Volume 3 Nomor 1 E-ISSN: 2527-807X Januari-Juni 2018 P-ISSN: 2527-8088

MAKNA SAPAAN DI : KAJIAN LINGUISTIK-ANTROPOLOGIS

Millatuz Zakiyah [email protected] Universitas Brawijaya Malang

Abstract: This research aims to explains the meaning of some specific address terms such as kiai, gus, ning, kang, etc. which are obligatorily used on pondok pesantren in Jombang. This study discusses the classification and the meanings of address terms in pesantren as well as pesantren and Javanese cultural perspectives on the terms. This descriptive-qualitative research applies emic approach. The result shows that there are 15 address terms in pesantren, namely kiai, nyai, gus, mas, ning, bapak, ibu, mbak, kang, cak, ustadz, ustadzah, abah, abi, and umi. These distinctive address terms aim to honor the kiai, teachers, kiai’s and teachers‟families, and . Pesantren‟s view posits that respecting teachers, teachers‟ family, and fellow santri is a pace to get barokah and manfaat (benefit) of science, the santri’s ultimate goal and their destination of seeking knowledge. Meanwhile, Javanese cultural persepective argues that this respect indicates syncretism between Javanese and Islamic culture. The respect to kiai is influenced by the respect to begawan. On the other hand, santri’s attitude refers to cantrik. Different tributes between teacher and kiai are influenced by Javanese culture. It indicates the existence of different obligations and rights in pesantren which impact on the stratification at pesantren. The stratification at pesantren can bedivided into three classes; namely nursery class (kiai and his family), teacher class, and santri class. Keywords: pesantren, address terms, barokah, benefit, tribute

PENDAHULUAN para santri lulus dari pesantren Pesantren merupakan salah satu tersebut. lembaga pendidikan Islam yang Di sisi lain, terdapat pula sapaan ki memiliki sistem dan model pendidikan dan kiai dalam budaya Jawa untuk yang berbeda dengan sistem mengacu pada orang atau benda yang pendidikan di lembaga pendidikan dituakan. Terdapat pula sapaan nyi lainnya. Dalam pesantren, terdapat atau nyai bagi perempuan yang sapaan khusus bagi anggota pesantren dituakan. Selain itu, ada istilah raden seperti kiai, nyai, gus, ning, kang, dan bagus yang dipakai untuk memanggil cak. Khumaidi (2006) mengemukakan bangsawan muda. Hal ini bahwa pesantren memiliki sapaan dan menunjukkan adanya kemiripan antara panggilan khusus untuk memanggil sapaan yang digunakan di pesantren satu per satu bagiannya, seperti seperti dengan sapaan dalam budaya Jawa. kiai dan nyai untuk pemilik pesantren Kemiripan tersebut bukanlah dan gus atau ning untuk memanggil kearbitreran semata. Perlu diingat pula putra-putri mereka. Sebagian dari bahwa pesantren bukan semata sapaan ini merupakan ciri khas yang lembaga pendidikan Islam yang tertua, membedakan kalangan pesantren akan tetapi juga sebagai wujud dakwah dengan kalangan lain dan sebagian Islam pada mulanya yang dilakaukan sisanya merupakan sapaan yang dapat oleh walisanga. Dalam menyiarkan ditemukan di luar pesantren. Sapaan ajaran Islam, walisanga menekankan ini menjadi suatu kewajiban bagi beberapa aspek penting, salah satunya masyarakat pesantren, bahkan hingga pengembangan di bidang pendidikan.

11

Millatuz Zakiyah

Dalam pendidikan, Islam mengadopsi khas pesantren di pondok pesantren di sistem pendidikan biara dan asrama, wilayah Jombang, seperti kiai, nyai, yang juga disebut mandala. Sistem ini gus, dan ning untuk menyapa sebetulnya merupakan model pemimpin pondok pesantren dan pengajaran dan pembelajaran para keluarganya. Sementara itu, sesama biksu dan pendeta (Sofwan dkk 2000, santri terbiasa menggunakan sapaan 273). akrab seperti cak, kang, dan mbak. Kenyataan ini menunjukkan, Jika terlihat ada seorang santri meskipun bahasa bersifat arbitrer yang memanggil temannya dengan terdapat indikasi bahwa dalam sebutan mbak, atau cak, padahal santri beberapa hal terdapat keteraturan yang dipanggil tadi adalah putra atau dalam berbahasa. Bahkan, merujuk putri kiai di wilayah tinggalnya, secara pada Hipotesis Saphir-Whorf (dalam otomatis teman lain akan Ahearn 2012) ditemukan adanya mengingatkan bahwa itu adalah gus hubungan antara bahasa, budaya, dan atau ning. Hal ini semakin menguatkan pikiran manusia. Bahasa bukan hanya asumsi penulis bahwa terdapat sistem bunyi yang terjadi tiba-tiba. peraturan tidak tertulis mengenai Akan tetapi terdapat hal lain di luar sapaan khas pesantren yang harus sistem bunyi yang mempengaruhi ditaati oleh para santri dan pemilik keberadaan bahasa. Bahasa merupakan pesantren. salah satu representasi pandangan Sejauh ini, penelitian yang secara masyarakat penutur bahasa tersebut spesifik mengkaji sapaan di pesantren (Foley 1997). Oleh karena itu, apabila dengan ancangan linguistik- di pesantren terdapat sapan tertentu antropologis belum pernah dilakukan. yang terus digunakan dan bahkan Beberapa penelitian tentang sapaan di dianggap sebagai suatu kewajiban, pesantren sebelumnya, pada umumnya maka dapat dimungkinkan ada menggunakan pendekatan sosio- hubungan antara bahasa, budaya, dan linguistik dan pragmatik. Salah satu pemikiran masyarakat pesantren yang penelitian terkait sapaan di lingkungan bersifat mendasar dalam makna pesantren pernah dilakukan oleh sapaan ini. Anggraini (2017) pada penelitiannya Penelitian ini difokuskan di yang berjudul Stigmatisasi Penggunaan sejumlah pondok pesantren di Nama Sapaan di Kalangan Santri Kabupaten Jombang. Jombang Pondok Pesantren Kiai Ageng Selo merupakan kota santri dan bahkan Dukuh Selogringging, Desa Tulung, terdapat pameo bahwa Jombang adalah Kecamatan Tulung, Kabupaten Klaten. pusat pondok pesantren di Jawa karena Penelitian ini berkaitan dengan julukan hampir semua kiai yang memiliki yang dilabelkan terhadap santri, pesantren di Jawa pernah belajar di seperti panggilan menggunakan nama kota ini (Sakdiyah 2014). Di kabupaten hewan, kebiasaan, nama makanan, ini pula terdapat beberapa pondok jabatan/gelar, nama tokoh, bahkan pesantren tertua di , seperti nama asli. Tebuireng, pondok pesantren yang Penelitian lain dilakukan oleh Tiani didirikan Hadratussyaikh KH Hasyim (2016) dengan judul Kajian Perilaku Asy‟ari, pendiri Nahdlatul . Pragmatis terhadap Tindak Tutur Selanjutnya, pada artikel ini, istilah Santri terhadap Kiai di Pondok „pondok pesantren di Kabupaten Pesantren di Wilayah Kota . Jombang‟ akan disebut secara singkat Penelitian Tiani ini difokuskan pada menjadi „pesantren‟ atau „pondok kajian pragmatik dengan menggunakan pesantren‟ saja. prinsip kesantunan sebagai teori untuk Dalam berbagai interaksi, menganalisis data. Data yang ditemukan bahwa terdapat penyapaan 12 Leksema Vol 3 No 1 Januari-Juni 2018

Makna Sapaan di Pesantren: Kajian Linguistik-Antropologis digunakan berasal dari khitobah Jombang, Jember baik dari bahasa (pidato) di pesantren. verbal atau pun bahasa non-verbal Selain itu ada juga penelitian dengan menggunakan pendekatan tentang Penggunaan Kata Sapaan pada pragmatik. Masyarakat Jawa di Desa Jombang Penelitian yang dilakukan oleh Kecamatan Jombang Kabupaten Khumaidi (2006) juga memiliki Jember yang dilakukan oleh Saadah, kesamaan dengan penelitian ini. Asrumi & Badrudin (2016). Penelitian Namun, dalam tesisnya berjudul Saadah, Asrumi & Badrudin ini Sapaan di Lingkungan Pesantren: mengkaji sapaan kekerabatan dan Studi Kasus Pondok Pesantren di sapaan nonkekerabatan pada Kabupaten Jember Khumaidi hanya masyarakat Jawa di Desa Jombang mengkaji sapaan di pesantren dalam Kecamatan Jombang Kabupaten ruang lingkup sosiolinguistik. Jember. Penelitian lain yang berkaitan Penelitian selanjutnya dilakukan dengan pesantren adalah yang disertasi oleh Gunadharma (2015) dengan judul Dhofier (1984) yang berjudul Tradisi Campur Kode dalam Percakapan Santri Pesantren: Studi tentang Pandangan Pondok Pesantren Darunnajah Ulujami Hidup Kiai. Dhofier memaparkan Jakarta Selatan: Analisis Sosio- tradisi pesantren dengan cukup linguistik. Gunadharma mengkaji komprehensif, tetapi ia hanya campur kode yang digunakan santri menitikberatkan pada pandangan kiai Pondok Pesantren Darunnajah, sebagai pemimpin dalam pesantren. Ulujami, Jakarta Selatan dengan teori Selanjutnya, Geertz (1933) dalam analisis sosiolinguistik. bukunya yang telah diterjemahkan Penelitian lainnya yang juga dengan judul , Santri, dan relevan adalah Penggunaan Sapaan dalam Budaya Jawa. dalam Tuturan Santri di Pondok mengidentikkan santri dengan kegiatan Pesantren Al Amien Prenduan Sumenep yang hanya „berbau‟ akhirat. yang dilakukan Yuliati (2015). Kenyataan bahwa pesantren Penelitian Yuliati ini berfokus pada memiliki bentuk penghormatan berupa sapaan dalam ranah sosiolinguistik di sapaan yang khas dan pesantren Pondok Pesantren Al-Amien, Prenduan, merupakan hasil adopsi dari sistem Sumenep. yang sudah ada sebelumnya menjadi Selanjutnya, ada penelitian yang fenomena yang menarik untuk dikaji dilakukan Putri (2014) dengan judul lebih lanjut. Oleh karena itu, pada The Terms of Address Used by tulisan ini akan dibahas mengenai (1) Javanese Santri (A Case Study in Darul klasifikasi sapaan di pesantren, (2) ‘Ulum Islamic Boarding School, makna sapaan di pesantren, (3) sapaan Jombang). Penelitian ini mengkaji di pesantren dalam pandangan internal sapaan dalam pesantren yang pesantren, dan (3) sapaan di pesantren digunakan oleh santri Jawa di Pondok dalam pandangan budaya Jawa. Pesantren Darul Ulum Jombang dengan menggunakan pendekatan METODE PENELITIAN sosiolinguistik dengan teori Penelitian ini berangkat dari Kridalaksana dan Sadtono. fenomena kebahasaan yang terdapat Kemudian, ada penelitian Mislikah dalam masyarakat pesantren. (2014) yang berjudul Kesantunan Fenomena kebahasaan ini dikaji Berbahasa dalam Interaksi Sosial di seturut pandangan, penataan, dan Pondok Pesantren Mabdaul Ma’arif penghayatan masyarakat penuturnya Jombang Jember. Penelitian ini atau disebut juga pendekatan emik. membahas kesantunan berbahasa di Pendekatan emik menggunakan wilayah pesantren Mabdaul Ma‟arif, kategori budaya setempat untuk memahami fenomena budaya tertentu

Leksema Vol 3 No 1 Januari-Juni 2018 13 Millatuz Zakiyah

(Kaplan & Manners 1999, 259). Untuk nyai, gus, mas, ning, romo, bapak, ibu, dapat memperoleh gambaran dari mbak, kang, dan cak. Sementara dalam masyarakat tersebut, penelitian sapaan yang berasal dari bahasa Arab ini dilakukan dengan mendaftar sapaan adalah ustadz, ustadzah, abah, abi, dan yang terdapat dalam pesantren di umi. Berdasarkan kedudukan dalam Kabupaten Jombang dari sumber pesantren, sapaan dalam pesantren tertulis dan lisan. diklasifikasikan atas pengasuh, guru, Validasi data penelitian dilakukan dan santri. Sapaan untuk pengasuh dengan teknik triangulasi data,terdiri adalah kiai, nyai, gus, mas, ning, romo, atas triangulasi sumber, triangulasi abah, abi, pak kiai, ibu, ibu nyai, dan teori, dan teori metode. Triangulasi umi. Sapaan untuk guru adalah bapak, sumber dengan mengumpulkan data ibu, ustadz, dan ustadzah. Sapaan dari informan dan data tertulis. untuk santri adalah mbak, kang, dan Triangulasi teori dengan menggunakan cak. teori linguistik dan teori etnografi. Makna Sapaan di Pesantren Triangulasi metode dengan Panggilan kiai ditujukan untuk menggunakan metode pengumpulan pemimpin pesantren. Sapaan ini data melalui wawancara lisan dan terkadang dirangkai atau diganti observasi langsung. menjadi dengan abah, abah yai, pak Metode analisis data dilakukan kiai, abi, atau romo yai. Panggilan nyai dengan mengajukan pertanyaan pada ditujukan untuk istri kiai. Panggilan diri sendiri secara intensif (Wierzbicka ini terkadang dirangkai atau diganti 1985). Setelah itu dilakukan menjadi ibu, ibu nyai, atau umi. penelusuran pustaka yang relevan dan Panggilan gus ditujukan untuk putra wawancara terhadap informan dari kiai. Di daerah Pasuruan, panggilan ini kalangan pesantren. Hasil dari diganti dengan mas. Di pesantren lain, introspeksi diri ini kemudian panggilan mas ditujukan untuk putra dihubungkan dengan penelusuran kiai yang masih kecil. Panggilan ning pustaka dan wawancara terhadap ditujukan untuk putri kiai. Panggilan informan untuk mendapatkan bapak dan ibu digunakan untuk guru gambaran yang utuh tentang dalam pesantren. Panggilan ini pandangan kalangan pesantren terkadang digantikan dengan ustadz mengenai penggunaan sapaan. dan ustadzah. Panggilan mbak, kang,

dan cak digunakan untuk memanggil PEMBAHASAN santri. Mbak untuk santri putri dan cak Klasifikasi Sapaan di Pesantren dan kang untuk santri putra. Sebelum memahami makna sapaan Terdapat beberapa pendapat terkait dalam pesantren, dilakukan klasifikasi asal penamaan kiai. Kiai berasal dari sapaan untuk memetakan makna kata yahi yang dalam bahasa Jawa masing-masing sapaan yang berarti „penyucian pada yang tua‟, selanjutnya membentuk makna utuh „sakral‟, „keramat‟, „sakti‟ (Noer 2001, tentang pandangan dalam pesantren. 91). Kiai dalam masyarakat Jawa juga Untuk tujuan ini, klasifikasi sapaan diartikan sebagai gelar kehormatan dalam pesantren dilakukan bagi sesuatu yang dikeramatkan, berdasarkan asal kata sapaan tersebut seperti sebautan Kiai Garuda Kencana dan kedudukannya dalam pesantren. bagi kereta emas di Keraton Berdasarkan asalnya, kata sapaan Yogyakarta‟. Kiai (Jawa) gelar dalam pesantren dibedakan menjadi kehormatan untuk orang tua (Dhofier dua, yaitu sapaan yang berasal dari 1984, 55). bahasa Jawa dan bahasa Arab. Sapaan Dalam kamus bahasa Jawa, yang berasal bahasa Jawa adalah kiai, Baoesastra Djawa (Poerwadarminta

14 Leksema Vol 3 No 1 Januari-Juni 2018

Makna Sapaan di Pesantren: Kajian Linguistik-Antropologis

1939, 222), kata kiai merupakan sebutan bagi simpanan orang Belanda‟. sesebutaning wong tuwa kang diurmati Dalam hal ini, nyai yang dimaksudkan atau „sebutan bagi orang tua yang adalah arti yang pertama. dihormati‟. Makna ini senada dengan Panggilan lain untuk kiai dan nyai, sebutan ki yang diartikan sebagai sebagaimana dipapakan sebelumnya, sesebutaning wong tuwa utawa kang adalah abah, abah yai, pak kiai, abi, diajeni atau „sebutan bagi orang tua atau romo yai dan ibu, ibu nyai, atau atau yang dituakan atau dihormati‟. umi. Panggilan ini biasanya Kedua panggilan ini digunakan untuk disesuaikan dengan bagaimana putra memanggil orang tua, benda pusaka, dan putri kiai dan nyai memanggil atau guru sebagaimana yang orang tuanya. Selain itu, panggilan ini diceritakan dalam memang lazim ditujukan anak pada dan Babad Jaka Tingkir. orang tuanya. Hal ini disebabkan Selain pendapat tersebut, dalam pesantren, kiai dan nyai adalah berdasarkan hasil wawancara penulis orang tua bagi santri yang tinggal jauh terhadap dua informan ditemukan dari orang tuanya. Selain itu, dari segi bahwa penamaan ini didasarkan pada spritual dan keilmuan, kiai berperan kata iki ae yang merupakan sebagai „bapak‟ santri. kependekan dari „iki ae yang dijadikan فإن مه علمل حرفا َاحدا مما تحتاج إليً فى الديه فٍُ pemimpin‟ atau „iki ae yang dijadikan أبُك rujukan dalam ilmu agama‟. Hal ini disebabkan karena kiai berperan sebagai agen budaya dan memiliki Dan sesungguhnyalah orang yang fungsi ganda, yakni di satu sisi sebagai mengajarmu walaupun hanya sepatah pengasuh, pemilik pesantren, kata dalam pengetahuan agama adalah pembimbing santri, pengayom umat, ayahmu menurut ajaran Islam. dan peneliti, di sisi lain sebagai Konsekuensi lazim tersirat, mafhum asimilator kebudayaan luar yang muwafaqoh dalam istilah pesantren, masuk pesantren (Wahid dalam dari penghormatan dan penempatan Farchan & Syarifuddin 2005, 7-8). kiai sebagai „bapak‟ dalam segi spritual Posisi kiai dalam dunia pesantren dan keilmuan santri, maka nyai menempati posisi strategis karena berperan sebagai ibu santri-santri konstruksi sosial yang ada di dalam tersebut dalam spritual dan keilmuan. pesantren. Pesantren diibaratkan Panggilan gus ditujukan untuk kerajaan kecil, kiai merupakan sumber putra atau menantu lelaki kiai. mutlak dari kekuasaan dan Panggilan gus merupakan kependekan kewenangan dalam kehidupan dan dari kata agus yang berasal dari kata lingkungan pesantren (Farchan & bagus (Dhofier 1984, 69). Panggilan ini Syarifuddin 2005,153). Semua asumsi mirip dengan gelar kebangsawanan di tersebut menunjukkan bahwa kata kiai Jawa, yaitu raden bagus (Sukamto, berasal dari bahasa Jawa, bukan 1999, 84). Gus diharapkan menjadi bahasa Arab yang identik dengan penerus kiai, maka ia diperlakukan bahasa kitab suci umat Islam. khusus (Dhofier 1984, 69-71). Salah Di sisi lain, kata nyai berasal dari satu perlakuan khusus adalah dengan kata nyahi yang merupakan pasangan memberi gelar sapaan khusus, yaitu dari kata yahi yang menunjukkan arti gus. „orang tua‟, „keramat‟, „sakral‟, dan Menurut Poerwadarminta (1939, „yang dihormati‟ (Noer 2001, 91). Kata 25), kata bagus diartikan sebagai nyai oleh Poerwadarminta (1939, 352) sesebutane bocah (wong) lanang sing diartikan sebagai sesebutaning wong rada duwur pangkate „sebutan bagi wadon bojoning guru ngelmu, sebutan anak (orang) lelaki yang memiliki gundik Wlanda „sebutan bagi istri guru, kedudukan tinggi‟. Panggilan ini sering

Leksema Vol 3 No 1 Januari-Juni 2018 15 Millatuz Zakiyah digunakan untuk memanggil anak perbedaan panggilan bagi anak kiai. bangsawan di Jawa. Hal ini Pebedaan ini akan dijelaskan lebih menunjukkan bahwa ada lanjut pada bagian selanjutnya. penghormatan khusus bagi putra kiai Salah satu panggilan untuk guru di di pesantren. pesantren adalah „bapak‟. Panggilan ini Selain panggilan gus, putra lelaki tidak hanya digunakan di pesantren. Di kiai juga terkadang dipanggil dengan luar pesantren pun, lazim seorang mas. Panggilan ini lazim digunakan siswa memanggil guru lelakinya untuk memanggil anak lelaki yang tua dengan „bapak‟. Menurut hasil atau dituakan berasal dari kata wawancara dengan salah satu kangmas. Di pesantren, panggilan mas informan, dulu di pesantren, panggilan memiliki kesan penghormatan dan „bapak‟ ini tidak disertai dengan nama kedekatan. Meskipun berasal dari guru yang bersangkutan, melainkan kangmas, penggunaan kata kang dan dengan „bapak guru‟. Hal ini mas memiliki rasa dan fungsi yang disebabkan panggilan dengan nama berbeda di pesantren. Kata kang dianggap tabu di pesantren sekitar digunakan untuk memanggil sesama tahun 1980-an. Penghormatan santri dan kata mas mengacu pada terhadap guru berimplikasi dengan putra kiai. Kata kang dirasa memberi ketabuan panggilan terhadap nama penghormatan bagi teman lelaki yang yang bersangkutan. tidak menimbulkan kesan intim bagi Kata bapak dalam kamus lawan jenis. Berbeda dengan kata mas Baoesastra Djawa (Poerwadarminta yang dipersepsikan intim. Oleh karena 1939, 222) berasal dari kata bapa yang itu, panggilan mas ini hanya akan diartikan wong tuwa, kanggo panyeluk disematkan pada putra kiai yang masih marang kang luwih tuwa atau „orang kecil atau kepada saudara kandung dan tua, untuk memanggil orang yang lebih suami santri putri. tua‟. Penggunaan kata „bapak‟ Kata ning oleh Poerwadarminta menunjukkan bahwa guru adalah (1939, 345) diartikan sebagai kuning, orang tua sekaligus orang yang penyebutan marang bocah wadon, dituakan atau dihomati di pesantren. wening (kuning, sebutan bagi anak Sebagaimana hadits yang disebutkan perempuan, bening). Panggilan ning pada bagian sebelumnya, guru adalah untuk anak perempuan di luar orang tua bagi muridnya, oleh karena pesantren, hanya digunakan di daerah itu sudah seharusnya seorang murid Jawa Timur sekitar Kota Surabaya, memanggil guru lelakinya dengan yakni Kota Surabaya, Kabupaten sebutan „bapak‟. Pemanggilan ini juga Sidoarjo, dan Kota/Kabupaten digunakan kiai atau keluarganya untuk Mojokerto. memanggil guru lelaki di pesantren. Meski tidak mengacu pada Hal ini menunjukkan bahwa kiai dan panggilan bagi bangsawan di Jawa, keluarganya memiliki keharusan untuk panggilan ini sejajar dengan panggilan menghormati guru yang mengajar para mbak yang digunakan untuk santri. perempuan yang tua atau dituakan. Dalam Kamus Besar Bahasa Akan tetapi, di pesantren, panggilan ini Indonesia (2008) panggilan „ibu‟ berbeda dengan panggilan mbak. diartikan sebagai „wanita yang telah Panggilan mbak digunakan untuk melahirkan seseorang, panggilan yang memanggil santri baik oleh sesama takzim bagi perempuan baik yang santri atau oleh pihak kiai, nyai, gus, bersuami maupun belum‟. Panggilan ning, dan guru. Sementara panggilan „ibu‟ lazim digunakan untuk menuakan ning khusus untuk memanggil putri dan menghormati sekaligus panggilan kiai. Hal ini menunjukkan adanya bagi orang tua. Di pesantren, panggilan ini digunakan bagi guru putri yang 16 Leksema Vol 3 No 1 Januari-Juni 2018

Makna Sapaan di Pesantren: Kajian Linguistik-Antropologis jenjang usianya cukup jauh dengan selain di pesantren banyak digunakan santri atau yang sudah bersuami. untuk kalangan menengah ke bawah. Sebagaiman sebelumnya, guru Kemudian, kata cak merupakan diibaratkan sebagai orang tua bagi panggilan untuk lelaki yang lebih tua muridnya sehingga sudah seharusnya di daerah Jawa Timur. Panggilan ini murid menghormati—memanggil tidak banyak digunakan kecuali oleh termasuk di dalamnya—sebagaimana orang generasi tua atau kalangan memanggil orang tuanya. pesantren. Sekarang, di luar pesantren Sementara itu, panggilan ustadz panggilan ini digunakan untuk berasal dari bahasa Arab yang berarti kalangan menengah ke bawah. Akan „guru lelaki‟. Berdasarkan hasil tetapi, penggunaan kata kang dan cak wawancara dengan informan yang telah memberi kesan penghormatan yang menempuh perkuliahan di Yaman, tidak intim bagi lawan jenis. Hal ini panggilan ini di Timur Tengah merupakan implikasi dari pembatasan digunakan untuk memanggil guru hubungan lawan jenis di pesantren. muda atau guru yang keilmuannya Oleh karena itu, panggilan ini masih terus dikembangkan. Bahkan bertujuan untuk tetap menghormati ustadz digunakan untuk gelar setara sekaligus menjaga jarak antara santri doktor. Akan tetapi, di pesantren putri dan putra. bergeser dari penggunaan asalnya di Sementara itu, panggilan mbak Timur Tengah. dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Penggunaan kata ustadz untuk (2008) diartikan sebagai „panggilan memanggil guru pun merupakan hal terhadap wanita yang lebih tua di baru di pesantren. Sebelumnya, hanya Jawa, kata sapaan terhadap wanita menggunakan kata „bapak‟ yang muda‟. Panggilan ini di pesantren dipendekkan menjadi „pak‟. ditujukan bagi santri putri untuk Sebagaimana ustadz, kata ustadzah memberikan kesan penghormatan. juga berasal dari bahasa Arab untuk Selain bagi santri putri, panggilan ini mengacu pada guru perempuan. meski lazim ditujukan pada guru muda dalam sebagian besar perempuan yang masih berstatus hanya tertulis ustadz akan tetapi santri. dipahami bahwa ustadzah termasuk di Sapaan di Pesantren dalam dalamnya. Panggilan ini pun baru Pandangan Pesantren digunakan pada satu dekade terakhir. Berdasarkan analisis masing- Sebelumnya, untuk memanggil guru masing sapaan yang berlaku di perempuan digunakan kata „ibu‟ atau pesantren, ditemukan bahwa sapaan mbak bagi guru muda yang masih tersebut bertujuan untuk memuliakan berstatus santri. kiai dan keluarganya, guru, dan sesama Menurut Poerwadarminta (1939, santri. Penghormatan ini bukan 181), kata kang berasal dari kata merupakan penghormatan yang kangmas atau kakang yang berarti bersifat tanpa makna. Dalam Kitab sedulur lanang kang luwih tuwa, Ta’limul Muta’allim, Syekh tunggal jenis nanging kang luwih gede Burhanuddin Zarnuji memaparkan „saudara lelaki yang lebih tua, sejenis bahwa untuk mendapatkan ilmu yang tetapi lebih tua‟. Kata kang di bermanfaat seorang tholib al ilm pesantren digunakan untuk memanggil (pencari ilmu) haruslah menghormati santri putra. Panggilan ini ilmu. Sebelum membahas lebih jauh menunjukkan arti penghormatan tentang pendapat Az Zarnuji, pemilihan sekaligus persaudaraan. Hal ini kitab Ta’limul Muta’allim sebagai disebabkan sistem persahabatan di rujukan kunci untuk membedah makna pesantren layaknya saudara. sapaan di pesantren disebabkan karena Penggunaan kata kang sekarang ini kitab ini merupakan kitab wajib dalam

Leksema Vol 3 No 1 Januari-Juni 2018 17 Millatuz Zakiyah

kajian akhlak di hampir seluruh Kemanfaatan ilmu merupakan tujuan pondok pesantren di Indonesia (Waris, utama pencarian ilmu menuju ke- 2015). Oleh karena itu, dapat barokah-an ilmu. Hal ini mengacu pada diasumsikan jika pangkal dari segala salah satu hadits Nabi Muhammad bentuk penghormatan terhadap guru yang berarti „sebaik-baik manusia, dan sesama santri adalah berasal dar ialah yang bermanfaat bagi sesama‟. kitab ini. Penghormatan pada ilmu Tidak berhenti di sini, pesantren diwujudkan dengan menghormati guru memiliki pandangan tersendiri terkait dan teman sesama pencari ilmu. ilmu. Ilmu merupakan sesuatu yang Penghormatan terhadap guru, suci dan sakral yang akan dapat keluarganya, dan sesama santri diperoleh bukan hanya melalui diungkapkan oleh Syekh Zarnuji dalam kecerdasan intelektual, kesabaran dan kutipan berikut: kesungguhan para pencari ilmu, tetapi juga didasarkan pada kesucian hati pencari ilmu, restu, dan barokah kiai اعلمبأوطالبالعلماليىااللعلمُاليىتفعبٍاالبتعظيمالعلمُاٌل .(Mardiyah 2012, 256-257) ٌُتعظيماألستاذَتُقيري Barokah atau berkah bisa diartikan Ketahuilah, sesungguhnya pencari ilmu sebagai ziyādatul khoir „bertambahnya tidak akan mendapatkan ilmu dan kebaikan‟. Jika A hanya berpenghasilan kemanfaatannya kecuali dengan Rp1.000.000 perbulan, tetapi tidak memuliakan ilmu, pemilik ilmu, dan merasa kekurangan, dikaruniai dengan memuliakan serta mengagungkan guru (16). keluarga yang bahagia dan sehat, dan anak yang sholih dan sholihah, berarti Penghormatan terhadap guru juga A memiliki rizki yang barokah. diwujudkan dalam penghormatan Sebaliknya, jika B berpenghasilan terhadap keluarga guru tersebut, Rp100.000.000 perbulan, tetapi anak- termasuk putra dan istri guru seperti anaknya bermasalah, dia sakit-sakitan, disampaikan Syekh Zarnuji berikut: istrinya tidak setia, hingga penghasilan besarnya tidak mampu mencukupi kebutuhannya dan keluarga, maka َمىتُقيرٌتُقيراَالدٌُمىيتعلقبً rizki B dianggap tidak barokah. Termasuk cara menghormati guru Barokah tidak hanya berhubungan adalah menghormati anak-anaknya dan dengan materi, tetapi adanya siapa pun yang berkaitan dengannya (17). pertambahan kebaikan dalam seluruh lini kehidupan, seperti kemudahan Sementara itu, penghormatan untuk mendapatkan rizki, kemudahan kepada sesama santri sebagaimana untuk menyelesaikan pendidikan, dituturkan Syekh Zarnuji sebelumnya, kemudahan dalam berkarir, dan yakni menghormati ahli ilmu, dalam ketenangan hati. Barokah dalam hal ini di antaranya adalah santri pesantren lebih penting dari nilai ujian sebagai pencari ilmu sebagai berikut: yang tinggi, prestasi akademik, dan perolehan akademik lain. Barokah dapat dicapai di antaranya melalui اعلمبأوطالبالعلماليىااللعلمُاليىتفعبٍاالبتعظيمالعلمُاٌل ,ilmu yang bermanfaat. Sementara itu ي Ketahuilah, sesungguhnya pencari ilmu salah satu cara mencapai kemanfaatan tidak akan mendapatkan ilmu dan ilmu adalah dengan menghormai kiai, kemanfaatannya kecuali dengan guru, dan sesama santri. memulyakan ilmu dan pemilik ilmu. Sapaan di Pesantren dalam Semua penghormatan ini bermuara Pandangan Budaya Jawa pada kemanfaatan ilmu bagi santri Meskipun sapaan di pesantren yang sedang mencari ilmu. mengandung nilai Islam yang kuat,

18 Leksema Vol 3 No 1 Januari-Juni 2018

Makna Sapaan di Pesantren: Kajian Linguistik-Antropologis ternyata konsep penghormatan dalam berikut ini: Ngenani anane somawana pesantren tidak semata dipengaruhi kiprah mekare tsaqofah Hindu ing oleh ajaran Islam. Pada ajaran Islam Nusa salaladane, kewajibane para wali tidak terdapat ajaran untuk arep alaku tut wuri agiseni, darapon membedakan panggilan antara guru supaya sanak-sanak Hindu malah lega dan murid. Lebih lanjut, tidak terdapat legawa manjing Islam (Darban 2008, 3). pengklasifikasian bahasa yang Dalam kesepakatan tersebut digunakan untuk berbicara untuk ditegaskan bahwa konsep penyebaran pihak yang dihormati. Ajaran Islam Islam di Jawa dilakukan dengan hanya mengajarkan untuk menghomati sinkretisme budaya Jawa dan ajaran orang lain lebih baik atau sama dengan Islam (tut wuri agiseni). Keputusan ini penghormatannya kepada kita (QS An diambil setelah Maulana Ishak Nisā: 86), larangan untuk memanggil mengusulkan agar ulama memberantas dengan panggilan yang tidak disukai semua budaya non-Islam yang terdapat (QS Al Hujurāt:11), dan larangan untuk di Jawa (Darban 2008, 3). Salah satu berbicara dengan Nabi dengan suara ujung tombak sinkretisme adalah yang tinggi (QS Al Hujurāt: 2). pesantren yang mengadopsi konsep Sementara itu, dalam Ta’limul pendidikan Hindu. Pesantren pada Muta’allim yang menawarkan konsep mulanya diprakarsai oleh Sunan penghormatan terhadap guru, Maulana akan tetapi keluarga, dan sesama teman yang baru benar berhasil dan tersistem sedang mencari ilmu, tidak terdapat dengan cukup baik pada masa Sunan anjuran untuk membedakan panggilan Ampel (Sofwan, dkk 2000, 274). antara guru dan kiai atau ulama. Pesantren pada awal berdirinya, akhir Bahkan, lebih jauh dalam abad ke-15, dipimpin oleh para wali. menggunakan bahasa antara Allah, Akan tetapi, sejak abad ke-19, peranan Nabi, manusia biasa, jin hingga setan, para wali digantikan oleh para kiai Al pun tidak menggunakan kata (Anam dalam Sukamto 1999, 77). yang berbeda untuk kata „berbicara‟ Keterkaitan antara pesanten dan dengan menggunakan kata qōla. Akan budaya Jawa dalam sejarah pendirian tetapi dalam bahasa Indonesia dan pesantren tidak berhenti di sini. bahasa Jawa, terjadi pembedaan Pesantren, atau seringkali disebut juga pilihan kata untuk terjemah kata ini. sebagai pondok pesantren, merupakan untuk Allah, kita menggunakan diksi salah satu lembaga pendidikan Islam „berfirman‟, Nabi „bersabda‟, kiai yang masih bertahan dan berkembang dawuh, orang tua atau guru ngendika, hingga saat ini. Istilah „pondok‟ lebih orang biasa „bicara‟ atau ngomong dikenal pada era sebelum tahun 60-an. dalam bahasa Jawa. Bahkan Sebutan „pondok‟ berasal dari barangkali untuk setan akan pengertian „asrama para santri‟, atau digunakan kata nyocot. „tempat tinggal yang terbuat dari Pengklasifikasian ini dipengaruhi oleh bambu‟. Istilah ini „pondok‟ bisa juga bahasa Jawa yang mengenal tingkatan berasal dari bahasa Arab funduq yang dalam berbahasa, yaitu krama inggil, berarti „hotel‟ atau „asrama‟ (Dhofier krama alus, dan ngoko. 1984, 18). Pada perkembangan Hal ini menunjukkan bahwa selanjutnya, pondok lebih dikenal terdapat pengaruh budaya Jawa dalam dengan istilah „pesantren‟ di Jawa dan pesantren. Perlu diingat, konsep Madura. pesantren mulanya digagas oleh oleh Lebih lanjut, banyak ahli yang para wali melalui suatu kesepakatan berusaha mendefinisikan asal kata yang dituliskan dalam naskah kuno „santri‟ yang membentuk kata bertuliskan arab gundhil (arab gandhul „pesantren‟. „Pesantren‟ merupakan dalam istilah pesantren sekarang) bentukan dari kata „santri‟ dengan

Leksema Vol 3 No 1 Januari-Juni 2018 19 Millatuz Zakiyah imbuhan pe-an yang merupakan Lebih lanjut, pengkultusan kiai dan „tempat para santri‟ (Noer 2001). Santri penempatan kiai sebagai raja dalam berasal dari kata santra (sant berarti „kerajaan‟ pesantren yang berdaulat „manusia baik‟ dan tra berarti „suka juga diilhami oleh padepokan yang menolong‟) yang „berarti tempat orang diampu oleh para begawan sebagai baik‟ (Noer 2001). Selain menduga gurunya dan cantrik sebagai muridnya. berasal dari kata santra, Noer (2001) Pada masa tersebut, begawan atau resi juga menduga kata santri berasal dari memiliki kedudukan yang terhormat, kata „cantrik‟ (orang yang selalu bermartabat, dan memiliki legitimasi mengikuti seorang guru ke mana guru sosial yang mengagumkan. Sementara pergi menetap). Sementara itu, Berg cantrik memiliki kewajiban untuk (dalam Dhofier 1984) mengemukakan patuh kepada begawan secara mutlak. bahwa kata santri berasal dari bahasa Pengaruh ini pun berimbas pada Islam Sanskerta sashtri yang berarti „orang di Jawa yang oleh para wali disebut tut yang tahu buku-buku suci agama wuri agiseni atau sinkretisme budaya Hindu‟. Tidak hanya itu, lebih lanjut Jawa dan ajaran Islam. Dalam Chatuverdi dan Tiwari (dalam Dhofier pesantren salah satunya tampak dalam 1984) mengemukakan bahwa kata penggunaan sapaan sebagai wujud santri berasal dari kata shastri yang penghormatan terhadap kiai, guru, dan berasal dari kata shastra (buku-buku santri. Penghormatan dalam budaya suci). Dari paparan tersebut dapat Jawa tidak hanya cukup hanya disimpulkan bahwa pesantren diwujudkan dalam sikap tetapi juga merupakan tempat bagi para santri. dalam berbahasa. Oleh karena itu, Berdasarkan sejarah kata „pondok‟, untuk mencapai penghormatan yang „pesantren‟, dan „santri‟, secara tersirat sempurna menuju ke-barokah-an ilmu, terdapat hubungan antara pesantren digunakanlah sapaan dalam pesantren dengan bahasa Arab—sebagai bahasa yang memiliki jenjang yang berbeda agama Islam—dan bahasa Sansekerta pada tiap tingkatannya. yang digunakan di India dan dibawa Penggunaan jenjang penghormatan oleh pemukan agama Hindu ke Jawa. ini menunjukkan adanya strata dalam Akan tetapi, ada mata rantai yang pesantren. Strata ini semakin tampak terputus di sini. Di dalam pendidikan pada sosok kiai di dalam pesantren masa Hindu di Jawa terdapat istilah yang digambarkan seperti „raja‟ atau padepokan yang mengacu pada tempat pemimpin yang berdaulat. Bahkan belajar para cantrik kepada begawan menurut Mardiyah (2012) kiai atau resi. Padepokan inilah yang merupakan motivator dan inovator kemudian seharusnya diacu sebagai dalam pesantren dan menjadi rujukan asal kata „pondok‟, bukan dari kata dalam rekonsilisai masalah (Farchan & funduq. Sementara kata „santri‟ berasal Syarifuddin, 2005). Hal ini dari kata „cantrik‟ yang berarti „murid menunjukkan bahwa kedudukan kiai yang tinggal mengikuti para begawan adalah kedudukan tertinggi dalam untuk belajar‟. Kata „cantrik‟ ini pesantren. Implikasi lain, kerabat kiai mungkin berasal dari kata sashtri, juga memiliki kedudukan yang sama di bukan kata „santri‟. Pernyataan ini dalam pesantren, mengacu pada senada dengan pernyataan Darban Koentjaraningrat (1990) yang (2008) bahwa pendidikan Hindu semula menyebutkan bahwa salah satu alasan bernama padepokan dengan „begawan‟ kedudukan seseorang adalah karena sebagai sebutan gurunya dan „cantrik‟ kekerabatannya dengan pemimpin di sebagai sebutan bagi muridnya. Begitu masyarakat. pula Noer (2001) juga menduga bahwa Selain kedudukan kiai dan asal mula kata „santri‟ berasal dari kata keluarganya yang menempati „cantrik‟. kedudukan tertinggi, terdapat guru 20 Leksema Vol 3 No 1 Januari-Juni 2018

Makna Sapaan di Pesantren: Kajian Linguistik-Antropologis yang memiliki kedudukan di bawah Dalam pandangan budaya Jawa kiai. Hal ini ditunjukkan dengan penghormatan ini menunjukkan sapaan penghormatan terhadap guru adanya sinkretisme budaya Jawa dan berupa „bapak‟ dan „ibu‟ yang juga ajaran Islam. Penghormatan terhadap merupakan sapaan untuk kiai (pak kiai dipengaruhi penghormatan kiai) dan nyai (ibu nyai). Baik kiai terhadap begawan. Begitu pula sikap maupun guru juga merupakan pendidik santri yang mengacu pada cantrik. dalam pesantren yang dalam Islam Penghormatan yang berbeda antara dianggap sebagai „ayah‟ spiritual santri. guru dan kiai dipengaruhi oleh budaya Di sisi lain, terdapat santri yang Jawa. Penghormatan berbeda ini pun memiliki kedudukan paling „rendah‟ di menunjukkan adanya perbedaan antara ketiganya karena santri kewajiban dan hak dalam pesantren diharuskan menghormati kiai dan yang berdampak pada adanya guru, berbeda dengan kiai dan guru stratifikasi dalam pesantren. yang berkewajiban mendidiknya. Stratifikasi ini dibagi dalam tiga kelas Perbedaan kewajiban dan hak dari kelas tertinggi, berturut-turut kelompok dalam masyarakat adalah kelas pengasuh (kiai dan keluarganya), wujud dari adanya stratifikasi sosial kelas guru, kemudian kelas santri. (Sorokin dalam Sutinah & Norma, Penelitian ini diharapkan 2004). Penggunaan sapaan tertentu memberikan kontribusi teoretis yang bertujuan untuk penghormatan terhadap kajian linguistik-antropologis, dalam pesantren merupakan salah satu terutama dalam pengungkapan makna bentuk adanya stratifikasi sosial di sapaan di pesantren secara lebih pesantren. Perbedaan panggilan, mendalam. Penelitian lain yang serupa seperti kiai, nyai, gus, dan ning untuk dapat dilakukan dengan menggunakan pemimpin pesantren dan keluarganya; objek penelitian yang berbeda dengan kang, cak, dan mbak untuk para santri; pendekatan yang sama, yakni serta bapak, ibu, ustadz, dan ustadzah linguistik-antropologis. bagi para guru menunjukkan adanya penghormatan tersebut. DAFTAR PUSTAKA Berdasarkan kedudukannya, pada Ahearn, Laura M. 2012. Living Language; klasifikasi sapaan, tampak adanya tiga An Introduction to Linguistic kelas dalam pesantren, yaitu pengasuh Anthropology. Oxford: Wiley-Blackwell sebagai kelas pertama, guru sebagai Anggraini, ND. 2017. Stigmatisasi kelas kedua, dan santri sebagai kelas Penggunaan Nama Sapaan di ketiga dalam pesantren. Ketiga kelas Kalangan Santri Pondok Pesantren Kiai ini tampak perbedaannya saat dikaji Ageng Selo Dukuh Selogringging, Desa dalam pembahasan terkait dengan Tulung, Kecamatan Tulung, Kabupaten makna sapaan dalam pesantren, baik Klaten (Skripsi). Surakarta: FKIP Universitas Surakarta dari sudut pandang pesantren sendiri maupun dari budaya Jawa. Darban, Ahmad Adaby. 2008. Fragmenta Sejarah Islam Indonesia. Surabaya: JP Books KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan di atas, Dhofier, Zamakhsyari. 1984. Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan dapat disimpulkan bahwa makna Hidup Kiai. Jakarta: Pustaka LP3ES sapaan dalam pesantren adalah Farchan & Syarifuddin. 2005. Titik Tengkar penghormatan. Dalam pandangan Pesantren: Resolusi Konflik Masyarakat pesantren, penghormatan terhadap Pesantren. Yogyakarta: Pilar Religius guru, keluarga guru, dan sesama santri Foley, William A. 2001. Anthropoligical adalah salah satu cara memperoleh Linguistics: An Introduction. Beijing: kemanfaatan ilmu yang merupakan Blackwell Publishers Ltd. tujuan utama santri mencari ilmu.

Leksema Vol 3 No 1 Januari-Juni 2018 21 Millatuz Zakiyah

Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Putri, AT. 2014. The Terms of Address Used Priyayi dalam Masyarakat Jawa. by Javanese Santri (A Case Study in Jakarta: Pustaka Jaya Darul ‘Ulum Islamic Boarding School, Gunadharma, I. 2015. Campur Kode dalam Jombang) (Skripsi). Malang: FIB Percakapan Santri Pondok Pesantren Universitas Brawijaya, Darunnajah Ulujami Jakarta Selatan: Saadah, I. 2016. Asrumi & A. Badrudin. Analisis Sosiolinguistik (Skripsi) “Penggunaan Kata Sapaan pada Yogyakarta: FIB Universitas Gadjah Masyarakat Jawa di Desa Jombang Mada Kecamatan Jombang Kabupaten Kaplan, David & Manners, Albert. 1999. Jember”. Publika Budaya 1 (1): 1-7 Teori Budaya (Terjemahan). Sakdiyah, F. 2014. Implementasi Konsep Yogyakarta: Pustaka Pelajar Keadilan oleh Pelaku Poligami Khumaidi. 2006. Sapaan di Lingkungan (Studi Kasus Kyai Jombang) (Skripsi). Pesantren: Studi Kasus Pondok Malang: Fakultas Syariah UIN Maliki Pesantren di Kabupaten Jember (Tesis). Sofwan, Ridin dkk. 2000. Islamisasi di Yogyakarta; Program Studi Ilmu Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Linguistik FIB UGM Sukamto. 1999. Kepemimpinan Kiai dalam Koentjaraningrat. 1990. Beberapa Pokok Pesantren. Jakarta: Pustaka LP3ES, Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Sutinah & Siti Norma. 2004. “Stratifikasi Rakyat Sosial: Unsur, Sifat, dan Perspektif‟ Mardiyah. 2012. Kepemimpinan Kiai dalam dalam Narwoko, J. Dwi dan Suyanto, Memelihara Budaya Organisasi. Bagong (eds). Sosiologi: Teks Pengantar Malang: Aditya Media dan Terapan. Jakarta: Prenada Media Mislikah, S. 2014. “Kesantunan Berbahasa Group dalam Interaksi Sosial di Pondok Tiani. R. 2016. “Kajian Perilaku Pragmatis Pesantren Mabdaul Ma‟arif Jombang terhadap Tindak Tutur Santri Jember”. Fenomena 17 (1): 13-23. terhadap Kiai di Pondok Pesantren di Mushaf al-Quran Terjemah. Jakarta: Gema Wilayah Kota Semarang”. Humanika 23 Insani Press. (2): 32-39 Noer, Ahmad Syafi‟i. 2001. “Pesantren: Waris. 2015. “Pendidikan dalam Perspektif Asal Usul dan Pertumbuhan Burhanuddin al Islam Az Zarnuji”. Kelembagaan” dalam Nata, Abduddin Cendekia (13) 1: 69-85 (ed.). Sejarah Pertumbuhan dan Yasadipura I. - Babad Tanah Jawi Buku II Perkembangan Lembaga-lembaga (Terjemahan). Jakarta: Lontar Amanah Pendidikan Islam di Indonesia. Yuliati. 2015. Penggunaan Sapaan dalam Jakarta: Grasindo Tuturan Santri di Pondok Pesantren Al Poerwadarminta. 1939. Baoesastra Djawa. Amien Prenduan Sumenep (Skripsi), Jakarta: JB Wolters‟ Urtgevers Malang: FKIP UMM Maatschapappij Zarnuji. 1963. Ta’limul Muta’allim. Kudus: Menara Kudus

22 Leksema Vol 3 No 1 Januari-Juni 2018