PROSIDING SEMINAR

SENI PERTUNJUKAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL

Penulis :

R. Chairul Slamet Pande Made Sukerta Martinus Miroto Nengah Bawa Atmadja I Nyoman Sedana

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN

DENPASAR, BALI PROSIDING SEMINAR

“SENI PERTUNJUKAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL”

Penulis : R. Chairul Slamet Pande Made Sukerta Martinus Miroto Nengah Bawa Atmadja I Nyoman Sedana

ISBN : 978-602-73711-0-1

Editor : I Nyoman Sedana

Penyunting : Rinto Widyarto

Desain Sampul dan Tata Letak Dedi Gusman

Penerbit Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar, Bali

Produksi : Jl. Nusa Indah No. 8 Denpasar Timur, 80235 Telp. 0361 - 227316 Fax. 0361 – 233100 Email : [email protected]

Distributor Tunggal : Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar, Bali Jl. Nusa Indah No. 8 Denpasar Timur, 80235 Telp. 0361 - 227316 Fax. 0361 – 233100 Email : [email protected]

Cetakan pertama, Oktober 2016

Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMER 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA Lingkup Hak Cipta Pasal 2 : 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang Hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72 : 1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 29 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (Lima milyar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).

ii

KATA PENGANTAR

Prosiding ini diterbitkan untuk memberikan informasi secara umum kepada para peserta seminar, nara sumber serta panitia pelaksana kegiatan seminar ini, sebagai petunjuk atau penyelenggaraan agar pelaksanaan seminar berlangsung sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Seminar ini. Pentingnya Seminar ini, maka perlu diberikan penjelasan tentang latar belakang, tujuan, pendekatan, dan materi kegiatan, kepanitian, jadwal kegiatan, peserta dan lain-lain yang terkait dengan pelaksanaan seminar seni pertunjukan. Oleh karena itu, hal-hal yang belum diatur serta masalah yang timbul dalam penyelenggaraan seminar ini dapat diselesaikan pada saat kegiatan seminar berlangsung. Kami sangat berharap semua peserta dapat mengikuti kegiatan ini dengan baik sesuai dengan jadwal yang dirancang agar tujuan dan hasil yang diperoleh dari seminar ini dapat memberikan sumbangan yang berharga untuk memperlancar pelaksanaan kegiatan tahunan dari Fakultas Seni Pertunjukan, sebagai langkah kebijakan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia untuk pengembangan pendidikan kesenian di Indonesia. Selanjutnya prosiding ini menjadi sangat penting bagi dokumentasi ilmiah para peserta Seminar khususnya dan Fakultas Seni Pertunjukan, untuk itu langkah awal penerbitan prosiding diupayakan oleh Fakultas Seni Pertunjukan agar dapat terwujud. Demikian semoga prosiding ini dapat bermanfaat bagi para ilmuwan dan pembaca sekalian.

Penanggung jawab,

I Wayan Suharta

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iii DAFTAR ISI iv PENGANTAR EDITOR vi RUMUSAN HASIL SEMINAR NASIONAL viii LAPORAN KETUA PANITIA PENYELENGGARA xi

MAKALAH UTAMA

1. Ensemble Etnik Nusantara Sebagai Rintisan Identitas Pengembangan Musik Nasional R. Chairul Slamet 1 2. Seni Pertunjukan Berbasis Riset Pande Made Sukerta 7 Penciptaan Seni Berbasis Riset Martinus Miroto 13 3. Seni Pertunjukan Berbasis Kearifan Lokal (Perspektif Kajian Budaya) Nengah Bawa Atmadja 18 4. Teori Cipta Seni Konseptual I Nyoman Sedana 34

MAKALAH PENDAMPING

1. Seni Pertunjukan Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal “Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Pengkemasan Seni Pertunjukan pariwisata” Ida Ayu Trisnawati 49 2. Membongkar Ideologi di Balik Pertunjukan Tari Sesandaran di Desa Adat Tanjung Benoa, Bali Ni Made Ruastiti 58 3. Seni Pertunjukan dalam Dinamika Global Lokal: Panggung Pertunjukan Pertama di Bali, Sebuah Desain Hibrid I Gede Mugi Raharja 66 4. Stereotip Pertunjukan Joged Bumbung di Bali I Wayan Winaja 74 5. Revitalisasi Musik Tradisional Sasak: Menghidupkan Kembali Nilai-Nilai Kearifan Lokal di Era Globalisasi I Gede Yudarta 78 6. Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Pusaran Arus Globalisasi : Studi Kasus Geliat Musik Mandolin "Bungsil Gading" I Komang Sudirga 89 7. Bali Agung: The Legend of Balinese Goddesses Sebuah Seni Pertunjukan Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal I Gde Made Indra Sadguna 102 8. Pendidikan Karakter dalam Seni Pertunjukan Ni Ketut Dewi Yulianti 112 9. Seni Pertunjukan dalam Dinamika Global-Lokal I Dewa Ketut Wicaksana 116

iv

10. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Cerita Rakyat Bali Untuk Penunjang Pengembangan Moral dan Nilai Agama Anak Usia Dini I Kadek Widnyana 126 11. Bali di Era Global: Kasus Tayangan Wayang Cenk Blonk di Stasiun Dewata-TV I Made Marajaya 141 12. Dari "Gegendingan" Kemusik Pop Bali Sampai Lagu Pop Daerah Bali Gaya Pkb Ni Wayan Ardini 154 13. Bali Fusion Pop Musik I Wayan Sudirana 165 14. Pendidikan Seni Bermutu Berbasis Kearifan Lokal: Monolog Cerita Rakyat pada Dramaturgi Perfilman Ni Wy. Suratni, Nyoman Lia Susanthi 173 15. Localgenius Knowledge Seni Tradisi Bali Sebagai Sumber Belajar di Sekolah Dasar Ni Luh Sustiawati, Ni Ketut Suryatini, Anak Agung Ayu Mayun Artati 182 16. Tari Penyambutan Dalam Industri Budaya: Sebuah Representasi Identitas I Gusti Ngurah Seramasara 197

v

PENGANTAR EDITOR PROSIDING SEMINAR NASIONAL

Puja dan puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan rakhmatNya Prosiding Seminar Nasional bertajuk Seni Pertunjukan Berbasis Kearifan Lokal ini dapat dipersembahkan. Seminarnya sendiri telah diselenggarakan oleh Fakultas Seni Pertunjukan (FSP) ISI Denpasar di Gedung Cita Kelangen lantai 2 ISI Denpasar pada hari Senin tanggal 17 Oktober 2016. Renstra ISI Denpasar 2015-2019 telah mengamanatkan terselenggaranya seminar tingkat nasional dan internasional sebagai salah satu indikator kinerja. Oleh karena itu, seminar tingkat internasional beserta prosidingnya juga diharapkan segera menyusul. Lima makalah utama dan enam belas makalah pendamping dalam prosiding ini telah dibahas oleh peserta seminar nasional berjumlah total 145 orang, meliputi seluruh dosen Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar, sebagian Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Denpasar, Fakultas Sastra UNUD Denpasar, UNHI Denpasar, Fakultas Dharma Acarya IHDN Denpasar, IKIP PGRI Bali, ditambah Mahasiswa FSP dan FSRD ISI Denpasar serta Karyasiswa S2 ISI Denpasar. Pemilihan tema dan topik seminar ini dilandasi oleh visi FSP untuk menjadi pusat unggulan seni pertunjukan berbasis nilai-nilai kearifan lokal dan berwawasan universal. Visi tersebut diaktifkan ke dalam delapan topik untuk dikembangkan oleh para pemakalah sebagai berikut: 1) Seni Pertunjukan Berbasis Riset; 2) Pendidikan Seni Bermutu Berbasis Kearifan Lokal; 3) Kolaborasi Seni Pertunjukan Nusantara; 4) Desakraliasi Seni Pertunjukan Bali; 5) Hak Cipta Seni Pertunjukan Berbasis Kearifan Lokal; 6) Seni Pertunjukan Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal; 7) Seni Pertunjukan dalam Dinamika Global-Lokal; 8) Dampak Ekonomi, Teknologi, dan Budaya Baru dalam Kajian dan Ciptaan Seni Pertunjukan. Sebelum enam belas makalah pendamping menyusul secara kronologis, mulai dari prodi Tari, Karawitan, Pedalangan, Musik, dan Sendratasik, tampilan prosiding ini diawali dengan lima makalah dari lima pembicara utama, yakni: 1) Drs.Chairul Slamet, M.Sn (Dosen ISI Yogyakarta); 2) Prof. Dr. Pande Made Sukerta, S.Kar (Guru Besar ISI Surakarta); 3) Dr. Martinus Miroto, M.FA (Dosen ISI Yogyakarta); 4) Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, MA (Guru Besar Undhiksa Singaraja); dan 5) Prof. DR. I Nyoman Sedana, MA (Guru Besar ISI Denpasar) Seminar dan prosiding kali ini tidak hanya menghasilkan konsep, metode, model yang memperkaya ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni pertunjukan, tetapi satu hal yang tampak spesial dan prestisius adalah buat pertama kalinya dipresentasikan Teori Cipta Seni berbasis kearifan budaya nusantara dan kosmologi wayang. Dalam teori ini puluhan-puluhan konsep bersinergi membentuk satu sistem ide terorganisir yang dapat menjelaskan gejala / fenomena, keterkaitan aneka variable cipta seni secara mendalam dan komprehensif. Variable-variable cipta seni yang dimaksud mulai dari sumber penciptaannya (berkembang dari unsur mata pencaharian), sastranya (dari unsur budaya pengetahuan), komposisi (dari unsur organisasi sosial), produk (dari unsur teknologi), fungsi (dari unsur ekonomi), makna (dari unsur spiritual), dedikasi (dari unsur kesehatan), eksistensi (dari unsur seni), hingga ilmu dan nilai cipta seninya (dari unsur budaya pendidikan). Atas interelasi nyata di antara konsep-konsepnya, teori Cipta Seni ini bisa digunakan oleh pencipta dan pengkaji seni dalam karya tulisnya sebagai fondasi untuk membangun prediksi/hipotesis dan sebagai kerangka dasar menyusun-kembangkan analisis, baik sebagian ataupun seluruhnya. Mengingat hakikat seni memang lebih imaginatif dari pada logis, maka Teori Cipta Seni ini berbasis kosmologi metafisik, meskipun struktur konfigurasi dan sifat-sifat

vi keindahan ilahi yang tersebar harmonis di sekitar inti kosmologi persis menyerupai cara fisikawan melukiskan delapan orbit elektron yang selalu bergerak di sekitar nucleus Atom. Penggambaran atribut Bhatara Guru sama dengan partikel Atom yang mengejawantah di segala lini. Proton dan neutron yang selalu nempel pada inti Atom persis merepresentasikan ilmu dan nilai cipta seni yang selalu nempel pada sentral kosmologi. Akhirnya editor mengucapkan terima kasih kepada Pimpinan, Panitia, dua puluh satu presenter, beserta ratusan peserta seminar atas kerjasama yang baik. Berbagai kritik dan saran bagi peningkatan kwalitas karya akademik ini sangat diapresiasi dan mohon maaf bila ada yang kurang berkenan. Semoga prosiding ini ada gunanya!

Denpasar, 28 Oktober 2016 Editor Prosiding

tdd

Prof. DR. I Nyoman Sedana, MA. Formulator Teori Cipta Seni, Teori Seni Ripta, dan Teori Seni Widya Filsafat

vii

RUMUSAN HASIL SEMINAR NASIONAL

Dari paparan para pembicara dapat dirangkum beberapa hal pokok sebagai berikut: 1. Makalah dengan judul “Ensemble Etnik Nusantara Sebagai Rintisan Identitas Pengembangan Musik Nasional” oleh R. Chairul Slamet Ensemble etnik nusantara memiliki spirit yang tak akan pernah terbunuh, melainkan tumbuh dalam suatu proses budaya yang terus menerus dalam bentuk konvensi, transformasi, konflik, inovasi, bahkan anarki dan sebagainya. Ensemble etnik nusantara juga merupakan proses dan hasil pewarisan budaya yang tidak dimaknai sebagai benda yang harus dielus-elus, tetapi sebuah proses penerimaan, penolakan serta perubahan sesuai dengan kondisi kekinian dan kedisinian. Kemunculan karya tradisi baru merupakan respon terhadap berkembangnya peradaban dan mempunyai konsekuensi logis terhadap produk budaya saat ini dan mendatang. Orisinalitas hasil olah intuisi tetap mengusung unsur local jenius yang menjadi identitas dari masing-masing etnis nusantara. Contoh aplikasinya terlihat dalam Gangsadewa, salah satu komunitas musik etnis kontemporer yang mewadahi berbagai ragam bunyi tradisi dari multi instrumen nusantara. Gangsadewa sangat kompeten dalam mengangkat potensi aspek ragam bunyi nusantara dan sebagai media ekspresi serta perintisan identitas musik nasional dengan spirit kekinian yang berorientasi global, dengan tujuan menciptakan identitas nasional dengan skala internasional. Kesadaran estetik dalam formasi timnya menjadi frame work untuk menghasilkan sebuah bangunan kompositorik berbasis musik tradisi lintas etnis nusantara. Melalui Gangsadewa kita diajak untuk tampil dengn identitas kenusantaraan sebagai representasi idealisme serta kepribadiaan insan seni Indonesia di kancah musik dunia.

2. Makalah dengan judul “Seni Pertunjukan Berbasis Riset” oleh Pande Made Sukerta Penciptaan karya seni bagaimanapun sederhananya dan siapapun penciptanya tindakan riset selalu dilakukan. Riset, baik dalam konteks kajian maupun penciptaan karya seni perinsipnya sama, hanya sudut pandang dan keperuntukannya yang berbeda. Tindakan riset dalam konteks kajian adalah merumuskan masalah, kemudian melakukan deskripsi dan analisis masalah yang diteliti yang pada akhirnya menghasilkan simpulan dan temuan. Tindakan riset dalam konteks penciptaan karya seni, tidak ada masalah yang dibahas dan dianalisis, tetapi hasil penelitiannya akan digunakan sebagai obyek imajinasi yang akan digunakan untuk mewujudkan sebuah karya seni. Untuk memperoleh data baik riset dalam konteks kajian maupun penciptaan karya seni menggunakan cara observasi, wawancara, dan studi kepustakaan dan/atau dokumen. Penciptaan karya yang melalui riset dapat berbentuk penggalian, pengembangan, penciptaan karya baru yang dapat bersumber dari berbagai fenomena, yaitu: musikal, sosial, budaya, dan sumber lain di antaranya instrumen (khusus musik). Riset merupakan bagian dari proses yang dilakukan pada awal dan tengah penggarapan karya seni. Aplikasi riset dalam proses mencipta karya seni, dilakukan pada bagian awal dan tengah pada saat proses penciptaan. Hasil riset yang dilakukan pada bagian awal digunakan untuk mewujudkan gagasan isi, dan riset pada bagian tengah dilakukan pada saat proses penggarapan karya seni. Karya seni yang dipertunjukan adalah hasil riset dari pencipta atau penyusunnya.

3. Makalah dengan judul “Seni Pertunjukan Berbasis Kearifan Lokal (Perspektif Kajian Budaya)” oleh Nengah Bawa Atmadja. Seni pertunjukan tidak dapat dilihat hanya sebagai pentas nilai seni, tetapi bisa pula dipandang sebagai pentas ideologi, nilai-nilai dan/atau kearifan lokal sebagai penjabaran fungsional dan aspek pragmatisnya. Apapun makna pertunjukan selalu melibatkan subjek yang menonton, dan objek yang ditonton – agen yang melakukan tindakan kepenontonan, yakni seni pertunjukan. Hubungan antara penonton dan objek kepenontonan terjalin dalam tindakan komunikasi, yakni Siapa? Mengatakan apa? Melalui saluran apa? Kepada siapa? Dengan efek

viii seperti apa?. Seni pertunjukan sebagai media komunikasi yang berlangsung melalui proses exchange of meaning memiliki titik temu dengan ide Kajian Budaya tentang agensi. Titik temu ini mengakibatkan seni pertunjukan dapat dikaji melalui pendekatan Kajian Budaya. Seni pertunjukan dan penonton sebagai konsumennya selalu terikat pada sistem sosiokultural yang terdiri dari tiga komponen dasar yakni: superstruktur ideologi, struktur sosial, dan infrastruktur material. Ada enam peran seni pertunjukan dalam pelestarian sistem sosiokultural, yakni: sebagai pembentuk, sebagai cermin, sebagai pengemas, sebagai guru, sebagai ritual, dan sebagai “Tuhan”. Pandangan seni untuk seni, atau pergelaran demi kenikmatan cita rasa (estetika) semata, tidak sepenuhnya benar, sebab seni terkait dengan bidang sosial, politik, ekonomi, bahkan religio-spiritual. “Seni membuat kita „melihat‟ sifat-sifat ideologi, dan dengan demikian membawa kita pada pemahaman yang lebih menyeluruh tentang ideologi”. Manusia bukanlah makhluk statis, melainkan dinamis, berubah menurut zaman dan kebudayaannya. Kesenian sebagai modal kultural dan/atau modal simbolik secara mudah dialihkan menjadi modal ekonomi guna menjaga kelangsungan hidup sistem ekonomi pariwisata. Pencipataan seni bagi pariwisata memang penting, namun jauh lebih penting jika seni diciptakan bagi sistem ekonomi subsistensi. Gejala ini merupakan tantangan bagi para seniman agar seni pertunjukan yang diciptakan mampu merangkul sebanyak mungkin kelompok sosial dan/atau kelas sosial sehingga daya ekonomi subsistensinya menjadi lebih tinggi. Seni dapat digunakan sebagai media untuk membatinkan kearifan lokal yang bersumberkan pada superstruktur ideologi. Muncul gagasan agar seni pertunjukan tidak hanya menghibur, tetapi memiliki pula ciri transformatif. (Re-) Interpretasi dan (re-) kontekstualisasi terhadap kearifan lokal dapat dituangkan dalam seni pertunjukan – sesuai dengan peran media sebagai pembentuk dan guru. Sasarannya, tidak hanya mewariskan kearifan lokal, melainkan apabila perlu ada aspek transformatif emansipatifnya. Seni pertunjukan transformatif terikat pada dua aspek, yakni mengekang dan membebaskan. Dewi Saraswati sebagai Dewi (Ilmu) Pengetahuan dan Dewi Komunikasi Hindu. Tindakan komunikasi paling dasar adalah memakai kata-kata. kata-kata merupakan esensi dari komunikasi. seni pertunjukan termasuk dalam lingkup komunikasi, yakni sarana/media komunikasi (tradisional) dalam konteks penyampaian suatu pesan dengan harapan, tidak semata-mata berefek rekreatif, tetapi juga efek lain misalnya pendidikan. secara denotatif dan konotatif Saraswati sebagai Dewi Komunikasi Hindu = Dewi Seni Pertunjukan. Hindu secara holitik integralistik memuat habitus bagi mengembangkam seni pertunjukan sebagai tontonan dan tuntunan, termasuk di dalamnya peran transformatif emansipatif. Sasaran, menjadikan karya seni tetap terikat pada cita-cita ideal, yakni masyarakat yang hamonis secara sosial, ekologis, dan teologis.

4. Makalah dengan judul “Penciptaan Seni Berbasis Riset” oleh Martinus Miroto. Penciptaan seni berbasis riset yang difokuskan pada karakteristik khusus bidang penciptaan seni pada dunia tari disebut Penelitian Penciptaan Tari. Penelitian Penciptaan Tari merupakan gabungan atas penelitian kualitatif, praktik koreografi, practice-based research, dan practice-led research dengan tujuan memproduksi pengetahuan di bidang praktik tari. Hans Hedberg, Dekan Fakultas Seni Murni, Universitas Gothenberg menyatakan bahwa dalam penelitian artistik seniman menciptakan karya seni dan meneliti proses kreatif sehingga menambahkan akumulasi pengetahuan. Mika Hannula dalam Artistic Research: theories, methods and practices menyatakan bahwa artistic research merupakan perpaduan penelitian kualitatif dan karakteristik khusus praktek artistik. Pada bidang penciptaan tari, komponen eksperimen dan eksperien terdapat dalam koreografi. Koreografi, dalam konteks tari kontemporer, melibatkan aktivitas bereksperimen melalui tindakan improvisasi untuk menuju komposisi. improvisasi dan koreografi merupakan satu kesatuan dalam proses berkarya tari. Koreografi juga mengandung komponen pengalaman, bahwa melalui pengalaman ekspresif, yang memerlukan perasaan, penjelasan, dan pernyataan diri, tari memberikan koreografer suatu perasaan relasi harmoni dan integrasi diri dengan dunia. Sebagai aktivitas kreatif, tari dapat menghubungkan individu dengan lingkungannya dengan cara yang unik

ix dan sangat personal. Eksperimen dan eksperien dalam praktik penciptaan tari merupakan modal khusus yang menjadi landasan dalam suatu penelitian penciptaan tari. Koreografer-peneliti perlu menyesuaikan diri dengan lingkungan akademis tanpa harus kehilangan keunikan-keunikan pribadi sebagai seniman tari. Artistic reseach memiliki maksud dan tujuan sangat luas antara lain: pemroduksian informasi, pengembangan metode, pengembangan pengertian, penginterpretasian karya seni, pemroduksian pengetahuan, analisis kritis atas seni, pemikiran kembali peran seniman dalam konteks sosial. Secara faktual, seniman tari (penari, koreografer, sutradara teater tari) dapat menghasilkan karya seni, metode penciptaan, teknik tari, metode pembelajaran tari, dll. Pengetahuan yang didasari oleh ciptaan karya seni menghasilkan informasi, pemahaman, teori, kritik, analisis, pemikiran, dan sebagainya, sedangkan pengetahuan yang didasari oleh pengalaman panjang dalam berkesenian yang menghasilkan pemahaman baru tentang praktik seperti metode, teknik, dan model. Penelitian penciptaan tari mempraktikkan metode penelitian penciptaan yang ilmiah dan alamiah. Tantangan perguruan tinggi seni Indonesia adalah diperlukannya metode penelitian penciptaan seni yang sesuai dengan budaya, sejarah, dan fakta kekinian Indonesia. Seminar Nasional Seni Pertunjukan Fakultas Seni Pertunjukan dengan tema Seni Pertunjukan Unsnggul Berbasis Kearifan Lokal Berwawasan Nasional dapat dirumuskan sebagai berikut. Ensemble musik etnik nusantara merupakan pewarisan budaya yang tidak pernah terbunuh oleh jaman. Proses budaya terus menerus dilakukan dalam bentuk konvensi, transformasi, konflik, inovasi bahkan anarkis sesuai dengan kondisi kekinian-kedisinian. Orisinalitas hasil olah intuisi mengusung unsur lakl jgenius merupakan respon berkembangnya peradaban saat ini dan mendatang. Gangsadewa, salah satu komunitas musik etnis kontemporer sangat kompeten mengangkat aspek ragam bunyi nusantara serta perintisan identitas musik nasional dengan spirit kekinian yang berorientasi global. Melalui gangsadewa kita tampil dengan identitas kenusantaraan sebagai representasi idealism serta kepribadian insane seni Indonesia dengan kesadaran estetik dalam kancah musik dunia. Penciptaan karya seni membutuhkan riset dalam konteks merumuskan masalah, melakukan deskripsi dan analisis masalah yang pada akhirnya menghasilkan simpulan dan temuan. Tindakan riset dalam konteks penciptaan tidak ada masalah yang dibahas dan dianalisis, tetapi penulitiannya akan digunakan sebagai objek imajinasi untuk mewujudkan sebuah karya seni. Data dalam konteks penciptaan maupun kajian digunakan cara observasi, wawancara, dan studi kepustakaan atau dokumen. Penciptaan bisa dalam bentuk penggalian, pengembangan, penciptaan karya baru yang bersumber dari berbagai fenomena. Karya seni yang dipertunjukkan adalah hasil riset dari penciptaan atau penyusunnya.

5. Makalah dengan judul “Teori Cipta Seni Konseptual” oleh I Nyoman Sedana. Pengkajian yang otentik dan validterhadap Seni Budaya Nusantara semestinya berdasarkan kerangka teori seni dan metode yang tumbuh dari lingkungan geografi bersangkutan. Teori penciptaan dan pengkajian seni yang kredibel bagi PT Seni harus mengandung sistem ide yang sedikitnya memiliki tiga kegunaan: (1) sebagai landasan membuat prediksi atau hipotesis, (2) sebagai kerangka menyusun analisis atau argumentasi, dan (3) memiliki kesatuan konsep yang mampu menjelaskan variable-variable cipta seni yang terorganisir lengkap dan mendalam, yakni: sumber cipta seni,sastra, komposisi, produk cipta, fungsi, makna cipta seni, dedikasi, dan eksistensi ciptaan yang mengandung ilmu serta nilai cipta seni. Teori Cipta Seni meliputi-dan-diliputi oleh teori Seni Ripta Kawi Dalang dan teori Widya Filsafat. dalam berbagai karya tulis ilmiah penggunaan konsep-konsep seni lokal, termasuk Seni Ripta, Kawi Dalang, Seni Widya dan Filsafat, beserta metode Sasmita (yang meliputi semita, isyarat, tanda, alamat) dan sejenisnya, masih lebih banyak diabaikan daripada digunakan. Di bidang ilmu teater tradisi, Seni Ripta Kawi Dalang yang meliput-dan-diliputi oleh Seni Cipta Konseptual sertaSeni Widya dan Filsafat semakin terkubur oleh kecendrungan memuja estetika barat hingga saat ini. Penggunaan teori yang tidak relevan malahan bisa menjauhkan pencipta seni dari karya seninya sendiri. Membandingkan, baru kemudian memilih konsep yang lebih relevan kiranya jalan yang harus ditempuh. Epistemologi:

x

Jiwa dan Badan Seniman Representasi Dewa dan Bumi. Cipta Seni Konseptual, Seni Ripta Kawi Dalang, Seni Widya dan Filsafat sedikitnya ditopang oleh lima jalur penalaran epistemologi yaitu inspirasi alam imaginasi keindahan, deklarator rasa dan bhawa, tuntunan Tatwa, formulasi mitologi, dan perayaan ritual.

Om Suasti Astu.

Yth: Bapak Rektor beserta jajaran

Bapak Dekan beserta jajaran

Para Narasumber

Para peserta Seminar.

Ijinkan kami membacakan rumusan hasil seminar Nasional Seni Pertunjukan Fakultas Seni Pertunjukan dengan tema Seni Pertunjukan Unggul Berbasis Kearifan Lokal Berwawasan Nasional sebagai berikut. 1. Ensemble musik etnik nusantara merupakan pewarisan budaya yang tidak pernah terbunuh oleh jaman. Proses budaya terus menerus dilakukan dalam bentuk konvensi, transformasi, konflik, inovasi bahkan anarkis sesuai dengan kondisi kekinian-kedisinian. 2. Orisinalitas hasil olah intuisi mengusung unsur lakl jgenius merupakan respon berkembangnya peradaban saat ini dan mendatang. 3. Gangsadewa, salah satu komunitas musik etnis kontemporer sangat kompeten mengangkat aspek ragam bunyi nusantara serta perintisan identitas musik nasional dengan spirit kekinian yang berorientasi global. 4. Melalui gangsadewa kita tampil dengan identitas kenusantaraan sebagai representasi idealism serta kepribadian insane seni Indonesia dengan kesadaran estetik dalam kancah musik dunia. 5. Penciptaan karya seni membutuhkan riset dalam konteks merumuskan masalah, melakukan deskripsi dan analisis masalah yang pada akhirnya menghasilkan simpulan dan temuan. Tindakan riset dalam konteks penciptaan tidak ada masalah yang dibahas dan dianalisis, tetapi penulitiannya akan digunakan sebagai objek imajinasi untuk mewujudkan sebuah karya seni. 6. Data dalam konteks penciptaan maupun kajian digunakan cara observasi, wawancara, dan studi kepustakaan atau dokumen. 7. Penciptaan bisa dalam bentuk penggalian, pengembangan, penciptaan karya baru yang bersumber dari berbagai fenomena. 8. Karya seni yang dipertunjukkan adalah hasil riset dari penciptaan atau penyusunnya. 9. Seni Pertunjukan tidak dapat dilihat hanya sebagai penats nilai seni, tetapi harus dilihat sebagai pentas ideologi yang melibatkan penonton dan yang ditonton. 10. Hubungan antara penonton dan yang ditonton terjalin dalam tindakan komunikatif melalui proses exchange of meaning, memiliki titik temu sehingga pertunjukan dapat dikaji melalui pendekatan kajian budaya. 11. Penonton sebagai konsumen terikat pada tiga komponen dasar: superstruktur ideologi, struktur sosial dan infrastruktur material. 12. Pandangan seni untuk seni , atau pergelaran demi kenikmatan cita rasa (estetika) semata tidak sepenuhnya benar, karena seni terkait dengan bidang sosial, politik, ekonomi, bahkan religio-spiritual. Melalui seni kita dapat melihat sifat-sifat ideologi secara menyeluruh. 13. Penciptaan seni sebagai pariwisata memang penting, tetapi lebih penting jika diciptakan bagi sistem ekonomi subsistensi. Gejala itu merupakan tantangan bagi seniman agar seni pertunjukan yang diciptakan mampu merangkul kelompok sosial agar daya ekonomi subsistensi menjadi lebih tinggi.

xi

14. (Re-)Interpretasi dan (re-)kontekstualisasi terhadap seni sebagai kearifan lokal dapat dituangkan dalam seni pertunjukan sesuai dengan peran media yang sasarannya tidak hanya mewariskan kearifan lokal, tetapi transformatif-emansipatif. 15. Tindakan komunikasi paling dasar adalah memakai kata-kata sebagai esensi dari komunikasi. Seni pertunjukan dalam lingkup komunikasi adalah komunikasi tradisional dalam konteks penyampaian pesan dengan harapan memiliki efek pendidikan. 16. Secara denotatif dan konotatis Saraswati sebagai dewi komunikasi Hindu adalah dewi seni pertunjukan. 17. Penciptaan seni berbasis riset yang difokuskan pada penciptaan tari merupakan gabungan penelitian kualitatif, praktek koreografi, practice-based research, dan practice-led reaserch dengan tujuan memproduksi pengetahuan di bidang praktek tari. 18. Dalam penelitian artistik, menciptakan karya seni dan meneliti proses kreatif dapat menambah akumulasi pengetahuan. ArtisticReaserch merupakan perpaduan penelitian kualitatif dan karakteristik praktek artistik. 19. Koreografi dalam konteks tari komtemporer, eksperimen dan eksperien akan selalu melalui tindakan improvisasi menuju komposisi. Improvisasi dan koreografi merupakan satu kesatuan dalam berkarya tari. 20. Sebagai aktivitas kreatif tari dapat menghubungkan individu dengan lingkungannya dengan cara yang unik faktual dan sangat personal. 21. Kreografer perlu menyesuaikan diri dengan lingkungan akademis tanpa harus kehilangan keunika-keunikan pribadi sebagai seniman tari. 22. Secara factual seniman tari dapat menghasilkan karya seni, metode penciptaan, teknik tari dan lain-lainnya. 23. Penelitian penciptaan tari mempraktekkan metode penciptaan yang ilmiah dan alamiah, merupakan tantangan perguruan tinggi seni di Indonesia untuk menghasilkan metode penelitian penciptaan seni sesuai dengan budaya, sejarah, dan fakta kekinian di Indonesia. 24. Pengkajian dan penciptaan seni yang otentik semestinya berdasarkan kerangka teori seni dan metode yang tumbuh di lingkungan geografi yang bersangkutan. 25. Teori penciptaan dan pengkajian seni sedikitnya memiliki tiga kegunaan: seabagai landasan membuat prediksi atau hipotesis, sebagai kerangka menyusun analisis, dan mampu menjelaskan variabel-variabel cipta seni. 26. Teori cipta seni meliputi Ripta Kawi Dalang dan Widya Filsafat. Dalam teater tradisi Ripta Kawi Dalang yang meliputi cipta komseptual, widya, dan filsafat semakin kabur karena kecendrungan seni teater memuja estetika barat hingga saat ini. 27. Penggunaan teori yang tidak relevan malahan bisa menjauhkan pencipta seni dari karya seninya sendiri karena epistemology (jiwa dan badan seniman merupakan representasi dewa dan bumi). 28. Lima jalur penalaran epistemology yaitu: insfirasi alam imajinansi keindahan, deklarator rasa dan bawa, tuntunan tatwa, formulasi mitologi, dan perayaan ritual.

Dekmikianlah beberapa rumusan hasil seminar dengan tema Seni Pertunjukan Unggul Berbasis Kearifan Lokal Berwawasan Universal yang disampaikan dalam forum ini, semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya. Akhirnya kami tutup dengan pramasanti Om Santi Santi Santi Om.

Tim Perumus

xii

LAPORAN KETUA PANITIA PENYELENGGARA SEMINAR NASIONAL SENI PERTUNJUKAN, FSP ISI DENPASAR Gedung Citta Kelangen, Senin 17 Oktober 2016

Om Swastyastu, Asallam walaikum waramatulai wabarakato, Syalam Sejahtera, Namo Budaya, dan Selamat Pagi……

Yang terhormat, Bp. Rektor ISI Denpasar (dalam hal ini diwakili oleh Bp. WR I), beserta WR II, III, & IV; Yang saya hormati, Bp. Dekan FSP ISI Dps, beserta rekan WD II, dan III; Yang saya hormati, Ibu Dekan FSRD ISI Dps, beserta rekan WDI,II, dan III; Yang saya hormati, Bp. Biro B.A.A.K.K, dan Bp. Biro B.A.U.K ISI Dps; Yang saya hormati, Ketua, Sekretaris, dan Lab. Jurusan/Program Studi Tari, Seni Karawitan, Seni Pedalangan, Pendidikan Sendratasik, dan Musik di FSP ISI Dps; Yang saya hormati, Bp/Ibu Narasumber dan Pemakalah dari ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, Undiksa Singaraja, UNHI Denpasar, FSRD dan FSP ISI Dps. Bapak/Ibu Dosen dan Karyasiswa S2, S3 Kajian Budaya UNUD Dps, yang saya hormati pula.

Pujastuti angayubagya saya haturkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, atas kemuliaan dan kemurahanNya, memberkati kita semua dalam keadaan rahayu rahajeng/sehat walafihat. Matur suksma saya sampaikan atas kehadiran bapak/ibu dan saudara di Gedung Citta Kelangen ISI Dps, utk bersama-sama menghadiri acara Seminar Nasional Seni Pertunjukan, FSP ISI Denpasar. Bapak Rektor/WR I dan Bp. Dekan FSP ISI Dps, yang saya hormati. Izinkan saya melaporkan sekilas pelaksanaan Seminar Nasional FSP ISI Dps kali ini. Sesuai visi FSP ISI Dps., yakni menjadi pusat unggulan (centre of excellence) seni pertunjukan berbasis nilai-nilai kearifan lokal dan berwawasan universal, dan misinya adalah, menyelenggarakan pendidikan tinggi bidang seni pertunjukan yang berkualitas, meningkatkan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat untuk pendidikan serta kemajuan seni, ilmu pengetahuan, dan teknologi, publikasi ilmiah serta memantap-kan sistem pengelolaan akademik. Salah satu program kerja unggulan dari FSP ISI Dps adalah Seminar Nasional yang diselenggarakan pada hari ini, senin 17 Oktober 2016. Adapun tema yang diangkat dalam Seminar Nasional Seni Pertunjukan kali ini, adalah Seni Pertunjukan Unggul Berbasis Kearifan Lokal Berwawasan Universal, dengan pilihan topik sebagai berikut. a) Seni Pertunjukan Berbasis Riset; b) Pendidikan Seni Bermutu Berbasis Kearifan Lokal; c) Kolaborasi Seni Pertunjukan Nusantara; d) Desakraliasi Seni Pertunjukan Bali; e) Hak Cipta Seni Pertunjukan Berbasis Kearifan Lokal; f) Seni Pertunjukan Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal; g) Seni Pertunjukan dalam Dinamika Global-Lokal; h) Dampak Ekonomi, Teknologi, dan Budaya Baru dalam Kajian dan Ciptaan Seni Pertunjukan. Dalam rangka menghasilkan kajian dan ciptaan seni pertunjukan sebagai sumber pengembangan ilmu seni serta publikasi karya seni, sesuai dengan harapan pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui potensi seni dan budaya lokal yang berwawasan universal, maka seminar ini bertujuan untuk menghasilkan konsep, teori, metode, model, maupun karya baru dalam rangka memperluas, memperkaya ilmu pengetahuan, teknologi dan seni pertunjukan dengan pendekatan kreatif, riset, ekonomi, teknologi, didaktik, dan budaya. Untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat serta pengembangan wawasan kreativitas dan inovasi seni pertunjukan, kami mengundang narasumber/pembicara sbb: “…mohon dengan hormat untuk berdiri…….. 1) Prof. Dr. Pande Made Sukerta, S.Kar., M.Si (Dosen ISI Surakarta); 2) Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, MA (Dosen Undhiksa Singaraja); 3) Prof. Dr. I Nyoman Sedana, SSP., MA (Dosen ISI Denpasar); 4) Dr. Martinus Miroto, M.FA (Dosen ISI Yogyakarta); dan 5) Drs.Chairul Slamet, M.Sn (Dosen ISI Yogyakarta).

xiii

Kami juga mengundang pemakalah lainnya sebagai pendamping dengan kertas kerja (call for paper) yang akan dimuat dalam buku prosedding. Ada 16 pemakalah yang berasal dari dosen FSP ISI Dps, FSRD ISI Dps, dan UNHI Dps. Seminar Nasional Seni Pertunjukan ini dibiayai dari Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia, melalui DIPA ISI Denpasar. Peserta Seminar Nasional ini adalah seluruh dosen Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar, Dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Denpasar, Fakultas Sastra UNUD Denpasar, UNHI Denpasar, Fakultas Dharma Acarya IHDN Denpasar, IKIP PGRI Bali, STIKOM Dps., dan Karyasiswa S2 ISI Denpasar, serta Karyasiswa S3 Kajian Budaya UNUD Denpasar, yang keseluruhannya berjumlah 145 orang. Terlaksananya Seminar Nasional Seni Pertunjukan ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini, kami menghaturkan terimakasih tak terhingga kepada Bapak Rektor ISI Dps., atas segala fasilitasnya, Bapak Dekan FSP ISI Dps, yang mempercayakan kpd saya sbg ketua pelaksana. Bapak/Ibu Ketua, Sekretaris, dan Lab. di masing2 jurusan/prodi di FSP, serta seluruh Panitia Seminar Nasional FSP ISI Dps. yg tak bisa sy sebutkan satu/per-satu, saya haturkan matur suksma. Menjadikan kegiatan ini sempurna dan unggul, adalah cita-cita kami, namun masih banyak yg masih belum digapai, hal tsb karena semata-mata keterbatasan kami. Orang bijaksana menyebutkan “tan hana wang suasta nulus”, atas kekurangan tsb, saya mewakili seluruh Panitia Seminar Nasional FSP ISI Dps., nunas geng rena sinampura, mohon maaf sebesar-besarnya. Ijinkan saya berpantun sebait ”…Klungkung Semarapura, jukut kang-kung mebasa sera, kirang langkung nunas sinampura. Sebelum laporan ini diakhiri, mohon kesediaan Bp. Wakil Rektor I yang mewakili Bp. Rektor ISI Dps., untuk memberikan sambutan dan sekaligus membuka secara resmi kegiatan Seminar Nasional Seni Pertunjukan, FSP ISI Dps. Demikian laporan singkat ini disampaikan, pamuput sineb titiyang antuk pamara-santhi, Om Shanti shanti shanti Om

Denpasar, 17 Oktober 2016 Ketua Panitia Pelaksana,

ttd

I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum NIP. 19641231 199002 1 040

xiv

ENSEMBLE ETNIK NUSANTARA SEBAGAI RINTISAN IDENTITAS PENGEMBANGAN MUSIK NASIONAL

R. Chairul Slamet Jurusan Musik, Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Yogyakarta Email : [email protected]

Abstrak Ragam budaya Nusantara menjadi daya tarik bagi para pemerhati seni budaya di seluruh dunia, salah satu produk turunan dari hal tersebut adalah etnik Nusantara. Kemunculan berbagai komunitas etnik nusantara atau berikutnya menjadi nusantara ketika menjadi bahan ajar di dunia pendidikan kita menarik untuk dilakukan pengkajian mendalam. Gangsadewa sebagai salah satu kelompok berbasis pada pengembangan musik etnis nusantara banyak melakukan inovasi maupun eksperimentasi dalam repertoar hasil ekplorasi secara intens. Melihat pergerakan tersebut tidak lagi mengenai penggunaan multi instrumen lintas etnik akan tetapi spirit nasionalisme serta kepedulian terhadap eksistensi etnik nusantara menjadi fokus pengamatan secara kontekstual. Kajian terhadap eksistensi ensemble etnik nusantara berdasar pada beberapa aspek yaitu; 1). etnologis, 2). Sosio antropologis, serta aspek musikologis. Gangsadewa dilakukan secara simultan. Data diklasifikasi berdasar pada bentuk iringan, inovasi garap alat musik (instrument), nilai filosofis, pemahaman estetis, yang melibatkan musisi professional secara langsung dan dianalisis secara deskriptif. Observasi ini dimulai dengan tahap persiapan, pengamatan dan pengembangan dalam bentuk kertas karya. Hasil pendalaman ini diharapkan dapat memberikan masukkan untuk pengembangan seni budaya berbasis kekuatan local jenius secara berkelanjutan.

Kata Kunci : ensemble, nusantara, Gangsadewa, komposisi

LATAR BELAKANG Nusantara dengan ragam budayanya telah menghasilkan berbagai produk turunan budaya baik tangible maupun intangible. Salah satu produk budaya dalam konteks kesenian kita mengenal tradisi. Secara etimologis tradisi adalah turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam lingkup sebuah komunitas/etnis. Perkembangan dari waktu ke waktu tradisi mengalami penyesuaian dengan perkembangan jaman (kekinian/kontemporer). Hal tersebut wajar terjadi secara konteks sosiologis sifat manusia selalu berkembang untuk mempertahankan eksistensi mereka. Diversitas etnis nusantara dari Sabang sampai Merauke adalah asset bagi bangsa kita. Dengan demikian langkah konkret selanjutnya adalah membuat aksi nyata dengan melakukan berbagai pendalaman baik workshop maupun kajian serta asesmen terhadap musik etnik di masing-masing daerah Nusantara. Pengertian musik nusantara secara garis besar adalah dari seluruh penjuru nusantara dalam berbagai bentuk. Kekayaan ritmis, melodis, serta harmoni khas nusantara menjadi daya tarik tersendiri bagi pemerhati seni budaya dengan minat tradisi dari berbagai penjuru dunia. Orisinalitas hasil olah intuisi tradisi menjadi identitas dari masing-masing etnis di negara kita Indonesia raya. Hal tersebut, bisa kita lihat dari ragam instrumen perkusi misalanya gong, secara fungsi maupun filosofis mempunyai berbagai makna dilain sisi secara teknis memainkan juga memiliki banyak teknis memainkan sesuai masing-masing etnis. Kemampuan musikalitas seniman tradisi menjadi inspirasi musisi dari manca negara maupun lokal dalam menghasilkan komposisi sesuai latar belakang aliran musik mereka. Kita dapat mencermati berbagai karya kolaborasi antara musisi mancanegara dengan musisi tradisi kita maupun musisi negeri kita tanpa menghilangkan identitas lokal nusantara. Pada era tahun 60 an seorang Tony Scott mulai proyek kerjasamanya dengan Jack Lesmana musisi jazz nasional mengaransemen beberapa karya lagu tradisional Bali, berikutnya Eberhard Schuner pada paruh 70-an berkolaborasi dengan I Gedhe Kompiang Raka musisi tradisi Bali menghasilkan karya Bali Agung, dan masih banyak musisi lain yang mengangkat musik dari nusantara kita menjadi karya mereka.

1

Musik tradisi Nusantara mampu untuk go international baik sebagai karya guine utuh maupun kolaborasi dengan seniman dari luar Indonesia. Trend world music membuka peluang para komposer kita untuk mendalami lagi kekayaan Nusantara sebagai pondasi karya komposisi mereka. Dengan leluasa ekplorasi dapat dilakukan menggunakan unsur musik tradisi kita, sesuai kreativitas para praktisi musik maka berhasil memunculkan karya komposisi baru serta memunculkan komunitas etnis (kontemporer) dari berbagai daerah. Respon dari pemerhati terhadap musik etnik kekinian banyak memberi input bagi para komposer, dengan demikian karya mereka bisa diapresiasi berbagai kalangan serta sempat dipentaskan di mancanegara sebagai duta bangsa dalam bidang seni budaya. Gangsadewa sebagai salah satu komunitas musik etnis kontemporer sangat kompeten dalam mengangkat potensi aspek ragam bunyi nusantara. Konsistensi Gangsadewa melalui karya-karya komposisi berbasis pada kekayaan nuansa musik nusantara menjadi sebuah identitas maupun secara presentasi karya Gangsadewa menjadi rujukan beberapa kurator musik dari mancanegara seperti Jepang dan Australia untuk mementaskan karya Gangsadewa di negara tersebut. Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan lintas daerah menjadi sumber inspirasi bagi seniman yang memperdalam pengetahuan serta wacana kesenian dari kota miniatur Indonesia ini. Keberadaan komunitas dari berbagai etnis di seluruh nusantara bertemu di melting point Yogyakarta memunculkan gagasan untuk mengggali kekayaan dari berbagai daerah dalam satu wadah ensemble etnis nusantara dipelopori oleh kelompok gangsadewa. Gangsadewa mewadahi berbagai ragam bunyi tradisi dari multi instrumen nusantara sebagai media ekspresi serta perintisan identitas musik nasional. Kelompok ini berdiri di Yogyakarta pada tahun 2002 dengan melibatkan musisi professional lintas disiplin. Sebagai kelompok gangsadewa terpanggil untuk ikut terlibat melestarikan tradisi nusantara dengan spirit kekinian serta berorientasi global, dengan tujuan menciptakan identitas nasional dengan skala internasional.1

SKEMA APLIKASI SENI PERTUNJUKAN ENSEMBLE ETNIS NUSANTARA Latar belakang tersebut, prngamatan ini akan mencermati lebih dalam dampak langsung maupun dampak ikutan dari inovasi iringan untuk etnik nusantara bagi masyarakat di nusantara maupun mancanegara. Sebagai dasar pemikiran kita dapat melihat pandangan dari para pemerhati budaya dalam menuangkan gagasanya terhadap dinamika berkembangnya suatu produk budaya seiring berjalanya waktu. Menurut Chris Jenks Budaya adiluhung adalah cerminan dari tatanan masyarakat yang memiliki pandangan filosofis, maupun nilai hidup berdasar pada keseimbangan rasa, logika, maupun kepekaan terhadap gejala kosmis. Perkembangan sebuah budaya tidak terlepas dari pemahaman masyarakat terhadap perubahan seiring kehendak waktu. Sehingga memunculkan pergeseran fungsi dari nilai budaya pada suatau komunitas masyarakat. Prinsip- prinsip panduan analisis fungsionalisme adalah ‗integrasi‘ dan ‗inter-relasi‘ dan dengan demikian, kebudayaan dan struktur sosial dipandang sebagai dua hal yang identik, atau setidaknya berkesinambungan. Hal tersebut mendorong kelompok musik gangsa dewa untuk membuat skema komposisi musik lintas tradisi nusantara sebagai aplikasi maupun ekspresi estetis dengan identitas genuine (origins) hasil ekplorasi terhadap berbagai unsur bunyi maupun ritmis nusantara. Proses kreatif kelompok gangsadewa dimulai dengan mengakomodir aspek-aspek bunyi nusantara sebagai antara gagasan musikal komposer dan player. Kesadaran estetik dalam formasi tim gangsadewa menjadi frame work untuk menghasilkan sebuah bangunan kompositorik berbasis musik tradisi lintas etnis nusantara. Dalam format pertunjukan karya gangsadewa sebagai presentasi hasil observasi kreatifitas, keutuhan serta orisinalitas repertoar menjadi sajian pokok serta diharapkan pesan filosofis musik nusantara dapat diapresiasi oleh audience secara langsung. Sebagai contoh saat gangsadewa menggelar karya dengan tag line ―Jogja Sounds of Archipelago‖ tema tersebut adalah hasil endapan

1 Gardika Gigih Pradipta dalam; Rekayasa bunyi dinamika budaya dalam proses kreatif musik gangsadewa, (hal:16). tesis S2 Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2015.

2

dari keragaman unsur budaya nusantara dan kota Yogyakarta dapat diumpamakan sebagai muara serta menjadi komponen penting dalam konteks keistimewaan. Fenomena tersebut dibidik oleh gangsadewa menjadi trigger gagasan kreatif, dalam kemasan pertunjukan musik lintas etnik nusantara, dengan isu non primordial maka lahirlah mozaik bunyi dalam repertoar musik dan menjadi satu kesatuan konsep pertunjukan nan harmonik. Penampil dari beberapa daerah seperti, Kalimantan, Aceh, Bali, Lampung, Madura, Jawa sublime dengan orkestrasi tiup maupun ensemble perkusi barat. Peristiwa tersebut menunjukan kekuatan musik nusantara sebagai sajian seni pertunjukan dapat menjadi centre of interest. Secara skematik bagan proses transfer knowledge gangsadewa adalah sebagai berikut:

Observasi dan Penggarapan eksplorasi kompositorik musik tradisi dari tim nusantara gangsadewa

Karya repertoar ensemble etnik nusantara

Mencermati bagan proses tersebut dapat kita amati bahwa konsep ansamble etnis adalah berkesinambungan dan simultan antar unsur akan memberikan kekuatan sebagai penopang lahirnya repertoar ensemble etnik nusantara. Musik etnik adalah representasi dinamika kehidupan dan akan terus berkembang melalui batasan ruang waktu. Kehadiranya bukan stagnan pada ruang hampa akan tetapi berbanding lurus dengan pergerakan waktu. Keragaman etnik nusantara adalah cerminan sejarah panjang peradaban di nusantara. Dengan berbagai konteks sosial musik etnik memiliki peran serta fungsi tidak sekedar karya seni namun juga memiliki aspek, spiritual, ekonomis serta ekologis (Simatupang, 1995). Dalam pandangan di luar tradisi, sebuah proses kreatif sangat bersifat personal. Sehingga dalam kelahiran karya-karya akan juga lahir metode-metode pespektif baru yang bersifat permanen maupun pasti. Seperti halnya dalam pemahaman garapan kreatif karya musik barat yang selalu mempertahankan relasi mikro dalam kesadaran personal membangun konstruksi imaginatif musikalnya. Dalam karya musik tradisi justru sebaliknya ia bersifat komunal, dengan demikian, bentuk musikal sering terjadi pada saat pementasan salah satu karya melalui proses interaksi antar musisi. Esensi kualitatif sebagai karya seni biasanya tidak bisa dipelajari dari notasi partiturnya, maka yang terjadi adalah kesalah pahaman dari pihak lingkungan akademisi dalam karya-karya yang tidak dilengkapi dengan partitur. Padahal kompleksitas kualitatif merupakan Ekspresi sosial yang tidak kalah pentingnya dalam bahasan akademis. Transformasi budaya memang selalu terjadi, dalam prosesnya bahkan stagnasi mungkin saja timbul pada suatu periode tertentu. Tapi spirit budaya tradisional tak akan pernah terbunuh, ia tumbuh dalam suatu proses budaya yang terus menerus dalam bentuk konvensi, transformasi, konflik, inovasi, bahkan anarki dan sebagainya (Suka Harjana). Proses kreatif dapat melakukan beberapa pendekatan seperti di bawah ini: A. Tradisi - orientasinya lebih kuat idiom musikal yang telah ada sebelumnya. B. Reinterpretasi – menampilkan kembali repertoar yang ada menjadikan suatu yang baru. C. Kontemporer – Melepaskan diri dari kebiasaan yang ada.

Tradisi sebagai proses dan hasil pewarisan budaya tidak dimaknai sebagai benda yang harus dielus-elus, tetapi sebuah proses penerimaan, penolakan serta perubahan sesuai dengan kondisi ke

3

kini-disinian. Dari sini manusia dapat berjarak dengan tradisi, sekaligus berangkat darinya untuk melakukan rekonstuksi terhadap masa lalu untuk masa kini sehingga tradisi terutama adalah tentang pola-pola perubahan sebagai usaha untuk membentuk wujud baru bagi perkembangan yang merupakan insting natural ke arah pemekaran diri optimal yang berasal dari imagi kreatif. Di Indonesia peranan budaya musik Etnis dapat dinilai sebagai hal yang sangat berperan dalam berbagai macam ragamnya. Terutama keseluruhan budaya musik etnis itu senantiasa mewakili salah satu aspek identitas Nasional. Pada Umumnya musik suatu budaya etnis dianggap tradisi yang baku dan agak statis, padahal sebetulnya pada perkembangannya mengalami evolusioner, hal ini memang kurang terasa oleh karena tradisi lisan. Pada perkembangan komponis Indonesia justru dapat menghapus stigma bahwa budaya musik tradisi tidak lagi sesuatu yang statis tapi justru sebaliknya. Hal ini, bisa kita lihat dari karya komponis Indonesia yang mempunyai latar belakang budaya etnis.

MUSIK DALAM KATAGORI BERSUMBER DARI UNSUR ETNIS Para komposer dalam katagori yang menggunakan idiom musik etnis mempunyai latar belakang dari etnis tertentu. Pada tingkat pembaruan mereka masih sangat memperhatikan norma- norma tertentu, kadang persoalan norma menjadi malasalah yang serius dalam kontek pertanggung jawaban budayanya. Pengaruh budaya lain dalam proses garapnya tidak mengganggu, sehingga disini kreativitas pribadi sangat menonjol. Kebanyakan model seperti ini sangat khas berkembang di Indonesia. kalau kita lihat dari estetika permainan kelompok dalam proses penciptaannya yang memberi kebebasan pada setiap pemainnya sangat khas untuk budaya Indonesia. Proses kreatif mereka melalui aneka percobaan yang mirip suatu proses eksperimental, namun pada saat karya semacam ini disajikan atau dipentaskan sudah ke luar dari fase percobaan dan sudah menjadi karya yang pasti. Kalau kita perbandingkan dengan unsur eksperimental dalam arti John Cage kadang juga ada, Misalnya hanya materi dasar serta garis-garis besar dapat ditentukan sebelumnya, sedangkan proses perwujutannya terjadi secara spontan. Pada umumnya para komposer yang mempunyai latar belakang etnis dalam proses garapannya bertolak pada praktek langsung, keakrapan dengan musisi termasuk kesesuaian latar belakang menjadi sangat penting. Bagi orang yang mempunyai latar belakang di luar budaya ini, cara kerja semacam ini dianggap kurang baik. Karena di luar budaya kita kwalitas pemain tidak dibicarakan. Sedangkan dalam proses kelahiran karya komponis etnis kwalitas pemain menentukan kwalitas karya. Dengan kata lain unsur sosial, proses kerja sama, kesatuan antara pencipta dan interpreter jauh lebih diperhatikan, sehingga karya musik dengan orientasi pada tradisinya dapat sama-sama mengekstraksi harmoni-harmoni baru, lanskap-lanskap melodies dengan plastis yang baru juga dengan karakter-karakter ritmis yang baru juga. Pemahaman tersebut di atas merupakan kesadaran kompositorisnya, karena kita harus ingat komposisi adalah satu-satunya definisi seni yang bersifat estetis, dan apa yang tidak terkomposisi bukanlah karya seni. Ada dua tataran pokok dalam komposisi: a. Komposisi teknis; meliputi kerja bahan material yang sering kali menghampiri sains (matematika, fisika, kimia, anatomi). b. Komposisi estetis yang merupakan kerja sensasi. Secara khusus modal utama dalam komposisi musik adalah inspirasi dan imaginasi. Dari imaginasi baru diurai dengan kenyataan teknis garapannya. Inspirasi atau imaginasi belum dapat mengusai kenyataan teknis itu (sejalan). Kenyataan keteraturan teknis antara lain. 1. Keteraturan dinamis: Intensitas-intensitas serta kepadatannya. 2. Keteraturan fonetisnya, musik terdiri atas timbre-timbre dan berbagai cara permainannya. 3. Keteraturan kinetisnya musik terdiri atas aksen aksen, dari arsis-tesis serta berbagai tempo. Yang menarik karya komposer yang berlatar belakang tradisi adalah: 1. Unsur kerja sama adalah metode tertentu untuk mentranfer unsur kesadaran kolektif (kelompok) pada suatu karya seni yang lebih otonom.

4

2. Tingkat kerumitan suatu karya terletak pada variasi-variasi yang disebabkan oleh komunikasi mikro antar pemain yang bersangkutan (adanya stimulus pada pemain). 3. Bentuk musikal sering terjadi pada saat pementasan karya melalui proses interaksi antar musisi. 4. Esensi kualitas sebagai karya seni (atau teknik-teknik khususnya untuk mencapainya) biasanya tidak bisa dipelajari dari notasi partitur. Partitur tidak memberikan petunjuk sebenarnya tentang esensi karyanya. 5. Kompleksitas kualitatif pada karya-karya dengan pola garap tradisi lisan mucul pada proses latihannya, yaitu kerjasama antar pemain yang bersangkutan serta adanya kedekatan secara personal.

Dengan demikian proses latihan sekaligus proses garapan. Proses garapan melalui kerja sama dengan musisi Sehingga sering terjadi notasi dibikin setelah karya tersebut dikuasai oleh musisi- musisinya. Dengan kata lain mencari masukan dari musisi-musisi pendukung menjadikan inspirasi bagi komposernya. Komentar seorang komposer Eropa, yaitu Karl-Heinz Stockhausen saat pernah ditanyakan, mengapa dia selalu mencari sesuatu yang baru? Stockhausen menjawab, mudah- mudahan saya senantiasa akan menjadi seorang yang mencari sesuatu, hanya dengan demikian manusia bisa berkembang.

Penutup Menurut Gadamer, karya seni merupakan endapan nilai dan norma suksesi antara tradisi dan inovasi dari masa lalu sampai masa kini. Melalui ―rammemorazione‖ (kesadaran kembali), maka ―kehadiran masa lalu‖ itu membantuk kekinian. Rasio tidak bisa mencapai emansipasi secara total dari apa yang terjadi (di masa lalu) tanpa kehilangan bagian tertentu darinya. Dengan kata lain, dalam sejarah selalu terjadi bahwa ada yang tertinggal dan ada yang terbangun, ada yang tertangkap. Hanya dalam hermeneutik estetika bisa terjadi peleburan ―kelampauan― itu dan selanjutnya penerapanya dalam ―kekinian‖. Demikian halnya, dengan kemunculan karya tradisi baru sebagai respon terhadap berkembangnya peradaban tentu mempunyai konsekuensi logis terhadap produk budaya saat ini dan mendatang namun tetap mengusung unsur local jenius sebagai identitas nusantara. Seni pertunjukan khususnya musik saat ini menjadi satu asset kekayaan intelektual dengan peluang go international oleh sebab itu sudah seharusnya kita tampil dengn identitas kenusantaraan sebagai representasi idealisme serta kepribadiaan insan seni Indonesia dikancah musik dunia. Pengembangan riset terhadap dunia seni modern tidak bisa lepas dari sejarah sebelumnya serta sangat kontekstual dengan saat ini. Praktek kreatif adalah bentuk revolusioner dan sangat menarik untuk diamati lebih dalam. Seni dan humanistic menjadi obyek centre of interest yang bersinergi serta terkait erat dengan karya yang dihasilkan dari sebuah proses kreatif. Hubungan praktek kreatif oleh seniman dengan dunia riset sangat erat terutama dalam konteks inovasi dari keberadaan suatu obyek atau subyek penelitian untuk mencermati serta mengkritis karya-karya kekinian berbasis pada ide tradisi atau habitus bagi pelaku/praktisi seni. Keterhubungan pengetahuan dengan praktek seni menentukan arah bentuk budaya pada umumnya (Smith and Dean 2009).

Daftar Pustaka Djelantik, A.A.M., 1990, Pengantar Dasar llmu Estetika Jilid II Falsafah Keindahan dan Kesenian, STSI Press, Denpasar. Djohanurani, Sri, 1999 ―Teks dan Konteks Sumber Penciptaan‖, SENI, Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni, Yogyakarta, Bp. ISI Yogyakarta VII/02,. McFarlane, Thomas J., 2002, Jalinan Kata-Sabda Einstein dan Buddha, Penerbit Pohon Sukma, Yogyakarta. Griffiths, Paul, 1986, The Thames and Hudson Encyclopaedia of 20TH-CENTURY, Thames and Hudson Ltd., London.

5

Harjana, Suka, 2003, Corat Coret Kontemporer Dulu dan Kini, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI), Jakarta. Hastanto, Sri, 1997, "Pendidikan Karawitan: Situasi Problema dan Angan-angan", Wiled, Jumal Seni Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta. Kreitner, Robert, dan Angelo Kinicki, 2001, Organizational Behavior, Fifth Edition, Irwin/McGraw-Hill, New York. Mack, Dieter, 1995, Sejarah IV, Pusat Liturgi, Yogyakarta. Mardimin, Johanes, (ed.), 1994, Jangan Tangisi Tradisi: Transformasi Budaya Menuju Indonesia Modern, Kanisius, Yogyakarta. Martopo, Hari, 2001, ―Perancangan Notasi Relief (Notrel) Untuk Pendidikan Tunanetra‖, Laporan Penelitian Hibah Bersaing IX/1, DP3M Ditjen Dikti Depdiknas, Jakarta. _____, 2003, ―Program Sebagai Representasi Estetik Era Romantik Abad Kesembilanbelas‖ dalam Panggung, Jurnal Seni STSI Bandung, Nomor XXVI Tahun 2003. _____, 2004, Metode Pembelajaran Biola Suzuki Ditinjau dari Perspektif Quantum, Tesis Pengkajian Seni Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Munandar, Utami, 2002, Kreativitas dan Keberbakatan, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Prier SJ, Karl Edmund, 1996, llmu Bentuk , Pusat Liturgi, Yogyakarta. Rustopo, (ed), 1991, Gendon Humardani: Pemikiran dan Kritiknya, STSI Press, Surakarta. Sacher, Jack and James Eversole,1971, The Art of Sound: an Introduction to, 2nd Edition, Prentice-Hall Inc., New Jersey. Supanggah, Rahayu, 2005, Bothekan, ISI Press, Surakarta.

6

SENI PERTUNJUKAN BERBASIS RISET

Pande Made Sukerta Jurusan Seni Karawitan, Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Surakarta Email : [email protected]

Abstrak Seni pertunjukan adalah salah satu bentuk seni yang mempertunjukan karya seni yang proses penciptaannya melalui riset. Riset dalam konteks kajian dengan penciptaan karya seni perinsipnya sama hanya sudut pandang dan keperuntukannya yang berbeda. Untuk memperoleh data baik riset dalam konteks kajian dan penciptaan karya seni dengan cara observasi, wawancara, dan studi kepustakaan dan/atau dokumen. Riset merupakan bagian dari salah satu proses yang dilakukan pada proses awal dan tengah penggarapan karya seni. Hasil riset bagian awal proses penciptaan, digunakan untuk menyusun gagasan isi, sedangkan proses riset yang dilakukan di tengah (pada saat proses penciptaan) di antaranya digunakan pada saat melakukan kegiatan eksplorasi, pemilihan penyaji, dan penggarapan ruang. Sasaran penelitian dalam penciptaan karya seni adalah fenomena atau peristiwa yang terkait dengan musikal, sosial, budaya, maupun fenomena alam, dan bersumber dari media yang diciptakan. Hasil riset dalam seni pertunjukan berbentuk penggalian, pengembangan, dan menciptakan karya baru. Penggalian dan pengembangan karya seni dilakukan pada seni tradisi atau karya seni yang sudah ada sebelumnya, sedangkan menciptakan karya baru adalah menciptakan karya yang sebelumnya belum ada baik yang menggunakan vokabuler tradisi dan/atau non tradisi.

