Suatu Kajian Identitas Kebangsaan Masyarakat Pulau Miangas Kabupaten Kepulauan Talaud,Sulawesi Utara

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Suatu Kajian Identitas Kebangsaan Masyarakat Pulau Miangas Kabupaten Kepulauan Talaud,Sulawesi Utara TESIS AMBIVALENSI IDENTITAS DAN LOYALITAS DI ‘GERBANG UTARA’ Suatu Kajian Identitas Kebangsaan Masyarakat Pulau Miangas Kabupaten Kepulauan Talaud,Sulawesi Utara Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Disusun oleh : oleh : NOVELINA LAHEBA NIM : 076322008 UNIVERSITAS SANATA DHARMA PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA YOGYAKARTA 2010 Persetujuan Pembimbing TESIS AMBIVALENSI IDENTITAS DAN LOYALITAS DI ‘GERBANG UTARA’ Suatu Kajian Identitas Kebangsaan Masyarakat Pulau Miangas,Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara Oleh : Novelina Laheba 076322008 Telah disetujui oleh : Dr. Budiawan (Pembimbing I) __________________________ 12 Januari 2010 Dr. Albertus Budi Susanto, S.J. (Pembimbing II) ___________________________ 12 Januari 2010 ii Pengesahan TESIS AMBIVALENSI IDENTITAS DAN LOYALITAS DI ‘GERBANG UTARA’ Suatu Kajian Identitas Kebangsaan Masyarakat Pulau Miangas,Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara Oleh : Novelina Laheba 076322008 Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji tesis pada tanggal 8 Februari 2010 dan dinyatakan telah memenuhi syarat Tim Penguji : Ketua/Moderator : Dr. G. Budi Subanar, S.J. ………………………………………… Anggota : 1. Dr. Budiawan ………………………………………… 2. Dr. Albertus Budi Susanto, S.J. ………………………………………… 3. Prof. Dr. P.M. Laksono ………………………………………… Jogjakarta 15 Februari 2010 Direktur Program Paska Sarjana Prof. Dr. A. Supratiknya iii Lembar Pernyataan Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Novelina Laheba, NIM : 076322008, dengan ini menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis oleh orang lain lecuali yang diacu secara tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka Yogyakarta, 12 Januari 2010 Penulis iv LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Novelina Laheba Nomor Mahasiswa : 076322008 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul : AMBIVALENSI IDENTITAS DAN LOYALITAS DI ‘GERBANG UTARA’ SUATU KAJIAN IDENTITAS KEBANGSAAN MASYARAKAT PULAU MIANGAS, KABUPATEN KEPULAUAN TALAUD, SULAWESI UTARA Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lainnya untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan rolyalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 27 Februari 2010 Yang menyatakan ( Novelina Laheba ) v Kata Pengantar Sampai saat ini saya masih sering membayang-bayangkan pantai pasir putih dan langit senja yang merah Miangas. Berada untuk beberapa waktu lamanya di Miangas adalah pengalaman terbaik dari sebuah keputusan ‘nekat’. Penelitian ini membuat sebagai orang “SATAS” diaspora saya menemukan diri saya pun kerab merasa sebagai “the Other” di tempat- tempat saya pernah menetap untuk beberapa lama. Suatu perasaan “tidak memiliki homeland, tidak “berakar” disuatu tempat, dan tidak dimiliki oleh “siapapun”. Saya akan selalu merindukan Miangas, karena perjalanan menuju kesana yang luar biasa, dan bertemu dengan orang-orang yang luar biasa, juga mengalami hal-hal yang luar biasa. Setelah semua yang saya alami demi menggeluti identitas kebangsaam Miangas, di sini saya hendak berterima kasih kepada Pak Camat Septno Lantaa beserta Ibu yang sekarang telah bertugas di Lirung. Kepada Sandra dan Bety teman-teman yang dengannya saya menghabiskan banyak waktu untuk bercerita dan berkeluh kesah. Kepada Mama, Papa Akang, Emi si perempuan laut yang ‘perkasa’ dan Rudolfo serta Adrian.