Intizar Vol. 25, No. 1, Juni 2019 Website: http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/intizar ISSN 1412-1697, e-ISSN 2477-3816

Strategi Adaptasi dan Pertahanan Jemaat Ahmadiyah di Kudus Jawa Tengah

Moh Rosyid IAIN Kudus, Indonesia, [email protected]

DOI: https://doi.org/10.19109/intizar.v25i1.3277

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi adaptasi dan pertahanan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Kudus Jawa Tengah sejak tahun 1999 hingga kini. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan deskriptif analitis. Data diperoleh melalui wawancara dan observasi. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa keberadaan JAI tidak terjadi konflik terbuka di Kudus dikarenakan pertama, kehidupan di pedesaan yang lebih mengutamakan aspek pertemanan dan persaudaraan. Kedua, warga JAI di Kudus tidak melanggar norma susila, hokum, agama, dan negara. Ketiga, ajaran Ahmadiyah tidak dipublikasikan pada warga, hanya pada intern JAI. Keempat, warga JAI melakukan adaptasi budaya dengan lingkungannya. Adapun faktor tetap eksisnya JAI di Kudus karena pertama, peran sesepuh JAI yang ekonominya di kelas menengah atas sehingga disegani warga sekitar. Kedua, adanya mubalig JAI ditugaskan dari JAI Pusat yang sehari-harinya melayani warga JAI Kudus. Ketiga, fanatikme warga JAI terhadap ajaran Ahmadiyah.

Kata Kunci: Ahmadiyah, Berkesinambungan, Nirkonflik, Tindakan Preventif

Abstract This study aims to determine the adaptation and defense strategies of the Indonesian Ahmadiyah Congregation (JAI) in Kudus, Central since 1999 until now. The research method used is qualitative research with analytical descriptive. Data obtained through interviews and observations. The results of the study concluded that the existence of JAI did not occur open conflict in Kudus because first, rural life prioritizes aspects of friendship and brotherhood. Second, JAI residents in Kudus do not violate moral, legal, religious and state norms. Third, the teachings of Ahmadiyah are not made public, only on JAI internals. Fourth, JAI residents adapt their culture to their environment. The factor remains the existence of JAI in Kudus because first, the role of JAI elders whose economy is in the upper middle class is respected by local residents. Second, there are JAI missionaries assigned from the Central JAI who daily serve JAI Kudus residents. Third, JAI's fanaticism towards the Ahmadiyah teachings.

Keywords: Ahmadiyah, Sustainability, Non-Conflict, Preventive Actions

Pendahuluan baru bagi JAI berdalih pemerintah tak akan melarang Sekte dalam agama selalu menarik ditelaah, kebebasan beragama selama berdiri sendiri dan tidak salah satunya Ahmadiyah. Bahkan keberadaannya menciderai agama lain, mungkinkah meski ada direspon negatif oleh pemerintah. Pernyataan pijakan hukumnya? Kata kunci konflik tertuju pada Menteri Agama Suryadharma Ali saat itu Ahmadiyah karena Ghulam Ahmad diyakini sebagai memberikan alternatif pada Jemaat Ahmadiyah nabi sehingga dianggap sesat. Meskipun demikian, Indonesia (JAI) yakni menjadi sekte tersendiri eksistensi JAI berkembang hingga di Kudus Jawa menanggalkan atribut Islam, kembali pada Islam, Tengah yang mengandalkan dua faktor yakni Islam dibiarkan hidup, dibubarkan, menjadi aliran dan hanya didominasi oleh satu keluarga, kepercayaan atau agama baru karena keberadaannya meskipun tidak semua anggota keluarga dalam satu dianggap bisul dan sasaran konflik. Selama 2007- kepala keluarga (KK) JAI menjadi anggota JAI. Di 2009 terjadi 300 tindak kekerasan terhadap Indonesia terdapat dua kelompok Ahmadiyah, yakni Ahmadiyah (Tegal, 2011). Peluang menjadi agama JAI Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Gerakan Moh Rosyid Strategi Adaptasi dan Pertahanan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kudus Jawa Tengah

Ahmadiyah Indonesia (GAI). Perbedaan prinsip observasi di lokasi riset. Data dianalisis secara keduanya, Ghulam Ahmad bagi JAI sebagai nabi deskriptif kualitatif agar dapat terungkap secara luas- sehingga dinyatakan sesat. Bagi GAI, Ghulam padat berdasarkan fakta. sebagai pembaru (mujadid) sehingga tidak dinyatakan sesat. Artikel ini mendalami JAI di Hasil Penelitian dan Pembahasan Kudus yang memiliki komunitas, sedangkan GAI di 1. Awal Kehadiran Ahmadiyah di Indonesia Kudus hanya satu keluarga. JAI di Kudus eksis Ahmadiyah hadir di Indonesia sejak 1923. meski minoritas jumlahnya, mengapa nirkonflik Pasca-kolonial, Ahmadiyah menjadi sasaran dengan muslim lainnya di Kudus? Riset ini bertujuan kerusuhan berbasis agama tingkat akar rumput. mendalaminya. Periode 1950-an merupakan periode perkembangan Musyawarah Nasional (Munas) dan Konferensi yang cepat sekaligus periode pahit bagi Ahmadiyah Besar (Konbes) Nahdlatul (NU) di Ponpes di Indonesia. Aksi DI/TII membantai beberapa orang Miftahul Huda al-Azhar di Citangkolo, Kabupaten Ahmadiyah di Jawa Barat. Pada 1953, pemerintah Banjar, Jawa Barat. Munas dibuka Presiden Jokowi mengesahkan Ahmadiyah Qadian berbadan hukum pada Rabu 27 Februari dan ditutup oleh Wapres berdasarkan Surah Keputusan Menteri Kehakiman Jusuf Kalla Jumat 29 Februari 2019. Hasil Munas RI Nomor JA 5/23/13 tanggal 13 Maret 1953. dan Konbes merekomendasikan di antaranya, Kehadiran Ahmadiyah di Indonesia awalnya pertama, istilah kafir tidak dikenal dalam sistem diprakarsai tiga pemuda yang berusia 16 s.d 20 kewarganegaraan di Indonesia, setiap warga negara tahun, yakni Abu Bakar Ayyub, Ahmad Nuruddin, memiliki hak yang sama di hadapan hukum maka dan Zaini Dahlan berasal dari Minangkabau, Padang, yang ada adalah istilah non-muslim, bukan kafir. Sumatera Barat yang tergabung dalam Sumatera Istilah kafir berlaku ketika Nabi Saw di Makkah Thawalib. Atas saran guru ketiga pemuda tersebut, untuk menyebut orang yang menyembah berhala, Zaenuddin Labai El-Junusi dan Syekh Ibrahim Musa tidak memiliki kitab suci dan agama. Tatkala Nabi Paraek, semula mereka ingin belajar ke Universitas hijrah ke Madinah, tidak ada istilah kafir bagi warga Al-Azhar Mesir, tetapi diarahkan ke Hindustan, Madinah. Kedua, berdasarkan konstitusi RI, tidak India. Pertimbangannya, Hindustan adalah pusat boleh ada lembaga yang memproduk fatwa kecuali reformasi dan modernisasi Islam dan banyaknya Mahkamah Agung. Sebab, Indonesia bukan negara perguruan tinggi dan tokoh Islam yang berkualitas. agama sehingga tidak ada Darul Fatwa. Berbeda Bagaimana bila dibandingkan dengan Al-Azhar di dengan negara di Timur Tengah dikenal sebagai Mesir? Bila demikian, penulis berhipotesa bahwa negara agama maka dikenal mufti. Walau demikian, upaya menggait calon /siswa dari berbagai di Indonesia tidak diperbolehkan warganya tak penjuru sudah dilakukan oleh Ahmadiyah, termasuk beragama, sehingga ada Kementerian Agama. Indonesia. Upaya strategis ini belum banyak data Dengan demikian, tak satu pun lembaga di Indonesia tentang Zaenuddin dan Ibrahim yang diperoleh yang mengatasnamakan dirinya sebagai mufti. penulis. Setelah di Hindustan, mereka bertiga Dengan rekomendasi tersebut, menelaah melanjutkan perjalanan ke Kota Lahore selanjutnya tentang JAI yang difatwa sesat Majelis Ulama hijrah ke Qadian. Pada 1923, ketiga santri dibaiat Indonesia (MUI) menjadi hal yang menarik, meski oleh khalifah pertama Ahmadiyah India, Hadhrat fatwa jauh sebelum rekomendasi Munas NU Hafiz H. Hakim. Selanjutnya, mereka bertiga pulang Februari 2019. ke tanah air sekaligus menyiarkan Ahmadiyah di kota kelahirannya. Agar masyarakat yakin atas Metode Penelitian keberadaan Ahmadiyah, ketiga santri menghadirkan Metode penelitian yang digunakan adalah mubalig dari India, Maulana Rahmat Ali untuk tablig penelitian kualitatif dengan deskriptif analitis. Data di Padang. Pada 1924 mubalig Ahmadiyah asal penelitian ini diperoleh secara alami melalui Lahore, Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana wawancara dengan warga JAI, non-JAI, tokoh JAI di Ahmad datang ke kota Yogyakarta. Sekretaris Kudus. Penggalian data juga diperoleh dengan Yogyakarta, Minhadjurrahman 20 Intizar, Vol. 25, No. 1, Juni 2019

