Tradisi Hileyiya: Persinggungan Antara Agama dan Tradisi pada Masyarakat Kota Gorontalo... Rizal Darwis

TRADISI HILEYIYA: PERSINGGUNGAN ANTARA AGAMA DAN TRADISI PADA MASYARAKAT KOTA GORONTALO PERSEKTIF SOSIOLOGI HUKUM

Tradition of Hileyiya: The Interaction Between Religion and Traditions in Gorontalo in Sociology of Islamic Law Perspective

RIZAL DARWIS

Fakultas Syariah dam Ekonomi AbstrAct Islam, IAIN Sultan Amai Gorontalo Jl. Gelatik No. 1 (Kampus 1), Interaction between tradition and religion in Indonesia cannot be denied. Historically, Heledulaa, Kota Gorontalo the development of national law was based on three difference laws: customary law, E-mail: [email protected] western law (particularly Dutch law), and Islamic law. This affects on the acceptance Naskah diterima : 15 Desember of the tradition that does not contradict with the religious law. This paper examines the 2014 Naskah direvisi : 23 Maret – 5 April tradition of hileyiya or funeral ceremony which is prominent among Gorontalo’s society 2015 from the sociology of Islamic law perspective. It is a descriptive qualitative research and Naskah disetujui : 22 Juni 2015 the data was collected using observation, interviews, and document review. Finding of this study revealed that tradition of hileyiya consisting of the reciting of the Qur’an, tahlil, tahmid, shalawat and dzikir has become a legacy for Gorontalo’s society. In the sociology of Islamic law perspective, this practice provides various benefits to the dead family and the visitors. For instance, the benefits of reciting the Qur’an believed can be passed on to the dead, serve to tranquil the dead family, and remind people about the death. It can be regarded as al-urf-shahih (and it was legitimized by the basis of Islamic law as al-adat al-muhakkamah (customs can be law). Keywords: tradition, hileyiya, funeral ceremony, Gorontalo’s society

AbstrAk Persinggungan antara tradisi dan agama di Indonesia tidak terpisahkan. Apalagi proses masuknya agama Islam dan pembentukan hukum nasional juga melalui sejarah yang cukup panjang dengan pergumulan antara hukum adat, hukum Barat dan hukum Islam. Hal ini berimplikasi terhadap penerimaan sebuah tradisi yang tidak bertentangan dengan hukum agama. Tulisan ini mengkaji tradisi hileyiya (doa arwah) yang berkembang pada masyarakat Kota Gorontalo dari perspektif sosiologi hukum Islam. Penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan metode pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi hileyiya telah dilaksanakan turun-temurun oleh masyarakat Kota Gorontalo pada hari-hari tertentu dengan pembacaan Alquran, tahlil, , tahmid, shalawat, dan berbagai zikir. Pelaksanaan tradisi ini jika ditinjau dari sosiiologi hukum Islam memberikan banyak manfaat bagi keluarga si mayit maupun bagi peziarah, seperti bacaan yang dilakukan dihadiahkan kepada si mayit, menghibur keluarga yang ditinggal, dan mengingat kematian. Tradisi ini dikategorikan sebuah al-urf al-shaḥîḥ dan dilegitimasi dengan kaidah fiqh: al-adat al-muḥakkamah (adat kebiasaan dapat dijadikan hukum). Kata kunci: tradisi, hileyiya, doa arwah, masyarakat Gorontalo

57 Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015 halaman 57-68

Pendahuluan Salah satu bentuk adat istiadat yang dilakukan Tradisi atau adat merupakan kebiasaan dalam masyarakat pada beberapa daerah di wilayah masyarakat dan menjadi salah satu kebutuhan Indonesia adalah tahlilan (talkin). Kebiasaan ini sosial yang sulit untuk ditinggalkan dan berat untuk dilakukan karena menganggap acara tahlilan ini dilepaskan. Oleh karena itu, dalam pembinaan sebagai sebuah ritual Islami, yakni ibadah. Bahkan hukum Islam terlihat dengan jelas bahwa syariat mereka yang melakukan kegiatan ini melihat Islam sangat memperhatikan adat masyarakat acara tahlilan seperti ini hukumnya sunnah setempat (Ansori, 2007: 2). Tradisi atau adat dan mendatangkan pahala, apalagi didalamnya istiadat merupakan salah satu yang mencakup berisikan acara pembacaan ayat-ayat suci Alquran, sistem religi dan upacara adat keagamaan dalam dzikir, tasbih, tahmid, , tahlil, istighfar, dan ruang lingkup kebudayaan. Adapun ruang lingkup lain-lain (Alaydrus, 2008: 7). kebudayaan meliputi segala kehidupan (hidup Keberadaan talkin mayit membawa kepada rohaniah) dan penghidupan (hidup jasmaniah) adanya perbedaan pendapat tentang status manusia, yaitu mencakup: (1) sistem religi dan hukumnya. Oleh karena itu, para ulama berbeda upacara adat keagamaan; (2) sistem organisasi pendapat tentang hukum talkin mayit. Di antara sosial; (3) Sistem mata pencaharian hidup; (4) mereka ada yang berpendapat bahwa itu wajib sistem teknologi; (5) sistem pengetahuan; (6) dan sebagian di antaranya menganggapnya kesenian, dan; (7) bahasa (Poerwanto, 2000: 53). sunnah. Ada juga yang berpendapat talkin mayit Konsep ‘urf (adat/tradisi) merupakan sebuah bukan termasuk wajib, juga bukan sunnah. Ia kebiasaan masyarakat yang dilaksanakan secara sekedar sunnah menurut pendapat mazhab Imam turun temurun dan merupakan hasil refleksi Syafi’i dan Imam Ahmad. Menurut mazhab Syafi’i dan pematangan sosial. Menurut Abdul Wahab pada awalnya bahwa talkin berguna bagi mayit. Khallaf, ‘urf terbentuk dari saling pengertian orang Sesungguhnya mayit memperoleh manfaat dari banyak dengan tanpa memandang stratifikasi bacaan Alquran sebagaimana ia memperoleh sosial (Khallaf, 1994: 123). Penggunaan konsep manfaat dari ibadah-ibadah yang menggunakan ‘urf merupakan upaya mendefinisikan hukum harta, seperti sedekah dan lain-lainnya. Adapun agar gejala-gejala yang beranekaragam dan fungsi membaca Alquran dan menghadiahkan pahalanya intinya sama dengan apa yang secara hakiki kepada mayit tanpa bayaran, maka pahalanya merupakan fungsi hukum dan terdapat dalam akan sampai kepadanya. Sedangkan menurut aneka budaya manusia dapat tertampung (Amin pandangan mazhab Imam Malik ia adalah makruh. dan Rahman, 2010: 12). Pada awalnya mayit tidak mendapatkan pahala dari bacaan karena kumpul-kumpul di rumah keluarga Fase sejarah pembentukan hukum nasional si mayit serta menyediakan makanan buat yang di Indonesia, yaitu hukum Islam senantiasa kumpul-kumpul itu merupakan hinaan (meratap diperhadapkan dengan penerapan hukum adat yang hukumnya dilarang), karena menyusahkan sebagai hukum yang tertua dan diperpegangi oleh keluarga si mayit dan mengingatkan mereka kepada masyarakat Indonesia. Hubungan hukum adat dan si mayit juga bertentangan dengan sunnah Rasul hukum Islam dalam makna kontak antara kedua (Asy-Syarbashi, 2008: 127 dan 133). Keberadaan sistem tersebut tercermin dalam berbagai pepatah talkin, tahlilan menurut penulis tidak terkait dan ungkapan di berbagai daerah, misalnya dengan ibadah mahdah, namun terkait dengan ungkapan dalam bahasa Aceh yang berbunyi: ibadah ghair mahdah yang memberikan ruang hokum ngon adapt hantom cre’, lagee zat ngon untuk sebuah hubungan sosial antara individu sipeut; artinya hukum Islam dengan hukum adat satu dengan individu lain dalam masyarakat. tidak dapat diceraipisahkan karena erat sekali hubungannya, seperti hubungan zat dengan sifat Kebiasaan tahlilan tersebut juga dilakukan sesuatu barang atau benda (Ali, 1994: 201). oleh masyarakat di Kota Gorontalo dengan istilah

