ini akan mengakibatkan “pembusukan” perekonomian nasional dan merugikan pihak-pihak lain (stakeholders) yang tidak berperan secara langsung dalam operasional organisasi, termasuk masyarakat luas. Dalam menghadapi lingkungan (turbulence environment) seperti sekarang ini, berkerja dengan baik saja tidak akan banyak bermanfaat. Tuntutan yang terus mengalir,

3 baik dari masyarakat dalam negeri maupun dunia internasional adalah perlunya reformasi manajemen dalam rangka perwujudan good governance dengan ketiga pilarnya yaitu: (1) Transparency, yakni keterbukaan dalam pengelolaan pemerintahan dan pengelolaan lingkungan ekonomi; (2) Accountability, yakni suasana pemerintahan yang bertanggung jawab mulai dari individu (intern/spiritual accountability) dan unit kerja yang paling kecil sampai dengan instansi/lembaga puncak (kepresidenan dan yang sederajat) atas pelaksanaan kebijaksanaan ekonomi, sosial, politik keuangan, dan praktik-praktik penyelenggaraan/pelayanan pemerintah pada masyarakat; (3) Partisipatif, yang bermakna penerapan pengambilan keputusan yang demokratis dan pengakuan atas hak kebebasan manusia/hak azasi manusia (HAM), kebebasan pers, dan kebebasan ekspresi aspirasi masyarakat.

Kondisi dan tuntutan good governance Upaya pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat ditampilkan dalam pencapaian kinerja sebagaimana komitmen yang telah ditetapkan. Melalui perbaikan kinerja, pemerintah dapat melakukan komunikasi dua arah dengan rakyatnya dalam rangka mencari titik temu pemecahan masalah-masalah yang terjadi.. Dalam melaksanakan pembangunan nasional, pemerintah memiliki tiga peran penting yaitu pelaksanaan fungsi alokasi (berkaitan dengan alokasi faktor-faktor produksi), fungsi distribusi (berkaitan dengan masalah seperti pemerataan pendapatan), dan fungsi stabilitasi (berkaitan dengan stabilitas bidang ekonomi, moneter, politik, sosial, budaya, hankamnas, dan sebagainya), yang perlu didukung dengan mekanisme pengukuran kinerja yang baik. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menguraikan mengenai azas akuntabilitas dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pemerintahan. Hal ini mengisyaratkan bahwa untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang responsif, bebas KKN serta berkinerja, kondisi akuntabilitas merupakan sufficient condition (kondisi yang harus ada) untuk dipenuhi. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah berupaya mewujudkan good governance di Indonesia. Upaya yang sedang sangat gencar dilakukan oleh pemerintah

4 saat ini adalah untuk menciptakan pemerintah yang bersih (clean government) dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Penciptaan pemerintah yang bebas dari KKN merupakan hal yang niscaya mengingat korupsi menekan pertumbuhan iklim investasi di Indonesia selama ini. Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat utama untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-cita bangsa dan negara. Dalam rangka itu, perlu dipadukan pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas, dan-nyata sehingga penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna, berhasil guna, bersih, bertanggung jawab, dan bebas dari KKN. Good governance adalah penataan hubungan antara lembaga-lembaga tinggi negara, antar lembaga pemerintah, termasuk juga hubungannya dengan masyarakat sebagai pihak yang memiliki kedaulatan dalam suatu negara demokrasi. Hubungan di antara ketiga komponen negara yakni pemerintah (state), kelompok bisnis (commercial), dan masyarakat madani (society) harus berjalan secara paralel, dalam level yang sama, tidak ada yang superior dan inferior. Terjadinya ketimpangan-ketimpangan mengindikasikan bahwa negara berada dalam kondisi berbahaya sebagai akibat munculnya ketidakpuasan di antara para komponen negara tersebut. Salah satu tonggak penting reformasi manajemen pemerintahan adalah dengan diberlakukannya Undang Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Semangat reformasi terlihat dari ketentuan-ketentuan yang terkait dengan asas-asas umum pengelolaan keuangan negara yang mengakomodasikan praktik-praktik terbaik dalam kaitan dengan penyelenggaraan good governance. Diperkenalkannya asas akuntabilitas berorientasi hasil (Result Oriented Accountability) atau yang umumnya dikenal dengan istilah akuntabilitas kinerja (Performance Accountability) dan transparansi (Tranparency) dalam pengelolaan keuangan negara merupakan perubahan paradigma yang signifikan. Selanjutnya, diberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa anggaran merupakan pernyataan kebijakan publik. Artinya, anggaran yang disusun oleh pemerintah dan kemudian akan disyahkan oleh DPR haruslah mendapatkan persetujuan dari publik.

5 Untuk itu, pemerintah harus terlebih dahulu menetapkan policy outcome yang menunjukkan kondisi perbaikan yang akan dicapai pemerintah sebagai wujud pelayanannya kepada masyarakat. Pesan dari PP tersebut jelas bahwa pengaturan bidang akuntansi dan pelaporan dilakukan dalam rangka untuk menguatkan pilar akuntabilitas dan transparansi. Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang akuntabel dan transparan, pemerintah daerah wajib menyampaikan pertanggungjawaban berupa (1) Laporan Realisasi Anggaran, (2) Neraca, (3) Laporan Arus Kas, dan (4) Catatan atas Laporan Keuangan. Laporan keuangan merupakan hasil dari proses akuntansi yang dapat dipergunakan sebagai alat untuk berkomunikasi antara data keuangan atau kegiatan suatu entitas dengan pihak-pihak yang berkaitan (stakeholders) dengan data atau aktivitas dari entitas tersebut. Pihak-pihak yang berkepentingan terhadap laporan keuangan antara lain adalah pihak manajemen, investor, pemegang saham, kreditor, pemerintah, karyawan dan serikat buruh, pemasok, konsumen, dan masyarakat umum lainnya yang pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yakni pihak internal dan pihak eksternal. Dari pihak-pihak tersebut manajemen merupakan pihak yang berkewajiban menyusun laporan keuangan entitas karena merekalah yang berada di dalam entitas dan merupakan pengelola aset entitas secara langsung. Di lain pihak, investor, pemegang saham, kreditor, dan pemerintah sebagai pihak yang menanamkan modalnya pada entitas tertentu, memberikan pinjaman pada entitas serta memiliki kepentingan dalam kaitannya untuk memperoleh dana pembangunan dalam bentuk pajak, merupakan pihak-pihak yang sangat berkepentingan dengan informasi laporan keuangan yang disajikan oleh pihak manajemen. Akuntansi berkembang dengan adanya kompleksitas transaksi dan tumbuhnya spesialisasi dalam ekonomi dan perkembangan organisasi. Dengan semakin modern organisasi, maka pemisahan antara fungsi kepemilikan dengan fungsi pengelolaan menjadi semakin-nyata. Dalam hubungan di antara keduanya pemilik berlaku sebagai principal dan manajemen bertindak sebagai steward. Ijiri (1975) dalam Dickhaul dan McCabe (1997) menjelaskan bahwa dalam mengembangkan akuntabilitas, terdapat tiga pihak yang saling terkait. Ketiga pihak tersebut adalah pihak accountee (steward) yang berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan implementasi amanah yang diterima

6 kepada pihak accountor (prinsipal). Agar informasi dalam pertanggungjawaban tersebut dapat mencapai tingkat kredibilitas yang diinginkan, keberadaan pihak ketiga yang independen menjadi penting. Pihak ketiga tersebut adalah accountant (auditor) yang berperan untuk meningkatkan kredibilitas informasi pertanggungjawaban dari accountee kepada accountor dan stakeholders lainnya. Masalahnya kemudian, bahwa perkembangan akuntansi sektor publik belum diikuti dengan tersedianya sumberdaya manusia yang memadai dalam disiplin ilmu akuntansi. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa konsentrasi akuntan yang bekerja pada sektor publik berada pada lembaga pemeriksa (dan juga pengawas) seperti BPK, BPKP, Inspektorat Jenderal, dan bawasda. Sementara kuantitas maupun kualitas akuntan yang bekerja pada unit-unit pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah masih memprihatinkan. Manajemen keuangan pemerintah masih jauh dari yang diharapkan.

Peran auditor yang diharapkan Sejak awal perkembangannya, akuntansi telah dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan informasi bagi hubungan antara trustor dengan trustee. Sebagai driver bagi berjalannya akuntansi, transaksi bergerak kearah yang semakin kompleks dan diikuti dengan tumbuhnya spesialisasi dalam ekonomi dan perkembangan organisasi. Dalam kondisi semakin modernnya organisasi, pemilik semakin sulit untuk melaksanakan sendiri fungsi-fungsi pengelolaan. Oleh karena itu, pemisahan antara fungsi kepemilikan dengan fungsi pengelolaan menjadi semakin-nyata. Dengan berbagai keterbatasan, pemilik sumber daya (capital suppliers) mempercayakan (trust = amanah) pengelolaan sumber daya tersebut kepada pihak lain (steward = manajemen) yang lebih capable dan siap. Mereka saling percaya bahwa pihak pengelola akan bertindak sesuai dengan keinginan (interest) pemilik. Stewardship theory mendasarkan pada adanya kepercayaan dari pihak pemilik kepada pihak lain untuk mengelola sumber dayanya. Kebijakan akuntansi merupakan suatu proses pemilihan metode pelaporan alternatif, sistem pengukuran, dan teknik pengungkapan tertentu dari semua yang mungkin tersedia dan dapat membantu bagi pelaporan keuangan organisasi (Hendrickson, 1982). Sebagai pihak yang mempunyai kebebasan dan kreativitas, manajemen dapat melakukan pilihan-pilihan tertentu terhadap berbagai alternatif

7 prosedur yang tersedia. Dalam perkembangannya, accounting choice merupakan salah satu cara dalam creative accounting practices (Mulford dan Comiskey, 2002). Praktik-praktik ini memberikan peluang bagi organisasi untuk melakukan berbagai penyelewengan dan korupsi. Dalam kasus Enron, perusahaan menerapkan creative accounting untuk hal-hal seperti off balance sheet SPEs, timing of revenue recognition and estimation of value of merchant investment. Dengan pemilihan metode akuntansi, perusahaan secara kreatif dapat merancang tampilan kinerja yang diinginkan manajemen sebagaimana yang terjadi dalam income smoothing (Moses, 1997). Realita menunjukkan ketidakberdayaan profesi akuntan dalam mewujudkan good governance, yang dipicu dengan terjadinya korupsi dalam permintaan dan penawaran. (Tanzi, 1998). Dari sisi permintaan dimungkinkan karena adanya (1) Regulasi dan Otorisasi yang memungkinkan terjadinya korupsi, (2) Karakteristik tertentu dari sistem perpajakan dan (3) adanya provisi atas barang dan jasa di bawah harga pasar. Sedangkan dari sisi penawaran dimungkinkan terjadi karena (1) tradisi birokrasi yang cenderung korup, (2) rendahnya gaji di kalangan birokrasi, (3) konrol atas institusi yang tidak memadai, dan (4) transparansi dari peraturan dan hukum. Berkaitan dengan permasalahan tersebut, pengawasan memainkan peranan yang penting dalam monitoring implementasi pelaksanaan tugas dan pencapaian tujuan yang tercantum dalam anggaran entitas. Berbagai penelitian dalam pengawasan menyimpulkan bahwa prinsipal (pemberi amanah) menginginkan jasa pengawasan dalam rangka mengurangi permasalahan tersebut yang juga disebut sebagai konflik keagenan (Chow, 1981; Simunic, 1980; DeAngelo, 1981 dan Watts & Zimmerman, 1983). Pengawasan merupakan fungsi yang tidak terpisah dari pengelolaan organisasi modern. Fungsi pengawasan diperlukan untuk membantu setiap manajemen yang bertanggung jawab pada suatu aktivitas atau kegiatan, untuk mencapai tujuan organisasi dengan cara yang paling sejalan dengan kepentingan organisasi. Dengan kondisi yang semakin turbulence yang mendorong complexity dan chaos (Sanders, 1998) dan tuntutan akan social acceptance yang semakin besar, kualitas jasa dan produk menjadi indikator kinerja yang harus dicapai organisasi. Pengawasan dituntut untuk memberi added value dalam proses pembentukan dan pencapaian nilai organisasi. Fungsi pengawasan terdiri dari beberapa

8 kegiatan, di antaranya adalah kegiatan pemeriksaan (audit). Pemeriksaan (audit), sebagai salah satu kegiatan dalam fungsi pengawasan, menurut the American Accounting Association adalah suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai pernyataan-pernyataan kegiatan dan kejadian ekonomi. Hal ini diperlukan untuk menentukan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan serta mengkomunikasikan hasil-hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam rangka mewujudkan akuntabilitas dan transparansi, kegiatan audit sangat esensial. Hasil audit akan memberikan umpan balik bagi semua pihak yang terkait dengan organisasi. Untuk itulah keseluruhan proses audit harus dilakukan secara berhati- hati dan konsisten dengan kaidah-kaidah profesi. Proses audit melalui prosedur yang berjenjang, dan setiap tahapan akan melibatkan judgmen auditor atas suatu kejadian atau fakta. Dalam menjalankan tugas-tugas auditnya auditor menggunakan keahliannya dalam pengumpulan bukti-bukti termasuk dengan judgmen. Menurut Kida (1984) auditor membuat judgment dalam mengevaluasi pengendalian intern, menilai risiko audit, merancang dan mengimplementasikan pemilihan sampel dan menilai serta melaporkan aspek-aspek ketidakpastian. Auditor secara eksplisit maupun implisit memformulasikan suatu hipotesis terkait dengan tugas-tugas judgemen mereka. Setelah hipotesis itu dibingkai, kemudian mereka mencari data untuk menguji hipotesis-hipotesis (dugaan- dugaan) yang diformulasikan. Sebelum tahun 1900, audit difokuskan untuk memenuhi kebutuhan akan independent check pada balance sheet audit. Auditor melaksanakan berbagai tugas audit, termasuk di dalamnya pengamatan pada pemeriksaan fisik barang, verifikasi dan inspeksi dokumentasi yang mendukung angka – angka dalam neraca, konfirmasi pada pihak ketiga, dan lainnya. Untuk memenuhi audit ini, auditor harus memahami metode pembukuan (bookkeeping) dan prosedur pencatatannya. Pada akhir abad ke-19, akuntansi dan auditing mengalami perubahan yang cukup radikal, dikarenakan masyarakat barat berpindah dari sistem pertanian ke sistem industri. Perubahan ini berpengaruh pula pada akuntansi dan auditing pada saat sekarang ini, terutama dalam hal pengambilan keputusan oleh manajemen berdasarkan informasi laporan keuangan.

9 Lebih jauh, guna memelihara hubungan antara masyarakat anggota organisasi dengan manajemen, pelaksanaan kegiatan audit dipandang sebagai pendekatan atau solusi yang paling ekonomis dan praktis (Wallace, 1987). Fungsi yang dimaksudkan disini diharapkan dapat menjadi kepanjangan tangan dan mata masyarakat untuk menilai dengan kompetensi khusus tindakan dan laporan yang disampaikan oleh manajemen. Karena itu, dewasa ini sukar ditemukan organisasi sosial dan ekonomi yang berorientasi pada hak-hak demokrasi anggotanya yang eksis tanpa lembaga audit. Dengan demikian, audit merupakan fungsi yang sangat instrumental dalam perwujudan manajemen yang dapat beroperasi dengan good corporate governance. The Economic Development Institute (EDI) of the World Bank dengan berbagai pihak dalam rangka upaya memberantas KKN, telah memperkenalkan konsep yang disebut Pillars of integrity. (Langseth, Stapenhurst, and Pope, 1997; Dye and Stapenhurst, 1998). Konsep mengenai sistem integritas nasional tersebut setidaknya melibatkan 8 (delapan) lembaga yang disebut Pillars of integrity, yaitu (1) lembaga eksekutif, (2) lembaga parlemen, (3) lembaga kehakiman, (4) lembaga-lembaga pengawas ("watchdog" agencies), (5) media, (6) sektor swasta, (7) masyarakat sipil, dan (8) lembaga-lembaga penegakkan hukum. Termasuk ke dalam pilar lembaga-lembaga pengawas antara lain badan-badan pemeriksa/pengawas, kantor-kantor akuntan publik, lembaga anti korupsi dan ombudsman. Sedangkan yang termasuk pilar sektor swasta antara lain kamar dagang, asosiasi industri, dan asosiasi profesional. Organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga keagamaan, dan LSM termasuk ke dalam pilar masyarakat sipil. Akuntan adalah bagian dari lembaga pengawas karena pada umumnya berprofesi sebagai auditor adalah akuntan. Akuntan adalah lembaga profesional oleh karena itu juga dapat masuk ke dalam pilar sektor swasta atau lembaga eksekutif. Kondisi tersebut di atas menjadikan lembaga profesi akuntan mempunyai tugas dan kewajiban terhadap auditornya yang terlibat dalam proses pemeriksaan akuntan (auditing) agar tetap menjunjung tinggi profesionalisme mereka. Tuntutan profesionalisme bagi auditor antara lain: (1) meningkatkan dan mengembangkan ilmu dan seni akuntansi, (2) menjaga kepercayaan publik kepada profesi, (3) mengadakan dan menjalankan setiap program dan kegiatan profesi yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas jasa yang diberikan profesi.

10 Sebagai lembaga profesional di samping harus mampu membina auditornya, juga harus mampu mengawasi dan menindak anggotanya yang melanggar kode etik profesi. tugas dan kewajiban akuntan publik dalam hal ini memang tidak mudah tetapi bukan hal yang tidak mungkin. Dengan demikian lingkup aktivitas profesi akuntan yang semakin luas, tentunya memilki implikasi yang luas pula salah satunya adalah tantangan bagaimana akuntan mampu mengembangkan kualitas profesinya. Sebab untuk dapat melaksanakan aktivitas- aktivitas di atas, maka keahlian yang perlu disiapkan oleh para akuntan juga menjadi semakin kompleks. Disisi lain, peningkatan lingkup aktivitas tersebut, juga merupakan peluang bagi profesi akuntan untuk memperluas jasa-jasa yang ditawarkan. Dalam konteks ini, untuk mengimbangi luasnya lingkup aktivitas profesi akuntan, maka keahlian-keahlian atau pengetahuan berikut perlu dimiliki para akuntan. Pertama pengetahuan tentang hukum bisnis. Tujuannya adalah, agar para akuntan mampu mengidentifikasi perilaku-perilaku bisnis (seperti monopoli, kartel, oligopoli, dan sebagainya). Kedua, pemahaman tentang ekonomi industri. Pemahaman ini diperlukan agar para akuntan mampu mengidentifikasi struktur industri serta posisi entitas dalam industri. Ketiga, keahlian sebagai analis. Kenyataan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa peran analis future ternyata jauh di atas dibandingkan peran laporan auditing (yaitu 70%, sedangkan laporan auditing 30%). Mengapa demikian? Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan perbedaan tersebut: (1) para analis mampu membuat laporan keuangan menjadi lebih hidup melalui analisa-analisa kuantitatif (seperti analisis rasio, prediksi kebangkrutan melalui data-data keuangan, dan sebagainya), (2) selain analisis kuantitatif para analis juga memberikan analisis kualitatif, seperti budaya perusahaan, keunggulan manajemen, prospek pertumbuhan, dan strategi pencapaiannya yang kesemuanya tidak terekam dalam laporan keuangan. Secara institusi, dengan adanya tuntutan yang begitu besar terhadap peran akuntan dalam mewujudkan good governance, IAI perlu menata kembali aktivitas yang dilakukan para anggotanya. Selain membekali berbagai keahlian seperti tersebut di atas, melalui berbagai program Pendidikan Profesi Berkelanjutan, secara legalitas IAI juga perlu memperkuat landasan bagi profesi akuntan. Dalam konteks ini, jika selama ini standar

11 akuntansi dan auditing yang telah ditetapkan IAI masih mengacu pada catatan keuangan (kuantitatif) semata, maka kini saatnya klausul-klausul kualitatif, ikut tercakup dalam standar. Dengan demikian, bagi IAI kini sudah saatnya untuk mempertimbangkan membuat suatu standar agar klausul-klausul kualitatif menjadi bagian dalam pelaporan keuangan yang terpublikasi. Sementara itu, pertimbangan penentuan opini terhadap sebuah laporan keuangan, juga sudah tidak relevan lagi jika hanya didasarkan pada kewajaran laporan keuangan, tetapi juga termasuk di dalamnya perlu dipertimbangkan klausul-klausul kualitatif yang terjadi pada perusahaan, seperti kewajaran transaksi. Zeune (1994:150) menyatakan bahwa salah satu peran penting akuntansi dalam upaya preventif terhadap korupsi adalah melalui kredibilitas pengungkapan informasi akuntansi. Permasalahan dalam pelaporan akan mengurangi upaya preventif dalam mencegah berlangsungnya praktik korupsi. Hal ini sesuai dengan pengungkapan dari global corruption report 2001 yang menyatakan bahwa organisasi yang korup akan berupaya untuk tidak transparansi kepada publik. Klitgard (1988), menyatakan bahwa salah satu komponen dalam strategi pembersihan korupsi adalah dengan menciptakan sistem evaluasi kinerja yang dilakukan oleh kegiatan audit. Dengan tuntutan yang sedemikian besarnya terhadap auditor, maka perlu dipersiapkan auditor yang mampu memenuhi harapan semua pihak tersebut. Kemampuan yang harus dimiliki oleh auditor mencakup kemampuan untuk menggambarkan posisi keuangan dan kinerja keuangan pemerintah, apakah telah disajikan secara wajar serta didukung dengan bukti-bukti yang handal. Messier Jr (2003) menyebutkan bahwa terdapat dua jenis audit yaitu financial audit dan compliance audit. Dalam banyak praktik untuk aktivitas entitas komersial dan nirlaba, hanya mereka yang memikiki sertifikat akuntan publik saja yang kapabel dan kompeten untuk melakukan financial audit. Kantor akuntan publik biasanya akan ditunjuk oleh entitas komersial untuk melakukan audit terhadap laporan keuangannya. Dengan opini yang diberikan oleh akuntan publik terhadap laporan keuangan tersebut, pengguna laporan keuangan meliputi pemegang saham, kreditur, dan pemerintah akan mendapatkan keyakinan mengenai kredibilitas laporan keuangan entitas tersebut.

12 Dalam sektor publik (baca pemerintahan), UU nomor 15 tahun 2004 telah secara jelas mengatur mengenai masalah pemeriksaan (audit). BPK adalah Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam UUD tahun 1945. BPK melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Pemeriksaan tersebut meliputi seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam UU nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara. Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan ketentuan undang-undang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan. Dalam menjalankan tugasnya, auditor harus memiliki kemampuan hal-hal berikut ini: (a) menilai aktivitas atau informasi yang disajikan dengan membandingkannya terhadap recognized framework atau pre-determined-criteria. (b) Mengumpulkan bukti-bukti untuk mendukung penilaian tersebut. (c) Berdasarkan bukti-bukti yang telah berhasil dikumpulkan, auditor kemudian menyiapkan opini audit yang disajikan dalam laporan hasil audit.

Dengan demikian, dalam financial audit, auditor harus mampu memberi keyakinan bahwa financial statement yang disajikan secara keseluruhan telah sesuai dengan kriteria yakni standar akuntansi yang berlaku di Indonesia. Untuk itulah, auditor diharapkan mampu mengumpulkan bukti-bukti, menganalisis, dan menginterpretasikan semua data yang dikumpulkan untuk memperoleh keyakinan mengenai laporan keuangan entitas. Dengan kemampuan tersebut, auditor akan sampai kepada pemberian opini yang sesuai terhadap laporan keuangan tersebut. Kemampuan lainnnya yang dituntut bagi independent auditor adalah melaksanakan audit ketaatan (compliance audit). Audit ini ditujukan untuk menguji apakah auditan telah mematuhi prosedur, aturan, dan kebijakan tertentu yang telah ditetapkan oleh organisasi di atasnya (Arens et al, 2005). Untuk itu, auditor dituntut untuk memiliki kemampuan memahami berbagai peraturan baik pada Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah. Auditor harus memiliki kemampuan untuk memahami manajemen publik, manajemen keuangan, manajemen pelayanan publik, dan kebijakan publik.

13 Penutup Agar Good Governance menjadi kenyataan dan sukses, dibutuhkan komitmen dari semua pihak, pemerintah,sektor privat, dan masyarakat. Good governance yang efektif menuntut adanya alignment (keselarasan, keserasian, dan keseimbangan) yang baik dan interpretasi serta etos kerja dan moral yang tinggi. Dengan demikian penerapan konsep Good Governance sebagai praktik yang baik dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintah negara merupakan tantangan tersendiri, akan tetapi masih bisa dilaksanakan. PP nomor 24 tahun 2005 menyatakan bahwa anggaran merupakan pernyataan kebijakan publik. Artinya, anggaran yang disusun oleh pemerintah dan kemudian akan disyahkan oleh DPR haruslah mendapatkan persetujuan dari publik. Untuk itu, pemerintah harus terlebih dahulu menetapkan policy outcome yang menunjukkan kondisi perbaikan yang akan dicapai pemerintah sebagai wujud pelayanannya kepada masyarakat. Standar Akuntansi Pemerintahan mensyaratkan adanya empat komponen laporan keuangan. Keempat komponen tersebut yaitu (a) Neraca, (b) Laporan Realisasi Anggaran,(c) Laporan Arus Kas, dan (d) Catatan atas Laporan Keuangan. Laporan- laporan tersebut merupakan satu kesatuan yang harus disajikan sebagai pertanggungjawaban. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, keberadaan akuntan sektor publik harus terus diupayakan untuk memenuhi perkembangan akuntansi sektor publik. Pengguna utama laporan keuangan pemerintah adalah masyarakat, para wakil rakyat, lembaga pengawas, lembaga pemeriksa, donatur, kreditor, investor, dan pemerintah itu sendiri. Informasi yang disajikan dalam laporan keuangan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan informasi semua kelompok pengguna. Laporan keuangan tidak dirancang untuk memenuhi kebutuhan informasi spesifik. Sebagai pengguna utama laporan keuangan dan laporan kinerja pemerintah, DPR/DPRD perlu memahami serta membaca mengenai content laporan tersebut. Tanpa memahami substansi laporan tersebut, DPR/DPRD akan bias dalam melakukan pengambilan keputusan baik politis maupun ekonomis. Berkaitan dengan hal tersebut, auditor (akuntan) harus ikut memaksimalkan kontribusinya dalam peningkatan profesionalisme melalui peningkatan kapabilitas dan kompetensi. Oleh karena itulah, Ikatan Akuntansi Indonesia sebagai lembaga tempat bernaungnya seluruh akuntan di Indonesia perlu mencanangkan visi yang kuat dalam

14 pembinaan kepada semua anggota. IAI harus berupaya keras agar kiprahnya dapat dirasakan oleh masyarakat dan pemerintah secara kongkrit melalui penciptaan informasi akuntansi yang kredibel. Harus benar-benar dicanangkan bahwa IAI ada karena masyarakat. Dengan demikian, peran dan fungsinya adalah untuk mencegah munculnya malpraktik anggota yang sangat merugikan negara dan masyarakat.

BAHAN BACAAN Alatas, Syed Hussein. 1987, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, Jakarta, LP3ES Arkin, Herbert. 1982. “Sampling Methods for Auditors: An Advanced Treatment.”McGraw-Hill Book Company. New York Asian Development Bank, Juni 1998, Kebijakan Anti Korupsi, Jakarta Arens, Alvin A. Randal J. Elder, dan Mark S. Beasley , 2005. Auditing, Assurance Services an Integrated approach, 9th ed. ,New Jersy\ey : Prentice Hall inc, hal 2 Auditor Geneneral Western Australia, 1997. Examining and Auditing Public Sector Performance, Auditor General ,Western Australia Bologna G. Jack dan Robert J. Lindquist. 1995, Fraude Auditing and Forensic Accounting, John Willey and Son, Inc Boynton, William C. Raymod N. Johnson and Walter G. Keil ,2001. Modern Auditing, sixth and seventh edition, John Willey and Son, Inc. Carmichael and John J. Willingham, 1990. Auditing Concepts and Method, a guide to current auditing theory and practice, international edition, McGraw Hill Center for The Study of Democracy, 1998. Accounting for Corruption: economic structure, Democratic Norms, and Trade, University of California Irvine. Chan, Thomas, 1993. Planning in the Fight Against Corruption, Makalah ynag disampaikan pada International Anti Corruption Conferrence, Cancun-Mexico. Chow, C.W. 1983, The Impact of Accounting Regulation on Bondholder and Shareholder Wealth: The Case of the Securities Acts. The Accounting Review, 38 (3). Comptroller and Auditor-General of Bangladesh, 2000. Performance Audit Manual, Comptroller and Auditor-General of Bangladesh, Dhaka Coram, Paul; Gurdarshan S. Gill 1994. Study Guide to a Company Modern Auditing, Australia, John Willey & Sons Australia ltd. DeAngelo, L.E. 1981, Auditor Independence, “Low Bailing,” and Disclosure Regulation. Journal of Accounting and Economics 3 (2):113-127. Donaldson, Lev and James H. Davis,, June 1991. Stewardship Theory or Agency Theory: CEO Governance and Shareholder Returns, Australian Journal of Management, University of New South Wales. Eliot, Kimberly Ann, 1997. Corruption and the Global Economy, Washington, DC, Institute for Internation Economics.

15 Hendrickson, Eldon (1982), Accounting Theory, Richard D Irwin, Inc, Homewood, Illinois, Herbert, Leo, 1979. Auditing, The Performance of Management, Belmont, California: Wadsworth, Inc, Life Learning Publications. Moeler, Robert and Herbert N. Witt, 1999. Internal Auditing, 5th ed. New York, John Willey & Son, Moeler, Robert N. 2004. Sarbanes Oxley and the New Internal Auditing Rules, Canada, John Wiley and Son. Moses G.D 1987, Income Smoothing and Incentives, Empirical Test Using Accounting Changes, Accounting Review, April:358-377. Klitgaard, Robert, 1988. Controlling Corruption, Oxford, England, University of California Press. Langseth, Petter, 1999. Prevention, An Effective Tool to Reduce Corruption, Vienna Lanham, D. Weinberg, M. Brown, K.E. & Ryan, G.W. 1987. Criminal Fraud, Law Book Company, Sidney Messier Jr, William F. 2003. Auditing and Assurance Services, Third Edition, Irwin, New York, McGraw Hill. Mulford, Charles W. dan Eugene E. Comiskey, 2002. The Financial Numbers Game, New York, NY , John Willey and Son inc. OECD, 2004, “OECD Principles of Corporate Governance.” Pope, J. 2000. TI Source Book 2000, Confronting Corruption, The Elements of a National Integrity System. Germany:Transparency International. Pavarala, Vinod, 1996, Interpreting Corruption Elite Perspectives in India, Sage Publication, London. Prahalad, C K 1999, The End of Corporate Imperialism, Harvard Business Review. Sawyer, Lawrence B. et al, 2003. Sawyer’s Internal Auditing, The practice of Modern Internal Auditing, 5th Edition, Florida, The Institute of Internal Auditors. Snyder. Gary, 1990, The Paradise of the Wild, San Francisco, North Point Press Thurow, Lester Carl, 1999, Head to Head. Watts, Ross L, and Jerold L. Zimmermann, 1986, “Positive Accounting Theory,” New Jersey: Prentice Hall International Inc. Watts, Ross L, and Jerold Zimmermann, 1990, “Positive Accounting Theory, a Ten Year Perspective” the Accounting Review, Vol 65, No 1, January, p 131-156. Zeune, Gary D, 1994, The CEO’s Complete Guide to Committing Fraude, Columbus, Ohio, Lori Pingel and Association.

16 PUBLIC OPINION AND ETHICS: A COMPLEX RELATIONSHIP

NATIONAL AUDIT CONVENTION IN CONJUNCTION WITH 100th ANNIVERSARY OF THE AUDIT INSTITUTION OF MALAYSIA 14 FEBRUARY 2006, MALAYSIA

Introduction

Ladies and Gentlemen,

Thank you for this opportunity to share with you my views and experiences on the relationship between ethical conduct and public opinion in the public sector audit environment from an Indonesian perspective.

This morning Yang Berbahagia Datuk Dr. Sulaiman bin Mahbob made his excellent presentation about Accountability and Good Governance: Public Expectations and the Auditors’ Role.

My presentation will expand on this theme by showing that tension arises because the public does not always fully understand many of the critical and complex constraints placed upon our public sector auditors.

Recent events in Indonesian have highlighted the fact that public expectations are generally not in alignment with the legal and ethical environment in which our public sector auditors currently operate. The need for eradicating corruption is indeed undeniable. For example, as documented in a recent World Bank report titled “Indonesia: Beyond Macro-Economic Stability”, there is a clear correlation between national economic performance and corporate governance.

Unfortunately, Indonesia ranks last among Southeast Asian markets when corporate governance is measured by a combination of factors. This clearly emphasizes the urgent need to delineate the roles and responsibilities of the various government agencies empowered to improve corporate governance.

As we all know, the media plays a prominent role in shaping public opinion, and it is therefore imperative that the media be well informed and educated regarding the purpose, function, and limitations of a modern supreme audit institution.

1

2 Public Expectations and Ethical Issues: Key Questions for Public Auditors

Early last year, during the course of an investigative audit, we uncovered corruption in a prominent government agency. This particular case highlighted gaps between public opinion and our governing rules and regulations, and further demonstrated that we need to do a better job of educating our professional staff in their statutory roles and responsibilities.

Probably the highest priority question was how auditors should report suspicions of corruption that may arise during the course of their audit work. We all agree that corruption must ultimately be reported to the correct authorities; however, the procedures and sequencing of these reports is the question at hand.

Related to this question is whether or not a public sector auditor should be involved in conducting investigative work directly with police agencies and, if so, what procedures should be followed under these circumstances.

We must always keep in mind that everything we do, including joint operations with other agencies, must be in accordance with our constitutional mandates and legislative and regulatory environment.

Does the end justify the means? Certainly not. As I will point out during this presentation, we are building a nation based on the rule of law in Indonesia, and there is never a justification for breaking laws to catch law breakers.

May an auditor use his or her audit or investigation to “blow the whistle” to external parties?

In keeping with the scenario that I have laid out, let us for a moment consider whether an auditor who uncovers corruption in the course of his or her routine audit duties should independently decide to report the matter to an external police agency.

It is generally accepted that the audit process is not an investigation in the sense of a police inquiry, but rather a systematic process that leads to assertions made as to the veracity of financial statements and the effectiveness of government policies and programs.

Clearly, the audit process is not designed for the primary purpose of identifying corrupt activity. Of course, it is logical to expect that compliance audits, by highlighting areas of noncompliance, could indicate areas of concern and it is incumbent upon the auditor to report these matters in the audit report.

As a matter of public responsibility, suspicions of fraud or other corruption should be reported as they arise. I have instructed my staff to prepare procedures to deal this issue.

3 In particular, I want these procedures to clearly define content, timeframes, and channels of communication, both internally and externally.

In addition, clear guidance should be provided in the procedures as to whether or not to continue with the standard audit process when potential corruption has been uncovered. There is a risk of contaminating evidence when an audit is continued when a suspicion of fraud or corruption remains unresolved. Is a “sting operation” an acceptable audit procedure?

Clearly the answer to this question is “NO”.

Auditors are not criminal investigators and as a rule are not trained in criminal investigation techniques.

While “sting operations” may appeal to a public that is hungry for action in the fight against corruption, they are beyond the responsibility of an audit organization. This is a key example of the discrepancy between public opinion and the deliverable outputs of a supreme audit institution.

The media fuels the public hunger, often at the expense of a greater public awareness of the true role of the public auditor.

There are several clear problems with audit institutions conducting sting operations including a loss of objectivity and the creation of potential and actual conflicts of interest, which will inevitably result in a diminished capacity to produce fair and unbiased audit reports.

Ultimately, these ethical dilemmas will damage the integrity that is at the heart of the audit function and must be avoided as a matter of course.

As with “whistleblowing”, no other conclusion is possible except that procedures must be in place to provide clear direction to auditors faced with the ethical dilemmas arising from participation in “sting operations”.

Must auditors always conform to constitutional restraints and mandates of the SAI?

YES.. We are public servants who are legally bound to uphold the Constitution of our Republic.

As professional auditors, we are not only bound by constitutional restraints and mandates, but also by codes of conduct, professional standards, and peer group scrutiny.

Failure to adhere to these restraints and mandates may actually be criminal acts in some circumstances. We must make all efforts to ensure our staff are properly supported and

4 protected by the full force of our Constitutional Republic while still holding our organization accountable to the public at large.

As with the other topics we have discussed, these issues must be clearly addressed in audit standards and procedures manuals, and we must ensure that our professional staff are adequately trained and proficient in their application.

Does the end justify the means?

NO.. This is more than a philosophical statement. If we do not follow lawful procedures at every step of the way, all of our conclusions, findings, and recommendations will be tainted.

The proper end can only be reached in a meaningful way if lawful procedures are followed.

All auditors must know the correct procedures for dealing with matters of ethical concern, and have the willingness and support to act accordingly. This requires an organizational commitment to doing audits the right way.

It is not sufficient that the public and the media be the only mechanisms to hold us accountable on these issues. We ourselves must monitor our procedures and ensure that they align with the ethical expectations of the government and people of Indonesia.

At all times compliance must be monitored and violations of ethical guidelines must be identified, assessed, and rectified. As Indonesia’s supreme audit institution, we must hold ourselves to a higher level of ethical standards than those we wish to enforce our standards upon.

Failure to comply with these standards will result in very specific costs to our nation including, but not limited to, the loss of institutional integrity, loss of public trust, civil actions against government officials, and, ultimately, the evasion of law by criminal elements in our society.

By way of conclusion, it is common knowledge that when Soeharto stepped down in May of 1998, he left behind a bureaucracy embedded with massive corruption. Understandably, but unreasonably, the Indonesian people expected a quick fix. Putting corruptors behind bar was the order of the day. Unfortunately, many ethical and other issues were conveniently ignored and the role of the supreme audit institution was jumbled at times in the rush to achieve good governance.

I hope this discussion has helped us to continue to progress toward a more mature public understanding of the roles and responsibilities of a modern public sector audit organization.

5 Negara di Lingkungan TNI/Polri1

Sebagaimana diamanatkan dalam UU NO.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, salah satu tugas Polri adalah menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat. Sebagai penegak Kamtibmas, Polri diharapkan dapat menegakkan tertib hukum dengan menindaklanjuti penyidikan temuan BPK yang berkaitan dengan dugaan tindak pidana korupsi. Sebagai aparat penegak hokum, Polri sekaligus dituntut untuk menjadi panutan dalam menaati segala peraturan perundangan dan peraturan di bidang pengelolaan keuangan negara. Reformasi manajemen keuangan negara telah dimulai dengan lahirnya Paket Tiga Undang- Undang di bidang keuangan negara2. Ketiga undang-undang tersebut telah memberikan dasar yang kuat untuk mewujudkan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan negara. Dalam hal ini, Polri hendaknya menjadi pelopor dalam mengimplementasikan Paket Tiga UU di bidang keuangan negara tersebut. Sebagaimana diketahui, Paket UU Keuangan Negara itu harus sudah dimplementasikan paling lambat akhir Desember 2006. Namun dalam kenyataan, masa transisi dari sistem administrasi keuangan negara ke sistem keuangan yang lebih tertib berdasarkan paket ketiga UU di atas masih memerlukan waktu. Ini terjadi di seluruh instansi pemerintahan dan bukan saja merupakan ciri khas Polri. Masa transisi yang lebih panjang itu terjadi karena tiga hal. Pertama, sistem akuntansi keuangan negara yang baku belum tersedia untuk menerapkan ketiga UU keuangan negara tahun 2003-2004 tersebut. Kedua, neraca awal negara tidak kita miliki, antara lain, karena tidak adanya daftar stok kekayaan maupun hutang/piutang negara. Ketiga, tenaga pelaksana yang menguasai dasar-dasar ilmu akuntansi masih sangat langka di seluruh jajaran instansi pemerintahan kita, termasuk di Polri. Karena ketiga alasan di atas, maka berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan di untuk TA 2005 dan TA 2006, BPK masih menemukan enam jenis kelemahan administrasi keuangan negara di lingkungan Polri sebagai berikut. Kelemahan pertama adalah bahwa pertanggungjawaban keuangan yang ada hanya bersifat formalitas dan tidak mencerminkan kondisi sebenarnya. Kedua, penerimaan jasa

1 (Ceramah Ketua BPK RI pada Rakernis Itwasum Polri Jakarta 17 Januari 2007

2 Ketiga undang-undang mengenai Keuangan negara itu adalah (i) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; (ii) UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan (iii) UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

1 pelayanan Polri tidak atau terlambat disetorkan ke kas negara dan ada sebagian yang dikelola di luar sistem APBN. Ketiga, adanya duplikasi sumber pembiayaan untuk kegiatan operasi pengamanan pilkada dan kegiatan penerimaan anggota Polri baru. Keempat, penjualan sebagian alokasi Bahan Bakar Minyak dan Pelumas (BMP) untuk mendukung operasional. Praktik dalam butir kedua dan keempat merupakan kebiasaan di masa lalu yang menambah anggaran formal dengan anggaran nonbujeter. Kelima, denda keterlambatan pengadaan barang dan jasa tidak dikenakan. Kelemahan yang keenam adalah kelebihan pembayaran kepada rekanan pengadaan barang dan jasa. Karena berbagai kelemahan dalam penatausahaan keuangan negara tersebut, tindak lanjut rekomendasi pemeriksaan BPK atas keuangan negara di lingkungan Polri masih juga belum seperti yang diharapkan. Dari sebanyak 212 temuan pemeriksaan BPK sampai dengan Semester I TA 2006, dengan nilai sebesar Rp342,47 miliar, US$7.17 juta dan Euro 2.38 juta baru ditindaklanjuti sebanyak 120 temuan pemeriksaan (56,60%) dengan nilai sebesar Rp86,29 miliar, US$ 1.13 juta dan Euro 1.45 juta. Sisa temuan sebanyak 92 temuan pemeriksaan dengan nilai sebesar Rp256,17 milyar, US$ 6.03 juta dan Euro 0.92 juta sampai dengan akhir semester I TA 2006 belum ditindaklanjuti oleh Polri. Prestasi Polri untuk menindaklanjuti temuan BPK adalah berada di bawah rata-rata prestasi intansi pemerintahan lainnya. Belum optimalnya tingkat tindak lanjut atas rekomendasi BPK dapat mengakibatkan munculnya permasalahan berulang karena sumber penyebab yang menjadi perhatian BPK tidak segera diselesaikan. Dewasa ini pemeriksaan BPK bertujuan untuk memperbaiki tata kelola keuangan negara agar lebih transparan dan akuntabel sehingga dapat mencapai empat aspek sasaran reformasi sistem social Indonesia. Sasaran reformasi tersebut adalah (i) menggantikan sistem politik yang otoriter dengan demokrasi, (ii) menggantikan sistem pemerintahan yang sentralistis dengan memberikan otonomi luas kepada daerah, yakni kabupaten/kota (iii) menggantikan sistem ekonomi terpusat dan intervensi pemerintah dengan sistem mekanisme pasar dan persaingan global dan (iv) meningkatkan governance dunia usaha nasional, utamanya BUMN/BUMD, agar mampu bersaing di pasar global. Pemisahan Polri dari TNI dan pengakhiran TNI/Poiri dari politik praktis atau, Dwifungsi yang excessive di masa lalu, merupakan bagian dari transformasi sistem sosial ke arah yang demokratis, otonomi daerah, good governance serta globalisasi itu.

