IJSSE: Indonesian Journal of Social Science Education Volume 1, Nomor 1, Januari 2019

MERANTAU: SEBUAH PILIHAN ATAU KETERPAKSAAN? STUDI SUPIR ANGKUTAN KOTA PERANTAU ANGKOLA-MANDAILING DI KOTA BANDUNG

AZHAR RIYADI Mahasiswa Pascasarjana Antropologi UGM, Yogyakarta, JL. Bukasumur, Yogyakarta, Indonesia Email:

Abstract: Merantau: A Choice or Force? A Study of the Anggola-Mandailing Batak City Transport Driver in the City of Bandung. Life in the world of overseas certainly requires a lot of adaptation, especially regarding differences in cultural background. As a Batak Angkola- Mandailing certainly faces the issue of identity as a Batak who must be able to adapt to the dominant Sundanese culture in the city of Bandung. As a Batak, even though living abroad is still bound by the social system rather than with little concession. Choosing as a driver is the most possible choice because social networks are more likely. Life as a nomads is not the final choice but as a choice between, although not a few are also resigned because it is difficult to return to the area of origin.

Abstrak: Merantau: Sebuah Pilihan atau Keterpaksaan? Studi Supir Angkutan Perantau Kota Batak Anggola-Mandailing di Kota Bandung. Hidup dalam dunia perantauan tentu membutuhkan banyak adaptasi terutama menyangkut perbedaan latar belakang budaya. Sebagai seorang Batak Angkola-Mandailing tentu menghadapi persoalan identitas sebagai Batak yang harus mampu menyesuaikan dengan budaya Sunda yang dominan di Kota Bandung. Sebagai seorang Batak, walaupun tinggal di perantauan tetap terikat dengan sistem sosial dalihan na tolu dengan sedikit kelonggaran. Memilih sebagai supir merupakan suatu pilihan yang paling memungkinkan karena jaringan-jaringan sosialnya lebih memungkinkan. Hidup sebagai perantau bukanlah pilihan yang final melainkan sebagai pilihan antara, walaupun tidak sedikit juga yang pasrah karena sulit untuk kembali ke daerah asal. Kata Kunci: Supir Angkutan Kota, Perantau, Batak Angkola-Mandailing

PENDAHULUAN kehidupan yang lebih baik. Orang Batak di Orang Batak cukup dikenal sebagai perantauan biasanya hampir di streotipe- suku perantau, hingga tak mengherankan kan dengan berbagai macam profesi, jika orang Batak banyak ditemui di mulai dari pengacara, rentenir, tukang berbagai kota besar maupun kota kecil di tambal ban hingga supir angkutan kota. tanah air. Kehidupan yang dirasa keras di Sedikit banyak ada benarnya juga dengan daerah asal menjadi alasan sehingga argument tersebut, walaupun tidak ada harus merantau demi mendapatkan data yang mencatat tetapi memang jika

Azhar Riyadi: Merantau: Sebuah Pilihan atau Keterpaksaan? 35

IJSSE: Indonesian Journal of Social Science Education Volume 1, Nomor 1, Januari 2019 kita bepergian dengan menggunakan supir. Dalam kesehariannya, mereka angkutan umum di kota besar seperti masih menggunakan bahasa dan tutur Jakarta dan Bandung kita mungkin akan sapa Batak Angkola-Mandailing dalam terbiasa mendengar logat Batak yang berkomunikasi sesamanya. Walaupun keras dan khas tersebut. Atau juga jika memang sistem sosial orang Batak yang kita melihat pemberitaan baik di Televisi dikenal dengan “dalihan na tolu” memang ataupun media cetak terkait masalah sudah agak longgar dipraktikkan. Dalihan hukum misalnya, maka kita akan na tolu secara harfiah bermakna tungku menemukan nama-nama Batak yang yang memiliki tiga buah kaki, masyarakat bertindak sebagai pengacara dari pihak- batak melambangkan struktur sosialnya pihak yang bertikai tersebut. dengan alat untuk memasak yakni tunggu Orang Batak sendiri secara umum yang memiliki kaki tiga. Karena dalam terbagi atas beberapa sub-etnis yakni masyarakat Batak dikenal tiga unsur Toba, Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun penting dalam kehidupannya yaitu mora, serta Angkola-Mandailing (Andaya, 2002), kahanggi dan anak boru. namun diantara setiap sub-etnik itu Dasar pengelompokan dalihan na tolu biasanya ada pertalian marga satu didasarkan atas perkawinan dan garis dengan yang lain. Misalnya marga keturunan (Simanjuntak, 2006:100). Mora Pasaribu di Toba misalnya masih adalah istilah kepada kelompok pemberi dianggap berkerabat dengan marga istri (bruid gevers), (Sinaga, 2007: 16). Harahap di Angkola-Mandailing atau Dalam kehidupan masyarakat Batak dengan Damanik di Simalungun begitu Angkola-Mandailing, kedudukan mora juga dengan kelompok-kelompok marga sangat dihormati, karena posisinya lainnya, sehingga orang Batak tetap sebagai kelompok pemberi istri, sehingga meyakini bahwa mereka satu keturunun. mora adalah tempat meminta nasehat Bahasa yang digunakan oleh diantara dan petunjuk dalam masyarakat batak masing-masing sub-etnik juga sebenarnya Angkola-Mandailing. Anak boru adalah agak berbeda, bahasa Toba dengan kelompok penerima istri (bruid nemeers). Angkola-Mandailing sebenarnya cukup Dalam hubungan bermasyarakat, anak dekat, namun Toba dengan Karo dan boru akan sangat menaruh hormat Pakpak cukup jauh, sementara kepada moranya, dan sebaliknya mora Simalungun banyak kosa kata yang mirip akan senantiasa menyayangi anak dengan Toba tetapi cara penyampaianya borunya. Sedangkan dalam sebuah horja mirip dengan Karo. Di perantauan orang (pesta) dan kegiatan-kegiatan adat Toba kemudian diistilahkan sebagai lainnya, fungsi dari anak boru adalah “orang utara” sementara Angkola- sebagai parkobas atau pelayan. Mandailing sebagai “orang selatan”. Sedangkan dalam keadaan perselisihan, Daerah Dago bagian utara kota posisi anak boru adalah sebagai juru Bandung terdapat sebuah Terminal damai (Sinaga, 2007:15). Unsur ketiga angkutan dalam kota yang dilintasi dari dalihan na tolu adalah kahanggi yakni setidaknya beberapa rute angkutan, salah saudara dan semarga (Simanjuntak, satu rute angkutan kota tersebut adalah 2006:100). Walupun tidak memiliki marga rute Kalapa-Dago cukup banyak orang yang sama saudara seibu dan pareban Batak Angkola-Mandailing yang menjadi juga dimasukkan kepada kelompok

