EKSPLORASI FUNGI PELARUT POSFAT DI BAWAH TEGAKAN KEMBANG SEMANGKUK ( macropodum) DI POS MONITORING SIKUNDUR TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (TNGL)

SKRIPSI

Sri Ratna Sari Hasibuan 151201028

DEPARTEMEN BUDIDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2020

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA EKSPLORASI FUNGI PELARUT FOSFAT DI BAWAH TEGAKAN KEMBANG SEMANGKUK (Scaphium macropodum) DI POS MONITORING SIKUNDUR TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (TNGL)

SKRIPSI

Oleh: Sri Ratna Sari Hasibuan 151201028

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN BUDIDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2020

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ABSTRACT

SRI RATNA SARI HASIBUAN: Exploration of Phosphate Solubilizing Fungi under Kembang Semangkuk (Scaphium macropodum) in Sikundur Monitoring Station, Mount Leuser National Park (TNGL). Supervised by DENI ELFIATI and ARIDA SUSILOWATI.

Scaphium macropodum is multipurpose tree species that have main product are wood and fruit as medicine. This species has declined sharply due to overexploitation and classified into least concern according IUCN (International Union for Conservation of Nature). Phosphate solubilizing fungiis one of the microbes which is increased the availibility and taking of P by . The research was conducted to get information, to isolate and identification on phosphate solubilizing fungi on soil under kembang semangkuk stand. The soil sample is taken random on a depth 0-5 cm and 5-20 cm under 12 kembang semangkuk stands. The analysis of soil samples was conducted at the Center for Oil Palm Research (PPKS), medanisolation and identification of phosphate solubilizing conducted in Soil Biology Laboratory, Faculty of Agriculture, Universitas Sumatera Utara. Isolation used Pikovskaya media with the source fosfat from Ca3(PO4)2, whereas in the potential test used Ca3(PO4)2, AlPO4, FePO4 and Rock Phosphate (RP) as source of insoluble phosphate The result of research showed that 15 potential isolates, with 10 isolates at depth of 0-5 cm and 5 isolates at depth of 5-20 cm. The result of identification by macroscopic and microscopic observations showed all the isolates including the genus Aspergillus.

Key words: Aspergillus, Kembang Semangkuk, Phosohate, Phosphate Solubilizing Fungi.

iii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ABSTRAK

SRI RATNA SARI HASIBUAN: Eksplorasi Fungi Pelarut Posfat di Bawah Tegakan Kembang Semangkuk (Scaphium macropodum) di Pos Monitoring Sikundur Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Dibimbing oleh DENI ELFIATI dan ARIDA SUSILOWATI.

Scaphium macropodum adalah spesies pohon multiguna yang produk utamanya adalah kayu dan buahnya sebagai obat-obatan. Akibat dari eksploitasi berlebihan, spesies ini menurun tajam sehingga masuk daftar merah IUCN (International Union for Conservation of Nature). Fungi pelarut fosfat merupakan salah satu anggota mikroba tanah yang dapat meningkatkan ketersediaan dan pengambilan P oleh tumbuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi, mengisolasi dan mengidentifikasi fungi pelarut fosfat dari tanah di bawah tegakan kembang semangkuk (Scaphium macropodum). Pengambilan sampel dilakukan secara acak, dengan kedalaman 0-5 cm dan 5-20 cm di bawah 12 tegakan kembang semangkuk. Analisis sifat kimia tanah dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) serta isolasi dan identifikasi fungi pelarut posfat dilakukan di Laboratorium Biologi Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Isolasi fungi dilakukan dengan menggunakan media Pikovskaya dengan sumber fosfat Ca3(PO4)2, sedangkan untuk uji potensi media padat menggunakan sumber fosfat dari Ca3(PO4)2, AlPO4, FePO4 dan Batuan fosfat (RP). Hasil penelitian di dapatkan 15 isolat yang potensial, 10 isolat dari kedalaman 0-5 cm dan 5 isolat dari kedalaman 5-20 cm. Hasil identifikasi dengan pengamatan secara makroskopis dan mikroskopis menunjukkan semua isolat termasuk dalam genus Aspergillus.

Kata kunci: Aspergillus, Fosfat, Fungi Pelarut Fosfat, Kembang Semangkuk.

iv UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Sri Ratna Sari Hasibuan dilahirkan di kota Padangsidimpuan pada tanggal 12 April 1997. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Daud Hasibuan dan Ibu Lamsana Harahap. Penulis memulai pendidikan di SDN 200108 Padangsidimpuan pada tahun 2003-2009, pendidikan tingkat Sekolah Menengah Pertama di SMPN 1 Padangsidimpuan pada tahun 2009-2012, pendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas di SMAN 1 Padangsidimpuan pada tahun 2012-2015. Pada tahun 2015, penulis lulus di Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Undangan Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan. Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif dalam berbagai unit kegiatan mahasiswa (UKM) anggota aktif UKM Baytul Asyjaar (BKM) tahun 2015-2018 dan anggota aktif Rimbawan Pecinta Alam (RIMBAPALA) Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara tahun 2015-2019 dan menjadi Sekretaris Umum periode 2017-2018 serta menjadi Majelis Permusyawaratan Rimbapala (MPR) periode 2018-2019. Dan penulis pernah menjadi Asisten Praktikum Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) pada tahun 2018. Penulis telah mengikuti Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Pondok Bulu Kabupaten Simalungun Sumatera Utara pada tahun 2017. Pada tahun 2018 penulis telah menyelesaikan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di KPH Wilayah IX Panyabungan. Pada awal tahun 2019 penulis melaksanakan penelitian dengan judul “Eksplorasi Fungi Pelarut Fosfat di Bawah Tegakan Kembang Semangkuk (Scaphium macropodum) di Pos Monitoring Sikundur Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL)” di bawah bimbingan Dr. Deni Elfiati, SP., MP dan Dr. Arida Susilowati, S. Hut., M. Si.

v UNIVERSITAS SUMATERA UTARA KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis atas kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya serta sholawat beriringkan salam penulis sanjungsajikan kepada baginda Rasulullah SAW. Atas izin Allah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Eksplorasi Fungi Pelarut Posfat di Bawah Tegakan Kembang Semangkuk (Scaphium Macropodum) di Pos Monitoring Sikundur Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL)”. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Ibu Dr. Deni Elfiati, SP., MP dan Dr. Arida Susilowati, S.Hut., M.Si selaku ketua dan anggota komisi pembimbing saya, serta kepada dosen dosen penguji skripsi penulis Ibu Siti Latifah, S.Hut., M.Si., Ph.D, Bapak Yunus Afifuddin, S.Hut., M.Si, dan Bapak Dr. Rudi Hartono, S.Hut., M.Si yang telah membimbing dan mengarahkan penulis serta memberikan berbagai masukan berharga kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. 2. Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orangtua penulis, Bapak Daud Hasibuan dan Ibu Lamsana Harahap yang selalu memberikan dukungan, doa, dan kasih sayang yang tidak terbatas kepada penulis. 3. Dosen-dosen Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dan menuntun penulis dalam menuntut ilmu selama masa perkuliahan dan Staff Tata Usaha yang telah membantu penulis selama pengurusan berkas. 4. Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser dan Yayasan Ekosistem Leuser yang telah mengizinkan penulis melakukan penelitian di lokasi penelitian. 5. Bapak Suprayadi selaku Manajer SOCP dan tim riset di lapangan dalam membantu proses penelitian di lapangan. 6. Kepada rekan tim penelitian yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan selama penelitian berlangsung. Teman-teman jurusan Budidaya Hutan angkatan 2015 atas kerjasama dan serta semua pihak yang terlibat namun tidak dapat penulis cantumkan namanya satu per satu. Penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat ke berbagai pihak. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Januari 2020

Sri Ratna Sari Hasibuan

vi UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR ISI

Halaman LEMBAR PENGESAHAN ...... i PERNYATAAN ORISINALITAS ...... ii ABSTRACT ...... iii ABSTRAK ...... iv RIWAYAT HIDUP ...... v KATA PENGANTAR ...... vi DAFTAR ISI ...... vii DAFTAR TABEL ...... ix DAFTAR GAMBAR ...... x DAFTAR LAMPIRAN ...... xi

PENDAHULUAN Latar Belakang ...... 1 Tujuan Penelitian ...... 2 Manfaat Penelitian ...... 2

TINJAUAN PUSTAKA Kembang Semangkuk (Scaphium macropodum) ...... 3 Sifat Kimia Tanah ...... 4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Fungi ...... 6 Mikroba Pelarut Fosfat ...... 7 Potensi Mikroba dalam Melarutkan Fosfat ...... 7 Fungi Pelarut Fosfat ...... 9 Gambaran Umum Lokasi ...... 9

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu ...... 11 Alat dan Bahan ...... 11 Prosedur Penelitian Pengambilan Sampel Tanah ...... 12 Analisis Tanah ...... 13 Isolasi Fungi Pelarut Fosfat ...... 13 Uji Potensi Media Padat ...... 14 Identifikasi Fungi Pelarut Fosfat ...... 14

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sifat Kimia Sampel Tanah ...... 16 Isolasi Fungi Pelarut Fosfat ...... 18 Kemampuan Fungi Melarutkan P dalam Media Pikovskaya Padat ...... 19 Identifikasi Fungi Pelarut Fosfat ...... 22 Aspergillus sp ...... 23 Karakteristik Fungi Aspergillus sp ...... 25

KESIMPULAN DAN SARAN

vii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kesimpulan ...... 28 Saran ...... 28

