Domestic Case Study 2018 Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Pelestarian Candi Sebagai Warisan Bersejarah di Yogyakarta

Bonaventura Bem Vundo S M 1702676

Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta

Abstract : Makalah ini merupakan hasil laporan Domestic Case Study untuk syarat publikasi ilmiah di Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta dengan Judul Pelestarian Candi Sambisari Sebagai Warisan Bersejarah di Kalasan Yogyakarta.

1. Pendahuluan Jurnal Ilmiah Domestic Case Study (DCS) merupakan program laporan observasi untuk jenjang D-3 dan S-1 transfer pada semester VIII sebagai standard kualifikasi [1]. Jurnal DCS untuk jenjang S-1 ini berbeda dengan jurnal DCS untuk jenjang D3, karena di jenjang S-1, penulis harus membuat laporan DCS yang linier dengan dua jurnal lainnya yaitu Jurnal Foreign Case Study (FCS) dan juga Artikel Ilmiah. Penulis mengikuti Jambore nasional dengan Seminar Alam yang bertempat di Bumi Perkemahan Karang Pramuka, Kaliurang, Yogyakarta pada tanggal 12-14 Januari 2018 dengan pembicara : Prof. Azril Azahari,Ph.D, Prof. Dr. M. Baiquni, M.A., AKBP Sinungwati SH.,M.I.P, dengan tema “Responsible Tourism : Pariwisata Berbasis Lingkungan” [2]. Disini penulis mengartikan bahwa ketika kita membicarakan tentang pariwisata, berarti kita harus memahami tentang lingkungan. Lingkungan kehidupan manusia dan juga lingkungan alam. Berdasarkan apa yang penulis dapatkan dari penyimpulan ketiga pembicara saat mengikuti jambore adalah kita generasi muda yang juga insan pariwisata maupun pelaku pariwisata harus benar-benar mulai memperhatikan dan menggagas bagaimana cara mengedukasi para pelaku pariwisata agar mulai memiliki kesadaran untuk peduli terhadap lingkungan sekitar. Meskipun di dalam mengelola pariwisata kita harus memanfaatkan lingkungan sebagai obyek pariwisata, namun kita harus tetap ingat akan batasan seberapa besar pemanfaatan lokasi yang diperbolehkan, serta pelaku pariwisata juga harus mulai peka tentang tanggung jawab apa yang harus dilakukan. Kita diharuskan untuk memahami nilai-nilai lingkungan di sekitar kita, hal tersebut merupakan salah satu upaya dalam menumbuhkan rasa “Self Belonging” demi untuk menjaga proses keberlangsungan pariwisata dan melestarikan sejarah apa yang ada dari dulu. Berkembangnya era globalisasi saat ini membuat persaingan pariwisata dan sektor-sektor lainnya semakin ketat, sehingga secara tidak langsung menuntut setiap negara mampu menyediakan kualitas serta daya saing yang terbaik untuk memajukan masing-masing sektor [3]. Jika dahulu pariwisata hanya mementingkan kuantitas yang di hasilkan oleh pariwisata, sekarang pariwisata lebih mementingkan aspek kualitas yang nantinya mampu menjadi kunci utama dari kemajuan pariwisata yang ada [4]. Dunia mengakui bahwa memiliki sumber daya alam yang sangat berlimpah, sehingga peluang untuk menjadikan pariwisata di indonesia menjadi salah satu yang terbaik sangatlah mungkin. Selain menjadi sektor unggulan, pariwisata juga dapat menjadi sektor yang menyumbang devisa dalam jumlah yang sangat besar apabila pengelolaan dilakukan dengan benar [5]. Tidak hanya itu saja, namun pariwisata juga dapat memberikan atau membuka lapangan pekerjaan dalam skala yang sangat luas. Satu hal yang masih disayangkan bagi pariwisata di Indonesia adalah Sumber Daya Manusia yang ada masih membutuhkan banyak pelajaran atau bimbingan tentang bagaimana cara mengelola dan juga mengembangkan pariwisata dengan baik dan benar. Bagaimana cara menyeimbangkan pemakaian lingkungan pariwisata tanpa merusak alam yang ada [6]. Pariwisata menjadi salah satu sektor unggulan pembangunan di Indonesia. SDM dalam bidang pariwisata bisa ditingkatkan kualitasnya melalui pendidikan formal ataupun informal seperti pelatihan – pelatihan dan juga sosialisasi ataupun seminar yang diikuti oleh penulis pada waktu lalu. Guna menciptakan standart SDM dan juga standart pengelolaan (teknokrat atau perencanaan) obyek- obyek pariwisata terutama yang berbasis lingkungan