58 Tradisi Hileyiya: Persinggungan Antara Agama dan Tradisi pada Masyarakat Kota Gorontalo... Rizal Darwis hileyiya (doa arwah) yang merupakan bagian yang telah ditetapkan, yaitu hari pertama, hari penting dari kehidupan masyarakat Gorontalo ketiga, hari ketujuh, hari keduapuluh, dan hari yang berkaitan dengan kematian. Tujuan mereka keempatpuluh. mengadakan adalah untuk mengenang orang Mempertimbangkan faktor sosiologis sangat yang telah meninggal dunia, dan memohon penting bila melihat hukum Islam dengan segala agar diampuni dan dimuliakan tempatnya serta dinamikanya, antara lain bukanlah semata-mata diluaskan kuburan orang yang telah meninggal sebagai lembaga hukum yang menekankan aspek dunia dengan lantunan surat Yasin dan surat- spiritual, tetapi juga merupakan sistem sosial yang surat lain dalam Alquran serta ucapan tahlil dari utuh bagi masyarakat yang didatanginya. Oleh lisan para peziarah. karena itu, hukum Islam harus tetap eksis dalam Prosesi tradisi hileyiya yang dilaksanakan di masyarakat sesuai dengan kondisi sosial, budaya, Kota Gorontalo, yaitu dimulai dari malam pertama, dan ekonomi dalam waktu dan ruang tertentu. ketiga, ketujuh, kedua puluh, keempat puluh, Islam dengan segenap universalitas syariat dan seratus hari dengan menyediakan berbagai yang dibawanya adalah agama yang sempurna macam persiapan. Keyakinan menurut adat dan paripurna sebagai pedoman segala dimensi masyarakat Gorontalo bahwa hari pertama, ketiga, kehidupan manusia. Kesempurnaan dan ketujuh, merupakan hari penghancuran atau hari keparipurnaan Islam sebagai pedoman kehidupan tantangan bagi si mayit dan hari pemindahan roh bersifat integral-universal yang melampaui batas- dari dalam kelambu menuju keluar pintu rumah. batas geografis dan zaman. Nilai-nilai ajaran Islam Untuk itulah keluarga harus membantu dengan bersifat absolut, abadi dan berlaku untuk semesta mengadakan acara tahlil dengan bacaan Alquran, sepanjang masa, berlaku untuk seluruh budaya dan maka dalam perpindahannya itu perlu diantar peradaban serta berlaku untuk segala suku bangsa dengan banyak dzikir dan doa agar si mayit manapun. Tidak ada satu pun dimensi kehidupan memperoleh keselamatan. Acara ini dilaksanakan manusia yang luput dan tak tersentuh oleh hukum oleh pegawai syara’ sesudah Magrib dan dipimpin Islam, termasuk adat-istiadat maupun tradisi oleh imam, kemudian disediakan makanan sebagai budaya dan peradaban. Islam memiliki aturan penghormatan terhadap tamu. Hari keduapuluh formal yang baku dan tegas mengenai legalitas sama dengan hari ketiga tetap juga diadakan ritual-ritual yang dipengaruhi tradisi atau budaya tahlil dan doa, hari keempatpuluh diawali lokal. Kendati demikian, kehadiran Islam sebagai dengan pelaksanaan tinilo. Tinilo mengandung agama sebenarnya bukanlah untuk menolak segala makna keselamatan mayit dalam kubur dan tradisi yang telah berlaku di tengah masyarakat. kelestariannya adat itu sendiri. Selanjutnya imam Tradisi yang telah mapan dan memperoleh segera memimpin acara tahlil, setelah selesai acara kesepakatan kolektif sebagai perilaku normatif, tahlil dilanjutkan dengan acara santap (Daulima, maka Islam tidak akan merubah atau menolaknya 2008: 62-63). melainkan mengadopsinya sebagai bagian dari Mencermati tradisi masyarakat dalam hileyiya budaya Islam itu sendiri dengan membenahi dan di atas, maka penulis dapat menjelaskan bahwa menyempurnakannya berdasarkan nilai-nilai budi tradisi tersebut sudah melekat dan dilaksanakan pekerti luhur yang sesuai dengan ajaran-ajaran turun-temurun oleh sebagian besar masyarakat syariat Islam. Gorontalo. Oleh masyarakat, tradisi ini bukan Berdasarkan uraian di atas, permasalahan hanya dianggap sebagai adat istiadat, tetapi yang dibahas dalam penelitian ini adalah tradisi diyakini sebagai bentuk ibadah yang disyariatkan. hileyiya pada masyarakat Kota Gorontalo dengan Begitu kuatnya pelaksanaan tradisi ini, sehingga mencermati persinggungan tradisi masyarakat masyarakat berusaha semaksimal mungkin untuk dan agama, khususnya dalam perspektif sosiologi melaksanakannya sesuai dengan waktu-waktu hukum Islam.

