Quick viewing(Text Mode)

Gambus Sebagai Subkultur Musikal Religius

Gambus Sebagai Subkultur Musikal Religius

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS

STUDI KASUS PRAKSIS GAMBUS KELOMPOK “AL-ASYIK” AMBULU, JEMBER - JAWA TIMUR

Tesis

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma

Nur Imroatus Sholikhah NIM: 036322001

MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2008

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS

STUDI KASUS PRAKSIS GAMBUS KELOMPOK “AL-ASYIK” AMBULU, JEMBER - JAWA TIMUR

Tesis

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Nur Imroatus Sholikhah NIM: 036322001

MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2008

i PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

iii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Gambus Sebagai Subkultur Musikal Religius: Studi Kasus Praksis Gambus Kelompok Al-Asyik Ambulu, Jember-Jawa Timur” merupakan hasil karya dan penelitian saya sendiri. Di dalam bagian tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi. Peminjaman karya-karya sarjana lain di dalam tesis ini adalah semata-mata untuk keperluan ilmiah sebagaimana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.

iv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

MOTTO

Karena sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan. Sungguh, beserta kesulitan ada kemudahan.

(Q.S. Alam Nasyrah: 5-6)

v PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PERSEMBAHAN

Untuk Mas Kiki, Zeta dan

Nashwa.

Terimakasih untuk kebaikan kalian menciptakan banyak energi

yang membuatku tidak berhenti

berusaha

vi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

KATA PENGANTAR

Saya sempat merasa menulis tesis merupakan “kutukan” dalam hidup saya. Tidak ada kata lain yang melingkupi proses tersebut selain susah dan susah banget. Kalau banyak teman berseloroh saya mencari hiburan dengan “membuat anak”, itu ada benarnya juga. Meskipun banyak teman yang juga memaklumi lamanya saya bikin tesis, ya salah satunya karena urusan anak. Akan tetapi, saya juga perlu meyakinkan bahwa “hiburan dan anak” berbeda urusan dengan kesusahan saya mengurusi “kutukan” menulis tesis. Kesusahan pertama jelas pada kemampuan menulis dan membaca teks. Saya baru yakin kalau S-1 saya betul-betul “gagal” ketika dihadapkan dengan kenyataan kalau saya tidak bisa menulis sesuai dengan kaidah dan membaca sesuai maksud. Kesusahan kedua pada kepercayaan diri saya untuk yakin memakai pendekatan-pendekatan yang ditawarkan IRB. Saya sudah terlanjur percaya bahwa membuat tulisan itu intinya setuju atau menolak, mendukung atau mengkritik, deskriptif analisis atau eksplorasi deskriptif. Hingga IRB “memberi tahu” bahwa tidak perlu setuju atau menolak kalau yang diperlukan cuma merasakan; merasakan hidup itu memang hidup (kaya iklan, he) dan dapat dihidupi, bukan sekadar mekanisme dalam sistem. Untungnya Pak Nardi meyakinkan bahwa meskipun suasana membuat tesis di IRB terlihat “mengerikan”, tapi stafnya seperti flower in the desert, yang membuat saya betah. Terutama ketika Pak Nardi sudi menjadi guru belajar tata bahasa hingga menjadi tempat curhat masalah rumah tangga; Romo Banar yang selalu siap menjadi “DPR”. Pak Budiawan yang pasti sudi mengingatkan berbagai keteledoran. Mbak Hengki yang selalu siap ditanya-tanya soal kemungkinan dimaafkan dari berbagai kelalaian prosedur. Yang lebih menguntungkan lagi, IRB membuat saya berjodoh dengan Pak Johan yang selalu meng-update dunia musiknya. Di dalam bimbingan Pak Nardi dan Pak Johan, saya yakin kalau tema gambus lebih masuk akal bagi saya dari pada tema-tema yang membuat saya pura-pura mengalaminya.

vii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Berkah lain saya dapatkan dari teman-teman IRB dan keluarga. Perempuan-perempuan IRB yang “tahan banting”: mbak Ntis dengan segala kebaikan dan waktunya menemani proses berburu demi memenuhi berbagai keperluan tesis dan juga yang tidak terkait dengannya; Mbak Melati dan Mas Woody, kalau gak ada kalian, saya jamin gak akan ada bunyi musik dalam tesis saya; Izzah yang selalu rela berlama-lama mendengarkan teori-teori sok tahu saya. Teman-teman kelas: Pak Toto yang selalu percaya saya bisa nulis; Yus yang dengan caranya meyakinkan saya kalau musik bukan hal yang rumit; Ferdi yang memberikan suasana hidup baru bagi “kekuperanku”. Juga adik dan kakak kelas: Mbak Devi, Linda, Yustina, Wahyudi, Mbak Yeni, dan teman-teman lain yang tidak dapat saya sebut di sini. Di samping itu, keluarga Jember yang selalu percaya saya sedang melakukan hal baik dan mendukung dengan ikut-ikutan membantu mengumpulkan data. Dengan semua itu, saya yakin bahwa saya sedang menjalani tantangan, bukan “kutukan”. Tantangan yang hasilnya saya dedikasikan sepenuhnya untuk kelompok Al-Asyik Ambulu. Terima kasih telah mengajarkan saya arti “negosiasi” dan asyiknya menjadi orang biasa.

Nur Imroatus S Januari 2008

viii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ABSTRAK

Memahami Al-Asyik sebagai subkultur musikal religius membutuhkan tiga hal: pertama, memahami Al-Asyik sebagai bagian dari pembentuk musik; kedua, memahami musik gambus sebagai cara pemain menghidupi bentuk musiknya; ketiga, memahami bahwa dalam praktiknya, bentuk gambus yang dihidupi pemain tidak pernah benar-benar otonom. Ketiga pemahaman tersebut dapat dipakai untuk memahami, mengapa bentuk pertunjukan gambus Al-Asyik disebut religius di Ambulu? Dan, apa pentingnya hal itu bagi kelangsungan hidup bermasyarakat pemainnya? Gambus disebut religius di Ambulu melalui penilaian dalam mekanisme budaya musikal religius. Dalam medan gambus, penilaian berasal dari ruang religius dan ruang musikal. Ruang religius merupakan arena perebutan legitimasi religius dan ruang musikal merupakan arena perebutan legitimasi musikal. Legitimasi religius di Ambulu didistorsi melalui pemaknaan simbol-simbol religius, antara lain: masjid, pengajian dan musholla. Simbol-simbol tersebut secara dinamis membentuk stuktur bahasa religius yang dipakai sebagai media komunikasi bagi “suara-suara” religius. Sedangkan, legitimasi musikal dipengaruhi oleh persaingan antara bentuk-bentuk musik ruang religius dengan bentuk-bentuk musik yang disediakan oleh industri musik religius tradisi. Untuk dapat mengakses bahasa ruang, pemain harus “peka” dengan bentuk-bentuk yang disediakan setiap ruang. Bentuk yang diapropriasi pemain dari ruang religius adalah ja’fin. Sedangkan, bentuk yang diapropriasi dari ruang musikal, secara khusus, berasal dari kelompok gambus Balassyik, dalam bentuk sarah dan baladian. Hanya dengan menghidupi ja’fin, bentuk gambus pemain telah dinilai religius. Akan tetapi, habitus dan modal pemain sebagai pemain hadrah dan pemain band, membuat mereka merasa perlu bersaing dengan Balassyik. Persaingan tersebut menghasilkan empat bentuk gambus: pop ja’fin, sarah, baladian, dan dhaifah. Akan tetapi, bentuk tersebut justru memposisikan “suara” Al-Asyik sebagai suara “bising”; suara yang tidak dapat dipakai untuk berkomunikasi dengan medan gambus religius. Suara yang bahkan diragukan legitimasi religiusnya. Di sisi lain, “suara” tersebut dihidupi sebagai artikulasi kombinasi habitus dengan modal pemain. “suara” tersebut adalah identitas Al-Asyik. Pada posisi ini, identitas Al-Asyik direposisi agar dikenali oleh legitimasi lainnya. Identitas tersebut juga membawa mereka melakukan reposisi dalam ruang religius dan ruang musikal. Lebih jauh, mereka juga mereposisi statusnya. Artinya, Al- Asyik secara sadar tidak sedang ingin bersuara melalui bahasa medan gambus mainstream. Mereka bahkan mengusahakan medannya sendiri.

Key words: gambus, subkultur, budaya musikal religius.

ix PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR ISI

Hal HALAMAN JUDUL i HALAMAN PERSETUJUAN ii HALAMAN PENGESAHAN iii HALAMAN PERNYATAAN iv MOTTO v PERSEMBAHAN vi KATA PENGANTAR vii ABSTRAK ix DAFTAR ISI x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 B. Rumusan Masalah 4 C. Signifikansi Penelitian 5 D. Tinjauan Pustaka 5 1. Kajian Musik Gambus 6 2. Berbagai Kajian Musik 10

BAB II SOSIOLOGI BUDAYA MUSIKAL 17 A. Musik Sebagai Mentalitas (Music as Mentality) 18 B. Budaya Musikal 21 1. Budaya dan Subkulturnya 22 2. Subkultur Musikal 30 C. Kesimpulan 33 D. Metode Penelitian 35 a. Observasi Awal 35 b. Pengumpulan Data 36 c. Analisis Data 38

BAB III MEDAN GAMBUS AL-ASYIK 40 A. Ruang Religius 42 1. Masjid Besar Sebagai Ruang Distorsif 42 2. Jamaah Pengajian Sebagai Ruang Intensional 48 3. Musholla Sebagai Ruang “Bahasa” 52 B. Ruang Musikal 54 C. Kesimpulan 68

x PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB IV GAMBUS SEBAGAI BUDAYA MUSIKAL RELIGIUS 70 A. Ja’fin: Awal perjumpaan 70 B. Sarah dan Baladian: Musik Religius, Selera Komersil 75 C. Dhaifah: Akhir Perjalanan? 83 D. Kesimpulan 90

BAB V IDENTITAS GAMBUS AL-ASYIK 92 A. Identitas Religius Sebagai Konsistensi 92 B. Identitas Musikal Sebagai Cara Bersaing 98 C. Subkultur Sebagai Reposisi Identitas 106 1. Reposisi Religiusitas 108 2. Reposisi Musikal 112 3. Reposisi Status 114

BAB VI KESIMPULAN 117

Daftar Pustaka 121 Lampiran 1. Data Diri Pemain 123 2. Kuesioner 131 3. Daftar Peta

xi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Musik merupakan salah satu cara mengenali masyarakat1. Model interaksi yang sedang dihidupi oleh seseorang atau kelompok tertentu dapat dilihat dari cara menghidupi musiknya. Salah satu contoh menghidupi musik di adalah kasus “perebutan ” antara Inul dengan . “Perebutan” yang ditekankan justru bukan berasal dari musikalitas, melainkan bentuk ekspresi.

Rhoma mengklaim dangdut yang “benar” adalah dangdut yang diusahakannya 2.

Sedangkan, Inul (yang didukung oleh media) merasa bahwa dangdut adalah seni, siapa saja boleh berkreasi atasnya.

Musik pada posisi ini merupakan arena perebutan makna. Pada akhirnya, suatu jenis musik “harus siap” dimaknai oleh pendukungnya. Hampir tidak ada satu jenis musik pun yang bebas dari jaring pemaknaan. Apa yang disebut sebagai musik perjuangan, musik rohani, musik tradisi, musik religius, musik setan, dan sebagainya, merupakan beberapa contoh musik yang dimaknai. Melalui pemaknaan inilah orang dapat mengenali perbedaan satu jenis musik dengan musik lainnya.

1 Dikutip dari pernyataan Dasilva, dkk: “... we understand something social about a group or society by the way that music is lived, by the way it supports and influence lives within that society”. Lihat, Fabio Dasilva, dkk, The Sociology of Music, halm: 1 2 Dalam wawancara dengan Tabloid Nova, Rhoma memposisikan dirinya sebagai “representasi dangdut yang sebenarnya”. Ia mengatakan, “Saya sejak dulu susah payah membangun dangdut dari yang tadinya tingkatan becek, sampai sekarang ini bisa di tengah, dan sekarang jadi primadona. Tiba-tiba, kok, ada pendatang baru yang mencemarkan”. Lihat, www.tabloidnova.com.

1 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Pada prosesnya, pemaknaan yang ada pada suatu jenis musik tidak hanya dipakai sebagai pembeda dengan jenis musik lainnya, tapi juga menjadi pembeda dengan pemaknaan lain yang ada pada jenis musik yang sama. Dangdut Inul

Daratista dan dangdut Rhoma Irama “berkonflik” kurang lebih pada makna dangdut sebagai musik khas Indonesia. Apa yang khas menurut Inul berbeda makna dengan Rhoma. Dengan kata lain, pembedaan yang melingkupi wilayah musik merupakan cara orang mengekspresikan pengalamannya memaknai musik.

Pada kasus musik yang dimaknai sebagai musik religius, orang tidak banyak memiliki pengalaman mempersoalkan musik jenis apa yang dapat dimaknai religius. Secara khusus, pengalaman pemaknaan musik religius diperoleh dari “perdebatan” mengenai sejauh mana jenis musik tertentu menunjukkan makna religius. Misalnya saja, kelompok band Gigi yang “tiba-tiba” dipercaya sebagai salah satu kelompok band religius dan mengeluarkan album religius. Hal yang sama juga terjadi pada band Ungu dan juga Inul dengan album

“Inul Religius”. Padahal, sekitar 15 tahun lalu sebagian besar orang masih meyakini Nasida Ria dan Bimbo sebagai “biang” artis musik religius.

Contoh fenomena musik religius di atas banyak terjadi pada ragam musik industri. Dalam ragam musik tradisi, terutama tradisi Islam, sebutan musik religius hampir selalu melekat pada jenis musik tertentu, misalnya: hadrah, samroh (qasidah), diba’ (barjanji), , gambus, dan sebagainya. Makna dan pertunjukannya pun memiliki pola dan bentuk yang relatif mapan. Pada kasus musik gambus, umumnya orang memiliki pemaknaan yang hampir sama tentang

2 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

religiusitas gambus; musik ala padang pasir, dimainkan oleh orang-orang keturunan Arab dengan kostum jubah putih (gamis) dan syair bahasa Arab.

Akan tetapi, penilaian seperti itu pudar kalau orang menyaksikan salah satu pertunjukan musik gambus Al-Asyik di Ambulu. Tidak seperti kelompok musik gambus pada umumnya yang dimainkan oleh keturunan Arab, seluruh pemain Al-Asyik adalah remaja keturunan Jawa. Beberapa dari pemain terlihat menggunakan kemeja dan celana panjang seperti hendak nongkrong di poskamling. Sebagian dari mereka terlihat ada juga yang menggunakan peci. Alat musik yang dipakai pun tidak hanya berupa marwas dan gitar gambus, tapi juga keyboard, bass, biola, gitar rythm, drum dan juga tamborin. Tariannya tidak banyak berbeda dengan tarian dangdut. Bagi orang yang belum mengenal gambus, kemungkinan besar tidak akan menduga kalau pertunjukan tersebut adalah pertunjukan musik religius. Ia lebih mirip pertunjukan musik pop berbahasa Arab

(pop Timur Tengah).

Fenomena Al-Asyik bisa saja memunculkan pertanyaan; Apakah musik gambus semacam ini masih bisa disebut musik religius?3 Atau, benarkah generasi muda Islam tidak mampu lagi menampilkan musik religius dengan cara yang

Islami? Akan tetapi, keprihatinan semacam ini umumnya didasari pada pencarian

“doktrin” mengenai apa yang disebut musik religius4. Jika hal tersebut dilakukan

3 Pertanyaan yang sama juga pernah diajukan seorang musikus yang telah mapan (menurut tulisan tersebut) kepada Gus Dur, ketika melihat fenomena musik-musik religius di televisi, yang menurutnya bermutu rendah. Ia mengatakan, “Benarkah yang dituju adalah seni ‘musik agama yang akan membawa kepada kesadaran orang dan menyentuh getaran rasa kebesaran Tuhan’? Kalau benar itu yang dituju, dengan kualitas seperti itu, apa bukan sebaliknya yang terjadi?”. Lihat, , Qasidah dalam Tuhan Tidak Perlu Dibela, halm: 30. 4 Yusuf Al-Qardlawi melakukan rumusan teologis (doktrin) mengenai fiqh musik dan lagu. Dalam rumusan tersebut Ia menunjukkan ayat-ayat Al- dan hadist Nabi yang membolehkan dan melarang “bentuk” seni musik. Secara umum kajiannya merujuk pada fungsi musik dan lagu

3 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

untuk memaknai bentuk musik Al-Asyik, tentu akan sangat menyederhanakan.

Lebih jauh, penilaian semacam itu tidak dapat dipakai memahami bahwa setiap jenis musik memiliki peluang disebut sebagai musik religius dan masyarakat memiliki kemungkinan untuk memilih bentuk musik religiusnya.

Tesis ini meneliti kelompok gambus Al-Asyik terutama karena mereka menunjukkan peluang untuk memberi “bentuk” lain pada pertunjukan musik gambus. Peluang-peluang inilah yang akan mengantarkan penelitian ini pada pemahaman konteks yang menciptakan peluang tersebut. Lebih jauh, memahami masyarakat yang mengusahakan peluang tersebut.

B. Rumusan Masalah

Ketertarikan tesis ini pada kelompok Al-Asyik didasari oleh cara orang atau kelompok memiliki keputusan membentuk pengalaman kereligiusannya sendiri melalui bentuk musik gambus yang dimainkannya. Sekaligus, tertarik dengan musik gambus yang menyediakan ruang bagi kelompok Al-Asyik memutuskan bentuk pertunjukannya sendiri. Akan tetapi, kedua ketertarikan tersebut hanya dapat ditunjukkan melalui bentuk gambus yang dihidupi oleh Al-Asyik. Oleh sebab itu, tesis ini perlu merumuskan hal-hal apa saja yang memungkinkan Al-

Asyik dapat menghidupi bentuk gambus tertentu. Rumusan tersebut adalah: sebagai alat untuk meningkatkan ketaqwaan, lebih pada deskripsi lirik. Secara khusus, dalam akhir pemaparan, Ia menentukan bentuk-bentuk musik yang dihidupi sebagai musik “religius” dalam realitas kaum muslimin (muslim?), antara lain: Pembacaan Al-Quran dengan tartil (dengan lagu) yang dilantunkan oleh sebagus-bagus suara (qari’); Adzan yang dikumandangkan dengan suara yang membuat pendengarnya suka; ibtihalat ad-diniyah (syair-syair permohonan); puji-pujian terhadap Nabi dalan bentuk sholawat; dan Nasyid yang berisi nyanyian natural yang tumbuh dari lingkungan masyarakat yang jauh dari unsur-unsur negatif. Lihat, Fiqh Musik dan Lagu: Prespektif Al-Quran dan As-sunnah, halm: 196-197. Khusus mengenai Nasyid, Ia membahas secara khusus daam buku lain yang berjudul Nasyid Vs Musik Jahiiyyah.

4 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1. Mengapa pertunjukan gambus Al-Asyik masih disebut pertunjukan musik

religius? Proses pemaknaan seperti apa yang terjadi di dalamnya?

2. Bentuk-bentuk gambus apa saja yang disedikan oleh kultur musikal religius

yang ada? Bagaimana bentuk tertentu dihidupi oleh Al-Asyik?

3. Bagaimana Al-Asyik diposisikan dalam kultur musikal religius melalui

bentuk yang dihidupinya?

C. Signifikansi Penelitian

1. Pada umumnya penilaian terhadap musik cenderung stereotip. Dengan

penelitian ini, kita dapat menilai musik sebagai cara masyarakat memaknai

“hidupnya”. Artinya, alasan orang memilih musik tertentu tidak semata-mata

berdasarkan stereotip yang menempel pada suatu jenis musik.

2. Penelitian ini membantu memberikan cara pandang lain dalam menilai

masyarakat berdasarkan musik yang dihidupinya, atau sebaliknya.

3. Mengajak untuk lebih memperhatikan musik-musik yang kurang dikenal

seperti musik gambus, agar lebih banyak jenis musik yang dapat didengarkan.

D. Tinjauan Pustaka

Kegiatan meneliti pada dasarnya merupakan kegiatan yang akan menunjukkan kekhasan “obyek” yang sedang diteliti. Menunjukkan kekhasan berarti juga menunjukkan cara menunjukkan kekhasannya, cara mendekatinya. Orang dapat

5 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

membedakan penelitian satu dengan penelitian lainnya, meskipun mungkin obyeknya sama, salah satunya dari cara peneliti mendekati “obyeknya”.

Tinjauan pustaka, dalam tesis ini berguna untuk mengetahui sejauh mana obyek yang sama didekati oleh para peneliti. Selain itu, tinjauan pustaka juga berguna untuk melihat kemungkinan sebuah obyek dapat didekati dengan pendekatan yang belum dipakai oleh peneliti lain. Oleh sebab itu, tinjauan pustaka dalam tesis ini akan melihat penelitian tentang gambus yang pernah dilakukan oleh peneliti lain dan melihat berbagai pendekatan yang dapat dipakai untuk mendekati “obyek” musik.

1. Kajian Musik Gambus

Salah satu penelitian mengenai gambus di Indonesia dilakukan oleh Helene

Bouvier5. Dalam salah satu subjudulnya, ia membuat kategori seni pertunjukan masyarakat Madura yang disebut sebagai “Musik Religius”. Secara tegas, Bouvier menyebut penelitiannya sebagai penelitian antropologis deskriptif analitis6. Ia memfokuskan penelitiannya pada deskripsi bentuk pertunjukan yang secara umum dapat dikenali, seperti: penggunaan alat musik, struktur panggung, kegunaan pertunjukan dalam masyarakat, dan sebagainya. Analisis dibutuhkan untuk memposikan pertunjukan tersebut dalam konteks masyarakat Madura.

Gambus merupakan salah satu dari berbagai jenis seni pertunjukan musik religius yang hidup di Madura. Bouvier mendeskripsikan gambus mirip

5 Helene Bouvier, Lebur : Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, 2002. 6 Ibid, halm: 2.

6 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dengan samman7. Perbedaannya, pertunjukan gambus cenderung lebih ‘meriah’ daripada samman. Biasanya, selain mengandalkan gitar gambus dan marwas, pertunjukan musik gambus juga disertai keyboard dan biola. Qasidah8 yang dinyanyikan tidak selalu berbahasa arab, tapi bisa juga bahasa Indonesia atau bahasa Madura. Tariannya pun lebih dinamis dari pada samman. Jika samman cenderung khusus untuk laki-laki dewasa, gambus dapat menyertakan anak-anak usia tujuh tahun keatas.

Bouvier mengamati, tidak banyak kelompok musik gambus maupun samman di Madura dibandingkan kelompok hadrah9. Selain membutuhkan peralatan musik yang lebih banyak, alat musik gambus juga tidak banyak yang dapat memainkannya. Bouvier tidak menyebutkan apakah hal itu terkait dengan dominasi gambus dan samman yang dimainkan oleh ras keturunan Arab. Akan tetapi, melalui data deskriptifnya, Bouvier mengamati bahwa seluruh kesenian yang dikategorikan sebagai musik religius kecuali dangdut, intinya adalah qasidah. Pembedaan tersebut berdasarkan pada pembedaan fungsi musikal; apakah qasidah tersebut diiringi musik atau tidak, apakah ditarikan atau tidak,

7Bouvier mendeskripsikan samman sebagai nyanyian yang berisikan ayat Al-Quran dan qasidah. Dalam pelaksanaannya, samman kadang diiringi musik dan disertai tarian sederhana membentuk lingkaran. Lirik yang digunakan berbahasa Arab dan sesekali diselingi bahasa Madura. Samman lebih sering dipentaskan oleh masyarakat madura keturunan Arab dari kalangan kota. Ibid, halm: 210. 8Bouvier mendefinisikan qasidah sebagai nyanyian pujian, kadangkala berbentuk do’a, atas kebesaran Allah dan Nabi-nya dalam bahasa Arab. Ibid, halm: 208 9Hadrah merupakan qasidah dengan iringan musik tabuh, dilakukan secara berkelompok dan kadang disertai dengan gerakan tertentu. Alat musik yang populer digunakan dalam suatu pertunjukan hadrah adalah rebana atau terbhang (sejenis tambur datar). Sekurang-kurangnya ada lima rebana yang dibutuhkan oleh suatu kelompok hadrah dan masing-masing dipukul dengan cara yang berbeda. Hadrah adalah kesenian khas laki-laki dan liriknya berbahasa Arab. Sehingga, hadrah seringkali ditampilkan dalam acara-acara keagamaan karena nyaris tidak menimbulkan perdebatan mengenai hubungan seni dan agama. Beberapa orang menjadikan hadrah sebagai salah satu pekerjaan sampingan (semi-profesional). Ibid, halm: 210

7 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

tercampur lagu-lagu ‘profan’ dalam bahasa Indonesia, Madura atau yang lainnya.

Dari kategori musikal dan kegunaan pertunjukan tersebut, Bouvier membuat urutan musik religius yang ada di Madura. Urutan tersebut, yaitu: Diba’ 10,

Saman, Hadrah, Qasidah (samroh)11, gambus dan dangdut 12.

Melalui deskripsi tersebut, Bouvier berhasil membuat identifikasi musikalitas sekaligus fungsi musik religius dalam ritus kehidupan masyarakat

Madura. Akan tetapi, ia tidak menunjukkan (karena ia juga menghindari) mengapa jenis-jenis musik tersebut diakui sebagai musik religius. Meskipun, secara pribadi ia masih penasaran, karena baginya, musik-musik tersebut tidak terasa religius sama sekali13.

Apa yang menjadi kegelisahan Bouvier, dilengkapi oleh Musmal dalam tesisnya mengenai perkembangan gambus di Sumatera Utara. Musmal berusaha menunjukkan latar belakang (sejarah?) yang membuat gambus dikenal sebagai musik religius di Sumatera Utara. Musmal menceritakan tentang ‘perjalanan’ musik gambus hingga diterima sebagai salah satu genre musik masyarakat Melayu dimulai dengan mencari titik tengah dari berbagai argumentasi mengenai

10 Diba’ merupakan doa dan ayat Al-Quran yang dibacakan atau diucapkan secara lisan bergantian dengan qasidah yang dinyanyikan tanpa tarian dan musik. Pembacaanya dilakukan oleh perempuan secara berkelompok. Dalam praktiknya, diba’ bukanlah seni pertunjukan, sehingga tidak mementingkan adanya penonton. Bouvier lebih menyebut diba’ sebagai ikrar keimanan daripada sebagai kesenian. Oleh karena itu, kehadirannya seringkali dikaitkan dengan acara keagamaan yang lebih privat sifatnya, seperti : pengajian mingguan atau arisan. Ibid, halm: 210. 11Samroh atau yang pada umumnya dikenal sebagai qasidah (sebagai jenis musik) merupakan kesenian yang paling populer dari beberapa jenis kesenian religius lainnya. Selain selalu diiringi dengan alat musik, samroh juga menampilkan lagu ‘profan’ bertema moral dan jarang menggunakan bahasa Arab. Kalau hadrah khas laki-laki, samroh khas perempuan. Oleh karena itu, pertunjukan samroh seringkali dilakukan pada acara-acara pengajian atau arisan. Acara keagamaan seperti Maulud Nabi atau Isra’ Mi’rad jarang menampilkan samroh karena masalah hubungan “seni, perempuan dan agama” (salah satunya ‘aurat’ suara perempuan). Ibid, halm: 211 12 Ibid, halm : 210-211. 13 Ibid, halm: 230

8 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

‘pembawa’ musik gambus di Indonesia. Dari sana, Musmal sampai pada kesimpulan bahwa gambus adalah manifestasi evolusi budaya 14. Kesimpulan tersebut menegaskan kontinuitas genre musik gambus di Sumatera Utara.

Berbagai kemungkinan seperti dinamika dan perkembangan masyarakat, perkembangan seni pertunjukan di Medan, musisi dan komponis yang terkenal di

Medan sekaligus kebudayaan lokal dalam konteks nasional, dibahas dalam tulisannya.

Selanjutnya, Musmal memaparkan urutan ‘bentuk’15 musik gambus yang berkembang dalam tradisi musik Melayu. Penelitian Musmal, secara sederhana memaparkan gambaran mengenai “seperti apa musik gambus itu?”. Secara ringkas penelitian Musmal dapat dikatakan demikian: Musik gambus adalah musik yang diiringi instrumen gitar gambus 16dan gendang kecil dengan dua permukaan (marwas), umumnya dimainkan oleh laki-laki dan pementasannya dilakukan pada acara-acara keagamaan serta liriknya kebanyakan berbahasa Arab.

Akan tetapi, Musmal tidak banyak membicarakan posisi gambus sebagai musik religius. Bahkan, cara Musmal mendeskripsikan gambus, seolah tidak ada yang “hidup”. Semua sekuen kejadian dan data mengenai gambus seolah berasumsi pertunjukan gambus adalah ragam hiburan yang menjadi salah satu

“kekayaan budaya” Nusantara.

14 Musmal, Gambus Sebagai Salah Satu Ekspresi Musik Rakyat Melayu di Sumatera Utara: Kajian Perubahan dan Kontinuitas (tidak dipubikasikan), halm : 24. 15 ‘Bentuk’ musik gambus dalam pemaparan Musmal me liputi, alat musik, pemain, momen pelaksanaan, dan lirik. Lihat ibid, halm : 25-37 16 Dalam bahasa Inggris gitar gambus disamakan dengan lute dan dalam bahasa Arab dikenal sebagai ‘Ud. Lihat ibid, halm : 25.

9 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Yang dilakukan Musmal tidak banyak membantu untuk menjawab persoalan klarifikatif: Kapan suatu jenis musik “impor” seperti gambus dapat dimaknai sebagai musik “kekayaan budaya” Indonesia?; Bagaimana dengan musik RnB yang diimpor dari tradisi musik kulit hitam Amerika dan ternyata hidup subur di Indonesia? Mengapa kita tidak mengenalnya sebagai musik religius (Kristen) juga?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut lahir dari asumsi bahwa musik yang berkembang sebagai bentuk ekspresi tidak lagi dapat dikategorisasi berdasarkan reproduksi informasi lokasi kemunculannya. Musik mencakup banyak wilayah dalam kehidupan manusia. Tidak mengherankan apabila kajian tentang musik tidak terbatas dengan satu pendekatan saja.

2. Berbagai Kajian Musik

Pada latar belakang penelitian telah dijelaskan bahwa ketertarikan penulis pada tema musik tidak semata-mata karena persoalan musikalitas gambus. Lebih jauh, musik menjadi semacam “magnet” yang dapat membuat seseorang atau kelompok masyarakat tertentu bersedia mendukungnya. Musik pada konteks ini dipakai untuk menjelaskan masyarakat yang membuatnya memiliki pesona untuk dipilih.

Ada banyak pendekatan yang dapat melingkupi konteks tersebut. Salah satunya pendekatan estestis atau estetika musik. Pendekatan ini membantu memahami musik sampai pada tataran filosofis, yakni musik sebagai bentuk pengetahuan. Dengan demikian, estetika musik bukanlah cara untuk menikmati

10 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

keindahan musik, melainkan usaha untuk memahami persoalan keindahan dalam musik.