Azhar Riyadi: Merantau: Sebuah Pilihan atau Keterpaksaan? 36

IJSSE: Indonesian Journal of Social Science Education Volume 1, Nomor 1, Januari 2019 kahanggi. Kedudukan diantara kahanggi karena peneliti dengan para informan adalah setara sehingga dalam kehidupan memiliki latar belakang etnik yang sama, bermasyarakatnya adalah saling menjaga bahkan sebagian dari supir angkutan kota dan menghormati diantara sesama tersebut memiliki daerah yang sama kahanggi. Sedangkan dalam sebuah horja dengan peneliti. Walaupun tidak memiliki (pesta) adat, posisi kahanggi adalah kesulitan dalam hal berkomunikasi, suhut atau tuan rumah penyelenggara namun peneliti sedikit kesulitan untuk pesta. bekerja secara objekyif, unsur subyektif Berbicara mengenai orang Batak di sebagai sesama orang Batak tentu ada Bandung, mereka tetap dianggap sebagai dan disitulah yang saya rasakan sebagai kelompok etnik jika terjadi pelestarian salah satu seni menjadi seorang identitas sehingga memperlihatkan batas antropolog. perbedaan dengan kelompok lain (Barth, Pengamatan dan sejumlah wawancara 1998) dalam hal ini budaya Sunda. yang dilakukan pada minggu ketiga dan Pendefinisian identitas sendiri tidak lagi keempat Desember 2014 dan untuk ditentukan oleh tempat, karena seseorang melengkapi data ditambah dengan telah keluar dari kebudayaan asalnya, wawancara tambahan lewat telepon. sementara ditempat baru seseorang tersebut belum melakukan integrasi HASIL DAN PEMBAHASAN (Abdullah, 2006). Tulisan ini akan Kehidupan Rantau Supir mengulas bagaimana sekilas gambaran Dari Terminal ke Terminal: Dago dan kehidupan para supir angkutan kota Kebun Kalapa tersebut, para supir angkutan kota Sebagai kota besar, kota Bandung dan tersebut merupakan salah satu kelompok sekitarnya memiliki peluang ekonomi yang yang sudah tidak lagi hidup dalam budaya cukup besar, baik itu di sektor industri, asalnya dan sementara mereka juga perdagangan, jasa hingga pariwisata. belum berintegrasi dengan kebudayaan Industrialisi yang berkembang juga Sunda dengan pertanyaan (1) Bagaimana memberi peluang ekonomi yang lebih baik mereka mempraktekkan sebagai Batak tentu memberi daya tarik banyak orang Angkola-Mandailing di dunia Rantau; (2) untuk melakukan urbanisasi serta mencari Bagaimana para supir menentukan kesempatan ke kota-kota besar (Kitagawa pilihan-pilihan profesi di dunia Rantau?; dalam Koyano (ed), 1996) seperti halnya dan (3) Bagaiamana mereka memandang kota Bandung. Di samping itu, kondisi dunia rantau? alam yang masih sejuk membuat kota ini

tetap nyaman untuk dijadikan tempat METODE PENELITIAN tinggal. Padatnya penduduk kota dan Penelitian ini merupakan penelitian cukup tingginya mobilitas warganya kualitatif dengan pendekatan etnografi, membuat keberadaan angkutan umum peneliti ikut terlibat dalam keseharian tetap penting, walaupun harus diakui kehidupan para informan yakni sebagai semenjak biaya kredit sepeda motor lebih supir angkutan kota. Wawancara terjangkau telah memberi dampak yang dilakukan di sela-sela para supir menarik cukup besar terhadap pengguna jasa dan atau beristirahat. Tentu penelitian angkutan kota menjadi lebih sedikit, seperti ini memiliki kesulitan tersendiri,

Azhar Riyadi: Merantau: Sebuah Pilihan atau Keterpaksaan? 37

IJSSE: Indonesian Journal of Social Science Education Volume 1, Nomor 1, Januari 2019 seorang supir Bang SH menuturkan tidak narik (bekerja) atau yang baru bahwa “inda taromo be pambaen ni gok selesai juga lebih memilih bercengkrama na kareta i sannari” yang diterjemahkan di sekitar Terminal dibanding langsung kira-kira menjadi “sudah tidak dapat pulang ke rumah. Sehingga suasana diandalkan lagi (penghasilan) akibat Terminal cukup ramai dengan keberadaan banyaknya sepeda motor itu sekarang”, supir tersebut. (Wawancara, 12/12/2014). Namun Panjang rute yang ditempuh oleh keberadaan angkutan umum di jalanan angkutan kota jurusan Kalapa-Dago kota Bandung seperti tidak berkurang, sendiri sekitar 11 km dari Terminal Dago karena begitu banyaknya jumlah hingga Terminal Kebun Kalapa, sehingga angkutan umum yang ada. dalam satu rit (satu kali pulang pergi) Dago merupakan daerah yang terletak harus menempuh sepanjang 22 km. di bagian utara kota Bandung, Dago Sebagai titik tengah (setengah sendiri merupakan nama lain untuk perjalanan) berada di Jalan Merdeka yakni daerah di sepanjang Jalan Ir. Juanda di daerah sekitar Mall BIP, jika ada supir Bandung. Di daerah atas Jalan Dago ini yang tidak melanjutkan perjalanan hingga terdapat sebuah Terminal yang disebut ke Kebun Kalapa dan memutar juga sebagai Terminal Dago. Terminal kenderaannya kembali bertolak ke Dago Dago merupakan Terminal angkutan maka akan dihitung sebagai setengah rit dalam kota, kondisinya juga tidak seperti perjalanan. Sementara itu, jumlah armada Terminal yang sering dibayangkan yakni angkutan jurusan Kalapa-Dago sekitar kehidupan yang keras dan banyak 300 buah, dengan armada sebanyak itu preman. Bentuk Terminalnya sendiri jika saja disusun dari Dago hingga Kebun hanya terdiri satu Bangunan kantor dan Kalapa dengan panjang mobil sekitar 3 m sebidang tanah lapang yang sekelilingnya maka hampir setiap 12 m kita akan rumah yang sebagian difungsikan menemukan angkutan kota jurusan sekaligus sebagai warung ataupun kios. Kalapa-Dago lagi. Sementara itu, di dalam Di warung-warung makan yang terdapat perjalanan angkutan kota jurusan Kalapa- di sekitar Terminal itulah para supir Dago harus bersaing dengan beberapa angkutan kota (angkot) makan dan angkutan jurusan lain dalam beristirahat sambil menunggu giliran. mendapatkan penumpang, dari terminal Terdapat beberapa rute atau jurusan hingga Simpang Dago mereka harus yang menjadikan Terminal Dago sebagai bersaing dengan jurusan Riung-Dago, tujuan akhir maupun sebagai titik awal Stasiun-Dago dan Ciroyom-Ciburial, keberangkatan angkutan kota yakni, namun saingan terberat rute ini adalah jurusan Kalapa-Dago, Stasiun-Dago, Riung-Dago. Sementara dari Dago Riung-Dago, dan Caringin-Dago serta menuju BIP, jurusan Kalapa-Dago akan Ciroyom-Ciburial tetapi supir rute Kalapa- bersaing dengan jurusan Stasiun-Dago Dago bisa dibilang sebagai penguasa sedangkan dari BIP menuju Dago Terminal. Armada Kalapa-Dago yang (sebaliknya) penumpang biasanya lebih cukup banyak sementara rute yang cukup memilih Kalapa-Dago. Untuk rute Mall BIP pendek membuat mereka lebih santai dan menuju Kebun Kalapa dan sebaliknya lebih sering di Terminal dibanding rute mereka akan bersaing dengan angkutan yang lain. Biasanya supir yang sedang kota jurusan Kalapa-Ledeng.