DAFTAR PUSTAKA ...... 29 LAMPIRAN ...... 34

viii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman 1. Hasil Analisis Sifat Kimia Sampel Tanah ...... 15 2. Hasil Pengukuran Indeks Pelarutan dalam Media Pikovskaya Padat dengan Berbagai Sumber P yang Berbeda ...... 20 3. Identifikasi dan Karakterisasi Aspergillus sp ...... 25

ix UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman 1. Tegakan Kembang Semangkuk ...... 3 2. Peta Lokasi Pengambilan Sampel Tanah di Pos Monitoring Sikundur Taman Nasional Gunung Leuser ...... 11 3. Zona Bening Mengelilingi Koloni Fungi ...... 14 4. Pengamatan Aspergillus sp di Bawah Mikroskop (Perbesaran 100x) ..... 24

x UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR LAMPIRAN

No Teks Halaman 1. Prosedur Analisis Kimia Tanah ...... 31 2. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah Menurut Penelitian Tanah Bogor (1983) dan BPP-Medan (1982) ...... 36 3. Dokumentasi Penelitian ...... 37

xi UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang Tanah merupakan media tempat tumbuh tanaman. Tanah juga merupakan habitat bagi berbagai organisme yang hidup di dalamnya. Antara tanaman dengan organisme dalam tanah ditentukan oleh kualitas vegetasi di atasnya. Sebaliknya, aktivitas organisme di dalam tanah juga akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman yang pada akhirnya akan menentukan produktivitas lahan tempat hidup. Keberadaan mikroorganisme berkaitan dengan banyaknya jumlah bahan organik. Mikroorganisme tanah banyak yang berperan dalam penyediaan maupun penyerapan unsur hara bagi tanaman. Salah satunya adalah mikroba pelarut posfat. Mikroba pelarut fosfat (MPF) merupakan mikroorganisme tanah yang berperan dalam penyediaan unsur hara fosfor (P) pada tanaman (Hanafiah et al., 2009). Fosfor merupakan unsur hara esensial makro yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman dan memegang peranan penting dalam proses metabolisme. Peranan fosfor pada tanaman untuk pertumbuhan sel, pembentukan akar halus dan rambut akar, memperkuat tegakan batang agar tanaman tidak mudah rebah, pembentukan bunga, buah dan biji, serta memperkuat daya tahan terhadap penyakit. Dalam tanah dijumpai fosfor organik dan anorganik, keduanya merupakan sumber penting bagi tanaman. Tanaman menyerap fosfor dalam - 2- 3- bentuk H2PO4 , HPO4 dan PO4 . Ketersediaan fosfor anorganik sangat ditentukan oleh pH tanah, jumlah dan tingkat dekomposisi bahan organik serta kegiatan mikrob dalam tanah (Lal, 2002). Sarapatka (2003) mengemukakan bahwa rata-rata kandungan P organik di dalam tanah berkisar antara 5 sampai 50% dari total P. Scaphium macropodum adalah spesies pohon multiguna yang berharga di , yang produk utamanya adalah buah-buahan untuk minuman tonik dan obat-obatan dan kayu ringan (Hy, 2005). Penelitian I’ismi et al. (2018) tumbuhan obat berdasarkan habitus di desa Sadaniang berasal paling banyak digunakan pada tingkat pohon termasuk spesies Scaphium macropodum. Scaphium macropodum ini dikenal dengan nama Merpayang oleh Etnis Pengulu di Jambi. Bagian

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2

merpayang yang banyak dimanfaatkan sebagai obat adalah buah. Selain buah, bagian lain merpayang yang memiliki manfaat sebagai obat adalah getah, akar dan anakan (Lubis et al., 2019). Informasi yang diperoleh masih sedikit ditemukan pada spesimen herbarium atau dalam literatur tentang spesies Scaphium. Di sendiri, tepatnya di Lombok Scapium macropodum termasuk pohon langka. Hasil Penelitian Tim Sekotong (2010) mengemukakan pohon yang tersisa di kawasan konservasi tinggal sedikit karena adanya kegiatan pembalakan liar untuk keperluan pembuatan rumah. Di kawasan hutan lindung menyimpan potensi tumbuhan langka yang memerlukan upaya penyelamatan dari kepunahan. Di antara pohon langka tersebut adalah Klutuk (Scapium macropodum). Pengelolaan dan pemanenan yang sangat tidak tepat, sebagian besar Scaphium macropodum telah ditebang hanya untuk satu kali panen buahnya (Huy et al., 2012). MoST (2007) menyatakan akibat praktik pengelolaan yang tidak tepat dan pemanenan berlebih, spesies ini sekarang terancam, dan sangat membutuhkan solusi yang tepat dan terintegrasi untuk pemanfaatan berkelanjutan, pelestarian, dan peningkatan pertumbuhan spesies ini sejalan dengan Strategi Kehutanan Nasional (NFS) untuk periode 2006 - 2020. Pemanfaatan mikroba yang berada di sekitar atau berasosiasi dengan perakaran tanaman memiliki peranan yang sangat penting karena disamping dapat menambat unsur hara juga menghasilkan hormon tumbuh, menekan penyakit tular tanah, dan melarutkan unsur hara yang tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman (Husen et al., 2006). Mengingat pentingnya fungi pelarut fosfat didalam tanah maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui keberadaan fungi pelarut fosfat pada tanah area pos Monitoring Sikundur Taman Nasional Gunung Leuser. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengisolasi dan mengidentifikasi fungi pelarut fosfat di bawah tegakan kembang semangkuk. Manfaat Penelitian Memberikan informasi tentang keberadaan dan jenis fungi pelarut posfat dari tanah pada tumbuhan kembang semangkuk (Scaphium macropodum).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 3

TINJAUAN PUSTAKA

Kembang Semangkuk (Scaphium macropodum) Scaphium macropodum (Miq.) Beumée ex K. Heyne () paling banyak ditemukan di Myanmar, Kamboja, Laos, Vietnam, Thailand, Semenanjung , Sumatra, dan Kalimantan (di seluruh pulau). Scaphium adalah genus kecil dari pohon besar yang berumur pendek yang terdiri dari enam spesies: S. borneense, S. Linearicarpum, S. longiflorum, S. longipetiolatum, S. macropodum, dan, S. scaphigerum (Yamada et al., 2000). Jarak penyebaran buah jarang melebihi 50 m dari pangkal pohon induk (Yamada dan Suzuki, 1997). Tegakan kembang semangkuk dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Tegakan Kembang Semangkuk

Klasifikasi tumbuhan kembang semangkuk (Scaphium macropodum) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Tracheophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Famili : Malvaceae Genus : Scaphium Species : Scaphium macropodum Scaphium macropodum berasal dari Vietnam. Buahnya terjadi tidak merata, biasanya dengan interval 4 hingga 5 tahun. Setiap tahun hanya sekitar 10 hingga 20% menghasilkan buah, dan banyak tampaknya tidak pernah berbuah (Huy et al., 2012). Di Thailand Tengah Scaphium macropodum disebut Samrong

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 4

atau Pungtalai sementara Thailand Timur Laut disebut Makjong. Scaphium ini berbunga dan berbuah setiap 3-4 tahun (Monton et al., 2014). Waktu berbunga merpayang bersamaan dengan musim buah tanaman hutan yaitu sekitar bulan januari hingga april (Lubis et al., 2019). Semua jenis kembang semangkuk adalah pohon kanopi. Biasanya mencapai ketinggian antara 25 dan 40 m. Diameter setinggi dada (dbh) biasanya 10–40 cm, tetapi pohon yang sangat besar dapat memiliki dbh sekitar 100 cm. Bunga-bunga dari semua spesies adalah apetalous dan calyx (berwarna hijau ke hijau segar) sering secara keliru disebut sebagai corolla. Variasi warna di antara spesies tidak cukup khas untuk pantas digunakan dalam penentuan jenis (Wilkie, 2009). Kembang semangkuk juga dikenal sebagai salah satu sumber pakan Orangutan. Hasil uji saponin menunjukkan bahwa jenis Scaphium macropodum mengandung kandungan saponin tinggi (Atmoko dan Ma’ruf, 2009). Kembang semangkuk adalah jenis pohon toleran naungan. Jenis ini memasok kayu dan yang lebih penting buah yang dikumpulkan oleh petani dan saat ini memiliki nilai pasar yang tinggi, namun akibat dari eksploitasi berlebihan, jenis ini menurun tajam. Akibatnya jenis ini masuk dalam daftar merah IUCN (International Union for Conservation of Nature) dengan status least concern.

Sifat Kimia Tanah Sifat kimia tanah adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa yang bersifat kimia dan terjadi di dalam maupun di atas permukaan tanah sehingga akan menentukan sifat dan ciri tanah yang terbentuk dan berkembang setelah peristiwa kimia tersebut. Peubah yang termasuk sifat kimia tanah yang mempengaruhi pertumbuhan, produksi dan kualitas tanaman antara lain pH tanah, ketersediaan unsur hara makro dan mikro, serta kapasitas tukar kation (Abadi, 2009). Bahan organik berperan penting dalam menentukan kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Peran bahan organik adalah meningkatkan kesuburan tanah, memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kemampuan tanah memegang air, meningkatkan pori-pori tanah, dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 5

memperbaiki media perkembangan mikroba tanah. Tanah berkadar bahan organik rendah berarti kemampuan tanah mendukung produktivitas tanaman rendah. Hasil dekomposisi bahan organik berupa hara makro (N, P, dan K), makro sekunder (Ca, Mg, dan S) serta hara mikro yang dapat meningkatkan kesuburan tanaman. Hasil dekomposisi juga dapat berupa asam organik yang dapat meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman (Kasno, 2009). Menurut Mawardiana (2013) nitrogen merupakan salah satu unsur hara esensial yang bersifat sangat mobil, baik di dalam tanah maupun di dalam tanaman. Selain itu nitrogen bersifat sangat mudah larut dan mudah hilang ke atmosfir maupun air pengairan. Kekurangan unsur nitrogen pada tanaman mengakibatkan pertumbuhan tanaman tidak optimal dan menurunkan produktifitasnya. Siklus N di hutan alam yang tidak terganggu merupakan siklus tertutup. Siklus ini merupakan siklus internal antara tanah, tumbuhan dan + mikroorganisme. Ada tanaman yg lebih baik tumbuh bila diberi NH4 ada pula - tanaman yang lebih baik diberi NO3 dan ada pula tanaman yang tidak terpengaruh oleh bentuk-bentuk N (Leiwakabessy dan Wahyudin, 2003). Fosfor (P) merupakan salah satu unsur hara yang mutlak dibutuhkan oleh tanaman karena berperan dalam menyimpan dan mentransfer energi serta sebagai komponen protein dan asam nukleat. Unsur Fosfor (P) di dalam tanah berasal dari bahan organik, pupuk buatan, dan mineral-mineral di dalam tanah dan unsur P berperan dalam pembentukkan biji dan buah, selain itu mendorong pertumbuhan akar muda serta berperan untuk pengangkutan energi hasil metabolisme dalam tanaman. Sebab-sebab kekurangan P di dalam tanah karema jumlah P di dalam tanah sedikit, sebagian besar terdapat dalam bentuk yang tidak dapat diambil oleh tanaman, dan terjadi pengikatan (fiksasi) oleh Al pada tanah masam atau oleh Ca pada tanah alkalis (Hardjowigeno, 2007). Tanah-tanah dengan kandungan bahan organik atau kadar liat tinggi mempunyai KTK lebih tinggi dari pada tanah-tanah dengan kandungan bahan organik rendah atau tanah-tanah berpasir. Nilai KTK tanah sangat beragam serta tergantung pada sifat dan ciri tanah tersebut. Besar kecilnya KTK tanah dipengaruhi oleh reaksi tanah, tekstur atau jumlah liat, jenis mineral liat, bahan organik, dan pengapuran atau pemupukan (Hardjowigeno, 2007).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 6