2 Terbitnya UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK menggantikan UU No. 5 Tahun 1973 telah memulihkan kembali independensi dan kemandirian BPK. UU BPK yang baru tersebut lebih menjamin independensi BPK dalam hal organisasi, personil, keuangan dan operasional pemeriksaan. BPK yang independen berwenang melakukan pemeriksaan pada semua sumber penerimaan negara termasuk penerimaan pajak maupun bukan pajak. BPK yang independen juga memiliki kewenangan untuk memeriksa penyimpanan maupun penggunaan setiap sen keuangan negara. Independensi yang tidak kurang pentingnya adalah dalam hal kebebasan untuk memilih metoda audit dan penyusanan laporan audit yang bebas dari intervensi auditee dan stakeholder lainnya. Laporan pemeriksaan BPK disampaikan kepada DPR/DPRD sebagai pemegang hak bujet maupun kepada masyarakat luas. Masyakarakat akan enggan membayar pajak dan investor enggan membeli Surat Utang Negara tanpa adanya transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. Peningkatan peran BPK di bidang pemeriksaan keuangan negara telah dilakukan dua tahun sebelum terbitnya UU BPK yang baru tersebut. Peranan BPK yang menonjol dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik tersebut antara lain (i) meningkatkan kegiatan pemberantasan KKN dengan melaporkan temuan berindikasai TPK kepada aparat penegak hukum, (ii) meningkatkan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara dengan meningkatkan kualitas pemeriksaan dan memperluas objek pemeriksaan, (iii) membantu pemerintah untuk mengimplementasikan Paket tiga UU tentang Keuangan Negara dan (iv) membantu pemerintah untuk melakukan reformasi institusional melalui pemberian opini, kesimpulan dan rekomendasi hasil pemeriksaan. Dalam dua tahun terakhir BPK RI telah mengambil berbagai inisiatif untuk membantu pemerintah mengimplementasikan paket tiga UU Tentang Keuangan Negara Tahun 2003-2004. Inisiatif pertama, membantu pemerintah untuk menyusun standar akuntansi pemerintahan. Inisiatif kedua, menetapkan standar pemeriksaan keuangan negara. Inisiatif ketiga, mendorong pemerintah agar menggunakan tenaga- tenaga akuntansi dalam posisi struktural pengelola keuangan negara. Inisiatif keempat, mendorong dan membantu pemerintah untuk menyatukan semua anggaran nonbujeter dan kegiatan quasi fiskal kedalam APBN. Inisiatif kelima, membantu pemerintah memperjelas peranan dan tanggung jawab lembaga negara pada semua tingkatan. Inisiatif keenam, mendorong proses penyiapan, pelaksanaan dan pelaporan anggaran negara yang transparan dan

3 akuntabel. Inisiatif ketujuh, membantu pemerintah meningkatkan akuntabilitas dan transparansi transaksi antar instansi pengelola keuangan negara. Inisatif kedelapan, membantu pemerintah melakukan perubahan struktural BUMN maupun Badan Layanan Umum, seperti Universitas, sekolah dan rumah sakit. Tidak hanya sekadar mendorong, BPK juga telah memberi contoh bagi pemerintah dan stakeholder lainnya untuk menciptakan transparansi dan akuntabilitas. Selain memulihkan hak independensi dan kemandirian BPK, UU No. 15 Tahun 2006 semakin membuka BPK agar juga menjadi transparan dan akuntabel. Dewasa ini, segera setelah diserahkan pada DPR/DPRD, sebagai pemegang hak bujet, laporan pemeriksaan BPK adalah dimuat secara utuh pada website-nya. Dengan demikian, laporan pemeriksaan BPK dapat dibaca secara luas dan dikritik oleh umum. Unsur profesi dan akademisi ikut serta sebagai anggota Majelis Kehormatan Kode Etik BPK. Kode etik BPK itu mengikat seluruh lapisan karyawannya, mulai dari ketua hingga pejabat terendah. Mulai tahun 2007, pengelolaan dan tanggung jawab keuangan tahunan BPK diperiksa oleh akuntan publik dan diumumkan secara luas. Sementara itu, reviu sistem pengendalian mutu BPK akan dilakukan oleh BPK negara lain anggota organisasi pemeriksa keuangan negara sedunia (INTOSAI). Perbaikan internal yang telah dilakukan BPK dalam dua tahun terakhir antara lain pengembangan organisasi melalui pembukaan kantor perwakilan baru, pembentukan unit investigasi. Penyempurnaan metodologi audit telah dilakukan BPK dengan merevisi standar audit, menyusun petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, dan menyempurnakan Panduan Manajemen Pemeriksaan. Prosedur yang terkait stakeholder juga telah dilakukan BPK melalui berbagai nota kesepakatan bersama antara BPK dengan DPR, DPRD, POlri, Kejakgung, KPK dan PPATK. Pembinaan sumber daya manusia dilakukan BPK melalui proses rekrutmen pegawai dengan standar yang ketat, pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, serta kerja sama training dengan lembaga lain baik dalam maupun luar negeri. Di samping itu BPK sedang dan terus mengupayakan perbaikan penghasilan bagi para pemeriksa termasuk dengan perbaikan struktur anggaran biaya pemeriksaan sebagai salah satu prasyarat independensi, integritas dan profesionalisme BPK. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa dalam rangka implementasi Paket UU Keuangan Negara setiap Kementerian/lembaga, termasuk Polri, wajib menyusun laporan keuangan yang terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca dan Catatan Atas Laporan Keuangan (CAlK). Laporan tersebut harus disampaikan kepada

4 BPK RI paling lambat dua bulan setelah akhir tahun anggaran. Di lain pihak BPK RI harus menyampaikan laporan hasil pemeriksaannya tersebut kepada DPR paling lambat enam bulan setelah akhir tahun anggaran. Jangka waktu dua bulan untuk penyusunan laporan keuangan dan empat bulan untuk pemeriksaan laporan keuangan seharusnya dapat dipersingkat. Hal ini diperlukan agar BPK RI dapat segera beralih pada tahapan perkembangan peran yang lebih signifikan. Selama ini titik berat pemeriksaan BPK RI lebih banyak pada masalah akuntansi, ketidapatuhan pada perundang-undangan maupun pengungkapan KKN. Ini merupakan peran dasar bagi lembaga pemeriksaan sektor publik. BPK RI berupaya menambah auditornya dari berbagai disiplin ilmu agar rnampu semakin meninggalkan audit keuangan. Pemeriksaan keuangan juga akan semakin banyak diserahkan pada Kantor Akuntan Publik (KAP) dengan pengawasan dari BPK RI. Sesuai dengan tuntutan UU No. 15 Tahun 2004, pemeriksaan BPK RI akan semakin beralih pada audit kinerja, audit lingkungan serta pembangunan berkelanjutan maupun audit lainnya. Secara bertahap, BPK RI akan meningkatkan kemampuannya untuk melakukan audit kinerja guna menilai efisiensi, nilai ekonomi maupun efektivitas kegiatan serta melakukan evaluasi atas berbagai kebijakan publik yang telah maupun akan diambil oleh pemerintah. Dalam Gambar 1, pada halaman terakhir makalah ini, sifat pemeriksaan BPK akan bergerak dari lapisan dasar segitiga fungsional ke atas. Evaluasi atas kinerja aparat dan berbagai kebijakan publik dirasakan lebih ditunggu masyarakat karena hal tersebut merupakan bukti dari janji kampanye politisi yang disampaikan pada setiap pemilu. Dengan semakin berkembangnya BPK RI, diharapkan lembaga ini dapat memberikan kecenderungan serta pemikiran jangka panjang sebagai bahan pertimbangan bagi badan legislatif dan eksekutif serta masyarakat luas untuk mengambil keputusan. Pada 2007 BPK RI tetap melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu untuk menilai pelaksanaan anggaran pada beberapa satuan utama (satlama) di lingkungan Polri seperti Sdelog Polri, Direktorat Polisi Udara, Polda NAD, Polda Maluku dan Polda Sulawesi Tengah. Di samping itu BPK RI juga akan melakukan pemeriksaan atas pengadaan alat utama dengan fasilitas kredit ekspor, pemeriksaan operasi pengamanan daerah konflik, pemeriksaan pengelolaan aset Polri dan pemeriksaan atas pengelolaan rekening keuangan negara di lingkungan Polri. Selain itu, BPK RI pada 2007 ini mulai melakukan audit kinerja di lingkungan Polri. BPK RI akan mengambil

5 beberapa fungsi penunjang dan pendukung seperti rumah sakit Polri sebagai obyek pemeriksaan kinerja. Dalam jangka panjang diharapkan BPK RI akan memiliki kemampuan untuk melakukan penilaian kinerja atas fungsi utama Polri seperti pelayanan jasa (SSB) dan pengamanan wilayah (operasi di daerah konflik), perang melawan terorisme, pemberantasan narkoba maupun perdagangan manusia. Untuk keperluan itu, BPK telah mengirimkan auditornya di bawah bendera PBB untuk mengaudit daerah konflik di Congo, Eritrea dan Kosovo. Dalam pandangan BPK RI masih banyak pelayanan Polri yang perlu lebih ditingkatkan dan tidak hanya sebagai penghasil pendapatan saja. Untuk itu diperlukan peran APIP dalam merancang standar pelayanan minimal yang berguna sebagai indikator kinerja unit-unit pelayanan tersebut. Dalam rangka meningkatkan peran BPK RI menjadi lebih dibutuhkan masyarakat, diperlukan kontribusi APIP dalam mengembangkan sistem yang dapat mencegah, mendeteksi dan mengoreksi penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara. Dalam hal ini, Itwasum Polri dan jajarannya harus dapat membantu Pimpinan Polri untuk membangun sistem pengelolaan keuangan negara yang lebih transparan dan akuntabel. Itwasum Polri juga harus melakukan reviu yang memadai atas draft Laporan Keuangan Polri sebelum ditandatangani oleh Kapolri dan diserahkan kepada BPK RI untuk diaudit. Dalam melakukan reviu tersebut, Itwasum Polri harus memastikan bahwa klausul dalam representasi manajemen terpenuhi, antara lain (i) laporan keuangan telah disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi pemerintah, (i1) semua transaksi yang material sudah dicatat dalam catatan akuntansi yang melandasi laporan keuangan, (iii) semua rekening terkait dengan keuangan negara telah dicatat dan diungkapkan dalam laporan keuangan, dan (iv) sistem pengendalian intern telah dirancang, diaplikasikan, dipantau dan dievaluasi efektivitasnya dalam hal keandalan pelaporan keuangan dan ketaatan pada peraturan yang berlaku. Mulai tahun 2007, BPK RI akan melakukan audit atas Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga dengan menghasilkan opini dalam laporan auditnya. Audit laporan keuangan akan dititikberatkan pada pengujian lima asersi yaitu keberadaan dan keterjadian, kelengkapan, hak dan kewajiban, penilaian serta penyajian dan pengungkapan. Opini tersebut didasarkan atas penilaian kewajaran laporan keuangan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), kepatuhan entitas terhadap peraturan perundangan dan efektivitas sistem pengendalian intern. Bedasarkan hasil

6 pemeriksaan Laporan Keuangan Polri TA. 2005 masih ditemukan permasalahan signifikan antara lain: (i) asset dalam bentuk persediaan dan barang tidak bergerak (BTB) tidak seluruhnya dilaporkan dalam neraca, (ii) penerimaan hibah dan bantuan pihak ketiga tidak dicatat sebagai pendapatan dalam LRA, (iii) kewajiban jangka pendek berupa utang daya dan jasa listrik, telepon, gas dan air (LTGA) serta BMP tidak tercatat dalam neraca. Permasalahan tersebut tentunya mempengaruhi kewajaran penilaian dan penyajian laporan keuangan. Di samping itu, Polri belum menerapkan Sistem Akuntansi Instansi (SAI) dan Sistem Akuntansi Barang Milik Negara (SABMN) sebagaimana yang diwajibkan berlaku secara nasional. Kelemahan sistem tersebut jika tidak segera diperbaiki akan terus menyebabkan salah saji material yang dapat mempengaruhi kewajaran laporan keuangan. Berbagai temuan di lingkungan sattama Polri yang merupakan penyimpangan dari peraturan perundangan di bidang pengelolaan keuangan negara juga dapat mempengaruhi kewajaran penilaian dan pengungkapan laporan keuangan Polri secara keseluruhan. Hasil pemeriksaan pemeriksaan BPK yang lalu tersebut hendaknya merupakan masukan berharga bagi APIP dalam melakukan berbagai pembenahan agar masalah yang sama tidak berulang. Pasal 26 Ayat (2) Undang- Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyebut bahwa pejabat yang tidak menindaklanjuti temuan BPK dapat "dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak 500 juta rupiah". Realitanya, barang tidak bergerak (BTB), terutama tanah, merupakan porsi terbesar dalam neraca pada tiap departemen/lembaga. Oleh karena itu, BPK RI akan menitikberatkan pada akun aktiva tetap, di samping tetap memperhatikan akun aktiva lancar. Untuk itu dengan memperhatikan hasil pemeriksaan BPK RI yang lalu dan prioritas pemeriksaan tahun 2007 Polri perlu segera melakukan inventarisasi kekayaan negara yang dikelolanya. Hal ini agar publik tahu berapa sebenarnya kekayaan negara yang dikelola Polri dan bagaimana mengoptimalisasikan pemanfatannya. Di samping itu dengan keterbatasan sumber daya, baik tenaga (auditor), dana (anggaran pemeriksaan) dan waktu (jadwal pemeriksaan) yang dimiliki BPK RI, maka BPK RI mengharapkan kontribusi Itwasum Polri dan jajarannya untuk melakukan reviu secara memadai. Semakin baik reviu yang dilakukan oleh APIP, maka semakin mudah audit yang dilakukan BPK. Sesuai dengan UU No. 15 Tahun

7 2004 BPK dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan APIP dalam menentukan rencana pemeriksaan. Dalam hal ini, hasil reviu APIP pun dapat digunakan BPK RI sebagai salah satu input dalam menilai efektivitas SPI yang akan menentukan luas lingkup uji petik yang diperlukan.

Grafik 1. Peranan BPK Masa Kini dan Masa Datang

Membantu masyarakat dan pengambil keputusan untuk melakukan alternatif pilihan masa depan

Mendalami kebijakan dan masalah publik

Melakukan evaluasi dan memberikan rekomendasi bagi peningkatan efektivitas dan efisiensi kebijakan pemerintah serta ketaatan atas aturan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan

Membantu Pemerintah melakukan perubahan struktural BUMN maupun badan pelayanan umum seperti sekolah, universitas dan rumah sakit

Membantu Pemerintah untuk mengimplementasikan paket ketiga UU tentang keuangan negara tahun 2003-2004 melalui: a. Penyatuan anggaran nonbujeter dan kegiatan quasi fiskal kedalam APBN; b. Memperjelas peranan dan tanggung jawab lembaga negara pada semua tingkatan; c. Mendorong proses penyiapan, pelaksanaan dan pelaporan anggaran negara yang transparan dan akuntabel . d. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas transaksi keuangan antara instansi pemerintah di tingkat pusat dan daerah serta antara keduanya maupun antara Pemerintah dengan BUMN, BUMD serta perusahaan swasta yang mendapatkan subsidi dari negara.

Upaya Pemberantasan Korupsi dengan melaporkan dugaan tindakan kriminal kepada penegak hukum; Kepolisian; Kejaksaan Agung / Tastipikor dan Komisi Pemberantasan Korupsi

8 Keterkaitan antara Tugas BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dengan BUMN dan Bank-bank Negara1

Sebagaimana kita ketahui bersama, sistem sosial kita, termasuk perekonomian nasional, telah hancur berkeping keping setelah dilanda krisis pada tahun 1997-1998. Delapan tahun telah berlalu, hingga saat ini, kita belum dapat bangkit dari krisis tersebut. Tingkat laju pertumbuhan ekonomi kita masih tetap rendah dan investasi swasta masih belum bergerak. Kini, Indonesia menjadi tempat yang semakin kurang menarik bagi investor swasta asing. Daya saing kita di pasar dunia maupun di pasar domestik menjadi semakin menurun. Karena volumenya tidak meningkat, nilai ekspor kita hanya tergantung kepada perkembangan tingkat harganya. Bahan baku maupun barang konsumsi kita semakin tergantung kepada impor. Di bidang fiskal, Indonesia menghadapi masalah struktural yang sangat serius. Sebagian besar dari pengeluaran negara (APBN) hanya diserap oleh kewajiban pembayaran hutang, subsidi BBM dan pengeluaran untuk mengatasi perang saudara yang berkepanjangan dan tetap marak diberbagai daerah. Karena penerimaan pajak tidak dapat ditingkatkan sejalan dengan pertumbuhan penggeluaran negara, pemerintah menempuh tiga jenis strategi fiskal. Strategi yang pertama adalah untuk membatasi defisit anggaran hingga 1-2 persen dari PDB kita. Tujuannya adalah untuk mencegah adanya akumulasi hutang negara yang berlebihan yang merupakan beban bagi generasi yang akan datang. Strategi yang kedua adalah membatasi pengeluaran di luar ketiga jenis pengeluaran pembayaran hutang, subsidi BBM dan perang saudara yang disebut di atas. Korban pengurangan anggaran adalah terutama untuk pemeliharaan maupun pembangunan infrastruktur fisik dan pengeluaran bagi perbaikan tingkat kesehatan serta pendidikan rakyat. Cobalah perhatikan kualitas bus kota kita pesawat terbang, gerbong kereta api dan feri penyeberangan, semuanya sudah tua barang rongsokan bekas pakai dari luar negeri. Selain mengganggu pemerataan distribusi pendapatan strategi pemotongan anggaran negara seperti ini sekaligus mengorbankan potensi pertumbuhan perekonomian nasional. Strategi yang ketiga adalah tercermin pada cara pembelanjaan defisit APBN tersebut. Dewasa ini,

1Pokok-Pokok Pengarahan kepada Pengurus Bank-Bank Negara, Gedung Kantor Pusat Bank BNI 1946, Jakarta, 4 Agustus 2005.

1 Indonesia semakin tergantung pada penjualan obligasi di pasar dalam negeri maupun pasar internasional. Obligasi negara itu sangat sensitif terhadap tingkat suku bunga dan tingkat laju inflasi di dalam maupun di luar negeri serta pada kurs devisa kita. Sebagian dari defisit APBN itu ditutup melalui penjualan asset negara, termasuk privatisasi BUMN. Kesulitan ekonomi selama delapan tahun terakhir telah menganggu sistem sosial kita. Karena daya beli yang semakin merosot dan tingkat pengangguran tenaga kerja telah mulai mempengaruhi tatanan hidup kita berbangsa dan bermasyarakat disiplin semakin mengalami erosi dan kita menjadi semakin impulsif. Kita pun sudah mulai mengekspor berbagai penyakit sosial itu ke luar negeri, terutama ke negara- negara tetangga. Saya kira, semua kita yang hadir dalam ruangan ini faham betul akan pentingnya adanya suatu industri perbankan yang sehat. Kebijakan moneter untuk memelihara stabilitas internal maupun eksternal perekonomian tidak mungkin berjalan dengan baik tanpa adanya industri perbankan yang sehat. Industri perbankan yang sehat itu sekaligus diperlukan untuk memperlancar sistem pembayaran nasional dan mobilisasi dana bagi keperluan pembelanjaan dunia usaha secara efisien. Selain dari iklim usaha yang tidak mendukung, rendahnya investasi dunia usaha nasional kita selama delapan tahun terakhir, antara lain, adalah karena lambannya proses restrukturalisasi industri perbankan maupun dunia usaha nasional kita. Program restrukturalisasi perbankan yang disaranlkan oleh IMF pada masa krisis tahun 1997-1998 bukan saja memperbaiki kondisi keuangannya saja. Aspek lain dari restrukturalisasi perbankan itu adalah untuk memperbaiki kinerja pengelolaannya. Sebagaimana diketahui, kondisi keuangan bank-bank nasional kita yang secara teknis sudah bangkrut pada saat krisis tahun 1997-1998 diperbaiki melalui dengan empat cara. Pertama, untuk sementara, melonggarkan aturan prudensial seperti: CAR, NPLK dan cara perhitungannya. Kedua, dengan mencukupi modalnya dengan menyuntikkan modal baru. Cara ketiga adalah dengan membersihkan pembukuan bank-bank nasional dengan mengambil alih kredit bermasalah dan memindahkannya pada BPPN. Cara keempat adalah dengan menyediakan blanket guarantee bukan saja pada deposito masyarakat tapi juga pada kewajiban lain industri perbankan baik kepada pihak dalam negeri maupun mitra usahanya di luar negeri. Dengan perkataan lain, segala jenis risiko usaha bank diambil alih oleh pemerintah. Agar tidak terjadi eksodus sektor negara dari bank-bank negara ke bank-bank asing, Pemerintah

2 menghimbau BUMN serta instansi pemerintah tetap menggunakan jasa bank-bank negara. Himbauan seperti ini merupakan perlindungan khusus kepada bank-bank negara dari persaingan pasar yang semakin ketat. Dunia usaha, nasabah bank, diberikan pemotongan hutang dan berbagai kemudahan lainnya. Hutang pemerintah yang meningkat menjadi dua kali lipat pada tahun 1998 adalah untuk membiayai penyehatan kondisi keuangan bank-bank dan dunia usaha nasional tersebut. Ini menggambarkan besarnya komitmen Pemerintah untuk mengembangkan bank-bank nasional dan dunia usaha. Berbeda dengan berbagai negara-negara lain, seperti New Zealand, Mexico dan Cheko, Indonesia masih ingin punya bank nasional sendiri termasuk bank negara. Dewasa ini, baik dilihat dari nilai aktiva dan maupun luas jaringan kantor cabangnya, industri perbankan merupakan inti dari industri keuangan nasional Indonesia. Peranan kelompok bank negara masih sangat dominan dalam industri perbankan nasional tersebut. Oleh karena itu, sebagian terbesar dari hutang baru pemerintah adalah digunakan oleh kelompok bank-bank milik negara. Jumlah bank negara kini tinggal emapat dari enam sebelum krisis karena tiga bank lama (BDN, BBD dan Eksim) membentuk bank baru yaitu Bank Mandiri. Dari pemantauan kami sebagai auditor, kegagalan kita yang terbesar adalah dalam hal melakukan perubahan industri perbankan di bidang kinerja nonkeuangan itu. Belum ada perubahan yang menonjol dalam hal modus operansi, kinerja dan internal kontrol di bank-bank negara sebelum dan setelah krisis maupun sebelum dan setelah go public. Perilaku dan kinerja pimpinan dan karyawan bank-bank negara masih mengikuti pola Orde Baru, di mana bank-bank negara tidak lebih dari perpanjangan tangan birokrasi pemerintahan. Perilaku dan kinerja mereka belum dapat menyesuaikan diri seperti yang diharapkan oleh bank-bank yang betul-betul komersil. Supervisi Meneg BUMN, RUPS, Komisaris, Komite Audit, dan Satuan Pengawas Internal tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Kasus L/C fiktif Bank BNI tahun 2003 sudah dicium oleh pengawas internalnya dan sudah dilaporkan kepada pengurus bank itu. Ternyata pengurus bank tidak berbuat apa-apa dan menutup masalah dari pantauan pemeriksa Bank Indonesia. Aturan kita rubah mengacu kepada aturan Basel, arsitektur kita bangun dan semboyan kita ciptakan agar bank-bank nasional dapat menjadi world class. Tapi pelaksanaannya, sangat jauh dari harapan. Inilah yang membedakan kita dengan di negara-negara lain yang juga mengalami krisis perbankan negara-negara Skandinavia, Korea Selatan Thailand dan Malyasia.

3 Resistensi untuk melakukan perubahan internal mendasar tersebut bersumber dari seluruh arah Pemerintah, politisi maupun internal perbankan itu sendiri. Sama dengan pada masa Orde Baru, ukuran sukses pimpinan bank-bank negara di Indonesia masih ditentukan pada kepatuhannya pada pemilik saham dan bukan pada aturan main maupun indikator pasar sebagai badan usaha. Tiga tahun yang lalu Meneg BUMN, Kepala BPPN serta Direksi bank-bank termasuk bank-bank negara bersekongkol menentang aturan Bank Indonesia tentang restrukturalisasi kredit bermasalah. Padahal aturan BI itu mengacu kepada the best practices diseluruh dunia. Politisi pun ikut- ikutan untuk bersuara pada masalah-masalah yang sangat teknis yang merupakan porsi Pemerintah ataupun manajemen bank itu sendiri. Dengan biaya mahal, pengamat murahan disewa untuk menulis success story restrukturalisasi bank-bank BUMN. Ternyata sekarang ini bahwa ketidak taatan atas aturan Bank Indonesia itu justru merupakan akar masalah bagi memburuknya kondisi keuangan bank-bank negara. Kasus L/C fiktif di PT Bank BNI tahun 2004 dan rangkaian skandal di banyak kantor cabangnya memberikan gambaran akan kelemahan sistem pengendalian internalnya. Rangkaian kasus kredit PT Bank Mandiri yang ditangani oleh Tipikor dewasa ini mencerminkan bahwa cara pemberian kredit oleh bank-bank negara tidak banyak beda dengan pada masa pemerintahan Orde Baru bukan berdasarkan pertimbangan 4 c’s tapi atas dasar politik dan KKN. Hal yang sama juga terjadi pada bank-bank negara lainnya BRI, BTN dan BPD. Kegagalan restrukturalisasi perbankan nasional sekaligus tercermin pada neraca bank-bank itu sendiri. Modalnya masih tetap bertumpu pada obligasi rekap. Di RRC tambahan modal bank diberikan dalam bentuk uang tunai dengan menggunakan cadangan luar negerinya. Sebailknya, di Indonesia yang tidak sekaya RRC, tambahan modal itu diberikan dalam bentuk obligasi rekap yang tidak likuid. Pemupukan modal dalam bentuk retained earnings terhambat antara lain karena pemerintah perlu uang untuk menutup defisit dan pengurus minta tantiem. Padahal, sumber penerimaan bank-bank negara itu adalah terutama bersumber bukan dari kegiatan pemberian kredit maupun investasi. Pendapatan bank-bank nasional selama delapan tahun terakhir ini adalah dari bunga obiligasi rekapnya sendiri yang diperdagangkannya maupun bunga SBI serta Fasbi dan keuntungan dari jual beli devisa. Sebagian terbesar dari kredit bank-bank nasional dewasa adalah untuk keperluan konsumsi, utamanya membeli kendaraan bermotor dan ruko. Seperti kredit KIK/KMKP masa lalu, risiko kredit dapat digeser oleh bank kepada perusahaan

4 asuransi. Namun demikian, pengalaman kita sendiri pada waktu itu maupun pengalaman Korea Selatan pasda awal dasawarsa ini perlu anda-anda cermati agar tidak lagi menimbulkan masalah karena negara kita tidak akan mampu untuk melakukan recap ulang perbankan. Restrukturalisasi bank-bank negara merupakan porsi kewenangan Meneg BUMN sebagai pemiliknya dan Bank Indonesia sebagai otorita regulatornya, dan bukan merupakan bidang tugas BPK. Bagaimana caranya merubah orientasi bank- bank Negara menjadi bank komersil betulan yang mampu bersaing di pasar yang semakin ketat merupakan bidang tugas Meneg BUMN. Perlindungan pasar khusus kepada bank nasional, utamanya kepada bank-bank negara, tidak lagi dibenarkan oleh komitmen kita sendiri pada WTO. Bagaimana mengatur, mengawasi dan memaksakan berlakunya aturan yang berlaku pada industri perbankan merupakan bidang kerja Bank Indonesia. Sama dengan bank-bank lainnya, swasta nasional maupun asing, bank Negara harus tunduk kepada aturan yang sama. Sekarang saya ingin masuk pada pertanyaan yang mungkin ada dibenak anda: Apa urusan BPK dengan BUMN dan bank-bank negara? BPK bukan otoritas moneter. BPK bukan pemilik BUMN dan bank-bank negara itu. Apakah BPK akan menyeret satu per satu pengurus BUMN dan bank-bank negara ke KPK dan Tipikor? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dilihat apa fungsi dan peranan BPK sebagai auditor keuangan negara dan kaitan antara keuangan negara dengan pembukuan BUMN dan bank-bank. Undang-Undang Dasar 1945 menciptakan BPK sebagai satu-satunya auditor yang melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara di mana pun disimpan dan dipergunakan. Tujuan dari audit seperti itu adalah untuk menegakkan transparansi fiskal sehingga membantu lembaga perwakilan rakyat menjalankan hak bujetnya. Rangkaian UU tentang keuangan negara tahun 2003-20042 memperluas tugas BPK sehingga mencakup keuangan Pemda Tingkat II. Pimpinan BPK sekarang ini dilantik tanggal 3 Desember 2004. Pada masa jabatan kami, kami ingin mengimplementasikan amanat UUD 1945 dengan (a) meningkatkan kualitas audit BPK; dan (b) memperluas objek pemeriksaannya. Dalam hal kualitas pekerjaan audit, kami ingin meneruskan dan mengintensipkan audit

2 Ketiga paket UU keuangan negara itu adalah: (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan (3) UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

5 investigasi dan fraud audit, yang telah dirintis oleh pimpinan sebelumnya diawali dengan audit BLBI. Audit secara umum dan dangkal yang dilakukan di masa lalu, karena BPK hanya merupakan tukang stempel penguasa, telah menjadi sumber bencana dan malapetaka nasional. Kita semua, termasuk ”wong cilik” yang tidak berdosa, ikut menderita karenanya. Krisis tahun 1997-1998 terjadi karena sistem hukum dan sistem akuntansi kita sangat lemah sehingga laporan keuangan dan dan nasabahnya tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Akibatnya, laporan keuangan dan audit tidak ada nilainya untuk melakukan antisipasi maupun dasar bagi pengambilan keputusan. Kami menginginkan agar BPK juga independen dalam memilih objek pemeriksaannya dan menentukan kebijakan, prosedur serta metode pemeriksaan maupun dalam menyusun laporan auditnya. Artinya, BPK bebas dari pengaruh intervensi sehingga tidak lagi hanya merupakan tukang stempel cabang-cabang pemerintahan eksekutif, legislatif maupun judikatif. Kami menginginkan untuk memperluas objek pemeriksaan BPK, baik pada sisi pengeluaran maupun sisi penerimaan neraca keuangan negara. Untuk itu diperlukan koreksi Undang-Undang maupun kebijakan Pemerintah yang masih menghambat. Undang-Undang itu, antara lain berupa UU Perseroan dan BUMN, UU Pajak, UU tentang Yayasan berdasarkan dalih lex specialis, yang ternyata hanya menutupi kecurangan. Pada era Orde Baru, objek pemeriksaan BPK hanya terbatas pada beberapa objek pada sisi pengeluaran negara saja. Pada waktu itu, Bank Indonesia, Pertamina dan bank-bank negara adalah di audit oleh BPKP yang merupakan auditor internal Pemerintah. Penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak tidak pernah diaudit secara serius oleh BPK. Perluasan objek pemeriksaan BPK juga mengacu kepada pengalaman yang kita timba dari krisis 1997-1998. Pelajaran pertama adalah bahwa kerugian BUMN dan bank-bank negara merupakan contingent liabilities keuangan negara karena BUMN dan bank-bank negara itu tidak boleh bangkrut. Sebagaimana telah disebut di atas, hutang negara bertambah 100 persen pada tahun 1998 adalah untuk merekap bank-bank negara. Pelajaran yang kedua adalah bahwa induk organisasi pemerintah dan BUMN dirongrong melalui perusahaan satelitnya, apakah berupa anak-anak perusahaan, yayasan maupun dana pensiunnya. Oleh karena itu, pemeriksaan BPK kepada sesuatu objek akan dilakukan secara consolidated dengan mengaudit semua lembaga dan badan usaha yang terkait dengannya.

6 Diakui bahwa kemampuan BPK pada saat ini masih jauh dari harapan. Keterbatasan BPK tercermin pada jumlah dan mutu SDM BPK, peralatan, anggaran maupun jaringan kantornya. Di masa lalu, hanya Pemerintah, utamanya BPKP, yang memanfaatkan penggunaan dana pinjaman Bank Dunia untuk pendidikan akuntan. Apakah karena gajinya yang kecil maupun karena alasan lainnya, moral auditor BPK pun tidak beda dengan perilaku auditor lainnya: mau terima sogok. Organisasi, tambahan personil, peralatan, gedung kantor BPK dikontrol ketat oleh pemerintah melalui Menpan sedangkan anggarannya merupakan bagian dari APBN biasa ataupun diperoleh dari auditee. Sesuai dengan tersedianya tambahan anggaran dari sumber APBN, mulai tahun 2006, BPK akan meniadakan perolehan biaya pemeriksaan dari pihak auditee. Idealnya, mengikuti negara-negara lain, anggaran BPK itu adalah bagian dari anggaran DPR. Dalam menghadapi keterbatasan BPK itu, kami menempuh dua jenis kebijakan. Pertama, menetapkan prioritas objek pemeriksaan. Prioritas utama diberikan kepada objek-objek yang paling memberati pengeluaran negara. Prioritas kedua diberikan kepada objek-objek yang menyangkut kehidupan Rakyat banyak. Prioritas ketiga, adalah objek-objek yang secara politik sangat sensitip. Objek-objek lainnya merupakan prioritas berikutnya. Dalam priotas utama itu termasuk bank-bank negara serta Pertamina karena pengeluaran pembayaran hutang dan subsidi telah menelan lebih dari sepertiga pengeluaran negara. Sebagaimana telah disebut di atas, beban pembayaran hutang meningkat sejalan dengan kenaikan tingkat suku bunga dan tingkat laju inflasi serta pelemahan kurs devisa maupun harga minyak mentah yang tinggi dewasa ini. Prioritas kedua adalah audit Departemen Kesehatan dan Pendidikan Nasional, KPU serta Dana Abadi Umat milik para jemaah haji. Kebijakan yang kedua adalah untuk menyerahkan pelaksanaan audit instansi pemerintah, BUMN dan BUMD kepada Kantor Akuntan Publik (KAP) maupun auditor internal pemerintah menurut standar yang ditetapkan oleh BPK. Untuk melaksanakan ini, BPK sebagai otorita pemeriksa keuangan negara ingin memiliki independensi legislasi. Artinya, BPK punya kewenangan untuk menguji dan mengambil sumpah KAP yang diberi kewenaganan untuk memeriksa pembukuan sektor negara, termasuk BUMN dan BUMD. Hal lain yang barangkali mengganggu pikiran anda adalah apakah secara bergiliran pimpinan BUMN dan bank-bank negara akan diserahkan untuk diproses oleh Polisi, KPK maupun Tipikor. Patut anda ketahui bahwa BPK bukan merupakan

7 bagian dari penegak hukum yang melakukan upaya pemberantasan korupsi dan BPK adalah tidak bekerja bagi keperluan mereka. Namun demikian, perlu diketahui bahwa BPK diwajibkan oleh Undang-Undang untuk menyerahkan laporan auditnya kepada DPR dan DPRD, sebagai pemegang hak bujet. BPK pun wajib memuat laporan auditnya di website agar dapat diketahui secara luas oleh masyarakat dan sekaligus menguji mutu auditnya itu. Dewasa ini, BPK pun wajib menyerahkan laporan audit itu kepada DPD. Hanya temuan-temuan yang mengandung unsur pidana yang wajib diserahkan oleh BPK kepada penegak hukum (Polisi, kejaksaan dan KPK). Temuan-temuan BPK ditindak lanjuti oleh auditee sendiri yang melakukan koreksi sesuai dengan rekomendasi BPK. Melalui hak legislasinya DPR dan DPRD berwenang untuk menindak lanjuti temuan-temuan BPK. Proses penindakan hukum merupakan kewenangan Polisi, Jaksa, KPK serta peradilan dan bukan BPK. Dari pihak BPK, masalah BLBI, misalnya, sudah selesai lima tahun yang lalu BPK sama sekali tidak berperan dan berwenang untuk membuka ulang kasus lama ataupun menghentikannya. Yang dapat kita pantau hanyalah bahwa Pemerintahan SBY-MJK sekarang ini, nampaknya lebih serius dalam memberantas KKN dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Oleh karena itulah mengapa kejaksaan, Polri dan KPK lebih sibuk sekarang ini daripada di masa lalu.

8

1. Pengantar Sebagaimana diketahui, BPK bukanlah otoritas perbankan maupun pemilik bank. Otoritas Bank Indonesia hanya ada satu di Indonesia, yakni Bank Indonesia. Meneg BUMN merupakan satu-satunya wakil pemerintah dalam pengelolaan BUMN, termasuk bank-bank negara, sedangkan Pemda merupakan pemilik BPD. BPK ikut campur dalam urusan perbankan adalah karena modal dan kerugian industri perbankan nasional bermasalah pada saat terjadinya krisis pada tahun 1997-1998 telah diambil ailih oleh Pemerintah sehingga menjadi contigent liabilities keuangan negara. BPK melakukan audit dana pemerintah yang disuntikkan untuk menguatkan modal industri perbankan nasional bermasalah itu dan mengambil alih kredit macetnya. Untuk selanjutnya makalah ini dibagi dalam enam bagian. Bagian kedua menguraikan berbagai program kebijakan yang telah ditempuh oleh pemerintah untuk mengatasi krisis perbankan pada tahun 1997-1998. Bagian ketiga membahas dampak fiskal nasionalisasi industri perbankan nasional yang bermasalah. Bagian keempat menjelaskan berbagai aspek kekurangberhasilan program restrukturalisasi industri perbankan Indonesia, terutama dalam hal governance-nya. Bagian kelima menjelaskan peranan BPK dalam Audit BUMN dan Perbankan. Bagian keenam menguraikan keterbatasan kemampuan BPK dan skala prioritas auditnya. Bagian terakhir menjelaskan kaitan BPK dengan Penegak Hukum.

2. Program Restrukturalisasi Perbankan Nasional Pembangunan kembali industri perbankan, yang secara teknis sudah bangkrut pada tahun 1997-1998, terdiri dari berbagai jenis program. Program yang pertama adalah untuk menyehatkan kembali kondisi keuangannya. Program yang kedua, menciptakan jaring pengaman industri perbankan. Program yang ketiga, menyempurnakan aturan prudensial dan meningkatkan kualitas pemeriksaan bank. Program yang keempat, menunda pelaksanaan deregulasi guna menyehatkan persaingan pasar perbankan. Program yang kelima adalah memperbaiki governance industri perbankan untuk meningkatkan kinerjanya. Program yang keenam adalah untuk mengembangkan pasar modal dan obligasi guna mengurangi ketergantungan pembelanjaan dunia usaha pada kredit perbankan. Sebagaimana telah disebut di atas, untuk menyehatkan kondisi keuangan

1 industri perbankan yang telah memburuk pada saat krisis tahun 1997-1998, Pemerintah telah menasionalisir saham bank-bank nasional yang mengalami kesulitan keuangan itu dan mengambil alih kredit macet mereka. Bahkan, pemerintah mengambil alih kewajiban bank, dan nasabahnya, kepada pihak ketiga, termasuk kewajiban luar negeri. Dalam hal ini, Pemerintah bertindak melebihi fungsinya sebagai the lender of the last resort. Modal bank yang mengalami kesulitan keuangan dicukupi dengan menyuntikkan modal baru. Sementara itu, pembukuan bank dibersihkan dengan mengambil alih kredit bermasalah dan memindahkannya pada BPPN. Bank-bank swasta yang mendapatkan suntikan dana Pemerintah lebih dari 80 persen dari modalnya dikelola oleh BPPN. Guna mengurangi keperluan rekapitalisasi perbankan dilakukan dua tindakan. Pertama melonggarkan aturan prudensial perbankan untuk sementara waktu seperti CAR, NPL dan cara perhitungannya. CAR, misalnya, diturunkan selama masa krisis dari 8% menjadi 4%. Kedua, mendorong penggabungan beberapa bank menjadi satu. Merjer diharapkan akan menciptakan bank yang lebih kokoh dan, secara tidak langsung, sekaligus membubarkan bank yang tidak lagi layak sebagai badan usaha. Di lain pihak, membubarkan bank besar menimbulkan biaya ekonomi dan sosial yang lebih besar pula (too big to fail). Selama masa krisis, empat bank negara (Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bapindo dan Bank Eksim) dibubarkan dan diciptakan Bank Mandiri sebagai penggantinya, sehingga jumlah bank negara kini tinggal empat dari enam sebelum krisis. Selama krisis itu sebanyak 77 bank swasta nasional serta bank campuran yang dilikuidasikan. Bank asing yang membuka cabang baru setelah krisis adalah Bank of China dari RRC (Tabel l).

Tabel 1. Jumlah Bank dan Kantor Cabangnya, 1977 – 2004 Kelompok kepemilikan Oktober Perusahaan Oktober 1997 Likuidasi Merger Baru 2004 1. Bank Negara 7 - 4 2 5 2. Bank Pembangunan Daerah 27 1 - - 26 3. Bank Swasta Nasional/Bank 194 77 23 - 94 Campuran 10 11

2 4. Bank Asing Sumber : Bank Indonesia, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, Juni 2000 dan Juni 2005.

Program penyelamatan yang kedua untuk menguatkan kondisi keuangan bank adalah dengan menyediakan blanket guarantee. Fasilitas jaminan bukan saja disediakan pada deposito masyarakat seperti yang lazim dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di seluruh dunia. Blanket guarantee yang disediakan oleh Pemerintah pada waktu itu juga mencakup kewajiban lain industri perbankan balk kepada pihak dalam negeri maupun pada mitra usahanya di luar negeri1. Dengan perkataan lain, segala jenis risiko usaha bank, dan nasabahnya, diambil alih oleh Pemerintah. Setelah BPPN didirikan pada akhir Januari 1988, program penjaminan bank diselenggarakan oleh Unit Pelaksana Penjaminan Pemerintah (UP3) yang merupakan bagian daripadanya. Di masa dekat mendatang, blanket guarantee ini akan diganti dengan partial guarantee yang hanya menjamin deposito saja dalam jumlah yang terbatas pula. Perubahan objek dan jumlah jaminan seperti ini akan diintrodusi bersamaan dengan pendirian LPS yang akan menggantikan UP3. Jenis jaring pengaman kedua yang telah diciptakan oleh Pemerintah adalah fasilitas kredit dari Bank Indonesia untuk mengatasi kesulitan Iikuiditas bank jangka pendek. Idealnya, premi asuransi deposito dan biaya operasional LPS seluruhnya. bersumber dari bank dan deposan sendiri dan tidak lagi membebani keuangan negara. Namun, di lain pihak, partial guarantee yang disediakan oleh LPS tersebut belum dapat menjawab masalah bank runs yang terjadi pada saat krisis. Apakah misalnya, Pemerintah benar-benar bersedia akan menghentikan kegiatan operasi dan mencabut ijin usaha bank-bank karena bangkrut jika terjadi krisis baru? Masalah koordinasl antara Bank Indonesia dengan Departemen Keuangan juga perlu diperbaiki melalui LPS itu terutama dalam menghadapi krisis. Seperti halnya pada tahun 1997-1998, pada akhirnya, Departemen Keuangan yang bertindak sebagai the lender of the first resort mengambil alih semua beban keuangan penyehatan struktural industri

1 Karena tidak boleh bankrut, sebelum krisis, Pemeri ntah, secara implicit, menyediakan blanket gurantee pacta bank· bank negara.

3 perbankan itu. Perbaikan aturan prudensial pcrbankan dilakukan dengan mengacu kepada Basel core principles yang berlaku secara universal terutama bagi bank-bank yang melakukan kegiatan luar negeri. Secara bertahap, rasio- rasio yang merupakan indikator finansial perbankan akan diukur berbasis risiko dan berdasarkan harga pasar yang berlaku. Bersamaan dengan peningkatan kualitas pemeriksaan bank, implementasi aturan prudensial tersebut pun telah semakin ditingkatkan oleh Bank Indonesia. Mengikuti trend di berbagai negara, selambat-Iambatnya pada tahun 2010, akan didirikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang akan melakukan pengawasan atas semua jenis lembaga keuangan, baik bank maupun nonbank. Tugas pengawasan industri perbankan akan diserahkan oleh Bank Indonesia pada lembaga baru OJK itu dan bank sentral hanya memusatkan tugasnya pada pengendalian moneter saja. Jauh sebelum terjadinya krisis, Oktober 1988, Pemerintah sendiri telah melakukan deregulasi industri perbankan nasional. Deregulasi itu semakin gencar dalam rangka pemenuhan komitmen internasional Indonesia pada WTO. Deregulasi itu termasuk kemudahan untuk mendirikan bank baru dan ijin operasi sebagai bank devisa. Rangkaian merjer dan pembubaran bank setelah krisis telah mengurangi lebih dari sepertiga jumlah bank nasional. Kelompok bank asing telah meningkatkan penetrasi mereka pada pasar dalam negeri yang dimungkinkan oleh deregulasi. Porsi pasar yang dikuasai bank asing menjadi semakin besar setelah kolapsnya industri perbankan nasional dan merosotnya rasa kepercayaan masyarakat atas bank-bank nasional itu. Porsi pemodal asing pada bank-bank nasional menjadi semakin bertambah setelah divestasi bank-bank yang diambil alih BPPN dan privatisasi bank-bank negara maupun bank-bank swasta naslonal. Pada awalnya, deregulasi perbankan sekaligus mengakhiri kebijakan pemerintah yang memberikan perlindungan khusus kepada bank-bank Negara miliknya sendiri. Diintrodusi pada tahun 1967, kebijakan itu mewajibkan inst.msi Pemerintah dan BUMN untuk menggunakan jasa bank-bank negara. Namun, kebijakan ini terpaksa ditunda sementara untuk menghindarkan terjadinya eksodus deposito sektor negara dari

4 bank-bank negara ke bankbank asing yang dapat mengganggu stabilitas industri perbankan. Oleh karena itu, hingga saat ini, instansi pemerintah dan perusahaan negara masih tetap dihimbau untuk menggunakan jasa bank-bank negara. Upaya untuk memperbaiki pengelolaan (corporate governance) serta kinerja bank-bank nasional dilakukan melalui berbagai cara. Cara-cara itu termasuk memisahkan secara tegas antara pemilik dengan pengurus bank dan mengatur hubungan antara keduanya, membatasi pemberian kredit bank kepada orang dalam (legal lending limits), sebagaimana diatur oleh peraturan tentang batas maksimum pemberian kredit (BMPK), meningkatkan transparansi dan perluasan pengumuman informasi kegiatan bank, memberikan ijin kerja kepada pengurus yang mengelola bank melalui fit and proper, menunjuk Compliance Director dan Komite Audit serta Komisaris Independen, menerapkan asas pengenalan nasabah (know your customers principle) serta mendirikan Unit Investigasi Kejahatan Perbankan di Bank Indonesia. Sebagaimana akan dibahas dalam Bagian 4, dalam hal peningkatan kualitas pengeloaan dan kinerja inilah Indonesia belum banyak berhasil karena lemahnya sistem hukum dan sistem akuntansi kita. Sebagai hasil program rekapitalisasi, kondisi keuangan industri perbankan nasional sudah jauh lebih baik dewasa ini dibandingkan dengan pada masa krisis (Tabel 2). Perbaikan kondisi keuangan industri perbankan itu tercermin pada semua indikator, yakni CAR, NPL, maupun ROA. Sementara itu, Dana masyarakat yang dimobilisasi oleh perbankan juga sudah meningkat dan industri perbankan pun sudah mulai memberikan kredit. Namun, industri perbankan nasional kita masih tetap beroperasi sebagai narrow bank karena modal, asset, maupun sumber pendapatannya masih bertumpu kepada obligasi rekapitalisasi. Sebagian terbesar dari kredit bank- bank nasional (termasuk melalui kartu kredit) dewasa adalah untuk keperluan konsumsi, utamanya membeli kendaraan bermotor dan ruko. Seperti kredit KIK/KMKP masa lalu, risiko kredit dapat digeser oleh bank kepada perusahaan asuransi. Namun demikian, pengalaman kita sendiri pada waktu itu,maupun pengalaman Korea Selatan yang melakukan ekspansi kartu kredit pada awal dasawarsa ini, perlu dicermati agar tidak lagi menimbulkan masalah karena negara kita tidak akan mampu untuk melakukan rekap ulang perbankan. Kualitas kredit korporasi juga tidak begitu baik, antara lain, tercermin dari permintaan pengurus Bank Mandiri sekarang ini untuk dapat mengalihkan sebagian dari kredit mereka

5 yang bermasafah kepada Asset Management Unit, walaupun BPPN sudah berakhir mulai 31 Desember 2004. Sisa asset BPPN yang belum terjual dialihkan kepada Perusahaan Pengelola Aset (PPA). Pembangunan pasar modal dan obligasi, untuk meningkatkan peranan obligasi dan saham dalam pembelanjaan usaha, adalah jauh lebih sulit daripada untuk membangun industri perbankan. Pembangunan pasar modal dan obligasi itu memerlukan peningkatan transparansi dan akuntabilitas keuangan perusahaan yang mengeluarkan saham maupun obligasi ataupun surat hutang lainnya. Pada gilirannya, ini menuntut kepastian hukum maupun sistem akuntansi yang lebih baik agar dapat meng enforce kontrak usaha.

Dec 2003 June 2003 Dec Feb 2004 2005 Total Aset 1.196,2 1.185,7 1.273,1 1.262,5 DPK (RpT) 888,6 912,8 963,1 948,8 Kredit (RpT) 477,2 528,7 595,1 601,8 Aktiva Produktif (RpT) 1.072,4 1.102,8 1.146,1 1.156,6 NII 3,2 5,4 6,3 6,7 LDR (%) 43,2 46,4 50,0 50,5 LDR Incremental (%) 126,7 143,3 158,2 173,6 ROA (%) 2,5 2,7 3,5 3,4 NPL Gross (%) 8,2 7,6 5,8 6,0 NPL Net (%) 3,0 2,1 1,7 1,7 CAR (%) 19,4 20,9 19,4 22,0 Kredit / AP (%) 44,5 47,9 51,9 52,0 BOPO (%) 88,8 87,0 76,7 81,4

3. Dampak Fiskal Nasionalisasi Industri Perbankan Nasional Impilikasi dari kebijakan Pemerintah untuk menasionalisir saham dan kerugian industri perbankan telah menimbulkan beban fiskal yang tercermin pada peningkatan stok hutangnya maupun kenaikan beban keuangan negara untuk membayar bunga hutang. Karena

6 Pemerintah Indonesia tidak kaya2, ia hanya mampu menambah modal bank dan mengambil alih kerugian mereka dengan mengeluarkan surat utang negara (SUN) atau obligasi. Untuk membiayai penyehatan kondisi keuangan bank-bank dan dunia usaha nasional tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan SUN senilai Rp430,4 triliun (Tabel 3) atau sekitar 50 persen dari nilai PDS kita pada tahun 1999. Oleh karena itu, stok hutang pemerintah telah meningkat menjadi dua kali lipat menjadi sekitar 100 persen dari PDS pada tahun 1999. Adanya suntikan dana pemerintah yang sangat besar pada industri perbankan dan dunia usaha nasional menggambarkan akan besarnya komitmen Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan bank-bank nasional dan dunia usaha nasionalnya. Berbeda dengan berbagai negara-negara lain, seperti New Zealand, Mexico dan Cheko, Indonesia masih ingin punya bank nasional sendiri termasuk bank negara. Dewasa ini, baik dilihat dari nilai aktiva dan maupun luas jaringan kantor cabangnya, industri perbankan merupakan inti dari industri keuangan nasional Indonesia. Peranan kelompok bank negara masih sangat dominan dalam industri perbankan nasional tersebut. Oleh karena itu, sebagian terbesar dari hutang baru pemerintah adalah digunakan oleh kelompok bank-bank milik negara.

Tabel3. Jumlah, Jenis dan Penerima Obligasi Pemerintah Yang Diterbitkan Pada Saat Rekapttalisasi Perbankan 1998-1999 BANK FbcedRate.(FR) Variable Rate(VR) (B) TOTAL BUMN 114.885.690.000.000 131249.000.000.000 36.807.310.000.000 282.942.000.000.000 Bank Mandiri 42.611000.000.000 108.749.000.000.000 26.640.000 178.000.000.000.000 Bank Negara 31.408.500.000.000 22.500.000.000.000 7.879.500. 61.788.000.000.000 Bank Rakyat 29,149.000.000.000 29,149.000,000.000 Bank Tabungan 11.717.190.000.000 2.287,810, 11.717.190.0003.000 Swasta Nasional 17.970.953.000.000 18.931.437.000.000 36.902.390.000.000 BII 1.535.000.000.000 7.179.000.000.000 8.714,000,000.000 Bank Lippo 1.144.000.000.000 6.585.237.000.000 7.729.237.000.000 Bank Universal 313.000.000.000 4.273.000.000.000 4.586.000.000.000 Bank Bukopin 129.000,000.000 251.800.000.000 380.800.000.000 Bank Prima 47.000.000,000 486.400.000.000 533.400.000.000 Bank AlIa Media 22.000.000,000 108.000.000,000 130.000.000.000

Bank Patriot 4.000.000.000 48.000.000.000 52.000.000.000

2 Pada tahun 1997-1998, Pemerintah RRC menggunakan sebagian dari cadangan luar negerinya untuk memperkuat modal bank-bank negaranya.

