Jurnal Pengetahuan, Pemikiran, dan Kajian Tentang “Bunyi”

GAMELAN DAN PENYEBARAN DI JAWA

Joko Daryanto Dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNS

Abstrak

Penyebaran Islam di Jawa menggunakan berbagai cara ataupun metode dakwah penyebaran Islam. Salah satu sarana pendukung penyebaran Islam di Pulau Jawa adalah Sekaten. Perangkat gamelan ini merupakan perangkat gamelan yang dibunyikan untuk memperingati kelahiran Nabi SAW, dibunyikan selama satu minggu di Bangsal Pagongan depan Masjid Agung Surakarta. Sebelum orang Jawa mengenal dan memeluk agama Islam, masyarakat Jawa telah memeluk agama Hindu dan Budha. Kondisi sosial psikologis masyarakat Jawa semacam itu rupanya menjadi hambatan para wali untuk menyebarkan agama Islam. Pada akhirnya mengusulkan agar menggunakan gamelan sebagai daya tarik awal bagi penyebaran agama Islam. yang digunakan sebagai sarana penyebaran agama Islam di Jawa diduga kuat memiliki nilai-nilai atau unsur-unsur Islam dalam perangkat tersebut. Setting masyarakat Jawa pada saat itu masih memiliki keyakinan yang sangat kuat terhadap agama Hindu dan Budha sehingga diperlukan alat bantu dalam hal ini gamelan Sekaten untuk memudahkan para wali menyebarkan agama Islam. Strategi dakwah dengan menggunakan gamelan Sekaten ternyata sangat menarik dan efektif untuk mengumpulkan orang. Diawali dengan ketertarikan terhadap bunyi gamelan Sekaten akhirnya masyarakat Jawa mengenal dan akhirnya memeluk Islam sebagai keyakinan. Proses Islamisasi seperti itu selanjutnya disebut sebagai dakwah dengan menggunakan pendekatan kultural

Kata kunci: Gamelan Sekaten, penyebaran agama Islam, pendekatan kultural.

Abstract

The spreading of Islamic faith in uses many ways or methods to propagate Islamic faith. One of the medium which is support the spreading of Islam in Java is ‘Gamelan Sekaten’. It is kind of an ensemble which is played on the occasion of Muhammad’s birthday and played as long as 1 week in ‘Bangsal Pagongan’ in front of the Great Surakarta. Before knowing and converting into Islamic faith, Javanese people have been converted into Hindu & Buddhist faith. This psychological social condition of Javanese people becomes the obstacle for the nine muslim saints, , to spread Islamic faith. Sunan Kalijaga suggested using ‘gamelan’ as the attractiveness of spreading Islam. The ‘Gamelan Sekaten’ which is used as a medium of spreading Islam in Java strongly assumed that this medium has value or element of Islam. The setting of Javanese people in that time still had a strong faith toward Hindu & Buddhist faith, so it required a tool, in this case is a ‘gamelan sekaten’, to facilitate the nine muslim saints in spreading Islamic Faith. This religious proselytizing strategy which is use ‘gamelan sekaten’ as a medium appears to be very interesting & effective to gather people. Begins with feel interest to ‘gameln sekaten’, finally, Javanese people know and convert into Islam as their faith. This Islamization process, called as religious proselytizing using cultural approach.

Keywords: Gamelan Sekaten, Spreading of Islamic Faith, Cultural Approach

Pengantar tradisi yang masih dijaga kelestariannya. Oleh karena Karaton Surakarta masih menjaga tradisi Karaton Surakarta yang merupakan dan istiadatnya, maka sampai saat ini kelanjutan dari Kerajaan Mataram Islam, Karaton Surakarta masih memiliki seorang raja sampai saat ini masih berdiri kokoh baik dengan segala kekuasaannya. Moertono bangunan maupun adat istiadat serta upacara menyebutkan kekuasaan seorang raja Jawa