Azhar Riyadi: Merantau: Sebuah Pilihan atau Keterpaksaan? 38

IJSSE: Indonesian Journal of Social Science Education Volume 1, Nomor 1, Januari 2019

Sementara itu, Kebun Kalapa sendiri jurusan tersebut. Pada jurusan Stasiun- merupakan daerah yang hampir persis Dago tersebut hanya diisi oleh para supir berada di tengah-tengah kota Bandung, yang beretnis Sunda saja, walaupun ada dahulu sebelum diBangunnya Terminal pembatasan menjadi Supir, namun untuk Lewi Panjang, Kebun Kalapa merupakan menjadi pemilik mobil angkutan kota terminal utama kota Bandung. Namun sendiri masih dibolehkan dimiliki oleh sejak dipindah, eks-terminal tersebut etnis pendatang. Ada sekitar 5 buah mobil berubah menjadi pusat perbelanjaan angkutan kota jurusan Stasiun-Dago yang dengan nama ITC Kebun Kalapa, dan dimiliki oleh orang Batak Angkola- keberadaan terminalnya sendiri berubah Mandailiing. fungsi menjadi terminal dalam kota Terkait tempat tongkrongan semata, tetapi hampir semua kawasan di (beristirahat), orang Batak Angkola- kota Bandung memiliki rute ke Kebun Mandailing memiliki tongkrongan di Kalapa. Jarak dari Kebun Kalapa ke Alun- sebuah warung nasi “Bu Haji” sebuah alun kota Bandung berjarak sekitar 1 km, warung nasi masakan Cirebon, warung dan pada jarak tersebut terdapat nasi “Bu Haji’ tersebut yang sebelumnya beberapa pusat perbelanjaan yang cukup adalah warung nasi masakan khas besar, sehingga kawasan Kebun Kalapa Angkola-Mandailing (Padang Sidempuan) hingga Alun-alun merupakan kawasan yang dikelola oleh bermarga Batubara yang senantiasa selalu ramai dari pagi yang berasal dari Pintu Padang Tapanuli hingga sekitar pukul 10 malam baru mulai Selatan dan kemudian beralih kepada terasa sepi. Sedangkan para supir jurusan Nasution yang berasal dari Sibuhuan Kalapa-Dago biasanya lebih memilih Padang Lawas namun sudah menikah beristirahat di Terminal Dago dibanding dengan orang Bandung. Karena posisi beristirahat di kawasan Kebun Kalapa. rumah makan tersebut sudah cukup lama Para supir angkutan kota rute Kalapa- dikelola oleh orang Batak sehingga para Dago sebenarnya lebih didominasi oleh supir enggan berpindah, ditambah oleh orang Sunda, orang Batak Angkola- “Bu Haji” yang menjadi pengelola baru Mandailing sendiri mungkin pada kisaran hampir tidak memberi perubahan- dua puluh hingga tiga puluh orang. perubahan bentuk rumah makannya, Namun karena orang Batak Angkola- termasuk tulisan “Rumah Makan Padang Mandailing memiliki tongkrongan (titik Sidempuan” masih tetap tertera seperti kumpul) yang sama sehingga keberadaan sebelumnya. Sehingga para supir Batak mereka terlihat lebih banyak. Sementara tersebut tetap merasa nyaman untuk itu jurusan lain yang ada di Terminal berkumpul disana. Selain di warung nasi Dago, orang Batak Angkola-Mandailing “Bu Haji” para supir juga biasanya sangat sedikit ditemukan, hanya ada 2 memanfaatkan mobil-mobil yang sedang hingga 3 orang yang menjadi supir pada tidak jalan atau beristirahat sebagai jurusan Riung-Dago, namun orang Batak tempat berkumpul atau juga tak jarang Toba cukup banyak juga yang menjadi memanfaatkan teras yang terdapat pada supir di jurusan tersebut. Khusus untuk Bangunan kantor pengelola terminal. jurusan Stasiun-Dago para etnis Dari pergaulan di Terminal tersebutlah pendatang termasuk orang Batak tidak kemudian perantau dari Sumatera ini diperkenankan menjadi supir pada kemudian berbaur dengan penduduk asli