Suka Harjana dalam buku Estetika Musik memaparkan berbagai kemungkinan musik dan manusia ‘menghadirkan’ keindahan. Suka Harjana menekankan bahwa keindahan musik bukanlah suatu kebutuhan manusia.

Keindahan musik adalah proses di mana manusia menyadari keindahan secara rasional. Keindahan dalam musik mutlak hasil kerja manusia.17 Yang dapat dilakukan estetika adalah membawa persoalan musik pada rangkaian eksplorasi filosofis tentang fakta keindahan musik. Fungsinya, untuk memuaskan kesadaran manusia tentang esensi keindahan musik.

Cukup di situ yang dapat dilakukan estetika. Karena itulah, Suka Hardjana berkali-kali mengatakan estetika musik hanya terlihat betul gunanya bagi kehidupan manusia jika dilengkapi dengan pendekatan lain, seperti psikologi musik, sosiologi musik, dan sebagainya. Karena, pemahaman tentang keindahan musik pada akhirnya dipakai orang dalam komunikasi. Bagaimana komunikasi tersebut berlangsung, tidak dapat dijelaskan secara estetis.

Pendekatan lain yang dapat dijadikan referensi kemungkinan besar adalah psikologi. Psikologi musik pada umumnya berusaha untuk menjawab pertanyaan mengenai musik kaitannya dengan emosi, terutama tentang bagaimana kerja musik mempengaruhi perilaku manusia. Psikologi musik umumnya dipakai untuk menghasilkan pengetahuan tentang musik yang dapat digunakan sebagai stimulan

(perangsang). Kaidah-kaidah dalam psikologi berguna dalam menganalisa

17 Suka Hardjana, Estetika Musik , halm: 40

11 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kecenderungan emosi manusia merespon bunyi. Dengan kata lain, perilaku musikal dapat dijelaskan menggunakan pengetahuan tentang psikologi bunyi.

Akan tetapi, berbagai hasil penelitian dalam kajian psikologi terapan18 menemukan hal lain yang menentukan perilaku musikal seseorang selain musikalitas. Perilaku musikal juga ditentukan oleh jenis kelamin, perangkat emosi individu, gaya mendengarkan musik, perkembangan budaya, rasa musik, hingga pendidikan19. Oleh karena itu, David J. Hargreaves dan Adrian C. North mengusulkan untuk mencermati praktik psikologi musik melalui buku yang disuntingnya, The Social Psychology of Music. Semua tulisan dalam buku tersebut menjadi semacam “ensiklopedi” kondisi yang memungkinkan orang memiliki sikap tertentu terhadap musik. Pemahaman tentang hal itu, diharapkan dapat membuat kajian seputar psikologi musik dapat lebih terbuka pada berbagai kemungkinan reaksi individu atas musik yang didengarnya. Singkatnya, psikologi musik hanya mampu menunjukkan asumsi subyektif keterkaitan musik dengan pendukungnya. Kaitannya dengan tesis ini, memahami masyarakat melalui musik yang didukungnya memerlukan pendekatan yang dapat menjembatani psikologi dengan konteks sosialnya.

Senada dengan David J. Hargreaves dan Adrian C. North, Fabio Dasilva dkk mencoba menerangkan subyektivitas perilaku musikal melalui pendekatan sosiologi. Dasilva mengawali bukunya, The Sociology of Music, dengan judul

Music as Mentality. Ia menekankan bahwa musik merupakan hal yang sangat

18 lihat Djohan, Psikologi Musik, halm: 4. Dalam buku ini Djohan memberikan deskripsi mengenai tumbuh kembangnya psikologi musik sekaligus memberikan pemetaan mengenai kesejarahan wacana psikologi musik sampai dengan aplikasinya. 19 Hargreaves, David J, The Social Psychology of Music, halm: 25-243

12 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

subyektif. Bahkan, definisi tentang musik sangat tergantung pada pengetahuan yang mendefinisikan20. Meskipun demikian, Dasilva menyadari bahwa penelitian dalam sosiologi selama ini hanya dapat menjelaskan suatu obyek penelitian yang dapat dibedakan dengan subyeknya.

Sosiologi dapat memahami “obyek” seperti musik hanya dengan meletakkan musik sebagai bentuk sosialitas. Dasilva menyebutnya Music as Social.

Konsekuensinya, pendekatan sosiologi tidak banyak memberikan kontribusi pada musikalitas, karena lebih menekankan pada masyarakat pendukung musik. Musik diumpamakan sebagai cermin yang dapat memantulkan perilaku sosial masyarakat21. Musik merupakan salah satu cara bagaimana masyarakat membuat pembedaan dengan masyarakat lainnya. Realitas sosial menurutnya dapat didekati antara lain dari perilaku individu dalam masyarakat, perilaku musikal dan sebagainya.

Apa kaitan antara musik sebagai mentalitas dengan musik sebagai sosialitas?

Pertanyaan tersebut dapat dicarikan jawabannya melalui sosiologi yang menyadari bahwa hubungan sosial terjadi karena komunikasi terus menerus antara perilaku individu dengan sistem sosialnya. Individu memiliki peluang membentuk sistem sosial, demikian juga sebaliknya. Musik sebagai “selera” memang sangat subyektif, tapi selera musik seseorang bukanlah selera yang muncul begitu saja. Ia disediakan oleh masyarakatnya untuk dipilih. Individu sebagai anggota masyarakat menentukan pilihan berdasarkan pengalamannya bersosialisasi dalam

20 Fabio Dasilva, et al, The Sosiology of Music, University of Notre Dame press, Indiana : 1984, halm: 1 21 Ibid, halm: 1

13 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

berbagai kondisi. Artinya, Music as Mentality merupakan ekspresi hubungan sosial dalam musik.

Sederhananya, perilaku musikal syarat dengan asumsi keindahan bagi pelakunya (subyektif). Akan tetapi, asumsi tentang keindahan musik sangat tergantung siapa yang sedang dibicarakan22 dan sosialitasnya. Pada posisi ini, perilaku musikal menjadi sangat obyektif. Mementaskan sebuah perilaku musikal23 berarti mementaskan suatu ‘drama sosial’24. Dengan demikian, pendekatan yang dibutuhkan dalam tesis ini adalah pendekatan yang dapat mewadahi asumsi-asumsi keindahan, pengalaman subyektif sekaligus sistem sosial pembentuknya 25.

22 Adorno membagi delapan tipikal pendengar musik. Pertama, pendengar ahli (the expert), yaitu pendengar yang telah memiliki kemampuan memahami “bahasa” musik, termasuk orang yang mempelajari musik. Kedua, pendengar yang baik (good listeners), yaitu orang yang mampu mendengarkan musik lebih dari sekadar detil musikalnya, tapi juga mampu menentukan implikasi struktur dan teknis musikal pada suatu kondisi tertentu secara rasional. Ketiga, pendengar yang dekat dengan budaya konsumerisme (culture consumers) yang lebih memperhatikan performansi pemain dari pada elemen musikalnya. Keempat, pendengar emosional (emotional listeners) yang merujuk pada orang yang memiliki kecenderungan mendengarkan musik atas dasar emosi yang dimunculkan oleh musik (mulai dari syair sampai dengan video clip). Kelima, pendengar yang menilai musik pada implikasi buruknya saja (ressentiment listeners), terutama membenci berbagai kejadian yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan musik atau tren musik tertentu. Keenam, pendengar yang kurang lebih sama seperti ressentiment listeners, tapi lebih pada aliran musik kontemporer seperti jazz. Ketujuh, pendengar yang menekankan musik pada sisi hiburan semata (entertainment listeners) dan musik harus selalu mudah didengar dan bisa dijadikan teman bersantai. Kedelapan, pendengar yang anti musik (unmusical dan antimusical, yakni pendengar yang memahami mu sik secara berbeda. Ibid, halm: 67-68 23 Sehari-hari cukup dikenal dengan pentas musik. 24 Frase tersebut saya sarikan dari penjelasan Dasilva, dkk, “Meaning in music” (pemaknaan wilayah musik). Akan tetapi, istilah tersebut hadir setelah Dasilva menyebut musik sebagai ekspresi kenyataan sosial itu sendiri (music is social). Dengan kata lain, pemaknaan yang ada dalam pementasan musik mengasumsikan kesadaran posisi pendukung musik akan perannya masing-masing, seperti pada sebuah pementasan drama. 25 Grams ci memaknai hal ini sebagai dialektika. Hal ini diperlukan untuk tidak terjebak pada bahaya formalisme, psikologisme, sosiologisme atau bentuk dogmatisme dan determininisme lainnya. Karena praksis kemanusiaan bersifat dialektik, seni perlu merefleksikan kontradiksinya dan pada saat yang sama merebut apa yang permanen dalam proses sejarah. Lihat, Mikhail Liftschitz dan Leonardo salamini, Praksis Seni : Marx dan Gramsci, halm: 177-178

14 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Musik pada tesis ini tidak lagi dilihat sebagai ragam hiburan. Musik sarat dengan tarik menarik kepentingan dan kontestasi pemaknaan. Musik dapat dipakai sebagai cara melihat masyarakat mengekspresikan apa yang dipahaminya tentang sistem sosialnya. Pada posisi ini, gambus sebagai musik religius dapat didekati sebagai cara masyarakat Ambulu memaknai sistem religiusitasnya.

Dari sinilah, penelitian mengenai musik dapat menunjukkan bagaimana pengetahuan mengenai pemaknaan suatu ekspresi musikal dapat dimiliki oleh individu atau kelompok masyarakat. Konsekuensinya, suatu pertunjukan musik adalah hasil dari “komunikasi” pengetahuan para pendukungnya. Dalam musik gambus, sekurangnya ada tiga kelompok pendukung yang akan mengkomunikasikan pengetahuannya, yaitu: pengetahuan pemain, pengetahuan penonton, dan pengetahuan penanggap. Setiap pengetahuan memiliki proses pembentukan (proses budaya) masing-masing. Dengan kata lain, suatu pertunjukan musik gambus adalah hasil dari persaingan budaya pemain, penonton dan penanggap.

Lantas, pendekatan macam apa yang akan dipakai menjawab pertanyaan penelitian? Pemaparan di atas sedikit banyak membantu dalam melihat posisi gambus sebagai jenis musik sekaligus sebagai “aksi sosial”. Secara sederhana, pendekatan yang memungkinkan menjawab pertanyaan penelitian ini kemungkinan besar adalah Sosiologi Musik. Akan tetapi, sejauh mana Sosiologi

Musik dapat membantu menjawab pertanyaan penelitian hanya dapat dilihat dari kategori-kategori yang ditawarkan Sosiologi Musik kaitannya dengan konteks gambus Al-Asyik. Bab selanjutnya akan melihat kemungkinan tersebut, sekaligus

15 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

mencari bentuk metodologi yang tepat dalam memperoleh data dan menganalisa data.

16 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB II

SOSIOLOGI BUDAYA MUSIKAL

Judul di atas dipakai sebagai salah satu kemungkinan membicarakan musik melalui berbagai pendekatan, sekaligus memfokuskan tesis ini pada wacana yang erat kaitannya dengan musik sebagai bagian dari cara hidup masyarakat. Dengan kata lain, bab ini tidak bermaksud membatasi jenis pendekatan yang akan dipakai, tapi lebih pada usaha merumuskan wacana tentang musik dalam sebuah metodologi guna membantu menjawab rumusan masalah.

Sosiologi “diyakini” sebagai pendekatan yang memfokuskan kajiannya pada pembentukan masyarakat. Sosiologi budaya musikal meletakkan musik sebagai bagian dari cara masyarakat menunjukkan “bentuknya”. Hubungan musik dan manusia dalam penelitian ini dipahami sebagai musik yang dihidupi oleh masyarakatnya; praksis musikal1. Istilah budaya musikal dipakai untuk

“mengantisipasi” kemungkinan praksis musikal hadir sebagai entitas yang memiliki mekanisme tertentu. Pada banyak kasus, praksis musikal erat kaitannya dengan “politik representasi”2. Untuk itulah sosiologi dipilih sebagai salah satu pendekatan (teoritis) yang dapat membuka peluang bagi munculnya berbagai wacana sosial yang terlibat dalam mekanisme praksis musikal. Sederhananya,

1 Istilah praksis yang dipahami Bourdieu dianggap mewakili istilah musik yang dihidupi. Karena praksis bukan sekadar praktik dari aktivitas sosial tertentu, tapi juga praktik cara hidup tertentu. Bourdieu, Outline of a Theory of Practice, halm: 5. 2 Pada pidato hari kemerdekaan tahun 1959, Sukarno menyatakan strategi politiknya dengan mengusung jargon anti imperialisme, termasuk imperialisme budaya: ”... kenapa dikalangan engkau najak jang tidak menentang imeperialisme kebudajaan? Kenapa dikalangan engkau banjak yang masih rock-’n-roll –rock-’n-rollan, dansa-dansian a la cha-cha- cha, musik-musikan a la ngak-ngik-ngek gila -gilaan, dan lain sebagainja lagi? ... tetapi engkau pemuda-pemudipun harus aktif ikut menentang imperialisme kebudajaan, dan melindungi serta mengembangkan kebudajaan Nasional!”. Ir. Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Djilid III, halm: 379-380.

17 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bab ini menempatkan sosiologi budaya musikal sebagai salah satu perspektif untuk mengenal masyarakat dari musik yang didukungnya.

Konsekuensinya, ada tiga hal yang diperlukan dalam bab ini. Pertama, menunjukkan kaitan musik dengan masyarakat. Kedua, menunjukkan musik sebagai budaya. Ketiga, menunjukkan praksis budaya musikal. Uraian berikut ini adalah usaha yang dilakukan untuk merumuskan ketiganya.

A. Musik Sebagai Mentalitas (Music as Mentality)

Sub judul di atas merupakan subjudul buku The Sociology of Music karya Fabio

Dasilva, Anthony Blasi dan David Dees. Subjudul tersebut dipakai begitu saja dalam bab ini dengan alasan judul tersebut mewakili asumsi bahwa kecenderungan bermusik pada diri manusia sangatlah subyektif. Dasilva, dkk, bahkan sejak awal mengatakan bahwa: music is located inside the very consciousness which would do the defining3. Pendefinisian musik akan selalu terbentur pada persoalan “musik yang mana dan musik siapa”. Bukan karena banyaknya pilihan jenis musik, melainkan istilah musik merupakan istilah yang sepenuhnya menunjukkan intervensi manusia pada wilayah bunyi.

Musik hampir selalu berupa suatu fenomena akustik (bunyi) yang diwakilkan pada intrumen tertentu dan didengarkan oleh manusia4. Sejarah musik menunjukkan wilayah musik yang dikenal saat ini merupakan hasil dari proses pemaknaan budaya tertentu5. Setiap “generasi” memiliki ciri musikalitas, baik

3 Fabio Dasilva, dkk, The Sosiology of Music, halm: 1 4Guerino Mazzola, Semiotic Aspect of Musicology : Semiotics of Music, halm: 2 5Dalam The Music of Asean, Ramon P. Santos (ed) membuat kategori kebudayaan yang mempengaruhi bentuk musikal tertentu di Indonesia, antara lain: ”shamanism of North and Central

18 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

direproduksi oleh kelompok tertentu maupun industri . Hal inilah yang membuat musik dapat dibedakan dan dikelompokkan.

Bab ini tidak akan banyak membicarakan dinamika pertumbuhan musik.

Bab ini justru berfokus pada dinamika orang menikmati musik dan dinamika keberartian musik bagi hidup seseorang. Menikmati musik pada tahap tertentu hampir sama dengan orang melakukan praktik keberagamaan6. Praktik semacam ini, meskipun dihidupi oleh wilayah yang sangat privat, dapat dipahami secara publik. Praktik orang menikmati dangdut Inul, misalnya, dapat dipahami melalui pro-kontra yang terjadi dalam wilayah di luar urusan menikmati musik.

Pada tahap ini, wilayah privat atau subyektif dikenali dari kecenderungannya menunjuk bentuk tertentu, demikian halnya dengan “pilihan” bentuk musik. Sebagai pilihan, kecenderungan bermusik sangat subyektif. Akan tetapi sebagai bentuk, musik tidak dapat begitu saja diakui sebagai “bentuk musik saya”. Orang (seolah) bebas memilih dangdut, akan tetapi dangdut tidak mungkin dapat diakui sebagai musik personal. Ada banyak orang yang dapat memiliki kecenderungan memilih dangdut. Dalam waktu yang sama, orang yang sama juga memiliki kemungkinan untuk memilih selain dangdut.

Artinya, musik memiliki “ruang” yang dapat menjangkau dan dijangkau subyektivitas. Bukan sembarang subyektivitas, melainkan subyektivitas yang dapat menjangkau musik sebagai wilayah estetis (seni). Lantas, apakah mungkin subyektivitas menyatakan diri dalam ruang yang sangat tergantung pada subyektivitas yang mendefinisikannya? Mungkin, jika masyarakat “menyediakan”

Asia origin, Hinduism, Hinayana and Mahayana Buddhism, Iberian folk musical tradition and that of Islamic countries in the Middle-East, and with western influence. Lihat, halm: 33. 6 Fabio Dasilva, dkk, halm: 80-82.

19 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bentuk-bentuk yang didefinisikan oleh subyektivitas tertentu. Dengan kata lain, subyektivitas yang bersifat personal hadir sebagai bentuk subyektivitas komunal.

Dasilva menyebut bentuk subyektivitas komunal tersebut sebagai mentalitas; Bourdieu menyebutnya sebagai taste7. Secara umum orang sering menyebutnya sebagai selera. Baik Dasilva maupun Bourdieu meyakini bahwa selera memiliki kecenderungan untuk menunjuk pada “obyek estestis” tertentu yang telah disediakan oleh masyarakatnya. Selera yang subyektif justru dikenali dan dinilai dari kemampuannya memposisikan diri dalam mekanisme penilaian suatu obyek estetis8. Ketika kemampuan tersebut dimiliki oleh sekelompok orang, selera tersebut akan diakui sebagai selera kelompok. Artinya, musik sebagai selera kelompok memiliki mekanisme yang dapat menjangkau “kesepakatan” setiap subyektivitas pendukungnya.

Apa yang dilakukan musik agar dapat menjangkau kesepakatan setiap subyektivitas pendukungnya? Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat ditelusuri dari pernyataan “musik sebagai bentuk yang didefinisikan oleh subyektivitas tertentu”. Subyektivitas tersebut pastilah subyektivitas yang terseleksi dari proses sosial tertentu. Untuk itulah, Dasilva dkk membuat rumusan lanjutan: Music as

Social. Musik sebagai sosialitas adalah subyektivitas yang dihasilkan dari berbagai tarik menarik kepentingan sosial, mulai dari media yang menyiarkan acara musik hingga “standar” musikalitas yang diberlakukan dalam suatu

7Istilah taste diletakkan Bourdieu kaitannya dengan “… regard taste in legitimate culture as a gift of nature”. Lihat, Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Jugdement of taste, halm: 1. 8Bourdieu menyebutnya habitus estetis, Aesthetic disposition “... the capacity to consider in and for themselves, as a form rather than function”. Ibid, halm: 3.

20 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kelompok musik9. Dengan kata lain, mendekati musik sebagai bentuk mentalitas terkait erat dengan pemahaman proses pembentukannya.

Memahami proses pembentukan sosialitas musik berarti menunjukkan bentuk interaksi yang terjadi dalam masyarakat; proses sosial10. Dalam hal ini, musik merupakan bagian dari proses sosial. Lebih jauh, musik telah menjadi bentuk dari proses sosial tertentu. Musik adalah budaya.

B. Budaya Musikal

Sub bab sebelumnya ditutup dengan pernyataan: musik adalah budaya. Apa bedanya musik sebagai budaya dengan budaya musikal? Dengan memakai

“kerangka” sosiologi musik yang diusulkan Dasilva, keduanya tidak banyak berbeda. Apapun definisinya, keduanya sama-sama hanya bisa ditunjukkan melalui gejala musikal. Mengapa? Karena sosiologi tidak pernah betul-betul bermaksud memahami esensi musik (musikalitas). Sosiologi musik hanya akan melihat gejala musikal yang dapat dipakai sebagai penanda interaksi sosial.

Lantas, apa perlunya memakai istilah budaya musikal? Istilah budaya musikal dipakai untuk menegaskan bahwa musik sebagai budaya akan mengalami penilaian. Asumsi penilaian merupakan asumsi budaya bukan asumsi musikal.

Musik akan selalu dipahami dengan menggunakan pemaknaan yang disediakan oleh budaya pendukungnya. Dengan memahami pemaknaan yang terlibat dalam proses budaya, kita akan lebih mudah memahami mekanisme pemaknaan budaya

9 Fabio Dasilva, dkk, The Sociology of Music, halm: 4-5 10 “Music will thus be approached as a mentality, whose forms established interconnections among humans, i.e., social processes. Ibid, halm: 5

21 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

musikal. Oleh sebab itu, penjelasan mengenai bagaimana pemaknaan budaya mengintervensi wilayah musikal dapat dimulai dengan melihat sejauh apa masalah nilai dan pemakaan dihidupi sebagai bentuk interaksi oleh masyarakat.

1. Budaya dan Subkulturnya

Ada banyak proses pemaknaan yang terlibat dalam pembentukan budaya. Satu proses pemaknaan mengisyaratkan interaksi berbagai pemaknaan. Satu pemaknaan melibatkan banyak kepentingan. Akan tetapi, satu kepentingan, dengan prosesnya, memiliki mekanisme pembentukan pemaknaan dan budayanya sendiri. Artinya, budaya bukan proses yang linier. Sistem budaya tidak selalu menggantungkan bentuknya pada satu “kesepakatan” yang dihasilkan oleh interaksi banyak kepentingan. Bahkan, suatu kepentingan dapat memutuskan bentuk budayanya dari interaksinya dengan “kesepakatan” yang telah ada.

Subkultur dipakai dalam bab ini untuk menegaskan bahwa budaya tidak selalu terkait dengan kesepakatan banyak proses pemaknaan dan banyak kepentingan. Satu kepentingan pun dapat memutuskan budayanya. Subkultur pada dasarnya mewakili asumsi budaya semacam ini; bahwa di dalam budaya memungkinkan budaya lainnya. Artinya, subkultur juga budaya. Lantas, untuk apa istilah subkultur tetap dipakai dalam bab ini? Karena, dalam prakteknya subkultur dipakai untuk menunjuk budaya yang tidak dapat begitu saja disebut budaya. Subkultur bukan budaya biasa.

Kata subkultur merupakan kata yang diadopsi dari bahasa Inggris subculture. Definisi umum subkultur, salah satunya dapat ditemukan dalam

22 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kamus atau ensiklopedi. Dalam kamus bahasa Inggris kata subculture didefinisikan sebagai:

The behaviour and beliefs of a particular groups of people in society that are different from those of most people. Example : The criminal/ drug/ youth subculture11.

The ideas, art, way of life of a group of people within a society, which are different from the ideas, art, way of life of the rest of the society12. Kedua definisi tersebut saya terjemahkan sebagai berikut, subkultur adalah:

Perilaku dan keyakinan sekelompok orang dalam suatu masyarakat yang berbeda dengan orang kebanyakan. Contohnya: subkultur kriminal, pengguna narkoba atau pemuda.

Ide, seni, dan cara hidup sekelompok orang dalam suatu masyarakat yang berbeda dengan ide, seni dan cara hidup pada umumnya dalam suatu masyarakat.

Secara etimologis, penggunaan awalan ‘sub’13 pada kata kultur mengisyaratkan arti sebagai bagian (berada di dalam) dari kultur. Seperti halnya subbab yang berarti bagian dari suatu bab, subkultur berarti bagian dari kultur.

Akan tetapi, dari terjemahan di atas dapat ditafsirkan arti subkultur tidak semata- mata ingin menekankan bahwa subkultur merupakan bagian dari kultur, tapi juga

11 Oxford. Advanced Leaner’s Dictionary, halm : 1295 12 Collins Cobuilds, English Dictionary for Advanced Leaners. (third ed), halm : 1553 13 Awalan ‘sub’ dalam kamus bahasa Inggris jika dilekatkan pada kata lain dapat membentuk kata baru yang memiliki arti baru. Pertama, awalan ‘sub’ digunakan sebagai penunjuk sesuatu yang berada ‘dibawah’ tapi masih dalam satu rangkaian dengan kata aslinya. Misalnya, subway yang berarti jalan yang berada di bawah jalan. Kedua, awalan ‘sub’ pada kata benda akan me mbentuk kata benda baru yang berarti bagian dari kata bendanya atau bagian dari sesuatu yang lebih besar, misalnya: subsistem, subbab dan sebagainya. Ketiga, awalan ‘sub’ pada kata sifat akan membentuk kata sifat baru yang menunjuk pada inferioritas. Misalnya, subnormal yang berarti sifat kurang dari normal. Lihat, Collins Cobuilds, English Dictionary for Advanced Leaners. (third ed). HarperCollins Publisher. 2001. halm : 1552

23 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

berbeda dari kultur. Padahal, umumnya ‘pembedaan’ dilakukan untuk membandingkan antar bagian, bukan dengan kesatuannya, misalnya, subbab satu dengan subbab lainnya bukannya subbab dengan babnya. Kalau hal itu terjadi, ada dua kemungkinan, subbab tidak menjelaskan bab atau bab yang tidak sesuai dengan subbab. Dengan kata lain, keduanya selalu saling menegasikan.

Lantas, apa alasannya subkultur harus dibedakan dengan kultur? Kultur dalam terjemahan di atas secara implisit didefinisikan sebagai sesuatu yang dominan dan banyak dipakai orang, baik berupa perilaku, keyakinan, ide, seni dan cara hidup. Dalam penggunaannya, kata subkultur seringkali digunakan sebagai istilah (terutama dalam sosiologi) untuk memberi nama pada suatu hal yang tidak dominan atau dianggap kurang baik. Dengan kata lain, kultur sebagai sesuatu yang dominan dan baik.

Hebdige dalam tulisannya Subculture : The Meaning of Style14 memulai menjelaskan gagasan subkultur dengan terlebih dahulu menjelaskan asumsi kultur atau budaya. Hebdige juga memulai melihat definisi kultur dari kamus dan menyimpulkan bahwa budaya adalah konsep yang sangat tidak jelas karena pemaknaannya yang berbeda-beda15. Pada akhirnya, Hebdige menjelaskan definisi dasar budaya pada alur yang cenderung sosialis. Definisi yang ada berasal dari definisi tradisional dalam tradisi seni dan definisi yang lebih antropologis16.

14 St. Sunardi pada pendahuluan bukunya menjadikan tulisan Hebdige ini sebagai salah satu contoh tulisan yang menggunakan semiotika Roland Barthes yang berusaha untuk memposisikan subkultur sama saja dengan kultur. Lihat, Semiotika Negativa, halm:xi-xxvii. 15 Hebdige mengambil definisi kultur dari Oxford English Dictionary yang menyebutkan kultur sebagai kata benda yang seolah merangkum keseluruhan aktivitas manusia mulai dari kegiatan keberagamaan sampai dengan bercocok tanam. Lihat, Subculture : The Meaning of Style, halm: 5 16 Pembedaan keduanya juga dilakukan oleh Stuart Hall, Representation: Cultural Representation and Signifying Practice, halm: 2

24 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Definisi pertama mengacu pada segala sesuatu yang dapat dikatakan “terbaik”, seperti: opera, balet, drama, dan sebagainya. Definisi kedua, yang kemudian dianut oleh Hebdige, dipinjam dari definisi Raymond Williams mengenai budaya sebagai cara hidup tertentu yang mengekspresikan makna dan nilai tertentu. Cara hidup yang dimaksud Williams adalah cara hidup yang dilakukan setiap hari oleh masyarakat dan tidak terbatas di dalam seni dan pembelajaran17. Dengan kata lain, objek kajian budaya, pada definisi kedua, dapat juga berupa hal-hal yang biasanya dianggap sepele seperti final sepak bola, kuliner, musik, permainan tradisional, dan sebagainya.

Definisi kedua bagi Hebdige lebih memberikan keleluasaan ruang gerak untuk memformulasikan hubungan antara budaya dan masyarakat. Definisi semacam ini memungkinkan menganalisa persoalan mengenai “makna dan nilai” yang seolah tertutupi dalam tampilan ekspresi kehidupan sehari-hari. Persoalan

“makna dan nilai” inilah yang menjadi konsep pokok Hebdige dalam menganalisa gaya subkultur 18 yang dalam keseharian diidentikkan dengan kesan “murahan” dan “kurang berbudaya”.

Pada praktiknya Hebdige tidak serta merta melepas definisi pertama.

Mulanya, Hebdige memposisikan gaya subkultur dalam definisi pertama. Artinya,

Hebdige tertarik untuk meneliti subkultur, terutama punk, karena masih sering dimaknai sebagai ‘anak haram’ budaya oleh orang kebanyakan. Pemaknaan seperti itu diberikan kepada penganut subkultur lebih pada segala sesuatu yang

17 Dick Hebdige, Subculture : The Meaning of Style, halm:10-11 18 Secara spesifik Hebdige hendak menjelaskan terbentuknya gaya subkultur Punk Inggris yang secara tidak langsung menjelaskan hampir seluruh gaya kelompok-kelompok subkultur Inggris, seperti Teddy Boy dan Skin head.

25 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menempel padanya (mulai dari pakaian, musik, sampai gaya rambut). Dari sini

Hebdige berkesimpulan bahwa segala sesuatu yang menempel hingga menjadi gaya, selalu melibatkan proses pemaknaan dan penilaian19. Punk dengan gayanya telah melalui proses pemaknaan dan penilaian hingga menjadi sebuah subkultur yang wajar saja jika dipinggirkan.

Selanjutnya, Hebdige membawa punk untuk dianalisa menggunakan definisi kedua. Hebdige membawa persoalan “makna dan nilai” dalam tradisi semiotika Roland Barthes20. Barthes mencoba memperlihatkan sifat-sifat fenomena kultural dan membongkar makna laten kehidupan sehari-hari yang tampak “wajar”. Barthes, seperti juga diinginkan Hebdige, tidak bermaksud membuat kategorisasi tentang yang baik dan buruk atau yang benar dan yang salah. Akan tetapi, Hebdige hendak membawa persoalan budaya pada pelacakan historis mengenai pembentukan apa yang dikatakan “wajar” oleh kebanyakan orang. Melalui Mythologies yang diusulkan Barthes, Hebdige ingin menguji rangkaian aturan, kode, konvensi yang menjadikan pemaknaan dalam suatu kelompok sosial tertentu “diterima” dan digunakan oleh hampir keseluruhan masyarakat21.

Oleh sebab itu, budaya dalam definisi Williams sebagai “keseluruhan cara hidup”, bagi Hebdige perlu mendapatkan dimensi praktis dalam pemahamannya.

