PENGGAMBARAN PEREMPUAN DALAM SERIAL TELEVISI SEBAGAI KONSTRUKSI IDENTITAS DAN JENDER PEREMPUAN

Nabilla (210000200)

Abstrak:

Tujuan Penelitian: untuk mengetahui bagaimana perempuan digambarkan dalam serial televisi Glee sebagai konstruksi identitas dan jender perempuan di media massa. Metode Penelitian: penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan data kualitatif berupa gambar, narasi, dan penokohan tokoh dalam tujuh episode Glee. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumentasi visual terhadap episode Glee, wawancara pada enam responden yang juga penonton Glee, dan studi literatur dan situs. Hasil Penelitian: perempuan digambarkan sebagai makluk sosial yang seksi, perempuan merupakan objek seks laki-laki, perempuan sangat emosional dan lemah, perempuan tidak dapat dipercaya, perempuan yang bersifat dan berperilaku tegas, tangguh, dan berani adalah hal aneh, dan perempuan berderajat lebih rendah daripada laki-laki. Kesimpulan: Glee berperan dalam mengakselerasikan nilai-nilai maskulinitas dengan penggambaran negatif terhadap perempuan. Tidak ada satupun tokoh yang menggambarkan upaya resistensi dari kaum subordinat terhadap kaum yang lebih dominan. Serial televisi ini mendukung konstruksi perempuan yang ada di masyarakat. Nilai-nilai maskulin yang diadopsi oleh beberapa tokoh perempuan malah dianggap sebagai hal aneh dan tidak pantas.

Kata kunci: perempuan, kontruksi, identitas, jender, representasi

1

Pendahuluan Selama ini, media, terutama televisi dinilai sebagai alat strategis dalam penggambaran dan pembentukan realitas. Dengan karakteristik dan kapasitas media massa yang mampu menjangkau massa dalam waktu serentak adalah kelebihan dan kekuatan bagi produsen media untuk mengakselerasikan nilai-nilai dan ideologi yang dianut. Peneliti menitikberatkan peneliti ini pada sebuah serial televisi asal Amerika Serikat, “Glee” yang merupakan serial televisi dengan genre komedi menceritakan kehidupan remaja semasa menjalani studi di SMA dan universitas. Adapun rincian Glee adalah sebagai berikut: “Entering its fifth season, Glee is a musical comedy about a group of ambitious and talented kids who escape the harsh of realities of high school by joining a Glee club, where they find strength, acceptance, and, ultimately, their voice. Since its debut, GLEE has become a bona fide cultural phenomenon, received prestigious honors, including a Golden Globe Award and Peabody Award, and singlehandedly made Glee clubs cool again. The series boasts critical acclaim, a die-hard fanbase, two Grammy Award nominations, two platinum and five gold albums, more than 43 million songs and more than 13 million album sold worlwide, two sold-out concert tours, a 3-D movie and four Emmy Awards and three Golden Globes, including the award for Best Television Series – Comedy or Musical. (Memasuki musim kelima, Glee adalah sebuah serial televisi dengan genre komedi dan musikal bercerita tentang sekelompok anak-anak bertalenta dan berambisi yang menolak realitas dengan bergabung ke sebuah grup nyayi (Glee), dimana mereka menemukan kekuatan, merasa diterima, dan yang paling penting, suara mereka. Semenjak debut, Glee berhasil menjadi sebuah fenomena budaya yang bona fine, menerima bermacam penghargaan, meliputi sebuah Piala Golden Globe dan penghargaan Peabody, dan secara tidak langsung membuat kelompok bernyanyi di sekolah ‘keren’ lagi. Serial televisi ini menuai banyak kritik positif, dua nominasi Piala Grammy, dua album bersertifikat platinum dan lima album bersertifikat emas, lebih dari 43 juta lagu dan 13 juta album terjual, dua tur dengan tiket terjual habis, sebuah film tiga dimensi, empat Piala Emmy dan tiga Piala Golden Globe, termasuk Serial Televisi Komedi atau Musickal Terbaik), (http://www.fox.com/Glee/about/, diakses pada 1/1/2013 pada 12.09)

Melihat fenomena di atas, peneliti menyimpulkan Glee berhasil menjadi tren dan tontonan favorit bagi anak muda. Hal ini terlihat dari terbentukan banyak kelompok penggemar seluruh dunia. Prestasi yang diraih seperti Piala Golden Globe dan Piala Emmy menunjukkan tingginya popularitas Glee di mata masyarakat dunia. Fakta-fakta tersebut mendorong peneliti untuk melakukan penelitian. Glee berlatar belakang remaja di Amerika Serikat yang penuh dengan tantangan. Para remaja yang tidak kuat menghadapi kerasnya realitas memilih untuk bergabung

2 bersama sebuah ekstrakulikuler yaitu Glee club. Fenomena ini menunjukkan realitas anak remaja secara umum di Amerika Serikat, dan menjadi lebih menarik ketika diangkat menjadi sebuah realitas di televisi. Sebelum membahas lebih lanjut tentang Glee, peneliti menjelaskan bagaimana ide-ide dan penggambaran dalam Glee dapat membentuk realitas di benak masyarakat. Media mengkonstruksi sebuah realitas, sebuah realitas yang semu, bias dan kerapkali tidak adil bagi kelompok tertentu. Seperti halnya yang dipaparkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels dengan wacana terkenal “The Rulling Class and The Rulling Idea”: The ideas of the rulling class are in every epoch of the rulling ideas: i.e, the class which is the rulling material force of society is at the same time its rulling intellectual force. The class which has the means of material production at its disposal, consequently also controls the means of mental production so that the ideas of those who lack the means of mental production are on the whole subject to it. The rulling ideas are nothing more than the ideal expression of the dominant material relations, the dominant material relations grasped as ideas; insofar, therefore, as they rule as a class and determine the extent and compass of an historical epoch, it is self-evident that they do this in its whole range, hence among other things rule also as thinkers, as producers of ideas, and regulate the production and distribution of the ideas of their age: thus their ideas are the rulling ideas of the epoch. (Ide-ide milik kelas berkuasa berada pada tiap-tiap era dimana ide-ide berkuasa: seperti kelas yang mengontrol teknologi atau materi dari sebuah masyarakat pada saat bersamaan juga mengontrol gaya berfikir masyarakat. Kelas yang mempunyai alat-alat untuk produksi materi, konsekuensinya juga mengontrol alat-alat untuk produksi mental maka ide-ide mereka yang tidak memiliki alat produksi adalah subjek dari mereka yang berkuasa. Ide-ide berkuasa adalah ekspresi ideal dari relasi materi dominan, dimana hal tersebut ditransmisikan lewat ide. Maka dari itu, ketika mereka menguasai sebuah kelas dan menentukan arah sebuah era, ini membuktikan jika mereka melakukannya pada ranah keseluruhan, yaitu mereka berperan sebagai pemikir, produsen ide-ide, and meregulasi produksi dan distribusi ide-ide pada zamannya: maka, ide-ide mereka adalah ide yang berkuasa), ( Durham dan Kellner, 2006: 9).