“Terima kasih so temani dan urus pa kita selama di Kakorotan”. Kepada Mama’ Wilhelmina Poeleo,“Kita sayang Mama’!”. Tak mungkin saya lewatkan ucapan terimakasih kepada DANPOSAL, Lettu Laut Handoyo beserta anggotanya yang membiarkan POSAL jadi tempat saya numpang nonton TV dan sesekali makan siang. Banyak terima kasih kepada banyak orang yang telah membantu saya selama di Miangas, termasuk Sersan Ranie Sanchez yang dengannya saya mendiskusikan banyak hal di dego-dego belakang kantor BCA RP Team. Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pembimbing saya Dr. Budiawan yang dengan sabar, sangat teliti dan rinci mengomentari draft demi draft sehingga menginspirasikan vi ide-ide baru ketika saya merasa sudah “mentok”. “Sebuah pengalaman berharga dibimbing oleh Bapak”. Terima kasih yang tulus dan sebesar-besarnya saya sampaikan kepada Romo Budi Susanto, S.J. yang kadang saya repotkan dengan pertanyaan ini dan itu di saat sedang sibuk. Sangat disayangkan terlalu singkat dan terbatas jadwal konsultasi dengan Romo, dan itu karena keterbatasan saya. Ketelitian dan kejelian khas antropolog Romo membuat saya bisa melihat persoalan mendasar Miangas dari sudut pandang lain. Ucapan terima kasih yang sangat dalam saya sampaikan kepada Prof. Dr. P.M. Laksono, yang sedemikian rinci dan teliti membaca tesis saya lembar demi lembar dan memberikan komentar-komentar berharga. Itu amat sangat berarti buat saya. Kepada para dosen IRB, Pak Nardi, Romo Banar, Romo Bas, Bu Kathtrin, Romo Hary, Pak George, dan Romo Moko, saya mengucapkan banyak terimakasih karena suasana akademis dan juga relasi dosen dan mahasiswa yang sangat kondusif bagi mahasiswanya untuk mengeksplorasi banyak hal selama masa perkuliahan. Saya pasti akan selalu merindukan suasana itu. “Hanya IRB yang bisa begitu!”. Tidak terlupakan juga Mbak Hengky, Lia di perpustakaan, dan Mas Mul. Kebaikan hati mereka dalam melakukan tugas-tugasnya membuat saya sangat terbantu. Retno Agustin, temen baikku, terimakasih telah sangat membantu ku dengan mengirimkan draft-draft yang sudah di baca oleh pembimbing ke Jakarta, tanpa pertolongan kamu tidak mungkin konsultasi tesis jarak jauh bisa terjadi dengan lancar. Kangen nongkrong di kafe berjam-jam dengan kamu lagi. Terimakasih juga kepada Sahabat baikku Karina Rima Melati, yang ikut disibukkan oleh permintaan tolong untuk menjilidkan tesis, mengambil surat dari KOMPAS, dan segala macam yang harus dia kerjakan untuk saya, karena sering saya hanya vii memiliki waktu yang sangat terbatas di Jogjakarta. Saya sampaikan terima kasih yang tak terhingga juga kepada harian KOMPAS, yang telah membantu membiayai penelitian ke Miangas. Bantuan itu sangat berarti. Dengan segenap cinta, terima kasih kepada Mami “Oma” Lenny, Tune, Arci’, Akang, Arnun, dan Moma. Sangat patut disyukuri apa yang Tuhan perkenankan kita alami dalam kehidupan keluarga kita, dan cara kita menerimanya. Kepada Yoram Alfi Lukas, suami terkasih, kesabarannya membuat hari-hari yang berat di Jakarta, Bandung dan Jogja bisa dijalani dengan lebih tenang. Ponakan-ponakanku yang membuat hidup jadi ceria, Elmori, Nancy, dan Ruben. Ponakanku Abang Timothy yang sering disibukkan dengan pesanan-pesanan tiket untuk Ambok dan mengantar kesana-kemari karena tesis ini, dan Adek Theo yang sedang belajar “menjadi dewasa” di kampus Theology. Papi, Lukas Laheba (yang sudah bersama Tuhan di surga), aku mengenali Papi dengan cara mengenali jiwa petualangan dan kecintaan akan laut dalam diriku, yang sudah pasti terwariskan dari jiwa seorang pealut yang selalu ada dalam dirimu. Di atas segalanya, syukur kepada Tuhan Yesus, yang membuat semuanya dapat saya lakukan. Aku merindukan saat-saat ‘terdekat’ dengan-MU selama penelitan di Kakorotan dan Miangas. “Saya sudah berupaya memberikan yang terbaik Tuhan, maafkan jika ini tidak sepadan”. viii ABSTRAK Miangas merupakan pulau terdepan utara Indonesia. Pulau ini masuk dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Talaud. Sebagai pulau terpencil yang jauh dari kota-kota di kabupaten, provinsi maupun negara, Miangas sangat terisolasi dan tertinggal. Realitas ini terjadi sebagai akibat dari reproduksi nalar kolonial yang berlangsung jauh setelah dekolonisasi Hindia Belanda. Sebagai bagian dari gugusan pulau-pulau Nusa Utara, Miangas merupakan suatu wilayah berkarakter maritim yang oleh kebijakan pembangunan yang berorientasi ke daratan, yang sudah berlangsung sejak masa kolonial menjadi pulau yang senantiasa terpuruk. Ada ambivalensi di Miangas. Hasrat dan permusuhan terhadap “Mindanao”, Filipina Selatan yang ada dalam imajinasi mereka, juga hasrat dan resistensi terhadap Indonesia, negara tempat Miangas menjadi bagian sahnya. Hal ini membuat Miangas menjadi ruang liminal, tempat hasrat dan resistensi berlangsung secara terus-menerus. Dalam ruang liminal ini, masyarakat Miangas ada sebagai in-between citizenship, warga negara “antara”. Di Miangas negara Indonesia hadir dengan ideologi NKRI yang hegemonik yang membentuk realitas geo-politik dan kultural tertentu. Kehadiran negara dengan agenda ideologi “menjaga keutuhan NKRI” di pulau ini ini harus berkontestasi dengan dengan dua institusi sosial besar lainnya yakni agama dan adat. Terjadi mekanisme perebutan status sebagai insitusi yang legitimate penentu identitas. Berbagai upaya negara untuk menghegemoni institusi di luar dirinya tidak dapat secara total, sebab senantiasa ada ruang- ruang otonom yang diciptakan melalui berbagai mekanisme yang mungkin dilakukan oleh institusi-institusi
Recommended publications
  • Singsing- Memorable-Kapampangans
    1 Kapampangan poet Amado Gigante (seated) gets his gold laurel crown as the latest poet laureate of Pampanga; Dhong Turla (right), president of the Aguman Buklud Kapampangan delivers his exhortation to fellow poets of November. Museum curator Alex Castro PIESTANG TUGAK NEWSBRIEFS explained that early Kapampangans had their wakes, funeral processions and burials The City of San Fernando recently held at POETS’ SOCIETY photographed to record their departed loved the Hilaga (former Paskuhan Village) the The Aguman Buklud Kapampangan ones’ final moments with them. These first-of-its-kind frog festival celebrating celebrated its 15th anniversary last pictures, in turn, reveal a lot about our Kapampangans’ penchant for amphibian November 28 by holding a cultural show at ancestors’ way of life and belief systems. cuisine. The activity was organized by city Holy Angel University. Dhong Turla, Phol tourism officer Ivan Anthony Henares. Batac, Felix Garcia, Jaspe Dula, Totoy MALAYA LOLAS DOCU The Center participated by giving a lecture Bato, Renie Salor and other officers and on Kapampangan culture and history and members of the organization took turns lending cultural performers like rondalla, reciting poems and singing traditional The Center for Kapampangan Studies, the choir and marching band. Kapampangan songs. Highlight of the show women’s organization KAISA-KA, and was the crowning of laurel leaves on two Infomax Cable TV will co-sponsor the VIRGEN DE LOS new poets laureate, Amado Gigante of production of a video documentary on the REMEDIOS POSTAL Angeles City and Francisco Guinto of plight of the Malaya Lolas of Mapaniqui, Macabebe. Angeles City Councilor Vicky Candaba, victims of mass rape during World COVER Vega Cabigting, faculty and students War II.