Kata Kunci : Seni Pertunjukan dan Riset

PENDAHULUAN Pertama saya menyampaikan ucapan selamat atas terselenggaranya seminar nasional ini dan terima kasih kepada Panitia Seminar Nasional Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar yang telah memberikan kesempatan saya untuk ikut berpartisipasi dalam seminar ini, dengan harapan semoga sukses dan berhasil. Seminar Nasional yang bertemakan ‖Seni Pertunjukan Unggul Berbasis Kearifan Lokal Berwawasan Universal‖. Panitia Seminar Nasional telah menentukan 8 (delapan) topik. Di antara sekian topik yang disiapkan oleh panitia, saya memilih‖Seni Pertunjukan Berbasis Riset‖. Dalam konteks seni pertunjukan yang berbasis riset, terfokus pada karya seni dipertunjukan yang proses penciptaan atau penyusunannya dilakukan melalui riset atau penelitian. Mendengar kata riset atau penelitian dikalangan para seniman yang dikaitkan dengan konteks seni pertunjukan, kesannya sangat serem atau menakutkan atau dianggap bersifat ilmiah dan dirasakan tidak ada hubungannya dengan kegiatan proses penciptaan karya seni. Riset dianggap sesuatu tindakan yang selalu dilakukan oleh para sarjana. Namun sebenarnya dalam konteks seni pertunjukan khususnya dalam rangka penciptaan karya seni selalu dilakukan tindakan riset. Setiap menyusun karya seni, bagaimana pun sederhananya karya seni dan siapapun yang mencipta karya seni selalu didahului dengan riset. Tindakan riset dalam konteks kajian, berbeda dengan tindakan riset dalam konteks penciptaan karya seni, meskipun sama-sama mempunyai objek atau sasaran penelitian. Tindakan riset dalam konteks kajian adalah merumuskan masalah, kemudian melakukan deskripsi dan analisis masalah yang diteliti yang pada akhirnya menghasilkan simpulan dan temuan. Tindakan riset dalam konteks penciptaan karya seni, tidak ada masalah yang dibahas dan dianalisis, tetapi hasil penelitiannya akan digunakan sebagai obyek imajinasi yang akan digunakan untuk mewujudkan sebuah karya seni. Para seniman pencipta karya seni, mengamati secara holistik suatu obyek yang akan diangkat ke dalam karya seni. Kemudian hasil dari pengamatan atau data yang diperoleh dalam penelitian tersebut, diolah atau digarap dengan berbagai macam proses sehingga mewujudkan karya seni.

7

Untuk memperoleh data baik dalam konteks penciptaan karya seni maupun dalam konteks pengkajian dengan cara observasi, wawancara, dan studi kepustakaan dan/atau dokumen. Penelitian dalam konteks penciptaan karya seni, kegiatannya dapat berbentuk penggalian, pengembangan, dan menciptakan karya baru. Karya seni dari hasil penggalian adalah menggali karya-karya tradisi yang sudah lama tidak pernah disajikan atau dipertunjukan, kemudian digali atau direkonstruksi kembali. Kegiatan pengembangan karya seni adalah mengembangkan atau menggarap kembali karya seni yang sudah ada, kemudian dilakukan dekonstruksi atau perombakan atau dikembangkan dari berbagai aspek yang terkait dengan estetik. Kegiatan menciptakan karya baru adalah karya seni yang diciptakan yang menggunakan vokabuler atau media tradisi dan/atau non tradisi. Dengan demikian, sadar atau tidak sadar dalam rangka menciptakan karya seni, para seniman selalu melakukan riset. Keberadaan karya seni di bumi ini, tidak secara tiba-tiba muncul untuk dilihat, didengar, dan dirasakan, namun selalu melalui proses. Lama tidaknya proses penciptaan karya seni, tergantung dari segala kemampuan seniman pencipta yang dimiliki. Proses penciptaan karya seni terletak sebelum terwujudnya bentuk karya seni, sehingga apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan hanya wujud dalam hal ini adalah karya seni. Maka dari itu, sering kita melihat seseorang kurang atau tidak menghargai karya seni, karena mereka yang diamati hanya apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan. Mestinya harus menghargai sebuah proses penciptaannya. Kita tidak bisa membayangkan kalau para seniman pencipta menyusun karya seni tanpa melakukan tindakan riset, apa yang akan dikerjakan, apa yang dijadikan acuan dan seolah-olah tanpa arah karena tidak mempunyai titik tolak untuk melakukan proses penyusunan karya seni.

RISET DALAM PENCIPTAAN KARYA SENI Riset dalam konteks penciptaan karya seni, dilakukan pada bagian awal dan bagian tengah proses penciptaan (penggarapan karya seni). Riset yang dilakukan pada bagian awal dalam rangka menyusun ide atau gagasan isi karya seni. Dari gagasan isi inilah seniman pencipta akan menterjemahkan atau mengungkapkan lewat media ungkap sehingga menjadi sebuah karya seni. Sasaran penelitian dalam konteks penciptaan karya seni, di antaranya adalah sebuah fenomena atau peristiwa, baik fenomena yang terkait dengan musikal, sosial, budaya, maupun fenomena yang terkait dengan alam. Selain itu objek penelitian dalam konteks penciptaan juga dapat bersumber dari media yang diciptakan. Tindakan riset terhadap segala peristiwa dalam penyusunan karya seni, dapat dilakukan pada seluruh jenis seni pertunjukan. Seperti misalnya ide atau gagasan seniman karawitan akan diungkapkan atau diwujudkan lewat sumber bunyi. Dalam mengungkapkan ide, dibutuhkan kreativitas untuk menuangkan gagasan atau ide sehingga menjadi sebuah garapan atau karya seni. Saya yakin dengan sasaran penelitian yang sama, akan mewujudkan karya seni yang berbeda-beda, karena sangat ditentukan oleh sudut pandang, kemampuan, dan kreativitas seniman penciptanya. Riset yang dilakukan pada bagian tengah adalah riset dalam konteks penggarapan karya seni, seperti ekplorasi, penentuan penyaji atau pelaku, dan penggarapan ruang. Eksplorasi adalah suatu tindakan mencoba, mencoba, dan selalu mencoba. Tindakan eksplorasi ini juga merupakan salah satu bentuk riset dalam menyusun karya seni. Misalnya dalam menyusun karya baru musik atau karawitan, segala sumber bunyi disiapkan untuk dicoba sehingga menimbulkan berbagai warna suara. Dari hasil percobaan sumber bunyi tersebut yang menghasilkan warna suara, selanjutnya digarap sampai dapat mewujudkan bagian-bagian karya, dan akhirnya mewujudkan sebuah karya musik. Eksplorasi juga dilakukan pada saat menyusun bagian-bagian komposisi atau karya sehingga membentuk suatu alur suasana yang diharapkan oleh seniman penciptanya. Tindakan eksplorasi ini dilakukan pada bentuk proses penyusunan atau penciptaan karya seni kecuali penelitian yang berbentuk penggalian karya seni, seniman pencipta tidak melakukan tindakkan eksplorasi. Tidakan eksplorasi dalam penyusunan karya seni, dapat dilakukan pada seluruh jenis seni pertunjukan.

8

Menentukan penyaji atau pelaku seni juga merupakan bagian atau ruang lingkup dari kegiatan riset, karena pemilihan penyaji atau pelaku seni untuk menyajikan karya seni tidak hanya sekedar memilih, tidak karena kedekatan, melainkan menggunakan pertimbangan tertentu sesuai dengan kebutuhannya. Penentuan penyaji yang didasarkan atas hasil pengamatan ini dapat dilakukan pada seluruh jenis seni pertunjukan. Penggarapan atau pemanfaatan ruang dalam seni pertunjukan juga merupakan aplikasi hasil dari kegiatan riset yang telah dilakukan sebelumnya. Ruang juga merupakan bagian dari teks atau karya seni. Penggarapan ruang dilakukan pada seluruh bidang seni pertunjukan. Ada beberapa karya seni yang saya ketahui sebagai hasil dari kegiatan riset di antaranya : 1. Bapak I Wayan Beratha (alm.) dalam menciptakan gending Gesuri atau sekarang diberi nama Bajra Danta. Beliau pernah menceritrakan kepada saya bahwa gending tersebut bertitik tolak dari hasil pengamatan almarhum terhadap drumband saat berada di Amerika. Almarhum sangat terkesan dengan suara dan sajian instrumen trompet. Kemudian drumband khususnya suara trompet tersebut digunakan sebagai sumber ide dan diaplikasikan dalam ciptaannya yang terwadahi dalam tabuhan gangsa. Selain itu almarhum juga terinpirasi dengan agama yang dipeluk oleh Bung Karno, yaitu agama Islam. Dalam masjid tempat persembahyangan umat Islam selalu menggunakan bedug. Penggunaan bedug inilah almarhum sangat terkesan, sehingga sebagai sumber ide yang diaplikasikan dalam tabuhan kendang cedugan lanang. Karya almarhum yang lain adalah gending Purwa Pascima yang diartikan dari Barat ke Timur. Barat artinya mengambil unsur musik Barat yang bentuknya berupa irama ¾ yang jarang atau tidak digunakan dalam tabuhan gending Bali. Irama ¾ ini kemudian diaplikasikan pada bagian gending pekaad dalam gending Purwa Pascima. 2. Bapak Gede Manik (Alm.) saat menyusun gending dan tari Cendrawasih yang disusun tahun 1964. Beliau pernah menceritakan dengan saya bahwa dalam menyusun gending dan tari Cendrawasih, sebelumnya almarhum mengamati gerak-gerik burung Cendrawasih. Kemudian dari hasil pengamatan burung tersebut, diaplikasikan dalam gerak. 3. Saya sendiri sebuah pengalaman peribadi yang pernah saya lakukan, saat menyusun karya seni yang diberi judul ‖Momong‖ yang disusun dalam rangka Pengukuhan Guru Besar tanggal 9 Agustus 2006 di Teater Besar ISI Surakarta. Kata momong artinya mengampu. Karya ini bertitik tolak dari konsep rwa binedha yang diartikan sesuatu yang berbeda dan menjadi satu kesatuan, seperti misalnya baik dan buruk. Karya ‖Momong‖ melukiskan sebuah fenomena kehidupan yang hampir setiap orang mengalaminya. Momong terkait dengan roso yang terbentuk setelah mengalami pergulatan antara nilai baik dan nilai buruk. Kedua penilaian ini selalu berdampingan dan harus dicintai. Tinggal bagaimana mensiasati dan mengendalikan diri kita sehingga mampu melampaui nilai baik dan buruk untuk mencapai penyadaran diri.

Pertunjukan Karya ‖Momong‖ Dok. Pande Made Sukerta

Contoh lain karya-karya seni yang berbasis riset yang telah dilakukan para mahasiswa dalam rangka menyelesaikan program doktornya adalah Dr. Ida Ayu Wimba Ruspawati, Dr. Kadek Indra

9

Wijaya, Dr. Kamarulzaman Bin Muhamed Karim, dan Dr. Al. Suwardi menyusun karya sebagai berikut. 1. Karya ‖Re-Interpretasi Tombol di Desa Banyuatis, Buleleng: Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas‖ oleh Dr. Ida Ayu Wimba Ruspawati. 2. Karya ―Harkat Bunyi Alam Mangrove‖ oleh Dr. Kadek Indra Wijaya. 3. Karya ―Ghamuyi‖ oleh Dr. Kamarulzaman Bin Muhamed Karim. 4. Karya ‖Pelanet Harmonik‖ oleh Dr. Al. Suwardi. Adapun penjelasan proses para seniman penyusun menciptakan karya seni adalah sebagai berikut.

KARYA SENI ”RE-INTERPRETASI LEGONG TOMBOL DI DESA BANYUATIS, BULELENG: ANTARA MEMORI KOLEKTIF DAN MODEL PEMBELAJARAN KOMPLEKSITAS” Karya seni Dr. Ida Ayu Wimba Ruspawati yang berjudul ‖Re-Interpretasi Legong Tombol di Desa Banyuatis, Buleleng: Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas‖ yang digunakan sebagai salah satu persyaratan untuk mencapai gelar Doktor di Pascasarjana ISI Surakarta. Dr. Wimba melakukan penelitian dalam bentuk penggalian atau merekonstruksi yang terkait dengan Legong Tombol, yaitu penyusun atau penciptanya dan perjalanan Legong Tombol sampai hidup dan berkembang di Desa Banyuatis. Merekonstruksi gerak tari Legong Tombol dengan Meme Pintu (68 tahun), sedangkan gending tarinya adalah Bapak Gede Sueca (80 tahun). Mengingat penari (narasumber)nya sudah tua, banyak gerak tarinya yang lupa. Dengan kelupaan yang dimiliki oleh narasumber, maka Dr. Wimba dalam menggali atau merekontruksi tarian tersebut, peneliti menggunakan menggunakan cara re-interpretasi. Dengan melakukan re- interpretasi inilah, bagian-bagian yang hilang tersebut dapat diganti dengan gerak-gerak tari yang baru hasil penafsiran ulang dari perbendaharaan gerak yang dimiliki oleh Tari Legong Tombol ini. Pencipta tari Legong Tombol adalah Bapak I Wayan Rindi (Alm.). Dr. Wimba juga melakukan penelitian tentang sejarah pejalanan kesenimanan Bapak I Wayan Rindi (Alm.) mulai dari belajar menari saat berusia sangat muda, menjadi penari sampai menjadi guru tari atau seniman. Untuk memperoleh data Bapak I Wayan Rindi (Alm.), Dr. Wimba menggunakan narasumber dan refrensi di antaranya buku Rikka and Rindji: Children of Bali, karya Dominique Darbois tahun 1959.

Pertunjukan Tari Legong Tombol Dok. Ida Ayu Wimba Ruspawati, 2015

Tari Legong Tombol disajikan oleh sepasang penari perempuan atau istilahnya ―kembar‖, maka sering Legong Tombol ini disebut dengan tari Legong Kembar seperti penyebutan Tari Trunajaya Kembar yang disajikan oleh sepasang penari perempuan.

KARYA SENI “HARKAT BUNYI ALAM MANGROVE” Karya seni yang berjudul ―Harkat Bunyi Alam Mangrove‖ yang disusun oleh Dr. Kadek Indra Wijaya yang digunakan sebagai salah satu persyaratan untuk mencapai gelar Doktor di

10

Pascasarjana ISI Surakarta. Dr. Kadek Indra Wijaya, upaya pelestarian dengan memasukan unsur seni di hutan mangrove nantinya mampu menghantarkan masyarakat pada kepedulian penataan mangrove serta menjadi ajang kreativitas untuk melestarikan hutan mangrove.

Hutan Mangrove Dok. Kadek Indra Wijaya, 2016

Mangrove sebagai sumber inspirasi dengan segala potensi yang terdapat di dalamnya seperti suara gemricik air, suara gesekan batang pohon mangrove, buah mangrove, nuansa alam yang tenang, kicauan burung, dan lain-lain menjadi modal utama bagi pengembangan ide kreativitas. Hasil dari potensi alam yang terdapat di hutan mangrove tersebut diwujudkan lewat alat musik yang terbuat dari mangrove. Untuk memperoleh data yang dibutuhkan, Dr. Kadek Indra Wijaya mengamati kondisi dan situasi hutan mangrove, untuk mengetahui di antaranya binatang-binatang apa yang hidup di dalam hutan mangrove dan kapan pasang-surutnya air di hutan mangrove. Dengan mengetahui kondisi dan situasi hutan mangrove, kemudian mulailah Dr. Kadek Indra Wijaya memanfaatkan hutan mangrove tersebut sebagai sumber karya.

KARYA SENI ”GHAMUYI” Karya ‖Ghamuyi‖ yang disusun oleh Dr. Kamarulzaman Bin Muhamed Karim tahun 2015 yang digunakan sebagai salah satu persyaratan untuk mencapai gelar Doktor di Pascasarjana ISI Surakarta. Karya ‖Ghamuyi‖ merupakan karya hasil pengembangan dari kesenian Ghazal yang sekarang kehidupannya sangat memprihatinkan. Dr. Kamarulzaman Bin Muhamed Karim, meneliti atau menggali tentang kesenian Ghazal yang masih hidup. Dari hasil penggalian tersebut, kemudian dianalisis bagian-bagian yang akan digarap atau dikembangkan. Hasil karya yang dipertunjukan, oleh Dr. Kamarulzaman adalah beberapa lagu kesenian Ghazal dari hasil penggalian dan hasil ciptaannya yang berupa pengembangan kesenian Ghazal. Bentuk pengembangan yang dilakukan Dr. Kamarulzaman dengan menambah instrumen dan vokal. Selain itu dia menciptaankan sebuah karya yang bersumber dari kesenian Ghazal.

Pertunjukan Karya ‖Ghazal‖ Dok. Kamarulzaman Bin Muhamed Karim, 2015

KARYA “PLANET HARMONIK” Karya seni ini bersumber dari hasil penciptaan instrumen yang diciptakan oleh Dr. Al. Suwardi, diberi nama ―Planet Harmonik‖. Karya ini penciptaannya tidak bersumber dari sebuah

11

fenomena atau peristiwa, melainkan bersumber dari sumber bunyi atau instrumen yang diciptakan yang digunakan untuk mengungkapkan karyanya. Ada beberapa instrumen yang diciptakan oleh Dr. Al. Suwardi, yaitu: instrumen klinthing, klunthung, klonthang, dari klonthong. Bunyi yang dihasilkan oleh instrumen yang diciptakan, kemudian disusun menjadi sebuah karya yang diberi nama ―Planet Harmonik‖ yang terwadahi ke dalam 2 (dua) karya, yaitu karya ―Pisungsung‖ dan karya ―Nunggak Semi‖.

Pertunjukan Karya ―Planet Harmonik‖ Dok. Pande Made Sukerta, 2016

Keempat karya seni yang diciptakan tersebut di atas, merupakan hasil riset, dengan sasaran riset yang berbeda.

PENUTUP Dari pembahasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa bentuk riset dalam konteks pengkajian dan riset dalam konteks penciptaan karya seni adalah serupa tapi tidak sama. Riset merupakan suatu proses yang dilakukan oleh para seniman pencipta karya seni baik dalam rangka menciptakan karya seni tradisi maupun non tradisi. Penciptaan karya yang melalui riset dapat berbentuk penggalian, pengembangan, penciptaan karya baru yang dapat bersumber dari berbagai fenomena, yaitu: musikal, sosial, budaya, dan sumber lain di antaranya instrumen (khusus musik). Aplikasi riset dalam proses mencipta karya seni, dilakukan pada bagian awal dan tengah pada saat proses penciptaan. Hasil riset yang dilakukan pada bagian awal digunakan untuk mewujudkan gagasan isi dan riset pada bagian tengah dilakukan pada saat proses penggarapan karya seni, di antaranya melakukan kegiatan eksplorasi, pemilihan pelaku, dan juga penggarapan ruang. Dengan demikian bahwa karya seni yang dipertunjukan adalah hasil riset dari pencipta atau penyusunnya. Demikian informasi yang saya sampaikan dalam Seminar Nasional ini, semoga dapat bermanfaat untuk kita semua. Terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA Bin Muhamed Karim, Kamarulzaman. 2015. ‖Ghamuyi‖ Disertasi (Karya Seni). Surakarta: Pascasarjana ISI Surakarta. Indra Wijaya, Kadek. 2016. ―Harkat Bunyi Alam Mangrove‖. Disertasi (Karya Seni). Surakarta: Pascasarjana ISI Surakarta. Puspawerti, Ida Ayu Wimba. 2015. ―Re-Interpretasi Legong Tombol di Desa Banyuatis, Buleleng: Antara Memori Kolektif dan Model Pembelajaran Kompleksitas‖. Disertasi (Karya Seni). Surakarta: Pascasarjana ISI Surakarta. Sukerta, Pande Made. 2006. Kehidupan Sebagai Teks Komposisi Karawitan. Pidato Pengukuhan Dalam Bidang Ilmu Komposisi Karawitan Pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta, Surakarta: Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta. ______. 2011. Metode Penyusunan Karya Seni (Sebuah Alternatif). Surakarta: ISI Press. Suwardi, Aloysius. 2016. ―Planet Harmoni‖. Disertasi (Karya Seni). Surakarta: Pascasarjana ISI Surakarta.

12

PENCIPTAAN SENI BERBASIS RISET1

Martinus Miroto Jurusan Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Yogyakarta Email : [email protected]

Abstrak Diskusi mengenai penciptaan seni berbasis penelitian merupakan topik hangat di lingkungan pendidikan tinggi seni di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pendidikan tinggi dibedakan antara pendidikan akademik dan pendidikan vokasi. Undang-undang ini menegaskan bahwa jalur akademik berorientasi pada produk pengetahuan sedangkan jalur vokasi mengarah pada penerapan keahlian. Secara historis, pendidikan tinggi seni formal di Indonesia, yakni ASTI, ASKI, AMI, dan ASRI pada awalnya berorientasi pada vokasi. Dengan merger-nya ASTI-AMI-ASRI menjadi ISI Yogyakarta pada tahun 1984, pendidikan tinggi seni berorientasi pada akademik. Konsekuensinya, Tugas Akhir karya seni mahasiswa dituntut pertanggungjawaban akademis dalam bentuk karya ilmiah. Produk karya ilmiah seperti konsep, proses, teori, analisis, sintesis, maupun metode bertujuan untuk penguasaan dan pengembangan pengetahuan, teknologi, dan seni. Pendidikan seni akademik pada minat utama penciptaan seni yang diarahkan untuk memproduksi pengetahuan acapkali memunculkan konflik antar-seniman-akademisi. Misalnya, apakah produk pengetahuan merupakan tujuan utama penciptaan seni? Pengetahuan macam apa yang diproduksi oleh para senimanakademik? Metode penelitian apa yang tepat diterapkan pada bidang penciptaan seni dalam konteks pendidikan akademik? Permasalahan tersebut relevan didiskusikan kembali pada forum seminar ini. Melalui penelaahan terhadap penelitian artistik (artistic research) yang telah diterapkan di berbagai perguruan tinggi seni di Eropa, ditambah studi tentang practice-based research dan practice-led research, ditawarkan gagasan penciptaan seni berbasis risetyang difokuskan pada karakteristik khusus bidang penciptaan tari yang disebut Penelitian Penciptaan Tari. Penelitian Penciptaan Tari merupakan gabungan atas penelitian kualitatif, praktik koreografi, practice-based research, dan practice-led research dengan tujuan memproduksi pengetahuan di bidang praktik tari. Tawaran ini diharapkan membuka diskusi lebih lanjut, terutama oleh para seniman- akademisi.

Kata kunci : konsep, teori, analisis, penelitian, metode, teknologi, dan seni

PENDAHULUAN Diskusi mengenai penciptaan seni berbasis penelitian merupakan topik hangat di lingkungan pendidikan tinggi seni di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pendidikan tinggi dibedakan antara pendidikan akademik dan pendidikan vokasi. Pendidikan akademik merupakan pendidikan tinggi program sarjana dan program pasca sarjana yang diarahkan pada penguasaan serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penalaran ilmiah. Pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi program diploma dan program sarjana terapan yang menyiapkan mahasiswa menguasai bidang pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu. Mahasiswa menjadi praktisi yang terampil untuk memasuki dunia kerja sesuai dengan bidang keahliannya. Jelasnya, Undang-undang ini menegaskan bahwa jalur akademik berorientasi pada produk pengetahuan sedangkan jalur vokasi mengarah pada produk keahlian. Secara historis, pendidikan tinggi seni formal di Indonesia, yakni ASTI, ASKI, AMI, dan ASRI pada awalnya berorientasi pada vokasi. Dengan merger-nya ASTI-AMI-ASRI menjadi ISI Yogyakarta pada tahun 1984, pendidikan tinggi seni berorientasi pada akademik. Konsekuensinya, Tugas Akhir karya seni mahasiswa dituntut pertanggungjawaban akademis melalui karya tulis sebagai produk pengetahuan seperti konsep, teori, metode, maupun model. Produksi pengetahuan

1 Topik ini dipilih berdasarkan salah satu subtema seminar, yakni ―Seni Pertunjukan berbasis riset‖ dalam ―Prospektus Seminar Nasional Seni Pertunjukan FSP ISI Denpasar, Senin, 17 Okt 2016.‖

13

itu bertujuan untuk penguasaan dan pengembangan pengetahuan, teknologi, dan seni. Meskipun demikian, mengingat sejarah pendidikan tinggi seni di Indonesia bermula dari pendidikan vokasi, maka pada praktiknya, pendidikan seni akademis acapkali memunculkan berbagai pertanyaan. Misalnya, apakah produk pengetahuan merupakan tujuan utama penciptaan seni? Pengetahuan macam apa yang diproduksi oleh para seniman akademik? Metode penelitian apa yang tepat diterapkan pada bidang penciptaan seni dalam konteks pendidikan akademik? Permasalahan tersebut relevan didiskusikan kembali pada forum seminar ini. Melalui penelaahan terhadap penelitian artistik (artistic research) yang telah diterapkan di berbagai perguruan tinggi seni di Eropa, ditambah studi tentang practice-based research dan practice-led research, ditawarkan gagasan penciptaan seni berbasis riset yang difokuskan pada karakteristik khusus bidang penciptaan seni. Pada dunia tari dapat disebut Penelitian Penciptaan Tari. Penelitian Penciptaan Tari merupakan gabungan atas penelitian kualitatif, praktik koreografi, practice-based research, dan practice-led research dengan tujuan memproduksi pengetahuan di bidang praktik tari. Tawaran ini diharapkan membuka diskusi lebih lanjut, terutama oleh para seniman-akademisi. Akhir-akhir ini, sering muncul diskusi mengenai artistic research (penelitian artistik), yakni penelitian berbasis-praktik seni. Penelitian artistik telah diterapkan pada program pascasarjana di beberapa perguruan tinggi seni, antara lain di Academy of Fine Arts, Helsinki, Finlandia; dan University of Gothernburg, Swedia. Apa itu artistic research? Hans Hedberg, Dekan Fakultas Seni Murni, Universitas Gothenberg menyatakan bahwa dalam penelitian artistik seniman menciptakan karya seni dan meneliti proses kreatif sehingga menambahkan akumulasi pengetahuan.2 Mika Hannula dalam Artistic Research: theories, methods and practices, menyatakan bahwa artistic research merupakan perpaduan penelitian kualitatif dan karakteristik khusus praktek artistik.3 Penelitian kualitatif menunjukkan keterlibatan antarsubjek berkomunikasi secara simultan. Mereka saling memengaruhi dalam kehidupan sehingga hubungan antara peneliti dan objek yang diteliti tidak dapat bersifat sebab-akibat melainkan akrab, empati, dan timbal balik.4 Karakteristik khusus praktik kesenian antara lain adanya aktivitas eksperimen dan eksperien sehingga menghasilkan sesuatu temuan yang mengejutkan dan di luar ekspektasi.5 Pada bidang penciptaan tari, komponen eksperimen dan eksperien terdapat dalam koreografi. Koreografi, dalam konteks tari kontemporer, melibatkan aktivitas bereksperimen melalui tindakan improvisasi untuk menuju komposisi. Dapat dikatakan bahwa improvisasi dan koreografi merupakan satu kesatuan dalam proses berkarya tari. Koreografi juga mengandung komponen pengalaman, bahwa melalui pengalaman ekspresif, yang memerlukan perasaan, penjelasan, dan pernyataan diri, tari memberikan koreografer suatu perasaan relasi harmoni dan integrasi diri dengan dunia. Sebagai aktivitas kreatif, tari dapat menghubungkan individu dengan lingkungannya dengan cara yang unik dan sangat personal. Eksperimen dan eksperien dalam praktik penciptaan tari merupakan modal khusus yang menjadi landasan dalam suatu penelitian penciptaan tari. Dua modal itu merupakan dasar kreativitas dalam penciptaan tari, sekaligus dapat menjadi dasar pemroduksian pengetahuan dalam wujud karya ilmiah. Penulisan karya ilmiah sebagai pertanggungjawaban akademik bukanlah hal baru di Indonesia. Sejak berdirinya ISI Yogyakarta, mahasiswa pada Minat Utama Penciptaan Seni telah memproduksi pengetahuan melalui tulisan ilmiah. Namun, dengan munculnya penelitian artistik, sistematika dan metodologi penulisan penciptaan seni dapat semakin dikembangkan sejalan dengan tuntutan pendidikan akademik. Lingkungan akademik memiliki kaidah penyusunan laporan dalam bentuk karya ilmiah yang sistematis dan metodologis yang deskriptif, naratif, analitis, dan argumentatif. Dengan demikian, koreografer-peneliti perlu menyesuaikan diri dengan lingkungan akademis tanpa harus kehilangan keunikan-keunikan pribadi sebagai seniman tari. Lebih jelasnya, hal ini dinyatakan oleh Buterworth sebagai berikut:

2 Mika Hannula-Juha Suoranta-Tere Vaden. Artistic Research- theorie, methods and practices. Academy of Fine Arts, Helsinki, Finland and University of Gothenburg / ArtMonitor, Gothenburg, Sweden, 2005. Hlm. 5 3 Mika Hannula-Juha Suoranta-Tere Vaden., op cit., hlm. 10 4 Septiawan Santana K. Menulis Ilmiah Metode Penelitian Kualitatif. Yayasan Obor Indonesia, 2010. Hlm. 33 5 Mika Hannula-Juha Suoranta-Tere Vaden., op cit., hlm. 10

14

Seniman-peneliti harus menjustifikasi keputusan-keputusan dan mendokumentasinya, dan para pembaca harus dapat mengikuti proses riset dan ketelitian hasil baik di atas panggung maupun di atas kertas. Pengetahuan yang dipaparkan harus terbaca.6 Sejalan dengan jalur pendidikan akademik yang diarahkan pada penguasaan serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penalaran ilmiah, penerapan penelitian artistik pada minat utama penciptaan seni sungguh relevan. Artistic reseach memiliki maksud dan tujuan sangat luas antara lain: pemroduksian informasi, pengembangan metode, pengembangan pengertian, penginterpretasian karya seni, pemroduksian pengetahuan, analisis kritis atas seni, pemikiran kembali peran seniman dalam konteks sosial.7 Berbagai tujuan di atas menunjukkan luasnya maksud dan tujuan penelitian artistik yang dapat dilahirkan melalui karya seni. Meskipun demikian, dalam konteks penelitian penciptaan tari terkadang membingungkan antara artefak kreatif sebagai dasar kontribusi terhadap pengetahuan dan produk penelitian artistik yang mengarah kepada pemahaman baru tentang praktik seperti metode dan model pembelajaran. Apakah karya cipta seniman tari terbatas pada produk artefak kreatif, yakni karya tari? Secara faktual, seniman tari (penari, koreografer, sutradara teater tari) dapat menghasilkan karya seni, metode penciptaan, teknik tari, metode pembelajaran tari, dll. Misalnya, Martha Graham menemukan teknik tari modern contraction and release; Trisha Brown menemukan teknik koreografi minimalis; Pina Bausch menemukan dramaturgi tanze theater. Mengingat penelitan artistik dilakukan oleh para seniman, penelitian ini dapat menghasilkan dua kemungkinan utama, yakni: (1) pengetahuan yang didasari oleh ciptaan karya seni yang menghasilkan informasi, pemahaman, teori, kritik, analisis, pemikiran, dan sebagainya; (2) pengetahuan yang didasari oleh pengalaman panjang dalam berkesenian yang menghasilkan pemahaman baru tentang praktik seperti metode, teknik, dan model. Seniman tari dapat menciptakan karya seni, metode, teknik, dan model. Jadi, istilah ‗penciptaan‘ dalam Program Penciptaan Seni Pascasarjana, sesuai dengan penelitian artistik, tidak terbatas pada penciptaan karya dalam pengertian harafiah yakni membuat sesuatu hasil kesenian. Bisa saja, karya seorang seniman berupa teknik, metode, maupun model yang ditemukan berdasarkan pengalaman profesionalnya. Dalam konteks penelitian, hasil pengetahuan diakibatkan dari tindakan kreatif baik yang menggunakan artefak sebagai subjek maupun pengalaman praktik sebagai ‗pengarah‘ ditemukannya pengetahuan. Produk pengetahuan dalam penelitian artistik dapat ditelisik melalui penelitian yang berbasis pada praktik, yakni practice based-research dan practice-let research. Practice based- research (penelitian berbasis-praktik) menempatkan artefak kreatif sebagai dasar kontribusi terhadap pengetahuan. Misalnya, sebuah karya tari dapat melahirkan pengetahuan tentang perspektif teknologi cyberspace dari sebuah karya seni.8 Practice-let research (Penelitian dipimpin- praktik) mengarah kepada pemahaman baru tentang praktik seni. Misalnya temuan metode koreografi filmis.9 Penelitian berbasis-praktik merupakan penelitian yang berfokus pada praktik yang dilakukan oleh para praktisi seperti seniman, desainer, kurator, penulis, pemusik. Para praktisi melakukan riset bertujuan untuk menggeneralisasikan kebaruan yang tidak sekedar baru bagi kreatornya. Misalnya, produk penelitian doktor berbasis-praktik merupakan hasil dari proses struktur yang dikukuhkan dalam regulasi ujian universitas. Karya seni akademis bukan merupakan hasil yang sekedar baru bagi penciptanya, namun merupakan produk dari sistem kuasa lingkungan akademik. Hal ini berbeda dengan ‗riset‘ sebagai kebiasaan dalam praktik berkesenian yang dilakukan para praktisi di luar lingkungan akademik. Para praktisi melakukan ‗riset‘ sebagai bagian dari kebutuhan praktik sehari-hari dalam pencarian pengertian-pengertian baru dan pencarian teknik- teknik baru untuk merealisasikan gagasan. Kebaruan yang dicari merupakan bagian dari praktik sehari-hari yang tidak secara langsung ditujukan untuk pemroduksian pengetahun umum, melainkan lebih ditujukan untuk tujuan individual dalam konteks penciptaan karyanya.

6 Jo Buterworth dan Liesbeth Wildschut (ed.). Contemporary Choreography: A Critical Reader. Routledge Taylor & Francais Grup London and New York, 2010. hlm. 158 7 Bettina Blasing, Martin Puttke, dan Thomas Schack (ed.). The Neurocognition of Dance: Mind, Movement and Motor Skills. Psychology Press Taylor & Francais Grup, Hove and New York, 2010. Hlm. 18 8 Martinus Miroto. Pertunjukan Realitas Teleholografis Body in Between: Tubuh di antara nyata dan maya. Disertasi Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 2014. 9 Ibid.

15

Tindakan penelitian penciptaan tari tentu saja menyesuaikan dengan kaidah akademik. Pada umumnya, komponen riset dalam penelitian memiliki tiga komponen utama: 1. Menunjukkan pertanyaan atau permasalahan penelitian dengan tujuan yang mengarah pada pengetahuan dan pengertian yang berkaitan dengan pertanyaan atau permasalahan tersebut. 2. Menunjukkan alasan penelitian dengan referensi karya terdahulu dan menunjukkan kontribusi pada bidang kreativitas, cara pandang, pengetahuan, dan pemahaman dalam bidang yang diteliti. 3. Memiliki metode penelitian untuk menjawab pertanyaan atau permasalahan penelitian. Memberikan penjelasan logika antara metode penelitian dan penyediaan metode untuk menjawab pertanyaan.

Karya ilmiah dalam penelitian penciptaan tari tentu saja mengikuti kaidah yang berlaku di lingkungan akademik di atas. Sedangkan dalam proses penciptaan tari, masing-masing koreografer memiliki cara yang alamiah menurut pilihannya. Oleh karena itu, penelitian penciptaan tari mempraktikkan metode penelitian penciptaan yang ilmiah dan alamiah. Penelitian penciptaan tari dimaksudkan sebagai cara pengungkapan keunikan-keunikan penelitian penciptaan tari di lingkungan akademik untuk menghasilkan pengetahuan melalui karya seni dan pengalaman kreatif. Berdasarkan pengalaman, terutama pada jenjang doktoral, berkarya sekaligus menulis (disertasi) menjadi kendala tersendiri yang memaksa saya harus menyesuaikan diri dengan tuntutan akademis. Namun, kerja ganda sesungguhnya merupakan kenikmatan tersendiri. Aktivitas penyusunan kata ke dalam bentuk kalimat atau paragraf dengan warna-warni deskripsi, narasi, refleksi, dan argumentasi memberikan keasyikan. Keasyikan itu mirip dengan pengalaman dalam penyusunan gerak ke dalam bentuk motif-motif atau frase-frase koreografi dengan permainan ruang, waktu, tenaga dan dramaturgi. Buku-buku yang mendampingi di meja komputer pada proses penulisan mirip pengalaman improvisasi dan komposisi pada saat proses penciptaan tari di studio. Tantangan perguruan tinggi seni Indonesia adalah diperlukannya metode penelitian penciptaan seni yang sesuai dengan budaya, sejarah, dan fakta kekinian Indonesia. Dalam konteks koreografi kontemporer misalnya, metode koreografi Barat yang menjadi sumber acuan kurikulum di perguruan tinggi seni belum tentu tepat diterapkan di masyarakat tertentu seperti di Papua, Kalimantan, maupun Aceh. Pengertian-pengertian teoritis tentang koreografi tari kontemporer dan tari kreasi baru masih sering rancu. Demikian pula diperlukan diskusi tentang penggunaan istilah tari modern di Indonesia yang perlu mengacu pada sejarah tari secara umum di dunia dan secara khusus di wilayah Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA Bennahum, Judith Chazin (ed.). 2005. Teaching Dance Studies. Routledge New York and London. Blasing, Bettina, Martin Puttke, dan Thomas Schack (ed.). 2010. The Neurocognition of Dance: Mind, Movement and Motor Skills. Psychology Press Taylor & Francais Grup, Hove and New York. Blom, Lynne Anne dan L. Tarin Chaplin. 1992. The Intimate of Choreography. University of Pittsburgh Press. Borgdorff, 2012. Henk The Conflict of the Faculties: Pespectives on Artistic Research and Academia. Leiden University Press. Buterworth, Jo dan Liesbeth Wildschut (ed.). Contemporary Choreography: A Critical Reader. Routledge Taylor & Francais Grup London and New York, 2010. Denzin, Norman K dan Yvonna S. Lincoln (ed.). 2009. Handbook of Qualitative Research. Edisi bahas Indonesia, penerjemah: Dariyatno, Badrus Samsul Fata, Abi, John Rinaldi. Pustaka Pelajar,. Hanna, Judith Lynne. 1987. To Dance is Human: A Theory of Nonverbal Communication. The University of Chicago Press, Chicago and London. Hawkins, Alma M. 1988. Creating Through Dance. Princeton Book Company. Hawkins, Alma, M. 1991. Moving from Within: A New Method for Dance Making. A Cappella Books. Juha, Mika Hannula; Suoranta; Tere Vaden. 2005. Artistic Research- theorie, methods and practices. Academy of Fine Arts, Helsinki, Finland and University of Gothenburg / ArtMonitor, Gothenburg, Sweden.

16

Leavy, Patricia. 2015. Method Meets Art: Arts-Based Research Practice. The Guilford Press New York London. Miroto, Martinus. 2014. Pertunjukan Realitas Teleholografis Body in Between: Tubuh di antara nyata dan maya. Disertasi Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Parviainen, Jaana. Bodies Moving and Moved: A Phenological Analysis of the Dancing Subject and the Cognitive and Ethical Values of Dance Art. Tampere University Press,1998. Santana, Septiawan K. 2010. Menulis Ilmiah Metode Penelitian Kualitatif. Yayasan Obor Indonesia. http://risbang.ristekdikti.go.id/regulasi/uu-12-2012.pdf

17

SENI PERTUNJUKAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL (Perspektif KAJIAN BUDAYA) Nengah Bawa Atmadja Jurusan Pendidikan Sejarah/ Sosiologi, Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial (FHIS), Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Email : [email protected]

Abstrak Manusia terikat pada sistem sosiokultural yang terdiri atas tiga unsur dasar, yakni superstruktur ideologi, struktur sosial, dan infrastruktur material. Superstruktur ideologi dijabarkan dalam bentuk kearifan lokal sebagai habitus bagi tindakan sosial. Aspek-aspek ini terkait secara berdialektika. Kearifan lokal dibatinkan melalui pendidikan memakai seni pertunjukan sebagai medianya. Seni pertunjukan tidak saja berperan sebagai media pendidikan-media sebagai guru (tuntunan melalui totonan), tetapi juga sebagai media pembentuk, cermin, pengemas, ritual, dan tuhan. Keterkaitan kearifan lokal dengan superstruktur ideologi secara berdialektika, begitu mencermati peran yang dimainkannya, mengakibatkan seni pertunjukan dapat berperan sebagai pentas ideologi dan/atau kekuasaan serta sekaligus melembagakannya dalam masyarakat. Kekuasaan adalah modal bagi manusia yang pemakaiannya dapat disalahgunakan sehingga muncul hubungan kekuasaan yang hegemonik dan/atau dominatif-rentan terhadap ketidakadilan. Berkenaan dengan itu maka seni pertunjukan mengemban missi tidak hanya melakukan pewarisan nilai, tetapi dapat pula berperan transformatif. Artinya, seni pertunjukan mengembangkan pola berpikir kritis, disertai dengan tindakan (re-) interpretasi dan (re-) kontekstualisasi kearifan lokal dan sekaligus menetralisir ketidakadilan dalam masyarakat - akibat penyalahgunaan permainan kekuasaan. Hal ini bisa memunculkan konflik karena transformasi dapat merugikan kelas atas. Konflik dapat di atasi dengan cara menerapkan nilai-nilai pada Saraswati sebagai Dewi Komunikasi Hindu dan/atau Dewi Seni Pertunjukan Hindu.

Kata-kata Kunci: Sosiokultural, seni pertunjukan, kearifan lokal, Saraswati Dewi Komunikasi/ Pertunjukan Hindu.

PENDAHULUAN Perspektif filsafat ketubuhan atau sosiologi tubuh menunjukkan bahwa manusia adalah monodualitas, yakni terdiri atas tubuh dan roh sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Gagasan ini berimplikasi bahwa kebahagiaan hidup manusia tidak semata-mata ditentukan oleh terpenuhinya aspek kebutuhan tubuh fisikal atau jasmaniah (makanan, pakaian, perumahan), tetapi bergantung pula pada pemenuhan kebutuhan rohaniah antara lain kesenian. Dengan demikian, kesenian merupakan suatu keniscayaan bagi keberadaan manusia. Kesenian terdiri atas aneka jenis dan/atau bentuk antara lain seni pertunjukan. Perfomance studies memilahkan seni pertunjukan mencakup tiga aspek atau jenis, yakni teater, tari, dan musik (Pramayoza, 2013: v). Erving Goffman (dalam Prasad, 2014: 273) – terkenal sebagai penggagas teori dramaturgi mendefinisi pertunjukan adalah ―segala macam aktivitas peserta dalam sebuah peristiwa tertentu yang mempengaruhi peserta lainnya dengan cara apa pun‖. Pertunjukan mencakup 12 bentuk, yakni ―pertunjukan dalam kaitannya dengan politik, sejarah, agama, seksualitas, tubuh, ruang, dan hal-hal seputar kepenontonan, ekspresi lokal dan jaringan global, gerakan anak muda, perdebatan estetika antara seni rendah dan tinggi, pasar, serta proses-proses pelembagaan akademik dan nonakademik‖ (Prasad, 2014: 275). Dengan demikian pertunjukan bermakna luas atau sempit. Makna luas mengacu kepada segala aktivitas kepenontonan yang berlangsung secara meruang dan mewaktu yang berpengaruh terhadap penonton. Sebaliknya, makna sempit mengacu kepada seni, yakni teater, tari dan musik yang dipentaskan secara meruang dan mewaktu yang melibatkan aktivitas kepenontonan. Namun, apapun makna pertunjukan selalu melibatkan subjek yang menonton, dan objek yang ditonton– agen yang melakukan tindakan kepenontonan, yakni seni pertunjukan. Hubungan antara penonton dan objek kepenontonan terjalin dalam tindakan komunikasi, yakni Siapa? Mengatakan apa? Melalui saluran apa? Kepada siapa? Dengan efek seperti apa? (Laswel dalam Fiske, 2012: 50). Berkenaan dengan itu pesan seniman melalui seni pertunjukan kepada penonton secara otomatis akan menimbulkan efek. Dengan meminjam gagasan Lubis (2015) efek dapat melalui dua proses, yakni: pertama, proses transmission. Artinya, pesan yang disampaikan oleh komunikator

18

kepada komunikan sesuai dengan harapannya sehingga komunikasi bersifat statis, mekanistis, dan linier. Kedua, proses generating (exchange of meaning). Artinya, kedua belah pihak – komunikator dan komunikan (seni pertunjukan) serta penonton terlibat dalam proses saling memproduksi dan mempertukarkan makna. Dengan demikian proses komunikasi bersifat dinamis, interpretatif dan interaktif. Gagasan bahwa seni pertunjukan sebagai media komunikasi dalam perspektif pandangan exchange of meaning sangat penting. Sebab, gagasan ini memberikan peluang bagi paradigma teori kritis Kajian Budaya (Cultural Stuidies) untuk menelaah seni pertunjukan. Kajian Budaya menekankan pada agensi, yakni interaksi sosial budaya – termasuk relasi dan interaksi komunikasi tidak hanya sebagai konsumen makna (pasif), tetapi sebagai produsen makna (aktif). Pendek kata penempatan seni pertunjukan sebagai media komunikasi yang berlangsung melalui proses exchange of meaning memiliki titik temu dengan ide Kajian Budaya tentang agensi. Titik temu ini mengakibatkan seni pertunjukan dapat dikaji melalui pendekatan Kajian Budaya.

KEARIFAN LOKAL: PERSPEKTIF SISTEM SOSIOKULTURAL Seni pertunjukan dan penonton sebagai konsumennya selalu terikat pada sistem sosiokultural. Hal ini terdiri atas aneka unsur seperti terlihat pada Bagan 1. Dengan mengacu kepada Sanderson (2011) ada tiga komponen dasar sistem sosiokultural, yakni: pertama, superstruktur ideologi, kumpulan ide yang mencakup ideologi umum, nilai dan norma, agama, dan pengetahuan. Superstruktur ideologi berfungsi sebagai habitus atau skematan bagi tindakan manusia dalam masyarakat. Kedua, struktur sosial, yakni tindakan nyata dalam konteks hubungan antarmanusia pada masyarakat. Tautan antarmanusia tidak saja mengenal aneka bentuk pengelompokan sosial, tetapi juga pelapisan sosial–implikasi dari ketimpangan kepemilikan modal (ekonomi, sosial, budaya, kultural, tubuh, natural) – meminjam gagasan Plummer (2011). Begitu pula mereka terikat pada keluarga – unit sosial terkecil dan terutama dalam masyarakat maupun hubungan kekerabatan-kental dengan peran gender yang terkait dengan ideologi patriarki (Dzuhayatin, 2015; Hearty, 2015). Struktur sosial mencakup pula kelompok sosial, sistem kepolitikan, dan pendidikan guna menjaga kelangsungan hidup sistem sosial dan/atau struktur sosial ajeg. Ketiga, infrastruktur material, yakni teknologi yang digunakan manusia untuk beradaptasi dengan ekologi guna menjawab dinamika ekonomi dan demografi. Aspek-aspek ini terkait secara berdialektika guna menjaga kehamonisan sistem organisme biologis dan/atau struktur sosial – sistem sosiokultural secara keseluruhan.

19

Bagan 2.1 Seni Pertunjukkan Bagian dari Sistem Sisiokultural

Superstruktur Ideologi  Ideologi umum  Nilai dan norma  Agama/kepercayaan  Pengetahuan

Kearifan Lokal  Kearifan sosial  Kearifan ekologi

Seni Pertunjuka n  Media sebagai pembentuk  Media sebagai cermin  Media sebagai pengemas  Media sebagai guru  Media sebagai ritual  Media sebagai ―Tuhan‖

Struktur Sosial Infrastruktur Material  Pelapisan sosial masyarakat  Ekonomi  Gender dalam keluarga  Teknologi  Kekerabatan & kelompok sosial  Ekologi  Kepolitikan  Demografi  Pendidikan

Penonton Seni Pertunjukan  Membentuk dan dibentuk oleh makna denotatif dan konotatif pada seni pertunjukan  Terjadi sirkulasi makna

Superstruktur ideologi sebagai kumpulan ide atau kognisi bersifat abstrak. Bagan 2.1 menunjukkan kondisi ini mengakibatkan superstruktur ideologi dijabarkan dalam bentuk kearifan lokal, yakni konsep, proposisi atau ungkapan-ungkapan yang dirumuskan sedemikian rupa agar lebih mudah diingat dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sasarannya, membentuk manusia yang arif atau bijaksana, tidak sebatas kognisi, tetapi memraksis dalam ucapan dan tindakan sebagaimana tercermin pada kehidupan masyarakat, yakni tercipta keharmonisan, kerukunan, kedamaian, kesejukan atau ke-dayuh-an. Bagan 2.1 menunjukkan kearifan lokal dapat dipilahkan menjadi dua, yakni: pertama kearifan sosial – berwujud konsep, proposisi atau ungkapan-ungkapan yang menjadikan manusia bertindak arif dan bijaksana pada lingkungan sosialnya. Kedua, kearifan ekologis, yakni konsep, proposisi atau ungkapan-ungkapan yang menjadikan manusia mampu bertindak arif dan bijaksana dalam lingkungan alam. Lingkungan alam sekala dan niskala – Tuhan, dewa-dewa, roh leluhur, bhuta kala, tonya, memedi, wong samar, dll. Dengan demikian sasaran hubungan harmoni bagi kearifan lokal adalah berdimensi horizontal dan vertikal, sekala dan niskala yang bertautan secara holistik-integralistik.

20

Kajian Atmadja dan Ariyani (2016) menunjukkan bahwa kearifan lokal memiliki berbagai ciri, adapun ciri-cirinya sebagai berikut. 1. Kearifan lokal merupakan hasil pemikiran komunitas lokal sebagai abtraksi dari pengalaman mereka dalam berinteraksi dengan lingkungan alam sekala niskala dan/atau lingkungan sosialnya secara mewaktu. 2. Abstraksi pengalaman ini dituangkan dalam bentuk konsep, proposisi atau ungkapan- ungkapan yang memuat nilai-nilai yang menjadikan warga komunitas menjadi orang berkarakter arif dan bijaksana. 3. Nilai-nilai dalam kearifan lokal secara dekonstruktif terkait dengan superstruktur ideologi, yakni tidak saja pengetahuan, tetapi juga ideologi umum, agama dan kepercayaan yang berlaku dalam suatu komunitas. 4. Kearifan lokal dituangkan dan/atau merupakan media yang sangat ampuh bagi pencapaian kurikulum kultural yang berlaku dalam suatu komunitas. 5. Kurikulum kultural tidak saja memuat apa yang secara ideal harus dilakukan oleh warga komunitas agar menjadi orang yang arif dan bijaksana, tetapi memuat pula tata cara penginternalisasiannya secara turun-temurunmelalui proses sosialisasi dengan melibatkan berbagai agen pendidikan yang tumbuh dan berkembang dalam suatu komunitas. 6. Proses sosialisasi secara kontinyu mengakibatkan kearifan lokal tumbuh dan berkembang menjadi tradisi dan bersembunyi pada alam bawah sadar. Kondisi ini mengakibatkan warga komunitas jarang mempertanyakan kearifan lokal secara epistemologis. 7. Nilai-nilai kearifan lokal dipercaya memuat kebenaran fungsional dan pragmatis sehingga diikuti dan dipertahankan secara lintas generasi dan diposisikan sebagai modal budaya atau modal simbolik bagi komunitas. 8. Kearifan lokal sebagai konsep maupun ungkapan bukan bersifat spontan, melainkan hasil pemikiran mendalam atas dasar fakta empirik sehingga teruji kebenarannya. Ukuran kebenaran kearifan lokal adalah nilai fungsional dan/atau nilai kepragmatisan (kebergunaan) bagi pencapaian kelangsungan hidup yang harmonis pada diri manusia (tubuh dan roh) dan masyarakat sebagai pendukungnya. 9. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur sehingga dapat berfungsi sebagai landasan etika bagi perilaku yang baik dan benar guna mewujudkan keharmonisan sosial, ekologis, dan teologis. 10. Kearifan lokal mampu menradisi dan menjadi pedoman hidup karena dikonstruksi dari perpaduan olah rasa, olah pikir dan budaya masyarakat, nilai-nilai kepercayaan kepada Tuhan, dan aspek ekologis. Dengan demikian kearifan lokal membumi atau tumbuh dan berkembang dari bawah, bukan dikomando dari atas (pihak yang berkuasa). 11. Kearifan lokal sebagai pedoman bertindak dirumuskan dengan konsep proposisi-proposisi atau ungkapan-ungkapan tradisional yang bersifat baku. Artinya, bentuk tuturan atau unsur-unsur katanya tidak boleh diganti dan/atau ditambah maupun dikurangi dengan kata lainnya. 12. Kearifan lokal sebagai proposisi atau ungkapan tradisional memiliki kata kunci sebagai pokok pikiran yang dikomunikasikan kepada warga komunitas sebagai pemiliknya. 13. Kata-kata pada proposisi atau ungkapan kearifan lokal berdaya tarik, mudah diingat dan provokatif. Dengan demikian warga komunitas sebagai pemiliknya mudah mengingat dan terdorong untuk mengaktualisasikannya secara meruang dan mewaktu. 14. Kearifan lokal merupakan resep bertindak yang dapat ditafsirkan dan direvitalisasikan sehingga dapat berlaku secara berkelanjutan. 15. Kearifan lokal memuat aspek-aspek kecerdasan atau kebijaksanaan yang bersifat asli atau otentik. Kata asli tidak berarti ketertutupan, melainkan memiliki daya keterbukaan. Artinya, bahan baku untuk membentuk kearifan lokal tidak hanya berdasarkan

21

pengalaman komunitas lokal dalam berinteraksi dengan sesamanya secara meruang dan mewaktu, tetapi bisa pula ditambah dengan unsur-unsur budaya luar. 16. Walaupun pembentukan kearifan lokal terbuka bagi kebudayaan dari luar sebagai bahan bakunya, namun penerimaannya bukan melalui proses memetik, tetapi lewat proses local genius–daya olah/kreativitas yang tinggi atau melalui proses lokalisasi–kegeniusan melokalkan unsur kebudayaan dari luar guna membentuk suatu kebudayaan baru yang berbeda bahkan bernilai lebih tinggi daripada kebudayaan yang aslinya. Lokalisasi tidak bisa dilepaskan dari kearifan komunitas setempat baik dalam proses maupun kegunaannya. Gagasan ini mengakibatkan kearifan lokal lazim disamakan dengan local genius. 17. Kearifan lokal bisa disamakan dengan narasi kecil, yakni ide yang lahir pada komunitas lokal, bentukan institusi-institusi lokal, berdasarkan nilai-nilai yang unik, dan mengacu kepada aturan-aturan main yang bersifat partikular dan indigineus. 18. Tradisi kecil bisa bercampur dengan tradisi besar–agama-agama dunia dan paham-paham besar dari Barat. Pencampuran ini melalui hibriditasi sehingga terbentuk budaya hibrid, yakni budaya campuran. 19. Kearifan lokal sebagai ide pada saat memraktikkannya, tidak saja berwujud tindakan sosial, tetapi juga artefak yang menyertainya. Hal ini bersifat khas sehingga tidak mengherankan jika kearifan lokal dapat mencerminkan dan/atau terkait dengan identitas suatu komunitas lokal. 20. Kearifan lokal bukan agama–bukan barang sakral melainkan produk budaya sehingga setiap saat bisa ditinggalkan oleh pendukungnya–nilai kefungsionalan dan kepragmatisan- nya memudar bagi pencapaian tujuan dalam masyarakat–banyak kearifan lokal yang secara perlahan-lahan dilupakan dan akhirnya lenyap pada suatu masyarakat. Kearifan lokal pada masyarakat Jawa lazim disebut ―etika atau ajaran moral dengan istilah pepali, unggah-ungguh, suba sita, tata krama, tata susila, sopan santun, budi pekerti, wulang wuruk, pitutur, wejangan, wursita, dan wewarah (Purwadi dalam Kriyantono, 2014: 346). Syuropati (2015) dalam bukunya berjudul ―Kumpulan Mutiara Kearifan‖ sangat bagus karena memuat sekitar 800-an kearifan lokal pada masyarakat Jawa. Pada masyarakat Bali kearifan lokal sebagai konsep, proposisi dan ungkapan-ungkapan tradisional dapat dijumpai pada folklor yang disebut paribasa Bali. Bagan 2.1 menunjukkan kearifan lokal tidak saja terkait pada struktur sosial, tetapi juga dengan infrastruktur material secara berdialektika. Misalnya, orang Bali mengenal kearifan lokal untuk melukiskan orang yang sial secara berlebihan ―sudah jatuh ketimpa tangga‖ dengan ungkapan ―bangkung mati, keladi telah, gelogor uwug (babi betina mati, keladi makanan babi habis dan kandangnya pun rusak‖. Ungkapan ini mengacu kepada latar belakang ekologi dan sistem ekonomi petani, mereka terbiasa memelihara ternak babi – termasuk ternak domestik sehingga menyatu dengan kehidupan keluarga orang Bali. Agama Hindu mengenal karma phala Orang Bali melokalkan hukum karma phala dalam bentuk kearifan lokal, yakni ungkapan berbunyi ―apa ane kapula, keto ane kalap‖. Gagasan ini sama dengan ungkapan orang Jawa, yakni ―nguduh woh pakerti‖. Artinya, dalam kehidupannya manusia memetik (nguduh, ngalap) hasil (woh, phala) dari perbuatannya (karma, pekerti). Jika seseorang menanam jagung maka dia pasti akan memanen jagung. Kearifan lokal ini terkait dengan basis ekonomi dan ekologi, yakni sebagai petani. Mengingat keterkaitannya dengan karma phala maka ungkapan kearifan lokal ini dapat diposisikan sebagai lokalisasi atau local genius terhadap agama Hindu. Pencapaian tujuan ideal kearifan lokal adalah harmoni, rukun atau damai pada tiga tataran, yakni sosial, ekologis, dan teologis – Tri Hita Karana. Harmoni berbasis hierarki yang diikuti dengan berbagai kategori lainnya. Gagasan ini terlihat misalnya pada beberapa aspek dalam kehidupan manusia sebagai berikut.

22

Tinggi : Rendah Dewa : Raksasa Manusia : Binatang Siwa : Sisya Raja (gusti) : Panjak (rakyat) Laki-laki : Perempuan Suami : Istri Orang tua : Anak Guru : Murid Kanan : Kiri Kaja : Kelod Gunung : Laut Dhana : Bhakti Baik : Buruk Benar : Salah

Paparan ini menunjukkan–berpegang pada perspektif strukturalisme bahwa pada masyarakat berlaku peta kognisi yang memilahkan segala sesuatu secara rwa bhineda atau berdikotomik secara vertikal. Bagan 2.1 menunjukkan bahwa kondisi ini merupakan pencerminan secara berdialektika dengan struktur sosial yang mengenal pelapisan sosial-keniscayaan karena ketimpangan kepemilikan modal. Kearifan lokal tidak saja merupakan pencerminan strukrur sosial, tetapi juga melegitimasinya. Keharmonisan terwujudkan melalui proses, yakni agen yang be-rwa bhineda terlibat dalam tautan koneksitas berkomplementer dan mempertukarkan dhana-bhakti. Gagasan ini dapat dicermati pada masyarakat Bali. Misalnya, hubungan antara raja (gusti, tuan) dan rakyat (panjak, kaula, hamba) adalah berhierarki – atasan dan bawahan. Tautan ini dapat mewujudkan keharmonisan jika keduanya mampu berkomplementer guna mempertukarkan dhana-bhakti. Dhana-bhakti adalah kearifan lokal – bahkan budaya politik bagi penciptaan hubungan harmonis antara raja-rakyat atau penguasa/rakyat. Raja – dalam konteks kekinian adalah bupati, gubernur atau anggota DPR/D harus dana (suka memberi, filantropi) kepada rakyatnya dalam bentuk dhana (artha dhana, widya dhana, dan abhaya dhana). Sebaliknya, rakyat membalasnya dengan bhakti atau hormat berwujud kesetiaan dan/atau dukungan kepada raja/penguasa (Atmadja, 2014) – rakyat memberikan suaranya pada saat pemilihan bupati, gubernur dan/atau DPR/D. Pada akar rumput gagasan ini dapat dibandingan dengan ungkapan orang desa, yakni ―bani ngidih, bani makidihan atau bani nyilih, bani masilihan‖. Pendek kata, harmoni sosial terwujudkan jika seseorang bersedia memupuk modal sosial berbentuk resiprositas, yakni mempertukarkan dhana dan bhakti. Rwa bhineda yang hierarkis secara esensial adalah bersifat netral. Namun, menjadi tidak netral karena dikaitkan dengan kategori baik/buruk dan benar/salah – berpegang pada gagasan post-strukturalisme. Dengan demikian hubungan antara dua kategori yang berlawanan dapat berdimensi kekuasaan atau politis. Artinya, kategori yang satu tidak saja diposisikan lebih tinggi daripada ketegori lainnya, tetapi juga menguasainya. Misalnya, raja/rakyat, laki-laki/perempuan atau suami/istri tidak saja yang satu lebih tinggi daripada yang lainnya, tetapi juga berdimensi kekuasaan – raja menguasai rakyat atau laki-laki (suami) mengusai perempuan (istri). Penguasaan memunculkan dan/atau diperkuat/dilegitimasi oleh ideologi. Ideologi yang melandasi tautan antara raja dan rakyat adalah ideologi dewa raja - dalam konteks kekinian berlaku sistem demokrasi berbaur dengan bapakisme. Gagasan ini berimplikasi banyak bupati mencari kesaktian atau jimat- jimat (dhana dari suatu kekuatan adikodrati) guna menjadikan dirinya sebagai dewa raja. Begitu pula tautan antara laki-laki (suami) dan perempuan (istri) – suami (laki-laki) terhadap istri (wanita) tidak netral, melainkan berbasiskan ideologi, yakni ideologi patriarki yang terkait dengan ideologi gender. Pendek kata, hubungan antara dua kategori – agen yang terlibat di dalam rwa bhineda adalah berdimensi kekuasaan atau politis. Kondisi ini terkait dengan kualitas tertentu yang

23

bersumberkan dan/atau memunculkan suatu ideologi. Ideologi ini berlanjut dan/atau tercermin pada kearifan lokal. Akibatnya, terjadi hubungan kekuasaan berdimensi hegemonik dan/atau dominatif yang dilakukan oleh agen yang berada pada strata atas terhadap mereka yang berada pada lapisan bawah. Gejala ini tercermin pada hubungan antara penguasa dan rakyat dalam negara atau suami dan istri dalam keluarga. Hubungan dominatif sangat rentan akan kekerasan – paling tidak kekerasan simbolik atau kekerasan bahasa.

SENI PERTUNJUKAN = PENTAS IDEOLOGI/KEKUASAAN Bagan 2.1 menunjukkan bahwa seni pertunjukan tidak terlepas dari sistem sosiokultural. Seni pertunjukan berperan mempertahankan sistem sosiokultural dalam masyarakat. Dengan mengacu kepada Ibrahim dan Akhmad (2014) – bagan 2.1 ada enam peran seni pertunjukan dalam pelestarian sistem sosiokultural, yakni: pertama, seni pertunjukan sebagai pembentuk. Artinya, seni pertunjukan memiliki daya untuk membentuk dan/atau mempengaruhi masyarakat guna mewujudkan suatu tujuan yang ideal dalam konteks kekinian dan/atau di masa depan. Kedua, seni pertunjukan sebagai cermin, yakni berperan merefleksikan kembali kepada kita peristiwa-peristiwa, perilaku, identitas, hubungan sosial, ideologi atau nilai-nilai penting dalam masyarakat–mencakup kearifan lokal. Ketiga, seni pertunjukan sebagai pengemas. Artinya, pesan dan/atau tampilan seni pertunjukan adalah kemasan atas dasar penyeleksian yang terikat pada kepentingan bahkan ideologi tertentu tanpa mengabaikan aspek estetika. Keempat, seni pertunjukan sebagai guru, yakni agen pendidikan guna menanamkan pengetahuan, nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Kelima, seni pertunjukan sebagai ritual. Seni pertunjukan sebagai budaya populer dapat berubah menjadi kegiatan seperti ritual agama. Gejala ini terlihat misalnya pada gaya kepenontonan acara musik atau sinetron di TV, yakni banyak orang menontonnya secara rutin. Gejala ini mirip dengan bagaimana manusia melakukan ritual agama dan/atau sembahyang harian wajib dalam suatu agama. Keenam, seni pertunjukan sebagai ―Tuhan‖. Misalnya, tokoh yang diidolakan dalam suatu sinetron dipuja tak ubahnya seperti ―Tuhan‖. Gejala ini tercermin dari peniruan secara total atas penampilannya, yakni ibarat mengikuti ajaran agama dari Tuhan, tanpa sikap kritis meniru mereka meniru gaya hidup bintang sinetron atau bintang film yang diidolakannya secara total. Dengan mengacu kepada Simatupang (2013) gagasan ini mencerminkan bahwa pandangan seni untuk seni, atau pergelaran demi kenikmatan cita rasa (estetika) semata, tidak sepenuhnya benar, sebab seni terkait dengan bidang sosial, politik, ekonomi, bahkan religio-spiritual. Aspek- aspek ini jarang berlangsung secara terpisah, tapi berkelindan dalam pada seni pertunjukan. Dengan demikian ―senyatanya lebih sering terjadi adalah negoisasi kepentingan dan tujuan yang menjadi ‗rangka‘ pergelaran‖ (Simatupang, 2013: 166). Bagan 2.1 menunjukkan bahwa peran seni pertunjukan sebagai guru dan pembentuk masa kini dan/atau masa depan, tidak bisa dilepaskan dari superstruktur ideologi termasuk di dalamnya kearifan lokal. Seni pertunjukan adalah media yang berkewajiban mewujudkan kurikulum lokal. Sasarannya, mewujudkan masyarakat harmonis melalui pelestarian terhadap sistem sosiokultural. Gagasan ini sejalan dengan pendapat Eagleton (2002) bahwa seni adalah produk budaya. Seniman sebagai agen produsen seni, tidak membuat sendiri bahan bakunya, melainkan mereka memakai bahan-bahan yang sudah ada dalam sistem sosiokultural, seperti nilai, dongeng, simbol, dan ideologi. Gagasan ini dapat dibandingkan dengan pendapat Aristoteles (dalam Wiryomartono, 2001: 21) tentang seni sebagai mimesis, yakni ―suatu model berupa pernyataan dalam bentuk karya yang menjalin hubungan antara manusia dan realitasnya baik secara sosial maupun alamnya‖. ―Sang seniman menggunakan alat-alat produksi tertentu–teknik-teknik khusus dari seninya – untuk mengubah bahan-bahan yang berupa bahasa dan pengalaman menjadi suatu produk tertentu‖ (Eagleton, 2002: 124) – berbentuk seni pertunjukan sebagai barang budaya yang siap dikonsumsi guna memenuhi selera budaya konsumennya.