Menurut penjelasan di atas, peneliti mengaitkannya dengan Glee dan berpendapat jika orang- orang yang berkerja untuk Glee, produser dan penulis cerita dan naskah menguasai baik teknologi dan ide-ide. Para penulis dinilai sebagai kelas yang berkuasa karena mereka mempunyai alat-alat untuk memproduksi film dan memegang kontrol atas pesan-pesan yang disampaikan lewat Glee. Dalam penelitian ini, peneliti melihat bagaimana mereka menggambarkan perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut lagi, peneliti berpendapat jika pesan-pesan yang disampaikan media dapat mendorong masyarakat memaknai realitas,

3 memanipulasi identitas, mengkonstruksi jender dan identitas, sebagai tempat resistensi, serta menjadi ruang politik untuk peran laki-laki dan perempuan. Glee diproduksi oleh FOX, sebuah raksasa media Amerika Serikat lewat Productions. Adapun Glee diciptakan oleh “Glee is produced by Ryan Murphy Television in association with 20th Century Fox Television. Ryan Murphy, , and are co-creators of the series. Murphy, Falchuk, Brennan and Dante Di Loreto serve as executive producers.” (Glee diproduksi oleh Ryan Murphy Television dalam asosiasi dengan 20th Century Fox Television. Ryan Murphy, Brad Falchuk, dan Ian Brennan merupakan pencipta Glee. Murphy, Falchuk, Brennan dan Dante Di Loreto adalah produser eksekutif serial ini), (http://www.fox.com/Glee/about/, diakses pada 1/1/2013 pada 12.09). Merujuk penjelasan sebelumnya, Glee diciptakan oleh tiga laki-laki. Murphy, Falchuk, dan Brennan berperan sebagai penulis tetap di Glee. Sebagaiamana dijelaskan sebelumnya, peneliti melihat fenomena ini memberikan kerugian bagi kelompok tertentu, salah satunya perempuan. Perempuan sebagai kelompok yang dirugikan jelas mengalami pembentukan realitas sosial baik dalam jender dan identitas. Dalam film berjudul “Miss Representation”, disebutkan “Women only hold only 5% of clout positions in mainstream media. Women comprised 9% of directors and 15% of film writer in the top 250 grossing films of 2012.” (Hanya 5 % persen perempuan yang menduduki jabatan tinggi dalam media mainstream. Dan hanya terdapat 9% sutradara wanita dan 15% penulis film dalam 250 film dengan keuntungan terbanyak sepanjang 2012), (http://www.missrepresentation.org/resources/, diakses pada 1/1/2013 pada 12.11). Peneliti berpendapat kondisi ini mendorong media untuk membentuk realitas sosial tersendiri dari sosok perempuan. Sedikitnya perempuan di industri media menyebabkan kelompok dominan lebih leluasa memproduksi isi media. Selama ini, isi media tidak pernah lepas dari perempuan. Eksploitasi terhadap perempuan baik secara terang-terangan ataupun secara halus membantu pengukuhan jender dan identitas yang selama ini menjadi pemahaman mainstream. Penggambaran perempuan beragam, seperti perempuan sebagai sosok aneh, lemah, nyentrik, tidak pantas, bahkan sebagai sosok penipu. Glee manjadi sangat menarik dan penting untuk dianalasis mengingat serial televisi ini sudah berhasil menciptakan fenomena tersendiri di dunia pertelevisian Amerika dan juga dunia. Awal kemunculan Glee direspons antusias oleh remaja Amerika Serikat, dan sering menjadi topik populer di kalangan remaja. Keberhasilan Glee menyuguhkan sebuah cerita drama musikal

4 dengan unsur komedi menjadi daya tarik utama dari seri ini. Namun, pada dasarnya terdapat nilai-nilai dan tujuan yang secara implisit ingin disampaikan dan dibentuk. Populer berarti banyak dibicarakan dan dikonsumsi oleh massa, berarti juga pembentukan realitas sosial banyak dikonsumsi massa. Masalah terjadi ketika pembentukan kenyataan sosial tidak sejalan sebagaimana mestinya. Perempuan masih menjadi bagian utama dari pembentukan konten. Glee mempunyai proses yang dibangun secara sistematis untuk mengidentifikasi dan memahami pembagian peran dan kerja laki-laki dan perempuan. Proses tersebut direpresentasikan dari plot, tokoh, penokohan tokoh di Glee. Terdapat upaya untuk mengkonsep peran dan tanggung jawab baik untuk laki-laki dan perempuan yang terjadi dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. Jender merupakan konstruksi yang dibangun dan menjadikan perempuan sebagai alat eksploitasi. Di Glee, perempuan menjadi kelompok yang dirugikan. Banyak fans Glee menyukai sebuah tokoh yang bernama , seseorang wanita yang memimpin sebuah kelompok pemandu sorak bernama Cheerios, selalu berpakaian sporty dengan jaket dan celana training olahraga berwarna senada berwatak tegas, tempramental, egois dan berkuasa. Sue menentang keberadaan sebagai aksi kebangkitan Glee club di SMA McKinley. Sikapnya yang menghalalkan segara cara menjadikan Sue musuh utama dan karakter antagonis terkuat sepanjang series. Lain Sue, lain pula seorang metroseksual dengan fesyen yang androgini dan seorang gay. Penindasan kerap terjadi pada tokoh ini oleh anak laki-laki dari klub football, baik penindasan secara fisik dan lisan. Kurt dianggap kemayu dan memalukan tetap teguh dengan pendirian dan fesyennya. Karakter kuat Kurt berhasil mendatangkan penghargaan istimewa bagi pemerannya, . Sama halnya dengan yang mendapatkan penghargaan Golden Globe atas perannya sebagai Sue. Bukan hanya dua karakter ini saja, masih terdapat karakter perempuan lain seperti , , , Brittany Murphy, Mercedes, Tina Cohen-Chang yang tergabung dalam New Directions. Dalam Glee, keberagaman karakter dari tokoh juga merupakan salah satu jualan utama, terutama karakter perempuan. Tiap-tiap tokoh perempuan mempunyai penggambaran karakter yang berbeda. Masalahnya adalah tidak ada satupun dari tokoh tersebut menggambarkan resistensi terhadap kontruksi perempuan yang menjadi pemahaman utama selama ini.