Moh Rosyid Strategi Adaptasi dan Pertahanan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kudus Jawa Tengah

Djojosoegito, mengundang Mirza dan Maulana JAI dengan pihak lain hingga menimbulkan korban berpidato pada muktamar ke-13 Muhammadiyah. nyawa. Bukan berarti nihil konflik karena kedua era Akan tetapi, pada 1929 muktamar Muhammadiyah itu, peran media tidak sebebas era setelahnya atau ke-18 di Kota Solo, disepakati oleh forum muktamar terbatasnya kuantitas dan kualitas media massa. bahwa orang yang percaya ada nabi sesudah Nabi Sehingga wacana yang mengemuka adalah sering Muhammad Saw adalah kafir. Fatwa itulah, terjadi perdebatan JAI dengan muslimin, tetapi tidak Djojosoegito meninggalkan Muhammadiyah dan anarkis. Baru di era Reformasi terjadi tindak membentuk gerakan Ahmadiyah Indonesia pada 4 kekerasan terhadap JAI. Secara garis besar ada 3 April 1930. Pada 1953, Ahmadiyah berbadan hukum masalah utama yang dihadapi JAI (1) menodai Islam berdasarkan surah keputusan Menteri Kehakiman sehingga pemerintah harus membubarkannya Nomor: JA. 5/23/13 tanggal 13 Maret 1953 (Zara, berdasarkan UU Nomor 1/PNPS/1965. Aktivis 2007). HAM menyatakan bahwa pembubaran tidak sesuai Abad ke-20 merupakan ajang berseminya aliran dengan UUD yang mengandung substansi HAM. dan gerakan Islam di Indonesia, di antaranya al- Ada pula yang mengusulkan agar JAI diperlakukan Jam’iyyah al-Khayriyah (Jami’at al-Khayr) berdiri sebagaimana di Pakistan sehingga pemerintah pada 17 Juli 1905 di Jakarta, Jam’iyyatul Islah wal menyatakan Ahmadiyah bukan Islam. Rupanya yang Irsyadil Arabi (al-Irsyad) berdiri pada 11 Agustus mengusulkan lupa bahwa Pakistan adalah negara 1915 di Jakarta, Muhammadiyah berdiri pada 12 Islam dan Indonesia berdasar Pancasila, (2) warga November 1912 di Yogyakarta, Syarikat Islam (SI) JAI mempunyai hak hidup di Indonesia dan tidak berdiri tahun 1913, berdiri 31 boleh dibubarkan atau dibatasi kegiatannya Januari 1926, dan Persis berdiri 12 September 1923 perspektif pegiat HAM. Di sisi lain, pemerintah di Bandung. Bila dipetakan, masing-masing mengeluarkan SKB yang kurang sosialisasi, (3) dan memiliki massa dan basis sendiri-sendiri. Akan perlindungam terhadap keamanan warga JAI dan tetapi, di antara arus bawah, kadang mudah tersulut hartanya adalah kewajiban negara (Wahid, 2011). percikan api karena fanatikme sempit (Rosyid, Jemaat Ahmadiyah di Indonesia dibagi menjadi 2015). dua yakni Ahmadiyah Lahor (Gerakan Ahmadiyah Pada 1950-1970 banyaknya tokoh negara yang Indonesia/GAI) dan Ahmadiyah Qadian (Jemaat akrab dengan Ahmadiyah, meski pada 1974 MUI Ahmadiyah Indonesia/JAI). JAI berbadan hukum memfatwa sesat Ahmadiyah. Pada 1999 saat berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI menjadi Presiden RI, Nomor 5/23/1953 tanggal 13 Maret 1953. Di desa Ahmadiyah seakan-akan mendapat bapak asuh (Gus Colo Kudus mengikuti JAI (Ahmadiyah Qadian). Dur). Didukung peran Moslem Television JAI memiliki moto yaitu Love for all hatred for none, Ahmadiyyah (MTA) hasil pencanangan program humanity first (cinta untuk semua, tidak ada Baiat Internasionalnya. Pada 2000, warga kebencian bagi siapa pun, kemanusiaan yang utama) Ahmadiyah berhasil mendatangkan pemimpin dan taat pada instruksi/perintah/himbauan pada tertingginya yang bermarkas di London, Hadhrat pimpinan. Keberadaan JAI Kudus yang didominasi Mirza Tahir Ahmad ke Indonesia. Mirza bertemu oleh satu ikatan keluarga, ada pula dari tetangga dan dengan Presiden Gus Dur dan Ketua MPR Amien mitra kerja. Akan tetapi, di antara tetangga tersebut Rais. Pada 2005, MUI menegaskan lagi dengan kembali ke NU dengan dalih ajaran dalam fatwa sesat pada Ahmadiyah sehingga banyak masjid Ahmadiyah ada yang berbeda dengan dan warga JAI di Indonesia yang menderita serangan pemahamannya dalam NU (sebelum menjadi dari warga non-JAI. Selanjutnya terbitlah Surah Ahmadiyah) yakni tidak mentradisikan berziarah dan Keputusan Bersama (SKB) 3 menteri yang tidak merayakan ulang tahun wafat tiap tahun (haul) membatasi ruang gerak JAI dan semakin terdorong Sunan Muria, anggota Walisongo. Hal ini karena pada killing zone (Ahmad, 2013). Ahmadiyah mengajarkan purifikasi Islam, sehingga Pada era Orde Lama dan Orde Baru (boleh hal-hal yang beraroma budaya yang terakulturasi dinyatakan) tidak pernah terjadi konflik fisik antara dalam keagamaan tidak diajarkannya. Intizar, Vol. 25, No. 1, Juni 2019 21

