"Badar" Dalam Lakon Carangan Pewayangan Tradisi Yogyakarta

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

HARMONIA: JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI Konsep "Badar" Dalam Lakon Carangan Pewayangan Tradisi Yogyakarta (he Concept of "Badar" in Yogyakarta Pupettry Tradition Branch Story) Hanggar Budi Prasetya Staf Pengajar Jurusan Pedalangan, Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Yogyakarta Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk (1) Memahami lakonlakon Semar dalam pewayangan tradisi Yogyakarta dan keterkaitannya dengan peristiwa Baratayuda dan (2) Memahami konsep "badar" dalam pewayangan tradisi Yogyakarta. Wayang, seperti halnya jenis folklor yang lain memiliki logika tersendiri yang berbeda dengan logika umum. Salah satu logika itu terlihat dari munculnya konsep"badar" dalam hampir seluruh cerita pewayangan, terutama pada lakonlakon carangan. Konsep "badar" ini berasal dari mitologi Jawa, bahwa seseorang yang memiliki ilmu dapat berubah menjadi bentuk lain, dan pada saatnya bisa kembali atau badar seperri aslinya. Biasanya "badar" mengakhiri sebuah pertunjukan wayang. Kata Kunci: konsep badar, lakon carangan, lakon Semar A. Pendahuluan Ada berbagai jenis lakon carangan, yaitu lakonlakon tentang kelahkan, per- Dibandingkan dengan wayang Bali kawinan, wahyu, kembar, dan gugat. atau wayang Sunda, wayang Jawa jauh Sebagai lakon carangan, lakon gugat dan berkembang. Hal ini dapat dilihat dari lakonlakon kembar bisa digolongkan jumlah lakon wayang yang ada. Lakon sebagai lakon yang relatif baru. Namun wayang Jawa jumlahnya mencapai ra- demikian, hingga kini masih belum jelas tusan, sementara wayang Sunda dan Bali siapa pembuat dan kapan lakon tersebut sangat terbatas. Gronendael (1988: 209) pertama kali dipentaskan. menemukan 449 judul lakon wayang Jawa, Untuk keperluan analisis, lakon yang sedangkan wayang Sunda dan Bali dipilih adalah lakonlakon wayang yang masingmasing 26 lakon dan 8 lakon. Seb- disajikan oleh Ki Hadi Sugito. Pe-milihan agian besar lakonlakon yang diciptakan dalang dilakukan dengan pertim-bangan, ini dikenal dengan lakon carangan, yaitu yaitu: Pertama, telah tersedia rekaman lakon yang diciptakan dalang dengan cara dalam bentuk pita kaset. Kedua, mengembangkan lakon baku, lakon yang pertunjukan Ki Hadi Sugito banyak diacu terkait langsung dengan peristiwa Bara- tayuda. Vol. VI No. 3/September-Desember 2005 HARMONIA: JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI oleh dalangdalang lain dan dapat diang- Berbeda dengan di Surakarta, di gap mewakili tradisi Yogyakarta. Yogyakarta sangat miskin tulisan atau kumpulan lakon wayang. Sejauh ini belum B. Tinjauan Pustaka ada satupun buku kumpulan lakon carangan tradisi Yogyakarta. Yang ada Cerita, termasuk lakon wayang, lahir hanyalah kumpulan lakon Baratayuda yang dari imajinasi manusia, khayalan manusia, ditulis oleh Radyomardowo, dkk (1959) walaupun unsurunsur khayalan tersebut berisi 12 lakon. berasal dari kehidupan manusia sehari- hari. Menurut Putra (1997) cerita seperti Dari uraian di atas nampak bahwa ini dapat dipandang sebagai sebuah m- penulisanlakon carangan telah dilakukan itos. Mitos yang dknaksud di sini berbeda oleh penulis terdahulu. Namun sayang- dengan pengertian mitos yang biasa di- nya hanya sebatas pengumpulan lakon gunakan dalam kajian mitologi pada saja. Hingga saat ini belum ada tulisan umumnya, yang memandang mitos sebagai yang mencoba membahas kumpulan la- cerita suci yang dalam bentuk sim-bolis konlakon carangan. Lebih celaka lagi, mengkisahkan serangkaian peristiwa nyata hampir seluruh lakoncarangan yang telah dan imajiner tentang asalusul dan dipublikasikan adalah lakon carangan perubahan alam raya dan dunia, dewa- tradisi Surakarta. Padahal, lakon carangan dewi, kekuatankekuatan adikodrati, ma- tradisi