Azhar Riyadi: Merantau: Sebuah Pilihan atau Keterpaksaan? 39

IJSSE: Indonesian Journal of Social Science Education Volume 1, Nomor 1, Januari 2019 atau dengan perantau dari Sumatera lainnya yang berbeda suku. Karakter kota Mempraktekkan Dalihan Na Tolu di Bandung yang mengharuskan orang Jalanan untuk bisa atau setidaknya mengerti Sebagai sebuah sistem sosial dalam berbahasa Sunda kemudian membuat masyarakat Batak, adat dalihan na tolu para supir tersebut juga harus belajar senantiasa melekat pada diri orang-orang bahasa Sunda, tentu saja bahasa Sunda Batak. Dalam memperkenalkan diri yang diucapkan umumnya masih biasanya seorang Batak akan tergolong pada bahasa Sunda yang cukup menyebutkan marga terlebih dahulu baru kasar secara tingkatan bahasa serta kemudian menyebutkan namanya intonasi yang lebih keras jika dibanding (Harahap dan Siahaan, 1987). Begitu pula dengan penutur bahasa Sunda yang lain. ketika menjawab kampungnya, seorang Dikalangan sesama orang Batak sendiri, Batak akan memberikan dua pergaulan yang berlangsung cukup kemungkinan jawaban yakni tempat egaliter, bahkan prinsip-prinsip yang tinggal orang tuanya atau juga tempat dikenal dalam “dalihan na tolu” itu juga asal marga mereka. Tak terkecuali di cukup longgar. Misalnya saja jika dilihat kalangan supir angkutan umum jurusan dari garis kekerabatannya mereka Kalapa-Dago, mereka tetap menjalankan memiliki hubungan mora (pemberi adat dalihan na tolu, tetapi adat yang perempuan) dengan anak boru (penerima mereka jalankan lebih longgar dibanding perempuan), rasa hormat yang di daerah asalnya. Pola hubungan antara ditunjukkan tidak seperti yang harus anak boru dengan mora misalnya sangat mereka lakukan di huta (kampung) asal longgar jika dibanding dengan di daerah mereka. asal, bahkan pola-pola hubungan tersebut Bahasa yang mereka gunakan antar lebih terasa longgar jika dibanding sesama mereka adalah bahasa Batak dengan dunia profesi lain. Seperti Angkola-Mandailing, dengan dialek yang ungkapan HP (26) “go di dalan Bang, berbeda-beda sesuai asal mereka di bona nanggi potting be mora, dipotong sajo pasogit. Setidaknya ada beberapa dialek torus” (Des 2014) yang kira-kira artinya yang terdapat di daerah asal mereka, “kalau di jalan Bang, sudah ga terlalu yakni Padang Bolak, Sidempuan, penting lagi mora (pihak yang lebih Mandailing serta Sibuhuan-Sosa. Diantara tinggi), langsung dipotong (didahului) dialek-dialek tersebut terkadang memiliki saja”. kosa kata yang berbeda dalam Begitu pula ketika ada orang yang menyebutkan sesuatu, perbedaan baru datang, mereka yang baru datang tersebut seringkali menjadi bahasan biasanya akan menyampaikan sapaan bahkan menjadi bahan olokan diantara terlebih dahulu hanya berdasarkan usia mereka. Perbincangan yang terjadi di semata, misalnya jika terlihat lebih tua Terminal Dago tersebut juga bisa maka dipanggil uwak (paman yang lebih diibaratkan dengan suasana angkutan tua dari orang tua), jika yang setengah kota itu sendiri yakni saling memotong baya dipanggil uda (paman yang lebih dan menerabas, tetapi mereka akan tetap muda dari orang tua) dan jika masih kompak ketika mereka menghadapi cukup muda dipanggil aBang. Tetapi persoalan bersama. setelah memperkenalkan diri maka kata-

Azhar Riyadi: Merantau: Sebuah Pilihan atau Keterpaksaan? 40

IJSSE: Indonesian Journal of Social Science Education Volume 1, Nomor 1, Januari 2019 kata sapaan tersebut akan berubah bentuk kepercayaan atau bahkan sebuah tergantung pola hubungan marga lisensi dan pengakuan seseorang supir diantara mereka. Maka bisa saja berubah yang baru belajar dianggap layak menjadi menjadi tulang (saudara ibu), amang boru supir angkutan kota. Jam terBang (suami bibi dari ayah) atau menjadi seorang supir juga menentukan status panggilan ipar, walaupun terjadi diantara para supir, seorang supir bis perubahan sapaan dalam berkomunikasi antar pulau seperti ALS misalnya ketika tetapi hubungan senioritas di jalanan datang berkunjung ke terminal maka tetap menjadi sebuah hal yang penting supir-supir yang lain akan memberikan dalam profesi supir angkutan kota sebuah rasa hormat karena dalam tersebut. pandangan para supir angkutan kota Banyak persoalan yang terjadi di tersebut,profesi supir lintas pulau jalanan kemudian akan dibawa ke dalam memerlukan tingkat kesulitan dan pembicaraan di warung tempat tantangan yang lebih tinggi dibanding berisitirahat para supir tersebut. Mereka yang merekahadapi sehari-hari di jalanan akan membahas apapun yang mereka kota. Bahkan ketika mereka mendapatkan alami selama melakukan aktivitas mencari penumpang sesama supir dan orang penumpang, cerita-cerita tersebut tersebut mengajak bercengkrama maka biasanya akan dilebih-lebihkan dari biasanya para supir angkutan tersebut kejadian sebenarnya, hal ini adalah trik di akan memberikan rasa hormat dalam antara mereka untuk memperlihatkan bentuk tidak menerima ongkos siapa yang lebih hebat sebagai supir. penumpang tersebut. Suasana saling intrik merupakan hal yang Terhadap orang-orang baru atau di lumrah kepada siapapun, tidak peduli luar orang-orang yang kurang mereka mereka itu sebagai mora, kahanggi atau akrabi sehari-hari, para supir tersebut anak boru, kecuali memang dalam akan memberikan rasa hormat yang beberapa kondisi misalnya sebagai mora cukup baik. Dalam hubungan dengan langsung seperti tulang kandung, saudara orang luar tersebut, mereka akan ipar kandung atau kakak kandung dan mempraktekkan adat-adat dalihan na tolu sebagainya. Kembali lagi, yang paling tersebut sedikit lebih kaku. Begitu pula, dihormati oleh sesama supir biasanya ketika misalnya seorang supir sedang adalah senior langsung, seperti guru atau bekerja kemudian mendapatkan seorang orang yang memandu terlebih dahulu penumpang yang menggunakan bahasa bagaimana agar seseorang bisa menjadi daerah Batak khususnya Batak Angkola- seorang supir baik dari menyetir hingga Mandailing, para supir-supir tersebut menjelaskan ciri-ciri penumpang serta biasanya akan diam dan sebisa mungkin cara mencari penumpang dan titik-titik tidak mengeluarkan kata-kata. Karena penumpang di sepanjang jalan. bagi para supir tersebut, jika dia Selain senior dalam artian guru, supir memperlihatkan identitasnya maka dia senior yang pertama kali atau diawal-awal merasa tidak pantas untuk menerima memberikan kesempatan jalan atau ongkos dari sesama orang Batak, namun menarik angkutan kota adalah orang yang di sisi lain mereka juga menyadari bahwa harus dihormati dan disegani. Karena pekerjaan mereka bukanlah pekerjaan kesempatan tersebut merupakan satu amal tetapi juga merupakan sebuah