59 Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015 halaman 57-68

Metode Penelitian menjawab pertanyaan yang diajukan Malaikat Penelitian ini merupakan jenis penelitian Munkar dan Nakir; dilapangkan kuburan si mayit; deskriptif kualitatif dengan lokasi penelitian dan memperoleh pengampunan dari swt. di Kota Gorontalo. Penelitian kualitatif lebih (wawancara dengan Ismail Huntoyungo, 3 Juli merupakan deskripsi dan interpretasi yang bersifat 2013). tentatif dalam konteks waktu atau kondisi tertentu. Pelaksanaan hileyiya mulai dari memandikan Kebenaran hasil penelitian lebih banyak didukung jenazah, mengkafani, menshalatkan sampai melalui kepercayaan berdasarkan konfirmasi mengantarkan jenazah ke tempat peristirahatan, hasil oleh pihak-pihak yang diteliti. Data- kemudian dilanjutkan dengan pembacaan data dikumpulkan melalui teknik pengamatan Alquran (surah Yasin), tahlil, tasbih, tahmid, (observation), telaah dokumen, dan wawancara shalawat, berbagai dzikir dan doa-doa lainnya. (interview). Proses pemilihan sampel dalam Gemuruh tahlil dari lisan para peziarah bukan penelitian ini dilakukan secara acak (random sekedar pemandangan yang asing ketika sedang sampling), sehingga setiap individu (unit populasi) memasuki sebuah rumah yang sedang berduka memiliki peluang yang sama untuk terpilih atau pemakaman di daerah Gorontalo, karena hal sebagai sampel dengan mengambil sampel tokoh ini sudah menjadi sebuah tradisi yang mengakar adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, masyarakat kuat dalam kehidupan masyarakat Gorontalo. pelaku tradisi hileyiya. Selanjutnya data tersebut Mengenai doa arwah, yaitu membaca Alquran diolah dan dianalisis dengan menggunakan atau dzikir (tahlil) menurut Imam Syafi’i itu metode deskriptif kualitatif. merupakan satu syarat mutlak dilakukan, karena hasil dan PeMbahasan sesungguhnya Allah swt. telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya, Prosesi Pelaksanaan Tradisi Hileyiya bahkan juga memerintahkan kepada Rasul- Pada Masyarakat Kota Gorontalo Rasul-Nya. Apabila Allah swt. memperkenankan Hileyiya merupakan satu adat dan tradisi umat Islam berdoa untuk saudaranya yang telah yang dilaksanakan oleh umat Islam di Gorontalo meninggal dunia, dan berkah doa tersebut insya yang dalam pelaksanaannya berupa bacaan Allah akan sampai, sebagaimana Allah swt. doa-doa untuk si mayit yang dilantunkan oleh Mahakuasa memberi pahala kepada orang yang umat muslimin agar si mayit mendapatkan hidup, maka Allah swt. juga kuasa memberikan pengampunan dari Allah swt. dan perlindungan manfaatnya kepada si mayit (Ats-Tsauriy, 2013). dari siksa kubur. Selain itu, pelaksanaan tradisi ini sebagai cara menghibur keluarga yang ditinggalkan, Sehubungan dengan pelaksanaan hileyiya meneguhkan keimanan dan keyakinan kepada pada masyarakat Kota Gorontalo pada prinsipnya Allah swt. bagi kaum muslimin yang hadir dalam tidak terlepas dari ajaran agama Islam. Tujuannya acara tersebut (wawancara dengan Ismet Bade, 3 adalah untuk membentuk keyakinan dan Juli 2013). keimanan oleh kaum muslimin, bahwa yang hidup pastilah akan merasakan kematian, sesungguhnya Pada tradisi hileyiya terdapat pelaksanaan manusia akan kembali kepada Allah swt. dan hanya doa arwah, yaitu dimulai pada saat memandikan kepada-Nya memohonkan ampun untuk si mayat, jenazah, mengkafani, menshalatkan dan serta keluarga yang ditinggalkan memperoleh mengantarkan jenazah ke tempat pemakaman. kesabaran terhadap musibah yang diberikan Allah Selanjutnya dilakukan pembacaan doa dengan swt. (wawancara dengan H. Muhsin Pidu, 3 Juli keyakinan bahwa hadiah doa tersebut dapat 2013). meringankan beban si mayit yang akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya selama Seorang muslim diperbolehkan membaca di dunia; dapat memudahkan si mayit dalam ayat-ayat Alquran untuk mayat di masjid-masjid atau di rumah mayat tersebut, dan setelah selesai

60 Tradisi Hileyiya: Persinggungan Antara Agama dan Tradisi pada Masyarakat Kota Gorontalo... Rizal Darwis membaca, hendaknya memohon kepada Allah menjadi pelaksana adat doa arwah, yaitu: imam swt. agar si mayit itu diampuni dan dikasihsayangi (wawancara dengan Musna Daluta, 4 Juli 2013); berkat doanya sebagai tawassul kepada Allah pegawai syara (wawancara dengan Masi Adam, 4 swt. melalui bacaan Alquran yang dilakukannya. Juli 2013); imam dan pemangku adat (wawancara Menanggapi persoalan pembacaan doa arwah ini dengan Ronal Tobamba, 4 Juli 2013); bilal/syara. bisa dikategorikan mengandung unsur bid’ah, (wawancara dengan Usman Daluta, 5 Juli 2013). dan dalam menyikapi masalah bid’ah ini, para Peranan integratif yang dimainkan imam, pemikir dan ulama Islam berbeda pendapat. pemangku adat, pegawai syara, bilal/syara Mereka terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu dalam mengemban misinya pada sebuah tradisi/ kelompok pertama berpendapat bahwa ibadah ritual, sejatinya merupakan manifestasi dari sebagai praktik ritual telah ditentukan secara pasti suatu kearifan yang tinggi, yakni kearifan dalam dengan sumber hukum yang jelas. Ibadah yang menerapkan metode dakwah yang mengindahkan tidak memiliki rujukan hukum atau tidak pernah faktor kondisi lingkungan yang dominan, yaitu dilakukan oleh Nabi saw. tidak boleh dilaksanakan, struktur sosial masyarakat dengan pendekatan meskipun ibadah itu dipandang baik dan tidak adaptasi kultural. Artinya bahwa mereka adalah menyalahi pokok-pokok hukum Islam. Ulama orang-orang yang memiliki pengetahuan agama yang mendukung pendapat ini di antaranya Imam dan budaya pada masyarakat daerahnya, dan asy-Syafi‘i, al-‘Izz bin ‘Abdi al-Salam, al-Qarafi, al- memiliki kemampuan dalam melaksanakan tradisi Ghazali, Ibn al-Atsir, dan al-Nawawi (al-Tuwaijiri, tersebut. 2010: 18-34). Persiapan Kelompok kedua berpendapat bahwa bid’ah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, Menjelang pelaksanaan adat hileyiya ada yaitu bid’ah ḥasanah dan bid’ah ḍalâlah. Bid’ah beberapa alat dan bahan yang perlu disiapkan, ḥasanah adalah praktik ibadah yang tidak ada seperti polutube (pedupaan), bara api, totabu tuntunannya tetapi memberikan kemaslahatan (dupa), air secangkir, batu nisan, kain putih dan pada umat, atau tidak menyalahi prinsip-prinsip bakohati (tempat/kotak kecil) yang di dalamnya pokok ajaran Islam, sedangkan bid’ah ḍalâlah terdapat uang dan kue-kue yang kemudian adalah praktik ibadah yang menyalahi prinsip- didoakan setelah itu diberikan kepada peziarah prinsip ajaran Islam dan tidak memberikan nilai (wawancara dengan Zakaria Taha, 5 Juli 2013). kebaikan bagi masyarakat. Pendapat kedua in Selain itu dalam pelaksanaan hileyiya disediakan: masih memberikan toleransi pada pelaksanaan (a) rica (merica/cabai) dan garam. Ini mengandung ibadah yang mengandung unsur bid’ah selama itu makna menyeberangi lautan atau dibatasi; (b) bid’ah yang ḥasanah. Pendukung pendapat ini di tiliayah maknanya menyenangkan hati; dan (c) antaranya adalah al-Syathibi, Ibnu Taimiyah, Ibnu nasi kuning, yaitu melambangkan hati semua Hajar al-Haitami, Ibnu Hajar al-Asqalani, Ibnu manusia yang penuh kenikmatan (wawancara Rajab al-Hanbali, dan al-Zarkasyi (al-Tuwaijiri, dengan Moh. Kiyai, 6 Juli 2013). 2010: 18-34). Kesimpulan yang ditarik dari pernyataan Terlepas dari pandangan di atas, prosesi adat para responden bahwa yang disiapkan menjelang hileyiya pada masyarakat Kota Gorontalo terdiri pelaksanaan tradisi heliyiya adalah bara api, atas beberapa tahap, yaitu: totabu (dupa), polutube (pedupaan), air secangkir, bakohati (tempat/kotak kecil berisi uang dan kue), Pelaksanaan batu nisan, nasi kuning, tiliayah, rica (merica/ Pelaksana dari hileyiya adalah para imam, cabai) dan garam. Kelengkapan alat dan bahan tokoh agama, tokoh adat serta para pegawai syara tersebut mengandung sebuah tujuan memberikan lainnya. Hal ini terungkap dari hasil wawancara doa keselamatan bagi si mayit di akherat. dengan beberapa responden bahwa yang