Yogyakarta juga banyak sekali, nusia, pahlawan, dan masyarakat. Di sini namun hanya ada secara lesan. Kalau mitos merupakan suatu cerita (tidak h- cerita lesan tadi tidak segera dilakukan arus suci) yang mengandung pesan-pesan pendokumentasian, makabisa dipastikan tertentu. Untuk itu lakon wayang dapat bahwa sebentar lagi cerita wayang tradisi dianalisis secara structural. Yogyakarta akan hilang dari pengetahuan Lakonlakon carangan telah banyak masyarakat bersaamaandengan mening- menarik peneliti dan penulis terdahulu. galnya para empu dalang Yogyakarta. Beberapa di antaranya adalah Feinstein, Untuk itu, penelirian mengenai lakon dkk (1986) yang menulis mengenai lakon carangan tradisi Yogyakarta masih relefan carangan yang tersebar di masyarakat dilakukan. Surakarta. la berhasil mengumpulkan 106 judul lakon yang bersumber dari 43 C. Pengumpulan dan Analisis Data dalang di Surakarta. Penulisan lakon ca- rangan juga pernah dilakukan oleh (1) Pengumpulan dan analisis data Wiryoatmojo (1975) mengenai balungan dilakukan dengan mengikuti cara yang lakon yang terdiri dari 20 lakon carangan pernah ditempuh oleh Putra (2001) da- tradisi Surakarta. (2) Meyer, ed (1883) lam menganalisis cerita rakyat Dongeng menulis manuskrip Serat Pakem Gancara- Bajo. Langkahlangkah ini dimulai de- nipun Lampahan Ringgit Purwa 24 iji. (3) ngan, "membaca" kaset wayang lakon Prawiro Sudirdjo dan Sulardi (t.t) menulis Semar Gugat (SG), Semar Bangun Ka- 20 buah cerita lakon carangan, (4) yangan (SBK), dan Semar Kembar (SK) Probohardjono (1961) menulis 14 cerita dengan cara mendengarkan rekaman lakon. (5) Mangkunegara VII (1927) kaset yang ada. Dari pembacaan ini menulis 176 lakon carangan. diperoleh pengetahuan dan kesan tentang isi cerita, tentang tokohtokohnya, tentang Vol. VI No. 3/September-Desember 2005 HARMONIA: JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI berbagai tindakan yang mereka lakukan, yang memperlihatkan suatu pengertian serta berbagai peristiwa yang mereka tertentu (Putra, 2001: 212). alami. Mengingat panjangnya cerita, ceri- - Sebagai kalimatkalimat yang berdiri ta ini perlu dibagi dalam beberapa epi- sendiri, ceriteme sering belum begitu jelas sode. Episode ini hampir sama dengan maknanya. Ceritemeceriteme tersebut pembabakan adegan. Oleh karena itu perlu disandingkan dengan ceriteme lain perlu dilakukan pembacaan lagi lebih yang tempatnya belum tentu berurutan sesama, guna mengetahui episodeepisode atau berdekatan. Hanya dengan menyan- apa saja yang mungkin ada dalam ceri- dingkan berbagai ceriteme inilah akan tera, yang dapat dijadikan dasar bagi muncul kemudian pengertian tertentu dari analisis selanjutnya. Episodeepisode ini ceriteme tersebut. Pengertian baru ini dalam pertunjukan wayang sangat jelas, seolaholah lahir dari relasi ceriteme ditandai dengan pergantian gending (iring- tersebut dengan ceriteme lain dalam an), janturan (diskripsi tempat) dan ung- konteksnya yang baru. kapanungkapan dalang misalnya" Gantya Dengan langkahlangkah analisis se- kang dnarita, tunggal kandham seje prenahe" perti di atas, akan cukup mudah mene- (Sekarang berganti yang diceritakan, satu mukan oposisioposisi antarasatu tokoh perkataan tetapi tempatnya berbeda" atau dengan tokohlain berdasarkan atas tin- Sinegeg kang winursita kang minongka sinam- dakan yang mereka lakukan dan peristiwa beting dnarita kacondra adeging negari ..... yang mereka alami. Meskipun begitu, (Berhenti dulu yang barusaja diceritakan, berbagai oposisi ini juga tidak akan be- yang menjadi kelanjutan cerita adalah gitu banyak artinya bagi pemahaman taf- negara...), dan sebagainya. Setiap episode sir kecuali dapat menempatkannya dalam ini umumnya berisi diskripsi tentang hubungan dengan oposisioposisi lain tindakan atau peristiwa yang dialami oleh yang berasal dari cerita wayang secara