Azhar Riyadi: Merantau: Sebuah Pilihan atau Keterpaksaan? 41

IJSSE: Indonesian Journal of Social Science Education Volume 1, Nomor 1, Januari 2019 profesi yang harus mendapatkan uang, ke terminal ini, dikenalkan ke Bang sehingga diam dan seolah-olah tidak Badol…cita-citanya dulu memang mau mengerti adalah cara yang lebih aman sambil kuliah juga…hampir dua bulan dalam menerima ongkos penumpang dulu belajar (menarik angkutan kota), tersebut. Bang Darul dulu yang mengajarinya), (Desember 2014). Supir Angkutan Kota: Sebuah Pilihan atau Keterpaksaan? Akhirnya setelah SP diterima di PTN dia SP (31) waktu pertama kali datang ke masih tetap melanjutkan pekerjaan kota Bandung dari kampung halamannya sebagai supir tembak. Dua tahun di Tapanuli Selatan dengan harapan bisa kemudian SP kedatangan dua adiknya mendapatkan pekerjaan yang bisa yakni HB dan HP, HB yang tiba di dikerjakan sambil kuliah. Sesampainya di Bandung setahun lebih awal dibanding kota Bandung, kemudian SP menemui HP, oleh SP adiknya HB tidak kerabatnya di daerah Dipati Ukur, namun diperkenankan mengenal dunia angkutan kerabatnya kurang berkenan kota. Sementara HP yang awalnya ingin menerimanya dan akhirnya kuliah tetapi karena tidak diterima di PTN, memperkenalkan dan menitipkannya lagi HP kemudian dititipkan kepada kepada orang satu daerah yang bekerja sepupunya di Subang membantu sebagai supir angkutan kota jurusan berdagang pakaian. Setahun di Subang, Kalapa-Dago. Setelah mulai kenal HP kembali ke Bandung dan diterima di beberapa orang yang masih sebaya sebuah kampus negeri dengan jurusan dengannya kemudian SP memutuskan tekstil, sembari menjadi mahasiswa HP tinggal bersama supir-supir lajang pun akhirnya ikut menjadi supir tembak. lainnya. SP menjadi supir setelah hampir Berbeda dengan SP, WS (26) memang dua bulan menjadi kernet (kondektur) dari awal kedatangannya ke kota sembari belajar menyetir dan mencari Bandung sudah mempersiapkan diri untuk penumpang. Setelah bisa menyetir SP menjadi supir angkutan kota. Karena kemudian memilih sebagai supir tembak tidak nyaman di kampung akhirnya dia agar bisa sambil belajar sebagai persiapan memutuskan untuk merantau ke kota ujian masuk PTN untuk meneruskan Bandung setelah mendengar saran dari keinginan awalnya yakni kuliah, SP kakak sepupunya yang sebelumnya menuturkan pernah menjadi supir angkutan kota jurusan Kalapa-Dago. WS menyadari “parjolo-jolo tu uwak an do au, tapi pendidikannya yang tidak lulus SMA na soppat marborngin disi, dipataru ia tersebut tidak bisa memilih pekerjaan lain, ma au tu terminal on, dipatandahon ia seandainya saja dia memiliki ijazah SMA tu Bang Badol…angan-anganku pe dia bisa meminta bantuan saudaranya najolo memang giot sambil kuliah yang bekerja sebagai sales promotion boy do…hampir ma dua bulan najolo na (SPB). WS menuturkan “Iba baya nanggi marisajari, Bang Darul do baya na dong sikola niba, makana manarik sajo mangajarina” (Pertama-tama aku ke doma” (Des 2014), terjemahannya kira- rumah uwak, tapi tidak sempat kira “Saya tidak punya sekolah, makanya menginap disana, diantar uwaklah aku Cuma bisa narik”Sehingga menjadi supir

