PEDAGANG KAKI LIMA 180o DALAM “PKL KONTROVERSI KOTA DAN SOLUSI BERSAMA”

Analisis Wacana Kritis Teun A. Van Dijk Mengenai Resistensi Buklet “PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” Besutan Komune Rakapare Terhadap Stigma Kehadiran PKL di Kota Bandung.

SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana Ilmu Komunikasi

Disusun Oleh : Muhammad Roby Iskandar 10080012168 Ilmu Jurnalistik

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG BANDUNG 2017-2018

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Pedagang Kaki Lima 1800 dalam “PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama”

Sub Judul : Analisis Wacana Kritis Teun A. Van Dijk Mengenai Resistensi Booklet “PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” Besutan Komune Rakapare terhadap Stigma Kehadiran PKL di Kota Bandung.

Nama : Muhammad Roby Iskandar

NPM : 10080012168

Bidang Kajian : Ilmu Jurnalistik

Menyetujui

Dosen Pembimbing,

______

Dr. Kiki Zakiah, M. Si

Mengetahui

Ketua Bidang Kajian Ilmu Jurnalistik,

______

Dr. Ferry Darmawan, S.Sos., M. Ds.

i

LEMBAR PERNYATAAN

Demi Allah, dengan ini saya menyatakan bahwasanya karya tulis dengan berjudul:

Pedagang Kaki Lima 1800 dalam “PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” (Analisis Wacana Kritis Teun A. Van Dijk Mengenai Resistensi Buklet “PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” Besutan Komune Rakapare terhadap Stigma Kehadiran PKL di Kota Bandung.)

Adalah benar hasil karya tulis saya. Apabila di kemudian hari diketahui terbukti skripsi saya merupakan jiplakan dari karya tulis orang lain, saya bersedia menanggung sanksi berupa pembatalan skripsi, pembatalan kelulusan sarjana, atau pencopotan gelar sarjana yang sudah saya peroleh.

Demikian pernyataan ini saya kemukakan dengan penuh kesungguhan.

Yang menyatakan,

______Muhammad Roby Iskandar 10080012168

ii

MOTTO

Surat Al-Baqarah [2:216]

ُكتِ ب ع ل ْي ُك ُم ا ْل ِقت ا ُل و ُه و ُك ْره ل ُك ْم ۖ و ع س ى أ ْن ت ْك ر ُهوا ش ْيئًا و ُه و خ ْي ر

ل ُك ْم ۖ و ع س ى أ ْن تُ ِحبُّوا ش ْيئًا و ُه و ش ر ل ُك ْم ۗ و ّ َللاُ ي ْع ل ُم وأ ْنتُ ْم ل ت ْع ل ُمو ن

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

Sedikit pengingat atas segala stigma negatif yang senantiasa manusia layangkan pada sesamanya

iii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim.

Seraya mengucap syukur kepada Allah subhanahu wa ta'ala atas segala nikmat dan berkah yang diberikan kepada penulis. Pun, lafal astaghfirullahaladzim harus penulis ucapkan dalam memohon ampun atas khilaf dan dosa yang penulis buat.

Walaupun gelar Sarjana yang tertera sebagai tujuan dari karya tulis ini, Insyaallah tidak mengurasi nilai kontribusinya kepada masyarakat. Keduanya menjadi pencapaian sebagai mahasiswa yang senantiasa penulis harapkan di setiap ketikan huruf demi huruf. Penulis amat yakin bahwasanya penelitian ini sendiri masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu izinkanlah penulis meminta maaf atas segala kekurangan dan keteledoran.

Tentu karya tulis yang sedang di hadapan pembaca ini didorong oleh sejumlah nama-nama di sekitar penulis. Tidak tahu di untung, rasanya bila penulis tak memberikan ucapan “terimakasih” kepada insan-insan berikut ini:

1. Ibunda tercinta, Maizar Eka Putri yang akhirnya tidak pernah melihat anak pertamanya menyelesaikan studi Sarjana 1 secara langsung. Semoga di sisi-Nya lah tempat terbaikmu untuk menikmati karya anak-anakmu.

2. Iskandar, pria yang nama belakangnya kini penulis sandang. Ayah sekaligus panutan penulis untuk menjadi seorang pria.

3. Adik tercinta. Verin Mailiza Muliani. I belived, some day you can to be more than me.

iv

4. Nurlaini. Pemilik rahim yang telah melahirkan Ibunda penulis, dan kini harus kembali direpotkan dengan mengurus kami yang tak pandai mengurus diri.

5. Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung, Dr. O. Hasbiansyah, Drs., M.Si.

6. Ibu Dr. Kiki Zakiah, M. Si., terimakasih banyak atas kesabaran dan segala masukannya hingga mau direpotkan hingga lebih dari satu tahun lamanya. Insyaalah, segala pembelajaran yang penulis dapat sedari bimbingan seminar hingga skripsi, tidak ada yang penulis sia- siakan.

7. Ketua Bidang Kajian Ilmu Jurnalistik, Dr. Ferry Darmawan, S.Sos., M.Ds., beserta, Yadi Supriadi, S.Sos., M.Phil., dan seluruh punggawa bidang kajian tercinta.

8. Dosen Wali Mahasiswa penulis, Nova Yulianti, Dra., M.Si.

9. Jajaran pengajar dan staf di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung.

10. Komune Rakapare sebagai narasumber skripsi yang lebih dari kooperatif. Narasumber mana lagi yang selalu memberikan dorongan hingga surel penyemangat untuk menyelesaikan skripsi.

11. Skena kecil pergaulan penulis yang tidak jelas peranannya antara mendorong lahirnya karya tulis ini, atau membuat penulis terlena hingga lupa sedang skripsi; Ghivari (Agi), Indiana (Jhon), Wildan, Dimas, Hasbi, Insan, Vigor, Agam, Wisnu, Rizki (Nyek), Indra (Mipa), Noris, Bobby, Karel, Ghafur, Ravi, Mikdarullah, Zae, Lala, Chyntia (Uni), Neneng, Putri, Desyane (anne), Nita, Wulan, Rifka,

v

Marlina, Ressy.

12. Keluarga Besar Pers Mahasiswa Suara Mahasiswa Unisba, beserta alumni-alumninya.

13. Keluarga Shafnel Amir, yang ridha rumah simpanannya penulis jadikan ruang kreatif.

***

Sejujurnya bagian ini amat menguras tenaga, bila penulis harus cantumkan seluruh nama yang berkeliaran selama penulis menyelesaikan penelitian ini. Untuk itu penulis hanya mampu menghaturkan banyak terimakasih atas jasa- jasanya.

Bandung, November 2015

Muhammad Roby Iskandar

vi

ABSTRAK

“Sebentar ya dik, ada petugas Tibum. Mamang sembunyi dulu.”

Diorama usang dan terus berulang sedari penulis kenal kata “Tibum”, jauh ketika berseragam putih merah. Kehadiran Pedagang Kaki Lima di kota-kota besar memang kerap diidentifikasikan sebagai patologi sosial. Kehadirannya dianggap mengganggu estetika kota, ketertiban umum bahkan melanggar hak pengguna jalan lain. Padahal sejumlah penelitian membuktikan mereka adalah tonggak perekonomian bangsa ini kala dilanda sejumlah krisis, salah satunya di tahun 1998.

Kekinian, sekelompok intelektual organik bernama Komune Rakapare mencoba mengangkat harkat derajat PKL via kedigdayaan media. Saluran alternatif ini setidaknya memutarbalikan segala pandangan usang ihwal PKL. Resistensi ini melayang tidak hanya untuk khalayak yang terhegemoni stigma, melainkan ke meja-meja birokrasi untuk kembali menimbang segala kebijakan.

Penelitian ini ditujukan guna menilik mengapa, bagaimana, dan apa hasil resistensi tersebut. Dengan metode penelitian kualitatif, spesifiknya pendekatan Analisis Wacana Kritis milik Van Djik, penulis mencoba membedah buklet “PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” besutan Komune Rakapare demi menelaah perlawanannya terhadap stigma khalayak ihwal PKL. Tentunya, penulis juga berniat untuk mengangkat implikasi media alternatif tersebut dalam lingkup sosial masyarakat kekinian.

Komune Rakapare sendiri, merupakan sebuah organisasi kepemudaan. Adapun tujuan setiap pergerakan mereka adalah “mengatasi berbagai permasalahan akar rumput ibu pertiwi dengan turun langsung memulai perubahan itu sendiri.” Output dari hasil kegiatan mereka biasanya berupa kajian yang dipublikasikan kepada masyarakat. Penelitian ini pada akhirnya ingin mengungkap makna dan ideologi tertentu dari Komune Rakapare atas stigma khalayak terhadap kehadiran PKL khususnya di Kota Bandung.

Kata Kunci: Analisis Wacana Kritis, Hegemoni, Stigma, Pedagang Kaki Lima, Media Alternatif.

vii

ABSTRACT

"Wait a minute, there is a Tibum officer. I have to be unseen."

An Obsolete diorama are keep spinning around as long as the author knows "Tibum", quite far from white and red uniform. The presence of PKL in the big cities is often identified as social illness pathology. Its existence is considered to disturb the aesthetics of the city, public order, and even violate the rights of other road users. Whereas a number of research prove that they are the pole of this nation's economy, especially when this country hit by crises, in- between in 1998.

Nowadays, a group of organic intellectuals called Komune Rakapare try to lift up the prestige also the degree of PKL through the media superiority. An alternative channel which defeature all about obsolescent views of PKL. This resistance spread wisely not only for the audience which affected by PKL stigma, but also for bureaucratic tables in order to reconsider policy.

This research intended for viewing why, how, and what the results of resistance are. With qualitative research methods, specifically Van Djik's Critical Discourse Analysis approach, the author tries to analyze the booklet "PKL Kontroversi Kota and Solusi Bersama" which is made by Komune Rakapare as a form of resistance for the audience which affected by PKL stigma. Furthermore, the author also intends to promote the implications of such alternative media in the social sphere of contemporary society.

Komune Rakapare itself, is a youth organization. The goals of each movement are to "overcome the grassroots problems of motherland by initiating the change at once." The output of their activities is usually in the form of interpretation which is published to the public. Eventually, this research wants to reveal the meaning and certain ideology of Komune Rakapare for the stigma of the audience towards the presence of PKL, especially in Bandung.

Keywords: Critical Discourse Analysis, Hegemony, Stigma, PKL, Alternative Media.

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ...... i LEMBAR PERNYATAAN ...... ii MOTTO ...... iii KATA PENGANTAR ...... iv ABSTRAK ...... vii ABSTRACT ...... viii DAFTAR ISI ...... ix DAFTAR TABEL ...... xiii DAFTAR GAMBAR ...... xiv DAFTAR LAMPIRAN ...... xv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Konteks Penelitian ...... 1

1.2 Fokus Penelitian dan Pertanyaan Penelitian ...... 13

1.2.1 Fokus Penelitian ...... 13

1.2.2 Pertanyaan Penelitian ...... 13

1.3 Tujuan Penelitian ...... 14

1.4 Kegunaan Penelitian ...... 14

1.4.1 Kegunaan Teoritis ...... 14

1.4.2 Kegunaan Praktis ...... 15

1.5 Setting Penelitian ...... 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Review Hasil Penelitian Sejenis ...... 17

ix

2.1.1 Desi Siti P. – Pemberitaan Penertiban Pedagang Kaki Lima (2013) ...... 17

2.1.2 Kristian Widya W. dan Tutik Rachmawati – Implementasi Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima (2015) ...... 20

2.1.3 Novita Surya Ningsih – Resistensi Pedagang Kaki Lima yang Berdagang di Sepanjang Jalan Colombo Yogyakarta (2014) ...... 23

2.2 Kerangka Pemikiran ...... 27

2.2.1 Komunikasi, Pemecah Kebuntuan Kajian Kritis ...... 27

2.2.2 Produk Komunikasi Massa dan Media ...... 31

2.2.3 Hegemoni, Dominasi Tanpa Merasa Terdominasi ...... 35

2.2.4 New Hope, Media Siber dan Konsep Ruang Publik ...... 39

2.2.5 Resistensi Dominasi Lewat Media Alternatif ...... 42

2.2.6 PKL Objek Stigma ...... 45

2.2.7 Perlawanan PKL Bandung 2016-2017 ...... 48

2.2.8 Konklusi ...... 53

BAB III METODE PENELITIAN DAN GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

3.1 Metodologi Penelitian ...... 56

3.1.1 Paradigma Penelitian Kualitatif ...... 56

3.1.2 Analisis Wacana ...... 58

3.1.3 Analisis Wacana Dalam Perspektif Kritis ...... 60

3.1.4 Model Kognisi Sosial Teun A. Van Dijk ...... 63

x

3.2 Subjek Penelitian ...... 77

3.3 Teknik Pengumpulan Data ...... 78

3.4 Teknik Analisis Data ...... 79

3.5 Uji Keabsahan Data ...... 79

3.6 Gambaran Umum Objek Penelitian ...... 81

BAB IV PEMBAHASAN PEDAGANG KAKI LIMA 180o DALAM “PKL KONTROVERSI KOTA DAN SOLUSI BERSAMA”

4.1 Temuan Penelitian ...... 83

4.1.1 Temuan dalam Teks Buklet “PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama”...... 83

4.1.2 Temuan Ihwal Kognisi Sosial Penyusun Teks Buklet ...... 89

4.1.3 Temuan Konteks Sosial dalam Memahami Perkara PKL ...... 91

4.2 Pembahasan ...... 95

4.2.1 Analisis Wacana Resistensi dalam Teks Buklet ...... 95

4.2.1.1 Struktur Makro (Aspek Tematik) ...... 95

4.2.1.2 Superstruktur (Aspek Skematik) ...... 106

4.2.1.3 Struktur Mikro ...... 118

4.2.1.4 Gambaran Sederhana Analisis Teks ...... 161

4.2.2 Kognisi Sosial Penyusun Buklet ...... 163

4.2.2.1 Model atau Skema Penyusun Buklet “PKL, Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” ...... 165

4.2.2.2 Strategi Penyusun Membangun Wacana dalam Buklet “PKL,

xi

Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” ...... 169

4.2.2.3 Gambaran Sederhana Analisis Kognisi Sosial ...... 175

4.2.3 Konteks Sosial Stigma PKL ...... 177

4.2.3.1 Representasi PKL di Benak Masyarakat ...... 180

4.2.3.2 Kekuasaan dan Akses Wacana ...... 183

4.2.3.3 Gambaran Sederhana Analisis Konteks Sosial ...... 185

4.2.4 Gambaran Keseluruhan Penelitian Pedagang Kaki Lima 180o dalam “PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” ...... 188

BAB V PENUTUP

5.1 Simpulan ...... 192

5.1.1 Simpulan Analisis Teks ...... 193

5.1.2 Simpulan Analisis Kognisi Sosial ...... 194

5.1.3 Simpulan Analisis Konteks Sosial ...... 196

5.2 Saran ...... 199

5.2.1 Saran Teoretis ...... 199

5.2.2 Saran Praktis ...... 201

DAFTAR PUSTAKA ...... 204

LAMPIRAN ...... 208

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Review Penelitian Sejenis ...... 25

Tabel 3.1 Kerangka Analisis Teks Teun A. Van Dijk ...... 65

Tabel 4.1 Skema Summary ...... 107

Tabel 4.2 Skema Story ...... 112

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran ...... 55

Gambar 3.1 Model Analisis Kognisi Sosial (Teun A. Vand Dijk) ...... 64

Gambar 4.1 Laman Muka Buklet “PKL, Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” ...... 153

Gambar 4.2 Laman Belakang Buklet “PKL, Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” ...... 155

Gambar 4.3 Citra Gerobak Sebagai Pembatas Setiap Babnya “PKL, Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” ...... 156

Gambar 4.4 Citra Gerobak dalam Sketsa Setiap Bab “PKL, Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” ...... 157

Gambar 4.5 Gambaran Sederhana Analisis Teks Buklet “PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama" ...... 162

Gambar 4.6 Gambaran Sederhana Analisis Kognisi Sosial Penyusun Buklet “PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama" ...... 175

Gambar 4.7 Gambaran Sederhana Analisis Konteks Sosial Wacana PKL dalam Masyarakat ...... 186

Gambar 4.8 Gambaran Keseluruhan Penelitian Pedagang Kaki Lima 180o dalam “PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” ...... 189

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Buklet PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama ...... 208

Lampiran Wawancara ...... 216

Lampiran Survei ...... 230

Lampiran Kliping Portal Rilis.rakapare.org ...... 240

Riwayat Hidup Penulis ...... 248

xv

BAB I

PENDAHULUAN

“Monumen bambu runcing di tengah kota menuding dan berteriak merdeka, di kakinya tak jemu juga pedagang kaki lima berderet-deret walau berulang-ulang dihalau petugas ketertiban.”

(Widji Thukul)

1.1 Konteks Penelitian

Dalam gempuran propaganda patriotik perwira-perwira Schutzstaffel di medan tempur, adakah yang menyangka bila kisah ihwal media alternatif terjadi di negara berhaluan fasis ini? Adalah kisah sepasang kelas pekerja Jerman bernama

Otto dan Elise Hampel. Diketahui keduanya terpukul atas kepergian salah satu anggota keluarganya –tidak jelas anak, atau saudara- dalam medan perang dunia ke-II. Pasangan ini melakukan upaya perlawanan sederhana atas rezim yang berkuasa. Satu demi satu kartu pos yang mendesak masyarakat untuk tidak bekerja sama dengan Nazi, menolak menyumbangkan uang, menolak dinas militer, dan ajakan menggulingkan Hitler disebarnya dari September 1940 sampai musim gugur 1942.

Secara bertahap keduanya menyebarkan hingga lebih dari 200 kartu pos di penjuru . Aksi ini tentunya menyulut kemarahan rezim. yang menyelidiki kasus ini, setidaknya membutuhkan dua tahun untuk menangkap keduanya. Pada 8 April 1943 di Penjara Plötzensee, Berlin, pasangan ini menutup

1

usia lewat hukuman penggal atas tuduhan atau mempersiapkan pengkhianatan tingkat tinggi.

Di kemudian hari berkas Gestapo mereka diberikan kepada novelis Jerman

Hans Fallada, dan diterbitkan dengan judul “Every Man Dies Alone” tahun 1947.

Selanjutnya lima karya audio visual pun menyusul untuk mengadaptasi kisah ini.

Sementara penulis sendiri mendapatkan kisahnya dari film berjudul “Alone In

Berlin” karya Vincent Perez (2016). Kisah ini tentu seirama dengan anggapan kedigdayaan media dalam membangun kognisi hingga alat penggerak massa.

Petinggi Jerman tentunya tidak akan memenggal kepala mereka bila bukan karena fakta tersebut.

Contoh lainnya adalah Amerika Serikat di Pemilu 2008 lalu. Penyusun sejarah AS tentu tidak luput dengan seorang kulit hitam yang berhasil memimpin dan menarik simpati rakyat via kekuatan media. Bermodal media kampanye yang dirancang sedemikian rupa, Barack Obama sukses membuat ratusan juta rakyat

Paman Sam merasa dekat dengannya. Hal yang luar biasa mengingat AS sempat tenggelam dalam pandangan apartheid.

Selain kapasitas pribadinya yang memang mumpuni, Obama memiliki organisasi kampanye arahan David Plouffe dan Axelrod yang dinilai efektif.

Bahkan lawan politik sekalipun tak segan memuji sebagai organisasi yang brilian.

Dia menang dengan strategi yang rapi dan terarah, tanpa banyak terganggu oleh konflik internal. Organisasi ini mengaplikasikan model penggalangan dana yang tidak lazim namun efektif: dana kampanye tidak diperolehnya dari bantuan negara

2

seperti para kandidat di masa lampau, tetapi benar-benar dari masyarakat kecil dan besar pendukungnya yang secara sukarela menyumbang beberapa dolar per individu, baik secara langsung maupun melalui internet.1

Dicatat Antaranews.com, bahwasanya kejadian ini kembali terulang dalam

Pemilu tahun 2012. "Media sosial telah berkembang menjadi alat kunci dalam kampanye presiden AS yang berlangsung berbulan-bulan, di mana baik Obama dan Romney sama-sama gencar memanfaatkannya. Kendati Romney jauh memanfaatkan jejaring sosial ketimbang capres Republik pada Pemilu 2008 lalu,

John McCain, Obama dianggap tetap berada di atas dalam merengku sukses kampanye online seperti dicapai empat tahun silam.2"

Mari tinggalkan contoh-contoh yang begitu jauh dengan kita, warga negara dunia ke-tiga, di tenggara Asia. Arsip-arsip sejarah Indonesia membuktikan banyak hal yang berhasil di bangun oleh kekuatan media.

Contohnya adalah abadinya stigma buruk Partai Komunis Indonesia hingga hari ini di sejumlah lini masyarakat. Namun penulis tidak ingin banyak berdebat ihwal contoh tersebut –penulis rasa pro/kontra PKI patut didiskusikan terpisah dan penuh kedewasaan. Contoh lain terjadi saat negara ini telat menyadari opsi alternatif medium penyebaran informasi. Media massa tradisional yang sukses

1 Inspirasihumas.blogspot.co.id. Februari 2011. “Kunci Kemenangan Obama pada Pemilihan Presiden AS 2008” http://inspirasihumas.blogspot.co.id/2011/02/kunci-kemenangan-obama-pada- pemilihan.html. Tanggal akses 30 Januari 2016. 2 Antaranews.com. Februari 2012. “Media Sosial dan Kemenangan Obama” http://www.antaranews.com/print/342440/media-sosial-dan-kemenangan-obama. Tanggal akses 30 Januari 2016.

3

“dibungkam” pemerintahan orde baru –maaf menggunakan istilah kecap ini— memaksa massa pro demokrasi bermain “petak umpet” di dalam jaringan untuk bertukar informasi. Mailing list yang dibangun sejumlah organisasi pro demokrasi sukses menjadi biang keladi atas runtuhnya rezim otoriter di penghujung abad 203.

Kesentralan media di ranah sosio-kultural masyarakat nyatanya sudah banyak diteliti. Ibrahim dan Ahmad menjabarkan bila telaah peneliti kritis menempatkan media sebagai pembentuk masyarakat. Tidak hanya itu media pun diasosiasikan sebagai cermin, representasi, guru, ritual bahkan Tuhan yang menentukan arah masyarakat4. Oleh karenanya media acapkali berperan sebagai pelestari hegemoni dalam cara pandang manusia.

Salah satunya adalah cara pandang kita (masyarakat umum) atas keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL). Hasil penelitian Desi Siti

Permananingsih (2014) menunjukkan pembingkaian media terhadap PKL acap kali diarahkan sebagai masalah sosial. Khususnya masalah keamanan dan ketertiban umum5. Sedikit banyak berhubungan dengan hasil penelitian Ari

Sulistiyo Budi. Ia menyebutkan mayoritas masyarakat memandang PKL mengganggu kenyamanan trotoar, mengurangi ruang parkir kendaraan bermotor,

3 Heufers, dalam Arifin, Anwar. 2014. Politik Pencitraan, Pencitraan Politik. Yogyakarta. Graha Ilmu. Hal. 107. 4 Ibrahim, Idi Subandy, Bachruddin A. Akhmad. 2014. Komunikasi dan Komodifikasi: Mengkaji Media dan Budaya dalam Dinamika Globalisasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Hal 3- 8. 5 Permananingsih, Desi Siti. 2014 “Pemberitaan Penertiban Pedagang Kaki Lima: Studi Kualitatif mengenai Isu Penertiban PKL di Harian Umum Pikiran Rakyat dan Tribun Jabar Edisi November- Desember 2013 dengan Model Framing Robert N. Entman.” Bandung Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung.

4

merusak kebersihan lingkungan, biang kemacetan, memberikan ruang tindak kriminalitas dan gangguan visual.6

Bila ditelisik dari konteks histori, stigma atas PKL ini telah ada sejak akhir abad ke 19. Diceritakan Susan Blackburn bahwasanya PKL dimasa itu terbiasa berteriak untuk menarik perhatian pembeli. Suasana gaduh yang ditimbulkan menuai ketidaksukaan penduduk sekitar –mayoritas orang-orang Belanda. Alhasil,

Pemerintah Hindia Belanda melakukan pengusiran terhadap pedagang. Kelak hal ini menuai kecaman dari Bumiputera yang duduk di Dewan Kota (Gemeente

Raad7)

Diceritakan pula, pasca kemerdekaan jumlah pedagang kaki lima di

Batavia terus tumbuh dengan pesat. Dewan Perwakilan Kota Sementara (DPKS)

Jakarta di tahun 1950an menyatakan; PKL sebagai salah satu biang keladi dari konflik penduduk dan ketidakteraturan kota. Mulai dari titik inilah PKL menjadi kambing hitam atas mayoritas permasalahan perkotaan. Susan Blackburn mencatat, pada 1960-an pedagang kaki lima terus mendapatkan stigma buruk, seperti merusak keindahan kota, cara dagang yang primitif dan membuat malu negara saat kedatangan tamu-tamu luar negeri.8

6 Dalam Liauw, Gasper. 2015: 4. Administrasi Pembangunan: Studi Kajian PKL. Bandung: PT. Refika Aditama. 7 Salah satu Dewan Kota saat itu adalah Abdul Muis. Ia memprotes pengusiran pedagang oleh pemerintah, “Para pedagang diusir dari pinggir jalan karena di tempat tersebut tinggal banyak orang Belanda yang tidak mau melihat para pedagang kaki lima kotor itu.” (Susan Blackburn dalam Hanggoro, Hendaru Tri. Dalam Historia.id. 29 Maret 2013. “Mula Pedagang Kaki Lima” http://historia.id/kota/mula-pedagang-kaki-lima. Tanggal akses 12 Januari 2016.) 8 Ibid

5

Lebih dari dua abad berlalu, stigma ini masih tetap berjaya di benak mayoritas masyarakat perkotaan. Penelitian Udji Asiyah (2012) menyibak posisi pelaku usaha pinggir jalan ini dalam konteks sosial:

“Sebagai sektor informal, maka PKL memang tidak pernah mendapatkan perlakukan yang sama dengan sektor formal. Terlebih citra negatif yang selama ini diberikan oleh pemerintah atas status PKL di sektor informal, selain dianggap melanggar ketertiban umum, tidak memperhatikan keindahan kota, juga dianggap sebagai perilaku patologi sosial. Tidak berlebihan bila PKL tidak saja berada dalam posisi marginal, melainkan termarginalisasi menjadi sektor yang tidak boleh berkembang di tengah kota besar.9”

Perlu ditekankan bahwasanya dalam permasalahan PKL, sosok “kambing hitam” pelestari stigma tersebut tidak hanya media belaka. Ada peran kekuasaan elite yang justru menunggangi anggapan-anggapan umum ini. Stigma negatif yang terlanjur terbangun, justru menjadi ironi bila dibandingkan dengan kontribusi PKL untuk perekonomian bangsa. Rully Indrawan mengungkapkan bahwa ekonomi negara ini sangat ditopang oleh keberadaan Usaha Kecil Usaha Menengah

(UMKM) yang kebanyakan bergerak di sektor informal. Bahkan ketika dilanda krisis ekonomi tahun 1998, keberadaan PKL tetap menjaga daya beli masyarakat10. Menurut Kristian Widya Wicaksono dan Tutik Rachmawati (2015),

PKL menjadi pasar alternatif yang mampu menyediakan bahan kebutuhan masyarakat dengan harga yang terjangkau, bahkan di saat krisis sekalipun11.

9 Asiyah, Udji. 2012. “Pedagang Kaki Lima Membandel di Jawa Timur”, dalam Jurnal Masyarakat dan Kebudayaan Politik Vol 25, No. 1, 2012 (hal. 47-55). 10 Dalam Gasper Liauw, 2015: xii 11 Wicaksono, Kristian Widya, Tutik Rachmawati. 2015. “Implementasi Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima” Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan. Hal 39.

6

Adapun PKL di Indonesia diperkirakan berjumlah lebih 22 juta jiwa per

201312. Ditengarai pertumbuhan ekonomi Indonesia nan eksklusiflah yang membuat banyak masyarakat menggeluti ekonomi informal, layaknya PKL.

Dalam pertumbuhan model ini, dikatakan Baharudin (2013) hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi tanpa banyak memperhitungkan aspek penyerapan tenaga kerja, pengangguran, kemiskinan dan lingkungan. Sementara pertumbuhan ekonomi terus bergerak positif, angka kemiskinan dan angka pengangguran pun tetap “terjaga”. Pertumbuhan eksklusif ini yang menurut Henri Saparini (2012) memperlebar kesenjangan ekonomi di bumi pertiwi13.

Maka, merujuk fakta-fakta yang memperkuat status wajibnya negara ini memelihara PKL, sejumlah landasan hukum pun dibuat untuk melestarikan keberadaannya. Adapun Kota Bandung setidaknya punya dua landasan utama.

Pertama, Peraturan Daerah No. 04 tahun 2011, tentang penataan dan pembinaan pedagang kaki lima. Dan kedua adalah terjemahan pelaksaannya. Terangkum dalam Peraturan Walikota Bandung No. 888 tahun 2012, tentang petunjuk pelaksanaan peraturan daerah Kota Bandung No. 04 tahun 2011 tentang penataan dan pembinaan pedagang kaki lima.

Namun sayangnya dua landasan ini bukan penjamin dari kesejahteraan

PKL di kota kembang. Dilansir dari portal berita Metrotvnews.com per 31 Mei

2016, bahwa Bandung menjadi kota teratas dengan jumlah PKL terbanyak di Jawa

12 Industri.Bisnis.com. 5 Mei 2013. “UKM: Jumlah Pedagang Kaki Lima Diperkirakan Capai 22 Juta Orang” http://industri.bisnis.com/read/20130505/87/12417/ukm-jumlah-pedagang-kaki-lima- diperkirakan-capai-22-juta-orang. Tanggal akses 13 Januari 2016. 13 Gasper Liauw, 2015: 1-2

7

Barat14. Terbaru, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota

Bandung menyebutkan PKL di wilayahnya mengalami peningkatan 10 persen dalam tiga tahun terakhir. Tepatnya sebanyak 20.326 di tahun 2012 dan naik ke angka 22.359 pada 201515.

Tentunya angka ini menjadi sorotan. Misalnya Anggota Komisi B DPRD

Kota Bandung, Aan Andi Purnama yang menilai kondisi ini berbahaya bagi estetika kota. “Selain itu juga Pendapatan Asli Daerah Kota Bandung yang dihasilkan dari retribusi pasar akan sulit ditingkatkan karena banyaknya pedagang pasar yang akan memilih menjadi PKL,” ungkapnya16. Ada pula Ketua Sekretaris

Tim Satuan Tugas Khusus (Satgasus) PKL Kota Bandung, Oded M. Danial yang juga menjabat sebagai Wakil Wali Kota Bandung mengakui urusan PKL bukanlah perkara mudah untuk ia dan timnya tangani17.

Setahun ke belakang Pemerintah Kota Bandung mulai progresif menertibkan jajaran PKL di empat lokasi yang dianggap titik kesemerawutan kota. Jalan Dayang Sumbi, Otto Iskandardinata, Ahmad Yani dan Purnawarman

14 Metrotvnews.com. 31 Mei 2016. “PKL Terbanyak di Jawa Barat Ada di Kota Bandung” http://jabar.metrotvnews.com/peristiwa/VNx9ZyBb-pkl-terbanyak-di-jawa-barat-ada-di-kota- bandung. Tanggal akses 15 Januari 2016. 15 Metrotvnews.com. 27 Januari 2016. “Jumlah PKL di Bandung Meningkat 10 Persen” http://jabar.metrotvnews.com/read/2016/01/27/475757/jumlah-pkl-di-bandung-meningkat-10- persen. Tanggal akses 4 Januari 2016. 16 Ayobandung.com. 14 Juli 2015. “Mengkhawatirkan, Jumlah PKL Bandung Melebihi Pedagang Formal” http://ayobandung.com/read/20150714/59/786/mengkhawatirkan-jumlah-pkl-bandung- melebihi-pedagang-formal. Tanggal akses 13 Januari 2016. 17 Metrotvnews.com. 27 Januari 2016. “Jumlah PKL di Bandung Meningkat 10 Persen” http://jabar.metrotvnews.com/read/2016/01/27/475757/jumlah-pkl-di-bandung-meningkat-10- persen. Tanggal akses 4 Januari 2016.

8

menjadi target operasi yang dicanangkan Pemkot Bandung18. Relokasi bertahap ini kenyataannya dijagal segudang kendala.

Perseteruan antara pemerintah dan PKL pun sempat meruncing. Selama satu semester pertama 2016 setidaknya terjadi tiga aksi penolakan relokasi oleh

PKL Kota Bandung. Sempat mereda, perkara ini kembali mencuat di April 2017 akibat lahan relokasi yang kembali diminta pihak pengembang –Bandung

Electronic Center19. Kasus ini semakin menguatkan praduga sulitnya menemukan titik tengah, antara perut pedagang kecil dan nilai estetika di mata birokrat.

Dengan jelas tercatat dalam Perda Kota Bandung No. 4 Tahun 2011, alasan lahirnya peraturan tersebut untuk mengakomodasikan PKL. Mengingat peranannya sebagai pelaku usaha informal yang berkontribusi secara ekonomis, sosiologis, dan nilai-nilai luhur. Kristian Widya Wicaksono dan Tutik

Rachmawati (2015: 39) menuliskan, apabila Pemda Kota Bandung berniat untuk melakukan relokasi maka pertimbangan utamanya adalah menyediakan lokasi yang tidak akan merugikan bagi PKL.

“Bagaimanapun PKL telah berjasa banyak dalam perekonomian Indonesia terutama saat bangsa ini didera masa-masa sulit ketika krisis ekonomi tahun 1998. PKL menjadi pasar alternatif yang mampu menyediakan bahan kebutuhan masyarakat dengan harga yang terjangkau. Oleh karenanya, relokasi PKL hendaknya ditata sedemikian rupa.20”

18 Tempo.co. 15 Februari 2016. “Pemkot Bandung Segera Relokasi PKL di Empat Lokasi” https://m.tempo.co/read/news/2016/02/15/058745081/pemkot-bandung-segera-relokasi-pkl-di- empat-lokasi. Tanggal akses 17 Januari 2016. 19 Lihat Rilis.rakapare.org tag PKL. 20 Wicaksono, Kristian Widya, Tutik Rachmawati. 2015. (hal: 39)

9

Mereka pun menunjukkan kegagalan dari birokrat Kota Bandung untuk mengimplementasikan Peraturan Daerah Kota Bandung No. 4/2011. Menurut keduanya salah satu indikator keberhasilan implementasi Perda ini ditentukan lewat kepercayaan PKL terhadap Pemda Kota Bandung. Sementara hasil lapangan yang mereka dapati adalah melekatnya stigma korupsi dan kolusi pada organisasi pemerintah21.

Perjalanan panjang untuk tetap melapak para PKL diketahui terus mendapat advokasi sejumlah pihak dan disebarkan sejumlah media. Dalam pra- penelitian, penulis mendapati sebuah portal alternatif yang menyajikan persoalan ini secara mendetail. Rilis.rakapare.com memuat rangkaian kejadian permasalahan ini secara apik. Di dalamnya penulis mendapati unggahan buklet yang berisikan bantahan atas sejumlah stigma dalam memandang kehadiran PKL.

Tentunya hal ini yang membuat penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh.

Setidaknya ada tujuh fokus masalah yang di bahas dalam buklet setebal 32 halaman ini. (1) Ihwal PKL yang di stigmakan sumber kemacetan, (2) Stigma

PKL yang melanggar hukum dan aturan Perda Kota Bandung. (3) Stigma PKL melanggar dan merebut hak pejalan kaki. (4) Stigma PKL yang merusak keindahan kota. (5) Stigma ketidaktahuan diri PKL atas jasa pemerintah. (6)

Pemerintah membutuhkan waktu untuk mendesain tempat relokasi dan (7) Barang dagangan PKL tidak orisinal. Semua pembahasan ini dikemas dengan cukup ringan, disertai ilustrasi-ilustrasi yang menggambarkan kehidupan pedagang kaki

21 Ibid.

10

lima. Penulis menganggap sebagai media komunitas, Rilis.rakapare.org sarat akan wacana pro PKL yang menarik untuk ditelaah.

Ririlis.rakapare.org sendiri merupakan media komunitas milik Komune

Rakapare, sebuah organisasi kepemudaan. Adapun tujuan pergerakan komunitas ini untuk “mengatasi berbagai permasalahan akar rumput ibu pertiwi dengan turun langsung memulai perubahan itu sendiri.22” Bagi komunitas ini pemuda adalah elemen dalam masyarakat yang wajib menginisiasi perubahan.

Sementara pembelaan yang mereka berikan pada PKL Purnawarman, bukanlah aksi pertama. Sebelumnya Rakapare pun sempat mengadvokasi beberapa kasus seperti permasalahan agraria yang menimpa petani di Kerawang dan kebakaran di salah satu Panti Asuhan di Kota Bandung. Output dari hasil kegiatan mereka biasanya berupa kajian yang dipublikasikan kepada masyarakat.23

Dari runutan di atas, penulis amat tertarik untuk mengkaji resistensi

Komune Rakapare yang ditunjukkan lewat buklet “PKL Kontroversi Kota dan

Solusi Bersama.” Adapun resistensi yang penulis maksud adalah, perlawanan terhadap stigma dominan masyarakat atas kehadiran PKL di Kota Bandung.

Penulis sendiri memilih metode kualitatif dengan pendekatan analisis wacana berparadigma kritis, besutan Teun A. Van Dijk. Analisis wacana merupakan aspek sentral penggambaran subjek lewat bahasa untuk menjabarkan ideologi

22 dalam kanal Rakapare.org 23 Ibid.

11

yang bermain di belakangnya. Pakem sosiologi merujuk wacana sebagai hubungan antar konteks sosial dari penggunaan bahasa.

Menurut Van Dijk penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena teks merupakan hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Maka ia membagi tiga klasifikasi dalam proses analisisnya. Yakni ranah teks, kognisi sosial dan konteks sosial. Intinya menggabungkan ketiga dimensi tersebut ke dalam satu kesatuan.24

Lewat pendekatan ini diharapkan dapat menjelaskan permasalahan yang penulis angkat baik di level mikro, makro dan meso. Pendekatan mikro melihat permasalahan resistensi komunitas berkaitan dengan isu tentang kesadaran dan pemikiran terhadap struktur dominan. Di level ini, perlawanan ditilik via teks yang media bangun. Sementara di level makro permasalahan dilihat lewat konteks sosial, budaya, ekonomi bahkan politik yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari baik kesadaran, pemikiran maupun aktivitasnya.

Pendekatan Kognisi Sosial Van Dijk ini pun memetakan perlunya analisis yang melihat media alternatif sebagai sebuah institusi. Level ini dinamai level meso, yang melihat indikator pemikiran dan kepentingan individu dalam media itu sendiri. Dengan menggunakan wawancara mendalam diharapkan kognisi sosial dari orang-orang di dalam media tersebut dapat dimunculkan hingga

24 Eriyanto. 2000. Analisis Wacana: Pengantar Pengenalan Untuk Analisis Teks Media. Jakarta. Hal: 136.

12

menjembatani antara level mikro dan makro25. Dengan penjelasan di atas penulis tertarik mengangkat penelitian dengan judul; Pedagang Kaki Lima 180o dalam

“PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama”: Analisis Wacana Kritis Teun A.

Van Dijk Mengenai Resistensi Buklet “PKL Kontroversi Kota dan Solusi

Bersama” Besutan Komune Rakapare Terhadap Stigma Kehadiran PKL di

Kota Bandung.

1.2 Fokus Penelitian dan Pertanyaan Penelitian

1.2.1 Fokus Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis mencoba untuk merumuskan permasalahan selaras dengan topik yang hendak dikaji “Bagaimana Resistensi Komune Rakapare dalam Buklet “PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” Terhadap

Stigma Kehadiran PKL di Kota Bandung?”

1.2.2 Pertanyaan Penelitian

Adapun penulis menetapkan tiga identifikasi masalah sebagai berikut:

(1) Bagaimana wacana resistensi dituangkan di dalam teks Buklet “PKL

Kontroversi Kota dan Solusi Bersama”?

(2) Bagaimana kognisi sosial yang mendorong resistensi Komune Rakapare

hingga menuangkannya ke dalam teks buklet?

25 Maryani, Eni. 2011. Media dan Perubahan Sosial: Suara Perlawanan Melalui Radio Komunitas. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hal: 20.

13

(3) Bagaimana konteks sosial yang melatari stigma atas PKL dan wacana

resistensi buklet?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pertanyaan penelitian yang telah dijabarkan maka tujuan penelitian dalam masalah ini, sebagai berikut:

(1) Untuk mengetahui resistensi Komune Rakapare terhadap Stigma

Kehadiran PKL di Kota Bandung yang ditunjukkan dalam dimensi teks

buklet “PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” ?

(2) Untuk mengetahui kognisi sosial Komune Rakapare sebagai pembuat

buklet “PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” yang bermuatan

resistensi terhadap Stigma Kehadiran PKL di Kota Bandung?

(3) Untuk mengetahui konteks Komune Rakapare terhadap sosial budaya di

lingkup masyarakat –baik pedagang kaki lima, sesama pemerhati kota,

hingga taraf Pemerintahan Kota Bandung?

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoretis

Diharapkan penelitian ini berguna sebagai sumber informasi bagi masyarakat, terkhusus mahasiswa Ilmu Komunikasi. Sehingga mampu mengembangkan pemikirannya secara kritis terhadap isu-isu kemasyarakatan. Selain itu, penulis pun berharap hasil penelitian ini mampu berkontribusi dalam progres khazanah

Ilmu Komunikasi khususnya bidang kajian Ilmu Jurnalistik –mengenai wacana

14

media massa, maupun resistensi media alternatif. Pula penulis berharap penelitian ini layak dirujuk penelitian-penelitian kualitatif berikutnya. Terutama yang sama- sama berfokus di kajian wacana media alternatif maupun tentang pengelolaan pelaku usaha kecil.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Penulis mengharapkan hasil penelitian ini mampu memberikan perspektif lain dalam memandang permasalahan kota dan subjek-subjek yang kerap distigmakan sebagai patologi sosial. Diharapkan pula, lewat penelitian ini masyarakat mampu memahami wacana counter-hegemonic kelompok-kelompok sipil lewat media alternatif. Terakhir, salah satu kegunaan penelitian ini ditujukan bagi para pelaku praktis Ilmu Komunikasi untuk memahami dinamika sosial masyarakat.

1.5 Seting Penelitian

Agar penelitian ini terarah, sistematis serta terhindar dari kesalahpahaman fokus penelitian yang melebar, maka penulis me-demarkasi masalah yang akan diteliti.

Ada pun batas-batasnya seperti berikut:

(1) Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah analisis

resistensi Komune Rakapare terhadap Stigma Kehadiran PKL di Kota

Bandung.

(2) Sampel yang diteliti adalah buklet bertajuk “PKL Kontroversi Kota dan

Solusi Bersama” yang diterbitkan dalam kanal Rilis.rakapare.org per 16

15

April 2016.

(3) Metode yang digunakan adalah metodologi kualitatif lewat pendekatan

Analisis Wacana Kritis dengan model Kognisi Sosial Teun A. Van Dijk.

(4) Pengamatan yang penulis lakukan dibatasi pada dimensi teks, kognisi

sosial dan konteks sosial.

16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Review Hasil Penelitian Sejenis

“Segalanya sudah ditemukan, semuanya telah didefinisikan, ais sisanya di tanah, susun lagi dengan tanganmu. Tak ada lagi kebaruan, semua kata pernah dikalimatkan, pilih sisanya di udara, ucapkan lagi di mulutmu.” Sepenggal lirik dari musisi asal kota pelajar, FSTVLST bertitel “Manifesto Postmodernisme.”

Sedikit banyak penulis mengamini makna bait di atas. Maka dari itu bab ini menjadi begitu penting –bahkan sebelum bab satu ditulis- dalam tahap penggarapan. Maka berikut sedikit telaah ihwal hasil penelitian yang peneliti anggap senada, seirama dengan masalah yang penulis teliti;

2.1.1 Desi Siti P. - Pemberitaan Penertiban Pedagang Kaki Lima (2013)

Penelitian ini adalah penelitian sarjana komunikasi yang memberikan pijakan awal bagi kerja penulis. Desi Siti P. melakukan penelitian khas media yang akrab disebut Analisis Framing, dengan model Robert N. Entman. Ia mengambil berita- berita ihwal PKL di dua buah media regional Jawa Barat, yakni Pikiran Rakyat dan Tribun Jabar edisi November-Desember 2013.

Mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung ini menemukan perbedaan frame kedua media tersebut. Dari dua berita yang ia jadikan objek penelitian di Harian Umum Pikiran Rakyat, Desi melihat bahwa

17

pedagang kaki lima identifikasikan sebagai permasalahan sosial. Bahkan permasalahan sosial ini dianggap sebagai pemicu masalah keamanan. Ia pun mendapati disudutkannya PKL dalam kedua pemberitaan tersebut. Seolah-olah pemerintah tidak memiliki andil dari kesemerautan yang terjadi karena PKL.

Selain itu, pemberitaan Pikiran Rakyat ditulisnya menekankan pada janji-janji walikota. Seperti fasilitas yang telah dibangun pemerintah untuk PKL di wilayah

Gedebage, Kota Bandung. Bagi Pikiran Rakyat penyelesaian masalah akan terwujud bila PKL menurut saat direlokasi. Pemberitaan ini pun meyakini bila nantinya wali kota akan membantu mempromosikan dagangan PKL.

Sementara framing dari harian Tribun Jabar, dikatakan Desi sebagai bentuk kritik sosial terhadap pemerintah atas ketidaksiapannya dalam menangani hal tersebut. Lewat analisisnya ia memetakan bahwa Tribun Jabar merasa pemerintah malah menambah masalah baru dan terkesan plin-plan. Walaupun tidak secara eksplisit menyatakan sumber permasalahan ada di pihak pemerintah, kecondongan Tribun Jabar, diceritakan Desi dapat dilihat dari proporsi berita yang dituliskan. Koran ini pun memberikan rekomendasi bahwasanya tidak hanya

Gedebage tempat yang mampu menyerap para PKL dan perlunya wali kota memantau tempat-tempat relokasi.

Secara keseluruhan Desi meyakini bahwa setiap media memiliki ideologinya masing-masing, maka dari itulah pembingkaian mereka berbeda- beda. Semisal Pikiran Rakyat yang terkesan berpihak pada pemerintah dan Tribun

Jabar yang memilih untuk mengkritisi keadaan tersebut. Desi pun menegaskan

18

bila wartawan di lapangan senantiasa berusaha memberitakan sesuai realita.

Namun, meja redaktur lebih banyak mengonstruksi. Bukan berarti menjadi fiktif, hanya saja tidak semua realita di lapangan masuk dalam pemberitaan tersebut. Hal terpenting yang Desi sampaikan adalah terkait, peran serta ideologi dan kekuasaan dalam menentukan frame berita.

Namun dari analisis yang Desi kemukakan, penulis merasa ada sedikit kekurangan. Barangkali ia melupakan segmentasi kedua media tersebut. Berbicara soal Pikiran Rakyat, jelas merupakan harian umum yang memiliki khalayak dengan golongan ekonomi maupun pendidikan menengah ke atas. Tentunya golongan ini tidak memiliki intensitas yang besar dalam melakukan kegiatan perekonomian dengan PKL. Dari group Pikiran Rakyat sendiri, sebenarnya memiliki produk dengan pangsa pasar menengah ke bawah, yakni Galamedia.

Sementara itu Tribun Jabar notabene adalah perusahaan pers daerah milik

Kompas. Karena pangsa pasar hight end telah menjadi karakter media nasional ini, tentunya Tribun Jabar memilih mengisi slot yang kosong alias low end. Untuk mengetahuinya mudah saja. Dengan memperhatikan headline maupun judul pemberitaan, pembaca –apalagi yang melek media— dapat membedakannya.

Media massa dengan pangsa low end acapkali menggunakan tema-tema berbau yellow press di judul maupun headline. Sederhanya bila Tribun Jabar menggunakan pembingkaian semacam Pikiran Rakyat, tentu ia akan kehilangan konsumen. Dapat dipastikan hal ini tidak diinginkan oleh media beraliran mainstream layaknya kedua media tersebut.

19

Maka selain faktor kekusaan dan ideologi, ekonomi dan inteletualitas sebagai basis struktur masyarakat pun memiliki peran dalam hal pembingkaian media. Di luar dari hal yang telah penulis sampaikan, karya tulis saudari Desi ini amatlah berharga bagi civitas akademika dalam usaha melek media. Penulis sendiri merasa amat terbantu dengan adanya penelitian ini.

2.1.2 Kristian Widya W. dan Tutik Rachmawati – Implementasi Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima (2015)

Penelitian dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas

Katolik Parahyangan ini penulis rasa amat memberikan banyak masukan untuk karya ilmiah penulis. Pasalnya penelitian ini menggambarkan kepatuhan PKL dan sejumlah stakeholder lainnya ihwal implementasi Perda No. 4 Tahun 2011.

Berawal dari banyaknya temuan ketidakpatuhan PKL akan zonasisasi Perda Kota

Bandung No. 4/2011, Kristian dan Tutik merasa perlu untuk mencari tahu alasan ketidakpatuhan tersebut.

Perda Kota Bandung No. 4/2011 sendiri diharapkan menjadi solusi atas permasalahan lanjutan dari keberadaan PKL. Permasalahan lanjutan ini semisal kemacetan, maupun limbah dari kegiatan jual beli. Selain itu peraturan daerah ini pun dimaksudkan sebagai alat penertiban pungutan liar yang sering dialami PKL.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan teori kepatuhan berdasarkan pada Weaver yang di kombinasikan dengan teori implementasi kebijakan publik. Cara mengukur tingkat kepatuhannya sendiri

20

menggunakan enam indikator seperti; Dimensi Pengawasan, Informasi, Insentif dan sanksi, Sumberdaya, Perilaku dan Nilai dan yang terakhir Dimensi Otonomi.