Reaksi tanah (pH tanah) menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion Hidrogen (H+) di dalam tanah. Makin tinggi ion H+ di dalam tanah, semakin masam tanah tersebut, dan jumlah ion OH- di dalam tanah berbanding terbalik dengan jumlah ion H+. Pada tanah-tanah yang masam jumlah ion H+ lebih tinggi daripada jumlah ion OH-, sedang pada tanah alkalis sebaliknya. Bila kandungannya sama maka tanah bereaksi netral, yaitu mempunyai pH = 7 (Hardjowigeno, 2007).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Fungi Menurut Gandjar et al. (2006) umumnya fungi dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni sebagai berikut. 1. Substrat Substrat merupakan sumber nutrien bagi fungi. Nutrien-nutrien baru dapat dimanfaatkan sesudah fungi mengeksresi enzim-enzim ekstraseluler yang dapat mengurai senyawa-senyawa kompleks dari substrat tersebut menjadi senyawa- senyawa yang lebih sederhana. 2. Kelembaban Faktor ini sangat penting untuk pertumbuhan fungi. Pada umumnya fungi tingkat rendah Rhizopus dan Mucor memerlukan lingkungan dengan kelembapan nisbi 90%. Sedangkan kapang Aspergillus, Penicillium, Fusarium dan banyak Hyphomycetes dapat hidup pada kelembapan nisbi yang rendah. 3. Suhu Berdasarkan suhu kisaran lingkungan yang baik untuk pertumbuhan, fungi dapat dikelompokkan sebagai fungi psikofril adalah fungi yang dengan 0 kemampuan untuk tumbuh pada atau dibawah 0-30 C. Hanya sebagian kecil spesies fungi yang psikofril. Fungi mesofil adalah fungi yang tumbuh pada suhu 0 0 25-37 C, dan termofil yang mampu tumbuh pada kisaran suhu 40-74 C. Fungi 0 dapat tumbuh baik pada suhu ruangan (22-25 C). 4. Derajat Keasaman Lingkungan (pH) Derajat keasaman (pH) substrat sangat penting untuk pertumbuhan fungi, karena enzim-enzim tertentu hanya akan mengurai suatu substrat sesuai dengan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 7

aktivitasnya pada pH tertentu. Umumnya fungi menyenangi pH dibawah 7. Jenis- jenis khamir tertentu bahkan tumbuh pada pH yang cukup rendah, yaitu pH 4,5- 5,5.

Mikroba Pelarut Posfat Mikroba pelarut fosfat hidup di sekitar perakaran tanaman, mulai permukaan tanah sampai kedalaman 25 cm. Keberadaannya berkaitan dengan jumlah bahan organik yang akan mempengaruhi populasi serta aktivitasnya dalam tanah. Mikroba yang hidup dekat daerah perakaran secara fisiologis lebih aktif dibanding mikroba yang hidup jauh dari daerah perakaran. Keberadaan mikroba pelarut fosfat beragam dari satu tempat ke tempat lainnya karena perbedaan sifat biologis mikroba itu sendiri. Terdapat mikroba yang hidup pada kondisi masam dan ada pula yang hidup pada kondisi netral dan basa, ada yang hipofilik, mesofilik dan termofilik ada yang hidup aerob maupun anaerob (Ginting et al., 2006). Menurut Simanungkalit et al. (2006) masing-masing mikroorganisme memiliki sifat-sifat khusus dan kondisi lingkungan optimal yang berbeda-beda yang mempengaruhi efektivitasnya melarutkan fosfat. Mikroba pelarut fosfat dapat berupa bakteri (BPF), jamur (JPF), aktinomisetes atau khamir. Aktivitas pelarutan senyawa P pada tanah-tanah masam oleh jasad renik tersebut memungkinkan konsentrasi P terlarut yang dapat diserap tanaman meningkat, bersamaan dengan itu juga ada kecenderungan peningkatan serapan N dan K (Premono, 1998). Aktivitas dan kepadatan populasi mikroba tanah juga ditentukan oleh perubahan kondisi fisika dan kimia tanah (Spedding et al., 2004), jenis tanaman yang dibudidayakan, nutrisi tanah, pH, kelembaban, bahan organik, serta teknik budidaya yang diterapkan (Mehrvarz et al., 2008).

Potensi Mikroba dalam Melarutkan Fosfat Kemampuan MPF dalam melarutkan fosfat berbeda-beda, antara lain tergantung dari macam dan jumlah asam organik yang dihasilkan serta sumber fosfat yang digunakan (Santosa, 2007).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 8

Prinsip dasar isolasi mikroba pelarut fosfat ialah menyeleksi mikroba dalam media pertumbuhan spesifik yang mengandung sumber P terikat. Kemampuan mikroba pelarut fosfat dalam melarutkan fosfat terikat dapat diketahui dengan mengembangkan biakan murni pada media Pikovskaya yang berwarna putih keruh, karena mengandung P tidak larut air seperti kalsium fosfat

Ca3(PO4)2. Pertumbuhan mikroba pelarut fosfat dicirikan dengan zona bening (holozone) di sekeliling koloni mikroba. Daerah bening ini terbentuk karena adanya pelarutan fosfat dari sumber fosfat sukar larut yang ada dalam media oleh asam-asam organik yang dihasilkan koloni fungi. Waktu yang diperlukan untuk pertumbuhan, warna, dan besar koloni serta luas daerah bening berbeda-beda tergantung dari jenis MPF. Akan tetapi pada dasarnya semakin luas dan semakin jernih pembentukan daerah bening, secara kualitatis menunjukkan semakin tinggi kelarutan fosfat dalam media, sehingga koloni tersebut dapat dipilih/diisolasi sebagai isolat/strain MPF yang mempunyai potensi untuk dapat dikembangkan lebih lanjut (Saraswati et al., 2007). Mikroba pelarut fosfat yang potensial dapat diseleksi dengan melihat luas zona bening paling besar pada media padat. Pengukuran potensi pelarutan fosfat secara kualitatif ini menggunakan nilai indeks pelarutan (dissolving index), yaitu nisbah antara diameter zona jernih terhadap diameter koloni. Kemampuan pelarut fosfat terikat secara kuantitatif dapat diukur dengan membiakkan mikroba pada media Pikovskaya cair. Kandungan P terlarut dalam media cair tersebut diukur setelah masa inkubasi (Setiawati, 1998). Beberapa hasil penelitian penggunaan mikroba pelarut P pada berbagai jenis tanaman menunjukkan hasil yang positif terhadap pertumbuhan dan serapan hara. Penggunaan mikroba pelarut P seperti Bacillus pantotheticus, Klebsiella aerogenes, Chromobacterium lividum, dan Bacillus megaterium pada tanaman caysin (Brassica caventis Oed.) menghasilkan bobot daun segar dan bobot tanaman segar (Widawati dan Suliasih, 2006). Menurut Ponmurugan and Gopi (2006), mikroba pelarut fosfat dalam kegiatannya mengeluarkan asam organik, Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) dan enzim fosfatase yang dapat membantu pelarutan fosfat dalam tanah hingga mencapai 44,08 ppm.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 9

Fungi Pelarut Fosfat Fungi pelarut fosfat merupakan salah satu anggota mikroba tanah yang dapat meningkatkan ketersediaan dan pengambilan P oleh tumbuhan. Bentuk ikatan P yang umum ditemui pada kondisi masam adalah AlPO4 dan FePO4.

Fungi pelarut fosfat mampu melarutkan P dalam bentuk AlPO4 lebih baik dibanding BPF pada kondisi masam. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Simanullang (2014) menunjukkan bahwa penggunaan fungi perlarut fosfat jenis Aspergillus+Penicillium pada tanaman Suren merupakan isolat terbaik terhadap rataan pertumbuhan tinggi, diameter, bobot kering tanaman, rasio tajuk akar, dan serapan P. Tanah yang bersifat masam menunjukkan jumlah pertumbuhan fungi lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan bakteri, merujuk pada pernyataan Susanto (2005) pH optimum bagi perkembangan fungi berkisar 2,0 – 11,0 menunjukkan jumlah pertumbuhan fungi yang besar. Jumlah fungi di dalam tanah bervariasi sekitar 106 individu per gram tanah, tergantung pada kondisi tanah. Faktor yang penting berhubungan dengan aktivitas fungi adalah ketersediaan makanan (Brady dan Well, 2002). Hasil penelitian Wakelin et al. (2012) menemukan kelimpahan fungi pelarut fosfat di dalam tanah bervariasi dan tidak berkaitan dengan status P tanah.

Fungi pelarut fosfat memiliki kemampuan dalam melarutkan Ca3(PO4)2,

AlPO4 dan FePO4. Dalam penelitian Butarbutar (2014) mengemukakan bahwa fungi Aspergillus sp merupakan fungi yang paling besar menyediakan P-tersedia pada tanaman.

Gambaran Umum Lokasi 1. Letak Kawasan hutan Pos Monitoring Sikundur Taman Nasional Gunung Leuser dengan luas area ±500 ha berada di Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Kawasan Penelitian Sikundur yang berada pada Taman Nasional Gunung Leuser dikelola oleh Yayasan Ekosistem Leuser (YEL). Untuk mencapai lokasi penelitian tersebut dapat ditempuh dengan berjalan kaki dari Dusun Aras Napal, atau dapat diternpuh speed boat. Hutan dataran rendah Sikundur terletak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 10

di selatan perbatasan propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan propinsi Sumatera Utara (Siregar, 2005). 2. Topografi Keadaan topografi di Pos Monitoring Sikundur Taman Nasional Gunung Leuser umumnya datar, sebagian bergelombang sedang dan ringan dengan ketinggian antara 30-100 mdpl (Siregar, 2005). Berdasarkan informasi dari Yayasan Ekosistem Leuser (YEL) SUMUT, diperoleh data curah hujan di Pos Monitoring Sikundur adalah rata-rata 2000- 2500 mm per tahun. Curah hujan tertinggi pada bulan Desember dan terendah pada bulan Mei. Musim kemarau terjadi pada bulan juni sampai september. Suhu harian rata-rata 26ºC pada siang hari dan 21º pada malam hari (Zannah, 2017). 3. Geologi dan Jenis Tanah Keadaan geologi dan tanah terdiri dari bahan induk batuan beku dan vulkanik dengan jenis tanah podsolik coklat-kecoklatan kelabu. Kondisi lahan kawasan sebagian besar (90%) merupakan formasi seureula, yaitu campuran batu lanau, batu pasir dan batu lumpur serta konglomerat. Selain itu, di sebelah barat juga terdapat bagian kecil formasi keutapang, yaitu batu pasir berselang-seling dan batu lumpur. Dataran yang berada di atas endapan campuran dan sebagian kecil bukit yang merupakan punggungan endapan merupakan hasil sedimentasi (Zannah, 2017).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 11

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Pengambilan sampel tanah dilakukan di Pos Monitoring Sikundur, Taman Nasional Gunung Leuser. Analisis sifat kimia tanah dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS). Isolasi dan identifikasi fungi pelarut posfat dilakukan di Laboratorium Biologi Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus – November 2019. Lokasi penelitian dan pengambilan sampel tanah kembang semangkuk dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Peta Lokasi Pengambilan Sampel Tanah di Pos Monitoring Sikundur Taman Nasional Gunung Leuser

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 12

Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah tanah komposit di bawah tegakan kembang semangkuk, kapas, larutan fisiologis steril (8,5 gr NaCl/L aquades), larutan etanol 70%, plastik kraf dan aluminium foil. Media padat Pikovskaya untuk komposisi per liter aquades: (glukosa 10 g; Ca (PO ) 5 g; (NH ) SO 0,5 g; KCl 0,2 g; 3 4 2 4 2 4

MgSO4.7H2O 0,1 g; MnSO4 0,1 g; FeSO4 0,1 g; ekstrak khamir 0,5 g; agar 15 g; 1

L aquades), AlPO4 5 g, FePO4 5 g dan batuan fosfat atau rock phosphate (RP) 5 g. Alat yang digunakan adalah cangkul, kantong plastik, kertas label, parang, gunting, alat tulis, shaker, pipet tetes, erlenmeyer, beaker glass, timbangan, kamera, gelas ukur, pisau, jarum ose, cawan petri, rotamixer, tabung reaksi, rak tabung reaksi, autoklaf, laminar air flow, kompor, inkubator, sprayer, bunsen, selotip, masker, kaca preparat dan mikroskop.