3 2 Volume 14 Nomor 1 Bulan Mei 2014 Gamelan Sekaten dan Penyebaran Islam di Jawa Joko Daryanto digambarkan sebagai wenang misesa ing sanagari, Moertono melihat pemakaian gelar itu artinya memegang kekuasaan tertinggi di dimaksudkan untuk mendapatkan pengakuan seluruh negeri. Raja tidak hanya berkuasa atas dan dukungan kalangan orang-orang Islam.5 negara dan harta benda, tetapi juga terhadap Secara politik dukungan dari orang-orang Islam segenap kawula dengan kehidupan pribadinya.1 sangat dibutuhkan berkaitan dengan penegakan Pada masa Hindu raja adalah penguasa yang kekuasaan raja. Dengan menganut Islam secara disejajarkan dengan dewa atau lebih dikenal simbolik seorang raja berarti mengisyaratkan dengan konsep dewaraja, namun pada masa perlawanan terhadap pemerintah kolonial kerajaan Islam konsep ini tidak berlaku lagi. Belanda, upaya ini diharapkan mendapat Teologi Islam menempatkan raja sebagai dukungan dari orang-orang Islam yang sangat khalifatullah atau wali Tuhan di dunia. Namun membenci Belanda hingga orang-orang itu demikian penempatan ini tidak mengubah memberikan dukungannya kepada raja sebagai kekuasaan raja terhadap rakyatnya.2 penguasa. Pemerintah Belanda berusaha keras Kerajaan Mataram (Islam) sampai dengan supaya para bangsawan tidak memeluk Islam Karaton Surakarta menerapkan penempatan karena ketika bangsawan bahkan seorang raja kedudukan raja sebagai khalifatullah sampai memeluk Islam, besar kemungkinan terjadi pada gelar kebesarannya. Raja yang menempati perlawanan terhadap kehadiran orang Eropa di status sosial tertinggi di karaton tercermin pada Jawa.6 nama, gelar, atau sebutan yang disandangnya. Paku Buwana IV merupakan salah satu Peletak dasar wangsa Mataram, yaitu Senapati raja Karaton Surakarta yang menunjukkan sikap menggunakan sebutan panembahan, permusuhan kepada Belanda melalui penggantinya, Anyakrawati, semula memakai ketaatannya menjalankan ajaran Islam, panembahan. Penguasa ketiga Anyakrakusuma sebenarnya permusuhan dengan Belanda sudah sesudah memiliki wilayah yang luas memakai dinyatakan sejak menduduki jabatan sebagai gelar susuhunan yang menunjukkan kedudukan putra mahkota. Ketaatan Paku Buwana IV dalam yang sangat tinggi, perkembangan selanjutnya menjalankan ajaran Islam terlihat ketika Sunan gelar susuhunan diganti menjadi sultan, namun diminta menari tayub yang disertai dengan susuhunan dipakai lagi oleh penggantinya yaitu minum-minuman keras. Hal ini oleh Belanda Amangkurat I. Akhirnya ketika Mataram pecah dipandang sebagai sikap perlawanan hingga menjadi dua (1755) gelar susuhunan dipakai oleh pemerintah Belanda memandang pentingnya raja-raja Surakarta dan Sultan dipakai oleh raja- pencegahan penyebaran agama Islam terutama raja .3 dikalangan bangsawan.7 Pemakaian gelar khalifatullah di Karaton Kisah di atas menunjukkan bahwa proses Surakarta masih dipakai sampai pemerintahan penyebaran agama Islam telah menyentuh Paku Buwana XIII sekarang. Secara lengkap kalangan bangsawan, bahkan seorang raja penyebutan raja untuk Karaton Surakarta adalah memeluk Islam dan menjalankan ajarannya Senapati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin dengan taat. Jika raja telah memeluk agama Panatagama Khalifatullah. Dari gelar tersebut Islam dapat diperkirakan sebagian besar tampak jelas bahwa raja selain berkedudukan rakyatnya juga mengikuti jejak rajanya yang sebagai kepala pemerintahan, panglima tinggi memeluk agama Islam. Hal ini diduga angkatan perang (Senapati Ing Ngalaga), juga disebabkan karena hubungan yang sangat dekat kepala bidang keagamaan (Abdurrahman Sayidin antara raja dengan rakyatnya. Dalam tradisi Panatagama) serta wali Tuhan di dunia dikenal konsep negara agung di mana kerajaan (Khalifatullah). Pemakaian gelar Sayidin merupakan pusat kosmologis pemerintahan, panatagama khalifatullah berkaitan dengan proses sementara hubungan raja dan rakyat dalam Islamisasi di Jawa. Dengan gelar tersebut berarti bahasa politik kerajaan dinamakan manunggaling raja sudah memeluk agama Islam, lebih dari itu kawula gusti.8 Sunan4 secara eksplisit menyatakan sebagai Penyebaran agama Islam di Jawa tidak penegak ajaran agama Islam. berjalan dalam waktu yang singkat, melainkan