Hebdige memakai usulan EP Thomson untuk mengganti pengertian budaya versi

Williams, yang terkesan “pasrah”, menjadi “teori hubungan antar unsur yang

19Ibid, halm : 8 20Semiotika sering disebut sebagai disiplin ilmu yang erat kaitannya dengan Kajian Budaya, khususnya semiotika Barthes. Lihat, St. Sunardi, Semiotika Negativa, halm :x-xi 21 Dick Hebdige, Subculture : The Meaning of Style, halm : 9

26 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

terdapat dalam keseluruhan cara hidup”22. Hal ini untuk memunculkan kepekaan bahwa “cara hidup”, seperti apapun, merupakan hasil “konflik” berikut cara- caranya dari kepentingan semua unsur yang ada dalam suatu kelompok masyarakat. Kata “ideologi” selanjutnya diperkenalkan Hebdige guna membuat kerangka analitis yang dapat menyebutkan “bingkai” dari hubungan sosial seperti ini.

Melaui Althusser, Hebdige membuat ilustrasi apa yang dimaksudnya sebagai tindakan “ideologis”. Hebdige merumuskan istilah ideologi bukan sebagai konsep tindakan, melainkan tindakan itu sendiri. Artinya, tidak satupun aktivitas manusia lepas dari jaring ideologi, mulai dari cara menggosok gigi sampai dengan kebutuhan untuk menyampaikan pendapat. Ideologi memadati wacana sehari-hari tanpa membuat pelakunya sadar karena posisinya memang bukan dalam kesadaran, tapi justru dalam alam bawah sadar23.

Ideologi juga erat kaitannya dengan kecenderungan untuk memposisikan diri dalam “konflik” antar unsur masyarakat. Posisi ideologi tepat berada pada

“kesadaran” individu untuk melakukan peran sosialnya sesuai dengan status sosial yang ada padanya (the role of a subject)24. Seorang guru bukan hanya “sadar”

22 Ibid, halm : 10 23 Hal ini berbeda dengan Marx yang meyakini bahwa ideologi merupakan suatu bentuk kesadaran yang diciptakan oleh penguasa, meskipun berupa “kesadaran palsu”, lihat, Hebdige halm: 12. 24Althusser membedakan State Apparatuses (SA) menjadi dua: Repressive State Apparatuses (RSA) dan Ideological State Apparatusses (ISA). RSA merujuk pada SA dalam teori negara Marx. Seperti ditegaskan Althusser dalam Essays On Ideology yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Tentang Ideologi : Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies “, gagasan Marx mengenai SA adalah aparatus negara (pemerintahan, polisi, penjara, dan sebagainya) yang dijalankan melaui ke kerasan dan berada dalam kewenangan “publik”. ISA berada dalam berbagai institusi yang ada dalam masyarakat, berupa “wewenang pengaturan” yang bersifat “privat” dan berfungsi melalui ideologi, seperti ISA Agama, ISA budaya (kesusasteraan, seni, olah raga dan sebagainya), ISA pendidikan, dan sebagainya. Lihat, halm: 23.

27 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

mengenai tugasnya sebagai “guru”, tetapi ia juga harus “sadar” betul siapa yang diajarnya, di sekolah mana ia mengajar, mengajar apa, dan sebagainya.

Dengan kata lain, fenomena kultural merupakan kerja dari ideologi yang diterima begitu saja oleh masyarakat melaui peran sosialnya. Di sinilah semiotika hendak membaca fenomena kultural. Nilai semiotika dari aspek budaya adalah diperlakukannya fenomena kultural sebagai tanda, yakni sebagai unsur dalam sistem komunikasi yang dikendalikan dengan aturan dan kode semantik, meskipun sebenarnya secara kasat mata tidak dapat secara langsung dapat tertangkap pengalaman25.

Untuk membongkar dimensi ideologis tanda, pertama-tama harus diuraikan kode-kode yang dipakai untuk menyusun makna. Hal ini akan membantu untuk menyusun bentuk dari sebuah “peta makna” yang akan terlihat sebagai makna yang potensial, menyingkirkan banyak makna lainnya. Mengingat bentuk-bentuk kekuasaan ada dimana-mana, maka makna potensial adalah makna yang dimenangkan dari sebuah “konflik sosial” dan menjadi makna yang berkuasa. Dengan kata lain, dengan memenangkan persaiangan makna berarti makna yang dipresentasikan selalu tunggal. Penunggalan pemaknaan ini, ketika dapat merangkul segala bentuk kepentingan politik, kelas dan momen yang tepat akan menjadi ideologi dominan. Ideologi tersebut disebut juga ideologi orang kebanyakan, yakni ideologi yang dimenangkan. Di dalamnya meliputi gagasan yang mampu menjadi ekspresi ideal atas hubungan material dan diterima sebagai

25 Dick Hebdige, Subculture : The Meaning of Style, halm : 14

28 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

gagasan, meskipun itu adalah gagasan tentang kedominanan26. Hal inilah yang dapat menjawab pertanyaan kritis, seperti: bagaimana segala bentuk klasifikasi atau penggolongan (mulai dari ekonomi sampai pendidikan) dapat terjadi?

Kelompok dan kelas sosial mana yang menentukan pengaturan tersebut? Dan sejauh mana mereka mengatur penggolongan tersebut?27.

Kenyataan inilah yang membawa Hebdige pada teori hegemoninya

Gramsci28. Istilah hegemoni mengacu pada situasi yang di dalamnya terdapat persekutuan sementara antar beberapa kelompok. Persekutuan tersebut mampu mengerahkan “otoritas sosial total” atas kelompok lain yang tersubordinasi, bukan hanya dengan koersi atau memaksakan gagasan kekuasaan, tapi dengan memenangkan dan membangun persetujuan hingga mengalamiahkan dan mengabsahkan kekuasaan kelas-kelas dominan29. Hegemoni hanya dapat dipertahankan sejauh kelas dominan berhasil membingkai seluruh definisi para pesaingnya ke dalam jangkauan mereka. Kalaupun terdapat beberapa kelompok subordinat yang tidak dapat dikontrol, setidaknya masih dalam identifikasi ruang ideologis kelompok pemenang. Paling tidak, mereka dapat disebut sebagai subkultur.

26 Ibid, halm : 15 27 Ibid, halm : 13 28 Sebenarnya Gramsci juga menyadari bahwa negara tidak semata-mata State Apparatuses, tapi termasuk juga institusi ‘masyarakat sipil’, seperti: gereja, sekolah, serikat buruh, dan sebagainya. Althusser sendiri sering disebut sebagai “penerjemah” teori Gramci karena hampir seluruh pembahasanya mengenai ideologi dimulai dari gagasan Gramsci. Kaitan yang paling mendasar antara “Ideologi” Althusser dan teori Hegemoni Gramsci adalah pada pembedaan RSA dan ISA. Baik Gramsci maupun Althusser keduanya meyakini bahwa wewenang institusi apapun yang ada dalam masyarakat merupakan bentuk dari usaha pengaturan oleh pihak yang berkuasa. “publik” dan “privat” dibedakan untuk melanggengkan “otoritas” kaum bosjuis atas wewenang negara. Lihat, Althusser , “Tentang Ideologi : Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies “, halm : 21. bdk dengan, Gramsci “Catatan-catatan Politik ”, halm : 194. 29 Dick Hebdige, Subculture : The Meaning of Style, halm : 16

29 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dari rumusan tersebut, Hebdige sebenarnya sedang membuat definisi

(bahkan teori!) subkultur. Subkultur, dalam praktiknya, mengisyaratkan usaha merumuskan strategi hidup yang tidak disediakan bentuk dan maknanya dalam sebuah kutur. Jika definisi sebelumnya merujuk pada kelompok, kali ini lebih pada tindakannya. Suatu praktik sosial disebut subkultur apabila tindakan yang sama memakai praktik pemaknaan lainnya dalam sebuah sistem sosial tertentu.

Atau, praktik signifikansi yang sama dilakukan untuk tindakan yang berbeda.

2. Subkultur Musikal

Menambah istilah “musikal” di belakang istilah subkultur, sedikit banyak akan memunculkan keraguan; benarkah subyektivitas selera musik dapat mengontrol subyektivitas lainnya? Bukankah selera musik merupakan disposisi musikal

(estetis)? Ketika selera musik “berjumpa” dengan proses sosial, ia juga akan

“berjumpa” dengan ketersediaan posisi dalam interaksi sosial. Berarti atau tidaknya “perjumpaan” tersebut akan diketahui dari kecenderungan selera musik seseorang memposisikan diri dalam interaksi sosial. Pada posisi ini, selera musik

“bersaing” dengan selera musik lainnya dalam menentukan status posisi; status distingsi30. Oleh karena itu, selera musik dalam kajian sosiologi hanya dapat ditunjukkan bentuk dan posisinya saat dipakai dalam suatu praksis musikal.

Suatu praksis musikal mengindikasikan suatu tindakan musikal. Budaya pada prinsipnya dihidupi oleh berbagai tindakan sosial. Ketika penelitian ini mengaitkan musik dengan pendukungnya, suatu tindakan musikal dapat diartikan

30 John Frow, Cultural Studies and Cultural Value, halm: 5.

30 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sebagai tindakan sosial. Budaya musikal dihidupi oleh berbagai tindakan musikal.

Sebagai sebuah tindakan, musik mengalami mekanisme proses yang nyaris tidak banyak berbeda dengan tindakan sosial lainnya.

Praksis musikal, pada praktiknya, akan selalu terkait dengan kemungkinan hadirnya selera musik sebagai bentuk musikal yang telah disediakan. Suatu praksis musikal disebut sebagai bagian dari subkultur musikal ketika tindakan musikal yang dihidupi oleh kelompok tertentu mengalami “miskomunikasi” dengan bentuk-bentuk musikal yang telah disediakan (dan diatur) dalam suatu budaya musikal. Praksis musikal ternyata tidak saja mereproduksi bentuk-bentuk yang sudah ada, tapi juga “berambisi” memproduksi bentuk lainnya.

Pada posisi ini, praksis dihidupi oleh semangat mengekspresikan sesuatu.

Ekspresi ini dipicu oleh selera musik yang hendak merepresentasikan diri dalam ruang sosial. Pada saat itulah, selera musik berjumpa dengan istilah “pemaknaan”,

“ideologi” dan “hegemoni”. Representasi selera musik dalam ruang sosial tidak dapat membebaskan diri dari praktik pemaknaan dan “dicurigai” sebagai representasi ideologis, atau bahkan representasi ideologi dominan (hegemoni).

Ketika representasi tersebut dipahami sebagai bentuk, maka sosiologi musik merupakan sosiologi bentuk simbolik musik.

Teori praksis yang dirintis Bourdieu, menempatkan selera (disposisi estetis) sebagai a cultural theory of action31. Budaya musikal merupakan mainstream yang dipakai seseorang atau kelompok masyarakat

31 David Swartz, Culture and Power: The Sociology of Pierre Bourdieu, halm: 95

31 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

mengkonsultasikan seleranya. Hasil dari proses tersebut adalah suatu praksis musikal. Bourdieu merumuskan praksis sebagai kombinasi disposisi (habitus) dengan modal terhadap medan (praksis = habitus (modal) + medan)32. Rumusan tersebut didasari oleh pemikiran Bourdieu mencari kemungkinan suatu tindakan dilakukan bukan semata-mata mengikuti pola tindakan yang ada atau menjadi produk dari aturan tertentu33.

Medan merupakan arena perebutan legitimasi (kekuasaan). Di dalamnya meliputi ruang-ruang terstruktur yang diisi oleh berbagai jenis modal. Medan juga menyediakan bentuk-bentuk khusus bagi pelaku untuk bertindak dan memiliki mekanisme internalnya sendiri yang otonom dan relatif34. Dengan kata lain, medan merupakan ruang obyektif yang merepresentasikan aturan yang legitimate.

Medan musikal, dalam hal ini, menunjukkan ruang obyektif musik yang dijadikan arena perebutan kekuasaan. Representasi musik dalam medan musikal berupa bentuk-bentuk simbolik musik yang telah atau akan siap dimaknai. Bentuk-bentuk tersebut berasal dari materi musik yang memicu interpretasi pemaknaan. Dasilva menyebut materi tersebut antara lain: harmoni, ritme, dan melodi35. Akan tetapi, interpretasi pemaknaan hanya mungkin terjadi dalam budaya musikal. Karena, pemaknaan yang akan menginterpretasi materi musik merupakan pemaknaan di

32 Richard Harker, dkk, (HabitusxModal)+Ranah=Praktik 33 David Swartz, Culture and Power: The Sociology of Pierre Bourdieu, halm: 95 34 St. Sunardi, dalam makalah kuliah Seni Pop, Estetika Musik Pop, halm: 5 35 Fabio Dasilva,dkk, The Sociology of Music, halm: 14. Bdk dengan Roger Kamien, Music: An Appreciation, halm: 2-86. Kamien meyakini ada sebelas elemen musik yang hadir bersama-sama ketika musik ditampilkan. Kesebelas elemen tersebut antara lain: suara (pitch, dinamika, warna nada), suara penyanyi dan alat musik pengiringnya, ritme, notasi musik, melodi, harmoni, kunci, tekstur musikal, bentuk musikal, performansi, dan gaya musikal.

32 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

luar musik (extramusical meaning)36. Pemaknaan tersebut diperoleh dari budaya pendukung musik37 (penonton, pemain, dan penanggap). Dengan kata lain, medan musikal merupakan bentuk-bentuk musikal yang memakai kaidah bahasa budaya musikal.

Kombinasi disposisi estetis (selera) dengan modal mengakses medan pertama-tama dipengaruhi oleh kesadaran pada aturan main dalam medan.

Bagaimana kombinasi tersebut “berkomunikasi” dengan medan akan terlihat dalam praksis musikal. Praksis musikal pada akhirnya menunjukkan bagaimana suatu tindakan musikal dibentuk, mengikuti dan menginterpretasikan aturan yang diinformasikan dalam medan musik. Lebih jauh, kita dapat memahami masyarakat melalui musik yang didukungnya dengan cara memahami praksis musikalnya.

C. Kesimpulan

Budaya musikal religius merupakan budaya musikal yang “disepakati” oleh budaya pemain, penonton dan penanggap. Dalam konteks Al-Asyik, tesis ini akan melihat budaya musikal religius yang dihidupi oleh budaya pemain. Jika budaya musikal religius terdiri dari beberapa praksis musikal religius, praksis gambus

36 Dasilva, dkk, memaparkan empat makna ekstra musikal yang biasanya hadir dalam suatu pertunjukan musik, antara lain: makna afektif (affective meanings), makna deskriptif (descriptive meanings), makna yang berkaitan dengan nilai (value meanings), makna teknis (technical meanings). Makna afektif meliputi bentuk-bentuk emosi yang dihadirkan dalam suatu pertunjukan musik, seperti: senang, sedih, takut, marah dan sebagainya. Makna deskriptif biasanya mengaitkan musik dengan deskripsi tertentu, seperti: upacara, perang, hajatan, dan sebainya. Makna yang berkaitan dengan nilai biasanya hadir dalam pertunjukan musik dalam bentuk penilaian, seperti; baik, buruk, sopan, religius, urakan, seronok dan sebagainya. Sedangkan, pemaknaan teknik biasanya mengaitkan musik dengan kemasannya atau dengan standar teknis pelaksanaannya, seperti: profesional, rapi, jago, mahir dan sebagainya. lihat, ibid, halm: 11 37 Pendukung musik dalam tradisi musik industri berbeda dengan pendukung musik tradisi; “Traditional folk music, ... , is the work of nonspecialist ... what is not handed down from one generation to another in folk music is the work of improvisation. Lihat, ibid, halm:35

33 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

merupakan salah satu praksis musikal religius. Dengan kata lain, praksis Al-Asyik merupakan salah satu praksis gambus sekaligus salah satu praksis musikal religius dalam budaya musikal religius.

Dalam rumusan Bourdieu, praksis merupakan kombinasi habitus dengan modal ditambah medan (habitus (modal) + medan). Dalam praksis musikal gambus Al-Asyik, medan gambus yang akan dilalui merupakan medan yang berkoordinasi dengan medan musik religius lain dalam suatu budaya musikal.

Medan merupakan bahasa yang dipakai oleh budaya musikal untuk

“mengundang” berbagai jenis pembicaraan; berbagai suara (speech). Setiap praksis musikal merupakan suara yang dipahami oleh bahasa medannya. Ketika suatu praksis musikal memakai suara yang tidak terlalu dipahami maksudnya oleh bahasa medan, praksis tersebut akan disebut sebagai praksis subkultur musikal.

Artinya, yang menjadi “penentu” status praksis adalah kombinasi habitus dengan modal, dalam hal ini, suara pemain.

Dengan kata lain, ada dua hal yang dibutuhkan untuk mengetahui status praksis gambus Al-Asyik: medan gambus dan praksis gambus Al-Asyik. Dari sana, akan diketahui suara apa yang hendak diusahakan oleh Al-Asyik. Sekaligus, akan diketahui bagaimana “suara” tersebut dikenali oleh bahasa medan. Oleh sebab itu, penulis membutuhkan metode penelitian yang dapat membantu mengetahui hal tersebut.

34 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

D. Metode Penelitian

Secara khusus, penelitian ini tertarik untuk memahami “suara” Al-Asyik dalam praksis gambus. Suara Al-Asyik yang akan dipahami dalam penelitian ini akan dibatasi dalam praksis gambus Al-Asyik di Ambulu sejak pembentukan kelompok

Al-Asyik (tahun 2000) hingga saat penelitian dilakukan (2006). Secara tehnis, penelitian ini akan dibagi dalam tiga tahap: Observasi awal, pengumpulan data, dan Analisis data.

a. Observasi Awal

Observasi awal dibutuhkan untuk melihat berbagai kemungkinan praksis gambus

Al-Asyik dapat dijelaskan. Dalam sebuah praksis gambus terdapat dua kenyataan: praksis gambus Al-Asyik sebagai kondisi obyektif “suara” Al-Asyik dan medan gambus sebagai kondisi obyektif aturan main dalam gambus. Untuk itulah,

Praksis Al-Asyik akan dipilih sebagai kasus yang akan dipahami melalui mekanisme studi kasus 38. Artinya, sebelum menunjukkan praksis Al-Asyik, kita perlu menunjukkan medan gambus yang dilaluinya agar kajian kasus praksis Al-

Asyik akan sampai pada menunjukkan data mengenai kekhasan39 praksis Al-

Asyik dibandingkan dengan praksis gambus lainnya.

b. Pengumpulan Data

38 Robert E. Stake, dalam Case Study, menegaskan bahwa studi kasus bukanlah metodologi. Studi kasus merupakan pilihan obyek yang akan dipelajari. Lihat, halm: 236. 39 Lihat, ibid, halm: 238.

35 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Bagaimana data mengenai medan gambus dikumpulkan? Dalam latar belakang penelitian dimulai dengan meletakkan gambus sebagai musik religius. Asumsi tersebut secara tegas menunjukkan legitimasi yang sedang diperebutkan dalam praksis gambus adalah legitimasi religius dan legitimasi musikal. Kedua jenis legitimasi tersebut akan diperebutkan oleh berbagai kepentingan dalam ruang sosial. Artinya, ada bentuk-bentuk khusus yang disediakan oleh struktur ruang sosial dalam mengakomodasi proses perebutan legitimasi. Pada posisi ini, setiap legitimasi akan memiliki bentuk dan struktur ruang sosialnya sendiri. Ruang sosial tersebut memiliki aturan main sendiri. Ruang tersebut bersifat otonomi relatif terhadap ekonomi; tidak semata-mata dikendalikan oleh mekanisme ekonomis.

Dengan kata lain, penelitian ini akan melihat medan gambus dalam dua ruang sosial yang dipakai sebagai ruang perebutan legitimasi religius dan legitimasi musikal. Ruang tersebut diberi nama Ruang Religius dan Ruang

Musikal. Sederhananya, kita akan melihat proses pemaknaan religius gambus dan proses pemaknaan musikal gambus. Artinya, penelitian ini membutuhkan data yang dapat menunjukkan terjadinya proses pemaknaan; sejarah pemaknaan gambus sebagai bagian dari kultur musikal religius di Ambulu.

Dalam kajian semiotika, kebutuhan data tersebut dapat diperoleh dengan cara menguji rangkaian aturan, kode, konvensi yang menjadikan gambus dapat dimaknai dalam ruang religius dan ruang musikal. Hal itu dapat dimulai dari menentukan bentuk-bentuk yang disediakan oleh ruang sosial untuk

“memproduksi dan mereproduksi” makna religius dan makna musikal gambus.

36 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Metode yang dipakai untuk mengumpulkan data tersebut adalah observasi langsung di lapangan.

Untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk tersebut dimaknai dapat dilakukan dengan cara mengobservasi langsung bagaimana bentuk-bentuk tersebut dipakai dalam interaksi sosial. Untuk lebih menguatkan data observasi, data penelitian perlu dilengkapi dengan cara mengumpulkan dokumen atau mewawancarai sumber informasi mengenai pemakaian bentuk-bentuk tersebut selama ini. Metode ini berlaku untuk memenuhi kebutuhan data dalam memahami ruang religius dan juga ruang musikal.

Selanjutnya, penelitian ini perlu melihat praksis gambus Al-Asyik yang dapat ditunjukkan melalui bentuk-bentuk musikal yang dihidupi Al-Asyik. Data mengenai hal itu dapat diperoleh dengan cara menanyakan langsung kepada pemain, mengobservasi langsung di lapangan, atau melihatnya dalam video rekaman pentas Al-Asyik.

Akan tetapi, bentuk-bentuk tersebut tidak akan sampai pada praksis gambus khas Al-Asyik, ketika tidak melibatkan pemaknaan pemain Al-Asyik.

Penelitian ini perlu mengetahui “suara” Al-Asyik dalam menghidupi bentuk- bentuk musikal gambus. Hal itu dapat dilakukan dengan cara mewawancarai setiap pemain. Apa saja yang akan ditanyakan untuk mengetahui suara Al-Asyik?

Ketika Bourdieu meneliti “taste” masyarakat Paris, ia menanyakan kecenderungan seseorang (yang digolongkan berdasarkan pendidikan dan kelas) memilih bentuk- bentuk estetis dari produk budaya, seperti musik, pakaian, furniture, hingga

37 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

lukisan40. Dengan maksud yang sama, data mengenai “suara” Al-Asyik akan dilihat dari kecenderungannya memilih produk musikal. Akan tetapi, karena kebutuhan penelitian ini ingin memahami secara khusus “suara” Al-Asyik, maka produk musikal akan diganti sebagai produk yang membuat gambus Al-Asyik dapat diselenggarakan (the condition of existence). Dari pengamatan awal, penyelenggaraan gambus bagi pemain Al-Asyik sangat tergantung pada: alat musik berikut kemampuan pemain memainkan alat musik, text musik (termasuk setting pertunjukan dan pakaian), dan pendukung musik (penanggap dan penonton). Agar dapat dilihat kecenderungannya, draf pertanyaan dibuat berupa kuesioner terbuka41.

Untuk mengecek validitas dan reliabilitas kecenderungan pemain, penulis perlu membandingkannya dengan kecenderungannya memilih bentuk tertentu dalam medan lain, misalnya: gaya rambut, jenis-jenis pajangan dinding rumah, dan sebagainya 42. Selanjutnya, data mengenai medan dan praksis gambus

Al-Asyik akan dipakai untuk mengetahui dan menganalisa kombinasi habitus dengan modal pemain.

c. Analisis Data

Analisis data pada prinsipnya menyusun dan membaca data agar dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan penelitian. Pertanyaan pertama dalam penelitian ini mengenai proses pemaknaan yang menghasilkan gambus dinilai sebagai musik religius. Pertanyaan ini dapat dijawab oleh data mengenai medan gambus.

40 Bourdieu, Distinction: A Social Critique of The Jugdement of Taste, halm: 13 41 Kuesioner dapat dilihat dalam lampiran 2, halm: 130-133. 42 Data kroscek dapat dilihat dalam lampiran

38 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Pertanyaan kedua mengenai bentuk-bentuk yang disediakan oleh kultur musikal religius yang ada dan bagaimana kelompok Al-Asyik memilih bentuknya.

Pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang memiliki struktur “praksis gambus”.

Pertanyaan ini untuk menunjukkan apa yang khas dari Al-Asyik. Oleh sebab itu, pertanyaan tersebut akan dijawab dengan “mengkomunikasikan” data mengenai medan gambus dan data mengenai kecenderungan pemain Al-Asyik memilih bentuk-bentuk tertentu.

Pertanyaan terakhir merupakan pertanyaan sosiologis. Pertanyaan tersebut akan mengembalikan praksis Al-Asyik untuk direspon oleh masyarakat

Ambulu, terutama oleh medan gambus. Oleh sebab itu, pertanyaan tersebut akan didekati dari jawaban dua pertanyaan sebelumnya. Ketika medan gambus dan praksis gambus Al-Asyik dikenali bentuknya, dari sana akan terlihat apa yang sedang disuarakan oleh kelompok Al-Asyik ketika berkomunikasi dengan ruang- ruang sosialnya.

Dengan demikian, penyusunan data akan dimulai dengan membaca medan gambus, praksis gambus Al-Asyik dan diakhiri dengan mengetahui suara

Al-Asyik.

39 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB III

MEDAN GAMBUS AL-ASYIK

Bab ini akan menunjukkan medan gambus Al-Asyik sebagai upaya untuk melihat sejarah gambus, terutama sejarah gambus Al-Asyik di Ambulu. Dengan memakai istilah medan, penulis berharap sejarah gambus yang akan ditunjukkan dapat menjangkau dinamika “internal” gambus. Medan gambus sekurang-kurangnya akan menunjukkan situasi sosial macam apa yang dapat mengakomodasi gambus, bagaimana bentuk-bentuk gambus diproduksi dan apa saja yang dibutuhkan untuk terlibat dalam medan gambus. Lebih jauh, medan gambus juga akan menunjukkan

“bentuk gambus” mana yang legitimate.

Seperti telah dirumuskan dalam metode penelitian, gambus yang akan dibahas dalam tesis ini adalah gambus yang dihidupi sebagai musik religius oleh masyarakat Ambulu. Artinya, ketika merumuskan medan gambus, tesis ini tidak akan dapat melepaskan diri dari penjelasan mengenai religiusitas gambus di samping musikalitas gambus. Oleh karena itu, penjelasan mengenai medan gambus akan dilihat dari dua ruang tersebut; ruang religius dan ruang musikal.

Akan tetapi, sebelum melangkah pada penjelasan masing-masing ruang, penulis perlu terlebih dahulu menjelaskan batasan “wilayah” Ambulu. Secara administratif orang Ambulu mengenal dua istilah pemakaian kata “Ambulu”;

Kecamatan Ambulu dan Desa Ambulu. Ada banyak desa yang berada dalam wilayah administratif Kecamatan Ambulu, salah satunya Desa Ambulu. Karena semua kegiatan administratif Kecamatan berada di Desa Ambulu, maka secara

40 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kultural Desa Ambulu dikenal juga sebagai “ibukota” dari Kecamatan Ambulu.

Akan tetapi, Desa Ambulu sebagai wilayah administratif sendiri juga memiliki pembagian wilayah secara kultural: Desa Ambulu dan Ambulu Kota. Dengan demikian, Ambulu Kota merupakan kota dari ibukota Kecamatan Ambulu.

Deskripsi di atas dikemukakan sebagai catatan penting untuk menekankan “status” Ambulu sebagai wilayah kultural. Karena, sejarah Al-Asyik yang akan dibahas dalam bab ini adalah sejarah Al-Asyik dari Desa Ambulu yang memiliki kultur Ambulu Kota. Sekurang-kurangnya, karena para pemain Al-

Asyik tinggal di wilayah kultural Ambulu Kota (akan dijelaskan kemudian).

Lebih jauh, deskripsi tersebut diperlukan untuk menegaskan bahwa sejarah yang akan dipakai untuk memahami Al-Asyik adalah sejarah masyarakat Ambulu Kota.

Gambar 1. Peta Desa Ambulu

41 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

A. Ruang Religius

Apakah relevan membicarakan religiusitas di Ambulu? Pasti relevan. Karena, wacana religiusitas pada dasarnya mengasumsikan adanya praktik keagamaan dalam suatu kelompok masyarakat yang meyakini suatu agama. Di Indonesia, praktik semacam ini sudah bisa dipastikan terjadi di semua tempat. Akan tetapi, seberapa relevan pembicaraan tersebut di Ambulu? Inilah yang perlu ditunjukkan saat ini.

Data yang dapat dengan mudah disebut sebagai penunjuk relevansi tersebut adalah data agama penduduk Ambulu. Dari 14.787 jiwa (Laki-laki: 7200 jiwa dan Perempuan: 7587 jiwa), 14.643 beragama Islam dan sebagian besar berafiliasi dengan NU (Nahdatul ). Akan tetapi, data tersebut tidak banyak dipakai dalam penelitian. Kemungkinan data yang dibutuhkan dalam penelitian berasal dari data bentuk-bentuk religius; simbol yang berkonotasi dengan religiusitas. Ada empat simbol demikian di Ambulu, yaitu: Masjid Besar, jamaah pengajian, dan musholla.

1. Masjid Besar sebagai ruang distorsif

Masjid merupakan tempat ibadah orang Islam. Konsekuensinya, setiap orang

Islam dapat memakainya sebagai sarana beribadah. Akan tetapi, pada perkembangannya, setiap masjid memiliki konsep tertentu dalam mepraktikkan makna tempat ibadah. Misalnya; masjid sebagai rumah Allah, masjid merupakan tempat suci, dan sebagainya. Akibatnya, produksi pemaknaan Masjid tidak hanya berasal dari kata “ibadah” tapi juga dari istilah “rumah Allah” dan “suci”. Praktik

42 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

memakai masjid sebagai tempat aman dari gangguan mahluk halus dan tempat pengungsian yang aman atau larangan tidur di dalam masjid adalah contoh praktik pemaknaan masjid bukan sebagai tempat ibadah.

Masjid Besar merupakan salah satu bentuk pemaknaan masjid di luar makna masjid sebagai tempat ibadah. Istilah “Besar” yang mengikuti istilah

“Masjid” jelas bukan istilah “religius”. Akan tetapi, ketika istilah tersebut dipakai bersama-sama dengan istilah “Masjid” yang pasti bermakna “religius”, maka

Masjid Besar dapat dimaknai sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar religius, lebih dari sekadar tempat ibadah.

Salah satu masjid di Kecamatan Ambulu, mendapat “status” sebagai

Masjid Besar dari negara. Dari 7 masjid di tiga dusun yang ada di desa Ambulu (1 masjid di dusun Krajan, 2 masjid di dusun Sumberan dan 4 masjid di dusun

Langon), hanya satu yang ditetapkan sebagai Masjid Besar, yakni masjid yang ada di dusun Krajan. Artinya, Masjid Besar merupakan satu-satunya masjid yang berada di Ambulu Kota. Dengan kata lain, seperti telah disebutkan di atas, Masjid

Besar bukan hanya masjid dusun Krajan dan Desa Ambulu, tapi juga Masjid

Kecamatan Ambulu.

