METODE TASHÎH HADIS DA’ÎF AHMAD AL-GHUMÂRÎ DALAM AL-MUDÂWÎ LI ‘ILAL AL-JÂMI’ AL-SAGHÎR WA SYARH AL-MUNÂWÎ

Valihavy Khoir Hudar Rahim, M.Ag

METODE TASHÎH HADIS DA’ÎF AHMAD AL-GHUMÂRÎ DALAM AL-MUDÂWÎ LI ‘ILAL AL-JÂMI’ AL-SAGHÎR WA SYARH AL-MUNÂWÎ

Penulis : Valihavy Khoir Hudar Rahim, M.Ag Editor : Nurkholis Sofwan Desain Cover : Fadhel Imadduddin Aflih Tata Letak : Kultura Cetakan : Pertama, Juli 2019 Ukr. 14,5 x 21 cm --- xviii + 224 Hal

ISBN :

Diterbitkan Oleh: Gaung Persada Press Ciputat Mega Mall Blok C/15 Jl. Ir. H. Juanda No. 34 Ciputat – Tangerang Selatan Telp. 021 747 075 60, Hp. 081510020395 Email: [email protected]

ANGGOTA IKAPI © Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang (All Right Reserved)

KATA PENGANTAR Bismillahirrahmânirrahîm, puji dan syukur kehadirat Allah atas segala kasih sayang, petunjuk, dan lindunganNya sehingga penulis dapat menyelesaikan buku ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah curahkan kepada Nabi keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang ,ﷺ Muhammad senantiasa mengikuti ajarannya sampai akhir zaman. Buku penulis yang berjudul “Metode Tashîh Hadis Da’îf Ahmad al Ghumârî dalam al-Mudâwî li ‘Ilal al-Jâmi’ al-Saghîr wa Syarh al-Munâwî” merupakan hasil penelitian penulis untuk menyelesaikan studi jenjang pendidikan Magister (S2) Ilmu al Qur‟an dan Tafsir, Konsentrasi Hadis di UIN Syarif Hidayatullah . Penulis menyadari bahwa buku ini tidak dapat terealisasi tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis berterima kasih kepada semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan kontribusi dalam menyelesaikan buku ini. Selanjutnya ucapan terima kasih penulis haturkan kepada: 1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, M.A sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Yusuf Rahman, M.A sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan izin dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dr. Bustamin, M.Si sebagai Ketua Program Studi Magister (S2) Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Dr. Ahmad Fudhaili, M.A sebagai Sekretaris Program Studi Magister (S2) Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang memberikan arahan awal sebelum seminar proposal buku dan arahan akademik lainnya.

iii 4. Dr. Fuad Thohari, M.A selaku pembimbing I yang telah mengarahkan dan membimbing penulis selama penyusunan buku ini. 5. Dr. Atiyatul Ulya, M.A selaku pembimbing II yang telah mengarahkan dan membimbing penulis selama penyusunan buku ini. 6. Seluruh dosen dan staf administrasi serta petugas perpustakaan pada Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, petugas Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, petugas Perpustakaan Seko- lah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, petugas Perpustakaan Umum Islam Iman Jama, yang secara langsung dan tidak langsung telah memberi bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan buku. 7. Bapak dan Ibu penulis, adik-adik penulis, serta saudara- saudara penulis yang telah memberikan doa dan selalu memberikan dukungan. 8. Suami tercinta Musaba, Lc dan anak-anak tersayang ananda Shafia Fauza Imtyaz beserta ananda Ahmad Fathan Kareem yang senantiasa memberikan doa, semangat, dorongan setulus hati dan bantuannya dalam menyelesaikan studi, semoga ilmu yang penulis dapatkan bermanfaat bagi keluarga. 9. Seluruh rekan-rekan penulis yang menemani dan mendukung serta melalui perjuangan bersama-sama sehingga penulisan buku dapat diselesaikan. Harapan penyusun, semoga buku ini dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang Ilmu Hadis baik di Perguruan Tinggi maupun lembaga keilmuan lainnya serta bermanfaat bagi para pembaca. Amin. Ciputat, 20 Juli 2019 Penulis, Valihavy Khoir Hudar Rahim

iv LEMBAR PEDOMAN TRANSLITERASI 1. Konsonan Huruf-huruf bahasa Arab yang ditransliterasi dalam huruf latin adalah sebagai berikut: q : ق .z 21 : ز .tidak 11 : ا .1 dilambangkan k : ك .s 22 : س .b 12 : ب .2 l : ل .sy 23 : ش .t 13 : ت .3 m : م .s 24 : ص .ts 14 : ث .4 n : ن .d 25 : ض .j 15 : ج .5 w : و .t 26 : ط .h 16 : ح .6 h : ه .z 27 : ظ .kh 17 : خ .7 ` : ء .28 „ : ع .d 18 : د .8 y : ي .gh 29 : غ .dz 19 : ذ .9 f : ف .r 20 : ر .10

Catatan: ,yang diletakkan pada awal kata (ء) Huruf Hamzah mengikuti vokalnya tanpa ditambahkan tanda apapun. Adapun jika terleak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda (`).

2. Vokal Pendek ‟a Untuk penulisan ta : - َ .1 i marbutah ( ), ditulis : - َ .2 ة u : - َ .3 dengan “ah” jika mati dan dengan “at” jika hidup. ditulis الكتابة Contoh: kata al kitâbah.

v 3. Vokal Panjang 1. : â Kata sandang al (al Ta‟rîf) ditulis dengan “al” tanpa ا î ada perbedaan antara al : ىي .2 Qamâriyah dan al .û Syamsyiyah : و .3 ditulis الفرقان Contoh: Contoh : kata : „Âlam التوبة al Furqân dan kata عامل .Hamîm ditulis al Taubah : محيم

Yahmûm : حيموم

4. Syiddah dilambangkan dengan konsonan ganda 5. Diftong :au Catatan : أ-و .1 ai Untuk nama orang ditulis : أ-ي .2 î (pada sesuai dengan : - ي .3 akhir kata) sebagaimana kebiasaan û (pada tulisan nama tersebut : - و .4 akhir kata) ditulis dan tidak diharuskan mengikuti transliterasi ini. Contoh: Fazlur Rahman bukan Fadl al Rahmân

6. Pembauran al : ال .1 al-sy : الش .2 -wa al : و ال .3

vi 7. Kata-kata Pengecualian a. Dalam penulisan bahasa asing yang telah dibakukan menjadi bahasa , ditulis berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia cetakan 2005 edisi III cetakan ke-3. b. Dalam penulisan nama orang, sekte (kelompok), dan bulan dalam bahasa Arab, tidak dialihbahasakan sesuai dengan KBBI tetapi tetap ditulis dalam bahasa Arab dengan menggunakan pedoman transliterasi dan tidak dimiringkan. 8. Singkatan Beberapa singkatan yang dilakukan antara lain: 1. H : Hijriyah 2. M : Masehi 3. l. : lahir 4. w. : wafat 5. dkk. : dan kawan-kawan 6. th.ed. : cetakan 7. h. : halaman 8. t.tp. : tanpa nama tempat terbit 9. t.pn. : tanpa nama penerbit 10. t.t. : tanpa tahun terbit sallallâhu ‘alaihi wasallam : .ﷺ .11 12. ket. : keterangan

vii

viii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR_iii LEMBAR PEDOMAN TRANSLITERASI_v DAFTAR ISI _ix DAFTAR ISTILAH _xiii

BAB I: PENDAHULUAN_1 A. Latar Belakang Masalah_1 B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah_9 C. Tujuan Penelitian_14 D. Manfaat Penelitian_14 E. Kajian Pustaka_15 F. Kajian Teori_17 G. Metodologi Penelitian_18 H. Sistematika Penulisan_22

BAB II: PERDEBATAN AHLI HADIS TERHADAP PENINGKATAN HADIS DA’ÎF_25 A. Peningkatan Hadis Da’îf Perspektif Ahli Hadis Klasik_25 1. Abû „Abdillâh Malik bin Anas (w. 179 H)_25 2. Muhammad bin Idrîs al Syâfi‟î (w. 204 H)_28 3. Abû „Abdillâh Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (w. 241 H)_31 4. Abû „Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al Bukhârî (w. 256 H)_32 5. Muhammad bin „Îsâ al Tirmidzî (w. 279 H)_35 B. Peningkatan Hadis Da’îf Perspektif Ahli Hadis Kontemporer_37 1. Ahli Hadis Sunni_37 a. Muhammad bin „Abdillâh al Hâkim (w. 405 H)_37

ix b. Abû al Farj „Abdurrahmân bin „Ali / Ibnu al Jauzî (w. 597 H)_39 c. Ahmad bin „Alî bin Muhammad bin Hajar al „Asqalânî / Ibnu Hajar (w. 852 H)_42 d. Muhammad Nâsiruddîn al Albâni (w. 1420 H)_44 2. Ahli Hadis Syiah_45 a. Abû Ja‟far Muhammad bin Ya‟qûb al Kulainî (w. 329 H)_47 b. Abû Ja‟far Muhammad bin al Hasan al Tûsî (w. 460 H) _49 c. Zainuddîn bin „Alî bin Ahmad al Syâmî al „Âmilî al Jaba‟î (911-965 H)_50 d. Husain bin „Abd al Samad al „Âmilî (918 - 984 H)_52 e. Ja‟far bin Muhammad Husain al Subhânî al Khiyâbânî al Tabrîzî (l. 1347 H) _53

BAB III: HADIS DA’ÎF YANG DITASHÎH AHMAD AL GHUMÂRÎ_57 A. Ahmad al Ghumârî dan Kitab al Mudâwî li ‘Ilal al Jâmi’ al Saghîr wa Syarh al Munâwî_57 1. Biografi Singkat Ahmad al Ghumârî_57 2. Kitab al Mudâwî li ‘Ilal al Jâmi’ al Saghîr wa Syarh al Munâwî_62 a. Latar Belakang Penyusunan Kitab al Mudâwî li ‘Ilal al Jâmi’ al Saghîr wa Syarh al Munâwî_62 b. Sistematika Penyusunan Kitab al Mudâwî li ‘Ilal al Jâmi’ al Saghîr wa Syarh al Munâwî_62 B. Kritik Hadis Da’îf yang Ditashîh Ahmad al Ghumârî_63 1. Hadis Kota Ilmu_63

x 2. Hadis Perkara Halal yang Paling Dibenci Allah adalah Talaq_82 3. Hadis Wajah Cerah di Siang Hari karena Banyak Shalat di Malam Hari_95 4. Hadis al Ajda‟ adalah Syaitan_107 5. Hadis Khawarij adalah Anjing-Anjing Neraka_118 6. Hadis Obat Segala Penyakit bagi yang Berbekam pada Tanggal 17, 19, atau 21_126 7. Hadis Anjuran Mempermudah dan Tidak Mempersulit_136 8. Hadis tentang Memasukkan 70.000 Orang ke Surga Tanpa Hisab_144

BAB IV: TINJAUAN DAN ANALISIS METODE TASHÎH HADIS DA’ÎF AHMAD AL- GHUMÂRÎ_153 A. Tashîh Hadis Da’îf dalam Perspektif Ahmad al Ghumârî_153 1. Kesahîhan Hadis Menurut Ahmad al Ghumârî_153 2. Metode Tashîh Hadis Da’îf Ahmad al Ghumârî_155 3. Pengaruh Metode Tashîh Hadis Da’îf Ahmad al Ghumârî Terhadap Kualitas Hadis_165 B. Kritik Metode Tashîh Hadis Da’îf Ahmad al Ghumârî_168 BAB V: PENUTUP_185 A. Kesimpulan_185 B. Kritik dan Saran_186

DAFTAR PUSTAKA_189 LAMPIRAN_203 BIOGRAFI PENULIS_223

xi

xii DAFTAR ISTILAH

Sahabat Seseorang yang bertemu langsung dengan Rasûlullah dalam keadaan muslim dan wafat dalam keadaan ﷺ muslim, meskipun pernah murtad (menurut pendapat yang paling tepat). Tabi’in Seseorang yang bertemu Sahabat dalam keadaan muslim dan wafat dalam keadaan muslim atau seseorang yang menemani Sahabat. Tabi‟in terbagi menjadi Tabi‟in besar dan Tabi‟in kecil. Tabi‟in besar adalah seorang Tabi‟in yang bertemu sejumlah besar kalangan Sahabat dan duduk (bermujâlasah) bersama mereka dan mayoritas periwayatannya diriwayatkan dari mereka. Sedangkan Tabi‟in kecil didefinisikan sebagai seorang Tabi‟in yang hanya bertemu dengan sedikit Sahabat atau bertemu tetapi mayoritas periwayatannya dari Tabi‟in. Hadis Sahîh .Secara bahasa bermakna ِ ِ : lawan dari sakit ضُّد ال َّسقْيِم ِ ِ Sedangkan secara istilah bermakna َما اتَّ َص َل َسنَُدهُ بنَ ْقِل الَْع ْدل hadis yang) ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ٍ ِ ٍ ال َّضابط، َعن مثْلو إََل ُمْنتَ َهاهُ، م ْن َغْْي ُشُذْوذ، َوالَ علَّة bersambung sanadnya dari perawi yang ‘âdil, dâbit dari awal sanad sampai akhir sanad, tanpa ditemukan syudzûdz/ kejanggalan, dan tanpa ‘illah/ kecacatan). Tingkatan hadis sahîh tertinggi adalah hadis sahîh yang disepakati al Bukhârî dan Muslim (muttafaq ‘alaih atau muttafaq ‘alâ al sihhatih). Tingkatan selanjutnya yaitu hadis yang diriwayatkan oleh al Bukhârî saja (infarada bihi al Bukhârî), hadis yang diriwayatkan Muslim saja

xiii (infarada bihi Muslim), hadis yang diriwayatkan sesuai dengan syarat-syarat al Bukhârî dan Muslim (sahîh ‘alâ syartai al Bukhari wa Muslim), hadis yang memenuhi syarat al Bukhârî tetapi tidak diriwayatkan olehnya (sahîhun ‘ala syart al Bukhârî), hadis yang memenuhi syarat Muslim tetapi tidak diriwayatkan olehnya (sahîhun ‘ala syart Muslim), dan hadis sahîh tetapi tidak memenuhi salah satu syarat dari keduanya. Pada level terakhir, hadis tidak diambil dari perawi atau guru al Bukhârî dan Muslim tetapi ditashîh oleh ahli hadis terkenal seperti Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibbân. Hadis Hasan : ِ ِ ِ ِ Secara bahasa bermakna صَف ةٌ ُم َشبَّ َهةٌ، م َن ا ْْلُ ْس ِن ِبَْعََن ا ْْلََمال sifat yang menyerupai, dari kata husna yang berarti indah/ cantik. Sedangkan secara istilah ahli hadis berbeda pendapat mengenai definisi hadis hasan. Ibnu Hajar mendefinisikannya sebagai hadis sahîh yang hafalannya kurang (khiff al dâbt) atau dengan kata lain hadis hasan yaitu hadis yang diriwayatkan perawi yang ‘âdil, kurang kuat hafalannya (khiff al dâbt), bersambung sanadnya, tanpa ditemukan syadz/ kejanggalan, dan tanpa ‘illah/ kecacatan). Hadis Da’îf Secara bahasa bermakna ِ : lawan dari kuat ضُّد الَْقِو ّي ِ lemah). Sedangkan secara istilah bermakna) َما فَقَد َشْرطًا hadis yang tidak memenuhi) ِ ِ ِ ِ م ْن ُشُرْوط ال َّصحْي ِح أَو ا ْْلَ َس ِن salah satu persyaratan dari syarat-syarat hadis sahîh atau hadis hasan).Sebab keda’îfan suatu hadis terbagin menjadi dua yaitu keda’îfan ringan (al khata’ al muhtamal) dan keda’îfan yang kuat (al khata’ al râjih) sebagaimana dikutip dari Abû Mu‟âdz Târiq bin

xiv „Audillâh bin Muhammad dalam al Irsyâdât fî Taqwiyah al Ahâdîts bi al Syawâhid wa al Mutâba’âtnya. Ia menjelaskan bahwa kaidah boleh tidaknya dilakukan i’tibâr harus memperhatikan dua perbedaan, yaitu 1) keda’îfan ringan (al khata’ al muhtamal) dan boleh dilakukan peningkatan hadis: terjadi saat suatu riwayat dinilai ada kemungkinan keda’îfan dan setelah diverifikasi tidak ditemukan kembali, seperti kemursalan, hafalan yang buruk salah satu perawinya, terjadinya perbedaan riwayat. Setelah didapatkan tarjîhnya (riwayat lain yang menghilangkan sebab keda’îfan tersebut), maka sebab keda’îfannya dinilai tidak merusak hadis. 2) keda’îfan yang kuat (al khata’ al râjih) yang tidak boleh dilakukan peningkatan hadis meliputi dua hal yaitu a. berkaitan dengan perawi: perawi sendirian dalam meriwayatkan hadis dengan keda’îfan yang kuat seperti al kidzb (kedustaan), tuduhan berdusta, dan lalai yang kuat (syiddah al ghaflah), b. berkaitan dengan periwayatan: perawi tidak mencapai keda’îfan sebelumnya (poin a) tetapi keda’îfannya disebabkan hafalan yang buruk, ada pencampuran periwayatan, atau sejenisnya yang tidak sampai merusak sisi agama dan al ‘adâlahnya. Bahkan dimungkinkan dapat terjadi pada perawi tsiqah sadûq. Hal ini seperti periwayatan yang terdapat keda’îfan pada sanad maupun matan hadis secara sengaja/tidak dari sisi munkar dan syadz. Tawâbi’ Tawâbi’ adalah jamak dari tâbi’ (atau disebut juga dengan al mutâbi’). Secara bahasa merupakan isim fa‟il dari tâba’a yang bermakna wâfaqa (menyertai). Secara istilah didefinisikan sebagai hadis yang diriwayatkan dari perawi (lebih dari satu orang) dan bersumber dari seorang Sahabat baik secara lafaz dan makna maupun secara makna saja. Al Qâsimî menjelaskan bahwa tâbi’ adalah hadis yang menyertai suatu periwayatan dari perawi yang

xv berbeda dari gurunya atau di atasnya. Hal ini juga sama dengan pendapat Ibnu Hajar yang mendefinisikan sebagai al fard al nisbî (hadis yang diriwayatkan sendirian dengan sifat khusus seperti hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi tsiqah, hadis yang diriwayatkan fulân, dan sejenisnya) yang disertai jalur periwayatan lain. Tâbi’ terbagi menjadi dua yaitu tâbi’ tâmm dan tâbi’ qâsir. Tâbi’ tâmm adalah kesamaan perawi dari awal sanad (dari guru yang sama). Sedangkan tâbi’ qâsir adalah kesamaan perawi pada pertengahan sanad.

Syawâhid Syawâhid adalah jamak dari syâhid. Secara bahasa merupakan isim fa‟il dari al syahâdah, dinamakan demikian karena ia menguatkan hadis yang diriwayatkan sendirian sebagaimana seorang saksi yang menguatkan perkataan tersangka. Secara istilah didefinisikan sebagai hadis yang diriwayatkan dari perawi (lebih dari satu orang) dan bersumber dari Sahabat yang berbeda-beda baik secara lafaz dan makna maupun secara makna saja. Ibnu Hajar menjelaskan lebih spesifik bahwa syâhid adalah berupa matan hadis yang diriwayatkan dari Sahabat yang lain yang menyerupai (hadis usûl/ utama) baik secara lafaz dan makna maupun secara makna saja.

Kritik Hadis Ekstern Kritik hadis ekstern adalah kritik sanad (al Naqd al Khârijî) yaitu kritik pada jalur yang menyampaikan kepada sumber riwayat, yang terdiri dari sekumpulan periwayat yang masing-masing mengambil riwayat dari periwayat sebelumnya dan menyampaikannya kepada periwayat setelahnya, sampai kepada pentakhrij hadis (mukharrij) seperti al Bukhârî, Muslim, Abû Dâwud, Ahmad, dan lainnya. Kriteria kesahîhan sanad ini meliputi sanad yang bersambung dari awal sampai akhir

xvi (muttasil), periwayatnya ‘âdil (teguh agamanya sehingga membuat dirinya takut berbohong dalam urusan agama), dâbit (memiliki daya hafalan kuat/ catatan akurat), terbebas dari syadz (penyimpangan perawi tsiqah terhadap orang yang lebih kuat darinya), dan terbebas dari ‘illah yang mencacatkannya (seperti memursalkan yang mausûl, memuttasilkan yang munqati’, dan lainnya). Kritik Hadis Intern Kritik hadis intern adalah kritik matan (al Naqd al Dâkhilî) yaitu kritik pada matan hadis dengan dua kriteria kesahîhan matan setelah sebelumnya dilakukan kritik sanad hadis. Kriteria kesahîhan matan tersebut adalah matan hadis terbebas dari syadz dan terbebas dari ‘illah. Yang dimaksud terbebas dari syadz adalah saat hadis bersanad sahîh tetapi ada hadis lain yang lebih sahîh dan kuat sanadnya dan hadis kedua berbeda dengan hadis pertama. Maka hadis pertama dinilai sahîh sanadnya tetapi matannya syadz (dinilai matannya da’îf meskipun sanadnya sahîh). Sedangkan hadis kedua sanadnya sahîh dan matannya mahfûz (dinilai matannya sahîh). Adapun yang dimaksud terbebas dari ‘illah adalah matan yang mengandung cacat (‘illah qâdihah) seperti ditemukannya seorang periwayat melakukan kekeliruan dengan memasukkan pernyataan dalam matan hadis yang Kriteria .ﷺ sebenarnya bukan perkataan Rasûlullah lainnya yaitu: a) tidak bertentangan dengan al Qur‟an, b) tidak bertentangan dengan hadis yang tsâbit (telah diakui keberadaannya) dan sirah nabawiyah, c) tidak bertentangan dengan akal sehat, data empirik, dan fakta sejarah, d) layak dihukumi sebagai ungkapan Rasûlullâh Ahli hadis memberikan toleransi untuk dilakukan .ﷺ kritik matan pada kasus sanad da’îf yaitu pada hadis yang bersanad mursal dan mursal Sahabat karena dimungkinkan kondisi matannya sahîh yaitu dengan

xvii adanya potensi kehujjahan matan hadis tersebut sebagaimana dilakukan oleh al Syâfi‟î.

xviii BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Pembahasan hadis da‟îf1 tidak hanya berhubungan dengan terpenuhi atau tidaknya persyaratan hadis sahîh2 dan hasan3 saja melainkan juga berhubungan dengan keda‟îfan

: ِ Defini hadis da‟îf yang dimaksud secara bahasa yaitu 1 ضُّد الَْقِو ّي ِ ِ ِ lawan dari kuat (lemah). Sedangkan secara istilah َما فَقَد َشْرطًا م ْن ُشُرْوط hadis yang tidak memenuhi salah satu persyaratan dari) ِ ِ ال َّصحْي ِح أَو ا ْْلَ َس ِن syarat-syarat hadis sahîh atau hadis hasan). Lihat : Musfir „Azmillâh al Damînî, Maqâyîs Naqd Mutûn al Sunnah, (t.tp: t.t., 1984), h. 142-143; Mahmud al Tahhân, Taisîr Mustalah al Hadîts, (Beirut: Dâr al Fikr, t.th), h. 52. : ِ ِ Definisi hadis sahîh yang dimaksud secara bahasa yaitu 2 ضُّد ال َّسقْيِم ِ ِ ِ ِ lawan dari sakit. Sedangkan secara istilah َما اتَّ َص َل َسنَُدهُ بنَ ْقِل الَْعْدل ال َّضابط، hadis yang bersambung sanadnya) ِ ِِ ِ ِ ِ ٍ ِ ٍ َعن مثْلو إََل ُمْنتَ َهاهُ، م ْن َغْْي ُشُذْوذ، َوالَ علَّة dari perawi yang „âdil, dâbit dari awal sanad sampai akhir sanad, tanpa ditemukan syudzûdz/ kejanggalan, dan tanpa „illah/ kecacatan). Ibnu Hajar menambahkan perawi yang meriwayatkan hadis sahîh adalah yang memiliki kesempurnaan hafalan (al dabt al tamm)Lihat: al Tahhân, Taisîr Mustalah al Hadîts, h. 44; Ahmad bin „Ali bin Muhammad bin Hajar al „Asqalâni, Nukhbah al Fikr fî Mustalah Ahl al Atsar, (Beirut: Dâr Ibn Hazm, 2006), h. 220. ِ Definisi hadis hasan yang dimaksud secara bahasa yaitu 3 صَف ةٌ ُم َشبَّ َهةٌ، sifat yang menyerupai, dari kata husna yang berarti :ِ ِ ِ م َن ا ْْلُ ْس ِن ِبَْعََن ا ْْلََمال indah/ cantik. Sedangkan secara istilah ahli hadis berbeda pendapat mengenai definisi hadis hasan. Ibnu Hajar mendefinisikannya sebagai hadis sahîh yang hafalannya kurang (khiff al dâbt) atau dengan kata lain hadis hasan yaitu hadis yang diriwayatkan perawi yang „âdil, kurang kuat hafalannya (khiff al dâbt), bersambung sanadnya, tanpa ditemukan syadz/ kejanggalan, dan tanpa „illah/ kecacatan). Lihat: al Tahhân, Taisîr Mustalah al Hadîts, h. 57-58. 1 hadis tersebut. Keilmuan mengenai keda‟îfan hadis diperlukan untuk penyeleksian hadis, mana yang dapat ditingkatkan dan mana yang tidak.4 Nuruddin „Itr mengatakan bahwa kelompok keragaman hadis da‟îf bermanfaat untuk menjelaskan batas keda‟îfan suatu hadis sehingga diketahui dapat ditingkatkan apabila ada hadis lain yang menguatkannya ataukah tidak.5 Pembahasan inilah yang mendorong perbedaan metodologi ahli hadis dalam peningkatan hadis da‟îf. Terdapat dua pendapat ulama mengenai peningkatan hadis da‟îf. Pertama, diperbolehkan dan merupakan pendapat yang disepakati oleh ahli hadis. Mereka berpendapat bahwa hadis da‟îf dapat ditingkatkan menjadi hadis hasan.6 Menurut Yâs Hamîd Majîd Muhammad al Sâmarrâ`î dalam tulisan jurnalnya “Opinion Prudent to Streangthen The Weak Talk”, disebutkan ulama yang termasuk kelompok ini adalah Abû „Amrun bin al Salâh al Syahrauzûrî (w. 643 H), „Abdu al Qâdir al Rahâwî (w. 615 H), Zakiyyuddîn „Abdu al ‟Adîm al Mundzirî (w. 656 H), Abû Zakariyyâ Yahyâ al Nawawî (w. 676 H), Ibnu Sayyid al Nâs Muhammad al Ya‟marî (w. 734 H), Abû „Abdullâh al Husain al Tîbî (w. 743 H), Abû al Fidâ` Ismâ‟îl bin Katsîr al Dimasyqî (w. 774 H).7 Sedangkan kelompok kedua yang tidak sepakat adanya peningkatan hadis da‟îf merupakan pendapat Ibnu Hazm al Andalusî (w. 456 H) dengan berkata “maka sesungguhnya ia (hadis da‟îf) tidak dapat meningkat dengan bergabungnya da‟îf dengan da‟îf kecuali tetap menjadi da‟îf”. Yâs Hamîd Majîd Muhammad al

4 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, 8th.ed., (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012), h. 163. 5 Nuruddin „Itr, „Ulumul Hadis. Penerjemah Mujiyo (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), h. 293. 6 Yâs Hamîd Majîd Muhammad al Sâmarrâ`î, “Opinion Prudent to Streangthen The Weak Talk (al Ra`yu al Hasîf fî Taqwiyah al Hadîts al Da‟îf)”, Reasearch and Islamic Studies Magazine, Issue 4 (2006), h. 267, jurnal diakses pada 10 Juli 2016 dari http://www.iasj.net/iasj 7 al Sâmarrâ`î, “Opinion Prudent to Streangthen The Weak Talk (al Ra`yu al Hasîf fî Taqwiyah al Hadîts al Da‟îf)”, h. 268. 2 Sâmarrâ`î menambahkan, mungkin yang dimaksudkan Ibnu Hazm (w. 456 H) adalah hadis da‟îf yang sangat lemah.8 Dalam perkembangan selanjutnya, ditemukan pendapat baru yang mengemukakan peningkatan hadis da‟îf menjadi hadis sahîh (tashîh hadis da‟îf). Ahli hadis yang berpendapat demikian di antaranya Ahmad al Ghumârî9 (w. 1380 H/1960 M) dari Maroko dengan karyanya yaitu al Mudâwî li „Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî. Kitab ini merupakan sanggahan (kritik hadis) terhadap kitab al Taisîr wa Faid al Qadîr „ala al Jâmi‟ al Saghîr karya Zainuddîn Muhammad bin Tâj al „Ârifîn al Munâwî (w. 1031 H). Tashîh hadis da‟îf yang diterapkannya di antaranya pada hadis kota ilmu (madînah al „ilmi). Hadis kota ilmu dikategorikan hadis da‟îf.10 Selain itu, hadis ini juga dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan diangkat menjadi sebuah lagu religi yang salah satu liriknya “...ana madinatul „ilm wa „aliyyun bâbuha...”.11 Hadis yang dimaksud adalah:

8 al Sâmarrâ`î, “Opinion Prudent to Streangthen The Weak Talk (al Ra`yu al Hasîf fî Taqwiyah al Hadîts al Da‟îf)”, h. 267. 9 Nama lengkap dan nasabnya adalah Abû al Faid Ahmad bin Muhammad bin al Siddîq bin Ahmad bin Muhammad bin Qâsim bin Muhammad bin Muhammad Ibn „Abd al Mu`min bin Muhammad bin „Abd al Mu`min bin „Alî bin al Hasan bin Muhammad bin „Abdillâh bin Ahmad bin „Abdillâh bin Ahmad „Abdillâh bin „Îsâ bin Sa‟îd bin Mas‟ûd bin al Fadîl bin „Alî bin „Umar bin al „Arabiy bin „Allâl bin Mûsâ bin Ahmad bin Dâud bin Idrîs bin „Abdillâh bin al Hasan bin „Alî wa Fâtimah al Zahrâ` Lihat: Ahmad bin Muhammad bin al Siddîq al Hasanî .ﷺ binti Rasûlillâh al Ghumârî, al Bahru al „Amîq fî Marwiyyâti Ibn Siddîq, (Kairo: Dâr al Kutubî, 2007), vol. 1, h. 47. 10 Dalam buku Hadis-Hadis Dla‟if dan Maudlu‟ hadis ini dimasukkan ke dalam kategori hadis munkar. Lihat: Abdul Hakim bin Amir Abdat, Hadis-Hadis Dla‟if dan Maudlu‟, (Jakarta: Darul Qolam, 2003), vol.1, h. 213. 11 A.M. Waskito, Pro dan Kontra Maulid Nabi sallallâhu „alaihi wasallam, (Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2014), h. 15. 3 ِ ِ ِ ِ أَ ْخبَ َرنَا ُُمََّمُد بْ ُن عَُمَر بْ ِن الَْقاسم النَّ ْرس ُّي، قَاَل : أَ ْخبَ َرنَا ُُمََّمُد بْ ُن َعْبد َِّ ِِ ِ ٍ اللو ال َّشافع ُّي، قَاَل : َحَّدث َنَا إ ْس َحا ُق بْ ُن ا ْْلَ َس ِن بْ ِن َمْي ُمون ا ْْلَْرِ ُِّب، ِ ِ ِ قَاَل : َحَّدث َنَا َعْبُد ال َّسالم بْ ُن َصال ٍح ي َْعِِن اْْلََرو َّي، قَاَل : َحَّدث َنَا أَبُو ِ ٍ ُمَعاِويَةَ، َع ِن األَ ْعَم ِش، َع ْن ُُمَاىد، َع ِن ابْ ِن َعبَّا ٍس ، قَاَل : قَاَل َرُسوُل ِ ِ ِ ِ 12 اللَّو صلى اهلل عليو وسلم: "أَنَا َمدينَةُ الْعْلِم، َوَعل ٌّي بَاب َُها". “Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin „Umar bin al Qâsim al Narsî, (dia) telah berkata: telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin „Abdillâh al Syâfi‟î, (dia) telah berkata: telah menceritakan kepada kami Ishâq bin al Hasan bin Maimûn al Harbî, (dia) telah berkata: telah menceritakan kepada kami „Abdullâh al Salâm yaitu al Harawî, (dia) telah berkata: telah menceritakan kepada kami Abû Mu‟âwiyah, dari al

12 Abû Bakr Ahmad bin „Alî bin Tsâbit al Khotîb al Baghdâdî, Târikhu Madînati al Islâm wa Akhbâru Muhadditsiyyihâ wa Dzikru Quttânihâ al „Ulamâ`i min Ghairi Ahlihâ wa Wâridîhâ, yang ditahqiq Basysyâr „Awwâd, (Beirut: Dâr al Maghrib al Islâmî, 2001), vol. 12, h. 318; Ismâ‟îl bin Muhammad al „Ijlûnî al Jarrâhi, Kasyfu al Khafâ`i wa Muzîlu al Ilbâsi „ammâ Isytahara min al Ahâdîts „alâ Alsinati al Nâs, yang ditahqiq oleh Yûsuf bin Muhammad al Hâj Ahmad, hadis nomor 618, (t.tp.: Maktabah al „Ilmi al Hadîts, t.t.), vol. 1, h. 235-236; Nûruddîn „Aliyyi bin Abî Bakr al Haitsamî, Bughyatu al Râ`id fî Tahqîqi Majma‟ al Zawâ`id wa Manba‟ al Fawâ`id, yang ditahqiq oleh „Abdullâh Muhammad al Darwaisy, Kitâb al Manâqib, Bâb fî „Ilmihi radiyallâhu „anhu, hadis nomor 14670 ,dengan penambahan matan ِِ ِ ِِ ِ , (Beirut: Dâr al Fikr فََم ْن أََراَد الْعْل َم فَ ْليَأْتو م ْن بَابو 1994), vol. 9, h. 148; Abû „Abdillâh al Hâkim al Naisâbûrî, al Mustadrak „alâ al Sahîhaini, Kitâb al Ma‟rifah al Sahâbah radiyallâhu Ta‟âla „anhum, wa min Manâqibi Amîr al Mu`minîn „Alî bin Abî Tâlib radiyallâhu „anhu Mimmâ Lam Yukharijâhu, Dzikru Islâmi Amîr al Mu`minîn „Alî bin Abî Tâlib radiyallâhu Ta‟âla „anhu, hadis nomor 4700, dengan penambahan al Hâkim mengatakan hadis ini bersanad , ِ ِ ا ْلبَا َب matan فََم ْن أََراَد الْعْل َم فَ ْليَأْت sahîh yang belum diriwayatkan oleh keduanya (al Bukhârî dan Muslim), (Kairo: Dâr al Haramain, 1997), vol. 3, h. 147. 4 A‟masy, dari Mujâhid, dari Ibn „Abbâs, (dia) telah aku adalah“ :ﷺ berkata: telah bersabda Rasûlullah kota ilmu dan Ali adalah pintunya”.

Hadis kota ilmu ini memiliki banyak jalur periwayatan 13 "أَنَا dengan matan yang berbeda-beda. Adapun matan berbunyi di antaranya adalah melalui jalur ِ ِ ِ ,َمدينَةُ الْعْلِم َوَعل ٌّي بَاب َُها " periwayatan di atas. Ahmad al Ghumârî berkata dalam al Mudâwînya mengenai pendapat al Munâwî. al Munâwî menyatakan hadis kota ilmu di atas hasan dengan i‟tibâr sanad-sanadnya, hadis tersebut tidak dihukumi sebagai sahih dan tidak da‟îf.14 Ismâ‟îl

13 Dalam kitab Jam‟ul Jawâmi‟, hadis ini memiliki berbagai redaksi matan lain dan juga terdapat penambahan selain matan di atas. Pertama, ِ ِ ِ أَنَا َداُر ا ْْل ْكَمة َوعَل ٌّي بَاب َُها “Aku adalah rumahnya hikmah dan Ali adalah pintunya” Kedua, ِ ِ ِ ِ ِ ِ أَنَا َمديْ نَةُ الْعْلم َوَعل ٌّي بَاب َُها، فََم ْن أََراَد الْعْل َم فَ ْليَأْت الْبَا َب “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya, barangsiapa yang menginginkan ilmu maka datanglah kepada pintunya” Ketiga, ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِِ أَنَا َمديْ نَةُ الْعْلم َوَعل ٌّي بَاب َُها، فََم ْن أََراَد الْعْل َم فَ ْليَأْتو م ْن بَابو “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya, barangsiapa yang menginginkan ilmu maka datanglah kepadanya delalui pintunya” Lihat: „Abdurrahmân bin Kamâl Abî Bakr al Suyûtî, Jam‟u al Jawâmi‟ al Ma‟rûf bi al Jâmi‟ al Kabîr, (Kairo: Dâr al Sa‟âdah, 2005), vol. 3, h. 203- 204. 14 Perkataan al Munâwî yang dimaksud adalah ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِِ "...َوُىَو َح َس ٌن با ْعتبَار طُُرقو َال َصحْي ٌح َوَال َضعْي ٌف فَ ْضًال َع ْن َكْونو َمْو ُضْوًعا..." 5 bin Muhammad al „Ajlûnî (w. 1162 H) juga sependapat dengan al Munâwî bahwa hadis tersebut hasan, tidak sahîh dan tidak da‟îf.15 Ahmad al Ghumârî kemudian menyanggahnya dengan berkata, “...hadis ini sahîh yang tidak diragukan lagi kesahîhannya, bahkan ia paling sahîh di antara banyak hadis yang dihukumi sahîh lainnya...”.16 Tashîh hadis kota ilmu yang dilakukan Ahmad al Ghumârî ini berbeda dengan pendapat ulama hadis lainnya karena mayoritas ahli hadis menilai hadis tersebut da‟îf, salah satunya Abû al Faraj „Abdirrahmân bin „Alî yang dikenal dengan Ibnu al Jauzî (w. 597 H). Ia mengatakan “hadis ini wahmun” dan menilai dalam sanadnya ditemukan perawi

Lihat: Ahmad bin Muhammad bin al Siddîq al Hasanî al Ghumârî, al Mudâwî li „Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî, (Beirut: Dâr al Kutub al „Ilmiyyah, 1996), vol. 3, h. 45. 15 al Suyûtî, Jam‟u al Jawâmi‟ al Ma‟rûf bi al Jâmi‟ al Kabîr, vol. 3, h. 203-204. 16 Ia mengatakan: ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ َِّ "...بَل ا ْْلَديْ ُث َصحيْ ٌح َال َش َّك ِف ص َّحتو، بَ ْل ُىَو أَ َص ُّح م ْن َكثْْي م َن اْألَ َحاديْث ال ِْت َّ ِ ِ ِ ُحك ُمْوا بص َّحتَها..." Lihat: Ahmad bin Muhammad bin al Siddîq al Hasanî al Ghumârî, al Mudâwî li „Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî, vol. 3, h. 45. Pendapat ini berbeda dengan pendapat muhadditsîn pada umumnya yang meyakini tingkatan hadis sahîh tertinggi adalah hadis sahîh yang disepakati al Bukhârî dan Muslim (muttafaq „alaih atau muttafaq „alâ al sihhatih). Tingkatan selanjutnya yaitu hadis yang diriwayatkan oleh al Bukhârî saja (infarada bihi al Bukhârî), hadis yang diriwayatkan Muslim saja (infarada bihi Muslim), hadis yang diriwayatkan sesuai dengan syarat-syarat al Bukhârî dan Muslim (sahîh „alâ syartai al Bukhari wa Muslim), hadis yang memenuhi syarat al Bukhârî tetapi tidak diriwayatkan olehnya (sahîhun „ala syart al Bukhârî), hadis yang memenuhi syarat Muslim tetapi tidak diriwayatkan olehnya (sahîhun „ala syart Muslim), dan hadis sahîh tetapi tidak memenuhi salah satu syarat dari keduanya. Pada level terakhir, hadis tidak diambil dari perawi atau guru al Bukhârî dan Muslim tetapi ditashîh oleh ahli hadis terkenal seperti Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibbân. Adapun sanad hadis yang paling sahîh adalah hadis yang bersanad asahhu al asânid. Lihat: al Tahhân, Taisîr Mustalah al Hadîts, h. 54-55; Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, (Bandung: PT Alma‟arif, 1974), h. 124-129. 6 „Abdussalâm bin Sâlih al Harawî/ Abû Silat al Harawî (w. 236 H) yang dinilai (sangat pembohong/pendusta). Bahkan َك َّذ ا ٌب dengan keseluruhan sanadnya (berserta jalur-jalur lainnya) disimpulkan, “...mereka semua telah mencurinya dan berkata dengannya, dan hadis (ini) tidak ada asalnya”.17 Nûruddîn „Aliyyi bin Abî Bakr al Haitsamî (w. 807 H) juga berpendapat hadis ini da‟îf karena terdapat perawi tersebut.18 Adapun Ahmad al Ghumârî, ia tetap mentashîh hadis da‟îf tersebut dengan argumentasi Abû Silat al Harawî termasuk perawi tsiqah dan „âdil meskipun ia juga dinilai sebagai perawi yang bertasyayyu‟. Menurutnya, ahli bid‟ah dapat diterima periwayatannya. Bahkan ia juga menerima periwayatan perawi ahli bid‟ah dâ‟iyyah (ahli bid‟ah yang mengajak pada mazhab bid‟ahnya). Hal tersebut dilandaskan bahwa periwayatan dari ahli bid‟ah diperbolehkan karena banyak ulama hadis yang telah meriwayatkan hadis-hadis mubtadi‟ah dan menerima periwayatannya seperti al Bukhârî sendiri dalam al Jâmi‟ al Sahihnya. 19 Bertolak dari penjelasan di atas, ditemukan pertentangan antara pendapat Ahmad al Ghumârî dengan mayoritas ahli hadis yang hanya menerima periwayatan ahli bid‟ah yang tidak mendakwahkan kebid‟ahannya. Adapun jika perawi ahli bid‟ah yang menyerukan kebid‟ahannya maka periwayatannya tertolak.20

17 Penjelasan lengkap jalur-jalur sanad tersebut dapat dilihat dalam: Abû al Farj „Abdurrahmân bin „Alî Ibn al Jauzî al Taimî al Qurasyî, Kitâb al Maudû‟ât min al Ahâdits al Marfû‟ât, 1th.ed., (Riyâd: Adwâ` al Salaf, 1997), vol. 2, h. 110-118. 18 al Haitsamî, Bughyatu al Râ`id fî Tahqîqi Majma‟ al Zawâ`id wa Manba‟ al Fawâ`id, vol. 9, h. 148. 19 Ahmad bin Muhammad bin al Siddîq al Hasanî al Ghumârî, Fath al Malik al „Alî bi Sihhati Hadîts Bâb Madînatu al „Ilm al „Alî, (al Azhar: al Matba‟ah al Islâmiyyah, t.t.), h. 97-101. 20 Abû Bakr Ahmad „Aliyyi bin Tsâbit, al Kifâyah fî Ma‟rifati Usûl „Ilmi al Riwâyah, (Mesir: Dâr al Hudâ, 2002), vol. 1, h. 365. 7 Metodologi tashîh hadis da‟îf juga dimungkinkan dilakukan oleh ulama lain. Sebagaimana disampaikan Ibnu al Jauzî yang menyatakan bahwa tashih hadis kota ilmu juga dilakukan Muhammad bin „Abdillâh al Hâkim (w. 405 H) yang didasarkan pada penjelasan Ahmad bin „Ali bin Hajar al „Asqalâni (w. 852 H) bahwa hadis ini juga dihukumi sahîh oleh al Hâkim dalam al Mustadraknya (al Hâkim mengatakan bahwa hadis ini bersanad sahîh dengan perawi Abû Silat al Harawî tsiqah ma`mûn21) . Sedangkan menurut Ibnu Hajar, hadis ini termasuk hadis hasan yang tidak bisa meningkat menjadi hadis sahîh karena adanya perawi yang dinilai kadzdzâb.22 Selain al Hâkim, Qâsim al Hâj Muhammad juga menyatakan hadis da‟îf dapat ditingkatkan dengan jalur-jalur lainnya sehingga menjadi hadis sahîh atau hadis hasan. Hadis tersebut diperbolehkan diambil tetapi tidak boleh diamalkan dengan kesendiriannya (hanya bersandar pada sebuah hadis da‟îf ).23 Dari kalangan ahli hadis kontemporer lain seperti Muhammad bin „Umar, ia masih berpegang pada ahli hadis klasik dengan mensyaratkan tidak ditemukan perawi pendusta dalam rangkaian sanad

21 al Naisâbûrî, al Mustadrak „alâ al Sahîhaini, Kitâb al Ma‟rifah al Sahâbah radiyallâhu Ta‟âla „anhum, wa min Manâqibi Amîr al Mu`minîn „Alî bin Abî Tâlib radiyallâhu „anhu Mimmâ Lam Yukharijâhu, Dzikru Islâmi Amîr al Mu`minîn „Alî bin Abî Tâlib radiyallâhu Ta‟âla „anhu, hadis nomor 4700, al Hâkim mengatakan hadis ini bersanad sahih, vol. 3, h. 147. 22 al Qurasyî, Kitâb al Maudû‟ât min al Ahâdits al Marfû‟ât, vol. 2, h. 118-119. Pendapat Ibnu Hajar yang berbeda dengan pendapat Ibnu al Jauzî dimungkinkan terjadi karena Ibnu Hajar termasuk ulama jarh dan ta‟dîl moderat. Sedangkan al Jauzî dikenal lebih ketat (mutasyaddid). Lihat: Muhammad Tâhir al Jawwâbî, al Jarhu wa al Ta‟dîl baina al Mutasyaddidîn wa al Mutasâhilîn, (t.tp.: al Dâr al „Arabiyyah al Kuttâb, 1997 M), h. 456- 459. 23 Qâsim al Hâj Muhammad, “Asbâbu Ikhtilâf al „Ulamâ` fî Taqwiyah al Hadîts al Da‟îf wa Atsaruhu fî Ikhtilâf al Ahkâm al Fiqhiyyah”, Majallah al Wâhât lil Buhûts wa al Dirâsât, Issue 5 (2009), h. 223, jurnal diakses pada 23 Agustus 2016 dari http://elwahat.univ-ghardaia.dz 8 periwayatannya sebelum dilakukan tashîh hadis da‟îf.24 Dengan demikian diketahui bahwa tashîh hadis da‟îf telah digunakan oleh ahli hadis. Bertolak dari penjelasan di atas, dimungkinkan adanya metodologi tashîh hadis da‟îf Ahmad al Ghumârî dalam kitabnya al Mudâwî li „Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî. Hal ini dikarenakan ia meningkatkan hadis da‟îf menjadi sahîh dengan terdapatnya perawi pendusta yang menurut mayoritas ahli hadis hal tersebut tidak diperbolehkan. Bahkan dalam hal peningkatan hadis da‟îf sampai menuju hadis sahîh saja (tanpa adanya perawi pendusta) masih diperdebatkan ahli hadis. Oleh sebab itu menurut penulis, metodologi tashîh hadis da‟îf Ahmad al Ghumârî dalam kitabnya tersebut perlu diteliti lebih lanjut dan diangkat dalam penelitian tesis dengan judul “Metode Tashîh Hadis Da‟îf Ahmad Al Ghumârî Dalam al Mudâwî li ‟Ilal Al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî. B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Berangkat dari latar belakang permasalahan di atas, teridentifikasi beberapa masalah yang berkaitan dengan topik yang akan diteliti sebagai berikut: a. Ahli hadis sepakat dengan kriteria keda‟îfan suatu hadis tetapi berbeda dalam memposisikan keda‟îfannya. b. Ahli hadis berbeda pendapat dalam penerimaan peningkatan hadis da‟îf. c. Perbedaan kriteria ahli hadis dalam peningkatan kualitas hadis da‟îf ini melahirkan metodologi yang berbeda. Mayoritas menyatakan hadis da‟îf dapat meningkat hanya sampai hadis hasan dan sebagiannya sampai pada

24 Muhammad bin „Umar bin Sâlim Bâzmûl, “Taqwiyatu al Hadîts al Da‟îf baina al Fuqahâ` wa al Muhadditsîn”, Majallah Jâmi‟ah Umm al Qurâ li „Ulûm al Syarî‟ah wa al Lughah al „Arabiyyah wa Âdâbihâ, Vol. 15, Issue 26 (Safar 1424 H / April 2003 M), h. 225, jurnal diakses pada 19 Juni 2016 dari: https://old.uqu.edu.sa/lib/digital_library/magz_view/ar/42/1 9 hadis sahîh dengan persyaratan tertentu di antaranya tidak terdapat perawi yang dinilai pendusta ( ) َك َّذ ا ٌب dalam sanadnya. d. Ahmad al Ghumârî merupakan ahli hadis kontemporer yang telah menggunakan metodologi tashîh hadis da‟îf dalam kitabnya al Mudâwî li „Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî. e. Tashîh hadis da‟îf Ahmad al Ghumârî bertentangan dengan mayoritas ahli hadis yang hanya dapat meningkat sampai hadis hasan dengan syarat tidak terdapat perawi yang dinilai pendusta ( ) dalam َك َّذ ا ٌب sanadnya.

2. Pembatasan Masalah Bertolak dari luasnya permasalahan yang terindikasi, penulis membatasi penelitian ini dalam beberapa variabel yang didasarkan pada tingkat kepentingan dan urgensi masalah yang akan dipecahkan.25 Dalam penelitian ini, penulis memfokuskan pada tiga pembahasan. Pertama, perdebatan ahli hadis klasik dan kontemporer dalam kriteria peningkatan hadis da‟îf. Kedua, takhrij hadis da‟îf yang ditashîh Ahmad al Ghumârî dalam kitabnya al Mudâwî li „Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî. Ketiga, tinjauan dan analisis metode tashîh hadis da‟îf oleh Ahmad al Ghumârî dalam kitabnya al Mudâwî li „Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî. Bertolak dari ketiga pembahasan di atas, perlu dilakukan pembatasan masalah untuk tujuan signifikansi pembahasan. Oleh karenanya pada pembahasan pertama, pembatasan masalah antara pemetaan ahli hadis klasik dan kontemporer didasarkan pada pendapat Abû „Abdillâh Muhammad bin

25 Sugiono, Metode Penelitian Kuanlitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 207-208. 10 Ahmad bin „Utsmân al Dzahabî (w. 748 H) yang menyatakan bahwa pemisah antara keduanya adalah tahun 300 H.26 Ahli hadis klasik dibatasi ahli hadis yang hidup di bawah tahun 300 H (abad 3 H) yang diwakili oleh Abû „Abdillâh Malik bin Anas (w. 179 H), Muhammad bin Idrîs al Syâfi‟î (w. 204 H), Abû „Abdillâh Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (w. 241 H), Abû „Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al Bukhârî (w. 256 H), dan Muhammad bin „Îsâ al Tirmidzî (w. 279 H). Sedangkan ahli hadis kontemporer adalah ahli hadis yang hidup di atas 300 H (abad 3 H) yang terbagi menjadi ahli hadis Sunni yang diwakili oleh Muhammad bin „Abdillâh al Hâkim (w. 405 H), Ibnu al Jauzî (w. 597 H), Ibnu Hajar (w. 852 H), dan Muhammad Nâsiruddîn al Albâni (w. 1420 H).27 Sedangkan ahli hadis Syiah yang diwakili oleh Abû Ja‟far Muhammad bin Ya‟qûb al Kulainî (w. 329 H), Muhammad bin al Hasan al Tûsî (w. 460 H), Zainuddîn bin „Alî bin Ahmad al Syâmî al „Âmilî al Jaba‟î (

26 Abû „Abdillâh Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al Dzahabî, Mîzân al I‟tidâl fî Naqdi al Rijâl, yang ditahqîq oleh „Alî Muhammad Bajâwî, (Beirut: Dâr al Ma‟rifah, t.t.), vol. 1, h. 4. 27 Muhammad Nâsiruddîn al Albâni dipilih dikarenakan adanya metodologi tersendiri dalam mentashîh dan mentad‟if suatu hadis yang banyak dipakai dalam kitabnya yang terkenal yaitu Silsilah al Ahâdîts al Sahîhah dan Silsilah al Ahâdîts al Da‟îfah wa al Maudû‟ahnya. Selain itu ia juga menjadi ahli hadis rujukan dalam kelompok Wahabi yang menurut kelompoknya memang menganggap kelompok mereka termasuk dalam Sunni. Meskipun dalam perkembangannya ditemukan ahli hadis yang menolak memasukkan Wahabi sebagai bagian dari Sunni karena kelompok ini dianggap bukan bagian dari Sunni. Di antaranya yang mendukung pendapat ini adalah Najjâh al Tâ`î. Ia berkata dalam kitabnya al Wahhâbiyyûn Khawârij am Sunnah, “...kelompok Wahabi bukanlah Sunni (Ahlu Sunnah) karena Sunni (Ahlu Sunnah) berpegang pada empat mazhab fiqih, berjalan dalam rambu-rambu syariah, berhati-hati dalam menumpahkan darah, dan mencabut nyawa (membunuh). Sedangkan kelompok Wahabi adalah gerakan yang menyimpang, sesat dari umat Islam pada umumnya dan ia juga menyalahi Sunni dan Syiah....”. Lihat: Najjâh al Tâ`î, al Wahhâbiyyûn Khawârij am Sunnah, (Beirut: Dâr al Mîzân, 2005), h. 222, buku diakses pada 17 Mei 2017 dari http://www.narjes- library.com/2010/10/blog-post_22.html 11 911 - 965 H), Husain bin „Abd al Samad al „Âmilî ( 918 - 984 H ), dan Ja‟far bin Muhammad Husain al Subhânî al Khiyâbânî al Tabrîzî (l. 1347 H). Pemilihan ahli hadis di atas didasarkan pada kemasyhuran keilmuan hadis (terutama ilmu dirâyah hadis28) pada masanya. Adapun pembagian ahli hadis kontemporer menjadi ahli hadis Sunni dan Syiah, hal tersebut bertujuan pengayaan referensi dan analisis metodologi yang valid pada kelompok ahli hadis kontemporer. Kitab al Mudâwî sendiri di dalamnya terhimpun sebanyak 3.509 hadis dalam 6 jilid dengan rincian sebagai berikut: a. Jilid pertama memuat 579 hadis dengan 187 hadis da‟îf dan 15 hadis da‟îf yang ditashîh. b. Jilid ke-2 memuat 478 hadis dengan 246 hadis da‟îf dan 15 hadis da‟îf yang ditashîh. c. Jilid ke-3 memuat 417 hadis dengan 279 hadis da‟îf dan 12 hadis da‟îf yang ditashîh. d. Jilid ke-4 memuat 740 hadis dengan 291 hadis da‟îf dan 20 hadis da‟îf yang ditashîh. e. Jilid ke-5 memuat 425 hadis dengan 210 hadis da‟îf dan 15 hadis da‟îf yang ditashîh. f. Jilid ke-6 memuat 507 hadis dengan 286 hadis da‟îf yang ditashîh dan 17 hadis da‟îf yang ditashîh.

Dengan demikian, jumlah total keseluruhan hadis da‟îf yang ditashîh dalam kitabnya tersebut adalah 94 hadis dari 1.499 hadis da‟îf .

28 Menurut „Izzuddîn bin Jâ‟ah ilmu dirâyah hadis adalah ilmu yang berisi aturan-aturan mengenai keadaan-keadaan sanad dan matan. Sedangkan menurut Ibnu Hajar ilmu ini bermakna pengetahuan mengenai aturan-aturan keadaan perawi dan yang diriwayatkan. Oleh karenanya, keduanya bersesuaian makna yang mengacu pada pembahasan mengenai diterima dan ditolaknya suatu hadis. Lihat: Ahmad „Umar Hâsyîm, Qawâ‟îd Usûl al Hadîts, (t.tp. : Dâr al Fikr, t.t.), h. 26. 12 Berdasarkan banyaknya jumlah hadis yang ditemukan dari penelaahan kitab di atas, diperlukan pemilihan dan batasan lebih lanjut. Pemilihan hadis-hadis yang akan ditakhrij akan dibatasi sesuai dengan efesiensi dan ketepatan asas pembahasan masalah dalam penelitian ini. Hadis-hadis sampel takhrij dibatasi dan didasarkan pada literatur hadis-hadis da‟îf populer yang banyak beredar di Indonesia. Adapun jika tidak ditemukan hadis da‟îf populer tersebut ditashîh dalam al Mudâwî li „Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî, maka dipilih hadis yang mewakili metode Ahmad al Ghumârî dalam tashîh hadis da‟îfnya. Setelah ditelusuri hadis-hadis tersebut dalam kitab-kitab hadis maka dipilih yang termasuk dalam al kutub al tis‟ah. Adapun jika tidak ditemukan dalam al kutub al tis‟ah maka dicari dalam urutan kitab terdekatnya menurut ahli hadis yaitu al Mustadrak „ala al Sahîhain karya al Hâkim. Pemilihan hadis-hadis da‟îf yang banyak beredar di Indonesia diutamakan karena didasarkan banyaknya ditemukan buku-buku hadis di Indonesia yang membahas hadis-hadis da‟îf populer. Dengan ditemukannya hadis-hadis da‟îf tersebut dan setelah diteliti ditemukan tashîh ahli hadis maka hal ini dapat menimbulkan kebingungan masyarakat Indonesia pada umumnya dan cendekiawan pada khususnya. Penelitian dengan pembatasan masalah tersebut, diharapkan dapat memberikan metodologi yang tepat dalam mengatasi polemik hadis da‟îf di atas terutama dalam melakukan peningkatan keda‟îfannya. 3. Rumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah yang ditetapkan di atas, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah yang dimaksud dengan tashîh hadis da‟îf oleh Ahmad al Ghumârî? 2. Bagaimanakah metodologi Ahmad al Ghumârî dalam tashîh hadis da‟îf pada kitabnya al Mudâwî li „Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî?

13 C. Tujuan Penelitian Dari perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah 1. Menelaah dan memahami makna tashîh hadis da‟îf oleh Ahmad al Ghumârî. 2. Mengetahui dan menggambarkan metodologi tashîh hadis da‟îf Ahmad al Ghumârî dalam kitabnya al Mudâwî li „Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî.

Adapun tujuan umum yang hendak dicapai dengan diajukannya penelitian ini adalah dalam rangka memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Agama (M.Ag) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

D. Manfaat Penelitian Beberapa signifikansi dan kemanfaatan yang diharapkan dapat diberikan melalui penelitian ini adalah: 1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan khazanah metodologi keilmuan hadis mengenai peningkatan hadis da‟îf. Hal ini didasarkan fakta adanya pergeseran metodologi peningkatan hadis da‟îf seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan hadis (pada khususnya) sehingga ditemukan metode baru yaitu peningkatan hadis da‟îf menjadi hadis sahîh oleh ahli hadis kontemporer seperti Ahmad al Ghumârî. Maka pendekatan penelitian yang disesuaikan dengan kaidah ilmu hadis pada umumnya, diharapkan dapat merepresentasikan metodologi yang tepat dalam peningkatan hadis da‟îf. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran ilmiah dan keilmuan, menumbuhkan kesadaran kepada cendekiawan pada khususnya mengenai hadis da‟îf terutama metodologi peningkatan hadis da‟îf yang tepat.

14 E. Kajian Pustaka Adapun mengenai penelitian terdahulu yang masih terkait dengan penelitian penulis dalam penelitian ini yang dapat diuraikan sebagai berikut: a. Tesis yang telah dibukukan dengan judul “Manâhij al Ahli hadis fî Taqwiyah al Ahâdîts al Hasanah wa al Da‟îfah”29 karya Murtadâ al Zain Ahmad. Buku ini pada awalnya merupakan sebuah tesis saat Murtadâ al Zain Ahmad menjadi mahasiswa Universitas al Madînah al Munawwarah. b. Buku Manhaj al Naqd al Hadîtsî wa Tatbîqâtihi baina al A`immah Jalâluddîn al Suyûtî, „Abd al Ra`ûf al Munâwî, Ahmad bin al Siddîq al Ghumârî30 karya Fadwâ Bunkîrân. Buku yang berhubungan secara langsung dalam penelitian ini ditemukan penulis saat proses penulisan penelitian sedang berjalan. Kandungan buku berisi perbandingan metode kritik hadis antara Jalâluddîn al Suyûtî, „Abd al Ra`ûf al Munâwî dan Ahmad bin al Siddîq al Ghumârî. Di dalamnya ditemukan sub tema mengenai tashîh hadis da‟îf Ahmad al Ghumârî. Akan tetapi setelah ditelaah, terdapat beberapa pemikiran Ahmad al Ghumârî yang belum tercover sehingga dibutuhkan penelitian lebih khusus mengenainya. c. Tulisan Jurnal dengan judul “Opinion Prudent to Streangthen The Weak Talk (al Ra`yu al Hasîf fî Taqwiyah al Hadîts al Da‟îf)” oleh Yâs Hamîd Majîd Muhammad al Sâmarrâ`î, dalam Jurnal Research and

29 Murtadâ al Zain Ahmad, Manâhij al Muhadditsîn fî Taqwiyah al Ahâdîts al Hasanah wa al Da‟îfah, cet. 1, (Riyâd: Maktabah al Rusyd, 1415 H/ 1994 M), buku diakses pada 26 Juni 2016 dari http://www.archive.org/download/Mnahig/Mnahig.pdf 30 Fadwâ Bunkîrân, Manhaj al Naqd al Hadîtsî wa Tatbîqâtihi baina al A`immah Jalâluddîn al Suyûtî, „Abd al Ra`ûf al Munâwî, Ahmad bin al Siddîq al Ghumârî, 1th.ed., (Beirut: Alam al Kotob, 2011). 15 Islamic Studies Magazine31 yang merupakan tanggapan Yâs Hamîd terhadap tesis Murtadâ al Zain Ahmad di atas. d. Tulisan Jurnal dengan judul “Taqwiyah al Ahâdîts al Da‟îfah baina al Mutaqaddimîn wa al Muta`akhkhirîn min al Muhadditsîn” oleh Sâjid Mahmûd, prodi al Dirâsât al Islâmiyyah, Universitas Hazara dan Âftâb Ahmad, program studi Hadis, Universitas al Islâmiyyah al „Âlamiyyah, Islamabad, dalam Jurnal Hazara Islamicus32. e. Tulisan Jurnal dengan judul “Asbâbu Ikhtilâf al „Ulamâ` fî Taqwiyah al Hadîts al Da‟îf wa Atsaruhu fî Ikhtilâf al Ahkâm al Fiqhiyyah” oleh Qâsim al Hâj Muhammad dalam Majallah al Wâhât lil Buhûts wa al Dirâsât33, Universitas Ghardaia. f. Tulisan Jurnal dengan judul “Taqwiyatu al Hadîts al Da‟îf baina al Fuqahâ` wa al Muhadditsîn” oleh Muhammad bin „Umar bin Sâlim Bâzmûl, seorang dosen program studi al Kitâb wa al Sunnah, fakultas Dakwah dan Ushuluddin, Universitas Umm al Qurâ, dalam Majallah Jâmi‟ah Umm al Qurâ li „Ulûm al Syarî‟ah wa al Lughah al „Arabiyyah wa Âdâbihâ34.

31 Yâs Hamîd Majîd Muhammad al Sâmarrâ`î, “Opinion Prudent to Streangthen The Weak Talk (al Ra`yu al Hasîf fî Taqwiyah al Hadîts al Da‟îf)”, Reasearch and Islamic Studies Magazine, Issue 4 (2006), h. 247- 308, jurnal diakses pada 10 Juli 2016 dari http://www.iasj.net/iasj 32 Sâjid Mahmûd dan Âftâb Ahmad, “Taqwiyah al Ahâdîts al Da‟îfah baina al Mutaqaddimîn wa al Muta`akhkhirîn min al Muhadditsîn”, Hazara Islamicus, Vol 1, Issue 2, (July-Dec 2012), h. 89-200, jurnal diunduh dari http://www.hazaraislamicus.org/10-list-of-contents/6-table-of-contents-vol- 2-issue-1.html pada 21 Desember 2016. 33 Qâsim al Hâj Muhammad, “Asbâbu Ikhtilâf al „Ulamâ` fî Taqwiyah al Hadîts al Da‟îf wa Atsaruhu fî Ikhtilâf al Ahkâm al Fiqhiyyah”, Majallah al Wâhât lil Buhûts wa al Dirâsât, Issue 5 (2009), h. 221-240, jurnal diakses pada 23 Agustus 2016 dari http://elwahat.univ-ghardaia.dz 34 Muhammad bin „Umar bin Sâlim Bâzmûl, “Taqwiyatu al Hadîts al Da‟îf baina al Fuqahâ` wa al Muhadditsîn”, Majallah Jâmi‟ah Umm al Qurâ 16 g. Tesis berjudul “Kualitas Hadis Subhah (Studi Komparatif Metode Tashih dan Tadl‟if Hadis al Habasyi dan al Albani)” oleh Kholilurrahman, mahasiswa Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang lulus tahun 2005. h. Buku berjudul “al Irsyâdât fî Taqwiyah al Ahâdîts bi al Syawâhid wa al Mutâba‟ât”35 karya Abî Mu‟âdz Târiq bin „Audillâh bin Muhammad.

