Ayu, Permata, dan Rafianti, Sistem Perlindungan Sumber Daya Budaya Tak Benda di 205

SISTEM PERLINDUNGAN SUMBER DAYA BUDAYA TAK BENDA DI PALEMBANG, SUMATERA SELATAN, *

Miranda Risang Ayu**, Rika Ratna Permata***dan Laina Rafianti****

Departemen Hukum Teknologi Informasi Komunikasi dan Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran Jl. Dipati Ukur No. 35, Bandung, 40132

Abstract This article analyses various potential Intangible Cultural Resources in Palembang and the possible legal protection system for them. Method used by this research was normative and legal-anthropological approach. Data were consisted of secondary data derived from written laws and primary data derived from the results of observation and semi-structured interviews. The results of the research showed that in Palembang there were 6 categories of Intangible Cultural Resources which could be protected by Intellectual Property legal regimes. It was also important to enhance an “integrative and inclusive” protection system in order to maximize the protection. Keywords: intellectual property, culture, protection.

Intisari Artikel ini membahas berbagai potensi Sumber Daya Budaya di Palembang serta sistem perlindungan hukum untuk memaksimalisasi perlindungan bagi potensi-potensi tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris khususnya yuridis antropologis. Data berasal dari data sekunder berwujud hukum tertulis maupun data primer hasil dari observasi lapangan dan wawancara semi terstruktur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Palembang terdapat 6 kategori potensi Sumber Daya Budaya Tak Benda yang dapat dilindungi oleh sistem Hukum Kekayaan Intelektual. Sistem perlindungan yang integratif dan inklusif bagi potensi Sumber Daya Budaya di Palembang juga perlu dikembangkan untuk memaksimalisasi perlindungan. Kata Kunci: kekayaan intelektual, budaya, perlindungan.

Pokok Muatan A. Latar Belakang Masalah ...... 206 B. Metode Penelitian ...... 207 C. Hasil Penelitian dan Pembahasan ...... 208 1. Kategori Sumber Daya Budaya Tak Benda yang Berpotensi untuk Mendapatkan Perlindungan Hukum Kekayaan Intelektual dan Ekspresi Budaya Tradisional ...... 208 2. Sistem Perlindungan Integratif Kekayaan Intelektual Sumatera Selatan sebagai Model Suaka Sumber Daya Budaya Tak Benda di Tingkat Lokal Maupun Nasional Indonesia ...... 214 D. Kesimpulan ...... 219

* Hasil Penelitian Strategis Nasional yang dibiayai oleh Direktorat Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2014. ** Alamat korespondensi: [email protected]. *** Alamat korespondensi: [email protected]. *** Alamat korespondensi: [email protected]. 206 MIMBAR HUKUM Volume 29, Nomor 2, Juni 2017, Halaman 205-220

A. Latar Belakang Masalah perlindungan masih merupakan ketentuan penge­ Sejauh ini, Indonesia termasuk lima besar cualian yang tersebar di beberapa peraturan negara-negara di dunia yang memiliki kekayaan perundang-undangan. Ketentuan-ketentuan itu etnik tradisional yang paling beragam. Kekayaan masih memerlukan penafsiran lanjut untuk kepastian etnik ini mewujud dalam keberagaman Ekspresi hukum, dan sebagian besar tidak langsung mengatur Budaya Tradisional yang tinggi. Dari 8000 bahasa EBT secara integratif. Sejauh ini, Indonesia baru di dunia, hampir sepuluh persen bahasa di dunia memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 ada di Indonesia. Motif batik, tarian, cerita rakyat, tentang Cagar Budaya yang antara lain mengatur arsitektur tradisional, dan lagu daerah di Indonesia Sumber Daya Budaya yang bersifat material atau diperkirakan mencapai lebih dari 30.000 jenis.1 kebendaan dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun Menurut Sensus Nasional Badan Pusat 2014 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut UU Statistik Tahun 2010, 10 provinsi di Indonesia Hak Cipta) yang salah satu pasalnya mengatur dengan angka kemiskinan tertinggi adalah Papua tentang EBT. Barat, Papua, Maluku, Sulawesi Barat, Nusa Perlindungan KI konvensional yang sekarang Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Aceh, positif berlaku, merupakan sistem perlindungan Bangka-Belitung, Gorontalo, dan Sumatera bagi produk-produk industrial. Meski pun Hak Cipta Selatan. Meskipun demikian, kesepuluh provinsi itu tidak termasuk ke dalamnya, namun kepemilikannya memiliki potensi Sumber Daya Alam dan Budaya yang mensyaratkan originalitas, keberadaan Tak Benda yang beragam. Salah satu provinsi yang individu dan bukan kelompok masyarakat pencipta, menarik untuk diteliti adalah Sumatera Selatan. serta bentuk yang termaterialisasi, berakar pada Terdapat dua faktor yang dipertimbangkan untuk logika industrial juga. Internasionalisasi KI memilih wilayah ini. Pertama, faktor adanya konvensional pun adalah logika dan sistem yang Komunitas Masyarakat Hukum Adat atau Kerajaan menjadi ciri khas kebangkitan peradaban Barat Lokal dan sebagai salah satu pasak historis sejak Abad Pencerahan (Rennaisance/Aufklarung). di Indonesia dengan Kerajaan Sriwijayanya.2 Dalam Abad Pencerahan di Benua Eropa, dengan Kedua, faktor adanya Sumber Daya Budaya Tak serentetan revolusi monumentalnya, secara jelas Benda yang potensial. Dengan kenyataan historis meletakkan kultur industrial sebagai sistem yang tersebut, Sumatera Selatan diasumsikan memiliki lebih maju dan modern dari sistem agraris yang Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya tradisional.3 Tradisional yang berpotensi untuk ditingkatkan EBT merupakan aspek yang tak terpisahkan nilai ekonominya melalui perlindungan Kekayaan dalam pembentukan identitas suatu bangsa. Intelektual (selanjutnya disingkat KI) dan Ekspresi Sayangnya, kepemilikan kolektif rakyat Indonesia Budaya Tradisional (selanjutnya disingkat EBT). terhadap Ekspresi Budaya Tradisionalnya tidak Persoalannya kemudian, sistem hukum yang dapat diakomodasi dalam logika KI konvensional. berlaku positif di Indonesia belum mampu secara Bagi KI konvensional, yang perlu dipersoalkan maksimal dan unifikatif memberikan perlindungan pemilikannya adalah karya kreatif yang sudah terhadap EBT Indonesia. Sejumlah ketentuan dimaterialisasi, bernilai baru, dimiliki individu,