dan pelestarian semua nilai-nilainya. Dan nanti pada saatnya setiap pelaku pariwisata Indonesia harus memegang sertifikasi kompetensi untuk mewujudkan penyusunan strategi yang lebih baik dan kebijakan dalam bidang pariwisata terutama menguatkan kondisi lingkungan guna pariwisata akan tetap terjaga dan berkelanjutan [7]. Serta generasi selanjutnya tidak akan kehilangan nilai penting dan sejarah dari lingkungan yang ada di sekitar mereka. Ketika kita sudah menjalankan berbagai strategi untuk mengembangkan pariwisata tetapi perkembangan pariwisata masih belum maksimal, artinya kita harus nerubah strategi yang di terapkan sebelumnya. Seperti Salah satu kesimpulan dari apa yang disampaikan dalam seminar alam, mengubah strategi untuk mengembangkan dan mengelola pariwisata yang dulu nya mementingkan kuantitas menjadi kualitas agar memiliki pondasi yang kuat. Menggencarkan pembekalan ilmu bagi para pelaku pariwisata guna menyongsong pariwisata yang lebih maju lagi [8]. Maka dari itu penulis mengambil Obyek Wisata Candi Sambisari yang berlokasi di Purwomartani, Kalasan, Sleman, Yogyakarta, kira-kira 12 km di sebelah timur kota Yogyakarta sebagai contoh usaha pariwisata yang berbasis lingkungan. Pemeliharaan lingkungan yang sangat baik dan terurus. Mengikuti aturan main atau memenuhi standart pengelolaan pariwisata yang benar. Pariwisata yang tidak hanya bisa merusak lingkungan / alam, namun justru memanfaatkan pariwisata sekaligus untuk memperbaiki lingkungan sekitar. Mengurangi pembangunan yang tidak bersahabat dengan alam yang justru akan mendukung kerusakan alam menjadi semakin parah. Dan juga disetiap obyek wisata dituntut agar memberikan keuntungan baik untuk lembaga dan juga masyarakat sekitar. Sejarah merupakan sesuatu yang tidak boleh dilupakan, tetapi dewasa ini banyak cerita-cerita sejarah yang lambat laun menghilang. Banyak orang-orang yang mengabaikan sejarah. Sajarah adalah saksi bisu zaman dahulu, sejarah juga merupakan warisan yang tak ternilai harganya. Dan bisa diwariskan kepada anak cucu kita. Berikut adalah salah satu sejarah yang ingin diuraikan kembali oleh penulis, sehingga sejarah dikenang kembali, dan orang-orang di luar sana bisa mengetahui cerita yang sesungguhnya, bukan hanya mengetahui mitos-mitos yang beredar di kalangan masyarakat luar. Candi adalah salah satu sejarah yang teramat penting pada zaman dahulu. Candi merupakan tempat tinggal pada zaman dahulu yang digunakan oleh kerajaan. Kerajaan adalah tempat yang terbuat dari batu yang beragam bentuk. Sampai sekarang banyak candi yang masih ada dan terjaga, tetapi orang orang hanya mengetahui cerita yang beredar. Bukan cerita yang sesungguhnya terjadi. Di Indonesia, Jawa khususnya terdapat banyak candi dan situs peninggalan lainnya yang menjadikan jawa semakin kaya akan budaya. Disini penulis akan membahas tentang Candi Sambisari, Candi yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

2. Pembahasan Heritage merupakan warisan (budaya) masa lalu, apa yang saat ini dijalani manusia dan apa yang diteruskan kepada generasi mendatang atau sesuatu yang seharusnya diestafetkan dari generasi ke generasi, umumnya karena di konotasikan mempunyai nilai sehingga patut di pertahankan dan di lestarikan keberadaannya. Pusaka atau Heritage indonesia meliputi : a. Pusaka Alam Pusaka alam adalah bentukan alam yang istimewa, misalnya, Taman Nasional Komodo, Taman Nasional Ujunng Kulon, Taman Nasional Lorentz, dan Taman Nasional Kerinci Seblat. b. Pusaka Budaya Pusaka Budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa dari lebih 500 suku bangsa di tanah air Indonesia. Pusaka Budaya mencakup pusaka berwujud (tangible) dan pusaka tidak berwujud (itangible). Pusaka budaya yang berwujud (tangible) misalnya bangunan kuno dan . Pusaka budaya yang tidak berwujud (itangible) meliputi flokore dalam bentuk cerita rakyat, tarian, kulinari, dan musik tradisional. c. Pusaka Saujana Pusaka saujana adalah gabungan pusaka alam dan Pusaka Budaya dalam kesatuan ruang dan waktu. Pusaka saujana