24

Bertolak dari gagasan ini maka seni pertunjukan tidak dapat dilihat hanya sebagai pentas nilai seni, tetapi bisa pula dipandang sebagai pentas ideologi, nilai-nilai dan/atau kearifan lokal sebagai penjabaran fungsional dan aspek pragmatisnya. Sasarannya, mempertahankan bangunan sistem sosiokultural agar tetap ejeg secara berkelanjutan (Wiryomartono, 2001; Soetomo, 2003; Eaton, 2010; Eagleton, 2002). Gagasan ini tidak saja tercermin pada alur cerita, tetapi juga pada karakter dan/atau dialog para pemainnya. Tindakan mereka pada ruang pentas diiringi dengan teknologi kesenian guna memperkuat aksentualisasi pesan seni dan ideologi yang disampaikan kepada penonton beserta makna-makna yang terkandung di dalamnya, baik secara denotatif maupun konotatif. Gagasan ini dapat dicermati misalnya pada pertunjukan . Arja secara esensial merupakan pentas ideologi dewa raja. Raja yang menyimbolkan dan/atau berada pada sisi kebenaran dan kebaikan sebagai titik sentral dalam pertunjukan arja, acap kali digambarkan sebagai insan yang dekat dengan dewa. Dia dicintai oleh rakyat, karena mampu menyeimbangkan dhana-bhakti – diucapkan oleh panasar dan kartala (punakawan) – pola ini umum berlaku pada seni pertunjukan di Bali khususnya yang mengambil kisah tentang raja. Begitu pula joged bumbung sebagai seni pertunjukan rakyat secara esensial dapat diposisikan sebagai pentas ideologi patriarki yang berlaku pada masyarakat Bali (Atmadja, 2010a). Pola ini berlaku pula pada kehidupan negara. Jones (2015) menunjukkan pada era Orde Baru, seni pertunjukan berperan penting bagi menyebarluasan ideologi pembangunanisme. Pada masa Orde Baru dilakukan pula pembatinan Pancasila antara lain lewat pelembagaan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Film boneka anak-anak Si Unyil merupakan contoh sangat penting, karena dia melakonkan P4 dan sekaligus menginternalisasikannya pada anak-anak guna mewujudkan insan Pancasilais (Atmadja dan Ariyani, 2016). Gagasan ini berkaitan dengan adanya hubungan yang erat antara ideologi dan kesenian. ―Seni membuat kita ‗melihat‘ sifat-sifat ideologi, dan dengan demikian membawa kita pada pemahaman yang lebih menyeluruh tentang ideologi‖ (Eagleton, 2002: 34-35). Dengan demikian wajar jika pada masa Orde Baru ―negara menjadi satu-satunya pihak yang berhak menentukan arah seni pertunjukan serta produksi kebudayaan lainnya‖ (Hatley, 2014: 4).

SENI PERTUNJUKAN : PERSPEKTIF PERUBAHAN SOSIAL Dengan mengacu kepada Georg Simmel (dalam Hardiman, 2016) manusia bukanlah makhluk statis, melainkan dinamis, berubah menurut zaman dan kebudayaannya. Dewasa ini manusia memasuki suatu zaman baru, yakni Era Globalisasi yang terfokus pada kedidayaan kapitalisme global. Kapitalisme global memoles dunia menjadi sebuah panggung kehidupan, tempat segala hal yang ada di dunia ini menjadi tak lebih dari komoditas. terjadi komodifkasi dunia kehidupan. Di dalam masyarakat kapitalisme global, eksploitas dan komodifikasi segala sumber daya dan konsumsi produk-produknya bahkan mencapai titik puncaknya. Ketika semua hal menjadi komoditas, ia tak lebih dari seonggok benda atau barang dagangan, tidak hanya cinta, tidak pula kesetiaan, tidak keperawanan, tidak nilai, semua aspek kehidupan terserap dalam fetish, pemujaan akan benda-benda, sehingga memungkinkan berkembangnya ideologi materialisme dalam dunia kehidupan (Ibrahim dan Akhmad, 2014: 44).

Pendek kata, kapitalisme global atau sering pula disebut ideologi pasar mengakibatkan terjadi komodifikasi dunia kehidupan sehingga kepemilikan uang menjadi suatu keniscayaan bagi manusia. Uang adalah simbol kekayaaan. ―Kalau anda berhasil menjadi orang kaya, apa pun bisa dibeli .... bahkan dari tingkat rendahan, untuk terus mengejar kekayaan sebanyak-banyaknya karena kekayaan memberi banyak kemudahan dalam memperoleh kenikmatan hidup‖ (Marcuse dalam Sudarminta, 2016: 114). Era Globalisasi disebut pula Zaman Duit, mengingat uang adalah daya penggerak utama bagi tindakan manusia agar menjadi kaya dan/atau instan mendapatkan

25

kenikmatan hidup secara hasratiah (Atmadja, 2010, 2014a, Atmadja, Atmadja dan Mariyati, 2016a, 2016b). Dampak komodifikasi dan/atau pengejaran manusia akan uang tercermin pada seni pertunjukan joged bumbung di Bali. Atmadja (2010a) menunjukkan tarian joged bumbung mengalami perubahan, yakni dari joged bumbung pakem menjadi joged bumbung ngebor - dilabeli pula joged bumbung porno. Dalam perspektif strukturalisme genetik (Goldmann dalam Eagleton, 2002) gejala ini terkait dengan teks dan visi dunia. Seni pertunjukan sebagai teks secara dekonstruktif memuat visi dunia yang mengacu kepada ideologi patriarki sebagai ideologi dominan pada masyarakat Bali dan ideologi pasar sebagai ideologi dominan pada era kapitalisme global = Zaman Duit. Akibatnya, tidak saja seni pertunjukan berubah menjadi komoditas, tetapi juga goyangan tubuh penarinya. Dengan mengacu kepada Plummer (2012) dalam sistem ekonomi kapitalis maka tubuh sebagai simbol eksistensi manusia – saya ada karena tubuh, merupakan pula modal yang dapat dialihkan menjadi modal finansial. Dengan demikian joged bumbung ngebor tidak saja sebagai pentas ideologi patriarki, tetapi juga pentas ideologi pasar - jual beli tubuh, penari mendapatkan uang, sebaliknya pengibing dan penonton mendapatkan kepuasan libido lewat pandangan mata. Srukturalisme genetik memperhatikan pula aspek historis, yakni dimensi sejarah pada masanya – menentukan teks dan visi dunia (Goldmann dalam Eagleton, 2002). Kajian Atmadja (2010) menunjukkan bahwa kemunculan joged bumbung ngebor secara historis berkaitan dengan kepopuleran penyanyi dangdut Inul Daratista dengan goyang ngebor-nya pada tahun 2003. Weintraub (2012) menunjukkan bahwa kehadiran Inul dalam dunia musik dangdut dengan goyang ngebor-nya, mempesona imajinasi berjuta-juta orang di tingkat lokal, nasional, dan internasional. Penggemarnya sangat fanatik sehingga melahirkan Inulmania. Orang Bali pun menjadi Inulmania. Dalam konteks inilah mereka ingin mendekatkan gaya ngebor penyanyi dangdut Inul yang jauh di sana agar menjadi dekat di sini – joged bumbung ngebor sebagai representasinya. Komodifikasi dunia kehidupan mengakibatkan pula kolektivisme telah berubah ke arah individualisme bahkan mengarah kepada McDonaldisasi masyarakat (Ritzer, 2004, 2006, 2012). Akibatnya, kearifan lokal pada masyarakat agraris tradisional, yakni saling menolong yang disimbolkan dengan ungkapan ―bani ngidih, bani makidihan atau bani nyilih, bani masilihan” kehilangan daya magisnya, sebab manusia selalu berpikir untung rugi, efisien, dll. Kondisi ini memunculkan kearifan lokal baru sebagai pencerminan dari ideologi individualisme, yakni ―mati iba, hidup kae‖ – biarkan orang lain mati, yang penting saya/kami hidup – investasi modal sosial menjadi amat terbatas. Kondisi seperti ini tidak saja karena kehidupan manusia mengalami komodifikasi yang mengarah kepada McDonaldisasi, tetapi juga karena adanya berbagai teknologi masuk desa antara lain TV. TV sebagai kotak ajaib menyihir anggota keluarga untuk tidak henti-hentinya melakukan ritual menonton TV. TV menyediakan beragama hiburan yang tidak mengharuskan orang menontonnya ke ruang publik, tapi cukup pada ruang privat, yakni ruang keluarga bahkan kamar tidur – TV mendidik pula manusia menjadi homo consumer (Atmadja dan Ariyani, 2016). Kondisi ini memberikan pukulan bagi seni pertunjukan, seperti arja, drama gong, wayang kulit, dll. Walaupun demikian tidak bisa dipungkiri wayang Cenk Blonk merupakan perkecualian. Wayang ini bertahan karena bertransformasi menjadi wayang post-modern sehingga konsumen yang menyukai budaya populer mudah menerimanya (Atmadja dan Ariyani, 2016).

SENI PERTUNJUKAN : EKONOMI SUBSISTENSI >< EKONOMI PASAR Perubahan sosial melanda masyarakat Bali, bahkan menjadi dambaan komunitas lain di luar Bali, yakni pergeseran sistem ekonomi, yakni dari pertanian ke sektor industri antara lain industri pariwisata. Dengan mengacu kepada model pemikiran meterialis sebagaimana dikemukakan Sanderson (2011) dan Eagleton (2002) perubahan ini tidak saja memunculkan adaptasi pada sistem ekonomi – aspek infrastruktur material, tetapi menimbulkan pula adaptasi

26

pada tataran struktur sosial dan superstruktur ideologi. Berkenaan dengan itu kesenian - seni pertunjukan yang – ―berisikan kesan-kesan atau pengungkapan-pengungkapan simbolik yang mempunyai nilai estetis, emosional atau intelektual bagi para anggota suatu masyarakat‖ (Sanderson, 2011: 63) mengalami pula penyesuaian. Gejala ini ditandai oleh adanya pengembangan seni sebagai bagian dari industri pariwisata dan/atau ekonomi periwisata. Seringkali diungkapkan sebagai motivasi pemerintah daerah mengembangkan kebudayaan dan kesenian di daerahnya adalah pariwisata. Seringkali diasumsikan bila kesenian tertentu dikembangkan dan dikemas secara baik, maka dengan sendirinya wisatawan atau investor akan datang membelanjakan uangnya di wilayah tersebut (Simatupang, 2013: 279).

Dengan demikian seni sebagai komoditas adalah titik sentral bagi pariwisata (Pitana dan Gayatri, 2005). Kesenian sebagai modal kultural dan/atau modal simbolik secara mudah dialihkan menjadi modal ekonomi guna menjaga kelangsungan hidup sistem ekonomi pariwisata. Pengembangan ini berbingkaikan jargon industri kreatif - ―industri berbasis kreativitas individu yang menghasilkan produk artistik yang memiliki dampak pada kesejahteraan masyarakat baik ekonomi maupun budaya‖ (Hermantoro, 2011: 104). Namun, cita-cita ideal ini ―seringkali tidak benar. Banyak contoh di daerah lain menunjukkan tidak adanya hubungan yang sebegitu erat antara perkembangan kehidupan kesenian dan peningkatan kedatangan wisatawan. Kekeliruan cara pandang semacam itu perlu dikoreksi‖ (Simatupang, 2013: 279-280). Caranya, menempatkan kesenian sebagai bagian dari kegiatan ekonomi, tidak saja ekonomi pariwisata, tetapi juga ekonomi lokal. Hal ni merupakan tantangan bagi seminan dalam menciptakan seni pertunjukan sebagai konsumsi massal bagi komunitas lokal. Tujuan utama adalah memenuhi kebutuhan subsistensi, bukan ekonomi pasar. Dari perspektif ekonomi subsistensi ... maka pariwisata sebaiknya tidak diletakkan sebagai tujuan utama kegiatan kesenian maupun kebudayaan. Konsumen kegiatan kesenian atau pariwisata yang utama adalah warga masyarakat kita sendiri. Wisatawan, dalam negeri maupun luar negeri, sebaiknya ditempatkan sebagai sasaran sekunder. Dengan demikian, langkah terpenting dan paling awal untuk menumbuhkan iklim pariwisata dalam kesenian dan kebudayaan lokal adalah menggarap konsumen lokal itu sendiri: warga masyarakat kita. Merekalah tulang punggung kehidupan kesenian dan kebudayaan kita. Apabila, selera warga masyarakat kita telah terbentuk untuk menyenangi dan mengapresiasi kesenian/ kebudayaan kita sendiri – barulah ada kemungkinan orang luar akan ikut tertarik untuk mengapresiasinya. Langkah yang mendahulukan konsumen lokal ini juga strategis bagi upaya menjaga kelangsungan seni budaya kita (Simatupang, 2013: 280-281).

Pendek kata, pencipataan seni bagi pariwisata memang penting, namun jauh lebih penting jika seni diciptakan bagi sistem ekonomi subsistensi. Jika hal ini dapat diwujudkan maka sistem ekonomi lokal akan bergerak. Begitu pula kecintaan mereka terhadap kebudayaan sendiri akan semakin kuat - identitas etnik menjadi semakin lebih kokoh. Pencapaian ini akan memberikan pula imbas bagi ekonomi pariwisata, yakni wisatawan pun tertarik ikut menikmatinya – ekonomi pariwisata secara otomatis ikut bergerak ke arah kemajuan. Pencapaian sasaran ini tidak mudah, sebab perubahan sosial (kasus masyarakat Bali) dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern, bahkan terus berlanjut ke masyarakat postmodern, ditandai oleh semakin kompleksnya diferensiasi sosial. Akibatnya, selera akan seni pertunjukan semakin beragam, sebab pengonsumsiannya merupakan pencerminan dari posisi seseorang dalam kelas sosial dan/atau kelompok sosial (Atmadja dan Ariyani, 2016). Gejala ini merupakan tantangan bagi para seniman untuk menciptakan seni pertunjukan yang sesuai dengan selera budaya kelompok sosial dan/atau kelas sosial yang menjadi konsumennya. Idealnya, tentu saja seni pertunjukan yang diciptakan mampu merangkul sebanyak mungkin kelompok sosial dan/atau kelas sosial sehingga daya ekonomi subsistensinya menjadi lebih tinggi.

27

SENI PERTUNJUKAN SEBAGI SENI TRANSPORMATIF Paparan di atas menunjukkan bahwa seni dapat digunakan sebagai media untuk membatinkan kearifan lokal yang bersumberkan pada superstruktur ideologi. Gagasan ini mencerminkan bahwa kearifan lokal secara mudah bisa digunakan untuk mempertahankan kekuasaan secara hegemonik. Begitu pula kejayaan ideologi pasar secara disadari maupun tidak bisa masuk ke dalam seni. Sebagaimana dikemukakan Walter Benyamin (dalam Wiryomartono, 2001: 78) masyarakat modern cenderungan berkesenian dan karya-karya seni terlibat dalam mekanisme pasar dalam arti komersial. Kondisi ini dapat mempengaruhi aura seni. Begitu pula berbagai tayangan pada TV baik lewat pesan yang tersingkapkan maupun yang tersembunyi – level sadar maupun tidak sadar (Soetomo, 2003) bisa menimbulkan homo consumer bahkan hedonisme. Berkenaan dengan itu tidak mengherankan jika di kalangan penganut teori kritis Kajian Budaya muncul gagasan agar seni pertunjukan tidak hanya menghibur, tetapi memiliki pula ciri transformatif (Arvon, 2010; Sutrisno dan Verhaak, 1993; Eagleton, 2002). Hal ini mengacu kepada, pertama, seni tidak sekedar mengajak manusia mengalami suasana rekreatif – dari sedih menjadi gembira, tetapi yang lebih penting adalah menggoda, menggugah bahkan mengajak orang agar menampilkan suatu kesadaran baru akan realitas sosial budaya yang ada di sekitarnya. Apa yang tampak dipermukaan bisa saja baik-baik saja, namun di baliknya ada masalah-masalah yang memerlukan pembenahan. Kedua, seni (pertunjukan) dapat berperan transformatif, yakni menampilkan kepedulian terhadap nasib orang-orang lain yang terdesak oleh yang kuat, tidak sebatas wacana, melainkan berlanjut pada usaha menunjukkan jalan kesadaran ke arah suatu kondisi sosial yang lebih berkeadilan sosial. Pencapaian sasaran ini memerlukan persyaratan, yakni pola berpikir kritis yang perlu dikembangkan oleh para seniman. Berpikir kritis adalah cara berpikir reflektif, beralasan, berfokus pada keputusan apa yang dilakukan atau yang diyakini. Berpikir kritis adalah proses mengaplikasikan, menghubungkan, menciptakan, atau mengevaluasi informasi yang dikumpulkan secara aktif dan terampil. Berpikir kritis merupakan proses yang penuh makna untuk mengarahkan dirinya sendiri dalam membuat suatu keputusan. Proses tersebut memberikan berbagai alasan sebagai pertimbangan menentukan bukti, konteks, konseptualisasi, metode dan kriteria yang sesuai (Supriyono, 2016: 32).

Pola berpikir kritis dapat diterapkan pada kearifan lokal baik isi maupun praktiknya. Kearifan lokal tidak bukan dogma, tapi produk budaya sehingga bisa disaring lewat pola berpikir kritis. Mengingat, pertama, dalam perspektif strukturalisme genetik kearifan lokal punya latar belakang sejarah. Masyarakat terus berubah–membentuk sejarah baru sehingga selalu ada peluang kearifan lokal sebagai produk sejarah akan kehilangan konteksnya. Kedua, kearifan lokal - gagasan apa pun selalu memuat dua aspek berlawanan–baik dan buruk atau merugikan dan menguntungkan. Dalam konteks ini pihak berkuasa dapat menafsirkan dan/atau memakai kearifan lokal hanya pada aspek baiknya–tanpa mempertimbangkan keburukannya guna menekan orang lain yang berbeda pendapat guna mempertahankan posisinya–kelas atas pada struktur sosial (Atmadja, Atmadja dan Mariyati, 2016a) Bertolak dari gagasan ini maka peran seni pertunjukan sebagai media pembentuk dan guru atas kearifan lokal seperti terlihat pada Bagan 2.1, membutuhkan sikap kritis yang diarahkan pada aspek isi dan/atau praktik sosial yang menyertainya. Aspek ini secara mudah dimanipulasi oleh kelompok sosial atas/kelas berkuasa sehingga meminggirkan kelas sosial bawah/kompok sosial yang dikuasai. Gagasan ini berimplikasi bahwa pewarisan kearifan lokal sebagai warisan nirwujud (heritage intangible) tidak dilakukan secara otomatis, melainkan memerlukan kajian kritis yang disertai dengan usaha ―senantiasa diciptakan kembali (recreated) oleh komunitas dan kelompok sosial sebagai jawaban atas lingkungan mereka, interaksi mereka dengan alam dan sejarah mereka, dan memberikan mereka perasaan identitas dan kesinambungan‖ (Marrie dalam Simatupang, 2013: 206). Pendek kata, kearifan lokal sebagai suatu habitus perlu diwariskan secara

28

menggenerasi, namun disertai dengan tafsir ulang, tidak semata-mata untuk menunjukkan adanya kontinyuitas, tetapi yang lebih penting adalah mewujudkan kontekstualisasi dengan lingkungan alam dan sosial. (Re-) Interpretasi dan (re-) kontekstualisasi terhadap kearifan lokal dapat dituangkan dalam seni pertunjukan – sesuai dengan peran media sebagai pembentuk dan guru. Sasarannya, tidak hanya mewariskan kearifan lokal, melainkan apabila perlu ada aspek transformatif emansipatifnya, yakni mengubah ketidakadilan karena kelas atas mengeksploitasi kelas bawah. Jadi, seni tidak saja hiburan, tetapi juga media yang membawa perubahan ke arah emansipatoris. Dengan meminjam gagasan Bertolt Brecht (dalam Arvon, 2010: 84) peran transformatif emansipatif mengakibatkan seni pertunjukan dapat beperan sebagai agen perubahan baik ke depan maupun ke atas. Kami sepakat bahwa segala sesuatu harus diubah Dunia dan umat manusia Terutama kegelisahan kelas Karena terdapat dua jenis manusia Eksploitasi dan pengabaian ... Ketika Anda telah memperbaki dunia Perbaikilah dunia yang telah diperbaiki tersebut Tinggalkan dunia itu di belakang! Jika ketika memperbaiki dunia Anda telah melengkapi kebenaran Lengkapilah kebenaran yang telah dilengkapi tersebut Tinggalkan kebenaran itu di belakang! Jika ketika melengkapi kebenaran tersebut, Anda telah mengubah kemanusiaan Ubahlah kemanusiaan yang telah diubah tersebut Tinggalkan kemanusiaan itu di belakang! (Bertolt Brecht dalam Arvon, 2010: 84).

Dengan berpegang pada gagasan ini dapat dikemukakan bahwa seni pertunjukan transformatif terikat pada dua aspek, yakni mengekang dan membebaskan. Artinya, kearifan lokal yang tidak berpotensi menimbulkan ketidakadilan terus diwariskan-jika perlu disertai dengan reinterpretasi. Sebaliknya, jika memunculkan ketidakadilan maka kearifan lokal bahkan supertruktur ideologi harus diubah sehingga peran seni pertunjukan sebagai seni transformatif emansipatif menjadi tidak terhindarkan. Kegiatan seperti ini dapat memunculkan masalah, yakni ―bersinggungan, bertabrakan dengan arus lain yang mau mempertahankan kemapanan kehidupan, mau membekukan stabilitas dalam tembok-tembok keras atas nama harmoni bersama, kerukunan bersama, dan ketidakresahan?‖ (Strisno dan Verhaak, 1993: 149). Kondisi ini dapat memunculkan tindakan pro dan kontra atau ada kelompok yang mendukung dan menolak – mengarah pada perang wacana bahkan konflik. Seni pertunjukan pun kena getahnya – disanjung oleh yang pro dan dicaci maki oleh yang kontra. Bahkan sebagaimana yang berlaku pada era Orde Baru seni pertunjukan dapat ―dikandangkan‖ dengan dalih menimbulkan disharmoni sosial – mengganggu ketertiban umum (Jones, 2015). Namun, pada Era Reformasi – acap kali diposisikan sebagai dikotomi dari Era Orde Baru, demokratisasi mengakibatkan munculnya ruang yang lebih terbuka bagi seniman untuk mengekspresikan potensinya. Gagasan ini tercermin dari semaraknya (seni) pertunjukan dalam kaitannya dengan politik (demonstrasi) guna mempengaruhi kebijakan pemerintah atas suatu masalah. Bersamaan dengan itu maka seni pertunjukan berpeluang melakukan tindakan kritis, tidak saja terhadap kearifan lokal yang berlaku dalam masyarakat, tetapi juga terhadap kebijakan pemerintah. Pemerintah tidak selayaknya menggunakan pendekatan kekuasaan dalam mengatasinya, dengan suatu pemikiran bahwa walaupun keduanya berada pada posisi yang berbeda – pro/kontra, namun di balik itu muaranya sama, yakni ―demi menjaga agar kehidupan bersama tetap stabil (ini untuk kaum penertib sosial) atau pun demi tetap segar dinamika hidup

29

bersama justru karena dipertajam permasalahannya, dikomentari kepincangannya oleh kesenian (ini menurut orang seni) (Sutrisno dan Verhaak, 1993: 149). Namun bagaimanapun juga kegiatan (seni) pertunjukan tidak memaksakan kehendaknya di luar batas asas normatif – mengatasnamakan kebebasan berekspresi. Mengingat, gagasan Geertz (1973) bahwa manusia memang makhluk berkebebasan, namun bukan tanpa batas. Manusia ibarat laba-laba, bebas bergerak, namun tetap sebatas jaring-jaring yang dibuatnya sendiri. Jaring-jaring ini adalah asas nomatif yang membatasi kebebasan manusia. Manusia menerima pula jaring-jaring buatan Tuhan, yakni agama. Jaring-jaring ini tidak membenarkan manusia melakukan tindakan kekerasan – apalagi semua agama berintikan kasih sayang. Dengan demikain pendekatan kekuasaan dalam memecahkan perbedaan pendapat perlu digantikan dengan pendekatan ―melalui dialog kehidupan bersama ‗konsensus‘ matang yang bertolak dari akar budi jernih dan kebeningan nurani‖ (Sutrisno dan Verhaak, 1993: 149).

SARASWATI: DEWI KOMUNIKASI/SENI PERTUNJUKAN HINDU Gagasan di atas menunjukkan jaring-jaring yang membatasi tindakan manusia – termasuk seniman dapat berasal dari agama. Dalam konteks ini menarik gagasan Atmadja (2016) tentang Dewi Sawaswati sebagai i Dewi (Ilmu) Pengetahuan dan Dewi Komunikasi Hindu. Alasannya, nama lain Saraswati adalah Dewi Kata-Kata atau Dewi Penguasa Lidah. Tindakan komunikasi paling dasar adalah memakai kata-kata. Gagasan ini tercermin pada definisi komunikasi, yakni ―Siapa? Mengatakan apa? Kepada Siapa? Melalui saluran apa? dan ―Apa efeknya? (Fiske, 2004) Gagasan ini mencerminkan bahwa kata-kata merupakan esensi dari komunikasi. Dengan demikian penempatan Saraswati = Dewi Kata-Kata = Dewi Komunikasi Hindu sangat tepat. Seni pertunjukan adalah sarana komunikasi – ―melalui saluran apa seseorang berkomunikasi – menyampaikan pesan dengan orang lain? Bertolak dari gagasan ini tampak bahwa seni pertunjukan termasuk dalam lingkup komunikasi, yakni sarana/media komunikasi (tradisional) dalam konteks penyampaian suatu pesan dengan harapan, tidak semata-mata berefek rekreatif, tetapi juga efek lain, misalnya pendidikan – seni sebagai tontonan dan tuntunan. Gagasan ini berimplikasi bahwa penempatan Saraswati sebagai Dewi Komunikasi Hindu secara langsung maupun tidak langsung bisa pula dikaitkan dengan seni pertunjukan. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Saraswati sebagai Dewi Kata-Kata = Dewi Komunikasi Hindu secara otomatis dapat pula disebut sebagai Dewi Seni Pertunjukan Hindu (seni pada umumnya). Apalagi kesenian sebagai media komunikasi tradisional sulit memisahkannya dengan agama Hindu, mengingat agama Hindu adalah inti kebudayaan Bali. Gagasan ini penting dalam penempatan seni pertunjukan pada bingkai penciptaan dan/atau seni transpormatif emansipatif. Artinya, seni pertunjukan dapat memakai Dewi Saraswati sebagai habitus baik dalam penciptaan maupun seni transformatif dan emansipatif. Hal ini dilakukan lewat penafsiran secara dekonstruktif – menggali makna denotatif dan konotatif terhadap aspek ketubuhan dan atribut yang digunakan Dewi Saraswati (Atmadja, 2014). Dengan berpegang pada gagasan ini dapat dikemukakan bahwa ada beberapa skemata bagi penciptaan dan daya transformatif emansipatif seni pertunjukan, yakni: (1) Seni pertunjukan berbasis keindahan, kecantikan, kehalusan dan daya tarik–simbolisasi Saraswati adalah Dewi + wanita. (2) Seni pertunjukan terikat pada kesucian–simbolisasi kain yang dikenakan Dewi Saraswati dan bunga teratai sebagai tempat duduknya adalah berwarna putih. (3) Seni pertunjukan terikat pada Catur Weda–simbolisasi Dewi Saraswati bertangan empat. (4) Seni pertunjukan terikat pada permainan rasa (indah, sedih, benci, marah, gembira, suka, duka) dan kreativitas dalam konteks penciptaan karya seni–simbolisasi Dewi Saraswati memainkan kecapi.

30

(5) Seni pertunjukan terikat pada agama dan/atau spiritualitas sebagai habitusnya– simbolisasi tasbih. (6) Seni pertunjukan terikat pada penggunaan ilmu dan teknologi. Setiap kesenian terdiri dari tiga komponen, yakni ide tentang seni, sistem sosial sebagai pendukung seni (sekaa dan penonton/penikmat) dan teknologi seni (, tata panggung), dapat berubah sesuai dengan kemajuan zaman – simbolisasi buku atau lontar. (7) Seni pertunjukan adalah sesuatu yang indah sehingga menggugah hasrat untuk menikmatinya, termasuk hasrat libidinal paling tidak dalam bentuk penyaluran hasrat seksial lewat pandangan mata – simbolisasi burung merak. (8) Seni pertunjukan memilahkan antara kebaikan dan keburukan, kebenaran dan kesalahan atau keadilan dan ketidakadilan. Hal ini dilanjutkan dengan keberpihakan terhadap kebenaran, kebaikan dan keadilan – simbolisasi burung angsa. (9) Seni pertunjukan terikat pada kesempunaan, keindahan dan kesucian – menjadikannya sebagai hiburan bagi makhluk penghuni tri loka – bhur, bwah, dan swah. Misalnya, pada masyarakat Bali dikenal seni pertunjukan untuk manusia (bwah) – balih-balihan dan seni pertjukan bagi dewa – tari wali (swah) – tanpa mengabaikan ancangannya yang disebut bhuta kala (makhluk demonik bhur). Dengan demikian - simbolisasi bunga teratai yang dipegang Dewi Saraswati. Pendek kata, gagasan ini mencerminkan bahwa secara denotatif dan konotatif Saraswati sebagai Dewi Komunikasi Hindu = Dewi Seni Pertunjukan Hindu secara holitik integralistik memuat habitus bagi mengembangkam seni pertunjukan sebagai tontonan dan tuntunan, termasuk di dalamnya peran transformatif emansipatif. Sasaran, menjadikan karya seni tetap terikat pada cita-cita ideal, yakni masyarakat yang hamonis secara sosial, ekologis, dan teologis. Gagasan ini bisa dibandingkan dengan pendapat Plato (dalam Sudiarja, 1992) tentang seni, yakni harus menuntun manusia ke arah kebaikan. Seni harus berguna dan bersifat mendidik ke arah pengetahuan akan Kebenaran sejati dan dunia Ideal. Seni yang tidak menuruti aturan-aturan negara atau bertentangan dengan hukum-hukum yang adalah seni yang merusak. Dengan demikian Plato (dalam Sudiarja, 1992: 263) menyatakan bahwa ―kesenian mesti diatur, agar jangan mengungkapkan keindahan-keindahan yang bertentangan dengan hukum dan kebiasaan pemujaan dewa-dewa‖.

PENUTUP Manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial terikat pada sistem sosiokultural, terdiri atas tiga unsur dasar, yakni superstruktur ideologi, struktur sosial, dan infrastruktur material. Setiap komponen terdiri atas aspek-aspek sebagai bagiannya. Kesemuanya membentuk suatu sistem dan bertautan secara berdialektika guna menjaga kelangsungan hidup suatu masyarakat. Superstruktur ideologi dijabarkan dalam bentuk kearifan lokal sebagai habitus bagi tindakan sosial. Kearifan lokal memiliki nilai fungsional dan pragmatis sehingga suatu komunitas berusaha menjaga lewat pewarisan. Pewarisannya dilembagakan melalui pendidikan memakai seni pertunjukan sebagai medianya. Seni pertunjukan tidak saja berperan sebagai media pendidikan– media sebagai guru, tetapi juga sebagai media pembentuk, cermin, pengemas, ritual, dan tuhan. Keterkaitan kearifan lokal dengan superstruktur ideologi mengakibatkan seni pertunjukan dapat berperan sebagai pentas ideologi dan/atau kekuasaan. Penyalahgunaan kekuasaan mengakibatkan hubungan yang hegemonik dan/atau dominatif sehingga rentan akan ketidakadilan. Dalam konteks ini seni pertunjukan dapat beperan penting, yakni tidak hanya melakukan pewarisan nilai, tetapi juga bertindak transformatif dan emansipatif. Artinya, seni pertunjukan mengembangkan pola berpikir kritis dan kreatif guna melakukan tindakan (re-) interpretasi dan (re-) kontekstualisasi terhadap kearifan lokal. Tindakan ini berlanjut dengan usaha menetralisir ketidakadilan dalam masyarakat–akibat dari permainan kekuasaan. Kondisi ini dapat

31

memunculkan konflik karena transformasi berpotensi merugikan kelas atas – mendapatkan kenikmatan dari ketidakadilan. Konflik dapat di atasi dengan cara menerapkan nilai-nilai yang terkandung pada Saraswati sebagai Dewi Komunikasi Hindu dan/atau Dewi Seni Pertunjukan Hindu. Nilai-nilai ini sangat penting guna mewujudkan perubahan sosial tanpa mengabaikan keharmonisan.

DAFTAR PUSTAKA Arvon, Henri. 2010. Estetika Marxis. (Penerjemah Ikramulah). Yogyakarta: Resist Book. Atmadja, N.B. 2010. Ajeg Bali: Gerakan Identitas Kultural dan Globalisasi. Yogyakarta: LKiS. Atmadja, Nengah Bawa, 2010a. Komodifikasi Tubuh Perempuan Joged “Ngebor” Bali. Denpasar: Pustaka Larasan. Atmadja, N.B. 2014. Saraswati dan Ganesha sebaai Simbol Paradigma Interpretativisme dan Positivisme: Visi Integral Mewujudkan Iptek dari Pembawa Musibah Menjadi Berkah bagi Umat Manusia. Denpasar: Pustaka Larasan & IbiKK Undiksha. Atmadja, Nengah Bawa, Anantawikrama Tungga Atmadja dan Tuty Maryati. 2015. (Ngaben + Memukur) = (Tubuh + Api) + (Uparengga + Mantra) = (Dewa Pitara + Surga): Perspektif Teori Sosial Kebutuhan terhadap Ritual Kematian di Bali. Denpasar: Pustaka Larasan. Atmadja, NB dan L.P.S. Ariyani. 2016. Sosiologi Media Perspektif Teori Kritis. (Buku dalam proses penerbitan). Atmadja, NB. 2016. Saraswati sebagai Dewi Komunikasi Hindu. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Program S2 Komunikasi Hindu IHDN tanggal 3 September 2016. Atmadja, NB, Anantawikrama Tungga Atmadja, dan Tuty Mariyati. 2016a. Bali Pulau Banten Perspektif Sosiologi Komodifikasi Agama. Yogyakarta: Larasan. Atmadja, NB, Anantawikrama Tungga Atmadja, dan Tuty Mariyati. 2016b. Agama Hindu, Pancasila, dan Kearifan Lokal Fondasi Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Larasan. Brown, Phil. 2005. Psikologi Marxis. [Penerjemah. Afid Sadzali & Ema Rachmawati]. Yogyakarta: Alenia. Dzuhayatin. Siti Ruhani. 2015. Rezim Gender Muhammadiyah Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Eagleton, Terry. 2002. Marxisme & Kritik Sastra. [Penerjemah. Zaim Rafiqi]. Depok: Desantara. Eaton, Marcia Muelder. 2010. Persoalan-persoalan Dasar Estetika. Jakarta: Salemba Humanika. Fiske, J. 2004. Cultural and Communication Studies Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. [Y. Iriantara dan I.S. Ibrahim Penerjemah]. Yogyakarta: Jalasutra. Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. USA: Basic Books. Hardiman, F. Budi. 2016. ―Simmel tentang Perancang Busana dan Pialang Saham‖. Dalam F. Budi Hardiman ed. Filsafat untuk Para Profesional. Jakarta: Kompas. Halaman 79-96. Hartley, Barbara. 2014. ―Pertunjukan Budaya Indonesia Pasca Orde Baru‖. Dalam Barbara Hatley, G. Budi Subanar, dan Yustika Devi Ardhiani ed. Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Halaman 3-26. Hearty, Free. 2015. Keadilan Gender Perspektif Feminis Muslim dalam Sastra Timur Tengah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hermantoro, Henky. 2011. Creative-Based Tourism: Dari Wisata Rekreatif Menuju Wisata Kreatif. Depok: Aditri. Hough, Brett. 2014. ―Komunitas dan Kancah Budaya di Bali‖. Dalam Barbara Hatley, G. Budi Subanar, dan Yustika Devi Ardhiani ed. Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Halaman 145-178. Ibrahim, Idi Subandy dan B.A. Akhmad. 2014. Komunikasi dan Komodifikasi: Mengkaji Media dan Budaya dalam Dinamika Globalisasi. Jakarta: Yayasan Obor. Jones, Tod. 2015. Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya Selama Abad Ke 20 Hingga Era Reformasi. [Penerjemah. Edisius Riyadi Terre]. Jakarta: Obor. Kriyantono, Rachmat. 2014. Teori Public Relations Perspektif Barat & Lokal: Aplikasi Penelitian dan Praktik. Jakarta: Kencana. Kriyantono, Rachmat. 2015. Public Relations, Issue & Crisis Management: Pendekatan Critical Pulic Relations, Etnografi Kritis & Kualitatif. Jakarta: Kencana. Lubis, Akhyar Lubis. 2015. Pemikiran Kritis Komtemporer dari Teori Kritis, Cultural Studies, Feminisme, Postklonial hingga Multikulturalisme. Jakarta: PT Raja Grafindo-Persada. Pitana, I Gde dan Putu G. Gayatri. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Andi. Plummer, Ken. 2011. Sosiologi The Basics.[Penerjemah: Nanang Martono & Sisworo]. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Pramayoza, Dede. 2013. ―Strategi Membaca ‗Pergelaran‖, Seorang Antropologi dan Sebuah Mozaik Penelitian‖. Dalam Lono Simatupang. Pegelaran Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya. Yogyakarta: Jalasustra. Halaman v-xvi.

32

Prasad, Ugoran. 2014. ―Beberapa Catatan dari Simposium Seni Pertunjukan di Indonesia‖. Dalam Barbara Hatley, G. Budi Subanar, dan Yustika Devi Ardhiani ed. Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Halaman 269-307. Ritzer, G. 2004. Ketika Kapitalisme Berjingkrak Talaah Kritis terhadap Gelombang McDonaldisasi. [Solichin dan Didik P. Yuwono Penerjemah]. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ritzer, G. 2006. The Globalization of Nothing Mengkonsumsi Kehampaan di Era Globalisasi. Yogyakarta; Universitas Atmajaya. Ritzer, G. 2012. Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. [Penerjemah Saut Pasaribu dkk.]. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sachari, Agus dan Yan Yan Sunarya. 1999. Modernisme Sebuah Tinjauan Historis Desain Modern. Jakarta: Balai Pustaka. Sanderson, Stephen K, 2011. Makrososiologi Sebuah Pendekatan terhadap Realitias Sosiologis. (Penerjemah Farid Wajidi dan S. Menno). Jakarta: Rajawali Pers. Simatupang, Lono. 2013. Pegelaran Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya. Yogyakarta: Jalasustra. Soetomo, Greg. 2003. Krisis Seni Krisis Kesadaran. Yogyakarta: Kanisius. Sudarminta, J. 2016. ―Marcuse versus Perusahaan Iklan‖. Dalam F. Budi Hardiman ed. Filsafat untuk Para Profesional. Jakarta: Kompas. Halaman 97-119. Suprijono, Agus. 2016. Model-model Pembelajaran Emansipatoris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sutrisno, Mudji dan Christ Verhaak. 1993. Estetika Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Kanisius. Weintraub, Andrew N. 2012. Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia. [Penerjemah. Arif Bagus Prasetyo]. Jakarta: KPG. Wiryomartono, Bagoes P. 2001. Pijar-pijar Menyingkap Rasa: Sebuah Wacana Seni dan Keindahan dar Plato sampai Derrida. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

33

TEORI CIPTA SENI KONSEPTUAL

I Nyoman Sedana Guru Besar Ilmu Teater Tradisi, Jurusan Pedalangan FSP ISI Denpasar Email : [email protected] & [email protected] HP 081999541284

Abstrak Melalui puja puji kehadirat Tuhan (Hyang Widhi), Penguasa sembilan penjuru alam Dewata Nawasanga kiranya telah berkenan melepaskan kita dari kecendrungan penjiplak teori asing. Astungkara! kitadiberkati teori Cipta Seni, teori Seni Ripta, dan teori Widya Filsafat, lengkap dengan metode Sasmita-nya. Teori Cipta Seni memberi kerangka analisis mulai dari Alam Imaginasi Keindahan sebagai sumber cipta seni; ide/rasa yang mendesain; sarana dan skill yang dipakai mengolah. Empat hadiah Dewa Wisnu dari utara itu disusul dengan lima unsur sastra yang menuntun dengan narasi cipta seni dari Dewa Iswara di timur. Aktifnya tujuh elemen estetika Mahadewa membangun komposisi seni disusul sembilan atribut Brahma mengorbitkan produk seni. Fungsi seni mengikuti tiga kekuatan superior Rudra. Makna cipta seni selaras dengan enam atribut Sambhu yang menunggal mejadisatu dedikasi teo-eko-antro estetika Sangkara. Eksistensi cipta seni dicapai bilamana delapan atribut Maheswara di tenggara diaktifkan, hingga empat elemen ilmu dan empat nilai seni bertransformasi menjadi delapan Astadala Dewa Siwa paling tengah.Semoga Alapadma MudraNYA meruwat kita agar dibolehkan masuk ke taman Kalimosada terapi keindahan sorgawi: (1) Padma Herdaya, (2) Pranayuga, (3) Prabasemara, (4) Budhi Satyam, dan (5) Prabawa Bhuwana.

Kata kunci: teori, cipta seni, kajian seni, relevansi

PENDAHULUAN Bahwa sesungguhnya pengkajian yang otentik dan valid terhadap Seni Budaya Nusantara semestinya berdasarkan kerangka teori seni dan metode yang tumbuh dari lingkungan geografi bersangkutan. Seniman yang hidup dari suatu desa pasti bekerja dengan konsep-konsep artistik yang dikenal dari lingkungannya sendiri sejak awal, bukan dengan konsep-konsep asing yang baru diimpor setelah karyanya jadi. Analisis kesenian lokal dengan kaca mata teori asing pasti akan terlihat berwarna asing, tidak otentik dan kurang valid! Kekuatan academic building sebuah perguruan tinggi bukanlah dari banyaknya teori-teori asing yang diimpor, melainkan dari penemuan konsep-konsep, sistem pemikiran, atau kesatuan ide dalam satu cabang ilmu yang dikembangkan dari berbagai studi, eksperimen dan pengalaman, sehingga mampu menghasilkan teori-teori yang kredibel. Teori penciptaan dan pengkajian seni yang kredibel bagi PT Seni harus mengandung sistem ide yang sedikitnya memiliki tiga kegunaan: (1) sebagai landasan membuat prediksi atau hipotesis, (2) sebagai kerangka menyusun analisis atau argumentasi, dan (3) memiliki kesatuan konsep yang mampu menjelaskan variable-variable cipta seni yang terorganisir lengkap dan mendalam, yakni: sumber cipta seni, sastra, komposisi, produk cipta, fungsi, makna cipta seni, dedikasi, dan eksistensi ciptaan yang mengandung ilmu serta nilai cipta seni.

RELEVANSI TEORI CIPTA SENI DALAM PENCIPTAAN DAN KAJIAN SENI Mulai dengan konteks diplomasi budaya serta relevansinya dalam era persaingan kapitalisme global, kesenian Bali telah menginspirasi dunia sejak tahun 1931 dari Paris Colonial Exibition, Perancis.1 Apanya dan bagaimana keunggulan teater dramatari Calonarang di mata bangsa penjajah dunia saat itu?cukup diketahui dengan membaca bukunya Antonin Artaud

1 Beberapa sumber yang dikutip Wikipedia menyebutkan bahwa: Paris Colonial Exhibition dibuka pada tanggal 6 Mei 1931 dan berlangusng selama enam bulan dengan tiket terjual 33 juta. Berbagai kesenian etnis jajahan bangsa Eropah digelar pada beberapa bangunan permanen dan belasan museum sementara pada areal 110 hektar di sekitar Bois de Vincennes, Paris.

34

berjudul The Theatre and Its Double ([1938] 1958).2 Rasionalnya, begitu kesenian kita telah mampu memikat tiga juta wisatawan dunia per tahun—hampir sama dengan 3,3 juta jumlah orang Bali—tentu senimannya juga memiliki teori dan metode kreativitas seni lokal yang kredibel, tanpa meminjam teori asing. Peminjaman teori-teori pengkajian memang dibenarkan dalam hal akademik manapun, tetapi ketika teori/metode/pisau analisis kita sendiri sudah lebih memadai mengapa harus meminjam lagi? Mengingat visi unggul terlanjur didengang-dengunkan berbasis kearifan lokal, tidak ada jalan lain kecuali melacak dan mempromosikan kearifan lokal yang bermutu universal. Demi mencapai visi itu maka Teori Cipta Seni Konseptual ini perlu diinkubasi bersama sehingga benar-benar matang untuk dicetak menjadi akademik building PT Seni kita, baik bertaraf lokal maupuan lintas Negara, budaya, atau universitas.3 Sayangnya,dalam berbagai karya tulis ilmiah penggunaan konsep-konsep seni lokal, termasuk Seni Ripta, Kawi Dalang, Seni Widya dan Filsafat, beserta metode Sasmita (yang meliputi semita, isyarat, tanda, alamat) dan sejenisnya, masih lebih banyak diabaikan daripada digunakan. Di bidang ilmu teater tradisi, Seni Ripta Kawi Dalang yang meliput-dan-diliputi oleh Seni Cipta Konseptual serta Seni Widya dan Filsafat semakin terkubur oleh kecendrungan memuja estetika barat hingga saat ini. Terkuburnya kearifan lokal Kawi Dalang, bahkan terjadi pada acara Workshop dan Pelatihan Dalang Wayang Ramayana yang diselenggarakan oleh Listibya Provinsi Bali pada tanggal 19 - 22 Nopember 2015 di Balai Diklat Pemprov Bali yang konon dibiayai oleh Bapak Gubernur Bali. Jangankan panitia dan para peserta worskshop dari seluruh Bali, narasumberpun sama sekali tidak menghiraukan tradisi kreatif seni Kawi Dalang yang berbasis kosmik, mensinergikan teo-eko-antro estetika dengan mengaktifkan 51 atribut Dewata Nawasanga ke dalam aneka unsur seni pewayangan. Padahal, tradisi kreatif Kawi Dalang4 ini tidak saja mampu menjadi ―Roh Abadi‖ Seni Pewayangan ribuan tahun sebagai karya agung pusaka dunia (menurut UNESCO, 7 Nopember 2003), tetapi juga menginspirasi berbagai bentuk seni lainnya. Dalam buku Routledge Handbook of Asian Theatre (2016) para sarjana teater Asia cendrung sepakat ketika memandang wayang sebagai leluhur pertama ‗the first ancestor‘ dari semua bentuk teater Asia yang masih ada.

SENIMAN BERIMAGINASI UNTUK TRANSFORMASI, TETAP DITUNTUT MENJELASKAN EKSPLORASI (SAAT TEORI ASING MEMAKSA PENGKAJI MARGINALKAN KOMPONEN UTAMA) Dari penelusuran sejumlah skrip karya seni beserta karya-karya tulis kajian seni banyak ditemukan penggunaan konsep atau teori barat sebagai rujukan ataupun kerangka kerja, tetapi relevansinya terkadang masih jauh, terlalu dicari-cari, atau bahkan dipaksa-paksakan. Sebagai contoh, peminjaman teori komposisi (exploration - improvisation - forming) yang berasal dari buku Creating through Dance (1964/88) oleh Alma M. Hawkins lebih cocok digunakan untuk proses penciptaan komposisi tari masa kini, sebagaimana landasan pengembangan teori bersangkutan. Tetapi bila digunakan lain, misalnya, untuk mengkaji penciptaan tari ataupun Legong, uraian eksplorasinya harus dicari-cari dan mengada ada, karena pengalaman spiritual (ketemu bidadari dalam mimpi ataupun raja hutan Banaspati Raja) tidak berdasarkan eksplorasi yang disengaja; melainkan secara kebetulan saja dalam kegiatan imaginasi/metafisik, sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan para kreator/komposer muda di kampus seni. Realitas upaya transformasi alam metafisik (berintikan imaginasi keindahan) ke dalam karya seni, berdinamika dari satu seniman ke seniman lain, dari masa ke masa, dari ranah satu ke

2 The Theatre and Its Double (1958) semula terbit dalam bahasa Francis berjudul Le Theatre et son Double oleh Gallimard dalam Collection Metamorphoses No. IV tahun 1938. 3 Sudah lumrah disebut theory of Bali Creative Art (BCA) ketika dipelajari oleh 14 mahasiswa dari berbagai Negara dari tanggal 2 s/d 27 Mei 2016 di Bali. Aplikasi teori ini sudah terkirim ke London melalui artikel setebal 40 haman berjudul ―Directing Cymbeline Leon Activated God’s Attributes for the 38th Bali Arts Festival 2016” 4 Kawi Dalang: Creativity in Wayang Theatre. Disertasi untuk meraih gelar Ph.D (Doktor) di University of Georgia, USA, 2002.

35

ranah lain, hingga ke apresiasi massa menjadi terabaikan, alias dimarginalkan. Padahal, kegigihan berimaginasi seni, mentransformasikan serta upaya fermentasi dari tahap demi tahap, dari imaginasi ke rasa lalu sketsa yang bisa berujud lukisan; lanjut ke tahap pemahatan/ukir, mungkin baru berwujud wayang/topeng, kostum tari; lanjut ke tahap gerakan estetis, dilengkapi wirama gending, harmoni dengan komposisi melodi ritme gamelan, dihidupkan dengan wirasa serta wiguna hingga penjiwaan wibawa, semestinya menjadi focus kajian seni lewat karya tulis setiap mahasiswa. Untuk membangun adegan perang, misalnya, seniman tidak perlu bereksplorasi lapangan ke Syria, Irak, ataupun Afganistan, tetapi harus berimaginasi. Persis apa yang diyakini oleh Albert Einstein bahwa: ―Imagination is more important than knowledge‖ Kiranya lebih jujur bisa seniman mendeskripsikan imaginasinya dari pada eksplorasinya yang mungkin tidak ada atau cendrung dilupakan. Eksplorasi lapangan yang disengaja sesungguhnya paling hanya dua atau tiga kali, tetapi upaya transformasi ini pasti melalui proses waktu yang jauh lebih panjang. Komposer koreografer yang membuat skenario ‗blue print‘ garapan adalah proses transformasi ide, bukan eksplorasi! Tahap penuangan kepada seniman penyajipun sesungguhnya lebih mengutamakan transformasi dari pada improvisasi. Transformasi seni terus berlanjut hingga tahap eksibisi/ pagelaran dan sesudahnya, serta selalu ada momentum transisi, labil dengan perubahan yang ajeg, berada di ambang limal-liminod penyelesaian yang akan direvisi lagi. Transformasi dan fermentasi yang menghasilkan perubahan bentuk dan isi secara berulang- ulang terkadang dilihat sebagai dekonstruksi, sehingga cenderung dikaji dengan teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Pemilihan teori menjadi krusial, Dekonstruksi yang mengarah negatif ataukah sesungguhnya Transformasi menuju harmonisasi baru untuk masa kini? dan ‗masa kini‘ yang lain lagi pada saatnya?Transformasi fermentasi dalam Teori Cipta Seni memiliki pengertian gabungan dari perubahan bentuk, isi, redifining (Rijal, 2010), difference (Derrida, 1988), the secret art (Barba, 1991), renewing (Sedana, 2005), restorasi makna (Wahyu, 2011). Demikain juga peminjaman konsep ―form follows function5, meaning, fun, dst‖ awalnya diperuntukkan bagi arsitektur modern dan desain industridi Chicago. Jika dipinjam oleh seorang komposer yang tengah mencoba menggapai angan-angan estetisnya secara bebas, melayang tanpa mengingatkan dirinya pada satu fungsi fragmatis apapun, kemungkinan ―form follows function‖ perlu diganti dengan teori estetika yang lebih sesuai.Penggunaan teori yang tidak relevan malahan bisa menjauhkan pencipta seni dari karya seninya sendiri. Membandingkan, baru kemudian memilih konsep yang lebih relevan kiranya jalan yang harus ditempuh. Umpamanya, tidakkah pemakaian konsep Sasmita (ilmu tafsir meliputi semita, isyarat, tanda, dan alamat)lebih memadai dari pada konsep struturalisme semiotic? Perlukah Listibya Bali memberikan ceramahsemiotik- hermenutik kepada seniman dalang ketika semua dalang sudah terbiasa menafsiran sastra lakon dan olah kata secara liar berbasis kamus Dwi Jodah dan Kiroto Boso? Dengan kapasitas, kewenangan dan legalitas sosial ―Dalang wenang mangwasaken kata, sakawuwus-wuwus‖ maka dalang bisa mengartikan ―seminar‖ sebagai akronim ―seka minum arak.‖ HAKIM bisa diartikan Hubungi Aku Kalau Ingin Menang. Delem mengaku selalu energik karena makan Dewa Matahari; yang dimaksud matahari ternyata Baas Kara, yaitu beras dan kacang kara. Minumannya selalu berangin, kebir-kebir, yang dimaksud adalah bir, dst. Perlukah para ahli sastra/bahasa yang tidak memiliki legalitas sosial dan kaidah bahasa sebebas seluas itu diminta mengajar dalang soal semiotik-hermenutik yang lingkupnya lebih sempit dari ilmu Sasmita dan Kirata Basa? Tanpa mengurangi rasa hormat dan kepercayaan kepada teori-teori barat,6 jelas dan nyata sekali bahwa teori-teori asing tersebut sukar diklaim sebagai bangunan intlektual (academic building or body of knowledge) institut seni Indonesia. Kedua, meskipun memang ada yang terkena pengaruh, seniman Indonesia kita sesungguhnya tidak tumbuh dan dibentuk berdasarkan

5 Form follows function ―Based on the 20th century modernist architecture and industrial design the principle is that the shape of a building or object should be primarily based upon its intended function or purpose‖ Lihat Wikipedia diakses tgl 27 Feb, 2016. 6 Karena penulis sendiri juga banyak belajar teori Barat, tidak malu mengaku tamatan Amerika 8 tahun: program MA 3 tahun di Brown University dan Ph.D 5 tahun di University of Georgia.

36

konsep-konsep dari teori-teori asing itu, melainkan oleh alam dan lingkunagn sosial-budaya yang sangat berbeda dengan asal teori itu.

EPISTEMOLOGI: JIWA DAN BADAN SENIMAN REPRESENTASI DEWA DAN BUMI Alam dengan segala isinya dipandang sebagi sumber keindahan absolut, baik dari dimensi bentuk, penampilan serta isinya yang berasal dari karunia Tuhan. Roh atau spirit yang berasal dari Tuhan diyakini sebagai esensi/sumber kehidupan dari segala mahluk dan benda-benda tertentu. Manusia bisa menciptakan keindahan duniawi dengan cipta rasa dan karsanya menggunakan inspirasi keindahan dari alam Tuhan. Akibatnya, banyak seniman cendrung berkesenian sebagai persembahan, pemujaan, dan kebaktian kepada Tuhan dengan segala manifestasiNya dengan harapan mendapat lungsuran lango, yakni berkah keindahan yang tiada terhingga, baik wujud, fungsi, maupun kandungan kwalitas nilainya. Unsur alam makrokosmos ciptaan Tuhan yang dijadikan inspirasi dan ditransformasikan ke dalam kreativitas seni bisa dilihat dalam berbagai wujud dan makna seni (Bandingkan dengan Sumardjo, 2000: 80-87). Pustaka suci Dharma Pewayangan bahkan secara eksplisit mewajibkan seniman Dalang untuk menyabda sembilan nama Dewa penguasa setiap penjuru alam makro untuk diintegrasikan ke dalam wayang kayonan dan baru setelah memanjatkan puja, do‘a dan mantra itu kayonan bisa ditarikan ke ruangan kelir sebagai alam mikro. Mantra setiap dalang yang mengawali pentas wayang tersebut menggikuti prosesi pemutaran ngutarayana, kebalikan arah jarum jam, berbunyi: Om idepakna Sabhu mulih ring Wisnu; Wisnu mulih ring Sangkara; Sangkara mulih ring Mahadewa; Mahadewa mulih maring Rudra; Rudra mulih ring Brahma; Brahma mulih ring Maheswara; Maheswara mulih ring Iswara; Iswara mulih ring tengah kayonan; kayonan mulih maring manah sakti mahening; manah sakti mahening ngaweh ingsun kawikanan sakawuwus- wusus. Intinya adalah penyatuan Dewa dan Bwana Agung ke dalam Jiwa Raha bwana alitnya seniman. Dengan konsep yang persis sejalan Svami Sivananda dalam Japa Yoga7 menyatakan bahwa Mantra adalah sifat Tuhan. Mantra dan devata-nya adalah satu. Mantra itu sendiri adalah devata, daya Ilahi yang berwujud dalam badan suara. Dengan mengucapkan mantra secara terus menerus, sadhaka meneguk kebajikan dan kekuatan devata yang mengetuai mantra tersebut (1998: 43-44). Kepustakaan yang mengasosiasikan kegiatan penciptaan seni dengan alam imaginasi keindahan metafisik atau kosmologi dan seniman kreatif yang menyadari jiwa dan raganya adalah representasi Ayah dan Ibu Semesta sangat banyak jumlahnya, di antaranya: Rig Veda dan sejumlah Upanisad, Natyasastra (Bharata-Muni, 2002), Siwagama, Prakempa (Bandem, 1986), Srimad Bhagavatam (Subramaniam 2003), Dharma Pegambuhan (Suasthi, 2012), Japa Yoga, Theatre and Its Double, Belajar pada Langit dan Bumi, Sasmita (SITA) dari Rembug Seni Pedalangan, Karya Ida Pedanda Made Sidemen, Karya seni A.A Anom Karna, Karya seni Cokorda Api, dan kata- kata bijak para filsuf, pemenang nobel prize, dan sejumlah ilmuwan dunia. Bila divisualisasikan epistemologi dari awal yang menuntun kita pada teori cipta seni ini bisa berwujud diagram lingkaran sebagai berikut.

7 Svami Sivananda. Japa Yoga. Surabaya: Paramita, 1998: 43-44.

37

FILSAFAT SENI ILMU

Inspirasi Alam Imaginasi

SENI

Epistemologi Teori Cipta Seni Konseptual

Cipta Seni Konseptual, Seni Ripta Kawi Dalang, Seni Widya dan Filsafat sebagaimana terlihat memenuhi permukaan diagram lingkaran di atas, sedikitnya ditopang oleh lima jalur penalaran epistemologi yang menjurus dari luar ke dalam lingkaran yang menyimpan formula teori dan metode kreativitas seni. Pertama, Inspirasi alam imaginasi keindahan yang mengahasilkan gelombang suara zaman prana yuga8 alamnya menimbulkan perasaan takjub kepada alam dan kekuatan absolute karunia Tuhan dari atas. Ketakjuban ini bisa mendorong seorang seniman untuk rajin bersemedi/sembahyang, dan berusaha mengurangi kesalahan dan dosa sekaligus meningkatkan mutu humanisme seniman bersangkutan. Entah pada mimpi ataupun semedi yang keberapa seniman bersangkutan bisa mendapatkan genta herdaya imaginasi estetis atau pengalaman batin berupa norma-norma kekayaan spiritual. Pada puncak kebenaran dan mahardika (ultimate truth and freedom) misalnya, dengan kuasa Hyang Widhi ada seniman yang diberkati untuk bisa berkomunikasi dengan roh-roh suci leluhur; lalu berproses lambat laun menghasilkan Seni Pewayangan.9 Ada yang beruntung bisa melihat raja hutan Banaspati Raja, lalu segera bisa membuat Barong. Ada raja yang dalam semedinya sempat melihat keindahan /kecantikan paras para bidadari yang kemudian memberi inspirasi penciptaan Sanghyang Dedari di pura Payogan Agung Ketewel, Sukawati, Gianyar.10 Kedua, Deklarator Rasa dan Bhawa yang terinsprasi oleh norma/pengalaman batin (Tantra) tersebut di atas cendrung mendeklarasikan ke dalam multi-ekspresi seni sehingga menciptakan kesadaran publik (public awareness). Ketiga, Tuntunan Tatwa ilmu pengetahuan menginformasikan adanya mekanisme hubungan sisitematis yang ajeg dan empiris di antara niat- sarana-skill-sinkrunisasi sistem pemikiran dan kesatuan konsep (intend-means-skill-match) untuk mencipta, menulis (ngaripta) serta menggelar seni, baik dengan tujuan pencerahan atau refleksi/komentar, ataupun hiburan. Keempat, Formulasi Mitologi memberikan narasi sakral yang masih disucikan bagaimana, mengapa/untuk apa, darimana, dan siapa para dewata yang menjadi pinonir kesenian tertentu yang masih ada hingga sekarang. Kelima, Perayaan Ritual adalah validitas sosial, manifestasi tindakan patuh dan deklarasi masa yang percaya mengapa, bagaimana, dan untuk apa panca prakara (termasuk wayang, topeng, gamelan, kidung, dan pandita) tetap digelar pada setiap perayaan agama. Dari catatan yang ada,

8 Bandingkan dengan glombang gravitasi yang merentang alam dan waktu dari prediksi Albert Einstein 100 tahun lalu telah dibuktikan kebenarannya oleh LIGO di Lousiana dan Washington tgl 11 Februari 2016 . Saat itu persis Manis Galungan saya diskusikan teori kreativitas ini bersama teman KdW sekilas karena ia akan ke pura Pangrebongan, sedangkan saya harus melayat ke Gianyar. Dua hari sebelumnya, persis Penampahan Galungan, saya mintakan doa restu pada pak Kd agar teori ini sudha-sidha-sidhi. 9 I Nyoman Sedana (2006) Orasi Ilmiah Guru Besar 10 Bandem, I Made Kaja and Kelod. I Wayan Dibia. Bali Dance and Drama.

38

sebelum Bali dikunjungi jutaan tourist, penyair Gitanjali pemenang Noble Prize,Rabindranath Tagore, ketika berkunjung ke Bali pertengahan tahun 1927 sangat kagum dengan kehidupan masyarakat dengan upacara keagaam di berbagai pura. Di antaranya, ia menyaksikan seolah-olah kehidupan zaman Purana para dewa kembali hidup di Bali. Transformasi norma spiritual serta pengalaman batin ke dalam kegiatan seni budaya ritual berarti sudah maksimal. Secara menyeluruh dan simultan seni budaya merekam dan memberi formulasi konsep teo, eko, dan antro estetika yang siap diaktifkan sebagai teori dan metode cipta seni konseptual, seni ripta, seni widya dan filsafat.

SASMITA ILMU TENTANG SEMITA, ISYARAT, TANDA, DAN ALAMAT Penafsiran, predisksi, spekulasi atau coba-coba gagal hingga akhirnya sukses, banyak berperan dalam proses berimaginasi, transformasi dan fermentasi untuk menjadikan satu karya cipta seni. Ketimbang Semiologi, konsep-konsep Sasmita tampak lebih berperan daripada sekedar pemahaman dan permainan tanda, indeks, dan ikon sebagaimana yang ditawarkan oleh Semiology- nya Ferdinand de Sausure atau Semiotik-nya Charles Sander Pierce. Dari hasil rembug mahasiswa dan dosen Seni Pedalangan, Sasmita diyakini memiliki empat bagian yang bisa diakronim sebagai SITA, yakni: 1. Semita = refleksi mood pada wajah muka, kesan permulaan (Dalang meninggalkan hermenutik untuk memeluk paham Dwijodah atau Kirotoboso (PUASA: Pusatkan Unsur Ahklak serta tingkah laku Seiring dengan Agama). 2. Isyarat = petunjuk riil/ kongret: gerakan bagian tubuh, seperti tangan, lengan, bahu kepala, atau muka 3. Tanda = kode-kode berbasis keserupaan, keterkaitan, kesepakatan yang semiotik 4. Alamat = sinyal-sinyal abstrak, termasuk dari roh-roh animistik serta daya kekuatan gaibnya (dinamisme).