1 Hokky Situngkir, “Kekayaan Budaya Indonesia”, Makalah, Indonesian Archipelago Culture Initiatives (IACI) The National Workshop on Intellectual Property and the Documentation and Establishment of Database of Traditional Knowledge, Folklore and Intangible Cultural Heritage, UPT HKI UNPAD bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri, Kementerian Budaya dan Pariwisata, serta World Intellectual Property Organization (WIPO), 2011. 2 Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, “Sejarah Sumatera Selatan”, http://www.sumselprov.go.id/index.php?module=content&id=9, diakses 30 Mei 2013. 3 Miranda Risang Ayu, et al., 2013, Hukum Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional, dan Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia, Alumni, Bandung, hlm. 5. Ayu, Permata, dan Rafianti, Sistem Perlindungan Sumber Daya Budaya Tak Benda di Palembang 207 dan menjadi bagian dalam proses komodifikasi dan yang memuat tata-nilai yang dijadikan panduan industri. Semua rezim KI konvensional melihat dalam melakukan interaksi keseharian kelompok produk-produk budaya tradisional, termasuk EBT, masyarakat pengembannya, dan karenanya, sebagai karya yang sudah tidak memiliki kebaruan, dihidupkan oleh kelompok masyarakat pengemban tidak diketahui lagi individu kreatornya, dan tersebut dalam interaksi sosial mereka. Dokumen karenanya, harus dianggap sebagai sudah menjadi tersebut dapat juga ditulis dalam bahasa tradisional, milik umum (public domain). Produk-produk yang dengan mempergunakan bahan-bahan dokumentasi sudah menjadi milik umum tidak mungkin lagi yang biasa dipakai secara tradisional di dalam menikmati perlindungan KI. masyarakat tersebut, misalnya; kulit, serat kayu, Berdasarkan hal-hal yang diuraikan pada logam atau daun lontar. latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah- Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini sebagai analitis, yaitu dengan membandingkan berbagai berikut: Pertama, bagaimanakah kategorisasi instrumen Hukum Internasional dan Peraturan sumber daya budaya tak benda yang berpotensi untuk Perundang-undangan nasional Indonesia, kemudian mendapatkan perlindungan hukum KI dan Ekspresi melakukan analisis data yang didapat juga di Budaya Tradisional? Kedua, bagaimanakah sistem lapangan, yang hasilnya dapat diterapkan untuk perlindungan integratif bagi potensi-potensi sumber perlindungan Sumber Daya Budaya Tak Benda di daya budaya tak benda di tingkat lokal, khususnya Indonesia, khususnya di Sumatera Selatan. di Sumatera Selatan, yang dapat menjadi model di Tahap penelitian ini meliputi: studi kepus­ tingkat nasional? takaan, studi lapangan ke Sumatera Selatan, dan analisis hasil-hasil penelitian. Teknik pengumpulan B. Metode Penelitian data yang digunakan adalah teknik studi dokumen Metode pendekatan yang digunakan dalam yang dilakukan terhadap data sekunder untuk penelitian ini adalah metode yuridis normatif, mendapatkan landasan teoretis, pendapat atau yang menitikberatkan penelitian pada ketentuan tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi, hukum yang berlaku. Selain metode pendekatan baik dalam bentuk tertulis maupun data elektronik. yuridis normatif, penelitian ini juga menggunakan Teknik studi dokumen ini dilengkapi dengan teknik metode yuridis empiris, khususnya yuridis pengumpulan data primer di lapangan yang bersifat antropologis4 sehingga diharapkan tercipta hukum kualitatif, yang meliputi teknik pengamatan, teknik yang memperhatikan nilai budaya yang berlaku di wawancara semi terstruktur dan teknik diskusi masyarakat. terfokus dengan responden-responden yang terkait Sulistyowati mengatakan bahwa hukum erat dengan topik penelitian. Responden narasumber sangatlah terkait dengan kebudayaan, dan dalam penyusunan artikel ini antara lain: Farida, karenanya, mengartikan hukum sebatas hukum Dosen Sejarah, Universitas Sriwijaya; Syafarudin undang-undang adalah tidak realistis, karena Adam dari LSM Cahaya Institut Palembang, dan hukum adalah “dokumen antropologis yang Heri Wijaya Kepala Bidang Kebudayaan, Dinas hidup”.5 “Dokumen antropologis yang hidup” Kebudayaan dan Pariwisata, Provinsi Sumatera dapat diartikan secara luas, yakni sebagai dokumen Selatan.

4 Zulfi Diane Zaini, “Implementasi Pendekatan Yuridis Normatif dan Pendekatan Normatif Sosiologis dalam Penelitian Ilmu Hukum”, Jurnal Pranata Hukum, Vol. 6 No. 2, Juli 2011, hlm. 117. 5 Sulistyowati Irianto, “Praktik Penelitian Hukum: Perspektif Sosiolegal”, http://www.bphn.go.id/data/documents/materi_cle_8_prof_dr_ sulistyowati_irianto_full.pdf, diakses 30 Mei 2013. 208 MIMBAR HUKUM Volume 29, Nomor 2, Juni 2017, Halaman 205-220

Copyright Treaty 1996;8 Beijing Treaty on C. Hasil Penelitian dan Pembahasan the Protection of Audiovisual Performances 1. Kategori Sumber Daya Budaya Tak Benda 2012. yang Berpotensi untuk Mendapatkan Per­ b. Perlindungan Ekspresi Budaya lindungan Hukum Kekayaan Intelek­tual Tradisional (EBT) dalam Hukum dan Ekspresi Budaya Tradisional Nasional a. Hak Cipta dan Hak Terkait Hingga 2012, EBT di Indonesia Beberapa instrumen hukum inter­ dilindungi oleh beberapa ketentuan dalam nasional KI konvensional yang berkaitan peraturan perundang-undangan nasional yang dengan perlindungan Sumber Daya Genetik, tersebar.9 Peraturan perundang-undangan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi ini pun menyebut EBT dengan cara yang Budaya Tradisional (SDG-PT-EBT), dapat berbeda-beda, meski pun obyeknya berimpit. dibedakan atas kelompok instrumen hukum Dalam sistem hukum KI Konvensional, internasional umum, dan instrumen hukum Ekpsresi Budaya Tradisional lebih dikenal internasional yang terkait dengan sub-sub dengan istilah “ciptaan yang tidak diketahui sistem atau rezim-rezim KI konvensional. penciptanya” yang merujuk kepada folklor. Instrumen hukum internasional Folklor kemudian diganti dengan istilah yang melindungi sub-sub sistem KI “Ekspresi Budaya Tradisional”. Pemakaian konvensional dapat dibedakan menjadi istilah EBT ini dipengaruhi oleh pemakaian tujuh rezim KI Konvensional yang termuat istilah “Traditional Cultural Expressions” dalam Perjanjian TRIPS.6 Selain Perjanjian dalam negosiasi internasional di forum World TRIPS, instrumen KI Konvensional yang Intellectual Property Organization (WIPO). dikhususkan untuk perlindungan Hak Kini, di tingkat nasional, istilah “Ekspresi Cipta dan Hak Terkait diantaranya: Berne Budaya Tradisional” pun telah menjadi Convention for the Protection of Literary istilah hukum, dengan pemakaiannya dalam and Artistic Works 1886; Rome Convention UU Hak Cipta yang baru. Selain itu, istilah 1961 concerning the International “Ekspresi Budaya Tradisional” juga dipakai Convention for the Protection of Performers, secara dominan dalam Rancangan Undang- Producers of Phonograms and Broadcasting Undang tentang Pengetahuan Tradisional Organizations; Geneva Convention 1971 for dan Ekspresi Budaya Tradisional (RUU the Protection of Producers of Phonograms PT-EBT) Hak Inisiatif Dewan Perwakilan against Unauthorized Duplication of Daerah Republik Indonesia (DPD-RI)10 dan Their Phonograms, Brussels Convention Rancangan Peraturan Pemerintah tentang 1974 relating to the Distribution of EBT yang merupakan peraturan pelaksana Programme Carrying Signals Transmitted dari ketentuan dalam UU Hak Cipta yang by Satellite;WIPO Performances and baru tersebut. Phonograms Treaty (WPPT) 1996;7 WIPO Berkaitan dengan upaya pengaturan

