Makna Sapaan Di Pesantren: Kajian Linguistik-Antropologis
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Volume 3 Nomor 1 E-ISSN: 2527-807X Januari-Juni 2018 P-ISSN: 2527-8088 MAKNA SAPAAN DI PESANTREN: KAJIAN LINGUISTIK-ANTROPOLOGIS Millatuz Zakiyah [email protected] Universitas Brawijaya Malang Abstract: This research aims to explains the meaning of some specific address terms such as kiai, gus, ning, kang, etc. which are obligatorily used on pondok pesantren in Jombang. This study discusses the classification and the meanings of address terms in pesantren as well as pesantren and Javanese cultural perspectives on the terms. This descriptive-qualitative research applies emic approach. The result shows that there are 15 address terms in pesantren, namely kiai, nyai, gus, mas, ning, bapak, ibu, mbak, kang, cak, ustadz, ustadzah, abah, abi, and umi. These distinctive address terms aim to honor the kiai, teachers, kiai’s and teachers‟families, and santri. Pesantren‟s view posits that respecting teachers, teachers‟ family, and fellow santri is a pace to get barokah and manfaat (benefit) of science, the santri’s ultimate goal and their destination of seeking knowledge. Meanwhile, Javanese cultural persepective argues that this respect indicates syncretism between Javanese and Islamic culture. The respect to kiai is influenced by the respect to begawan. On the other hand, santri’s attitude refers to cantrik. Different tributes between teacher and kiai are influenced by Javanese culture. It indicates the existence of different obligations and rights in pesantren which impact on the stratification at pesantren. The stratification at pesantren can bedivided into three classes; namely nursery class (kiai and his family), teacher class, and santri class. Keywords: pesantren, address terms, barokah, benefit, tribute PENDAHULUAN para santri lulus dari pesantren Pesantren merupakan salah satu tersebut. lembaga pendidikan Islam yang Di sisi lain, terdapat pula sapaan ki memiliki sistem dan model pendidikan dan kiai dalam budaya Jawa untuk yang berbeda dengan sistem mengacu pada orang atau benda yang pendidikan di lembaga pendidikan dituakan. Terdapat pula sapaan nyi lainnya. Dalam pesantren, terdapat atau nyai bagi perempuan yang sapaan khusus bagi anggota pesantren dituakan. Selain itu, ada istilah raden seperti kiai, nyai, gus, ning, kang, dan bagus yang dipakai untuk memanggil cak. Khumaidi (2006) mengemukakan bangsawan muda. Hal ini bahwa pesantren memiliki sapaan dan menunjukkan adanya kemiripan antara panggilan khusus untuk memanggil sapaan yang digunakan di pesantren satu per satu bagiannya, seperti seperti dengan sapaan dalam budaya Jawa. kiai dan nyai untuk pemilik pesantren Kemiripan tersebut bukanlah dan gus atau ning untuk memanggil kearbitreran semata. Perlu diingat pula putra-putri mereka. Sebagian dari bahwa pesantren bukan semata sapaan ini merupakan ciri khas yang lembaga pendidikan Islam yang tertua, membedakan kalangan pesantren akan tetapi juga sebagai wujud dakwah dengan kalangan lain dan sebagian Islam pada mulanya yang dilakaukan sisanya merupakan sapaan yang dapat oleh walisanga. Dalam menyiarkan ditemukan di luar pesantren. Sapaan ajaran Islam, walisanga menekankan ini menjadi suatu kewajiban bagi beberapa aspek penting, salah satunya masyarakat pesantren, bahkan hingga pengembangan di bidang pendidikan. 11 Millatuz Zakiyah Dalam pendidikan, Islam mengadopsi khas pesantren di pondok pesantren di sistem pendidikan biara dan asrama, wilayah Jombang, seperti kiai, nyai, yang juga disebut mandala. Sistem ini gus, dan ning untuk menyapa sebetulnya merupakan model pemimpin pondok pesantren dan pengajaran dan pembelajaran para keluarganya. Sementara itu, sesama biksu dan pendeta (Sofwan dkk 2000, santri terbiasa menggunakan sapaan 273). akrab seperti cak, kang, dan mbak. Kenyataan ini menunjukkan, Jika terlihat ada seorang santri meskipun bahasa bersifat arbitrer yang memanggil temannya dengan terdapat indikasi bahwa dalam sebutan mbak, atau cak, padahal santri beberapa hal terdapat keteraturan yang dipanggil tadi adalah putra atau dalam berbahasa. Bahkan, merujuk putri kiai di wilayah tinggalnya, secara pada Hipotesis Saphir-Whorf (dalam otomatis teman lain akan Ahearn 2012) ditemukan adanya mengingatkan bahwa itu adalah gus hubungan antara bahasa, budaya, dan atau ning. Hal ini semakin menguatkan pikiran manusia. Bahasa bukan hanya asumsi penulis bahwa terdapat sistem bunyi yang terjadi tiba-tiba. peraturan tidak tertulis mengenai Akan tetapi terdapat hal lain di luar sapaan khas pesantren yang harus sistem bunyi yang mempengaruhi ditaati oleh para santri dan pemilik keberadaan bahasa. Bahasa merupakan pesantren. salah satu representasi pandangan Sejauh ini, penelitian yang secara masyarakat penutur bahasa tersebut spesifik mengkaji sapaan di pesantren (Foley 1997). Oleh karena itu, apabila dengan ancangan linguistik- di pesantren terdapat sapan tertentu antropologis belum pernah dilakukan. yang terus digunakan dan bahkan Beberapa penelitian tentang sapaan di dianggap sebagai suatu kewajiban, pesantren sebelumnya, pada umumnya maka dapat dimungkinkan ada menggunakan pendekatan sosio- hubungan antara bahasa, budaya, dan linguistik dan pragmatik. Salah satu pemikiran masyarakat pesantren yang penelitian terkait sapaan di lingkungan bersifat mendasar dalam makna pesantren pernah dilakukan oleh sapaan ini. Anggraini (2017) pada penelitiannya Penelitian ini difokuskan di yang berjudul Stigmatisasi Penggunaan sejumlah pondok pesantren di Nama Sapaan di Kalangan Santri Kabupaten Jombang. Jombang Pondok Pesantren Kiai Ageng Selo merupakan kota santri dan bahkan Dukuh Selogringging, Desa Tulung, terdapat pameo bahwa Jombang adalah Kecamatan Tulung, Kabupaten Klaten. pusat pondok pesantren di Jawa karena Penelitian ini berkaitan dengan julukan hampir semua kiai yang memiliki yang dilabelkan terhadap santri, pesantren di Jawa pernah belajar di seperti panggilan menggunakan nama kota ini (Sakdiyah 2014). Di kabupaten hewan, kebiasaan, nama makanan, ini pula terdapat beberapa pondok jabatan/gelar, nama tokoh, bahkan pesantren tertua di Indonesia, seperti nama asli. Tebuireng, pondok pesantren yang Penelitian lain dilakukan oleh Tiani didirikan Hadratussyaikh KH Hasyim (2016) dengan judul Kajian Perilaku Asy‟ari, pendiri Nahdlatul Ulama. Pragmatis terhadap Tindak Tutur Selanjutnya, pada artikel ini, istilah Santri terhadap Kiai di Pondok „pondok pesantren di Kabupaten Pesantren di Wilayah Kota Semarang. Jombang‟ akan disebut secara singkat Penelitian Tiani ini difokuskan pada menjadi „pesantren‟ atau „pondok kajian pragmatik dengan menggunakan pesantren‟ saja. prinsip kesantunan sebagai teori untuk Dalam berbagai interaksi, menganalisis data. Data yang ditemukan bahwa terdapat penyapaan 12 Leksema Vol 3 No 1 Januari-Juni 2018 Makna Sapaan di Pesantren: Kajian Linguistik-Antropologis digunakan berasal dari khitobah Jombang, Jember baik dari bahasa (pidato) di pesantren. verbal atau pun bahasa non-verbal Selain itu ada juga penelitian dengan menggunakan pendekatan tentang Penggunaan Kata Sapaan pada pragmatik. Masyarakat Jawa di Desa Jombang Penelitian yang dilakukan oleh Kecamatan Jombang Kabupaten Khumaidi (2006) juga memiliki Jember yang dilakukan oleh Saadah, kesamaan dengan penelitian ini. Asrumi & Badrudin (2016). Penelitian Namun, dalam tesisnya berjudul Saadah, Asrumi & Badrudin ini Sapaan di Lingkungan Pesantren: mengkaji sapaan kekerabatan dan Studi Kasus Pondok Pesantren di sapaan nonkekerabatan pada Kabupaten Jember Khumaidi hanya masyarakat Jawa di Desa Jombang mengkaji sapaan di pesantren dalam Kecamatan Jombang Kabupaten ruang lingkup sosiolinguistik. Jember. Penelitian lain yang berkaitan Penelitian selanjutnya dilakukan dengan pesantren adalah yang disertasi oleh Gunadharma (2015) dengan judul Dhofier (1984) yang berjudul Tradisi Campur Kode dalam Percakapan Santri Pesantren: Studi tentang Pandangan Pondok Pesantren Darunnajah Ulujami Hidup Kiai. Dhofier memaparkan Jakarta Selatan: Analisis Sosio- tradisi pesantren dengan cukup linguistik. Gunadharma mengkaji komprehensif, tetapi ia hanya campur kode yang digunakan santri menitikberatkan pada pandangan kiai Pondok Pesantren Darunnajah, sebagai pemimpin dalam pesantren. Ulujami, Jakarta Selatan dengan teori Selanjutnya, Geertz (1933) dalam analisis sosiolinguistik. bukunya yang telah diterjemahkan Penelitian lainnya yang juga dengan judul Abangan, Santri, dan relevan adalah Penggunaan Sapaan Priyayi dalam Budaya Jawa. dalam Tuturan Santri di Pondok mengidentikkan santri dengan kegiatan Pesantren Al Amien Prenduan Sumenep yang hanya „berbau‟ akhirat. yang dilakukan Yuliati (2015). Kenyataan bahwa pesantren Penelitian Yuliati ini berfokus pada memiliki bentuk penghormatan berupa sapaan dalam ranah sosiolinguistik di sapaan yang khas dan pesantren Pondok Pesantren Al-Amien, Prenduan, merupakan hasil adopsi dari sistem Sumenep. yang sudah ada sebelumnya menjadi Selanjutnya, ada penelitian yang fenomena yang menarik untuk dikaji dilakukan Putri (2014) dengan judul lebih lanjut. Oleh karena itu, pada The Terms of Address Used by tulisan ini akan dibahas mengenai (1) Javanese Santri (A Case Study in Darul klasifikasi sapaan di pesantren, (2) ‘Ulum Islamic Boarding School, makna sapaan di pesantren, (3) sapaan Jombang). Penelitian ini mengkaji di pesantren dalam pandangan internal sapaan dalam pesantren yang pesantren, dan (3) sapaan di pesantren digunakan oleh santri Jawa di Pondok dalam pandangan budaya Jawa. Pesantren Darul Ulum Jombang dengan menggunakan pendekatan METODE PENELITIAN sosiolinguistik dengan teori Penelitian ini berangkat dari Kridalaksana dan Sadtono.