Moh Rosyid Strategi Adaptasi dan Pertahanan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kudus Jawa Tengah

Hal utama pemicu ketegangan JAI Kudus sebelumnya, seperti Nabi Harun, Daud, Sulaiman, dengan warga NU setempat pertama, jemaat JAI Zakaria, Yahya, dan Isa AS, (3) Nabi Zhilli Ghair at- menyendiri dalam berkegiatan keagamaan yakni Tasyri’i (hamba Tuhan dianugerahi-Nya menjadi organisasi di kampung dengan membaca surah Yasin nabi karena patuh pada nabi sebelumnya dan bergantian di rumah tiap anggota. Semula, organisasi mengikuti syariat nabi sebelumnya, tingkatannya di tersebut membaur dengan NU. Hal ini akibat bawah kenabian sebelumnya dan tidak membawa kekalahan pilihan dalam pilkades. Pemicu awalnya, syariat baru. Ungkapan Ghulam yang dikutip oleh sang pemenang pilkades yang juga pemimpin Ahmad dalam Tajalliyat-Ilahiyah bahwa hanya nabi jemaah Yasinan (sebelum hari H pilkades) tim yang membawa syariat saja yang sudah berakhir suksesnya menyatakan bahwa bagi warga Desa Colo karena lembaga kenabian telah tertutup. Nabi yang yang pernah mengaji dengan sang kiai (kontestan tidak membawa syariat akan terus berlangsung. Pilkades) agar ikut memenangkannya. Tetapi, tokoh Kedua, Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia (yang selanjutnya menjadi tokoh JAI Kudus) (GAI) berpandangan bahwa Nabi Saw nabi terakhir, memiliki pilihan lain karena kedekatan pertemanan. tidak akan ada nabi lagi, Mirza bukan nabi tetapi Kedua, dengan dimenangkannya sang kiai maka mempunyai persamaan dengan nabi karena mereka memiliki ‘kewenangan’ untuk menerima wahyu yang tidak tasyri’i (mengikuti mendiskriminasikan lawan dengan ragam dalih. syariat nabi sebelumnya, tingkatannya di bawah Ketiga, konflik kian memuncak berupa ketegangan kenabian sebelumnya dan tidak membawa syariat urat syaraf dua kelompok (NU Vs JAI) yang dipicu baru). Ghulam sebagai pendiri Ahmadiyah dan (1) makin bertambahnya jumlah JAI di Desa Colo, pembaru (mujadid) abad ke-14 H, wafat 1908 disebut (2) dibangunnya Masjid Ahmadiyah di Desa Colo muhaddats (penerima firman Ilahi) karena wahyu yang memanfaatkan sebidang tanah milik tokoh JAI sebagai kenikmatan dianugerahkan pada nabi yang Kudus, (3) aktifnya pertemuan rutin warga JAI disebut nabi hakiki (pembawa syariat) dan nabi Kudus karena keberadaan mubalig JAI yang lughowi/majazi/tidak hakiki (menerima wahyu, sama bermukim di Desa Colo dari utusan Kantor Pusat JAI dengan nabi) (Zulkarnain, 2005). Kepemimpinan di Parung Bogor hingga kini. Akan tetapi, seiring Ghulam diteruskan Hakim Nuruddin hingga tahun dengan waktu, ada pula warga JAI yang tidak aktif 1914, dilanjutkan Basyiruddin Mahmud Ahmad, lagi di JAI karena ragam persoalan, seperti tidak putra Hazrat Mirza. Kelompok yang tidak sepakat akomodatifnya ajaran JAI terhadap tradisi lokal pengangkatan Basyiruddin sebagai khalifah (seperti haul), ada pula yang meninggal dunia dan memisahkan menjadi Ahmadiyah Lahore, di keluarganya tak ada yang mengikuti jejaknya dalam Indonesia menjadi Gerakan Ahmadiyah Indonesia JAI. Dengan demikian muncul persoalan, seperti (GAI). Versi lain, munculnya Ahmadiyah Lahore apakah mata rantai yang menyebabkan bertahannya berawal dari isu kenabian Mirza ketika Ahmadiyah JAI di Kudus?. dipimpin Hakim Nuruddin (khalifah Mahdi pertama). Setelah wafat, Maulana Rahmad Ali 2. Jejak Pelarangan JAI di Indonesia menyelamatkan Ahmadiyah tetapi gagal karena yang Ada dua konsep kenabian dalam Ahmadiyah. terpilih sebagai khalifah kedua Mirza Ghulam Pertama, JAI beranggapan Nabi Saw wafat, muncul Ahmad. Dengan gagalnya Maulana sebagai khalifah, nabi lain hingga kiamat (nabi buruzi) yakni nabi yang ia bertekad membentuk organisasi baru yakni tidak membawa syariat. Kenabiannya dipilah (1) Ahmadiyah Lahore yang berpandangan bahwa Mirza Nabi Shahib asy-Syari’ah, nabi pembawa syariat Ghulam sebagai mujadid (pembaru), bukan nabi. (hukum) untuk manusia. Nabi Mustaqil (hamba Berbeda dengan Ahmadiyah Qadian bahwa ada tiga Allah menjadi nabi tidak mengikuti nabi klasifikasi nabi pertama, nabi shahib as-syariah dan sebelumnya) seperti Nabi Musa, (2) Nabi Mustaqil mustaqil yakni nabi yang membawa syariat Ghair at-Tasyri’i yakni hamba Tuhan menjadi nabi sebagaimana Musa dan Muhammad Saw. Kedua, tidak mengikuti nabi sebelumnya, tidak membawa nabi mustaqil ghairu at-tasyri yakni nabi yang tidak syariat baru, ditugasi Allah menjalankan syariat nabi mengikuti nabi sebelumnya, ia diutus berdiri sendiri, 22 Intizar, Vol. 25, No. 1, Juni 2019