6 Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Annex Ic Agreement of Establishing of the World Trade Organization, 1994. 7 Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 2004 tentang pengesahan WIPO Performances and Phonograms Treaty (WPPT) 1996 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 93). 8 Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pengesahan WIPO Copyright Treaty 1996 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 36). 9 Miranda Risang Ayu, et al., Op. cit., hlm. 24. 10 Hingga saat tulisan ini dibuat, masih berupa rancangan yang merupakan inisiasi Dewan Perwakilan Daerah, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia bersama beberapa kementerian terkait lainnya. Ayu, Permata, dan Rafianti, Sistem Perlindungan Sumber Daya Budaya Tak Benda di Palembang 209

EBT yang menjadi sumber daya ekonomi, budaya tradisional.”12 muncul pula istilah “industri kreatif”. Istilah Hingga saat ini di Sumatera Selatan “industri kreatif” ini mengemuka dengan masih terdapat nilai-nilai yang hidup dalam ditetapkannya Instruksi Presiden Nomor masyarakat pengembannya.13 Secara singkat, 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan nilai-nilai yang hidup di Sumatera Selatan, Ekonomi Kreatif. Meski dari istilah tersebut, khususnya Palembang dan sekitarnya, tampak jelas bahwa komodifikasi EBT hanya merupakan tatanan nilai yang dikarakterisasi menjadi bagian atau bahan mentah dari oleh beberapa aspek penting, yakni: keseluruhan industri kreatif yang beragam, a. Kenyataan historis pernah ber­ namun, sesuai dengan sifat dari EBT yang dirinya pusat pengembangan terikat dan terkarakterisasi oleh tempat asal religi Budha terbesar di Asia dan komunitas pemangkunya, perlindungan Tenggara yang kemudian EBT atau Warisan Budaya Tak Benda sebagai mengalami­ transformasi dengan Sumber Daya Budaya Tak Benda baru akan masuknya tradisi religi Islam ke optimal jika melibatkan pengembangan bumi Nusantara; lingkungan tempat asalnya. Tempat asal b. Adanya kerajaan lokal yang kuat, dari suatu EBT adalah tempat suatu EBT baik yang berbasis tradisi religi itu berakar, dijaga, dikembangkan, dan Budha maupun Islam, yakni diturunkan dari generasi ke generasi, atau Kesultanan Palembang; singkatnya, dihidupkan, oleh komunitas c. Adanya Sungai Musi dan anak- pemangkunya sendiri. anak sungainya, yang membuat Seperti telah dikemukakan sebelum­ kehidupan masyarakat Sumatera nya, pada perkembangannya, Undang-Un­ Selatan banyak diwarnai oleh dang Hak Cipta telah mengalami perubahan kearifan lokal yang terilhami di tahun 2014.11 Perubahan tersebut yakni oleh keberadaan sungai besar bahwa EBT diatur dalam Pasal 38 Bab V tersebut, yang dapat juga disebut yang berjudul Ekspresi Budaya Tradisional sebagai budaya air sungai atau dan Ciptaan yang dilindungi. Pasal 38 ayat (3) tradisi air pedalaman, untuk bab tersebut menyebutkan bahwa “Nilai-nilai membedakannya dari ‘tradisi yang hidup dalam masyarakat pengembannya pesisiran’ yang berkembang di adalah adat istiadat, norma hukum adat, sepanjang pesisir laut atau samu­ norma kebiasaan, norma sosial, dan norma- dera.14 norma luhur lain yang dijunjung tinggi oleh Pasal 38 ayat (1) UU Hak cipta masyarakat tempat asal, yang memelihara, menyebutkan bahwa Hak Cipta atas Ekspresi mengembangkan, dan melestarikan ekspresi Budaya Tradisional dipegang oleh Negara.

11 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599). 12 Pasal 38 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599). 13 Wawancara dengan Farida, Dosen Sejarah, Universitas Sriwijaya, 3 Oktober 2014. Transkrip wawancara Recording 001-3 Oktober 2014 hlm. 4: “[…] pada umumnya (budaya) itu masih hidup tetapi terjadi degradasi itu ya penurunan nilai-nilai kepada generasi muda ambil contoh misalnya gini: kalangan menengah ya..ke atas ya, ini pengamatan aja ya pernah dipresentasikan itu di pra kongres di Pontianak ..orang menengah disini itu berbahasa dengan anaknya dengan menggunakan bahasa indonesia , benar kan? Gak tau mungkin merasa lebih keren atau apa gitu ya, seperti itu ..nanti di ibukota-ibukota kabupaten, kecamatan bahasa pengantar masyarakatnya itu belanja atau apa mereka menggunakan bahasa Palembang walaupun mereka masih menggunakan bahasa asli mereka, jadi benar generasi muda kayaknya lebih ke situ ..kalau adat perkawinan itu terjadi perubahan misalnya gini yang tadinya butuh berapa hari menjadi lebih singkat karena faktor biaya segala macem […]”. 14 Ibid. 210 MIMBAR HUKUM Volume 29, Nomor 2, Juni 2017, Halaman 205-220

Pada ayat (2) disebutkan bahwa Negara wajib onal; menginventarisasi, menjaga, dan memelihara q. kompilasi Ekspresi Budaya Tradisional selama kompilasi ekspresi budaya tradisional.15 Sedangkan tersebut merupakan karya yang pada ayat (3) mengatur bahwa penggunaan asli.18 EBT harus memperhatikan nilai-nilai yang Jangka waktu perlindungan karya cipta hidup dalam masyarakat pengembannya.16 yang merupakan hasil modifikasi EBT dan Meskipun telah dibentuk UU Hak Cipta yang kompilasi EBT, sebagaimana diatur dalam baru Tahun 2014 tersebut, pengaturan tentang Pasal 59 Huruf j dan h Undang-Undang Hak EBT masih belum jelas karena Pasal 38 ayat Cipta adalah 50 tahun sejak pertama kali sejak (4) mengamanatkan bahwa ketentuan lebih dilakukan pengumuman.19 Adapun jangka lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang waktu perlindungan EBT yang dipegang oleh Negara atas Ekspresi Budaya Tradisional Negara berlaku tanpa batas waktu. diatur dengan Peraturan Pemerintah.17 c. Perlindungan Indikasi Geografis Semen­tara itu atas inisiatif Dewan Perwakilan dan Indikasi Asal Dae­rah, bersama-sama dengan Tim Ahli Indikasi Geografis dan Indikasi Asal Ran­cangan Undang-Undang, tengah diproses adalah rezim dan sub-rezim perlindungan pembentukan Rancangan Undang-Undang dalam hukum KI konvensional yang tentang Pengetahuan Tradisional dan Ekspre­ pemegangnya bukan individu, melainkan si Budaya Tradisional. asosiasi, kelompok atau komunitas. Selain Beberapa obyek EBT yang berwujud klausul dalam UU Hak Cipta Nomor 28 juga dilindungi dalam Pasal 40 UU Hak Tahun 2014 yang mengatur EBT, rezim Cipta, yang memuat detail berbagai jenis yang diatur dalam Undang-Undang Nomor Ciptaan yang dilindungi secara enumeratif. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Obyek-obyek tersebut adalah segala bentuk Geografis ini dapat dipakai untuk melengkapi pengetahuan, seni dan sastra, yang juga upaya perlindungan bagi Sumber Daya mencakup seni pertunjukan pewayangan, Budaya Tak Benda, khususnya berbagai jenis seni batik, beserta karya-karya dari hasil EBT maupun ekspresi-ekspresi seni yang pengalihwujudannya. Hal yang menarik, memakai EBT sebagai bahan baku utamanya. terdapat perbedaan signifikan dari Undang- Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Merek Undang Hak Cipta sebelumnya. Pasal 40 ayat dan Indikasi Geografis Nomor 20 Tahun 2016 (1) UU Hak Cipta ini mengatur mengenai mendefiniskan Indikasi Geografis sebagai: ciptaan yang dilindungi yang juga mencakup aspek dari EBT: […] suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau […] produk, yang karena faktor lingkungan o. terjemahan, adaptasi, aranse­ geografis termasuk faktor alam, faktor men, transformasi, atau modi­ manusia atau kombinasi dari kedua fikasi ekspresi budaya tradisi­ faktor tersebut, memberi reputasi