61 Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015 halaman 57-68

Setiap prosesi adat terkandung tujuan, fungsi, baate mulai dengan acara pokok, pemberitahuan dan makna dalam upacara tersebut. Adanya kepada kadli bahwa acara pokok akan dimulai, dan makna dalam upacara tradisional sebagai salah imam segera memimpin acara tahlil. Selesai tahlil satu bentuk ungkapan budaya yang mempunyai dan dilanjutkan dengan acara santap (wawancara fungsi sebagai faktor pemersatu seluruh lapisan dengan H. Hamzah Usman, 7 Juli 2013). Proses masyarakat. Di dalam pelaksanaan hileyiya pelaksanaan adat hileyiya tersebut juga disiapkan memaparkan adanya simbolik alat dan simbolik “didi” bukan dalam bentuk kain putih, tetapi makanan; sesuatu yang memiliki makna dan bungkusan makanan yang disebut “toyopo” dan komunikasi. Bentuk macam kegiatan simbolik “bakohati toyopo” (wawancara dengan H. A. G. dalam masyarakat Kota Gorontalo merupakan Thaib, 7 Juli 2013). cara pendekatan manusia kepada Sang Khalik Toyopo, yaitu tempat makanan yang terbuat yang menciptakan, menurunkan, memelihara dari daun kelapa yang masih muda, isinya adalah dan menentukan. Dengan demikian, simbolisme lima macam kue, serta nasi bungkus atupato dalam masyarakat membawakan pesan-pesan (ketupat), kue tutulu (cucur), putito yilahe (telur kepada generasi-generasi berikutnya, agar selalu rebus), dagingi tilinanga (daging goreng), dan lutu dilaksanakan dalam kaitanya dalam upacara adat (pisang masak). Di atasnya ditancapkan sepotong dalam kaitanya dengan religi. buluh (bambu) kira-kira 30 cm yang berisi duduli Proses Adat Hileyiya (dodol) sebagai lambang batu nisan. Untuk toyopo pimpinan negeri, isinya untuk setiap jenis terdiri Setelah tanggungjawab pelaksanaannya sudah dari sepuluh buah, kecuali dodol hanya satu buah berada di tangan pemangku-pemangku adat saja untuk bawahannya masing-masing jenisnya dan pegawai syara, maka kegiatan pun dimulai. terdiri dari tiga buah saja. Untuk bakohati isinya Responden mengungkapkan bahwa prosesi adat sama, namun bentuknya persegi lima, bahan hileyiya, yaitu dimulai dari malam pertama, pembungkus terdiri dari dua macam warna kertas ketiga, ketujuh, kedua puluh, keempat puluh dan minyak, putih dan biru langit. Bagi pimpinan negeri seratus hari. Acara ini dilaksanakan oleh pegawai termasuk kadhi, mendapat bakohati yang berisi syara’ sesudah magrib dan dipimpin oleh imam, uang satu real, dan berhak menerima minimal selanjutnya imam segera memimpin acara tahlil, setiap orang empat bungkus. Untuk para bubato setelah selesai acara tahlil diakhiri dengan acara perangkatnya masing-masing memperoleh tiga santap (wawancara dengan Herwin Panigoro, 6 bungkus, para undangan umum masing-masing Juli 2013). memperoleh dua bungkus dan untuk anak-anak Diadakannya hileyiya atau doa arwah pada satu bungkus (Daulima, 2008: 70-71). malam ke 40 hari dengan tujuan semoga arwah Keberadaan kehidupan manusia di dunia ini dari si mayat mendapatkan pengampunan dari adalah sebuah proses yang diawali oleh peristiwa Allah swt. dan kemudahan untuk diluaskan kelahiran dan berakhir dengan sebuah kematian. kuburannya lewat doa-doa yang dilantunkan Sebelum sampai pada kematian, manusia melalui oleh kaum muslimin dengan penuh keikhlasan berbagai peralihan dari tahapan satu ke tahapan dalam melaksanakan doa. Selanjutnya bacaan yang lainnya dan melahirkan sejumlah implikasi doa dihadiahkan pahalanya kepada si mayit psikologis keagamaan dan sosial yang disebabkan (wawancara dengan Rahim Ibrahim, 7 Juli 2013). adanya perubahan sikap dan peran-peran yang Selain itu, prosesi adat hileyiya atau doa dilakukan seseorang dalam melalui tahapan arwah adalah diawali dengan pelaksanaan tinilo tersebut, dan dalam upaya menstabilkan implikasi yang berlangsung mulai dari pukul Sembilan psikologis tersebut, maka salah satunya dilakukan sampai menjelang usungan nisan diangkat ke melalui institusi ritual yang berhubungan dengan kubur. Selanjutnya setelah undangan hadir, masa peralihan tersebut. terutama para pemangku adat dan agama, maka