7 Bank Niaga 9.462.596.000.000 9,482596,000.000 Bank Bali 5.314.357.000.000 5.314.357.000.000 BT01998 33.949.825.000.000 75.397.525.000.000 109.347.350.000.000 BankTiaraa Asia 345.177 .000.000 1.164.926.000.000 1.510.103.000.000 Bank Central Asia 2.752.316.000,000 58.124.684.000.000 60.877.000.000.000 Bank Oanamon 30.816,713.000.000 14.775.034.000000 45.591.747.000.000 Bank PDFCI 35.619.000.000 1.332.881.000.000 1.368.500.000,000 BPD 410.067.000.000 820.383.000.000 1.230.450.000.000 OKI Jakarta 89.526.000.000 83.169.000.000 172.695.000.000 Aceh 18.321.000.000 49.338.000.000 67.659.000.000 Sumalera Utara 70.980.000.000 231.891.000.000 302.871.000,000 Bengkulu 4.941.000.000 4.941.000.000 Lampung 8.895.000.000 2.375.000.000 11.270.000,000 JawaTengah 101.703.000.000 287.719.000.000 389.422.000,000 Jawa Tengah 61.149.000.000 61.149.000.000 Kalimantan Barat 15,927.000.000 31.471,000.000 47.398.000.000 Sulawesi Utara 10.012.000.000 8.470.000.000 18.482.000.000 Maluku 14.085.000.000 125.458,000,000 139.543.000.000 NTB 14.062.000.000 492.000.000 14.554.000.000 NTT 486.000.000 466.000.000 TOTAL 167.216.535.000.000 226.398.345.000.000 36.807.310.000.000 430.422.190.000.000 Sumber: Bank Indonesia Peningkatan beban pembayaran hutang negara telah menimbulkan masalah struktural yang sangat serius pada keuangan negara (fiskal) Indonesia. Hampir separuh dari pengeluaran negara (APBN) Indonesia Tahun 2004 hanya diserap oleh tiga mata pengeluaran utama, yakni: kewajiban pembayaran hutang, subsidi Rp88 miliar dan pengeluaran untuk mengatasi perang saudara yang berkepanjangan dan masih tetap marak di berbagai daerah. Karena penerimaan pajak tidak dapat ditingkatkan sejalan dengan pertumbuhan penggeluaran negara, Pemerintah menempuh tiga jenis strategi fiskal. Strategi yang pertama adalah untuk membatasi defisit anggaran hingga 1-2 persen dari PDB kita. Tujuannya adalah untuk mencegah adanya akumulasi hutang negara yang berlebihan yang merupakan beban bagi generasi yang akan datang. Strategi yang kedua adalah membatasi pengeluaran di luar ketiga jenis pengeluaran pembayaran hutang, subsidi 88 miliar dan perang saudara yang disebut di atas. Korban pengurangan anggaran terutama untuk pemeliharaan maupun pembangunan infrastruktur fisik dan pengeluaran bagi perbaikan tingkat kesehatan serta pendidikan

8 rakyat. Gaji pegawai negeri dan anggota TNI, POLRI terus menerus mengalami erosi karena kenaikannya tidak dapat mengimbangi kenaikan tingkat laju inflasi. Memburuknya kondisi infrastruktur kita tercermin dari kualitas bus kota, pesawat terbang, gerbong kereta api dan feri penyeberangan. Semuanya sudah tua, barang rongsokan bekas pakai yang diimpor dari luar negeri. Karena pemerintah tidak mampu untuk membeli peralatan baru. Selain mengganggu pemerataan distribusi pendapatan strategi pemotongan anggaran negara seperti disebut di atas adalah sekaligus mengorbankan potensi pertumbuhan perekonomian nasional. Strategi pemerintah yang ketiga adalah tercermin pada cara pembelanjaan defisit APBN tersebut. Dewasa ini, Indonesia semakin tergantung pada penjualan obligasi di pasar dalam negeri maupun pasar internasional. Obligasi negara itu sangat sensitif terhadap tingkat suku bunga dan tingkat laju inflasi di dalam maupun di luar negeri serta pada kurs devisa kita. Sebagian dari defisit APBN itu ditutup melalui penjualan asset negara, termasuk privatisasi BUMN maupun divestasi aset BPPN dan PPA. Karena cara pemotongan anggaran negara yang anti pemerataan dan sekaligus anti pertumbuhan ekonomi tersebut di atas, kesulitan ekonomi tersebut di atas, kesulitan ekonomi selama delapan tahun terakhir telah melemahkan sendi-sendi dasar sistem sosial kita. Daya beli yang semakin merosot dan tingkat pengangguran tenaga kerja yang semakin meningkat telah mulai mempengaruhi tatanan hidup kita berbangsa dan bernegara, disiplin mengalami erosi dan manusia Indonesia menjadi impulsif. Kita pun sudah mulai mengekspor pengangguran dan berbagai penyakit sosial itu ke seluruh dunia, terutama ke negara-negara tetangga. Masalah fiskal yang bersifat struktural tidak dapat diatasi hanya dengan sekedar meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional belaka. Politik burung onta yang dijalankan oleh pemerintah selama delapan tahun terakhir, hanya sekedar menunda masalah dan tidak akan menyelesaikan persoalan. Dari sisi penerimaan, pemerintah menjalankan kebijakan yang mirip dengan sistem ijon, yakni, meminta wajib pajak untuk melunasi kewajiban pembayaran pajaknya sebelum jatuh waktu. Pada sisi pengeluarannya, Pemerintah menunda pembayaran kepada rekanannya. Kebijakan seperti ini sangat mengganggu arus kas yang, pada gilirannya, menimbulkan kesulitan likuiditas kepada wajib pajak. BUMN, seperti Pertamina, terus menerus merugi dan menghadapi masalah arus kas yang serius karena terkena kedua kebijakan anggaran pemerintah itu.

9 Perbaikan posisi fiskal Indonesia yang bersifat struktural dewasa ini hanya dapat diatasi dengan mengintrodusi rangkaian kebijakan yang bersifat simultan. Di sisi penerimaan, perlu dilakukan reformasi perpajakan untuk meningkatkan penerimaan pajak. Mengingat masih lemahnya sistem hukum, sistem akuntansi maupun sistem administrasi perpajakan nasional, seyogyanya sistem pajak yang ada perlu disederhanakan dan mudah diterapkan dengan biaya yang relatif murah pula. Contohnya adalah dengan menerapkan flat rate yakni satu tarif saja bagi pajak pendapatan, baik pendapatan perorangan maupun bagi pendapatan badan usaha. Secara bertahap, sistem administrasi perpajakan tersebut serta pelayanan pajak semakin disempurnakan, sistem hukum maupun sistem akuntansi semakin diperbaiki dan kesadaran masyarakat membayar pajak semakin ditingkatkan. Sementara itu, penerimaan negara bukan pajak juga perlu semakin ditingkatkan. Pada sisi pengeluaran, perlu diupayakan keringanan pembayaran hutang dalam negeri maupun hutang luar negeri dan pengurangan subsidi BBM. Keringanan pembayaran hutang luar negeri melalui jalur bilateral di luar Paris Club dan Program IMF hanya dapat diupayakan jika Indonesia dapat memposisikan dirinya penting dalam pertimbangan politik dan militer serta sosial negara-negara donor. Penundaan pelunasan pokok hutang dalam negeri dapat dilakukan dengan reprofiling, gali lobang tutup lobang. Berkurangnya pengeluaran militer setelah tercapainya perdamaian di Provinsi NAD telah menambah kemampuan Pemerintah untuk membelanjai keperluan pengeluaran lainnya.

4. Kegagalan restrukturalisasi industri perbankan Indonesia Selain dari iklim usaha yang tidak mendukung, rendahnya investasi dunia usaha nasional Indonesia selama delapan tahun terakhir, antara lain, adalah karena lambannya proses restrukturalisasi industri perbankan maupun dunla usaha nasional. Indonesia gagal dalam menjalankan program restrukturalisasi perbankan yang disarankan oleh IMF pada masa krisis tahun 1997-1998. Sebagaimana telah diuraikan pada Bagian 2, Program IMF itu tidak saja sekedar memperbaiki kondisi keuangan industri perbankan itu saja. Aspek lain dari restrukturalisasi perbankan dalam program IMF tersebut adalah untuk memperbaiki kinerja pengelolaannya maupun kondisi ekonomi makro Indonesia. Dalam hal perbaikan kinerja pengelolaan perbankan nasional dan perbaikan kondisi ekonomi makro itulah Indonesia gagal total. Lambannya restrukturalisasi industri perbankan nasional telah mengganggu

10 pelaksanaan kebijakan moneter untuk memelihara stabilitas internal maupun eksternal perekonomian. Lambatnya pemulihan kondisi industri perbankan itu sekaligus telah menghambat proses intermediasi yakni mobilisasi dana bagi keperluan pembelanjaan dunia usaha secara efisien. Kegagalan Indonesia yang terbesar dalam program restrukturalisasi industri perbankannya adalah dalam hal melakukan perubahan kinerja nonkeuangan industri itu. Delapan tahun setelah berlalunya krisis, belum ada perubahan yang menonjol dalam hal governance bank-bank nasionai, baik modus operansi, kinerja dan internal kontrolnya. Governance bank-bank nasional belum banyak berubah, sama saja sebelum dan setelah krisis maupun sebelum dan setelah go public. Demikian pula dengan perilaku dan kinerja pimpinan dan karyawan bank-bank nasional. Bank-bank negara dan BPD tidak lebih dari perpanjangan tangan birokrasi pemerintahan. Berbagai pelanggaran BMPK menggambarkan bahwa bank-bank swasta nasional masih tetap digunakan oleh pemiliknya untuk memobilisasi dana masyarakat bagi pembiayaan kelompok perusahaan miliknya sendiri. Ini menggambarkan bahwa perilaku dan kinerja bank-bank nasional belum dapat menyesuaikan diri seperti yang diharapkan oleh bank-bank komersil. Supervisi Meneg BUMN, RUPS, Komisaris, Komite Audit, dan Satuan pengawas Internal tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Kasus L/C fiktif Bank BNI tahun 2003 sudah dicium oleh pengawas internalnya dan sudah dilaporkan kepada pengurus bank itu. Ternyata pengurus bank tersebut tidak berbuat apa-apa dan menutup masalah dari pantauan pemeriksa Bank Indonesia. Aturan prudensial sudah kita rubah dan dibuat mengacu kepada aturan Basel, arsitektur perbankan sudah diciptakan dan semboyan pun sudah dicanangkan agar bank-bank nasional dapat menjadi world class. Seperti halnya dengan di negara lain, pengurus bank pun sudah diperlakukan seperti sopir taksi, diberi Iisensi memimpin dan mengelola bank melalui fit and proper oleh Bank Indonesia. Tapi pelaksanaan aturan prudensial maupun perwujudan fit and proper itu, sangat jauh dari harapan. Inilah yang membedakan kita dengan di negara-negara lain yang juga mengalami krisis perbankan negara-negara Skandinavia, Korea Selatan Thailand dan Malaysia. Resistensi untuk melakukan perubahan internal mendasar tersebut bersumber dari seluruh arah pemerintah, politisi maupun internal perbankan itu sendiri. Sama dengan pada masa Orde Baru, ukuran sukses pimpinan bank-bank negara di Indonesia masih ditentukan pada kepatuhannya pada pemilik saham dan bukan pada aturan main maupun indikator pasar sebagai badan usaha tiga tahun y.l. Meneg BUMN, Kepala BPPN serta Direksi bankbank

11 termasuk bank-bank negara bersekongkol menentang aturan Bank Indonesia tentang restrukturalisasi kredit bermasalah. Padahal aturan BI itu mengacu kepada the best practices di seluruh dunia. Politisi pun ikut-ikutan untuk bersuara pada masalah-masalah yang sangat teknis yang merupakan porsi otorita perbankan ataupun otorita manajemen bank itu sendiri. Dengan biaya mahal, para bankir negara berupaya mempengaruihi opini publik dengan menyewa pengamat murahan untuk menulis success story restrukturalisasi bank-bank mereka. Ternyata sekarang ini bahwa ketidak taatan atas aturan prudensial yang ditetapkan oleh Bank Indonesia justru telah merupakan akar masalah bagi memburuknya kondisi keuangan bank-bank nasional. Kasus L/C fiktif di PT Bank BNI tahun 2003 dan rangkaian skandal di banyak kantor cabangnya memberikan gambaran akan kelemahan sistem pengendalian internalnya. Rangkaian kasus kredit PT Bank Mandiri yang ditangani oleh Tipikor dewasa ini mencerminkan bahwa cara pemberian kredit oleh bank-bank negara tidak banyak beda dengan pada masa pemerintahan Orde Baru, bukan berdasarkan pertimbangan 4 c’s tapi atas dasar politik dan KKN. Hal yang sama juga terjadi pada bank-bank negara lainnya BRI, BTN, dan BPD. Ketidaktaatan BOB, Bank Asiatic maupun Bank Global pada aturan BMPK dan aturan prudensial lainnya telah menyebabkan faktor penyebab memburuknya kondisi keuangan bank-bank tersebut dan pencabutan ijin usahanya. Pelanggaran BMPK oleh bankbank itu mencerminkan masih menyatunya kepemilikan bank swasta dengan pengurusnya. Sementara pemilik bank swasta masih menggunakan perusahaan fiktif untuk menggerogoti bank miliknya sendiri. Praktik- praktik seperti ini belum sejalan dengan harapan good corporate governance maupun oleh aturan prudensial Bank Indonesia. Kegagalan restrukturalisasi perbankan nasional sekaligus tercermin pada neraca bank-bank itu sendiri. Sebagaimana disebut di muka, modal, asset maupun sumber pendapatan bank-bank nasional masih tetap bertumpu pada obligasi rekap. Sebagaimana telah disebut di atas, Pemerintah RRC memberikan tambahan modal bank negaranya pada tahun 1997-1998 dalam bentuk uang tunai dengan menggunakan cadangan luar negerinya. Sebaliknya, di Indonesia yang tidak sekaya RRC, tambahan modal itu hanya dapat diberikan dalam bentuk obligasi atau SUN yang tidak likuid. Pemupukan modal dalam bentuk retained earnings terhambat antara lain karena pemerintah perlu uang untuk menutup defisit dan pengurus minta tantiem. Padahal, sumber penerimaan bank-bank negara itu adalah terutama

12 bersumber bukan dari kegiatan pemberian kredit maupun investasi. Pendapatan bank- bank nasional selama delapan tahun terakhir ini adalah dari bunga obiligasi rekapnya sendiri yang diperdagangkannya maupun bunga SBI serta Fasbi dan keuntungan dari jual beli devisa. Restrukturalisasi bank-bank negara merupakan porsi kewenangan Meneg BUMN sebagai pemiliknya dan Bank Indonesia sebagai otoritas regulatornya, dan bukan merupakan bidang tugas BPK. Bagaimana caranya merubah orientasi bank- bank negara menjadi bank komersil betulan yang mampu bersaing di pasar yang semakin ketat merupakan bidang tugas Meneg BUMN. Perlindungan pasar khusus kepada bank nasional, utamanya kepada bank-bank negara, tidak lagi dibenarkan oleh komitmen kita sendiri pada WTO. Bagaimana mengatur, mengawasi dan memaksakan berlakunya aturan yang berlaku pada industri perbankan merupakan bidang kerja Bank Indonesia. Sama dengan bank-bank lainnya, swasta nasional maupun asing, bank Negara harus tunduk kepada aturan yang sama.

5. Peranan BPK dalam audit BUMN dan perbankan Sebagaimana telah disebut di atas, BPK bukanlah otoritas moneter dan bukan pula merupakan pemilik BUMN, termasuk bank-bank negara itu. Untuk menjawab pertanyaan apa urusan BPK dengan kredit bermasalah, terutama milik bank-bank negara perlu dilihat apa fungsi dan peranan BPK sebagai auditor keuangan negara dan kaitan antara keuangan negara dengan pembukuan BUMN dan bank-bank. Undang-Undang Dasar 1945 menciptakan BPK sebagai satu-satunya auditor yang melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab setiap sen keuangan negara dari mana pun sumbernya dan di mana pun disimpan atau dipergunakan. Tujuan dari pokok dari audit BPK adalah untuk menegakkan transparansi dan akuntabilitas fiskal sehingga membantu lembaga perwakilan rakyat menjalankan hak bujetnya. Transparansi dan akuntabilitas fiskal sekaligus menguatkan fundamental perekonomian nasional dan badan usaha kita, terutama BUMN dan BUMD. Transparansi dan akuntabilitas fiskal merupakan elemen pokok demokrasi politik. Transparansi dan akuntabilitas fiskal juga merupakan kunci untuk meniadakan rasa cemburu dan keeurigaan antar sesama komponen bangsa kita. Rangkaian UU tentang

13 Keuangan Negara tahun 2003-20043 memperluas tugas BPK sehingga meneakup aidit keuangan Pemda Tingkat II mulai tahun 2006. Pimpinan BPK sekarang ini dilantik tanggal 3 Desember 2004. Pada masa jabatannya sekarang ini, pimpinan BPK ingin mengimplementasikan amanat UUD 1945 dengan (a) meningkatkan kualitas audit BPK (b) memperluas objek pemeriksaannya dan (c) menuntut independensi dalam pelaksanaan tugasnya. Dalam hal kualitas pekerjaan audit, BPK akan meneruskan dan mengintensipkan audit investigasi dan fraud audit, yang telah dirintis sebelumnya diawali dengan audit BLBI. Audit secara umum dan dangkal yang dilakukan di masa lalu, karena BPK hanya merupakan tukang stempel penguasa, telah menjadi sumber bencana dan malapetaka nasional. Laporan keuangan dan laporan audit tidak ada nilainya untuk melakukan antisipasi maupun dasar bagi pengambilan keputusan. Akibatnya, kita semua, termasuk wong cilik yang tidak berdosa, ikut menderita karena buruknya sistem hukum dan sistem akuntansi sehingga laporan keuangan dan dan nasabahnya tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya. BPK sekarang ini juga menginginkan adanya independensi dalam pemilihan objek pemeriksaannya dan dalam menentukan kebijakan, prosedur serta metoda pemeriksaan maupun dalam menyusun laporan auditnya. Artinya, BPK menginginkan kebebasan dari pengaruh intervensi cabang-cabang pemerintahan eksekutif, judikatif maupun legislatif. Memenuhi amanat konstitusi, Pimpinan BPK sekarang ini menginginkan untuk dapat memperluas objek pemeriksaannya, baik pada sisi pengeluaran maupun sisi penerimaan neraca keuangan negara serta pada stok hutang maupun piutangnya. Untuk itu diperlukan koreksi Undang-Undang maupun kebijakan Pemerintah yang masih menghambat. Undang- Undang itu, a.1. berupa UU Perseroan dan BUMN, UU Pajak, UU tentang Yayasan berdasarkan dalih lex specialis, yang ternyata hanya menutupi kecurangan. Pada era Orde Baru, objek pemeriksaan BPK hanya terbatas pada beberapa objek pada sisi pengeluaran negara saja. Pada waktu itu, Bank Indonesia, Pertamina dan bank-bank negara, misalnya, diaudit oleh BPKP yang merupakan auditor internal Pemerintah. Penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak tidak pemah diaudit secara serius oleh BPK. Perluasan objek pemeriksaan BPK juga mengacu kepada pengalaman yang kita timba

3 Ketiga paket UU keuangan Negara itu adalah (i) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; (ii) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan (iii) UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan TAnggung Jawab Keuangan Negara.

14 dari krisis 1997-1998. Pelajaran pertama, sebagaimana telah disebut di atas, bahwa kerugian bank-bank rekap, bank negara atau bukan, merupakan contingent liabilities keuangan negara karena bank-bank tersebut tidak boleh bangkrut. Sebagaimana telah disebut di atas, hutang negara bertambah 100% pada tahun 1998 adalah semata-mata untuk merekap bank-bank nasional tersebut. Pelajaran yang kedua adalah bahwa induk organisasi pemerintah dan BUMN dirongrong melalui rangkaian perusahaan satelitnya, apakah berupa anak-anak perusahaan, yayasan maupun dana pensiunnya. Oleh karena itu, pemeriksaan BPK kepada sesuatu objek akan dilakukan secara consolidated dengan mengaudit semua lembaga dan badan usaha yang terkait dengannya.

6. Prioritas pemeriksaan BPK Kemampuan BPK pada saat ini masih jauh dari harapan. Keterbatasan BPK tercermin pada jumlah dan mutu SDM BPK, peralatan, anggaran maupun jaringan kantornya yang jauh di bawah auditor internal Pemerintah (Tabel 4). Di masa lalu, hanya auditor internal pemerintah, utamanya BPKP, yang memanfaatkan penggunaan dana pinjaman Bank Dunia untuk pendidikan akuntan. Apakah karena gajinya yang kecil maupun karena alasan lainnya, moral auditor BPK pun tidak beda dengan perilaku auditor lainnya: mau terima sogok organisasi, tambahan personil, peralatan, gedung kantor BPK dikontrol ketat oleh Pemerintah melalui Menpan sedangkan anggarannya merupakan bagian dari APBN biasa ataupun diperoleh dari auditee. Sesuai dengan tersedianya tambahan anggaran dari sumber APBN, mulai tahun 2006, BPK akan meniadakan perolehan biaya pemeriksaan dari pihak auditee. Idealnya, mengikuti negara-negara lain, anggaran BPK itu adalah bagian dari anggaran DPR. Hingga kini, BPK baru memiliki kantor perwakilan di sembilan ibukota provinsi, yakni di Banda Aceh, Medan, Palembang, Jakarta, Yogyakarta, Banjarmasin, Denpasar, Ujung Pandang dan Jayapura. Pada tahun 2005 direncanakan BPK akan membuka lima kantor perwakilan baru di Pakanbaru, Bandung, Surabaya, Pontianak dan Manado. Kantor di Banda Aceh dapat dibuka dengan bantuan keuangan Bank Pembangunan Asia untuk menyewa gedung kantor dan membeli peralatan kantor. Kantor-kantor di Jakarta dan di lima kota lain yang akan dibuka itu memperoleh pinjaman gedung kantor dari Pemda setempat. Dalam menghadapi keterbatasan kemampuan di atas, Pimpinan BPK dewasa ini menempuh dua jenis kebijakan. Pertama, menetapkan prioritas objek pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK sendiri. Prioritas utama

15 diberikan kepada objek-objek yang paling memberati pengeluaran negara. Prioritas kedua diberikan kepada objek-objek yang menyangkut kehidupan Rakyat banyalk. Prioritas ketigar adalah objek-objek yang secara pclitik sangat sensitif. Objek-objek lainnya merupakan prioritas berikutnya. Dalarn prioritas utama itu termasuk bank-bank negara serta Pertamina karena pengeluaran pembayaran hutang dan subsidi telah menelan lebih dari sepertiga pengeluaran negara. Sebagaimana telah disebut di atas, beban pembayaran hutang meningkat sejalan dengan kenaikan tingkat suku bunga dan tingkat laju inflasi serta pelemahan kurs devisa maupun harga minyak mentah yang tinggi dewasa ini. Termasuk juga prioritas pertama adalah audit Departemen Kesehatan dan Pendidikan Nasional, KPU serta Dana Abadi Umat milik para jemaah haji. Kebijakan yang kedua adalah untuk menyerahkan pelaksanaan audit instansi pemerintahr BUMN dan BUMD kepada Kantor Akuntan Publik (KAP) maupun auditor internal pemerintah menurut standar yang ditetapkan oleh BPK. Untuk melaksanakan ini, BPK sebagai otorita pemeriksa keuangan negara ingin memiliki independensi legislasi. Artinya, BPK punya kewenang,ln untuk menguji dan mengambil sumpah KAP yang diberi kewenaganan untuk memeriksa pembukuan sektor negarar termasuk BUMN dan BUMD.

Tabel 4. Daftar Data Perbandingan BPK RI dengan BPKP (per 1 Juli 2005)

Uraian BPKRI BPKP Keterangan Pegawai: 2.850 7.600* *Sebanyak ± 400 orang pindah ke MenPAN/dalam lingkungan Deputy Akuntabilitas a) - Administrasi 418 2.200 - Teknis/Auditor 2.382 5.000 b)Jenjang Pendidikan:

16 -SMA 644 376 - D3 132 1.102 - S1 1.754 5.110

S2 319 602

- 83 I 10

- Jumlah Kantor 9* 25 *Termasuk Perwakilan NAD - Luas Gedung 3.471 m2 -

Peralatan kantor : 1.202 2.400 Komputer (pC clan

Notebook) Transportasi (kendaraan 136 210 empat)

Anggaran Rp.273 M* Rp. 421 M *Termasuk bantuan luar negeri Rp. 18 M.

7. Kaitan BPK dengan penegak hukum Hal lain yang barangkali mengganggu pikiran para bankir adalah apakah secara bergiliran pimpinan BUMN dan para bankir, utamanya pimpinan bank sentral maupun bank-bank negara, akan diserahkan oleh BPK untuk diproses oleh Polisi, KPK maupun Tipikor? Untuk menjawab pertanyaan ini, patut diketahui bahwa BPK bukan merupakan bagian dari penegak hukum yang melakukan upaya pemberantasan korupsi dan BPK adalah tidak bekerja bagi keperluan mereka. Namun demikian, perlu diketahui bahwa BPK diwajibkan oleh undang-undang untuk menyerahkan laporan auditnya kepada DPR dan DPRD, sebagai pemegang hak bujet. Dewasa ini, BPK pun wajib menyerahkan laporan auditnya itu kepada DPD. Temuan-temuan yang mengandung unsur pidana wajib diserahkan oleh BPK kepada penegak hokum Polisi, kejaksaan dan KPK. Undang-Undang pun mewajibkan BPK untuk memuat laporan auditnya di website agar dapat diketahui secara luas oleh masyarakat dan sekaligus memberikan kesempatan kepada masyarakat

17 untuk menguji mutu dan keabsahan auditnya itu. Temuan-temuan BPK ditindak lanjuti oleh auditee sendiri yang melakukan koreksi sesuai dengan rekomendasi BPK. Melalui hak legislasinya DPR dan DPRD berwenang untuk menindaklanjuti temuan-temuan BPK. Proses penindakan hukum merupakan kewenangan Polisi, Jaksa, KPK serta peradilan dan bukan BPK. Dari pihak BPK, masalah BLBI, misalnya, sudah selesai lima tahun yang lalu BPK sama sekali tidak berperan dan berwenang untuk membuka ulang kasus lama ataupun menghentikannya. Yang dapat kita pantau hanyalah bahwa Pemerintahan SBY-MJK sekarang ini, nampaknya lebih serius dalam memberantas KKN dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Oleh karena itulah mengapa kejaksaan, Polri dan KPK lebih sibuk sekarang ini dalam upaya pemberantasan korupsi daripada di masa lalu.

18

Cost Recovery dalam Kontrak Production Sharing Migas dan Gas Bumi di Indonesia1

1.Peranan sektor migas dalam perekonomian Indonesia Sebagaimana diketahui, minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (nonrenewable). Tadinya Indonesia merupakan negara pengekspor neto minyak maupun gas bumi. Kini Indonesia merupakan pengimpor neto minyak bumi karena produksi nasional sudah tidak lagi mencukupi kebutuhan nasional. Di lain pihak, Indonesia dewasa ini merupakan salah satu produsen dan eksportir gas alam terbesar di dunia. Hampir seluruh kegiatan produksi minyak dan gas bumi di Indonesia dilakukan oleh perusahaan asing. Karena terus menerus dilanda KKN, peranan Pertamina dalam ekplorasi dan penambangan migas jauh tertinggal dari perusahaan yang lebih muda seperti Petronas dan Citic. Karena pemberian hak monopoli, peranan Pertamina yang menonjol hanya pada pengilangan dan distribusi di dalam negeri. Karena keterbatasan modal, keahlian dan pengalaman, keikut sertaan perusahaan swasta nasional dalam eksplorasi dan penambangan minyak baru pada tahap awal. Kasus semburan lumpur di Sidoarjo menggambarkan keterbatasan perusahaan swasta nasional dalam ekplorasi dan eksploitasi migas. Walaupun sumbangan industri atau sektor minyak dan gas bumi terhadap perekonomian Indonesia sudah semakin menurun dibandingkan dengan masa jayanya pada dasawarsa 1973-1983, peranannya masih tetap penting. Pada 2004, sebesar 9,3 dari PDB Indonesia adalah bersumber dari sektor itu. Hampir seperempat dari nilai ekspor Indonesia adalah berupa ekspor minyak dan gas bumi. Minyak dan gas bumi sekaligus merupakan penyumbang utama bagi penerimaan negara. Hampir seperlima dari pajak penghasilan adalah dipungut dari sektor ini. Dengan demikian, hampir 9% dari Pajak Dalam Negeri, 8% dari Penerimaan Perpajakan dan hampir 6% dari Penerimaan Negara dan Hibah adalah berasal dari migas dan gas bumi. Penerimaan negara dari perusahaan penambangan migas adalah diterima dalam bentuk mata uang US Dollar, dalam mata uang mana komoditi migas pada umumnya diperdagangkan di

1 Makalah untuk Seminar “Cost Recovery: Daya Tarik Investasi Atau Beban Bagi Negara”, Masyarakat Mahasiswa Universitas Trisakti, Senin, 11 Juni 2007, pukul 10:00-14:00, Ruang Seminar Gedung D, Lantai 8, Universitas Triksakti, Jakarta.

1 pasar dunia. Oleh karena itu, penerimaan negara dari migas sekaligus menutup defisit anggarannya maupun defisit neraca pembayaran luar negeri. Dengan demikian jelaslah bahwa kenaikan harga, maupun produksi migas serta perolehan negara dari industri migas, sangat menentukan bagi perekonomian Indonesia.

2. Sekilas tentang kontrak bagi hasil (Production Sharing) Sebelum berlakunya UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi di Indonesia adalah didasarkan pada Kontrak Bagi Hasil (PSC-Production Sharing Contract). Pada masa itu, berdasarkan UU No 8 Tahun 1971, tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara, Pertamina ditunjuk oleh Pemerintah untuk mewakilinya dalam melakukan kontrak dengan pengusaha migas, yang pada umumnya merupakan perusahaan asing. Artinya, untuk dan atas nama pemerintah, Pertamina melakukan kontrak dengan perusahaan asing dan sekaligus mengawasi pelaksanaan kontrak tersebut. UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi merubah PSC menjadi Kontrak Kerjasama (KKKS). Undang-Undang ini sekaligus mengalihkan pengelolaan kontrak dengan perusahaan pertambangan dari Pertamina kepada Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS). Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2002, BPMIGAS merupakan aparat pemerintah. Dalam PSC, Pemerintah (c.q. Pertamina) membagi hasil produksi bersih menurut suatu persentase tertentu. Hasil produksi bersih merupakan selisih antara hasil penjualan produksi migas (lifting) dengan biaya pokok atau biaya operasinya. Nilai produksi bersih yang akan dibagi oleh pemerintah dengan kontraktor migas disebut sebagai Equity to be Split (ETBS). Perhitungan bagi hasil antara pemerintah dengan perusahaan migas itu dilakukan setiap tahun. Pada hakikatnya, biaya operasi yang timbul dalam pelaksanaan kontrak PSC adalah diganti atau ditanggung oleh pemerintah. Kontraktor membayar terlebih dahulu (menalangi) nilai pengeluaran untuk biaya operasi tersebut. Selain menyediakan dana, kontraktor wajib menyediakan teknologi, peralatan dan keahlian yang diperlukan bagi eksplorasi dan eksploitasi migas tersebut dan menanggung semua risiko yang timbul daripadanya. Penggantian biaya operasi oleh Pemerintah tersebut dalam perhitungan bagi hasil disebut sebagai Cost Recovery. 3. Realisasi PCS tahun 2001-2005

2 Sebagaimana telah disebut di atas, pendapatan yang diperhitungkan dalam perhitungan bagi hasil adalah nilai pendapatan yang merupakan nilai produksi atau lifting yang biasanya merupakan nilai pengiriman/ penyerahan baik ekspor maupun domestik dari minyak dan gas bumi. Sementara itu, jumlah biaya yang merupakan cost recoverable selama tahun tertentu terdiri dari: 1. Insentif Investment Credit. Investment Credit adalah insentif yang diberikan oleh pemerintah kepada kontraktor untuk merangsang kontraktor menambah investasinya. Insentif diberikan berupa pengembalian (recovery) sejumlah nilai tertentu (biasanya sebesar prosentase tertentu yang ditetapkan dalam kontrak) dari investasi yang langsung berhubungan dengan pembangunan fasilitas produksi migas (direct production oil/ gas facilities). 2. Cost Recovery (CR) yang merupakan biaya operasi yang dimintakan penggantiannya yang terdiri atas biaya eksplorasi, biaya produksi (termasuk penyusutan), dan biaya administrasi (termasuk interest recovery) Seperti yang telah diuraikan di atas, perbedaan antara pendapatan penjualan lifting dengan cost recoverable merupakan ETBS yang dibagi antara Pemerintah dengan perusahaan migas berdasarkan kontrak perjanjian PSC. Tabel 1 menggambarkan realisasi perhitungan bagi hasil operasi minyak bumi selama periode 2001-2005. Tabel 2 mencerminkan realisasi perhitungan bagi hasil operasi gas alam dalam periode yang sama. Kedua tabel itu menguraikan besarnya volume lifting kedua komoditi itu, hasil penjualan produksi, cost recovery maupun ETBS serta pembagiannya antara pemerintah dan perusahaan migas.

Tabel 1 Perhitungan Bagi Hasil dari Operasi Minyak Bumi (Oil Operation)

3

Keterangan 2001 2002 2003 2004 2005 Lifting Ribu Barrels (MBBL) 436.402 407.136 367.835 337.070 364.375 Revenue (US$000) 10.305.587 10.009.023 10.557.198 12.354.540 19.203.739 Cost Recovery (US$000) 2.729.609 3.055.054 3.177.983 3.181.713 4.358.532 ETBS (US$000) 7.575.978 6.953.969 7.379.215 9.172.827 14.845.207

Government Share (US$000) 6.599.327 6.288.679 6.691.213 8.267.043 13.015.574 Contractor Share (US$000) 976.651 665.290 688.002 905.784 1.829.633 Sumber: Diolah dari Laporan BPMIGAS.

Tabel 2. Perhitungan Bagi Hasil dari Operasi Gas Bumi (Gas Operation)

Keterangan 2001 2002 2003 2004 2005 Lifting (MMCF) 1.647.490 1.828.467 1.967.690 1.804.121 2.209.755 Revenue (US$000) 6.207.247 6.655.897 7.972.673 9.695.570 13.163.254 Cost Recovery (US$000) 1.618.290 2.004.971 2.339.369 2.421.366 3.324.978 ETBS (US$000) 4.588.957 4.650.926 5.633.304 7.274.204 9.838.276

Government Share (US$000) 3.504.436 3.343.972 4.154.172 5.204.324 6.905.977 Contractor Share (US$000) 1.084.521 1.306.954 1.479.132 2.069.880 2.932.299 Sumber: Diolah dari Laporan BPMIGAS.

Tabel 1 dan 2 menggambarkan adanya kenaikan nilai pendapatan negara dari penambangan minyak dan gas bumi selama periode 2001-2005. Sumber utama dari kenaikan peneriman itu adalah akibat dari kenaikan harga kedua komoditi itu di pasar dunia. Kedua Tabel itu menggambarkan bahwa kenaikan volume lifting minyak dan gas bumi tidak begitu besar. Lambatnya kenaikan produksi migas itu, antara lain adalah karena lambatnya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas karena adanya gangguan pada stabilitas nasional sejak terjadinya krisis perekonomian nasional tahun 1997-1998. 4.Berbagai masalah dalam penerapan konsep Cost Recovery

4 Berbagai konsep dalam perpajakan2 dapat digunakan untuk menganalisis konsep cost recovery yang dipergunakan dalam industri minyak dan gas bumi di Indonesia. Konsep-konsep itu adalah upaya untuk menghindari pembayaran pajak (tax avoidance) ataupun menggelapkannya (tax evasion), ketidaktaatan akan aturan pajak (noncompliace), laporan atas pendapatan yang terlalu rendah (missreporting) maupun perhitungan biaya (recoverable cost) yang lebih tinggi. Termasuk dalam kelompok penerimaan adalah pemasaran serta harga dan transfer pricing atas penjualan kepada anak ataupun induk perusahaan di luar negeri. Di lain pihak, pengadaan dari anak perusahaan sendiri menggunakan tingkat harga yang lebih tinggi daripada harga pasar (over pricing). Sebagian dari masalah ini adalah tergantung pada penafsiran atas hal- hal yang tidak diperhitungkan atau dikecualikan (exemptions) dalam perhitungan besarnya beban pajak ataupun komponen yang dapat dikurangkan (deductions) dari perhitungan beban itu. Dengan menggunakan konsep perpajakan itu, dapatlah disimpulkan bahwa perlu diperhatikan berbagai hal-hal berikut dalam mendesain maupun mengontrol pelaksanaan cost recovery. Pertama, laporan tentang produksi (lifting) minyak dan gas bumi. Kedua, bagaimana pemasaran produk itu, tingkat harga serta kemungkinan adanya transfer pricing. Ketiga, apa komponen yang masuk dalam perhitungan biaya. Keempat, apakah tidak ada over priving dari supplier milik sendiri? Kelima, komponen apa saja yang dapat dikecualikan (exemptions) dalam menghitung biaya. Keenam, komponern apa saja yang dapat dikeluarkan (deductables) dari perhitungan biaya. Jika perhitungan itu tidak cermat dan definisinya tidak tegas, dapat merugikan pemerintah atau perusahaan migas. Di satu pihak, biaya yang dapat dibayar kembali (recoverable) itu seyogyanya dapat memberikan insentif bagi perusahaan migas untuk melakukan kegiatan usahanya dengan risiko tinggi itu. Di lain pihak, biaya produksi yang tidak rasional akan mengurangi ETBS sehingga mengurangi porsi yang akan dibagi oleh pemerintah dengan perusahaan migas. Dalam biaya produksi yang terlalu tinggi itu, perusahaan sudah mengambil keuntungan terlebih dahulu yang disembunyikan dalam bentuk biaya. Praktik seperti ini akan merugikan pemerintah akan rugi walaupun porsi pembagian ETBS kepada negara cukup besar.

2 Lihat, misalnya, Joel Slemrod, 2007. “Cheating Ourselves: The Economics of Tax Evasion”. dan Michael J. Graetz, 2007, “Tax Reform Unraveling”. Keduanya ada dalam The Journal of Economic Perspectives Vol. 21, No. 1, Winter, masing-masing pada halaman 25-48 dan 69-1990.

5

5.Temuan BPK-RI selama periode 2004-2005 Hasil Pemeriksaan BPK-RI atas Cost Recovery beberapa KKKS untuk tahun buku 2004 dan 2005 mencerminkan masih perlunya peningkatan kontrol BPMIGAS dan Departemen ESDM pada implementasi cost recovery. Hasil Pemeriksaan itu sudah disampaikan ke DPR-RI per 8 Augustus 2006. Nilai seluruh Temuan Pemeriksaan BPK itu lebih dari Rp14,20 Triliun. Jumlah ini merupakan nilai koreksi pengurangan cost recovery yang direkomendasikan oleh BPK-RI untuk perhitungan bagi hasil sesuai kontrak PSC pada lima KKKS tersebut di atas. Cost recoverable yang terlalu tinggi itu telah mengurangi porsi pemerintah atas penambangan minyak dan gas bumi. Memenuhi permintaan DPR, dewasa ini, BPK-RI juga tengah menyelesaikan Laporan Hasil Pemeriksaan atas pelaksanaan kontrak PSC tahun 2005 pada beberapa KKKS lainnya.

Temuan BPK-RI atas pelaksanaan kontrak PSC terutama menyangkut nilai cost recoverable yang terdiri dari insentif dan cost recovery umumnya terjadi karena: i. Adanya pasal-pasal terbuka yang mencerminkan adanya aturan yang sangat longgar mengenai biaya-biaya yang dapat diperhitungkan dalam cost recovery, termasuk deductions serta exemptions. ii. Adanya pasal tertentu yang terkesan “saling bertentangan” satu sama lain. Hal ini dapat dilihat dari pasal dalam kontrak PSC (induk) yang mengatur tidak dapat dibebankannya biaya bunga ke dalam biaya operasi, namun dalam lampiran kontrak PSC (yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari kontrak PSC/ induk) membolehkan pembebanan biaya bunga ke dalam biaya operasi dalam rangka cost recovery.

6. Saran Pemerintah, khususnya BPMIGAS, memerlukan ahli hukum pertambangan migas yang handal, ahli teknik yang piawai serta akuntan yang prima untuk dapat menyempurnakan dan mengawasi pelaksanaan konsep-konsep yang berkaitan dengan cost recovery maupun untuk menerapkannya. Koreksi itu, adalah, antara lain berupa upaya pencegahan dan pengendalian sebagai berikut: a. Mengaktifkan fungsi perencanaan, penganggaran, monitoring, dan pengendalian kegiatan yang dilakukan oleh KKKS melalui persetujuan kegiatan

6 berbentuk Work Program and Budget (WP&B) dan Authorization For Expenditure (AFE) oleh BPMIGAS. Pengendalian ini akan lebih efektif apabila di internal BPMIGAS telah berjalan suatu kebijakan dan prosedur yang memadai agar tujuan pengendalian dapat tercapai dalam rangka pengendalian finansial operasi KKKS; b. Mengambil tindakan korektip berupa kegiatan pemeriksaan off-site maupun on- side, baik yang dilakukan oleh BPMIGAS dan Pemerintah RI maupun oleh Badan Pemeriksa Keuangan; c. Mengawasi jumlah dan jenis produksi (lifting), distribusi serta pemasaran maupun kewajaran harganya; d. Memperjelas komponen perhitungan biaya dan definisinya secara rinci; e. Memperjelas apa yang disebut dengan exemptions beserta definisinya; f. Memperjelas komponen deductibles beserta definisinya.

7 Accountability for and Audit of Tsunami-related Aid: Indonesian Experience 1

1. Background The Indian Ocean tsunami that occurred on 26 December 2004 had three unique, international features. First, it was the world’s first global natural disaster, covering countries in two continents, Asia and Africa, on the rim of the Indian Ocean. Second, thanks to prompt and wide news coverage, the response to the disaster has been global in a way rarely seen before. Indonesia, like other tsunami hit countries, immediately received donations and technical assistance from public and private sources around the world. Third, the value of assistances provided by private sector, both corporate donors and NGOs during the emergency phase was much bigger than that of public sector. The tsunami was spawned by a magnitude 9.0 earthquake that happened at 8 AM local time in deep seas off west coast of around 150 km from the city of Meulaboh2. The earthquake set off a string of powerful tidal waves, radiated at speeds of up to 800 km per hour across Indian Ocean, that caused one of the worst natural disasters in recorded human history. The destructions were magnified as environmental degradation in Aceh began long before the tsunami. Zoning was not properly followed, building codes were not strictly implemented and environmental regulations were disregarded. Meanwhile, the traditional exercise to immediately rush to higher ground right after a powerful earthquake and receding sea water is no longer practiced. The combined destructive earthquake and tsunami caused not only loss of people’s life but also the collapse of the economic, social, and government infrastructure of those areas. Out of 157,314 people were dead or missing during the disaster, 110.229 people killed in Indonesia alone and virtually everyone suffered immensely through the

1 A paper prepared for International Symposium on Strengthening Global Government Audit: The Contribution of the International Organization of Supreme Audit Institutions (INTOSAI), as illustrated by the Audit of Tsunami Relief Funds, Vienna, 20 June 2006 . 2 Sits on the world’s most active tectonic Australian and Eurasian Plates and the Pacific Ring of Fire, the Indonesian Archipelago is prone to both earthquakes and volcanic eruptions. Indonesia has 76 active , the highest number in the world. The quake in Yogyakarta on June 3, 2006, with a magnitude of 6.3, took 5,857 lives, caused 37,229 injuries, destroyed 84,643 houses, and damaged 323,282 houses. Prior to the quake, it was expected eruption of Mount Merapi, a towering 3,000 meter high just north of the epicenter of the quake that has been active for sometime.

1 loss of friends, relatives, and livelihoods. Around 120,000 houses damaged, 2,663 bridges destroyed, 2,112 schools collapsed and over 60,000 hectares of agriculture land was either damaged or contaminated by salted sea water. The damage and loss, it was estimated, to be US$4,5 billion.

2. Government Responses The handling of the tsunami in Indonesia has two it own unique characteristics. The first characteristic is because the Indonesian government adopted an open policy to overcome its own limited capacity. Second, because the government used the disaster as a catalyst to end the long period of nearly 30 year military conflict with the local separatist group for restoring peace in Aceh. 2.1. Relief Phase When the disaster struck, Indonesia was unprepared to cope with such unexpected natural disaster of that scale. The Government of Indonesia quickly declared a national disaster on the same day the calamity occurred. The government did not have a strong and well functioning organization for mobilizing the needed resources at both national and local levels. Local capacities in Aceh was further weakened by the long period of nearly 30 years of civil war and destruction of government infrastructures by the national calamity. Meanwhile, an internal control system was yet to be developed. The Bakornas, the National Coordination Agency for Mitigation and Refugee Management, a government agency with responsibility to coordinate the management of disasters and refugees during the relief phase, did not perform adequately. This is because it lack of authority, budget and equipments. The Vice President, acting as the Head of Bakornas PBP, rushed to Banda Aceh to lead the rescue operation, and brought with him much-needed supplies and medical team. At the national level, the functions of Bakornas were taken over by another organization, the National Team to Deal with Disaster Management of Aceh and Nias (Tim Nasional Penanganan Bencana Aceh dan Nias) that was established right after the disaster struck. Implementation at the local level was coordinated by the Implementing Units (Satkorlak). To overcome weak domestic capacity, the Government adopted an open policy. The government welcomed participations of foreign government agencies and troops, multilateral organizations and international NGOs to extend assistance to the victims in

2 the locations of their liking, the groups of people they prefer and in the sector of their own choices. A great number of official, military and rescue units and private domestic agencies and international organizations and NGOs (Appendix 1) worked hand in hand to rebuild the physical and human infrastructure needs as well as lives and communities, particularly among those who have lost their loved ones, homes, jobs, and meager assets. Foreign troops from eighteen countries were allowed to bring in their state-of-the-art machines of war to perform valuable humanitarian rescue operations. The rescue operation in Aceh may be the largest noncombat military operation since World War II. The open policy serves two purposes. First, it has greatly improved the delivery of the assistance to the needy, including the rebels who have also been suffering from the same natural disaster. The second objective of the open policy has been to enhance transparency and accountability. By adopting this policy, we adopt the saying: “sun light is the best disinfectant to kill germs” in practice. The open policy has not been limited only to the relief phase, but also continues into the recovery and reconstruction phase. During the relief phase, ended on 26 March 2005, the Government of Indonesia mobilized funds from general public, state-owned enterprises, and local governments through nearly 1,200 state-sponsored collecting agencies (Pos Pengumpul) scattered all over the country. The agencies, however, were not properly linked and coordinated with both the Satkorlak and the Bakornas. As a result, some of the funds were used and retained by themselves and not transferred to the centralized funds controlled and administered by the Ministry of Finance. Some of the aid provided by the collecting agencies was improperly distributed and did not meet the intended purposes. Indonesian Government-channeled aid to Aceh and Nias during the relief phase was estimated to reach Rp2,658 trillion (or $265.8 million at the exchange rate Rp10,000 to the dollar) and of this Rp1,9 trillion ($190 million) came from government budget and Rp758 billion ($78.8 million) raised by the government collecting agencies. The budget funds were directly channeled through 11 Ministries and Agencies directly involved in relief efforts3. The Ministry of Public Works was in charge of activities for land clearing,

3 These are Office of the Vice President, the Office of the Coordinating Minister for Social Welfare, the Ministry of Public Works, the Ministry of Social Affairs, the Ministry of Health, the Ministry of National

3 building, repairing bridges, roads and building temporary shelters. The Ministry of Social Affairs provided the essential for survivals, such as food, drinking water and clothes. The Ministry of Health provided medicine and helped to prevent the spread of communicable diseases. The Ministry of Education set up temporary schools and provided learning materials. The task to find the missing, identify and bury those who did not survive were jointly performed by the armed forces, the police, volunteers, NGOs and local communities. The relief phase, focusing on humanitarian activities to save lives, bury those who did not survive and prevent further ensuing disaster such as the outbreak of communicable diseases.

2.2. Rehabilitation and Reconstruction Phase To speed-up the recovery process in Aceh and Nias, the government developed a master plan with two critical elements. The first was to establish the BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias), the Agency for Rehabilitation and Reconstruction of Aceh and Nias on 30 April 2005 with Government Decree 2/2005(which later became Law 10/2005). BRR is a ministerial level institution to provide leadership of the recovery and rebuilding process. The second role of the BRR is to coordinate community-driven recovery and reconstruction programs performed by both domestic and foreign institutions in the tsunami hit areas of Aceh and Nias. Head Office of the BRR is located in Banda Aceh, the capital city of Aceh Province, with branch offices in both Aceh and Nias and a representative office in Jakarta. The BRR is scheduled to operate throughout the recovery and reconstruction process until 2009. The recovery and reconstruction process is now more feasible with the end of military conflict and restoration of peace in the Province of Aceh. Mediated by the former President of Finland, Martti Ahtisaari, the government signed a peace agreement with the separatist group of Aceh in Helsinki on August 15, 2005, ending a civil war that had been raging for nearly 30 years.

Education, the Ministry of Defense, the Ministry of Home Affairs and the Financial and Development Supervisory Agency (BPKP)

4 3. Aid during Relief, Rehabilitation and Reconstruction Phases

The cost of rehabilitation and construction of the tsunami-affected regions is estimated to US$6 billion. As shown in Table 1, 96 percent of assistances to these regions came from international community both from the public sector as well as from the private sector. It is also interesting to note that private donations from international community to the tsunami affected areas surpassed the sizable government aid commitments and for the first time corporate donors figured prominently among private donors. Over one hundred international NGOs and many local NGOs, now are operating in Aceh and Nias. In March 2005, the Paris Club agreed to provide Indonesia the moratorium worth US$2.6 billion until the end of 2009. The availability of the new funds and debt relief helps ease the audit opinion during the audit of Bakornas financial report. Findings showed that this figure was highly under presented.

Table 1: Amount of Aid (Goods, Funds and Services) to Aceh-Nias during Relief and Rehabilitation and Reconstruction Total Aid 1) Note Source of Aid Domestic Foreign (US$ million) Foreign Governments direct to activities in Aceh- 998 998 Nias Multilateral Organizations direct to activities in 484 484 Aceh-Nias Private Companies direct to activities in Aceh- 28 Nias 2) Fund Raising Companies direct to activities in 636 636 Aceh-Nias 2) NGOs direct to activities in Aceh-Nias 977 977 2) Fund Raising Multidonor Funds/Multilaterals 94 94 direct to activities in Aceh-Nias Central GoI Ministries 374 374 Local Aceh-Nias Governments 210 210 BRR 1,391 1,391 Communities direct to activities in Aceh-Nias 48 137 3) Fund-raising State-Owned Institutions 100 488 588 4) 148 5,652 5,917 Source: Compiled from Various Sources such as UN-OCHA FTS(for aid received during relief phase), BRR’s RAN Database (of NGOs’ and other donors’ aid during rehabilitation and reconstruction phase), Indonesian Government budget documents and other sources.

5 Note: 1. The total flows is being studied by the INTOSAI Task Force. The final result is to be discussed at the end of October 2006 in the Task Force meeting in Australia 2. Most of these donors are foreign donors. 3. The amount US$ 48 million is quoted from PIRAC(Public Interest Research and Advocacy Center). The US$ 48 million is the amount raised by 30 Indonesian printed and electronic media up to 31 January 2005,quoted from PIRAC presentation in June 2005. Foreign aid figure can not be comfortably calculated as the difference between the total amount and the domestic amount 4.Domestic and foreign sources as reported by Bakornas (unaudited). BPK did not issue

Pressures on fiscal policy and the balance of payments of these countries particularly during this time when Indonesian economy has not fully recovered from the economic crisis of 1997.