dikenal dengan pemahaman baru yaitu cultural landscape (Saujana Budaya), yakni menitik beratkan pada keterkaitannya budaya dan alam. Dan ini merupakan fenomena kompleks dengan identitas yang berwujud dan tidak berwujud. A. Candi Sambisari a. Lokasi Candi Sambisari Candi Sambisari terletak di desa Sambisari, kelurahan Purwomartani, kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Provinsi DIY. kira-kira 12 km di sebelah timur kota Yogyakarta ke arah kota Solo atau kira-kira 4 km sebelum kompleks Candi dan terletak di 6.54 m di bawah permukaan tanah. b. Sejarah Candi Sambisari Penemuan benda–benda purabakala sering terjadi secara kebetulan, seperti orang sedang menggali tanah untuk membuat sumur, mengolah tanah ladang atau sawah untuk ditanami dan lain– lain, tiba–tiba cangkulnya terbentur sesuatu benda yang ternyata benda tersebut adalah benda kuno. Apabila orang tersebut mengerti bahwa ia harus melaporkan kepada yang berwenang, maka beritanya akan sampai kepada Dinas Purbakala. Akan tetapi ada kalanya penemuan purbakala itu dirahasiakan oleh penemunya dengan maksud dimiliki sendiri atau dijual kepada orang lain yang memang banyak berkeliaran di desa–desa khususnya untuk mencari benda–benda kuno. Oleh karena itu setiap ada berita temuan purbakala, harus segera ditangani oleh yang berwenang untuk menghindarkan lenyapnya atau rusaknya benda–benda tersebut. Begitulah halnya dengan penemuan Candi Sambisari. Seorang petani ketika sedang mengolah tanah ladang milik Karyowinangun, tiba–tiba cangkulnya terbentur pada batu–batu berukir yang ternyata bekas reruntuhan sebuah candi, dan penemuan ini terjadi di bulan Juli 1966. Karena tidak mengetahui adanya larangan sebagaimana tercantum dalam Undang– Undang Kepurbakalaan, petani tersebut mengangkuti dan membawanya pulang beberapa jumlah batu–batu candi itu kerumahnya. Akan tetapi batu–batu tersebut dapat dikembalikan lagi setelah berita penemuan kepurbakalaan itu sampai ke kantor Wilayah Purbakala I LPPN (Lemabaga Purbakala dan Peninggalan Sejarah Nasional) di Prambanan, sekarang Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, segera mengadakan peninjauan dan penelitian ketempat penemuan purbakala. Setelah didapat kepastian bahwa penemuan purbakala itu adalah sebuah candi yang masih terpendam di dalam tanah, maka diputuskan untuk segera menyelamatkan dengan pengadakan penggalian (ekskavasi) secepatnya (BP3 Kabupaten Sleman, 1953:8). Candi Sambisari merupakan percandian yang terdiri dari sebuah candi induk menghadap ke Barat, denahnya bujur sangkar dengan ukuran 13,65 x 13,65 m dan tinggi keseluruhan 7,5 m. Hal yang menarik dari Candi Sambisari yaitu tidak terdapat kaki candi yang sebenarnya, sehingga alas (soubasemant) sekaligus berfungsi sebagai kaki candi. Oleh karena itu relung–relung pada tubuh candi terletak hampir rata dengan lantai dasar. Tangga naik keselasar diapit oleh tangga yang pada ujung bawahnya dihiasi dengan makara yang disangga oleh seorang cebol dengan kedua belah tangannya, pada ambang atas gapura tidak ditemukan hiasan kepala kala (BP3 Kabupaten Sleman, 1953:25). Hal lain yang menarik pada candi ini yaitu disekitar lantai selasar terdapat batu–batu pipih dengan tonjolan diatasnya (semacam umpak) sebanyak 12 buah, berbentuk bulat 8 buah dan berbentuk persegi 4 buah, tubuh candi beukuran 5 x 5 m dan tingginya 2,5 m, tangga naik keselasar terdapat disisi Barat, selasar tersebut selebar 2,5 m mengelilingi tubuh candi dan sisi–sisinya ditutup dengan pagar langkan. Pada sisi luar dinding tubuh candi terdapat relung–relung yang diatasnya terdapat hiasan kepala kala. Relung–relung tersebut masing–masing ditempati oleh Dewi (Utara), Ganesa (Timur), (Selatan). Sedangkan pada kanan dan kiri pintu masuk di bilik candi terdapat dua relung untuk dewa–dewa penjaga pintu, yaitu dan Nandiswara, tapi sayang sekali kedua arca tersebut telah hilang dicuri orang dari tempat penyimpanan di gudang di Sambisari dengan jalan mengangsir tanah (BP3 Kabupaten Sleman, 1953:31). Di dalam bilik candi