Moh Rosyid Strategi Adaptasi dan Pertahanan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kudus Jawa Tengah

hanya saja tidak membawa syariat dari Allah, seperti 1530). Ayahnya seorang hakim pemerintah kolonial Nabi Harun, Dawud, Sulaiman, Zakaria, Yahya, dan Inggris di India. Para komandan dan pemimpin Isa. Ketiga, nabi zhilli ghairi at-tasyri’ yakni nabi imperialis Inggris berkumpul di London dan yang dianugerahi Tuhan karena kepatuhannya menggagas berbagai rencana untuk melawan Islam. menjalankan ajaran nabi sebelumnya. Ia tidak Upayanya dengan memecah-belah yakni mendirikan membawa syariat baru dan tingkatannya di bawah aliran sesat dan merusak dasar-dasar Islam maka nabi sebelumnya, dialah Ghulam Ahmad dalam JAI terbentuklah Ahmadiyah. Ahmadiyah menyokong (Hasbiyallah & Syarifudin, 2008). Inggris berupa fatwa bahwa muslim tidak boleh Sejak tahun 1916 pelarangan terhadap mengangkat senjata melawan Inggris karena jihad Ahmadiyah karena kesesatan Ahmadiyah dilakukan sudah ditiadakan. Selanjutnya ditegaskan, orang di India oleh Syeikh Muhammad Husein al- Inggris adalah para khalifah Allah di muka bumi Battalawi, Maulana Muhammad Ali al-Monkiri (Dzahir & Dahri, 2008). Berkenaan dengan tuduhan (pendiri Nadwatul Ulama India), Syeikh Thana’ullah bahwa Ahmadiyah adalah kaki tangan Inggris dan al-Amritsari, Syeikh Anwar Shah al-Kashmiri, dan didirikannya Ahmadiyah untuk memecah belah umat Seyyed Ata’ullah al-Bukhari al-Amritsari, dan Islam, JAI menegaskan bahwa umat Islam saat itu Muhammad Iqbal. Mereka menyeru kolonial Inggris telah terpecah belah. Bahkan Mirza menulis buku di India menghentikan fitnah karena yang isinya untuk meruntuhkan asas trinitas dalam Ahmadiyah/Qadiyan sebagai upaya sistematis ajaran kristiani, yakni agama yang dipeluk mayoritas mendirikan golongan baru di atas dasar kenabian warga Inggris. Dengan demikian, tidak logis bagi yang menandingi kenabian Muhammad Saw. Tetapi Inggris mengangkat nabi pada sosok yang telah seruan tersebut tidak dihiraukan. Bahkan Menlu meruntuhkan sendi trinitas. London sebagai pusat Pakistan (berhaluan Ahmadiyah) Zafarullah Khan, Ahmadiyah (JAI) dunia berimbas terhadap dugaan membangun jaringan Ahmadiyah nasional dan bahwa hingga kini, Inggris sebagai pemasok dana internasional. Tahun 1953 terpicu demonstrasi besar aktivitas Ahmadiyah, meski perlu diperkuat dengan di Pakistan dan diperkuat pertemuan di Karachi yang data riil. Oleh JAI, tidak ada bukti bahwa pendanaan dihadiri partai dan organisasi Islam yang melahirkan Ahmadiyah berasal dari Inggris (Penyusun, 2012). resolusi bahwa Mirza dan komunitas Ahmadiyah Menjelang berdirinya Ahmadiyah di India, bukan muslim. Pada 7 September 1974 resolusi suasana India dalam kondisi instabil. Pada 1857 Majelis Nasional Pakistan memutuskan penolakan India sebagai pusat konflik imbas pemahaman terhadap Ahmadiyah. tradisional dan modern, perang saudara antar-sekte, Latar belakang didirikannya Ahmadiyah karena dan ketegangan Islam dengan Kristen yang upaya Inggris memecah belah muslim di India. memuncak. Di saat yang sama diwacanakan akan Perspektif non-Ahmadi, kelahiran Ahmadiyah tidak muncul sosok Imam Mahdi, dewa penyelamat. Mirza dapat dipisahkan dengan gerakan orientalisme dan Ghulam menemui situasi yang tepat karena hadir di kolonialisme di Asia Selatan khususnya India. Tokoh tengah kegelisahan batin dan keputusasaan orientalis Sayyid Ahmad Khan menyatakan bahwa masyarakatnya yang dilampiaskan dalam bentuk akhir abad ke-19 Inggris memprakondisikan mistik. Pemerintahan Inggris menyongsong masyarakat India dihadapkan dengan gagasan yang Ahmadiyah dengan suka cita karena Ghulam menyimpang Islam. Kolonial Inggris mengadu memiliki hubungan dekat dengan Inggris (Nadwi, domba masyarakat sehingga pada 23 Maret 1889 Mundzir, & Ranam, 2005). Sebelum bangsa Inggris didirikan Ahmadiyah. Agar gerakannya mendapat datang di India, sebagian daerah Hindustan dikuasai wibawa, ditunjuklah keluarga bangsawan India bangsa Sikh dan muslim India diperlakukan tidak keturunan Kerajaan Moghul, putra pasangan Mirza arif oleh Sikh sehingga menderita. Kemerdekaan Ghulam Murtadha dengan Ciragh Bibi, yakni Mirza beragama dan kebebasan berdakwah itulah Mirza Ghulam Ahmad (1839-1908). Nenek moyangnya Ghulam memuji Inggris, sebagaimana dilakukan berhubungan keluarga dengan Zahiruddin ulama besar non-Ahmadi, antara lain Sayyid Ahmad Muhammad Babur, pendiri Dinasti Moghul (1526- Bhrelwi (mujadid dan mujahid abad ke-13), Syed Ali Intizar, Vol. 25, No. 1, Juni 2019 23

Moh Rosyid Strategi Adaptasi dan Pertahanan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kudus Jawa Tengah