At the annual meeting of Indonesia’s international donors held in mid-January, 2005 an International Multidonor Trust Fund for Aceh and Nias was established to support the rehabilitation and reconstruction of the disaster areas in 2005-2009. The Multi-Donor Fund brings together a pool of over US$ 525 million from 15 donors4 and is a partnership of the Indonesian government, international community and civil society to support the recovery in Aceh and Nias. The World Bank administers the Fund and acts as its Trustee.

The aid are delivered through multiple channels: directly by the organizations themselves, through the Government of Indonesia (GOI), multilateral organizations (like UN bodies), multi donor funds (such as Multi Donor Trust Fund on Aceh Nias –MDTF) as well as nongovernmental organizations (NGOs) like ICRC. The government institutions of Indonesia include central ministries (such as Ministry of Health and the Armed Forces), local governments (such as Aceh and provincial governments) and BRR.

It is difficult to make distinction between the use of aid, for the relief purposes or for rehabilitation and reconstruction efforts. Only aid channeled through Indonesian Government system, such as BRR, central GoI or Aceh-Nias local governments, where

4 Multi-Donor Fund has members from Asian Development Bank, World Bank, European Commission, governments of Canada, United Kingdom, Netherlands, Norway, Denmark, Sweden, Germany, United States, Finland, Belgium, New Zealand and Ireland.

6 the budget allocation was directly linked to each phase, can be clearly categorized according to these purposes.

4. Auditing the Funds

BPK has the authority to audit the collection and the use of funds channeled though the state budget or the public sector at large. As shown in Chart-1, mandate of BPK includes auditing foreign assistances channeled through the public sector as shown by channels numbers 1,2, 5, 15, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27 and 28, 29 and 33 in Chart 1. The channels through the Government of Indonesia could pass through the state budget or treasury, line ministries (such as the Ministries of Health, Social Welfare and Public Works), local governments in Aceh and Nias, and BRR. These only cover 43 percent of the total aid. About 25 percent of the aid was directly channeled by through foreign government agencies and multilateral organizations and, therefore, are audited by their auditors. The other 32 percent of the assistance to the tsunami hit areas are provided by NGOs including the corporate donors. Many large, international NGOs, such as Oxfam or Save the Children, are matured, established and adopting the practice of having their financial statements audited and published to bring public trust in their operation. From their financial statements, public might get insights on their activities in Aceh-Nias. Large and well established international NGO, such as Oxfam and Save the Children are generally adopted the best practices of having their financial statements audited by reputable international accounting firms. Financial statements of large domestic NGOs are also required by laws to be audited by private accounting firms. Tempo Magazine of 11 June 2006, however, reports frauds in operations of FIG (Forder und Interresengemeinschaft)-Indonesia, Oxfam and Save the Children in Aceh including discrepancies between the houses reported as built with the actually constructed, discrepancies in the number of boats donated, mark up in labor and construction costs of the assistances and low quality of houses built. These institution have taken corrective measures.

7

As of 6 June 2006 8 The coverage of BPK’s financial audit for the relief phase is only Rp2.18 trillion or 81.6 percent of the total funds. Taking into account the foreign funds of Rp17.2 trillion, both from official sources and private sector, BPK’s audit coverage in this phase is only 11 percent of the total committed fund assistance. 5

To implement its mandate to audit relief phase, BPK established two teams in 2005. The first team audited the National Compilation Financial Report of Aid for the natural disasters in Aceh and Nias. The second team audited the activities conducted by the line ministries which received budget from the state budget during the relief phase. The audit was conducted by from October 2005 to January 2006 to verify Bakornas’ Financial Report released in August 2005. The long release of the Bakornas’ Report delayed audit work of BPK. Completed on 17 April 2006, the Audit Report of BPK was delivered to both the Parliament and the Government.

In its audit during the relief phase, BPK finds many critical aspects need to be improved. These included the weakness in organizational structure, function and authority, coordination, implementation, monitoring, activities evaluation and accountability report. We also found the absence of proper accounting system to record and report the money and logistics coming from local and international donors. BPKP assisted Bakornas to formulate accounting and internal control system as early as January 2005. Over 700 financial report received from the state-sponsored collecting agencies were not compiled into National Compilation Financial Report. There was inadequate supporting data to ascertain the amount of goods received from foreign countries. Verification and supervision systems did not exist to verify and check the reporting system of the aid collection units. Neither Bakornas nor Satkorlak had authority to mobilize, monitor and evaluate the activities conducted by the line ministries and the armed forces. We found that some distribution of daily needs and procurements such as food packages were not distributed on time which later caused damages to these supplies. Some medical kits and equipments in both areas were useless as they did not match with

5 As previously mentioned, bigger audit coverage, 43 percent, would be reached in auditing the rehabilitation and reconstruction phase.

9 the actual needs in the tsunami affected areas. Some temporary shelters were unused because of lack of planning in determining location, number of refugees and low quality of construction.

The focus of BPK audit was mainly financial audit because its capacity to do performance audit was limited. Gradually BPK strengthens its capacity to do cross- sectoral audits particularly in high risks areas, such as public sector procurements and construction of infrastructure. Audit on the environment will be integrated in the performance audit, while the audit of internal controls will be important part of the financial and performance audits.

6. Administrative costs There is some information on administrative costs. But, not all of them can be classified as program delivery cost. For example, in health sector, the salary of the program management unit staff, office rent and maintenance is the administrative cost while the salary of the doctors which carry out health improvement program should be categorized as program delivery cost. In general, the lower the administrative cost, the more efficient the program is delivered. Conceptually, the administrative cost is harder to determine in the relief phase than in the rehabilitation and reconstruction phase because of the inherent nature of these phases. As mentioned earlier, the focus of humanitarian activities during the relief phase is to save lives and prevent further ensuing disaster such as the outbreak of diseases. Because of this, the result and effectiveness of the program is the primary concern rather than the efficiency as some time it was carried out at all cost. It is reasonable to expect that the program delivery cost is so high and highly inefficient. For example, one of the BPK’s audit finding indicates that several contractors from neighboring provinces were contracted to remove the debris in Aceh during the relief phase. The contrcators brought in heavy equipments such as excavators, bulldozers, wheel- loaders and dump trucks with high transportation costs from Medan, about 500 kilometers from Banda Aceh.

Aside from coordinating efforts by other institutions, BRR also carry out the rehabilitation and reconstruction activities in Aceh and Nias. As an government agency it receives funding mainly from central government budget. There are four expenditure categories in BRR’s budget, namely: (1) Salary and Honorarium (belanja pegawai),

10 Other NonCapital Expenditure (belanja barang), Capital Expenditure (belanja modal), and Social Assistance Expenditure (belanja bantuan sosial). We looked at further breakdown of these categories to get to a proper administration cost.

As it directly related to program delivery, honorarium for medical practitioners, amounted to of US$ 13.4 million can be reclassified as the program delivery cost (either as Capital Expenditure or Social Assistance Expenditure). On the other hand, salary and honorarium can be categorized as administrative cost (see Appendix 3 for breakdown of these costs). With this classification, total administration cost is amounted to Rp315 billion or 12.7 percent of total cost of Rp2,492 billion.

Administrative costs of some tsunami-related aid agencies are shown in Tabel 2.

Table 2 Administrative cost of Some Tsunami-Related Aid Agencies in Aceh and Nias

No. Organization Administrative Cost 1. Multi Donor Fund (MDF) 1.2% 2. Oxfam 3% 3. Sukma Bangsa Foundation <6% 4. BRR-RAN Trust Fund 0% 5. BRR- Overall 12.7%

The Multi Donor Trust Funds (MDF) has the lowest administrative cost at 2% to administer, appraise, supervise and monitor the constructions of the projects. It has the lowest cost because MDF finances big projects with a value above US$1 million. In addition, MDF can use the facilities of its partner agencies such as the World Bank, ADB and the UN Organizations to reduce overhead costs. Oxfam does not release information on its operational cost in Aceh and Nias. However, its 2004-2005 Annual Review provides information of its global administrative cost at 3%6. The administrative cost of

6 Oxfam Annual Review 2004/5, p. 51, Oxfam The report can be downloaded from www.oxfam.org.uk

11 BRR-RANTF (Recovery Aceh Nias Trust Fund) is zero as it is a trust fund established by BRR to receive donations for rehabilitation and reconstruction activities in Aceh-Nias and is directly operated by the BRR. Founded by an Indonesian mass-media conglomerate, the Sukma Bangsa Foundation collects donations from general public to build schools and social infrastructure in Aceh and Nias has administrative cost at 6 percent.

7. International Cooperation To avoid audit duplication and repetition as well as to increase the efficiency and effectiveness in audit of tsunami-related aid, BPK promotes cooperation with SAIs and auditors of donor countries, regional and multilateral institutions and NGOs. Along this line, with the help of Asian Development Bank, BPK organized an International Conference on Promoting Financial Accountability in Managing Funds Related to Tsunami, Conflict and Other Disaster in Jakarta in April 2005. The conference was well attended by 142 delegates from SAIs from tsunami hit countries in Asia, donor countries as well as auditors and/or representatives of regional and international organizations. The conference recommends, among others, to arrange joint audits among auditors of aid-recipient and donor counties to enhance audit efficiency, facilitate technology and knowledge transfers, and help build institutional capacity. Related to this BPK is seeking all kinds of cooperation with its counterparts, ranging from advisory function, exchange of information and audit reports separately prepared by individual SAI, to joint audit. Cour des Comptes, SAI of France has kindly helped BPK to build up its internal capacity in auditing military conflicts and auditing NGOs.

As the follow up of the Jakarta conference of 2004, the BPK Advisory Board has been established consisting of representatives from 12 SAIs7. During the inaugural meeting held in Jakarta on April 24-25 April, 2006, the Advisory Board recommended to share information on the aid flows and audit reports. In particular, donor and recipient countries can exchange information on the amount of aid (both goods and funds), timing of aid, purpose of aid and their effectiveness. Difficult issue such as joint audit by two or more SAI’s was not discussed as it requires sharing key decisions on joint audit

12 methodology, approach and strategy. In addition, joint audit between two SAIs is more difficult to do as each of them is constitutionally binding to report only to their respective legislative bodies.

In line with the recommendation of the Jakarta conference of 2004, an INTOSAI Task Force on the Audit of Disaster-Related Aid was created in the 54th Governing Board Meeting of INTOSAI on 10 -11 November 2005. SAI of the Netherlands chairs the task force and assisted by two vice-chairs: BPK and SAI of South Korea. The task force shall not be directly engaged in auditing and has two objectives. The first is to enhance transparency and accountability of tsunami-related aid in order to prepare the ground for the efficient and effective of planning, monitoring, and auditing of aid flows. The second is to formulate best practices and guidelines for the accountability and audit of disaster- related aid. The Chart 1 we produce here is the result of the Initiative.

8. Conclusions In conclusion, BPK has a critical role to play in the effectiveness of the rehabilitation and reconstruction efforts. Stakeholders have high expectations of the role in ensuring (1) the tsunami fund are properly accounted for and used efficiently and effectively for the purposes intended, and (2) transparency and accountability of the accounting, reporting and monitoring of the assistance fund balances and progress of the rehabilitation and reconstruction programs. Due to the complexity of the financial scheme and the limited audit coverage that could be conducted by BPK, I envisage cooperation in regards to: (1) Exchange of reports and information on the audits of various aspects of funding for the tsunami and other natural disasters, the amount of aid, the timing of deliverance, purpose of aid , their effectiveness and efficiency. (2) Exploring new fields and tools such as environmental audits and GIS with particular reference to the audits of the Tsunami and other natural disasters; (3) Closer cooperation between various SAIs, particularly between aid-donor and recipient countries and accounting firms under the auspices of the SAIs of the various donor entities to exchange experiences, methodology, approach and

7 They are SAIs from Australia, Denmark, European Union, France, Japan, the Netherlands,

13 strategy. From this we can also exchange experiences and challenges encountered during the audits. From the lessons learned, INTOSAI and other regional organizations of SAI could develop audit and accountability guidelines and as well as awareness of natural-disaster-specific frauds for future reference.

Norway, United Kingdom, United States, Saudi Arabia, South Korea and Sweden.

14 Appendix 1. Contributions from Donor Countries

No. Country Personnel Contributions

1. Afghanista 20 medical workers Food and medicines n 2. Australia 288 medical 1 mother ship, 4 Sea King heli, 4 workers, 35 Hercules planes, 1 Boeing 707 plane, nonmedical 2 big ship, medicines, food, clothing, workers, 600 evacuation equipment, generators soldiers 3. Armenia 4 medical workers 4. Netherland 4 medical workers, Medicines, humanitarian and s 3 soldiers emergency relief aid, communication equipment. 5. Brazil 21 soldiers 6. Brunei 15 medical 2 Black Hawk helis, medicines. workers, 46 soldiers 7. Chechnya 12 soldiers 8. Czech 22 nonmedical Drinking water Republic workers 9. China 35 medical workers and 89 nonmedical workers 10. Chili 5 medical workers and 1 expert 11. Cuba 23 medical workers 12. Estonia 15 medical workers 13. Philippines 25 medical workers Medicines, humanitarian and emergency relief aid, water equipment

14. Hungary 14 medical workers 15. India Floating hospital, medical boat, medicines, and aid in emergency relief. 16. United 3 nonmedical 1 navy ship, some helis, 11 Hercules Kingdom workers, 3 experts, planed, medicines, aid in emergency 40 soldiers relief, water equipment.

17. Italy 7 medical workers 18. Japan 23 medical 3 ships, 5 helis, 2 hovercrafts, 2 workers, 1000 Hercules planes, humanitarian and soldiers emergency relief aid. 19. Germany 310 soldiers 1 ships, 2 Sea King helis, flying hospital, medicines, evacuation equipment, humanitarian and

15 emergency relief aid. 20. South 32 medical Medicines, clothings, humanitarian Korea workers, 91 and emergency relief aid. nonmedical workers 21. Kuwait 56 heavy equipment, 150 ships 22. Malaysia 383 medical 2 Hercules planes, 2 Nuri heli, 1 CN workers, 265 235 plane, medicines, food, drinking soldiers water, clothings, humanitarian and emergency relief aid, water equipment, first aid kits. 23. Mexico 5 experts 2 floating hospitals, 3 helis 24. Egypt 6 medical workers 25. Nigeria 31 medical workers 26. Norway 31 medical workers Hospitals, medicines 27. New - 1 Kiwi planes, humanitarian and Zealand emergency relief aid 28. Pakistan 300 medical 1 hospital, 2 floating hopitals, 3 workers, 200 helicopters soldiers 29. France 72 medical 2 mother ships, 8 Super Puma helis, workers, 1 team of medicines, food, drinking water, nonmedical clothing, humanitarian and emergency workers, 2 experts, relief aid, water equipment, first aid 205 soldiers kits

30. Portugal 24 medical workers Traveling hospital, generators 31. Rusia 150 soldiers Some II-76 planes, 7 Air Force planes, 6 trucks, 5 heavy equipment, 1 hospital, humanitarian and emergency relief aid 32. Singapore 2 medical 6 Chinox heli, 2 Super Puma heli, 1 workers, 1,112 mother ship, planes, medicines, food, soldiers drinking water, clothing, humanitarian and emergency relief aid, water equipment, first aid kits

33. Slovakia 4 medical workers 34. Spain 612 soldiers 1 battle ships, some helis, water purifier, cadaver sacks, humanitarian and emergency relief aid, vehicles. 35. Sudan 4 medical workers 36. Switzerlan 2 medical workers, 3 Super Puma heli, medicines, d 17 experts, 50 humanitarian and emergency relief soldiers aid, vehicles. 37. Syria 5 medical workers 38. Tunisia 13 soldiers

16 39. Turkey 37 medical workers Humanitarian and emergency relief aid 40. United 31 medical workers Some trucks, clothing, humanitarian Arab and emergency relief aid. Emirates 41 USA 14.000 soldiers 2 ships, 1 floating hospital, 75 helicopters, 8 battle ships, hovercrafts, 6 helicopters, medicines, drinking water, generators, first aid equipment. 42. Jordanian 32 medical workers, 24 soldiers 43. Greece 10 experts Some trucks, water purifiers, medicines, humanitarian and emergency relief aid.

Source: BAKORNAS PBP and other sources

17 Appendix 2: Rehabilitation and Reconstruction Progress (as at end of April 2006), unauditted

Damaged/ Progress Requirement New Houses 120,000 units 41,734 School Teachers 2,500 teachers 2,430 (newly trained/substitute) teachers Schools 2,006 units 524 units Religious Facility 11,536 units 489 units Health Facilities 127 units 113 units (7,380 health post) Fishing Boats - 6,160 units Saltwater Fishing Ponds 20,000 ha 9,258 ha (rehabilitated) Paddy Fields 60,000 ha 37,926 ha Roads 3,000 km 490 km Bridges 120 41 Micro Credit 100,000 SMEs 147,823 SMEs Sea Ports 14 ports 2 (completed) 3(in-progress) Airports/ Airstrips 11 5 Airport/Air Airports/Airstrips strip/helipad Source: translated from “Membangun Tanah Harapan: Laporan kegiatan satu tahun Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Naggroe Aceh Darussalam dan Nias”, p.13, BRR, April 2006

18 Appendix 3. Calculation of BRR’s FY 2005 Administrative Cost (based on actual disbursements up to 30 April 2006)

Cost Component Amount (in IDR) Honorarium for medical practitioners 194,166,500,000 Services 186,413,953,027 Maintenance 7,981,679,582 Land acquisition cost 88,318,093,100 Machinery and Equipments 264,480,978,485 Buildings 225,763,543,224 Road and Irrigation 550,020,109,946 Other Physical Infratructures 29,987,361,081 Donation – Education 43,331,416,926 Donation – religious institutions 13,175,486,000 Donation-others 572,938,219,092 Total Program Delivery Cost (87.3 %) 2,176,577,340,463

Honorarium 101,199,511,248 Tax Allowance 10,069,875,795 Expenditure for goods – operational 119,676,202,433 Expenditure for goods – nonoperational 66,827,895,783 Travel expenditures 18,020,466,333 Total Administrative Cost (12.7%) 315,793,951,592

Total Actual Cost (100%) 2,492,371,292,055

Source: BRR’s budget realization report. BPK-RI is currently auditing BRR’s financial report as of 31 December 2005.

19 Auditing the Hot Mud Eruption In Sidoarjo, , Indonesia with Environmental Perspectives1

Introduction The mud eruption that started in Porong, District of Sidoarjo, East Java on May 29, 2006 at 5,000 m3/day (currently reaching 170,000 m3/day) at an exploration well owned by PT Lapindo Brantas Inc. (LBI) was a tragic event to be sure. The catastrophe and its handling indicate a number of issues. First, it is the result of the negligence of a certain company. The company, LBI, a public company listed in Delaware, USA, contracted the un-reputable company which most likely its own subsidiary to do the exploration. The company explored the well using risky and careless techniques such as drilling through an overpressure formation without adequate casing and drilling a high risk exploration well close to a densely populated area without in-depth and comprehensive survey and risk assessment. Furthermore, the drilling process was done by inexperienced and incompetent personnel using inadequate equipment. Secondly, the government’s response in handling the impact of mud is very slow. The Government acted slowly in helping the victims and relocating them and the vital infrastructures, such as gas pipe and electricity power transmission, to the safe areas. The victims, who have lost more than 11 thousands homes and two dozen business that have been buried in more than 6 sq km under 20 m deep covering nine villages in Sidoarjo area, could not be helped immediately due to the absence of protection of property rights. Moreover, the choked-off of transportation to the main seaport of Tanjung Perak and Juanda Airport, near Surabaya, the capital of East Java, has also negatively affected the economy of hinterland in the southern part of East Java. All of these governmental delays induced wide-spread negative impacts to the environment and economy. Furthermore, the little progress in prosecution of who are responsible for the drilling failure is also the indication of the government’s slow response. It took nine months for the police to complete the investigation; however, the case has yet to go to trial. Only individual employee and contractor, not the company, are being probed as suspects.

1 A paper prepared for the Eleventh Meeting of INTOSAI-WGEA, Arusha, Tanzania, on June 28, 2007.

1 The absence of effective, low cost of enforcement of contract caused a slower response in helping the victims. On 4 December 2006, six months after the eruption occurred, LBI agreed to buy the entire victim’s destroyed properties and pay the compensation cost. The implementation of the agreement was very slow. Few dozen victims have begun to receive compensation promised by LBI. The slow response of the government is partly because the LBI is owned by the family of Mr. , the Coordinating Minister for Social Affair whose in- charge in coordinating the handling of the eruption. The minister is a prominent member of the leading political party. The Bakrie group is a local business conglomerate that has interest in many business sectors, mainly trading and plantations. LBI is the first interest of the group in oil exploration and exploitation.

The Source of Disaster The eruption started just 150 meters away from the exploratory Banjarpanji-1 well at the time of drilling.(exhibit 1). Banjarpanji-1 well was located in the Brantas Block concession area, operated by Lapindo Brantas Incorporated.

Exhibit 1. Banjarpanji-1 well and the center of the eruption

The Brantas Block concession was awarded to Huffco Brantas Inc. in 1990. The name of the operator, Huffco Brantas Inc, was amended to P.T. Lapindo Brantas Inc. (LBI) on April 10, 1996. LBI is owned by PT. Kalila Energy Ltd and Pan Asia Enterprises. After the amendment, the participating interests of the Brantas Block (exhibit 2), have been changed many times from, Huffco Brantas Inc to, finally, LBI (50%), PT. Medco Brantas E&P (32%) dan Santos Brantas Pty Ltd.(18%), as from 2006. LBI acted as the operator. LBI is controlled by the family of Abu Rizal Bakrie,

2 the Coordinating Minister of Welfare, Republic of Indonesia and a prominent leader of the majority party in the Indonesian Parliament.

In exploring the Banjarpanji-1 well, the company sub-contracted the Integrated Drilling Project Management (IDPM) to PT Medici Citra Nusa (MCN), a private company. MCN further subcontracted the work to other companies and acted as the coordinator for the project. The company started to drill (spud in) Banjarpanji-1 well, on March 8, 2006 and reached the depth of 9,279 feet on May 27, 2006. At this depth, the exploration of the Banjarpanji-1 well suffered from a number of drilling problems, such as well kicks, where fluid from the formation penetrates the bore hole, and losses, where fluid or mud from the bore hole leeches out to the formation. When the well reached a depth of 2,834 meters, an eruption of steam, water, and a minor amount of gas was observed at 05:00 a.m. just 150 meters southwest of the well. A was born.

Exhibit 2. Location of Brantas Block and Banjarpanji-1 well

Banjarpanji-1

The Cause of Mud Eruption

Majority of experts, including the geologists and drilling consultants who assisted BPK in the audit, concluded that insufficient handling of well drilling by LBI had caused a crack in the formation and created channels for the mud in the clay/shale stone formation to flow to the surface. This conclusion is also corroborated by Richard I. Davies and Richard Swarbrick et.al. in the article “The Birth of Mud Volcano, East Java, 29 May, 2006” published in GSA Today, February 2007. They

3 stated that the eruption was the direct result of connection (caused by the drilling activities) of a high-pressure fluid at depth with shallow sediments at a depth at which fractures could be initiated. Once initiated, the fractures would have propagated to the surface, driven by the deep pressure (ref. the illustration of the cause of the eruption below).

A B

Illustration of the cause of the eruption (the Birth of Mud Volcano, East Java, 29 May, 2006, GSA Today)

Other group of experts indicated that earthquakes can create cracks that allow trapped mud to bubble to the surface. On 27 May 2006, an earthquake shook Yogyakarta on the central part of Java Island, and this could have cracked the ground, potentially helping to release the mud. However, the quake's epicenter was some 300 kilometers away from the mud volcano which means it was felt in the area of the drilling at approximately 2 on the Richter scale. On top of that, Davies and Swarbrick mentioned that the primary reasons for not considering the earthquake to be the trigger or a significant contributing factor are (a) no other mud volcano eruption was reported in Java at the same time; (b) the earthquake preceded the eruption by two days; seismogenic liquefaction usually occurs during earthquake-induced shaking of sediment (at the same time) (e.g., Ambraseys, 1988); (c) there are no reports of a “kick” during the earthquake or immediately afterward; and (d) sand, rather than mud, is more conducive to liquefaction due to earthquake shaking because it is a noncohesive, granular sediment.

Operational Negligence Had Initiated the Birth of One of Huge Mud Volcanoes No steel casings to protect the well created open-hole section of the Bajar Panji-1 well plus insufficient handling of the well problems had caused a crack in the

4 formation and created channels for the mud in the clay/shell stone formation to flow into the surface Compared to other similar phenomena, Lusi eruption has a significant volume, duration, and spatial extent. (Table 1).

Table 1. Volume, Duration, Aerial Coverage And Rate of Selected Large Scale Modern Eruption From The South Caspian Sea and Trinidad Compared to Lusi2

Lokbatan Koturdag Piparo Lusi (Azerbaijan, (Azerbaijan, (Trinidad, (East Java, 2001) 1950 – present) 2001) 2006) Volume 0.0003 km3 0.00045 km3 0.025 km3 0.012 km3 Duration 30 Minutes 18.200 days 1 day 173 days** Area 0.098 km2 0.3 km2 2.5 km2 3.6 km2 Average 0.0144 0.000000025 0.025 0.00007 – rate* 0.0015 * Cubic km/days **As of February 2007

Started at a rate of 5,000 cubic meters/day, the mudflow reached 170,000 cubic meters at the time of the audit (February 2007)(appendix 1). At the current rate, the cumulative amount of mud within the next 10 years would be able to submerge the whole of at one meter depth. Geologists are still facing big quandaries in predicting the future of the mudflow. According to Richard I. Davies and Richard Swarbrick et.al., prediction of the next developmental stages is fraught with difficulty, but the unabated very active eruption indicates that a large aquifer has been penetrated. Those experts are confident that some sort of eruptive activity (perhaps at lower-level) will continue for many months and possibly years to come. A region several kilometers wide should undergo sag-like subsidence over the coming months with more dramatic collapse surrounding the main vent. In order to predict what the future impact the Lusi mud volcano has on the local population, a geological modeling and direct measurement of the inevitable land subsidence will help the efforts to mitigate the disaster impact.

The importance of Sidoarjo Regency The worst affected area is Sidoarjo Regency, a densely populated area with 2,843 person/square kilometer, 1/3 of the density of Hong Kong (6,294 persons/sq. km). This area is a buffer zone of Surabaya, the capital city of East Java Province and the second largest industrial zone in Indonesia after Jakarta (table 2).

2 Birth of a mud volcano : East Java 29 May 2006, GSA Today, February 2007

5

Table 2. The Characteristics of Sidoarjo Regency 1. Area of the land : a. Rice field 28,763 Ha b. Sugar cane plantation 8,000 Ha c. Fishpond 15,729 Ha d. Others (manufacturing and residence) 10,998 Ha Total the area of land 63,490 Ha 2. Population 1,682,000 persons 3. Population Density (in 2003) 2,843 persons/sq. km

Sidoarjo Regency plays significant economic roles not only for the neighboring areas such as Surabaya municipality, Gresik Regency in the north, Pasuruan Regency in the south, Mojokerto Regency in the west and Strait Madura in the east, but also for areas such as other provinces in Java and Bali (exhibit 3). Many important infrastructures are functioning as the aorta for goods and services distribution for East Java Province such as: gas pipeline transmission system which supplies gas to a fertilizer-factory in Gresik, toll road and railways which functions as the distribution channel for goods and services for all of East Java, an Electricity Power Transmission which acts as a back-bone system for Sumatera and most of Java (exhibit 4 and appendix 2).

Exhibit 3. Sidoarjo Regency

Sidoarjo

Bali

Exhibit 4. The vital infrastructures map

6 Electricity Net Railroad work

Toll Road

Gas Pipe line

Government Initiatives In the beginning, the central government gave the initiatives to handle the disaster to both the company and local (provincial and district) government. The initial efforts failed due to the lack of power, expertise, and resources. In spite of the magnitude of the destruction, the government has not declared the mudflow as disaster.

After the failed efforts, the central government took over the management of the disaster through a Presidential decree in September 2006. The government set up the National Team for Handling the Mud Flow in Sidoarjo (National team). This ad hoc unit, which worked for eight months, was assigned to handle the eruption and liaise with various institutions related to the gas and oil mining industry, including local governments at the provincial and sub provincial level, Ministry of Environment, Department of Energy, Mining, and Natural Resources. In general, there are three objectives that the national team wanted to reach: 1) stopping the eruption, 2) mitigating the impacts of the eruption and 3) minimizing the social, economic, and environmental impacts.

With regard to the first objective to halt the eruption, so far, four strategies have been attempted, namely: a) capping the wellhead from above, b) snubbing the well from the sides, c) digging three relief wells and again tried plugging the mudflow from the sides, and d) dropping concrete balls linked by chains to the mud volcano. All the four strategies ended up in failure, making the National Team unable to realize

7 its first aim, even after spending US$ 21.83 million. Currently, the government is considering to use a new but untested strategy, namely, to plug the mud by building a dam around the crater. The amassing mud will be used to counterweight against the out flowing mud from the mouth of the volcano. Many experts, however, believe the flow is unstoppable.

The efforts at mitigating the impacts of the eruption had realized some achievements. A network of dams and barriers has been erected to contain the mud. On September 26, 2006 barriers failed, resulting in the flooding of more villages. Further strengthening of the dam system appeared to contain the sludge and since the end of September no further reports on breaches have been released. However, the government was blamed for not effectively relocating infrastructure and for delay in determining the alternative route for transportation of goods and services. This delay caused excessive traffic along public roads, causing increased transportation costs.

The third objective had been realized with some successes. As the company is expected to fully compensate the victims and some of the clear cost, the National Team facilitated an agreement between the company and the mud eruption victims. In December 2006, the government declared that LBI, the operator of the well, would have to pay US$351 million in compensation to people whose houses had been destroyed by the mud. In addition, the company was expected to pay about US$182 million for efforts to stop the mud between January and March 2007. As of the time of the audit (February 2007), the company had compensated refugees in 9 villages. The company has given US$ 1.837.400,00 for living allowance, US$ 1.794.000,00 for renting allowance, and US$ 164.000,00 for moving allowance (appendix 3). In addition to that, the company also has given US$ 292.631,58 to 21 families to replace homes that had been destroyed by the mud3.

On March 31, 2007, one year after the mudflow started, a new team has been established by the central government to handle the mudflow. The team could not work optimally due to insufficient authority, expertise, and resources.

3 Media center, Monday, March 26, 2007

8 Damage and Loss Assessment

The mud eruption has become an ecological disaster that shows no slowing down. At the beginning of the eruption, the volume of flow was 5,000 meter cubic/day and as of February, it reached 170,000 meter cubic /day. The unprecedented event had made a river of mud on the surface, flooding and submerging the surrounding areas. The hot torrential mudflow has buried 9 villages, 10,426 units of houses, 18 schools, 2 local government offices, 15 places of worship, 23 factories, and displaced 26,317 people. It has already inundated and contaminated 306 Ha of paddy fields, 64 Ha of sugar cane field, and 2 Ha of various crops (Appendix 3). The total area that has been inundated is 470 Ha (exhibit 5), which is equivalent in size to the Kingdom of Monaco. (Appendix 1). At present, the sludge is still flowing despite all efforts to halt it. Exhibit 5. The area impacted by the mud eruption

On August 21, 2006, inundated area 350 Ha and the On March 11, 2007, inundated area 470 Ha and the extent extent of the mud pool 150 Ha of the Pond 252 Ha.

Infrastructure has been damaged extensively, including toll roads, railway tracks, power transmission systems, gas pipelines and national artery roads, major public roads and the railroad. The gas pipeline transmission blew out in November 21, 2006, taking a number of fatalities. The accident occurred because the ground subsided 2 meters due to the significant outflow of mud and water, and a dike collapsed causing the state-owned Pertamina gas pipeline to rupture. The damage impacted 20% of the national fertilizer supply. The damage has since been repaired. A major toll road was forced to close on November 22, 2006 due to subsidence effect. Another example is the electricity system. Disruptions to the electricity power transmission system will negatively impact the economy in Java, and is likely to affect Bali as well (exhibit 6).

9

Exhibit 6. Infrastructure Dysfunctions

Railroad destruction Toll Road Destruction

High voltage transmission The gas pipe line (The blue line)

A giant volume of unprocessed mud that was pumped into the Porong River had significantly decreased the water quality therein through contaminating it with hazardous chemicals such as phenol, H2S, and hydrocarbon (table 3).

Table 3. The substance of the mud and the water of the mud Parameter Measurement Parameter Measurement DHL 4475-6500 um/cm Chrom Total 0.21 – 0.93 mg/L COD 2350-2525 mg/L Amonia 4,460 -6,557 mg/L Phenol 10,37-13,17 H2S 0.007-200.008 mg/L Chrom (VI) 0.033-200,036 mg/L Source: Brawijaya University Report on Environmental Impacts Assessment of the Mud Flow, 2006 The contaminated water will surely endangers all aquatic biotas in the Porong river ecosystem, threatening its biodiversity. The solid particle of the hot mud poured into the river would solidify thus making layers that would decrease the depth of the

10 estuary. This sedimentation effect to Porong river will put Surabaya municipality and other areas at an increased risk of flooding. In the long run, the mud and the water of the mud will threaten the lives of the people who depend on the river for their daily needs. The contaminated fish, through the food chain, will impact the health of the people. The eruption also puts the region at increased risk of subsidence. In several places around the mud eruption hole, many houses have fissures and many land surfaces have shifted down around 1-5 meters. In the future, the subsidence effect could destroy local infrastructure such as the houses, roads, bridges, and the gas pipe. The unabated mudflow and the resulting floods had induced further ramifications that have lowered the life-supporting capacity of the submerged area, disrupted economic activities, thus reducing the economic capacities of the affected regions. The ecological disaster has brought about social and economic losses to the people in the Sidoarjo Regency and surrounding regions. The economic losses and financial costs are summarized in Table 4.

Table 4 : Economic and Financial Costs to Sidoarjo and the Surrounding Regions in the period of 2006 – 2015

(US$ thousand) Direct Economic Cost 2,093,722.53 Indirect Economic Cost 779,730.53 Economic Cost for Recovering 589,385.26 Total Economic Cost 3,462,838.32 Financial Cost 516,290.76 Gap (Economic Cost v.s. Financial Cost) 2,946,547.56 Note : 1. Economic Cost : The value of the negative effect to the assets and people’s income 2. Financial Cost : The value of cash that has been paid plus commitments 3. US$ 1 = Rp9.500,00 Source: Brawijaya University Report on Economy Impacts Assessment of the Mud Flow, 2006

11 It should be noted that the difference between economic costs and financial costs to Sidoarjo totaled to US$ 2,946,547,560.00 The gap has to be borne by the people in and around Sidoarjo regency. This gap has decreased their quality of life and slowed the development of the regency. Higher inflation has been also observed. The biggest part of the economic costs have and would be borne by the people (84 %), whilst the remaining portions were borne by the government (7%), Private Companies (6%) and State-owned enterprises (3 %) (Appendix 4).

The Roles of BPK BPK audited the hot mud flow in Sidoarjo with the assistance of the environmental, geology and regional economy consultants. The main purpose of this audit is to assess the activities in the exploration of the Banjarpanji-1 well, including the concession granting process, the subsequent disaster management processes, and the overall impact to the economy and the environment. The audit focused on evaluating whether all of the activities are in accordance with the law and regulations. Moreover, the audit also used risk based audit methodologies in selecting key areas to be audited. With this approach, the audit has selected the activities above to be the key areas.

Relating to the environmental aspect, BPK focused the audit on the impact of the National Team activities in mitigating the impacts of the eruption. BPK-RI evaluated the impact of building the mud embankments, efforts to terminate eruption, efforts to dispose of the mud in the river. BPK also conducted limited research with environmental consultants in order to assess the quality of the river. BPK also attempted to forecast the impact to environment for the next ten years. In doing this, BPK and the consultants made many assumptions in order to predict the environmental impact in the next two and ten years.

Audit Results and Recommendations

BPK found the following aspects that need to be improved by the government in managing the mud flow in Sidoarjo :

• Some regulations related to the exploration of gas or oil wells have not sufficiently protected the people and the environment. Current regulation only

12 requires the company that wants to explore a gas and oil well to have shallow survey efforts instead of in-depth survey efforts including important impact and risk evaluation.

• There are weaknesses in government monitoring system on oil and gas exploration and exploitation to enforce the rules and regulations and contracts. The monitoring system needs to be revised and improved in order to ensure the exploration and exploitation processes conducted by the production sharing companies, are done prudently in accordance to the best practices.

• The government responses to address the mudflow disaster have been very slow. This has exacerbated the negative impacts of the mishap to the society, environment, and economy.

• In handling the eruption, the government has never conducted a thorough risk assessment in order to develop detailed action plans or activities. Many of the activities including the building of the mud dams were based on temporary (short term) plans.

• There is no consistent result from the researchers about the toxic sludge and water of the mud. The researchers’ opinions are divided into two main groups. One group said that there is no toxic chemical substance in the mud, while another group said there were toxic chemicals in the mud. However, people in nearby villages complained that toxic sludge and water have invaded their drinking water, river, agriculture fields, fish ponds, marine ecosystem, and homes.

In order to improve the quality of the handling of the eruption, BPK made the following recommendations:

• The Government together with other related entities or people should thoroughly investigate the causes of the eruption and prosecute those responsible for causing it.

• The government should officially declare the mudflow as a disaster and take over the management of the disaster to handle the mishap and mitigate its social and environmental impacts.

13 • The government should immediately help the disaster victims, restore their livelihood, and restore the economy activities of the province by rebuilding and relocating the damaged infrastructures.

• The government should conduct a comprehensive research to ensure the toxicity of the sludge and water.

• The Government should revise and upgrade the policy implementation and monitoring system of the oil and gas exploration and exploitation activities in order to protect the people’s life, the environment, and the economy..

• Based on Indonesia’s experiences on previous natural disasters and this man-made mishap, the government should develop a comprehensive disaster policy and build its institutional capacity to cope with those unexpected problems.

Lessons learnt Handling the Eruption • The continuous and uncertain status of this particular disaster requires the phases of handling the disaster to be simultaneously conducted. The rehabilitation and reconstruction phases have to be done in the same time when the mud still continues to erupt and give impacts to the surrounding. In this kind of condition, the disaster management has to be supported not only with a sufficient amount of fund, but also skillful, competent, and dedicated people which could work under uncertainty situation. The government needs to make a comprehensive assessment in order to develop a comprehensive and systematic strategy in managing the eruption.

• Moreover, the government should develop disaster regulation(s) or procedure(s) that can be followed by government institutions in handling disasters on this order. When the mud erupted, the government gave all responsibility to the company to handle things. It did not effectively evaluate the magnitude of the disaster.

14 Furthermore the audit showed that the slow reactive actions from the government in fact caused additional losses.

Auditing the Handling of the Eruption

• BPK-RI hired environmental and regional-economic experts to assist the audit team in analyzing the environmental and economy impacts of the eruption. However, it could not discharge the responsibility of BPK-RI to draw audit conclusions. For future audits, BPK-RI needs to have a panel of experts to ensure the rightness and the sufficiency of the methodology and assumptions used by the experts in an audit project including the validity of the data and information. Furthermore, BPK-RI needs auditors with environmental expertise to anticipate the increasing demand of audit with environmental perspectives from the stakeholders. Continuous professional educations for auditors were needed to cope with the most recent environmental issues.

• Auditing comprehensive activities for mitigating the impacts of the eruption needed a lot of resources. Therefore, BPK-RI should select the key activities that provide the highest impact to the environment, society and economy. BPK-RI has to develop and increase the institutional capability to anticipate more complicated audit tasks.

Conclusion Defective policies and deficient implementation of the policies have created opportunities for conflict of interest to flourish. This, in turn, has impaired the governance as shown by inconclusive actions by the government towards the private sector linked to the disaster.

In the future, BPK should be more concerned with the environmental perspectives in conducting any audit. In doing this, BPK should be equipped by sophisticated and applicable methodologies and supported by highly competent auditors with environmental expertise.

The government should re-orient their strategies to overcome the disaster impacts comprehensively, as recommended by BPK.

15

Appendix 1

A. The Volume of the eruption, Inundated area, and the extent of the pond

Volume of the eruption Inundated The extent of Month (M3/day) area (Ha) the Pond (Ha) 29 May 0 (Beginning) 5,000.00 0 0 1 June 25,000.00 110.84 109.00 2 July 30,000.00 178.89 151.32 3 August 50,000.00 349.76 150.00 4 September 50,000.00 349.76 251.90 5 October 120,000.00 349.76 251.90 6 November 150,000.00 390.07 251.90 7 December 150,000.00 390.07 251.90 8 January 150,000.00 450.00 251.90 9 February 170,000.00 470.00 251.90

16

B. The Location of the Pond, Capacity, and Volume Volume Area Capacity Volume Ponds Village (Estimation) (Ha) (m3) (%) (m3) Pond A Renokenongo 23 920,000 920,000 100 Pond B Renokenongo 6.5 260,000 247,000 95 Pond C-1 Kedungbendo 3 60,000 57,000 95 Pond C-2 Jatirejo 6.5 130,000 123,500 95 Pond BJP-1 (Siring) 35.4 2,124,000 2,017,800 95 Snubbing Pond Jatirejo 46.5 2,790,000 2,650,500 95 Jatirejo Pond 1 Jatirejo 5.5 330,000 313,500 95 Pond 2 Jatirejo 5.5 330,000 313,500 95 Pond 3 Jatirejo 20 800,000 640,000 80 Pond 4 Jatirejo 10 400,000 320,000 80 Mindi Pejarakan Pond 5 90 3,600,000 1,800,000 50 Kedungcangkring Besuki Total 251.9 11,744,000 9,402,800 80,06 The Capacity of the Pond 2,341,200 19,94 available to be used As of 11 December 2006 (National Team’s Progress Report

17

Appendix 2

The volume of Goods and Services transported through Sidoarjo

Year Volume of Good(s)/Service(s) in one year Train Toll Goods* People** Electricity*** Road**** Container***** Gas******

2000 1,022,648 5,210,605 70 - 150 N.A 786,113 140

2001 1,038,356 4,470,393 70 - 150 63,853,536 825,418 140

2002 966,919 4,033,857 70 - 150 67,085,217 866,689 140

2003 1,007,632 3,894,687 70 - 150 63,338,174 910,024 140

2004 1,030,987 4,673,624 70 - 150 62,816,463 955,525 140

2005 999,376 5,328,886 70 - 150 63,268,772 1,003,301 140

2006 876,509 5,872,841 70 - 150 N.A 1,053,466 140 * Only for the refined fuel oil (Kilo Liter/year) ** Assumption 45% total PT. KAI Surabaya (base 2006) *** Kilo Volt **** Vehicles/year ***** in teus (twenty equivalent Units). From many sources with the assumption 5% increase every year (Base 2006) ****** MMScfd

18

Apendix 3

A. The villages and The Productive Land that have already covered by the mud/villages Area (Ha) No Village Sugar Crops Rice Field Cane Planted 1. Siring 22.25 0 0 2. Renokenongo 77.35 7.79 0 3. Jatirejo 29.60 5.63 0 4. Mindi 10.00 17.30 0 5. Sentul 25.00 0 0 6. Besuki 79.00 3.00 0 7. Pejarakan 36.00 17.60 0 8. Kedungcangkring 27.00 12.70 0 9. Ketapang 0 0 2 Total 306.20 64.02 2

B. The Drowned Infrastructures No Infrastructure Village Unit 1. Houses Siring 395 Jatiredjo 858 Renokenongo 1,007 Kedungbendo 7,066 Ketapang 1,100 Total 10,426 2. School 18 3. Government Office 2 4. Manufactures 23 5. Mosque 15

19 20

C. The Victims/refugees of the Eruptions No Village The Number I The First Batch (before the blast Family Person of the pipe line) 1 Renokenongo 496 1,823 2 Siring 799 2,606 3 Jatiredjo 872 3,388 4 Kedungbendo 758 2,904 5 Besuki 189 782 6 Pejarakan 9 46 Total 3,123 11,549 II The Second Batch (after the blast of the pipe line) 1. Perum Citra Pesona 10 36 2. Renokenongo 782 2,752 3. Perum TAS 2,132 7,164 4. Kedungbendo (outside the Perum 846 3,454 TAS) 5. Pejarakan 78 300 6. Besuki 10 60 7. Kedungcangkring 149 576 8. Renokenongo 25 79 9. Ketapang 93 347 Total 4,125 14,768

D. The Realization of the compensation for the refugees before the blast of the gas pipe (US$ Thousand)

21 Housing/rent Adm. Total Moving Living ing Allowanc Bank l(US$ No. Village (US$ (US$ e (US$ (US$ thousand thousand) thousand) thousand) thousand) )

1. Besuki 99 10 99 2 210 2. Jatirejo 455 46 530 9 1,039 3. Kedungbendo 382 40 489 10 921 4. Pejarakan 5 0 2 0 8 5. Renokenongo 259 26 329 5 618 6. Siring 351 42 357 6 756 Jatirejo/Ponpe 7 s - - 4 - 4 Total 1,550 164 1,811 32 3,557

E. The Realization of the compensation for the refugees After the blast of the gas pipe (US$ Thousand)

22 Housing/ Living Total renting Allowance No. Villages Family Person (US$ (US$ (US$ thousand) thousand) thousand) Kedungbendo 1 (Perum TAS I) 33 114 21 0.2 20.9 Kedungbendo 2 (Perum TAS I) 21 78 14 0.2 13.7 3 Ketapang 93 344 64 0.9 65.1 Kedungbendo 4 (Perum TAS I) 41 164 23 4.3 27.1 Kedungbendo 5 (Perum TAS I) 58 226 34 6.0 40.1 Kedungbendo 6 (Perum TAS I) 39 146 20 2.5 23.0 Kedungbendo 7 (Perum TAS I) 125 490 68 12.1 80.3

Total 410 1,562 244 26.4 270.1

Appendix 4

A. Direct Economic Cost1) 2006 - 2015 (US$ Thousand)

23 No. Cost 2006 2007- Total Component 20151) 1 The Lost of 131,467 Asset 1,729,972 1,861,439 2 The Lost of 215,547 Income 16,736 232,283 Total 148,203 1,945,519 2,093,722 1) 15 % Discount Factors.

B. Indirect Economic Cost1) 2006-20015 (US$ Thousand) No. Cost Component Cost % 1 The Decrease of the value of the asset 459,696. 58.9 84 6 2 The decrease the bus income 1.50 0.19 3 The Decrease of the Income of Small Bus 0.23 0.03 4 The Decrease of the income of the truck 1.20 0.15 5 The increase of the cost for private transportation 5.70 0.73 6 The Decrease of the hotel income 5.57 0.71 6 The Decrease of Restourant Income 1.53 0.20 7 The Decrease of the Trade income 2.21 0.28 8 The decrease of the fish Pond owner 288,890. 37.0 income 53 5 9 The Increase of the cost to maintain the Porong River 13.20 1.69 Total 748,618. 51 100 1) 15% Discount Factor

C. The Economic Cost for Recovering the People in Inundated Area1), 2006-2015 (US$ Thousand) N Cost Component Cost % o 1 The Increase of the cost to recover 47.6 the area 281,017 8 2 The increase the cost to recover the 0.02 business 89,452

24 3 The increase the cost to recover the public infrastructure 37.1 218,917 4 Total 589,385 100 1) 15% Discount Factor

25 D. The proportion of the Economic Cost Charge1), 2006-2015 (US$ Thousand)

No Sector conclusive2) Nonconclusive2) Value % Value % 1 Government 247,368 7,14 268,421 7.31 2 State-owned 0,64 2.89 Enterprise 22,105 106,316 3 Private Company 102,105 2,95 206,421 5.62 4 People 3,091,158 89,27 3,091,789 84.18 TOTAL 3,462,737 100 3,672,947 100 1) 15% Discount Factor 2) Conclusive and inclusive : definite and indefinite Indirect cost,

D. Prediction of the cost for replacement based on the components (financial cost) (US$ Thousand)

Cost Component (at the end of January The prediction No 2007) value US$ %

1 The expenditure for land and building :

1.1.Land 127,091 24.6

1.2.Building 108,012 20.9

1.3.Total 235,102 45.5 2 The cost to replace the wage of the drowned companies’ employees 901 0.2 3 The cost for housing and moving: -

3.1. To Contract the house 1,665 0.3

3.2. Moving 174 0.0

3.3. Total 1,839 0.4 4 The cost for social walfare 5,611 1.1 5 The cost for replacing the productive land 47,711 9.2 6 Estimation of the cost of the company 30,865 6.0 7 The cost to replace the loss because of the infrastructure disfunction 9,140 1.8

Total 4,5,6,7 93,327 18.1

26 Cost Component (at the end of January The prediction No 2007) value US$ %

8 Handling the Mud Cost: -

8.1. To Stop the Eruption 84,175 16.3

8.2. Surface Management 99,675 19.3

8.3. Social 1,272 0.2

8.4. Total 185,122 35.8 TOTAL 516,291 100

27 Auditing of Tsunami Funds with Geophysical and Environmental Perspectives1

1. Background

The Indian Ocean tsunami that occurred on 26 December 2004 had two unique, international features. First, it was the world’s first global natural disaster, covering countries in two continents, Asia and Africa, on the rim of the Indian Ocean. Second, the response to the disaster has also been global as private sector, nongovernmental organizations, governments, and international institutions quickly provided badly needed helping hands. The tsunami was spawned by a magnitude 9.0 earthquake that occurred at 8 AM local time on Boxing Day in deep seas off the west coast of Sumatra. The epicenter of the earthquake was on the Australia-Asia tectonic plate around 150 km south of Meulaboh and 250 km from Banda Aceh. The earthquake set off a string of powerful tidal waves that caused one of the worst natural disasters in recorded human history. The powerful waves generated by the earthquake radiated at speeds of up to 800 km per hour across the Indian Ocean, directly impacting coastal areas of the Asian and African continents. In Indonesia, within 20 minutes after the earthquake, the tsunami crashed into the western coast of Sumatra and northern part of Aceh, as well as islands in this region such as Nias and Simeuleu Islands (Exhibit 1). Waves as tall as a three-story building smashed into Banda Aceh, the capital city of Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Province, located in northern tip of Sumatra. In some places, waves traveled inland 6 km from the coastline. In Meulaboh, Calang, and Lamno – cities located in the western coastline of Aceh – 12-meter waves submerged areas up to 10 km from the coastal line. As illustrated, the red zone shows the extent of salt-water penetration from the ocean caused by the tsunami. Walls of water flushed away entire towns, villages, infrastructures, tropical rain forests and agriculture lands. Coastal landscapes, habitats and fish ponds at

1 A paper prepared for the Tenth Meeting of INTOSAI-WGEA, Moscow, the Russian Federation, 27 October to 1 November 2005.

1 numerous locations have been completely washed away, leaving only minor fractions of the original landscape.

