"Badar" Dalam Lakon Carangan Pewayangan Tradisi Yogyakarta
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
HARMONIA: JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI Konsep "Badar" Dalam Lakon Carangan Pewayangan Tradisi Yogyakarta (he Concept of "Badar" in Yogyakarta Pupettry Tradition Branch Story) Hanggar Budi Prasetya Staf Pengajar Jurusan Pedalangan, Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Yogyakarta Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk (1) Memahami lakonlakon Semar dalam pewayangan tradisi Yogyakarta dan keterkaitannya dengan peristiwa Baratayuda dan (2) Memahami konsep "badar" dalam pewayangan tradisi Yogyakarta. Wayang, seperti halnya jenis folklor yang lain memiliki logika tersendiri yang berbeda dengan logika umum. Salah satu logika itu terlihat dari munculnya konsep"badar" dalam hampir seluruh cerita pewayangan, terutama pada lakonlakon carangan. Konsep "badar" ini berasal dari mitologi Jawa, bahwa seseorang yang memiliki ilmu dapat berubah menjadi bentuk lain, dan pada saatnya bisa kembali atau badar seperri aslinya. Biasanya "badar" mengakhiri sebuah pertunjukan wayang. Kata Kunci: konsep badar, lakon carangan, lakon Semar A. Pendahuluan Ada berbagai jenis lakon carangan, yaitu lakonlakon tentang kelahkan, per- Dibandingkan dengan wayang Bali kawinan, wahyu, kembar, dan gugat. atau wayang Sunda, wayang Jawa jauh Sebagai lakon carangan, lakon gugat dan berkembang. Hal ini dapat dilihat dari lakonlakon kembar bisa digolongkan jumlah lakon wayang yang ada. Lakon sebagai lakon yang relatif baru. Namun wayang Jawa jumlahnya mencapai ra- demikian, hingga kini masih belum jelas tusan, sementara wayang Sunda dan Bali siapa pembuat dan kapan lakon tersebut sangat terbatas. Gronendael (1988: 209) pertama kali dipentaskan. menemukan 449 judul lakon wayang Jawa, Untuk keperluan analisis, lakon yang sedangkan wayang Sunda dan Bali dipilih adalah lakonlakon wayang yang masingmasing 26 lakon dan 8 lakon. Seb- disajikan oleh Ki Hadi Sugito. Pe-milihan agian besar lakonlakon yang diciptakan dalang dilakukan dengan pertim-bangan, ini dikenal dengan lakon carangan, yaitu yaitu: Pertama, telah tersedia rekaman lakon yang diciptakan dalang dengan cara dalam bentuk pita kaset. Kedua, mengembangkan lakon baku, lakon yang pertunjukan Ki Hadi Sugito banyak diacu terkait langsung dengan peristiwa Bara- tayuda. Vol. VI No. 3/September-Desember 2005 HARMONIA: JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI oleh dalangdalang lain dan dapat diang- Berbeda dengan di Surakarta, di gap mewakili tradisi Yogyakarta. Yogyakarta sangat miskin tulisan atau kumpulan lakon wayang. Sejauh ini belum B. Tinjauan Pustaka ada satupun buku kumpulan lakon carangan tradisi Yogyakarta. Yang ada Cerita, termasuk lakon wayang, lahir hanyalah kumpulan lakon Baratayuda yang dari imajinasi manusia, khayalan manusia, ditulis oleh Radyomardowo, dkk (1959) walaupun unsurunsur khayalan tersebut berisi 12 lakon. berasal dari kehidupan manusia sehari- hari. Menurut Putra (1997) cerita seperti Dari uraian di atas nampak bahwa ini dapat dipandang sebagai sebuah m- penulisanlakon carangan telah dilakukan itos. Mitos yang dknaksud di sini berbeda oleh penulis terdahulu. Namun sayang- dengan pengertian mitos yang biasa