al-Hariri (ulama Syiah di Hindustan), dan Syekh 2008). Hal lain yang menggemparkan dengan Muhammad Abduh (Sulaeman & Sabandi, 2014). keluarnya Ahmad Hariadi semula sebagai dai JAI Kedekatan Ahmadiyah dengan Inggris selama sepuluh tahun karena menggugat mubahalah memunculkan anggapan bahwa Inggris berperan dalam JAI (Hariadi, 2008). sebagai sponsor pendanaan Ahmadiyah. Bila tidak, Perlunya pendalaman terhadap kebenaran hal lantas sumber dana organisasi dari mana? JAI tersebut dan didialogkan. Hukum sebagai panglima berdalih memiliki aset yang dapat dijadikan sumber sejati berbekal prinsip hukum. Perlunya memahami organisasi yakni pemenuhan kewajiban jemaat sebuah ibarat, janganlah mendirikan rumah di dalam dalam zakat mal (candah). Besaran sumber dana ini rumah seseorang, masih banyak tanah kaveling lain. dapatkah memenuhi semua pembiayaan JAI ? Maksudnya, bila membawa nama Islam, tentu sesuai Menurut Ali Mustafa Yaqub (alm), mantan aturan Islam. Bila tidak demikian, idealnya dengan Imam Masjid Istiqlal Jakarta, Ahmadiyah ngoplos besar hati tidak membawa nama Islam, seperti (mencampur penafsiran) ayat dalam al-Baqarah: 35 Muhammad Saw adalah nabi dan tidak ada estafet tentang perintah Allah swt agar Adam tinggal di kenabiannya. Tekanan dan ragam upaya untuk surga. Kata ‘Ya Adam’ diganti ‘Ya Ahmad’. Al- memadamkan gerakan Ahmadiyah, tetapi, Anfal: 17 oleh Ahmadiyah maknanya adalah “Ya Ahmadiyah masih eksis, termasuk di Kudus yang Ahmad, Kami mengutus engkau dari Qadian, bukan oleh publik mendapat julukan kota santri. kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Keberadaan JAI secara nasional memiliki tidak Allahlah yang melempar”. Penodaan cara kurang 339 cabang (tingkat kabupaten/kota). Syarat interpretasi (penafsiran makna) pada surah al-Ahzab: mendirikan cabang minimal terdapat 3 jiwa warga 40 “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari Ahmadiyah. Ketiganya dapat menduduki jabatan seorang lelaki di antara kamu, tetapi dia Rasul dan struktural sebagai ketua, sekretaris, dan bendahara. penutup (khotam)nabi”. Kata ‘penutup’ dimaknai Ahmadiyah di Jawa Tengah cabangnya terbagi atas Ahmadiyah menjadi ‘paling mulia’, sehingga Jateng I meliputi Kabupaten Purwokerto, Tegal, muncul nabi susulan pasca-Muhammad Saw. Banyumas, Kebumen, Cilacap, dan Brebes. Jateng II Ditandaskan oleh Yaqub, Ahmadiyah berkelit bahwa di Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo, Jateng Mirza Ghulam sebagai mujadid (Yaqub, 2011). III di Kabupaten Batang, Kendal, , Menurut Amidhan Ketua MUI (saat itu) menyatakan Salatiga, Solo, Magelang, Temanggung, Pati, bahwa hal mendasar sesatnya JAI (1) Nabi Rembang, dan Grobogan/Purwodadi, dan Kudus. Muhammad diganti Ahmad, (2) Islam turun di India, Surah Keputusan Bersama (SKB) Nomor 3 berhaji tidak di Makkah, (3) muslim selain Tahun 2008 dan Nomor 199 Tahun 2008 tentang Ahmadiyah dianggap kafir, (4) jika kita salat di peringatan dan perintah kepada penganut JAI. Isi masjidnya, dipel karena dianggap najis, dan (5) SKB (1) memberikan peringatan dan memerintahkan Ahmadiyah tidak mau menjadi makmum salat warga masyarakat untuk tidak menceritakan, dengan muslim lainnya (Amidhan, 2011). menganjurkan, atau mengusahakan dukungan Pernyataan ini perlu didalami karena penulis tidak umum, melakukan penafsiran tentang agama yang menemukan pernyataan tersebut dari warga JAI di dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan agama Kudus. Boleh jadi, hal itu mereka rahasikan, hanya yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu untuk intern JAI. Perihal makmum salat, keengganan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama, warga JAI menjadi makmum salat dengan non-JAI (2) memberikan peringatan dan memerintah karena non-JAI dianggap warga JAI tidak mengakui penganut anggota dan pengurus JAI sepanjang keberadaan JAI sehingga tidak perlu berjemaah. Bila mengaku beragama Islam untuk menghentikan salat berjemaah, JAI hanya siap menjadi imam salat. penyebaran penafsiran dan kegiatan yang Hal pokok yang rentan menjadi pemicu konflik menyimpang dari pokok ajaran agama Islam, yaitu kaitannya dengan ajaran JAI tentang Imam al-Mahdi penyebaran paham yang mengaku adanya nabi dan al-Masih, mujadid, perihal wahyu, kenabian, dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad, khilafah, dan jihad (Hasbiyallah & Syarifudin, (3) penganut anggota dan pengurus JAI yang tidak 24 Intizar, Vol. 25, No. 1, Juni 2019

Moh Rosyid Strategi Adaptasi dan Pertahanan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kudus Jawa Tengah

mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana PBB pada 10 Juni 2008 meminta penjelasan yang dimaksud dalam diktum ke-1 dan ke-2 dapat perwakilan Indonesia dalam sidang pleno ke-8 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan Dewan HAM PBB di Palais de Nations, Jenewa, perundang-undangan, termasuk organisasi dan badan Swiss. Klarifikasi tersebut karena kebebasan hukumnya, (4) memberikan peringatan dan beragama merupakan salah satu hak yang disebut memerintah warga masyarakat menjaga dan sebagai universal inaliable (tidak bisa dilenyapkan), memelihara kerukunan umat beragama serta involable (tidak dapat diganggu gugat), dan ketenteraman dan ketertiban kehidupan nonderogable human rights (hak-hak asasi yang bermasyarakat dengan tidak berbuat atau bertindak tidak boleh dilanggar) (Ibrahim, 2008). melawan hukum terhadap penganut anggota dan Selain adanya SKB, ada pula fatwa Majelis anggota pengurus JAI, (5) warga masyarakat yang Ulama Indonesia (MUI) tentang pelarangan JAI. tidak mengindahkan peringatan dan perintah Hanya saja, terdapat dua kelemahan dalam fatwa. sebagaimana dalam diktum ke-1 dan ke-4 dapat Pertama, fatwa diberi judul Ahmadiyah Qadian, dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan bukan Lahore. Tetapi, dalam batang tubuh fatwa perundang-undangan, termasuk organisasi dan badan terkadang menggunakan kata Ahmadiyah Qadian, hukumnya, dan (6) memerintah aparat pemerintah kadang Ahmadiyah saja. Kedua, fatwa dan pemda untuk melakukan langkah-langkah ditandatangani 01 Juni 1980/17 Rajab 1400 H pada pembinaan dalam rangka penanganan dan diktum pertimbangan sebagai rujukan keputusan pengawasan pelaksanaan SKB ini. Kriteria tersebut rakernas MUI pada 4-7 Maret 1984/1-4 Jumadil oleh sebagian komunitas Akhir 1404 H. Artinya, mungkinkah surah dan fatwa akademik/peneliti/pemerhati HAM mendapatkan dibuat dengan merujuk pada rekomendasi dan kritik, bahwa pencetus kriteria adalah manusia keputusan yang empat tahun setelahnya baru ada? (antara elemen yang menerima dengan yang (Alniezar, 2018). memproduksi adalah sesama manusia), sehingga Faktor munculnya aliran sesat menurut Mahally ketika memahami wahyu memiliki derajat yang disebabkan oleh tiga hal yakni kurangnya perhatian sama, kebenaran kriteria adalah kebenaran tokoh agama, penggagas aliran sesat mencari manusiawi, bukan kebenaran Ilahi (Romli, 2007). popularitas dan keuntungan pribadi, dan boleh jadi Dari segi perundang-undangan, terdapat pihak muncul sebagai grand design pihak asing untuk yang kontra SKB dengan dalih, pertama, dalam tata menghancurkan akidah umat Islam. Pernyataan yang perundang-undangan, SKB atau fatwa bukan salah ketiga ini direspon oleh Pradana bahwa pernyataan satu struktur hukum positif sebagaimana tersebut tidak pernah terbukti secara konkret dan diamanatkan UU Nomor 10 Tahun 2004, sehingga otentik tentang sinyalemen tersebut (Mahally, 2007). SKB merupakan cermin inkonsistensi pemerintah Selanjutnya dalam analisis Pradana, bahwa (Haris, 2008). Kedua, SKB bertolak belakang munculnya aliran sesat menurut Peter Clarke dengan Pasal 29 UUD 1945 tentang HAM Pasal 28 diakibatkan oleh gerakan protes yang dilakukan oleh E disebutkan setiap orang bebas memeluk agama dan gerakan sempalan terhadap hegemoni kelompok beribadat menurut agamanya (ayat 1) dan berhak atas agama mainstream yang berkolaborasi dengan kebebasan meyakini kepercayaan, menyatidakan kekuatan politik yang berusaha memonopoli pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya (ayat kehidupan agama suatu masyarakat dalam 2). Argumen ini perlu didiskusikan lebih lanjut memberlakukan sistem kepercayaan dan praktik karena kebebasan dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 keagamaan mereka. Jika analisis itu benar, tentang HAM Pasal 73 bahwa kebebasan dibatasi hendaknya Islam mainstream sepatutnya melakukan dengan UU. Pada tahun 2005, pemerintah RI introspeksi atas doktrin, kepercayaan, praktik meratifikasi kovenan PBB mengenai hak-hak sipil keberagamaan, dan dakwah yang selama ini tidak politik diakomodasi dalam UU Nomor 12 Tahun lagi mampu menarik audiens (Boy, 2007). 2005 khususnya pada Bab III Pasal 18 (Latif, 2008). Proses pemaknaan Islam melahirkan dua pihak Ketiga, dengan diterbitkannya SKB, Dewan HAM penting yakni pihak utama (ortodoksi/mainstream) Intizar, Vol. 25, No. 1, Juni 2019 25