5

Hal ini berarti terjadi sebuah pembentukan kenyataan atas peran, tanggung jawab dan identifikasi dari perempuan itu sendiri, yang akibatnya dapat diadopsi oleh penonton setia Glee sebagaimana kenyataan yang sebenarnya. Nilai-nilai yang ada disampaikan membentuk penonton berpikiran bahwa perempuan mempunyai peran dan identitas sebagaimana perempuan di Glee digambarkan. Sedikitnya jumlah perempuan dalam sebagai praktisi media, apalagi pemilik media; kepopuleran Glee di mata penonton; serta keberagaman penggambaran perempuan di Glee setidaknya menjadi latar belakang utama atau argumentasi kuat mengapa serial televisi ini menarik dan penting untuk dianalisis, diteliti dan dikaji berkaitan dengan konstruksi jender dan identitias perempuan di media. Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka penelitian ini memusatkan pokok permasalahan dengan bagaimana serial televisi Glee menggambarkan atau mengkonstruksi identitas dan peran perempuan. Maka, dapat disimpulkan jika tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konstruksi identitas dan peran perempuan dalam serial televisi Glee. Adapun secara akademis, peneliti berharap penelitian ini mampu memperkaya konsep dan teori mengenai komunikasi massa, media massa, kontruksi jender dan identitas di media, terutama berbuhubungan dengan penggunaan dan pengujian teori kontruksi realitas dan konstruksi jender dan identitas perempuan di media massa. Secara praktis, penelitian ini diharapakan dapat digunakan sebagai acuan dan referensi tambahan bagi civitas akademika.

Kerangka Teoritis Pada penelitian ini, peneliti menitikberatkan pada teori-teori yang berhubungan dengan kontruksi realitas perempuan di media massa. Peneliti beranggapan jika pada pencipta Glee mengkontruksi realitas perempuan pada serial televisi mereka selama ini lewan karakter- karakter, pesan verbal dan nonverbal, serta ekspresi-ekspresi yang ditunjukkan. Penulis Glee sebagai ‘the rulling class’ memproduksi ide-ide mereka lewat pesan media yang dikemas sedemikian rupa sehingga menarik untuk ditonton. Selanjutnya tentang kontruksi realitas sosial dalam media massa dijelaskan oleh De Fleur (1996: 207): Media massa sebagai pembentuk realitas sosial memproduksi konten media dengan melakukan pembentukan terhadap pesan-pesan yang disampaikan berupa bahasa, baik verbal dan noverbal. Produksi isi pesan melalui proses penyeleksian dan manipulasi tertentu sesuai keinginan atau ideologi media tu. Khalayak pada dasarnya menerima sebuah bentuk realitas yang dikontruksi oleh media. Dunia bahasa media membentuk konsepsi khalayak tentang dunia nyata, media merupakan konstruksi realitas sosial.

6

Menanggapi hal di atas, peneliti berpendapat jika pesan-pesan yang disampaikan oleh Glee merupakan cerminan dari ideologi dan nilai-nilai yang dimiliki oleh sang produser serial televisi tersebut. Glee diciptakan dan disiarkan bukannya tanpa sebab-akibat dan tujuan. Namun, Glee penuh dan sarat akan nilai-nilai tertentu, seperti patriarki dan nilai-nilai yang merugikan perempuan seperti subordinasi, marjinalisasi, hingga eksploitasi. Adapun media dan konten media dilihat dari paradigma konstruksionis adalah sebagai berikut (Eriyanto, 2002: 19-36):

1. Konten media adalah hasil instruksi. Tidak ada realitas yang bersifat objektif, karena realitas itu tercipta lewat konstruksi dan pandangan tertentu. Realitas sosial bukanlah sesuatu yang tinggal diambil di masyarakat lalu digambarkan di media, namun manusia atau praktisi media membentuk media mereka sendiri, realitas itu diproduksi. 2. Media adalah Agen Konstruksi. Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya. Di sini, media dipandangan sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas. Media memilih realitas mana yang diambil dan realitas mana yang tidak diambil. 3. Konten media bukan refleksi dari realitas. Konten media adalah sebuah drama, sebuah pengemasan nilai yang dilakukan oleh pekerja atau praktisi media. Semua proses konstruksi (mulai dari nilai yang disampaikan, sumber, pemakaian kata, gambar, adegan, hingga penyuntingan) memberikan andil bagaimana realitas tersebut hadir di hadapan penonton. 4. Ideologi, nilai, etika, pilihan moral, keberpihakkan praktisi, dan pemilik media adalah bagian yang integral dalam produksi konten media. Penggambaran atas realitas di media berdasarkan dengan ideologi, nilai, etika, pilihan moral, dan tendensi dari pekerja media serta pemiliknya. 5. Penonton mempunyai penafsiran tersendiri atas konten media. Khalayak media dalam hal ini penonton bukanlah subjek pasif, namun merupakan subjek aktif yang dapat menginterpretasi konten media sesuai dengan pertalian makna, referensi pribadi, dan lain- lain. Menurut uraian di atas, peneliti menyimpulkan jika pada Glee terdapat realitas yang dikonstruksi, salah satunya realitas perempuan. Bagaimana perempuan digambarkan, dinarasikan, dan diekspresikan bukanlah hasil realitas objektif namun bersifat subjektif. Glee adalah alat dari mereka yang berkuasa untuk membentuk atau mengkonstruksi bagaimana perempuan seharusnya. Proses produksi konten pada Glee dan produk media lainnya dipengaruhi oleh ideologi, nilai, etika, pilihan moral, keberpihakkan praktisi, dan pemilik media. Sehingga mengahasilkan kontruksi jender dan identitas tertentu pada karakter-karakter perempuan. Sebelum Glee, kontruksi perempuan di media massa terlihat dalam paparan berikut:

7

Meskipun banyak perempuan yang berperan sebagai polisi dan detektif (yang notabene profesi yang ditekuni oleh laki-laki) di layar televisi dalam dua dekade terakhir ini. Mereka tidak selalu tegas merefleksikan perubahan status perempuan dalam masyarakat. Perempuan dalam serial polisi atau detektif seringkali memperlihatkan dari sudut pandang yang glamor, bukannya sebagai fokus hiburan yang mengutamakan perempuan. Angie Dickinson pemeran tokoh utama dalam serial Police Woman atau ‘ cantik’ pemeran utama dalam film Charlie’s Angels menunjukkan betapa memungkinkannya berlari bagai atlit olimpiade sambil mengenakan sepatu berhak tinggi. Dalam film serial semacam ini, gagasan kekuatan perempuan disamakan dengan fantasi keglamoran (bukan kekerasan). Protensi perkembangan representasi kekuatan perempuan ditiadakan oleh idealisasi feminitas. Lebih buruk lagi, posisi struktural patriarki yang tidak tampak (misalnya suara Charlie dalam serial Charlie’s Angels) dijadikan sebagai seseorang yang akhirnya menyelesaikan teka-teki atau aksi, menggantikan, pembacaan ulang apa pun tentang aktivitas perempuan yang positif. Tokoh Emma Peel dalam The Avengers merepresentasikan semangat perempuan aktif dan bebas yang diharapkan pada tahun 60- an. Namun, bahkan dalam serial ini, jurus-jurus karate tidak pernah melunturkan tata rias yang sempurna atau mengubah tatapan kagum Steed, yang memandang dari sudut pandang seksual energetik (Gamman dan Marshment, 2010: 15).

Berdasarkan uraian di atas tentang kontruksi perempuan di media massa, perempuan selalu digambarkan berbeda dengan lelaki walapun kedua jender tersebut melakoni penokohan yang sama seperti menjadi detektif. Alih-alih menunjukkan keahlian perempuan sebagai detektif dengan unsur kekuasaan dan dominasi, perempuan sebagai detektif lebih menunjukkan sisi kemewahan, dan sensualitas mereka. Bagaimana perempuan tidak bisa lepas dari satu berhak tinggi, make up, dan selalu berderajat di bawah lelaki adalah contoh perempuan digambarkan di media selama ini, budaya patriarki masih sangat kental mendominasi pesan-pesan media. Selain itu, perempuan juga tidak bisa dijauhkan dari unsur ponrnografi yang tersurat dalam teks media penggalan Avis Lewallen berikut (dalam Gamman dan Marshment, 2010: 135) “Kate merasa bingung, marah dan tidak percaya. Kate sulit bernafas karena berat badannya menindih Kate. Dengan erangan yang parau Francois menegang dan bergetas, cengkramannya di payudarah Kate semakin kencang dan menyakitkan. Lalu ia pingsan di atas Kate dan Kate merasakan sesuatu yang lengkes menetes di selangkangannya dan lehernya.” Penggalan teks media sebelumnya menunjukkan bagaimana perempuan selalu dieratkan sebagai objek seksual atau kaum lemah. Perempuan mengalami eksploitasi pada tubuh yang merupakan komoditas utama media. Hal ini menghasilkan kontruksi peran, tanggung jawab, dan identitas perempuan di masyarakat. Kontruksi realitas sosial pada perempuan juga terjadi di Indonesia. Eva Leiliyanto bercerita:

8

Gambar tokoh perempuan muda yang menjadi idola kalangan remaja saat itu – Britney Spears – digunakan untuk mengkonstruksi makna bermain dengan logo majalah tersebut ‘fun fearless female’. Dalam sampul tersebut (edisi Maret 2002), tokoh Britney Spears ditampilkan dalam pose menantang yang memperlihatkan lekuk tubuhnya, ia mengangkat kedua tangannya sambil memengang kepala bagian belakang dan mengangkat salah satu kaki dan memperlihatkan paha tokoh ini (dengan menarik kain gaunnya di bagian paha). Ketika berpose seperti itu, penyanyi tersebut menggunakan gaun merah bertali tipis di bagian leher yang memperlihatkan setengah dadanya yang membusung. Gaun ini super ketat sehigga terlihatlah pinggangnya yang ramping Rambut pirangnya dibiarkan tergurai dengan poni sedikit menutupi kening. Visualisasi seperti ini diharapakan oleh pihak majalah merepresentasikan identitas perempuan yang ‘fun’ sekaligus ‘fealess’ (Eva Leiliyanto dalam Jurnal Perempuan nomor 38, 2003: 71-72).

Berdasarkan uraian di atas, peneliti beranggapan jika media massa di Indonesia seperti Cosmopolitan Indonesia yang notabene adalah majalah untuk perempuan justru melakukan penggambaran dan kontruksi jender dan identitas perempuan yang merugikan pihak perempuan. Pemilihan Britney Spears sebagai simbol bintang pop saat itu dengan pose menantang dan baju merah tipis super ketat menunjukkan bagaiamana majalah Cosmopolitan memberikan pesan jika perempuan yang fun dan fearless adalah mereka yang berani menantang hal-hal dengan baju seksi. Adapun stereotipe yang berkenaan dengan jender oleh Archen dan Lloyd (dalam Anthony Synnot, 2003: 109): Laki-laki Perempuan Bertindak sebagai pemimpin, agresif, Penuh kasih sayang, emosional, feminin, ambisius, tegas, kompetitif, dominan, kuat, lembut, menyukai anak-anak, halus, paham, pandai berolahraga, independen, ramai, hangat. mudah membuat keputusan, maskulin, tidak mudah tergugah, percaya diri. Tabel 1 Stereotipe Laki-Laki dan Perempuan Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendeketan kualitatif dan menggunakan data kualitatif, yaitu data yang menunjukkan kualitas atau mutu dari suatu keadaan, kejadian atau peristiwa. Sedangkan bentuk operasional data penelitian ini adalah melalui pendekatan kualitatif deskriptif yaitu berupa narasi, cerita, perilaku, dan penokohan tokoh yang digambarkan. Sehingga penelitian ini menggunakan analisis deskriptif. Analisis data dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu: pengumpulan data, pengelompokkan data, pemilihan dan pengolahan data, dan

9 analisis data. Data berupa narasi dari rangkaian hasil penelitian yang bermuara untuk menjawab rumusan masalah. Adapun beberapa cara pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi dokomentasi visual, wawancara, dan studi situs dan literatur. Pada studi dokumentasi visual, peneliti mengumpulkan data dengan mengkaji beberapa adegan dalam film yang diambil menjadi snapshot pada beberapa episode Glee musim pertama. Untuk wawancara, peneliti melakukan wawancara baik secara tatap muka dan via email. Wawancara dilakukan ke enam repsonden dengan pertanyaan sama sebagai data pendukung penelitian. Studi pustaka dan situs dijadikan sebagai bahan analisis dan pijakan dalam menganalisis.