15 Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599). 16 Pasal 38 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599). 17 Pasal 38 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599). 18 Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599). 19 Pasal 59 huruf j dan h Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599). Ayu, Permata, dan Rafianti, Sistem Perlindungan Sumber Daya Budaya Tak Benda di Palembang 211

kualitas dan karakteristik tertentu tingan untuk sekedar pemenuhan kebutuhan pada barang dan/atau produk yang fisikal material saja. dihasilkan.20 Dewasa ini, konvensi yang banyak Indikasi Asal atau Indikasi Sumber, dipakai dan dianggap sebagai sumber air menurut Pasal 63 Undang-Undang Merek segar untuk melindungi keberadaan sejumlah dan Indikasi Geografis Nomor 20 Tahun EBT adalah Konvensi UNESCO tentang 2016 dilindungi, meskipun tanpa melalui Pelestarian Warisan Budaya Tak Benda kewajiban pendaftaran sebagai tanda yang 2003 atau lazim disebut sebagai Konvensi menunjukkan asal suatu barang dan/atau jasa UNESCO 2003. Konvensi ini telah diratifikasi yang benar dan dipakai dalam perdagangan.21 oleh Indonesia melalui Peraturan Presiden “Nama Dagang” atau “Trade Name” yang Nomor 78 Tahun 2007.23 Indonesia telah diatur dalam Article 8 Konvensi Paris tentang secara aktif mendaftarkan beberapa obyek Perlindungan Kekayaan Industrial, sepanjang kekayaan budayanya berdasarkan sistem merupakan Nama Dagang yang dipegang Konvensi UNESCO 2003 ini, contohnya oleh sekelompok orang atau asosiasi, dapat Batik dan Angklung. disamakan dengan Indikasi Asal menurut Konvensi UNESCO 2003 karena Undang-Undang Merek dan Indikasi memiliki sifat perlindungannya yang non Geografis tersebut.22 ekonomis, memakai istilah “safeguarding” d. Pelestarian Warisan Budaya Tak dan bukan “protecting”. Makna perlindungan Benda ini lebih dekat pada aspek penjagaan yang UNESCO sebagai salah satu organ bersifat inklusif, dan bukan perlindungan PBB yang khusus bergerak di bidang yang bersifat eksklusif atau meniadakan hak pendidikan, sosial dan kebudayaan, telah pihak lain yang bukan pemegangnya untuk meletakkan sejumlah hukum internasional, bebas menikmatinya. “Safeguarding”, lebih baik yang mengikat maupun tidak mengikat, bersifat menjaga objek yang dilindungi agar dalam rangka pelestarian Warisan Budaya. tetap lestari bagi kepentingan generasi umat Ruang lingkup hukum internasional manusia, di masa sekarang maupun masa yang UNESCO ini mencakup obyek-obyek yang akan datang. Dalam sistem KI konvensional, bersifat material (benda) maupun imaterial perlindungan Konvensi UNESCO 2003 ini (tak benda). Sebaliknya, instrumen UNESCO tetap mengakui bahwa semua obyek yang justru meyakini bahwa komodifikasi produk- dilindunginya telah berada dalam ranah produk budaya tidak boleh melemahkan publik (public domain). nilai-nilai luhurnya untuk kepentingan Konvensi UNESCO 2003 juga pengembangan seluruh umat manusia. menetapkan obyek-obyek yang harus dijagai. Menurut instrumen internasional UNESCO, Pasal 2 Ayat (1) Konvensi UNESCO 2003 kepentingan pengembangan seluruh umat menyebutkan bahwa “Warisan budaya tak manusia harus diletakkan melebihi kepen­ benda meliputi berbagai praktik, representasi,

20 Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953). 21 Pasal 63 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953). 22 Selanjutnya, kategorisasi bentuk-bentuk sumber daya budaya yang merupakan indikasi geografis dan indikasi asal dijelaskan pada sub bab berikutnya mengenai sistem perlindungan integratif sumber daya budaya tak benda di tingkat lokal maupun nasional. 23 Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2007 tentang pengesahan Konvensi UNESCO tentang Pelestarian Warisan Budaya Takbenda 2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 81). 212 MIMBAR HUKUM Volume 29, Nomor 2, Juni 2017, Halaman 205-220

ekspresi, pengetahuan, keterampilan - serta Kabupaten dan Kota membawahi Pemerintah instrumen, obyek, artefak, dan ruang-ruang Kecamatan dan Desa/ Kelurahan.25 Setiap budaya terkait - tempat komunitas, kelompok, kota memiliki 3 (tiga) bahasa26 sehingga dan dalam kasus-kasus tertentu, individu, terlihat bahwa Palembang sebagai ibu mendakunya sebagai bagian dari warisan kota provinsi sangat kaya akan budaya. budaya mereka.”24 Dari ketentuan ini, dapat Mata pencaharian utama masyarakatnya disimpulkan bahwa jenis-jenis warisan berkembang melalui sektor perdagangan, budaya tak benda meliputi segala jenis terutama lada dan rempah-rempah. Selain praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, itu, terdapat juga perdagangan yang berbasis keterampilan - juga peralatan, objek, artefak, industri rumah tangga yaitu makanan dan ruang kultural terkait - yang diakui oleh olahan ikan dan kain tenun. Terkait hal ini, komunitas, kelompok, dan dalam beberapa Farida27 mengungkapkan, bahwa apabila kasus, individu, sebagai bagian dari warisan menggunakan teori dari Heddy Shri Ahimsa budaya mereka. Putra,28 pemetaan nilai budaya lebih mudah Konvensi UNESCO 2003 dibuat melalui bahasa. Selain keragaman bahasa, di dalam rangka menegaskan inklusivitas hak- Sumatera Selatan juga ditemukan beberapa hak yang diaturnya, juga menyebutkan situs yang sangat banyak dan beragam dan tujuan dari penjagaan warisan budaya tersebar di berbagai wilayah Kabupaten, takbenda dalam Pasal 19 ayat (2) Konvensi terutama di Kabupaten Lahat dan Ogan UNESCO 2003 mengenai kerjasama. Komering Ulu. Secara singkat, tujuan akhir yang dapat Sejarah kepurbakalan Sumatera disimpulkan dari Pasal 19 ayat (2) Konvensi Selatan dibagi secara periodik. Setiap UNESCO 2003 adalah untuk kepentingan periode memperlihatkan keunikan yang kemanusiaan secara umum. Jadi, kebebasan beragam, yang berkaitan dengan unsur versi Konvensi UNESCO 2003 bukan untuk penting dalam kehidupan manusia. Dalam kepentingan industrial, tetapi sebaliknya, konteks Sumber Daya Budaya Tak Benda, untuk kepentingan pemanusiaan persona- telah ditemukan sejumlah teknologi persona seluruh umat manusia. tradisional yang berkembang pada masa e. Sumber Daya Budaya Tak Benda di Plestosen. Teknologi tradisional tersebut juga Sumatera Selatan ditemukan di daerah Situs Baturadja, yaitu Provinsi Sumatera Selatan secara di sepanjang Daerah Aliran Sungai Ogan administratif terdiri dari 13 (tiga belas) dan Sungai Lengkayap, Kabupaten Ogan Pemerintah Kabupaten dan 4 (empat) Komering Ulu, Provinsi Sumatera Selatan.29 Pemerintah Kota, beserta perangkat Dewan Selain peninggalan arkeologis tersebut, Perwakilan Rakyat Daerah. Pemerintah wilayah Sumatera Selatan mempunyai