Moh Rosyid Strategi Adaptasi dan Pertahanan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kudus Jawa Tengah

dan pihak pinggiran. Pihak utama mengacu paham Keberadaan JAI di Kudus ditopang peran Nanang keagamaan yang dianut oleh mayoritas umat, Al-Mahdi; semula lahir dan besar di desa Gabus, sedangkan pihak pinggiran (sempalan/splinter) Kabupaten Pati (tetangga Kudus). Sejak kecil, diidentikkan dengan ajaran yang keluar dari arus Nanang menjadi JAI karena orang tua dan utama sehingga dianggap sesat dan menyesatkan. saudaranya JAI. Setelah berkeluarga, pekerjaannya Sedangkan klasifikasi gerakan sempalan dalam di perusahaan di Kudus dan berumah tangga di analisis Bryan Wilson bahwa tipologi sempalan wilayah Kecamatan Jati Kabupaten Kudus, bukan terbagi atas tujuh sekte, pertama, sekte conversionist, bertetangga di Colo, tempat sekretariat JAI Kudus. Ia yang memerhatikan perbaikan moral individu. diberi amanah menjadi Ketua Cabang (organisasi Kedua, sekte revolusioner, menghendaki perubahan tingkat kabupaten) JAI Kudus. masyarakat secara radikal. Ketiga, introversionis, Tradisi Muslim di Kudus yang tidak untuk transformasi dunia yang ditujukan hanya pada ditradisikan Ahmadiyah yakni pembacaan manaqib kelompoknya. Keempat, manipulationist/gnostic, (biografi syekh Abdul Qadir Jailani), pembacaan identik dengan introversionis, akan tetapi adanya Maulid Nabi (sejarah Nabi Saw), ziarah kubur, haul proses inisiasi (tapabrata). Kelima, thaumaturgical, (peringatan tahunan wafatnya leluhur) karena tipologi sempalan dengan model penguasaan alam Ahmadiyah memurnikan ajaran Islam, yakni gaib. Keenam, sekte reformis, usaha mereformasi melaksanakan Islam yang hanya yang diajarkan Nabi sosial (umat). Ketujuh, gerakan utopian, Saw. Akan tetapi, sebagai upaya bergabung dengan menciptidakan komunitas sebagai teladan untuk muslim setempat, warga JAI Kudus mengikuti sesama (Zara, 2007). kegiatan keagamaan NU tersebut di kampungnya, meski tidak menjadi tradisi JAI. Perempuan JAI 3. Strategi Adaptif JAI di Kudus Kudus mengikuti kegiatan muslimah setempat (non- Untuk mempertahankan komunitas JAI, warga JAI) setiap Jumat sekali (perkumpulan rutin di JAI di Kudus melakukan strategi sebagaimana kampungnya). Sebagian lelaki JAI mengikuti konsep empat fungsi sistem tindakan versi Talcott kegiatan muslim setempat setiap kamis malam Jumat Parsons yakni adaptasi, mencapai tujuan (goal sekali (pengajian di kampungnya). Selain itu, untuk attainment), integrasi, dan latency (memelihara pola mempunyai nilai tawar politik, warga JAI Kudus interaksi) (George & Goodman, 2003). Keempat meraih kedudukan politik di desanya. Pada 25 fungsi tersebut dilakukannya dengan melibatkan diri September 2014 ada yang mencalonkan diri pada pada tradisi warga mayoritas setempat (NU) seperti pemilihan Ketua RW 3 Desa Colo. Dari 353 pemilih, mengikuti jemaah rutin warga muslim dalam acara warga JAI hanya mendapatkan 79 suara, pesaingnya pembacaan ayat suci Alquran (surah Yasin) dan dari muslim NU meraih 87 suara, disusul pesaing pembacaan tahlil. Dengan melakukan keempatnya, lainnya mendapat 97 suara, 45 suara, dan 48 pemilih eksistensi JAI di Kudus mampu bertahan, kecuali tidak hadir. Di antara alasan warga yang tidak terdapat aksi provokasi yang datang dari warga luar memilih warga JAI sebagai Ketua RW karena desa Colo di mana JAI eksis. keanggotaan calon dari JAI. Akan tetapi, ada warga JAI di Kudus terorganisasi dan mayoritas JAI Kudus yang terpilih menjadi anggota BPD Desa jemaatnya berada di RT. 3 RW. 3, Dukuh Pandak, Colo hingga ditulisnya naskah ini. Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus Pengurus JAI di Kudus dalam mempererat Jawa Tengah sejak 1999 dan menjadi cabang ikatan emosional dan memberikan pemantapan Ahmadiyah ke-288. Data yang diperoleh, JAI awal psikisnya dilakukan aktivitas. Pertama, temu berkala mula eksis di Kudus tahun 1950-an tapi penulis rutin tahunan (jalsah salanah) sebagaimana pada belum memperoleh data utuh, sehingga perlu 2014 dilaksanakan di Desa Krucil Kabupaten pendalaman. Pada tahap awal agar benih Banjarnegara, Jawa Tengah, penulis menghadirinya. keahmadiyahan tumbuh maka dilaksanakan salat Kedua, aktivitas mengaji Alquran bagi usia anak Jumat di rumah Ratno, warga JAI. Berikutnya yang diasuh oleh ustad Ahmadiyah (tatkala riset dibangunlah Masjid JAI di Muria Kudus tahun 1999. dilakukan penulis, agenda itu tidak berjalan). Ketiga, 26 Intizar, Vol. 25, No. 1, Juni 2019

Moh Rosyid Strategi Adaptasi dan Pertahanan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kudus Jawa Tengah