induk ada sebuah yang cukup besar berukuran 1,34 x 1,34 x 1,18 m, Cerat Yoni menghadap ke Utara, dibawah cerat Yoni ada hiasan seekor naga. Di atas Yoni terdapat Lingga yang berukuran 0,29 x 0,29 x 0,85 m, di bawah Yoni ada perigi yang berukuran 1,75 x 1,75 x 3, 75 m. Dinding- dindingnya dilapisi dengan batu–batu andesit berbentuk persegi, di dalam perigi tidak ditemukan suatu benda kecuali tanah biasa. Di depan candi induk terdapat tiga buah candi perwara, perwara tengah berukuran 5,90 x 4,80, perwara utara dan selatan masing–masing berukuran 4,80 x 4,80 m. Ketiga candi perwara tersebut tidak punya tubuh dan atap yang ada kaki dan diatasnya terdapat pagar langkan. Di candi perwara tengah dan utara, di tengah–tengah ruangan yang dikelilingi pagar langkan terdapat padmasana. Sedangkan di candi perwara selatan tidak ditemukan lapik (BP3 Kabupaten Sleman, 1953:27). Kelompok candi Sambisari secara keseluruhan dikelilingi oleh pagar tembok dari batu putih yang berukuran 50 x 48 m. Pada masing – masing sisi pagar terdapat pintu masuk, akan tetapi pintu utara ditutup. Pada halaman pertama terdapat 8 buah lingga semua yang terletak di delapan arah mata angin (4 buah di depan setiap pintu 4 buah di setiap sudut). Disisi luar pagar keliling terdapat teras sebesar 8 m dengan tangga naik di ke-empat sisinya. Selain itu juga terdapat pagar diperkirakan pagar kedua yang sekarang baru ditampakkan sebagain disisi timur. Hal ini yang menarik dari candi Sambisari yaitu titik pusat kompleks candi berada di sebelah selatan tangga masuk Hiasan yang menonjol pada candi Sambisari ialah Simbar (antefix) yang dihias dengan indahnya. Seluruh pagar langkan sampai ke atap candi di hias dengan simbar ini sehingga nampak dominan (Soekmono, 1974:78). Dinding batu atau kaki induk polos tanpa hiasan, panil–panil pada dinding luar dan dalam yang diseling oleh tiang–tiang pelaster dihias dengan ukiran daun– daunan berpola sulur gelung yang mirip dengan yang ada di , dan ditengahnya terdapat sangka bersayap yang merupakan padmamula. Tubuh candi juga dihias dengan ukiran daun-daunan berpola sulur gelung dan relung-relung dihias dengan kala makara. Kepala kalanya tanpa rahang bawah, kecuali pada dua relung di kanan dan di kiri pintu masuk bilik candi, kalanya disemukan dengan ukiran daun-daunan. Pola pahatan dan bentuk kepala kala di Sambisari agak melebar atau buntek mirip dengan yang terdapat pada Candi Gedong Sanga dan atap Candi Sambisari bertingkat satu dengan berpuncak ratna. Tangga naik ke selasar candi induk yang ± 1 m lebar dengan delapan anak tangga berakhir dengan hiasan makara dengan seekor singa di dalam mulutnya yang mengangah pada candi induk maupun candi perwara tidak ditemukan ukuran relief pada panil (BP3 Kabupaten Sleman: 1953:28). Semua area-area dari pantheon Agama Hindu yang mnempati relung-relung di Candi Sambisari ditemukan kembali. Arca yang menempati relung utara ialah Durgamahesasuramardhini, artinya pembunuh raksasa yang menjelma sebagai Mahesa (banteng). Gambaran yang biasa kita temukan Dewi Durga sebagai sakti (istri) Dewa Siwa, dalam penjelmaan ini bertangan banyak (6, 8, 10) berdiri atas punggung Mahesa yang tidak lain adalah penjelmaan tokoh raksasa (buta). Sewaktu Mahesa dibunuh oleh Durga, raksasa keluar dari tubuh Mahesa dan rambutnya dijambak oleh Durga, sedangkan ekor Mahesa dipegang oleh tangan Durga yang lain. Di Candi Sambisari Durga memiliki tangan delapan, masing- masing empat di kanan dan di kiri yang memegang alat-alat senjata. Tangan- tangan kanan memegang cakra, anak panah, pedang, trisula, sedangkan tangarn- tangan kiri Memegang busur, gada, perisai, cemara. Penjelmaan sedemikian itu melambangkan pertarungan antara kejahatan melawan kebaikan. Pahatan area ini tidak seberapa baik, batunya sudah agak rusak (lapuk), sehingga sukar untuk mengenalinya lebih tepat. Relung sebelah selatan ditempati Agastya atau ada juga yang menyebutnya Bathara Guru, salah satu wujud penjelmaan Dewa Siwa. Dewa ini biasanya digambarkan sebagai orang