di- nya hanya sebatas pengumpulan lakon gunakan dalam kajian mitologi pada saja. Hingga saat ini belum ada tulisan umumnya, yang memandang mitos sebagai yang mencoba membahas kumpulan la- cerita suci yang dalam bentuk sim-bolis konlakon carangan. Lebih celaka lagi, mengkisahkan serangkaian peristiwa nyata hampir seluruh lakoncarangan yang telah dan imajiner tentang asalusul dan dipublikasikan adalah lakon carangan perubahan alam raya dan dunia, dewa- tradisi Surakarta. Padahal, lakon carangan dewi, kekuatankekuatan adikodrati, ma- tradisi Yogyakarta juga banyak sekali, nusia, pahlawan, dan masyarakat. Di sini namun hanya ada secara lesan. Kalau mitos merupakan suatu cerita (tidak h- cerita lesan tadi tidak segera dilakukan arus suci) yang mengandung pesan-pesan pendokumentasian, makabisa dipastikan tertentu. Untuk itu lakon wayang dapat bahwa sebentar lagi cerita wayang tradisi dianalisis secara structural. Yogyakarta akan hilang dari pengetahuan Lakonlakon carangan telah banyak masyarakat bersaamaandengan mening- menarik peneliti dan penulis terdahulu. galnya para empu dalang Yogyakarta. Beberapa di antaranya adalah Feinstein, Untuk itu, penelirian mengenai lakon dkk (1986) yang menulis mengenai lakon carangan tradisi Yogyakarta masih relefan carangan yang tersebar di masyarakat dilakukan. Surakarta. la berhasil mengumpulkan 106 judul lakon yang bersumber dari 43 C. Pengumpulan dan Analisis Data dalang di Surakarta. Penulisan lakon ca- rangan juga pernah dilakukan oleh (1) Pengumpulan dan analisis data Wiryoatmojo (1975) mengenai balungan dilakukan dengan mengikuti cara yang lakon yang terdiri dari 20 lakon carangan pernah ditempuh oleh Putra (2001) da- tradisi Surakarta. (2) Meyer, ed (1883) lam menganalisis cerita rakyat Dongeng menulis manuskrip Serat Pakem Gancara- Bajo. Langkahlangkah ini dimulai de- nipun Lampahan Ringgit Purwa 24 iji. (3) ngan, "membaca" kaset wayang lakon Prawiro Sudirdjo dan Sulardi (t.t) menulis Semar Gugat (SG), Semar Bangun Ka- 20 buah cerita lakon carangan, (4) yangan (SBK), dan Semar Kembar (SK) Probohardjono (1961) menulis 14 cerita dengan cara mendengarkan rekaman lakon. (5) Mangkunegara VII (1927) kaset yang ada. Dari pembacaan ini menulis 176 lakon carangan. diperoleh pengetahuan dan kesan tentang isi cerita, tentang tokohtokohnya, tentang Vol. VI No. 3/September-Desember 2005 HARMONIA: JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI berbagai tindakan yang mereka lakukan, yang memperlihatkan suatu pengertian serta berbagai peristiwa yang mereka tertentu (Putra, 2001: 212). alami. Mengingat panjangnya cerita, ceri- - Sebagai kalimatkalimat yang berdiri ta ini perlu dibagi dalam beberapa epi- sendiri, ceriteme sering belum begitu jelas sode. Episode ini hampir sama dengan maknanya. Ceritemeceriteme tersebut pembabakan adegan. Oleh karena itu perlu disandingkan dengan ceriteme lain perlu dilakukan pembacaan lagi lebih yang tempatnya belum tentu berurutan sesama, guna mengetahui episodeepisode atau berdekatan. Hanya dengan menyan- apa saja yang mungkin ada dalam ceri- dingkan berbagai ceriteme inilah akan tera, yang dapat dijadikan dasar bagi muncul kemudian pengertian tertentu dari analisis selanjutnya. Episodeepisode ini ceriteme tersebut. Pengertian baru ini dalam