62 Tradisi Hileyiya: Persinggungan Antara Agama dan Tradisi pada Masyarakat Kota Gorontalo... Rizal Darwis

Ritual yang mengitari tahapan kehidupan dalam Alquran dengan gemuruh tahlil dari lisan manusia oleh Van Gennep disebut rites de para peziarah. passage (Koentjaraningrat, 1980: 75) atau Turner Hal tersebut bukan sebuah pemandangan yang menyebutnya the rites of passages, terjadi proses asing ketika memasuki sebuah rumah yang sedang pengolahan batin yang menyebabkan manusia berduka atau pemakaman di daerah Gorontalo. mampu keluar dari berbagai konflik akibatDengan khusuk, kerendahan hati, dan prasangka adanya perubahan-perubahan yang dihadapi baik kepada Allah yang Maha Pemberi dan Maha manusia dalam hidupnya (Turner, 1982: 94). Pengampun, para ta’ziah ataupun penziarah Winangu mengemukakan bahwa tahapan tersebut melantunkan ayat-ayat suci dan kalimat dzikir. terjadi sejak ia lahir, menjadi masa kanak-kanak, Mereka yakin bahwa perbuatan tersebut akan pendewasaan dan menikah, menjadi orangtua, bermanfaat bagi penziarah maupun yang di ziarahi. hingga ia meninggal. Manusia mengalami Keyakinan seperti ini telah mengakar dalam diri perubahan-perubahan biologi serta perubahan setiap penziarah, dan kebiasaan ini selanjutnya dalam lingkungan sosial budayanya yang dapat oleh masyarakat disebut sebagai tahlil. mempengaruhi jiwanya dan menimbulkan krisis mental (Winangu, 1990: 35). Kaitannya dengan Berangkat dari pemahaman dan keyakinan ritual kematian ini, Turner membagi ritus dan tersebut, maka ada hal-hal yang ingin dibangun upacara tersebut ke dalam tiga bagian, yaitu yang berhubungan dengan pelaksanaan tahlilan perpisahan (separation), peralihan/liminal atau hileyiya dalam pandangan sosiologi hukum (marge), dan integrasi kembali (aggregation) Islam kaitannya dengan pelaksanaan tradisi (Turner, 1982: 94). tersebut. Sebagaimana diungkapkan responden berikut bahwa pelaksanaan heleyiya merupakan Jika mencermati proses adat hileyiya yang pengetahuan dan pemahaman sejarah yang dimulai dari malam pertama, ketiga, ketujuh, diperlukan untuk mengetahui masa lalu dan kedua puluh, keempat puluh, dan seratus hari memahami masa sekarang serta memprediksi dengan menyediakan berbagai macam persiapan. masa depan, sehingga dapat membentuk perilaku Acara ini dilaksanakan oleh pegawai syara’ sesudah dan sifat keislaman yang positif seperti yang yang magrib dan selanjutnya imam segera memimpin ditentukkan oleh pelaku sejarah masa lampau acara tahlil, setelah selesai acara tahlil dilanjutkan yang berpijak kepada sejarah Islam, dan kita dapat dengan acara santap. Tujuan hileyiya adalah mengambil sebuah pemahaman dan keyakinan untuk mengenang orang yang telah meninggal yang tidak terlepas dari rel syariat Islam yang dunia, mendoakan si mayit, diluaskan kuburannya sesungguhnya. Sebab pelaksanaan hileyiya dan terpelihara si mayat di dalam kubur dari siksa sudah menjadi adat dan tradisi masyarakat neraka, serta permohonan kepada Allah swt. agar Gorontalo. Bila ada saudara yang meninggal dunia si mayit memperoleh ampunan dan rahmat-Nya. biasanya diadakan upacara pembacaan tahlil dan mendoakan si mayit (wawancara dengan Halim Tradisi Hileyiya Pada Masyarakat Kota Harun, 8 Juli 2013). Gorontalo Perspektif Sosiologi Hukum Islam Hileyiya adalah untuk meminta ampun Pelaksanaan tahlilan, mejelis tahlil, kenduri kepada Allah untuk saudaramu dan memohonkan arwah, doa arwah di berbagai daerah di Indonesia, agar dia (si mayit) teguh ketika ditanya oleh dua khususnya pada masyarakat Kota Gorontalo adalah malaikat. Sesungguhnya si mayat sekarang ditanya untuk menyelenggarakan pembacaan Alquran, pada saat berada di alam kubur (wawancara tahlil, tasbih, tahmid, shalawat dan berbagai dzikir dengan H. Jaridin Nento, 8 Juli 2013). Dengan lainnya. Kemudian menghadiahkan pahalanya pelaksanaan hileyiya mulai dari kematian sampai kepada orang-orang yang telah meninggal dunia, kepada 40 hari sebagai sebuah pelajaran bagi baik itu lantunan surat Yasin dan surat-surat lain umat Islam untuk dapat mengingat kematian dan