Sementara objek penelitiannya sendiri meliputi tiga wilayah operasional pedagang kaki lima, yakni: Wilayah 1: Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sandikin, Wilayah

2: Jalan Ganesha, Jalan Taman Sari, Jalan Cihampelas, Jalan PHH. Mustofa, Jalan

W.R. Supratman, di depan Universitas Padjajaran, di depan Universitas Islam

Bandung, dan di depan SMAN 5 Bandung. Wilayah 3: Jalan Gedebage, Jalan

Cimandiri, Jalan Depan LAN, alun-alun dan Mesjid Raya Agung, Jalan Dalem

Kaum, Jalan Kepatihan, Jalan Asia Afrika, Jalan Dewi Sartika, Jalan Otto

Iskandardinata, Jalan Merdeka, Perguruan Tinggi UNPAR, dan Jalan Gatot

Subroto Bandung.

Penelitian ini mendapatkan ketidakpathuan PKL Kota Bandung di zona merah terhadap Perda Kota Bandung No. 4 Tahun 2011. Kepatuhan PKL cenderung meningkat ketika adanya pengawasan, penegakan sanksi yang konsisten, ketersedian sumberdaya yang memadai, keleluasaan PKL untuk menentukan pilihan dalam mematuhi Perda Kota Bandung No. 4/2011, Informasi yang tersosialisasikan secara menyeluruh dan Kepercayaan terhadap Pelaksana

Perda Kota Bandung No.4/2011 dapat terpenuhi secara optimal.

Sosialisasi yang dianggap lemah menjadi penyebab ketidaktahuan PKL soal zonasisasi berdagang di Kota Bandung. Keterbatasan sumberdaya pengawasan dari Pemda menambah peluang tidak efektifnya peraturan ini. Kedua peneliti ini pun menemukan tidak seluruh unsur dalam Perda sudah terpenuhi,

21

semisal kepemilikan Tanda Pengenal Berjualan yang seharusnya dimiliki PKL kota Bandung. Faktanya masih banyak PKL yang tidak memiliki tanda pengenal, sehingga sanksi pencabutan tanda pengenal pun tidak dapat dilakukan.

Kedua peneliti ini juga menemukan rasa tidak percaya dari PKL kepada birokrat karena telah terstigma praktik korupsi maupun kolusi. Hal inilah yang seharusnya menjadi titik balik pemerintah untuk memulai komunikasi dengan para PKL. Juga menindak tegas oknum-oknum yang terbukti melakukan hal tersebut.

Kristian dan Tutik pun merekomendasikan Pemda untuk berkerjasama dengan organisasi berbasis komunitas dalam pengawasan zona merah, atau membatasi jumlah zona merah. Keduanya juga menyarankan pemberian intesif berupa modal, baik berupa sarana yang memadai maupun jaminan untuk tidak digusur maupun tidak mendapatkan pungutan liar. Sebelum sanksi dipertegas, ada baiknya untuk membenahi infrastruktur PKL, seperti Kartu Tanda Pengenal

Berdagang dan sebagainya. Pemda Bandung pun dirasa harus memberikan ruang pada PKL untuk berpartisipasi aktif dalam pengimplementasian Perda. Hal yang tidak bisa dilupakan adalah formulasi baru pemda dalam mensosialisasikan peraturan daerah ini. Sementara bila memang harus menempuh jalur relokasi, pemerintah baiknya telah mempersiapkan matang-matang agar tidak mematikan

PKL.

22

2.1.3 Novita Surya Ningsih – Resistensi Pedagang Kaki Lima yang Berdagang di Sepanjang Jalan Colombo Yogyakarta (2014).

Penelitian yang digagas mahasiswi pasca sarjana FISIP Universitas Gajah Mada ini sama-sama mengkaji soal resistensi. Pula sama membahas tentang pedagang kaki lima. Perbedaannya selain saudari Novita mengkajinya secara sosiologis, ia pun berkonsentrasi pada bentuk dan alasan resistensi PKL tanpa adanya bantuan media.

Permasalahan yang peneliti ambil adalah pengaturan dan penertiban PKL di Jalan Colombo Yogyakarta. Kawasan ini sejatinya telah diatur untuk tidak dijadikan kawasan berdagang lewat Perda Kabupaten Sleman Nomor 11 Tahun

2004. Namun fakta dilapang, sebanyak 60 PKL masih tetap melapak, bahkan melawan aturan tersebut. Lewat penelitiannya Novita mencoba mencari tahu bagaimana bentuk dan penyebab resistensi yang dilakukan PKL.

Dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, Novita mewawancarai 28 pedagang yang dipilihnya secara purposive (sengaja). Menjadi key instrumen, peneliti berkewajiban untuk mengumpulkan data dengan metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Novita menuliskan bahwa ketiganya dilakukan secara bertahap dan terintegrasi. Sementara analisis datanya sendiri menggunakan model analisis interaktif (Interactive Model Analysis) dari Miles dan Huberman.

Hasil penelitian ini sendiri menunjukan ragam bentuk perlawanan PKL di

Jalan Colombo. Perlawanan pertama dilakukan dengan terbuka, seperti halnya

23

mengumpat, menantang, bahkan hingga melakukan kontak fisik dengan Polisi

Pamongpraja. Perlawanan kedua dinamai perlawan terselubung dan negosiasi.

Contohnya seperti melakukan upaya-upaya secara tidak langsung dengan harapan tidak diketahui oleh aparat pemerintah.

Temuan penelitian yang kedua mengungkap alasan dari tindak resistensi

PKL. Ditemukan Novita, bahwa perlawanan ini terjadi karena ragam aspek.

Semisal aspek ketidakpuasan pedagang kaki lima terhadap Perda Nomor 11

Tahun 2004. Selain itu ada pula aspek tuntutan kehidupan dan aspek budaya seperti gotong royong, dan solidaritas sesama PKL yang memotivasi mereka melakukan perlawanan.

Hasil penelitian ini pun merekomendasikan kajian ulang terhadap Perda

Kabupaten Sleman No. 11 Tahun 2004. Terutama, menimbang kembali segala kemungkinan dampak dari peraturan daerah ini, terutama kepada objek yang diaturnya. Rekomendasi selanjutnya ihwal perhatian pemerintah daerah terhadap sektor ekonomi informal layaknya PKL. Pasalnya menuerut Novita keberhasilan perekonomian Kabupaten Sleman tidak bisa lepas dari keberadaan sektor informal. Sektor ini sesungguhnya dapat menampung banyak tenaga kerja yang mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengurangi pengangguran.

24

Tabel 2.1 Review Penelitian Sejenis

Nama Desi Siti Kristian Widya Novita Surya Muhammad Roby Peneliti Permananingsih, Wicaksono, S. Ningsih. Pasca Iskandar, Bidang dan Asal Bidang Kajian Sos., M. Si dan Sarjana Sosiologi Kajian Ilmu Universitas Ilmu Jurnalistik, Tutik Rachmawati, Fakultas Ilmu Sosial Jurnalistik, Fakultas Ilmu S. IP., M.A. dan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Komunikasi, Lembaga Universitas Gajah Komunikasi, Universitas Islam Penelitian dan Mada. Universitas Islam Bandung. Pengabdian kepada Bandung. Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan.

Judul PEMBERITAAN IMPLEMENTASI RESISTENSI PEDAGANG Penelitian PENERTIBAN PERATURAN PEDAGANG KAKI KAKI LIMA 1800 PEDAGANG DAERAH KOTA LIMA YANG DALAM “PKL KAKI LIMA BANDUNG BERDAGANG DI KONTROVERSI (PKL) NOMOR 4 SEPANJANG KOTA DAN (Studi Kualitatif TAHUN 2011 JALAN COLOMBO SOLUSI Mengenai Isu TENTANG YOGYAKARTA BERSAMA” Penertiban PKL PENATAAN (Analisis Wacana di Harian Umum DAN Kritis Teun A. Pikiran Rakyat PEMBINAAN Van Dijk dan Tribun Jabar PEDAGANG Mengenai Edisi November- KAKI LIMA. Resistensi Buklet Desember 2013 “PKL Kontroversi dengan Model Kota dan Solusi Framing Robert Bersama” N. Entman.) Besutan Komune Rakapare Terhadap Stigma Kehadiran PKL di Kota Bandung)

Metode Penelitian Penelitian Penelitian Penelitian Penelitian Kualitatif Kualitatif Kualitatif Kualitatif

25

Pendekatan Analisis Framing Teori Kepatuhan Deskriptif Kualitatif Analisis Wacana Teori Robert Weaver Kritis, Model Van N. Entman dan Djik dikombinasikan dengan teori Implementasi Kebijakan Publik

Subjek Harian Umum Implementasi Pedagang Kaki Lima Komune Penelitian Pikiran Rakyat Perda Kota Jalan Colombo Rakapare sebagai dan Tribun Jabar Bandung No. Yogyakarta pembuat buklet 4/2011 PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama

Objek Pemberitaan Pedagang kaki Resistensi Pedagang Buklet PKL Penelitian Penertiban PKL lima sebagai Kaki Lima Jalan Kontroversi Kota Harian Umum kelompok sasaran Colombo Yogyakarta dan Solusi Pikiran Rakyat Perda Kota Bersama dan Tribun Jabar Bandung Edisi November- No.4/2011 Desember 2013

26

Hasil Penelitian ini Penelitian ini Hasil dari penelitian Penelitian ini Penelitian mendapati mendapati ini menjabarkan akan mengkaji perbedaan yang ketidakpatuhan tentang Hasil wacana signifikan dalam PKL Kota penelitian ini sendiri perlawanan media pembingkaian Bandung terhadap menunjukan ragam komunitas berita di kedua Perda No.4/2011. bentuk perlawanan terhadap stigma media ini. Namun PKL di Jalan negatif yang Peneliti permasalahan ini Colombo. Adapun diarahkan kepada menuliskan bila terjadi karena perlawanan yang jajaran PKL. hal ini banyak faktor yang dimaksud dalam Perlawanan ini dipengaruhi oleh teralamatkan bentuk terbuka, nantinya akan visi dan misi, kepada Pemerintah terselubung dan ditelaah lewat tiga koherensi Kota Bandung. negosiasi. Selain itu dimensi, yakni kepemilikan Semisal lemahnya peneliti pun dimensi Teks, media dan sosialisasi, mendapatkan motif Kognis Sosial dan kepentingannya. minimnya dibalik tindak Konteks Sosial. Secara garis komunikasi dari resistensi ini. Seperti besar peneliti kedua belah pihak, aspek ketidakpuasan mendapatkan juga tidak PKL terhadap Perda Pikiran Rakyat dilibatkannya PKL Nomor 11 Tahun yang lebih dalam 2004. Selain itu ada condong kepada pengimplikasian pula aspek tuntutan pemerintah, Perda. kehidupan dan aspek sedangkan tribun budaya seperti lebih pada gotong royong, dan kepentingan solidaritas sesama publik. PKL yang memotivasi mereka.

2.2 Kerangka Pemikiran

2.2.1 Komunikasi, Pemecah Kebuntuan Kajian Kritis

“Human being cannot not communicate.” Ungkapan Watzalawick di dekade 80an

ini rasanya tidak mungkin terlupa bagi seluruh pengkaji Ilmu Komunikasi. Deddy

Mulyana (2005) mencatat bahwa kata Communication atau Komunikasi berasal

27

dari bahasa Latin; communis yang pengertiannya “sama”. Kegiatan ini menyarankan; suatu pikiran, suatu makna atau suatu pesan, dianut secara sama26.

Rakhmat (2011) mengatakan pada dasarnya hakikat komunikasi adalah proses penyampaian pikiran maupun perasaan seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan) yang akhirnya menciptakan efek tertentu27. Efek yang dimaksud di sini bisa ragam bentuknya, Shannon dan Weaver (1949) menyatakan bila efek tersebut berujung pada tindak saling ‘mempengaruhi.’ Sedangkan

Shachter dengan tegas menuliskan bahwa komunikasi merupakan bentuk mekanisme pelaksanaan ‘kekuasaan’28.

Menurut V. J. Bell (1975) pengertian komunikasi di atas tidak saja menempatkan komunikasi sebagai kontrol sosial, tetapi juga mengandung noda politik di dalamnya. Kedekatan politik dan komunikasi amatlah istimewa, keduanya saling melengkapi29. Bagi Pye (1963) Komunikasi telah menjelaskan berbagai fenomena politik, sebaliknya politik mempengaruhi cara manusia berkomunikasi, terutama dalam khazanah komunikasi massa, kebebasan berbicara dan pendapat, juga kebebasan pers30.

Hal yang telah penulis paparkan di atas mengacu jelas pada konsep

Habermas ihwal komunikasi yang terdistorsi. Sejatinya rasionalitas komunikasi sendiri hadir dalam praksis komunikasi yang anggotanya dapat berpartisipasi aktif

26 Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. (hal: 46) 27 Rakhmat, Jalaluddin. 2011. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. 28 Arifin, 2014: 13 29 Ibid. Hal: 14 30 Ibid.

28

dan memungkinkan untuk melakukan kontrol dalam proses komunikasinya.

Dengan kata lain masyarakat harus menjadikan dirinya sebagai subjek, bukanya objek dalam kegiatan komunikasi. Bila masyarakat memahami dirinya sebagai objek, hal inilah yang akhirnya membuat distorsi dalam praksis komunikasi.

Tentunya berimplikasi terhadap “kesadaran palsu” karena memahami bahwa dominasi sebagai sesuatu yang administratif dan manipulatif31.

Pemikiran Habermas di atas menjadi kunci utama dalam perkembangan teori kritis. Pasalnya teori yang berakar pemikiran Mazhab Frankfurt ini mengalami kebuntuan yang bersumber dari kesalahpahaman memandang manusia. Merujuk pada Habermas yang mengemukakan kebuntuan ini bersumber dari “manusia yang hanya dipahami sebagai rasionalitas instrumental dan rasionalitas teknologis dalam praksis kerja, tanpa menyadari adanya praksis komunikasi yang hidup dalam kehidupan manusia sehari-hari32.”

Demi melahirkan rasio kritis lewat sikap emansipatoris dari masyarakat modern, Habermas yang berlatar belakangkan seorang sosiolog ini harus menerjemahkan segala pemikirannya ke dalam kerangka keilmuan komunikasi.

Hasilnya adalah sebuah teori yang dinamainya dengan Tindakan Komunikatif.

Dalam menyusun pemikiran ini Habermas merekonstruksi konsep rasionalitas

Weber, pemikiran Karl Marx dan sejumlah tokoh lainnya seperti Parsons, Mead,

Durkheim, Lukacs, Adorno, Horkheimer dan lainnya. Pada intinya teori ini mengembangkan tiga hal utama yakni: (a) teori-teori rasionalitas, tindakan dan

31 Maryani: 2011: 37 32 Ibid. Hal: 36

29

masyarakat yang bersifat liberal dan utilitarian, (b) teori proses rasionalitas dari

Weber dan (c) reproduksi sosial33.

“Ketika seseorang pendengar menerima suatu tindak tutur, sebuah kesepakatan terjadi antara setidaknya dua subjek yang berbicara dan bertindak. Suatu kesepakatan semacam ini dicapai secara serempak pada tiga tingkatan. Sebagai wadah untuk mencapai pemahaman, tindak tutur berperan: (a) untuk membangun dan memperbarui hubungan antar dua belah pihak, di mana si pembicara menetapkan suatu hubungan dengan sesuatu di dunia tatanan (sosial) yang sah; (b) untuk mempresentasikan keadaan dan peristiwa, di mana si pembicara menetapkan suatu hubungan dengan sesuatu di dunia dengan kondisi yang ada. (c) untuk menunjukkan pengalaman – yaitu untuk menunjukkan dirinya sendiri— di mana si pembicara menetapkan suatu hubungan dengan sesuatu di dunia subjektif yang berhak ia masuki. Kesepakatan yang dicapai melalui komunikasi secara tetap dikritik; dalam mencapai suatu pemahaman mengenai sesuatu hal antara satu sama lain, dan karenanya membuat kedua pihak tersebut dapat saling dipahami, para aktornya mau tidak mau harus menanamkan tindak tutur mereka secara tepat pada hubungan dunia dan mengklaim keabsahan mereka dengan ketiga aspek ini.” (Habermas dalam Pussey, 2011: 108)

Maryani (2011: 49-52) menuliskan imbas dari pemikiran Habermas ini yang berujung pada tiga stuktur dunia kehidupan (life world) yaitu dunia sosial

(masyarakat), dunia objektif (cultural product) dan dunia subjektif (indivdu).

Melalui tindakan komunikatif inilah ketiga dimensi tersebut dapat menghasilkan pemahaman, interaksi yang terkoordinasi dan sosial yang efektif. Dalam cangkupan masyarakat yang lebih luas, model ini tentunya berkaitan dengan kajian mengenai Komunikasi massa dan produknya; media. Tentunya akan penulis bahas pada sub bab berikutnya.

33 Pusey, Michael. 2011. Habermas: Dasar dan Konteks Pemikirannya. Yogyakarta: Resist Book. Hal: 107.

30

2.2.2 Produk Komunikasi Massa dan Media

Dalam kajian komunikasi, kita mengenal istilah komunikasi massa yang menurut

Meletzke adalah “Setiap bentuk komunikasi yang menyampaikan pernyataan secara terbuka melalui media penyebaran teknis secara tidak langsung dan satu arah pada publik yang besar.34” Adapun Rakhmat (2011) merangkum beberapa definisi ihwal komunikasi massa menjadi “Jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen dan anonim melalui media cetak atau elektronis, sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.35”

Kegiatan komunikasi massa, dicatat Mulyana (2005:79) melibatkan banyak komunikator dan berlangsung lewat sistem bermedia dengan jarak fisik yang rendah. Biasanya memungkinkan untuk penggunaan sejumlah saluran indrawi seperti pendengaran dan pengelihatan. Biasanya jenis komunikasi ini tidak memungkinkan untuk terjadinya umpan balik yang segera. Elizabeth-Noelle

Neumann menerangkan bahwasanya komunikasi massa senantiasa (a) bersifat tidak langsung yang artinya harus melewati media teknis; (b) bersifat satu arah yang menjadikannya tidak ada interaksi dari komunikan; (c) bersifat terbuka, di mana pesan ditujukan kepada publik yang tidak terbatas dan anonim; dan (d) mempunyai publik yang tersebar secara geografis36.

34 (dalam Rakhmat 2011: 186) 35 Ibid. 36Dalam Rakhmat 2011: 187

31

Bagai dua sisi koin, komunikasi massa dan perkembangan teknologi informasi amat tidak terpisahkan. Persoalan teknis ini juga yang akhirnya mempengaruhi karakter psikologis dari tiap produkan (media) komunikasi massa.

Baik televisi, radio, koran, majalah, portal dalam jaringan dan produk komunikasi massa lainnya senantiasa memiliki karakteristik masing-masing. Akan tetapi

Rakhmat (2011: 187-192) mencatat beberapa pokok kekhasan komunikasi massa di banding komunikasi lainnya. (a) Pengendalian arus informasi. Maksudnya komunikasi yang dilakukan dikontrol penuh oleh pihak komunikator. (b) Umpan balik. Istilah ini dapat diartikan sebagai respons, peneguhan, dan servomekanisme internal. Dalam komunikasi massa, timbal balik komunikan bersifat tertunda sesuai platform yang melandasinya. (c) Stimulasi alat indra. Karakter ini amat berkaitan dengan medium yang dipergunakan dalam kegiatan komunikasi massa.

Misalnya media cetak tentunya menstimulus indra visual, radio menstimulus indra audio, dan televisi menggabungkan kedua indra tersebut. (d) Proporsi unsur isi dengan hubungan. Maksudnya, komunikasi massa lebih mementingkan struktur dan sistematis pada unsur isinya ketimbang hubungan layaknya komunikasi intra personal.

Kajian ini pada perkembangannya amat beririsan dengan pembahasan

Media dan Jurnalistik. Media sendiri telah menjadi sarana utama bagi khalayak untuk mengalami dan belajar tentang ragam aspek dunia. Menurut Ibrahim dan

Akhmad (2014: 3-8) para pengkaji media dan budaya kritis telah menggunakan ragam pendekatan untuk memahami arti penting sosio-kultural media dalam

32

kehidupan sehari hari, yang hasilnya didapati media sering kali bertindak sebagai pembentuk, cermin, pengemas atau representasi, guru, ritual, atau yang paling ekstreme media bertindak sebagai Tuhan.

Namun agar lebih sistematis, baiknya penulis mengungkapkan terlebih dahulu enam perspektif perihal peran media massa pada masyarakat modern: (a)

Media massa sebagai sarana belajar untuk mengetahui berbagai informasi dan peristiwa. Ia ibarat “jendela” untuk melihat apa yang terjadi di luar kehidupan. (b)

Media massa adalah refleksi fakta, terlepas dari rasa suka atau tidak suka. Ia ibarat

“cermin” peristiwa yang ada dan terjadi di masyarakat ataupun dunia. (c) Media massa sebagai filter yang menyeleksi berbagai informasi dan isu yang layak mendapat perhatian atau tidak. (d) Media massa sebagai petunjuk arah berbagai ketidakpastian atau alternatif yang beragam. (e) Media massa sebagai sarana untuk mensosialisasikan berbagai informasi atau ide kepada publik untuk memperoleh tanggapan atau umpan balik. (f) Media massa sebagai interkulator, tidak sekedar tempat “lalu lalang” informasi, tetapi memungkinkan terjadinya komunikasi interaktif.37

Sejumlah pengkaji efek media memperhatikan betul penjabaran poin ke tiga dalam uraian di atas. Ditulis Rakhmat (2011: 222) seleksi yang dilakukan media berujung pada pembentukan dan perubahan citra. “Realitas yang

37 McQuail dalam Prasetyo. Bobby Agung. 2015. “Distori Nada Dalam Catatan Minor: Analisis Wacana Kritis Van Dijk Mengenai Resistentsi Disorder Zine sebagai Media Alternatif Terhadap Kultur Musik Pop Indonesia.” Bandung: Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung. Hal: 23

33

ditampilkan media adalah realitas yang sudah diseleksi atau realitas tangan kedua

(second hand reality).” Keterbatasan dari komunikan untuk mengecek ulang segala informasi dari media membuat mereka mempercayai realitas tersebut.

Akhirnya membentuk citra tentang lingkungan sosialnya berdasarkan realitas kedua tersebut.

Dewasa ini, media diasumsikan telah melakukan komodifikasi terhadap pesan-pesan yang disampaikannya. Komodifikasi ini diartikan Vincent Mosco

(2009) sebagai “proses mengubah barang dan jasa, termasuk komunikasi, yang dinilai karena kegunaannya, menjadi komoditas yang dinilai karena apa yang mereka berikan di pasar.38” Ibrahim dan Akhmad (2011: 25) lewat perspektif komodifikasi budaya, memaparkan bahwasanya media adalah industri yang menyebarkan budaya secara masal. Nantinya budaya yang dikonstruksikan media akan berhadapan –di dalam pasar— dengan budaya-budaya berbasis lokal yang sudah tumbuh dalam masyarakat.

Hal inilah yang dirujuk Maryani (2011) tentang public wants yang belum tentu merupakan public needs. Ia berpendapat bahwa keinginan khalayak justru lebih banyak terbentuk atas dasar manipulasi media lewat berbagai kontennya.

Baik di ranah sosial, budaya, ekonomi, hingga aktivitas politik pun ikut masuk dalam muatan produk media. Di lain pihak, para pakar politik pun menyadari kekuatan media dalam membangun wacana politik. Contohnya seperti yang diungkapkan Arifin dibawa ini:

38 Dalam Ibrahim dan Akhmad, 2014: 17

34

“Dengan demikian teori peluru atau jarum hipodermik, bangkit kembali dengan tampilnya media massa dan media sosial sebagai kekuatan yang perkasa. Terpaan media massa terhadap khalayak itu, memang memiliki banyak aspek yang membuat dirinya penting dalam kehidupan politik dan pencitraan politik, terutama karena daya jangkau (coverage) media massa yang sangat luas dalam menyebarluaskan berita, citra, dan opini politik dengan dukungan teknologi yang canggih. Selain itu media massa juga mampu melipat gandakan pesan politik (multiplier of message) yang berisi pencitraan dengan jumlah yang besar, dan sekaligus menciptakan wacana politik pada khalayaknya, dalam menjalankan fungsinya sebagai agenda setter,” (Arifin, 2014: 39).

Ihwal fenomena ‘main serong’ media di belakang khalayaknya ini, penulis rasa akan lebih leluasa bila kita membahas dalam sub bab yang lebih spesifik lagi.

Tepatnya dalam sub bab berikut yang membahas pokok-pokok kekuasaan, dominasi dan hegemoni.

2.2.3 Hegemoni, Dominasi Tanpa Merasa Terdominasi

Pembahasan ini baiknya penulis mulai dari konsepsi ‘kekuasaan’ yang telah mengalami proses dialektika yang amat panjang. Di lihat dari kacamata kajian budaya, Sullivan dalam Maryani (2011: 56) mengatakan bahwa kekuasaan diartikan sebagai individu atau kelompok yang mampu mendominasi pihak lainnya untuk mewujudkan tujuan tertentu. Dalam kacamata marxian dan neo- marxian, kekuasaan sering kali dilihat sebagai komoditas yang dimiliki suatu golongan. Sedangkan Michel Foucault memandang kekuasaan sebagai hal yang dipraktikkan dan melibatkan agensi, wacana, dan praktik yang mengalir secara vertikal dalam suatu ruang lingkup atau biasa disebut ‘teknologi politis’39.

39 dalam Eriyanto, 2000: 40

35

Dalam masyarakat modern –sering diasumsikan pula sebagai masyarakat kapitalis lanjut— kehidupan pada dasarnya tidak diatur atau dikontrol secara langsung dengan kekuasaan tunggal bersifat represif. Menurut William G. Staple kehidupan manusia era ini dikontrol menggunakan perangkat mekanisme, aturan, tata cara yang diproduksi oleh penguasa untuk mendisiplinkan kehidupan masyarakatnya. Lewat disiplinisasi itu pula terciptalah individu modern yang terkontrol tanpa disadari.40

Secara historis hal ini merujuk kritik Antonio Gramsci atas karya

Frederich Taylor “The Principles as Scientific Management” (1912). Taylor berpandangan, manusia sama halnya dengan mesin istimewa dan memiliki seperangkat mekanisme internal yang dapat diadaptasikan dalam kebutuhan industri modren. Dalam tulisan berjudul “Americanism and Fordism,” Gramsci mengatakan bahwa Taylorisme (pandangan Frederich Taylor) merupakan sebuah eksperimen kapitalis Amerika untuk mendisiplinkan para pekerja melalui spesialisasi mekanis dengan metode yang mengutamakan efisiensi.41

Sebagaimana yang telah penulis kemukakan di awal, istilah hegemoni merujuk pada pemikiran Antonio Gramsci terkait, “konteks histori yang memposisikan kelompok dominan42 sehingga mampu menimbulkan keyakinan sejumlah besar orang terhadap posisi kelompok dominan.” Dominasi yang

40 Ibid. Hal: 42 41 Patria, Nezar, Andi Arief. 2015. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal: 130-131 42 Menurut Strinati (dalam Maryane 2011) kelompok dominan tidak hanya dipahami sebagai kelas penguasa, ada kalanya sejumlah pihak minor pun melakukan tindak hegemoni.

36

dimaksud tidak berjalan secara represif melainkan dengan jalur damai, sehingga sering kali pihak yang didominasi tidak merasa terdominasi. Hegemoni tidak hanya mengontrol ekonomi dan politik, melainkan juga cara pandang terhadap dunia (ideologi), sehingga dengan berbagai macam cara kelas subordinat (kelas yang dikuasai) menerimanya sebagai common sense atau cara pandang yang benar.43

Menurut Eriyanto (2000: 64) salah satu kekuatan dari hegemoni adalah kemampuannya untuk menciptakan cara berpikir atau wacana tertentu yang dominan, yang dianggap benar, sementara wacana lain dianggap salah. Pengertian wacana dari pemikiran Foucault adalah sesuatu yang memproduksi hal yang lain baik berupa gagasan, konsep atau efek. “Wacana dapat di deteksi karena secara sistematis suatu ide, opini, konsep, pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu dan karenanya memperngaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu44” Sampai di sini dapat dipahami bahwa wacana adalah salah satu alat untuk menghegemoni sebuah ideologi ataupun budaya dominan.

Marx menyadari peran sentral media dalam peperangan kekuasaan ini –ia lebih menitikberatkan pada pertarungan ideologi di dalam isi media. Sementara

Habermas menyebutkan “Media merupakan sebuah realitas di mana ideologi dominan dalam hal ini kapitalisme disebarkan kepada khalayak dan membentuk apa yang disebutnya sebagai kesadaran palsu (false consciouness)45.” Kesadaran

43 Dalam Maryani 2011: 53 44 Eriyanto 2000: 40 45 dalam Maryani, 2011: 40

37

ini terbentuk atas dasar kepentingan kelompok dominan untuk menjaga kepentingannya. Dengan menyadari hal ini, Maryani (2011) menilai bahwa media massa tidak hanya sebuah saluran komunikasi, akan tetapi juga menjadi institusi di tengah masyarakat dengan pertarungan ideologi di dalamnya.

Masih dari Habermas, yang merumuskan media massa tentunya terkait dengan komponen di dalam masyarakat dewasa ini; (a) Sistem ekonomi pasar, (b)

Sistem birokrasi, dan (c) solidaritas sosial. Sayangnya, media hari ini lebih condong berkembang menjadi institusi bisnis ketimbang institusi sosial. Bagi

Maryane (2011; 41) kecenderungan ini menunjukkan kuatnya dominasi sistem kapital. Seraya pemaparan di atas, penulis merasa perlu untuk merujuk ungkapan

Noam Chomsky:

“Pers arus utama (mainstream press) terdiri dari ‘korporasi-korporasi besar yang sangat menguntungkan’ (major, very profitable, corporations). Karena dalam pandangannya, media ini adalah “organisasi komersial memaksimalkan keuntungan” (profit maximizing commercial organization), upayanya untuk mengejar keuntungan mungkin mengintervensi jurnalisme jujur dan obyektif yang bisa berakibat mereka menjadi tidak sadar akan fakta-fakta penting yang justru dibutuhkan untuk membuat pilihan-pilihan yang tepat tentang persoalan-persoalan kebijakan sosial.” (dalam Ibrahim dan Akhmad, 2014: 80)

Ungkapan Chomsky tentunya berimbas terhadap berita sebagai salah satu produk dari media. Eriyanto (2000: 65) memaparkan bahwa dalam kegiatan produksi berita, hegemoni senantiasa berlangsung. Menurutnya hegemoni berlangsung dengan amat halus, sehingga berita yang disajikan pun terkesan wajar, dan benar. Tidak jarang, wartawan sendiri terjebak dalam permainan ini, karena hegemoni senantiasa seirama dengan nilai-nilai jurnalistik. Hal ini pun

38

dijelaskan oleh Ambang Priyonggo bahwa awak media sering kali bergantung dengan powerfull source di lingkaran elite, karena alasan kredibilitas dan objektivitas46.

Sampai di sini, mengacu pada harapan-harapan Habermas soal masyarakat partisipatoris akan terasa terlalu utopis. Mengingat sifat dasar komunikasi massa dan penyimpangan yang dilakukan media, mengamini keyakinan individu untuk menjadikan dirinya objek dalam kegiatan komunikasi. Namun seiring perkembangan teknologi, patutnya Habermas berterimakasih kepada Leonard

Kleinrock atas temuannya; Internet.

2.2.4 New Hope, Media Siber dan Konsep Ruang Publik

Untuk melahirkan masyarakat partisipatoris terkait konsep dari Habermas tentunya memerlukan sebuah media yang memungkinkan semua orang untuk terlibat di dalamnya. Posisi komunikator tidak lagi sebagai objek komunikasi, melainkan subjek yang dapat pula memberikan timbal balik untuk mengontrol pertukaran pesan. Kemunculan internet di akhir abad 20, sedikit demi sedikit memungkinkan terciptanya medium yang dapat mewujudkan hal ini.

Kanal siber atau ‘daring’ menjadi medium persebaran pesan paling populer untuk dekade ini. Semua insan dapat memanfaatkannya untuk saling bertukar informasi. Indonesia sendiri menduduki peringkat keenam dalam

46 Dalam Bakti, Andi Faisal, dkk. 2012. Literasi Politik dan Konsolidasi Demokrasi. Jakarta: Churia Press.

39

penggunaan internet, tepatnya dengan 83,7 juta orang pengguna pada tahun 2014.

Dan diprediksi akan mencapai 112 juta orang di tahun 2017 ini. Sedangkan penggunaan internet di seluruh dunia di perkirakan mencapai 3,6 miliar di tahun

2018. Hal ini didukung oleh terjangkaunya harga ponsel dan koneksi broadband mobile47

Dari segi biaya, paltform ini termasuk yang paling murah. Walaupun kehadiran internet tidak akan menggeser keberadaan media lainnya —karena kualifikasinya— tetap saja medium ini mendapatkan apresiasi besar dari khalayak. Namun Ibrahim dan Akhmad (2014: 131) memprediksi bisa saja internet merajai medium penyiaran publik. Hal ini memungkinkan, bila motivasi khalayak sama-sama menginginkan informasi, hiburan dan relaksasi.

Bila media cetak akan memanfaatkan tenaga loper-lopernya untuk urusan distribusi juga frekuensi bagi media elektronik, media online punya ragam pendekatan untuk urusan distribusi. Metodenya mudah saja, seperti masuk ke dalam saluran-saluran khalayak lewat bantuan media sosial. Berbeda dengan media massa yang erat dengan sifat massal, media sosial cenderung lebih intim, akan tetapi bersifat lebih partisipatoris.

McQuail menyatakan adanya perbedaan pengalaman dalam kegiatan bermedia di dimensi ini. (a) Media siber memungkinkan seseorang merasa terlalu terhubung dengan individu lainnya atau social presence. (b) Autonomy, atau perasaan memegang kendali atas medium ini. (c) Aktivitas timbal balik dengan

47 Prediksi Monika Peart, analis senior eMarketer dalam Kompas.com, November 2014

40

komunikannya (interactivity). (d) Individu yang menggunakan medium ini tetap merasakan terjaganya privasi, dan (e) Playfulness, berhubungan dengan kenikmatan yang dirasa ketika menggunakan medium ini48.

Di sisi lain, seiring dengan pertumbuhan penggunanya, internet menjadi lebih dari sekedar alat. Kehadirannya internet diasumsikan menjadi sebuah ruang hidup alternatif, dengan ragam hubungan sosial di dalamnya. Merujuk pada pemikiran Habermas tentang ruang publik sebagai ruang komunikatif sarat ide, informasi, wacana dan opini49.

Ruang publik dalam konsep Habermas merupakan ruang di mana terjadinya perdebatan kritis ihwal negara dan masyarakat terjadi. Syaratnya adalah kekuasaan dalam ruang itu terbagi secara merata sehingga terciptanya emansipasi antar masyarakat. Adapun idiom emansipasi ini merujuk pada tidak adanya tindak mendominasi sehingga tiap individu bebas mengemukakan eksistensi dan pemikirannya. Pertanyaan atau pendapat bertema politik, filsafat, ekonomi, kelompok sosial dan apa pun yang berimbas pada aktivitas politik formal menjadi ciri khas dalam perkembangan ruang publik ini. Media pun turut andil dalam hal ini, tepatnya mengembangkannya dalam soal integritas terhadap sesama kelompok sosial.

Sejarah negara ini mencatat pergerakan masyarakat yang dimula dari terjalinya ruang publik dalam ranah maya. Tepatnya di tahun 1997 saat negara ini telat menyadari opsi alternatif medium penyebaran informasi. Media massa

48 Dalam Ibrahim dan Akhmad 2014: 117-118 49 Dalam Ibrahim dan Akhmad, 2014

41

tradisional yang sukses “dibungkam” pemerintahan orde baru memaksa massa pro demokrasi bermain “petak umpet” di dalam jaringan untuk bertukar informasi.

Mailing list yang dibangun sejumlah organisasi pro demokrasi sukses menjadi biang keladi atas runtuhnya rezim otoriter di bumi pertiwi yang pecah pada

199850.

2.2.5 Resistensi Dominasi Lewat Media Alternatif

Krusialnya keadaan masyarakat kapitalis lanjut yang telah dikemukakan sebelumnya, memungkinkan lahirnya resistensi di kalangan sub ordinat. Menurut

Maryani (2011) istilah ‘resistensi’ tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan dan upaya dominasi sesuai konteks waktu, tempat dan kejadian tertentu. Istilah resistensi pun tidak hanya berlawanan dengan sesuatu, juga merupakan sumber untuk menghadapi sesuatu yang memarjinalkan, menindas bahkan menghilangkan. Sementara maksud dari ‘kalangan sub ordinat’ dapat dipastikan sebagai kalangan yang merasa kebutuhannya tidak terakomodir bahkan merasa terdiskriminasi oleh kekuasaan.

Resistensi sendiri terjadi karena secara struktural di mana budaya masyarakat tertentu memiliki kekuatan untuk mempertahankan eksistensinya ketika mereka tidak nyaman dengan sesuatu yang berasal dari luar budayanya.

Lebih jauh, resistensi dapat menjelma menjadi counter-hegemonic. Syarat terjadinya counter-hegemonic menurut Gramcsi, menuntut peran intelektual

50 Heufers, dalam Arifin 2014: 107

42

organik51 yang mampu mendidik dan menyadarkan masyarakat terhegemoni dari tindak hegemoni tersebut. Konsep critical pedagogy52 yang dikemukakan

Gramcsi dan diteoriasikan Paulo Freire adalah salah satu opsi yang dirasa paling relevan dalam menyadarkan pihak-pihak terhegemoni atas kedudukan.

Bila merujuk pemikiran Habermas tentu berkaitan dengan masyarakat emansipatif yang diwujudkan lewat rasionalitas komunikasi53. Dalam memunculkan kesadaran kritis tersebut diperlukan suatu ruang saluran yang mampu menyebarkan sebuah ideologi. Sebagaimana yang dikemukakan Marx bahwa media merupakan alat untuk menyebarluaskan sebuah ideologi, maka dari itu untuk me-counter hegemoni, dibutuhkan pula peran serta media54.

Media yang penulis teliti biasa disebut dengan media komunitas, karena berisikan orang yang hidup di tempat yang sama atau memiliki ketertarikan dan kepentingan yang sama. Karena dikelola secara swadaya, memenuhi kebutuhan kelompok-kelompok minor, dan bahkan sering kali bersifat kritis –terkadang oposisi- terhadap kelompok dominan. Sebagaimana yang dituliskan Ibrahim dan

Akhmad (2014: 203) bahwasanya media atau penerbitan komunitas dapat digolongkan dalam media alternatif.

51 Kalangan terdidik yang berasal dari golongan tertentu (biasanya proletar) yang mengabdi dan berpihak pada golongannya untuk menciptakan perubahan sosial (Patria dan Arief, 2015). 52 Critical pedagogy merupakan sistem pendidikan yang menitik beratkan pembebasan kesadaran manusia melalui metode dialogika kritis, yaitu metode yang memungkinkan setiap individu menguarkan pemikirannya dan mempelajari setiap pengalaman nyata yang didapatkannya (Gramsci dalam Maryani, 2011: 55) 53 Di antaranya dengan mengembangkan ideal speech situation dalam setiap proses komunikasi dan ruang publik dalam kehidupan masyarakat (Maryani, 2011: 55-56) 54 dalam Maryani, 2011: 56

43

Pengertian media alternatif dalam kajian budaya yang dikemukakan

Sullivan yakni sebagai berikut: “forms of mass communication that avowedly reject or challenge established andinstitutionalized politics, in the sense that they all advocate change in society, or at least a critical reassessment of tradional values.55” Merujuk pada pengertian tersebut, maka secara mendasar media alternatif dianggap sebagai saluran untuk melawan kekuatan atau kemapanan politik. Selain itu yang terpenting pula memiliki implikasi perubahan sosial dalam masyarakat, salah satunya bersikap lebih kritis terhadap nilai-nilai tradisional.

Mengkaji media alternatif tentunya akan berkaitan dengan konsep ruang publik dari Habermas. Memahami kedudukan media yang sentral di ranah publik tentunya memahami pula kemampuan media sebagai ruang publik bagi khalayaknya. Maryani sendiri mengklasifikasikan media alternatif merintis sebuah ruang publik autentik56. Maksudnya adalah ruang yang terbentuk atas proses komunikasi yang diselenggarakan institusi nonformal dan mengorganisasikan dirinya sendiri. Komunikasi yang terjalin bersifat horizontal, inklusif dan diskursif karena para aktornya sebagian besar berasalkan dari publiknya sendiri.57

Bila di kaji dalam pendekatan ekonomi dan politik, Golding dan Murdock melihat adanya hubungan antara aktor-aktor sosial (intelektual organik) dengan struktur yang dibangun dalam melakukan perlawanan kepada birokrasi atau

55 Ibid. Hal: 65 56 Dilain sisi ada pula Ruang Publik tidak Autentik; terbentuk dari adanya kekuatan yang berpengaruh atas keputusan dari para pemilih, konsumen dan klien untuk memobilisasi loyalitas, daya beli dan perilaku mereka lewat media massa (Hardiman dalam Maryani, 2011: 46). Bentuk ini banyak dikembangkan oleh media arus utama. 57 Ibid

44

pihak-pihak lain yang dianggap mendominasi.58 Maryani (2011:69) dengan teori ini diharapkan dapat menjabarkan bagaimana media alternatif mengurangi distorsi komunikasi dengan mengupayakan situasi komunikasi ideal. Nantinya akan amat berpengaruh dengan kesadaran kritis khalayaknya.

2.2.6 PKL Objek Stigma

Pedagang Kaki Lima atau yang kerap disebut dengan PKL sejatinya telah ada jauh sebelum negara ini menyatakan kemerdekaannya. Disinyalir istilah “Pedagang

Kaki Lima” lahir dari kesalahan menerjemah Bahasa Inggris ke Bahasa Melayu.

Trotoar selebar lima kaki yang dicanangkan Gubernur-Letnan Thomas Stamford

Raffles (1811-1816) saat itu disebut five foot way. Sementara five foot way trader merupakan istilah untuk pedagang yang berjualan di trotoar. Lantas, ketika diterjemahkan frasa “five foot” disalahartikan sebagai kata majemuk. Dituliskan

Tri Hanggoro, istilah ini menyebar dari penduduk melayu Singapura ke Medan dan terus menjalar ke Batavia/Jakarta hingga menyebar ke seluruh kota-kota di

Indonesia59.

Menurut penghitungan kasar dari Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia

(APKLI), diperkirakan jumlah PKL telah mencapai lebih dari 22 juta jiwa di tahun 201360. Sedangkan Kota Bandung sendiri setidaknya memiliki jumlah PKL

58 Ibid. Hal : 69 59 Dalam Hirtoria.id 29 Maret 2013 60 Dalam Industri.bisnis.com, 5 Mei 2013

45

terbanyak di Jawa Barat dengan peningkatan 10 persen selama tiga tahun terakhir.

Dari 20.326 di tahun 2012 menjadi 22.359 di tahun 2015, dan terus tumbuh61.

Terus bertumbuhnya Pedagang Kaki Lima di Indonesia di tengarai akibat dari pertumbuhan ekonomi yang eksklusif. Rachbini dan Alisjahbana (2006) ketika sebuah kota —atau negara— menyediakan lapangan kerja dari ragam latar belakang, tapi arah investasi di negara ini tidak ramah dengan mereka yang berlatar belakangkan ekonomi juga pendidikan rendah. Hal ini memaksa mereka yang tidak mendapatkan kesempatan dari lapangan pekerjaan itu menggeluti sektor-sektor informal seperti PKL.62

Namun stigma terhadap PKL kepalang terbangun di kepala mayoritas masyarakat Indonesia. Bila ditelisik dari konteks histori, stigma atas PKL ini telah ada sejak akhir abad ke 19. Diceritakan Susan Blackburn bahwasanya PKL dimasa itu terbiasa berteriak untuk menarik perhatian pembeli. Suasana gaduh yang ditimbulkan menuai ketidaksukaan penduduk sekitar –mayoritas orang- orang Belanda. Alhasil, Pemerintah Hindia Belanda melakukan pengusiran terhadap pedagang.63

Diceritakan pula, pasca kemerdekaan jumlah pedagang kaki lima di

Batavia terus tumbuh dengan pesat. Dewan Perwakilan Kota Sementara (DPKS)

Jakarta di tahun 1950an menyatakan; PKL sebagai salah satu biang keladi dari konflik penduduk dan ketidakteraturan kota. Mulai dari titik inilah PKL menjadi

61 Data Bappeda dalam Metrotvnews.com, 27 Januari 2016 62Dalam Liauw 2015: 1-2 63 Dalam Hendaru Tri Hanggoro. Historia.id, 29 Maret 2013

46

kambing hitam atas mayoritas permasalahan perkotaan. Susan Blackburn mencatat, pada 1960-an pedagang kaki lima terus mendapatkan stigma buruk, seperti merusak keindahan kota, cara dagang yang primitif dan membuat malu negara saat kedatangan tamu-tamu luar negeri.64

Lebih dari dua abad berlalu, stigma ini menghegemoni di benak mayoritas masyarakat perkotaan. Penelitian Udji Asiyah (2012) menyibak posisi pelaku usaha pinggir jalan ini dalam konteks sosial:

“Sebagai sektor informal, maka PKL memang tidak pernah mendapatkan perlakukan yang sama dengan sektor formal. Terlebih citra negatif yang selama ini diberikan oleh pemerintah atas status PKL di sektor informal, selain dianggap melanggar ketertiban umum, tidak memperhatikan keindahan kota, juga dianggap sebagai perilaku patologi sosial. Tidak berlebihan bila PKL tidak saja berada dalam posisi marginal, melainkan termarginalisasi menjadi sektor yang tidak boleh berkembang di tengah kota besar. Udji Asiyah (2012: 11)

Media sendiri menjadi salah satu aktor atas terbentuknya stigma ini. Hasil penelitian Desi Siti Permananingsih (2014: 14) menunjukkan pembingkaian media terhadap PKL acap kali diarahkan sebagai masalah sosial. Khususnya masalah keamanan dan ketertiban umum. Sedikit banyak berhubungan dengan hasil penelitian Ari Sulistiyo Budi. Ia menyebutkan mayoritas masyarakat memandang PKL mengganggu kenyamanan trotoar, mengurangi ruang parkir kendaraan bermotor, merusak kebersihan lingkungan, biang kemacetan, memberikan ruang tindak kriminalitas dan gangguan visual65.

64 Ibid. 65 (dalam Gasper Liauw 2015: 4).

47

Perlu ditekankan bahwasanya dalam permasalahan PKL, sosok “kambing hitam” pelestari stigma tersebut tidak hanya media belaka. Ada peran kekuasaan elite yang justru menunggangi anggapan-anggapan umum ini. Stigma negatif yang terlanjur terbangun, justru menjadi ironi bila dibandingkan dengan kontribusi PKL untuk perekonomian bangsa. Rully Indrawan mengungkapkan bahwa ekonomi negara ini sangat ditopang oleh keberadaan Usaha Kecil Usaha Menengah yang kebanyakan bergerak di sektor informal. Bahkan ketika dilanda krisis ekonomi tahun 1998, keberadaan PKL tetap menjaga daya beli masyarakat.66 Menurut

Kristian Widya Wicaksono dan Tutik Rachmawati (2015:39), PKL menjadi pasar alternatif yang mampu menyediakan bahan kebutuhan masyarakat dengan harga yang terjangkau, bahkan di saat krisis sekalipun.

2.2.7 Perlawanan PKL Bandung 2016-2017

Setahun ke belakang Pemerintah Kota Bandung mulai progresif menertibkan jajaran PKL di empat lokasi yang dianggap titik kesemerawutan kota. Jalan

Dayang Sumbi, Otto Iskandardinata, Ahmad Yani dan Purnawarman menjadi target operasi yang dicanangkan Pemkot Bandung67. Relokasi bertahap ini kenyataannya tidak berjalan tanpa kendala. Perseteruan antara pemerintah dan

PKL pun sempat meruncing. Selama satu semester pertama 2016 setidaknya terjadi tiga aksi penolakan relokasi oleh PKL Kota Bandung.

66 Ibid. Hal xii 67 Tempo.co, 15 Februari 2016

48

Pertama, dicatat oleh Pikiran-rakyat.com (21 Maret, 2016) ratusan pedagang kaki lima dari berbagai titik di Kota Bandung melakukan aksi long march menolak relokasi. Para PKL lebih memilih untuk ditata ketimbang dipindahkan. Menurut Diki Wahyudi selaku koordinator aksi, opsi relokasi tidak akan memperbaiki kesejahteraan pedagang.

“Wali Kota selalu membanggakan keberhasilan relokasi PKL Bandung Indah Plaza-Merdeka ke parkir basement BIP, tapi yang terjadi sebaliknya. Di basement, tidak ada perbaikan kesejahteraan yang kami peroleh,.... Kami menolak relokasi. Kami mau ditata, dibina, tapi jangan dipindahkan. Apa yang terjadi di BIP-Merdeka menjadi pelajaran bagi kami” kata Diki Wahyudi,” (dalam Pikiran-rakyat.com, 21 Maret, 2016).

Aksi berikutnya tidak melibatkan seluruh PKL Kota Bandung. Adalah pedagang kaki lima Purnawarman yang menjadi aktor utama dalam topik ini.