Azhar Riyadi: Merantau: Sebuah Pilihan atau Keterpaksaan? 42

IJSSE: Indonesian Journal of Social Science Education Volume 1, Nomor 1, Januari 2019 adalah pilihan yang paling rasional sekolah. Lulus SMK, TKS pulang ke baginya, setelah kurang lebih 3 bulan kampung dan menjalankan usaha bertani, belajar akhirnya WS bisa mengemudi tak betah menjadi petani TKS memilih mobil dan berbekal kiriman dari kampung kembali ke Bandung untuk kuliah dan akhirnya WS pun mengurus SIM sebagai akhirnya diterima pada jurusan pertanian salah satu kelengkapan menjadi supir di sebuah kampus negeri. Dalam agar lebih aman di jalan raya. Setahun posisi sebagai mahasiswa, TKS tetap menjadi supir angkutan kota, WS menjadi supir tembak dan kemudian TKS kemudian mendapat tawaran sebagai merintis usaha travel dengan posisi TKS supir pribadi dari seorang supir senior di sebagai pengelola sekaligus menjadi Terminal Dago. WS pun harus banyak supirnya. TKS menuturkan “sian SMP ma melakukan penyesuaian pola hidup dari najolo Bang na marsiajar marmotori, pola hidup lebih bebas sewaktu menjadi manyapu-nyapu jolo sappe bisa manarik” supir hingga menjadi lebih teratur ketika terjemahannya “dari SMP dulu Bang menjadi supir pribadi. Tetapi kini HB belajar mengendarai motor (maksudnya mengatakan bahwa WS sudah kembali ke mobil), menyapu-nyapu dulu sampai bisa kampungnya setelah merasa menjadi menarik angkutan kota” supir tidak mengalami peningkatan, Selain itu, terdapat pula cerita tentang (Wawancara, 13/06/2016). RO, RO (33) sebelumnya bekerja sebagai Lain lagi ceritanya dengan TKS, TKS supir bis Metromini di kota Jakarta, (28) sejak SMP sudah tinggal di kota dengan alasan memiliki sejumlah masalah Bandung bersama uwaknya. Ayah TKS di Jakarta RO akhirnya memutuskan merupakan orang Batak yang besar di hijrah ke kota Bandung. Di Bandung RO Bandung tetapi menikah dengan menemui teman satu kampungnya dari perempuan asal kampung orang tuanya di Tapanuli Selatan yang juga bekerja Labuhanbatu. Sempat berpindah-pindah sebagai supir angkutan kota jurusan antara kampung dengan Bandung, orang Kalapa-Dago. Karena RO memiliki bekal tua TKS kemudian menetap di kampung. yang cukup sebagai supir yakni Sewaktu di Bandung ayah TKS berprofesi kemampuan mengemudi dan memiliki sebagai supir Kalapa-Dago, ayahnyapun SIM umum, maka tidak sulit baginya kemudian mengenalkan TKS ke teman- mendapatkan mobil yang bisa dibawa. temannya yang masih aktif sebagai supir. Namun menjadi supir angkutan di Ikatan kultural terhadap orang-orang di Bandung memang cukup berbeda dengan terminal, mendorong TKS sering di Jakarta, di Jakarta karena terbiasa berkunjung ke Terminal Dago. Di terminal membawa Metromini yang sering kebut- TKS mulai berkenalan dengan dunia supir kebutan, RO pun kemudian melakukan angkutan kota, dimulai dengan belajar hal yang hampir sama dengan di Jakarta menyapu-nyapu mobil yang akan aplus sehingga RO kesulitan mendapatkan (berganti supir), hingga akhirnya TKS bisa penumpang dan tentu saja diawal-awal mengemudi. Tamat SMP, TKS menjadi Supir di Bandung tidak memiliki melanjutkan pendidikan ke SMK pendapatan yang cukup untuk dipakai Pertanian, sembari sekolah TKS juga makan sehari-hari. RO menyampaikan menjadi seorang supir tembak yang rutin “namaolan di son na manarik i, laju-laju mengemudi angkutan kota sepulang dari iba lewat panumpangna” terjemahannya

Azhar Riyadi: Merantau: Sebuah Pilihan atau Keterpaksaan? 43

IJSSE: Indonesian Journal of Social Science Education Volume 1, Nomor 1, Januari 2019

“susah sekali di sini (Bandung) yang selama setengah hari, batas pergantian menarik angkutan kota itu, kalau terlalu biasanya dilakukan pada pukul 13.00 kencang sering kelewatan setiap harinya. Mereka rata-rata penumpangnya”. mendapatkan enam rit setiap hari. Sewa Seorang yang baru datang dari huta yang harus mereka bayarkan berkisar Rp. biasanya tidak bisa langsung menjadi 50.000,- hingga Rp. 70.000,- setiap supir, walaupun sudah bisa mengemudi setengah harinya(1 Shift), dengan biaya tetapi harus belajar rute dan kondisi di BBM sekitar Rp. 90.000,- untuk setiap jalannya terlebih dahulu. Biasanya bagi paruh harinya. Pungutan yang harus yang sudah bisa mengemudi harus mereka bayarkan antara lain retribusi menjadi kernet (kondektur) terlebih sekitar Rp. 2.000,-, uang iuran koperasi dahulu selama beberapa hari. Sedangkan angkutan Rp. 3.000,- serta pungutan- bagi yang belum mungkin hampir sebulan pungutan dari calo jika mereka harus hanya menjadi kernet terlebih dahulu mengetem (menunggu penumpang dalam sambil belajar mengemudi pada waktu waktu yang agak lama). Menjadi seorang tengah malam setelah jalanan sepi. supir memang bukanlah kemauan Selama orang tersebut belum bisa mereka, namun menjadi supir angkot mencari uang sendiri, biasanya dia adalah pilihan paling realistis. Mereka mendapatkan makan dari teman- hanya butuh belajar beberapa bulan, temannya yang sudah menjadi supir kemudian meminta uang ke kampong dengan cara menjadi kernet pada untuk mengurus SIM. Bagi yang bisa beberapa orang dengan berselang hari. mengatur uang dengan baik mereka bisa Setelah bisa mengemudi dan belum mencicil mobil angkutan kota bekas memiliki SIM, si calon supir tersebut kemudian meremajakannya kembali. kemudian menjadi supir tembak. Supir tembak bekerja di waktu supir batangan Memandang Dunia Rantau (tetap) sedang beristirahat, biasanya Orang Batak Angkola-Mandailing waktu yang diberikan kepada supir Mendiami daerah induk Tapanuli bagian tembak itu satu hingga dua rit (perjalanan Selatan (Pelly, 1998:44) yang meliputi bolak-balik). Dalam satu rit seorang supir Kabupaten Tapanuli Selatan, Mandailing tembak harus menyetor sebesar Rp. Natal, Padang Lawas Utara, Padang 35.000,- (harga BBM Rp.6.500,-/liter), Lawas, Kota Padang Sidempuan. Selain rata-rata pendapatan yang dalam satu rit itu, orang Batak Angkola-Mandailing juga di waktu yang cukup ramai sekitar Rp. sudah sejak lama mendiami daerah pantai 50.000,- hingga Rp.70.000,-, pada saat timur Sumatera Utara terutama daerah sepi terkadang supir tembak tidak mampu Labuhanbatu dan juga cukup banyak membayar setoran. Selisih dari yang menetap di Kota Medan yang pendapatan itulah yang kemudian berpenduduk asli orang Melayu. Migrasi menjadi penghasilan supir tembak, besar-besaran orang Batak Angkola- namun biasanya jika pendapatannya tidak Mandailing ini adalah sejak dibukanya mencapai setoran supir batangan tidak perkebunan Belanda di bagian timur akan memaksa setorannya. Sumatera Utara ini. Bona Pasogit (tanah Sementara itu seorang supir batangan leluhur) orang Angkola-Mandailing ini akan mendapatkan jatah mengemudi