Volume 14 Nomor 1 Bulan Mei 2014 33 Jurnal Pengetahuan, Pemikiran, dan Kajian Tentang “Bunyi” melalui perjalanan panjang hingga Islam dapat pemimpin Islam penasehat Sultan Demak I tersebar dan menempati urutan tertinggi jika (Raden Patah) pada abad ke -16.9 dihitung jumlah pemeluknya. Penyebaran agama Penggunaan gamelan Sekaten sebagai Islam di Jawa tentu melalui perantara serta sarana penyebaran agama Islam yang dimulai berbagai sarana yang digunakan sebagai alat sejak zaman Demak mengalami pasang surut, pendukung dakwah penyebaran Islam. Salah artinya pada periode tertentu gamelan Sekaten satu sarana pendukung penyebaran Islam di tidak menampakkan eksistensinya. Setelah Pulau Jawa adalah gamelan Sekaten. Perangkat runtuhnya Demak, tidak ditemukan informasi gamelan ini merupakan perangkat gamelan yang yang jelas tentang keberadaan gamelan Sekaten. dibunyikan untuk memperingati kelahiran Nabi Sampai pada masa kerajaan Pajang dan Mataram Muhammad SAW, dibunyikan selama satu awal di bawah pemerintahan Panembahan minggu di Bangsal Pagongan depan Masjid Senapati dan Panembahan Seda Krapyak Agung Surakarta. keberadaan gamelan Sekaten tidak diinformasikan keberadaannya. Hal ini dapat Perjalanan Gamelan Sekaten dimaklumi karena proses peralihan kekuasaan dari Demak ke Pajang terjadi konflik internal atau Berdasarkan cerita gotek (sejarah oral) intrik politik internal kerajaan yang tidak gamelan Sekaten tidak terlepas dari peranan kunjung selesai. kerajaan-kerajaan Islam pada saat para wali di Pada masa Mataram awal di bawah Jawa menyebarkan ajaran agama Islam. pemerintahan Panembahan Senapati dan Sebagaimana diketahui, sebelum masuknya Panembahan Seda Krapyak gamelan Sekaten juga Islam, masyarakat Jawa telah memeluk agama belum terlihat eksistensinya. Hal ini berkaitan Hindu dan Budha yang menyertakan gamelan dengan status Panembahan Senapati dan atau kesenian sebagai salah satu kegiatan dari Panembahan Seda Krapyak yang menggunakan upacara ritualnya. Kondisi sosial psikologis gelar panembahan. Gelar panembahan bukanlah masyarakat Jawa semacam itu rupanya menjadi gelar yang seharusnya bagi raja, gelar hambatan para wali untuk menyebarkan agama panembahan lebih memiliki nuansa dan muatan Islam. Maka dalam suatu musyawarah para wali, asketik yaitu menyimbolkan seseorang yang Sunan Kalijaga mengusulkan agar menggunakan memiliki keutamaan dalam kehidupan gamelan sebagai daya tarik awal bagi transendental.10 penyebaran agama Islam. Gamelan Sekaten yang Penyebutan raja dengan Panembahan juga digunakan sebagai sarana penyebaran agama ditemukan di Babad Tanah Djawi yang Islam di Jawa diduga kuat memiliki nilai-nilai menyebutkan bahwa Panembahan Senapati atau unsur-unsur Islam dalam perangkat “lajeng jumeneng Sultan wonten ing Matawis. tersebut. Nanging mboten karan: tetiyang kathah sami mastani Paku Buwana IV raja Surakarta yang taat Panembahan Senapati kemawon”11. Pemberitaan ini menjalankan ajaran Islam menyadari betul memberi kesan seakan-akan gelar itu kurang kedudukannya sebagai wali Tuhan hingga ia tinggi tingkatnya atau tingkat kehormatannya merasa bertanggung jawab terhadap proses kurang. Kata kemawon yang berarti hanya dakwah Islam di wilayah hukumnya. Seperti menunjukkan bahwa gelar panembahan bukanlah yang telah dilakukan oleh pendahulunya, Paku gelar bagi seorang raja, tetapi dipakai oleh orang Buwana IV tetap menggunakan gamelan Sekaten yang derajatnya di bawah raja, gelar sebagai sarana penyiaran agama Islam. panembahan kedudukannya berada di bawah Sebagaimana diketahui bahwa sebenarnya Sultan atau Susuhunan.12 Sedangkan gamelan dakwah dengan menggunakan gamelan Sekaten Sekaten merupakan pusaka kepraboning nata atau telah dilakukan oleh wali sanga sejak Kasultanan simbol keagungan seorang raja. Menyadari hal Demak, hingga dapat dikatakan gamelan Sekaten tersebut kedua panembahan itu tidak berani telah ada sejak zaman Demak. Sumber- sumber menggunakan gamelan Sekaten sebagai simbol (literature) Jawa mengatribusikan asal-usul keagungan. gamelan Sekaten kepada wali sanga, sembilan

3 4 Volume 14 Nomor 1 Bulan Mei 2014 Gamelan Sekaten dan Penyebaran Islam di Jawa Joko Daryanto