Hasil Penelitian dan Pembahasan Dalam menganalisis serial televisi ini dalam menggambarkan perempuan, peneliti pertama mengumpulkan beberapa potongan hasil studi dokumentasi visual pada beberapa 7 episode Glee musim pertama seperti pada episode , Plot, , Acafella, The Rhodes Not Taken, Thrown Down, dan . Dari beberapa snapshot berupa gambar dan pesan tekstual, peneliti berhasil menemukan enam gambaran perempuan yang secara garis besar, perempuan dieksploitasi untuk bisa mengumbarkan keseksian, kelemahan, dan ketidakberdayaan. Adapun keenam penggambaran tersebut adalah:

A. Perempuan itu Seksi

Gambar 1 gambar kiri dalam episode Preggers, dan gambar kanan dalam episode Plot. Dari dua gambar di atas digambarkan jika perempuan kerapkali berpakaian seksi dan suka menampilkan bagian tubuh mereka. Di foto kiri digambarkan bagaimana Brittany dan Tina

10 menjadi back up dancers dari Kurt yang seorang lelaki gay. Kurt walaupun gay tetap memakai pakaian tertutup walaupun ketat. Dengan pose yang memperlihatkan lekuk dan bentuk tubuh, Glee meyakini jika perempuan memanglah makhluk yang ditakdirkan untuk tampil seksi. Lalu di foto kedua ditampilkan bagaimana Quinn Fabray, seorang kaptern pemandu sorak yang sedang melakukan lompatan dan berpose melakukan gerak pemandu sorak dengan pakaian pemandu sorak berwarna merah berani dengan rok jauh di atas lutus. Di snapshot tersebut menampilkan kemolekan dan keseksian wanita dengan ekspresi gembira. Penggambaran tersebut seakan-akan mengisyaratkan jika wanita bangga dan gembira dengan keseksiannya. Dan menjadi cheerleader merupakan salah satu cara untuk tampil seksi.

B. Perempuan itu Objek Seks

Gambar 2 gambar kiri pada episode Showmance, tengah pada Showmance, dan kanan pada Plot. Glee juga turut menggambarkan jika perempuan tidaklah lebih dari objek seks semata. Foto paling kiri melibatkan Santana Lopez dan dalam episode kedua series ini. Di snapshot tersebut digambarkan bagaimana perempuan hanyalah objek pelampiasan seks semata. Dan laki- laki hanya menginginkan seks dari perempuan, perempuan dipandang sebagai tubuh sebagai pemuas kebutuhan lelaki semata. Tulisan ‘Just stop it’ yang menandakan jika perempuan tidak menginginkan hal tersebut namun tidak berdaya, dan ‘Ah yeah’ mengisyaratkan jika lelaki tidak bisa tidak menginginkan seks. Snapshot tengah juga berasal dari episode yang sama, berjalur cerita bagamaina New Directions menadapatkan kesempatan perdana mereka untuk menampilkan bakat dan kemampuan mereka di depan masyarakat SMA McKinley. Dalam performa pertama mereka, pembawaan lagu berjudul Push It tersebut melibatkan gerak olah tubuh seakan-akan sedang melakukan adegan hubungan intim. Dengan pose dan raut wajah dari sang laki-laki menandakan

11 bagaiamana dirinya sedang memanfaatkan perempuan di depannya sebagai pemuas seksual. Perempuan lagi-lagi menjadi objek seks. Snapshot terakhir diambil dari episode pertama serial ini, bercerita bagaimana sedang membayangkan dirinya yang berpacaran dengan pacarnya, Quinn Fabray kapte cheerleader. Dari bayangan Finn tersebut, gambaran yang keluar adalah ketika keduanya sedang melakukan adegan berciuman. Hal ini menandakan jika dalam hal berpacaranpun laki-laki hanya menginginkan perempuan sebagai pemuas seksual semata. Perempuan tidak bisa lepas dari identitasnya sebagai objek seks.

C. Perempuan itu emosional dan lemah

Gambar 3 pada episode Shomance (kiri); The Rhodes Not Taken (tengah); Acafella (kanan) Dari sekian banyak adegan perempuan menangis di dalam serial televisi ini. Peneliti setidaknya mengambil tiga snapshot yang menggambarkan perempuan sedang menangis dan lemah karena ketidakberdayaan mereka melawan keadaan dan situasi yang sedang mereka hadapi dan memilih untuk terus diam dan mencurahkan kesedihan sendiri atau kepada orang lain. Snapshot kiri menggambarkan bagaimana Emma Pilsburry salah seorang guru di SMA McKinley High sedang nangis terisak-isak dalam mobilnya sendiri tidak ditemani orang lain tetapi hujan yang deras. Dalam ceritanya, Emma sangat sedih dengan kenyataan jika lelaki yang ia taksir yang sudah memiliki istri ternyata sedang menunggu kelahiran putra pertama mereka. Tidak ada yang dapat Emma lakukan kecuali menangis histeris sendiri di mobilnya ditemani lagu yang berjudul All By Myself yang juga merupakan isi hatinya saat itu. Snapshot di tengah digambarkan sang pemandu sorak Quinn Fabray sedang menangis dan diselimuti rasa sedih ketika mengetahui jika dirinya hamil. Perempuan yang sangat emosional ditampilkan dalam snapshot ini yang hanya dapat menangis ketika masalah datang. Penggambaran jika perempuan sangat lemah tergambar di snapshot ketiga dimana terdapat

12 seorang anggota dari salah satu show choir, Vocal Adrenaline sedang menahan emosinya dan juga memuntahkan sesuatu. Namun, perempuan tersebut tetap tidak dapat berbuat apa-apa dan meminta orang lain agar tidak mengganggunya tapi membiarkannya dalam situasi yang dihadapinya.