Azhar Riyadi: Merantau: Sebuah Pilihan atau Keterpaksaan? 44

IJSSE: Indonesian Journal of Social Science Education Volume 1, Nomor 1, Januari 2019 terdiri dari padang dan daerah perbukitan melakukan migrasi hingga ke luar pulau Bukit Barisan, di bagian barat terdapat seperti Pulau Jawa bahkan semenanjung pantai yang berhadapan dengan Samudra Malaysia (Harahap dan Siahaan,1987). Hindia. Sehingga mata pencaharian yang Secara umum orang Batak sangat didapati adalah bertani sawah, berkebun mencintai tanah kelahirannya, kecintaan karet dan berkebun sawit. Pertanian terhadap tanah leluhur tersebut sawah biasanya sudah memiliki sistem diekspresikan dalam banyak hal, seperti irigasi yang memadai, mereka bisa panen lagu misalnya, sebuah lagu yang dua kali dalam setahun. Selain bertani dinyanyikan oleh Viktor Hutabarat yakni sawah juga dengan dengan pertanian berjudul “O.. Tano Batak” yang artinya huma biasanya yang terletak di pinggir O..Tanah Batak, begitu juga di kalangan sungai. orang Angkola-Mandailing sebuah lagu Di daerah Padang Sidempuan terdapat yang dinyanyikan oleh Mariati berjudul juga petani salak, sedangkan di Sipirok “Oh.. Mandailing”. Secara umum kedua juga terkenal dengan kopi. Walaupun di lagu ini menceritakan bagaimana bagian barat terdapat pantai, namun kecintaan dan kerinduan seseorang orang Angkola-Mandailing tidak banyak terhadap tanah leluhurnya dan tanah yang hidup sebagai nelayan. Daerah kelahirannya. Padang Bolak di kabupaten Padang Lawas Di kalangan orang Batak Angkola- Utara yang daerahnya berupa padang Mandailing juga dikenal Willem Iskandar, yang cukup luas masih terdapat yakni seorang guru dan juga pujangga peternakan yang pengelolaannya tentu Batak Angkola-Mandailing, dalam banyak saja sangat tradisional. Hewan yang karyanya bercerita tentang bagaimana diternakkan biasanya sapi dan kerbau. orang Angkola-Mandailing agar bisa Kepemilikannya bisa beragam bentuk, ada terlepas dari kebodohan dan yang memelihara (beternak) sendiri dan keterbelakangan (Rodgers, 2002), Willem ada yang memelihara milik orang lain Iskandar sendiri sempat mendirikan dengan sistem bagi hasil. Mereka yang sebuah sekolah serta menempuh menjadi peternak dengan sistem bagi pendidikan hingga negeri Belanda dan hasil tadi disebut sebagai Parmahan meninggal disana. Sewaktu Raja Inal (penggembala). Namun mungkin Siregar menjadi Gubernur Sumatera Utara sekarang jumlah hewan ternak sudah (1988-1998), beliau sempat membuat mulai berkurang akibat dibukanya padang sebuah program yang menghimpun tadi menjadi kebun sawit dan karet. sumberdaya-sumberdaya orang Batak di Kondisi kehidupan dan kondisi alam perantauan lewat program “Marsipature yang terdapat di daerah Tapanuli Hutana Be” yang artinya “MemBangun mendorong orang-orang Batak melakukan Desanya Masing-masing” (Harahap dan migrasi keluar dari bona pasogitnya Siahaan,1987) program tersebut cukup (kampung halamannya). Pada tahap awal sukses dan memberi kontribusi besar migrasi yang dilakukan masih ke daerah dalam pemBangunan Sumatera Utara. Sumatera Timur, namun seiring Setelah kita mengulas bagaimana perkemBangan kemajuan pemBangunan kecintaan orang Batak terhadap kampung dan terlepas dari keterisoliran, orang- halamannya, kini kita kembali melihat orang Batak Angkola-Mandailing banyak bagaimana orang-orang Batak Angkola-

Azhar Riyadi: Merantau: Sebuah Pilihan atau Keterpaksaan? 45

IJSSE: Indonesian Journal of Social Science Education Volume 1, Nomor 1, Januari 2019

Mandailing yang hidup dalam dunia sejak tahun 2014 juga menuturkan bahwa angkutan kota jurusan Kalapa-Dago “Au Jar wajib mulak do on…Si Ahape tersebut memandang dunia rantaunya? husapai do parjolo ra do Ia sanga inda Jika kita lihat pandangan para supir-supir tinggal di hitaan” yang terjemahannya tersebut, sebagian dari mereka kira-kira “Aku Jar wajib pulang ini… Si menganggap bahwa dunia rantau Anu juga (maksudnya istrinya) kutanya hanyalah tempat sementara dan setelah terlebih dahulu apakah dia mau atau tidak memiliki bekal yang cukup mereka tinggal di kita (kampung) sana”. berharap dapat kembali lagi ke kampung Sedangkan sebagian supir lagi halamannya. Seperti Bang BS (39), Bang memandang bahwa masa depan mereka BS sendiri hampir 20 tahun sudah adalah kehidupan di perantauan, sebab menjadi supir Kalapa-Dago, dia merantau kampung halaman sudah tidak sejak masih lajang kemudian ketika akan memberikan mereka kehidupan lagi. menikah Bang BS dinikahkan dengan Seperti misalnya Pak UN, Pak UN (50) gadis satu kampungnya di Sumatera sudah sangat lama tinggal di kota Utara dan hingga kini sudah memiliki 2 Bandung, Pak UN juga sudah menikah orang anak. Bang BS sendiri termasuk dengan orang Sunda. Pak UN menuturkan sebagai orang yang sukses dalam usaha bahwa di kampungnya di daerah Padang angkutan kota, berbekal tabungan dan Lawas sudah tidak memberi harapan lagi, bantuan dari kampungnya dia bersama Pak UN sendiri pernah tinggal beberapa temannya Supir yang lain patungan tahun di Padang Lawas namun karena mencicil mobil. Setelah beberapa tahun tidak memiliki perkembangan yang baik mobil Bang BS berkembang menjadi 3 maka akhirnya Pak UN kembali ke buah, di samping itu Bang BS juga sudah Bandung dengan membuka usaha warung memiliki aset sekitar 2 hektar kebun karet dan setelah itu tetap menggeluti profesi di kampungnya. sebagai supir angkutan kota Jurusan Ketika ditanyakan terkait Kalapa-Dago. Pak UN sempat berujar pandangannya terhadap dunia rantau “nanggi lalu au di huta be, nanggi dapot Bang BS menjawab “Go Iba tong kehe, hangoluan disi be” yang terjemahannya sugari go dung sukses hagiotna mulak do kira-kira “sudah tidak bisa lagi aku di ulaki tu huta…boti nanggi adong be kampung, sudah tidak dapat kehidupan harapan na mar angkot on”(Des 2014), disana lagi”. Selain Pak UN, terdapat juga jika diterjemahkan kira-kira menjadi beberapa supir yang lain mengalami hal “Kalau saya sih, seandainya sudah sukses seperti itu misalnya Bang DB (35) bang harapannya kembali ke kampung… RL (36) yang juga kembali ke Bandung lagipula sudah tidak ada harapan (masa karena tidak mendapatkan pencaharian depan) lagi dalam usaha angkot”. Selain yang lebih baik di kampung halaman. Bang BS para supir-supir yang masih Selain Pak UN, DB dan RL yang muda seperti SP, HP, WS dan TKS juga memang pernah kembali ke Sumatera berharap demikian. Mereka juga dan menetap dalam jangka waktu yang mengharapkan bahwa suatu saat mereka cukup lama di sana, dan karena bisa menikmati masa depan bersama mengalami kegagalan maka kembali ke kerabat-kerabat yang lain di kampung Bandung. Terdapat juga RB, RB (33) yang halaman. Bahkan SP yang sudah menikah menikah dengan orang Bandung ini belum