Metode etnis tradisi lain seperti prosesi Murwa Daksina, prosesi Ngutarayana, Ngunda Bayu, beserta Pemutaran Dasa Bayu ataupun Dasa Aksara tidak hanya dipakai ketika tampak sebagai karya yang digelar di atas panggung, tetapi sejak awal perancangan metode-metode tersebut sudah banyak harus diaktifkan. Secara umum, metode cipta seni banyak menggunakan prosesi Murwa Daksina, mengikuti arah jarum jam, karena kronologi pemakaian Sastra-Bahasa- Tabuh-Aksi-Isi Ilmu sangat sukar untuk dibalik proses pemakaiannya. Selain itu pembalikan Pemutaran Dasa Bayu ataupun pengucapan Dasa Aksra SA-BA-TA-A-I, NA-MA-SI-WA-YA tampaknya tidak memungkinkan, kecuali untuk membuat kehancuran. Untuk kreativitas Seni Widya dan Filsafat, mengingat arahnya menuju tempat utama maka lebih banyak menggunakan prosesi Ngutarayana, kebalikan arah jarum jam. Hanya pada kreativitas Seni Ripta Kawi Dalang semua metode, termasuk aktivasi atribut dewata, dapat digunakan secara merata. Adanya pembedaan kreativitas khusus sebelum pentas, selama pentas, bahkan setelah pentas memungkinkan semua medoe teraplikasi.

VISUALISASI TEORI CIPTA SENI KONSEPTUAL Dengan penekanan pada konsep, komponen-komponen ide pembentuk teori Cipta Seni memang memiliki konfigurasi yang harmonis di antara posisi, pembagian tempat, kedudukan dan keterkaitan peran dengan elemen yang meliputi dan diliputi sebagaimana keteraturan diagram lingkaran, segi empat, dan segi tiga di bawah ini.

39

A BanaspatiRaja Alam, Abah.. Ang/ungguh Adung SENI CIPTA KONSEPTUAL SI WA Sida Waged

DEDIKASI SUMBER MAKNA SENI Wahyu RIPTA I ILMU/ISI/IDEP KOMPOSISI KAWI Banaspati TA NARASI SA Anggapati Tata ungguh SENI YA Sastra *Tata(pa)runggu NILAI Satua Tabuh DALANG Sadu

Tatwa jenyana PERTUNJUKAN

FUNGSI PRODUK EKSISTENSI NA MA Nadi Maguna SENI RUPA & DESAIN

*Tata(pa)runggu: susunan/kedudukan yg patut/ Bhava, Bahasa, Baud, Banyol benar (Zoetmulder, 1982: 1220) Runggu: tempat yg patut (Ibid: 963) BA Prajapati Index: Demi kronologi pemahaman yang teratur dianjurkan memulai dengan diagram lingkaran besar sehingga dapat mengikuti pemutaran Dasa Aksara (SA, BA, TA, A, I, NA, MA, SI, WA, YA) dengan manifestasi elemen estetika Dasa Bayu ―sepuluh energi‖. Alur ini akan berakhir pada lingaran kecil saat menemukan Seni Widya Filsafat. Perjalanan kedua, temukan sembilan kata penanda perangkat konsep (Sumber, Narasi, Komposisi, Produk, Fungsi, Makna, Dedikasi, Eksistensi, dan Ilmu/Nilai) yang membentuk teori Cipta Seni dalam dan sepanjang diagram segi empat. Akhirnya pada ujung-ujung segi tiga temukan empat jenis kesenian (Seni Cipta Konseptual, Seni Ripa Desain, Seni Ripta Kawi Dalang, dan Seni Pertunjukan) yang termasuk ke dalam sistem teori ini.

MENGAPA DAN BAGAIMANA MENGAKTIFKAN ATRIBUT MASING-MASING DEWATA? Manusia diberkati Ekadasendria yang korespon dengan atribut para Dewata. Multi fungsi yang dimiliki Ekadasendria (faculty of taste: otak, nalar, mental intelektual) termasuk etika dan estetika dapat memimpin kinerja Dasendria ‗10 indira‘ untuk mengenali hadirnya benih Panca Tanmatra, mengkristal menjadi Pancamahabuta yang menstimulasi perangsang Panca Budindria manusia, diterima oleh indra-indra penggerak Pancendria. Dengan aset indra-indra ini (penulis sebelum SD sudah merasa memiliki faculty of judgment, sense of beauty, sudah tahu mana penari cantik ataupun kurang cantik) memungkinkan kegiatan berimaginasi (tanpa sengaja eksplorasi lapangan lagi), lanjut transformasi dengan penafsiran berulang-ulang sehingga mangasilkan karya seni lango (Zoetmulder, 1983). Akibatnya, aktivasi jumlah atribut Dewa tertentu sungguh diperlukan untuk membingkai dan menata setiap tahapan aksiartistik, mulai dari akses alam imaginasi keindahan (dengan sense of beauty). Seniman yang selalu mengawali kegiatannnya dengan menyambda ―Ong atau Aum‖ sangat lirih nyaris tak terdengar sebagaimana suara black hole gravitasi alam yang dilaporkan NASA adalah Dalang. Peran dan hakikat dalang ini berulang-ulang disebutkan pada bagian awal Dharma Pewayangan11 (di sini dikutip dengan penyesuaian bunyi): ―Sirata ngaran dadi dalang? Sangkaniya hana dalang patpat, wyaktinia Brahma, Wisnu, Iswara, Mahadewa…‖ (Hooykaas, 1973: 17). Pustaka lontar ini juga menyebutkan jiwa dan badan seniman adalah representasi Dewa, kehidupan bumi dan alam semesta: ―Sang Amangku Dalang mawak Gumi, mawak Bhuta, mawak Dewa” … “Yan ya mangwayang, wedalakna kang dalang rumuhun; mantra: Sa-Ba-Ta-A-I-Na- Ma-Si-Wa-Ya Ang-Ung-Mang Ong‖ (diskursus ke 7 dari 100). Dalang ngarania waneh, karana

11 C. Hooykaas. Kama and Kala, Material for the Study of Shadow Theatre in Bali. Amsterdam: North Holland Publishing Company, 1973.

40

dadi Siwa, karana dadi Paramsiwa, karana dadi Sada-Siwa, karana dadi Hyang Acintya. Mapan Sangyang Acintya panunggalaning bhuana kabeh, wenang umilihaken ungguhnia. Samangkana sangkania ngaran dalang; sirata wenang mangwasaken kata…‖ ―Kwruhakna kang dalang ring sarira ning suksma. Kang dalang ri pantaraning papusuh, gagadingnya; rupania endah, swarania sakawuwus-wuwus; sang Tutur Jati ngarania suksma; Tri Wikrama tingkahniya suksma…‖ (Hooykaas, 1973: 18) dan (Sugriwa,1976). Dalam TeoEstetika Wayang, bersatunya dua globang gravitasi alam semesta yang bersuara ―Ong…‖ atau ―Aum…‖ sebagaimana diumunkan NASA adalah pertemuan gelombang Sa Ba Ta A I dari timur memutar ke setiap arah mengikuti putaran jarum jam hingga ke tengah ―bersenggama‖ dengan glombang Na Ma Si Wa Ya dari tenggara sama-sama memutar ke setiap sudut hingga keduanya bertemu pada alam Siwa di tengah menjadi I+Ya itulah ilmu dan nilai. Dharma Pewayangan mengatur sikap prilaku Dalang yang akan pentas sebagai berikut: ―Yan ya mangwayang, wedalakna kang dalang rumuhun; mantra: Sa-Ba-Ta-A-I-Na-Ma-Si-Wa-Ya Ang- Ung-Mang Ong…‖ (20.) Dalam pagelaran Sa-Ba-Ta-A-I-Na-Ma-Si-Wa-Ya adalah akronim dari Sastra – Bahasa – Tabuh – Abah Solah Tetikasan - Isen2 hingga Nadi – Madok/Maguna – Sida – Waged/Wahyu – Yasuba (ya itulah, that’s knowledge and value). Putaran pertama Sa-Ba-Ta-A-I menghasilkan bentuk sesuai dengan Panca Wilasa dalam Purwa Sana yaitu: Carita Wilasa, Waca Wilasa, Cancala Wilasa, Krama Wilasa, Sanjiwa Wilasa. Maknanya sama dengan Sastra – Bahasa – Tabuh – Abah Solah Tetikasan - Isen2. Putaran kedua Na-Ma-Si-Wa-Ya memberikan fungsi dan makna karya seni terhadap konteks ekternal, suara zaman, trend dan kecendrungan masa kini. Perlu dicatat bahwa setiap teori memiliki asumsi dan parameter tersendiri. Contoh, dalam teori Cipta Seni, ‗TA‘ yang semula manifestasi TAbuh, kini bermakna TAta Ungguh, komposisi, atau TAtwa Jenyana dalam teori Seni Widya. Jadi, Dasaksara bisa dimodifikasi maknanya oleh Dasabayu, mirip dengan kasus nasi campur bisa menjadi nasi goreng, sedikit berbeda dalam kemasan tetapi sama nutrisi.

KONSEP-KONSEP TERORGANISIR MEMBENTUK TEORI CIPTA SENI Terinspirasi oleh alam imaginasi keindahan12 (bersifat kosmik, metafisik) maka kesatuan konsep yang terorganisir menjadi sistem ide bisa divisualisasikan ke dalam mandala cipta seni sebagai berikut. Cosmologi Landasan Teori Cipta Seni Elemen Estetika= Jumlah Atribut Dewadan Warnanya13

Cipta Seni Bali mulai SUMBER/ALAM dgn imaginasi daya WISNU 4: N ilahi (Dewa/Bhatara) MAKNA SPIRITUAL DEDIKASI 1.Alam imaginasi seni untuk ditransfor- 2.Rasa & Idea transformasi SAMBHU 6: USADA /TERAPI 1. Mangku/Mpu/Wiku Seni, masikan ke dalam SANGKARA 1 3. Sarana & Cara 2. Ritual/Fantasi, 1. Setting Tunggal 4. Skill & Bakat 3. Ngayah dgn Trikaya , S Elemen2 Estetika Eko-Teo-Antro Estetika (world 4. Ruwat, nature and culture) 5. Mahardika 6. Nunggaling lango ISI & INTI KOMPOSISI SIWA 8: ARSITEKTUR 1.Hiburan, 2.Komentar, SASTRA MAHADEWA 7: 1.Tata 3.Kritik, 4.Pesan (ILMU) ISWARA 5: Ruang, 2. Waktu, 3. Suara, 1. Tema / narasi, 4.Gerak, 5.Sinar, 6. Bentuk, 5. Fungsi, 6. Makna 2. Dramaturgi, 7.Struktur 7. Merit, 8. Pencerahan 3. Metode, ( I) 4. Target/tujuan, NILA 5. Konteks

FUNGSI EKSISTENSI PASAR PRODUK SENI RUDRA 3: TEKNOLOGI MAHESWARA 8: 1. Media, 2.Ranah, 1. Harapan penanggap BRAHMA 9: 1.Narasi, 2. 2. Conteks 3. Aktivitas, 4. Proses 3. Minat & bakat Peran, 3. Bahasa, 4. Aksi, 5. 5. Target, 6.Profesi seniman Musik, 6.Setting, 7. Isi, 8. 7. Mahakarya/daya, Respon kreatif, 8. Honor Sidhi Siniwi 9. Daya Sumber: Theory of Bali Creative Art (Sedana, 2016)

12 Imaginasi leluhur menghasilkan teater wayang; perjalanan spiritual bertemu raja hutan Banaspati Raja menjadi Barong; berfantasi para Bidadari super cantik melahirkan Sanghyang Dedadi, Topeng, Legong, dst. Saking indahnya pengalaman batin bahkan ada pendeta (Ida Padanda Made Sidemen) yang mau bersetubuh dengan Dewi Keindahan dalam Kelepasan dan bersedia membangun candi pustaka bagi Dewa-Dewi Keindahan yang selalu dipujanya. 13 This mandala visualizes the theory of Bali Creative Art (Cipta Seni Konseptual) in the scientific field of traditional Indonesian theatre, intended to explain the source, idea, method, product, theme, shape, function, meaning, dedication, and the existence of creative art as an organized and unified concept. This system of ideas has been researched, developed, formulated, validated, and tested over time through multiple experiences and experimentations from the inner track artist practitioner since 1980.

41

Cipta Seni Konseptual bersumber pada alam imaginasi keindahan, yakni dari kosmik/metafisik yang mengandung daya ilahi tiada terhingga, dengan segala unsur alam beserta manifestasi keindahannya yang disebut Lango atau Kalangwan. Alam ciptaan Tuhan menjadi sumber keindahan lango yang mutlak, kepustakaan seni maha agung, karena memiliki semua syarat keindahan, baik dari segi bentuk, struktur, wujud, penampilan, isi, keragaman, keutuhan, keseimbangan, kemurnian, maupun dari segi keharmonisan proporsinya tiada batas. Sebagai karunia Tuhan, keindahan langoteo estetika ini dapat menyusup ke dalam segala mahluk, wujud, suara, sifat, ruang, gerak, dan waktu, termasuk ke dalam ranah badan, pikiran, serta emosi yang terus menerus ditransformasikan sebagai kegiatan cipta seni sehingga menjadi antro-estetika. Akibatnya, para Pujangga, Mangku/Mpu/Wiku Seni, dan masih banyak seniman masa kini masih rela dan tulus iklas berkesenian dengan sikap pemujaan serta pengabdian ritual yang disebut ngayah. Inilah dedikasi seni, darma bakti pada keharmonisan lingkungan kehidupan ekologi, sebutlah Eko-estetika, guna mangayu-hayu bwana. Karya seninya dipersembahkan demi mengemban darma bakti melalui kesenian guna mendapatkan lungsuran lango, menyatu pada keindahan, mangungal ing lango/karasmian, paling sedikit diberkati keindahan, segaimana tersirat dalam puja Saraswati ―Om atheny rasa asranam….‖ Merujuk karya-karya candi pustaka Ida Pedanda Made Sidemen, bekerja dengan memulyakan lango (intinya cipta seni) adalah jalan dan tujuan hidup untuk menyatu dengan dewa keindahan dalam kelepasan, mahardika. Dengan berbagai sebutan—Sanghyang Siwa, Budha, Kama, Ratih, Dewi Saraswati, Sri Laksmi, Parwati, Giriputri, dst—dewa keindahan penting dipuja oleh seniman guna memperoleh berkah lango. Niat selalu bersatu dengan keindahan telah terrekam dan masih diaktifkan lewat pagelaran (dramatari dan wayang) Arja dalam tembang Sinom: Sadya pareng sih antaka; ring apa hyun ta ajadmi; dadi puspita sang anom; kakanta brahmara dadi; tan wareg angisep sari…. (Sedana, 1986; 1988).

AKTIVASI ATRIBUT MASING-MASING DEWA KE DALAM ELEMEN ESTETIKA Dengan terbatasnya ruang dan kesempatan maka aktivasi jumlah atribut dari setiap Dewa ke dalam aksi seni atau elemen estetika berikut inilebih banyak disajikan dalam bentuk ringkasan. SUMBER CIPTA SENI Aktivasi 4 Atribut Dewa Wisnu, yaitu Alam imaginasi keindahan, Ide & rasaart director-nya, Sarana, prasarana, apparatus dan Skill, keterampilan khusus penyaji. Aksara A simbol Dewa Wisnu adalah inisiasi Alam Imaginasi Keindahan untuk mengawali teori Cipta. A akan berarti Action, Acting, Abah solah tetikasan dalam Seni Ripta. Akhirnya, A menjadi Adung harmonis untuk teori Seni Widya Filsafat. Dewa pemelihara alam dengan segala isinya adalah Dewa Wisnu yang berstana di utara. Bersumber dari empat atribut Wisnu14 cipta seni akan diorbitkan dengan sembilan atribut Dewa Brahma15 di selatan; keduaNya cendrung pada sifat mencipta. Bila atribut Hyang Wisnu bersinergi dengan lima elemen sastra Hyang Iswara di timur maka kecendrungannya akan berubah menjadi menata. Akibatnya, penciptaan dan penataan menjadi warna tridatu: hitamnya Wisnu, merahnya Brahma, dan putihnya Iswara. Distimulasi oleh keadaan lingkungan, suara zaman (pranayuga), dan rasa keindahan batin (asrianing pramana) seniman bisa terinspirasi dari imaginasi kosmik metafisik untuk memuja dewa pemelihara kehidupan alam (Wisnu, Giripati mahawiryam) di utara sehingga mendatangkan aneka pengalaman bhatin dengan formula teo- estetika serta norma-norma spiritual yang meregulasinya. Katalisator ini mendorong aktivasi keempat atribut Bhatara Wisnu: 1) Alam Imaginasi Keindahan dijelajahi menjadi pengalaman batin atau saripati kehidupan yang diformulasikan menjadi norma spiritual. Satu contoh nyata, meski diakui sebagai rekonstruksi, pembuatan Legong Gadung Melati oleh Kepala SMKN 3 Sukawati, I Gst Ngrh Serama Semadi, murni bersumber pada alam imaginasi, khususnya mengenai image dan sifat magis bunga

14 Plato dan Plotinus mengakui keindahan absulut berasal dari Tuhan/alam (Segara-Giri). 15 Aristoteles mengakui keindahan dari intlektual, nalar, dan mental manusia.

42

Gadung yang konon disukai oleh makhluk halus, kini sedang ditransformasikan ke dalam seni tabuh dan tari legong. 2) Ide bersama rasa (dari art director-nya) mentransformasikan pengalaman tersebut ke dalam rancangan, kosep,atau scenario yang melandasi pembentukan suatu karya seni, baik seni rupa, desain, maupun seni pertunjukan. 3) Sarana, prasana/aparatus yang sesuai dengan ide harus segera menyusul. 4) Skill, keterampilan, atau keahlian yang diperlukan selalu bersifat khusus pada bidang seni yang diniatkan. Filsuf maupun ilmuwan sepakat memandang air (dewanya Wisnu) sebagai sumber/embrio semua kehidupan. Dengan proses prosedur inkubasi normal kehidupan akan terjadi, berevolusi, ditransformasi, difermentasi menjadi karya seni.Praktisi seni budaya dan pariwisata, AA Rai 16 (pemilik Museum ARMA) juga menyebut kesenian berumber pada alam: ―Kesenian tumbuh dari rasa syukur, rasa bhakti kepada Yang Maha Esa, ―kompromi‖ dengan alam, lingkungan sosial, maka seniman, a man with divine power, sanggup mengelupas maknawi pada setiap lapisan misteri gerak isi alam‖ (Rai, 2016: 1). Para filsuf, ilmuwan, dan seniman dari zaman Yunani kuno seperti Aeschylus, Shophoclys, Euripedies, dst juga menunjukan bahwa Alam memang sumber imaginasi keindahan para seniman untuk dieksplorasi dan ditransformasi menjadi karya seni.

SASTRA/NARASI CIPTA SENI Aktifkan 5 Atribut Dewa Iswara: 1. Sumber Ceritra/Lakon 4. Tujuan, target: hibur, kritik, pencerahan 2. Dramaturgi, olah lakon carangan 5. Konteks, dalam rangka apa? 3. Metode sempalan, anggitan Aksara SA simbol Dewa Iswara mengarah pada kata SAstrayang menjiwai teori Cipta, Ripta, lakon, scenario, naskah, stoy board, atau narasi. SA akan menjadi SAtwa cerita agar SAdu sujana untuk teori Seni Widya Filsafat. Teori cipta dari cabang seni apapun sangat memerlukan landasan sastra, narasi, atau literatur seperti buku Kalangwan atau Shrimad Bhagavatham yang mengiformasikan banyak lakon karya sastra. Seperti keindahan legenda candi Rara Jonggrang, beberapa karya seni mungkin tidak bakalan istimewa, kecuali ditabahkan lakon yang menarik. Bobot sebuah cipta seni bisa menjulang tinggi semata-mata karena ceritanya hebat, atau karena komentar narasinya dari orang terkenal, padahal cipta seninya mungkin biasa-biasa saja. Sukar mencari karya seni terkenal tanpa cerita sastra yang menarik. Aktivasi lima atribut Iswara di timur berperan menerangkan sumber sastra, pemilihan, pengolahan serta penciptaan lakon. Akibatnya, Iswara juga menjadi sumber Seni Ripta Kawi Dalang (Sanggit atau playwright). Sebagai aktivasi lima atribut Iswara narasi dipelukan oleh semua jenis karya seni. Bukan hanya seni pertunjukan, fotografi, patung, lukisan, semua seni ada narasinya. 1) Sumber Ceritra/Lakon selain Purana, Epos, Mitos, dan Babad banyak juga kegiatan cipta seni yang mengimpor lakon asing, dari Yunani kuno, Shakespeare, dan lakon ciptaan baru. 2) Dramaturgi, sumber lakon selalu diseleksi, diolah, ditambah kurangi untuk mendapatkan bagian kisah yang paling disukai. Akibatnya, ada banyak bentuk lakon carang-carangan. 3) Metode pengolahan lakon tradisi meliputi nyompong/expose, nyalokcag/transpose, nunggalang/unify, anggitan/buatan, dari lakon balungan, gancaran hingga lakon jangkep. 4) Tujuan, target penciptaan/pengolahan lakon juga sudah mulai liberal, entah menghibur, berkomentar, mengeritik, menawarkan pesan, kebaikan, atau syukur bila pencerahan. 5) Konteks sesuasi pesanan cipta seninya dalam rangka apa? Kapan? dan di mana? semua akan mempengaruhi kemasan cerita. Pengolahan lakon dalam seni Ripta Kawi Dalang bisa diorbitkan dengan mengaktifkan tujuh atribut Hyang Mahadewa di Barat.

16 AA Rai melalui paper yang disampaikan dalam Sarasehan PKB ke 38, 2016.

43

KOMPOSISI (TATA UNGGUH) CIPTA SENI Aktifkan 7 Atribut Sang Hyang Mahadewa: 1. Tata ruang 5. Tata Sinar, Pencahayaan 2. Tata waktu, durasi, tempo 6. Tata bentuk, wujud, penampilan 3. Tata Suara 7. Struktur: kompleksitas, intensitas, balance, 4. Tata Gerak harmoni, utuh (dalam keaneka-ragaman, utuh dalam tujuan dan perpaduan) Aksara TA simbol Sanghyang Mahadewa dalam konteks komposisi seni adalah TAta(pa)runggu: susunan atau kedudukan yang patut atau benar (Zoetmulder, 1982: 1220). Runggu berarti tempat yang patut (Ibid: 963). Tata Parunggu sama dengan Tata Ungguh yang berarti Komposisi (McPhee 1966) dan (Tenzer, 1991). Aksara TA adalah inisiasi TAbuh/musik dalam teori Ripta Kawi Dalang. TA akan menjadi TAtwa Jenyana bagi teori Seni Widya Filsafat. Sebagai dewa komposisi, tabuh, arsitektur, dll atribut Mahadewa memang untuk menata tujuah elemen estetika, yakni menata (1) ruang, (2) waktu, (3) suara, (4) gerak, (5) sinar, (5) bentuk, (7) struktur, baik seni rupa, desain, maupun seni pertunjukan.

PRODUK CIPTA SENI Orbitkan 8 Atribut Dewa Brahma: 1. Narasi, cerita, meski hanya judul/nama 6. Setting meliputi estetika, sosial, kosmik 2. Bahasa visual, verbal, internal, isyarat 7. Casting, siapa juru apa? 3. Musik: harmoni, jalinan ritme, melodi 8. Respon kreatif terduga ataupun tidak 4. Gerak, tari, acting (Bandem, 1995) 9. Power meliputi listrik, energi, karisma, 5. Isi, maksud, nilai (Sedana, 2007) wibawa, kekuatan taksu (Dibia, 2012). Aksara BA simbol Dewa Brahma adalah inisialnya BAwa, wibawa, eksibisi produk atau pagelaran (Schechner, 1988) bagi teori Cipta Seni, atau BAhasa (Zurbuchen, 1987) dalam kerangka Seni Ripta, atau BAud dan BAnyol untuk konsep Seni Widya Filsafat. Cipta seni baru bisa orbit dan digelar dengan memuja dan mengaktifkan sembilan atribut Dewa Brahma di selatan. Produk cipta seni tentu harus memiliki sembilan komponen estetika sebagaimana tertera di atas.

FUNGSI CIPTA SENI Aktifkan 3 Atribut Dewa Rudra: 1. Sosial: harapan penguji, juri, penanggap, peminat 2. Konteks penciptaan 3. Personal, kapasitas potensi pribadi seniman Aksara MA simbol kekuatan Dewa Rudra paling dekat dengan kata MAguna atau berguna ketika kreativitas seni mencapai fungsi Pranayuga atau jiwa zaman. Untuk bisa berfungsi perlu seleksi komponen-komponen estetika sebagai aktivasi ketiga atribut Rudra: 1) Selera/harapan sponsor, 2) Konteks, dalam rangka apa, di mana dan bagaimana relevansi keseniannya, 3) Minat, potensi, dan kecendrungan senimannya. Demikian pula dalam menciptakan responkreatif terhadap segala macam kemungkinan, tiga aspek kekuatan superior Rudra mesti dipuja semacam kekuatan kapitalis global; ini meliputi selera klien, konteks, dan tentu juga potensi dan minat senimannya.

MAKNA CIPTA SENI Aktivasi 6 Atribut Dewa Sambhu: 1. Mangku, Wiku/Empu Seni, Holy 4. Ruwatan, terapi seni, somya rupa Artist/Actor pencerahan 2. Ritual, berfantasi menjadikan seni 5. Mahardika, ultimate freedom, tidak sebagai agama sekuler bergantung 3. Trikaya Parisudha dengan badan 6. Bersenyawa dengan keindahan, nunggal sebagai simbul mistik religious magis ing lango /karasmian, bliss, ultimate merepresentasikan metafisik/cosmos happines Aksara WA simbol Dewa Sambu mengarah pada kataWaged atau WAhyu ketika kreativitas cipta seni berhasil mengaktifkan enam atribut Sambhu tersebut di atas dan mencapai Budhi Satyam atau kebenaran budhi. Kebenaran ini jauh beda dengan kebenaran politik, ekonomi, hukum dan

44

hakim. Mangku seni melalui ritual, dengan tingkah laku suci Trikaya Parisudha melakukan ruwatan hingga mencapai tahap mahardika serta nunggal ing lango, esensinya ―bersetubuh dengan Dewi Keindahan‖. Jauh sebelum dikenal terapi musik ultra sonik, membina para narapidana dengan kegiatan seni, Sanghyang Tri Semaya tercatat dalam lontar Siwagama (Sura, 2002) sebagai pioneer Purwaning Kalangwan, pencipta berbagai seni ritual guna meruwat sifat-sifat demonik menjadi sifat kedewataan. Makna seni bisa kurang disadari oleh pelaku/pemilik atau masyarakat sebelumnya, tetapi segera bersyukur setelah ada orang ahli yang bisa membahasnya sebagaimana Sutradara Perancis, Antonin Artaud, mengagumi dan menulis keunggulan teater Calonarang. Dalam bukunya yang berjudul The Theatre and Its Double ([1938] 1958)17 ia menguraikan keunikan teater Bali yang berpusat pada holy actor18 yang bukan disubordinasi oleh naskah lakon atau skrip drama. Melalui fantasi ritual (Turner, 1969) dan (Eliade, 1959) pemangku seni, Mpu Seni, Wiku Seni seperti Ki Mangku Dalang dapat membuat teater menjadi multi fungsi hingga mengambil peran penting sebagai agama sekular. Sambil menikmati hiburan, kritik/komentar sosial, masyarakat penonton bisa mendapat pencerahan spiritual yang disebut humanisme sakral ataupun sekuler, serta humanisme wayang yang sudah diteliti dengan dana B-Arts, yakni meliputi Satya, Dharma, Bhati, Ahimsa, dan Santi.

DEDIKASI CIPTA SENI Abadikan 1 Atribut Dewa Sangkara: 1. Setting Ekologi, Imaginasi TEA: Teo-Eko-Antro Aesthetic Aksara SI simbol Dewa Sangkara dekat dengan kata SIda, bisa kontribusi pada lingkungan ekosistem, manghayu-hayu bwana, berarti mencapai wibawa alam, Prabawa Bhuana dengan satu dedikasi atau pelayanan (devotion) pada teo-eko-antro keindahan (aesthetic, cosmic, socio- cultural). Dedikasi ―Cipta seni budaya bagi pelestarian bumi secara menyeluruh‖ sejalan dengan tujuan INTO Conference ―Culture for Sustaibale Environment‖ yang kita ikuti di Cambridge tgl 11- 15 September 2015.19 Dedikasi pada Dewa Sangkara penjaga alam lingkungan kembali diorbitkan dalam World Culture Forum dengan tema ―Culture for an Inclusive Sustainable Planet,‖ 10-14 Oktober 2016 di Nusa Dua, Bali. Dengan ini konsep dedikasi cipta seni mempertanyakan sudahkah produk industri seni anda ramah lingungan? Have you produced eco-friendly products?

EKSISTENSI CIPTA SENI Aktivasi 8 Atribut Dewa Maheswara: 1. Peluang, media 5. Proses (Sudha, Sidha, Sidhi) 2. Ranah, Barata Natyam (Bhawa-raga-tala 6. Profesi (wiguna) atau body-mind-feeling) 3. Aktivitas 7. Mahakawya adiluhur, mahadaya adiluhung (lango) 4. Target (Satyam, Siwam, Sundaram) 8. Kehormatan/honor, wibawa, siniwi (sriyam, sukam, purnam atau benefit, dignity) Aksara NA simbol Dewa Maheswara paling dekat dengan kata NAdi, berarti bangkit, orbit, sukses mencapai sinar cinta, Praba Semara. Delapan tataran cipta seni yang aktif dari atribut Maheswara mulai dari terbukanya peluang didukung media, dengan ranah seninya, kegiatan, target

17 The Theatre and Its Double (1958) semula terbit dalam bahasa Francis berjudul Le Theatre et son Double oleh Gallimard dalam Collection Metamorphoses No. IV tahun 1938. 18 Ida Kakyang Mangku (Ida Bagus Nadera) setahu penulis adalah penari topeng, dalang wayang kulit, dan pelukis tertua di Banjar Tegallingah, Bedulu. Di antara semua penari yang penulis ketahui, Dadong Mangku Batur Sari adalah penari Sutri tertua yang paling super energik di Pura Puseh Batursari, Bitera Gianyar. Saat trance di malam hari Dong Mangku ini bisa lari begitu cepat turun dari natar pura Puseh Batursari ke sungai Pakerisan, tanpa dapat dikejar oleh kramadesa siapapun. 19 Peserta INTO Conference 11-15 September 2015 di Cambridge dari ISI Denpasar Dewa Putu Selamat dan I Nyoman Sedana.

45

sasaran, proses sehingga cipta seni menjadi satu dunia profesi; bidang yang menghasilkan karya- karya Mahakawya atau masterpiece dan mendatangkan kemasyuran.

ISI INTISARI CIPTA SENI Orbitnya 8 Astadala Dewa Siwa: ILMU, IDE, ISEN-ISEN: 1. Hiburan entertainment 3. Kritik 2. Komentar 4. Pesan, amanat (KNOWLEDGE, of the physical elements represent natural mother, fine art) NILAI: 1. Fungsiwiguna 3. Merit, kemulyaan, keutamaan 2. Maknatatuek, sasuduk 4. Pencerahan enlightenment. (VALUE, representation of natural father and mother)

Berstana di tengah-tengah Dewa Siwa memakai dua Aksara: I dan YA berarti Ilmu dan Nilai. Dalam Cipta Seni, ‗I‘mengarah pada kata Ilmu, Ide, Intelektual, Isi Intisari atau Isen-Isendan ‗YA‘ berarti Ya itulah Nilai. Aktivasi empat atribut pertama meliputi Hiburan, Komentar, Kritik, Pesan atau Amanat. Empat atribut kedua meliputi Fungsi, Makna, Merit kemulyaan, dan Pencerahan.

VALIDITAS KONSEP-KONSEP CIPTA SENI PADA KARYA SENI MONUMENTAL Validitas konsep-konsep cipta seni akan selalu menghasilkan konfigurasi yang berbeda-beda bergantung pada jenis keseniannya. Jenis kesenian hura-hura anak-anak muda mengkin hanya mengaktifkan konsep produk dan fungsi, tanpa peduli makna, dedikasi dan eksistensi; sedangkan pembuatan kesenian sakral semacam Gamelan, Wayang, Barong, Patung, dan Rangda lebih cendrung akan mengaplikasikan konsep makna, dedikasi, bahkan hingga eksisteni dan intisari nilainya. Beberapa jenis kesenian monumental yang telah menginspirasi dan merealisaikan konsep- konsep Cipta Seni Konseptual secara maksimal antara lain: 1) Seni Pewayangan terinspirasi dari norma spiritual dan pengalaman batin berinteraksi dengan roh-roh suci leluhur; ini produk budaya shamanisme, animisme, dinamisme yang disuburkan oleh masyarakat agraris di bawah sistem feodalisme. 2) Tari Sanghyang Dedari bersumber pada roh/spirit widyadari dan Bhatari Manik Toya yang terus menginspirasi kelahiran seni tari palegogan beserta aneka inovasi dan transformasinya hingga sekarang. 3) Tari Barong terinspirasi dari perjumpaan dengan bentuk tokoh mitos Raja Hutan Banaspati Raja 4) Tari Cak dari kebutuhan mengusir wabah penyakit (Dibia, 2000). 5) Seni Tabuh/Gamelan dari suara alam/ ketug gumi / Prakempa / genta herdaya / suara jaman / prana yuga (Bandem, 1986). 6) Tari Telek, Sandaran, Topeng, Baris, Rejang dari mitos Sanghyang Trisemaya dan Sanghyang Caturlokapala

SIMPULAN Telah terungkap bahwa teori Cipta Seni ini meliputi-dan-diliputi oleh teori Seni Ripta Kawi Dalang dan teori Widya Filsafat, meskipun keduanya belum terakomodasi pada makalah dan kesempatan yang terbatas ini. Ibarat bangunan yang belum finishing, makalah ini baru bisa memberikan sepertiga dari kelengkapan kerangka análisis yang seharusnya dijadikan kerangka dasar oleh setiap pencipta atau peneliti unggul di PT Seni. Pimpinan/Tim Ekskutif penyelenggara pendidikan kiranya perlu mengagendakan seminar lanjutan, sehingga teori Seni Ripta Kawi Dalang akan bisa disajikan melalui seminar Prodi Pedalangan, sedangkan teori Widya Filsafat layak disajikan dalam seminar FSRD mendatang. Sangat banyak konsep-konsep dalam makalah ini sama

46

atau dikembangkan dari puluhan publikasi20 sebelumnya di berbagai negara meskipun tidak tercantum dalam Daftar Referensi. Kesamaannya bukan indikasi plagiatisme, melainkan bukti telah kita temukan keajegan sistem, konsep, ide yang terorganisir dari serangkaian kegiatan Cipta Seni Konseptual. Mengingat teori harus tersusun dari beranekaragam konsep, ide, pemikiran yang terorganisir menjadi satu sistem, maka teori kita perlu diingkubasi bersama sehingga benar-benar matang melalui berbagai peoses validasi pembuktian uji klinis, seminar, master kelas, workshop, dan konferensi di berbagai negara tanpa pernah terhadang oleh Izin Rekor. Pembukaan program S3 ISI Denpasar yang sudah diusulkan Maret 2015 bisa jadi memang menunggu rampungnya teori- teori pengkajian seni otentik dan komprehensif semacam Teori Cipta Seni ini, karena perangkat utama untuk menghasilkan doktor-doktor peneliti unggul sesungguhnya tidak cukup hanya gedung megah, tetapi juga perangkat teori sebagai intrumen pengkajian yang kredibel, empirical, testable, dan demonstrable. Astungkara!

DAFTAR PUSTAKA Artaud, Antonin ([1938]1958) The Theater and Its Double, New York: Grove Weidenfeld. Bandem, I Made and Fredirik deBoer (1995). in Transition: Kaja and Kelod. Kuala Lumpur: Oxford University Press. Bandem I Made (1986) Prakempa Sebuah Lontar Gamelan Bali [Karya Resi Gotama]. Denpasar: ASTI Denpasar. Barba, Eugenio, Nicola Savarese, Richard Fowler (1991) A Dictionary of Theatre Anthropology: The Secret Art of the Performer. London: Routledge. Bharata-Muni(2002) Natyasastra, Manomohan Ghosh (trans), Varanasi: Chowkhamba Press. Brandon, James R. (1967) Theatre in Southeast Asia. Cambridge Massachusetts: Harvard University Press. De Zoete, Beryl. (1939) Dance and drama in Bali, New York: Harper and Brothers. Derrida, Jacques. (1988) ―Difference‖ Literary Theory: AN Anthology. Julie Rivkin and Michael Ryan. Massachussetts: Blackwell. Dibia, I Wayan (2012) Taksu dalam Seni dan Kehidupan Bali, Denpasar: Bali Mangsi. Dibia, I Wayan and Rucina Ballinger. (2004) Balinese Dance, Drama and Music. Singapore: Periplus. Dibia, I Wayan. (2000) the Vocal Chant of Bali, Denpasar: Hartono Art Books Studio. Hawkins, Alma M. (1964/88) Creating through Dance. Princeton: P Book Company. Eliade, Mircea. (1959) The Sacred and the Profane: The Nature of Religion, The Significant of Religious Myth, Simbolism, dan Ritual within Life and Culture. Trans Willard R. Trask. New York: A Harvest Book. Emigh, John. (1996) Masked Performance: The Play of Self and Other in Ritual and Theater, Philadelphia: U of Pennsylvania. Foley, Kathy. (1993) ‗Indonesia‘ Cambridge Guide to Asian Theatre. Ed. James R. Brandon. Cambridge: Cambridge University P. Hooykas, Christian. (1973) Kama and Kala Materials for the Study of Shadow Theatre in Bali. [Amsterdam] North Holland Pub. Co. Keeler, Ward. (1987) Javanese Shadow Plays, Javanese Selves. Prenceton: Princeton University Press. McPhee, Colin. (1966) Music in Bali. New Haven: Yale University Press. Mulyono, Sri. (1989) Wayang, Asal Usul Filsafat dan Masa Depannya (The Origin, Philosophy and Future of Wayang]) 2nd ed. Jakarta: CV Haji Masagung. Pamseyer,Urs. (1986) The Art and culture of Bali. Singapore, Oxford, New York: Oxford University Press. Rijal, Shiva. (2010) Performing for Tourists: Redifining Performances, Performers, and Audiences. New Delhi: DK Printworl. Rubin, Leon an I Nyoman Sedana. (2007) Performance in Bali. London: Routledge. Sedana, I Nyoman and Kathy Foley. ―Traditional Indonesian Theatre‖ Routledge Handbook of Asian Theatre. Siyuan Liu (ed.). London: Routledge, 2016: 71-94.

20 Beberapa publikasi oleh I Nyoman Sedana, Author ID SCOPUS: 39963245800, Hi Index: 1 (3 SCOPUS publications, 4 Thompson):

47

Sedana, I Nyoman. (2005) 'Theatre in a Time of Terrorism: Renewing Natural Harmony after the Bali Bombing via WayangKontemporer.' Asian Theatre Journal, 22 (1): 73-86. Sedana, I Nyoman (2007) ―Studying the Humanist and Multicultural Values in the Ramayana-Based Wayang Puppet Show‖ Competitive Research Grant B-Arts Batch IV ISI Denpasar, funded by the Indonesian Directorate General of Higher Education, Jakarta. Sedana, I Nyoman (2015) ―Gianyar Soul of Bali‖ Misi Konservasi Pusaka Alam dan Budaya Pemkab Gianyar, dipresentasikan pada International Conference of National Trust di Cambridge University, Consert Hall West Road, England, 7-11 September. Schechner, Richard (1988) Performance Theory. New York: Routledge. Sedyawati, Edi. (1981) Pertumbuhan Seni Pertunjukan Indonesia (Development of Performing Arts of Indonesia). Jakarta: Sinar Harapan. Soedarsono. (2003) Seni Pertunjukandari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi. (Performing Arts from Political, Social, and Economic Perstectives).Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Spies, Walter and Beryl de Zoete. (2002) Dance and Drama in Bali. Singapore: Periplus, [London: Faber and Faber, 1938]. Suasthi, Widjaya Bandem, N.L.N. (2012) Dharma Pagambuhan, Denpasar: BP Stikom Bali. Subramaniam, Kamala. (2003) Srimad Bhagavatam. 8th edition. Mumbai: Bharatiya Vidya Bhavan. has 293 stories /fragmanted puranas. p# 595-598 is Tarakasura Sudarsono. (1984) WayangWong: the State Ritual Dance Drama in the Court of Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia: Gadjah Mada University Press. Sugriwa, I Gusti Bagus. (1976) Ilmu Pedalangan/Pewayangan. Denpasar: Pustaka Balimas. Sumardjo, Jakob (2000) Filsafat Seni. Bandung: ITB Sumarsan. (1995) Gamelan: Cultural Interaction and Musical development in Central Java. Chicago: University of Chicago. Sura, I Gede (2002) Kajian Naskah Lontar Siwagama, Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali. Tenzer, Michael. (1991) Balinese Music. Singapore: Periplus. Turner, Victor (1969) The Ritual Process, The Structure and Anti Scturcture. New Brunswick: Aldin Transaction. Wahyu Dita, I Kadek (2011) Restorasi Makna, Nilai, dan Jati Diri Puri Agung Kesiman; Benteng Pelestari dan Pengembangan Budaya Bali, Denpasar: Kesiman Grand Palace, vol 1. Weintraub, Andrew Wikipedia untuk Indonesia, Ensiklopedia Bebas. Seni Tradisional. Depok, Jakarta: Media Wiki.accessed November 4, 2014 Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson (1982) Kamus Jawa Kuna Indonesia. Darusuprapta dan Zoetmulder, P.J. (1983) Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan. Zurbuchen, Mary Sabina (1987) The Language of Balinese Shadow Theater. Princeton: Princeton University Press.

48

SENI PERTUNJUKAN PARIWISATA BERBASIS KEARIFAN LOKAL “NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENGKEMASAN SENI PERTUNJUKAN PARIWISATA”

Ida Ayu Trisnawati Jurusan Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Denpasar email : [email protected] / 08123970292

Abstrak Perkembangan pariwisata telah mendorong masyarakat Bali untuk melakukan adaptasi kebudayaan. Bentuk adaptasi yang dilakukan diantaranya dengan melakukan pengemasan ulang seni pertunjukannya. Ada fenomena art by destination menuju art by metamorphosis yaitu seni tidak diperuntukkan untuk masyarakat pemiliknya tetapi lebih pada kebutuhan dari pariwisata tersebut. Kegiatan ini menimbulkan pro dan kontra di antara para seniman dan penggiat dunia pariwisata, namun demikian perubahan itu tetap berjalan. Hal yang menarik dari setiap penyesuaian tersebut, masyarakat Bali masih tetapa menjaga ke-Baliannya sehingga nilai- nilai lokalitas Bali masih tetap ada sampai saat ini. Ini bisa dilihat dari seni pertunjukan wisata yang tetap menjaga pakem dan taksu Bali sehingga perubahan tersebut tidak mencederai nilai-nilai identitas local genius orang Bali.

Kata kunci: seni pertunjukan, pariwisata, kearifan lokal.

PENDAHULUAN Pulau Bali sering mendapat julukan sebagai ―Pulau Kesenian‖ yaitu sebagai salah satu pusat kesenian terpenting di Indonesia. Di pulau kecil ini terdapat berbagai jenis seni pertunjukan yang merupakan warisan budaya dari masa lampau dan hasil karya cipta seniman modern. Seni pertunjukan Bali yang kini masih aktif meliputi berbagai jenis tari-tarian, teater/drama, wayang dan karawitan (Dibia, 1999: 1). Keberadaan seni pertunjukan seperti itu menjadi daya tarik tersendiri ketika Belanda menguasai Bali pasca puputan Klungkung. Kemudian mulailah banyak orang Belanda datang ke Bali tahun 1920-an dengan tujuan berwisata dengan menaiki KPM (Koninklijke Pakectcart Maatsckapy) yang kemudian mengenalkan Bali di Eropa dengan sebutan the Island of God (Pulau Dewata). Kedatangan orang Eropa ke Bali akhirnya menyebabkan Belanda menerapkan kebijakan Balisering tahun 1925-an yang menjadikan Bali sebagai museum Hidup sehingga tidak mengalami perubahan. Namun demikian, kedatangan wisatawan sebagai bagian penting dari pariwisata membutuhkan produk wisata. Produk wisata yang menjadi tujuan utama wisatawan datang ke Bali adalah budaya Bali di mana seni pertunjukan ada di dalamnya. Berkenaan dengan itu, seni pertunjukan wisata pun muncul sebagai jawaban atas kebutuhan wisatawan tersebut sekitar tahun 1930-an, yang pada dasarnya adalah kesenian yang lahir sebagai proses komodifikasi terhadap bentuk-bentuk kesenian kalsik/tradisional yang sudah ada di Bali (Dibia, 2012: 151). Melihat kenyataan tersebut di atas tentunya ada hal yang menarik dari kemunculan seni pertunjukan wisata yang ada di Bali, bahwa keberadaanya masih merupakan kelanjutan dari kebudayaan asli Bali. Kebudayaan Bali tersebut merupakan bukti bahwa orang Bali memiliki kemampuan dalam mengelola berbagai potensi dirinya dan pengaruh dari luar untuk diinternalisasi ke dalam budayanya sendiri. Yang oleh para pakar kebudayaan dan antropologi disebut dengan local genius atau di Indonesia memiliki makna yang hampir sama dengan kearifan lokal. Tentunya menarik bagaimana orang Bali bergulat dalam dunia pariwisata dengan tetap menjaga kearifan lokalnya demi mewujudkan Ajeg Bali yang sekarang semakin kuat didengungkan.

49

KONSEP KEARIFAN LOKAL, SENI PERTUNJUKAN DAN PARIWISATA KEARIFAN LOKAL Selama ini kita sering mendengar dan membaca tentang istilah kearifan lokal atau local genius namun terkadang pemahaman tentang kosep tersebut belum begitu jelas. Menurut Rahyono (2009: 8) kearifan lokal merupakan butir-butir kecerdasan atau kebijaksanaan ―asli‖ yang dihasilkan oleh suatu masyarakat budaya. Pengertian kata asli tentu tidak bermakna ketertutupan/murni atau asli dalam arti tidak terpengaruh oleh kebudayaan dari luar, namun bermuatan keterbukaan artinya adanya kemungkinan unsur budaya yang berasal dari luar yang disertai dengan local genius. Tokoh lain Mulder (1999: 4-5) menyamakan local genius dengan lokalisasi. Konsep ini mengacu kepada inisiatif dan sumbangan-sumbangan masyarakat lokal sebagai jawaban dan pertanggung-jawaban atas suatu pertemuan budaya. Mereka menerima pengaruh budaya luar tidak sebagaimana mestinya, melainkan ditempa agar sesuai dengan pandangan hidup mereka. Dalam konteks ini bisa kita melihat berbagai peninggalan kebudayaan khususnya dalam bidang seni yang membuktikan bahwa masyarakat Indonesia memiliki kearifan lokal dalam menerima kebudayaan lain, salah satunya adanya kisah Mahabarata dan Ramayana yang berasal dari India diinternalisasi dalam berbagai bentuk tarian di Indonesia khususnya di Jawa dan Bali. Sehingga memunculkan tarian yang berdasarkan epos Mahabarata dan Ramayana rasa Jawa dan Bali di mana penampilan dan pementasannya disesuaikan dengan lokalitas di daerahnya. Masyarakat melalui kearifan lokalnya kemudian melakukan internalisasi kebudayaan asing yang datang dan selanjutnya dielaborasi dijadikan identitas lokal yang membedakan dengan kebudayaan yang lainnya. Indonesia dalam kontek tersebut telah banyak melakukan internalisasi kebudayaan yang kemudian terwujud dalam berbagai wujud kebudayaan berupa ide, gagasan, norma/nilai kemudian dalam wujud aktifitas atau pola tindakan manusia dalam masyarakat dan wujud kebudayaan dalam bentuk benda-benda hasil kebudayaan (Koentjaraningrat, 1987: 186-187). Pada tatanan ide muncullah bentuk kearifan lokal berupa falsafah bangsa yaitu bhineka tunggal ika yang dalam konteks kekinian disamakan dengan multikultur. Tatanan aktivitas dan pola tindakan bisa kita lihat dalam berbagai aktifitas kebudayaan seperti seni pertunjukan yang berjumlah ribuan dari berbagai daerah di Indonesia. Kemudian dalam bentuk benda bisa kita lihat dari berbagai peninggalan seperti berbagai peninggalan artefak dari masa pra-aksara sampai modern seperti menhir, sarkofagus, candi Borobudur, Candi Prambanan, Masjid Demak, Gereja, dll. Dari masing-masing peninggalan tersebut terbukti bahwa bangsa Indonesia telah memilah dan memilih kebudayaan yang berasal dari luar. Kebudayan itu disesuaikan dengan kebudayaan Indonesia, sehingga menjadi identitas bangsa Indonesia. Lebih lanjut kearifan lokal bisa dipilahkan menjadi dua, yakni: pertama, kearifan sosial memuat berbagai pedoman yang menjadikan manusia bertindak bijaksana dalam kehidupan bermasyarakat. Kedua, kearifan ekologi memuat berbagai pedoman yang menjadikan manusia bertindak bijaksana dalam berinteraksi dengan lingkungan alam biofisik (Atmadja, 2008). Kearifan lokal berwujud aktifitas keseharian bisa berbentuk aktifitas seni salah satunya seni pertunjukan. Dengan mengacu kepada Rahyono (2009) kearifan lokal seperti itu harus memenuhi beberapa syarat, yakni: pertama, bersifat beku. Artinya aktivitas seni pertunjukan tidak boleh digantikan sembarangan, ini bisa dilihat dalam bentuk seni sakral yang ada di berbagai daerah di Indonesia. Kedua, memiliki kata kunci sebagai pokok pikiran tentang kebudayaan yang dikomunikasikan. Artinya dalam setiap aktivitas seni pertunjukan yang dilaksanakan masih memiliki hal-hal penting yang hendak disampaikan. Ketiga, proposisi artinya aktivitas seni yang dilakukan pasti melalui proses sejarah dan berdasarkan pada kajian dan pengujian. Keempat, seni pertunjukan yang ada dalam masyarakat bisa berfungsi sebagai media untuk mentransfer nilai-nilai yang ada di masyarakat sebelumnya. Kelima, seni pertunjukan bisa menjadi salah satu motivator dalam mengembangkan diri dan mengisi diri untuk membangun daerah dan negara di mana dia berada. Berpijak pada hal tersebut, maka tentunya kearifan lokal dalam bidang seni pertunjukan yang ada

50

di Indonesia secara umum bisa menjadi salah satu potensi yang bisa dikembangkan dalam rangka membangun bangsa ini kedepannya khususnya dalam pengembangan pariwisata.

SENI PERTUNJUKAN Secara konseptual seni pertunjukan terdiri atas dua bentuk kata yaitu: seni, yang secara abstraksi merupakan bentuk kreativitas yang memiliki vitalitas artistik yang utuh. Sedangkan kata pertunjukan memiliki arti tontonan yang bernilai seni, seperti drama, tari, dan musik yang disajikan sebagai pertunjukan di depan penonton (Murgiyanto, 1996: 153). Seni pertunjukan merupakan bagian dari seni yang ekspresinya dilakukan dengan cara dipertunjukkan karena bergerak dalam ruang dan waktu. Oleh karenanya, disebut dengan seni sesaat (Bandem, 1982: 49). Seni pertunjukan lokal sama-sama tumbuh dan berkembang di wilayah kepulauan Indonesia. Meskipun demikian, sosok seni pertunjukan berbeda-beda antara daerah yang satu dengan daerah lainnya karena masing-masing memiliki latar belakang lingkungan budaya dan identitas etnis yang berbeda-beda. Secara umum, dikatakan bahwa wilayah-wilayah budaya seperti Aceh, pesisir Melayu, Mataram, Makasar, Bugis, dan Bali mengembangkan seni pertunjukan yang bernafaskan aura wibawa sistem kekuasaan feodal. Sementara wilayah-wilayah budaya lainnya seperti Minangkabau dan Batak, mengembangkan seni pertunjukan di bawah aura ikatan kerakyatan (Kayam, 1981: 22). Seni pertunjukan tradisi tidak dapat dipandang dan dianggap sebagai seni yang berhenti dan mempertahankan apa yang sudah ada saja. Hal ini, menunjukkan bahwa kesenian mengalami perubahan sejalan dengan pola-pola berpikir masyarakatnya (Kodiran, 1998: 541-544). Seni merupakan buah karya manusia sebagai ungkapan perasaan yang estetik, dalam arti pertunjukan merujuk pada istilah tari, musik dan drama (teater). Secara umum seni pertunjukan dapat dibedakan ke dalam seni sakral dan seni sekuler, namun dalam perkembangannya, terjadi evolusi seni pertunjukan dan saling mempengaruhi antara seni sakral dan sekuler. Seni pertunjukan sakral masih mempunyai hubungan dengan upacara keagamaan, sedangkan seni pertunjukan sekuler adalah seni pertunjukan yang memiliki aspek hiburan, pergaulan, serta penonton dapat terlibat di dalamnya (Trisnawati, 2016: 23). Selanjutnya seni pertunjukan sebagai salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, perkembangannya sampai saat ini sangat diwarnai oleh berbagai kepentingan di antaranya, faktor politik, faktor sosial, dan faktor ekonomi (Soedarsono, 2003: 69). Sebagai bagian dari suatu seni pertunjukan estetika pada dasarnya adalah suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan yang membahas konsep-konsep atau prinsip-prinsip keindahan (Djelantik, 2004: 7). Sebagai bahan analisis estetika, semua benda atau peristiwa kesenian pada umumnya mengandung tiga aspek, yaitu ‖wujud atau rupa‖ yang menyangkut bentuk, ‖bobot‖ yaitu isi atau peristiwa kesenian yang dapat dirasakan dan dihayati sebagai makna dari wujud kesenian tersebut (menyangkut gagasan, idea, dan pesan), dan yang terakhir ‖penampilan‖ yang meliputi bakat, keterampilan, dan sarana atau media (Djelantik 2004: 15). Yasraf Amir Piliang (1998) membagi estetika ke dalam estetika tradisi, estetika modern, dan estetika postmodern. Dalam estetika tradisi, bentuk mengikuti makna (form follows meaning). Dalam estetika modern, bentuk mengikuti fungsi (form follows function). Dalam estetika postmodern, bentuk mengikuti kesenangan (form follows fun). Keseluruhan dari seni yang ada di atas sebagai satu bagian dari seni pertunjukan kemudian berkembang sebagai bagian yang terpisah dari kemampuan masyarakat lokal dalam pengembangannya.

PARIWISATA Untuk dapat mengembangkan suatu tujuan harus mengerti dulu tentang pengertian dari tujuan tersebut, dalam hal ini khususnya pariwisata. Apakah pariwisata itu? Secara epitemologi, kata pariwisata berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri atas dua kata yaitu ―pari‖ dan ―wisata‖, pari berarti banyak atau berkeliling, sedangkan wisata berarti pergi atau bepergian. Atas dasar itu,

51

maka kata pariwisata seharusnya mempunyai arti sebagai perjalanan yang dilakukan berkali-kali atau berputar-putar, dari suatu tempat ke tempat lain, yang dalam bahasa Inggris di sebut ―tour‖ (Yoeti, 1996: 112). Senada dengan itu Suwantoro (2004: 3) mendefinisikan istilah pariwisata, yaitu suatu perubahan tempat tinggal sementara seseorang di luar tempat tinggalnya karena suatu alasan dan bukan untuk melakukan kegiatan yang menghasilkan upah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih dengan tujuan antara lain untuk mendapatkan kenikmatan dan memenuhi hasrat ingin mengetahui sesuatu. Dapat juga karena kepentingan yang berhubungan dengan kegiatan olah raga untuk kesehatan, konvensi, keagamaan, dan keperluan usaha lainnya. Sedangkan Potensi wisata adalah semua obyek (alam, budaya, buatan) yang memerlukan banyak penanganan agar dapat memberikan nilai daya tarik bagi wisatawan (Damanik, 2006: 11). Sampai sekarang definisi pariwisata belum ada kejelasan dan kesepakatan dari para pakar, setiap pakar mempunyai pengertian tersendiri. Secara global, dengan adanya perkembangan pariwisata akan memberi dampak positif terutama dari aspek ekonomi: pendapatan masyarakat sekitar daerah tujuan obyek wisata karena dengan meningkatnya arus wisatawan, masyarakat di sekitar obyek wisata dapat memanfaatkan untuk membuka usaha yang kira-kira dibutuhkan oleh wisatawan. Dampak positif itu dirasakan, antara lain oleh pengusaha akomodasi, rumah makan, sampai dengan jasa-jasa lain seperti penyewaan peralatan untuk olah raga air, mobil, dan souvenir. Dengan adanya perolehan masukan kas daerah dari pungutan pajak dan retribusi; meningkatnya permintaan hasil daerah setempat dan meningkatnya permintaan barang-barang kerajinan, souvenir, handicraft, serta barang-barang yang khas dari suatu daerah (Karyono, 1997:10). Dalam usaha pembangunan daerah menjadi daerah tujuan pariwisata perlu diperlukan daya tarik dari obyek wisata. Dalam usahanya tesebut diperlukan suatu pemasaran untuk mempromosi- kan dan mengenalkan potensi wisata yang dimilikinya. Pemanfaatan teknologi informasi akan sangat membantu dalam mengenalkan potensi wisata kepada masyarakat luas dan mampu menarik investor untuk berinvestasi di suatu daerah wisata tersebut (Trisnawati, 2016). Faktor ekstenal lain yang sangat berperan dalam perkembangan wisata di suatu daerah adalah peran serta masyarakat di suatu daerah terhadap sektor wisata. Masyarakat di daerah wisata tersebut pemegang kunci berkembang atau tidaknya usaha pengembangan wisata di suatu daerah yang dilakukan oleh pemerintah atau pihak swasta. Selain potensi wisata sebagai lingkungan internal yang berpengaruh terhadap sektor pariwisata, faktor SDM juga sangat berpengaruh terhadap usaha perkembangan sektor wisata. Faktor SDM ini memegang peranan penting yang menentukan berkembang atau tidaknya usaha perkembangan pariwisata di suatu daerah. Faktor lain yang sangat berperan adalah promosi atau pemasaran yang telah dilakukan. Pemasaran ini sangat penting untuk dilakukan sebagai usaha mengenalkan produk wisata yang dimiliki suatu daerah kepada masyarakat luas. Perlunya pemasaran dengan memaksimalkan inovasi-inovasi promosi dimaksudkan supaya mampu memberi daya tarik terhadap produk wisata yang dipromosikan kepada masyarakat luas tersebut. Pariwisata sebagai suatu fenomena yang terdiri atas berbagai aspek, tentu akan berpengaruh terhadap aspek-aspek yang ada di dalamnya, termasuk kesenian sebagai unsur kebudayaan yang merupakan salah satu aspek pariwisata yang dijadikan sebagai sebuah objek wisata atau atraksi wisata bagi dunia kepariwisataan, dan tentu saja pariwisata ini akan membawa dampak terhadap seni atau budaya yang bersangkutan. Tidak hanya membawa dampak positif terhadap seni atau budaya di negara kita, namun juga membawa dampak negatif. Berikut ini dampak positif pariwisata terhadap seni sebagai salah satu unsur budaya : 1. Dengan adanya pariwisata yang menjadikan seni sebagai suatu objek wisata, maka dapat mengakibatkan terjadinya akulturasi budaya atau masuknya kebudayaan baru ke negara kita, tanpa meninggalkan kebudayaan lama. Hal ini terjadi karena adanya interaksi

52

masyarakat lokal dengan wisatawan mancanegara. Contohnya: peniruan sikap,tingkah laku dan pakaian dari para wisatawan yang datang. 2. Dengan adanya pariwisata maka kita dapat memperkenalkann salah satu unsur dari kebudayaan asli yang kita miliki yaitu kesenian kepada para wisatawan sehingga menjadi lebih berkembang dari pada sebelumnya. 3. Dengan adanya pariwisata yang menjadikan kesenian sebagai objek atau atraksi wisata, maka dapat menumbuhkan minat generasi muda untuk melestarikan kebudayaan mereka sendiri terutama dalam bidang seni, mereka berusaha menjadikan seni itu sebagai suatu atraksi yang sangat menarik para wisatawan asing dalam menyaksikan pertunjukan tersebut. 4. Dengan adanya pariwisata dapat memunculkan lapangan kerja baru yang dapat menambah keuntungan bagi masyarakat yang berada di lokasi wisata dan bisa membantu ekonomi keluarga. 5. Dengan adanya pariwisata yang menjadikan kesenian sebagai objek wisata, dapat mengakibatkan terjadinya tukar menukar cerita mengenai kebudayaan antara wisatawan dengan masyarakat lokal. Maksudnya wisatawan yang datang ke lokasi wisata berinteraksi dengan masyarakat lokal dan menanyakan mengenai kebudayaan yang ada di lokasi wisata ini, kemudian masyarakat lokal memberitahukan kebudayaan yang ada dalam wisata tersebut, begitu juga dengan masyarakat lokal pada saat dia berinteraksi dengan wisatawan yang datang dia juga menanyakan objek-objek wisata yang ada di daerah asal wisatawan tersebut. Sedangkan dampak negatif pariwisata terhadap seni sebagai unsur kebudayaan adalah: 1. Di samping pariwisata dapat mengembangkan dan melestarikan kebudayaan, sering juga terjadi sebaliknya yaitu tereksploitasinya kebudayaan secara berlebihan demi kepentingan pariwisata, tentu hal ini akan berdampak negatif terhadap perkembangan kebudayaan, ini sering terjadi karena komersialisasi kebudayaan dalam pariwisata artinya memfungsikan pola-pola kebudayaan seperti kesenian, tempat-tempat sejarah, adat istiadat, dan monument-monumen di luar fungsi utamanya demi kepentingan pariwisata. 2. Dengan adanya pariwisata yang menjadikan kesenian sebagai objek wisata dapat menyebabkan perubahan fungsi terhadap makna kesenian tersebut atau terjadinya pengikisan makna, yang dulunya sakral atau suci, tapi sekarang setelah dipertontonkan di setiap acara atau festival yang dianggap bisa memperkenalkan kebudayaan kita kepada orang lain tapi di balik itu malah menghilangkan fungsi dan makna dari kebudayaan itu sendiri, yang biasanya hanya dilakukan pada saat upacara atau ritual saja namun sekarang sudah di pertontonkan pada semua khalayak umum (Trisnawati, dkk, 2015). Melihat bahwa pariwisata memiliki dua sisi yakni berdampak positif dan negatif maka kearifan lokal masyarakat dalam memfilter dan menangkal dampak negatifnya perlu terus dikembangkan dan dipupuk. Serta bagaimana mengembangkan diri dalam menyambut peluang pariwisata tanpa merusak tatanan lokalitas yang telah menjadi identitas bangsa Indonesia. Maka dari itu perlu adanya upaya mengemas produk lokal yang penuh dengan nilai kearifan lokal menjadi produk pariwisata. Melalui langkah tersebut diharapkan pariwisata tidak merusak identitas lokal kita tetapi pariwisata mendorong kebudayaan lokal untuk terus mengembangkan diri ke arah yang lebih baik.

NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENGEMASAN PRODUK WISATA Di negara-negara berkembang, fungsi seni pertunjukan sebagai presentasi estetis (aesthetic presentation) yang tumbuh subur adalah seni pertunjukan yang disajikan kepada para wisatawan, terutama wisatawan mancanegara (Soedarsono, 2002:271). Berdasarkan pada pemikiran itu kita bisa melihat bagaimana perkembangan seni yang ada di Indonesia khususnya di daerah pariwisata seperti Bali dan Lombok yang mana seni pertunjukan yang marak berkembang saat ini adalah seni

53

yang dipresentasikan bagi kepentingan para wisatawan. Hal ini menurut J. Maquet dalam Soedarsono (2002) menjelaskan bahwa seni pertunjukan sekarang sebagai art by metamorphosis tidak lagi art by destination. Artinya seni pertunjukan saat ini sudah bermetamorfosis untuk memenuhi kebutuhan untuk wisata tidak lagi diciptakan untuk memenuhi kebutuhan dari masyarakat itu. Hal itu, terjadi karena wisatawan yang menjadi tujuan dari seni pertunjukan tersebut memiliki latar belakang budaya yang berbeda, yang tentunya memiliki pemahaman estetis yang tidak sama juga. Ditambah lagi dengan berbagai alasan lainnya seperti waktu wisatawan yang sangat pendek, kemampuan finasial wisatawan, dan yang lainnya. Situasi itu menyebabkan seni pertunjukan harus menyesuaikan dengan wisatawan yang datang ke daerah tersebut. Cara penyesuaiannya dilakukan dengan melakukan pengemasan ulang seni pertunjukan tersebut dengan menyesuaikan dengan kebutuhan pariwisata. Ciri-ciri seni pertunjukan pariwisata yang biasanya ada di daerah wisata yang diciptakan khusus untuk kepentingan wisata antara lain: 1. tiruan dari aslinya; 2. versi singkat atau padat; 3. mengenyampingkan nilai-nilai sakral, magis, dan simbolisnya atau nilai primernya; 4. penuh variasi; 5. disajikan dengan menarik; dan 6. murah harganya menurut ukuran kocek wisatawan (Soedarsono, 2002:273)

Kemudian muncullah apa yang disebut dengan seni wisata yaitu seni yang dikemas khusus bagi wisatawan, yang memiliki ciri-ciri tiruan dari aslinya, dikemas padat dan singkat, dikesampingkan nilai primernya, penuh variasi, menarik serta murah harnganya. Kenyataan seperti ini kemudian banyak mendapat tentangan dari budayawan karena dianggap mencederai nilai-nilai luhur budaya terutama kesakralan sebuah seni. Budayawan dan pihak-pihak yang berkecimpung dalam bidang pariwisata melihat seni pertunjukan dalam dimensi yang berbeda. Budayawan melihat dalam aspek art by destination artinya seni harus bertujuan dan memiliki dimensi untuk masyarakat dan sesuai dengan kebutuhan, tata nilai, norma terutama aktivitas religius yang dimiliki masyarakat lokal. Di sisi lain pelaku pariwisata melihat seni pertunjukan pariwisata sebagai art by metamorphosis artinya seni pertunjukan itu menyesuaikan dengan kebutuhan wisatawan yang ada. Mengenai pertentangan itu Dibia (2012:155) menjelaskan jagat pariwisata lebih mengutamakan segi-segi komersial (jual-beli) adakalanya menimbulkan dampak negatif yang tidak kecil terhadap kehidupan yang bersifat komunal. Ketika bentuk-bentuk seni budaya tradisional dikemas untuk dimasukan ke dalam pariwisata maka kesenian-kesenian itu akan menjadi semacam ―barang dagangan‖atau ―makanan cepat saji‖ yang diambil kapan saja tergantung permintaan wisatawan. Bagi seniman yang berkecimpung dalam dunia pariwisata berdalih bahwa komodifikasi seperti itu sebenarnya tidak bisa dihindari oleh para seniman yang telah terkontaminasi oleh perkembangan pariwisata. Seperti yang disampaikan oleh Ruastiti (2010:39) ketika melihat perkembangan seni pertunjukan di Bali yang semakin berkembang, Beliau menyampaikan bahwa itu adalah salah satu respon dari masyarakat Bali terhadap perkembangan pariwisata di daerahnya dan sekaligus bentuk keterbukaan masyarakat Bali dalam menerima wisatawan yang datang. Lebih lanjut juga dijelaskan bahwa sikap terbuka itu juga diperlihatkan masyarakat ketika seni pertunjukannya dikagumi. Masyarakat Bali umumnya sangat senang dan bangga jika diberikan kesempatan tampil/menari, terlebih lagi jika ada wisatawan yang berkeinginan untuk mempelajarinya. Untuk membuktikan bahwa masyarakat Bali memang sangat ramah maka kemudian terjadinya pergeseran seni dari art by destination menuju art by metamorphosis. Hal itu, bisa dilihat dari banyak seni pertunjukan di Bali dikemas ulang dengan koor kisah Tari Sang Hyang Dedari dan Sang Hyang Jaran. Kemudian ada Cak and Fire Dance yang berasal dari kisah

54

Ramayana, Barong and Kriss Dance tarian tradisional yang dikemas ulang dalam bentuk duplikat dari tari Barong yang disakralkan di masyarakat (Ruastiti, 2010; Soedarsono: 2002; Dibia, 2012). Fenomena tersebut di atas tentunya telah menggeser seni pertunjukan yang ada di berbagai daerah khususnya di Bali menjadi seni prtunjukan dengan kemasan yang baru. Bentuk seni pertunjukan pariwisata Bali kemasan baru diuraikan oleh Ruastiti (2010: 42) dalam gambar berikut ini.

Gambar: Diagram Seni Pertunjukan Pariwisata Kemasan Baru Sumber: Ruastiti, 2010: 42

Keterangan: A : Seni Pertunjukan Bali B : Pariwisata C : Prosesi Ritual (yang direkayasa) D : Arsitektur tradisional (Puri/ Pura) E : Seni Pertunjukan Pariwisata Bali Kemasan Baru

Berdasarkan gambar di atas, maka Seni Pertunjukan Pariwisata Bali Kemasan Baru saat ini adalah upaya dari masyarakat Bali dalam menjawab tantangan pariwisata yang terus berkembang dan menuntut berbagai produk wisata. Namun demikian, dimensi lokalitas harus tetap dipertahankan sebagai identitas ke-Baliannya sehingga berbagai simbol yang mencirikan ke- Baliannya tetap dipakai dalam setiap pementasan seni pertunjukan pariwisata tersebut. Ini bisa dilihat dalam setiap pementasan seni pertunjukan pariwisata yang ada di Bali yang masih menjadikan seni tradisional Bali sebagai koor utama dalam seni pertunjukan yang dipentaskan dihadapan wisatawan. Adanya prosesi ritual dan arsitektur Bali dalam setiap pementasan membuktikan bahwa seni pertunjukan pariwisata tetap mempertahankan nilai kearifan lokal yang ada di Bali. Demikian derasnya arus globalisasi melalui pariwisata telah menimbulkan berbagai problematika di Bali. Untuk itu dibutuhkan cara-cara pengemasan seni yang lebih hati-hati yang didasari oleh pemikiran yang lebih menyeluruh. Juga diperlukan konsep penggarapan yang jelas sesuai dengan kepentingannya tanpa melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat. Yang harus diupayakan adalah pengemasan seni tidak sampai merusak karakteristik, jiwa, dan identitas ke Bali-an mereka (Dibia, 2012: 156). Untuk menjawab persoalan tersebut Pemerintah Daerah Tingkat I Bali sudah mengeluarkan dua aturan. Pertama, Keputusan Seminar Seni Sakral dan Profan Bidang Tari, tahun 1971. Sesuai dengan keputusan ini bahwa yang boleh dipentaskan dalam seni pariwisata adalah jenis-jenis kesenian balih-balihan yang penyajiannya lebih bersifat hiburan/tontonan. Segala bentuk seni wali dan bebali tidak dibenarkan untuk disajikan kepada wisastawan. Kedua, Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali, Nomor 394 tahun 1997, yang mengatur jenis-jenis kesenian yang boleh dibawa ke hotel dan yang dibenarkan untuk dipentaskan di tempat, yaitu di desa asal dari

55

mana kesenian itu berada. Aturan ini semacam rambu kepada pihak yang berkepentingan dalam bidang pariwisata dan seniman agar seni Bali tidak kehilangan jadi dirinya. Adanya rambu tersebut juga belum serta merta menyelesaikan berbagai permasalahan berkaitan dengan pengemasan seni pertunjukan pariwisata. Seniman yang berkecimpung dalam dunia wisata masih dihadapkan pada kebingungan harus mengemas ulang berbagai kisah/cerita dalam sebuah pementasan. Permasalahan pemotongan kisah dalam cerita Calon arang sebagai contohnya. Pementasan Sendratari Ramayana dengan durasi hanya 10-20 menit bukan perkara yang mudah, karena pemotongan yang tidak tepat tentunya bisa merusak dan menghancurkan seni itu sendiri. Seniman ketika melakukan pemadatan dituntut untuk memiliki pemahaman secara jelas dan pasti hal-hal yang esensi yang harus dipentaskan dan yang mana boleh dihilangkan. Tidak kalah penting adalah membuat sajian yang menarik dan memikat. Di sinilah teknologi audio-visual harus diterapkan, tanpa meninggalkan originalitas karya, kejelasan dan keunikan bentuk, dan kualitas penyajian, sehingga bisa mewujudkan pengemasan seni yang metaksu. Perlu adanya usaha untuk meningkatkan kualitas pengemasan seni pertunjukan pariwisata dan seni pertunjukan di Bali secara umum. Usaha peningkatan kualitas dan kuantitas itu tentunya tanpa mencederai nilai-nilai kearifan lokal yang ada di Bali. Menurut Dibia (2012: 169-170) menyampaikan dalam berbagai upaya namun harus tetap berpedoman pada beberapa aspek penting yaitu pertama, konsep trilogi satyam (kebenaran), shiwam (kesucian), dan sundharam (keindahan) yang menjadi fondasi seni dan budaya Bali. Tanpa mengurangi kebebasan berekpresi dan berkreaivitas di setiap individu seni pertunjukan Bali. Kedua konsep desa mawa cara bahwa di setiap wilayah desa di Bali memiliki kebiasaan yang berbeda-beda situasi dan kondisinya. Ketiga, masyarakat Bali selama ini sering dikatakan sangat fanatik terhadap nilai-nilai budaya tradisi mereka. Namun hal ini, bukan berarti mereka adalah etnik yang statis. Mereka adalah kelompok etnis yang progresif dan cukup terbuka akan perubahan dan pembaharuan. Oleh karena, itu pembaharuan termasuk pengemasan seni pertunjukan pariwisata harus dijadikan bagian dari hal itu. Keempat, keseimbangan yang merupakan salah satu hal yang paling mendasar dalam tradisi budaya Bali. Artinya disini seni pertunjukan harus mengutamakan konsep pada misi atau serba berisi. Dalam pementasan harus menyeimbangkan antara adegan lucu dan serius. Hal yang sama juga bisa dikembangkan dalam seni pementasan pariwisata artinya ada keseimbangan antara nilai seni sebagai art by metamorphosis dan art by destination sehingga ke-Balian tetap ada. Revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal seperti di atas tentunya bisa menjadikan pengemasan seni pertunjukan pariwisata Bali bisa berkontribusi positif demi mewujudkan Ajeg Bali sebagai gerakan kultural yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup masyarakat dan kebudayaan Bali (Atmadja, 2010: 3).

PENUTUP Perkembangan pariwisata dan globalisme telah membawa perubahan yang sangat besar dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di Bali. Perubahan dan penyesuaian menjadi solusi agar tidak tergilas oleh perkembangan pariwisata tersebut. Perubahan itu juga berdampak pada perkembangan seni pertunjukan di Bali. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa pariwisata memerlukan produk wisata sehingga harus ada tindakan penyesuaian dengan kebutuhan pariwisata tersebut. Bentuk penyesuaian yang telah dilakukan adalah dengan melakukan pengemasan ulang seni pertunjukan Bali menjadi seni pertunjukan wisata yang mulai berkembang tahun 1930-an. Perkembangan yang terus berdinamika terkadang menimbulkan perdebatan antara kelompok yang pro dan kontra. Namun akhirnya penyesuaian itu pun terjadi terus demi menjaga kelestarian seni itu sendiri dan keberlangsungan pariwisata ke depannya. Point penting yang selalu menjadi kelebihan dari semua perubahan itu bahwa kemasan seni pertunjukan wisata Bali terus berpegangan pada nilai kearifan lokal yang dimilikinya sehingga walaupun sudah dikemas dengan berbagai desain tetapi ciri ke-Baliannya masih ajeg.

56

DAFTAR PUSTAKA Atmadja, N.B. 2008. Kearifan Lokal: Mendekatkan Kesenjangan antara Teks Tesk Ideal dan Teks Sosial Melalui Pikiran Menyintesis dan Multiperspektifisme. (Makalah dibawakan dalam Seminar Nasional Kearifan Sastra dalam Pelestarian Lingkungan, diselenggarakan oleh Fakultas Sastra, Unud). Atmadja, N.B. 2010. Ajeg Bali Gerakan, Identitas Kultural, dan Globalisasi. Yogyakarta: LKiS. Dibia, I Wayan. 1999. Selayang Pandang Seni Pertunjukan Bali. Bandung: Arti-Line Dibia, I Wayan. 2012. Geliat Seni Pertunjukan Bali. Denpasar: Arti Foundation Djelantik, Anak Agung Made. 2004. Estetika: Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI). Kayam, Umar. 1981. Seni Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan. Kodiran. 1998. ―Kesenian dan Perubahan Masyarakat ―dalam Kebudayaan Rakyat dalam Perubahan Sosial. Yogjakarta: Makalah disampaikan pada Simposium Internasional Ilmu-ilmu Humaniora ke-5 Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada, tanggal 8-9 Desember 1998. Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press Murgiyanto, Sal. 1996. Teater Daerah Indonesia. Yogyakarta : Kanisius. Piliang, Yasraf Amir. 1998. Dunia yang Dilipat. Bandung: Mizan. Rahyono, F. X. 2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Wedatama Widyasastra. Ruastiti. 2010. Seni Pertunjukan Pariwisata Bali dalam Perspektif Kajian Budaya. Yogyakarta: Kanisius Soedarsono.2002. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Yogyakarta: UGM Press. Soedarsono.2003. Seni Perunjukan dari Persepktif Politik, Sosial, dan Ekonomi. Yogyakarta: UGM Press. Trisnawati, Ida Ayu, dkk. 2015. Pengkemasan Model Kesenian Tradisional Nusa Tenggara Barat Sebagai Sarana Penunjang Daya Tari Wisatawan di Kota Mataram. Laporan Penelitian. ISI Denpasar (tidak terbit). Trisnawati, Ida Ayu. 2016. Marginalisasi Seni Pertunjukan Tradisi Lombok, Nusa Tenggara Barat. Disertasi. Denpasar: Universitas Udayana.

57

MEMBONGKAR IDEOLOGI DI BALIK PERTUNJUKAN TARI SESANDARAN DI DESA ADAT TANJUNG BENOA, BALI

Ni Made Ruastiti Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar E-mail : [email protected]

Abstrak Tari Sesandaran adalah sebuah seni pertunjukan tradisional Bali yang dimaknai sebagai tari upacara bagimasyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa, Bali. Tari tersebut disajikan dengan konsep estetika tradisional. Tari Sesandaran ditarikan oleh tujuhorang penari laki-laki remaja diiringi gamelan Gong Kebyar. Penari Sesandaranmemakai topeng dengan busana tari bebarisan. Hingga kini, Tari Sesandaranmasih tetap lestari walaupun berada di tengah-tengah kehidupan masyarakatnyayangtelahmaju dan modern.Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan memahami ideologi yang melatari masyarakat setempat mampu melestarikan Tari Sesandaranitu, serta apa implikasinya bagi masyarakat dan seni budaya di daerah tersebut. Penelitian yang berlokasi di Desa Adat Tanjung Benoa ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif yang dianalisis menggunakan teori dekonstruksi, teori estetika, teori simbol, dan teori relasi kuasa pengetahuan. Hasil penelitian menunjukan bahwa ideologi yang melatari pertunjukan Tari Sesandaran hingga kini mampu dilestarikan masyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa, Balikarena adanya ideologi religi, ideologi aktualisasi diri, dan ideologi pelestarian budaya.Hingga saat ini masyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa tetap mempertahankan Tari Sesandaran karena berimplikasi pada peningkatan semangat dan solideritas mereka dalam bermasyarakat di daerah tersebut, serta mampu mempertahankan, melestarikan tradisi budaya ngayah terkait dengan aktivitas ritual di lingkungan Desa Adat Tanjung Benoa, Bali.

Kata kunci: Membongkar, Ideologi, Simbol, Tari Sesandaran, Seni Pertunjukan di Desa Adat Tanjung Benoa, Bali.

PENDAHULUAN Tari Sesandaran adalah sebuah seni pertunjukan tradisional Bali yang disajikan dengan konsep estetika tradisional. Tari tersebut ditarikan oleh tujuh orang penari laki-laki remaja diiringi gamelan Gong Kebyar. Penari Sesandaran memakai topeng, berbusana tari bebarisan. Tari ini disajikan dalam konteks upacara Dewa Yadnya tepatnya setiap enam bulan sekali di Pura Dalem Desa Adat Tanjung Benoa, Bali. Hingga saat ini, Tari Sesandaran masih mampu dilestarikan masyarakat walaupun keberadaannya di tengah-tengah kehidupan masyarakatnya yang telah maju dan modern. Secara ideologis, kehidupan masyarakat yang telah maju dan modern akan cenderung menerapkan strategi tertentu untuk meningkatkan pendapatannya dalam rangka memenuhi kebutuhan gaya hidupnya. Hal itu, menyebabkan kehidupan masyarakat akan cenderung terlibat dalam konstruksi pasar kapitalis lengkap dengan rangkaian relasi sosial, aliran komoditas, modal, teknologi dan ideologi dari berbagai budaya belahan dunia. Merekapun akan menempatkan ekonomi kapitalistik pada posisi sentral dan dominan dalam jaringan sosialnya. Kondisi ini membuat masyarakat tersebut terus sibuk mengejar, berkompetisi untuk memenangkan pertarungan untuk memperoleh keuntungan finansial. Sebagaimana diungkapkan Ritzer (2004: 636) bahwa pada era kekinian ini orang-orang akan cenderung melibatkan kontruksi pasar sehingga secara tidak langsung hal itu akan menyeret masyarakat tersebut dalam arus gelombang ekonomi kapitalistik. Namun berbeda kenyataannya yang terjadi di Desa Adat Tanjung Benoa, Bali. Di tengah- tengah arus globalisasi yang identik dengan ekonomi kapitalistik itu masyarakat di daerah itu hingga kini masih tetap mau dan mampu melestarikan Tari Sesandaran yang disajikan dengan konsep estetika tradisional secara konvensional tersebut. Bahkan untuk melestarikan unsur budaya tradisi itu mereka harus mengorbankan waktu, materi dan lain sebagainya. Merekapun tidak jarang

58

harus mengeluarkan uang dari kantong pribadinya, meninggalkan aktivitas kehidupannya yang penuh dengan pergulatan ekonomi global, dan lain-lainnya. Masyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa yang sibuk bergelut dengan rutinitas kehidupannya sehari-hari dalam konteks industri pariwisata di Tanjung Benoa, Nusa Dua itu hingga kini masih mampu melestarikan Tari Sesandaran. Padahal terdapat stigma di masyarakat bahwa melaksanakan budaya tradisi identik dengan kuno, terbelakang, ortodok, kaku, dan lain-lainnya. Namun, kenyataannya hingga kini masyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa, Nusa Dua Bali ini masih tetap melestarikan Tari Sesandaran tersebut. Fenomena ini tentu saja menimbulkan sejumlah pertanyaan yang hanya bisa dijawab melalui penelitian secara mendalam. Oleh sebab itu, penelitian yang berlokasi di Desa Adat Tanjung Benoa, Bali ini dilakukan dengan membongkar, mengkaji secara kritis hal-hal yang terkait dengan Tari Sesandaran itu untuk dapat diketahui dan dipahami ideologi apa yang melatari masyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa. Hingga kini, mau dan mampu melestarikan tarian tersebut di tengah- tengah kehidupan masyarakatnya yang tergolong telah maju dan modern tersebut. Untuk itu tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui dan memahami ideologi yang melatari masyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa, Badung hingga kini mampu melestarikan Tari Sesandaran tersebut, serta implikasinya bagi mereka dan seni budaya di Desa Adat Tanjung Benoa tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif yang datanya diperoleh melalui teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Sumber data penelitian ini adalah pertunjukan Tari Sesandaran itu sendiri yang para informannya dipilih dengan menggunakan teknik purposif dan snowball. Selain menggunakan sumber data primer, penelitian ini juga menggunakan sebagai sumber data sekunder yaitu pustaka, hasil-hasil penelitian sejenis dari para peneliti sebelumnya. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data primer dan jenis data sekunder. Jenis data primer berupa foto, rekaman pertunjukan Tari Sesandaran, dan petikan wawancara diperoleh langsung di lapangan. Sementara jenis data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah informasi terkait yang diperoleh secara tidak langsung dari penelahaan dokumen maupun hasil-hasil penelitian sejenis dari para peneliti sebelumnya. Selain peneliti sendiri sebagai instrumen utama dalam penelitian ini juga digunakan alat bantu berupa alat perekam gambar, perekam suara, daftar pertanyaan, dan block note untuk mencatat hal-hal terkait dengan pertunjukan Tari Sesandaran. Setelah seluruh data terkumpul, analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik trianggulasi untuk menjawab permasalahan ideologi yang melatari masyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa hingga kini mampu melestarikan Tari Sesandaran tersebut serta implikasinya bagi mereka dan seni budaya di Desa Adat Tanjung Benoa, Bali.

IDEOLOGI DI BALIK PERTUNJUKAN TARI SESANDARAN Masyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa, Bali hingga pada era kekinian ini mampu mempertahankan kelestarian Tari Sesandaran di tengah-tengah kehidupannya yang kompleks. Padahal Tari Sesandaran tersebut disajikan dengan konsep estetika tradisional yang identik dengan strukturnya yang tetap, kurang lentur, kaku, dan konvensional. Terlebih tahapan penyajian Tari Sesandaran yang tergolong rumit itu tidak berorientasi profit ekonomi. Tari Sesandaran yang dimaknai sebagai tari upacara tersebut disajikan dalam konteks upacara Dewa Yadnya di Pura Dalem Tengkulung, Pura Dalem Ning, dan Pura Dalem Kahyangan, Desa Adat Tanjung Benoa, Badung. Diawali dengan keluarnya 6 orang penari Sesandaran memakai topeng diikuti oleh Ratu Telek dengan topeng berdaun telinga diringi tabuh Bebarongan. Pertunjukan ini disajikan dengan durasi kurang lebih 60 menit. Sebelum menarikan Tari Sesandaran, seluruh penari melakukan persembahyangan bersama dipimpin oleh pemangku pura setempat. Mereka melakukan ritual itu untuk memohon perlindungan dan keselamatan. Selain melakukan upacara penyucian terhadap para penarinya,

59

gelungan, hiasan kepala beserta topeng yang akan digunakan menari juga diupacarai. Mereka melaksanakan upacara ritual itu dengan menggunakan sarana banten. Setelah penari menggunakan hiasan kepala berupa gelungan dan topeng, penari dipercikan tirta oleh pemangku, pemimpin upacara di pura setempat. Dengan mengamati hal itu, dapat dipahami bahwa tari Sesandaran di Desa Adat Tanjung Benoa tersebut merupakan tari yang memiliki makna penting bagi persembahan masyarakat setempat. Masyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa tampak sangat serius mulai dari mempersiapkan hingga melaksanakan upacara Dewa Yadnya yang selalu dilengkapi pertunjukan Tari Sesandaran tersebut. Secara dekonstruktif, pertunjukan tari Sesandaran merupakan praktek estetis yang telah dimobilisasi oleh kepercayaan kolektif masyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa. Melalui rangkaian upacara yang melibatkan relasi kuasa, masyarakat di Desa Adat Benoa mengatur ulang struktur sosialnya untuk kepentingan kolektif. Proses kontruksi tersebut berdampak terhadap bentukan citra positif kolektif masyarakat di daerah tersebut bagi penegakan harmoni dan pengendalian sosial di daerah tersebut. Sebagaimana pula diungkapkan oleh Hardiman (2003: 247-255) bahwa, aktivitas religius dapat menumbuhkan rasa hormat dan disiplin warganya bagi kesatuan hidupnya bermasyarakat. Pada fase itu, tidak saja muncul keindahan sebagai sebuah makna tunggal dari sebuah aktivitas berkesenian melainkan pula muncul sejumlah nuansa pertunjukan Tari Sesandaran yang berisi muatan religius, aktualisasi diri, dan pelestarian budaya secara ideologis.

IDEOLOGI RELIGI Tari Sesandaran dipentaskan dalam rangka upacara piodalan di Pura Dalem Tengkulung, Pura Dalem Ning dan Pura Dalem Khayangan. Sepintas lalu hal itu tampak sia-sia. Akan tetapi, keberlangsungan pertunjukan Tari Sesandaran yang sudah berlangsung secara turun-temurun itu menunjukan kebermanfaatan tari itu bagi masyarakat tersebut. Hal itu terjadi karena kuatnya kepercayaan masyarakat di Desa Adat Tanjung, Benoa kepada leluhurnya. Masyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa percaya bahwa kehidupan di dunia hanyalah sementara dan untuk kehidupan yang lebih abadi mesti dibayar dengan pahala. Dalam hal itu, konversi modal ekonomi menjadi modal budaya di ranah religi menjadi lebih penting dibandingkan sebaliknya. Sikap itu di dasari oleh kepercayaan masyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa bahwa memiliki harta berlimpah tidak secara otomatis menjamin kehidupan lebih baik. Dalam rangka itu mereka mensubstitusi sejumlah uang, waktu dan tenaga mereka dengan serangkaian kegiatan upacara adat di Pura Dalem demi mencapai kesejahteraan dalam artian kebahagiaan batiniah. Rangkaian kegiatan itu secara resmi dapat sebagai pengumpulan kredit pahala. Dengan menyimak lokasi penelitian di Pura Dalem menyiratkan kepentingan bahwa pertunjukanitu pun diperuntukan mengurangi ketakutan akan maut agar lebih dekat pada sifat- sifat Ida Sang Hyang Widhi sebagai penguasa maut. Demikian rangkaian tradisi upacara adat di Pura Dalem tersebut diyakini masyarakat setempat sebagai rangkaian untuk mencapai tempat yang lebih baik daripada di Surga ketika ajal menjemput. Pada fenomena pertunjukan tari Sesandaran, masyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa, Bali menempatkan Pura Dalem sebagai sentral kekuatan religius. Lingkungan Pura Dalem diyakini terdapat kekuatan gaib yang dianggap dapat membebaskan dirinya dari kecemasan akan kematian. Oleh sebab itu, dengan mementaskan tari Sesandaran, mereka meyakini bahwa keharmonisan dalam jangka panjang dapat lebih terjamin. Alam diyakini memiliki daya dalam memberikan anugrah maupun bencana. Anugerah maupun bencana di dunia dipercaya tidak terlepas dari hukum alam. Hukum alam bekerja dalam mengatur siklus alam semesta. Setiap tahapan siklus kematian diyakini ditentukan oleh kuasa Bhatara Siwa sebagai representasi keadilan Ida Sang Hyang Widhi atas bencana, penderitaan dan kematian. Aspek metafisika dari pengalaman itu membuat umat takjub. Sebagaimana masyarakat di Desa Adat Benoa yang hingga kini memuja keberadaan-Nya melalui simbol-simbol upacara yang

60

disertai pementasan pertunjukan Tari Sesandaran. Praktik religius tersebut terus berlangsung secara damai karena termaknai keramat dan sakral sejak para leluhurnya terdahulu. Pementasan tari Sesandaran di Desa Adat Benoa selama ini telah mampu meningkatkan pemahaman masyarakatnya terhadap keberadaan Ida Sang Hyang Widhi. Bahkan, praktek religius tersebut telah diyakini sebagai sumber kebahagiaan dan kekuatan adikodrati dalam menanggulangi masalah kekhawatiran mereka akan kematian. Dawkins dalam Wijayanto (2012:10) mengatakan bahwa Tuhan memiliki nilai yang tinggi terkait dengan hakekat hidup. Daulay (2011: 35) mengatakan bahwa hakekat hidup memerlukan ketaatan religius agar lebih sempurna. Artinya, Bhatara Siwa sebagai suatu pusat spiritual ditinggikan dan disanjung melalui persembahan pertunjukan Tari Sesandaran sebagai bentuk penghayatan religius di Pura Dalem agar suasana upacara adat lebih sempurna. Sebagaimana dalam mementaskan Tari Sesandaran di Desa Adat Tanjung Benoa, Bali telah dilakukan rutindan terus-menerus tidak lepas dari kenyamanan batin bagi warga di Desa Adat Tanjung Benoa, Badung. Kebesaran Bhatara Siwa sebagai representasi Ida Sang Hyang Widhi tersirat pada sebagian ungkapan Tari Sesandaran. Upacara disertai pertunjukan itu berperanan dalam mengintensifkan kembali ketergantungan antara manusia dengan Bhatara Siwa sebagai pusat religiusitas. Pertunjukan Tari Sesandaran begitu berarti sehingga setiap upacara Purnama Kedasa itu masyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa, Badung dapat menjaga soliditas kekerabatannya. Koentjaraningrat (1993) mengemukakan bahwa upacara merupakan sebuah ungkapan iman keagamaan. Sebagaimana masyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa menyajikan Tari Sesandaran sebagai sebuah bentuk ungkapan iman umat Hindu di Pura Dalem, Desa Adat Tanjung Benoa yang telah menjadi kebutuhan spiritual masyarakatnya. Kesibukan mereka dengan urusan pekerjaannya masing-masing tampak tidak membuat tari Sesandaran dilupakan. Hal itu menandakan bahwa mereka masih memerlukannya untuk peningkatan kualitas hidupnya pada era kekinian. Keyakinan masyarakat di Desa Adat Benoa terhadap anima merupakan faktor sentral penyebab pertunjukan Tari Sesandaran hingga kini masih rutin dilaksanakan sehubungan dengan upacara di Pura Dalem. Oleh sebab itu hingga kini tari Sesandaran masih tetap hidup dalam kesinergian masyarakatnya. Begitu kuatnya makna religius pada pertunjukan tari Sesandaran itu sehingga kehidupan masyarakat di Desa Adat Benoa pun terefleksi dari ekspresi para penari dan masyarakatnya yang telah menjalankan aktivitas berkesenian itu dengan penuh rasa suka cita.

IDEOLOGI AKTUALISASI DIRI Pertunjukan tari Sesandaran utamanya dapat memberdayakan tujuh orang remaja terpilih. Setiap penari terpilih yang sebelumnya memiliki keraguan, ketidaktahuan bahkan ketakutan untuk mengungkapkan ekspresi dan mengembangkan potensi seninya dapat mengembangkan potensi dirinya di masyarakat. Ruang upacara di pura dapat memediasi hal itu melalui sebuah pertunjukan seni tari setiap purnamakedasa, tumpekwariga dan kuningan di Pura Dalem dalam rangka pengembangan bakat sesuai arah yang telah dianggap tepat oleh masyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa. Terkadang, rasa takut dan keraguan terhadap kemampuannya itu membuat mereka lari dari tantangan yang dihadapi. Oleh karena itu secara ideologis aktualisasi diri pada fenomena ini mendorong setiap pelaku untuk lebih berani tampil di depan publik. Para penari yang telah teraktualisasi dalam arena pertunjukan senantiasa menghargai pengalaman-pengalamannya yang terulang secara teratus dan berkesinambungan sehingga menimbulkan kenikmatan, keterpesonaan dengan menumbuhkan rasa kekaguman akan pengalaman spiritual itu. Di sisi lain, kekaguman semacam itu berimplikasi terhadap pencapaian rasa syukur dan khidmat selama peringatan hari raya yang selanjutnya mendorong mereka untuk mampu mengapresiasikan segala sesuatunya dengan baik di masyarakat. Pertunjukan tari Sesandaran memberikan kesempatan bagi seniman tari untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai barisan tokoh yang siap siaga menghadapi musibah. Para penari yang telah menempuh proses penempaan diri layaknya sebuah topeng berwatak halus itu

61

mampu meninggalkan sejenak kebiasaan pribadinya sehari-hari untuk selanjutnya mengadopsi sifat disiplin dan kontrol diri sebagaimana dalam memerankan tokoh berkepribadian halus dan berperilaku konsisten di arena pertunjukan. Sehubungan dengan pertunjukan Tari Sesandaran, klian adat berkepentingan untuk membuat setiap penari terbiasa bahkan lebih tangguh dalam menghadapi setiap tantangan peran sosial. Melalui pertunjukan tari Sesandaran para tetua masyarakat berharap hal itu dijadikan sebagai role model bagi mereka agar lebih menghidupkan vibrasi keteladanan kepada para penonton di Pura Dalem Desa Adat Tanjung Benoa. Dalam menghadapi tantangan keras kehidupan, terutama berkaitan dengan wabah bencana menjadi sesuatu yang sulit untuk bersikap konsisten dan menjaga nama baik. Berkaitan dengan itu, Representasi karakter seorang Ratu yang elok dan anggun diaharapkan dapat memotivasi setiap partisipan untuk selanjutnya terus mau menguji dan menantang diri dalam penempaan bakat tidak hanya demi nama baik melainkan mampu menari dengan baik. Untuk itu, mereka diharapkan mampu meninggalkan amarah, moody, dan kelabilan yang telah menjadi kebiasaannya sehari-hari. Dengan demikian mereka bisa bersikap lebih indepedensi. Terbentuknya sikap itu secara ideologis berkepentingan agar seniman mampu mempertahankan pendirian atas keputusan yang diambil, memiliki jati diri dan tidak mudah goyah, terpengaruh oleh berbagai guncangan kepentingan, lebih otonom ketika berdiri sendiri melawan pengaruh-pengaruh sosial melalui cara-cara tertentu yang diyakini baik. Bentukan aktualisasi tersebut setidaknya telah mengurangi ketergantungan bahkan meniadakan kebutuhan akan rasa aman atas pengambilan resiko, kesalahan, dan pelepasan kebiasaan lama yang menjadi momok menakutkan dan beban kolektif. Ideologi aktualisasi diri dalam pertunjukan tari Sesandaran beroperasi dalam membuka cakrawala pelaku terhadap hakekat perjuangan pada lingkungan sekitarnya. Sebagaimana peran Ratu pada pertunjukan Tari Sesandaran yang tampak menuntun pelaku agar bisa bersikap lebih manis dan halus dalam menghadapi tantangan hidup. Sifat ini diharapkan menular keseluruh partisipan sehingga menghasilkan sikap toleransi dan kesabaran yang lebih tinggi dalam menerima diri dan orang lain dengan latar belakang hidup berbeda pada setiap orang di daerah tersebut. Dengan demikian hal ini akan dapat mengurangi bahkan meniadakan keserakahan serta perilaku melanggar hak asasi orang lain dalam membangun hubungan interpersonal yang kuat.

IDEOLOGI PELESTARIAN BUDAYA Pementasan tari Sesandaran dapat bermakna budaya. Upaya pelestarian budaya masyarakat desa adat Tanjung Benoa melalui pertunjukan tari Sesandaran dianggap penting bagi masyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa. Mengingat elemental budaya merupakan sesuatu yang dapat memberikan kebanggan dan dianggap paling mengkaver kesatuan sosial. Seluruh komponen pertunjukan mulai dari koreografi beserta ragam gerak, tata rias busana, dan iringan musik tarinya telah melibatkan internalisasi nilai-nilai budaya masyarakat setempat yang terbilang cukup panjang. Oleh karena itu, penyelenggaraan pementasan tari Sesandaran secara berkesinambungan sangat berperanan dalam memperkuat proses penerusan nilai-nilai budaya masyarakat tersebut. Dengan demikian para penari yang telah terpilih secara tidak langsung ikut dalam proses penerusan nilai-nilai budaya tradisional daerah setempat melalui pementasan tari itu. Pertunjukan tari Sesandaran sangat menjujung tinggi aspek kebersamaan dalam melaksanakan kegiatan upacara. Hal itu dapat diamati dari kegiatan upacara tumpek wariga, tumpek kuningan dan ketika purnama kedasa disertai pertunjukan tari Sesandaran yang memerlukan kekompakan. Oleh sebab itu, kegiatan sosial yang dilakukan ini dapat dirasakan lebih ringan dan mudah bagi masyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa. Menyimak aktivitas budaya yang terajarkan kepada para penari tersebut tampak bahwa selama proses itu mereka memperoleh pendidikan etika dalam komunitasnya. Hal itu sangat menunjang kehidupan mereka berbudaya di desa tersebut dalam hal pengaruh bagi penilaian

62

masyarakat itu sendiri. Pada saat mereka belajar menari dan mementaskan Tari Sesandaran para penari juga mendapatkan pendidikan informal tentang agama, seni, dan budaya. Dengan semakin rutinnya para penari itu pentas maka secara tidak langsung akan berimplikasi bagi reflek keterampilan mereka menarikan tarian tersebut serta mampu menguatkan karakter budaya daerah tersebut. Orientasi budaya masyarakat pendukung suatu kebudayaan akan selalu sesuai dengan sistem masyarakatnya. Sebagaimana tampak pada masyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa yang selalu menyajikan Tari Sesandaran sebagai sebuah pertunjukan untuk memperoleh dukungan masyarakatnya agar senantiasa bertindak sesuai dengan norma dan adat desa setempat. Suatu tradisi budaya yang dianggap adiluhung akan selalu dipergunakan oleh kelompok masyarakat tersebut dalam menata kehidupannya. Sebagaimana pandangan masyarakat desa adat Benoa, Badung terhadap Tari Sesandaran dianggap sangat bermanfaat bagi pemenuhan taraf hidup. Hal itu dapat dilihat dari sikap dan cara masyarakat setempat dalam mementaskan pertunjukan Tari Sesandaran yang tampak telah sesuai dengan kaidah norma budaya masyarakat di Desa Adat Benoa. Dengan arti lain, para penari yang telah berusaha mempertahankan tari tersebut telah ikut serta dalam meneruskan nilai-nilai budaya yang ada di desa tersebut kepada para generasinya bahkan kepada masyarakat Benoa selaku penonton. Dengan demikian, pertunjukan tari Sesandaran sangat bermakna dalam menkulturasi budaya di desa tersebut. Secara ideologis rangkaian pemertahanan pertunjukan tari Sesandaran itu berkepentingan untuk memastikan menjadi tuan rumah di lingkungannya sendiri. Makna solidaritas pun tampak terbina kembali seiring dalam berkelanjutannya tari Sesandaran meliputi keterlibatan hubungan diantara masyarakat dalam rangka menjaga keharmonisan dalam kebersamaan mereka bermayarakat. Hal itu diperlukan untuk menuntaskan permasalahan hidupnya yang terbilang kompleks. Makna solidaritas mengandung arti bahwa tari Sesandaran bagi rangkaian upacara Dewa Yadnya di Pura Dalem, Desa Adat Benoa bagi terbinanya kesadaran kolektif. Pertunjukan tari pada upacara Dewa Yadnya di Pura Dalem ini telah memupuk intensitas komunikasi, integrasi, dan penyatuan pemahaman mereka dalam meringankan beban kolektif dan keamanan desa tersebut.

IMPLIKASI PERTUNJUKAN TARI SESANDARANDI DESA ADAT TANJUNG BENOA Keseluruhan pola penampilan pertunjukan tari Sesandaran melibatkan unsur-unsur estetika pertunjukan tradisional yang telah berimplikasi bagi penguatan internalisasi nilai-nilai agama, sosial dan kultural pada masyarakat di desa tersebut. Bentuk estetika pertunjukan Tari Sesandaran menjadi keunggulan sekaligus kebanggaan masyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa, Bali. Pengkajian atas implikasi dari pertunjukan tari Sesandaran diperuntukan untuk membaca gejala budaya masyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa. Meninjau pendapat Langer dalam Danesi (2010: 233) mengemukakan bahwa manusia berkesenian tidaklah sebagai potongan terpisah, melainkan sebagai sebuah pengalaman emosional yang tidak terlepas dari pengalaman kehidupnya. Sebaliknya, pertunjukan tersebut dapat berpengaruh kuat sebagai stimulus terhadap terciptanya reaksi dalam masyarakat di sekitarnya. Sebagaimana pertunjukan tari Sesandaran yang berimplikasi terhadap kebertahanan kondisi ekonomi, sosial, citra identitas lokal berikut animo masyarakatnya dalam melestarikan budaya khususnya seni pertunjukan di Desa Adat Tanjung Benoa itu sendiri. Hal itu secara tidak langsung telah berimplikasi dalam dimensi sosial dan budaya pada masyarakat di daerah tersebut.

IMPLIKASI DALAM DIMENSI SOSIAL Keindahan pertunjukan tari Sesandaran telah berimplikasi sosial bagi setiap insan yang terkait dengan pertunjukan tari itu di Desa Adat Tanjung Benoa. Volkelt dalam Gie (1996: 78) mengemukakan bahwa keindahan alamiah atau keindahan seni dapat menjadi sumber keberhargaan dari dirinya sendiri. Di samping itu, keindahan itu memungkinkan mengubah keadaan emosi manusia menjadi lebih lega dalam kepuasan, kesenangan yang kemudian dapat

63

lebih membuat kehidupan mereka menjadi lebih bergairah. Dengan arti lain, pertunjukan Tari Sesandaran yang terlahir dari pengalaman keindahan masyarakat pendukungnya itu tentu akan membuat masyarakatnya yang menikmati pertunjukan Tari Sesandaran itu dapat lebih merasa senang, puas, lega dan lebih bergairah alam kehidupannya bermasyarakat. Sebagaimana diungkapkan Malinowski dalam Nasikun (2000: 12) bahwa fungsi dari setiap unsur pada sebuah struktur diperuntukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagaimana prasyarat biologis, psikologis, dan sosiokultural atas terselenggaranya pertunjukan Tari Sesandaran sebagai karya kolektif yang memiliki konstruksi terintegrasi dalam upacara ritual Dewa Yadnya bagi pemenuhan kepuasan batiniah masyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa. Pada pertunjukan Tari Sesandaran, penonton dan seniman memiliki hubungan dekat baik sebagai teman, kerabat ataupun kolega. Oleh karena itu, tampilan beserta komposisi tari Sesandaran di mata penonton bukanlah satu-satunya daya tarik. Di samping itu, totalitas suasana pertunjukan di Pura Dalem ketika upacara berlangsung berimplikasi bagi kesan penonton yang mereka rindukan untuk bekumpul pada hari itu. Dalam kaitan itu, Shohat dan Stam dalam Smiers (2009:5) menyatakan bahwa seni dapat menjadi medan tempur simbolik karena dapat merawat, menambah, maupun merubah kesadaran masyarakat penontonnya. Dalam konteks itu, pertunjukan tari Sesandaran berfungsi sebagai pembangun dan penegas identitas diri maupun identitas kelompoknya. Oleh karena itu, pertunjukan tari Sesandaran adalah bagian dari perjuangan sosial masyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa melalui ungkapan keindahan yang dibagikan kepada orang terdekat untuk mau turut menjaga dan mendukung bahkan mencintai kesenian beserta kearifan-kearifan dari agama budaya mereka di tengah arus perubahan sosial yang sedang terjadi. Dalam konteks itu, rangkaian nilai-nilai budaya direvitalisasi melalui ungkapan-ungkapan gerakan simbolis sebagaimana dalam pertunjukan tari Sesandaran untuk memantapkan internalisasi budaya di tengah kehidupan masyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa yang tergolong maju dan modern tersebut. Internalisasi nilai-nilai budaya itu selanjutnya akan memperkokoh relasi sosial karakter kesatuan masyarakat setempat di tengah dinamika beragamnya permasalahan hidup mereka. Hal itu berkontribusi terhadap sang pembina beserta seniman di tengah masyarakat. Pertama, suksesi penguatan ketakwaan. Kedua, suksesi terhadap sosialisasi seniman di tengah masyarakat penontonnya. Ketiga, berimplikasi bagi penguatan relasi sosial diantara para pihak terkait. Keempat, familiaritas kelompok pertunjukan Tari Sesandaran yang telah berimplikasi bagi kebanggan setiap orang dari di Desa Adat Tanjung Benoa dalam kehidupannya bermasyarakat.

IMPLIKASI DALAM DIMENSI BUDAYA Tari Sesandaran di Desa Adat Tanjung Benoa memiliki dasar, konsep budaya yang sesuai dengan norma dan nilai-nilai masyarakat setempat sehingga keberadaannyaberlangsung sampai saat ini. Hal itu dapat dilihat dari genealogi budaya serta nilai-nilai kebenaran dari agama Hindu di desa tersebut. Sebagaimana diungkapkan oleh Sumardjo (2000:325) bahwa pemaknaan keindahan harus sesuai dengan konsepsi budaya masyarakatnya mengingat bahwa karya seni sendiri merupakan produk budaya yang terintegrasi dalam sistem kebudayaan masyarakatnya. Secara historis, masyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa sepenuhnya adalah orang Bali yang beragama Hindu dan secara turun temurun telah menetap serta tinggal daerah tersebut. Oleh karena itu, melalui pertunjukan Tari Sesandaran, segala permasalahan kehidupan menyangkut tentang lingkungan, sosial, dan ketuhanan dapat diselesaikan secara bersama-sama. Dengan demikian pertunjukan tari Sesandaran tidak hanya bernilai estetika namun secara kultural berimplikasi sebagai proteksi bagi tatanan sosial-religius masyarakatnya. Keberadaan tari Sesandaran ini tampak penting bagi masyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa karena dianggap telah mampu memberinya nilai lebih secara estetika, keberlangsungan kehidupan beragama, bermasyarakat dan keunggulan karakter budaya masyarakat di daerah tersebut.

64

Pertunjukan tari Sesandaran mengandung sifat multikompleks yang melukiskan nilai-nilai hakekat hidup dalam pola pagelaran dalam kekhasan kesatuan harmoni estetika. Nilai-nilai filsafat inilah yang dilembagakan melalui perilaku penari dalam media pertunjukan tari Sesandaran sehingga Tari Sesandaran itu bukan hanya sekedar tontonan melainkan juga dapat dijadikan sebagai panutan. Artinya bahwa pertunjukan Tari Sesandaran itu seolah telah mampu memberikan citra tersendiri bagi masyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa menjadi golongan masyarakat yang peduli terhadap seni budaya daerah di desa Desa Adat Tanjung Benoa. Mengingat bahwa pertunjukan Tari Sesandaran itu mentrasmisikan sejumlah nilai-nilai budaya daerah tersebut. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keberlangsungan Tari Sesandaran tersebut secara tidak langsung telah berimplikasi pada keutuhan konfigurasi nilai budaya masyarakat daerah tersebut sehingga tidak jarang para kerabat maupun kolega mereka turut serta hadirdalam setiap perayaan upacara piodalan di Pura Dalem yang melibatkan pertunjukan tari Sesandaran tersebut.

PENUTUP Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ideologi yang melatari pertunjukan Tari Sesandaran hingga kini mampu dilestarikan masyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa, Balidi tengah-tengah kehidupannya yang telah maju dan modern tersebut karena adanya ideologi religi, ideologi aktualisasi diri, dan ideologi pelestarian budaya. Hingga saat ini masyarakat di Desa Adat Tanjung Benoa tetap mempertahankan Tari Sesandaran karena berimplikasi pada peningkatan semangat dan solideritas mereka bermasyarakat di daerah tersebut, serta mampu mempertahan- kan, melestarikan tradisi budaya ngayah terkait dengan aktivitas ritual di lingkungan Desa Adat Tanjung Benoa, Bali.

DAFTAR PUSTAKA Bandem, I Made dan Frederik Eugene de Boer. 1973. Kaja dan Kelod: Balinese Dance in Trasnsition. Kuala Lumpur : Oxford University Press. Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra. Daulay, Asrul (ed.). 2011. Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat. Medan: USU Press. Dewi, Trisna. 2014. Kajian Bentuk dan Fungsi Tari Rejang Seregan di Desa Kayubihi, Bangli (skripsi). Denpasar: ISI. Dibia, Wayan. 1985. ‗Odalan Of Hindu Bali; A Religius Festival, a Social Occasion and a Theatrical Event‘ dalam Asian Thetatre Journal Volume 2. Honolulu: University of Hawaii Press. Gie, Liang. 1996. Filsafat Seni Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu Berguna. Hardiman, Budi F. 2003. Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius. Koentjaraningrat.1993. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Nasikun. 2000. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Smiers, Joost. 2009. Art Under Pressure: Memperjuangkan Keragaman Budaya di Era Global. Yogyakarta: Insist Press. Sumantri, Zaimar. 2001. ―Ideologi dalam Pariwara‖ dalam Ida Sundari Husen dan Rahayu Hidayat (penyunting). Merentas Ranah, Bahasa, Semiotika dan Budaya. Yogyakarta: Bentang. Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: ITB. Wijayanto, Eko. 2012. Genealogi Kebudayaan. Jakarta: Salemba Humatika.

65

SENI PERTUNJUKAN DALAM DINAMIKA GLOBAL LOKAL: PANGGUNG PERTUNJUKAN PERTAMA DI BALI, SEBUAH DESAIN HIBRID

I Gede Mugi Raharja Program Studi Desain Interior, Fakultas Seni Rupa Dan Desain, ISI Denpasar Email : [email protected] HP: 0817356476

Abstrak Pembahasan makalah ini merupakan kajian budaya pada bidang desain panggung pertunjukan dalam dinamika global dan lokal. Objek kajiannya menekankan pada desain panggung pertunjukan modern pertama di Bali berupa bangunan wantilan Bali Hotel Denpasar yang dibangun masa kolonial (1933). Desain panggung pertunjukan prosenium pada bangunan wantilan Bali Hotel Denpasar merupakan desain panggung pertunjukan modern pertama di Bali, sebelumnya Bali hanya mengenal tempat pertunjukan berkonsep pentas kalangan (arena). Aspek arsiektural, pengembangan bangunan wantilan berupa perpaduan antara bangunan wantilan tradisional Bali dengan bangunan pertunjukan modern Barat yang dilengkapi panggung prosenium yang dipengaruhi asing (global Barat) dengan desain tetap menyesuaikan budaya Bali. Fenomena tersebut memperlihatkan pengolahan bentuk-bentuk bangunan tradisional (vernakular) dan memperbaiki fungsi dengan prinsip form follow function. Kedua unsur modern sebagai upaya penghargaan terhadap unsur-unsur budaya lokal dalam arsitektur, upaya ini yang dikembangkan dalam desain postmodern. Aspek kajian budaya terhadap wantilan Bali Hotel sebagai wujud desain hibrid dalam wacana poskolonial yang mengandung unsur percampuran budaya dan kemunculan bentuk-bentuk baru identitas dalam desain. Hal ini menghasilkan sesuatu yang bermanfaat, kebudayaan lokal dan global semestinya tidak saling dipertentangkan. Kebudayaan lokal bagian dari kebudayaan global. Kebudayaan lokal duduk berdampingan, bersinergi dengan budaya global untuk saling membangun. Hal yang bersifat lokal dapat disepadankan dengan global (translokal) dan yang global dilokalisasi (glokalisasi) dalam wujud desain hibrid. Wujud desain wantilan Bali Hotel sebagai desain menarik, bersinergi antara kebudayaan global dengan kebudayaan Bali.

Kata kunci : wujud, desain, kajian, budaya, manfaat

PENDAHULUAN Seni pertunjukan yang terdiri atas seni musik, tari dan teater, merupakan seni yang disajikan dengan peragaan, yang dapat dihayati selama berlangsungnya proses ungkap oleh pelakunya. Sebagai bagian dari kesenian, seni pertunjukan telah berkembang dari zaman prasejarah hingga memasuki peradaban global, seperti saat ini. Pada zaman purba, kesenian menyatu dalam satu ungkapan kehidupan yang manunggal, barulah kemudian secara bertahap berkembang menjadi berbagai cabang. Bastomi (1992: 27), mengungkapkan bahwa manusia purba melakukan kegiatan seni pada waktu menyelenggarakan upacara ritual sebelum pergi berburu binatang. Mereka menghias tubuh dan menari mengelilingi api ungun dengan gerak ritmis, ekspresif dan spontan. Pada saat itulah mulai muncul kehidupan estetis dengan segala variasinya. Sebagaimana dengan bangsa-bangsa lain di dunia, seni pertunjukan bangsa Indonesia juga berkembang dari masa prasejarah. Seni pertunjukan bangsa Indonesia pada masa prasejarah, lebih banyak berkaitan dengan dunia magis dan religius. Sebagai bangsa yang berasal dari rumpun Autronesia, pada masa prasejarah bangsa Indonesia telah menyerap kebudayaan dari wilayah China Selatan, berupa kebudayaan batu dari Tonkin (2.000 SM) dan kebudayaan logam dari Dongson (500 SM). Setelah bersentuhan dengan kebuduyaan Hindu dari India pada awal abad Masehi, kesenian bangsa Indonesia kemudian makin berkembang, karena telah mengenal aturan-aturan tentang penciptaan karya seni (Bastomi, 1992: 27). Setelah tebentuknya kerajaan di Indonesia pada abad ke-4, akulturasi antara kebudayaan Hindu dengan kebudayaan Indonesia asli, telah mempercepat lajunya perkembangan seni Indonesia, khususnya pada bidang seni pertunjukan. Bahkan, nama Pulau Bali menurut Wiana (2004: 6), muncul setelah Bali mendapat pengaruh Hindu dari India. Sumber tertua yang menggunakan kata ―Bali‖ adalah Reg Weda, pada bagian kitab Satapatha Brahmana 11.5.6.1. Pada kitab tersebut antara lain disebutkan, bahwa

66

upacara yang ditujukan kepada Bhuta (unsur yang membentuk alam) disebut Bali. Istilah Bali juga terdapat di dalam Kitab Manawa Dharmasastra III.70, 74 dan 81. Wiana menjelaskan, bahwa kata ―Bali‖ berarti ―Kekuatan Yang Maha Agung‖. Sedangkan Shastri (1963: 8—12), menemukan bahwa pada catatan tua India (Artha Sastra), sejak 300 SM pelaut-pelaut India telah berlayar di lautan Asia Tenggara. Pulau-pulau yang ditemui, diberi nama seuai dengan hasil buminya, seperti Swarna Dwipa (Pulau Emas) untuk nama Pulau Sumatera, Yawa Dwipa (Pulau Beras) untuk nama Pulau Jawa. Kemudian, pada Kitab Ramayana bagian Kiskindha Kanda, disebutkan bahwa ketika Sugriwa menugaskan pasukan wanaranya untuk mencari Dewi Sita. Mereka antara lain mengunjungi daerah-daerah di Nusantara, seperti Pulau Jawa (Yawa Dwipa), Pulau Sumatera (Swarna Dwipa), Pulau Bangka (Rupyaka Dwipa atau Pulau Perak), Bukit Karang di Madura (Risabha), Selat Madura (Sudarsana), Gunung Brahma Resi Ora (Bromo) dan Gunung Udaya Perwata (Gunung Agung) di Bali. Setelah berkembangnya kesenian klasik pada masa kerajaan, selanjutnya seni pertunjukan modern berkembang di Indonesia seiring dengan makin kuatnya pengaruh pemerintah kolonial Hindia Belanda di Indonesia. Menurut Atmadja (2010: 8–9), modernisasi yang mengarah pada konstruksi budaya bangsa kulit putih global, tak terlepas dari kondisi Indonesia, khususnya Bali yang pernah sebagai daerah jajahan Belanda. Di masa penjajahan, Belanda pernah mendominasi dan menghegemoni orang Bali menggunakan modal pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya. Sehingga, kekaguman orang Bali terhadap kebudayaan modern putih global yang dibawa oleh Belanda, tampak sejak abad ke-20 seiring dengan semakin intensifnya pengaruh kebudayaan Belanda atas kebudayaan Bali, di antaranya melalui penetrasi sistem pendidikan Barat. Pada bidang seni pertunjukan di Bali, pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkenalkan desain panggung prosenium untuk pentas di wantilan. Pengembangan wantilan yang dilengkapi panggung untuk pentas kesenian dilakukan setelah di bangunnya Bali Hotel di pusat Kota Denpasar pada 1930-an. Pementasan pertunjukan dengan panggung di wantilan Bali Hotel ini, merupakan desain panggung pementasan modern pertama di Bali. Oleh karena, pada masa sebelumnya seni pertunjukan Bali lebih sering dipentaskan di ruang terbuka, seperti halaman pura dengan pola pentas ―kalangan‖ (teater arena) tanpa panggung. Pada pola pentas kalangan tersebut, penonton menyaksikan pertunjukan mengelilingi ruang pentas terbuka (Pandji, 1975: 57). Setelah ada bangunan hotel di Bali dan belum ada panggung pertunjukan yang di bangun permanen, menurut catatan Covarrubias (1989: 206), pada masa kolonial pementasan pertunjukan sering dilakukan di halaman hotel pada malam hari, untuk menghibur tamu-tamu yang dibawa oleh kapal laut dari Surabaya. Menurut pengamatan Covarrubias, saat itu pertunjukan lain seperti film, belum ada di Bali dan radio pun belum dimiliki oleh orang Bali. Dari aspek desain, bangunan wantilan Bali yang aslinya berwujud limas kemudian dikembangkan oleh arsitek Belanda dengan bentuk atap pelana dan didilengkapi panggung, dapat dikategorikan sebagai desain hibrid, dalam wacana poskolonial. Oleh karena, terjadi perkawinan antara wantilan dalam arsitektur tradisional Bali dengan desain panggung pertunjukan modern, namun wujud desainnya masih menampakkan karakter bangunan tradisional Bali. Pengembangan bangunan wantilan seperti ini menurut Gelebet (1981/1982: 19-21) merupakan salah satu contoh pengaruh asing (global Barat) terhadap arsitektur tradisional Bali, yang telah disesuaikan dengan budaya Bali.

DESAIN HIBRID PANGGUNG PERTUNJUKAN BALI Bangunan wantilan Bali Hotel (kini–Inna Bali) yang dilengkapi panggung pertunjukan prosenium, berlokasi di Jalan Veteran Denpasar. Area hotel ini sebelumnya merupakan area Puri Denpasar, Kerajaan Badung. Puri Denpasar berhasil dikuasai oleh pasukan pemerintah kolonial Belanda, setelah terjadi peristiwa puputan Badung pada 20 September 1906. Area bekas puri kemudian digunakan sebagai Kantor Perwakilan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Bali (sekarang rumah jabatan Gubernur Bali), pada sisi bagian selatan puri. Sisi timur dan utara puri

67

digunakan untuk perumahan pejabat pemerintah kolonial. Sisi bagian barat puri digunakan sebagai penginapan, yang kini menjadi bagian dari Bali Hotel. Dalam pameran Karya-karya Arsitek Belanda di Indonesia pada 27 Januari – 4 Februari 1997 di Gedung Gas Negara Jln. Braga 40 Bandung, antara lain dipajang foto Bali Hotel Denpasar. Dalam pameran yang dilaksanakan oleh Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung tersebut, antara lain diinformasikan bahwa Bali Hotel Denpasar dirancang oleh Biro AIA (Algemeen Ingineurs en Architecten) pada 1930-an. Biro AIA merupakan biro umum sipil dan arsitektur yang didirikan pada 1916 di Batavia (Jakarta). Perusahaan ini didirikan oleh tiga insinyur bangunan, yaitu F. J. l. Ghijsels, Hein avon Essen, dan F. Stlitz. Biro AIA tidak saja merancang bangunan, tetapi juga sebagai kontraktor, karena banyaknya permintaan agar pekerjaan konstruksi juga dikerjakan oleh arsiteknya. Pada 1932, Biro AIA membuka cabang di Surabaya dan Bandung. Setelah memiliki beberapa cabang, pekerjaannya kemudian dibagi dalam beberapa kantor cabang sesuai dengan lokasinya (Sumalyo, 1993: 206). Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa setelah Biro AIA membuka cabang di Surabaya itulah mendapat pekerjaan mendesain Bali Hotel di Denpasar. Bangunan Bali Hotel semula merupakan bangunan penginapan untuk pelaut-pelaut Belanda (Eropa), yang di bangun di sebelah barat Jalan Veteran Denpasar. Lokasi ini merupakan bekas area wantilan Puri Denpasar sebelum terjadi peristiwa puputan Badung (lihat Gambar 1). Penginapan ini akhirnya dijadikan hotel dan dibuka untuk umum pada 1933 (lihat Gambar 2). Dalam perkembangan selanjutnya, pada area bekas Puri Denpasar, di belakang Kantor Perwakilan Pemerintah Hindia Belanda, dijadikan bagian dari Bali Hotel (Jln. Veteran sebelah timur). Pada area inilah kemudian dibangun wantilan Bali Hotel (lihat Gambar 3).

Gambar 1: Wantilan Puri Denpasar (Sumber: Gegevens De Zelfstandige Rijkjes op Bali, 1906)

Gambar 2: Bali Hotel Denpasar, 1933 (Sumber: Repro Bali Post)

68

Gambar 3: Wantilan Bali Hotel (Sumber: Dokmentasi. Penulis)

Wantilan Bali Hotel yang dilengkapi panggung proscenium, merupakan pengembangan konsep bangunan wantilan tradisional Bali pada masa kolonial dengan desain atap tidak berbentuk tumpang limas, tetapi beratap tumpang memanjang (pelana), yang disangga deretan tiang yang ditopang sendi atau umpak batu tinggi ramping. Denah wantilan tidak lagi berbentuk segi empat sama sisi seperti denah wantilan tradisional Bali pada umumnya, tetapi berbentuk segi empat panjang dan dilengkapi panggung prosenium sederhana di ujung denah. Desain panggung proscenium hanya memberikan kesempatan penonton menyaksikan pementasan dari depan panggung. Dengan masih digunakannya struktur konstruksi bangunan Bali pada desain wantilan Bali Hotel, dapat diperkirakan ingin mengikuti keberhasilan Ir. Henri Maclaine Pont pada 1920 dalam memadukan arsitektur Sunda dengan modern Barat, saat merancang bangunan Technische Hoogeschool (ITB) Bandung. Konsep hibriditas berguna dalam menjelaskan percampuran budaya dan kemunculan bentuk-bentuk baru identitas. Keberhasilan Henri Maclaine Pont pada 1920 merancang kampus ITB dengan desain hibrid, didukung oleh warisan budaya campuran Indonesia (Bugis) dan Belanda (Sumalyo, 1988: 8). Henri dan ayahnya, Pieter Maclain Pont termasuk orang Belanda liberal, yang tidak menyukai penjajahan. Henri Mclain Pont telah berhasil mengombinasikan nilai-nilai arsitektur tradisi Indonesia (Sunda) dengan konsep struktur arsitektur modern Barat. Karya Henri Maclain Pont yang kini digunakan sebagai Aula ITB. merupakan sebuah kehadiran arsitektur Indonesia yang memberi arti penting dalam perkembangan arsitektur Belanda. Desain arsitektural Aula ITB ini juga sering disebut dengan gaya bangunan Indo Europeeschen Architectuur Stijl atau gaya arsitektur Indo Eropa. Sebab, gaya bangunannya memadukan secara harmonis antara bentuk gaya arsitektur tradisional Nusantara (Sunda) dengan keterampilan ilmu konstruksi Barat (Kunto, 1996: 39). Berlage, arsitek terkemuka Belanda yang berkunjung ke Indonesia pada 1922, menilai karya desain arsitektural Aula ITB sebagai gaya Gotik Indonesia (lihat Gambar 4).

Gambar 4: Contoh Desain Hibrid Aula Kampus ITB Tampak bangunan dan Perspektif Interiornya (Sumber: Kunto, 1996: 39)

69

Henri Maclaine Pont yang mendapat pendidikan arsitektur di Belanda, telah berhasil menciptakan desain arsitektural hibrid di Indonesia pada masa kolonial. Karya desain arsitektural ini memiliki makna penting pada masa kolonial, karena mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia yang terjajah. Desain arsitektural Aula ITB merupakan salah satu contoh penghargaan terhadap konsep arsitektur tradisi dan budaya bangsa Indonesia (Sunda), yang dikawinkan dengan teknologi arsitektur Barat, sehingga menghasilkan karya desain inovatif yang bersifat hibrid (lokal– global). Kebudayaan Barat yang mengembangkan arsitektur dan desain modern, kalau ditelusuri sejarahnya, berakar dari budaya arsitektur klasik Yunani. Budaya Yunani klasik Yunani memiliki peninggalan panggung terbuka prosenium besar yang sangat terkenal, bernama Epidaurus. Panggung terbuka ini dibangun pada 350 SM diperbukitan, sehingga penonton dapat memfokuskan perhatian ke tengah panggung tanpa halangan penonton di depannya (Gympel, 1996: 9). Keberhasilan ini tak lepas dari kehidupan budaya masyarakat Yunani yang dekat dengan alam. Kemudian dengan logika etetikanya, muncul ide memanfaatkan cekungan bukit untuk membangun panggung pertunjukan yang besar dan monumental (lihat Gambar 5).

Gambar 5: Panggung Terbuka Epidaurus, 350 SM (Sumber: Repro Gympel, 1996: 9)

Dalam pengembangan konsep desain hibrid pada wantilan Bali Botel Denpasar, para arsitek dari Biro AIA, telah mengembangkan konsep desain hibrid, sebagai perkawinan bentuk wantilan dalam arsitektur tradisional Bali dengan arsitektur modern Barat, sehingga dapat melahirkan wujud baru yang tidak saling merugikan. Gaya desain arsitektural wantilan Bali Hotel berusaha memadukan wujud desain wantilan Bali dengan pengolahan material bangunannya, maupun teknologi yang digunakan membangun. Oleh karena itu, desain ini sejalan dengan napas desain posmodern, yang ditandai dengan munculnya kembali bentuk-bentuk klasik, pengolahan bangunan tradisional (vernakular) dan memperbaiki fungsinya. Desain posmodern menghargai arsitektur tradisi, sehingga nilai-nilai arsitektur tradisional Bali dapat diterima, seperti penggunaan ragam hias tradisional Bali. Berbeda dengan awal gerakan desain modern, Walter Crane, seorang tokoh gerakan seni baru (art nouveau), berpendapat bahwa ornamen bukan merupakan tujuan akhir dalam desain modern. Adolf Loos, bahkan sangat anti ornament, karena penggunaan ornamen malah dianggap tindakan kriminal. Menurut Loos, penggunaan ornamen menyalahi kodrat perkembangan kebudayaan (Widagdo, 2005:166). Semakin beradab manusia, menurut Loos, seharusnya usaha untuk menghias diri dan lingkungan hidupnya dengan ornamen semakin ditinggalkan. Manusia modern tidak perlu menghias dirinya dengan tato atau warna-warna seperti orang primitif, begitu pula dalam desain dan arsitektur. Pada konsep hibrid desain wantilan Bali Hotel, sangat jelas terlihat adanya pengolahan bentuk-bentuk klasik, pengolahan bangunan tradisional (vernakular) Bali dan memperbaiki fungsinya. Desain bangunan wantilannya mengikuti fungsinya sebagai gedung pertunjukan, yang

70

dilengkapi desain panggung pertunjukan sederhana. Ini berarti mengikuti konsep dan prinsip bangunan modern form follow function. Meskipun ada unsur modern (global), tetapi struktur bangunan Bali dan ornamen tradisionalnya tetap diaplikasikan pada bangunan ini. Hal ini berarti, ada upaya menghargai unsur-unsur budaya lokal dalam arsitektur. Upaya ini merupakan prinsip yang dikembangkan dalam desain posmodern (lihat Gambar 6).