63 Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015 halaman 57-68 akhirat sebagai persinggahan terakhir manusia Tentunya pelaksanaan tradisi hileyiya pada (wawancara dengan Herlina Hasan, 8 Juli 2013). masyarakat Kota Gorontalo mengandung suatu makna atau manfaat, baik itu bagi pelaksana Pelaksanaan hileyiya oleh masyarakat Kota hajatan maupun peziarah. Pelaksanaan simbol Gorontalo pada malam ke-40 hari terdapat daripada pelaksanaan tradisi hileyiya atau doa pelajaran bagi kita agar tetap dalam menjalankan arwah yang ada masyarakat di Kota Gorontalo syariat Islam dan dapat menambah keimanan kita merupakan hal yang penting untuk dilaksanakan kepada Allah swt. Selain itu yang menjadi faktor bagi yang melakukannya. Begitu kuatnya tradisi utama orang melakukan hileyiya atau doa arwah pelaksanaan hileyiya atau doa arwah ini, maka karena tradisi ini bukan hanya dianggap sebagai masyarakat berusaha semaksimal mungkin untuk adat istiadat, tetapi dipahami sebagai bentuk melaksanakan doa arwah sesuai dengan waktu- untuk mempererat ikatan persaudaraan, karena waktu yang telah ditetapkan (wawancara dengan pada setiap acara tahlilan menjadi satu kesempaan One Ishak, 7 Juli 2013). untuk bertemu dan berkumpul dengan keluarga (wawancara dengan Nurdin Dama, 9 Juli 2013). Melalui tradisi hileyiya ini tampak relasi agama dan budaya lokal dalam masyarakat Kota Berdasarkan uraian responden di atas Gorontalo hidup dalam rukun dan kedamaian diketahui bahwa tradisi hileyiya ini sudah yang sangat kuat tanpa adanya gesekan. Hal ini melekat dan dilaksanakan turun temurun oleh diindikasikan terjadi karena masyarakatnya masih sebagian besar masyarakat Kota Gorontalo. memegan kuat adat yang berlaku. Hubungan Tradisi ini bukan hanya dianggap sebagai adat religius berlangsung antara sesama warga dengan istiadat, tetapi diyakini sebagai bentuk ibadah saling berinteraksi yang didasari oleh adanya suatu yang disyariatkan. Kaitannya dengan pelaksanaan persamaan dalam mencapai tujuan yang mereka hileyiya berdasarkan temuan di lapangan, yaitu sama-sama yakini kebenarannya dan terikat pada setelah dilakukan proses hileyiya yang dimulai suatu kebudayaan yang mereka laksanakan dan dari malam pertama, ketiga, ketujuh, kedua taati sendiri. puluh, keempat puluh dan seratus hari dengan menyediakan berbagai macam persiapan untuk Secara sosiologis, masyarakat Kota Gorontalo pelaksanaannya. dalam kehidupannya cenderung mengedepankan rasa kekeluargaan, toleran, mengutamakan Berbagai alasan diungkapkan masyarakat kerjasama secara kolektif dalam berbagai hal, Kota Gorontalo yang melakukan tradisi tersebut, khususnya tradisi hileyiya. Adanya ikatan yang antara lain menganggap acara tahlilan ini sebagai kuat antara anggota masyarakat Kota Gorontalo ritual Islam. Selain itu terjadi karena kurangnya dalam tradisi tersebut membawa dampak adanya pemahaman orang tua tentang kedudukan dari semangat gotong royong, memegang teguh nilai- pelaksanaan hileyiya. Hasil wawancara tersebut nilai hakiki luhur warisan nenek moyangnya, dapat diketahui bahwa alasan para orang tua sehingga tercipta suasana kekeluargaan yang kuat. atau masyarakat Kota Gorontalo melakukan Sistem nilai dalam tradisi ini amat bernilai dalam hileyiya, yaitu: (1) Diyakini sebagai bentuk ibadah hidup mereka dan dijadikan sebagai pedoman bagi dan mendapat pahala serta dianggap sebagai kehidupan bermasyarakat. ritual Islami yang disyariatkan; (2) Minimnya pemahaman tentang kedudukan dari pada Pemahaman masyarakat Kota Gorontalo di atas pelaksanaan hileyiya; (3) Sudah menjadi turun- ini kemungkinan adanya akulturasi timbal balik temurun dari generasi satu ke generasi yang lainnya antara agama Islam dan budaya lokal yang diakui jika ada keluarga yang meninggal, maka keluarga dalam suatu kaidah atau ketentuan dasar dalam melakukan hileyiya yang sering disebut tahlilan; ilmu ushul al-fiqḥ bahwa “adat itu dihukumkan” dan (4) Pelaksanaan hileyiya juga dipahami sebagai (al-adah muḥakkamah) atau lebih lengkapnya salah satu cara untuk mempererat tali silaturahmi. “adat adalah syariah yang dihukumkan” (al-adah

64 Tradisi Hileyiya: Persinggungan Antara Agama dan Tradisi pada Masyarakat Kota Gorontalo... Rizal Darwis syari’ah muḥakkamah) artinya adat atau kebiasaan masyarakat Islam mempunyai massa jahiliyahnya, suatu masyarakat, yaitu budaya lokalnya adalah yang masa itu diliputi oleh praktek-praktek yang sumber hukum dalam Islam. berlawanan dengan ajaran tauhid serta ajaran- ajaran lain dalam Islam, seperti tata sosial dalam Secara sosiologis dan kultural, hukum Islam hukum (laotik), takhayul, mitologi, feodalisme, adalah hukum yang mengalir dan telah berurat ketidakpedulian terhadap nasib orang kecil yang akar pada budaya masyarakat Indonesia, karena tertindas, pengingkaran hak asasi, perlawanan itulah hukum Islam tergolong sebagai hukum yang terhadap prinsip persamaan umat manusia dan hidup di dalam masyarakat (the living law). Bukan seterusnya. saja karena hukum Islam merupakan entitas agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Eksistensi hukum Islam di Indonesia Indonesia, akan tetapi dalam dimensi amaliahnya mempunyai dua bentuk, yaitu sebagai hukum hukum Islam telah menjadi bagian tradisi (adat) normatif yang diimplementasikan secara sadar masyarakat yang terkadang dianggap sakral. oleh umat Islam, dan sebagai hukum formal yang dilegislasikan sebagai hukum positif untuk umat Mengkaji atau meneliti faktor-faktor yang melatarbelakangi lahirnya suatu hukum, sangat Islam di Indonesia. Hukum Islam normatif berkaitan erat dengan perubahan-perubahan yang terbentuk dalam kehidupan masyarakat sosial yang berlangsung dalam kehidupan Islam Indonesia terjadi melalui proses intemalisasi masyarakat, baik itu perubahan yang disebabkan dalam interaksi sosial, dan dalam pelaksanaannya karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terjadi pergumulan antara kaidah hukum Islam maupun karena perubahan kondisi politik dan dengan kaidah lokal yang dianut oleh masyarakat, kebijakan pemerintah. Antara upaya perubahan dan bahkan intervensi dari dunia luar seperti hukum di satu pihak dan tuntutan perubahan sosial modernisme dan kebudayaan Barat. Dalam proses di pihak lain terdapat suatu interaksi. Hukum, itu terjadi adaptasi dan asimilasi yang kemudian secara langsung atau tidak, pasti dipengaruhi melahirkan kesepakatan dan kehiasaan sebagai oleh perubahan-perubahan sosial, sedangkan acuan dalam bertingkah laku yang mendapat perubahan-perubahan sosial itu harus diberi legitimasi dari elit masyarakat serta para arah oleh hukum, sehingga dapat mewujudkan pendukung mereka. kebutuhan dan kemaslahatan umat manusia. Proses peralihan dimensi syariah menjadi Dalam ilmu sosiologi hukum, hukum dalam posisi dimensi adat terjadi melalui interaksi antara tersebut dituntut dapat memainkan peranan hukum Islam dengan struktur dan kultur ganda yang sangat penting. Pertama, hukum dapat masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhan dijadikan sebagai kontrol sosial (social control) hidup tertentu. Secara spesifik aspek kultural itu terhadap perubahan-perubahan yang berlangsung tercermin pada pola perilaku yang dikenal sebagai dalam kehidupan manusia; Kedua, hukum dapat adat yang bersumber pada kaidah lokal. Interaksi dijadikan alat rekayasa sosial (social engineering) hukum Islam dengan kaidah lokal (kaidah adat) dalam rangka mewujudkan kemaslahatan manusia memiliki pola yang bervariasi. sebagai tujuan hakiki dari hukum itu sendiri. Tujuan yang demikian itu terdapat pada semua Hubungan antara hukum Islam dengan sistem hukum, termasuk hukum Islam. kaidah adat (tradisi), yaitu: (a) Secara keseluruhan hukum adat diterima oleh hukum Islam dan untuk Unsur-unsur budaya lokal yang dapat atau selanjutnya menjadi hukum Islam; (b) Hukum harus dijadikan sumber hukum ialah yang Islam mengubah hukum adat seluruhnya dalam arti sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan hukum Islam menggantikan hukum adat, sehingga prinsip Islam dengan sendirinya harus dihilangkan hukum adat tidak berlaku lagi untuk selanjutnya; atau diganti. Inilah makna kehadiran Islam (c) Hukum Islam membiarkan hukum adat hidup di suatu tempat atau negeri, karena itu setiap tanpa usaha penyerapannya ke dalam hukum