24 Pasal 2 ayat (1) Konvensi UNESCO tentang Pelestarian Warisan Budaya Takbenda 2003. 25 Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, “Sekilas Sumatera Selatan”, http://www.sumselprov.go.id/profil/sekilas, dikases tanggal 12 September 2014. Pemerintahan Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan: Kab. Ogan Komering Ulu (Ibukota Baturaja); Kab. OKU Timur (Ibukota Martapura); Kab. OKU Selatan (Ibukota Muara Dua); Kab. Ogan Komering Ilir (Ibukota Kayu Agung); Kab. Muara Enim (Ibukota Muara Enim); Kab. Lahat (Ibukota Lahat); Kab. Musi Rawas (Ibukota Lubuk Linggau); Kab. Musi Banyuasin (Ibukota Sekayu); Kab. Banyuasin (Ibukota Pangkalan Balai); Kab. Ogan Ilir (Ibukota Indralaya); Kab. Empat Lawang (Ibukota Tebing Tinggi); Kota Palembang (Ibukota Palembang); Kota Pagar Alam (Ibukota Pagar Alam); Kota Lubuk Linggau (Ibukota Lubuk Linggau); Kota Prabumulih (Ibukota Prabumulih); Kab. Penukal Abab Lematang Ilir (Ibukota Talang Ubi); Kab. Musi Rawas Utara (Ibukota Rupit). 26 Wawancara dengan Heri Wijaya Kepala Bidang Kebudayaan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Provinsi Sumatera Selatan, 2 Oktober 2014. 27 Wawancara dengan Farida, dosen Universitas Sriwijaya, 3 Oktober 2014. 28 Lihat Heddy Shri Ahimsa Putra, 2006, Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra, Kepel Press, Yogyakarta, hlm. 25. Ayu, Permata, dan Rafianti, Sistem Perlindungan Sumber Daya Budaya Tak Benda di Palembang 213

Sumber Daya Alam berupa pegunungan Batang Hari Sembilan. kapur, yaitu Bukit Barisan. Budaya air sungai yang kuat di Kegiatan ekonomi masyarakat lebih Sumatera Selatan tampak dari berbagai berfokus di bidang pertanian dan per­ ekspresi budaya material yang dihasilkan kebunan, utamanya tanaman padi sawah, oleh Kesultanan Palembang. Beberapa eks­ tanaman kopi dan sayur-sayuran. Khusus di presi budaya material Kesultanan Palem­­ wilayah Sumatera Selatan, warga masyarakat bang yang penting adalah situs-situ bangun­ melakukan penyelamatan dan pemeliharaan an yang berhubungan dengan air, seperti lingkungan secara sinambung dengan cara situs pengairan, situs bendungan, dan situs menjaga agar berperilaku mereka selalu pelabuhan. Situs-situs arsitektur dan tek­ memperhatikan etika, tabu dan ketentuan adat nologi tradisional yang berhubungan dengan yang harus dipatuhi. Semua ini berakar dari air ini mendominasi warisan budaya material nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat Kesultanan Palembang, bukan situs istana selama ratusan tahun, selalu dijadikan atau tempat pemujaan seperti di Jawa atau pedoman dalam berperilaku, dan dituangkan Bali. dalam petata petiti.30 Konteks ekpresi budaya tradisional Kearifan lokal ini dipelihara oleh tak benda atau imaterial, budaya air sungai masyarakat pengemban di Palembang mela­ ini nyata mempengaruhi ragam gerak tari- lui tradisi lisan. Caranya adalah dengan tarian yang berkembang dari Kesultanan diucapkan oleh anggota masyarakat dalam Palembang, baik ketika Palembang masih peristiwa-peristiwa penting maupun kehi­ menjadi pusat pengembangan Budha terbesar dupan sehari-hari, dengan membuat nilai-nilai di Asia Tenggara, maupun ketika Palembang budaya yang berkaitan dengan kepentingan sudah menjadi Kesultanan Darussalam alam. Masyarakatnya Palembang,­ dalam yang bernuansa Islam. Perpindahan ragam keseharian mereka, memper­ ­hatikan petata- gerak tari-tarian Palembang, terutama yang petiti dengan harapan mereka agar mereka ditarikan oleh perempuan, amat feminine mendapat berkah dan terhindar dari musibah. dan sepenuhnya mengalir seperti gelombang Manfaat kepatuhan terhadap petata-petiti ini dan riak-riak air sungai. Tidak ada jeda atau dipandang sebagai salah satu kearifan lokal hentakan yang menjadi aksentuasi dominan. dari masyarakat Palembang.31 Salah satu adat-istiadat Kesultanan Sumatera Selatan memiliki budaya air Palembang Darussalam yang perlu diles­ yang khas, yakni budaya air sungai. Sumatera tarikan adalah upacara perkawinan tujuh hari Selatan, khususnya Palembang, bahkan dapat tujuh malam dengan adat berangkat tujuh disebut sebagai wialayah di Indonesia dengan turunan. Pelaksanaan upacaranya dilakukan budaya air sungai terkuat, karena wilayah ini selama tujuh hari tujuh malam dengan dialiri oleh ratusan sungai menganak sungai, melibatkan berbagai kalangan masyarakat, yang hingga kini dikenal dengan istilah mulai dari kaum perempuan, laki-laki,

29 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Selatan, 2006, Profil Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumatera Selatan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Selatan, Palembang, hlm vii. 30 Erlina, “Kearifan Lingkungan pada Masyarakat Basemah, Lahat, Sumatera Selatan”, dalam Purba, Jonny, 2003, Bunga Rampai Kearifan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta, hlm. 79. Contoh petata petiti: masyarakat yang mandi di sungai harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup yaitu dilarang mandi di hulu, juga diharuskan berpakaian dalam mencuci, sehingga sungai akan terjaga kebersihannya; dilarang memotong dahan atau ranting tempat bertengger burung; apabila menemukan uang maka harus dikembalikan. 31 Erlina, Loc.cit. Bandingkan dengan Undang-undang Simbur Cahaya, yaitu hukum adat yang dibuat oleh Ratu Sinuhun, yaitu permaisuri Sultan Palembang pada abad ke-16. 214 MIMBAR HUKUM Volume 29, Nomor 2, Juni 2017, Halaman 205-220