Gambar 6: Konstruksi Wantilan Bali Hotel dan Ornamennya (Sumber: Dokmentasi. Penulis)

GLOBAL DAN LOKAL DISINERGIKAN Dengan berkembangnya peradaban global sejak awal abad ke-21 yang dipercepat oleh kemajuan teknologi transportasi dan telekomunikasi, telah menyebabkan berbagai arus informasi dan komunikasi melanda semua negara di dunia tanpa bisa dibendung. Hal inilah yang dapat menyebabkan kejutan budaya (shock culture) bagi suatu bangsa, apabila bangsa tersebut tidak siap menerima persilangan arus informasi dan komunikasi yang masuk ke wilayahnya. Oleh karena itu, sangat wajar apabila muncul berbagai kekhawatiran akibat pengaruh globalisasi, terhadap eksistensi kebudayaan lokal, termasuk bagi kebudayaan lokal yang ada di Indonesia. Dengan berkembangnya peradaban global ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia, membuktikan bahwa apa yang telah diramalkan oleh Marshall McLuhan pada 1960-an akan terjadinya global village, telah menjadi kenyataan. Pandangan ini didasarkan pada kenyataan, bahwa arus informasi dan komunikasi, telah melanda semua negara tanpa bisa dibendung di seluruh dunia, karena perkembangan teknologi yang semakin canggih, dan bekerja melalui gelombang yang dapat menembus dinding setiap rumah, sehingga mengakibatkan dunia seakan menjadi tanpa batas. Alvin Toffler juga mengemukakan pendapat tentang datangnya era informatika. Menurut Toffler, manusia akan masuk ke dalam abad informatika menggantikan abad industri, yang dimulai sejak revolusi industri (1773). Toffler secara tegas menyatakan, bahwa umat manusia akan berubah dari masyarakat industri menjadi masyarakat informasi. Pada era globalisasi, produk-produk industri cenderung mengarah kepada pembuatan produk spesifik untuk menjatuhkan pesaing di pasar terbuka (Sachari, 1995: 80—84). Kemudian, John Naisbitt dalam Megatrends 2000 (1992), antara lain mengungkapkan bahwa akan terjadinya boom ekonomi global dan kebangkitan tepi pasifik pada dekade 2000-an (http://politikana.com). Masuknya pengaruh kebudayaan global ke Indonesia pada abad informatika yang dipicu oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), menyebabkan bangsa Indonesia bertemu dengan berbagai bangsa lain di dunia. Meskipun pertemuan bangsa Indonesia dengan bangsa- bangsa lain di dunia saat ini dibantu kemajuan iptek, tetapi bisa saja mereka sebenarnya berasal dari sumber (leluhur) yang sama pada ribuan tahun yang lalu. Akan tetapi, akibat terpisah dari sumber yang sama dalam proses diaspora selama ribuan tahun, maka pada pertemuan para keturunan mereka saat ini, dalam kondisi yang tidak saling mengenal. Oleh karena itu, kebudayaan lokal yang ada di Indonesia tidak akan bisa membendung arus kebudayaan global tersebut, sebab kebudayaan lokal di Indonesia merupakan bagian dari kampung global. Seperti yang diungkapkan oleh Atmadja (2010: 458), kebudayaan Bali pun akan terus mengalami perubahan pada era globalisasi ini, akibat adanya pengaruh kemajuan teknologi dan pariwisata, yang berimbas pada masalah sosial, ekonomi dan budaya. Menyadari kondisi ini,

71

semestinya kebudayaan lokal dan global tidak saling dipertentangkan, karena kebudayaan lokal adalah bagian dari kebudayaan global. Sesuai dengan pendapat Pieterse (dalam Barker, 2006: 120), kebudayaan lokal seharusnya bisa duduk berdampingan, bersinergi dengan budaya global untuk saling membangun. Elastisitas etnik dan kemunculan ulang kekuatan sentimen nasionalis perlu duduk berdampingan dengan kebudayaan dunia, sebagai proses belajar pada level translokal. Robertson (dalam Barker, 2006: 120), mengungkapkan bahwa hal-hal yang bersifat lokal perlu disepadankan dengan global sehingga menghasilkan translokal, dan yang global dilokalisasi sehingga menghasilkan glokalisasi. Pada wujud desain wantilan Bali Hotel, hal-hal yang bersifat lokal sudah disepadankan dengan global (translokal) dan yang global dilokalisasi (glokalisasi) dalam wujud desain yang bersifat hibrid. Wujud desain wantilan Bali Hotel merupakan sebuah contoh desain yang menarik, tentang sinergi antara kebudayaan global (Barat) dengan kebudayaan lokal Bali. Desain hibrid dalam konteks kajian budaya menurut Barker (2006: 2008), adalah percampuran budaya dan kemunculan bentuk-bentuk baru identitas dalam desain. Representasi budaya hibrid ini merupakan bagian dari wacana poskolonial. Melani Budianta (dalam Susanto, 2008: 15-31) berpendapat bahwa konsep-konsep dasar teori poskolonial problematis berkaitan dengan oposisi biner dan konstruksi identitas budaya. Dalam menggugat konstruksi oposisi biner negara penjajah untuk menundukkan negara yang terjajah, kritik pascakolonial sering terjebak untuk mengulangi konstruksi yang sama. Oposisi biner dan hubungan kekuasaan yang antagonis dapat menjadi jebakan yang mengarah pada sikap eksklusivisme, esensialisme, atau pembalikan represi, pengulangan dari kecenderungan yang justru menjadi sumber kritikan terhadap para pelopor teori pascakolonial. Budianta kemudian mengajak untuk berpikir arif karena kompleksnya konfigurasi kekuasaan pada era pascakolonial agar tidak menumbuhkan kecurigaan yang bersifat esensialisme terhadap segala sesuatu tentang Barat sebagai penguasa dan Timur sebagai yang tidak berkuasa. Menurut Ashccroft dalam Barker (2006: 228), teori poskolonial dapat direduksi menjadi dua permasalahan pokok, yaitu berkaitan dengan dominasi-subbordinasi dan hibriditas-kreolisasi. Wacana tentang dominasi-subordinasi mengkritisi dominasi budaya kolonial dan subordinasi kebudayaan bangsa terjajah oleh kekuasaan kolonial. Hibriditas-kreolisasi adalah pembahasan menyangkut generasi yang lahir (keturunan) dari perkawinan bangsa kolonial dengan bangsa jajahan. Kreolisasi mengandung pengertian bahwa homogenisasi budaya tidak menjadi landasan kuat bagi imperialisme budaya untuk menciptakan lapisan modernitas kapitalis barat karena tidak dapat menghapus bentuk-bentuk budaya yang telah ada sebelumnya. Hasilnya menurut Barker (2006: 121), bisa menjadi bentuk-bentuk identitas hibrida dan produksi identitas tradisional, fundamentalis, dan nasionalis. Berdasarkan pemaparan tersebut, maka hibriditas berguna dalam menjelaskan percampuran budaya dan kemunculan bentuk-bentuk baru identitas. Dalam kaitan dengan desain, konsep desain hibrid banyak berhubungan dengan jejak-jejak budaya kolonial di seluruh dunia, termasuk di Bali. Percampuran antara unsur desain budaya kolonial Barat dan unsur desain dari budaya lokal bangsa yang dijajah dapat menghasilkan bentuk-bentuk desain baru. Dengan menelusuri jejak-jejak budaya kolonial di Bali, maka dapat diketahui bahwa konsep desain hibrid sudah pernah dikembangkan oleh arsitek-arsitek Belanda pada masa kolonial di Bali. Salah satu wujud desainnya adalah desain bangunan wantilan Bali Hotel, Denpasar.

PENUTUP Inti sari dari makalah ini adalah karya tulis ilmiah berkaitan dengan kajian budaya pada bidang desain panggung pertunjukan dalam dinamika global dan lokal. Objek kajiannya adalah desain panggung pertunjukan modern pertama di Bali pada bangunan wantilan Bali Hotel Denpasar, yang dibangun pada masa kolonial (1933). Berdasarkan pembahasan pada sub-sub bahasan, maka dapat disimpulkan bahwa:

72

1. Desain panggung pertunjukan prosenium pada bangunan wantilan Bali Hotel Denpasar yang dibangun pada masa kolonial (1933), merupakan desain panggung pertunjukan modern pertama di Bali, karena sebelumnya Bali hanya mengenal pertunjukan dengan konsep pentas kalangan (arena). 2. Dari aspek arsiektural, pengembangan bangunan wantilan berupa perpaduan antara bangunan wantilan tradisional Bali dengan bangunan pertunjukan modern Barat yang dilengkapi panggung prosenium, merupakan salah satu contoh pengaruh asing (global Barat) terhadap arsitektur tradisional (lokal) Bali, namun desainnya tetap menyesuaikan dengan budaya Bali. 3. Dari sudut pandang budaya posmodern, bentuk desain wantilan Bali Hotel yang dilengkapi panggung prosenium, telah memperlihatkan adanya pengolahan bentuk-bentuk bangunan tradisional (vernakular) wantilan Bali dan memperbaiki fungsinya untuk bangunan pertunjukan modern, sesuai dengan prinsip form follow function. Meskipun ada unsur modern (global), tetapi struktur bangunan Bali dan ornamen tradisionalnya tetap diaplikasikan pada bangunan, sebagai upaya penghargaan terhadap unsur-unsur budaya lokal dalam arsitektur. Upaya ini merupakan prinsip yang dikembangkan dalam desain postmodern. 4. Dari aspek kajian budaya, wantilan Bali Hotel merupakan salah satu wujud desain hibrid dalam wacana poskolonial, karena mengandung unsur percampuran budaya dan kemunculan bentuk- bentuk baru identitas dalam desain. Percampuran antara unsur desain budaya kolonial Barat dan unsur desain dari budaya lokal Bali (bangsa yang terjajah), telah menghasilkan bentuk desain wantilan yang baru dan menjadi bagian dari sejarah arsitektur kolonial dan desain di Bali. 5. Untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat, maka kebudayaan lokal dan global semestinya tidak saling dipertentangkan, karena kebudayaan lokal adalah bagian dari kebudayaan global. Kebudayaan lokal seharusnya bisa duduk berdampingan, bersinergi dengan budaya global untuk saling membangun. Pada wantilan Bali Hotel, hal-hal yang bersifat lokal sudah disepadankan dengan global (translokal) dan yang global dilokalisasi (glokalisasi) dalam wujud desain hibrid. Wujud desain wantilan Bali Hotel merupakan sebuah contoh desain yang menarik, tentang sinergi antara kebudayaan global (Barat) dengan kebudayaan lokal Bali.

DAFTAR PUSTAKA Atmadja, Nengah Bawa. Ajeg Bali: Gerakan, Identitas Kultural, dan Globalisasi. Yogyakarta: LKiS. Bastomi, Suwaji. 1992. Wawasan Seni. Semarang: IKIP Semarang Press. Covarrubias, Miguel. 1989. Island of Bali. Singapore: Oxford University Press. Gymple, Jan. 1996. The Story of Architecture From Antiquity To The Present. Jerman: Konemann. Kunto, Haryoto. 1996. Balai Agung di Kota Bandung. Bandung: PT Granesia. Naisbitt, John . 1982. Megatrends. (On line), (http://politikana.com., diunduh 1 Agustus 2014). Pandji, I G B N. 1975. Perkembangan Sebagai Seni Pertunjukan. Denpasararana Wisata Budaya. Sachari, Agus, 1995. ―Pengantar Sejarah Desain Modern‖. Bandung: Jurusan Desain FSRD ITB. Shastri, Naredra Dev. Pandit. 1963. Sejarah Bali Dwipa. Denpasar: tanpa nama penerbit. Sumalyo, Yulianto. 1988. Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Susanto, Budi (Ed.). 2008. Membaca Postkolonialitas (di) Indonesia. Yogyakarta: Kanisius dan Lembaga Studi Realino. Wiana, I Ketut. 2004. Mengapa Bali Disebut Bali?. Surabaya: Paramita. Widagdo. 2005. Desain dan Kebudayaan. Bandung: Penerbit ITB.

73

STEREOTIP PERTUNJUKAN JOGED BUMBUNG DI BALI

Oleh I Wayan Winaja Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia Denpasar e-mail : [email protected]

Absrtak. Paper ini dimaksudkan untuk memberikan informasi yang mendalam tentang stereotipsebuah tontonan. Sebagaimana diketahui tontonan yang baik seharusnya menjadi tuntunan. Realitasnya di antara banyak tontonan, ada yang tidak memberikan tuntutan terjadi stereotip dalam tontonan.Walaupun terjadi stereotipe tontonan seperti ini telah menjadi budaya genersi muda masa kini, dan masyarakat pun perpisip terhadap kondisi ini. Seperti diungkapkan oleh Burton (2008 :148) bahwa ― orang-orang muda mengungkapkan diri dalam tingkat yang tidak biasa dalam teks, gambar, musik, dan gaya....‖. Hal ini perlu dilakukan mengingat Bali dengan kebudayaannya yang adi luhung, ternyata stereotip tontonan joged bumbung telah dijadikan kebudayaan oleh generasi muda Bali, dan masyarakat permisip dengan stereotip ini. Dalam paper ini dibahas dua hal pokok yaitu : 1) Mengapa sebagain generasi muda Bali menjadikan stereotip pertunjukan joged bumbung sebagai sebuah kebudayaan? dan 2) Mengapa masyarakat Bali permisip dengan stereotip ini ? Hasil kajian ini dimaksudkan dapat menjadi panduan dalam pembentukan kebudayaan generasi muda Bali melalui tontonan pertunjukan seni. Selain itu diharapakan dapat pula dijadikan model penelitian sejenis di daerah lain di Indonesia

Kata kunci : stereotip, tontonan, joged bumbung

PENDAHULUAN Ketika satu sistem ekonomi berfungsi sebagai suatu sistem pemenuhan tuntutan hawa nafsu yang tak terbatas, maka terciptalah sebuah dunia ekstasi ekonomi. Pelepasan hawa nafsu menjadi raison d’entre dan inti dari beroperasinya sistem ekonomi, dan hawa nafsu menjadi semacam grafitasi dari lalu lintas ekonomi, yang setiap orang patuh mengelilingi orbitnya, taat pada hukumnya, dan terbuai dalam rayuannya. Jean Francois Lyotard dalam Piliang (1998: 52) menggambarkan sebuah sistem ekonomi ekstasi, yaitu sebuah sistem ekonomi (dan kehidupan pada umumnya) yang melepaskan dirinya dari kriteria moral/amoral, baik/buruk, nilai guna/nilai tukar, yang disebutnya nilai ekonomi libido. Pemanfaatan nilai potensi kesenangan dan gairah, tanpa takut akan tabu dan adat, menggunakan dan mempertontonkan sebebas-bebasnya keindahan penampilan, kepribadian, wajah, dan tubuh untuk membangkitkan gairah perputaran modal. Yang berdampak dari sistem ekonomi ekstasi adalah masyarakat baru (baca masyarakat industri), yang cara berpikirnya rasional dan positivis. Industri diyakini sebagai penyebab perubahan sosial yang sangat besar. Slogan masyarakat industri laissez faire, laissez aller (biarlah orang berbuat sendiri, biarlah orang mencari jalan sendiri). Dewasa ini di era global dengan ciri industrialisasi, entertainment pun tidak luput dari slogan di atas. Banyak yang berbuat sendiri dan mencari jalan sendiri dalam sebuah pertunjukan, seperti pertunjukan joged bumbung di Bali. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa pertunjukkan joged bumbung di Bali kini menghadirkan strereotip budaya. Artinya bahwa pertunjukan joged bumbung di Bali tidak lagi mepertunjukkan sebuah tontonan yang menjadi tuntunan. Pertunjukan joged bumbung sudah mengarah kepada porno aksi dan layak sensor, tidak bermatabat dan tidak beradab. Selain itu pertunjukkan joged bumbung di Bali sudah ke luar dari aspek aspek tari Bali dan kepenariannya. Di dalam tari Bali aspek-aspek tersebut antara lain: agem, tandang, tangkis, dan tangkep. Di samping aspek-aspek tersebut ada pula istilah-istilah yang berkaitan dengan kualitas gerak yang dibawakan serta penjiwaannya seperti adung, pangus, dan lengut. (Dewi, 2015: 2-3; Soelaiman, 1998: 18; Veeger, 2003: 27). Disadari ataupun tidak stereotip pertunjukkan joged bumbung telah menjadi budaya sebagian generasi muda di Bali, dan masyarakat Bali pun permisip terhadap gejala ini. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengkaji, mengapa stereotip pertunjukkan joged bumbung menjadi kebudayaan generasi muda Bali dan mengapa pula masyarakat permisip dengan kondisi ini. Padahal Bali sangat terkenal dengan kebudayannya dan ajaran agamnya yang mendunia, seperti

74

ajaran Tri Hita Karana, Banyak warga negara asing yang mempelajarinya. Selain itu di Bali juga ada slogan dalam rangka mempertahankan, dan melestarikan kebudayaannya yaitu ajeg Bali.

GENERASI MUDA DAN BUDAYA GENERASI MUDA Pada tahun 1968 di California terjadi perubahan perilaku hidup anak muda yang sangat mengejutkan. Mereka tampil santai, pakain warna-warni, celana jeans yang bolong bolong, tidur di lapangan, ke mana-mana tanpa baju bertelanjang dada, suka bertualang dan menyebut diri beautiful people, yang kemudian dikenal dengan kaum hippies. Nilai-nilai yang mendasari prilaku mereka adalah kebebasan. Tatakrama, birokratik, sopan santun, penampilan smart, berdasi, celana bersih, baju putih dengan kupu-kupu yang melekat pada tatanan hidup dianggap sangat mengekang dan harus dilawan dengan nilai baru hidup bebas sebagai tandingan. Budaya tatanan hidup lurus masyarakat kebanyakan akhirnya berhadapan dengan budaya tandingan, dan pengikutnya tidak terbatas pada anak muda saja. Nilai-nilai formal, dengan budaya lurus dikesampingkan, niali-nilai tandingan dijunjung tinggi atas dasar kebebasan, untuk mencapai sesuatu yang dipandang dan dirasakan sebagai kebahagiaan (Artadi, 2004:12-13). Memperhatikan uraian di atas apakah stereotip pertunjukkan joged di Bali telah terinfeksi virus hippies? Mengingat pertunjukkan joged di bali telah ke luar dari aspek-aspek tari Bali seperti uraian di atas. Stereotip pertunjukan joged pun telah menjadi kebudayaan sebagaian generasi muda Bali. Menariknya lagi masyarakat di Bali permisif terhadap kondisi ini. Bedasarkan hasil wawancara penulis di lapangan tentang keberterimaan stereotip pertunjukan joged, yang relatif telah menjadi kebudayaan pada sebagaian generasi muda di Bali, disebabkan oleh beberapa hal yaitu 1). Kondisi riil perkembangan teknologi informasi; 2) Sistem ekstasi ekonomi. Modernisasi dan pembangunan di dalam tiga dekade ini telah membawa masyarakat ke dalam berbagai sisi realitas-realitas baru kehidupan, seperti kenyamanan, kesenangan, keterpesonaan, kesempurnaan penampilan, dan kebebasan hasrat. Modernisasi yang salah satunya dicirikan dengan familiernya masyarakat dengan teknologi informasi. Akan tetapi modernisasi dan pembangunan itu sebaliknya telah menyebabkan kita kehilangan realitas-realitas masa lalu, seperti rasa kedalaman, rasa kebersamaan, rasa keindahan, semangat spiritualitas, semangat moralitas, dan semangat komunitas. Stereotipe pertunjukan joged bumbung di Bali sebagai suatu kasus. Selain itu, bersamaan dengan kemajuan ekonomi serta meningkatnya kemakmuran, kita melihat tanda-tanda lenyapnya kedalaman (deepness) di dalam kehidupan masyarakat sekarang ini yang disebut diistilahkan masyarakat kontemporer. Masyarakat kontemporer kita lebih menyenangi gaya ketimbang makna, lebih menghargai penampilan ketimbang kedalaman, lebih mengejar kulit ketimbang isi. Masyarakat jadi gandrung membuat asosiasi-asosiasi atau tanda-tanda yang tidak ada nilai gunanya. Keberterimaan stereotip pertunjukan joged sebagai kebudayaan oleh sebagian generasi muda di Bali menunjukkan bahwa sebagian generasi muda Bali telah terperangkap pada titik balik realitas. Banyak gaya yang punah, banyak sistem yang ditinggalkan, banyak struktur yang didekonstruksi, banyak bahasa yang diputar balikkan, banyak tabu yang dilecehkan. Stereotipe pertunjukkan joged menghadirkan keterpesonaan semu yang menjadi realitas, baik tarian maupun musik pengiringnya. Realitas tarian Bali dalam pertunjukan joged bumbung di Bali kian lenyap karena dunia riil tarian Bali dalam pertunjukan joged bumbung diambil alih oleh sesuatu yang sebelumnya dianggap bukan realitas (fantasi, halusinasi, ilusi). Sesuatu yang semu dianggap sebagai realitas, ketika realitas maya (virtual reality) mengambil alih realitas sebenarnya. Bersamaan dengan itu telah terjadi hilangnya batas-batas antara dunia anak-anak dan dunia orang dewasa lewat transparansi pertunjukkan joged yang herotis dan stereotip. Ketika anak-anak bisa menyaksikan tontonan-tontonan yang merupakan dunia orang dewasa lewat video atau hand phone dengan situs porno, dan terwujud nyatakan melalui transparansi pertunjukan joged bumbung, maka secara sosiologis batasantar dunia anak-anak dengan dunia orang dewasa telah lenyap. Tidak ada lagi rahasia yang masih tersisa buat anak-anak. Secara tradisional yang

75

membatasi dunia anak-anak dan dunia orang dewasa adalah tabu, larangan dan pantangan. Kini dengan semakin mudahnya akses terhadap berbagai media tontonan semakin lenyap pula pamor tabu, larangan, dan pantangan tersebut. Dari sinilah dimulainya krisis dan kontradiksi moral masyarakat informasi. Tanpa malu-malu para penikmat stereotip joged menghumbar ketabuannya di arena yang tanpa batas. Yang lebih memprihatinkan lagi kajadian ini berlangsung di kawasan suci, di hadapan penegak hukum. Para pengibing masih memakai pakaian ke pura, berstereotip dengan joged yang herotis, di jaba pura, di hadapan para bhakta lainnya, mereka semua menonton, dan sang penegak hukum pun diam terhipnotis stereotip pertunjukan joged joged. Di sinilah posisi Bali sebagai pulau yang berbenteng tetapi terbuka (Nordholt, 2010 : 27).

EKONOMI LIBIDO DAN MASYARAKAT EKSTASI Ketidakpedulian masyarakat dunia terhadap segala dimensi dan nilai, adalah sebagai akibat dari tenggelamnya mereka ke dalam kondisi ekstasi masyarakat konsumer. Keterpesonaan, ketergiuran, dan hawa nafsu yang dibangkitkan oleh kondisi ekstasi telah melanda kehidupan masyarakat konsumer di tengah-tengah kehidupan yang dikitari oleh belantara benda-benda, tanda-tanda, dan makna-makna semu. Kehampaan hidup, dan kekosongan jiwa akan makna- makna spiritual, moralitas, dan kemanusiaan, dan gemerlapnya citraan-citraan semu. Pertujukkan joged bumbung yang stereotip tanpa mendapatkan ―perlawanan‖ dari sistem lama, menjadikan tabu sebagai realitas, menunjukkan bahwa masyarakat Bali memang telah terkontaminasi virus hipies. Sampai saat ini belum ada relawan baik akademisi, pemerhati, atau yang lainnya yang melakukan action untuk meniadakan kesementaraan pertunjukan joged. Semua terdiam, seperti terhipnotis. Penulis pernah manyampaikan usul saat musrenbang di instansi pemerintah yang menangani kebudayaan, mengapa hal ini dibiarkan? Jawaban yang penulis terima, adalah ketikpastian ―kami tidak tahu siapa sebenarnya yang menangani itu‖. Atas jawaban itu penulis berkesimpulan bahwa, ―kita‖ memang sudah berada budaya ekonomi libido sebagai ciri dari kebudayaan konsumer, dengan masyarakatnya yang ekstasi. Ekstasi dalam bentuk yang pragmatik dan narsistik tidak merasa perlu membedakan antara yang bersifat moral dan amoral, ia justru mendabakan yang amoral dari yang amoral. Rasa tak bermalu, tidak sanggup membedakan antara yang benar dan yang palsu. Justru mencari palsu dari yang palsu. Tidak mempertentangkan antara yang tampak dan yang terselubung, dan justru mendambakan yang terselubung dari yang terselubung. Tak mampu membedakan anatar yang manusiawi dengan yang tidak manusiawi. Kini rasa malu tidak saja sudah mulai memudar, ia malah ditolak. Erotisme bagian stereotip pertunjukkan joged menjadi bukti nyata bahwa masyarakat sangat permisif, dengan kondisi ini. Tidak mampu membedakan mana yang sakral, mana yang profan, mana wilayah anak-anak mana wilayah orang dewasa. Dari wawancara penulis dengan ―artis‖ joged dan penabuhnya dinyatakan bahwa itu hanya sebuah permainan, toh riilnya tidak ada. Padahal dalam dunia hukum dan akademik itu termasuk bagian dari porno aksi nyang sangat dilarang hukum dan norma. Mempertontonkan porno aksi di publik adalah bagian dari budaya yang tidak beradab, bagiuan dari awal hancurnya generasi muda. Kebudayaan konsumer yang dikendalikan sepenuhnya oleh hukum komoditi, yang menjadikan konsumer sebagai raja, yang menghormati setinggi tingginya nilai-nilai individu, yang memenuhi selengkap dan sebaik kebutuhan-kebutuhan, aspirasi, keinginan dan nafsu, telah memberi peluang bagi setiap orang untuk dengan dirinya sendiri. Dalam kasus pertunjukan joged ini bahwa artis joged memenuhi selengkap dan sebaik kebutuhan penonton. Hukum komoditi berlaku. Dengan terbuka lebarnya belenggu pemuasan hawa nafsu, maka menurut Baudrillad dalam Pilliang (2008), garvitasi dunia kini telah dikuasai oleh apa yang disebut ekonomi libido, yaitu yang berkaitan dengan perkembanganbiakan dan narulitas hawa nafsu. Di dalam ekonomi libido apaun di produksi, apapun normal, apapun tanpa rahasi, apapun nyata. Mengalir dan berpusatnya hawa

76

nafsu di dalam masyarakat ekstasi, mengikuti hukum mengalirnya nilai tukar dalam sistem ekonomi pasar bebas. Sehingga keberadaan stereotip pertunjukkan joged semakin langgeng.

SIMPULAN Dari hasil wawancara penulis dan kajian akademik dapat disimpulkan bahwa, stereotip pertunjukan joged menjadi kebudayaan sebagian generasi muda karena pengaruh teknologi informasi yang teraktualisasi melalui pertunjukan stereotip tari joged bumbung. Stereotip pertunjukan joged tidak mendapatkan perlawan dari sistem lama, atau diterimanya kondisi ini oleh sebagian besar masyarakat di Bali sebagai akibat dari masyarakat kita sudah terperangkap dalam ekonomi libido dan masyarakat yang terektasi.

DAFTAR PUSTAKA Artadi, I Ketut. 2004. Nilai Makna dan Martabat Kebudayaan. Denpasar: Sinay. Burton, Graeme. 1999. Media dan Budaya Populer. Yoyakarta: Jala Sutra. Dewi Yulianti, Ni Ketut; Dkk. 2015. Inovasi Pengajaran Tari Bali dan Jawa Dengan Bahasa Indonesia dan Inggris. Denpasar: Yayasan sari Kahyangan Indonseia, ISI Denpasar. Nordholt, Henk Schulte. 2010. Bali Benteng Terbuka. Denpasara: Pustaka Larasan; KITLV Jakarta. Piliang, Yasraf Amir. 2008. Sebuah Dunia Yang Dilipat. Bandung: Mizan Pustaka. Soelaiman, M. Munandar. 1998. Dinamika Masyarakat Transisi. Yoyakarta: Pustaka Pelajar. Veeger, K. J. 1993. Realitas Sosial. Jakarta: Gramedia Utama.

77

REVITALISASI MUSIK TRADISIONAL SASAK: MENGHIDUPKAN KEMBALI NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DI ERA GLOBALISASI

I Gede Yudarta Jurusan Karawitan, Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Denpasar Email : [email protected]

Abstrak Musik tradisional Sasak merupakan salah satu kekayaan budaya musik Indonesia yang terdapat di Pulau Lombok. Sebagai kesenian yang lahir dari tradisi dan budaya Sasak, musik tradisional Sasak keberadaannya cukup mengkhawatirkan karena dari berbagai jenis musik tradisional, cuma yang mampu berkembang di tengah-tengah masyarakat, sedangkan yang lainnya kurang mendapat perhatian dan kurang dikenal. Mundurnya kondisi musik tradisional Sasak disebabkan berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Haramisasi terhadap kesenian khususnya musik tradisional menyebabkan banyak seniman yang akhirnya meninggalkan keseniannya. Sedangkan modernisasi dan globalisasi merupakan faktor eksternal. Masyarakat Sasak yang sedang dipengaruhi oleh modernisasi mulai meninggalkan nilai-nilai tradisional karena dianggap kuno. Inilah yang mendorong dilakukan revitalisasi terhadap musik tradisional Sasak agar kandungan nilai-nilai kearifan dapat dilestarikan dan dikembangkan. Untuk itu pokok bahasan yang didiskusikan yaitu: apa mekanisme yang dilakukan dalam revitalisasi musik tradisional Sasak dan bagaimana upaya pengembangan musik tradisional Sasak di era globalisasi

Kata Kunci: revitalisasi, musik tradisional Sasak, globalisasi

PENDAHULUAN Pulau Lombok dengan suku Sasak sebagai penduduk aslinya menyimpan kekayaan di bidang seni dan budaya yang melimpah. Di bidang kesenian, khususnya seni musik tradisional, secara umum masyarakat Sasak memiliki dua katagori yaitu katagori musik vokal dan musik instrumental. Pada katagori musik vokal terdapat kelompok sekar alit, sekar madya, dan sekar ageng. Sedangkan pada katagori musik instrumental terdapat berbagai ragam bentuk dan jenis musik tradisional baik dalam bentuk instrumen tunggal seperti, preret, redep, penting/mandolin, suling, rantok, gula gending maupun dalam ensambel besar seperti gendang beleq, tawaq-tawaq, barong tengkoq, kelentang, rebana gending, cilokak, gong suling hingga gamelan gong kebyar. Keberadaan berbagai bentuk dan jenis musik tradisional tersebut saat ini masih tersimpan rapi, hanya difungsikan pada saat-saat tertentu dan dari sekian banyak potensi yang dimiliki hanya sebagian kecil yang masih eksis di masyarakat. Masyarakat luas mungkin hanya mengenal gendang beleq sebagai satu-satunya musik tradisional Sasak dan di kalangan masyarakat Sasak sendiri di samping gendang beleq mereka cukup mengenal kecimol yang saat banyak diperbincangkan oleh berbagai kalangan masyarakat untuk dilarang dalam prosesi nyongkolan karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Dari pemahaman kata ―Sasak‖ yang berarti satu-satunya dan ―Lombok‖ yang berarti lurus, lempeng, masyarakat Sasak kemudian melihat dirinya sebagai masyarakat Islam sejati yang dari awal keberadaannya di Gumi Sasak. Itulah sebabnya kemudian sering didengar kata-kata ―dengan Sasak nu Dengan Islam‖ yang bermakna ―orang Sasak itu Orang Islam‖1 Adanya pemahaman tersebut menimbulkan pemikiran bahwa tata-budaya adat Sasak, falsafah hidup semuanya bersumber pada Islam. Jika ada yang bersumber dari luar Islam maka ia tidak dihapuskan melainkan dibersihkan dengan Islam atau diislamkan.2

1 Periksa tulisan Lestari yang berjudul Islam Sasak: Paradigma Lokalisme Sebagai Fondasi Artikulasi Islam Masyarakat Sasak dalam Buku Lombok Mirah Sasak Adi: Sejarah Sosial, Islam, Budaya, Politik dan Ekonomi Lombok. 2011.l p: 162. 2 ibid. p:164

78

Pembersihan dalam upaya pemurnian identitas primodial dan identitas cultural masyarakat Sasak berimbas negatif terhadap keberadaan berbagai seni, tradisi dan budaya Sasak. Pembersihan dan pengislaman tata budaya adat Sasak mengarah kepada wacana haramisasi terhadap berbagai bentuk seni tradisi dan tata budaya adat Sasak. Inilah yang akhirnya menyebabkan terjadinya kemunduran kehidupan seni budaya. Sebagaimana diungkap oleh Zuhdi (2011), pada tahun 1955 di Bengkel, Lombok Barat, Tuan Guru Haji Saleh Hambali menghapus kawin lari (merariq) karena dianggap manifestasi hinduisme dan tidak sesuai dengan Islam3. Selanjutnya Idrus (1976), mengatakan ketika masyarakat setempat masih meyakini waktu telu, kesenian tumbuh dengan subur dan banyak peminatnya. Akan tetapi setelah mereka melepaskan paham tersebut dan mengenal syariat Islam, kesenian mengalami kemunduran dan kehilangan peminat. Hal ini disebabkan oleh fatwa-fatwa tokoh-tokoh agama/Tuan Guru yang mengatakan kesenian adalah dilarang secara Islam (dalam Yaningsih, 1991/1992).4 Di lain pihak, Ninuk Kleden menemukan pada tahun 1980an gamelan gendang beleq mengalami kehancuran karena beberapa oknum dari kalangan agamawan (tuan guru) yang melontarkan fatwa bahwa bahwa gendang beleq bertentangan dengan syariat Islam karena terbuat dari logam (dalam Tommy Christomi dan Untung Yuwono, 2004).5 Ancaman lain terhadap keberadaan seni, tradisi dan budaya Sasak datang dari luar yaitu kuatnya arus modernisasi dan globalisasi yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat. Globalisasi sebagai fenomena yang universal sangat sulit untuk dibendung dan mampu menerobos masuk ke berbagai wilayah serta mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat di seluruh dunia. Fenomena ini memaksa masyarakat untuk menerima kehidupan yang baru yang lebih terbuka dengan masuknya nilai-nilai budaya baru ke dalam berbagai aspek kehidupan. Globalisasi berpengaruh terhadap terjadinya homogenisasi budaya yaitu penyeragaman budaya dunia berdasarkan satu model dan strategi kebudayaan.6 Pilliang (2005) mengatakan, memasuki millennium ke tiga ini perkembangan arus globalisasi dan budaya massa telah menggeser keberadaan berbagai bentuk kesenian lokal, termasuk seni tradisi.7 Terbukti bahwa saat ini seni tradisi telah tergeser di dalam kehidupan masyarakat Sasak. Seni tradisi dianggap sesuatu yang kuno tidak searah dengan modernisasi yang diharapkan dan diidam-idamkan oleh masyarakat Sasak. Berbagai ikon budaya Barat mulai merambah dan memarjinalkan nilai-nilai tradisi yang sudah lama mengakar. Masyarakat tidak lagi mengenal alat musik tawaq-tawaq, kelentang, barong tengkok, dan yang lainnya. Kecimol dengan gaya Dangdut Koplo serta beberapa instrumen musik barat dan spiker yang begitu menggelegar mengalahkan superioritas gendang beleq sebagai pengiring prosesi nyongkolan. Inilah yang mendorong penulis untuk mengangkat topik ini sebagai bahan diskusi karena revitalisasi sebagaimana definisinya adalah merupakan proses menghidupkan dan menggiatkan musik tradisional Sasak sebagai salah satu identitas budaya Sasak. Adapun pokok bahasan yang akan didiskusikan yaitu: apa mekanisme yang dilakukan dalam revitalisasi musik tradisional Sasak dan bagaimana upaya pengembangan musik tradisional Sasak di era globalisasi.

REVITALISASI MUSIK TRADISIONAL SASAK Revitalisasi sebagai upaya untuk menghidupkan atau menggiatkan lagi musik tradisional Sasak. Menghidupkan musik tradisional juga berarti menghidupkan budaya lokal dan identitas

3 M.H. Zuhdi, Tradisi Merariq. Akulturasi Islam dan Budaya Lokal dalam Buku Lombok Mirah Sasak Adi: Sejarah Sosial, Islam, Budaya, Politik dan Ekonomi Lombok. 2011.l p: 112 4 Sri Yaningsih, Deskripsi Tari Gendang Beleq, Daerah Nusa Tenggara Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kantor Wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat. Proyek Pembinaan Kesenian NTB.1991/1992. p:32 5 Tommy Christomi dan Untung Yuwono. Semiotika Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Pada Masyarakat Universitas Indonesia. 2004:210-211 6 Yasraf Amir Piliang. 2004. Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Yogyakarta:Jalasutra. p. 287 7 Yasraf Amir Piliang. 2005. Transpolitika: Dinamika Politik di Dalam Era Virtualitas. Yogyakarta:Jalasutra. p. 311

79

lokal. Budaya lokal menurut Featherstone adalah sebuah kebudayaan dari ruang yang relatif kecil yang di dalamnya individu-individu yang hidup di sana melakukan hubungan sehari-hari secara face to tace. Penekanannya adalah sifat kebudayaan sehari-hari yang a take for granted, kebiasaan (habit) dan repetitive. Budaya lokal dibentuk oleh struktur sosial yang mapan dan bentuk-bentuk hubungan sosial yang hangat, intim, personal, yang merekat berbagai komponen sosial secara kuat, yang mencakup budaya-budaya yang berlandaskan ideologi kesukuan, kedaerahan, atau keagamaan.8 Identitas lokal merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Krisis identitas muncul ketika apa-apa yang telah melekat dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat lagi dipertahankan, oleh karena direnggut oleh nilai-nilai yang berasal dari luar.9 Musik tradisional Sasak sebenarnya memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat terutama pada aktivitas yang berkaitan dengan prosesi ritual adat. Musik tradisional biasanya dipergunakan pada prosesi ritual adat gama, adat luir gama, berbagai tradisi yang berhubungan dengan gawe urip. Namun demikian, dengan semakin memudarnya kesadaran budaya dan pemahaman tentang tradisi dan budaya di kalangan masyarakat Sasak, hal ini berdampak negatif terhadap ekesistensi dan pelaksanaan ritual adat. Penggunaan alat musik tradisional sudah mulai semakin berkurang sehingga banyak di antara alat musik tradisional tersebut tidak terpakai dalam pelaksanaan ritual adat. Terkait dengan topik bahasan dari peper ini, revitalisasi musik tradisional Sasak dilaksanakan dengan beberapa langkah antara lain: inventarisasi, identifikasi dan mendeskripsikan berbagai jenis musik tradisional Sasak.

INVENTARISASI Inventarisasi adalah langkah awal yang dilakukan dengan mendata dan menginventarisir jumlah jenis musik tradisional Sasak. Dari upaya yang dilakukan dalam menginventarisir jenis alat musik tradisional Sasak, ditemukan beberapa jenis musik tradisional yang tergolong instrumen tunggal dan beberapa jenis musik tradisional terhimpun dalam ensambel yang besar. Adapun alat musik yang dapat dikatagorikan sebagai instrumen tunggal diantaranya: preret, penting/mandolin, redep, suling belo (panjang), sembir bambu, gambus dan gula gending. Dikatagorikannya beberapa instrumen di atas sebagai instrumen tunggal karena instrumen- instrumen tersebut dapat dimainkan secara tunggal atau solo oleh seorang seniman. Instrumen preret contohnya, instrumen ini biasa dimainkan secara tunggal untuk mengiringi sebuah prosesi upacara tanpa ada instrumen lain yang mengikuti. Sebagaimana dikatakan oleh Harnis (1991)10. The preret is associated with deities among both Sasak and Balinese. Its initial performance at Lingsar demarcates the beginning of the festival for the Sasak, and its concluding performance (when the momot bottle is opened) signifies the end of the festival for everyone. The Lombok Balinese often use the preret for other tample festivals, but tradition is very clearly a Sasak activity at Lingsar, and performance at shrines or tamples appears to have originated with the Sasak. The Balinese say that it is important to have the sound of preret at Lingsar to add to and complete the sense of festival, but at that performance in the kemaliq is sufficient. They also acknowledge the preret crutial function in inviting the deities to descend into the altars and stay there throughout the festival’s duration. All Participants confirm that the preret creates a powerful expression of faith and praise.

artinya: Preret erat kaitannya dengan Dewa di antara Sasak dan Bali. Ini merupakan awal dari pertunjukan di Lingsar untuk memulai upacara untuk orang Sasak dan juga menutup acara sebagai penanda selesainya upacara untuk semua peserta. Masyarakat Bali di Lombok sering menggunakan preret untuk upacara di pura yang lain. Akan tetapi tradisi ini murni merupakan aktivitas orang-orang Sasak di Lingsar, dan kegiatan di kuil atau pura, asli merupakan berasal dari orang Sasak. Orang-orang Bali

8 Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. 2004. p:286. 9 ibid. p:279. 10 Harnis, David D. 1991. Music at the Lingsar Temple Festival: The Encapsulation of meaning in the Balinese/Sasak interface in Lombok, Indonesia. University of California, Los Angeles. p: 197-198

80

mengatakan memainkan preret di Lingsar sangat penting untuk menambah dan melengkapi setiap prosesi upacara, tapi pertunjukan tersebut di Kemaliq sudah cukup. Mereka juga mengakui preret memiliki fungsi yang sangat penting untuk menghadirkan para Dewa untuk turun ke dalam altar dan tinggal di sana sepenuhnya selama upacara berlangsung. Semua peserta upacara mengatakan bahwa preret menciptakan ekspresi kekuatan kepercayaan dan pujian.

Apa yang diilustrasikan oleh Harnis, bahwa instrumen preret walaupun instrumen tunggal, memiliki peran yang sangat penting dalam prosesi ritual upacara di Pura Lingsar. Selain preret, instrumen tunggal lainnya yang memiliki fungsi penting adalah instrumen gula gending, instrumen ini biasanya dimainkan secara tunggal oleh seorang seniman sambil menjajakan dagangannya berupa manisan gula serabut. Instrumen tersebut berfungsi untuk memanggil atau pengalihkan perhatian orang kepada sumber bunyinya. ketika orang tertari mendengar lagu yang dimainkan orangpun akan membeli manisan gula serabut. Selain instrumen tunggal, terdapat beberapa jenis instrumen yang tergabung dalam ensambel yang besar. Dari hasil inventarisasi yang dilakukan pada tahap pertama dari penelitian ini, diperoleh beberapa jenis ensambel musik tradisional Sasak, di antaranya: gendang beleq, tawaq-tawaq, barong tengkok, kelentang, rebana gending, tambur, gula gending dan gong suling.

IDENTIFIKASI Identifikasi adalah sebuah proses menetapkan dan menentukan identitas dari instrumen musik tradisional Sasak. Dalam mengidentifikasi alat musik tradisional Sasak dilakukan pengelompokan mengacu kepada klasifikasi sebagaimana yang digunakan oleh Curt Sachs dan Eric M. Von Hornbostel sebagaimana diuraikan dalam bukunya The History of Musical Instrumen11. 1) Idiofon Idiofon merupakan jenis instrumen yang bunyinya ditimbulkan oleh bahannya sendiri. Instrumen jenis ini bunyinya muncul karena dipukul, baik dipukul dengan mempergunakan tangan atau mempergunakan alat pukul lainnya. Apabila klasifikasi ini dilihat pada masing-masing ensambel yang ada dalam musik tradisional Sasak maka instrumen Sasak yang tergolong idiofon dapat diuraikan sebagai berikut. a) Gendang Beleq: gong, kempul, petuk, ceng-ceng dan reyong. b) Barong Tengkok: gong, kempul, petuk, ceng-ceng dan reyong, c) Tawaq-tawaq: gong, kempul, petuk, tawaq-tawaq, oncer, ceng-ceng, dan reyong d) Kelentang: gong, kempul, pamugeh, kelentang, ceng-ceng ricik, dan petuk/kajar e) Tambur: kempur/tawaq-tawaq, kenot, ceng-ceng ricik, dan kajar. f) Gong Suling: gong, kempul, petuk, ceng-ceng ricik, ceng-ceng penyelar. g) Rebana gending: ceng-ceng Sebagian besar dari beberapa instrumen yang disebutkan di atas adalah instrumen yang terbuat dari besi dan perunggu. Selain ensambel dalam jumlah besar, terdapat instrumen yang bersifat individual yang tergolong instrumen idiofon yaitu instrumen gula gending yang terbuat dari aluminium. Di dalam musik tradisional Sasak yang tergolong instrumen idiofon, juga terdapat instrumen yang sumber bunyinya terbuat dari kayu seperti rantok dan cungklik. 2) Membranofon Membranofon merupakan jenis instrumen yang sumber bunyi atau suaranya berasal dari kulit atau membran. Adapun instrumen-instrumen yang tergolong membranofon di antaranya: gendang dan rebana. Kalau dilihat fisiknya, terdapat berbagai jenis gendang dengan ukuran terbesar berdiameter 60 cm dan terkecil berukuran 25 cm. Di dalam musik tradisional Sasak juga terdapat gendang berbentuk cembung sebagaimana digunakan

11 I Made Mandem, Gamelan Bali Di Atas Panggung Sejarah, 2013. p:121

81

dalam ensambel barong tengkok. Selain gendang jenis instrumen membranofon lainnya adalah rebana. Di dalam ensambel rebana gending terdapat berbagai jenis rebana dengan ukuran yang berbeda-beda yang masing-masing memiliki nama sesuai dengan fungsinya dalam ensambel tersebut. Ada rebana gong, rebana kempul, rebana gendang, rebana petuk, serta rebana yang berfungsi sebagai instrumen melodi. 3) Kordofon Kordofon adalah instrumen yang bunyinya timbul dari adanya dawai atau senar yang dikencangkan dan dimainkan dengan cara dipukul, digesek, dipetik maupun ditarik. Adapun alat musik tradisional Sasak yang masuk dalam klasifikasi kordofon antara lain: redep (rebab), sembir bambu, penting (mandolin), gambus, dan genggong. 4) Aerofon Aerofon merupakan klasifikasi instrumen yang suaranya muncul dari adanya pengaturan angin atau udara yang bergerak atau digerakkan. Adapun pengaturan angin atau udara tersebut bisa terjadi secara alamiah, dilakukan oleh manusia serta melalui perantara peralatan lainnya. beberapa jenis instrumen dalam musik tradisional Sasak yang termasuk dalam klasifikasi aerofon terdiri atas: suling dan preret. Kedua jenis instrumen ini bisa dimainkan secara mandiri maupun dimainkan bersama dengan instrumen lainnya.

DESKRIPSI Pendeskripsian terhadap alat musik tradisional Sasak merupakan hal yang sangat perlu dilakukan karena selama ini sulit untuk menemukan deskripsi tentang berbagai jenis ensambel musik tradisional Sasak. Adapun hasil pendeskripsian terhadap musik tradisional Sasak dapat dipaparkan sebagai berikut.12 1) Gendang Beleq Gendang Beleq adalah seperangkat gamelan tradisional Sasak yang di dalamnya terdapat berbagai jenis instrumen yang membentuk satu kesatuan musikal. Sebagai ensambel musik tradisional keberadaannya sangat populer di kalangan masyarakat Sasak dan banyak dipergunakan sebagai musik pengiring prosesi adat yang dilakukan dalam bentuk pawai adat. Berbagai bentuk prosesi adat bisa diiringi dengan gendang beleq terutama prosesi yang berkaitan dengan tradisi luir gama dan tradisi gawe urip. Adapun instrumen yang terdapat di dalam ensambel gendang beleq di antaranya: gendang beleq, ceng-ceng perembaq, riyong, gong, petuk dan suling.

Gamelan Gendang Beleq

12 Deskripsi tentang bentuk dan jenis alat musik tradisional Sasak telah dilakukan pada tahun 2015 pada pelaksanaan Penelitian Hibah Bersaing Tahap I atas nama I Gede Yudarta dan I Nyoman Pasek, dengan judul Revitalisasi Musik Tradisional Prosesi Adat Sasak Sebegai Identitas Budaya Masyarakat Sasak

82

2) Tawaq-Tawaq Gamelan tawaq-tawaq adalah seperangkat alat musik tradisional Sasak yang sering dimainkan untuk mengiringi berbagai bentuk prosesi ritual adat Sasak. Dinamakan gamelan tawaq-tawaq karena di dalam ensambel tersebut terdapat instrumen tawaq- tawaq yang merupakan instrumen penting dalam ensambel tersebut. Secara umum, gamelan tawaq-tawaq merupakan sebuah ensamble yang di dalamnya terdapat berbagai jenis instrumen yang masing-masing memiliki bentuk, fungsi serta teknik yang berbeda. Adapun jenis-jenis instrumen yang terdapat di dalam gamelan tawaq-tawaq di antaranya: riyong, kendang, ceng-ceng onggar-onggar, tawaq-tawaq, oncer, dan gong.

Gamelan Tawaq-tawaq

3) Barong Tengkok Barong Tengkoq adalah salah satu ensambel musik tradisional Sasak yang biasanya dipergunakan untuk mengiringi prosesi pawai adat Sasak. Dinamakan Barong Tengkoq karena penyangga instrumen reyong berbentuk barong dan ketika mengiringi prosesi instrumen tersebut dimainkan dengan cara dipangku di atas lengan atau bahu yang dalam bahasa Sasak disebut dengan ―tengkoq‖. Orkestrasi gamelan ini terdiri atas beberapa instrumen di antaranya: riyong, kendang, ceng-ceng kopyak, ceng-ceng penyelar, suling, preret, petuk dan gong.

Gamelan Barong Tengkoq 4) Kelentang Kelentang merupakan seperangkat alat musik tradisional yang biasanya dimainkan sebagai musik instrumental dan iringan tari. Di dalam fungsinya sebagai musik instrumental gamelan kelentang dimainkan dalam posisi duduk dan berjalan. Sebagai

83

satu kesatuan sebuah ensambel, didalamnya terdapat beberapa instrumen yang merupakan perpaduan antara instrumen berpencon, berbilah dan rebana. Adapun instrumen yang terdapat di dalam ensambel musik kelentang diantaranya: kelentang, kendang, pemugeh, ceng-ceng, rincik, gong, kempul, kajar, preret dan suling.

Gamelan Kelentang 5) Rebana Gending Rebana Lima atau sering juga disebut dengan rebana gending adalah seperangkat alat musik tradisional Sasak yang mendapat pengaruh dari budaya Islam. Ensambel ini diperkirakan mulai muncul pada awal abad ke XIX di mana pada saat itu sedang gencar- gencarnya propaganda keagamaan yang dilakukan oleh para ulama di Lombok. Disebut dengan rebana lima karena sebagian besar ensambel tersebut didominasi oleh instrumen rebana dengan berbagai ukuran dari kecil hingga rebana yang besar dan memiliki 5 nada dalam 1 oktafnya. Salah satu ciri khas dari ensamble ini adalah rebana-rebana tersebut ada yang difungsikan sebagai gendang, gong, kempul, gendang dan terdapat beberapa rabana yang bernada. Di samping instrumen dalam bentuk rebana juga terdapat beberapa instrumen lain seperti: rincik dan suling.

Rebana Gending 6) Gula Gending Gula Gending merupakan salah satu instrumen yang bersifat individual yang biasanya dimainkan secara perorangan. Alat musik ini terbuat dari bahan aluminium dan tergolong alat musik perkusi yaitu yang dipukul dengan menggunakan jari tangan pada bagian sisi luar dari kotak-kotak nada yang menyatu dengan tempat gula. Dari hasil pengamatan di lapangan, setiap unit peralatan tersebut masing-masing memiliki tangga nada pentatonic yang berbeda-beda. Ada yang bertangga nada pelog dan ada yang bertangga nada selendro. Instrumen gula gending biasanya digunakan oleh para pedagang manisan ―gula serabut‖ untuk memanggil para pembeli yang biasanya dari kalangan anak-anak. Instrumen ini dimainkan dengan cara digendong sambil memainkan lagu-lagu yang diambil dari

84

gending-gending Sasak dan lagu-lagu yang popular di kalangan anak-anak. Di samping sebagai instrumen untuk berjualan, sebagai sebuah alat musik tradisional, gule gending juga sering dipadukan dengan beberapa instrumen lain dan membentuk sebuah ensambel musik tradisional. Adapun peralatan atau instrumen yang melengkapi di antaranya: Gula Gending, Rincik, Rebana Gong, rebana Petuk, Suling.

Gula Gending 7) Tambur Gamelan Tambur merupakan ensambel musik tradisional Sasak yang biasanya dipergunakan untuk tari Telek dan Tari Batek Baris. Gamelan ini diperkirakan sudah ada sejak abad ke XVII dan merupakan salah satu bentuk kesenian sakral. Gamelan tambur merupakan kesenian yang wajib ditampilkan pada saat pujawali di Pura Lingsar. Adapun ensambel ini terdiri atas beberapa instrumen yaitu: tambur, kendang, kempur, kajar, kenot, rincik, suling, redep.

Gamelan Tambur 8) Gong Suling Gong Suling merupakan sebuah ensambel musik tradisional Sasak yang mempergunakan suling sebagai instrumen mayor. Sebagai sebuah ensambel, di dalam gamelan gong suling terdapat beberapa jenis dan ukuran suling yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda di dalam memainkan sebuah komposisi. Di samping instrumen suling, terdapat

85

beberapa instrumen lain yang melengkapi gong suling dan membentuk sebuah ensambel. Adapun instrumen-instrumen yang terdapat di dalam ensambel gamelan gong suling selengkapnya adalah: Suling, kendang, penyelar, petuk, rincik, kempur dan gong.

Gamelan Gong Suling

PENGEMBANGAN MUSIK TRADISIONAL SASAK DI ERA GLOBALISASI Kian merebaknya globalisasi yang ditandai dengan terjadinya homogenisasi budaya atau imprialisme budaya sering diangkap ancaman bagi eksistensi dan keberlanjutan budaya-budaya lokal. Namun demikian dibalik ancaman tersebut, ada pemikiran bahwa modernisasi dan globalisasi bukanlah fenomena yang harus dihindari. Ahmed Gurnah melihat globalisasi budaya tidak sederhana sebagai sebuah homogenisasi budaya. Proses interaksi, pertukaran, dan pengaruh intercultural yang rumit dan kompleks, yang justru dapat bersifat positif, konstruktif, dan produktif bagi budaya lokal.13 Selanjutnya Gurnah juga mengatakan pengalaman sebuah kebudayaan bergaul dengan budaya asing semuanya bersifat parsial, tidak pernah superficial dan total. jarang sekali sebuah kebudayaan asing yang selama ini disebut imprialis-dapat menggantikan atau mengambil alih kebudayaan lokal.14 Pada prinsipnya, kalau pemahaman budaya dan kesadaran budaya kita tinggi serta memiliki kecerdasan dan kemampuan untuk memanfaatkannya untuk memajukan budaya tradisional, hal ini akan menjadi media yang sangat membantu dalam penggalian, pelestarian dan pengembangan musik tradisional Sasak. Namun sebaliknya, ketika pemahaman dan kesadaran kita tentang budaya lemah maka seni tradisi dan budaya lokal lambat laun akan tergerus oleh budaya asing yang selalu kita anggap moderen dan menjadi kebanggaan. Terkait dengan pengembangan musik tradisionla Sasak, pengembangan model musik kreatif dilakukan dengan dua model yaitu pengembangan intra musikal dan pengembangan ektra musikal. Terkait dengan hal tersebut upaya-upaya yang dilakukan dapat diuraikan sebagai berikut.

PENGEMBANGAN INTRA MUSIKAL Pengembangan secara musikal adalah model pengembangan musik dengan mengekplorasi aspek-aspek musikal yang terdapat di dalamnya, seperti melodi, irama/ritme, dinamika dan tempo sehingga nantinya membentuk harmoni sebagai satu kesatuan komposisi baru. Dalam percobaan model pengembangan ini, dipergunakan beberapa ensambel yang keberadaannya kurang begitu populer di masyarakat seperti, kelentang, tawaq-tawaq, rebana gending, sembir bambu, gula gending dengan penambahan beberapa instrumen tunggal seperti preret, penting/mandolin sesuai dengan kebutuhan garapan. Dilakukannya pengembangan terhadap beberapa ensambel di atas karena sebagian besar komposisi yang dimainkan masing dengan pola musikal yang sederhana. Seperti halnya tawaq-tawaq, gending-gending yang dimainkan sebagian besar memiliki kesan yang sama. Walaupun terdapat banyak gending seperti gending alu aiq, bendere, dan beberapa gending

13 Dalam Yasraf Amir Piliang. 2004. Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Yogyakarta:Jalasutra. p. 292. 14 ibid. p:292

86

lainnya, namun belum terdapat perbedaan yang jelas antara gending satu dengan gending lainnya. Hal ini disebabkan pola melodi, irama, serta dinamikanya belum pernah digarap secara maksimal. Di dalam upaya pengembangan aspek intra musikalnya akan dicoba untuk memasukkan dan pengolahan melodi, irama, dinamika serta tempo yang baru, berbeda dengan yang sudah ada sebelumnya. Selain itu, akan dilakukan juga pengembangan struktur dan komposisi sehingga gending tersebut memiliki struktur yang jelas antara bagian-bagian yang terdapat di dalamnya. Dari pengolahan unsur musikal ini diharapkan akan memberikan kesan yang berbeda gending-gending tawaq-tawaq menjadi lebih terstruktur dalam penyajian komposisinya. Selain pengembangan terhadap unsur-unsur musikalnya, pengembangan musikal juga dilakukan dengan penggabungan beberapa instrumen atau bahkan beberapa ensambel menjadi sebuah karya yang inovatif. Terkait dengan pengembangan model ini telah dilakukan upaya percobaan dengan menggabungkan beberapa instrumen atau antara dua ensambel sebagai sebuah karya yang kolaboratif dan inovatif.

PENGEMBANGAN EKSTRA MUSIKAL Menariknya sebuah sajian musik tidak saja tergantung pada faktor musikalnya, namun juga adanya dukungan dari aspek non musikal atau di luar musik seperti penataan sound system, penataan lighting (sistem pencahayaan) serta penataan panggung tempat di mana musik itu disajikan. Kurangnya penggunaan teknologi modern untuk mendukung penyajian musik Sasak, menjadikan penyajiannya kurang menarik dan terkesan asal-asalan. Seringkali terjadi pertunjukan di masyarakat di mana musik ditempatkan di pojok ruangan yang memiliki ukuran terbatas sehingga penataan instrumen menjadi kurang baik. Apalagi tidak didukung dengan sistem pencahayaan yang memadai, sehingga penyajiannya menjadi kurang menarik. Di jaman modern saat ini, ketersediaan berbagai piranti dalam bentuk hardware dan software khususnya peralatan sound system dan lighting yang sangat canggih adalah merupakan sarana yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang dan meningkatkan penyajian musik tradisional. Dengan adanya dukungan dari kedua piranti tersebut, kualitas bunyi/suara musik, serta penampilan para senimannya akan dapat ditingkatkan sehingga menjadi sebuah sajian yang menarik.

PENUTUP Revitalisasi sebagai aktivitas untuk menghidupkan kembali musik tradisional Sasak penting dilaksanakan dalam rangka menghidupkan kembali budaya lokal dan identitas lokal yaitu identitas budaya Sasak. Aktivitas ini penting untuk dilaksanakan karena di dalam tradisi budaya Sasak terdapat nilai-nilai yang sangat luhur yang selama berabad-abad lamanya menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Suku Sasak. Mempertahankan nilai-nilai dan identitas budaya Sasak merupakan hal yang penting dilakukan oleh seluruh masyarakat untuk senantiasa dapat mempertahankan jatidirinya sebagai salah satu suku yang bermartabat. Dalam revitalisasi musik tradisional Sasak, terdapat beberapa langkah-langkah yang dapat disimpulkan sebagai berikut. Mekanismenya dilaksanakan dengan beberapa tahapan yaitu inventarisasi, identifikasi dan melakukan deskripsi terhadap bentuk dan jenis instrumen serta ensambel musik tradisional Sasak. Sedangkan dalam proses pengembangannya dilakukan pengembangan model musik kreatif yang mengarah kepada pengembangan aspek musikal berkaitan dengan prinsip serta unsur musikal dan pengembangan ekstra musikal berupa pengembangan pada hal-hal yang ada di luar konteks musikal seperti, tata panggung, tata cahaya serta pemanfaatan sound system guna meningkatkan performalitas dari penyajian musik tradisional. Menghadapi arus globalisasi yang bergerak secara sistematis, harus diimbangi dengan langkah-langkah yang juga sistematis dan nyata dengan memberikan penguatan dan pemahaman bagi seluruh komponen masyarakat tentang pentingnya nilai-nilai budaya lokal. Perlu sinergi

87

antara pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat, agamawan, budayawan, seniman dan masyarakat pada umumnya di dalam upaya mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal yang sudah mengakar dan menjadi pedoman dan pandangan hidup bagi orang Sasak.

DAFTAR PUSTAKA Bandem, I Made. 2013. Gamelan Bali Di Atas Panggung Sejarah. BP. STIKOM Bali Christomy, T. Dan Untung Yuwono. 2004. Semiotika Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Pada Masyarakat Universitas Indonesia. Harnis, David D. 1991. Music at the Lingsar Temple Festival: The Encapsulation of meaning in the Balinese/Sasak interface in Lombok, Indonesia. University of California, Los Angeles. Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Yogyakarta:Jalasutra. Piliang, Yasraf Amir. 2005. Transpolitika: Dinamika Politik di Dalam Era Virtualitas. Yogyakarta:Jalasutra. Syam, H. Nur. 2008. Islam Lokal: Akulturasi Islam di Bumi Sasak. Lombok Tengah: STAIIQH Press. Taufan, Naniek I. 2012. Tradisi Dalam Siklus Hidup Masyarakat Sasak, Samawa dan Mbojo. Bima: Museum Kebudayaan Samparaja. Wacana, Lalu. 1977/1978. Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Yaningsih, Sri. 1988. Peralatan Hiburan dan Kesenian Tradisional Daerah Nusa Tenggara Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Yaningsih, Sri. 1991/1992. Deskripsi Tari Gendang Beleq, Daerah Nusa Tenggara Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kantor Wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat. Proyek Pembinaan Kesenian NTB. Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara. 1992. Profil Propinsi Republik Indonesia, Nusa Tenggara Barat. Jakarta: PT. Intermasa. Yudarta, I Gede., I Nyoman Pasek. 2015. ―Revitalisasi Musik Tradisional Prosesi Adat Sasak Sebegai Identitas Budaya Masyarakat Sasak‖. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Institut Seni Indonesia Denpasar Yudarta, I Gede., Ni Wayan Ardini. 2010. ―Potensi Seni Pertunjukan Bali Sebagai Penunjang Industri Pariwisata Di Lombok Barat‖. Hasil Penelitian Hibah Bersaing yang didanai dengan Dana DIPA Institut Seni Indonesia Denpasar, Direktorat Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan Nasional No. 0162/023-04.2/XX/2010 Yudarta, I Gede., Ni Wayan Ardini. 2011. Potensi Seni Pertunjukan Bali Sebagai Penunjang Industri Pariwisata Di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat‖. Hasil Penelitian Hibah Bersaing yang didanai dengan Dana DIPA Institut Seni Indonesia Denpasar, Direktorat Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan Nasional No. 26/I5.3/PG/2011. Zuhdi, Muhamad Harfin. Dkk. 2011. Lombok Mirah Sasak Adi. Sejarah, Sosial, Islam, Budaya, Politik dan Ekonomi Lombok. Jakarta: Imsak Press.