ke- tokohtokoh dalam cerita. Sebagaimana seluruhan. Hanya dengan begitu interpre- dikatakan LeviStrauss (Putra, 2001:212) tasi si peneliti atas berbagai oposisi ter- tindakan atau peristiwa ini yang meru- sebut akan menjadi lebih komprehensif, pakan myteme atau ceritemehanya dapat utuh, dan menyeluruh. ditemukan pada tingkat kalimat. Oleh Setelah miteme yang ada dalam karena itu dalam analisis ini perhatian cerita didapadtan, langkah selanjutnya diarahkan terutama pada kalimatkalimat adalah mencari relasi dalam cerita terse- yang menunjukkan tindakan atau but. Kumpulan relasi tersebut akan peristiwa yang dialami oleh tokohtokoh menunjukkan rangkaian-rangkaian trans- cerita. Akan tetapi karena cara ini tidak formasi lakonlakon carangan. Dari rang- selalu tepat karena sebuah pengertian atau kaian tersebut selanjutnya dapat dibuat ide tertentu kadangkadang diung- sebuah model yang dapat menjelaskan kapkan dalam beberapa kalimat. Oleh atau membantu peneliti memahami mak- karena itu pula upaya untuk menemukan na lakon Semar sebagai suatu kesatuan. ceritemeceriteme di sini dilakukan de- - Dari sini kemudian peneliti akan melihat ngan memperhatikan rangkaian kalimat- bahwa fenomena yang diteliti memper- kalimat yang memperlihatkan adanya satu lihatkan adanya sebuah struktur tertentu ide tertentu. Dengan cara ini akan dapat yang bersifat tetap. Struktur yang dite- ditemukan rangkaianrangkaian kalimat mukan ini selanjutnya digunakan untuk Vol. VI No. 3/September-Desember 2005 HARMONIA: JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI menjelaskan makna lakonlakon Semar Astina dengan alasan menunggu negara. dalam cerita wayang. Berikut ini meru- Padahal sebenarnya ia curiga dengan pakan Miteme dari lakonlakon wayang ajakan Durna. Maka, dengan ditemani yang diteliti. Antareja, ia mengawasinya dari jauh. Adegan V: Tengah hutan D. Miteme Lakon Carangan Sadewa didatangi Kresna. Sadewa 1. Semar Gugat (SG) Adegan memberitahu kalau para pandawa diajak I: Negara Dwarawati Durna pergi ke Astina untuk berguru de- ngan Resi Wisuna. Kresna ingin mengha- Kresna mendapat laporan dari Ga- langi keinginan Pandawa dengan berubah tutkaca kalau keadaan di negara Amarta rupa
Recommended publications
  • Release from Batara Kala's Grip: a Biblical Approach to Ruwatan From
    ERT (2019) 43:2, 126-137 Release from Batara Kala’s Grip: A Biblical Approach to Ruwatan from the Perspective of Paul’s Letter to the Ephesians Pancha W. Yahya Ruwatan is a ritual that has been Ruwatan is derived from a Hindu practiced by the Javanese people (the - largest ethnic group in Indonesia) for cation or liberation of gods who had centuries.1 The word ruwatan comes traditionbeen cursed and for is makingrelated mistakesto the purifi and from ruwat, which means ‘to free’ or changed into other beings (either hu- ‘to liberate’. Ruwatan is ‘a ritual to lib- mans or animals). erate certain people because it is be- Because of the widespread practice lieved that they will experience bad of ruwatan, a biblical perspective on luck.’2 These people are considered - donesian Christians, especially those Batara Kala, an evil god of gigantic thisfrom ritual a Javanese would cultural be beneficial background. to In uncleanproportions and firmlyin Javanese under mythology.the grip of Paul’s epistle to the Ephesians pro- The ritual is practised by every stra- vides such a perspective, as it directly tum of the Javanese society—wealthy addresses the evil powers and their and poor, educated and illiterate.3 ability to bind people.4 Ephesus was known as the centre of magic in the Graeco-Roman world.5 1 - I will begin by describing the prac- tral Java and East Java and also the Yogyakar- tice and implicit worldview of ruwa- ta special The Javanese region, live all onin thethe provincesisland of Java, of Cen In- tan.