remaja, bujang atau gadis, orang-orang tua, 2. Sistem Perlindungan Integratif Kekayaan sampai anak-anak. Rangkaian adat upacara Intelektual Sumatera Selatan sebagai perkawinan tersebut terdiri atas:32 persiapan Model Suaka Sumber Daya Budaya Tak sebelum perkawinan, perkawinan, dan Benda di Tingkat Lokal Maupun Nasional setelah perkawinan. Indonesia Instrumen hukum KI yang digunakan Peta administratif tidak selalu dapat dite­ untuk menganalisis kategorisasi Sumber rapkan sebagai peta budaya. Sebenarnya, wilayah Daya Budaya Tak Benda yang berpotensi suaka sumber daya budaya tak benda kurang cocok uuntuk mendapatkan perlindungan hukum apabila diterapkan pada provinsi/kota/kabupaten KI yang terdekat adalah UU Hak Cipta, tertentu. Selama ini, di Sumatera Selatan, khusus­ meskipun Undang-Undang ini tidak secara nya di Palembang, bukan tidak ada upaya-upaya komprehensif mengatur Sumber Daya pelestarian yang dilakukan oleh Pemerintah dan Budaya Tak Benda. Pasal 38 ayat (1) UU pemerintah daerah. Contoh sederhana, untuk pe­ Hak Cipta mengamanatkan pada Negara les­tarian seni rupa dilakukan pameran lukisan, untuk memegang Hak Cipta atas EBT.33 demo melukis hingga lomba melukis.35 Adanya Pengertian EBT berdasarkan penjelasan pendidikan formal untuk seni rupa juga merupakan Undang-Undang ini adalah mencakup salah salah satu upaya revitalisasi sumber daya budaya satu atau kombinasi bentuk ekspresi sebagai tak benda, meskipun tidak langsung. Akan tetapi, berikut: verbal tekstual, baik lisan maupun kegiatan-kegiatan seperti ini cenderung bersifat tulisan,yang berbentuk prosa maupun puisi, komodifikasi dengan tidak cukup menitikberatkan dalam berbagai tema dan kandungan isi upaya untuk mempertahankan nilai-nilai budaya itu pesan, yang dapat berupa karya sastra ataupun sendiri. Kegelisahan yang mengemuka kemudian narasi informatif; musik, mencakup antara adalah kekhawatiran diambilnya budaya Indonesia lain, vokal, instrumental, atau kombinasinya; di kawasan Sumatera Selatan oleh negara lain, gerak, mencakup antara lain, tarian; teater, khususnya oleh negara serumpun, seperti Malaysia. mencakup antara lain, pertunjukan wayang dan Hal ini merupakan salah satu sebab revitalisasi rakyat; seni rupa, baik dalam bentuk budaya marak dilakukan. dua dimensi maupun tiga dimensi yang terbuat Konteks global, potensi-potensi sistem per­ dari berbagai macam bahan seperti kulit, kayu, lin­dungan yang tepat untuk sumber daya budaya bambu, logam, batu, keramik, kertas, tekstil, tak benda tengah dibahas oleh Organisasi Kekayaan dan lain-lain atau kombinasinya; dan upacara Intelektual Dunia (The World Intellectual Porperty adat.34 Oleh karena itu, berdasarkan penelitian Organization/WIPO) dalam Intergovernmetal yang dilakukan, sumber daya budaya tak Com­­mittee on Intellectual Property and Genetic benda lebih luas daripada kategorisasi yang Re­sources, Traditional Knowledge and Traditional dimuat dalam Undang-Undang Hak Cipta. Cultural Expressions. Definisi EBT yang menge­ Sumber daya budaya tak benda meliputi muka dalam forum ini adalah sebagai berikut: juga sumber daya genetik dan pengetahuan Traditional cultural expression means any tradisional.

32 Amran Halim, 2014, Direktori Kesenian Sumatera Selatan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Selatan, Palembang, hlm. 118. 33 Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953). 34 Bagian Penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953). 35 Ibid. Ayu, Permata, dan Rafianti, Sistem Perlindungan Sumber Daya Budaya Tak Benda di Palembang 215

form of artistic and literary, creative and other eksploitatif jangka pendek dari komersialisasi dan spiritual] expression, tangible or intangible, komodifikasi justru dapat mengancam keberadaan or a combination thereof, such as actions36, nilai spiritual dan keutuhan obyek-obyek yang materials37, music and sound38, verbal and written and their adaptations39, regardless of sinambung. Dalam konteks ini, menjadi logis jika the form in which it is embodied, expressed hak-hak yang diatur dalam Konvensi UNESCO or illustrated which may subsist in written/ 2003 ini adalah hak-hak yang sepenuhnya inklusif 40 codified, oral or other forms. atau meluas-terbuka, bagi seluruh umat manusia. Beberapa potensi dari Sumatera Selatan Hak-hak ini justru meneguhkan kenyataan bahwa sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya telah obyek-obyek yang dijaga harus tetap ada dalam memenuhi kriteria definisi WIPO ini. Ruang ranah kepemilikan bersama atau public domain. lingkup perlindungan EBT dari Sumatera Selatan Lebih tegasnya, ketentuan-ketentuan UNESCO juga mendekati ruang lingkup yang diusulkan oleh Convention 2003 adalah ketentuan-ketentuan WIPO, yaitu dihasilkan dan dikembangkan secara yang meletakkan dasar aturan main di dalam ranah komunal, oleh sekelompok masyarakat tertentu, kepemilikan bersama tersebut, dan bukannya merupakan produk yang unik dan berhubungan membatasi, membagi dan mengaksentuasi ranah dengan identitas sosial komunitas tertentu, dan kepemilikan bersama dengan meletakkan hak-hak disampaikan dari generasi ke generasi. eksklusif. Pola lain untuk membentuk model suaka Konteks Indonesia, dalam hukum nasional­ sumber daya budaya tak benda juga ditawarkan nya telah memiliki pendekatan khusus untuk oleh Konvensi UNESCO 2003 tentang Pelestarian pemanfaatan budaya tak benda sebagai basis Warisan Budaya Takbenda (the Safeguarding of pengembangan kreativitas. Namun demikian, hal Intangible Cultural Heritage of Mankind). Meski ini masih belum bersifat integratif. Dengan asumsi pun demikian, terdapat perbedaan karakter antara bahwa Sumber daya budaya tak benda meliputi instrumen hukum internasional yang diusung oleh EBT, Pasal 38 Undang-Undang Hak Cipta Nomor forum WIPO dan UNESCO. Konvensi UNESCO 28 Tahun 2014 telah mengatur perlindungannya 2003 menitikberatkan pada pelestarian, bukan pada secara khusus, yakni sebagai Hak Cipta berbasis perlindungan hukum terhadap hak ekonomi sumber komunitas atau Hak Cipta komunitas, yang daya seperti umumnya konvensi-konvensi yang penjagaan dan pemeliharaannya dipegang oleh dibidani WIPO dalam bidang KI. Negara. Pentingnya “ketersediaan yang berkesinam­ Kedudukan Negara dalam Pasal 38 UU bungan” dalam Konvensi UNESCO 2003 mengan­ Hak Cipta ini mengisyaratkan kewajiban Negara dung makna yang dalam, yang meletakkan dalam menginventarisasi, menjaga­ dan memelihara komer­sialisasi dan komodifikasi dalam ranah ‘pre­ suatu EBT untuk kepentingan­ utama pemilik Hak cautionary’ atau ranah perlunya diberlakukan prinsip Cipta komunal yang original, yakni masyarakat kehati-hatian. Hal ini dikarenakan kecenderungan­ pengemban. Kewajiban untuk melakukan