untuk ibu-ibu dilaksanakan pertemuan rutin bulanan memelihara pola interaksi sosial yang positif dengan (mu’awanah) yang diselenggarakan di rumah warga warga mayoritas setempat. Ahmadiyah Kudus secara bergiliran. Kadang kala Untuk mewujudkan eksisnya JAI, ragam upaya gabungan dengan JAI asal Gabus Kabupaten Pati. dilakukan oleh pengurus pusat JAI dengan Keempat, mengikuti kegiatan JAI, yakni bagi lelaki penerbitan buletin khotbah, majalah Sinar Islam, mengikuti jemaah salat Jumat di masjid JAI Kudus, website, dan Muslim Television Ahmadiyya (MTA) bagi perempuan menghadiri kegiatan temu rutin yang diakses oleh warga JAI se-Indonesia (Said, perempuan JAI, bagi lelaki dan perempuan 2018). Ada pula gerakan kemanusiaan yakni donor membesuk bila jemaat sakit di rumah sakit atau di darah, donor mata, humanity first (penanganan rumah. Urat nadi penggerak hingga eksisnya JAI di korban bencana alam), dan clean the city (kebersihan Kudus selain sosok seorang sesepuh tersebut adalah lingkungan pascaperayaan tahun baru) (Rohmawati, kiprah mubalig JAI utusan dari JAI Pusat yang 2018). difasilitasi perumahan sederhana bersebelahan dengan masjid Ahmadi. 4. Faktor Kerukunan JAI dengan non-JAI di Strategi adaptif yang dilakukan warga JAI di Kudus Kudus berimbas tidak terjadi konflik terbuka. Hal ini Faktor yang menjadi pendukung terwujudnya memiliki beberapa faktor. Pertama, warga Kudus kerukunan warga Desa Colo antara JAI dengan non- tidak fanatik terhadap Ahmadiyah, meski dipantau JAI adalah, Pertama, kondisi kehidupan sosial warga geraknya oleh tokoh muslim setempat dengan Desa Colo kondusif karena sumber ekonomi stabil. pernyataan ”Warga Ahmadiyah dibohke” Sumber perekonomian warga Desa Colo adalah (1) (Ahmadiyah dibiarkan saja, tidak diganggu dan tidak pedagang yang menjajakkan dagangan bagi diikuti). Kedua, terpicu konflik bila JAI di Kudus wisatawan/peziarah yang menghadiri/berziarah ke menyebarkan ajarannya secara terbuka. Ketiga, ada Makam Sunan Muria dan makam Syekh Syadzali di peluang terjadi konflik bila tersulut oleh pihak Gunung Muria, (2) sebagai petani padi, tebu, tertentu yang tertuju pada warga minoritas. Hal ini perkebunan/peladang kopi, jeruk pamelo, kunir, didukung dengan gencarnya pemberitaan media ketela pohon, dan sebagainya, (3) peternak lebah massa. Dapat pula dipicu oleh sikap fanatik atas madu, (4) tukang ojek sepeda motor untuk dorongan penggerak aksi. Padahal respon negatif peziarah/wisata ritual, (5) buruh, dan sebagainya. warga Kudus yang keberadaannya bukan di wilayah Kedua, antar-umat dan intern-pemeluk agama JAI Kudus yakni adanya pemanfaatan tempat hunian keduanya saling membaur dalam aktivitas sehari- untuk gereja atau gereja yang tidak berizin. Akan hari di berbagai bidang kehidupan secara bersama- tetapi, gereja yang berada di lingkungan JAI Colo sama, seperti di lahan perekonomian, kerja bakti di pun tidak mendapat respon negatif muslim setempat, kampung, dan perkumpulan sosial tingkat RT. meskipun ibadah di gereja tersebut tidak terbuka. Ketiga, warga Desa Colo tidak mudah tersulut Keempat, warga Ahmadiyah tidak menjadi pelaku konflik karena mengutamakan kerukunan hidup tindak pelanggaran norma hukum, agama, dan norma sosial dan beragama didukung oleh harmonisnya sosial sehingga direspon oleh masyarakat sekitar kehidupan sosial. Hal ini merupakan karakter Ahmadiyah Kudus yang lebih mengedepankan aspek kehidupan di pedesaan. Meskipun adanya tepo seliro. Kelima, adanya ikatan persaudaraan, pernyataan tokoh muslim non-Ahmadi setempat pertemanan, dan pertetanggaan antara warga JAI bahwa eksisnya JAI di Colo sangat tergantung pada dengan non-Ahmadiyah di lingkungannya, sehingga sosok sesepuh JAI Kudus yang status ekonominya pemicu konflik terminimalisasi secara alamiah. level menengah dibanding warga sekitarnya. Bisnis Kelima faktor tersebut sangat ditopang aksi JAI di sampingannya di bidang penjualan air gunung yang Kudus yang memenuhi fungsi empat sistem tindakan dipasarkan dengan mobil tengki mengerjakan sopir versi Parsons yakni melakukan adaptasi budaya dan kernet yang sebagian juga warga JAI Kudus. dengan jemaah Nahdliyin sehingga tujuan eksis Selain menjadi pegawai Dinas Pariwisata Kabupaten tercapai (survive), melakukan integrasi dan Kudus, khususnya menangani retribusi lahan wisata Intizar, Vol. 25, No. 1, Juni 2019 27

Moh Rosyid Strategi Adaptasi dan Pertahanan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kudus Jawa Tengah

Makam Sunan Muria. Keberadaan area retribusi, masjid, tidak seperti warga non-JAI. Sebagaimana rumah, dan Masjid Ahmadi berada pada satu azan salat Jumat (bukan karena tidak memiliki kawasan. Bila sesepuhnya tidak optimal, diduga JAI speaker) tetapi karena sikap menjaga diri. Kedua, tidak akan eksis. Keempat, proaktif terhadap mubalig JAI yang diutus dari Lembaga JAI yang kebijakan pemerintah dan taat terhadap norma sosial bermarkas di Bogor (Pusat) tidak selalu berbaur yang berlaku di lingkungannya. Kelima, tempat dengan warga masyarakat non-Ahmadiyah dan tinggalnya bergabung dengan warga non-Ahmadi, warga Ahmadiyah di lingkungannya, baik dalam dan keenam terjalinnya interaksi dalam hal kegiatan sosial maupun keagamaan. Ketiga, tokoh kesejahteraan sosial, sebagaimana pembagian daging Ahmadiyah merupakan tokoh tim sukses pilkades kurban oleh warga JAI pada warga non-Ahmadi. tahun 1998 di Desa Colo yang terkalahkan, sehingga Selain hal di atas, adem-ayemnya JAI di Desa (diduga) masih menyimpan ‘masalah politik’ dengan Colo karena (1) jumlah pemeluknya hanya 11 kepala tokoh pemenang pilkades (non-Ahmadiyah). Buntut keluarga dari 4 ribu jumlah penduduk Desa Colo, (2) kekalahannya dengan mendirikan jamiyyah (jemaah warga JAI Kudus tidak melanggar norma sosial, keagamaan) baru. Akan tetapi, seiring pergantian hukum, dan agama dalam kehidupannya, (3) kepala desa, masalah politik tersebut makin teredam mengadakan kegiatan keagamaan (pengajian umum) dan jemaah tersebut berhenti dan kini bergabung yang mengundang warga non-Ahmadi, meski tidak dengan jemaah warga NU. Keempat, tokoh direspon, (4) refleksi keagamaan masyarakat Desa Ahmadiyah Colo yang juga menjadi PNS Dinas Colo tidak merespon fatwa MUI yang memfatwa Pariwisata Kabupaten Kudus memiliki usaha air Ahmadiyah sesat. Akan tetapi, bila terjadi konflik minum dengan empat truk tengki air sehingga berada JAI di luar Kudus, warga JAI di Kudus ’bersiaga’. Di pada level ekonomi mapan di lingkungannya. sisi lain karena tidak fanatik dan dipicu pemahaman Sebagain warga sungkan bila berbuat tidak benar. terhadap agama warga tidak semua mendalam, Hal ini dipicu oleh (rencana) kebijakan Pemerintah kesibukan sehari-hari ‘ditelan’ aktivitas ekonomi Kabupaten Kudus yang menertibkan penjualan air (pedagang, petani, pengojek sepeda motor, dsb.), Gunung Muria. Hal ini memungkinkan terjadi bukan karena tingginya rasa toleransi terhadap aliran konflik latin bila terpicu oleh dinamika sosial yang dianggap sesat MUI, (5) tidak adanya ormas setempat. Hal ini bila tidak diantisipasi maka muncul Islam bergaris keras di Kudus yang sering menolak hal yang tidak diinginkan. Kelima, karakter secara frontal pada aliran yang dianggap sesat, (6) masyarakat Kudus yang sensitif dan fanatik terhadap tokoh agama setempat tidak berperan sebagai aliran yang memiliki ’warna’ baru, rentan tersulut lokomotif melawan Ahmadi, dan (7) ada hubungan bila terdapat loko penggerak (Rosyid, 2015). kekerabatan,tetangga, dan teman antara warga Ahmadiyah di Kudus memiliki strategi resolusi Ahmadi dengan non-Ahmadi di Kudus (Rosyid, konflik dengan ‘mengamankan’ kelompoknya, 2011). memberi pemahaman pada publik bahwa alirannya tidak sesat dengan siasat (1) membuat selebaran yang 5. Peluang Konflik Latin JAI di Kudus dibagikan pada warga Colo pada 2006 bertuliskan Tidak terjadinya konflik terbuka antara JAI Tuhannya Sama, Nabinya Sama, (2) masjid yang Kudus dengan warga muslim mayoritas (non-JAI) mereka bangun diberi tulisan kalimat Laailaha bukan berarti adem-ayem dalam berinteraksi, tetapi illallah muhammdurrosulullah, lafal baru muncul menyimpan api dalam sekam dengan alasan: setelah 10 tahun berdiri semenjak gejolak JAI di Pertama, komunitas Ahmadiyah menyendiri Indonesia. dalam beribadah salat, yakni di masjid Ahmadiyah. Hal ini berpeluang menimbulkan kecurigaan bagi Kesimpulan masyarakat di luar komunitas Ahmadiyah yang tidak Keberadaan JAI di Kudus sejak 1999 hingga memahami realitas sebenarnya. Pengajian JAI kini tidak pernah terjadi konflik terbuka dengan tersebut tidak memanfaatkan pengeras suara yang muslim (nahdliyin) setempat. Keberadaannya terdengar secara luas, hanya terdengar di dalam ditopang oleh satu keluarga. Tidak terjadi konflik 28 Intizar, Vol. 25, No. 1, Juni 2019