Prosedur Penelitian 1. Pengambilan Sampel Tanah Lokasi pengambilan sampel tanah dilakukan di kawasan pos Monitoring Sikundur Taman Nasional Gunung Leuser, Langkat. Contoh tanah diambil di bawah 12 tegakan pohon kembang semangkuk. Pengambilan contoh tanah dilakukan secara acak, dengan kedalaman 0-5 cm dan 5-20 cm pada setiap lubang pengambilan. Contoh tanah yang diambil kemudian dikompositkan sesuai dengan tegakan yang diambil, kedalaman tanah, dan diberi label. Kedalaman pengambilan contoh tanah disesuaikan dengan jenis penggunaan tanah. Pengambilan contoh pada tanah dilakukan pada lapisan olah atau pada kedalaman 20 cm (Saraswati et al., 2007). Pengambilan contoh tanah cara cara random/acak ditujukan untuk mendapatkan nilai maksimum, minimum, dan rata-rata berbagai atribut mikroba pada suatu areal tertentu berdasarkan analisis statistik. Areal dibagi secara proporsional ke dalam beberapa areal kecil untuk pengambilan contoh individu (sampling unit) dimana tiap contoh individu memberikan data sendiri-sendiri. Cara random atau acak lebih menghemat waktu dan biaya asalkan banyaknya contoh individu yang diambil memperhatikan heterogenitas areal lahan. Pengambilan contoh tanah komposit ditujukan untuk mendapatkan gambaran

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 13

umum (unbiased estimation) berbagai atribut mikroba di suatu areal atau petak tanah yang relatif homogen (Saraswati et al., 2007). Pengambilan secara komposit memberikan keuntungan terhadap karakter tanah yaitu memberikan hasil yang sama dengan nilai rata-rata terhadap gambaran suatu kondisi tanah (Suganda et al., 2006).

2. Analisis Tanah Analisis tanah meliputi parameter kesuburan tanah umum yaitu kapasitas tukar kation (KTK) menggunakan metode ekstraksi NH4OAc pH 7, pH tanah menggunakan metode pH meter, C-Organik menggunakan metode Walkley and Black, N total tanah menggunakan metode Kjedhal dan P tersedia dengan menggunakan metode Bray- I (Mukhlis, 2014) (Lampiran 1).

3. Isolasi Fungi Pelarut Posfat Sebanyak 10 g tanah dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml yang berisi 90 ml larutan fisiologis steril (pengenceran 10-1), kemudian dikocok selama 30 menit pada shaker. Dibuat pengenceran secara serial, dari pengenceran 10-1 diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 9 ml larutan fisiologis seril (pengenceran 10-2) selanjutnya dikocok di atas rotamixer sampai homogen. Dari pengenceran 10-2 di pipet ukur sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml larutan fisiologis (pengenceran 10-3) dilakukan hal serupa berturut-turut sampai pengenceran 10-5. Dari pengenceran 10-3 di pipet ukur sebanyak 1 ml, masukkan ke dalam cawan petri yang telah steril dan dilakukan hal yang sama pada pengenceran 10-4 dan 10-5. Dipakai suspensi tanah dari 3 pengenceran sebagai antisipasi bila pada pengenceran tersebut tidak diperoleh fungi pelarut fosfat. Selanjutnya sebanyak 12 ml media Pikovskaya dituang ke dalam cawan petri (suhu sekitar 45-50ºC) yang telah berisi 1 ml suspensi tanah, lalu diputar cawan petri ke arah kanan 3 kali dan ke arah kiri 3 kali agar media bercampur dengan tanah secara merata, dan dibiarkan media sampai mengeras (padat). Setelah media mengeras, cawan petri diinkubasi pada inkubator dalam keadaan terbalik selama 3 hari dengan suhu 25-30ºC. Setelah diinkubasi selama 3 hari,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 14

dilakukan pengamatan pada fungi yang tumbuh pada media. Keberadaan fungi pelarut fosfat ditunjukkan dengan terbentuknya daerah bening (holozone) yang mengelilingi koloni fungi.

Zona bening

Gambar 3. Zona bening mengelilingi koloni fungi

4. Uji Potensi Pada Media Padat Setelah diperoleh fungi pelarut fosfat yang murni kemudian diuji kemampuannya melarutkan fosfat dalam cawan petri berisi media Pikovskaya padat steril dengan menggunakan 4 sumber P, yaitu Ca3(PO4)2, AlPO4, FePO4 dan batuan fosfat dengan dosis 5 g/L media. Media uji dimasukkan dalam cawan petri dan dibiarkan mengeras. Selanjutnya biakan murni ditumbuhkan pada media uji. Tiap biakan murni diulang sebanyak 3 kali untuk mendapatkan rataan hasil yang valid. Inkubasi dilakukan selama 5 hari. Fungi yang membentuk holozone paling cepat dengan diameter paling besar di sekitar koloni, secara kualitatif menunjukkan besar kecilnya potensi fungi pelarut fosfat dalam melarutkan unsur P dari bentuk yang tidak terlarut. Dihitung potensi fungi dengan menggunakan nilai indeks pelarutan, yaitu nisbah diameter zona bening terhadap diameter koloni (Premono, 1998).

Diameter zona bening IP = Diameter koloni fungi pelarut fosfat

5. Identifikasi Fungi Pelarut Posfat Setelah diperoleh fungi pelarut fosfat selanjutnya dilakukan identifikasi pada fungi tersebut. Biakan murni fungi diremajakan pada media padat pikovskaya yang baru dan diinkubasi selama 3 hari. Selanjutnya dilakukan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 15

identifikasi fungi yang sudah tumbuh. Fungi yang telah tumbuh pada media, diamati ciri-ciri makroskopis dan mikroskopis. Untuk makroskopis diamati manual langsung ke cawan petri fungi yang tumbuh dan untuk mikroskopis menggunakan kaca preparat dimana fungi yang sudah tumbuh di ambil sedikit dengan menggunakan selotip kemudian di tempelkan pada kaca preparat untuk ditumbuhkan selama 3 hari di dalam cawan petri yang berisi kapas dan disemprot aquades supaya kondisi suhunya tetap lembab. Setelah 3 hari fungi yang tumbuh pada kaca preparat selanjutnya diamati dibawah mikroskop untuk diketahui ciri hifa yang tumbuh untuk diketahui jenis fungi yang tumbuh. Kemudian ciri mikroskopis yang sudah ditemukan selanjutnya dicocokkan dengan buku identifikasi mikroba untuk memastikan jenis fungi yang belum diketahui (Gilman, 1971) dan (Gandjar et al., 2006).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 16

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Sifat Kimia Sampel Tanah Keberadaan fungi di dalam tanah dipengaruhi oleh sifat kimia tanah. Hasil analisis sifat kimia tanah dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Analisis Sifat Kimia Sampel Tanah Analis Kimia Tanah No Sumber Tanah pH C-org N total P tersedia KTK 1 Kembang Semangkuk 0-5 4,1 sm 2,34 s 0,17 r 2,49 sr 11,88 s 2 Kembang Semangkuk 5-20 4,4 sm 1,7 r 0,24 s 2,37 sr 27,17 t Sumber: Penelitian Tanah Bogor (1983) dan BPP-Medan (1982) (Lampiran 2.) *Keterangan: sm = sangat masam sr = sangat rendah s = sedang t = tinggi r = rendah

Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam tanah. Hasil analisis menunjukkan keadaan pH tanah pada kedalaman 0-5 cm adalah sebesar 4,1, sedangkan pada kedalaman 5-20 cm adalah sebesar 4,4. Kedua nilai pH tersebut tergolong dalam keadaan sangat masam. Meskipun memiliki kriteria pH yang sama-sama masam, tetapi pada tanah kedalaman 0-5 cm lebih rendah dibandingkan kedalaman tanah 5-20 cm. Hal ini dikarenakan top soil umumnya mengalami pencucian dan pengurangan pH paling cepat. Menurut Hanafiah (2007) pada lahan dengan curah hujan tinggi, umumnya kemasaman tanahnya dapat meningkat sesuai dengan kedalaman lapisan tanah, sehingga kehilangan top soil karena erosi dapat menyebabkan tanah menjadi lebih masam. Pada keadaan sangat masam, umumnya dipengaruhi oleh tingkat curah hujan yang tinggi. Curah hujan kawasan Pos Monitoring Sikundur berkisar antara 3500 – 4000 mm pertahun, dengan iklim yang sangat lembab dan tidak memiliki bulan kering (Siregar, 2005). Lokasi penelitian memiliki curah hujan tinggi per tahunnya sehingga mempengaruhi keadaan pH tanah akibat terjadinya proses pencucian H+ di dalam tanah. Kondisi pH tanah juga akan mempengaruhi kesediaan hara di dalam tanah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kotu et al. (2015) yang menyatakan bahwa curah hujan yang tinggi akan mempengaruhi pH tanah karena pada curah hujan yang tinggi terjadi pencucian terhadap ion-ion basa yang menyebabkan tingginya kandungan asam.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 17