65 Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015 halaman 57-68

Islam. Hal ini berlaku pada umumnya dalam prinsip-prinsip Islam seperti upacara peringatan bidang muamalah (Syarifuddin, 1984: 169). untuk orang-orang yang meninggal yang biasa disebut tahlilan atau hileyiya pada masyarakat Dengan demikian, sesungguhnya ada dua Gorontalo, yakni membaca lafal lâ ilâha illallâh sistem hukum yang saling tarik-menarik, yaitu secara bersama-sama, sebagai suatu cara yang sistem hukum Islam dan sistem hukum adat, namun efektif untuk menanamkan jiwa tauhid dalam keduanya tidak selalu harus dipertentangkan. Hal kesempatan suasana keharuan yang membuat tersebut disebabkan fleksibilitas dan elastisitas orang menjadi sentimental (penuh perasaan) yang dimiliki hukum Islam. Artinya kendati pun dan sugestif (gampang menerima paham atau hukum Islam tergolong hukum yang otonom pengajaran). Dalam ilmu , budaya karena adanya otoritas Tuhan di dalamnya, akan ushul al-fiqḥ lokal dalam bentuk adat kebiasaan itu juga disebut tetapi dalam tataran implementasi hukum Islam ‘urf (secara etimologis berasal dari akar kata yang sangat dapat digunakan (applicable) dan diterima sama dengan al-ma’rûf). (acceptable) dengan berbagai jenis budaya lokal. Oleh karena itu bisa dipahami bila hukum Islam, Untuk mencermati sebuah tradisi yang menjadi baik secara sosiologis maupun kultural, merupakan unsur transformasi sosial suatu masyarakat hukum yang mengalir dan berurat-berakar pada yang mengalami perkenalan dengan Islam tanpa budaya masyarakat dan tergolong sebagai hukum menafikan kedatangan Islam di suatu negeri atau yang hidup (living law) di dalam masyarakat, masyarakat dapat bersifat deskriptif. Kutipan dari sehingga bisa menjadi kekuatan moral masyarakat keterangan Khallaf yang panjang lebar bahwa para yang mampu berhadapan dengan hukum positif ulama berkata: al-adah syari’ah muḥakkamah negara yang berlaku di masyarakat. (adat adalah syariat yang dihukumkan), dan adat penghubung kebiasaan (‘urf) itu dalam syara’ Masyarakat Kota Gorontalo tidak serta merta harus dipertimbangkan. Imam Malik membangun meninggalkan adat yang sudah ada sebelumnya, banyak hukum-hukumnya atas dasar praktek akan tetapi meninjau dengan pandangan Islam. penduduk Madinah. Abu Hanifah dan para Proses transformasi terjadi secara spontan dengan pendukungnya beraneka ragam dalam hukum- melihat aspek fungsional. Kemudian keyakinan hukum mereka berdasarkan aneka ragamnya beragama yang diperlukan secara fungsional untuk adat penghubung kebiasaan mereka. Imam al kehidupan beragama diinterpretasi dalam wujud kebiasaan kelompok. Respon yang ditunjukkan Syafi’i setelah berdiam di Mesir merubah sebagian hukum-hukum perubahan adat kebiasaan (dari secara sadar untuk melakukan harmoni Islam Irak ke Mesir). Ia mempunyai dua pandangan dengan adat tanpa dilalui dengan ketegangan dan hukum yang lama dan yang baru (qaw al-qadîm pertikaian. dan qaw al-jadîd), dan dalam fiqh Hanafi banyak Kesadaran seperti ini terbentuk baik secara hukum yang didasarkan pada adat kebiasan. tradisional maupun secara rasional. Kesadaran Karena itu ada ungkapan-ungkapan terkenal tradisional dalam menganut agama mengikuti al ma’rûf ‘urfan ka al-masyrûth syarthan, wa sepenuhnya terhadap tradisi dalam rumah yang al-tsabît bi al-‘urf ka al tsâbiit bi al-nashsh’ ada. Termasuk model warisan yang diturunkan (yang baik menurut adat kebiasaan adalah sama dari generasi ke generasi. Sementara kesadaran nilainya dengan syarat yang harus dipenuhi, dan rasional dibangun setelah usainya fase kesadaran yang mantap benar dalam adat kebiasaan adalah tradisional. Penerimaan agama kemudian sama nilainya dengan mantap benar dalam nash berproses dalam penerimaan yang dipandu (Mudzhar, 1998: 35). rasionalitas. Memperhatikan uraian tersebut di atas Sebagai wujud interaksi timbal balik antara mengantarkan kepada suatu etos di kalangan para Islam dan budaya lokal, banyak sekali adat ulama yang amat patut untuk kesekian kalinya istiadat yang isinya tidak bertentangan dengan