Moh Rosyid Strategi Adaptasi dan Pertahanan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kudus Jawa Tengah

karena, pertama, kehidupan di pedesaan yang lebih Haris, S. (2008). Dilema Pemerintahan Yudhoyono. mengutamakan aspek pertemanan, pertetanggaan, Kompas. dan persaudaraan. Kedua, warga JAI di Kudus tidak Hasbiyallah, & Syarifudin. (2008). Pro-kontra melanggar norma susila, norma hukum agama dan Ahmadiyah. Grafindo Litera Media. negara. Ketiga, ajaran Ahmadiyah tidak Ibrahim, J. (2008). Perlindungan HAM Vs SKB dipublikasikan pada warga, hanya pada intern jemaat Ahmadiyah. Jawa Pos. JAI. Keempat, warga JAI melakukan adaptasi Latif, Y. (2008). Demokrasi dalam Pasungan. budaya dengan lingkungannya. Adapun faktor tetap Kompas. eksisnya JAI di Kudus karena pertama, peran Mahally, A. (2007, November 9). Pemicu sesepuh JAI yang kedudukan ekonominya menengah Munculnya Aliran Sesat. Republika. atas sehingga disegani warga sekitar. Kedua, adanya Nadwi, S. A. H. A., Mundzir, T., & Ranam, S. mubalig JAI ditugaskan dari JAI Pusat yang sehari- (2005). Tikaman Ahmadiyah terhadap Islam. harinya melayani warga JAI Kudus. Ketiga, Jakarta: Fadlindo Media Utama. fanatikme warga JAI terhadap ajaran Ahmadiyah Penyusun, T. (2012). Pendalaman Aqidah imbas Islam abangan sehingga tidak memiliki daya Ahmadiyah oleh Komisi VIII DPR RI. Jakarta. kritis. Dari paparan tersebut, berpeluang terjadinya Rohmawati, W. S. A. (2018). Dari Donor Darah ke konflik latin karena pertama, dalam beribadah/salat Clean the City dalam JAI Konflik, Kebangsaan, Jumat JAI menyendiri hanya dengan warga JAI saja. dan Kemanusiaan. Yogyakarta: ISAIS UIN Kedua, bila terjadi konflik JAI di luar kota Kudus, Yogyakarta. maka peluang tersulutnya konflik di Kudus sangat Romli, M. G. (2007, November 14). Sesatnya besar karena mudahnya warga mengakses Kriteria Sesat. Jawa Pos. pemberitaan melalui media massa. Tindakan Rosyid, M. (2011). Ahmadiyah di Kabupaten Kudus. preventif selalu dilakukan oleh pemkab Kudus dalam Analisa: Jurnal Pengkajian Masalah Sosial memantau JAI di Kudus seperti memantau Keagamaan, 18(1). pergerakan JAI. Rosyid, M. (2015). Mendialogkan Ahmadiyah Belajar dari Cikeusik dan Kudus. Kudus: Daftar Pustaka Neratja Press. Ahmad, M. (2013). Candy’s Bowl: Politik Said, M. (2018). Peran Media dalam Proliferasi Kerukunan Beragama di Indonesia. Harmoni, Ajarah Ahmadiyah Indonesia Konstruksi 12(3), 37–51. otoritas, kesalehan, dan militansi dalam JAI Alniezar, F. (2018). Mengadili Keyakinan, Konflik, Kebangsaan, dan Kemanusiaan. Merampas Kebebasan Persepsi dan Reaksi JAI Yogyakarta: ISAIS UIN Yogyakarta. terhadap Fatwa MUI dalam JAI Konflik, Sulaeman, A., & Sabandi, E. O. (2014). Klarifikasi Kebangsaan, dan Kemanusiaan. Yogyakarta: terhadap Kesesatan Ahmadiyah dan Plagiator. ISAIS UIN Yogyakarta. Kudus: Neratja Press. Amidhan. (2011). Ahmadiyah. Republika. Tegal, R. (2011). Polisi Tetapkan Dua Tersangka. Boy, P. (2007, November 9). Kegagalan (Dakwah) Radar Tegal. Retrieved from Islam Mainstream. Jawa Pos. https://issuu.com/jaelani/docs/9_feb_2011/2 Dzahir, I. I., & Dahri, H. (2008). Ahmadiah Wahid, S. (2011). Solusi Ideal Soal Ahmadiyah. Qodianiyah: sebuah kajian analitis. Balai Kompas. Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, Yaqub, A. M. (2011). Penodaan Agama. Republika. Badan Litbang dan Diklat …. Zara, M. Y. (2007). Aliran-Aliran Sesat di Indonesia. George, R., & Goodman, D. J. (2003). Teori Yogyakarta: Banyu Media. Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana. Zulkarnain, I. (2005). Gerakan Ahmadiyah di Hariadi, A. (2008). Mengapa saya keluar dari Indonesia. Yogyakarta: LKis. Ahmadiyah Qadiani: sebuah kesaksian. Bandung: Irsyad Baitus Salam. Intizar, Vol. 25, No. 1, Juni 2019 29