Status kultural yang dimiliki masjid Ambulu Kota, memiliki konsekuensi “kemudahan” administratif. Saat Depag (Departemen Agama) memerlukan legitimasi kekuasaannya pada wilayah ideologis (salah satunya agama), ia memakai masjid sebagai sarana mengkomunikasikan gagasan kekuasaannya. Misalnya saja status Masjid Istiqlal Jakarta yang diklaim sebagai

Masjid Negara. Konsekuensinya, Masjid Istiqlal nyaris tidak memiliki identitas

43 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

“bangunan kultural”, melainkan bangunan yang melanggengkan pendapat negara.

Saat terjadi perbedaan pendapat mengenai hari raya Idul Fitri, Masjid Istiqlal sudah bisa dipastikan melaksanakan Sholat Idul Fitri sesuai keputusan Menteri

Agama.

Proses yang melatarbelakangi berdirinya Masjid Istiqlal berbeda dengan

Masjid Besar. Akan tetapi, pengakuan negara atas Masjid Besar sama dengan

Masjid Istiqlal. Masjid yang didirikan dan dikelola oleh swadaya masyarakat

Ambulu Kota semula hanya dikenal sebagai Masjid Baitul Muttaqien. Pada awal tahun 1985, Masjid Baitul Muttaqien berganti sebagai Masjid Jami’. Selanjutnya, ia berubah menjadi Masjid Besar pada sekitar tahun 1994 dan diakui sebagai masjid pemerintah. Perubahan tersebut dengan alasan nama Masjid Jami’ adalah nama untuk masjid pemerintah tingkat Kabupaten. Sejak saat itu Masjid Besar selalu mengapropiasi pendapat negara, terutama berkaitan dengan penentuan hari raya Idul Fitri. Bahkan, saat jatuhnya hari raya Idul Fitri pemerintah berbeda dengan keputusan PB NU, takmir Masjid Besar tetap menyelenggarakan sholat

Idul Fitri sesuai dengan keputusan pemerintah.

Lebih jauh, takmir Masjid Besar adalah orang yang diharapkan memiliki status ganda: alim secara kultural dan alim secara kenegaraan. Status tersebut, dalam faktanya, sangat mudah beradaptasi dengan situasi politik yang memproduksi makna “kekacauan” untuk mendeskriditkan makna damai yang dihidupi oleh aparatur negara. Sebagai masjid negara, takmir pun dituntut untuk menyosialisasikan makna damai. Damai yang dimaksud di sini adalah konsisi yang dapat menjembatani segala perbedaan yang ada, termasuk perbedaan afiliasi

44 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

NU dan , Partai Politik, sentimen , dan sebagainya. Masjid

Baitul Muttaqin tidak banyak bersuara mengenai “damai” dalam prespektif NU, tapi damai dalam prespektif Negara. Terbukti, tema-tema ceramah-ceramah sholat

Jumat maupun sholat hari raya, cenderung mengapropriasi tema-tema kenegaraan, seperti: himbauan saling menghormati antar pendukung partai, ceramah ahlak dengan pengambilan contoh pejabat korupsi, dan sebagainya.

Masjid, pada posisi ini, tidak lagi bermakna tempat ibadah, tempat suci, maupun rumah Allah. Makna masjid mengalami reproduksi (konsep) menjadi tempat yang damai. Hal inilah yang menjadikan kepengurusan Masjid memiliki kedekatan psikologis dengan Polsek (Kepolisian Sektor). Konsep “damai” yang diyakini oleh pihak Masjid Besar (Ketua takmir dan sebagian besar pengurus) sesuai dengan konsep menjaga keamanan yang dilakukan Polsek. Sudah menjadi hal yang wajar setiap pergantian Kapolsek, ada “ritual” menyambangi Ketua takmir.

Ketua takmir memiliki otoritas kultural dalam mempengaruhi kebijakan

Kapolsek yang berkaitan dengan “pengkondisian” masyarakat Ambulu. Bahkan, dalam radius tertentu (sekitar 20 m) dari Masjid, segala aktifitas harus melalui ijin pihak Masjid. Padahal, tepat di hadapan Masjid Besar terdapat alun-alun yang paling representatif untuk mengadakan acara yang bersifat publikasi. Sebelum otoritas masjid sekuat sekarang, pihak penyelenggara cukup meminta ijin pemerintah desa atau kecamatan dengan pemberitahuan pada pihak polsek.

Karena relatif mudah, hampir semua kegiatan pernah diadakan di alun-alun, mulai dari THR setiap tahun sampai dengan acara misbar (layar tancap). Saat ini, hanya

45 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

acara-acara tertentu yang dapat memakai alun-alun, terutama acara-acara

“religius” menurut pihak Masjid. Kalaupun pernah ada konser musik band lokal kabupaten, hal itu disebabkan promotornya adalah Djarum Super, yang pasti memiliki modal untuk didahulukan.

Gambar 2. Masjid Besar Baitul Muttaqien Ambulu dan Alun-Alun Ambulu

Praktik konsep yang dipakai oleh pihak Masjid, sangat mempengaruhi praktik religiusitas yang dilakukan di Masjid Besar. Hampir tidak ada ruang bagi kyai NU lokal untuk menyampaikan ajaran ke-NU-an seperti fiqh sholat dan ajaran sunnah dalam tradisi NU. Satu-satunya ruang tersebut hanya pada kajian setiap Kamis Legi sore dan diisi oleh Kyai Baihaqi. Padahal, sebelumnya hampir setiap hari ada pengajian tematik semacam itu. Misalnya, setiap hari Senin kajian tauhid; Selasa kajian fiqh; Rabu kajian ahlak; Kamis kajian tafsir; dan Jumat kajian hadis. Pemadatan tersebut lebih karena apa yang disampaikan para

46 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

penceramah seringkali menonjolkan sisi ke-NU-an, bukan ke-Islam-an. Hal itu dianggap dapat membuat jarak yang lebih lebar (tidak damai) antara pihak Masjid dan kelompok lain, terutama Muhammadiyah.

Pemeliharaan konsep damai tersebut dilakukan hingga pemilihan anggota takmir. Pada posisi ini, pihak Masjid sangat percaya bahwa masjid merupakan intitusi dengan misi. Karena itulah kebutuhan pada pengadaan struktur kepengurusan termasuk tugas kerjanya merasa sangat diperlukan. Yang dapat dilihat dari struktur tersebut adalah sebagian besar pengurusnya adalah orang- orang memiliki modal yang cukup kuat; pedagang kaya, ponpes ternama

(modern), anggota DPRD, Kepala Sekolah, berpendidikan tinggi, kepala desa, dan kyai moderat.

Konsekuensinya, cara takmir menghidupi masjid hampir selalu mencerminkan habitus mereka. Salah satunya, menjadikan Masjid Besar sebagai

“pusat perhatian”(seperti kebanyakan pengurusnya). Mulai dari bangunan yang dibuat sebagus mungkin (hampir setiap tahun ada pembangunan), mengadakan

Sema’an Al-Quran se-Kabupaten Jember, menghadirkan Penceramah dari luar

Kabupaten. Bahkan, mengundang kelompok gambus (ja’fin) dari Situbondo, yang juga kelompok gambus pertama yang pernah tampil di Ambulu (1995).

Hal inilah yang menjadikan Masjid Besar sebagai salah satu simbol religius yang dominan dalam ruang religius. Akan tetapi, produksi makna religius dalam ruang religius yang ada di Ambulu tidak hanya dihasilkan oleh simbol fisik, tapi juga oleh simbol kegiatan religius, salah satunya jamaah pengajian.

47 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Gambar 3. Kelompok ja’fin dari Situbondo

2. Jamaah pengajian sebagai ruang intensional

Ruang ini berkebalikan dengan ruang Masjid. Jika ruang Masjid mendistorsi pemaknaan tempat ibadah dengan konsep baru yang berlipat-lipat seperti konsep

“damai” dan “pusat perhatian”, ruang pengajian justru membuat suatu pemaknaan

“turun ke jalan” dan “dialami” oleh setiap muslim Ambulu. Jika ruang Masjid membuat mekanisme seleksi, ruang pengajian membuat mekanisme sosialisasi.

Ruang pengajian membuat pemaknaan pengajian sebagai ruang mecari ilmu

48 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

agama sebagai ruang yang wajib didatangi, bahkan bagi orang yang tidak merasa perlu mencari ilmu agama.

Makna yang diproduksi bukanlah makna pengajian, melainkan pengajian itu sendiri. Pengajian pada posisi ini meyakinkan orang Islam di Ambulu Kota untuk mempercayai pengajian sebagai ruang yang baik; ruang yang religius.

Untuk itulah, hanya lembaga atau orang yang memiliki modal religiuslah yang dapat membentuk jamaah pengajian. Di Ambulu, modal religius yang dimiliki NU sebagai organisasi hanya berhasil “berkomunikasi” dengan jamaah pengajian perempuan. Karena, jangkauan NU sebagai organisasi di Ambulu meliputi tingkat dusun (Cabang, Anak Cabang, dan Ranting) ada lebih dari 10 kelompok pengajian yang ada di Ambulu Kota. Mulai dari pengajian Muslimat NU Ambulu kota, pengajian Fatayat Ambulu Kota, pengajian kubro Fatayat tingkat kecamatan, hingga pengajian-pengajian Muslimat tingkat dusun. Padatnya jadwal pengajian perempuan yang dilaksanakan di tingkat Ambulu Kota, mengakibatkan jamaah pengajian yang diprakarsai masyarakat sangat terbatas. Hanya tersisa satu jamaah yang diprakarsai oleh masyarakat, yaitu jamaah diba’ tingkat Ambulu Kota yang dilaksanakan seminggu sekali.

Pengajian yang diprakarsai masyarakat justru lebih bisa bertahan di kalangan laki-laki. Dari sekian banyak jamaah pengajian laki-laki, hanya satu jenis pengajian yang diprakarsai oleh organisai NU tingkat ranting Ambulu Kota

(setiap malam Sabtu, 2 minggu sekali). Selain itu adalah pengajian dzikrul ghofilin (sebulan sekali); pengajian Sholawat Nariyah (sebulan sekali); pengajian

49 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

tahlil malam Jum’at yang dilaksanakan hampir semua kampung; dan pengajian malam Selasa.

Khusus pengajian malam Selasa, reproduksi pemaknaan tidak hanya berasal dari pengajian, tapi juga dari ketuanya (sekaligus penceramah tetap) Ustad

Abdullah Aslam. Sebagai salah satu murid Darul Hikmah Jember yang direkomendasikan langsung oleh Ustad Agil (Kyai Pesantren), ia dapat menjadi

“representasi religius” kelompok etnis keturunan Arab (Wong Pakistan). Dengan pakaian khasnya, jubah putih (gamis), ia “berhasil” menjadikan gamis sebagai salah satu mode pakaian muslim yang dikenal dan dapat juga dipakai orang

Ambulu.

Dari sekian banyak jamaah pengajian yang ada di Ambulu, orang memiliki kriteria menilai orang baik, salah satunya dinilai dari frekuensi datang ke pengajian. Posisi pengajian jauh lebih efektif mengakumulasi bentuk-bentuk komunikasi masyarakat muslim Ambulu. Tidak mengherankan, jika dalam pengajian orang lebih leluasa “berbicara” karena merasa nyambung. Pengajian membuat orang mengenal banyak bentuk “percakapan” hingga memiliki mekanisme seleksi sendiri. Pengajian malam Selasa misalnya, lebih sering didatangi oleh jamaah yang membutuhkan perbincangan Islam “kontemporer”.

Pengajian ini memiliki mekanisme mirip pengajian televisi, di mana ada penceramah tetap yang memberikan “siraman rohani”. Pola komunikasi yang dikembangkan adalah komunikasi searah.

Berbeda dengan jamaah malam Selasa, jamaah tahlil atau pengajian malam Jumat memiliki konsep pengajian yang relatif interaktif di setiap kampung.

50 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Setiap orang “dibuat” memiliki peran; mulai dari pembacaan Al-Quran hingga pembacaan tahlil, mulai dari pengiring srakalan, hingga pembaca sholawat. Akan tetapi, mekanisme komunikasi yang diterapkan dalam pengajian malam Jumat tidak sangat tergantung pada penceramah. Karena itulah, kebutuhan kelompok pengajian malam Jumat dengan pengajian malam Selasa sangat berbeda.

Termasuk kebutuhan musik. Justru dari jamaah pengajian malam Jumat kelompok hadrah muncul karena kebutuhan musikalisasi sholawat.

Singkatnya, model pengajian semacam pengajian malam Jumat memiliki kemampuan mengapropriasi bentuk-bentuk bidang lain yang sejenis. Hadrah, selain merupakan musikalisasi sholawat nabi, juga mengindikasikan bentuk pertunjukan yang dihidupi dari pembagian peran yang seragam. Tidak ada alat musik yang dominan atau pemain yang dominan. Semua pemain sekaligus vokalis. Model tersebut tidak dimiliki oleh pengajian malam Selasa. Sampai sekarang, tidak ada bentuk lain yang berkembang dalam ruang komunikasi pengajian malam Selasa. Kalaupun ada usulan mengembangkan musik religius dalam ruang pengajian malam Selasa, usulan tersebut tidak berhasil melahirkan satu kelompok musik pun dari ruang ini.

Bagaimana dengan pengajian perempuan? NU sebagai motor penggerak pengajian cukup membuat citra pengajian perempuan up to date, terkesan “maju”.

Bukan soal trend pengajian, melainkan terlihat religius pada zamannya. Untuk itulah, bentuk-bentuk budaya pop (modern?) cepat menjadi model artikulasi pengajian. Misalnya saja: model seragam jamaah yang setiap tahun berbeda, mengikuti trend artis religius tertentu, atau melodi pelantunan diba’ yang

51 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

mengikuti lagu pop. Bahkan, kebutuhan jamaah perempuan pada musik religius yang sedang populer terlihat betul hampir dalam segala hal. Karena, satu-satunya musik religius perempuan yang populer adalah qasidah (Nasida Ria), sudah bisa dipastikan seluruh kelompok yang terbentuk dari jamaah pengajian perempuan adalah qasidah (samroh). Sebut saja kelompok Al-Inaroh, Al-Mar’atussholihah, dan sebagainya.

3. Musholla sebagai ruang “bahasa”

Masjid dan Pengajian menjadikan makna yang ada padanya diseleksi atau di distribusikan. Akan tetapi, musholla sebagai ruang religius justru mengalami proses kehilangan makna dan hadir merepresentasikan format baru yang juga siap dimaknai kembali. Hal ini terjadi pada musholla Najjatul Khoir dan Miftahul

Khoir. Eksistensi musholla yang terlanjur dimaknai sebagai alternatif tempat sholat selain masjid, diganti dengan eksistensi tempat mengaji. Sekitar 30 tahun nama musholla Najjatul Khoir diganti menjadi pesantren Najjatul Khoir.

Sementara, mengikuti “popularitas” Najjatul Khoir (termasuk mengikuti nama), musholla Miftahul Khoir yang sebelumnya dikenal sebagai langgar

Kidul diubah menjadi Pesantren Miftahul Khoir.

Mekanisme pesantren pada dirinya sendiri merupakan ruang intensional seperti pengajian. Jika makna pengajian “turun ke jalan” dengan cara “dialami” oleh setiap muslim, makna pesantren justru “dialami” oleh orang yang merasa mapan ilmu agamanya. Akan tetapi, pada perkembangannya ruang pesantren menjadi ruang distorsif yang seringkali berakhir dengan dimaknai sebagai areal

52 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

luas dimana santri menginap. Pada kasus pesantren Ambulu, tidak ada pemilik modal yang memiliki areal luas dan menyediakan kamar untuk santri menginap.

Hanya ada kelompok orang yang “terpanggil” untuk memberikan ilmunya. Sekitar

30 tahun lalu, setiap orang memiliki kelompok mengaji di rumah masing-masing.

Tradisi ini paling banyak dilakukan oleh Keluarga Marhaban. Akan tetapi, dalam perjalanannya “privatisasi” rumah tinggal sering menjadi alasan untuk tidak lagi memakai rumah sebagai tempat mengaji. Selain, karena pada praktiknya mekanisme semacam ini telah diwakili oleh jamaah pengajian.

Jika pengajian telah mencukupi, kenapa muncul pesantren? Karena ada kelompok muslim yang belum terpanggil dalam pengajian, yaitu kelompok remaja dan anak-anak. Karena remaja dan anak-anak dinilai sebagai figur yang “labil”, maka fungsi pesantren menjadi relevan untuk kelompok tersebut. Pesantren yang dimaksud bukan “pesantren mainstream”, tapi pesantren musholla. Hasilnya, dua simbol ruang religius terpaksa berada dalam satu ruang. Konsekuensinya, ada produksi simbol dan pemaknaan baru yang diambil dari keduanya.

Simbol baru tersebut bukan saja merupakan simbol akumulasi pemaknaan makna religius, tapi juga mengganti makna ruang religius yang disaingi. Dalam hal ini, musholla adalah ruang yang disaingi oleh ruang pesantren. Makna musholla hanya dipakai untuk menunjukkan status kepemilikan ruang adalah masyarakat sekitar. Akan tetapi, pemaknaan selanjutnya dilakukan oleh pesantren. Singkatnya, pesantren musholla dapat menghasilkan pemaknaan pengelolanya adalah orang yang “dipercaya” oleh masyarakat sekitar. Sekaligus,

53 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menghasilkan pemaknaan dimana semua segmen (remaja SMP-SMA dan anak- anak) pesantren di sekitar musholla memiliki kewajiban mengikuti pesantren.

Para pemain Al-Asyik “berjumpa” dengan ruang religius dalam pesantren musholla Miftahul Khoir Kauman Selatan. Dari sana, mereka mengenal

“koneksi religius”. Dalam kehidupan sehari-hari takmir maupun pengurus pengajian adalah tetangga mereka. Ketika berada dalam mekanisme ruang religius, status tetangga akan tergeser oleh status religius. Untuk “menyapa” tetangga dengan status religius, para pemain perlu memakai simbol-simbol religius. Para pemain dapat “berkomunikasi” dengan tetangga religius saat menjadi pemain hadrah pesantren Miftahul Khoir. Pada saat itulah pemain memiliki modal kultural untuk mengakses medan religius, terutama medan musik religius.

B. Ruang Musikal

Gambus sebagai musik religius tidak juga dapat melepaskan diri dari penilaian ruang musikal. Ruang musikal, dalam hal ini, akan berhubungan secara paradigmatik dengan ruang religius dalam membentuk medan gambus. Jika dalam ruang religius, produksi makna religius gambus datang dan dihidupi dari simbol- simbol yang berkonotasi dengan religiusitas, dalam ruang musikal akan dilihat bagaimana simbol-simbol tersebut ditegaskan maknanya oleh simbol-simbol musikal. Dengan kata lain, ruang musikal akan dilihat sebagai ruang perebutan legitimasi musikal.

54 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Legitimasi macam apa yang sedang diperebutkan dalam gambus religius, dapat dilacak dari ruang musik religius industri dan ruang musik religius tradisi.

Pembagian ruang tersebut bukan semata-mata untuk membedakan musik religius yang dihidupi oleh industri dengan tradisi, tapi juga untuk menegaskan bahwa interaksi keduanya dengan budaya masyarakat Ambulu telah menghasilkan bentuk-bentuk musik religius. Dengan alasan yang sama, penjelasan mengenai industri musik religius dan musik religius tradisi akan dilihat ketika berinteraksi bersama-sama. Kalaupun penjelasan berikut dimulai dengan penjelasan mengenai bisnis musik religius, hal itu lebih karena alasan tehnis; dari mekanisme bisnis musik yang lebih jelas dan relatif mapan, akan dilihat apa yang dapat “diperbuat” oleh musik religius tradisi yang memiliki mekanisme relatif lebih rumit.

Penjelasan tentang hal itu akan dimulai dengan pertanyaan: “musik religius mana yang paling laku di Ambulu? Pertanyaan tersebut tidak mudah dijawab kecuali dengan memberikan keterangan waktu; sekarang, sepuluh tahun lalu, atau beberapa tahun yang akan datang? Pada umumnya, laku tidaknya suatu jenis musik sangat tergantung pada waktu; dulu laris manis, sekarang bisa jadi disebut kuno dan kurang laku. Dua puluh tahun lalu1, toko kaset di Ambulu laris menjual album qasidah kelompok Nasida Ria. Bahkan, kelompok-kelompok qasidah yang megikuti gaya Nasida Ria juga ikut laris. Beberapa tahun lalu, duet sholawat Hadad Alwi dan Sulis menjadi ikon musik religius. Akhir-akhir ini, kaset show kelompok gambus Balassyik di berbagai tempat juga banyak dimiliki oleh masyarakat Ambulu, terutama masyarakat Ambulu kota. Berbarengan

1 Dilihat dari ijin industri Puspita Record untuk kaset Nasida Ria Vol. 21 tertulis tahun 1986.

55 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dengan beberapa jenis musik tersebut, musik-musik pop religius seperti album

Bimbo, Rhoma Irama, Ungu, Oppick, dan sebagainya juga tetap laris.

Pada posisi ini, medan musik religius sedang didekati dari legitimasi ekonomis. Legitimasi ekonomis menyediakan bentuk-bentuk yang secara keselurahan dapat meningkatkan akumulasi modal ekonomis; yaitu bisnis. Nasida

Ria, Bimbo, Balassyik, dan sebagainya disebut sebagai kelompok musik religius

“kelas atas” karena paling banyak mendatangkan keuntungan ekonomis.

Mengikuti kerangka Bourdieu, musik religius, dalam hal ini jelas merupakan bagian dari bisnis kapitalis lanjut; produksi dan ukuran keberhasilan musik religius ditentukan oleh jangkauan pembelinya2.

Untuk itulah, bisnis musik religius perlu melakukan “sosialisasi” untuk menarik minat beli masyarakat. Sosialisasi tersebut tidak hanya berfungsi untuk menjual lagu tapi juga menjual musik, kemasan musik, dan pendukung musik.

Musik (pop) secara tegas dikenalkan oleh bisnis industri rekaman melalui bunyi- bunyian yang dihasilkan. Dari sana, musik dikemas dan dinilai. Teknologi rekaman suara yang dikerahkan untuk memanipulasi suara turut mempengaruhi

“kelayakan” suatu album untuk dibeli. Program radio, program televisi, dan toko kaset, merupakan media sosialisasi yang menunjukkan kelompok “pengkonsumsi” musik. Nasida Ria, Bimbo, Balassyik, dan sebagainya kenalkan oleh media tersebut sebagai artis dan pengkonsumsinya disebut penggemar artis.

Di Ambulu, ternyata, reaksi pasar pada Bimbo tidak selaris Nasida Ria.

Ketika Nasida Ria dikenalkan sebagai grup qasidah, jamaah pengajian perempuan

2 St. Sunardi dalam makalah kuliah Seni Pop, Estetika Musik Pop, halm:7

56 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dan kelompok-kelompok samroh menjadi segmennya. Nasida Ria mengemas qasidahnya identik dengan penyanyi dan semua pemain musiknya perempuan berkerudung dan berseragam. Lebih jauh, qasidah Nasida Ria membuat pendukung samroh merasa memiliki kedekatan dengannya. Padahal, di Ambulu hampir semua perempuan muslim ikut pengajian. Hingga, sah-sah saja jika para pemain samroh perlu mengubah penampilan dengan memakai seragam ala Nasida

Ria.

Gambar 4. Kelompok Nasida Ria

57 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Gambar 5. Grup Samroh Santri Najjatul Khoir

Akan tetapi, Nasida Ria tidak hanya sedang membidik segmen “aktivis” pengajian atau pemain samroh di daerah, tapi juga membidik segmen perempuan muslim pada umumnya. Segmen tersebut diperluas dengan menunjukkan kekuatan alat musik. Alat musik Nasida Ria dibuat berbeda dengan samroh. Alat musik yang dipakai Nasida Ria digolongkan (oleh bisnis musik) sebagai alat-alat musik modern, seperti keyboard, gitar elektrik, dan biola.

Agar Nasida Ria tidak cepat turun harga jual dan pamornya, industri rekaman yang sama (Puspita Record) mengeluarkan kelompok tandingan, antara lain “Puspita Ria”, “Nida Ria”, “Ampel’s Group” dan “El-Hawa”. Kelompok tandingan juga dibentuk untuk menyaingi musikalitas Nasida Ria. Puspita Record memproduksi kelompok “Rebana Modern” untuk menggaet konsumen yang tidak terlalu setuju dengan pemakaian alat-alat musik modern dalam qasidah.

Kelompok-kelompok tersebut antara lain “Rebana Ria” dan “Al-Akhyar”.

58 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Kesuksesan genre qasidah3 di pasar musik dilengkapi oleh gambus.

Kalau dua jenis sebelumnya mengambil segmen perempuan, gambus ditujukan untuk laki-laki. Puspita Record memproduksi Gambus El Balassyik Muhdar al

Atas (1989) dan El Muhajirin Abdullah Hinduan (1992). Tanama Record memproduksi gambus Al Fata Wahid Dinar (1990). Pembedaan bentuk kelompok gambus dengan kelompok genre qasidah lainnya adalah pada cara memperkenalkan musik. Gambus justru dikenalkan bukan melalui musik, melainkan melalui lirik dan penyanyinya; lirik berbahasa Arab dan penyanyi laki- laki dengan cengkok Arab. Hal itu juga yang menjadikan pemberian nama penyanyi bersama-sama dengan nama grup dalam cover kaset menjadi hal yang hampir pasti.

Lantas, bagaimana orang mengenali musik gambus? Orang memang tidak dibuat mengenal gambus secara musikal. Pemahaman orang terhadap gambus sejak awal sudah dihentikan oleh cover kaset. Hampir semua cover kaset gambus menunjukkan wajah penyanyi yang sedang membawa gitar gambus. Jika bukan itu, biasanya cover menunjukkan foto penyanyi yang berpakaian dengan model Timur Tengah. Hal itu menunjukkan bahwa musik gambus adalah musik yang diadopsi dari musik Timur Tengah.

3 Lihat pengklasifikasian Helene Bouvier dalam Bab I. Bdk dengan, William P Malm, dalam Musical Culture of The pasific, the Near East, and Asia. Juga, Henry George Farmer, A History of Arabian Music to The XIIIth Century.

59 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Gambar 6. Contoh cover kaset gambus

Lebih jauh, cover kaset bahkan telah menjadi sumber informasi mengenai gambus. Akan tetapi, informasi tersebut bukan dipakai untuk

“diinternalisasi” (seperti kasus samroh menginternalisasi qasidah), melainkan untuk menegaskan gambus memang tidak bisa diinternalisasi oleh masyarakat

Ambulu. Tidak ada habitus musikal gambus dalam masyarakat Ambulu.

Mengapa laku? Karena cover dan tentunya lirik sangat akrab dengan habitus religius masyarakat Ambulu. Musik gambus merupakan musik yang asing didengar, tapi dapat diterima. Penerimaan tersebut tidak hanya berwujud pembelian kaset, tapi juga dipakainya lagu-lagu gambus tersebut sebagai lagu pengiring gerak dan tari dalam acara religius. Bahkan, lagu SalaminBa’it

(Abdullah Hinduan) dan Magadirr (El Fata) menjadi hits gambus “sepanjang masa”.

60 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Musik gambus, pada posisi ini, tidak mudah untuk dibaca oleh modal kultural lokal. Gambus menjadi musik yang hanya bisa didengar tapi tidak bisa dipakai (sebagai budaya musikal religius). Gambus pada posisi ini, secara musikal tidak banyak mendapat dukungan modal kultural. Mengetahui “kelemahan” gambus semacam ini, industri rekaman gambus buru-buru memproduksi gambus lain, yaitu gambus berbahasa Indonesia 4. Di tempat lain, seperti di Surabaya dan

Jakarta, gambus semacam ini menjadi penyelesaian “masalah” pasar gambus.

Sebaliknya, di Ambulu, gambus semacam ini justru tidak laku karena dianggap tidak mengakses habitus apapun, religius maupun musikal.

Penyelesaian “masalah” justru datang dari gambus yang dipopulerkan oleh Al-Qolam Record. Jika kelompok-kelompok gambus sebelumnya disiapkan untuk dimaknai sebagai musik religius asing, dengan kelompok gambus La Tansa

Mustafa Abdullah (1994) keasingan tersebut “diakrabkan”. Bukan dengan mengubah lirik Arab menjadi lirik Indonesia, tapi dengan musiknya. Musik gambus La Tansa, meskipun tidak banyak berbeda dengan gambus lainnya, menghadirkan kesan akrab dari kemampuannya membiarkan orang mengenal unsur-unsur pembentuk musik gambus. Sejak dari cover kaset, mereka tidak menunjukkan “keberartian” gitar gambus. Yang menjadi ikon dalam cover justru

Mustafa yang berwajah keturunan Arab. Dengan cara itu, orang dibuat menebak gambus seperti apa yang sedang ditawarkan La Tansa. Ketika mendengarkan suara Mustafa melantunkan lagu-lagu berlirik Arab dalam iringan musik gambus,

4 Gambus semacam ini sempat meramaikan industri gambus, seperti gambus yang dimainkan kelompok Gambus Modern Assalam dengan lagu “Gadis Pujaan”. Yang paling aktual adalah gambus yang dibawakan oleh kelompok Debu.

61 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ternyata, secara psikologis orang merasa sedang mendengar musik pop; easy listening.5

Gambar 7. Cover kaset Kelompok Gambus La Tansa

La Tansa, pada posisi ini, sedang mengalami apa yang dialami Nasida

Ria, yaitu memakai alat musik modern (gitar elektrik, bass elektrik, keyboard, biola, dan drum set) untuk memproduksi citra modern. Konsekuensinya, untuk menjangkau kelompok masyarakat yang tidak sepakat dengan pemakaian alat-alat musik tersebut, industri rekaman juga perlu menyediakan musik gambus tandingan. Kelompok gambus El Mira merupakan kelompok gambus yang

5 “Easy listening music is a style of popular music and radio format that emerged in the mid-20th century, evolving out of swing and big band music, and related to Beautiful music and Light music. Easy listening music features simple, catchy melodies, soft, laid-back and occasionally rhythms suitable for couples dancing”, lihat www.wikipedia.com. Bdk dengan “Easy listening is mostly instrumental pop music marked by light or nonexistent rhythms, designed to be as unobtrusive as possible. Though it's generally thought of as quiet background stuff (a.k.a. 'elevator music'), easy listening also embraces unusual genres like space-age pop and the 'exotica' sounds of Martin Denny and Juan Garcia Esquivel”, lihat www.cnet.com.

62 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dikenalkan oleh industri rekaman sebagai kelompok yang berbeda rasa musik dengan La Tansa. El Mira adalah kelompok gambus ja’fin.

El Mira, bahkan, menegaskan perbedaan bentuknya dengan mengenalkan visualisasi gambus ja’fin. Hampir seluruh kelompok gambus hadir di Ambulu menyapa pendengaran, bukan pengelihatan. Hanya Radio yang mereka pakai sebagai media sosialisasi. Saat itu, kelompok-kelompok musik pop religius nyaris tidak dapat memakai Televisi untuk menyosialisasikan diri (sebagai artis).