tua, selalu berdiri dan bertangan dua, berkumis dan berjenggot lebat, perut buncit. Pakaian dan hiasannya sederhana, tidak pernah membawa senjata, kecuali trisula (tombak berujung tiga) yang oleh Siwa dianggap barang suci dan alat ini pun biasanya tidak dipegangnya, melainkan berdiri pada sandarannya. Agastya pada Candi Sambisari perutnya kelihatan kurang buncit, kedua tangannya memegang kamandalu (kendil) dan cakra, di Candi Sambisari, area Agastya berkalungkan asamala (tasbih), sesuatu hal yang tidak lazim pada area-area Agastya lainnya. Pada bahu kirinya terdapat cemara (penghalau lalat). Area menempati relung disebelah timur. Penempatan area Ganesha tergantung kepada arah muka candi, maka area Ganesha berada disebelah barat candi. Ganesha di Candi Sambisari dalam posisi duduk di atas padmasana dengan kedua telapak kakinya bertemu, bertangan empat dan memegang aksamala dan taring yang patah pada tangan-tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memegang mangkok dan parasu (kapak). Belalainya menjulur menyedot isi mangkok pada tangan kiri, melambangkan kehausan akan pengetahuan yang tanpa putus- putusnya meneguk ilmu. Kalung kastanya (upawita) berupa ular naga (nagapasa). Jika melihat unsur-unsur yang terdapat pada Candi Sambisari berupa lingga yoni yang terdapat pada bilik candi induk dapat diungkapkan bahwa candi tersebut merupakan candi yang beragama Siwa. Lingga merupakan salah satu aspek Dewa Siwa. Lingga dengan yoni merupakan perpaduan yang mewujudkan persatuan tertinggi serta melambangkan kesuburan. Demikian pula dengan ditemukannya Area Durga, hal ini memperkuat bukti bahwa Candi Sambisari merupakan candi beragama Siwa. Durga di sini merupakan istri dari Dewa Siwa yang melambangkan pertarungan antara kebaikan dan kejelekan, begitu pula dengan adanya area Siwa Maha Guru dan Area Ganesha, Area Maha Guru merupakan dari Dewa Siwa yang berperan sebagai tokoh besar diantara para pertapa, sedangkan Ganesha merupakan anak dari Dewa Siwa dengan istrinya Dewi Uma (BP3 Kabupaten Sleman, 1953:30). Penempatan area-area tersebut diatas di dalam relung candi induk yang mempunyai persamaan dengan penempatan area-area di Candi Prambanan[5]. Temuan lain yang memperkuat dugaan ini yaitu Area Mahakala dan Nandiswara disamping pememuan lempengan emas yang tertulis. Tulisan tersebut menggunakan huruf Jawa kuno dan sudah dibaca oleh M. Bukhori yang berbunyi : "on siwastliana .../.../. yang secara bebas artinya tempat Dewa Siwa (BP3 Kabupaten Sleman, 1953:48b). Bukti sejarah yang menunjukkan tentang masa berdirinya kompleks Candi Sambisari sampai sekarang masih gelap, namun usaha-usaha untuk mengetahui hal ini telah banyak dilakukan oleh para arkeologi. Para ahli tersebut berbicara berdasarkan data-data yang ditemukan. Berdasarkan temuan lempengan emas yong melekat pada bibir periuk yang berada dibawah umpak kedua dari timur deretan selatan candi Induk, pada lempengan emas ini terdapat tulisan dua baris, tulisan tersebut telah diteliti oleh M. Bukhori dan menurut pendapatnya tulisannya tersebut ditinjau secara paleografis berasal dari kira-kira permulaan abad IX M. Pendapat ini sebetulnya memperkuat pendapat Soediman yang mengatakan bahwa Candi Sambisari dapat dimasukkan dalam dekade pertama atau kedua abad ke IX M sejaman Candi Ngawen. Alasan Soediman memasukkan kompleks Candi Sambisari dalam periode ini berdasarkan : Pada waktu batu-batu luar (outer stones) oandi Induk dibongkar, ternyata batu isian tersebut berupa batu padas ini juga diketemukan pada Candi Roro Jonggrang, Plaosan dan Sojiwan. Batu putih ini banyak terdapat dibukit Ratu Boko, bahkan disana ditemukan bekas penambangangnya (Soekmono, 1973:65). Menurut Krom candi-candi tersebut berasal dari periode yang lebih tua dibandingkan dengan candi-candi lainnya di Jawa Tengah. Sedangkan R. Soekmono mengadakan perbandingan- perbandingan mengenai bentuk arsitektur, bentuk-bentuk candi yang termasuk golongan periode yang tua, seperti Kalasan, , , Pringapus, Sewu, dan lain-lain. Beliau berkesimpulan bahwa candi-candi yang mempunyai kombinasi batu candi polos dan profil klasik pada permulaan dinding candi adalah ciri-ciri yang spesifik daripada bentuk arsitektur sebelum tahun 800 M. Berdasarkan pendapat Soekmono dan kenyataan Candi Sambisari yang mempunyai isian batu putih (padas) yang sama dengan candi berisian batu putih, maka beliau mengambil suatu asumsi bahwa Candi Sambisiari berasal dari pemulaan abad IX M.