Gamelan Sekaten baru menampakkan rakyat selama berabad-abad, bahwa raja eksistensinya lagi pada masa pemerintahan Sultan memiliki kekuatan magis yang melekat pada Agung, raja terbesar Mataram. Sultan Agung benda-benda suci milik raja, yang tidak dapat berusaha kembali menghidupkan simbol-imbol dipisahkan dari raja.19 keagungan seorang raja, sejak saat itu gamelan Pada tahun 1788-1820 Paku Buwana IV Sekaten sebagai pusaka kepraboning nata mulai membuat gamelan Sekaten dengan volume dan menunjukkan keberadaannya. ketebalan bentuk yang lebih besar dibandingkan Sultan Agung membuat gamelan Sekaten dengan Kanjeng Guntur Sari yang diberi “baru” dan diberi nama Kanjeng Kyai Guntur nama Kanjeng Kyai Guntur Maclu.20 Pembuatan Sari pada tahun Jawa 1566. Angka tahun ini gamelan Sekaten ini menunjukkan konsistensi didapat berdasarkan sengkalan13 yang tertera Paku Buwana IV dalam penyebaran Islam pada rancakan14 saron15 dan demung16 gamelan dengan menggunakan gamelan Sekaten yang Sekaten Kanjeng Kyai Guntur Sari. Pada bagian telah ada sejak masa kerajaan Demak. Seperti tersebut terdapat ukiran yang berupa buah telah disebutkan di atas bahwa ide penyebaran semacam nanas dan buah-buahan yang lain agama Islam dengan gamelan Sekaten ditempatkan pada sebuah tempat. Ukiran dikemukakan oleh Sunan Kalijaga dalam sebuah tersebut menurut Pradjapangrawit jika dibaca pertemuan para wali. berbunyi rerenggan wowohan tinata ing wadhah17 Pradjapangrawit mencatat informasi yang menunjukkan angka tahun 1566. Sedangkan seputar ide penggunaan gamelan Sekaten dalam gamelan Sekaten warisan Demak masih menjadi penyebaran agama Islam berdasarkan gotek atau tanya besar apakah dilebur lalu dibuat perangkat sumber oral, ide Sunan Kalijaga itu selengkapnya gamelan yang lain belum ada keterangan yang adalah sebagai berikut: pasti.18 ...Murih tumunten kasembadan ing sedya, Peristiwa palihan nagari atau Perjanjian kedah mawi sarana angawonteni kabudayan Giyanti (1755) membawa pengaruh bagi Jawi ingkang dipun karemi ing tetiyang Jawi; keberadaan gamelan Sekaten. Isi perjanjian yang kaanggep pusaka Jawi, inggih punika . membagi Mataram menjadi Surakarta dan Angawonteni gangsa ingkang dipun pasang wonten ing sacelaking masjid, katabuh ingkang Yogyakarta menyebabkan gamelan Sekaten juga seru sanget, supados kamirengan saking dibagi dua, artinya masing-masing kerajaan tidak katebihan. Langkung-langkung ingkang mboten mendapat gamelan Sekaten secara lengkap. tebih, saged mireng cetha sanget. Mesthi kathah Hingga menjadi tugas masing-masing kerajaan tetiyang Jaw ingkang sami mara, dhateng pecahan itu untuk melengkapi gamelan, di aningali utawi mirengaken gangsa wau. Kasultanan Yogyakarta kemudian dikenal Amargi sampun sawatawis mboten sami dengan gamelan Sekaten Kanjeng Kyai Naga mirengaken gangsa ingkang dipun karemi Wilaga, sedangkan di Surakarta masih tetap sanget, kaanggep pusaka Jawi ingkang menggunakan nama Kanjeng Kyai Guntur Sari. sakalangkung pinundhi-pundhi. Lha ing Pembagian perangkat gamelan Sekaten ngriku punika panggenanipun nandukaken 21 sangat berkaitan dengan kepercayaan bahwa daya sarana ingkang sae sanget. benda-benda pusaka semacam itu tidak dapat dipisahkan dari raja karena gamelan Sekaten (...Agar segera tercapai tujuannya harus merupakan salah satu pusaka kepraboning nata atau menggunakan sarana kebudayaan Jawa yang sangat disenangi orang Jawa, simbol keagungan seorang raja. Dengan adanya dianggap pusaka Jawa, yaitu gamelan. benda-benda pusaka itu maka kepercayaan Kemudian gamelan tersebut ditabuh di rakyat terhadap raja akan tetap terjaga. Oleh dekat masjid dengan volume yang sangat karena itu meskipun terjadi kegoncangan- keras supaya terdengar dari kejauhan. kegoncangan kekuasaan seperti Perjanjian Lebih­lebih yang berada di dekatnya Giyanti kepercayaan rakyat tetap tidak dapat mendengarkan dengan jelas sekali. bergeming kepada raja. Sikap rakyat semacam Bisa dipastikan banyak orang Jawa yang ini erat kaitannya dengan nilai-nilai atau konsep datang melihat atau mendengarkan supremasi raja yang disosialisasikan kepada gamelan. Karena sudah agak lama mereka

Volume 14 Nomor 1 Bulan Mei 2014 35 Jurnal Pengetahuan, Pemikiran, dan Kajian Tentang “Bunyi”