36 Dalam forum tersebut dikemukakan sebagai bagian dari actions adalah dance, works of mas, plays, ceremonies, rituals, rituals in sacred places and peregrinations, games and traditional sports/sports and traditional games, puppet performances, and other performances, whether fixed or unfixed. 37 Dalam forum tersebut dikemukakan sebagai bagian dari materials adalah expressions of art, handicrafts, ceremonial masks or dress, handmade carpets, architecture, and tangible spiritual forms, and sacred places. 38 Dalam forum tersebut dikemukakan sebagai bagian dari music and sound adalah songs, rhythms, and instrumental music, the songs which are the expression of rituals. 39 Dalam forum tersebut dikemukakan sebagai bagian dari verbal and written [and their adaptations] adalah stories, epics, legends, popular stories, poetry, riddles and other narratives; words, signs, names and symbols. 40 Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (The World Intellectual Porperty Organization/WIPO) dalam Intergovernmetal Committee on Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Traditional Cultural Expressions. 216 MIMBAR HUKUM Volume 29, Nomor 2, Juni 2017, Halaman 205-220 inventarisasi EBT harus diartikan sebagai kewajiban tempat produk dengan mencantumkan nama asal Negara untuk melakukan upaya perlindungan yang salah atau menyesatkan konsumen. Dengan defensif EBT melalui pembuatan basis data, Indikasi Geografis, produk akan mendapatkan sehingga komodifikasi EBT tidak mencerabut kepercayaan konsumen yang jauh lebih tinggi dari kemanfaatan ekonominya bagi masyarakat pengem­ pada sebelum produk itu dilindungi, karena Indikasi ban. Geografis juga memberi jaminan kualitas prima dan Pemanfaatan suatu EBT pun harus memper­ kontrol atas produk yang berasal dari keunikan hatikan nilai-nilai yang hidup, dan dilakukan tempat asal produk tersebut. dengan cara yang tidak menyudutkan atau bahkan Produk-produk potensial dari Sumatera melemahkan kedudukan masyarakat pengemban. Selatan pada dasarnya dapat menikmati perlin­ Dari perspektif Hak Asasi Budaya atau Hak dungan Indikasi Asal atau Indikasi Sumber. Selain Kebudayaan, hak dari masyarakat pengemban itu, beberapa produk seperti Ukiran, dan terhadap EBT mereka merupakan Hak Asasi Jum­putan Palembang, atau replika dari beberapa Budaya yang bersifat positif, yang mewajibkan situs prasejarah dan peninggalan masa Hindu dan Negara untuk berperan aktif dalam pemenuhan, Budha di daerah Sumatera Selatan, dapat juga perlindungan dan pengimplementasiannya. diberdayakan agar dapat menikmati perlindungan Seperti telah diuraikan di bagian awal tulisan eksklusif Indikasi Geografis. Tabel di bawah ini ini, rezim hukum KI konvensional yang paling menggambarkan kemungkinan perlindungan inte­ menjanjikan untuk memperkuat perlindungan Sum­ gratif berdasarkan Hukum KI yang kini positif ber Daya Budaya, khususnya yang berbasis EBT berlaku di Indonesia di Palembang. dan/atau Warisan Budaya Tak Benda adalah Indikasi Berdasarkan pengamatan yang didapat Geografis dan Indikasi Asal atau Indikasi Sumber di lapangan, Palembang adalah wilayah urban berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun yang berasal dari salah satu kerajaan dan pusat 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Hal peradaban paling berpengaruh di Asia Tenggara dan ini disebabkan oleh karakter kepemilikan Indikasi Asia Tengah, yakni Kerajaan Sriwijaya. Situs-situs Geografis dan Indikasi Asal yang sepenuhnya budaya air sungai yang ditinggalkannya masih dapat bersifat komunal. ditemukan di sekitar ibukota Sumatera Selatan itu. Secara spesifik, Indikasi Geografis dan Dalam konteks ini, diperlukan sistem penentuan Indikasi Asal dapat digunakan untuk menjamin agar kewilayahan yang berbeda dan kompleks dari produk yang telah siap dipasarkan akan menikmati kewilayahan Desa atau Desa Adat. perlindungan eksklusif dari produk-produk sejenis saingannya, yang tidak dihasilkan dari tempat asal produk tersebut, namun ikut mendompleng reputasi

Tabel 1. Perlindungan Hukum Kekayaan Intelektual Sumber Daya Budaya Palembang Ekspresi Verbal, Tekstual, Lisan, Tulisan

Hak Indikasi Indikasi Ekspresi Warisan Benda Cipta Asal Geografis Budaya Budaya Cagar Tradisional Tak Benda Budaya . Prasasti: Kedukan Bukit; Talang Tuwo X X X X . Undang-Undang: Palembang I; X X X Palembang II; Sindang Marga; Simbur Cahaya; Ayu, Permata, dan Rafianti, Sistem Perlindungan Sumber Daya Budaya Tak Benda di Palembang 217

. Cerita Dayang Merindu X X X

. Syair: Sinyor Kista; Nuri; Patut X X X Delapan; Kembang Air Mawar; Perang Menteng; . Wayang Palembang. X X X

. Syair Abdul Muluk; X

. Rubrik: Wak Dolah; Rubrik Mang Juhai. X

Ekspresi Musik Hak Indikasi Indikasi Ekspresi Warisan Benda Cipta Asal Geografis Budaya Budaya Cagar Tradisional Tak Benda Budaya . Slendro dan Pelog X X X

. Nyanyian secara solo atau kelompok X X X X bergantian, diiringi terbangan, lirik bahasa Indonesia atau Arab yang berupa Shalawat;

. Rebana; X X X X

. Musik gambus. X X X X . Musik tradisional: Kromong Musi X X Rawas atau Lubuk Linggau; Saron; Kromong Muara Enim; Kenong Tanjung Sakti; Kenong Pagaralam; Kulintang; Gamalan OKI; Gamalan Prabumulih; Gitar Tunggal; Melayu; Syarofal Anom; Hadrah; Jidor; Serdam; Suling; Ginggong. . Lagu: Mutik Tihau; Lagu Melati X X Karangan; Gending Sriwijaya; . Rebana Burdah. X X . Musik tradisional Harmonium Tanjung X X Sakti

Ekspresi Gerak Hak Indikasi Indikasi Ekspresi Warisan Benda Cipta Asal Geografis Budaya Budaya Cagar Tradisional Tak Benda Budaya . Tari Gending Sriwijaya X X

. Wayang Palembang; X X . Tari: ; X X . Tari Gending Sriwijaya; Tangai; Tenun X X X Songket; dll. 218 MIMBAR HUKUM Volume 29, Nomor 2, Juni 2017, Halaman 205-220

Teater

Hak Indikasi Indikasi Ekspresi Warisan Benda Cipta Asal Geografis Budaya Budaya Cagar Tradisional Tak Benda Budaya . Wayang Palembang X X X . Abdul Muluk dan X X Seni Rupa Hak Indikasi Indikasi Ekspresi Warisan Benda Cipta Asal Geografis Budaya Budaya Cagar Tradisional Tak Benda Budaya . Lukisan pada dinding gua dengan X X X bentuk hewan dalam ornamen (zoomorphic); . Arca batu gajah. X X X

