LAPORAN HASIL PENELETIAN

POTENSI PENDAFTARAN TANAH ULAYAT DI SUMATERA BARAT

Peneliti: I Gusti Nyoman Guntur M. Shandy Ramadanu (Asisten Peneliti) Ulul Azmy (Asisten Peneliti)

SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/ BADAN PERTANAHAN NASIONAL 2020

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN HASIL PENELETIAN POTENSI PENDAFTARAN TANAH ULAYAT DI SUMATERA BARAT

PENELITI :

I Gusti Nyoman Guntur M. Shandy Ramadanu (Asisten Peneliti) Ulul Azmy (Asisten Peneliti)

Laporan ini telah diseminarkan di hadapan Tim Evaluasi Penelitian Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional pada tanggal Juni 2020 dan diterima sebagai laporan penelitian

A.n. Ketua Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

M. Nazir Salim NIP. 197706012011001

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan karuniaNya sehingga laporan penelitian dengan judul “Potensi Pendaftaran Tanah Ulayat di Sumatera Barat” ini dapat diselesaikan dengan baik. Disadari sepenuhnya bahwa segala sesuatu yang penyusun peroleh sampai selesainya laporan ini tidak lepas dari bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada yang terhormat: 1. Ketua STPN yang telah memberikan kesempatan pada kami, Dosen STPN untuk penyelenggarakan penelitian. 2. Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumatera Barat beserta jajarannya yang banyak memberikan data berkaitan dengan obyek penelitian. 3. Kepala Kantor Pertanahan Kota Padang, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Limapuluh Kota, Kabupaten Pariaman di Provinsi Sumatera Barat serta jajarannya yang banyak membantu menjelaskan serta memberikan data berkaitan dengan masalah penelitian. 4. Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat dan staf yang telah membantu sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. 5. Anggota SC STPN atas masukan penyempurnaan mulai dari proposal penelitian maupun laporan hasil penelitian ini. 6. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, yang telah membantu kelancaran penelitian dan penyusunan laporan ini. Semoga semua bantuan yang tanpa pamrih tersebut memperoleh imbalan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa. Sekali lagi terimakasih. Akhirnya, sebagai manusia biasa yang tidak pernah luput dari kekurangan dan kekhilafan, kami menyadari bahwa laporan penelitian ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu segala saran dan kritik guna perbaikan dikemudian hari selalu kami nantikan. Namun demikian, kami tetap berharap bahwa laporan penelitian ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak. Demikian dan terimakasih.

Yogyakarta, 10 Mei 2020

Tim Peneliti

ii

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN ...... i KATA PENGANTAR ...... ii DAFTAR ISI ...... iii DAFTAR GAMBAR ...... v DAFTAR TABEL...... vi DAFTAR LAMPIRAN ...... vii BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Rumusan Masalah ...... 4 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 4 1. Tujuan Penelitian ...... 4 2. Manfaat Penelitian ...... 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...... 6 A. Kajian Hasil-Hasil Penelitian Terhdahulu ...... 6 B. Konsep Hak Ulayat ...... 7 C. Klasifikasi Tanah Ulayat di ...... 9 D. Pendaftaran Hak Ulayat dalam Hukum Tanah Nasional...... 10 E. Kerangka Konseptual dan Teioritis ...... 13 1. Kerangka Konseptual ...... 13 2. Kerangka Teioritis ...... 14 BAB III METODE PENELITIAN ...... 16 A. Cakupan Penelitian ...... 16 B. Jenis dan Sumber Data ...... 16 C. Teknik Pengumpulan Data ...... 17 D. Teknik Analisis Data ...... 18 BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH SUMATERA BARAT ...... 19 A. Kondisi Fisik Wilayah ...... 19 1. Letak Geografis ...... 19 2. Kependudukan ...... 20 3. Penggunaan Tanah ...... 21 4. Kepemilikan/Penguasaan Tanah ...... 23 B. Kondisi Sosial Budaya ...... 24 1. Masyarakat ...... 25 2. Kelembagaan Masyarakat Adat ...... 26 3. Sistem Pewarisan ...... 27 BAB V POTENSI PENDAFTARAN TANAH ULAYAT DI SUMATERA BARAT ...... 29 A. Karakteristik Pemilikan dan Penguasaan Tanah Ulayat ...... 29 1. Ulayat: Wilayah Terkait Sako dan Pusoko ...... 29 2. Perolehan dan Pewarisan Tanah Ulayat ...... 30 3. Pola Pengelolaan Wilayah (Tanah Ulayat) ...... 37 4. Kelarasan dan Pengambilan Keputusan Pengelolaan Tanah Ulayat ...... 39 5. Jenis, Kepemilikan dan Kewenangan Pengelolaan Tanah Ulayat ...... 41 B. Best Praktice: Pengakuan Hak Ulayat Kaum ...... 50

iii

1. Pensertipikatan Tanah Ulayat dan Ulayat Rajo ...... 51 2. Pensertipikatan Tanah Ulayat Suku ...... 54 3. Pensertipikatan Tanah Ulayat Kaum ...... 54 C. Peluang Pendaftaran Tanah Ulayat untuk Menjamin Kepastian Hukum dan Mencegah Beralihnya Kepemilikan ...... 62 BAB VI PENUTUP...... 80 A. KESIMPULAN ...... 80 B. REKOMENDASI ...... 82 DAFTAR PUSTAKA ...... 84

iv

DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Kerangka Pemikiran ...... 15 Gambar 2 Peta Administrasi Provinsi Sumatera Barat ...... 20 Gambar 3 Penggunaan Lahan Provinsi Sumatera Barat tahun 2009 dan 2012 (dalam hektar) ...... 22 Gambar 4 Penggunaan Lahan Provinsi Sumatera Barat tahun 2009 dan 2012 (dalam ribu hektar) ...... 22 Gambar 5 Hubungan Antara Subyek Hak dan Tanah Ulayat ...... 67

v

DAFTAR TABEL Tabel 1 Penduduk Sumatera Barat Berdasarkan Umurdan Jenis Kelamin Tahun 2018 ...... 21 Tabel 2 Variasi Penulisan Nama Pemegang Hak Milik Tanah Kaum di Sumatera Barat ...... 54 Tabel 3 Kepemilikan/Penguasaan Tanah Ulayat ditinjau dari Aspek Subyek, Obyek, Hubungan Hukum dan Bentuk Perlindungan Humumnya ...... 62 Tabel 4 Perbedaan Komunal dan Kolektif ...... 63

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Sertipikat tanah berasal dari hak Erpacht 2 Sertipikat berasal dari tanah ulayat nagari 3 Surat keputusan pelepasan tanah ulayat rajo 4 Surat Keputusan Kerapatan Adat Nagari (SK KAN) 5 Sertipikat Hak Milik Nomor 496/Nagari Batu Bulek 6 Sertipikat Hak Milik Nomor 1083/Dadok Tanggul Hitam 7 Surat Keterangan Hibah Tukoe Lantak dan jual beli

vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Dalam praktik administrasi pertanahan di , hal yang menarik untuk didiskusikan dan sering menjadi wacana di kalangan masyarakat dan akademisi adalah mengenai pensertipikatan tanah. Sertipikat tanah mempunyai arti penting dan manfaat sebagai wujud konkrit adanya pengakuan formal Pemerintah terhadap kepemilikan hak-hak atas tanah, merupakan amanat Pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Sesungguhnya, sasaran atau obyek pengakuan secara formal kepemilikan melalui pendaftaran tanah menurut pasal tersebut adalah untuk seluruh bidang-bidang tanah di wilayah Republik Indonesia. Secara empiris, sampai dengan tahun 1997, Pemerintah telah melaksanakan pendaftaran tanah dengan landasan kerja dan landasan hukum pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961. Dengan keterbatasan yang ada, ternyata pelaksanaan pendaftaran tanah hanya menghasilkan lebih dari 18 juta bidang tanah yang dapat didaftar. Hasil tersebut dipandang masih belum memadai mengingat jumlah bidang tanah yang ada yang masih menuntut untuk didaftar di seluruh Indonesia saat itu (1997) diperkirakan 75 juta bidang. (Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, 2008: 12). Laporan Kepala BPN, pada Rapat Terbatas Bidang Pertanahan di Istana Negara, diinformasikan hingga tahun 2003 pelaksanaan pendaftaran tanah pertama kali belum dapat diwujudkan sepenuhnya, bahkan disebutkan jumlah bidang tanah yang baru terdaftar sekitar 31 % dari 85 juta bidang tanah yang ada. Perkembangan selanjutnya, hingga tahun 2010, BPN baru mencatat 49 % daftar bidang tanah di Indonesia yang telah bersertifikat (Hans Henricus, 2010). Berdasarkan informasi, sampai saat ini Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) berhasil menerbitkan sertipikat hak atas tanah sebanyak lebih dari 62,4 juta bidang. Angka ini sama dengan 49,58 % dari 126 juta bidang tanah di Indonesia, (Astutik. Y, 2019). Dengan demikian, sisanya sebanyak 50,42 % belum dapat disertipikatkan, karena berbagai hal seperti keterbatasan sumberdaya, maupun karena belum jelasnya regulasi 1 pendaftaran terhadap obyek (bidang tanah), misalnya terhadap tanah-tanah yang berada pada kawasan hutan atau tanah-tanah ulayat yang dikuasai masyarakat hukum adat. Berdasarkan pasal 22 UUPA, terdapat 3 (tiga) pola terjadinya hak milik atas tanah yaitu menurut hukum adat, penetapan Pemerintah, dan karena ketentuan undang-undang, namun dalam praktek ketatalaksanaan pendaftaran tanah selama ini, semua sertipikat yang diterbitkan oleh otoritas pertanahan dilakukan melalui penetapan Pemerintah jika berasal dari tanah negara atau melalui konversi hak-hak lama atas tanah. Terhadap bidang-bidang tanah ulayat yang sudah melemah sifat publiknya karena proses alami dan sifat privatnya semakin kuat sehingga menjadi tanah milik adat, umumnya dapat didaftarkan oleh otoritas pertanahan dengan menerbitkan sertipikat hak atas tanah. Sedangkan terhadap bidang-bidang tanah ulayat yang dianggap masih kuat sifat publiknya belum dapat diterbitkan sertipikatnya. Secara konstitusionil (UUD 1945, TAP MPR No.IX/MPR/2001, UUPA, dan Putusan Mahkamah Konstitusi) eksistensi masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya diakui dan dilindungi, namun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP No. 24 Tahun 1997), hak ulayat secara sadar tidak dimasukkan dalam obyek pendaftaran yang outputnya sertipikat. Menurut Pasal 9 ayat (1) PP ini menentukan bahwa: “Obyek pendaftaran tanah meliputi: a. bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai; b. tanah hak pengelolaan; c. tanah wakaf; d. hak milik atas satuan rumah susun; e. hak tanggungan; f. tanah Negara”. Berdasarkan penjelasan pasal dimaksud, pendaftaran tanah yang obyeknya tanah Negara dilakukan dengan mencatat dalam daftar tanah dan tidak ditertibkan sertipikat. Pencatatan tanah negara pada daftar tanah dan peta pendaftaran menggunakan simbol-simbol tertentu, dilakukan untuk kepentingan administrasi pertanahan. Ketidak-konsistenan kebijakan tersebut, berimplikasi pada bervariasinya ketatalaksanaan pengakuan tanah ulayat. Terhadap penguasaan tanah ulayat di Baduy, Banten pendaftarannya dilakukan dengan mencatat pada peta pendaftaran dan daftar tanah (tidak diterbitkan sertipikat). Kebijakan ini

2 dilakukan, karena tanah ulayat dianggap bukan sebagai hak atas tanah, tetapi sama dengan tanah negara. Berbeda dengan di Banten, terhadap penguasaan tanah adat (druwe desa) di Bali, dilakukan penerbitan sertipikat Hak Milik yang subyeknya Pura atau Desa Pakraman, sedangkan penguasaan tanah-tanah adat di Sumatera Barat disertipikatkan yang subyeknya dapat perorangan dan/atau Mamak Kepala Waris. Berdasarkan informasi diketahui bahwa salah satu kendala dalam pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap di Sumatera Barat yaitu Mamak Kepala Waris maupun KAN (Kerapatan Adat Nagari) sebagian besar tidak menyetujui adanya pensertipikatan tanah-tanah kaum. Dalam pelaksanaan pendaftaran tanah ulayat yang kepemilikannya bersifat komunal/bersama pada masyarakat Minangkabau secara khusus belum ada pengaturannya. Hal ini mengakibatkan terjadinya kendala dan kontroversi pada pelaksanaan pendaftaran tanah ulayat kaum di Minangkabau, Sumatera Barat padahal Pemerintah Daerah telah mengeluarkan Surat Edaran Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Sumatera Barat Nomor: DA-6980/III/2F/1983 tentang Penyelesaian Permohonan Penegasan Hak Atas Tanah yang Berasal dari Tanah Adat. Adanya Surat Edaran ini, berpotensi untuk melaksanakan pendaftaran tanah ulayat dengan beberapa alternatif subyek haknya. Eksistensi dan pendaftaran hak ulayat masyarakat hukum adat Minangkabau menjadi semakin berkurang, karena terdapat perbedaan pola kepemilikan tanah antara hukum adat Minangkabau dengan pola pemilikan tanah dalam UUPA. Pola pemilikan tanah yang dianut oleh UUPA, bersifat individual berbeda dengan prinsip pemilikan tanah secara komunal dalam masyarakat Minangkabau. Pola kepemilikan tanah di Minangkabau tidak bersifat individual, melainkan milik komunal yaitu milik suku, kaum, dan nagari (Siti Raga Fatmi, 2018: 395). Tanah ulayat saat ini ditengarai sedang mengalami proses privatisasi dan ganggam bauntuak telah tumbuh menjadi kepemilikan perorangan. Lama kelamaan peran Mamak akan hilang seiring dengan semakin berkurangnya tanah ulayat karena sudah disertipikatkan menjadi milik individu. Adanya kenyataan bervariasinya ketatalaksanaan pendaftaran tanah ulayat, perlu dilakukan kajian

3

kritis mengenai kondisi aktual keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat sebagai subyek hak atas tanah. Sjamsir Datuk Perpatih (dalam Warman 2006: 7) mengatakan bahwa dalam praktek pensertipikatan tanah ada 2 (dua) kecenderungan perilaku masyarakat hukum adat di Minangkabau. Kecenderungan yang pertama adalah tanah ulayat kaum cenderung dibagi-bagi secara definitif kepada keluarga-keluarga yang ada di dalam kaum, sehingga potensi terjadi privatisasi tanah ulayat sebelum didaftarkan. Kecenderungan yang kedua adalah tanah ulayat kaum tidak dibagi- bagi, dimana ganggam bauntuak yang sudah ada tetap berada dalam kesatuan tanah ulayat kaum, sehingga penguasaan komunal tanah ulayat tetap dipertahankan dan didaftarkan atas nama seluruh anggota kaum. Program PTSL merupakan program inisiatif dari pemerintah untuk mempercepat pendaftaran seluruh bidang tanah yang ada di Indonesia, termasuk tanah ulayat, agar tercipta kepastian hukum. Dengan adanya kegiatan PTSL, diharapkan seluruh tanah ulayat pun juga dapat terdaftar.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, permasalahan yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana karakteristik penguasaan/pemilikan tanah ulayat di Provinsi Sumatera Barat? 2. Bagaimana best practice pendaftaran tanah ulayat di Provinsi Sumatera Barat, faktor pendorong dan penghambat? 3. Bagaimana solusi untuk menyelesaikan permasalahan terkait bottle nack pendaftaran tanah ulayat di Provinsi Sumatera Barat?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: a. Mendeskripsikan karakteristik pola penguasaan/pemilikan tanah ulayat oleh masyarakat di Provinsi Sumatera Barat.

4

b. Menganalisis best practisis pendaftaran tanah ulayat di Provinsi Sumatera Barat, utamanya dari faktor pendorong dan penghambatnya. c. Menemukenali solusi dalam menyelesaikan permasalahan terkait bottle nack pendaftaran tanah ulayat di Provinsi Sumatera Barat. 2. Manfaat Penelitian a. Secara akademis, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan pengayaan studi Sosiologi Hukum, utamanya di bidang pengaturan jaminan kepastian hukum terhadap kepemilikan tanah ulayat masayrakat adat. b. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi bagi otoritas Pemerintah Daerah maupun otoritas pertanahan dalam pengaturan pengakuan tanah ulayat di Provinsi Sumatera Barat.

5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Hasil-Hasil Penelitian Terhdahulu Skripsi Ichsan Ramadhan (2018) menemukan bahwa di satu sisi PTSL dibatasi target waktu penyelesaian, dan disisi lain panduan implementatornya kurang jelas, sehingga pekerjaan dilapangan menemui banyak hambatan. Kekurangan sumber daya manusia dan koordinasi antar lini yang kurang efektif dalam menyelesaikan kendala di lapangan, serta ketiadaan sanksi bagi implementator yang berpengaruh pada kualitas mental implementator menyebabkan program tidak berjalan dengan maksimal. Adanya temuan kurang jelas panduan implementator dimaksud, dapat dipahami karena kebijakan pendaftaran tanah berdasar PP No. 24 Tahu 1997 dan peraturan pelaksanaannya yaitu PMNA/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 hanya mengatur operasional pendaftaran yang obyeknya hak-hak atas tanah (termasuk hak-hak lain yang terkait dengan hak atas tanah seperti hak tanggungan) saja. Kebijakan tersebut belum mengatur pendaftaran yang obyeknya hak ulayat. Tidak dijadikannya hak ulayat sebagai obyek pendaftaran diduga karena diasumsikan hak ulayat yang bersifat publik akan semakin lama semakin habis dan berubah terindividualisasi menjadi hak-hak atas tanah yang besifat privat. Hasil penelitian Widia Eka Putri (2015) menemukan bahwa telah terjadi perubahan penggunaan tanah kaum yang berhubungan dengan perubahan penguasaan tanah ulayat. Penguasaan tanah ulayat berubah dari penguasaan bersama menjadi penguasaan individu dan penggunaan tanahnya berubah dari pertanian ke non pertanian. Bentuk perubahan penguasaan yang terjadi yaitu menjadi ganggam bauntuak, digadai, dan dijual sementara. Perubahan penggunaan tanah ini dipengaruhi oleh sikap dan sifat anggota kaum, yakni keinginan untuk berkembang, berpendidikan, memiliki pekerjaan lebih layak, serta peran mamak dan urang sumando dalam kaum. Hal senada juga terjadi pergeseran pemanfaatan tanah ulayat kaum di Kecamatan Banu Hampu Kabupaten Agam, menemukan bahwa penjualan tanah pusaka dianggap lebih baik daripada nanti menjadi harta

6

rebutan para anggota kaum di kemudian hari sementara ketersediaan tanah pusaka semakin lama semakin berkurang. Walaupun secara empiris telah ada kecenderungan perubahan penguasaan secara individu, namun dibeberapa wilayah masyarakat adat lainnya tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan hak ulayat masih teguh dipertahankan, termasuk di Sumatera Barat. Hasil penelitian Zamzamilul Adra (2005) mengemukakan bahwa pengsertipikatan tanah ulayat menimbulkan kontroversi pada masyarakat hukum adat, karena berefek pada peran mamak yang semakin berkurang, seolah-olah hanya menjadi simbol saja. Alasan penolakan pendaftaran tanah ulayat karena pendaftaran itu akan merubah sifatnya menjadi privat. Oleh karena dibeberapa wilayah Sumatera Barat masyarakat adatnya masih eksis mempertahankan hak ulayat, maka R. Yando Zakaria (2016) mengatakan bahwa subyek dan obyek hak di Minangkabau sangat beragam, tidak hanya sekedar sebutan masyarakat hukum adat dan tanah ulayat. Konsep tentang ulayat atau wilayah adat perlu dibahas lebih mendalam untuk memproduksi kebijakan demi keperluan pengakuan dan perlindungannya, mengingat di dalam hak ulayat mengandung unsur publik dan privat. Hak ulayat bukan hanya sekedar hak pemanfaatan bersama, namun lebih kepada kedaulatan persekutuan hidup masyarakat adat atas wilayahnya. Penelitian-penelitian tersebut menjadi bekal dan pijakan yang cukup bagi peneliti untuk melakukan kajian yang lebih mendalam lagi. Pemahaman komprehensif dan lengkap akan membantu menemukan celah permasalahan yang perlu dikaji dan dianalisis dalam melihat potensi pengakuan tanah ulayat dalam kerangka antisipasi hukum tanah nasional yang tidak cukup mengakomodir kepentingan hukum adat.

B. Konsep Hak Ulayat Masyarakat Indonesia yang mendiami 17.508 buah pulau, yang terdiri dari sekitar 370 suku bangsa (etnic group) merepresentasikan keberagaman lingkungan hukum adat positif. Oleh van Vollenhoven dalam bukunya Adatrecht I, keberagaman hukum adat positip dikelompokkan ke dalam 19 lingkungan hukum (rechtskring), yang masing-masing kelompok tersebut terdapat sub kelompok yang

7 masih ditemukan perbedaan satu dengan lainnya. Dalam kepustakaan ilmu hukum, hak ulayat oleh van Vollenhoven disebut beschikkingsrecht, kemudian oleh ahli hukum Indonesia disebut dengan berbagai nama antara lain hak pertuanan (Soepomo), hak purba (Djojodigoeno, Iman Sudiyat), hak bersama (Hazairin) dan oleh UUPA dipopulerkan dengan istilah hak ulayat. Namun Herman Soesangobeng (2000) tidak mempergunakan kata hak, tetapi hukum (ulayat), sebab menurutnya ulayat bukanlah hak, tetapi suatu lembaga. Memahami masing-masing lingkungan hukum adat, Ter Haar membuat sistematika penguasaan atas tanah-tanah adat di Indonesia yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat, disebut hak pertuanan (beschikkingsrecht) dan tanah yang dikuasai oleh perseorangan. Dalam kepustakaan hukum, hak pertuanan lebih populer dengan nama hak ulayat. Hak ulayat dan hak perseorangan atas tanah ini di Indonesia dikenal dengan berbagai nama serta berbagai karakteristik sesuai dengan kondisi sosial budaya di masing-masing daerah. Hak ulayat merupakan lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara masyarakat hukum adat dengan tanah dalam wilayahnya, yang disebut tanah ulayat. Hak ulayat merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi. Hak-hak perorangan atas sebagian tanah-bersama tersebut secara langsung ataupun tidak langsung bersumber padanya. Hak ulayat merupakan seperangkaian wewenang- wewenang dan kewajiban-kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Menurut Budi Harsono (1987: 250) hak ulayat mengandung dua unsur, yaitu unsur kepunyaan termasuk bidang hukum perdata dan unsur tugas-kewenangan untuk mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah bersama, yang termasuk bidang hukum publik. Unsur tugas kewenangan yang termasuk bidang hukum publik pelaksanaannya dilimpahkan kepada Kepala Adat sendiri atau bersama- sama dengan para Tetua Adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Menurut Van Vollenhoven (dalam Herman Soesangobeng, 2012: 166-168) terdapat 6 (enam) sifat atau ciri khas dari ‘beschikkingsrecht’ yaitu: a) Masyarakat hukum adat dapat dengan bebas menggunakan dan mengusahakan semua tanah yang belum dikuasai seseorang dalam lingkungannya; b) Orang asing juga dapat melakukan hal-hal tersebut setelah mendapat izin yang terikat sanksi jika

8

melanggar; c) Untuk memungut dan menikmati hasil tanah tersebut diharuskan membayar uang pemasukan; d) Masyarakat hukum adat bertanggung jawab atas tiap pelanggaran hukum yang terjadi; e) Masyarakat hukum adat tetap berhak menguasai dan mengawasi tanah-tanah pertanian dalam lingkungannya; dan f) Tanah masyarakat hukum adat tidak boleh dijual kepada pihak lain selamanya. Berdasarkan sifat khas dari beschikkingsrecht tersebut, Ter Haar (2012: 169) membagi 2 (dua) kewenangan di dalam perbuatan dan tindakan hukum masyarakat hukum adat terhadap tanah, yakni kewenangan bertindak ke dalam dan ke luar. Kewenangan bertindak ke luar dimaksudkan untuk melindungi tanah dari pihak luar yang berusaha ikut menggunakan tanah ulayat. Kewenangan bertindak ke dalam adalah berhak membuat aturan bersama tentang pemungutan hasil dari tanahnya.

C. Klasifikasi Tanah Ulayat di Minangkabau Disamping terdapat kewenangan bertindak ke dalam dan ke luar dari hak ulayat tersebut, Ter Haar (dalam Soesangobeng, 1994: 50-51) juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara hak ulayat (pertuanan) dengan hak perseorangan, yakni hubungan menguncup mengembang bertimbal-balik. Apabila hubungan perseorangan dengan sebidang tanah menguat yang kemudian menguat pula hubungan hukumnya, maka hak-hak masyarakat akan melemah dan begitu pula berlaku sebaliknya. Soesangobeng (2012, 235) menyebutnya dengan istilah teori ‘menguncup-mengembang’. Berdasarkan teori Ter Haar, Soesangobeng (2012, 232-234) mengklasifikasikan proses pertumbuhan dan struktur hak atas tanah menjadi 2 (dua) jenis yaitu hak atas hubungan agraria yang bersifat tidak tetap dan hak atas tanah yang bersifat tetap. Hak sementara merupakan hak yang masih dalam pengaruh kuat dari hak kekuasaan masyarakat dan hak perorangannya lemah, digolongkan sebagai hak agraria, yakni hak wenang pilih, hak terdahulu, dan hak menikmati hasil tanah. Sedangkan hak tetap merupakan hak yang kuat dipunyai seseorang dan pengaruh hak kekuasaan masyarakat melemah. Jenis-jenis hak tetap ini adalah hak pakai dan hak milik. Apabila dibuat suatu urutan pertumbuhan hak yang menggambarkan kondisi dimana kuatnya pengaruh hak kekuasaan

9

masyarakat sampai menjadi lemah atau menguatnya hak perorangan, maka akan menjadi: 1) hak wenang pilih, 2) hak terdahulu, 3) hak menikmati, 4) hak pakai, dan 5) hak milik. Hak milik merupakan hak tetap yang sudah sangat penuh dan kuat hak perorangan, sebaliknya pengaruh hak kekuasaan masyarakat masih ada tetapi sudah sangat lemah. Struktur hak tanah ulayat, terdapat hak atas hubungan agraria yang bersifat sementara dan hak atas tanah yang bersifat tetap. Disisi lain, UUPA menggolongkan struktur hak terhadap sumberdaya alam/ agraria ini ke dalam hak menguasai negara dan hak atas tanah, serta hak-hak atas air dan ruang angkasa. Dalam Pasal 16 UUPA disebutkan bahwa: (1) Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) ialah: a. Hak Milik; b. Hak Guna Usaha; c. Hak Guna Bangunan; d. Hak Pakai; e. Hak Sewa; f. Hak Membuka Tanah; g. Hak Memunggut Hasil Hutan; h. Hak-hak Lain yang tidak termasuk dalam hjak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak- hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53. (2) Hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) ialah: a. Hak Guna Air; b. Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan; c. Hhak guna ruang angkasa. Menurut pencetus UUPA, terhadap tanah ulayat tidak diatur karena sudah ditingkatkan menjadi hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya dilimpahkan kepada ketua adat/persekutuan masing-masing. Namun jika dilihat pada pasal 16 huruf e sampai dengan h UUPA, sesungguhnya merupakan hak agraria menurut penggolongan Soesangobeng tersebut di atas. Tanah ulayat yang ada di Sumatera Barat menurut Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya terbagi menjadi: ulayat nagari, ulayat suku, ulayat kaum, dan ulayat rajo.

D. Pendaftaran Hak Ulayat dalam Hukum Tanah Nasional Hukum Tanah Nasional mengakui eksistensi hak ulayat bagi suatu masyarakat hukum adat tertentu, sepanjang menurut kenyataannya masih ada (Pasal 3 UUPA). Selanjutnya dalam Penjelasan Umum UUPA, ditentukan bahwa terhadap hak ulayat yang pada kenyataannya sudah tidak ada, tidak akan dihidupkan lagi dan tidak akan menciptakan hak ulayat baru. UUPA tidak mengatur dan tidak memerintahkan mengatur hak ulayat, karena diduga kekuatan

10 hak ulayat cenderung melemah dengan makin menguatnya hak pribadi anggota masyarakat adat. Walaupun UUPA tidak memerintahkan untuk mengatur hak ulayat, namun sesungguhnya keberadaan hak ulayat pada masyarakat hukum adat tertentu antara lain dapat diketahui dari kegiatan sehari-hari kepala adat yang dalam kenyataannya masih diakui sebagai pengemban tugas kewenangan mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah ulayat. Disamping itu, secara konstitusional eksistensi masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya diakui dan dilindungi dalam UUD 1945, TAP MPR No. IX/MPR/2001, dan UUPA. Untuk mengetahui masih ada atau tidak ada hak ulayat, Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Pengaturan ini memuat kebijakan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat hukum adat, sebagaimana dimaksud dalam UUPA. Kebijakan pengakuan hak masyarakat hukum adat atas hak ulayat dalam Peraturan dimaksud mengatur tentang tata cara penetapan subyek hak masyarakat hukum adat dan hak ulayat dengan parameter atau kriteria-kriteria yang ditetapkan dalam aturan ini. Peraturan Menteri ini juga mengatur prosedur penetapan hak ulayat, yaitu melalui penelitian keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-haknya, dan menentukan Peraturan Daerah sebagai instrumen penetapan. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 tentang Uji Materiil Undang-undang Kehutanan, secara tegas mengakui posisi masyarakat adat dan tanah ulayat masyarakat hukum adat, Pemerintah membuat kebijakan baru melalui Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 2015 yang diganti dengan Peraturan Menteri Agraria Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada Dalam Kawasan Tertentu. Kebijakan ini merealisasikan amanat Putusan Mahkamah Konstitusi yaitu untuk melindungi hak-hak masyarakat hukum adat, dengan dapat diberikannya suatu hak atas tanah yang dinamakan hak komunal atas tanah. Menurut Pasal 16 ayat (1) UUPA, tidak

11 mencantumkan hak komunal atas tanah sebagai jenis-jenis hak atas tanah, sehingga hak komunal atas tanah dapat ditafsirkan sebagai jenis hak atas tanah yang baru. Hanya saja menurut Pasal 16 ayat (1) huruf h UUPA, suatu hak atas tanah yang baru harus ditetapkan dengan suatu undang-undang. Dengan demikian terhadap tanah-tanah ulayat (ulayat nagari, ulayat suku, ulayat kaum, dan ulayat rajo) yang keberadaannya sudah diakui berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008, sesungguhnya dapat didaftarkan oleh otoritas pertanahan yang subyeknya komunal, namun perlu dipertegas siapa subyek komunal dan apakah status hak atas tanahnya. Permasalahannya, terdapat pro kontra pendaftaran tanah ulayat. Hermayulis (1999) mengatakan bahwa pendaftaran tanah ulayat memudarkan ikatan adat matrilineal yang hidup di Sumatera Barat. Herman Soesangobeng (2000) mengatakan bahwa menurut sebagian orang pendaftaran tanah ulayat menyebabkan perubahan sifat hak ulayat dari hak komunal menjadi hak individual. Jika didaftar atas nama mamak kepala waris timbul kecurigaan bahwa pensertipikatan tanah ganggam bauntuak menyebabkan berubahnya status harta pusaka tinggi yang dimiliki semua anak kamanakan menjadi harta milik pribadi mamak kepala waris. Sebaliknya Sayuti Thalib (1985: 14) mengatakan bahwa pensertipikatan tanah adat merupakan pembaharuan terhadap hukum adat. Pensertipikatan tanah adat tidak akan menghapuskan tanah adat itu, sebaliknya justru semakin mempertegas status kepemilikan serta letak, luas dan batas-batas tanah kaum. Hal tersebut juga ditemukan pada penelitian Guntur, dkk (2018) terhadap tanah druwe desa (sesungguhnya merupakan bekas hak prabumian semacam hak ulayat) di Bali, diproses pendaftarannya dalam PTSL melalui konversi yang diatur dalam Bagian Kedua Ketentuan-Ketentuan Konversi, UUPA. Subyek hak atas tanahnya adalah lembaga sosialnya yaitu Desa Adat (Desa Pakraman) atau lembaga keagamaan yaitu Pura dan status tanahnya berupa Hak Milik.

12

E. Kerangka Konseptual dan Teioritis 1. Kerangka Konseptual Dalam sistem pendaftaran hak, yang didaftar adalah haknya yang diciptakan dan perubahan-perubahannya kemudian. Sebidang tanah, baru dapat dilakukan pendaftaran hak dalam buku tanah jika sudah tercipta (ada) hak atas tanah, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 29 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Sejalan dengan Pasal tersebut, tanah ulayat baru dapat didaftarkan jika sudah ada hak atas tanahnya. Berdasarkan pasal 2 ayat (2) huruf b UUPA, bahwa Pemerintah diberikan kewenangan untuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah. Kewenangan negara sebagai organisasi bangsa Indonesia terhadap pengaturan hubungan hukum tersebut diberikan kepada Kementerian ATR/BPN berdasarkan Peraturan Menteri Muda Agraria Nomor 15 Tahun 1959 tentang Pemberian dan Pembaharuan Beberapa Hak Atas Tanah serta Pedoman Mengenai Tata-Tjara Kerdja bagi Pedjabat-Pedjabat jang Bersangkutan, yang telah dilakukan perubahan dan terakhir dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah junto Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Sedangkan jika tanah tersebut berasal dari hak lama atas tanah, berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-Hak Indonesia Atas Tanah, Menteri atau Kepala Pengawas Agraria atau Kepala Kantor Pendaftaran Tanah (KKPT) memberikan penegasan konversi hak-hak atas tanah sebelum didaftarkan haknya dalam buku tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961. Saat ini, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, kewenangan penetapan konversi hak-hak lama atas tanah sepenuhnya menjadi kewenangan Kepala Kantor Pertanahan, yang dalam pendaftaran tanah sistematik dilimpahkan kepada Ketua Panitia Ajudikasi.

13

Dengan demikian, diketahui bahwa terdapat kebijakan dari Pemerintah yang telah menunjuk Kementerian ATR/BPN sebagai lembaga yang berwenang menetapkan hak-hak atas tanah, baik penetapan pemberian hak yang berasal dari tanah negara maupun penetapan konversi hak-hak lama atas tanah. Kewenangan penetapan pemberian hak dan penetapan konversi hak lama, merupakan wujud konkrit dari amanat untuk mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah sebagaimana Pasal 2 ayat (2) huruf b UUPA. Berdasarkan ketentuan-ketentuan konversi UUPA, maka konversi hak-hak lama atas tanah (hak-hak Indonesia atau hak adat) menjadi hak atas tanah tersebut dalam Pasal 16 UUPA dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama faktor isi dan wewenang pemegang hak, yaitu jika isi hak dan wewenang pemegang hak sebagaimana atau mirip hak milik maka dikonversi sebagai hak milik, sedangkan apabila isi hak dan kewenangannya mirip dengan hak pakai maka dikonversi menjadi hak pakai. Faktor kedua, adalah faktor subyek haknya. Terhadap tanah-tanah yang isi dan wewenang pemegang haknya mirip dengan hak milik, maka konversinya menjadi hak milik apabila subyek haknya memenuhi syarat, atau menjadi hak guna usaha atau hak guna bangunan, tergantung pada penggunaan tanahnya, apabila subyek tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak milik (Pasal II Ketentuan-Ketentuan Konversi). 2. Kerangka Teioritis Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah konsep kepastian hukum yang dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo serta teori kesadaran hukum Soerjono Soekamto. Konsep kepastian hukum, Sudikno Mertokusumo (1988: 136) menyatakan bahwa: “Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan kepada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati atau dilaksanakan. Undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat “lex dura, set tamen scripta” (undang-undang itu kejam, tetapi demikianlah bunyinya). Definisi kesadaran hukum menurut Soerjono Soekamto yaitu konsepsi- konsepsi abstrak di dalam diri manusia tentang keserasian antara ketertiban 14 dengan ketenteraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya. Indikator kesadaran hukum adalah pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum (law awareness), pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum (law acquaintance), sikap terhadap peraturan-peraturan hukum (legal attitude) dan pola-pola perikelakuan hukum (legal behavior). Adapun kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

Tanah Ulayat di Minangkabau

Ulayat Nagari Ulayat Suku Ulayat Kaum Ulayat Rajo

• Isi dan wewenang MHA Subyek Hukum: • Isi dan wewenang Anggota • Ninik Mamak KAN (privat) • Penghulu Suku • Anggota Kaum & MKW • Anggota Kaum & Pihak ketiga

Konversi Hak Lama

KEPASTIAN HUKUM

Gambar 1: Kerangka Pemikiran Sumber : Dokumen Peneliti (2020)

15

BAB III METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini adalah penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan yuridis-empiris (socio-legal research). Melalui pendekatan ini, peneliti menganalisis pola hubungan hukum dalam pemanfaatan tanah ulayat sebagai fenomena sosial dengan menggunakan perspektif hukum, baik hukum negara maupun hukum adat. Dengan adanya kejelasan pola atau karakteristik hubungan hukum tersebut, dapat dipakai untuk menentukan solusi pendaftaran tanah ulayat, sehingga akhirnya terwujud kepastian hukum kepemilikannya oleh masyarakat hukum adat di Sumatera Barat.

A. Cakupan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk memahami bagaimana politik hukum negara, dalam hal ini adalah peraturan perundang-undangan nasional yang dibuat oleh Pemerintah dalam memaknai, mengatur dan operasional pengadministrasian pengakuan keberadaan hak tradisional masyarakat. Jadi, penelitian ini lebih menekankan pada sisi bagaimana negara memperlakukan hak ulayat masyarakat hukum adat. Penelitian ini membatasi politik hukum nasional pada peraturan perundang-undangan nasional antara lain UUD 1945, Ketetapan MPR, undang- undang serta peraturan pelaksanaannya. Selain itu, lingkup kebijakan nasional juga dibatasi dalam konteks pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dalam permasalahan sumber daya alam dalam hal ini bidang pertanahan, khususnya hak ulayat di Provinsi Sumatera Barat. Dipilihnya Provinsi Sumatera Barat sebagai lokasi penelitian karena Suku Minangkabau merupakan salah satu suku bangsa yang memiliki sistem kekerabatan berbeda, unik, dan langka yaitu sistem kekerabatan Matrilineal atau Matriakhat (Siti Raga Fatmi, 2018: 394).

B. Jenis dan Sumber Data Sebagaimana lazimnya penelitian pelaksanaan hukum di masyarakat (socio- legal research), memerlukan data baik data primer yang berasal dari responden maupun data skunder yang berasal dari utamanya dari bahan hukum. Data primer

16

yang diperlukan berupa informasi yang terkait dengan pola hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan anggota masyarakat (persekutuan) dalam pemanfaatan tanah ulayat. 1. Data/Informasi yang diperlukan antara lain: a. Struktur pemerintahan adat masyarakat adat. b. Sistem kekerabatan dalam masyarakat adat. c. Sistem penguasaan dan fungsi tanah ulayat; d. Perbedaan dan kriteria hak ulayat: nagari, suku, kaum, dan rajo. e. Kekayaan yang menjadi milik komunitas adat (nagari, suku, kaum, dan rajo). f. Pengaturan ulayat nagari, ulayat suku, ulayat kaum, dan ulayat rajo. g. Kewenangan publik dan kewenangan perdata yang berasal dari Hak Ulayat. h. Proses pendaftaran tanah ulayat yang pernah dilakukan. i. Proses perolehan dan peralihan tanah ulayat; j. Mekanisme pengaturan penguasaan tanah ulayat bagi anggota masyarakat adat dan bukan anggota masyarakat adat. k. Mekanisme peralihan dari kepemilikan komunal menjadi pemilikan perorangan. l. Bentuk penggunaan tanah ulayat masyarakat adat. m. Pengaturan hak ulayat untuk kepentingan umum, sosial, dan agama. n. Upaya dan mekanisme memelihara dan/atau melestarikan hak ulayat. 2. Sumber Data. a. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat; b. Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumatera Barat c. Kantor Pertanahan di Provinsi Sumatera Barat d. Penguasa adat pada masyarakat adat. e. Masyarakat adat di Provinsi Sumatera Barat.

C. Teknik Pengumpulan Data Dalam rangka untuk mengumpulkan atau mencari teori-teori yang akan dijadikan dasar atau acuan dalam pembahasan permasalahan, peneliti menggunakan studi kepustakaan. Sedangkan untuk memperoleh data yang

17

diperlukan dalam penelitian menggunakan teknik wawancara, studi dokumen, dan observasi. Pertama, teknik wawancara yaitu semi-struktured yang dipakai dalam penelitian ini dimaksdukan untuk memperoleh data primer dari nara sumber. Dalam teknisnya, sebelum dilakukan wawancara langsung oleh Peneliti dan Asisten Peneliti dengan nara sumber, terlebih dahulu dipersiapkan pertanyaan- pertanyaan, kemudian satu-persatu diperdalam dengan menggali keterangan lebih lanjut. Kedua, studi dokumen dilakukan untuk memperoleh data skunder. Data diperoleh melalui tahap mengumpulkan, menelaah dan menganalisa data yang berkaitan isi dokumen dan mengelompokkan ke dalam konsep-konsep pokok yang terdapat dalam rumusan masalah. Ketiga, teknik observasi dilakukan dengan mengadakan pengamatan langsung pada lingkungan masyarakat adat di Kabupaten Padang Pariaman dan Tanah Datar Sumatera Barat utamanya terkait dengan jenis-jenis penggunaan dan pemanfaatan tanah ulayat di lokasi penelitian.

D. Teknik Analisis Data Penelitian ini menggunakan teknik atau metode pengolahan dan analisis data kualitatif. Pendekatan kualitatif diarahkan pada keadaan-keadaan dan cara pandang individu secara holistik (menyeluruh) dari kalangan masyarakat adat di Sumatera Barat. Uraian pengolahan dan analisis data kualitatis meliputi reduksi data, penyederhanaan dan penyajian data, terakhir verifikasi hasil penelitian serta penarikan kesimpulan. Hasil wawancara, dokumen dan literatur akan dikelompokkan berdasarkan jenis data yang dibutuhkan. Hasil pengelompokkan tersebut secara deskriptif akan dianalisa untuk memperoleh pemahaman tentang upaya perlindungan dan pemberian jaminan kepastian hukum terhadap tanah- tanah ulayat masyarakat adat di Provinsi Sumatera Barat.

18

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH SUMATERA BARAT

Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di sepanjang pesisir pulau Sumatera. Padang sebagai ibukota provinsi ini yang dikenal akan citarasa makanan yang kaya akan rempah-rempah. Selain itu, provinsi ini juga memiliki kebudayaan yang beragam dengan slogan “adaik salingka nagari” menjadikan setiap daerah memiliki ciri khas budaya dengan pelaksanaan yang tidak jauh berbeda.

A. Kondisi Fisik Wilayah 1. Letak Geografis Informasi geografis provinsi memberikan gambaran mengenai karakteristik wilayah, lokasi, dan potensi pengembangan wilayah. Secara geografis, Provinsi Sumatera Barat terletak pada 0°54'LU dan 3°30'LS serta 98°36' - 101°53'BT. Luas wilayahnya 42.297,30 km² atau sama dengan 2,21% dari luas wilayah Indonesia dan lebih dari 45,17% merupakan kawasan yang masih ditutupi hutan lindung. Provinsi ini terdiri dari 19 kabupaten/kota dengan 176 kecamatan dan 1.013 desa. Secara administratif provinsi ini berbatasan dengan Sumatera Utara (Utara), Provinsi Riau (Timur), Provinsi Jambi (Selatan), dan Samudra Hindia (Barat). Adapun peta wilayah administratif dapat dilihat pada Gambar 2. Provinsi Sumatera Barat memiliki garis pantai sepanjang 2.420.357 km, berbatasan dengan Samudera Hindia, memiliki suhu udara 22,6° – 31,5° C. Terdapat 29 gunung dengan Gunung Kerinci di Kabupaten Solok Selatan sebagai gunung tertinggi (ketinggian 3.085 mdpl), serta terdapat gunung aktif seperti Gunung: Marapi, Tandikat dan Talang. Provinsi ini memiliki banyak danau dan Danau Singkarak di Kabupaten Solok sebagai danau terluas kedua di Sumatera dan kesebelas di Indonesia.

19

Gambar 2. Peta Administrasi Provinsi Sumatera Barat Sumber : Design Map, 2020

2. Kependudukan Daerah yang diberi julukan “Ranah Minang” merupakan daerah yang mayoritas penduduknya Suku Minangkabau. Di daerah Pasaman selain etnis Minang, juga terdapat Suku Mandailing. Beberapa daerah transmigrasi seperti Sitiung (), Lunang Silaut (Pesisir Selatan), dan Padang Gelugur, tinggal sekelompok suku Jawa. Kepulauan Mentawai mayoritas dihuni oleh penduduk etnis Mentawai dan jarang dijumpai Minangkabau. Terdapat pula etnis Tionghoa di kota: Padang, Bukittinggi, dan Payakumbuh. Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2019, jumlah penduduk Sumatera Barat Tahun 2018 mencapai 5.441.197 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 2.711.772 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 2.729.425 jiwa. Berikut data penduduk Sumatera Barat berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin tahun 2018.

20

Tabel 1 Penduduk Sumatera Barat Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2018 Kelompok Jenis Kelamin (orang) Jumlah No. Umur Laki-Laki Perempuan orang Persentase 1. 0-4 275.149 264.934 540.083 10,03 2. 5-9 275.666 265.499 541.165 10,05 3. 10-14 262.799 251.809 514.608 9,56 4. 15-19 246.372 238.499 484.871 9,01 5. 20-24 224.766 220.705 445.471 8,28 6. 25-29 204.405 202.276 406.681 7,56 7. 30-34 196.443 192.617 389.060 7,23 8. 35-39 177.670 184.190 361.860 6,72 9. 40-44 174.541 175.162 349.703 6,50 10. 45-49 155.546 158.216 313.762 5,83 11. 50-54 134.783 141.470 276.253 5,13 12. 55-59 118.299 127.440 245.739 4,57 13. 60-64 96.794 103.093 199.887 3,71 14. 65-69 63.637 68.463 132.100 2,45 15. 70-74 36.655 45.550 82.205 1,53 16. 75+ 37.588 61.041 98.629 1,83 Total 2.681.113 2.700.964 5.382.077 100,00 Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), 2018. Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa komposisi jumlah penduduk terbanyak menurut kelompok usia dan jenis kelamin adalah pada usia 5-9 tahun yaitu 10,05%. Sedangkan komposisi jumlah penduduk terendah adalah usia 70-74 tahun yaitu 1,53%. 3. Penggunaan Tanah Tanah merupakan tempat melangsungkan kehidupan sehari-hari dan wadah untuk memenuhi kehidupan. Tanah menjadi ladang investasi untuk sebagian besar orang yang kemudian dapat ditanami, dijual, maupun didirikan sebuah bangunan. Secara garis besar, jenis penggunaan tanah terbagi menjadi tanah terbangun dan tak terbangun. Tanah terbangun terdiri dari perumahan, industri, perdagangan, jasa dan perkantoran. Sedang tanah tidak terbangun digunakan untuk kuburan, rekreasi, transportasi, ruang terbuka, pertanian, perkebunan, area perairan, produksi, dan penambangan sumber daya alam, dll. Menurut Maurice Yeates (1980) bahwa komponen penggunaan lahan suatu

21

wilayah terdiri dari: permukiman, industri, komersial, jalan, tanah publik, dan tanah kosong. Berdasarkan laporan uji coba neraca lahan oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2009 dan 2012 didapatkan data sebagaimana Gambar 3 dan 4 .

Gambar 2 Penggunaan Lahan Provinsi Sumatera Barat tahun 2009 dan 2012 (dalam hektar) Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), 2018.

Gambar 3 Penggunaan Lahan Provinsi Sumatera Barat tahun 2009 dan 2012 (dalam ribu hektar) Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), 2018.

Berdasarkan gambar tersebut, penggunaan tanah terluas yaitu pertanian tanah kering semusim seluas 615.001 hektare atau sekitar 14,64% dari luas penggunaan tanah secara keseluruhan. Sedangkan pada tahun 2012,

22

luas penggunaan lahan terbesar yaitu pada sektor kebun seluas 450.901 hektar atau sekitar 10,73% dari total penggunaan lahan di Sumatera Barat. 4. Kepemilikan/Penguasaan Tanah Sumatera Barat merupakan daerah dengan mayoritas penduduknya merupakan masyarakat Minangkabau dengan sistem matrilineal serta kepemilikan tanah bersifat komunal. Penting artinya pemilikan secara bersama sehingga sulit bagi masyarakat Minangkabau untuk melepaskan hubungannya dengan tanah. Pada daerah ini, terdapat empat jenis tanah ulayat, yaitu: (1) Ulayat nagari, merupakan tanah milik nagari yang sudah dibagi menjadi hak milik individu maupun komunal. Ulayat nagari saat ini dijadikan sebagai fasilitas umum, seperti lapangan, kolam nagari, pasar, kantor adat, sekolah, tempat ibadah, dan tanah cadangan berupa belukar muda, (2) ulayat suku, merupakan tanah cadangan suku yang digunakan secara bersama oleh anggota suku untuk perkebunan atau ladang milik komunal, (3) ulayat kaum, merupakan tanah milik kaum yang minimal terdiri dari 4 generasi sebagai tanah cadangan untuk tempat hidup, bercocok tanam secara bersama ataupun bergilir. Tanah ulayat adalah aset masyarakat adat Minangkabau yang tidak ternilai harganya. Ada ungkapan dalam adat Minangkabau, bahwa semua orang berkewajiban untuk menjaga dan mempertahankan tanah ulayat agar tidak habis. Bunyi pepatah tersebut adalah ”Nanketek dipagadang, nan hanyuik dipnitehi, nan hilang dicari, nan patah ditimpa, nan sumbiang dititiak, nan buruak dipaelok”. Dalam pepatah itu terkandung makna betapa berharganya tanah ulayat bagi kehidupan masyarakat hukum adat di Sumatera Barat. Tanah ulayat merupakan pengikat bagi masyarakat adat agar hubungan sesama suku tetap terjaga, dengan utuh. Namun tidak seluruhnya tanah di Sumatera Barat merupakan tanah ulayat. Seiring perkembangan zaman dan meningkatnya kebutuhan, setiap individu ingin memenuhi kebutuhannya dengan memiliki tanah pribadi. Beberapa daerah transmigrasi di Sumatera Barat, kepemilikan tanah secara komunal sudah jarang, sebaliknya merupakan tanah milik perseorangan yang dapat dibuktikan dengan surat jual beli, sertipikat, dan dokumen lainnya.

23

B. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Indonesia di dalam suasana lingkungan rakyat, merupakan persekutuan-persekutuan hukum kecil seperti nagari (di Sumatera Barat). Unsur pengikat persekutuan hukum dalam sebuah nagari adalah faktor territorial (daerah) dan faktor genealogi (pertalian darah). Sistem kekerabatan (pertalian darah) terdapat tiga model yaitu sistem kekerabatan menurut garis keturunan ayah (Patrilineal), garis keturunan ibu (matrilineal), dan garis keturunan ibu dan ayah (parental). Faktor genealogi sebagai dasar masyarakat di Sumatera Barat adalah dilihat dari keturunan ibu (matrilineal). Tata-susunan masyarakat menurut kekerabatan ibu berperanan dalam organisasi masyarakat Minangkabau. Sistem matrilineal ini menjadi dalil yang hidup, tumbuh dan berkembang. Kedudukan gender terkenal unik, sangat mengistimewakan kaum perempuannya. Sebagai suatu kesatuan yang merupakan dasar dari organisasi masyarakat, terdapat persekutuan hukum paruik. Paruik merupakan satu keluarga besar (famili) yang meliputi lima generasi (ibu dan saudaranya, anak dan anak saudara, cucu dan cucu saudara, moyang dan moyang saudara, serta puyang dan puyang saudara). Apabila angota sebuah paruik bertambah, maka dapat membelah menjadi kesatuan-kesatuan yang berdiri sendiri menjadi jurai. Gabungan dari jurai-jurai dan paruik-paruik yang berasal dari lingkungan pertalian darah sama berdasarkan garis keturunan ibu dinamakan suku. Suku tidak merupakan persekutuan hukum, karena hanya diikat dalam pertalian darah menurut garis ibu dan tidak terikat pada suatu daerah. Beberapa suku (minimal 4) bersama-sama bertempat tinggal pada teritorial yang sama, membentuk sebuah nagari. Nagari merupakan persekutuan hukum yang tersusun berdasarkan faktor territorial dan faktor genealogi garis keturunan ibu. Walaupun organisasi masyarakat berdasarkan garis ibu, namun yang berkuasa dalam kesatuan-kesatuan tersebut adalah laki-laki dari garis ibu. Mamak merupakan saudara laki-laki tertua dari ibu dalam jurai berkuasa pada kemanakan (semua anak laki-laki dan perempuan dari ibu serta saudara perempuan lain dari ibu). Kapalo paruik (mamak kepala waris/MKW) yang dipilih dari jurai tertua dari paruik berkuasa dalam sebuah paruik. MKW dari masing-masing paruik dipilih menjadi penghulu (disebut mamak kepala penghulu/MKK) berkuasa dalam satu suku. Dalam tata susunan masyarakat yang berdasarkan sistem kekerabatan garis 24 ibu merupakan suatu tertib aturan “bermamak-berkamanakan”, berpengaruh pada pengelolaan tanah pusaka. 1. Masyarakat Adat Di Minangkabau terdapat 2 (dua) kelarasan dan daerah rantau. Pertama, Kelarasan Koto Piliang yang dipimpin oleh Datuk Katumanggungan memiliki sistem aristokrat terdapat di Luhak Tanah Datar, Luhak Limapuluh, dan Pesisir Selatan. Dalam kelarasan ini, pengambilan keputusan berdasarkan pada keputusan pimpinan “titiak dari ateh, turun dari tanggo, Tabujua lalu tabalintang patah, kato surang gadang sagalo iyo, ikan gadang dalam lauik, ikan ketek makannyo, nan mailia dipalik, nan manitiak ditampuang”. Kedudukan penghulu pada kelarasan ini bertingkat, yaitu penghulu andiko, penghulu suku, dan penghulu pucuk. Penghulu pucuk juga disebut sebagai pucuk nagari. Bapucuak bulek, baurek tunggang (Berpucuk bulat, berurat tunggang). Corak Rumah Gadangnya mempunyai anjung kiri dan kanan, serta berlabuh gajah di tengah-tengahnya. Anjung kiri dan kanan adalah tempat yang ditinggikan, untuk menempatkan penghulu-penghulu sesuai dengan fungsi atau tingkatan. Bajanjang naiak, batanggo turun (Berjenjang naik, bertangga turun). Kedua, Kelarasan Bodi Chaniago dipimpin oleh Datuk Parpatih Nan Sabatang memiliki sistem demokrasi melayu, seluruh keputusan bertumpu pada musyawarah dan mufakat. Kato surang dibuleti, kato basamo kato mufakat. Lah dapek rundiang nan saiyo, lah dapek kato nan sabuah. Pipiah nan indak basuduik, bulek nan indak basandiang. Takuruang makanan kunci, tapauik makanan lantak. Saukua mako manjadi, sasuai mangko takana. Putuih gayuang dek balabeh, putuih kato dek mufakat. Kedudukan semua penghulu sama sehingga bentuk pun sejajar “duduak sahamparan, tagak sapamatang”. Dalam kelarasan ini terdapat suku: Bodi, Caniago, Sumagek, Mandaliko, dan Panyalai. Ketiga, daerah rantau Nan Panjang dipimpin oleh Datuk Maharajo Nan Banego-Nego yang berkedudukan di Pariangan Padang Panjang. Tugasnya menjadi juru damai sekiranya terjadi pertikaian di antara kelarasan Koto Piliang dan Bodi Caniago, yang disebut dalam pepatah Minangkabau “Pisang sikalek-

25

kalek utan Pisang simbatu nan bagatah Bodi Caniago inyo bukan Koto Piliang inyo antah”. 2. Kelembagaan Masyarakat Adat Dalam tambo alam, persebaran penduduk Minangkabau dimulai dengan adanya taratak yang dikatakan bahwa: Taratak mulo dibuek; Sudah taratak jadi dusun; Sudah dusun jadi koto; Sudah koto jadi nagari. (Taratak mula dibuat; Sudah taratak menjadi dusun; Sudah dusun menjadi koto; Sudah koto menjadi nagari). Nagari merupakan wilayah administrasi yang terdiri dari beberapa koto. Dalam nagari terdapat kelembagaan adat yang disebut dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang bertugas sebagai penjaga dan pelestari adat dan budaya Minangkabau. KAN berada dibawah naungan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) yang terdapat di kecamatan hingga provinsi. Struktur KAN terdiri dari Penghulu atau Datuk setiap suku, Manti (bidang intelektual), Malin (alim ulama), (keamanan) yang disebut dengan Nan Ampek Jinih (unsur empat jenis). Sesuai dengan Perda Sumbar Nomor 13 Tahun 1983, Bab IV, Pasal 7, sub 2 bahwa keputusan KAN menjadi pedoman bagi kepala desa dalam menjalankan roda pemerintahan desa dan wajib ditaati oleh seluruh masyarakat nagari dan aparat pemerintahan wajib membantu menegakkan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. Urang Nan Ampek Jinih pada dasarnya berkaitan dengan peran perangkat adat kaum, suku dan nagari dalam mengelola semua potensi, urusan, dan aktifitas operasional. Pertama, Penghulu atau disebut dengan ninik mamak yang bergelar datuk bertanggungjawab dan berkewajiban dalam memelihara anggota kaum, suku dan nagari. Dikatakan kewajiban penghulu: Kusuik manyalasai; Karuah mampajaniah; Tumbuahnyo ditanam; Tingginyo dianjuang; Gadangnyo diamba. Jabatan penghulu diperoleh dengan pengangkatan oleh anggota kaum. Penghulu sebagai tiang nagari, dalam menyelesaikan masalah bersikap bijaksana dan diumpamakan seperti menarik rambut dalam tepung, tapuang indak taserak, rambuik indak putuih. Kedua, Manti mempunyai fungsi, tugas dan tanggung jawab antara lain: 1) Memegang bidang tata laksana dan

26

organisasi kepenghuluan; 2) Sebagai ‘angin’ menjadi pembawa informasi dan penghubung antar kaum atau antar penghulu; 3) Menangani dan menyelesaikan silang salisiah atau sengketa antar kaum; dan 4) mengurus kegiatan sehari-hari. Ketiga, Malin mempunyai fungsi memelihara dan mengembangkan ajaran agama kepada seluruh kaum dan anak kemenakan serta mengurus masalah ibadah, keguruan, dan masalah keagamaan dan acara adat. Dalam menjalankan tugas, harus berpegang teguh pada agama. Keempat, Dubalang, memiliki fungsi menjaga keamanan dan pertahanan nagari. Watak dubalang yang keras berlawanan dengan sifat seorang penghulu. 3. Sistem Pewarisan Masyarakat adat Minangkabau pada dasarnya terikat oleh satu garis keturunan yang ditarik dari garis keturunan ibu (matrilineal). Kesatuan atas dasar keturunan tersebut disebut dengan suku. Dalam sistem kekerabatan matrilineal, harta warisan diturunkan secara kolektif dalam garis keturunan ibu. Harta tersebut meliputi harta pusako tinggi dan harta pusako rendah. Harta pusako tinggi merupakan harta turun-temurun suatu kaum, kepemilikannya sudah tidak dapat diketahui lagi. Harta pusaka ini dimiliki oleh bundo kandung dan diatur oleh ninik mamak atau MKW yang dapat berupa tanah rumah, sawah, dan ladang yang tidak boleh diperjual belikan maupun digadaikan. Harta pusaka tinggi dapat digadaikan namun tidak untuk dijual, dalam kondisi sebagai berikut: 1) Mambangkik batang tarandam, menjemput anggota kaum yang tidak sukses di rantau; 2) Mayiak tabujua ditangah rumah, biaya pemakaman; 3) Rumah gadang katirisan, memperbaiki rumah gadang; dan 4) Gadih gadang alun balaki, membiayai anak gadis dirumah gadang yang belum menikah. Apabila kondisi tersebut terjadi maka “indak kayu janjang dikapiang, indak ameh bungka diasah”, artinya ketika tidak ada persediaan dalam lumbung padi, tidak pula ada tanaman tua yang dapat dijadikan uang, maka harta pusaka tinggi boleh digadaikan. Harta pusako rendah merupakan harta hasil pencaharian orang tua yang kemudian akan diwariskan kepada anaknya sesuai hukum agama yang berlaku. Harta pusaka rendah juga dapat menjadi cadangan sebagai harta pusaka tinggi. Hal tersebut didasarkan oleh modal yang dibawa oleh seorang

27 laki-laki dalam berumah tangga merupakan bagian dari harta pusaka tinggi yang diberikan oleh mamak kepada kemenakannya. Oleh karena itu harta pusaka rendah sewaktu-waktu dapat naik menjadi harta pusaka tinggi. Adapun asas-asas yang terkandung dalam sistem pewarisan menurut tambo alam Minangkabau, yaitu asas unilateral, asas kolektif, dan asas keutamaan. Asas unilateral merupakan hak kewarisan yang hanya berlaku dalam satu garis keturunan ibu (unilateral matrilineal). Harta pusaka tersebut diwariskan oleh nenek moyang hanya melalui garis keturunan ibu yang kemudian diberikan kepada anak cucu melalui garis keturunan ibu pula. Asas kolektif merupakan hak atas harta pusaka yang diberikan kepada suatu kelompok secara bersamaan, bukan secara perseorangan (individu). Harta pusaka tidak dapat dibagikan dan diberikan dalam kelompok tersebut dalam bentuk kesatuan yang tidak dapat dibagi. Hal tersebut berdasarkan pemikiran agar harta pusaka dapat menjaga kekompakan dalam suatu keluarga dnan menjaga keutuhan hart aitu sendiri. Asas keutamaan adalah asas yang dalam menerima peran sebagai seorang penghulu untuk mengurus kaum dan harta pusaka, terdapat tingkatan hak yang menyebabkan satu pihak lebih berhak. Jika asas-asas tersebut ditelaah, budaya pewarisan matriarkat Minangkabau yang menjunjung tinggi agama Islam terkesan tidak seirama. Dalam Islam, harta warisan dibagikan bersifat individual, sehingga menjadi milik perseorangan oleh ahli waris. Sedangkan dalam adat Minagkabau, harta pusako tinggi diwariskan dalam bentuk komunal, tidak terbagi dan tidak terpisahkan menjadi milik komunal oleh para ahli waris perempuan. Menurut Amir Syarifuddin, dikemukakan bahwa dalam menetapkan haramnya hukum pewarisan harta pusaka menurut adat dan menyamakan harta pusaka sebagai hak pribadi adalah tidak benar. Hakekatnya, harta pusaka merupakan milik kaum, dan perlu dipilah kembali antara harta pusaka dengan harta pencaharian.

28

BAB V POTENSI PENDAFTARAN TANAH ULAYAT DI SUMATERA BARAT

A. Karakteristik Pemilikan dan Penguasaan Tanah Ulayat 1. Ulayat: Wilayah Terkait Sako dan Pusoko Secara umum, ulayat merupakan sebuah aturan dari kelompok masyarakat tertentu terhadap harta benda yang dimiliki dan penggunaannya agar bermanfaat bagi setiap anggota masyarakat serta cara mempertahankan (warisan) agar fungsinya tidak hilang. Harta sebagai warisan di Sumatera Barat dapat berwujud atau tidak berwujud yang disebut dengan istilah Sako dan Pusoko. Sako merupakan kebesaran, title atau kekuasaan sedang Pusoko merupakan harta benda (termasuk tanah) yang memiliki nilai tinggi karena berkaitan dengan teritorial masyarakat hukum adat. Dalam kepustakaan hukum adat, para ahli menggunakan istilah yang berbeda-beda terhadap hak masyarakat hukum atas tanah yang disebut Beschikkingsrecht. Di beberapa daerah dikenal dengan sebutan hak purba, hak pertuanan, wewengkon, atau prabumian, sedang di Minangkabau disebut dengan ulayat. UUPA menggunakan istilah hak ulayat, walaupun tidak tegas pengertiannya, namun jelas, tegas dan pasti bahwa hak ulayat telah menjadi konsep atau norma hukum agraria positif di Indonesia. Hak ulayat berkenaan dengan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan wilayahnya termasuk tanah. Hubungan hukum tersebut berisi wewenang dan kewajiban terhadap tanah dengan segala isinya (perairan, tumbuhan dan binatang) yang menjadi sumber kehidupan dan mata pencaharian. Bagi mayarakat Sumatera Barat, kata “Ulayat” digunakan untuk membedakan bahwa wilayah ini dikuasai oleh sebuah nagari, suku atau anggota kaum. Konsep pemilikan menurut konsep eigendom tidak dikenal. Tanah ulayat bukan dimiliki oleh penguasa, namun penguasa mempunyai hak jurisdiksi atas tanah-tanah dalam wilayahnya yang dengan kekuasaan dan pengaruhnya, dan secara teoritis mempunyai hak untuk menguasai, menggunakan, sesuai dengan adat yang berlaku.

29

2. Perolehan dan Pewarisan Tanah Ulayat Secara umum perolehan dimaksud membahas mengenai bagaimana cara masyarakat hukum adat setempat meliliki dan menguasai tanah-tanah ulayat, sehingga perlu dilakukan penelusuran sejarah masyarakat adatnya. Semua yang ada baik darat, air, sungai dan seterusnya merupakan kepunyaan masyarakat adat. Hal tersebut bermakna bahwa tanah dengan segala isinya merupakan milik bersama (milik basamo, komunal). Perlu ditelusuri komunal siapa, nagari, suku, kaum atau raja. Awalnya suatu nagari mempunyai empat suku (Nagari nan ampek suku) yaitu Bodi, Caniago, Koto dan Piliang. Empat suku tersebut lama-kelamaan mengalami perubahan (pemecahan) karena perkembangan manusia, koto dan nagari, sehingga jumlahnya mendekati 100 suku di seluruh Minangkabau (Nurdin Yakub, tt, 75). Dengan menelusuri aspek perkembangan kehidupan masyarakat, dapat diperoleh gambaran bahwa awalnya masyarakat sebagai mahluk sosial, hidup dalam kelompok-kelompok kecil, menempati wilayah-wilayah tertentu. Untuk hidupnya selain mendirikan rumah tinggal (gubuk) tentu juga membuka hutan untuk bertanam serta melaksanakan perburuan atau mencari rotan dan sebagainya. Klaim wilayah oleh kelompok tersebut dimaknai sebagai kepunyaan kelompok masing- masing. Selanjutnya kelompok semakin berkembang dan bersepakat untuk membentuk sebuah kenagarian. Dengan demikian, awalnya masing-masing kelompok (kaum/paruik) dalam suku mengklaim ulayat masing-masing. Dengan catatan, saat itu wilayah masih luas sedangkan manusia (suku) sedikit, sehingga batas-batas wilayah (ulayat) belum terlalu menjadi perhatian. Batas ulayat menggunakan batas alam seperti gunung, bukit sungai dan lain-lainya. Tentu tidak boleh juga dibayangkan klaim suku tersebut saling berbatasan, tetapi kemungkinan besar masih banyak tanah-tanah yang tidak digarap oleh anggota suku. Wilayah- wilayah yang belum diakui sebagai tanah-tanah suku dimaksud sesungguhnya merupakan ulayat nagari. Terhadap ulayat nagari tersebut, selanjutnya dapat digarap/dibuka (naruko) oleh anggota suatu nagari dengan seijin KAN, sehingga menjadi tanah milik secara individu.

30

Tanah-tanah yang diklaim oleh masing-masing suku selanjutnya diwariskan secara turun menurun kepada suku yang bersangkutan. Hanya saja karena berkembangnya jumlah anggota suku, maka terjadi pemecahan suku. Pemecahan suku akan berdampak pada pemakaian tanah-tanah ulayat suku. Disamping terpecahnya suku, masing-masing suku terpilah-pilah menjadi beberapa paruik dan masing-masing paruik terpilah-pilah menjadi beberapa jurai. Sebagai implikasi pemilahan suku ke dalam paruik, dan paruik menjadi jurai, maka terhadap tanah-tanah ulayat suku juga terjadi pemilahan (pemecahan). Awalnya memang merupakan tanah suku, namun setelah terjadi pengelompokan paruik, maka pemakaian tanahnya menjadi oleh paruik masing-masing. Terjadi pembatasan pemakaian, yang awalnya semua anggota suku dalam nagari berwenang memakainya, namun setelah paruik pisah, pemakaian tanahnya juga mengikuti. Berdasarkan uraian tersebut, terlihat sejak awal kehidupan masyarakat terdapat tanah ulayat nagari, tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum dan ulayat rajo. Menurut Nurdin Yakub (tt, 62) harta pusaka yang dipusakai dari nenek moyang, bukan cancang latiahnya, melainkan tambang taruko orang- orang tua dahulu yang diamanahkan kepada generasi penerus. Bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah semakin banyak, sehingga anggota kaum minta ijin pada Penghulu untuk naruko ulayat suku atau ijin pada KAN untuk naruko ulayat nagari. Kecenderungan pola ini mengakibatkan lama kelamaan tanah-tanah ulayat nagari dan ulayat suku semakin berkurang guna memenuhi kebutuhan masing-masing paruik. Hal ini juga menjadi alasan kenapa saat ini tanah ulayat nagari dan ulayat suku terkesan sudah tidak ada lagi, kecuali tanah-tanah ulayat yang digunakan untuk kepentingan umum seperti pandam pakuburan, surau, kantor, pasar, pemandian, dan sebagainya. Dengan demikian, telah terjadi proses pergeseran pemakaian terhadap tanah ulayat nagari dan suku menjadi ulayat kaum selain ulayat kaum juga semakin menguat. Jika di Jawa terjadi pergeseran dari milik komunal desa menjadi tanah milik adat (individu) maka di Sumatera Barat dari komunal nagari atau suku menjadi komunal kaum. Bahkan dari tanah ulayat kaum telah terjadi pembagian pada masing-masing jurai (keluarga kecil), dan dalam

31 beberapa kasus diketemukan tanah-tanah jurai dibagi-bagi kepada keluarga kecil lagi, sehingga terkesan sudah menjadi milik keluarga kecil tersebut. Hakekatnya, proses pemisahan dan pembentukan suku baru serta pemecahan paruik menjadi jurai-jurai baru, secara langsung mengakibatkan pemakaian tanah ulayat oleh masing-masing jurai menjadi semakin menguat, semacam terindividualisasi kepada keluarga-keluarga kecil sebagaimana di Jawa. Terindividualisasi yang dimaksud adalah terhadap tanah paruik dikelola dan dimanfaatkan hanya oleh paruik yang bersangkutan saja, tidak lagi dapat dikelola dan dimanfaatkan oleh paruik lain, walaupun masih dalam satu suku, kecuali paruik tersebut habis, atau tidak mempunyai keturunan perempuan. Seirama dengan berkembangnya jumlah penduduk (bertambahnya orang) maka paruik-paruik cenderung terpecah menjadi beberapa jurai. Pemilahan menjadi jurai tersebut berimplikasi pada pemecahan ulayat kaum menjadi pemakaian oleh masing-masing jurai (keluarga-keluarga kecil). Terhadap pemakaian tanah oleh masing-masing jurai yang berasal dari ulayat kaum, ini sesungguhnya dapat dimaknai sebagai pergeseran dari komunal kaum menjadi komunal paruik. Berdasarkan konsep ulayat secara umum, kepemilikan awal tanah ulayat adalah oleh seluruh anggota pesekutuan. Anggota persekutuan yang menginginkan menggunakan tanah dilakukan secara bergilir dan/atau menetap (konsep norowito gilir dan norowito tetap di Jawa). Koentjaraningrat (dalam Billah, 1984: 254) menyebutkan bahwa terdapat empat macam kepemilikan tanah di Jawa, yaitu: a) Sistem milik umum (komunal) dengan pemakaian beralih (norowito); b) Sistem milik umum dengan pemakaian bergilir (norowito giliran); c) Sistem milik umum dengan pemakaian tetap (norowito tetep); dan d) Sistem milik individu yang didapat secara turun temurun (yasa). Khususnya pemakaian yang tetap dan diwariskan ini mengakibatkan tanah ulayat menjadi tanah milik adat. Terjadi individualisasi dari kepemilikan yang bersifat komunal menjadi kepemilikan yang bersifat individu. Namun, konsep ini tidak sepenuhnya terjadi di Sumatera Barat karena tanah ulayat harus tetap dipertahankan menjadi pemilikan komunal, sedangkan masing-

32 masing anggota persekutuan hanya mempunyai hak pemakaian (ganggam bauntuik) untuk diambil manfaat guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Adat Minangkabau tidak dapat membenarkan harta pusaka tinggi dimasukkan ke dalam harta pewaris, karena harta pusaka yang diwarisinya bukan hak milik mamak. Pusako tinggi bagi orang Minangkabau hanya hak pakai untuk dapat dinikmati hasilnya, bukan hak milik orang tersebut. hak pakai dan hak menikmati itu diberikan selama hidupnya. (Nurdin Yakub, tt, 54). Peneliti sepaham bahwa pusako tinggi bukan milik mamak, sehingga mamak tidak dapat mewariskan. Harta pusaka merupakan harta amanah yang diamanatkan oleh mamak kepada kemenakan secara turun-temurun, dan tidak dapat ke luar suku. Demikianlah terhadap tanah-tanah sebagai harta pusako (ulayat nagari, ulayat suku, ulayat kaum) tersebut diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang zaman dulu, ke garis keturunan ibu sampai tidak tahu asal perolehannya, disebut dengan istilah pusako tinggi. Seharusnya tanah ulayat tetap tidak terbagi-bagi dan tidak boleh dipisah-pisahkan karena kepemilikan tetap ada pada seluruh anggota persekutuan (perempuan) masing-masing sebagai satu kesatuan yang utuh. Dalam hal waris, maka yang diwariskan hanya hak pakai (ganggam bauntuik) untuk memperoleh hasil dari pengolahan tanah ulayat. Selain itu juga dikenal pusako rendah, merupakan harta yang diperolah sendiri melalui proses jual beli tanah, setelah 2 – 3 generasi dapat menjadi pusako tinggi jika terus diwariskan melalui garis keturunan ibu (Wawancara dengan Arsal, 21 Maret 2020). Pewarisan pusoko terkait dengan sistem kekerabatan matrilineal yakni keturunan dari pihak perempuan. Dalam sistem ini, seorang suami adalah urang sumando di rumah istri, tidak boleh ikut campur mengenai pusoko pada kerabat istri. Seorang suami tetap menjadi anggota kerabat ibu dan berfungsi sebagai mamak bagi kemenakan (anak-anak dari saudara-saudara perempuan satu ibu). Mamak berfungsi membimbing kemenakan sehubungan dengan sako dan pusoko. Seorang laki-laki merupakan suami terhadap istri, sebagai ayah berperan mendidik anak-anak dengan harta pencaharian serta sebagai mamak bertugas melindungi atau mengayomi kemenakan dengan harta pusoko tinggi.

33

Sistem kekerabatan di Sumatera Barat selain bertali darah menurut garis keturunan perempuan (matrilineal), juga menggunakan hubungan kerabat karena suku yang sama, atau karena suku berbeda namun membuat jasa terhadap suku tersebut atau tidak sedarah dan berbeda suku tetapi telah menyandar dan memperoleh izin dari suku untuk mengolah tanah ulayat dengan menyerahkan emas (atau benda berharga lain). Perolehan tanah ulayat ini terkait dengan ciri khas sistem kekerabatan. Menurut Arsal (Wawancara tanggal 21 Maret 2020) sistem pewarisan menurut adat dikenal menjadi empat jenis yaitu: a) Warisan Batali Darah, yaitu warisan yang turun ke kemenakan yang ada di dalam ranji berserta generasi selanjutnya (garis keturunan perempuan); b) Warisan Batali Adat, yaitu warisan yang diperoleh dari kerabat dalam suku yang sama; c) Warisan Batali Budi, yaitu warisan yang diberikan kepada orang lain (berbeda suku) yang telah membuat jasa baik pada suku; serta d) Warisan Batali Ameh, yaitu pemberian kepada perorangan dengan istilah Ranjai di bali, adat diisi tembago dituang, yaitu pelepasan tanah ulayat kepada masyarakat (tidak sedarah atau tidak sesuku) dengan menyerahkan sejumlah uang kepada adat. Berdasarkan sistem kekerabatan tersebut, diketahui bahwa upaya untuk mempertahan tanah ulayat, utamanya dengan mewariskan kepada keturunan perempuan selanjutnya kemenakan (huruf a), atau kepada anggota dalam suku yang sama (huruf b). Sedangkan perolehan tanah ulayat karena kekerabatan model huruf c dan d berpotensi merubah status harta menjadi pusako rendah sehingga dapat dialihkan kepada orang lain melalui proses jual beli. Walaupun menurut adat tidak dikenal proses jual beli, yang ada adalah perolehan tanah melalui gadai. Idealnya tanah ulayat nagari di Barat akan tetap keberadaannya asal tidak dibagi-bagi kepada anggota suku, kaum atau kepada anggota masyarakat. Realitas kondisi ideal tersebut sudah sulit ditemukan, karena umumnya tanah ulayat nagari telah dibagi habis kepada suku-suku dan kaum, apalagi tidak semua anggota kaum setuju untuk mendaftarkan tanah ulayat kaum dengan nama mamak kepala waris yang merupakan laki-laki tertua dalam anggota kaum. Hal ini terkesan bertolak belakang dengan sistem

34 pewarisan matrilineal. Menurut Riyadi (Wawancara tanggal 20 Maret 2020) sistem pewarisan matriakat pada masyarakat hukum adat Sumatra Barat dilatar belakangi, antara lain: a) laki-laki pada suatu keluarga cenderung akan merantau untuk bekerja sehingga tidak berhak untuk memiliki tanah, sedangkan perempuan tidak bekerja; b) keturunan perempuan dari pihak ibu (kemenakan) cenderung lebih dekat dan suka membantu apabila ada keluarga yang kesulitan; dan c) dalam pernikahan, laki-laki dibeli oleh pihak perempuan sehingga laki-laki tidak berhak memiliki harta keluarga perempuan. Dalam tradisi Minangkabau, terdapat dua cara dalam pembagian waris yaitu waris berdasarkan nasab dan sabab. Waris nasab merupakan hukum waris Islam, yang menentukan bahwa harta pewaris setelah dibersihkan dapat dibagi kepada ahli waris. Harta dimaksud adalah harta pencaharian, yang dapat dibagi kepada semua anak-anak baik laki-laki maupun perempuan. Hal itu dilakukan untuk memastikan harta pencaharian (tanah) yang diwariskan benar-benar merupakan kepemilikan dari pewaris. Sedangkan waris sabab yang berdasarkan hukum waris adat, tidak mengenal pembagian waris, karena harta pusako tinggi bukan milik pewaris (mamak) tetapi milik basamo. Menurut Meiven (wawancara, 16 Maret 2020) bagi laki-laki yang tidak merantau atau memilih tinggal di kampung dapat diberikan kewenangan untuk mengolah dan mengambil hasil pertanian dari tanah yang dimiliki oleh saudara perempuan atau milik istri. Sesungguhnya masyarakat hukum adat tidak mengenal peralihan tanah ulayat melalui jual beli tetapi tanah ulayat dapat digadai dengan empat persyaratan yaitu: 1) Gadih gadang indak balaki, maksudnya ada anak gadis yang ingin menikah, tetapi tidak memiliki dana untuk pesta pernikahan; 2) Rumah gadang katirisan, yaitu membangun rumah tetapi tidak ada dana; 3) Maik (mayat) tbujua di ateh rumah, ada yang meninggal dalam suatu keluarga, tetapi tidak ada dana untuk pemakaman; dan 4) Mambangkik batang tarandam, ada anak yang ingin melanjutkan pendidikan lebih tinggi tetapi tidak memiliki dana. Rocky (wawancara, 19 Maret 2020) menjelaskan, bahwa dalam realita lapangan banyak tanah ulayat yang digadai seumur hidup (jual beli) dengan berkedok pada istilah gadai

35 sampai gagak hitam dan gadai sampai aiek mangalie. Hal tersebut juga yang membuat tanah ulayat banyak mengalami peralihan melalui jual beli. Sistem pengelolaan tanah ulayat di Sumatera Barat memiliki persamaan dengan pengelolaan tanah ulayat (prabumian) di Bali, tetapi belum ada kejelasan terkait subjek hak yang akan dilekatkan pada sertipikat apabila dilaksanakan pendaftaran tanah. Pengelolaan tanah ulayat yang sesuai dengan adat adalah pengelolaan tanah ulayat kaum dimana subjek haknya adalah Mamak Kepala Waris (MKW). Konsep tersebut adalah skenario yang paling baik karena MKW sendiri adalah pihak yang akan bertanggung jawab terhadap sengketa yang akan terjadi kepada tanah ulayat. Pengadilanpun hanya menerima MKW sebagai wakil dalam menyelesaikan kasus sengketa tanah ulayat, apabila salah satu dari MKW tidak hadir dalam persidangan maka persidangan dianggap N.O (Niet Ontvaarkelijk verklaard) sehingga peran MKW sangat besar pada pengelolaan tanah ulayat (Wawancara, 18 Maret 2020). Dalam perkawinan di Sumatera Barat, masing-masing orang yang kawin tidak mengakibatkan terputuskannya pertalian dengan lingkungan. Istri masih tetap berada di dalam hubungan dengan paruik, sedangkan suami tetap dalam hubungan dengan paruik (ibu si suami) pula. Anak yang lahir dari perkawinan, langsung menjadi suku dari ibu (ibu dari istri). Semua anggota dari sebuah paruik, berada di bawah perlindungan seorang penghulu. Dalam perkawinan tidak menambah anggota keluarga si bapak (suami) serta istri tidak masuk ke dalam lingkungan suami. Istri dan anak-anak tinggal bersama-sama di dalam rumah keluarga dari ibu (rumah gadang). Dalam rumah gadang, tinggal juga anak-anak perempuan dari istri-istri serta anak laki-laki yang belum kawin, yang berada di bawah kekuasaan mamak. Perkawinan tidak mengakibatkan terputusnya paruik, sehingga harta warisan dengan sendirinya akan mewaris kepada perempuan (istri) dan kemenakan dalam satu paruik saja. Berkembangnya anggota paruik dari ibu, merupakan pendiri dari jurai-jurai baru, selanjutnya akan menimbulkan paruik-paruik baru (paruik lama-asal) terpecah. Lama kelamaan paruik berkembang menjadi jurai-jurai baru, dan jurai-jurai berkembang menjadi paruik baru.

36

Setelah terjadi pemisahan paruik (kaum), maka harta pusaka yang dipunyai keluarga (kaum/paruik) secara komunal, umumnya juga dibagi-bagi (habis) untuk kesatuan-kesatuan keluarga (paruik/kaum) baru tersebut. Harta pusaka dimaksud dapat berupa tanah: sawah, ladang, dan tebat. Nyatanya harta pusaka dapat terbagi-bagi menjadi kepunyaan kesatuan-kesatuan paruik baru. Dalam hal pusaka tinggi seperti sawah, ladang atau tebat sudah dibagi kepada paruik karena pemisahan dari paruik lama, maka hak kepemilikan hanya pada anggota paruik (kemenakan) dari paruik baru tersebut. Dalam segala hal, setiap orang secara bersama-sama dalam perhubungan hidup, baik dalam hal kegembiraan hidup atau beban serta kewajiban-kewajiban dipikirkan secara bersama-sama. Masing-masing orang dalam sebuah kaum, bukan bertangung jawab terhadap kepentingan sendiri- sendiri, namun berbuat untuk kepentingan kesatuan secara keseluruhan dari paruik. Dalam hal ini, konsep ulayat (dalam artian wilayah kecil) tetap terjaga secara lestari. Namun dalam kenyataan lapangan saat ini, terhadap beberapa harta pusaka tinggi telah ada yang dibagi-bagi kepada jurai-jurai, bahkan telah dibagi-bagi menjadi kepemilikan masing-masing keluarga paling kecil (yaitu perempuan dan anak-anaknya). Dalam kondisi ini, sesungguhnya tidak lagi sebagai tanah ulayat, namun sudah mengarah menjadi kepemilikan (keperdataan) dari keluarga kecil dimaksud, yang potensi dilakukan peralihan kepada pihak lain, sehingga menjadi pusaka rendah. 3. Pola Pengelolaan Wilayah (Tanah Ulayat) Tanah ulayat adalah milik seluruh masyarakat hukum adat, sehingga setiap masyarakat hukum adat tempatan dapat menggunakan tanah ulayat secara gratis selama untuk memenuhi kehidupan dengan syarat dan ketentuan yang telah disepakati secara mufakat. Pengelolaan tanah ulayat dilakukan oleh pemimpin adat KAN, Penghulu atau MKW dan pemanfaatannya diperuntukan baik bagi masyarakat hukum adat yang bersangkutan maupun orang luar. Masyarakat hukum adat Sumatera Barat mengenal istilah Tali Tigo Sejalin, Tungku Tigo Sajarangan yang berarti bahwa dalam mengatur sebuah nagari ada tiga pihak (otoritas) yang berwenang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Pertama, urusan pemerintahan, yang berwenang

37 adalah Wali Nagari (Kepala Desa). Kedua, untuk urusan adat yang berwenang adalah Kerapatan Adat Nagari (KAN). Ketiga, untuk urusan agama yang berwenang adalah alim ulama (Wawancara dengan Wali Nagari Cubadak, 19 Maret 2020). Dengan demikian dalam pengelolaan tanah ulayat, Wali Nagari hanya sebagai pihak yang mengetahui kepada siapa pemakaian tanah ulayat diserahkan, karena wali nagari tidak berhak mengatur harta pusako tinggi. Pengelolaan tanah ulayat nagari, ulayat suku, dan ulayat kaum harus melalui persetujuan Kerapataan Adat Nagari (KAN). Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga keutuhan tanah milik adat serta menghindari kepemilikan di luar anggota masyarakat hukum adat. Menurut Riyadi (Wawancara tanggal 20 Maret 2020) KAN merupakan sebuah wadah/lembaga bagi ninik mamak yang merupakan pemimpin dari tiap-tiap kaum pada suatu nagari untuk berkumpul dan membahas mengenai penggunaan dan peruntukan tanah ulayat. Menurut Junaidi (Wawancara tanggal 16 Maret 2020) setiap nagari memiliki sebuah lembaga atau wadah untuk berkumpul dan membahas menganai penggunaan dan pemanfaatan tanah ulayat yang disebut Kerapatan Adat Nagari (KAN), tetapi terdapat beberapa nagari yang KAN-nya masih bergabung dengan KAN nagari sebelahnya karena saat terjadi pemekaran pada suatu nagari, kepengurusan adat tidak mengalami pemekaran. Hal itu membuat perbedaan jelas bahwa urusan pemerintahan tidak mempengaruhi urusan adat. Anggota KAN terdiri dari penguhulu suku, dan setiap penghulu suku pasti merupakan datuk dari sukunya. Pemanfaatan tanah ulayat yang diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008, dapat dilakukan oleh anggota masyarakat adat itu sendiri untuk kepentingan umum, untuk kepentingan badan hukum, dan perorangan, serta juga dapat dimanfaatkan oleh investor. Pemanfaatan oleh anggota masyarakat adat sekumpulan dapat dilakukan atas sepengetahuan dan seizin penguasa ulayat yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan tata cara hukum adat yang berlaku. Pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan umum dapat dilakukan dengan cara penyerahan tanah oleh penguasa dan pemilik ulayat berdasarkan kesepakatan anggota masyarakat

38

adat yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan badan hukum atau perorangan dapat dilakukan berdasarkan surat perjanjian pengusahaan dan pengelolaan antara penguasa dan pemilik berdasarkan kesepakatan masyarakat adat dengan badan hukum atau perorangan dalam jangka waktu tertentu dalam bentuk lain yang disepakati berdasarkan masyawarah dan mufakat di KAN, diketahui oleh pemerintahan nagari. Pelaksanaan pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan umum, badan hukum atau perorangan, dapat dilakukan setelah badan hukum atau perorangan tersebut, memperoleh izin lokasi guna kesesuaian penggunaan tanah dengan rencana tata ruang wilayah dari pemerintah setempat. Selain itu, investor juga dapat memanfaatkan tanah ulayat dengan mengikutsertakan pemilik tanah ulayat berdasarkan kesepakatan masyarakat adat yang bersangkutan sebagai pemegang saham, bagi hasil, dan cara lain dalam waktu yang ditentukan dalam perjanjian, dibuat secara tertulis. Pengelolaan tanah ulayat dilakukan oleh pemimpin adat (kepala adat) dan pemanfaatannya diperuntukkan bagi warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan maupun orang luar. Menurut Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Pasaman (Hanif, wawancara tanggal 15 Maret 2020) terdapat perbedaan kreteria pelepasan tanah ulayat yaitu tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum. Pelepasan tanah yang berasal dari tanah suku cukup dengan persetujuan penghulu suku. Sedangkan pelepasan tanah yang berasal dari tanah kaum harus dengan persetujuan selutuh anggota kaum sesuai dengan Ranji-nya. 4. Kelarasan dan Pengambilan Keputusan Pengelolaan Tanah Ulayat Laras atau dikenal dengan istilah lareh, dihubungkan dengan pembagian (suku) yaitu dua model lingkungan ketatanegaraan. Sistem pemerintahan menurut adat Ketumanggungan yaitu Koto Piliang dan menurut adat Perpatih Nan Sabatang (yaitu Bodi Caniago). Masing-masing lareh yaitu lareh Koto Piliang mewakili adat dan lembaga tua merupakan suasana yang konservatif, sedangkan lareh Bodi Caniago yang agak lunak dengan sistem permusyawaratan. Namun dewasa ini, kedua sistem tersebut telah bercampur

39 aduk, tidak mudah melihat perbedaannya kecuali berdasarkan balai-balai adat (pada Rumah Gadang). Lantai Rumah Gadang lareh Bodi Caniago datar, sedangkan lantai Rumah Gadang lareh Koto Piliang terdapat tangga (ada tingkatan). Kesulitan membedakan kedua lareh tersebut, karena dalam perjalanan kehidupan masyarakat adat setempat menggunakan empat adat secara turun temurun yaitu: adat nan sabana adat, adat nan diadatkan, adat nan teradat dan adat istiadat. Keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat Sumatra Barat saat ini, akan lebih mudah dipahami dengan mengetahui asal usul tanah ulayat. Menurut Riyadi, (Wawancara tanggal 20 Maret 2020) Sumatera Barat terbagi menjadi dua daerah yaitu Dareh dan Rantau. Pengertian dareh dan rantau dihubungkan dengan daerah (teritorial). Dareh (atau darat) merupakan daerah asal dari masyarakat hukum adat yang dibagi menjadi Luhak nan tigo yaitu Luhak Agam, Luhak Tanah Datar dan Luhak Limapuluh Kota. Penghulu sebagai penguasa luhak bertugas memelihara tata dan keselamatan warga. Rantau merupakan daerah (pesisir barat atau timur) yang dijadikan lokasi rantauan oleh laki-laki dari masyarakat hukum adat pada zaman dahulu, juga dijadikan daerah pendatang. Berbeda dengan wilayah luhak yang dipimpin oleh penghulu, pada wilayah rantau diperintah oleh rajo (luhak bapanghulu, rantau barajo). Rajo di rantau sama dengan penghulu di darek. Sebagai imbalan Penghulu memelihara tata tertib dan keamanan kaumnya di darek, mempunyai hak ulayat atas segala hutan dan tanah. Oleh karena mempunyai kedudukan yang sama dengan penghulu, maka di daerah rantau rajo mempunyai hak dancing untuk memungut bea/cukai yaitu kuala, teluk dan pelabuhan. Setiap daerah tersebut memiliki kelarasan atau aliran yang mempengaruhi perilaku masyarakat hukum adat dalam membuat aturan adat termasuk pengambilan keputusan terkait pengelolaan harta benda. Menurut Arsal (Wawancara tanggal 21 Maret 2020) di Sumatera Barat terdapat dua kelarasan inti yaitu Koto Piliang dan Bodi Chaniago. Kelarasan Koto Piliang memegang teguh pepatah “Titik dari Ateh” dengan sistem aristrokat atau terpimpin, maknanya semua kebijakan ditentukan oleh pemimpin dan diikuti

40

oleh seluruh anggota. Kelarasan Bodi Chaniago memegang teguh pepatah: “Membosek dari Bumi” dengan sistem demokarasi bermakna bahwa semua kebijakan dan keputusan harus melalui musyawarah dan adanya kata mufakat dari setiap anggota. Tidak boleh satu wargapun yang tidak sepakat. 5. Jenis, Kepemilikan dan Kewenangan Pengelolaan Tanah Ulayat Tanah ulayat diartikan sebagai tanah bersama para warga masyarakat hukum adat. Hak penguasaan atas tanah oleh masyarakat hukum adat dikenal dengan hak ulayat, yakni serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Berdasarkan ketentuan dalam perundang-undangan dapat dipahami bahwa hak ulayat diakui, dihormati dan dilindungi. Hanya saja dalam Konstitusi, TAP MPR dan Undang-Undang pengakuan, penghormatan dan perlindungan masih bersifat abstrak atau bersifat kondisional. Pengakuan itu baru berwujud kalau hak ulayat tersebut benar-benar ada (eksis) dan pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan nasional dan negara. Sesuai konsepsinya bahwa adanya hak ulayat bukan karena diciptakan atau ditetapkan tetapi lahir (dan juga) lenyap atau hapus secara alamiah sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 bahwa penentuan kriteria, pelaksanaan penelitian dan pendaftaran hak ulayat harus diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah. Merujuk pada Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, ada empat jenis tanah ulayat yaitu: ulayat nagari, ulayat suku, ulayat kaum, dan ulayat rajo. a. Tanah Ulayat Nagari Tanah ulayat nagari adalah tanah ulayat beserta sumber daya alam yang ada di atas dan di dalamnya merupakan hak penguasaan oleh ninik mamak kerapatan adat nagari (“KAN”) dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat nagari, sedangkan pemerintahan nagari bertindak sebagai pihak yang mengatur untuk pemanfaatannya. Arsal (Wawancara tanggal 21 Maret 2020) menyatakan tanah ulayat nagari merupakan sebuah wilayah pada suatu nagari dimana seluruh tanahnya

41 adalah kepunyaan ninik mamak (penghulu) di nagari tersebut. Tanah ulayat nagari berkedudukan sebagai tanah cadangan masyarakat adat nagari, berupa hutan belukar penguasaan serta pengaturannya dilakukan oleh ninik mamak KAN bersama pemerintahan nagari dan dapat dituangkan dalam peraturan nagari. Menurut DT. Perpatih Nan Tuo (2000, 46) tanah ulayat nagari berupa padang lalang, semak belukar atau padang rumput, payau, bukit, gunung, lurah, sungai, danau, tabek atau kolam. Dari bentuk-bentuk tersebut dapat dipahami bahwa tanah ulayat nagari ini sesungguhnya merupakan wilayah-wilayah di luar (belum diolah) penggarapan oleh warganya. Namun saat ini bagian-bagian tertentu dari tanah yang ada di wilayah tersebut sudah ada penggarapannya oleh warga masyarakat, sehingga ada kesan tanah ulayat nagari sudah habis. Menurut Rocky (Wawancara tanggal 19 Maret 2020) fakta dilapangan menunjukkan bahwa tanah ulayat nagari sudah tidak ada lagi karena telah habis dibagi-bagi kepada suku dan kaum yang tinggal di nagari tersebut. Walaupun penggunaan tanah seperti pasar, hutan belantara, lapangan bola, dan Kantor Wali Nagari tetap dipertahankan ulayat nagari untuk menjaga eksistensi penguasaan ulayat nagari. Selain itu, menurut Dito (Wawancara, 17 Maret 2020) tanah ulayat nagari dapat diperuntukan kepada siapapun yang berada dalam nagari tersebut dengan mengisi adat, selanjutnya akan diberikan Surat Keputusan Kerapatan Adat Nagari (Lampiran 3). Secara konsep tanah nagari merupakan pemilikan komunal (basamo) oleh semua anggota masyarakat nagari, bukan merupakan kepemilikan privat bersama. Namun sesuai dengan perkembangan dan waktu, berubah menjadi dua pola yaitu: pertama, dengan berlakunya Domein Verklaring berdasarkan S.1875 No. 199a, sehingga sebagian tanah ulayat nagari tersebut menjadi tanah negara. Terhadap tanah negara tersebut selanjutnya menjadi Erpacht (lihat Lampiran 1), Eigendom, Opstal, dll, serta ada pula yang diperjual belikan sehingga menjadi tanah milik pribadi. Kedua, secara sistemik bagian-bagian tertentu tanah ulayat telah dibagi-bagi kepada setiap suku (4 suku besar) yang ada di kanagarian atau

42

sejak semula sudah merupakan ulayat suku masing-masing. Disamping itu, tanah ulayat nagari dapat diberikan langsung kepada anggota masyarakat (lihat Lampiran 2) dengan adat diisi limbago dituang baik perorangan atau melalui program transmigrasi. Adanya proses peralihan (pelepasan tanah ulayat) tersebut mengakibatkan semakin berkurangya tanah ulayat nagari, dan sebagian menjadi pemilikan tanah secara individu (perorangan, bersama), dan/atau oleh badan hukum) yang umumnya disebut pusako rendah. Tanah pusako ini dapat diperjualbelikan (lihat Lampiran 7). Namun, sesungguhnya peralihan ini menurut adat bukan merupakan peralihan kepemilikan, tetapi yang dialihkan hanya hak pemakaiannya saja. Kepemilikan tanah, masih menjadi milik masyarakat, yang pepatahnya: kabau tagak kubanga tingga. Dengan demikian memahami tanah ulayat dalam suatu kanagarian saat ini, terdapat beberapa jenis yaitu: 1) tanah ulayat nagari, yaitu bidang- bidang tanah yang belum dilepaskan/dialihkan penguasaannya oleh KAN kepada suku dan/atau kepada masyarakat secara individu. 2) Tanah ulayat Suku, yaitu bidang-bidang tanah ulayat yang sudah dilepaskan/dialihkan penguasaannya oleh KAN kepada suku-suku tertentu sehingga secara keperdataan sudah menjadi milik (tanah ulayat) hanya anggota suatu suku. 3) tanah ulayat kaum, merupakan kepemilikan oleh anggota kaum, yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh MKW, dan 4) tanah milik pribadi, yaitu bidang-bidang tanah yang awalnya merupakan tanah ulayat, namun sudah dilepaskan penguasaannya oleh KAN kepada individu, baik anggota/masyarakat nagari setempat atau orang luar yang telah memenuhi ketentuan adat yaitu Adat diisi limbago dituang atau akibat pemberlakuan Domein Verklaring. b. Tanah Ulayat Suku Tanah ulayat suku adalah hak atas bidang tanah berserta sumberdaya alam yang berada di atas dan di dalamnya merupakan kepemilikan komunal oleh hanya anggota suku tertentu, yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh penghulu suku. Tanah ulayat suku merupakan tanah ulayat yang dipunyai secara bersama-sama dalam garis

43 keturunan perempuan, yang diwarisi secara turun temurun dalam keadaan utuh dan tidak terbagi-bagi. Tanah ulayat suku dapat berasal dari naruko atau pembagian tanah ulayat nagari. Manaruko maksudnya membuka hutan belantara secara bersama-sama, selanjutnya suku-suku tersebut sepakat untuk menjadi sebuah nagari. Disamping berasal dari naruko, sebagian tanah ulayat suku merupakan pembagian dari tanah ulayat nagari kepada suku-suku di nagari tersebut sebagaimana dijelaskan pada huruf a di atas. Terdapat dua suku tertua di Sumatera Barat yaitu Koto Piliang dan Bodi Chaniago, kedua suku ini merupakan suku induk dari setiap suku lain. Dengan demikian, terhadap tanah ulayat nagari yang sudah dibagikan kepada suku sesungguhnya tidak lagi menjadi ulayat nagari (kepemilikan/ keperdataan oleh semua anggota masyarakat yang ada dalam nagari) tetapi sudah beralih menjadi tanah ulayat suku, yang kepemilikan/ keperdataannya hanya oleh anggota suku tersebut. Hanya anggota suku saja yang dapat memanfaatkan tanah-tanah ulayat suku tersebut. Fakta di lapangan saat ini, terhadap tanah-tanah ulayat suku cenderung polanya sama dengan proses peralihan penguasaan tanah ulayat nagari yaitu telah terjadi proses peralihan/pembagian kepada kaum-kaum yang ada dalam suku masing-masing. Menurut Arsal (Wawancara, tanggal 21 Maret 2020) secara fisik telah dibagi habis menjadi tanah ulayat kaum, walaupun pada beberapa daerah masih ada penggunaan tanah ulayat suku berupa sawah kagadangan, rumah gadang, pandam pakuburan, surau dan tempat mandi. Selain itu tanah ulayat suku yang masih tersisa berkedudukan sebagai tanah cadangan bagi anggota suku tertentu di nagari, penguasaan dan pengaturannya dilakukan oleh penghulu suku berdasarkan musyawarah mufakat dengan anggota suku sesuai dengan hukum adatnya. Ulayat suku dipimpin oleh mamak kepala suku (Datuk). Mamak kepala suku dapat memberikan penggunaan dan pemanfaatan bukan kepemilikan kepada anggota suku dengan istilah Ganggam Bauntuak. Penyebaran suku-suku di Sumatera Barat tergantung perolehan tanahnya dimana semakin ke daerah rantau, maka jenis-jenis suku semakin heterogen (beragam) karena semakin ke daerah perkotaan, potensi

44

semakin banyak terjadi peralihan kepada pihak luar. Pelepasan tanah yang berasal dari tanah suku cukup dengan persetujuan penghulu suku. Dengan demikian terdapat tiga pola pemilikan tanah ulayat suku yaitu: 1) masih tetap sebagai tanah ulayat suku, 2) saat ini penggunaan dan pemanfaatan (bukan kepemilikan) sebagai Ganggam Bauntuak oleh anggota suku, dan 3) sudah menjadi tanah ulayat kaum. c. Tanah Ulayat Kaum Tanah Ulayat Kaum diperoleh dari tanah-tanah ulayat suku yang telah dibagi-bagi kepada kaum yang telah memiliki 3 atau 4 generasi. Tanah ulayat kaum adalah hak atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang ada di atas dan di dalamnya merupakan kepemilikan oleh semua anggota kaum, terdiri dari jurai/paruik, penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh mamak jurai/mamak kepala waris. Tanah ulayat kaum berkedudukan sebagai tanah garapan dengan status ganggam bauntuak pagang bamansiang oleh anggota dalam satu kaum. Setiap kaum pada suatu nagari ditandai dengan Rumah Gadang sebagai bentuk penguasaan tanah di wilayah kaum. Penggunaan tanah ulayat kaum biasanya berupa sawah atau kebun (Wawancara dengan Pak Aral, 21 Maret 2020). Pengelolaan dan pengaturan tanah ulayat kaum dilakukan oleh mamak kepala waris. Terdapat dua pemimpin dalam suatu kaum yaitu Mamak Kepala Waris (MKW) yang merupakan laki-laki tertua dalam suatu kaum dan Mamak Kepala Kaum (MKK) yang merupakan laki-laki yang dituakan dalam suatu kaum yang selanjutnya dilantik menjadi Penghulu (Wawancara dengan Riyadi, 20 Maret 2020). Selanjutnya, tiap Penghulu akan dipilih untuk mewakili kaum tersebut menjadi anggota KAN. Mamak berkewajiban memelihara anggota jurainya, yaitu wanita- wanita serta anak-anak yang belum akil baliq serta keselamatan harta pusaka kaum. Mamak bertugas memelihara atau mengusahakan semua pemenuhan kepentingan hidup baik material seperti perawatan rumah gadang serta kepentingan moril seperti memberi nasehat kepada wanita- wanita dan kemenakan. MKW memiliki peran ke luar dan ke dalam guna mengatur pengolahan dan peruntukan tanah ulayat kaum serta sebagai

45

penanggung jawab terhadap sengketa tanah ulayat kaum (Wawancara, 18 Maret 2020). MKW memiliki tugas untuk membuat Ranji/diagram garis keturunan ibu sebagai syarat pendaftaran tanah ulayat kaum. Pelepasan tanah yang berasal dari tanah ulayat kaum harus dengan persetujuan seluruh anggota kaum sesuai dengan Ranji. Kondisi tertentu, beberapa anggota kaum tidak setuju untuk memberikan tanah secara pribadi ke satu orang meskipun hal tersebut dapat diatasi dengan cara memberikan sejumlah uang kepada tiap-tiap anggota kaum agar menyetujui penyerahan tanahnya. Dengan demikian, tanah kaum dapat diklasifikasikan menjadi: 1) masih tetap tanah kaum yang penggunaannya diserahkan kepada MKW atau kepada anggota kaum (ganggam bauntuak), serta 2) tanah ulayat kaum yang sudah dilepaskan menjadi milik perorangan. d. Tanah Ulayat Rajo Menurut DT. Perpatih Nan Tuo (2000, 46) tanah ulayat Rajo terdapat dua pengertian, yaitu pertama merupakan tanah ulayat di rantau (Luhak Bapanghulu Rantau Barajo) dan kedua merupakan hutan larangan atau hutan cadangan yang tidak boleh dijamah seperti rimbo hano, rimbo piatu. Namun pengertian tanah ulayat rajo saat ini adalah hak atas sebidang tanah beserta sumberdaya alam yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh laki-laki tertua dari garis keturunan ibu yang masih hidup. Tanah ulayat rajo berkedudukan sebagai tanah garapan dengan status penguasaan oleh anggota kaum kerabat pewaris rajo yang pengaturannya dilakukan oleh laki-laki tertua pewaris rajo. Tanah ulayat rajo dalam pengertian tersebut, hanya terdapat pada beberapa kabupaten di Sumatra Barat yaitu Kabupaten Dharmasraya dan Kabupaten Pasaman. Ulayat rajo diatur oleh Rajo. Rajo merupakan putra dari garis keturunan ibu dari sebuah kerajaan pada zaman dahulu, dimana kerajaan diakui dan dipercaya eksistensinya oleh masyarakat hukum adat sehingga garis keturunan dari kerajaan juga diakui eksistensinya. Tanah Ulayat Rajo bukan merupakan bagian dari ulayat nagari yang dibagi-bagi seperti ulayat suku dan kaum, tetapi ulayat rajo berada dalam sebuah nagari. Ulayat Rajo terbentuk dari penguasaan Kerajaan Pagaruyung

46

pada zaman dahulu dan diwariskan kepada keturunannya. Kerajaan Pagaruyung pernah melakukan ekspansi ke beberapa daerah di Sumatera Barat untuk memperluas wilayah kekuasaan (Wawancara dengan Pak Rocky, 19 Maret 2020). Penggunaan tanah ulayat rajo beragam seperti hutan belantara, sungai, danau, kebun campuran dan permukiman, semua itu tergantung luas wilayah nagari yang dikuasai oleh rajo. Pada ekspansi tersebut, ada yang menerima dan menolak untuk ikut menjadi bagian dari kerajaan, karena masyarakat tidak mau wilayah nagari mereka dikuasi oleh pihak kerajaan. Daerah yang menerima ekspansi itu, sampai sekarang mengakui tanah ulayat yang ada pada wilayah mereka merupakan milik keturunan raja, seperti Kabupaten Dharmasraya (Wawancara Pak Meiven, 16 Maret 2020). Kabupaten Dharmasraya merupakan salah satu contoh wilayah yang terdapat tanah ulayat rajo dimana untuk melepaskan tanah ulayat tersebut menjadi milik pribadi, harus melalui izin dari keturunan rajo tersebut (Wawancara Pak Meiven, 16 Maret 2020). Selanjutnya, rajo tersebut akan mengeluarkan surat keputusan pelepasan tanah ulayat rajo kepada orang yang melakukan permohonan tanah tersebut (lihat Lampiran 4). Pelepasan tanah ulayat rajo juga berlaku untuk rajo itu sendiri secara pribadi, sehingga rajo harus membuat surat pelepasan tanah ulayat kepada dirinya sendiri. Kewenangan Rajo mirip dengan kewenangan KAN dalam pelepasan tanah ulayat sehingga dapat dikatakan ulayat rajo memiliki kedudukan yang sama seperti ulayat nagari. Perbedaannya adalah rajo bertindak atas pribadi sedangkan KAN harus melalui musyawarah anggota KAN. Dengan demikian, tanah ulayat rajo ini sesungguhnya termasuk klasifikasi tanah milik (keperdataan) dari keluarga rajo, sehingga tidak termasuk tanah ulayat, karena rajo saat ini tidak mempunyai keanggotaan (warga). Dengan demikian, menurut peneliti keempat tanah ulayat yaitu ulayat nagari, ulayat Rajo, ulayat suku, dan ulayat kaum sesungguhnya pola pengelolaannya identik. Kesamaan pola dimaksud adalah obyeknya, perolehan kepemilikannya dan pengaturanya. Obyek dimaksud adalah suatu wilayah baik

47 menyatu dan/atau sporadis) dengan batas-batas tertentu, umumnya tidak tegas tetapi lisan (atau berdasarkan anggapan), yang meliputi tanah beserta sumber daya alam yang ada di atas dan di dalamnya merupakan milik bersama oleh angota (nagari daerah darek, nagari daerah rantau, suku, dan kaum/paruik). Perolehan kepemilikan tanah ulayat adalah diperoleh secara turun temurun dalam keadaan utuh oleh semua anggota (komunitas) secara bersama secara keseluruhan dan tidak terbagi-bagi. Hanya berbeda cakupan kepemilikan. Ulayat Nagari merupakan suatu wilayah (teritorial) yang kepemilikan (keperdataan) secara komunal oleh semua anggota yang mendiami (berada dalam) nagari secara tidak terpecah-pecah (basamo). Siapapun anggota dalam nagari, dapat mengunakan tanah ulayat nagari untuk kepentingan kebutuhan hidup misalnya untuk rumah tinggal, sawah atau ladang, berapapun luas serta dimanapun lokasinya, asal masih merupakan wilayah nagari, dengan syarat sudah sepengetahuan dari KAN. Hakekatnya semua anggota yang ada dalam nagari mempunyai hak yang sama terhadap seluruh bagian wilayah, tidak terbagi-bagi dan tidak terpisahkan. Jadi dalam ulayat nagari kepemilikan (keperdataan) oleh seluruh anggota dalam nagari dan pengelolaanya oleh KAN. Sepadan dengan ulayat nagari, sesungguhnya ulayat Rajo merupakan suatu wilayah (teritorial) yang merupakan daerah rantau, yang kepemilikan (keperdataan) secara komunal oleh semua anggota yang mendiami (berada dalam) nagari pada daerah rantau yang bersangkutan secara tidak terpecah- pecah. Siapapun anggota dalam nagari tersebut, boleh mengunakan tanah ulayat rajo untuk kepentingan kebutuhan hidupnya misalnya untuk rumah tinggal, sawah atau ladang, berapapun luasnya serta dimanapun lokasinya, asal masih merupakan wilayah nagari tersebut, dengan syarat sudah sepengetahuan dari rajo setempat. Hakekatnya semua anggota suku yang ada dalam nagari pada daerah rantau mempunyai hak yang sama terhadap seluruh bagian wilayah, tidak terbagi-bagi dan tidak terpisahkan. Dalam ulayat rajo kepemilikan (keperdataan) oleh seluruh anggota dalam nagari dan pengelolaanya oleh Rajo. Dengan demikian, sesungguhnya antara ulayat nagari dengan ulayat Rajo kepemilikannya sama oleh angota komunitas masing-masing, hanya berbeda pengelolanya, yaitu tanah ulayat nagari oleh KAN sedangkan ulayat

48 rajo diatur oleh Rajo (wawancara dengan Hanif, tanggal 15 Maret 2010). Hanya dalam realita di lapangan, ulayat rajo dipahami sebagai milik/kepunyaan dari rajo tersebut, sebagaimana tanah rajo di Kabupaten Dharmasraya dan di Kabupaten Padang Pariaman. Berbeda dengan ulayat nagari dan ulayat rajo berupa wilayah teritorial tertentu, sedangkan ulayat suku dan ulayat kaum, masing-masing tidak menyatu (sporadis). Bidang tanah ulayat suku atau kaum merupakan kepemilikan komunal oleh semua anggota suku atau kaum masing-masing. Masing-masing suku dalam suatu wilayah kanagarian (darek atau rantau) memiliki tanah ulayat secara terpisah. Tanah ulayat dimaksud dapat berupa permukiman, pandam pakuburan, dan sebagainya, yang secara fisik dapat menyatu dan/atau umumnya lokasi terpencar (sporadis). Terhadap tanah-tanah ulayat suku pemilikannya hanya oleh anggota suku yang bersangkutan saja, baik anggota suku dalam nagari dan/atau anggota suku (yang sama) yang tinggal di luar nagari letak tanah. Pengelola tanah ulayat suku adalah Penghulu suku, tergantung kelarasan yaitu dalam kelarasan Koto Piliang oleh Penghulu Pucuk, sedangkan kelarasan Bodi Caniago oleh penghulu-penghulu secara bermufakat. Tanah ulayat kaum merupakan bidang-bidang tanah yang kepemilikannya oleh seluruh anggota kaum yang bersangkutan. Menurut peneliti, walaupun tanah ulayat merupakan kepemilikan bersama secara utuh dan tidak terbagi-bagi, namun dalam kenyatannya masing- masing tanah ulayat utamanya ulayat nagari, ulayat suku dan ulayat kaum disepakati untuk dibagi-bagi (dialihkan) penguasaannya sebagaimana uraian di atas. Dapat dikatakan bahwa kepemilikan (keperdataan) sudah beralih kepada masing-masing yaitu nagari, suku dan kaum, bahkan sebagian ditemukan sudah beralih menjadi pemilikan (keperdataan) oleh individu secara perorangan atau secara bersama (beberapa orang). Kepemilikan (keperdataan) oleh masing-masing anggota secara bersama- sama secara utuh dan tidak terbagi-bagi, namun penggunaan dan pemanfaatan dapat dilakukan oleh anggota masing-masing dengan seizin komunitas yang diwakili oleh KAN untuk ulayat nagari, Penghulu untuk ulayat suku dan MKW untuk ulayat kaum. Kewenangan pengelolaan dan pengaturan (kewenangan

49

publik) berada pada ketua komunitas masing-masing. Maksudnya, jika anggota komunitas menghendaki untuk menggunakan dan memanfaat tanah ulayat dimaksud pengaturannya sama yaitu harus memperoleh izin (sepengetahuan) dari masing-masing ketua komunitas, termasuk dimungkinkan digunakan dan dimanfaatkan oleh orang yang bukan komunitas yang bersangkutan. Hanya terhadap pemberian kepada orang di luar komunitas, wajib mematuhi (mengisi) adat yaitu adat diisi limbago dituang.

B. Best Praktice: Pengakuan Hak Ulayat Kaum UUPA hampir berusia 60 tahun, namun dalam kenyataan di lapangan ternyata penegakan hukum pertanahan belum memadai. Pengakuan kepemilikan tanah ulayat masih saja menimbulkan masalah. Pasal 19 UUPA yang bertujuan terciptanya kepastian hukum termasuk tanah ulayat, namun dalam Pasal 9 PP No. 24 Tahun 1997 tanah ulayat tidak dijadikan sebagai obyek pendaftaran tanah, padahal tanah negara saja termasuk obyek pendaftaran. PP ini tidak memerintahkan untuk mendaftar tanah ulayat, namun terdapat Surat Edaran Direktorat Jenderal Agraria tanggal 26 Agustus 1983 Nomor DA.6980/III/2P/83, yang berisikan kemudahan pendaftaran tanah ulayat, walaupun realisasinya belum terlihat. Apakah situasi dan kondisi hukum pertanahan yang terjadi saat ini dibiarkan dan tidak menentu, disatu pihak masyarakat menuntut hak atas tanahnya dikembalikan sedangkan di lain pihak tidak mau tahu tentang kepastian hukum dan hak atas tanahnya untuk didaftarkan oleh kantor pertanahan. Berdasarkan Perda Provinsi Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008, subyek tiap-tiap jenis hak ulayat berbeda-beda yaitu: 1) Terhadap tanah ulayat nagari dapat didaftarkan, yang bertindak sebagai subyek pemegang hak adalah ninik mamak KAN. 2) Terhadap tanah ulayat suku dapat didaftarkan, sebagai subyek pemegang hak adalah penghulu-penghulu suku. 3) Terhadap tanah ulayat kaum dapat didaftarkan, sebagai subyek pemegang hak adalah anggota kaum dan mamak kepala waris 4) Terhadap tanah ulayat rajo dapat didaftarkan, sebagai subyek pemegang hak adalah anggota kaum dan pihak ketiga.

50

Adanya ketidak konsistenan kebijakan pengakuan tanah ulayat, namun berdasarkan data lapangan terhadap tanah-tanah ulayat dapat dilakukan pensertipikatan sebagaimana bahasan berikut. 1. Pensertipikatan Tanah Ulayat Nagari dan Ulayat Rajo Tanah ulayat nagari disertipikatkan menjadi hak milik perorangan, melalui proses pemberian hak sehingga menjadi milik perorangan misalnya menjadi HM no. 762/Malai III Koto, di Kabupaten Padang Pariaman (lihat Lampiran 2). Di atas sudah dijelaskan bahwa dalam sebuah nagari terdapat tiga unsur yang merupakan tali tigo sapilin atau tungku tigo sajarangan yaitu Wali Nagari (urusan pemerintahan), Penghulu (urusan adat) dan Malin (urusan agama). Dengan demikian, terkait dengan tanah ulayat nagari merupakan urusan para Penghulu. Tanah ulayat nagari merupakan kepunyaan seluruh (basamo) dari masyarakat pada nagari yang bersangkutan, namun pengelolaannya dilakukan oleh ninik mamak-ninik mamak (penghulu) yang berkumpul dalam wadah KAN. Terhadap bagian-bagian tertentu dari tanah ini dapat dimohon guna diperuntukan kepada siapapun dengan syarat mengisi adat (adat diisi limbago dituang), selanjutnya diberikan Surat Keputusan Kerapatan Adat Nagari (SK KAN). Menurut Arsal (Wawancara, 21 Maret 2020) secara formil pada setiap daerah terdapat perbedaan pelepasan tanah ulayat nagari melalui SK KAN, tetapi secara teknis pelaksanaannya sama, yaitu disetujui KAN dan diketahui Wali Nagari (lihat Lampiran 3). Namun terhadap tanah ulayat rajo pelepasan/pengalihan hak ulayat nagari dilakukan oleh “Pucuk Adat yang Berdaulat Dalam Nagari Kataping”, dengan persetujuan Panungkek Rajo Sampurno, Sekretaris KAN dan Wali Nagari (lihat Lampiran 4). SK KAN atau Surat Pernyataan Pemberian Hak Tanah Ulayat Rajo tersebut merupakan dokumen yang berisikan keterangan bahwa objek (tanah ulayat nagari) tertentu setuju dialihkan haknya dari tanah kepunyaan basamo menjadi kepunyaan perseorangan. Keputusan pengalihan tersebut didasarkan pada musyawarah para ninik mamak dalam anggota KAN. Keputusan pengalihan tanah ulayat pada SK KAN, formatnya antara lain (Wawancara dengan Riyadi, 20 Maret 2020): 1) Peruntukan hanya pribadi, tidak boleh diperjual belikan; 2) Peruntukan hanya pribadi, boleh diperjual belikan; 3) Peruntukan pribadi dan

51 keturunannya, tidak boleh diperjual belikan. Terhadap hasil pelepasan tanah ulayat nagari tersebut akan menjadi Pusako Rendah, sehinga dimungkinkan dilakukan penjualan oleh pemilik. Dokumen SK KAN atau Surat Pernyataan Pemberian Hak Tanah Ulayat Rajo tersebut diperlukan sebagai syarat pendaftaran tanah pertama kali di kantor pertanahan melalui proses pemberian hak. Disatu sisi, adanya proses pemberian hak dalam pensertipikatan tanah ini, dapat bermakna tanah ulayat nagari yang sudah dilepaskan berdasarkan SK KAN atau Surat Pernyataan Pemberian Hak Tanah Ulayat Rajo menjadi tanah negara. Pola ini serupa dengan pelepasan tanah ulayat pada umumnya di daerah lain, yang selanjutnya diproses pemberian haknya menjadi HGU, HGB atau hak lainnya. Terhadap pelepasan hak pola ini dapat dicermati beberapa hal, yaitu: a. Logika hukum dari UUPA, menentukan bahwa Nagari sebagai persekutuan hukum masyarakat adat mempunyai hak menguasai atas tanah ulayat, bukan merupakan hak kepemilikan. Dengan demikian SK KAN atau Surat Pernyataan Pemberian Hak Tanah Ulayat Rajo bukan sebagai dokumen pengalihan hak (kepemilikan) ulayat nagari, tetapi merupakan dokumen pengalihan hak penguasaan atas tanah ulayat nagari. Dalam pengalihan penguasaan yang dilakukan secara sukarela dengan imbalan adat diisi limbago dituang, ini hanya bermakna rekognisi terhadap penguasaan atas tanah ulayat. Berdasarkan uraian tersebut, tanah ulayat nagari dan tanah ulayat Rajo hanya merupakan hak menguasai yang identik dengan tanah negara dan SK KAN atau Surat Pernyataan Pemberian Hak Tanah Ulayat Rajo merupakan dokumen pengalihan hak penguasaan, sehingga proses pensertipikatannya melalui pemberian hak. b. Disisi lain terdapat pendapat yang memaknai bahwa imbalan adat diisi limbago dituang bukan merupakan rekognisi, namun dipersamakan dengan nilai ganti kerugian. Status hubungan penguasaan Nagari atau Rajo atas tanah ulayat nagari/ulayat Rajo menjadi seakan lebih mengarah kepada hubungan kepemilikan. Budi Harsono berpendapat bahwa pemberian ganti rugi yang lazimnya bernilai seimbang dengan nilai tanah, telah mengakibatkan terjadi peralihan hak atas tanah karena telah terjadi pelepasan hak. Dengan

52

pelepasan hak status tanah beralih menjadi tanah negara, hingga kemudian dapat diberikan kepada pihak lain. Dalam hal adat diisi limbago dituang dimaknai sebagai ganti kerugian, sesungguhnya Pemerintah telah secara tidak langsung mengakui kepemilikan (kepunyaan) tanah hak ulayat nagari oleh masyarakat adat. Dengan diakuinya hak keperdataan atas tanah ulayat berarti pegalihan/pelepasan hak secara sukarela (dengan imbalan adat diisi limbago dituang) oleh pemilik tanah ulayat nagari yang diwakili oleh KAN atau Pucuk Adat menjadikan tanah ulayat nagari telah menjadi tanah negara. Hanya saja, bentuk dokumen formil pelepasan haknya tidak sesuai dengan ketentuan pasal 131 ayat 3 huruf a PMNA/KBPN Nomor 3 Tahun 1997 yang menentukan bahwa pelepasan/pengalihan hak atas tanah dilakukan dihadapan Kepala Kantor Pertanahan, Camat, atau Notaris, atau berdasarkan Pasal 27 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum melalui Lembaga Pertanahan (Kepala Kantor Pertanahan). c. Jika SK KAN atau Surat Pernyataan Pemberian Hak Tanah Ulayat Rajo dimaksud dimaknai sebagai surat pelimpahan hak kepemilikan (semacam surat jual beli), seharusnya proses pensertipikatan tanahnya dilakukan melalui proses konversi hak lama atas tanah, asalkan subyeknya memenuhi syarat. Hal ini, dapat dilihat dari pelimpahan kepemilikan dari tanah ulayat kaum kepada perorangan (lihat bahasan angka 3 di bawah). d. Agar potensi konflik pengalihan atau pelepasan tanah ulayat nagari/rajo dapat diminimalisir, dalam dokumen SK KAN atau Surat Pernyataan Pemberian Hak Tanah Ulayat Rajo atau surat keterangan pelepasan bentuk lain, perlu dideskripsikan dengan tegas dan terang bahwa makna pelepasan atau pengalihan tanah ulayat nagari dimaksud adalah pelepasan atau pengalihan hak atas tanahnya sebagaimana ketentuan hukum positif pertanahan, bukan hanya pengalihan penggunaan dan pemanfaatan. Oleh karena, beberapa pihak berpandangan bahwa guna menjamin eksistensi keturunan, maka harta pusaka merupakan harta amanah, yang diamanahkan oleh mamak kepada kemenakan turun-temurun, dan tidak boleh ke luar suku dengan jalan apapun. Pusaka yang diturunkan ke kemanakan bukan menjadi

53

milik pribadi kemenakan, maka ditegaskan dalam adat “dijua indak dimakan bali, digadai indak dimakan sado”. Tanah ulayat sebagai pusaka harus dipertahankan dan tidak boleh dijual, berarti tidak mengenal pengalihan hak sebagaimana pepatah “kabau tagak kubanga ditingga”. 2. Pensertipikatan Tanah Ulayat Suku Tanah ulayat Suku, pensertipikatannya menjadi HGU seluas 800 hektar pernah terjadi di Agam dan Sijunjung (wawancara dengan Junaedi, Kepala Kantor Kabupaten Sijunjung tanggal 16 Maret 2020). Hanya saja tidak terkonfimasi lebih lanjut bagaimana penulisan pemegang haknya dalam sertipikat, sehingga tidak dapat dilakukan analisis subyek hak atas tanah, serta bentuk pengakuan sebagai tanah negara atau sebagai hak lama atas tanah. 3. Pensertipikatan Tanah Ulayat Kaum Pensertipikatan tanah ulayat Kaum terjadi disemua kantor pertanahan Sumatera Barat. Menurut Dito (Wawancara, 17 Maret 2020) subyek hak tanah ulayat kaum terdapat tiga cara yaitu: 1) Ditulis nama seluruh anggota Kaum; 2) Ditulis nama peruntukan (Pribadi); atau 3) Ditulis nama mamak kepala waris (MKW) berdasarkan kesepakan anggota kaum. Berdasarkan beberapa contoh buku tanah ternyata dalam pensertipikatan tanah kaum penulisan nama pemegang haknya bervariasi dan tidak konsisten sebagaimana ketentuan subyek tanah ulayat kaum dalam Perda, sebagaimana Tabel 2 berikut. Tabel 2 Variasi Penulisan Nama Pemegang Hak Milik Tanah Kaum di Sumatera Barat No Status Hak Pemegang Hak Asal Hak Keterangan 1.a HM 90/ Sumpur Nama dan kedudukan Konversi - Tanah Datar (Selaku MKW dalam Kaum) b HM 492/Campago Nama dan kedudukan Konversi Dalam tahun sama dijual Padang Pariaman (MKW) kepada perorangan c HM 5267/Kubu Dalam Nama dan kedudukan Konversi Kaum 4 saudara Parak Karakah (MKW) perempuan dan 3 anak (1 Padang lelaki, 2 perempuan) 2.a HM 15/ Singguliang Nama, kedudukan Konversi Ada nama lelaki “Tito Padang Pariaman (MKW) & nama Pambudi” seluruh (4) anggota b HM 1083/Dodok Nama, gelar, dan konversi • Ada nama lelaki Tunggul Hitam kedudukan (selaku • Seorang meninggal balik Padang MKW) dengan anggota nama (potensi sulit) kaum: nama seluruh • Dipisah berturut-turut 78 bidang (5 tahun) 54

No Status Hak Pemegang Hak Asal Hak Keterangan (15) anggota 3 HM 496/ Batu Bulek, Nama seluruh (7) Konversi • Ada nama laki-laki yang Tanah Datar anggota kaum diduga anaknya; • MKW tidak ditulis, diketahui dari selisih umur dan nama (nama bapak dibelakangnya) 4.a HM 1231/ Sumanik Satu nama Konversi Hasnimar (perempuan) Tanah Datar b HM 746/Nagari III Satu nama Konversi Laki-laki Kota Aur Malintang c HM 11/ Kurai Taji Satu nama Konversi Laki-laki Timur d HM 2520/Sungai Satu nama Konversi Laki-laki (Sutan Riska Rumbai Dharmasraya Tuanku Karajaan) Kaum 13, perempuan 5 e HM 5196/Koto Satu nama Konversi Sarinam (Perempuan) Panjang Ikua Koto padahal ada 2 saudara Kota Padang perempuan dan 11 anak Sumber: Kantor Pertanahan Kota Padang, Padang Pariaman dan Tanah Datar, 2020

Berdasarkan Tabel 2 di atas diketahui terhadap tanah-tanah ulayat kaum disertipikatkan menjadi status Hak Milik atas tanah melalui konversi dengan beragam nama atau subyek (pemegang) hak.

a. Pensertipikatan Tanah Ulayat Kaum Melalui Proses Konversi Dilihat dari pengertian konversi (Guntur 2007, 76) yaitu penggantian atau perubahan status hak-hak atas tanah lama yang diatur dan tunduk pada hukum adat dan hukum Barat (BW), menjadi status hak atas tanah yang baru, sebagaimana diatur dalam pasal 16 UUPA. Berdasarkan Penjelasan Umum angka III alenia terakhir UUPA ditentukan bahwa: “Adapun hak-hak yang pada mula berlakunya undang-undang ini semua akan dikonversikan menjadi salah satu hak yang baru menurut UUPA”. Jadi semua tanah, yang dimiliki atas nama seseorang atau Badan Hukum, hak milik adat atau hak atas tanah menurut buku II KUH Perdata wajib dikonversi menjadi salah satu hak-hak atas tanah menurut UUPA dan didaftarkan sehingga terwujud unifikasi dan kesederhanaan hukum sesuai tujuan UUPA. Berlakukannya UUPA yang menganut asas unifikasi hukum agraria, maka hak-hak atas tanah yang ada sebelum UUPA harus disesuaikan atau dicari padanannya dengan status tanah dalam UUPA melalui lembaga 55 konversi. Konversi merupakan sistem pengaturan dari hak-hak tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA untuk masuk dalam sistem UUPA. Konversi sesungguhnya sudah terjadi saat diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24 September 1960, namun pendaftarannya dapat dilakukan kemudian. Secara teknis pelaksanaan konversi, diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-Hak Indonesia Atas Tanah. Dalam peraturan menteri dimaksud, ditentukan bahwa sebelum dilakukan pendaftaran hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama atas tanah wajib ditegaskan atau diakui haknya terlebih dahulu. Hal tersebut ditindaklanjuti oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumatra Barat dengan mengeluarkan Surat Edaran Tahun 1992 yang menegaskan bahwa terhadap tanah ulayat yang didaftarkan oleh perorangan diproses melalui penegasan hak. Dengan menerapkan proses konversi dalam pesertipikatan tanah ulayat kaum (lihat Tabel 2), berarti otoritas pertanahan mengakui bahwa tanah ulayat kaum merupakan salah satu jenis hak atas tanah lama. Ini berarti hak ulayat kaum yang keberadaannya diakui oleh peraturan perundangan sudah secara formal dapat diwujudkan dalam bentuk alat bukti kepemilikan tanah. Mengakui tanah ulayat sebagai salah satu jenis hak lama dan selanjutnya status hak atas tanahnya disesuaikan dengan sistem UUPA sehingga tercipta unifikasi hukum pertanahan sekaligus menjamin kepastian hukum. Namun dalam rangka membuat keseragaman dokumen, Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumatra Barat mengeluarkan Surat Edaran Nomor 500/88/BPN-07 tanggal 8 Pebruari 2007 sebagai pengganti Surat Edaran tahun 1992. Substansi SE dimaksud mengenai penyeragaman alas hak terkait penyamaan kedudukan negara yang setara dengan tanah negara sehingga prosesnya merupakan pemberian hak (Wawancara Pak Meiven 16 Maret 2020). Pada dokumen disebutkan subjek hak yang akan dituliskan disertipikat sesuai dengan ketentuan penulisan subjek di atas. Dokumen- dokumen tersebut digunakan untuk seluruh pendaftaran tanah berbagai objek dan peruntukan bidang tanah ulayat nagari melalui pemberian hak agar ada Uang Pemasukan.

56

Menurut Kurnia Warman bahwa secara teknis yuridis yang relevan disebut tanah ulayat hanyalah ulayat nagari, mungkin juga ulayat suku (pada kelarasan Bodi Caniago), sedangkan ulayat kaum lebih tepat dikatakan sebagai tanah milik komunal. Sejalan dengan pendapat tersebut dan faktanya terhadap tanah ulayat kaum telah disertipikatkan melalui proses konversi, namun yang perlu untuk dicermati adalah apa dasar pendaftarannya menjadi status tanah hak milik serta dasar penentuan subyek (pemegang) hak atas tanah, sebagaimana bahasan huruf b dan c berikut. b. Tanah Ulayat Kaum dikonversi menjadi Hak Milik Berdasarkan Tabel 2 di atas, dalam pensertipikatan tanah yang berasal dari ulayat kaum diproses melalui konversi menjadi status tanah hak milik. Pelaksanaan pendaftaran tanah melalui konversi menjadi hak milik, terkesan tidak sejalan dengan yang diamanatkan UUPA. Menurut Pasal VI Bagian Kedua Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA, ditentukan bahwa: “Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, yaitu: hak vruchtgebruik, gebruik, grant controleur, bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga, yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat (1) yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang- undang ini”. Berdasarkan pasal tersebut, terhadap ganggam bauntuik dikategorikan sebagai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang mirip dengan hak pakai sehingga sejak mulai berlakunya UUPA dikonversi menjadi hak pakai. Berbeda halnya dengan tanah adat/ulayat (prabumian) yang ada di Bali yang dikenal dengan hak atas Druwe Desa, berdasarkan Pasal II Bagian Kedua Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA, dikategorikan sebagai hak-hak atas

57 tanah yang memberi wewenang mirip dengan hak milik, sehingga dikonversi menjadi hak milik dengan subyek hak Desa Pakraman. Adanya perbedaan antara Pasal II dengan Pasal VI Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA, menurut peneliti karena terdapat perbedaan cara pandang subyek hak. Subyek hak yaitu pemangku hak atau pada siapa hak itu dilekatkan, bervariasi dari individu, kelompok, komunitas, kelembagaan (sosial, ekonomi, atau politik). Baik terhadap tanah ulayat (druwe desa di Bali) maupun tanah ulayat kaum di Sumatera Barat secara de facto mempunyai karakter subyek hak yang sama, yaitu kepemilikannya ada pada masyarakat secara komunal yaitu Desa Pakraman di Bali atau Kaum pada nagari di Sumatera Barat. Desa Pakraman atau Kaum pada nagari sama-sama merupakan persekutuan masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschappen) yang dibentuk berdasarkan alam pikiran berpartisipasi, yang terjalin oleh ikatan batin yang menyatu antara tanah dan manusia. Persekutuan hukum adat dimaksud, sangat berbeda dengan organisasi kemasyarakatan atau badan hukum korporasi. Guna kepentingan analisis, masyarakat hukum adat (kaum) dengan hak atas tanah perlu dibedakan antara: a) persekutuan hukum sebagai organisasi masyarakat, dan b) masyarakat hukum sebagai kesatuan individu-individu yang menjadi warga pendukungnya. Sebagai sebuah persekutuan hukum, maka kaum merupakan persekutuan masyarakat adat, yang memiliki aset (tanah) secara komunal. Terhadap kepemilikan tanah tersebut, peruntukan dan pemanfaatan tanah diberikan kepada anggota masyarakat hukum sebagai individu-individu. Dengan demikian terhadap obyek tanah terdapat dua subyek hak yaitu hak kepemilikan atas tanah adalah masyarakat hukum adat sebagai sebuah persekutuan masyarakat adat, sedangkan hak pemanfaatan yaitu ganggam bauntuik ada pada individu-individu anggota masyarakat yang menjadi pendukung persekutuan. Dalam konteks hukum pertanahan tanah ulayat merupakan hak atas tanah (hak primer) yang dilekati hak atas tanah (hak skunder). Dengan menggunakan logika tersebut, maka konversi terhadap tanah ulayat tidak akan mengakibatkan beralihnya kepemilikan. Sehingga setiap perubahan (konversi) tidak mengakibatkan pemutusan hubungan keperdataan atau 58

hubungan sosial dengan tanah. Menurut peneliti, perlu ada kebijakan yaitu terhadap tanah kaum dikonversi menjadi milik (hak primer) persekutuan kaum itu sendiri, sekaligus dilakukan konversi terhadap ganggam bauntuik menjadi hak pakai (atau hak guna bangunan) sebagai hak sekunder yang subyeknya individu anggota kaum di atas hak primer. Terhadap tanah hak yang berasal dari hak lama (adat/ulayat) oleh hukum dilakukan perubahan hukum berdasarkan prinsip pengakuan Negara terhadap hak kepemilikan atas tanah rakyat karena hukum, dikonversi sebagai hak-hak yang baru yang diciptakan oleh UUPA. Wujud konkret konversi hak lama atas tanah ini dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Penegasan Hak atau Pengakuan Hak c. Tanah Ulayat Kaum Beralih Menjadi Milik Perorangan (atau Bersama) Berdasarkan tatalaksana pembukuan hak (Guntur, 2019, VI-66) nama pemegang hak, ditulis dengan huruf kapital, secara lengkap dan tidak disingkat, sesuai dengan nama yang tercantum dalam dokumen penetapan pemberian hak atau penetapan konversi hak atas tanahnya. Pola penulisan nama pemegang hak ada dua yaitu jika pemegang haknya orang (satu atau lebih dari satu orang) ditulis nama (atau nama-nama) secara lengkap disertai dengan tanggal lahirnya. Sedangkan jika pemegang hak merupakan badan hukum, ditulis nama (identitas) badan hukum tersebut. Penulisan nama (nama lengkap) dan kedudukan (sebagai MKW) dalam buku tanah sebagaimana pada Tabel 2 angka 1.a, b, c dan 2.a dan b dimungkinkan dengan mengacu pada tata laksana penulisan sertipikat pada tanah wakaf dengan menulis nama nazhir yang bertugas mengelola tanah wakaf. Menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, ditentukan bahwa harta benda wakaf harus didaftarkan atas nama Nazhir untuk kepentingan pihak yang dimaksud dalam Akta Ikrar Wakaf, tidak membuktikan kepemilikan Nazhir atas harta benda wakaf, serta penggantian Nazhir tidak mengakibatkan peralihan harta benda wakaf. Dengan demikian, penulisan pemegang hak hasil konversi tanah ulayat kaum dimaksud perlu diatur cara penulisan pemegang hak dengan mengadopsi ketentuan pasal 3 PP tersebut. Jika tidak diatur potensi salah tafsir dalam pengadministrasian misalnya jika MKW meninggal, dan dibalik nama pada MKW yang baru dapat ditafsirkan sebagai bentuk peralihan hak.

59

Dengan penulisan nama MKW dan nama-nama seluruh kaum (Tabel 2 angka 2.a dan b), atau nama-nama anggota kaum saja baik seluruh nama- nama anggota kaum (Tabel 2 angka 3) apalagi hanya ditulis satu nama (Tabel 2 angka 4. a, b, c, d dan e) dalam buku tanah, cenderung dapat ditafsirkan bahwa subyek (pemilik) haknya adalah nama-nama yang tercantum pada buku tanah tersebut. Dengan demikian dalam proses konversi dimaksud sekaligus terjadi proses peralihan kepemilikan dari milik seluruh anggota kaum (basamo) yang merupakan satu kesatuan dan tidak terbagi-bagi menjadi milik pribadi yaitu nama (seorang) atau nama-nama (milik bersama) yang tercantum dalam sertipikat, tidak lagi menjadi milik komunal. Pencantuman pemegang hak seluruh nama anggota kaum sebagaimana contoh sertipikat Hak Milik Nomor 496/Nagari Batu Bulek (lihat Lampiran 5), yang diperoleh dari waris (surat Keterangan Waris tanggal 3 Juli 2019) menimbulkan makna telah terjadi peralihan kepemilikan, HM tersebut tidak lagi sebagai kepemilikan komunal kaum namun sudah menjadi milik bersama (semua nama-nama yang ada dalam sertipikat). Hal ini dapat berimplikasi pada salah pengertian kepemilikan yaitu kemungkinan anak-anak baik laki- laki maupun perempuan dari pemilik (nama-nama dalam sertipikat) dapat menuntut bagian kepemilikan, sebagaimana digambarkan oleh Nurdin Yakub (tt, 63 dan 64). Demikian juga halnya penulisan nama pribadi, (Tabel 2 angka 4. a, b, c, d dan e) berarti yang bersangkutan adalah pemilik tunggal tanah pusako tinggi, sama dengan sertipikat pada umumnya. Berdasarkan data dari buku tanah sebagaimana Tabel 2 angka 2. b di atas (Lampiran 6), diketahui sebidang tanah seluas 22.495 M2 dimiliki oleh keturunan Tiasa Suku Balai Mansiang Kampung Tunggul Hitam, Kanagarian Koto Tangah diterbitkan sertipikat Hak Milik Nomor 1083/Dadok Tanggul Hitam NIB. 03.01.05.04.01137 pada tanggal 29 Nopember 2001, dengan nama pemegang hak Abdul Wahab Gelar Malin Marajo selaku Mamak Kepala Waris dengan anggota kaum sebanyak 15 orang. Dengan telah meninggalnya salah satu anggota kaum yaitu Djalinus, dilakukan balik nama menjadi 20 pemegang hak tahun 2009. Terhadap sertipikat dimaksud berturut-turut dilakukan pemisahan sejak 2010 sampai dengan 2014 sebanyak 13 kali proses pemecahan menjadi 78 bidang tanah dengan sisa 7.251 M2. Dengan melihat riwayat pada buku tanah tersebut dapat diduga dalam proses pensertipikatan tanah ulayat kaum tersebut menggunakan hukum 60 waris nasab (hukum waris Islam). Padahal, menurut hukum waris adat (sabab) tanah ulayat kaum termasuk pusako tinggi bukan milik pewaris (mamak) tetapi milik basamo. Adat Minangkabau tidak dapat membenarkan harta pusaka tinggi dimasukkan ke dalam harta pewaris, karena harta pusaka yang diwarisi bukan hak milik mamak. Pusako tinggi bagi orang Minangkabau hanya hak pakai untuk dapat dinikmati hasilnya, bukan hak milik orang tersebut. Hak pakai dan hak menikmati itu diberikan selama hidup (Nurdin Yakub, tt, 54). Dengan demikian, peneliti mengusulkan prosesnya mengadopsi pensertipikatan tanah druwe desa di Bali, yaitu terhadap tanah ulayat kaum yang merupakan kepemilikan basamo diterbitkan sertipikat dengan hak milik komunitas kaum (ninik mamak) sebagai hak induk (primer). Sedangkan kepada anggota kaum sebagai pengguna/pemanfaat tanah diberikan hak lain (sekunder) yaitu Hak Guna Bagunan jika peruntukan non-pertanian atau hak pakai jika peruntukan pertanian, di atas hak milik komunal kaum. Dalam hal terdapat pemegang hak sekunder meninggal, maka pewarisan pemakaian harta pusaka tersebut dilakukan dengan peralihan (balik nama) hak sekunder (ganggam bauntuik) untuk memperoleh hasil dari pengolahan tanah ulayat sebagaimana ketentuan pada Bagian Kedua pasal VI Ketentuan-Ketentuan Konversi UUPA Beberapa kasus pendaftaran tanah yang subjeknya seluruh anggota kaum bukan termasuk tanah ulayat lagi, tetapi adalah harta bersama seperti waris. Termasuk peruntukan kepada pribadi, kondisi itu dapat membuat pusako tinggi berubah menjadi pusako rendah, sehingga sedikit demi sedikit dapat mengikis adat. Ninik mamak (Penghulu) berperan dalam menentukan peruntukan dan pemanfaatan tanah ulayat, sehingga mereka tidak mau memberikan izin pelepasan tanah ulayat menjadi milik pribadi. Alasannya antara lain adalah Ninik mamak takut kesopanan kepada mereka, dan MKK dan MKW akan hilang, sertipikat yang terlalu mudah digadai dan uang-uang adat tidak ada lagi. Ditengarai terdapat ketakutan ninik mamak untuk mendaftaran tanah adat disebabkan antara lain: a) Eksistensi terhadap kepala suku sehingga ditakutkan tidak ada lagi kesopanan kepada ninik mamak, penghulu dan mamak kepala waris; b) Sertipkat terlalu mudah digadaikan; c) Pajak bidang tanah menajdi lebih tinggi setelah diterbitkan sertipikat; dan d) Uang-uang adat tidak ada lagi.

61

C. Peluang Pendaftaran Tanah Ulayat untuk Menjamin Kepastian Hukum dan Mencegah Beralihnya Kepemilikan Pengaturan (regulasi) bentuk pengakuan dan perlindungan tanah ulayat di Sumatera Barat, perlu diwujudkan secara konkrit. Pengakuan dan perlindungan tanah ulayat dapat dilakukan melalui pengadministrasian atau pendaftaran oleh otoritas pertanahan, karena keberadaannya telah memenuhi unsur-unsur kepastian hak yaitu subyek hak, obyek hak, bentuk hubungan hukum, dan perlindungan (hukum) pemilikan dengan beberapa catatan (lihat Tabel 3).

Tabel 3 Pemilikan/Penguasaan Tanah Ulayat ditinjau dari Aspek Subyek, Obyek, Hubungan dan Bentuk Perlindungan Hukum Kepemilikan/Penguasaan Tanah Ulayat Komunal Individu/kelompok Subyek Hak Nagari Suku Kaum Rajo Obyek Hak Wujud Hak Tanah, air, Tanah, air, tanaman, Tanah, air, tanaman, Tanah tanaman, binatang, dll binatang, dll binatang, dll Lokasi • APL • APL • APL • APL • Kawasan Hutan • Kawasan Hutan Batas-Batas • Tidak tegas • Tidak tegas • Tegas • Tidak tegas Pemanfaatan Hutan, Hutan, kuburan, Pasar, Sawah, Tegal, Rumah Sawah, Tegal, Rumah Tanah Perairan, dll Kolam, Tempat Mandi Gadang, Rumah, dll Tinggal, dll Hubungan Hukum Dimensi hubu- Publik & Publik & Perdata Perdata & Publik Perdata ngan Hukum Perdata Sistem Hukum Hukum Adat Hukum Adat Hukum Adat Hukum Adat Pengelola KAN Penghulu MKW Rajo Cara Perolehan Klaim turun • Pembagian dari Nagari• Pembagian dari Suku Klaim turun temurun temurun • Manaruko • Manaruko Bentuk Perlindungan Pengakuan • Pengakuan • Pengakuan Pengakuan • Sertipikat • Sertipikat Sumber: Pengolahan data Peneliti, 2020

Pertama, subyek hak yaitu pihak yang berkepentingan atas tanah ulayat. Secara umum, kepemilikan tanah dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu kepemilikan oleh masyarakat hukum adat (MHA) dan kepemilikan oleh non- MHA. Kepemilikan oleh MHA secara komunal yaitu Nagari, Rajo (di daerah rantau), Suku, dan Kaum. Menurut Lutfi I Nasoetion, Kepala BPN (2000, 12) tanah ulayat di Provinsi Sumatera Barat adalah tanah milik yang dimiliki secara bersama.

62

Menurut pandangan secara umum, antara kepemilikan komunal dan kepemilikan kolektif dianggap sama yaitu milik bersama atau kelompok masyarakat. Memang kepemilikan bersama secara komunal dan kepemilikan bersama secara kolektif, merujuk pada kepemilikan aset (dalam hal ini tanah) yang tidak terpisahkan oleh sekelompok (lebih dari satu) orang. Namun sesungguhnya terdapat perbedaan antara kepemilikan komunal dengan kepamilikan kolektif (lihat Tabel 4). Tabel 4: Perbedaan Kepemilikan Komunal dan Kepemilikan Kolektif Komunal Kolektif Subyek - Ikatan komunitas (adat) - Ikatan di luar komunitas - Identifikasi anggota komunitas berdasar kesepakatan tidak spesifik - Identifikasi anggota komunitas secara tegas Perolehan - Pembukaan hutan oleh - Pembukaan hutan nenek moyang - Peralihan (pembelian, warisan, - Turun temurun (klaim) hibah, dll) Kepemilikan - Bersama; - Bersama; - Tidak (dapat) dibagi-bagi; - Dapat dibagi-bagi; - Tidak dapat ditunjukkan - Dapat ditunjukkan bagian besar bagian. masing-masing. Sumber: Pengolahan data Peneliti, 2020

Kepemilikan komunal merupakan kepemilikan oleh suatu kelompok sosial masyarakat yang terdiri dari beberapa individu yang hidup bersama dalam suatu wilayah (komunitas adat) dengan hubungan timbal balik yang intensif dan teratur. Dalam kepemilikan komunal, merujuk pada aset (tanah) yang dimiliki bersama sepenuhnya dapat diakses secara terbuka dan gratis oleh semua (commons) anggota komunitas. Hak komunal ini merupakan ‘milik basamo’ atau di Jawa disebut ‘gadahe tiyang katah’ (kepunyaan orang banyak). Misalnya salah satu anggota kelompok ke luar dari kelompok, maka yang bersangkutan tidak dapat menuntut kepemilikan tanah yang menjadi bagiannya, karena kepemilikan bersifat umum, tidak terpisahkan dan tidak terbagi-bagi. Sedangkan dalam kepemilikan bersama (kolektif) tidak didasarkan pada suatu hubungan (persekutuan) namun perikatan yang bersifat sementara. Misalnya tanah yang berasal dari membeli tanah secara bersama. Ikatan bersama (dan kepemilikan tanah) yang terbentuk

63 didasarkan pada perhitungan besar kecilnya modal untuk membeli tanah. Sesungguhnya terhadap tanah hasil pembelian dapat dipisahkan bagiannya masing-masing. Pemahaman ini penting untuk melakukan analisis secara mendalam terhadap kepemilikan tanah ulayat nagari, ulayat suku, ulayat kaum, dan ulayat rajo. Tanah Rajo yang ada di Kabupaten Dharmasraya dan Kabupaten Padang Pariaman tidak memenuhi syarat sebagai tanah ulayat, namun merupakan tanah dengan penguasaan keturunan Raja. Dengan demikian, jika terhadap tanah rajo didaftarkan maka prosedurnya sama dengan pendaftaran kepemilikan non-MHA, yaitu kepemilikan individu dan kepemilikan oleh badan hukum. Kepemilikan individu merupakan kepemilikan oleh perorangan (termasuk kepemilikan oleh satu keluarga kecil yaitu ayah, ibu dan anak) atau kepemilikan bersama (kolektif) oleh beberapa orang yang tidak membentuk suatu ikatan tertentu. Tanah ulayat nagari, ulayat suku dan ulayat kaum dimiliki oleh sebuah persekutuan/komunitas, perlu dikaji apakah persekutuan/komunitas tersebut merupakan badan hukum yang dapat sebagai subyek hak atas tanah. Nagari merupakan persekutuan hukum yang tersusun berdasarkan faktor geneologi dan teritorial. Dalam nagari setidaknya terdapat empat suku. Menurut Wali Nagari Sungai Asam (wawancara 18 Maret 2020) yang dipertegas oleh Ketua KAN setempat, syarat menjadi nagari apabila memiliki tapian, pasar, kuburan dan masjid. Nagari sesungguhnya merupakan badan hukum publik, sama dengan desa di Jawa. Namun tanah ulayat nagari bukan kepunyaan (aset) nagari (pemerintah nagari), tetapi kepunyaan bersama masyarakat adat dalam nagari, yang dikelola oleh KAN. KAN bukan merupakan lembaga hukum, tetapi kumpulan daripada ninik-ninik mamak dalam nagari. Dengan demikian, jika tanah ulayat nagari akan didaftarkan perlu ada penegasan subyek hukumnya terlebih dahulu. Demikian juga untuk tanah ulayat suku, merupakan kepunyaan seluruh anggota suku tertentu. Berbeda dengan nagari, suku tidak mempunyai wilayah (teritorial), hanya merupakan persekutuan dengan ikatan geneologis. Menurut Chairul Anwar (1997, 9) suku tidak merupakan persekutuan hukum, hanya bagian-bagian suku yang merupakan persekutuan hukum. Pengikat suku hanya pertalian darah menurut garis ibu, tidak terikat kepada suatu daerah, tetapi batas

64 yang bersifat personal. Dimanapun anggota-anggota suku berada, segenap sanak dalam satu suku tetap merasakan pertalian darah. Hampir sama dengan suku, kaum juga merupakan persekutuan dengan ikatan geneologis pecahan dari sebuah suku. Suku atau kaum sama-sama sebuah persekutuan, memiliki tanah komunal yang dikelola oleh Penghulu untuk tanah ulayat suku dan MKW untuk tanah kaum, namun tidak mempunyai bentuk organisasi secara formal. Menurut Riyadi (wawancara 20 Maret 2020) ninik mamak hanya sebuah atribut dan benilai abstrak sehingga bukan merupakan subyek hukum dan bukan membawa nama pribadi. Ninik mamak merupakan penghulu/datuk dari suku-suku pada suatu nagari. Oleh karena ninik mamak bukan sebagai subyek hukum, sehingga akan menemui kesulitan dalam teknis pencatatan subyek hak atas tanahnya. Jika tanah suku atau kaum didaftarkan perlu ada penegasan subyek hukum terlebih dahulu. Dalam penatausahaan pendaftaran tanah, terhadap pemilikan oleh individu (perorangan) penulisan subyek haknya dalam daftar-daftar umum (termasuk buku tanah dan sertipikat) adalah nama orang yang berkepentingan. Dalam hal tanah milik bersama (kolektif) ditulis semua nama pemilik, sedangkan jika tanah milik suatu badan hukum ditulis nama (identitas) badan hukumnya. Demikian juga jika tanah milik sebuah badan keagamaan, badan sosial, atau badan lainnya ditulis nama (identitas) lembaganya, misalnya nama Desa Pakraman di Bali. Menyimpang dari ketentuan tersebut, karena wakaf sebagai badan hukum namun tidak mempunyai nama (identitas), maka dalam pensertipikatan tanah wakaf, subyek haknya ditulis nama Nahzir yang bertugas mengelola tanah wakaf (lihat bahasan pada huruf B.3.c di atas). Dengan mengacu pada teknis pencatatan tersebut, perlu ada kebijakan yang memungkinkan nama-nama pengelola tanah ulayat yaitu KAN, Penghulu atau MKW dicatatkan dalam daftar-daftar umum pendaftaran, walaupun nama dimaksud tidak sebagai subyek (pemegang) hak. Penulisan nama (KAN, Penghulu atau MKW) dalam sertipikat, namun nama tersebut tidak sebagai subyek hak, akan memudahkan dalam pengadministrasian jika suatu saat orang yang tercantum dalam sertipikat tersebut meninggal, maka tidak perlu proses peralihan hak, tetapi merupakan proses penggantian nama saja. Kedua, obyek tanah ulayat dapat ditinjau dari beberapa aspek yaitu: wujud, lokasi, batas-batas dan pemanfaatan obyek. Wujud daripada obyek tanah

65 ulayat yaitu tanah (permukaan bumi), tanaman (tanam-tumbuh), tambang (segala sesuatu yang ada dalam tanah), binatang (hewan), air, pesisir, dll. Namun sesuai dengan pasal 4 UUPA, yang dapat diberikan hak atas tanah hanya permukaan bumi. Obyek tanah ulayat ditinjau menurut lokasinya yaitu berada pada kawasan kehutanan atau non kawasan kehutanan yang sering disebut dengan areal penggunaan lain (APL). Obyek tanah ulayat yang masuk kawasan hutan, tetap merupakan obyek kepemilikan oleh masyarakat hukum adat dapat didaftarkan, dengan mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 junto Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan. Kebijakan dalam Perpres ini dilakukan dalam rangka menyelesaikan dan memberikan perlindungan hukum atas hak-hak masyarakat yang menguasai tanah di kawasan hutan. Obyek hak dilihat berdasarkan batas-batasnya terdapat bidang tanah yang terlihat dengan jelas batas-batasnya seperti patok, pagar, tembok, dll, serta batas bidang tanah yang tidak tegas seperti batas alam (jalan, sungai, punggung bukit, danau, dll). Sedangkan obyek hak berdasarkan jenis pemanfaatannya terdapat pertanian dan non pertanian. Pertanian yaitu dalam arti luas maupun sempit seperti hutan, semak belukar, alang-alang, perkebunan, tambak, kolam, sawah, tegalan, kebun campuran, tanah tandus, dll. Kawasan hutan meliputi hutan tua, hutan larangan, dan hutan muda. Areal pertanian seperti sawah, ladang, kebun, dll. Areal pengembalaan seperti padang rumput. Areal pencadangan baik hutan atau pengembalaan. Non-pertanian dapat berupa rumah tempat tinggal, pergudangan, perkantoran, pasar, kuburan, dll. Areal permukiman atau perumahan merupakan bidang tanah yang berbatasan dengan ditandai seperti batu besar, pohon, patok, dll. Daerah suci (mushola), tanam pakuburan. Dengan demikian tanah ulayat berpeluang untuk didaftarkan utamanya yang berada di luar kawasan hutan (hutan lindung), namun perlu secara formal dipastikan batas-batas bidang tanah serta letaknya secara kontradiktur delimitasi dengan melakukan pengukuran dan pemetaan secara kadastral terlebih dahulu. Ketiga, dimensi hubungan hukum dapat ditinjau dari dimensi hubungan hukum, sistem hukum, sistem pengelolaan, dan cara perolehan obyek. Dimensi hubungan hukum dapat berupa dimensi publik dan dimensi perdata. Dimensi

66 publik yaitu kewenangan-kewenangan yang bersifat publik terhadap hak ulayat akan bermuara pada hak untuk menyelenggarakan kewenangan-kewenangan negara, seperti untuk melaksanakan pemerintahan dan kewenangan pengadilan maka mekanisme pangakuannya dilakukan dengan penetapan kebijakan melalui peraturan daerah. Unsur hukum publik, merupakan kewenangan untuk mengelola dan mengatur peruntukan, penggunaan dan penguasaan tanah ulayat, baik dalam hubungan intern dengan para warga sendiri atau extern dengan orang-orang luar. Yang dapat menjadi subyek hak ulayat adalah warga masyarakat hukum adat itu sendiri yang bercirikan adanya persekutuan hukum berdasarkan atas kesamaan tempat tinggal (teritorial) atau berdasarkan pada faktor keturunan (genealogis) yang dikenal dengan berbagai nama khas seperti suku, nagari, dll. Untuk memperjelas bentuk hubungan hukum antara subyek hak dengan tanah ulayat dapat digambarkan sebagaimana pola berikut.

TANAH ULAYAT SUBYEK HUBUNGAN HUKUM FISIK YURIDIS Gambar 5.a

TANAH ULAYAT SUBYEK HUBUNGAN HUKUM Gambar 5.b FISIK

SUBYEK TANAH ULAYAT HUBUNGAN HUKUM YURIDIS Gambar 5.c Gambar 4: Hubungan Antara Subyek Hak dan Tanah Ulayat Sumber : Dokumen Peneliti (2020)

Setiap hak penguasaan atas tanah disebut juga hak atas tanah merupakan hubungan hukum yang memberi wewenang kepada subyek hak untuk berbuat sesuatu terhadap obyek hak (tanah, atau tanah ulayat), misalnya mengalihkan, atau memanfaatkan. Hakekat hubungan tersebut terdiri dari hubungan secara fisik dan hubungan secara yuridis dari tanah ulayat yang dikuasai oleh subyek yang sama (Gambar 5.a). Misalnya tanah ulayat nagari atau suku atau kaum yang berupa pandam pakuburan, surau, rumah gadang, kantor wali nagari dan sebagainya, si subyek menguasai secara yuridis (keperdataan) sekaligus memanfaatkan tanah

67 dimaksud untuk kepentingan bersama yang tidak terpisahkan. Namun ada kalanya, subyek hanya mempunyai hubungan fisik saja (Gambar 5.b), misalnya anggota kaum dengan ganggam bauntuak hanya dapat menggunakan/memakai tanah ulayat, sedangkan hubungan hukum keperdataan berada pada subyek lainnya yaitu kepunyaan bersama anggota persekutuan secara komunal, yang tidak terpisahkan (Gambar 5.c), mempunyai kewenangan publik. Hak untuk mengatur ini meliputi mengatur peruntukan/pemanfaatan tanah ulayat, melarang mengalihkan kepada orang luar persekutuan hukum, yang diamanatkan kepada KAN/Penghulu/MKW sebagai wakil daripada persekutuan. Dengan demikian pengakuan terhadap obyek tanah (permukaan bumi) yang bersifat privat dan/atau keperdataan, baik komunal, perorangan atau kolektif dapat langsung melalui proses pengadministrasian yang dilakukan oleh otoritas pertanahan, karena susunan masyarakat adat yang bersifat privat itu dapat diperlakukan sebagai badan hukum perdata. Unsur hukum perdata, merupakan hak kepunyaan bersama, yang dipercaya berasal dari peninggalan nenek moyang, karunia dari kekuatan magis religious, pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup seluruh warga masyarakat hukum adat. Pengakuan hak atas tanah ini tidak perlu dilakukan tindakan penetapan subyek hukum dengan peraturan daerah atau surat keputusan Gubernur atau Bupati, namun dilakukan dengan surat keputusan Kementerian ATR/BPN sebagaimana penetapan Desa Pakraman di Bali sebagai subyek hak milik atas tanah. Hak-hak ulayat (komunal) masyarakat adat ada yang bersifat komunal publik dan komunal privat. Demikian juga hak ulayat pada masyarakat adat di Minangkabau dapat dibedakan menjadi ulayat nagari (satuan adat yang tertinggi), ulayat suku dan ulayat kaum (satuan adat terendah), masing-masing mempunyai domain pengaturan yang berbeda-beda. Ulayat nagari merupakan ulayat yang bersifat publik, karena mempunyai kewenangan untuk membagi ulayat dimaksud kepada berbagai komponen masyarakat yang ada di nagari yang bersangkutan (termasuk masyarakat di luar nagari tersebut). Sedangkan ulayat suku dan ulayat kaum, merupakan hak ulayat yang cenderung bersifat privat. Sistem hukum yaitu hukum yang mengatur keberadaannya yaitu hukum positif utamanya UUPA dan hukum adat yaitu hukum adat Minangkabau.

68

Pengelolaan tanah ulayat dilakukan oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) untuk tanah ulayat Nagari, Penghulu untuk tanah ulayat suku dan Mamak Kepala Waris untuk tanah ulayat kaum. Dilihat dari cara perolehan obyek terdapat klaim secara turun temurun untuk tanah ulayat nagari, pembagian, naruko (membuka hutan dengan ijin), gadai, peralihan hak (jual beli, hibah, pewarisan, dll) atau pelepasan hak. Adanya anggapan, sebidang tanah ulayat yang dilepaskan kepada pihak lain, otomatis telah gugur hak ulayatnya masih menjadi perdebatan. Menurut adat yang berlaku, tanah ulayat (yang sudah dilepaskan), kemudian ditinggalkan oleh penguasanya, akan kembali menjadi milik masyarakat hukum adat. Ketentuan ini sesuai dengan hukum adat yaitu kabau tagak, kubangan tingga. Disamping itu adat menentukan tanah ulayat tidak boleh diperjualbelikan atau dipindahkan secara lepas dan hanya boleh digadaikan atau dijual sementara untuk menyelenggarakan: a) mait tabujua di tangah rumah; b) gadih gadang indak balaki; c) rumah gadang katirisan; dan d) membangkit batang tarandam. Ketentuan adat yang membatasi pemindahan atas tanah ulayat, merupakan saringan terhadap terjadinya pengempisan keberadaan tanah ulayat. Berdasarkan uraian tersebut, terdapat hubungan subyek dengan fisik tanah berupa hubungan pengelolaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah ulayat. Dalam hubungan ini tanah ulayat dimaknai sebagai benda tidak tetap atau benda bergerak, yang secara umum disebut benda-benda lain yang ada di atas tanah. Sedangkan hubungan dan perbuatan hukum subyek atas tanah ulayat sebagai benda tetap (hak kebendaan) yaitu hubungan kepemilikan atau keperdataan termasuk perbuatan hukum atas hak kebedaan dalam bentuk perikatan hukum. Adanya hubungan dan perbuatan hukum ini menimbulkan hak milik (milik pribadi, milik bersama, atau milik umum (komunal). Demikianlah sesungguhnya tanah ulayat (nagari, suku atau kaum) merupakan hubungan hukum yang bersifat kebendaan, sehingga jika disesuaikan dengan hukum positif (UUPA) setara dengan hak milik umum (komunal), hanya masalahnya perlu kebijakan menetapkan masing-masing subyek masyarakat hukum adat yang dapat memiliki tanah dengan hak milik. Sedangkan terhadap subyek yaitu warga yang menggunakan dan memanfaatkan tanah ulayat secara fisik bukan merupakan hubungan kebendaan, tetapi hanya memakai dan

69 memanfaatkan tanah milik bersama, sehingga dalam UUPA dapat diakui haknya berupa hak pakai atau hak guna bangunan di atas hak milik bersama tersebut. Kebijakan lembaga hak atas tanah yang bersifat sekunder seperti HGB atau HP di atas hak atas primer seperti HM dimungkinkan dengan mengacu pada pasal 23, 37 dan 41 UUPA. Dalam pelaksanaan pendaftarannya perlu dibuat kebijakan penerbitan hak milik bersama (hak primer) sekaligus penerbitan hak atas tanah skunder (misalnya HP atau HGB) di atas hak milik bersama tersebut. Keempat, bentuk-bentuk perlindungan terhadap keberadaan kepemilikan dimaksud yaitu pengakuan dan registrasi. Pengakuan umumnya dilakukan secara lisan, atau dalam bentuk peraturan perundangan serta pengakuan secara formal oleh otoritas pertanahan dengan melakukan registrasi dengan output sertipikat hak atas tanah. Tidak dapat dipungkiri bahwa tanah, mempunyai manfaat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, namun apakah kepemilikan tanah wajib dibuktikan dengan sertipikat? Terkait pemakaian sebidang tanah maka kepemilikan itu penting. Hanya saja untuk pengakuan kebenaran kepemilikan tanah biasanya harus dibuktikan dengan suatu surat atau tulisan. Sedangkan penguasaan tanah merupakan suatu fakta, dan sebagai fakta, dapat saja tanpa memandang ada atau tidak adanya bukti dokumen untuk menyatakan kebenaran kepemilikan. Keamanan penguasaan tanah tidak terletak pada bukti pemilikan hak yang berupa kertas atau suatu catatan tanah tertulis. Misalnya aturan hukum adat: hanya tradisi, kebiasaan yang turun temurun. Keamanan ini telah ada sebagai fakta atau kenyataan, dengan atau tanpa adanya keterangan untuk membuktikannya. Keterangan tidak merubah keyataan. Keamanan penguasaan tanah, merupakan kenyataan yang tidak tergantung dengan ada atau tidak adanya dokumen hak kepemilikan. Meskipun jika mempunyai dokumen hak kepemilikan yaitu sertipikat itu menyenangkan dan penting artinya. Pensertipikatan tanah ulayat bukan sesuatu hal yang ajaib, secara otomatis akan menghasilkan penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang baik, atau dengan sendirinya dapat menyelesaikan sengketa atau konflik pertanahan. Pensertipikatan tanah ulayat hanya merupakan salah satu sarana atau alat untuk membantu mengadministrasikan bidang-bidang tanah ulayat untuk berbagai keperluan. Pensertipikatan tanah ulayat hanya satu alat untuk mencapai tujuan,

70 tetapi tidak berakhir dalam dirinya sendiri, karena jika hakekat dasar ini dilupakan, dapat menyia-nyiakan waktu, biaya dan usaha yang diperlukan. Manfaat pendaftaran tanah ulayat yaitu: 1) adanya jaminan keamanan penggunaan tanah bagi pemilik -privat- (artinya keuntungan bagi masyarakat hukum adat secara komunal), dan 2) adanya informasi tanah ulayat, memudahkan penataan tanah ulayat berarti berhubungan dengan kesejahteraan Negara atau masyarakat sebagai keseluruhan (publik). Berdasarkan uraian di atas, utamanya terhadap pengaturan skema hak ulayat di Sumatera Barat untuk pengakuan dan perlindungan secara formal (hukum-administrasi) saat ini yang paling tepat menurut peneliti adalah: 1. Keberadaan hak ulayat wajib diakui dan dilindungi secara formal (hukum- administrasi) menurut hukum positif, dengan melakukan pendaftaran hak dan diterbitkan sertipikat hak atas tanah berdasarkan ketentuan Pasal 19 UUPA. 2. Untuk melakukan pendaftaran hak atas tanah ulayat, dilakukan melalui konversi sebagaimana amanat dalam Ketentuan-ketentuan Konversi Hak Atas Tanah, Bagian Kedua UUPA, karena sesungguhnya sebelum UUPA, tanah ulayat telah ada (dan sudah diakui), sehingga yang diperlukan adalah merubah nama haknya menjadi jenis hak atas tanah yang sesuai dengan Pasal 16 UUPA, misalnya Hak Milik. Disamping itu, merujuk pada putusan MK No. 35 Tahun 2012, logika hukumnya bahwa tanah adat/ulayat bukan tanah negara, tanah adat berada di wilayah adat/ulayat masyarakat hukum adat, dan hak masyarakat hukum adat diakui. 3. Berdasarkan hak asal usulnya terhadap tanah ulayat terdapat dua (2) subyek hak atas tanah, yaitu subyek hak kepemilikan dan subyek hak pemakaian. Pertama, subyek hak kepemilikan adalah milik komunal (basamo) yang dalam tata usaha pendaftarannya dapat diwakili sesuai dengan kelembagaan adatnya yaitu: a) Nagari yang diwakili oleh KAN, atau b) Suku yang diwakili oleh Penghulu Suku, atau c) Kaum yang diwakili oleh MKW. Susunan masyarakat hukum adat di Minangkabau sangat beragam, ada yang disebut kaum, suku dan nagari. Kaum merupakan keluarga luas berdasarkan garis keturunan dari nenek atau perempuan tertentu. Suku adalah keluarga luas berdasarkan garis keturunan nenek moyang tertentu. Nagari adalah suatu kesatuan wilayah

71

(teritorial) permukiman (atau desa) sekaligus bersifat geneologis yang terdiri dari beberapa kaum yang berasal dari empat suku (urang ampek jinih) yang ada. Masing-masing susunan masyarakat hukum adat, memiliki tanah ulayat sebagai pusoko tersendiri, yang dikelola oleh KAN, Penghulu, atau MKW yang berbeda-beda satu sama lain. Masing-masing KAN, Penghulu dan MKW memiliki kewenangan yang penuh atas pusoko dan tidak dapat mencampuri urusan nagari, suku atau kaum lainnya. Kedua, subyek hak pemakaian adalah pihak yang secara fisik memanfaatkan tanah di atas hak primer kepemilikan komunal tersebut. Subyek hak pemakaian yaitu ganggam bauntuak dimaksud sudah memperoleh penunjukan oleh ketua adat (KAN, Penghulu atau MKW) masing-masing. Oleh karena itu, mekanisme pengaturan subyek hak dibuat lebih beragam karena akan mengikuti karakter hak yang akan diakui itu sendiri. 4. Untuk menentukan siapa subyek hak yang berkepentingan dan subyek hak pemakaian, dilakukan ajudikasi secara teliti dengan mendasarkan pada riwayat perolehan, tidak hanya berdasarkan aspek hukum (alas hak), namun juga (utamanya) berdasarkan kajian sosiologis keberadaan masyarakat dan wujud fisik pemanfaatan tanah. Terhadap hak kepemilikan (HM) primer atas tanah oleh komunal/komunitas, dapat saja diterbitkan hak atas tanah skunder seperti HGU, HGB, HP dengan subyek perorangan, kelompok atau badan hukum di atas hak atas tanah (HM atau HPl). Terhadap bekas tanah ulayat (nagari atau suku atau kaum), yang sudah diberikan atau dilepaskan kepada perorangan, kelompok atau badan hukum sesungguhnya tidak lagi sebagai hak ulayat yang mempunyai dimensi publik, namun sudah menjadi hak individu berdimensi perdata saja.

Masalah tanah ulayat dan masyarakat hukum adat menurut Boedi Harsono (1994, 162) mempunyai hubungan yang beraspek keperdataan dan beraspek publik yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan beraspek hukum perdata yaitu adanya hak kepunyaan bersama atas tanah ulayat (nagari, rajo, suku, atau kaum) yang ada di wilayah hukum adat Minangkabau, sedangkan dalam aspek hukum publik berupa kewenangan untuk mengelola, mengatur

72 penguasaan, pemeliharaan, dan peruntukkan penggunaan tanah oleh masing- masing tingkatan struktur adat yaitu KAN, Penghulu, dan MKW. Berkenaan dengan pemanfaatan/pemakaian tanah ulayat, masing-masing otoritas nagari (KAN dalam wilayah dareh atau Rajo dalam wilayah rantau), Penghulu atau MKW, mengaktualisasikan kewenangan publiknya dengan beragam pola yaitu: 1. Kesadaran umum berbentuk nilai, yang dapat dijadikan norma atau pedoman ke dalam atau ke luar, guna melaksanakan apa yang menjadi hak dan kewajiban oleh pemakai tanah ulayat. Perwujudan ke dalam merupakan pemanfaatan tanah ditujukan kepada pemenuhan kebutuhan seluruh anggota komunitas, dengan kemungkinan bagi setiap anggota memakai sebagian tanah kepunyaan komunal untuk digarap guna memenuhi keperluan hidup pribadi dan komunitas. Pengakuan hak pemakaian (ganggam bauntuak) anggota atas tanah ulayat, hanya berlaku selama tanah digarap, yang pelaksanaannya harus sesuai dengan hak ulayat. Jika hak menggarap itu tidak dimanfaatkan dengan baik, maka hak itu lenyap kembali ke tangan komunal. Sedangkan perwujudan ke luar, yaitu terhadap orang asing atau orang luar masyarakat adat (luar komunitas: nagari, suku, atau paruik), tidak dapat memanfaatkan tanah ulayat milik komunal, kecuali seijin masyarakat atau persekutuan (melalui KAN/Rajo, Penghulu atau MKW) dan wajib juga memenuhi syarat-syarat yaitu adat diisi limbago dituang. Dengan ijin dimaksud, orang asing atau orang luar dimungkinkan membuka tanah untuk perladangan atau perkebunan. Ijin tersebut hanya untuk mengambil manfaat dari tanah dan tidak untuk memiliki tanah, karena orang asing atau orang luar komunitas pada prinsipnya tidak dibenarkan ikut memiliki tanah di dalam wilayah persekutuan tersebut. Akibat hukum dari pengakuan atas keberadaan masyarakat hukum adat dengan hak-hak atas tanah serta kekuasaan mengatur tersebut adalah cara pandang egosentris dengan lokalita sempit. Cara pandang egosentris yang lokal dimaksud perlu diubah menjadi terbuka untuk menerima konsep negara nasional dengan hukum pertanahan nasional, yaitu setiap WNI berhak memiliki tanah termasuk tanah dalam wilayah masyarakat hukum adat

73

Minangkabau. Sebaliknya, warga masyarakat adat setempat, berhak memiliki tanah dimanapun seantero wilayah NKRI. Hak kepemilikan atas tanah ini, merupakan akibat hukum yang wajar dalam sebuah wilayah NKRI. 2. Dalam upaya mewujudkan keberhasilan tersebut di atas, otoritas nagari (KAN atau Rajo), Penghulu atau MKW melengkapi fungsi publiknya dengan menyelenggarakan fungsi politis berupa pemaksaan (hukuman/sanksi) kepada yang melanggar seperti pemcabutan hak garap. 3. Menetapkan peruntukan tanah dalam berbagai kepentingan kolektif seperti tanah untuk persawahan, perladangan, makam pakuburan, hutan cadangan dan sebagainya. Sedangkan aspek keperdataan tanah ulayat sesungguhnya merupakan kepunyaan komunitas masing-masing secara bersama (basamo/komunal) yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Kepunyaan oleh komunitas dimaksud dapat diklasifikasikan yaitu, kepemilikan komunal yang bersifat persekutuan hukum yaitu tanah ulayat nagari atau ulayat rajo. Terhadap tanah ulayat nagari atau ulayat rajo dimaksud, dapat digunakan dan dimanfaatkan sebagian oleh seluruh anggota persekutuan hukum (nagari) yang bersangkutan. Kepemilikan komunal tersebut, berfungsi untuk memperkuat kekuasaan atau kewenangan KAN atau Rajo (otoritas nagari), karena diasumsikan KAN berkemampuan lebih untuk menjamin pelaksanaan beragam kewajiban yang mengikat sesuai dengan beragam tujuan kolektif nagari yang telah disepakati bersama. Anggota komunitas nagari secara individu dapat memanfaatkan tanah ulayat nagari atau ulayat rajo baik sementara atau turun temurun hanya memiliki hak menggunakan (ganggam bauntuak), yaitu mengerjakan dan memungut hasil atas tanah kepunyaan persekutuan hukum. Pola ini semacam hak (hak pakai oleh individu) di atas hak (kepunyaan atau milik komunal), mengakibatkan keterikatan anggota persekutuan menjadi kuat, karena kebutuhan akan tanah sebagai sumber nafkah tergantung kepada persekutuan nagari, dengan larangan memindahtangankan hak itu kepada orang luar nagari. Hanya saja tanah-tanah ulayat dengan kepemilikan oleh komunal suatu nagari atau rajo, terkesan masih ada namun letak dan batas-batasnya sulit ditemukan di lapangan, baik pada wilayah darek maupun wilayah rantau. Hal

74 tersebut, diduga karena wilayah (ulayat) nagari atau ulayat rajo sesungguhnya merupakan gabungan kepemilikan oleh masing-masing suku dalam nagari. Seolah-olah ulayat nagari merupakan wilayah sisa dari tanah ulayat yang diklaim oleh suku-suku yang ada di kanagarian yang bersangkutan. Selain itu, terhadap ulayat nagari dapat diberikan kepada anggota/masyarakat nagari atau orang luar nagari secara individu. Menurut Dito Syaferli, Kepala Seksi Hubungan Hukum Pertanahan pada Kantor Pertanahan Kota Padang (wawancara tanggal 17 Maret 2020) tanah ulayat nagari memiliki lembaga yaitu KAN yang mempunyai wewenang untuk memberikan penggunaan tanah ulayat nagari kepada perorangan sesuai dengan istilah Cancang Balatih. Status hak dari tanah ulayat yang telah diberikan kepada perorangan tersebut menjadi tanah negara dan dapat disertipikatkan melalui pemberian hak. Menurut Ketua KAN (wawancara tanggal 20 Maret 2020) pada Nagari Minangkabau, Kabupaten Tanah Datar, tanah ulayat nagari dapat diperuntukan kepada siapapun yang berada dalam nagari tersebut dengan mengisi adat dan selanjutnya akan diberikan Surat Keputusan Kerapatan Adat Nagari (SK KAN). SK KAN ini berisikan keterangan subjek dan objek bidang tanah yang diberikan berikut kewenanganya, dapat sebatas peruntukan pribadi atau dapat diwariskan. Hal tersebut diputuskan berdasarkan musyawarah para ninik mamak dalam anggota KAN. Format kewenangan yang telah ada pada SK KAN ini antara lain: 1) peruntukan pribadi tidak boleh diperjual belikan; 2) Peruntukan pribadi, boleh diperjual belikan; dan 3) peruntukan pribadi beserta keturunannya. Walaupun menurut adat tanah ulayat nagari atau rajo tidak dapat dipindahtangankan kepada orang luar persekutuan nagari, namun sebagian tanah ulayat dimaksud dalam realita lapangan telah digadai seumur hidup (semacam “jual beli” lihat Lampiran 7.a dan b) dengan berkedok pada istilah gadai sampai gagak hitam dan gadai sampai aiek mangalie, atau telah dilepaskan untuk kepentingan badan hukum, perorangan serta investor. Hendy Esa Putra (dalam Septriyadi Nugraha 2019, 38-39), pernah melakukan pengamatan dan menemukan adanya suatu fenomena bahwa 75% tanah ulayat kaum diajukan pembuatan sertipikatnya karena kaum telah memiliki rencana untuk menjual, baik secara utuh maupun beberapa bagian. Senada dengan fenomena tersebut,

75

Widia Eka Putri (2015) menemukan adanya perubahan penguasaan bersama tanah ulayat menjadi penguasaan individu di Minangkabau serta Zamzailul Adra (2005) mengatakan kegiatan pensertipikatan tanah akan menyebabkan tanah ulayat berubah sifatnya menjadi privat. Melihat fenomena tersebut Dito Syaferli (dalam Septriyadi Nugraha 2019, 39), prihatin terhadap laju peralihan tanah ulayat dan berharap terbit suatu peraturan yang menginstruksikan adanya pertimbangan khusus dalam memberikan izin peralihan atau balik nama tanah ulayat kaum sehingga tidak dengan mudahnya tanah itu terjual atau beralihtangan kepemilikan. Semacam kontrol atau pembatasan terhadap laju peralihan tanah kaum serta dapat mengembalikan kedudukan tanah ulayat menjadi seperti apa yang ada di dalam aturan adat. Dilema mempertahankan konsep kepemilikan komunal dan fakta sosial telah terjadi peralihan kepemilikan tanah ulayat tersebut saat ini sering menjadi masalah yang sulit penyelesaiannya, apakah mengunakan aturan adat atau menggunakan hukum positif. Menurut ketentuan adat, tanah ulayat yang awalnya merupakan kepunyaan (keperdataan) oleh persekutuan, lama kelamaan dimungkinkan sebagian tanah dimaksud menjadi kepemilikan (keperdataan) individu walaupun sifatnya tidak mutlak oleh anggota persekutuan. Demikian pula, upaya melanggengkan kepemilikan komunal dalam kenyataannya tidak sepenuhnya dapat dilakukan karena sebagian tanah ulayat telah dilepaskan secara sah menurut hukum positif (negara) misalnya telah menjadi HGU, HGB atau HP yang hak keperdataannya sudah menjadi hak orang luar persekutuan. Terkait dengan pelepasan hak tersebut, sampai saat ini belum ada kesepahaman yaitu di satu sisi masyarakat adat setempat menganggap bahwa oleh karena HGU, HGB atau HP berasal dari tanah ulayat, maka jika jangka waktu hak tersebut habis seharusnya kembali menjadi tanah ulayat yang kepemilikan (keperdataan) oleh masyarakat adat setempat. Diasumsikan HGU, HGB atau HP masih berada di atas tanah ulayat. Sedangkan di sisi lain, menurut cara pandang hukum positif, tanah ulayat sudah dilepaskan menjadi tanah negara, dengan hak prioritas (keperdataan) mengajukan permohonan hak ada pada pihak yang telah membayar adat diisi limbago dituang (rekognisi atau ganti kerugian) kapada masyarakat adat. Dalam hal terhadap tanah negara tersebut telah diberikan hak

76

(HGU, HGB atau HP) kepada pihak yang telah membayar rekognisi atau ganti kerugian, sehingga kepemilikan telah beralih kepada penerima hak. Dengan demikian, jika jangka waktu hak tersebut berakhir, maka tanahnya secara hukum menjadi tanah negara, bukan menjadi tanah ulayat kembali. Jika dicermati, adanya perbedaan cara pandang terhadap tanah ulayat yang telah dilepaskan kepada pihak luar persekutuan hukum ini, bersumber dari dualisme sistem hukum tanah yaitu hukum tanah nasional yang positif (utamanya UUPA) dan hukum tanah adat. Dalam Penjelasan II (1) UUPA yang menyatakan bahwa: “….. hubungan bangsa Idonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah negara ….”. Berdasarkan hak bangsa ini, bersumber hak-hak penguasaan atas tanah perseorangan atau badan hukum, baik primer atau sekunder. Dengan pernyataan hak ulayat diangkat pada tingkatan yang paling atas mengenai seluruh wilayah negara yaitu HMN menimbulkan pertanyaan, apakah hak ulayat telah berubah (dipersamakan) menjadi HMN?. Menurut peneliti, konsep hak ulayat hanya digunakan sebagai konsep HMN terhadap seluruh wilayah Indonesia. Hak ulayat tidak lantas menjadi HMN, tetapi tetap hak ulayat yang berada di bawah HMN, sama halnya dengan penguasaan atas tanah oleh perseorangan atau badan hukum. Masih tetap diakuinya hak ulayat masyarakat hukum adat, dapat diketahui dalam Pasal 3 UUPA, walaupun dengan persyaratan sepanjang kenyataannya masih ada. Bahkan dalam penjelasan II (angka 2) UUPA dipertegas bahwa hak bangsa itu sedikit atau banyak dibatasi oleh hak ulayat dari masyarakat hukum adat. Disamping itu, juga dapat diketahui dari pasal 56 UUPA yang menyatakan bahwa selama undang-undang mengenai hak milik belum ada, maka yang berlaku adalah ketentuan hukum adat setempat, yang menurut van Vollenhoven, hukum adat di Indonesia digolongkan menjadi 19 macam hukum adat. Hanya saja, pengakuan hukum adat masyarakat di Indonesia ternyata tidak konsisten. Misalnya terhadap tanah ulayat di Bali yang dikenal dengan istilah prabumian, yaitu hak atas druwe desa telah dikonversi menjadi hak milik berdasarkan ketentuan Pasal II ayat (1) Bagian Kedua, Ketentuan-Ketentuan

77

Konversi dari UUPA karena druwe desa tersebut memberi wewenang atau mirip dengan hak milik. Namun pendaftaran konversi hak atas tanah dimaksud baru dapat dilakukan setelah ditunjuknya Desa Pakraman sebagai subyek hak milik atas tanah berdasarkan Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 276/KEP-19.2/X/2017 (Guntur dkk. 2018). Dalam hal ini kepemilikan (keperdataan) tanah ulayat (yang telah dikonversi menjadi hak milik) tetap oleh Desa Pakraman sebagai lembaga persekutuan hukum adat di Bali. Sedangkan krama sebagai anggota persekutuan hukum, yang menguasai secara fisik tanah ayahan desa atau pekarangan desa guna mengerjakan dan memungut hasil atau sebagai tempat tinggalnya, diusulkan untuk dapat diberikan hak sekunder (HP atau HGB) di atas tanah Hak Milik Desa Pakraman. Artinya, konsep hak ulayat (prabumian) diakui dan ditegaskan sehingga kepemilikan (keperdataan) dan kewenangan publiknya tetap ada pada lembaga Desa Pakraman, sedangkan anggota (krama desa) komunitas tetap dapat menggunakan tanah dimaksud secara turun temurun, selama memenuhi persyaratan dan tidak ada pelanggaran aturan adatnya. Berbeda dengan pengakuan tanah ulayat (prabumian) di Bali tersebut, terhadap tanah ulayat yaitu ganggam bauntuik di Minangkabau sesungguhnya telah dikonversi menjadi hak pakai (HP) berdasarkan ketentuan Pasal VI Bagian Kedua, Ketentuan-Ketentuan Konversi dari UUPA karena tanah dimaksud dianggap memberi wewenang atau mirip dengan hak pakai. Hal tersebut dipertegas oleh Datuk Arsal (wawancara tanggal 21 Maret 2020), yang menyatakan bahwa mamak kepala suku dapat memberikan penggunaan dan pemanfaatan, bukan kepemilikan kepada anggota suku dengan istilah Ganggam Bauntuik. Namun realitas lapangan terhadap tanah-tanah ganggam bauntuik dimaksud didaftarkan konversinya menjadi hak milik kepada subyek individu. Menurut peneliti, konversi ganggam bauntuik menjadi HP sebagaimana ketentuan UUPA dilihat dari status tanahnya sesungguhnya sudah tepat, karena sifatnya hanya menggunakan/memakai tanah saja, bukan memiliki. Konversi menjadi HP dilakukan terhadap subyek penggarap/pemakai. Namun yang belum jelas (multi tafsir), sehingga tidak dipatuhi untuk melakukan konversi menjadi HP karena subyek mempunyai HP di atas tanah negara. Artinya, hak ulayat tidak

78 diakui, langsung berubah menjadi tanah negara, sehingga menjadi HP di atas tanah negara. Dengan mengacu pada konversi hak ulayat (prabumian) di Bali, menurut peneliti terhadap hak ulayat di Minangkabau dikonversi menjadi hak milik dengan subyek haknya oleh persekutuan hukum masing-masing, sedangkan terhadap penggarap (anggota komunitas) diberikan HP di atas hak milik lembaga persekutuan masing-masing. Hal tersebut dilakukan, karena sesungguhnya konversi bermakna merubah atau menyesuaikan status haknya dari status hak lama menjadi status hak baru sebagaimana ketentuan dalam Pasal 16 UUPA. Konversi tidak menghapuskan hak lama, serta tidak mengakibatkan berubahnya hubungan keperdataan maupun kewenangan publik. Dalam masyarakat adat Minangkabau, hubungan antara masyarakat adat dengan tanah ulayatnya bersifat relegi-magis- kosmis yaitu menonjolkan penguasaan kolektif, tetap dapat dilestarikan dan diakui oleh negara melalui pendaftaran tanahnya yang sesungguhnya sudah dikonversi saat berlakunya UUPA pada tanggal 24 September 1960. Hubungan erat antara masyarakat dengan tanah ulayatnya yang beraspek keperdataan dan aspek publik dapat tetap dipertahankan dan dilestarikan. Kewenangan yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat (nagari, suku atau kaum) yang beraspek perdata yaitu dengan adanya hak kepunyaan dan hak manfaat atas tanah serta aspek publik dengan adanya kewenangan mengatur atas bidang-bidang tanah tertentu yang ada di wilayah (ulayat) nagari oleh KAN, ulayat suku oleh Penghulu atau ulayat kaum oleh MKW.

79

BAB VI PENUTUP

A. KESIMPULAN Berdasarkan bahasan pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu: 1. Beberapa karakteristik penguasaan dan pemilikan tanah ulayat antara lain: a. Ulayat merupakan wilayah penguasaan (yurisdiksi) masyarakat hukum adat sebagai persekutuan nagari, suku atau kaum, yang didalamnya termasuk tanah (pusoko). Tanah ulayat merupakan hubungan hukum antara tanah sebagai obyek dengan subyek yaitu masyarakat hukum adat sebagai persekutuan merupakan subyek kepemilikan komunal dan anggota (individu) pendukung persekutuan merupakan subyek pemakaian tanah ulayat. b. Tanah ulayat sebagai pusoko adalah tambang taruko leluhur merupakan amanah mamak kepada generasi penerus dalam sistem matrilineal, dijaga kelestariannya melalui pengelolaan oleh pemimpin adat (KAN, Penghulu atau MKW). c. Terdapat kecenderungan tanah-tanah ulayat semakin terbagi-bagi dan terindividualisasi karena: a) Adanya proses pemisahan dan pembentukan suku baru serta pemecahan paruik menjadi jurai-jurai baru, b) dimunkinkannya peralihan (pewarisan) melalui kekerabatan Batali Budi dan Batali Ameh, c) dapat digadai (dalam jangka waktu tidak terhingga) dengan persyaratan tertentu, e) kecenderungn pewarisan menggunakan hukum waris nasab, serta f) digunakannya lembaga pelepasan hak untuk memenuhi tanah-tanah bagi kepentingan umum, badan hukum atau perorangan. d. Budaya kelarasan dapat mempengaruhi perilaku masyarakat hukum adat dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan harta pusoko sistem aristrokat atau sistem demokarasi. e. Terdapat empat jenis tanah ulayat yaitu: ulayat nagari, ulayat rajo, ulayat suku, dan ulayat kaum. Tanah ulayat nagari, ulayat rajo atau ulayat suku

80

merupakan wilayah-wilayah di luar (belum diolah) penggarapan oleh warga berkedudukan sebagai tanah cadangan, yang penguasaan dan pengaturannya dilakukan oleh pemimpin adat (KAN, Penghulu, MKW). Dalam realita di lapangan, ulayat rajo dipahami sebagai milik/ kepunyaan dari keluarga rajo. 2. Tanah ulayat hakekatnya diakui, namun dalam pelaksanaan pendaftaranya belum konsisten, yaitu: a. Ada kecenderungan pelaksanaan pensertipikatan tanah ulayat: Nagari, Rajo, atau Suku dilakukan melalui proses pemberian hak sehingga kepemilikannya beralih menjadi milik individu. b. Pelaksanaan pensertipikatan tanah ulayat kaum dilakukan melalui proses konversi, namun sebagian sekaligus terjadi peralihan kepemilikan menjadi hak milik individu. c. Menurut hukum adat, dalam kondisi tertentu tanah ulayat dapat dialihkan penggunaan dan pemanfaatan, namun dengan pensertipikatan mengakibatkan beralihnya kepemilikan komunal menjadi kepemilikan individu. d. Dengan bertambahnya kebutuhan masyarakat hukum adat terhadap tanah, maka bagian-bagian tertentu tanah ulayat beralih menjadi tanah milik individu karena: 1) berlakunya Domein Verklaring, 2) telah dibagi- bagi kepada suku, atau 3) diberikan kepada anggota masyarakat. 3. Permasalahan terkait bottle nack pendaftaran tanah ulayat a. Konsep tanah ulayat hanya digunakan sebagai konsep HMN dan tanah ulayat tidak lantas menjadi HMN tetapi berada di bawah HMN, sehingga dalam pendaftaran tanahnya harus melalui proses konversi hak lama atas tanah. b. Adanya perbedaan penafsiran aturan dan kurangnya petunjuk teknis pendaftaran tanah ulayat membuat keniscayaan dalam mewujudkan kepastian hukum kepemilikan seluruh bidang tanah sebagaimana amanat Pasal 19 UUPA. Jika hal ini terus dilanjutkan kesalahan- kesalahan dari produk (sertipikat) yang dihasilkan akan merambat dan

81

masyarakat hukum adat tidak akan pernah merasa diperhatikan oleh Negara. c. Adanya peluang pendaftaran tanah ulayat dengan kondisi-kondisi yang harus dipenuhi antara lain: 1) pencermatan dalam penentuan subjek hak yang berkepentingan serta subyek hak sebagai pemakai atas tanah ulayat; 2) pencermatan batas-batas objek tanah ulayat yang tidak digarap secara intensif, karena menggunakan batas alam yang belum ada kesepakatan; dan 3) dimensi hubungan hukum antara obyek dengan subyek sebagai pemilik dan subyek sebagai pemakai, serta penegasan pembuatan hukum pelepasan hak atau peralihan hak atas tanah.

B. REKOMENDASI 1. Otoritas pertanahan perlu membuat kebijakan sebagai pelaksanaan ketentuan konversi UUPA yang menegaskan antara lain: a. dalam ulayat terdapat tanah ulayat yang merupakan hak atas tanah lama; b. terhadap hak atas tanah primer (hak milik) sebagian terdapat (dibebani) dengan hak atas tanah sekunder (HGU, HGB, HP); c. subyek hak atas tanah yaitu subyek sebagai pemilik yaitu masyarakat hukum adat secara komunal (basamo) yang tidak terpisahkan dan subyek yaitu individu (perorangan, kelompok atau badan hukum) sebagai pemakai dan pemanfaat tanah di atas tanah milik komunal; d. mengacu pada teknis pencatatan, dimungkinkan nama-nama pengelola tanah ulayat yaitu KAN, Penghulu (MKK) atau MKW dicatatkan dalam daftar-daftar umum pendaftaran, walaupun nama dimaksud tidak sebagai subyek (pemegang) hak; e. Pendaftaran konversi hak milik komunal (hak primer) dapat sekaligus penerbitan hak atas tanah sekunder (HGU/HGB/HP) di atas hak milik komunal tanpa menggunakan akta PPAT, dengan mengadopsi ketentuan Pasal 37 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997; f. Terhadap bekas tanah ulayat (nagari atau suku atau kaum), yang sudah diberikan atau dilepaskan kepada perorangan, kelompok atau badan

82

hukum, tidak lagi sebagai hak ulayat yang mempunyai dimensi publik, namun sudah menjadi hak individu berdimensi perdata. 2. Pembuatan petunjuk teknis dan pelaksaan pendaftaran tanah secara khusus untuk tanah ulayat di Sumatera Barat sekaligus konsistensi pemaknaan penggunaan dokumen-dokumen pendukung seperti, ranji, SK KAN dan Surat Pelepasan Tanah Ulayat Rajo sehingga terwujudnya tertib administrasi Pertanahan. 3. Untuk menentukan jenis hubungan hukum terhadap tanah ulayat, perlu dilakukan ajudikasi secara teliti dengan mendasarkan pada riwayat perolehan dari aspek hukum (alas hak) pertanahan, juga (utamanya) berdasarkan kajian sosiologis keberadaan masyarakat dan wujud fisik pemanfaatan tanah. 4. Perlu dikaji kembali Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2008 terkait dengan subjek hak dalam pendaftaran hak ulayat.

83

DAFTAR PUSTAKA

Adra, Z 2005, ‘Pengaruh Implementasi Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Terhadap Fragmentasi Tanah Ulayat’, Tesis pada Program Pasca Sarjana, Undip, Semarang; Astutik, Y 2019, ‘62 Juta Bidang Tanah di RI Telah Bersertifikat’, CNBC Indonesia, https://www.cnbcindonesia.com/news/20191107193303-4-113591/62-juta- bidang-tanah-di-ri-telah-bersertifikat, diakses 28 Februari 2020. Fatmi, S, G 2018, ‘Permohonan Tanah Ulayat di Minangkabau Menjadi Tanah Hak Milik’, Jurnal Lentera Hukum, vol. 5, no. 3, University of Jember; Harsono, B 1987, Hukum agraria indonesia. sejarah pembentukan undang-undang pokok agraria, isi dan pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta. Henricus, H 2010, ‘Penyertifikatan Tanah: Baru 49 % Tanah di Indonesia yang Bersertifikat’, (http://nasional.kontan.co.id/v2/read/1263438725/28194/ Baru-49-Tanah-di-Indonesia-yang-Bersertifikat, diakses 14 Oktober 2011. Hermayulis 1999, ‘Penerapan Hukum Pertanahan dan Pengaruhnya Terhadap Hubungan Kekerabatan pada Sistem Kekerabatan Matrilinel Minangkabau’, Disertasi pada Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia. Lubis, M, Y & Lubis, A, R 2008, Hukum pendaftaran tanah, Bandar Maju, Bandung. Mertokusumo, S 1988, Mengenal hukum: suatu pengantar, Liberty, Yogyakarta. Putri, W, E 2015, ‘Perubahan Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Ulayat Kaum di Minangkabau’, Skripsi Pada Program Sarjana, Universitas Andalas. Ramadhan, I 2018, ‘Implementasi Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 2017 tentang PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap) di Kota Padang, Skripsi, Universitas Andalas. Soesangobeng, H 2000, ‘Pendaftaran Tanah Ulayat Di Sumatera Barat Dengan Contoh Pilot Proyek Pendaftaran Tanah di Desa Tigo Jangko Kecamatan Lintau Buo Kabupaten Tanah Datar, Tanah Ulayat Di Sumatera Barat’, Himpunan Makalah dan Rumusan Workshop, Kantor Wilayah BPN Propinsi Sumatera Barat. Septriyadi Nugraha, 2019, Strategi pendaftaran tanah ulayat kaum dalam pendaftaran tanah sistematis lengkap (Studi di Kelurahan Limau Manis, Kecamatan Pauh, Kota Padang), Skripsi, STPN, Yogyakarta; Thalib, S 1985, Hubungan tanah adat dengan hukum agraria di Minangkabau, Bina Aksara, Jakarta. Widia Eka Putri 2015, Perubahan penguasaan dan penggunaan tanah ulayat kaum di Minangkabau, Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas Padang; Zakaria, R, Y 2016, ‘Strategi Pengakuan Dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat (Hukum) Adat: Sebuah Pendekatan Sosio-Antropologis’, Bhumi : Jurnal Agraria dan Pertanahan, vol. 2, no. 2, hlm. 134-150, DOI: https://doi.org/10.31292/ jb.v2i2.66 Zamzamilul Adra 2005, Pengaruh implementasi pasal 19 undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria terhadap fragmentasi tanah ulayat, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan, Undip, Semarang.

84