    [Show full text]
  • S G Rip R Itual U Ses of Shadow P Lays in Java and Bali Ward Keeler
    R e l e a s e f r o m K a l a ' s G r ip R it u a l U ses o f S h a d o w P l a y s in J a v a a n d B a l i Ward Keeler Comparative work in anthropology sometimes appears to be as perilous as it is unfash­ ionable. That it is unfashionable is evident in the relative dearth of explicitly comparative studies published in anthropology over the past forty or so years. A few exceptions aside, the closest one usually comes is an edited volume in which each essay deals with a single society but an introductory essay by the editors hazards some broader comparative re­ marks. The reasons for such reticence seem clear: not only is it difficult for a single anthro­ pologist to acquire enough expertise in more than one society to make comparative remarks with any authority, it also goes against the grain of much contemporary anthropology to try to make data from diverse societies fit the analytic categories—any analytic categories— upon which comparison might be based. This fear of reductionism, which defines the peril in comparative work, is well-founded: the disrepute into which so much earlier anthropology has fallen stems in large part from the brazenly reductive manner in which cross-cultural comparisons were made. Even com- parativists as scrupulous and sophisticated as Boas and Levi-Strauss still seem to lose too much of what matters about the societies they study when they embark on comparisons of ritual, myth, or social organization.
    [Show full text]
  • The Sinophone Roots of Javanese Nini Towong
    Margaret Chan Singapore Management University The Sinophone Roots of Javanese Nini Towong This article proposes that Nini Towong, a Javanese game involving a pos- sessed doll, is an involution of fifth-century Chinese spirit-basket divination. The investigation is less concerned with originist theories than it is a discus- sion of the Chinese in Indonesia. The Chinese have been in Southeast Asia from at least as early as the Ming era, yet Chinese contributions to Indonesian culture is an understudied area. The problem begins with the asymmetrical privileging of Indic over Sinic influences in early European scholarship, a sit- uation which in turn reveals the prejudices that the Europeans brought to bear in their dealings with the Chinese of Southeast Asia in the seventeenth to nineteenth century. Europeans introduced the Chinese-Jew analogy to the region. Their disdain contributed to indigenous hostility toward the Chinese. Racialism is a sensitive topic but a reminder of past injustices provides a timely warning in this moment of tense world geopolitics. keywords: Nini Towong—jelangkung—spirit-basket divination— Sinophone—Sinophobia Asian Ethnology Volume 76, Number 1 • 2017, 95–115 © Nanzan University Anthropological Institute ini Towong is a Javanese rain ritual that involves a female effigy made with Na coconut-shell ladle head mounted upon a basket body.* The soul of a dead person possesses the doll when it self-animates to answer questions put to it by rapping, nodding, and pointing. There is a second Indonesian spirit-basket game, jelangkung, from the Chinese cai lan gong (菜篮公), meaning “vegetable basket deity.” Two people hold onto a basket which moves to write using a pen stuck into its reeds.
    [Show full text]
  • Did the Solar Eclipse of 9 March 2016 Attract Tourist to Come to Indonesia?