. Arca dan candi zaman Hindu-Budha X X X . Ukiran di atas kayu; Kaligrafi; X X . Arsitektur Mesjid Agung Palembang; X X X Rumah Limas; . Replika arsitektur X X X X . Makam para raja di Palembang. X X . Kerajinan songket Palembang X X X X Upacara Adat Hak Indikasi Indikasi Ekspresi Warisan Benda Cipta Asal Geografis Budaya Budaya Cagar Tradisional Tak Benda Budaya . Rangkaian Adat Menjelang Perkawinan; X X saat Perkawinan dan setelah Upacara Perkawinan

Sumber: Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, 200641 dan Anna Kumari, 2004.42

Pada masa kini, secara yuridis pragmatis, pemegang hak komunalnya, dan kedua, lini menjadi tidak begitu penting untuk menentukan penentuan wilayah khusus, yang bisa diistilahkan apakah Indonesia harus memiliki undang-undang sebagai wilayah suaka budaya tak benda, yang tidak yang khusus untuk mengatur pemanfaatan Sumber selalu sama dengan wilayah administratif suatu Daya Budaya Tak Benda, atau bersandar pada daerah. Perlindungan integratif kekayaan budaya, Undang-Undang Hak Cipta dan beberapa peraturan baik yang bersifat sui generis, lebih berdasarkan lain yang sudah ada. Dalam konteks perlindungan Undang-Undang Hak Cipta dan peraturan-peraturan Sumber Daya Budaya Tak Benda, aspek paling positif lain yang tersebar, atau pun sistem kombinasi dominan adalah kepemilikan atau pengembanan keduanya, selama tidak secara riil berpihak kepada hak yang bersifat komunal. Hal ini mensyaratkan kepentingan pemangku atau pengemban budaya, penguatan di dua lini, pertama, lini pemberdayaan dan tidak menghasilkan perumusan keuntungan komunitas lokal yang akan secara yuridis menjadi finansial maupun non-finansial yang adil bagi

41 Lihat pada Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, 2006, Direktori Kesenian Sumatera Selatan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Selatan, Palembang. 42 Lihat juga pada Anna Kumari, 2004, Tujuh Hari Tujuh Malam: Upacara Adat Perkawinan Palembang Darussalam, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Palembang. Ayu, Permata, dan Rafianti, Sistem Perlindungan Sumber Daya Budaya Tak Benda di Palembang 219 mereka, akan bermakna gagal. seni rupa murni dan seni terapan yang berkembang sejak zaman pra-sejarah hingga D. Kesimpulan saat ini; dan upacara adat, yang paling popular Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan adalah upacara perkawinan adat Palembang pembahasan di atas adalah sebagai berikut: Darussalam. 1. Kategori potensi Sumber Daya Budaya Tak 2. Sistem perlindungan integratif-maksimal Benda yang dapat dilindungi oleh Hukum dengan membuat model suaka sumber KI meliputi ekspresi verbal tekstual, seperti daya budaya tak benda, baik di tingkat karya sastra tradisi lisan maupun yang lokal maupun nasional Indonesia, dapat tertulis di situs-situs; ekspresi musik, baik dilakukan dengan cara membuat suatu sistem vokal, instrumental maupun kombinasinya, perlindungan komprehensif dan inklusif, yang banyak berkembang dari zaman artinya, dengan memanfaatkan pera­­turan berkembangnya kebudayaan Islam hingga perundangan-undangan, baik di tingkat saat ini; ekspresi gerak, antara lain tari Undang-Undang maupun Peraturan Pelak­ Gending Sriwijaya yang sangat terkenal dan sana, termasuk juga institusi dan proses- telah mengalami revitalisasi; ekspresi teater, proses terkait, tidak hanya di wilayah Hukum seperti Wayang Palembang dan sandiwara KI, tetapi juga Hukum Lingkungan, Hukum tradisional; ekspresi seni rupa, yaitu berbagai Pemerintahan Daerah, Hukum Media dan Teknologi Informasi. DAFTAR PUSTAKA

yaan, Palembang. A. Buku Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, 2006, Ayu, Miranda Risang, et al., 2013, Hukum Sumber Direktori Kesenian Sumatera Selatan, Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional, dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia, Selatan, Palembang. Alumni, Bandung. Putra, Heddy Shri Ahimsa, 2006, Strukturalisme Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra, Kepel Sumatera Selatan, 2006, Profil Peninggalan Press, Yogyakarta, Sejarah dan Purbakala Sumatera Selatan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi B. Artikel Jurnal Sumatera Selatan, Palembang. Zaini, Zulfi Diane, “Implementasi Pendekatan Erlina, “Kearifan Lingkungan pada Masyarakat Yuridis Normatif dan Pendekatan Normatif Basemah, Lahat, Sumatera Selatan”, dalam Sosiologis dalam Penelitian Ilmu Hukum”, Purba, Jonny, 2003, Bunga Rampai Kearifan Jurnal Pranata Hukum, Vol. 6 No. 2, Juli Lingkungan, Kementerian Lingkungan 2011. Hidup, Jakarta. Halim, Amran, 2014, Direktori Kesenian Sumatera C. Makalah Selatan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Situngkir, Hokky, “Kekayaan Budaya Indonesia”, Provinsi Sumatera Selatan, Palembang. Makalah, Indonesian Archipelago Culture Kumari, Anna, 2004, Tujuh Hari Tujuh Malam: Initiatives (IACI) The National Workshop on Upacara Adat Perkawinan Palembang Intellectual Property and the Documentation Darussalam, Kementerian Pendidikan dan and Establishment of Database of Traditional Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebuda­ Knowledge, Folklore and Intangible Cultural 220 MIMBAR HUKUM Volume 29, Nomor 2, Juni 2017, Halaman 205-220

Heritage, UPT HKI UNPAD bekerja Negara Republik Indonesia Tahun 2016 sama dengan Kementerian Luar Negeri, Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Kementerian Budaya dan Pariwisata, serta Republik Indonesia Nomor 5953). World Intellectual Property Organization Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2007 tentang (WIPO), 2011. pengesahan Konvensi UNESCO tentang Pelestarian Warisan Budaya Takbenda 2003 D. Internet (Lembaran Negara Republik Indonesia Irianto, Sulistyowati, “Praktik Penelitian Hukum: Tahun 2007 Nomor 81). Perspektif Sosiolegal”, http://www.bphn. Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997 tentang go.id/data/documents/materi_cle_8_prof_ Pengesahan WIPO Copyright Treaty 1996 dr_sulistyowati_irianto_full.pdf, diakses 30 (Lembaran Negara Republik Indonesia Mei 2013. Tahun 1997 Nomor 36). Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, “Sejarah Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 2004 tentang Sumatera Selatan”, http://www.sumselprov. pengesahan WIPO Performances and go.id/index.php?module=content&id=9, Phonograms Treaty (WPPT) 1996 (Lembaran diakses pada 30 Mei 2013. Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, “Sekilas Nomor 93). Sumatera Selatan”, http://www.sumselprov. go.id/profil/sekilas, dikases tanggal 12 F. Lain-Lain September 2014. Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Annex Ic Agreement of E. Peraturan Perundang-Undangan Establishing of the World Trade Organization, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak 1994. Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Wawancara dengan Farida, Dosen Sejarah, Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Universitas Sriwijaya, 3 Oktober 2014. Negara Republik Indonesia Nomor 5599). Wawancara dengan Heri Wijaya Kepala Bidang Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Kebudayaan, Dinas Kebudayaan dan Merek dan Indikasi Geografis (Lembaran Pariwisata, Provinsi Sumatera Selatan, 2 Oktober 2014.