Azhar Riyadi: Merantau: Sebuah Pilihan atau Keterpaksaan? 46

IJSSE: Indonesian Journal of Social Science Education Volume 1, Nomor 1, Januari 2019 pernah merasakan hidup dan menetap di perantauan seringkali tidak kembali di kampung asalnya di Tapanuli memungkinkan bagi mereka untuk Selatan. Setelah menikah RB menyadari menjalankan adat maupun prinsip bahwa tinggal di Bandung merupakan “dalihan na tolu”, tetapi bahasa Batak pilihan yang paling realistis, walaupun sebisa mungkin akan terus mereka memang secara pribadi RB mengakui pergunakan di perantaun mereka. tidak menutup kemungkinan kembali jika Para supir angkutan kota tersebut memang memiliki peluang yang memiliki dua pandangan terhadap dunia menjanjikan di kampung atau setidaknya perantauan yang sekarang mereka jalani, di kota Padang Sidempuan. Dia sebagian dari mereka menganggap menuturkan “untuk saat on, di Bandung bahwa menjadi supir angkutan kota dan ma jo dipikirkon, go kira-kira adong rasoki tinggal di Kota Bandung hanyalah di sadun pade, bope na di Sidempuan” sementara saja. Sebab mereka masih yang jika diterjemahkan ke bahasa mengharapkan bisa kembali menetap di Indonesia artinya kira-kira “Untuk saat kampung halaman. Sedangkan sebagian sekarang, di Bandung saja dulu yang yang lain menganggap bahwa menjadi dipikirkan, kalau kira-kira ada rezeki supir angkutan kota adalah pilihan yang (peluang) di sana tentu lebih baik, paling rasional, karena menurut mereka walaupun di Sidempuan”. kampung halaman sudah tidak begitu memberikan kesempatan lagi kepada KESIMPULAN mereka. Sehingga tidak menjadi Alasan ekonomi agar kehidupan persoalan jikapun mereka harus menetap menjadi lebih baik telah mendorong sampai tua di perantauan, walaupun tidak banyak orang Batak untuk merantau. menutup kemungkinan jika ada Hidup di perantauan akan berbeda kesempatan. dibanding di daerah asal, apalagi dengan latar belakang budaya yang sama sekali jauh berbeda. Menjadi supir angkutan Referensi kota adalah pilihan yang paling realistis Abdullah, Irwan. (2006). Konstruksi dan yang dapat mereka lakukan. Selain Reproduksi Kebudayaan. memang terbuka kesempatan menjadi Yogyakarta: Pustaka Pelajar supir tidak harus mensyaratkan banyak Andaya, Leonard Y. (2002). The Trans- hal. Sehingga orang yang baru tiba dari Tradeand the ethnicization kampung halamanpun tidak butuh waktu of the ‘Batak’ dalam Bijdragen tot lama untuk belajar. Sementara itu, bagi de Taal-, Land-en Volkenkunde, orang Batak Angkola-Mandailing bertemu Journal of the Humanities and dengan sesama orang Batak di Social Sciences of Southeast Asia perantauan maka mereka akan merasa and Ocenia No. 158-3. Jakarta: seperti saudara, terlebih-lebih apalagi jika KITLV and KITL Press Agency in mereka semarga, begitulah pentingnya Indonesia. bagi mereka kekerabatan. Namun kondisi Barth, Fredrik. Kelompok Etnik dan Harahap, Basyral Hamidy dan Siahaan Batasannya. Jakarta: Penerbit Hotman M. (1987). Orientasi Nilai- Universitas Indonesia, UI-Press. nilai Budaya Batak : Suatu

Azhar Riyadi: Merantau: Sebuah Pilihan atau Keterpaksaan? 47

IJSSE: Indonesian Journal of Social Science Education Volume 1, Nomor 1, Januari 2019

Pendekatan Terhadap Perilaku 1873 Mandailing Schoolbook on the Batak Toba dan Angkola- ‘wonders of the west’ dalam Mandailing. Jakarta : Sanggar Bijdragen tot de Taal-, Land-en Willem Iskandar. Volkenkunde, Journal of the Harahap, Basyral Hamidy. (2004). Siala Humanities and Social Sciences of Sampagul. Padangsidimpuan : Southeast Asia and Ocenia No. 158- Pemerintah Kota Padangsidimpuan. 3. Jakarta: KITLV and KITL Press Kitagwa, Takayoshi. (1996). Kemajuan Agency in Indonesia. Industrialisasi dan Urbanisasi dalam Simanjuntak, Bungaran Antonius. (2006). Koyono, Shogo (editor). Pengkajian Struktur Sosial dan Sistem Politik Tentang Urbanisasi Di Asia Batak Toba Hingga 1945 : Suatu Tenggara.Yogyakarta: Gadjah Mada Pendekatan Sejarah, Antropologi University Press Budaya Politik. Jakarta : Yayasan Pelly, Usman. (1998). Urbanisasi dan Obor Indonesia. Adaptasi: Peranan Misi budaya Sinaga, Richard. (2007). Perkawinan Adat Minangkabau dan Mandailing. Dalihan Na Tolu. Jakarta : Dian Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia. Utama dan KERABAT. Rodgers, Susan. (2002). Compromise and Contestation in Colonial Sumatra an

Azhar Riyadi: Merantau: Sebuah Pilihan atau Keterpaksaan? 48