66 Tradisi Hileyiya: Persinggungan Antara Agama dan Tradisi pada Masyarakat Kota Gorontalo... Rizal Darwis direnungkan, yaitu etos “al-muhâfadhah ‘alâ al- siMPulan qasîm al-shâlih wa al-akhdz bi al-jadîd al-ashlah” Tradisi heliyiya atau doa arwah adalah sebuah (memelihara yang lama yang baik dan mengambil tradisi yang dilakukan masyarakat Gorontalo yang baru yang lebih baik) (Mudzhar, 1998: 20). pada umumnya yang berkaitan dengan peristiwa Dalam Islam, budaya dan perubahan sosial itu kematian seseorang. Heliyiya ini dilakukan oleh sangat jelas pengaruhnya terhadap pemikiran keluarga si mayit, kerabat, dan masyarakat di hukum Islam. Perbedaan budaya dan perubahan sekitarnya dengan melakukan pembacaan Alquran, sosial yang terjadi di daerah-daerah yang dikuasai tahlil, tasbih, tahmid, shalawat dan berbagai Islam pada awal abad ke-2 H. sampai pertengahan dzikir lainnya, kemudian menghadiahkan pahala abad ke-4 H. merupakan salah satu faktor yang pada orang yang telah meningggal dunia dengan menyebabkan terjadinya perbedaan-perbedaan lantunan surat Yasin dan surat-surat lain dalam pendapat di kalangan fuqaha (ulama fiqh) Alquran. Prosesi heliyiya ini berlangsung tiga atau mengenai suatu masalah hukum yang akhirnya tujuh hari berturut-turut setelah hari kematian dan menyebabkan terbentuknya aliran-aliran dalam juga diselenggarakan lagi pada hari kedua puluh, hukum Islam (Tebba, 2003: 4). keempat puluh dan keseratus atau dilakukan Mengartikulasikan agama dalam ranah setiap tahun dengan menggunakan simbol-simbol kehidupan manusia merupakan sesuatu yang adat yang menggambarkan perjalanan kehidupan fenomenal dalam praktek yang sebenarnya. Agama manusia di dunia fana ini. terdiri dari keyakinan, dogma, tradisi, praktik dan Tradisi heliyiya masih bertahan dan ritual. Seorang yang beriman yang dilahirkan dalam dilaksanakan pada masyarakat Kota Gorontalo tradisi yang religius akan mewarisi dan mengambil dikarenakan tradisi ini dilegitimasi dalam sebuah semua aspek ini begitu saja dan meyakini bahwa kaidah fiqh: ‘al-‘urf al-shaḥîḥ.’ yang mengandung segala sesuatu yang diwarisi merupakan aspek makna adanya persinggungan antara agama dan esensial dan integral dari agama. Dari konteks ini, tradisi yang dianut suatu masyarakat. Selain itu pemahaman keagamaan merupakan pemahaman heliyiya ini memberikan banyak nilai manfaat, sama, karena berawal dari pemahaman warisan baik bagi keluarga yang ditinggalkan karena yang sudah ditentukan dan didoktrinkan secara dapat menghibur mereka karena ditinggalkan, sepihak tanpa melewati jalur penelusuran pribadi begitu pula pada para peziarah dapat mengambil yang pada dasarnya akan menghasilkan sebuah hikmah dalam mengingat kematian, dan bagi keyakinan dan pemahaman yang kukuh (Irwandar, yang meninggal akan memperoleh kiriman doa 2003: 798). keselamatan di akhirat dari keluarga, kerabat dan Pemahaman sosiologi hukum Islam terhadap tetangga yang melakukan prosesi hileyiya atau tradisi hileyiya yang dilakukan oleh masyarakat doa arwah tersebut. Artinya yang menjadi faktor Kota Gorontalo dapat dikategorikan sebagai utama orang melakukan hileyiya, karena tradisi al-‘urf al-shaḥîḥ. Dengan pelaksanaan adat ini bukan hanya dianggap sebagai adat istiadat, tersebut memberikan banyak nilai manfaat, baik tetapi dipahami juga sebagai bentuk mempererat bagi keluarga yang ditinggalkan karena dapat ikatan persaudaraan, karena pada setiap acara menghibur mereka karena ditinggalkan, begitu tahlilan menjadi satu kesempatan untuk bertemu pula pada para peziarah karena dapat mengambil dan berkumpul dengan keluarga. hikmah dalam mengingat kematian, dan bagi Pengkajian terhadap kehidupan sosial dan yang meninggal akan memperoleh kiriman budaya lokal dalam masyarakat adalah sebuah doa keselamatan di akhirat dari keluarga yang fenonema yang apabila dikaitkan dengan unsur melakukan prosesi hileyiya. agama. Khususnya dalam agama Islam dikenal

67 Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015 halaman 57-68 metode pengambilan hukum dengan model Daulima, Farha. 2008. Tatacara Adat Pemakaman. ‘urf atau al-adah. Oleh karena itu, kaitannya Gorontalo: Galeri Budaya Daerah Mbui’i dengan penelitian tentang tradisi heliyiya pada Bungale. masyarakat Kota Gorontalo dapat memberikan Irwandar. 2003. Dekonstruksi Pemikiran Islam. suatu implikasi, yaitu bahwa tradisi ini merupakan Jakarta: PT. Ar-Ruzz Media. tradisi yang tetap dipertahankan dan menjadi satu nilai budaya lokal yang memperoleh legitimasi Koentjaraningrat. 1980. Sejarah Teori Antropologi. hukum Islam, yaitu al-adat al-muḥakkamah. Jil. 1. Jakarta: UI Press. Namun perlu menjadi perhatian yang cukup serius Khallaf, Abdul Wahab. 1994. Ilm Ushul Fiqh. Terj. ketika persoalan heliyiya ini menjadi sesuatu yang Muhammad Zuhri dan Ahmad Qarib, Ilmu wajib dan harus untuk dilakukan dengan tidak Ushul Fiqhi. Semarang: Dina Utama. mempertimbangkan nilai kemaslahatan bagi Mudzhar, Atho. 1998. Pendekatan Studi Islam berbagai pihak atau kalangan masyarakat. Selain dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka itu dengan pelaksanaan tradisi ini diharapkan Pelajar. memberikan nilai pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai ajaran Islam dalam simbol- Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan simbol heliyiya tersebut. Lingkungan dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. daftar Pustaka Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Alaydrus, Novel bin Muhammad. 2008. Mana Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Dalilnya: Seputar Permasalahan Ziarah Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung. Kubur, Tawassul, Tahlil. Cet. 17. Surakarta: Tebba, Sudirman. 2003. Sosiologi Hukum Islam. Taman Ilmu. Cet. 1. Yogyakarta: UII Press Indonesia. Ali, Muhammad Daud. 1994. Hukum Islam: Turner, Victor. 1982. The Forest of Symbols, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Aspects of Ndembu Ritual. Itcha and London: Islam di Indonesia. Ed. 3. Jakarta: PT. Cornell University Press. RajaGrafindo Persada. Al-Tuwaijiri, Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz. 2010. Amin Muhammadiyah, dan M. Gazali Rahman, Menyoal Rutinitas Perayaan Bid’ah 2010. “Kerangka Epistemologi dalam ‘Urf Sepanjang Tahun. Jakarta: Pustaka Imam Penetapan Hukum Islam (Telaah terhadap Asy-Syafi’i. Paradigma Pengambilan Keputusan Hukum Pada Pengadilan Agama).” Laporan Hasil Al-Tsauriy, Al-Faqir. Tahlilan (Kenduri Arwah- Penelitian. Gorontalo: Lembaga Penelitian Selamatan Kematian) Menurut Mazhab IAIN Sultan Amai Gorontalo. Syafi’i, http://ashhabur-royi.blogspot.com. pdf. 23 Juni 2013. Ansori. 2007. “Hukum Islam dan Tradisi Masyarakat.” Ibda’: Jurnal Studi Islam dan Budaya. Vol. 5 No. 1 Januari-Juni 2007. Purwokerto: P3M STAIN Purwokerto.

68