pertunjukan wayang sangat jelas, seolaholah lahir dari relasi ceriteme ditandai dengan pergantian gending (iring- tersebut dengan ceriteme lain dalam an), janturan (diskripsi tempat) dan ung- konteksnya yang baru. kapanungkapan dalang misalnya" Gantya Dengan langkahlangkah analisis se- kang dnarita, tunggal kandham seje prenahe" perti di atas, akan cukup mudah mene- (Sekarang berganti yang diceritakan, satu mukan oposisioposisi antarasatu tokoh perkataan tetapi tempatnya berbeda" atau dengan tokohlain berdasarkan atas tin- Sinegeg kang winursita kang minongka sinam- dakan yang mereka lakukan dan peristiwa beting dnarita kacondra adeging negari ..... yang mereka alami. Meskipun begitu, (Berhenti dulu yang barusaja diceritakan, berbagai oposisi ini juga tidak akan be- yang menjadi kelanjutan cerita adalah gitu banyak artinya bagi pemahaman taf- negara...), dan sebagainya. Setiap episode sir kecuali dapat menempatkannya dalam ini umumnya berisi diskripsi tentang hubungan dengan oposisioposisi lain tindakan atau peristiwa yang dialami oleh yang berasal dari cerita wayang secara ke- tokohtokoh dalam cerita. Sebagaimana seluruhan. Hanya dengan begitu interpre- dikatakan LeviStrauss (Putra, 2001:212) tasi si peneliti atas berbagai oposisi ter- tindakan atau peristiwa ini yang meru- sebut akan menjadi lebih komprehensif, pakan myteme atau ceritemehanya dapat utuh, dan menyeluruh. ditemukan pada tingkat kalimat. Oleh Setelah miteme yang ada dalam karena itu dalam analisis ini perhatian cerita didapadtan, langkah selanjutnya diarahkan terutama pada kalimatkalimat adalah mencari relasi dalam cerita terse- yang menunjukkan tindakan atau but. Kumpulan relasi tersebut akan peristiwa yang dialami oleh tokohtokoh menunjukkan rangkaian-rangkaian trans- cerita. Akan tetapi karena cara ini tidak formasi lakonlakon carangan. Dari rang- selalu tepat karena sebuah pengertian atau kaian tersebut selanjutnya dapat dibuat ide tertentu kadangkadang diung- sebuah model yang dapat menjelaskan kapkan dalam beberapa kalimat. Oleh atau membantu peneliti memahami mak- karena itu pula upaya untuk menemukan na lakon Semar sebagai suatu kesatuan. ceritemeceriteme di sini dilakukan de- - Dari sini kemudian peneliti akan melihat ngan memperhatikan rangkaian kalimat- bahwa fenomena yang diteliti memper- kalimat yang memperlihatkan adanya satu lihatkan adanya sebuah struktur tertentu ide tertentu. Dengan cara ini akan dapat yang bersifat tetap. Struktur yang dite- ditemukan rangkaianrangkaian kalimat mukan ini selanjutnya digunakan untuk Vol. VI No. 3/September-Desember 2005 HARMONIA: JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI menjelaskan makna lakonlakon Semar Astina dengan alasan menunggu negara. dalam cerita wayang. Berikut ini meru- Padahal sebenarnya ia curiga dengan pakan Miteme dari lakonlakon wayang ajakan Durna. Maka, dengan ditemani yang diteliti. Antareja, ia mengawasinya dari jauh. Adegan V: Tengah hutan D. Miteme Lakon Carangan Sadewa didatangi Kresna. Sadewa 1. Semar Gugat (SG) Adegan memberitahu kalau para pandawa diajak I: Negara Dwarawati Durna pergi ke Astina untuk berguru de- ngan Resi Wisuna. Kresna ingin mengha- Kresna mendapat laporan dari Ga- langi keinginan Pandawa dengan berubah tutkaca kalau keadaan di negara Amarta rupa