Nilai C organik di bawah tegakan kembang semangkuk pada kedalaman 0- 5 cm adalah sebesar 2,34%, termasuk dalam kriteria sedang. Sedangkan nilai C organik pada kedalaman 5-20 cm adalah sebesar 1,7% termasuk dalam kriteria rendah. Njurumana et al. (2008) menyatakan faktor yang mempengaruhi rendahnya C-organik dalam tanah disebabkan oleh perbedaan jenis dan jumlah vegetasi yang berbeda pada tegakan yang tumbuh pada lahan. Kandungan C-organik yang tinggi merupakan indikator tingginya jumlah bahan organik tanah yang tersedia di dalam tanah. Lokasi penelitian terdapat banyak serasah pada lapisan atas. Jumlah serasah pada kandungan organik lapisan atas lebih tinggi sehingga mengalami dekomposisi paling cepat. Hal ini didukung oleh pernyataan Kartasapoetra dan Sutedjo (2002) yang menyatakan bahwa sumber utama bahan organik tanah adalah jaringan tanaman, baik berupa serasah maupun sisa tanaman. Nilai N total tanah di bawah tegakan kembang semangkuk pada kedalaman 0-5 cm adalah sebesar 0,17% termasuk dalam kriteria rendah, sedangkan N total pada kedalaman 5-20 cm adalah sebesar 0,24% termasuk dalam kriteria sedang. Perbedaan kriteria ini terjadi karena adanya proses pencucian hara pada lapisan tanah atas sehingga mempengaruhi ketersediaan N total. Hal ini sesuai dengan pernyataan Winarso (2005) yang menyatakan bahwa kandungan nitrogen pada lapisan atas lebih mudah untuk kehilangan nitrogen karena aktivitas panen, tercuci atau denitrifikasi. Menurut Wulandari (2001) pada tanah masam, fosfat akan bersenyawa dengan aluminium membentuk Al-P. Sedangkan pada tanah alkali fosfat akan bersenyawa dengan kalsium membentuk Ca-P yang sukar larut sehingga diperlukan cara untuk dapat mengatasi hal tersebut. Nilai P tersedia pada tanah di bawah tegakan kembang semangkuk di kedalaman 0-5 cm adalah sebesar 2.49 ppm, sedangkan untuk kedalaman 5-20 cm adalah sebesar 2,37 ppm. Kedua nilai P tersedia ini termasuk dalam kriteria sangat rendah. Ketersediaan P dalam tanah sangat dipengaruhi oleh pH dan juga sumber P dari ketersediaan bahan organiknya yang rendah. karena P sangat rentan diikat pada kondisi asam maupun alkalis. Ketersediaan P akan menurun pada pH <5,5 atau >7,0. Pada kondisi masam aktivitas besi dan aluminium yang tinggi menjadi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 18

unsur pengikat P yang utama. Hal ini didukung oleh pernyataan Poerwowidodo (2000) yang menyatakan bahwa umumnya ketersediaan fosfat dalam tanah maksimum dijumpai pada kisaran pH 5,5-7,0. Susanto (2005) juga menyatakan jumlah P tersedia dalam tanah ditentukan oleh besarnya P dalam komplek jerapan (P-total) yang mekanisme ketersediaannya diatur oleh pH dan jumlah bahan organik tanah. Nilai KTK pada tanah di bawah tegakan semangkuk di kedalaman 0-5 cm adalah sebesar 11,88, termasuk kriteria sedang. Sedangkan pada kedalaman 5-20 cm adalah sebesar 27,17, termasuk kriteria tinggi. KTK yang tinggi biasanya lebih mampu menyerap unsur hara dibandingkan KTK rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hardjowigeno (2007) yang menyatakan bahwa tanah dengan KTK tinggi mampu menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan tanah dengan KTK rendah. Karena unsur-unsur hara terdapat dalam kompleks jerapan koloid maka unsur-unsur hara tersebut tidak mudah hilang tercuci oleh air. Jenis tanah juga mempengaruhi dalam tinggi ataupun rendahnya nilai KTK. Di lokasi Pos Monitoring Sikundur termasuk memiliki jenis tanah podsolik. Tanah podsolik termasuk bersifat masam dan kejenuhan basanya yang rendah. Hal ini didukung oleh pernyataan Hardjowigeno (1993) podsolik merupakan tanah mineral yang bereaksi masam, mengalami pencucian yang intensif, pada lapisan atas berwarna abu-abu muda sampai kekuningan, lapisan bawah merah atau kuning, terdapat akumulasi liat hingga tekstur relatif berat (kadar liat tinggi), struktur gumpal, permeabilitas rendah, stabilitas agregat rendah, bahan organik rendah, kejenuhan basa rendah, pH rendah sekitar 4,2-4,8.

B. Isolasi Fungi Pelarut Fosfat Fungi pelarut fosfat ditandai dengan tumbuhnya koloni yang menyerupai kapas dan berwarna putih yang mampu membentuk holozone. Fungi pelarut fosfat hasil isolasi tumbuh pada 15 cawan petri dengan 10 isolat pada kedalaman 0-5 cm dan 5 isolat pada kedalaman 5-20 cm yang diberi kode isolat J1, J2, J3, J4, J5, J6, J7, J8, J9, J10, J11, J12, J13, J14, dan J15 (Lampiran 3). Populasi fungi pelarut fosfat yang ditemukan di kedalaman tanah 0-5 cm sebanyak 1,064 x 103 SPK/ml, sedangkan fungi yang ditemukan di kedalaman

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 19

tanah 5-20 cm sebanyak 1,025 x 103 SPK/ml. Jadi total untuk populasi fungi pelarut fosfat sendiri sebanyak 2,089 x 103 SPK/ml. Jumlah koloni fungi pelarut fosfat cukup banyak ditemukan pada kedalaman tanah 0-5 cm dibandingkan pada kedalaman tanah 5-20 cm, karena pada tanah kedalaman 0-5 cm memiliki kandungan bahan organik yang tinggi, dimana kandungan C-organik merupakan sumber makanan bagi pertumbuhan mikroorganisme. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hanafiah (2005) yang menyatakan bahwa sumber C dalam tanah mempunyai pengaruh terhadap kegiatan (perkembangan) mikroorganisme. Umumnya semakin masuk ke dalam tanah konsentrasi oksigen semakin menipis sehingga menjadi salah satu faktor yang membatasi perkembangan mikroorganisme, dengan kata lain semakin masuk ke dalam tanah jumlah total mikroorganisme pelarut fosfat semakin rendah. Selain faktor bahan organik yang cukup tinggi, jumlah koloni pelarut fosfat pada kedalaman 0-5 cm juga dikarenakan kedalaman tanah yang mempengaruhi jumlah mikroorganisme di dalam tanah, di mana semakin dalam kedalaman tanah, semakin sedikit jumlah mikroorganismenya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rao (1994) yang menyatakan bahwa mikroorganisme umumnya dijumpai pada tanah yang lebih dangkal dan jarang ditemukan di bagian tanah yang lebih dalam. Hal ini dikarenakan ketersediaan bahan organik dan rasio antara oksigen dan karbon dioksida yang berbeda antara daerah permukaan dengan bagian tanah yang lebih dalam. Sehingga pemilihan sampel dari bagian top soil sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk memperoleh mikroorganisme pelarut fosfat. Hal ini juga di dukung dalam penelitian Ardi (2009) bahwa semakin dalam kedalaman tanah maka jumlah mikroorganisme tanah akan semakin berkurang.

C. Kemampuan Fungi Melarutkan P dalam Media Pikovskaya Padat Fungi pelarut fosfat yang diperoleh selanjutnya adalah dengan mengukur kemampuannya melarutkan P terikat pada media Pikovskaya padat. Sebagai sumber P media padat adalah Ca3(PO4)2, AlPO4, FePO4 dan batuan fosfat (RP). Fungi yang dapat melarutkan fosfat ditandai dengan terbentuknya zona bening pada sekitar koloni. Perbandingan zona bening dan koloni fungi ini merupakan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 20

indeks pelarutan dari masing-masing fungi. Cara ini umum dilakukan, namun karena tidak memperhitungkan faktor pertumbuhan koloni, sering menghasilkan hubungan korelasi yang rendah antara lebar zona bening dengan jumlah P-terlarut secara kualitatif. Menurut Premono (1998), hal tersebut dapat diatasi dengan menggunakan nilai indeks pelarutan (dissolving indeks) yaitu nisbah antara diameter holozone terhadap diameter koloni. Hasil indeks tersebut terbukti berkorelasi tinggi terhadap jumlah P yang dapat dilarutkan secara kualitatif. Maka pengukuran zona bening dilakukan dengan menghitung nilai indeks pelarutan tiap isolat. Semakin cepat dan semakin besar zona bening yang terbentuk mengindikasikan semakin besar kemampuan isolat tersebut dalam melepaskan P yang terikat pada berbagai komponen. Hasil pengukuran indeks pelarutan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil pengukuran indeks pelarutan dalam Media Pikovskaya Padat dengan berbagai sumber P yang berbeda Indeks Pelarutan

Isolat Ca3(PO4)2 FePO4 AlPO4 Batuan Fosfat J1 1,16 1,13 - - J2 1,1 1,09 - 0,97 J3 1,07 - 1,1 1,1 J4 1,09 - 1,09 - J5 1,11 - 1,15 - J6 1,11 - - - J7 1,09 - 0,6 - J8 1,06 - 1,09 1,24 J9 0,91 - - - J10 0,86 - - 1,15 J11 0,67 - - - J12 1,09 0,86 0,94 J13 0,89 0,86 - 0,89 J14 1,12 0,88 0,86 0,92 J15 1,06 - - - Keterangan : - tidak membentuk zona bening Berdasarkan hasil pengukuran indeks pelarutan (Tabel 2.) terlihat bahwa semua isolat yang mampu melarutkan fosfat dari sumber Ca3PO4 dengan nilai indeks pelarutan yang berbeda. Namun, pada sumber fosfat FePO4, AlPO4 dan batuan fosfat hanya beberapa isolat yang mampu melarutkan fosfat. Hal ini disebabkan oleh karakteristik atau sifat dari isolat itu sendiri yang mengeluarkan asam organik. Asam organik yang membentuk kompleks yang lebih stabil dengan logam akan lebih efektif dalam melepas Ca, Al dan Fe mineral tanah sehingga

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 21

akan melepas P yang lebih besar. Hal ini didukung oleh pernyataan Premono (1998) yang menyatakan bahwa kemudahan fosfat terlepas mengikuti urutan Ca3(PO4)2> AlPO4> FePO4. Nilai indeks pelarutan fosfat juga dipengaruhi faktor teknis seperti penuangan media pada cawan petri yang terlalu tebal sehingga mempengaruhi zona bening. Hal ini sesuai dengan pernyataan Saraswati et al. (2007) pada pengukuran zona bening, ternyata lebar zona bening juga dipengaruhi oleh ketebalan media agar Pikovskaya dalam cawan Petri. Koloni yang tumbuh pada bagian yang lebih tebal biasanya zona bening akan lebih sempit, sebaliknya pada bagian yang tipis lebar zona bening lebih besar. Untuk menghindari hal tersebut, perlu diperhatikan bahwa pada waktu menuangkan media agar Pikovskaya ke dalam cawan petri harus diusahakan tebal media di dalam cawan petri merata. Hal ini dapat dilakukan jika pada waktu menyimpan cawan petri (sesaat setelah dituangi media agar Pikovskaya), cawan petri diletakkan pada permukaan tempat yang datar, dan tidak ada kemiringan sedikitpun. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Goenadi dan Saraswati (1994) bahwa variasi indeks pelarutan fosfat dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain: 1. Konsentasi fosfat tidak larut dalam air. Untuk menuang medium ini ke dalam cawan petri perlu digoyang-goyang terlebih dahulu. Ada kemungkinan konsentrasi fosfat tidak seragam, sehingga zona jernihnya juga berpengaruh. 2. Ketebalan agar. Ketebalan agar juga akan mempengaruhi zona bening. Agar yang lebih tegal lebih sulit untuk dilarutkan daripada yang tipis. 3. Kecepatan pertumbuhan mikroba. Ada yang tumbuh dengan cepat ada yang tumbuh lambat.