Biaya produksi untuk membuat video klip dan menayangkannya di Televisi sangatlah mahal. Hanya Nasida Ria dan Nida Ria yang mampu membiayai pengeluaran tersebut. Ketika Masjid Besar mementaskan gambus, hal itu menjadi pengalaman pertama melihat musik gambus. El Mira justru hadir sebagai penegas bentuk gambus yang ditanggap oleh Masjid. El Mira “diuntungkan” dengan maraknya pembajakan kaset yang diproduksi oleh industri kaset rekaman berizin

(major label) dan teknologi audio visual (camcorder). Dengan biaya produksi lebih kecil (karena bisa dilakukan sendiri), kaset bisa cepat disebarkan melalui jaringan kaset bajakan.

Pengalaman tersebut bukan saja pengalaman pertama masyarakat

Ambulu menyaksikan bentuk pertunjukan gambus, tapi juga pengalaman pertama masyarakat merasakan habitus gambus. Ternyata, gambus dekat dengan hadrah.

Dengan cepat, bentuk-bentuk ja’fin dibaca oleh (modal kultural) masyarakat, terutama para pemain hadrah. Bentuk-bentuk hadrah, yang sebelumnya sangat mapan dengan pola lima tepukan untuk sholawat dan tiga pola tepukan untuk

63 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

srakalan, menjadi sedikit goyah ketika muncul dua pola tepukan yang ditawarkan alat musik marwas yang mengiringi gitar gambus dalam ja’fin.

Agar tidak “terjebak” dalam ja’fin, kelompok hadrah yang ada di

Ambulu membuat pembedaan tegas peran musikal mereka. Mereka memperkenalkan secara publik bahwa mereka adalah kelompok hadrah, tapi bisa jiduri (dari srakalan), sekaligus ja’fin. Kelompok-kelompok tersebut antara lain kelompok hadrah Timur Pasar, Utara Pasar, dan Kauman. Hal itu bisa dilakukan karena setiap jenis musik dipakai dalam acara berbeda. Hadrah dipakai untuk acara tahlil dan jiduri untuk srakalan. Sedangkan, ja’fin dipakai untuk mengisi acara-acara religius selain yang memakai lirik sholawat. Pada posisi ini, gambus ja’fin memiliki segmen yang mirip dengan qasidah. Bedanya, pemain dan pendukung gambus ja’fin sebagian besar laki-laki.

Dalam praktiknya, ketiga kelompok hadrah yang berperan ganda tersebut mengikuti mekanisme pengelolaan yang ditawarkan industri rekaman.

Kelompok gambus La Tansa, misalnya, dikelola (baca: diarahkan) oleh Alwi Al

Hadaad. Alwi Al Hadaad, belakangan dikenal oleh publik dengan nama Hadad

Alwi sebagai teman duet Sulis dalam berbagai album sholawat “Cinta Rosul” (I-

V). Baik kelompok Timur Pasar, Utara Pasar dan Kauman, memakai “jasa” pengarah atau pengelola yang memiliki modal ekonomi dan modal religius relatif mapan. Hampir semua operasional kelompok ditangggung oleh pengelola

(pemilik modal). Bahkan, “hidup matinya” kelompok tersebut sangat tergantung oleh pengelolanya.

64 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Pengelola, relatif konsekuen dengan tindakannya karena tidak sedang menggandakan modal ekonomi. Secara ekonomis, mengelola kelompok tersebut tidak menghasilkan keuntungan. Akan tetapi, pengelola sedang menggandakan modal kultural (modal religius). Modal ini sangat penting di Ambulu. Hampir setiap medan yang dihidupi masyarakat Ambulu, mengisyaratkan kekuasaan legitimasi religius. Oleh karena itu, pengelola memiliki banyak peran dalam menentukan bentuk-bentuk musikal yang dihidupi setiap kelompok.

Konsekuensinya, perlunya seorang pengelola kelompok musik religius, menjadi bentuk mitos yang mapan. Bentuk tersebut dapat terus direproduksi ketika industri rekaman masih tidak banyak menggunakan compact disc (CD).

Ketika CD semakin murah dan mudah diisi, konsumen musik mulai dibiasakan dengan pengalaman menonton musik religius. Pengalaman tersebut hampir pasti menonjolkan pengalaman menonton pertunjukan pemain dan bukannya mencari- cari siapa yang mengarahkannya. Mitos tentang pengelola dipudarkan dengan mitos tentang pemain.

“Kesuksesan” bentuk mitos tentang pemain mengalami puncaknya saat

Balassyik (1997-sekarang) mulai mendominasi pasar gambus ja’fin. Balassyik mengemas visualisasi apa yang dikenal sebagai gambus oleh masyarakat selama ini. Balassyik mengembalikan bentuk yang dulu dihidupi oleh La Tansa, Abdullah

Hinduan dan sebagainya, yang disebut Balassyik sebagai gambus sarah dan baladian. Hal itu ditegaskan oleh para penyanyi Balassyik yang sebagian besar adalah penyanyi kelompok gambus tersebut, seperti: Mustafa, Nizar Ali, Haidar

65 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Ali, dan sebagainya. Artinya, Balassyik diproduksi untuk membentuk pasar yang berbeda dengan gambus ja’fin.

Fenomena Balassyik dibaca oleh masyarakat Ambulu melalui modal kultural kemampuan memainkan alat musik Balassyik. Lebih jauh, Balassyik memberikan informasi kemungkinan pemain mengusahakan modal kulturalnya sendiri. Pemain gitar gambus, ternyata tidak dapat melepaskan diri dari pemain tam-tam, pemain keyboard, dan pemain gitar elektrik. Memainkan gambus, ternyata, tidak banyak berbeda dengan memainkan band. Oleh sebab itu,

Balassyik juga dibaca oleh modal kultural memainkan alat musik band, termasuk para pemain band.

Keyakinan tersebut ditegaskan oleh industri rekaman musik pop. Ungu,

Repvblik, Gigi, dan sebagainya merupakan contoh kelompok band yang mampu menembus pasar dengan dikenali sebagai musik religius. Bahkan, beberapa lagu qasidah (Nasida Ria) juga dipakai dalam Album Gigi, seperti lagu Kota Santri dan

Perdamaian. Artinya, industri musik religius tidak hanya dicarikan bentuknya dari berbagai bentuk-bentuk musik religius tradisi, tapi juga dari bentuk-bentuk musik pop.

Di sisi lain, Balassyik juga menginformasikan bahwa memainkan gambus, ternyata, berbeda dengan memainkan band. Balassyik mumunculkan bunyi-bunyian yang tidak banyak diproduksi oleh musik pop. Melodi Balassyik dikenali oleh modal kultural masyarakat melalui habitus yang berbeda dengan habitus band. Habitus gambus di Ambulu diperoleh dari genre qasidah, ruang

66 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

religius, dan modal mengakses bahasa Arab. Singkatnya, habitus gambus diperoleh dari musik religius tradisi dan industri musik religius tradisi.

Paradoks tersebut justru dibaca oleh kelompok hadrah Kauman sebagai peluang mengeluarkan modalnya. Para pemain merasa dapat memadukan paradoks kerena mereka pemain hadrah sekaligus, sebagian besar pemain, pernah menjadi pemain band (Faruk, Eko, Aris, Fredi, Totok, Hayung). Sejak saat itu

(2000), pemain hadrah Kauman mulai mengusahakan status barunya sebagai pemain gambus. Oleh sebab itu, mereka pun merasa perlu membuat nama kelompok agar dikenali saat kapan mereka dikenal sebagai kelompok hadrah atau sebagai kelompok gambus. Melalui beberapa pertimbangan, termasuk pertimbangan daya ingat penonton, nama Al-Asyiq dipilih. Nama tersebut menegaskan bahwa mereka bisa sama dan sekaligus berbeda dengan Balassyik.

Sama-sama gambus, tapi gambus dari tradisi hadrah.

Akan tetapi, dalam praktiknya, nama Al-Asyiq tidak banyak diingat oleh masyarakat Ambulu. Masyarakat lebih sering mengenali mereka sebagai kelompok gambus “arek-arek Kauman”. Mengapa? Karena pada saat yang sama kelompok hadrah Utara Pasar dan Timur Pasar juga mengumumkan sebagai kelompok hadrah yang juga bisa main gambus. Artinya, Al-Asyiq sedang disaingkan dengan kelompok lainnya.

Meskipun demikian, Al-Asyiq sadar betul kalau gambus yang dihidupinya berbeda dengan kedua kelompok tersebut. Gambus Utara Pasar dan gambus Timur Pasar hanya mampu memainkan ja’fin dan tidak memiliki modal kultural memainkan alat musik modern untuk menyaingi Balassyik. Hal inilah

67 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

yang menjadikan Al-Asyiq perlu mengambil langkah berani agar orang tidak lagi membandingkannya dengan kedua kelompok tersebut. Langkah yang dipilih adalah berhenti menyebut dirinya sebagai kelompok hadrah. Secara publik, mereka hanya mengenalkan satu status, yaitu sebagai pemain gambus.

Konsekuensinya, para pemain juga merasa perlu mengubah gambaran orang mengenai kelompoknya. Al-Asyiq, akhirnya, mengubah nama menjadi Al-Asyik.

Dengan nama “barunya”, Al-Asyik mulai merumuskan gambusnya dari awal.

C. Kesimpulan

Medan gambus merupakan medan yang dihidupi dari ruang religius dan ruang musikal. Keduanya berhubungan secara paradigmatik. Akan tetapi, keduanya memiliki mekanisme ruang yang berbeda. Ruang musikal lebih adaptif dengan mekanisme dalam ketegori Bourdieu mengenai medan seni (artistic field). Medan seni berada dalam medan kekuasaan (field of power) yang tidak lain adalah kekuasaan ekonomi6. Sedangkan, ruang religius mempertahankan mekanisme yang cenderung distorsif untuk menjaga kualitas modal kultural, terutama berkaitan dengan menjaga kekuasaan legitimasi religiusitas.

Medan gambus, dalam hal ini, merupakan medan yang menampung tarik ulur, interaksi, konflik, sekaligus pengabaian, antara ruang religius dan ruang musikal; antara legitimasi religius dan legitimasi ekonomis. Aturan main yang diberlakukan di dalamnya ditujukan untuk adaptif dengan kedua legitimasi ruang.

Akan tetapi, ketika pembacaan masyarakat Ambulu terhadap musik-musik religius

6 St. Sunardi, dalam makalah kuliah Seni Pop, Estetika Musik Pop, halm: 9

68 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dengan legitimasi ekonomis memakai modal kultural, mau tidak mau bentuk- bentuk pembacaan yang dilakukan pun pertama-tama ditujukan untuk meningkatkan akumulasi modal kulturalnya.

Kehadiran Al-Asyik dalam kultur budaya musikal religius masyarakat

Ambulu, berawal dari kebutuhan semacam itu. Akan tetapi, ketika medan gambus yang dihidupi adalah medan gambus Balassyik, Al-Asyik perlu mengeluarkan modal kultural dari habitus musik pop selain dari habitus musik religius tradisi.

Konsekuensinya, praksis gambus Al-Asyik akan mengalami perpaduan antara berbagai bentuk musik yang ada.

69 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB IV

GAMBUS SEBAGAI SUBKULTUR MUSIKAL RELIGIUS

Bab sebelumnya telah menjelaskan medan gambus yang harus dilalui Al-Asyik.

Pada bab ini akan ditunjukkan apa yang dilakukan Al-Asyik dalam pertunjukannya (praksisnya). Penjelasan Bourdieu mengenai praksis, mengarahkan pemahaman bahwa bentuk praksis adalah bentuk untuk berkomunikasi dengan medan. Bentuk tersebut dapat berupa ekspresi pemain terhadap ideologi medan, atau juga bentuk impresi ideologi pemain terhadap kelompok lain1. Praksis yang akan ditunjukkan dalam bab ini juga akan membuka kemungkinan bentuk-bentuk yang “gagal” diideologisasi. Dengan demikian, kita dapat menempatkan praksis Al-Asyik dari pilihan-pilihan bentuk gambus yang dihidupinya. Dalam wawancara, pemain menyebut empat bentuk gambus yang sering mereka mainkan: ja’fin, sarah, baladian, dan dhaifah. Uraian berikut merupakan upaya untuk menunjukkan keberartian setiap bentuk praksis.

A. Ja’fin: Awal perjumpaan

Ja’fin adalah bentuk gambus yang pertama kali diterima oleh masyarakat Ambulu, khususnya kelompok Al-Asyik. Ja’fin sejak awal diterima masyarakat sebagai musik religius. Dalam genre musik religius yang ada di Ambulu, ja’fin menempati ruang religius yang sama dengan hadrah, rodat, dan jiduri. Hal itu disebabkan karena alat musik dan lirik ja’fin memiliki kedekatan musikal dengan

1 Guerino Mazzolla, Semiotic Aspect of Musicology: Semiotic of Music, halm: 77.

70 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

musik-musik tersebut. Baik hadrah, rodat, jiduri maupun ja’fin, seluruhnya mengandalkan alat musik tepuk. Hadrah dan rodat lebih banyak menggunakan hadrah (alat musik). Sedangkan, jiduri dan ja’fin dominan memakai marwas.

Produksi nada yang dihasilkan oleh warna suara gambus justru memberikan efek rileks pada “ketegangan” bunyi marwas. Hal inilah yang membedakan ja’fin dengan jenis musik lainnya. Kalau permainan hadrah dan lain-lain diawali oleh vokal, ja’fin diawali oleh solo gitar gambus yang relatif panjang. Secara psikologis, orang yang mendengar ja’fin seolah sedang diminta perhatiannya, tapi tidak serta merta membuat orang menghentikan aktivitas sebelumnya. Dalam ja’fin, pendengar diberi kesempatan untuk berpendapat mengenai kemungkinan yang terjadi selanjutnya.

Akan tetapi, kesempatan berpendapat yang diberikan ja’fin hanya terbatas dalam medan musik religius. Kesempatan berpendapat dibatasi dengan

“kemasan” ja’fin, yaitu kemasan dengan pemaknaan religius par exellence. Ja’fin hanya ditampilkan dalam acara religius, dengan cara religius, kelompok orang religius, lirik religius dan dengan pakaian religius2. Acara religius ditandai dengan acara-acara HBK (Hari Besar Keagamaan) Islam, seperti: Maulid Nabi, Isra’

Mi’raj, Tahun baru Islam, dan sebagainya. Kelompok religius ditandai dengan kelompok pendukung ruang religius, terutama takmir dan pengurus pengajian.

Cara religius ditandai dengan formasi pemain yang tidak memungkinkan orang

“banyak gaya”, seperti formasi duduk setengah lingkaran dan berhadapan sejajar dengan penonton. Lirik religius ditandai dengan tema-tema keagamaan, misalnya

2 Lihat hasil kuesioner mengenai gambus religius dalam lampiran 3 halm: 136

71 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

seperti lagu Rabby Faj’al. Sedangkan, pakaian religius dalam ja’fin hanya gamis.

Dengan kata lain, pendapat yang mungkin dimunculkan adalah pendapat tentang kereligiusan ja’fin.

Kesempatan berpendapat yang diberikan oleh ja’fin juga diterima oleh pemain. Melalui kaset gambus yang ada di Ambulu, Al-Asyik dikenalkan dengan

“cara” memperlakukan irama ja’fin. Misalnya, gambus ja’fin yang dipopulerkan

El-Mira. Irama tetap yang dimiliki ja’fin ternyata dapat diperpadat dengan cara menambah alat musik. Alat musik yang dikenalkan adalah keyboard.

Gambar 8. Kelompok gambus Al-Asyik

Mengapa keyboard? Karena keyboard dapat memberikan sensasi bunyi sesuai kebutuhan. Ja’fin dinilai perlu menambah sensasi religius. Sensasi religius terutama dapat dimunculkan dengan alat musik yang dapat menghasilkan efek drone (bunyi nada rendah yang ditahan) seperti sitar India. Hasil petikan gitar

72 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

gambus justru hanya menghasilkan bunyi yang amplitudonya pendek sehingga tidak dapat menghasilkan efek drone. Efek drone tersebut dapat dimunculkan oleh keyboard.

Dalam perkembangannya, keyboard nyaris tidak pernah absen dari pertunjukan kelompok gambus manapun. Termasuk dalam pertunjukan Al-

Asyik 3. Penanggap lebih cenderung menanggap kelompok gambus yang memakai keyboard. Keyboard telah menjadi penanda “komersial”. Mengaitkan musik religius dengan nilai komersial dalam sejarah musik di Indonesia hampir selalu melibatkan keyboard.

Al-Asyik ternyata memerlukan ja’fin yang komersil. “Keperluan” Al-

Asyik terhadap keyboard bukan pada nilai komersil itu sendiri, melainkan pada nilai yang sedang disaingi oleh nilai komersil, yaitu nilai religius. Pada saat itu,

Al-Asyik harus menunjukkan identitas yang dapat membedakannya dengan kelompok gambus lokal seperti kelompok gambus Timur Pasar dan Utara Pasar.

Satu-satunya cara (karena sangat miskin informasi bentuk) yang mungkin ditempuh adalah dengan membuat perbedaan bentuk. Keyboard dinilai sebagai penanda perubahan bentuk. Dengan keyboard Al-Asyik tidak hanya menunjukkan identitasnya, tapi juga menunjukkan status posisinya melebihi kelompok gambus lainnya yang tidak mampu memainkan keyboard. Tak heran, pada awal karirnya,

Al-Asyik menargetkan kepemilikan keyboard. Proposal pada beberapa donatur pun disebarkan. Dengan mengatasnamakan kelompok gambus binaan pesantren

Miftahul Khoir, mereka mampu meyakinkan para donatur yang sebagaian besar

3 Lihat hasil kuesioner pada lampiran 3, halm: 134

73 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pendukung ruang religius untuk menyumbang. Akhirnya mereka mampu membeli keyboard.

Bagaimana dengan pemainnya? Meskipun keyboard merupakan alat musik “populer”, tapi tidak banyak orang Ambulu yang menguasainya. Keyboard adalah alat musik yang diadopsi dari organ dan melalui proses yang lain alat musik tersebut dinilai dekat dengan tradisi Kristen. Pada saat Aris bersedia untuk belajar bermain keyboard secara otodidak dari kaset gambus. Seperti telah disebut sebelumnya, kebutuhan menghadirkan keyboard dalam gambus adalah mengiringi bunyi gitar gambus. Artinya, Aris memfokuskan keterampilannya bermain keyboard untuk mengiringi gitar gambus.

Akan tetapi, pemaknaan “penanda” komersil yang dihasilkan oleh keyboard jauh lebih banyak daripada kepentingan produksi nadanya dalam ja’fin.

Keyboard, pada praktiknya, bukan hanya menghasilkan sensasi komersil tapi juga sensasi “ruang musikal”. Keyboard secara psikologis dapat memicu pemainnya meningkatkan kemampuan musikalnya. Ketika Aris memperoleh informasi pemakaian keyboard tidak hanya dari gambus, ia pun mulai mencoba memakai keyboard untuk mengiringi ketipung (dangdut) dan gitar elektrik (pop dan rock).

Terbukti, saat ini Aris tidak hanya dikenal sebagai pemain gambus, tapi juga menerima job.

Ketika ja’fin sangat tergantung pada sensasi komersil yang ditawarkan keyboard, Aris pun menjadi “primadona”. Tanpa keyboard, Al-Asyik bisa tidak jadi pentas. Artinya, Aris memiliki status (modal) yang lebih “baik” dibanding pemain lainnnya. Tidak menutup kemungkinan, Aris memakai modalnya untuk

74 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

melipatgandakan porsi keyboard dalam ja’fin. Untuk itulah, Al-Asyik mencari kemungkinan lain untuk mengurangi dominasi sensasi keyboard.

Kemungkinan tersebut dicarikan dari cara memperpadat marwas.

Bagaimana mungkin? Dengan bentuk yang lebih kecil dari hadrah dan dengan struktur nada terbatas, marwas pada dirinya sendiri sudah “padat”. Bahkan, marwas tidak memberi kesempatan pada alat musik lain untuk mengaksesnya.

Kalaupun mungkin, kemungkinan itu sangat kecil.

Pertanyaan tersebut dijawab oleh fenomena Balassyik. Melalui

Balassyik, Al-Asyik mendapatkan bukan hanya informasi cara memadatkan marwas, tapi juga meniadakan bunyi marwas. Cara tersebut diusulkan Balassyik dengan menyebutnya sebagai gambus sarah dan baladian.

B. Sarah dan Baladian: Musik Religius, Selera Komersil

Musikalitas sarah dan baladian secara tegas berbeda dengan ja’fin. Perbedaaan sarah dan baladian juga datang dari porsi alat musik pengganti marwas dalam pertunjukan gambus. Semakin banyak porsi alat-alat musik tersebut, semakin rapat jarak antar bunyi yang dihasilkan. Al-Asyik menyebutnya sarah bertempo rapat. Sebaliknya, baladian lebih mudah dikenali dari tidak dominannya alat musik tepuk (perkusi). Oleh sebab itu, Al-Asyik dapat mengidentifikasikan tempo baladian secara lebih tegas; ¾-jeda.

Hadirnya sarah dan baladian sebagai bagian dari jenis gambus, membuat orang lebih sulit mengidentifikasi apa sebenarnya musik gambus.

Kebingungan tersebut cepat diselesaikan oleh industri musik “Timur Tengah”

75 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

yang diterima oleh masyarakat Ambulu dengan label musik gambus, seperti:

Kelompok gambus Abdullah Hinduan, gambus Haidar Ali, dan sebagainya.

Dengan lagu-lagu hits mereka seperti Magadiir, Salamim ‘Bait dan Narwatil

Ayyami, orang dibuat semakin tidak peduli mengenai “esensi” gambus. Dengan cepat pula, sarah dan baladian dinilai setara dengan ja’fin; sama-sama gambus, sama-sama religius dan sama-sama menggunakan bahasa Arab.

Konsekuensinya, sumber informasi bentuk pertunjukan gambus tidak hanya datang dari ja’fin. Al-Asyik yang sedang “gelisah” dengan ja’finnya mulai melirik tawaran bentuk yang disediakan sarah dan baladian. Mereka memilih tawaran bentuk sarah dan baladian dari Balassyik. Sarah versi Balassyik dipakai terutama pada bentuk “pengganti” marwas. Bentuk pengganti marwas bertugas memberikan sensasi “tempo tetap”. Mengapa hanya sensasi? Karena warna suara tumbuk, dan tam-tam diakumulasikan oleh Balassyik untuk mengartikulasikan warna suara marwas dengan hasil yang sudah pasti berbeda dengan marwas. Akan tetapi, justru perbedaan itulah yang sedang ditunjukkan.

Karena alat-alat musik tersebut bukan sedang ditawarkan, tapi sedang memastikan kemampuannya menggantikan marwas. Perbedaannya dengan marwas diakui sebagai kelebihan; kelebihan memperluas ruang musikal gambus.

Hasilnya, penanda tempo dalam sarah tidak lagi berupa bunyi yang terkesan menggantung, melainkan berupa bunyi yang terkesan mengakhiri. Dalam ragam musik indutri, bunyi yang berkesan mengakhiri biasanya berasal dari bass drum dan ketipung (dangdut). Atau, dalam , bunyi tersebut dapat disetarakan dengan suara . Tidak mengherankan jika di kemudian hari, Al-

76 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Asyik merasa sah-sah saja memasukkan drum set dalam pertunjukannya. Fungsi bass drum mempertegas bunyi ndut ketipung, sekaligus “menyelamatkan” gambus dari dugaan memakai bentuk dangdut. Dalam pertunjukan Balassyik, hal itu cukup diatasi oleh keyboard yang distel dengan warna suara drum.

Kehadiran keyboard, drum, tumbuk, kendang, dan tam-tam dalam sarah versi Balassyik dipakai oleh Al-Asyik untuk “memadatkan” ja’fin. De facto hal itu tidak mengganggu irama, tapi justru “mengganggu” penilaian (mitos) ja’fin.

Ja’fin yang sebelumnya hanya ditempatkan dalam ruang eksklusif (ruang religius), ditarik oleh alat-alat musik modern pada ruang publik (ruang musikal).

Pada pertunjukan lagu Ja’fin Katabna terlihat bagaimana ja’fin berkompromi dengan rasa pop. Pada bagian interlude, produksi irama yang biasanya diisi oleh gitar gambus atau marwas, diisi penuh oleh drum set dan keyboard.

Konsekuensinya, Al-Asyik berada dalam status “tidak jelas”; sepertinya ja’fin, tapi bisa memunculkan egolan dalam gerak ja’fin yang dikenal hanya memainkan tangan dan kaki; sepertinya religius, tapi kok dinikmati seperti musik profan. Ketidakjelasan tersebut dicarikan penegasannya dalam sarah. Dengan mengapropriasi bentuk sarah Balassyik, Al-Asyik menegaskan

“ketidaksanggupannya” memenuhi prasyarat ja’fin. Akan tetapi, dengan sarah,

Al-Asyik hendak menambahi bahwa ketidaksanggupannya akan diganti dengan prestasi, yaitu kemampuannya menyaingi sarah Balassyik. Jika berhasil, prestasi ini akan mengantarkan gambus Al-Asyik sebagai kelompok dengan status religius baru.

77 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Gambar 8. Goyang Ja’fin

Sarah dianggap lebih dekat dengan ja’fin daripada baladian. Dalam sarah, irama tetap yang dimiliki ja’fin memiliki tempo yang lebih rapat. Tempo rapat, dalam praksis musikal, hampir selalu dimaknai sebagai musik dengan bit cepat dan suasana ceria, serta goyang4, misalnya saja musik ska, disko, dan sebagainya. Perbedaan sarah dengan musik dengan tempo rapat lainnya adalah pada irama ja’fin. Sarah memungkinkan mengapropiasi bentuk ja’fin jauh lebih sering daripada baladian. Dengan mempertimbangkan kemungkinan tersebut, pemain Al-Asyik dapat tetap berkomunikasi dengan ja’fin sekaligus merumuskan sarah menurutnya.

Perbedaan yang paling menonjol antara sarah Balassyik dengan sarah

Al-Asyik terletak pada “kemandirian” alat musik modern. Al-Asyik tidak “yakin” kalau alat-alat musik seperti keyboard, tumbuk, kendang, dan tam-tam adalah alat

4 “A can mean happyness, it can mean dance!”. Lihat, Guerino Mazzola, Semiotic Aspect of Musicology: Semiotic of Music, halm: 75

78 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

musik “tambahan”5. Karena jika alat-alat tersebut dihilangkan, mereka tidak mungkin seyakin saat ini dalam menghidupi gambus 6. Bahkan, sebagian besar pemain merasa alat-alat musik tersebut perlu “dimandirikan” dengan cara mendatangkan alat musik lain dalam genre yang sama dengan masing-masing alat-alat. Genre musik yang dapat diakses oleh habitus modal Al-Asyik adalah pop dan rock7. Kehadiran gitar elektrik, bass elektrik, dan drum set dipakai untuk melengkapi alat musik yang sudah ada.

Hasilnya, sarah versi Al-Asyik terasa lebih “akrab” daripada sarah

Balassyik. Nilai “akrab” tersebut tidak hanya diproduksi oleh alat musik atau melodi yang mengartikulasikan irama ja’fin, melainkan dari kemampuan musiknya “berkomunikasi” dengan penontonnya. Sarah Al-Asyik jauh lebih landai, lebih familiar dan lebih umum. Ja’fin hanya menjangkau ruang religius mainstream yang identik dengan acara, lirik dan pakaian religius, serta reduktif sebagai musik religius laki-laki. Sebaliknya, sarah Al-Asyik menjangkau kemungkinan musikal untuk mengakses penonton perempuan dan penyanyi perempuan8.

Pada posisi ini, Al-Asyik terlihat berbeda dengan Balassyik, meskipun lagu dan aransemen musiknya sama. Akan tetapi, perbedaan tersebut pada saat yang sama juga menjadikan status modal Al-Asyik disaingkan dengan Balassyik.

Persaingan dalam sarah dinilai menguntungkan Al-Asyik dalam wilayah yang justru tidak sedang diusahakan para pemain, yaitu dalam wilayah hiburan. Al-

5 Hasil kuesioner menegenai alat musik yang harus ada dalam gambus, lampiran 3, halm: 135. 6 Hasil kuesioner mengenai reaksi terhadap keberadaan alat musik gambus, ibid, halm: 135. 7 Data kaset yang dikoleksi dan kelompok musik favorit, lampiran 1, halm: 123-128. 8 Hasil kuesioner tentang penonton dan penanggap, lampiran 3, halm;131.

79 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Asyik tidak menolak wilayah tersebut, tapi mereka harus meyakinkan bahwa hiburan yang sedang ditawarkan adalah hiburan religius, komersil dan bisa menyaingi Balassyik. Untuk meyakinkan hal itu, Al-Asyik perlu totalitas usaha dalam menyaingi Balassyik.

Menyaingi Balassyik tidak hanya dalam sarah, tapi juga dalam baladian.

Baladian versi Balassyik menunjukkan kemungkinan lain “memperpadat” gitar gambus dan mengurangi porsi bunyi alat musik tepuk selain melalui keyboard.

Bentuk yang ditawarkan dengan cara menggunakan alat musik pengganti marwas hanya dalam jeda. Dengan demikian, kereligiusan baladian justru diantisipasi sejak awal irama oleh gitar gambus dan dalam jeda oleh alat musik tepuk.

Masuknya drum set, tumbuk, tam-tam, kendang, dan keyboard dalam gambus secara tegas telah “mengakhiri” bentuk ja’fin. Terutama setelah Balassyik mampu merebut perhatian ruang religius dan ruang birokrasi. Tiba-tiba ja’fin terasa sangat kuno, sedangkan sarah dan baladian menjadi sangat modern.

Melalui bentuk pertunjukan Balassyik, informasi bentuk gambus modern telah menjangkau “kemasan” gambus. Balassyik menunjukkan bahwa musik religius tidak perlu dimainkan dengan cara bersimpuh di atas karpet dan sejajar penonton.

Musik religius modern berarti modern pula setting panggungnya. Kaset-kaset

Balassyik yang beredar di Ambulu menunjukkan contoh-contoh pertunjukan

Balassyik saat pentas di Planet Hollywood Jakarta atau di Hotel Bandung Permai

Jember sebagai contoh pertunjukan modern.

Singkatnya, penilaian modern yang diperlihatkan oleh Balassyik telah mampu menghasilkan perubahan bentuk. Mulai dari setting panggung hingga

80 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pakaian. Dalam foto berikut digambarkan setting panggung yang diilhami dari

Balassyik.

Gambar 10. Al-Asyik dengan seragam kemeja

Akan tetapi, perubahan bentuk yang disediakan Balassyik tidak hanya mengisi bentuk yang sudah ada, tapi juga menambah kebutuhan stok bentuk, salah satunya kebutuhan terhadap sound system. Dalam ja’fin pengeras suara hanya diperlukan untuk memunculkan suara penyanyi agar tidak teredam oleh suara alat musik pengiring. Dalam sarah dan baladian yang ditunjukkan oleh Balassyik, sound system juga merupakan kebutuhan musik pengiring; kebutuhan musik pengiring mengeraskan “suara”nya.