D. Perempuan itu tidak dapat dipercaya

Gambar 4 pada episode Pregger (atas); The Rhodes Not Taken (kiri bawah); Preggers (kanan bawah) Konstruksi jender dan identitas selanjutnya dari perempuan adalah perempuan yang tidak dapat dipercaya, snapshot diatas berarti jika Terri sebagai suami dari Will memanipulasi kehamilannya agar dapat menarik perhatian Will dan mendapatkan hal yang dia inginkan. Hubungan snapshot diatas dengan dua yang di bawah adalah. Quinn Fabray yang notabene pacar dari Finn Hudson ternyata bukanlah mengandung anak dari pacarnya melainkan dari teman baik pacaranya, Puck. Quinn Fabray yang merupakan murid dari Will berbohong kepada Finn jika ia merupakan ayah dari bayi yang dikandungnya. Kelicikan Terri untuk terus merahasiakan kebohongan terhadap suaminya adalah membentuk kerjasama dengan Quinn untuk memberikan bayi yang ia kandung saat itu ke Terri mengingat Quinn masih sangat muda baik secara pengalaman, umur dan belum siap secara ekonomi dan finansial. Hal yang sangat pahit harus dialami oleh Puck, karena Quinn menolak bantuan dan dirinya kembali. Sang perempuan lebih memilih pacarnya kebanding laki-laki yang menjadi ayah dari bayinya. Sekali lagi, perempuan digambarkan sebagai sosok yang tidak dapat dipercaya. Maka, terjadinya sebuah konsolidasi antara Quinn dan Terri yang sama-sama membohongi pasangan mereka masing-masing. Glee menggambarkan jika perempuan merupakan sosok yang

13 berperan sebagai penipu dan berotak licik. Pembentukan jender dan identitas yang terjadi adalah perempuan melakukan segala hal untuk mencapai keinginannya sekalipun menipu.

E. Perempuan tegas, tangguh, dan berani itu gila dan aneh

Penggambaran perempuan tersebut melekat pada sosok Sue Sylvester. Sue merupakan salah satu tokoh sentral dalam serial televisi ini. Awalnya secara sekilas orang akan memendam rasa kagum terhadap sosok Sue Sylvester yang berani melawan siapapun yang menghalangi jalannya, dia berbicara dengan lantang dan sangat tegas menyatakan pandangannya ke siapapun tanpa pandang bulu. Sue merupakan musuh terbesar dari Will dan New Directions. Penggambaran perempuan dari sosok Sue sangat mendiskreditkan perempuan baik secara jender dan identitas. Beberapa snapshot yang menggambarkan watak dan perilaku Sue:

Gambar 5 pada episode Acafella, Throwndown, Plot, Preggers, dan Vitamin D. Dalam setiap drama sekiranya sangat dibutuhkan sosok yang antagonis dan menjadi musuh utama dari banyak pihak. Dalam Glee, sosok tersebut terdapat dalam diri Sue Sylvester. Sue merupakan pelatih dari tim pemandu sorak SMA McKinley bernama Cheerios yang sudah

14 berhasil menorehkan banyak prestasi tingkat Nasional dan mendapatkan kesempatan untuk menghiasi televisi nasional dalam tayangan di saluran ESPN Sports. Glee memberikan sebuah realitas jika perempuan yang sudah dapat turun ke ranah publik dan berprofesi menjadi sebuah guru dan pelatih sebuah tim pemandu sorak yang sukses mempunyai peran sebagai seseorang yang jahat, licik, munafik, egois, angkuh, diskriminatif, berani dan suka tantangan, dan tidak suka akan kesuksessan orang lain. Kesan pertama akan sikapnya yang tegas serta memperjuangkan hak-haknya sebagai perempuan lama-lama secara berlebihan dan dengan obsesi tinggi menjadikan Sue sebagai sosok yang aneh dan juga gila. Sebenarnya ketegasan dan sikap tangguh dari Sue menjadi nilai positif tersendiri bagi tokoh ini, dengan konstruksi perempuan yang sudah ada selama ini, tokoh Sue mencoba untuk melawan hegemoni tersebut. Peran yang biasanya ada dalam diri laki-laki dicoba diaplikasikan pada disi Sue, namun pengemasan dan penggambarannya salah dan tetap juga mendiskreditkan posisi, peran dan identitas perempuan dari media ke masyarakat. Nilai positif tersebut terbenam oleh lebih banyak sikap negatif Sue yang merugikan banyak orang dan dinilai tidak sejalan dengan pemahaman mainstream. Kebanyakan tokoh di Glee menganggap jika Sue bukanlah orang yang normal dan banyak yang membencinya. Ketidaksukaanpun bukan hanya berasal dari tokoh-tokoh yang ada di Glee namun juga dari penonton Glee. Berikut adalah jawaban dari beberapa responden yang peneliti berhasil wawancara mengenai tokoh Sue Sylvester dan hal yang mereka sukai dan tidak sukai dari Sue: Responden Pendapat tentang Sue Sylvester Hal yang disukai dan tidak disukai dari Sue Sylvester Hilman Licik, jahat, penyabotase, egois,  Yang disukai: tidak ada. Maulana (17) menghalalkan segala cara untuk  Yang tidak disukai: jahat, licik, mendapatkan apa yang diinginkan, terlalu egois. namun memiliki sedikit sisi baik, sangat sedikit sekali. Sekar Ayu Jahat, tidak dapat dipercaya,  Yang disukai: tidak ada. Nurillah (17) memiliki sedikit sisi baik.  Yang tidak disukai: jahat. Gema ‘bahasanya nancep’, tidak dapat  Yang disukai: tegas. Wahyudi dipercaya (bisa tiba-tiba baik  Yang tidak disukai: cenderung (20) namun lebih sering jahat) tidak memikirkan perasaan orang

15

lain. Nanack Menyeramkan, ditakuti oleh murid-  Yang disukai: tidak ada. Sudarman murid.  Yang tidak disukai: menyeramkan (25) Galavia Sue di awal Glee mempunyai  Yang disukai: bisa menjadi sangat Permata (16) kehidupan yang tidak rasional, gila baik. dan aneh.  Yang tidak disukai: gila. Moediyanti ‘galak’  Yang disukai: tegas. Putri (18)  Yang tidak disukai: suka mendiskrimasi orang lain. Tabel 2 Pendapat Responden Mengenai Sue Sylvester Dari keenam responden yang diwawancarai, tidak ada satupun di antaranya mempunyai pandangan positif dan baik dari tokoh Sue tersebut. Pendapat mengenai Sue dari keenamnya bernada negatif dan tiga (Hilman, Nanack dan Sekar) di mereka menyatakan tidak memiliki sisi atau hal yang disukai dari seorang Sue Sylvester. Hal ini menandakan jika benar adanya pengemasan perempuan yang mengandung peran dan nilai laki-laki berujung pada rasa tidak suka dan rasa aneh terhadap perempuan itu sendiri. Dari hal itu juga menandakan jika perempuan tidaklah bisa berperan dan beridentitas sebagaimana laki-laki berperan dan berindentitas selama ini dalam pemahaman mainstream masyarakat. Tokoh Sue mendukung pembentukan realitas dan represetasi perempuan yang sudah ada selama ini. Nilai, peran dan identitias maskulin yang juga merupakan hasil bentukan dianggap tidak pantas bila digambarkan di sosok perempuan.

F. Perempuan itu berderajat lemah, tersubordinat, dan memalukan

Untuk menggambarkan peran dan identitas ini, Glee menerapkannya pada toko Kurt. Kurt Hummel merupakan seorang lelaki yang mempunyai nilai feminitas tinggi. Kurt adalah salah satu anggota New Directions dan juga tokoh yang sentral di serial ini. Kurt digambarkan sebagai anak dari seorang single parent yang pada awal serial masih sangat malu untuk mengungkapkan identitas dirinya yang gay. Ia memiliki selera fesyen metroseksual sehingga ia kerapkali mendapatkan cemooh dan bully dari anak laki-laki di sekolahnya. Beberapa snapshot yang memperkuat penokohan Kurt Hummel:

16

Gambar 6 pada episode Plot, Showmance, Acafella, Preggers Penggambaran sosok Kurt yang lemah, lembuh, kemayu, menerima keadaan dan situasi, tidak berdaya, sadar dan sangat peduli terhadap fesyen dan gaya berpakaian mengundang serangan dan teror dari anak laki-laki yang menganggap Kurt Hummel adalah anak yang memalukan dan berderajat rendah karena berperan dan beridentitas seperti perempuan. Penggambaran Kurt seperti itu dengan kata lain mengatakan jika perempuan adalah kelompok yang berderajat lemah, tersubordinat dan juga memalukan. Di beberapa snapshot digambarkan bagaimana ia sangat peduli dengan penampilannya seperti di tulisan ‘Please, this is from Marc Jacob’s new collection’ dan ‘is an opportunity for fashion’ menggambarkan jika dirinya sama dengan perempuan yang selalu memperhatikan penampilannya, dan peduli dengan pakaian apa yang ia kenakan sehari-hari. Lalu, kelemahan dan ketidakberdayaan Kurt telihat di snapshot bagaimana ia menerima dirinya dilempar ke bak sampah dan tidak melawan. Dari penggambaran Kurt terlihat jika sikap ‘feminin’ yang ditanamkan pada dirinya mengundang reaksi keras dari menusia yang berjenis kelamin sama seperti dirinya yaitu laki-laki. Hal ini menandakan jika laki-laki menganggap sesamanya yang bersikap keperempuan-perempuanan adalah makhluk yang berderajat rendah, tersubordinat, harus dibully, dan memalukan kaum mereka. Dari uraian mengenai penggambaran tokoh perempuan di atas, dapat dimengerti dalam bagan berikut ini:

17

berderajat lemah, tersubordina t, dan memalukan perempuan yang tegas, tangguh, dan berani itu gila Seksi dan aneh

Perempuan

Tidak Objek dapat Seks dipecaya Laki-laki Emosional dan Lemah

Bagan 1 Penggambaran perempuan sebagai konstruksi jender dan identitas dalam Glee

Pembahasan Konstruktivis Penggambaran dan pembetukan realitas atas identitas dan peran perempuan dalam serial televisi Glee yang tidak bersikap supportif terhadap perempuan itu sendiri menghasilkan pandangan dan pemahaman yang semakin negatif terhadap perempuan. Hal tersebut senada dengan data hasil wawancara berikut ini: Responden Pendapat tentang Glee Tokoh Favorit Tokoh yang Tidak Disukai Hilman Glee itu penuh dengan Finn Hudson, karena Tidak ada. Maulana (17) musik, menyenangkan! tidak pantang Awal Glee keluar masih menyerah, dewasa, bercerita masuk akal namun bijaksana, berjiwa musim ketiga dan keempat pemimpin, pekerja sudah ‘ngawur’, komersil. keras, penyayang, halus. Sekar Ayu Greatest tv series ever! , karena Kitty Wilde dan Wade Nurillah (17) Menyuguhkan tampilan merupakan penari ‘’ Adams. Kitty itu

18

musik dan visualisasi yang yang sangat bagus. munafik dan sangat jahat, bagus, dimainkan oleh aktor ‘Unique’ itu berlebihan, dengan suara bagus, lelaki yang berdandan menggambarkan banyak seperti perempuan dan golongan, berlebihan. Gema Sebagai pemersatu. Mike Chang (lk), Rachel Berry, karena Wahyudi Mike bisa menyanyi terlalu egois dan Tina (20) dan menari dengan Chang, karena baik. meninggalkan pacaranya Artie yang cacat demi Mike Chang ‘the Fly Dancer’. Nanack Glee itu ‘’, Quinn Fabray, Kurt Hummel, karena Sudarman menyuguhkan mash up karena she’s hot and menjijikan dan gay. (25) songs yang bagus. bitchy. Dan Blaine karena mempunyai suara yang bagus. Galavia Glee itu kaya akan nyanyian Santana Lopez, Rachel Berry, karena Permata (16) dan musik, namun jalan karena dia paling terlalu percaya diri dan ceritanya cenderung cantik dan bersuara terobsesi dengan hiperbolis dan tidak bagus dan juga impiannya dan selalu rasional. penyayang. menganggap dirinya paling hebat diantara yang lain. Moerdiyanti Glee itu bagus dan Finn Hudson, karena Santana Lopez, karena dia Putri (18) menyuguhkan musik yang ganteng. nakal. keren. Tabel 3 Pendapat Responden Tentang Glee dan Tokoh Glee Dari tabel di atas, secara keseluruhan Glee berhasil menjual komoditas hiburan berupa musik, lagu dan sajian visual yang apik. Lima dari enam responden seragam menyatakan jika musikalitas tinggi dari serial ini menjadi alasan utama mereka menjadi penonton Glee. Namun,

19 hal bias tergambar dari tokoh favorit dan tokoh yang tidak disukai dari serial ini. Hanya dua dari empat responden yang menyatakan jika tokoh favorit mereka adalah tokoh perempuan, empat lainnya menjatuhkan pilihan kepada tokoh laki-laki. Hal ini menjadi bermasalah ketika dua tokoh perempuan favorit tersebut disukai karena penampilan fisik mereka semata. Kesukaan Nanack pada Quinn Fabray misalnya, karena Quinn itu seksi dan sangat centil sejalan dengan penggambaran perempuan yang sebelumnya dianalisis di atas, dan juga menjadi penguat pandangan jika perempuan memang digambarkan sebagai makhluk hidup yang seksi, memamerkan kemolekan tubuh dan kecantikan wajah. Bahkan, pernyataan Nanack menyukai Glee karena terdapat Dianna Agron yang merupakan pemeran Quinn menggambarkan jika perempuan memang komoditas utama media selama ini. Berbeda dengan kesukaan responden lain terhadap tokoh laki-laki, mereka menjawab jika kesukaan tersebut berlandaskan kemampuan dan bakat yang dimiliki oleh tokoh, bukanlah berdasarkan penampilan secara fisik semata. Seperti yang dipaparkan oleh Gema dan Sekar jika kesukaan mereka terhadap Mike Chang semata-mata kemampuan dan keahlian Mike Chang dalam mengolah tubuh dan mengolah vokal. Perbedaan alasan sangat mendasar terhadap tokoh perempuan dan tokoh laki-laki, hasil wawancara berbunyi jika perempuan tidaklah mempunyai kemampuan dan keahlian yang setara dan sama hebatnya dengan laki-laki hanya paras dan tubuh yang elok. Sedangkan laki-laki dengan tidak adilnya disukai karena peran dan identitas mereka. Data selanjutnya berbunyi jika mayoritas responden tidak suka dengan tokoh perempuan yang digambarkan dalam Glee. Ketidaksukaan Sekar terhadap Kitty sejalan dengan penggambaran perempuan itu tidak dapat dipercaya, sikap munafik yang dimiliki Kitty menjadi bukti lain jika perempuan itu penipu. Lalu ketidaksukaan Gema dan Galavia terhadap tokoh Rachel karena keegoisannya dan obsesinya terhadap mendominasi New Directions sejalan dengan penggambaran perempuan berani, tangguh, itu dianggap aneh, gila serta angkuh. Paparan Sekar dan Nanack akan ketidaksukaan mereka terhadap tokoh laki-laki yang berperan keperempuan-perempuanan yaitu Unique dan Kurt Hummel sejalan dengan penggambaran perempuan itu berderajat rendah, tersubordinat dan memalukan. Dan terakhir, ketidaksukaan Moerdiyanti pada Santana yang dinilai sangat nakal menjadi penguat pandangan jika perempuan itu seksi dan centil. Dari hasil penelitian baik melalui studi dokumentasi dan hasil wawancara, peneliti menemukan jawaban jika perempuan digambarkan seperti streotipe yang sudah berkembang

20 selama ini. Hal ini menguatkan konsep “The Rulling Class and Rulling Ideas” oleh Marx dan Engels jika mereka yang menguasi alat-alat produksi juga menguasa tataran ideologis. Ideologis yang sangat terlihat adalah budaya partriarki yang datang dari para empunya media. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya jika, Glee mempunyai tiga pencipta dan penulis utama yaitu Ryan Murphy, Brad Falchuk, Ian Brennan. Ketiga laki-laki tersebut dan Dante Di Loreto juga berperan sebagai produser eksekutif. Merujuk pada tulisan Marx, kentalnya budaya patriarki dari empat laki-laki yang menguasai, menciptakan, dan memiliki Glee. Selain diproduksi dan ditulis oleh laki-laki, kontruksi jender perempuan di media massa juga didorong oleh media sebagai teknologi. Media sebagai teknologi memungkinkan penyampaian ideologi dan nilai-nilai tertentu seperti budaya patriarki dan eksploitasi perempuan dalam Glee. Media berperan penting dalam menyebarkan pesan-pesan tersebut kepada khalayak. Glee yang berbasis serial televisi berhasil menghipnotis penonton berkat kelebihan media baik secara teknis dan struktural. Secara teknis, media menyebarkan Glee sebagai isi pesan ke sejumlah khalayak dalam waktu serempak. Secara struktural, media mengakselerasikan nilai-nilai patriarki dan mengkonstruksi jender perempuan. Perempuan seksi, lemah, cengeng, tidak dapat dipercaya, serta berderajat rendah seakan-akan merasuki benak para penonton dan mendorong pembentukan identitas dan jender perempuan di dunia nyata.

Kesimpulan Glee ikut mengakselerasikan nilai-nilai maskulinitas dengan penggambaran negatif terhadap perempuan. Dari semua tokoh perempuan yang ada, tidak ada satupun tokoh yang menggambarkan upaya resistensi dari kaum subordinat terhadap kaum yang lebih dominan. Serial televisi ikut mendukung konstruksi perempuan yang sudah ada di masyarakat. Nilai-nilai maskulin yang diadopsi di beberapa tokoh perempuan malah berujung pada keanehan dan ketidakpantasan. Perempuan diajabarkan sebagai manusia yang seksi, hanya dapat mengandalkan kemolekan tubuh mereka, yang berakhir pada pandangan laki-laki terhadap perempuan sebagai alat pemuas secara seksual. Perempuan juga digambarkan sebagai manusia yang emosional dan lemah serta tidak berdaya dalam hidupnya. Ketidakberdayaan akan menyelesaikan masalah berujung pada tangisan dan emosi yang meluap tanpa dapat berbuat apa-apa. Selain itu, penggambaran perempuan lainnya adalah tidak dapat dipercaya dan suka menipu. Sikap munafik dan licik pada tokoh

21 perempuan dalam Glee berindikasi pada ketidaksukaan penonton pada beberapa tokoh perempuan yang dihadirkan. Maka, serial televisi ini sangat bias jender dengan mendiskreditkan perempuan melalui penggambaran negatif perempuan itu sendiri, dan penggambaran perempuan dalam Glee mendukung konstruksi perempuan yang sudah ada selama ini.

Daftar Pustaka

Buku: Durham dan Kellner. (2006). Media and Cultural Studies. Australia: Blackwell Publishing Eriyanto. (2002). Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media. Yogyakarta: LKis Jurnal Perempuan no. 28. (2003). Perempuan dan Media. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan Lorraine Gamman dan Margareth Marshment. (2010). Tatapan Perempuan: Perempuan Sebagai Penonton Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra Marvin I. De Fleur. (1996). Theory of Mass Communication. : Longman

Website: http://www.fox.com/glee/about/, diakses pada 1/1/2013, pukul 12.09 http://www.glee.wikia.com, diakses pada 1/1/2013, pukul 12.11

22