Pada sumber Ca3PO4 indeks pelarutan tertinggi ditunjukkan pada isolat J1, yaitu sebesar 1,16. Pada sumber FePO4 nilai indeks pelarutan tertinggi terdapat pada isolat J1, yaitu sebesar 1,13. Pada sumber AlPO4 nilai indeks pelarutan tertinggi terdapat pada isolat J5, yaitu sebesar 1,15. Sedangkan pada sumber batuan fosfat nilai indeks pelarutan tertinggi terdapat pada isolat J8, yaitu sebesar 1,24. Nilai indeks pelarutan yang lebih tinggi menunjukkan kemampuan isolat lebih efektif dalam melarutkan P yang terikat dibandingkan dengan nilai indeks pelarutan yang lebih rendah.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 22

Berdasarkan nilai indeks pelarutan yang diperoleh diketahui bahwa seluruh isolat fungi pelarut fosfat memiliki efektivitas yang berbeda-beda dalam melarutkan fosfat pada media pikovskaya padat. Fungi pelarut fosfat yang mampu melarutkan fosfat dari ikatan Ca3(PO4)2 belum tentu mampu melarutkan fosfat dari ikatan AlPO4. Begitu juga dengan fungi pelarut fosfat yang mampu melarutkan fosfat dari ikatan FePO4 belum tentu mampu melarutkan fosfat dari ikatan batuan fosfat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Elfiati (2005) bahwa setiap fungi memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam melarutkan ikatan fosfat

Ca3(PO4)2, AlPO4, FePO4 dan batuan fosfat. Isolat yang mampu mereduksi senyawa fosfat mungkin terkait erat dengan kemampuannya dalam menghasilkan asam organik, karena menurut Ginting et al. (2006) asam organik yang dilepaskan oleh isolat fungi pelarut fosfat mampu mengikat PO4.

D. Identifikasi Fungi Pelarut Fosfat Identifikasi dilakukan pada fungi yang mampu membentuk zona bening (holozone) pada media pikovskaya kemudian dimurnikan hingga menjadi satu koloni per media. Identifikasi fungi dilakukan dengan cara mengamati ciri makroskopis dan ciri mikroskopis. Hasil pengamatan secara makroskopis diketahui bahwa isolat J1 membentuk lapisan warna putih dengan tekstur hifa halus setelah 3 hari diameter koloni ±1 cm dan berubah warna hijau keabu-abuan. Sedangkan isolat J2 awalnya putih, setelah 3 hari berwarna kuning agak kehijauan dengan diameter koloni ±5 cm. Pada isolat J3 dan J4 awalnya berwarna putih dengan diameter ±1 cm. Setelah 3 hari berubah warna menjadi kuning kehijauan dengan diameter ±3 cm pada isolat J3 dan ±5 cm pada isolat J4. Selanjutnya pada isolat J5 koloni fungi awalnya berwarna putih dengan diameter ±1 cm, kemudian berubah warna menjadi hijau pucat setelah 3 hari dengan diameter ±3 cm. Pada isolat J6, J7, J8, dan J9 diameter koloni ±1 cm dengan koloni fungi awalnya berwarna putih, setelah 3 hari berubah warna menjadi hijau pucat pada isolat J6 dan warna kuning kecoklatan pada isolat J7, J8, dan J9 dengan diameter koloni ±3 cm dan ±5 cm pada isolat J8 dan J9.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 23

Pada isolat J10 koloni berwarna putih dengan diameter ±1,5 cm. Kemudian berubah warna menjadi hijau hingga hijau tua dengan diameter ±5 cm setelah 3 hari. Isolat J11 koloni fungi awalnya berwarna putih dengan diameter ±2 cm kemudian berubah warna menjadi keabu-abuan dengan diameter ±5 cm setelah 3 hari. Isolat J12 dan J13 pada awal pertumbuhan koloni fungi berwarna putih dengan diameter ±1,5 cm kemudian koloni fungi berubah warna menjadi kekuningan pada J12 dan hijau kekuningan pada J13 dengan pertambahan diameter ±3,5 cm. Selanjutnya pada isolat J14 dan J15 fungi koloni awalnya berwarna putih dengan diameter ±1 cm kemudian fungi koloni mengalami pertambahan diameter ±5 cm setelah 3 hari dan perubahan warna menjadi kekuningan pucat sampai hijau pada isolat J14 dan hijau pada isolat J15. Selanjutnya dilakukan identifikasi fungi pelarut fosfat secara mikroskopis atau pengamatan yang dilakukan dibawah alat perbesaran mikroskop. Identifikasi secara mikroskopis dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat, ditandai dengan ciri-ciri yang tampak lebih jelas dibawah mikroskop. Berdasarkan hasil pengamatan secara mikroskopis di bawah mikroskop diketahui jenis Aspergillus yang merupakan satu-satunya jenis fungi yang ditemukan di lokasi penelitian. Hal ini karena Aspergillus merupakan spesies yang bersifat kosmopolitan sehingga dapat bertahan di berbagai kondisi. Aspergillus juga merupakan spesies fungi yang sangat mudah ditemukan. Lestari dan Saraswati (1997) menyatakan Aspergillus sp merupakan salah satu jenis fungi pelarut fosfat yang paling banyak ditemui dan sebagai bahan untuk diteliti.

Aspergillus sp Aspergillus pada awal pertumbuhannya, konidia berkembang dari batang dan kepala konidia diperbesar dan berbentuk bulat hingga semibulat berwarna hitam dengan diameter 5-6,5 µm. Kepala konidia berbentuk bulat, kemudian merekah menjadi kolom-kolom yang terpisah. Vesikula berbentuk bulat hingga semibulat dan berdiameter 25-50 µm. Fialid terbentuk langsung pada vesikula atau pada metula (pada kepala konidia yang besar), dan berukuran (10-15) x (4-8) µm. Metula berukuran (7-10) x (4-6) µm. Konidia berbentuk bulat hingga semi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 24

bulat, dengan diameter 5-6,5 µm berwarna hitam. Aspergillus tergolong dalam mikroba mesofilik dengan pertumbuhan pada suhu 35ºC - 37ºC (optimum), 6ºC - 8ºC (minimum), 45ºC - 47ºC (maksimum). Derajat keasaman untuk pertumbuhan adalah 2-8,5 tetapi pertumbuhan akan lebih baik pada kondisi keasaman atau pH yang rendah (Gilman, 1971). Hasil pengamatan langsung genus Aspergillus sp secara mikroskopis dapat dilihat pada Gambar 3.

a

b

Gambar 3. Pengamatan Aspergillus sp di bawah mikroskop (perbesaran 100x) Keterangan: a. Konidia b. Konidiofor

Taksonomi fungi Aspergillus : Kingdom : Myceteae (Fungi) Divisi : Ascomycota Kelas : Eurotiomycetes Ordo : Eurotiales Famili : Trichocomaceae Genus : Aspergillus Spesies : Aspergillus sp Aspergillus merupakan spesies fungi yang paling mudah ditemukan. Aspergillus merupakan fungi pelarut fosfat yang mempunyai kemampuan tinggi dalam melarutkan fosfat. Aspergillus juga banyak ditemukan di tanah masam. Menurut Goenadi et al. (1993) genus Aspergillus merupakan kelompok cendawan pelarut fosfat yang dominan ditemukan di tanah masam di Indonesia. Dimana genus Aspergillus ini berpotensi tinggi dalam melarutkan P terikat menjadi P tersedia dalam tanah.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 25

Hasil penelitian Masniawati (2013) mengatakan bahwa spesies dari Aspergillus diketahui terdapat dimana-mana dan tumbuh hampir pada semua substrat. Aspergillus memiliki potensi yang tinggi dalam melarutkan P terikat menjadi P tersedia dalam tanah. Sitorus (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa Aspergillus sp memiliki indeks pelarutan P terbesar yaitu senilai 46,422 ppm dan 45,381 ppm.

1. Karakteristik Fungi Aspergillus sp Berdasarkan hasil isolasi dan identifikasi fungi pelarut fosfat, ditemukan jenis Aspergillus sp yang telah diamati dan disesuaikan dengan buku identifikasi Gilman (1971), di mana seperti kepala konidia yang berbentuk semi bulat hingga bulat berwarna kuning hingga kecoklatan dengan tangkai konidiofor bening atau transparan. Ciri-ciri tersebut juga disesuaikan dengan penampakan fungi Aspergillus sp secara makroskopis, di mana koloni yang terbentuk berubah berwarna putih, kuning hingga kehijauan. Karakteristik fungi Aspergillus dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Identifikasi dan Karakterisasi Aspergillus sp Jenis Fungi Pengamatan Pengamatan Warna dan Bentuk secara secara diameter konidia/ makroskopis mikroskopis koloni spora Aspergillus sp1 Koloni Kepala berwarna konidia hijau berwarna keabu- kuning abuan, kecoklatan diameter 3- berbentuk 5 cm bulat Aspergillus sp1 Koloni Konidia berwarna berwarna putih kuning keabu- kecoklatan abuan, berbentuk diameter 3 bulat – 5 cm Aspergillus sp1 Koloni Konidia berwarna berwarna kuning, kekuningan diameter 3 coklat - 5 cm berbentuk bulat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 26

Lanjutan Tabel 3. Aspergillus sp1 Koloni Konidia berwarna berwarna hijau coklat kekuningan kekuningan , diameter 3 berbentuk - 5 cm bulat

Aspergillus sp1 Koloni Konidia berwarna berwarna kekuningan coklat pucat kekuningan sampai berbentuk hijau, bulat diameter 3 sampai -5 cm semi bulat Aspergillus sp 2 Koloni Kepala berwarna konidia kuning berwarna hingga coklat kehijauan, berbentuk diameter 4- bulat 5 cm Aspergillus sp 2 Koloni Konidia hijau gelap, berwarna diameter 3 coklat - 5 cm pucat berbentuk bulat

Aspergillus sp3 Koloni Konidia hijau, berwarna diameter 3- coklat 5 cm kekuningan berbentuk bulat

Aspergillus sp 3 Koloni Konidia berwarna berwarna hijau, coklat diameter 3 kekuningan - 5 cm berbentuk semi bulat

Aspergillus sp 3 Koloni Konidia hijau berwarna kekuningan coklat , diameter kekuningan 2,5 – 3,5 berbentuk cm bulat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 27

Lanjutan Tabel 3. Aspergillus sp 3 Koloni Konidia hijau berwarna kekuningan coklat , diameter kekuningan 2,5 – 3,5 berbentuk cm bulat

Aspergillus sp3 Koloni Kepala berwarna konidia hijau berwarna kekuningan hijau tua , diameter berbentuk 2,5 – 3,5 bulat cm Aspergillus sp 3 Koloni Konidia berwarna berwarna putih hijau pucat hingga berbentuk hijau pucat, bulat diameter 2,5-3,5 cm Aspergillus sp 4 Koloni Konidia berwarna berwarna hijau hijau pucat kekuningan berbentuk gelap, bulat diameter 3 – 5 cm Aspergillus sp 5 Koloni Konidia hiijau berwarna kekuningan coklat , diameter 3 kekuningan - 5 cm berbentuk bulat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 28

KESIMPULAN

Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan fungi pelarut fosfat yang ditemukan sebanyak 2,089 x 103 SPK/ml. Identifikasi fungi di bawah tegakan Kembang Semangkuk (Scaphium macropodum) menunjukkan bahwa semua isolat yang diperoleh termasuk jenis Aspergillus.