Pada posisi ini, musik gambus modern diyakini dapat berfungsi sebagai suara Islam. Lebih jauh, gambus dapat dipakai sebagai sarana menyuarakan esensi keagamaan; dakwah. Medan sound system dalam praksis keagamaan erat kaitannya dengan produksi makna dakwah. Melalui pemaknaan yang melekat pada sound system, produksi makna gambus justru mengalami dualisme: religius

81 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dan komersil. Di tangan Balassyik, dualisme tersebut dapat diselesaikan dengan membuat hits. Hits tertentu dapat mengalihkan tuntutan religius maupun tuntutan komersil. Hits Balassyik bahkan dengan sendirinya disebut religius komersil, misalnya; lagu Ghonnili dan Wannashabiyya.

Bagaimana dengan Al-Asyik? Menyaingi Balassyik, menurut para pemain Al-Asyik, dimulai dari menunjukkan kemampuan mereka “mengatasi” pertunjukan Balassyik. Mereka perlu menegaskan apa yang dilakukan Balassyik bisa juga mereka lakukan. Tidak hanya cukup di situ, Al-Asyik perlu menawarkan perbedaan, sehingga orang bisa membandingkan. Lebih jauh, Al-Asyik perlu membuat status modal Balassyik tidak banyak berarti di Ambulu.

Untuk itulah, Al-Asyik mulai merumuskan sarah dan baladian menurut versinya. Hiburan yang religius dan komersil dapat dirumuskan dari tiga hal: alat musik, pakaian dan lagu. Dari alat musik, Al-Asyik membuat pembedaan dengan cara memperbanyak porsi gitar elektrik dan drum set. Hampir dalam semua jenis gambus yang ditampilkan Al-Asyik, suara gitar elektrik dan drum memadati melodi gambus. Alat tersebut, disengaja atau tidak, membuat gambus seolah tidak sepenuhnya rela untuk dikenali sebagai musik religius. Karena dari sanalah, makna hiburan dielaborasi oleh Al-Asyik. Al-Asyik justru menghadirkan simbol religius dari pakaian. Al-Asyik menegaskan seragamnya adalah gamis.

Sedangkan, penilaian komersil didatangkan dari lagu hits berbagai kelompok gambus yang dikenali Al-Asyik lewat kaset, termasuk hits Balassyik.

Dengan cara ini, Al-Asyik sedang mengusahakan hitsnya sendiri.

Dengan hitsnya Al-Asyik juga mengalami mekanisme diperlakukan sebagaimana

82 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kelompok musik yang dilahirkan oleh industri musik seperti; menerima request lagu dan ditanggap di luar Ambulu. Mekanisme ini pula yang membuat Al-Asyik semakin yakin untuk memasuki industri musik religius 9. Oleh karena itu, kebutuhan menghadirkan musik religius komersil yang menghibur dicarikan bentuknya dengan menghadirkan kebutuhan baru; kebutuhan menghadirkan musik hiburan yang komersil dan religius. Al-Asyik menyebutnya sebagai dhaifah.

C. Dhaifah: Akhir Perjalanan?

Dhaifah merupakan bentuk gambus yang “rencananya” dipakai Al-Asyik untuk berkomunikasi dengan industri musik religius. Sarah dan baladian, dalam penilaian Al-Asyik, ternyata telah menjadi ikon musik Balassyik. Meskipun dalam praktiknya Al-Asyik mampu menawarkan alternatif bentuk sarah dan baladian, hal itu tidak cukup untuk bersaing dengan Balassyik dalam konteks industri musik religius. Al-Asyik beranggapan bahwa industri musik religius dapat mengubah status suatu kelompok musik, dari biasa menjadi terkenal; dari tidak diperhatikan menjadi pusat perhatian.

Hal tersebut ditegaskan oleh para pemain dalam kuesioner. Dalam kuesioner mengenai alat musik, para pemain ternyata merasa perlu memakai alat- alat musik yang dipakai Balassyik 10. Ketika alat musik yang mereka miliki selengkap Balassyik, sebagian besar pemain yakin dapat menawarkan bentuk gambusnya pada industri rekaman. Keinginan Al-Asyik berurusan dengan indutri

9 Hasil kuesioner dalam lampiran 3, halm: 137. 10 Ibid, halm: 135.

83 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

rekaman juga dinyatakannya ketika ditanya mengenai penanggap yang paling mereka inginkan11.

Alat musik dan penanggap, dalam hal ini, dipahami Al-Asyik sebagai unsur pembentuk budaya musikal yang sangat kuat. Dari alat musik, orang dapat segera tahu modern dan tidaknya musik yang akan dipakai nanti. Sedangkan, dari penanggap, orang dapat memaklumi bentuk apapun yang diusahakan pemain merupakan bentuk yang “disepakati” bersama dengan penanggap. Melalui dhaifah, Al-Asyik sedang mengusahakan standar modern dan bentuk gambus yang mungkin disepakati industri rekaman.

Padahal, kesepakatan industri rekaman dengan suatu kelompok atau jenis musik tertentu merupakan bentuk kesepakatan ekonomis. Artinya, dengan cara tersebut, Al-Asyik sedang berusaha mencari legitimasi ekonomis. Benarkah

Al-Asyik sedang mencari legitimasi ekonomis? Atau, benarkah Balassyik dapat disaingi dengan cara memapankan diri dalam medan gambus yang dilegitimasi oleh kepentingan ekonomis? Bukankah ketika mereka “ikut-ikutan” mengejar legitimasi ekonomis, mereka tidak sedang bersaing dengan Balassyik tapi justru melengkapi Balassyik? Bentuk dhaifah yang diperlihatkan Al-Asyik memang terlihat memenuhi kebutuhan tersebut. Tidak dipakainya gitar gambus, marwas, bahkan tumbuk, dan tam-tam merupakan indikator yang sangat jelas kalau Al-

Asyik sedang “mengejar” legitimasi ekonomis ruang musikal. Indikasi lain, irama dhaifah sama sekali tidak menyisakan jejak irama baladian, sarah, apalagi ja’fin.

11Lihat lampiran 3, halm: 140

84 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Irama dhaifah sepenuhnya memakai gaya musik pop, misalnya dalam lagu

Saaltinaar dan Aisyah.

Pada posisi ini, Al-Asyik secara tegas memisahkan ruang religius dan ruang musikal. Dhaifah menunjukkan bahwa urusan ruang religius dalam wilayah kemasan (performansi) dan urusan ruang musikal dalam wilayah “isi”

(musikalitas). Penilaian religius direduksi menjadi pakaian dan acara. Oleh sebab itulah mereka berani memainkan sholawat versi Ungu dalam acara Maulid Nabi yang diselenggarakan Masjid Besar.

Dalam praktiknya, Al-Asyik tidak pernah betul-bentul memakai dhaifah sebagai identitas pertunjukannya. Dhaifah biasanya hanya dipakai sebagai lagu pembuka dan lagu penutup. Lagu selanjutnya bisa berupa lagu ja’fin, baladian maupun sarah. Bagi orang yang baru melihat pertunjukan Al-Asyik akan dibuat

“terkaget-kaget”; tiba-tiba membuat orang goyang semaunya, tiba-tiba pula membuat orang bergoyang dengan aturan goyang tertentu. Akan tetapi, pertunjukan Al-Asyik tidak pernah membiarkan musiknya untuk “tidak direspon” oleh penonton. Bahkan, ja’fin pun “direkayasa” untuk dapat membuat orang goyang.

Gambus di tangan Al-Asyik semacam gambus yang dipenuhi paradoks.

Karena itulah, pada awal pembahasan mengenai dhaifah, saya mengatakan kalau dhaifah hanya “rencana” Al-Asyik untuk berkomunikasi dengan industri musik religius, karena dalam pratiknya, dhaifah yang dimaksudnya tidak betul-betul dipakai sebagai “suara”. Kecenderungan paradoksal tersebut juga dapat dilihat dalam tabel ringkasan hasil kuesioner mengenai alat musik berikut ini:

85 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Nama Alat Minimal alat musik Apa jadinya kalau alat pemain musik untuk bermain gambus tersebut tidak ada terpenting Faruk Tam-tam Gitar gambus, marwas, Kurang religius (melodi) tumbuk, tam-tam Fredy Keyboard Keyboard, gitar bass, Tidak jadi pentas (tam-tam, melodi, tumbuk, tam- marwas) tam, marwas Hadi Keyboard Gitar gambus, marwas, Kurang religius (tumbuk, tumbuk, tam-tam marwas) Zaenal Keyboard Gitar gambus, marwas, Tidak jadi pentas (rhythm, tumbuk, tam-tam tam-tam) Eko Keyboard Keyboard, melodi, biola, Gambus kelihatan kuno (drum) drum Aries Gitar Gitar gambus, keyboard, Gambus kelihatan kuno (keyboard) gambus melodi, drum, marwas Hayung Semua alat Semua alat musik Tidak disukai penonton (gitar musik ditambah suling gambus, gambus tumbuk) Totok Keyboard Gitar gambus, keyboard, Tidak jadi pentas (tam-tam, melodi, drum, marwas marwas)

Dari hasil di atas, sebagian besar pemain menganggap keyboard sebagai alat musik yang paling penting dalam sebuah pertunjukan gambus. Akan tetapi, ketika diminta menjawab alat musik yang sebenarnya dibutuhkan memainkan gambus, jawaban mereka relatif beragam. Pertama, gambus dapat dimainkan cukup dengan alat musik gitar gambus, marwas, tumbuk, dan tam-tam. Gambus inilah yang dikenal sebagai ja’fin. Kedua, gambus dapat dimainkan dengan alat musik perpaduan “modern dan tradisi” seperti, gitar gambus, keyboard, gitar elektrik, dan marwas. Gambus dengan perpaduan semacam ini biasanya ditujukan untuk mengakui bentuk ja’fin dan sarah modern. Ketiga, gambus bisa dimainkan dengan memakai keyboard, bass elektrik, gitar elektrik, tumbuk, tam-tam, dan

86 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

marwas. Alat-alat tersebut merupakan alat yang dipakai dalam sarah dan baladian. Keempat, gambus perlu memakai seluruh alat musik yang ada dan juga ditambah seruling. Gambus semacam ini berusaha mengarikulasikan pop sarah dan pop baladian. Kelima, gambus tidak perlu memakai alat musik “tradisi” sama sekali, cukup dengan keyboard, gitar elektrik, biola, dan drum set. Sudah bisa dipastikan pemain sangat mendukung kemerdekaan dhaifah.

Kelima tipe jawaban tersebut mengacu pada bentuk-bentuk musik yang dihidupi Al-Asyik. Pada kolom selanjutnya, bentuk-bentuk tersebut diberi makna oleh pemain. Pemaknaan yang diberikan berdasarkan arti pentingnya alat-alat musik tertentu pada pemaknaan gambus. Data di atas menunjukkan variasi pemain memaknai arti pentingnya alat. Jawaban “kurang religius” merupakan jawaban yang diperuntukkan untuk memperoleh legitimasi ruang religius. Jawaban

“gambus kelihatan kuno” merupakan jawaban yang menunjukkan keterlibatan ruang penilaian musikal, terutama industri musik religius. Jawaban “tidak disukai penonton” jelas menandai ekspresi Al-Asyik sedang diimpresi oleh budaya penonton. Sedangkan, jawaban “tidak jadi pentas” sebenarnya merupakan jawaban yang mengindikasikan ketergantungan pemain terhadap pemaknaan sebuah alat.

Secara sederhana, data di atas dapat disimpulkan sebagai data pemaknaan ekstramusikal pemain pada alat-alat musik gambus. Lantas, apa kaitannya dengan “kecenderungan paradoksal”? Ternyata, pemaknaan ekstramusikal Al-Asyik berasal dari habitus pop. Mereka menyatakan diri sebagai pemain gambus dan siap ditempatkan dalam medan gambus, tapi tidak

87 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sepenuhnya memakai habitus gambus. Artinya, modal mereka sebagai pemain hadrah hanya dipakai untuk membaca ja’fin. Ketika membaca sarah, baladian dan dhaifah, mereka sepenuhnya memakai modal kultural sebagai pemain band.

Konsekuensinya, unsur-unsur pop yang terlihat dimunculkan Al-Asyik dalam berbagai bentuk gambus merupakan bentuk imposisi12pop. Ketika imposisi yang diberikan mendominasi, seperti dalam dhaifah, para pemain terlibat “perang internal”; “apa sebenarnya gambus itu? 13 Apakah gambus religius boleh tidak kuno?14 Atau, pemaknaan apa saja yang bisa dipakai dalam gambus?15.

Pertanyaan tersebut justru menegaskan ketidakpahaman mereka memahami bahasa medan gambus.

Apakah mengeluarkan “suara” perlu memahami “bahasa”? jawaban pertanyaan tersebut sangat tergantung kepada siapa suara tersebut hendak diperdengarkan. Dalam praksis Al-Asyik, hal itu dapat diketahui dari pendukung suatu kultur gambus Al-Asyik, yaitu penonton dan penanggapnya.

12 Habitus sebagai sistem disposisi (durrable disposition) berfungsi untuk memp erantai posisi (position) dan mengambil posisi (position-taking). Kekuatan habitus inilah yang meneyediakan energi untuk melakukan tawar menawar (salah satunya dalam bentuk pembelaan) dengan imposisi dari medan. Lihat, St. Sunardi dalam makalah kuliah Seni Pop, Estetika Musik Pop, halm: 16. 13 Ditunjukkan dari kecenderungan pemain berbeda pendapat atas bentukbentuk gambus yang disediakan medan gambus, bahkan mereka juga tidak bersepakat dalam hal paling mendasar, seperti alat musik dan kriteria religius gamb us. Lihat lampiran 3, halm: 134-141. 14 Ibid, halm: 137. 15 Jawaban tersebut sekaligus menandai “kemandirian” pemain untuk menentukan maknanya dan tidak peduli dengan negosiasi pemaknaan yang mungkin dapat dicari sebagai gantinya.

88 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Nama Alasan Al-Asyik Alasan orang Penanggap Penanggap pemain disukai penonton menanggap paling paling disukai tidak disukai Faruk Gaya pertunjukan Islami tapi Bank Parpol (melodi, bervariasi modern gitar gambus) Fredy Gaya pertunjukan Penggemar Masyarakat Papol (tam-tam, bervariasi gambus umum marwas) Hadi Gaya pertunjukan Dari daerah Pak Camat Parpol (tumbuk, bervariasi sendiri marwas) Zaenal Musiknya asyik Harga Pak Camat Orang (rythm, buat goyang tanggapan Kristen, tam-tam) terjangkau Pakistan dan Cina Eko Gaya pertunjukan Harga Pak Camat Parpol (drum) bervariasi tanggapan terjangkau Aries Musiknya asyik Dari daerah Pak Camat Orang (keyboard) buat goyang sendiri Pakistan Hayung Pemainnya anak Harga Takmir Parpol (gitar muda semua tanggapan masjid gambus, terjangkau tumbuk) Totok Musiknya asyik Islami tapi Bank Orang (tam-tam, buat goyang modern Kristen marwas)

Dari tabel di atas, terlihat betul suara Al-Asyik memang tidak sedang ditujukan untuk memahami bahasa medan gambus. Bahasa medan gambus hanya dipahami seperlunya. Legitimasi religius dan legitimasi musikal (ekonomis) yang menguasai medan gambus, “dikejar” sebatas tidak menghegemoni. Bahasa medan gambus ternyata bahasa elit masyarakat religius16. Pada kolom alasan Al-Asyik disukai penonton, terlihat jawaban Al-Asyik sangat kompak, yakni menunjukkan

16 Kategori kelas ekonomis dipakai Bourdieu untuk menunjukkan status distingsi dari bidang seni. Bourdieu, Distinction: The Social Critique of The Judgement of Taste, halm: 35-38.

89 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kepercayaan diri pemain bukan pada wilayah “religius”, tapi wilayah “hiburan”.

Hal yang sama juga ditunjukkan ketika mereka menentukan penanggap yang mereka sukai, sebagian besar menunjuk Pak Camat. Padahal Pak Camat, bahkan bank, tidak banyak terlibat dalam “konflik” legitimasi medan gambus. Demikian halnya ketika mereka ditanya mengenai penanggap yang paling tidak disukai, sebagian besar menjawab parpol. Meskipun harga tanggapan parpol lebih besar dari pada penanggap lainnya, parpol memiliki “peluang” untuk mendikte, merepresi dan menghegemoni bentuk-bentuk yang dipakai Al-Asyik. Oleh sebab itu, bentuk-bentuk praksis Al-Asyik dipenuhi dengan “perjuangan” menghadapi bentuk-bentuk hegemonik semacam itu.

D. Kesimpulan

Ja’fin, sarah, dan baladian disediakan medan gambus sebagai suara yang dapat dipakai berkomunikasi dalam bahasa medan gambus, lebih jauh, dalam budaya musikal religius. Dalam praktiknya, Al-Asyik selalu bersaing dengan kelompok lain untuk menunjukkan statusnya. Al-Asyik merasa bahwa bentuk-bentuk yang disediakan oleh medan gambus tidak menyuarakan suara mereka. Dengan cara ini,

Al-Asyik juga ingin menunjukkan bahwa mereka juga mampu menciptakan bentuk lain yang bisa dipahami medan gambus.

Mereka mengusulkan bentuk-bentuk gambusnya sendiri yang dipakai untuk memenuhi persaingan legitimasi religius maupun musikal berdasarkan modal kulturalnya sebagai pemain hadrah dan pemain band. Ja’fin, dalam medan gambus sepenuhnya dipakai sebagai “penanda” kekuasaan legitimasi religius.

90 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Sedangkan, sarah dan baladian dipakai untuk memenuhi legitimasi musikal.

Ja’fin, sarah dan baladian semacam itu masih dihidupi dengan baik oleh pemain

Al-Asyik. Pada posisi ini, ketiga jenis gambus tersebut dibaca dengan memakai modal kultural pemain hadrah.

Akan tetapi, persaingan “hebatnya” dengan Balassyik membuat pemain perlu (harus) mengeluarkan modal kultural pemain band. Sehingga, pembacaan para pemain terhadap ja’fin, sarah, dan baladian menghasilkan bentuk-bentuk yang bukan hanya berbeda dengan mainstream, tapi juga menentang mainstream.

Perbedaan dan penentangan tersebut ditegaskan dengan merumuskan bentuk gambus dhaifah. Dhaifah, lebih jauh, membuat momen yang membawa Al-Asyik pada suasana miskomunikasi dengan medan gambus, sekaligus membuat Al-

Asyik terjebak pada wilayah esensi gambus; apa perlunya menghidupi gambus kalau ternyata bertentangan dengan dakwah musik religius? Oleh sebab itu, setiap bentuk yang diusahakan oleh pembacaan Al-Asyik masih saja disajikan bersama- sama dengan bentuk-bentuk mainstream. Hal ini dipahami pemain Al-Asyik sebagai “bisikan” suara mereka yang masih mungkin diselamatkan diantara berbagai suara yang “berteriak”. Tabel berikut merupakan rumusan sederhana bentuk-bentuk gambus dalam praksis Al-Asyik:

Habitus (modal) Ruang religius Ruang Musikal Religius Industri + Medan Musik Tradisi Musik Pop Pemain hadrah Ja’fin Sarah

Pemain band Pop ja’fin Sarah Pop religius Sarah Baladian Baladian Dhaifah

91 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB V

IDENTITAS GAMBUS Al-ASYIK

Bab ini akan menganalisa praksis Al-Asyik antara lain kaitannya dengan “suara” yang ingin ditunjukkan Al-Asyik sebagai identitasnya. Dalam bab III telah dijelaskan bahwa medan gambus di Ambulu dibentuk oleh dua ruang: ruang religius dan ruang musikal. Pada bab ini, akan ditunjukkan bagaimana identitas

Al-Asyik menjangkau identitas yang disediakan dalam dua ruang tersebut. Jika berhasil, hal itu juga akan menunjukkan identitas Al-Asyik dalam ruang religius dan ruang musikal.

A. Identitas Religius sebagai Konsistensi

Kebutuhan Al-Asyik menjangkau ruang religius merupakan kebutuhan memperoleh status religius. Status religius di Ambulu hanya dapat diberikan oleh ruang religius. Ruang religius, sebagaimana disebutkan dalam bab III, mendistorsi makna religius dengan cara memproduksi simbol-simbol religius. Simbol tersebut diproduksi bukan untuk menyosialisasikan ruang religius, tapi untuk menegaskan perbedaan ruang religius dengan ruang lainnya. Penegasan tersebut perlu dilakukan agar penilaian religius dapat dimiliki oleh ruang tertentu. Oleh karena itu, setiap simbol yang diproduksi harus meyakinkan masyarakat bahwa simbol tersebut adalah simbol terpilih, simbol religius terpilih.

Mempresentasikan simbol terpilih dalam musik religius salah satunya diwakili oleh gambus. Mengapa gambus? Karena, pertunjukan gambus dikenalkan

92 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

di Ambulu pertama kali oleh Masjid Besar. Sebagai pelaksana pertama, Masjid

Besar memiliki otoritas memilih bentuk, sekaligus menjadikan bentuk tersebut religius par ecxellence. Kelompok gambus dari Situbondo dipilih sebagai acara hiburan selepas acara Semaan Al-Quran Akbar se-Kabupaten Jember (1995).

Pertunjukan tersebut bukan semata-mata pertunjukan hiburan pasca acara besar, tapi juga untuk mengakumulasi mekanisme eksklusif ruang ibadah. Kelompok gambus Situbondo dipakai sebagai simbol musik religius khusus; simbol musik yang tidak bisa dimainkan oleh kelompok musik religius manapun di Ambulu.

Setidaknya hal itu ditegaskan dengan dua alat musik gambus: gitar gambus dan marwas. Bentuk dua alat tersebut dikenali mirip gitar dan hadrah.

Jika gitar tersedia hampir di seluruh toko alat musik di Kabupaten Jember, tidak demikian halnya dengan gitar gambus. Ia berada dalam genre yang sama dengan alat musik petik yang berkonotasi profan, tapi seringkali dipakai dalam jenis musik eksotis, seperti musik padang pasir atau musik Spanyol. Sesuatu yang eksotis, dalam distorsi ruang religius dapat direduksi sebagai sesuatu yang eksklusif, sehingga wajar jika tidak banyak orang yang dapat memainkannya.

Di sisi lain, marwas dikenal sebagai alat musik tepuk (perkusi). Alat musik tepuk disosialisasikan di Ambulu sebagai alat musik religius. Melalui hadrah, rodat, dan samroh, orang Ambulu nyaris tidak dapat meninggalkan alat musik tepuk dalam setiap jenis musik religius. Jika gitar gambus dipakai sebagai simbol eksklusif, marwas dipakai sebagai simbol yang akrab di telinga masyarakat, simbol kepastian makna religius. Gitar gambus yang eksklusif, tampil

93 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bersama dengan marwas yang pasti religius menghasilkan sensasi religius baru dan eksklusif.

Kolaborasi marwas dan gitar gambus menghasilkan melodi yang tidak akrab, tapi bisa diterima (melalui habitus). Interval pendek yang dihasilkannya memiliki melisma dan hiasan melodis 1 yang dapat membuat “ketegangan” produksi bunyi marwas dilonggarkan dengan produksi bunyi gitar gambus.

Meskipun sangat terbatas, kedua alat musik tersebut dapat menghasilkan gerak.

Ketika ditanggap oleh takmir masjid, yang tidak akrab dan menghasilkan gerak terbatas tersebut mengalami penambahan status, yaitu bisa diterima sebagai hiburan Islami. Artinya, gerakan yang dihasilkan kedua alat musik tersebut pun turut diakui sebagai tarian Islami. Oleh karena itu, pada musik ini takmir masjid pun bisa bergoyang.

Gambus semakin eksklusif (dan distorsif?) ketika liriknya memakai bahasa Arab. Bukan soal arti, tapi habitus masyarakat Ambulu memakai bahasa

Arab adalah habitus ruang religius. Akses orang Ambulu pada bahasa Arab hanyalah di Pondok Pesantren, kuliah jurusan keislaman (IAIN), dan dalam pengajian. Ketika musik yang membingkainya cukup religius, orang tidak terlalu memperdulikan arti lirik. Akan tetapi, ketika lirik Arab dipadukan dengan musik yang merangsang gerakan tertentu, orang harus diyakinkan bahwa musik gambus masih tetap religius. Salah satunya dengan ditanggap oleh ruang religius. Gambus yang pasti religius semacam inilah yang dikenal sebagai ja’fin.

1 Helene Bouvier, Lebur : Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, halm : 75.

94 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Gagasan tentang ja’fin yang diproduksi oleh ruang religius (terutama masjid), pada konteks Ambulu, menjadi tidak mudah digagalkan. Kalaupun bisa, pastilah melalui mekanisme persaingan modal (ekonomi maupun kultural) dan mampu mengakses habitus ruang religius. Kelompok Al-Asyik bisa bertahan sebagai kelompok gambus bukan dalam rangka menggagalkan gagasan ruang religius. Justru mereka menjadi “kepanjangan tangan” ruang religius. Sekurang- kurangnya dari proses pembentukan Al-Asyik yang tidak bisa dilepaskan dari campur tangan ruang religius dan pendukungnya2.

Lantas, bagaimana cara Al-Asyik memainkan ja’fin? Bukankah ja’fin telah mengalami distorsi dan menjadi eksklusif? Apakah Al-Asyik kelompok eksklusif juga? Ketika menamakan dirinya sebagai kelompok musik gambus, Al-

Asyik segera diposisikan sebagai kelompok musik religius eksklusif. Al-Asyik pada diri pemainnya tidak banyak memiliki kebutuhan (modal) untuk mengakses ruang religius. Akan tetapi, status pemain sebelumnya, sebagai pemain hadrah, membuatnya memiliki modal kultural untuk mengakses marwas.

Akan tetapi, modal kultural mereka untuk mengakses gitar gambus justru bukan berasal dari ruang religius, melainkan dari ruang profan. Pasar hanya menyediakan gitar elektrik dan sebagian besar pemain juga pernah tergabung dalam kelompok band. Selain habitus gambus, pemain juga memiliki habitus pop.

Penyelesaian makna eksklusif ruang religius justru berasal dari modal ekonomi untuk mengakses gitar gambus. Gitar gambus dan kaset-kaset yang dipakai untuk mempelajari musik gambus berasal dari ruang religius. Gitar gambus diperoleh

2 Lihat penjelasan dalam Bab III.

95 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dari donatur pengurus takmir dan pengurus NU dan kaset-kaset dipinjam dari

Ustad Nuryadin. Dengan kata lain, “suara” gambus Al-Asyik tidak banyak berbeda dengan “suara” ruang religius.

Pada posisi ini, pemain mengalami dilema. Di satu sisi, gambus diproduksi sebagai musik religius untuk mengeksklusifkan bentuk musik religius, di sisi lain, gambus juga mengalami pemaknaan sebagai musik religius yang dibebani dengan status sebagai alat dakwah Islam. Dilema tersebut dijawab oleh fenomena Balassyik. Melalui Balassyik pemain menyadari adanya kesediaan ruang religius membuka ruang yang tidak bisa dijangkauanya, yaitu ruang musikal. Eksklusifitas bentuk ja’fin dilengkapi dengan sarah dan baladian dari

Balassyik. Jika dalam ja’fin pemain hanya mengeluarkan modalnya sebagai pemain hadrah, dalam sarah dan baladian mereka mulai menemukan cara mengeluarkan modal pemain bandnya. Suara tersebut, dipakai pemain untuk mengeksplorasi muatan dakwah yang bisa dilakukan oleh gambus. Al-Asyik sedang mengusahakan bentuk musik yang bisa dipakai untuk berdakwah.

Mengapa mereka tidak langsung memakai bentuk yang disediakan

Balassyik? Mereka menganggap Balassyik tidak sedang mengusahakan musik dakwah. Bentuk-bentuk yang disediakan Balassyik tidak “peka” pada eksklusifitas ruang religius di Ambulu. Untuk itulah, Al-Asyik tetap menghidupi bentuk ja’fin, pop ja’fin. Ja’fin ditangan Al-Asyik telah mengalami hibridisasi dengan musik pop.

Akan tetapi, kehadiran alat-alat musik modern membuat Al-Asyik dicurigai. Untuk meyakinkan bahwa mereka tidak sedang menghianati ja’fin,

96 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

mereka memakai semua konsep dari bentuk pertunjukan ja’fin: mulai dari cara penyajian, hingga pakaian. Demi memenuhi konsep ja’fin, pemain gitar pop pun dibuat duduk mengikuti skema duduk ala pemain ja’fin. Para pemain “rela” memakai gamis, meskipun jelas itu bukan pakaian mereka sehari-hari, bahkan pada hari paling religius, seperti Idul Fitri.

Hal itu dilakukan sebagai bagian dari pengorbanan sebuah konsistensi; konsisten menjadi kepanjangan tangan ruang religius, sekaligus konsisten dengan habitusnya. Ketika dua konsistensi berlawan berada dalam satu bentuk, memungkinkan bentuk yang sedang diusahakan rawan dengan kekacauan.

Kekacauan tersebut berasal dari kecenderungan salah satu konsistensi untuk mendominasi. Pada konsteks Al-Asyik konsistensi yang cenderung meminta untuk diutamakan adalah konsistensi ruang religius. Karena, konsistensi ruang religius lebih memiliki “suara” dalam praksis Al-Asyik.

Pada kondisi normal, hal itu tidak banyak menimbulkan tuntutan.

Bagaimanapun, Al-Asyik menyadari posisinya dalam ruang religius. Akan tetapi, ruang religius juga menjadikan gambus Balassyik sebagai simbol musik religius eksklusif. Kali ini bukan hanya bentuknya, tapi juga konsernya. Balassyik mampu meyakinkan ruang religius bahwa musiknya sama religius dengan ja’fin.

Balassyik bahkan mampu meyakinkan bahwa tanpa harus melalui mekanisme ruang religius, mereka juga bisa sangat religius. Konser Balassyik yang diadakan

97 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

di lapangan Glori3 dihadiri oleh hampir sebagian pendukung ruang religius, termasuk ketua takmir.

Belum pernah ada konser semacam itu di Ambulu. Fenomena ini cepat- cepat dijadikan momen eksklusif oleh ruang religius, untuk mengaburkan kesan kalau ruang religius telah “dimasuki” oleh ruang industri kapital. Balassyik pun masuk sebagai bentuk baru dalam jajaran simbol eksklusifitas ruang religius.

Kondisi ini membuat posisi Al-Asyik semakin tidak “dilirik” oleh ruang religius.

Lebih jauh, hal itu semakin membuat pemain lebih sulit menunjukkan konsistensi habitusnya; menunjukkan identitasnya. Untuk menunjukkannya, Al-Asyik perlu bersaing dengan Balassyik.

B. Identitas Musik sebagai Cara Bersaing

Bersaing dengan Balassyik jauh lebih mudah daripada bersaing dengan ruang religius, karena persaingan tersebut berada dalam ruang musikal. Ruang musikal adalah ruang yang paling memungkinkan pemain mengeluarkan modal kultural sebanyak-banyaknya. Akan tetapi, dalam konteks gambus ruang musikal merupakan ruang yang berhubungan secara paradigmatik dengan ruang religius.