tidak mendengarkan gamelan yang masyarakat Jawa dapat berdampingan, asas menjadi kesenangan orang Jawa, dianggap utama ajaran Islam yaitu tauhid tidak pusaka yang sangat dihargai. Di situlah dikorbankan dan. kebudayaan Jawa dapat dijaga tempat dan sarana yang sangat bagus kelestariannya. sekali.) Pertemuan antara Islam dan kebudayaan Jawa. dapat dikatakan merupakan pertemuan Ide penggunaan gamelan Sekaten dua kutub yang sebenarnya berlawanan. Akan sebenarnya merupakan jawaban atas kendala tetapi perbedaan itu disikapi para wali dengan yang muncul di lapangan ketika para wali tindakan hermeneutik yang kreatif. Tindakan melakukan penyebaran Islam. Setting hermeneutik yang kreatif ialah menciptakan masyarakat Jawa pada saat itu masih memiliki perubahan dan transformasi kebudayaan sesuai keyakinan yang sangat kuat terhadap agama dengan aspirasi baru yang relevan, tetapi Hindu dan Budha sehingga diperlukan alat bantu mengakar pada sumber otentik ajaran agama.23 dalam hal ini gamelan Sekaten untuk Bisa dipastikan tindakan yang demikian memudahkan para wali menyebarkan agama akan menghasilkan budaya baru yang Islam. Strategi dakwah dengan menggunakan merupakan titik singgung antara Islam dan gamelan Sekaten yang memiliki suara nyaring kebudayaan Jawa. Supadjar menyatakan bahwa dan keras, bentuk fisik yang jauh lebih besar dari titik singgung itu adalah pandangan bahwa gamelan biasa, diperkirakan sangat menarik dan budaya Jawa tidak membiarkan kebenaran efektif untuk mengumpulkan orang. Proses agama Islam sebagai sri gunung, yaitu bagus jika Islamisasi seperti itu selanjutnya disebut-sebut dipandang dari jauh, upacara-upacara tradisi sebagai dakwah dengan menggunakan Jawa mengandung ajaran yang bermaksud 22 pendekatan kultural. mempersiapkan manusia Jawa mendekati kebenaran Islam menjadi sri taman.24 Titik Gamelan Sekaten sebagai Sarana Dakwah singgung itu jika kita lihat pada gamelan Sekaten terlihat pada gendhing-gendhing yang Ide penyebaran agama Islam dengan dimainkan dalam perayaan Sekaten serta. wujud gamelan Sekaten merupakan sebuah gagasan fisik gamelan Sekaten. yang sangat membumi, dalam hal ini Sunan Aktivitas utama perayaan Sekaten di Kalijaga sangat memahami kondisi sosial Surakarta yang diselenggarakan selama tujuh psikologis masyarakat Jawa pada saat itu. hari untuk memperingati hari kelahiran Nabi Sebagai seorang wali yang bertugas menyiarkan Muhammad SAW merupakan pendekatan agama Islam Sunan Kalijaga membekali dirinya kebenaran syahadat kepada masyarakat. Sekaten dengan pengetahuan tentang kebudayaan dan berasal dari kata syahadatain yang berarti dua segala seluk beluk kehidupan masyarakat, kalimat syahadat, secara simbolik dua kalimat termasuk bahasa, adat istiadat, kesusastraan, syahadat ini direpresentasikan dalam dua seni, dan pandangan hidup masyarakat perangkat gamelan Sekaten Kanjeng Kyai Guntur setempat. Hingga tidak mengherankan jika para Sari dan Kanjeng Kyai Guntur Madu yang ditabuh wali berhasil menjadi penyebar Islam karena secara bergantian. Penempatan dua perangkat mereka mengenal dengan baik, bukan hanya gamelan pada dua tempat yang berbeda yaitu ilmu-ilmu agama tetapi juga kebudayaan Jawa. Bangsal Pradangga Kidul dan Bangsal Tindakan Sunan Kalijaga dan wali sanga Pradangga Lor di halaman Masjid Agung juga yang menyetujui penggunaan gamelan Sekaten merupakan representasi dua kalimat syahadat menjadi sarana penyebaran agama Islam yaitu syahadat tauhid dan syahadat rasul.25 merupakan hasil dari sebuah tafsir tentang Warna Islam juga nampak pada salah satu agama dan kebudayaan yang tepat. Pertemuan bagian dari rangkaian gendhing Sekaten yaitu antara kebudayaan masyarakat Jawa pada saat racikan. Anatomi gendhing sekaten secara itu serta ajaran. Islam yang dibawa wali pada lengkap terdiri atas racikan, umpak, gendhing (lagu akhirnya tidak merugikan salah satu pihak, pokok), dan suwukan. Racikan merupakan sebuah artinya antara Islam dan kebudayaan

3 6 Volume 14 Nomor 1 Bulan Mei 2014 Gamelan Sekaten dan Penyebaran Islam di Jawa Joko Daryanto komposisi musikal yang merupakan pengenalan tahap itu menurut Supadjar ada pada gamelan dari setiap gendhing sekaten, yang diekspresikan Sekaten. oleh pengrawit (musisi) melalui instrumen Strategi dakwah atau penyiaran Islam di dengan menyajikan serangkaian melodi, selalu Jawa yang menggunakan pendekatan disertai dengan bunyi serempak instrumen- kompromis yaitu dengan menggunakan gamelan instrumen lain dengan nada yang sama. Umpak Sekaten sebagai daya tarik awal pada akhimya merupakan potongan melodi yang digunakan membuahkan hasil. Sunan Kalijaga berhasil sebagai jembatan dari racikan menuju lagu pokok, memanfaatkan potensi budaya lokal untuk sedangkan suwukan adalah melodi pendek yang keperluan syiar agama Islam. Pradjapangrawit khusus dibunyikan jika gendhing akan berhenti. melukiskan keberhasilan penyiaran Islam hampir Racikan dimaknai sebagai simbolisasi merata di Pulau Jawa.30 Ada dua pendekatan atau ajaran atas doa yang dibacakan oleh seorang strategi yang mejadikan penyebaran Islam di imam. Sedangkan bunyi serempak dari Jawa berhasil yaitu Islamisasi kultur Jawa dan instrumen lain di setiap akhir melodi dipahami Jawanisasi Islam. Islamisasi kultur Jawa yakni sebagai seruan amin dari makmum yang mengupayakan agar budaya Jawa tampak mengikutinya. Hal ini merupakan interjeksi bercorak Islam, baik secara formal maupun musikal yang berpengharapan agar hubungan substansial. Upaya ini dilakukan lewat imam dan makmum merupakan perpaduan serasi penggunaan istilah-istilah Islam, penonjolan sebagaimana halnya melodi bonang dan suara peran tokoh Islam dalam berbagai cerita dan serempak instrumen lainnya.26 karya-karya sastra lama, sampai pada penerapan Perayaan Sekaten selama tujuh hari di norma-norma Islam dalam aspek kehidupan. Bangsal Pradangga Masjid Agung Surakarta Pendekatan kedua disebut Jawanisasi Islam selalu membunyikan dua gendhing wajib pada yakni upaya intemalisasi nilai-nilai Islam ke awal penyajian, dua gendhing itu adalah dalam budaya Jawa. Cara pertama diawali Ladrang Rambu dan Ladrang Rangkung. Rambu dengan menyentuh aspek-aspek formal sehingga ditafsirkan berasal dari kata Arab Robbunu yang simbol-simbol Islam nampak secara nyata dalam berarti Allah Tuhanku dan Rangkung ditafsirkan budaya Jawa. Pada pendekatan kedua, nama- juga berasal dari kata Arab Rokhun yang berarti nama Jawa tetap dipakai akan tetapi memuat jiwa besar atau jiwa yang agung.27 Dua gendhing kandungan nilai-nilai Islam, sehingga Islam itu harus selalu dibunyikan baik oleh gamelan menjadi men Jawa.31 Kanjeng Kyai Guntur Madu di bangsal selatan Gamelan Sekaten yang muncul karena ide maupun Kanjeng Kyai Guntur Sari di bangsal penyebaran agama Islam dan dituangkan utara. Penempatan dan gendhing yang pelaksanaannya melalui aktivitas perayaan berpasangan dalam penyajiannya merupakan Sekaten dalam rangka memperingati hari aplikasi konsep budaya Jawa yaitu keseimbangan kelahiran Nabi Muhammad SAW, hidup. Keseimbangan bagi orang Jawa diklasifikasikan ke dalam kelompok gamelan dipandang merupakan hal yang sangat penting pakurmatan yaitu gamelan yang digunakan karena berkaitan erat dengan citra nilai-nilai untuk menghormat sesuatu, suatu peristiwa atau etika dan estetika budaya.28 seseorang, lembaga dan sebagainya yang dulu Supadjar melihat Sekaten memiliki tiga tentunya ada hubungannya dengan keluarga atau tahapan yang bemafaskan Islam yaitu tafakur, sebagai atribut upacara untuk menjaga kebesaran tadzabur, dan tadabbur.29 Tahap tafakur raja/kerajaan dan atau yang terkait dengan memandang seni masih terbatas pada sifat-sifat kepercayaan; Islam, kejawen, dewa raja, kawula yang auditif, visual maupun motorik. Pada tahap gusti dan sebagainya.32 Sebenarnya perangkat tadzabur seni diliputi oleh suasana keindahan yang gamelan pakurmatan tidak hanya gamelan penuh kasih sayang tanpa penonjolan subyek Sekaten, masih ada gamelan carabalen, gamelan atau pengorbanan obyek, semuanya Baling monggang, dan gamelan kodhok ngorek. memaafkan dan mengoreksi. Sedangkan seni Dua perangkat gamelan Sekaten di pada tahap tadzabbur merupakan tahapan olah Karaton Surakarta masing-masing memiliki rasa, olah karsa, lahir dan batin bekerja. Tiga jumlah dan jenis yang sama. Berikut ini

Volume 14 Nomor 1 Bulan Mei 2014 37 Jurnal Pengetahuan, Pemikiran, dan Kajian Tentang “Bunyi” komposisi ricikan yang digunakan pada dua menyebabkan karaton menjadi pusat perangkat gamelan Sekaten Karaton Surakarta, pemerintahan dan aktivitas keagamaan serta masing­masing adalah: pusat pengembangan budaya. Fananie a. Satu rancak bonang yang terdiri dari ricikan menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan di Jawa bonang dan panembung, ditabuh oleh dua mengembangkan Islam sebagai agama resmi atau tiga orang pengrawit (musisi). melalui media (seni) budayanya sehingga seni b. Dua rancak demung, setiap demung ditabuh yang dominan dalam proses keagamaan Hindu oleh seorang pengrawit. akhimya mendominasi pula proses ritualisme c. Empat rancak barung, setiap rancak Islam dan membentuk budaya baru yang disebut ditabuh seorang pengrawit. kejawen.34 Sofyan juga menyatakan hal yang sama d. Dua rancak saron penerus, ditabuh masing- bahwa produk­produk budaya orang Jawa yang masing oleh seorang pengrawit. beragama Islam lebih cenderung mengarah pada e. Satu rancak kempyang, ditabuh oleh seorang polarisasi Islam kejawaan atau Jawa keislaman pengrawit. yang selanjutnya dipahami sebagai Islam kejawen. f. Sepasang atau dua buah besar, ditabuh 35 oleh seorang pengrawit. Ide penyebaran agama Islam dengan g. Sebuah bedhug yang digantung pada satu artefak gamelan Sekaten yang dituangkan dalam gayor33, ditabuh oleh seorang pengrawit. aktivitas perayaan Sekaten selama satu minggu bertepatan dengan hari kelahiran Nabi Fungsi sebagai sarana penyiaran agama Muhammad SAW semakin menunjukkan bahwa Islam menyebabkan gamelan Sekaten memiliki aktivitas seni dan prosesi keagamaan merupakan bentuk dan ukuran yang lebih besar dari dua hal yang tidak terpisahkan. Peringatan hari- gamelan pada umumnya. Gamelan ini memiliki hari besar Islam semacam ini telah mewarnai ukuran dan volume yang lebih besar dari kehidupan masyarakat Jawa, dalam upacara- gamelan pada umumnya, dengan instrumentasi upacara, itu termasuk hari kelahiran Nabi perkusi sebagai medium utama, ditambah Muhammad SAW percampuran antara Hindu dengan instrumen . Penambahan dan Islam sangat jelas terlihat proses ritual yang instrumen bedug merupakan satu bentuk bercorak Islam namun masih menggunakan pola kompromi karena dalam tradisi karawitan Jawa budaya Hindu. Jalaludin Rukmi menyatakan jika instrumen bedug tidak memberikan kontribusi suatu makna kerohanian dicetakkan secara yang berarti atau bahkan tidak berperan dalam intensif ke dalam sebuah bentuk ekspresi sajian karawitan, kompromi yang dimaksud budaya, walaupun bentuk ekspresi budaya itu adalah penyatuan dua instrumen yang berbeda sebenarnya telah berkembang lama, dengan asal-usul maupun fungsinya. Gamelan yang sendirinya bentuk ekspresi itu akan mengalami merupakan produk kebudayaan Jawa dipadu perubahan dan hadir seakan-akan sebagai dengan instrumen bedug yang merupakan alat sesuatu yang baru.36 Dari pernyataan itu semakin komunikasi peribadatan di masjid. Dengan jelas bahwa budaya baru hasil percampuran demikian unsur Islam juga terlihat dari wujud antara kebudayaan Hindu-Jawa dan Islam fisik yaitu adanya instrumen bedug. menghasilkan ekspresi budaya baru yang lain Proses pengislaman dengan model dengan kebudayaan sebelumnya, akan tetapi asimilasi budaya yaitu percampuran dua budaya kebudayaan yang lama tidak hilang begitu saja. inilah yang akhirnya menyebabkan munculnya sinkretisme. Secara umum pengertian Kesimpulan sinkretisme adalah percampuran antara tradisi Hindu dengan tradisi Islam tanpa melihat Gamelan Sekaten sebagai benda apakah percampuran tersebut benar atau salah, peninggalan sejarah setidaknya telah murni atau tidaknya suatu agama. Pola seperti menunjukkan bahwa agama dan kebudayaan ini pula yang melestarikan seni budaya sebagai dapat bersinergi hingga proses pengislaman medium dari ajaran Islam, khususnya yang Jawa tidak mengalami kesulitan. Kesanggupan dilakukan oleh kerajaan. Hal inilah yang menafsirkan secara kreatif para penyiar agama

3 8 Volume 14 Nomor 1 Bulan Mei 2014 Gamelan Sekaten dan Penyebaran Islam di Jawa Joko Daryanto

Islam di Jawa dalam hal ini para wali telah Mutohaharun Jinan (ed), Agama dan menghasilkan perubahan dan transformasi Pluralitas Budaya Lokal. Surakarta: kebudayaan sesuai dengan aspirasi budaya Jawa University Press, 2003. tetapi mengakar pada sumber otentik ajaran Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Islam. Pustaka, 1984. Kuatnya tradisi Hindu menyebabkan para Moedjanto, G., Konsep Kekuasaan Jawa. wali mengalami hambatan dalam penyebaran Yogyakarta: Kanisius, 2002. Islam di Jawa. Agama Hindu yang telah Moertono, S., Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa berkembang berabad-abad di Jawa sebelum Masa Lampau: Studi Tentang Masa Islam masuk telah meletakkan pondasi bahwa Mataram H, Abad XVI Sampai XIX seni merupakan bagian dari ritual, dengan kata Jakarta: Yayasan Obor , 1985. lain permasalahan seni dan agama dalam agama Prajapangrawit, Serat Sujarah Utawi Riwayating Hindu telah berakar kuat karena agama Hindu Gamelan: Wedhapradangga (Serat Saking memasukkan seni dalam persoalan kepercayaan. Gotek). Surakarta: STSI Press, 1990. Runtuhnya kerajaan Majapahit yang merupakan Soeratman, D., Kehidupan Dunia Surakarta. dinasti terakhir kerajan Hindu Jawa masih 1890-1939. Yogyakarta: Taman Siswa, menyisakan tradisi Hinduisme yang 1985. menyebabkan proses penyebaran Islam di Jawa Sofyan, R., “Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalain mengalami hambatan. Hal ini dikarenakan Aspek Kepercayaan dan Ritual”, dalam runtuhnya Majapahit hanya pada tataran formal Darori amin (ed). Islam & Kebudayaan administratif bukan dalam pengertian tradisi Jawa. Yogyakarta: Gama Media, 2002. Hinduisme. Kenyataan di lapangan menunjukkan , Hayatan Gamelan: Kedalaman Lagu, setelah Majapahit runtuh dan kerajaan Islam Teori dan Perspektif. Surakarta: STSI berdiri di tanah Jawa, tradisi Hindu masih Press, 2002. sangat jelas hingga proses pengislaman tanah Sunarto, B., “Budaya Musik Karaton Surakarta”, Jawa harus dilakukan melalui tradisi masyarakat dalam Panggung. Jurnal Seni STSI Jawa sendiri. Bandung. No. XXXVI. 2005. Hal. 9-28. Kemunculan perangkat gamelan Bandung: STSI Press, 2005. pakurmatan Sekaten sebagai sarana penyebaran Supadjar, D., Nawang Sari. Yogyakart: Fajar agama Islam dapat dimaknai sebagai bentuk Pustaka Baru, 2001. pemahaman baru terhadap konsep keagamaan Supanggah, R., Bothekan Karawitan I. Jakarta: yang berkaitan dengan budaya. Meskipun Masyarakat Seni Pertunjukan ditransformasikan dengan bentuk-bentuk Indonesia, 2002. ekspresi budaya lama yang lebih mapan dan ______, Gamelan.- Interaksi dan Perkembangan berakar kuat, akan tetapi hasilnya merupakan Musikal di Jawa. Yogyakarta: Pustaka ekspresi budaya baru yaitu bernafaskan Islam Pelajar, 2003. sekaligus bercorak Jawa. Waridi, Karawitan Jawa Masa Pemerintahan PB X: Perspektif Historic dan Teoritis. Surakarta: Kepustakaan ISI Press, 2006.

Sumber Pustaka (Endnotes) Fananie, Z., Pandangan Dunia KGPAA Hamangkoenagoro I dalam Babad Tutur: 1 Moertono, S. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Sebuah Restrukturasi Budaya. Surakarta: Masa Lampau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985: 34. 2 Soeratman, D., Kehidupan Dunia Keraton Surakarta Muhammadiyah University Press, 1994. 1890-1939. Yogyakarta: Taman Siswa, 1989: 4. Hadi, W.M.A., “Islam dan Dialog Kebudayaan: 3 Soeratman, D., 1989: 45. perspektif Hermeneutik. ”Dalam 4 Sebutan lain untuk raja Surakarta 5 Zakiyuddin Baidhawy dan Moertono, S., 1985: 35.

Volume 14 Nomor 1 Bulan Mei 2014 39 Jurnal Pengetahuan, Pemikiran, dan Kajian Tentang “Bunyi”

6 Sumarsam, gamelan Interaksi Budaya dan 19 Ali, F., 1986: 28. Perkembangan Musikal di Jawa. Yogyakarta: Pustaka 20 Pradjapangrawit, 1990: 89. Pelajar, 2003: 45. 21 Pradjapangrawit, 1990: 25-26. 7 Riklefs, dalam Sumarsam, 2003: 45. 22 Waridi, 2006: 150. 8 Riklefs, 1974: 23Hadi, W.M.A., “Islam dan Dialog Kebudayaan: 9 Sumarsam, Hayatan gamelan: Kedalaman Lagu, Teori Perspektif hermeneutic. Dalam Zakiyuddin Baidhawy dan Perspektif. Surakarta: STSI Press, 2002: 136. dan Matohaharun Jinan (ed), Agama dan Pluralitas Budaya 10 Sunarto, B., “Budaya Musik Karaton Surakarta”, Lokal. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2003: dalam panggung: Jurnal Seni STSI Bandung. XXXVI. 120. Bandung: STSI Press, 2005: 13. 24 Supadjar, D., Nawang Sari. Yogyakarta: Fajar 11 Panembahan Senapati kemudian menjadi Sultan Pustaka Baru, 2001: 83. di Mataram. Tetapi tidak disebut dengan Sultan, karena 25 Hadi, W.M.A., 2003: 122. masyarakat pada umumnya menyebut dengan 26 Sunarto, B., 2005: 19-20. Panembahan Senapati. 27 Supanggah, R., Bothekan Karawitan. Jakarta: 12 Moedjanto, G., 2002: 17-18. Masyarakat Seni pertunjukan Indonesia, 2000: 52-53. 13Kalimat yang memiliki makna angka pada setiap 28 Sunarto, B., 2005: 19. kata, digunakan untuk menunjukkan tahun terjadinya 29 Supardjar, D., 2001: 336. peristiwa atau pembuatan suatu benda yang dianggap 30 Pradjapangrawit, 1990: 29. pentingj 31 Waridi, 2006: 151. 14 Resonator yang terbuat dari kayu. 32 Supanggah, R., 2000: 56-57. 15 Salah satu instrument gamelan yang berbentuk 33 Tiang penyangga instrumen gamelan bilah-bilah. 34 Fananie, Z., 1990: 131. 16 Salah satu instrument gamelan berbentuk bilah- 35 Sofyan, R., “Interelasi NIlai Jawa dan Islam dalam bilah dan berukuran lebih besar dari saron. Aspek Kepercayaan dan ritual”, dalam Darori Amin (ed). 17 Bermacam buah-buahan yang ditata pada sebuah Islam & Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media, 2002: tempat. 119-120. 18 Pradjapangrawit, Serat Sujarah Utawi Riwayating 36 Jalaludin Rukmi dalam Abdul Hadi WM, 2003: 124. gamelan: Serat Saking Gotek. Surakarta: STSI Press, 1990: 47.

4 0 Volume 14 Nomor 1 Bulan Mei 2014