(Soekmono, 1973:9-10). Dilihat dari tahun berdirinya mesih ada masalah karena ada perbedaan penafsiran antara para ahli. Perbedaan ini menjadikan perbedaan penafsiran tentang pendiri (pendukung) Candi Sambisari. Namun untuk tidak menyulitkan akan dipilih tafsiran yang dilakukan oleh Soediman. Pilihan ini dianggap lebih tepat karena didukung oleh data paleografis. Oleh karena itu Candi Sambisari merupakan bangunan suci agama Siwa, maka untuk memperkirakan siapa raja yang membangun harus dicari raja dari dinasti Sailendra yang memeluk agama Siwa. Di dalam prasasti Wanau Tengah III tahun 908 M, terdapat nama-nama raja dari Dinasti Mataram yaitu : a. Rahyangtai Hara (Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya), 717-746 M. b. Sri Maharaja Rakai Pangkaran, 746-784 M. c. Sri Maharaja Rakai Panarahan (Panunggalan), 784-808 M. d. Sri Maharaja Rakai Warak Dyah Manara 808-827 M. e. Sri Maharaja Rakai Dyah Gula, 827-828 M. f. Sri Maharaja Rakai Garung, 828-846 M. g. Sri Maharaja Rakai Pikaktan, 846-855 M h. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala, 855 - 885M. i. Sri Maharaja Dyah Tagwas, 885 M (la memerintah selama delapan bulan). j. Sri Maharaja Rakai Panumwangan Dyah Dewendra, 885-887 M. k. Sri Maharaja Rakai Gurunwangi Dyah Badra, 877 M (la memerintah hanya satu bulan, lalu meningalkan kerajaan, selama delapan tahun tidak ada raja yang memerintah sampai raja berikutnya naik tahta). l. Sri Maharaja Rakai Wungkalhumalang Dyah /Jbang, 894-898 M. m. Sri Maharaja Rakai Watukara Dyang Balitung, 898 M. Dari daftar nama-nama raja dalam prasasti Wanua Tengah III tersebut diatas, yang paling mendekati tahun pendirian Candi Sambisari yaitu Rakai Garung, tahun 828-846 M. Dengan catatan tidak semua candi dibangun oleh raja yang memerintah. B. Pelestarian Candi Sambisari Candi Sambisari salah satu asset wisata karena merupakan sebuah peninggalan sejarah budaya. Bangunn-bangunan yang terdapat di Candi Sambisari merupakan potensi besar yang dapat menjadikan Candi Sambisari sebagai objek wisata budaya tingkat nasional maupun internasional. Dalam perkembangannya peran serta dari berbagai pihak sangat dibutuhkan. Perkembangannya juga harus terarah dan terkait dengan pengoperasian dan pengelolaan fasilitas-fasilitas yang ada. Untuk mengembangkan suatu objek wisata harus tetap memperhatikan terpeliharanya kebudayaan dan kepribadian nasional serta kelestarian budaya. Dalam industri pariwisata harus diarahkan untuk mempersiapkan kesempatan bagi pengunjung untuk melihat dan menikmati objek wisata [9]. Candi Sambisari sepenuhnya dikelola oleh BP3 (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala) Kabupaten Sleman D. I. Yogyakarta. Usaha yang dilakukan adalah penggalian, pemugaran, melakukan pembersihan dan pemeliharaan bangunan dan lingkungan, perbaikan dan penambahan sarana prasarana objek wisata Candi Sambisari guna meningkatkan potensi dan daya tarik agar lebih banyak lagi masyarakat mengenal Candi Sambisari yang dapat menjadikan Candi Sambisari sebagai objek wisata yang bertaraf nasional maupun internasional. Upaya pelestarian yang dilakukan masyarakat di kawasan Candi Sambisari adalah : a. Menjaga alam disekitar kawasan candi plaosan. Daerah ini merupakan daerah yang memiliki daya tarik alam yang hampir sama dengan daerah lainnya yang berada di pedesaan. Selain udaranya yang sejuk, di sini kita juga bisa memanjakan mata dengan melihat pemandangan yang serba hijau, area ladang atau persawahan disekitar kawasan candi plaosan. Bentuk kecintaan masyarakat terhadap alam adalah dengan menjaga dan merawat alam