Saran Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut dalam mendapatkan jenis fungi yang lebih spesifik. Selain itu, perlu dilakukan pemanfaatan fungi pelarut fosfat untuk meningkatkan kesuburan tanah serta budidaya kembang semangkuk.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 29

DAFTAR PUSTAKA

Abadi K. 2009. Kondisi Fisik, Kimia dan Biologi Tanah Pasca Reklamasi Lahan Agroforestry di Area Penambangan Bahan Galian Pasir Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat. Departemen Silvikultur. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Anas I. 1989. Biologi Tanah dalam Praktek. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Ardi R. 2009. Kajian Aktivitas Mikroorganisme Tanah pada Berbagai Kelerengan dan Kedalaman Hutan Taman Nasional Gunung Leuser. Skripsi. Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian. Medan.

Atmoko T, Ma’ruf A. 2009. Uji Toksisitas dan Skrining Fitokimia Ekstrak Tumbuhan Sumber Pakan Orangutan Terhadap Larva (Artemia salina L.). Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 6 (1): 37-45.

Brady NC, Well RR. 2002. Element of The Nature and Properties of Soil. Prentice Hall Uppersadle River. New Jersey.

Butarbutar JF. 2014. Isolasi dan Potensi Mikroba Pelarut Fosfat pada Tanah Hutan Mangrove di Kabupaten Deli Serdang. Skripsi. USU. Medan.

Elfiati D. 2005. Peranan Mikroba Pelarut Fosfat Terhadap Pertumbuhan Tanaman. e-USU repository. Medan.

Gandjar, Indrawati W, Sjamsuridjal, Oetari A. 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Gilman JC. 1971. A Manual of Soil Fungi. The Lowa State University Press. USA.

Ginting RC, Badia R, Saraswati EF, Husen. 2006. Mikroorganisme Pelarut Fosfat. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. 144-146.

Goenadi DH, Saraswati R. 1994. Kemampuan Melarutkan Fosfat dari Beberapa Isolat Fungi Pelarut Fosfat. Menara Perkebunan. 61 (3): 61-66.

Hanafiah AS, Sabrina T, Guchi H. 2009. Biologi dan Ekologi Tanah. Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian. Medan.

Hanafiah KA. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 30

Hardjowigeno S. 2007. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta.

Hardjowigeno S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Presindo. Jakarta.

Husen R, Stakaranwati R, Hastuti, RD. 2006. Rhizobakteri Pemacu Tumbuh Tanaman. Dalam Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Penelitian Tanah. 191-209.

Huy LQ, Cong LT, Ha, TT. 2012. Growth, Demography and Stand Structure of Scaphium macropodum in Differently Managed Forests in Vietnam. Hanoi. Vietnam.

Hy H. 2005. The Scaphium (Scaphium macropodum). Science and Technology News-Letter of Thua Thien Hue. 26-27.

I’ismi B, Herawatiningsih R, Muflihati. 2018. Pemanfaatan Tumbuhan Obat Oleh Masyarakat Areal IUPHHK-HTIPT. Bhatara Alam Lestari di Kabupaten Mempawah. Jurnal Hutan Lestari. 6 (1): 16-24.

Kartasapoetra AG, Sutedjo MM. 2002. Pengantar Ilmu Tanah. PT. Rineka Cipta. Jakarta.

Kasno A. 2009. Peran Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah. http://balittanah.litbang.deptan.go.id/ [20 November 2018].

Kotu S, Rondonuwu JJ, Pakasi S, Titah T. 2015. Status Unsur Hara dan pH Tanah di Desa Sea, Kecamatan Pineleng Distrik Minahasa. Fakultas Pertanian. Universitas Sam Ratulangi.

Lal L. 2002. Phosphate Biofertilizers. Agrotech. Publ. Academy. Udaipur. India.

Leiwakabessy, Suwarno FM, Wahyudin UM. 2003. Bahan Kuliah Kesuburan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Lestari Y, Saraswati R. 1997. Aktivitas Enzim Fosfatase Jamur Pelarut Fosfat Pada Tanah Podzolik Merah Kuning. Banjarmasin.

Lubis RF, Hikmat A, Zuhud EAM. 2019. Etnobotani Merpayang (Scaphium macropodum Miq.) Beumee Ex K. Heyne Sebagai Tumbuhan Obat Pada Etnik Pengulu Sarolangun Jambi. Media Konservasi. 24 (2): 179-185.

Masniawati. 2013. Identifikasi Cendawan Terbawa pada Benih Padi Lokal Aromatik Pulu Mandoti, Pulu Pinjan dan Pare lambau Asal Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Unhas. Makasar.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 31

Mawardiana. 2013. Pengaruh Residu Biochar dan Pemupukan NPK Terhadap Sifat Kimia Tanah dan Pertumbuhan Serta Hasil Tanaman Padi Musim Tanam Ketiga. Jurnal Konservasi Sumberdaya Lahan. 1 (1): 23-31.

Mehrvarz S, Ghaichi MR, Alikhani HA. 2008. Effect of Phosphate Solubilizing Microorganisms and Phosporus Chemical Fertilizer on Yield and Components of Barely (Hordcum vulgare L.). American-Eurasian. J. Agric and Environ. Sci. 3: 822-828.

Monton C, Suksaeree J, Pathompa P. 2014. Can Makjong (Scaphium macropodum) Powder Formed Gel In Effervescent Blend?. Int J Pharm Pharm Sci. 6 (6): 610-612.

MoST. 2007. Vietnam Red Data Book. Natural Science and Technology. Ministry of Science and Technology. Hanoi.

Mukhlis. 2014. Analisis Tanah Tanaman. Universitas Sumatera Utara Press. Medan.

Njurumana, Gerson ND, Hidayatullah M, Tigor B. 2008. Kondisi Tanah Pada Sistem Kaliwu dan Mawar. Info Hutan. 5 (1): 45-51.

Ponmurugan P, Gopi C. 2006. In Vitro Production of Growth Regulators and Phosphatase Activity by Phosphate Solubilizing Bacteria. African Journal of Biotechnology. 4 : 348-350.

Premono EM. 1998. Ulas Balik: Mikroba Pelarut Fosfat untuk Mengefisienkan Pupuk Fosfat dan Prospeknya di Indonesia. Hayati. 5 (4): 89-94.

Poerwowidodo. 2000. Telaah Kesuburan Tanah. Angkasa. Bandung.

Rao NSS. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Terjemahan Herawati Susilo. UI Press. Jakarta.

Santosa E. 2007. Metode Analisis Biologi Tanah. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.

Sarapatka B. 2003. Phosphatase Activity of Eutric Cambisols (Upland, Sweeden) in Relation to Soil Properties and Farming Systems. Original Paper Published in Acta Agriculturae Bohemica. 33 (1): 18-24.

Saraswati R, Husen E, Simanungkalit RDM. 2007. Metode Analisis Biologi Tanah. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.

Setiawati TC. 1998. Efektifitas Mikroba Pelarut P dalam Meningkatkan Ketersediaan P dan Pertumbuhan Tembakau Besuki Na-Oogst (Nicotiana tabacum L.). Tesis. Program Pascasarjana. IPB. Bogor.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 32

Simanullang RH. 2014. Pemanfaatan Jamur Pelarut Fosfat untuk Meningkatkan Pertumbuhan Bibit Suren (Toona sureni) Pada Tanah Ultisol. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan. 42 hlm.

Simanungkalit RDM, Suriadikarta DA, Saraswati R, Setyorini D, Hartatik W. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian. Jawa Barat.

Siregar, EBM. 2005. Inventarisasi Jenis Palem (Arecaceae) pada Kawasan Hutan Dataran Rendah di Stasiun Penelitian Sikundur (Kawasan Ekosistem Leuser) Kabupaten Langkat. Fakultas Pertanian Program Studi Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Medan.

Sitorus ESP. 2013. Isolasi dan Potensi Jamur Pelarut Fosfat pada Lahan Bekas Kebakaran Hutan Desa Tongging Kabupaten Karo. USU Press. Medan.

Spedding TA, Hamel C, Mehuys GR, Madramootoo CA. 2004. Soil Microbial Dynamics in Maize-Growing Soil Under Different Tillage and Residue Management Systems. Soil Biol. Biochem. 36: 499-512.

Suganda H, Rachman A, Sutono. 2006. Sifat Fisik Tanah dan Metode Analisisnya. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Departemen Pertanian.

Susanto U. 2005. Isolasi dan Uji Potensi Mikroorganisme Selulotik dalam Dekomposisi Sisa Tanaman Tembakau Deli PTPN II Kebun Sampali. Skripsi. USU. Medan.

Sutedjo MM. 2002. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta.

Tim Sekotong. 2010. Studi Kandungan Merkuri Pada Tambang Emas Tradidional di Kecamatan Sekotong, Lombok Barat. Fakultas Biologi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Wakelin S, Mander C, Gerard E, Jansa J, Erb A, Young S, Condron L, O’Callaghan M. 2012. Responses of Microbial Communities to Contrasted Histories of Phosphorus Fertilisation in Pasture. Applied Soil Ecology. 61: 40-48.

Widawati S, Suliasih. 2006. Augmentasi Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) Potensial Sebagai Pemacu Pertumbuhan Caysin (Brasica caventis Oed.) di Tanah Marginal. Biodiversitas. 7 (1): 10-14.

Wilkie P. 2009. A Revision of Scaphium (, Malvaceae / Sterculiaceae). Edinburgh Journal of Botany. 66 (2): 283–328.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 33

Winarso S. 2005. Kesuburan Tanah Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Gava Media. Yogyakarta.

Wulandari S. 2001. Efektifitas Bakteri Pelarut Fosfat Pseudomonas sp. Terhadap Pertumbuhan Tanaman Kedelai (Glycine max L.) pada Tanah Podsolik Merah Kuning. Jurnal Natur Indonesia. 4 (1): 21-25.

Yamada T, Suzuki E. 1997. Changes in Spatial Distribution During The Life History of A Tropical Tree, Scaphium macropodum (Sterculiaceae) in Borneo. Journal of Plant Research. 110: 179-186. Yamada T, Yamakura T, Lee HS. 2000. Architectural and Allometric Differences Among Scaphium Species are Related to Microhabitat Preferences. Functional Ecology. 14: 731–737.