Dengan kata lain, musik religius harus dapat meningkatkan kualitas simbolik ruang religius, demikian juga sebaliknya. Apa yang terjadi dalam mekanisme

3 Di Ambulu terdapat dua tempat yang biasa dipakai sebagai arena publik, yaitu alun-alun yang berada di depan masjid besar dan lapangan Glori yang berada di sebelah timur kampung Timur Pasar. Jika penggunaan alun-alun sering terkait dengan izin dari pihak takmir masjid, pengguaan Glori hanya memerlukan ijin dari Kecamatan dan Polsek. Oleh sebab itu, penyelenggaraan acara yang dilakukan di Glori tidak dapat dikontrol oleh pihak masjid dan seringkali acara yang diselenggarakan berkonotasi negatif.

98 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ruang musikal menjadi referensi ruang religius untuk “mengklaim” suatu jenis musik bermakna religius atau tidak.

Melalui fenomena Balassyik, produksi bentuk musik religius di Ambulu diperoleh dari dua macam sumber yang berbeda dengan sumber bentuk ja’fin, yaitu ruang religius dan industri musik religius. Konsekuensinya, Gambus sebagai musik religius bukan dihasilkan dari mekanisme intensional maupun distorsi ruang religus semata, tapi juga melalui mekanisme menciptakan “bahasa religius”.

Ketika “bahasa” tersebut diperoleh dari bahasa religius musik industri, Al-Asyik pun mengalami penilaian industri. Melalui sumber ruang religius, Al-Asyik hanya perlu menunjukkan dirinya sebagai kelompok musik baru dengan tradisi lama.

Melalui sumber industri musik religius, Al-Asyik perlu menunjukkan bahwa selain menghidupi tradisi lama, mereka juga adaptif dengan musik kontemporer

(baca:pop). Sebagai kelompok musik yang telah diakui sebagai kelompok musik religius oleh ruang religius, usaha “adaptasi” semacam itu jelas tidak dibutuhkan.

Tanpa bersaing dengan Balassyik, Al-Asyik sudah religius.

Lantas, mengapa Al-Asyik perlu bersaing dengan Balassyik? Karena, status kelompok religius yang “diberikan” oleh ruang religius adalah status kelompok, bukan status medan. Semua kelompok gambus yang dilahirkan dari kebutuhan distorsif ruang religius sudah pasti religius. Al-Asyik menyaingi

Balassyik untuk menghindarkan ruang religius dari kemungkinan menilai berdasarkan hegemoni bentuk yang disajikan Balassyik (legitimasi Balassyik).

Jika hal itu terjadi, status religius medan gambus akan menyaratkan apropiasi

99 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bentuk musik Balassyik. Artinya, posisi Al-Asyik semakin terhimpit oleh kepentingan lain dalam medan gambus.

Oleh sebab itu, Al-Asyik tidak memerlukan persaingan dalam ruang religius, karena mereka tidak sedang menyaingi religiusitasnya, melainkan sedang menyaingi statusnya (modal sosial) dalam medan gambus. Karena Balassyik bukan kelompok yang dihasilkan dari ruang religius Ambulu, persaingan yang ada justru meliputi hal-hal yang tidak disediakan oleh ruang religius. Status Balassyik diasumsikan dapat disaingi dari nama kelompok dan alat musik: mulai dari mengganti nama “Al-Asyiq” menjadi Al-Asyik, hingga memakai semua alat musik yang ada dalam pertunjukan Balassyik.

Pemain Al-Asyik merasa posisi status Balassyik hanya berada satu tingkat di atasnya. Al-Asyik bahkan telah menjadi “imitasi” Balassyik.

Penghalang penyeteraan status tersebut adalah industri musik gambus 4. Untuk itulah, mereka selalu menyediakan pertunjukannya untuk dinilai secara musikal oleh industri musik. Hal yang paling mungkin dilakukan Al-Asyik adalah menunjukkan kemampuan mereka memainkan gambus Balassyik. Hampir semua pertunjukan Al-Asyik menampilkan beberapa lagu Balassyik, terutama yang sedang trend, seperti Ghonnili dan Narwatil Ayyami. Cara itu dilakukan Al-Asyik agar orang mulai sadar bahwa mereka sedang bersaing dengan Balassyik, bukan dengan kelompok gambus lokal atau kelompok ja’fin.

Pada posisi ini, Al-Asyik sedang menghindari ja’fin. Ja’fin dianggap sebagai bentuk lama yang ditunjuk oleh ruang religius. Ruang religius telah

4 Lihat hasil kuesioner, lampiran 3, halm: 135

100 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menambah dua bentuk baru dari fenomena Balasssyik, yakni sarah dan baladian.

Al-Asyik “ikut-ikutan” menghidupi sarah dan baladian untuk dipakai dalam dua momen sekaligus; meneruskan distorsi ruang religius, sekaligus menyaingi musikalitas Balassyik.

Sarah dikerahkan seluruhnya untuk berkomunikasi dalam acara yang dilegitimasi sebagai acara religius. Komunikasi tersebut menegaskan bahwa Al-

Asyik sanggup mengartikulasikan konsep Balassyik dalam mekanisme ruang religius. Dengan “imitasi” yang dilakukan Al-Asyik, ruang religius tidak perlu lagi repot-repot “mendatangkan” Balassyik sebagai sumber bentuk gambus yang baru. Al-Asyik telah menyediakan bentuk baru tersebut langsung dalam mekanisme ruang religius. Sarah dalam praksis Al-Asyik berbentuk “perpaduan” ja’fin dengan sarah Balassyik.

Perpaduan antara ja’fin dan sarah secara musikal justru “merugikan” ja’fin. Perpaduan tersebut mengakibatkan ja’fin berada dalam kendali sarah, karena sarah hadir memang untuk memperpadat musikalitas ja’fin. Lebih jauh, sarah akan menunjukkan pada pendukungnya bahwa secara de facto, ja’fin dapat digantikan dengan sarah. Buktinya, konser Balassyik ditegaskan oleh ruang religius sebagai konser religius, pertama-tama karena kemampuan sarah mengemas irama ja’fin, bahkan gambaran religius ja’fin. Oleh sebab itulah, Al-

Asyik mengusulkan pop ja’fin.

Pop ja’fin dipakai Al-Asyik untuk menunjukkan bahwa ja’fin berbeda dengan sarah, sekaligus tidak mudah digantikan oleh sarah. Dalam penilaian Al-

Asyik, kepercayaan diri sarah dapat menggantikan ja’fin berasal dari musikalitas.

101 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Sarah dinilai oleh pendukungnya memiliki tingkat kesulitan lebih tinggi dibandingkan ja’fin yang hanya mengandalkan gitar gambus, keyboard, dan marwas. Pop ja’fin yang diusulkan Al-Asyik justru ingin membuktikan kemampuan irama ja’fin mengadaptasi alat musik lain, terutama alat musik modern seperti gitar elektrik, bass elektrik, dan drum set.

Persaingan Al-Asyik dengan Balassyik melalui sarah mengesankan kalau Al-Asyik sedang membela bentuk musikal ruang religius dari imposisi bentuk musikal Balassyik. Pada posisi ini, Al-Asyik juga merasa sedang mengejar modal sosial yang dulu diperolehnya dari legitimasi religius. Sarah, dan secara umum gambus balassyik, dianggap telah menurunkan kualitas modal sosial pemain Al-Asyik. Untuk mendapatkan kembali kualitas modalnya, Al-Asyik merasa perlu “memperlancar” hubungan dengan ruang religius dengan cara memakai ja’fin sebagai bentuk yang dipakai menyaingi bentuk Balassyik.

Inti persaingan justru berada dalam gambus baladian. Jika sarah dipakai untuk “memperlancar” hubungan dengan ruang religius, baladian justru dipakai untuk menunda komunikasi dengan ruang religius. Jika penundaan tersebut tidak dilakukan, Al-Asyik tidak akan pernah betul-betul menyaingi Balassyik. Karena dalam baladian, medan gambus sepenuhnya dimenangkan Balassyik. Kalau ruang religius mengklaim baladian sebagai musik religius, hal itu disebabkan ketidakmampuan ruang religius menyaingi modal Balassyik. Oleh sebab itu, dalam baladian Al-Asyik tidak membutuhkan persetujuan ruang religius.

Pada praktiknya, baladian dalam konsep Balassyik identik dengan pengurangan dominasi alat tepuk dalam gambus. Balassyik bahkan tidak memakai

102 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

marwas, tapi tam-tam (ditabuh). Warna suara tam-tam jauh lebih “lembut” daripada marwas, sehingga adaptif dengan alat musik pukul (perkusi) lainnya seperti tumbuk dan kendang. Baladian mengakses habitus gambus melalui irama tetap, tapi dengan tempo yang jauh lebih longgar.

Dalam pandangan Al-Asyik, pesona baladian Balassyik berasal dari kedekatan baladian dengan gaya musik pop. Untuk itulah, Al-Asyik merasa percaya diri untuk mengeluarkan modal yang didukung oleh habitus pop mereka.

Ketika alat musik modern seperti gitar elektrik (dengan penambahan efek distorsi), bass elektrik, drum set, keyboard, dan kendang dipakai dalam pertunjukan Al-Asyik, hal itu dihadirkan untuk membunyikan “suara” baladian

Al-Asyik.

Akan tetapi, Balassyik telah menunjukkan bahwa baladian dalam dirinya sendiri memang pop, pop gambus. Ketika Al-Asyik berusaha menyaingi baladian, Balassyik melalui mekanisme yang sama dengan sarah, yaitu mengusulkan pop baladian, usaha tersebut gagal total. Dalam baladian, Al-Asyik jelas-jelas kalah modal dengan Balassyik. Apalagi, hampir semua hits Balassyik adalah baladian, seperti lagu Ghannili.

Kekalahan tersebut tidak mungkin dibebankan pada ruang religius, karena sejak awal Al-Asyik “mengesampingkan” ruang religius. Untuk itulah Al-

Asyik mengusahakan imposisi bentuk lain yang didapatkannya dari qasidah; kalau tidak bisa menyaingi musiknya, ya menyaingi penyanyinya. Kehadiran Zulaikha,

Farida, dan beberapa penyanyi qasidah yang terkenal di Ambulu dipakai untuk menunjukkan bentuk baladian ala Al-Asyik.

103 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Baladian semacam ini pastilah bukan bentuk yang diinginkan Al-Asyik.

Kalau terus menerus dilakukan, modal Al-Asyik akan disaingkan dengan qasidah;

Al-Asyik akan dikenal sebagai kelompok yang menghadirkan penyanyi bagus, bukan musik yang bagus. Oleh karena itu, Al-Asyik merasa perlu melakukan strategi lain, yaitu dengan mengadopsi bentuk ruang musik lain yang tidak banyak berbeda bentuk dengan gambus. Bentuk tersebut berasal dari musik pop Arab

(Timur Tengah). Al-Asyik menyebut bentuk tersebut sebagai dhaifah.

Perbedaan yang paling mencolok antara dhaifah dengan jenis gambus lain pada penggunaan alat musik modern. Jika dalam jenis gambus lain alat musik modern dipakai untuk menarik-ulur alat musik “gambus” (baca: ja’fin), dalam dhaifah alat musik tradisi gambus tidak dipakai sama sekali. Alat musik dan melodi dhaifah seluruhnya pop. Lebih jauh, Al-Asyik sedang menunjukkan jenis gambus yang tidak dipakai oleh Balassyik dan tidak diusulkan ruang religius, tapi tetap disebut gambus.

Hasilnya, gambus terasa sangat pop. Bahkan, gambus lebih mudah membuat orang bergoyang. Goyangan inilah yang hampir memutus komunikasi dengan ruang religius. Tapi, lagu Timur Tengah, lirik Arab, musik gambus, pakaian gamis, dan Al-Asyik, cukup meyakinkan ruang religius bahwa musik gambus dhaifah masih dalam “zona aman”, meskipun tidak melakukan “kontak” langsung dengan ruang religius.

Putus kontak atau menunda komunikasi dengan ruang religius dan tidak dinilai sebagai dosa, merupakan hal yang sangat menggembirakan. Inilah yang dimaksud hiburan religius ala Al-Asyik. Inilah konsep yang sedang dicarikan

104 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bentuknya oleh Al-Asyik. Mengapa masih dicari? Bukankah mereka telah mampu menyaingi Balassyik dengan dhaifah? Ternyata, Al-Asyik tidak betul-betul sedang mengusahakan dhaifah. Dhaifah hanya dipakai untuk “menyadarkan” ruang religius bahwa Balassyik sedang mengimposisi bentuk-bentuk gambusnya.

Kalau ruang religius tidak segera menyadarinya, maka legitimasinya akan mudah dikalahkan oleh ruang musik industri.

Akan tetapi, ruang religius justru menganggap dhaifah sebagai gambus yang sangat serius diusahakan Al-Asyik. Kecenderungan tersebut terlihat sejak

Al-Asyik mengusahakan pop ja’fin. Dalam penilaian ruang religius, Al-Asyik selalu mengusahakan bentuk-bentuk yang diadopsi dari ruang profan. Hal itu dibuktikan dari selalu dipakainya alat-alat musik modern dalam pertunjukan Al-

Asyik. Al-Asyik dinilai tidak mampu melepaskan diri dari jerat habitus pop nya.

Konsekuensinya, kolaborasi setiap alat musik menjadikan gambus terkesan

“terbuka” pada setiap genre musik, terutama musik pop. Kebaruan yang disuarakan Al-Asyik, berbatas sangat tipis dengan musik pop.

Alih-alih menunjukkan kelemahan ruang religius, Al-Asyik justru dinilai sedang menunjukkan kelemahannya, yaitu mudah dipengaruhi oleh musik industri. Hal itu menyebabkan kebaruan yang hendak disampaikan Al-Asyik berbeda perlakuan dengan kebaruan yang disampaikan Balassyik. Kombinasi habitus gambus dengan modal Balassyik jauh lebih mudah dipakai sebagai suara bentuk musik religius baru, dibanding kombinasi Al-Asyik. Melalui dhaifah, ruang religius juga telah menganggap Al-Asyik sebagai kelompok musik religius, tapi bukan untuk ruang religius. Terbukti, ketika Al-Asyik tampil dalam acara

105 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Maulid Nabi yang diselenggarakan masjid tahun 2006, bukan karena diundang, tapi karena mereka menawarkan diri. Oleh karena itu, pihak takmir perlu menampilkan kelompok musik lain yang dinilai lebih religius, yakni kelompok

Miftahul Khoir. Kelompok yang mengemas sholawat dalam konsep musik Kyai

Kanjeng (kelompok musik Emha Ainun Najib).

Pertanyaan yang mungkin diajukan atas kondisi tersebut adalah: “Apa lagi yang bisa dilakukan Al-Asyik?” Pertanyaan tersebut berdasarkan asumsi bahwa Al-

Asyik sedang mengalami penurunan kualitas posisi dalam ruang religius. Proses memposisikan diri (taking position) yang sedang diusahakan Al-Asyik justru memposisikannya dalam ruang lain. Al-Asyik diakui sebagai musik religius tapi tidak diakui ruang religius. Al-Asyik diakui sebagai kultur musikal religius, tapi berbeda dengan kultur musikal religius yang ada dalam ruang religius. Al-Asyik sedang diposisikan sebagai subkultur dalam kultur musikal religius. Bentuk- bentuk gambus yang diusahakan Al-Asyik terasa memunculkan “kebisingan” bagi bentuk-bentuk yang telah mapan.

C. Subkultur sebagai Reposisi Identitas

Apakah gambus Al-Asyik masih bisa dikategorikan sebagai musik religius? Ya, menurut Al-Asyik. Karena sejak awak pemain Al-Asyik memang sedang mengusahakan musik religius. Jika sejak awal pemain hendak mengusahakan musik bukan religius, mereka tidak perlu repot-repot mengurusi gambus.

Mengapa gambus? Karena melalui gambus mereka dapat mengeluarkan ekspresinya. Bukan sembarang ekspresi, tapi ekspresi yang memiliki

106 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kecenderungan untuk berkomunikasi. Ekspresi tersebut merupakan suara kelompok Al-Asyik. Suara yang membedakannya dengan kelompok musik lain.

Suara yang bagi ruang religius terasa “bising”.

Bentuk identitas musikal macam apa yang ingin ditunjukkan pemain?

Jawaban atas pertanyaan tersebut merujuk pada konsep identitas itu sendiri.

Dalam paparan di atas telah dijelaskan dua ruang yang dipakai pemain Al-Asyik untuk mencari padanan bentuk dari konsep yang dimilikinya mengenai religiusitas dan musikalitas. Gambus bahkan dipakai pemain untuk mengumumkan bentuk identitas religiusitas dan musikalitasnya dalam kultur musikal religius di Ambulu.

Akan tetapi, bentuk identitas yang hendak diumumkan bukanlah bentuk identitas yang diperolehnya begitu saja. Ia lahir melalui mekanisme penilaian.

Bentuk identitasnya akan dinilai oleh ruang religius dan ruang musikal. Nilai itulah yang menentukan posisi Al-Asyik dalam kultur musikal religius di Ambulu.

Ketika Al-Asyik diposisikan sebagai subkultur, bukan berarti Al-Asyik tidak eksis. Dalam teori subkultur Hebdige diketahui bahwa posisi tidak diusahakan semata-mata untuk posisi itu sendiri. Subkultur dihidupi bukan untuk subkultur itu sendiri, melainkan untuk melanggengkan sistem tertentu; habitus. Habitus sebagai durrable disposision memungkinkan pemain untuk tetap berada di suatu posisi sekaligus mengusahakan posisi lain (reposisi). Posisi lain yang sedang diusahakan bukanlah posisi yang berbeda dengan posisi sebelumnya, melainkan posisi lama yang diperbaharui bentuknya. Untuk itulah para pemain memakai bentuk (form) yang ada untuk dideformasi. Al-Asyik sedang melakukan deformasi. Setidaknya dari gambus dhaifah representasi deformasi jelas terlihat. Reposisi macam apa

107 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

yang sedang diusahakan dengan deformasi? Hal itu dapat dilacak dari dua ruang yang dilaluinya, ruang religiusitas dan ruang musikalitas.

1. Reposisi Religiusitas

Reposisi religiusitas mengasumsikan adanya ketidakpuasan Al-Asyik dengan pemaknaan religius yang diterima posisi lamanya dalam ruang religius. Melalui gambus, terutama pop ja’fin dan dhaifah, pemain hendak menunjukkan kualitas baru dari status lamanya dalam ruang religius sebagai pendakwah. Penjelasan sebelumnya menunjukkan bagaimana kelompok Al-Asyik dapat memaknai dakwah sebagai salah satu kriteria ruang religius. Akan tetapi, status pendakwah tidak serta merta diberikan pada orang yang memiliki kesadaran dakwah. Di sana juga disebutkan bagaimana kontestasi modal terjadi, hingga pemain dapat berkomunikasi soal “dakwah” dalam medan musik religius. Status baru pemain sebagai pendakwah adalah bagian dari aksi dakwah, modal dakwah.

Konsekuensinya, posisi sosial Al-Asyik dalam kulktur musikal religius tidak lagi meneruskan distorsi ruang religius. Saat ini, mereka memiliki ruang religiusnya sendiri untuk berdakwah. Dakwah yang sedang dilakukan bukanlah dakwah mengenai esensi agama melainkan dakwah ekspresi keberagamaan

(religiusitas). Melalui gambus, pemain hendak berdakwah mengenai “cara menikmati hidup” orang-orang beragama. Gambus sebagai hiburan religius.

Pada praktiknya, hiburan religius mendistorsi praksis musik religius pada penilaian lirik. Jika lirik dapat mengajak orang pada tingkat keimanan tertentu, maka hiburan tersebut dapat disebut religius. Nasyid sebagai genre musik

108 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

religius nyaris tidak memiliki ruang untuk “dipertanyakan” religiusitasnya karena selalu dapat menyelamatkan musiknya dengan lirik-lirik bertema ajaran Islam.

Konsekuensinya, musik religius seolah memiliki “beban” untuk membuat lirik sesuai standar lirik religius. Karena lirik dipahami, pemain juga memiliki “beban” mengamalkan apa yang disampaikannya dalam lirik. Pada posisi inilah pemain dinilai sebagai pendakwah dalam mainstream budaya musikal religius.

Konteks Al-Asyik tidak memerlukan lirik untuk meyakinkan publik tentang religiusitas musiknya, bahkan lirik sebagai esensi dakwah musikal. Pada posisi ini, Al-Asyik justru telah menyelamatkan liriknya dari pertanyaan tentang religiusitas dengan menghidupi musik gambus. Lirik gambus yang semula diadopsi dari qasidah (kitab) hingga dikenal sebagai qasidah gambus, direduksi sebagai lirik bertema umum dan memakai bahasa Arab.

Dengan gambus, pemain Al-Asyik juga menyelamatkan habitus musiknya dari dikotomi musik profan atau religius. Lirik dan habitus musik pemain (pop) dalam gambus seolah “dinaungi” oleh makna gambus. Padahal, seringkali pertunjukan gambus Al-Asyik menjadikan gambus sebagai simbol imposisi yang telah ditaklukkan. Misalnya, pada lagu Aisyah atau Saaltinaar, terlihat betul bagaimana gitar gambus dan marwas sama sekali tidak dimainkan meskipun ada dalam pertunjukan.

Bahkan, dengan gambus, Al-Asyik juga telah menyelamatkan diri dari

“beban” perilaku religius. Cukup dengan memakai gamis, musik yang ada dapat melonggarkan standar joget ala ja’fin. Gambus pun dapat dibuat goyang seperti dangdut. Meskipun memiliki perbedaan dengan goyang dangdut, setidaknya

109 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

goyang gambus Al-Asyik telah mampu menjadi tempat menuangkan ragam pengalaman masyarakat mengenai goyang yang “wajar” dan tidak melanggar norma. Mereka hanya berjoget. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari kesenangan itu. Apalagi, jika goyangan dilakukan pada acara religius dan oleh orang-orang dengan citra religius.

Lantas, bagaimana dengan “tuntutan” dakwah meningkatkan keimanan? Sebagaimana disinggung sebelumnya, mereka tidak sedang berdakwah mengenai “doktrin” agama. Mereka sedang mendakwahkan praktik doktrin agama; praksis religiusitas. Melalui gambus mereka berdakwah mengenai tidak sampainya doktrin. “Doktrin” musik religius dipahami oleh pemain hanya sebagai musik berbahasa Arab, memakai gamis dan ditampilkan pada acara religius.

Doktrin agama di Ambulu dapat diwakili dengan menghadirkan simbol religius:

Pakistan, pakaian dan perhelatan. Doktrin agama yang demikian dianggap tidak

“bersuara” dalam dakwah medan musik. Oleh karena itu, memberikan “suara” pada doktrin agama adalah bentuk dakwah. “Suara” tersebut dapat membuat orang memutuskan apakah setuju atau tidak dengan esensi agama dalam medan musik religius.

Pada praktiknya, suara yang diberikan justru berasal dari ruang profan, musik pop. Bukankah “suara” itu justru bertentangan dengan doktrin agama?

Tidak, jika memakai aturan main dalam ruang musik pop, terutama aturan main kapitalisme industri musik. Melalui industri musik pop, masyarakat telah lama

(di)akrab(kan) dengan istilah musik religius. Sebut saja Bimbo sebagai kelompok musik yang identik dengan musik dan lagu religius. Yang terbaru adalah

110 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kelompok Gigi, Ungu, Radja dan Repvblik. Bahkan, musik pop mampu mengadaptasi bentuk-bentuk musik tradisi (industri). Lagu “Perdamaian” yang dibawakan oleh Gigi dan lagu “Kota Santri” yang dinyanyikan oleh Krisdayanti dan Anang, merupakan dua lagu hits kelompok qasidah Nasida Ria. Artinya, pemahaman sebagian besar masyarakat tentang gambus sebagai musik religius juga berasal dari pemahaman istilah musik religius yang dipopulerkan musik industri. Dimulai dari qasidah Nasida Ria hingga sholawat Kyai Kanjeng, musik dengan label “tradisi” ikut serta dalam industri musik religius Industri.

Pemahaman inilah yang dipakai oleh pemain Al-Asyik sebagai status

“suara”, bukan “suara” itu sendiri. “Suara” yang diberikan Al-Asyik justru berasal dari ruang profan dalam industri musik pop. Dengan konsep musik religius industri, pemain mencari bentuknya dalam ruang musik pop industri. Mengapa?

Karena, habitus mereka tidak banyak menunjukkan kemungkinan modal dapat mengakses ruang musik religius industri. Agak sulit bagi anak SMA Bima atau

Pancasila yang sebagian anak pedagang dan bukan santri mengoleksi atau membiasakan diri dengan musik religius. Koleksi musik mereka dan kelompok musik favorit mereka menunjukkan kecenderungan pada wilayah profan. Wilayah itu, dalam industri media, dipenuhi dengan citra (mitos!) mengenai globalitas dan modernitas.

Dengan kata lain, pemain ingin menjadikan bentuk gambus sebagai suara musik religius modern. Ketika musik bersanding bersama dengan istilah religius dan modern, hal itu bukan saja menunjukkan ekstra musikal, tapi juga ekstra religius, yakni religiusitas. Pada posisi ini Al-Asyik berusaha meyakinkan

111 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ruang religius mengenai kemampuan religiusitas memaknai doktrin. Untuk itulah,

Al-Asyik membutuhkan reposisi ruang musikal untuk menunjukkan bentuk yang dihasilkan dari pemaknaannya tersebut.

2. Reposisi Musikal

Persaingan Al-Asyik dengan Balassyik menyisakan “kekacauan” bagi posisi Al-

Asyik. Bukan kekacauan dalam ruang musikal, tapi kekacauan dalam ruang religius. Kekacauan tersebut berasal dari “ketidakmampuan” Al-Asyik membuat ruang musikal berhubungan secara paradigmatik dengan ruang religius.

Kekacauan tersebut dimulai dari pop ja’fin dan ditegaskan oleh dhaifah.

Apakah mereka berniat menghidupi bentuk lama? Tidak. Dengan status sosial pemain sebagai “masyarakat biasa” dan sebagian besar berprofesi sebagai pedagang, ngoyo (berusaha keras) mengejar legitimasi religius bukan bagian dari habitus mereka. Akan tetapi, melalui reposisi religiusitas, pemain Al-

Asyik sadar bahwa menjadi masyarakat Ambulu berarti tidak dapat melepaskan diri dari penilaian religius. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan mereka memilih (dan dipilihkan) menghidupi gambus.

Lantas, bagaimana mereka mereposisi musikalitas yang terlanjur tidak diakui oleh ruang religius? Cara yang mereka lakukan adalah dengan tidak banyak peduli dengan legitimasi ruang musikal maupun ruang religius. Bagaimana mungkin? Bukankah sebagai kelompok gambus mereka telah diposisikan sebagai kelompok musik religius oleh ruang religius dan dinilai secara musikal oleh ruang musikal? Tepat di situlah Al-Asyik mereposisi musikalitasnya. Kalau sudah jelas

112 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

diakui sebagai kelompok religius, kenapa harus “panik” ketika bentuk-bentuk yang ditawarkan kelompok lain mengimposisi bentuk sebelumnya?

Pemain Al-Asyik mungkin baru menyadari kalau sirkulasi bentuk- bentuk gambus tidak akan pernah berhenti sejalan dengan bentuk-bentuk musik sebagai barang produksi. Yang perlu mereka lakukan justru menangkap bentuk gambus yang telah mapan dan tidak mudah diimposisi bentuk lain. Gambus semacam ini telah menjadi bentuk mitos yang tidak hanya diakui oleh ruang religius, tapi juga ruang lain, seperti ruang kesenian masyarakat. Ia juga menjadi sumber bentuk dari bentuk-bentuk gambus lain.

Adakah gambus semacam itu dalam habitus masyarakat Ambulu? Ada, tapi tidak berbentuk pengalaman visual, hanya didengar. Gambus tersebut terkesan easy listening dan sangat populer, karena dikenal sebagai “gambus tradisi” dan direproduksi dalam berbagai acara religius. Bentuk dan pemakaiannya seperti lagu-lagu yang hanya dikenali sebagai lagu sehari-hari5, seperti lagu

” atau lagu “Bungon Jumpa” (). Gambus semacam ini, pada dirinya sendiri tidak mudah dianulir, karena ia tidak bekerja dalam mekanisme musik sebagai medan perebutan legitimasi, melainkan bekerja sebagai mitos yang menghasilkan hiburan religius, pleasure.

Mitos semacam ini berguna sebagai metabahasa6. Gambus, pada posisi ini tidak ditangkap maksudnya sebagai gambus yang siap dibentuk dan dimaknai

(gambus sebagai bahasa legitimasi). Sebagai metabahasa, gambus semacam ini biasanya telah disiapkan oleh pengalaman masyarakat untuk tidak mudah diganti-

5 Ketika dipakai dalam industri musik, lagu semacam ini biasanya dituliskan dengan nama pencipta NN (No Name). 6 St. Sunardi, Semiotika Negativa, halm: 106

113 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ganti bentuknya karena ia menyimpan berbagai kode potensial yang ditunjuk oleh meta bahasa, bahasa masyarakat. Kalau bentuknya diganti, ia memiliki mekanisme defensif yang ditandai dengan “tidak nyaman ditelinga”. Contoh gambus tersebut dapat ditemukan dalam lagu Towileh.

3. Reposisi Status

Status dalam struktur budaya musikal memiliki kekuatan dalam medan ketika berfungsi sebagai modal sosial. Artinya, dalam kondisi yang tepat status dapat dipakai mengakumulasi modal ekonomis dan kultural yang ada dalam masyarakat.

Status Al-Asyik dalam ruang religius, dari penjelasan di atas, hanya mampu mendistribusikan modal. Persaingannya dengan Balassyik dalam ruang religius justru mempertegas perbedaan kualitas modal dan kualitas status Al-Asyik.

Dengan “gambus tradisi” (folk gambus) medan gambus tidak mudah dikontrol oleh ruang religius dan ruang industri musik gambus. Kalaupun hendak mengontrol, ruang religius dan indutri musik harus sampai pada legitimasi religius dan legitimasi musikal masyarakat kolektif, legitimasi masyarakat popular7.

Legitimasi tersebut, seringkali, dikondisikan oleh media. Apa yang disebut legitimasi kelompok, seringkali jatuh pada definisi legitimasi kelompok ala media. Media pada posisi ini, telah mampu menyatukan masyarakat pada

7 Dalam makalah kuliah Seni Pop yang berjudul munculnya kategori Pop, St. Sunardi merumuskan tiga macam kolektivitas, yaitu volk (folk ) atau rakyat, popular atau kerakyatan, dan pop. Volk terkauit dengan masyarakat tradisional tertentu yang hidup dalam batas-batas ideologis tertentu, dan kadang-kadang dalam suku tertentu. Kerakyatan erat kaitannya dengan rakyat (volk) yang bisa dimaknai bangsa; rakyat yang bergerak secara politis. Sedangkan, pop merupakan pengalaman yang lahir dari budaya konsumsi dan didukung oleh tehnologi informasi baru (media). Maksud legitimasi masyarakat popular, kurang lebih, merumuskan bentukbentuk pengalaman yang dimulai dari pengalaman masyarakay (sebagai the popular) dengan realitas media. Halm: 1-5

114 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

keseragaman kebutuhan religius, dan juga membiarkannya meledak kedalam: batas-batas tradisi, ideologi, kelas, cair dan membuat “kepanikan” dengan kumpulan massa yang “memperebutkan” ketidakpastian atas nama “legitimasi”8.