disekitarnya, karena mereka percaya bahwa semua tanah yang saat ini mereka pijak adalah tanah yang dipersembahkan oleh nenek moyang mereka untuk generasi selanjutnya. b. Mengajarkan generasi-generasi nilai-nilai budaya yang ada, mengajarkan bagaimana cara peduli terhadap lingkungan dan juga budaya peninggalan leluhur. c. Memupuk rasa bangga sejak dini, akan kekayaan budaya yang dimiliki. Sehingga menjadikan pondasi yang kuat agar masyarakat dapat bersama-sama melindungi apa yang ada. Mengajarkan sejarah apa yang terjadi di masa silam. C. Tiga Pilar Utama Pariwisata Secara umum, Pilar pariwisata terdiri dari beberapa aspek [10], diantaranya : 1. Pemerintah a. Balai Pelestarian Cagar Budaya (Kantor Purbakala) Jawa Tengah. Pada peran ini, kantor purbakala memiliki peran untuk melakukan : 1. Melaksanakan pemeliharaan, pengelolaan dan pemanfaatan peninggalan purbakala bergerak maupun tidak bergerak serta situs peninggalan arkeologi bawah air. 2. Melaksanakan perlindungan peninggalan purbakala bergerak maupun tidak bergerak serta situs termasuk yang berada di lapangan maupun yang tersimpan di ruangan. 3. Pemugaran, pemeliharaan dan konservasi kompleks candi plaosan. Yang berarti semua aktifitas untuk menambah mengurangi atau semua aktifitas arkeolog terhadap candi sambisari di pegang penuh oleh pihak kantor purbakala. 4. Melaksanakan dokumentasi peninggalan purbakala, karena hal itu sangat penting guna melengkapi data – data yang dibutuhkan. 5. Pemberian perijinan apabila suatu lembaga atau pihak berkepentingan untuk menggunakan candi sambisari sebagai media untuk suatu kepentingan, mengadakan festival, sebagai tempat peresmian, pre-wedding, syuting atau pengambilan gambar, kunjungan atau studi lapangan dan kepentingan apapun. 6. Menyediakan semua fasilitas yang ada di dalam kompleks candi sambisari 7. Penempatan security dan staff yang lainnya. 8. Melaksanakan bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat tentang peninggalan sejarah dan purbakala. b. DisBud Parpora atau Pemda memiliki peran sebagai berikut : 1) Menetapkan regulasi atau peraturan dalam operasional pengadaan candi sambisari sebagai objek pariwisata. Seperti ada atau tidak nya pembatasan “Mass Tourism / wisatawan dalam skala besar” 2) Mengatur perekonomian yang di hasilkan dari wisata candi sambisari seperti ticketing dan retribusi dan juga semua pengaturan tentang bembiayaan. 2. Swasta / Industri Industri yang dimaksudkan disini adalah pelaku pariwisata yang membentuk produk- produk / jasa pariwisata. Swasta / Industri disini memiliki peran sebagai penyedia, sedangkan dalam keputusan dan juga pemilihan produk wisatanya, masyarakat masih ikut andil di dalamnya karena masyarakat setempat yang lebih mengetahui dan mengerti batas-batas di kawasan mereka sendiri. Tidak perlu dipikirkan lagi, bagaimana nantinya masyarakat tergiur oleh industri yang menawari mereka, karna pendirian masyarakat yang sudah kuat. Jadi, menjaga lahan / tanah peninggalan merupakan hal yang terpenting. 3. Masyarakat Adanya suatu objek wisata disuatu daerah merupakan lahan bagi masyarakat untuk menyalurkan dedikasi mereka terhadap kawasan tersebut. Yang terjadi di kawasan candi sambisari ini adalah mereka menjadi aktor utama yang mendorong dalam jalannya pengadaan wisata ini. Contohnya : a. Sebagai pelaku yang menjalankan pariwisata, baik yang mempelopori pengadaan festival budaya dan penampilan budaya yang mereka miliki b. Membantu mendidik generasi muda tentang arti dan pentingnya melestarikan sejarah c. Lahan Parkir yang memanfaatkan rumah penduduk dan penyedia jasa-jasa makanan dan lain sebagainya telah dijalankan oleh masyarakat sekitar. Secara tidak langsung, kegiatan ini juga memberikan edukasi bagi masyarakat setempat, karena sedikit banyak mereka mulai mengetahui dan memahami bagaimana cara mengelola pariwisata ytanpa menghilangkan budaya yang mereka miliki, serta bagaimana memberikan hospitality kepada wisatawan yang mereka layani, yang mana sebelumnya mereka masih belum paham tentang hal itu.