Exhibit 1. Northeast Indian Ocean Region Tectonic Setting

Exhibit 2. Map of Aceh and Nias Exhibit 3. Tsunami Impacted Areas in Aceh

2 The worst affected areas were the cities mentioned above, Banda Aceh, Meulaboh and Calang, and other towns and villages along the northwest and northern coast of that province in the four districts of Aceh Singkil, Aceh Selatan, Aceh Barat, Aceh Jaya and Aceh Besar and the Banda Aceh Municipality. Even before the tsunami struck, many buildings and basic infrastructure collapsed or failed due to the earthquake, and there is some evidence of land subsidence in coastal areas (Exhibit 3). The ensuing tsunami swept debris and sea water into homes and buildings, crushing them and further damaging roads, bridges, telecommunications, water and electricity systems, coastal forests, rice fields and plantations, irrigation channels, fisheries, and factories (Exhibit 4).

The Government of Indonesia quickly declared a national disaster on the same day the calamity occurred. The Vice President, acting as the Head of Bakornas PBP, the Indonesian Emergency Relief Coordination Agency, rushed to Banda Aceh to lead the rescue operation, and brought with him much-needed supplies and medical team. It took several days, however, before the full impact of the event was recognized.

Exhibit 4. Damaged Coastal Areas Exhibit 5. Damaged Bridge

Another Earthquake in Nias Then, a scant three months after the Boxing Day disaster, another massive earthquake of magnitude 8.7 struck around midnight on March 28, 2005, near the island of Nias in North Sumatra Province, just south of Aceh. The quake’s epicenter was located

3 close to the epicenter of the first earthquake on the same Australia-Asia plate, located between the islands of Nias and Simeuleu, about 200 miles to the northwest of Medan, the capital city of North Sumatra. The combined destructive impact of the earthquake and the tsunami will never be fully known. Official casualty figures as of May 2005 are 129,738 people buried, 37,090 people missing, and 517.278 people displaced (Appendix 1). About 16% of the population of Banda Aceh died in the catastrophe, and virtually everyone suffered immensely through the loss of friends, relatives, and livelihoods.

2. Damage And Loss Assessment The World Bank office in Jakarta, in cooperation with the National Development Planning Agency, made a preliminary estimate of damages and losses in January 2005. Total damages and losses were put at about $4.5 billion, of which around 12% or $0.5 billion, constitutes direct environmental costs such as damage to mangroves, coral reefs, seaweed beds, rice fields, losses of livestock, increased air pollution, and solid wastes. These estimates have not been updated due to the emphasis on the rehabilitation and reconstruction process. The impact of the earthquake and tsunami has affected 654 villages in 18 districts/ cities in Aceh and North Sumatra. The economic costs in some areas, particularly those located on the western coast and northern tip of Sumatra, are sizeable. Homes, economic and social infrastructure and thousands of hectares of forest and agriculture land have been destroyed and washed away by the powerful tidal waves. The sand and seabed mud deposits on the agricultural fields plus erosion and salinization means that much of the agricultural land is either permanently lost or will suffer reduced crop yields for years to come. Meanwhile, the industrial complexes suffered possible contamination, including negative effects to human health and the environment, caused by the damage of industrial installations.

3. Domestic And International Assistance Thanks to prompt and wide coverage on TV and other mass media, the response to the Indian Ocean tsunami has been global in a way rarely seen before. In addition to

4 assistance from domestic source, Indonesia, like other tsunami hit countries, immediately received donations and technical assistance from private and official sources around the world. In major donor countries, such as the UK, Germany, Italy, and the US, private donations surpassed the sizable government aid commitments and for the first time corporate donors figured prominently among private donors. Over one hundred international NGOs with a total committed assistance amounted about US$920 million and many local NGOs, now are operating in Aceh and Nias (Appendix 3). Donor assistance came in the form of cash, goods and services, including the valuable services provided by military units being sent to the disaster areas. The services included vital helicopter flights carrying drinking water, food, blankets, medicines, and tents to many of the traumatized survivors in the remnants of remote villages cut off by landslides, buckled roads and destroyed bridges. The helicopters were also the only means for carrying many of the injured from those devastated areas. Domestic and foreign voluntary groups provided badly needed medical treatments for the wounded, helped bury dead bodies, restored basic infrastructure, and cleared the debris. The USS Abraham Lincoln, an aircraft carrier, of the US Navy was the first foreign military vessel to arrive off the coast of Meulaboh for immediate rescue operation followed by others (Appendix 4). The foreign militaries leaved Aceh and Nias in March 2005 at the end of emergency phase and replaced by civilian to continue providing valuable assistance. As of March 22, 2005, domestic donations amounting to almost US$ 140 million had been channeled to the devastated areas in Aceh and Nias. At the annual Indonesia donor’s meeting held in mid-January, an International Multidonor Trust Fund for Aceh and Nias was established to support the rehabilitation and reconstruction of the disaster areas in 2005-2009. Administered by the World Bank Representative Office in Jakarta, which is acting as the Trustee, eight donors, including the World Bank, pledged US$ 444 million to the fund. In addition, the Paris Club official creditors have offered a debt moratorium to tsunami-affected countries. In March 2005, the Paris Club agreed to provided Indonesia the moratorium worth US$2.6 billion until the end of 2005. The availability of the new funds and debt relief helps ease pressures on fiscal policy and the balance of payments of these countries particularly during this time when Indonesian economy has not fully recovered from the economic crisis of 1997.

5 4. BPK Initiatives The constitution gives independent status to BPK with the responsibility to audit state finances in three tiers of government, from the national level down to the provincial and sub provincial or district levels. BPK also audits state-owned enterprises either owned by the central government or by the lower levels of government. As the supreme state audit institution, the scope of audit work of BPK includes auditing public funds channeled to the tsunami-hit areas of Aceh and Nias. BPK is currently auditing the financial report prepared by (1) the Bakornas PBP for relief operations during the emergency period, between December 26, 2004, to April 30, 2005, and (2) the Aceh Rehabilitation and Reconstruction Agency or BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh) for the rehabilitation and reconstruction period, beginning on May 1, 2005. Established by the President of the Republic on April 16, 2005, the BRR is an agency tasked to coordinate community-driven rehabilitation and reconstruction programs in the Provinces of Aceh and Nias of North Sumatra. Based in Banda Aceh, with a branch office in Nias and a representative office in Jakarta, the BRR is scheduled to operate throughout the reconstruction process until 2009. Because of the international character of the disaster, BPK, with the cooperation of Asian Development Bank (ADB), organized an International Conference on Promoting Financial Accountability in Managing Funds Related to Tsunami, Conflict and Other Disasters in Jakarta on 25-27 April 2005. The conference was attended by 142 delegates from State Audit Institutions (SAIs) from both tsunami hit countries in Asia and major donor countries, as well as auditors and/or representatives of regional and international organizations. SAIs from tsunami-hit countries in Africa were invited, but none responded. Participants from tsunami-hit countries in Asia included the Maldives, Sri Lanka, India, Bangladesh, Thailand, Malaysia, and Indonesia. SAIs from major donor countries include the USA, Germany, UK, Netherlands, Japan, and Australia. The international organizations represented by, among others, the UN, INTOSAI, ASOSAI, the World Bank, IMF, and ADB. The agenda of the conference included a one-day visit on 26 April to the tsunami-hit areas in Aceh so that the participants could see for themselves the severity of the calamity and talk to the local governments. The clear weather allowed them to observe from the

6 sky the destruction in the cities of Meulaboh and Calang along the west coast of Aceh. They continued on land to see the destruction in the business and residential areas in the city of Banda Aceh, the totally destroyed main seaport of Ulee Lhee, and the devastated cement plant owned by Lafarge of France in the city of Lhonga, about 30 kilometers to the southwest of the capital city. The main purpose of the April conference was to enhance financial accountability and transparency in managing funds related to the tsunami, conflict and other disasters. The topic of auditing in a conflict area was included in the agenda as the province of Aceh and Sri Lanka were both in a state of military conflict when the tsunami struck. The tsunami is a natural disaster and the military conflict caused by man. When the tsunami hit in December, Aceh was under a second period of civil emergency. An extension of the preceding martial law, the civil emergency imposed restrictions on the local population. It is encouraging to note that the tsunami has been the catalyst for a peace agreement in Aceh with the local rebels. Facilitated by the Former President Martti Ahtisaari of Finland, a Memorandum of Understanding between the Free Aceh Movement (GAM) and the Government of Indonesia was signed in Helsinki on August 15, 2005, ending a civil war that had been raging for the last 30 years. The Jakarta conference identified a number of recommendations that included:

• To develop internal control systems in the recipient countries to ensure the assistance funds are disbursed efficiently, effectively and economically for the purposes intended.

• To ensure transparency and accountability of the accounting, reporting and monitoring of the assistance fund balances and progress of the rehabilitation and reconstruction programs.

• To arrange joint audits among auditors of donor countries and local auditors to enhance audit efficiency, facilitate technology and knowledge transfers, and help build institutional capacity.

• To establish an independent advisory body, consisting of representatives of SAIs of donors, INTOSAI and BPK. Through this body matters such as coordinated audits could be mapped out to ensure adequate audit coverage,

7 eliminate duplication of audit efforts, maximize audit efficiency and minimize costs.

• To create an ad-hoc task force under the auspices of INTOSAI to create an audit manual and conduct audits of disaster relief activities.

Prior to the April conference, BPK opened a new Representative Office in Banda Aceh to help local governments and the BRR to strengthen their internal control systems, to speed up the auditing process, and to work closely with external auditors of donor countries and international and regional organizations operating in the region. To build up its internal capacity in conflict auditing, BPK, with the assistance of Cour des Comptes (SAI of France), has sent its auditors to join a UN audit team conducting audits in conflict areas within Congo, Eritrea, and Kosovo in 2005. Moreover, in January – March 2006, BPK will work together with a French audit team to conduct audits of tsunami funds from the French Government. In line with the recommendations of the Jakarta conference, BPK has also conducted a performance audit with an environmental perspective in Aceh. The focus of the audit was on the planning and implementation of a coastal forests rehabilitation program to built greenbelts or natural buffers in earthquake and tsunami prone areas in Aceh and Nias. The audit was another new challenge for BPK since it was our first environmental audit. Our lack of expertise in doing such audits led us to seek assistances from other SAIs. During the preliminary audit, our team received valuable technical assistance from the Office of Auditor General of Norway in developing the audit methodology and research questions. The results of this environmental audit will be explained further in a parallel session.

5. Recommendation to Support the Reconstruction of the Environment in Aceh The process of environmental degradation in NAD began long before the tsunami. Tropical forests had been either damaged by logging activities or transformed into modern plantations producing commercial crops. Mangrove forests replaced by fish and shrimp ponds, and swamps near major cities refilled for housing complexes. The eco- development has often been mentioned, but hardly implemented in practice. Of course

8 the tsunami accelerated this devastation. To ensure long-term sustainable development, geophysical and environmental considerations must be emphasized in the rehabilitation and reconstruction programs. These are particularly important as the livelihood of the affected population largely depends on primary industries including traditional and subsistence agriculture, fishing, and exploitation of natural resources. As mentioned above, peace has only been recently restored in NAD. To speed up the healing process, BPK should also strive to ensure that the rebuilding of that province regains the hearts and minds of local population. For this objective the programs should take into account the unique social and cultural conditions of the local population. As the rehabilitation and reconstruction process requires the coordinated work of many government and nongovernment organizations, it is essential that this coordination be conducted effectively and efficiently. This coordination must encompass all sectoral efforts and cannot be divided into discrete sectors. For example, land use and development of the housing sector cannot be separated from geophysical factors and environmental issues such as water, sanitation, illegal logging, and the creation of greenbelts or buffer zones. BPK will play a role here to ensure that BRR maintains a focus on the importance of geophysical and environmental concerns during the rehabilitation and reconstruction effort.

BPK is making the following recommendations to support Aceh’s environmental reconstruction:

• Integrated environmental consideration for sustainable reconstruction. All reconstruction planning and action should consider environmental issues. To use natural buffers or greenbelt in earthquake and tsunami prone areas. Several trees or plant species, such as mangrove, can be used effectively. • Land-use policies should take into consideration geophysical factors. Seismic zoning and building codes must be used and enforced. • Environmental friendly and disaster resilient spatial planning. Sound spatial planning principles and strategy should be established prior to any sectoral reconstruction.

9 • Environmentally sound planning of temporary housing and other installations. Selection of locations for temporary housing should consider potential long-term environmental implication. • Participatory rebuilding of the environment. The involvement of local communities and civil society organizations will ensure that environmental issues are taken into consideration in the reconstruction process, thereby ensuring sustainability. • Ecosystem based restoration. The restoration should take place utilizing ecosystem recovery potential and in such a manner that ecosystem goods and services are used for local livelihoods. • A comprehensive environmental assessment of disaster damages should be conducted as a follow up to preliminary assessment.

6. Conclusion In conclusion, BPK, the State Audit Board of Indonesia pursues three key objectives in the rehabilitation and reconstruction of Aceh, namely (1) to ensure that the tsunami fund are properly accounted for and used efficiently and effectively for the purposes intended, (2) to ensure that geophysical, geological and seismological information and environmental concerns and issues of sustainable development are considered in all rehabilitation and reconstruction efforts; (3) to engage the hearts and minds of the local population in the reconstruction effort.

10 Appendix 1. Number of People Affected by the Aceh Tsunami As Of May 2005)

Total Affected/Po Region Population(*) Killed(*) Missing(*) Refugee(**) Affected pulation Aceh Province 1 City of Banda Aceh 260,478 15,394 49,921 157,481 60.46% 92,166 2 Aceh Besar District 302,405 15,176 98,223 113,399 37.50% 3 City of Sabang 26,303 25 108 3,712 3,845 14.62% 4 Pidie District 517,898 4,401 877 81,532 86,810 16.76% 5 Bireun District 361,528 461 58 49,945 50,464 13.96% 6 Aceh Utara District 523,717 1,583 218 30,510 32,311 6.17% 7 City of Lhokseumawe 167,362 189 11 2,494 2,694 1.61% 8 Aceh Timur District 331,636 52 - 12,422 12,474 3.76% 9 Langsa District 122,865 - - 6,156 6,156 5.01% 10 Aceh Tamiang District 225,011 - - 3,396 3,396 1.51% 11 Aceh Jaya District 98,796 16,797 77 40,422 57,296 57.99% 12 Aceh Barat District 195,000 10,874 2,911 72,689 86,474 44.35% 13 Nagan Raya District 143,985 1,077 865 17,040 18,982 13.18% 14 Aceh Barat Daya District 115,358 3 - 3,480 3,483 3.02% 15 Aceh Selatan District 167,052 1,566 1,086 16,148 18,800 11.25% 16 Simeuleu District 77,761 44 1 18,009 18,054 23.22% 17 Aceh Singkil District 124,758 22 4 105 131 0.11% 18 Aceh Tengah District 160,453 192 277 5,288 5,757 3.59% 19 Aceh Tenggara District 150,776 44 - 809 853 0.57% 20 Gayo Lues District 86,448 - 3 158 161 0.19% 21 Bener Meriah District 112,000 2 - 819 821 0.73% Total 4,271,590 129,498 37,066 513,278 679,842 15.92%

North Sumatra Province 1 Nias District 422,170 233 24 4,000 4,233 1.00% 2 Nias Selatan District 275,422 1 n/a n/a 1 0.00% 3 Tapanuli Tengah District 272,333 1 n/a n/a 1 0.00% 4 Serdang Bedagai District 549,091 4 n/a n/a 4 0.00% 5 Mandailing Natal District 369,691 1 n/a n/a 1 0.00% Total 1,888,707 240 24 4,000 4,240 0.22% Source: (*) United Nation Information Management Service, May 19, 2005 (**) Bakornas, May 17, 2005

11 Appendix 2. Assessment of Damages and Losses in Aceh and Nias

Damages and Losses Sector Housing Number of affected house in Aceh and North Sumatra After earthquake & tsunami Before earthquake & tsunami Total Damage Major Damage No Province Permanent House Semi permanent Permanent Semi permanent Permanent Semi permanent House House House House House 1 Aceh 227,456 432,235 43,148 42,174 53,041 89,330 2 North Sumatra 315,445 91,107 3,155 9,111 3,155 9,111 Total 542,901 523,342 46,303 51,285 56,196 98,441 Source: National Development Planning Agency

Education Number of victims include 1.823 teachers and 17.228 students Number of affected education facilities are: Number of Damaged Facilities Education Level NAD North Sumatra Preschools and Primary Schools (TK + SD) 1,144 642 Junior Secondary Schools (SMP) 246 75 Senior Secondary Schools (SMA) 154 31 Vocational Senior Secondary Schools (SMK) 16 10 Schools for Disabled (SLB) 5 - Higher Education Institutions 18 - Total 1,583 758

Source: www.eduforaceh.org as of 27 April 2005

12 Health Number of affected health facilities are:

Damage

Facilities Total Total Moderate Minor Damage Damage Damage Hospital -Public 1 2 1 4 -Private 2 0 0 2 Public health center 26 10 5 41 Public health sub-center 37 12 10 59 Polindes 172 109 109 390 Priv ate health center 2 2 2 6 District health office 1 2 0 3 Laboratory 0 1 0 1 Port healt facility 3 0 0 3 District drug warehouse 1 1 1 3 H ealth Poly technic 4 4 0 8 Ambulance 14 0 0 14 Mobile health facility 0 39 0 39 Health training complex 0 1 0 1 Source: National Development Planning Agency

Religion and Number of damaged worships facilities are: Culture Aceh Nias Mosques/ Meunasah/Prayer Room 1059 2 Churches 8 8 Confucian Temples/Temples 2 Total 1069 10 Source: National Development Planning Agency

13 Infrastructure Road condition before and after tsunami and earthquake: Road Condition (km) Description Good Minor Damage Major Damage Before tsunami and earthquake 1139.22 1249.02 1096.36 After tsunami and earthquake 990.43 1244.47 1249.70 Source: Ministry of Transportation

The total damage of the bridge is estimated reached 25 % of the bridge length, which is 21,340 m for the national bridges and 14,015 m for the provincial bridges.

The Directorate-General of Sea Communication reported that five ports were heavily damaged and eleven ports were lightly damaged. Two airport infrastructures were seriously damaged and two airports were lightly damaged, whereas three airports are in an operation-worthy condition

Energy The majority of the damage in the energy sector is in the distribution networks in both electric power and fuel supply. Electric power supply suffered light damage to generation capacity, no damage to the transmission network but substantial damage to the distribution network in the affected areas. The damaged distribution network includes: (i) the isolated m-system Voltage Network particularly in the central and west parts of NAD territory, including the Medium Voltage Network (JTM) as far as 1,046 km (11.76%); (ii) Low Voltage Network (JTR) as far as 2,394 km (21.61% ); (iii) Distribution relay station as many as 736 units (16.24%); (iv) House Connections (SR) for as many as 119,253 customers (18%); and (v) Connecting Relay Stations (GH) as many as 6 units (7.44%). Damaged power stations includes 16 units of diesel powered electric generators (PLTD) or 7.44 percent; whereas other damages includes electronic meters as many as 246 units (41.48 percent) and office buildings as many as 6 units.

Pertamina reported heavy damage to its two depots, and lesser damage to its three depots. Many SPBU’s (Roadside Fuel Stations) have been damaged, particularly in Banda Aceh. Pertamina’s branch office in Banda Aceh has also suffered some damage.

14 Communication Nineteen post offices were seriously damaged. Telecommunications suffered severe damage, primarily to the fixed connection services and to transceiver facilities for cellular phones. The rural telephone facilities with PFS technology were damaged including up to 66 lines in the Province of Aceh, and up to 6 lines in Nias -North Sumatra. Facilities using radio technology were damaged up to 62 lines in the Province of Aceh and 9 lines in Nias -North Sumatra. Total damages were estimated to be Rp40 billion.

Water Supply and Sanitation facilities such as sewage systems, septic tanks, pit latrines, waste disposal, and sludge Sanitation Damage treatment facilities were severely damaged. Virtually the entire network of macro and micro drainage systems do not function as they are covered with sand, mud, and ruins of buildings. Reports indicate that the damage to both urban and rural water supply systems was significant. Water supply facilities such as laboratories, equipment, and water piping networks were destroyed. Thousands of wells and boreholes are either fully or partly destroyed or contaminated, and require replacement, cleaning, and disinfections. The World Bank estimated that the total losses for water supply and sanitation are Rp276 billion.

Flood Control, The assessment from Ministry of Public Works stated that the total areas affected by tsunami are Coastal Protection, estimated at 33,142 ha (technical, semi technical and simple irrigation system), comprising 13,698 ha in and Irrigation the coastal area and 19,444 ha in the noncoastal area. The degree of damage varies but it appears that the northern and western part of the province experienced the maximum damage. In addition to irrigation facilities, the flood protection infrastructure (about 46.2 km in length) and sea wall system (about 35.06 in length) were damaged. Satellite photos showed that about 2 kilometers of flood control embankment for the recently constructed floodway in Aceh River was damaged.

Agriculture Damages and losses based on Master Plan (Main Book) and Ministry of Agriculture of Indonesia included rice fields 34,600 ha, dry land crops 22.785 ha, food crops 27,905 ha, irrigation areas 8.257 ha, estate crops 43.500 ha (coconut 23.533 ha, rubber 5.395 ha, coffee 6.242 ha, mente 6.931 ha, oil palm 1.600 ha, areca nut 2.761 ha, cacao 2.768 ha, patchouli 710 ha, clove 4.600 ha, nutmeg 1.808 ha and ginger 218 ha). Losses for livestock base on the same sources were cattle 46,002, buffaloes 50,781, goats 68,934, sheep 8,481, poultry 1,401,768, ducks 534,783 and livestock housing 24,617.

15 Fisheries The report from Ministry of Marine Affairs and Fisheries shows that the total damage is estimated at Rp1.2 trillion with details as follow: (Rp million) Description Physical Total Fishing ports 38 unit 147,300 Fishing boats 14,949 unit 286,220 Fishing equipments 161,953 Brackish water culture ponds 14,523 ha 586,314 Fishing production 21,407 Total 1,203,194

Enterprises A report from Ministry of Industry stated that 92.000 small/house industries in Aceh and 12.500 in Nias were damaged. Assuming that each small business had around Rp30 million in total assets and that all of this was a destroyed-this amounts to a total damage figure of Rp31 trillion.

The assessment from Ministry of Trade estimated that about 65 shopping centers, 123 traditional markets (54 permanent and 69 semi permanent), 69 wholesale markets, 1 cattle market, 19 fish markets, 25 private banks, and 4 ROE’s banks were damaged. Regional The total of losses among Central and Local government personnel are 3.374 death and 3.528 missing. Governments Seriously damaged facilities and infrastructure of office buildings in the province of Aceh are found in (1) the Provincial Government of Aceh, (2) Banda Aceh City, (3) Aceh Barat, District (4) Aceh Besar District and (5) Aceh Jaya District. At sub-district level, 24 of 241 sub-districts were not functioning. Fifty percent of sub-district in Aceh Jaya was not functioning. At village level, 640 of 5,947 villages are not functioning. The earthquake on March 28, 2005 also damaged the Simeuleu District Office, Nias District Office and 4 sub-district offices in Nias Financial The number of Commercial and Rural Banks affected by the tsunami is up to 17.6 percent (25 units) and 8.9 percent (4 units) respectively. About Rp.2 trillion of the total Rp.3.9 trillion in credits/loans extended by the banks is estimated to become bad credits (IDB, January 2005).

16 Environment The damage is estimated to occur to 90% of the 525 ha of mangrove, 30% of the 97,250 ha of coral reef and 20% of the 600 ha of seaweed farming.

654 of 5,736 villages in 18 districts/cities are estimated to have been affected by the disaster. The impact of disaster is estimated to have reached 667,066 ha out of around 4 million ha of land in 18 districts/cities. The community’s damaged rice field has reached 20,101 ha. The nonagricultural land, which also experienced the disaster impact, includes 113,929 ha of plantation, 91,517 ha of state-owned land, 44,312 ha of housing, and 1,714 ha of industrial complexes. There are regions sinking in 4 kecamatans namely in sub district of Meuraya, Syiah Kuala, Raja and Jaya Baru

17 Appendix 3. Existing NonGovernmental Organizations in Aceh and Nias (US$ million) No Non Governmental Organization Commited Assistance 1 Action Contre 10.317 2 Agency for Cooperation and Technical Development 4.514 3 Aide Medical Internationale 0.335 4 ALISEI 8.000 5 American Redcross 35.000 6 Ananda Marga Universal Relief Aceh 1.700 7 Atlas Logistique 4.772 8 Australian Red Cross n/a 9 Austria Red Cross n/a 10 Belgium Red Cross n/a 11 British Red Cross Society 0.080 12 Bundesanstalt Technisches Hildswerk 7.996 13 Caritas Australia 4.000 14 Caritas Austria 0.903 15 Caritas Czech Republic 1.220 16 Caritas Germany n/a 17 Catholic Organization for Relief and Development Aid 25.793 18 Catholic Relief Services 12.000 19 Center for Earthquake Resistant Houses 0.225 20 Child Fund Indonesia 0.279 21 Church World Service 10.000 22 Comite d Aide Medicale 0.967 23 Concern Worldwide 10.317 24 Consortium for Assistance and Recovery Toward 24.958 25 Croix-Rouge Francaise 25.148 26 Danish Red Cross Society 8.430 27 Deutch Gesellschaft Fuer Technische Zusammenarbeit 7.738 28 Emergency Architects 1.548 29 Enfants Refugies Du Monde n/a 30 Fauna & Flora International 3.100 31 Food for the Hungry International 1.500 32 German Agro Action 16.121 33 German Red Cross 10.000 34 Global Peace Mission 2.750 35 Global Sikhs/Waves of Mercy 0.650 36 Greenhelmets 0.270 37 Handicap International 2.017 38 Helen Keller International 3.400 39 HELP eV Germany n/a 40 HELP Hilfe zur Selbsethilfe 7.196 41 Hivos Foundation 3.224 42 Hong Kong Red Cross 10.875 43 Helping Orphaned Peoples Everywhere 0.322 44 Hilfswerk Austria 6.771 45 Indonesian Development of Education of Permactulture 0.500 46 International Personnel Services. LLC 2.000

18 (US$ million) No Non Governmental Organization Commited Assistance 47 International Catholic Migration Commission 7.000 48 International Disaster 5.000 49 International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies 200.000 50 International Relief Development 10.000 51 Istanbul International 1.000 52 Istanbul Metropolitan Municipality Banda Aceh Aid 5.000 53 Japanese Red Cross Society 20.000 54 Johns Hopkins Program for International Education in reproductive Health 5.000 55 Medical Emergency Relief 4.000 56 Medicine du Monde Canada 0.700 57 Medicine du Monde France 64.484 58 Medicine du Monde Greece 0.257 59 Medicine Sans frontieres 7.222 60 Medicos Del Mundo 0.645 61 Mercy Corps 20.000 62 Mercy-USA for Aid and Development. Inc 0.980 63 Muslim Aid Indonesia 2.579 64 Nehemia Christenhilfsdienst e.V. 0.167 65 Norfolk and Suffolk Islamic 0.150 66 Norlink International 74.383 67 North West Medical Team International 3.500 68 Norwegian Red Cross n/a 69 Opportunity International 2.299 70 Oxfam Great Britain 67.000 71 Pelayanan advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian 2.150 72 Pharmaciens sans 0.546 73 Planete Urgence 1.031 74 Project Concern International 5.000 75 Project HOPE (The People to People Foundation. Inc) 8.000 76 Asih Eka Abadi. PT 0.300 77 Republic of Korea National 3.000 78 Saudi Red Crescent Society 0.010 79 Solidarites 0.124 80 Sos Desa Taruna Indonesia n/a 81 Spanish Red Cross n/a 82 Swiss Red Cross 0.017 83 Taiwan Red Organization 0.650 84 Terre des Hommes 11.607 85 The Foundation for Human Right and Freedom and Humanitarian Relief 0.370 86 The Mentor - Intiative n/a 87 The Netherlands Red Cross 16.751 88 The Source (Yayasan Sumber Utama) 0.250 89 Triangle Generation Humanitaire 1.354 90 Union Aid Abroad - Australian People for Health Education 0.996 91 VIVAT International 8.000 92 World Harvest n/a 93 World Relief 19.000 94 World Vision International 40.000

19 (US$ million) No Non Governmental Organization Commited Assistance 95 Yakkum Emergency Unit n/a 96 "Berkati Indonesia" Foundation 5,500 97 "Bina Perdamaian" Foundation 0,792 98 "Dinamik Sistem" Foundation 2,299 99 " Jesuit Refugee Service Indonesia" Foundation 10,627 100 "Sosial Kreasi" Foundation 0,900 101 "Sumber Utama" Foundation 0,250 102 Zoe's Ark Foundation 2,579 Total 920,405 Source: Data from the Rehabilitation and Reconstruction Agency as of August 31, 2005

Appendix 4. International Assistance Received During Relief/Emergency Period

No Countries Assistance 1 Afghanistan 20 medics, relief goods 2 USA USS Abraham Lincoln, 6 Hercules C-130s, 12 helicopters, USS Essex, USNS Mercy, medicines, drinking water, relief and humanitarian goods, generators, emergency medical kit 3 Armenia 4 medics 4 Australia 288 medics and 35 nonmedics, 600 soldiers, 4 Hercules, 1 Boeing 707, Antonov, 3 helicopters, HMAS Kanimbla (ship), medicines, food, clothes, evacuation equipment, relief/humanitarian goods, generators 5 Brunei Darussalam 15 medics, relief goods 6 Netherlands 4 teams of nonmedics, medicines, emergency and relief goods, mobile phone & radio equipments 7 Czech Republic 22 nonmedics, drinking water 8 China 35 medics and 89 nonmedics 9 Chile 5 medics and 1 expert 10 Estonia 15 medics 11 Philippines 23 medics, medicines, relief goods, water equipments 12 Hungary 14 medics 13 India Indian Naval ship “Nirupak” (floating hospital) and “Khukri” (medical ships), medicines, relief goods 14 UK 3 nonmedics, 3 experts, vehicles, medicines, humanitarian goods, water equipment 15 Italy 7 medics 16 Japan 23 medics, emergency medical kit, emergency and humanitarian goods 17 Germany Flying hospital and rehabilitation of regional general hospital “ Zainal Abidin), medicines, evacuation equipment, relief and humanitarian goods 18 South Korea 32 medics, 91 nonmedics, medicines, clothes, relief goods, emergency medical kit 19 Cuba 23 medics 20 Kuwait 56 heavy equipments and 150 boats

20 21 Malaysia 383 medics, medicines, food, drinking water, clothes, relief and humanitarian goods, water equipment, emergency medical kit 22 Mexico 5 experts, 2 Naval ships “Zapoteco” and “Usumacinta (floating hospital), 3 helicopters 23 Egypt 6 medics 24 Nigeria 31 medics 25 Norway 31 medics, 1 field hospital with 100 person capacity 26 Pakistan 300 medics, 1 field hospital, 2 Naval ships “PNS Khaibar” and “PNS Moawin”, 3 helicopters 27 France 72 medics, 1 team of nonmedics, 2 experts, Antonov, 2 ships “Jeanne d’Arc” and “Gorges Leygues”, 8 helicopters, emergency hospital “Escrim”, medicines, food, evacuation equipments, relief and humanitarian goods, water equipment, vehicles 28 Portugal 24 medics, mobile hospital, generators 29 Russia 1 field hospital, relief and humanitarian goods 30 Singapore 2 experts, 800 soldiers, helicopters: 6 Chinook, 2 Super Puma, 2 landing ships helicopters, several C-130 airplanes, medicines, food, drinking water, evacuation equipments, relief and humanitarian goods, generators 31 New Zealand 1 C-130 airplane, relief goods 32 Slovakia 4 medics 33 Spain 600 soldiers, 1 ships functioning as field hospital and water purification, 5 airplanes, 2 helicopters, body bags, relief and humanitarian goods, vehicles 34 Sudan 4 medics 35 Switzerland 2 medics, 53 nonmedics, 17 experts, 3 helicopters, medicines, relief and humanitarian goods, vehicles 36 Syria 5 medics 37 Turkey 37 medics, relief goods 38 United Arab 31 medics, trucks, clothes, relief goods, emergency Emirates medical kit 39 Jordan 32 medics 40 Greece 10 experts, military trucks, water purification, medicines, humanitarian goods Source: Report from the Indonesian Emergency Relief Coordination Agency as of March 22,2005.

21 Meningkatkan Kemampuan Penanganan Bencana di Indonesia1

1. Pengantar

Laporan audit BPK dalam pemeriksaan rangkaian bencana alam maupun bencana buatan manusia selama dua tahun terakhir ini menggambarkan bahwa kemampuan kita untuk menghadapi bencana alam maupun buatan manusia sendiri masih jauh dari harapan. Lemahnya kemampuan tersebut adalah sangat mendasar dan menyangkut segala bidang. Kelemahan itu diawali dengan kurang adanya upaya pencegahan karena ketidaktertiban kita sendiri dan lemahnya perijinan serta penegakan aturan hukum. Organisasi kita yang kurang efektif, mulai dari tingkat Pusat hingga Daerah. Peralatan kita yang tidak mencukupi. Keahlian personil untuk menanggungi bencana dan menolong korbannya pun masih jauh dari harapan. Dana pun kita sangat kekurangan apakah untuk menangani bencana itu, apalagi untuk membangun kembali kehidupan masyarakat yang menjadi korbannya. Kekurangan dana terjadi karena gabungan korupsi dengan keterbatasan anggaran negara yang terasa sejak krisis ekonomi tahun 1997. Sementara itu, anggaran negara yang semakin terbatas tersebut juga semakin banyak terserap oleh pengeluaran untuk membayar hutang negara, mensubsidi BBM dan membelanjai pengeluaran militer untuk memadamkan perang saudara dan teroris yang berkecamuk mulai dari Aceh, Jawa, Bali, Kalimantan, Poso, Ambon hingga Papua. Akibatnya, porsi anggaran negara yang tersedia bagi penanggulangan bencana menjadi semakin terbatas. Pada gilirannya, penggunaan anggaran negara yang semakin besar bagi penanggulangan bencana telah mengurangi penggunaan anggaran bagi keperluan lain yang lebih penting, seperti penanggulangan kemiskinan, pendidikan, kesehatan masyarakat dan pemeliharaan serta pembangunan infrastruktur.

2. Bencana alam Karena terletak dilempengan Australia-Asia, Indonesia sangat rawan terhadap gempa bumi. Gesekan lempeng tersebut telah menyebabkan terjadinya tsunami di NAD dan Nias pada bulan Desember 2004 maupun rente tan gempa setelah itu, termasuk di Bantul pada tahun berikutnya. Sebagai negara yang memiliki gunung berapi yang

1 Keynote speech pada Seminar Nasional "Penanganan Bencana Yang Berorientasi Pad a Rakyat", Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya, Malang, 14 Maret 2007

1 terpadat didunia dalam gugusan ring of fire, yang mencakup Italia hingga Jepang, Indonesia juga rawan pada letusan gunung berapi. Gunung Merapi di DIY meletus setelah terjadinya gempa di Bantul pada tahun y.l. Indonesia juga rawan pada kebakaran hutan karena memiliki hutan tropis yang merupakan salah satu yang terluas didunia. Kebakaran hutan menjadi semakin rawan karena kurang baiknya pengelolaannya maupun karena praktik pertanian ladang berpindah yang membakar hutan. Kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan terjadi hampir setiap tahun telah mengganggu keselamatan pelayaran di Selat Malaka maupun kesehatan penduduk di negara-negara tetangga. Indonesia pun rawan akan banjir, apakah karena derasnya hujan tropis, penggundulan hutan maupun pemeliharaan serapan air serta aliran sungai yang kurang baik. Banjir semakin sering menimbulkan kerugian besar bagi perekonomian pantai Utara pulau Jawa dan melumpuhkan kegiatan masyarakat di DKI Jakarta.

3. Bencana karena ulah manusia Bencana juga terjadi karena ulah manusia yang sebenarnya dapat dihindarkan. Bencana karena ulah manusia itu terjadi karena gabungan antara tidak adanya tata ruang dengan kelemahan law enforcement. Keadaan menjadi semakin parah dengan maraknya korupsi, mulai dari tingkat perijinan, pembangunan serta pengadaan sarana maupun inspeksi kelaikan operasional alat angkut serta fasilitas produksi. Hutan bakau, yang berfungsi sebagai penahan deburan ombak, telah digantikan dengan tambak udang dan ikan serta daerah pemukiman. Batu karang pelindung pantai dijadikan pengeras jalan raya. Pulau di Kepulauan Riau tenggelam karena tanahnya dijual bagi keperluan pengurukan Singapura. Keperluan akan lahan pemukiman semakin besar karena pola hidup kita yang tinggal di single dwelling unit yang padat lahan. Akibatnya, sawah, ladang, hutan, taman kota dan kawasan rekreasi semakin di konversi menjadi daerah pemukiman dan usaha. Negara lain, seperti Malaysia, China dan Singapura sudah menggunakan lahannya secara efisien dan tinggal di rumah susun. Law enforcement kita masih sangat lemah, termasuk mengenai Aroda. Monitoring dan supervisi ketaatan perusahaan pengusahan hutan, perkebunan, pertambangan maupun industri pengolahan atas ketentuan yang berlaku hampir tidak pernah dilakukan. Juga tidak di check kesediaan peralatan dan personil mereka untuk menanggulangi bencana dan men test efektifitasnya. Peraturan mengatakan bahwa perusahaan wajib memberikan laporannya secara periodik, setiap enam bulan, tidak

2 dilaksanakan dengan baik. Juga tidak ada alat untuk mendeteksi dan melaporkan titik api kebakaran. Ketentuan Arodal hanya perhiasan yang tidak pernah di enforce. Sungai dijadikan sebagai pembuangan lirnbah industri dan rumah tangga yang merusak lingkungan dan menimbulkan penyakit bagi penggunanya. Dalam kelompok bencana karena ulah manusia termasuk tenggelamnya kapal ferry Senopati Nusantara karena kelebihan penumpang dan perawatan yang buruk. Demikian pula dengan rangkaian kecelakaan kereta api dan penerbangan karena kurangnya pemeliharaan alat angkut, buruknya inspeksi pengujian kelaikan operasi serta landasan udara kita yang tidak memadai. Semua alat transportasi kita: pesawat udara, kereta api dan kapallaut adalah barang rongsokan dari luar negeri. Kecelakaan lalu lintas di jalan raya serta lintasan kereta api cukup tinggi karena buruknya infrastruktur dan lemahnya penegakan hukum. Ditutupnya jalan toll karena lemburan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo menyebabkan lalu lintas Surabaya-Pandaan menjadi rawan kecelakaan. Rel kereta api, pipa gas, aliran listrik serta prasarana lainnya yang melintasi daerah itu menjadi rusak total tidak berfungsi. Kesalahan manusia juga berperan pada semburan lumpur panas Lapindo tersebut karena diduga melanggar prosedur dalam melakukan eksplorasi gas. Bencana Lapindo telah menyebabakan lebih dari 10 ribu orang penduduk Sidoarjo menjadi pengungsi, mematikan kehidupan perekonomian masyarakat di daerah itu dan sekaligus melumpuhkan ekonomi Jawa Timur bagian Tengah dan Selatan.

4. Ilustrasi di sektor kehutanan dan perkebunan llustrasi di bawah ini mengambil contoh kebakaran hutan dan perkebunan. Kedua sektor ekonomi ini merupakan multi billion dollar industries yang seharusnya tidak ada masalah untuk mendapatkan manajer yang mampu menjalankan roda organisasinya, mengadakan peralatan yang cukup, melatih dan menggaji tenaga kerja terampil serta menyediakan dana yang diperlukan. Kedua sektor ini merupakan objek KKN yang pada masa Orde Baru sehingga mengkorupsikan dana yang dikumpulkan untuk keperluan kebakaran hutan.

(1) Organisasi Selain pada tingkat perusahaan pengusahaan hutan/perkebunan, ada tiga tingkat organisasi pemerintahan yang menangani kebakaran hutan/perkebunan. Ketiga tingkat organisasi penanggulangan kebakaran hutan/perkebunan itu adalah: (i)

3 Bakomas pada tingkat nasional; (ii) Satkorlak pada tingkat provinsi yang dipimpin oleh gubernur (iii) dan Satlak pada tingkat kabupaten/kota yang dipimpin oleh bupati/walikota. Ketiga tingkat organisasi pemerintahan itu mengkoordinasi 46 orang dari berbagai instansi terkait, seperti pejabat Pemda, Kadis Perkebunan, Kehutanan, Pertanian Tanaman Pangan, Kehewanan dan Peternakan, Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Energi dan SDM Perindustrian, Sosial, Pemberdayaan Perempuan, Perhubungan dan Telkom, Informasi Daerah, maupun penegak hukum serta aparat keamanan. Dalam realita, tidak ada perincian yang jelas akan tugas dan tanggung jawab masing-masing instansi. Koordinasinya pun lemah dan semakin melemah karena adanya konflik kepentingan di antara mereka. Berbeda dengan di Amerika Serikat, gubernur dan bupati serta walikota di Indonesia, misalnya, tidak punya otorita untuk memobilisasi seluruh tenaga maupun peralatan yang ada di daerahnya untuk mengatasi bencana. Koordinasi dalam suatu provinsi menjadi semakin lemah jika kabupaten dan kota enggan dikoordinasikan oleh gubernur. Koordinasi antara provinsi yang berdekatan juga belum seperti yang diharapkan.

(2) Peralatan Selain tidak mencukupi, jenis peralatan pemadam kebakaranan yang dimiliki oleh Satlah maupun Satkorlak adalah tidak memadai. Baik secara sendiri sendiri maupun gabungan perusahaan tidak memiliki, misalnya, pesawat udara pemadam kebakaran. Demikian juga kabupaten dan kota serta provinsi, baik secara sendiri- sendiri rnaupun secara bersama. UPT Dephut BKSDA di Kalimantan Barat, misalnya, hanya memiliki 240 orang personil dengan peralatan 24 unit Mobkar, 25 unit sepeda motor, 624 unit peralatan tangan, 16 unit tenda dan 28 unit pompan jinjing. Dishutbun Kabupaten rnemiliki 208 orang personil dengan peralatan 57 unit pompa, 186 unit asesoris pompa dan 263 unit peralatan tangan. Satu perkebunan besar di Jawa atau Sumatera mungkin memiliki peralatan pemadam kebakaran yang jauh lebih banyak dan lebih canggih daripada milik kedua instansi itu. Padahal, luas Provinsi Kalbar adalah sekitar tiga kali luas Pulau Jawa. (3) Keterampilan dan keahlian tenaga kerja Keterampilan teknis tidak dilatih secara periodik untuk meningkatkan keterampilan petugas permadam kebakaran. Kekurangan latihan seperti itu terjadi pada tingkat unit perusahaan maupun secara bersama sarna di antara sekelompok

4 perusahaan maupun latihan gabungan pada tingkat kabupaten, kota dan provinsi. Dalam hal keuangan, tidak ada sistem akuntansi dan tidak ada tenaga yang memahami bagaimana caranya menyusun pembukuan. Dalam kasus bencana tsunami, Bakomas dan Menko Kesra yang menangani sehari hari tidak mendapatkan bantuan dari BPKP baik berupa penyusunan sistem pembukuan maupun berupa tenaga kerja yang memahami pembukuan. Justru kantor akuntan internasional (seperti Pricewaterhouse and Coopers) yang menawarkan jasanya secara gratis untuk menyusun sistem pembukuan bantuan internasional atas bencana tsunami itu.

5. Apa yang harus dilakukan? (1) Kepatuhan kepada aturan perijinan, keselamatan serta tata ruang perlu dipaksakan berlakunya (enforce) sehingga menjadi efektif untuk dapat menghindarkan terjadinya bencana akibat dari ulah manusia; (2) Peraturan yang berlaku untuk menanggulangi bencana perlu dilaksanakan secara efektif; (3) Sistem pengendalian bencana perlu difungsikan agar menjadi efektif, organisasi, peralatan, dana dan keterampilan sumber daya manusia; (4) Kerjasama kabupaten/kota dengan provinsi dalam menanggulangi bencana perlu diefektifkan guna mengadakan peralatan bersama dan membiayai kegiatan bersama pula. Demikian pula kerjasama antara kabupatan/kota/provinsi dan negara yang berdekatan; (5) Peralatan penanggulangan bencana perlu ditingkatkan dan disesuaikan dengan medan daerah setempat. Pengadaan alat berat seperti mobil/kapal serta pesawat udara pemadam kebakaran dapat dilakukan secara urunan atau patungan antar berbagai perusahaan maupun gabungan unit pemerintahan; (6) Latihan keterampuilan petugas penanggulangan bencana, termasuk pemadam kebakaran, perlu ditingkatkan apakah pada tingkat perusahaan pengusahaan hutan/perkebunan, kabupaten/kota, provinsi ataupun gabungan antar sesamanya maupun gasbungan penggunaan berbagai jenis peralatan: pompa tangan, mobil pemadam kebakaran, kapal pemadam kebakaran maupun pesawat udara; (7) Secara bertahap dilakukan upaya peningkatan efisiensi penggunaan lahan, dengan merobah pola hidup untuk tinggal di rumah susun. Dengan demikian tekanan permintaan lahan bagi keperluan pemukiman dan komersil dapat dikurangi.

5 Dissaster Management: Indonesian Experiences

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) is the Supreme Audit Institution of the Republic of Indonesia. As a prompt response to the tsunami disaster in Aceh, BPK decided early in 2005, to audit the disaster management and disaster auditing in comparative way with two other disasters (Yogyakarta and Sidoarjo) although many other disasters hit Indonesia such as forest fires in Sumatra and Kalimantan and landslides and flash flood in Jember. BPK first of all audited the disaster in order to induce government to enhance its involvement in managing disasters. BPK is fully aware that the remedy of these disasters also involved international community and aid. In view of this, BPK is in the position to promote good governance by auditing and giving transparency of the disaster and fund management for all stakeholders. Indonesia has two important characteristics which pose the territory to potential disasters. First, its geographical location is the cause of the frequent occurrence of earthquakes and volcanic eruptions. Second, its large population and limited natural resources tend to endorse excessive exploitation of natural resources for improving the economy and people’s welfare, which might adversely affect the natural balance and might eventually cause disasters.

Picture 1. Indonesia and Ring of Fire 1

As an archipelagic country geographically located between two continents (Asia and Australia), two oceans (The Indian Ocean and Pacific Ocean), spread along the equator and situated at the meeting point of three main tectonic plates of the world, Indo – Australian Plate, Pacific Plate and Eurasian Plate, most of the Indonesian territories are prone to disasters.Indonesia, with a population of approximately 230 million, comprising various ethnic groups and cultures as well as lifestyles, has made the maximum possible efforts for obtaining the optimum benefits from the exploitation of natural resources. In exploiting natural resources, men often prioritize economic benefits over environmental balance, which leads to increased risks of disaster. Many disasters in Indonesia were caused by the over-exploitation of natural resources, such as excessive logging and mineral mining activities. Excessive exploitation of natural resources resulted in natural imbalance, such as floods and landslides in a number of regions in Indonesia, including: Jakarta, Nanggroe Aceh Darussalam (Aceh) and North Sumatra, West Java, South Sulawesi, and North Sulawesi, and hot mud flow in Porong, Sidoarjo, East Java. The aforementioned disasters could be divided into two large groups, namely natural disasters and man-made disasters. Tsunami in Aceh and Nias, North Sumatra and earthquake in Yogyakarta and were the worst natural disasters ever hit Indonesia in the last five years. The tsunami that hit Aceh and Nias was the second worst disaster in the world, while the earthquake that occurred in Yogyakarta and Central Java was the fourth worst disaster in the world, based on the amount of losses and number of casualties (see Table 1). Men cannot prevent natural disasters, but the damages caused can be controlled and minimized.

Table 1. Comparison of Losses Caused by Natural Disasters in the World Period 1998-2005

LOSSES (USD DISASTERS Million) CASUALTIES 2006 COUNTRY Type of (Persons) Date Estimate Constant Disasters Prices 1. Turkey Earthquake 17/08/1999 17.127 8,500 10,281 1. Indonesia (Aceh) Tsunami 26/12/2004 165.708 4,450 4,747 Hurricane 25/10 - 1. Honduras 14.600 3,800 4,698 Mitch 08/11/1998 1. Indonesia (DIY- Earthquake 27/05/2006 5.716 3,134 3,134 Central Java) 1. India Earthquake 26/01/2001 20.005 2,600 2,958 (Gujarat) 1. Pakistan Earthquake 08/10/2005 73.338 2,851 2,942

1. Thailand Tsunami 26/12/2004 8.345 2,198 2,345

1. Sri Lanka Tsunami 26/12/2004 35.399 1,454 1,551

1. India Tsunami 26/12/2004 16.389 1,224 1,306 Source: Bappenas from Asia Disaster Preparedness Center, Thailand, ECLAC, EM-DAT, World Bank Hot mud flow in Sidoarjo and forest fires in Sumatera and Kalimantan as well as flooding in several regions in Indonesia were caused by men . Natural disasters and man-made disasters have greatly affected the economy. They destroyed large number of vital infrastructures such as power grids, as well as transportation and communication networks, hampering the flow of products and raw materials to and from the affected areas. They eliminated people’s livelihoods and houses. A large amount of money is required for reconstructing people’s houses and rehabilitating their livelihoods. The economic impacts of the disasters were so severe that they might affect the national economic growth. Disasters do not only affect the economy, but also damage the environment, such as ecosystems and biodiversity. In Aceh, vast area of agricultural land could not be planted for a short period of time because of salt water contamination. Similarly, ± 470 hectares of productive land in Porong, Sidoarjo (where the hot mud flow occurred) could no longer be used because they have been inundated by mud. Furthermore, the disposal of mud to Porong River has decreased the water quality and disrupted ecosystems along the river.

Tsunami in Aceh and Nias The December 26th, 2004 tsunami was triggered by an earthquake of 9.0 on the Richter scale and it caused massive damages in Nanggroe Aceh Darussalam (Aceh) Province and Nias Island, North Sumatra (see Picture 2). Because of the disaster, 167,000 people were killed or missing, 120,000 houses, 2,663 bridges, and 2,112 schools were damaged and more than 60,000 hectares of agricultural land were contaminated by salt water. The losses were estimated to amount to US$4.45 billion . The disaster was triggered by the movement of the Indo-Australian Plate, and Eurasian Plate. Because of such movement, areas around Aceh and Nias are unstable and prone to earthquake and tsunami. Data from BAKORNAS indicates that tsunami might occur periodically in the two regions (in a cycle of 200 years).

4 Picture 2. Massive Picture 3. A Victim of Tsunami in Destruction Caused by Aceh and Nias Tsunami in Aceh

Source: Puspen TNI Source: Bappenas

Nanggroe Aceh Darrussalam (Aceh) is Indonesia’s westernmost province located on the north tip of Sumatra Island. Aceh Province borders on North Sumatra on the South, the Indian Ocean on the West, Malacca Strait on the East, and Benggala Bay on the North. Aceh covers an area of 56,500.51 km2 or 12.65% of Sumatra Island, comprising 119 islets, 73 large rivers and 2 lakes. Most of the areas are in the form of forests (39,294.20 km2), small-scale plantations (3,675.01 km2), and mines (4.43 km2). According to BPS (updated data prior to the Presidential Election in 2004) inputted prior to the earthquake and tsunami which occurred on December 26th, 2004, Aceh had a population of 3,899,290 peoples. Nias Island is located ± 85 nautical miles from Central Tapanuli Regency. This island is 5,625 km2 in size or 7.8% of the total size of North Sumatra Province, comprising 132 islets of ± 120 Km long and 40 Km wide, abreast of Sumatra Island, and is divided into two regencies, namely Nias Regency of 3,799 km², with Gunung Sitoli as its capital, and South Nias Regency of 1,825 km², with Teluk Dalam as its capital. The island is bordering on Banyak Island (Aceh) on the North, Mentawai Island (North Sumatra) on the South, Mursala island (Central Tapanuli Regency) on the East, and the Indian Ocean on the West. Nias Regency comprises 14 sub-districts with a total population of 433,668 (BPS, updated data prior to the 2004 Presidential Election), and most of them are farmers.

5 South Nias Regency comprises 8 sub-districts with a population of 276,463 (BPS, updated data prior to the 2004 Presidential Election). Nias Island is an attractive tourist destination, especially for its surfing beaches, traditional houses, diving, and rock jumping. Most of the residents depend on agricultural and plantation products for their livelihoods. Fertile soil in Nias Island is very suitable for the cultivation of rubber, coconut, coffee, clove and patchouli trees.

Picture 4. Aceh Map Picture 5. Nias Map

Earthquake in Yogyakarta and Central Java An earthquake of 5.9 on the Richter scale that destroyed Yogyakarta and Central Java on May 27th, 2006 is another example of natural disasters occurring in Indonesia. More than 5,700 persons were killed and 2,165,488 persons lost their houses, and 302,652 houses, 19 bridges, and other infrastructures were damaged. The estimated losses amounted to US$3.1 billion . Experts speculated that the cause of the earthquake was almost similar to the cause of the tsunami in Aceh and Nias, namely the movement of Indo-Australian Plate and Eurasian Plate. As the consequence of such movement, Indonesian regions, especially Java and Sumatra are prone to earthquake. After the tsunami in Aceh and Nias, more earthquakes occurred throughout Indonesia with a magnitude of 3 – 6 on the Richter scale. Bengkulu, , 1,500 km away from Aceh, for example, had 372 earthquakes during the

6 period of January – February 2005. Earthquake could occur at any time in regions along the three plates.

Picture 6. Destruction Caused by Picture 7. Children Affected by the Earthquake in Yogyakarta and Central Earthquake in Yogyakarta and Central Java Java

Special Region of Yogyakarta (or Yogyakarta) and often briefly called DIY is a province located on the southern part of Java Island and borders on Central Java Province on the north. Yogyakarta covers an area of 3,133.15 km2, and has a population of 3,279,701 (BPS, updated data prior to the 2004 Presidential Election). The dominant sources of livelihood are agriculture, trade, handicraft and tourism.Yogyakarta is very famous for its history and cultural heritage. Yogyakarta was the center of the Mataram Kingdom (1575-1640), and until now its Kraton (Palace) is still functioning in the fullest actual sense. Yogyakarta is also the host of many ancient temples and cultural artifacts left by ancient large kingdoms, such as Borobudur Temple which was constructed in the 9th century by the Syailendra dynasty. In addition to cultural heritage, Yogyakarta also has beautiful natural sceneries. Green paddy fields can be easily found with Mount Merapi on the backdrop, while the southern part of the province is decorated by unaltered natural beaches. There has been a concern that if another earthquake occurs with larger magnitude or within epicenter closer to Yogyakarta or Central Java, it would damage those cultural heritages and beautiful landscapes. Central Java Province is located in the center of Java Island and bordering on West Java Province on the west, the Indian Ocean and Special Region of Yogyakarta on the south, East Java on the east, and the

7 Java Sea on the north. It covers an area of 32,799.71 km², or approximately 25.04% of the total area of Java Island. Central java has a population of 32,952,040 (BPS, updated data prior to the 2004 Presidential Election). Most of its residents earn their livelihood from the agricultural sector.

Picture 8. Map of Yogyakarta and Central Java

The disaster-affected regions as described above generally have strategic position for Indonesia, either with regard to the size of their population or their roles for the economy (agricultural and tourism regions). Their importance is closely related to the roles of the central and regional governments in taking anticipative measures so as to be prepared if such similar disasters occur again there.

Hot Mud Flow in Sidoarjo, East Java One of the largest man-made disasters is the hot mud flow occurred on May 29, 2006. It was caused by gas exploration activities in Sidoarjo, East Java. Lapindo Brantas Inc (LBI), a private company holding the license for the Brantas Block, conducted gas exploration activities in a densely populated settlement area in Porong, Sidoarjo, East Java. LBI drilled Banjarpanji – 1 well by disregarding the safety principles in order to cut the expenses and increase the profits, which then lead to the hot mud flow. Hot mud is still flowing and 470 hectares of agricultural land, industries and houses have been submerged, while 7,248 households lose their houses. The estimated economic losses amount to Rp32,895,970 million (equivalent to approximately US $3.575 billion).

8

Picture 9. Areas Submerged by Hot Mud as per 21 August 2006 (350 Ha)

Picture 10. Areas Submerged by Hot Mud as per 11 March 2007 (470 Ha)

Sidoarjo Regency is a densely populated region with a population of approximately 1,737,977 (BPS, updated data prior to the 2004 Presidential Election) or 2,739.65 persons/km2 or equal to 1/3 of the population density in Hongkong. Sidoarjo has a very important role for Surabaya (the second largest city in Indonesia) as a buffer zone. Many vital infrastructures in Sidoarjo were damaged by the hot mud flow, including roads for the transportation of raw materials and products from and to Surabaya and the surrounding regions. The damages would negatively affect the economy of East Java region and the surrounding areas. The hot mud flow in Sidoarjo is an example of man-made disasters. It has slightly different characteristics from other disasters, such as floods and landslides. This disaster is purported to have direct correlation with human activities because the initial process of its occurrence was at the same time as the exploration of well conducted by LBI near the center of the mud eruption. Such allegation was later proved to have affected the accuracy and swiftness of efforts for handling the victims.

9

Picture 11. Map of Sidoarjo Regency

Table 2. Comparative magnitude of the three disasters Tsunami Earthquake Sidoarjo Hot Mud Victims - Deceased 129,738 5,773 0* - Displaced 517,278 2,165,488 26,317 - Missing 37,090 0 0* Total Victims 684.106 2.171.261 26.317 Losses (US$) 4.45 billion 3.1 billion 3.575 billion

* There are 13 indirect victims from the disaster

A more detailed comparison is attached hereto in Annex 2. If we compare those three disasters, Aceh and Nias tsunami was the largest in terms of casualties, losses and damaged infrastructure.

BPK’s Framework of Criteria Based on general overall objectives on safeguarding life and resources in each and every disaster as well as on good governance, BPK applies a framework of criteria to evaluate the three cases of managing disasters: A. Criteria on Disaster Management 1. The central government has the duty to protect the lives and resources of its citizens from the threats of disasters:

10 a. There should be a comprehensive risk analysis followed by a plan to produce an actual national disaster map. b. There should be a permanent preparedness to anticipate and response forthwith to any kind of disasters. c. The status of the disaster should be declared immediately by the responsible authority within the central government. d. Central coordination should enable efficient and fast response activities. 2. There should be a central organization with full authority to mobilize necessary resources. 3. Budget should be properly allocated and easily disbursed taking into account the basic accountability principles. 4. The personnel of the organization who is responsible to handle the disaster should be properly trained. 5. The public should be educated and well informed in case of the disaster.

B. Criteria on Disaster Auditing 1. BPK should conduct real time audits to provide assurance on a regular basis. 2. BPK should conduct performance and compliance audits in order to ensure the government’s system and efforts comply with the above criteria mentioned under A. 3. When international aid is given, BPK should cooperate in giving accountability and transparency in the disaster fund management for all stakeholders.

Speed of responses At the time of the Aceh tsunami, the President declared a national disaster on the day of the occurrence (December 26, 2004). The armed forces of Indonesia, Singapore, Australia, USA, etc. and police personnel were the first to react. They were deployed to assist in evacuating victims, rescuing survivors, and burying the casualties (Annex 5). The Vice President as the Chairperson of the National Coordinating Agency for Disaster Management (BAKORNAS PBP) immediately established coordination of all on-site emergency response efforts as well as mobilization of funds and assistances. The speed of response of central government to the Yogyakarta earthquakes was slower because it considered it in first instance as regional problems. However, the central government changed the vision after

11 realizing the extent of the catastrophe and the incapability of the local government to handle it. The central government did not respond adequately to the Sidoarjo Hot Mud Flow, since they took over the responsibility 4 months after the disaster occurred. The government preferred to keep the company allegedly responsible for the disaster, namely Lapindo Brantas Inc (LBI), to lead the disaster management efforts. LBI was the first party in taking informally the lead in the disaster-affected locations.

Managing the response activities Many efforts were made for handling the tsunami disaster in Aceh and Nias such as construction of barracks, provision of sanitation and clean water facilities, food, clothes and medical services for the survivors; burial of the casualties; clean-up of debris, provision of telecommunication facilities, electricity and fuel. Aid in form of money and goods arrived from Indonesians and people all around the world which were received and distributed by the government, NGOs, or delivered directly to the victims. Unfortunately, BPK’s finding shows the lack of control by the central government of the use of the money and coordination in distributing the aid in-kind. In the Yogyakarta case, disaster response activities such as evacuating victims, rescuing survivors and burying the casualties immediately after the event were carried out by the Indonesian military and police personnel, as well as local government and communities. Unlike the Aceh case, assistance from foreign military personnel came after the third day of the disaster. Aid and donations (money, assistance and goods) from foreign sources were channeled through the BAKORNAS and distributed by Sakortlak and Satlak. At the initial phase of the Sidoarjo disaster, the government preferred to keep the company, namely Lapindo Brantas Inc (LBI), responsible to handle the disaster on its own. Personnel of the Indonesian National Military and Indonesian National Police with assistance from LBI and local community evacuated the victims and their belongings to nearby locations. Satlak representing the local government started to assist the disaster victims on June 12th, 2006, 15 days after the mud eruption. Aid from private parties, local communities and NGOs, which is insignificant, did not arrive until early September 2006, reflecting public perception that the Sidoarjo case was just a consequence of business carelessness. The central government played very little role during the initial phase of the disaster. The central government was formally involved after the formation of the National Team for the Management of Sidoarjo Mud Flow Disaster in September 2006. Comparing the three

12 disasters, BPK concludes that different reaction from the central government has caused different speed of response and follow up activities. This might have influenced the magnitude of impact in terms of victims and losses. Involvement of Third Parties (Local and International NGOs as well as Foreign Governments) Local and international NonGovernmental Organizations (NGOs) as well as foreign governments had a significant role during the disasters in Aceh, Nias, Yogyakarta and Central Java. However, they did not have any significant role in responding to the hot mud flow disaster in Sidoarjo. Only local NGOs contributed their assistance when the disaster occurred in Sidoarjo, even though it was insignificant. There was no foreign government and international NGO involved in the provision of assistance to the victims of Sidoarjo hot mud flow disaster.

Table 3. Aid for Disasters Private International IDI Foreign Remarks Disaster Paties & NGO Government local NGOs Aceh and USD250,000 USD1,204 USD USD1,500 Data taken Nias Million 443.4 Million from country Tsunami Million report (commitment) Yogyakarta Rp16,050 USD616,084 N/A USD40,777 Data taken and billion Euro from audit Central 3 million report per Java September Earthquake 2006 Hot Mud Insignificant N/A N/A N/A Data taken Flow in from audit Sidoarjo report

Comparing the three disasters, it seems that: 1. The more central government is involved in the handling the disaster, the more it attracts foreign and private aid in to help the victims. 2. The magnitude of the disaster is influencing the attention it attracts from international community.

The Role of BPK

13 Audit on Natural Disaster At tsunami in Aceh and Nias as well as earthquake in Yogyakarta and Central Java, BPK conducted audits on the emergency response phase (R1) and the Rehabilitation and Reconstruction phase (R2) within a week after the disaster. In the emergency response phase, BPK conducted preliminary audits and detailed audits. A preliminary audit is aimed at obtaining immediate and comprehensive understanding of the disasters and the disaster management and victims handling processes as well as the management of aid by the Government. The targets of the audit in this phase were activities for handling the victims and managing aid. The methods applied in the preliminary audits were as follows: 1. Observation on the disaster-affected areas and the handling of victims and refugees for obtaining immediate and comprehensive understanding of the disaster and its management. 2. Interviews with the parties involved in the handling of victims and refugees as well as the disaster management in order to understand the problems and the disaster management process. 3. Collection of data and information related to disaster management and the management of aid with a focus on the internal control system. 4. Analysis of data and information related to internal control, in order to identify high-risk areas which will be used by the chairpersons of BPK in the decision making process with regard to detailed audit. Detailed audits at the emergency response phase were a follow-up to the preliminary audits aimed at testing and assessing compliance with applicable regulations, and assessing the effectiveness of the disaster management and handling of victims, as well as the appropriateness of the use of aid by the relevant parties. The targets of audit at this phase were activities for handling the victims and managing the disaster as well as the use of aid by the relevant parties. BPK found that the internal control system on the disaster management at the central and local levels was not effective for ensuring celerity, accuracy and compliance of the relevant parties in managing the disasters and aid. The internal control system had various flaws, such as: the existing disaster management organization is in the form of a coordinating board which does not have any authority for mobilizing resources in managing disasters. There are also overlapping duties and

14 functions as well as lack of fund allocation due to inadequate budgeting policy regarding disaster situation. This is reflected on, among others, the roles of the Ministry of Social Affairs and the Secretariat of BAKORNAS PB, which have their own budgets for handling the same activities, such as: distribution of aid for disaster victims. As the result, the disaster management process is slow, not focused, and prone to corruption.

Audit on Man-Made Disaster BPK has conducted audits on the hot mud flow disaster in Sidoarjo. A preliminary audit was conducted two and a half months after the occurrence of the disaster and was followed by a detailed audit one month after the completion of the preliminary audit, which was concluded at the end of August 2006. The preliminary audit was aimed at obtaining comprehension of the disaster management process and the handling of the victims as well as the management of aid. The targets of the audit were activities for handling the victims and managing aid, including the activities conducted by the local government at the early stages of the disaster. The methods applied were observation, collection of data and information, interview and analysis, as well as review of the data obtained. The results of the preliminary audit indicated additional needs to assess the causes of the disaster, hence, there were additional objectives of the audit, namely to identify the cause of the disaster and to assess the possibility of violation of laws in the licensing process and the implementation of the exploration activities as well as to assess the impacts of the disaster on the environment. Consequently, the scope of the audit had to be expanded. Such expansion of the scope of the audit especially those related to the alleged cause of the disaster and the impacts on the environment and local economy were beyond the competence of the auditors of BPK. Therefore, BPK also employed experts having competence in the fields of environment, geology and local economy. The audits conducted by BPK identified violation of laws in the licensing process, exploration activities and government supervision on the implementation of the drilling of Banjarpanji – 1 gas exploration well in Sidoarjo and the handling of the impacts on the environment and local economy. The audits also concluded that there has been alleged failure in the handling of the exploration problems by the company which lead to the hot mud flow disaster.

15

Additional Role of BPK after the Disaster BPK had an active role in improving the effectiveness of disaster management by conducting compliance and performance audits. In addition, in order to improve the quality of accountability of the parties related to the disaster management, BPK held an international conference on Promoting Financial Accountability in Managing Fund Relating to Tsunami, Conflict and Other Disaster on 24 – 25 April 2005. The conference was intended to improve coordination of audits among SAIs of donor countries and SAIs of the affected countries. As the result of the conference, a resolution was made to enhance cooperation among SAIs in the implementation of audits on tsunami impacts. It also recommended the formation of the BPK Advisory Board for providing inputs for BPK in order to improve the quality of its audits and the creation of aid database to facilitate monitoring on the management of aid . The first meeting of the BPK Advisory Board was held in Jakarta on 24-25 April 2006 and the second meeting is planned to be held in the first semester of 2008. BPK also took part in INTOSAI Task Force formed in November 2005, in which ARK (Algemene Rekenkamer/SAI of Netherlands) acts as the chair while the BPK and the SAI of South Korea act as vice chairs. BPK was appointed as the coordinator for the development of Accountability Framework from the perspective of recipient countries and SAI of South Korea acted as the Coordinator for the development of guidelines and best practices on accountability and audit of disaster-related fund. As the Coordinator, BPK has made a Country Report on the Accountability for and Audit of Disaster-related Aid and presented it in September 2007 to the Governing Board of INTOSAI in Nairobi, Kenya. The report included lessons learned from the tsunami in Aceh and Nias in relation to accountability and transparency. BPK is now conducting an initial assessment on the use of Geographic Information System (GIS) for audit of disaster on the housing sector in Banda Aceh.

Lesson Learned Disaster Management by the Government Based on the experience and the results of the audits, BPK has identified the following lessons learned in managing and auditing disasters: 1. Comparing the three disasters, it seems that:

16 - The more central government is involved in the handling the disaster, the more it attracts foreign and private aid in to help the victims. - The magnitude of the disaster is influencing the attention it attracts from international community. 2. The speed of response of central government highly influences the deployment and the quality of all rescue activities in the disaster-affected areas. 3. The government has general guidelines for disaster management which include the handling of refugees, disaster management, and aid management. However, those guidelines have not fulfilled the needs of the implementing agencies in managing disasters. This has been proven in the management of tsunami in Aceh and Nias, earthquake in Yogyakarta and Central Java, as well as the hot mud flow in Sidoarjo, in which every implementing agency made new rules, which were more comprehensive and detailed. Those rules resulted in different emergency response activities for different disaster. 4. The government has not completely empowered the coordination functions of national management organizations existing under the BAKORNAS PBP. When tsunami hit Aceh and Nias, the government formed other similar organizations, such as National Team for Disaster Management, National Coordination Desk for Disaster Management, Secretariat of the National Team for Disaster Management, and Enhanced Medan Disaster Management Unit. On the other hand, BAKORNAS does not have any operational and resources mobilization authorities, therefore, the disaster management tended to be running at a slow pace. 5. The government does not have any mechanism for aid management that could be applied in accordance with the on-site needs and could result in accountability and transparency towards donors. The long bureaucratic process made aid from foreign sources, such as medicine, food and clothes could not be distributed immediately, so that they could not be used optimally. 6. The government does not have any contingency plan for the management of emergency response activities meeting the aspect of accountability and immediate handling: a.Allocation and appropriation of resources; b.Management of aid from foreign and domestic third parties.

17 7. The government should educate and inform the inhabitants about the specific disaster risks in their area. 8. The government does not have any accounting system for financial management and accountability of aid from domestic or international NGOs. This aid was not included in the government financial accountability mechanism, either for the State Budget or Regional Budget. There was a significant amount of such aid especially at the time of tsunami in Aceh and Nias as well as earthquake in Yogyakarta and Central Java. Disaster Audits by BPK At the emergency response phase, BPK recommends for future disasters to conduct a walk-through audit on the applied Disaster Management Internal Control System in order to ensure veracity and accuracy in disaster management. Audits on accountability and compliance should be conducted after the completion of the emergency response phase. Auditors must determine the most appropriate time for commencing the audits so that the execution of their audits will not disrupt the disaster management. In such a way they can contribute to the improvement of the quality of disaster management. The scope of disaster-related audits should be focused on the disaster management activities at the time of emergency response before moving on to other activities after the completion of the emergency response. In the future, BPK would prioritize performance audits in the emergency response phase focusing on effectiveness of the management of available resources including aid from other parties in order to improve the timely distribution. When the scope of the audit especially those related to the alleged cause of the disaster and the impacts on the environment and local economy go beyond the competence of the auditors of BPK, BPK must employ experts having competence in the fields of environment, geology and local economy. Audit results must be effective to motivate the government to design and apply disaster management control system to improve transparency and accountability.

Conclusion

18 Disaster Management 1. The central government has the duty to protect the lives and resources of its citizens from the threats of disasters: a. It should have a firm stance in performing its function as protector of the people and servant of the public so that it could immediately and accurately distribute aid in every natural or man-made disaster. b. It must conduct a comprehensive risk assessment on possible occurrence of disasters throughout the territory of Indonesia, therefore it should prepare regulations on the implementation of disaster management and standard rescue procedures, including internal control system for each type and cause of disaster. c. It should be permanently prepared to anticipate and response forthwith to any kind of disasters. d. The status of the disaster should be declared immediately by the responsible authority within the central government. 2. There should be a central organization with full authority to mobilize necessary resources. Central coordination must enable efficient and fast response activities. Management organizations, such as BAKORNAS and Satkorlak must be strengthened to be more permanent and capable in employing funds and facilities as well as infrastructures owned by central and regional governments. It is expected that more authority would improve coordination among the parties related to the disaster management and the quality of disaster management. 3. Budget should be properly allocated and easily disbursed. 4. The personnel of the organization who is responsible to handle the disaster should be properly trained. 5. The public should be educated and well informed in case of the disaster.

Disaster Management Audit 1. In any circumstance, including disaster, the government must strive for preserving sound public financial management. 2. Audit results must be effective to motivate the government to design and apply its disaster management control system in an adequate manner which is capable ensuring transparency and accountability.

19 3. BPK should conduct real time audits to provide assurance on a regular basis. At the early phase of a disaster, BPK would conduct a walk through preliminary audit in the context of observation, collection of data and information, as well limited assessment on the control of disaster management activities. 4. BPK should conduct performance and compliance audits in order to ensure the government’s system and efforts comply with criteria mentioned under VII.A. BPK would prioritize the performance type of audit on the emergency response phase by using effectiveness approach on the handling and management of available resources including aid from other parties so that they could be distributed on time and effectively. 5. When international aid is given, BPK should cooperate in giving accountability and transparency in the disaster fund management for all stakeholders. 6. When the scope of the audit go beyond the competence of the auditors of BPK in particular regarding to the alleged cause of the disaster and the impacts on the environment and local economy, BPK must employ experts having competence in the fields of environment, geology and local economy.

20

1. Pengantar Untuk masa yang belum dapat diperkirakan kapan akan berakhirnya, Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah (Pemda) tidak akan dapat mengandalkan pembiayaan pembangunan dari sumber anggaran belanja negara maupun dari industri perbankan nasional. Di tengah keterbatasan kemampuan APBN serta industri perbankan nasional seperti itu, sumber pembiayaan yang dapat diharapkan bagi pembangunan ekonomi adalah penghasilan ekspor maupun pemasukan modal asing. Oleh karena itu, sebagaimana halnya dengan Pemerintah Pusat, Pemda dan dunia usaha nasional sudah sepantasnya perlu belajar bagaimana memobilisasi modal di pasar uang regional, seperti di Singapura, Hong Kong dan Tokyo. Mengikuti ajaran Pahlawan Nasional Dr. Sam Ratulangi, Pemerintah Pusat maupun Pemda di KTI (Kawasan Timur Indonesia) perlu memanfaatkan Asia Timur bagi pembangunan nasional. Asia Timur yang tumbuh sangat pesat dan memiliki surplus cadangan luar negeri yang besar serta teknologi canggih dapat dijadikan sebagai pasar ekspor, negara asal turis dan sekaligus sebagai sumber faktor produksi modal, teknologi maupun impor yang kita perlukan bagi konsumsi, investasi serta pembangunan nasional. Jika Selat Malaka di Kawasan Barat merupakan alur angkutan minyak dan gas bumi (oil route) dari Timur Tengah ke Asia Timur, Laut Arafura merupakan steel route bagi kawasan itu karena merupakan jalur pelayaran yang sangat penting bagi pengangkutan besi, hasil pertanian dan pertambangan lainnya dari Australia. Otonomi daerah yang sangat luas dewasa ini, memberikan kesempatan kepada KTI untuk memanfaatkan potensi negara-negara Asia Timur, Australia dan Lautan Pasifik yang secara geografis berdekatan dengannya. Untuk selanjutnya makalah ini dibagi dalam lima bagian. Bagian kedua membahas keterbatasan APBN dan industri perbankan nasional sebagai sumber pembelanjaan pembangunan. Bagian ketiga menguraikan sistem perdagangan di kawasan Asia-Pasifik. Bagian keempat menganalisis surplus neraca pembayaran luar negeri negara-negara Asia Timur. Bagian kelima menjelaskan daya tarik KTI dilihat dari pemilikan sumber daya alam dan lokasinya yang sangat strategis dalam alur pelayaran regional. Bagian keenam mengemukakan berbagai kebijakan untuk merangsang ekspor dan menarik pemasukan modal ke KTI.

1 2. Keterbatasan APBN dan industri perbankan nasional 2.1 Struktur APBN Sejak perekonomian nasional dilanda krisis pada 1997-1998, sebagian besar dari porsi pengeluaran dalam APBN adalah ditujukan untuk tiga jenis mata anggaran, yakni membayar hutang, subsidi harga berbagai komoditi yang disediakan oleh pemerintah (state-vended products) dan penanganan konflik bersenjata yang terjadi secara beruntun di berbagai daerah seperti Aceh, Kalimantan, Poso, Maluku dan Papua. Penanganan bom teroris di Jakarta, Bali dan di berbagai tempat lainnya juga telah menelan korban, energi dan biaya yang cukup mahal pula. Oleh karena penerimaan negara tidak dapat ditingkatkan sebesar kenaikan pengeluaran itu, maka pilihan yang tersedia bagi pemerintah adalah menurunkan pengeluarannya1. Karena tunduk pada tekanan-tekanan yang kelihatannya bersifat populis, struktur pemotongan anggaran negara adalah bersifat anti pemerataan dan anti pertumbuhan. Porsi anggaran nonhutang yang dikorbankan oleh pemerintah sejak tahun 1998 adalah pengeluaran untuk pembangunan infrastruktur, kesehatan dan pendidikan. Padahal, selain bersifat propemerataan, ketiga jenis pengeluaran yang disebut terakhir memegang peranan penting bagi pertumbuhan dan peningkatan produktifitas perekonomian nasional. Pengeluaran negara untuk melunasi hutang semakin bertambah berat karena selain adanya pertambahan stok hutang yang sangat cepat, stukturnya pun semakin berubah dengan syarat-syarat yang semakin berat. Pada masa Orde Baru, hutang pemerintah hanya berupa hutang luar negeri yang berasal dari sumber resmi dengan syarat-syarat yang ringan. Pada waktu terjadinya krisis ekonomi tahun 1997-1998, pemerintah menetapkan kebijakan untuk menghidupkan kembali industri perbankan nasional yang praktis sudah bangkrut pada masa itu. Karena merasa bahwa pemilikan dan pengelolaan bank bukanlah merupakan tugas pokok sektor negara, tidak ada di antara IMF, Bank Dunia, ADB maupun negara-negara donor yang bersedia memberikan bantuan maupun pinjaman guna menambah modal industri perbankan nasional tersebut. Oleh karenanya, untuk keperluan rekapitalisasi industri perbankan nasional itu, pemerintah telah mengeluarkan SUN (Surat Utang Negara) dalam negeri yang dinyatakan dalam

1 Pada tahun 2005, Ditjen Pajak dapat meningkatkan jumlah pemilik NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) sebanyak empat kali lipat, dari sekitar 2,5 juta menjadi 10 juta, dalama masa satu bulan. Namun rasio penerimaan pajak terhadap PDB tetap tidak bergeming dari tingkat 13-14 persen.

2 Rupiah dan dengan tingkat suku bunga komersil. Besarnya hutang baru ini adalah setara dengan separuh nilai PDB Indonesia tahun 1999. Nilai SUN tersebut seimbang dengan nilai stok hutang yang ada sehingga meningkatkan stok hutang Pemerintah menjadi dua kali stok hutang pada awal krisis. Setelah berakhirnya program IMF, mulai tahun 2004, pemerintah menutup defisit anggaran dengan menjual obligasi di pasar uang internasional dengan syarat-syarat komersil. Pada awal krisis, subsidi anggaran adalah terutama ditujukan untuk membantu kelompok masyarakat miskin. Namun, karena tekanan politik semakin besar dari subsidi pemerintah, seperti untuk BBM dan listrik yang dinikmati oleh kelompok masyarakat yang berada. Barang-barang yang disubsidi, seperti BBM dan pupuk juga disalah gunakan bagi keperluan yang tidak diharapkan, termasuk yang diseludupkan oleh orang yang tidak bertanggungjawab ke luar negeri. Pemulihan keamanan di Provinsi NAD berdasarkan Perjanjian Helsinki 14 Agustus 2005 diharapkan akan dapat mengurangi pengeluaran militer sehingga semakin besar porsi pengeluaran negara bagi keperluan lain yang lebih bermanfaat.

2.2 Keterbatasan industri perbankan nasional Secara selintas kondisi keuangan industri perbankan sudah sangat sehat ditinjau dari rasio kecukupan modal (CAR), rasio kreditnya yang bermasalah (NPL- nonperforming loans) yang rendah dan keuntungannya yang sudah mulai ada. Namun, sering dilupakan bahwa NPL yang kelihatannya rendah itu adalah tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Ternyata bahwa berbagai asset yang dibeli kembali oleh bank-bank tersebut dari BPPN itu belum direstrukturalisasui dengan tuntas sehingga masih tetap membebani perbankan. Sementara itu, komponen modal industri perbankan yang memungkinkan peningkatan CAR-nya adalah terutama berupa SUN yang kurang likuid. Modal yang kurang likuid ini tidak dapat dipergunakan untuk melakukan ekspansi kredit. Keuntungan bank yang sudah mulai positif adalah terutama bersumber dari pendapatan nonbunga kredit, terutama dari balas jasa kupon SUN maupun balas jasa dari SBI, FASBI serta pinjaman antar bank. Walaupun porsinya sudah semakin menurun, lebih dari 40% dari portepel industri perbankan nasional dewasa ini masih dalam bentuk SUN, SBI, FASBI dan pinjaman antar bank. Selain menjanjikan balas jasa yang menarik, keempat bentuk investasi itu juga sama sekali tidak mengandung risiko. Ini berarti bahwa industri perbankan nasional itu kini beroperasi sebagai

3 narrow bank, jual beli surat negara maupun SBI. Pemberian kredit oleh industri perbankan nasional baru terbatas pada sektor konsumsi untuk pembelian barang- barang konsumsi tahan lama, seperti kendaraan bermotor dan rumah murah. Sejak sembilan tahun terakhir, hampir tidak ada investasi baru yang dibelanjai oleh kredit bank. Penghasilan industri perbankan dari fee-based income masih terbatas karena masih terbatasnya pasar uang nasional maupun jenis instrumen yang digunakan didalamnya. Pembayaran penghasilan pegawai negeri, misalnya, belum sepenuhnya dilakukan melalui sistem perbankan. Seperti halnya dengan Bapindo dulu, sejak dari lahirnya, BPD (Bank-Bank Pembangunan Daerah) belum dapat mencerminkan namanya dan berperan pada pembiayaan pembangunan nasional. Seperti halnya dengan Bapindo, BPD pun beroperasi sebagai bank komeresil. Bank-bank itu belum dapat memobilisasi dana jangka panjang sebagaimana layaknya bank pembangunan. Pada umumnya BPD hanya beroperasi sebagai kasir bagi Pemda pemiliknya karena sumber dananya terutama adalah berupa dana jangka pendek milik Pemda. Kreditnya pun adalah terutama berupa kredit jangka pendek yang diberikan kepada rekanan maupun karyawan Pemda. Seperti halnya dengan Bapindo dulu, berbagai BPD juga tidak luput dari skandal di mana kreditnya terutama diberikan kepada perusahaan milik keluarga Gubernur yang sedang berkuasa. Sebagaimana diketahui, Bapindo kini merupakan bagian dari PT Bank Mandiri sekarang ini. Sejalan dengan penyerahan tanggung jawab pemerintahan yang lebih besar kepada Pemda dalam rangka otonomi daerah, semakin besar pula porsi APBN Pemerintah Pusat yang diserahkan kepada daerah. Pemda penerima transfer dari APBN itu menempatkan dana tersebut pada BPD setempat. Pada gilirannya, BPD tersebut membawa kembali dana itu ke Jakarta guna diinvestasikan pada SUN, SBI, FASBI dan pinjaman antar bank. Inilah alasan mengapa BPD dari berbagai daerah mampu membuka kantor cabang di lokasi mahal di Jakarta. Ini juga menggambarkan ironisnya para Pemda. Disatu pihak, Pemda ingin menarik modal ke daerahnya dan menghimbau bank yang beroperasi di daerahnya untuk lebih banyak memberikan kredit di daerah setempat. Di lain pihak, Pemda membiarkan BPD miliknya sendiri membawa uangnya sendiri pula kembali ke Jakarta. Penjualan SUN di pasar nasional dalam jumlah yang begitu besar guna menambah modal industri perbankan telah menyebabkan terjadinya crowding out di pasar uang nasional yang sangat sempit dan dangkal. Crowding out itu terjadi karena

4 terjadinya persaingan antara sektor negara dengan dunia usaha untuk memperebutkan tabungan nasional yang semakin terbatas karena dilanda krisis. Gabungan antara NPL bank yang masih tinggi dengan crowding out di pasar uang nasional meningkatkan tingkat suku bunga di pasar nasional dan sekaligus menimbulkan tekanan pada pelemahan nilai tukar Rupiah. 3. Sistem perdagangan di Asia Pasifik Ronde Perundingan Perdagangan Doha, yang dimulai di Qatar bulan Nopember 2001, dan akan berakhir tahun depan, ternyata berjalan lambat dan tidak dapat memenuhi harapan. Baik negara-negara Eropa maupun Amerika Serikat belum bersedia mengurangi subsidi pada sektor pertaniannya. Sebagian dari hambatan itu adalah lambatnya konsesi liberalisasi pada sektor industri manufaktur dan jasa-jasa, seperti perbankan, asuransi, industri hiburan dan jasa pengiriman surat serta barang. Berbagai negara berkembang masih mempertahankan tingkat proteksi yang tinggi, apakah berupa tarif maupun nontarif. Sementara itu, Amerika Serikat menuduh RRC juga melindungi perekonomian dan merangsang ekspornya melalui kurs Yuan yang terlalu kuat. Kegagalan Ronde Doha telah mulai menunjukkan kecenderungan dunia meninggalkan sistem perdagangan multilateral berdasarkan prinsip the most favored nation (MFN) kembali pada sistem bilateral dan merkantilisme. MFN mencegah terjadinya diskriminasi perdagangan antar negara karena perlakuan oleh suatu negara anggota WTO pada suatu mitra dagangnya otomatis berlalu bagi negara lainnya yang juga menjadi anggota WTO. Bilateralisme mengatur ketentuan perdagangan yang berlaku hanya antar negara yang mendatanganinya secara timbal balik dan perjanjian bilateral itu tidak berlaku bagi negara lain. Multilateralisme tercermin dari didirikannya Organisasi Perdagangan Internasional atau WTO (World Trade Organization) pada tanggal 1 Januari 1995 berkedudukan di Jenewa. WTO merupakan forum pembuatan aturan dan perjanjian perdagangan yang berlaku secara multilateral bagi negara-negara anggotanya. WTO sekaligus merupakan forum penyelesaian konflik kepentingan antar negara. Kemunduran dari multilateralisme dan peralihan menuju bilateralisme serta merkantilisme tercermin dari semakin meluasnya dan kompleksnya perjanjian perdagangan bilateral FTA (Free Trade Areas) dengan rules of origins yang berbeda- beda (Grafik-1). Pada hakikatnya FTA yang juga menjamur di kawasan ini adalah

5 bertentangan dengan prinsip regionalisme terbuka APEC yang dipromosikan sebelumnya. Di lain pihak, FTA yang berkembang di Asia-Pasifik tidak akan memutar balik proses deregulasi, liberalisasi serta privatisasi perekonomian yang dilakukan di kawasan ini sejak awal dasawarsa 1980-an. Pada umumnya proses tersebut telah meningkatkan efisiensi dan produktifitas perekonomian mereka sehingga dapat meningkatkan kemakmuran ekonomi rakyatnya. Hanya beberapa negara, termasuk Indonesia pada masa Orde Baru, yang menggunakan proses deregulasi itu sebagai instrument KKN yang justru meningkatkan inefisiensi perekonomian nasional.

Grafik 1

Proses deregulasi, liberalisasi dan privatisasi telah meningkatkan integrasi ekonomi antar negara di Asia Timur melalui peningkatan hubungan perdagangan serta investasi swasta. Integrasi ekonomi di Asia Timur itu berlangsung secara horizontal maupun vertikal. Contohnya, semua merk pesawat radio, TV maupun barang elektronik kini menggunakan komponen berbagai merk yang dibuat di berbagai negara. Thailand merupakan supplier terbesar ayam potong di Jepang. Contoh lainnya

6 adalah semakin besar porsi buah dan sayur yang dikonsumir di Manado, Ternate, Ambon dan Jayapura yang berasal dari impor.

4. Surplus neraca pembayaran luar negeri di Asia Pasifik Ditengah ketidakseimbangan global dewasa ini, hampir seluruh negara-negara di Asia Timur justru mengalami surplus neraca pembayaran luar negeri (Tabel 1). Surplus neraca berjalan pada neraca pembayaran merupakan surplus tabungan nasional yang melebihi keperluan investasi2. Pada saat ini, bagian terbesar dari surplus neraca berjalan negara-negara Asia Timur tersebut ditanamkan dalam bentuk obligasi Pemerintah Amerika Serikat maupun dalam berbagai jenis surat-surat berharga yang dinyatakan dalam satuan US Dollar. Dewasa ini, balas jasa investasi dalam bentuk US dollar adalah lebih rendah daripada balas jasa dalam bentuk SUN, SBI maupun obligasi serta saham perusahaan Indonesia. Sedikit saja surplus negara-negara Asia Timur tersebut dapat ditarik oleh KTI sudah cukup untuk membelanjai pembangunan daerahnya. Rangkaian perjanjian regional semakin memungkinkan penarikan surplus negara-negara Asia Timur ke Indonesia dan KTI. The New Miyazawa Plan yang merupakan kelanjutan dari CMI (Chiang Mai Initiatives) tahun 2000. Untuk mengurangi ketergantungan pada pinjaman jangka pendek dari perbankan, negara-negara Asia Timur ingin mengembangkan obligasi sebagai alternatif sumber pembelanjaan pembangunan.

Tabel 1 Global Savings and Investment Trends (as a percentage of GDP)

Average Average 2003 2004 Memo:

2 Secara formal, neraca berjalan atau CA (current account) dalam neraca pembayaran luar negeri merupakan penjumlahan surplus anggaran negara (T-G) dengan surplus tabungan masyarakat setelah dikurangi investasinya (S-I): CA = (T-G) + (S-I) di mana T adalah penerimman Negara; G merupakan pengeluaran negara; S merupakan tabungan sektor swasta dan I merupakan pengeluaran investasi oleh sektor swasta. CA itu sendiri merupakan perbedaan antara nilai ekspor dengan impor ditambah dengan balas jasa invetasi, penerimaan tenaga kerja serta transfer dari atau ke luar negeri. Perubahan cadangan luar negeri (∆R) merupakan sisa antara CA dengan CAP (pemasukan modal asing, apakah berupa investasi jangka panjang maupun aliran modal jangka pendek: ∆R = CA + CAP. Akumulasi cadangan luar negeri RRC bersumber dari surplus neraca berjalan maupun surplus neraca modalnya. Sebaliknya, pemasukan modal asing jangka pendek menutup defisit neraca berjalan dan memupuk cadangan luar negeri Indonesia. Derasnya aliran modal jangka pendek ke Indonesia dewasa ini (untuk membeli saham, SUN dan SBI) sekaligus menguatkan nilai tukar Rupiah,walaupun ekspor kita tidak banyak meningkat. Berbeda dengan penanaman modal langsung, modal jangka pendek sangat rawan untuk kembali ke luar negeri. Pelarian modal ke luar negeri itu disebut dengan capital flight.

7 1990- 2000- 1991- 1999 2002 2004

World saving 22.9 23.4 23.9 24.9 1.7 Advanced economies 21.3 20.6 19.1 19.4 -2.8 United States 16.3 16.2 13.5 13.7 -2.5 Euro area 21.5 21.3 20.3 20.9 -1.1 Japan 31.6 27.8 27.1 27.6 -6.8 Emerging economies 25.3 27.2 29.8 31.5 6.9 Developing Asia 31.0 32.6 36.5 38.2 9.5 China 40.3 39.9 45.5 48.0 9.6 Latin America 18.3 17.8 20.0 21.0 1.9 Central and eastern 20.6 18.8 18.6 19.1 -7.0 Europe 24.0 23.2 23.5 24.6 0.1 World investment 21.8 21.0 20.0 20.7 -2.5 Advanced economies 18.7 19.4 18.4 19.7 1.1 United States 21.1 20.9 19.5 20.2 -2.9 Euro area 29.3 25.3 23.9 23.9 -199.0 Japan 27.2 26.1 27.9 29.2 2.8 Emerging economies 32.2 30.8 33.6 35.5 5.1 Developing Asia 38.5 37.9 42.4 43.9 9.7 China 20.9 19.8 19.0 19.8 0.3 Latin America 23.3 23.1 23.2 23.8 -2.9 Central and estern Europe

Source : BIS Annual Report (2005)

EMEAP (Executives Meeting of East Asia and Pacific Central Banks), organisasi 11 bank sentral negara-negara Asia, Australia dan New Zealand mengintrodusi ABF1 (Asian Bond Funds 1) pada bulan Juni 2003. ABF1 mengumpulkan sebesar US$1 milyar dana cadangan luar negeri negara-negara anggota EMEAP dan menanamkannya dalam obligasi jangka panjang yang dikeluarkan oleh negara-negara tersebut. Obligasi dalam program ABF1 merupakan surat hutang yang dinyatakan dalam satuan mata uang USD. Sukses ABF1 mendorong EMEAP untuk mengintrodusi ABF2 yakni membeli obligasi negara-negara anggota yang dinyatakan dalam satuan uang mata uang nasionalnya masing-masing. Surat hutang yang dinyatakan dalam satuan mata uang nasional meniadakan risiko kurs. Risiko kurs merupakan salah satu penyebab krisis perekonomian pada tahun 1997.

Selain dari EMEAP, Jepang juga menyediakan jaminan bagi obligasi negara- negara miskin di Asia Timur yang ingin menjual obligasi dalam satuan Yen di Jepang. Sementara itu, ADB (Asian Development Bank) di Manila juga membantu negara-

8 negara anggotanya untuk menjual obligasi bagi keperluan pembelanjaan pembangunan.

5. Daya tarik KTI Tidak dapat dipungkiri bahwa sumber daya alam dan lokasi strategis KTI memiliki daya tarik yang sangat besar untuk investor. Sebagaimana disebut di atas, lokasi KTI sangat dekat dengan Asia Timur, Australia maupun Lautan Pasifik. Sumber daya alam KTI bukan saja berupa tanahnya yang subur untuk lahan pertanian, lautnya yang kaya tapi juga berupa kekayaan hasil tambang, baik di darat maupun di dasar laut. Sebagaimana telah disebut di muka, Laut Arafura merupakan alur pelayaran penting bagi angkutan produk pertanian, hasil bumi dan pertambangan dari Australia ke Asia Timur. Salah satu bentuk kekayaan alam yang tersedia di KTI adalah aliran sungai Mamberamo di Papua Timur. Menurut perkiraan, sungai tersebut dapat menghasilkan tenaga listrik, dengan biaya murah, yang jauh lebih besar daripada seluruh kapasitas pembangkit tenaga listrik terpasang di Indonesia saat ini. Tenaga listrik yang dihasilkan oleh aliran sungai itu dapat digunakan sebagai tenaga untuk peleburan hasil tambang (smelter) apakah yang berasal dari Papua sendiri ataupun dari tempat lain. Tenaga listrik yang dihasilkan oleh Air Terjun Sigura-gura di Sungai Asahan yang bersumber dari Danau Toba digunakan oleh perusahaan patungan dengan Jepang untuk melebur biji bauxit asal Brasilia di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Negara maju yang memiliki lahan yang sempit, seperti Jepang, tidak lagi mampu membangun pabrik peleburan sendiri untuk mencegah polusi. KTI yang secara geografis berdekatan dengan Asia Timur, Australia dan Pasifik dapat dikembangkan menjadi daerah turis untuk menikmati keindahan alam maupun budayanya. Keturunan tentara Jepang dan Sekutu yang gugur selama Perang Dunia ke-2 di KTI dapat dirangsang sebagai turis untuk menjiarahi makam maupun bekas daerah pertempuran keluarga mereka. Laut Arafura juga dapat dijadikan alur lomba pelayaran rekreasi yang menghubungkan Asia dengan Australia dan New Zealand. Meniru Provinsi Yunnan di RRC, Thailand, Malaysia dan Philipina, KTI dapat dikembangkan menjadi daerah perikanan dan pertanian untuk melayani pasar sekitarnya yang sangat besar. Karena lokasinya yang relatif jauh dari pasar dalam negeri (Jawa) maupun pasar luar negeri, produk-produk yang secara ekonomis menguntungkan dihasilkannya adalah komoditi yang memiliki nilai tambah yang

9 tinggi (high value added products). Karena penduduknya yang jarang, usaha pertanian di KTI harus memiliki skala besar dan teknologi canggih. Adalah tidak benar pemeo yang mengatakan bahwa KTI sulit dikembangkan karena kurangnya infrastruktur dan terbatasnya SDM (sumber daya manusia). Melihat geografisnya dalam bentuk kepulauan, KTI tidak memerlukan pembangunan jalan raya seperti di Jawa maupun Sumatera dan Papua. Pulau-pulau di KTI hanya memerlukan pembangunan kade pelabuhan yang tidak mahal harganya. Mengikuti pola pembangunan prasarana di Australia, yang perlu diutamakan pembangunannya adalah jaringan jalan raya di sepanjang garis pantai yang padat penduduknya dan aktif kegiatan ekonominya. Untuk daerah terpencil, biarkan swasta membangun infrastrukturnya sendiri seperti PT Freeport yang membangun prasarana jalan raya, pipa, angkutan udara dan eskalator mulai dari Timika hingga Tembagapura dan Puncak Jaya Wijaya. Sebagaimana telah disebut dimuka, tentara Sekutu pada Perang Dunia ke-2, di bawah pimpinan Jenderal McArthur dari Amerika Serikat, juga meninggalkan prasarasana landasan kapal terbang dan pelabuhan laut di berbgai pelosok di KTI. Pada waktu itu, fasilitas militer tersebut digunakan oleh tentara sekutu untuk merebut kembali Philipina dan menyerbu Jepang. Prasarana militer itu merupakan warisan berharga yang dapat digunakan untuk pembangunan ekonomi. Keterbatasan SDM di KTI dapat ditanggulangi dengan menggunakan sebaik mungkin dana yang diperoleh dari APBN dan perusahaan yang berperoperasi di kawasan tersebut, apakah untuk keperluan pendidikan maupun kesehatan. Perusahaan modern yang beroperasi di KTI sekaligus memberikan kesempatan alih teknologi bagi tenaga kerja Indonesia yang bekerja padanya. Ahli teknologi juga dapat dirangsang dengan meminta bantuan dari perantau asal KTI yang bermukim di berbagai pelosok dunia maupun dengan bantuan teknis negara asing. Berbeda dengan suku-suku lainnya di Indonesia, suku-suku asal KTI juga banyak yang bermukim di luar negeri, seperti Manado dan Ambon yang tidak saja melanglang buana ke Negeri Belanda tapi juga ke bagian dunia lainnya, seperti Amerika Serikat. Para perantau itu dapat dimanfaatkan sebagai sumber informasi pasar maupun teknologi serta modal.

6. Kebijakan untuk merangsang ekspor dan menarik modal asing

10 Peralihan sistem pemerintahan dari sistem sentralistis Orde Baru ke otonomi daerah sangat luas, yang digalakkan sejak era reformasi dewasa ini, telah memberikan peluang bagi Pemda untuk membangun daerahnya sendiri yang sesuai keunikan lokasi geografis maupun sumber ekonomi yang dimilikinya. Dalam sistem yang sentralistis masa Orde Baru itu, perencanaan pembangunan adalah terutama ditentukan dari Pusat. Otonomi Daerah dewasa ini memberikan kewenangan penuh kepada Pemda di KTI untuk mengatasi berbagai masalah nonekonomi dan ekonomi yang menghambat pembangunan ekonomi di daerahnya. Secara sederhana teori paritas daya beli atau PPP (purchasing power parity) dalam teori ekonomi mengatakan bahwa daya saing perekonomian suatu daerah atau negara dapat ditingkatkan jika ongkos produksi atau tingkat harga-harga di daerah atau negara itu dapat dibuat menjadi lebih murah daripada di daerah atau negara lain. PPP tidak lebih dari perbandingan tingkat harga suatu jenis atau sekelompok barang tertentu di pasar suatu daerah atau di pasar dunia dengan tingkat harga jenis ataupun kelompok barang yang sama di pasar suatu daerah atau negara tertentu, diukur dalam satuan mata uang yang sama3. Pada gilirannya REER juga dipengaruhi oleh trend produktifitas tenaga kerja dan perekonomian. Tentu saja Pemda tidak punya kewenangan untuk menetapkan nilai tukar Rupiah ataupun tingkat suku bunga karena kebijakan moneter merupakan monopoli Bank Indonesia sebagai bank sentral. Daya saing ekonomi nasional menjadi semakin berkurang karena adanya penguatan nilai tukar Rupiah akibat dari pemasukan modal jangka pendek dewasa ini. Daya saing ekonomi nasional juga merosot karena pada saat yang sama tingkat suku bunga di Indonesia lebih tinggi daripada di pasar dunia dan kredit perbankan sangat terbatas. Pemda juga tidak dapat mempengaruhi berbagai kebijakan Pemerintah Pusat yang mempengaruhi tingkat harga-harga. Di luar kebijakan moneter maupun kebijakan lain yang menyangkut tingkat harga-harga itu, ekonomi nasional juga tengah mengalami tiga jenis penyakit yang disebut oleh Ruchir Sharma4, ekonom dari Morgan Stanley Management, sebagai “3L”, yakni local regulations, legal uncertainty and labor rigidity.

3 REER=e.P*/P di mana REER adalah real effective exchange rate atau kurs riil efektip, merupakan nilai tukar mata uang, P* adalah indeks harga di pasar dunia dan P merupakan indeks harga dalam negeri. Formulasi sederhana ini dapat dibuat menjadi lebih kompleks dengan memperhitungkan berbagai hambatan perdagangan lainnya seperti biaya angkut dan biaya transaksi lainnya serta tarif bea masuk. 4 Ruchir Sharma, ‘Where Big Is Beautiful’, Newsweek, May 1, 2006, hal. 45.

11 Sebagian dari penyakit “3L” itu merupakan kewenangan Pemerintah Pusat, DPR maupun serikat pekerja ditingkat nasional. Misalnya dalam penetapan Undang- Undang Tenaga Kerja maupun dalam hal penetapan tingkat upah minimum nasional. Namun, cukup banyak juga dari kebijakan Pemda sendiri yang menjadi faktor penyebab penyakit “3L” itu. Berbeda dengan di RRC, Pemda di Indonesia setelah Otoda justru telah berlomba-lomba membuat aturan ijin usaha, sistem perdagangan maupun sistem pajak di daerahnya menjadi semakin kompleks dan distortif. Sebaliknya, Pemda di RRC berlomba menarik investor asing dengan menawarkan perlindungan hak milik, keamanan dan kepastian hukum di daerahnya serta berbagai insentip ekonomi yang lebih menarik. Inilah rahasianya mengapa RRC, dewasa ini, dapat menarik lebih dari 50% dari seluruh penanaman modal swasta yang mengalir ke negara-negara berkembang. Tindakan pertama yang dapat dilakukan oleh Pemda di Indonesia, termasuk KTI, untuk merangsang ekspor dan menarik pemasukan modal adalah dengan menurunkan biaya transaksi ekonomi di daerahnya. Pada gilirannya, biaya transaksi ekonomi itu dapat diturunkan dengan memelihara stabilitas politik, melindungi hak milik pribadi serta memelihara kepastian hukum di daerahnya. Sri Sultan Hamengkubuwono X, Gubernur D I Yogyakarta, merupakan contoh Kepala Daerah yang mampu menggunakan kekuasaan dan kharismanya untuk memelihara stabilitas politik dan keamanan di daerahnya. Selain merusak harta benda maupun infrastruktur yang ada dan merenggut nyawa keluarga sendiri, konflik horisontal yang disebut di atas telah menghabiskan APBN untuk keperluan operasi militer yang tidak perlu. Konflik horizontal di Poso, Maluku dan Maluku Utara serta pembakaran kebun pisang modern milik keluarga Eka Cipta Widjaya di Halmahera setelah era reformasi telah menakutkan investor masuk ke daerah ini. Tindakan kedua yang dapat dilakukan oleh Pemda adalah menyederhanakan Peraturan Daerah (Perda), terutama aturan yang menyangkut perijinan usaha di daerahnya. Termasuk dalam kelompok ini adalah mengurangi hambatan, bea, retribusi dan pungli atas transportasi maupun arus barang dan jasa maupun tenaga kerja antar kabupaten, daerah maupun dengan luar negeri. Penyederhanaan Perda yang sangat distortif tersebut merupakan bagian lain dari upaya menurunkan biaya transaksi untuk meningkatan efisiensi dan daya saing perekonomian. Tindakan ketiga yang dapat dilakukan oleh Pemda adalah dalam bidang ketenagakerjaan. Betul bahwa Pemda tidak dapat berbuat apa-apa pada Undang-

12 Undang Perburuhan di Indonesia yang sangat distortif dewasa ini. Namun, Pemda dapat menjelaskan kepada serikat pekerja setempat akan bahaya peningkatan militansi tenaga kerja yang menakutkan dunia usaha. Juga perlu dijelaskan bahwa tingkat upah minimum yang berlebihan di negara yang memiliki surplus tenaga kerja seperti di Indonesia akan semakin mengurangi kemungkinan bagi pencari kerja baru untuk memperoleh pekerjaan. Tindakan keempat yang dapat dilakukan oleh Pemda adalah dengan meningkatkan produktifitas tenaga kerja dan ekonomi daerahnya. Di sini peranan pendidikan dan ahli teknologi serta perbaikan kesehatan masyarakat sangat menonjol. Selain mendirikan sekolah formal, ahli teknologi dapat dilakukan oleh dinas pemerintahan seperti penyuluhan nelayan maupun pertanian. Ahli teknologi juga dapat diperoleh dari lembaga asing seperti JETRO yang mengajari petani dan nelayan Thailand tentang standar kesehatan dan kebersihan makanan di Jepang yang merupakan negara tujuan ekspor hasil pertanian, peternakan dan perikanan Thailand. Turis asing, terutama dari Australia, mengajari masyarakat Bali tentang pengelolaan homestay, restoran maupun bar. Tindakan kelima yang dapat dilakukan oleh Pemda adalah untuk menumbuhkan kewiraswastaan masyarakat setempat. Dalam kaitan penumbuhan kewiraswastaan itu, praktik-praktik KKN dan pemangsa rente (rent seeking activities) di masa Orde Baru tidak dapat lagi dapat diteruskan. Di berbagai provinsi di Indonesia, ketangguhan dalam menghadapi krisis ekonomi sejak tahun 1997 justru bersumber dari usaha kecil dan menengah, apakah disektor perdagangan, industri pengolahan maupun disektor pertanian. Kesempatan untuk menjadi pengusaha harus dibuat se transparan mungkin, tanpa ada KKN termasuk diskriminasi jender. Pada umumnya, wanita yang menjadi pengusaha di sektor ini, dapat mengembalikan kreditnya tepat waktu.

13

1. Pendahuluan Gabungan antara rangkaian deregulasi perekonomian yang dilakukan sejak sebelum krisis tahun 1997-1998 dan reformasi sistem sosial Indonesia yang diintrodusi setelah runtuhnya Pemerintahan Orde Baru telah memberikan peluang bagi daerah untuk mengeksploitir potensi ekonominya bagi kemakmurannya sendiri. Deregulasi telah mengurangi peranan perencanaan yang sentralistis dan lebih banyak menggunakan mekanisme pasar dalam pengaturan perekonomian. Deregulasi sekaligus mengintegrasikan perekonomian nasional dengan perekonomian global. Agar dapat bertahan dalam persaingan pasar yang semakin tajam dalam era globalisasi itu, dunia usaha perlu memperbaiki governance-nya. BUMN/BUMD tidak boleh lagi digunakan sebagai instrumen KKN oleh penguasa, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Sementara itu, reformasi politik telah merubah sistem politik Indonesia dari sistem otoriter menjadi demokrasi. TNI/Polri tidak lagi berperan aktif dalam politik dan tidak lagi punya wakil di badan legislatif, eksekutif maupun judikatif. Kebebasan berbicara dan berkumpul dijamin penuh sedangkan pemilihan dilakukan secara periodik, adil dan jujur. Reformasi telah merubah sistem pemerintahan dari sistem yang tadinya sentralistis dengan memberikan otonomi yang sangat luas kepada Pemerintah Daerah (Pemda). Otonomi daerah era reformasi sekarang ini adalah jauh lebih luas dari tuntutan PRRI/Permesta pada tahun 1950-an. Dasar pertimbangan pemberian otonomi itu adalah karena Pemda dianggap lebih memahami potensi daerah dan lebih mengetahui preferensi penduduk yang ada di daerahnya. Pemikiran Dr. Sam Ratulangi pahlawan nasional asal Tomohon, Sulawesi Utara, dapat digunakan sebagai landasan strategi dasar dan orientasi pembangunan ekonomi Provinsi Maluku maupun Kawasan Timur Indonesia (KTI). Pemikiran beliau dituangkan dalam buku yang ditulisnya pada tahun 1938 yang menganjurkan untuk memperhatikan wilayah Pasifik. Menurut Dr. Sam Ratulangi, wilayah Pasifik, khususnya Asia Pasifik, penting artinya bagi kita sebagai pasar ekspor barang dan jasa yang kita hasilkan, sumber barang impor yang kita perlukan, termasuk faktor produksi modal maupun teknologi. Observasi dan pemikiran beliau itu masih tetap relevan dewasa ini. Gabungan antara membaiknya stabilitas politik dan keamanan regional, setelah berakhirnya Perang Vietnam dan Perang Dingin, serta deregulasi

1 perekonomian di berbagai negara telah membuat perekonomian kawasan ini semakin terikat antara satu dengan lain. Ikatan itu terjadi melalui jalinan perdagangan barang dan jasa serta aliran modal maupun investasi Pemerintah dan swasta. Bahkan, pasar tenaga kerja di kawasan pun semakin terjalin karena adanya lalu lintas tenaga kerja antar negara. Kawasan ini juga aktip mempromosikan berbagai bentuk kerjasama regional: ASEAN, ASEAN+3, serta APEC. Sebelas bank sentral di kawasan ini juga bergabung dalam EMEAP1 yang bukan saja sebagai forum tukar menukar informasi tapi juga memobilisasi dana bagi pengembangan pasar obligasi regional maupun nasional. Dengan kata lain, orientasi masyarakat Maluku perlu dirubah dari Jawa serta Eropa sentris ke arah Asia-Pasifik. Selanjutnya makalah ini dibagi dalam tiga bagian. Bagian kedua membahas strategi pembangunan Provinsi Maluku dan KTI. Bagian kedua membahas strategi pembangunan Provinsi Maluku dan KTI. Bagian ketiga membahas prasyarat bagi suksesnya penyelenggaraan pembangunan daerah ini. Bagian keempat merupakan usul bagi Universitas Pattimura agar dapat menjadikan dirinya sebagai pusat pengembangan gagasan pembangunan KTI, khususnya Maluku, penasihat Pemda serta pusat alih teknologi yang sangat diperlukan bagi pembangunan tersebut.

2. Strategi pembangunan Provinsi Maluku dan KTI Dalam era perencanaan terpusat, ekonomi yang relatif tertutup dan sistem pemerintahan yang sentralisasi di masa lalu, berbagai hal yang menyangkut ijin berusaha, perdagangan, investasi maupun tenaga kerja harus diselesaikan di Jakarta dengan birokrasi panjang yang menyita banyak waktu dan biaya. Sebagai percerminan dari kebijakan ekonomi yang inward looking, sistem perdagangan dibuat sedemikian rupa sehingga memaksa petani dan produsen hasil pertanian dan bahan mentah terpaksa menjual produknya dengan harga yang berada di bawah tingkat harga internasional kepada pabrikan dalam negeri yang pada umumnya berlokasi di Pulau Jawa. Akibatnya muncullah dua bentuk kesenjangan. Pertama, kesenjangan regional. Kedua kesenjangan rasial karena biasanya petani di luar Jawa adalah dari kalangan pribumi sedangkan pabrikan di Jawa adalah umumnya adalah nonpribumi. Rangkaian deregulasi dan reformasi sistem sosial itu telah memungkinkan Provinsi Maluku dan KTI untuk memanfaatkan peluang pasar Asia-Pasifik. Karena

1 EMEAP adalah singkatan dari Executives Meeting of East Asia-Pacific Central Banks and Monetary Authorities.

2 berbagai alasan, adalah tidak begitu sulit untuk mengembangkan ekonomi KTI. Alasan yang pertama adalah karena lokasi geographisnya yang berdekatan dengan negara-negara Asia Timur dan Lautan Pasifik yang menjadi pasar dan sumber teknologi dan modal yang penting. Alasan kedua adalah karena KTI adalah terdiri dari pulau-pulau dan penduduknya yang jarang terutama bertempat tinggal di garis pantai. Perhubungan dapat dilakukan dengan relatif murah melalui laut dan udara tanpa memerlukan biaya tinggi untuk membangun pelabuhan laut maupun pelabuhan udara. Pasukan Amerika Serikat, di bawah Jenderal McArthur, meninggalkan dua warisan yang sangat berharga bagi KTI. Kedua warisan itu adalah landasan pelabuhan udara serta pelabuhan laut di Morotai dan Biak. Meniru pembangunan di Australia, KTI tidak memerlukan pembangunan prasarana jalan raya yang mahal yang membelah pulau dan daratan yang berpenduduk jarang seperti di Papua. Pada awalnya, cukup dibangun prasarana perhubungan laut ataupun jalan darat di sepanjang garis pantai. Alasan ketiga adalah karena kualitas sumber daya manusia KTI yang tinggi. Penduduk di wilayah ini, seperti Manado dan Ambon, sangat berbakat untuk menguasai bahasa asing. Dengan penguasaan bahasa asing yang baik, lebih mudah menyerap informasi, membaca petunjuk cara bercocok tanam dan cara perikanan modern maupun membaca manual pengoperasian mesin-mesin. Alasan keempat adalah bahwa warga Ambon dan Manado telah banyak yang merantau dan bermukim di manca negara. Belajar dari warga Tionghoa, India dan Jahudi, jaringan internasional seperti ini dapat dimanfaatkan bagi kepentingan ekonomi untuk memperoleh informasi pasar, membangun jaringan hubungan perdagangan internasional, mobilisasi modal, pengembangan sumber daya manusia maupun alih teknologi. Setidaknya, dari keluarga yang berada di Negeri Belanda, warga Ambon dan Manado dapat memperoleh bibit sayur, bunga, ayam maupun sapi unggul serta teknologi kelautan, pertanian maupun peternakan modern. Pasar Asia-Pasifik itu dapat menyerap berbagai jenis produk yang dihasilkan di KTI seperti perikanan dan hasil laut, hasil hutan dan pertambangan serta produk pertanian. Selama ini, hasil laut dari KTI langsung di ekspor ke negara konsumen ataupun dikapalkan melalui Pelabuhan Udara Ngurah Rai di Denpasar atau diolah di pusat-pusat pengolahan regional di General Santos di Mindanao ataupun di Thailand. Tanah pertanian yang subur di KTI masih ditanami oleh komoditi tradisional yang semakin kurang diminati oleh pasar sehingga menghasilkan nilai tambah yang semakin rendah. Cengkeh dan rempah-rempah lainnya merupakan magnet yang

3 menarik orang Barat ke Timur pada abad 18 dan 19. Namun, komoditi itu bukan lagi barang yang eksotis di pasar dunia sekarang ini sehingga menghasilkan nilai tambah yang rendah. Untuk dapat meningkatkan kemakmuran ekonomi rakyat, lahan yang subur itu harus dapat ditanami oleh komoditi pertanian yang menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi. Nilai tambah yang lebih tinggi itu sekaligus untuk mengatasi mahalnya biaya transportasi dari KTI ke pasar nasional maupun pasar regional. Asia Pasifik sekaligus merupakan sumber wisatawan yang selama ini menikmati tamasya laut di Thailand, Vietnam, Bali, Australia Hawaii serta Pasifik Selatan. Pengalaman Thailand dan Bali menunjukkan bahwa industri pariwisata dapat digunakan sebagai leading sector pembangunan ekonomi untuk menjadi motor penggerak pembangunan sektor-sektor perekonomian lainnya. Kedatangan turis meningkatkan permintaan akan produk industri yang berkaitan dengan parawisata, seperti tempat penginapan, rumah makan, bar maupun industri cenderamata. Wisatawan asing itu sekaligus memberikan alih teknologi bagi pengusaha lokal mengenai resep makanan, cara mencampur minuman, masalah standar mutu serta kesehatan dan kebersihan maupun pengelolaan industri turisme itu. Resep makanan dan minuman di Warung Made di Denpasar merupakan gabungan resep Barat dan Bali karena “sang isteri” merupakan Putri Bali asli yang menikah dengan suami asal Negeri Belanda. Selain berlibur, turis asing juga membeli produk-produk Indonesia melalui Bali. Akibatnya, dewasa ini, Denpasar telah berkembang sebagai pusat produksi dan perdagangan hasil laut, produk tekstil, kerajinan dan meubel. Wisatawan asing itu sekaligus membawa teknologi di luar industri turisme dan menularkannya pada warga setempat. Pembangunan KTI memang memerlukan modal. Tabungan regional KTI memang tidak besar karena besarnya transfer balas jasa modal, tenaga kerja dan keuntungan modal asing yang keluar dari KTI. Bahkan, modal milik sendiri pun banyak yang mengalir dari KTI, setidaknya ke Pulau Jawa. Untuk menarik pemasukan modal yang diperlukan bagi pembangunan KTI, bukan tax holiday yang diperlukan dan tidak pula dengan menekan tingkat upah tenaga kerja serendah mungkin. Singapura dan Hong Kong yang memiliki tingkat upah tenaga kerja dan biaya hidup yang tinggi terus menerus dapat menarik pemasukan modal (smart capital) dari manca negara. Mengikuti von Thunen, seorang ahli ekonomi klasik terkemuka, kebijakan yang dilakukan oleh kedua negara itu untuk menarik modal adalah dengan

4 memperbaiki infrastruktur perekonomiannya, baik berupa perangkat keras (hard infrastructure) maupun perangkat lunak (soft infrastructure). Hard infrastructure adalah berupa jalan raya, irigasi maupun pelabuhan udara serta laut. Soft infrastructure terdiri dari kesehatan, keterampilan dan etos kerja tenaga kerja, stabilitas politik dan keamanan, ketertiban dan kepastian hukum serta perlindungan terhadap hak milik individu. Tanpa soft instrastructure, sumber daya alam Indonesia yang kaya tidak dapat kita eksploitir untuk mengkingkatkan kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan Rakyat kita sendiri.Karena kekurangan soft infrastructure itu, hasil laut di Maluku lebih banyak dinikmati oleh negara lain yang mengirimkan kapal penangkap ikannya, secara legal maupun illegal, ke provinsi ini. Minyak dan gas bumi Indonesia, seperti di Aceh, Riau dan Kaltim, adalah ditambang oleh perusahaan asing. Karena tidak memiliki software, perusahaan nasional yang menambang gas di Sidoardjo justru membawa malapetaka bagi penduduk di daerah itu dan melumpuhkan ekonomi Jawa Timur bagian Selatan. Gunung copper serta emas di Papua adalah ditambang oleh Freeport, perusahaan Amerika Serikat.

3. Kunci sukses pembangunan Pembangunan ekonomi memerlukan stabilitas politik dan keamanan. Pembangunan ekonomi juga memerlukan perubahan perilaku masyarakat serta pembangunan kelembagaan. 3.1. Perubahan perilaku masyarakat Sebagaimana dengan janji Tuhan, sukses tidaknya kita melakukan pembangunan adalah tergantung kepada perilkaku kita sendiri. Baik krisis perekonomian yang terjadi pada tahun 1997-1998 maupun konflik horisontal di berbagai daerah (Aceh, Kalimantan, Poso, Ambon dan Papua) adalah terutama karena sikap dan perilaku kita sendiri. Krisis ekonomi terjadi karena perilaku kita sangat berbeda dengan “10 Perintah Tuhan” yang diterima oleh Nabi Musa di Bukit Sinai di masa lalu dalam perjalanan pengungsian umatnya dari kejaran Fir’aun menuju Israel/ Palestina sekarang ini. Walaupun Sepuluh Perintah Tuhan itu yang dikaji dan di hafal oleh pemeluk Agama Islam dan Kristiani dalam Majelis Ta’lim Umat dan Persekutuan Doa, dalam realita, ternyata bahwa perilaku kita sehari-hari sangat berbeda dengan apa yang kita kaji dan hafal itu. Yang melakukan KKN-Korupsi, Kolusi dan Nepotisme adalah Pimpinan dan Rakyat Indonesia sendiri. Sama dengan di daerah

5 lain, konflik horizontal di Maluku menggambarkan bahwa kita sendiri yang merusak dan membakar apa yang telah kita bangun di masa lalu dengan susah payah: rumah tinggal, perkantoran, badan usaha maupun rumah peribadatan hingga membunuh sesama saudara sekandung. Oleh karena itu, untuk suksesnya pembangunan masyarakat kita sendiri, perilaku kita harus dirubah sesuai dengan ajaran agama kita itu. Perilaku yang baik itu akan menghasilkan tata kelola atau good governance yang baik, apakah pada lembaga pemerintahan maupun badan usaha. Pada gilirannya, good governance yang baik itu akan memungkinkan badan usaha memasuki persaingan pasar regional dan global serta memungkinkan bagi Pemda untuk meminjam dari luar negeri guna membelanjai pembangunan di daerahnya.

3.2. Pembangunan kelembagaan Ada dua jenis lembaga pembangunan yang perlu dibangun. Pertama, lembaga yang mampu menganalisis masalah dan memahami potensi daerah serta menyusun kebijakan yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut dan mengekspolitasi potensi daerah bagi peningkatan kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan rakyatnya. Lembaga yang kedua adalah yang mampu menjalankan kebijakan pembangunan yang tepat itu. 3.2.1 Lembaga penyusun kebijakan pembangunan Otonomi daerah telah melimpahkan begitu besar kewenangan dari Pemerintah Pusat langsung kepada Pemerintah Kabupaten dan Kota. Kewenangan yang dilimpahkan kepada daerah termasuk pendidikan dasar dan menengah, kesehatan serta infrastruktur. Di lain pihak, Pemda belum memiliki institusi atau lembagta yang kuat menerima limpahan kewenangan itu. Berbeda dengan Pemda di RRC, Pemda di Indonesia juga belum mampu membuat kebijakan bagaimana menarik pemasukan investasi swasta asing dan nasional untuk mengeksploitir potensi daerah itu, menciptakan lapangan kerja serta meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat itu. Sebaliknya, karena alasan untuk meningkatkan penerimaan asli daerah, Pemda di Indonesia itu justru berlomba menciptakan distorsi yang memperburuk iklim usaha dan investasi di daerah. Akibatnya perekonomian nasional Indonesia menjadi tidak efisien dan high cost sehingga tidak dapat bersaing di pasar dunia.

6 Dalam penyusunan kebijakan itu, perlu diingat bahwa Indonesia tidak lagi percaya pada perencanaan sentral yang kaku (rigid), mengurangi campur tangan pemerintah dalam pengaturan perekonomian dan semakin banyak menggunakan mekanisme pasar. Perekonomian yang semakin terintegrasi dengan pasar global memberikan petunjuk bahwa pasar barang dan jasa, tenaga kerja serta pasar uang kita telah semakin berintegrasi dengan pasar dunia. Pengalaman tahun 1997-1998 menunjukkan bahwa globalisasi perekonomian bukan saja memberikan peluang positif tapi juga sekaligus dampak negatif yang sangat dahsyat. Krisis ekonomi pada waktu itu telah menyebabkan penurunan tingkat laju pertumbuhan ekonomi tahun 1998 menjadi minus hampir 14%, inflasi yang sangat tinggi, nilai tukar Rupiah merosot hampir tujuh kali dan biaya rekapitalisasi perbankan dan nasabahnya mencapai 50% dari PDB Indonesia tahun 1998.

3.2.2 Kemampuan melakukan implementasi kebijakan Sukses tidaknya pembangunan sangat tergantung kepada implementasi dari strategi maupun instrumen kebijakan yang telah ditetapkan. Untuk dapat menyusun strategi dan kebijakan pembangunan serta mengimplementasikannya, diperlukan tenaga-tenaga professional yang handal. Dalam kaitan ini, perasaan primordialisme yang sempit untuk merekrut tenaga putra daerah, suku maupun agama merupakan kebijakan yang salah. Menurut Deng Xio Ping, yang diperlukan adalah ”kucing yang dapat menangkap tikus dan bukan warna tertentu dari bulunya”.

4. Peranan Universitas Pattimura Unpatty merupakan bagian dari soft infrastructure atau perangkat lunak yang disebut oleh von Thunen di atas. Sebagai Universitas yang menyandang nama Pahlawan Nasional Pattimura, kiranya Unpatty dapat memberikan sumbangan bagi pembangunan Provinsi Maluku dan KTI dalam Tri Dharmanya. Pertama, sebagai pusat pendidikan sumber daya manusia (SDM) yang diperlukan bagi pembangunan Provinsi ini, KTI maupun Indonesia. Tanpa adanya SDM yang berkualitas, daerah ini tidak akan maju dan investor tidak akan tertarik melakukan investasi di Provinsi Maluku dan KTI. Universitas Pattimura harus dapat menemukan jati dirinya dan menetapkan bidang yang menjadi unggulannya dari Universitas lain yang ada di Indonesia dan, bahkan, dunia. Dalam kaitan ini Unpatty dapat menjadikan studi Kawasan Indonesia

7 Timur dan Asia Pasifik sebagai objek unggulan studi serta penelitiannya. Studi kewilayahan itu dapat menyangkut berbagai bidang politik, sosial-budaya maupun ekonomi ataukah yang berkaitan dengan alam serta faunanya yang unik. Dari unggulan seperti itu, Univeritas Pattimura dapat membina jaringan dengan Universitas serta pusat studi serupa (APEC Centers) di kawasan Asia-Pasifik maupun di kawasan Samudera Pasifik. Jaringan antar Universitas dan Pusat Studi dapat saling memperkaya informasi, saling tukar menukar pengajar maupun peneliti serta mahasiswa. Dalam bidang pengabdian masyarakat Unpatty dapat diarahkan pada pembangunan kelembagaan daerah, baik dalam penguatan policy formulating body, pembuat strategi dan kebijakan pembangunan, maupun dalam pelaksanaannya. Unpatty dapat memberikan jasanya kepada Pemda maupun dunia usaha setempat. Dalam bidang administrasi keuangan, Unpatty dapat membantu Pemda untuk membangunan sistem administrasi serta akuntansi Keuangan Provinsi, Kabupaten dan Kota maupun BUMD, termasuk BPD Maluku, sebagaimana diharapkan oleh ketiga UU tentang keuangan negara tahun 2003-2004. Unpatty sekaligus dapat mendidik tenaga-tenaga di Biro Keuangan Pemda dan Bawasda maupun BUMD tentang dasar- dasar ilmu akuntansi maupun hukum keuangan negara agar dapat menjalankan ketiga Undang-Undang tentang Keuangan Negara tersebut. Sebagaimana telah disebut di muka, peluang untuk membangun daerah telah semakin terbuka setelah Indonesia melakukan reformasi dalam berbagai aspek kehidupan sosial. Maluku dapat dijadikan sebagai pusat rekreasi laut maupun pusat agribisnis serta perikanan laut guna melayani pasar Asia Timur yang sangat besar.

8 Strategi Pembelanjaan Pembangunan Ekonomi dalam Era Ketidakseimbangan Global

1. Pengantar Pembangunan kembali perekonomian Indonesia dari krisis tahun 1997-1998 justru menuntut kita untuk semakin ikut dalam proses globalisasi, yakni, semakin mengaitkan perekonomian Indonesia dengan dunia luar. Melalui pengaitan pasar barang dan jasa, pasar finansil dan pasar tenaga kerja dengan pasar yang sama di luar negeri, efisiensi perekonomian nasional dan ekspor akan dapat kita tingkatkan, keperluan pembelanjaan pembangunan nasional akan dapat kita mobilisasi dan penciptaan lapangan kerja akan dapat kita perluas. Keperluan untuk mengintegrasikan ekonomi nasional dengan ekonomi global semakin meningkat karena adanya ketidakseimbangan fiskal atau fiscal imbalances yang kita alami sejak krisis ekonomi dan perbankan tahun 1997-1998. Ketidakseimbangan fiskal itu membatasi kemampuan negara untuk membelanjai pembangunan nasional. Sementara itu, kemampuan industri perbankan nasional juga masih sangat terbatas untuk pemberian kredit bagi pembelanjaan dunia usaha di dalam negeri karena belum tuntasnya restrukturalisasinya.

Agar ekonomi Indonesia mampu memanfatkan globalisasi, diperlukan adanya perbaikan institusional serta perubahan kebijaksanaan mikro maupun makro ekonomi. Kebijaksanaan mikro terdiri dari tiga aspek, yakni penguatan organisasi dunia usaha nasional, peningkatan efektifitas dan efisiensi pasar dan penyehatan persaingan usaha. Dalam hal ini menonjol upaya penegakan hukum, peningkatan transparansi serta akuntabilitas kebijakan publik maupun pengikisan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) yang merebak pada masa Pemerintahan Orde Baru. Sistem perijinan usaha yang semakin rumit dan pungutan yang semakin meningkat setelah otonomi daerah dan serikat pekerja yang semakin militan dalam era reformasi perlu dikoreksi agar dapat merangsang penanaman modal dan penciptaan lapangan kerja baru. Sementara itu, keterbatasan infrastruktur perekonomian, seperti listrik dan angkutan, perlu dicarikan pemecahannya. Pengelolaan ekonomi makro meliputi pengendalian tingkat laju inflasi serta kurs devisa guna memelihara kepastian berusaha, meningkatkan

1 investasi dan ekspor agar dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta penerimaan negara. Kebijakan ekonomi mikro dan makro itu sekaligus merubah strategi pembelanjaan pembangunan nasional. Perubahan pertama adalah untuk semakin merangsang pemasukan modal swasta asing karena terbatasnya kemampuan pemerintah maupun dunia usaha nasional dalam kegiatan pembangunan. Perubahan yang kedua adalah bahwa, mencontoh RRC dan Malaysia, merubah struktur modal asing yang masuk tersebut. Berbeda dengan RRC dan Malaysia yang lebih menjukai penanaman modal langsung swasta asing, sebelum krisis Indonesia lebih suka meminjam modal jangka pendek dari luar negeri untuk membelanjai investasi jangka panjang. Sebagaimana akan dibahas kemudian, ketergantungan akan modal jangka pendek telah menimbulkan dua bentuk ketidak serasian (mismatches) yang pada gilirannya merupakan salah satu penyebab krisis ekonomi tahun 1997-1998. Untuk selanjutnya makalah ini dibagi dalam lima bagian. Bagian kedua menjelaskan secara ringkas kaitan antara krisis ekonomi tahun 1997 dengan globalisasi. Bagian ketiga dan keempat, masing-masing, membahas masalah ketidakseimbangan fiskal dan kondisi industri perbankan kita yang masih sulit, yang membatasi peranan negara dan pembiayaan pembangunan nasional. Bagian kelima membahas masalah ketidakseimbangan antara tabungan nasional dan investasi dunia (global imbalances) dan dampaknya pada perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, pelemahan nilai tukar US dollar serta kenaikan tingkat suku bunga internasional. Bagian keenam membahas pilihan kebijakan yang tersedia bagi Indonesia dalam menentukan strategi pembelanjaan pembangunan ekonomi masa depan.

2. Krisis ekonomi tahun 1997-1998 dan globalisasi Krisis ekonomi Indonesia tahun 1997-1998 merupakan contoh dari dampak negatif globalisasi finansial yang sangat dahsyat bagi perekonomian. Selain lebih parah dan lebih mahal daripada di negara-negara lain, krisis ekonomi dan perbankan yang terjadi di Indonesia belum juga dapat dipulihkan setelah delapan tahun berlalu. Diukur dari berbagai segi, krisis ekonomi dan perbankan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997-1998 itu merupakan salah satu yang terparah dalam sejarah hidup manusia. Pemerintah telah mengeluarkan surat utang senilai Rp650,7 triliun atau setara dengan separuh dari nilai produk domestik bruto kita pada tahun 1988-1999 untuk menambah modal bank nasional dan mengambil alih kerugiannya akibat dari

2 krisis. Akibat dari krisis itu, tingkat laju ekonomi pertumbuhan Indonesia telah menurun dengan tajam, lebih dari minus 13%, tingkat laju inflasi dan tingkat suku bunga meningkat hingga di atas 70% sedangkan nilai tukar Rupiah telah merosot secara drastis, sekitar 80% pada tahun 1998 (Tabel 1). Sama dengan di negara-negara lain, krisis ekonomi tahun 1997-1998 terjadi karena besarnya pemasukan modal jangka pendek pada periode 1990-1996 sebelum terjadinya krisis. Pemasukan besar-besaran modal swasta jangka pendek itu terjadi akibat dari adanya kebijakan pemerintah untuk melakukan deregulasi perekonomian dan perbankan, liberalisasi perdagangan luar negeri dan privatisasi. Gabungan antara rangkaian kebijakan itu dengan adanya kemajuan pesat dalam teknologi informasi, pengolahan data maupun telekomunikasi telah memungkinkan terjadinya integrasi perekonomian perekonomian nasional dengan perekonomian dunia. Liberalisasi perdagangan itu semakin menggantikan kebijakan nontarif dan larangan impor dengan kebijakan tarif. Sementara itu, tingkat perlindungan tarif tersebut menjadi semakin dikurangi. Privatisasi semakin mengurangi kepemilikan negara dalam badan usaha maupun kegiatannya dalam melaksanakan sendiri kegiatan ekonomi. Pemilikan maupun pelaksanaan kegiatan ekonomi itu semakin dialihkan oleh negara kepada sektor swasta, termasuk menjual saham BUMN kepada swasta. Deregulasi, liberalisasi dan privatisasi telah memungkinkan terjadinya peningkatan perdagangan barang dan jasa, lalu lintas modal maupun migrasi penduduk antar negara sehingga semakin meintegrasikan pasar barang, pasar uang maupun pasar tenaga kerja dunia. Migrasi penduduk untuk bekerja di luar negeri telah mengurangi tekanan pengangguran di dalam negeri. Secara teoritis, di atas kertas, perdagangan internasional yang semakin meningkat akan mendorong terjadinya peningkatan spesialisasi atau pembagian tenaga kerja dan penurunan ongkos produksi. Pada gilirannya, globalisasi itu akan meningkatkan kegiatan ekonomi dunia maupun standar hidup dan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Kaitan antara tingkat laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat serta penurunan kemiskinan absolut tercermin dari pengalaman RRC dan India dewasa ini maupun pengalaman Indonesia sendiri sebelum terjadinya krisis tahun 1997.

3 TABEL 1 INDIKATOR EKONOMI MAKRO, 1997-2004

Indicators Annual Average 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1980-89 1990-97 Real GDP, 1993 constant prices Total GDP (annual growth) 6.6 7.6 4.7 -13.1 0.8 4.9 3.5 3.7 4.1 5.13 Expenditure components (annual growth) Consumption 6.3 9.3 7.0 -7.1 4.3 2.0 3.9 4.7 4.6 4.6 Fixed Gross Capital Formation 8.2 10.3 8.6 -33.0 -18.2 16.7 6.5 0.2 1.4 15.7 Export Goods and Services 2.7 8.4 7.8 11.2 -31.8 26.5 2.9 -0.6 4.0 8.5 Import Goods and Services 4.6 16.3 14.7 -5.3 -40.7 25.9 8.2 -5.0 2.0 24.9 Production components (annual growth) Agriculture 4.1 2.9 1.0 -1.3 2.2 1.9 1.7 2.0 2.5 4.1 Industry 12.6 10.5 5.3 -11.4 3.9 6.0 3.1 3.4 3.5 6.2 Services 4.7 3.5 3.6 -3.8 1.9 2.3 3.1 2.1 3.4 4.9 Expenditure components (as % of GDP) Consumption 66.6 67.3 71.3 76.2 78.8 76.7 77.0 77.7 78.1 67.9 Fixed Gross Capital Formation 24.5 29.1 32.3 24.9 20.2 22.5 23.1 22.3 21.8 21.7 Export Goods and Services 26.8 27.5 28.0 35.8 24.2 29.2 29.0 27.9 27.8 40.0 Import Goods and Services 17.4 26.4 32.3 35.2 20.7 24.9 26.0 23.8 23.3 32.6 Production components (as % of GDP) Agriculture 24.0 17.4 14.9 16.9 17.1 16.6 16.3 16.1 15.8 15.2 Industry 16.1 22.8 24.8 25.3 26.1 26.4 26.3 26.2 26.1 28.3 Services 12.3 9.9 8.8 9.7 9.8 9.6 9.5 9.4 9.3 9.1 Inflation Rate (y.o.y %) 8.2 8.5 11.6 77.63 2.01 9.35 12.6 10.03 5.06 6.40 Average Exchange Rate (domestic curr/US$) 1,197 2,205 4,650 8,025 7,100 9,595 10,400 8,940 8,465 9,290 REER Index 2) 109.02 103.06 61.78 59.73 66.46 56.58 73.52 86.05 88.46 91.19 External Data Non Oil Gas Export (fob, % annual growth) 18.8 15.1 17.2 -3.6 -4.6 22.8 -11.0 3.4 3.7 13.46 Non Oil Gas Import (cif, % annual growth) 3.2 13.3 4.0 -30.2 -9.8 27.9 -15.5 -0.8 8.6 24.37 Current Account/GDP -2.5 -2.6 -2.3 4 4.1 5.3 4.7 4.5 3.6 n.a Capital Account/GDP -0.2 -8.2 -4.2 -5.2 -5.2 -1.0 -1.6 n.a Net Private Capital Flows (billions US$) 0.625 5.077 -0.618 -12.722 -9.773 -9.513 -7.518 -1.603 -3.672 n.a External debt (billion US$)) 45.1 87.7 136.09 150.89 148.09 141.69 133.07 131.34 135.40 137.02 International Reserves (million US$)) 21,418 23,762 24,352 29,394 28,016 32,037 36,296 36,320 Monetary Aggregates (annual growth) Base Money 14.6 21.6 34.26 60.89 35.50 23.40 1.74 8.18 20.42 19.81 M1 15.8 18.7 22.20 29.20 23.20 30.10 9.59 7.99 16.60 13.41 M2 25.5 25.5 23.20 62.30 11.90 15.60 12.99 4.72 8.12 8.14 Interest Rates (%) 1-month central bank rate 15.3 14.3 20 38.44 12.51 14.53 17.62 12.99 8.31 7.43 Interbankovernight rate 12.2 14.3 40.67 39.71 12.06 11.41 15.66 8.89 4.65 3.76 1-month deposit rate 16.3 17.3 25.39 41.42 12.24 11.96 16.07 12.81 6.62 6.43 working capital credit rate 19.5 25.4 34.75 20.68 17.65 19.19 18.25 15.07 13.41 Investment credit rate 16.2 18.94 26.23 17.8 16.86 17.90 17.82 15.68 14.05 1) preliminary and projected figures

Kenyataan yang terjadi di Indonesia menggambarkan bahwa dampak globalilasi berbeda dengan prediksi teori maupun kejadian di negara lain. Globalisasi menurut teori maupun pengalaman negara lain akan meningkatkan kemakmuran masyarakat sedangkan di Indonesia justru mendatangkan kemelaratan. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan yang mendasar antara deregulasi yang dilakukan di Indonesia selama masa rejim Orde Baru dengan apa yang dimaksud oleh teori itu. Berbeda dengan teori, deregulasi yang dilakukan di Indonesia selama rezim Orde Baru bukan ditujukan untuk peningkatan efisiensi perekonomian nasional, tapi justru digunakan oleh penguasa sebagai instrumen KKN maupun pencurian asset negara. Walaupun sudah dilakukan deregulasi, peranan langsung pemerintah dalam menentukan kebijakan maupun alokasi sumber-sumber ekonomi masih tetap besar. Campur tangan Pemerintah dalam alokasi kredit bank-bank negara, misalnya, masih tetap dominan walaupun sudah dilakukan deregulasi dan saham bank yang bersangkutan (seperti Bank BNI1946) sudah dijual di bursa efek-efek jauh sebelum terjadinya krisis ekonomi tahun 1997. Berbeda dengan saran teori, bank-bank negara, serta BUMN, di

4 Indonesia belum sepenuhnya diperlakukan sebagai badan usaha komersil, seperti halnya dengan BUMN di Singapura.

Penggunaan bank-bank negara sebagai instrumen KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) dan pencurian aset negara oleh penguasa Orde Baru tercermin dari daftar penerima kredit dari bank-bank tersebut yang kemudian macet dan dialihkan kepada BPPN. Berbeda dengan ajaran indoktrinasi P-4 yang mendengungkan pemerataan, daftar nama-nama penerima kredit itu menunjukkan bahwa ternyata bahwa hanya sekelompok kecil orang saja yang menerima porsi terbesar kredit bersubsidi dari bank-bank negara. Kelompok orang-orang penerima kredit yang kemudian macet itu sangat erat kaitannya dengan penguasa politik Orde Baru. Sementara itu, liberalisasi maupun privatisasi di Indonesia, selama masa Orde Baru, hanya mengalihkan hak monopoli dari sektor negara kepada sekelompok individu tertentu yang juga dekat kaitannya dengan penguasa politik. Contohnya adalah monopoli proyek-proyek infrastruktur, cengkeh, angkutan LNG Pertamina, maupun perakitan mobil Korea Selatan. Penerima hak monopoli pengusahaan proyek-proyek infrastruktur tersebut sekaligus menikmati pinjaman luar negeri yang risikonya diambil alih oleh negara melalui pinjaman luar negeri yang diatur pajunya oleh KTLN masa lalu. Bank-bank swasta nasional sebelum terjadinya krisis telah digunakan oleh pemiliknya untuk memobilisasi dana masyarakat bagi pembelanjaan kelompok perusahaannya saja dengan melanggar batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Berbagai kasus perbankan menggambarkan bahwa, pada umumnya, pemilik bank swasta pada masa krisis telah menggunakan bank miliknya untuk merongrong fasilitas kredit eskpor dari BI maupun BLBI untuk memperkaya diri sendiri dengan melarikan dana ke luar negeri.

Gabungan dua jenis krisis (twin crises), yakni krisi ekonomi dan krisis perbankan, terjadi karena bank dan perusahaan dalam negeri meminjam kredit jangka pendek dalam bentuk valuta asing yang digunakan untuk membelanjai proyek jangka panjang yang memberikan pendapatan dalam satuan mata uang nasional. Dengan demikian terjadilah dua bentuk ketidaksesuaian atau ketidakserasian (mismatches) yang sangat rawan terhadap risiko perubahan kurs devisa, tingkat laju inflasi maupun tingkat suku bunga. Bentuk ketidakserasian pertama adalah ketidakserasian antara jangka waktu kredit jangka pendek dengan masa pengembaliannya dari proyek jangka panjang. Ketidakserasian yang kedua adalah perbedaan satuan mata uang kredit

5 dengan satuan mata uang penerimaan pendapatan proyek yang dibiayainya. Sebelum krisis 1997, pemasukan modal jangka pendek dari luar negeri tertarik pada tingkat suku bunga dan balas jasa investasi yang lebih tinggi di dalam negeri. Sementara itu risiko perubahan kurs dijamin secara implisit oleh sistem kurs devisa tetap yang digunakan oleh bank sentral. Penarikan kredit kembali oleh kreditur luar negeri menimbulkan tekanan pada pelemahan kurs mata uang nasional karena bank maupun dunia usaha memperebutkan pot devisa yang sama untuk melunasi hutang luar negeri dalam bentuk valuta asing.

3. Defisit anggaran negara yang semakin besar Defisit anggaran negara yang semakin besar sejak krisis 1997-1998 tidak akan dapat berlangsung terus menerus (sustainable) dan akan semakin memberatkan perekonomian nasional. Defisit anggaran semakin membengkak, antara lain, karena: (1) besarnya kupon obligasi pemerintah sejak krisis 1997 telah senantiasa lebih tinggi daripada nilai nominal pertumbuhan ekonomi dan (2) lebih tingginya pengeluaran negara daripada penerimaannya1. Upaya untuk meniadakan defisit anggaran negara tersebut tidak cukup hanya dengan sekedar meningkatkan kembali tingkat pertumbuhan ekonomi saja. Selain meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemecahan defisit anggaran negara juga memerlukan tindakan kebijakan yang mendasar pada sisi penerimaan maupun pada sisi pengeluaran anggaran. Kebijakan mendasar untuk meningkatkan penerimaan, antara lain, adalah berupa reformasi sistem perpajakan untuk dapat meningkatkan tax ratio yang masih rendah dewasa ini, sebesar 13-14% dari PDB. Reformasi sistem perpajakan perlu di fokuskan pada perbaikan administrasinya yang masih lemah. Penerimaan negara bukan pajak dapat ditingkatkan melalui berbagai kebijakan. Pertama menjual hak milik atau kekayaan negara secara lelang atau pada tingkat harga pasar. Melalui perannya sebagai regulator pemerintah dapat menjual ijin usaha yang diaturnya

1 Defisit anggaran negara, yang merupakan perbedaan antara pengeluaran dan penerimaannya, dapat dibelanjai dengan menambah hutang negara dan/atau menjual aktiva atau asset negara termasuk penggunaan dananya yang ada di perbankan. Untuk mencegah terjadinya inflasi Undang-Undang Bank Indonesia yang berlaku dewasa ini melarang bank tersebut mencetak uang untuk membelanjai defisit anggaran negara. Oleh karenanya, dinamika perubahan hutang pemerintah (b▪) dapat ditulis sebagai: b▪ = (g – t) + (r – x)b – a, di mana g merupakan rasio pengeluaran negara (di luar kewajiban pembayaran hutang) terhadap PDB; t merupakan rasio penerimaan negara terhadap PDB; x adalah rasio pertumbuhan ekonomi (PDB) dan a merupakan rasio penerimaan negara dari penjualan asetnya (termasuk penggunaan dananya di perbankan) terhadap PDB (Nasution, 2004).

6 seperti: operator telephone, listrik, serta infrastruktur lainnya, perbankan dan asuransi. Kedua, menjual kekayaannya seperti privatisasi BUMN maupun penjualan tanah negara pada penawar tertinggi. Ketiga, meningkatkan penerimaan dari konsesi pengusahaan hutan, perikanan, pertambangan dan penggalian. Keempat, rasionalisasi tarif bagi jasa-jasa pemerintahan maupun pungutan negara atas merit goods, barang dan jasa yang jelas identifikasi individu yang menikmatinya. Sementara itu, BUMN perlu di komersialkan agar dapat menyumbang balas jasa keuntungan kepada kas negara. (a) Mahalnya biaya rekapitalisasi perbankan Lubang terbesar di sisi pengeluaran negara sejak krisis tahun 1997 adalah industri perbankan dan badan usaha nasional. Dalam kelompok industri perbankan nasional, termasuk NV Indover, bank komersil milik Bank Indonesia yang berkedudukan di Negeri Belanda. Pengeluaran negara yang meningkat secara drastis setelah krisis tahun 1997-1998 adalah terutama untuk menambah modal bank-bank nasional yang telah mengalami erosi karena krisis. Melalui program blanket guarantee, praktis, pemerintah telah menasionalisasi hutang bank-bank nasional yang bermasalah maupun hutang nasabahnya, baik berupa hutang dalam negeri maupun hutang luar negeri. Sebagaimana telah disebut di atas, untuk keperluan rekapitalisasi bank nasional dan pengambil alihan hutangnya pemerintah telah menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) dalam jumlah besar pada tahun 1998-1999. Hanya Indover yang mendapat tambahan modal berupa berupa uang tunai dalam bentuk valuta asing karena Bank Indonesia menggunakan sebagian dari cadangan luar negerinya sebagai block atau escrow account atau pledged deposits pada bank itu untuk menjamin kredit-nya yang bermasalah yang diberikan kepada nasabah di Indonesia dengan nuansa KKN. Oleh karena itu, prioritas utama kebijakan pada sisi pengeluaran negara untuk mengatasi defisit APBN adalah untuk penyehatkan industri perbankan dan badan usaha nasional atau menutup serta menjualnya agar tidak terus menerus menjadi beban bagi anggaran negara. Peningkatan beban hutang negara juga meningkat karena perubahan variable ekonomi makro: kurs devisa, tingkat laju inflasi dan tingkat suku bunga maupun penurunan tingkat laju pertumbuhan ekonomi. Pemeliharaan stabilitas ekonomi makro karena hutang dalam negeri maupun hutang luar negeri pemerintah adalah sangat sensitip kepada ketiga variable ekonomi makro tersebut. Upaya pemeliharaan stabilitas perekonomian semakin perlu dilakukan karena mulai sejak pemerintahan

7 Presiden Habibie, sudah terjadi perubahan mendasar dalam pembelanjaan defisit anggaran negara. Rejim Orde Baru hanya membelanjai defisit dari pinjaman luar negeri, terutama dari sumber resmi bersyarat ringan dan berjangka panjang. Defisit anggaran yang dibelanjai dengan cara seperti itu yang disebut sebagai ”anggaran berimbang” selama rejim Orde Baru itu. Sebagaimana disebut di atas, mulai tahun 1998, Pemerintahan Presiden Habibie menjual obligasi (SUN) di pasar dalam negeri, baik untuk keperluan rekapitalisasi perbankan maupun pembelanjaan kredit program serta modal PT Permodalan Nasional Madani. Mulai saat itulah terjadilah crowding out di pasar keuangan dalam negeri yang semakin meningkatkan tingkat suku bunga. Crowding out itu terjadi karena adanya persaingan antara sektor negara dengan sektor swasta untuk memperoleh tabungan nasional yang semakin berkurang karena krisis. Pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri, mulai tahun 2004, menjual obligasi (SUN) di pasar keuangan internasional.

(b) Beban Pembayaran Hutang Beban ekonomi pelunasan hutang luar negeri adalah lebih berat daripada pelunasan hutang dalam negeri. Pemerintah perlu memupuk surplus anggaran primernya untuk dapat melunasi hutang dalam negeri. Untuk dapat melunasi hutang luar negeri, yang dinyatakan dalam satuan mata uang asing, Pemerintah juga perlu menggalakkan ekspor selain dari memupuk surplus anggaran primer tersebut. Pelunasan hutang luar negeri merupakan transfer sebagian daripada pendapatan nasional kepada kreditur asing sehingga mengurangi kemakmuran ekonomi masyarakat. Sebaliknya, pelunasan hutang pemerintah kepada warga negaranya sendiri hanya merupakan transfer dari sektor negara kepada rakyat sendiri tanpa mengurangi pendapatan nasional. Melalui kebijakan fiskal, rasio hutang pemerintah, terhadap PDB, telah dapat diturunkan dari tingkat 100% pada tahun 1998 menjadi 63% pada tahun 20042. Indikator kemampuan pembayaran luar negeri, berdasarkan DRS (debt service ratio) atau rasio kewajiban pembayaran hutang luar negeri terhadap nilai ekspor, telah menurun dari 57,9% (1998) menjadi 32,3% (2003). Namun demikian angka DSR ini masih jauh di atas ambang batas Bank Dunia sebesar 20%.

2 Angka ini sudah mendekati convergence criteria, sebesar maksiumum 60%, dalam Stability Pact peserta European Monetary Union (EMU) di Eropa Barat berdasarkan Perjanjian Maastrict tahun 1991.

8 Cara yang dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 1997 untuk menurunkan rasio stok hutangnya terhadap PDB adalah dengan mengorbankan pengeluaran nonhutang. Mata anggaran yang paling banyak korban adalah pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan maupun pemeliharaan serta pembangunan prasarana ekonomi. Padahal, ketiga jenis pengeluaran ini yang mengandung unsur pemerataan dan sekaligus menyumbang bagi pertumbuhan ekonomi. Mata anggaran untuk pemeliharaan keamanan nasional seperti konflik di Aceh, Kalimantan, Poso, Ambon dan Papua maupun untuk penanggulangan rangkaian pemboman oleh teroris di berbagai daerah tidak dapat ditunda. Sebelum dinaikkan pada bulan Oktober 2006 y.l., tekanan politik sangat besar untuk tidak mengurangi subsidi harga BBM. Sebagai rasio terhadap PDB, jumlah pembayaran bunga hutang dan pengeluaran subsidi pada tahun 2004, masing-masing, mencapai 3,1% dan 4,3%. Sebagai persentase terhadap total pengeluaran anggaran Negara, besarnya kedua mata anggaran itu adalah masing- masing sebesar 14,2% dan 19,7%. Sebagai perbandingan, dalam RAPBN 2005, alokasi untuk pengeluaran pendidikan hanya mencapai 9,7% terhadap seluruh pengeluaran negara, untuk sektor kesehatan sebesar 2,6% dan perl;indungan sosial sebesar 0,7%. Sebagai rasio terhadap PDB, pengeluaran anggaran negara untuk sektor kesehatan di Indonesia (sebesar 0,6%) jauh di bawah standar internasional, minimum sebesar 5%. Persetujuan damai dengan GAM pada bulan Agustus y.l. dan kenaikan harga BBM pada bulan Oktober y.l. telah mengurangi secara drastis pengeluaran negara untuk subsidi serta operasi militer. Diharapkan bahwa tambahan dana nonsubsidi dan nonmiliter itu dapat dialihkan untuk keperluan perbaikan pemeliharaan kesehatan masyarakat, pendidikan dasar dan perbaikan infrastruktur perekonomian yang sangat besar bermanfaatnya bagi peningkatan potensi ekonomi maupun bagi pemerataan pendapatan masyarakat. Sejak krisis tahun 1997, Indonesia sudah tiga kali mendapatkan keringanan penundaan jadwal pembayaran hutang luar negerinya melalui Paris Club, yakni pada tahun 2000, 2002 dan 2003. Paris Club merupakan forum untuk meminta keringanan pembayaran hutang luar negeri Pemerintah dari sumber resmi. Di lain pihak, pemerintah dapat mengurangi kewajiban pembayaran hutang dalam negerinya melalui inflasi seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Lama dahulu. Pada hakikatnya inflasi merupakan pajak regresip yang semakin menurunkan daya beli kekayaan yang ditanam dalam bentuk uang ataupun instrument finansil. Keringanan pembayaran

9 hutang hanya diberikan kepada negara yang bersedia mengikuti program IMF. Walaupun tidak lagi memperpanjang Program IMF yang berakhir tanggal 31 Desember 2003, Indonesia masih memperoleh penjadwalan pembayaran hutang luar negeri pada tahun 2005 karena musibah bencana alam tsunami akhir Desember 2004 di Aceh dan Nias. Cara lain untuk mengurangi beban hutang resmi pada pihak luar negeri adalah melalui pendekatan politik dengan negara kreditur pemberi pinjaman. Pendekatan politik ini hanya ampuh jika negara yang berhutang mempunyai arti penting dalam geopolitik negara kreditor, baik ditinjau secara ideologi, politik, militer, kultural, ekonomi, maupun sosial-budaya. Mesir dan Polandia memperoleh keringanan pembayaran hutang dari negara-negara kreditur Barat pada tahun 1991 dan Pakistan memperolehnya karena kerjasama dengan Amerika Serikat melawan teroris internasional termasuk di Afganistan. Mesir adalah negara penting di Timur Tengah dan menjadi perantara antara Israel dengan negara-negara Arab. Polandia yang tadinya negara komunis anggota Blok Timur berubah menjadi anggota MEE dan NATO serta mengirimkan tentaranya membantu Amerika Serikat di Iraq. Termasuk dalam kategori cara pengurangan beban hutang luar negeri seperti ini adalah debt swap. Dalam cara ini negara kreditur asing memberikan ijin pengalihan penggunaan kewajiban pembayaran hutang padanya untuk keperluan lain di dalam negeri kita sendiri. Keperluan lain itu biasanya adalah pengeluaran yang merupakan public goods internasional, seperti penanggulangan masalah lingkungan, termasuk penghijauan kembali hutan kita yang sudah rusak karena kita tebang sendiri, masalah kesehatan yang dapat berjangkit ke luar negeri, seperti flu burung, kemiskinan maupun pendidikan dasar. Indonesia juga sudah beberapa kali mengurangi pembayaran hutang luar negeri melalui fasilitas debt swap dari berbagai negara dengan jumlah yang sangat terbatas.

4. Kondisi keuangan industri perbankan nasional yang masih sulit Dilihat dari segi asset dan jaringan kantor cabangnya, industri perbankan merupakan inti dari industri keuangan nasional Indonesia. Kemampuan industri perbankan nasional untuk memberikan kredit bagi keperluan dunia usaha masih sangat terbatas pada saat ini. Walaupun indikator keuangannya sudah jauh lebih baik daripada pada masa krisis tahun 1997, perlu diingat bahwa injeksi modal yang diberikan oleh pemerintah pada tahun 1998-1999 adalah berupa SUN yang kurang

10 likuid karena pasarnya yang sangat terbatas. Dewasa ini, sekitar 30.6% dari portepel seluruh bank dan 34,6% dari portepel bank-bank negara berupa surat-surat berharga, terutama berupa SUN. Sebagian lainnya dari asset bank-bank itu diinvestasikan dalam bentuk SBI yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia ataupun dalam bentuk Fasbi (Fasilitas Bank Indonesia). Karena menurut aturan, bobot risiko surat hutang negara dan lembaga negara (SUN, SBI dan Fasbi) adalah sama dengan nol, maka porsi portepel perbankan yang sangat besar dalam bentuk ketiga kekayaan itu sekaligus meningkatkan rasio CAR mereka. LDR (Loan-to-deposit ratio) atau rasio kredit bank terhadap depositonya hanya mencapai sekitar 51% (Maret 2005). Artinya, sebagian besar dari kegiatan industri perbankan nasional hanya merupakan jual beli obligasi negara maupun SBI dan bukan memberikan kredit bagi keperluan dunia usaha. Dalam bahasa teknis, bank-bank seperti itu disebut sebagai narrow banks. Jika ditelusuri lebih lanjut, kredit bank adalah terutama diberikan untuk membelanjai konsumsi rumah tangga, utamanya pembelian sepeda motor atau kendaraan bermotor maupun rumah-toko (ruko). Kredit seperti ini sangat sensitif terhadap kenaikan tingkat suku bunga sehingga kenaikan tingkat suku bunga dapat meningkatkan kredit macet bank. Sebesar 37% dari portepel bank-bank negara dan 39% dari portepel 15 bank terkemuka adalah termasuk dalam kelompok aktiva yang mengandung timbangan risiko sebesar 100%. Kelompok aktiva berisiko tinggi seperti ini adalah terutama aktiva yang dijual kembali oleh BPPN kepada bank-bank tersebut. Berbagai aktiva itu ternyata belum direstrukturalisasi dengan baik sehingga belum dapat beroperasi kembali secara efisien. Sebagian dari restrukturalisasi yang dilakukan oleh BPPN hanya berupa rekayasa finansial dengan mengurangi pokok hutang atau beban bunganya (hair cut). Akibatnya aktiva seperti itu masih dikenakan provisi dan cadangan yang tinggi. Cadangan seperti itu tidak menghasilkan balas jasa apa-apa dan hanya menambah ongkos bagi bank karena tidak dapat diinvestasikan ataupun dipinjamkan. Besarnya portepel industri perbankan dalam bentuk SUN dan kelompok aset yang dikenakan provisi tinggi mengurangi kemampuan mereka memberikan kredit bagi dunia usaha. Kecenderungan kenaikan tingkat suku bunga akan menurunkan nilai aktiva bank dalam bentuk SUN seperti yang telah terjadi akhir-akhir ini. Pada gilirannya, penurunan harga SUN itu telah mengakibatkan perpindahan besar-besaran dana masyarakat dari reksadana (redemption reksadana) ke deposito atau ke valuta asing. Perobahan portepel masyarakat seperti ini telah menurunkan nilai aset perbankan telah semakin mengurangi nilai aset perbankan yang pada

11 gilirannya mengurangi kemampuan mereka untuk memberikan kredit. Sementara itu, perubahan portepel pada kekayaan luar negeri merupakan pelarian modal. Sebagaimana disebut dimuka, krisis ekonomi dan perbankan tahun 1997-1998 adalah dipicu oleh pinjaman jangka pendek yang meningkat tajam, antara lain oleh industri perbankan, untuk membelanjai ekspansi kreditnya di dalam negeri. Pinjaman jangka pendek dari luar negeri yang meningkat secara cepat sebelum krisis 1997 adalah juga berkaitan dengan deregulasi perbankan yang dilakukan pada tahun 1988. Kemudahan mendirikan bank telah meningkatkan jumlah bank swasta nasional menjadi hampir tiga kali lipat, dari 63 pada tahun 1988 menjadi 164 pada tahun 1996. Dalam periode yang sama, jumlah kantor cabang bank asing dan campuran meningkat dari 11 menjadi 41. Penghapusan sistem pagu memudahkan bank melakukan pinjaman dari luar negeri yang dipergunakan untuk melakukan ekspansi kredit di dalam negeri. Karena mengalami kesulitan keuangan setelah diterpa krisis, 15 bank dilikuidasi pada akhir tahun 1997 dan 52 bank dibekukan usahanya dan diambil alih oleh BPPN pada tahun 1998. Jumlah bank negara yang sebelum krisis ada enam (BRI, BBD, BDN, Eksim, BNI 1946 dan BTN) sekarang tinggal empat (Mandiri, BRI, BNI1946 dan BTN). Dari 132 bank yang masih beroperasi di Indonesia, sebagian terbesar dari pangsa pasar deposito dan kredit industri perbankan adalah dikuasai oleh kelompok lima bank negara, dua bank swasta lainnya (BCA dan Danamon) serta sepuluh kantor bank asing yang beroperasi di Indonesia. Sejak awal tahun 1998, dana nasabah pada bank-bank nasional dijamin penuh oleh pemerintah melalui UP3 (Unit Pelaksana Penjamin Simpanan) yang merupakan bagian dari BPPN. Setelah didirikannya LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) tanggal 22 September, lembaga itu mengambil alih fungsi UP3 dan besarnya jumlah deposito nasabah bank yang dijamin akan semakin dikurangi secara bertahap. Injeksi modal dari pemerintah telah meningkatkan CAR (capital adequacy ratio) bank-bank nasional menjadi positif dari yang tadinya negatif pada saat krisis. Pada bulan Maret 2005, rata-rata rasio CAR seluruh bank sudah cukup sehat sebesar 22% dan dengan gross NPL (nonperforming loans) sebesar 5,6% (Tabel 2). Sebelum berakhirnya masa operasi BPPN, seluruh bank yang dikuasainya sudah dijual kepada pemodal swasta dan mampu beroperasi normal setelah memenuhi kriteria keuangan minimum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Namun demikian, tingkat pengembalian (recovery rate) asset yang diambil alih oleh BPPN (termasuk bank)

12 sangat rendah, kurang dari 25%. Restrukturalisasi asset tersebut pun ternyata tidak tuntas, sebagaimana tercermin dari masih tingginya kredit bermasalah PT Bank Mandiri. Sementara itu, para konglomerat hitam maupun para pelaku pada saat krisis mendapatkan Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3) ataupun ijin menjalani ”cuti sakit” berkepanjangan di luar negeri dari aparat penegak hukum kita sendiri. Keadaan menjadi semakin bertambah berat karena skandal dalam industri perbankan masih terus-menerus terjadi seperti L/C fiktif, dengan nilai Rp1,3 triliun, pada bank BNI 1946 pada tahun 2003. Penyehatan industri perbankan nasional hendaknya dapat ditujukan untuk meningkatkan stabilitas sistem keuangan nasional karena, sebagaimana telah disebut dimuka, industri ini merupakan inti dari industri keuangan nasional kita. Upaya penyehatan industri perbankan tersebut sangat penting untuk mencapai dua sasaran sekaligus, yakni (i) mengurangi tekanan kepada APBN apakah melalui rekapitalisasi baru industri perbankan atau melalui LPS dan (ii) memungkinkan industri perbankan memberikan kredit bagi pembelanjaan dunia usaha nasional. Dalam rangka penyehatan industri perbankan nasional itu, konsep Arsitektur Perbankan Indonesia yang sudah disusun oleh Bank Indonesia perlu diwujudkan dengan indikator maupun dengan jadwal yang lebih singkat dari rencana semula pada tahun 2013, karena ancaman bahaya krisis bank-bank swasta skala kecil sudah semakin dekat. Dengan demikian, bank-bank pemerintah dan swasta nasional akan semakin dapat diperkuat dan jumlahnya dikurangi melalui penggabungan usaha atau penutupan. Pengawasan industri perbankan dan penerapan aturan prudensial merupakan bagian pokok dari upaya penyehatan industri perbankan nasional terutama menghadapi ketidak pastian perekonomian dunia yang akan diuraikan dalam bagian berikut. Modal bank perlu diperkuat sedangkan provisi serta cadangan perlu ditingkatkan guna menghadapi kemungkinan gejolak internasional yang akan melanda ekonomi nasional. Dalam kaitan ini, Pemerintah sebagai pemilik bank perlu mengambil tindakan tegas, jangan lagi memberikan toleransi maupun justru meneruskan praktik-praktik KKN Orde Baru, seperti yang tercermin pada kasus PT Bank Mandiri dan PTB Bank BNI 1946 belakangan ini. Bank-bank pemerintah itu perlu dikomersialisasikan agar dapat menyumbang berupa pembagian keuntungan kepada kas negara. Bankir yang memiliki reputasi buruk dan telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar di masa lalu hendaknya jangan lagi diberikan

13 kesempatan untuk menjadi pemegang saham pengendali maupun pengurus bank apalagi menjadi anggota Badan Supervisi Bank Indonesia.

TABEL 2. INDIKATOR KEUANGAN INDUSTRI PERBANKAN, 2003-2005

Indikator Utama Dec-2003 Mar-2004 Dec-2004 Mar-2005

Total Aset (T Rp) 1,196.2 1,150.0 1,272.3 1,280.6 Dana Pihak Ketiga (T Rp) 888.6 875.1 963.1 959.3 Kredit (T Rp)* 477.2 485.9 595.1 617.8 Aktiva Produktif (T Rp)** 1,072.4 1,080.3 1,146.8 1128.4 Pendapatan Bunga [Net 3.2 5.7 6.3 6.0 Interest Income] (T Rp) Rasio Dana thd Kredit [Loan to Deposit Ratio 43.2 43.7 50.0 51.3 (LDR)] (%) LDR Incremental (%)*** 126.7 156.7 158.2 156.8 Return on Assets (%) 2.5 2.7 3.5 3.4 Kredit Bermasalah [NonPerforming Loans] 8.2 7.8 5.75 5.6 Gross (%) NPLs net (%) 3.0 2.7 1.72 1.9 Rasio Kecukupan Modal [Capital Adequacy Ratio] 19.4 23.5 19.4 21.7 (%) Kredit / Aktiva Produktif 44.5 45.0 51.9 54.7 (%) Rasio biaya operasional thd Pendapatan operasional dl 88.8 91.6 76.7 81.2 setahun terakhir (BOPO) (%)

14 Sumber : Bank Indonesia, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan. 2005. Prospek dan Perkembangan Perbankan. Mei.

Catatan : *) termasuk kredit yang disalurkan oleh bank yang dananya berasal dari pihak lain; **) Komposisi aktiva produktif seluruh bank tahun 2000-2005 (dalam %) adalah sbb.: Des. 1999 Des. 2003 Des. 2005 Kredit 36.36 43.20 56.10 SBI 12.20 9.80 4.40 Surat-Surat Berharga 46.30 35.4 26.20 Aktiva antar bank 4.90 10.9 12.80 Penyertaan 0.30 0.6 0.50 ***) pertumbuhan kredit setahun dibagi dengan pertumbuhan DPK setahun.

5. Ketidakseimbangan antara Ttabungan dan investasi global Ketidakseimbangan antara tingkat tabungan nasional (S) dengan investasi (I) global diperkirakan akan melemahkan nilai tukar US dollar, meningkatkan tingkat suku bunga dan menurunkan tingkat laju pertumbuhan ekonomi dunia. Resesi ekonomi diperkirakan akan diawali di Amerika Serikat yang terus menerus mengalami defisit (I-S). Defisit pengeluaran investasi dengan tabungan nasional suatu negara adalah tercermin pada defisit neraca berjalan pada neraca pembayaran luar negerinya3. Menurut perkiraan, besarnya defisit neraca berjalan Amerika Serikat akan

3 Perbedaan antara tingkat investasi (I) dengan tabungan sektor swasta (S) dapat ditulis sebagai: (I-S) = (M-X) + (T-G), di mana M merupakan nilai impor barang dan jasa ditambah dengan neto balas jasa investasi di luar negeri maupun neto transfer dari luar negeri; X merupakan nilai eskpor; T adalah penerimaan negara dan G merupakan pengeluaran negara. (M – X) = CA menggambarkan defisit neraca berjalan (CA) pada neraca pembayaran luar negeri sedangkan (T – G) menggambarkan surplus atau tabungan sektor negara.

15 terus meningkat pada tingkat yang unsustainable, sebesar 7 persen dari PDB-nya pada tahun 2005. Penurunan kegiatan ekonomi di Amerika Serikat diperkirakan akan mulai terjadi pada industri perumahan (housing bubble) yang sensitif terhadap tingkat suku bunga. Krisis akan berlanjut kepada anggaran negara jika pemasukan modal asing tidak lagi mencukupi bagi keperluan untuk menutup defisitnya. Harapan dunia adalah agar resesi ekonomi negara besar itu terjadi secara perlahan (soft landing) dan bukan secara drastis (hard landing) karena kesulitan ekonomi negara tersebut akan besar dampaknya pada bagian dunia lainnya. Sementara itu, proses deflasi yang terjadi di berbagai negara (seperti Jepang dan RRC) selama beberapa tahun terakhir telah mulai berakhir. Dipicu oleh kenaikan harga minyak bumi dan harga beberapa komoditi lainnya, tingkat harga-harga dunia sudah mulai meningkat. Kenaikan tingkat laju inflasi itu diperkirakan akan terus berlangsung sehubungan dengan ekspansi kegiatan ekonomi dalam negeri berbagai negara. Pada gilirannya, peningkatan tingkat laju inflasi akan meningkatkan ekspektasi masyarakat akan tingkat laju inflasi, tingkat suku bunga dan erosi nilai tukar mata uang di masa datang. Barry Eichengreen (2005) membedakan empat pandangan yang merupakan penyebab ketidakseimbangan antara tabungan dan investasi ataupun necara berjalan global. Pandangan pertama melihat rendahnya tingkat tabungan nasional, utamanya defisit anggaran negara di Amerika Serikat. Tabungan sektor rumah tanggal yang masih positif di negara itu (2004: 1,2% terhadap PDB-nya) tidak dapat menutup defisit fiskal (2004: -4.3% thd PDB-nya). Defisit anggaran menjadi bertambah besar di negara tersebut karena, di satu pihak, lambatnya kenaikan penerimaan negara sehubungan dengan keringanan pajak yang dilakukan sejak masa pemerintahan Presiden Reagan yang berlanjut hingga Presiden Bush sekarang ini. Sementara itu, pengeluaran negara semakin meningkat terutama setelah perang di Afganistan dan Iraq maupun bencana alam berupa Angin Puyuh Katrina pada bulan September y.l. Defisit anggaran di Amerika Serikat dibelanjai dengan penjualan obligasi negaranya yang juga dibeli oleh pihak asing sehingga menyebabkan adanya pemasukan modal asing. Beban pembelanjaan defisit anggaran melalui penjualan obligasi negara semakin murah bagi pemerintah karena bank sentral negara itu terus menerus menurunkan tingkat suku bunga setelah berhasil meredam tingkat laju inflasi pada tahun 1990.

16 Pandangan kedua yang menjelaskan defisit neraca berjalan, meninjaunya dari segi ekonomi baru dan menjelaskan bahwa pemasukan modal asing ke Amerika Serikat terjadi karena tinggi balas jasa investasi di negara itu. Peningkatan balas jasa tersebut tidak ada kaitannya dengan kebijakan moneter, tapi semata-mata karena adanya peningkatan produktifitas di negara tersebut terutama di sektor teknologi informasi. Pandangan ketiga melihat peningkatan pemasukan modal asing ke Amerika Serikat karena adanya surplus tabungan internasional di bagian dunia lainnya. Tabungan nasional yang tinggi di Jepang adalah berkaitan dengan rendahnya rasio tanggungan penduduk produktif di negara itu. Tabungan nasional yang tinggi di negara-negara industri maju di luar Amerika Serikat adalah berkenaan dengan tingginya tingkat laju pertumbuhan ekonomi dan keuntungan dunia usaha di negara- negara tersebut. Kenaikan harga minyak dan gas bumi telah meningkatkan tabungan nasional produsennya, seperti negara-negara Arab dan Rusia. Sistem keuangan yang masih terbelakang di RRC mendorong rakyatnya untuk meningkatan tabungan agar dapat membeli rumah, memelihara kesehatan maupun membiaya pengeluaran masa pension di hari tua. Pandangan keempat meninjaunya dari adanya saling ketergantungan negara- negara Asia Timur, utamanya RRC, pada ekonomi Amerika Serikat. Tabel 3 memberikan gambaran bahwa sebagian besar dari surplus tabungan internasional adalah berada di kawasan Asia Timur. Jepang memiliki surplus tabungan, setelah dikurangi pengeluaran investasi, yang tertinggi dikalangan negara-negara industri maju. Rata-rata surplus tabungan di Eropa Barat hanya mencapai 1% dari PDB-nya. Di kalangan negara-negara berkembang, surplus tabungan global tersebut sebagian besar adalah dimiliki oleh negara-negara Asia Timur, termasuk RRC. Krisis ekonomi di Asia Timur tahun 1997-1998 hanya mengurangi pengeluaran investasi di negara- negara itu sedangkan tingkat tabungan nasionalnya masih tetap tinggi. Menurut kepemilikannya sebagian terbesar dari surplus tabungan di negara- negara Asia Timur itu berada ditangan pemerintah, utamanya bank sentral. Di Asia, hanya Jepang dan Korea yang memiliki perusahaan swasta yang bergerak secara multinasional di berbagai negara. Melalui investasinya di mancanegara, perusahaan swasta itu menanamkan sebagian dari cadangan luar negeri negaranya. Hingga awal tahun ini, Malaysia menerapkan kontrol atas lalu lintas modal jangka pendek saja dan tidak ada batasan atas penanaman modal swasta asing. Hingga sekarang, RRC mengontrol lalu lintas modal baik jangka pendek maupun jangka panjang. Kontrol

17 lalu lintas modal seperti ini membatasi peranan sektor swasta untuk menempatkan cadangan luar negeri negaranya di luar negeri. Singapura membagi dua cadangan luar negeri yang dikuasai oleh pemerintahnya atas dua komponen, yakni: (a) komponen likuid yang dipergunakan untuk pengendalian nilai tukar mata uangnya dan (b) komponen investasi untuk memperoleh balas jasa dari penanaman modal di luar negeri. Investasi Singapura, melalui Temasek, dalam PT Bank Danamon, BII serta Indosat, misalnya, merupakan bagian dari komponen cadangan luar negeri yang diinvestasikan itu. Sekitar dua pertiga dari cadangan luar negeri dunia pada tahun 2004 adalah diinvestasikan dalam bentuk asset yang dinyatakan dalam US dollar, sebesar 25% dalam bentuk Euro, 4% dalam Yen, 3% dalam Pound Sterling dan sisanya dalam Swiss franc (IMF, 2005). Aset dalam US dollar dan Euro menjadi populer sebagai penempatan cadangan luar negeri karena pasar uang dan modal Amerika Serikat dan Eropa merupakan yang terbesar dan paling likuid di dunia. Penempatan cadangan yang lebih besar dalam US dollar terjadi karena, berbeda dengan negara-negara lain, Amerika Serikat relatif lebih stabil dan tidak pernah dilanda peperangan setelah Revolusi Kemerdekaannya dan Perang Saudaranya di masa lalu. Khususnya bagi negara-negara Asia Timur, peran Amerika Serikat bukan saja penting sebagai tempat penempatan cadangan luar negeri, tapi juga penting sebagai sumber asal penanaman modal, teknologi dan pasar ekspor.

Tabel 3 Kecenderungan Tabungan dan Investasi Global (sebagai persentase terhadap PDB)

Rata- Rata- Memo: rata rata 2003 2004 1991- 1990- 2000- 2004 1999 2002

Tabungan dunia 22.9 23.4 23.9 24.9 1.7

18 Negara-negara maju 21.3 20.6 19.1 19.4 -2.8 Amerika Serikat 16.3 16.2 13.5 13.7 -2.5 Eropa Barat 21.5 21.3 20.3 20.9 -1.1 Jepang 31.6 27.8 27.1 27.6 -6.8 Negara-negara berkembang 25.3 27.2 29.8 31.5 6.9 Asia 31.0 32.6 36.5 38.2 9.5 RRC 40.3 39.9 45.5 48.0 9.6 Amerika Latin 18.3 17.8 20.0 21.0 1.9 Eropa Tengah dan Timur 20.6 18.8 18.6 19.1 -7.0

Investasi Dunia 24.0 23.2 23.5 24.6 0.1 Negara-negara Maju 21.8 21.0 20.0 20.7 -2.5 Amerika Serikat 18.7 19.4 18.4 19.7 1.1 Eropa Barat 21.1 20.9 19.5 20.2 -2.9 Jepang 29.3 25.3 23.9 23.9 -199.0 Negara-negara berkembang 27.2 26.1 27.9 29.2 2.8 Asia 32.2 30.8 33.6 35.5 5.1 RRC 38.5 37.9 42.4 43.9 9.7 Amerika Latin 20.9 19.8 19.0 19.8 0.3 Eropa Tengah dan Timur 23.3 23.1 23.2 23.8 -2.9

Sumber : Bank for International Settlements, BIS Annual Report (2005)

Negara adikuasa itu juga berfungsi sebagai stabilisator keamanan di antara negara-negara Asia Timur yang masih rawan terhadap konflik internal, seperti Jepang versus RRC dan Korea. Pertimbangan co-depencendency seperti ini merupakan alasan tambahan bagi negara-negara Asia Timur untuk menanamkan cadangannya dalam bentu surat-surat berharga yang dinyatakan dalam US dollar. Setelah kalahnya referendum tentang konstitusi Eropa di Perancis dan Negeri Belanda pada awal tahun ini, penempatan cadangan dalam Euro sedikit berkurang karena keraguan apakah neraga-negara Eropa dapat menjadi satu kesatuan politik seperti yang diharapkan.

6. Apa yang dapat kita lakukan

19 Sebagaimana telah disebut di muka, modal asing yang lebih kita perlukan adalah penanaman modal langsung ataupun obligasi jangka panjang terutama dalam mata uang nasional kita sendiri. Pemasukan modal asing seperti itu dapat menghindarkan mismatches yang merupakan sumber kegoncangan ekonomi seperti yang kita alami pada tahun 1997-1998. Penanaman modal dapat meningkatkan penciptaan lapangan kerja dan produksi nasional. Penggunaan manajer serta tenaga kerja asing yang biasanya merupakan ikutan penanaman modal asing sekaligus merangsang terjadinya alih teknologi. Pada gilirannya, kemajuan teknologi serta tenaga kerja yang lebih terampil akan dapat meningkatkan efisiensi serta produktivitas perekonomian nasional. Bila ada produknya yang diekspor akan menambah penghasilan devisa serta memperluas jaringan pemasaran produk nasional di pasar dunia. Ada dua kelompok besar kebijakan yang dapat kita lakukan agar dapat menarik surplus tabungan negara-negara Asia Timur dalam bentuk investasi modal asing maupun obligasi jangka panjang. Pertama memanfaatkan kerjasama regional yang telah ada. Kebijakan yang kedua adalah melakukan koreksi atas berbagai bentuk kelemahan dalam negeri kita sendiri sehingga mudah diterpa oleh krisis pada tahun 1997-1998. (a) Tatanan Regional Berbeda dengan negara-negara di Eropa Barat, negara-negara di Asia Timur masih tetap terperangkap pada pengalaman pahit selama peperangan, konflik politik, serta sentimen perbedaan masa lalu. Untuk memelihara stabilitas dan perdamaian regional di kawasannya sendiri, negara-negara Asia Timur masih memerlukan intervensi Amerika Serikat, termasuk pendirian pangkalan militer negara adikuasa itu di kawasan ini untuk menangkal serangan dari sesama negara Asia sendiri. Di balik perbedaan tersebut, modernisasi RRC pada akhir dasawarsa 1970-an dan disusul oleh Vietnam dan Kamboja telah meningkatkan hubungan investasi maupun perdagangan swasta di kawasan Asia Timur. Hubungan investasi dan perdagangan antar negara di kawasan ini, semakin dipererat oleh rangkaian perjanjian perdagangan bebas secara bilateral atau FTA (Free Trade Arrangements) yang menjamur antar sesama negara tetangga. Namun demikian, perjanjian untuk membentuk pasar bersama secara multilateral baru ada dilingkungan sepuluh negara ASEAN di Asia Tenggara. Sebagaimana telah diuraikan di atas, melalui interaksi investasi dan perdagangan terjadilah spesialisasi dan pembagian pekerjaan antar negara yang menurunkan biaya

20 produksi dan menguntungkan semua pihak. Barang ektronik yang dihasilkan oleh suatu negara di kawasan ini, pada umumnya merupakan rakitan dari berbagai komponen yang dihasilkan di berbagai negara lainnya di kawasan yang sama. Produksi komoditi seperti itu menciptakan lapangan kerja dan nilai tambah bagi semua negara yang ikut berpartisipasi memproduksi komponennya. Kerjasama regional di Asia Timur dibidang keuangan yang ada dewasa ini baru sebatas CMI (Chiang Mai Inititiative). CMI diintrodusi pada bulan Mei 2000 di kota Chiang Mai, Thailand, atas inisiatip Menteri Keuangan dan Perdana Menteri Miyazawa dari Jepang, untuk memberikan bantuan keuangan jangka pendek kepada negara-negara Asia yang dilanda krisis pada tahun 1997-1998. CMI merupakan fasilitas swap bilateral di antara negara-negara ASEAN+3, yakni sepuluh negara anggota ASEAN ditambah tiga negara lainnya (Jepang, Korea Selatan dan RRC). CMI itu meniru fasilitas swap yang telah ada di antara sesama lima negara pendiri ASEAN (Thailand, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam dan Philipina). Dilihat dari jumlah fasilitas bantuan yang dapat digunakan, cara perolehannya maupun penggunaannya, CMI masih sangat terbatas sehingga baru merupakan pelengkap bagi fasilitas IMF. Sebagai contoh, pada tahun 2004, Indonesia mendapat fasilitas bantuan CMI sebesar $5 milyar (dari Jepang, Korea Selatan dan RRC), kurang dari sepertujuh dari komitmen luar negeri yang kita terima sebesar $36,2 milyar pada saat krisis 1997-1998. CMI merupakan perjanjian bilateral sehingga penggunaannya memerlukan ijin dari negara kreditor. Hanya sebesar 10% dari CMI yang dapat digunakan langsung secara bebas oleh penerimanya, sedangkan penggunaan 90% lainnya masih tetap terikat kepada persyaratan IMF conditionality. Kerja sama regional di bidang keuangan di kawasan ini juga ingin menumbuhkan pasar obligasi jangka panjang, baik dalam mata uang asing maupun mata uang nasional. Penjualan obligasi dalam mata uang nasional diharapkan dapat meniadakan dua bentuk ketidak serasian (mismatches) yang merupakan penyebab dari krisis ekonomi tahun 1997-1998. Kelompok 11 bank sentral yang tergabung dalam EMEAP yang ada di Asia Timur (ditambah New Zealand dan Australia) telah mengumpulkan dana sebesar $1025 milyar, yang berasal dari cadangan luar negeri mereka, guna membentuk ABF (Asian Bond Funds) yang khusus digunakan untuk membeli obligasi yang dikeluarkan di negara-negara berkembang. ABF dikelola oleh kantor perwakilan BIS (Bank for International Settlements) di Hong Kong. Berhasilnya ABF mendorong EMEAP untuk menciptakan ABF2 yang akan

21 digunakan membeli obligasi yang dinyatakan dalam mata uang nasional negara yang mengeluarkan obligasi. ADB (Asian Development Bank) juga sangat aktif untuk merngembangkan pasar obligasi di kawasan ini. Sementara itu, dalam rangka New Miyazawa Plan, Jepang bersedia memberikan jaminan atas obligasi yang memenuhi persyaratan yang dikeluarkan oleh negara-negara berkembang di Asia.

(b) Kebijakan dalam negeri Ada tiga bentuk koreksi kebijakan yang diperlukan di dalam negeri untuk dapat menarik penanaman modal langsung swasta asing ke Indonesia. Pertama, mengintrodusi kebijakan ekonomi yang sesuai dengan kondisi ekonomi Indonesia dewasa ini, yakni: masih menghadapi defisit fiskal hingga dalam masa jangka menengah atau panjang mendatang dan kondisi keuangan industri perbankannya juga yang masih terbatas. Dalam kondisi seperti itu, sangat terbatas kemampuan ekspansi fiskal oleh Pemerintah maupun ekspansi kredit oleh industri perbankan (termasuk ekspansi moneter oleh Bank Indonesia). Untuk menghemat cadangan devisa yang terbatas dan tidak lagi mengambil alih risiko perubahan nilai tukar, sistem kurs mengambang perlu dilanjutkan dan intervensi oleh Bank Indonesia di bursa valuta asing perlu dikurangi. Karena keterbatasan kemampuan negara, perlu diberikan kesempatan yang lebih luas bagi sektor swasta dalam melaksanakan kegiatan perekonomian, termasuk dalam pembangunan infrastruktur yang memerlukan modal besar, teknologi canggih dan masa pengembalian yang lama. Proyek-proyek infrastruktur seperti itu adalah berupa jalan toll, listrik, telephone, pengolahan limbah dan air minum. Namun demikian, penumbuhan pengusaha itu hendaknya dilakukan berdasarkan prestasi, secara transparan serta akuntabel dan jangan lagi dilanjutkan praktik Orde Baru yang menumbuhkan usahawan swasta melalui kegiatan pemangsa rente dan KKN. Belajarlah dari pengalaman Karahabodas, maupun proyek-proyek infrastruktur lainnya yang disediakan khusus kepada putra-putri pejabat Orde Baru tapi akhirnya menjadi beban anggaran negara setelah ekonomi kita diterpa krisis. Hal kedua yang dapat dilakukan untuk menarik penanaman modal langsung swasta asing adalah dengan memberikan balas jasa investasi yang setidaknya seimbang atau lebih tinggi daripada balas jasa investasi di negara lain. Pada gilirannya, balas jasa investasi yang tinggi hanya dapat dihasilkan oleh perekonomian yang efisien sehingga memungkinkan terwujudnya produktifitas yang tinggi memanfaatkan potensi ekonomi yang ada. Potensi ekonomi Indonesia yang ada itu

22 adalah terdiri dari pasar dalam negeri yang besar, sumber daya alamnya yang memadai, sumber daya manusianya yang relatif mudah diajari serta lokasi geografisnya yang strategis. Hal ketiga yang dapat dilakukan untuk menarik modal asing adalah dengan meningkatkan efektifitas dan efisiensi mekanisme pasar. Pada gilirannya pasar dapat menjadi efektif dan efisien bilamana pemerintah mampu menyediakan jasa-jasa publik (public goods), mengoreksi kegagalan pasar dan menyediakan jaring pengaman bagi pihak yang kurang beruntung dalam sistem ekonomi pasar. Jasa-jasa publik seperti keamanan dan ketertiban maupun penegakan hukum hanya dapat diproduksi oleh pemerintah dan tidak mungkin dapat disediakan oleh pasar, dunia usaha, maupun oleh rakyat sendiri. Pengurusan surat ijin usaha yang semakin rumit dan pungutan yang semakin banyak setelah otonomi daerah perlu dikoreksi. Sementara itu, gabungan antara tingkat upah minimum yang semakin tinggi dengan serikat pekerja yang semakin militan telah ikut memperburuk iklim usaha yang, pada gilirannya, menghambat penciptaan lapangan kerja baru. Dampak ekonomi kurang terpeliharanya keamanan sudah kita rasakan berkali kali dari rangkaian perang saudara yang kita alami sejak Pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948 hingga dengan pemberontakan GAM, kesuruhan konflik di Poso, Ambon dan Papua dewasa ini. Dewasa ini perusahaan penerbangan, hotel dan industri nasional kita yang terkait dengan pariwisata sangat terpukul berkenaan dengan merosotnya kedatangan turis asing ke Indonesia akibat dari rangkaian bom di Tanah Air. Tingkat laju inflasi yang rendah dan nilai tukar mata uang yang stabil merupakan bagian dari jasa-jasa publik. Selain tidak memungkinkan orang melakukan perencanaan ke depan. Pada hakikatnya, inflasi serupa dengan pajak karena langsung mengurangi daya beli masyarakat yang memegang uang. Inflasi itu merupakan pajak yang regressip karena terutama merugikan bagi golongan masyarakat berpendapatan tetap ataupun golongan masyarakat miskin yang memegang porsi besar kekayaannya dalam bentuk uang. Seperti yang pernah kita alami pada masa Pemerintahan Orde Lama, tingkat laju inflasi yang tinggi itu (1965: 650%) terjadi karena pemerintah sudah lama terus menerus membelanjai defisit anggarannya dengan cara mencetak uang. Keperluan pengeluaran negara terus meningkat sehubungan dengan rangkaian pemberontakan bersenjata di berbagai daerah, operasi Trikora dan Dwikora maupun bagi pendirian proyek-proyek mercusuar. Untuk memudahkan pembelanjaan defisit anggaran negara dengan pencetakan uang, bank-bank milik negara disatukan dengan

23 bank sentral dan sistem itu diberi nama Bank Negara. Gubernur Bank Negara, Yusuf Muda Dalam, sekaligus dijadikan menjadi Menteri Bank Sentral4. Walaupun bukan merupakan bentuk yang murni, infrastruktur atau prasarana ekonomi serta penelitian dasar digolongkan dalam kelompok jasa-jasa publik karena sangat sulit untuk menentukan tarif penggunaan (user charge)-nya secara persis. Dewasa ini, di Indonesia peran swasta perlu diundang untuk menangani infrastruktur karena keterbatasan kemampuan keuangan pemerintah. Pada hakikatnya, Pemerintah menyediakan jasa-jasa publik pada saat melakukan internalisasi eksternalitas itu. Pencemaran udara oleh bus kota dan bajaj di Jakarta, limbah pabrik tahu di Kali maupun asap kebakaran hutan yang berasal dari kebun kelapa sawit Sumatera merupakan contoh dari eksternalitas karena tidak tercermin pada tarif angkutan kota, harga tahu maupun harga kelapa sawit yang dihasilkan oleh kebun tersebut. Pemerintah menyediakan jasa-jasa publik untuk membersihkan asap dari udara yang tercemar, limbah dari Kali Ciliwung dan asap yang menganggu kesehatan orang yang menghirupnya. Selain menyediakan jasa-jasa publik, pemerintah juga membiayai pengadaan merit goods yakni barang dan jasa yang selain memiliki karakteristik seperti barang serta jasa publik, walaupun dimiliki oleh individu tapi juga ikut dinikmati oleh orang lain. Contoh merit goods adalah pendidikan dan kesehatan. Diperlukan suatu tingkat pendidikan tertentu untuk dapat mencapai suatu tingkat pertumbuhan ekonomi yang tertentu pula. Infeksi flu burung ataupun penyakit menular yang diderita oleh seseorang sangat menganggu bagi orang lainnya. Karena alasan efisiensi maka pengadaan pendidikan dan pemeliharaan kesehatan diserahkan kepada pemerintah. Selain dari alasan efisiensi, pengadaan pendidikan dan kesehatan juga memiliki aspek pemerataan karena melalui pendidikan dan jiwa serta raga yang sehat dimungkinkan terjadinya mobilitas sosial, setidaknya keluar dari garis kemiskinan. Oleh karena itulah mengapa pemerintah wajib menyediadakan pengadaan pemeliharaan

4 Menteri Bank Sentral dan Gubernur Bank Negara Yusuf Muda Dalam (YMD), bersama dengan 16 Menteri lainnya yang beraliran kiri dalam Kabinet Dwikora yang disempurnakan (Kabinet 100 Menteri) diamankan oleh mahasiswa yang tergabung dalam KAMI/Laskar ARH (Arif Rahman Hakim) pada tanggal 16 Maret 1966 dan kemudian menyerahkannya kepada aparat keamanan. Pengakuan yang bersangkutan (YMD) dalam sidang peradilan Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa) pada bulan September 1966 mengungkapkan bahwa wanita-wanita cantik yang berprofesi sebagai sebagai Sekretaris, artis penyanyi maupun penari Istana, merangkap sebagai wanita simpanan atau pemuas nafsu seks pejabat negara, sangat berperan untuk memperoleh kredit serta lisensi impor dari bank sentral maupun dari bank-bank milik negara lainnya.

24 masyarakat maupun faslitas pendidikan, termasuk penyuluhan teknis seperti Bimas, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 34 Ayat (3) Perubahan UUD 1945. Bentuk barang dan jasa publik lainnya adalah pengaturan pemerintah untuk menyehatkan persaingan pasar. Untuk kegiatan perekonomian di mana persaingan pasar tidak berfungsi secara efektif, pemerintah mengeluarkan aturan spesifik. Contohnya adalah pengaturan langsung atas tarif kegiatan usaha yang memiliki pasar monopoli seperti proyek-proyek infrastruktur yang telah disebut di atas. Pemerintah mengatur kegiatan ekonomi yang tidak dapat diatur sendiri oleh dunia usaha apakah karena alasan kepentingan umum ataukah karena kontrak perjanjian dalam industri itu menyangkut masa yang cukup panjang. Termasuk dalam kelompok ini adalah pengaturan pemerintah atas keamanan proses pabrikasi makanan dan obat-obatan maupun regulasi yang sangat ketat yang mengatur industri keuangan. Pengaturan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah itu hendaknya ditujukan untuk peningkatan efektifitas dan efisiensi pasar dan dilakukan secara transparan, akuntabel, konsisten maupun prediktabel dan jangan bersifat gonjang-ganjing dan ditujukan bagi KKN. Selain digunakan sebagai instrumen untuk mengejar pertumbuhan ataupun instrumen stabilisasi perekonomian, kebijakan fiskal pemerintah juga digunakan sebagai instrumen distribusi untuk mengejar sasaran pemerataan pendapatan masyarakat. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 beserta perubahannya (Pasal 28C dan Pasal 34), sasaran pemerataan ini sangat penting terutama untuk membantu golongan masyarakat yang kurang beruntung (orang cacat, orang tua, fakir miskin, anak-anak usia muda dan pengangguran) dalam mekanisme pasar. Untuk dapat menjangkau golongan masyarakat seperti itulah mengapa perlu diciptakan suatu jaring pengaman sosial termasuk program transmigrasi dari daerah padat penduduk ke daerah yang masih perlu tenaga kerja.

Kepustakaan:

Cooper, Richard N. 2005. “Living with Global Imbalances: A Contrarian View”. Policy Brief in International Economics. Nr. PB05-3. Washington, D.C.: Institute for International Economics. November.

25 Eichengreen, Barry. 2005. “The Blind Men and the Elephant”. Makalah untuk the Tokyo Club Foundation’s Macroeconomic Research Conference on the Future of International Capital Flow. Kyoto, 21-22 Nopember.

IMF.2005. “Global Imbalances: A Saving and Investment Perspectives”. World Development Outlook. September.

Kindleberger, C.P. dan Robert Z. Aliber.2005. Manias, Panics and Crashes. 5th ed. New York: Palgrave McMillan.

Nasution, Anwar. 2004. Kesinambungan Anggaran Negara. Orasi Ilmiah. Dies Natalis Universitas SAM Ratulangi ke 43, Manado, 23 September.

Nasution, Anwar. 2005a. “Monetary Cooperation in East Asia”. Dalam Journal of Asian Economics 16 (2005): 422-442.

Nasution, Anwar. 2005b. “What East Asian countries should do to address global savings-investment imbalances”. Makalah untuk Third East Asia Congress. Kuala Lumpur, Malaysia, 9-11 Desember.

Stiglitz, Joseph. 2005. “The Morality of Economic Growth”. Dalam Foreign Affairs. 84(6). November/December.

Weinstein, Michael M.(ed.). 2005. Globalization. what’s new? New York: Columbia University Press.

Wolf, Martin. 2004. Why Globalization Works. New Haven: Yale Nota Bene. Yale University Press.

26