    Asia Tourism Forum 2016 – The 12th Biennial Conference of Hospitality and Tourism Industry in Asia (ATF-16) Did the Solar Eclipse of 9 March 2016 Attract Tourist to Come to Indonesia? Nuria Haristiani1, Ani Siti Wiryani2, Arvina Rusli2, Asep Bayu Dani Nandiyanto2*, Novie Permatasari2, Transmissia Noviska Sucahya2, Anisa Purnamasari2, Desri Sofiani2, Isma Widiaty3, Ade Gafar Abdullah4, Ana3, Ratih Hurriyati5 1Departemen Pendidikan Bahasa Jepang, Universitas Pendidikan Indonesia, Jl. Dr. Setiabudi 229, Bandung 40154, Indonesia 2Departemen Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia, Jl. Dr. Setiabudi 229, Bandung 40154, Indonesia 3Departemen Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, Universitas Pendidikan Indonesia, Jl. Dr. Setiabudi 229, Bandung 40154, Indonesia 4Departemen Pendidikan Teknik Elektro, Universitas Pendidikan Indonesia, Jl. Dr. Setiabudi 229, Bandung 40154, Indonesia 5Departemen Manajemen dan Bisnis, Universitas Pendidikan Indonesia, Jl. Dr. Setiabudi 229, Bandung 40154, Indonesia ABSTRACT- Solar eclipse phenomenon is one 1. INTRODUCTION of the spectacular events in nature. On 9 March 2016, the solar eclipse happened in several Solar eclipse phenomenon is a rare event regions in Indonesia. This event attracted tourists to visit Indonesia. The tourists came for that happens in the universe. This phenomenon not only seeing the beautiful solar eclipse scene occurs when the Sun and the Moon are in a but also getting sensation of myths and cultures line in a few minutes, so that sunlight is in Indonesia during the solar eclipse. Here, the covered by the Moon, resulting the darkening aim of this study was to discuss about the effects sky. (Fabian, Winterhalter, & et al, 2001; of solar eclipse event on the increases in the Foken, Wichura, & et al, 2001; Nishanth, Ojha, number of tourists to Indonesia and influence of & et al, 2011) This eclipse takes place in foreign exchange in Indonesia.
    [Show full text]
  • The Panji Story: from Version to Version *) by Triyono
    The Panji Story: From Version to Version *) by Triyono Bramantyo Indonesian Institute of the Arts (ISI) Yogyakarta, Indonesia Introduction A monument that was erected during the reign of King Dyah Balitung of Central Java dating from approximately 907 CE (Ministry of Education and Culture 1983-1984, 2) provides the oldest written record of a wayang performance, which was based on the Mahabharata epic tale. The Ramayana was also an important source in the development of the performing arts in the early civilization of Java. The history of the Ramayana dates back to approximately the 5th-4th century BCE. It is believed that the original version of the story is Valmiki’s Ramayana. Some cultural evidence suggests that the Ramayana predates the Mahabharata. Regardless of which tale appeared first, these two important Indian literary works have been adapted to many forms in Javanese performing arts and in those of the rest of Southeast Asia: the Javanese Ramayana, the Javanese Mahabharata (in various forms of puppetry), the Balinese Ramayana, the Phra Lak Phra Lam of Laos, the Hikayat Seri Rama of Malaysia, the Ramakien of Thailand, the Yama Zatdaw of Myanmar, etc. Alongside the Ramayana and the Mahabharata, there is a local Javanese cycle called the Story of Panji, which, according to C.C. Berg’s work Inleiding tot de Studie van het Oud-Javaansch (1928), was disseminated in the year of Pamalayu (1277 CE). Purbatjaraka, an expert on the Panji cycles, writes: “[…] the writing of the early Panji story was during the supremacy of the Majapahit Kingdom” (Purbatjaraka 1968, 404). The Story of Panji subsequently spread throughout the Southeast Asian region, including present-day Malaysia, Thailand, Cambodia, Myanmar and Laos, and has been adapted to a variety of performing arts.