    [Show full text]
  • Dula Dulaan Sa Filipino
    DULA DULAAN SA FILIPINO Scribd is the world's largest social reading and publishing site. The two let been bowelless rivals. Calamba Metropolis. Roughly stayed by river banks and the sea, so they could angle for their nutrient. It is the beginning volume printed. Tulad ng nobela at dula. Filipino writers. Visualised as a democratic variant with illustrations by Juan Luna, this. Many of the plays were reproductions of English plays Tagalog. Maraming dakilang Pilipino, kabilang na si Rizal, ang naimpluwensyahan ng nasabing tula. On the following day, May 19, Legazpi landed in Manila and took ceremonial possession of the land in the presence of Soliman, Matanda, and Lakandula. Legazpi let them go to demonstrate his confidence in Lakandula. Isa itong masining na anyo ng panitikan. Ilocano and Visayan 7. Noli me tangere Language 3 Pages suppositious to be humourous, satiric and witty wrote the refreshing in Tagalog piece embarkment steam Melbourne in Marseilles bounce for Hongkong did. Around stayed in caves and lived on fruits and carnal centre. Tagalog Thither is no earthly joy that is not moire with weeping. Finis Baron of Tondo Rizal otc bare novels Rizal had former bare novels. They use blankets portraying coloured plumes to pull her. A few of playwriters were: 1. Mare asked the gods to consecrate her the mortal of Gat Dula and her asking was given. Gloria Macapagal-Arroyo. Si Del Pilar ang awtor ng Dasalan at Tocsohan, isang tulang tumutuligsa sa mga maling ginagawa ng mga prayle. Lakan Dula was able-bodied to counter the immunity given by Legazpi to him and to his relatives.
    [Show full text]
  • SARE, Vol. 56, Issue 1 | 2019
    SARE, Vol. 56, Issue 1 | 2019 Balagtasan Beyond Balagtas: Debate Poetry, a Filipino Tradition Victor Emmanuel Carmelo D. Nadera Jr and Chris Mooney-Singh University of the Philippines-Diliman, the Philippines and LASALLE College of the Arts, Singapore Abstract This paper charts the history, influence, and contemporary practice of Balagtasan, a poetic performance tradition that pays homage to the “Filipino Shakespeare,” Francisco Balagtas (born, 1788), predating what is known as “fliptop” or the Filipino rap battle. For 95 years, Balagtasan has debated and explored the social and political terrain and, in so doing, broadened awareness and deeper discussion of important Filipino issues. The authors also consider the impact of competitive jousting between pairs of poets as a grassroots form that has built community throughout an archipelago of 7,107 islands, speaking from rural and urban centres of population across the expanse of water and sky through elegant cultural engagement in Tagalog, the Philippine language. Keywords: Duplo, Francisco Baltazar, Francisco Balagtas, Balagtasan, nationalism, Bukanegan, Crissotan, Tagalog, Ilocano, Kapampangan, poetry, debate, joust, battle, fliptop Balagtasan is an indigenous form of competitive Filipino debate poetry in the Tagalog language. It is a literary joust between two poets with an overseeing judge or emcee-adjudicator that evolved in part from the duplo, performed in rural areas of the Philippines by up to six folk poets. They would stage a mock court event with different players acting out a proto-verse drama. The most mature or respected poet or makata usually played the role of the fiscal or prosecutor, while other poets played the roles of the accused or lawyer representing the accused.
    [Show full text]
  • Unitas Journal
    ISSN: 0041-7149 ISSN: 2619-7987 VOL. 92 • NO. 1 • MAY 2019 UNITASsemi-annual peer-reviewed international online journal of advanced research in literature, culture, and society Transpacific Connections Razones del Modernismo of Philippine Literature in Spanish hispanoamericano en Bancarrota de EditEd by JorgE MoJarro almas de Jesús Balmori: (“Ventura bajo la lámpara eléctrica leía vagamente el A Mexican Princess in the Tagalog Azul de Darío”) Sultan’s Court: Floripes of the bEatriz barrEra Doce Pares and the Transpacific Efflorescence of Colonial Philippine Teodoro Kalaw lee a Gómez Carrillo: Romance and Theater Hacia la Tierra del Zar (1908), un John d. blanco ejemplo de crónica modernista filipina JorgE MoJarro Bad