Dilatarbelakangi banyak kesalahpahaman antara PKL dan Pemerintah Kota

Bandung, aksi ini pecah pada 12 April 201668. Pedagang yang sebelumnya sempat terpaksa menurut untuk di relokasi turun ke jalan dan memberikan sedikitnya enam tuntutan, yang berisikan:

(1) Pemerintah Kota Bandung segera memenuhi kebutuhan mendasar berdagang di tempat relokasi, seperti listrik, air, toilet, dan tidak banjir ketika hujan.

68 Bermula saat Walikota Bandung, Ridwan Kamil mengemukakan agendanya terkait relokasi PKL di empat lokasi pada Februari 2016. PKL Purnawarman memilih untuk menertibkan diri ketimbang harus pindah ke lapak baru. Pada tanggal 10 Maret, Camat Sumur Bandung, Sri Mayaningsih meminta PKL Purnawarman untuk libur sejenak karena ada beberapa agenda. PKL pun menuruti perintah itu. Tiga hari berselang, PKL yang hendak kembali berjualan dikejutkan dengan ragam ornamen trotoar seperti bola batu, tanaman, dan beberapa kursi taman yang telah terpasang di ruas Jalan Purnawarman. PKL yang kebingungan pun menanyakan temuannya itu kepada Sri Mayaningsih. Sang Camat memberikan perintah untuk segera memindahkan barang- barang PKL ke kawasan parkir luar Bandung Electronic Center. Beberapa pedagang yang kebaratan pun menolak Sri pun menjanjikan bahwa keesokan harinya akan diadakan diskusi antara PKL dengan Ridwan Kamil. Namun bukan diskusi yang di dapatkan, para PKL malah mendapati tempat relokasi itu tengah di resmikan oleh sang wali kota. (dirangkum dari kanal Rilis.rakapare.org)

49

(2) Pemerintah Kota Bandung turut menyediakan media promosi yang berkala untuk PKL Jalan Purnawarman yang direlokasi. (3) Pemerintah Kota Bandung dapat memastikan adanya pembeli dengan menyelenggarakan sebuah kebijakan, contohnya: seluruh pegawai Gramedia, BEC dan perusahaan di sekitar agar membeli makan di lapak PKL Purnawarman. (4) Pemerintah Kota Bandung mewadahi seluruh PKL Purnawarman tanpa terkecuali dan dibatas-batasi seperti relokasi sebelumnya yang dengan otoriter hanya menyediakan untuk 45 PKL, padahal PKL Purnawarman berjumlah 60 orang. (5) Pemerintah Kota Bandung melibatkan PKL dalam proses desain lokasi relokasi, sesuai dengan jumlah PKL, termasuk menyesuaikan lahan dengan jumlah gerobak, yaitu dengan memberikan ruang antar gerobak serta antara jalan dengan tempat pelanggan. (6) Pemerintah Kota Bandung membuka diskusi soal status kepemilikan lahan relokasi, apakah kontrak, sewa, atau lainnya, termasuk jangka waktunya. (Dalam Rilis.rakapare.org, 12 April 2016).

Diketahui pula para PKL Purnawarman mengancam kembali berjualan di trotoar bila Pemkot Bandung tidak beritikad baik ihwal tuntutannya69. Sempat meradang mendengar ancaman ini, Ridwan Kamil dengan tegas mengatakan:

"Enggak bisa (kembali ke jalan), enggak boleh. Yang ngatur kota ini saya. Saya diberi mandat. Warga milih saya untuk mengatur, masak warga yang ngatur. Namun saya fair. Saya kasih solusi. Saya ‘kan enggak ngusir tanpa ngasih solusi. Kalau solusinya masih berdinamika, saya kira itu hal yang akan kita cari penyempurnaannya,” (dalam Tempo.co, 12 April 2016).

Disinyalir perkataan Ridwan Kamil di atas memancing emosi para PKL sehingga nekat melakukan aksi ketiga70. Dengan membawa perlengkapan dagang,

6969 Koordinator PKL Purnawarman Jalal Saputra mengatakan, seluruh PKL sepakat untuk kembali berjualan di trotoar karena kekecewaan terhadap Pemkot Bandung. Janji-janji yang dilontarkan ketika proses relokasi sebulan lalu tak kunjung direalisasikan. Menurut Jalal, para PKL memiliki landasan kuat tetap bertahan berjualan di Jalan Purnawarman. Status jalan di salah satu pusat komersial Kota Bandung itu termasuk dalam zona kuning, Artinya, aktivitas PKL masih bisa ditolerir dalam batas-batas tertentu (Pikiran-rakyat.com, 15 April 2016) 70 Dalam unggahan Rilis.rakapare.org per 14 April 2016, menyebutkan Ridwan Kamil sebagai penguasa yang tidak mau berkompromi terkait kebijakannya. Kasarnya Ridwan Kamil dicap penguasa fasis. Rilis berjudul “Vox Populi, Vox Dei-Suara Rakyat Suara Tuhan!” ini pula sarat ajakan untuk mendukung aksi dari PKL Purnawarman yang akan di gelar pada 15 April 2016.

50

67 orang PKL Purnawarman menyambangi Balai Kota Bandung, Jumat 15 April

2016. Diketahui dari laporan Detik.com (16 April 2016) para pedagang akhirnya diterima masuk oleh Ridwan Kamil setelah menunggu hingga Sabtu dini hari.

Namun tak ada kesepakatan dalam pertemuan tersebut.

Aksi yang dijaga ketat Satuan Polisi Pamong Praja ini berakhir ricuh,

Sabtu, 16 April 2016. Kontak fisik antara aparat dan massa aksi pun tidak terhindarkan. Para PKL yang dianggap mengganggu ketertiban dan menghalangi pintu masuk balai kota digiring ke Polrestabes Bandung. Sementara gerobak dan peralatan yang mereka gunakan untuk menginap disita pihak berwajib. Kejadian ini menjadi titik tolak bagi para PKL untuk menempuh jalur hukum. Dengan dibantu Lembaga Bantuan Hukum Bandung dan sejumlah simpatisan –mayoritas mahasiswa—, PKL Purnawarman menuntut pertanggungjawaban Pemkot

Bandung. Alih-alih memperjelas status tempat berdagang, demonstrasi malah membuat modal usaha mereka disita petugas keamanan71.

Belakangan diketahui, pertentangan ini berakhir dengan sebuah persepakatan antara Ridwan Kamil dan PKL Purnawarman. Ridwan Kamil pada

18 April 2016 mendatangi PKL Purnawarman dan meminta maaf atas kejadian tersebut. Momen ini dijadikan ajang negosiasi antara pedagang dan wali kota72.

71 Rilis.rakapare.org. 21 April 2016 “Kabar Terkini Purnawarman: Mempertanyakan Keadilan Hukum & Aturan” http://rilis.rakapare.org/kabar-terkini-purnawarman-mempertanyakan-keadilan- hukum-aturan/ Tanggal akses 31 Desember 2016. 72 Ridwan Kamil berjanji merealisasikan janji-janji Pemkot Bandung. Ia pun menjamin bahwa para PKL dapat berjualan selamanya di tempat relokasi. “Saya yang jamin kalian bisa berjualan selamanya disini, kejar saya kalo sampai ada apa-apa”, ujar Ridwan Kamil. PKL Purnawarman juga diijinkan berjualan di trotoar selama proses pembangunan tempat relokasi (Rilis.rakapare.org 21 April 2016).

51

Pihak PKL menanyakan terkait kejelasan lapak dan perangkat dagang mereka yang disita. Diketahui dari Rilis.rakapare.org (21 April 2016) Ridwan Kami menjamin untuk hal-hal tersebut, dan berjanji menyelesaikan persoalan ini dengan syarat; PKL harus menaati tiga poin ihwal (1) PKL bersedia memenuhi aturan pemerintah mengenai tidak berjualan di trotoar jalan. (2) Siap di relokasi kalau tempat relokasi sudah selesai tanpa terkecuali. Dan (3) PKL tidak melibatkan mahasiswa dan akan mengikuti arahan Pemerintah –adapun mahasiswa yang dimaksud oleh Ridwan Kamil adalah pihak-pihak yang mengadvokasi PKL selama kasus ini.

Di titik inilah ketegangan pemerintah dan PKL Purnawarman mulai mencair. Walaupun belum usai benar, dan seperti yang dicatat Rilis.rakapare.org

(21 April 2016) banyak ketidaksesuaian dalam pengaplikasian janji wali kota pada

18 April 2016 tersebut. Ditambah masih belum terpecahkannya solusi untuk PKL-

PKL aksesoris ponsel kawasan Purnawarman yang hingga kini “kucing-kucingan” dengan aparat berwajib.

Di akhir triwulan satu 2017 laporan terbaru dari PKL Purnawarman menyebutkan, keberadaan mereka pasca relokasi di lahan parkir luar Bandung

Electronic Center kembali terusik. Hal ini disebabkan rencana pembangunan gedung parkir di daerah tersebut. Rencana ini kembali membuat terombang-

52

ambingnya hidup jajaran PKL73. Hal ini tentunya bertolak dengan perjanjian terakhir mereka dengan pihak Pemerintah Kota Bandung.

2.2.8 Konklusi

Penulis memahami Pedagang Kaki Lima sebagai kelompok subordinat yang distigmakan sebagai patologi sosial. Stigma yang terbangun sejak lama ini menjelma sebagai hegemoni yang akhirnya diterjemahkan dalam penarikan kebijakan pemerintah. Media pun terbukti acapkali bertindak sebagai aktor pelestari hegemoni di benak khalayaknya. Ketidakberdayaan PKL mengundang simpatik kelompok-kelompok intelektual organik. Komune Rakapare yang dalam kasus ini penulis asosiasikan sebagai intelektual organik tentunya berperan dalam membangun kesadaran PKL –namun, proses penyadaran PKL oleh Komune

Rakapare akan penulis tempat kan dalam fokus sekunder yang nantinya akan mendasari fokus primer. Lewat penerbitan media alternatif yang sarat akan resistensi, kelompok intelektual ini mencoba membangun hegemoni tandingan dari nilai-nilai PKL yang sudah lama tertanam di benak masyarakat.

Fokus utama penelitian ini sendiri adalah mengamati bagaimana resistensi media alternatif tersebut baik di level mikro, meso, makro. Adapun penulis menggunakan pendekatan analisis wacana berparadigma kritis besutan Teuan A.

Van Dijk, yang biasa disebut dengan Kognisi Sosial untuk menjabarkan tiga level tersebut. Di level mikro, penulis menggunakan analisis teks lewat critical

73 lihat Rilis.Rakapare.com “Mari Bersolidaritas: Mobilisasi Damai PKL Purnawarman” 16 Maret 2017).

53

linguistics, baik tentang kosa kata, kalimat, proposisi, dan makna kalimat. Adapun tujuannya guna menjelaskan dan memaknai suatu teks. Sementara level meso, akan menilik kognisi sosial penulis teks, maupun media tersebut yang dijabarkan lewat skema maupun model pemikiran. Tujuannya, guna memahami cara pandang realitas sosial dari individu atau kelompok pembuat teks. Terakhir level makro,

Van Dijk menamainya dengan Konteks Sosial. Dimensi ini menelaah bagaimana suatu teks dihubungkan dengan struktur sosial, budaya, politik dan ekonomi serta pengetahuan masyarakat tentang suatu wacana (Eriyanto, 2000: 138). Tentunya di level ini penulis akan mencoba memadu-padankan analisis dengan sejumlah teori yang mayoritas telah dipaparkan sebelumnya –untuk pembahasan perihal metodologi akan penulis bahas secara lebih dalam di bab berikutnya. Berikut sedikit gambaran peta penelitian yang (akan) dilakukan penulis.

54

Gambar 2.1

Skema Kerangka Pemikiran

55

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN DAN GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode memiliki arti; cara yang teratur dan dipikirkan baik-baik untuk mencapai maksud menunjang cara kerja yang sistematis, untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan demi mencapai tujuan yang ditentukan74. Lebih sederhananya, metodologi penelitian merupakan proses, prinsip, atau prosedur yang digunakan dalam mendekati sebuah permasalahan untuk mendapatkan jawabannya. Mulyana

(2005) mengatakan metodologi adalah suatu pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian. Adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif. Artinya, subjektivitas yang bertanggung jawab adalah nadi penelitian ini demi mencapai pemahaman baru dan segar.

3.1.1 Paradigma Penelitian Kualitatif

Sebagaimana yang dijabarkan sebelumnya, penulis memilih metode penelitian analisis data kualitatif. Menurut Stokes penelitian kualitatif yang bersifat interpretif (menggunakan penafsiran), merupakan khas dari ilmu-ilmu kemanusiaan yang banyak dikembangkan dalam kajian-kajian sastra75. Selain itu, ciri khas dari penelitian kualitatif adalah, banyaknya melibatkan metode dalam

74 Djajasudarma 2010:1 75 Prasetyo, 2015: 40

56

menelaah masalah.76 Adapun Bodgan dan Taylor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif –berupa kata-kata tertulis atau lisan dari individu dan perilaku yang diamati77.

Krik dan Miller menjelaskan metode kualitatif sebagai tradisi dalam ilmu pengetahuan sosial. Secara fundamental metode ini bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri.78 Selain itu, Deddy Mulyana (2005:33) menjelaskan, penelitian kualitatif termasuk ke dalam perspektif subjektif79. Hal ini dapat dilihat pada realitas (komunikasi) bersifat ganda, rumit, semu, dinamis

(mudah berubah), dikonstruksikan dan holistik. Kebenarannya pun bersifat relatif.

Aktor dalam perspektif ini juga bersifat aktif, kreatif dan memiliki kemauan bebas.

Moleong (2007: 8-13) menggabungkan pemikiran Bogdan dan Biklen dengan ulasan Lincoln dan Guba dalam menjabarkan karakteristik penelitian kualitatif. Adapun hasil kesimpulannya berupa 10 ciri, seperti: (1) Latar Ilmiah,

(2) Manusia Sebagai Alat (Instrumen Penelitian), (3) Metode Kualitatif

(wawancara, pengamatan atau penelaahan dokumen), (4) Analisis Data Secara

Induktif, (5) Teori dari Dasar (grounded theory), (6) Deskriptif, (7) Lebih

Mementingkan Proses daripada Hasil, (8) Adanya Batas yang Ditentukan oleh

76Penggunaan ragam metode ini sering disebut triangulasi. Maksud dari multi metode ini agar peneliti memperoleh pemahaman yang komprehensif dan holistik dari suatu fenomena (Deddy Mulyana, 2005). 77 Moleong, 2007: 4 78 Ibid. Hal: 3 79 Kesubjektivitasan ini tetap dapat ditolerir, mengingat era postmodernism layaknya hari ini lebih terbuka untuk segala metode baru. Termasuk keterbukaan memasukkan unsur subjektif penulis ke dalam tulisan. (Santana, 2007)

57

Fokus, (9) Adanya Kriteria Khusus untuk Keabsahan Data, (10) Desain yang

Bersifat Sementara, (11) Hasil Penelitian Dirundingkan dan Disepakati Bersama.

3.1.2 Analisis Wacana

Sementara kualitatif paradigmanya, analisis wacana penulis pilih sebagai pisau untuk membedah permasalahan yang diteliti. Menurut Eriyanto (2000: 2) Analisis wacana sendiri adalah upaya pengungkapan maksud dari subyek yang mengemukakan pernyataan, baik lewat kata, frase, kalimat, metafora, dan penyajian teks berita. Eriyanto mengatakan dengan melihat bangunan struktur kebahasaan sebelumnya, analisis wacana mampu memberikan perspektif makna yang tersembunyi dari suatu teks.80

Ada tiga hal penting yang mempengaruhi analisis wacana yakni, ideologi, pengetahuan dan wacana itu sendiri. Sederhananya ideologi mempengaruhi produksi sebuah wacana, dengan kata lain; tidak ada wacana yang benar-benar netral. Sementara pengetahuan adalah kepercayaan yang buktikan lewat justifikasi.

Van Dijk mengatakan, wacana memiliki fungsi sebagai suatu pernyataan

(assertion), pertanyaan (question), tuduhan (accusation) atau bahkan ancaman

80 Sobur, Alex. 2009. Analisis Teks Media, Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika, dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hal: 68

58

(threat). Pada praktiknya wacana dapat mendiskriminasi bahkan mempersuasi individu untuk melakukan tindak diskriminasi.81

Setidaknya ada tiga perspektif dari analisis wacana yang dikemukakan

Mohamad A. S. Hikam. Berikut penjelasan lebih lanjut;

(1) Positivisme-empiris

Dalam pandangan ini bahasa dilihat sebagai jembatan manusia dengan objek di luar dirinya. Pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa. Selain itu, ciri lain pandangan positivisme-empiris adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas.

(2) Konstruktivisme

Pandangan yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi ini, tidak melihat bahasa sebagai alat memahami realitas objektif, yang dipisahkan dari subjek penyampai pesannya. Konstruktivis sendiri memandang subyek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana dan hubungan-hubungan sosial lainnya.

(3) Kritis

Kehadiran pandangan ini, bermaksud untuk mengoreksi pandangan konstruktivis yang dirasa kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna secara historikal maupun instusional.82

Untuk paradigma yang terakhir menurut Ibrahim dan Akhmad (2014: 209) kata ‘kritis’ tidak hanya sekedar retorika belaka. Menurut keduanya, kata ini adalah ajakan bagi para akademisi untuk menciptakan tatanan masyarakat yang

81 Eriyanto, 2000: 4 82 Dalam Eriyanto, 2000: 2-3

59

demokratis dan egaliter. Tugas utama itu, dicapai dengan asumsi amanat moral dan tanggung jawab intelektual.

3.1.3 Analisis Wacana Dalam Perspektif Kritis

Dalam penelitian ini penulis memilih analisis wacana dengan sudut pandang kritis atau critical discourse analysis. Sementara, istilah “wacana” dalam analisis wacana kritis tidak hanya dipahami sebagai studi bahasa saja. Maka, selain aspek kebahasaan, analisis wacana kritis juga menghubungkannya dengan konteks sosial yang berkembang. Maksud dari konteks di sini adalah tujuan praktik tertentu dari penggunaan bahasa, termasuk praktik kekuasaan. Wacana pun dianggap merepresentasi ideologi yang ditujukan untuk memproduksi atau mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak seimbang.

Sebagai pendekatan yang mengekspresikan ketertarikannya di awal, analisis wacana kritis mengemukakan asumsi bahwa semua wacana bersifat historical. Oleh karena itu harus dipahami dengan cara mereferensikan pada konteksnya, misalnya saja penggunaan faktor-faktor seperti budaya, sosial, dan ideologi yang kemudian dikaitkan dengan penggunaan bahasa.83

Selain itu, analisis wacana juga menyelidiki bagaimana melalui bahasa kelompok sosial yang ada, saling bertarung dan mengajukan versinya masing-

83 Wodak dan Meyer dalam Putri, Sukma Ari Ragil. 2015. Marginalisasi Queer Indentities Di Media Sosial: Analisis Wacana Kritis Cyberbullying Komentar di Akun Instagram Dena Rachman dan Tata Liem. Semarang: Magister Ilmu Komunikasi Univeritas Diponogoro.

60

masing. Berikut disajikan karakteristik penting dari analisis wacana kritis menurut

Teun A. Van Dijk, Fairclough, dan Wodak:

(1) Tindakan

Prinsip pertama, wacana dipahami sebagai sebuah tindakan. Dengan pemahaman semacam ini, ada beberapa konsekuensi bagaimana wacana itu dipandang.

Pertama, teks dari buklet “PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” dilihat memiliki tujuan tertentu. Baik itu mempengaruhi, mendebat, membujuk, menyangga atau reaksi atas suatu hal yang terjadi sebelumnya. Kedua, wacana dari teks tersebut dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang diekspresikan di luar kesadaran.

(2) Konteks

Dalam kegiatannya analisisnya, penulis di wajib untuk mempertimbangkan konteks buklet “PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi sosial, budaya, politik maupun ekonomi. Wacana dipandang sebagai tindak produksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Titik perhatian dari analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam proses komunikasi. Di sini dibutuhkan tidak hanya proses kognisi dalam arti umum, tetapi juga gambaran spesifik tentang budaya yang dibawa oleh pembuat teks.

(3) Historis

Menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu, berarti wacana diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks

61

yang menyertainya. Salah satunya adalah aspek kesejarahan yang wajib di lihat lebih dalam. Misalnya, sejak kapan stigma terhadap pedagang kaki lima ada, dan mengapa itu bisa terus lestari dalam masyarakat? Belum lagi terkait historikal

PKL yang berada di Kota Bandung.

(4) Kekuasaan

Analisis wacana juga mempertimbangkan elemen kekuasaan di dalamnya. Konsep kekuasaan adalah salah satu hubungan antara wacana dengan masyarakat. Maka penulis berkewajiban menjabarkan kekuasaan yang menjadi tujuan resistensi dari wacana dalam buklet “PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama”. Serta kekuasaan apakah yang melatarbelakangi lahirnya wacana tersebut.

(5) Ideologi

Ideologi merupakan konsep sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini karena teks dalam buklet “PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” dipahami sebagai bentuk atau cermin dari ideologi tertentu. Dalam perspektif ini ideologi dipandang mempunyai beberapa implikasi penting. Pertama, ideologi secara inheren bersifat sosial, tidak personal, ataupun individual. Kemudian pandangan kedua ideologi dipandang secara internal di dalam kelompok intelektual organik, dalam hal ini Komuner Rakapare. Perlu digarisbawahi ideologi di sini bersifat umum, abstrak, dan nilai- nilai yang terbagi antar anggota kelompok menyediakan bagaimana dasar suatu masalah harus dilihat.84

84 Eriyanto, 2000: 4-8

62

3.1.4 Model Kognisi Sosial Teun A. Van Dijk

Dari beragamnya model analisis wacana kritis, penulis memilih Kognisi Sosial besutan Teun A. Van Dijk. Disebut kognisi sosial, karena dua definisi yang dimilikinya. Satu sisi menunjukkan bagaimana teks diproduksi oleh media khususnya pewarta, di sisi lain menggambarkan bagaimana nilai-nilai masyarakat itu menyebar dan diserap oleh kognisi wartawan, dan akhirnya digunakan untuk membuat teks berita.

Model ini biasa digunakan untuk menjelaskan struktur dan proses terbentuknya suatu teks. Menurut Van Dijk penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Maka ia membagi tiga klasifikasi dalam proses analisisnya. Yakni ranah teks, kognisi sosial dan konteks sosial. Intinya menggabungkan ketiga dimensi tersebut ke dalam satu kesatuan.85

Dalam dimensi teks dipelajari bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Sedangkan pada ranah kognisi sosial, proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu dari wartawan, adalah fokus yang akan dikaji. Terakhir aspek konteks sosial yang mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah. Sederhananya analisis Van Dijk menjembatani analisis tekstual yang berfokus pada teks ke arah analisis yang komprehensif, bagaimana teks berita itu

85 Ibid. Hal: 136

63

diproduksi, baik dalam hubungannya dengan individu, wartawan, maupun dari masyarakat.

Gambar 3.1 Model Analisis Kognisi Sosial (Teun A. Vand Dijk)

(1) Dimensi Teks

Dari tujuh bab yang terkandung dalam buklet “PKL Kontroversi Kota dan Solusi

Bersama” penulis berencana untuk meneliti seluruh bab, lengkap dengan serangkaian prolog di awal teks dan ilustrasi-ilustrasi yang melengkapinya. Maka dalam dimensi teks, yang dikaji lewat analisis teks kritis penulis akan mengikuti skema yang telah di buat oleh Teun A. Van Dijk. Dalam Eriyanto (2000: 138)

Van Dijk beranggapan suatu teks terdiri atas beberapa struktur, dan setiap bagiannya saling mendukung.

Pertama struktur makro, atau makna global dari teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema. Selanjutnya superstruktur yang merupakan struktur wacana di mana terhubung dengan kerangka teks, pola-pola penyusunan teks sehingga menjadi cerita utuh. Terakhir struktur mikro, atau analisis yang mengamati bagian terkecil dari suatu teks. Baik berupa kata, kalimat, proposisi,

64

anak kalimat, parafrase, dan gambar. Sebagai gambaran dari model analisis teks

Van Dijk, berikut penulis menyertakan tabel berisikan kerangka analisis teks:

Tabel 3.1 Kerangka Analisis Teks Teun A. Van Dijk STRUKTUR HAL YANG ELEMEN UNIT WACANA DIAMATI ANALISIS

Tematik STRUKTUR (Apa yang Topik Judul dan Kata MAKRO diutarakan?)

Skematik (Bagaimana Judul, lead, isi, SUPER pendapat disusun Skema paragraf, kalimat STRUKTUR menjadi dan kata sistematis?)

Semantik Latar, detail, Paragraf, kalimat (Makna yang maksud, dan kata ditekankan dalam praanggapan teks)

Sintaksis Bentuk- bentuk Paragraf, kalimat

(Bagaimana kalimat, koherensi dan frase

pendapat dan kata ganti

disampaikan?)

STRUKTUR Stilistik Leksikon Paragraf, kalimat MIKRO (Pilihan kata apa dan kata yang dipakai?)

Retoris Grafis, Metafora, Judul, paragraf, (Bagaimana dan Ekspresi kalimat, kata dan dengan cara apa foto penekanan dilakukan?)

65

a. Struktur Makro

Dalam struktur makro indikator yang diamati adalah “tematik”. Istilah tematik menunjuk pada gambaran umum suatu teks. Bisa juga disebut sebagai inti, ringkasan, atau topik utama dari suatu teks. Topik menggambarkan apa yang ingin diungkapkan wartawan dalam pemberitaannya. Topik menunjukkan konsep dominan, sentral, dan paling penting dari isi suatu berita. Topik menggambarkan gagasan inti dari wartawan ketika memandang suatu peristiwa.86

Wacana umumnya dibentuk dalam tata aturan umum. Van Dijk menyebut hal ini sebagai koherensi global. Yakni bagian dalam teks yang bila diurutkan, menunjuk pada suatu titik gagasan umum, dan bagian-bagian yang menunjuk padanya. Adapun bagian-bagian ini saling dukung satu sama lain untuk menggambarkan topik tersebut.

Gagasan Van Dijk berdasar pada pandangan ketika penulis teks memandang suatu masalah dilandaskan pada suatu mental/pikiran tertentu.

Kognisi atau mental secara jelas dapat dilihat dari topik yang dimunculkan dalam teks. Tidak berhenti di sana, elemen lain dipandang sebagai bagian dari strategi wartawan untuk mendukung topik yang ingin dia tekankan dalam sebuah pemberitaan. Peristiwa yang sama bisa jadi dipahami secara berbeda oleh wartawan dan ini dapat diamati dari topik suatu pemberitaan.87

Sementara itu dalam buklet “PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama”,

Komune Rakapare mengangkat pedagang kaki lima sebagai tema utamanya.

86 Ibid. Hal: 141 87 Ibid.

66

Lebih spesifiknya tentang stigma, pandangan dan pendapat umum soal PKL. Dari tema besar itu, buklet ini memecah tujuh topik-topik kecil seperti kehadiran pedagang kaki lima yang membuat kemacetan, merusak estetika, melanggar hak pejalan kaki, melanggar hukum, hingga beberapa permasalahan praktis terkait

PKL dan pemerintah kota.

b. Superstruktur

Dalam superstruktur, skematik menjadi aspek yang di teliti. Teks atau wacana umumnya mempunyai skema atau alur dari pendahuluan. Alur tersebut menunjukkan bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan yang berarti. Sobur (2009: 76) mencatat bahwa struktur skematik ini menjelaskan dan makna dalam bentuk umum dari suatu teks.

Pada umumnya secara hipotetik ada dua kategori skema besar. Pertama, summary yang umumnya ditandai dengan dua elemen yakni judul dan lead. Judul dan lead menunjukkan tema yang ingin ditampilkan oleh wartawan dalam pemberitaannya. Misalnya dalam buklet yang penulis teliti, ada enam judul yang menggambarkan skema keseluruhan. Judul-judul ini pun diperkuat dengan lead- lead yang berperan sebagai pengantar ringkasan apa yang ingin dikatakan sebelum masuk ke dalam isi teks.

Kedua, story yakni isi teks secara keseluruhan yang kemudian akan kembali dibagi dua sub kategori. Yang pertama berupa situasi yakni proses atau jalannya peristiwa, sedangkan yang kedua komentar yang ditampilkan dalam teks.

67

Adapun sub-sub kategori ini akan memiliki indikatornya masing-masing. Untuk kategori story sendiri akan penulis gunakan untuk menganalisis teks buklet “PKL

Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” bab per bab.

Van Dijk melihat struktur tematik sebagai satu kesatuan yang koheren dan padu. Di dalamnya terdapat strategi wartawan/penulis untuk mendukung topik tertentu yang ingin disampaikan dengan menyusun bagian-bagian dengan urutan tertentu. Skematik memberikan tekanan mana yang didahulukan, dan bagian mana yang bisa kemudian sebagai strategi untuk menyembunyikan informasi penting.88

c. Struktur Mikro

Pembahasan dalam struktur mikro ini akan dipecah dalam empat bahasan yang diamati. Sebagaimana yang tela penulis sebutkan sebelumnya bahwa struktur mikro sendiri ditujukan untuk mengamati bagian-bagian terkecil dalam suatu teks.

Maka berikut sejumlah bahasan yang akan diamati:

(a) Semantik

Unsur semantik memiliki beberapa elemen yang dapat mempengaruhi arti dan menguraikan cerita. Beberapa elemen tersebut adalah latar, praanggapan, detail dan maksud. Keempatnya saling terhubung dalam menggambarkan tema yang diangkat.

Latar merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi semantik atau arti yang ingin ditampilkan. Seorang penulis tentunya memiliki latar belakang saat membangun sebuah teks. Van Djik meyakini bila latar belakang menentukan arah

88 Ibid. Hal: 142-144

68

pandangan khalayak hendak dibawa. Semisal dalam teks buklet “PKL Kontroversi

Kota dan Solusi Bersama” dilatarbelakangi relokasi PKL besar-besaran oleh

Pemkot Kota Bandung. Latar inilah yang menjadi alasan pembenar dari gagasan yang diajukan dalam teks tersebut. Ini merupakan cerminan ideologis, di mana wartawan dapat menyajikan latar belakang dapat juga tidak, tergantung kepentingan mereka.89

Elemen wacana detail berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan pembuat teks. Menampilkan informasi tentang suatu hal secara berlebihan dipercayai akan menguntungkan posisi pembuat teks. Detail yang lengkap dan panjang lebar merupakan penonjolan yang dilakukan secara sengaja untuk menciptakan citra tertentu kepada khalayak. Detail yang lengkap itu akan dihilangkan jika berhubungan dengan kelemahan atau kegagalan dirinya.

Pemaparan mendetail pun dipercayai Van Dijk sebagai strategi pembuat teks dalam mengekspresikan sikapnya secara implisit.90

Sementara elemen wacana maksud hampir sama dengan elemen detil.

Elemen maksud melihat informasi yang menguntungkan penulis teks akan diuraikan secara eksplisit dan jelas. Dalam konteks media, elemen maksud menunjukkan bagaimana secara implisit dan tersembunyi penulis teks menggunakan praktik bahasa tertentu untuk menonjolkan basis kebenarannya dan secara implisit pula menyingkirkan versi kebenaran lain91.

89 Ibid. Hal: 144-145 90 Ibid. Hal: 146 91 Ibid. Hal: 147

69

Terakhir elemen wacana praanggapan. Elemen ini merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung makna suatu teks. Jika latar berarti upaya mendukung pendapat dengan jalan memberi latar belakang, maka praanggapan adalah upaya mendukung pendapat dengan memberikan premis yang dipercaya kebenarannya. Praanggapan hadir dengan pernyataan yang dipandang terpercaya sehingga tidak perlu dipertanyakan. Praanggapan ini merupakan fakta yang belum terbukti kebenarannya, tetapi dijadikan dasar untuk mendukung gagasan tertentu.

Praanggapan didasarkan pada ide common sense sehingga meskipun kenyataannya belum terjadi kebenarannya. Orang sudah terlanjur menerimanya.92

(b) Sintaksis

Sama dengan semantik, unsur sintaksis juga terbagi menjadi beberapa elemen bahasan. Hal ini meliputi hal-hal mikro dalam tataran kalimat yang dibentuk oleh pembuat teks. Elemen pertama adalah bentuk kalimat. Dituliskan Eriyanto (2000:

153-155) bentuk kalimat adalah segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir logis, yaitu prinsip kausalitas. Bentuk kalimat ini bukan hanya persoalan teknis kebenaran tata bahasa, tetapi menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat. Bentuk kalimat ini menentukan apakah subjek diekspresikan secara eksplisit atau implisit dalam teks.

Kedua, koherensi atau pertalian antar kata maupun kalimat. Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak koheren. Koherensi merupakan elemen wacana untuk melihat bagaimana

92 Ibid.

70

seseorang menggunakan wacana secara strategis untuk menjelaskan suatu fakta atau peristiwa.

Koherensi juga secara mudah dapat diamati dari kata hubung (konjungsi) yang dipakai untuk menghubungkan fakta, seperti dan, akibat, tetapi, lalu, karena, meskipun, lalu. Kata hubung yang dipakai memberi kesan kepada khalayak bagaimana dua fakta diabstraksikan dan dihubungkan.93

Elemen berikutnya adalah kata ganti. Elemen kata ganti merupakan elemen untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh penulis teks untuk menunjukkan di mana posisi seseorang dalam wacana.94 Misalnya dalam buklet

“PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” penulis teks kebanyakan menggunakan kata ganti jamak “kita” untuk menyebutkan “aku” atau “kami”. Hal ini tentu saja berimplikasi menumbuhkan solidaritas, aliansi, serta mengurangi kritik dan oposisi terhadap diri sendiri.

(c) Stilistik

Yang menjadi fokus utama dalam pengamatan stilistik adalah elemen leksikon.

Hakikatnya elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Pilihan kata merupakan sikap dan ideologi tertentu. Peristiwa yang sama dapat digambarkan dengan pilihan kata yang berbeda. Label mana yang dipakai tergantung kepada penulis teks yang

93 Ibid. Hal: 148-152 94 Ibid. Hal: 155-156

71

memakai kata-kata tersebut.95 Semisal dalam buklet “PKL Kontroversi Kota dan

Solusi Bersama” penulis teks tentu memiliki pemahamannya tersendiri untuk menggunakan kata “kontroversi” dan menyandingkannya dengan “solusi”.

(d) Retoris

Ada dua elemen dalam pembahasan retoris, pertama grafis dan yang kedua metafora. Pertama, elemen grafis merupakan bagian untuk memeriksa apa yang ditekankan atau ditonjolkan. Penekanan grafis ini biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat berbeda: pemakaian huruf tebal, huruf miring, pemakaian garis bawah, huruf yang dibuat dengan ukuran lebih besar dan lain-lain. Bagian- bagian yang ditonjolkan ini menekankan kepada khalayak pentingnya bagian tersebut. Elemen grafis juga mencangkup penggunaan gambar, foto, maupun tabel yang mempertegas pentingnya pesan tersebut.96 Misalnya dalam buklet yang penulis teliti, ragam ilustrasi ihwal PKL tentunya wajib ditelaah. Selain itu dalam teks ini pun selalu dijumpai penebalan huruf di beberapa kalimatnya.

Elemen kedua adalah metafora. Dalam suatu wacana, seorang wartawan tidak hanya menyampaikan pesan pokok, tetapi juga memberi kiasan, ungkapan yang dimaksudkan sebagai ornamen atau bumbu suatu berita. Pemaknaan metafora menjadi petunjuk utama untuk mengerti makna sebuah teks. Metafora digunakan wartawan secara srategis sebagai landasan berpikir, alasan pembenar atau gagasan tertentu pada publik.97 Contohnya Komune Rakapare yang menamai

95 Ibid. 96 Ibid. Hal: 157 97 Ibid. Hal: 158

72

PKL sebagai Pedagang Kreatif Lapangan dalam pembuka buklet “PKL

Kontroversi Kota dan Solusi Bersama”.

(2) Kognisi Sosial

Tidak hanya struktur teks, analisis wacana kritis juga memperhatikan proses produksi suatu teks. Dalam kerangka analisis wacana Van Dijk, mengenal istilah kognisi sosial, yakni kesadaran mental wartawan yang membentuk teks tersebut.

Pada hakikatnya kognisi sosial adalah aspek penting yang menjadi kerangka tidak terpisahkan dalam memahami teks media.

Pendekatan kognitif didasarkan pada asumsi bahwa teks tidak mempunyai makna. Namun, makna itu diberikan oleh pemakaian bahasa, atau lebih tepatnya proses kesadaran mental dari pemakaian bahasa. Karena sesungguhnya setiap teks dihasilkan lewat kesadaran, prasangka, atau pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa.

Dalam penelitian penulis ini, Komune Rakapare sebagai penulis teks tidak dianggap sebagai individu yang netral. Namun diasumsikan sebagai insan yang memiliki beragam nilai, pengalaman, dan pengaruh ideologi yang didapat dari kehidupannya. Dalam hal ini Van Dijk menekankan analisis kognisi sosial untuk menemukan struktur mental ketika memahami sebuah peristiwa.

Pertanyaan utama yang diajukan Van Dijk adalah, “bagaimana wartawan mendengar dan membaca peristiwa, bagaimana peristiwa tersebut dimengerti, dimaknai, dan ditampilkan dalam pikiran?” Bagaimana suatu peristiwa itu

73

difokuskan, diseleksi, dan disimpulkan dalam keseluruhan proses produksi berita?98 Analisis kognisi sosial ini memusatkan perhatian pada struktur mental, proses pemaknaan, dan mental dari para penulis buklet. Hal ini akan membantu memahami fenomena sebagai bagian proses produksi wacana dalam teks buklet.

Dalam Eriyanto (2000: 160) menyebutkan bahwa Van Dijk memahami wacana semestinya memperhatikan proses bagaimana teks diproduksi oleh wartawan atau pengarang. Terdapat empat macam skema atau model yang dapat dirujuk untuk menunjukkan proses produksi wacana dari jajaran penulis buklet.

Adapun beberapa skema yang dimaksud Van Dijk adalah: Pertama Skema Person, atau skema yang cara pandang seseorang terhadap orang lain. Lalu Skema Diri, adalah cara pandang, pemahaman atau penggambaran akan dirinya sendiri.

Selanjutnya Skema Peran; skema ini berhubungan dengan cara seseorang memandang peranan dan posisinya di dalam masyarakat. Dan terakhir Skema

Peristiwa; merupakan skema yang paling sering digunakan. Skema ini terkait dengan cara manusia memandang peristiwa di sekitarnya.

Selain skema pengetahuan, pemahaman dan kesadaran pengarang, ditentukan pula oleh memori dan model. Van Dijk mengatakan, model berhubungan dengan strategi-strategi ketika seorang penulis memasukkan opini, sikap, perspektif dan informasi ke dalam teks.99 Adapun strategi tersebut meliputi: a. Seleksi kepada sumber, peristiwa dan informasi. b. Reproduksi, berhubungan dengan menggandakan atau tidak digunakannya informasi resmi, semisal rilis. c.

98 Ibid. Hal: 159 99 Ibid Hal: 164-165)

74

Penyimpulan atau strategi penarikan makna dalam informasi menjadi bentuk yang lebih ringkas. Setidaknya ada tiga hal yang saling kait mengait, yakni (a)

Penghilangan, atau merangkum informasi, (b) Generalisasi di mana beberapa informasi serupa dijadikan informasi yang berlaku untuk umum, dan (c)

Konstruksi, yang merupakan kegiatan mencampurkan beberapa informasi dengan tujuan mendapatkan informasi yang menyeluruh. Strategi yang terakhir adalah d. transformasi lokal. Strategi ini pada intinya berkaitan dengan bagaimana suatu peristiwa ditampilkan.

Eriyanto (2000: 165) mengatakan bahwa teks diproduksi dalam suatu proses mental tertentu. Kegiatan ini amat berkaitan dengan strategi-strategi baik seleksi, reproduksi, penyimpulan atau pun transformasi. Dengan kata lain semua teks disesuaikan dengan model yang telah terbangun dalam cara pikir penulis teks.

(3) Konteks Sosial

Teks media adalah bagian dari wacana yang berkembang di masyarakat. Sehingga untuk meneliti teks perlu dilakukan analisis intertekstual dengan meneliti bagaimana wacana tentang suatu hal diproduksi dan dikonstruksi dalam masyarakat. Titik penting dari analisis ini adalah untuk menunjukkan bagaimana suatu makna dihayati bersama. Semisal perihal khalayak memaknai keberadaan

PKL usai diterpa wacana dari buklet “PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama”

Menurut Van Dijk dalam analisis mengenai masyarakat, ada dua poin yang penting yakni kekuasaan dan akses. Praktik kekuasaan, Van Dijk

75

mendefinisikan kekuasaan sebagai kepemilikan yang dimiliki oleh suatu kelompok. Kekuasaan ini dasarnya pada kepemilikan atas sumber-sumber bernilai. Kekuasaan yang dipahami oleh Van Dijk berbentuk persuasif; tindakan seseorang untuk secara tidak langsung mengontrol dengan jalan mempengaruhi kondisi mental, seperti kepercayaan, sikap dan pengetahuan.100 Namun sebaliknya dalam penelitian ini, menyoal penulis meneliti media yang melakukan praktik perlawanan, tentunya bentuk yang ditelaah adalah perlawanan mereka terhadap tindak kekuasaan.

Selanjutnya, akses mempengaruhi wacana. Analisis wacana Van Dijk memberi perhatian yang besar pada akses, bagaimana akses di antara masing- masing kelompok dalam masyarakat. Kelompok elite mempunyai akses yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang tidak berkuasa. Sedangkan penulis tentunya menelaah akses yang terbatas yang dimiliki Komune Rakapare sebagai pembuat buklet. Pertanyaannya dengan akses yang terbatas ini bagaimana cara mereka mempengaruhi wacana yang berkembang di masyarakat?

Eriyanto (2000: 167) mengatakan analisis sosial ini dapat dilakukan dengan melihat praktik kekuasaan bekerja. Semisal, bagaimana praktik kekuasaan tersebut melakukan tindak diskriminasi terhadap suatu kelompok lewat wacana.

Tentunya analisis ini menyertakan bagaimana akses setiap kelompok untuk menanggapi permasalahan tersebut. Dan pada akhirnya memaparkan pengaruh dari tiap akses dalam mereproduksi wacana.

100 Ibid. Hal: 166

76

3.2 Subjek Penelitian

Subjek penelitian merupakan sesuatu baik benda, individu, atau kelompok yang menjadi pokok bahasan. Dalam penelitian ini sendiri penulis menjadikan sebuah kelompok kepemudaan sebagai subjek penelitian, Komune Rakapare namanya.

“Mengatasi berbagai permasalahan akar rumput ibu pertiwi dengan turun langsung memulai perubahan itu sendiri” menjadi tujuan komunitas ini yang tertulis di situs Rakapare.org. Bagi komunitas ini pemuda adalah elemen dalam masyarakat yang wajib menginisiasi perubahan.

Sementara pembelaan yang mereka berikan pada PKL Purnawarman, bukanlah aksi pertama. Sebelumnya Rakapare pun sempat mengadvokasi beberapa kasus seperti permasalahan agraria yang menimpa petani di Kerawang dan kebakaran di salah satu Panti Asuhan di Kota Bandung. Output dari hasil kegiatan mereka biasanya berupa kajian yang dipublikasikan kepada masyarakat.

Karena penulis meneliti buklet yang tentunya memiliki tim tersendiri dalam kegiatan penggarapannya, ada baiknya penulis paparkan nama-nama tersebut. Gio Austriningrum, Farush Sobandi dan Naufal Rofi adalah jajaran pembuat tujuh konten utama dalam buklet ini. Kinerja mereka juga divisualisasi oleh Rosyad I dan Andhi Bhatara dan Fatchur Rohman sebagai ilustrator dan penata letak. Sejumlah nama inilah yang nantinya akan penulis saring kembali untuk menjadi subjek penelitian dalam penelitian ini.

77

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Setidaknya penulis menggunakan tiga teknik pengumpulan data dalam penelitian ini. Berikut penjelasannya:

(1) Analisis Teks

Lebih tepatnya penulis menggunakan Critical Linguistic khas pendekatan Teun A.

Van Dijk dalam Analisis Wacana Kritis. Mengingat teks tentunya memuat fakta dan data yang berkaitan dengan suatu masalah. Analisis teks ini akan penulis terapkan kepada objek penelitian, yakni buklet “PKL Kontroversi Kota dan Solusi

Bersama” untuk mengkaji resistensinya terhadap stigma atas kehadiran pedagang kaki lima.

(2) Studi Kepustakaan

Adapun cara pengumpulan data yang kedua, pengumpulan sejumlah data yang penulis dapat baik melalui; buku ilmu terkait, jurnal, atau media massa baik cetak maupun daring. Semua literatur yang penulis jadikan referensi ini, penulis jamin akan tercatat dalam daftar pustaka.

(3) Wawancara

Tahapan wawancara menjadi salah satu cara dalam pengumpulan data di penelitian ini. Mengingat salah satu ciri khas dari penelitian kualitatif adalah mengutamakan perspektif emic, maka penulis merasa perlu untuk mewawancarai subjek-subjek terkait dan pemerhati permasalahan yang penulis angkat. Sejumlah pihak nantinya akan penulis pilih secara matang –melihat kedekatan dan

78

kepakarannya dengan permasalahan yang penulis angkat.

3.4 Teknik Analisis Data

Setelah data dikumpulkan, penulis tentu akan menganalis beragam hasil pencarian. Menurut Miles dan Huberman (1992) ada tiga alur kegiatan yang wajib dilalui dalam menganalisis data, yakni;

(1) Reduksi Data

Adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data mentah di lapangan. Reduksi merupakan bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang, dan mengorganisasikan data.

(2) Penyajian Data

Miles dan Huberman membatasi suatu penyajian sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memebri ruang penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.

(3) Menarik Kesimpulan

Tahapan ini merupakan kegiatan dari konfigurasi yang utuh. Selama penelitian setiap data ini pun akan terus di verifikasi, agar memberikan hasil yang akurat.

3.5 Uji Keabsahan Data

Dalam melakukan penelitian ilmiah, tahapan pemeriksaan keabsahan data adalah teknik yang digunakan untuk menguji kebenaran data yang diperoleh dan dilaporkan. Sejatinya uji keabsahan data dilakukan untuk menguji tingkatan validitas data yang dikumpulkan oleh penulis. Sebelumnya telah disampaikan

79

bahwa metode kualitatif merupakan penelitian bersifat interpretif (menggunakan penafsiran yang terkonfirmasi), melibatkan banyak metode dalam menyelesaikan masalah penelitiannya. Penggunaan banyak metode ini sering pula disebut triangulasi –dimaksudkan agar peneliti memiliki pemahaman yang komprehensif

(holistik) mengenai fenomena yang diteliti.

Moleong (2007: 324) memaparkan ada empat kiteria yang digunkan dalam pelaksanaan teknik pemeriksaan; (1) Derajat kepercayaan, (2) Keteralihan, (3)

Kebergantungan dan (4) Kepastian. Dalam mencapai hal-hal tersebut setidaknya ada sepuluh teknik yang di paparkan Moleong. Namun, penulis hanya menggunkan beberpa teknik saja, seperti:

(1) Perpanjangan Keikutsertaan,

Karena peneliti dalam penelitian kualitatif adalah instrumen utama, keikutsertaannya sangat menentukan dalam pengumpulan data. Keikutsertaan itu tidak hanya memakan waktu singkat, bahkan memerlukan perpanjangan keikutsertaan pada latar penelitian. Menurut Moleong (2007: 327) perpanjangan keikutsertaan mengharuskan peneliti tinggal di lapangan peneitian sampai kejenuhan pengumpulan data tercapai.

(2) Triangulasi

Teknik ini menggunakan data atau sumber lain untuk keperluan pengecekan atau pembanding dari data yang dimiliki. Denzin (dalam Moleong, 2007: 330) membagi triangulasi dalam empat macam, yakni: Triangulasi sumber metode, penyidik dan teori. Keempat cara ini memiliki indikator dan tahapannya masing-

80

masing.101 Triangulasi diasumsikan sebagai cara terbaik dalam menghilangkan perbedaan konstruksi kenyataan, atau sederhananya peneliti dapat me-recheck temuannya dengan jalan membandingkan empat indikator di atas.

(3) Pemeriksaan Sejawat Melalui Diskusi

Teknik ini dilakukan dengan cara memaparkan hasil sementara atau akhir penelitian dengan rekan sejawat peneliti. Lewat jalan ini peneliti tetap dijaga keterbukaan dan kejujurannya ihwal hasil penelitian. Selain itu cara ini akan memberikan potensi masuknya kritik dan saran atas kinerja peneliti. Dalam penelitian ini pengertian teman sejawat penulis asumsikan sebagai dosen pembimbing skripsi yang senantiasa menjadi partner bertukar pikiran.

3.6 Gambaran Umum Objek Penelitian

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwasanya penulis menjadikan sebuah buklet setebal 32 halaman sebagai objek penelitiannya. Diberi tajuk “PKL

Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” buklet ini menyoal pardigma masyarakat pada umumnya dalam memandang keberadaan pedagang kaki lima. Medium alternatif ini di terbitkan secara digital dalam kanal rilis.komunerakapare.org per

16 April 2016 lalu.

Setidaknya ada tujuh fokus masalah yang di bahas dalam buklet ini. (1) Ihwal

PKL yang distigmakan sumber kemacetan, (2) Stigma PKL yang melanggar hukum dan aturan Perda Kota Bandung. (3) Stigma PKL melanggar dan merebut

101 Selengkapnya: Moleong, Lexy J. 2007, Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Hal: 330-332

81

hak pejalan kaki. (4) Stigma PKL yang merusak keindahan kota. (5) Stigma ketidaktahuan diri PKL atas jasa pemerintah. (6) Pemerintah membutuhkan waktu untuk mendesain tempat relokasi dan (7) Barang dagangan PKL tidak orisinal.

Semua pembahasan ini di kemas dengan cukup ringan, disertai ilustrasi-ilustrasi yang menggambarkan kehidupan pedagang kaki lima.

82

BAB IV

PEMBAHASAN PEDAGANG KAKI LIMA 180o DALAM “PKL KONTROVERSI KOTA DAN SOLUSI BERSAMA”

4.1 Temuan Penelitian

Mengkaji manusia beserta tabiat dan perilakunya dalam bermasyarakat tentu senantiasa dihadapkan dengan kerelativitasan manusia itu sendiri. Hakikat sebagai makhluk yang dinamis, membuat penulis dituntut jelas untuk membatasi penelitian. Kedinamisan pula yang banyak mempengaruhi elemen-elemen dalam lingkup penelitian. Subjek penelitian yang ditemui pun tentunya telah mengalami serangkaian dialektika. Begitu pula dengan Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung sebagai subjek dari buklet yang penulis teliti.

Temuan penelitian yang penulis rangkum dalam beberapa paragraf berikutnya adalah hasil dari observasi rentang Maret 2016 hingga Juni 2017.

Fakta, data dan informasi yang penulis terakan dalam bagian ini, tentunya tidak mengalami rangkaian analisis. Mengingat hal itu akan penulis lakukan dalam sub bab berikutnya. Berikut temuan yang telah penulis rangkum:

4.1.1 Temuan dalam Teks Buklet “PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama”

Buklet “PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” sejatinya merupakan media alternatif dari Komune Rakapare untuk mengadvokasi Pedagang Kaki Lima di

Kota Bandung. Perlu pula dijelaskan bahwa ketika media ini terbit, PKL Kota

Bandung tengah tersandung regulasi Pemerintah Kota Bandung soal

83

pengklasifikasian zona berdagang. Peraturan ini sempat membidani polemik yang diwarnai wacana resistensi.

Media alternatif ini diakui narasumber penulis memang dijadikan sebagai media pendamping advokasi yang Komune Rakapare lakukan. Gunanya sebagai corong wacana tandingan dari wacana dominan yang berkembang di Kota

Bandung. Ada tujuh bab yang dirangkum dalam buklet ini, dan ketujuhnya memiliki antitesis dari stigma-stigma khalayak terhadap PKL. Setiap bab sengaja dikemas dengan gaya tutur, layout, dan ilustrasi yang disesuaikan dengan target khalayaknya. Dalam prosesi wawancara, narasumber menargetkan kelas pekerja sebagai sasaran utama buklet ini. Adapun bab-bab dalam buklet ini adalah: (1)

PKL Bikin Macet (?), (2) PKL Melanggar Hukum dan Aturan Perda Kota

Bandung (?), (3) PKL Melanggar dan Merebut Hak Pejalan Kaki (?), (4) PKL

Merusak Estetika Kota (?), (5) PKL Tidak Tahu Diri, Pemerintah ‘kan Sudah

Susah-susah Negosiasi (?), (6) Pemerintah Butuh Waktu buat Mendesain Tempat

Relokasi (?), (7) Barang Dagangan PKL KW, Bukan Ori! (?).

Karena penelitian ini menggunakan model dari Teun A. Van Dijk, maka penulis mengonversikannya dalam bentuk kerangka analisis yang beliau anjurkan.

Sepengamatan penulis teks buklet “PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” memiliki ketiga struktur wacana sebagaimana yang Van Dijk terapkan dalam membedah teks. Pertama struktur makro, di mana hal ini terkait dengan tema utama yang diutarakan penyusun dalam teks. Dari hasil, membaca berulang, penulis mendapatkan Pedagang Kaki Lima, khususnya terkait stigma yang mereka

84

derita, menjadi topik utama dalam pembahasan buklet. Permasalahan persepsi masyarakat dalam memandang PKL adalah gerbang yang digunakan penyusun teks untuk memaparkan argumentasinya dalam memandang persoalan ini.

Selanjutnya, super struktur, atau terkait penyusunan teks yang memperkuat kemungkinan wacana diterima khalayak. Dalam proses penganalisisan bagian ini, penulis menemukan pola penyampaian pesan yang di aplikasikan penyusun ke dalam tujuh bab teks buklet. Sederhananya pola ini dimulai dengan dramaturgi pembenaran stigma oleh penulis teks, lalu dilanjut lewat argumentasi-argumentasi yang melemahkan kedudukan stigma tersebut.

Rangkaian pola ini ditutup dengan bagian-bagian khusus yang membangkitkan solidaritas maupun menyisakan tanya soal keabsahan stigma yang selama ini khalayak asumsikan.

Sedangkan yang terakhir adalah struktur mikro. Bagian analisis dengan empat pusat pengamatan ini cukup memakan waktu dalam proses analisisnya.

Pasalnya setiap hal yang diamati, masing-masing memiliki unit analisis dengan serangkaian elemen pengamatan. Buah dari bagian analisis ini sendiri adalah penjabaran secara detail terkait terkaan penulis yang telah didapat dalam dua struktur wacana sebelumnya. Setidaknya ada empat titik pengamatan di bagian ini. Namun sebelum lanjut, penulis sengaja melampirkan teks prolog yang nantinya akan dijadikan gambaran sederhana dalam memahami analisis yang penulis lakukan.

85

(Prolog)

“Persoalan Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan salah satu isu yang paling sering dibahas dalam sebuah kota. Banyak sekali kontroversi yang melingkupi para manusia yang biasa menggelar lapak di pinggir jalan ini. Surat kabar harian, media massa online, televisi, media sosial, hingga obrolan sehari-hari tak pernah luput membahasnya. Ada yang menganggapnya masalah, ada pula yang menganggapnya unik nan khas Indonesia.

Ah, PKL memang topik diskusi yang menarik! :)

Di Kota Bandung sendiri, belakangan tengah ramai wacana tentang relokasi 4 titik PKL, yaitu PKL Dayang Sumbi, PKL Purnawarman, PKL Otista, dan PKL Cicadas. Isu relokasi ini tentu bukanlah yang pertama ada. Banyak titik PKL yang direlokasi sebelumnya. Sebut saja PKL Alun- Alun yang direlokasi ke basement parkir Alun-Alun dan PKL Jalan Merdeka yang dipindahkan ke basement Bandung Indah Plaza (BIP).

Lalu, bagaimana seharusnya kita bersikap dalam isu bersama ini? Ingat, diskusi tidak akan bermakna jika hanya berhenti di meja sendiri. Kritik harus dibarengi dengan solusi yang tak hanya tepat, tapi juga melibatkan suara pihak-pihak yang terlibat. Berani bertanya, cerdas berpendapat, keterbukaan pikir dan rasa untuk menyelesaikan konflik, serta tandas bertindak menjadi kunci solusi bersama.

Karena itulah pamflet ini disebarkan sebagai bentuk media masyarakat akar rumput yang independen. Untuk memahami isu ini lebih jernih, mari kita bongkar bersama stigma, pandangan, pertanyaan, dan pendapat umum soal PKL, khususnya di Kota Bandung, supaya kita bisa tahu apa sih yang sebenarnya jadi akar masalah. Dengan begitu, kita bisa lanjut diskusi soal alternatif solusi apa saja yang bisa kita lakukan bersama untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik dan berimbang.”

Pertama, penekanan-penekanan yang penulis berikan di dalam teks buklet atau disebut dengan semantik. Sebagaimana yang telah dijabarkan dalam bab sebelumnya, bagian semantik sendiri memiliki empat elemen dalam pengamatannya. Dikaitkan dengan petikan paragraf di atas, lewat telaah semantik tentu diketahui bahwa penyusun menekankan soal dua kondisi objektif pedagang

86

kaki lima dewasa ini. Konteks stigma dan konteks sosial PKL khususnya di Kota

Bandung ini dijadikan latar dari wacana yang digelintirkan. Pemberian detail dan praanggapan dalam teks pun berperan banyak dalam membangun pemaknaan pedagang kaki lima di awal sesi baca khalayak. Penyusun menekankan urgensi persoalan ini ditambang dengan latar subjek utama yang ia bahas. Seperti pada dua kalimat pembuka alinea pertama ini “Persoalan Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan salah satu isu yang paling sering dibahas dalam sebuah kota. Banyak sekali kontroversi yang melingkupi para manusia yang biasa menggelar lapak di pinggir jalan ini.” Sebagai alinea pembuka tentu hal ini memberi penekanan makna; “permasalahan PKL adalah perkara serius”. Dilanjut dengan penutup alinea ini yang dirasa penulis mengajak pembaca tidak hanya tahu permasalahan ini, tetapi terjun aktif dalam pencarian solusi.

Masih dalam struktur mikro. Kerangka analisis mesti dilanjutkan dengan telaah sintaksis, atau bagaimana penyusun mengemukakan pendapatnya. Semisal dalam petikan prolog di atas, penulis mendapatkan teks yang secara redaksional memadukan ragam bentuk kalimat, baik aktif maupun pasif, baik itu majemuk maupun tunggal. Dengan koherensi yang bermacam-macam pula. Tidak sampai sana saja, kata ganti untuk menggambarkan PKL dan Penyusun pun juga ditelaah.

Hal yang terdengar teknis ini sejatinya seperti puzzel wacana yang saling sambung dan menguatkan. Seperti bagaimana penyusun menggunakan kata “kita” dalam menyebut dirinya sendiri, memberi sedikit banyak kesan penggambaran

“komunitas imajiner” di benak khalayaknya.

87

Kerangka analisis selanjutnya bahkan lebih detail lagi. Leksikon membahas soal pemilihan kata yang dilakukan penyusun. Semisal pada kalimat

“Karena itulah pamflet ini disebarkan sebagai bentuk media masyarakat akar rumput yang independen.” Kata yang digarisbawahi tentu memiliki penekanan khusus, yang membentuk persepsi terkait buklet tersebut. Selain itu, kata ganti- kata ganti ini pun diterapkan pula pada berbagai subjek dan objek dalam buklet yang tentunya merujuk pada wacana besar yang disiapkan penyusun buklet.

Penelaahan teks di jenjang struktur mikro pun akan ditutup dengan kajian retoris. Bagian analisis ini mengidentifikasi cara penyusun melakukan penekanan.

Baik lewat metafora, penandaan grafis, hingga semiologi gambar yang dituangkannya. Karena buklet ini banyak dibumbui sketsa realis yang menggambarkan citra PKL, tentunya hal tersebut perlu pula penulis telaah. Walau tidak setajam pisau bedah semiotika, namun beberapa prinsip dasar kajian tersebut amat membantu dalam proses analisis ini.

Pada intinya penulis menemukan segala aspek yang dipetakan Van Djik dalam pisau bedah analisisnya. Dikaitkan dengan tema yang di angkat buklet, penulis menemukan indikasi adanya wacana resistensi terkait pemahaman khalayak selama ini ihwal memandang PKL. Selain indikasi tersebut, wacana solidaritas terhadap PKL Kota Bandung yang selalu diterpa konflik pun kental terasa. Namun, hal ini perlu dipastikan lewat rangkaian analisis yang nantinya akan penulis paparkan.

88

4.1.2 Temuan Ihwal Kognisi Sosial Penyusun Teks Buklet

Rangkaian analisis teks nantinya akan disambung dengan analisis kognisi. Karena analisis ini memusatkan perhatiannya pada struktur mental pembuat teks, salah satu jalan yang paling masuk akal adalah dengan mewawancarai pembuat teks tersebut. Sebagaimana yang kita tahu, buklet “PKL, Kontroversi Kota dan Solusi

Bersama” sendiri dibuat oleh Komune Rakapare. Penulis mewawancarainya pada

Jumat, 7 Juli 2017 di sekretariat mereka, Jl. Tikukur No. 17 Kota Bandung.

Sejatinya pertemuan ini bukan tatap muka perdana dengan organisasi riset tersebut. Penulis pertama kali bersentuhan dengan organisasi ini ketika meliput aksi PKL Purnawarman yang turun ke jalan menyuarakan aspirasi mereka, Maret

2016. Dari rentang waktu yang cukup panjang itu penulis pun sempatkan beberapa kali menemui parang punggawa organisasi tersebut untuk bertukar pikiran dan membicarakan penelitian ini.

Rangkaian diskusi sejatinya tidak hanya terjadi pada tanggal wawancara yang penulis lakukan. Tentunya hal ini amat mudahkan penulis dalam mencari tahu struktur mental para penyusun teks ini. Sejauh pengamatan penulis, organisasi ini melakukan upaya advokasi PKL sedari kuartal awal 2016, di mana masalah mulai mencuat. Kehadiran Komune Rakapare sendiri adalah buah dari ketidaksengajaan melewati Jl. Purnawarman Kota Bandung. Giovanni Dessy

Austriningrum, nara sumber yang penulis wawancarai menceritakan bahwa organisasinya memang sedang menyelenggarakan riset soal pedagang kaki lima di

Bandung. Namun, saat berkunjung ke Jl. Purnawarman mereka disajikan

89

pertengkaran antara PKL dan Petugas Satuan Polisi Pamong Praja, hal ini jadi pemantik untuk terjun lebih dalam.

Adapun, Buklet ini merupakan bagian dari gerakan yang mereka prakarsai.

Media yang mereka gunakan dalam proses advokasi pun tidak hanya buklet yang penulis teliti. Sejauh pengamatan, sebagian besar informasi mereka salurkan di ranah maya dengan domain rilis.komunerakapare.org, ada juga yang dikemas lewat media koran yang didistribusikan untuk kalangan terbatas.

Selain lewat media, Komune Rakapare juga melakukan berbagai program yang bertujuan membantu memandirikan para PKL. Mulai dari membuatkan wadah organisasi untuk mereka, hingga membuat program Bandung Street

Vendor. Untuk program terakhir, merupakan gerakan sosial ihwal pendanaan PKL oleh khalayak. Selain itu, Giovanni memaparkan bahwa organisasinya tengah mengedukasi para PKL lewat forum-forum yang mereka buat untuk memandirikan para pedagang ini. Namun dalam praktiknya ia pun menceritakan bahwa tidak semua hal ini dapat berjalan mulus. Mulai dari PKL yang memang tidak terbiasa untuk berorganisasi, hingga masih rawannya oknum-oknum pelestari premanisme di dalam kehidupan PKL, menjadi kendala yang mereka hadapi dalam usaha pemberdayaan masyarakat ini.

Diketahui pula, bahwa dalam tubuh Komune Rakapare telah melewati rangkaian dialektika. Giovanni, mengungkapkan bahwa gaya perjuangan heroisme khas pemuda, memang sempat mereka diadopsi dalam memprakarsai sebuah gerakan. Organisasi yang bertesis dari Komune Paris (1871) ini, diakui

90

Giovanni, kini lebih condong pergerakan non heroik dengan langsung melakukan pemberdayaan. Namun, hal tersebut tidak mengubah haluan gerakan mereka yang bertujuan untuk Organizing urban, revolution dan Alternatif of urban living.

4.1.3 Temuan Konteks Sosial dalam Memahami Perkara PKL

Setelah mengetahui bagaimana teks tersebut dibuat, rangkaian analisis ini harus dilanjutkan dengan penelaahan konteks sosial. Spesifiknya adalah analisis yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana kondisi objektif dari wacana ihwal PKL saat ini. Penulis sendiri menggunakan beberapa metode untuk mendapatkan gambaran objektif ihwal wacana ini. Mulai dari tinjauan literatur, wawancara, hingga menggunakan angket yang disebar kepada khalayak. Namun, minimnya literatur yang menyoal PKL, menjadikan penulis sedikit kesulitan untuk menggenapkan beberapa pembahasan.

Minimnya karya ilmiah yang didedikasikan bagi para “small scale

Enterpreuneurs” ini bukan berarti, tidak ada buah pikir yang bisa penulis kutip.

Sejumlah, penelitian yang penulis telusuri sebagian besar menyuplai banyak sudut pandang dalam memahami esensi PKL. Sebagaimana yang telah penulis sebut dalam bab sebelumnya, bahwa pedagang kaki lima di Indonesia telah lestari setidaknya dari mulai dibangunnya trotoar di era kolonial. Seolah seirama, stigma negatif yang melekat di setiap gerobak dan pikulan mereka pun dibidani di era yang sama. Media terbukti berperan aktif sebagai pemelihara stigma, setidaknya hal ini diketahui lewat penelitian Desi Siti (2014). PKL yang senantiasa dijadikan

91

objek pemberitaan, dengan bingkai “basi” seperti “PKL VS Satpol PP” atau “PKL

Menolak Ditertibkan”. Di lain sisi, penemuan penelitian dari Benjamin (2009), mendapati adanya reaksi penolakan dari PKL kala program penertiban berlangsung. Tempat relokasi, yang tidak dirasa strategis selalu jadi permasalahan. Kegagapan pemerintah dalam mengelola para penggerak ekonomi ini, jadi persoalan lain yang tentunya tidak bisa ditampik. Hal ini sering kali berujung pada tindakan aparatur negara kepada para PKL.

Alisjahbana (2006), memaparkan menjamurnya sektor informal di kota- kota besar disebabkan fenomena urbanisasi dan migrasi. Sudarmaji (2005) mendapati benang merah antara grafik jumlah PKL yang meroket dengan beberapa kebijakan pemerintah. Tiga kebijakan yang memberi dampak besar adalah soal, program pendidikan, ketenagakerjaan, pelaksanaan transmigrasi.

Kembali mengutip Alisjahbana (2006), yang memaparkan, resistensi dari pedagang kaki lima selalu bermula dari tekanan pihak pengambil kebijakan.

Sementara tujuan dari perlawanan ini sendiri adalah untuk menghadapi kebijakan yang mereka rasa merugikan. Penelitian Hermanto, dkk., (2011) menemukan bahwa setiap gerakan kolektif yang PKL lancarkan setidaknya berbentuk resistensi terbuka dan laten. Novita Surya (2014) menjabarkan Resistensi secara terbuka biasanya dilakukan dengan perlawanan secara langsung terhadap petugas, ataupun aparatur pemerintah lewat umpatan hingga kontak fisik dengan para

Satpol PP. Sedangkan Resistensi terselubung dilakukan dengan melakukan upaya- upaya secara tidak langsung dengan harapan tidak diketahui oleh aparat

92

pemerintah. Konter hegemoni dari pihak yang lebih dominan adalah hal yang selalu ditemui dari tiap perlawanan mereka. Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan negosiasi dan kompromi.

Di Kota Bandung sendiri, tercatat ada 22.359 jiwa manusia di tahun 2015 yang menggeluti trotoar sebagai etalasenya. Diketahui lewat penelitian Kristian

Widya dan Tutik Rachmawati (2015), sebagian beasar PKL di kota ini tidak mematuhi payung hukum yang menaungi mereka. Tingkat kepatuhan, PKL sendiri selalu melonjak saat ada penertiban dari pihak-pihak terkait. Reka kucing mengejar tikus memang tidak terhindarkan di kota kembang. Sosialisasi atas kebijakan pemerintah, dirasa tidak berjalan efektif dalam hampir keseluruhan kasus. Sumber daya serta Perilaku dan Nilai menjadi latar belakang mengapa PKL tidak patuh terhadap Perda Kota Bandung No. 4/2011.

Sementara, hasil terjun langsung lapangan yang penulis lakoni tidak jauh dari penemuan-penemuan penelitian sebelumnya. Akhir tri wulan pertama 2016 adalah pertemuan pertama, antara penulis dengan Komune Rakapare yang tengah mengawal persoalan PKL Jl. Purnawarman, Kota Bandung. Dalam pertemuan ini, penulis berperan sebagai pewarta magang yang meliput unjuk rasa PKL, di mana mereka menyuarakan kekesalan terhadap Pemerintah Kota Bandung yang dinilai telah menipu. Pasalnya janji fasilitas hingga hidup yang lebih sejahtera kalau bersedia di relokasi ke area parkir milik Bandung Elektronik Center dirasa hanya iming-iming belaka.

Dari data yang penulis dapatkan ketika meliput kejadian tersebut, PKL

93

Purnawarman mengalami penurunan pendapatan hingga minus 145%. Sebelum relokasi terjadi PKL Purnawarman berpenghasilan rata-rata Rp. 5.560.000.-

Sedangkan rata-rata pendapatan mereka setelah relokasi diberlakukan adalah sejumlah minus 2.493.571. Kontak penulis dengan Komune Rakapare dan PKL

Purnawarman tidak berhenti pada agenda tersebut. Pada bulan Mei 2017, penulis mendapati kabar PKL Purnawarman harus kembali dipindahkan dari area relokasinya. Hal ini ditengarai pihak pemilik lapak, yakni pengelola Bandung

Elektronik Center hendak mengembangkan lahan ini. Sejauh ini tidak ada solusi jelas, sehingga PKL pun diperkenankan kembali ke bahu jalan.

Hingga saat ini tidak ada kejelasan akhir dari perselisihan antara pihak

PKL dan Pemerintah Kota Bandung. Ridwan Kamil sebagai nakoda Kota

Bandung, berinisiasi mencarikan lahan-lahan kosong yang bisa dijadikan wadah

PKL untuk di relokasi, sepertihalnya Skywalk Cihampelas, dan Tamansari Food

Fest. Namun permasalahan tidak langsung tuntas, Komune Rakapare memaparkan pula terjadi masalah-masalah lanjutan dari program pemkot tersebut. Mulai dari persoalan premanisme hingga tidak tepat sasarannya kios yang di berikan pemerintah kota.

Penulis sendiri melakukan survei kecil yang disebar secara acak demi mendapat gambaran wacana yang berkembang di masyarakat. Dari survei kecil tersebut sedikit banyak menggambarkan cara pandang khalayak terhadap

Pedagang Kaki Lima. Hasil survei selengkapnya dapat dilihat pada lampiran.

94

4.2 Pembahasan

Beberapa halaman ke depan penulis akan memaparkan analisis, interpretasi dari serangkaian penelitian yang telah lakukan. Adapun hasil penelitian ini dikonstruksi ke format penyajian analisis wacana kritis model Van Dijk demi menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagaimana yang tertera pada bab sebelumnya. Rangkaian dialektika selama proses penelitian, baik pemahaman teoritis hingga realita lapangan, menjadi bahan yang penulis ramu dalam mengetik setiap kata di bagian ini. Berikut hasil penelitian penulis.

4.2.1 Analisis Wacana Resistensi dalam Teks Buklet

4.2.1.1 Struktur Makro (Aspek Tematik)

Pembahasan aspek tematik, sejatinya mengkaji gambaran umum dari suatu teks.

Hal ini bisa disebut dengan tema atau pun topik. Bagi Eriyanto (2000: 141) topik merupakan sesuatu yang sentral, mengingat hal ini menunjukkan konsep dominan, dan paling penting dari isi suatu berita. Eriyanto juga mencatat gagasan penting

Van Dijk, “Wacana umumnya di bentuk dalam tata aturan umum (macrorule)102.”

Karenanya perlu dipahami bahwa teks tidak hanya mencerminkan sebuah pandangan tertentu, akan tetapi ada pula suatu pandangan umum yang koheren.

Hal ini disebut Van Dijk sebagai “Bagian-bagian dalam teks (yang) kalau dirunut merujuk pada suatu titik gagasan umum.” Sederhananya bisa pula disebut koherensi global (global coherence).

102 Eriyanto (2000: 141)

95

Sekilas, tema umum dari buklet “PKL Kontroversi Kota dan Solusi

Bersama” langsung dapat dicermati lewat redaksional judul yang digunakan.

Keberadaan pedagang kaki lima di perkotaan, khususnya di Kota Bandung menjadi tema umum buklet tersebut. Namun, untuk mendapatkan jawaban ihwal topik apa yang angkat, baiknya kita telaah lebih dalam lewat sub-sub topik di medium ini. Setidaknya, ada tujuh sub-topik yang dikenakan sebagai sub judul di tiap pembahasannya. Sub-sub topik ini ditulis dengan kalimat tanya, yang seolah mempertanyakan kebenaran anggapan atau stigma masyarakat atas kehadiran pedagang kaki lima. Ketujuh sub ini adalah:

Pertama, “PKL Bikin Macet (?)”. Dalam sub-topik ini tim penyusun buklet melempar anggapan ihwal ada atau tidaknya kehadiran PKL di sejumlah titik pun, beberapa ruas jalan di Kota Bandung tidaklah bebas dari kemacetan.

(Teks 1 Paragraf 4)

“Lalu, apakah Jalan Otista menjadi bebas macet? Ternyata tidak! Tanpa PKL, Jalan Otista tetap macet seperti biasa! “Kita melihat dengan mata kepala sendiri bahwa tanpa kami berdagang pun, Jalan Otista tetap macet merayap pada jam-jam padat”, terang Pak Tarno, salah seorang PKL Otista yang ikut mendiskusikan “Senin Bebas PKL” dengan pemerintah. Hal serupa terjadi di Jalan Purnawarman. Selama proses relokasi yang hingga sekarang masih dinegosiasikan, sebagian PKL Purnawarman telah pindah ke tempat relokasi yang ditunjuk Pemerintah Kota (Pemkot), sementara sebagian lain masih berjuang agar bisa bertahan di tempat dagangan semula. Dengan pengurangan jumlah PKL pun, Jalan Purnawarman ternyata masih macet-macet saja.”

Sebagai penguat argumentasi, dalam sub topik ini terdapat sejumlah fakta yang menunjukkan penyebab-penyebab lain dari kemacetan. Pertama adalah soal padatnya arus keluar masuk kendaraan pribadi ke sejumlah pusat perbelanjaan.

96

Semisal di Jalan Otto Iskandar Dinata yang diketahui menjadi pusat niaga ragam komoditas lewat berdirinya Pasar Baru. Kemacetan pun diperparah dengan lokasi yang tak begitu jauh dari persimpangan Jalan Otista-Sudirman. Hal serupa terjadi di Jl. Purnawarman. Pola keluar-masuk parkir di pusat elektronik Bandung

Electronic Center (BEC), diperadang dengan muara keluar parkir Toko Buku

Gramedia dan sejumlah outlet lain. Fakta-fakta ini tertuduh memiliki peran dalam lambatnya arus lalu lintas di ruas jalan tersebut.

Penguat argumentasi berikutnya, soal volume kendaraan pribadi yang melewati jalan-jalan di Kota Bandung. Ditambah dengan meningkatnya jumlah kendaraan (wisatawan) saat akhir pekan. Penyusun buklet mencoba menjelaskan, bahwa masalah macet ini murni permasalahan lalu-lintas. Selain tingginya volume kendaraan pribadi, kambing hitam lain adalah buruknya sistem transportasi massa di kota kembang. Kehadiran bus dan Angkot (Angkutan Kota) dirasa kurang efektif bila tidak didampingi sistem halte yang terintegrasi.

Sub topik yang Kedua, adalah soal “PKL Melanggar Hukum dan Aturan

Perda Kota Bandung (?)” Pembahasan ini didasari sejumlah kebijakan pusat dan daerah yang menyerempet keberlangsungan hidup pedagang kaki lima. Untuk lebih jelasnya simak kutipan berikut:

(Teks 2 Paragraf 1)

“Berdasarkan pernyataan “PKL Melanggar Hukum dan Aturan Perda Kota” inilah relokasi PKL 4 titik yang sedang digalakkan oleh Pemkot Bandung dilakukan. Kota Bandung mengamini kebijakan Zero Growth yang diberlakukan oleh negara Indonesia. Kebijakan Zero Growth diadopsi sebagai sebuah kebijakan yang menyetop pertumbuhan jumlah PKL di kota. Selain kebijakan Zero Growth, Kota Bandung

97

memberlakukan kebijakan zonasi PKL. PKL dilarang keras berjualan di Zona Merah. Di Zona Kuning, PKL boleh berjualan pada waktu-waktu tertentu. Sementara di Zona Hijau, PKL diperbolehkan berjualan. Kebijakan-kebijakan ini pun dilengkapi dengan ancaman sanksi yang tak ringan.”

Dari latar kebijakan di atas, penyusun buklet mendapati dua hal yang perlu dikritisi. Pertama soal relativitas hukum dan perundang-undangan yang dapat berubah sesuai konteks zaman. Argumentasi ini diperkuat dengan kajian historis ihwal dilindunginya praktik perbudakan oleh Hukum Amerika di masa kolonial.

Selain itu juga menyoal tidak diperkenankannya pendidikan bagi Wanita Jawa lewat hukum adat yang berlaku dahulu. Hal-hal ini sejatinya telah berubah lewat partisipasi para subjek hukum dalam pembahasan aturan yang menyertakan mereka. Penyusun pun meyakini bila, “Setiap warga masyarakat sejatinya punya hak dan daya untuk terlibat secara aktif dalam setiap prosesnya, mulai dari penyusunan, pelaksanaan, pengawasan, hingga perubahan/revisi,” sebagaimana yang memang telah dijamin dalam Undang-undang Dasar.

Ada pula fakta berikutnya menyebutkan bahwa sebagian besar masyarakat

Indonesia memiliki keterbatasan akses hukum, termasuk literasinya. Salah satu contohnya adalah tidak dipahaminya bahasa hukum dan perundang-undangan – yang bersifat teknis— oleh subjek-subjek yang diatur dalam hukum itu sendiri.

Penyusun beranggapan, hal ini berujung pada rasa minder dan keengganan masyarakat untuk mempelajari payung hukumnya. Diperparah dengan pernyataan, minimnya pihak-pihak melek hukum (intelektual) yang meliterasikan hal tersebut kepada masyarakat. Pihak penyusun menuliskan, konsekuensi dari hal ini,

98

“Masyarakat jadi tidak bisa membaca dokumen-dokumen hukum perundangan tersebut, tidak bisa menginterpretasikan, tidak mampu mengkajinya dengan kritis, sehingga tidak mampu memberi masukkan bagi hukum perundangan tersebut.”

Sub topik ketiga berbicara tentang “PKL di Trotoar Merebut Hak Pejalan

Kaki (?)” Adalah pembahasan yang paling terpatri pada benak masyarakat modern–setidaknya selama penulis mengikuti isu ini. Adapun para penyusun buklet menyadari betul hal ini. Diperlihatkan lewat paragraf pembuka yang berisikan keluhan pejalan kaki yang merasa haknya direbut. Namun, penyusun buklet merasa perlu memperlihatkan perspektif lain dari persoalan ini. Maka dari itu mereka menjelaskan secara historikal ihwal lahirnya trotoar.

(Teks 3 Paragraf 3)

“Jadi begini, Akang dan Teteh. Aktivitas perdagangan di pinggir jalan sejatinya sudah ada sejak zaman nenek moyang kita. Selain di pasar, mereka juga membawa barang dagangan ke rumah-rumah atau menghamparkannya di pinggir jalan untuk mengejar pembeli, entah dengan gerobak atau keranjang pikulan. Tapi sejak kapan pedagang yang ngemper ini disebut Pedagang Kaki Lima (PKL)? Istilah Kaki Lima muncul saat jaman penjajahan Inggris, tepatnya saat Inggris mulai membangun jalan. Jalan beserta trotoar ini dibuat sesuai dengan konsep kota-kota di Eropa yang saat itu memang sedang gegap gempita karena revolusi industri, makannya jalanan dibuat dari aspal dan bebatuan untuk kendaraan bermotor. Trotoar dibuat lebih tinggi untuk kaum borjuis yang suka berjalan-jalan menikmati kota. Ini jelas berbeda dari kondisi sosial budaya masyarakat kita yang tidak mengalami revolusi industri. Karena falsafah hidup yang dekat dengan alam, jalanan kita tanah aseli! Cikar, gerobak, pedagang, dan pejalan kaki berjalan beriringan sambil bertegur sapa.”

Sub topik ketiga ini berkutat di persoalan mentalitas kolonial/penjajah yang tidak ingin berbagi hak dengan subjek-subjek lain, sesama pengguna jalan.

99

Dalam teks ini pedagang kaki lima dipahami sebagai bentuk kebudayaan.

Penyusun buklet menyebutnya dengan budaya komunal. “Sayangnya hukum dan perundangan kita jarang mengindahkan hal-hal halus dan tidak kelihatan seperti kebudayaan, makanya mereka gagal mengatur manusia-manusia ini (PKL) dengan efisien,” tulisnya pada paragraf selanjutnya. Dilanjutkan penyusun, bahwa trotoar adalah sebuah ruang publik di mana sesama penggunanya dapat menggunakan sebagai sarana bertukar pikiran secara bebas bahkan menjadi biang dari suatu perubahan sosial.

Selanjutnya penyusun buklet pun memaparkan selain untuk berjalan kaki, trotoar di negara ini dipergunakan untuk mengadu nasib sejumlah pihak yang tidak terlalu beruntung. PKL dan pemulung di sini masih cukup mujur karena memiliki modal untuk mandiri. Selain mereka ada pula golongan tuna wisma yang terpaksa harus bergantung dari belas kasih pengguna trotoar lainnya.

Permasalahan ini dikaitkan dengan tidak meratanya kesempatan masyarakat untuk hidup layak di negara yang tersesat pada sistem kapital.

Menggusur pengguna jalan dalam keadaan sosial, ekonomi, politik seperti saat ini, dituliskan penyusun sebagai tindakan yang tidak manusiawi. Penyusun juga memasukkan budaya nongkrong di pinggir jalan sebagai sebuah perlawanan akan gelombang individualisme yang masif. Mereka pun mengajukan sebuah opsi relokasi di tempat sebagaimana tertuang dalam paragraf berikut:

(Teks 3 Paragraf 7)

“Ingat juga kalau budaya nongkrong di pinggir jalan, seperti angkringan di Jogja, ngariung di Bandung, atau cangkrukan di Surabaya menjadi

100

nilai sosial budaya yang menjunjung tinggi kolektivitas atau kebersamaan, hal yang perlu kita perjuangkan bersama di tengah gelombang individualisme yang masif. Makannya kita memperjuangkan untuk mempengaruhi kebijakan PKL untuk ditata dan diorganisir di tempat. Ini penting juga untuk membangkitkan kesadaran politik. Disitu pula kita dapat memasukkan nilai-nilai pendidikan, mulai dari ekonomi yang betulan kerakyatan, wawasan lingkungan, desain partisipatif, hingga kesehatan.”

Hal ini dilandasi bentuk-bentuk relokasi yang malah menyulitkan posisi

PKL dalam mencari rezeki. Pernyataan ini dituliskan pada paragraf selanjutnya.

Penyusun merasa bila kedudukan PKL hanya dijadikan objek dalam diskusi- diskusi ihwal rencana relokasi mereka. “Karena sudah banyak contoh relokasi yang terbukti tidak menyelesaikan maslah, tetapi hanya memindahkan masalah.”

Keempat, “PKL Merusak Estetika Kota (?)” Untuk sub topik ini pembahasan utama berkutat dengan perspektif manusia dalam memahami keindahan. Sesuai konteksnya permasalahan ini terjadi di Kota Bandung yang telah dikenal memiliki keindahannya tersendiri. Keindahan Kota Bandung pun kian tercitrakan lewat bingkai media. Hal ini menjadi kontradiksi mengingat PKL sebagai subjek yang dianggap mencemari keindahan kota.

(Teks 4 Paragraf 4)

“Pernahkah kamu melewati Jalan Sunda Kosambi? Atau Kota Bandung bagian pinggiran? Disana, masih banyak ditemui orang-orang yang hidup di pinggiran sungai yang kotor, gang sempit, dan kondisi menyedihkan lainnya. Kondisi inilah yang biasanya disebut kumuh dan tidak indah. Jangankan untuk piknik dan selfie, untuk bertahan hidup dan makan saja mereka harus bekerja keras. Namun apakah kita harus mencerabut mereka begitu saja dari situ demi tempat yang terlihat indah? Kampung Kolase di Babakan Siliwangi dipaksa untuk relokasi ke Rumah Susun Sadang Serang demi Taman Wisata Sungai Cikapundung. Seperti halnya warga kampung, PKL akhirnya mendapat cap “liar”, “ilegal”, dan “perusak estetika”. Ruang mereka untuk mengembangkan kehidupan

101

digantikan dengan ruang untuk berlibur.”

Maka dari itu sub-bab ini memfokuskan pada relativitas keindahan.

Penyusun menuliskan bahwa keindahan sejatinya dapat dikonstruksi, tinggal bagaimana membuatnya autentik dan orisinal. “Sayang, kadang ada pihak-pihak tertentu yang ingin memaksakan standar keindahannya pada pihak lain,” tulis di paragraf selanjutnya. Sebagai penguat pernyataan, masih di paragraf pertama, penyusun buklet menyertakan kutipan dari Oesman Effendi (Seniman).

(Teks 4 Paragraf 7)

“Jika hasil cipta, rasa, dan karsa mampu mengartikulasi pergulatan tersebut dengan baik, terwujudlah sebuah esensi keindahan yang orisinil. Karya seni dan keindahan yang dihasilkan dari meniru-niru, serta terbawa arus modernitas atau budaya pop semata lebih baik tidak usah dibuat sama sekali, karena inilah yang membuat bangsa kita pelan-pelan semakin kehilangan identitas kebudayaannya!”

Kutipan tersebut disambung dengan pernyataan bahwa, “Keindahan tidaklah terputus dari permasalahan kehidupan lainnya.” Dari pernyataan tersebut penyusun buklet menekankan bahwa pada dasarnya keindahan bersifat holistik dan tidak bisa terlepas dari masalah lainnya. “Karena itu, keindahan yang diciptakan di atas penggusuran atau relokasi sepihak bukanlah keindahan lagi: ia sebatas memanjakan sebagian indra.” Sebagai penguat dalam sub topik ini penyusun menyisipkan sebuah sajak sebatang lisong karya W. S. Rendra.

Sub topik yang Kelima, “ PKL Tidak Tahu Diri, Pemerintah ‘kan Sudah

Susah-susah Negosiasi (?).” Dalam pembahasan ke lima, penyusun buklet memposisikan pembaca untuk memahami kondisi perekonomian sebagian besar

102

PKL. Pernyataan sebagaimana yang tertulis di sub topik ini disisipi fakta seputar keadaan objektif PKL:

(Teks 5 Paragraf 2)

“Jika kita melihat bahwa PKL sepertinya sebegitu susahnya untuk dicarikan solusi, entah mereka banyak mengajukan tuntutan atas solusi yang diajukan pemerintah, hal ini menunjukkan bahwa keputusan yang dicapai masih belum bisa mengakomodasi semua pihak. Mungkin contohnya relokasi yang terjadi di Jalan Purnawarman belakangan ini. PKL Purnawarman akhirnya dipindahkan ke parkiran luar BEC, dimana keputusan ini merupakan hasil negosiasi lanjut atas keputusan untuk merelokasi mereka ke basement 5 BEC. Meski sudah bersifat final dan tidak punya pilihan lain, tidak ada yang bisa menjamin bahwa relokasi semacam ini akan membawa keuntungan yang sama dengan ketika mereka berjualan di lokasi semula. Di Purnawarman, buktinya PKL mengalami penurunan pendapatan minus 145%! Selama sebulan menunggu itikad baik pemerintah, tidak ada satu pun janji atau pun tuntutan yang direalisasikan di tempat relokasi. Jawaban pemerintah selalu diplomatis: “Sabar dan tunggu prosesnya”. Padahal perut anak, suami, istri, keluarga, biaya pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan harian lainnya tidak bisa menunggu.”

Penyusun buklet pun memasukkan gagasan, bila ada kemampuan pemerintah atau pun instansi lainnya untuk mencapai win-win solution tentulah

PKL akan mengikutinya. Karena bagaimana pun hal ini tidak akan pernah selesai bila selalu ada pihak yang merasa dirugikan. Selanjutnya ajakan untuk memposisikan diri sebagai PKL kembali lagi diserat dalam paragraf selanjutnya.

(Teks 5 Paragraf 4)

“Nah, jika kamu masih berpikir demikian, cobalah berada di posisi mereka yang kamu rasa tidak menghargai pemerintah itu, atau lebih “keras” lagi, menganggap mereka tidak tahu diri. Mereka malah tahu diri kok, karena masih mau memperjuangkan hak-hak mereka, bahkan dengan cara-cara yang masih bisa dibilang wajar dan sopan, karena mereka sadar bahwa negosiasi bukan hal yang mudah dilakukan. Dan mereka bukannya tidak menghargai, karena emosi dan kemampuan bertahan hidup sejatinya bersemayam di tiap-tiap manusia. Perubahan bukan

103

perkara mudah, tinggal kitanya saja yang harus kritis dan tidak ikut dalam arus perubahan yang semena-mena.”

Keenam dilanjutkan sub topik seputar “Pemerintah Butuh Waktu Buat

Mendesain Tempat Relokasi (?)” Gagasan utama dalam sub topik ini adalah keteledoran manajerial Pemerintahan Kota Bandung dalam isu relokasi pedagang kaki lima. Penyusun buklet menuliskan bahwasanya, “Variabel waktu agaknya menjadi rancu, karena seharusnya pemerintah sudah mempersiapkan hal ini jauh- jauh hari.” Masih dalam paragraf yang sama, penyusun pun mempertanyakan apakah program ini telah melibatkan proses perencanaan? Fakta yang dihadirkan dalam sub topik ini mengambil intisari dari Perda yang mengatur ihwal PKL:

(Teks 6 Paragraf 3)

“Dalam Perda yang dikeluarkan Pemerintah Kota Bandung tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima, dicantumkan bahwa terdapat Satuan Tugas Khusus (Satgasus) yang berfungsi membantu walikota dalam pelaksanaan penataan dan pembinaan PKL yang meliputi perencanaan, penataan, pembinaan, pengawasan, pengendalian, dan penegakan hukum. Lebih lanjut lagi terdapat bagian bidang perencanaan dan bidang penataan yang membantu dalam proses perencanaan penataan dan pembinaan PKL.”

Fakta di atas melandasi kritikan penyusun buklet terkait perencanaan relokasi yang lebih matang. Sehingga tidak akan menjadikan solusi relokasi sebagai hal yang merugikan pendapatan dari PKL. Di akhir teks ini pula penyusun menyimpulkan “Maka perlu usaha yang sama besarnya dari pemangku kuasa untuk menyediakan tempat yang layak dengan “desain” yang tidak hanya berlandaskan estetika, tapi juga memberi kepastian dalam menyambung hidup bagi PKL.”

104

Sub topik terakhir atau ketujuh menyoal “Barang Dagangan PKL KW,

Bukan Ori! (?)” Kemudian ditegaskan penyusun –pada akhir teks— sebagai permasalahan daya beli dan mekanisme pasar. Karena tidak semua lapisan masyarakat memiliki daya beli yang sama. Namun paradigma menilai barang dari bentuk fisik ketimbang nilai gunanya telah terpatri, hal inilah yang dimanfaatkan

PKL untuk menyediakan barang imitasi.

Sejumlah fakta seperti ketidakmerataan modal yang dimiliki produsen dan konsumen menjadi ilustrasi menarik yang dihadirkan penyusun dalam sub topik ini. Perilaku masyarakat atau konsumen inilah yang dimanfaatkan oleh PKL. Hal ini pula yang melandasi anggapan bahwa kehadiran PKL tentu memberi ruang transaksi ekonomi untuk kelas-kelas tertentu.

Dengan membaca ulang ketujuh sub topik ini, tentu baik pembaca maupun penulis sama-sama telah memahami topik utama yang koheren. Topik yang menyoal opsi lain dalam melihat kehadiran pedagang kaki lima. Pembahasan aspek tematik ini berujung pada: Cara pandang masyarakat terhadap PKL yang terlepas dari segala macam stigma yang melekat umumnya. Selain masyarakat, subjek yang menjadi tujuan resistensi pun jelas terasa: Pemerintah Kota Bandung.

Namun, ada baiknya penulis menahan kesimpulan ini mengingat masih banyak aspek yang wajib ditelaah lebih lanjut.

105

4.2.1.2 Superstruktur (Aspek Skematik)

Dalam pembahasan Eriyanto (2000: 142-144), yang dimaksud dengan skematik adalah alur tulisan yang menunjukkan kesatuan dalam penyusunan sebuah gagasan maupun wacana. Pada umumnya berita memiliki banyak skema, mulai dari mendahulukan bagian terpenting seperti struktur segitiga terbalik, hingga dengan gaya bertutur yang menceritakan lewat bingkai waktu, atau pun bingkai- bingkai lainnya. Namun dalam kajian Van Dijk yang dikemukakan Eriyanto, setidaknya ada dua macam jenis skema: Summary dan Story. Keduanya sama- sama memiliki sub-sub yang cukup kompleks untuk dijabarkan tanpa bantuan tabel. Maka dari itu, penulis sengaja menyisipkan tabel berikut untuk memudahkan proses analisis dalam pembahasan ini:

106

Tabel 4.1 Skema Summary

Teks Headline Lead Ke,

1 PKL Bikin Macet “Gara-gara PKL, jalanan jadi macet!” adalah (?) ungkapan yang sering dilontarkan oleh masyarakat kita. Jalan Otista dan Jalan Purnawarman merupakan contoh di mana kemacetan dan PKL ada bersamaan. Menurut Peraturan Daerah dan Walikota Bandung (Perda dan Perwal), Jalan Otista disebut “Zona Merah” karena berbagai alasan, seperti jalan utama, dekat dengan lembaga pendidikan, dekat rumah sakit, dan lain sebagainya yang bisa kamu baca di Perda dan Perwal, sementara Jalan Purnawarman adalah “Zona Kuning” namun padat.

Tapi, jika dipikir lebih baik dan mendalam dapatkah kita langsung menyimpulkan bahwa PKL adalah penyebab utama macet? Jika PKL tidak ada lagi, apakah jalanan serta merta bebas macet?

2 PKL Melanggar Berdasarkan pernyataan “PKL Melanggar Hukum dan Aturan Hukum dan Aturan Perda Kota” inilah relokasi Perda Kota PKL 4 titik yang sedang digalakkan oleh Bandung (?) Pemkot Bandung dilakukan. Kota Bandung mengamini kebijakan Zero Growth yang diberlakukan oleh negara Indonesia. Kebijakan Zero Growth diadopsi sebagai sebuah kebijakan yang menyetop pertumbuhan jumlah PKL di kota. Selain kebijakan Zero Growth, Kota Bandung memberlakukan kebijakan zonasi PKL. PKL dilarang keras berjualan di Zona Merah. Di Zona Kuning, PKL boleh berjualan pada waktu- waktu tertentu. Sementara di Zona Hijau, PKL diperbolehkan berjualan. Kebijakan-kebijakan ini pun dilengkapi dengan ancaman sanksi yang tak ringan.

107

3 PKL di Trotoar PKL merebut hak pejalan kaki bikin keki? “Iya, Merebut Hak Kasihan Pejalan Kaki. Saya beberapa kali Pejalan Kaki (?) hampir ditabrak karena terpaksa jalan di pinggir jalan umum dan trotoarnya diambil PKL! Ketersediaan fasilitas trotar, kan merupakan hak pejalan kaki yang telah disebut dalam Pasal 131 ayat (1) UU LLAJ”, komentar Hanif, seorang pemuda yang aktif berkomentar di media sosial. Seperti Hanif, banyak warga masyarakat lain yang merasa bahwa selain membuat trotoar semrawut, PKL jelas melanggar hak pejalan kaki.

Bagaimana kalau kita coba selidiki lagi asal mula PKL dan trotoar?

4 PKL Merusak Sejak dahulu hingga kini, Kota Bandung dikenal Estetika Kota (?) akan keindahannya: banyak taman bunga dan hiasan di sepanjang jalan. Kotanya bersih, tertib, dan nyaman. Aneka bangunan dengan arsitektur gaya Belanda kuno membuat kota Bandung mirip dengan kota-kota di Eropa, seperti Paris contohnya. Kira-kira begitu definisi keindahan menurut banyak media. Seperti sering diungkapkan oleh Walikota Ridwan Kamil sendiri, Bandung memang berniat untuk meningkatkan kebahagiaan warganya dengan memperbanyak jumlah taman, sehingga kita bisa bebas stres dengan rajin piknik dan selfie disana. Di jalan-jalan Kota Bandung pun, kita bisa melihat batu-batu bulat, tanaman gantung berukuran besar, tanaman dalam pot bertingkat, dan kursi-kursi taman.

5 PKL Tidak Tahu Pemerintah memang harus selalu menjadi Diri, Pemerintah penengah atas polemik kota, menyediakan ruang ‘kan Sudah Susah- dan solusi yang tepat untuk semua masalah yang susah Negosiasi (?) terjadi. Negosiasi dengan berbagai pemangku kepentingan menjadi bagian dalam menyusun solusi yang tepat agar tercipta win-win solution. Tapi lantas apakah kita bisa menyebut PKL tidak tahu diri, ibarat tidak menghargai usaha pemerintah?

108

6 Pemerintah Butuh Ya, memang tidak mudah dalam menyajikan Waktu Buat sebuah solusi yang bersifat fisik. Banyak yang Mendesain Tempat harus dipertimbangkan seperti ketersediaan Reloksi (?) lahan, izin, desain, sampai pembiayaan. Tapi ini semua bukan menjadi hambatan jika dilaksanakan dengan perencanaan dan manajemen yang baik.

7 Barang Dagang Pernah membayangkan PKL menjual Converse PKL KW, Bukan Chuck Taylor Original di atas hamparan terpal? Ori (?) Atau PKL menjual jaket denim Levis Original digantung di bawah tenda biru? Jadi kenapa PKL hanya menjual sepatu kulit imitasi seharga 100 ribuan, alih-alih menjual sepatu kulit Hush Puppies seharga 1 jutaan?

Setidaknya ada dua elemen yang menandai skema dengan kategori summary. Seperti yang tertera dalam tabel di atas, kedua elemen tersebut merupakan Headline dan Lead. Dalam penjelasan Eriyanto (2000: 142) pada umumnya kedua elemen ini menunjukkan tema yang ingin ditampil oleh wartawan dalam pemberitaannya. Mengiyakan pernyataan di atas, Goenawan

Mohamad (2007: 25) membagi dua tujuan adanya lead: (1) Menarik minat pembaca untuk mengikuti cerita, dan (2) Membuka jalan bagi alur cerita.

Mari cermati tabel yang telah penulis sajikan di atas. Dari ke-tujuh teks yang ada dalam buklet ini semuanya menggunakan headline yang diiringi tanda tanya di dalam kurung. Keambiguan sengaja dibangun penyusun teks. Headline yang dicatut dari cetusan yang paling sering bila membicarakan PKL ini tentu terbaca sebagai tudingan bila tanpa tanda tanya. Namun, lain lagi bila disisipi tanda tanya. Konteksnya bergeser menjadi mempertanyakan keabsahan

109

pernyataan tersebut. Seolah mempertanyakan apakah benar (headline) ini? Atau, apakah memang (headline) ini?

Sebagai awalan, kalimat tanya tentu memberikan kesan menantang pengetahuan atau rasa ingin tahu pembaca103. Namun sayang jenis kail ini diakui

Goenawan Mohamad sering kali tidak memberikan hasil terbaik. Namun dalam teks ini hal yang perlu dicatat adalah, “sebuah pemahaman yang kembali dipertanyakan” tentu membuat kerutan di dahi pembaca. Sebagai contohnya, saat ditanya “PKL bikin macet?” Sebagian besar pembaca tentu mengamini hal tersebut. Namun berkat tanda tanya yang mengikutinya, sebagian pembaca lainnya akan melanjutkan untuk membaca lead yang menyertai.

Selanjutnya lead punya peranan penting untuk menunjukkan maksud dari headline yang dibuat ambigu itu. Dalam dunia jurnalistik umunya lead dibuat terpisah dari isi cerita/berita. Biasanya menggunakan penekanan pada jenis font, warna, atau tata letak yang berbeda dari teks lainnya. Biasanya pula lead ditulis tidak terlalu panjang. Namun, tidak dengan buklet ini (lihat lampiran).

Pada umumnya buklet “PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” menggunakan lead yang relatif panjang. Untuk permasalahan ini, penulis merasa tidak bijak pula bila mengklasifikasikan lead hanya pada kalimat pertama di awal cerita. Karena tidak dibuat terpisah dan tanpa penekanan, penulis mengasosiasikan seluruh paragraf awal sebagai lead tiap sub topiknya. Dari hasil analisis pula penulis mendapatkan bila, tiga sub topik awal ditulis dengan kalimat

103 Goenawan Mohamad (2007: 30)

110

bernada komentar yang bersifat reaksi atau komentar verbal dari subjek yang dikutipnya. Sementara itu, empat teks selanjutnya ditulis dengan penyimpulan komentar dari sumber-sumber yang penyusun teks miliki.

Ada baiknya penulis memaparkan skema dalam setiap sub-topiknya secara lebih merinci. Dalam pembahasan ini penulis akan menggunakan kategori story yang memiliki dua sub kategori: (1) Situasi atau hal yang menjelaskan proses berjalannya cerita. Dalam sub-kategori ini terdapat pula dua bagian: Episode

(kisah utama dalam berita) dan Latar (kisah di luar episode yang menjadi penyangga dari hal yang ingin ditampilkan dalam pembahasan.) Selanjutnya sub kategori story yang ke (2) Komentar. Tentunya sub ini memiliki dua bagian lagi: pertama adalah komentar yang berasal dari reaksi verbal tokoh yang dikutip penyusun dan ke dua adalah kesimpulan dari komentar yang diramu oleh penyusun buklet. Agar mempermudah memahami penjelasan ini ada baiknya simak pemaparan dalam tabel berikut:

111

Tabel 4.2 Skema Story

Teks Ke Gagasan Utama Skema Story

1 Pedagang kaki lima Dalam membangun gagasan ini, penyusun bukanlah penyebab buklet memulai dengan lead yang bersumber utama dari kemacetan dari kesimpulan pandangan mayoritas di Kota Bandung. pengguna jalan. “Gara-gara PKL, jalanan jadi macet!” Paragraf berikutnya penyusun memasukkan kisah pedagang kaki lima di Jalan Otista yang sepakat untuk libur di setiap hari Senin. Teks itu sengaja ditempatkan sebagai episode yang nantinya akan disusul kesimpulan lewat reaksi Pak Tarno, salah seorang PKL di kawasan tersebut. Narasumber memberikan reaksi ihwal ada atau tidak adanya PKL, Jalan Otista tetap macet merayap pada jam-jam tertentu. Paragraf ini dilanjutkan dengan kesimpulan-kesimpulan penyusun soal penyebab utama dari kemacetan: Arus pengunjung, antrean parkir di pusat perbelanjaan, volume kendaraan yang berlebih, dan buruknya sistem transportasi publik di Kota Bandung. Sebagai latar yang mendukung argumentasi tersebut, penyusun menyisipkan kisah perpajakan kendaraan pribadi di Jepang. Sebagai penutup, penyusun kembali melakukan kesimpulan dari sub-topik ini. Kurang lebih berisikan seruan atau ajakan untuk lebih jeli dalam melihat biang keladi dari persoalan kemacetan.

112

2 Hukum sejatinya Gagasan ini dibangun dengan skema bersifat relatif. Maka pemaparan yang bermula dari episode dari itu perlu kebijakan Zero Growth pemerintahan pusat. partisipasi aktif dari Kebijakan ini diterjemahkan Pemkot para stakeholder agar Bandung dengan memberlakukan zonanisasi hukum dirasa lebih di beberapa ruas jalan dan relokasi PKL di menyejahterakan. kawasan yang masuk zona merah. Lalu penyusun buklet mencoba mendiskusikan bahwasanya Hukum senantiasa dapat diperbarui sesuai kebutuhan zaman, selama itu berubah ke arah yang lebih baik. Sebagai latar yang menguatkan argumentasi, disisipilah fakta-fakta tentang perubahan- perubahan hukum seperti: hukum perbudakan dan pendidikan bagi wanita. Paragraf berikutnya mencoba untuk menyimpulkan perlunya keterlibatan aktif dari elemen masyarakat dalam rangka pembentukan hukum. Selanjutnya, penyusun memaparkan permasalahan utama yang dihadapi mayoritas masyarakat saat ingin proaktif dalam pembuatan produk hukum. Dijelaskan rasa minder dan kurangnya literasi hukum menjadi permasalahan utama. Di sini penyusun menyinggung para praktisi maupun akademisi hukum yang gagal memasyarakatkan produk maupun bahasa hukum. Sebagai penutup penyusun memulai nada persuasi untuk sama-sama berperan aktif dalam mengawal pengambilan keputusan maupun produk hukum.

113

3 Keeksklusifitasan Teks ini dimulai dengan reaksi netizen trotoar bagi pejalan bernama Hanif. Nadanya kurang lebih kaki merupakan berisikan keluhan atas haknya sebagai bentuk penjajahan pejalan kaki yang direbut oleh pedagang kaki budaya yang tidak lima. Sebagai latarnya, penyusun sesuai dengan budaya menceritakan mengapa trotoar ada di tempat komunal. Perlunya asalnya; Eropa. Sebagai komentarnya memahami rasa saling penyusun menuliskan bahwa di Indonesia berbagi antara sendiri hal ini amat berbeda dengan budaya pengguna trotoar. komunal khas timur. Penjajahan di negeri ini dikisahkan memiliki andil dalam munculnya pemikiran “esklusifikasi” fasilitas-fasilitas umum. Hal ini yang penyusun rasa menjadikan banyaknya pemikiran “PKL merebut hak pejalan kaki.” Selanjutnya penyusun kembali memaparkan fungsi trotoar sebagai ruang publik yang telah melahirkan kebudayaan angkringan di Jogja, cangkurkan di Surabaya dan ngariung di Bandung. Tidak jarang pula kebudayaan ini menghasilkan sebuah cikal dari perubahan sosial. Di samping aspek budaya, penyusun pun mulai memasukkan latar kondisi perekonomian PKL usai di relokasi yang rata-rata amat merugi. Setelah kesimpulan yang dibuat adalah perlunya menumbuhkan rasa kolektif sesama pengguna jalan. Di akhir teks penyusun kembali menyinggung beberapa pernyataan Wali Kota Bandung, dalam usahanya menertibkan PKL. Di sini penyusun coba membandingkan dengan Hotel ilegal, ATM atau Pos Satpol PP yang melintang di tengah trotoar justru tidak mendapatkan perhatian yang sama.

114

4 Pedagang kaki lima Lead pada teks ini kurang lebih bukanya merusak menceritakan citra Kota Bandung yang estetika kota. Malahan sebagaimana telah dibangun media dan mereka adalah subjek dicanangkan wali kotanya. Citra ini dari keindahan dijelaskan penyusun seolah telah menjadi tersebut. Karena paradigma masyarakat kota yang seolah telah sejatinya keindahan gandrung akan segala bentuk keindahan. Hal atau estetika bersifat ini yang menjadi motivasi warga Bandung holistik dan tidak dalam melaporkan oknum-oknum yang ia terlepas dari rasa merusak keindahan, termasuk PKL. permasalahan yang Sebagai latarnya adalah usaha Institut mengitarinya. Teknologi Bandung yang mendesak Satpol PP Coblong dalam menggusur PKL di jalan Ganeca dan Dayangsumbi karena alasan keindahan –walau izin operasi dan prosedur relokasi belum sesuai undang-undang. Pembahasan ini dilanjutkan dengan gagasan bahwa keindahan tidak bersifat mutlak, bahkan ia dapat dikonstruksi agar tetap orisinal dan tidak meninggalkan keasliannya. Pernyataan ini disimpulkan dari pemikiran Oesman Effendi, salah seorang pelukis legendaris Indonesia. Sementara itu penyusun kembali memasukkan gagasan bahwa keindahan senantiasa tidak terputus dari permasalahan kehidupan lainnya. Lain kata, penyusun menjelaskan bahwa keindahan senantiasa bersifat holistik dan keindahan yang dihasilkan lewat relokasi sepihak, tidak pantas disebut sebuah keindahan karena menyisakan penderitaan yang berkelanjutan bagi sejumlah pihak. Di akhir teks sebagai bentuk latar arah yang dimaksud dari tulisan ini, penyusun menyisipkan puisi Sajak Sebuah Lisong dari penyair W. S. Rendra yang diberi penekanan di beberapa bait yang sesuai dengan tema pembahasan (lihat lampiran).

115

5 Keputusan Pemkot Dalam membangun gagasan di samping, Bandung untuk penyusun teks menjelaskan peran perintah merelokasi PKL, sebagai pemberi solusi atas permasalahan. belum mencapai win- Lalu diikuti dengan pertanyaan, apakah hal win solution. Terbukti itu bisa membuat kita meyakini bahwa PKL lewat menurunnya memang tidak tahu diri dengan tidak pendapatan PKL mengindahkan solusi itu? Di paragraf hingga merugi. Solusi selanjutnya penyusun mencoba semacam ini pada menyimpulkan bahwa solusi yang ditawarkan akhirnya membuat tidak menguntungkan bagi semua pihak, PKL kembali melapak terutama PKL. Sebagai contohnya penyusun ke trotoar dan menceritakan relokasi PKL Purnawarman memperkeruh yang menuai banyak permasalahan, salah hubungan dengan satunya merosotnya pendapatan PKL hingga pemerintah kota. 145 persen. Hal ini tentunya memaksa PKL kembali berjualan ke jalan. Penyusun menegaskan perlunya sebuah solusi yang tepat. Sebagai akhir dari teks, penyusun mencoba mengajak pembacanya memposisikan diri sebagai PKL yang terhimpit dari berbagi kepentingan.

6 Variabel waktu Pada teks ke enam ini, lead yang digunakan seharusnya bukan bernada pembenaran atas sulitnya membuat menjadi halangan, solusi bersifat fisik. Namun, bagi penyusun karena dalam setiap seharunya hal ini tidak terkendala waktu bila keputusan baiknya dimanajemen secara baik. Alinea selanjutnya segala bentuk opsi penyusun menegaskan keteledoran Pemkot solusi telah matang. Bandung bila mengembar-gemborkan Dengan belum relokasi namun sarana prasarananya masih menentunya solusi, terkendala waktu. Hal ini disebutnya sebagai menunjukkan Pemkot kegagalan dalam perencanaan. Penyusun pun Bandung mengabaikan mengutip Perda terkait yang menerangkan proses perencanaan perencanaan, penataan, pembinaan, dalam menyiapkan pengawasan, pengendalian dan penegakan tempat relokasi. hukum oleh Satgasus yang menjadi perpanjangan tangan wali kota dalam permasalahan PKL. Paragraf penutup mencoba menyimpulkan bahwa perlu keseriusan dalam menangani permasalahan ini, tidak hanya bertumpu di persoalan estetika namun juga kepastian iklim usaha para PKL.

116

7 Pedagang kaki lima Teks ke tujuh, dimulai dengan memberikan memiliki segmentasi pertanyaan-pertanyaan mengenai pengalaman konsumennya pembaca menyaksikan PKL yang menjual tersendiri. Fenomena produk bermerek. Dilanjut dengan barang imitasi yang pemaparan masalah (episode) bahwa KW dijual PKL semata- atau orisinal bukan indikator utamanya, tapi mata menyoal daya modal ekonomi dan harga jual dari produk beli mayoritas tersebut yang menjadi alasan PKL berjualan. masyarakat dan Pembahasan latar dari kejadian ini dijabarkan mekanisme pasar. pada beberapa alinea selanjutnya. Kurang lebih menceritakan perekonomian dunia yang dikuasai dengan modal besar dan harga jual tinggi untuk barang-barang yang sebenarnya bisa dijual lebih murah lagi. Hal ini dinilai penyusun melahirkan opsi-opsi lain untuk memenuhi kebutuhan kelas-kelas ekonomi yang tidak termasuk dalam segmentasi produk-produk tersebut. PKL mencoba memasarkan produk-produk yang sejatinya memang memiliki pasarnya sendiri. Prilaku masyarakat yang menginginkan produk bermerek dengan harga miring inilah yang coba diakomodir PKL lewat barang-barang imitasi. Selain itu sejumlah PKL tidak jarang menuangkan ide-ide kreatif ke dalam ragam produk yang mereka olah sendiri. Sebagai penutup teks, penyusun buklet menegaskan hal ini adalah masalah persaingan dan kesempatan.

Setelah menyimak sedikit ulasan per teks di atas, maka kita dapat menemukan bahwa buklet ini berkutat dalam situasi gegap gempita relokasi pedagang kaki lima di sejumlah titik di Kota Bandung. Selain itu, sebagian besar teks berisikan komentar atau lebih spesifiknya simpulan-simpulan penyusun dari permasalahan yang ditemuinya. Secara sekilas, setiap teks seolah berdiri masing- masing tanpa ada keterkaitan satu sama lain. Namun, bila lebih dicermati,

117

beberapa gagasan dalam buklet ini saling berkesinambungan: mengajak pembacanya berpartisipasi aktif menyikapi permasalahan. Terakhir, penulis pun mendapatkan pola dari skema penyusunan tiap teksnya. Kurang lebih berisikan pembenaran atas tudingan masyarakat ihwal kehadiran pedagang kaki lima, namun akan dibantah dengan hasil simpulan penyusun lewat sumber-sumber yang mereka pilih. Pada akhirnya akan mencoba mengajak pembacanya berpikir ulang dan berpartisipasi dalam pencarian solusi permasalahan ini. Kurang lebih seperti inilah strategi yang digunakan dalam meruntuhkan stigma usang PKL oleh penyusun buklet.

4.2.1.3 Struktur Mikro

1. Semantik

Semantik dalam pengertian Van Dijk dimaksudkan sebagai makna yang ingin ditekankan dalam teks. Semisal dengan memberikan detail maupun membuat eksplisit di satu sisi. (Eriyanto, 2000). Sebagaimana dalam tabel 3.1 di dalam

Aspek Semantik ini penulis akan mencoba membedah teks lewat beberapa instrumen, yang nantinya dapat menunjukkan makna yang ingin ditekankan di dalam buklet.

Elemen yang pertama adalah; Latar. Dituliskan Eryanto (2000: 144) bahwa sebuah teks senantiasa mengemukakan latar sebagai alat yang akan menentukan cara pandang atas sebuah permasalahan. Kenyataannya latar senantiasa mempengaruhi cara pandangan khalayak. Latar juga dapat menjadi

118

pembenaran/penguat/pendukung gagasan yang diajukan dalam sebuah teks. Oleh karenanya, latar menjadi suatu yang amat sentral dalam membongkar wacana dalam sebuah teks.

Dalam buklet yang penulis teliti, elemen latar tertuang jelas sejak awal membuka lembar pertama. Prolog buklet “PKL: Kontroversi Kota dan Solusi

Bersama” kurang lebih menerangkan latar dibuatnya media tersebut. Lewat sedikit penjabaran wacana relokasi di empat titik Kota Bandung dan dua kelompok PKL yang berhasil di relokasi, penyusun buklet seolah menggambarkan semangat Pemkot Bandung dalam membangun kota yang indah, bersih, dan rapi.

Selain itu ada juga sejumlah maksud lain yang diterangkan dalam prolog ini.

Namun, sebelumnya silakan simak dua alinea berikut:

(Prolog, Paragraf 1)

“Persoalan Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan salah satu isu yang paling sering dibahas dalam sebuah kota. Banyak sekali kontroversi yang melingkupi para manusia yang biasa menggelar lapak di pinggir jalan ini. Surat kabar harian, media massa online, televisi, media sosial, hingga obrolan sehari-hari tak pernah luput membahasnya. Ada yang menganggapnya masalah, ada pula yang menganggapnya unik nan khas Indonesia.”

(Prolog, Paragraf 3)

“Lalu, bagaimana seharusnya kita bersikap dalam isu bersama ini? Ingat, diskusi tidak akan bermakna jika hanya berhenti di meja sendiri. Kritik harus dibarengi dengan solusi yang tak hanya tepat, tapi juga melibatkan suara pihak-pihak yang terlibat. Berani bertanya, cerdas berpendapat, keterbukaan pikir dan rasa untuk menyelesaikan konflik, serta tandas bertindak menjadi kunci solusi bersama.”

Petikan paragraf satu penyusun mencoba menyamakan frekuensinya

119

dengan pembaca. Penyusun mengemukakan bahwa persoalan PKL merupakan isu yang tengah ramai dibicarakan. Sebagai latarnya penyusun memasukkan kalimat kedua yang sarat akan stigma umum soal PKL. Namun, di akhir alinea tersebut penyusun memasukkan kembali latar dengan gaya bahasa antitesis. Bila sebelumnya ia mengemukakan latar yang sarat akan stigma, di akhir alinea ia berusaha menyajikan latar yang membebaskan pembaca untuk memilih satu dari dua opsi yang diberikan; masalah atau sesuatu yang khas Indonesia.

Sementara di alinea ke tiga, sebagaimana yang telah penulis sisipkan di atas, penyusun mencoba mengajak pembaca untuk peduli atau bahkan bersikap aktif terhadap isu ini. Latar yang dikenakan adalah sebuah pernyataan setiap diskusi harus dibarengi dengan aksi nyata dan kritik harus menyertakan solusi.

Kalimat ini dilanjutkan dengan paragraf yang menyarankan sebuah pembongkaran stigma, pandangan, pernyataan dan pendapat umum soal PKL agar mendapatkan solusi yang tepat dalam penyelesaian masalah. Dengan latar yang dibangun ini jelas, penyusun teks hendak membangun kesan pentingnya peran PKL di benak pembacanya. Sekilas latar ini menunjukkan pesan-pesan kolektif dalam penyelesaian sebuah masalah.

Elemen latar pun kembali ditemui di dalam teks ke 3. Mari simak terlebih dahulu isi dari teks “ PKL Melanggar dan Merebut Hak Pejalan Kaki (?)” alinea ke empat:

120

(Teks 3, Paragraf 4)

“Sampai sekarang pun, budaya komunal di trotoar ternyata tetap terpelihara. Sayangnya, hukum dan perundangan kita jarang mengindahkan hal-hal halus dan tidak kelihatan seperti kebudayaan, makannya mereka gagal “mengatur” manusia-manusia ini dengan efisien...... ”

Kata budaya komunal di atas merujuk pada nilai-nilai kolektif dalam bermasyarakat. Termasuk saat mereka memanfaatkan fasilitas di sekelilingnya, dalam hal ini trotoar. Nah, kalimat kedua adalah latar yang mencoba memberikan penekanan bahwa penampu kekuasaan, ataupun pihak-pihak berwenang gagal mengakomodasi nilai-nilai tersebut. Latar ini pula memberikan kesan pemerintah punya andil besar dalam kesemerautan lapak-lapak PKL. Rencana pemerintah untuk merelokasi para PKL pun dirasa penyusun, bukan sebagai solusi yang tepat.

Hal ini bisa kita lihat dalam teks “PKL Tidak Tahu Diri, Pemerintah ‘kan Sudah

Susah-susah Negosiasi (?)” pada alinea dua yang berbunyi:

(Teks 5 Paragraf 2)

“Jika kita melihat bahwa PKL sepertinya sebegitu susahnya untuk dicarikan solusi, entah mereka banyak mengajukan tuntutan atas solusi yang diajukan pemerintah, hal ini menunjukkan bahwa keputusan yang dicapai masih belum bisa mengakomodasi semua pihak. Mungkin contohnya relokasi yang terjadi di Jalan Purnawarman belakangan ini.....”

Pernyataan yang di garis bawahi, memposisikan pemerintah sebagai subjek yang teledor dalam memformulasikan kebijakan ihwal PKL. Namun tidak hanya pemerintah yang dijadikan subjek yang dianggap bermasalah dalam persoalan ini. Subjek lainnya adalah perusahaan-perusahaan bermodal besar yang

121

mendominasi sistem pasar. Pembahasan soal ini bisa kita perhatikan dalam paragraf berikut:

(Teks 7 Paragraf 3)

“Pasar yang mendominasi arus perekonomian dunia ini sekarang, bertumpu pada kebebasan tiap individu untuk berbondong-bondong mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya. Maka dari itu fenomena ini muncul, sebagai bentuk persaingan antara mereka yang kurang mampu dan mereka yang terlampau mampu. Perusahaan-perusahaan besar dengan modal yang cukup besar (tidak hanya uang, tapi sumber daya manusia dan pengetahuan), tentunya mampu mengembangkan produk- produk dengan bentuk dan fungsi yang memadai. Bahannya tentunya juga sophisticated, dibentuk sedemikian rupa dengan riset yang belibet untuk memenuhi kebutuhan manusia yang juga semakin kompleks. Dari sanalah datang produk-produk yang berharga tinggi, di mana tidak semua juga bisa mengusahakan membeli barang tersebut.”

Dalam teks di atas, kehadiran perusahaan bermodal besar diposisikan tidak memenuhi kebutuhan semua manusia. Latar ini pun membagi masyarakat ke dalam dua golongan, mampu dan tidak mampu, namun belum tentu berarti menjadi klasifikasi ala Marx: borjuis dan proletar. Tidak meratanya daya beli dalam dimensi masyarakat ini menguatkan posisi PKL sebagai penyedia pasar alternatif.

Elemen berikutnya dan yang elemen semantik yang paling kentara dalam buklet ini adalah Pengingkaran. Elemen ini sendiri merupakan praktik wacana yang menggambarkan ekspresi penolakan atau sanggahan penulis akan suatu hal secara implisit. Namun beberapa kalimat dalam buklet ini, tidak jarang elemen pengingkaran diikuti penjabaran-penjabaran gagasan yang bersifat eksplisit. Agar lebih jelasnya mari simak beberapa petikan teks berikut:

122

(Teks 1 Paragraf 1 dan 2)

“Gara-gara PKL, jalanan jadi macet!” adalah ungkapan yang sering dilontarkan oleh masyarakat kita. Jalan Otista dan Jalan Purnawarman merupakan contoh-contoh di mana kemacetan dan PKL ada bersamaan. Menurut Peraturan Daerah dan Walikota Bandung (Perda dan Perwal), Jalan Otista disebut “Zona Merah” karena berbagai alasan, seperti jalan utama, dekat dengan lembaga pendidikan, dekat rumah sakit, dan lain sebagainya yang bisa kamu baca di Perda dan Perwal, sementara Jalan Purnawarman adalah “Zona Kuning” namun padat.

Tapi, jika dipikir lebih baik dan mendalam dapatkah kita langsung menyimpulkan bahwa PKL adalah penyebab utama macet? Jika PKL tidak ada lagi, apakah jalanan serta merta bebas macet?”

Alinea pertama, penyusun mencoba memasukkan pendapat umum yang dirasanya semua insan akan mengamininya. Pendapat umum ini pun diperkuat dengan sejumlah informasi yang menguatkan kedudukannya. Sementara elemen wacana pengingkaran jelas disematkan ke dalam teks lewat gaya bahasa erotesis

(pertanyaan retoris). Sejatinya penulis tidak menunggu sebuah jawaban dari pertanyaan itu. Alinea kedua sendiri mencoba mempertanyakan validitas dari cara pandang mayoritas orang dalam melihat PKL. Sikap ini tidak hanya memperlihatkan sikap secara implisit, karena serangkaian informasi telah penyusun siapkan untuk memperkuat argumentasinya.

Elemen selanjutnya yang akan dicermati adalah Detail. Bagian ini erat kaitannya dengan kontrol informasi yang dipaparkan oleh penyusun teks. Karena

“pemaparan yang mendetail” merupakan strategi mengekspresikan sikap dengan cara implisit, maka penyusun tentu akan memakai hal ini dengan tujuan tertentu.

Dalam teks ini pemaparan mendetail terlihat saat penyusun mencoba untuk

123

menceritakan budaya komunal pemanfaatan fasilitas publik seperti trotoar. Untuk lebih jelasnya simak paragraf berikut:

(Teks 3 Paragraf 4)

“...... Selain untuk pejalan kaki, trotoar juga berfungsi sebagai ruang publik di mana kita dapat bebas berdiskusi dan membicarakan kemungkinan-kemungkinan perubahan sosial (sambil makan nasi telur kuah Sedap Malam atau lesehan bawah langit berbintang). Selain ruang lalu lalang, trotoar adalah tempat PKL berjuang dengan berdagang. Trotoar juga digunakan tunawisma untuk tidur diam-diam saat malam, atau pemulung yang istirahat di sela-sela pencarian sampah. Semua mereka dilakukan agar bisa bertahan hidup di kejamnya kota saat urbanisasi terus menerus mendesak orang desa, sampai mereka tidak punya pilihan lain kecuali ke kota. Ada yang bisa memperbesar untung, ada pula yang malah memperbesar hutang—semua tergantung kesempatan serba tidak rata yang mutlak terjadi dalam sistem kapitalisme seperti sekarang.”

Teks di atas tidak hanya menjelaskan secara mendetail subjek-subjek pengguna bahu jalan. Lebih dari pada itu, detail ini memberikan gambaran umum kondisi perekonomian yang dialami di kota-kota besar Indonesia. Sedikit aspek sosial, spesifiknya soal transmigrasi pun dijadikan informasi yang menguatkan pesan “di luar sana, masih banyak orang yang tidak memiliki kesempatan.” Detail ini adalah bentuk strategi persuasif yang diperuntukkan untuk mengetuk hati pembaca yang mengharapkan keeksklusifan trotoar.

Selanjutnya penggunaan elemen wacana detail pun kembali dimainkan saat penyusun mengkritisi kegagapan khalayak terhadap persoalan hukum.

Sebagaimana yang telah penulis cantumkan pada pembahasan skema, buklet ini memiliki salah satu gagasan umum soal relativitas sebuah peraturan, tepatnya di teks ke dua “PKL Melanggar Hukum dan Aturan Perda Kota Bandung (?)” dan

124

persoalan gagap hukum ini terjabarkan secara mendetail dalam teks tersebut.

Berikut petikan teksnya:

(Teks 2 Paragraf 5, 6)

"Sebab akibatnya beruntun dan ternyata berhubungan dengan poin kita sebelumnya. Pertama, masyarakat umum enggan membaca dokumen hukum dan peraturan perundangan semacam ini karena merasa menganggap bahasanya “susah”, atau menganggap diri mereka “orang bodoh” yang tidak akan paham urusan begituan. Di lain sisi, tidak banyak mahasiswa hukum, ilmu pemerintahan (atau siapapun yang paham) yang mau membantu memberikan pendidikan literasi hukum perundangan bagi masyarakat. Kebanyakan mahasiswa lebih memilih asyik berkegiatan di dalam himpunan atau unit kampus, nongkrong di kafe, atau belajar sangat tekun di perpustakaan dan kamar kost-an buat menaikkan grafik IP. Sementara lulusannya cenderung lebih memilih masuk lembaga hukum, pemerintahan, atau perusahaan yang secara finansial aman karena bergaji mahal.

Konsekuensinya, masyarakat jadi tidak bisa membaca dokumen-dokumen hukum perundangan tersebut, tidak bisa menginterpretasikan, tidak mampu mengkajinya dengan kritis, sehingga tidak mampu memberi masukan bagi hukum perundangan tersebut.”

Teks di atas menggambarkan, “mengapa kebanyakan masyarakat tidak memahami hukum yang selama ini memayungi mereka?” Bahasa dan tidak adanya pihak yang meliterasi adalah contoh penyebab utama hal ini terjadi.

Sementara itu, detail ini pun menyinggung peran mahasiswa –dalam hal ini mahasiswa hukum dan jajaran akademisi hukum— di masyarakat. Penjabaran informasi ini setidaknya menyinggung tugas moril pelajar/mahasiswa kepada masyarakat. Detail ini pun sejatinya adalah sebuah strategi agar wacana dapat diterima kelas pelajar secara lebih mendalam. Dengan menyinggung kelemahan kaum intelektual ini, diharapkan mereka tidak hanya mengubah cara pandangnya terhadap PKL. Lebih dari itu, penyusun mencoba memberikan tantangan kepada

125

para mahasiswa untuk ikut berpikir bersama, mencari solusi dari permasalahan

PKL.

Satu lagi contoh elemen detail yang diramu dalam teks buklet. Kali ini penyusun mengenakannya dalam rangka mematahkan kesan “PKL Tidak Tahu

Diri” setelah ragam solusi yang telah pemerintah berikan. Penyusun berdalih bahwa solusi-solusi itu belum mengakomodasi seluruh pihak yang terlibat dalam permasalahan ini, khususnya PKL itu sendiri. Agar lebih jelas simak terlebih dahulu penggalan alinea berikut ini:

(Teks 5 Paragraf 2)

“Jika kita melihat bahwa PKL sepertinya sebegitu susahnya untuk dicarikan solusi, entah mereka banyak mengajukan tuntutan atas solusi yang diajukan pemerintah, hal ini menunjukkan bahwa keputusan yang dicapai masih belum bisa mengakomodasi semua pihak. Mungkin contohnya relokasi yang terjadi di Jalan Purnawarman belakangan ini. PKL Purnawarman akhirnya dipindahkan ke parkiran luar BEC, di mana keputusan ini merupakan hasil negosiasi lanjut atas keputusan untuk merelokasi mereka ke basement 5 BEC. Meski sudah bersifat final dan tidak punya pilihan lain, tidak ada yang bisa menjamin bahwa relokasi semacam ini akan membawa keuntungan yang sama dengan ketika mereka berjualan di lokasi semula. Di Purnawarman, buktinya PKL mengalami penurunan pendapatan minus 145%! Selama sebulan menunggu itikad baik pemerintah, tidak ada satu pun janji ataupun tuntutan yang direalisasikan di tempat relokasi. Jawaban pemerintah selalu diplomatis: “Sabar dan tunggu prosesnya”. Padahal perut anak, suami, istri, keluarga, biaya pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan harian lainnya tidak bisa menunggu.”

Elemen detail dalam paragraf di atas merangkum soal kesepakatan pemerintah dan pihak pedagang kaki lima Jalan Purnawarman untuk di relokasi.

Hasil kesepakatan ini berbuah buruk pada pendapatan PKL yang turun sampai ke

126

angka minus –sayang di bagian ini tidak dipaparkan indikator apa yang membuatnya turun. Pemerintah kembali menjadi subjek yang bersalah karena sikap lambannya dalam menangani persoalan ini. Detail ini sejatinya membentuk kesadaran baru bagi khalayak atas kondisi objektif para PKL yang lapaknya di relokasi. Selain itu, khalayak pun digiring dalam perspektif bahwa permasalahan ini bermuara pada sikap pemangku jabatan umum. Simpati dan empati pembaca yang dibangun lewat teks di atas pun coba digenapkan lewat teks berikut:

(Teks 5 Paragraf 4)

“Nah, jika kamu masih berpikir demikian, cobalah berada di posisi mereka yang kamu rasa tidak menghargai pemerintah itu, atau lebih “keras” lagi, menganggap mereka tidak tahu diri. Mereka malah tahu diri kok, karena masih mau memperjuangkan hak-hak mereka, bahkan dengan cara-cara yang masih bisa dibilang wajar dan sopan, karena mereka sadar bahwa negosiasi bukan hal yang mudah dilakukan. Dan mereka bukannya tidak menghargai, karena emosi dan kemampuan bertahan hidup sejatinya bersemayam di tiap-tiap manusia. Perubahan bukan perkara mudah, tinggal kitanya saja yang harus kritis dan tidak ikut dalam arus perubahan yang semena-mena.”

Maksud, adalah elemen wacana dalam pembahasan semantik yang selanjutnya akan penulis bahas. Menurut Eriyanto (2000: 147) penyusun teks menggunakan praktik bahasa tertentu sehingga secara implisit mampu menggeser atau menyingkirkan versi kebenaran lain yang tidak ia gunakan dalam teksnya.

Penyusun teks pun akan lebih banyak memasukkan informasi dan fakta yang mendukung wacana, sementara ia akan mengabaikan bahkan meniadakan fakta- fakta yang tidak sesuai atau bahkan merugikannya. Sejatinya penulis sendiri mengalami kesulitan dalam membedah teks dengan elemen wacana ini. Hal ini

127

dikarenakan kemiripannya dengan elemen wacana detail. Namun ada baiknya kita tengok elemen wacana maksud dalam teks buklet “PKL Kontroversi Kota dan

Solusi Bersama” yang telah penulis siapkan berikut:

(Teks 1 Paragraf 6 dan 7)

“Telisik punya telisik, berdasarkan penyelidikan lapangan yang dilakukan di Jalan Otista dan Purnawarman, ternyata kemacetan ini memang disebabkan oleh hal-hal selain PKL, lho.

Arus Pengunjung dan Antrian Parkir

Arus kendaraan pribadi yang keluar masuk parkiran pusat perbelanjaan Pasar Baru dan BEC ternyata memang padat. Antrian masuk dan keluar parkir menyebabkan adanya jeda waktu tunggu. Di Jalan Otista, hal ini digabung dengan adanya lampu lalu lintas di perempatan jalan. Hal inilah yang mengakibatkan arus macet yang merembet hingga Jalan Suniaraja.

Di Jalan Purnawarman, pola serupa turut terjadi. Jalan Purnawarman menjadi jalur parkir masuk dan keluar Bandung Electronic Centre (BEC). Jalan Purnawarman jugalah yang menjadi muara keluar dari Gramedia. Tak hanya itu, pengunjung Gramedia dan BEC seringkali menyeberang jalan Purnawarman untuk berpindah tempat, sehingga membuat arus lalu lintas lamban. “Di Jalan Purnawarman, orang dan motor sudah susah dibedakan,” cetus Naufal, seorang mahasiswa ITB yang sering melintasi Jalan Purnawarman.

Volume Kendaraan Pribadi yang Berlebihan

Akar masalah dari kemacetan di kota besar sejatinya hanya satu: Terlampau banyaknya jumlah kendaraan pribadi bermotor digabung dengan tidak adanya sistem transportasi publik yang baik. Keberadaan angkot dan bus kota sebagai alternatif transportasi publik sebenarnya merupakan langkah awal yang baik dalam pemecahan masalah kemacetan yang patut kita apresiasi.

Namun, sistem halte yang tidak terintegrasi sehingga terbukti terbengkalai menjadikan sistem ini tidak efisien dalam mengurangi kemacetan. Di satu sisi, tidak ada pengendalian jumlah kendaraan pribadi dari pemerintah. Saat akhir pekan, apalagi. Volume mobil pribadi membludak karena kedatangan wisatawan dari luar kota. Jika mau belajar dari negara lain, di Tokyo, misalnya, pajak mobil dan ongkos parkirnya dibuat mahal oleh

128

pemerintah agar warga lebih memilih menggunakan moda transportasi lain untuk solusi kemacetan. Di samping solusi macet, pengurangan volume kendaraan pribadi bermotor juga dapat mengurangi polusi dan emisi karbon, sehingga membantu kita melestarikan alam.”

Penyusun berargumentasi bahwa PKL bukanlah penyebab dari kemacetan di dua ruas jalan yang ia jadikan sampel dalam teksnya. Hal ini dikuatkan dengan penjabaran secara eksplisit, bahwa penyebab utama permasalahan kemacetan adalah kendaraan pribadi yang terlampau padat. Selain itu pada alinea yang lain penyusun menyatakan bahwa kedua jalan tersebut padat, karena arus pengunjung ke beberapa pusat perbelanjaan. Namun dalam tulisan ini penyusun tidak memasukkan kemungkinan antrean parkir tidak hanya menuju pusat perbelanjaan, melainkan ada pengunjung yang memang sengaja melambatkan laju kendaraan karena sedang bertransaksi dengan PKL. Ataupun kemungkinan lain, pengunjung hanya memarkir kendaraan di pusat perbelanjaan, tetapi menjadikan PKL sebagai target perbelanjaannya. Hal ini tentunya tidak akan dimasukkan ke dalam teks, karena akan berimbas distorsi penyampaian wacana.

Sementara itu, ideologi dari penyusun teks akan mudah diidentifikasi saat ia menjelaskan tentang buruknya sistem transportasi massa sepanjang kedua jalan tersebut. Dalam kutipan yang menyatakan hal tersebut, penulis tidak menceritakan bahwa transportasi umum memiliki andil dalam kemacetan karena perilaku menaik-turunkan penumpang disembarang tempat. Hal ini sedikit banyak menunjukkan bahwa rakyat kecil, seperti halnya PKL dan sopir angkutan kota, bukanlah pihak yang mampu menanggung tuduhan sebagai penyebab kemacetan

129

sendirian. Lewat kebenaran yang disajikan penyusun secara eksplisit dalam teks, subjek penyebab kemacetan adalah pengelola pusat perbelanjaan, pihak penampu kebijakan yang tidak becus mengurusi sistem transportasi dan jumlah kendaraan, bahkan pemilik-pemilik kendaraan pribadi. Bila diklasifikasikan subjek yang diasosiasikan penyusun sebagai sumber kemacetan adalah pihak-pihak yang masuk dalam golongan borjuis. Sedangkan penyusun meminimalisir informasi yang memuat andil wong-wong cilik dalam memperparah kemacetan di daerah tersebut. Hal ini semata-mata agar tidak merusak kesucian wacana yang hendak penyusun buat.

Selanjutnya, penulis mencoba mengkritisi paragraf awal dalam pembahasan “PKL Melanggar Hukum dan Aturan Perda Kota Bandung (?)” Teks ini sendiri membahas stigma masyarakat akan pelanggaran hukum yang senantiasa di lakukan oleh PKL. Sementara pembahasan teks berkutat pada prinsip relativitas dari hukum itu sendiri. Dengan gagasan utama dan pembahasan ini, informasi yang banyak dikandung teks berkutat pada isu relativitas hukum dan persuasi penyusun untuk menggagas keterlibatan publik dalam membangun hukum yang berperikemanusiaan. Hal-hal itu, kebanyakan digagas secara eksplisit oleh penyusun yang tentunya membuat pemaknaan hukum yang berlaku menjadi lebih implisit. Nah, Ada baiknya kita simak salah satu petikan paragraf dalam pembahasan ini:

(Teks 2 Paragraf 1 dan 2)

“Berdasarkan pernyataan “PKL Melanggar Hukum dan Aturan Perda Kota” inilah relokasi PKL 4 titik yang sedang digalakkan oleh Pemkot

130

Bandung dilakukan. Kota Bandung mengamini kebijakan Zero Growth yang diberlakukan oleh negara Indonesia. Kebijakan Zero Growth diadopsi sebagai sebuah kebijakan yang menyetop pertumbuhan jumlah PKL di kota. Selain kebijakan Zero Growth, Kota Bandung memberlakukan kebijakan zonasi PKL. PKL dilarang keras berjualan di Zona Merah. Di Zona Kuning, PKL boleh berjualan pada waktu-waktu tertentu. Sementara di Zona Hijau, PKL diperbolehkan berjualan. Kebijakan-kebijakan ini pun dilengkapi dengan ancaman sanksi yang tak ringan.

Sayangnya, ada dua hal yang ternyata sering kali kita abaikan ketika berdiskusi mengenai hal ini....”

Setelah mencermati alinea di atas tentunya kita akan menyadari bahwa pembahasan kebijakan Zero Growth yang ditempatkan sebagai sumber permasalahan di tulis secara implisit. Penyusun tidak menjelaskan apa itu kebijakan Zero Growth. Penyusun lebih memilih untuk memaparkan akibat dari kebijakan ini dan implementasi yang diambil oleh pemerintah Kota Bandung.

Sementara penulis sendiri tidak menemukan sumber hukum negara yang menyinggung permasalahan Zero Growth PKL. Keterangan kebijakan ini hanya penulis dapatkan dari Perda Kota Bandung No. 4 Tahun 2011. Tepatnya pada

BAB I, Pasal 1, tentang Ketentuan Umum Poin ke 25 yang menyatakan bahwa

“Zero Growth adalah kebijakan untuk mengatur tidak adanya penambahan jumlah

PKL. Frase asing ini pun kembali disinggung pada Bab IV Tentang Kelembagaan

Pasal 7, Poin 4 yang menyinggung soal pengawasan zonasi dari Satuan Tugas

Khusus yang kemudian dijelaskan; “yang dimaksud dengan Zero Growth adalah jumlah PKL di zona merah menjadi tidak ada sama sekali.”

Maka dari tinjauan ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada peraturan

131

negara Indonesia yang menyatakan soal penyetopan laju pertumbuhan pedagang kaki lima. Hal ini semata-mata hanya sebuah strategi untuk menguatkan maksud penyusun bahwa PKL sedang menghadapi sesuatu yang amat besar. Kesan yang ditimbulkan menjadi: saat ini PKL tidak hanya sedang menghadapi rencana relokasi, melainkan kekuasaan negara yang di mana keberadaannya tidak diinginkan di dalamnya. Strategi ini menguatkan persuasi penyusun dalam menghimpun massa yang nantinya diharapkan untuk berpartisipasi aktif dalam pembuatan hukum baru bagi PKL.

Selanjutnya coba simak kutipan berikut ini:

(Teks 4 Paragraf 4)

“Pernahkah kamu melewati Jalan Sunda Kosambi? Atau Kota Bandung bagian pinggiran? Di sana, masih banyak ditemui orang-orang yang hidup di pinggiran sungai yang kotor, gang sempit, dan kondisi menyedihkan lainnya. Kondisi inilah yang biasanya disebut kumuh dan tidak indah. Jangankan untuk piknik dan selfie, untuk bertahan hidup dan makan saja mereka harus bekerja keras. Namun apakah kita harus mencerabut mereka begitu saja dari situ demi tempat yang terlihat indah? Kampung Kolase di Babakan Siliwangi dipaksa untuk relokasi ke Rumah Susun Sadang Serang demi Taman Wisata Sungai Cikapundung. Seperti halnya warga kampung, PKL akhirnya mendapat cap “liar”, “ilegal”, dan “perusak estetika”. Ruang mereka untuk mengembangkan kehidupan digantikan dengan ruang untuk berlibur.”

Secara sekilas tidak ada yang janggal dengan alinea di atas. Namun, sementara pembahasan tentang “anggapan tempat kumuh” dipaparkan secara eksplisit, penyusun teks menghilangkan informasi terkait kehidupan warga kampung Kolase Babakan Siliwangi setelah mereka direlokasi ke Rusun Sedang

Serang. Teks malah dilanjutkan dengan kesimpulan-kesimpulan penyusun soal

132

stigma yang telah berkembang di masyarakat dan praanggapan yang mengetuk rasa kemanusiaan pembacanya. Dengan menghilangkan informasi itu penyusun tidak menjamin bahwa setelah direlokasi kehidupan warga menjadi lebih buruk atau malah lebih baik. Jika memang kehidupan warga menjadi lebih baik pantas saja penyusun tidak menyertakannya karena akan mengurangi kekuatan wacana melawan relokasi yang tengah dibangunnya.

Sebelumnya penulis telah menyinggung soal elemen wacana semantik yang terakhir, yakni Praanggapan. Dituliskan Eriyanto (2000: 147) bahwa elemen ini merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung makna suatu teks. Praanggapan adalah upaya mendukung pendapat dengan memberikan premis yang dipercaya kebenarannya. Praanggapan hadir dengan pernyataan yang dipandang terpercaya sehingga tidak perlu dipertanyakan. Elemen wacana ini pula yang cukup mendominasi dalam buklet. Penggunaannya kurang lebih difokuskan untuk membangun atau menguatkan wacana tandingan atas stigma keberadaan

PKL yang selama ini telah berkembang dalam pemikiran mayoritas masyarakat.

Tidak jarang beberapa praanggapan langsung menyerang ketidakbecusan pemerintah dalam beberapa hal terkait penertiban PKL. Berikut setidaknya tujuh contoh bentuk praanggapan yang terkandung di dalam setiap teks buklet “PKL,

Kontroversi Kota dan Solusi Bersama”:

(Teks 1 Paragraf 9)

“Jika mau belajar dari negara lain, di Tokyo, misalnya, pajak mobil dan ongkos parkirnya dibuat mahal oleh pemerintah agar warga lebih memilih menggunakan moda transportasi lain untuk solusi kemacetan. Di samping solusi macet, pengurangan volume kendaraan pribadi bermotor juga

133

dapat mengurangi polusi dan emisi karbon, sehingga membantu kita melestarikan alam.”

(Teks 2 Paragraf 7)

“Padahal, hukum dan perundangan seharusnya merupakan panduan bagi kehidupan bersama. Jika paham saja tidak, bagaimana kita bisa berjuang jika ada pihak-pihak yang menyalahgunakan kekuasaan untuk memanipulasi hukum perundangan? Sebaliknya, jika kita berbuat sesuai hati nurani, sudah pasti ada payung hukum yang melindungi. Tinggal bagaimana kita berusaha bersama untuk memperjuangkan literasi hukum dan perundangan yang sekarang jadi barang langka ini. Bukankah hukum dan perundangan disusun untuk memanusiakan manusia?”

(Teks 3 Paragraf 7)

“Karena sudah terlampau banyak contoh relokasi yang terbukti tidak menyelesaikan masalah, tetapi hanya memindahkan masalah. Proses relokasinya sendiri serba tidak adil dan sepihak. PKL diperlakukan seperti obyek dalam diskusi. Kalau kamu jeli mendengar kabar burung belakangan, kamu akan dengar bahwa PKL Merdeka-BIP (yang sering kali dijadikan contoh kesuksesan relokasi dari trotoar) tengah siap memberontak...... ”

(Teks 4 Paragraf 2)

“.....Seperti disinggung sebelumnya, mereka serta merta menganggap PKL melanggar Perda dan aturan, dan karenanya akan setuju-setuju saja jika pemerintah mengeluarkan kebijakan relokasi PKL. Dengan kecanggihan teknologi informasi seperti sekarang, sebagian masyarakat Bandung yang menginginkan keindahan pun memotret PKL yang melanggar zonasi Perda dan melaporkannya secara online kepada aparat pemerintahan (apalagi wali kota kita yang sekarang gandrung Instagram :)).”

(Teks 5 Paragraf 2)

“Jika kita melihat bahwa PKL sepertinya sebegitu susahnya untuk dicarikan solusi, entah mereka banyak mengajukan tuntutan atas solusi yang diajukan pemerintah, hal ini menunjukkan bahwa keputusan yang dicapai masih belum bisa mengakomodasi semua pihak. Mungkin contohnya relokasi yang terjadi di Jalan Purnawarman belakangan ini. PKL Purnawarman akhirnya dipindahkan ke parkiran luar BEC.....”

134

(Teks 6 Paragraf 2)

“Variabel waktu agaknya menjadi rancu, karena seharusnya pemerintah sudah mempersiapkan ini jauh-jauh hari. Dari sini kita bisa melihat bahwa perencanaan menjadi sebuah proses yang diabaikan, setidaknya dalam menangani permasalahan PKL ini. Pertanyakan kembali, apakah sebenarnya relokasi PKL melibatkan proses perencanaan? Atau memang kita bisa seenaknya merelokasi PKL tanpa adanya solusi yang matang?”

(Teks 7 Paragraf 5)

“Namun nyatanya, masih banyak masyarakat yang melihat bahwa yang penting adalah bentuk fisiknya, sehingga menegasikan kebutuhan dasar. Contohnya, kita butuh pakaian untuk menutupi tubuh, tapi kita terjebak dalam label Topman, Giordano, dan sebagainya. Selanjutnya orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk membeli barang tersebut, juga terjebak dalam pemikiran itu, dan akhirnya mengusahakan untuk membeli barang-barang sejenis, agar mereka bisa tetap bisa dipandang sama dengan mereka yang berpunya. Konsumen barang-barang KW pun bermunculan. Di sini, PKL tadi melihat kesempatan untuk menjual barang-barang tersebut. Maka tidak heran mereka juga menggantungkan penghidupan mereka pada perilaku masyarakat seperti tadi.”

2. Sintaksis Sintaksis merujuk pada pemilihan bentuk maupun susunan dari sebuah teks yang dimuat media. Elemen ini meliputi hal-hal mikro dalam tataran kalimat yang dibentuk oleh pembuat teks. Seperti halnya semantik, unsur sintaksis juga terbagi menjadi beberapa elemen bahasan. Setidaknya ada tiga elemen yang harus diperhatikan dalam aspek sintaksis, yakni; bentuk kalimat, koherensi, dan kata ganti. Berikut analisis teks buklet “PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” dari aspek Sintaksis yang telah penulis lakukan:

Bentuk Kalimat, adalah elemen wacana sintaksis yang akan pertama kali penulis amati. Menurut Eriyanto (2000: 153) elemen ini berkaitan dengan cara

135

berpikir logis sebagaimana prinsip sebab akibat atau kausalitas. Walau terdengar teknis, bentuk kalimat sendiri memiliki andil dalam memaknai sebuah susunan kalimat. Bentuk kalimat ini menentukan apakah subjek diekspresikan secara eksplisit atau implisit dalam teks.

Menengok dalam buklet “PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bermasa” penulis mendapati ragam jenis penulisan kalimat tergantung kebutuhan dari penyusun teks. PKL sendiri tidak selalu dijadikan penulis sebagai subjek utama dalam tiap kalimatnya. Sebagai contoh yang representatif, hal ini dapat kita amati dari penulisan ketujuh sub judul. PKL menjadi subjek utama hanya dalam lima pembahasan. Sementara pemerintah dan barang yang dijual PKL dijadikan pembahasan utamanya di dua sub judul lainnya.

Sementara itu, buklet ini menghadirkan banyak subjek dalam pembahasannya. Ada tiga subjek utama yang mondar-mandir dalam pemaparan secara keseluruhan, pertama PKL itu sendiri, lalu Pemerintah Kota Bandung

(terkadang diwakilkan lewat subjek Ridwan Kamil) dan Pembaca (diasumsikan sebagai masyarakat luas atau mereka yang memandang PKL lewat stigma).

Penekanan subjek di dalam teks pun terus berubah-ubah tergantung konteks dan wacana yang tengah penyusun bangun. Ada kalanya PKL dijadikan subjek yang tidak berdaya. Contohnya bisa kita lihat pada kalimat pasif berikut:

(Teks 5, Alinea 2)

“PKL Purnawarman akhirnya dipindahkan ke parkiran luar BEC, di mana keputusan ini merupakan negosiasi lanjut atas keputusan untuk merelokasi mereka ke basement 5 BEC.”

136

Terkadang PKL pun dijadikan subjek aktif yang mencoba memanfaatkan peluang dari perilaku mayoritas masyarakat. Singkatnya, penyusun mengagas bahwa perilaku PKL adalah bentuk refleksi kebudayaan dominan masyarakat.

Contohnya bisa kita lihat dalam petikan teks berikut:

(Teks 7, Alinea 6)

“Di sini, PKL tadi melihat kesempatan untuk menjual barang-barang tersebut. Maka tidak heran mereka juga menggantungkan penghidupan mereka pada perilaku masyarakat seperti tadi.”

Ada pula saat-saat pemerintah dijadikan subjek utama penyebab kesulitan yang dialami PKL. Berikut contohnya:

(Teks 3, Alinea 8)

“Ridwan Kamil sendiri bilang ia tidak akan melanggar hukum demi apa pun, bahkan jika itu demi kemanusiaan.”

Sesekali pemerintah pun diasumsikan mendapati intervensi dari oknum- oknum tertentu dalam usaha merelokasi PKL di sejumlah titik. Hal ini dapat dicermati lewat kalimat aktif berikut:

(Teks 4, Alinea 3)

“Pihak ITB, misalnya, tak henti-hentinya mendesak Satpol PP Kecamatan Coblong untuk menggusur PKL Ganeca dan Dayang Sumbi dengan alasan keindahan area kampus.”

Bentuk kalimat lainnya –dan paling mendominasi— adalah pembaca diposisikan sebagai pelaku pemberi stigma yang berkuasa penuh untuk tetap atau berhenti melakukan hal tersebut. Dengan format kalimat-kalimat aktif seperti teks di bawah ini, penyusun senantiasa menggeser persepsi pembaca bahkan mempersuasi untuk berpartisipasi aktif dalam mewujudkan tujuan-tujuan

137

penyusun.

(Prolog, Alinea 4)

“Untuk memahami isu ini lebih jernih, mari kita bongkar bersama stigma, pandangan, pertanyaan, dan pendapat umum soal PKL, khususnya di Kota Bandung, supaya kita bisa tahu apa sih yang sebenarnya jadi akar masalah.“

(Teks 1, Alinea 10)

“..seharusnya kita belajar untuk tidak serta merta mengkambinghitamkan PKL sebagai biang kerok kemacetan, bukan?”

(Teks 3, Alinea 5)

“Hayu, lah, kita negosiasikan perebutan ruang-ruang publik ini dengan lebih partisipatif. Jadi, tidak cuma beberapa gelintir pihak saja yang bisa memaksakan kepentingannya.”

Sintaksis juga membahas soal Kata Ganti atau Elemen wacana yang berguna untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh penulis teks untuk menunjukkan di mana posisi seseorang dalam wacana.104 Di dalam buklet “PKL

Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” sendiri penyusun mengombinasikan sejumlah kata ganti orang pertama, kedua, dan ketiga, baik tunggal maupun jamak. Kata ganti orang pertama tunggal sering kali digunakan penyusun dalam sebuah pernyataan langsung. Hal ini menegaskan atas kondisi objektif stigma

PKL di benak masyarakat perkotaan. Contohnya dapat dilihat dalam pernyataan berikut:

104 Ibid. Hal: 155-156

138

“Iya, Kasihan Pejalan Kaki. Saya beberapa kali hampir ditabrak karena terpaksa jalan di pinggir jalan umum dan trotoarnya diambil PKL! Ketersediaan fasilitas trotoar, kan merupakan hak pejalan kaki yang telah disebut dalam Pasal 131 ayat (1) UU LLAJ”, komentar Hanif, seorang pemuda yang aktif berkomentar di media sosial.”

Selain itu, penggunaan kata ganti orang pertama jamak menjadi penggunaan kata ganti yang paling banyak praktikan oleh penyusun. Kata yang menandakannya adalah “kami” dan “kita”. Namun dalam praktiknya kedua kata ini memiliki makna yang berbeda. Sebelumnya simak contoh dari penggunaan kata ganti orang pertama jamak berikut ini:

“Untuk memahami isu ini lebih jernih, mari kita bongkar bersama stigma, pandangan, pertanyaan, dan pendapat umum soal PKL, khususnya di Kota Bandung, supaya kita bisa tahu apa sih yang sebenarnya jadi akar masalah.”

“Setelah mengetahui akar masalah kemacetan, seharusnya kita belajar untuk tidak serta merta mengkambinghitamkan PKL sebagai biang kerok kemacetan, bukan?”

“Tugas kitalah untuk terus berjuang agar hukum dan peraturan perundangan tersebut mengarah ke tujuan ideal kita bersama.”

“Makannya kita memperjuangkan untuk mempengaruhi kebijakan PKL untuk ditata dan diorganisir di tempat.”

“Perubahan bukan perkara mudah, tinggal kitanya saja yang harus kritis dan tidak ikut dalam arus perubahan yang semena-mena.”

Beberapa contoh penggunaan kata ganti “kita” di atas merupakan strategi penyusun dalam menumbuhkan solidaritas antara ia dan khalayaknya. Hal ini pun mengesankan setiap pernyataan atau sikap penyusun sebagai sikap bersama dengan khalayak. Strategi ini pun patut dikategorikan sebagai upaya mengurangi oposisi atau kritik dengan merangkul dukungan dari pembacanya. Selain kata

139

ganti “kita”, penyusun juga menyertakan ganti “kami”. Namun kata ganti ini memberikan makna yang berlainan. Kata “kami” cenderung memberikan batasan antara komunikator dan subjek yang ditujukan. Kata ganti ini hanya ditempatkan pada pernyataan langsung dari salah seorang pedagang kaki lima. “Kami” yang dimaksud dalam kalimat tersebut adalah PKL yang selama ini diasosiasikan sebagai penyebab kemacetan di Jalan Otto Iskandardinata. Lebih jelasnya simak kalimat berikut:

“Kita melihat dengan mata kepala sendiri bahwa tanpa kami berdagang pun, Jalan Otista tetap macet merayap pada jam-jam padat”, terang Pak Tarno, salah seorang PKL Otista yang ikut mendiskusikan “Senin Bebas PKL” dengan pemerintah.”

Sesekali penyusun juga menyertakan kalimat ganti orang kedua tunggal

(kamu, anda, engkau, kau, dikau, -mu) dan jamak (kalian, kamu sekalian) yang ditujukan untuk khalayaknya. Hal ini dilakukan dalam rangka menuding langsung tindakan khalayak yang dinilai penyusun adalah bagian dari praktik reproduksi stigma. Dalam penggunaan kata ganti ini, kesan sarkas/satire atau menyindir amat terasa dilakukan penyusun untuk membangun sebuah “kesadaran” di pemikiran pembacanya. Untuk lebih jelasnya mari tengok contoh petikan kalimat-kalimat berikut:

“Nah, karena itu, sebelum kamu mencetuskan, “PKL Melanggar Hukum dan "Aturan Perda Kota!”, merenung dan berpikirlah sebentar, posisikan dirimu di semua pihak—bukan cuma PKL, tetapi juga pemerintah, pelaku bisnis, peneliti, dan lain sebagainya: apakah kebijakan Zero Growth manusiawi jika dilakukan dalam kondisi seperti sekarang, dimana penduduk desa terus terdesak untuk berpindah ke kota?"

140

"Siapkah kamu untuk terlibat secara aktif dalam perumusan kebijakan, hukum, dan peraturan perundangan tentang PKL menjadi lebih mengakomodasi, partisipatif, dan manusiawi?"

"Nah, jika kamu masih berpikir demikian, cobalah berada di posisi mereka yang kamu rasa tidak menghargai pemerintah itu, atau lebih “keras” lagi, menganggap mereka tidak tahu diri."

"Coba renungi lagi, berapa barang KW yang kalian punya, dan berapa barang ori yang kalian punya."

Sementara itu penulis pun menemukan beberapa contoh penggunaan kata ganti orang ke tiga baik tunggal (dia, beliau, ia, -nya) maupun jamak (mereka,- nya) dalam teks buklet. Sebagian besar penggunaan kata ganti ini ditujukan untuk subjek PKL atau rakyat kecil lainnya dalam pemaparan kepada khalayak. Namun di sisi lain, kata ganti ini pun –terutama “mereka”— beberapa kali digunakan dalam menyinggung pihak-pihak lain yang diposisikan sebagai lakon pelestari stigma di masyarakat. Berikut contoh kalimat yang penulis maksud:

"Sayangnya, hukum dan perundangan kita jarang mengindahkan hal-hal halus dan tidak kelihatan seperti kebudayaan, makannya mereka gagal “mengatur” manusia-manusia ini dengan efisien."

"Tapi kalau ada hotel ilegal, ATM, atau pos Satpol PP melintang di trotoar, kamu berani tidak bilang hal yang sama? Adakah yang kira-kira berani menggusur mereka? #tanyakenapa"

“Meski masyarakat bahkan Walikota Bandung tak mengelak mereka suka makan di PKL karena lezat, murah, dan khas, mereka juga beranggapan bahwa gerobak PKL, tempat cuci piringnya, serta tenda non-permanen dari bambu dan terpal (ada juga yang bilang bahkan raut muka PKL) kadang tidak cocok dengan konsep keindahan kota Bandung.”

“Pihak ITB, misalnya, tak henti-hentinya mendesak Satpol PP Kecamatan Coblong untuk menggusur PKL Ganeca dan Dayang Sumbi dengan alasan keindahan area kampus. Mereka mengusahakan segala cara agar hal ini bisa segera terlaksana, meskipun surat ijin operasi dan prosedur relokasi belum sesuai dengan undang-undang yang sedang berlaku.”

141

Elemen wacana selanjutnya adalah koherensi atau pertalian antar kata maupun kalimat. Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak koheren. Koherensi merupakan elemen wacana untuk melihat bagaimana seseorang menggunakan wacana secara strategis dalam menjelaskan suatu fakta atau peristiwa. Elemen wacana ini ditandai dengan adanya kata hubung (konjungsi) seperti “dan,” “akibat,” “tetapi,” “lalu,” “karena,”

“meskipun,” dan “lalu.” Kata hubung yang dipakai memberi kesan kepada khalayak; bagaimana dua fakta diabstraksikan dan dihubungkan.105

Bila disimak secara cermat, persis pada judul buklet ini, penyusun telah menggabungkan pernyataan “PKL sebagai kontroversi di kota-kota besar” dengan pernyataan “Solusi bersama untuk permasalahan PKL.” Kedua fakta ini disandingkan dan seolah saling berhubungan dengan diksi “PKL, Kontroversi

Kota dan Solusi Bersama.” Selain itu buklet ini pun membangun keterhubungan antara anggapan PKL adalah subjek yang kreatif dalam menarik perhatian konsumen dan fakta bahwa mereka adalah warna khas dalam sosio kultural masyarakat perkotaan. Hal ini dapat pula kita cermati dalam petikan berikut:

“Ada juga yang menyebutnya Pedagang Kreatif Lapangan karena PKL dianggap kreatif dalam menarik pembeli dan memberi warna khas tersendiri bagi kehidupan kota atau wilayah ia berada.”

Selain itu penyusun pun menghubungkan sejumlah contoh hukum yang dirasa diskriminatif dengan usaha-usaha manusia untuk mengubahnya. Kedua

105 Ibid. Hal: 148-152

142

fakta ini disandingkan hingga memberikan kesan sebab akibat. Berikut kutipan yang penulis maksud:

“Hukum dan perundangan bisa berubah sesuai konteks zaman, dan kita punya daya untuk mempengaruhinya bersama.”

“Dahulu di Amerika, praktik perbudakan dilindungi oleh hukum. Di Jawa, pernah hukum adat melarang perempuan untuk mengenyam pendidikan sekolah. Namun, karena masyarakat mengumpulkan kekuatan bersama untuk mengubah hukum dan peraturan yang dirasa tidak berperikemanusiaan ini, hukum-hukum tersebut pun berubah menjadi lebih manusiawi seiring berjalannya waktu dan konsistensi perjuangan. Karena pada dasarnya, hukum dan peraturan perundangan bukanlah sesuatu yang mutlak.”

Penulis pun menemui sejumlah penerapan koherensi yang menggabungkan dua fakta dengan makna yang merujuk pada ketidakbecusan pemerintah dalam mengelola pedagang kaki lima. Simak dua contoh petikan kalimat di bawah ini:

"Karena sudah terlampau banyak contoh relokasi yang terbukti tidak menyelesaikan masalah, tetapi hanya memindahkan masalah."

“Kalau kamu jeli mendengar kabar burung belakangan, kamu akan dengar bahwa PKL Merdeka-BIP (yang sering kali dijadikan contoh kesuksesan relokasi dari trotoar) tengah siap memberontak. Mengapa? Karena janji pemerintah untuk membina mereka pasca relokasi ternyata palsu."

Contoh koherensi berikutnya menyinggung tentang bagaimana praktik stigma masyarakat umum terhadap PKL telah menghegemoni. Petikan berikut menggabungkan fakta, bahwa masyarakat mempercayai anggapan PKL melanggar Perda dan aturan pemerintah lainnya dengan fakta masyarakat setuju akan kebijakan pemerintah untuk melakukan relokasi. Berikut kalimat yang penulis maksud:

143

“Seperti disinggung sebelumnya, mereka serta merta menganggap PKL melanggar Perda dan aturan, dan karenanya akan setuju-setuju saja jika pemerintah mengeluarkan kebijakan relokasi PKL.”

Contoh lainnya menyangkut strategi penyusun dalam memisahkan anggapan buruknya kualitas barang dagangan PKL dengan fakta yang melandasi hal itu. Penyusun meyakini hal ini hanya seputar daya beli dan mekanisme belaka.

Kedua fakta ini dimaknai secara terpisah oleh penyusun dan dapat kita cermati dalam kutipan berikut:

“Permasalahannya bukan terletak di label KW atau palsu atau Ori, tapi ada di modal ekonomi dan harga jual dari barangnya itu sendiri.”

Sejatinya pembahasan tentang elemen wacana koherensi pun bercabang menjadi beberapa bagian. Pertama ada soal Koherensi Kondisional yang biasanya dicirikan dengan penggunaan anak kalimat. Kalimat kedua atau anak kalimat – biasanya dihubungkan dengan kata “yang” atau “di mana”— tidak hanya berfungsi sebagai pemberi keterangan, melainkan ada praktik wacana di dalamnya. Anak kalimat sering kali memberikan kesan baik atau buruk terhadap seseorang atau peristiwa yang diceritakan dalam teks. Contohnya dalam buklet

“PKL, Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” penyusun memberikan kesan bahwasanya PKL adalah subjek yang senantiasa mematuhi segala permintaan dari pemangku kuasa. Hal ini dilakukan sebagai strategi untuk melawan stigma PKL sebagai pihak yang terkesan sulit untuk diatur. Lebih jelasnya simak kutipan berikut:

“Setiap Senin, para PKL di Jalan Otista sepakat untuk libur jualan demi menjalankan “Senin Bebas PKL”, program seminggu sekali

144

yang dijalankan berdasarkan hasil diskusi pemerintah dengan beberapa perwakilan PKL, salah satunya Pak Tarno.”

Di lain kesempatan penyusun pun memberikan kesan positif dari kegiatan berkumpul dipinggir jalan. Hal ini tentunya menguatkan wacana bahwa PKL adalah produk dari kebudayaan yang perlu di lestarikan. Kebudayaan ini pula dijelaskan penyusun sebagai salah satu penggerak perubahan sosial yang terjadi di masyarakat selama ini. Berikut petikan kalimat yang penulis maksud:

“Ingat juga kalau budaya nongkrong di pinggir jalan, seperti angkringan di Jogja, ngariung di Bandung, atau cangkrukan di Surabaya menjadi nilai sosial budaya yang menjunjung tinggi kolektivitas atau kebersamaan, hal yang perlu kita perjuangkan bersama di tengah gelombang individualisme yang masif.”

Sementara contoh terakhir memberikan penekanan perlunya pembaca atau khalayak merangkul rakyat kecil, PKL khususnya dalam permasalahan yang mereka hadapi. Khalayak dalam kalimat ini diasosiasikan sebagai pihak yang berdaya untuk membantu dan mengadvokasi. Sementara, PKL dicitrakan sebagai pihak-pihak yang tidak berdaya bahkan tertindas. Berikut petikan kalimat tersebut:

“Sebagai orang yang punya kesempatan belajar, kita harus membantu mereka menyadari bahwa perasaan minder berlebihan hanya menyebabkan kita terus menerus tertindas, yang artinya membiarkan pihak yang menyalahgunakan kekuasaan langgeng.”

Kedua, Koherensi Pembeda yang sangat berhubungan dengan pembedaan dua fakta atau peristiwa. Dengan strategi ini penyusun teks hendak membuat bertentangan (contrast) atau bahkan kebalikan dari peristiwa/fakta lainnya. Kata

145

sambung yang biasa digunakan dalam koherensi ini adalah “dibandingkan.”

Tujuannya jelas untuk mengomparasi antar kedua fakta/kejadian, akan tetapi yang perlu dikritisi adalah maksud dari pengomparasian tersebut. Bila menengok buklet

“PKL, Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” penyusun bermain-main dengan

Koherensi Pembeda pada pembahasan soal konteks kebudayaan dari kehadiran trotoar dan pemanfaatannya. Fakta yang dipilih untuk memperkuat argumentasi adalah maksud dan tujuan dibuatnya trotoar oleh Pemerintahan Inggris, yang memiliki perbedaan jauh dalam segi pemanfaatannya oleh masyarakat Indonesia.

Lebih jelasnya mari simak kalimat berikut:

“Trotoar dibuat lebih tinggi untuk kaum borjuis yang suka berjalan-jalan menikmati kota. Ini jelas berbeda dari kondisi sosial budaya masyarakat kita yang tidak mengalami revolusi industri. Karena falsafah hidup yang dekat dengan alam, jalanan kita tanah asli! Cikar, gerobak, pedagang, dan pejalan kaki berjalan beriringan sambil bertegur sapa.”

Selain itu strategi ini pun digunakan dalam menjabarkan perbedaan perlakuan pemerintah kota dalam menggusur para PKL dibanding dengan bangunan liar lainnya. Pembeda ini mengomparasi perlakuan pemerintah terhadap rakyat kecil dengan perlakuan kepada sejumlah pihak berdaya yang seakan-akan kebal hukum. Berikut petikannya:

“Tapi kalau ada hotel ilegal, ATM, atau pos Satpol PP melintang di trotoar, kamu berani tidak bilang hal yang sama? Adakah yang kira-kira berani menggusur mereka? #tanyakenapa :)”

Sementara itu bentuk koherensi pembeda yang terakhir memberikan kesan positif terhadap pedagang kaki lima. Makna yang terkandung kalimat ini adalah

146

PKL sebagai pihak yang mampu memberikan pasar alternatif terhadap khalayak.

Bila dibandingkan dengan sejumlah kompetitor besar pun tidak jarang PKL unggul karena harga jual dan nilai kekhasan. Simak teks yang penulis maksud:

"Jika kita lihat dari segi apa yang diperjualbelikan juga akan kurang lebih sama ceritanya. Tidak semua orang bisa membeli donat JCo atau kapucino Starbucks. Maka kita lihat, bagaimana kreativitas dari para PKL dalam menjajakan donat bakar dan kapucino cincau yang tidak bikin kantong kering, dan bahkan lebih enak!"

Terakhir Pengingkaran atau bentuk praktik wacana yang menggambarkan strategi wartawan dalam menyembunyikan ekspresi subjektifnya secara implisit.

Elemen ini sengaja penyusun buat dalam rangka membangun sebuah wacana tandingan dari stigma yang selama ini telah terpatri dalam benak masyarakat.

Berikut penulis akan sisipi tiga contoh bentuk pengingkaran dalam teks ini:

(Teks 4 Pargraf 2)

“Nah, keberadaan PKL di pinggir jalan sering kali dianggap merusak keindahan kota Bandung ini. Meski masyarakat bahkan Walikota Bandung tak mengelak mereka suka makan di PKL karena lezat, murah, dan khas, mereka juga beranggapan bahwa gerobak PKL, tempat cuci piringnya, serta tenda non-permanen dari bambu dan terpal (ada juga yang bilang bahkan raut muka PKL) kadang tidak cocok dengan konsep keindahan kota Bandung. Seperti disinggung sebelumnya, mereka serta merta menganggap PKL melanggar Perda dan aturan, dan karenanya akan setuju-setuju saja jika pemerintah mengeluarkan kebijakan relokasi PKL. Dengan kecanggihan teknologi informasi seperti sekarang, sebagian masyarakat Bandung yang menginginkan keindahan pun memotret PKL yang melanggar zonasi Perda dan melaporkannya secara online kepada aparat pemerintahan (apalagi wali kota kita yang sekarang gandrung Instagram :)).”

(Teks 5 Paragraf 1) “Pemerintah memang harus selalu menjadi penengah atas polemik kota, menyediakan ruang dan solusi yang tepat untuk semua masalah yang terjadi. Negosiasi dengan berbagai pemangku kepentingan menjadi

147

bagian dalam menyusun solusi yang tepat agar tercipta win-win solution. Tapi lantas apakah kita bisa menyebut PKL tidak tahu diri, ibarat tidak menghargai usaha pemerintah?”

(Teks 6 Paragraf 4) “Ya, memang tidak mudah dalam menyajikan sebuah solusi yang bersifat fisik. Banyak yang harus dipertimbangkan seperti ketersediaan lahan, izin, desain, sampai pembiayaan. Tapi ini semua bukan menjadi hambatan jika dilaksanakan dengan perencanaan dan manajemen yang baik.”

(Teks 6 Paragraf 4) “Nah, dari sini kita tahu bahwa bahkan Pemkot Bandung telah mengupayakan penataan PKL yang berlandaskan proses perencanaan yang baik pula. Maka seharusnya hal itu dimanfaatkan untuk menciptakan sebuah solusi yang matang dan memperhitungkan waktu sehingga relokasi tidak menjadi solusi yang malah merugikan dengan membuat iklim yang tidak pasti bagi para PKL. Tempat relokasi juga hendaknya dipersiapkan jauh sebelum proses relokasidilakukan, tentunya diiringi oleh sosialisasi berkelanjutan kepada para PKL dan melibatkan mereka dalam proses relokasi tersebut.”

Beberapa contoh pengingkaran di atas, selain menjadi gerbang dalam penyampaian wacana tandingan, juga digunakan untuk menyindir Pemerintah

Kota Bandung. Semisal dalam petikan teks ke empat, di sana penyusun bermain dengan kalimat bergaya ironi/satire dalam menyampaikan kritikannya. Atau dalam penggalan teks ke enam. Kritikan terhadap pemerintah malah lebih eksplisit disampaikan penyusun. Dengan memahami pola ini, penulis tidak hanya memprediksi teks buklet memiliki wacana resistensi terhadap stigma soal PKL.

Ada pula wacana perlawanan terhadap kebijakan relokasi dari pemerintahan kota.

3. Aspek Stilistik

Aspek Stilistik merupakan suatu proses yang mencangkup pemilihan kata dari seorang penulis maupun pewarta dalam tulisannya. Eriyanto (2000)

148

mengatakan penggunaan kata dalam teks menunjukkan sikap dan ideologi tertentu, karena dari sebuah peristiwa dapat digambarkan dengan menggunakan kata yang berbeda-beda. Leksikon adalah elemen yang menjadi perhatian utama dalam pembahasan stilistik. Pada dasarnya elemen wacana ini menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Pilihan kata merupakan sikap dan ideologi tertentu. Peristiwa yang sama dapat digambarkan dengan pilihan kata-kata yang berbeda. Label mana yang dipakai tergantung kepada penyusun teks yang memakai kata-kata tersebut.

“Lalu, bagaimana seharusnya kita bersikap dalam isu bersama ini?”

Kalimat di atas bisa saja jadi tulis dengan “Lalu bagaimana seharusnya kita menanggapi isu ini?” akan tetapi penyusun lebih memilih menggunakan kata

“bersikap” untuk mengarahkan pembaca tidak hanya tahu, melainkan ikut berkontribusi dalam mencapai solusi. Sementara itu penambahan kata “bersama” pun menegaskan bahwa permasalahan yang ini tidak hanya miliki PKL, melainkan menjadi persoalan seluruh stakeholder di sebuah kota.

Sebagai usaha mempersuasi khalayak, penyusun berulang kali memakai frasa “partisipasi aktif.” Frasa ditempatkan di kalimat-kalimat yang bertujuan untuk mengajak khalayak atau pembaca terlibat dalam isu ini. Selain itu kata

“aktif” sendiri memberikan makna bahwa khalayak memiliki daya untuk menyebarkan gagasan tersebut. Berikut sejumlah petikan kalimat yang mengenakan frasa ini:

149

"Dan akhirnya, siapkah kamu untuk terlibat secara aktif dalam perumusan kebijakan, hukum, dan peraturan perundangan tentang PKL menjadi lebih mengakomodasi, partisipatif, dan manusiawi? :)"

“Setiap warga masyarakat sejatinya punya hak dan daya untuk terlibat secara aktif dalam setiap prosesnya, mulai dari penyusunan, pelaksanaan, pengawasan, hingga perubahan/revisi.”

“Tahukah kamu apakah PKL ataupun pengguna jalan benar-benar dilibatkan secara aktif dalam penyusunan hukum perundangan yang mengatur hal ikhwal kehidupan mereka?”

Teks ini pun menggunakan kata “mengakomodasi” dan “manusiawi”.

Ketiganya memberikan makna kelanjutan dari frasa “partisipasi aktif”. Kata

“akomodasi” memberikan makna penyediaan untuk kebutuhan. Atau bisa pula dimaknai penyesuaian sosial dalam interaksi antara pribadi/kelompok manusia untuk meredakan sebuah masalah. Kata “akomodasi” sendiri setidaknya diulang hingga tiga kali, yang memberikan penekanan yang berbeda-beda. Salah satunya ditempatkan pada kalimat berikut:

“Jika kita melihat bahwa PKL sepertinya sebegitu susahnya untuk dicarikan solusi, entah mereka banyak mengajukan tuntutan atas solusi yang diajukan pemerintah, hal ini menunjukkan bahwa keputusan yang dicapai masih belum bisa mengakomodasi semua pihak.”

Kata tersebut akan dimaknai, bahwasanya pemerintah gagal memberikan sebuah solusi yang menyejahterakan seluruh pemilik kepentingan atas sebuah keputusan yang dikeluarkan. Kata ini justru menyerang pemerintah yang sejatinya memiliki kewajiban untuk mengakomodasi seluruh masyarakat. Selain kata

“akomodasi” ditemukan pula kata “manusiawi.” Kata ini sendiri diungkapkan sebanyak enam kali. Berikut penulis terakan beberapa praktik penggunaan kata ini:

150

"Selain membantu kesejahteraan sopir angkot, kebijakan transportasi yang baik akan menjadikan kota kita lebih manusiawi dan lestari."

"Namun, karena masyarakat mengumpulkan kekuatan bersama untuk mengubah hukum dan peraturan yang dirasa tidak berperikemanusiaan ini, hukum-hukum tersebut pun berubah menjadi lebih manusiawi seiring berjalannya waktu dan konsistensi perjuangan."

"...apakah kebijakan Zero Growth manusiawi jika dilakukan dalam kondisi seperti sekarang, di mana penduduk desa terus terdesak untuk berpindah ke kota?"

"Dengan kondisi seperti ini, manusiawikah menurutmu jika kita menggusur mereka seluruhnya demi ruang pejalan kaki?"

Dengan menyertakan kata “manusiawi” setidaknya ada dua kemungkinan pemaknaan yang tercipta di benak khalayak. Pertama tentang betapa tidak manusiawinya kehidupan yang berlangsung di kota-kota besar, khususnya Kota

Bandung. Sementara itu makna yang kedua adalah menempatkan kontroversi PKL ini sebagai permasalahan kemanusiaan, yang tidak hanya wajib untuk di tanggapi, melainkan setiap manusia dirasa perlu untuk terlibat dalam proses advokasinya.

Lewat aspek leksikon pun penulis melihat bagaimana penyusun berusaha memberikan opsi lain untuk memaknai akronim “PKL”. Bila selama ini akronim ini dimaknai sebagai “Pedagang Kaki Lima” yang tentunya lekat dengan ragam stigma, penyusun mencoba memberikan pemaknaan baru sebagai “Pedagang

Kreatif Lapangan”. Tentunya akronim ini disisipi citra positif seperti dalam teks berikut:

“Ada juga yang menyebutnya Pedagang Kreatif Lapangan karena PKL dianggap kreatif dalam menarik pembeli dan memberi warna khas tersendiri bagi kehidupan kota atau wilayah ia berada.”

151

Petikan di atas pun kembali dikuatkan maknanya dalam beberapa kalimat dalam pembahasan buklet. Salah satunya dalam kalimat berikut:

“Jika kita lihat dari segi apa yang diperjualbelikan juga akan kurang lebih sama ceritanya. Tidak semua orang bisa membeli donat JCo atau kapucino Starbucks. Maka kita lihat, bagaimana kreatifitas dari para PKL dalam menjajakan donat bakar dan kapucino cincau yang tidak bikin kantong kering, dan bahkan lebih enak!”

Selain dicitrakan sebagai pelaku usaha kreatif, lewat kalimat di atas, PKL juga di gambarkan sebagai penyedia pasar alternatif. Hal ini sejalan dengan fakta, tidak seluruh elemen masyarakat dapat menyamakan daya belinya. Sosok pedagang kaki lima dikonstruksi sebagai solusi dari permasalahan sistem pasar.

4. Retoris

Ada dua elemen dalam pembahasan retoris, pertama grafis dan yang kedua metafora. Pertama, elemen grafis merupakan bagian untuk memeriksa apa yang ditekankan atau ditonjolkan. Penekanan grafis ini biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat berbeda: pemakaian huruf tebal, huruf miring, pemakaian garis bawah, huruf yang dibuat dengan ukuran lebih besar dan lain-lain. Bagian- bagian yang ditonjolkan ini menekankan kepada khalayak pentingnya bagian tersebut. Elemen grafis juga mencangkup penggunaan gambar, foto, maupun tabel yang mempertegas pentingnya pesan tersebut.106 Elemen grafis cukup banyak ditemui dalam buklet yang penulis teliti.

106 Ibid. Hal: 157

152

Gambar 4.1 Laman Muka Buklet “PKL, Kontroversi Kota dan Solusi Bersama”

Di atas adalah laman muka dari buklet yang penulis teliti. Bila ditinjau dari segi grafis tentunya terdapat penekanan dalam kata “solusi” di grafis teks judul.

Penyusun seolah menekankan kata “solusi” sebagai tujuan dari dibuatnya buklet.

Sejatinya, penekanan ini terbukti lewat analisis sejumlah elemen wacana sebelumnya. Selain itu warna kuning yang penyusun gunakan dalam kata “solusi” sendiri merupakan warna dominan atau tamplates dalam keseluruhan teks. Warna kuning sendiri diyakini memberikan arti kehangatan, kebahagiaan, dan membangkitkan rasa optimis. Selain itu tinjauan psikologi terhadap warna kuning

153

menyebutkan, warna ini dapat merangsang aktivitas pikiran dan mental107.

Gerobak sebagai objek yang dianggap representatif untuk menggambarkan

PKL, subjek yang penyusun jadikan objek utama. Gambar tersebut tidak hanya dijadikan laman muka, penyusun menyajikan citra gerobak sebagai pemisah antara bab, bahkan menjadi gambar penutup dari buklet tersebut. Selain itu grafis yang menunjukkan aktivitas pedagang kaki lima pun disajikan secara teratur.

Tidak hanya disajikan sebagai pelengkap, gambar-gambar ini berusaha menegaskan keadaan objektif dari PKL, baik ia sebagai produk budaya maupun sebagai subjek yang seolah dihiraukan kesejahteraannya. Lebih jelasnya simak beberapa gambar berikut:

107

154

Gambar 4.2 Laman Belakang Buklet “PKL, Kontroversi Kota dan Solusi Bersama”

155

Gambar 4.3 Citra Gerobak Sebagai Pembatas Setiap Babnya “PKL, Kontroversi Kota dan Solusi Bersama”

156

Gambar 4.4

Citra Gerobak dalam Sketsa Setiap Bab “PKL, Kontroversi Kota dan Solusi Bersama”

157

Seperti dapat dilihat pada gambar 4.2, terdapat kalimat yang dicetak dengan huruf berbeda. Kalimat yang bertuliskan “Pergilah! Bebas-Lepaslah di alam raya, alam kata-kata, merdekalah dari alam pikiran. Jadilah sebuah perbuatan!” Tidak begitu jelas subjek yang dituju dari seruan tersebut. Namun kalimat di atas tetap terasa relevan bila ditujukan baik untuk PKL maupun bagi khalayak/pembaca. Makna yang terkandung dari seruan tersebut jelas merupakan sebuah ajakan untuk menolak didominasi. Selain itu wacana keterlibatan aktif dalam isu ini pun tertuang di kalimat akhir yang bertuliskan “Jadilah sebuah perbuatan!”

Elemen grafis kembali tertuang dalam bentuk penebalan huruf di 16 kalimat yang tersebar di empat sub-bab pertama. Penebalan-penebalan ini sejatinya terjadi pada kalimat-kalimat yang memiliki kesan persuasif dan kalimat yang berisikan wacana tandingan dari stigma yang telah dipahami masyarakat.

Untuk lebih jelasnya berikut beberapa contoh penebalan yang penyusun lakukan dalam isi teks buklet “PKL, Kontroversi Kota dan Solusi Bersama”:

"Tanpa PKL, Jalan Otista tetap macet seperti biasa!"

"...pengurangan volume kendaraan pribadi bermotor juga dapat mengurangi polusi dan emisi karbon, sehingga membantu kita melestarikan alam."

"...hukum dan peraturan perundangan bukanlah sesuatu yang mutlak."

"Setiap warga masyarakat sejatinya punya hak dan daya untuk terlibat secara aktif dalam setiap prosesnya, mulai dari penyusunan, pelaksanaan, pengawasan, hingga perubahan/revisi."

"...siapkah kamu untuk terlibat secara aktif dalam perumusan kebijakan,

158

hukum, dan peraturan perundangan tentang PKL menjadi lebih mengakomodasi, partisipatif, dan manusiawi?"

"Ini jelas berbeda dari kondisi sosial budaya masyarakat kita yang tidak mengalami revolusi industri. Karena falsafah hidup yang dekat dengan alam, jalanan kita tanah aseli! Cikar, gerobak, pedagang, dan pejalan kaki berjalan beriringan sambil bertegur sapa."

"Hayu, lah, kita negosiasikan perebutan ruang-ruang publik ini dengan lebih partisipatif."

"Karena sudah terlampau banyak contoh relokasi yang terbukti tidak menyelesaikan masalah, tetapi hanya memindahkan masalah."

"Sayangnya, kadang ada pihak-pihak tertentu yang ingin memaksakan standar keindahannya pada pihak lain."

Selain penebalan, beberapa bagian teks pun di cetak miring oleh penyusun.

Cetak miring tidak hanya dipraktikkan pada teks yang menjadi sub dari setiap babnya, melainkan pada penggalan puisi dari W. S. Rendra berjudul “Sajak

Sebatang Lisong”. Selain di cetak miring, beberapa penggalan puisi yang ditulis di Bandung, 19 Agustus 1977 ini mengalami penebalan huruf di sejumlah bagiannya. Penebalan ini dijadikan sebagai legitimator dari sejumlah argumentasi yang sebelumnya penulis bangun dalam teks “PKL Merusak Estetika Kota (?)”.

Lebih jelasnya penulis akan menyisipkan bagian-bagian puisi yang dicetak tebal oleh penyusun teks:

(Bait 9) “tetapi pertanyaanku membentur jidat penyair-penyair salon, yang bersajak tentang anggur dan rembulan, sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya”

(Bait 11) “Kita mesti keluar ke jalan raya, keluar ke desa-desa, mencatat sendiri semua gejala,

159

dan menghayati persoalan yang nyata”

(Bait 12) “Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan”

(Keterangan Puisi) “19 Agustus 1977 ITB Bandung Potret Pembangunan dalam Puisi”

Selain itu, sebagaimana yang dituliskan Eriyanto (2000) bahwasanya elemen wacana grafis pun menyoroti penggunaan angka dalam teks. Penggunaan angka memberikan sugesti kepada pembaca bahwa penyusun mempersiapkan buklet dengan ketelitian demi mendapatkan kebenaran. Semisal pada kalimat “Di

Purnawarman, buktinya PKL mengalami penurunan pendapatan minus 145%!” yang terdapat di teks “PKL Tidak Tahu Diri, Pemerintah ‘kan Sudah Susah-susah

Negosiasi (?)” Persentase tersebut dijadikan penyusun sebagai strategi dalam meyakinkan pembaca atas buruknya dampak relokasi yang dialami oleh PKL di

Jalan Purnawarman, Kota Bandung.

Selanjutnya, elemen wacana kedua dalam aspek retoris adalah metafora.

Dalam suatu wacana, seorang wartawan tidak hanya menyampaikan pesan pokok, tetapi juga memberi kiasan, ungkapan yang dimaksudkan sebagai ornamen atau bumbu suatu berita. Pemaknaan metafora menjadi petunjuk utama untuk mengerti makna sebuah teks. Metafora digunakan wartawan secara strategis sebagai landasan berpikir, alasan pembenar atau gagasan tertentu pada publik.108

108 Ibid. Hal: 158

160

Contohnya penyusun teks yang menamai PKL sebagai Pedagang Kreatif

Lapangan dalam pembuka buklet “PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama”.

Selain memberikan kesan positif, metafora tersebut menunjukkan wacana tandingan atas stigma yang selama ini digunakan dalam memaknai PKL. Metafora selanjutnya terdapat pada penyertaan puisi “Sajak Sebatang Lisong” dari W. S.

Rendra. Penulis seolah menjadikan puisi tersebut sebagai alasan pembenaran dari kontroversi menyangkut Kota Bandung dan PKL ini. Penerapan metafora yang terakhir adalah pada kalimat “Pergilah! Bebas-Lepaslah di alam raya, alam kata- kata, merdekalah dari alam pikiran. Jadilah sebuah perbuatan!” di halaman belakang buklet seperti yang telah dijabarkan dalam elemen wacana grafis di atas.

4.2.1.4 Gambaran Sederhana Analisis Teks

Setelah mengulas satu persatu struktur wacana dalam buklet “PKL, Kontroversi

Kota dan Solusi Bersama” baiknya penulis sedikit memberi gambaran sederhana lewat bantuan model. Adapun model yang penulis sematkan adalah bentuk penyederhanaan dari serangkaian analisis, dan dikawinkan dengan konsep yang telah dirumuskan Teund A. Van Dijk. Kehadiran model ini diharapkan memberikan benang merah dari rangkaian panjang analisis teks. Berikut model yang penulis maksud:

161

Gambar 4.5

Gambaran Sederhana Analisis Teks Buklet “PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama"

Teks buklet yang penulis teliti dibedah lewat ketiga struktur wacana dan seperangkat elemen gagasan Van Dijk. Analisis ditahap struktur makro, berbuah diketahuinya tema utama dalam buklet ini. Adalah pedagang kaki lima, lebih spesifiknya, mempertanyakan kembali cara pandang masyarakat luas ihwal PKL.

Sementara, pada dimensi super struktur, penulis mendapati pola-pola penulisan teks yang penyusun buklet lakukan. Pola ini memudahkan khalayak dalam menerima wacana yang dilontarkan penyusun buklet. Lebih dalam lagi, saat mengkaji analis mikro, penulis mendapatkan banyak penekanan yang memberi opsi alternatif dalam memandang PKL. Selain itu, sejumlah argumentasi pun dipaparkan dengan tujuan mematahkan stigma yang selama ini masyarakat

162

berikan kepada PKL.

Secara keseluruhan, analisis ini mendapatkan bahwa teks buklet memberikan gambaran kondisi PKL di Kota Bandung. Hampir sebagian besar pembahasan, seolah mengajak pembacanya untuk kembali mempertanyakan stigma yang selama ini dilemparkan. Contohnya pada pembahasan bab “PKL

Bikin Macet (?)” pembaca diajak berpikir ulang soal keabsahan stigma itu.

Benarkah PKL yang memperparah kemacetan di beberapa titik ruas jalan Kota

Bandung, atau ada faktor-faktor lain yang sebenarnya lebih bertanggungjawab soal kemacetan. Selanjutnya, peran penekanan dalam argumentasi yang penyusun siapkan amat mempengaruhi apakah wacana itu di terima atau tidak.

Tidak berhenti sampai membuat pembaca mempertanyakan stigma-stigma tersebut, penyusun pun memberikan serangkai argumentasi dengan tujuan mempersuasif pembaca berpartisipasi aktif ihwal permasalahan yang tengah dihadapi PKL Kota Bandung. Aksi nyata pembaca dalam menanggapi permasalahan ini menjadi tujuan yang diharapkan penyusun buklet. Hal ini diasumsikan dengan ikut berdiskusi dan melakukan pergerakan bersama dalam pencarian dari masalah PKL.

4.2.2 Kognisi Sosial Penyusun Buklet

Sama halnya dengan beberapa aspek kehidupan lainnya, wacana bukanlah hal yang tiba-tiba ada tanpa disertai makna, pendapat dan ideologi di sekitarnya. Jelas dibutuhkan sebuah penelitian saat menyoal kognisi dan strategi seseorang ketika

163

memproduksi sebuah wacana. Asumsi ini sejalan dengan pendapat Eriyanto

(2000) soal teks yang hadir dari adanya pemahaman, kesadaran dan pengetahuan tertentu atas peristiwa. Sejatinya, teks sendiri diasumsikan tanpa makna, tetapi penulislah yang memberikan pemaknaan.

Setelah penulis memaparkan analisis teks dengan berbagai elemennya di dalamnya, bukan berarti rangkaian penelitian ini usai. Sesuai pandangan Van Dijk yang menyebutkan bahwa wacana tidak hanya dibatasi pada struktur teks saja.

Penelitian wacana ini perlu di lanjut ke arah analisis kognisi sosial.

Pertanyaan utama yang diajukan Van Dijk adalah; bagaimana wartawan mendengar dan membaca peristiwa, bagaimana peristiwa tersebut dimengerti, dimaknai, dan ditampilkan dalam pikiran. Bagaimana suatu peristiwa difokuskan, diseleksi, dan disimpulkan dalam keseluruhan proses produksi berita. Menurut

Van Dijk analisis kognisi sosial memusatkan perhatian pada struktur mental, proses pemaknaan, dan mental wartawan membantu memahami fenomena sebagai bagian proses produksi berita (Eriyanto, 2000)

Pada awalnya analisis ini digunakan karena teks (sebagaimana dituliskan

Eriyanto) merupakan hasil dari kesadaran, pengetahuan dan prasangka tertentu atas sebuah kejadian atau peristiwa. Lewat analisis kognisi sosial, diharapkan dapat menjelaskan bagaimana penyusun buklet merepresentasikan hal yang ia miliki (kepercayaan atau prasangka dan pengetahuan) dan mengungkapkannya

(menytrategikan) ke dalam bentuk teks.

Sebagaimana yang telah penulis singgung sebelumnya analisis ini

164

didasari asumsi bahwa teks tidak mempunyai makna, tetapi makna itu diberikan oleh orang yang menuliskannya –kesadaran mental dan pemikiran. Maka dari itu ketika sebuah teks dirasa memiliki bias tertentu, tentu saja diakibatkan oleh kognisi si penulis tersebut. Hal ini pula berlaku bagi penyusun teks buklet “PKL,

Kontroversi Kota dan Solusi Bersama”. Lewat proses wawancara berulang (baik terekam maupun tidak) dengan Giovanni Dessy Austriningrum, (penanggung jawab urusan kemediaan dalam gerakan ini, dan salah satu penulis merangkap editor untuk buklet tersebut) penulis mencoba memetakan skema atau model dasar sudut pandang yang digunakannya dalam proses penyusunan.

Di bawah ini adalah narasi yang penulis maksudkan untuk memaparkan kognisi Giovanni dan Komune Rakapare sebagai lembaga yang diwakilinya dalam teks buklet “PKL, Kontroversi Kota dan Solusi Bersama”. Narasi yang telah penulis siapkan tersebut adalah peta dari model atau skema yang melandasi terciptanya teks. Perlu pula diketahui bahwasanya rata-rata jawaban dari penyusun teks dilandasi Long Term Memory, baik itu yang berkaitan dengan dirinya sendiri

(Episodic Memory) maupun memori yang ia dapatkan dari hasil menerjemahkan realitas (Semantic Memory).

4.2.2.1 Model atau Skema Penyusun Buklet “PKL, Kontroversi Kota dan Solusi Bersama”

Diceritakan Giovanni memandang PKL sebagai subjek yang mendapati ketidakadilan di dalam struktur sosial masyarakat urban. Padahal PKL, ia nilai memiliki posisi sentral dalam perekonomian kota bahkan negara. Lebih luas lagi,

165

Gio melihat kehadiran PKL sebagai fenomena dari urbanisasi di mana statusnya amat rentan karena keinformalannya. Dalam wawancara ia sempat menganalogikan, "Seakan infrastruktural, seperti istri ke suami. Di mana ia tidak di hargai. Apa lagi, kalau istri tentu tidak dibayar. Sedangkan PKL tentu dibayar, akan tetapi murah dan secara status sosial cenderung tidak di hargai

(keberadaannya). Padahal mereka (PKL) yang menyuplai makanan untuk pekerja.

Seperti pekerja kantoran yang waktunya sudah habis untuk bekerja," tuturnya.

Sementara itu, Gio pun menilai terjadi pengulangan kesalahan yang terus dilakukan pemerintah dalam menangani persoalan ini. Alokasi dana pemerintah untuk menertibkan PKL via jajaran Satuan Tugas dan Satuan Polisi Pamong Praja dirasa Gio keliru. Hal ini mengingat bahwa fenomena PKL baginya adalah permasalahan struktural yang tidak bisa di tebas di hilirnya saja. Sederhananya, selama lapangan pekerjaan di desa-desa terus tidak dipenuhi atau bahkan digusur karena konflik agraria, selama itu pula arus gelombang urbanisasi ke kota akan terus mengalir. Bagi yang memiliki keahlian khusus tentunya dapat menyesuaikan dengan standar tuntutan pekerjaan di perkotaan. Namun, bila subjek urbanisasi ini minim bekal pengetahuan juga keahlian, berdagang di sisi jalan menjadi salah satu opsi paling realistis untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Pemerintah Kota Bandung dirasa Gio gagal dalam mengintervensi permasalahan struktural yang tidak hanya melibatkan kawasan otoritasnya saja.

Selain itu ia pun menilai bahwa Kota Bandung tidak hanya minim fasilitas pro

PKL, Pemerintah Kota pun cenderung mendukung stigma PKL sebagai perusak

166

ruang yang telah menghegemoni sedari lama ini. Soal stigma ini pun Gio berkomentar bahwasanya pandangan ini tercipta dari wacana segelintir pihak yang mencoba membuat standar keindahan tertentu. Dalam praktiknya wacana ini diterjemahkan dengan sikap represi sehari-hari yang dilakukan negara terhadap

PKL. Sementara itu Gio pun merasa kehadiran korporasi-korporasi besar di rasa kontradiktif terhadap permasalahan ini. Di satu sisi, para karyawan, pekerja, buruh dari korporat senantiasa menggantungkan beberapa kebutuhan dasarnya kepada

PKL. Namun di sisi lain, korporat sendiri membuat beragam narasi maupun wacana yang menempatkan PKL sebagai perusak keindahan. Selain itu tidak jarang korporat yang dinilai berkongsi dengan pihak-pihak perwakilan negara dalam menunaikan wacana mereka.

Skema yang terbentuk dalam kognisi Giovanni ini didasari pengalamannya kala melihat langsung ketidakadilan negara atas PKL saat di bangku kuliah. Kedekatan mahasiswa dengan para pedagang di sekitar kampus adakalanya hal yang lumrah. Skema ini kian terbentuk saat ia berada di Komune

Rakapare, tepatnya saat melakukan riset soal PKL Kota Bandung pasca penetapan aturan zonasi. Ia menceritakan, saat proses riset itu ia dan teman-teman Komune

Rakapare mendapati perkelahian antara PKL dan Aparat Satpol PP di sekitar Jalan

Purnawarman Bandung. Hal inilah yang menjadi awal riset dan advokasi Komune

Rakapare kepada persoalan ini.

Soal Komune Rakapare sendiri, sejatinya terbentuk sebagai respons dari konflik agraria yang menimpa petani di Karawang, Jawa Barat, Juni 2014 silam.

167

Sebanyak 24 pemuda membangun organisasi yang berfokus pada penelitian dan pergerakan sosial demi menyelesaikan permasalahan akar rumpun secara konstruktif. Lewat semangat kemanusiaan yang melatari berdirinya organisasi ini, tidak heran bila sepak terjangnya telah meliputi beberapa konflik urban termasuk permasalahan PKL di Kota Bandung.

Dalam memandang dirinya, Komune Rakapare menerjemahkan sebagai sekelompok manusia yang berbagi kehidupan sehari-hari. Sesuai dengan nama yang diusung organisasi ini, Komune sebagai lambang kebersamaan dan pergerakan. Raka dalam Bahasa Sunda berarti “Kakak” atau “Pengayom” dan

Pare adalah “Padi” yang memiliki nilai filosofis, “Tumbuh tanpa suara dan kian merunduk saat makin berisi.”

Dalam Dokumen Profile Komune Rakapare, dijelaskan pula bahwasanya organisasi ini dirintis untuk menyelesaikan konflik-konflik dalam masyarakat tanpa kesan menggurui dengan tujuan tetap melestarikan kebudayaan, dan memandirikan masyarakat tersebut. Gio juga kembali memperjelas tesis dari berdirinya organisasi yang ia lakoni, “Tesisnya dari kehidupan individualisme kapitalis. Konsepnya dari Komune Paris (1871) yang banyak ditiru pada tahun

1970-an. Kurang lebih seperti gerakan bawah tanah kolektif yang membuat ketahanan hidup sehari-hari dengan sistem alternatif.”

Sejauh ini dapat diterjemahkan bahwa skema dari Komune Rakapare adalah anti tesis dari kinerja pemerintah –yang dirasa sebagian besar masyarakat

Indonesia tidak maksimal dalam mengurusi rakyatnya. Dalam kasus ini terkait

168

pengayoman terhadap jajaran pedagang kaki lima yang dirasa sebagai korban dari masalah struktural di Indonesia. Sementara buklet “PKL, Kontroversi Kota dan

Solusi Bersama” sendiri ditujukan sebagai media advokasi terhadap PKL. Namun,

Gio menegaskan bahwasanya buklet tersebut dibuat hanya sebagai pemantik dari persoalan persepsi khalayak terhadap pedagang kaki lima. Ia pun menambahkan soal riset terkait masalah ini pun masih terus disempurnakan oleh organisasinya.

4.2.2.2 Strategi Penyusun Membangun Wacana dalam Buklet “PKL, Kontroversi Kota dan Solusi Bersama”

Perlu pula kembali penulis singgung soal inti dari tahap penelitian kognisi sosial ini. Bahwasanya struktur kognisi sosial penyusun buklet amat mempengaruhi proses, bahkan hasil dari teks yang dilahirkannya. Setelah memaparkan model atau skema yang bersemayam dalam diri penyusun buklet, kewajiban penulis adalah mengaitkan skema tersebut ke dalam analisis teks yang sebelumnya telah penulis paparkan. Tujuan sederhananya semata-mata untuk mengetahui –atau lebih tepatnya mencocokkan— mengapa teks buklet memiliki kecenderungan tertentu, atau mengapa peristiwa tertentu dimaknai demikian.

Model atau skema penyusun teks yang sebelumnya telah dipaparkan memiliki fungsi untuk mengetahui: Posisi penyusun teks di dalam sebuah peristiwa, opini personal dan emosi yang dibawanya, dan terakhir untuk menggambarkan prinsip utama yang digunakannya ketika menyusun buklet tersebut. Hal ini tentunya akan dituangkan lewat analisis strategi penyusun buklet dalam memasukkan opini, perspektif dan informasi lainnya ke dalam teks.

169

Hal pertama yang Gio sampaikan ketika melakukan wawancara dengan penulis adalah "buklet ini, kami buat tidak secara ilmiah." Hal ini patut pula diberi marka, mengingat Komune Rakapare senantiasa mengklasifikasikan dirinya sebagai lembaga penelitian. Lebih lanjut Gio, mengatakan bahwa Buklet PKL

Kontroversi Kota dan Solusi Bersama adalah sebuah pilot project dari Komune

Rakapare di isu ini. Masalah ilmiah atau tidaknya, tentu berpengaruh terhadap kegiatan pencarian informasi yang dilakukan penyusun. Gio mengakui kebanyakan informasi yang ia dan timnya masukan ke dalam buklet adalah hasil dari pengalaman lapangan.

Hal yang tentunya penting untuk diketahui terlebih dahulu adalah soal tujuan dari dibuatnya buklet ini. Gio memaparkan, bahwasanya buklet ini dibuat sebagai medium alternatif untuk memandang PKL, sekaligus sebagai upaya advokasi PKL Kota Bandung khususnya jalan Purnawarman. Selain itu tujuan lainnya adalah untuk sedikit menggeser status quo dari anggapan atau stigma buruk PKL di benak khalayak. Di samping itu, ia pun mengharapkan buklet tersebut menjadi pemantik diskusi maupun penelitian soal isu ini. Hal kedua yang tentunya perlu diketahui adalah target khalayak yang disasar oleh penyusun buklet. Giovanny menyatakan kelas menengah atau working class adalah sasaran utamanya. Lebih spesifik lagi ia menyasar mereka yang sebelumnya memandang

PKL secara diskriminatif dan mereka yang tak menyadari bahwa telah terangkap dalam ideologi hegemonik.

Dalam diskusi selanjutnya, Gio mengharapkan dapat memberi diskursus

170

tandingan di benak khalayak lewat buklet yang organisasinya buat. Ia tidak muluk-muluk menargetkan perubahan signifikan atas cara pandang masyarakat kepada PKL. Ia hanya menargetkan bahwasanya khalayak kembali mempertanyakan pandangan-pandangan diskriminatifnya terhadap PKL.

Dalam menyusun Buklet PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama,

Giovanny memaparkan hal pertama yang ia dan timnya lakukan adalah membuat daftar soal stigma-stigma PKL yang berkembang di benak khalayak. Pembuatan daftar ini ia mulai dengan membuat survei kecil yang disalurkan via media sosial

Komune Rakapare. Selanjutnya ia dan timnya merangkum dan mengklasifikasi reaksi warganet yang nantinya kembali di saring lewat indikator "mitos/stigma mana yang paling banyak dikeluhkan." Proses saring-menyaring pun terus berlanjut dengan cara diskusi antar penulis. Hasil dari proses di atas adalah terbentuknya tujuh bab utama dalam Buklet “PKL Kontroversi Kota dan Solusi

Bersama.” Dengan menggunakan indikator jumlah terbanyak, bukan berarti stigma yang jumlahnya sedikit menjadi ditiadakan. Gio mengaku tetap memasukkan respons-respons yang jumlahnya sedikit ke dalam sub-sub bab di dalam buklet bila masih dianggap relevan.

Karena dalam buklet penulis menemukan minimnya jumlah kutipan PKL yang disertakan. Penulis mencoba mengklarifikasi hasil pengamatan ini. Terang

Gio, data wawancara yang ia miliki sebenarnya jumlahnya banyak. Data wawancara ini dapatkannya dari sekian banyak kesempatan bersentuhan langsung dengan PKL. Namun, ia memilih wawancara yang atensi dan jumlah interaksi

171

terbanyak. Ia pun mengemukakan bahwa rangkaian diskusi dalam menyusun buklet ini tidak hanya dilingkup internal Komune Rakapare saja. Di beberapa kesempatan, mereka sempat membuat diskusi terbuka yang didatangi berbagai kalangan mulai dari mahasiswa, kelas pekerja, hingga PKL itu sendiri. Gio menggaris bawahi, bahwa informasi di dalam buklet adalah hasil rangkuman dari rangkaian proses tersebut. Dalam sesi ini Gio dengan jelas menyatakan wacananya. Bahwasanya buklet tersebut dibuat untuk meruntuhkan stigma buruk

PKL yang sudah terlanjur diterima khalayak. Maka dari itu ia dan Komune

Rakapare menyusun argumentasi yang dirasa sepadan untuk menandingi stigma hegemonik tersebut. Soal bagaimana hal itu akhirnya di tuangkan menjadi narasi,

Gio memberikan kebebasan kepada tiap penyusun teks yang ia komandoi. Sebagai editor pun, ia memberitahukan saat proses editing ia tidak banyak melakukan penyuntingan. "Rata-rata tulisan sudah sesuai harapan. Jadi aku hanya membetulkan kesalahan redaksional. Andaikata ada penambahan pun hanya seputar detail teks semisal ukuran lebar trotoar atau hal-hal detail lain," paparnya.

Sementara itu, karena menyasar kelas menengah yang di asumsikan Gio

"Mau dikasih teori seperti apa juga, enggak bakalan ngedengerin 'kan?" Membuat ia menyusun teks buklet lewat argumentasi yang bersifat nyata dan disandingkan dengan logika-logika sederhana. Menyambung jawabannya sendiri, Gio pun berceloteh, "Tapi kebanyakan orang tidak mendengarkan logikanya. Mereka cenderung mengikuti apa yang disukainya saja?" Kalimat yang di lontarkan Gio ini, memberikan gambaran bahwasanya ia mengasumsikan kebanyakan target

172

komunikannya memiliki pandangan hedonisme, yang tumbuh dalam terpaan individualis dengan sistem kapital.

Sumber informasi yang kebanyakan digunakan dalam menyusun Buklet

“PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” berdasarkan bahan-bahan bacaan mereka dan dikawinkan dengan sejumlah arsip pengorganisasian PKL yang

Komune Rakapare miliki secara pribadi. Arsip ini tidak hanya meliputi PKL di

Jalan Purnawarman saja, setidaknya ada tiga titik PKL di Kota Bandung yang telah terdata. Sementara saat ditanyakan soal kriteria seperti apa yang menjadi patokan sebuah informasi digunakan di dalam buklet, Gio menjawab hanya menggunakan indikator relevansi sebuah informasi saja. Ia menjelaskan bahwasanya metode yang digunakan dalam menyusun buklet ini sama halnya seperti seorang jurnalis menyusun sebuah laporan. Metode jurnalistik ini direfleksikan dan dibuat sebagai reaksi dari stigma yang telah beredar sebelumnya.

Menyinggung soal metode jurnalistik yang diaku sebagai metode pembuatan buklet, penulis menanyakan soal ke-coverbothside-an teks yang dibuatnya. Jelasnya penulis mempertanyakan mengapa tidak adanya perwakilan pemerintah, baik Pemerintah Kota Bandung maupun dinas terkait yang diwawancarai dalam buklet ini. Gio menjelaskan bahwasanya ia dan Komune

Rakapare memang tidak berinteraksi dengan pihak-pihak tersebut. Selain itu pula

Gio pun mengatakan, sudut pandang dari pihak-pihak tersebut amat sering diangkat oleh media lainnya. Ia mengamini bila, buklet tersebut di sebut tidak

173

berimbang. Alasannya, ia dan teman-teman Komune Rakapare mencoba tegas, dalam hal ini memihak pada PKL. Hal ini dikarenakan relasional PKL dikalahkan dalam sistem kapital ini.

Pun Gio secara pribadi mengakui dirinya bukanlah manusia yang mempercayai negara. Maka dari itu ia amat percaya bila perubahan tidak mungkin digagas oleh alat-alat birokrat. Tentunya harus ada usaha dari luar. Hal ini berkaitan dengan wacana keterlibatan aktif dalam memantau isu ini yang setidaknya banyak sekali diulang dalam teks buklet. Gio menjelaskan hal ini demi meng-counter sistem individual juga kapital yang menghegemoni saat ini.

Menurutnya saat seseorang telah berani mengubah pikirannya di sanalah awal dari revolusi.

Dengan kognisi sosial penyusun buklet yang telah diketahui, amat tidak mengherankan bila isi teks mengalami konstruksi sedemikian rupa. Tentunya terjadi berbagai macam proses seleksi, reproduksi, penyimpulan dan transformasi lokal yang memperkuat wacana kontra hegemoni stigma dominan atas PKL ini.

Namun selain wacana tersebut penulis pun mendapati kemungkinan terdapatnya wacana lain dalam teks buklet. Salah satu yang paling kentara adalah wacana menyangkut kemandirian masyarakat lewat cara-cara koperasi dan pengorganisasian yang bersifat kolektif. Wacana ini terasa cukup masuk akal dengan dilatari keadaan sosial politik individualis dan kapital. Sebagai opsi alternatif untuk terus bertahan hidup, wacana ini cenderung memperkuat status kedudukan dari kelompok-kelompok masyarakat yang dilemahkan sistem

174

hegemonik saat ini.

4.2.2.3 Gambaran Sederhana Analisis Kognisi Sosial

Sama halnya dengan akhir analisis sebelumnya, di dalam bagian ini penulis akan memberikan gambaran sederhana dari analisis yang telah dilakukan. Model yang penulis sertakan di bawah ini merupakan bentuk penyederhanaan dari serangkaian analisis kognisi, dan dikawinkan dengan konsep Teund A. Van Dijk. Kehadiran model ini diharapkan memberikan benang merah dari paparan analisis terkait.

Berikut model yang penulis maksud:

Gambar 4.6

Gambaran Sederhana Analisis Kognisi Sosial Penyusun Buklet “PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama"

Penulis mengamini ungkapan Van Dijk ihwal wacana tidak mungkin ada tanpa sebab yang melatarinya. Maka dari itu, yang patut diperhatikan adalah soal hal-hal yang melatari penyusun memproduksi teks tersebut, baik sadar maupun tidak. Dalam penelitian ini, ada dua subjek yang menjadi titik penelitian. Pertama,

175

ialah Giovanni Dessy Austriningrum, sebagai penanggung jawab urusan kemediaan dalam gerakan ini, dan salah satu penulis merangkap editor untuk buklet “PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama”. Selain itu, tentunya Komune

Rakapare sebagai wadah dari gerakan tersebut.

Pengalaman Giovanni dalam bersosialisasi dengan pedagang kaki lima, tentunya memberikan kontribusi kepada model atau skemanya menanggapi permasalahan ini. Menjadi saksi dari ketidakadilan yang diderita PKL kala masih berstatus mahasiswa, memantik model dan skema yang ia gunakan untuk memahami persoalan PKL di Kota Bandung. Tidak hanya episodic memory yang membentuk model dan skema mental Gio hingga seperti saat ini. Adapun semantic memory, yang menjadikannya memiliki pandangan soal seluk beluk permasalahan dan subjek-subjek yang mengitarinya.

Komune Rakapare sebagai wadah yang menaungi gerakan ini pun, banyak mempengaruhi struktur mental dari para penyusun teks secara keseluruhan.

Sebuah gerakan periset yang bertesiskan dari Komune Paris (1871), tentu memberi gambaran ideologi yang organisasi ini anut. Tidak heran dalam proses wawancaranya, Gio yang mewakili Komune Rakapare mengakui bahwa ia tidak mempercayai kekuatan negara (Pemerintah Kota Bandung) dalam membenahi persoalan PKL. Selain itu, dengan misi Organizing urban revolution dan

Alternatif of urban living, semakin memperjelas model dan skema yang nantinya di terjemahkan ke dalam teks buklet.

Skema atau model –baik yang terbentuk di psikis para punggawa Komune

176

Rakapare— banyak berperan dalam menentukan representasi terhadap kehidupan bersosial. Dalam permasalahan ini, para penyusun buklet memposisikan dirinya sebagai pedagang kaki lima. Indikasi ini sebenarnya sudah terasa bahkan saat teks di baca. Alasan utama dari keberpihakan ini adalah; posisi PKL, mereka anggap tidak memiliki daya besar untuk melawan pemilik “narasi” wacana relokasi dan estetika kota.

Selain bertujuan, melakukan resistensi terhadap stigma, penyusun buklet lewat berbagai macam proses seleksi, reproduksi, penyimpulan dan transformasi lokal juga mewacanakan hal lainnya. Adalah ajakan untuk berkontribusi aktif dalam isu ini kepada khalayak yang menjadi wacana lainnya. Sebagai media advokasi, tentunya menarik simpati pembaca adalah tujuan utama. Khalayak diajak untuk melakukan aksi nyata dalam pencarian solusi perkara klise ini.

Namun, saat diklarifikasi dalam wawancara, Gio menyatakan perubahan cara pandang khalayak kepada PKL, adalah tujuan yang setidaknya diharapkan dari buklet itu.

4.2.3 Konteks Sosial Stigma PKL dan Wacana Resistensinya

Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam awal bab ini, penelitian wacana besutan Van Dijk akan diakhiri dengan analisis sosial. Bagian ini biasa disebut dengan konteks sosial. Sebagai asumsi dasar; wacana di dalam teks media, tentu merupakan wacana yang berkembang di masyarakat. Hal ini membuat perlunya analisis intertekstual untuk menggenapkan penelitian atas wacana. Poin utamanya

177

adalah mencari tahu bagaimana wacana diproduksi, reproduksi, hingga dihayati bersama dalam lingkup masyarakat. Selain itu, kata kunci lain dalam analisis dimensi sosial ini adalah "praktik kekuasaan" dan "akses untuk mempengaruhi wacana". Hal tersebut saling sambut, semisal; bagaimana sebuah kekuasaan sosial memproduksi dan atau diproduksi praktik diskursus dan dilegitimasi.

Kongkretnya, penulis yang memfokuskan penelitian pada konter wacana stigma masyarakat atas keberadaan pedagang kaki lima, mesti memaparkan terlebih dahulu kondisi objektif wacana yang berkembang saat ini. Bagaimana subjek-subjek lain di luar Komune Rakapare dan PKL memproduksi, reproduksi, hingga menghayati wacana tersebut. Tentu, bagaimana pula wacana alternatif yang ditawarkan Buklet "PKL: Kontroversi Kota dan Solusi Bersama" ini berkembang di masyarakat.

Buklet ini terbit saat digalakkannya penertiban pedagang kaki lima di empat titik Kota Bandung, kuartal pertama 2016. Adapun keempat titik ini mencangkup ruas Jalan Purnawarman, Otto Iskandardinata, Jend. Ahmad Yani

(Cicadas), dan Dayang Sumbi (Tamansari). Sebagai pihak yang memiliki kekuasaan dan akses yang lebih dominan, Pemerintah Kota Bandung dengan

Ridwan Kamil sebagai nakoda menargetkan implementasi dari sebelas program kerja ihwal PKL di massa kampanyenya. Kesebelas pokja ini adalah; (1) Sub.

Dinas Sektor Ekonomi Informal, (2) Satpol PP di Kecamatan, (3) Tim Gabungan

(Militer/Polisi), (4) Kartu PKL, (5) Forum PKL, (6) Kredit PKL, (7) Pasar-pasar

Baru 9PD Pasar, (8) Penampungan Sementara (Aset), (9) Desain Jongko/Lapak

178

PKL, (10) Spatio Temporal di Parkir-parkir Kantor, (11) Media/Brosur Kampanye

Tertib PKL. Program kerja ini pun beririsan dengan pokja-pokja lain semisal

Pokja Bandung Hijau, Pokja Kemacetan Bandung, dan Pokja Sampah Bandung.

Tentu fenomena menjamurnya PKL di ruas-ruas jalan Kota Bandung yang terkenal sempit, amat menjadi sorotan. Berbekal Peraturan Daerah no. 4 tahun

2011, Pemkot Bandung pun berinisiasi menggalakkan sistem zonasi dan denda bagi PKL dan pembelinya di zona-zona tertentu.

Sejak menjabat sebagai kepala daerah, Ridwan Kamil mengawinkan konsep kota pintar dengan citra Bandung nan rupawan. Keindahan yang dirujuk

Ridwan Kamil setidaknya banyak berhaluan modernis yang berpadu dengan nilai- nilai khas etnis sunda, selaku penduduk dominan Kota Bandung. Inovasi dan pembangunan yang terus-menerus digalakkan selama beliau memimpin Kota

Bandung, tidak hanya mendapatkan apresiasi dari warga kota kembang, melainkan khalayak luas bahkan di mata internasional. Selain itu kepiawaian beliau dalam menggemas Bandung di lini massa, berperan banyak dengan baiknya citra kota ini dimata publik. Sekali tiga uang, pemaknaan Bandung yang ditawarkan Ridwan Kamil menjadi anggapan umum yang terbangun baik di warganya sendiri maupun bukan.

Hal di atas menjadi kontradiktif dengan asumsi masyarakat umum terkait

PKL, khususnya di Kota Bandung. Wacana yang dimaknai masyarakat ihwal PKL sejatinya bukan perkara baru. Stigma ini terbangun hampir 2 abad, tepatnya sejak pemerintah kolonial mengusir para PKL karena dianggap mencemari beberapa

179

aspek kehidupan. Nilai dan norma keindahan peninggalan kolonial ini pun diinternalisasi pemerintah Indonesia pasca kemerdekaan sebagaimana yang telah penulis jabarkan dalam bab sebelumnya. Investasi yang pemerintah lakukan untuk menanggulangi persoalan PKL lebih banyak dianggarkan untuk dinas dan satuan khusus PKL. Tidak heran montase kucing-tikus adalah pemandangan yang terus berulang. Tesis bahwa PKL itu buruk dan Bandung itu indah, seolah menjadi benang merah yang kontradiktif di persepsi umum.

4.2.3.1 Representasi PKL di Benak Masyarakat

Demi menjawab rasa penasaran terkait masih atau tidak relevannya wacana usang tersebut, penulis mencoba merangkum persepsi khalayak. Lewat survei sampel acak daring, penulis mendapat sebanyak 174 responden. Walaupun hal ini tidak dibenarkan secara kaidah keilmiahan, tetapi sedikit banyak memberi gambaran terkait wacana yang berkembang di masyarakat khususnya warga Bandung dan sekitarnya. Pertanyaan-pertanyaan yang penulis tuang dalam survei ini disesuaikan dengan ke tujuh pembahasan utama dalam buklet "PKL: Kontroversi

Kota dan Solusi Bersama".

Demi menggambarkan latar dari responden yang penulis teliti, beberapa hal yang perlu diketahui terlebih dahulu adalah: 98,9% responden adalah konsumen dari pedagang kaki lima dengan intensitas belanja yang beragam.

Sebagian besar memilih PKL sebagai alternatif pasar karena faktor harga yang ditawarkan, kemudahan akses, dan kelengkapan produk yang ditawarkan PKL.

180

Berangkat dari hal tersebut, tidak mengherankan bila sebanyak 56,9% persen responden sepakat jika PKL dapat diasumsikan sebagai pelaku usaha kreatif.

Sebanyak 63,2% responden juga mengamini bila PKL adalah produk dari kebudayaan. Namun. Sebagian besar, tepatnya 57,5% responden mengaku hanya sedikit tahu tentang rangkaian agenda relokasi yang digalakkan oleh Pemkot

Bandung. Sekali tiga uang, sebagian besar dari khalayak yang penulis ambil suaranya tidak mengetahui tentang Perda Kota Bandung No. 4 Tahun 2011.

Namun hampir dari setengahnya merasa “cukup puas” atas kinerja Pemkot

Bandung. –Untuk lebih jelasnya, pembaca bisa melihat lampiran yang telah penulis siapkan terlebih dahulu.

Sebagai pertanyaan pembuka, penulis menanyakan hal yang pertama terbesit di benak responden saat mendengar frasa “Pedagang Kaki Lima”. Dari beberapa varian jawaban, sebagian besar dengan jumlah 77% suara menjawab

“Murah”. Disusul dengan kata “Jorok” 26,4%. Posisi berikutnya bertengger dua jawaban kontradiktif yang sama-sama mendapatkan suara 24,1%, hal tersebut adalah “Enak” dan “Masalah Perkotaan”. Opsi-opsi lainnya seperti “Kreatif,

Bandel, Khas, KW dan Perusahaan Kecil” tidak menjadi pilihan lebih dari 20% responden.

Dari survei ini, diketahui beberapa stigma yang tertuang dalam buklet

“Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” masih menjadi pemaknaan bersama, setidaknya bagi responden yang penulis dapatkan. Semisal, anggapan bahwa PKL merusak estetika Kota Bandung diamini oleh 73,3% responden. Sementara

181

anggapan PKL memperparah kemacetan kota disepakati 83,3% responden.

Disusul stigma “PKL merebut hak (trotoar) pejalan kaki” hanya ditampik oleh

14,4% responden.

Saat merekapitulasi hasil survei, penulis menemukan banyaknya anggapan ihwal PKL yang diasumsikan sebagai subjek pelanggar hukum. Hal ini menarik bila dikaitkan dengan jumlah jawaban responden yang mengakui ketidaktahuannya terkait Perda Kota Bandung No.4 Tahun 2011. Selain sensitif dengan kata “PKL”, indikasi khalayak memiliki anggapan kurang baik dengan produk-produk negara tercermin lewat 52,3% responden yang menyatakan peraturan tersebut masih harus ditingkatkan. Sementara 37,4% lainnya memilih tidak menjawab karena merasa tidak mengetahui soal Perda tersebut.

Survei kecil ini pun menemukan 89,1 % khalayak mengetahui kebijakan zonasi yang digalakkan Pemerintah Kota Bandung. Anggapan terkait solusi atau bukannya aturan tersebut memiliki demografi yang cukup sepadan. Sebanyak

51,7% menjawab kebijakan tersebut merupakan solusi, dan sisanya menjawab bukan. Lain halnya dengan isu relokasi. Sebanyak 55,7% responden menginginkan PKL untuk di relokasi, sementara sisanya sepakat bila PKL tetap bisa dipercantik dan diwadahi di trotoar. Padahal saat ditanyakan pilihan

“kebijakan relokasi adalah sebuah solusi yang cukup mutualis atau tidak,” lebih dari tiga per empat responden sepakat dengan opsi pertama.

182

4.2.3.2 Kekuasaan dan Akses Wacana

Bila mengacu pada temuan survei pada sub bab sebelumnya, penulis menemukan adanya ragam wacana yang saling beririsan di masyarakat dalam memaknai keberadaan PKL. Masyarakat dihadapkan pada pilihan yang cukup dilematik untuk memandang PKL. Di mana kebutuhan harian mereka banyak terpenuhi oleh peran PKL sebagai pemberi opsi pasar alternatif. Di lain sisi, masyarakat memiliki persepsi pedagang kaki lima sebagai salah satu subjek permasalahan. Anggapan ini sedikit banyak dipengaruhi –atau sebaliknya— oleh kebijakan-kebijakan

Pemerintah Kota Bandung sebagai pihak yang memiliki kekuasaan dan akses dominan. Ditambah dengan tertumpunya pengharapan warga Bandung kepada sosok Ridwan Kamil untuk mewujudkan Bandung sebagaimana yang ia wacanakan dalam masa kampanyenya dulu. Selain itu citra wali kota muda yang penuh gagasan juga solusi berbasis inovasi, turut andil dalam mempersubur persepsi tersebut.

Di sisi lain Komune Rakapare percaya bahwa permasalahan PKL dampak dari fenomena urbanisasi. Hal ini menjadikan Pemerintah Kota Bandung tidak memiliki cangkupan yang cukup luas untuk menangani hal tersebut. Namun, posisi Pemkot Bandung tetap dianggap vital untuk mengintervensi kebijakan atau merekomendasikan solusi kepada negara –dalam hal ini pemerintah pusat.

Mengutip Liauw, Gasper (2015: 21-22) Kemunculan sektor informal di perkotaan tidak lepas dari strategi pembangunan ekonomi yang diinisiasi suatu negara.

Percepatan industrialisasi memberi jarak keseimbangan struktural ekonomi antara

183

desa dan kota. Sementara itu akumulasi kapital yang berpusat di perkotaan membuat laju pertumbuhan kawasan ini begitu cepat. Hal ini tentu menjadi kail yang menarik minat para pendatang. Namun akan menjadi ironi bila, sedikit mengutip Gilbert dan Guler (1996) yang mengatakan semakin modern dan kosmopolitnya suatu kota, semakin banyak pula kantung kemiskinan di dalamnya. Sejatinya hal ini tidak hanya relevan untuk menggambarkan Kota

Bandung, melainkan juga kota-kota di hampir semua negara berkembang.

Sedikit mengutip buah pikir Indrawan, Rully (2015) bahwasanya di dalam negara berkembang peran vital pemerintah dalam menggerakkan roda perekonomian menjadi hal lumrah. Namun, intervensi berlebih yang acapkali dilakukan melahirkan distorsi pada perputaran ekonomi. Fenomena lemahnya moralitas dalam tubuh birokrasi malah melahirkan permasalahan baru seperti halnya korupsi. Rully juga merekomendasikan peran pendorong efisiensi lewat regulasi dan legalisasi dengan merangkul pelaku-pelaku ekonomi kepada pemerintah dalam menyikapi isu ini. Namun, apa yang terjadi saat ini menjadi ironi, bila mengingat data lapangan yang penulis dapatkan menggambarkan PKL merasa tidak dilibatkan untuk melahirkan regulasi yang seharunya memayungi mereka. Andaikan terlibat pun, seperti yang di-claim Komune Rakapare, bahwa mereka merasa tidak paham soal proses pembentukan hukum, sehingga tidak terbidani sebuah regulasi yang saling menguntungkan.

Paparan di atas hanya menjabarkan irisan wacana antara PKL dan

Pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Asumsi penulis, masyarakat tidak hanya

184

mereproduksi wacana dari pemerintah, melainkan juga diterpa wacana-wacana pihak kapital yang dikemas lewat corong masa lainnya. Seperti gambaran kota yang ideal dari para pengembang-pengembang properti. PKL dalam wacana ini tidak termasuk sebagai subjek yang dirasa cocok untuk menggambarkan keindahan kota. Selain itu wacana media massa pun sering kali kecele dalam memberitakan PKL. Alih-alih ingin membangkitkan simpati khalayak ketika PKL diintimidasi, mayoritas media malah mengintimidasi balik PKL lewat frame yang mereka pilih untuk ditampilkan ke publik. Hal ini pun sedikit banyak memperkokoh stigma masyarakat.

4.2.3.3 Gambaran Sederhana Analisis Konteks Sosial

Tentunya penulis tidak melupakan bagian ini. Agar pembahasan konteks sosial di atas mudah dimaknai pembaca, tentunya penulis membutuhkan bantuan model sebagaimana dua bab sebelumnya. Model yang penulis sertakan di bawah ini merupakan bentuk penyederhanaan dari serangkaian analisis konteks sosial, dan dikawinkan dengan konsep Teund A. Van Dijk. Kehadiran model ini diharapkan memberikan benang merah dari paparan analisis terkait. Berikut model yang penulis maksud:

185

Gambar 4.7

Gambaran Sederhana Analisis Konteks Sosial Wacana PKL dalam Masyarakat

Sebagaimana telah penulis sampaikan, stigma yang diderita pedagang kaki lima dalam lingkup masyarakat adalah perkara klasik. Tinjauan para sejarawan, menyebutkan hal ini mulai ada sedari era kolonial di Indonesia. Tindakan diskriminatif pemerintah Hindia Belanda kepada PKL memicu runtutan perkara lainnya. Pasca Indonesia mengumumkan kemerdekaan, tidak membuat hal ini ikut terusir bersama hengkangnya para penjajah. Lima tahun selepas Indonesia mereka, Dewan Perwakilan Kota Sementara (DPKS) Jakarta di tahun 1950an menyatakan; PKL sebagai salah satu biang keladi dari konflik penduduk dan ketidakteraturan kota. Pola ini menyebar dan diaplikasikan oleh pemerintah kota lainnya di bumi pertiwi. PKL seolah menjadi kambing hitam dari seluruh

186

permasalahan kota.

Lebih dari satu abad, nyatanya stigma ini tidak banyak berubah. Dalam kasus ini, pemerintah menjadi salah satu subjek yang bertanggung jawab atas lestarinya stigma tersebut. Bentuk investasi pemberdayaan PKL yang digagas negara cenderung ke arah merepresi keberadaan mereka. Di sisi lain, kehadiran pihak-pihak korporasi kapital khususnya pengembang swasta memperkuat akar stigma di benak masyarakat. Kedua subjek ini menurut analisis penulis memiliki akses yang kuat kepada corong-corong wacana. Di beberapa kesempatan, tidak jarang keduanya melakukan investasi di dalam bisnis media. Hal ini tentunya memperbesar kesempatannya untuk mempengaruhi kesadaran khalayak.

Dalam kasus ini, pemerintah Kota Bandung dengan wacana estetika kotanya bertanggung jawab soal glorifikasi keindahan kota kembang. Walau wacana ini memang sudah ada sejak lama, tetapi dengan terpilihnya Ridwan

Kamil sebagai wali kota, menambah besar peluang masyarakat mengamini wacana tersebut. Latar belakang beliau sebagai arsitek yang penuh prestasi dan karakter membumi, berkontribusi besar dalam dominasi pandangan "hyper romantisme" akan Kota Bandung. Sayangnya sudut pandang estetik yang dominan ini tidak memasukkan PKL sebagai daftar ceklist-nya. Deretan gerobak dengan lukisan khas, ditambah warna-warni kain terpal, tidak termasuk dalam standar keindahan yang diamini Kota Bandung. Ditambah, PKL pun adalah subjek yang tentunya tidak memiliki kuasa dan akses untuk memberikan

187

argumentasi dalam mendiskusikan stigma yang mereka emban.

Namun secara mengejutkan, wacana yang dilontarkan buklet "PKL,

Kontroversi Kota dan Solusi Bersama" cukup mampu berkembang di dalam dominasi stigma. Pelemahan kepercayaan kepada produk-produk negara yang di alami masif di Indonesia, menambah peluang diterima wacana tandingan ini.

Lewat hasil survei yang penulis lakukan, setidaknya tergambar kebingungan masyarakat dalam memahami permasalahan. Di satu sisi sebagian merasa terganggu dengan keberadaan PKL, di sisi lain PKL dirasa banyak membantu memutar roda perekonomian.

4.2.4 Gambaran Keseluruhan Penelitian Pedagang Kaki Lima 180o dalam “PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama”

Sub bab ini ada karena ketiga dimensi analisis yang telah penulis paparkan mesti digabungkan dalam satu pembahasan. Lagi-lagi bantuan model, adalah opsi yang penulis pilih untuk memudahkan pemaparan ini. Karena sejatinya analisis ini saling sambung, ketiga model yang telah penulis sematkan sebelumnya kali ini akan penulis masukkan kembali. Tentunya dalam format yang saling berkaitan dan menguatkan, hingga mencapai tujuan akhir penelitian ini. Berikut model yang penulis maksud;

188

Gambar 4.8

Gambaran Keseluruhan Penelitian Pedagang Kaki Lima 180o dalam “PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama”

Penulis mendapatkan ketiga model109 yang sebelumnya telah tersematkan, memiliki keterkaitan satu sama lain. Terkait gambar 4.8 di atas, merupakan pola yang penulis dapati dalam serangkaian analisis sebelumnya. Secara sederhana, wacana resistensi ini lahir dari keambiguan masyarakat dalam memersepsikan pedagang kaki lima. Sedikit banyak stigma yang terbentuk, menjadikan khalayak lupa akan kontribusi PKL pada roda perekonomian dan unsur kehidupan lainnya.

109 Lihat hal 162, 174 dan 183.

189

Di samping itu, persepsi PKL sebagai patologi dalam sebuah kota, seakan-akan menjadi perhatian khusus bagi para pemangku kekuasaan. Negara memang melegitimasi segala agenda terkait penataan PKL. Sayang dalam praktiknya, agenda penataan ini sering dibarengi dengan tindakan represif yang bertolak belakang dari solusi yang hendak di capai.

Adalah stigma khalayak kepada PKL dan tindakan represif negara yang memantik dari lahirnya buklet ini. Ditambah usaha –baik disengaja maupun tidak— pelestarian stigma oleh pihak-pihak berkuasa dan memiliki akses dominan memantik antitesis dari Komune Rakapare. Kesadaran akan terjadinya keganjilan dalam pola pikir khalayak ihwal PKL dari para penyusun, tertumpuk dan terbentuk lewat beragam pengalaman dan kehidupan bermasyarakat mereka.

Selain itu, peran literatur dan masukan informasi yang di konsumsi pun memperkuat model dan skema yang digunakan dalam memandang permasalahan ini.

Hal-hal abstrak dalam memori dan struktur mental penyusun ini, kemudian diterjemahkan lewat serangkaian strategi penyusunan teks. Di dalamnya tentu disajikan beragam perspektif yang mereka percayai sebagai sudut pandang terbaik dalam membingkai PKL. Wacana resistensi kepada stigma usang ini tentu tak bisa ditampik. Lewat serangkaian analisis teks dan wawancara yang penulis lakukan, keberpihakan Komune Rakapare terhadap PKL adalah hal yang tak bisa dielakkan. Alasan yang dilayangkan pun cukup kongkret dan sejalan dengan ideologi yang mereka anut; karena PKL memiliki banyak keterbatasan untuk

190

melepaskan dirinya dari stigma. Perlu bantuan dari para intelektual organik untuk menaungi dan mengorganisasikan PKL hingga mampu berdikari.

Hal-hal dalam struktur mental ini disajikan lewat tujuh bab yang terdapat dalam buklet. Seluruh pembahasan tersebut tidak hanya memberikan gambaran kehidupan PKL dalam bingkai yang lebih dekat dibanding media arus utama.

Lebih dari itu, pembahasan setiap babnya seolah mengajak pembaca untuk berpikir ulang hingga kembali mempertanyakan keabsahan dari stigma yang selama ini dilayangkan. Permasalahan PKL di asumsikan sebagai persoalan bersama, hal ini pada akhirnya mengajak khalayak untuk berperan aktif dalam pencarian solusi.

Adapun buklet “PKL, Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” ini memberi kontribusi besar dalam langkah awal penyelesaian masalah. Tentunya hal ini dengan berbagai catatan yang harus ditunaikan terlebih dahulu. Mulai dari masalah teknis kemediaan, hingga langkah kelanjutan saat masyarakat sudah mempertanyakan keabsahan stigma lama ini. Perlunya melakukan upaya edukatif terhadap PKL dan khalayak tentu amat membantu berkembangnya wacana yang diharapkan. Mengingat kontribusi PKL yang amat besar, tentu bukan tindakan yang bijak bila hanya memandang lewat satu sudut pandang. Partisipasi aktif dari berbagai elemen masyarakat tentu memudahkan tercapainya sebuah konsep penataan pedagang kaki lima yang solutive.

191

BAB V

PENUTUP

“Tak ada lagi kebaruan, semua kata pernah dikalimatkan. Pilih sisanya di udara, ucapkan lagi di mulutmu. Tak ada yang baru di bawah matahari.”

(FSTVLST-Manifesto Posmodernisme)

5.1 Simpulan

Penulis percaya betul dengan political statement kelompok musik asal Yogyakarta di atas. Maka dari itu, sebelum pembaca kepalang berharap hal baru dari penelitian ini, izinkan penulis memohon maaf. Simpulan ini penulis akui belum – bahkan mustahil— mencapai kata sempurna sebagaimana yang harapkan. Namun, semoga karya ilmiah ini dapat memberi sedikit kontribusi kepada masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan soal wacana resistensi

Komune Rakapare dalam buklet “PKL, Kontroversi Kota dan Solusi Bersama” terhadap stigma PKL, maka penulis menarik kesimpulan mengenai adanya hal tersebut. Mengenai bagaimana resistensi dilatari hingga dilancarkan, penulis akan merangkumnya lewat tiga sub bab di bawah, sesuai dengan jumlah pertanyaan penelitian yang sebelumnya penulis tuangkan. Adapun ketiga poin di bawah akan kembali dijadikan satu pada akhir pembahasan. Hal ini agar dapat menjawab keseluruhan fokus penelitian, mengingat ketiga pertanyaan penelitian yang penulis buat saling sambung. Adapun berikut pemaparannya;

192

5.1.1 Simpulan Wacana Resistensi dalam Teks Buklet

Secara keseluruhan dimensi teks dalam buklet “PKL, Kontroversi Kota dan Solusi

Bersama” adalah sebuah refleksi ketidakadilan kita (khalayak) dalam memandang keberadaan pedagang kaki lima di hiruk pikuk kehidupan urban. Hal ini menjadi kesimpulan yang paling sederhana setelah pembaca menghabisi tujuh bab di dalam buklet tersebut. Wacana resistensi terhadap stigma khalayak dalam memandang PKL ini selanjutnya disusun dengan lumayan apik di dalam ketiga struktur teks.

Membantah dan mengkritisi stigma-stigma populer dari pedagang kaki lima, Komune Rakapare jadikan sebagai koherensi global dalam buklet ini.

Ketujuh sub bab dalam pembahasan buklet mencoba mengajak pembacanya untuk kembali mempertanyakan keabsahan dari stigma yang biasa dilayangkan. Opsi alternatif dalam memandang PKL, setidaknya menjadi wacana yang ditujukan untuk menggeser kedigdayaan stigma. Tidak hanya menyerang khalayak sebagai pemberi stigma, sejumlah sub-tema pun menyinggung wacana penggusuran dan relokasi yang ramai digagas negara dalam menyikapi permasalahan pedagang kaki lima.

Ketujuh bab yang di dalam buklet, bila ditinjau dari superstrukturnya memiliki pola yang tidak jauh berbeda antara satu dan lainnya. Dibuka dengan pernyataan yang seolah-olah menyetujui stigma, diputar balikan lewat argumentasi dari data lapangan dan informasi yang relevan dan di tutup ajakan bergerak bersama. Pemaparan induktif bergaya sebab akibat dan prinsip relevansi

193

menjadi modal penyusun dalam berargumentasi di pemaparan setiap babnya.

Permasalahan di dalam teks dibahas secara lewat khusus dan sambung demi mencapai kesimpulan umum yang nantinya akan ditarik pembaca.

Sementara itu, kajian pada struktur mikro, tepatnya elemen semantik, wacana teks memberikan latar permasalahan soal stigma yang dirasa tidak sesuai sepenuhnya. Secara mendetail penyusun teks memaparkan argumentasi dari ketujuh stigma populer yang senantiasa khalayak lontarkan kepada pedagang kaki lima. Penekanan diberikan di beberapa bagian yang memang dirasa krusial oleh penyusun, semisal saat menyinggung sepak terjang negara (Pemerintah Kota

Bandung) dalam menyelesaikan hal ini. Sementara seruan untuk berkontribusi aktif dalam pencarian isu ini jelas di tekankan secara eksplisit dalam beberapa kesempatan. Adapun bentuk kalimat, pilihan kata dan kata ganti yang digunakan dalam pembahasan buklet, penulis dapati menguatkan wacana yang dibangun oleh penyusun. Sejumlah penekanan grafis diberikan baik lewat penebalan teks, italic, hingga sketsa-sketsa seputar kehidupan pedagang kaki lima pun berkontribusi besar dalam melancarkannya pemahaman yang hendak dibangun.

5.1.2 Simpulan Analisis Kognisi Sosial Penyusun Buklet

Buklet ini di susun oleh satu divisi dari sebuah agenda advokasi yang digagas

Komune Rakapare. Maka dari itu, setidaknya ada dua poin yang saling ikat dalam pembahasan ini. Pertama, Kognisi dari jajaran penyusun yang diwakili Giovanni

Dessy Austriningrum, sebagai penanggung jawab bagian kemediaan, merangkap

194

editor untuk pengerjaan buklet. Selanjutnya adalah Komune Rakapare, sebagai wadah yang menaungi media ini.

Sempat menyaksikan penggusuran pedagang kaki lima sewaktu masih berkuliah, sedikit banyak membentuk model dan skema dari Giovanni Dessy

Austriningrum memahami persoalan ini. Baginya, persoalan ini adalah buah simalakama dari masalah struktural yang panjang dan tak berkesudahan. Tidak meratanya lapangan pekerjaan, berbuah penumpukan manusia di kota-kota besar.

Stigma peninggalan kolonial yang di internalisasi pemerintah soal PKL, juga menghasilkan pola penyelesaian masalah non solutive.

Sementara itu, pertemuan dengan Komune Rakapare, tentu membentuk pemahamannya terhadap subjek-subjek yang terlibat dalam persoalan ini.

Pemerintah dirasa Gio bukan instansi yang dapat di percaya untuk menyelesaikan permasalahan. Sementara khalayak, ia rasa sedang dalam keadaan terhegemoni dari pemilik wacana utama soal PKL. Satu-satunya solusi adalah membantu

Pedagang Kaki Lima dapat berdikari.

Komune Rakapare sendiri memang memfokuskan sendiri pada persoalan akar rumput di kawasan urban. Diakui Gio, organisasinya bertesiskan Komune

Paris, sebuah gerakan Anarkisme yang sukses mendepak Pemerintahan Prancis di

Kota Paris, Tahun 1871. Untuk memahami, organisasi ini, Gio memberikan tiga kata kunci utama yang dapat menggambarkan dari gerakannya; Art, Research, dan

Cooperative. Dalam sekali kesempatan para personilnya tidak sengaja mendapati keributan antara Petugas Satuan Polisi Pamong Praja dengan PKL di Jalan

195

Purnawarman, Kota Bandung, semasa digalakkannya program relokasi. Hal ini mendorong mereka membentuk sebuah agenda advokasi bagi para PKL.

Hal-hal di atas amat jelas menggambarkan posisi para penyusun dan model yang mereka gunakan dalam menuliskan teks buklet. Keberpihakan kepada

PKL adalah fakta yang tidak bisa ditampik. Alasan utamanya sangat masuk akal.

Mengingat walaupun PKL bukan subjek yang asing dalam pemberitaan media, akan tetapi tidak berarti PKL memiliki akses dan kekuatan untuk berargumentasi melawan narasi utama soal dirinya. Hal ini dikarenakan sudah tertanamnya stigma di benak khalayak.

Lewat buklet inilah para penyusun mencoba mengajak pembacanya mempertanyakan keabsahan dari stigma yang mereka percayai soal PKL.

Beragam argumentasi, informasi dan data diramu sedemikian rupa menggunakan asas relevansi, mengacu pada skema yang dibentuk pengalaman dan pengetahuan para penyusunnya. Permasalahan PKL ini dikemas sedemikian rupa agar dapat dipahami sebagai permasalahan yang bersifat makro. Di mana setiap warga negara dianjurkan untuk mampu (dan mau) pro aktif dalam pencarian solusi dari permasalahan di sekitarnya.

5.1.3 Simpulan Tinjauan Konteks Sosial

Buklet ini terbit setelah terjadi beberapa kali bentrokan antara aparatur negara dengan pedagang kaki lima khususnya di kawasan Purnawarman Bandung, triwulan awal 2016. Sebagai media pengiring dari rangkaian advokasi, jelas tujuan

196

utamanya adalah menarik simpati khalayak terhadap persoalan ini. Relokasi yang dianggap sebagai solusi, nyatanya bila tidak direncanakan dengan matang, malah membuahkan kerugian bagi para pedagang. Menariknya, tidak hanya wacana relokasi yang jadi pembahasan. Buklet ini justru menyerang pemahaman kita dalam memandang PKL.

Stigma yang dilekatkan kepada PKL, sebagaimana yang telah penulis sampaikan sebelumnya, merupakan cara pandang yang diinternalisasi dari era kolonial. Mengganggu ketertiban umum, anggapan ini yang kemudian meluas hingga ke berbagai masalah lainnya. Jumlahnya yang kian bertambah, tidak dipandang secara makro, malah didefinisikan sebagai ancaman keindahan kota.

Kenaifan khalayak memandang PKL tentu tidak datang dengan sendirinya.

Selain faktor pendidikan, stigma ini berkembang karena memang dipelihara hingga dipercayai, bahkan oleh para PKL sendiri. Pemerintah, korporasi besar, hingga media arus utama –khususnya televisi— punya andil besar dalam menjaga langgengnya stigma tersebut.

Di Kota Bandung, sosok Ridwan Kamil tentu memiliki kekuatan dan akses dalam menentukan arah wacana. Keindahan kota yang kerap menjadi irisan dari kinerja Wali Kota Bandung ini, tentu bertolak belakang dengan pemahaman awam soal PKL. Dengan kata lain, pedagang kaki lima tidak termasuk standar indah versi khalayak Kota Bandung. Hal ini hasil dari memandang PKL sebagai objek, bukan subjek yang sebenarnya memiliki andil besar menggerakkan roda perekonomian dan budaya bangsa.

197

Lewat buklet ini, khalayak menemui kebingungan antara fakta sumbangsih

PKL terhadap kehidupan mereka dengan stigma yang sudah lama dijadikan pegangan. Sebagian di antaranya menaruh simpati saat memandang PKL sebagai subjek buah dari bobroknya sistem struktural di Indonesia. Namun, tetap merasa terganggu lewat kaca mata standarisasi kenyamanan kota.

Kota Bandung, sebenarnya tidak menutup mata terhadap dualisme sudut pandang itu. Sejumlah kebijakan yang bernuansa solutive pun digagas. Relokasi ke kawasan khusus semisal, Tamansari Food Fest dan Skywalk Cihampelas jadi andalan. Namun, dalam praktiknya masih saja terdapat ketidakadilan dari oknum- oknum tertentu. Relokasi ini pun tidak menyelesaikan keseluruhan masalah.

Pedagang Kaki Lima tidak terbebas dari kewajiban membayar retribusi bodong baik ke oknum aparat maupun preman. Mereka juga tidak terlindungi dari sejumlah ancaman lainnya.

***

Konklusi dari tiga tahap tinjauan analisis ini berbuah pada diketahui jawaban dari fokus penelitian yang penulis sematkan dalam Bab I. Resistensi yang dilakukan Komune Rakapare terhadap Stigma khalayak dalam memandang PKL di lakukan dengan mengangkat permasalahan ke level makro. Di mana khalayak dituntun untuk kembali mempertanyakan anggapan-anggapannya selama ini.

Khalayak pula di ajak memandang PKL sebagai subjek yang berperan besar pada kehidupan negara hingga keseharian setiap individu di dalamnya. Permasalahan ini diangkat dan disugestikan sebagai persoalan bersama. Nantinya solusi yang

198

akan dijalani pun harus di capai lewat kontribusi aktif sejumlah lapisan masyarakat. Pencarian solusi ini pula yang masih terus disempurnakan Komune

Rakapare dengan bantuan lini masyarakat yang memang menaruh kepedulian pada isu ini.

5.2 Saran

Walau tersadar akan banyaknya kekurangan dalam karya ilmiah ini, tetap saja kewajiban penulis memberikan saran tak boleh untuk dikosongkan. Tanpa bermaksud menggurui segala subjek yang nantinya akan disinggung, penulis menyematkan dua kategori saran. Adalah saran secara teoretis yang nanti banyak menyinggung kontribusi dunia keilmiahan dan saran praktis terkait praktisi- praktisi yang berekosistem dalam permasalahan ini. Berikut sedikit masukan yang penulis harap dapat diterima bersama;

5.2.1 Saran Teoretis

Selalu ada peran intelektual dalam sebuah perubahan sosial. Serumit apa pun dinamika sosial dewasa ini, tetap saja mampu dijawab lewat serangkai kajian yang manusia lakukan dalam kehidupannya. Di sinilah peran vital dari Universitas dalam berkontribusi kepada masyarakat. Jangan sampai menelurkan karya ilmiah yang nantinya teronggok kaku dalam lemari besi. Universitas sejatinya bertanggung jawab terhadap pemecahan masalah hingga berperan aktif memajukan kehidupan masyarakat. Hampir dalam beragam perspektif ideologi apa pun, meyakini peran sentral institusi pendidikan adalah vital. Penulis pula

199

meyakini Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung, khususnya

Bidang Kajian Ilmu Jurnalistik mengamini hal yang sama.

Walaupun negara menjamin pendidikan dapat dikenyam seluruh warganya, tetap saja tidak membuat setiap individunya memiliki kesempatan yang sama. Lewat gerakan kolektif yang digagas para intelektuallah satu-satunya jalan agar pengetahuan yang terkesan eksklusif, dapat terdistribusi kepada masyarakat.

Dalam permasalahan ini, pemahaman PKL untuk berorganisasi dan mengakses wacana, tentunya dapat diperoleh lewat bantuan para intelek. Mahasiswa, dosen, guru besar dan civitas lainya tentu merupakan agen-agen yang mampu berkontribusi aktif menyelesaikan permasalahan mereka tanpa adanya asosiasi politik, sebagaimana bila di koordinir Lembaga Swadaya Masyarakat maupun

Partai Politik.

Lewat metode critical pedagogy yang aplikasikan dalam rangka membentuk iklim keorganisasian di lingkup masyarakat, diharapkan mampu membangun mimpi Habermas terkait masyarakat partisipatoris. Tidak hanya PKL saja yang nantinya dapat menentukan aturan main dari payung hukum yang menaungi mereka, namun setiap peran dalam tatanan masyarakat mampu melakukan hal yang sama. Tentunya hal ini amat membutuhkan peran serta

Universitas, baik dalam menelurkan para intelektual organik, hingga menyusun materi perkuliahan yang memancing kesadaran ini di benak para pelajarnya.

Khusus untuk Fakultas Ilmu Komunikasi di mana penulis berkuliah, penulis rasa sedikit melupakan kajian-kajian kritis terkait komunikasi dan

200

masyarakat hari ini. Banyak isu-isu sosial yang tidak dikaji secara mendalam lewat perspektif komunikasi selama masa perkuliahan. Bahkan penulis pun amat menyayangkan, bahwa selama berkuliah proses pembelajaran hanya berkutat diktat dan modul, tanpa adanya praktik nyata di masyarakat. Hal ini amat menyayangkan, bila mengingat output sarjana yang ditetaskan hanya siap untuk bekerja tanpa adanya kesiapan bermasyarakat. Atau dalam istilah lainnya, membiarkan lulusan sarjana hanya menjadi perangkat kapital yang bermental borjuis kecil. Tentu hal ini sama-sama kita sayangkan.

5.2.2 Saran Praktis

Didominasi dan mendominasi, penulis rasa akan senantiasa ada secara alamiah.

Hakikat manusia untuk dipengaruhi dan mempengaruhi sesama adalah mutlak.

Namun, ketika hal ini dibangun dengan tindakan represif yang dilegitimasi kekuasaan, tentu tak satu dari kita akan menganggapnya wajar.

Dominasi negara atas warga negaranya dewasa ini memang tidak bisa ditampik lagi. Kita menyepakatinya lewat segala aspek, seperti melakukan transaksi dengan mata uang rupiah, membayar pajak, mengurus perizinan hingga memiliki Kartu Tanda Penduduk pun adalah bentuk legitimasi kita terhadap dominasi negara. Dalam kasus ini, negara tentu memiliki hak untuk mengusir pedagang kaki lima dari trotoar –mengingat bahu jalan tersebut merupakan milik negara. Merelokasi pun secara sepintas terdengar lebih manusia dibanding dengan mengusir. Namun, menjadi amat tidak bijak bila opsi solusi ini tidak di

201

rencanakan secara matang. Niat hati menanggulangi masalah, apa mau dikata bila kemudian datang petaka.

Penulis menyepakati bahwa tidak ada jiwa pemimpin yang ingin rakyatnya menderita. Namun dalam sistem negara penuh birokrasi layaknya Indonesia, tentu ada saja oknum yang menyelewengkan kekuasaannya. Pola investasi penuntasan

PKL lewat bantuan polisi pamong praja sudah sepantasnya ditinggalkan. Pasalnya bukan malah menyelesaikan masalah, malah banyak kasus lainnya yang berdatangan. Lagi pula kalimat “penuntasan masalah PKL” sudah harus di ganti dengan “pengorganisasian atau pemberdayaan PKL” mengingat banyaknya kontribusi yang pedagang kaki lima berikan baik dalam lingkup ekonomi maupun sosial.

Bila saat ini negara memiliki perhatian kepada sektor ekonomi kreatif, mengapa tidak dengan para pekerja sektor informal. Pembentukan serikat, hingga dewan yang melahirkan etika, etiket hingga payung hukum tentu amat berdampak baik bagi kepentingan bersama. Selain akan memudahkan dalam urusan pemberdayaan PKL, serikat pun akan menguatkan akses mereka untuk lebih di dengar suaranya. Selain itu, lewat cara ini pula PKL dimungkinkan memiliki keterjaminan modal, lapak, program promosi, sosialisasi kebijakan terbaru, hingga konsumen. Tentunya hal ini harus terlepas dari individu bermental birokrat yang dikhawatirkan mengulang kesalahan yang sama. Organisasi ini akan lebih baik berjalan secara kolektif di antara sesama PKL, yang pada awalnya mendapatkan banyak mentoring baik dari para akademisi maupun praktisi terkait.

202

Tidak hanya Komune Rakapare yang seharusnya menjaga konsistensi mengawal persoalan ini. Sejumlah elemen masyarakat sewajibnya melakukan upaya nyata merealisasikan mimpi-mimpi tersebut. Hal yang amat indah tentunya bila bisa tetap mengonsumsi barang dan jasa dengan harga terjangkau dan dikoordinir secara baik.

203

DAFTAR PUSTAKA

Antaranews.com. Februari 2012. “Media Sosial dan Kemenangan Obama” http://www.antaranews.com/print/342440/media-sosial-dan-kemenangan- obama. Tanggal akses 30 Januari 2016.

Arifin, Anwar. 2014. Politik Pencitraan, Pencitraan Politik. Yogyakarta. Graha Ilmu.

Asiyah, Udji. 2012. “Pedagang Kaki Lima Membandel di Jawa Timur”, dalam Jurnal Masyarakat dan Kebudayaan Politik Vol 25, No. 1, 2012 (hal. 47- 55).

Ayobandung.com. 14 Juli 2015. “Mengkhawatirkan, Jumlah PKL Bandung Melebihi Pedagang Formal” http://ayobandung.com/read/20150714/59/786/mengkhawatirkan-jumlah- pkl-bandung-melebihi-pedagang-formal. Tanggal akses 13 Januari 2016.

Bakti, Andi Faisal, dkk. 2012. Literasi Politik dan Konsolidasi Demokrasi. Jakarta: Churia Press.

Detik.com. 16 April 2016 “Wah Pedagang Purnawarman Menolak Direlokasi, Ingin Tetap Jualan di Trotoar” http://news.detik.com/berita-jawa- barat/3189573/wah-pedagang-purnawarman-menolak-direlokasi-ingin- tetap-jualan-di-trotoar. Tanggal akses 31 Desember 2016.

Eriyanto. 2000. Analisis Wacana: Pengantar Pengenalan Untuk Analisis Teks Media. Jakarta.

Hanggoro, Hendaru Tri. Dalam Historia.id. 29 Maret 2013. “Mula Pedagang Kaki Lima” http://historia.id/kota/mula-pedagang-kaki-lima. Tanggal akses 12 Januari 2016.

Hasbiansyah, O, dan Oji Kurniadi. 2016. Buku Panduan Penulisan Usulan Penelitian dan Skripsi. Bandung: Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung.

Ibrahim, Idi Subandy, Bachruddin A. Akhmad. 2014. Komunikasi dan Komodifikasi: Mengkaji Media dan Budaya dalam Dinamika Globalisasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Industri.Bisnis.com. 5 Mei 2013. “UKM: Jumlah Pedagang Kaki Lima Diperkirakan Capai 22 Juta Orang” http://industri.bisnis.com/read/20130505/87/12417/ukm-jumlah-pedagang- kaki-lima-diperkirakan-capai-22-juta-orang. Tanggal akses 13 Januari 2016.

204

Inspirasihumas.blogspot.co.id. Februari 2011. “Kunci Kemenangan Obama pada Pemilihan Presiden AS 2008” http://inspirasihumas.blogspot.co.id/2011/02/kunci-kemenangan-obama- pada-pemilihan.html. Tanggal akses 30 Januari 2016.

Liauw, Gasper. 2015. Administrasi Pembangunan: Studi Kajian PKL. Bandung: PT. Refika Aditama.

Maryani, Eni. 2011. Media dan Perubahan Sosial: Suara Perlawanan Melalui Radio Komunitas. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Moleong, Lexy J. 2007, Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Metrotvnews.com. 31 Mei 2016. “PKL Terbanyak di Jawa Barat Ada di Kota Bandung” http://jabar.metrotvnews.com/peristiwa/VNx9ZyBb-pkl- terbanyak-di-jawa-barat-ada-di-kota-bandung. Tanggal akses 15 Januari 2016.

------. 27 Januari 2016. “Jumlah PKL di Bandung Meningkat 10 Persen” http://jabar.metrotvnews.com/read/2016/01/27/475757/jumlah-pkl- di-bandung-meningkat-10-persen. Tanggal akses 4 Januari 2016.

Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Patria, Nezar, Andi Arief. 2015. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Peraturan Daerah Kota Bandung No. 4 Tahun 2011 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima.

Permananingsih, Desi Siti. 2014 “Pemberitaan Penertiban Pedagang Kaki Lima: Studi Kualitatif mengenai Isu Penertiban PKL di Harian Umum Pikiran Rakyat dan Tribun Jabar Edisi November-Desember 2013 dengan Model Framing Robert N. Entman.” Bandung Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung.

Pikiran-rakyat.com. 21 Maret 2016 “Ratusan PKL Demo Menolak Relokasi” http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2016/03/21/364589/ratusan- pkl-demo-menolak-relokasi. Tanggal akses 13 Januari 2016.

------. 15 April 2016. “PKL Purnawarman Tuntut Bisa Kembali Berjualan di Trotoar” http://www.pikiran-rakyat.com/bandung- raya/2016/04/15/pkl-purnawarman-tuntut-bisa-kembali-berjualan-di-trotoar- 366810. Tanggal akses 4 Januari 2016.

205

Prasetyo. Bobby Agung. 2015. “Distori Nada Dalam Catatan Minor: Analisis Wacana Kritis Van Dijk Mengenai Resistentsi Disorder Zine sebagai Media Alternatif Terhadap Kultur Musik Pop Indonesia.” Bandung: Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung.

Pusey, Michael. 2011. Habermas: Dasar dan Konteks Pemikirannya. Yogyakarta: Resist Book.

Putri, Sukma Ari Ragil. 2015. Marginalisasi Queer Indentities Di Media Sosial: Analisis Wacana Kritis Cyberbullying Komentar di Akun Instagram Dena Rachman dan Tata Liem. Semarang: Magister Ilmu Komunikasi Univeritas Diponogoro.

Rakhmat, Jalaluddin. 2011. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Rilis.rakapare.org. 12 April 2016 “Surat Pernyataan PKL Purnawarman: Relokasi Bukan Solusi!” http://rilis.rakapare.org/surat-pernyataan-pkl-purnawarman- relokasi-bukan-solusi/. Tanggal akses 31 Desember 2016.

------. 14 April 2016 “Vox Populi, Vox Dei-Suara Rakyatlah Suara Tuhan!” http://rilis.rakapare.org/vox-populi-vox-dei-suara-rakyatlah-suara- tuhan/. Tanggal akses 31 Desember 2016.

------. 21 April 2016 “Kabar Terkini Purnawarman: Mempertanyakan Keadilan Hukum & Aturan” http://rilis.rakapare.org/kabar-terkini-purnawarman-mempertanyakan- keadilan-hukum-aturan/ Tanggal akses 31 Desember 2016.

Santana, Septiawan. 2007. Menulis Ilmiah, Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Sobur, Alex. 2009. Analisis Teks Media, Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika, dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Tempo.co. 15 Februari 2016. “Pemkot Bandung Segera Relokasi PKL di Empat Lokasi” https://m.tempo.co/read/news/2016/02/15/058745081/pemkot- bandung-segera-relokasi-pkl-di-empat-lokasi. Tanggal akses 17 Januari 2016.

------. 12 April 2016. “Kenapa Orang-orang Ini Kesal dan Merasa Ditipu Ridwan Kamil” https://nasional.tempo.co/read/news/2016/04/12/058762030/kenapa-orang- orang-ini-kesal-dan-merasa-ditipu-ridwan-kamil. Tanggal akses 13 Januari

206

2016.

Wicaksono, Kristian Widya, Tutik Rachmawati. 2015. “Implementasi Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima” Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan.

207

LAMPIRAN

Lampiran Buklet PKL Kontroversi Kota dan Solusi Bersama

208

209

210

211

212

213

214

215

Lampiran Wawancara

Giovanni Dessy Austriningrum (Perwakilan Penyusun Buklet: PKL, Kontroversi Kota, Solusi Bersama) Jumat, 7 Juli 2017 Sekretariat Komune Rakapare (Jl. Tikukur No.17, Sadang Serang, Coblong, Kota Bandung, Jawa Barat 40133)

Apa itu Komune Rakapare itu? (00.00) Kata kuncinya sih Art, Research, Cooperative. Komune itu kan artinya kumpulan orang yang mau menciptakan kehidupan alternatif. Tesisnya sendiri dari kehidupan individualis kapitalisme. Konsepnya sendi dari Komune Paris (1871) di mana mereka membuat governance sendiri, yang akhirnya banyak diadopsi pada tahun 70’an. Kurang lebih seperti gerakan bawah tanah yang yang kolektif membuat ketahanan hidup sehari-hari dengan sistem alternatif.

Seiring berjalannya waktu, misi kita sendiri sudah tidak seheroik dulu. Lewat proses pendewasaan misi kita lebih karah Organizing Urban Revolution dan Alternatif of Urban Living. “Urban” di sini tidak hanya artinya kota tapi di mana pun ada struktur agraria yang dibuat kapitalisme. Secara geo-politik sendiri kita menganggap bahwa kawasan urban adalah jantungnya neoliberal. Salah satu kajian kita adalah soal bentuk urban resistance lewat hal-hal vernacular.

Mengapa Komune Rakapare tertarik untuk mengadvokasi permasalahan PKL di Kota Bandung? (03.12) Saya pribadi, waktu di kampus itu ya dekat dengan para PKL, setelah melihat langsung mereka diperlakukan tidak adil seperti digusur. Kita yang polos ya akhirnya ngebantu mereka. Setelah kita banyak belajar kita jadi tahu kalau PKL itu salah satu komponen di sistem urban, bahkan salah satu yang penting.

Kalau kita teliti enggak banyak, atau enggak ada orang yang cita-citanya ingin menjadi PKL. Kebanyakan dari mereka orang-orang yang digusur dari lahan pertaniannya di desa, enggak punya lahan, akhirnya enggak punya pilihan lain untuk merantau ke kota untuk mengadu nasib.

Untuk PKL Purnawarman sendiri awal mulanya saat kebetulan kita lewat, ada Satpol PP yang bertengkar dengan PKL. Ya kita turun untuk ngebantuin.

Waktu geger-gegernya PKL (pasca pengesahan aturan zonasi) kita lebih banyak penelitian di PKL Otista (Pasar Baru). Sekedar wawancara untuk produk-produk jurnalistik.

216

Metode atau cara seperti apa yang digunakan Komune Rakapare dalam pergerakannya untuk isu ini? (5.29) Untuk Permasalahan PKL sendiri kita mengorganisir lewat tiga platform yaitu Art, Reserch dan Co-Operative. Karena kita enggak punya advokat, soal pendampingannya sendiri lewat organizing yang berlandaskan riset. Lewat riset itu juga (kedepannya) kita coba untuk membuat perserikatan untuk para PKL itu sendiri dan program street vendor untuk funding. (Lebih jelasnya ada di dalam proposal PKL)

Sudah berjalan sejauh apa? Karena basic-nya masih kasus, saat ini kita masih disibukkan dengan pendampingan PKL menghadapi kasus itu. Saat ini pun kita masih harus melatih PKL untuk membiasakan bermusyawarah dan berdemokrasi dalam menghadapi sebuah masalah. Semenjak PKL Purnawarman harus meninggalkan tempat relokasi karena akan dibangun, kita pun membentuk dewan untuk PKL Purnawarman. Dari yang asalnya hanya satu orang yang mengambil keputusan, sekarang sudah ada lima.

Kendala apa saja yang di hadapi Komune Rakapare dalam program ini? Ada juga kendala dari internal kita sendiri, seperti sumber biaya dan daya. Apa lagi dana, makanya kita bikin beberapa unit koperasi supaya tidak bergantung dengan donor. Karena donor biasanya enggak mau juga ngebiayain yang radikal- radikal.

Kalau dari PKL-nya sendiri, ya permasalahannya sama saja seperti mengorganisasikan “kita”. Karena mereka punya kebutuhan hidup dan organisasi itu adalah wacana yang sangat asing buat orang-orang di perkotaan. PKL juga beragam. Kayak kita berorganisasi saja. Ada yang aktif ada yang pasif. Ada juga oknum-oknum partai atau ormas yang bermain di dalam sana.

Tujuan dari dibuatnya Buklet PKL, Kontroversi Kota dan Solusi Berasama? (10.31) Kalau ditanya soal tujuannya itu ya, sebenarnya untuk advokasi PKL Purnawarman. Jadi kita ingin memberitahu publik soal mitos-mitos PKL selama ini dan mendekonstruksi/ memecahkannya. Tapi buklet itu bukan hasil sebuah penelitian yang terstruktur, disiplin dan sistematis. Memang hanya sebuah buklet kayak zine gitu, Cuma untuk memantik sebuah pertanyaan dan harus disambut dengan diskusi maupun penelitian.

217

Apa saja medium penyebarannya? Dalam format online dan fisiknya yang kita bagikan saat aksi.

Bagaimana pembagian tugas dalam proses pembuatan buklet tersebut? Pembagian buklet ini jadi satu pembagian kerja sama aksi. Semenjak merespons isu ini, kita sudah bagi-bagi tugas, semisal korlap, periset dan lainnya. Nah buklet ini sendiri adalah produk dari bagian media. Di dalam divisi media juga tidak hanya membuat buklet ini saja. Ada pula teman-teman yang fokus di sosial media, membuat poster dan lainnya. Dan untuk buklet ini sendiri yang bikinnya ada aku, Farid sama Novi untuk tulisannya. Sedangkan visual dikerjakan relawan yang sifatnya terbuka.

Berapa lama durasi pengerjaan buklet? Kita ngerjain selama seminggu. Sebenarnya kita sudah riset lapangan sebelumnya jadi proses pengerjaan media sendiri tergolong cepat. Kalau ditotal dengan riset itu sekitar satu bulan.

Segmentasi pembaca seperti apa yang diharapkan? Sebenarnya untuk kelas menengah. Nah dalam artian orang-orang yang selama ini memandang PKL secara diskriminatif. Orang-orang yang mengikuti ideologi hegemonik.

Kesan/pemahaman apa yang ingin dicapai setelah pembaca mengonsumsi buklet tersebut? Ya kepinginnya, ia jadi mempertanyakan kembali. Kita tidak menargetkan sampai ia mengerti. Hanya sampai mempertanyakan, memangnya PKL itu seperti apa. Bila selama ini PKL dipandang dengan diskursus seperti ini, setidaknya sekarang ada counter diskursus. Walaupun cangkupannya sangat kecil dan mungkin tidak berarti.

Kalau goals besarnya tuh, kita ‘kan sebenarnya ingin mengakses naskah akademik yang menjadi landasan kebijakan PKL di Kota Bandung. Sampai hari ini kita belum dapat padahal sudah tiga kali ke DPR. Sampai ada yang bilang kalau naskah akademiknya belum ada dan sebagainya. Tapi enggak mungkin ‘kan? Biar kita bisa tahu landasannya seperti apa. Itu Ian hasil penelitian, biar kita counter lewat penelitian.

218

Keterbatasan lainnya ada di kita yang masih eventual sementara kalau mau benar- benar nge-organize tuh harusnya kan daily. Karena sumber daya kita terbatas hasilnya pun tersendat-sendat.

Sajauh mana wacana yang Anda lempar ini di terima khalayak? Kita, saya belum pernah melakukan pengukuran soal hal itu ya. Namun, dari lingkaran terdekat, ya akhirnya di Bandung ada yang bersedia untuk mengurusi PKL. Mereka yang punya ketertarikan di isu-isu urban. Di samping itu kita pun tidak hanya membahas soal PKL, tapi seluruh perangkat informal, seperti kampung kota dan PKL.

Bagaimana pandangan Anda terhadap fenomena PKL di daerah urban, khususnya Kota Bandung? Kalau untuk di Kota Bandung, aku melihatnya sebagai fenomena urbanisasi. Selain itu, mereka adalah kelas pekerja informal yang rentan. Mereka juga tidak terbiasa berorganisasi dan berserikat. Secara lebih pribadi, karena aku konsentrasi di kajian feminisme dan gender, aku melihat PKL itu kayak jadi infrastruktural, seperti istri ke suami. Di mana ia tidak di hargai. Apa lagi kalau istri tentu tidak dibayar ya. Kalau PKL tentu dibayar, tapi murah dan secara status sosial cenderung tidak di hargai (keberadaannya). Padahal mereka (PKL) yang suplai makanan untuk pekerja. Seperti pekerja kantoran yang waktunya sudah habis untuk bekerja. Nah PKL, loundry itu kan pekerjaan feminis. Kurang lebih bias gender di dalam rumah tangga itu telah didestrukturalisasi di dalam kehidupan urban ini. Dari analisis kelas, jelas mereka tidak dihargai keberadaannya. Sedangkan dari analisis ruang, ya karena itu tadi, ruang-ruang berdagang kan di kooperasikan oleh perusahaan kapital besar. Sebagai mana yang kita tahu PKL itu sebenarnya di perbolehkan loh tapi di ruang-ruang tersembunyi bukan di tengah- tengah kota. Di Kota Bandung sendiri PKL di larang di tujuh titik, tapi kita tidak tahu alasannya. Dan tidak ada argumentasi yang jelas.

Bagaimana pandangan Anda terhadap Pemerintah Kota Bandung dalam menanggapi persoalan PKL ini? Aku melihat ada pengelolaan yang salah oleh pemerintah. Dengan menggunakan logika pemerintah, dia malah menginvestasikan uangnya untuk membayar Satpol PP yang notabene tidak menyelesaikan masalah. Dengan logika itu, ya akan terus berdatangan lagi ‘kan? Sementara bila di desa-desa sawah masih pada digusur, arus urbanisasi ke kota akan terus ada. Sejatinya mereka tidak kepingin untuk datang ke kota, tapi ya karena terpaksa mau bagaimana lagi. Permasalahan ini tidak hanya bagi Pemkot Bandung, tapi permasalahan struktural. Tapi ya mereka

219

(Pemkot Bandung) punya kapasitas untuk mengintervensi kebijakan ini. Sudah banyak kok contohnya seperti di India, di mana PKL-nya diorganisir dan diberikan ruang-ruang dan difasilitasi. Sementara di Bandung, aku lihat PKL tidak di fasilitasi. Malah mereka di stigmakan sebagai perusak ruang. Menjadi ironi bila melihat statistiknya karena PKL akan terus ada, walau sudah digusur-gusur dari tahun 1960-an sampai sekarang. Pengelolaan yang salah ini terus diulang, seperti tidak belajar dari kesalahan. Jelasnya mereka melihat PKL sebagai masalah, bukan sebagai solusi. Mereka pun tidak dilibatkan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.

Pemkot tidak bisa dibilang pasif, mereka aktif, tapi dalam tindakan yang salah. Daripada menginvestasikan dana untuk membayar Satpol PP lebih baik membuat kegiatan sosial yang memfasilitasi PKL. Ketimbang membuat ruang khusus untuk alasan keindahan yang budget-nya lebih mahal, lebih baik untuk menyediakan ruangan di trotoar. Ya memang ideologinya sudah bermasalah, logikanya pun bermasalah.

Apakah pemerintah (khususnya Kota Bandung) pernah mengundang untuk bertukar pendapat soal permasalahan ini? Tidak. Waktu isu ini sedang hangat kita sendiri yang mendesak audiensi dengan Walikota. Selain itu dari Kementerian Agraria, namun sayang belum ada tindak lanjut.

Bagaimana pandangan Anda soal stigma khalayak terhadap PKL? Ini berkaitan dengan penguasa narasinya siapa? Negara, korporasi. Mereka yang mencuci otak khalayak lewat iklan dengan parameter tertentu. Di lain pihak negara terus-menerus merepresi PKL.

Bagaimana pandangan Anda terhadap sejumlah korporasi setempat dalam menanggapi persoalan PKL ini? Kalau perusahaan di isu ini bersifat kontradiktif. Padahal buruh-buruhnya sendiri bisa bertahan karena PKL. Sebagaimana yang kita tahu gajih buruh-buruh ini ’kan kecil. Mana kuat mereka untuk berbelanja di restoran atau tempat-tempat lainnya. Buruh-buruh kelas menengah pun sebagian besar berbelanja di PKL-PKL juga. Di sisi lain mereka (korporasi) sangat bergantung dengan lini proletariat ini. Namun, di sisi lain mereka (korporat) membuat narasi yang memandang kelas ini kumuh, kotor dan lain sebagainya. Dalam kasus ini pengelola BEC sendiri mengusahakan PKL keluar dari tempat relokasi (pemerintah Kota Bandung memberikan lahan relokasi yang bertempat di tempat parkir milik pengelola BEC).

220

Metode seperti apa yang Anda gunakan dalam mendapatkan informasi saat menyusun buklet ini? Kita buat list tentang mitos-mitos PKL. Kita kan nge-post beberapa pertanyaan di media sosialnya Rakapare. Dan kita rangkum respons netizen. Selanjutnya kita pilih hal-hal yang paling banyak keluar.

Karena buklet ini enggak kita buat secara ilmiah, kebanyakan informasi kita kelola dari pengalaman lapangan. Karena ini kelas menengah, mau dikasih teori seperti apa juga enggak bakalan ngederin ‘kan? Jadi kita kasih argumentasi yang sifatnya kenyataan/ logika-logika sederhana. Tapi kebanyakan orang tidak mengikuti logikanya, cenderung mengikuti apa yang mereka sukai ketimbang logikanya.

Sumber informasi seperti apa yang digunakan dalam menyusun buklet? Mayoritas dari logika sederhana, tambahannya dari bacaan-bacaan kita. Kita pun memasukkan sumber-sumber dari Perda.

Adakah kriteria tertentu dalam menentukan dipakai/tidak digunakannya informasi tersebut? Tentunya dengan relevansi. Kurang lebih kita menggunakan metode jurnalistik yang direfleksikan kembali dan dibuat dalam rangka merespons jawaban orang- orang (stigma khalayak tentang PKL).

Sumber lainnya? Sebenarnya kita ada arsip pengorganisiran PKL –belakangan diketahui Komune Rakapare memiliki arsip pengorganisiran PKL setidaknya untuk tiga titik PKL di Kota Bandung: Purnawarman, Ganeca dan Dayang Sumbi. Mungkin buklet ini intinya adalah abstraksi dari apa yang kita baca dan alami. Kurang lebih ya buklet ini pure media alternatif, jadi kita pakai relevansi aja untuk memilih informasinya.

Dari sekian banyak keluhan/pernyataan soal PKL, mengapa memilih tujuh keluhan/pernyataan soal PKL tersebut menjadi sub-sub bab dalam buklet? Kurang lebih lewat diskusi antar penulis. Selain itu kita coba untuk menggabungkan beberapa keluhan/pernyataan yang hampir serupa. Kita juga coba menjawab poin-poin lain di dalam tujuh sub bab itu.

221

Ada berapa banyak PKL yang diwawancarai? Sebenarnya kita wawancaranya sebanyak kita berinteraksi sama PKL Dayang Sumbi, Ganeca dan Purnawarman. Ada juga dari Ottista.

Dari sekian banyak wawancara tersebut, mengapa hanya memasukan 3-4 kutipan di dalam buklet? Kita pilih yang paling banyak berinteraksi dengan kita.

Dari manakah informasi soal keluhan-keluhan yang dilontarkan khalayak itu berasal? Dari diskusi dengan beberapa teman yang kita buat dalam rangka menanggapi isu PKL itu. Pengunjungnya kurang lebih sekitar 40an terdiri dari mahasiswa dan PKL. Kita juga pilih yang sesuai dengan argumen-argumen kita sebagai penyokong di dalam teks?

Adakah proses penyaringan pada keluhan-keluhan tersebut? Sebenarnya kita tuh ingin meruntuhkan mitos ini. Maka dari itu kita menyusun argumentasinya. Kita memilih argumentasi yang mengonter mitos-mitos ini. Dan proses penyaringan itu dibebaskan kepada setiap penulisnya.

Selama proses editing ada penambahan informasi? Rata-rata tulisannya sudah sesuai harapan. Jadi aku hanya membetulkan saltik dan lain-lain.

Dalam menciptakan payung hukum untuk PKL, seharusnya bagaimana sebaiknya masyarakat, PKL, korporasi swasta, dan pemerintah bertindak? Sebenarnya baiknya yang membuat payung hukum itu ya PKL sendiri. Tapi hal itu bisa terwujud kalau PKL-nya sendiri sudah demokratis, setidaknya sudah memiliki koperasi dan organisasi. Kalau secara sosio politik mereka sendiri tidak kuat, ya mana mungkin bisa menembus oligarki di lingkup urban ini ‘kan?

Jadi permasalahannya ada di diri PKL-nya sendiri? Bukan. Permasalahannya struktur yang kita hidupi sekarang ini tidak memihak PKL. Dan orang-orang yang mau membantu/mengorganisir mereka

222

adalah orang-orang yang seperti kita, yang notabene rentan dan tidak memiliki sumber daya. Oleh sebab itu selagi memungkinkan setidaknya kita melawan.

Itu ‘kan untuk jajaran PKL. Kalau untuk jajaran pemerintah dan pihak swasta seperti apa? Kebetulan aku bukan orang yang percaya dengan negara. Tapi selagi bisa kita mengusahakan untuk menyusupi orang-orang dinas itu agar tetap sesuai dengan hal-hal yang kita perjuangkan. Mereka ‘kan hanya alat birokrat/teknokrat, kalau kita mengharapkan perubahan dari mereka ya mana mungkin berhasil. Tetap saja kita yang harus bekerja. Apalagi dari perusahaan, biasanya pasti ada maunya.

Konsep “berbagi trotoar” seperti apa yang Anda maksud sebagaimana di dalam isi buklet? Idealnya PKL juga harus dapat tempat ya. Tapi dengan konteks agraria seperti hari ini, di mana didominasi oleh gedung-gedung. PKL itu tidak direlokasi ke tempat yang bagus loh. Tapi malah ke tempat yang jelek, tidak strategis. Ironinya trotoar sendiri masih cukup namun tidak dibagikan kepada PKL-nya. Sebenarnya relokasi sendiri tidak akan jadi permasalahan kalau di pindahkan ke tempat yang bagus, kelihatan (layak, strategis). Tapi relokasi hari ini sifatnya politis, mereka cenderung memindahkan ke tempat yang tidak menguntungkan untuk PKL-nya.

Tapi, terkadang ada beberapa trotoar yang habis oleh lapak PKL. Jadi idealnya konsep “berbagai trotoar” seperti apa yang harusnya kita pahami? Yang perlu digaris bawahi di sini kita jangan menganggap PKL malaikat juga ya. Mereka pun banyak juga yang brengsek. Maka dari itu mereka pun perlu diajarkan bahwa trotoar itu bukan ruang mereka sendiri. Mereka tetap harus berbagi dengan pejalan kaki juga dengan pedagang lainnya.

Pedagang aksesoris (di Purnawarman) mereka juga pintar berpolitik. Mereka menyuruh PKL kuliner untuk di relokasi sementara mereka mengambil ruang yang besar-besar untuk berdagang. Lalu mereka seolah memberikan ruang kepada pejalan kaki, padahal mereka pun mengeliminasi pedagang lainnya.

Nah sebenarnya yang kita perlukan adalah peran-peran fasilitator untuk PKL. Di mana peran ini bisa memfasilitasi mereka untuk bermusyawarah, berdemokrasi. Itu yang seharusnya. Tapi aku tidak mengharuskan pemerintah karena aku goblok juga kalau mengharapkan mereka. Tapi lebih kepada mereka yang mau bergerak untuk melakukan itu.

223

PKL sendiri sebenarnya mau berbagi ruang dengan pengguna trotoar lainnya. Hanya di dalam persepakatan ini pun terjadi beberapa konflik horizontal di dalam tubuh PKL-nya itu sendiri, seperti perebutan lahan. Sementara konflik vertikal terjadi seperti, ada yang preman, atau mereka yang sudah turun-temurun di sana, otomatis kuasanya lebih besar. Di beberapa tempat masih ada yang korupsi uang organisasi, premanisme. Padahal preman-preman tersebut sudah mengiyakan untuk jadi keamanan dan mendapatkan gaji dari organisasi.

Memangnya, saat ini ada berapa tempat yang di koordinir oleh Rakapare? Tiga, Ganeca (Gapura Ganeca), Dayang Sumbi (Saraka) dan Purnawarman (Pusaka). Di Ganeca Kita membantu mereka membuatkan organisasi (serikat) di tiap daerahnya, kita buatkan kaos, mekanisme dan lainnya. Tapi yang menjalankan tetap PKL-nya, kita hanya memfasilitasi mereka, seperti tempat rapat dll. Rencana terakhir harus ada orang yang bisa jadi sekjennya. Karena yang mengepalai mereka ya harus dari mereka sendiri. Kita hanya membantu mereka.

Kondisi hari ini untuk Dayang Sumbi sudah kita fasilitasi organisasinya. Waktu beberapa kali aksi ada juga ormas yang mendatangi mereka. Setelah berjalan, ormas ini malah membagikan lapak ke anggota ormasnya. Dan akhirnya chaos. Akhirnya kita memutuskan di Dayang Sumbi untuk comunity branding PKL.

Kalau di Purnawarman sendiri. Barusan kita baru buat yang namanya Pusaka (organisasi/serikat untuk PKL Purnawarman) itu. Nah kalau sudah adem-ayem seperti sekarang malah jadi melempem. Sama halnya dengan mahasiswa di organisasi, awalnya semangat, tapi waktu manajemen hariannya ya orang-orang itu lagi aja kan. Seperti beberapa waktu ke belakang, saat kita mencoba bikin kelas-kelas khusus untuk mereka, akhirnya yang datang ya orang-orang itu lagi aja dan terus berkurang.

Sebaiknya, cara seperti apa yang diambil pemerintah dalam upaya relokasi maupun penertiban? Kalau menurut aku ya tetap saja PKL-nya sendiri yang bisa menetapkan. Tapi bila kita berharap kepada pemerintah, mungkin akan lebih baik jika bertindak sebagai fasilitator, dan PKL yang menentukan. ‘Kan pemerintah sudah memungut pajak semua orang, termasuk PKL. Namun karena mereka (PKL) sifatnya informal, bahkan di peta perencanaannya pun mereka tidak ada. Maka dari itu alangkah baiknya bila pemerintah memposisikan diri sebagai fasilitator yang nantinya akan bersifat partisipatoris terhadap pengelolan PKL ini. Sejatinya kita tidak memilih mereka (Pemerintah), tapi kok malah ngatur-ngatur. Harusnya kita yang bisa menyetir pemerintah untuk merealisasikan tujuan kita.

224

Jadi apakah dalam membenahi kontroversi PKL ini membutuhkan peran dari pihak ke tiga? Sebenarnya, dalam kasus ini ada relasi kuasa yang timpang. Antara pemerintah yang kuasanya begitu besar dan absolut dengan PKL yang secara relasi kuasa tertindas. Akhirnya masuk banyak kepentingan-kepentingan lainnya seperti Ormas, bila mereka yang kamu maksud dengan pihak ke tiga dalam persoalan ini, mereka tentu punya kepentingan, kehidupannya pun sering kali dari PKL. Aku pun tidak membedakan lini-lini di dalam masyarakat karena kita pun pasti saling berjejaring sesuai kepentingan sendiri-sendiri. Seperti Komune Raka Pare yang basic-nya sebagai periset, art, organizer, kita tidak mungkin juga tahu detail kepentingan PKL itu apa.

Taruhlah kontroversi ini seperti halnya tindak korupsi yang dibuatkan suatu komisi khusus, Apakah membuat sebuah lembaga independen seperti itu Anda rasa perlu? Dibanding menggunakan cara reformasi birokratis seperti itu, kalau aku sih lebih setuju dengan mereka (PKL) independen. Seperti membuat koperasi bersama seluruh rantai produksi lainnya, dan hal itu diorganisir secara mandiri dan independen. Kalau sudah seperti itu ya tidak usah lagi mengharapkan pemerintah lagi. PKL pun sudah punya pasar yang tetap, dan tanpa pemerintah pun sebenarnya mereka sudah bisa menjamin kehidupan mereka sendiri, sebagaimana zaman dulu.

Sebagaimana yang dituliskan dalam buklet, Anda menyinggung soal salah ITB yang mendesak Pemkot Bandung untuk merelokasi PKL Ganeca dan Dayang Sumbi. Dari manakah informasi itu berasal dan mengapa informasi itu dituliskan? Itu sumber informasi bawah tanah dari PKL setempat yang kenal dengan K3-nya ITB. Kita ketahui ada kasus penyuapan kepada Satpol PP yang dilakukan pihak ITB.

K3-nya ini memberikan informasi kepada PKL bahwa pihak ITB telah memberikan dana penjamin ke Satpol PP untuk menertibkan mereka. Dan hal itu telah menjadi praktik biasa dalam kehidupan mereka.

Mengapa Anda menyisipkan referensi soal esensi keindahan yang dicetuskan Oesman Efendi ke dalam isi buklet? Selain karena teman kami sedang studi menyoal Pak Oesman Efendi, kutipan ini masuk karena sikap kesenimanan beliau, bahwa seharusnya seni itu tidak lepas

225

dari realitas. Dalam ideologi seni, sebagaimana yang kita tahu ada seni untuk seni dan seni untuk rakyat. Di Kota Bandung ini kebanyakan menggunakan estetika modernis, seni untuk seni, bahwa seni dipandang berdiri sendiri tanpa ada hubungannya dengan gejolak masyarakat. Sedangkan di sini kita setuju dengan Pak Oesman Efendi soal seni/estetika ini menyelesaikan permasalahan masyarakat. Sinergi permasalahan kehidupan, kurang lebih.

Pihak-pihak mana yang Anda maksud dalam kata “pihak-pihak yang sering kali memaksakan standar keindahan? Seperti pemerintah dan korporasi lewat media dan tindakan penggusuran. Di sini tentu ada mekanismenya di mana nilai-nilai itu di internalisasi oleh masyarakat.

Mengapa Anda menyertakan Sajak Sebatang Lisong dari W. S. Rendra ke dalam salah satu sub bab? Selain karena pembuatan sajak ini di Kota Bandung. Karena berbicara estetika bisa amat panjang lebar, dan karena target kita adalah masyarakat kelas menengah ya sudah kita menyampaikannya (pesan ihwal PKL) lewat sastra. Mungkin lebih bisa menyentuh target kita. Sebagaimana kita tahu higtlight-nya Rendra ‘kan soal kontradiksi- kontradiksi perkotaan. Dan kita merasa hal ini amat relevan, padahal sajak ini ditulis di tahun 1977. Seakan tidak ada yang belajar dari sejarah.

Mengapa Anda mengulang/menekankan anjuran untuk terlibat secara aktif dalam pencarian solusi masalah ini? Soalnya ‘kan yang dikontrol oleh Kapital dan antek-anteknya itu otak kita, manusianya. Kita membuat buklet ini untuk direfleksikan. Kalau satu orang sudah berubah pola pikirnya, walaupun ia menemui kontradiksi dengan pemikirannya, menurutku saat ia sudah mengubah pola pikirnya itu sudah bentuk revolusi. Karena dari sana tindakan mu akan berubah.

Mengapa membidik kelas menengah sebagai target khalayak? Karena kelas menengah ini memiliki jumlah yang besar. Karena mereka pun sebenarnya kelas pekerja yang diburuhkan secara tidak adil oleh kapital-kapital ini. Hanya karena narasi Orba antara karyawan dan buruh saja yang membuatnya berbeda, padahal ya buruh-buruh juga. Mereka ini yang ingin kita pantik pemahamannya, dan mereka juga yang ingin kita ajak beraliansi sesama kelas pekerja. Karena kita sama-sama kelas tertindas seharusnya kita bersatu. Kalau kelas bawah, mereka malah lebih kuat dibanding kelas menengah, karena tahu

226

realitas dan ketertindasannya pun lebih besar. Tanpa mengajarkan untuk melawan pun mereka sudah mengerti. Tapi masih ada juga kelas bawah yang punya pola pikir borjuis kecil.

Bagaimana dengan kelas atas? Sepertinya enggak. Karena mereka memiliki status quo dan enggak mau melepaskannya begitu saja. Kalau kita berbicara kepada mereka ya seperti ngomong sama tembok dan buang-buang waktu saja.

Seberapa urgent/pentingnya isu ini untuk khalayak? Tentu urgent sekali. Sudah nyata PKL digusur-gusur itu karena kita diam saja dan mendukung narasi tersebut. Selain itu PKL pun terbukti sebagai elemen yang menopang kehidupan kita selama ini, seperti halnya kebutuhan konsumsi kamu. Dan saat mereka digusur mengapa kita tidak bersolidaritas? Aku pun tidak mempermasalahkan kalau misalnya kamu tidak memperdulikan nasib mereka, tapi setidaknya jangan nyinyir-nyinyirin mereka dengan mengunggah foto mereka seperti hal yang cacat. Kalau kamu tidak bersimpati karena tenagamu sudah terhisap jam kantor ya sudah enggak apa-apa, tapi saat kamu nyinyirin mereka berarti ada yang salah dengan logikamu.

Bagaimana Anda memandang gerakan serupa yang digagas beberapa organisasi maupun LSM lainnya? Beberapa organisasi ada saja yang menarik uang dari PKL. Setelah itu ada saja yang kabur saat PKL ini di dera masalah, ada juga yang tetap membantu mereka. Dan PKL pun terbiasa. Mereka memakai hitung-hitungan rasional dan terbiasa untuk memberikan upeti harian.

Apakah hal itu sah-sah saja? Aku di sini tidak sedang moral game. Karena semua orang sejatinya brengsek karena sistem kapital ini. Aku tentu tidak ingin menghabiskan energi ku untuk men-judge mereka. Kecuali ini dalam sebuah dialog di mana kita saling berargumentasi, tentu akan menyatakan tanggapan ku.

227

Mengapa dalam pembahasan di dalam buklet ini minim bahkan tidak ada sama sekali informasi yang bersumber dari pihak pemerintah maupun swasta? Karena memang kita tidak berinteraksi dengan mereka dan tidak mengharapkan apa pun dari mereka. Sudut pandang mereka pun sudah banyak diangkat banyak media.

Jadi mereka bukan target sumber informasi yang diharapkan? Ya.

Nah sebelumnya disebutkan bila buklet ini menggunakan metode jurnalistik, dengan tidak memasukkan pemerintah dan pihak swasta/korporat apakah itu berarti tidak sesuai standar cover both side khas jurnalisme? Buklet ini tidak cover both side. Karena sisi yang lain (pemerintah/korporat/swasta) sudah banyak ditanyakan media. Buklet ini berusaha tegas, tegas di sini maksudnya ya; kita memang memihak PKL. Karena ia secara relasional dikalahkan di sistem ini. Kalau kamu sebut buklet ini tidak netral, ya memang tidak netral.

Tanggapan/sikap seperti apa yang anda harapkan baik dari pemerintah, dan sejumlah lini masyarakat setelah mengonsumsi buklet ini? Tentu supaya mereka mempertanyakan kembali soal asumsi-asumsi yang selama ini dipercayai.

Seberapa jauh wacana ini berkembang? Kita belum mengukur hal itu. Mungkin hal ini akan dibahas dalam riset kami soal PKL ini. Tapi hal ini masih tersendat oleh beberapa agenda.

Apakah Komune Rakapare akan membentuk sebuah badan kerelawanan untuk permasalahan PKL ini seperti halnya membentuk Bandung City Watch dalam permasalahan urban di Kota Bandung? Bandung City Watch itu eksperimen kita soal kerelawanan pemuda-pemudi di Kota Bandung tentang isu kotanya. Dan terbukti, ternyata memang pada akhirnya mereka pada sibuk sendiri-sendiri, tidak ada yang nafasnya panjang.

228

Setelah berdiskusi dengan beberapa tokoh, kita menyimpulkan bahwa tantangan pengoorganisiran yang pos heroisme dan pos donor, di mana kamu bakal membuat gerakan yang enggak ada heroik-heroiknya. Itu ‘kan berlawanan dengan narasi pergerakan mahasiswa dan kepemudaan seperti itu. Sementara di sini kita harus melawan dengan manajemen dan pengkoprasian, tentunya harus telaten dan sifatnya daily. Masalahnya ada tidak sih anak muda yang seperti itu?

Menurut Anda, mengapa mayoritas khalayak memiliki persepsi/stigma sebagaimana tertera dalam buklet? Ya kurang lebih, karena masyarakat terlalu percaya dengan negara, dengan norma-norma yang di internalisasinya.

Apa Anda pernah berpandangan demikian? Sepertinya aku dulu, kalau dibilang melihat PKL dengan buruk sih, sepertinya tidak pernah. Tapi aku enggak juga memandang mereka dengan perspektif yang progresif. Ya gitulah mahasiswa yang netral-netral.

Faktor apa yang membuat anda mengubah persepsi Anda? Sejak akhir-akhir kuliah, ya gitu ‘kan melihat realita. Ditambah setelah kuliah sempat jadi kelas pekerja yang akhirnya makin mengetahui secara objektif. Aku kebetulan sering nongkrong di PKL, dan saat mengetahui mereka digusur, kok ada ketidakadilan di sana. Seperti apa Satpol PP (alat negara) memperlakukan mereka. Waktu di Komune Rakapare malah lebih tumbuh, soalnya pengalaman lapangannya ditopang, kalau dulu ya palingan dari sekedar wacana.

229

Lampiran Survei

230

231

232

233

234

235

236

237

238

239

Lampiran Kliping Portal Rilis.rakapare.org

240

241

242

243

244

245

246

247

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama : Muhammad Roby Iskandar Alamat : Jl. Raya Cibabat No. 360 b. Kota Cimahi. No. Telp. : 085861735134 Surel : [email protected]

Data Diri Tempat, Tanggal Lahir : Cimahi, 2 Januari 1995 Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Islam Suku : Minang Status : Belum Menikah Kewarganegaraan : Indonesia

Riwayat Pendidikan 2012-sekarang : Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung 2009-2012 : SMA Negeri 1 Cimahi 2006-2009 : SMP Negeri 9 Cimahi 2000-2006 : SD Harapan 3 Cimahi 1999-2000 : Taman Kanak-kanak

Pengalaman Organisasi 2012-2016 : Pers Suara Mahasiswa Unisba 2007-2008 : Koordinator Divisi Organisasi Intra Sekolah

Pengalaman Bekerja 2011 : Penyiar dan Produser Radio Rakita Bandung 2013-Sekarang : Penulis, Desainer, Photographer, Videographer lepas, lepas kendali. 2014-2015 : Penulis tetap untuk webzine, Anjzine.com 2016 : Pewarta foto di Bandungnewsphoto.com 2017 : Content Creative di Global Aliya Indonesia

248