88

REVITALISASI KEARIFAN LOKAL DALAM PUSARAN ARUS GLOBALISASI: STUDI KASUS GELIAT MUSIK MANDOLIN "BUNGSIL GADING"

I Komang Sudirga Jurusan Seni Karawitan, Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Denpasar Email : [email protected]

Abstrak Seni tradisi menghadapi tantangan hebat di tengah pusaran arus globalisasi. Peta kognisi yang menganggap budaya modern selalu lebih hebat telah menyebabkan sebagian tradisi tergusur di pojok tradisi. Tulisan ini mencoba mengungkap salah satu fenomena seni tradisi yakni Musik Mandolin yang sempat terpinggirkan namun dengan kesadaran baru para pendukungnya kini mampu bangkit, bergeliat dalam pergulatan hiruk pikuk pentas musik modern yang semakin kompetitif. Geliat Mandolin sebagai bentuk seni presentasi estetis (musik seni), tidak lepas dari sikap kreatif para kreator dengan sentuhan reinterpretasi, rekontekstualisasi serta adaptasi dan modifikasi. Pengalihan nilai-nilai baru didahuui sejumlah tahapan proses adaptasi dengan mengikuti, mengamati, mencermati dan menginterpretasi berbagai gejala dan perubahan yang terjadi dalam lingkungan sosial secara dinamis. Secara teks dan konteks Mandolin Bungsil Gading bergeliat dengan potensi kearifan lokal menuju seni presentasi estetis yang berdialektika dalam ranah lokal-global. kata kunci: mandolin, kreativitas, dinamika, glokal.

LATAR BELAKANG MASALAH Modernisasi dan globalisasi telah memperkenalkan nilai baru dalam lingkungan tradisi. Karena itu, anggota komunitas pendukung suatu tradisi mengalami proses deferensiasi sosial struktural serta suatu generalisasi nilai, norma, dan makna yang menyertainya (Tri Guna, 2004: 167). Hal ini berarti bahwa setiap orang yang telah tersentuh sistem pengetahuannya dengan nilai- nilai baru maka akan mencoba memberikan makna baru bagi tatanan yang ada sebelumnya, tidak terkecuali pada bidang seni pertunjukan tradisi. Sehubungan dengan sistem pengalihan nilai-nilai baru tentu akan terjadi suatu proses peningkatan adaptasi (adaptative upgrading), tawar menawar nilai (value bargaining), atau adaptasi dengan modifikasi (adaptive modification). Mengingat lingkungan yang diadaptasi juga terus berubah maka dalam proses adaptasi akan selalu mengikuti, mengamati, dan menginterpretasi berbagai gejala dan perubahan yang terjadi dalam lingkungan sosialnya secara dinamis. Globalisasi yang menancapkan ideologi dan beberapa perangkat yang mengikutinya pada beberapa kasus telah menyebabkan tergusurnya sebagian tradisi, sementara sebagian yang masih bertahan hidup telah mengalami pendangkalan makna, pergeseran fungsi ke arah kenikmatan yang bersifat superfisial (permukaan) sehingga muatan spiritualnya menjadi tidak diperhatikan lagi. Perkembangan arus media elektronik dan teknologi informasi yang begitu pesat, tak khayal menjadi salah satu pemicu menurunnya antusiasme masyarakat terhadap kegairahan seni pertunjukan tradisi. Bagaimana tidak, penonton lebih suka menyaksikan tayangan seni di televisi dari pada menonton pertunjukan di wantilan. Akibatnya seni tradisi semakin terpinggirkan, tersisih di pojok tradisi. Sikap dan perilaku pendukung kesenian seperti ini tentu akan menimbulkan ancaman serius bagi kelangsungan hidup seni tradisi di masa mendatang. Menghadapi situasi yang rawan seperti ini maka diperlukan strategi dan politik kesenian untuk mencegah terjadinya kemerosotan seni pertunjukan tradisi yang akhir-akhir ini tampak semakin mengkhawatirkan. Dalam banyak hal kesenian tradisi juga telah kehilangan esensi maknanya yang sejati. Pergeseran makna dan degradasi muatan nilai seni tradisi terkadang tidak lepas dari lemahnya idealisme seniman yang terseret oleh selera pasar, kebutuhan ekonomi, atau pemenuhan keinginan dan pemuasan atas hasrat penonton yang butuh hiburan, sehingga nilai-nilai tradisi yang melekat sebelumnya sering

89

kali harus dikorbankan demi pemenuhan selera. Bahkan tidak jarang penonton menginginkan suatu sajian yang serba wah, serba ramai, serba gemerlap tanpa memikirkan aspek-aspek yang bertalian antara "teks dan konteks". Modernisasi dan globalisasi bagi masyarakat mana pun sulit untuk dibendung, terlebih masyarakat Bali yang berinteraksi langsung dengan pariwisata dunia maka hal ini mengakibatkan masyarakat Bali mengalami perubahan sosial yang hebat dan kompleks sehingga rentan mengancam identitas kebudayaannya. Sejalan dengan teori perubahan (Kodiran, 1998) semua benda selalu mengalami perubahan, termasuk didalamnya hasil-hasil kebudayaan. Pada kenyataannya memang tidak ada yang kekal di muka bumi ini, kecuali peristiwa perubahan yang terjadi melalui proses-proses tansformasi, transisi, evolusi dan reformasi. Kesemuanya itu berlaku baik pada alam maupun pada manusia, termasuk seluruh hasil karya dan kebudayaannya. Perubahan kebudayaan adalah suatu proses pergeseran, pengurangan, penambahan unsur sistem budaya karena adanya penyesuaian dalam rangka menghadapi masalah lingkungan. Hal ini terjadi karena dinamika dalam masyarakat itu sendiri dan adanya interaksi dengan pendukung kebudayaan lain. Kebudayaan berubah oleh karena bersifat adaptif. Sifat adaptif ini yang menyebabkan kebudayaan bergerak secara dinamis. Menurut Edi Sedyawati dan Sapardi Djokodamono (1983: ix), perubahan kebutuhan-kebutuhan hidup, perubahan nilai-nilai yang dianut memberi pengaruh pula pada kembang surutnya berbagai cabang kesenian. Perkembangan dan perubahan suatu kesenian dapat disebabkan oleh dua faktor yakni faktor internal dan eksternal. Fenomena internal yang mendorong perubahan menurut Geriya (2008: 1) adalah transformasi struktur masyarakat agraris ke masyarakat industri dan jasa; perubahan ekologi daerah Bali serta perkembangan visi orang Bali sebagai etnik Bali sekaligus nasion Indonesia melalui kemajuan pendidikan. Sementara fenomena eksternal yang mendorong perubahan mencakup dampak dari revolusi dalam bidang telekomunikasi, transportasi, perdagangan bebas, industri pariwisata, dan intensifnya sentuhan peradaban global. Kesenian Bali sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia yang bersifat Bhinneka Tunggal Ika, tumbuh dengan spirit lingkungan kebudayaan yang dijiwai oleh agama Hindu. Namun demikian masyarakat Bali yang bersifat terbuka juga memberikan peluang berkembangnya seni- seni yang multikultur sebagai perpaduan dari berbagai kebudayaan yang saling memengaruhi. Salah satu bentuk kesenian tersebut adalah musik Mandolin Bungsil Gading. Musik mandolin yang ada di Desa Pupuan, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan, tidak dapat dipisahkan dari jasa I Ketut Lastra yang akrab dipanggil Pan Sekar (Alm). Ia adalah orang pertama yang membuat Mandolin di Desa Pupuan. Konon Mandolin adalah alat musik Cina yang dibawa oleh warga Cina (Tionghoa) yang kemudian ditinggalkan pada masa penjajahan Jepang. Sekitar tahun 1930-an mandolin dibawa oleh seorang warga Tionghoa sebagai teman Pan Sekar berasal dari Temukus Buleleng. Namun, ketika itu bentuknya agak berbeda tidak seperti Mandolin sekarang ini yang oleh warga Tionghoa alatnya mendekati seperti alat musik kecapi, namun oleh Pan Sekar bentuk dan cara memainkannya dirubah seperti mandolin sekarang ini (wawancara, dengan I Made Wiartawan, 25 Juni 2016). Istilah mandolin menurut Gde Mawan berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa nara sumber setempat diduga berasal dari kata mandarin yang lama-kelamaan berubah cara pengucapannya menjadi mandolin, sehingga sampai sekarang alat tersebut dinamakan mandolin (Mawan, 2015) Memang secara musikalitas nuansa lagu mandolin yang dihasilkan sangat cocok untuk membawakan melodi-melodi yang bernuansa mandarin. Karakter suara yang lembut sangat memadai untuk mendukung sajian-sajian musik yang ada unsur vokalnya seperti gendingan, jejangeran, maupun gegenjekan. Di Kecamatan Pupuan, Tabanan ada dua kelompok sanggar Mandolin yaitu Sanggar Mandolin di Desa Pujungan dan Sanggar Mandolin Bungsil Gading di Desa Pupuan. Konon Sanggar Mandolin Desa Pujungan oleh para tokoh diakui juga memang awalnya berasal dari Desa Pupuan,

90

dan dalam perkembangannya secara "teks" masih mempertahankan identitas lokalnya, sementara secara konteks. Mandolin Desa Pujungan difungsikan untuk memenuhi fungsi ritual dan sosial terutama mengiringi tembang-tembang Bali (pupuh Macapat) yang terorganisir dalam Sekaa Pasantian. Keberadaan Mandolin di Desa Pupuan pernah mengalami pasang surut dalam beberapa kurun waktu. Tahun 1991 sampai dengan tahun 2009 adalah masa suram Mandolin Pupuan, sampai akhirnya tahun 2010 mandolin baru berhasil direvitalisasi dan didukung dengan sebuah organisasi baru yang diberi nama sanggar Mandolin "Bungsil Gading". Komunitas baru pendukung kesenian ini mempunyai visi untuk mengembangkan Mandolin dengan gagasan yang lebih kreatif dan inovatif tanpa mengurangi makna nilai estetis dari musik mandolin itu sendiri. "Bungsil Gading" sendiri secara konsep jika dimaknai adalah nama dari sebuah buah kelapa gading yang masih muda, jika tumbuh semakin besar bernama "bungkak" memiliki fungsi yang sangat penting dalam sebuah ritual yang secara filosofis juga bermakna sebagai pelebur, penyucian, dan obat mujarab bagi penderita penyakit tertentu. Dan ketika sudah berumur tua menjadilah kelapa yang dapat dijadikan sebagai bahan upakara seperti nyuh daksina. Begitu dalamnya makna filosofis 'kelapa gading' yang bersentuhan langsung dengan tata laku kehidupan masyarakat secara fungsional maka tidak salah jika komunitas pendukungnya menjadikan bungsil gading sebagai simbol sprit mereka untuk berkreativitas dalam ranah seni. Bangkitnya kesadaran masyarakat Bali dan khususnya seniman di Desa Pupuan untuk merekonstruksi kembali identitasnya berdasarkan formula adat, budaya, dan agama tidak lepas dari kekhawatiran masyarakat setempat dalam menghadapi tekanan arus globalisasi yang telah menimbulkan kegelisahan-kegelisahan. Orang Bali merasa asing di tanahnya sendiri akibat desakan kaum pendatang dan agen kapitalisme telah menimbulkan maraknya komersialisasi budaya, desakralisasi, dan alih fungsi lahan yang begitu cepat telah mengeksploitasi modal budaya dan modal ekonomi. Sumber-sumber daya alam diekploitasi dengan dalih peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tapal batas sebagai sumber pemasok pendapatan asli daerah diperebutkan akibatnya keresahan sosial tak dapat dihindari akibat maraknya konflik sosial baik secara vertikal maupun horisontal. Tekanan-tekanan arus global dan dampak perubahan sosial menjadikan orang Bali ingin mengenali jati dirinya. Dalam pada itu muncul kesadaran akan mengenali identitas melalui penguatan sistem klen (soroh), akibatnya semua beranggapan paling mulia, paling tinggi kastanya, lagi-lagi memunculkan ketidaknyamanan sosial. Kesadaran akan identitas ke-Bali-an orang Bali tidak luput dari berbagai pergulatan yang muaranya juga menimbulkan benturan-benturan. Dalam kondisi sosial yang demikian wacana Ajeg Bali yang telah dikumandangkan sejak tahun 2003 mampu menggugah sentimen sosial orang Bali. Bagaikan gayung bersambut, gerakan Ajeg Bali mendapatkan respon positif dari berbagai kalangan yang merasakan betapa pentingnya mengedepankan identitas kultural yang semakin tergerus oleh fenomena globalisasi yang semakin kuat menanamkan cengkeramannya. Bahkan Globalisasi dikhawatirkan membawa efek melemahkan koherensi kultural di semua negara bangsa. Arjun Appadurai (dalam Ritzer, 2008:598) menyatakan bahwa era globalisasi ditandai oleh ethnoscape (pergerakan penduduk), ideascape (ideolohgi kapitalis), financescape (Beroperasinya Bank lintas negara), tehnoscape (perkembangan teknologi mutakhir yang dapat mempermudah kehidupan manusia), mediascape (perkembangan media elektronik), unsur-unsur tersebut berkembang di mana-mana sehingga menjadi tiada berjarak dan saling memengaruhi. Berkaitan dengan maraknya isu yang mengarah pada melemahnya kebudayaan lokal di era globalisasi ini, maka tulisan ini akan menyoroti gejala perubahan yang terjadi pada kesenian tradisi musik Mandolin di Desa Pupuan, Kabupaten Tabanan, yang akhir-akhir ini menunjukkan fenomena yang cukup menarik dalam dinamika lokal-global.

91

GLOKALITAS Para ahli ilmu sosial dan kebudayaan mengungkapkan bahwa profile kebudaayaan Bali pasca agraris memiliki muka ganda tradisional dan modern yang berkembang melalui proses tradisionalisasi dan modernisasi. Secara kultural, banyak input kultur lokal dan global saling berinteraksi untuk menciptakan semacam perpaduan sebagai pencangkokan kultur heterogenitas. Trend menuju homogenitas seringkali diasosiasikan sebagai imperialisme kultural, dengan kata lain bertambahnya pengaruh internasional terhadap kultur tertentu. Globalisasi cendrung menciptakan efek yang besifat homogenitas terhadap dunia (Ritzer dan Goodman, 2008: 588). Mengantisipasi kecenderungan tersebut prinsip dan sistem lokal tersebut harus diperbaharui sesuai dengan kebutuhan masyarakat kontemporer, artinya sistem lokal harus didekonstruksi dengan cara membenahi melalui sentuhan kreatif dan pemberian nafas baru. Menguatkan hal-hal yang bersifat lokal sering kali disebut sebagai upaya lokalitas sehingga memungkinkan kita untuk memahami dinamika global dengan mempelajari manisfestasi lokal (Lubis, 2014:4). Dalam kaitan ini lokalitas dapat dimaknai sebagai sebuah gerakan untuk mempertahankan dan mengembangkan nilai lokal secara sistemik dan berencana. Paradoks glokalitas juga tertancap pada dialektika kondisi lokal dan global yang menyentuh kesenian Bali. Kumbara (2008: 201) menyatakan bahwa globalisasi tidak hanya menarik ke atas yang menyebabkan homogenisasi, tetapi juga mendorong ke bawah, menimbulkan tekanan-tekanan baru bagi otonomi lokal sehingga tercipta budaya-budaya partikulatif serta bangkitnya gerakan etnisitas. Hal ini berarti bahwa situasi sosial yang penuh tekanan, baik ekonomi maupun berbagai aspek kehidupan yang rentan dengan ketegangan dan konflik sosial, memancing emosi positif (rasa jengah) bagi masyarakat untuk mengungkapkan kembali nilai-nilai budaya yang terpendam sebagai respon terhadap kondisi sosial melalui aktivitas seni kreatif. Seturut dengan pandangan Kumbara di atas harus diakui bahwa tekanan-tekanan arus globalisasi sangat berpotensi menghancurkan dan menyeragamkan budaya lokal, namun pada titik tertentu terkadang juga mampu mendorong kebangkitan unsur-unsur budaya lokal dalam berbagai dimensi dan wujudnya, seperti kearifan lokal. Dalam pandangan Haba (dalam Abdullah, 2008: 7), kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaaan budaya yang tumbuh dan berkembang pada sebuah masyarakat yang dikenal, dipercayai, dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di antara masyarakat. Senada dengan pendapat ini, Rajab (2006) (dalam Wingarta, 2009: 216) menyatakan bahwa kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing, hal ini sering dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowlegde),atau kecerdasan setempat (local genius). Hakikat local genius dalam sudut pandang positif secara implisit oleh Duija (2006: 218) dinyatakan: (1) mampu bertahan terhadap kebudayaan luar, (2) memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, (3) kemampuan mengintegrasi unsur-unsur budaya luar ke dalam budaya asli, (4) memiliki kemampuan mengendalikan, dan (5) mampu memberikan arah pada perkembangan budaya. Selanjutnya menurut Semadi Astra (2003: 18) menyatakan bahwa ciri-ciri khas daerah tersebut merupakan kekuatan budaya lokal yang mewujud kearifan lokal yang berfungsi sebagai filter, sensor serta adaptor terhadap budaya pendatang sehingga unsur-unsur yang diterima benar- benar memperluas cakrawala budaya dan meningkatkan adab bangsa di wilayah ini. Dalam pandangan Edi Sedyawati (2006: 382), kearifan lokal pada dasarnya adalah kearifan dalam kebudayaan tradisional. Dalam arti yang luas itu, maka kearifan lokal itu terjabar ke dalam seluruh warisan budaya baik yang tangible maupun yang intangible. Satu hal yang tak kalah penting dari kearifan lokal adalah nilai yang dikandungnya. Nilai sebagaimana dinyatakan Tester (2008: xii) adalah keberterimaan dan kepantasan sebuah objek atau aktivitas. Sistem nilai budaya merupakan inti dari suatu kebudayaan, yang terdiri dari dari konsep- konsep yang berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi perilaku manusia. Nilai-nilai kearifan lokal

92

Bali adalah merujuk pada pandangan dan pola tindakan yang mengandung prinsip-prinsip moral, tujuan, dan standar yang dianut oleh individu, kelompok sosial, dan masyarakat Bali. Geriya menyatakan bahwa dalam kebudayaan Bali terdapat lima nilai dasar yang terdiri dari: nilai keagamaan, nilai keseimbangan, nilai solidaritas, dan nilai dharma (kebenaran). Di samping nilai dasar juga terdapat nilai instrumental yang mencakup empat unsur yaitu: nilai etos kerja, nilai keterikatan, nilai materi (ekonomi), dan nilai keterbukaan dan dinamika (Geriya, 2008: 142). Dari kedua bentuk nilai tersebut tampaknya nilai-nilai isntrumental inilah yang lebih cepat berubah karena mengalami proses-proses adaptasi, akulturasi, dan asimilasi sistem nilai. Salah satu nilai kearifan lokal masyarakat Bali adalah semangat jengah (compettive pride) sebagai modal budaya menuju hidup yang dinamis, maju, dan tidak pantang menyerah. Semangat jengah inilah yang mampu melahirkan sikap kreatif. Mandolin sebagai salah satu wujud warisan budaya masyarakat Bali yang tangible, juga sarat dengan tatanan nilai kehidupan tradisional yang patut dilestarikan dan dikembangkan. Oleh karenanya dalam upaya mengembangkan kesenian ini penting untuk diperhatikan: pertama, aspek-aspek substantif yang menjadi kekuatan musikal dan ciri khas lokalnya, kedua masyarakat penyangga yang sustainable secara regeneratif, dan ketiga, proses kreatif agar mampu memberikan kontribusi dalam membangun sistem dan lingkungan sosial budaya yang tangguh dan memiliki nilai tambah secara ekonomis. Oleh karena itu, melalui penggalian dan penanaman nilai-nilai kearifan lokal dalam kesenian tradisi diharapkan mampu berperan sebagai perekat kohesi sosial, media membangun pendidikan karakter mencegah degradasi moral anak bangsa. Dengan mengusung spirit nilai-nilai tradisional diharapkan seniman dan masyarakat Bali memiliki jati diri dan kepribadian yang kokoh sehingga pada gilirannya mampu menimbang, memfilterisasi unsur- unsur budaya asing untuk membentengi dirinya dari kepungan arus globalisasi. Duija (2006: 218- 219) bahkan menyatakan bahwa kearifan lokal ini merupakan basis untuk merevitalisasi modal sosial yang telah mengalami stagnasi dan gejala degradasi akibat perkembangan budaya modernitas bahkan posmodernitas. Dalam konteks ini fenomena yang bergeliat dalam komunitas Mandolin Bungsil Gading merupakan upaya untuk memperkaya khazanah nilai budaya lokal secara dinamis.

GAMBARAN UMUM MANDOLIN BUNGSIL GADING Musik Mandolin diduga merupakan alat musik yang dibawa oleh orang-orang Tionghoa yang merantau ke daerah Bali pada zaman yang lampau hingga akhirnya berakulturasi dengan kesenian daerah yang ikut memperkaya keberadaan kesenian yang ada di Bali (Mawan, 2015). Mandolin keberadaannya kini hanya dijumpai di beberapa desa di Bali yakni di desa Pujungan dan Desa Pupuan, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan. Secara fisik alat musik sejenis ini memiliki kemiripan dengan instrumen musik yang ditemukan di Kabupaten Karangasem, akan tetapi oleh pemelik kesenian ini di Karangasem menyebutnya dengan istilah instrumen "penting". Menurut I Made Sunita selaku kelihan sanggar Mandolin di desa Pujungan mengatakan bahwa musik Mandolin pertama kali muncul sebelum tahun 1930-an di desa Temukus Buleleng yang diciptakan oleh warga Cina yang tinggal di daerah tersebut. Pada awalnya alat musik ini disebut Shaolin oleh warga Cina namun masyarakat di Pupuan menyebutnya dengan nama Mandolin dan akhirnya sampai sekarang alat musik tersebut dinamakan Mandolin. Musik Mandolin berkembang dari Buleleng ke Pupuan pada masa perdagangan sekitar tahun 1930 an. Di desa Pupuan, musik Mandolin dikembangkan dan dibuat oleh Pan Sekar (almarhum). Setelah tahun 1930-an perkembangan Mandolin kemudian berpindah ke desa Pujungan. Di desa Pujungan instrument musik Mandolin dibuat hanya 1 buah oleh I Nengah Madia (Gurun Suri) di rumah I Majar yang awal mulanya hanya untuk hiburan pribadi. Sekian lama alat musik ini dimainkan di rumah-rumah pendukuk di desa Pujungan sebagai hiburan keluarga. Dengan alunan melodi yang begitu indah didengarkan oleh para tetangga, maka atas permintaan para tetangganya tersebut dibuatlah instrument ini lebih banyak. Pada tahun 1963 sampai dengan tahun 1965 kesenian ini terwujud dengan menambahkan beberapa instrument lain seperti: kendang

93

krumpungan/kendang penyalah satu pasang yang terdiri dari kendang lanang dan kendang wadon, suling, cengceng kecek, kemong, timbung/kempluk, gong pulu, dan beberapa krepyak. Terwujudnya bentuk kesenian ini berkat bimbingan dari seorang tokoh di desa tersebut bernama I Wayan Lancar (Gurun Suarti) yang memiliki jiwa pengabdian yang tinggi terhadap masyarakat. Perkumpulan musik tradisi ini turut aktif dalam berbagai kegiatan di masyarakat misalnya masa-masa kempanye PNI dan menyambut peringatan hari-hari nasional. Akan tetapi karena suatu hal dan situasi politik pada zaman itu sanggar Mandolin ini sempat mengalami stagnasi dan non aktif dalam segala kegiatan maka secara otomatis tidak ada kegiatan yang berarti.

USAHA KREATIF Kecemasan semakin memudarnya kesenian tradisi di beberapa wilayah di Bali memantik kesadaran lokal dari berbagai komponen pelaku kebudayaan sehingga ikut mengambil peran penting dalam upaya mengangkat potensi kearifan lokal untuk dikembangkan agar mampu berkiprah sejajar dengan kebudayaan yang lebih maju. Salah satu bentuk kesenian lokal yang dikembangkan menjadi bentuk seni presentasi estetis adalah kesenian Mandolin Bungsil Gading. Sebagai bentuk kesenian pinggiran, Mandolin tidak banyak dikenal orang, di daerah kelahirannya sendiri bahkan dalam beberapa kurun waktu kesenian ini sempat terabaikan, sehingga nyaris punah. Pembiaran ini seakan mendapat pengabsahan dari pola pikir masyarakat yang terjebak pada oposisi biner di mana kebudayaan global sebagai penanda kebudayaan modern dipertentangkan dengan kebudayaan tradisi sehingga peminggiran terhadap nilai-nilai budaya tradisi dianggap sah dan berlangsung secara nirsadar (Bawa Atmaja, 2009). Perubahan terhadap peta kognisi ini bermula ketika tumbuhnya kesadaran untuk melawan dominasi budaya modern dengan mengangkat potensi kesenian lokal mandolin yang diberikan sentuhan baru dalam berbagai aspeknya sehingga dalam kemasan yang baru mampu tampil setara dengan sajian seni modern. Bagi komunitasnya Mandolin diharapkan menjadi salah satu bentuk seni presentasi estetis yang memiliki nilai tambah secara estetis dan ekonomis. Upaya ini tidak lepas dari spirit berkesenian seniman-seniman terampil yang tergabung dalam komunitas Sanggar Bungsil Gading. Tidak sia-sia apa yang diamanatkan para pahlawan budaya kita agar menjadikan potensi seni tradisi sebagai pendorong bagi kreativitas masyarakat, seirama dengan tantangan kehidupan yang timbul dari perubahan-perubahan, serta kemampuan menerima perubahan sebagai potensi yang penting agar sebuah hasil kebudayaan bertahan hidup. Dalam bahasa berbeda dapat dikatakan bahwa cita-cita yang diidealkan para pakar seni budaya Bali adalah mengajak masyarakat Bali untuk maju setaraf dengan bangsa-bangsa lain tanpa kehilangan identitas dan kepribadiannya. Seturut dengan pendapat dan pandangan Ida Bagus Mantra bahwa sangatlah perlu untuk merenovasi, mereinterpretasi, merevitalisasi nilai-nilai tradisi senada dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi (Mantra, 1993: 15). Dalam konteks ini peran seniman kreatif yang berwawasan jauh ke depan yang akan mampu menjawab tantangan persaingan yang semakin kompetitif. Seniman kreatif adalah orang-orang berjiwa seni yang selalu gelisah yaitu memiliki ciri-ciri: (1) kepekaan akan masalah, (2) originalitas, (3) keluwesan pikiran, (4) kefasihan akan gagasan, (5) daya imajinasi, (6) rasa ingin tahu, (7) memiliki kepercayaan diri, (8) memiliki kemampuan mengatasi rasa takut, dan (9) bersifat terbuka terhadap gagasan orang lain yang mungkin lebih baik dari gagasan sendiri (Sukawati, 2003:1-3). Guilford juga menyebutkan bahwa sifat-sifat sebagai faktor penting dalam perencanaan dan kemampuan kreatif dapat dirumuskan seperti di bawah ini. 1) Kesigapan, kelancaran, dan kemampuan untuk menghasilkan banyak gagasan. 2) Fleksibilitas, yaitu kemampuan untuk menggunakan bermacam-macam pendekatan dalam mengatasi persoalan. 3) Originalitas, yaitu kemampuan mencetuskan gagasan-gagasn asli.

94

4) Elaborasi, yaitu kemampuan untuk melakukan hal-hal secara terinci; 5) Redefinisi, yaitu kemampuan untuk merumuskan batasan-batasan dengan melihat dari sudut lain daripada cara-cara yang lazim (dalam Sudirga, 2003)

Menurut Anderson (Suharman, 2005: 373), kriteria kreativitas orisinal mencakup dua perspektif, yaitu perspektif psikologi dan perspektif budaya. Dalam perspektif psikologi, sesuatu tindakan dikatakan baru atau orisinal apabila gagasan atau bentuk kreativitas yang dihasilkan oleh kreator merasa belum pernah ada hal serupa, di samping kreator sendiri merasakan bahwa hal itu memang sesuatu yang baru baginya walaupun di tempat lain hal serupa secara kebetulan sudah ada dan sama yang tidak diketahui olehnya. Dalam persepektif budaya, sesuatu kreativitas dianggap baru atau orisinal apabila memang benar dalam lingkungan budaya masyarakatnya hal tersebut belum dijumpai atau tidak ada sebelumnya walaupun di tempat lain hal serupa tanpa diketahui telah ada. Dalam hal ini bisa saja, suatu kreativitas baru itu dikembangkan dari hasil mengolah, memodifikasi, mengubah, menambah, mentransformasi bentuk-bentuk atau pola-pola yang sudah ada sebelumnya. Dalam persaingan industri musik yang begitu kompetitif dapat diduga bahwa hanya komunitas seni yang berinovasi dan kaya dengan gagasan kreatif yang akan eksis. Berangkat dari pola pikir yang demikian maka I Made Wiartawan, yang merupakan alumnus jebolan ISI Denpasar sebagai pimpinan sanggar Mandolin selalu berupaya menginovasi Mandolin agar dapat memenuhi tuntutan kreativitas dari masyarakat penggemarnya. Berbagai upaya dilakukan untuk menjadikan Mandolin adaftif dengan perkembangan jaman. Di antaranya ia memodifikasi bentuk mandolin dengan tampilan yang lebih artistik yakni dengan memberikan hiasan ukiran dan ornamen prada pada bagian atasnya. Senar mandolin yang awalnya menggunakan kawat dari kopling sepeda motor diganti dengan senar gitar. Upaya untuk menghasilkan suara yang lebih keras awalnya dicoba dengan pengeras suara berupa wereless (TOA) namun hasilnya kurang memuaskan, kemudian dicoba dengan menggunakan sepul gitar listrik, dan ternyata menghasilkan suara yang cukup keras. Tidak berhenti sampai disitu upaya inovasi juga dilakukan dengan menambahkan beberapa instrumen tambahan seperti chimes, dua gitar Bass, kendang kecil menyerupai gondang sabangunan empat buah, kendang jimbe, gong pulu, kemong, sepasang jublag, suling menengah (3) dan kecil (1), cengceng gecek, dan sepasang kendang krumpungan. Dengan jumlah instrumentasi yang demikian maka tak pelak membutuhkan penabuh sekitar 17 orang, dan hasilnya cukup membanggakan, "Bungsil Gading" berhasil tampil dengan menawan, membuat penonton enggan beranjak dari tempat duduknya. Musiknya ringan dan menghibur, dengan penonjolan nuansa mandarin yang khas. Namun demikian ketika digunakan mengiringi Tari Bungan Sandat Lestari yang diadaftasi dari lagu Gong Kebyar berlaraskan pelog juga mampu disuguhkan dengan apik melalui sentuhan nuansa Kebyar yang dinamis. Untuk mendukung pementasan yang lebih performatif, instrumen Mandolin didesain dengan tungguhan kaki, sehingga fleksibel untuk pertunjukan statis (duduk) maupun dinamis (berpawai). Personil group Mandolin Bungsil Gading yang kebanyakan masih tampak muda usia tetapi telah menunjukkan keterampilannya secara profesional. Tampaknya mereka merupakan kumpulan seniman berbakat secara alami (otodidak) seperti Made Ardana yang bukan jebolan seniman akademis tetapi mampu mengaransemen beberapa lagu Mandolin papar Kadek Suartana yang juga jebolan Seni Karawitan ISI Denpasar tahun 2015, dan pendapat itu diamini oleh Made Wirtawan yang akrab dipanggil De Arta. Wujud kreativitas yang dipaparkan tersebut sesuai dengan konsep dan cara kerja dekonstruksi yaitu membongkar, mengubah, menanggalkan konsep-konsep lama, kemudian mengkonstruksi dengan merangkai, menyusun, mengkomposisi, yang baru. Ini berarti bahwa hakekat dekonstruksi tidak semata-semata membongkar dan merombak tetapi juga menata dan mencipta kembali. Piliang mengingatkan bahwa dekonstruksi kultural yang sedang berlangsung dalam kebudayaan sering digunakan sebagai kebebasan, kesetaraan dan demokratiasi yang hampir tanpa batas (2004: 437-438). Dekonstruksi yang tanpa batas akan berujung pada anarkisme dan

95

relativisme radikal yang mengancam lenyapnya kategori-kategori nilai, kebenaran dan makna dan jika ini yang terjadi tentu akan menimbulkan reaksi berupa guncangan budaya "cutural shock" yang dapat mengganggu stabilitas kebudayaan. Oleh karena itu, dekonstruksi harus dilihat sebagai sebuah proses kontinuitas sehingga setiap pembongkaran diikuti oleh proses rekonstruksi dalam rangka mencari keseimbangan baru (Sugiartha, 2012: 88). Menurut Phillip Bolman, interelasi antara unsur musik tradisional dengan unsur musik seni Barat merupakan sebuah usaha yang memberikan situasi bagi musik tradisional ke dalam konteks musik seni (Bolman, 1988: 47). Ketika musik yag dipentaskan menunjukkan sesuatu yang baru maka hal tersebut dapat dimaknai sebagi perwujudan dari pencarian makna baru yang khas dan unik. Keunikan yang mewujud berupa identitas dalam karya musik, dan dalam arena musik seni hal tersebut sangatlah diperlukan. Menurut Simatupang identitas memiliki fungsi ke dalam dan ke luar. Berfungsi ke dalam dengan menjadi sebuah indikator dan menekankan sejumlah kesamaan. Berfungsi ke luar dengan menekankan perbedaan dan menepis kesamaan dengan satuan sosial lain di luar kelompok tersebut (Simatupang, 2013: 239). Selain itu juga merupakan kristalisasi nilai, pemampatan inti gaya dan bentuk musikal, atau sebagai upaya pengayaan perbendaharaan musikal.

INSTRUMENTASI Mandolin adalah sebuah alat musik yang bentuknya menyerupai harpa atau kecapi akan tetapi sudah mempunyai tuts dan pengaturan nada yang sudah pasti sehingga relatif mudah untuk memainkannya. Dilihat dari bentuk alatnya, Mandolin merupakan alat musik dengan memakai senar sebagai sumber bunyi, yang cara memainkanya dengan jalan dipetik dengan posisi alat di letakkan di lantai, ataupun dipangku. Laras yang digunakan adalah laras pelog tujuh nada, sehingga sangat mudah untuk memainkan bermacam-macam lagu dan memodulasi sebuah lagu, apakah lagu yang dimainkan diatonis maupun pentatonis. Dalam satu kesatuan barungannya seperangkat musik Mandolin terdiri atas: 1. Enam buah Mandolin 2. Dua buah kendang kerumpungan. 3. Dua sampai empat buah suling besar dan kecil. 4. Satu buah cengceng kecek. 5. Satu buah kemong. 6. Satu buah timbung sebagai kajar 7. Satu buah gong pulu 8. Beberapa kepyak/tektekan.

Bentuk fisik Instrumen Mandolin teridiri atas : a). Senar/dawai, berfungsi sebagai penghasil suara seperti apa yang diterangkan dalam teori Sach Von Hornbostel, bahwa dawai/ senar ini apabila ditegangkan dan dibuat bergetar akan menghasilkan suara (senar sebagai sounding aktivitas). b). Tuts pengatur nada berfungsi sebagai tombol nada-nada, yang dimainkan seperti halnya pada alat musik harpa yang nada-nadanya sudah ditentukan oleh tuts-tuts tersebut. c). Kotak resonator, berfungsi untuk menguatkan nada-nada yang dimainkan. d). Lubang resonator

e). Pengatur ketegangan dawai/senar, berfungsi untuk mengatur nada dasar yang dimainkan dan mengatur ketegangan antara senar yang satu dengan senar yang lainnya. f). Alat untuk memainkan mandolin, yang berfungsi untuk memetik Mandolin guna menghasilkan suara yang diinginkan.

96

Bentuk fisik yang begitu khas dari musik Mandolin ini menyebabkan suara yang dihasilkan begitu sangat khas berbeda dari alat-alat musik yang sejenis yang ada, seperti: kecapi, siter, gambus, dan lain-lain. Dengan demikian bentuk alat sangat mempengeruhi perbedaan suara yang dihasilkan. Dalam satu kesataun barungannya keenam alat Mandolin ini mempunyai fungsi yang berbeda-beda antara lain: dua Mandolin berfungsi sebagai pembawa melodi, dua Mandolin memainkan kotekan polos seperti permainan gangsa pada gamelan gong kebyar, dan dua buah lagi memainkan kotekan sangsih.

ORIENTASI PENGEMBANGAN Seiring dengan kemajuan ipteks Mandolin tidak saja diposisikan sebagai seni tradisi yang hanya bersinggungan dengan upacara ritual, melainkan kini telah diangkat sebagai media kreativitas, lahan olah seni artistik bagi seniman-seniman kreatif menuju pada jelajah kreativitas seni modern. Orientasi pengembangannya tidak lagi semata-mata untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan fungsional lokalitasnya, namun mengarah pada presentasi seni estetis yang berorientasi nasional dan global. hal ini dapat dicermati melalui upaya senimannya untuk mengemas sajian seni pertunjukan mandolin yang dipadukan dengan alat-alat musik tradisi Bali lainnya dan juga alat-alat musik modern (Barat) seperti gitar bas, jimbe, dan chime. Spirit berkesenian yang mengedepankan gagasan dan cita rasa baru mampu mengangkat pamor dan nilai tawar mandolin dalam persaingan seni hiburan yang kompetitif. Dalam kaitan ini inovasi yang ditawarkan Mandolin Bungsil Gading tidak semata-mata mengejar trend musik masa kini kemudian mengabaikan core atau roh dari jiwa musiknya, melainkan pemberian nafas baru untuk merevitalisasi idiom-idiom musikal yang konvensional dengan semangat baru agar memenuhi tuntutan estetika kekinian. Kreativitas yang dibangun bertumpu pada prinsip tetap mempertahankan gaya/style, corak yang khas, namun mampu memperkaya khazanah kesenian lokal sebagai ikon identitas daerahnya. Hal tersebut merefleksikan daya kreativitas, spirit inovasi, serta pengembangan imajinasi yang mampu mewujudkan kebaruan dalam bentuk kreasi. Seniman seni pertunjukan dalam olah kreatifnya memiliki ruang yang hampir tidak terbatas. Namun demikan ada dua sifat yang bertentangan yang mewarnai upaya kreativitasnya yaitu di satu pihak mereka mempunya rasa fanatisme yang tnggi terhadap kesenian tradisinya, di pihak lain mereka sangat terbuka akan ide-ide baru (Dibia, 1993: 137). Kenyataan ini tampak jelas dalam upaya seniman mereinterpretasi kesenian mandolin. Selain mempertahankan dan menginovasi instrumen pokoknya yakni mandolin, juga memasukkan beberapa instrumen asing seperti jimbe, gitar, chime, sebagai upaya pengayaan akan tekstur bunyi dan warna suara yang dihasilkan. Pertunjukan Mandolin Bungsil Gading pada even Pesta Kesenian Bali ke-39 di Panggunag Ayodaya Taman Budaya Denpasar, berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa revitasilasi nilai-nilai dalam musik Mandolin mampu disajikan secara presentasi estetis dengan kemasan seni artistik yang dapat mengundang antusiasme penonton dengan suguhan reportoar yang variatif. Sajian reportoar yang dikemas secara resital (konser) dengan teknik penyajian dalam balutan modernitas merepresentasikan upaya ke arah musik seni. Di luar dugaan, intrumentasi Mandolin yang tampak soft sounding ternyata juga mampu dikreasikan untuk mengiringi tari-tarian. Secara struktur sajian pada even tersebut diawali dengan menampilkan tabuh-tabuh instrumentalia Jejangeran sebagai pembuka kemudian dilanjutkan dengan persembahan tari Bungan Sandat Serasi sebagai tari Maskot Tabanan. Berturut-turut kemudian disajikan Tabuh Rerejangan, Padu Rasa, Pangecet Tin Lu, dan Tin Mimi sebagai pamungkas. Tabuh Rerejangan diadopsi dari tabuh-tebah iringan tari rejang yang biasa dipentaskan ketika Odalan Purnama Kapat di Pura Puseh Desa Pupuan. Padu rasa menggambarkan perpaduan dua budaya musik yang berbeda yakni musik Bali dan musik mandarin, kemudian tabuh Pangecet merupakan tabuh pendek yang bernuansa lincah, ringan dan gembira. dalam kaitan ini lagu diadopsi dari gending kebyar gaya Bulelelngan. Di Bali Selatan pola seperti ini pernah diubah oleh

97

maestro kebyar I Wayan Berata diberi judul tabuh Beratayasa. Ukurannya memang pendek berpola mebasang metundun dengan peniti sekitar 32 ketukan untuk satu bagiannya. Tien Lu adalah sebuah lagu yang diadopsi murni dari lagu mandarin yang berfungsi sebagai penggambaran jalan menuju sorga, dalam kaitan tema PKB yang mengusung Karang Awak juga dapat dimaknai sebagai ungkapan cinta akan kampung halaman, tanah kelahiran dan cinta akan budaya musik sendiri. Sebagai lagu Pamungkas Tien Mi Mi merupakan lagu yang diadopsi dari lagu Mandarin yang dinyanyikan oleh Teresa Teng dari Taiwan, kemudian diaransemen menggunakan media Mandolin.

FUNGSI MANDOLIN Malinowski dengan teori fungsionalisme-nya dalam bukunya yang berjudul A Scientific Theory of Culture and Other Essays (1944) menyatakan bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya (dalam Koentjaraningrat, 1987: 171). Misalnya pada kesenian, sebagai salah satu unsur kebudayaan, terjadi mula-mula karena manusia ingin memuaskan kebutuhan nalurinya akan keindahan. Dapat dipahami bahwa seni memiliki ―fungsi‖ sebagai alat pemuas kebutuhan naluri manusia akan keindahan, namun fungsi tersebut masih bersifat mendasar. Adapun fungsi-fungsi yang bersifat lanjutan, seperti yang diungkapkan Sumandiyo Hadi bahwa seni memiliki fungsi sosial, karena hakikat seni adalah untuk dikomunikasikan, berarti untuk ditonton, didengar, atau diresapkan (Hadi, 2006: 291), sehingga dapat dipahami seni dalam fungsi sosial-nya merupakan penguat rasa kesetiakawanan sosial atau kebersamaan. Menurut Made Arta yang akrab di panggil De-Arta, Fungsi Sanggar Mandolin Bungsil Gading lebih banyak untuk menghibur masyarakat selain memeriahkan hajatan upacara adat dan agama. Dalam konteks upacara, Sanggar Bungsil Gading sering ditanggap untuk memeriahkan upacara resepsi perkawinan untuk komunitas warga Tionghoa. Sekali diupah ke luar desa biasanya ditanggap dengan imbalan upah Rp 2.500.000,- Tetapi untuk hajatan lokal seperti telu bulanan Sanggar ini sering juga diupah berkaitan dengan fungsi ritual yakni pembayaran kaul, atau upacara Telu Bulanan bayi. Dalam konteks fungsi sosialnya tidak pernah mematok harga yang baku. Tergantung kerelaan yang punya upacara dan biasanya kami hanya menerima sesari saja kurang lebih Rp 200.000,- pungkas De-Arta (wawancara, 25 Juni 2016 di Taman Budaya Denpasar) situasi ini tidak hanya berlaku bagi sesama warga Hindu yang ada di Desa Pupuan tetapi juga terhadap Warga Tionghoa yang dalam keseharian sudah berbaur seperti "nyama Bali". Mereka juga biasa sembahyang bersama di pura Kahyangan Tiga, bahkan di antara mereka sudah ada yang menyungsung Betara Hyang Guru. Toleransi mereka begitu tinggi dan hal ini menjadi Identitas warga Tionghoa di Desa Pupuan sehingga kehidupan mereka sangat damai dalam kebhinekaan yang multi kultur. Selain mendukung kegiatan upacara ritual keagamaan, Sanggar Mandolin Bungsil Gading juga sering tampil untuk memeriahkan berbagai even seperti pawai Pesta Kesenian Bali, Parada Budaya Negara (Jembrana), dan gelar seni Bali Mandara Mahalango. Sebagai bentuk kesenian yang langka, Mandolin Bungsil Gading kerapkali merepresentasi- kan identitas kultur lokal masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu sebagai identitas umum pada kesenian tradisional itu akan tampak kekhasan dari masing-masing daerah dan masyarakat tempat kesenian itu tumbuh dan berkembang. Sifat kultur masyarakat Bali yang majemuk, menyebabkan ciri khas dan sifat kesenian yang terdapat di masing-masing daerah juga berbeda-beda dan memiliki kekhassan satu sama lain. Sebagai contoh Cakepung di Karangasem, Rengganis di Buleleng, Jegog di Jembrana, Bebonangan di Bangli, Sanghyang Grodog di Klungkung, Bebarongan di Gianyar, Bumbang Denpasar, dan kesenian Makotek di Badung. Karenanya, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Mandolin adalah representasi kesenian akulturatif sebagai ikon kesenian daerah Tabanan. Diterpa berbagai sentuhan budaya luar dengan berbagai corak modernisasinya yang selalu mengusik, Mandolin Bungsil Gading tidak menampik dan menjadikan sebagai ancaman tetapi

98

justru membuka diri dalam sinergitas dialektis dalam bingkai kreativitas mereposisi ruang dan ranah mereinterpretasi teks dan konteks demi eksistensi meraih keunggulan dalam persaingan. Peristiwa budaya dan even kesenian, fungsi ritual dan sosial yang subur dan saling mendukung dalam berbagai manifestasi tanpa disadari telah memberikan perlindungan terhadap musik mandolin dengan berbagai wujud penyajiannya. Tidak dapat diabaikan pula bahwa peran negara dan pemerintah dalam memberikan stimulan berupa pembinaan dan ruang tampil bagaimana pun turut memberikan andil bagi perkembangan dan pertumbuhannya.

TATA PENYAJIAN DAN DESAIN ARTISTIK Sajian seni pertunjukan musik dipandang berhasil apabila didukung oleh kondisi suara instrumen, kemampuan teknik penabuh (musisi), dan reportoar yang dihasilkan oleh kreator (komposer). Ketiga hal tersebut saling mendukung untuk menghasilkan kualitas sajian yang mengandung bobot estetis yang mampu membuat penonton terpesona, larut dalam buaian estetis yang ngelangenin. Terkait dengan hal ini tentu berbagai hal yang berhubungan dengan nilai estetis dan desain artistik telah dipertimbangkan agar mampu menghasilkan emosi estetik, greget, daya pesona (taksu), baik secara instrumental maupun spiritual. Konsep tampil, terampil, dan penampilan menjadi pertimbngan logis seorang artistic director untuk mengkemas sebuah tampilan seni pertunjukan yang mampu membangkitkan emosi estetis penonton. Oleh karena itu susunan reportoar dalam tata penyajiannya juga menjadi pertimbangan tersendiri agar mengandung struktur dramatik yang tidak menjemukan (monotone). Dalam kaitan ini hal-hal yang bersifat non instrinsik seperti soud system, tata lampu, desain kostum yang mendukung tema sajian menjadi pertimbangan yang tak dapat diabaikan. Berkaitan dengan rias busana, Sanggar Mandolin "Bungsil Gading" menggunakan kostum udeng batik kombinasi endek dan ornamen prada pada bagian ujungnya, serta disumpangi kembang kamboja warna putih, berbaju putih, dengan selempang dari kain rembang di leher, saput endek, dan kain kamen putih bertepi kuning emas.

Gambar 1. Setting Panggung Mandolin Bungsil Gading (Dokumentasi : Foto Sudirga, 2016)

Desain kostumnya sangat cocok dengan dekorasi panggung yang menggunakan lembaran kain merah putih berjuntai di bagian pojok kanan panggung sebagai back raound para musisi. Sementara instrumentasi mandolin ditata seperti layaknya instrumen piano, yang dimainkan sambil duduk di atas kursi, demikian juga instrumen lainnya disetting sesuai fungsinya. Perancangan kreatif ini dengan maksud untuk membawa imaji penonton pada kesetaraan musik tradisi dengan pemanggungan musik modern. Scott menyatakan bahwa kesetaraan tidak meniadakan perbedaan, dan perbedaan tidak pula menyingkirkan kesetaraan (dalam Lubis, 2014:50).

99

SIMPULAN. Mandolin sebagai bentuk budaya musik tradisi kini bangkit bergeliat dengan tampilan wajah baru untuk bersaing di era persaingan industri musik yang ketat. Inovasi dalam mandolin dilakukan melalui proses kreatif untuk mendukung kebutuhan artsitik yang sesuai dengan tuntutan dan selera estetika masyarakat yang terus berkembang. Inovasi dilakukan pada bentuk fisik instrumentasi dan kelengkapan ansambelnya, reportoarnya, dan desain tata penyajiannya yang mengarah pada presentasi estetis. Sebagai bentuk warisan budaya, mandolin memiliki fungsi sebagai perekat kohesi sosial. Penunjang kebutuhan masyarakat akan hiburan pada hajatan ritual, dan pendukung peristiwa budaya seperti PKB, pawai Budaya, dan juga presentasi estetis untuk musik seni, yaitu musik yang dinikmati sebagai sajian seni yang dapat diapresiasi secara teks dan konteks dalam lingkup lokal dan global. Makna dari proses kreatif ini adalah penguatan identitas kultural dengan mengangkat potensi kearifan lokal dalam pergulatan dialektika lokal-global.

DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan. 2009. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global, dalam Abdullah (ed.) Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Anom Kumbara, A.A. Ngurah. 2004."Etnisitas dan Kebangkitan Kembali politik Aliran pada Era Reformasi: Perspektif Teoritis" dalam Ardika dan Dharma Putra (ed.) Politik Kebudayaan dan Identitas Etnik. Denpasar: Fakultas Sastra Unud dan Balimangsi Press. Anom Kumbara, A. A. Ngurah. 2008. ―Ajeg Bali dalam Arus Pusaran Globalisasi: Kritik Epistimis,‖ dalam Dinamika Sosial Masyarakat Bali (Ardika dkk. ed.).Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana. Ardika, I Wayan. 2005. ‖Strategi Bali Mempertahankan Kearifan Lokal di Era Global,‖ dalam Darma Putra & Windhu Sancaya (ed.) Kompetensi Budaya Dalam Globalisasi. Denpasar: Fakultas Sastra UNUD dan Pustaka Larasan. Bawa Atmadja, I Nengah. 2010a. Ajeg Bali: Gerakan Identitas Kultural, dan Globalisasi. Yogyakarta: LKIS. Dibia, I Wayan. 1999. ―Seni di Antara Tradisi dan Modernisasi‖. Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar Madya Pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar, 1 Mei 1999. Dibia, I Wayan dalam Tjok Rai Sudarta dkk, (Ed) 1993. Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa. Denpasar: Upada Sastra Duija, I Nengah. 2006. ―Revitalisasi Modal Sosial Masyarakat Bali Berbasis Kearifan Lokal,‖ dalam Bali Bangkit Kembali. Jakarta: Kerjasama Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia dan Universitas Udayana. Geriya, I Wayan. 2008. Transformasi Kebudayaan Memasuki Abad XXI. Surabaya: Paramitha. Koentjaraningrat, 1987. Teori Antropologi I. Jakarta: Gramedia Pustaka Uatama Lubis, Akhyar Yusuf. 2014. Posmodernisme: Teori dan Metode. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Mantra, I. B. 1993 (Sukaya Sukawati Ed.). Bali Masalah Sosial Budaya dan Modernisasi. Denpasar: Upada Sastra. Mawan, I Gde dalam Sudirga I Komang. 2015. Laporan Hasil Penelitian Pemetaan Seni di Kabupaten Tabanan, dibiyayai oleh DIPA ISI Denpasar Tahun 2015. Piliang, Yasraf Amir. Dunia Yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra Ritzer, George dan Douglas J. Goodman 2008. Teori Sosiologi: dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Sedyawati, Edi. 2006. Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah. Jakarta: Grafindo Persada.

100

Semadi Astra, I Gede. 2004. ―Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Memperkokoh Jatidiri Bangsa di Era Global‖ dalam Ardika dan Dharma Putra (ed.) Politik Kebudayaan dan Identitas Etnik. Denpasar: Fakultas Sastra Unud dan Balimangsi Press. Simatupang, Lono (2013). Pergelaran: Sebuah mozaik Penelitian Seni-Budaya, Yogyakarta: Penerbit Jalasutra. Sudirga, I Komang. 2003. "Kajian Komposisi Karya I Nyoman Windha" Laporan Hasil Penelitian Hibah DUE -Like Batch IV. Denpasar STSI. Sugiartha, Arya. 2012. Kreativitas Musik Bali Garapan Baru. Denpasar: UPT Penerbitan ISI Denpasar. Sulistyawati, 2011. "Pengaruh Kebudayaan Tionghoa terhadap Peradaban Budaya Bali" dalam Intergrasi Budaya Tionghoa ke dalam Budaya Bali dan Indonesia. (Sulistyawati Ed.) Denpasar: Universitas Udayana. Wingarta, Putu Sastra. 2009. Meboya: Kearifan Lokal Buleleng dan Restorasi Nilainya. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM.

101

BALI AGUNG :THE LEGEND OF BALINESE GODDESSES SEBUAH SENI PERTUNJUKAN PARIWISATA BERBASIS KEARIFAN LOKAL

I Gde Made Indra Sadguna Jurusan Karawitan, Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar Email : [email protected]

Abstrak Bali merupakan salah satu daerah destinasi wisata utama di Indonesia. Salah satu hal yang menjadi daya tarik pariwisata di Bali adalah kebudayaannya. Di antara berbagai jenis kebudayaan yang ada di Bali, seni pertunjukan memiliki tempat yang vital dalam konstelasi pariwisata di Bali.Perkembangan seni pertunjukan di Bali telah mengalami perubahan, di mana yang dahulunya hanya dipentaskan untuk kepentingan upacara, kini telah banyak bermunculan kesenian untuk kepentingan pariwisata. Salah satu jenis seni pertunjukan yang muncul untuk kepentingan pariwisata adalah pertunjukan Bali Agung: The Legend of Balinese Goddesess. Pertunjukan ini merupakan sebuah produk pariwisata yang dipentaskan di gedung Bali Theatre di Bali Safari and Marine Park, Gianyar. Lahirnya pertunjukan ini, disebabkan adanya keinginan dari pihak manejemen untuk menyajikan sebuah seni pertunjukan berskala internasional yang berbasis kearifan lokal. Pertunjukan Bali Agung mengambil cerita rakyat Bali, yang mengisahkan percintaan antara Raja Jayapangus dengan Kang Cing Wie dan Dewi Danu. Berdasarkan cerita lokal tersebut, maka dibuatlah sebuah pertunjukan kolosal yang didukung oleh ratusan seniman beserta puluhan hewan. Adapun tim kreatif dalam pembuatan pertunjukan ini, terdiri dari seniman dari Bali serta luar negeri. Dalam proses penciptaan pertunjukan Bali Agung ini, melewati empat tahapan yaitu, ide garapan, nuasen, penuangan ide, dan gladi bersih. Sebagai sebuah produk pariwisata, maka pihak manajemen melakukan berbagai upaya dalam rangka mempromosikannya. Hingga kini, Bali Agung merupakan salah satu jenis seni pertunjukan yang unggul di Bali. Hal ini dibuktikan dengan berbagai penghargaan yang telah diraih dalam bidang pariwisata.

Kata Kunci: Bali Agung, pertunjukan pariwisata, kearifan lokal

PARIWISATA BALI Bali dikenal sebagai salah satu destinasi wisata utama di Indonesia. Pariwisata dan Bali seakan merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Pada zaman global ini, kehidupan masyarakat Bali banyak bergantung pada sektor pariwisata. Pariwisata memiliki andil yang besar terhadap perekonomian Bali, sehingga membuat pariwisata menjadi sebuah industri yang tumbuh dan berkembang dengan baik di Bali. Pariwisata memiliki beragam definisi, pemahaman, sudut pandang yang telah dikemukakan oleh berbagai pakar. Menurut United Nations World Tourism Organisation menyebutkan bahwa ―tourism comprises the activities of persons, travelling to and staying in place outside their usual environment for not more than one consecutive year, for leisure business, and other purposes” (dikutip dari Pitana 2009: 45). Penjelasan tersebut dapat dipahami pariwisata merupakan sebuah kegiatan dari orang-orang, berpergian dan bertempat tinggal di luar lingkungan biasanya selama tidak lebih dari satu tahun, untuk kepentingan hiburan, bisnis, serta kepentingan lainnya. Dalam Undang-undang no. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan, menyebutkan bahwa pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung oleh fasilitas serta layanan yang disediakan masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah, dan pengusaha (diunduh dari http://peraturan.go.id/uu/nomor-10-tahun-2009.html). Kedua pendapat tersebut, dapat diartikan pariwisata merupakan sebuah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu kurun waktu di luar lingkungan hidup biasanya. Menurut data BPS, kunjungan wisatawan mancanegara yang masuk melalui Bandara Ngurah Rai tercatat sebagai berikut: pada tahun 2012 sebanyak 2.902.125 orang, pada tahun 2013 sebanyak 3.241.889 orang, pada tahun 2014 sebanyak 3.731.735 orang, pada tahun 2015 4.002.000

102

orang (diunduh dari http://www.kemenpar.go.id/). Data tersebut menunjukkan bahwa setiap tahunnya wisatawan yang datang ke Bali setiap tahunnya mengalami peningkatan. Lalu muncul pertanyaan, mengapa Bali bisa menjadi sebuah destinasi favorit di Indonesia? Meningkatnya jumlah wisatawan yang datang ke Bali, tidak terlepas dari potensi serta sumber daya yang dimiliki oleh daerah tersebut. Pitana menyebutkan bahwa sumber daya diartikan sebagai segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk dikembangkan guna mendukung pariwisata, baik langsung maupun tidak langsung (Pitana, 2009: 68). Jenis sumber daya dalam parwisata di antaranya adalah sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya budaya, serta sumber daya minat khusus. Pulau Bali dalam hal ini memiliki keempat jenis sumber daya tersebut, namun yang sangat membedakan Bali dengan daerah wisata lainnya di Indonesia bahkan di dunia adalah sumber daya budayanya. Perjalanan seseorang mengunjungi suatu tempat, salah satunya disebabkan oleh rasa ingin tahu bagaimana sekelompok masyarakat menjalani kehidupannya. Mereka ingin mengenal budaya serta way of life dalam arti yang luas. Wisatawan ingin menikmati pengalaman tersebut, sehingga mereka sangat antusias untuk mengunjungi dan ingin mengtahui kebudayaan masyarakat Bali. Pariwisata budaya memberikan kesempatan kepada wisatawan agar bisa berinteraksi langsung dengan daerah yang dikunjunginya, mempelajari kekhasan, karakteristik suatu obyek budaya. Dalam hal ini budaya yang dimaksud adalah budaya Bali. Pariwisata budaya Bali memiliki jenis yang sangat beragam mulai dari seni pertunjukan, seni rupa, festival kesenian, kuliner, sejarah, cara hidup, serta jenis-jenis yang lainnya. Salah satu jenis pariwisata yang banyak terdapat di seluruh Bali adalah seni pertunjukan pariwsata.

SENI PERTUNJUKAN PARIWISATA DI BALI Seni pertunjukan telah ada sejak zaman yang lampau, hingga kini belum bisa diketahui secara pasti kapan kemunculannya. Secara umum, seni pertunjukan di Bali dikategorikan menjadi tiga, yaitu seni wali, bebali, serta balih-balihan. Seni wali merupakan kesenian yang sangat sakral yang dipersembahkan kepada dewa-dewa, dalam waktu serta tempat yang telah ditentukan. Seni bebali selalu ditampilkan dalam rangkaian upacara bagi manusia, tidak sesakral pertunjukan wali. Sedangkan seni balih-balihan merupakan jenis kesenian yang diciptakan sebagai tontonan manusia. Sebelum adanya pengaruh pariwisata, seni pertunjukan di Bali biasanya hanya dipentaskan dalam konteks upacara semata. Waktu pertunjukannya mengacu kepada perayaan keagamaan di sebuah pura (piodalan) yang menggunakan sistem pawukon ataupun Saka. Sistem pawukon merupakan sebuah kalender yang diadopsi dari sistem kalender Jawa Kuno di mana terdapat 210 hari dalam satu siklus pawukon. Satu siklus pawukon tadi dibagi lagi menjadi 30 wuku. Sistem Saka merupakan sistem kalender yang mengacu kepada perhitungan bulan (lunar system). Satu tahun Saka terdiri atas 12 bulan (sasih), yaitu Kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kaenem, Kapitu, Kawulu, Kasanga, Kadasa, Jiyestha, dan Sadha. Seiring dengan masuknya pariwisata di Bali, maka berkembang seni pertunjukan baru yang dipertunjukan secara khusus untuk kepentingan pariwisata. Adanya seni pertunjukan pariwisata di Bali tidak terlepas dari peranan Walter Spies. Pada tahun 1930-an, Spies menganjurkan saran kepada beberapa seniman agar membuat sebuah pertunjukan yang dibuat khusus untuk wisatawan. Saran ini muncul akibat terbatasnya waktu tinggal serta kenyamanan menonton dari wisatawan. Adapun jenis kesenian yang dirubah fungsi pertunjukannya adalah tarian Kecak. Oleh Spies, para penari Kecak yang berada di Desa Bedulu Gianyar, disampaikan keinginannya untuk membuat pertunjukan wisata. Atas ide tersebut, para seniman Kecak membuat sebuah pertunjukan yang bersumber dari Lakon Ramayana. Adapun salah satu penari yang tersohor pada masa itu adalah I Limbak. Ia dikenal sebagai seorang penari yang sangat karismatik dan menginspirasi. Selain tari Kecak, Spies juga menginspirasi para seniman di Desa Tegal Tamu dan Pagutan Batubulan Gianyar untuk menyajikan drama tari Calonarang untuk kepentingan pariwisata. Ternyata pertunjukan ini

103

juga sangat diminati oleh wisatawan asing (lihat Soedarsono, 1999: 18-20). Atas jasa Walter Spies, maka sejak itu dimulai dikenal adanya seni pertunjukan pariwisata. Semenjak dikenal adanya seni pertunjukan untuk pariwisata, maka seniman Bali secara kreatif mulai berinovasi dengan menciptakan berbagai jenis tontonan baru. Sebagai sebuah tontonan wisata, sudah tentu menggunakan tiruan dari aslinya serta dilepaskan nilai-nilai sakral, magis, serta simbolnya (Soedarsono, 1999: 33). Hal ini juga didukung oleh peranan pemerintah yang melakukan promosi pariwisata ke luar negeri, sehingga tingkat kunjungan wisatawan asing ke Bali bisa naik setiap tahunnya. Beragam hotel, restoran, puri, istana, villa, desa, kebun binatang, pusat perbelanjaan membuat branding atau pencitraan tempatnya agar bisa lebih banyak dikunjungi oleh turis asing. Salah satunya adalah dengan menyertakan produk budaya di dalam paket wisatanya. Jenis produk wisata budaya yang paling sering digunakan adalah seni pertunjukan. Beberapa daerah dikenal akan pertunjukannya, sebut saja tari Barong di Batubuan, tari Legong di Ubud, serta tari Tektekan di Tabanan. Salah satu jenis pertunjukan pariwisata baru di Bali adalah Bali Agung: The Legend of Balinese Goddesess yang dipentaskan di Bali Safari and Marine Park Gianyar.

BALI SAFARI AND MARINE PARK Bali Safari and Marine Park merupakan sebuah tempat hiburan yang terletak di Desa Serongga, Kabupaten Gianyar. Taman rekreasi ini merupakan cabang ketiga dari Taman Safari Indonesia. Sebelumnya telah berdiri Taman Safari Cisarua, Bogor dan Taman Safari Prigen, Jawa Timur. Bali Safari and Marine Park (BSMP) dibuka pada tanggal 13 November 2007. Di taman ini, wisatawan dapat melihat secara dekat hewan-hewan endemik atau rawan punah serta hewan khas dari Indonesia serta beberapa negara lainnya. Para pengunjung bisa menyaksikan hewan secara dekat dan bisa juga menyaksikan dalam Safari Journey di mana pengunjung di ajak berkeliling menggunakan mobil khusus untuk melihat hewan. Secara umum, jenis-jenis hewan yang ada di BSMP berasal dari tiga daerah yaitu, Indonesia, Afrika, dan India. Sebagai sebuah tujuan wisata, sudah barang tentu pihak pengelola BSMP menawarkan beragam produk unggulan. Untuk akomodasi disediakan penginapan Mara River Safari Lodge. Pengunjung yang menginap di sini bisa merasakan sensasi keindahan alam dan satwa yang bebas berkeliaran. Prihal makanan juga diperhatikan betul oleh pihak manajemaen. Terdapat dua restoran yang disediakan, yaitu Tsavo Lion dan Uma Restaurant. Di restoran Tsavo Lion, pengunjung bisa makan sambil ditemani oleh singa-singa yang terlihat berada di luar restoran. Terdapat pembatas kaca yang tebal antara singa dengan manusia, sehingga pengunjung bisa makan dengan aman dan nyaman. Restoran seperti ini merupakan satu-satunya di Asia sehingga menjadikannya salah satu keunikan dari restoran tersebut (dikumpulkan dari www.balisafarimarinepark.com dan www.wikipedia.org/wiki/Taman_Safari_Indonesia_3). Selain menjual produk terkait keanekaragaman satwa, akomodasi, serta kuliner, terdapat satu lagi produk unggulan dari BSMP, yaitu pertunjukan Bali Agung: The Legend of Balinese Goddesess.