English and Fresh Spaniards: Translation and Authority in Philippine Quijote-Sancho y Ariel-Calibán: and Cuban Travel Writing La introducción de Filipinas en la ErnEst rafaEl hartwEll corriente hispanoamericanista por oposición al ocupador yankee Recuperating Rebellion: Rewriting rocío ortuño casanova Revolting Women in(to) Nineteenth-Century Cuba Transcultural Orientalism: Re-writing and the Philippines the Orient from Latin America and The kristina a. Escondo Philippines irEnE villaEscusa illÁn La hispanidad periférica en las antípodas: el filipino T. H. Pardo de Reframing “Nuestra lengua”: Tavera en la Argentina del Centenario Transpacific Perspectives on the axEl gasquEt Teaching of Spanish in the Philippines paula park From Self-Orientalization to Revolutionary Patriotism: Paterno’s Reading Military Masculinity in Fil-
    [Show full text]
  • Singsing Director of the Center for Being Used As Tinapa Wrapper, Kapampangan Studies
    1 RECENT Center launches translated 1621 Kapampangan grammar VISITORS translations that the Center is under- taking to make early Spanish archival documents accessible to scholars and students. The next are Fray Diego Bergaño’s Vocabulario en la Lengua Pampanga (1732) and his own grammar Arte de la Lengua Pampanga (1729), both already completed; Fray Alvaro de Benavente’s Arte y Diccionario Pampango (1700); and documents from BEA ZOBEL DE AYALA, JR GOV. GRACE PADACA the Luther Parker Collections, the Na- tional Archives and the Manila Archdiocesan Archives. “Coronel’s Arte is significant be- cause it was written in the early 1600s, barely a few years after the Spaniards first made contact with the Kapampangans,” Center Director Robby Tantingco said. “Because our ancestors used the ancient writing sys- JUSTICE JOSE VITUG REP. SALACNIB BATERINA tem of baybayin, Coronel’s Arte rep- resented the colonizers’ earliest at- The Center recently released the En- tempts to reconfigure our language and glish translation of Fray Francisco their efforts to make us unlearn what Coronel’s Arte y Reglas de la Lengua we were already using.” Pampanga, the oldest extant Fr. Santos, a former Benedictine, Kapampangan grammar. It was translated is a guest priest of the Archdiocese of by Fr. Edilberto V. Santos on a University San Fernando. grant. The book is available at the Cen- Coronel’s book is the first in a series of DEAN RAUL SUNICO REP. CYNTHIA VILLAR ter and in bookstores in Manila. Consultant presents paper at Illinois conference Prof. Lino Dizon, Director of the Center for Tarlaqueño Studies and history consultant for the Center for PROF.
    [Show full text]
  • Tomo V CAPITULO IV EN LA EDAD MODERNA
    SUSANA NOEMI TOMASI HISTORIA ECONÓMICA MUNDIAL LA RELACIÓN ENTRE LAS CRISIS ECONOMICAS Y LAS GUERRAS TOMO IV: EN LA EDAD MODERNA PRIMERA PARTE SIGLO XVI CAPÍTULO IV: TERCER CUARTO DEL 1 SIGLO XVI 2 Editorial Magatem Ciudad Autónoma de Buenos Aires, Argentina Marzo de 2020 Dibujo de tapa: Karina Valeria Woloj mail: [email protected] Editorial Magatem Acassuso 5808 (1440) Ciudad Autónoma de Buenos Aires Argentina TE: 011- 46822431 Mail: [email protected] 3 GUERRA DE ARAUCO CAMPAÑAS ENTRE 1550– 1567 La Guerra de Arauco (1) fue un prolongado conflicto que enfrentó a las fuerzas militares de la Capitanía General de Chile pertenecientes a la Monarquía Hispánica y aliados indígenas, contra facciones mapuches y algunos aliados de los pueblos cunco, huilliche, pehuenche y picunches. La zona del conflicto estaba comprendida entre el río Mataquito y el seno de Reloncaví, situándose la mayor parte de ella entre Concepción, la zona costera de la actual Región del Biobo, y la Región de La Araucanía. Duró 236 años, entre 1536 y 1772; se le puso fin con el Parlamento de Negrete (1771 y 1772). Ocurrieron las siguientes batallas: Lautaro, antiguo paje de Pedro de Valdivia se había fugado del campamento español y se había erigido como líder militar de las huestes mapuches. Estaba en conocimiento que Valdivia marchaba hacia el sur. BATALLA DE TUCAPEL 1553 El proceso de conquista del territorio chileno (2) por parte de las fuerzas de la corona española sufrió una desastrosa derrota el 25 de diciembre de 1553, en lo que se conoció como la batalla de Tucapel.
    [Show full text]