    [Show full text]
  • J. Ras the Panji Romance and WH Rassers Analysis of Its Theme In
    J. Ras The Panji Romance and W.H. Rassers analysis of its theme In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 129 (1973), no: 4, Leiden, 411-456 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl Downloaded from Brill.com10/10/2021 12:56:07PM via free access J. J. RAS l THE PANJI ROMANCE 1 AND W. H. RASSERS' ANALYSIS li OF ITS THEME \-., i 9 Rasser? work. Some early and more recent judgements. In June 1972 it was exactly 50 years since W. H. Rassen (deceased recently, on 16th May, 1973) presented his book 'De Pandji-roman' to i the Senate Committee of the University of Leiden, which Comrnittee, ) after the traditional discussion on the merits of this study and of the theses accompanying it, conferred on the author the degree of Doctor of Philmphy. - After the completion of his dissertation Rassers proceeded with his research and wrote a number of further studies, the most important of which were later collected and republished in English translation under / the title Pañji, the Culture Hero.' It is through this latter collection , / of essays that Rassen' views have become most widely known outside the Netherlands. The title of this book is not altogether fortunate, in the first place because some of the essays contained in it do not touch on the Panji theme at dl, while in the second place it has caused the book to be mistaken for Rassers' dissertation of 1922, which it definitely is not. -/ The dissertation was never made accessible to the English-reading public.
    [Show full text]
  • Ngahudang Carita Anu Baheula
    NGAHUDANG CARITA ANU BAHEULA (To Awaken An Ancient Story) An Introduction to the Stories of Pantun Sunda Andrew N. Weintraub Southeast Asia Paper No. 34 Center for Southeast Asian Studies School of Hawaiian, Asian and Pacific Studies University of Hawaii at Manoa 1991 ACKNOWLEDGENffiNTS I am indebted to all the people who have helped me in my studies of pantun Sunda. I would like to mention a few individuals here who generously contributed their time and energy to the work contained in this volume. Yoseph Iskandar, Ajip Rosidi, Epih Wirahadikusumah and Amalia Firman collaborated closely with me on the translations of the Sundanese epics and helped me understand the stories within the context of Sundanese culture. Alice Dewey, Hardja Susilo and Ricardo D. Trimillos made valuable comments and suggestions on the writing of the synopses. Truong Buu Lam, Jim Collins, and Flo Lamoureux at the University of Hawaii Center for Southeast Asian Studies were very helpful in getting this volume to press. I am also grateful to the Institute of Culture and Communication at the East-West Center for supporting my research in West Java. Most importantly, I would like to dedicate this volume to the pantun bard, Ki Enjum, who willingly shared his time and knowledge with me. Ki Enjum begins the performance of every pantun Sunda with the invocatory song, "Rajah," which functions as an apology in the event that the performer makes a mistake during the performance. It seems appropriate that I begin this volume by quoting the opening lines from the song "Rajah".
    [Show full text]
  • The Ritual and Mythology of Ruwatan in Mojokerto
    Religió: Jurnal Studi Agama-agama The Ritual and Mythology of Ruwatan in Mojokerto Hidayatul Wahidah Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat (LPAM), Surabaya [email protected] Abstrak Artikel ini menjelaskan tentang sejarah munculnya ritual ruwatan di Mojokerto, tujuan, bentuk ritual dan makna ruwatan bagi masyarakat lokal. Dengan menggunakan metode etnologi penulis menemukan bahwa munculnya ritual ruwatan di Mojokerto merupakan hasil dari proses magis yang berupa mimpi. Berawal dari mimpi salah satu satu pemuka desa yang bermimpi bertemu dengan pendahulu desa yang memberi simbol-simbol magis untuk menyuruh masyarakat setempat melakukan ritual ruwatan di area makamnya. Ritual tersebut diyakini oleh masyarakat setempat sebagai tameng atau senjata untuk menghindarkan masyarakat dari berbagai bahaya bencana. Bentuk ruwatan yang dilakukan mencakup dua model yaitu membersihkan makam serta memberi sesajen di waktu pagi dan menyelenggarakan wayang di sore dan malam hari. Secara umum, masyarakat lokal memiliki cara pandang bahwa ruwatan tersebut selain untuk menyelamatkan mereka dari mara bahaya, juga mengingatkan mereka pada leluhur serta merupakan suatu bentuk ungkapan terima kasih mereka kepadanya. Kesimpulan artikel ini menunjukkan bahwa ritual ruwatan desa merupakan representasi hormat masyarakat kepada leluhur. Selain itu, tujuan diadakannya ritual ini untuk membentuk keharmonisan di dalam masyarakat, karena masyarakat yang datang dari latar belakang yang berbeda datang dan berkumpul di ritual ini. Kata Kunci: Ruwatan, Mitos, Bencana. Volume 5, Nomor 2, September 2015 Introduction Indonesia is multicultural state that has many kinds of ethnics, cultures, languages, and traditions. Especially in Java, it is one of the islands in which the culture and tradition are hold by the almost majority of rural and urban society. They always deliver their tradition and culture to the next generation orally by such kind of mythology stories.