Gambus “tradisi” seolah menjadi jawaban atas “kepanikan” tersebut; apa yang telah meledak ke dalam, dipastikan juga bisa diselesaikan di dalam.

Setidaknya, dengan cara ini, masyarakat tidak perlu kembali “panik” dengan kebutuhan bentuk religius baru. Lantas, status macam apa yang mungkin diterima

Al-Asyik dengan mengejar legitimasi popular? Tentu saja, status sebagai kelompok musik religius rakyat.

Status sebagai kelompok musik religius rakyat kali ini berbeda dengan status yang sama dalam ruang religius. Kali ini status tersebut dimaknai sebagai status ruang religius rakyat (medan religius rakyat). Status tersebut meletakkan kontrol legitimasinya pada pemahaman masyarakat terhadap doktrin agama.

Status tersebut, dipakai sebagai modal untuk memprotes ruang religius mainstream.

Al-Asyik memprotes hegemoni ruang religius, sebagai bagian dari pendukung ketidakadilan sistem sosial yang ada (social inequality)9, terutama dalam wilayah ekspresi budaya. Praktek pemaknaan dalam wilayah ekspresi budaya hampir selalu diarahkan ruang religius, khususnya masjid, untuk

“menyenangkan” politik kebijakan publik pemerintah. Dengan dalih menjadi patner pemerintah dalam mewujudkan stabilitas nasional, berbagai ekspresi budaya “terpaksa” dilarang, mulai dari karnaval 17-an hingga gerak jalan Watu

8 Baudrillard, dalam ibid halm: 5-7 9 Fabio Dasilva, dkk, The Sociology of Music, halm: 88-92

115 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Ulo-Ambulu. Bahkan masjid dipakai sebagai alat politis. Masjid yang berada pada lingkungan NU harus rela membiarkan sebagian besar jamaahnya mengadakan sholat Idul Fitri di tempat lain hanya karena alasan berbeda dengan pemerintah.

Masjid menjadi sangat rentan dipolitisasi.

Oleh sebab itu, dengan status “barunya”, protes Al-Asyik ditujukan untuk “perbaikan” mekanisme ruang religius. Melalui status itu pula, Al-Asyik hendak merumuskan aturan main bergambus di Ambulu; aturan main dalam medan gambus rakyat.

116 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB VI

KESIMPULAN

Sejak awal, tesis ini mengarahkan seluruh pembahasan pada “deformasi” makna religius pertunjukan Al-Asyik. Sejak awal pula, tesis ini membahas pertunjukan

Al-Asyik dalam konteks gambus sebagai musik religius. Lebih jauh, gambus sebagai kultur musikal religius dimaknai sebagai gambus sebagai cara masyarakat membentuk dan menghidupi musik religius.

Melalui sosiologi musik, proses tersebut dapat dilihat dengan cara melihat bentuk-bentuk praksis musikal Al-Asyik yang juga merupakan bagian dari budaya musikal religius di Ambulu. Bentuk-bentuk tersebut menandai

“suara” yang dipakai Al-Asyik menunjukkan identitasnya.

Data di atas menunjukkan bahwa identitas Al-Asyik dalam medan gambus tidak disuarakan dengan bentuk yang sama. Al-Asyik memulai

“perjalanan” gambusnya dengan menghidupi ja’fin yang diusulkan oleh ruang religius (yang didistorsi oleh takmir masjid) sebagai pengalaman pertama melihat gambus. Selanjutnya, fenomena Balassyik melahirkan bentuk gambus religius sarah dan baladian yang menjadi kepanjangan tangan medan gambus industri mengimposisi bentuk gambus ruang religius di Ambulu.

Dengan modal kultural sebagai pemain hadrah dan sebagian besar pemain band, Al-Asyik kembali harus “melayani” usulan bentuk tersebut. Habitus

Al-Asyik tampaknya tidak banyak setuju dengan bentuk yang diusulkan

Balassyik. Akan tetapi, karena habitus ruang religius terlanjur terimposisi dengan

117 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bentuk tersebut, mau tidak mau Al-Asyik sebagai bagian dari mekanisme ruang musikal, menerima bentuk tersebut. Penerimaan tersebut tidak bersifat menyeluruh. Sarah dan Baladian dicarikan bentuknya dalam ja’fin melalui cara

“tambal-sulam” bagian-bagiannya 1 hingga berwujud pop ja’fin dan dhaifah.

Bentuk tersebut diarahkan Al-Asyik agar dapat dikenali dalam dua ruang: ruang religius dan ruang musikal. Ternyata, ruang religius dan ruang musikal justru tidak menerima ja’fin pop dan dhaifah sebagai bentuk dalam medan gambus. Ja’fin pop dan dhaifah dianggap salah tempat dan salah makna 2.

Lebih jauh, bentuk tersebut telah “mengeluarkan” Al-Asyik dalam medan gambus. Sejak saat itulah Al-Asyik memainkan praksisnya sebagai praksis subkultur musikal religius.

Melalui subkultur, Al-Asyik dapat menambahkan konsep ruang lain.

Misalnya, pada kasus bentuk “gambus tradisi” Al-Asyik menghadirkan konsep ruang penonton, budaya penonton gambus. Hal itu berfungsi untuk menambah mitos gambus yang dihidupi di Ambulu. Sekurang-kurangnya, identitas mereka juga dapat dikenali dalam mitos lain. Jika berhasil, Al-Asyik dapat menjauhkan identitas dari “kekuasaan” mitos medan gambus. Dengan cara ini, Al-Asyik dapat memulai untuk merumuskan bentuk identitasnya; identitas kebebasannya.

Identitas macam ini dapat menimbulkan dorongan kuat untuk sampai pada zona nir tekanan (pleasure). Identitas inilah yang sedang dicarikan bentuknya, agar

1 Hebdige menyebutnya Brikolage dalam konteks style as brikolage. Dala m Subculture: The Meaning of Style, halm: 113-118 2 Hebdige menyebutnya “The Unnuturak Break ” (Putus tak Alami), sebagai cara untuk merumuskan koherensi dalam kontradiksi. Ibid, halm: 90-99.

118 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dapat berkomunikasi dengan pleasure penonton. Pop ja’fin, dhaifah dan gambus

“tradisi”, kemungkinan besar merupakan bentuk yang selama ini diusahakannya.

Melalui subkultur yang sengaja dihidupi oleh Al-Asyik, kita dapat melihat adanya kemungkinan Al-Asyik bertahan lama. Al-Asyik dengan modalnya seolah dapat mengadaptasi berbagai bentuk-bentuk yang berdatangan.

Subkultur justru menunjukkan identitasnya melalui kemampuannya menciptakan ruang kosong untuk diisi dengan bentuknya sendiri. Bentuk-bentuk tersebut diusahakan oleh Al-Asyik dengan cara selalu mengkomunikasikan habitus dengan modalnya. Habitus musik religius di Ambulu berkombinasi dengan modal pemain hadrah dan pemain band, dipakai Al-Asyik untuk merumuskan identitas musik religiusnya.

Sekilas identitasnya terlihat mandiri dan tidak terlihat diimposisi oleh musik gambus industri. Sebenarnya, Al-Asyik justru diimposisi makna oleh qasidah. Usaha-usaha yang dilakukannya tidak lain adalah bentuk-bentuk qasidah.

Hal ini dimaknai Al-Asyik sebagai cara mitos melawan mitos. Dengan memakai mitos qasidah dan megakui sebagai kelompok gambus, Al-Asyik hendak menyaingi mitos gambus yang mudah menghegemoni saat ini. Inilah unnatural break yang dipakai sebagai identitas.

Dalam arti yang sangat luas, identitas semacam ini akan menunjukkan berbagai “pembedaan” dengan kelompok lain, ideologi lain, kelas sosial lain, bahkan status lain. Identitas semacam inilah yang menjadikan Al-Asyik memiliki status distingsi. Status tersebut dapat diperlakukan sebagai modal dalam sistem pembentukan dan proses dalam medan yang berhomologi dengan medan gambus.

119 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Artinya, apa yang dilakukan tesis ini hanya merumuskan mekanisme praksis; mekanisme kombinasi habitus gambus dengan modal Al-Asyik berkomunikasi dengan medan gambus. Bagaimana praksis tersebut

“berkomunikasi” dengan praksis pendukung lainnya (penonton dan penanggap) maupun homologinya dengan medan lain, seperti pakaian dan setting panggung, belum banyak disebutkan dalam tesis ini. Oleh sebab itu, saya menyebut penelitian ini sebagai penelitian pembuka bagi penelitian lain yang hendak memahami masyarakat berikut pola komunikasinya melalui praksis estetika, terutama musik.

120 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR PUSTAKA

Althusser, Louiss. Tentang Ideologi : Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Jalasutra : Yogyakarta. Bourdieu, Pierre. (1984). Distinction: A Social Critique of The Judgment of Taste. Harvard University Press, Massachusetts. ------. (1977). Outline of a Theory Practice. Cambridge University Press, Cambridge. Bouvier, Helene. (2002). Lebur : Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Hoffer, R. Charles. (1989). The Undertanding of Music (ed). Wadsworth Publishing Company, Belmont California Cobuilds, Collins. (2001). English Dictionary for Advanced Leaners (third ed). HarperCollins Publisher. Dasilva, Fabio dkk. (1984). The Sosiology of Music. University of Notre Dame Press, Indiana. Djohan. (2002). Psikologi Musik. Buku baik, Yogyakarta. Farmer, George Henry. (1929). A History og Arabian Music To The XIII th Century. luzac and CO, London. Frow, John. (1995). Cultural Studies and Cultural Value. Clarendon Press, Oxford. Gramsci, Antonio (1987) “Catatan-catatan Politik”. Pustaka Promethea, Surabaya. Hall, Stuart. Cultural Representation and Signifying Practice Hardjana, Suka. (1983). Estetika Musik. Depdikbud, Jakarta. Hargreaves, J. David. (1997). The Social Psychology of Music. Oxford University Press, New York. Harker, Richard, dkk. (2005). (HabitusxModal)+Ranah=Praktik, Jalasutra, Yogyakarta. Hebdige, Dick. (2002). Subculture : The Meaning of Style. Rouledge, London

121 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Kamien, Roger. (1976). Music an Appreciation (ed). McGraw-Hill Book Company. Liftschitz, Mikhail and Salamini, Leonardo. (2003). Praksis Seni : Marx dan Gramsci. Alinea, Yogyakarta. Malm, P. William. (1967). Musical Culture of The Pasific, The Near East and Asia. Prentice-Hall, New Jersey. Mazzola, Guerino. Semiotic Aspect of Musicology : Semiotics of Music Musmal. (2003). Tesis dengan Judul Gambus Sebagai Salah Sautu Ekspresi Musik Rakyat Melayu di Sumatera Utara. Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta. Oxford Advanced Leaner’s Dictionary. (2000). Oxford University Press. Qardhawi, Al-Yusuf. (2003). Fiqh Musik dan Lagu: Prespektif Al-Quran dan As- Sunnah. Mujahid Press, Bandung. ------, (2000). Nasyid Vs Musik Jahilliyah. Mujahid Press, Bandung. Santos, P. Ramon. (1995). The Music of Asean. Asean Committee on Cultural and Information, Philipina. Swartz, David. (1997). Culture and Power: The Sociology of Pierre Bourdieu. The University of Chicago Press, Chicago. Sunardi, St. (2004). Semiotika Negativa. Buku baik, Yogyakarta. ------, (2007). Makalah-Makalah Kuliah Seni Pop, tidak dipublikasikan. Wahid, Abdurrahman. (1999). Tuhan Tidak Perlu Dibela (ed). Lkis, Yogyakarta. www. tabloidnova.com www.wikipedia.com

122 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Lampiran 1 : Data Diri Pemain

Nama : Faruk Usia : 28 Th Alat Musik yang dimainkan : Gitar Melodi Alamat : Jl. Diponegoro I/22 Ambulu Tinggal bersama : Orang Tua Lama tinggal di Ambulu : 28 Th Pekerjaan : Pedagang sandal dan sepatu Pendidikan terakhir : SMA Bima Pekerjaan orang tua : Pedagang sandal dan sepatu Hobi : berpetualang dan main musik

· Keadaan rumah

1. Usia rumah : sekitar 20 th

2. Imej rumah : Agak mewah

3. Jenis furnitur : umum

4. Pilihan dekorasi :

5. Pengamatan lain : Rumahnya lumayan besar dan berpagar

besi

· Pakaian : Kaos dan celana jeans

· Rambut : sedang (di bawah di atas bahu)

· Gaya bicara 1. Aksen : Jawa 2. Cara bicara : Tertata dan diplomatis

· Koleksi Kaset: rock, klasik, dangdut, gambus · Grup musik favorit: YNGwei Malsteen (kelompok bandnya dulu)

123 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Nama : Fredy Oktavian Usia : 19 Th Alat Musik yang dimainkan : Tam-tam, marwas Alamat : Kauman-Ambulu Tinggal bersama : Kakak Lama tinggal di Ambulu : 19 Th Pekerjaan : (kadang tukang parkir) Pendidikan terakhir : SMA Bima Pekerjaan orang tua : Wiraswasta Hobi : Musik

· Keadaan rumah

1. Usia rumah : Kira-kira 35 tahun

2. Imej rumah : agak mewah tapi berantakan

3. Jenis furnitur : umum

4. Pilihan dekorasi :

5. Pengamatan lain : rumah berpagar besi

· Pakaian : kaos dan celana jeans

· Rambut : Pendek dan rapi

· Gaya bicara 3. Aksen : Jawa 4. Cara bicara : standar

· Koleksi kaset : tidak punya · Grup musik favorit : Balassyik dan Slank

124 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Nama : Hadi Usia : 26 th Alat Musik yang dimainkan : Tumbuk, marwas Alamat : Kauman - Ambulu Tinggal bersama : Orang tua dan Istri Lama tinggal di Ambulu : 26 Th Pekerjaan : Pedagang Hewan (Blantik Sapi dan Kambing) Pendidikan terakhir : SMA Bima Pekerjaan orang tua : Pedagang Hobi : Main Musik · Keadaan rumah

1. Usia rumah : sekitar 45 th

2. Imej rumah : Tua

3. Jenis furnitur : Didominasi oleh furnitur dari kayu dan

berusia lama.

4. Pilihan dekorasi :

5. Pengamatan lain : Ada kandang kambing di sebelah rumah

· Pakaian : kaos dan celana 3/4

· Rambut : pendek rapi

· Gaya bicara 5. Aksen : Jawa 6. Cara bicara : Tertata dan diplomatis · Koleksi kaset : Rock, klasik, dangdut, dan gambus · Grup musik Favorit:Balassyik

125 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Nama : Zaenal Usia : 25 Th Alat Musik yang dimainkan : Rythm, tam-tam, marwas Alamat : Kauman - Ambulu Tinggal bersama : Keluarga Lama tinggal di Ambulu : 25 Th Pekerjaan : pedagang Pendidikan terakhir : SMK Pancasila Pekerjaan orang tua : Wiraswasta Hobi : Sepak Bola, main musik

· Keadaan rumah

1. Usia rumah : sekitar 30 Th.

2. Imej rumah : sederhana cenderung tua

3. Jenis furnitur : sederhana

4. Pilihan dekorasi : foto keluarga dan foto Presiden serta Wapres.

5. Pengamatan lain :

· Pakaian : kaos dan celana 3/4

· Rambut : pendek dan lurus

· Gaya bicara 7. Aksen : Jawa 8. Cara bicara : standar · Koleksi Kaset : Rock, klasik, dan gambus · Grup musik favorit: Slank

126 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Nama : Eko Usia : 18 Th Alat Musik yang dimainkan : Drum Alamat : Kauman - Ambulu Tinggal bersama : Orang Tua Lama tinggal di Ambulu : 18 Th Pekerjaan : Pelajar Pendidikan terakhir : SMA Bima Pekerjaan orang tua : Pedagang Hobi : Main Musik

· Keadaan rumah

1. Usia rumah : sekitar 30 Th

2. Imej rumah : sederhana tapi rapi

3. Jenis furnitur : umum (tidak pesifik)

4. Pilihan dekorasi : Foto keluarga

5. Pengamatan lain : di depan rumah terdapat warung makanan

kecil

· Pakaian : Kaos dipadu dengan celana 3/4

· Rambut : Pendek tanpa mengikuti tren tertentu

· Gaya bicara 9. Aksen : Jawa 10. Cara bicara : standar

· Koleksi Kaset : Rock, klasik, dan gambus · Grup musik favorit : Peter Pan

127 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Nama : Aries Usia : 21 Th Alat Musik yang dimainkan : Keyboard Alamat : Kauman-Ambulu Tinggal bersama : Orang tua Lama tinggal di Ambulu : 21 Th Pekerjaan : Pendidikan terakhir : SMP Kartika Pekerjaan orang tua : Wiraswasta Hobi : Main musik

· Keadaan rumah

1. Usia rumah : Sekitar 5 th (baru direnovasi)

2. Imej rumah : Rapi dan bersih

3. Jenis furnitur : umum

4. Pilihan dekorasi : Gambar Ka’bah, Kaligrafi dan foto keluarga.

5. Pengamatan lain :

· Pakaian : Kaos Oblong dan Sarung

· Rambut : Pendek seperti model rambut polisi

· Gaya bicara 11. Aksen : Jawa 12. Cara bicara : Standar

· Koleksi Kaset : dangdut dan gambus · Grup musik favorit : Balassyik

128 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Nama : Hayung Usia : 21 Th Alat Musik yang dimainkan : Tumbuk dan gitar gambus Alamat : Kauman-Ambulu Tinggal bersama : Orang Tua Lama tinggal di Ambulu : 19 Th Pekerjaan : Mahasiswa (Poltek) Pendidikan terakhir : SMK Pekerjaan orang tua : Wiraswasta Hobi : Semua yang positif

· Keadaan rumah

1. Usia rumah : Sekitar 30 Th

2. Imej rumah : Sederhana tapi rapi

3. Jenis furnitur : umum

4. Pilihan dekorasi : Foto Keluarga, Foto Presiden dan Wapres

5. Pengamatan lain :

· Pakaian : Hem dan celana panjang

· Rambut : Pendek dan rapi

· Gaya bicara

13. Aksen : Jawa

14. Cara bicara : Tertata dan diplomatis

· Koleksi Kaset : Rock, klasik, dangdut, gambus, qasidah, · Grup musik favorit : Slank

129 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Nama : Totok Hartoyo Usia : 18 Th Alat Musik yang dimainkan : Tam-tam, marwas Alamat : Kauman-Ambulu Tinggal bersama : Orang Tua Lama tinggal di Ambulu : 18 Th Pekerjaan : Pelajar Pendidikan terakhir : SMA Bima Pekerjaan orang tua : Wiraswasta Hobi : Musik · Keadaan rumah

1. Usia rumah : 35 Th

2. Imej rumah : sederhana cenderung kumuh

3. Jenis furnitur : umum

4. Pilihan dekorasi :

5. Pengamatan lain : kondisi tembok rumah penuh dengan

bercak-bercak hitam akibat resapan air atau lembab.

· Pakaian : Kaos dan celana panjang

· Rambut : model acak (segi) pendek dan panjang di bagian depan

· Gaya bicara 15. Aksen : Jawa 16. Cara bicara : standar

· Koleksi kaset : Rock · Grup musik favorit : Nindji, Samson dan Ungu

130 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Lampiran 2: Kuesioner

1. Dari mana Anda mendapatkan alat musik tersebut : a. Pinjam b. Beli sendiri c. Sewa d. Dapat sumbangan e. Pemain bawa sendiri 2. Alat musik apa saja yang minimal harus dimiliki oleh sebuah grup musik gambus ? a. Gitar gambus, tam-tam, marawis b. Gitar gambus, tam-tam, marawis, tumbuk c. Gitar gambus, tam-tam, marawis, keyboard d. Gitar gambus, keyboard, gitar bass, drum, marawis e. Keyboard, gitar rhythm, gitar bass, biola, drum f. Lainnya: ……….

3.Kalau anda punya alat musik selengkap Balassyik, apa yang anda lakukan? a. Menggelar konser gratis b. Menawarkan diri pada industri rekaman c. Menaikkan tarif tanggapan d. Berkonsentrasi pada ja’fin e. Lainnya..... 4.Alat musik apa yang harus ada dalam pertunjukan gambus Al-Asyik? a. Gitar gambus b. Tam-tam c. Marawis d. Gitar Rhythm e. Drum f. Keyboard g. Lainnya: ………

5.Apa jadinya kalau alat musik tersebut tidak ada ? a. Kurang religius b. Tidak disukai penonton c. Tidak jadi pentas d. Tidak dibayar e. Gambus jadi kelihatan kuno

6. Apa alasan yang membuat sebuah lagu disebut religuis? (pilihan boleh lebih dari satu dan maksimal tiga pilihan) a. Kalau liriknya berbahasa Arab b. Kalau musiknya dekat dengan timur tengah c. Kalau lagunya dipakai pada acara keagamaan

131 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

d. Kalau penyanyinya ahli qiroah, adzan atau penyanyi qasidah e. Kalau pakaian pemain menggunakan kerudung atau gamis f. Lainnya……….

7.Apa rasanya kalau pentas tanpa Sound System a. Biasa saja, yang penting penonton suka b. Tidak jadi masalah karena yang penting misi dakwahnya c. Kurang percaya diri karena terkesan kampungan d. Membuat memainkan musik jadi kurang bersemangat e. Mendingan tidak usah pentas saja.

8.Ada berapa orang yang bisa main alat yang anda mainkan? a. Dua orang b. Tiga orang c. Semua bisa d. Rata-rata bisa e. Tidak ada yang bisa kecuali Anda

9.Bagaimana cara anda memainkan suatu karya baru? a. Dengar sekali langsung bisa main b. Dengar dua kali langsung bisa main c. Dengar lebih dari dua kali baru bisa main d. Latihan intensif dengan teman-teman lainnya, baru bisa main total

1. Aisyah 5. Saaltinar 2. Katabna 6. Rabby Faj’al 3. Magadir 7. Ana Habbataik 4. Ghonnili 8. Wanashabiya

Perhatikan daftar lagu diatas! 10. Kalau semua lagu diatas disukai penonton dan penanggap, sebutkan tiga lagu yang paling anda sukai! 11. Lagu mana yang paling religius menurut anda? a. Katabna b. Ghannili c. Wanashabiya d. Magadir e. Lainnya …………… 12. Lagu mana yang paling tidak religius? a. Saaltinar b. Magadir c. Ana Habbaitak d. Wanashabiya e. Lainnya ……………..

132 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

13. Kalau Al-Asyik memiliki kesempatan rekaman, gambus jenis apa yang ingin dimainkan? a. Ja’fin b. Balladian c. Sarah d. Da’ifah e. Lainnya …………….

14. Menurut anda, apa yang paling disukai penonton dari penampilan Al-Asyik? a. Musiknya yang asyik buat goyang b. Pemainnya yang sudah dikenal c. Kostumnya yang santai d. Gaya pertunjukannya yang penuh variasi e. Lagu-lagunya yang islami tapi gaul f. Penyanyinya yang keren suaranya g. Lainnya ………….

15. Kalau yang menonton Al-Asyik hanya ibu-ibu dan remaja putri, apa yang anda lakukan? a. Terus pentas b. Mengganti lagu sesuai dengan penonton c. Mencari tahu, mengapa musik gambus hanya diterima ibu-ibu dan remaja putri d. Mencari pemain perempuan e. Lainnya ………………

16. Acara apa yang paling mahal harga tanggapannya? a. Pernikahan b. Kampanye c. Peresmian Dealer d. Undangan Kecamatan e. Lainnya………….

17. Menurut anda apa alasan orang menanggap gambus? a. Islami tapi modern b. Harga tanggapan yang terjangkau c. Berasal dari daerah sendiri d. Lainnya …………………

18. Kalau sama-sama dibayar, lebih suka ditanggap siapa? a. Takmir Masjid b. Pak Camat c. Masyarakat biasa d. Partai Politik e. Bank f. Lainnya ……………….

133 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

19. Ditanggap siapa yang paling tidak anda inginkan, meskipun dibayar? a. Orang Kristen b. Orang Cina c. Orang Pakistan d. Parpol e. Polisi f. Kyai Pesantren g. Lainnya ………….

20. Siapa penanggap yang paling anda inginkan, tapi belum pernah menanggap Al-Asyik? a. Bupati b. Pemilik Rekaman c. Kyai Terkenal d. Lainnya ………..

134 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Lampiran 3: Hasil Kuesioner

1. Dari mana Anda mendapatkan alat musik tersebut : Nama Pinjam Kelompok Sewa Sumbangan Bawa Pemain beli sendiri sendiri Faruk * Fredy * Hadi * Zaenal * Eko * Aries * Hayung * Totok *

2. Alat musik apa saja yang minimal harus dimiliki oleh sebuah grup musik gambus? Nama Pemain A B C D E F Faruk * Fredy * Hadi * Zaenal * Eko * Aries * Hayung * Totok *

3. Kalau anda punya alat musik selengkap Balassyik, apa yang anda lakukan? Nama Menggelar Menawarkan Menaikkan Berkonsen Pemain konser diri pada tarif trasi pada Lainnya gratis industri tanggapan gambus rekaman ja’fin Faruk * Fredy * Hadi * Zaenal * Eko * Aries * Hayung * Totok *

135 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4. Alat musik apa yang harus ada dalam pertunjukan gambus Al-Asyik? Nama Gitar Tam- Marawis Gitar Drum Keyboard Lainnya Pemain gambus tam Rhythm

Faruk * Fredy * Hadi * Zaenal * Eko * Aries * Hayung * * * * * * Totok *

5. Apa jadinya kalau alat musik tersebut tidak ada ? Nama Kurang Kurang Tidak Tidak Gambus Lainnya Pemain religius disukai jadi dibayar kelihatan penonton pentas kuno

Faruk * Fredy * Hadi * Zaenal * Eko * Aries * Hayung * Totok *

6. Apa alasan yang membuat sebuah lagu disebut religuis? (pilihan boleh lebih dari satu dan maksimal tiga pilihan) Nama Liriknya Musiknya Dipakai Penyanyin Pakaian Lainnya Pemain berbahasa dekat pada acara ya ahli kerudung Arab dengan keagamaan qiroah, atau gamis Timur atau Tengah penyanyi qasidah Faruk * * * Fredy * * * Hadi * * * Zaenal * * * Eko * * * Aries * * * Hayung * * * Totok * * *

136 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

7. Apa rasanya kalau pentas tanpa Sound System a. Biasa saja, yang penting penonton suka b. Tidak jadi masalah karena yang penting misi dakwahnya c. Kurang percaya diri karena terkesan kampungan d. Kurang bersemangat memainkan musik e. Mendingan tidak usah pentas saja. Nama A B C D E F Pemain Faruk * Fredy * Hadi * Zaenal * Eko * Aries * Hayung * Totok *

8. Ada berapa orang yang bisa main alat yang anda mainkan? Nama Pemain Dua Tiga Semua Rata-rata Hanya orang orang bisa bisa anda Faruk * Fredy * Hadi * Zaenal * Eko * Aries * Hayung * Totok *

9. Bagaimana cara anda memainkan suatu karya baru? Nama Pemain Dengar Dengar Lebih Latihan Lainnya sekali dua kali dari dua intensif kali baru bisa Faruk * Fredy * Hadi * Zaenal * Eko * Aries * Hayung * Totok *

137 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1. Aisyah 5. Saaltinar 2. Katabna 6. Rabby Faj’al 3. Magadir 7. Ana Habbataik 4. Ghonnili 8. Wanashabiya

Perhatikan daftar lagu diatas! 10. Kalau semua lagu diatas disukai penonton dan penanggap, sebutkan tiga lagu yang paling anda sukai! Nama Pemain 1 2 3 4 5 6 7 8 Faruk * Fredy * * * Hadi * * * Zaenal * * * Eko * * * Aries * * * Hayung * * * Totok * * *

11. Lagu mana yang paling religius menurut anda? Nama Pemain Katabna Ghannili Wanashabiya Magadir Rabby Faj’al

Faruk * Fredy * Hadi * Zaenal * Eko * Aries * Hayung * Totok *

12. Lagu mana yang paling tidak religius? Nama Pemain Saaltinar Magadiir Ana Habbaitak Wanashabiya Lainnya

Faruk * Fredy * Hadi * Zaenal * Eko * Aries * Hayung * Totok *

138 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

13. Kalau Al-Asyik memiliki kesempatan rekaman, gambus jenis apa yang ingin dimainkan? Nama Pemain Ja’fin Baladian Sarah Dhaifah Lainnya Faruk * Fredy * * * * Hadi * Zaenal * Eko * Aries * Hayung * * * * Totok * * * *

14. Menurut anda, apa yang paling disukai penonton dari penampilan Al-Asyik? Nama Pemain A B C D E F G Faruk * Fredy * Hadi * Zaenal * Eko * Aries * Hayung * Totok *

15. Kalau yang menonton Al-Asyik hanya ibu-ibu dan remaja putri, apa yang anda lakukan? Nama Terus pentas Mengganti Cari tahu Mencari Lainn Pemain lagu alasannya pemain ya perempuan Faruk * Fredy * Hadi * Zaenal * Eko * Aries * Hayung * Totok *

139 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

16. Acara apa yang paling mahal harga tanggapannya? Nama Pernikahan Kampanye Peresmian Kecamatan Lainnya Pemain dealer Faruk * Fredy * Hadi * Zaenal Tergantung lokasi dan acara Eko * Aries Sunnatan Hayung Tergantung permintaan dan tempat Totok Tergantung pengurus

17. Menurut anda apa alasan orang menanggap gambus? Nama Pemain Islami Harga Dari daerah Lainnya tapi terjangkau sendiri modern Faruk * Fredy Penngemar gambus Hadi * Zaenal * Eko * Aries * Hayung * Totok *

18. Kalau sama-sama dibayar, lebih suka ditanggap siapa? Nama Pemain Takmir Camat Masyara Parpol Bank Lainnya kat biasa Faruk * Fredy * Hadi * Zaenal * Eko * Aries * Hayung * Totok *

140 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

19. Ditanggap siapa yang paling tidak anda inginkan, meskipun dibayar? Nama Orang Orang Orang Parpol Polisi kyai Lainnya Pemain Kristen Cina Pakistan Faruk * Fredy * Hadi * Zaenal * * * Eko * Aries * Hayung * Totok *

20. Siapa penanggap yang paling anda inginkan, tapi belum pernah menanggap Al-Asyik? Nama Pemain Bupati Pemilik Kyai Lainnya Rekaman terkenal Faruk * Fredy * Hadi * Zaenal * Eko * Aries * Hanung * Totok *

141 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

142 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

143