F. Kajian Teori Teori-teori mengenai peningkatan hadis da‟îf di antaranya adalah: 1. Diperbolehkan adanya peningkatan hadis da‟îf dan ini adalah pendapat yang disepakati oleh ahli hadis, di antaranya Abû „Amrun bin al Salâh al Syahrauzûrî (w. 643 H), „Abdu al Qâdir al Rahâwî (w. 615 H), Zakiyyuddîn „Abdu al ‟Adîm al Mundzirî (w. 656 H), Abû Zakariyyâ Yahyâ al Nawawî (w. 676 H), Ibnu Sayyid al Nâs Muhammad al Ya‟marî (w. 734 H), Abû „Abdullâh al Husain al Tîbî (w. 743 H), Abû al Fidâ` Ismâ‟îl bin Katsîr al Dimasyqî (w. 774 H). Kelompok ini berpendapat hadis da‟îf dapat ditingkatkan sampai ke hadis hasan. 2. Tidak diperbolehkan adanya peningkatan hadis da‟îf. Pendapat ini merupakan pendapat Ibnu Hazm al Andalusî (w. 456 H) dengan berkata “maka sesungguhnya ia (hadis da‟îf ) tidak dapat ditingkatkan

li „Ulûm al Syarî‟ah wa al Lughah al „Arabiyyah wa Âdâbihâ, Vol. 15, Issue 26 (Safar 1424 H / April 2003 M), h. 215-283, jurnal diakses pada 19 Juni 2016 dari: https://old.uqu.edu.sa/lib/digital_library/magz_view/ar/42/1 35 Abî Mu‟âdz Târiq bin „Audillâh bin Muhammad, al Irsyâdât fî Taqwiyah al Ahâdîts bi al Syawâhid wa al Mutâba‟ât, 1th.ed., (Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyyah, 1417 H/ 1998 M). 17 dengan bergabungnya da‟îf dengan da‟îf kecuali tetap menjadi da‟îf ”. 3. Diperbolehkan peningkatan hadis da‟îf menjadi hadis sahîh. Pendapat ini diikuti al Hâkim dan Muhammad bin „Umar36 dengan syarat dalam sanadnya tidak terdapat perawi pendusta (dinilai kritikus hadis dengan sighah ). Ahmad al Ghumârî yang menjadi topik utama َك َّذ ا ٌب penelitian penulis juga termasuk ke dalam pendapat ini. Akan tetapi, ia tidak mengikuti persyaratan tersebut.

G. Metodologi Penelitian 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini termasuk berjenis penelitian kualitatif. Menurut Lexy J. Moleong, penelitian kualitatif berupa prosedur penelitian untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian secara holistik yang dideskripsikan melalui kata-kata dan bahasa dalam konteks tertentu.37 Adapun menurut Saifuddin Azwar, penelitian kualitatif bermakna penelitian yang lebih menekankan analisis dari penyimpulan deduktif dan induktif serta analisis terhadap dinamika hubungan antar fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah.38 Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis historis dan analisis data (content analisis) yang diuraikan secara deskriptif analitis. Metode historis ini menurut Kuntowijoyo “...merupakan prosedur pemecahan masalah

36 Ia adalah seorang pengajar pada program studi al Kitâb wa al Sunnah, fakultas al Da‟wah wa Usuluddîn di Jâmi‟ah Umm al Qurrâ. Ia mengatakan pendapatnya dalam tulisan jurnalnya yang berjudul “Taqwiyatu al Hadîts al Da‟îf baina al Fuqahâ` wa al Muhadditsîn”, Majallah Jâmi‟ah Umm al Qurâ li „Ulûm al Syarî‟ah wa al Lughah al „Arabiyyah wa Âdâbihâ, Vol. 15, Issue 26 (Safar 1424 H / April 2003 M), 37 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, 27th.ed., (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 6. 38 Saifuddin Azwar, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 5. 18 menggunakan data masa lalu atau peninggalan-peninggalan masa lalu untuk memahami kejadian atau suatu keadaan yang berlangsung pada masa lalu...”.39 Penelitian kualitatif dengan metode historis dibutuhkan dalam mengungkap pendapat ahli hadis terkait peningkatan hadis da‟îf yang selanjutnya menjadi pijakan awal penelitian metode tashîh hadis da‟îf Ahmad al Ghumârî. Adapun analisis data, ia adalah suatu teknik penelitian yang mencakup prosedur-prosedur khusus dalam memproses data ilmiah dengan tujuan memberikan pengetahuan, membuka wawasan baru dan menyajikan fakta.40 Analisis data digunakan untuk mengetahui dan merumuskan metode tashîh hadis da‟îf Ahmad al Ghumârî dan selanjutnya dapat dilakukan kritik (analisis) atasnya.

2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah pengumpulan data kepustakaan (library research). Data kepustakaan merupakan objek penelitian yang berdasarkan pada data-data yang diperoleh melalui buku, artikel, laporan penelitian, situs dan lain sebagainya.41 Dengan demikian, sumber data penelitian adalah tulisan-tulisan ilmiah yang berhubungan langsung dengan penelitian ini maupun tidak.

3. Sumber Data Sumber data penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data utama yang berhubungan langsung dalam penelitian ini. Data

39 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995), h. 89. 40 Klaus Krispendoff, Analisis Isi Pengantar Dan Teori Metodologi, (Jakarta: Rajawali Press, 1993), h. 15. 41 Saifuddin Azwar, Metodologi Penelitian, h. 17. 19 yang dimaksud adalah karya Ahmad al Ghumârî yaitu buku al Mudâwî li ‟Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî42. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah literatur yang masih berhubungan dengan objek penelitian. Literatur yang dimaksud adalah literatur mengenai riwayat hidup Ahmad al Ghumârî sekaligus perhatiannya terhadap hadis untuk mengungkap sejarah kehidupannya, literatur mengenai sistematika periwayatan hadis dan Ulumul Hadis yang digunakan untuk mengetahui metode ahli hadis dalam periwayatan hadis, literatur khusus mengenai hadis da‟îf dan peningkatan keda‟îfannya, literatur hadis-hadis da‟îf populer di Indonesia untuk mencari dan memetakan hadis-hadis da‟îf populer dan banyak beredar di Indonesia yang selanjutnya menjadi acuan penelitian awal dalam memilih hadis da‟îf dalam kitab al Mudâwî li „Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî dan ditashîh Ahmad al Ghumârî, literatur takhrij dan Ilmu Rijal yang digunakan untuk meneliti takhrij hadis-hadis da‟îf dalam kitab al Mudâwî li „Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî, buku Pedoman Akademik Program Magister43 yang dikeluarkan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2012 sebagai pedoman dalam teknik penulisan penelitian ini, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai pedoman kebahasaan yang disesuaikan dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), serta al Quran dan Terjemahnya44 yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI dengan tulisan ayatnya dari al Mushaf al Madînah al Nabawiyyah45 yang diterbitkan oleh Majma‟ al

42 Ahmad bin Muhammad bin al Siddîq al Hasanî al Ghumârî, al Mudâwî li „Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî, (Beirut: Dâr al Kutub al „Ilmiyyah, 1996). 43 Tim Penyusun Pedoman Akademik Program Magister Pascasarjana Fakultas Ushuluddin, Pedoman Akademik Program Magister, (Jakarta: Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, 2012). 44 Departemen Agama RI, al Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989). 45 Khâdim al Haramain al Syarifain al Malik Salmân bin „Abd al „Azîz al Su‟ûd, al Mushaf al Madînah al Nabawiyyah, (Madinah 20 Malik Fahd li Tibâ`ah al Mushaf al Syarîf sebagai pedoman terjemahan ayat-ayat al-Qurân dan penulisannya. Adapun terjemahan hadis dilakukan berdasarkan terjemahan kitab-kitab hadis edisi Bahasa Indonesia dan terjemahan penulis sesuai dengan konteks yang dibahas. 4. Metode Analisis Data Metode analisis data dalam penelitian ini bersifat interpretatif (interpretative approach) yang bemakna menyelami pemikiran seorang tokoh melalui karya-karyanya untuk menangkap pengertian yang dimaksud secara khas tokoh tersebut sehingga tercapai pemahaman yang benar.46 Dalam penelitian pendapat ahli hadis klasik dan kontemporer, digunakan metode deskriptif-analitis dengan kerangka yang bersifat historis dan komparatif. Historis karena penelitian ini mengkaji berbagai pendapat ahli hadis mengenai peningkatan hadis da‟îf berdasarkan kondisi dan masa hidupnya. Komparatif karena menganalisis perbandingan kedua metodologi ahli hadis dalam peningkatan hadis da‟îf baik ahli hadis klasik maupun kontemporer. Dalam penelitian kualitas hadis, digunakan metode takhrij sebagai analisis kualitas sanadnya dengan al Mu‟jam al Mufahras li Alfâz al Hadîts al Nabawî47, program (aplikasi) metode takhrij, serta buku Ilmu Rijal lainnya. Aplikasi takhrij yang digunakan adalah Mausû‟ah al Hadîts yang diakses secara

Munawwarah: Majma‟ al Malik Fahd li Tibâ`ah al Mushaf al Syarîf, 1420 H). 46 Kaelan, Metodologi Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner, (Yogyakarta: Paradigma, 2010), h. 169-173. 47 A. Y. Winsink, al Mu‟jam al Mufahras li Alfâz al Hadîts al Nabawî, (London: Maktabah Brîl, 1937). 21 online48. Selanjutnya dilakukan kritik hadis yaitu metode kritik ekstern49 dan metode kritik intern50.

H. Sistematika Penulisan Agar pembahasan dalam tesis ini berisi jalinan logis dan ilmiah antara sub yang satu dengan yang lainnya, maka perlu disusun secara sistematis. Sistematika yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari lima bab sebagai berikut:

48 Aplikasi takhrij online yaitu Mausû‟ah al Hadîts yang dimaksud adalah aplikasi yang diakses dari website http://library.islamweb.net/hadith/hadithsearch.php 49 Metode kritik ekstern yang dimaksud adalah kritik sanad (al Naqd al Khârijî) yaitu kritik pada jalur yang menyampaikan kepada sumber riwayat, yang terdiri dari sekumpulan periwayat yang masing-masing mengambil riwayat dari periwayat sebelumnya dan menyampaikannya kepada periwayat setelahnya, sampai kepada pentakhrij hadis (mukharrij) seperti al Bukhârî, Muslim, Abû Dâwud, Ahmad, dan lainnya. Kriteria kesahîhan sanad ini meliputi sanad yang bersambung dari awal sampai akhir (muttasil), periwayatnya „âdil (teguh agamanya sehingga membuat dirinya takut berbohong dalam urusan agama), dâbit (memiliki daya hafalan kuat/ catatan akurat), terbebas dari syadz (penyimpangan perawi tsiqah terhadap orang yang lebih kuat darinya), dan terbebas dari „illah yang mencacatkannya (seperti memursalkan yang mausûl, memuttasilkan yang munqati‟, dan lainnya). Lihat: Salahudin ibn Ahmad al Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, penerjemah H.M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, (Ciputat: Gaya Media Pratama, 2004), h. 17. 50 Metode kritik intern yang dimaksud adalah kritik matan (al Naqd al Dâkhilî) yaitu kritik pada matan hadis dengan dua kriteria kesahîhan matan setelah sebelumnya dilakukan kritik sanad hadis. Kriteria kesahîhan matan tersebut adalah matan hadis terbebas dari syadz dan terbebas dari „illah. Yang dimaksud terbebas dari syadz adalah saat hadis bersanad sahîh tetapi ada hadis lain yang lebih sahîh dan kuat sanadnya dan hadis kedua berbeda dengan hadis pertama. Maka hadis pertama dinilai sahîh sanadnya tetapi matannya syadz (dinilai matannya da‟îf meskipun sanadnya sahîh). Sedangkan hadis kedua sanadnya sahîh dan matannya mahfûz (dinilai matannya sahîh). Adapun yang dimaksud terbebas dari „illah adalah matan yang mengandung cacat („illah qâdihah) seperti ditemukannya seorang periwayat melakukan kekeliruan dengan memasukkan pernyataan dalam matan hadis yang sebenarnya bukan perkataan Rasul. Lihat: Salahudin ibn Ahmad al Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, h. 18-19. 22 Bab pertama merupakan pendahuluan, di dalamnya dikemukakan apa yang menjadi latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, kajian teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua merupakan pembahasan mengenai perbedaan pendapat ahli hadis dalam peningkatan hadis da‟îf yang akan diuraikan secara deskriptif-historis pada dua sub-bab yaitu sub- bab ahli hadis klasik dan sub-bab ahli hadis kontemporer. Adapun sub-bab ahli hadis kontemporer terbagi menjadi dua yaitu pendapat ahli hadis Sunni dan pendapat ahli hadis Syiah. Bab ketiga membahas hadis da‟îf yang ditashîh Ahmad al Ghumârî dan terdiri dari dua sub-bab. Sub-bab pertama, berisi deskripsi biografi singkat Ahmad al Ghumârî dan kitabnya yaitu al Mudâwî li „Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî. Pembahasan biografi Ahmad al Ghumârî meliputi latar belakang keluarga, setting sosial politik, dan latar belakang pendidikan (perjalanan keilmuan, guru-guru dan murid-murid Ahmad al Ghumârî, serta karya-karyanya). Adapun mengenai kitabnya akan dibahas mengenai latar belakang penyusunan kitab dan sistematika penyusunannya. Selanjutnya pada sub-bab kedua yaitu kritik hadis da‟îf yang ditashîh Ahmad al Ghumarî dalam kitabnya tersebut. Bab keempat berisi tinjauan dan analisis terhadap metode tashih hadis da‟îf Ahmad al Ghumârî. Pada bab keempat terbagi menjadi dua sub-bab yaitu metode tashih hadis da‟îf Ahmad al Ghumârî dan kritik metode tashih hadis da‟îf Ahmad al Ghumârî. Dalam sub-bab metode tashih hadis da‟îf Ahmad al Ghumârî merupakan kelanjutan dari bab sebelumnya (bab ketiga) yang berisi kelanjutan analisis dan gambaran metodologi Ahmad al Ghumârî dalam melakukan tashih hadis da‟îf berdasarkan penelitian takhrij penulis pada bab ketiga dan buku pendukung lainnya. Sub-bab kedua yaitu kritik metode tashih hadis da‟îf Ahmad al Ghumârî merupakan kritik dan

23 analisis metode tashih hadis da‟îf Ahmad al Ghumârî yang telah diuraikan pada sub-bab sebelumnya. Bab kelima merupakan bab penutup tesis ini yang memuat kesimpulan dari pembahasan yang telah dilakukan. Kesimpulan ini merupakan jawaban dari pokok-pokok masalah yang dikemukakan pada bab I. Selanjutnya pada bagian akhir disertai dengan kritik dan saran, serta daftar kepustakaan yang digunakan sebagai bahan rujukan dan bacaan dalam penulisan ini, dan riwayat ringkas penulis. Sedangkan lembar judul, lembar pernyataan, lembar persetujuan pembimbing, lembar pengesahan, lembar pedoman transliterasi, abstrak, kata pengantar, daftar isi, dimuat pada bagian awal.

24 BAB II PERDEBATAN AHLI HADIS TERHADAP PENINGKATAN HADIS DA’ÎF

Sebagai sumber hukum kedua dalam Islam, hadis memiliki peran penting dalam penentuan syariat Islam. Otentisitas teks (hadis) ini menjadikan sebagian ahli hadis berbeda dalam penerimaan kebenaran teks hadis seperti penilaian tsiqah (terpercaya) tidaknya seorang perawi, lemah tidaknya matan dan sanad suatu hadis jika dibandingkan dengan hadis lain. Selanjutnya perbedaan tersebut mengakibatkan perbedaan kehujjahan suatu hadis di kalangan mujtahid. Demikian halnya dengan hadis da’îf yang sebagian ahli hadis memasukkannya ke dalam hadis yang tidak dapat dijadikan hujjah. Akan tetapi sebagian lain menerimanya sebagai hujjah seperti Mâlik bin Anas, al Syâfi‟î, dan Ahmad bin Hanbal yang terlihat dalam pendapatnya mengenai hadis mursal. Selanjutnya al Syafi‟î juga menerima hadis ini dengan syarat-syarat tertentu dan diperbolehkan adanya peningkatan hadis terhadapnya. Melihat adanya urgensi dan kebutuhan pemahaman menyeluruh mengenai hal tersebut, maka dijelaskan bagaimana ahli hadis klasik maupun kontemporer menyikapi hal tersebut sebagaimana berikut:

A. Peningkatan Hadis Da’îf Perspektif Ahli Hadis Klasik 1. Abû ‘Abdillâh Mâlik bin Anas (w. 179 H) Abû „Abdillâh Mâlik bin Anas (w. 179 H) adalah salah satu ahli hadis pada abad ke-2 H, semasa dengan Muhammad bin Syihab al Zuhrî yaitu awal penulisan dan pembukuan hadis. Pada masa tersebut lahir kitab fenomenalnya al Muwatta` yang disusunnya dalam kurun waktu 40 tahun. Adapun metode yang digunakan Mâlik bin Anas dalam menyusun kitab al Muwatta` yaitu pembagian bab-bab fiqih dengan menyisipkan hadis-

25 hadis, perkataan Sahabat1 dan fatwa-fatwa Tabi‟in2. Sedangkan metode periwayatannya Mâlik bin Anas di antaranya disampaikan oleh Sufyan al Tsaurî bahwa Mâlik bin Anas tidak akan menyampaikan hadis kecuali yang sahîh (dari perawi yang tsiqah).3 Kitab yang diyakini memuat hadis-hadis dengan sanad sahîh dan bersambung tersebut ternyata di dalamnya juga terdapat balâghât dan hadis-hadis mursal. Meskipun demikian, Mâlik melakukan tashîh terhadap balâghât dan hadis-hadis mursal dan menjadikannya sebagai hujjah.4 Selain balâghât dan hadis-hadis mursal, dalam kitab al Muwatta` juga terdapat hadis munqati’ dan mu’dal. 5 Terdapatnya hadis da’îf dalam al Muwatta` tidak menjadikan ahli hadis meragukannya. Bahkan al Syâfi‟î menyatakan al Muwatta` adalah kitab paling sahîh setelah Kitâbullah, Ibnu al Salâh memberikan komentar bahwa di dalamnya adalah hadis sahîh yang marfû’.6

1 Sahabat adalah seseorang yang bertemu langsung dengan Rasûlullah dalam keadaan muslim dan wafat dalam keadaan muslim, meskipun ﷺ pernah murtad. Lihat: Ahmad bin „Ali bin Muhammad bin Hajar al „Asqalâni, Nukhbah al Fikr fî Mustalah Ahl al Atsar, (Beirut: Dâr Ibn Hazm, 2006), h. 137-138; Al Tahhân, Taisîr Mustalah al Hadîts, h. 243. 2 Tabi‟in adalah seseorang yang bertemu Sahabat dalam keadaan muslim dan wafat dalam keadaan muslim atau seseorang yang menemani Sahabat. Lihat: Al Tahhân, Taisîr Mustalah al Hadîts, h. 247. 3 Muhammad Abu Zahw, The History of Hadith Historiografi Hadis Nabi dari Masa ke Masa, (Depok: Keira Publishing, 2015), h. 199-208. 4 Hammâm „Abdurrahîm Sa‟îd, al Fikr al Manhajî ‘Inda al Muhadditsîn, (Qatar: Ri`âsah al Mahâkim al Syar‟iyyah wa al Syu`ûn al Dîniyyah, 1403 H), h. 113. 5 Abû „Umar Yûsuf bin „Abdillâh bin Muhammad bin „Abdilbar al Namarî al Andalusî, al Tamhîd li Mâ fî al Muwatta` min al Ma’ânî wa al Asânîd, (Maroko: Dâr al Hadîts al Hassaniyyah, 1967), vol. 1, h. 1-2. 6 Muhammad Abû al Laits al Khair al Âbâdî,‘Ulûmul Hadîts Asîluhâ wa Mu’âsiruhâ, 7th.ed., (: Dâr al Syâkir, 1432 H / 2011 M), h. 80- 81. 26 Adapun metode peningkatan hadis da’îf dalam al Muwatta`, tidak ditemukan kitab khusus karya Mâlik bin Anas. Akan tetapi, didapatkan dalam beberapa pendapat ulama yang meneliti kitab al Muwatta`.7 Al Syâfi‟î berpendapat hadis-hadis mursal dan munqati’ dalam al Muwatta` merupakan hadis dengan sanad yang bersambung melalui jalur-jalur periwayatan yang lain.8 Al Suyûtî mengatakan bahwa dalam al Muwatta` terdapat hadis- hadis mursal yang dapat dijadikan hujjah karena ia memiliki hadis-hadis lain yang dapat meningkatkan hadis-hadis mursal tersebut. Oleh karenanya al Suyûtî menyimpulkan bahwa benar adanya al Muwatta` menghimpun hadis-hadis sahîh sebagaimana yang ditulis oleh Ibnu „Abdilbar.9 Abû „Umar Yûsuf bin „Abdillâh bin Muhammad bin „Abdilbar al Namarî al Andalusî atau dikenal dengan Ibnu „Abdilbar (w. 463 H) dalam al Tamhîdnya menjelaskan hadis-hadis maqtû’ menjadi muttasil dari jalur periwayatan selain jalur Mâlik dan hadis-hadis mursal menjadi musnad dari jalur periwayatan selain jalur Mâlik. Oleh karenanya, seluruh riwayatnya adalah sahîh karena Mâlik juga berpedoman pada periwayatan a`immah dan perawi-perawi tsiqah.10

7 Kitab yang dimaksud di antaranya: Abû al Fadl Jalâluddîn „Abdirrahmân bin Abî Bakr al Suyûtî, Tanwîr al Hawâlik (Syarh ‘alâ Muwatta` Mâlik), (Mesir: Dâr Ihyâ` al Kutub al „Arabiyyah, t.t.); Abû „Umar Yûsuf bin „Abdillâh bin Muhammad bin „Abdilbar al Namarî al Andalusî, al Tamhîd li Mâ fî al Muwatta` min al Ma’ânî wa al Asânîd, (Maroko: Dâr al Hadîts al Hassaniyyah, 1967); „Abdurrahmân bin „Abdillâh al Sya‟lânî, Usûl Fiqh al Imâm Mâlik Adillatuhu al Naqliyyah, (Riyâd: Maktabah al Malik Fahd al Wataniyyah, 1424 H). 8 Al Âbâdî,‘Ulûmul Hadîts Asîluhâ wa Mu’âsiruhâ, , h. 80. 9 Al Suyûtî, Tanwîr al Hawâlik (Syarh ‘alâ Muwatta` Mâlik), vol. 1, h. 8. 10 Abû „Umar Yûsuf, al Tamhîd li Mâ fî al Muwatta` min al Ma’ânî wa al Asânîd, h. 9. 27 „Abdurrahmân bin „Abdillâh al Sya‟lânî menyatakan bahwa kehujjahan hadis-hadis mursal dalam al Muwatta` dapat terpenuhi jika memenuhi dua syarat yaitu: 1. diriwayatkan oleh perawi „âdil 2. tidak diriwayatkan melainkan melalui jalur perawi- perawi tsiqah.11

Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan ditemukan adanya peningkatan hadis da’îf dalam al Muwatta` Abû „Abdillâh Mâlik bin Anas. Peningkatan hadis da’îf tersebut dilakukan dengan mengumpulkan semua jalur periwayatan lain dari hadis tersebut sehingga dapat menguatkan hadis asalnya dalam al Muwatta`.

2. Muhammad bin Idrîs al Syâfi’î (w. 204 H) Muhammad bin Idrîs al Syâfi‟î (w. 204 H) merupakan salah satu ahli hadis yang berperan besar dalam peletakan dasar dan perumusan ilmu hadis. Al Syâfi‟î telah menuangkan keilmuan tersebut pada empat kitabnya yaitu al Risâlah, al Umm, al Musnad, dan Ikhtilaf al Hadîts.12 Metode kritik hadisnya dapat ditemukan dalam kitabnya al Risâlah sebagaimana termuat di dalamnya pendapatnya mengenai standar kesahîhan hadis.13 Bagi al Syâfi‟î, hadis mursal dapat

11 Al Sya‟lânî, Usûl Fiqh al Imâm Mâlik Adillatuhu al Naqliyyah, vol. 2, h. 726. 12 Luluk Azizah, “Peran Imam Syafi‟i di bidang Hadis”, (Tesis S2 Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2008), h. 127-128. Adapun kitab yang dimaksud adalah Muhammad bin Idrîs al Syâfi‟î, al Risâlah, 2th.ed, (Kairo: Maktabah Dâr al Turâts, 1979); Muhammad bin Idrîs al Syâfi‟î, al Umm, (Mesir: Dâr al Wafâ`, 2001); Muhammad bin Idrîs al Syâfi‟î, Musnad al Imâm Muhammad bin Idrîs al Syâfi’î, (Beirut: Dâr al Basyâ`ir al Islâmiyyah, 2005); dan Muhammad bin Idrîs al Syâfi‟î, Ikhtilâf al Hadîts, (Beirut: Dâr al Fikr, 1996). 13 Standar kesahîhan hadis yang dimaksud yaitu sanad bersambung, diriwayatkan perawi tsiqah, dikenal jujur dalam periwayatannya, berakal saat meriwayatkan, berilmu dan memahami dengan benar makna-makna 28 diterima periwayatannya sehingga dapat berotoritas hukum (hujjah) sebagaimana ulama lain yang menjadikan hadis ini sebagai hujjah yaitu Abû Hanîfah, Mâlik bin Anas, kelompok mutakallimîn di antaranya Abû Hâsyim yang merupakan salah satu perawi dari Ahmad bin Hanbal, al Âmidî, dan al Zaidiyyah.14 Adapun persyaratan diterimanya hadis mursal menurut al Syâfi‟î terbagi dalam persyaratan hadis mursal (al mursal) tersebut dan perawinya (al mursil). Persyaratan al Syâfi‟î yang berkaitan dengan hadis mursal (al mursal) dan peningkatannya adalah: 1. Diriwayatkan secara musnad dari jalur periwayatan lain15 2. Bersesuaian dengan perawi (mursil) lain yang tidak menerima hadis tersebut dari rangkaian sanad perawi pada sanad hadis mursal pertama 3. Bersesuaian dengan pendapat sebagian Sahabat 4. Bersesuaian dengan pendapat mayoritas ulama16

lafaz hadis yang diriwayatkan, tidak meriwayatkan dengan makna jika bukan seseorang yang faqih (memahami dengan benar apa yang driwayatkannya), bagi perawi yang meriwayatkan dengan hafalan maka ia harus benar-benar hafal, dan tulisan yang terjaga (sama dengan hafalannya) jika ia meriwayatkan dengan tulisan, terlepas dari mudallis (meriwayatkan hadis dari seseorang yang ia temui tanpa mendengar hadis darinya), hendaknya perbuatan seorang perawi tidak bertentangan dengan kandungan hadis yang diriwayatkan. Lihat: Al Syâfi‟î, al Risâlah, 2th.ed, h. 370-371, 461. 14 Al Murtadâ al Zain Ahmad, Manâhij al Muhadditsîn fî Taqwiyah al Ahâdîts al Hasanah wa al Da’îfah, 1th.ed, (al Riyâd: Maktabah al Rusyd, 1994), h. 123. 15 Sebagaimana perkataan al Syâfi‟î: ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ "...أَْن ي ُنْظََر إََل َما أَْرَس َل م َن ا ْْلَديْث فَإ ْن َشرَكوُ فيْو ا ْْلَُّفا ُظ الَْمأُْمْون ُْوَن ف َأَ ْسنَُدْوهُ ِ ِ ِ َّ ِ َّ ِِ إََل َرُسْول اهلل َصلى اهللُ َعلَْيو َو َسل َم ِبثِْل َمْعََن َما َرَوى..." Lihat : Al Syâfi‟î, al Risâlah, h. 462. 16 Al Syâfi‟î, al Risâlah, h. 462-463. 29 Sedangkan yang berkaitan dengan persyaratan perawinya (al mursil) adalah merupakan hadis mursal dari Tabi‟in besar17, diriwayatkan dari perawi tsiqah, dan hadis tersebut bersesuaian dengan periwayatan huffâz terpercaya yang sehingga periwayatannya ﷺ disandarkan kepada Rasulullâh dapat diterima18.19 Ibnu Rajab menjelaskan bahwa dari penjelasan al Syâfi‟î di atas dapat disimpulkan bahwa persyaratan peningkatan hadis mursal di atas menunjukkan kesahîhan kemursalannya dan bahwa hadis tersebut memiliki asalnya (yang lebih kuat) maka hadis tersebut dapat diterima dan dapat dijadikan hujjah. Adapun jika persyaratan di atas tidak terpenuhi, maka peningkatan hadis da’îf (yaitu hadis mursal) tidak dapat dilakukan dan ia tidak dapat dijadikan hujjah.20 Demikianlah penjelasan al Syâfi‟î mengenai penerimaan hadis mursal sebagai hujjah dan persyaratan peningkatan hadis mursal sebagai salah satu bagian hadis da’îf yang telah dituangkan dalam al Risâlahnya. Dari penjelasan di atas, juga ditemukan bahwa al Syâfi‟î telah melakukan peningkatan hadis da’îf yaitu hadis mursal dengan ditemukannya jalur-jalur perwayatan lain yang menguatkannya dengan syarat-syarat tertentu.

17 Adapun seorang Tabi‟in besar yang dimaksudkan di sini adalah seorang Tabi‟in yang bertemu sejumlah besar kalangan Sahabat dan duduk (bermujâlasah) bersama mereka dan mayoritas periwayatannya diriwayatkan dari mereka. Sedangkan tâbi’în kecil didefinisikan al Sakhâwî dengan seorang Tabi‟in yang hanya bertemu dengan sedikit Sahabat atau bertemu tetapi mayoritas periwayatannya dari Tabi‟in. Lihat: Al Syâfi‟î, al Risâlah, h. 465; Ahmad, Manâhij al Muhadditsîn fî Taqwiyah al Ahâdîts al Hasanah wa al Da’îfah, h. 140-141. 18 Al Syâfi‟î, al Risâlah, h. 463. 19 Ahmad, Manâhij al Muhadditsîn fî Taqwiyah al Ahâdîts al Hasanah wa al Da’îfah, h. 139. 20 „Abdurrahmân bin Ahmad bin Rajab al Hanbalî, Syarh ‘Ilal al Tirmidzî, yang ditahqiq oleh Nûruddîn „Itr, (t.tp.: Dâr al Malâh li al Tibâ‟ah wa al Nasyr, t.th.), vol. 1, h. 304-310. 30 3. Abû ‘Abdillâh Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (w. 241 H) Abû „Abdillâh Ahmad bin Muhammad bin Hanbal atau yang dikenal dengan Ahmad bin Hanbal termasuk ahli hadis yang ketat dalam periwayatan sehingga ia tidak meriwayatkan dari seorang perawi kecuali yang telah tsabat kejujurannya dan agamanya, meninggalkan periwayatan dari perawi tertuduh yang banyak kesalahannya karena lalai dan buruknya hafalan. Selain itu, Ahmad bin Hanbal juga ketat dalam al tahammul dengan menghindari periwayatan dengan al qirâ`ah kepada seorang guru yang banyak digunakan ahli hadis dan sangat memperhatikan ketersambungan sanad dengan persyaratan mendengar hadis secara langsung (al simâ’) antar perawi. 21 Berkaitan dengan hadis da’îf, Ahmad bin Hanbal memiliki metode khusus dalam peningkatan kualitas hadis yang dimulai dengan mengumpulkan semua jalur periwayatan kemudian menganalisis setiap sanadnya dan membedakan keda’îfannya. Setelah itu baru diambil jalur periwayatan yang diperbolehkan untuk peningkatan dan meninggalkan periwayatan selainnya.22 Menurut Ahmad bin Hanbal, tidak semua hadis da’îf dapat ditingkatkan, hal ini terlihat dalam ucapannya, “...hadis dari perawi-perawi da’îf sewaktu-waktu dibutuhkan, dan hadis munkar selamanya tetap munkar...” 23.

21 Atallâllah Madab Hamadi. “Manhaj al Imâm Ahmad bin Hanbal fi Musnadihi”, Majallah al Buhûts wa al Dirâsât al Islâmyyah, Issue 41, 284- 285. Metode kritik hadis Ahmad bin Hanbal tidak ditemukan secara eksplisit dalam karyanya. Akan tetapi dapat ditelaah lebih lanjut dalam: Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad al Imâm Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Mu`assasah al Risâlah, 1995); Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, al ‘Ilal wa Ma’rifah al Rijâl, (Riyâd: Dâr al Khânî, 2001). 22 Hamadi. “Manhaj al Imâm Ahmad bin Hanbal fi Musnadihi”, Majallah al Buhûts wa al Dirâsât al Islâmyyah, h. 420. 23 Dalam Syarh ‘Ilal al Tirmidzî disebutkan bahwa perkataan Ahmad bin Hanbal tersebut diriwayatkan oleh Ishâq bin Ibrâhîm bin Hânî. Lihat: Abû Bakr bin al Tayyib al Kâfî, Manhaj al Imâm Ahmad fî al Ta’lîl wa Atsaruhu fi al Jarh wa al Ta’dîl min Khilâli Kitâbihi al ‘Ilal wa Ma’rifah al 31 Dari penjelasan Ahmad bin Hanbal terlihat bahwa menurutnya jika ada perawi hadis da’îf yang meriwayatkan hadis selain hadis munkar maka periwayatannya dapat digunakan dalam peningkatan hadis da’îf. Adapun jika periwayatannya berupa hadis munkar maka periwayatannya tersebut tidak dapat digunakan untuk i’tibâr dan tidak dapat ditingkatkan karena asal riwayatnya telah menegaskan adanya kecacatan.

4. Abû ‘Abdillâh Muhammad bin Ismâ’îl al Bukhârî (w. 256 H) Abû „Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al Bukhârî merupakan ahli hadis yang banyak menjadi rujukan. Bahkan, hampir tidak ada seorang pun yang meragukan kepakarannya dalam bidang hadis.24 Demikian juga dengan salah satu karya fenomenalnya yang berjudul al Jâmi’ al Sahîh al Musnad min wa Sunanihi wa Ayyamihi. Adapun ﷺ Haditsi Rasûlillâh metodologinya dalam kritik hadis berupa periwayatan hadis tidak diketahui secara jelas tetapi dapat diketahui melalui penelitian terhadap kitabnya. Sedangkan mengenai jarh wa ta’dîl dapat dilihat dalam kitabnya seperti al Du’afâ` al Saghîr.25

Rijâl, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2005), h. 167; Al Hanbalî, Syarh ‘Ilal al Tirmidzî, vol. 1, h. 90-91. 24 Komnas Sunnah, Menelusuri Jejak Nabi sallâllâhu ‘alaihi wa sallam, (Tangerang Selatan: Alkitabah, 2013), h. 3. 25 Demikian yang dijelaskan Ahmad Fudhaili dalam bukunya Perempuan di Lembaran Suci Kritik atas Hadis-Hadis Shahih. Lebih lanjut dikutipnya dari penjelasan Muhammad Mustafâ al A‟zamî, persyaratan periwayatan yang ditetapkan al Bukhârî ada dua yaitu perawi harus termasuk dalam kriteria tertinggi pada watak pribadi, keilmuan, standar akademik, serta harus ada kepastian pertemuan secara langsung antara murid dengan guru hadisnya. Lihat: Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci Kritik atas Hadis-Hadis Shahih, (Jakarta: Transhop Printing, 2013), h. 121-126; Muhammad bin Ismâ‟îl al Bukhârî, al Du’afâ` al Saghîr, (Beirut: Dâr al Ma‟rifah, 1986). 32 Salah satu metode yang digunakan dalam al Bukhârî dalam al Jâmi’ al Sahîhnya adalah penyebutan sebuah hadis dengan menyebutkan banyak sanad lainnya termasuk hadis- hadis dengan sanad da’îf. Salah satu tujuannya yang berkaitan dengan hadis da’îf adalah untuk menghilangkan keraguan keda’îfan perawi dengan penyebutan jalur periwayatan lainnya. Selain itu juga menunjukkan bahwa al Bukhârî tidak berpedoman dengan perawi tersebut. Seperti penyebutan perawi Ismâ‟îl bin Abî Uwais yang dikenal dengan keda’îfannya. Akan tetapi al Bukhârî meriwayatkan hadis yang sahih darinya (bukan keumuman keda’îfannya). Dengan demikian, saat al Bukhârî menyebutkan jalur-jalur periwayatan dari selain Ismâ‟îl bin Abî Uwais maka akan meningkatkan hadis yang diriwayatkannya.26 Periwayatan dengan perawi-perawi da’îf yang tidak memenuhi syarat al Bukhârî ini, digunakan al Bukhârî pada hadis-hadis syawâhid dan tawâbi’27 yang

26 Sa‟îd, al Fikr al Manhajî ‘Inda al Muhadditsîn, h. 122. 27 Sebagian ahli hadis membedakan definisi tawâbi’ dari syawâhid dan sebagian lainnya menyamakannya. 1) Tawâbi’ adalah jamak dari tâbi’ (atau disebut juga dengan al mutâbi’). Secara bahasa merupakan isim fa‟il dari tâba’a yang bermakna wâfaqa (menyertai). Secara istilah didefinisikan sebagai hadis yang diriwayatkan dari perawi (lebih dari satu orang) dan bersumber dari seorang Sahabat baik secara lafaz dan makna maupun secara makna saja. Al Qâsimî menjelaskan bahwa tâbi’ adalah hadis yang menyertai suatu periwayatan dari perawi yang berbeda dari gurunya atau di atasnya. Hal ini juga sama dengan pendapat Ibnu Hajar yang mendefinisikan sebagai al fard al nisbî (hadis yang diriwayatkan sendirian dengan sifat khusus seperti hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi tsiqah, hadis yang diriwayatkan fulân, dan sejenisnya) yang disertai jalur periwayatan lain. Tâbi’ terbagi menjadi dua yaitu tâbi’ tâmm dan tâbi’ qâsir. Tâbi’ tâmm adalah kesamaan perawi dari awal sanad (dari guru yang sama). Sedangkan tâbi’ qâsir adalah kesamaan perawi pada pertengahan sanad. 2) Adapun syawâhid adalah jamak dari syâhid. Secara bahasa merupakan isim fa‟il dari al syahâdah, dinamakan demikian karena ia menguatkan hadis yang diriwayatkan sendirian sebagaimana seorang saksi yang menguatkan perkataan tersangka. Secara istilah didefinisikan sebagai hadis yang diriwayatkan dari perawi (lebih dari satu orang) dan bersumber dari Sahabat yang berbeda-beda baik secara lafaz dan makna maupun secara makna saja. 33 berfungsi meningkatkan hadis tersebut melalui jalur periwayatan lainnya yaitu dalam periwayatan usûl (periwayatan dengan perawi-perawi tsiqah dan bersesuaian dengan syarat al Bukhârî).28 Selain itu, metode peningkatan hadis yang menggunakan hadis da’îf dalam al Jâmi’ al Sahîhnya hanya terjadi pada perawi da’îf dengan keda’îfan yang ringan dan tidak tertuduh dusta karena akan mempengaruhi al ‘adâlahnya.29 Bertolak dari penjelasan di atas, penilaian al Bukhârî terhadap hadis da’îf dinilai tidak secara khusus pada sanadnya tetapi dalam keseluruhan sanadnya dan tetap memperhatikan penggunaan hadis da’îf dengan keda’îfan yang ringan untuk menguatkan hadis usulnya dari perawi tsiqah tetapi diragukan karena dikenal dengan keda’îfannya. Metode ini dapat meningkatkan hadis usul menjadi hadis yang mausul dan sahîh dengan adanya hadis-hadis lain yang meningkatkannya. Oleh karenanya benarlah adanya kitab al Jâmi’ al Sahîh sebagai kitab hadis memuat hadis-hadis sahîh karena dengan penggunaan metode tersebut semua hadis-hadis di dalamnya dapat menjadi sahîh, dan sesuai dengan persyaratan al Bukhârî lainnya.

Ibnu Hajar menjelaskan lebih spesifik bahwa syâhid adalah berupa matan hadis yang diriwayatkan dari Sahabat yang lain yang menyerupai (hadis usûl/ utama) baik secara lafaz dan makna maupun secara makna saja. Lihat: Al Tahhân, Taisîr Mustalah al Hadîts, h. 176-178; Ahmad bin „Ali bin Muhammad bin Hajar al „Asqalâni, Nuzhah al Nazar fi Taudîh Nukhbah al Fikr fî Mustalah Ahl al Atsar, (Riyâd: Maktabah al Mulk Fahd al Wataniyyah, 2001), h. 89; Muhammad Jamâluddîn al Qâsimî, Qawâ`id al Tahdîts min Funûn Mustalah al Hadîts, (Beirut: Dâr al Kutub al „Ilmiyyah, 1979), h. 128-129. 28 Hasun, “Manhaj al Imâm al Bukhârî fî al Riwâyah ‘Amman Rumiya bi al Bid’ah wa Marwiyyâtihim fî al Jâmi’ al Sahîh”, (Tesis S2 Fakultas Dakwah dan Ushuluddin, Universitas Umm al Qurâ Makkah, 2003), h. 170. 29 Hasun, “Manhaj al Imâm al Bukhârî fî al Riwâyah ‘Amman Rumiya bi al Bid’ah wa Marwiyyâtihim fî al Jâmi’ al Sahîh”, h. 181. 34

5. Muhammad bin ‘Îsâ al Tirmidzî (w. 279 H) Salah satu kitab hadis karya al Tirmidzî yang terkenal adalah Sunan al Tirmîdzî.30 Adapun mengenai hadis da’îf, ia berpendapat jika terdapat sebuah hadis da’îf dan ditemukan hadis da’îf lainnya, hadis tersebut meningkat menjadi hadis hasan.31 Hadis hasan menurutnya adalah hadis yang sanadnya hasan yaitu tidak terdapat perawi yang tertuduh berdusta dalam sanadnya, tidak syadz, dan diriwayatkan dari jalur periwayatan lainnya.32 Adapun yang dimaksud dengan hadis da’îf yang meningkat adalah hadis hasan li ghairihi karena dikuatkan dengan hadis lainnya baik berupa mutâbi’ maupun syâhid.33

30 Metode kritik hadis al Tirmidzî tidak ditemukan dalam kitab khusus karangannya tetapi dapat diketahui dari penelitian-penelitian yang merujuk pada beberapa kitabnya seperti Sunan al Tirmîdzî dan kitab-kitab lainnya seperti ‘Ilal al Tirmidzî al Kabîr dan al ‘Ilal al Saghîr. Adapun terkait kitab hadis al Tirmidzî (Sunan al Tirmîdzî), dikenal dengan nama yang berbeda, di antaranya al Jâmi’, Sunan al Tirmidzî, al Jâmi’ al Sahîh, al ﷺ Jâmi’ al Kabîr, dan al Jâmi’ al Mukhtasar min al Sunan ‘an Rasûlillâh wa Ma’rifah al Sahîh wa al Ma’lûl wa Mâ ‘alaihi al ‘Amal. Menurut Ibnu al Salâh kitabnya tersebut merupakan kitab pokok yang menjelaskan mengenai hadis hasan. Akan tetapi pendapat berbeda diungkapkan Ibnu Hajar, bahwa istilah sahîh dan hasan telah banyak digunakan oleh „Alî bin al Madînî dan menjadi ulama terdahulu yang menggunakan istilah tersebut. Kemudian digunakan al Bukhârî dan ulama lain. Selanjutnya dari al Bukhârî digunakan al Tirmidzi dengan penjelasan yang lebih jelas sehingga menjadi terkenal bahwa istilah tersebut darinya. Lihat: Al Tâhir al Azhar al Khudzairî, al Madkhal ilâ Jâmi’ al Imâm al Tirmidzî, (Kuwait: Maktab al Syu`ûn al Fanniyyah, 2007), h. 43-129; Abû „Îsa Muhammad bin „Îsa bin Sûrah, Sunan al Tirmîdzî, 2th.ed., (Kairo: Syirkah Maktabah wa Matba‟ah Mustafâ al Bâbî al Halabî wa Aulâduhu, 1975); Abû „Îsa Muhammad bin „Îsa bin Sûrah, ‘Ilal al Tirmidzî al Kabîr, (Beirut: „Âlim al Kutub, 1989). 31 Ahmad Sutarmadi, al Imâm al Tirmidzî Peranannya dalam Pengembangan Hadits dan Fiqh, (Jakarta: Logos, 1998), h. 121. 32 Syamsuddîn Abî al Khair bin „Abdirrahmân al Sakhâwî al Syâfi‟î, Fath al Mughits bi Syarhi Alfiyyah al Hadits, (Riyadh: Maktabah Dâr al Minhâj li al Nasyr wa al Tauzî‟, 1426 H), vol. 1, h. 384. 33 Sutarmadi, al Imâm al Tirmidzî Peranannya dalam Pengembangan Hadits dan Fiqh, h. 155. 35 Penjelasan di atas dikemukakan al Tirmidzî berkaitan dengan ditemukannya periwayatan lain yang menguatkan sebuah hadis jika diragukan kedâbitan perawinya karena buruknya hafalan. Menurutnya, untuk menyikapi keadaan tersebut maka dilakukan tarjih apakah perawinya dâbit atau tidak. “...Jika ditemukan periwayatan lain seperti periwayatannya atau semakna dengannya maka akan menguatkan kemungkinan kedâbitannya, semakin banyak mutâbi’nya maka semakin kuat dugaan (dâbit) tersebut, sebagaimana dalam sebuah periwayatan mutawattir yang semakin banyak periwayatannya maka semakin menguatkan kejujuran perawi...”.34 Dengan demikian, dapat diketahui bahwa al Tirmidzî berpendapat hadis da’îf dapat ditingkatkan kualitasnya sampai pada hadis hasan (hasan li ghairihi) dengan adanya jalur periwayatan lain, tidak terdapat perawi tertuduh berdusta dalam sanadnya, dan juga tidak syadz. Dari penjelasan beberapa pendapat ahli hadis klasik di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian besar masih menjaga adanya periwayatan hadis da’îf. Mâlik bin Anas, al Syâfi‟î, Ahmad bin Hanbal, dan al Tirmidzî diketahui menerima peningkatan hadis da’îf. Sedangkan al Bukhârî menggunakan hadis da’îf sebagai syawâhid dan tawâbi’ dalam peningkatan kualitas suatu hadis secara umum melalui i’tibâr al sanad. Adapun hadis da’îf yang dapat ditingkatkan menurut ahli hadis klasik di atas, dapat disimpulkan merupakan hadis da’îf dengan keda’îfan ringan (al khata’ al muhtamal). Sedangkan hadis da’îf yang memiliki keda’îfan yang kuat (al khata’ al râjih) seperti hadis munkar, maka tidak digunakan dalam i’tibâr untuk peningkatan hadis.35 Maka jika ditemukan hadis yang demikian, ahli hadis klasik tidak menyibukkan diri di dalamnya.

34 Syamsuddîn, Fath al Mughits bi Syarhi Alfiyyah al Hadits, vol. 1, h. 119-120. 35 Pembagian sebab keda’îfan menjadi keda’îfan ringan (al khata’ al muhtamal) dan keda’îfan yang kuat (al khata’ al râjih) dikutip dari Abû Mu‟âdz Târiq bin „Audillâh bin Muhammad dalam al Irsyâdât fî Taqwiyah 36 B. Peningkatan Hadis Da’îf Perspektif Ahli Hadis Kontemporer 1. Ahli Hadis Sunni a. Muhammad bin ‘Abdillâh al Hâkim (w. 405 H) Al Hâkim telah menyusun kitab yang menjadi acuan penentuan kualitas suatu hadis. Kitab yang memuat metode kritik hadisnya terdapat pada Ma’rifah ‘Ulûm al Hadîts dan al Madkhal. Selanjutnya kedua kitab tersebut dapat dijadikan landasan dalam penentuan kualitas hadis dalam kitab lainnya yaitu al Mustadrak ‘alâ al Sahîhain.36 al Ahâdîts bi al Syawâhid wa al Mutâba’âtnya. Ia menjelaskan bahwa kaidah boleh tidaknya dilakukan i’tibâr harus memperhatikan dua perbedaan, yaitu 1) keda’îfan ringan (al khata’ al muhtamal) dan boleh dilakukan peningkatan hadis: terjadi saat suatu riwayat dinilai ada kemungkinan keda’îfan dan setelah diverifikasi tidak ditemukan kembali, seperti kemursalan, hafalan yang buruk salah satu perawinya, terjadinya perbedaan riwayat. Setelah didapatkan tarjîhnya (riwayat lain yang menghilangkan sebab keda’îfan tersebut), maka sebab keda’îfannya dinilai tidak merusak hadis. 2) keda’îfan yang kuat (al khata’ al râjih) yang tidak boleh dilakukan peningkatan hadis meliputi dua hal yaitu a. berkaitan dengan perawi: perawi sendirian dalam meriwayatkan hadis dengan keda’îfan yang kuat seperti al kidzb (kedustaan), tuduhan berdusta, dan lalai yang kuat (syiddah al ghaflah), b. berkaitan dengan periwayatan: perawi tidak mencapai keda’îfan sebelumnya (poin a) tetapi keda’îfannya disebabkan hafalan yang buruk, ada pencampuran periwayatan, atau sejenisnya yang tidak sampai merusak sisi agama dan al ‘adâlahnya. Bahkan dimungkinkan dapat terjadi pada perawi tsiqah sadûq. Hal ini seperti periwayatan yang terdapat keda’îfan pada sanad maupun matan hadis secara sengaja/tidak dari sisi munkar dan syadz. Lihat: Abû Mu‟âdz Târiq bin „Audillâh bin Muhammad, al Irsyâdât fî Taqwiyah al Ahâdîts bi al Syawâhid wa al Mutâba’ât, (t.tp.: Maktabah Ibnu Taimiyyah, 1998), h. 43-48. 36 Pendapat ini dikemukakan oleh dalam bukunya Teori Hadis Sebuah Pergeseran Pemikiran. Lihat: Maman Abdurrahman, Teori Hadis Sebuah Pergeseran Pemikiran, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), h. 7.Adapun yang dimaksud kitab yang memuat metode kritik al Hâkim dapat dilihat pada: Abû „Abdillâh al Hâkim al Naisâbûrî, Ma’rifah ‘Ulûm al Hadîts, (Mesir: Dâr Ibn Hazm, 2003) dan Abû „Abdillâh al Hâkim al Naisâbûrî, al Madkhal ilâ Kitâb al Iklîl, (Mesir: Dâr al Da‟wah, 1983). Sedangkan kitab yang secara tersirat memuat penentuan 37 Melihat metodologinya, al Hâkim diketahui termasuk ahli hadis yang dikenal mentashîh hadis. Ia meningkatkan hadis hasan menjadi hadis sahîh37 dan dinilai telah meningkatkan hadis da’îf menjadi hadis sahîh38. Hadis da’îf dalam bidang doa-doa, sejarah, nasihat, dan fadilah amalan-amalan banyak ditashîh olehnya dan telah diakui oleh al Hâkim mengenai sikap tasâhulnya tersebut.39 Menurut Maman Abdurrahman, hal tersebut merupakan dampak dari aplikasi konsep klasifikasi hadis sahîh al Hâkim yang terbagi menjadi 10 tingkatan dan pembagian tingkat perawi majrûh (tercela) dalam 10 tingkatan juga dalam al Mustadrak ‘alâ al Sahîhainnya. Lebih lanjut Maman Abdurrahman menjelaskan bahwa keadaan itulah yang menjadikan al Hâkim terlihat memasukkan hadis mursal, mauqûf, mudallas, (yakni hadis-hadis da’îf) dalam hadis sahîh.40 Dengan demikian, metode tashîh hadis da’îf al Hâkim kualitas hadisnya dapat dilihat pada: Abû „Abdillâh al Hâkim al Naisâbûrî, al Mustadrak ‘alâ al Sahîhaini, (Kairo: Dâr al Haramain, 1997). 37 Kriteria hadis sahîh menurut al Hâkim yaitu hadis harus diriwayatkan ahli hadis yang jujur (sidq), teguh (tsâbit), kuat hafalannya (itqân), bertemu dengan gurunya (liqâ`), tidak meremehkan studi hadis (al tahâwun), tidak pelupa (ghaflah), ilmunya dapat diandalkan dan benar-benar bertemu dengan gurunya (tidak hanya didapatkan dari buku catatan). Ulama lain menyebutkan syarat lain al Hâkim adalah dikenal belajar hadis (masyhûr bi al talab). Lihat: Abdurrahman, Teori Hadis Sebuah Pergeseran Pemikiran, h. 49. 38 Penilaian ini di antaranya diungkapkan oleh Ibnu al Jauzî. Lihat pembahasan sebelumnya pada halaman 7. 39 Al Naisâbûrî, al Mustadrak ‘alâ al Sahîhaini, vol. 1, h. 671. 40 Klasifikasi hadis sahîh oleh al Hâkim dalam 10 tingkatan yang dimaksud terbagi dalam 2 kelompok dengan masing-masing kelompok terbagi lagi menjadi 5 tingkatan. Kelompok pertama: hadis yang disepakati kesahîhannya yaitu hadis sahîh berdasarkan kriteria al Bukhârî-Muslim, hadis yang diriwayatkan seorang perawi, hadis dari al tâbi’în, hadis fard dan gharîb, dan hadis yang diterima melalui jalur keluarga. Kelompok kedua: hadis yang diperselisihkan kesahîhannya yaitu hadis mursal, hadis dari perawi mudallis, hadis perawi tsiqah tetapi dengan cara mursal, hadis yang diriwayatkan dan diyakini pernah didengar dari gurunya, serta hadis dari perawi ahli bid‟ah. Adapun pembagian tingkat perawi majrûh dalam 10 38 merupakan dampak dari ijtihad metodologi hadisnya yang berbeda dengan ahli hadis lain sehingga ia dinilai melakukan tashîh hadis da’îf. Sedangkan mengenai metode tashîh hadis hasan yang dilakukan al Hâkim, maka metode tersebut juga telah dilakukan ahli hadis mutaqaddimîn sebagaimana diungkapkan Jalâluddîn „Abdirrahmân bin Abî Bakr al Suyûtî (w. 911 H /1505 M) dalam al Tanqîh fî Mas`alah al Tashîhnya, “...muhadditsîn mutaqaddimîn (ahli hadis klasik) telah memberikan sebuah kaidah bahwa jika hadis hasan didapatkan memiliki jalur-jalur periwayatan lain semisalnya maka ia dihukumi sahîh menjadi hadis sahîh li ghairihi bukan sahîh li dzâtihi...”.41

b. Ibnu al Jauzî (w. 597 H) Nama lengkapnya adalah Jamâluddîn Abû al Farj „Abdurrahmân bin „Ali bin Muhammad bin „Alî al Qurasyî. Ia dikenal dengan nama Ibnu al Jauzî dan termasuk salah satu ulama jarh wa ta’dîl yang mutasyaddid. Kitabnya al

,ﷺ tingkatan yang dimaksud adalah perawi yang mendustakan Rasûlullâh perawi yang merekayasa sanad agar meningkat kualitas hadisnya, perawi yang rakus dalam meriwayatkan hadis (yaitu ahli ilmu tetapi meriwayatkan hadis dari orang yang tidak diketahui riwayat hidupnya), perawi yang mengubah perkataan Sahabat, perawi yang sengaja memausûlkan hadis mursal, orang saleh dan ahli ibadah tetapi tidak pernah mengkhususkan dirinya memelihara hadis, perawi yang menggeneralisasi sanad hadis (seperti periwayatan kembali suatu hadis yang tidak pernah didengarnya kepada orang lain tanpa membedakan hadis yang didengar dari gurunya langsung), perawi yang lalai saat mendengar dan menerima hadis dari gurunya, perawi yang bukan ahli hadis, dan perawi yang catatannya rusak (seperti catatan hilang, terbakar, dirampok, tenggelam, dicuri, dan lainnya). Lihat: Abdurrahman, Teori Hadis Sebuah Pergeseran Pemikiran, h. 77, 122- 137. 41 Jalâluddîn „Abdirrahmân bin Abî Bakr al Suyûtî, al Tanqîh fî Mas`alah al Tashîh, (Beirut: Dâr Basyâ`ir al Islâmiyyah, 2013), h. 23. 39 Maudû’ât42 menjadi satu karangannya yang masyhur. Metode kritik hadis Ibnu al Jauzî juga dapat ditemukan dalam al Maudû’âtnya tersebut. Dalam kitab al Maudû’ât diketahui Ibnu al Jauzî membagi hadis menjadi enam klasifikasi.43 Sedangkan pembahasan mengenai peningkatan hadis da’îf dalam kitab ini masuk dalam klasifikasi kelima yaitu da’îf yang kuat keda’îfannya (di atas hadis da’îf muhtamal/ hasan) dan ke enam yaitu hadis maudû’ yang maqtû’ karena kemaudû’an pada hadis tersebut maupun karena adanya perawi pendusta. Pada penjelasan selanjutnya, Ibnu al Jauzî menyebutkan bahwa ulama berbeda pendapat mengenai peningkatan kualitas hadis, sebagian menerimanya sampai hadis hasan pada klasifikasi kelima dan sebagian lainnya menolak pada klasifikasi ke enam.44 Adapun kitab al Maudû’ât sendiri, menurut pandangan Ibnu al Jauzî kitab tersebut memuat banyak hadis maudû’. Meskipun juga terdapat banyak komentar dari ulama lain yang menyatakan sesungguhnya hadis dalam al Maudû’ât tidak semuanya maudû’ melainkan ada yang da’îf, hasan, bahkan sahîh.

42 Kitab yang dimaksud adalah Abû al Farj „Abdurrahmân bin „Ali bin Muhammad bin Ja‟far Ibnu al Jauzî, Kitâb al Maudû’ât min al Ahâdîts al Marfû’ât, (Riyad: Maktabah Adwâ` al Salaf, 1997). Kitabnya yang lain 43 Enam klasifikasi yang dimaksud adalah pertama, hadis yang telah disepakati kesahîhannya; kedua, hadis yang diriwayatkan sendirian oleh al Bukhârî atau Muslim dan hadis seperti ini dihukumi oleh jumhur sebagai hadis sahîh, ketiga, hadis yang sanadnya bersesuaian dengan salah satu dari Syaikhain; ke empat, hadis da’îf muhtamal atau yang dikenal dengan hadis hasan dan diperbolehkan berhujjah dan beramal dengannya; kelima, hadis yang kuat keda’îfannya; ke enam hadis maudû’ yang maqtû’ karena kemaudû’an pada hadis tersebut maupun karena adanya perawi pendusta. Lihat: Al Jauzî, Kitâb al Maudû’ât min al Ahâdîts al Marfû’ât, vol. 1, h. 11- 14. 44 Ibnu al Jauzî, Kitâb al Maudû’ât min al Ahâdîts al Marfû’ât, vol. 1, h. 14. 40 Pandangan di atas, dapat ditemukan dalam muqaddimah tahqîq kitab al Maudû’âtnya oleh Nûruddîn al Syukrî. Ia mengatakan “...Ibnu al Jauzî telah melakukan tasâhul dalam menghukumi beberapa periwayatan hadis dalam kitabnya. Ia menyebutkan da’îf tetapi (sebenarnya) hasan bahkan sahîh dalam Sunan Abû Dâwud, Jâmi’ al Tirmidzî, Sunan Ibnu Mâjah, Mustadrak al Hâkim, Musnad Ahmad, dan Ma’âjim al Tabrânî, demikian juga hadis sahîh dalam Sahîh Muslim dan Sahîh al Bukhari...”.45 Selanjutnya, disebutkan bahwa pendapat tersebut juga merupakan pendapat beberapa ahli hadis lain setelah meneliti sikap Ibnu al Jauzî yang tidak berusaha mencari syawâhid dan tawâbi’nya untuk meningkatkan hadis da’îf tersebut.46 Hal ini bertentangan dengan pandangan mayoritas ahli hadis yang banyak menggunakannya dalam peningkatan hadis da’îf. Bertolak dari tuduhan di atas, ditemukan penjelasan Ibnu al Jauzî mengenai hal tersebut dengan sikapnya saat mendapati sebuah hadis yang bertentangan dengan akal dan tidak sesuai dengan usûl maka benar adanya bahwa Ibnu al Jauzî akan langsung menolak dilakukan i’tibâr hadis karena dinilai tidak dibutuhkan.47 Sedangkan i’tibâr yang dilakukan Ibnu al Jauzî digunakan sebagai pembanding sebuah hadis dengan hadis-hadis lainnya sehingga dapat diketahui cacatnya saja. Pendapat yang mengungkapkan tasâhulnya Ibnu al Jauzî dengan memudahkan menghukumi maudû’ dan tidak memposisikan syawâhid dan tawâbi’ hadis untuk meningkatkan hadis da’îf, maka hal tersebut dinilai oleh Nûruddîn al Syukrî sebagai kekhususan metode Ibnu al Jauzî dan tasyaddudnya

45 Ibnu al Jauzî, Kitâb al Maudû’ât min al Ahâdîts al Marfû’ât, vol. 1, h. 112. 46 Ibnu al Jauzî, Kitâb al Maudû’ât min al Ahâdîts al Marfû’ât, vol. 1, h. 120 47 Ibnu al Jauzî, Kitâb al Maudû’ât min al Ahâdîts al Marfû’ât, vol. 1, h. 150. 41 dalam menghukumi sebuah hadis yang jika telah diketahui kemaudû’annya maka tidak dapat diberlakukan syawâhid dan tawâbi’.

c. Ahmad bin ‘Alî bin Muhammad bin Hajar al ‘Asqalânî (w. 852 H) Ibnu Hajar memiliki banyak kitab karangan dalam bidang hadis dan lainnya. Adapun dalam keilmuan hadis, ia memiliki kitab tersendiri yang memuat metodologi hadis (metode kritik hadis). Kitab tersebut adalah Nukhbah al Fikr dan Nuzhah al Nazar. Kitabnya yang lain yaitu al Nukat, merupakan ulasan dan kritikan terhadap kitab Muqaddimah Ibn al Salâh karya Ibnu al Salâh dan kitab al Taqyîd wa al Îdah fî Mustalah al Hadîts karya al Hâfiz al „Irâqî, diketahui juga menjelaskan metode kritik hadisnya.48 Dalam pembahasan hadis hasan li ghairihi pada kitabnya Nuzhah al Nazâr, Ibnu Hajar menyebutkan bahwa hadis dâ’if karena buruknya hafalan dapat meningkat melalui i’tibâr al sanad. I’tibâr tersebut dengan menyebutkan adanya hadis-hadis lain yang di atasnya atau semisalnya dan tidak di bawahnya. Sebagaimana terdapat pada hadis dâ’if seperti mursal maupun mudallis jika dtemukan jalur-jalur periwayatan yang semisalnya atau di atasnya maka ia dapat meningkat menjadi hadis hasan li ghairihi bukan hasan li dzâtihi. Hal ini disebabkan tawâbi’ tersebut mengandung kemungkinan yang sama besarnya dalam periwayatan yang benar ataupun salah sehingga salah satunya dapat menguatkan hadis lainnya dan

48 Kitab Ibnu Hajar yang memuat metode kritik hadis yang dimaksud adalah Al „Asqalâni, Nukhbah al Fikr fî Mustalah Ahl al Atsar; Ahmad bin „Ali bin Muhammad bin Hajar al „Asqalâni, Nuzhah al Nazar fi Taudîh Nukhbah al Fikr fî Mustalah Ahl al Atsar, (Riyâd: Maktabah al Mulk Fahd al Wataniyyah, 2001); Ahmad bin „Ali bin Muhammad bin Hajar al „Asqalâni, al Nukat ‘alâ Kitâb Ibn Salâh, 3th.ed., Riyad: Dâr al Râyah, 1994. 42 menunjukkan bahwa hadis tersebut adalah hadis yang mahfûz, meningkat dari tawaqquf menuju qabûl. 49 Adapun kriteria spesifik mengenai persyaratan Ibnu Hajar dalam hadis dâ’if yang dapat ditingkatkan, ditemukan pada kitabnya al Nukat pada tanggapannya terhadap Ibnu Jamâ‟ah. Ibnu Jamâ‟ah mengatakan bahwa kedâ’ifan suatu hadis tidak dapat dihilangkan dan ditingkatkan dengan adanya periwayatan lain yang menguatkannya jika kedâ’ifannya disebabkan perawi yang tertuduh pendusta atau hadisnya berupa hadis syadz. Ibnu Hajar mengomentarinya dengan menggunakan pendapat Ibnu Salâh yang membagi hadis dâ’if kepada dua bagian yaitu hadis dâ’if yang dapat hilang kedâ’ifannya jika terdapat syawâhid atau tawâbi’ yang meningkatkan kualitasnya dan hadis dâ’if yang tidak dapat hilang kedâ’ifannya dan tidak dapat ditingkatkan karena kuat kedâ’ifannya (sangat dâ’if).50 Lebih lanjut, Ibnu Hajar menjelaskan dalam al Nukatnya bahwa jika hadis dâ’if yang disebabkan hafalan yang buruk atau terputusnya sanad yang ringan atau tersembunyi atau karena mursal, maka ia dapat ditingkatkan menjadi hadis hasan.51 Bertolak dari penjelasan di atas, Ibnu Hajar memposisikan diri sebagai ahli hadis yang menerima peningkatan hadis dâ’if dengan syarat kedâ’ifan hadis tersebut adalah kedâ’ifan yang ringan, yang berarti tidak diperbolehkan adanya perawi yang tertuduh dusta maupun terdapat syadz dalam rangkaian sanadnya. Sedangkan syarat peningkatan hadis dâ’ifnya, Ibnu Hajar berpendapat hadis dâ’if hanya dapat ditingkatkan kualitasnya menjadi hadis hasan li ghairihi.

49 Ahmad bin „Alî bin Muhammad bin Hajar al „Asqalânî, Nuzhah al Nazar fi Taudîh Nukhbah al Fikr fî Mustalah Ahl al Atsar, (Riyad: Maktabah al Mulk Fahd al Wataniyyah 2001), h. 129-130. 50 Ahmad bin „Alî bin Muhammad bin Hajar al „Asqalânî, al Nukat ‘alâ Kitâb Ibn Salâh, 3th.ed., (Riyad: Dâr al Râyah, 1994), h. 408. 51 Al „Asqalânî, al Nukat ‘alâ Kitâb Ibn Salâh, h. 493. 43 d. Muhammad Nâsiruddîn al Albânî (w. 1420 H) Sebagai bagian dari ahli hadis, al Albânî telah banyak menuangkan keilmuannya dalam kitab-kitab hadis. Akan tetapi berkaitan dengan metode kritik hadisnya, tidak ditemukan kitab khusus yang menjelaskan secara langsung. Metode kritik hadis al Albânî dapat ditemukan setelah dilakukan telaah pada kitab- kitabnya seperti Silsilah al Ahâdits al Sahîhah, Silsilah al Ahâdits al Da’îfah, dan lainnya.52 Mengenai metode peningkatan hadis dâ’if dengan banyak jalur periwayatan dâ’if lainnya, al Albânî menjelaskan bahwa cara tersebut bukanlah kaidah keumuman dalam peningkatan hadis dâ’if. Hal ini dikarenakan ditemukan banyaknya hadis dâ’if yang memiliki banyak jalur periwayatan tetapi masih dihukumi dâ’if oleh ahli hadis. Menurutnya ada persyaratan tertentu yang harus dilakukan untuk peningkatan hadis seperti adanya hadis usul yang sudah tsabat maka ia dapat meningkat ke hasan li ghairihi. Selain itu, dari sisi perawinya juga tidak boleh tertuduh dusta, tidak banyak kekeliruannya, munkar, pemalsu hadis, Syiah yang berlebihan, dan sebab lainnya yang dapat memasukkannya dalam kedâ’ifan yang kuat. Selanjutnya, al Albâni juga menyetujui adanya persyaratan matan yaitu terbebas dari banyak perbedaan periwayatan.53 Penolakan al Albânî dalam peningkatan hadis da’îf juga terlihat dalam hadis syadz (hadis munkar) karena ada kesalahan dalam periwayatannya sehingga tidak dapat ditingkatkan kualitas hadisnya.54

52 Kitab yang dimaksud: Muhammad Nâsiruddîn al Albânî, Silsilah al Ahâdîts al Da’îfah wa al Maudû’ah, (Riyâd: Maktabah al Ma‟ârif li al Nasyr wa al Tauzî‟, 1425 H); Muhammad Nâsiruddîn al Albânî, Silsilah al Ahâdîts al Sahîhah wa Syai` min Fiqhihâ wa Fawâ`idihâ, (Riyâd: Maktabah al Ma‟ârif li al Nasyr wa al Tauzî‟, 1995). 53 Al Albânî, Silsilah al Ahâdîts al Da’îfah wa al Maudû’ah, vol. 14, h. 170-185. 54 Ibnu Muhammad, al Irsyâdât fî Taqwiyah al Ahâdîts bi al Syawâhid wa al Mutâba’ât, h. 80-81. 44 2. Ahli Hadis Syiah Abdul Qâhir al Baghdâdî menilai Syiah sebagai golongan Inkâr al Sunnah karena penolakan mereka terhadap hadis-hadis yang diriwayatkan Sahabat. Hal tersebut terjadi sebagai konsekuensi dari konsep Imâmah yang diusungnya sehingga banyak mengkafirkan Sahabat kecuali yang berasal dari Ahlulbait atau yang diklaim sebagai Syiah seperti Salmân al Fârisî, „Ammâr bin Yâsir, Abû Dzar, dan Miqdâd bin al Aswad. Selain itu, Syiah juga menyerang dan menuduh para perawi hadis telah memalsukan hadis. Akan tetapi, Syiah sendiri telah meriwayatkan dari Imam mereka bahwa segala sesuatu dikembalikan kepada al Quran dan Sunnah (hadis).55 Pandangan tersebut benar adanya karena Syiah memiliki pandangan tersendiri terhadap hadis. Menurut mereka, hadis memiliki definisi sebagai ucapan, perbuatan, atau ketetapan Imam yang ma‟sum. Para Imam dari Ahlulbait bukanlah sebagaimana ﷺ sebagai penyampai hadis dari Rasulullah para Sahabat yang dinilai tsiqah dalam menyampaikan hadis (pandangan Sunni) tetapi Imam tersebutlah yang sejajar yang diangkat Allah ﷺ kedudukannya seperti Rasulullah untuk menyampaikan hukum-hukumNya. Perbedaannya, menyampaikan melalui wahyu sedangkan para ﷺ Rasulullah Imam Ahlulbait menyampaikan melalui ilham.56 Bertolak dari perbedaan mendasar pemahaman hadis di atas, hal ini berimplikasi pada pemahaman lainnya dalam keilmuan hadis mereka termasuk juga dalam klasifikasi hadisnya. Penisbatan hadis hanya kepada para imam Ahlulbait telah menjadikan ilmu hadis dalam Syiah berbeda dengan Sunni. Dalam Syiah, hadis hanya terbagi menjadi dua bagian yaitu mutawâtir dan ahad. Adapun pembahasan hadis da’îf

55 „Alî Muhammad al Salâbî, Khawarij dan Syiah dalam Timbangan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, Penerjemah Masturi Irham dan Malik Super, (Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2012), h. 409-410. 56 Ali Ahmad As Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syiah Studi Perbandingan Hadits dan Fiqih, vol. 2, h. 123. 45 yang terkait dengan penelitian ini, maka termasuk dalam kategori terendah hadis ahad. Tingkatan hadis ahad tertingginya adalah sahîh. Selanjutnya yaitu hasan, kemudian muwatstsaq (tingkatan di atas da’îf). Pengertian hadis da’îf sendiri menurut Syiah adalah “...hadis yang tidak memenuhi salah satu dari tiga bagian yang lalu (sahîh-hasan- muwatstsaq)57. Seperti bila dalam sanadnya terdapat orang yang cacat karena fasiq dan yang sepertinya, atau orang yang tidak diketahui kondisinya, atau orang yang lebih rendah dari itu, seperti orang yang memalsukan hadis...”.58 Adapun pendapat khusus ahli hadis Syiah mengenai peningkatan hadis da’îf yang menjadi fokus penelitian ini, akan ditelaah pandangan beberapa ulama sebagai berikut:

57 Hadis sahîh, hasan, dan muwatstsaq memiliki kriteria (persyaratan) tersendiri yang berbeda dengan ahli hadis Sunni, sebagaimana definisi awal Syiah yang juga telah berbeda dalam memposisikan imam-imam mereka dalam kerangka keilmuan hadis. Hadis sahîh menurut Syiah harus memenuhi tiga persyaratan yaitu sanadnya harus bersambung ke imam yang ma‟sum tanpa terputus, perawinya harus dari kelompok Syiah Imamiyah dalam semua tingkatan, dan harus adil serta kuat hafalannya. Selanjutnya persyaratan hadis hasan adalah sanadnya bersambung ke imam yang maksum tanpa terputus, perawinya harus dari kelompok Syiah Imamiyah, semua perawinya dengan pujian yang diterima tanpa ada kecaman (jarh), tidak „âdil, dan semua persyaratan di atas harus ditemukan dalam semua tingkatan atau sebagiannya. Sedangkan persyaratan hadis muwatstsaq, sanadnya bersambung ke imam yang ma‟sum, perawinya bukan dari kelompok Syiah Imamiyah tetapi ditsiqahkan oleh Ja‟fariyah secara khusus, perawi yang ditsiqahkan tersebut terdapat pada semua tingkatan atau sebagiannya dengan sebagian lainnya adalah perawi sahîh. Adapun hadis da’îf menurut Syiah adalah yang tidak memenuhi salah satu syarat hadis- hadis di atas. Lihat: As Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syiah Studi Perbandingan Hadits dan Fiqih, vol. 2, h. 125-130. 58 As Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syiah Studi Perbandingan Hadits dan Fiqih,123-130. 46 a. Abû Ja’far Muhammad bin Ya’qûb al Kulainî (w. 329 H) Salah satu kitab yang terkenal al Kulainî adalah al Kâfî dan menjadi rujukan utama di kalangan Syiah.59 Adapun jumlah hadis dalam kitab ini terdapat perbedaan ulama yaitu 15.503 hadis, 15.328 hadis, dalam Lu`lu`ah al 16.199 hadis, Husain „Alî Mahfûz 16.199 hadis dan dengan pengulangan sanad menjadi 16.199 hadis, serta al Majlisî yang berpendapat semuanya berjumlah 16.121 hadis. Al Majlisî menambahkan mengenai pembagian hadis di dalamnya terbagi menjadi 5072 hadis sahîh, 144 hadis hasan, 1118 hadis muwatstsaq, 308 hadis qawî, dan 9485 hadis da’îf.60 Al Majlisî merupakan salah satu ulama Syiah kontemporer yang berbeda dengan al Kulainî. Pembagian hadisnya pada al Kâfî merupakan hasil dari keilmuan hadis yang baru lahir sebagai bagian dari metodologi ulama Syiah kontemporer. Sedangkan al Kulainî termasuk ulama klasik yang pada masanya belum terdapat pembagian hadis tersebut. Perbedaan metodologi hadis ini menyiratkan adanya perkembangan keilmuan ahli hadis Syiah yang juga melahirkan perbedaan sikap ulama Syiah terhadap hadis-hadis al Kâfî. Sebagian melihat periwayatan al Kâfî sesuai dengan ilmu dirâyah dan riwâyah. Sebagian lainnya meyakini kesahîhan hadis-hadis al Kâfî sebelum munculnya ilmu pembagian hadis menjadi sahîh, hasan, muwatstsaq, dan da’îf. Selanjutnya terdapat ahli hadis yang menghukumi hadis-hadis al Kâfî secara pasti bersambung ke Imam ma‟sum mereka sebagaimana ulama

59 Berkaitan dengan metode kritik hadis al Kulainî, tidak ditemukan kitab khusus karyanya yang membahas metode tersebut. Akan tetapi, ditemukan setelah dilakukan penelitian oleh ulama setelahnya terhadap al Kâfî. al Kâfî yang dimaksud adalah Abû Ja‟far Muhammad bin Ya‟qûb bin Ishâq al Kulainî al Râzî, al Kâfî, ditahqiq oleh Qism Ihya` al Turâts Markaz Buhûts Dâr al Hadîts, (Qum: Dâr al Hadîts, 1439 H). 60 Abd al Rasûl „Abd al Hasan al Ghaffâr, al Kulainî wa al Kâfî, 1th.ed., (Qum: Mu`assasah al Nasyr al Islâmî, 1416 H), h. 401-402, kitab diakses pada 7 Oktober 2018 dari http://librarsaduq.blogspot.com 47 Sunni memposisikan kitab Sahîh al Bukhari dan Sahîh Muslim.61 Adapun hadis da’îf yang merupakan pembahasan utama penelitian ini, oleh ahli hadis Syiah kontemporer dimaknai sebagai hadis yang sebagian perawi dalam sanadnya terdapat celaan (jarh). Sedangkan menurut al Kulainî (sebagai ahli hadis klasik) bermakna tiga hal: 1) segala sesuatu yang tidak diketahui periwayatannya dari al Ma’sûm (Imam ma‟sum) 2) segala sesuatu yang diketahui periwayatannya dari al Ma’sûm dan bertentangan dengan periwayatan lain yang lebih kuat darinya 3) segala sesuatu yang diketahui tidak sahîh segala yang berkaitan dalam hadisnya pada kehidupan seperti bertentangan dengan al darûriyyât62 (hal-hal yang berkaitan dengan aqidah dan hukum syariat dalam Syiah yang telah jelas hukumnya)

Bertolak dari penjelasan di atas, adanya perbedaan metodologi ahli hadis (Syiah pada khususnya) mengakibatkan banyak kritikan bahwa hadis-hadis dalam al Kâfî banyak yang da’îf dan mursal. 63 Adapun al Kulainî sendiri, metode yang digunakannya dalam periwayatan sanad hadis pada al Kâfînya adalah penggunaan jalur-jalur sanad yang berbeda secara keseluruhan dan penggunaan banyak sanad pada setiap tingkatan perawinya. Selain itu, banyak ditemukan periwayatan yang menyertakan perawi-perawi terkenal (syuhrah). Metodologinya ini banyak berkaitan dengan periwayatan hadis ‘azîz. Sedangkan hadis da’îf lainnya yaitu mauqûf, mursal, majhûl dalam sanad, semuanya dihukumi sebagai hadis mursal.64

61 Al Ghaffâr, al Kulainî wa al Kâfî, h. 96. 62 Al Ghaffâr, al Kulainî wa al Kâfî, h. 437. 63 Al Ghaffâr, al Kulainî wa al Kâfî, h. 443. 64 Al Kulainî, al Kâfî, al Madkhal, h. 96-99. 48 Adapun mengenai peningkatan hadis al Kulainî, maka sesuai dengan pengertian hadis sahîh menurut ahli hadis Syiah klasik65, setiap hadis dapat meningkat kualitasnya bersesuaian dengan hal-hal yang mewajibkan ketsiqahan hadis tersebut dan kaidah kesahîhan lainnya. Hal yang dimaksud seperti terdapatnya hadis tersebut dalam kitab al Usûl al Arba`umi’ah, atau dalam kitab-kitab yang masyhur, kitab-kitab Imâmiyyah, dan lainnya. Dengan berpedoman dengan sanad dan matan hadis, hadis-hadis al Kâfî dinilai jarang ditemukan di dalamnya selain hadis-hadis sahîh.66 Demikian juga pada hadis da’îf, ketika ditemukan sanad lainnya dari jalur-jalur lain yang sahîh, ditemukan kesesuaian matan dengan matan lain pada sanad yang sahîh, dan hal-hal lain yang telah disebutkan di atas maka dinilai hadis tersebut dapat menjadi sahîh.

b. Abû Ja’far Muhammad bin al Hasan al Tûsî (w. 460 H) Ia lebih dikenal dengan nama al Tûsî, merupakan ilmuwan ulama Syiah yang diagungkan setelah Imam ma‟sum.67 Al Tûsî juga dijuluki al Imam al A‟zâm di kalangan Syiah Imamiyah dan menjadi rujukan mereka.68 Dalam disiplin ilmu hadis, al Tûsî memiliki beberapa kitab hadis dan kitab Ilmu Rijal. Adapun pendapat mengenai hadis da’îf dan

65 Pengertian yang dimaksud adalah segala sesuatu yang diketahui periwayatannya dari Imam ma‟sum, segala sesuatu yang diketahui periwayatannya dari Imam ma‟sum dengan kaidah tambahan yaitu periwayatannya tidak bertentangan dengan periwayatan lain yang lebih kuat darinya, dan segala sesuatu yang pasti kesahîhan matannya yaitu bersesuaian dengan hukum Allah meskipun tidak diriwayatkan dari Imam ma‟sum mereka. Lihat: Al Ghaffâr, al Kulainî wa al Kâfî, h. 437. 66 Al Kulainî, al Kâfî, h. 85-92. 67 Abû Ja‟far Muhammad bin al Hasan al Tûsî, al ‘Uddah fî Usûl al Fiqh, 1th.ed., vol.1, (Qum: Sitârah, 1417 H), h. 7. 68 Al Tûsî, al ‘Uddah fî Usûl al Fiqh, h. 25. Biografi al Tûsî lebih lanjut terdapat dalam al ‘Uddah fî Usûl al Fiqh, h. 5-53. 49 ditemukan dalam pembahasan hadis ahad dan hadis mursal pada kitabnya al ‘Uddah fî Usûl al Fiqh.69 Setelah dilakukan penelaahan dalam kitab di atas, ditemukan pendapat al Tûsî yaitu jika terdapat hadis ahad atau hadis mursal, kemudian terdapat hadis lainnya atau ditemukan hadis dari perawi tsiqah, maka ia dapat menguatkan hadis tersebut. Selain itu, al Tûsî juga menerima periwayatan perawi fasiq jika perawi tersebut termasuk perawi tsiqah70. Berbeda dengan ahli hadis lainnya yang mayoritas menolak periwayatan perawi fasiq. Bertolak dari penjelasan al Tûsî di atas, disebabkan adanya hadis lain yang menguatkan hadis da’îf tersebut (hadis ahad dan hadis mursal) maka ia dihukumi sahîh secara menyeluruh dan dapat menjadi hujjah. Kehujjahan ini tidak berlaku atas kesendirian hadis da’îf tetapi dengan adanya penguat lainnya.71 Oleh karena itu, hadis ahad dan mursal wajib diamalkan dalam keadaan di atas.

c. Zainuddîn bin ‘Alî bin Ahmad al Syâmî al ‘Âmilî al Jaba’î ( 911 - 965 H) Ia lebih dikenal dengan nama al Syahîd al Tsânî dan merupakan salah satu ahli hadis Syiah yang memiliki kitab khusus terkait ilmu dirâyah dengan judul al Bidâyah fî ‘Ilmi al Dirâyah. Kitab ini merupakan kitab pertama yang terkumpul di dalamnya dan tersebar di kalangan Syiah mengenai ilmu dirâyah (di dalamnya juga memuat pendapat kritik hadis al Syahîd al Tsânî).72

69 Kitab al ‘Uddah fî Usûl al Fiqh karya al Tûsî yang terdiri dari dua jilid ini merupakan kitab usûl al fiqh sebagaimana yang tertulis pada judul kitabnya. Meskipun kitab tersebut tidak secara khusus membahas hadis, di dalamnya ditemukan pendapatnya mengenai hadis pada bab al Kalâm fî al Akhbâr yang juga memuat metode kritik hadisnya. 70 Al Tûsî, al ‘Uddah fî Usûl al Fiqh, h. 150-152. 71 Al Tûsî, al ‘Uddah fî Usûl al Fiqh, h. 143-144. 72 Al Tûsî, al ‘Uddah fî Usûl al Fiqh, h. 8. Adapun kitab yang dimaksud: Zainuddîn bin „Alî bin Ahmad al Syâmî al „Âmilî al Jaba‟î, al 50 Mengenai hadis da’îf, al Syahîd al Tsânî juga menjelaskan bahwa hadis da’îf memiliki tingkatan keda’îfan yang berbeda-beda. Perbedaan keda’îfan hadis da’îf ini bersesuaian dengan perbedaan jauhnya hadis tersebut dari syarat-syarat kesahîhannya. Oleh karenanya semakin jauh dari syarat-syarat kesahîhannya (dari perawi-perawinya) maka akan semakin kuat keda’îfan hadis tersebut. Hal ini sebagaimana terjadi pada bertingkatnya kualitas kesahîhan hadis sahîh, hadis hasan, dan hadis muwatstsaq pada Syiah.73 Adapun mengenai peningkatan hadis dâ’if, pembahasan ini masih berhubungan dengan kuatnya kedâ’ifan suatu hadis. Hal ini terjadi saat sebuah hadis menjadi syâhid dan ditemukan penguat hadis lainnya sehingga diperbolehkan beramal dengannya.74 Penjelasan hukum pengamalan hadis dâ’if diungkapkan al Syahîd al Tsânî bahwa mayoritas ahli hadis menolak pengamalannya secara mutlak dan sebagiannya menerimanya (mengamalkan) dengan ketentuan adanya peningkatan hadis dâ’if itu sendiri yaitu al syuhroh (banyaknya penulisan dan periwayatannya dengan lafaz yang sama atau lafaz-lafaz yang berbeda tetapi bersesuaian makna75) atau dengan banyak digunakan sebagai fatwa.76 Maka sebagian dari mereka menilai

Ri’âyah fî ‘Ilmi al Dirâyah, yang ditahqiq oleh „Abdul Husain Muhammad „Alî al Baqqâl, 3 th.ed., (Iran: Maktabah Samâhah âyatillah al „Uzmâ al Mar‟asyî al Najafî al Kubrâ, 2012, buku diakses pada 22 Maret 2018 dari https://archive.org/details/almoamltv_gmail_20131007 73 al Jaba‟î, al Ri’âyah fî ‘Ilmi al Dirâyah, h. 86. 74 Al Jaba‟î, al Ri’âyah fî ‘Ilmi al Dirâyah, h. 87. 75 Zainuddîn bin „Alî bin Ahmad al Syâmî al „Âmilî al Jaba‟î, Syarh al Bidâyah fî ‘Ilmi al Dirâyah, yang ditahqiq oleh Muhammad Ridâ al Husainî al Jalâlî, 1 th.ed., (Iran : Asîl Qum al Muqaddasah, 1390 H), h. 29, buku diakses pada 22 Maret 2018 dari http://alfeker.net/library.php?id=4077 76 Zainuddîn bin „Alî bin Ahmad al Syâmî al „Âmilî al Jaba‟î, al Bidâyah fî ‘Ilmi al Dirâyah, yang ditahqiq oleh Muhammad Ridâ al Husainî al Jalâlî,1 th.ed., (Iran : Asîl Qum al Muqaddasah, 1421 H), h. 25, buku diakses pada 22 Maret 2018 dari http://www.narjes- library.com/2014/11/blog-post_0.html 51 terkenalnya suatu periwayatan dapat meningkatkan kedâ’ifan suatu hadis sehingga dapat diamalkan.77

d. Husain bin ‘Abd al Samad al ‘Âmilî ( 918 - 984 H ) Ia adalah murid dari al Syahîd al Tsânî, ayah dari al Bahâ`i (salah satu ulama Syiah), dan merupakan ulama Syiah yang meningkatkan hadis dâ’if menjadi hadis sahîh.78 Husain bin „Abd al Samad menggunakan metode peningkatan hadisnya dengan penjelasan bahwa metode peningkatan kualitas suatu hadis berbeda-beda bersesuaian dengan keadaan yang menyertainya. Yang dimaksud yaitu perbedaan kualitas perawinya dalam al madh (pujian), banyak tidaknya jalur periwayatan, kesesuaian matan hadis tersebut dengan keumuman al Quran, hadis, amalan ulama, dan lainnya. Hadis da’îf terkadang dapat hasan dan dapat menjadi hadis sahîh jika banyak jalur periwayatannya. Ia menjadi lebih tinggi kualitasnya jika banyak memiliki penguat-penguat lainnya.79 Dengan demikian, i’tibâr al sanad diperlukan untuk mengetahui jalur hadis lain sebagai alternatif peningkatan suatu hadis sebagaimana yang dilakukan ahli hadis Sunni. Adapun penjelasan lebih lanjut, ditemukan dalam pembahasan syawâhid dan tawâbi’. Menurutnya, hadis da’îf yang digunakan untuk i’tibâr bukan sebagai hadis usûl tetapi sebagai syawâhid dan tawâbi’. Ia memiliki perbedaan keda’îfan sesuai perbedaan keadaan perawinya. Husain bin „Abd al Samad menjelaskan jika ada sebuah hadis ahad, kemudian ditemukan hadis-hadis lain (baik sebagai syawâhid dan tawâbi’) maka hilang kesendirian sanadnya. Sedangkan jika hadis

77 Al Jaba‟î, al Ri’âyah fî ‘Ilmi al Dirâyah, h. 93. 78 Pendapatnya tersebut ditemukan dalam kitabnya Wusûl al Akhyâr ilâ Usûl al Ikhbâr. Kitab ini merupakan kitab yang membahas ilmu dirâyah hadis dan di dalamnya juga memuat pendapat kritik hadis miliknya. Lihat: Husain bin „Abd al Samad al „Âmilî, Wusûl al Akhyâr ilâ Usûl al Ikhbâr, (Qum: Matba‟ah al Khiyâm, 1041 H), h. 10-19. 79 Al „Âmilî, Wusûl al Akhyâr ilâ Usûl al Ikhbâr, h. 98. 52 tersebut menyelisihi hadis lain yang lebih tinggi kualitasnya maka hadis da’îf tersebut disebut syadz dan munkar. Adapun jika ia tidak menyelisihi hadis lain dan perawinya âdil dâbit maka ia menjadi sahîh, dan jika perawinya kurang âdil dan dâbitnya maka ia menjadi hadis hasan.80 Berhubungan dengan periwayatan perawi fasiq, Husain bin „Abd al Samad menerima periwayatan perawi fasiq yang telah bertaubat dari kefasiqannya. Ia menambahkan bahwa periwayatan perawi pendusta tidak diterima.81

e. Ja’far bin Muhammad Husain al Subhânî al Khiyâbânî al Tabrîzî (l. 1347 H) Ja‟far al Subhânî memiliki metode pemilahan hadis sahîh dengan hadis saqîm tersendiri dibandingkan dengan ahli hadis lain yang pada umumnya berfokus pada kesahîhan sanad dan matan saja. Metode lain yang dipakai Ja‟far al Subhânî adalah pensyaratan suatu hadis agar tidak menyalahi pada lima hal yaitu al Qur‟an dan al Sunnah al Mutawâtirah, akal, sejarah, dan kesepakatan umat. Jika hadis tersebut menyalahi (tidak sesuai) salah satu dari lima hal tersebut, maka ia akan dihukumi sebagai hadis da’îf sesuai dengan tingkat ketidaksesuaiannya. Metode kritik hadisnya tersebut dapat dilihat pada kitab hadisnya al Hadîts al Nabawî baina al Riwâyah wa al Dirâyah.82 Adapun mengenai peningkatan hadis da’îf, diketahui saat mengomentari hadis ahad sebagai bagian dari hadis da’îf. Ja‟far al Subhânî mengatakan bahwa hadis ini juga dapat dijadikan hujjah dalam beramal saat ditemukannya ketsiqahan pada hadis tersebut. Oleh karenanya hadis ini memiliki kedudukan penting saat dikumpulkan bersama periwayatan

80 Al „Âmilî, Wusûl al Akhyâr ilâ Usûl al Ikhbâr, h.177. 81 Al „Âmilî, Wusûl al Akhyâr ilâ Usûl al Ikhbâr, h. 192. 82 Ja‟far al Subhânî, al Hadîts al Nabawî baina al Riwâyah wa al Dirâyah, 1th.ed., (Iran: I‟timâd Qum, 1419 H), h. 53-54, buku diakses pada 14 Agustus 2018 dari http://alfeker.net/library.php?id=2863 53 hadis lain sehingga tidak diperbolehkan meniadakannya. Hal ini disebabkan adanya kemungkinan ditemukan kebenaran di dalamnya, keterkaitan, dan saling menguatkan antar hadis dengan adanya hadis da’îf tersebut. Ia menegaskan kembali bahwa hal tersebut bersesuaian dengan banyak ditemukannya penulisan kitab seputar al sahîh.83 Selanjutnya, tidak ditemukan penjelasan lebih jauh peningkatan hadis da’îf tersebut dapat meningkat menjadi hadis sahîh atau tidak. Berbagai ulasan pendapat ahli hadis di atas, baik klasik maupun kontemporer, menghasilkan kesimpulan bahwa proses peningkatan hadis telah berjalan dari masa ke masa dan berkembang. Pada masa ahli hadis klasik ditemukan peningkatan kualitas hadis dan penggunaannya sebagai sumber hujjah. Peningkatan hadis da’îf pada masa ini juga diketahui telah mulai diberlakukan. Demikian juga oleh al Bukhârî, meskipun ia menggunakannya dalam syawâhid dan tawâbi’ yang berbeda dengan ahli hadis lain karena digunakan pada hadis usûl. Penggunaan hadis da’îf sebagai syawâhid dan tawâbi’ oleh al Bukhârî, diketahui disandarkan pada hadis lain dengan perawi tsiqah. Hadis da’if tersebut harus memenuhi persyaratan keda’ifan yang ringan sebagaimana ahli hadis klasik yang juga memiliki kesamaan persyaratan dalam metode peningkatan hadis da’îf. Memasuki zaman ahli hadis kontemporer baik dari Sunni dan Syiah ditemukan menerima peningkatan hadis da’if, tashih hadis da’if telah dimulai ahli hadis Sunni oleh al Hâkim, dan penggunaan metode ini ternyata banyak dilakukan Syiah yaitu al Kulainî, al Tûsî, dan Husain bin „Abd al Samad al „Âmilî. Sedangkan ahli hadis Syiah lainnya yaitu Zainuddîn bin „Alî al „Âmilî al Jaba‟î (al Syahîd al Tsânî) dan Ja‟far al Subhânî hanya diketahui menerima peningkatan hadis da’îf. Adapun ahli hadis Sunni selain al Hâkim, yaitu Ibnu Hajar diketahui menerima peningkatan hadis da’îf menjadi hasan,

83 Ja‟far al Subhânî, Durûs Mûjizah fî ‘Ilmai al Rijâl wa al Dirâyah, (al Markaz al „Alami li al Dirasat al Islamiyyah), h. 174. 54 Ibnu al Jauzî menolak metode peningkatan hadis da’îf, dan al Albânî menyetujui metode al Bukhârî dengan penggunaan hadis da’îf sebagai syawâhid dan tawâbi’ yang disandarkan pada hadis usûl.

55

56 BAB III HADIS DA’ÎF YANG DITASHÎH AHMAD AL GHUMÂRÎ

A. Ahmad al Ghumârî dan Kitab al Mudâwî li ‘Ilal al Jâmi’ al Saghîr wa Syarh al Munâwî 1. Biografi Singkat Ahmad al Ghumârî Ahmad al Ghumârî1 berasal dari suku Yaznâz yang dikenal dengan Ahwâz Tilmisân. Ia dilahirkan pada hari Jumat 27 Ramadan 1320 H /1901 M di suku Banî Sa‟îd di Tanjah (Tangier), Maroko. Ayahnya bernama Muhammad bin al Siddîq dan ibunya adalah anak pamannya al Barkah al Shâlih „Abd al Hafîz bin „Ajîbah. Ahmad al Ghumârî wafat hari Ahad Jumâdi al Tsâni 1380 H/1960 M di Kairo.2 Saat usia 5 tahun, ayahnya memasukkannya ke sekolah penghafal al Quran kepada salah satu muridnya al „Arabî Bûdarrah al „Arabî dan diselesaikannya pada usia 9 tahun. Kemudian ia menghafal al Arba‟în al Nawâwiyyah, Matn al Âjurûmiyyah, Alfiyyah karya Ibnu Mâlik, „Ilm Rasm, Jauhar al Tauhîdnya Ibrâhim al Laqânî, al Mustalah al Baiqûniyyah. Ia juga belajar dari ayahnya secara langsung ilmu-ilmu hadis, tafsir, fiqih empat mazhab, tasawwuf, sejarah dan biografi ulama-ulama. Saat usia 9 tahun, ia melakukan rihlah dari Maghrib ke Hijaz bersama ayahnya untuk umrah. Pada tahun 1339 H ia rihlah kembali dari Maghrib ke al Azhar, Kairo dan

1 Nama lengkapnya adalah Abû al Faid Ahmad bin Muhammad bin al Siddîq bin Ahmad bin Muhammad bin Qâsim bin Muhammad bin Muhammad Ibn „Abd al Mu`min bin Muhammad bin „Abd al Mu`min bin „Alî bin al Hasan bin Muhammad bin „Abdillâh bin Ahmad bin „Abdillâh bin Ahmad „Abdillâh bin „Îsâ bin Sa‟îd bin Mas‟ûd bin al Fadîl bin „Alî bin „Umar bin al „Arabiy bin „Allâl bin Mûsâ bin Ahmad bin Dâud bin Idrîs bin .ﷺ Abdillâh bin al Hasan bin „Alî wa Fâtimah al Zahrâ` binti Rasûlillâh„ Lihat : Ahmad bin Muhammad bin al Siddîq al Hasanî al Ghumârî, al Bahru al „Amîq fî Marwiyyâti Ibn Siddîq, (Kairo: Dâr al Kutubî, 2007 ), vol. 1, h. 47. 2 Ahmad al Ghumârî, al Bahru al „Amîq fî Marwiyyâti Ibni Siddîq, vol. 1, h. 48-49. 57 pulang ke Maghrib dikarenakan ibunya wafat serta kembali lagi ke al Azhar setelahnya. Ahmad al Ghumârî pada awal bulan Muharram 1344 H, rihlah ke Syam dan tinggal Damaskus sekitar 2 bulan. Kemudian ke Beirut dan Baitul Maqdis sebelum ke Kairo pada bulan Syawal di tahun yang sama dan kembali lagi ke Maghrib tahun 1345 H. Rihlah ketiganya ke Kairo dilakukan pada 20 Sya‟ban 1349 H sampai 1354 H dan ke Dimyât. Pada akhirnya, ia tinggal di Mesir sampai wafat ayahnya pada bulan Syawal 1354 H lalu kembali ke Maghrib sebelum menetap di Kairo.3 Guru-gurunya berjumlah lebih dari 100 orang, di antaranya adalah: Muhammad bin al Siddîq al Ghumâri, Muhammad bin Muhammad al Halbi, Muhammad bin Ja‟far al Kinânî, Muhammad bin „Abd al Hâdî al Saqqâf al Bâ‟lawî, Muhammad „Alî bin Husain al Mâlikî, Muhammad bin Bukhîts al Mutî‟î, Muhammad bin al Mâmûn al Maisûrî, Ahmad Râfi‟ al Tahtâwi, Muhammad bin al Khidir al Tûnisî, Muhammad al Mâmûn al Maisûri4, „Abd al Sitâr al Bakrî al Hindî, Muhammad bin Mahmûd Khufâjah al Dimyâtî, Muhammad bin Idrîs al Qâdirî, Muhammad bin Sâlim al Syarqâwi, dan lainnya. Adapun beberapa murid dan Ahmad al Ghumârî di antaranya: „Abdullâh bin Muhammad bin al Siddîq al Ghumârî, Muhammad „Alî al Muntasir al Kattânî, Muhammad Yasin bin Muhammad „Îsâ al Fadanî, „Abd al Hây bin Muhammad bin al Siddîq al Ghumârî, „Abd al „Azîz bin Muhammad bin al Siddîq al Ghumârî, Muhammad al Nâsir bin Muhammad al Zamzamî al Kattânî, Sâlih bin Muhammad al Jufrî al Husainî, „Abdullâh bin „Abd al Qâdir al Talîdî al Tanjî, Muhammad bin

3 Ahmad al Ghumârî, al Bahru al „Amîq fî Marwiyyâti Ibni Siddîq, vol. 1, h. 54-57. 4 Untuk nama-nama guru Ahmad al Ghumârî lebih lengkapnya dapat dilihat di: Ahmad al Ghumârî, al Bahru al „Amîq fî Marwiyyâti Ibni Siddîq, vol. 1, h. 155-452. 58 Muhammad „Awwâmah al Halabî, Muhammad Zakî bin Ibrâhîm al Misrî, dan lainnya.5 Karya ilmiah yang telah ditulisnya berjumlah lebih dari 100 kitab (dikatakan 128 kitab, lebih dari 250 kitab dan sekitar 300 kitab)6 terdiri dari ilmu-ilmu hadis, fiqih, sejarah, tasawuf, biografi dan lainnya. Kitab-kitab berisi hadisnya berbentuk kumpulan hadis, khusus satu hadis, dan 22 judul pembahasan fiqih berbentuk manuskrip berupa syarah hadis maupun fiqih (pada hadis) secara khusus, berisi sanggahannya atas penyimpangan-penyimpangan di dalamnya. Keseluruhan karya tersebut berbentuk kitab, makalah, maupun tulisan lainnya. Selain itu, Ahmad al Ghumârî juga berperan dalam pertentangan politik untuk mengusir Spanyol dari Maghrib (tanah kelahirannya) pada bagian Selatan tahun 1333 H (1915 M).7 Adapun mazhab fiqihnya, awalnya Ahmad al Ghumârî bermazhab Maliki tetapi beralih ke mazhab Syafi‟i sejak pindah ke Mesir. Kemudian ia meninggalkannya dan berpegang pada dalil, baik yang sepakat dengan jumhur maupun salah satunya atau menyalahi jumhur selama tidak menyalahi syariat. 8 Adapun aqidahnya, maka ia mengikuti aqidah salaf (ulama terdahulu) sebagaimana ia jelaskan dalam al Jawâb al Mufîd li al Sâ`il al Mustafîdnya dan menganjurkan untuk beraqidah dengannya dengan merujuk buku-buku seperti Syarh „Aqîdah al Safârînî dan Syarh „Aqîdah al Tahâwî. Dengan

5 Mahmûd Sa‟îd Muhammad Mamduh, Ittijâhât al Hadîtsiyyah fî al Qarn al Râbi` „Asyar, (Kairo: Dâr al Basâ`ir, 2009), h. 381; Yûsuf „Abdurrahmân al Marâ`syali, Mu‟jam al Ma‟âjim wa al Masyîkhat, (Riyâd: Maktabah al Rusyd Nasyirûn, 2005), h.517. 6 Ahmad al Ghumârî, al Bahru al „Amîq fî Marwiyyâti Ibni Siddîq, vol.1, h. 88-98. 7 Ahmad al Ghumârî, al Bahru al „Amîq fî Marwiyyâti Ibni Siddîq, vol.1, h. 76-87. 8 Al Atsarî, Fiqhu al Hâfid Ahmad bin al Siddîq al Ghumârî, h. 61- 64. 59 beraqidah tersebut, ia bertafwid dan menolak tawil terhadap mutasyabihat al Quran dan al Hadis.9 Adapun penilaian ulama terhadapnya di antaranya: „Abd al Hây bin Muhammad bin al Siddîq al Ghumârî (1320 H- 1380 H), ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِِ "إِ ِّنِِأَُِسِْيِوِِال شِا ُبِِال شِْيِ ُخِ،ِلَِنِ وُِِ َشِا بِِفِِ ِنِوِِ ّشِْيِ ٌخِِفِِعِْلِمِوَِِِوَعِْقِلِوِ" “Sesungguhnya aku menamainya Pemuda Syaikh karena ia seorang pemuda pada usianya dan syaikh dalam keilmuan dan pemikirannya”10 Taqiyuddîn al Hilâlî (1893 M – 1987 M) mengatakan, ِ ِ ِ ِ ِ "إِنِ وُِ ِِ َكِا َنَِِِزاىًِدِاِفِِال دِنْ ِيَِاَِِولَِْوِِأََِِراَدِِأَِْنِِيَِعِْيِ َشِ ِِ َكِالُِْمِلُِِْوكِِلََِفَِعِ َلِ" “Sesungguhnya ia adalah seorang yang zuhud di dunia. Jikalau ia ingin hidup sebagaimana para raja pasti ia (dapat) melakukannya”11 Muhammad Rasyîd bin „Alî Ridâ (1865 M-1935 M) berkata, ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ٍ "إِنَِِىَِذِاِلَِْيِ َسَِِمِ ْنِِفِِال دِ ْجِِويَِِوَلِِأَِْىِ َلِِاِْلَِِْزَىِرِ،َِِوإِّنَِاَِىِذِهِِمِ ْنِ ِِ َكِْيِسِِفَُِلِنِ" “Sesungguhnya ini bukanlah berasal dari Dajwi dan bukan Ahl (pemuka) al Azhar tetapi ini adalah seseorang yang cerdas”12 Selain penilaian positif tersebut, beberapa ulama juga menilainya dengan negatif, di antaranya Muhammad Nâsiruddîn al Albânî (1914 M-1999 M) yang berkata,

9 Ahmad bin Muhammad bin al Siddîq al Hasanî al Ghumârî, al Jawâb al Mufîd li al Sâ`il al Mustafîd, (Beirut: Dâr al Kutub al „Ilmiyyah, 2002), h. 12. Kitab diakses pada 14 Januari 2019 dari http://k-tb.com 10 Ahmad al Ghumârî, al Bahru al „Amîq fî Marwiyyâti Ibni Siddîq, vol. 1, h. 100. 11 Al Atsarî, Fiqhu al Hâfid Ahmad bin al Siddîq al Ghumârî, h. 58. 12 Ahmad al Ghumârî, al Bahru al „Amîq fî Marwiyyâti Ibni Siddîq, vol. 1, h. 102. 60 ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ "...أَِنِ وُِ ُِيَِاِر ُبِ ِأَِْىِ َلِ ِالت ِِْوحِْيِدِ َِِوُيَِالُِفُِهِ ْمِ ِفِ ِ َعِقِْيَِدِتِ ْمِ ُِمَِالََِفِةًِ ِ َشِدِيَِْدِةًِ،ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َِوي َُِقِِْوُلِ ِبِالِْبِ ْدِ َعِةِ ِا ِْلَ َسِنَِةِ، َِِوي َِْنِتَِصُِرِ ِالِْبِ ْدِ َعِة،َِ َِوَلِ ِيَِ ْسِتَِفِْيِ ُدِ ِمِ ْنِ َِدِ ْعَِِواهُِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ اِْل ْجِتَِهِاَدِ ِإِلِ ِاِْلنِْتِ َصِاَرِ ِلِْلَِْىَِِواءِ َِِوأَِْىِلِوِ ِِ َكَِمِا ِي َِْفَِعِ ُلِ ُِِْمتَِهُِدِو ِال ِشِْي َِعِةِِ َِتَاًمِا..." “...Sesungguhnya ia memerangi Ahli Tauhid dan menyalahinya dalam aqidah mereka dengan pertentantangan yang sangat keras, dan ia berkata dengan bid‟ah yang baik dan menyebarkan bid‟ah, dan pandangan-pandangannya tidak dapat digunakan kecuali (sebagai) pembelaan terhadap hawa nafsunya dan pengikutnya, sebagaimana dilakukan oleh para mujtahid golongan Syiah ...”13

Muhammad Zâhid bin Hasan al Hilmî al Kautsarî (1878 M-1952 M) juga menilainya negatif dengan komentarnya, ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ "َِوَمِ ْنَِِِو ىىِا ِْلَدِيِْ َثِِمِ ْنِِأَِبْ ِنَِاءَِِىَِذِاِالَِْعِ ْصِرِِ،ِفَ َِقِ ْدِِأَِ َِاءَِِإَِلِِن َِْفِسِوِِ،ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ َِوَحِاَدِِ َعِ ْنِِ َِبِْيِِلِِأَِْىِِلِِالِْعِْلِمِِ،َِِونَِطََِقِِ َخْلًفِاِ،َِِوات ِبَِ َعِِ َِبِْيِ َلِِ َغِْيِِالُِْمِِْؤمِنَِْيِ" “Termasuk generasi sekarang mencoreng (lemah dalam) hadis, sungguh telah menjelekkan dirinya sendiri, dan menyalahi jalan para ulama, dan berbicara yang bertentangan, dan telah mengikuti jalan di luar jalan orang-orang mukmin”14

13 Abû „Ubaidah bin Hasan Âli Salmân, Kutubun Hadzdzara minhâ al „Ulamâ`u, 1th.ed., (Riyâd: Dâr al Samai‟î, 1995), h. 330. 14 Muhammad Zâhid bin Hasan al Hilmî al Kautsarî, Ta`nîb al Khatîb „alâ Mâ Sâqahu fî Tarjamati Abî Hanîfah min al Akâdzîb, (t.t.: t.tp., 1990), h. 63. 61 2. Kitab al Mudâwî li ‘Ilal al Jâmi’ al Saghîr wa Syarh al Munâwî a. Latar Belakang Penyusunan Kitab al Mudâwî li ‘Ilal al Jâmi’ al Saghîr wa Syarh al Munâwî Kitab al Mudâwî merupakan kitab kritik hadis terhadap kitab al Taisîr wa Faid al Qadîr „ala al Jâmi‟ al Saghîr dan kitab Faid al Qadîr min Syarhi al Jâmi‟ al Saghîr yang keduanya adalah karya Muhammad „Adurra`ûf al Munâwî. Kedua kitab tersebut adalah syarh dari kitab al Jâmi‟ al Saghîr min Ahâdîts al Basyîr al Nadzîr karya Jalâluddîn „Abdirrahmân bin Abî Bakr al Suyûtî. Penulisan kitabnya dilatarbelakangi kebimbangan Ahmad al Ghumârî terhadap dua kitab al Munâwî sehingga ditulis sanggahan terhadapnya dalam karya yang berjudul al Mudâwî li „Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî.15

b. Sistematika Penyusunan Kitab al Mudâwî li ‘Ilal al Jâmi’ al Saghîr wa Syarh al Munâwî Adapun sistematika penyusunan kitab, al Mudâwî terdiri dari 6 jilid tebal: jilid pertama 488 halaman memuat 579 hadis, jilid kedua 478 halaman dengan 572 hadis, jilid ketiga 417 halaman dengan 602 hadis, jilid ke empat 479 halaman dengan 740 hadis, jilid kelima 425 halaman dengan 673 hadis, dan jilid ke enam 507 halaman dengan 608 hadis.16 Sedangkan metode penulisan Ahmad al Ghumârî dalam bukunya tersebut adalah: 1) Hadis (awal matan) disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyyah tanpa disertai jalur sanad 2) Pemaparan al Munâwî terkait hadis tersebut dalam kitabnya al Taisîr wa Faid al Qadîr „ala al Jâmi‟ al Saghîr kemudian diikuti dengan penjelasan dan

15 Ahmad al Ghumârî, al Mudâwî li „Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî, vol. 1, h. 73. 16 Ahmad al Ghumârî, al Mudâwî li „Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî, vol. 1, h. 66-67. 62 sanggahan dari Ahmad al Ghumârî dengan mentakhrij hadis tersebut, melakukan kritik hadis (sanad dan matan), melakukan al jarh wa al ta‟dîl, dan menyimpulkan kualitas hadisnya.

B. Kritik Hadis Da’îf yang Ditashîh Ahmad al Ghumârî 1. Hadis Kota Ilmu Riwayat-riwayat mengenai kota ilmu ditemukan diriwayatkan dari lima Sahabat yaitu Ibnu „Abbâs, „Alî bin Abî Tâlib, Jâbir bin „Abdillâh, Anas bin Mâlik dan Abû Sa‟îd al Khudrî. Ahli hadis banyak yang meneliti kualitas hadisnya dan menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Al Hâkim diketahui mentashîh hadis tersebut. Sebagian ahli hadis menilainya hasan, di antaranya al „Alâ`î, al Suyûtî, al Sakhâwî, dan al Syaukânî. Sedangkan yang menilainya da‟îf, di antaranya al Bukhârî, Ibnu Ma‟în, al Tirmîdzî, Ibnu Hibbân, Abû al Fath al Azdî, al Dâruqutnî (hadis mudtarib), Ibnu al Jauzî (maudû‟), Ibnu al Taimiyyah, al Dzahabî, Najmuddîn Muhammad al Dimasyqî, dan Muhammad Nâsiruddîn al Albânî.17

Takhrij Hadis Adapun takhrij hadis dalam al kutub al tis‟ah18 hanya ditemukan pada Sunan al Tirmîdzî dengan redaksi matan أَنَاَِداُرِ Sedangkan riwayat dengan matan kota ilmu 19 . ِ ِ ِ ال ْكَمةَِوَعل يِبَاب َُها

17 Khalîfah bin Arhamah bin Jihâm, Takhrîj Hadîts Ana Madînah al „Ilmi wa „Alî Bâbuhâ, (t.tp.: Dâr al Qais, t.th.), h. 6-11. 18 Al Kutub al Tis‟ah yang dimaksud adalah al Jâmi‟al Sahîh lil Bukhârî, Sahîh Muslim, Sunan Abî Dâwud, Sunan al Tirmidzî, Sunan al Nasâ`i, Sunan Ibn Mâjah, Musnad Ahmad, Musnad al Dârimî, dan al Muwatta` al Mâlik. 19 Hadis yang dimaksud adalah 63 ditemukan dalam Mustadrâk al Hâkim ( ِ ِ ِ ) أَنَاَِمدينَةُِالِْعْلِمَِوَعل يِبَاب َُها dengan tiga riwayat, dua diriwayatkan oleh Ibnu „Abbâs dan satu diriwayatkan oleh Jabir bin „Abdillah. Sedangkan yang akan diteliti ini adalah riwayat Ibnu „Abbâs melalui jalur Abû Silat al Harawî disebabkan banyak kritik ulama hadis terhadapnya, di antaranya perawi yang tertuduh dusta dan bertasyayyu‟20. Hadis yang dimaksud adalah ِ ِ ِ ِ َح دث َنَاِأَبُوِالَْعب ا ِسُُِمَ مُدِبْ ُنِي َْعُقو َب،ِثناُُِمَ مُدِبْ ُنِ َعْبدِال رحيمِاْْلََرو يِ ِ ِ ِ ِ ِ بال رْمِلَة، ِثنا ِأَبُو ِال صْلت ِ َعْبُد ِال سَلم ِبْ ُن ِ َصال ٍح، ِثناِأَبُو ُِمَعاِويَةَِ،ِ ِ ِ ِ ٍ ِ ِ ٍ ِ َعنِِالَ ْعَمشِ،ِ َع ْنُِِمَاىدِ،ِ َعنِِابْنِِ َعب اسَِِرض َيِاللوُِ َعْن ُهَما،ِقَاَل:ِقَاَلِ

ِ ِ ِ َح دث َنَاِإ ْٰسعْي ُلِبْ ُنُِمو َِىِ َح دث َنَاُُِمًَّمُدِبْ ُنِعَُمَرِبْ ِنِال روم ِيِ َح دث َنَاِ ُشَريْ ٌكِ َع ْنِ َِلََمةَِبْ ِنِِ ٍ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ُكَهْيلِ َع ْنِ َُِويْدِبْنِ َغْفلَةَِ َعنِال صنَاِب ِيِعَ ْنِ َعل ٍّيَِرض َيِاهللُِ َعنْوُِقَاَل:ِقَاَلَِرُِْوُلِاهللِ ِ ِ ِ صلىِاهللِعليوِوِلمِ:ِأَنَاَِدِاُرِال ْكَمةَِوَعل يِبَاب َُها Telah menceritakan kepada kami Ismâ‟îl bin Mûsâ, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Umar al Rûmî, telah menceritakan kepada kami Syuraik dari Salamah bin Kuhail dari Suwaid bin Ghaflah, dari al Sunâbihî, dari Alî radiyallahu „anhu telah berkata, telah .”saya rumah hikmah dan Alî pintunya“ : ﷺ berkata Rasûlullâh Al Tirmîdzî mengatakan hadis ini gharîb munkar disebabkan pada jalur sanadnya diketahui Syuraik bin Salamah bin Kuhail tidak meriwayatkan dari al Sunâbihî dan tidak diriwayatkan oleh perawi tsiqah dalam sanad ini meski disebutkan dalam jalur lain melalui Ibnu „Abbas. Lihat: Abû „Îsa Muhammad bin „Îsa bin Sûrah, Sunan al Tirmîdzî, 2th.ed., (Kairo: Syirkah Maktabah wa Matba‟ah Mustafâ al Bâbî al Halabî wa Aulâduhu, 1975), vol. 5, h. 637-638. 20 Lihat pembahasan sebelumnya pada bab 1 halaman 5-7. 64 ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ َرُِوُلِاللوِ َصلىِاللوُِ َعلَْيوَِوَعلَىِآلوَِِو َِل َمِ:ِ"أَنَا َِمدينَةُِالْعْلمَِوَعل يِ ِ ِ 21 بَاب َُهاِفََم ْنِأََراَدِالَْمدينَةَِفَ ْليَأْتِالْبَا َبِ"

21 Abû „Abdillâh al Hâkim al Naisâbûrî, al Mustadrak „ala al Sahîhain, 1th.ed., Kitâb Ma‟rifah al Sahâbah radiyallâhu „anhum, wa min Manâqib Amîril Mu‘minîn „Alî bin Abî Tâlib radiyallâhu „anhu bi Asahhi al Asânid „alâ Sabîl, hadis nomor 4700, (Kairo: Dâr Haramain li al Tibâ‟ah wa al Nasyr wa al Tauzî‟, 1997), vol. 3, h. 147. Adapun hadis lain yang diriwayatkan Ibnu „Abbâs juga adalah ِ ِ ِ ِ ِ ِ ٍ ِ َح دث َنَاِبص حةَِماِذََكَرهُِاإلَمامُِأَبُوَِزَكري اَِْيََيِبْ ُنَِمعي،ِثناِأَبُوِا ْلُ َسْيُُِِمَ مُدِِبْ ُنِِأَ ْْحََدِِبْنِِ ِ ٍ ِ ٍ ٍ َتيمِِالَْقْنطَر يِ،ِثناِا ْلُ َسُِْيِبْ ُنِِفَ ْهمِ،ِثناُُِمَ مُدِِبْ ُنَِِْيََيِِبْ ِنِال ضَريْ ِسِ،ِثناُُِمَ مُدِِبْ ُنِِ َجْعَفرِِ ِ ِ ِ ِ ِ ٍ ِ ِ ٍ ِ الَْفْيد يِ،ِثناِأَبُوُِمَعاويَةَِ،ِعَنِِالَ ْعَمشِ،ِ َع ْنُِِمَاىدِ،ِ َعنِِابْنِِ َعب اسَِِرض َيِاللوُِ َعْن ُهَما،ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ قَاَل:ِقَاَلَِرُِوُلِاللوِ َصلىِاللوُِ َعلَيْوَِوَعلَىِآلوَِو َِل َمِ:ِ"أَنَاَِمدينَةُِالْعلْمَِوَعِل يِبَاب َُهاِفََم ْنِ ِ ِ أََراَدِالَْمدينَةَِفَ لْيَأْتِالْبَا َبِ " Telah menceritakan kepada kami dengan sahih apa yang disebutkan imam Abû Zakariyyâ Yahya bin Ma‟în, telah menceritakan kepada kami Abû al Husain Muhammad bin Ahmad bin Tamîm al Qantarî, telah menceritakan kepada kami al Husain bin Fahm, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahyâ bin al Durais, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja‟far al Faidî, telah menceritakan kepada kami Abû Mu‟âwiyah, dari al A‟masy, dari Mujâhid, dari Ibnu „Abbâs radiyallâhu „an aku adalah kota“ : ﷺ humâ telah berkata: telah berkata Rasûlullâh ilmu dan Ali pintunya, barangsiapa yang menginginkan kota (tersebut) maka datanglah pada pintunya” al Hâkim menjelaskan bahwa perawi al Husain bin Fahm bin „Abdirrahmân dalam sanad hadis di atas tsiqah ma‟mûn hâfiz dan hadis ini memiliki syâhid dari Sufyân al Tsaurî dengan sanad sahîh. Lihat : Al Naisâbûrî, al Mustadrak „ala al Sahîhain, Kitâb Ma‟rifah al Sahâbah radiyallâhu „anhum, wa min Manâqib Amîril Mu‘minîn „Alî bin Abî Tâlib radiyallâhu „anhu bi Asahhi al Asânid „alâ Sabîl, hadis nomor 4701, vol. 3, h. 148. Sedangkan hadis kota ilmu riwayat Jabir bin „Abdillah, 65 Telah menceritakan kepada kami Abû al „Abbâs Muhammad bin Ya‟qûb, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin „Abdirrahîm al Harawî di Ramlah, telah menceritakan kepada kami Abû al Silat „Abdussalâm bin Sâlih, telah menceritakan kepada kami Abû Mu‟âwiyah, dari al A‟masy, dari Mujâhid, dari Ibnu „Abbâs radiyallâhu „an humâ telah berkata: telah berkata ,aku adalah kota ilmu dan Ali pintunya“ :ﷺ Rasûlullâh barangsiapa yang menginginkan kota (tersebut) maka datanglah pada pintunya”.

ِ ِ ِ ِ َح دثَِنِِأَبُوِبَ ْكٍرُُِِمَ مُدِِبْ ُنِِ َعل ٍّيِِالَْفقيوُِِاِْإلَمامُِِال شاش يِِالَْق فاُلِ،ِببُ َخاَرىَِوأَنَا َِأَلْتُوُِِ َح دثَِنِِا ِ ِ ِ ٍ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ لن ْعَما ُنِِبْ ُنِِاْْلَاُرونِالْبَ لَد ي،ِببَ لَدِم ْنِأَ ْصِلِكتَابو،ِثناِأَ ْْحَُدِِبْ ُنِِ َعْبدِالل وِِبْنِِيَِزيَدِا ْلَ راّن ،ِ ِ ِ ِ ِ ٍ ِ ثنا ِعَْبُد ِال ر زاق، ِثنا ِ ُِْفيَا ُن ِالث ْور ي، ِ َع ْن ِ َعْبد ِالل وِِبْنِِعُثَْما َنِِبْ ِنِ ُخثَ ْيم، ِ َع ْن ِ َعْبدِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ال رْْحَنِِبْنِِعُثَْما َنِالت ْيم ِيِقَاَل:ِ َسْع ُتِ َجابَرِِبْ َنِِ َعْبدِاللوِي َُقوُل:ِ َسْع ُتَِرُِوَلِاللوِ َصلىِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ اهللُِ َعلَْيوَِوَعلَىِآلوَِو َِل َمِي َُقوُل:ِ"أَنَاَِمدينَةُِالْعْلمَِوَعل يِبَاب َُهاِفََم ْنِأََراَدِالْعْل َمِفَ ْليَأِْتِ الْبَا َب" Telah menceritakan kepadaku Abû Bakr Muhammad bin „Alî al Faqîh al Imâm al Syâsyî al Qaffâl di Bukhara dan aku bertanya kepadanya, telah menceritakan kepadaku al Nu‟mân bin al Hârûn al Baladî dengan negara yang menjadi asal kitabnya, telah menceritakan kepada kami Ahmad bin „Abdillâh bin Yazîd al Harrânî, telah menceritakan kepada kami Sufyân al Tsaurî, dari „Abdillâh bin „Utsmân bin Khutsaim, dari „Abdirrahmân bin „Utsmân al Taimî telah berkata: aku mendengar Jâbir bin „Abdillâh berkata: aku mendengar Rasûlullâh sallallâhu „alaihi wa „alâ âlihî wasallam berkata: “aku adalah kota ilmu dan Ali pintunya, barangsiapa yang menginginkan kota (tersebut) maka datangilah pintunya” Lihat : Al Naisâbûrî, al Mustadrak „ala al Sahîhain, Kitâb Ma‟rifah al Sahâbah radiyallâhu „anhum, wa min Manâqib Amîril Mu‘minîn „Alî bin Abî Tâlib radiyallâhu „anhu bi Asahhi al Asânid „alâ Sabîl, hadis nomor 4702, vol. 3, h. 148.

66 Skema Sanad

(w. 11 H) ﷺ Rasûlullâh قال Alî bin Abî Tâlib (w. 40 H) Ibnu ‘Abbâs (w. 67/68 H) ‘Abdrurrahmân bin ‘Usailah al عن Murâdî al Sunâbihî Suwaid bin Ghaflah (w. 81/ 82 H) Mujâhid (w. 102/103/104/107/108 H) Salamah bin Kuhail (w. 122/ 123 عن (H Syuraik al A’masy (w. 147 H)

عن Muhammad bin Umar al Rûmî

al Tirmîdzî Abû Mu’âwiyah (w. 194/195 H) ثنا Abû al Silat ‘Abdussalâm Muhammad bin Ja’far al Faidî bin Sâlih (w. 236 H) Muhammad bin Yahyâ bin al Durais ثنا al Husain bin Fahm Muhammad bin ‘Abdirrahîm al Harawî (w. 301 H) Abû al Husain Muhammad bin Ahmad bin Tamîm al Qantarî Abû Zakariyyâ Yahya bin Ma’în ثنا Abû al ‘Abbâs Muhammad bin Ya’qûb (w. 346 H) al Hâkim حدثنا al Hâkim (w. 405 H)

Hasil i‟tibâr sanad dapat dilihat dalam skema sanad berikut:

Biografi Perawi Hadis dan Kritik Sanad Adapun terkait biografi perawi hadis, maka disusun berdasarkan urutan teratas (Sahabat): a. Ibnu ‘Abbâs 1) Nama lengkap: Abû al „Abbâs „Abdullâh bin „Abbâs bin „Abdi al Muttalib bin Syaibah bin Hâsyim bin „Abdi Manâf, dikenal dengan „Abdullâh bin „Abbâs

67 al Bahr (Ibnu „Abbâs). Ia adalah anak pamannya .Abbâs bin „Abdi al Muttalib„ ,ﷺ Rasûlullâh 2) Masa hidup dan tabaqah: Lahir di Bani Hasyim 3 tahun sebelum Hijrah. Wafat pada tahun 67/68 H. Termasuk tabaqah pertama. Ubai ,ﷺ Guru-gurunya di antaranya: Rasûlullâh (3 bin Ka‟b, Usâmah bin Zaid, Khâlid bin al Walîd, dan Abû Hurairah. 4) Murid-muridnya di antaranya: Anas bin Mâlik, „Urwah bin al Zubair, Sa‟îd bin Jubair, Tâwus, Mujâhid bin Jabr, dan „Atâ` bin Yasar. 5) Komentar kritikus hadis: Al Dzahabî menyatakan Musnadnya memuat 1160 hadis dan yang 75 hadis di antaranya terdapat dalam al Sahîhain. al Bukhârî meriwayatkan darinya 120 hadis dan Muslim 9 hadis. Ibnu Hajar menyatakan Ibnu „Abbâs termasuk salah satu Sahabat yang banyak meriwayatkan hadis, salah satu al „abâdilah dari Sahabat yang faqih. Al Mizzî menyatakan manâqibnya dan keutamaan- keutamaannya sangat banyak. Ibnu Hibbân menyebutkan nama Ibnu „Abbâs dalam kitab al Tsiqâtnya. 22

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Ibnu „Abbâs adalah perawi „âdil, tsiqah, dan dâbit. Hal ini merupakan kesepakatan ahli hadis bahwa seorang Sahabat tidak

22 Syamsuddîn Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, 3th.ed., (Beirut: Mu`assasah al Risâlah, 1985), vol. 3, h. 331-359; Syihâbuddîn Ahmad bin „Alî bin Hajar al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, yang ditahqiq Muhammad „Awwâmah, 3th.ed., (Beirut: Dâr al Rasyîd, 1991), h. 309; Jamâluddîn Abû al Hajjâj Yûsuf al Mizzî, Tahdzîb al Kamâl fî Asmâ` al Rijâl, (Beirut: Mu`assasah al Risâlah, 1988), vol. 15, 154- 162; Abû Hâtim Muhammad bin Hibbân bin Ahmad al Tamîmî al Bastî, Kitâb al Tsiqât, (t.tp.:Majlis Dâ`irah al Ma‟ârif al „Utsmâniyyah, 1978), vol. 3, h. 207-208. 68 diragukan keadilannya. Tahun wafat Ibnu „Abbâs menunjukkan sehingga pengakuan ﷺ bahwa ia semasa dengan Rasûlullâh ﷺ dan pernyataannya telah menerima hadis dari Rasûlullâh dapat dipercaya. Dengan demikian, sanad Ibnu „Abbâs dari .(bersambung (muttasil ﷺ Rasûlullâh

b. Mujâhid 1) Nama lengkapnya: Mujâhid bin Jabr, Abû al Hajjâj al Qurasyî al Makhzûmî. Termasuk penduduk Mekah. 2) Masa hidup dan tabaqah: Wafat tahun 102 /103 /104 /107 /108 H. Termasuk tabaqah kedua yaitu Tabi‟in. 3) Guru-gurunya di antaranya: Ibnu „Abbâs, Abû Hurairah, „Âisyah, Sa‟d bin Abî Waqqâs, „Abdullâh bin „Amri, Ibnu „Umar, Jâbir bin „Abdillâh, dan Ummu Hâni. 4) Murid-muridnya di antaranya: Ikrimah, Tâwus, „Amru bin Dînâr, Abû al Zubair, Sulaimân Mihrân (al A‟masy), dan Sulaimân al Ahwâl. 5) Komentar kritikus hadis: Ia dinilai Yahyâ bin Ma‟în, Ibnu Sa‟d, dan Ibnu Hajar sebagai perawi tsiqah. Ibnu Hajar menambahkan ia adalah imam dalam tafsir dan keilmuan lain. Ibnu Khirrâsy memberikan celaan (al jarh) kepadanya dengan menyatakan hadis- hadis yang diriwayatkannya dari „Alî dan „Â`isyah adalah hadis-hadis mursal. Abû Hâtim menyatakan Mujâhid tidak pernah mendengar dari „Â`isyah. Ibnu Hibbân menyebutkan nama Mujâhid dalam kitab al Tsiqâtnya.23

Berdasarkan penilaian kritikus hadis terhadap Mujâhid di atas, dapat disimpulkan bahwa Mujâhid adalah perawi tsiqah.

23 al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, vol. 4, h. 449-467; al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 453; al Mizzî, Tahdzîb al Kamâl fî Asmâ` al Rijâl, vol. 27, h. 228-236; al Bastî, Kitâb al Tsiqât, vol. 5, h. 419. 69 Adapun celaan terhadap Mujâhid ditemukan pada periwayatannya dari „Alî dan „Â`isyah. Sedangkan hadis kota ilmu di atas diriwayatkan Mujâhid dari Ibnu „Abbâs sehingga celaan tersebut tidak berlaku. Oleh karena itu, tidak perlu diragukan ketsiqahan dan kedâbitannya. Tahun wafat Mujâhid dan Ibnu „Abbâs menunjukkan bahwa keduanya hidup semasa sehingga pernyataannya telah menerima hadis dari Ibnu „Abbâs dapat dipercaya. Dengan demikian, sanad Mujâhid dari Ibnu „Abbâs bersambung (muttasil).

c. al A’masy 1) Nama lengkapnya: Sulaimân bin Mihrân al Asadî al Kâhilî. 2) Masa hidup dan tabaqah: Lahir di awal tahun 61 H dan wafat pada tahun 147 /148 H. Termasuk tabaqah ke-4. 3) Guru-gurunya di antaranya: Sa‟îd bin Jubair, Mujâhid, Tamîm bin Salamah, „Abdullâh bin Marrah al Hamdanî, Abû Sufyân Talhah bin Nâfi‟, „Abdullâh bin Abî Aufâ, dan Tsâbit bin „Ubaid. 4) Murid-muridnya di antaranya: Al Hakam bin „Utaibah, Talhah bin Musarrif, Ibnu Ishâq, Syu‟bah, Abu Mu‟âwiyah, Ishâq bin Yûsuf al Azraq, dan Hafs bin Ghiyâts. 5) Komentar kritikus hadis: Sufyân bin „Uyainah ِ ِ ِ ِ ...“ mengatakan َكِا َنِِاِْلَ ْعَِمِ ُشِِأَِقْ َِِرأَُِىِ ْمِِلِكِتَِابِِاهللِ،َِِوأَِ ْحَِفِظَُِهِ ْمِِ Ahmad bin „Abdullâh al ,”... ِ ِ ِ ِ ِ لِْلِ َحِدِيِْثِ،َِِوأَِْعِلََِمُِهِ ْمِِبِالَِْفَِِرائِ ِضِ „Ijlî dan al Nasâ‟î menyatakan bahwa al A‟masy tsiqah tsabtun dalam hadis. Ibnu Hibbân menyebutkan nama al A‟masy dalam kitab al ِ ِ ...“ ,Tsiqâtnya. Ibnu Hajar mengatakan ثَِقِةٌِِ َحِافِ ٌظِِ َعِاِِر ٌفِِ Ya‟qûb bin Syaibah .”...ِ ِ ِ ِ بِالَِْقَِِراءَِاتِ َِِِوَرعٌِ ِلَِكِ ْنِ ِيَُِدِلِ ُسِ

70 mengatakan hadis yang diriwayatkan al A‟masy dari Mujâhid tidak tsabit kecuali diriwayatkan dengan sighah ِ .24 َِسْعِ ُتِ Berdasarkan pendapat kritikus hadis di atas, ditemukan perbedaan penilaian terhadap al A‟masy. Penilaian tsiqah dari Ahmad bin „Abdullâh al „Ijlî, dan Ibnu Hibbân dimungkinkan karena sikap keduanya yang mutasâhil (longgar). Selain itu, ditemukan juga pendapat tsiqah dari al Nasâ‟î yang termasuk kritikus mutasyâdid (ketat). Kritikus Ibnu Hajar menilainya telah melakukan tadlîs. Meskipun ditemukan pendapat pujian (al ta‟dîl) dari al Nasâ‟î, pendapat tersebut tidak didahulukan karena didapatkan al jarh al mufassar.25 Penilaian tadlîs Ibnu Hajar di atas, dijelaskan sebabnya oleh komentar Ya‟qûb bin Syaibah yang menyatakan sanad al A‟masy dari Mujâhid tidak tsabit kecuali diriwayatkan dengan sighah ِ . Adapun hadis َسِْعِ ُتِ kota ilmu, diriwayatkan dengan sighah sehingga tadlîs tetap َعِ ْنِ dan tidak gugur meskipun ditemukan adanya pertemuan al

24 Al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, vol. 6, h. 226-249; Al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 195; Al „Asqalâni, Tahdzîb al Tahdzîb, ditahqiq oleh Basyâr „Awwâ, (Beirut: Mu`assasah al Risâlah, 1995), vol. 2, h. 109-111; Al Mizzî, Tahdzîb al Kamâl fî Asmâ` al Rijâl, vol. 12, h. 76-91; Al Bastî, Kitâb al Tsiqât, vol. 5, h. 419. 25 Kaidah yang berlaku dengan keadaan di atas yaitu: ِ ِ ِ ِ ِ إذَاِتَ َعاَر َضِا ْْلَاِرُحَِوالُْمَعِدُلِفَا ْلُ ْك ُمِلْل ُمَعِدلِإلِإذَاِث َبَ َتِا ْْلَْرُحِالُْمَف سُرِ Kaidah ini diberlakukan jika seorang perawi dipuji (ta‟dîl) oleh seorang kritikus dan dicela (jarh) oleh kritikus lainnya, maka yang harus didahulukan adalah ta‟dîl kecuali jika ditemukan jarh yang disertai penjelasan tentang bukti-bukti ketercelaan perawi. Prinsip ini diikuti mayoritas kritikus hadis. Sebagiannya menambahkan 2 hal yaitu: 1. penjelasan jarh harus relevan dengan upaya penelitian, 2. jika kritikus yang melakukan ta‟dîl mengetahui sebab-sebab ketercelaan perawi yang dinilainya dan ia memandang sebab tersebut tidak relevan atau sudah tidak ada lagi, maka ta‟dîl harus didahulukan. Lihat: M. Syuhudi Isma‟il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h. 79. 71 A‟masy dengan Mujâhid sebagai guru-murid dan dilihat dari tahun wafat terlihat hidup semasa sehingga pengakuan dan pernyataannya telah menerima hadis dari Mujâhid terlihat dapat dipercaya. Dengan melihat penjelasan tersebut, maka penulis di sini cenderung menilai sanad al A‟masy dari Mujâhid tidak dapat dijadikan hujjah karena terdapat tadlîs al isnâd sehingga sanadnya sehingga munqati‟ (terputus) karena tidak didukung .sighah seperti ِ , , dan 26 dalam periwayatannya اَِ ْخِبَ َِِرنَِا َحِ دِث َِنَِا َِسْعِ ُتِ

d. Abû Mu’âwiyah 1) Nama lengkapnya: Muhammad bin Khâzim al Sa‟dî al Tamîmî al Darîr. 2) Masa hidup dan tabaqah: Lahir pada tahun 113 H dan wafat pada tahun 194/ 195 H saat berusia 82 tahun. Termasuk tabaqah ke-9. 3) Guru-gurunya di antaranya: Hisyâm bin „Urwah, al A‟masy, Suhail, dan „Ubaidillâh bin „Umar. 4) Murid-muridnya di antaranya: Ahmad bin Hanbal, Ibnu Ma‟în, Hannâd, Qutaibah, Sahl bin Zanjalah, dan Sa‟dân bin Nasr. 5) Komentar kritikus hadis: Ibnu Hajar mengatakan, ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ٍ ...“ ثَِقِةٌِ ِأَِ ْحَِفِ ُظِ ِالنِ ا ِسِ ِ ِلَدِيِْثِ ِاْلَِ ْعَِمِ ِشِ َِِوقَِْدِ ِيَه ُم ِفِ ِ َحِدِيِْثِ ِ

26 Mahmûd Tahhân berkata, “tadlîs isnâd merupakan perawi meriwayatkan hadis yang tidak pernah didengarnya dari orang yang pernah mendengarnya, tanpa menyebutkan bahwa perawi pernah mendengar hadis tersebut darinya”. Mayoritas ahli hadis berpendapat hadis mudallas dapat dijadikan hujjah jika diriwayatkan sighah seperti ِ , , dan اَِ ْخِبَ َِِرنَِا َحِ دِث َِنَِا َسِْعِ ُتِ yang menunjukkan adanya ittisal (tersambungnya sanad). Menurut al Syâfi‟î, Ibnu al Madînî, dan Ibnu Ma‟în jika hadis mudallas diriwayatkan ,dengan sighah ِ atau ِ maka dianggap hadis sahih. Lihat: Al Tahhân َسْعنَا َِسْعِ ُتِ Taisîr Mustalah al Hadîts, h. 96; Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, (Bandung: PT Alma‟arif, 1974), h. 217. 72 ...”. Ahmad bin „Abdullâh al „Ijlî, Ibnu Khirrâsy, َغِِيُهُِ dan al Nasâ‟î menilainya tsiqah. Ibnu Hibbân menyebutkan nama Abû Mu‟âwiyah dalam kitab al Tsiqâtnya dan menyatakan hâfiz mutqin tetapi Murjiah. Abû „Ubaid al Âjirî menambahkan bahwa Abû Mu‟âwiyah merupakan pimpinan Murjiah di Kufah.27

Berdasarkan pendapat kritikus hadis di atas, ditemukan perbedaan penilaian terhadap Abû Mu‟âwiyah. Penilaian tsiqah dari Ibnu Hajar, al „Ijlî, Ibnu Khirrâsy, al Nasâ‟î, dan Ibnu Hibbân. Adapun mengenai Murjiahnya Abû Mu‟âwiyah (dinilai termasuk dalam ahli bid‟ah), hal tersebut tidak mencederai periwayatan hadisnya. Hal ini dikuatkan dengan ditemukannya Abû Mu‟âwiyah sebagai perawi al Bukhârî dalam kitab al Jâmi‟ al Sahîhnya meskipun ia Murjiah.28 Adapun dilihat dari tahun wafat Abû Mu‟âwiyah dan al A‟masy, menunjukkan bahwa keduanya hidup semasa sehingga pernyataannya telah menerima hadis dari al A‟masy dapat dipercaya. Dengan melihat penjelasan tersebut, maka penulis di sini cenderung menilai sanad Abû Mu‟âwiyah dari al A‟masy muttasil (bersambung).

27 Al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, vol. 9, h. 73-77; Al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 411; Al Bastî, Kitâb al Tsiqât, vol. 7, h. 441-442; Al Mizzî, Tahdzîb al Kamâl fî Asmâ` al Rijâl, vol. 25, h. 123-132. 28 Dalam al Hadyu al Sârî, Ibnu Hajar mengatakan Abû Mu‟âwiyah sebagai perawi yang tertuduh Murjiah (rumiya bi al Irjîâ`). Ibnu Hajar memasukkan Abû Mu‟âwiyah dalam kelompok perawi lemah (al da‟îf) karena aqidahnya (al i‟tiqâd) yang telah dijelaskan dalam biografi perawi itu sendiri bahwa mereka tidak termasuk dâ‟iyyah, atau termasuk kemudian bertaubat, atau meningkat riwayatnya dengan mutâbi‟. Adapun penjelasan secara khusus mengenai perawi ahli bid‟ah, akan dijelaskan penulis pada bab selanjutnya. Lihat: Ahmad bin „Ali bin Muhammad bin Hajar al „Asqalâni, Hadyu al Sârî Muqaddimah Fath al Bârî, (Riyâd: Dâr al Tayyibah, 2005), h. 1238-1247. 73 e. Abû al Silat ‘Abdussalâm bin Sâlih al Harawî 1) Nama lengkapnya: „Abdussalâm bin Sâlih bin Sulaimân bin Ayyûb bin Maisarah al Qurasyî, dikenal dengan nama Abû al Silat al Harawî. 2) Masa hidup dan tabaqah: Wafat tahun 236 H, termasuk tabaqah ke-12. 3) Guru-gurunya di antaranya: Hammâd bin Zaid, Syuraik, „Abdussalâm bin Harb, Ibnu „Uyainah, dan „Alî bin Mûsâ al Ridâ. 4) Murid-muridnya di antaranya: „Abbâs al Dûrî, Abû Bakr bin Abî al Dunyâ, Ahmad bin Abî Khaitsumah, Muhammad bin Durais, „Abdullâh bin Ahmad, dan al Husain bin Ishaq al Tustarî. 5) Komentar kritikus hadis29: No. Kritikus al Jarh wa al Ta‟dîl ِ Al Hâkim 1 ثَِقِةٌَِِمِأُِْمِِْوٌنِ،َِِوث َِقِوُِِأََِمِاَمِِأَِْىِِلِِ ِ ِ ِ ا ِْلَدِيِْثَِِِْيََيِِبِْ ِنَِمِعِْيِ Adapun komentar Ibnu Ma‟în lainnya: - Al Hasan bin „Alî bin Mâlik mengatakan Ibnu Ma‟în berkata: ِ "ثَِقِةٌِِ َصُِدِِْوٌقِِأَِلِأَِنِ وُِِي َِتَِ َشِيِ ُعِ" ِ - Ibnu al Junaid mengatakan Ibnu Ma‟în berkata:

29 Al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, vol. 11, h. 446-448; Al Dzahabî, Mîzân al I‟tidâl fî Naqdi al Rijâl, vol. 2, h. 616; Al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 296; Al „Asqalâni, Tahdzîb al Tahdzîb, vol. 2, h. 576- 577; Al Mizzî, Tahdzîb al Kamâl fî Asmâ` al Rijâl, vol. 18, h. 73-82; Abû Ja‟far Muhammad bin „Umar bin Mûsâ bin Hammâd al „Uqailî, Kitâb al Du‟afâ`, 1th.ed., (Riyâd: Dâr al Samai‟î li al Nasyr wa al Tauzî‟, 2000), vol. 3, h. 824; Al Jauzî, Kitâb al Maudû‟ât min al Ahâdits al Marfû‟ât, vol. 2, h. 110-118; Al Naisâbûrî, al Mustadrak „ala al Sahîhain, vol. 3, h. 147. 74 ِ ِ ِ ِ " َلِِْيَِ ُكِ ْنِِعِْنَِدِنَِاِمِ ْنِِأَِْىِِلِِالْك ْذِبِ" ِ ِ Al `Âjirî dari 2 َكِا َنِِ َضِابِطًِا،َِِوَِرأَِيِْ ُتِِابِْ َنَِِمِعِْيِِ Abû Dâwud ِ عِْنَِدِهُِ ِِ ٍ Al Nasâ`î 3 لَِْيِ َسِِبِثَِقِةِ ِ ِ ِ ٍ Abû Hâtim 4 َلِِْيَِ ُكِ ْنِِعِْنِدِيِبِ َصُِدِِْوقِ ِ Ibnu Hajar 5 َصُِدِِْوٌقِِلَِوَُِِمِنَِاكِْي َِرَِِِوَكِا َنِِي َِتَِ َشِيِ ُعِ 6 Ibnu „Adî dalam al Kâmil fî Du‟afâ` al Rijâl30, ia berkata: ِ ِ ِ ِ َِولَِعِْبِدِ ِال سِلَِمِ َِىَِذِا ِأَِ َحِادِيِْ ُثِِ ِ ِ ِ ِ ِ َمِنَِاكِْي َِرِ ِفِ ِفَِ َضِائِ َلِ ِ َعِلِي َِِوفَِاطَِمِةَِِ ِ ِ َِوا ِْلَ َسِ ِن َِِوا ِْلُ َسِْيِ، َِِوُىَِوِ ُِمِت َِهِ ٌمِ ِفِِ ِِ ِ َىِذِهِِاْلَِ َحِادِيِْ َثِ ِ ِ ِ Al Barqânî 7 َكِا َنَِِِرافِضِيًِّاِ dari al Dâruqutnî, al Dzahabî ِ ِ ِ Al „Uqailî 8 َِرافِضِ يِِ َخِبِْيِ ٌثِ،َِكِ ذِا ٌبِ 9 Muhammad َكِذِا ٌبِ ,bin Tâhir Ibnu al Jauzî

Berdasarkan uraian di atas, kritikus hadis berbeda dalam penilaian terhadap Abû al Silat al Harawî. Dikutip dari al Hâkim dan al Hasan bin „Alî bin Mâlik, keduanya menyatakan

30 Abû Ahmad „Abdillâh bin „Adî al Jurjânî, al Kâmil fî Du‟afâ` al Rijâl, (Beirut: Dâr al Kutub al „Ilmiyyah, t.th.), vol. 7, h. 25. 75 Ibnu Ma‟în menilai tsiqah Abû al Silat al Harawî. Demikian juga al `Âjirî dari Abû Dâwud yang menyandarkan pendapatnya pada Ibnu Ma‟în. Ibnu Ma‟în sendiri termasuk dalam kritikus mutasyaddid dan berhati-hati dalam menilai seorang perawi tetapi al Dzahabî menilainya telah mentautsîq Abû al Silat al Harawî dan menafikan al kidzb pada perawi tersebut. Lebih lanjut al Dzahabî berpendapat bahwa tautsîq Ibnu Ma‟în terjadi karena dimungkinkan terpengaruhnya kritikus hadis (dalam hal ini Ibnu Ma‟în) dengan orang berbuat baik kepadanya (yaitu Abû al Silat al Harawî). Hal ini dijelaskan oleh al Mu‟allimî bahwa Abû al Silat al Harawî bertasyayyu‟ tetapi dalam kedekatannya dengan ulama Sunni memperlihatkan penolakannya pada al Jahmiyyah sehingga mempesona Ibnu Ma‟în dan pada akhirnya ia berhusnudzon pada Abû al Silat al Harawî dan mentsiqahkannya. Pendapat ini mungkin dapat disangsikan karena kredibilitas Ibnu Ma‟în yang sudah tidak diragukan tetapi dapat terpengaruh dalam penilaiannya. Oleh karena itu, solusi dari hal ini adalah kaidah qadhu al sâkhit wa madhu al muhib. Al Mu‟allimî menjelaskan demikian juga dengan ahli hadis yang tsabat dalam keilmuannya tetapi mereka tidak ma‟sûm dari kesalahan.31 Demikian pendapat mengenai penilaian tsiqah Ibnu Ma‟în. Karena ditemukan banyak jarh terhadap Abû al Silat al Harawî oleh kirikus yang kredibilitasnya tidak diragukan, bahkan ditemukan juga jarh mufassar, maka pendapat Ibnu Ma‟în tidak dapat didahulukan meskipun termasuk mutasyaddid. Selain itu, sebagaimana berlakunya kaidah yang diberlakukan mayoritas kritikus hadis yaitu al jarh muqaddamun „alâ al ta‟dîl. Adapun pendapat kritikus hadis yang menyatakan jarh pada Abû al Silat al Harawî, jarh tersebut termasuk di antaranya

31 Pendapat ini merupakan salah satu bagian dari kaidah al Dzahabî pada saat mentarjîh al jarh saat terjadi pertentangan al jarh wa al ta‟dîl. Lihat: Abû „Abdurrahmân Muhammad al Tsânî bin „Umar bin Mûsa, Dawâbit al Jarh wa al Ta‟dîl „Inda al Hâfiz al Dzahabî, (Inggris: al Hikmah, 2000), h. 589-601. 76 kritikus mutasyaddid yaitu Abû Hatim dan al Nasâ`î. Ia menyatakan Abû al Silat al Harawî tidak sadûq diperkuat dengan penilaian al Nasâ`î yang juga menyatakan tidak tsiqah. Ibnu Hajar sebagai kritikus moderat menilainya sadûq (sebagai tanda ada yang menda‟îfkan sanadnya meskipun masih diterima sedikit ketsiqohannya32) dan banyak meriwayatkan hadis munkar. Demikian juga Ibnu „Adî yang menjarh periwayatannya dan menjelaskan lebih spesifik pada hadis mengenai keutamaan „Alî, Fâtimah, Hasan, dan Husain dinilainya muttaham. Selain itu juga ditemukan penilaian Syiah Rafidî, dan kadzdzâb (tingkatan jarh kelima33). Hadis dengan cacat perawi yang tertuduh berdusta mengakibatkan hadis yang diriwayatkannya menjadi hadis maudû‟ dan mayoritas ahli hadis tidak memperbolehkan sanadnya kecuali disertai penjelasan kepalsuan hadis tersebut.34 Hadisnya juga tidak boleh dijadikan hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak boleh dijadikan i‟tibâr35 Sedangkan mengenai Syiah Rafidî, al Dzahabî dalam Mîzân al I‟tidâlnya memasukkan Rafidî dalam bid‟ah kubrâ sehingga hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah.36 Dengan melihat penjelasan tersebut, maka penulis di sini cenderung menilai sanad Abû al Silat al Harawî dari Abû Mu‟âwiyah tidak dapat dijadikan hujjah, tidak dapat ditulis, dan tidak dapat dijadikan i‟tibâr. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan jarh yang juga dikuatkan dengan tidak bersambungnya sanad karena tidak ditemukan pertemuan guru- murid Abû al Silat al Harawî dan Abû Mu‟âwiyah meskipun secara perbandingan selisih tahun lahir dan wafat menunjukkan kemungkinan bersambung.

32 Al Tahhân, Taisîr Mustalah al Hadîts, h. 80 33 Al Tahhân, Taisîr Mustalah al Hadîts, h. 191. 34 Al Tahhân, Taisîr Mustalah al Hadîts, h. 111. 35 Al Tahhân, Taisîr Mustalah al Hadîts, h. 191. 36 Al Dzahabî, Mîzân al I‟tidâl fî Naqdi al Rijâl, vol. 1, h. 6. 77 f. Muhammad bin ‘Abdirrahîm al Harawî Dijelaskan dalam Rijâl al Hakim fî al Mustadrak bahwa yang dimaksud di sini bukanlah Muhammad bin „Abdirrahîm al Harawî tetapi dimungkinkan Muhammad bin „Abdirrahmân al Harawî.37 1) Nama lengkapnya: Abû „Abdillâh Muhammad bin „Abdirrahmân al Harawî. 2) Masa hidup dan tabaqah: Wafat pada tahun 301/ 302 H. Termasuk tabaqah ke-17. 3) Guru-gurunya di antaranya: Ahmad bin Hanbal, Ibrâhîm bin Muhammad, dan Muhammad bin Muqâtil al Marwazî. 4) Murid-muridnya di antaranya: Abû Hâtim bin Hibbân, al „Abbâs bin al Fadl al Nadrawi, dan Bisyr bin Muhammad al Muzanî. 38 5) Komentar kritikus hadis: -

Dari keterangan di atas, diketahui ada kesalahan penyebutan perawi nama oleh al Hâkim. Dilihat dari perbandingan selisih lahir-wafat ditemukan ketersambungan sanad. Akan tetapi, tidak ditemukan hubungan guru-murid antara Muhammad bin „Abdirrahmân al Harawî dengan Abû al Silat al Harawî dan juga tidak ditemukan penilaian kritikus hadis mengenainya. Oleh karena itu, penulis berkesimpulan bahwa sanad Muhammad bin „Abdirrahmân al Harawî dari Abû al Silat al Harawî munqati‟ (terputus).

g. Abû al ‘Abbâs Muhammad bin Ya’qûb 1) Nama lengkapnya: Muhammad bin Ya‟qûb bin Yûsûf bin Ma‟qil bin Sinân. Dikenal dengan al Asam.

37 Abû „Abdirrahman Muqbil bin Hâdî al Wâda‟î, Rijâl al Hâkim fî al Mustadrak, 2th.ed., (Yaman: Maktabah Sinâ‟ah al `Atsariyyah, 2004), vol. 2, h. 246. 38 Al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, vol. 14, h. 114-115. 78 2) Masa hidup dan tabaqah: Lahir pada tahun 247 H dan wafat pada tahun 346 H. Termasuk tabaqah ke- 19. 3) Guru-gurunya di antaranya: Ahmad bin Yûsuf al Sulamî, Ahmad bin al Azhar, Hârun bin Sulaimân, Asîd bin „Âsim, Zakariyyâ bin Yahyâ, „Abbâs al Dûrî, dan Muhammad bin „Abdillâh bin „Abd al Hakam. 4) Murid-muridnya di antaranya: Abû „Alî al Naisâbûrî, Abû „Abdillâh al Hâkim, Abû Nasr Muhammad bin „Alî al Syîrazî, dan Muhammad bin Ibrâhîm bin Ja‟far al Jurjâni. 5) Komentar kritikus hadis: Ibnu Abî Hâtim menilainya tsiqah sadûq.39 Berdasarkan penjelasan di atas, dilihat dari tahun lahir- wafat dimungkinkan sanad dari Abû al „Abbâs Muhammad bin Ya‟qûb dari Muhammad bin „Abdirrahmân al Harawî muttasil (bersambung). Akan tetapi tidak ditemukan hubungan guru- murid di antara keduanya sehingga tidak dapat dikuatkan bersambungnya sanad tersebut. Adapun komentar kritikus hadis, hanya ditemukan dari Ibnu Abî Hâtim yang menilainya tsiqah sadûq. Dalam hal ini, penulis cenderung menilai sanad Abû al „Abbâs Muhammad bin Ya‟qûb dari Muhammad bin „Abdirrahmân al Harawî munqati‟ (terputus).

h. al Hâkim 1) Nama lengkapnya: Muhammad bin „Abdillâh bin Muhammad bin Hamduwaih bin Nu‟aim bin al Hakam. 2) Masa hidup dan tabaqah: Lahir pada tahun 321 H di Naisâbûr. Wafat pada tahun 405 H. Termasuk tabaqah ke-23.

39 Al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, vol. 15, h. 452-460. 79 3) Guru-gurunya di antaranya: Muhammad bin „Alî al Mudzakkir, Muhammad bin Ya‟qûb al Asam, Muhammad bin al Qâsim al „Atakî, al Hasan bin Ishâq al Bukhârî, dan al Dâruqutnî. 4) Murid-muridnya di antaranya: al Dâruqutnî, Muhammad bin Ahmad bin Ya‟qûb, Abû Ya‟lâ al Khalîlî, dan Abû Bakr al Baihaqî. 5) Komentar kritikus hadis: al Dâruqutnî menilainya tsiqah wâsi‟ al „ilmi.40

Berdasarkan penjelasan di atas, dilihat dari tahun lahir- wafat yang semasa dan ditemukan hubungan guru-murid, maka pengakuan dan pernyataan al Hâkim telah menerima hadis dari Abû al „Abbâs Muhammad bin Ya‟qûb dapat dipercaya sehingga sanadnya dapat disimpulkan muttasil (bersambung).

Kesimpulan Kualitas Sanad 1. Dilihat dari kualitas, kapasitas, dan intelektual perawi dapat disimpulkan bahwa dalam sanad tsiqah kecuali: a. al A‟masy, dalam sanad ini ia dinilai kuat melakukan tadlîs sehingga menyebabkan sanadnya munqati‟ (terputus) dan hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah. b. Abû al Silat „Abdussalâm bin Sâlih al Harawî, banyak dijarh kritikus hadis. Ia dinilai tidak tsiqah, banyak meriwayatkan hadis munkar, riwayat hadisnya mengenai keutamaan „Alî, Fâtimah, Hasan, dan Husain dinilai muttaham, termasuk Syiah Râfidî, dan kadzdzâb. Oleh karena itu, hadisnya tidak boleh dijadikan hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak boleh dijadikan i‟tibâr. 2. Setelah dilakukan analisis ketersambungan sanad41, maka seluruh perawi dalam keadaan sanad yang bersambung (muttasil) dilihat adanya kemungkinan

40 Al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, vol. 17, h. 162-166. 41 Lihat tabel 1.1 pada lampiran 1. 80 adanya pertemuan dengan pendekatan tahun lahir dan wafat kecuali sanad al A‟masy dari Mujâhid. Dalam analisis pertemuan antara guru dan murid, ditemukan beberapa perawi tidak saling bertemu yaitu sanad Abû al Silat al Harawî dari Abû Mu‟âwiyah, sanad Muhammad bin „Abdirrahmân al Harawî dari Abû al Silat al Harawî dan sanad Abû al „Abbâs Muhammad bin Ya‟qûb dari Muhammad bin „Abdirrahmân al Harawî. Dengan demikian, maka hadis ini merupakan hadis yang terputus sanadnya (munqati‟) dari segi analisis pendekatan guru- murid. Adapun analisis melalui pendekatan redaksi sanad (siyagh al tahammul wa al adâ`)42, menunjukkan adanya kemungkinan pertemuan antara satu perawi dengan perawi lainnya.

Berdasarkan dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa sanad hadis al Hâkim di atas termasuk hadis da‟îf dengan keda‟îfan yang kuat (al khata‟ al râjih) yang berkaitan dengan perawi yaitu al kidzb (kedustaan) dan Râfidî. Oleh karena itu, hadis kota ilmu dengan sanad di atas tidak boleh dilakukan peningkatan hadis.

Pendapat Ahmad al Ghumârî Adapun Ahmad al Ghumârî, ia menyebutkan dalam al Mudâwî bahwa al Munâwî menyatakan hadis kota ilmu di atas hasan dengan i‟tibâr sanad-sanadnya, hadis tersebut tidak dihukumi sebagai sahih dan tidak da‟îf.43 al Munâwî juga mengatakan bahwa Ibnu al Jauzî mewahmkan hadis ini. Ahmad al Ghumârî membantahnya dengan berkata, “...hadis ini sahîh

42 Lihat tabel 1.2 pada lampiran 1. 43 Perkataan al Munâwî yang dimaksud adalah ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِِ "...َوُىَو ِ َح َس ٌن ِبا ْعتبَار ِطُُرقو َِل ِ َصحْي ٌح َِوَل ِ َضعْي ٌف ِفَ ْضًل ِ َع ْن َِكْونوِ َمْو ُضْوًعا..." Lihat pembahasan sebelumnya pada bab 1 halaman 5. 81 yang tidak diragukan lagi kesahîhannya, bahkan ia paling sahîh di antara banyak hadis yang dihukumi sahîh lainnya...”.44 Penjelasan secara khusus hadis kota ilmu ditulis Ahmad al Ghumârî dalam Fath al Malik al „Alî bi Sihhati Hadîts Bâb Madînatu al „Ilm al „Alî. Ia menilai hadis tersebut dihukumi sahîh dengan banyak jalur yang menguatkannya. Selain itu penilaian kritikus hadis mengenai Abû al Silat al Harawî sebagai perawi pendusta tidak menghalangi penerimaan periwayatannya karena menurutnya ia tetap dianggap terpercaya (tsiqah) karena ditemukan penilaian tsiqah oleh kritikus hadis lainnya.45

2. Hadis Perkara Halal yang Paling Dibenci Allah adalah Talaq Hadis talaq (perceraian) ini termasuk hadis da‟îf populer di Indonesia.46 Hadis ini juga ditemukan ditashih Ahmad al Ghumârî dalam al Mudâwînya.

44 Ia mengatakan: ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ "...بَِلِا ْلَديْ ُثِ َصحيْ ٌحَِلِ َش كِفِص حتو،ِبَ ْلُِىَوِأَ َص حِم ْنَِكثْيِم َنِاْلَ َحاديْثِال ِْتِ ُحك ُمِْواِ ِ ِ ِ بص حتَها..." Pendapatnya ini berbeda dengan pendapat ahli hadis pada umumnya yang meyakini tingkatan hadis sahîh tertinggi adalah hadis sahîh yang disepakati al Bukhârî dan Muslim (muttafaq „alaih atau muttafaq „alâ al sihhatih). Lihat pembahasan sebelumnya pada bab 1 halaman 5; Ahmad al Ghumârî, al Mudâwî li „Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî, vol. 3, h. 45. 45 Penjelasan lebih lanjut mengenai tashîh hadis kota ilmu oleh Ahmad al Ghumârî akan dijelaskan pada bab selanjutnya berikut analisis metode tashihnya yang banyak diuraikan pada kitabnya Fath al Malik al „Alî bi Sihhati Hadîts Bâb Madînatu al „Ilm al „Alî. 46 Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi, Koreksi Hadits- Hadits Dha‟if Populer, 1th.ed., (Bogor: Media Tarbiyah, 2008), h. 129; Ali Mustafa Ya‟qub, Hadis-Hadis Bermasalah, 6th.ed., (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 28; Abdul Bakir, 150 Hadits Dha‟if dan Palsu yang Sering Dijadikan Dalil, (Jogjakarta: Hikam Pustaka, 2012), h. 93. 82 Takhrij Hadis ِ Hadis yang dimaksud yaitu dengan matan أَبْ غَ ُضِا ْلََللِ dan hanya diriwayatkan „Abdullâh bin 47 ِ إَِلِالل وِتَ َعاَلِالط َل ُقِ „Umar dalam dua jalur berikut: a. dalam Sunan Abî Dâwud: ِ ٍ ٍِ ِ َح دث َنَاِ َكِثيُِِبْ ُنِِعُبَ ْيدِ،ِ َح دث َنَاُُِمَ مُدِِبْ ُنِِ َخالدِ،ِ َع ْنُِِمَعِرفِِبْ ِنِ ِ ِ ِ ِ ٍ ﷺ َواصٍلِ، ِ َع ْنُُِِمَاربِ ِبْ ِن ِدثَارِ، ِ َع ْنِِابْ ِن ِعَُمَرِ، ِ َع ِن ِالن ِِِب ِ ،ِ ِ ِ ِ قَاَلِ:ِ" أَبْ غَ ُضِا ْلََللِإَلِالل وِتَ َعاَلِالط َل ُقِ"

b. dalam Sunan Ibni Mâjah: ِ ٍ ِ ِ ٍِ َح دث َنَاِ َكِثيُِ ِبْ ُنِ ِعُبَ ْيدِ ِا ْل ْمصي، ِ َح دث َنَاُُِمَ مُدِ ِبْ ُنِ ِ َخالدِ،ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ٍ ِ َع ْنِِعُبَ ْيدِِاللوِِبْ ِنِِالَْوليدِِالَْو صافِ،ِ َع ْنُُِِمَاربِِبْ ِنِدثَارِ،ِ َع ْنِِ َعْبدِِ ِ ِ ﷺ ِ ِ اللوِِبْ ِنِعَُمَرِ،ِقَاَل:ِقَاَلَِرُِوُلِاللوِ :ِ" أَبْ غَ ُضِا ْلََللِإَلِ 48 الل ِوِالط َل ُقِ " ِِِِِِِِِِِِ

47 Selain hadis dengan matan di atas, ditemukan redaksi matan ِ ِ berbeda tetapi bermakna sama yaitu dengan lafadz َماِأَ َح لِالل وُِ َشْيئًاِأَبْ غَ َضِإلَْيوِ Akan tetapi, hadis tersebut ditemukan tidak populer di Indonesia ِ ِ .م َنِالط َلقِ dan tidak ditashih Ahmad al Ghumârî dalam al Mudâwî sebagaimana fokus penelitian ini. 48 Abû Abdillâh Muhammad bin Yazîd bin Mâjah al Qazwînî, al Sunan, Abwâb al Talâq, Bâb, hadis nomor 2018, (Beirut: Dâr al Risâlah al „Âlamiyyah, 2009), vol. 3, h. 179. Adapun hadis lain dengan makna sama tetapi matan hadis yang berbeda adalah sebagai berikut: ِ ٍ ِ ِ َح دث َنَاِأَ ْْحَُدِِبْ ُنِِيُونُ َسِ،ِ َح دث َنَاُِمَعِر ٌفِ،ِ َع ْنُُِِمَاربِ،ِقَاَل:ِقَاَلَِرُِوُلِاللوِ َصلىِاللوُِ َعلَْيوِ ِ ِ ِ ِ َو َِل َم:ِ"َِماِأَ َحل ِاللوُِ َشيْئًاِأَبْ غَ َضِإلَيْوِم َنِالطَلقِ"ِ. 83 Telah menceritakan kepada kami Katsîr bin „Ubaid al Himsî, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Khâlid, dari „Ubaidillâh bin al Walîd al Wassâfî, dari Muhârib bin Ditsâr, dari „Abdullâh bin :ﷺ Umar, ia telah berkata: telah berkata Rasûlullâh„ “perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talaq (perceraian)”.

Kedua hadis di atas diriwayatkan „Abdullâh bin „Umar dari Muhârib bin Ditsâr. Hadis pertama diriwayatkan melalui Mu‟arrif bin Wâsil dari Muhârib bin Ditsâr, sedangkan hadis kedua melalui „Ubaidillâh bin al Walîd al Wassâfî dari Muhârib bin Ditsâr. Al Khattâbî dalam Ma‟âlim al Sunannya mengatakan hadis yang terkenal mengenai hadis ini melalui jalur Muhârib bin Ditsâr adalah hadis mursal tanpa ada Ibnu

Lihat: Abû Dâwud Sulaimân bin al Asyi‟ats al Sijistî al Azdî, Sunan Abî Dâwud, Kitâb al Talâq, Bâb fî Karâhiyati al Talâq, hadis nomor 2177, (Beirut: Dâr Ibn Hazm, 1997), vol. 2, h. 438. Hadis ini merupakan hadis mursal disebabkan Muhârib bin Ditsâr yang termasuk Tabi‟in tetapi tanpa menyebutkan ﷺ meriwayatkannya langsung dari Rasûlullâh perantara keduanya. Maka hadis ini terputus akhir sanadnya dari Sahabat sehingga dihukumi sebagai hadis mursal. Hadis dengan matan yang sama juga ditemukan dalam al Mustadrak „alâ al Sahîhain berikut: ٍ ِ َح دث َنَاِأَبُوِبَ ْكرُُِِمَ مُدِِبْ ُنِِأَ ْْحََدِِبْنِِبَالََويْوِ،ِثناُُِمَ مُدِبْ ُنِعُثَْما َنِبْ ِنِأَِبِِ َشْيبَةَ،ِثناِأَ ْْحَُدِبْ ُنِ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ يُونُ َس،ِثناَِمْعِرو ُفِبْ ُنَِواصل،ِ َعنِْ ُم َحاربِِبْنِِدثَارِ،ِ َع ْنِِ َعْبدِاللوِبْنِعَُمَرِِ-َرض َيِاللوُِ ِ ِ ِِ َعْن ُهَماِ-،ِقَاَل:ِقَاَلَِرُِوُلِاللوِ- َصلَىِاللوُِ َعلَيْوَِوآلوَِو َِل َمِ-: "َماِأَ َح لِِاللوُِِ َشيْئًاِأَبْ غَ َضِِ ِ ِ ِ ِ إلَيْوِِم َنِِالط َلقِ" ِ Hadis ini dihukumi sahîh oleh al Hâkim dengan mengatakan “hadîtsun sahîhul isnâd wa lam yukhorrijâhu” yang berarti hadis ini sahîh sanadnya dan belum diriwayatkan oleh keduanya yaitu al Bukhârî dan Muslim dalam al Sahîhain); Al Naisâbûrî, al Mustadrak „ala al Sahîhain, vol. 2, h. 234. Lihat: Abû Dâwud, Sunan Abî Dâwud, Kitâb al Talâq, Bâb fî Karâhiyati al Talâq, hadis nomor 2178, vol. 2, h. 438. 84 „Umar.49 Sedangkan sanad lainnya dalam Sunan Abî Dâwud yang merupakan mutâbi‟ hadis di atas dari Mu‟arrif bin Wâsil. al Mundzirî berpendapat hadis tersebut gharîb.50 Adapun Mu‟arrif bin Wâsil51, ia dinilai kritikus hadis sebagai perawi tsiqah. Sedangkan „Ubaidillâh bin al Walîd al Wassâfî dinilai sebagai perawi da‟îf. Oleh karena itu, yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah hadis kedua dalam Sunan Ibni Mâjah.

49 Abû Sulaimân Hamid bin Muhammad al Khattâbî, Ma‟âlim al Sunan, 1th.ed., (Halb: Matba‟ah al „Ilmiyyah, 1932), vol. 3, h. 231. 50 Abû al „Alîb Muhammad Syamsulhaq al „Azîm `Âbâdî, „Aun al Ma‟bûd Syarh Sunan Abî Dâwud, 2th.ed., (al Madînah al Munawwarah: al Maktabah al Salafiyyah, 1967), vol. 6, h. 227. 51 Nama lengkapnya Mu‟arrif bin Wâsil al Sa‟dî yang dikenal dengan Abû Badal (Abû Yazîd al Kûfî). Termasuk tabaqah ke-6. Guru-gurunya di antaranya Abî Wâ`il, al Sya‟bî, Muhârib bin Ditsâr, dan al A‟masy. Murid- muridnya di antaranya Wakî‟, Abû Hudzaifah, dan al Firyâbî. Dari penelusuran guru-murid ditemukan Muhârib bin Ditsâr sebagai guru Mu‟arrif bin Wâsil tetapi tidak ditemukan Muhammad bin Khâlid sebagai muridnya. Namun dalam biografi Muhammad bin Khâlid ditemukan Mu‟arrif bin Wâsil sebagai gurunya sehingga sanad hadis dalam jalur ini bersambung. Ia dinilai Ibnu Hajar, al Nasâ`î, Ibnu Ma‟în sebagai perawi tsiqah. Ibnu „Adî mengkritiknya sebagai ِ ِ . Lihat: Al ”ُىَِوِِمِ ْنِِيُ ْكِتَِ ُبِِ َحِدِيْ ِثُِوُِ“ „Asqalâni, Taqrîb al Tahdzîb, h. 472; Al „Asqalâni, Tahdzîb al Tahdzîb, vol. 4, h. 118. 85 Skema Sanad Hasil i‟tibâr sanad dapat dilihat dalam skema sanad berikut:

(w. 11 H) ﷺ Rasûlullâh

قال Muhârib bin Ditsâr (w. 116 H) ‘Abdûllâh bin ‘Umar Mu’arrif bin Wâsil عن Ahmad bin Yûnus Muhârib bin Ditsâr (w. 73 H) Abû Dâwud عن Mu’arrif bin Wâsil ‘Ubaidillâh bin al Walîd al Wassâfî (w. 236 H) Ma’rûf bin Wâsil

Muhammad bin Khâlid Ahmad bin Yunus عن (w. 109 H) Katsîr bin ‘Ubaid al Himsî Muhammad bin Khâlid (109 Muhammad ‘Utsmân bin (w. 247 H) H) Abî Syaibah Abû Bakr Muhammad bin Abû Dâwud Ahmad bin Bâlawaih حدثنا

Katsîr bin ‘Ubaid al Himsî (w. 247 H) al Hâkim (w. 405 H) حدثنا Ibnu Mâjah (w. 273 H)

Biografi Perawi Hadis dan Kritik Sanad Adapun terkait biografi perawi hadis, maka disusun berdasarkan urutan teratas (Sahabat) sebagaimana skema sanad di atas. a. ‘Abdullâh bin ‘Umar 1) Nama lengkapnya: „Abdullâh bin „Umar bin al Khattâb bin Nufail bin „Abdil‟uzzâ bin Riyâh bin Qurt bin Razâh bin „Adî bin Ka‟b bin Lu`ai bin Ghâlib. Dikenal dengan Abû‟Abdirrahmân.

86 2) Masa hidup dan tabaqah: Wafat pada tahun 73 H. Termasuk yang banyak meriwayatkan hadis dari kalangan Sahabat. Umar„ ,ﷺ Guru-gurunya di antaranya: Rasûlullâh (3 bin al Khattâb, Abû Bakar, „Utsmân, „Alî, Bilâl, Suhaib, Zaid bin Tsâbit, Ibnu Mas‟ûd, Hafsah (saudara perempuannya), dan „Âisyah. 4) Murid-muridnya di antaranya: „Umayyah bin „Abdillâh al `Umawî, Anas bin Sîrîn, Busr bin Sa‟îd, Bisyr bin Harb, Jubair bin Nufair, al Hasan al Bisrî, Hafs bin „Âsim, dan Muhârib bin Ditsâr. 5) Komentar kritikus hadis: Hafsah mengatakan „Abdullâh bin „Umar adalah laki-laki saleh. Ibnu Hajar mengatakan bahwa „Abdullâh bin „Umar termasuk yang banyak meriwayatkan hadis dari kalangan Sahabat dan al „abâdilah, ia juga termasuk yang ketat dalam mengikuti al atsâr. Ibnu Hibbân menyebutkan nama „Abdullâh bin „Umar dalam kitab al Tsiqâtnya. 52

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa „Abdullâh bin „Umar adalah perawi „âdil, tsiqah, dan dâbit. Hal ini merupakan kesepakatan ahli hadis bahwa seorang Sahabat tidak diragukan keadilannya. Tahun wafat „Abdullâh bin „Umar ﷺ menunjukkan bahwa ia semasa dengan Rasûlullâh sehingga pengakuan dan pernyataannya telah menerima hadis dapat dipercaya. Dengan demikian, sanad ﷺ dari Rasûlullâh muttasil ﷺ Abdullâh bin „Umar dari Rasûlullâh„ (bersambung).

52 Al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, vol. 3, h. 203-232; Al Mizzî, Tahdzîb al Kamâl fî Asmâ` al Rijâl, vol. 15, h. 332-341; Al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 315; Al Bastî, Kitâb al Tsiqât, vol. 2, h. 209. 87 b. Muhârib bin Ditsâr 1) Nama lengkapnya: Muhârib bin Ditsâr bin Kurdûs bin Qirwâsy al Sadûsî al Kûfî. 2) Masa hidup dan tabaqah: Wafat pada tahun 116 H. Termasuk tabaqah ke-3 dari Tabi‟in. 3) Guru-gurunya di antaranya: Ibnu „Umar, Jâbir bin „Abdillâh, dan „Abdullâh bin Yazîd al Khatmî. 4) Murid-muridnya di antaranya: Zubaid al Yâmî, Mis‟ar, Syu‟bah, al Tsaurî, dan Qais bin al Rabî‟. 5) Komentar kritikus hadis: Yahyâ bin Ma‟în, Ahmad bin Hanbal, dan Ibnu Hajar menilainya tsiqah. Ibnu Hibbân menyebutkan nama Muhârib bin Ditsâr dalam kitab al Tsiqâtnya. 53

Berdasarkan penilaian kritikus hadis terhadap Muhârib bin Ditsâr di atas, dapat disimpulkan bahwa Muhârib bin Ditsâr adalah perawi tsiqah. Hal ini didasarkan pada kesamaan penilaian tsiqah Yahyâ bin Ma‟în yang termasuk mutasyaddid, juga Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hajar yang keduanya termasuk kritikus hadis moderat, serta penilaian dari Ibnu Hibbân. Tahun wafat Muhârib bin Ditsâr dan „Abdullâh bin „Umar menunjukkan bahwa keduanya hidup semasa sehingga pernyataannya telah menerima hadis dari „Abdullâh bin „Umar dapat dipercaya. Dengan demikian, sanad Muhârib bin Ditsâr dari „Abdullâh bin „Umar muttasil (bersambung).

c. ‘Ubaidillâh bin al Walîd al Wassâfî 1) Nama lengkapnya: „Ubaidillâh bin al Walîd al Wassâfî, Abû Ismâ‟îl al Kûfî. al Bukhârî mengatakan ia adalah putra dari al Wassâf bin „Âmir al „ijlî.

53 Al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, vol. 5, h. 217-219; Al „Asqalâni, Tahdzîb al Tahdzîb, vol. 4, h. 29; Al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 454; Al Bastî, Kitâb al Tsiqât, vol. 5, h. 452. 88 2) Masa hidup dan tabaqah: Termasuk tabaqah ke-6. Tidak diketahui tahun lahir-wafat. 3) Guru-gurunya di antaranya: Muhârib bin Ditsâr, Muhammad bin Sûqah, al Fudail bin Muslim, „Atiyyah al „Aufî, Tâwus bin Kîsân, „Atâ`, dan „Abdillâh bin „Ubaid bin „Umair. 4) Murid-muridnya di antaranya: Sufyân al Tsaurî, „Îsâ bin Yûnus, Abû Mu‟âwiyah, Muhammad bin Khâlid al Wahbî, dan Ya‟lâ bin „Ubaid. 5) Komentar kritikus hadis54:

No. Kritikus al Jarh wa al Ta‟dîl ضِعِيِفِِ ,Yahyâ bin Ma‟în 1 َ ْ ٌ Abû Zur‟ah, Abû Hâtim, Ibnu Hajar ِ ِ ِِ ٍ Al Nasâ`î 2 َمِْت ُِِرِْوُكِِا ِْلَدِيِْثِ،ِلَِْيِ َسِِبِثَِقِةَِِِوَِلِيُِ ْكِتَِ ُبِِ ِ َحِدِيْ ِثُِوُِ ِ ِ Ibnu Hibbân 3 ي َِِْرِوي ِ َعِنِ ِالث َِقِاتِ َِمِا َِلِ ِيُ ْشِبِوُِِ ِ ِ ِ اْلَِثْ ِبَِاتِ، ِ َحِ ّتِ ِيَ ْسِبِ َقِ ِإَِلِ ِالَِْقِلِْبِأَِنِ وُِِ الُِْمِتَ ِعِ ُدَِِْلَِا،ِفَِا ِْتَِ َحِ قِِالت ِِْرَكِ ِ ِ ِ Al Hâkim 4 َِرَِوىِعَِنُُِمَِاِربِأَِ َحِادِيِْ َثَِمِِْو ُضِِْوَعِة ِ ِفِِحِدِيِثِوِِمِنِاكِيِ،ِلِِي ِتِابِعِعِلِىِكِثِ ٍِيِ Abû Ja‟far al 5 َ ْ ََ ْ َ َُ ََ َ ْ Uqailî„ ِ ِ ِِ مِ ْنِِ َحِدِيِْثِوِِ Berdasarkan penelusuran penilaian kritikus hadis terhadap „Ubaidillâh bin al Walîd, tidak didapatkan pendapat kritikus hadis yang menta‟dîlnya tetapi banyak ditemukan jarh terhadapnya. Yahyâ bin Ma‟în dan Abû Hâtim yang termasuk

54 Al „Asqalâni, Tahdzîb al Tahdzîb, vol. 3, h. 30-31; Al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 316; Al Mizzî, Tahdzîb al Kamâl fî Asmâ` al Rijâl, vol. 19, h. 173-176. 89 kritikus hadis mutasyaddid menilainya da‟îf, demikian juga Abû Zur‟ah dan Ibnu Hajar. Al Nasâ`î (juga termasuk mutasyaddid) menilainya tidak tsiqah dan matrûk al hadîts. Sighah matrûk al hadîts mengakibatkan ditinggalkannya hadis yang diriwayatkan perawi tersebut serta tidak dapat dijadikan i‟tibâr maupun syâhid.55 Abû Ja‟far al „Uqailî mengkritik hadisnya sebagai hadis munkar (tidak dapat dijadikan hujjah56). Ibnu Hibbân mengkritiknya telah meriwayatkan dari tsiqah dengan menyalahi perawi yang lebih tsiqah sehingga hadisnya layak ditinggalkan. Bahkan al Hâkim (meskipun dinilai termasuk mutasâhil) berkomentar riwayat darinya adalah palsu. Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa „Ubaidillâh bin al Walîd adalah perawi da‟îf sehingga sanad „Ubaidillâh bin al Walîd dari Muhârib bin Ditsâr tidak dapat dijadikan hujjah tidak dapat dijadikan i‟tibâr meskipun dilihat dari tahun wafat „Ubaidillâh bin al Walîd dan Muhârib bin Ditsâr menunjukkan bahwa keduanya hidup semasa dan ditemukan hubungan guru-murid antara keduanya sehingga hadisnya terlihat ada kemungkinan muttasil (bersambung).

d. Muhammad bin Khâlid 1) Nama lengkapnya: Muhammad bin Khâlid bin Muhammad, dikenal sebagai Ibnu Mûsâ al Wahbî. 2) Masa hidup dan tabaqah: Wafat sebelum 109 H. Termasuk tabaqah ke-9. 3) Guru-gurunya di antaranya: Ismâ‟îl bin Abî Khâlid, „Ubaidillâh bin al Walîd al Wassâfî, „Abdul „Azîz bin „Umar bin „Abdul „Azîz, dan Mu‟arraf bin Wâsil. 4) Murid-muridnya di antaranya: al Rabî‟ bin Rauh, Hisyâm bin „Ammâr, Yahyâ bin Sâlih, dan Katsîr bin „Ubaid al Madzhijî.

55 Al Suyûtî, Tadrîb al Râwî fî Syarh Taqrîb al Nawâwî, vol. 1, h. 580. 56 Al Tahhân, Taisîr Mustalah al Hadîts, h. 191. 90 5) Komentar kritikus hadis: Ia dinilai tsiqah oleh al Dâruqutnî dan Ibnu Hibbân. Ibnu Hajar menilainya sadûq dan Ajirî lâ ba`tsa bih.57

Berdasarkan pendapat kritikus hadis di atas, ditemukan perbedaan penilaian terhadap Muhammad bin Khâlid. Penilaian tsiqah dari al Dâruqutnî dan Ibnu Hibbân. Penilaian tersebut dimungkinkan karena keduanya termasuk kritikus hadis mutasâhil. Sedangkan Ibnu Hajar yang merupakan kritikus moderat menilainya sadûq yaitu bermakna da‟îf dan Ajirî menilai lâ ba`tsa bih. Dalam hal ini, penulis cenderung kepada pendapat Ibnu Hajar yang menilainya sebagai perawi da‟îf sehingga hadis Muhammad bin Khâlid di atas tidak dapat dijadikan hujjah tetapi dapat ditulis untuk dilakukan i‟tibâr. Adapun tahun lahir-wafat tidak ditemukan dalam penelusuran biografi Muhammad bin Khâlid. Akan tetapi diketahui ia termasuk tabaqah ke-9, yang berselisih 3 tabaqah dari „Ubaidillâh bin al Walîd al Wassâfî (termasuk tabaqah ke- 6). Pembagian tabaqah ini diambil dari Siyar A‟lâm al Nubalâ` dan menurut penelitian terhadap kitab tersebut, al Dzahabî tidak membaginya berdasarkan pembagian zaman tetapi berdasar pada kemiripan suatu kelompok dari segi pertemuan langsung (al liqâ`) yaitu pertemuan dengan guru-gurunya dan tahun lahir- wafat yang tidak bertentangan dengan pertemuan tersebut sehingga setiap perawi dalam satu tabaqah dimungkinkan bertemu dalam satu tabaqah.58 Oleh karena itu, penulis berkesimpulan sanad Muhammad bin Khâlid dari„Ubaidillâh bin al Walîd bersambung (muttasil), melihat selisih 3 tabaqah yang besar kemungkinan al liqâ` antara keduanya. Hal ini juga dikuatkan dengan adanya pertemuan guru-murid antara Muhammad bin Khâlid dan„Ubaidillâh bin al Walîd.

57 Syihâbuddîn Ahmad bin „Alî bin Hajar al „Asqalânî al Syâfi‟î, Tahdzib al Tahdzib, (Beirut: Mu`assasah al Risâlah, t.th.), vol. 3, h. 554; Al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 476. 58 Al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, vol. 1, h. 104-5. 91 e. Katsîr bin ‘Ubaid al Himsî a. Nama lengkapnya: Katsîr bin „Ubaid bin Numair al Madzhijî, dikenal dengan Abû al Hasan al Himsî al Hadzdzâ`. b. Masa hidup dan tabaqah: Wafat pada tahun 247 H saat usia 50 tahun. Termasuk tabaqah ke-10. c. Guru-gurunya di antaranya: Abû Dâwud, al Nasâ`î, Ibnu Mâjah, Abû Zur‟ah, dan Abû Hâtim. d. Murid-muridnya di antaranya: al Walîd bin Muslim, Marwân bin Mu‟âwiyah, Muhammad bin Harb al Khoulânî, Ibnu „Uyaynah, Ayyûb bin Suwaid, dan Wakî`. e. Komentar kritikus hadis: Abû Hâtim dan Ibnu Hajar menilainya sebagai perawi tsiqah. Sedangkan al Nasâ`î menilainya lâ ba`tsa bih. Ibnu Hibbân menyebutkan nama Katsîr bin „Ubaid dalam kitab al Tsiqâtnya.59

Dari keterangan di atas, diketahui pujian kritikus hadis terhadap Katsîr bin „Ubaid, maka dapat disimpulkan bahwa ia adalah perawi tsiqah. Akan tetapi, dilihat dari perbedaan tahun wafat Katsîr bin „Ubaid dengan Muhammad bin Khâlid selisihnya terlalu jauh yaitu 138 tahun. Selain itu juga tidak ditemukan hubungan guru-murid antara keduanya. Dengan demikian, penulis berkesimpulan bahwa sanad Katsîr bin „Ubaid dari Muhammad bin Khâlid adalah munqati‟ (terputus).

f. Ibnu Mâjah a. Nama lengkapnya: Muhammad bin Yazîd al Raba‟î, Abû „Abdillâh bin Mâjah al Qazwînî.

59 Al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 460; Al „Asqalânî, Tahdzib al Tahdzib, vol. 3, h. 463; Al Mizzî, Tahdzîb al Kamâl fî Asmâ` al Rijâl, vol. 24, h. 140-143; Al Bastî, Kitâb al Tsiqât, vol. 9, h. 27. 92 b. Masa hidup dan tabaqah: Lahir pada tahun 209 H. Wafat pada tahun 273 H pada usia 64 tahun. Termasuk tabaqah ke-15. c. Guru-gurunya di antaranya: Alî bin Muhammad al Tinâfisî, Jubârah bin al Mughallis, Mus‟ab bin „Abdillâh al Zubairî, Katsîr bin „Ubaid al Himsî, Suwaid bin Sa‟îd, Abû Bakr bin Abî Syaibah, Muhammad bin Rumh, Hisyâm bin „Ammâr, dan „Utsmân bin Abî Syaibah. d. Murid-muridnya di antaranya: Muhammad „îsâ al Abharî, Abû al Tayyib Ahmad bin Rauh al Baghdâdî, Abû „Amrû Ahmad bin Muhammad bin Hakîm al Madînî, dan Sulaimân bin Yazîd al Fâmî. e. Komentar kritikus hadis: Abû Hâtim dan Ibnu Ma‟în menilai Ibnu Mâjah tsiqah. Ibnu Hajar ِ ...“ ,menilainya hâfiz. Al Mizzî mengatakan َصِاحِ ُبِ ِِ Abû .”... ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ كِتَِابِِال سِنَِ ِنِِذُِوِالتِ َصِانِْيِ َفِِالنِ افَِعِةَِِِوالِِرْحِلَِةِِالَِوا َِعِةِ ِ ِ ...“ ,Ya‟lâ al Khalîlî menilainya ُىَِوِ ِثَِقِةٌِ ِِ َكِبِْي ٌِرِ، ُِمِت َِفِ ٌقِ ِ Al Dzahabi .”... ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ َعِلَِْيِوِ،ُُِِْمتَِ جِِبِوِ،ِلَِوَُِِمِْعِِِرفَِةٌِِبِا ِْلَدِيِْثَِِِوالِْفِظِ menilainya hâfiz, nâqid, dan sâdiq.60

Berdasarkan penilaian kritikus hadis terhadap Ibnu Mâjah di atas, maka dapat disimpulkan ia adalah perawi tsiqah. Oleh karena itu, tidak diragukan Ibnu Mâjah telah menerima hadis dari Katsîr bin „Ubaid. Tahun wafat Ibnu Mâjah dan Katsîr bin „Ubaid menunjukkan bahwa keduanya hidup semasa. Dengan demikian pernyataannya telah menerima hadis dari Katsîr bin „Ubaid dapat dipercaya. Bertolak dari hal tersebut,

60 Al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, vol. 13, h. 277-281; Al Mizzî, Tahdzîb al Kamâl fî Asmâ` al Rijâl, vol. 27, h. 40-42; Al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 514. 93 penulis menyimpulkan bahwa sanad Ibnu Mâjah dari Katsîr bin „Ubaid muttasil (bersambung).

Kesimpulan Kualitas Sanad 1. Dilihat dari kualitas, kapasitas, dan intelektual perawi dapat disimpulkan bahwa dalam sanad tsiqah kecuali seorang perawi yaitu „Ubaidillâh bin al Walîd al Wassâfî. Ia banyak dijarh oleh kritikus hadis. Yahyâ bin Ma‟în, Abû Hâtim, Abû Zur‟ah, dan Ibnu Hajar menilainya da‟îf, al Nasâ`î menilainya tidak tsiqah dan matrûk al hadîts, Abû Ja‟far al „Uqailî mengkritik hadisnya sebagai hadis munkar, Ibnu Hibbân mengkritiknya telah meriwayatkan dari tsiqah dengan menyalahi perawi yang lebih tsiqah, dan al Hâkim berkomentar riwayat darinya maudû‟. Oleh karena itu, „Ubaidillâh bin al Walîd al Wassâfî merupakan perawi da‟îf, sehingga hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah, serta tidak dapat dijadikan i‟tibâr maupun syâhid. 2. Adapun analisis ketersambungan sanad, dapat dilihat dengan pendekatan tahun lahir dan wafat dan pertemuan guru dan murid61 ditemukan terputusnya sanad (munqati‟) yaitu sanad Katsîr bin „Ubaid dari Muhammad bin Khâlid yang memiliki selisih tahun wafat terlalu jauh (138 tahun) sehingga tidak dimungkinkan bertemu. Sedangkan dengan analisis melalui pendekatan redaksi sanad (siyagh al tahammul wa al adâ`)62, ditemukan adanya kemungkinan pertemuan antara satu perawi dengan perawi lainnya.

Berdasarkan dari beberapa penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa status sanad hadis Ibnu Mâjah termasuk dalam hadis da‟îf dengan keda‟îfan yang kuat (al khata‟ al râjih) yaitu berkaitan dengan periwayatan dengan hadis munkar, bahkan dimungkinkan maudû‟. Oleh karena itu

61 Lihat tabel 2.1 pada lampiran 2. 62 Lihat tabel 2.2 pada lampiran 2. 94 hadis perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talaq dengan sanad di atas, tidak boleh dilakukan peningkatan hadis.

Pendapat Ahmad al Ghumârî Adapun Ahmad al Ghumârî, ia menghukumi hadis ini sahîh dengan berpendapat hadis tersebut juga ditashîh al Hâkim dan ditegaskan al Dzahabî. Hal tersebut disebabkan terdapat tâbi‟ Mu‟arrif bin Wâsil yang merupakan perawi tsiqah sehingga dapat menghilangkan keda‟îfan hadis melalui jalur yang diriwayatkan dari Ubaidillâh bin al Walîd al Wassâfî di atas. Selain itu, hadis ini juga dikuatkan oleh syawâhid lainnya yang membuat ia menjadi hadis mausul sahîh.63

3. Hadis Wajah Cerah di Siang Hari karena Banyak Shalat di Malam Hari Hadis ini merupakan hadis da‟îf populer di Indonesia64 dan ditemukan ditashih oleh Ahmad al Ghumârî dalam al Mudâwînya.

Takhrij Hadis Hadis yang dimaksud dalam al kutub al tis‟ah hanya ditemukan dalam Sunan Ibni Mâjah yaitu ِ ِ ٍ ِ ِ َح دث َنَاِإ ْسَاعيلِبْ ُنُُِِمَ مدِِالطْلح يِ،ِ َح دث َنَاِثَاب ُتِِبْ ُنُِِمو َِىِأَبُوِيَِزيَدِ،ِ ٍ ِ َع ْنِِ َشِريكِ، ِ َع ْنِِاْلَ ْعَم ِشِ، ِ َع ْنِِأَِبِ ِ ُِْفيَا َنِ، ِ َع ْنِِ َجابٍرِ، ِقَاَل: ِقَالِ ِ ﷺ ِ ِ ِ َرُِوُلِاللوِ :ِ"َم ْنَِكث َُر ْتِ َصَلتُوُِباللْيِلِ َح ُس َنَِو ْجُهوُِبالن َهارِ"ِ 65 ِ Telah menceritakan kepada kami Ismâ‟îl bin Muhammad al Talhî, telah menceritakan kepada kami Tsâbit

63 Ahmad al Ghumârî, al Mudâwî li „Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî, vol. 3, h. 123-126. 64 As-Sidawi, Koreksi Hadits-Hadits Dha‟if Populer, h. 91. 65 Ibnu Mâjah al Qazwînî, al Sunan, Abwâb Iqâmah al Salawât wa al Sunnah fîhâ, Bâb Mâ Jâ`a fî Qiyâmillail, hadis nomor 1333, vol. 2, h. 358. 95 bin Mûsâ Abû Yazîd, dari Syuraik, dari al A‟masy, dari Abî :ﷺ Sufyân, dari Jâbir, telah berkata Rasûlullâh “barangsiapa yang memperbanyak shalatnya di malam hari, wajahnya akan bagus di siang hari”.

Skema Sanad (w. 11 H) ﷺ Rasûlullâh قال Jâbir (w. 77 H/78 H) عن Abû Sufyân عن al A’masy (w. 148 H) عن Syarîk (w. 177 H) عن Tsâbit bin Mûsâ Abû Yazîd (w. 129 H)

حدثنا Ismâ’îl bin Muhammad al Talhî (w. 133 H)

حدثنا Ibnu Mâjah (w. 273 H)

96 Biografi Perawi Hadis dan Kritik Sanad Adapun terkait biografi perawi hadis, maka disusun berdasarkan urutan teratas (Sahabat) sebagaimana skema sanad di atas. 1. Jâbir a. Nama lengkapnya: Jâbir bin „Abdillâh bin „Amrû bin Harâm bin Tsa‟labah bin Harâm bin Ka‟b bin Ghanm bin Ka‟b bin Salimah. b. Masa hidup dan tabaqah: Termasuk Sahabat yang ikut bai‟ah al ridwân. Dikatakan bahwa Jâbir hidup selama 94 tahun dan wafat dalam keadaan buta pada tahun 77/ 78 H. ,Umar„ ,ﷺ c. Guru-gurunya di antaranya: Rasûlullâh „Alî, Abû Bakr, dan Abû „Ubaidah. d. Murid-muridnya di antaranya: Ibnu al Musayyib, „Atâ` bin Abî Rabâh, al Hasan al Bisrî, Abû Sufyân, Mujâhid, dan al Sya‟bî. e. Komentar kritikus hadis: Al Dzahabî menilai Jâbir al imâm al kabîr, al mujtahid al hâfiz. Ibnu Hajar mengatakan sahâbî ibn sahâbî.66

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Jâbir bin „Abdillâh „âdil, tsiqah, dan dâbit. Hal ini merupakan kesepakatan ahli hadis bahwa seorang Sahabat tidak diragukan keadilannya. Tahun wafat Jâbir bin „Abdillâh menunjukkan sehingga pengakuan ﷺ bahwa ia semasa dengan Rasûlullâh ﷺ dan pernyataannya telah menerima hadis dari Rasûlullâh dapat dipercaya. Dengan demikian, sanad Jâbir bin „Abdillâh .(muttasil (bersambung ﷺ dari Rasûlullâh

66 Al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, vol. 3, h. 189-194; Al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 143; Al „Asqalâni, Tahdzîb al Tahdzîb, vol. 1, h. 281-282. 97 2. Abû Sufyân a. Nama lengkapnya: Talhah bin Nâfi‟ al Qurasyî, Abû Sufyân al Wâsitî al Makkî al Iskâf. b. Masa hidup dan tabaqah: Termasuk tabaqah ke-3. c. Guru-gurunya di antaranya: Jâbir bin „Abdillâh, Ibnu „Abbâs, Sa‟îd bin Jubair, dan Anas bin Mâlik. d. Murid-muridnya di antaranya: al A‟masy, Muhammad bin Ishâq, dan Syu‟bah. e. Komentar kritikus hadis67: No. Kritikus al Jarh wa al Ta‟dîl لِيِسِِبِوِِبِأِْسِ Ahmad bin 1 َْ َ َ ٌ Hanbal, al Nasâ`î 2 Ibnu Ma‟în َلِِ َشِ ْيِء ِِ Ibnu „Adî 3 َلِِبَِأِْ َسِِبِوِ ِ ِ ِ ِ Abû Hâtim 4 َلِِْيَِ ْسَِمِ ْعِِأَِبُِوِ ُِْفِيَِانِمِ ْنِِ َجِابٍِرِِإِ لِِأَِِْربََِعِِأَِ َحِادِيِْ َثِ ِ ِ ِ Ibnu Hajar 5 َصُِدِِْوٌقِ، َلُِِْيَِِرُجِِالِْبُِ َخِاِريِلَِوُِِ َِِوىِأَِِْرب ََِعِةَِِ ِ ِ أَِ َحِادِيِْ َثِِ َعِ ْنِِ َجِابٍِرِ،َِِوأَِظُِن َِهِاِالِِِتِِعناىاِ َشِيِْ ُخِوُِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َعِلِيِبِْنِِِالَِْمَِدِّنِ،ِمِْن َِهِاِ َحِدِيْ ِثَِانِِفِِاْلَِ ْشِِربَِةِِقَ َرنَوُِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ بِأَِِبِِ َصِالِح،َِِوفِِالَِْفِ َضِائِ َلِِ َحِدِيِْ ٌثِِ"اِْىِتَ ِ زِِ ِ ِ ِِِ ِ الَِْعِِْر ُش"،َِِوالِ رابِ ُعِِفِِتَ ِْفِسِ ِيِ ُِوَِرةَِِا ِْْلُُمِعُِةِِقَ َِِرنَِوُِِ ِ ِ ِ بِ َسِالِِبِْ ِنِأَِِبِِا ِْْلَْعدِ ِ Berdasarkan penelusuran di atas, diketahui kritikus hadis berbeda pendapat mengenai Abû Sufyân. Ahmad bin Hanbal menilainya laisa bihi ba`tsun dan Ibnu Ma‟în lâ syai`

67Al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, vol. 5, h. 293-294; Al „Asqalânî, Tahdzîb al Tahdzîb, vol. 2, h. 243-244; Al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 283; Al Mizzî, Tahdzîb al Kamâl fî Asmâ` al Rijâl, vol. 13, h. 438. 98 yang keduanya bermakna ta‟dîl yaitu perawi tersebut tidak bermasalah. Abû Hâtim mengatakan Abû Sufyân hanya mendengar empat hadis dari Jâbir. Ibnu Hajar menilai Abû Sufyân sebagai perawi lemah (sadûq) sehingga tidak dapat dijadikan hujjah tetapi dapat ditulis untuk dilakukan i‟tibâr. Ibnu Hajar menjelaskan empat hadis yang dimaksud Abû Hâtim adalah dua hadis tentang minuman, satu hadis keutamaan hadis Arsy yang bergetar dan satu hadis tentang penafsiran surat al Jumu‟ah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hadis di atas (hadis cerahnya di siang hari karena banyak shalat di malam hari) tidak termasuk hadis yang didengar dari Jâbir.

3. al A’masy: biografinya sudah dijelaskan pada halaman 69. Berdasarkan pendapat-pendapat kritikus hadis telah dijelaskan sebelumnya, diketahui al A‟masy dinilai melakukan tadlîs oleh Ibnu Hajar. Abû Bakr al Bazzâr ditemukan secara khusus mengomentari sanad al A‟masy dari Abû Sufyân dengan mengatakan, “... َلِْ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ٍ ِ ِ يَِ ْسَِمِ ْعِِمِ ْنِِأَِبِِ ُِْفِيَِانِ َشِْيِئًِا،َِِوقَِْدُِِِرِو َىِِ َعِْنِوَُِِْنَِوِِمِئَِةَِِ َحِدِيِْثِ،َِِوإِّنَِاِىِ َيِِ Komentar al Bazzâr ini menunjukkan 68.”... ِ َصِحِْي َِفِةِعُِرفَِ ْتِ bahwa al A‟masy tidak mendengar hadis dari Abû Sufyân sehingga menguatkan pendapat tadlîs Ibnu Hajar. Tadlîs al isnâd tersebut juga tidak didukung sighah seperti ِ , , dan 69 yang dapat اَِ ْخِبَ َِِرنَِا َحِ دِث َِنَِا َِسْعِ ُتِ menggugurkan tadlîs karena pada sanad hadisnya al A‟masy menggunakan sighah . Dengan demikian, َعِ ْنِ

68 Al „Asqalânî, Tahdzîb al Tahdzîb, vol. 2, h. 110; 69 Menurut al Syâfi‟î, Ibnu al Madînî, dan Ibnu Ma‟în jika hadis mudallas diriwayatkan dengan sighah ِ atau ِ maka dianggap hadis َسْعنَا َسِْعِ ُتِ sahîh. Lihat: Al Tahhân, Taisîr Mustalah al Hadîts, h. 96; Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, h. 217. 99 penulis menyimpulkan bahwa sanad al A‟masy dari Abû Sufyân munqati‟ (terputus) karena dalam periwayatannya terdapat tadlîs al isnâd yang tidak dapat gugur meskipun ditemukan adanya pertemuan al A‟masy dengan Abû Sufyân sebagai guru-murid dan dilihat dari tahun wafatnya terlihat hidup semasa.

4. Syarîk a. Nama lengkapnya: Syarîk bin „Abdillâh bin Abî Syarîk al Nakha‟î, Abû „Abdillâh al Kûfî al Qâdî. b. Masa hidup dan tabaqah: Lahir pada tahun 90 H dan wafat tahun 177 H. Temasuk tabaqah ke-8. c. Guru-gurunya di antaranya: Ziyâd bin „Ilâqah, al „Abbâs bin Dzarîh, Khusaif, Simâk bin Harb, al A‟masy, dan „Ubaidillâh bin „Umar. d. Murid-muridnya di antaranya: Ibnu Mahdî, Wakî‟, Yahyâ bin Âdam, Husyaim, Abû Nu‟aim, Muhammad bin Ishâq, dan lainnya. e. Komentar kritikus hadis70: No. Kritikus al Jarh wa al Ta‟dîl ثِِقِةِ ,Ibnu Ma‟în 1 ٌَ ,al „Ijlî Ibnu Ma‟în menambahkan: ِ ِ ِ ِ ِ إِلِِأَِنِ وَُِِلِِي ُتْق ُنِوي َغْلَ َُِِِويَِْذَِىِ ُبِِبِنَ ِْفِسِوِِ َعِلَِىِ ُِْفِيَِانَِِو ُشِْعِبَِة ِ ِِ Al Nasâ`î 2 لَِْيِ َسِِبِوِِبَِأِْ ٌسِ ِ صِدِِوقِ ِ Ahmad bin 3 َ ُْ ٌ Hanbal كِانِ ِِكِثِي ِرِ ِالِطِأِ، ِصِا ِحِبِ ِالِِوىِِمِ، ِِوىِوِ ِي ِغِلُِِِ Ibnu Abî 4 َ َ َ ُْ َْ َ َ ُ َْْ ََُ ََْ ُ Hâtim

70 Al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, vol. 8, h. 200-216; Al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 266; Al „Asqalânî, Tahdzîb al Tahdzîb, vol. 2, h. 64-165; Al Mizzî, Tahdzîb al Kamâl fî Asmâ` al Rijâl, vol. 12, h. 469- 475. 100 أَِ ْحِيَِانًِا ِ شِِِريِكِِصِدِِوقِِِثِقِةِِ ِيِءِِالِفِ ِِظِِِجًّدِا ِ Ya‟qûb bin 5 َ ْ ٌ َ ُْ ٌ ٌَ َ ِ ُ ْ ْ Syaibah ِ ِ ِ ِ ِ ِ Al Jurjânî 6 ثَِقِةٌِ،ِ َِ ِيِءُِِا ْلِْفِظُِِمِ ْضِطَِِر ُبِِا ِْلَدِيِْثِ ِ ِ ِ ِ Ibnu Hajar 7 َصُِدِِْوٌقِ ُِِيْطِىءُِ ِِ َكِثِْي ًِِرا ِتَ ِغَِي َِرِ ِحِْفِظَِوُِ ُِمِْنُِذِ ُِولِ ِ ِ ِ ِ ِ الُِْقِ َضِاءِِبِالِْ ُكِِْوفَِةِ،َِِوَكِا َنِِ َعِابًِدِاِ َشِدِيًِْدِاِ َعِلَِىِأَِْىِِلِِ الِْبَِِدِعِ Bertolak dari uraian di atas, ditemukan perbedaan kritikus hadis dalam menilai Syarîk bin „Abdillâh al Nakha‟î. Ibnu Ma‟în sebagai kritikus mutasyaddid menilainya sebagai perawi tsiqah, demikian juga pendapat yang sama diungkapkan kritikus lainnya. Al Nasâ`î menilainya laisa bihi ba`sun yang bermakna perawi yang tidak bermasalah. Ahmad bin Hanbal menilainya sadûq. Adapun pendapat jarh, diungkapkan oleh al Jurjânî yaitu buruk hafalannya dan mudtarib hadisnya. Ibnu Hajar menilainya perawi lemah (sadûq) dan banyak melakukan kesalahan karena hafalannya menurun saat menjabat sebagai hakim di Kufah dan termasuk ahli bid‟ah. Demikian juga banyak kritikus hadis lain yang menyoroti buruknya hafalan Syarîk sebagaimana diuraikan di atas. Berdasarkan kaidah sebelumnya71, penilaian sadûq dari Ibnu Hajar dan jarh kritikus lainnya didahulukan dari penilaian tsiqah dari Ibnu Ma‟în dan pendapat ta‟dîl lainnya karena jarh tersebut dijelaskan sebabnya. Oleh karena itu, maka hadis dari Syarîk tidak dapat dijadikan hujjah tetapi hadisnya dapat ditulis untuk dilakukan i‟tibâr. Tahun wafat Syarîk menunjukkan bahwa ia semasa dengan al A‟masy sehingga pengakuannya telah menerima

71 Kaidah yang dimaksud adalah ِ ِ ِ ِ ِ إذَاِتَ َعاَر َضِا ْْلَاِرُحَِوالُْمَعِدُلِفَا ْلُ ْك ُمِلْل ُمَعِدلِإلِإذَاِث َبَ َتِا ْْلَْرُحِالُِْمَف سُرِ Lebih lanjut lihat footnote nomor 25 pada halaman 70. 101 hadis dari al A‟masy dapat dipercaya. Hal ini juga dikuatkan dengan adanya hubungan guru-murid di antara keduanya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sanad Syarîk dari al A‟masy muttasil (bersambung).

5. Tsâbit bin Mûsâ Abû Yazîd a. Nama lengkapnya: Tsâbit bin Mûsâ bin „Abdirrahmân bin Salamah al Dabî, Abû Yazîd al Kûfî al Darîr al „Âbid. b. Masa hidup dan tabaqah: Wafat pada tahun 129 H. Termasuk tabaqah ke-10. c. Guru-gurunya di antaranya: Syarîk bin „Abdillâh, Sufyân al Tsaurî, dan Abû Dâwud al Nakha‟î. d. Murid-muridnya di antaranya: Ismâ‟îl bin Muhammad al Talhî, Muhammad bin „Utsmân bin Karâmah, dan Hannâd bin al Sarî. e. Komentar kritikus hadis72: No. Kritikus al Jarh wa al Ta‟dîl ِ Abû Hâtim 1 َضِعِْيِ ٌفِ 2 Ibnu Ma‟în َكِ ذِا ٌبِ 3 Ibnu „Adî Ibnu „Adî mengomentari hadis dengan sanad di atas (dari Tsâbit) adalah batil. Kalimat dalam matan hadis tersebut terjadi saat Tsâbit menghadap ke Syarîk, kemudian Ibnu „Adî mengatakan, ِ ِ ِِ ِ "...فَِظَِ نِِثَِابِ ٌتِِلغَِْفِلَِتِوِِأَِ نَِِىَِذِاِالِْ َكَِلَِمِِمِ ْنَِِمِِْتِِ ِ ِ ِ ِ ِ اِْإل ِْنَِادِِالِذِيِقَِْدِِقَ َِِرأَِهُِ،ِفَِ َحَِمِلَِوُِِعَِلَِىِذَِلِ َكِ،َِِوإِّنَِاِ ِ ٍ ُىَِوِِقَ ِِْوُلِِ َشِِريِْكِ..." ِ

72 Al „Asqalânî, Tahdzîb al Tahdzîb, vol. 1, h. 268; Al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 133; Al Mizzî, Tahdzîb al Kamâl fî Asmâ` al Rijâl, vol. 4, h. 375-379. 102 ِ ِ ِ Ibnu Hajar 4 َضِعِْيِ ُفِِا ِْلَدِيِْثِ

Bertolak dari penilaian kritikus di atas, Tsâbit bin Mûsâ Abû Yazîd banyak dijarh kritikus hadis: Abû Hâtim dan Ibnu Hajar menilainya sebagai perawi lemah, Ibnu Ma‟în menilainya pendusta (kadzdzâb). Pendapat khusus mengenai hadis ini dengan sanad Tsâbit bin Mûsâ dari Syarîk juga ditemukan. Ibnu „Adî mengomentari hadis dengan jalur di atas adalah batil karena hadis ini muncul disebabkan kelalaian Tsâbit. Perkataan hadis di atas bukanlah merupakan matan hadis tetapi merupakan perkataan Syarîk kepada Tsâbit saat ia menghadapnya. Selain itu, terdapat komentar tersendiri dari al Sindî dalam syarhnya mengutip perkataan al Hâkim bahwa Tsâbit menghadap ke Syarîk kemudian Syarîk mengucapkan sanad hadis di atas tetapi tidak menyebutkan matannya. Kemudian saat Syarîk melihat Tsâbit, Syarîk mengucapkan َم ْنِِ" Oleh karenanya yang ِ ِ ِ ." َكث َُر ْت ِ َصَلتُوُ ِباللْيِل ِ َح ُس َن َِو ْجُهوُ ِبالن َهارِ dimaksud kalimat tersebut adalah Tsâbit bin Mûsâ, bukan sebagai matan hadis sehingga dimungkinkan hadis ini maudû‟.73 Hal tersebut makin menguatkan pendapat Ibnu „Adî. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sanad Tsâbit bin Mûsâ dari Syarîk tidak dapat dijadikan hujjah dan tidak dapat dijadikan i‟tibâr meskipun dilihat dari tahun wafat keduanya hidup semasa dan terjadi hubungan guru-murid sehingga hadisnya terlihat muttasil (bersambung).

6. Ismâ’îl bin Muhammad al Talhî a. Nama lengkapnya: Ismâ‟îl bin Muhammad bin Ismâ‟îl bin Muhammad bin Yahyâ bin Zakariyyâ bin „Ubaidillâh al Taimî al Talhî al Kûfî.

73 Khalîl Ma`mûn Syîhâ, Sunan Ibni Mâjah bi Syarh al Imâm Abî al Hasan al Hanafî al Ma‟rûf bi al Sindî, (Beirut: Dâr al Ma‟rifah, 1996), vol. 2, h. 126. 103 b. Masa hidup dan tabaqah: Wafat pada tahun 133 H. Termasuk tabaqah ke-10. c. Guru-gurunya di antaranya: Abû Bakr bin „Ayyâsy, Wakî‟, Rouh bin „Ubâdah, dan Dâwud bin „Atâ` al Madanî. d. Murid-muridnya di antaranya: Ibnu Mâjah, Abû Zur‟ah, dan Ibnu Abî „Âsim. e. Komentar kritikus hadis: Abû Hâtim menilainya sebagai perawi da‟îf dan Ibnu Hajar sadûq bihim. Sedangkan Ibnu Hibbân menilainya tsiqah dengan menyebutkannya dalam al Tsiqâtnya.74

Berdasarkan pendapat kritikus di atas, Abû Hâtim diketahui termasuk kritikus mutasyaddid menilai Ismâ‟îl bin Muhammad da‟îf, pendapat ini juga dikuatkan dengan Ibnu Hajar yang juga menilainya perawi lemah. Adapun Ibnu Hibbân menilainya tsiqah, hal ini dimungkinkan karena ia termasuk kritikus hadis mutasâhil (longgar). Oleh karena itu, penulis lebih cenderung menilai Ismâ‟îl bin Muhammad sebagai perawi da‟îf sehingga hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah tetapi dapat ditulis dan dijadikan i‟tibâr. Tahun wafat Ismâ‟îl bin Muhammad menunjukkan bahwa ia semasa dengan Syarîk sehingga pengakuannya telah menerima hadis dari Syarîk dapat dipercaya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sanad Ismâ‟îl bin Muhammad dari Syarîk muttasil (bersambung).

7. Ibnu Mâjah: biografinya sudah dijelaskan pada halaman 92.

Kesimpulan Kualitas Sanad 1. Dilihat dari kualitas, kapasitas, dan intelektual perawi, dapat disimpulkan bahwa dalam sanad di atas tsiqah kecuali perawi berikut:

74 al „Asqalânî, Tahdzîb al Tahdzîb, vol. 1, h. 165-166. 104 a. Abû Sufyân dinilia sebagai perawi lemah karena hadis di atas tidak termasuk hadis yang didengar dari Jâbir. Oleh karena itu hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah tetapi dapat ditulis untuk dilakukan i‟tibâr. b. Al A‟masy dinilai da‟îf oleh kritikus hadis karena tadlîs al isnâd. Hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah. c. Syarîk yang dinilai da‟îf oleh kritikus hadis dengan al jarh al mufassar sehingga hadis darinya tidak dapat dijadikan hujjah tetapi hadisnya dapat ditulis untuk dilakukan i‟tibâr. d. Tsâbit bin Mûsâ, ia dinilai Ibnu Ma‟în pendusta dengan sighah kadzdzâb. Selain itu, sanad Tsâbit bin Mûsâ dari Syarîk, dinilai oleh Ibnu „Adî bahwa matan hadisnya bukanlah matan hadis tetapi merupakan perkataan Syarîk kepada Tsâbit saat ia menghadapnya sehingga ia disifati lalai. Oleh karena itu, hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah dan tidak dapat dijadikan i‟tibâr. e. Ismâ‟îl bin Muhammad al Talhî Abû Hâtim yang dinilai da‟îf oleh kritikus hadis sehingga hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah tetapi dapat ditulis dan dijadikan i‟tibâr.

2. Adapun analisis ketersambungan sanad, dilihat dengan pendekatan tahun lahir dan wafat dan pertemuan guru dan murid75 ditemukan terputusnya sanad yaitu tidak ditemukan hubungan guru Tsâbit bin Mûsâ Abû Yazîd dengan Ismâ‟îl bin Muhammad al Talhî. Selain itu juga terdapat tahun wafat terlalu jauh yaitu 140 tahun antara perawi berikutnya Ismâ‟îl bin Muhammad al Talhî (w. 133 H) dengan Ibnu Mâjah (W. 273 H) sehingga diragukan dapat bertemu meskipun diketahui adanya hubungan guru-murid di antara keduanya. Selanjutnya

75 Lihat tabel 3.1 pada lampiran 3. 105 melalui analisis melalui pendekatan redaksi sanad (siyagh al tahammul wa al adâ`)76, menunjukkan adanya kemungkinan pertemuan antara satu perawi dengan perawi lainnya.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sanad hadis Ibnu Mâjah di atas termasuk dalam hadis da‟îf dengan keda‟îfan yang kuat (al khata‟ al râjih) yaitu berkaitan dengan perawi (adanya perawi kadzdzâb) dan periwayatannya (adanya kesalahan periwayatan/matan hadis sehingga dimungkinkan maudû‟). Oleh karena itu, hadis wajah cerah di siang hari karena banyak shalat di malam hari dengan sanad di atas tidak boleh dilakukan peningkatan hadis.

Pendapat Ahmad al Ghumârî Adapun Ahmad al Ghumârî, ia menghukumi hadis sebagai hadis sahîh yang dihukumi al Suyûtî sebagai hadis palsu (maudû‟). al Munâwî menyatakannya dengan keheranannya pada hadis di atas yang diriwayatkan al Suyûtî dalam kitabnya al Jâmi‟ al Saghîr min Ahâdîts al Basyîr al Nadzîr padahal ia mengklaim kitab tersebut terbebas dari setiap periwayatan yang diriwayatkan seorang diri oleh perawi baik perawi waddâ‟ (pemalsu) maupun kadzdzâb (pendusta) sehingga dihukumi sebagai hadis maudû‟. Ahmad al Ghumârî berargumen hadis ini tidak diriwayatkan tersendiri oleh perawi waddâ‟ (pemalsu) tetapi diriwayatkan dari banyak jalur sanad sehingga dihukumi sahîh dalam takhrij hadis-hadisnya.77

76 Lihat tabel 3.2 pada lampiran 3. 77 Al Munâwî mengatakan, ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ "...َِوَعِ َجِ ٌبِِم َنِالُْمَؤلفِ)اَل سيُوطي(ِ َحْي ُثِأَْوَرَدهُِفِالْكتَابِالذيَِزَع َمِأَن وُِ ِِ ِِ ِ ِ ِ َصانَوُ ِعَ ْن ُِك ِل َِما ِانْ َفَرَد ِبو َِو ضاعٌ ِأَْو َِكذا ٌب، َِم َع ِقَ ْولو ِف ِفَ تَاويْو: ِأَطْبَ ُقوا ِ َعلَى ِأَن وُِ َمْو ُضْوعٌ..." ِ Ahmad al Ghumârî menjawab, 106 Dengan demikian, Ahmad al Ghumârî menggunakan jalur-jalur hadis lain untuk memastikan kualitas suatu hadis. Hal ini dimungkinkan dengan banyak jalur tersebut dapat menggugurkan dugaan keda‟îfan suatu hadis sebagaimana hadis di atas yang dinilai maudû‟ tetapi dengan banyak jalur lain ia dihukumi sahîh oleh Ahmad al Ghumârî.

4. Hadis al Ajda’ adalah Syaitan Hadis ini tidak ditemukan termasuk hadis da‟îf populer di Indonesia. Akan tetapi, hadis ini terdapat pada kitab al Mudâwî dan ditashih Ahmad al Ghumârî sehingga diambil sebagai sampel untuk meneliti metode tashih hadis da‟îf nya.

Takhrij Hadis Hadis al Ajda‟ adalah syaitan ditemukan dalam Sunan Abî Dâwud dan Sunan Ibni Mâjah dengan sanad yang sama yaitu: ٍ ِ ِ ِ ِ َح دث َنَاِأَبُو ِبَ ْكرِ، ِ َح دث َنَاَِىاش ُمِ ِبْ ُنِ ِالَْقا ِمِ، ِ َح دث َنَاِأَبُو ِ َعقيٍلِ،ِ ِ ِ ٍ ٍ ِ َح دث َنَاُِمَالُدِِبْ ُنِِ َِعيدِ،ِ َع ْنِِال شْعِِِب،ِ َع ْنَِِم ْسُروقِ،ِقَاَل:ِلَقِي ُتِعَُمَرِ ِ بْ َن ِا ْلَطابِ، ِفَ َقاَل: َِم ْن ِأَنْ َت؟ ِفَ ُقْل ُت: َِم ْسُرو ُق ِبْ ُن ِاْلَ ْجَدِعِ،ِ ِ ِ ﷺ 78 فَ َقاَلِِعَُمُرِ:ِ َسْع ُتَِرُِوَلِاللوِ ،ِي َُقوُلِ:ِ"اْلَ ْجَدعُِ َشْيطَا ٌن". Telah menceritakan kepada kami Abû Bakr, telah menceritakan kepada kami Hâsyim bin al Qâsim, dari Abû „Aqîl, dari Mujâlid bin Sa‟îd, dari al Sya‟bî, dari Masrûq, ia telah berkata: “aku bertemu „Umar bin Khattâb”, kemudian ia

ِ ِِ "...فَ لَْي َس َِىَذا ِم ا ِانْ َفَرَد ِبو َِو ضاع ِبَ ْل ِطُُرقُوُ ُِمتَ َعِدَدةٌ، ِفَ َسَق َُ َِكَلمُ ِال شاِرِحِ ِ ِ ِِ )اَلُْمنَاوي(ِم ْنِأَ ْصلو..." ِ Ahmad al Ghumârî, al Mudâwî li „Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî, vol. 6, h. 281-282. 78 Ibnu Mâjah al Qazwînî, al Sunan, Abwâb al Adab, Bâb Mâ Yukrahu min al Asmâ`, hadis nomor 3731, vol. 4, h. 673-674. 107 berkata: “siapa kamu”, maka aku berkata: “Masrûq bin al Ajda‟”, kemudian „Umar berkata: “aku telah mendengar .”berkata: “al Ajda‟ adalah syaitan ﷺ Rasûlullâh

Skema al Sanad

(w. 11 H) ﷺ Rasûlullâh قال ‘Umar bin Khattâb (w. 23 H) قال Masrûq (w. 62/ 63 H) عن al Sya’bî (w. 104 H) عن Mujâlid bin Sa’îd (w. 144 H) حدثنا Abû ‘Aqîl al Tsaqafî حدثنا Hâsyim bin al Qâsim (w. 207 H) حدثنا Abû Bakr (w. 245 H) حدثنا Ibnu Mâjah (w. 273 H)

Biografi Perawi Hadis dan Kritik Sanad Adapun terkait biografi perawi hadis, maka disusun berdasarkan urutan teratas (Sahabat) sebagaimana sanad di atas.

108 1. ‘Umar bin Khattâb a. Nama lengkapnya: „Umar bin Khattâb bin Nufail bin „Abdul‟uzzâ bin Riyâh bin Qurt bin Razâh bin „Adî bin Lu`ay. b. Masa hidup dan tabaqah: Syahid di akhir Dzulhijjah tahun 23 H. Termasuk Sahabat. Ubay ,ﷺ c. Guru-gurunya di antaranya: Rasûlullâh bin Ka‟b, dan Abû Bakr al Siddîq. d. Murid-muridnya di antaranya: „Alî, Ibnu Mas‟ûd, Ibnu „Abbâs, Abû Hurairah, „Alqamah bin Waqqâs, Qais bin Abî Hâzim, dan Târiq bin Syihâb. e. Komentar kritikus hadis : Ibnu Hajar mengatakan tentang „Umar bin Khattâb, amîr al mu`minîn masyhûr. „Alî bin Abî Tâlib mengatakan bahwa ﷺ sebaik-baik manusia setelah Rasûlullâh adalah Abû Bakr kemudian „Umar. al Mizzî mengatakan manâqib dan keutamaannya banyak sekali dan terkenal dalam kitab-kitab ulama.79

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa „Umar bin Khattâb „âdil, tsiqah, dan dâbit. Hal ini merupakan kesepakatan ahli hadis bahwa seorang Sahabat tidak diragukan keadilannya. Tahun wafat „Umar bin Khattâb menunjukkan bahwa ia semasa dengan Rasûlullâh sehingga pengakuan dan pernyataannya telah ﷺ dapat dipercaya. Hal ﷺ menerima hadis dari Rasûlullâh ini juga didukung dengan adanya hubungan guru-murid di antara keduanya. Dengan demikian, „Umar bin Khattâb dari .(muttasil (bersambung ﷺ Rasûlullâh

79 Al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, Siyar al Khulafâ` al Râsyidûn, h. 71; Al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 412; Al Mizzî, Tahdzîb al Kamâl fî Asmâ` al Rijâl, vol. 21, h. 316-326. 109 2. Masrûq a. Nama lengkapnya: Masrûq bin al Ajda‟ bin Mâlik bin Umayyah bin „Abdillâh bin Mur bin Salâmân al Hamdânî al Wadâ‟î al Kûfî. b. Masa hidup dan tabaqah: Wafat tahun 62 H/ 63 H. Termasuk Sahabat. c. Guru-gurunya di antaranya: Abû Bakr, „Umar, „Utsmân, „Alî, dan Mu‟âdz bin Jabal. d. Murid-muridnya di antaranya: Muhammad bin al Muntasyir bin al Ajda‟, al Sya‟bî, Ibrâhîm al Nakhâ`î, dan Yahyâ bin Watstsâb. e. Komentar kritikus hadis: al „ijlî, Ibnu Sa‟d, dan Ibnu Hajar menilainya tsiqah. 80

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan Masrûq bin al Ajda‟ „âdil, tsiqah, dan dâbit. Hal ini merupakan kesepakatan ahli hadis bahwa seorang Sahabat tidak diragukan keadilannya. Tahun wafat Masrûq bin al Ajda‟ menunjukkan bahwa ia semasa dengan „Umar bin Khattâb sehingga pengakuan dan pernyataannya telah menerima hadis dari „Umar bin Khattâb dapat dipercaya. Hal ini juga didukung dengan adanya hubungan guru-murid di antara keduanya. Dengan demikian, sanad Masrûq bin al Ajda‟ dari „Umar bin Khattâb muttasil (bersambung).

3. al Sya’bî a. Nama lengkapnya: „Âmir bin Syarâhîl bin „Abd bin Dzî Kibâr. b. Masa hidup dan tabaqah: Lahir pada tahun 21 H/ 28 H. Termasuk tabaqah ke-2 (Tabi‟in). Pendapat yang masyhur al Sya‟bî wafat tahun 104 H pada usia 82 tahun.

80 Al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, vol. 4, h. 63-69; Al „Asqalâni, Tahdzîb al Tahdzîb, vol. 4, h. 59-60; Al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 528 110 c. Guru-gurunya di antaranya: Sa‟d bin Abî Waqqâs, Abû Mûsâ al Asy‟arî, Masrûq bin al Ajda‟, Ibnu „Umar, dan Ummu Salamah. d. Murid-muridnya di antaranya: al Hakam, Hammâd, Ibnu „Aun, Mujâlid, dan Abû Bakr al Hudzalî. e. Komentar kritikus hadis: Abû Zur‟ah dan Ibnu Ma‟în menilai al Sya‟bî tsiqah. Ibnu Hajar menilai tsiqah masyhûr faqîh fâdil.81

Berdasarkan pendapat kritikus hadis di atas, dapat disimpulkan al Sya‟bî adalah perawi tsiqah. Tahun wafat al Sya‟bî menunjukkan bahwa ia semasa dengan Masrûq bin al Ajda‟ sehingga pengakuan dan pernyataannya telah menerima hadis dari Masrûq bin al Ajda‟ dapat dipercaya. Hal ini juga didukung dengan adanya hubungan guru-murid di antara keduanya. Dengan demikian, sanad al Sya‟bî dari Masrûq bin al Ajda‟ muttasil (bersambung).

4. Mujâlid bin Sa’îd a. Nama lengkapnya: Ibnu „Umair bin Bastâm, dikenal Ibnu Dzî Murrân bin Syarahbîl atau Abû „Amrû al Kûfî. b. Masa hidup dan tabaqah: al Bukhârî menyebutkan bahwa Mujâlid wafat pada bulan Dzulhijjah tahun 144 H. Termasuk tabaqah ke-5 (Tabi‟in). c. Guru-gurunya di antaranya: al Sya‟bî, Abû al Waddâk Jabr bin Nauf, dan Qais bin Abî Hâzim. d. Murid-muridnya di antaranya: Syu‟bah, Ibnu al Mubârak, Husyaim, Ibnu Numair, dan Ibnu „Uyaynah.

81 Al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, vol. 4, h. 294-318; Al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 287; Al „Asqalâni, Tahdzîb al Tahdzîb, vol. 2, h. 264-265; Al Mizzî, Tahdzîb al Kamâl fî Asmâ` al Rijâl, vol. 14, h. 28- 40. 111 e. Komentar kritikus hadis82 : No. Kritikus al Jarh wa al Ta‟dîl ِ ِ ِ Al Nasâ`î 1 ثَِقِةٌَِِِوقَِاَلَِِمِِ رةًِ:ِلَِْيِ َسِِبِالَِْقِِو ِيِ ِ لِِيِتِجِبِِوِ ,Ibnu Ma‟în 2 َ َُْ Abû Hâtim تِكِتِبِ ِِكِذِبِاِكِثِي ِِرا،ِلِوِِ ِشِئِتِِأَِنِِيِعِلِهِاِلِكِِ Yahya bin 3 َ ُْ ُ َ ً َ ًْ َْ ْ َ ْ ََََْ َ َ Sa‟îd ِ ٍ ُمَِالِد ُِكِلَِهِا ِ َعِنِ ِال شِْعِِِبِ، ِ َعِ ْنِ َِمِ ْسُِِرِْوقِ، ِ َعِ ْنِِ ِ ِ َعِْبِدِِاهللِ،ِفَ ِعَِ َلِ. ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ Ibnu Hajar 4 لَِْيِ َسِِبِالَِْقِِو ّيَِِِوقَِْدِِت َِغَِي َِرِِ ِفِآخِرِِعُِ ْمِِرهِ

Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat perbedaan penilaian kritikus hadis terhadap Mujâlid bin Sa‟îd. Ia dinilai tsiqah oleh al Nasâ`î tetapi di lain waktu ia .( ِ ِ ) mengkritiknya sebagai perawi yang tidak kuat لَِيِْ َسِِبِالَِْقِِو ِيِ Sighah ini menunjukkan jarh pertengahan, periwayatan hadisnya masih diterima tetapi tidak dapat menjadi hujjah dengan kesendiriannya.83 Ibnu Ma‟în, Abû Hâtim mengkritiknya tidak dapat dijadikan hujjah. Hal ini dimungkinkan karena keduanya merupakan kritikus mutasyaddid. Ibnu Hajar mengkritik ia perawi yang tidak .kuat ( ِ ِ ) dan berubah ingatannya di akhir usianya لَِْيِ َسِِبِالَِْقِِو ِيِ Yahya bin Sa‟îd mengkritik secara khusus jalur sanad Mujâlid dari al Sya‟bî dengan mengatakan Mujâlid banyak menulis kedustaan dan jika memungkinkan maka ia akan menulis semua hadisnya dari al Sya‟bî, dari Masrûq dari „Abdullâh. Berdasarkan pendapat tersebut, penulis

82 Al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, vol. 6, h. 284-286; Al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 520. 83 Syamsyuddîn Abî al Khair Muhammad bin „Abdirrahmân al Sakhâwî, Fath al Mughîts bi Syarh Alfiyah al Hadîts, (al Riyâd: Maktabah Dâr al Minhâj, 1426 H), vol. 2, h. 293-294. 112 menyimpulkan bahwa Mujâlid merupakan perawi da‟if sehingga hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah dan tidak dapat dijadikan i‟tibâr karena dimungkinkan ada kedustaan pada sanadnya. Tahun wafat Mujâlid menunjukkan bahwa ia semasa dengan al Sya‟bî sehingga pengakuan dan pernyataannya telah menerima hadis dari al Sya‟bî dapat dipercaya. Hal ini juga didukung dengan adanya hubungan guru-murid di antara keduanya. Dengan demikian, sanad Mujâlid dari al Sya‟bî muttasil (bersambung).

5. Abû ‘Aqîl a. Nama lengkapnya: „Abdullâh bin „Aqîl. Dikenal dengan Abû „Aqîl al Tsaqafî al Kûfî. b. Masa hidup dan tabaqah: Termasuk tabaqah ke-8. c. Guru-gurunya di antaranya: Mujâlid bin Sa‟îd, Hisyâm bin „Urwah, dan Mûsâ bin al Musayyab al Tsaqafî. d. Murid-muridnya di antaranya: Abû al Nadr Hâsyim bin al Qâsim, „Âsim bin „Alî, dan Suraij bin al Nu‟mân. e. Komentar kritikus hadis: Al Nasâ`î, Ahmad bin Hanbal, Abû Dâwud dan menilainya tsiqah. Ibnu Ma‟în menilainya munkar al hadîts tetapi dalam pendapat lainnya diketahui ia menilai tsiqah. Sedangkan Ibnu Hajar menilainya sadûq. Ibnu Hibbân menyebutkan namanya dalam al Tsiqât. 84

Dari penjelasan di atas, diketahui terdapat perbedaan penilaian kritikus hadis terhadap Abû „Aqîl. Al Nasâ`î sebagai kritikus mutasyaddid menilainya tsiqah, demikian juga pendapat yang sama oleh Ahmad bin Hanbal, Abû Dâwud, dan Ibnu Hibbân. Adapun pendapat

84 Al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 314; Al „Asqalâni, Tahdzîb al Tahdzîb, vol. 2, h. 387; Al Mizzî, Tahdzîb al Kamâl fî Asmâ` al Rijâl, vol. 15, h. 314-318; Al Bastî, Kitâb al Tsiqât, vol. 8, h. 344. 113 Ibnu Hajar menilainya sadûq (perawi lemah) dan Ibnu Ma‟în yang menilainya munkar al hadîts (merupakan sighah khusus Ibnu Ma‟în dan termasuk peringkat yang ke- 4 berdasarkan tingkatan sighah jarhnya, bermakna sifat bagi perawi yang hadisnya layak ditinggalkan85), tidak dapat didahulukan pendapatnya karena tidak disertai penjelasan jarh. Oleh karena itu, penulis cenderung mengikuti pendapat Ibnu Ma‟în yang menilai tsiqah pada Abû „Aqîl. Tahun wafat Abû „Aqîl tidak diketahui. Akan tetapi dilihat perbedaan tabaqah dengan Mujâlid bin Sa‟îd yang berselisih tiga tingkatan dan dengan dikuatkan adanya pertemuan guru-murid antara keduanya, maka sanad Abû „Aqîl dari Mujâlid adalah muttasil (bersambung).

6. Hâsyim bin al Qâsim a. Nama lengkapnya: Hâsyim bin al Qâsim al Laitsî al Khurâsânî al Baghdâdî, dikenal Abû al Nadr. b. Masa hidup dan tabaqah: Lahir pada tahun 134 H. Wafat saat berusia 73 tahun pada tahun 207 H. Termasuk tabaqah ke-10. c. Guru-gurunya di antaranya: Syu‟bah, Sufyân al Tsaurî, Mubârak bin Fadâlah, al Mas‟ûdî, Abû „Âqil, dan al Laits bin Sa‟d. d. Murid-muridnya di antaranya: Yahyâ bin Ma‟în, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Abî Syaibah, cucunya yaitu Abû Bakr bin Abî al Nadr, Abû Bakr al Sâghânî, dan Abû Bakr bin Abî Syaibah. e. Komentar kritikus hadis: Ibnu Ma‟în, Abû Hâtim, al „Ijlî, Ibnu al Madînî, Ibnu Sa‟d, Ahmad bin

85 Muhammad Abû al Laits al Khair Abadi, Mu‟jam Mustalahât al Hadîts wa „Ulûmih wa Asyhur al Musannifîn fîh, (Yordania: Dâr al Nafâ`is, 2009), h. 154. 114 Hanbal, dan Abû Hâtim menilainya tsiqah dan Ibnu Hajar menilainya tsiqah tsabtun.86

Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa kritikus hadis sepakat menilai Hâsyim bin al Qâsim sebagai perawi tsiqah. Tahun wafat Hâsyim menunjukkan bahwa ia semasa dengan Abû „Aqîl sehingga pengakuan dan pernyataannya telah menerima hadis dari Abû „Aqîl dapat dipercaya. Hal ini juga didukung dengan adanya hubungan guru-murid keduanya. Dengan demikian, sanad Hâsyim bin al Qâsim dari Abû „Aqîl muttasil (bersambung).

7. Abû Bakr a. Nama lengkapnya: Abû Bakr bin al Nadr bin Abî al Nadr Hâsyim bin al Qâsim al Baghdâdî. b. Masa hidup dan tabaqah: Wafat pada tahun 245 H. Termasuk tabaqah ke-11. c. Guru-gurunya di antaranya: kakeknya (Abî al Nadr Hâsyim bin al Qâsim), Ya‟qûb bin Ibrâhîm bin Sa‟d, dan Hajjâj bin Muhammad. d. Murid-muridnya di antaranya: Muslim, al Tirmidzî, al Nasâ`î, Abû Qudâmah, dan Ibnu Abî Khaitsamah. e. Komentar kritikus hadis: Ibnu Hibbân dan Ibnu Hajar menilainya tsiqah. Abû Hâtim menilainya sadûq.87

86 Al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, vol. 9, h. 545-549; Al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 570; Al „Asqalâni, Tahdzîb al Tahdzîb, vol. 4, h. 260-261; Al Mizzî, Tahdzîb al Kamâl fî Asmâ` al Rijâl, vol. 30, h. 129- 136. 87 Al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 624; Al „Asqalâni, Tahdzîb al Tahdzîb, vol. 4, h. 496-497; Al Mizzî, Tahdzîb al Kamâl fî Asmâ` al Rijâl, vol. 30, h. 149-151. 115 Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa Abû Bakr bin al Nadr merupakan perawi tsiqah. Hal ini didasarkan penilaian tsiqah oleh Ibnu Hibbân dan Ibnu Hajar. Penilaian sadûq dari Abû Hâtim tidak menurunkan status Abû Bakr dari perawi yang tsiqah karena sighah sadûq dari Abû Hâtim tersebut merupakan penilaian tsiqah pada seorang perawi.88 Tahun wafat Abû Bakr menunjukkan bahwa ia semasa dengan Hâsyim bin al Qâsim sehingga pengakuan dan pernyataannya telah menerima hadis dari Hâsyim dapat dipercaya. Hal ini dengan dikuatkan adanya pertemuan guru-murid antara keduanya, maka sanad Abû Bakr dari Hâsyim bin al Qâsim adalah muttasil (bersambung).

8. Ibnu Mâjah: biografinya sudah dijelaskan pada halaman 92. Akan tetapi dalam sanad hadis ini, tidak ditemukan hubungan guru-murid dengan Abû Bakr bin al Nadr bin Abî al Nadr.

Kesimpulan Kualitas Sanad 1. Dilihat dari kualitas, kapasitas, dan intelektual perawi, dapat disimpulkan bahwa dalam sanad di atas tsiqah kecuali Mujâlid bin Sa‟îd merupakan perawi da‟if. Oleh karena itu hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah dan tidak dapat dijadikan i‟tibâr karena dimungkinkan ada kedustaan pada sanadnya. 2. Adapun analisis ketersambungan sanad, dilihat dengan pendekatan tahun lahir dan wafat dan pertemuan guru dan murid89 ditemukan terputusnya sanad yaitu tidak ditemukan hubungan guru-murid Ibnû Mâjah dengan Abû Bakr bin al Nadr bin Abî al Nadr. Sedangkan analisis melalui pendekatan redaksi sanad (siyagh al

88 Abadi, Mu‟jam Mustalahât al Hadîts wa „Ulûmih wa Asyhur al Musannifîn fîh, h. 86. 89 Lihat tabel 4.1 pada lampiran 4. 116 tahammul wa al adâ`) menunjukkan adanya kemungkinan pertemuan antara satu perawi dengan perawi lainnya.90

Berdasarkan dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa sanad hadis Ibnu Mâjah di atas termasuk dalam hadis da‟îf dengan keda‟îfan yang kuat (al khata‟ al râjih) yang berkaitan dengan perawi yaitu al kidzb (kedustaan). Oleh karena itu, hadis al Ajda‟ adalah syaitan dengan sanad Ibnu Mâjah di atas tidak boleh dilakukan peningkatan hadis.

Pendapat Ahmad al Ghumârî al Munâwî menyampaikan keda‟îfan hadis al Ajda‟ Syaitân. Ia menambahkan bahwa keda‟îfannya adalah da‟îf yang ringan.91 Sedangkan Ahmad al Ghumârî, ia mentashîh hadis ini karena memiliki syawâhid dan tawâbi‟ meskipun tidak memenuhi syarat al Bukharî-Muslim atau dapat menjadi hasan. Akan tetapi, ia tidak menyetujui jika dihukumi sebagai hadis da‟îf. Pendapatnya merujuk pada perawi Mujâlid bin Sa‟îd sebagai salah satu perawi Muslim. Meskipun menurut al Dzahabî ia termasuk layyin tetapi (hadis yang sama) dalam riwayat al Hâkim melalui jalur Mujâlid dari „Âmir92. al Hâkim menjelaskan periwayatan-

90 Lihat tabel 4.2 pada lampiran 4. 91 Ahmad al Ghumârî, al Mudâwî li „Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî, vol. 3, h. 132. 92 Hadis yang dimaksud adalah: ِ ِ ِ َح دث َنَاِأَبُو ِالْعَب ا ِسِ ُُِمَ مُدِ ِبْ ُنِ ِي َْعُقو َبِ، ِث َنَاِا ْلَ َس ُنِ ِبْ ُنِ ِ َعل ِيِ ِبْنِ ِعَ فا َنِ ِالَْعامر يِ،ِ ٍِ ِ ٍ ٍ ِ ث َنَاِأَبُوِأُ َِاَمة،ِ َع ْنُِِمَالدِ،ِ َع ْنِِ َعامرِ،ِ َع ْنِ َم ْسُروقِ،ِقَاَل:ِ"قَدْم ُتِ َعلَىِعَُمَرِ،ِفَ َقاَلِ: َِماِ ِ ا ْسُ َك؟ِقُ ْل ُت:َِم ْسُروٌق،ِقَاَل:ِابْ ُنَِم ْن؟ِقُ ْل ُت:ِابْ ُنِالَ ْجَدِع،ِقَاَل:ِ"أَنْ ُتَِم ْسُرو ُقِِبْ ُنِ َعْبدِ 117 nya hanya diriwayatkan Mujâlid bin Sa‟îd dan tidak memuhi syarat dalam al Mustadraknya. Hal ini difahami Ahmad al Ghumârî bahwa perkataan al Hâkim tidak menunjukkan da‟îfnya hadis tersebut tetapi hanya dimaknai tidak memenuhi ketinggian kualitas dari sahîhnya suatu hadis dalam syarat al Bukharî-Muslim. 93

5. Hadis Khawarij adalah Anjing-Anjing Neraka Hadis ini tidak ditemukan termasuk hadis da‟îf populer di Indonesia. Akan tetapi, hadis ini terdapat pada kitab al Mudâwî dan ditashih Ahmad al Ghumârî sehingga diambil sebagai sampel untuk meneliti metode tashih hadis da‟îf nya.

Takhrij Hadis Setelah dilakukan penelitian terhadap hadis Khawarij adalah anjing-anjing neraka sesuai dengan batasan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, diketahui hadis tersebut diriwayatkan oleh mukharrij Ibnu Mâjah, Ahmad bin Hanbal, dan al Hâkim. Adapun yang akan diteliti adalah sanad berikut: ِ َح دث َنَاِأَبُوِبَ ْكرِِبْ ُنِِأَِبِِ َشْيبَةَِ،ِ َح دث َنَاِإ ِْ َحاقِاْلَْزَرُقِ، ِ َع ْنِِاْلَ ْعَم ِشِ،ِ ِ ﷺ ِ َع ْنِِابْ ِنِأَِبِِأَْوَفِِقَاَل،ِقَاَلَِرُِوُلِاللوِ :ِ"ا ْلََواِرُجِكَل ُبِالن ار".ِ 94

ِ ﷺ ِ ِ ال رْْحَنِ" َح دث َنَاَِرُِوُلِاللوِ ،ِ"أَ نِِالَ ْجَد َع:ِ َشْيطَا ٌن،ِقَاَل:َِوَكا َنِا ْسُوُِفِالِديَوان:ِ ِ َم ْسُرو َقِبْ َنِ َعْبدِال رْْحَنِ" Lihat: Al Naisâbûrî, al Mustadrak „ala al Sahîhain, vol. 4, h. 415. 93 Ahmad al Ghumârî, al Mudâwî li „Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî, vol. 3, h. 132-133. 94 Ibnu Mâjah al Qazwînî, al Sunan, Abwâb al Sunnah, Bâb fî Dzikri al Khawârij, hadis nomor 173, vol. 1, h. 119-120. Sanad lain ditemukan dalam Musnad Ahmad bin Hanbal: 118 Telah menceritakan kepada kami Abû Bakr bin Abî Syaibah, telah menceritakan kepada kami Ishâq al Azraq, dari al A‟masy, dari Ibnu Abî Aufâ ia telah berkata, telah berkata: “Khawarij adalah ﷺ berkata Rasûlullâh anjing-anjing neraka”.

ِ ِ ِ ِ َح دث َنَاِأَبُو ِالن ْضرِ، ِ َح دث َنَاِا ْلَ ْشَرُجِ ِبْ ُنِ ِن ُِبَاتَةَِ ِالَْعْبس يِ ِِ ُكو ِف ، ِ َح دثَِنِِ َِعيُدِ ِبْ ُنِ ِ ُُجَْها َنِ،ِ ِ ِ ِ ِ قَاَل:ِأَتَي ُتِِ َعْبَدِِاللوِِبْ َنِِأَِبِِأَْوَفَِِوُىَوَُِْم ُجو ُبِالْبَ َصر،ِفَ َسل ْم ُتِ َعلَْيو،ِقَاَلِِل:َِم ْنِأَنْ َت؟ِ ِ ِ ِ فَ ُقْل ُت:ِأَنَاِ َِعيُدِبْ ُنِ ُُجَْها َن،ِقَاَل:ِفََماِفَ َع َلَِوالُدَك؟ِقَاَل:ِقُ ْل ُت:ِقَ تَ لَْتوُِاْلََزارقَةُ،ِقَاَل:ِلََِع َنِ ِ ِ ﷺ ِ ِ الل وُِاْلََزارقَةَ،ِلََع َنِالل وُِاْلََزارقَةَ،ِ َح دث َنَاَِرُِوُلِ ِأَن ُه ْمِكَل ُبِالن ار،ِقَاَل:ِقُ ْل ُت:ِ ِ ِ ِ اْلََزارقَةَُِوْحَدُى ْمِأَْمِا ْلََواِرُجُِكلَها؟ِقَاَل:ِبَلِا ْلََواِرُجُِكلَها،ِقَاَل:ِقُ ْل ُت:ِفَإ نِال سِْلطَا َنِيَظْل ُمِ ِِ ِ ِ ِِ ِ الن ا َس،َِوي َْفعَ ُلِِب ْم،ِقَال:ِفَ تَ نَاَوَلِيَدي،ِفَ غََمَزَىاِبيَدهِ َغ ْمَزةًِ َشديَدةً،ُُِث ِقَاَل:َِوْيَ َكِيَاِابْ َنِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ُُجَْها َن،ِعَلَْي َكِبال سَوادِاْلَ ْعظَم،ِ َعلَْي َكِبال سَوادِاْلَ ْعظَم،ِإ ْنَِكا َنِال سْلطَا ُنِيَ ْسَمِ ُعِمنْ َك،ِ ِِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ فَأْتوِفِب َْيتو،ِفَأَ ْخ ِْبهُِِبَاِتَ ْعلَ ُم،ِفَإ ْنِقَب َلِمنْ َك،َِوإلِفََد ْعوُ،ِفَإن َكِلَ ْس َتِبأَ ْعلَ َمِمْنِوُ. Lihat: Ahmad bin Hanbal, Musnad al Imâm Ahmad bin Hanbal, Musnad al Kûfiyyîn, Hadîts „Abdullâh bin Abî Aufâ radiyallâhu „anhu, hadis nomor 19943, (Beirut: Dâr al Kutub al „Ilmiyyah, 2008), vol. 8, h. 20-21. ِ ِ ٍ ِ ِ ِ أَ ْخبَ َرّنِِا ْلَ َس ُنِِبْ ُنِِ َحكيمِِالَْمْرَوز يِ،ِأَنْ بَأَِِأَبُوِالُْمَوِجوِ،ِأَنْ بَأَِِ َعْبَدا ُنِ،ِأَنْ بَأَِِ َعْبُدِِاللوِِ ِ ِ ِ بْ ُنِِالُْمبَاَركِ،ِأَنْ بَأَِِ َح ْشَرُجِِبْ ُنِِن ُبَاتَةَِ،ِأَنْ بَأَِِ َِعيُدِِبْ ُنِِ ُُجَْها َنِ،ِقَاَل:ِأَتَ يْ ُتِِ َعْبَِدِِاللوِِبْ َنِِأَِبِِ ِ ِ ِِ ِ ِ أَْوَفِِ َصاح َبِالن ِِِبِ َصلىِاللوُِ َعلَْيوَِوآلوَِو َِل َم،ِفَ َسل ْم ُتِ َعلَيْوَِوُىَوَُِمْ ُجو ُبِالْبَ َصر،ِفَ َقاَلِ ِ ِ ِ ِ ِل:َِم ْنِأَنْ َت؟ِقُ ْل ُت:ِأَنَاِ َِعيُدِبْ ُنِ ُُجَْها َن،ِقَاَلِ:ِفََماِفَ َع َلَِوالُدَك؟ِق ُْل ُت:ِقَ تَ لَْتوُِِالََزارقَةُ،ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ قَاَلِ : "لََع َنِاللوُِالََزارقَةَ،ِ َح دث َنَاَِرُِوُلِاللوِ َصلىِاللوُِ َعلَْيوَِوآلوَِو َِل َمِأَن ُه ْمِكل ُبِالن ارِ" Lihat: Al Hâkim al Naisâbûrî, al Mustadrak „ala al Sahîhain, Kitâb Ma‟rifah al Sahâbah radiyallâhu „anhum, Dzikri „Abdillâh bin Abî Aufâ radiyallâhu „anhu, hadis nomor 6514, vol. 3, h. 703. 119 Skema Sanad Hasil i‟tibâr sanad dapat dilihat dalam skema sanad berikut:

(w. 11 H) ﷺ Rasûlullâh قال Ibnu Abî Aufâ (w. 86 H/ 88 H) ‘Abdullâh bin Abî Aufâ Sa’îd bin Jumhân عن al Hasyraj bin Nubâtah al al A’masy (w. 147 H/ 148 H) ‘Absî Kûfî Abû al Nadr ‘Abdullâh bin al Mubârak عن Ishâq al Azraq (w. 195 H) Ahmad bin Hanbal ‘Abdân Abû al Muwajih حدثنا Abû Bakr bin Abî Syaibah (w. 235 H) al Hasan bin Hakîm al Marwazî al Hâkim حدثنا Ibnu Mâjah (w. 273 H)

Biografi Perawi Hadis dan Kritik Sanad Adapun terkait biografi perawi hadis, maka disusun berdasarkan urutan teratas (Sahabat) sebagaimana sanad di atas. 1. Ibnu Abî Aufâ a. Nama lengkapnya: „Abdullâh bin Abî Aufâ, namanya adalah „Alqamah bin Khâlid bin al Hârits. b. Masa hidup dan tabaqah: Ia merupakan Sahabat yang terakhir meninggal di Kufah. Wafat pada tahun 86/ 88 H. .ﷺ c. Guru-gurunya di antaranya: Rasûlullâh d. Murid-muridnya di antaranya: Ibrâhîm bin Muslim al Hajarî, Ibrâhîm bin „Abdurrahmân al Siksakî, Ismâ‟îl bin Abî Khâlid, „Atâ` bin al Sâ`ib, al A‟masy, dan Talhah bin Musarrif.

120 e. Komentar kritikus hadis: Ibnu Hajar mengatakan Ibnu Abî Aufâ termasuk Sahabat yang menyaksikan perjanjian Hudaibiyah. Al Mizzî mengatakan Ibnu Abî Aufâ menyaksikan Bai‟ah al Ridwân. al Dzahabî menilainya faqîh. 95

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Ibnu Abî Aufâ „âdil, tsiqah, dan dâbit. Hal ini merupakan kesepakatan ahli hadis bahwa seorang Sahabat tidak diragukan keadilannya. Tahun wafat Ibnu Abî Aufâ ﷺ menunjukkan bahwa ia semasa dengan Rasûlullâh sehingga pengakuan dan pernyataannya telah menerima dapat dipercaya. Hal ini juga ﷺ hadis dari Rasûlullâh didukung dengan adanya hubungan guru-murid di antara keduanya. Dengan demikian, Ibnu Abî Aufâ dari .(adalah muttasil (bersambung ﷺ Rasûlullâh

2. al A’masy: biografinya sudah dijelaskan pada halaman 69. Pendapat khusus mengenai sanadnya dari Ibnu Abî Aufâ dijelaskan oleh al Dzahabî. Dikatakan bahwa al A‟masy belum bertemu secara langsung dengan Ibnu Abî Aufâ meskipun berada dalam satu negara dan pada saat Ibnu Abî Aufâ wafat, al A‟masy berusia sekitar 20 tahun.96 Abû Hâtim yang termasuk kritikus mutasyaddid menyatakan hal yang sama yaitu al A‟masy belum mendengar hadis dari Ibnu Abî Aufâ. 97 Adapun pada biografinya yang telah dijelaskan sebelumnya, ia dinilai tadlîs oleh Ibnu Hajar. Oleh karena itu, dapat

95 Al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, vol. 3, h. 428-429; Al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 296; Al „Asqalâni, Tahdzîb al Tahdzîb, vol. 2, h. 304-305; Al Mizzî, Tahdzîb al Kamâl fî Asmâ` al Rijâl, vol. 14, h. 317- 319. 96 Al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, vol. 3, h. 429. 97 Al „Asqalâni, Tahdzîb al Tahdzîb, vol. 2, h. 109-110. 121 disimpulkan bahwa sanad al A‟masy dari Ibnu Abî Aufâ merupakan periwayatan tadlîs karena tidak terbukti al A‟masy pernah mendengar hadis dari Ibnu Abî Aufâ. Pendapat penulis ini juga dikuatkan dengan periwayatan al A‟masy yang menggunakan sighah َعِ ْنِ ( tidak didukung sighah seperti ِ , , dan) اَِ ْخِبَ َِِرنَِا َحِ دِث َِنَِا َسِْعِ ُتِ sehingga tadlîs tetap dan tidak gugur. Dengan demikian, maka sanad al A‟masy dari Ibnu Abî Aufâ tidak dapat dijadikan hujjah karena terdapat tadlîs al isnâd sehingga sanadnya terputus meskipun ditemukan adanya pertemuan al A‟masy dengan Ibnu Abî Aufâ sebagai guru-murid dan dilihat dari tahun wafat terlihat hidup semasa sehingga pengakuan dan pernyataannya telah menerima hadis dari Ibnu Abî Aufâ terlihat dapat dipercaya.

3. Ishâq al Azraq a. Nama lengkapnya: Abû Muhammad Ishâq bin Yûsuf bin Mirdâs al Qurasyî al Makhzûmî al Wâsitî al Azraq. b. Masa hidup dan tabaqah: Lahir pada tahun 117 H dan wafat pada tahun 195 H saat berusia 87 tahun. Termasuk tabaqah ke-9. c. Guru-gurunya di antaranya: al A‟masy, Ibnu „Aun, Fudail bin Ghazwân, Mis‟ar bin Kidâm, Sufyân, dan Syarîk. d. Murid-muridnya di antaranya: Ahmad bin Hanbal, Abû Bakr bin Abî Syaibah, Yahyâ bin Ma‟în, Abû Ja‟far bin al Munâdî, Sa‟dân bin Nasr, dan Ahmad bin Manî‟. e. Komentar kritikus hadis: Ibnu Ma‟în, al „Ijlî, al Bazzâr, dan Ibnu Hajar menilai Ishâq al Azraq

122 tsiqah. Abû Hâtim mengatakan sahîh al hadîts, sadûq, lâ ba`sa bih. 98

Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa Ishâq al Azraq merupakan perawi tsiqah. Hal ini didasarkan penilaian tsiqah oleh banyak kritikus hadis dan penilaian dengan sighah sadûq dari Abû Hâtim juga berarti penilaian tsiqah pada seorang perawi.99 Tahun wafat Ishâq al Azraq menunjukkan bahwa ia semasa dengan al A‟masy sehingga pengakuan dan pernyataannya telah menerima hadis dari al A‟masy dapat dipercaya. Hal ini dengan dikuatkan adanya pertemuan guru-murid antara keduanya, maka sanad Ishâq al Azraq dari al A‟masy adalah muttasil (bersambung).

4. Abû Bakr bin Abî Syaibah a. Nama lengkapnya: „Abdullâh bin Muhammad bin Ibrâhîm bin „Utsmân, Abû Bakr bin Abî Syaibah. b. Masa hidup dan tabaqah: Wafat pada tahun 235 H. Termasuk tabaqah ke-12. c. Guru-gurunya di antaranya: Abû al Ahwas, Ibnu al Mubârak, Syarîk, Wakî‟, Ishâq bin Yûsuf al Azraq, Ibnu Numair, dan Ibnu „Uyainah. d. Murid-muridnya di antaranya: al Bukhârî, Muslim, Abû Dâwud, Ibnu Mâjah, dan Ahmad bin Hanbal. e. Komentar kritikus hadis: Abû Hâtim, Ibnu al Khirrâsy, al „Ijlî, Ibnu Hibbân menilai Abû Bakr

98 Al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, vol. 3, h. 171-172; Al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 104; Al „Asqalâni, Tahdzîb al Tahdzîb, vol.1, h. 304-305; Al Mizzî, Tahdzîb al Kamâl fî Asmâ` al Rijâl, vol. 2, h. 496-500. 99 Abadi, Mu‟jam Mustalahât al Hadîts wa „Ulûmih wa Asyhur al Musannifîn fîh, h. 86. 123 bin Abî Syaibah tsiqah dan Ibnu Hajar menilainya tsiqah hâfiz. 100

Berdasarkan penjelasan tersebut, disimpulkan bahwa Abû Bakr bin Abî Syaibah adalah perawi tsiqah. Hal ini didasarkan penilaian tsiqah oleh banyak kritikus hadis di atas. Tahun wafat Abû Bakr bin Abî Syaibah menunjukkan bahwa ia semasa dengan Ishâq al Azraq sehingga pengakuan dan pernyataannya telah menerima hadis dari Ishâq al Azraq dapat dipercaya. Hal ini dengan dikuatkan adanya pertemuan guru-murid antara keduanya, maka sanad Abû Bakr bin Abî Syaibah dari Ishâq al Azraq adalah muttasil (bersambung).

5. Ibnu Mâjah: biografinya sudah dijelaskan pada halaman 92.

Natîjâh al Sanad 1. Dilihat dari kualitas, kapasitas, dan intelektual perawi, dapat disimpulkan bahwa dalam sanad di atas tsiqah kecuali al A‟masy. Dalam sanad ini ia dinilai kuat melakukan tadlîs sehingga menyebabkan sanadnya munqati‟ (terputus) dan hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah. 2. Adapun analisis ketersambungan sanad, dilihat dari pendekatan tahun lahir dan wafat dan pertemuan antara guru dan murid101 ditemukan bahwa sanad hadis di atas adalah muttasil (bersambung). Adanya kemungkinan pertemuan antara satu perawi dengan perawi lainnya juga

100 Al „Asqalâni, Tahdzîb al Tahdzîb, vol. 2, h. 415-416; Al Mizzî, Tahdzîb al Kamâl fî Asmâ` al Rijâl, vol. 16, h. 34-42. 101 Lihat tabel 5.1 pada pada lampiran 5. 124 terlihat dalam analisis melalui pendekatan redaksi sanad (siyagh al tahammul wa al adâ`)102. Bertolak dari analisis di atas, disimpulkan bahwa sanad hadis Ibnu Mâjah di atas termasuk dalam hadis da‟îf dengan keda‟îfan yang ringan (al khata‟ al muhtamal) yang disebabkan tadlîs oleh al A‟masy. Sebab keda‟îfan tersebut dapat dihilangkan jika ditemukan riwayat lain yang dapat mentarjîhnya. Dengan demikian hadis Khawarij adalah anjing-anjing neraka dengan sanad Ibnu Mâjah di atas, diperbolehkan dilakukan peningkatan hadis. Sebagaimana pendapat mayoritas ahli hadis mengenai metode peningkatan hadis da‟îf, maka hadis ini dapat meningkat ke hadis hasan li ghairihi jika ditemukan sanad lain yang dapat menguatkannya.

Pendapat Ahmad al Ghumârî Adapun Ahmad al Ghumârî, ia menyatakan hadis ini sahih yang tidak ada cela di dalamnya. Hadis dengan sanad di atas, menurutnya benar adanya hadis ini termasuk hadis munqati‟ karena tidak dapat dipastikan al A‟masy mendengarnya langsung dari Ibnu Abî Aufâ. Akan tetapi, terdapat sanad lain yang sahîh penyampaian periwayatannya melalui Sa‟îd bin Jumhân.103 Selain itu, ia juga menyebutkan jalur-jalur lain yang dianggap dapat meningkatkan kualitas hadis tersebut.104

102 Lihat tabel 5.2 pada pada lampiran 5. 103 Hadis yang dimaksud adalah hadis dalam Musnad Ahmad bin Hanbal (lihat footnote nomor 94, halaman 119). Setelah dilakukan penelusuran hubungan guru-murid, tidak ditemukan hubungan murid Ibnu Abî Aufâ dengan Sa‟îd bin Jumhân. Akan tetapi, ditemukan hubungan guru Sa‟îd bin Jumhân ke Ibnu Abî Aufâ meskipun Ibnu Hajar mengkritiknya sebagai perawi lemah yang dinilai dengan sighah . (lihat: Al „Asqalânî, َصُِدِِْوٌقِ Taqrîb al Tahdzîb, h. 234; Al „Asqalâni, Tahdzîb al Tahdzîb, vol. 2, h. 11). 104 Ahmad al Ghumârî, al Mudâwî li „Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî, vol. 3, h. 386-387. 125

6. Hadis Obat Segala Penyakit bagi yang Berbekam pada Tanggal 17, 19, atau 21 Hadis ini tidak ditemukan termasuk hadis da‟îf populer di Indonesia. Akan tetapi, hadis ini terdapat pada kitab al Mudâwî dan ditashih Ahmad al Ghumârî sehingga diambil sebagai sampel untuk meneliti metode tashih hadis da‟îf nya.

Takhrij Hadis Setelah dilakukan penelitian terhadap hadis obat segala penyakit bagi yang berbekam pada tanggal 17, 19, atau 21 sesuai dengan batasan masalah dalam penelitian ini, diketahui hadis tersebut diriwayatkan oleh mukharrij Abû Dâwud dan al Hâkim. Adapun yang akan diteliti adalah ِ ِ ِ ِ ِ َح دث َنَاِأَبُوِتَ ْوبَةَِِال ربي ُعِِبْ ُنِِنَافٍعِ،ِ َح دث َنَاِ َِعيُدِِبْ ُنِِ َعْبدِِال رْْحَ ِنِا ْْلَُمح يِ،ِ ِ ِ ِ ﷺ َع ْنِِ َُِهْيٍلِ،ِ َع ْنِِأَبيوِ،ِ َع ْنِِأَِبُِِىَريْ َرةَِ،ِقَاَل:ِقَاَلَِرُِوُلِاللوِ :ِ"َمِ ِنِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ا ْحتَ َج َمِل َسْب َعِ َع ْشَرَةِ،َِوت ْس َعِ َع ْشَرةَ،َِوإ ْحَِدىَِوع ْشري َن،َِكا َنِشَفاءًِم ْنُِك ِلِ ٍ 105 َداءِ".

105 Abû Dâwud, Sunan Abî Dâwud, Kitâb al Tîb, Bâb Matâ Tustahab al Hijâmah, hadis nomor 3861, vol. 4, h. 127. Adapun jalur sanad lain ditemukan dalam al Mustadrak „ala al Sahîhain berikut: ٍِ ِ ِ ِ أَ ْخبَ َرنَاِا ْلُ َسُْيِبْ ُنِا ْلَ َس ِنِبْ ِنِأَي و َبِِ،ِث َنَاِأَبُوِ َحا ِتِال راز يِِ،ِث َنَاِأَبُوِتَ ْوبَةَِِال ربي ُعِِبْ ُنِِنَافٍعِِ،ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ث َنَاِ َِعيُد ِبْ ُن ِ َعْبد ِال رْْحَ ِن ِا ْْلَُمح يِِ، ِ َع ْنِِ َُِهْيِلِ ِبْنِ ِأَِبِ ِ َصال ٍحِِ، ِ َع ْن ِأَبيو ِ، ِعَ ْنِِأَِبِِ ِ ِ ِ ِِ ِ ُىَريْ َرةَِِ،ِ -َرض َيِاللوُِ َعنْوُِ-ِقَاَلِ:ِقَاَلَِرُِوُلِاللوِ-ِ َصلىِاللوُِِعَلَْيوَِوآلوَِو َِل َمِ " : َمنِِ ِ ِ ِ ِ ِ ٍ ا ْحتَ َج َمِِل َسْب َعِِ َع ْشَرةَِِم َنِِال شْهرِ ِِ َكا َنِِلَوُِِشَفاءٌِِم ْنِ ِِ ُكلَِِداءِِ " ِ al Hâkim mengatakan hadis ini sahîh sanadnya meskipun tidak diriwayatkan oleh al Bukhârî dan Muslim. Lihat: al Hâkim al Naisâbûrî, al Mustadrak „ala al Sahîhain, Kitâb al Tîb, hadis nomor 7556, vol. 4, h. 334. 126 Telah menceritakan kepada kami Abû Taubah al Rabî‟ bin Nâfi‟, telah menceritakan kepada kami Sa‟îd bin „Abdirrahmân al Jumahî, dari Suhail, dari ayahnya, dari :ﷺ Abû Hurairah, ia berkata: telah berkata Rasûlullâh “Barangsiapa yang berbekam pada tanggal 17, 19, atau 21, maka ia menjadi obat bagi segala macam penyakit”.

Skema Sanad Hasil i‟tibâr sanad dapat dilihat dalam skema sanad berikut

(w. 11 H) ﷺ Rasûlullâh

قال

Abû Hurairah (w. 59 H)

عن Abû Sâlih al Sammân (w. 101 H)

عن

Suhail bin Abî Sâlih

عن Sa’îd bin ‘Abdirrahmân al Jumahî (w. 176 H) حدثنا Abû Taubah al Rabî’ bin Nâfi’ (w. 241 H) حدثنا

Abû Dâwud (w. 275 H) Abû Hâtim al Râzî al Husain bin al Hasan bin Ayyûb al Hâkim

127 Biografi Perawi Hadis dan Kritik Sanad Adapun terkait biografi perawi hadis, maka disusun berdasarkan urutan teratas (Sahabat) sebagaimana skema sanad di atas.

1. Abû Hurairah a. Nama lengkapnya: Abû Hurairah al Dûsî al Yamânî. Terdapat perbedaan pendapat mengenai nama aslinya. Akan tetapi, menurut al Dzahabî pendapat yang paling kuat ialah „Abdurrahmân bin al Sakhr. b. Masa hidup dan tabaqah: Wafat pada tahun 59 H saat berusia 78 tahun. Termasuk Sahabat. ,ﷺ c. Guru-gurunya di antaranya: Rasûlullâh Ubay, Abû Bakr, „Umar, Usâmah, „Â`isyah, dan al Fadl. d. Murid-muridnya di antaranya: para sahâbah dan tâbi‟în yang dikatakan sekitar 800 orang, di antaranya yaitu Anas bin Mâlik, Hafs bin „Âsim bin „Umar, Abû Sâlih al Sammân, dan Sa‟îd al Maqburî. e. Komentar kritikus hadis: al Bukhârî mengatakan bahwa sekitar 108 perawi atau lebih dari ahlu al „ilmi dari Sahabat, Tabi‟in, dan lainnya telah mengambil periwayatan dari Abû Hurairah. Al Mizzî menyatakan hâfiz al sahâbah. Ibnu Hajar mengatakan al sahâbî al jalîl hâfiz al sahâbah. 106

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Abû Hurairah „âdil, tsiqah, dan dâbit. Hal ini merupakan kesepakatan ahli hadis bahwa seorang Sahabat tidak

106 Al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, vol. 2, h. 578-626; Al Mizzî, Tahdzîb al Kamâl fî Asmâ` al Rijâl, vol. 34, h. 366-379; Al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 680. 128 diragukan keadilannya. Tahun wafat Abû Hurairah ﷺ menunjukkan bahwa ia semasa dengan Rasûlullâh sehingga pengakuan dan pernyataannya telah menerima dapat dipercaya. Hal ini juga ﷺ hadis dari Rasûlullâh didukung dengan adanya hubungan guru-murid di antara keduanya. Dengan demikian, sanad Abû Hurairah dari .(adalah muttasil (bersambung ﷺ Rasûlullâh

2. Abîhi (ayah Suhail) : tidak diketahui identitasnya (mubham).107

3. Suhail bin Abî Sâlih a. Nama lengkapnya: Abû Yazîd al Madanî. b. Masa hidup dan tabaqah: Termasuk tabaqah ke-4. c. Guru-gurunya di antaranya: ayahnya Abû Sâlih Dzakwân al Sammân, Ibnu Syihâb, „Abdullah bin Dînâr, dan „Atâ` bin Yazîd al Laitsî. d. Murid-muridnya di antaranya: al A‟masy, Rabî‟ah, Mûsâ bin „Uqbah, „Ubaidullâh bin „Umar, Sa‟îd

107 Al Tahânawî dalam Qawâ‟id fî „Ulûm al Hadîts menjelaskan bahwa majhûl terbagi menjadi dua yaitu karena sebab mubham atau selain mubham. Adapun mubham adalah seseorang yang terlihat dalam hadis tetapi nama jelasnya tidak disebutkan. Ibnu Salâh membaginya menjadi empat yaitu nama samar seperti rajul/ imra`ah; nama yang dilambangkan seperti ibnu fulân, ibnatu fulân, ibnu al fulânî; „ammu fulân, „ammah fulân; zauju fulân, zaujah fulân. Perawi mubham ini dapat terjadi karena tidak disebutkan namanya atau disebutkan namanya tetapi tidak dijelaskan siapa sebenarnya yang dimaksud dengan nama tersebut. Sedangkan majhûl karena selain mubham dapat terjadi karena majhûl al „ain dan majhûl al hâl. Majhûl al „ain terjadi saat nama perawi disebutkan dengan jelas tetapi al „adâlahnya tidak dikenal dan hanya terdapat seorang perawi tsiqah yang meriwayatkan hadisnya. Adapun majhûl al hâl terjadi saat perawi dikenal al „adâlah dan dabtnya tetapi penilaian tersebut belum disepakati. Lihat: Zafar Ahmad al „Utsmânî al Tahânawî, Qawâ‟id fî „Ulûm al Hadîts, 3th.ed., (Beirut: Maktabah al Matbû‟ât al Islâmiyyah, 1972), h. 203; „Itr, „Ulumul Hadis, h. 154; Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, h. 196-199. 129 bin „Abdirrahmân al Jumahî, Syu‟bah, dan Sufyân al Tsaurî. e. Komentar kritikus hadis108: No. Kritikus al Jarh wa al Ta‟dîl ِ ِِ Abû Hâtim 1 يُِ ْكِتَِ ُبِِ َحِدِيْ ِثُِوَُِِِوَلُِِْيِتَِجِبِوِ ِ ِ ِ ِ Ibnu Ma‟în 2 - لَِْيِ َسِِ َحِدِيْ ِثَ ُِهَِمِاِ) َحِدِيِْ ُثِِ ًُِهِْيِلِِِبِْنِِأَِبِِ ِ ِ ِ ِ ِ ٍ َصِالِ ِحَِِِوالَِْعَِلِءِِبِْ ِنِعَِْبِدِِالِ رْْحَِانِ( ِبُِ جِةِ ِ ِ ِ ِ ِِ - َلِِْي ََِِزْلِِأَِ ْصِ َحِاُِبِا ِْلَدِيِْثِِي َِت ُِقِِْوَنِِِبَِدِيِْثِوِ،ِ ِ َضِعِْيِ ٌفِ ِ ِِ Al Nasâ`î 3 لَِْيِ َسِِبِوِِبَِأِْ ٌسِ ِ ِ ِِ ِ Ibnu „Adî 4 َِوُىَِوِِعِْنِدِيِث َِبِْ ٌتَِِلِِبَِأِْ َسِِبِوَِِمِْقِبُ ِِْوُلِِاْلَِ ْخِبَِارِ ثِِقِةِ Al „Ijlî dan 5 ٌَ Ibnu Hibbân ِ ِ ِ ِ ِ ِ Al Dzahabî 6 َكِا َنِِمِ ْنِ ِِكِبَِارِِا ِْلُ فِاظِِلَِكِنِ وَُِِمَِِر ٌضِِ َغِي َِر ْتِِمِ ْنِِ ِحِْفِ ِظوِ ِ ِ ٍ Ibnu Hajar 7 َصُِدِِْوٌقِِتَ ِغَِي َِرِِ ِحْفِظَِوُِِِبأَ َخَرِة Berdasarkan uraian di atas, ditemukan perbedaan penilaian terhadap Suhail bin Abî Sâlih. Berdasarkan keterangan tersebut, maka penilaian positif (ta‟dîl) dari al „Ijlî, Ibnu Hibbân, al Nasâ`î, dan Ibnu „Adî harus didahulukan dari penilaian negatif (jarh) dari Ibnu Ma‟în dan Abû Hâtim yang menilai hadis Suhail tidak dapat dijadikan hujjah karena penilaian jarhnya tidak dijelaskan sebabnya. Sedangkan penilaian Ibnu Ma‟în pada Suhail yang mengungkapkan bahwa ahli hadis tidak memelihara

108 Al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, vol. 5, h. 458-461; Al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 259; Al „Asqalâni, Tahdzîb al Tahdzîb, vol. 2, h. 128-129; Al Mizzî, Tahdzîb al Kamâl fî Asmâ` al Rijâl, vol. 12, h. 223- 228. 130 hadisnya dan da‟îf, maka pendapat ini dimungkinkan terjadi saat hafalannya telah berubah.109 Adapun al Nasâ`î yang termasuk mutasyaddid, ia menilai Suhail laisa bihi ba`sun yang bermakna perawi yang tidak bermasalah. Pendapat ta‟dîl juga diungkapkan al „Ijlî, Ibnu Hibbân, dan Ibnu Sa‟d dengan menilai Suhail tsiqah, meskipun dimungkinkan karena sikap keduanya yang mutasâhil (longgar). Bertolak dari hal tersebut, maka penulis lebih cenderung kepada penilaian tsiqah terhadap Suhail. Adapun pendapat jarh dari Ibnu Hajar yaitu Suhail dinilai perawi lemah (sadûq) dan hafalannya telah berubah di akhir usianya. Al Dzahabî juga memiliki penilaian yang sama dengan Ibnu Hajar (berubah hafalan Suhail) sejak Suhail sakit. Sebelum Suhail sakit, al Dzahabî menilainya kibâr al huffaz. Setelah dilakukan penelusuran lebih lanjut, mayoritas ahli hadis (selain al Bukhârî) tetap berhujjah dengan hadis Suhail. Sanad Suhail bin Abî Sâlih dari ayahnya terputus karena ayahnya tidak diketahui identitasnya (mubham).

4. Sa’îd bin ‘Abdirrahmân al Jumahî a. Nama lengkapnya: Sa‟îd bin „Abdirrahmân bin „Abdillâh bin Jamîl bin „Âmir bin Khidzyam al Jumahî. b. Masa hidup dan tabaqah: Wafat tahun 176 H pada usia 72 tahun. Termasuk tabaqah ke-8. c. Guru-gurunya di antaranya: Abû Hâzim bin Dînâr, Hisyâm bin „Urwah, Suhail bin Abî Sâlih, „Abdirrahmân al Qâsim, dan „Ubaidillâh bin „Umar.

109 al Bukhârî diketahui tidak berhujjah dengan Suhail tetapi hanya meriwayatkan hadisnya maqrûnan bi ghairih (diriwayatkan bersandingan dengan sanad lain dari perawi tsiqah). Lihat: „Alâ`uddîn „Alî Ridâ, Nihâyah al Ightibât bi Man Rumiya min al Ruwâh bi Ikhtilât, (Kairo: Dâr al Hadîts, 1988), h. 164; Al „Asqalâni, Tahdzîb al Tahdzîb, vol. 2, h. 129. 131 d. Murid-muridnya di antaranya: al Laits bin Sa‟d, Ibnu Wahb, Abû Taubah, Sâlih bin Ruzaiq, dan „Alî bin Hujr. e. Komentar kritikus hadis: Ibnu Numair, Mûsâ bin Hârûn, al „Ijlî, al Hâkim menilainya tsiqah. Abû Hâtim menilainya sâlih. Al Nasâ`î menilainya lâ ba`sa bih. Ibnu Hajar menilainya dengan ِ ِ “ ,mengatakan َصُِدِِْوٌقِ ِلَِوُِ ِأَِِْوَىِامٌِ َِِوأَِفْ َِِر َطِ ِابِْ ُنِ ِحِبِ ان ِفِ ِ 110.” ِ ِِ تَِ ْضِعِْيِفِوِ

Berdasarkan uraian di atas, ditemukan perbedaan penilaian kritikus hadis terhadap Sa‟îd bin „Abdirrahmân al Jumahî. Abû Hâtim yang termasuk mutasyaddid menilainya sâlih. Penilaian tsiqah diungkapkan oleh Ibnu Numair, Mûsâ bin Hârûn, al „Ijlî, al Hâkim. Pendapat Ibnu Hajar dengan penilaian sadûq lahu auhâm yang dekat kepada jarh tidak dapat didahulukan karena tidak dijelaskan sebabnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan Sa‟îd bin „Abdirrahmân al Jumahî dapat dijadikan hujjah. Tahun wafat Sa‟îd bin „Abdirrahmân al Jumahî menunjukkan bahwa ia semasa dengan Suhail bin Abî Sâlih sehingga pengakuan dan pernyataannya telah menerima hadis dari Suhail dapat dipercaya. Hal ini juga didukung dengan adanya hubungan guru-murid di antara keduanya. Dengan demikian, Sa‟îd bin „Abdirrahmân al Jumahî dari Suhail bin Abî Sâlih adalah muttasil (bersambung).

5. Abû Taubah a. Nama lengkapnya: al Rabî‟ bin Nâfi‟, Abû Taubah al Halbî.

110 Al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 238; Al „Asqalâni, Tahdzîb al Tahdzîb, vol. 2, h. 30. 132 b. Masa hidup dan tabaqah: Lahir tahun 150 H. Wafat pada tahun 241 H. Termasuk tabaqah ke- 12. c. Guru-gurunya di antaranya: Mu‟âwiyah bin Sallâm, Muhammad bin Muhâjir, Sa‟îd bin „Abdirrahmân al Jumahî, al Haitsam bin Humaid, Syarîk, dan Ibnu al Mubârak. d. Murid-muridnya di antaranya: Abû Hâtim, Abû Dâwud, Ahmad bin Khulaid al Halbî, dan Ahmad bin Hanbal. e. Komentar kritikus hadis: Abû Taubah dinilai Abû Hâtim tsiqah sadûq hujjah, Ibnu Hibbân tsiqah, dan Ibnu Hajar tsiqah hujjah „âbid. Al Nasâ`î menilainya lam yakun bihi ba`sun. 111

Berdasarkan uraian di atas, Abû Hâtim yang termasuk mutasyaddid menilainya tsiqah sadûq hujjah. Penilaian tsiqah dari kritikus hadis mutasyaddid harus didahulukan karena ia sangat berhati-hati dalam memberikan penilaian terhadap perawi selama tidak ditemukan penilaian al jarh al mufassar dari kritikus hadis. Penulis lebih cenderung kepada penilaian Abû Hâtim karena sejalan dengan penilaian tsiqah dari Ibnu Hajar dan Ibnu Hibbân. Adapun penilaian al Nasâ`î lam yakun bihi ba`sun mengindikasikan perawi tersebut tidak bermasalah. Tahun wafat Abû Taubah menunjukkan ia semasa dengan Sa‟îd bin „Abdirrahmân al Jumahî sehingga pernyataannya telah menerima hadis dari Sa‟îd bin „Abdirrahmân al Jumahî dapat dipercaya. Hal ini juga didukung adanya hubungan guru-murid keduanya. Dengan demikian, sanad Abû Taubah dari

111 Al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, vol. 10, h. 653-654; Al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 207; Al „Asqalâni, Tahdzîb al Tahdzîb, vol. 1, h. 595-596. 133 Sa‟îd bin „Abdirrahmân al Jumahî adalah muttasil (bersambung).

6. Abû Dâwud a. Nama lengkapnya: Sulaimân bin al Asy‟ats bin Syaddâd bin „Amrû bin „Âmir, Abû Dâwud al Sijistânî. b. Masa hidup dan tabaqah: Lahir pada tahun 202 H. Wafat pada tahun 275 H. Termasuk tabaqah ke- 15. c. Guru-gurunya di antaranya: Sa‟îd bin Sulaimân, Abû al Walîd al Tayâlisî, Abû Taubah al Rabî‟ bin Nâfi‟, Qutaibah bin Sa‟îd, dan „Alî bin al Madînî. d. Murid-muridnya di antaranya: Abû „Îsâ, al Nasâ`î, Muhammad bin Ja‟far al Firyâbî, dan Abû Bakr bin Abî al Dunyâ. e. Komentar kritikus hadis: Ibnu Hajar menilainya tsiqah hâfiz. Al Hâkim menyatakan Abû Dâwud imâm ahli al hadîts fî „asrihî.112

Berdasarkan pernyataan, pujian, dan komentar kritikus hadis terhadap Abû Dâwud, maka disimpulkan ia adalah seorang yang tsiqah. Tahun wafat Abû Dâwud dan Abû Taubah menunjukkan keduanya semasa sehingga pernyataannya telah menerima hadis dari Abû Taubah dapat dipercaya. Hal ini juga didukung hubungan guru- murid keduanya. Dengan demikian, sanad Abû Dâwud dari Abû Taubah muttasil (bersambung).

112 Al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, vol. 13, h. 203-221; Al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 250; Al „Asqalâni, Tahdzîb al Tahdzîb, vol. 2, h. 83-85; Al Mizzî, Tahdzîb al Kamâl fî Asmâ` al Rijâl, vol. 11, h. 355- 367. 134 Kesimpulan Kualitas Sanad 1. Dilihat dari kualitas, kapasitas, dan intelektual perawi, dapat disimpulkan bahwa dalam sanad di atas tsiqah kecuali Abîhi (ayahnya Suhail) yang tidak diketahui identitasnya (mubham). 2. Setelah ditelusuri hubungan ketersambungan sanad antar perawi baik melalui dengan analisis pendekatan tahun lahir maupun wafat dan pertemuan antara guru- murid113, maka sanad hadis ini terputus (munqati‟) karena ayahnya Suhail tidak diketahui identitasnya. Demikian juga dalam analisis melalui pendekatan redaksi sanad (siyagh al tahammul wa al adâ`)114.

Pada sanad hadis Abû Dâwud ini, terdapat perawi yang tidak diketahui identitasnya yaitu ayah Suhail. Keadaan tersebut mengakibatkan sanad hadis terputus (munqati‟) dan termasuk dalam hadis da‟îf yaitu hadis majhûl karena mubham dengan keda‟îfan yang ringan (al khata‟ al muhtamal). Sebab keda‟îfan tersebut dapat dihilangkan jika ditemukan riwayat lain yang dapat mentarjîhnya. Dengan demikian hadis obat segala penyakit bagi yang berbekam pada tanggal 17, 19, atau 21 di atas, diperbolehkan dilakukan peningkatan hadis. Sebagaimana pendapat mayoritas ahli hadis mengenai metode peningkatan hadis da‟îf, maka hadis ini dapat meningkat ke hadis hasan li ghairihi jika ditemukan sanad lain yang dapat menguatkannya.

Pendapat Ahmad al Ghumârî Dalam kitab al Mudâwî, Ahmad al Ghumârî mengutip pernyataan al Munâwî yang menilai hadis tersebut da‟îf disebabkan jarh Suhail dan adanya perawi majhûl dengan penyebutan abîhi. Ahmad al Ghumârî

113 Lihat tabel 6.1 pada pada lampiran 6. 114 Lihat tabel 6.2 pada pada lampiran 6. 135 membantahnya karena semua perawi dalam sanad ini merupakan perawi Muslim. Oleh karenanya, ia menilai hadis ini sahîh. 115

7. Hadis Anjuran Mempermudah dan Tidak Mempersulit Hadis ini tidak ditemukan termasuk hadis da‟îf populer di Indonesia. Akan tetapi, hadis ini terdapat pada kitab al Mudâwî dan ditashih Ahmad al Ghumârî sehingga diambil sebagai sampel untuk meneliti metode tashih hadis da‟îf nya.

Takhrij Hadis Hadis yang dimaksud terdapat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal berikut: ِ ٍ َح دث َنَاِ َعْبُدِِال ر زاقِ،ِقَاَل:ِأَ ْخبَ َرنَاِ ُِْفيَا ُنِ،ِ َع ْنِِلَْيثِ،ِ َع ْنِِطَاُو ٍسِ،ِ ِ ﷺ ِ َع ِنِابْ ِن ِ َعب ا ٍسِ، ِقَاَل: ِقَاَل َِرُِوُل ِاللو ِ : ِ" َعل ُموا، َِويَ ِسُروا، َِوَلِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ت َُع ِسُراِ،َِوإذَاِ َغضْب َتِفَا ِْ ُك ْت،َِوإذَاِ َغضْب َتِفَا ِْ ُك ْت،َِوإذَاِ َغضْب َتِ 116 فَا ِْ ُك ْتِ" .

115 Ahmad al Ghumârî, al Mudâwî li „Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî, vol. 6, h. 56. 116 Lihat: Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad al Imâm Ahmad bin Hanbal, Tatimmah Musnad „Abdullâh bin „Abbâs, hadis nomor 2556, (Beirut: Mu`assasah al Risâlah, 1995), vol. 4, h. 338. Jalur sanad lainnya juga disebutkan Ahmad bin Hanbal melalui Laits dalam musnadnya yaitu: ِ ِ َح دث َنَاُُِمَ مُدِ ِبْ ُنِ ِ َجْعَفٍرِ، ِ َح دث َنَاِ ُشْعبَةُِ، ِقَاَل: ِ َسْع ُتِِلَْيثًا، ِقال: ِ َسْع ُتِِطَاُو ًِاُِيَِدِ ُث،ِ ﷺ ِ ِ َع ِنِابْ ِنِ َعب ا ٍسِ،ِعَ ِنِالن ِِِبِ ،ِأَن وُِقَاَلِ : " َعل ُمواِ،َِويَ ِسُرواِ،َِوَلِت َُع ِسُرواِ،َِوإذَاِ ِ " َغض َبِأَ َحُدُك ْمِفَ ْليَِ ْس ُك ْتِ Lihat: Ahmad bin Hanbal, Musnad al Imâm Ahmad bin Hanbal, Tatimmah Musnad „Abdullâh bin „Abbâs, hadis nomor 2136, vol. 4, h. 39. 136 Telah menceritakan kepada kami „Abdulrazzâq, telah menceritakan kepada kami Sufyân, dari Laits, dari Tâwus, dari Ibnu „Abbâs, ia berkata: telah berkata Mengajarlah, permudah, dan jangan“ :ﷺ Rasûlullâh persulit, dan jika engkau marah maka diamlah, dan jika engkau marah maka diamlah, dan jika engkau marah maka diamlah”. Skema Sanad Hasil i‟tibâr sanad dapat dilihat dalam skema sanad berikut: (w. 11 H) ﷺ Rasûlullâh قال Ibnu ‘Abbâs (w. 67 H/ 68 H) عن Tâwus (w. 105 H/ 106 H) عن Laits (w. 148 H) عن Sufyân (w. 161 H) Syu’bah Muhammad bin Ja’far أخِبنا ‘Abdulrazzâq (w. 126 H) Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) حدثنا Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)

Biografi Perawi Hadis dan Kritik Sanad Adapun terkait biografi perawi hadis, maka disusun berdasarkan urutan teratas (Sahabat) sebagaimana skema sanad di atas.

137 1. Ibnu ‘Abbâs: biografinya sudah dijelaskan pada halaman 67. 2. Tâwus a. Nama lengkapnya: „Abdullâh bin Tâwus bin Kaisân al Yamanî, Abû „Abdirrahmân al Fârisî, atau dikenal dengan Tâwus bin Kaisân al Yamânî. b. Masa hidup dan tabaqah: Lahir pada masa khalifah „Utsmân bin „Affân. Wafat di Mekah pada tahun 105 H/ 106 H. Termasuk tabaqah ke-2 (Tabi‟in). c. Guru-gurunya di antaranya: Zaid bin Tsâbit, „Â`isyah, Abû Hurairah, Ibnu „Abbâs, dan Zaid bin Arqam. d. Murid-muridnya di antaranya: „Atâ`, Mujâhid, anaknya „Abdullâh, Ibnu Syihâb, Laits bin Abî Sulaim, dan Hanzalah bin Abî Sufyân. e. Komentar kritikus hadis: Ibnu Ma‟în, Abû Hâtim, al Nasâ`î menilai Tâwus tsiqah dan Ibnu Hajar menilainya tsiqah faqîh fâdil.117

Berdasarkan penelusuran pendapat kritikus hadis di atas, disimpulkan bahwa Tâwus adalah seorang perawi yang tsiqah. Tahun wafat Tâwus dan Ibnu „Abbâs menunjukkan bahwa keduanya semasa sehingga pengakuan dan pernyataannya telah menerima hadis dari Ibnu „Abbâs dapat dipercaya. Dengan demikian, sanad Tâwus dari Ibnu „Abbâs muttasil (bersambung).

3. Laits a. Nama lengkapnya: Laits bin Abî Sulaim bin Zunaim al Qurasyî.

117 Al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, vol. 5, h. 38-49; Al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 281; Al „Asqalâni, Tahdzîb al Tahdzîb, vol. 2, h. 235; Al Mizzî, Tahdzîb al Kamâl fî Asmâ` al Rijâl, vol.15, h. 130-132. 138 b. Masa hidup dan tabaqah: Wafat pada tahun 148 H dan termasuk tabaqah ke-6. c. Guru-gurunya di antaranya: Tâwus, Mujâhid, „Atâ`, „Ikrimah, dan Nâfi‟. d. Murid-muridnya di antaranya: al Tsaurî, Syaibân bin „Abdirrahmân, Syu‟bah bin al Hajjâj, Syarîk, dan „Abdullâh bin Idrîs. e. Komentar kritikus hadis118: No. Kritikus al Jarh wa al Ta‟dîl ِ ِ ِ Ibnu Ma‟în 1 َضِعِْيِ ٌفِِإِلِِأَِنِ وُِِيُ ْكِتَِ ُبِِ َحِدِيْ ِثُِوُِ ِ ِ Abû Hâtim 2 ُمِ ْضِطَِِِر ُبِِا ِْلَدِيِْثِ ِ ِ Ibnu „Adî 3 لَِوُِ ِأَِ َحِادِيِْ ُثِ ِ َصِا ِلَةٌِ َِِوقَِْدِ َِِرَِوى ِعَِْنِوُِ ِ ُشِْعِبَِةٌِِ ِ ِ ِ ِ ِ َِوالثِ ِْوِري َِِوَمِ َعِ ِال ضِْعِفِ ِالِذِي ِفِيِْوِ ِيُِ ْكِتَِ ُبِِ ِ َحِدِيْ ِثُِوُِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ Ibnu Hibbân 4 اِ ْخِتَ ِلَِ َُِِفِِآخِرِِعُِ ْمِِرهِِفَِ َكِا َنِِي َُِقِلِ ُبِِاْلَِ َِانِْيَِدِِ ِ ِ ِ ِ ِ َِوي َِِْرفَُِعِِالَِْمَِِرا ِْيِ َلِ،َِِويَِأِْتِِ َعِنِِالث َِقِاتِِِبَِاِلَِْيِ َسِِ ِ ِ ِِ مِ ْنِِ َحِدِيِْثِهِ ْمِ ِ ِ ِ ِ ِ Ibnu Hajar 5 َصُِدِِْوٌقِِاِ ْخِتَ ِلَِ َُِِجًِّدِاَِِوَِلِْي َِتََِمِي َِزِِ َحِدِيْ ِثَِوُِِفَ ُِِتَكِ مِضِطِِِربِِا ِلدِيِ ِثِِِولِكِمِِحِِِدثِِعِنِوِِالنِ اسِ Ahmad bin 6 ُ ْ َ ُ َْ ْ ََ ُ ْ ُ َ َُْ َ Hanbal

Bertolak dari uraian tersebut, disimpulkan bahwa Laits bin Abî Sulaim al Qurasyî adalah perawi da‟îf karena ditemukan jarh beserta sebab-sebabnya oleh kritikus hadis. Selain ia dinilai sebagai perawi lemah, diketahui sebab-sebab kelemahannya yaitu memiliki hafalan yang buruk, banyak melakukan kekeliruan

118 al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 464; al „Asqalâni, Tahdzîb al Tahdzîb, vol. 3, h. 484-485; al Mizzî, Tahdzîb al Kamâl fî Asmâ` al Rijâl, vol.24, h. 279-288. 139 dalam periwayatan (Ibnu Hibbân menyatakan Laits memutar-balikkan sanad, menyambungkan mursal, meriwayatkan dari tsiqah hadis yang bukan dari perawi tsiqah tersebut, Abû Hâtim dan Ahmad bin Hanbal menyatakan hadisnya mudtarib) , dan ikhtilât di akhir usianya (pendapat ini adalah pendapat Ibnu Hibbân tetapi Ibnu Hajar tidak menyebutkan ikhtilât Laits terjadi di akhir usianya. Ia hanya menyebutkan bahwa Laits sangat ikhtilât sampai tidak dapat membedakan hadisnya sehingga layak ditinggalkan). . Tahun wafat Laits dan Tâwus menunjukkan bahwa keduanya semasa sehingga pengakuan dan pernyataannya telah menerima hadis dari Tâwus dapat dipercaya. Dengan demikian, sanad Laits dari Tâwus muttasil (bersambung).

4. Sufyân a. Nama lengkapnya: Sufyân bin Sa‟îd bin Masrûq al Tsaurî, Abû „Abdillâh al Kûfî. b. Masa hidup dan tabaqah: Lahir pada tahun 97 H. Wafat di Basrah tahun 161 H pada usia 64 tahun. Termasuk tabaqah ke-6. c. Guru-gurunya di antaranya: Abû Ishâq al Syaibânî, „Abdulmalik bin „Umair, al A‟masy, Mansûr, Mughîrah, dan Muhârib bin Ditsâr. d. Murid-muridnya di antaranya: Syu‟bah, Ibnu al Mubârak, Jarîr, Abû Usâmah, dan „Abdulrazzâq, dan al Firyâbî. e. Komentar kritikus hadis119 : No. Kritikus al Jarh wa al Ta‟dîl ِفِيِانِِالثِ ِوِِريِأَِِمِي ِرِِالِمِِؤِمِنِ ِيِِفِِ Syu‟bah, Ibnu 1 َُْ ُ ْ ُْ ُْْ َْ ,Uyainah, Abû „Âsim„

119 Al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, vol. 7, h. 229-279; Al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 244; Al „Asqalâni, Tahdzîb al Tahdzîb, vol. 2, h. 56-58. 140 ِ ِ Yahyâ bin Ma‟în ا ِْلَدِيِْثِ ِ ِ ِ ِ ِ Ibnu Hajar 2 ِثَقِةٌِِ َحِاِف ٌظِِفَِِقْيِوٌِِ َعِابٌِدِِإَِمِامٌِِ ُحِ جِةٌِِ

َِوَكِا َنُِِِر ِبَِاَِدِلِ َسِ Berdasarkan penelusuran pendapat kritikus hadis di atas, disimpulkan bahwa Sufyân al Tsaurî adalah seorang perawi yang tsiqah. Tahun wafat Sufyân dan Laits menunjukkan bahwa keduanya semasa sehingga pengakuan dan pernyataannya telah menerima hadis dari Laits dapat dipercaya. Dengan demikian, sanad Sufyân al Tsaurî dari Laits muttasil (bersambung).

5. ‘Abdulrazzâq a. Nama lengkapnya: „Abdulrazzâq bin Hammâm bin Nâfi‟ al Himyarî. b. Masa hidup dan tabaqah: Lahir pada tahun 126 H. Wafat pada tahun 211 H. Termasuk tabaqah ke- 10. c. Guru-gurunya di antaranya: „Ubaidillâh bin „Umar al „Umarî, Aiman bin Nâbil, al Auza‟î, Ibnu Juraij, dan Sufyân al Tsaurî. d. Murid-muridnya di antaranya: Ibnu „Uyainah, Mu‟tamar bin Sulaimân, Abû Usâmah, Ahmad bin Hanbal, dan Bisyr bin al Hakam. e. Komentar kritikus hadis120: No. Kritikus al Jarh wa al Ta‟dîl ِ ِِ Abû Hâtim 1 يُ ْكِتَِ ُبِِ َحِدِيْ ِثُِوَُِِِوَلُِِْيِتَِجِبِوِ ِ ِ Al „Ijlî 2 ثَِقِةٌِِي َِتَِ َشِيِ ُعِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ Ibnu Hajar 3 ثَِقِةٌِِ َحِافِ ٌظُِِمِ َصِنِ ٌفِِ َشِهِْي ٌِرِِ َعمِ َيِِفِِآخِرِِعُِ ْمِِرهِِ

120 Al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, vol. 9, h. 563-580; Al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 354; Al „Asqalâni, Tahdzîb al Tahdzîb, vol. 2, h. 572-574. 141 فَ ِيَِتَ ِغَِي َِرَِِِوَكِا َنِِي َِتَِ َشِيِ ُعِ Berdasarkan penelusuran pendapat kritikus hadis di atas, penulis cenderung kepada pendapat Ibnu Hajar dan al „Ijlî yang menyatakan bahwa „Abdulrazzâq adalah seorang perawi yang tsiqah. Adapun pendapat Abû Hâtim yang mengatakan yuktab hadîtsuhu wa lâ yuhtaj bih, merupakan sighah khusus Abû Hâtim dan tidak menunjukkan perawi dalam kategori perawi da‟if (hal ini berbeda dengan ahli hadis lain yang menggunakan sighah tersebut untuk perawi da‟if). Jika sighah ini diungkapkan Abû Hâtim, maka bermakna hadisnya ditulis dalam al syawâhid dan tawâbi‟ dan tidak dapat dijadikan hujjah jika diriwayatkan sendirian. Sighah yuktab hadîtsuhu wa lâ yuhtaj bih dalam keadaan ini sama dengan penilaian sadûq pada ahli hadis lain (bermakna tsiqah).121 Tahun wafat „Abdulrazzâq dan Sufyân al Tsaurî menunjukkan bahwa keduanya semasa sehingga pengakuan dan pernyataannya telah menerima hadis dari Sufyân al Tsaurî dapat dipercaya. Dengan demikian, sanad „Abdulrazzâq dari Sufyân al Tsaurî muttasil (bersambung).

6. Ahmad bin Hanbal a. Nama lengkapnya: „Abdullâh bin Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilâl bin Idrîs al Syaibânî, Abû „Abdirrahmân al Baghdâdî. b. Masa hidup dan tabaqah: Terdapat perbedaan pendapat mengenai tahun kelahirannya yaitu bulan Rabiul Awwal / Rabiul Akhir tahun 164/ 179 H. Wafat pada tahun 241 H pada usia 77 tahun. Termasuk tabaqah ke-12.

121 Abadi, Mu‟jam Mustalahât al Hadîts wa „Ulûmih wa Asyhur al Musannifîn fîh, h. 168. 142 c. Guru-gurunya di antaranya: Sufyân bin „Uyainah, Hâsyim bin al QâsimBisyr bin al Mufaddal, „Abdah bin Sulaimân, „Abdulrazzâq, Ghundar, Ibnu „Ulayyah, dan Muhammad bin Idrîs al Syâfi‟î. d. Murid-muridnya di antaranya: al Bukhârî, Muslim, Abû Dâwud, al Nasâ`î, al Tirmîdzî, Ibnu Mâjah, dan gurunya „Abdulrazzâq. e. Komentar kritikus hadis: Ibnu Hajar menilai Ahmad bin Hanbal tsiqah hâfiz faqîh hujjah. al Khatîb menilainya tsiqah tsabtun. 122

Berdasarkan pernyataan, pujian, dan komentar kritikus hadis terhadap Ahmad bin Hanbal, maka disimpulkan ia adalah seorang yang tsiqah. Tahun wafat Ahmad bin Hanbal dan „Abdulrazzâq menunjukkan keduanya semasa sehingga pernyataannya telah menerima hadis dari „Abdulrazzâq dapat dipercaya. Hal ini juga didukung adanya hubungan guru-murid keduanya. Dengan demikian, sanad Ahmad bin Hanbal dari „Abdulrazzâq adalah muttasil (bersambung).

Kesimpulan Kualitas Sanad 1. Dilihat dari kualitas, kapasitas, dan intelektual perawi, dapat disimpulkan bahwa dalam sanad di atas tsiqah kecuali Laits bin Abî Sulaim al Qurasyî adalah perawi da‟îf karena ditemukan jarh beserta sebab-sebabnya oleh kritikus hadis yaitu memiliki hafalan yang buruk, banyak melakukan kekeliruan dalam periwayatan, dan sangat ikhtilât. 2. Adapun analisis ketersambungan sanad, dilihat dengan pendekatan tahun lahir dan wafat dan pertemuan antara

122 Al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, vol. 11, h. 177-357; Al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 84; Al Mizzî, Tahdzîb al Kamâl fî Asmâ` al Rijâl, vol. 14, h. 285-292. 143 guru dan murid123 ditemukan bahwa sanad hadis di atas adalah muttasil (bersambung). Adanya kemungkinan pertemuan antara satu perawi dengan perawi lainnya juga terlihat dalam analisis melalui pendekatan redaksi sanad (siyagh al tahammul wa al adâ`)124.

Dalam sanad hadis Ahmad bin Hanbal ini, terdapat Laits bin Abî Sulaim al Qurasyî yang termasuk perawi da‟îf. Adapun sebab keda‟îfan Laits sebagaimana telah dijelaskan di atas, termasuk keda‟îfan yang kuat (al khata‟ al râjih) karena dapat dimasukkan ke dalam kelalaian yang kuat (syadîd al ghaflah). Oleh karena itu, hadis anjuran mempermudah dan tidak mempersulit dengan sanad Ahmad bin Hanbal di atas tidak boleh dilakukan peningkatan hadis.tersebut dapat dihilangkan jika ditemukan riwayat lain yang dapat mentarjîhnya. Dengan demikian hadis dengan sanad tersebut tidak diperbolehkan dilakukan peningkatan hadis.

Pendapat Ahmad al Ghumârî Ahmad al Ghumârî menyatakan bahwa al Munâwî menghukumi hadis ini da‟îf karena terdapat Laits dalam sanad di atas yang dinilai sebagai perawi mudallis. Pendapat al Munâwî tersebut didasarkan pada dari al Haitsamî Ahmad al Ghumârî membantahnya dan berasumsi hadis tersebut bahkan di atas kualitas hadis sahîh karena banyak memiliki syawâhid.

8. Hadis tentang Memasukkan 70.000 Orang ke Surga Tanpa Hisab Hadis ini tidak ditemukan termasuk hadis da‟îf populer di Indonesia. Akan tetapi, hadis ini terdapat pada

123 Lihat tabel 7.1 pada lampiran 7. 124 Lihat tabel 7.2 pada lampiran 7. 144 kitab al Mudâwî dan ditashih Ahmad al Ghumârî sehingga diambil sebagai sampel untuk meneliti metode tashih hadis da‟îf nya.

Takhrij Hadis Hadis yang dimaksud ditemukan terdapat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal melalui dua jalur sanad125. Adapun yang akan diteliti adalah: ِ ِ ِ ِ َح دث َنَاَِىاش ُمِِبْ ُنِِالَْقاِمِ،ِقَاَل:ِ َح دث َنَاِالَْم ْسعُود يِ،ِقَاَل:ِ َح دثَِنِِبُ َكْي ُرِِ ِ ِ بْ ُنِِاْلَ ْخنَ ِسِ،ِ َع ْنَِِرُجٍلِ،ِ َع ْنِِأَِبِِبَ ْكٍرِِال ِصِديقِ،ِقَاَل:ِقَاَلَِرُِوُلِاللوِ ﷺ ِ ِ ِ ِ ِ ٍ : "أُْعطي ُتِ َِْبع َيِأَلًْفاِيَْد ُخلُوَنِا ْْلَن ةَِبغَْيِح َساب،ُِوُجوُىُه ْمِِ ِ ِ ِ ٍ َكالَْقَمِرِلَْي لَةَِالْبَْدر،َِوق ُلُوب ُُه ْمِ َعلَىِقَ ْلبَِرُجٍلَِواحد،ِفَا ِْتَ َزْد ُتَِرِبِ َعِ زِ ِ ِ ٍ ِ َوَج ل،ِفَ َزاَدّنَِم َعُِك ِلَِواحدِ َِْبع َيِأَلًْفا". Telah menceritakan kepada kami Hâsyim bin al Qâsim, ia berkata: telah menceritakan kepada kami al Mas‟ûdî, ia berkata: telah menceritakan kepadaku Bukair bin al Akhnas, dari seorang laki-laki, dari Abî Bakr al Aku“ :ﷺ Siddîq, ia berkata, telah berkata Rasûlullâh diberi izin untuk memasukkan tujuh puluh ribu orang ke dalam surga tanpa hisab, wajah mereka seperti bulan di malam purnama, hati mereka sama seperti hatinya seorang lelaki. Lalu aku meminta tambah kepada Tuhanku, maka

125 Ahmad bin Hanbal, Musnad al Imâm Ahmad bin Hanbal, Musnad Abî Bakr al Siddîq radiyallâhu „anhu, hadis nomor 22, vol. 1, h. 203. Jalur sanad lainnya juga disebutkan Ahmad bin Hanbal melalui Laits dalam musnadnya yaitu: ِ َح دث َنَاُُِمَ مُدِِبْ ُنِِ َجْعَفٍرِ،ِ َح دث َنَاِ ُشْعبَةُِ،ِقَاَل:ِ َسْع ُتِِلَْيثًا،ِقال:ِ ِ َسْع ُتِِطَاُو ًِاُِيَِد ُث،ِعَنِِابْ ِنِعَب ا ٍسِ،ِ َع ِنِالن ِِِبِصلىِاهللِعليوِوِلمِ،ِأَنِ وُِقَاَلِ : " َعلُِمواِ ِ ِ ،َِويَ ِسُرواِ،َِوَلِت َُع ِسُرواِ،َِوإذَاِ َغض َبِأَ َحُدُك ْمِفَ لْيَ ْس ُك ْتِ 145 Tuhanku memberikan tambahan kepadaku tiap-tiap orang (dari mereka dapat memasukkan) tujuh puluh ribu orang lagi”.

Skema Sanad

(w. 11 H) ﷺ Rasûlullâh

قال Abû Bakr al Siddîq (w. 13 H)

عن Rajul (Seorang laki-laki)

عن Bukair bin al Akhnas حدثن al Mas’ûdî (w. 160 H)

حدثنا Hâsyim bin al Qâsim (w. 207 H)

حدثنا Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)

Biografi Perawi Hadis dan Kritik Sanad Adapun terkait biografi perawi hadis, maka disusun berdasarkan urutan teratas (Sahabat) sebagaimana sanad di atas.

146 1. Abû Bakr al Siddîq a. Nama lengkapnya: „Abdullâh bin „Utsmân, Abû Quhâfah, bin „Âmir bin „Amrû bin Ka‟b bin Sa‟d bin Taim bin Murrah bin Ka‟b bin Lu`ai al Qurasyî al Taimî. b. Masa hidup dan tabaqah: Wafat pada usia 63 tahun pada tahun 13 H. Termasuk Sahabat. .ﷺ c. Guru-gurunya di antaranya: Rasûlullâh d. Murid-muridnya merupakan sebagian dari sahabah dan tâbi‟în di antaranya Anas bin Mâlik, Târiq bin Syihâb, Qais bin Abî Hâzim, dan Murrah al Taib. e. Komentar kritikus hadis: Al Mizzî mengatakan manâqib dan keutamaannya banyak sekali dan telah tertuang dalam kitab-kitab ulama.126

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Abû Bakr al Siddîq „âdil, tsiqah, dan dâbit. Hal ini merupakan kesepakatan ahli hadis bahwa seorang Sahabat tidak diragukan keadilannya. Tahun wafat Abû Bakr al Siddîq menunjukkan bahwa ia semasa dengan Rasûlullâh sehingga pengakuan dan pernyataannya telah ﷺ dapat dipercaya. Hal ﷺ menerima hadis dari Rasûlullâh ini juga didukung dengan adanya hubungan guru-murid di antara keduanya. Dengan demikian, sanad Abû Bakr al .(adalah muttasil (bersambung ﷺ Siddîq dari Rasûlullâh

2. Rajul (seorang laki-laki): : tidak diketahui identitasnya (mubham).

3. Bukair bin al Akhnas

126 Al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, Siyar al Khulafâ` al Râsyidûn, h. 7; Al Mizzî, Tahdzîb al Kamâl fî Asmâ` al Rijâl, vol. 15, h. 282-285. 147 a. Nama lengkapnya: Bukair bin al Akhnas al Sadûsî, dikatakan ia bernama al Laitsî, Kûfî. b. Masa hidup dan tabaqah: Termasuk tabaqah ke empat. c. Guru-gurunya di antaranya: ayahnya al Akhnas, Hanasy bin al Mu‟tar, Anas bin Mâlik, Ibnu „Abbâs, Ibnu „Umar, dan Mujâhid bin Jabr. d. Murid-muridnya di antaranya: al A‟masy, Mis‟ar, Zaid bin Abî Unaisah, dan Abû „Awânah. e. Komentar kritikus hadis: Ibnu Ma‟în, Abû Zur‟ah, al „Ijlî, Abû Hâtim, al Nasâ`î, dan Ibnu Hajar menilainya tsiqah.127

Berdasarkan pendapat kritikus hadis di atas, disimpulkan bahwa Bukair bin al Akhnas tsiqah. Adapun tahun lahir-wafat tidak ditemukan dalam penelusuran biografinya dan perawi sebelumnya mubham. Oleh karena itu, sanad Bukair bin al Akhnas dari Rajul (seorang laki- laki) terputus karena rajul tidak diketahui identitasnya (mubham).

4. Al Mas’ûdî a. Nama lengkapnya: „Abdurrahmân bin „Abdillâh bin „Utbah bin Mas‟ûd al Hudzalî al Mas‟ûdî al Kûfî. b. Masa hidup dan tabaqah: Lahir pada masa khalifah „Abdulmalik bin Marwân. Termasuk tabaqah ke-6. Wafat pada tahun 160 H c. Guru-gurunya di antaranya: „Aun bin „Abdillâh bin „Utbah, Sa‟îd bin Abî Burdah, Ziyâd bin „Ilâqah, dan Abû Bakr bin Hazm.

127 Al „Asqalânî, Taqrîb al Tahdzîb, h. 127; Al „Asqalâni, Tahdzîb al Tahdzîb, vol. 1, h. 247; Al Mizzî, Tahdzîb al Kamâl fî Asmâ‟ al Rijâl, vol. 4, h. 235. 148 d. Murid-muridnya di antaranya: Ibnu Mubârak, Sufyân bin „Uyaynah, Ja‟far bin „Aun, dan Abû Dâwud al Tayâlisî. e. Komentar kritikus hadis: Yahyâ bin Ma‟în, Ibnu al Madînî, dan Ahmad bin Hanbal menilainya tsiqah. al Nasâ`î menilainya laisa bihi ba‟sun. Abû Dâwud dan Ibnu Hibbân menilainya sadûq. Abû Hâtim mengomentarinya bahwa hafalannya telah berubah 1-2 tahun sebelum kematiannya.128

Berdasarkan uraian di atas, diketahui banyak kritikus hadis menilai al Mas‟ûdî sebagai perawi tsiqah sebelum ikhtilât (berubah hafalannya) 1-2 tahun sebelum kematiannya yang berarti sekitar tahun 158-159 H. menjelaskan bahwa ikhtilât terjadi saat di Baghdâd. Kedatangannya di Baghdâd terjadi pada tahun 154 H tetapi belum berubah hafalannya di awal kedatangannya. Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa perawi yang mendengarkan hadis dari al Mas‟ûdî saat masih berada di Kûfah dan Basrah diterima periwayatannya karena hafalannya masih bagus.129 Adapun periwayatannya dari Bukair bin al Akhnas, tidak ditemukan adanya hubungan guru-murid di antara keduanya meskipun dari tahun wafat terlihat semasa. Selanjutnya dalam penelusuran perawi yang mendengar hadis dari al Mas‟ûdî saat di Kûfah dan Basrah juga tidak ditemukan nama Bukair bin al Akhnas.130 Dengan

128 Al Dzahabî, Siyar A‟lâm al Nubalâ`, vol. 7, h. 93-95. 129 Ridâ, Nihâyah al Ightibât bi Man Rumiya min al Ruwâh bi Ikhtilât, h. 203-210. 130 Nama-nama perawi yang dimaksud adalah: Umayyah bin Khâlid, Bisyr bin al Mufaddal, Ja‟far bin „Aun, Khâlid bin al Harts, Sufyân bin Habîb, Sufyân al Tsaurî, Abû Qutaibah Muslim bin Qutaibah, Talq bin Ghannâm, „Abdullâh bin Rajâ` al Ghadânî, „Utsmân bin „Umar bin Fâris, „Amrû bin Marzûq, „Amrû bin al Haitsam, al Qâsim bin Mi‟an bin „Abdurrahmân, Mu‟âdz al „Anbarî, al Nadr bin Syamîl, dan Yazîd bin 149 demikian penulis berkesimpulan bahwa sanad al Mas‟ûdî dari Bukair bin al Akhnas munqati‟ (terputus). 5. Hâsyim bin al Qâsim: biografinya sudah dijelaskan pada halaman 114. 6. Ahmad bin Hanbal: biografinya sudah dijelaskan pada halaman 142.

Kesimpulan Kualitas Sanad 1. Dilihat dari kualitas, kapasitas, dan intelektual perawi, dapat disimpulkan bahwa dalam sanad di atas tsiqah kecuali Rajul yang tidak diketahui identitasnya (mubham) dan al Mas‟ûdî setelah adanya ikhtilât. 2. Adapun analisis ketersambungan sanad, dapat dilihat dengan pendekatan tahun lahir dan wafat dan pertemuan antara guru dan murid131 ditemukan bahwa sanad hadis di atas adalah munqati‟ (terputus) karena adanya perawi yang mubham dan tidak ditemukan adanya hubungan guru-murid antara perawi tersebut dengan Bukair bin al Akhnas, Bukair bin al Akhnas dengan al Mas‟ûdî. Adanya kemungkinan pertemuan antara satu perawi dengan perawi lainnya juga terlihat dalam analisis melalui pendekatan redaksi sanad (siyagh al tahammul wa al adâ`)132.

Pada sanad hadis Ahmad bin Hanbal ini, terdapat perawi yang tidak diketahui identitasnya yaitu Rajul dan terputusnya sanad hadis. Sanad terputus dari al Mas‟ûdî ke Bukair al Akhnas dan dari Bukair ke Rajul. Perawi Rajul menjadikan hadis majhûl karena mubham dengan keda‟îfan yang ringan (al khata‟ al muhtamal). Sebab keda‟îfan tersebut dan terputusnya sanad, dapat dihilangkan jika

Zurai‟. Lihat: Ridâ, Nihâyah al Ightibât bi Man Rumiya min al Ruwâh bi Ikhtilât, h. 210-211. 131 Lihat tabel 8.1 pada lampiran 8. 132 Lihat tabel 8.2 pada lampiran 8. 150 ditemukan riwayat lain yang dapat mentarjîhnya. Dengan demikian hadis tentang memasukkan 70.000 orang ke surga tanpa hisab di atas, diperbolehkan dilakukan peningkatan hadis. Sebagaimana pendapat mayoritas ahli hadis mengenai metode peningkatan hadis da‟îf, maka hadis ini dapat meningkat ke hadis hasan li ghairihi jika ditemukan sanad lain yang dapat menguatkannya.

Pendapat Ahmad al Ghumârî Adapun Ahmad al Ghumârî, ia mentashîh hadis da‟îf di atas karena hadis tersebut dinilainya telah diriwayatkan secara mutawâtir yaitu sekitar 20 sahâbah atau lebih yang di antara jalurnya memiliki banyak jalur lain. Argumentasi tersebut (diriwayatkan mutawâtir) dinilainya dapat menghapus „illah kesalahan pencampuran sanad oleh al Mas‟ûdî dan tidak menyebutkan Tabi‟innya (adanya perawi majhûl setelah perawi dari Sahabat /Abû Bakr al Siddîq). 133

Demikian sampel takhrij hadis yang ditashîh Ahmad al Ghumârî dalam kitabnya al Mudâwî. Dari penelitian takhrij yang telah dilakukan penulis, diketahui hadis yang ditashîh Ahmad al Ghumârî merupakan hadis da‟îf, baik dengan keda‟îfan ringan (al khata‟ al muhtamal) maupun kuat (al khata‟ al râjih)134. Menurut pendapat mayoritas ahli hadis, hadis da‟îf yang dapat ditingkatkan hanyalah dengan keda‟îfan ringan dan maksimal dapat meningkat sampai hadis hasan. Bertolak dengan keadaan tersebut, maka dimungkinkan Ahmad al Ghumârî memiliki metode tashîh tersendiri. Adapun hadis da‟îf keseluruhan yang ditashîh dalam kitabnya al Mudâwî

133 Ahmad al Ghumârî, al Mudâwî li „Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî, vol. 1, h. 513. 134 Pembahasan mengenai keda‟îfan ringan (al khata‟ al muhtamal) dan keda‟îfan kuat (al khata‟ al râjih) dapat dilihat pada bab 2 halaman 36- 37. 151 berjumlah 94 hadis, tidak dimungkinkan ditelaah dalam penelitian ini. Oleh karena itu, diambil beberapa hadis sesuai dengan batasan masalah yang telah diambil. Sedangkan pembahasan lebih lanjut mengenai metode tashîh akan dibahas pada bab selanjutnya dengan melihat keseluruhan metode yang dilakukan dalam tashîh hadis da‟îfnya.

152 BAB IV TINJAUAN DAN ANALISIS METODE TASHÎH HADIS DA’ÎF AHMAD AL GHUMÂRÎ

A. Tashîh Hadis Da’îf dalam Perspektif Ahmad al Ghumârî 1. Kesahîhan Hadis Menurut Ahmad al Ghumârî Hadis sahih menurut Ahmad al Ghumârî terbagi dalam dua kategori yaitu sahih li dzâtihî dan sahih li ghairihî. Berikut penjelasan lebih lanjutnya: a. Hadis sahih li dzâtihî didefinisikan hadis yang diriwayatkan oleh perawi tsiqah dan semisalnya sampai di akhir sanad, tanpa disertai syadz dan juga „illah. Adapun yang dimaksud dengan perawi tsiqah adalah perawi „âdil, sempurna kedabitannya, dan diduga kuat mendengar langsung (al simâ‟) hadis yang diriwayatkannya dengan kejujuran perawi tersebut di dalamnya yakni dengan talaqqî, al simâ‟, dan tidak ditemukan wahm (keraguan) dalam saat menerima hadis dan meriwayatkannya. Sedangkan jika perawi dinilai kurang hafalannya (khif al dabt) atau ditemukan perbedaan pendapat ulama al jarh wa al ta‟dîl terhadap al „adâlahnya, maka ia disebut (dinilai) al sadûq dan hadisnya disebut hadis hasan li dzâtihî. Adapun yang termasuk dalam kategori hadis sahih yang diterima kehujjahannya dalam hukum dan selainnya adalah jika ia diriwayatkan secara sendirian dan tidak didapatkan syawâhid maupun tawâbi‟ yang dapat menguatkan dugaan kejujuran (al sidq) perawinya sehingga hilang keraguannya (wahm) pada hadis tersebut. b. Hadis sahih li ghairihî didefinisikan hadis yang diriwayatkan secara sendirian dan didapatkan syawâhid maupun tawâbi‟ yang dapat menguatkan dugaan kejujuran (al sidq) perawinya sehingga hilang

153 keraguannya (wahm) pada hadis tersebut dan dapat meningkatkan kualitas hadis sampai ke kualitas hadis yang diterima kehujjahannya atau yang disebut sebagai hadis sahih. Meningkatnya hadis ini menjadi hadis sahih tidak dapat dilakukan (dalam kesendirian periwayatan- nya) kecuali dengan didapatkannya. Adapun dugaan mendengar hadis secara langsung dengan terkumpulnya qarînah yang telah disebutkan di atas.1

Bertolak dari penjelasan di atas, diketahui pandangan Ahmad al Ghumârî mengenai kesahîhan hadis berdasarkan definisi hadis sahih. Sedangkan kesahîhan hadis yang didapatkan dari selain hadis sahih atau dengan kata lain melalui metode peningkatan hadis menjadi sahîh (tashîh) adalah sebagai berikut: a. Peningkatan hadis hasan menjadi sahîh (tashîh al hadîts al hasan). Hadis hasan yang dimaksud di sini dapat berupa hadis hasan li dzâtihî maupun hasan li ghairihî2. Hadis hasan li ghairihî jika didapatkan hadis lain yang semisal dengannya maka dapat menghilangkan kesalahan periwayatan, wahm perawinya, meningkat kualitasnya dan menguatkan dugaan kejujuran perawi sehingga dapat meningkat kualitasnya menjadi hadis

1 Ahmad bin Muhammad bin al Siddîq al Hasanî al Ghumârî, Hidayah al Sugharâ` bi Tashîh Hadîts al Tausi‟ah Yaumi „Âsyurâ`, (Kairo: Dâr al „Ahd al Jadîd, t.t.), h. 4-5. 2 Pengertian menganai hasan li dzâtihî menurut Ahmad al Ghumârî dapat dilihat pada pembahasan sebelumnya pada halaman 148. Sedangkan hadis hasan li ghairihî didefinisikan sebagai hadis da‟îf yang tidak terdapat di dalamnya perawi yang tertuduh dusta (lam yuttaham bi kidzb), tidak banyak keraguan (wahm), tidak banyak melakukan kesalahan (fâhisy al khata‟) dalam periwayatannya. Adapun jika didapatkan hadis lain yang semisal dengannya maka dapat meningkat kualitasnya dan menguatkan dugaan kejujuran perawinya ke kualitas hadis hasan. Lihat: Ahmad al Ghumârî, Hidayah al Sugharâ` bi Tashîh Hadîts al Tausi‟ah Yaumi „Âsyurâ`, h. 5. 154 hasan. Jika hadis hasan tersebut memiliki syawâhid dan tawâbi‟ lainnya maka akan bertambah dugaan kejujurannya sehingga ia meningkat menjadi hadis sahîh.3 b. Peningkatan hadis da‟îf menjadi sahîh (tashîh al hadîts al da‟îf). Adapun penjelasan mengenai pembahasan ini akan dilanjutkan pada pembahasan selanjutnya.

2. Metode Tashîh Hadis Da’îf Ahmad al Ghumârî Menurut Ahmad al Ghumârî, kesahîhan suatu hadis dipengaruhi oleh dua hal yaitu al dabt dan al „adâlah. Ia memiliki kriteria tersendiri terkait al „adâlah yang didefinisikan sebagai “...perawi yang terpercaya dan terhindar dari berdusta secara khusus, bukan kedustaan ﷺ atas hadis Rasûlullâh mutlak, dan tidak bermaksiat selain hal tersebut karena al „adâlah bermacam-macam (bertingkat), maka keadilan seseorang terhadap sesuatu belum tentu adil dalam hal lainnya...”. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa kesahîhan suatu hadis dilihat dari al „adâlahnya dan amanah dalam penyampaiannya. Hal tersebut sulit didapatkan kecuali dengan konsistensi ketaqwaan dan menjauh dari segala maksiat.4 Selanjutnya, ia menilai al „adâlah yang dikenal luas telah bergeser dari asalnya5. Menurutnya, pergeseran inilah yang mengakibatkan banyaknya hal-hal di luar batasan al „adâlah dimasukkan dalam cacatnya keadilan seorang perawi seperti mutakallim, ahli bid‟ah/ fâsiq, aqidah yang dinilai

3 Ahmad al Ghumârî, Hidayah al Sugharâ` bi Tashîh Hadîts al Tausi‟ah Yaumi „Âsyurâ`, h. 5. 4 Ahmad al Ghumârî, Fath al Malik al „Alî bi Sihhati Hadîts Bâb Madînatu al „Ilm al „Alî, h. 84. 5 Definisi al „adâlah di sini sering diartikan sebagai keadilan yang sempurna mencakup konsistensi ketaqwaan dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan (perbuatan buruk) yang merusak murû‟ah. Lihat: Ahmad al Ghumârî, Fath al Malik al „Alî bi Sihhati Hadîts Bâb Madînatu al „Ilm al „Alî, h. 85. 155 menyimpang seperti Murji‟ah, Qadariyah, tasyayyu‟, dan lainnya. Ia menilai para perawi hadis tidak bisa terlepas dalam hal-hal tersebut kecuali hanya berbeda dalam tingkat keterkaitannya saja sehingga jika mereka dicela karena hal-hal tersebut akan hilang banyak periwayatan hadis. Pemahamannya ini didasarkan pada perkataan Ibnu Jarîr yang menyatakan bahwa jika setiap perawi yang dituduh bermadzhab menyimpang gugur „adâlahnya, maka akan banyak ahli hadis yang ditinggalkan karena mereka tidak dapat terlepas dari nisbat kaumnya atasnya.6 Bertolak dari penjelasan tersebut, dengan adanya kriteria al „adâlahnya yang berbeda maka berdampak pada penilaian Ahmad al Ghumârî terhadap perawi seperti berikut:

a. Periwayatan perawi ahli bid’ah Ahli Hadis menilai perawi bid‟ah sebagai penyebab cacatnya al „adâlah seorang perawi. Namun bagi Ahmad al Ghumârî tidaklah demikian karena ia menerima periwayatan ahli bid‟ah baik ahli bid‟ah dâ‟iyyah maupun tidak. Perawi ahli bid‟ah dinilai Ahmad al Ghumârî tidak merusak al „adâlah perawi dan periwayatannya, jika ia merupakan perawi yang terpercaya dalam meriwayatkan hadisnya dan selama ia tidak melakukan perbuatan fasiq pada agamanya. Sedangkan jika perawi tersebut fasiq, hadisnya tertolak karena kefasikannya bukan karena ajakannya (pada ahli bid‟ah dâ‟iyyah yang selama ini ditolak periwayatannya oleh ahli hadis). Adapun mengenai kedustaan pada ahli bid‟ah, ia menilai baik ahli bid‟ah dâ‟iyyah maupun yang bukan dâ‟iyyah, ia tidak akan terlepas dari agamanya yang melarang perilaku dusta. Selain itu ia menegaskan bahwa penerimaan periwayatan ahli bid‟ah bukanlah hal yang baru dalam ilmu hadis karena al

6 Ahmad al Ghumârî, Fath al Malik al „Alî bi Sihhati Hadîts Bâb Madînatu al „Ilm al „Alî, h. 85-86. 156 Bukhârî juga melakukannya dengan ditemukan periwayatan ahli bid‟ah al Bukhârî dalam al Jâmi‟ al Sahîhnya. 7

b. Periwayatan perawi pendusta/ tertuduh berdusta Menurut Ahmad al Ghumârî, tertolaknya periwayatan perawi pendusta/ tertuduh berdusta bukanlah karena sifat dustanya yang sering dinilai merusak al „adâlah perawi. Akan tetapi, penolakan periwayatan tersebut karena sebab lain yaitu ia dikenal tidak terpercaya.8 Oleh karena itu, jika ditemukan kritikus hadis yang menilai perawi tersebut dapat dipercaya, maka Ahmad al Ghumârî akan menerima periwayatannya. Selain argumentasi di atas, Ahmad al Ghumârî menegaskan bahwa penerimaan periwayatan dari perawi pendusta perawi pemalsu hadis (al waddâ‟) juga dilakukan al Bukhârî dan Muslim dengan mentashîh hadis yang diriwayatkan perawi-perawi tersebut sehingga metode tersebut pun dapat dilakukan pada hadis dengan periwayatan serupa. Perawi yang dimaksud di antaranya Ismâ‟îl bin Abî Ûwais, Asîd bin Zaid al Jammâl, Hasan bin Mudrik al Sadûsî, Ahmad bin „Îsâ bin Hassân al Misrî, Hasan bin Dzakwân, Nu‟aim bin Hammâd, „Ikrimah budak Ibnu „Abbâs, Aflah bin Sa‟îd, Qatn bin Nusair, Harîz bin „Utsmân, „Imrân bin Hittân, dan „Abdil Karîm bin al Mukhâriq.9 Adapun syarat lain dengan dua kondisi perawi di atas (ahli bid‟ah dan pendusta/ tertuduh dusta) yang diungkapkan Ahmad al Ghumârî yaitu perawi tersebut ditsiqahkan oleh

7 Ahmad al Ghumârî, Fath al Malik al „Alî bi Sihhati Hadîts Bâb Madînatu al „Ilm al „Alî, h. 111. 8 Ahmad al Ghumârî, Fath al Malik al „Alî bi Sihhati Hadîts Bâb Madînatu al „Ilm al „Alî, h. 86-87. 9 Pendapat Ahmad al Ghumârî ini disampaikan saat menyanggah pendapat ahli hadis lain mengenai Abû al Silat „Abdussalâm bin Sâlih sebagai perawi kadzdzâb sehingga ditolak hadisnya. Lebih lanjut lihat pembahasan sebelumnya, hadis pertama yaitu hadis kota ilmu pada bab 3; Ahmad al Ghumârî, Fath al Malik al „Alî bi Sihhati Hadîts Bâb Madînatu al „Ilm al „Alî, h. 30-34. 157 kritikus hadis. Ia menjelaskan hal tersebut banyak dilakukan oleh ahli hadis, termasuk kritikus hadis mutasyaddid dalam periwayatannya seperti Mâlik bin Anas yang tetap meriwayatkan dari ahli bid‟ah dan berhujjah dengannya. Demikian pula ulama lain, seperti dengan penambahan keterangan, “...telah menceritakan kepada kami perawi tsiqah dalam hadisnya, tertuduh (al muttaham) dalam agamanya...”.10 Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa syarat diterimanya periwayatan dari seorang perawi menurut Ahmad al Ghumârî tidak lain adalah karena kejujurannya (terpercaya) dan ditsiqahkan kritikus hadis, serta al dabt dalam riwayatnya. Adapun mengenai perawi fasiq, sikap Ahmad al Ghumârî sejalan dengan ahli hadis lain yaitu menolak periwayatannya karena dinilai tidak dapat dipercaya dan telah keluar dari perintah-perintah Allah dan menyalahi batasan laranganNya. Hal ini bertolak belakang dengan perawi bid‟ah yang dinilainya tidak menyalahi batasanNya dan tidak keluar dalam aqidahnya.11 Kriteria al „adâlah dan hubungannya dengan penerima- an perawi kadzdzâb di atas terlihat diterapkan dalam beberapa hadis seperti tashîh hadis kota ilmu dan hadis wajah cerah di siang hari karena banyak shalat di malam hari12. Pada hadis kota ilmu terdapat Abû al Silat „Abdussalâm bin Sâlih al Harawî yang dinilai ulama al jarh wa al ta‟dîl sebagai kadzdzâb. Demikian juga pada hadis terdapat Tsâbit bin Mûsâ Abû Yazîd yang dinilai Ibnu Ma‟în kadzdzâb. Kedua hadis tersebut merupakan hadis da‟îf dengan keda‟îfan kuat (al khata‟ al râjih) yang tetap ditashîh oleh Ahmad al Ghumârî meskipun terdapat „illah perawi pendusta.

10 Ahmad al Ghumârî, Fath al Malik al „Alî bi Sihhati Hadîts Bâb Madînatu al „Ilm al „Alî, h. 106-107. 11 Ahmad al Ghumârî, Fath al Malik al „Alî bi Sihhati Hadîts Bâb Madînatu al „Ilm al „Alî, h. 87. 12 Lebih lanjut lihat penjelasan hadis pertama dan ketiga pada bab 3. 158 Adapun metode yang digunakan Ahmad al Ghumârî dalam tashîh hadis da‟îfnya adalah sebagai berikut:

1) Tashîh hadis da‟îf dapat dilakukan dengan banyak jalur sanad lain (syawâhid dan tawâbi‟). Banyaknya jalur sanad pada syawâhid dan tawâbi‟ dengan jalan i‟tibâr, digunakan Ahmad al Ghumârî sebagai salah satu cara peningkatan kualitas hadis da‟îf menjadi sahîh meskipun diriwayatkan oleh perawi Mutakallim13. Banyaknya tawâbi‟ ini juga diiasumsikan telah banyak dilakukan dalam tashîh hadis da‟îf oleh ahli hadis lain sebagaimana oleh Tâjuddîn al Subkî terhadap hadis munkar.14 Adapun jika tidak ditemukan tawâbi‟, maka tashîh hadis da‟îf dapat dilakukan dengan syawâhîd (syawâhîd ma‟nawiyyah bukan lafdiyyah). Ia menambahkan, tashîh dapat dilakukan karena perawi dapat dipastikan kejujurannya melalui keseluruhan jalur hadis-hadis lain yang tidak didapatkannya saat sanad tersebut sendirian sehingga hadisnya dapat meningkat ke kualitas sahîh. Hal ini seperti perawi tsiqah yang periwayatan hadisnya dapat dihukumi sahîh meskipun sendirian karena telah dipercaya. Demikian juga dapat terjadi pada syawâhid dan tawâbi‟ karena tidak ada persyaratan dalam periwayatannya harus berasal dari perawi yang dapat dijadikan hujjah.15

13 Kalangan ulama kalam (Mutakallim) dalam hal periwayatan hadis tidak membedakan antara pelaku bid‟ah yang dikafirkan atau hanya sebatas fasiq. Mereka menyatakan semua riwayat dari mereka diterima dengan takwîl. Lihat: Al Baghdâdî, al Kifayah fî „Ilmi al Riwâyah, vol. 1, h. 367. 14 Hal ini berbeda dengan pendapat mayoritas ahli hadis yang menilai hadis munkar termasuk dalam sebab keda‟îfan yang kuat sehingga tidak diperbolehkan peningkatan terhadapnya. 15 Ahmad al Ghumârî, Fath al Malik al „Alî bi Sihhati Hadîts Bâb Madînatu al „Ilm al „Alî, h. 36-50. 159 Urgensi syawâhid dan tawâbi‟ dengan argumentasi Ahmad al Ghumârî di atas juga terlihat dalam tashîh hadis Khawarij adalah anjing-anjing neraka. Dalam penelitian sanadnya16 ditemukan bahwa hadis ini terputus sanadnya disebabkan tidak dapat dipastikan perawi al A‟masy mendengarnya langsung dari Ibnu Abî Aufâ. Akan tetapi, Ahmad al Ghumârî berargumentasi terdapat sanad lain yang sahîh melalui Sa‟îd bin Jumhân serta jalur-jalur lainnya sehingga dapat meningkatkan kualitas hadis tersebut menjadi sahîh. Hadis lain yang menguatkan asumsi aplikasi metode ini dalam metode tashîh hadis da‟îf Ahmad al Ghumârî adalah tashîh pada hadis wajah cerah di siang hari karena banyak shalat di malam hari17. Ia berpendapat dengan banyaknya syawâhid dan tawâbi‟ dapat menggugurkan cacat karena terdapat perawi waddâ‟ (pemalsu hadis). Dalam hadis tersebut terdapat Tsâbit bin Mûsâ Abû Yazîd dinilai kritikus hadis sebagai perawi pendusta dan Ibnu „Adî mengatakan bahwa hadis tersebut bukanlah matan hadis tetapi perkataan Syarîk kepada Tsâbit bin Mûsâ sehingga ia dinilai pemalsu hadis. Akan tetapi menurut Ahmad al Ghumârî dengan adanya syawâhid dan tawâbi‟, hadis yang berasal dari perawi waddâ‟ (pemalsu) tersebut dapat ditashih karena diriwayatkan dari banyak jalur sanad. Penggunaan metodenya ini juga ditemukan pada tashîh hadis anjuran mempermudah dan tidak mempersulit18 yang dinilai da‟if karena terdapat cacat perawi mudallis.

16 Lebih lanjut lihat pembahasan hadis ke-5 pada bab 3. 17 Lebih lanjut lihat pembahasan hadis ke-3 pada bab 3. 18 Lebih lanjut lihat pembahasan hadis ke-7 pada bab 3. 160 Selain hadis di atas, terlihat juga sikap Ahmad al Ghumârî pada tashîh hadis al Ajda‟ adalah Syaitan19. Peran syawâhid dan tawâbi‟ di sini ditekankan memiliki posisi penting dalam meningkatkan hadis da‟if meskipun hadis tersebut tidak memenuhi syarat al Bukharî dan Muslim yang menjadi metode selanjutnya dalam tashîh hadis da‟ifnya.

2) Berpedoman kepada syarat kesahîhan hadis al Bukhârî dan Muslim atau salah satunya. Pedoman metode Ahmad al Ghumârî dalam menilai suatu hadis (perawinya) banyak ditemukan merujuk kepada perawi al Bukhârî dan Muslim atau salah satunya. Hal ini ditunjukkan dalam pernyataannya seperti perkataannya “...sahîh „alâ syarti Syaikhain...”. Al Mizzî mengartikan maksud ahli hadis klasik mengatakan perkataan tersebut adalah makhraj hadisnya berasal dari perawi al Sahihain. Sedangkan menurut istilah ahli hadis kontemporer, perkataan itu menunjukkan bahwa perawi dalam sanad hadis berasal dari perawi al Sahihain.20 Metode keduanya ini terlihat pada tashîh hadis obat segala penyakit bagi yang berbekam pada tanggal 17, 19, atau 2121. Ia menyatakan semua perawi dalam sanad hadis tersebut merupakan perawi Muslim sehingga dapat dihukumi sahîh. Selain itu, ia juga menegaskan hadis tersebut dapat ditashîh meskipun dalam sanadnya terdapat perawi mubham dengan .tanpa disebutkan nama perawinyaِأَبِيهِ penyebutan

19 Lebih lanjut lihat pembahasan hadis ke-4 pada bab 3. 20 Badruddîn Abî‟Abdillâh Jamâluddîn ‟Abdillâh bin Bahâdir al Zarkasyî, al Nukat „alâ Muqaddimah Ibni al Salâh, (Riyad: Adwâ` al Salaf, 1998), vol. 1, h. 257. 21 Lebih lanjut lihat pembahasan hadis ke-6 pada bab 3. 161 Persyaratan kesahîhan al Bukhârî dan Muslim di atas juga diketahui telah digunakannya pada tashîh hadis da‟îf oleh Ahmad al Ghumârî dalam beberapa hadis. Akan tetapi, metode ini tidak menjadi prioritas baginya karena ia tetap mengutamakan pendapatnya sendiri seperti penggunaan banyak jalur sanad dengan syawâhid dan tawâbi‟. Hal ini terlihat dalam tashîh hadis al Ajda‟ adalah Syaitan yang telah dibahas di atas pada pembahasan metode tashîh hadis da‟îf dengan syawâhid dan tawâbi‟.

3) Tashîh hadis da‟îf dapat dilakukan jika matannya bersesuaian dengan realitas. Cara tashîh hadis da‟îf selanjutnya yang digunakan Ahmad al Ghumârî adalah keselarasan redaksi hadis dengan realitas yang ada. Hal ini terlihat dalam beberapa hadis da‟îf yang ditashîhnya dalam al Mudâwî.22 Ia mengatakan bahwa meskipun suatu hadis

22 Hadis yang dimaksud adalah a. hadis mengenai kecintaan terhadap harta benda (sepatu yang indah) ِ َِّ ِ َحَّدث َنَاِعُثَْما ُنِِبْ ُنِِعَُمَرِِال َّضِيّبِ،ِثناِعُثَْما ُنِِبْ ُنِِعَْبدِِاللهِِال َّشام يِ،ِثناِ َسلََمةُِِ ِ َِّ َّ بْ ُنِِسنَانِ،ِ َعنِِابْ ِنِ ُجَريْ جِ،ِ َع ْنِِ َعطَاءِ،ِ َعنِِابْنِِ َعبَّا سِ،ِقَاَل:ِقَاَلَِرُسوُلِاللهِ َصلىِ َّ ِ َّ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ اللهُِ َعلَْيهَِو َسل َم:ِ"إذَاََِتََّفَف ْتِأَُّمِِتِبا ْْلَفافِذَاتِالَْمنَاقبِالِرَجاُلَِوالنِ َساءُِوَخ َصُفواِ ِ ِ نَعاََلُْمََِتَلَّىِاللَّهُِمْن ُه ْم" Telah menceritakan kepada kami „Utsmân bin „Umar al Dabî, telah menceritakan kepada kami „Utsmân bin „Abdillâh al Syâmî, telah menceritakan kepada kami Salamah bin Sinân, dari Ibnu Juraij, dari „Atâ`, dari Ibnu „Abbâs, ia berkata: telah berkata Rasûlullâh sallallâhu „alaihi wa „alâ âlihî wasallam: “Apabila umatku telah memakai sepatu-sepatu yang indah, kaum laki-laki dan perempuan, dan mereka menyemir sepatu-sepatu mereka, maka Allah akan meninggalkan mereka”. Lihat: Abû al Qâsim Sulaimân bin Ahmad al Tabrânî, al Mu‟jam al Kabîr, 2th.ed., „Atâ‟ „an Ibnu „Abbâs, hadis nomor 11457, (Kairo: 162 berkualitas da‟îf tetapi realitas menyatakan kebenaran hadis tersebut maka hal tersebut menunjukkan kesahîhannya. Ahmad al Ghumârî mengatakan bahwa standar kesahîhan hadis tersebut bukan berdasarkan ﷺ kesahîhan sanadnya. Tanda kenabian Rasûlullâh dalam suatu hadis dapat dilihat dari pembenaran realitas terhadapnya. Hal yang dimaksud yaitu kenyataan

Maktabah Ibnu Taimiyah, t.th.), vol. 11, h. 190; Ahmad al Ghumârî, al Mudâwî li „Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî, vol. 1, h. 300- 301. b. hadis mengenai perempuan berkepala seperti ekor sapi ِ ِ ِ ِ ِ َحَّدث َنَاُُِمََّمُدِ ِبْ ُنِ ِا ْْلُ َسْيِ ِبْنِ ُِم ْكَرمِ، ِثناِإبْ َراهي ُمِ ِبْ ُنِ ِالُْم ْستَمِرِ ِالْعُُروق يِ،ِ ِ ِ ِ ِ ثناِ َع ْمُروِبْ ُنِِ َعاصمِ،ِثناِ ََحَّاُدِِبْ ُنَِِزيْدِِالْمْن َقر يِ،ِثناََِمْلَُدِِبْ ُنِِعُْقبَةَِِبْنِِ ُشَرْحبيلَِ،ِ َِّ َّ َّ ِ َّ ِ ِ َع ْنِِأَِبِِ َشْقَرةَِ،ِقَاَل:ِقَاَلَِرُسوُلِاللهِ َصلىِاللهُِ َعلَيْهَِو َسل َمِ:ِ"إذَاَِرأَيْ تُُمِالالِتِألَْقَْيِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َعلَىُِرءُوسه َّنِمثْ َلِأَ ْسنَمةِالْبَ َقرِفَأَ ْعل ُموُه َّنِأَنَّهُِالِي ُْقبَلََُِلَُّنِ َصالةِ " Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al Husain bin Mukram, telah menceritakan kepada kami Ibrâhîm bin al Mustamir al „Urûqî, telah menceritakan kepada kami „Amrû bin „Âsim, telah menceritakan kepada kami Hammâd bin Zaid al Minqarî, telah menceritakan kepada kami Makhlad bin „Uqbah bin Syarahbîl, dari Abî Syaqrah, ia berkata: telah berkata Rasûlullâh sallallâhu „alaihi wa „alâ âlihî wasallam: “Jika kalian melihat perempuan-perempuan yang memakaikan di atas kepala mereka seperti ekor sapi, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa shalat-shalat mereka tidak diterima”. Lihat: Abû al Qâsim Sulaimân bin Ahmad al Tabrânî, al Mu‟jam al Kabîr, Musnad man Yu‟raf bi al Kunâ, Man Yuknâ Abâ Syaqrah, hadis nomor 926, vol. 22, h. 370; Ahmad al Ghumârî, al Mudâwî li „Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî, vol. 1, h. 333. Dua hadis di atas merupakan hadis da‟îf yang ditashîh Ahmad al Ghumârî dalam kitab al Mudâwî karena bersesuaian dengan realitas. Kedua hadis tersebut ditemukan dalam al Mu‟jam al Kabîr karya al Tabrânî. Dikarenakan kitab tersebut tdi luar batasan penelitian ini, maka hadis-hadis tersebut tidak dituangkan dalam pembahasan sebelumnya (bab 3). Akan tetapi, dimunculkan di sini sebagai sampel metode tashîh hadis da‟îf dengan cara kesesuaian hadis dengan realitas zaman. 163 (realitas) yang terjadi saat ini telah diucapkan oleh sejak ribuan tahun yg lalu melalui matan ﷺ Rasûlullâh hadits tersebut.23 Standar kesahîhan hadis Ahmad al Ghumârî tanpa meneliti kualitas sanad terlebih dahulu, juga terlihat pada komentarnya “...ِ ِ ...” terhadap َالِِنَِظرِفِْيِهِ hadis yang dinilai ulama al jarh wa al ta‟dîl fî isnâdihi nazar.24 Dengan demikian, disimpulkan bahwa Ahmad al Ghumârî meletakkan standar kesahîhan hadisnya berdasarkan matan hadis tanpa meneliti sanadnya. Metode ini dapat diaplikasikan jika matan suatu hadis telah terbukti sesuai dengan realitas yang ada.

4) Tashîh hadis da‟îf dengan terkenalnya hadis (al syuhrah) dan periwayatannya dapat mencapai kualitas mutawâtir. Ahmad al Ghumârî menyatakan bahwa hadis da‟îf dapat meningkat kualitasnya menjadi sahîh jika hadis tersebut diriwayatkan secara mutawâtir dari Rasûlullâh Saw.25 Ia mentashîh hadis da‟îfnya, di antaranya hadis memasukkan 70.000 orang ke surga tanpa hisab26 yang dinilai da‟îf karena terdapat perawi mubham pada sanadnya. Akan tetapi, karena diriwayatkan mutawâtir yaitu sekitar 20 sahabat atau lebih dan di antara

23 Ahmad al Ghumârî, al Mudâwî li „Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî, vol. 1, h. 300, 333. 24 Hadis yang dimaksud adalah hadis mengenai perempuan berkepala seperti ekor sapi (lihat footnote nomor 22 di atas). Al Munâwî mengomentari hadis ini dengan menyebutkan komentar Ibnu „Abdilbar yaitu fî isnâdihi nazar. Lihat: Ahmad al Ghumârî, al Mudâwî li „Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî, vol. 1, h. 333. 25 Ahmad al Ghumârî, al Mudâwî li „Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî, vol. 1, h. 475, 513; vol. 2, h. 252 (hadis dinilai mutawâtir dengan sebab diriwayatkan 10 perawi Sahabat). 26 Lebih lanjut lihat hadis ke-8 pada bab 3. 164 beberapa jalurnya memiliki banyak jalur lain27 maka menurut Ahmad al Ghumârî cacat pada hadis tersebut dapat gugur dan meningkat kualitasnya menjadi hadis sahîh.

3. Pengaruh Metode Tashîh Hadis Da’îf Ahmad al Ghumârî Terhadap Kualitas Hadis Setelah diketahui metode tashîh hadis da‟îf Ahmad al Ghumârî berdasarkan penjelasan di atas, diperlukan contoh penerapannya secara langsung agar lebih memahami metode tersebut dan mengetahui letak perbedaannya dengan metode yang digunakan oleh ahli hadis pada hadis yang sama. Hadis yang akan dijadikan sampel di sini adalah hadis kota ilmu. Proses tashîh Ahmad al Ghumârî pada hadis ini dijelaskan secara langsung dan khusus pada kitabnya Fath al Malik al „Alî bi Sihhati Hadîts Bâb Madînatu al „Ilm al „Alî yang juga menjadi referensi sekunder penulis dalam mengungkap metode tashîhnya. Adapun takhrij hadis kota ilmu yang telah penulis telaah sebelumnya berdasarkan standar metode takhrij ahli hadis pada umumnya, dapat disimpulkan bahwa sanad hadis kota ilmu dari mukharrij al Hâkim termasuk hadis da‟îf dengan keda‟îfan yang kuat (al khata‟ al râjih) sehingga tidak dapat dilakukan peningkatan hadis. Indikasi keda‟îfan pada hadis tersebut ialah: a. Terdapatnya perawi da‟îf dalam rangkaian sanadnya yaitu al A‟masy yang terduga kuat melakukan tadlîs dan Abû al Silat „Abdussalâm bin Sâlih al Harawî banyak dicela kritikus hadis meliputi tidak tsiqah, banyak meriwayatkan hadis munkar, riwayat hadisnya mengenai keutamaan „Alî, Fâtimah, Hasan, dan Husain dinilai muttaham, termasuk Syiah Râfidî, dan kadzdzâb. b. Terputusnya sanad disebabkan tadlîs dari al A‟masy dan ditemukan beberapa perawi tidak saling bertemu yaitu

27 Ahmad al Ghumârî, al Mudâwî li „Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî, vol. 1, h. 513. 165 Abû al Silat al Harawî-Abû Mu‟âwiyah, Muhammad bin „Abdirrahmân al Harawî-Abû al Silat al Harawî dan Abû al „Abbâs Muhammad bin Ya‟qûb-Muhammad bin „Abdirrahmân al Harawî.28

Sedangkan Ahmad al Ghumârî, ia mentashîh hadis kota ilmu dan menolak pendapat yang menilai da‟îf (sebagaimana keda‟îfan yang ditemukan penulis di atas) dengan argumentasi: 1) Semua perawi dalam sanad hadis kota ilmu ini adalah „âdil dan dâbit, termasuk di dalamnya al A‟masy dan Abû al Silat al Harawî sehingga hadis melalui sanad Ibnu al „Abbâs dihukumi sahîh dengan kesendirian sanadnya.29 2) Adapun dasar penilaian „âdil dan dâbit oleh Ahmad al Ghumârî pada perawi al A‟masy dan Abû al Silat al Harawî adalah perawi al A‟masy dinilai termasuk rijâl al sahîh yang dapat dilihat dari kesepakatan kritikus hadis atas ketsiqahannya dan kecemerlangannya, Abû al Silat al Harawî juga dinilai tsiqah.30 Dalam penjelasannya ini, tidak ditemukan bantahannya secara langsung terhadap dugaan tadlîs al A‟masy. Sedangkan ketsiqahan Abû al Silat al Harawî telah diuraikan penulis argumentasi dari Ahmad al Ghumârî pada penjelasan kriteria al „adâlahnya. 3) Penggunaan syawâhid dan tawâbi‟. Syawâhid yang dimaksud adalah sanad dari Sahabat „Alî bin Abî Tâlib dan Jâbir bin „Abdillâh. Adapun tawâbi‟ dari sanad „Alî bin Abî Tâlib ada 4 jalur yaitu sanad dari al Hârits dan „Âsim bin Damrah, al Husain bin „Alî bin Abî Tâlib,

28 Penjelasan lengkap mengenai takhrij hadis kota ilmu ini telah dibahas pada bab 2 halaman 63-82. 29 Ahmad al Ghumârî, Fath al Malik al „Alî bi Sihhati Hadîts Bâb Madînatu al „Ilm al „Alî, h. 19 dan 51 30 Ahmad al Ghumârî, Fath al Malik al „Alî bi Sihhati Hadîts Bâb Madînatu al „Ilm al „Alî, h. 19. 166 al Asbagh bin Nabâtah, dan al Sya‟bî. Semua jalur melalui syawâhid dan tawâbi‟ dihukumi sahîh oleh Ahmad al Ghumârî.

Berdasarkan argumentasi Ahmad al Ghumârî yang diuraikan di atas, diketahui bahwa hadis kota ilmu (sebagai hadis usûl) yaitu dalam sanad Ibnu al „Abbâs telah dihukumi sahîh li dzâtihî (hal ini berbeda dengan pendapat mayoritas ahli hadis dan sebagaimana hasil penelitian takhrij penulis yang berkesimpulan hadis kota ilmu adalah hadis da‟îf). Sedangkan hadis-hadis lain dalam syawâhid dan tawâbi‟, juga diketahui telah dihukumi sahîh olehnya. Hal tersebut membuktikan kebenaran komentar Ahmad al Ghumârî yang menegaskan bahwa ia tidak melakukan tashîh hadis da‟îf. Akan tetapi, hadis usûlnya memang telah sahîh dan makin kuat kesahîhannya jika digabungkan dengan syawâhid dan tawâbi‟nya. Adapun komentar Ahmad al Ghumârî yang dimaksud adalah “...hadis ini sahîh yang tidak diragukan lagi kesahîhannya, bahkan ia paling sahîh di antara banyak hadis yang dihukumi sahîh lainnya...”.31 Pendapat di atas merupakan kesimpulan jika ditinjau dari sudut pandang Ahmad al Ghumârî. Adapun jika dilihat secara menyeluruh dan dibandingkan dengan metode ahli hadis pada umumnya, maka benar adanya bahwa Ahmad al Ghumârî telah melakukan tashîh hadis da‟îf pada hadis kota ilmu. Adapun hadis hadis usûl selain hadis kota ilmu yang tashîh olehnya dalam kitabnya al Mudâwî, diketahui dapat berkualitas hadis hasan32 maupun hadis da‟îf33. Dengan demikian, metode

31 Ia mengatakan: ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ َِّ َّ "...بَلِا ْْلَديْ ُثِ َصحيْ حَِالِ َش َّكِفِِص َّحته،ِبَ ْلُِهَوِأَ َص يحِم ْنَِكثْْيِم َنِاْْلَ َحاديْثِال ِْتِ ُحك ُمْواِ ِ ِ ِ بص َّحتَها..." Lihat: Ahmad bin Muhammad bin al Siddîq al Hasanî al Ghumârî, al Mudâwî li „Ilal al Jâmi‟ al Saghîr wa Syarh al Munâwî, vol. 3, h. 45 32 Lihat pembahasan hadis ke-4, 6, dan 8 pada bab 3. 167 tashîh hadis da‟îf terbukti telah dilakukan oleh Ahmad al Ghumârî.

B. Kritik Metode Tashîh Hadis Da’îf Ahmad al Ghumârî Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya bahwa ahli hadis berbeda pendapat mengenai tashîh hadis da‟îf tetapi mereka sepakat hadis da‟îf dapat meningkat kualitasnya34. Peningkatan hadis da‟îf tersebut berhubungan erat dengan sebab-sebab keda‟îfan hadis, demikian juga metode tashîh hadis da‟îf Ahmad al Ghumârî di atas. Metode tashîh suatu hadis menurut mayoritas ahli hadis selalu berkaitan dengan syarat hadis sahîh itu sendiri yaitu bersambung sanadnya, diriwayatkan perawi „âdil, dâbit, terhindar dari syadz dan „illah. Demikian halnya dengan metode Ahmad al Ghumârî dalam tashîhnya. Akan tetapi ditemukan pendapat berbeda yang menjadikan metode tashîh tersebut terlihat bertentangan dengan mayoritas ahli hadis, di antaranya yaitu penilaian perawi dalam hal al „adâlahnya. Berikut analisis (kritik) penulis mengenai hal-hal yang berhubungan dengan metode tashîh hadis da‟îf Ahmad al Ghumârî:

33 Lihat pembahasan hadis ke-3, 5, pada bab 3. 34 Mayoritas ahli hadis berpendapat bahwa hadis da‟îf dapat ditingkatkan kualitasnya sampai ke kualitas hadis hasan. Ulama yang sependapat dengan pendapat ini adalah Abû „Amrun bin al Salâh al Syahrauzûrî (w. 643 H) atau yang dikenal dengan nama Ibnu al Salâh, „Abdu al Qâdir al Rahâwî (w. 615 H), Zakiyyuddîn „Abdu al ‟Adîm al Mundzirî (w. 656 H), Abû Zakariyyâ Yahyâ al Nawawî (w. 676 H), Ibnu Sayyid al Nâs Muhammad al Ya‟marî (w. 734 H), Abû „Abdullâh al Husain al Tîbî (w. 743 H), Abû al Fidâ` Ismâ‟îl bin Katsîr al Dimasyqî (w. 774 H).34Zafar Ahmad al „Utsmânî al Tahânawî menambahkan bahwa pendapat peningkatan hadis da‟îf menjadi hasan dengan banyak jalur sanad lain ini dapat dijadikan hujjah. Lihat: al Sâmarrâ`î, “Opinion Prudent to Streangthen The Weak Talk (al Ra`yu al Hasîf fî Taqwiyah al Hadîts al Da‟îf)”, Reasearch and Islamic Studies Magazine, Issue 4 (2006), h. 267; al Tahânawî, Qawâ‟id fî „Ulûm al Hadîts, h. 78. 168 1. al ‘Adâlah Penerapan al „adâlah Ahmad al Ghumârî berdampak pada penerimaan periwayatan dari perawi pendusta, pemalsu hadis, ahli bid‟ah dan lainnya yang selama ini dinilai mayoritas ahli hadis sebagai kecacatan pada al „adâlah seorang perawi sehingga tidak dapat dilakukan tashîh. Hal tersebut karena Ahmad al Ghumârî menerapkan al „adâlah sebagai kondisi khusus seorang perawi tidak berdusta dalam konteks saja (bukan kedustaan ﷺ periwayatan hadis Rasûlullâh lainnya) sebagai hasil dari konsistensi ketaqwaan dan penghindaran dari segala maksiat Bertentangan dengan Ahmad al Ghumârî, Ibnu Hajar memandang penerapan al „adâlah berupa konsistensi ketaqwaan perawi yang terlihat dengan penjagaan diri dari perbuatan buruk berupa kesyirikan, kefasikan, maupun bid‟ah.35 Oleh karena itu perawi dengan cacat al „adâlah berpengaruh terhadap kesahîhan hadis. Cacat kualitas perawi (al „adâlah) menjadi fokus perhatian tersendiri muhadditsîn dalam peningkatan kualitas hadis da‟îf. „Ajjâj al Khatîb menilai kecacatan tersebut mengakibatkan tidak dapat ditingkatkan kualitas hadis da‟îf walaupun ia memiliki banyak sanad lain. Kecacatan yang dimaksud yaitu seperti berdusta (tertuduh berdusta kepada -berdusta dalam menceritakan perkataan ,(ﷺ Rasûlullâh perkataan orang lain, kefasikan, tidak diketahui kualitas perawi (majhûl), melakukan bid‟ah yang menjadikannya kafir, dan lainnya disebabkan kuatnya (sangat buruk) sebab-sebab keda‟îfan hadis tersebut. Sedangkan keda‟îfan karena cacat kapasitas intelektual perawi (hafalan dan al dabt) seperti lupa/lalai, sering salah, buruk hafalan, kerancuan hafalan, dan

35 Lebih lanjut Ibnu Hajar menjelaskan hal-hal yang dapat mengganggu (cacat) al „adâlah perawi adalah kekafiran, anak kecil yang belum mumayyiz, orang gila, fâsiq, ahlu bid‟ah mukaffarah, ahlu bid‟ah mufassaqah/ ghairu mukaffarah, meminta upah dari hadis, dan berdusta terhadap hadis. Lihat: Al „Asqalânî, Nuzhah al Nazar fi Taudîh Nukhbah al Fikr fî Mustalah Ahl al Atsar, h. 69, 99-101. 169 kekeliruan seperti memausûlkan hadis mursal/ munqati‟, dapat dilakukan peningkatkan kualitas hadis da‟îf dengan banyak jalur sanad lain karena keda‟îfan hadis dapat gugur dengan diketahuinya kualitas hafalan perawi yang tidak cacat pada sanad lain.36 Demikian juga al Nawâwî (w. 676 H) yang mengatakan bahwa hadis da‟îf karena kefasiqan perawi tidak dapat ditingkatkan kualitasnya dengan adanya sanad lain.37 Ibnu Nâsiruddîn al Dimasyqî (w. 842 H) menambahkan da‟îf yang sangat berat di atas seperti terdapat perawi pendusta, pemalsu, tertuduh sebagai pemalsu, matrûk, gugur sanadnya, dan lainnya tidak dapat ditingkatkan kualitasnya meskipun memiliki banyak jalur sanad karena tidak dapat ditoleransi keda‟îfannya. Pendapat tersebut merupakan pendapat masyhur. Bahkan hadis seperti ini tidak boleh diriwayatkan tanpa disertai penjelasan keadaannya dan ia tidak boleh diyakini secara mutlak sebagai hadis.38 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis da‟îf yang tidak dapat ditingkatkan kualitasnya menurut ahli hadis adalah yang memiliki sebab keda‟îfan yang kuat yaitu adanya kecacatan al „adâlah seorang perawi. Sedangkan Ahmad al Ghumârî dengan konstruksi al „adâlahnya tersendiri, mengakibatkan sebab-sebab kecacatan al „adâlah perawi di atas tidak diterimanya sehingga hasil akhir penilaian kualitas hadisnya menjadi berbeda dengan ahli hadis lain.

2. Tashîh hadis da’îf dengan syawâhid dan tawâbi’ Selain al „adâlah, penggunaan jalur sanad lain (syawâhid dan tawâbi‟) juga dilakukan ahli hadis dalam peningkatan kualitas suatu hadis. I‟tibâr sanad menjadi cara

36 Al Khatîb, Usûl al Hadîts „Ulûmuhu wa Mustalahuhu, h. 249-250. 37 Muhyuddîn Abî Zakariyyâ Yahyâ bin Syaraf al Nawâwî al Dimasyqî, al Manhal al Râwî fî Taqrîb al Nawâwî, (t.tp.: Dâr al Malâh li al Tibâ‟ah wa al Nasyr, t.th.), h. 49. 38 Ibnu Nâsiruddîn al Dimasyqî, Mutiara Ilmu Atsar Kitab Klasifikasi Hadis, yang diterjemahkan oleh Faisal Saleh dan Khoirul Amru Harahap, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2008), h. 195-196. 170 untuk mengetahui jalur-jalur sanad berupa syawâhid dan tawâbi‟ tersebut.39 Pemakaian syawâhid dan tawâbi‟ ini di antaranya berfungsi untuk mengetahui syarat kesahîhan hadis, di antaranya yaitu ketersambungan sanad. Selain itu, ia berfungsi untuk mengetahui ada dan tidaknya jalur sanad lain dengan perawi yang dapat menghilangkan keda‟îfan perawi pada sanad usûl. Keadaan tersebut seperti tidak diketahuinya identitas (jahâlah) perawi yang dengan ditemukannya dua perawi/ lebih lainnya dapat menghilangkan jahâlah tersebut40. I‟tibâr juga berfungsi untuk melihat apakah ada jalur yang lebih kuat dari suatu hadis da‟îf sehingga dapat ditingkatnya kualitasnya dengan jalur-jalur lain dan fungsi-fungsi lainnya yang digunakan pada peningkatan kualitas hadis. Ahli hadis baik klasik maupun kontemporer banyak yang menggunakan syawâhid dan tawâbi‟ dalam peningkatan hadis pada seperti Mâlik bin Anas, al Syâfi‟î, Ahmad bin Hanbal, al Bukhârî, al Tirmidzî, al Hâkim, dan lainnya. Ahli hadis dari kelompok Syiah juga diketahui menerapkan tashîh hadis da‟îf dengan syawâhid dan tawâbi‟ seperti al Kulainî, al Tûsî, dan Husain bin „Abd al Samad al „Âmilî. Adapun mayoritas ahli hadis, mereka hanya menerima peningkatan hadis da‟îf sampai kualitas hasan saja dan dengan syarat hadis da‟îf tersebut dengan keda‟îfan yang ringan.41 Yahyâ bin Syaraf bin al Hizâmî al Nawâwî (w. 676 H) mengatakan dalam al Taqrîb, “...hadis da‟îf ketika memiliki banyak jalur periwayatan, ia naik dari lemah (da‟îf) ke hasan, lalu diterima (maqbûl)...” 42. Persyaratan pemakaian syawâhid dan tawâbi‟ sebagai metode peningkatan kualitas hadis tidak ditemukan secara jelas kecuali hanya didapatkan beberapa ahli hadis yang

39 Al Khatîb, Usûl al Hadîts „Ulûmuhu wa Mustalahuhu, h. 367. 40 Al Khatîb, Usûl al Hadîts „Ulûmuhu wa Mustalahuhu, h. 270. 41 Pembahasan ini dapat dilihat kembali pada bab 2 mengenai pandangan ahli hadis dalam peningkatan kualitas hadis. 42 Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, 8th.ed., h. 163- 164. 171 menggunakannya di antaranya al Bukhârî. Ia menggunakan syawâhid dan tawâbi‟ dengan hadis da‟îf yang ringan dan tidak tertuduh berdusta karena akan mempengaruhi al „adâlahnya.43 Dengan demikian pemakaian syawâhid dan tawâbi‟ sudah menjadi metode yang banyak digunakan dalam ilmu hadis pada peningkatan kualitas hadis, hanya saja penggunaannya disesuaikan dengan standar syarat kesahîhan hadis secara umum sehingga hadis yang akan dijadikan syawâhid dan tawâbi‟ lebih kuat sanadnya dan dapat menghilangkan keda‟îfan suatu hadis yang akan ditingkatkan kualitasnya serta dapat meningkat ke kualitas yang lebih tinggi. Selain itu hadis yang akan ditingkatkan juga diharuskan hadis dengan keda‟îfan yang ringan. Adapun Ahmad al Ghumârî, ia tetap memperhatikan hal tersebut. Perbedaannya hanya terdapat pada kriteria al „adâlahnya sehingga hadis usûl yang dianggapnya tidak memiliki cacat al „adâlah dinilai cacat oleh ahli hadis lain. Hal tersebut berakibat pada perbedaan kualitas suatu hadis usûl yang akan ditingkatkannya sehingga menjadi berbeda pula saat telah ditingkatkan kualitasnya. Seperti pada periwayatan hadis dengan perawi yang dikenal pendusta/ tertuduh dusta yang ditashîhnya.

3. Tashîh hadis da’îf meskipun terdapat perawi pendusta/ tertuduh dusta dalam sanad hadisnya Pendapat Ahmad al Ghumârî mengenai tashîh perawi pendusta/ tertuduh dusta yang dikatakannya juga dilakukan oleh al Bukhârî dan Muslim dalam al Jâmi‟ al Sahîhnya,44 perlu dipertimbangkan kembali. Periwayatan perawi pendusta dalam al Jâmi‟ al Sahîh karya al Bukhârî ini ditanggapi Nâfidz Husain Hammâd (l. 1956), di antaranya pada perawi Asîd bin Zaid al

43 Hasun, “Manhaj al Imâm al Bukhârî fî al Riwâyah „Amman Rumiya bi al Bid‟ah wa Marwiyyâtihim fî al Jâmi‟ al Sahîh”, (Tesis S2 Fakultas Dakwah dan Ushuluddin, Universitas Umm al Qurâ Makkah, 2003), h. 181. 44 Lihat halaman 156-157 dalam penelitian ini. 172 Jammâl yang diketahui merupakan perawi al Bukhârî dan diketahui ia dinilai pendusta oleh banyak kritikus hadis. Perawi Asîd bin Zaid al Jammâl yang dinilai pendusta tersebut, dinyatakan oleh Ibnu Hajar bahwa periwayatannya diterima al Bukhârî karena terdapat kemungkinan tsiqah menurutnya. Hal tersebut juga dikuatkan pendapat mayoritas ahli hadis yang meyakini al Bukhârî tidak akan meriwayatkan perawi yang telah dipastikan keda‟îfannya. Dalam al Jâmi‟ al Sahîhnya, al Bukhârî menyebutkan satu sanad periwayatan Asîd bin Zaid yaitu dari Husyaim dari Husain bin „Abdirrahmân. Nâfidz Husain Hammâd mengatakan di antara sebab sanad tersebut diambil al Bukhârî adalah sebagaimana penjelasan Ibnu „Adî yaitu karena terdapat Husyaim yang merupakan perawi yang tetap ketsiqahannya dibandingkan Husain. Selain itu, periwayatan Asîd bin Zaid tidaklah sendirian melainkan terdapat sanad-sanad lain dari perawi tsiqah yang disebutkan Muslim yaitu dari Sa‟îd bin Mansûr, dan Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya dari Suraij bin al Nu‟mân dan Syujâ‟ bin Makhlad yang semua sanadnya bersambung dari Husyaim. Selain itu, periwayatannya terdapat pada tawâbi‟ bukan hadis usûl.45 Adapun Ahmad al Ghumârî, maka ia menggunakannya dalam hadis usûl.

4. Tashîh hadis da’îf meskipun terdapat perawi ahli bid’ah dalam sanad hadisnya Kriteria al „adâlah Ahmad al Ghumârî yang berbeda juga berpengaruh pada penerimaannya terhadap periwayatan ahli bid‟ah baik dâ‟iyyah maupun tidak. Ia menilai hal tersebut tidak merusak al „adâlah dan periwayatannya diterima jika ia merupakan perawi yang terpercaya dalam meriwayatkan

45 Nâfidz Husain Hammâd, “Ra`b al Sad‟ li Ahâdîts al Muttahimîn bi al Wad‟ mimman Infarada bihim al Bukhârî „an Muslim”, Majallah Kulliyyah al Tarbiyyah, Issue 1 (1997), h. 12-16, jurnal diakses pada 16 Mei 2019 dari http: //www.alaqsa.edu.ps/site_resources/aqsa_magazine/files/593.pdf 173 hadisnya dan tidak melakukan perbuatan fasiq pada agamanya. Pendapatnya dalam penerimaan periwayatan ahli bid‟ah dengan persyaratan termasuk perawi terpercaya juga dilakukan ahli hadis lain seperti al Bukhârî, Muslim, Ibnu Khuzaimah, dan lainnya.46 Periwayatan ahli bid‟ah yang disifati tsiqah, „âdil, dan itqân dijelaskan al Dzahabî bahwa bid‟ah terbagi menjadi dua yaitu bid‟ah sughrâ dan bid‟ah kubrâ: 1. Bid‟ah sughrâ adalah seperti sikap Syiah yang tidak berlebihan (ghuluw) dan tidak menyimpang (taharruf). Bid‟ah seperti ini, diterima periwayatannya. 2. Bid‟ah kubrâ yang dimaksud adalah seperti al Rafd al Kâmil, ghuluw, dan mendakwahkan kebid‟ahannya, maka periwayatannya ditolak dan tidak dapat dijadikan hujjah. Hal yang sama juga dijelaskan Ibnu Hajar yaitu yang ghulât al Rawâfid yang mendakwahkan fahamnya sehingga dinilai telah membuat pelakunya kafir dan fasiq. Kebid‟ahan yang mengakibatkan kekufuran pelakunya mengakibatkan tidak diperbolehkan berhujjah dengan periwayatannya dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Sedangkan penerimaan periwayatan ahli bid‟ah yang tidak mendakwahkan bid‟ahnya dengan periwayatanya yang tidak memperkuat pemahamannya, maka periwayatan tersebut diterima. Pendapat ini dianut oleh Ahmad bin Hanbal.47

Penjelasan lebih lanjut ditemukan pada penelitian Amrullah dalam tulisannya yang berjudul, Kontak Lintas Aliran Teologis dalam Periwayatan Hadis, Studi Perawi Mubadda‟ûn

46 Maman Abdurrahman, Teori Hadis Sebuah Pergeseran Pemikiran, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), h. 131. 47 Al Dzahabî, Mîzân al I‟tidâl fî Naqdi al Rijâl, vol. 1, h. 5-6; „Abû Bakr Ahmad bin „Alî bin Tsâbit al Khotîb al Baghdâdî, al Kifayah fî „Ilmi al Riwâyah, (Beirut: Dâr al Kutub al „Ilmiyyah, t.t.), h. 121. 174 dalam Sahîh Al Bukhari.48 Ia membagi kredibilitas ahli bid‟ah menjadi dua kategori yaitu bid‟ah mukaffarah dan bid‟ah ghairu mukaffarah sebagai berikut:

a. Bid‟ah mukaffarah Penerimaan periwayatan ahli bid‟ah mukaffarah terbagi menjadi 3 yaitu: 1. Diterima periwayatannya. al Khatîb Baghdâdî (392- 463 H) mengatakan pendapat ini diikuti sebagian ahli hadis dan Mutakallim. 2. Diterima periwayatannya jika ahli bid‟ah mukaffarah ini meyakini keharaman berbohong secara ﷺ secara umum dan atas nama Rasûlullâh khusus. Pendapat ini diikuti oleh sebagian ahli usûl al fiqh, Fakhruddîn al Râzî (544-606 H), dan al Baidâwî (w. 691 H). 3. Ditolak periwayatannya secara mutlak. al Nawâwî menyatakan pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama.

b. Bid‟ah ghairu mukaffarah atau ahli bid‟ah mufassiqah Penerimaan periwayatan ahli bid‟ah ini terbagi dalam lima pendapat yaitu: 1. Ditolak periwayatannya secara mutlak. al Khatîb Baghdâdî mengatakan bahwa pendapat ini adalah pendapat Mâlik bin Anas. 2. Diterima periwayatannya jika ahli bid‟ah mukaffarah atau ahli bid‟ah mufassiqah tidak menghalalkan kebohongan untuk mendukung mazhab mereka baik sebagai ahli bid‟ah dâ‟iyyah maupun tidak. Pendapat ini menurut al Khatîb

48 Amrullah, “Kontak Lintas Aliran Teologis dalam Periwayatan Hadis, Studi Perawi Mubadda‟ûn dalam Sahîh Al Bukhari”, (Disertasi, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya. 2015), disertasi diunduh dari http://digilib.uinsby.ac.id/4042/ pada tanggal 19 Juli 2019. 175 Baghdâdî dan al Sakhâwî diikuti oleh al Syâfi‟î, Ibnu Abî Lailâ (74-148 H), Sufyan al Tsaurî, Abû Hanîfah, dan Abû Yûsuf (113-182 H). 3. Diterima periwayatannya jika substansi periwayatan tersebut menyanggah (membantah) pendapat mazhabnya. al Sakhâwî memberikan komentar bahwa penerimaan perawi yang demikian karena perawi tersebut dinilai jauh dari kebohongan. 4. Diterima periwayatannya jika termasuk kategori bid‟ah sughrâ dan ditolak jika termasuk bid‟ah kubrâ. Ini merupakan pendapat al Dzahabî yang telah dijelaskan penulis di atas. 5. Diterima periwayatannya jika tidak termasuk ahli bid‟ah dâ‟iyyah dan ditolak jika sebaliknya. al Khatîb Baghdâdî, al Sakhâwî, Ibnu al Salâh menyatakan bahwa pendapat ini diikuti oleh Ahmad bin Hanbal dan mayoritas ahli hadis.49

Bertolak penjelasan di atas, menegaskan sikap mayoritas ahli hadis bahwa mereka menerima periwayatan dari perawi ahli bid‟ah yang tidak menyerukan kebid‟ahannya dan menolak sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan ahli bid‟ah dâ‟iyyah telah jatuh kepada kefasiqan sehingga tertolak hadisnya. Bertenta- ngan dengan penjelasan tersebut, pendapat Ahmad al Ghumârî menyatakan periwayatan ahli bid‟ah (baik dâ‟iyyah maupun tidak) hanya dapat tertolak jika perawi tersebut ditemukan melakukan kefasikan pada agamanya bukan disebabkan menyeru pada kebid‟ahan sebagaimana yang disampaikan Ibnu Hajar. Perbedaan inilah yang menjadikannya menyalahi pendapat muhadditsîn pada umumnya yang menolak periwayatan ahli bid‟ah dâ‟iyyah secara keseluruhan.

49 Amrullah, “Kontak Lintas Aliran Teologis dalam Periwayatan Hadis, Studi Perawi Mubadda‟ûn dalam Sahîh Al Bukhari”, h. 84-90. 176 Adapun pendapat Ahmad al Ghumârî yang menyatakan terdapatnya periwayatan ahli bid‟ah al Bukhârî dalam al Jâmi‟ al Sahîhnya, maka hal ini bukanlah keumuman dari syarat- syarat periwayatan al Bukhârî. Namun, hanya merupakan bagian dari tambahan jalur-jalur periwayatan (bukan hadis- hadis utamanya) yaitu periwayatan yang dipakai dalam hadis- hadis syawâhid dan tawâbi‟ dengan hadis usûlnya yang telah disebutkan sebelumnya oleh al Bukhârî, atau ia menyebutkan- nya dalam hadis-hadis syawâhid dan tawâbi‟ jika hadis usûlnya memiliki jalur periwayatan lain. Adapun terkait bid‟ahnya perawi, al Bukhârî mengambil perawi yang bid‟ahnya tidak tetap (tsâbit) secara keseluruhan, perawi yang bid‟ahnya tetap tetapi bertobat setelahnya, dan perawi yang bid‟ahnya tetap tetapi tidak meriwayatkan hadis untuk menguatkan kebid‟ahannya, jikalau meriwayatkan hadis maka hal tersebut adalah dikarenakan ketsiqohan dan kedâbitannya.50

5. Tashîh hadis da’îf dengan berpedoman syarat kesahîhan hadis al Bukhârî dan Muslim atau salah satunya Adapun pedoman syarat kesahîhan hadis al Bukhârî dan Muslim atau salah satunya juga secara umum yang digunakan Ahmad al Ghumârî dalam menilai perawi hadis, hal tersebut banyak dipakai ulama lain mengingat hadis yang diriwayatkan keduanya diakui mayoritas ahli hadis sebagai sanad hadis yang paling sahîh. Keutamaan perawi-perawi al Bukhârî dan Muslim dalam al Sahîhain diketahui dari telaah kitabnya. Abû Bakr Muhammad bin Mûsâ al Hâzimî dalam Syurût al A`immah al Sittahnya mengungkapkan bahwa persyaratan keduanya dalam periwayatan hadis adalah diharuskan adanya kejelasan

50 Bintu Khâlid Muhammad Hasun, “Manhaj al Imâm al Bukhârî fî al Riwâyah „Amman Rumiya bi al Bid‟ah wa Marwiyyâtihim fî al Jâmi‟ al Sahîh”, (Tesis S2 Fakultas Dakwah dan Ushuluddin, Universitas Umm al Qurâ Makkah, 2003), h. 170-172, tesis diakses pada 20 Maret 2017 dari http://riyadhalelm.com/play-7896.html 177 ketsiqahan perawi hingga ke Sahabat yang terkenal tanpa ditemukan ikhtilaf antara al tsiqât al atsbât dan sanadnya bersambung. Adapun jika ditemukan perawi yang tidak jelas (syubhah) maka ditinggalkan al Bukhârî berbeda dengan Muslim mengambilnya dengan menghilangkan keraguan tersebut.51 Sikap Ahmad al Ghumârî dalam penerimaan hadis ketika telah diketahui dari perawi al Bukhârî dan Muslim atau salah satunya juga merupakan bagian dari keikutsertaan pendapatnya pada pendapat ahli hadis. Sedangkan prioritasnya pada penilaian al „adâlahnya dan syawâhid-tawâbi‟ dibanding- kan dengan syarat kesahîhan hadis al Bukhârî dan Muslim maka hal tersebut dapat difahami sebagai kontribusinya menjadi bagian dari ahli hadis dalam mengokohkan metode tashîhnya tersendiri.

6. Tashîh hadis da’îf dengan al syuhrah dan periwayatannya dapat mencapai kualitas mutawâtir Adapun metode tashîh hadis da‟îf Ahmad al Ghumârî dengan terkenalnya hadis tersebut (al syuhrah) dan periwayatannya dapat mencapai kualitas mutawâtir, maka hal tersebut harus tetap mempertimbangkan kesahîhan sanadnya. Hal ini sebagaimana diungkapkan Nuruddin „Itr bahwa sering terdapat anggapan kemasyhuran dengan berbilangnya perawi mengesankan kekuatan dan kesahîhan sanadnya. Akan tetapi, ahli hadis meniadakan anggapan tersebut jika tidak disertai kesahîhan sanad atau sanad-sanad yang saling menguatkan sehingga dapat dijadikan hujjah.52 Sebagaimana hadis mutawâtir pun juga harus dilakukan penelitian sanad karena ia diterima jika memenuhi empat syarat yaitu: a. diriwayatkan banyak perawi, ahli hadis berbeda pendapat mengenai batas jumlah minimal perawi ini tetapi pendapat yang dipilih di sini adalah 10 perawi,

51 Abû Bakr Muhammad bin Mûsâ al Hâzimî, Syurût al A`immah al Sittah, (Beirut: Dâr al Kutub al „Ilmiyyah, 1984), h. 17-18. 52 „Itr, „Ulumul Hadis, h. 434. 178 b. jumlah perawi tersebut terdapat pada semua tingkatan sanad, c. mustahil adanya kesepakatan untuk berdusta, d. sandaran hadisnya dilakukan melalui indera (al his) seperti perkataan, sami‟nâ, ra`ainâ, atau lamasnâ. Sedangkan jika penyandarannya berdasarkan akal, maka ia tidak dapat disebut sebagai mutawâtir.53

7. Tashîh hadis da’îf jika matan hadis bersesuaian dengan realitas Metode tashîh hadis da‟îf Ahmad al Ghumârî yang disebutkan dapat dilakukan jika matannya bersesuaian dengan realitas, maka menurut penulis hadis tersebut juga harus dilakukan penelitian sanad terlebih dahulu sebelum dilakukan tashîh sebagaimana pedoman umum dalam melaksanakan kritik matan. Pelaksanaan metode kritik matan dimulai dengan melaksanakan kritik sanad terlebih dahulu. Hal ini terlihat seakan-akan terbalik dengan sejarah kritik hadis karena kritik ﷺ matan telah menjadi tradisi di kalangan Sahabat Rasûlullâh sehingga ia datang terlebih dahulu daripada kritik sanad. Pembalikkan alur penelitian ini diprediksi karena kontrol integritas keagamaan (al „adâlah) dan loyalitas umat Islam dalam membela hadis telah menurun dan memprihatinkan dengan ditemukannya berbagai pemalsuan hadis yang didorong berbagai kepentingan dan muncul kerancuan hadis.54 Pengujian terhadap kualitas sanad dengan kritik sanad lebih didahulukan dari kritik matan, memiliki urgensi yang besar yaitu perspektif historis yang terdapat dalam kritik sanad sangat berguna untuk mengkritisi kebenaran teks matan yang merupakan historical report. Pendapat ini didasarkan dengan beberapa pertimbangan di antaranya:

53 Al Tahhân, Taisîr Mustalah al Hadîts, h. 24. 54 Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis Versi Muhaddisin dan Fuqaha, (Yogyakarta: Teras, 2004), h. 50. 179 a. Latar belakang sejarah periwayatan hadis didominasi dengan tradisi periwayatan secara langsung dengan penuturan (syafahî) sampai periode Tabi‟in sehingga data hadis yang tertulis ditemukan sangat sedikit. Silsilah keguruan (hubungan guru-murid) menjadi tolok ukur penentu data kesejarahan hadis karenanya kecil kemungkinan didasarkan pada dokumentasi tertulis. b. Identifikasi kepribadian setiap perawi hadis dalam rangkaian sanad melalui penelitian biografinya dinilai efektif dalam upaya pencegahan terhadap gejala pemalsuan hadis. c. Uji kualitas matan hadis lebih ditentukan melalui tingkat kredibilitas perawi yang terlihat dari kurang meratanya pemanfaatan periwayatan hadis dengan makna (al riwâyah bi al ma‟nâ) dan ditemukan sebagian perawi lebih berdisiplin dalam meriwayatkan hadis secara harfiah (al riwâyah bi al lafzî). d. Hasil uji hipotesis penelitian syadz pada matan berbanding lurus dengan keberadaan perawi syadz dalam sanad hadis yang dapat diketahui hanya dengan melakukan penelitian kedâbitan perawi dalam kritik sanad.55

Adapun standar kesahîhan hadis Ahmad al Ghumârî yang disandarkan pada kesesuaian matan dengan realitas, maka metode tersebut memang benar adanya digunakan oleh ahli hadis sebagai salah satu cara untuk mengetahui kesahîhan hadis yaitu tidak bertentangan dengan fakta sejarah.56 Akan tetapi hal

55 Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat pada: Abbas, Kritik Matan Hadis Versi Muhaddisin dan Fuqaha, h. 54-57. 56 Metode kritik matan selengkapnya yang dimaksud adalah a) tidak bertentangan dengan al Qur‟an, b) tidak bertentangan dengan hadis yang tsâbit (telah diakui keberadaannya) dan sirah nabawiyah, c) tidak bertentangan dengan akal sehat, data empirik, dan fakta sejarah, d) layak Lihat: Abbas, Kritik Matan Hadis .ﷺ dihukumi sebagai ungkapan Rasûlullâh Versi Muhaddisin dan Fuqaha, h. 113. 180 tersebut harus didahului dengan penelitian sanad. Jika sanad dinilai sahîh dan matan bersesuaian dengan realitas, maka baru dapat dihukumi hadis tersebut sahîh secara keseluruhan. Sedangkan jika kondisi sanad telah dinilai tidak sahîh (da‟îf) maka sikap ahli hadis memberikan toleransi untuk dilakukan kritik matan pada kasus sanad da‟îf yaitu pada hadis yang bersanad mursal dan mursal sahâbî karena dimungkinkan kondisi matannya sahîh yaitu dengan adanya potensi kehujjahan matan hadis tersebut sebagaimana dilakukan oleh al Syâfi‟î.57 Dengan demikian pendapat Ahmad al Ghumârî yang mengutamakan kesesuaian matan dengan realitas karena menurutnya telah memenuhi kriteria kesahîhan hadis sehingga langsung diterima tanpa memperhatikan kesahîhan sanadnya, maka hal tersebut bertentangan dengan pendapat ahli hadis lain. Hal ini disebabkan: 1. kritik sanad harus didahulukan daripada kritik matan dalam menentukan kesahîhan hadis (adapun Ahmad al Ghumârî, ia hanya melihat dari segi matan saja) 2. kritik matan yang dilakukan pada hadis da‟îf diperbolehkan pada hadis yang bersanad mursal dan mursal Sahabat.

Bertolak dari penjelasan di atas, banyak ditemukan perbedaan pendapat muhadditsîn mengenai metode tashîh hadis da‟îf dimulai sejak penentuan boleh dan tidaknya dilakukan peningkatan kualitas hadis da‟îf. Masing-masing pendapat memiliki pijakan ilmiah tersendiri dari para pengusungnya. Hal ini dimaknai Zafar Ahmad al „Utsmânî al Tahânawî sebagai bentuk ijtihad.58 Sebagaimana Ahmad al Ghumârî yang dapat disimpulkan, bahwa ia memposisikan metode tashîh hadis da‟îfnya sebagai ijtihad ahli hadis dengan kerangka metode di atas yang dapat berbeda dengan ahli hadis lainnya.

57 Abbas, Kritik Matan Hadis Versi Muhaddisin dan Fuqaha, h. 62- 63. 58 Al Tahânawî , Qawâ‟id fî „Ulûm al Hadîts, h. 49. 181 Terlepas dari berbagai perbedaan tersebut, hadis yang diakui sebagai sumber hukum kedua dalam Islam memiliki kedudukan yang penting dalam penentuan hujjah. Relasinya sebagai dalil syariat berada di bawah al Quran yang bersifat qat‟î. Sedangkan hadis bersifat zannî karena banyak ditemukan hadis ahad.59 Adapun berhujjah dengan hadis da‟îf maka ahli hadis di antaranya Ahmad bin Hanbal, „Abdurrahmân bin Mahdî, dan „Abdullâh bin Mubârak membolehkannya dalam keutamaan beramal, cerita, dan penetapan hukum. Namun dilarang dalam masalah aqidah. Ibnu Hajar mensyaratkan 3 hal dalam berhujjah dengan hadis da‟îf yaitu: 1. tidak syadîd al da‟f (hadis da‟îf dengan keda‟îfan yang kuat seperti adanya perawi kadzdzâb, tertuduh dusta, banyak kesalahan periwayatan) meskipun hanya untuk keutamaan beramal, 2. pengamalan hadis da‟îf masih berada di bawah yang dapat diamalkan (hadis sahîh dan hasan), keadaan ini seperti pengamalan dengan hadis da‟îf yang memiliki tawâbi‟ hadis sahîh atau hadis hasan, 3. tidak meyakini hadis da‟îf bersumber dari Rasûlullâh Saw dan pengamalannya hanya bertujuan kehati-hatian.

Mengingat pentingnya hadis da‟îf tersebut, ahli hadis melarang penyampaiannya tanpa menjelaskan sanadnya.60 Selain itu, urgensinya juga terlihat dalam hubungannya dengan kehujjahan, maka peningkatan hadis da‟îf dan pendapat mengenai tashîhnya pun harus diperhatikan bagaimana tanggapan dari ahli hadis. Hal ini disebabkan jika suatu hadis da‟îf dapat ditashîh, maka sifat hujjahnya berubah menjadi boleh secara mutlak baik terhadap pengamalan maupun hukum Islam, bahkan dapat diamalkan dalam masalah aqidah. Hal

59 Manna‟ al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, yang diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2004), h . 34. 60 Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, h. 229-231. 182 tersebut tentunya akan berpengaruh besar dalam konstruksi bangunan Islam secara menyeluruh.

183

184 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpul- kan beberapa hal sebagai berikut: 1. Metode tashîh hadis da’îf menurut Ahmad al Ghumârî dapat difahami sebagai metode peningkatan hadis da’îf dengan perangkat penguat dan qarâ`in lainnya sehingga dapat mencapai derajat sahîh. Setelah dilakukan penelitian mendalam, diketahui bahwa hadis usûl yang dinilai da’îf oleh ahli hadis, tidak sepenuhnya da’îf dalam perspektif Ahmad al Ghumârî karena hadis usûl tersebut dapat berupa hadis hasan bahkan sahîh li dzâtihî. 2. Metodologi tashîh hadis da’îf Ahmad al Ghumârî dalam kitabnya al Mudâwî meliputi: a. Penggunaan banyak jalur sanad lain melalui syawâhid dan tawâbi’. b. Sanad hadis telah sesuai dengan syarat kesahîhan hadis al Bukhârî dan Muslim atau salah satunya (pada rijâlnya). c. Kesesuaian matan hadis dengan realitas. Jika suatu hadis ditemukan matan hadisnya telah sesuai dengan realitas, maka tidak diperlukan penelitian terhadap sanad karena dianggap telah memenuhi syarat kesahîhan hadis. d. Terkenalnya suatu hadis (al syuhrah) sampai mencapai derajat mutawâtir.

Setelah dilakukan telaah lebih lanjut dan dibandingkan dengan ahli hadis lain, maka metode tashîh hadis da’îf Ahmad al Ghumârî dinilai masih menggunakan standar muhadditsîn pada umumnya. Akan tetapi, ditemukan beberapa perbedaan

185 yang dilakukan Ahmad al Ghumârî saat melakukan tashîh hadis da’îfnya sebagai berikut: 1. Penilaian kualitas perawi pada al ‘adâlah yang didefinisikan sebagai terpercayanya (ketsiqahan) perawi dan terhindar kedustaan dalam periwayatan hadis. Kedustaan perawi hanya disandarkan dalam konteks periwayatan hadis saja, bukan selainnya. 2. Periwayatan ahli bid’ah dâ’iyyah dan non-dâ’iyyah tidak merusak al ‘adâlah sehingga dapat diterima periwayatannya selama perawi tersebut tidak dikenal fasiq. 3. Periwayatan dengan perawi yang dinilai pendusta (kadzdzâb) dan tertuduh dusta, diterima periwayatannya jika ia dikenal terpercaya (ditemukan ulama al jarh wa al ta’dîl yang menilainya tsiqah).

Perbedaan-perbedaan di atas menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat antara Ahmad al Ghumârî dengan muhadditsîn lain, baik berupa perubahan yang terjadi pada perbedaan kualitas hadis usûl yang akan ditingkatkan maupun perbedaan kualitas hadis setelah ditingkatkan derajatnya. Bentuk ijtihad Ahmad al Ghumârî sebagai bagian dari ahli hadis kontemporer ini, membuktikan luasnya keilmuan, tingginya kemampuan dalam hadis, dan keutamaan tersendiri dalam perkembangan ilmu hadis dengan kontribusinya tersebut. Meskipun metode tashîh hadis da’îfnya berseberangan dengan mayoritas ahli hadis yang hanya menerima peningkatan hadis da’îf sampai hadis hasan saja.

B. Kritik dan Saran Pembahasan dalam penelitian tesis ini masih memililiki banyak kekurangan sehingga masih perlu dilanjutkan dan dikembangkan. Oleh karenanya, penulis sangat mengharapkan berbagai saran, kritik, dan masukan yang konstruktif dan bertanggung jawab sehingga berdaya guna dalam penelitian

186 ilmiah. Semoga karya akademik ini dapat memberikan manfaat dalam memperkaya khazanah metodologi peningkatan derajat hadis khususnya pada hadis da’îf.

187

188 DAFTAR PUSTAKA

A. Jurnal Ilmiah

Ahmad, Sâjid Mahmûd dan Âftâb. “Taqwiyah al Ahâdîts al Da’îfah baina al Mutaqaddimîn wa al Muta`akhkhirîn min al Muhadditsîn”, Hazara Islamicus, Vol 1, Issue 2, (July-Dec 2012), h. 89-200, jurnal diunduh dari http://www.hazaraislamicus.org/10-list-of-contents/6- table-of-contents-vol-2-issue-1.html pada 21 Desember 2016.

Amrullah, “Kontak Lintas Aliran Teologis dalam Periwayatan Hadis, Studi Perawi Mubadda’ûn dalam Sahîh Al Bukhari”, (Disertasi, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya. 2015), disertasi diunduh dari http://digilib.uinsby.ac.id/4042/ pada tanggal 19 Juli 2019.

Bâzmûl, Muhammad bin „Umar bin Sâlim. “Taqwiyatu al Hadîts al Da’îf baina al Fuqahâ` wa al Muhadditsîn”, Majallah Jâmi’ah Umm al Qurâ li ‘Ulûm al Syarî’ah wa al Lughah al ‘Arabiyyah wa Âdâbihâ, Vol. 15, Issue 26 (Safar 1424 H / April 2003 M), h. 215-283, jurnal diakses pada 19 Juni 2016 dari: https://old.uqu.edu.sa/lib/ digital_ library/magz_view/ar/42/1

Hamadi, Atallâllah Madab. “Manhaj al Imâm Ahmad bin Hanbal fi Musnadihi”, Majallah al Buhûts wa al Dirâsât al Islâmyyah, Issue 41, 284-285.

Hammâd, Nâfidz Husain. “Ra`b al Sad’ li Ahâdîts al Muttahimîn bi al Wad’ mimman Infarada bihim al Bukhârî ‘an Muslim”, Majallah Kulliyyah al Tarbiyyah, Issue 1 (1997), h. 12-16, jurnal diakses pada 16 Mei 2019

189 dari http: //www.alaqsa.edu.ps/ site_resources/ aqsa_ magazine/files/593.pdf

Muhammad, Qâsim al Hâj. “Asbâbu Ikhtilâf al ‘Ulamâ` fî Taqwiyah al Hadîts al Da’îf wa Atsaruhu fî Ikhtilâf al Ahkâm al Fiqhiyyah”, Majallah al Wâhât lil Buhûts wa al Dirâsât, Issue 5 (2009), h. 221-240, jurnal diakses pada 23 Agustus 2016 dari http://elwahat.univ-ghardaia.dz al Sâmarrâ`î, Yâs Hamîd Majîd Muhammad “Opinion Prudent to Streangthen The Weak Talk (al Ra`yu al Hasîf fî Taqwiyah al Hadîts al Da’îf)”, Reasearch and Islamic Studies Magazine, Issue 4 (2006), h. 247-308, jurnal diakses pada 10 Juli 2016 dari http://www.iasj.net/iasj

B. Buku akademik, Tesis, Disertasi, Ensiklopedi, dan Kamus

`Âbâdî, Abû al „Alîb Muhammad Syamsulhaq al „Azîm. ‘Aun al Ma’bûd Syarh Sunan Abî Dâwud, 2th.ed., al Madînah al Munawwarah: al Maktabah al Salafiyyah, 1967.

Abadi, Muhammad Abû al Laits al Khair. Mu’jam Mustalahât al Hadîts wa ‘Ulûmih wa Asyhur al Musannifîn fîh, Yordania: Dâr al Nafâ`is, 2009.

Abbas, Hasjim. Kritik Matan Hadis Versi Muhaddisin dan Fuqaha, Yogyakarta: Teras, 2004.

Abdat, Abdul Hakim bin Amir. Hadis-Hadis Dla’if dan Maudlu’, Jakarta: Darul Qolam, 2003.

Ahmad, Murtadâ al Zain. Manâhij al Muhadditsîn fî Taqwiyah al Ahâdîts al Hasanah wa al Da’îfah, cet. 1, Riyâd: Maktabah al Rusyd, 1415 H/ 1994 M, buku diakses pada

190 26 Juni 2016 dari http://www.archive.org/download/ Mnahig/Mnahig.pdf

Al „Âmilî, Husain bin „Abd al Samad. Wusûl al Akhyâr ilâ Usûl al Ikhbâr, Qum: Matba‟ah al Khiyâm, 1041 H.

Al „Asqalâni, Ahmad bin „Ali bin Muhammad bin Hajar. al Nukat ‘alâ Kitâb Ibn Salâh, 3th.ed., Riyad: Dâr al Râyah, 1994.

...... Hadyu al Sârî Muqaddimah Fath al Bârî, Riyâd: Dâr al Tayyibah, 2005.

...... Nukhbah al Fikr fî Mustalah Ahl al Atsar, Beirut: Dâr Ibn Hazm, 2006.

...... Nuzhah al Nazar fi Taudîh Nukhbah al Fikr fî Mustalah Ahl al Atsar, Riyâd: Maktabah al Mulk Fahd al Wataniyyah, 2001.

...... Taqrîb al Tahdzîb, yang ditahqiq Muhammad „Awwâmah, 3th.ed., Beirut: Dâr al Rasyîd, 1991.

Al Âbâdî, Muhammad Abû al Laits al Khair. „Ulûmul Hadîts Asîluhâ wa Mu’âsiruhâ, 7th.ed., Malaysia: Dâr al Syâkir, 2011.

Al Adlabi, Salahudin ibn Ahmad. Metodologi Kritik Matan Hadis, penerjemah H.M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Ciputat: Gaya Media Pratama, 2004.

Al Albânî, Muhammad Nâsiruddîn. Silsilah al Ahâdîts al Da’îfah wa al Maudû’ah, Riyâd: Maktabah al Ma‟ârif li al Nasyr wa al Tauzî‟, 1425 H.

191 ...... Silsilah al Ahâdîts al Sahîhah wa Syai` min Fiqhihâ wa Fawâ`idihâ, Riyâd: Maktabah al Ma‟ârif li al Nasyr wa al Tauzî‟, 1995.

Al Andalusî, Abû „Umar Yûsuf bin „Abdillâh bin Muhammad bin „Abdilbar al Namarî. al Tamhîd li Mâ fî al Muwatta` min al Ma’ânî wa al Asânîd, Maroko: Dâr al Hadîts al Hassaniyyah, 1967.

Al Azdî, Abû Dâwud Sulaimân bin al Asyi‟ats al Sijistî .Sunan Abî Dâwud, Beirut: Dâr Ibn Hazm, 1997.

Amrullah, “Kontak Lintas Aliran Teologis dalam Periwayatan Hadis, Studi Perawi Mubadda’ûn dalam Sahîh Al Bukhari”, (Disertasi, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya. 2015), disertasi diunduh dari http://digilib.uinsby.ac.id/4042/ pada tanggal 19 Juli 2019.

Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, 8th.ed., Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012.

As-Sidawi, Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar. Koreksi Hadits- Hadits Dha’if Populer, 1th.ed., Bogor: Media Tarbiyah, 2008.

Azwar, Saifuddin. Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Al Baghdâdî, „Abû Bakr Ahmad bin „Alî bin Tsâbit al Khotîb. al Kifayah fî ‘Ilmi al Riwâyah, Beirut: Dâr al Kutub al „Ilmiyyah, t.t.

...... Târikhu Madînati al Islâm wa Akhbâru Muhadditsiyyihâ wa Dzikru Quttânihâ al ‘Ulamâ`i min Ghairi Ahlihâ wa

192 Wâridîhâ, yang ditahqiq Basysyâr „Awwâd, Beirut: Dâr al Maghrib al Islâmî, 2001.

Bakir, Abdul. 150 Hadits Dha’if dan Palsu yang Sering Dijadikan Dalil, Jogjakarta: Hikam Pustaka, 2012.

Al Bastî, Abû Hâtim Muhammad bin Hibbân bin Ahmad al Tamîmî. Kitâb al Tsiqât, t.tp.:Majlis Dâ`irah al Ma‟ârif al „Utsmâniyyah, 1978.

Al Bukhârî, Muhammad bin Ismâ‟îl. al Du’afâ` al Saghîr, Beirut: Dâr al Ma‟rifah, 1986.

Bunkîrân, Fadwâ. Manhaj al Naqd al Hadîtsî wa Tatbîqâtihi baina al A`immah Jalâluddîn al Suyûtî, ‘Abd al Ra`ûf al Munâwî, Ahmad bin al Siddîq al Ghumârî, 1th.ed., Beirut: Alam al Kotob, 2011.

Al Damînî, Musfir „Azmillâh. Maqâyîs Naqd Mutûn al Sunnah, t.tp: t.t., 1984. al Dimasyqî, Ibnu Nâsiruddîn. Mutiara Ilmu Atsar Kitab Klasifikasi Hadis, yang diterjemahkan oleh Faisal Saleh dan Khoirul Amru Harahap, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2008. al Dimasyqî, Muhyuddîn Abî Zakariyyâ Yahyâ bin Syaraf al Nawâwî. al Manhal al Râwî fî Taqrîb al Nawâwî, t.tp.: Dâr al Malâh li al Tibâ‟ah wa al Nasyr, t.th. al Dzahabî, Abû „Abdillâh Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân. Mîzân al I’tidâl fî Naqdi al Rijâl, yang ditahqîq oleh „Alî Muhammad Bajâwî, Beirut: Dâr al Ma‟rifah, t.t.

193 Al Dzahabî, Syamsuddîn Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân Siyar A’lâm al Nubalâ`, 3th.ed., Beirut: Mu`assasah al Risâlah, 1985.

Fudhaili, Ahmad. Perempuan di Lembaran Suci Kritik atas Hadis-Hadis Shahih, Jakarta: Transhop Printing, 2013.

Al Ghaffâr, Abd al Rasûl „Abd al Hasan. al Kulainî wa al Kâfî, 1th.ed., Qum: Mu`assasah al Nasyr al Islâmî, 1416 H, kitab diakses pada 7 Oktober 2018 dari http://librarsaduq.blogspot.com

Al Ghumârî, Ahmad bin Muhammad bin al Siddîq al Hasanî. al Bahru al ‘Amîq fî Marwiyyâti Ibn Siddîq, Kairo: Dâr al Kutubî, 2007.

...... al Jawâb al Mufîd li al Sâ`il al Mustafîd, Beirut: Dâr al Kutub al „Ilmiyyah, 2002, kitab diakses pada 14 Januari 2019 dari http://k-tb.com

...... al Mudâwî li ‘Ilal al Jâmi’ al Saghîr wa Syarh al Munâwî, Beirut: Dâr al Kutub al „Ilmiyyah, 1996.

...... Fath al Malik al ‘Alî bi Sihhati Hadîts Bâb Madînatu al ‘Ilm al ‘Alî, al Azhar: al Matba‟ah al Islâmiyyah, t.t.

...... Hidâyah al Sugharâ` bi Tashîh Hadîts al Tausi’ah Yaumi ‘Âsyurâ`, Kairo: Dâr al „Ahd al Jadîd, t.t.

Al Haitsamî, Nûruddîn „Aliyyi bin Abî Bakr. Bughyatu al Râ`id fî Tahqîqi Majma’ al Zawâ`id wa Manba’ al Fawâ`id, yang ditahqiq oleh „Abdullâh Muhammad al Darwaisy, Beirut: Dâr al Fikr, 1994.

194 Al Hanbalî, „Abdurrahmân bin Ahmad bin Rajab. Syarh ‘Ilal al Tirmidzî, yang ditahqiq oleh Nûruddîn „Itr, t.tp.: Dâr al Malâh li al Tibâ‟ah wa al Nasyr, t.th.

Hâsyîm, Ahmad „Umar. Qawâ’îd Usûl al Hadîts, t.tp. : Dâr al Fikr, t.t.

Al Hâzimî, Abû Bakr Muhammad bin Mûsâ. Syurût al A`immah al Sittah, Beirut: Dâr al Kutub al „Ilmiyyah, 1984.

Ibnu al Jauzî, Abû al Farj „Abdurrahmân bin „Ali bin Muhammad bin Ja‟far. Kitâb al Maudû’ât min al Ahâdîts al Marfû’ât, Riyad: Maktabah Adwâ` al Salaf, 1997.

Ibnu Hanbal, Ahmad bin Muhammad. al ‘Ilal wa Ma’rifah al Rijâl, Riyâd: Dâr al Khânî, 2001.

Ibnu Jihâm, Khalîfah bin Arhamah. Takhrîj Hadîts Ana Madînah al ‘Ilmi wa ‘Alî Bâbuhâ, t.tp.: Dâr al Qais, t.th.

Ibnu Muhammad, Abî Mu‟âdz Târiq bin „Audillâh. al Irsyâdât fî Taqwiyah al Ahâdîts bi al Syawâhid wa al Mutâba’ât, 1th.ed., Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyyah, 1998.

...... al Irsyâdât fî Taqwiyah al Ahâdîts bi al Syawâhid wa al Mutâba’ât, t.tp.: Maktabah Ibnu Taimiyyah, 1998.

Ibnu Mûsa, Abû „Abdurrahmân Muhammad al Tsânî bin „Umar. Dawâbit al Jarh wa al Ta’dîl ‘Inda al Hâfiz al Dzahabî, Inggris: al Hikmah, 2000.

Ibnu Sûrah, Abû „Îsa Muhammad bin „Îsa. ‘Ilal al Tirmidzî al Kabîr, Beirut: „Âlim al Kutub, 1989.

...... Sunan al Tirmîdzî, 2th.ed., Kairo: Syirkah Maktabah wa Matba‟ah Mustafâ al Bâbî al Halabî wa Aulâduhu, 1975.

195 Ibnu Tsâbit, Abû Bakr Ahmad. „Aliyyi al Kifâyah fî Ma’rifati Usûl ‘Ilmi al Riwâyah, Mesir: Dâr al Hudâ, 2002.

Isma‟il, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1986.

„Itr, Nuruddin. ‘Ulumul Hadis. Penerjemah Mujiyo. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012.

Al Jaba‟î, Zainuddîn bin „Alî bin Ahmad al Syâmî al „Âmilî. al Bidâyah fî ‘Ilmi al Dirâyah, yang ditahqiq oleh Muhammad Ridâ al Husainî al Jalâlî,1 th.ed., Iran : Asîl Qum al Muqaddasah, 1421 H, buku diakses pada 22 Maret 2018 dari http://www.narjes- library.com/2014/11/blog-post_0.html

...... Syarh al Bidâyah fî ‘Ilmi al Dirâyah, yang ditahqiq oleh Muhammad Ridâ al Husainî al Jalâlî, 1 th.ed., Iran : Asîl Qum al Muqaddasah, 1390 H, buku diakses pada 22 Maret 2018 dari http://alfeker.net/library.php?id=4077

...... al Ri’âyah fî ‘Ilmi al Dirâyah, yang ditahqiq oleh „Abdul Husain Muhammad „Alî al Baqqâl, 3 th.ed., Iran: Maktabah Samâhah âyatillah al „Uzmâ al Mar‟asyî al Najafî al Kubrâ, 2012, buku diakses pada 22 Maret 2018 dari https://archive.org/details/almoamltv_gmail_20131007

Al Jarrâhi, Ismâ‟îl bin Muhammad al „Ijlûnî. Kasyfu al Khafâ`i wa Muzîlu al Ilbâsi ‘ammâ Isytahara min al Ahâdîts ‘alâ Alsinati al Nâs, yang ditahqiq oleh Yûsuf bin Muhammad al Hâj Ahmad, t.tp.: Maktabah al „Ilmi al Hadîts, t.t.

Al Jawwâbî, Muhammad Tâhir al Jarhu wa al Ta’dîl baina al Mutasyaddidîn wa al Mutasâhilîn, t.tp.: al Dâr al „Arabiyyah al Kuttâb, 1997 .

196 Al Jurjânî, Abû Ahmad „Abdillâh bin „Adî. al Kâmil fî Du’afâ` al Rijâl, Beirut: Dâr al Kutub al „Ilmiyyah, t.th.

Kaelan, Metodologi Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner, Yogyakarta: Paradigma, 2010.

Al Kâfî, Abû Bakr bin al Tayyib. Manhaj al Imâm Ahmad fî al Ta’lîl wa Atsaruhu fi al Jarh wa al Ta’dîl min Khilâli Kitâbihi al ‘Ilal wa Ma’rifah al Rijâl, Beirut: Dar Ibn Hazm, 2005.

Al Kautsarî, Muhammad Zâhid bin Hasan al Hilmî. Ta`nîb al Khatîb ‘alâ Mâ Sâqahu fî Tarjamati Abî Hanîfah min al Akâdzîb, t.t.: t.tp., 1990.

Al Khattâbî, Abû Sulaimân Hamid bin Muhammad. Ma’âlim al Sunan, 1th.ed., Halb: Matba‟ah al „Ilmiyyah, 1932.

Al Khudzairî, al Tâhir al Azhar. al Madkhal ilâ Jâmi’ al Imâm al Tirmidzî, Kuwait: Maktab al Syu`ûn al Fanniyyah, 2007;

Krispendoff, Klaus. Analisis Isi Pengantar Dan Teori Metodologi, Jakarta: Rajawali Press, 1993.

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995.

Mamduh, Mahmûd Sa‟îd Muhammad. Ittijâhât al Hadîtsiyyah fî al Qarn al Râbi` ‘Asyar, Kairo: Dâr al Basâ`ir, 2009.

Al Marâ`syali, Yûsuf „Abdurrahmân. Mu’jam al Ma’âjim wa al Masyîkhat, Riyâd: Maktabah al Rusyd Nasyirûn, 2005.

Al Mizzî, Jamâluddîn Abû al Hajjâj Yûsuf. Tahdzîb al Kamâl fî Asmâ` al Rijâl, Beirut: Mu`assasah al Risâlah, 1988.

197 Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif, 27th.ed., Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010.

Al Naisâbûrî, Abû „Abdillâh al Hâkim. al Madkhal ilâ Kitâb al Iklîl, Mesir: Dâr al Da‟wah, 1983.

...... al Mustadrak ‘alâ al Sahîhaini, Kairo: Dâr al Haramain, 1997.

...... al Mustadrak ‘alâ al Sahîhaini, Kairo: Dâr al Haramain, 1997.

...... Ma’rifah ‘Ulûm al Hadîts, Mesir: Dâr Ibn Hazm, 2003.

Al Qâsimî, Muhammad Jamâluddîn. Qawâ`id al Tahdîts min Funûn Mustalah al Hadîts, Beirut: Dâr al Kutub al „Ilmiyyah, 1979.

Al Qaththan, Manna‟. Pengantar Studi Ilmu Hadits, yang diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman, Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2004..

Al Qurasyî, Abû al Farj „Abdurrahmân bin „Alî Ibn al Jauzî al Taimî. Kitâb al Maudû’ât min al Ahâdits al Marfû’ât, 1th.ed., Riyâd: Adwâ` al Salaf, 1997.

Rahman, Fatchur. Ikhtisar Musthalahul Hadits, Bandung: PT Alma‟arif, 1974.

Al Râzî, Abû Ja‟far Muhammad bin Ya‟qûb bin Ishâq al Kulainî. al Kâfî, ditahqiq oleh Qism Ihya` al Turâts Markaz Buhûts Dâr al Hadîts, Qum: Dâr al Hadîts, 1439 H.

RI, Departemen Agama. al Quran dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989.

198 Ridâ, „Alâ`uddîn „Alî. Nihâyah al Ightibât bi Man Rumiya min al Ruwâh bi Ikhtilât, Kairo: Dâr al Hadîts, 1988.

Sa‟îd, Hammâm „Abdurrahîm. al Fikr al Manhajî ‘Inda al Muhadditsîn, Qatar: Ri`âsah al Mahâkim al Syar‟iyyah wa al Syu`ûn al Dîniyyah, 1403 H.

Al Sakhâwî, Syamsyuddîn Abî al Khair Muhammad bin „Abdirrahmân. Fath al Mughîts bi Syarh Alfiyah al Hadîts, al Riyâd: Maktabah Dâr al Minhâj, 1426H.

Al Salâbî, „Alî Muhammad Khawarij dan Syiah dalam Timbangan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, Penerjemah Masturi Irham dan Malik Super, Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2012.

Salmân, Abû „Ubaidah bin Hasan Âli. Kutubun Hadzdzara minhâ al ‘Ulamâ`u, 1th.ed., Riyâd: Dâr al Samai‟î, 1995.

Al Subhânî, Ja‟far. al Hadîts al Nabawî baina al Riwâyah wa al Dirâyah, 1th.ed., Iran: I‟timâd Qum, 1419 H, h. 53-54, buku diakses pada 14 Agustus 2018 dari http://alfeker.net/library.php?id=2863

...... Durûs Mûjizah fî ‘Ilmai al Rijâl wa al Dirâyah, al Markaz al „Alami li al Dirasat al Islamiyyah.

Sugiono, Metode Penelitian Kuanlitatif Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2008.

Sunnah, Komnas. Menelusuri Jejak Nabi sallâllâhu ‘alaihi wa sallam, Tangerang Selatan: Alkitabah, 2013.

Sutarmadi, Ahmad. al Imâm al Tirmidzî Peranannya dalam Pengembangan Hadits dan Fiqh, Jakarta: Logos, 1998.

199 Al Su‟ûd, Khâdim al Haramain al Syarifain al Malik Salmân bin „Abd al „Azîz. al Mushaf al Madînah al Nabawiyyah, Madinah Munawwarah: Majma‟ al Malik Fahd li Tibâ`ah al Mushaf al Syarîf, 1420 H.

Al Suyûtî, Abû al Fadl Jalâluddîn „Abdurrahmân bin Kamâl Abî Bakr. Jam’u al Jawâmi’ al Ma’rûf bi al Jâmi’ al Kabîr, Kairo: Dâr al Sa‟âdah, 2005.

...... Tanwîr al Hawâlik (Syarh ‘alâ Muwatta` Mâlik), Mesir: Dâr Ihyâ` al Kutub al „Arabiyyah, t.t.

...... al Tanqîh fî Mas`alah al Tashîh, Beirut: Dâr Basyâ`ir al Islâmiyyah, 2013.

Al Sya‟lânî, „Abdurrahmân bin „Abdillâh Usûl Fiqh al Imâm Mâlik Adillatuhu al Naqliyyah, Riyâd: Maktabah al Malik Fahd al Wataniyyah, 1424 H.

Al Syâfi‟î, Muhammad bin Idrîs. al Risâlah, 2th.ed, Kairo: Maktabah Dâr al Turâts, 1979.

...... al Umm, Mesir: Dâr al Wafâ`, 2001.

...... Ikhtilâf al Hadîts, Beirut: Dâr al Fikr, 1996.

...... Musnad al Imâm Muhammad bin Idrîs al Syâfi’î, Beirut: Dâr al Basyâ`ir al Islâmiyyah, 2005

Al Syâfi‟î, Syamsuddîn Abî al Khair bin „Abdirrahmân al Sakhâwî. Fath al Mughits bi Syarhi Alfiyyah al Hadits, Riyadh: Maktabah Dâr al Minhâj li al Nasyr wa al Tauzî‟, 1426 H.

Syîhâ, Khalîl Ma`mûn. Sunan Ibni Mâjah bi Syarh al Imâm Abî al Hasan al Hanafî al Ma’rûf bi al Sindî, Beirut: Dâr al Ma‟rifah, 1996.

200 Al Tâ`î, Najjâh. al Wahhâbiyyûn Khawârij am Sunnah, Beirut: Dâr al Mîzân, 2005, buku diakses pada 17 Mei 2017 dari http://www.narjes-library.com/2010/10/blog-post_22.html

Al Tabrânî, Abû al Qâsim Sulaimân bin Ahmad. al Mu’jam al Kabîr, 2th.ed., Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyah, t.th.

Al Tahânawî, Zafar Ahmad al „Utsmânî. Qawâ’id fî ‘Ulûm al Hadîts, 3th.ed., Beirut: Maktabah al Matbû‟ât al Islâmiyyah, 1972.

Al Tahhân, Mahmûd. Taisîr Mustalah al Hadîts, Beirut: Dâr al Fikr, t.th.

Tim Penyusun Pedoman Akademik Program Magister Pascasarjana Fakultas Ushuluddin, Pedoman Akademik Program Magister, Jakarta: Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, 2012.

Al Tûsî, Abû Ja‟far Muhammad bin al Hasan. al ‘Uddah fî Usûl al Fiqh, 1th.ed., Qum: Sitârah, 1417 H. al Wâda‟î, Abû „Abdirrahman Muqbil bin Hâdî. Rijâl al Hâkim fî al Mustadrak, 2th.ed., Yaman: Maktabah Sinâ‟ah al `Atsariyyah, 2004.

Waskito, A.M. Pro dan Kontra Maulid Nabi sallallâhu ‘alaihi wasallam, Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2014.

Winsink, A. Y. al Mu’jam al Mufahras li Alfâz al Hadîts al Nabawî, (London: Maktabah Brîl, 1937).

Ya‟qub, Ali Mustafa. Hadis-Hadis Bermasalah, 6th.ed., Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.

201 Zahw, Muhammad Abu. The History of Hadith Historiografi Hadis Nabi dari Masa ke Masa, Depok: Keira Publishing, 2015. al Zarkasyî, Badruddîn Abî‟Abdillâh Jamâluddîn ‟Abdillâh bin Bahâdir. al Nukat ‘alâ Muqaddimah Ibni al Salâh, Riyad: Adwâ` al Salaf, 1998.

C. Website dan Perpustakaan Online http://digilib.uinsby.ac.id http://library.islamweb.net/hadith/hadithsearch.php http://repository.uinjkt.ac.id http://www.narjes-library.com https://old.uqu.edu.sa/lib/digital_library https://waqfeya.com

202 LAMPIRAN Lampiran 1 Tabel 1.1 : Tabel analisis ketersambungan sanad dari segi pendekatan tahun lahir-wafat (hadis kota ilmu)

No. Perawi Tabaqah Ket. Guru-guru Murid-Murid Tahun Lahir-Wafat- Selisih

Rasûlullâh - - - ‘Abdullâh bin w. 11 H ‘Abbâs al ﷺ 1 Bahr ,Rasûlullâh Tâwus ممكه انهقاء Abdullâh Tabaqah 1‘ Mujâhid bin ,ﷺ – متصم bin ‘Abbâs al l. 3 tahun SH 2 Bahr w. 67/68 H Jabr, ‘Atâ` bin (56/58 Yasar, tahun) Ibnu ‘Amru bin ممكه انهقاء Mujâhid bin Tabaqah 2 Abbâs, Abû Dînâr, Abû al‘ – متصم / Jabr 102 / 103 3 104 / 107 / Hurairah, Zubair, al 108 H ‘Âisyah, A’masy, (35/ 36/ 37/ Sa’d bin Abî Sulaimân al 40/ 41 tahun Waqqâs, Ahwâl, atau 34/35/36/39/ 40 tahun) ,Sa’îd bin Ibnu Ishâq ممكه انهقاء Sulaimân bin Tabaqah 4 Jubair, Syu’bah, Abu - متصم Mihrân (al l. 61 H 4 A’masy) w. 147/ 148 Mujâhid, Mu’âwiyah, H (45/ 44/ ‘Abdullâh Ishâq bin 43/ 40/ 39 bin Abî Yûsuf al Azraq tahun atau Aufâ, 46/45/44/41/ 40 tahun) Hisyâm bin Tidak ممكه انهقاء Tabaqah 8 Urwah, al ditemukan‘ – متصم Muhammad l. 113 H 5 bin Khâzim w. 194/ 195 A’masy, hubungan (Abû H Suhail, murid dengan Mu’âwiyah (selisih ‘Ubaidillâh Abû al Silat al

203 al Darîr) wafat 47, 48, bin ‘Umar, Harawî 49 tahun) Tidak Tidak ممكه انهقاء Tabaqah 12 ditemukan ditemukan – متصم Abû al Silat w. 236 H 6 ‘Abdussalâm (selisih hubungan hubungan bin Sâlih al wafat 42, 43 guru dengan murid dengan Harawî tahun) Abû Muhammad Mu’âwiyah bin ‘Abdirrahmân al Harawî Muhammad bin ‘Abdirrahîm al Harawî Tidak Tidak ممكه انهقاء Muhammad Tabaqah 17 7 ditemukan ditemukan - متصم bin w. 301/ 302 ‘Abdirrahmâ H hubungan hubungan n al Harawî (selisih 65/ guru dengan murid dengan 66 tahun) Abû al Silat Muhammad al Harawî bin Ya’qûb Tidak Abû ‘Alî al ممكه انهقاء Muhammad Tabaqah 19 ,ditemukan Naisâbûrî - متصم bin Ya’qûb w. 346 H 8 bin Yûsûf (selisih hubungan Abû ‘Abdillâh 45/44 tahun) guru dengan al Hâkim, Muhammad Abû Nasr bin Muhammad ‘Abdirrahmâ bin ‘Alî al n al Harawî Syîrazî, ,Muhammad al Dâruqutnî ممكه انهقاء Muhammad bin Ya’qûb Muhammad - متصم bin ‘Abdillâh Tabaqah 23 9 al Hâkim w. 405 H al Asam, al bin Ahmad bin (selisih 59 Hasan bin Ya’qûb, Abû tahun) Ishâq al Ya’lâ al Bukhârî, al Khalîlî, Dâruqutnî,

204 Tabel 1.2 : Tabel analisis ketersambungan sanad dari segi pendekatan redaksi sanad (hadis kota ilmu) صيغ انتحمم و اآلداء Perawi No. (انحكم/انبيان( طريقت انتحمم صيغ اآلداء متصم انسماع Abdullâh bin‘ َع ه Abbâs al Bahr‘ 1 متصم انسماع Mujâhid bin Jabr َع ه 2 متصم انسماع Sulaimân bin َع ه Mihrân (al 3 A’masy) متصم انسماع ويحتمم أن تكون قراءة ثىا )حدثىا( Muhammad bin 4 Khâzim (Abû Mu’âwiyah al Darîr) متصم انسماع ويحتمم أن تكون قراءة ثىا )حدثىا( Abû al Silat 5 ‘Abdussalâm bin Sâlih al Harawî

6 Muhammad bin ‘Abdirrahîm al Harawî متصم انسماع ويحتمم أن ثىا )حدثىا( Muhammad bin تكون قراءة Abdirrahmân al‘ Harawî متصم انسماع ويحتمم أن ثىا )حدثىا( Muhammad bin تكون قراءة Ya’qûb bin Yûsûf 7

205 Lampiran 2 Tabel 2.1 : Tabel analisis ketersambungan sanad dari segi pendekatan tahun lahir-wafat (hadis perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talaq)

No. Perawi Tabaqah Ket. Guru-guru Murid-Murid Tahun Lahir- Wafat- Selisih Rasûlullâh - - - ‘Abdullâh bin w. 11 H ‘Umar ﷺ 1 Rasûlullâh al Hasan al ممكه انهقاء Abdullâh‘ Umar Bisrî, Hafs bin‘ ,ﷺ - متصم bin ‘Umar Tabaqah 2 bin al 1 bin al ‘Âsim, Khattâb w. 73 H Khattâb, Muhârib bin (selisih Abû Bakar, Ditsâr 62 tahun) Ibnu Tidak ممكه انهقاء Muhârib bin Umar, Jâbir ditemukan‘ - متصم Ditsâr Tabaqah 3 3 bin hubungan w. 116 H ‘Abdillâh, murid dengan (selisih ‘Abdillâh Ubaidillâh bin 43 tahun) bin Yazîd al al Walîd Khatmî, Muhârib Tidak ممكه انهقاء Ubaidillâh Tabaqah bin Ditsâr, ditemukan - متصم bin al Walîd 6 4 al Wassâfî - Muhammad hubungan bin Sûqah, al murid dengan Fudail bin Muhammad Muslim bin Khâlid Ismâ’îl bin Hisyâm bin ممكه انهقاء Tabaqah ,Abî Khâlid, ‘Ammâr – متصم Muhammad 9 5 bin Khâlid w. 109 H ‘Ubaidillâh Yahyâ bin bin al Walîd Sâlih, Katsîr al Wassâfî, bin ‘Ubaid al Mu’arraf bin Madzhijî Wâsil Tidak ditemukan hubungan ال ممكه Tabaqah guru dengan Muhammad bin انهقاء - Katsîr bin 10 6

206 Khâlid dan hubungan murid مىقطع Ubaid bin w. 247 H‘ Namîr (selisih dengan Ibnu Mâjah 138 H) Mus’ab bin Muhammad ممكه انهقاء Tabaqah ,Abdillâh al ‘îsâ al Abharî‘ - متصم Ibnu Mâjah 15 7 w. 273 H Zubairî, Ahmad bin (selisih Katsîr bin Rauh al 26 tahun) ‘Ubaid al Baghdâdî, Himsî, Ahmad bin Suwaid bin Muhammad al Sa’îd, Madînî,

Tabel 2.2: Tabel analisis ketersambungan sanad dari segi pendekatan redaksi sanad (hadis perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talaq) صيغ انتحمم و اآلداء Perawi No. (انحكم/انبيان( طريقت انتحمم صيغ اآلداء متصم انسماع َع ه Rasûlullâh 1 sallallâhu ‘alaihi wasallam متصم انسماع Abdullâh bin‘ َع ه Umar bin al‘ 2 Khattâb متصم انسماع َع ه Muhârib bin 3 Ditsâr متصم انسماع Ubaidillâh bin al َع ه Walîd al Wassâfî 4 متصم انسماع ويحتمم أن تكون قراءة حدثىا Muhammad bin 5 Khâlid متصم انسماع ويحتمم أن تكون قراءة حدثىا Katsîr bin ‘Ubaid 6 bin Namîr

207 Lampiran 3 Tabel 3.1: Tabel analisis ketersambungan sanad dari segi pendekatan tahun lahir-wafat (hadis wajah cerah di siang hari karena banyak shalat di malam hari)

No. Perawi Tabaqah Keterang Guru-guru Murid-Murid Tahun an Lahir- Wafat- Selisih Rasûlullâh - - - Jâbir bin w. 11 H ‘Abdillâh ﷺ 1 Rasûlullâh al Hasan al ممكه انهقاء Jâbir bin Bisrî, Abû ,ﷺ – متصم Abdillâh Tabaqah 1‘ 2 Sufyân, w. 77/ 78 Mujâhid, H (selisih 66/67 tahun) ,Jâbir bin al A’masy ممكه انهقاء Abû Abdillâh, Muhammad‘ – متصم Sufyân Tabaqah 3 3 (Talhah - Ibnu ‘Abbâs, bin Ishâq, bin Nâfi’) Anas bin Syu’bah Mâlik Sa’îd bin Tidak ممكه انهقاء al A’masy Tabaqah 4 Jubair, ditemukan - متصم Sulaimân l. 61 H) 4 bin w. 148 H Mujâhid, hubungan Mihrân) Abû Sufyân murid dengan Talhah bin Syarîk Nâfi’, Khusaif, Tidak ممكه انهقاء Tabaqah 8 Simâk bin ditemukan – متصم Syarîk bin l. 90 H 5 ‘Abdillâh (selisih Harb, al hubungan al Nakha’î lahir 29 A’masy murid dengan tahun) Tsâbit bin w. 177 H Mûsâ Abû (selisih Yazîd

208 wafat 29 tahun) Syarîk bin Tidak ممكه انهقاء Tabaqah Abdillâh, ditemukan‘ – متصم Tsâbit bin 10 6 Mûsâ Abû w. 129 H Sufyân al hubungan Yazîd Tsaurî, murid dengan Ismâ’îl bin Muhammad al Talhî ,Tidak Ibnu Mâjah ممكه انهقاء Tabaqah ,ditemukan Abû Zur’ah – متصم Ismâ’îl bin 10 7 Muhamma w. 133 H hubungan Ibnu Abî d al Talhî (selisih 4 guru dengan ‘Âsim, tahun) Tsâbit bin Mûsâ Abû Yazîd Ismâ’îl bin Muhammad ال ممكه ,Muhammad ‘îsâ al Abharî انهقاء - Ibnu Tabaqah 8 al Talhî, Ahmad bin مىقطع Mâjah 15 w. 273 H Katsîr bin Rauh al (selisih ‘Ubaid al Baghdâdî, 140 tahun) Himsî,

Tabel 3.2 : Tabel analisis ketersambungan sanad dari segi pendekatan redaksi sanad (hadis wajah cerah di siang hari karena banyak shalat di malam hari صيغ انتحمم و اآلداء No. Perawi (انحكم/انبيان( طريقت انتحمم صيغ اآلداء

متصم انسماع Jâbir bin ‘Abdillâh َع ه 1 متصم انسماع Abû Sufyân َع ه (’Talhah bin Nâfi) 2

متصم انسماع al A’masy َع ه Sulaimân bin) 3 Mihrân)

209 متصم انسماع َع ه Syarîk bin ‘Abdillâh 4 al Nakha’î متصم انسماع ويحتمم أن تكون قراءة حدثىا Tsâbit bin Mûsâ Abû 5 Yazîd

متصم انسماع ويحتمم أن تكون قراءة حدثىا Ismâ’îl bin 6 Muhammad al Talhî

210 Lampiran 4

Tabel 4.1: Tabel analisis ketersambungan sanad dari segi pendekatan tahun lahir-wafat (hadis al ajda’ adalah syaitan)

No. Perawi Tabaqah Ket. Guru-guru Murid- Tahun Murid Lahir-Wafat- Selisih

Rasûlullâh - - ‘Umar bin w. 11 H Khattâb ﷺ 1 Rasûlullâ Tidak ممكه انهقاء Umar bin‘ ditemukan ,ﷺ h – متصم Khattâb Tabaqah 1 2 w. 23 H hubungan (selisih 12 murid tahun) dengan Masrûq ,Abu Bakr, al Sya’bî ممكه انهقاء Masrûq Umar, Ibrâhîm al‘ – متصم bin al 62 / 63 H 3 Ajda’ (selisih 39 / ‘Utsmân, Nakhâ`î, 40 tahun) ‘Alî, ,Masrûq Hammâd ممكه انهقاء al Sya’bî Tabaqah 2 ,bin al Ibnu ‘Aun – متصم Âmir bin l. 21/28 H‘) 4 Syarâhîl) w. 104 H Ajda’, Mujâlid, (selisih 42 / Ibnu Abû Bakr al 43 tahun) ‘Umar, Hudzalî, Ummu Salamah, al Sya’bî, Tidak ممكه انهقاء Tabaqah 5 Abû al ditemukan – متصم Mujâlid w. 144 H 5 bin Sa’îd (selisih Waddâk hubungan wafat 40 Jabr bin murid tahun) Nauf, dengan Abû ‘Aqîl Tabaqah 8 - Mujâlid Abû al 6 Abû ‘Aqîl - bin Sa’îd, Nadr al Tsaqafî Hisyâm Hâsyim bin bin al Qâsim, ‘Urwah, ‘Âsim bin

211 Mûsâ bin ‘Alî, Suraij al bin al Musayyab Nu’mân, , Syu’bah, Ibnu Abî ممكه انهقاء Tabaqah 10 ,Sufyân al Syaibah – متصم Hâsyim l. 134 H 7 bin al w. 207 H Tsaurî, cucunya Qâsim Mubârak yaitu Abû bin Bakr bin Fadâlah, Abî al Abû Nadr, ‘Âqil, kakeknya Tidak ممكه انهقاء Tabaqah 11 Abû al ditemukan) – متصم Abû Bakr w. 245 H 8 bin al Nadr (selisih 38 Nadr hubungan bin Abî al tahun) Hâsyim murid Nadr bin al dengan Ibnû Qâsim), Mâjah Ya’qûb bin Ibrâhîm bin Sa’d, Tidak ditemukan ممكه انهقاء Tabaqah 15 hubungan guru dengan – متصم Ibnu w. 273 H 9 Mâjah (selisih 28 Abû Bakr bin al Nadr bin tahun) Abî al Nadr

Tabel 4.2 : Tabel analisis ketersambungan sanad dari segi pendekatan redaksi sanad (hadis al ajda’ adalah syaitan)

صيغ انتحمم و اآلداء Perawi No. (انحكم/انبيان( طريقت انتحمم صيغ اآلداء

متصم انسماع قال Umar bin‘ 1 Khattâb متصم انسماع َع ه Masrûq bin al 2 Ajda’

متصم انسماع َع ه al Sya’bî 3 (‘Âmir bin

212 Syarâhîl) متصم انسماع ويحتمم أن ثىا )حدثىا( تكون قراءة Mujâlid bin Sa’îd 4 متصم انسماع ويحتمم أن ثىا )حدثىا( تكون قراءة Abû ‘Aqîl al 5 Tsaqafî متصم انسماع ويحتمم أن ثىا )حدثىا( تكون قراءة Hâsyim bin al 6 Qâsim

متصم انسماع ويحتمم أن تكون قراءة ثىا )حدثىا( Abû Bakr bin al 7 Nadr bin Abî al Nadr

213 Lampiran 5 Tabel 5.1: Tabel analisis ketersambungan sanad dari segi pendekatan tahun lahir-wafat (hadis Khawarij adalah anjing-anjing Neraka)

No. Perawi Tabaqah Ket. Guru-guru Murid-Murid Tahun Lahir- Wafat- Selisih Rasûlullâh - - - Ibnu Abî w. 11 H Aufâ ﷺ 1 Rasûlullâ Ismâ’îl bin ممكه انهقاء Ibnu Abî Aufâ ,Abî Khâlid ,ﷺ h – متصم Abdullâh bin Tabaqah 1‘) 2 Abî Aufâ) w. 86 / 88 H ‘Atâ` bin al (selisih 75 / Sâ`ib, al 77 tahun) A’masy, ,Mujâhid, Syu’bah ممكه انهقاء al A’masy Tabaqah 4 Tamîm bin Abu – متصم Sulaimân bin l. 61 H) 3 Mihrân) w. 147/148 Salamah, Mu’âwiyah, H ‘Abdullâh Ishâq bin (selisih bin Abî Yûsuf al 61/62 tahun) Aufâ, Azraq, al A’masy, Ahmad bin ممكه انهقاء Ishâq al Azraq Tabaqah 9 Ibnu ‘Aun, Hanbal, Abû – متصم l. 117 H 4 w. 195 H Fudail bin Bakr bin (selisih Ghazwân, Abî 48/49 tahun) Syarîk, Syaibah, ,Syarîk, al Bukhârî ممكه انهقاء Tabaqah 12 Wakî’, Muslim, Abû – متصم Abû Bakr bin w. 235 H 5 Abî Syaibah (selisih Ishâq bin Dâwud, wafat 40 Yûsuf al Ibnu Mâjah, tahun) Azraq, Ahmad bin Ibnu Hanbal, Numair, Suwaid bin Muhammad ممكه انهقاء Sa’îd, Abû ‘îsâ al – متصم Ibnu Mâjah Tabaqah 15 6 w. 273 H Bakr bin Abharî, (selisih 38 Abî Ahmad bin tahun) Syaibah, Rauh,

214 Tabel 5.2 : Tabel analisis ketersambungan sanad dari segi pendekatan redaksi sanad (hadis Khawarij adalah anjing-anjing Neraka)

صيغ انتحمم و اآلداء Perawi No. (انحكم/انبيان( طريقت انتحمم صيغ اآلداء متصم انسماع َع ه Ibnu Abî Aufâ 1 (‘Abdullâh bin Abî Aufâ) متصم انسماع َع ه al A’masy 2 (Sulaimân bin Mihrân) متصم انسماع ويحتمم أن حدثىا Ishâq al Azraq تكون قراءة 3 متصم انسماع ويحتمم أن حدثىا تكون قراءة Abû Bakr bin 4 Abî Syaibah

215 Lampiran 6

Tabel 6.1: Tabel analisis ketersambungan sanad dari segi pendekatan tahun lahir-wafat (hadis obat segala penyakit bagi yang berbekam pada tanggal 17, 19, atau 21)

No. Perawi Tabaqah Ket. Guru-guru Murid-Murid Tahun Lahir- Wafat- Selisih Rasûlullâh - - - Abû Hurairah w. 11 H ﷺ 1 Rasûlullâh Hafs bin ‘Âsim ممكه Abû bin ‘Umar, Abû ,ﷺ انهقاء – Hurairah Tabaqah 1 2 Sâlih al متصم w. 59 H (selisih 48 Sammân, tahun) ابيه 3 (ayahnya Tidak diketahui identitas perawi (mubham) sehingga Suhail) sanad terputus (sanad tidak bersambung baik dari analisis tahun lahir-wafat maupun hubungan guru- murid) Suhail bin Sanad Suhail dari ayahnya terputus 4 Abî Sâlih Tabaqah 4 karena tidak diketahui identitas ayahnya - ,Hisyâm bin al Laits bin Sa’d ممكه Urwah, Ibnu Wahb, Abû‘ انهقاء – Sa’îd bin Tabaqah 8 5 ,Suhail bin Taubah متصم Abdirrahmâ w. 176 H‘ n al Jumahî Abî Sâlih, Muhammad Abû Hâtim, Abû ممكه bin Muhâjir, Dâwud, Ahmad انهقاء – Abû Taubah Tabaqah 6 Sa’îd bin bin Khulaid al متصم al Rabî’ bin 12 Nâfi’ w. 241 H ‘Abdirrahm Halbî, Ahmad (selisih 65 ân al bin Hanbal, tahun) Jumahî, Abû al Abû ‘Îsâ, al ممكه ,Walîd al Nasâ`î انهقاء – Abû Dâwud Tabaqah 7

216 Tayâlisî, Muhammad bin متصم Sulaimân 15) bin al l. 202 H Abû Ja’far al Firyâbî, Asy’ats) w. 275 H Taubah al (selisih 34 Rabî’ bin tahun) Nâfi’,

Tabel 6.2 : Tabel analisis ketersambungan sanad dari segi pendekatan redaksi sanad (hadis obat segala penyakit bagi yang berbekam pada tanggal 17, 19, atau 21) صيغ انتحمم و اآلداء Perawi No. (انحكم/انبيان( طريقت انتحمم صيغ اآلداء متصم انسماع َع ه Abû Hurairah 1 متصم انسماع َع ه Ayahnya Suhail 2 متصم انسماع َع ه Suhail bin Abî Sâlih 3 متصم انسماع ويحتمم حدثىا أن تكون قراءة Sa’îd bin 4 ‘Abdirrahmân al Jumahî متصم انسماع ويحتمم حدثىا أن تكون قراءة ’Abû Taubah al Rabî 5 bin Nâfi’

217 Lampiran 7 Tabel 7.1: Tabel analisis ketersambungan sanad dari segi pendekatan tahun lahir-wafat (hadis anjuran mempermudah dan tidak mempersulit)

No. Perawi Tabaqah Ket. Guru- Murid- Lahir- guru Murid Wafat- Selisih

Rasûlullâh w. 11 H - - Ibnu Abbâs‘ ﷺ 1 Rasûlull Sa’îd bin ممكه انهقاء Ibnu ‘Abbâs ,Jubair ,ﷺ âh – متصم Abdullâh Tabaqah 1‘) 2 bin ‘Abbâs w. 67/68 H Tâwus, al Bahr) (selisih Mujâhid bin 56/57 Jabr, ‘Atâ` tahun) bin Yasar, ,Â`isyah, Ibnu Syihâb‘ ممكه انهقاء Tâwus Abû Laits bin – متصم Tâwus bin Tabaqah 2) 3 Kaisân al w. 105/ Hurairah, Abî Sulaim, Yamânî) 106 H Ibnu Hanzalah (selisih ‘Abbâs, bin Abî 38/39/40 Zaid bin Sufyân, tahun) Arqam,

,Tâwus, al Tsaurî ممكه انهقاء Laits (Laits Mujâhid, Syaibân bin – متصم bin Abî Tabaqah 6 4 Sulaim al w. 148 H ‘Atâ`, ‘Abdirrahmâ Qurasyî) (selisih ‘Ikrimah, n, Syu’bah 43/44 Nâfi’, bin al Hajjâj, tahun) Tidak Ibnu al ممكه انهقاء ,ditemuka Mubârak – متصم Sufyân Tabaqah 6 5 (Sufyân bin l. 97 H n Jarîr, Abû Sa’îd al w. 161 H hubunga Usâmah, Tsaurî) (selisih 13 n guru ‘Abdulrazz tahun) dengan âq, Laits

218 al Abû ممكه انهقاء ,Auza’î, Usâmah – متصم Abdulrazzâ Tabaqah‘ 6 q bin 10 Ibnu Ahmad bin Hammâm al w. 126 H Juraij, Hanbal, Himyarî. (selisih 35 Sufyân Bisyr bin al tahun) al Hakam, Tsaurî, Abdulr al Nasâ`î, al‘ ممكه انهقاء ,azzâq, Tirmîdzî – متصم Ahmad bin Tabaqah 7 Hanbal 12 Ghundar, Ibnu Mâjah, w. 241 H Muham gurunya (selisih 34 mad bin ‘Abdulrazzâ tahun) Idrîs al q, Syâfi’î,

Tabel 7.2 : Tabel analisis ketersambungan sanad dari segi pendekatan redaksi sanad (hadis anjuran mempermudah dan tidak mempersulit)

صيغ انتحمم و اآلداء Perawi No. (انحكم/انبيان( طريقت انتحمم صيغ اآلداء متصم انسماع َع ه Ibnu ‘Abbâs 1 (‘Abdullâh bin ‘Abbâs al Bahr) متصم انسماع َع ه Tâwus (Tâwus bin 2 Kaisân al Yamânî) متصم انسماع َع ه Laits (Laits bin Abî 3 Sulaim al Qurasyî) متصم انسماع ويحتمم أخبروا أن تكون قراءة Sufyân (Sufyân bin 4 Sa’îd al Tsaurî) متصم انسماع ويحتمم حدثىا أن تكون قراءة Abdulrazzâq bin‘ 5 Hammâm al Himyarî.

219 Lampiran 8 Tabel 8.1: Tabel analisis ketersambungan sanad dari segi pendekatan tahun lahir-wafat (hadis tentang memasukkan 70.000 orang ke surga tanpa hisab)

No. Perawi Tabaqah Ket. Guru-guru Murid- Lahir- Murid Wafat- Selisih

Rasûlullâh - - - Ibnu w. 11 H ‘Abbâs ﷺ 1 Rasûlullâh Anas bin ممكه انهقاء Abû Bakr al Mâlik, Târiq ﷺ – متصم Siddîq Tabaqah 2 1 bin Syihâb, w. 13 H Qais bin Abî (selisih 2 Hâzim, tahun) Rajul (seorang 3 laki-laki) Tidak diketahui identitas perawi (mubham) sehingga sanad terputus (sanad tidak bersambung baik dari analisis tahun lahir-wafat maupun hubungan guru- murid) Anas bin Tidak ال ممكه Bukair bin al Mâlik, Ibnu ditemukan انهقاء - Akhnas al Tabaqah 4 Abbâs, Ibnu hubungan‘ مىقطع Sadûsî 4 - ‘Umar, guru dengan al Mas’ûdî Tidak Tidak ممكه انهقاء ditemukan ditemukan – متصم Abdurrahmân Tabaqah‘ 5 bin ‘Utbah al 6 hubungan hubungan Mas’ûdî w. 160 H guru dengan guru dengan Bukair bin al Hâsyim bin Akhnas al Qâsim Sufyân al Yahyâ bin ممكه انهقاء ,Tsaurî, Ma’în – متصم Hâsyim bin al w. 207 H 6 Qâsim (selisih Mubârak bin Ahmad bin 47 tahun) Fadâlah, al Hanbal,

220 Mas’ûdî, Ibnu Abî Syaibah, Sufyân bin al Nasâ`î, al ممكه انهقاء ,Uyainah, Tirmîdzî‘ – متصم /Ahmad bin l. 164 H 7 Hanbal 179 H Hâsyim bin Ibnu Mâjah, w. 241 H al Qâsim, gurunya (selisih Bisyr bin al ‘Abdulrazzâ 34 tahun) Mufaddal, q,

Tabel 8.2 : Tabel analisis ketersambungan sanad dari segi pendekatan redaksi sanad (hadis tentang memasukkan 70.000 orang ke surga tanpa hisab)

صيغ انتحمم و اآلداء Perawi No. (انحكم/انبيان( طريقت انتحمم صيغ اآلداء متصم انسماع َع ه Abû Bakr al Siddîq 1

متصم انسماع َع ه -Rajul (seorang laki 2 laki) متصم انسماع ويحتمم أن َح َّدثَىِي Bukair bin al Akhnas تكون قراءة al Sadûsî 3 متصم انسماع ويحتمم أن َح َّدثَىَا تكون قراءة Abdurrahmân bin‘ 4 ‘Utbah al Mas’ûdî متصم انسماع ويحتمم أن َح َّدثَىَا تكون قراءة Hâsyim bin al Qâsim 5

221

222 BIOGRAFI PENULIS

Valihavy Khoir Hudar Rahim, lahir di Kudus pada 27 Januari 1989. Pendidikan dasarnya ia tempuh di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1 Getassrabi (lulus 2000). Kemudian ia melanjutkan pendidikan di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 1 Kudus (lulus 2003), dan menamatkan SMAnya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Kudus pada tahun 2006. Selain belajar di sekolah umum, Ovi (sapaan akrabnya) juga pernah menempuh pendidikan di Ma’had Abu Bakar Ash Shiddiq, Solo (mustawa tamhidi-tsani). Selanjutnya, ia menamatkan pendidikan Sarjana (S1) di Jurusan Tafsir-Hadis pada Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin (STIU) Dirasat Islamiyyah al Hikmah, Jakarta (lulus 2013). Kemudian ia melanjutkan ke jenjang Magister (S2) pada Program Studi Ilmu al Quran dan Tafsir, Konsentrasi Hadis, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (lulus 2019). Sebagai orang yang gigih mempelajari ilmu al-Qur’an, Ovi juga juga aktif di berbagai lembaga al-Qur’an, seperti Lembaga Tahfidz Masjid al Manar Solo dan LTQ al Hikmah Jakarta. Selain itu, ia juga aktif di Pondok Pesantren Nurul Hikmah Ciputat, dan Pondok Pesantren Darul Qur’an al Muqorrobin Depok. Ovi pernah mengajar di LTQ al Hikmah Jakarta pada tahun 2013, Pondok Pesantren Nurul Hikmah Ciputat 2013- 2017, dan di LTQ Nurul Huda Pamulang 2017-2018. Saat ini, ia telah menikah dengan Musaba’, Lc dan dikaruniai dua anak, yaitu Shafia Fauza Imtyaz (8 tahun) dan Ahmad Fathan Kareem (1 tahun). Untuk dapat berkomunikasi dengan penulis, pembaca

223 dapat menghubunginya melalui email: vie_smartquds@yahoo. co.id.

224