    [Show full text]
  • Peran Dan Fungsi Tokoh Semar-Bagong Dalam Pergelaran Lakon Wayang Kulit Gaya Jawa Timuran*
    HUMANIORA VOLUMEPeran 15 dan Fungsi Tokoh Semar-BagongNo. 3 Oktober dalam 2003 Pergelaran Lakon WayangHalaman Kulit 285 - 301 PERAN DAN FUNGSI TOKOH SEMAR-BAGONG DALAM PERGELARAN LAKON WAYANG KULIT GAYA JAWA TIMURAN* Wisma Nugraha Christianto R.** Pengantar kultural, dan aspek-aspek pragmatik lainnya. Ia tumbuh alami di desa-desa pewaris dan ayang Kulit gaya Jawa Timuran adalah pelestari tradisinya sesuai dengan dinamika sebuah seni pergelaran lakon yang dan tataran pengetahuannya. mempergelarkan lakon-lakon atau Tokoh Semar dalam kehidupan seni cerita dari wiracarita Ramayana dan pergelaran wayang kulit gaya Jawa Timuran Mahabharata, sama halnya dengan seni memiliki kedudukan dan fungsi yang penting pergelaran wayang kulit di daerah lain (Jawa dan agak berbeda dibandingkan perannya Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan dalam dunia pergelaran wayang Jawa daerah lainnya). Secara geografis, tradisi Tengahan dan Yogyakarta. Melalui tokoh pedalangan Jawa Timuran berada di dalam Semar, kiranya dapat dipahami bagaimana wilayah Provinsi Jawa Timur bagian utara di konstruk sebuah lakon dipergelarkan dan sekitar wilayah Surabaya, Sidoarjo, Gresik, bagaimana lakon diberi makna atau Mojokerto, sebagian wilayah Kabupaten dikomunikasikan kepada publik. Sebaliknya, Lamongan, dan sebagian wilayah Kabupaten publik menghayati dan menangkap pesan Pasuruan. Di wilayah Malang, terdapat tradisi lakon melalui peran tokoh Semar. pedalangan yang mirip dengan tradisi yang James T. Siegel (1986), dalam buku ada di Jawa Timuran, tetapi masyarakat berjudul Solo
    [Show full text]
  • The Goddess Durga in the East-Javanese Period
    H a r ia n i Sa n t i k o Universitas Indonesia, Jakarta The Goddess Durga in the East-Javanese Period Abstract This article assesses the changing perceptions of the goddess Durga in Java in the tenth to the fifteenth centuries C.E. From an early perception of her as a beneficent goddess, slayer of the demon Mahisa and protector of welfare and fertility, we see later portrayals of her with a frightful countenance and a predilection for graveyards. This change is traced through the mythology to poorly understood Tantric practices that deteriorated into black magic and the coercion of the goddess’s power for evil purposes, causing her image in Java to become tarnished and turning her into an evil demon. Keywords: Durga— Mahisas"ura— Tantrism— Javanese mythology— antiquities Asian Folklore Studies, Volume 56,1997: 209—226 RCHAEOLOGICAL REMAINS in the form of statues of the goddess {bhatarl) Durga, Durga the destroyer of Mahisas'ura, are quite numer­ ous in Java. The oldest of these statues is estimated to date from around the eighth century C.E.,while the most recent is from about the fifteenth century. On the basis of their characteristics and of the area where they were found, these Durga MahisasuramardinI statues can be divided into two large groups: those from the Central Javanese era, dating to between the eighth century and the beginning of the tenth century, and those of the East Javanese period, which date between the middle of the tenth century and the fifteenth century C.E. The Central Javanese period is very rich in archaeological remains (especially from early Hindu-Buddhist times), though relatively lacking in written data.