Zannah R. 2017. Analisis Vegetasi Pohon di Plot Fenologi Pos Monitoring Sikundur Taman Nasional Gunung Leuser. Skripsi. Fakultas Biologi Universitas Medan Area. Medan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 34

LAMPIRAN

Lampiran 1. Prosedur Penelitian 1. Analisis Kimia Tanah Menurut Saridevi (2013) yang menyatakan bahwa sifat kimia tanah merupakan salah satu komponen yang dapat menjelaskan bagaimana kesuburan tanah. Komponen kimia tanah, seperti: pH, C-Organik, Nitrogen total tanah, P-tersedia dan KTK. Adanya perbedaan sifat kimia tanah ini, dapat diketahui dari analisis tanah lapisan atas yang merupakan campuran dari pelapukan batuan dan jasad makhluk hidup yang telah mati dan membusuk, akibat pengaruh cuaca, proses dekomposisi, dan terurainya mineral-mineral tanah dan kemudian membentuk tanah yang subur. Metode analisis kimia tanah pada penelitian ini adalah sebagai berikut: a. pH Tanah Metode yang digunakan untuk mengukur pH tanah adalah metode pH meter. Tanah sebanyak 10 g dimasukkan ke dalam botol kocok, sebanyak 3 botol, kemudian ditambahkan aquades sebanyak 25 ml. Botol yang berisi tanah dan aquades tersebut dikocok menggunakan shaker selama 10 menit, kemudian diukur pH-nya mengggunakan pH meter (Balai Penelitian Tanah, 2005). b. Bahan Organik Metode yang digunakan untuk menetapkan bahan organik tanah adalah metode Walkley & Black (Prijono, 2013). Timbang 0,5 g tanah yang telah lolos ayakan 0,5 mm dan masukkan labu erlenmeyer 500 ml. Pipet 10 ml K2Cr2O7 1N ditambahkan ke dalam labu erlenmeyer. Tambahkan 20 ml H2SO4 pekat ke dalam labu erlenmeyer dan kemudian digoyangkan supaya tanah bereaksi sempurna.

Biarkan campuran tersebut selama 30 menit. Penambahan H2SO4 dilakukan di ruang asam. Sebuah blanko (tanpa tanah) dikerjakan dengan cara yang sama.

Kemudian campuran tadi diencerkan dengan H2O 200 ml dan tambahkan 10 ml

H3PO4 85%, tambahkan indikator difenilamina 30 tetes. Setelah itu larutan dapat dititrasi dengan FeSO4, 7H2O 1N melalui buret. Titrasi dihentikan ditandai perubahan dari warna gelap menjadi hijau terang, demikian juga dengan blanko.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 35

Lanjutan Lampiran 1. Kemudian dihitung: % C = 5 (1-T/S) x 0,78 (untuk tanah 0,5 g) % Bahan Organik = 1,72 x % C c. Nitrogen Total Tanah Metode yang digunakan untuk menetapkan N Total tanah adalah metode Kjehdal. Prosedur penetapan N-Total (Mukhlis, 2014) adalah sebagai berikut: 1. Tahapan Destruksi a) Ditimbang 2 g tanah, tempatkan pada tabung digester

b) Ditambahkan 2 g katalis campuran dan H2O 10 ml, kemudian ditambahkan

lagi 10 ml campuran H2SO4-asam salisilat dan dibiarkan semalaman c) Didestruksi pada alat digester dengan suhu rendah dan dinaikkan secara bertahap hingga larutan jernih (temperatur <2000C). Setelah larutan jernih suhu dinaikkan dan dilanjutkan selama 30 menit.

d) Didinginkan dan diencerkan dengan menambahkan 15 ml H2O 2. Tahapan Destilasi a) Ditempatkan tabung destruksi pada alat destilasi

b) Pipet 25 ml H3BO3 4%, tempatkan pada erlenmeyer 250 cc dan tambahkan 3 tetes indikator campuran; dan tempatkan sebagai penampung hasil destilasi c) Ditambahkan NaOH 40% ± 25 ml ke tabung destilasi dan langsung didestilasi

d) Ditampung hasil destilasi di erlenmeyer yang berisi H3BO3. Destilasi dihentikan bila larutan di Erlenmeyer berwarna hijau dan volumenya ± 75 ml 3. Tahapan Titrasi a) Dititrasi hasil destilasi dengan HCl 0,02 N. Titik akhir titrasi ditandai oleh perubahan warna dari hijau menjadi merah. b) Perhitungan: ml HCl x N HCl x 14 x 100 N (%) = Berat Tanah x 1000

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 36

Lanjutan Lampiran 1. d. Fosfat Tersedia (P Tersedia) Metode yang digunakan untuk menetapkan P tersedia adalah metode Bray- I. Prosedur penetapan P tersedia (Balai Penelitian Tanah, 2005) adalah sebagai berikut: 1. Ditimbang 2 g contoh tanah dan tempatkan pada gelas erlenmeyer 250 cc. 2. Ditambahkan larutan Bray I sebanyak 20 ml dan digoncang dengan menggunakan shaker selama 10 menit dan disaring dengan kertas saring. 3. Pipet filtrate sebanyak 5 ml dan masukkan dalam tabung reaksi. 4. Ditambahkan pereaksi fosfat B sebanyak 10 ml. Biarkan selama 5 menit. 5. Diukur transmitan pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 600 nm. 6. Pada saat yang bersamaan pipet filtrat juga masing-masing 5 ml larutan standar P 0– 0,5 – 1,0 – 2,0 – 3,0 – 4,0 dan 5,0 ppm P ke tabung reaksi, kemudian tambahkan 10 ml pereaksi fosfat B. 7. Diukur juga transmitan standar spektrofotometer dengan panjang gelombang yang sama yaitu 600 nm. 8. Dihitung: 20 P tersedia (ppm) = ppm pelarut x x faktor pengencer (bila ada) 2 e. Fosfat Total (P Total) Metode yang digunakan untuk menetapkan P total adalah metode spektrofotometer. Prosedur penetapan P total (Balai Penelitian Tanah, 2005) adalah sebagai berikut: 1. Ditimbang 5 g tanah halus (lolos ayakan 2,0 mm) kering udara. 2. Ditambahkan 25 ml HCl 25 % dan dikocok selama 6 jam dengan pengocok elektrik. 3. Disaring dengan kertas saring Whatman No. 42 dan biarkan 24 jam bila larutan keruh. 4. Pipet 1 ml ektraksi tanah, tambahkan 19 ml HCl 25% dengan pipet atau buret, kemudian kocok dengan baik. 5. Pipet 5 ml ekstraksi tanah dari pengenceran tersebut, dimasukkan ke dalam tabung reaksi 50 ml, tambahkan 25 ml akuades dan 8 ml pereaksi B.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 37

6. Ditambahkan akuades sampai tanda batas. Dikocok sampai bercampur dengan baik. 7. Didiamkan selama 30 menit, kemudian dibaca pada spektrometer dengan panjang gelombang 720 nm. f. Kapasitas Tukar Kation (KTK) Metode yang digunakan untuk menetapkan KTK tanah adalah metode

Ekstraksi NH4OAc pH 7. Prosedur penetapan KTK menurut Mukhlis (2014) adalah sebagai berikut: 1. Dimasukkan sedikit serat fiber ke dasar tabung perkolasi dan sedikit pasir kuarsa yang kering 2. Ditimbang 2,5 g contoh tanah dan tempatkan pada tabung perkolasi

3. Ditambahkan 50 ml larutan CH3COONH4 1 N pH 7 4. Dicuci tanah pada tabung perkolasi dengan alkohol 80% hingga larutan tanah + bebas dari NH4 5. Ditambahkan dengan memperkolasikan larutan 50 ml NaCl 10% asam;

perkolat ditampung pada labu ukur 50 cc dan penuhkan dengan H2O sampai volume 50 ml 6. Pipet 20 ml perkolat dari labu ukur dan tempatkan ke tabung destilasi dan

tambahkan 50 ml H2O. Kemudian tempatkan pada alat destilasi. 7. Ditambahkan perkolat 15 ml NaOH 40% pada alat destilasi

8. Ditampung hasil destilasi pada erlenmeyer 250 cc yang berisi 25 ml H3BO3 4% dan 2 tetes indikator metil merah atau indikator campuran 9. Destilasi selesai apabila terjadi perubahan warna pada larutan destilat dan volumenya telah mencapai ± 75 ml 10.Titrasi hasil destilat dengan HCl 0,1 N; hingga warna larutan kembali ke warna semula (sebelum didestilasi). 11. Dihitung: KTK (me/100 g) = ml HCl x N HCl x 100/2,5 x 50/20

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 38

Lampiran 2. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah Staf Pusat Penelitian Tanah Bogor (1983) dan BPP-Medan (1982) Sangat Sangat Sifat Tanah Satuan Rendah Sedang Tinggi Rendah Tinggi C (karbon) % < 1,00 1,00-2,00 2,01-3,00 3,01-5,00 > 5,00

P2O5 HCl mg/100 g < 10 10-20 21-40 41-60 > 60 P-avl Bray II ppm < 8,0 8,0-15 16-25 26-35 > 35 N (Nitrogen) % < 0,10 0,10-0,20 0,21-0,50 0,51-0,75 > 0,75 C/N - < 5 05-10 11-20 16-25 > 25

P2O5 total % < 0,03 0,03-0,06 0,06-0,079 0,08-0,10 > 0,10 P-avl Truog ppm < 8,0 8,0-15 16-25 26-35 > 35 P-avl Olsen ppm < 10 10-25 26-45 46-60 > 60

K2O-eks HCl % < 0,003 0,03-0,06 0,07-0,11 0,12-0,20 > 0,20 CaO-eks HCl % < 0,05 0,05-0,09 0,10-0,20 0,20-0,30 > 0,30 MgO-eks HCl % < 0,05 0,05 0,1 0,2 > 0,30 MnO-eks HCl % < 0,05 0,05 0,1 0,2 > 0,30 K-tukar me/100 < 0,10 0,10-0,20 0,30-0,50 0,60-1,00 > 1,00 Na-tukar me/100 < 0,10 0,10-0,30 0,40-0,70 0,80-1,00 > 1,00 Ca-tukar me/100 < 2,0 2,0-5,0 6,0-10,0 11,0-20,0 > 20 Mg-tukar me/100 < 0,40 0,40-1,00 1,10-2,00 2,10-8,00 > 8,00 KTK (CEC) me/100 < 5 05-16 17-24 24-40 > 40 KB (BS) % < 20 20-35 36-50 51-70 > 60 Kej Al % < 10 10-20 21-30 31-60 >60 EC (Nedeco) mmhos/ cm - - 2.5 2,6-10 >10

pH Sangat masam Masam Agak masam Netral Agak alkalis Alkalis H2O <4,5 4,5-5,5 5,6-6,5 6,6-7,5 7,6-8,5 >8,5

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian

a. Pengambilan contoh tanah pada kedalaman 0-5 cm dan 5-20 cm

b. Uji media padat pada hari 1-5

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA