MAKNA BUDAYA TRADISIONAL BELU BAGI MULTIKULTURALISME: TINJAUAN FILSAFAT1

MEANING OF BELU TRADITIONAL CULTURE FOR MULTICULTURALISM: PHILOSOPHY PERSPECTIVE

Endang Retnowati Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan – LIPI [email protected]

Abstrak Masyarakat Belu merupakan salah satu suku bangsa di yang masih melestarikan kebudayaan tradisional mereka. Walaupun sudah ada peraturan daerah untuk meneguhkan pelestarian budaya tradisional di wilayah Belu, tetapi saat ini kebudayaan tradisional Belu dihadapkan pada tantangan budaya global. Apabila masyarakat Belu masih mempraktikkan budaya tradisional di tengah perkembangan budaya global, apa makna budaya tradisional Belu di tengah budaya global bagi multikulturalisme? Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan pemahaman mengenai makna budaya tradisional Belu bagi multikulturalisme di Indonesia dari perspektif filsafat. Budaya tradisional Belu merupakan warisan nenek moyang beberapa suku bangsa yang hidup di Belu dan luar Belu seperti Leste, Kalimantan, dan pulau-pulau lain di Indonesia. Hingga kini mereka memiliki kebebasan untuk memelihara dan mengembangkan nilai-nilai di dalamnya di atas dasar hukum. Sejak Indonesia merdeka para pendahulu kita melindungi budaya tradisional melalui konstitusi, kemudian negara turut melindungi melalui beberapa peraturan, yaitu melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri hingga bentuk Peraturan Daerah Kabupaten Belu.Budaya tradisional Belu merupakan salah satu budaya yang memiliki andil bagi predikat multikulturalisme di Indonesia.Pada perkembangannya kini sebenarnya tantangan terhadap budaya tradisional datang dari budaya global yang membangun nilai hedonis-konsumeris pada generasi muda. Budaya global banyak menawarkan kemudahan-kemudahan. Dengan demikian apa makna budaya tradisional Belu di tengah budaya global bagi multikulturalisme? Artikel ini disusun berdasarkan data pustaka dan lapangan. Data kemudian ditata, dideskripsikan, dipahami, dan direfleksikan sesuai dengan kerangka pemikiran.Atas dasar itu semua ditemukan bahwa makna budaya tradisional Belu adalah sebagai jalan merawat multikulturalisme di tengah kehidupan global. Nilai-nilai di dalamnya mampu memelihara persatuan dan kesatuan di antara mereka.Pelestarian budaya tradisional, dalam hal ini pelestarian nilai-nilai tradisional yang memiliki kekuatan sebagai alat integrasi bangsa sama artinya dengan merawat multikulturalisme di tengah kehidupan global. Di sini peran setiap anggota masyarakat sebagai homo religiosus sangat penting. Karena itu pendidikan tentang budaya tradisional atau multikulturalisme perlu diberikan kepada generasi muda. Kata kunci: budaya tradisional, eksistensi, multikulturalisme, budaya global

Abstract The purpose of this study is to express an understanding of meaning of Belu's traditional cultural for multiculturalism in Indonesia from a philosophical perspective. Belu traditional culture is the heritage of some ancestors who live in Belu and outside Belu such as Timor Leste, Kalimantan, and other islands in Indonesia. Until now they have the freedom to maintain and develop their values on the basis of the law. Since Indonesia's independence our Bapak Pendiri protect the traditional culture through the Constitution, then the state protects through several regulations, namely the Minister of Home Affairs Regulation to form the Regional Regulation of . The traditional culture of Belu is one of the cultures that has contributed to the predicate of multiculturalism in Indonesia. In its development is now actually a challenge to traditional culture comes from global culture that is able to build a hedonic-consumtive values in the younger generation. Global culture offers many conveniences. What is the meaning of Belu's traditional culture in the middle of a global culture for multiculturalism? This article is based on library and field data. The data is then organized, described, understood, reflected in accordance with the frame of thought. On the basis of it all found that the meaning of Belu traditional culture is a way of caring for multiculturalism in the midst of global life. Values in it are able to maintain unity and unity among them. Preservation of traditional culture, in this case the preservation of

1Naskah ini merupakan pengembangan dari serpihan tulisan di buku laporan penelitian tentang “Peran Bahasa dan Budaya Dalam Konteks Keutuhan NKRI: Konstruksi Identitas dan Nasionalisme di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur” tahun 2016

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 2 Tahun 2017 175 traditional values that have the power as a tool of national integration is tantamount to caring for multiculturalism in the middle of global life.Here the role of each member of society as homo religiosus is very important. Therefore, education on traditional culture or multiculturalism should be given to the younger generation. Keyword: traditional culture, existensi, multiculturalism, global culture

Pendahuluan Budaya Masyarakat; dan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan Indonesia yang dihuni oleh berbagai dan Pariwisata Nomor 42 Tahun 2009 tentang suku bangsa memiliki satu bagian wilayah yang Pedoman Pelestarian Kebudayaan. masih melestarikan budaya tradisional, yaitu Kabupaten Belu yang beribukota di , Walaupun budaya tradisional Belu telah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kabupaten Belu mendapatkan perlindungan dari pemerintah, memiliki wilayah seluas 1284.94 km2 (mencakup bukan berarti tidak ada tantangan. Tantangan 12 kecamatan, 12 kelurahan dan 69 desa),2 dan budaya tradisional adalah budaya global yang berpenduduk 197.002 jiwa (Kabupaten Belu memiliki ciri-ciri yang cenderung konsumtif, Dalam Angka 2014). terasing dari dirinya sendiri, dan hedonis- egosentrik (Franz Magnis Suseno, 2008: 16-22). Belu dihuni oleh banyak suku bangsa, Hal itu berbeda dengan budaya tradisional yang empat di antaranya dikenal sebagai penduduk unsur-unsurnya berdasarkan pada pandangan yang sudah turun-temurun hidup di Belu yaitu dunia yang hampir selalu ditentukan oleh agama suku bangsa Dawan, Tetun, Bunaq, dan Kemaq (Franz Magnis-Suseno, 1995:247), dan cenderung (Parera, 1971: 30-38). Pada masa kini mereka memiliki rasa kebersamaan yang tinggi. Oleh tersebar di berbagai wilayah Pulau Timor, karena itu, apabila dua budaya tersebut dihadap- termasuk wilayah Timor Leste, dan pulau-pulau hadapkan maka akan terjadi ketegangan di antara di luar pulau Timor, seperti pulau Kalimantan, keduanya. pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya di wilayah Indonesia. Walaupun mereka hidup berpencar, Pengaruh budaya global memiliki potensi tetapi hingga kini mereka masih merawat untuk memasuki kesadaran mereka melalui kekerabatan dan mempraktikkan budaya tradisional media massa, seperti televisi, surat kabar, dan sebagaimana yang diwariskan oleh nenek berbagai fasilitas hidup seperti handphone dan moyang mereka. mall. Masyarakat Belu memiliki kemungkinan untuk mengakses budaya global dan memperoleh Kesadaran tentang pentingnya nilai-nilai informasi melalui alat komunikasi yang sudah tradisional mendorong pemerintah daerah melahirkan tersedia seperti internet. Banyak anak muda di peraturan untuk meneguhkan pelestarian budaya Belu yang memiliki handphone, karena itu tradisional di wilayah Belu, yaitu Peraturan hampir setiap anak memiliki kesempatan untuk Daerah Kabupaten Belu Nomor 5 Tahun 2009 melihat kebudayaan asing baik melalui televisi tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Pengembangan maupun handphone yang memiliki banyak aplikasi. Adat Istiadat dan Lembaga Adat. Peraturan itu Tanpa disadari, pengaruh yang memasuki kesadaran mengacu pada beberapa peraturan yang lebih masyarakat kemudian akan membentuk nilai tinggi, yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri hedonis-konsumis, yang semakin lama akan Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pemberdayaan dan menjadi ancaman bagi nilai-nilai tradisional yang Pelestarian serta Pengembangan Adat Istiadat, telah lama dibangun dan dilestarikan oleh Kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan Lembaga generasi tua. Melihat fakta tersebut, kemudian Adat di Daerah; Peraturan Menteri Dalam muncul satu pertanyaan. Apabila masyarakat Negeri Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pedoman Belu masih mempraktikkan budaya tradisional di Fasilitas Organisasi Kemasyarakatan Bidang tengah perkembangan budaya global, apa makna Kebudayaan, Keraton, dan Lembaga Adat Dalam budaya tradisional Belu di tengah budaya global Pelestarian dan Pengembangan Budaya Daerah; bagi multikulturalisme? Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52

Tahun 2007 tentang Pedoman Pelestarian dan Homo Religius sebagai Dasar Eksistensi: Pengembangan Adat Istiadat dan Nilai Sosial Kerangka Pemikiran Menurut van Peursen (1994: 10-11), 2Sebanyak 8 kecamatan di antaranya terletak budaya merupakan manifestasi kehidupan setiap di perbatasan dengan Timor Timur

176 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 2 Tahun 2017 orang dan sekelompok orang, yaitu meliputi melalui upacara seremonial, misalnya meminta segala perbuatan manusia, seperti cara menghayati hujan atau menangkal penyakit melalui pementasan kematian, cara mengolah makanan, cara bersopan kesenian beserta ritual-ritualnya. Di samping itu, santun waktu makan, cara membuat alat-alat alam lingkungan juga memberi pengetahuan untuk berburu, tradisi (pewarisan atau penerusan kepada manusia, seperti siang malam, perubahan norma-norma, adat istiadat, harta benda), musim, dan pasang surut laut. kesenian, ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Manusia yang hidup dalam budaya mistik Istilah tradisional berkaitan dengan oleh Mircea Eliade (Mangunhardjono, 1982: 37- istilah tradisi. Menurut Kamus Besar Bahasa 38) disebuthomo religiosus yang digambarkan Indonesia (1988: 959) salah satu arti istilah sebagai tipe manusia yang hidup di alam skaral, tradisional adalah menurut tradisi (adat). Menurut alam yang penuh dengan nilai-nilai religius. Bagus (2000: 115-116) tradisi adalah adat istiadat, Manusia dapat menikmati kesakralan yang ada ritus-ritus, ajaran-ajaran moral, pandangan-pandangan, dan tampak pada alam semesta, alam materi, nilai-nilai, aturan-aturan perilaku, dan sebagainya, tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia. yang diwariskan dari generasi ke generasi. Atas Pengalaman dan penghayatan manusia pada “yang dasar itu, yang dimaksud budaya tradisional transenden” turut mempengaruhi dan menentukan adalah budaya dalam kaitannya dengan pandangan corak serta cara hidupnya. dunia, pandangan-pandangan (tentang manusia, Homo religiosus memaknai dunia secara alam dan lain-lain), adat istiadat, ritus-ritus, berbeda dari orang modern. Menurut homo ajaran moral, nilai-nilai, aturan perilaku, dan religiosus dunia adalah sebagai lingkungan alam lain-lainnya, yang hampir selalu ditentukan oleh yang dikenal, dialami, dan akrab dengan agama atau religi sebagai warisan dari generasi kehidupannya, meliputi gunung-gunung, hamparan sebelumnya. tanah sebagai lahan pertanian/perkebunan, hutan- Adapun istilah multikulturalisme terkait hutan, sungai-sungai, laut, dan tempat-tempat dengan pengakuan terhadap keberadaan budaya yang mereka anggap suci dan mereka kunjungi. yang beraneka ragam. Menurut Azra (2007: 15- Lingkungan alam atau dunia tersebut memiliki 16), multikulturalisme sudah lama hidup di keteraturan sehingga disebut kosmos. Indonesia dan keberadaannya memerlukan perawatan. Di samping dunia yang memiliki Fakta bahwa negara bangsa Indonesia terdiri dari keteraturan, dalam pandangan homo religiosus sejumlah besar kelompok etnis, bahasa daerah, ada pula dunia lain yang berupa daerah-daerah agama, budaya, dan lainnya memungkinkan yang dihuni oleh setan-setan, roh jahat, dan negara bangsa Indonesia memperoleh sebutan raksasa. Dunia itu disebut khaos. Homo religiosus masyarakat multikultur. hidup di dalam budaya tradisional di Asia, Menurut sejarah, peradaban manusia Australia, Amerika Asli, Afrika dan Eropa berlangsung seiring dengan perkembangan Kuno. Masyarakat Indonesia yang masih pemikirannya. Peradaban itu oleh C.A. van Peursen mempraktikkan budaya tradisional yang bersifat (1994: 34-109) dikategorikan menjadi tiga tahap. mitis dapat ditemui di wilayah-wilayah Nusa Salah satunya adalah tahap budaya yang Tenggara Timur, Kalimantan, Sulawesi, Jawa memiliki beberapa ciri, antara lain terdapat Barat dan wilayah-wilayah Indonesia lainnya kepercayaan bahwa manusia dan alam merupakan (Mangunhardjono, 1982: 38). satu kesatuan. Manusia beranggapan bahwa Religi3 masyarakat tradisional merupakan lingkungan alam merupakan obyek yang memiliki bekal mereka dalam bereksistensi, yaitu cara nilai sakral dan nilai profan. Alam lingkungan menunjukkan keberadaan manusia di dunia. Itu dianggap bernilai sakral karena alam menjadi mengandung arti bahwa hidup harus selalu tempat bersemayam kekuatan gaib sebagai orientasi dan proyeksi bagi pelangsungan kehidupannya. 3Menurut Driyarkara (1966: 167-168) arti Karena itu manusia memiliki ketergantungan kata religi adalah ikatan atau pengikatan diri. Kata pada kekuatan gaib untuk meraih keselamatan religi menyangkut pula mengenai gejala-gejala dalam hidup dan menghindarkan diri dari petaka. lingkungan hidup primitif. Dalam pemikiran Driyarkara Manusia merasa bahwa norma-norma yang istilah religi lebih bersifat personalistis, artinya langsung berasal dari leluhur menjadi aturan yang harus mengenai dan menunjuk pribadi manusia. Karena itu dipatuhi. Secara berkala atau dalam waktu tertentu arti religi bersifat dinamis, artinya menonjolkan eksistensi manusia mewujudkannya atau mengekspresikannya manusia, menonjolkan kemungkinan-kemungkinan untuk dikupas lebih lanjut.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 2 Tahun 2017 177 berarti, membuat dan menjalankan arti (Driyarkara, usia dini mulai belajar melalui internalisasi yang 2006: 1282-1284). dilakukan oleh keluarga, lingkungan sosial, dan lembaga masyarakat, seperti lembaga adat dan Sejak zaman Yunani Kuno, manusia sekolah. Internalisasi yang sudah dilakukan oleh dalam eksistensinya memiliki banyak sebutan keluarga atau lembaga masyarakat sejak lama untuk dirinya. Misalnya, manusia adalah hewan dan secara turun-temurun akan membentuk yang berbudi atau “animal rationale”. Filsafat struktur, yang dalam pandangan Anthony Giddens modern menyebut manusia sebagai “Geist in (1986: 25, 29 &44) disebut sebagai rules and Welt” (manusia berada di dunia, sebagai barang resources, or sets of transformation of relations, di dunia) atau “Esprit incare” (manusia bersifat organized as properties of social systems. jasmani) (Driyarkara, 1966: 91-92). Ketiga rumusan ini masih mengandung kekurangan Struktur seperti itu berada dalam pola- meskipun ada benarnya. Oleh karena itu, sebutan pola pikir yang berisi aturan-aturan dan berbagai untuk manusia harus dilihat secara lebih luas. sumber seperti pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan praktis, yang diperoleh melalui Pertama-tama kita melihat bahwa sosialisasi (Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, perkembangan manusia secara jasmani tidak 2005: 187). Pola tindakan dan praktik sosial berbeda dengan makhluk lain. Namun, menjadi wujud kesadaran praktis. Lambat laun perkembangan manusia secara rokhani berbeda kesadaran praktis membentuk struktur dan pada dengan makhluk lainnya karena manusia gilirannya struktur mengondisikan pola tindakan merupakan makhluk yang memiliki kepribadian atau praktik sosial individu/kelompok. Kondisi yang selalu berkembang seiring dengan tersebut berlangsung secara terus-menerus dan perkembangan lingkungan sekitar dan kesadarannya. selanjutnya antara struktur dan tindakan akan Perkembangan kepribadian yang stabil dapat membentuk dualitas struktur atau suatu bentuk dicapai melalui pendidikan yang tidak hanya hubungan timbal balik. disampaikan melalui kelas, tetapi juga melalui tingkah laku, ucapan-ucapan, keteladanan, yang Dalam pengertian Pierre Bourdieu struktur semua dapat berasal dari orang tua dan guru- yang terbentuk diistilahkan sebagai habitus atau guru, mulai dari tingkat taman kanak-kanak kebiasaan. Menurut Bourdieu (1995: 82-85), sampai dengan tingkat perguruan tinggi. Semua habitus merupakan produk dari kehidupan itu dapat memberi gambaran tentang manusia bersama yang berlangsung dalam sejarah. Habitus maupun cita-cita mengenai manusia (Driyarkara, menciptakan tindakan dan kegiatan yang sesuai 1966: 106-109). dengan skema (pola) yang ditimbulkan oleh sejarah. Eksistensi manusia tidak mungkin terpisah dari suasana kemasyarakatan. Suasana kemasyarakatan Internalisasi Budaya Tradisional Masyarakat tidak mungkin terpisah dari suasana religius Belu karena hubungan dengan Tuhan merupakan penentu bagi hidup manusiawi (Driyarkara, Pandangan van Peursen mengenai 1966: 116). Menurut Driyarkara (1966: 175) budaya mistik dan bentuk-bentuk yang terkait di kehidupan religi itu bersifat sosial. Dalam religi dalamnya (termasuk budaya tradisional) masih orang memandang dirinya sebagai makhluk dapat disaksikan pada budaya Belu meskipun Tuhan, bersama-sama dengan orang lain dan mereka menganut agama Kristen. Generasi tua semesta alam yang juga tergantung pada Tuhan. di Belu masih menginternalisasikan nilai-nilai budaya mereka ke dalam jiwa generasi muda Kehidupan sosial membutuhkan nilai- melalui dua cara, yaitu pembiasaan dan mimesis. nilai sebagai referensi tingkah laku manusia. Pembiasaan yang dilakukan dalam lingkungan Penerusan nilai-nilai itu dilangsungkan melalui sosial tertentu akan menentukan habitus pendidikan. Pendidikan pada anak kecil cenderung seseorang atau kelompok. Begitu pula halnya berlangsung dalam contoh atau keteladanan. Penyampaian dengan cara ini dinamakan cara mimesis (tiruan)4. Di samping itu, manusia sejak ideal.Dunia faktual merupakan wujud tiruan atau kopian yang tidak sempurna dari dunia idea.Pada masa sesudahnyamurid Plato yang bernama Aristoteles 4Istilah mimesis pertama kali digunakan oleh (dalam Ernst Cassirer 1987: 209) melengkapi pendapat seorang filsuf Yunani Kuno Plato (Peter A. Angeles gurunya dengan mengatakan bahwa meniru itu 1931) untuk menjelaskan bahwa ada hubungan antara merupakan hal yang wajar bagi manusia sejak masa obyek-obyek dalam dunia faktual dengan dunia kanak-kanaknya.Manusia belajar melalui peniruan.

178 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 2 Tahun 2017 dengan pembiasaan praktik bersosial atau pada moralitas masyarakat tradisional Belu. Itu berbudaya pada diri anak di lingkungan sosial terlihat pada cara adat, perayaan, dan ritual Belu menentukan habitus seorang anak Belu budaya yang memberi makna pada nilai-nilai atau kelompok sosial Belu. Misalnya, praktik moral. Masyarakat menghargai kehidupan bersama untuk melakukan ritual menghormati leluhur melalui praktik budaya, sebagaimana terlihat mereka yang sudah dilakukan oleh generasi tua pada praktik adat istiadat beserta ritualnya. secara turun-menurun ternyata dapat bertahan Praktik budaya menuntut masyarakat selalu dalam kehidupan masyarakat Belu. Apabila patuh pada tata cara yang berlaku dalam habitus seseorang atau kelompok telah terbentuk kehidupan bersama. Mereka sejak kecil sudah maka cara berfikir atau perilaku seseorang atau memperoleh pendidikan bagaimana mereka kelompok masyarakat Belu akan terbentuk. harus bersikap, berperilaku, maupun berpenampilan dalam segala momentum ritual adat istiadat. Banyak tradisi di Belu yang telah Salah satu contohnya adalah praktik gotong menjadi habitus dalam pengertian Bourdieu atau royong masyarakat ketika mereka melaksanakan struktur dalam pengertian Giddens. Menurut upacara kue pada bulan Oktober sebagai ungkapan Emile Durkheim (dalam Roger M. Keesing, syukur atas panen padi tahun bersangkutan dan 1981), secara teoritis suatu tradisi sangat berguna mengharap agar panen padi tahun berikutnya untuk mempertebal perasaan kolektif dan mengalami keberuntungan (Retnowati, 2016: integrasi sosial. Pemikiran itu dapat disimak 117-118). pada realitas kehidupan di Belu, yaitu banyaknya warga suku bangsa yang hidup terpencar, tetapi Praktik tradisi Belu lainnya yang masih melestarikan kebersamaan mereka hingga diterima secara turun-temurun dari nenek moyang kini (Retnowati, 2016: 104). orang Belu dan hingga kini masih dilakukan oleh masyarakat Belu pada umumnya antara lain Masyarakat Belu sangat percaya pada adalah pemberian dan pelunasan belis (mas nenekmoyang atau leluhurnya dan selalu patuh kawin). Besaran belis dalam hitungan rupiah pada norma-norma yang berasal dari leluhur. bagi orang Belu pada umumnya dirasakan sangat Misalnya, pandangan tentang hukum adat yang besar. Belis terdiri dari rupa-rupa barang yang melarang masyarakat untuk menebang pohon harus dipenuhi apabila sudah disepakati oleh tidak pada waktunya. Apabila hukum itu dilanggar, kedua belah pihak, antara lain berupa kepingan akan datang bahaya, misalnya badai atau banjir emas, perak, binatang ternak, kain, dansejumlah besar. Begitu pula apabila orang memasuki uang. Uang yang diserahkan dalam hantaran hutan adat, hal itu sama dengan menyerahkan belis disebut dengan istilah uang sirih pinang. nyawa.5 Pandangan demikian mengekspresikan Sejumlah uang sirih pinang kemudian dibagikan kepatuhan masyarakat pada norma-norma yang kepada anggota suku yang berjumlah banyak. dibangun atas dasar kepercayaan animisme dan Maksud pembagian ini adalah untuk mengenalkan mereka terima sebagai warisan dari leluhur yang anggota baru kepada komunitas Bunaq (keluarga bernilai positif. Salah satu norma yang diturunkan besar suku Bunaq). berfungsi sebagai perintah untuk memelihara lingkungan alam seperti bagaimana masyarakat Makna dari itu semua adalah bergulirnya bersikap pada hutan adat. Masyarakat Belu masih nilai kebersamaan atau gotong royong di dalam memiliki hutan adat yang bermanfaat bagi kehidupan suatu suku bangsa. Di samping itu, pemeliharaan ekosistem daerah Belu. tradisi membawa sirih pinang ketika bertamu merupakan ungkapan rasa hormat hingga kini Cara lain untuk menginternalisasikan masih dapat dijumpai di Atambua (Retnowati, nilai-nilai tradisional adalah melalui mimesis 2016: 107). Makna lain yang dapat dipahami (peniruan). Sebagaimana dikemukakan oleh adalah kesadaran dan kesediaan masyarakat Belu Aristoteles (dalam Ernst Cassirer, 1987: 209), untuk memelihara nilai-nilai tradisional demi manusia belajar dari mimesis dan mimesis itu keutuhan kekerabatan dan kebersamaan mereka. merupakan hal yang wajar bagi manusia sejak masa kanak-kanaknya. Atas dasar itu, internalisasi Gotong royong dan kebersamaan merupakan budaya tradisional dapat dilakukan melalui dua hal yang selalu dapat ditemui dalam mimesis. Tradisi tersebut masih melekat erat masyarakat tradisional. Pustaka antropologi menunjukkan bahwa gotong royong banyak dipraktikkan oleh masyarakat di pedalaman Indonesia. Menurut 5Wawancara dengan bapak Ludokolo di Niels Mulder (1999), arti gotong royong adalah Belu tahun 2015

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 2 Tahun 2017 179 usaha saling meringankan beban. Kebersamaan Tuhan. Sebagaimana dikemukakan oleh Driyarkara yang meliputi hidup bersama, bekerja bersama, (Sudiarja, dkk.,2006: 455), kesadaran sebagai dan berusaha bersama dibutuhkan oleh setiap mahkluk individu dan sosial mendorong manusia orang agar setiap orang bisa hidup dengan untuk saling menghargai orang lain. Manusia ringan. Pada dasarnya dengan bekerja sama sebagai makhluk individu tidak saja bekerja warga masyarakat bisa merasakan makna untuk mengaktualisasikan diri, bekerja untuk kebersamaan. Di sana pula ada aspek saling mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga, tetapi mengasihi antara sesama. Seringkali mereka juga memiliki kemampuan untuk merasakan mempraktikkan kerjasama untuk kepentingan dirinya secara naluriah sebagai makhluk sosial, bersama atas dasar moralitas dan motif yaitu dengan menyadari bahwa mereka saling keagamaan. berhadapan dengan orang lain dan hidup bersama dengan orang lain. Orang Belu Tradisi pembayaran belis telah menghidupkan mengaktualisasikan dirinya dengan bekerja di sikap gotong royong yang telah lama dilakukan kebun, di pasar (pedagang), menenun, di kantor, oleh generasi tua. Gotong royong yang sudah dan lain sebagainya. Di samping itu, mereka berlangsung sejak lama dalam tradisi tidak melupakan kegiatannya yang bersifat pembayaran belis merupakan nilai yang sangat religius maupun keagamaan secara rutin di tinggi bagi kekerabatan dan persatuan semua rumah adat atau di lingkungan tempat tinggal suku bangsa di Belu. Saling meringankan beban mereka. dilakukan dengan cara menyumbang secara bergantian atau timbal balik (resiprositas) bak Dalam rangka perawatan perannya arisan keluarga dalam jangka waktu tidak sebagai makhluk sosial, pelestarian budaya terbatas (Retnowati, 2016: 106-109). Dalam tradisional bukan hanya dilakukan oleh masyarakat skala luas, tradisi gotong royong dapat seperti pelanggengan tradisi kekeluargaan, membangun solidaritas bangsa. Pembangunan kekerabatan antarsuku.Namun, pemerintah Belu solidaritas itu pada masa budaya global sangat juga mendukungnya dengan dasar hukum (Perda membutuhkan perhatian agar kebersamaan atau yang mengacu pada Permen) dalam bentuk persatuan bangsa dapat selalu dibangun. pelestarian kekayaan kolektif seperti sejarah, tradisi dan seni (seperti hasil kerajinan tenun Tradisi gotong royong lainnya yang maupun pembangunan Lembaga Adat).6 Menurut masih dimaknai oleh masyarakat Belu adalah salah satu pejabat pemerintah Belu, pembangunan gotong royong membangun rumah adat. Mereka Lembaga Adat sangat diperlukan di wilayah secara gotong royong mengumpulkan bahan Belu agar pola perilaku masyarakat menuju bangunan dan kebutuhan lainnya seperti bahan masyarakat yang menjunjung kesatuan, kekeluargaan, konsumsi yang dibutuhkan bagi para pekerja gotong royong, taat pada hukum (baik hukum meskipun para pekerja adalah anggota adat maupun hukum negara), dan tidak masyarakat adat, bukan tukang bangunan yang menyimpang dari tatanan yang sudah ada. sengaja disewa. Begitu pula ketika mereka merayakan hari-hari tertentu secara adat mereka Berkaitan dengan kodrat manusia berkumpul meskipun setiap harinya mereka sebagai makhluk Tuhan, budaya tradisional Belu tinggal di Timor Leste sebagai warga negara menggambarkan bahwa ungkapan diri manusia Timor Leste.Salah satu contohnya adalah suku sebagai homo religiosus tidak pernah diabaikan Bunaq yang tinggal di Timor Leste. Mereka oleh masyarakat Belu. Bahkan, suku Matabesi masih melanggengkan hubungan kekeluargaan. di Belu yang hingga kini belum memeluk agama Dalam momen tertentu mereka saling mengunjungi apapun masih sangat ketat membentengi satu sama lain. Mereka merasa hanya terpisah kehidupan mereka dengan nilai-nilai dan norma- oleh negara bukan oleh prinsip kekeluargaan norma yang mereka terima secara turun-temurun mereka. Mereka yang menetap di Belu tetap dari generasi sebelumnya. Dilihat pada budaya merasa sebagai orang Indonesia dan mereka fisik, bagian tertentu dari rumah adat masyarakat yang tinggal menetap di Timor Leste secara Belu misalnya, merupakan simbol hubungan administrasi tetap sebagai warga negara Timor manusia dengan Tuhan atau kepercayaan Leste (Retnowati, 2016: 109-110). animisme. Oleh karena itu, di setiap rumah Dalam konteks itu semua, pada dasarnya manusia bereksistensi sebagai makhluk sosial di samping sebagai makhluk individu dan makhluk 6Narasumber Bapak Ludokolo, di Belutahun 2015.

180 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 2 Tahun 2017 warga suku Matabesi masih terdapat mesbah7 gadis dan penerima gadis, kelahiran bayi, yang dipercaya sebagai media pemberi kekuatan kematian, pesta kenduri cukur rambut, perkawinan, untuk kehidupan terutama dari wujud tertinggi, dan kematian. Upacara kematian merupakan titik yaitu bumi dan air.8 puncak urusan-urusan resmi kedua keluarga. Nilai religius yang menjadi referensi Kepercayaan animisme yang diterima bagi kehidupan masyarakat Belu juga dapat secara turun temurun dari para leluhur sejak lama ditelusuri sumbernya melalui cerita rakyat Belu. membangun kehidupan religius masyarakat Belu Anak-anak atau generasi muda di Kabupaten Belu secara kuat. Kehidupan religi merupakan bentuk hampir tidak ada yang tidak tahu soal sejarah asal kehidupan fundamental bagi kelangsungan hidup usul orang Timor. Sejarah itu memberi sosial masyarakat Belu. Ikatan kekeluargaan pengetahuan kepada masyarakat bagaimana terlihat pada kekompakan berbagai suku yang manusia harus menghadapi alam, menjalani hidup tinggal di wilayah Belu dan di luar Belu bermasyarakat dan menjadi pribadi religius. (Retnowati, 2016: 104). Mereferensi Bourdieu mengenai habitusdan Menurut sejarah, masyarakat yang tinggal Giddens mengenai struktur, cerita rakyat di di pulau Timor memiliki ikatan kekeluargaan bawah dapat dipahami mengapa masyarakat yang kuat. Sebagaimana dikemukakan oleh Pater masih memiliki kebiasaan untuk mengunjungi Gregor (Gregor Mambusu, 2016: 350-353), tempat-tempat tertentu yang bersejarah dan masyarakat Timor Leste merupakan bagian yang mematuhi norma-norma yang telah dibuat oleh sangat penting dan tidak terpisahkan dari warga leluhur mereka mengenai suatu hal berkaitan masyarakat Pulau Timor secara keseluruhan. dengan perjalanan mereka menuju tempat Semua warga Timor Leste, TTU, , Belu, bersejarah dan bermakna bagi kelangsungan Bobonaro, Atabe, dan Suai (Timor Leste) masih hidup masyarakat. memiliki ikatan kekerabatan yang kental. Menurut sejarah yang dituturkan oleh Meskipun berbeda negara namun mereka berasal Ormeling (dalam Parera, 1971: 80), pulau Timor dari sumber yang sama yaitu pusaka Pulau Timor. dikenal dan terbuka bagi dunia luar sejak kayu Itu terlihat pada kesamaan adat istiadat, tradisi cendana mulai dikenal dan digunakan untuk lisan dan nilai-nilai kehidupan sosial kemasyarakatan berbagai kebutuhan, antara lain sebagai bahan yang tertanam dalam diri warga kedua wilayah. minyak cendana, obat-obatan, atau pembakaran Kelanggengan ikatan kekeluargaan seperti dupa. Di samping itu, terdapat pula cerita rakyat itu hingga kini masih dirawat oleh masyarakat dan tradisi yang menarik untuk diungkapkan yang Belu, antara lain melalui ritual Rosario secara mengandung nilai-nilai religi dan nilai-nilai etis bergiliran dalam lingkungan sosial (RT, RW)9, yang dilestarikan oleh masyarakat Belu. Cerita dan penceritaan melalui cerita rakyat yang rakyat yang berisi sejarah hanya bisa didengar disampaikan kepada generasi muda. Nilai religius dari beberapa orang karena pada dasarnya sejarah dan nilai kekerabatan menjadi dasar bagi hanya boleh dikemukakan pada upacara-upacara kesatuan masyarakat Belu. tertentu oleh orang-orang tertentu pula. Ada kepercayaan bahwa penyampaian sejarah yang Salah satu cerita rakyat dikisahkan oleh salah dan di tempat yang salah juga akan Marsel Robot (2013: 8-21) yakni cerita tentang menyebabkan leluhur murka. Sejarah macam ini Belu Mau, Sabu Mau, dan Tii Mau. Penggalan berupa inti dari syair-syair adat tradisional yang kisah yang ditulisnya adalah sebagai berikut. tidak mudah dimengerti karena menggunakan “Mereka sebenarnya tiga bersaudara. Mereka bahasa tinggi dan metafor-metafor. Pada melakukan perjalanan dari India. Sesampainya umumnya syair adat digunakan dalam upacara- di Belu ketiga bersaudara ini bermusyawarah. upacara pertemuan resmi antara suku pemberi Ada yang ingin menetap di Belu, ada yang melanjutkan perjalanan ke Sabu dan Rote. Dari ketiganya tidak diketahui secara pasti 7Mesbah adalah bangunan yang dipercaya siapa kakak dan siapa adik. Namun sebelum sebagai tempat tinggal ruh, terletak di dekat rumah ketiganya berpisah, mereka melakukan tempat tinggal dahulu. Karena itu bangunan mesbah perjanjian agar mereka di manapun berada menggunakan material yang lebih bagus sehingga selalu saling mengingat sebagai saudara.” bentuk bangunannya juga lebih bagus dari bentuk rumah tempat tinggalnya (Humaedi, 2013: 127-128) 8http://www.kampungide.com/2011/11/kam 9Wawancara dengan Ithok di Belu tahun pung-unik-suku-matabesi-di-belu.html 2016.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 2 Tahun 2017 181 Cerita itu mengisahkan bahwa ketiga itu. Karena kesaktiannya, dia melahirkan empat bersaudara itu diikat oleh sumpah adat dan orang anak, dua orang puteri bernama Elok Lua mereka memiliki kesadaran sejarah yang sama Lorok dan Balok Lua Lorok serta dua putra dan dikonstruksi untuk memfasilitasi keberagaman. bernama Atok Lakaan dan Taek Lakaan. Kedua Dalam cerita itu terkandung nilai kekerabatan pasangan putera dan puteri itu kemudian (persaudaraan), nilai kerukunan, nilai religius, dan dikawinkan karena di puncak gunung tidak ada nilai yuridis. Sumpah mereka mengharuskan agar keluarga lain kecuali mereka. Atok Lakaan mereka merawat persaudaraan karena mereka dikawinkan dengan Elok Lua Lorok dan Taek berasal dari rai ahu nga temuni (terjemahan Lakaan dikawinkan dengan Balok Lua Lorok. bebasnya: tanah yang sama dengan satu ikatan Dalam adat Tetun perkawinan mereka disebut tradisi dari satu leluhur). Dan salah satu sumpah dengan istilah Karas Taka Mutu, Belan Rai pengikat persaudaraan mereka adalah sebagai Libur (artinya Dada dirapatkan, Samping berikut. disatukan). “kita berasal dari satu orang, biarkan telah Atok Lakaan dan Elok Lua Lorok berkembang biak tidak boleh berkelahi, sampai kemudian menetap di tempat yang lebih rendah ke anak cucu, walaupun kamu sudah bertambah yaitu di Bukit Nanaet Dubesi, sebelah barat daya banyak, jika berbuat salah akan mudah mati, Gunung Lakaan. Mereka memiliki empat orang tidak akan beranak cucu dan tersesat (nasib anak laki-laki dan seorang anak perempuan. tidak beruntung dan terkutuk).” Mereka menetap dan berkuasa di Mandeu Menurut Marsel Robot ada tiga prinsip (Raimanuk sekarang), di Naetimu ( yang hingga kini masih dipegang teguh oleh sekarang), di Lidak (Kota Atambua sekarang) masyarakat Belu, yaitu: (1) Jangan berkelahi; (2) dan di Dualilu ( sekarang). Dan yang Jangan adu ilmu gaib; (3) Jika saling berkunjung perempuan pergi dan menetap di Selaoan jangan pernah minta bayaran. Jika prinsip itu (Silawan sekarang). Sedangkan Taek Lakaan dilanggar, mereka percaya bahwa mereka tidak dan istrinya Balok Lua Lorok terus menetap di akan berumur panjang, tidak mempunyai sekitar kawasan puncak Gunung Lakaan. keturunan, atau mendapat malapetaka lain. Mereka memiliki empat orang anak, dua laki- Prinsip itu membuat orang Belu dan Sabu pantang laki dan dua perempuan. Kempatnya kawin berkelahi. menjadi dua pasangan. Satu pasangan pergi ke tempat yang tidak diketahui sedangkan satu Versi lain cerita rakyat mengenai asal- pasang tetap tinggal di wilayah puncak Gunung usul orang Belu adalah Cerita Gunung Lakaan.10 Lakaan. Mereka yang tinggal di wilayah Gunung Menurut cerita orang tua-tua di Belu, pada Lakaan kemudian mendirikan kerajaan yang jaman dahulu kala, seluruh Pulau Timor masih sekarang disebut kerajaan besar di Belu yang digenangi air, kecuali puncak Gunung Lakaan, disebut Fehalaran. Mereka dikaruniai banyak di Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara anak. Mereka yang meninggalkan wilayah Timur, yang merupakan gunung tertinggi di Lakaan diperkirakan tinggal di kawasan timur seluruh Kepulauan Timor. Karena itu adat Tetun Gunung Lakaan, dan sebagian anak-cucu mereka mengatakan bahwa Gunung Lakaan ibarat biji kelak menyeberang ke ke Sabu dan Rote.11 mata ayam, bagaikan belahan pinang, laksana segumpal nasi, seperti pusar uang perak. Dialah Salah satu makna dari cerita-cerita di yang memulai, dialah yang awal, dialah tanah atas adalah pentingnya perawatan kehidupan pusat, dialah tanah kaum kerabat, semua religius, perawatan kekeluargaan, dan kesatuan saudara-saudari. antar suku di wilayah pulau Timor. Itu karena asal usul mereka sama. Hingga sekarang pada Pada suatu hari turunlah seorang putri saat ilmu pengetahuan dan teknologi dewata bernama Laka Lora Kmesak (Laka Loro berkembang pesat, masyarakat Belu masih Kmesak) di puncak Gunung Lakaan. Putri Laka memelihara cerita-cerita mitos tersebut dan Lora Kmesak memiliki nama julukan Nain mereka merasa memiliki kewajiban untuk Bilak-an, yang berarti berbuat sendiri dan menjelma sendiri. Dia tinggal di puncak gunung

10Cerita Gunung Lakaan, Jero Halilulik. http://duniatalerun.blogspot.co.id/2012/03/cerita- 11http://duniatalerun.blogspot.co.id/2012/03/ gunung-lakaan.html cerita-gunung-lakaan.html

182 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 2 Tahun 2017 berkomunikasi dengan leluhur mereka di Gunung membutuhkan perhatian baik dari masyarakat Lakaan pada momen tertentu.12 itu sendiri maupun dari pemerintah, khususnya pemerintah daerah. Perhatian dari masyarakat Budaya Global dan Politik Multikulturalisme dan pemerintah dalam bentuk pelestarian nilai- nilai di dalam budaya tradisional sama artinya Paparan di atas menunjukkan bahwa dengan merawat multikulturalisme. pewarisan nilai-nilai dalam praktik budaya dan penceritaan tentang kehidupan moral religius Menurut Azyumardi Azra (2007: 13), masih relatif hidup di wilayah Kabupaten Belu. ada dua pemahaman tentang multikulturalisme Kesadaran generasi tua mengenai pentingnya yang dapat diterapkan untuk keragaman budaya internalisasi nilai-nilai tradisional memberi Indonesia. Pertama, multikulturalisme dipahami gambaran bahwa pelestarian nilai-nilai tradisional sebagai pandangan dunia yang dapat oleh generasi muda dapat dilakukan. Meskipun diterjemahkan dalam berbagai kebijakan masyarakat demikian, bukan berarti pelestarian itu tidak dan menekankan tentang penerimaan terhadap mengalami tantangan, yaitu berupa budaya realitas keragaman, pluralitas, dan realitas global. multikultural.Kedua, multikulturalisme dipahami sebagai pandangan dunia yang mengakui eksistensi Budaya tradisional menuntut masyarakat kultural yang ada, terlepas dari besar kecilnya. untuk memenuhi berbagai kewajiban sebagai- mana diatur oleh hukum adat yang sudah sejak Kedua pandangan di atas dapat digunakan lama diberlakukan, misalnya menyediakan mas untuk memahami Indonesia. Banyaknya suku kawin (belis) dalam jumlah dan ragam tertentu. bangsa dan budaya tradisional yang dimiliki Di sinilah letak perbedaan dengan budaya Indonesia berarti juga banyak kearifan lokal global. Dalam budaya global kesadaran manusia yang dimiliki Indonesia. Kearifan lokal banyak banyak diilhami oleh perhitungan untung rugi diekspresikan mereka melalui budaya tradisional secara ekonomi. Penguasa sistem ekonomi yang mereka seperti kesenian rakyat, tarian rakyat, disebut neoliberalisme akan selalu menggunakan upacara-upacara tradisi tertentu, cerita rakyat kesadaran instrumentalnya untuk meraih keuntungan dan lain sebagainya. Menurut Azyumardi Azra demi akumulasi modal. Pengaruh psikologis (2007:12),kearifan lokal berfungsi sebagai yang tertanam dalam diri konsumen berwujud defense mechanism dan sekaligus early warning pada sikap dan gaya hidup seperti trendy, instan, system sehingga masyarakat bisa mengantisipasi mudah, dan nyaman. Semua itu akan membawa bahaya yang mengancam keutuhan tradisi dan seseorang pada suasana kebahagiaan sehingga sistem kultural yang dapat memelihara integrasi dia akan selalu memburunya demi kebahagiaan. dan sosio-kultural masyarakat yang bersangkutan. Semakin lama seseorang akan memiliki sikap Atas dasar itu, dapat dilihat dalam mementingkan diri sendiri karena ingin selalu kenyataan bahwa masyarakat Belu pada masa memenuhi apa yang diinginkan dan sedapat kini memandang kearifan lokal yang mereka mungkin dapat menikmati hidup yang serba miliki masih bermakna bagi kelangsungan hidup mudah dan membahagiakan (Franz Magnis- mereka sehingga masyarakat masih sangat Suseno, 2008: 13-22). Jadi bagian dari budaya memelihara tradisi mereka. Salah satunya adalah global yang menantang budaya tradisional, yaitu upacara persembahan. Tradisi itu dilakukan oleh nilai-nilai hedonis-konsumis, yang merasuki masyarakat (yang beranggotakan seluruh suku) kesadaran masyarakat merupakan tantangan pada waktu mereka hendak memetik jagung yang serius. untuk pertama kalinya. Mereka yang datang dan Memang tidak dapat dipungkiri bahwa turut serta pada upacara adalah seluruh suku pada masa globalisasi ini masih banyak budaya yang hidup di desa yang bersangkutan dan yang tradisional dapat ditemui di berbagai wilayah berasal dari tetangga desa. Upacara itu wajib Indonesia. Itu merupakan suatu keberuntungan dilakukan, untuk menyampaikan rasa syukur bagi bangsa Indonesia. Karena itu Indonesia kepada Tuhan dan para leluhur mereka. Upacara sangat perlu memperhatikan tantangan seperti dilaksanakan pada waktu malam hari. yang dipaparkan di atas. Keragaman budaya Dalam upacara itu setiap keluarga tradisional yang dimiliki oleh Indonesia membawa jagung untuk persembahan. Jagung dari semua yang hadir dikumpulkan untuk

12Wawancara dengan anak-anak Sekolah didoakan melalui ritual upacara. Setelah jagung Dasar Atambua tahun 2016. didoakan kemudian dibagikan kepada seluruh

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 2 Tahun 2017 183 kepala keluarga yang hadir. Sudah menjadi tentang pentingnya toleransi terhadap perbedaan- kebiasaan, jagung yang diterima oleh setiap perbedaan dan ragam budaya yang berarti ragam kepala keluarga disimpan sebagai bibit untuk suku bangsa, ragam bahasa yang semuanya ditanam. Pada waktu upacara semacam itu dapat menjadi sumber ketenteraman. Hal itu dilaksanakan mereka membawa kembali jagung bukan berarti bahwa budaya tradisional tempat hasil tanam dari bibit yang diterima ketika siswa hidup harus menyesuaikan pada budaya mengikuti upacara yang sama pada waktu berbagai suku. Apabila itu terjadi maka berarti sebelumnya (Retnowati, 2016: 117). seseorang akan kehilangan budayanya sendiri yang juga berarti kehilangan identitasnya sebagai Menurut Azra (2007: 14-18), bangsa suku tertentu dari daerah tertentu. Indonesia tidak boleh membiarkan multikulturalisme hidup begitu saja, tetapi harus dirawat. Atas Berkaitan dengan soal pentingnya dasar itu, pemerintah dan masyarakat Belu yang pendidikan multikulturalisme, tidaklah keliru masih memelihara budaya tradisional dinilai apabila mencermati Pembukaan UUD 1945 memiliki andil dalam merawat multikulturalisme alinea keempat yang menegaskan: "Kemudian dan integrasi bangsa Indonesia. Budaya tradisional daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah mengandung nilai-nilai seperti persatuan, solidaritas, negara Indonesia yang melindungi segenap gotong royong, dan kekerabatan. Pengembangan bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah politik multikulturalisme dapat dilakukan melalui Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan pendidikan yang diselenggarakan oleh seluruh umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan lembaga pendidikan, baik formal maupun non- ikut melaksanakan ketertiban dunia yang formal dan bahkan informal dalam masyarakat berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan luas. Lembaga pendidikan formal sangat dibutuhkan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan perannya dalam turut serta membangun kesadaran kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang- anak bangsa secara dini terkait dengan kekayaan Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk Indonesia yang memiliki andil bagi multikulturalisme. dalam suatu susunan negara Republik Indonesia Alasannya adalah karena pendidikan formal memiliki yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar potensi untuk secara sistematis menyampaikan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan kepada siswa tentang kebudayaan nasional yang yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan di dalamnya termasuk kebudayaan tradisional. kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan Pendidikan mengenai budaya tradisional mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh masing-masing daerah dan budaya nasional rakyat Indonesia." sangat penting disampaikan kepada para siswa tanpa harus mengganti atau mengasimilasikan Kata “…mencerdaskan kehidupan budaya asing. Bhikhu Parekh (2008: 265) bangsa…” yang tertulis dalam Pembukaan UUD memandang bahwa di dalam budaya terdapat 1945 membutuhkan perhatian untuk dicermati nuansa-nuansa dan pikiran-pikiran yang tidak secara serius berkaitan dengan persoalan dapat diungkapkan atau diekspresikan dengan pendidikan di Indonesia. Menurut Mudji Sutrisno mudah. Seseorang yang tidak terlahir dalam (2009: 23-24), kata “mencerdaskan” dapat suatu budaya tertentu tidak akan dengan mudah dipahami sebagai jalan peradaban. Salah satunya memiliki kepekaan-kepekaan secara mendalam melalui pendidikan. Pencerdasan kehidupan sebagaimana diajarkan oleh budaya tempat dia bangsa merupakan sikap kultural mengingat hidup. Oleh karena itu, tidaklah mudah untuk pengetahuan lokal dan tradisi religius sebagian memasukkan nilai-nilai budaya baru ke dalam relatif banyak digunakan untuk komoditisasi, budaya masyarakat yang sudah dilestarikan untuk ekonomisasi perdagangan pengetahuan. secara turun-menurun. Pengetahuan tidak lagi digunakan untuk kepentingan pencerahan dan pemerdekaan maupun Pendidikan budaya tidak dimaksudkan pencerdasan. Di samping itu banyak masyarakat untuk mengganti atau mengasimilasikan budaya yang tingkat perekonomiannya rendah masih asing/luar daerah/luar suku secara formal, tetapi mengalami kesulitan untuk menyekolahkan anak- lebih untuk menambah pengetahuan para siswa anak mereka. Pada zaman kapitalisme global ini tentang berbagai macam budaya tradisional pendidikan banyak mengalami de-humanisasi. Indonesia. Dalam konteks Indonesia, dengan Karena itu dunia pendidikan membutuhkan pengetahuan mengenai ragam budaya pendidik humanisasi agar supaya pencerdasan kehidupan juga dapat menanamkan pada kesadaran siswa

184 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 2 Tahun 2017 bangsa dan pemerdekaan manusia dapat sebagainya. Nilai-nilai yang baik dari unsur- diwujudkan. unsur asli dibutuhkan untuk membimbing ke arah yang baik. Karena itu, apabila bentuk- Semua itu memberi gambaran bahwa bentuk budaya itu tidak bernilai ke arah yang pelestarian budaya tradisional membutuhkan baik maka tidak perlu digunakan sebagai materi politik multikulturalisme dan peranan pemerintah. pendidikan dan pengajaran. Pendidikan juga membutuhkan persiapan matang, terencana, terprogram, dan sistematis. Untuk itu, Dalam konteks ini, seyogianya budaya politik multikulturalisme lebih tepat dijalankan yang dipilih adalah budaya yang dalam pandangan melalui keluarga, masyarakat maupun sekolah. Ki Hadjar Dewantara merupakan puncak-puncak Ketiganya mesti berlangsung secara bersamaan. kebudayaan. Menurut Driyarkara (Sudiarja, dkk., Dalam hal pendidikan anak, Parekh (2008:271) 2006: 430-431) yang dimaksud dengan puncak- berpendapat bahwa anak-anak tidak hanya puncak kebudayaan adalah kebudayaan yang diposisikan sebagai warga negara tetapi juga memuat nilai kemanusiaan. Budaya macam itu sebagai manusia biasa yang menjadi anggota adalah budaya yang memimpin ke arah yang dari komunitas kultural yang bersangkutan. baik. Pilihan itu merupakan wewenang dari Orang tua dan komunitas kultural mempunyai instansi daerah karena instansi daerahlah yang kepentingan dalam pendidikan anak sehingga memiliki pengetahuan tentang budaya yang sekolah menjadi lembaga kebudayaan yang mengacu mengandung nilai kemanusiaan dan memimpin pada wilayah “pribadi” atau kemasyarakatan. ke arah yang baik. Ketika memposisikan anak sebagai warga negara Salah satu contoh budaya yang bernilai maka hendaknya sekolah diperlakukan sebagai ke arah yang baik yang bisa disampaikan kepada lembaga publik yang tunduk pada pengendalian anak didik adalah seni tradisional Jawa yang negara dan mengabaikan kebudayaan dan pilihan disebut wayang. Kesenian ini sangat bermanfaat orang tua; ketika memposisikan anak sebagai untuk membangun kepribadian anak melalui manusia dan anggota komunitas kultural maka ia pemaparan tokoh-tokohnya seperti Bima, Arjuna, akan tunduk pada pengendalian keluarga dan Krisna dan lain sebagainya. Sifat tokoh-tokoh masyarakat di mana dia menjalankan kehidupannya. wayang bersifat umum, seperti penuh kasih Mengacu pada pandangan Parekh sayang, jujur, religius, suka melakukan gotong tersebut, maka dalam rangka merawat royong, suka melakukan kebaikan, dan lain multikulturalisme, hendaknya negara melalui sebagainya yang semuanya dapat menginspirasi lembaga pendidikan sekolah tetap mewajibkan anak-anak untuk melakukan apa yang dilakukan materi budaya tradisional dari berbagai suku tokoh wayang tersebut dalam penceritaannya. bangsa di Indonesia. Salah satu contoh adalah Kiranya masih banyak contoh budaya yang mengenakan busana tokoh pejuang bertaraf bernilai baik yang dapat disampaikan kepada nasional R.A. Kartini yang berasal dari Jawa. anak didik. Untuk keperluan itu kostum yang patut dikenakan pada peringatan itu kiranya berperan Penutup dalam penanaman kesadaran sejarah tentang Multikulturalisme di Indonesia tidak perjuangan R.A. Kartini dalam turut memper- dapat terlepas dari sifat dasar dan kedudukan juangkan kemerdekaan Indonesia dari penindasan dasar manusia sebagai makhluk individu, bangsa asing. Karena itu untuk mendukungnya pribadi, sosial dan makhluk Tuhan.Praktik religi, sejarah tentang perjuangan R.A. Kartini perlu agama dan sosial merupakan kegiatan penting disampaikan ketika mendekati waktu peringatan masyarakat Belu sejak zaman dahulu hingga itu. Dengan demikian anak didik memahami sekarang.Praktik-praktik yang sudah sejak dahulu makna peringatan hari Kartini dan mengenakan kala diinternalisasikan oleh nenek moyang mereka pakaian ala R.A. Kartini. ternyata sulit dihilangkan.Itu karena praktik- Menurut Driyarkara (Sudiarja, dkk., 2006: praktek itu telah menjadi struktur atau mendarah 430-431), pendidikan mencakup pengajaran harus daging. Ternyata semua praktik budaya tradisional menyertakan unsur-unsur asli karena unsur- yang berlangsung hingga masa sekarang sangat unsur itu berdampak positif bagi anak didik. bermanfaat bagi keberlangsungan kesatuan masyarakat, Unsur-unsur itu berguna untuk mengantisipasi kelanggengan multikultutralisme Indonesia, pelestarian munculnya hal-hal negatif pada diri anak seperti lingkungan alam, pelestarian kekeluargaan, keguncangan jiwa, krisis psikis, dan lain kegotongroyongan, kebersamaan dan kesatuan

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 2 Tahun 2017 185 mereka. Semua itu menggambarkan bahwa http://www.kampungide.com/2011/11/kampung- pelestarian nilai-nilai tradisional mereka yang unik-suku-matabesi-di-belu.html berasal dari nenek moyang mereka memiliki http://duniatalerun.blogspot.co.id/2012/03/cerita- kemampuan untuk mempersatukan ikatan persatuan gunung-lakaan.html dan kesatuan mereka. Pelestarian budaya tradisional, dalam hal ini pelestarian nilai-nilai Inwood, Michael. (1977). Heidegger. New York: tradisional yang memiliki kekuatan sebagai alat Oxford University Press. integrasi bangsa sama artinya dengan merawat Kabupaten Belu Dalam Angka (Belu in Figures). multikulturalisme di tengah kehidupan global. (2014). Badan Statistik Kabupaten Belu. Semua itu didasari oleh peran setiap anggota masyarakat sebagai homo religiosus. Keesing, Roger M. (1981). Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer, Jilid 2. Pemerintah, khususnya pemerintah daerah (Terj.R.G. Soekadijo). Jakarta: Erlangga. sangat diharapkan kepeduliannya pada keberlangsungan budaya tradisional melalui pendidikan baik Magnis-Suseno, Franz. (1995).Filsafat Sebagai pendidikan keluarga, masyarakat maupun sekolah. Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius. Untuk menentukan budaya tradisional yang baik ……………………… (2008). Etika Kebangsaan sebagai media pendidikan sekolah memerlukan Etika Kemanusiaan 79 Tahun sesudah perhatian pemerintah daerah (institusi yang Sumpah Pemuda. Yogyakarta: Kanisius. berwenang) di mana budaya tradisional itu hidup. Mangunhardjono, “Homo Religiosus menurut Mircea Eliade”, dalam Sastrapratedja, Daftar Pustaka M. (1982). Manusia Multi Dimensional Sebuah Renungan Filsafat, Jakarta: PT Azra, Azyumardi. (2007). Merawat Kemajemukan Gramedia. Merawat Indonesia, Yogyakarta: Kanisius. Mombasu, Gregor. (2016). Citra Manusia Bagus, Lorenz. (2000). Kamus Filsafat. Jakarta: Berbudaya. Sebuah Monografi tentang PT Gramedias Pustaka Utama. Timor dalam Perspektif Melanesia. Bourdieu, Pierre. (1995). Outline of A Theory of Jakarta: LKBN Antara. Practice. (Translated by Richard Nice). Mulder, Niels. (1999). Pribadi dan Masyarakat Cambrideg: Cambridge University Press. di Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Cassirer, Ernst. (1987). Manusia dan Kebudayaan. Parekh, Bhikhu. (2008). Rethinking Multiculturalism (Terjemahan Agus Nugroho). Jakarta: Keberagaman Budaya dan Teori PT. Gramedia. Politik,Yogyakarta: Kanisius. Cerita Gunung Lakaan, Jero Halilulik. Parera, A.D.M. (1971). Sedjarah Politik http://duniatalerun.blogspot.co.id/2012/0 Pemerintahan Asli (Sedjarah Radja- 3/cerita-gunung-lakaan.html Radja). Kupang: Departemen P Dan K Drijarkara. (1966). Pertjikan Filsafat. Jakarta: Nusa Tenggara Timur. PT Pembangunan Djakarta. Retnowati, Endang. Politik Kebudayaan Belu, Giddens, Anthony. (1986). The Constitution of dalam John Haba, dkk.(2016). Peran Society. Berkeley and Los Angeles: Bahasa dan Budaya Dalam Konteks University of California Press. Keutuhan NKRI: Konstruksi Identitas dan Nasionalisme di Kabupaten Belu, Habba, John, dkk..(2016). Peran Bahasa dan Nusa Tenggara Timur. Budaya Dalam Konteks Keutuhan NKRI: Konstruksi Identitas dan Nasionalisme Ritzer, George. (2005). Teori Sosiologi Modern. di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Jakarta: Kencana. Timur. Robot, Marcel. (2013). Menjahit Perbedaan Humaedi, Alie, dkk.(2013). Mekanisme Internal Dengan Cerita Analisis Nilai Kearifan Pelestarian Bahasa dan Budaya Kafoa. Lokal (Local Wisdom) Cerita Aliensi Jakarta: PT Gading Inti Prima. Belu Mau, Sabu Ma’u dan Ti’i Mau. Dalam Optimisme, Jurnal Bahasa,

186 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 2 Tahun 2017 Sastra dan Budaya. Edisi 6, Mei 2013. Sutrisno, Mudji & Hendar Putranto (Ed.). FKIP Undana. (2009). Ranah-ranah Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Sudiarja, dkk.(Penyunting). (2006). Karya Lengkap Driyarkara Esei-esei Filsafat Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Pengembangan Bahasa. (1988). Kamus Perjuangan Bangsanya. Jakarta: PT Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Gramedia Pustaka Utama. Jakarta: Balai Pustaka. van Peursen, C.A. (1988). Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 2 Tahun 2017 187

188 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 2 Tahun 2017