    [Show full text]
  • Inventory of the Oriental Manuscripts of the Library of the University of Leiden
    INVENTORIES OF COLLECTIONS OF ORIENTAL MANUSCRIPTS INVENTORY OF THE ORIENTAL MANUSCRIPTS OF THE LIBRARY OF THE UNIVERSITY OF LEIDEN VOLUME 6 MANUSCRIPTS OR. 5001 – OR. 6000 REGISTERED IN LEIDEN UNIVERSITY LIBRARY IN THE PERIOD BETWEEN MAY 1905 AND MAY 1917 COMPILED BY JAN JUST WITKAM PROFESSOR OF PALEOGRAPHY AND CODICOLOGY OF THE ISLAMIC WORLD IN LEIDEN UNIVERSITY INTERPRES LEGATI WARNERIANI TER LUGT PRESS LEIDEN 2007 © Copyright by Jan Just Witkam & Ter Lugt Press, Leiden, The Netherlands, 2006, 2007. The form and contents of the present inventory are protected by Dutch and international copyright law and database legislation. All use other than within the framework of the law is forbidden and liable to prosecution. All rights reserved. No part of this publication may be reproduced, translated, stored in a retrieval system, or transmitted in any form or by any means, electronic, mechanical, photocopying, recording or otherwise, without prior written permission of the author and the publisher. First electronic publication: 27 October 2006. Latest update: 29 July 2007 Copyright by Jan Just Witkam & Ter Lugt Press, Leiden, The Netherlands, 2006, 2007 2 PREFACE The arrangement of the present volume of the Inventories of Oriental manuscripts in Leiden University Library does not differ in any specific way from the volumes which have been published earlier (vols. 5, 12, 13, 14, 20, 22 and 25). For the sake of brevity I refer to my prefaces in those volumes. A few essentials my be repeated here. Not all manuscripts mentioned in the present volume were viewed by autopsy. The sheer number of manuscripts makes this impossible.
    [Show full text]
  • Kajian Semantik Kultural Upacara Adat Ruwatan Murwakala Di Kabupaten Blora Kecamatan Todanan
    KAJIAN SEMANTIK KULTURAL UPACARA ADAT RUWATAN MURWAKALA DI KABUPATEN BLORA KECAMATAN TODANAN SKRIPSI Untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa oleh Nama : Citra Fitriani Rahmawati NIM : 2601414011 Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Jurusan : Bahasa dan Sastra Jawa FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2019 ii iii iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN Motto 1. Hidupilah hidup! (penulis) 2. Keluarlah dan cari jalanmu sendiri! (penulis) Persembahan Skripsi ini ku persembahkan untuk: 1. Bapak, Ibu dan adik tercinta (Paryoto, Rasmini dan Nadia) yang senantiasa selalu ada memberi semangat, dukungan moral dan material, serta mendoakan di setiap waktu. 2. Adik tercintaku (Nadia Isna) yang telah mendoakan dan memberi semangat. 3. Kawan seperjuangan Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa FBS Unnes Angkatan 2014, terkhusus Rombel 1 2014. 4. Keluarga Kos Cantik Gang Kantil no 46. v ABSTRAK Rahmawati, Citra Fitriani. 2019. Kajian Semantik Kultural Upacara Ruwatan Murwakala di Kabupaten Blora Kecamatan Todanan. Skripsi. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa. Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I: Drs. Bambang Indiatmoko, M.Si., Ph.D., Pembimbing II: Eka Yuli Astuti, S.Pd., M.A. Kata kunci: Semantik kultural, sukerta, ruwatan murwakala. Ruwatan murwakala adalah salah satu upacara adat yang dilakukan untuk membebaskan diri (wong sukerta) dari gangguan Batara Kala. Ruwatan ini masih dipercayai dan dilakukan sebagian masyarakat di kecamatan Todanan kabupaten Blora. Terkait dengan hal tersebut, terdapat rumusan masalah yaitu: (1) Bagaimana istilah-istilah tata upacara ruwatan murwakala di kecamatan Todanan kabupaten Blora?; (2) Bagaimana kajian semantik kultural tata upacara adat ruwatan murwakala di kecamatan Todanan kabupaten Blora?.
    [Show full text]