3. Penutup

A. Simpulan Obyek wisata Candi Sambisari merupakan salah satu dari banyaknya candi yang ada di Indonesia. Setelah sekian lama keberadaan candi ini, masyarakat setempat mengambil sikap waspada untuk membentengi generasi-generasi yang ada untuk tidak membiarkan budaya yang ada menjadi luntur. Maka dari itu masyarakat kawasan Candi Sambisari tetap memberikan upaya-upaya agar sejarah tetap hidup, dan juga berusaha untuk menjadikan Obyek Wisata Sejarah Candi Sambisari menjadi daya tarik tersendiri.

B. Saran Menurut apa yang penulis amati, penulis dapat merasakan betapa kentalnya budaya, adat, dan suasana sejarah yang ada ketika penis mengadakan beberapa kunjungan ke Candi Sambisari. Serta penulis melakukan wawancara langsung kepada pemuda dan pemudi yang saat itu tengah selesai menjadi pemandu wisata salah satu wisatawan lokal yang mengunjungi candi Sambisari. Mereka mengaku bangga dapat menjadi salah satu bagian dari insan yang berpartisipasi melestarikan budaya yang ada disekitar mereka. Serta mendapat didikan yang keras untuk tetap memupuk jiwa kepedulian terhadap peninggalan masa silam.

References [1]. Data Domestic Case Study, tanggal 17 Januari 2018 di Candi Sambisari Kalasan, Yogyakarta [2]. Data Jambore Nasional, Bumi Perkemahan Kaliurang, 12 Januari 2018 – 14 Januari 2018, Seminar Alam : Responsibility Tourism [3]. Haruna, K., Akmar Ismail, M., Suhendroyono, S., Damiasih, D., Pierewan, A. C., Chiroma, H., & Herawan, T. (2017). Context-Aware Recommender System: A Review of Recent Developmental Process and Future Research Direction. Applied Sciences, 7(12), 1211. [4]. Atiqah, A. N., & Slindri, Y. A. (2018). Prinsip Kesantunan Berbahasa antara Pemandu Wisata dan Wisatawan Jepang di Candi Prambanan. Jurnal Kepariwisataan, 12(1), 65-78. [5]. Rif’an, A. A. (2016). Tourism Components and Tourists Characteristic of Prambanan Temple as The World Culture Heritage Site in Yogyakarta, Indonesia. International Journal of Tourism and Hospitality Study, 1(1). [6]. Soeroso, A. (2009). Valuing Borobudur's cultural landscape heritage: using multiattribute environmental economic frameworks to enactive ecotourism policy. Graduate School Gadjah Mada University. [7]. Isdarmanto, I. (2014). Strategi psikologis pengembangan Pariwisata Yogyakarta menuju Era Globalisasi dan Asian Economy Community Year 2015. Jurnal Kepariwisataan, 8(3), 105-118. [8]. Sugiarto, E., & Arch, M. (2014). KAJIAN DAYA TARIK DAN POTENSI DAYA TARIK CANDI SELOGRIYO DAN KAWASANNYA (Doctoral dissertation, [Yogyakarta]: Universitas Gadjah Mada). [9]. Wibisono, H. K. (2013). PARIWISATA DALAM PERSPEKTIF ILMU FILSAFAT (Sumbangannya bagi Pengembangan Ilmu Pariwisata di Indonesia) (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada). [10]. Nugraha, B. S., & Putri, L. P. (2016). Analisis Dampak Lingkungan Dalam Kebijakan Perlindungan Situs Ratu Boko Menuju Pengembangan Pariwisata yang Berkelanjutan. Jurnal Kepariwisataan, 10(2), 7-14.