PROSES PENCIPTAAN PERTUNJUKAN BALI AGUNG: THE LEGEND OF BALINESE GODDESESS Terciptanya sebuah karya seni sudah barang tentu melalui berbagai proses penciptaan. Begitup pula halnya dengan pertunjukan Bali Agung: The Legend of Balinese Goddeses sini. Untuk menjelaskan proses penciptaan karya seni ini, maka saya menggunakan teori penciptaan karya seni yang dikemukakan oleh Srinatih. Dalam disertasinya disebutkan bahwa, sebuah penciptaan karya seni di Bali melewati lima tahapan, yaitu ide garapan, nuasen, penuangan ide, dan gladi bersih (2014: 79-7-98).

104

IDE GARAPAN Pertunjukan Bali Agung: The Legend of Balinese Goddesess (selanjutnya akan saya sebut Bali Agung saja) merupakan salah satu paket pertunjukan pariwisata yang sangat terkenal di Bali. Pementasan Bali Agung merupakan sebuah pertunjukan kolosal yang melibatkan ratusan seniman serta hewan di dalamnya. Ide awal dari pertunjukan ini berasal dari pimpinan BSMP pada saat itu, yaitu Yansen Manangsang, Frans Manangsang, serta Tony Manangsang. Pada setiap Taman Safari yang didirikan di Indonesia, pihak manajemen selalu ingin membuat sebuah pertunjukan yang diambil dari kearifan lokal masyarakatnya. Hal itupun ingin dilakukan di BSMP. Ketika sedang melaksanakan pembangunan BSMP, pihak manjemen mulai menjajaki serta melakukan survei terhadap beberapa seniman di Bali yang sekiranya mampu mengisi acara di BSMP. Setelah melakukan survei, maka dilakukan komunikasi dengan seniman asal Desa Bona, Gianyar yaitu I Made Sidia, SSP., M.Sn. Manajemen merasa cocok dengan Sidia setelah mengunjungi Sanggar Paripurna yang dikelolanya serta melihat CV serta hasil-hasil karya yang telah diciptakan sebelumnya. Dalam sebuah rapat, pihak manajemen menjelaskan kepada Sidia bahwa di BSMP akan dibangun berbagai fasilitas baru, salah satunya adalah membangun sebuah tempat pertunjukan yang megah yang diberi nama Bali Theatre. Gedung Bali Theatre yang akan dibangun merupakan sebuah gedung pertunjukan yang megah dan besar sehingga diharapkan mampu menghadirkan pertunjukan yang spektakuler serta kolosal. Ide awal dari manajemen adalah membuat sebuah pertunjukan yang diambil dari cerita Ramayana, sebab dalam imajinasi dari pihak manajemen dibayangkan bahwa satwa-satwa yang terdapat dalam BSMP bisa digunakan sebagai bagian dari pertunjukan. Sidia pada saat itu mengatakan cerita tersebut bagus, namun alangkah baiknya jika bisa menggunakan cerita yang berdasarkan dari kearifan lokal. Pemikiran Sidia pada saat itu belum ditanggapi secara serius oleh pihak manajemen. Untuk mewujudkan keinginan manajemen dalam membuat sebuah pertunjukan besar, maka diajaklah Sidia melakukan site visit dengan mengunjungi beberapa pertunjukan yang terkenal. Salah satunya adalah dengan mengunjungi pertunjukan yang ada di Thailand. Dalam perjalanan menuju Thailand, Sidia banyak menjelaskan tentang seni pertunjukan pariwisata yang ada di Bali. Wisatawan yang datang ke Bali sangat tertarik dengan kebudayaan Bali di mana identitas serta kearifan lokal masyarakat Bali tersebutlah yang menjadi daya tarik tersendiri di kalangan wisatawan. Sesampainya di Thailand, dilakukan survei dengan menonton beberapa pertunjukan spektakuler seperti Siam Niramit dan Alangkan. Dari pihak manajemen melihat pertunjukan tersebut sangat spektakuler dan bagus. Sidia pun menyetujui hal tersebut, namun terdapat suatu kekurangan menurutnya dalam pertunjukan tersebut, yakni roh atau identitas masyarakatnya. Pertunjukan yang disaksikan memang indah secara visual, namun susunan adegan tidak terstruktur dengan baik, lebih banyak mencari esensi glamor, serta fisik luarnya saja sehingga identitas budayanya belum tercermin dengan baik. Dari menonton pertunjukan terseut, Sidia mengusulkan cerita percintaan antara Jayapangus dengan Kang Ching Wie kepada manajemen. Pendapat dari Sidia tersebut menjadi saran yang berarti bagi pihak manajemen. Sebagai sebuah perusahaan, tentunya sering terdapat perpindahan kekuasaan. Begitu pula halnya yang terjadi dengan BSMP. Puncak kekuasaan beralih ke anggota keluarga lainnya yaitu, Hans Manangsang. Peralihan kekuasaan ini menyebabkan adanya kevakuman pembicaraan mengenai terwujudnya sebuah pertunjukan di Bali Theatre selama lima bulan. Meskipun berganti pimpinan perusahaan, namun kebijakan untuk membuat pertunjukan yang megah masih tetap dijalankan oleh Hans Manangsang. Ketika gedung Bali Theatre sudah berdiri, maka keinginan untuk mewujudkan pertunjukan tersebut semakin besar. Pihak safari membuat gedung yang besar yang bisa menampung ratusan seniman, puluhan hewan, serta ribuan penonton. Jenis hewan yang dilibatkan dimulai dari jenis hewan kecil seperti ayam, bebek, aneka burung, hewan berukuran sedang seperti kambing, kerbau,

105

macan, ular, serta hewan berukuran besar seperti onta dan gajah. Ide tersebutlah yang menjadi titik tolak dalam pembuatan gedung Bali Theatre. Untuk merealisasikan ide tersebut, maka Sidia dituntut untuk membuat sebuah tim agar pertunjukan bisa cepat ditampilkan. Pada saat itu, datanglah seorang kawan lama Sidia yang bernama Peter J. Wilson. Ia merupakan seorang art director yang telah menciptakan berbagai macam pertunjukan seperti seperti "The Hobbit", ―Sydney 2000 Olympics Opening Ceremony‖, The 2006 ―Doha Asian Games‖, The ―2006 Melbourne Commonwealth Games‖. Ia juga telah berkolaborasi dengan Sidia melalui garapan "The Theft of Sita" yang dipentaskan di Australia. Sidia mengajak Peter ke BSMP untuk bertemu dengan pihak manejemen dan pada kesempatan itu disampaikan tawaran bekerja sama untuk menciptakan sebuah karya yang megah. Hal berikutnya yang dilakukan adalah pemilihan cerita. Sebelumnya pihak manjemen telah memilih cerita Ramayana, namun Sidia kurang setuju dengan hal tersebut. Ia berkeinginan untuk membuat sebuah pertunjukan yang didasarkan atas kearifan lokal. Sidia beralasan bahwa cerita Bali tidak kalah hebatnya dengan epos Ramayana atau Mahabharata. Dengan mengangkat cerita lokal Bali, maka secara tidak langsung ini juga akan membesarkan nama Bali. Oleh karena itu, maka Sidia menawarkan cerita Raja Jayapangus yang telah diusulkannya terdahulu. Ia menuturkan bahwa terdapat konsep-konsep kehidupan, kebaikan, konflik, akulturasi budaya Bali dan Cina dalam cerita tersebut. Adapun sinopsis cerita Bali Agung adalah sebagai berikut.

SINOPSIS BALI AGUNG: THE LEGEND OF BALINESE GODDESSES Pertunjukan Bali Agung merupakan sebuah pertunjukan berlakon dengan mengambil cerita dari sejarah kerajaan di Pulau Bali. Penonton akan diajak kembali ke masa Dinasti Warmadewa kala kepemimpinan Raja Jayapangus pada abad ke-12. Dikisahkan pada masa pemerintahan Raja Jayapangus, datanglah para pelaut dari Cina. Kapten Cina membawa berbagai barang-barang khas dari Cina seperti kain, keramik, serta hewan-hewan. Turut serta dalam rombongan Kapten Cina tersebut adalah putrinya beserta para dayang. Raja kemudian tertarik dengan putri dari kapten tersebut yang bernama Kang Cing Wie. Setelah melakukan dialog dengan kapten karena tertarik dengan Kang Cing Wie, maka raja akhirnya menikahi putri Cina tersebut. Waktupun terus berlalu, pernikahan antara keduanya berawal sangat bahagia namun mulai ada kekhawatiran. Hal ini dikarenakan setelah sekian lama belum juga memiliki keturunan. Maka Raja Jayapangus memutuskan untuk pergi bersemedi. Ia pun mencari tempat semedi dengan melewati danau, namun di tengah air ia mendapatkan rintangan dan halangan sehingga perahunya pecah dan terdampar di suatu tempat. Di sana ia bertemu dengan seorang dewi yang sangat cantik bernama Dewi Danu. Raja Jayapangus terkesima dengan kecantikan Dewi Danu, sehingga keduanya menikah. Dari pernikahan tersebut, lahir seorang anak laki-laki. Setelah ditinggal bertahun-tahun, Kang Cing Wie mulai khawatir dan memutuskan akan mencari sang raja. Dalam perjalanannya, Kang Cing Wie akhirnya menemukan bahwa sang raja telah menikahi wanita lain. Pada saat itu terjadi pertempuran antara Dewi Danu dengan Kang Cing Wie. Pertarungan tersebut berakhir pada kemenangan Dewi Danu serta dikutuknya Kang Cing Wie serta Raja Jayapangus. Agar rakyat Bali selalu mengingat rajanya, maka dibuatkan dua buah boneka besar yang dinamakan barong landung. Satu berwujud laki-laki dan lagi satu berwujud wanita cina.

NUASEN Setelah mendapatkan cerita yang diinginkan, maka langkah selanjutnya yang dilakukan adalah nuasen. Sebagai warga Hindu di Bali, sebaiknya sebelum memulai suatu kegiatan maka diawali dengan kegiatan nuasen. Proses nuasen berhubungan dengan kata dewasa yang berarti waktu. Menurut Kamus Bali-Indonesia (Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Dati I Bali, 1990: 165) menyebutkan bahwa kata dewasa berarti (1) hari baik, dan (2) hari pilihan. Dari pemaparan

106

tersebut, maka nuasen dapat diartikan sebagai hari yang dipilih karena dianggap baik untuk memulai suatu kegiatan. Proses nuasen juga menjadi bagian dari proses penciptaan pertunjukan Bali Agung ini. Nuasen dilakukan pada akhir tahun 2009 yang mengambil tempat di beberapa lokasi yang dianggap suci dan terkait dengan cerita yang dipertunjukan. Prosesi ini diawali dengan mengadakan persembahyangan ke Pura Batur, Pura Puncak Penulisan, serta Pura Dalem Balingkang yang terletak di Kabupaten Bangli. Ketiga pura ini dipilih sebab secara historis dipercaya memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan cerita Jayapangus. Bahkan Pura Dalem Balingkang sendiri diambil dari kata ―Bali‖ yang merepresentasikan raja pada saat itu, yaitu Jayapangus, dan ―Kang‖ yang berasal dari nama Kang Cing Wie (www.purabalingkang.co.id.). Persembahyangan waktu itu dihadiri oleh pihak manajemen, tim kreatif, serta seluruh personel yang akan terlibat dalam pertunjukan Bali Agung. Upacara pada waktu itu dipimpin oleh seorang pendeta Hindhu yaitu (alm.) Ida Pedanda Made Gunung. Adanya persembahyangan ke ketiga pura tersebut bertujuan untuk memohon keselamatan serta kelancaran dalam mewujudkan Bali Agung, sebab di beberapa daerah cerita ini dianggap sakral dan keramat. Sesudah melaksanakan persembahyangan, maka air suci (tirta) dari masing-masing pura dibawa ke BSMP. Sesampai di BSMP, maka dilanjutkan dengan persembahyangan di pura yang berada di kawasan BSMP. Tujuan mengadakan upacara di pura tersebut, adalah permohonan agar pertunjukan yang akan dibuat di BSMP bisa berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Selain mengadakan persembahyangan, Sidia juga menginginkan agar dibuatkan sebuah pelinggih khusus untuk tempat bersembahyang para personel Bali Agung di dalam gedung Bali Theatre.

PENUANGAN IDE Langkah selanjutnya dalam proses penciptaan Bali Agung adalah penuangan ide. Sebagai sebuah pertunjukan yang berskala besar, maka tidak mungkin jika bisa dikerjakan seorang diri, oleh sebab itu pihak manjemen membentuk sebuah tim yang memiliki tanggung jawab terhadap bidangnya masing-masing. Adapun orang-orang yang dipercaya dalam tim kreatif tersebut adalah Peter L. Wilson (Creative Director), I Made Sidia (Artistic Director), Chong Lim (Music Director), Richard Jeziorny (Costume Designer), Ian Knowles (Choreographer), Philip Lethlen (Lighting Designer), Collin Best (Technical Director), Sue Fenty (Stage Manager), Julia Smith (Ass. Stage Manager), dan Richard Sam Pilai (Animal Trainer). Hal pertama yang dilakukan adalah menulis dan menggambar story board. Story board merupakan susunan plot adegan per adegan yang akan ditampilkan. Selain ditulis, adegan tersebut digambar di atas kertas gambar untuk memberikan gambaran kepada para personel Bali Agung. Pada gambaran tersebut sudah terdapat rancangan kostum yang akan dikenakan. Kostum dibuat oleh Richard Jeziorny di mana sebelumnya telah melakukan riset dengan mengunjungi pura-pura, mendokumentasikan relief-relief, menyaksikan kehidupan masyarakat Bali, mencari data di internet, serta menonton seni pertunjukan tradisional Bali. Dari seluruh data yang didapatkan kemudian diolah lagi sesuai dengan imajinasinya dan berkonsultasi dengan Sidia mengenai apakah layak kostum tersebut digunakan di atas panggung. Sesudah merancang story board, maka hal selanjutnya yang dilakukan adalah mengadakan audisi. Kegiatan ini dilakukan di Sanggar Paripurna, Bona, Gianyar pimpinan I Made Sidia. Sebelum diaudisi, seluruh personel dijelaskan mengenai maksud audisi serta menjelaskan cerita yang digunakan. Setiap adegan di story board ditampilkan dan diceritakan adegan apa yang sedang terjadi. Tahap selanjutnya adalah memilih peran penari tokoh. Seluruh anggota audisi disuruh untuk menari. Pada tahapan ini, yang bertanggung jawab dalam memilih tokoh adalah Peter Wilson dan Made Sidia. Pemilihan peran didasarkan atas bentuk dan proporsi tubuh, bentuk muka, serta teknik menari. Untuk peran utama harus mendapatkan persetujuan dari Peter dan Sidia, jika salah satu di antaranya merasa tidak sesuai, maka harus diganti dengan yang lainnya. Dari audisi tersebut terpilih tiga tokoh utama, yaitu I Wayan Sira (berperan sebagai Raja Jayapangus), Nyoman

107

Sumaryasih (berperan sebagai Kang Cing Wie), dan Made Ayu Desiari (berperan sebagai Dewi Danu). Setelah mendapatkan tokoh utama, maka dilanjutkan dengan pemilihan pemeran-pemeran lainnya seperti Kapten Cina, pedagang cina, penari legong, penari dayang-dayang, prajurit, serta dalang wayang. Latihan pertama dilaksanakan di Uma Restaurant, hal ini karena dekorasi di Bali Theatre belum selesai. Ketika gedung sudah selesai didekorasi, maka latihan dipindahkan ke gedung Bali Theatre. Sistem latihan menggunakan perpaduan sistem manejemen barat. Setiap penari akan dipasangkan nomor dada sebagai tanda pengenalnya masing. Artistic director akan memanggil nomor penari pada setiap adegan yang ditampilkan. Hal ini sangat memudahkan dalam mengorganisir penari, sebab jumlah penari sangat banyak yang hampir mencapai 200 orang. Melalui sistem ini, penari akan mengtahui secara pasti pada adegan ke berapa dia akan ke luar panggung dan menari selama beberapa menit. Bali Agung adalah merupakan sebuah pertunjukan yang menggabungkan tarian, musik, drama, teater, dan wayang kulit tradisi dan modern. Oleh sebab itu, diperlukannya keseriusan serta latihan yang intensif dari masing-masing pihak. Teknik serta gerakan tari Bali dikoreografi oleh Sidia seperti gerakan untuk dayang-dayang Bali, tari legong, topeng, Barong, prajurit, serta pawai. Sedangkan Peter Wilson memberikan sentuhan yang berbeda dengan menambahkan unsur-unsur barat serta tarian Cina di dalamnya. Idenya tersebut diterjemahkan oleh Ian Knowles yang menciptakan koreografi untuk adegan seperti forrest spirit, saddnes dance, tarian Cina dan teknik berdrama di atas panggung. Drama dan berekspresi merupakan salah satu hal yang penting dalam pementasan, sebab sebagaian besar pertunjukan ini tidak menggunakan dialog. Sehubungan dengan itu, maka para penari harus mampu menyajikan ekspresi yang tepat sehingga pesan bisa tersampaikan. Dalam garapan juga ditampilkan teknik permainan wayang baik yang tradisional maupun yang sudah dikembangkan. Unsur-unsur wayang tradisional masih nampak adanya seorang dalang yang sedang menceritakan jalannya cerita. Dalang ini tidak setiap berbicara, namun pada saat-saat tertentu saja untuk menegaskan kejadian apa yang sedang terjadi. Dalang berbicara dalam bahasa Jawa Kuno, Bali, dan Inggris. Adanya dialog Bahasa Inggris tersebut bertujuan agar penonton lebih mengerti dengan adegan. Selain itu, unsur tradisional juga tampak dari jenis wayang yang digunakan. Masih dapat dilihat wayang tradisional seperti wayang kayonan, prajurit, dayang- dayang, Raja Jayapangus, Kang Cing Wie, serta rakyat Bali yang diukir menjadi wayang dengan ornamen Bali. Jenis-jenis wayang tradisional juga dikembangkan dengan bantuan multimedia. Terdapat beberapa jenis wayang baru seperti wayang kaca, lalu adanya wayang yang dibuat dari rotan yang ditarikan oleh penari shadow dancer. Ini mengingatkan saya kepada sebuah seri tv Jepang yang berjudul Masquerade di mana para pemain akan berpakaian serba hitam untuk menutup dirinya sembari memainkan wayang. Hal seperti ini memberikan efek seakan wayang dari rotan bergerak sendiri jika dilihat dari jauh. Dalam segi musik, digunakan gamelan yang ditampilkan secara langsung dan juga menggunakan rekaman. Jenis gamelan yang digunakan adalah gamelan Semar Pagulingan Saih Pitu. Penabuh akan memainkan gamelan ketika para tamu memasuki gedung Bali Theatre, saat mulainya prosesi, serta pada bagian akhir. Pada bagian ketika pertunjukan sudah mulai digunakan rekaman. Alasan digunakannya rekaman adalah untuk menjaga konsistensi waktu pertunjukan agar tidak berubah. Hal tersebut erat kaitannya dengan tata lampu yang sudah diplot setiap menitnya. Musik dalam garapan ini diciptakan oleh Chong Lim. Dalam proses penciptaan musiknya, Chong Lim banyak mendengarkan musik karya I Made Subandi, S.Sn. sebagai referensi gamelan Bali. Gending-gending yang diambil berasal dari garapan ―Hanoman the Hero‖ dan ―Kalangwan Wana Dandaka‖. Gending-gending tersebut kemudian direkam, dipelajari, dan diolah lagi. Gending- gending gamelan Bali akan muncul pada adegan-adegan Bali, seperti tari dayang-dayang Bali, tari Legong, tari Barong Ket, dan tari Topeng. Selain menggunakan musik Bali, juga dikolaborasikan dengan orkestra barat. Jenis musik ini lebih banyak untuk mendukung suasana cerita seperti

108

adegan Cina, saddnes dance, forrest spirit, ke luarnya monster, serta pada suasana yang mencekam. Bali Agung sebagai sebuah pertunjukan yang diadakan di dalam ruang lingkup BSMP, maka pihak manejemen tentu ingin membuat pertunjukan dengan daya tarik yang unik. Salah satunya adalah dengan penggunaan hewan sebagai bagian dari pertunjukan. Pada pertunjukan ini terdapat banyak hewan yang terlibat di antaranya, delapan ekor gajah, puluhan bebek, harimau, ular, onta, burung, ayam, kambing, dan sapi. Semua hewan dilatih oleh pawangnya sehingga binatang pun bisa mengikuti adegan dengan tepat sesuai arahan artistic director. Hingga saat ini belum ada yang membuat pertunjukan yang melibatkan sebanyak itu di Indonesia, atau bahkan di Asia Tenggara. Perbedaan yang sangat signifikan antara sistem latihan barat dengan Bali, adalah adanya asisten stage manager (ASM). Mereka yang bertugas membantu penari membawakan dan memberikan properti yang akan digunakan. Jika sistem di Bali, seorang penari mengerjakan dan mengingat semua yang harus dibawa, maka dengan adanya ASM akan mempermudah kerja penari. Selain itu, ASM juga bertanggung jawab memberikan cue (kode) kapan penari itu harus ke luar yang sudah ditentukan menit serta detiknya. Hal ini sangat mempengaruhi konsistensi pertunjukan, di mana akan meminilisir kesalahan yang terjadi pada pertunjukan. Proses penggarapan Bali Agung berlangsung selama empat bulan. Latihan diadakan lima hingga enam kali dalam seminggu, bahkan bisa berlangsung dua kali sehari yaitu pada siang dan malam hari. Hal ini dilakukan untuk mempercepat terwujudnya Bali Agung serta menyesuaikan waktu dengan anggota tim kreatif yang berasal dari luar negeri. Dalam proses latihan, kesejahteraan para personel yang terlibat dalam Bali Agung sangat diperhatikan oleh pihak manejemen BSMP. Ini terbukti dengan adanya konsumsi pada saat latihan dan juga diberikan uang latihan kepada para personel. Tiap-tiap pemain mendapatkan honor latihan yang berbeda. Hal ini didasarkan atas tokoh yang diperankan, senioritas, serta lamanya ikut latihan dari awal. Honor personel berkisar antara Rp. 30.000-50.000.

Gambar 1. Adegan kemunculan Dewi Danu (Diunduh dari http://travel.grivy.com/)

GLADI BERSIH Gladi bersih merupakan pementasan dengan menggunakan segala kostum dan properti. Pada bagian ini biasanya akan dilihat hasil latihan yang telah dijalani selama empat bulan. Untuk pertunjukan Bali Agung, diadakan gladi pembukaan yang dinamakan soft opening dan grand opening. Soft opening dilakukan pada sekitar bulan September 2010. Setelah dilakukan soft opening, maka tetap dilakukan evaluasi terhadap seluruh penampilan personel Bali Agung agar nantinya pertunjukan grand opening bisa berjalan dengan lancar. Pada tanggal 16 Oktober 2010, dilakukan grand opening yang merupakan hari di mana Bali Agung diluncurkan secara premier di gedung Bali Theatre BSMP. Kesempatan tersebut dibuka

109

secara resmi oleh Menteri Pariwisata pada saat itu yaitu Jero Wacik, yang dihadiri pula oleh pejabat pusat serta daerah. Salah satu faktor yang tidak kalah penting kehadirannya pada acara tersebut adalah peranan pers dan media. Di dalam dunia yang semakin global, pers dan media memiliki kekuatan yang besar untuk bisa menggerakkan opini publik. Apalagi ketika menyaksikan pertunjukan yang waktu itu dihadiri oleh ribuan orang, secara cepat dapat menggema ke seluruh media cetak, televisi, maupun internet sehingga bisa mempromosikan pertunjukan Bali Agung.

PEMASARAN Sebuah produk pariwisata hanya akan memiliki nilai jual jika diketahui keberadaannya oleh para wisatawan. Begitu pula halnya dengan Bali Agung. Sejak diluncurkan dalam grand opening, telah banyak media-media yang menulis tentang pertunjukan tersebut. Namun hal tersebut tidaklah cukup, perlu dilakukan usaha-usaha promosi yang lebih intens agar mampu mendapatkan pemasukan yang lebih tinggi. Untuk itu, pihak BSMP telah melakukan promosi serta bekerja sama dengan berbagai pihak seperti travel agent, hotel, restoran serta membuat website yang mempromosikan produknya tersebut. Baliho serta poster-poster juga dipasang di wilayah strategis di Bali, di antaranya di gerbang keluar masuk Bandara Ngurah Rai, di Kuta, Ubud, Sanur, dan Nusa Dua. BSMP juga menyediakan kendaraan gratis dari wilayah tertentu agar wisatawan bisa dengan lebih mudah berkunjung ke sana. Pada awal mulainya Bali Agung, tiket pertunjukan dengan tiket masuk dijual secara terpisah. Hal ini menyebabkan penjualan tiket Bali Agung menjadi fluktuatif. Pihak manajemen merasakan perlu memperbaiki hal ini. Oleh sebab itu, maka sistem ini diperbaiki dan kini tiket Bali Agung sudah menjadi satu bagian dari tiket masuk. Secara tidak langsung wisatawan akan dipaksa secara halus untuk bisa menonton pertunjukan ini. Namun hingga kini respons yang didapatkan dari pengunjung sangat positif. Melihat adanya peningkatan jumlah penonton, maka pertunjukan yang awalnya hanya dipentaskan tiga kali seminggu, bertambah menjadi empat kali seminggu. Seiring dengan meningkatnya jumlah wisatawan ke Bali, maka pertunjukan ditambah lagi menjadi enam kali seminggu yang bertahan hingga saat ini. Saat ini, Bali Agung menjadi salah satu pertunjukan pariwisata berbasis kearifan lokal yang sanggat unggul. Salah satu indikatornya adalah mendapatkan beberapa penghargaan di tingkat lokal dan nasional. Pada tahun 2014-2016 mendapatkan penghargaan Bali Most Leading Tourism Show yang diberikan oleh Bali Tourism Awards diinisiasi oleh ITTA (Indonesia Travel dan Tourisn Awards). Pada tahun 2015, Bali Agung mendapatkan penghargaan sebagai Pertunjukan Pariwisata terbaik tingkat nasional. Hal ini membuktikan bahwa konsistensi serta kinerja sinergis antara pihak manejemen, tim kreatif, serta personel Bali Agung mampu menjadikannya sebuah produk yang bernilai tinggi.

Gambar 2. Bali Agung menerima penghargaan Bali‘s Leading Toursim Show (Diunduh dari http://bali.tribunnews.com/2016/08/11/bali-safari-and-marine-park-raih-4- penghargaan-bali-tourism)

110

KESIMPULAN Bali Agung: The Legend of Balinese Goddesess merupakan sebuah pertunjukan pariwisata yang berbasis kearifan lokal. Pertunjukan yang dipentaskan sebanyak enam kali dalam seminggu ini didukung oleh 200 orang personel dan dipentaskan di gedung Bali Theatre Bali Safari and Marine Park, Gianyar. Adanya pertunjukan ini tidak terlepas dari keinginan dari pihak manejemen yang ingin membuat sebuah daya tarik khusus yang bernuansa Bali namun bisa diterima oleh kalangan internasional. Untuk mencapai harapan tersebut, maka dibuatlah sebuah pertunjukan yang terdiri tim kreatif yang mumpuni di bidangnya. Proses penciptaan Bali Agung melewati tahap ide garapan, nuasen, penuangan ide, serta gladi bersih. Sebagai sebuah produk pariwisata, maka dilakukan pula usaha-usaha promosi agar mampu meningkatkan penjualan. Konsistensi serta sinergitas antar semua bagian membuat Bali Agung menjadi pertunjukan pariwisata terdepan di Bali saat ini tanpa menghilangkan ―roh‖ ke-Bali-annya.

DAFTAR PUSTAKA Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Dati I Bali. 1990. Kamus Bali-Indonesia. Denpasar: Dinas Pendidikan Dasar. Pitana, I Gde dan I Ketut Surya Diarta. 2009. Pengantar Ilmu Pariwisata. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Rai S, I Wayan. ―Touristic Performing Arts in Bali: Tradition and Modernization”, dalam The Folk Performing Arts in ASEAN, ed. Narupon Duangwises dan Lowell D. Skar. P. 77-91 Srinatih, I Gusti Ayu. 2014. ―Representasi Dolanan Mabarong-barongan Kabupaten Badung Pada Pesta Kesenian Bali XXXII Tahun 2010. (Disertasi). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana. Soedarsono. 1999. Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Subrata, I Wayan. 2014. Komodifikasi Tari Barong. Surabaya: Paramita. Yoeti, Oka A. 2008. Ekonomi Pariwisata: Introduksi, Informasi, dan Aplikasi. Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Sumber Internet http://peraturan.go.id/uu/nomor-10-tahun-2009.html http://www.kemenpar.go.id/ www.balisafarimarinepark.com www.wikipedia.org/wiki/Taman_Safari_Indonesia_3 www.purabalingkang.co.id.\ http://bali.tribunnews.com/2016/08/11/bali-safari-and-marine-park-raih-4-penghargaan-bali- tourism http://travel.grivy.com/

111

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM SENI PERTUNJUKAN

Ni Ketut Dewi Yulianti Jurusan Karawitan, Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar email : [email protected]

Abstrak Paper ini membahas tentang pendidikan karakter dalam seni pertunjukan, khususnya pertunjukan tari Bali, yang dapat menjadi bahan acuan bagi mahasiswa dan tenaga pengajar di fakultas Seni Pertunjukan yang ingin mendalami lebih jauh mengenai pendidikan karakter dan bagaimana keinsafan diri (self- relalization) dapat dipahami sebagai esensi dalam pendidikan karakter. Mengingat pentingnya pendidikan karakter dalam pendidikan nasional dan mendesaknya kebutuhan akan pembentukan akhlak mulia anak didik, maka dalam paper ini dibahas dua pokok bahasan, yaitu (1) apakah signifikansi pendidikan karakter dalam seni pertunjukan dan (2) apakah esensi dari pendidikan karakter dalam seni pertunjukan. Secara teoritis dan praktis, paper ini akan dapat memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan terutama di bidang pendidikan karakter dalam seni pertunjukan, sehingga dapat membantu dalam meningkatkan keberhasilan pendidikan nasional, mengingat pendidikan karakter merupakan esensi dari pendidikan nasional.

Keywords: Esensi, pendidikan karakter, keinsafan diri, seni pertunjukan

PENDAHULUAN Harrell (2004: 1) menjelaskan bahwa a positive attitude is the foundation of a successful life. Sikap atau attitude yang baik ini dapat dicapai dengan terus-menerus melaksanakan dan menerapkan pendidikan karakter. Pendidikan karakter merupakan kebutuhan yang sangat signifikan dewasa ini mengingat pendidikan karakter merupakan upaya perwujudan amanat Pancasila dan pembukaan UUD 1945 yang dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan saat ini, seperti bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini sangat relevan dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, seperti yang dijabarkan dalam Undang- undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Di sini disebutkan bahwa Sistem Pendidikan Nasional/UUSPN berfungsi untuk mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk menjadi pribadi dengan karakter yang baik, yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi anak didik. Hal ini, dapat dicapai dengan caramengerti tentang Tuhan, sehingga pada akhirnya bermuara pada pemahaman pada diri sendiri, yang diibaratkan dengan memahami sumber api yang utama, maka percikan tersebut juga dapat dipahami. Hanya dengan pemahaman yang baik pada diri sendiri memampukan seseorang untuk mengontrol dan mengendalikan dirinya. Pengendalian diri inilah yang akan melandasi setiap langkah dalam kehidupan sehingga dapat menjadi pribadi dengan karakter yang baik (Dewi Yulianti, 2016: 6). Seni Pertunjukan, yang mana dalam tulisan ini mengkhusus tentang seni tari Bali juga mengandung nilai-nilai kehidupan manusia yang khususnya dimaksudkan untuk mengerti Tuhan, hubungan makhluk hidup dengan Tuhan, dengan sesama, dan dengan lingkungan (Tri Hita Karana). Hal ini adalah wujud dari keinsafan diri yang sangat erat hubungannya dengan pendidikan karakter. Dengan demikian, setiap pertunjukan tari Bali sudah membantu keberhasilan pendidikan nasional di Indonesia (cf. Dewi Yulianti & Putra Yadnya, 2016). Berawal dari filsafat janmady asya yatah (Everything emanates from God/segala sesuatu bersumber dari Tuhan), bahwa segala yang ada di tiga tataran planet: planet alam bawah, tengah,

112

dan atas semuanya adalah ciptaan dari Tuhan Yang Maha Esa, maka setiap aktivitas atau kegiatan yang dimiliki oleh setiap manusia, seharusnya diabdikan atau dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Prabhupada, 1993:1). Dengan memahami filsafat janmady asya yatah, segala kegiatan akan menjadi sempurna seperti halnya masyarakat hindu yang ada di Bali yang selalu bertindak dan hasilnya selalu diarahkan untuk persembahan kepada Tuhan. Contohnya, kegiatan dalam bercocok tanam dihubungkan dengan pemujaan Dewi Sri sebagai Dewi Kemakmuran atau saktinya Sri Wisnu, Kegiatan dalam seni karawitan pada upacara-upacara keagamaan, seni ukir dengan tema Sri Rama, Dewi Saraswati, Ganesha, Dewa Siwa, dll, seni tari dengan pementasan bertemakan Siwa Nataraja, maupun seni lainnya selalu diarahkan untuk pelayanan kepada Tuhan. Sehubungan dengan ulasan di atas, maka ada dua hal pokok yang dibahas dalam tulisan ini, yaitu (1) apakah signifikansi pendidikan karakter dalam seni pertunjukan dan (2) apakah esensi dari pendidikan karakter dalam seni pertunjukan.

PEMBAHASAN SIGNIFIKANSI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM SENI PERTUNJUKAN Pendidikan karakter dalam seni pertunjukan sangat signifikan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa seni pertunjukan dapat mengajarkan penari maupun penonton untuk mempersembahkan segala sesuatu dalam pelayanan kepada Tuhan. Karena setiap tarian sesungguhnya diarahkan untuk pelayanan kepada Tuhan (to please God). Dengan menyadari hal ini, secara otomatis mereka akan memiliki rasa humble (tunduk hati) yang merupakan ciri seseorang dengan karakter yang baik. Dengan karakter yang baik seseorang akan dapat merasakan kedamaian, sehingga tujuan kehidupan yang sesungguhnya yaitu untuk mencapai kebahagiaan dapat tercapai, karena kebahagiaan tersebut hanya dapat dirasakan dalam hati yang damai. Selain itu, dengan memiliki wisdom (kebijaksanaan) seseorang juga akan dapat merasakan kebahagiaan karena pikirannya lebih banyak dikendalikan oleh kecerdasan. Parameter seseorang disebut bijaksana, bukan pada saat orang tersebut memberi sesuatu kepada orang yang menilainya bijaksana, namun ketika orang tersebut mampu mengalahkan keakuhan palsu dan pikiran harus lebih banyak dikendalikan oleh kecerdasan. Pada saat pikiran dikendalikan oleh kecerdasan, pada saat itulah orang disebut bijaksana. Dalam seni pertunjukan pun, sikap bijaksana akan terpancar dalam setiap gerak tari yang dibawakan atau ditampilkan. Pendidikan karakter dalam seni pertunjukan tidak hanya untuk penonton, namum juga untuk penari itu sendiri. Penari yang memiliki rasa tunduk hati akan menjaga profesinya dengan professional, yang artinya bahwa penari tersebut tidak akan menari di luar konteks etika moral, sekalipun pada saat menarikan tarian balih- balihan (tari untuk pertunjukan). Dengan kesadaran ini, tidak akan ada lagi penari joged porno yang tidak memiliki kebijaksanaan yang merupakan awal dari keinsafan diri, sehingga penari joged porno tersebut menari hanya untuk kepentingan uang dan pemuasan nafsu para penonton, yang tentunya menyimpang dari tujuan untuk dipersembahkan kepada Tuhan, sehingga tidak dapat dijadikan media pendidikan karakter. Karena pendidikan karakter tersebut hendaknya mengarahkan penari itu sendiri dan juga penontonnya untuk mempersembahkan apapun dalam setiap gerakannya untuk memuliakan Tuhan. Secara terperinci dapat diuraikan bahwa signifikansi pendidikan karakter dalam seni pertunjukan adalah, (a) untuk melaksanakan amanat Pancasila dan UUDS 1945, bahwa setiap anggota masyarakat hendaknya menjadi pribadi yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini dapat dicapai dengan cara menempatkan Tuhan di atas segala yang dilakukan dalam kehidupan ini, khususnya pada saat pementasan tari Bali. Salah satu contoh, dalam setiap tarian selalu mengandung gerakan mudra, yang merupakan visualisasi dari mantra yang mengarahkan dalam pelayanan kepada Tuhan. Dalam seni tari segala gerak tarian selalu menghubungkan penari dengan Tuhan, karena dalam setiap tarian, gerak tangan atau jari mengarahkan kepada hubungan penari dengan Tuhan. Gerak tangan dan jari tersebut dikenal dengan nama mudra. Mudra dikenal dalam

113

agama hindu sebagai mantra yang divisualkan dalam bentuk gerak yang dianalogikan seperti orang bisu yang sedang berkomunikasi menggunakan anggota tubuhnya. Mudra dipraktekkan sebagai asana dengan tujuan untuk bisa menghubungkan diri penari dengan Tuhan. Banyak jenis mudra yang digunakan oleh penari dalam setiap tarian dan juga oleh para pendeta dalam setiap penyelesaian upacara ritual untuk mencapai kesucian yang merupakan dasar utama dari setiap jiwa untuk bisa berhubungan dengan Tuhan, karena tanpa kesucian, sang jiwa akan cendrung terperangkap dalam sifat-sifat alam material, yang mewujudkan sang jiwa berada dalam kesadaran material dan selalu bertindak di bawah pengaruh ilusi sehingga diarahkan menuju ke dalam keakuan palsu. (b) menjadikan masyarakat Indonesia yang berakhlak dan memiliki wisdom. Wisdom (kebijaksanaan) yang dimaksud adalah kesadaran setiap anggota masyarakat tentang kedudukan dasarnya sebagai manusia, yaitu untuk mengerti tentang hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Jadi parameter seseorang memiliki kebijaksanaan adalah seberapa mampu orang tersebut menguasai pikirannya untuk dikendalikan oleh kecerdasan dibandingan dikuasai oleh keakuan palsu (false ego) yang dituangkan dalam ide-ide sebuah garapan seni tari.

ESENSI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM SENI PERTUNJUKAN Sesungguhnya, gerakan-gerakan mudra yang dimaksudkan untuk menghubungkan penari dengan Sang Pencipta sudah merupakan wujud dari pendidikan karakter, karena esensi utama pendidikan karakter adalah keinsafan diri yang akan tertuang dalam kesadaran akan hubungan manusia dengan Tuhan. Jadi gerakan mudra yang berarti penyucian dimaksudkan untuk menyucikan segala sesuatu yang berhubungan dengan seni pertunjukan tari tersebut, tidak hanya penari, panggung, suasana, namun juga penonton yang hadir. Hal ini tentu berkaitan erat dengan konsep keseimbangan Tri Hita Karana, yang mana dengan gerakan tari yang mengandung gerakan mudra, penari sudah menampilkan dan menyampaikan pesan keseimbangan yang meliputi parahyangan, pawongan, dan palemahan. Dalam seni pertunjukan khususnya seni tari, gerakan tangan penari menggambarkan bentuk mudra yang memberikan kesucian terhadap suasana atau lingkungan tempat tarian tersebut dipentaskan. Pada saat penari baru mulai menari, tangannya melambangkan mudra cakra yang mana dalam uraian kitab suci bahwa mudra cakra dimaksudkan untuk menyucikan suasana. Dengan demikian, semua yang hadir di tempat pertunjukan tersebut akan mendapatkan kesucian. Dengan kata lain, seorang penari, pada saat dia menari bukan saja melakukan pertunjukan, tapi juga menari sebagai persembahan kepada Tuhan. Penari dengan ego tinggi akan gagal memberikan yang terbaik dalam pertunjukannya, karena ketika pikirannya dikendalikan oleh keakuan palsu (false ego), hal ini akan menjauhkannya dari hubungannya dengan Tuhan, sehingga akan terjadi pelupaan dan kehilangan daya tarik, karena Tuhan sendiri adalah sumber pengetahuan dan pengingatan dan yang maha menarik (Prabhupada, 2006: 646). Uraian di atas, menjelaskan bahwa esensi dari pendidikan karakter dalam seni pertunjukan adalah untuk mewujudkan setiap orang dalam keinsafan diri (self-realization). Pemahaman tentang keinsafan diri adalah bahwa kita bukanlah badan material ini, kita adalah jiwa (we are not this body, we are spirit soul) dan merupakan bagian dan percikan dari Tuhan dan mengerti kedudukan dasar sang jiwa adalah sebagai pelayan Tuhan yang kekal. Dengan keinsafan diri tersebut, setiap jiwa akan menjadi pribadi yang humble (tunduk hati), sehingga dapat mewujudkan dirinya dalam karakter yang mulia. Dengan kerendahan hati, setiap koreografer akan selalu menghubungkan tariannya sebagai persembahan kepada Tuhan & untuk melayani Tuhan (to please God) sehingga para koreografer tersebut memiliki hubungan khusus dengan Tuhan dalam bentuk kebahagiaan. Hubungan khusus ini akan tertuang dalam karya seni yang juga dirasakan oleh penari sebagai bentuk penjiwaan terhadap tarian yang ditarikan, yang mana penari tersebut menjadi media dalam mengekspresikan nilai-nilai yang dimaksud dalam tarian tersebut.

114

SIMPULAN Signifikansi pendidikan karakter dalam seni pertunjukan adalah sebagai berikut. (a) Untuk melaksanakan amanat Pancasila dan UUDS 1945, bahwa setiap anggota masyarakat hendaknya menjadi pribadi yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini dapat dicapai dengan cara menempatkan Tuhan di atas segala yang dilakukan dalam kehidupan ini, termasuk pada saat pementesan. (b) Untuk menjadikan masyarakat Indonesia yang berakhlak dan memiliki wisdom. Wisdom (kebijaksanaan) yang dimaksud adalah kesadaran setiap anggota masyarakat tentang kedudukan dasarnya sebagai manusia, yaitu untuk mengerti Tuhan dan hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Esensi dari pendidikan karakter dalam seni pertunjukan adalah untuk mewujudkan setiap orang dalam keinsafan diri. Pemahaman tentang keinsafan diri adalah bahwa kita bukanlah badan material ini, kita adalah jiwa (we are not this body, we are spirit soul) dan merupakan bagian dan percikan dari Tuhan dan mengerti kedudukan dasar sang jiwa adalah sebagai pelayan Tuhan yang kekal. Dengan keinsafan diri tersebut, setiap jiwa akan menjadi pribadi yang humble (tunduk hati), sehingga dapat mewujudkan dirinya dalam karakter yang mulia, sehingga dapat menampilkan tarian dengan sempurna karena tarian tersebut dipersembahkan kepada Tuhan (to please God).

DAFTAR PUSTAKA Dewi Yulianti, N. K. & Putra Yadnya, IB. 2016. Self-Realization sebagai Fondasi Pendidikan Nasional. Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Tradisi Lisan. Denpasar: 29-30 Juli. Dewi Yulianti, N.K.2016. ―Aspek Stilistika dalam Teks Srimad Bhagavatam: Kajian Terjemahan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia‖ (disertasi). Denpasar: Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana, Universitas Udayana. Harrell, Keith. 2004. Attitude is Everythinngs. New York: HarperColin. Kementrian Pendidikan Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan 2011. Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter Prabhupada, A. C. Bhaktivedanta Swami. 1993. Srimad Bhagavatam. First Canto. Los Angeles: The Bhaktivedanta Book Trust. Prabhupada, A. C. Bhaktivedanta Swami. 2006a. The Science of Self-Realization. Los Angeles:The Bhaktivedanta Book Trust Prabhupada, A. C. Bhaktivedanta Swami. 2006b. Bhagavad Gita as It Is. Los Angeles: The Bhaktivedanta Book Trust.

115

SENI PERTUNJUKAN WAYANG DALAM DINAMIKA GLOBAL-LOKAL

I Dewa Ketut Wicaksana Jurusan/Prodi Seni Pedalangan, Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Denpasar email : [email protected] Hp. 081805595619

Abstrak Seni pewayangan dan jagad pedalangan dikenal sebagai salah satu bentuk kesenian tradisional, yang bersumber dan berakar dari nilai-nilai moral budaya para leluhur, dan dirasakan sebagai milik bersama masyarakat pendukungnya. Bentuk garap jenis kesenian wayang didasarkan pada cita-cita masyarakat meliputi, tata nilai, pandangan hidup, filosofi, rasa estetik, etika serta ungkapan-ungkapan lingkungan hidup (trihita karana) sesuai lokal genius yang menopang-nya. Munculnya lakon-lakon wayang yang bertemakan kerakyatan berpeluang besar menguak peristiwa aktual yang sedang dan akan terjadi pada masyarakat kini sebagai konskuensi globalisasi. Wayang merupakan aktualisasi konsep kehidupan yang abstrak yang disajikan sebagai ajaran moral, sekalipun model pakeliran yang banyak mengadopsi teknologi modern, namun tetap mematri ungkapan nilai budaya lokal disamping informatif dan edukatif yakni, identitas lokal, watak global. Pertunjukan wayang dalam berbagai bentuk dan ekspresinya merupakan wahana simbolik pendukungnya (human simbolicum). Pijakan dan dinamika ini masih dipertahankan sesuai dengan gerak langkah maju perkembangan jaman di satu sisi, dan tuntutan keinginan masyarakat di pihak lainnya. Sebuah kekuatan lokal yang sangat efektif untuk bekal memasuki global village (desa global) maupun global culture (budaya global).

Kata Kunci: wayang, dinamika, global-lokal

PENDAHULUAN Proses globalisasi tidak saja menuntut dunia kebudayaan untuk selalu menempatkan dirinya secara arif di tengah berbagai perubahannya, akan tetapi lebih jauh lagi mampu menjadikan dirinya secara aktif sebagai agen perubahan jaman (agent of change). Akan tetapi sebagai sebuah ‗agen perubahan‘, kebudayaan dan kesenian pertama-tama harus ‗merubah‘ dirinya sendiri yakni, memperbaharui dirinya, memperluas cakrawalanya, melebarkan sudut pandang dan pandangan dunianya. Perubahan dalam skala global yang tengah berlangsung begitu cepat, turut juga mempengaruhi wacana kebudayaan dan kesenian. Pertama, perubahan pada bidang sosial- ekonomi, yaitu semakin menguatnya arus globalisasi ekonomi yang menuntut pengaturan berbagai aktivitas produksi, distribusi, dan kosumsi dalam skala yang lebih luas. Kedua, perubahan besar di bidang sains dan teknologi yaitu, berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi baru yang membawa pula perubahan mendasar pada tatanan kehidupan sosial dan budaya (Piliang, 2000: 111). Mencermati kondisi masa kini, para dalang di Bali mencoba berusaha mempertahankan habitat kesenian wayang dengan daya kreativitasnya, mencoba berinovasi dengan hal-ihkwal yang berbau kekinian dengan pertimbangan bisa eksis. Mereka berhasrat menumbuh-suburkan kegairahan wayang agar tidak tercerabut bahkan punah dari generasi kini yang sudah tak lagi meliriknya. Namun, ketika ia berinovasi atau memunculkan pembaharuan-pembaharuan, di balik itu muncullah pro dan kontra. Beberapa seniman konservatif memandang bahwa pertunjukan wayang kulit sudah sempurna, tidak perlu dikembangkan lagi dan cukup dilestarikan saja, akan tetapi naluri kreatif yang tumbuh pada sebagian seniman dalang masih terus berkembang dengan menyajikan karya-karya pewayangan inovasi (Bandem dan Sedana, 1993: 20). Perkembangan pertunjukan wayang pada hakekatnya meliputi tiga komponen yaitu, konsep estetis, teknik kesenian, dan kelompok sosial yang merupakan wadah di mana seni pertunjukan wayang berada. Konsep estetis adalah nilai-nilai keindahan yang menjadi dasar dari suatu ekspresi pertunjukan wayang, serta yang dianut oleh bersama oleh para dalang maupun anggota masyarakat pendukung

116

pewayangan. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa nilai-nilai estetis dalam pakeliran sangat terpelihara dan dihormati serta diterima oleh para dalang dan para pengamat atau pendukung pakeliran wayang. Kedua, bahwa perkembangan dunia pewayangan dalam kondisi masyarakat yang bersifat kota yang akan menuju ke masyarakat industri diperlukan teknik berkesenian yang tinggi, atau yang rumit/canggih (sophisticated), artinya teknik kesenian yang tidak membodohkan masyarakat bangsa. Misalnya mulai dari pemilihan tema lakon, penggarapan detail jalannya cerita, garapan isi, iringan pakeliran, tetikesan/sabet dan sebagainya. Teknik yang maju tentu akan memerlukan pemikiran yang matang, fantasi yang hidup, perasaan yang kaya dan intuisi yang tajam. Ketiga, adalah golongan sosial yang menjadi pendukung kehidupan pewayangan. Suatu kesenian sebagai pranata sosial tidak hidup di awang-awang tetapi ada golongan yang menjadi pendukung, pembina, dan penggerak sekaligus sebagai konsumen (Soetarno,1999: 4-9). Analogi dengan hal tersebut di atas, akan diamati ketiga konsep tersebut, atas dinamika perkembangan wayang di Bali yang dilakukan oleh seniman-seniman dalang dalam rangka berinovasi dan bereksperimen untuk menggali, melestarikan, dan mengembangkan wayang, serta bagaimana respon masyarakat pendukung kesenian adhiluhung ini. Tulisan kecil ini dicoba mengamati wayang tradisi sebagai upaya pelestarian, kemudian akan dibahas inovasi pewayangan yang dilakukan oleh seniman dalang untuk mengembangkan khasanah genre wayang dan model- model lakon yang bisa ditransformasikan dalam seni pewayangan. Dan ditelaah pula eksperimen pakeliran untuk menggali kemungkinan-kemungkinan garap sebagai sebuah proses kreatif akibat dari penemuan baru dalam bidang teknologi. Aspek-aspek yang dimiliki oleh wayang sebagai sebuah wujud seni tradisi, mempunyai kekuatan spiritual (mental) maupun material (fisikal) yang merupakan kaidah-kaidah universal yang berlaku disemua bentuk ekspresi seni pertunjukan. Sebuah kekuatan lokal yang sangat efektif untuk bekal memasuki global village (desa global) maupun global culture (budaya global) (Bandem, 2000: 32-33).

PERTUNJUKAN WAYANG TRADISI, INOVASI, DAN EKSPERIMEN WAYANG TRADISI Seni pedalangan dan jagad pewayangan begitu dikenal sebagai salah satu bentuk kesenian tradisional, yang bersumber dan berakar dari nilai-nilai moral budaya para leluhur, serta telah dirasakan sebagai milik bersama masyarakat pendukungnya. Bentuk garap jenis kesenian tradisional ini didasarkan pada cita-cita masyarakat meliputi, tata nilai, pandangan hidup, filosofi, rasa estetik, etika dan ungkapan-ungkapan lingkungan hidup tertentu sesuai dengan lokal genius yang menopangnya. Selanjutnya dituangkan ke dalam format seni pewayangan sebagai wahana simbolik pendukungnya, oleh Ernest Cassirer seperti dikutip Kasidi (1999: 2) menyebutnya sebagai human simbolicum. Bentuk pakeliran tradisi di Bali dibedakan menjadi dua jenis yaitu, wayang lemah dan wayang peteng. Wayang lemah adalah pertunjukan wayang kulit yang diselenggarakan pada siang (lemah) hari, seiring dengan penyelenggaraan upacara, karena fungsinya sebagai bagian upacara ritual keagamaan (panca yajnya). Sedangkan wayang peteng adalah pertunjukan wayang kulit yang diselenggarakan pada malam (peteng) hari, setelah penyelenggaraan upacara ritual selesai yang fungsinya sebagai tontonan dan tuntunan. Sarana/perlengkapan wayang lemah lebih sederhana yakni, batang pisang (gedebong) dipasang sedemikian rupa tanpa kelir (layar) hanya dibentangkan seutas benang (tukelan) dililit mata uang kepeng bolong (China) di antara cabang kayu dapdap (erythrina indica). Dalang beralaskan tikar duduk bersila dengan iringan gamelan gender dua/empat orang. Jenis wayang ini sering disebut wayang gedog, hal ini diduga karena ceritera yang dibawakan seorang dalang hanya ―satu babak‖ dan tidak sampai berakhir/tuntas (sering disebut apalet). Berbeda halnya dengan wayang peteng yang memerlukan persiapan lengkap baik tempat pentas (panggung) sarana, maupun pendukung (crew) lainnya. Tradisi pertunjukan wayang di Bali masih dipegang teguh oleh dalang-dalang di pedesaan seluruh Bali oleh karena bentuk kesenian ini secara estetik dan ritual masih terkait erat dengan kehidupan sosial masyarakatnya. Kaidah-kaidah pakeliran tersebut di atas pernah menjadi dasar ekpresi pertunjukan wayang pada pertengahan abad XX.

117

WAYANG INOVASI Daya kreativitas dan inovasi dalam pengembangan pewayangan di Bali telah mengejawantah kedalam dua cara yakni, menambah perbendaharaan jenis-jenis wayang kulit, dan memodifikasi bentuk dan cara tradisi (Bandem dan Sedana, 1993: 20). Dua puluh tahun terakhir ini telah muncul bentuk-bentuk pertunjukan wayang kulit baru seperti, Wayang Kulit Arja, Wayang Kulit Tantri, dan Wayang Kulit Babad. Sebelumnya Bali mewarisi pertunjukan wayang antara lain, Wayang Kulit Ramayana; Wayang Kulit Parwa, Wayang Kulit , Wayang Kulit Calonarang, dan Wayang Kulit Cupak. Ketika Wayang Arja diciptakan oleh Dalang I Made Sidja (78 tahun) pada tahun 1976, tentu baginya mudah mewujudkan hal-hal baru dalam seni karena beliau memiliki kemampuan lebih, dalam hal ikhwal berkesenian (khususnya Bali). Berangkat dari respon kreatif dan dimotivasi oleh state (atas dorongan Listibiya Gianyar dan Provinsi Bali), Bapa Sidja berimajinasi atas dasar keyakinan tiga hal yakni, melestarikan, menggali, dan mengembangkan seni budaya dengan mentransformasikan dramatari Arja kedalam wayang kulit seutuhnya. Maka jadilah wayang hasil ciptaannya ―arja wayang‖, karena baik prototipe wayang, iringan (gamelan geguntangan), vokal (tembang/pupuh), antawacana (bahasa Bali), termasuk struktur dramatik mendekati sama dengan dramatari Arja. Sidja mampu membawakan semua peran/tokoh ‗pearjan’ dan menembangkan lagu (pupuh) dengan iringan gamelan geguntangan, yang berbeda dalam satu kemasan wayang kulit dan hal tersebut belum pernah dilakukan oleh dalang-dalang lainnya di Bali. Dalang I Wayan Wija (65 tahun) ketika menciptakan wayang tantri pada tahun 1984, berawal dari keinginan menampilkan khasanah yang berbeda dari bentuk pewayangan yang sudah ada. Lebih jauh beliau ingin memvisualisasikan ceritera tantri (Tantri Kamandaka) yang banyak berkisah tentang tabiat/perilaku hewan dan binatang. Dalang Wija sepertinya berjodoh dengan satwa (ceritera) tantri, karena beliau bisa bebas berkreativitas di luar norma pakem pewayangan tradisi yang ketat. Dalang Wija diakui memiliki kemampuan lebih, selain suara/tembang (vokal) sangat empuk dan memikat serta kemampuan tetikesan (Jawa: sabet) sangat terampil. Figur-figur wayang tantri garapan Wija sepintas tak jauh beda dengan wayang kulit tradisi Bali lainnya, hal itu disebabkan beliau masih tunduk dengan pola wayang tradisi dan tidak berani berinovasi terlalu tajam, serta mengkhawatirkan dapat cemohan dari masyarakat pencinta pewayangan. Hal ini disebabkan norma-norma dalam seni tradisional lebih ketat dari seni modern, selain itu individu- individu kreatif tidak pernah dapat membuang begitu saja warisan budaya yang masih hidup, karena masih relevan sebagai titik tolak untuk menciptakan bentuk-bentuk yang baru (Murtana, 1996: 62-63). Diiringi instrumen gamelan Palegongan, sajian Wija semakin menarik dan asyik ditonton, karena gamelan tersebut berlaras pelog, memungkinkan beliau bisa bebas berolah vokal tidak seperti gamelan Gender dengan laras slendro, untuk bervariasi tandak (gending) sangat terbatas. Namun demikian, Dalang Wija masih patuh dan mengikuti struktur pertunjukan wayang konvensional. Dalang Wija mendapat predikat I dalam Festival Wayang Kulit Ramayana se-Bali tahun 1982. Berkat kepiawaiannya itu, beberapa kali diundang pentas ―ngwayang‖ ke luar negeri antara lain, Amerika Serikat (1982), Jepang (1983), Italia (2000-an). Wija yang sempat mengajar di SMKI/SMK 3 (1984-1990) dan STSI Denpasar (1990-1999), juga turut misi kesenian pada Asia Pacific Festival di Vancouver (1985). Pada tahun 1992 dia tampil di India dan melanjutkan perjalanannya ke Amerika bergabung dengan Mabou Mimes Theatre Company. Wija bertemu dengan dalang asing Larry Reed (AS) lantas berkolaborasi menggarap wayang raksasa dengan kelir lebar dan tata cahaya listrik yang kemudian disebut wayang listrik. Untuk diketahui, sebelumnya I Made Persib, BA (ketika itu mahasiswa Jurusan Pedalangan ASTI Denpasar) pernah membawakan wayang tantri dalam Festival IKI di Bandung sekitar tahun 80-an. Ceritera yang dibawakan adalah ‗Pedanda Baka’ dengan iringan gamelan Semara pagulingan, namun setelah itu karya pewayangannya tidak pernah dipentaskan lagi (wawancara di SMK 3 Negeri Sukawati, 22 Januari 2015). Pada tahun 1988, khasanah pewayangan Bali bertambah lagi dengan munculnya jenis wayang baru mengambil lakon legenda dari sejarah Bali yang dinamakan wayang babad. Diketahui

118

bahwa, ada dua orang kreator yang sama-sama ngripta wayang babad dan sekaligus menjadi dalangnya yakni, I Gusti Ngurah Seramasemadi, SSP., M.Si (55 tahun) dari Puri Saba, Blahbatuh (Gianyar), dan I Ketut Parta/Klinik (Alm.) dari Sukawati, Gianyar. Prototipe wayang kulit babad yang diciptakan oleh kedua seniman dalang tersebut, satu sama lainnya ada perbedaan dan persamaannya. ‗Gung Serama Semadi‘, menatah wayang dengan muka atau wajahnya menghadap ke depan serta kedua matanya kelihatan mirip lukisan wayang klasik gaya Kamasan (Klungkung). Tata busana dan mahkotanya (gelungan) sangat realistis, menyerupai busana raja-raja Bali atau tata busana adat Bali. Sedangkan Klinik, menggarap tatahan wayangnya dengan memodifikasi atribut patopengan dengan memasukkan sesaputan sebagai ciri khas dramatari topeng dalam tata busana wayang, sehingga sekilas mendekati bentuk-bentuk wayang parwa/ramayana. Walaupun perbedaan bentuk wayang keduanya sangat menonjol, namun ada bagian yang sama antara kedua kreator ini, seperti terlihat pada bentuk tangan dan kakinya sama dengan bentuk wayang kulit Bali. Pada akhir tahun 1999, Dinas Kebudayaan Bali memprakarsai penyebaran wayang ‗anyar‘ ini lewat Parade Wayang Kulit Babad se-Bali.

WAYANG EKSPERIMEN Memodifikasi bentuk-bentuk penyajian wayang kulit Bali sebagai sebuah eksperimen, pertama kali dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa pedalangan dari ASTI/STSI Denpasar yang menempuh ujian akhir (TA). Semua lulusan di lembaga tinggi seni tersebut diharuskan membuat karya komposisi seni baik Jurusan Tari, Karawitan, maupun Pedalangan. Pada tahun 1971, I Made Persib, mahasiswa angkatan pertama yang menempuh pendidikan formal Jurusan Pedalangan di ASTI Denpasar, dengan karya pakelirannya berjudul Sapuhleger (Murwakala). Persib mengawali penyajiannya dengan pakeliran wayang tradisi, kemudian pada klimak ceritera ketika Bhatara Kala mengejar mangsanya yang tiada lain adiknya sendiri (Rare Kumara), beliau mewujudkan tokoh wayang Bhatara Kala dengan manusia tinggi besar. Selanjutnya tahun 1985, Sang Ketut Sandyasa dalam ujian sarjana muda (B.A.) di ASTI Denpasar, juga bereksperimen wayang kulit dengan mengusung ceritera Mitologi Dalang Buricek. Mengawali sajiannya, hadir seorang raja memerintahkan abdi dan rakyatnya untuk tidak tertawa selama dalang menggelar wayang. Ketika berbagai macam antawacana dan banyol/lucu tidak disambut gelak tawa penonton, dalang sadar bahwa ia sedang ‗dikerjai/dicoba‘ oleh raja, maka ia memikirkan ‗daya dadakan’ (spontanitas). Dalang Buricek segera mengambil pengutik (pisau belati) dan merobek kelir serta menjulurkan kepalanya yang botak dengan wajah keriput sambil tolah-toleh menampakkan giginya (ngejengit). Menyaksikan gelagat dalang Buricek yang aneh dan lucu tersebut, kontan raja tertawa terbahak- bahak dan saat yang bersamaan rakyatpun ikut tertawa. Akhirnya raja tidak jadi menghukum abdi dan rakyatnya, sekaligus memuji dan mengakui dalang Buricek akan kepintaran dan kepiawaiannya. Pada tahun yang sama, I Nyoman Sedana juga melakukan eksperimen wayang untuk memperoleh gelar sarjana muda ASTI Denpasar, dengan membawakan ceritera ‗Kawit Dalang’ dengan media wayang lemah. Sedana mengawali sajiannya dengan menggarap kayonan besar (1,5 meter) terbuat dari seng yang ditatah dan ditarikan oleh satu orang. Yang menarik adalah, beliau tidak menggunakan kelir dan lampu blencong, tetapi memakai panggung bingkai dengan dekorasi kain serta ukiran prada persegi empat mengitari kayu bingkai, sehingga wayang, dalang, dan iringannya tampak dari depan. Pada tahun 1988, penulis bersama I Ketut Kodi (angkatan I, S1 Pedalangan) STSI Denpasar, menggarap bentuk revolusioner dalam pewayangan Bali bertajuk pakeliran layar berkembang berjudul Anugrah, dengan sumber lakon Arjuna Tapa (kakawin Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa). Pada dasarnya garapan tersebut menitik-beratkan pada proses ceritera, teknik penggarapan ruang dan waktu termasuk penciptaan suasana dengan membangun layar/kelir yang sangat lebar untuk ukuran wayang tradisi disertai penerangan lampu elektrik. Istilah ‗berkembang‘ lebih berkonotasi kuantitatif artinya, mengembangkan, membesarkan, dan meluaskan seni pewayangan. Eksperimen pakeliran ini bertujuan untuk mengembangkan kreativitas untuk

119

mewujudkan pembaharuan dalam seni pertunjukan wayang tradisi dengan membesarkan volume penyajian, meluaskan wilayah pengenalan pakeliran wayang kulit (Kodi dan Wicaksana, 1988: 1-2). Secara bentuk, pengembangan pakeliran jenis ini menggunakan aparatus yang lebih besar lagi dengan digunakannya kelir besar dan lebar (berukuran 5,5 x 3 meter), wayang-wayang dengan ukuran besar dan tinggi (berkisar antara 50 cm sampai 1,15 cm), penggunaan cahaya listrik lewat media overhead proyektor; follow sport dan sport light, iringan non-konvensional (Gamelan Gong Gede) dengan 35 orang penabuh, beberapa orang penggerak wayang (12 orang), dalang (3 orang dalang laki-laki dan 1 orang wanita), dan gerong/sinden. Secara isi, pakeliran layar berkembang memadatkan struktur lakon untuk kepekatan alur dramatik dengan penekanan pada aspek ruang, suasana, waktu, tokoh, tema, dan pesan yang hendak disampaikan. Perkembangan eksperimen yang paling mutakhir dalam pewayangan Bali adalah digunakannya teknologi komputer dan laser compec disc (LCD) untuk memproyeksikan wayang- wayang dan background atau diorama seperti hutan, istana, tempat ibadah (pura), taman/kolam dan lain-lainnya. Bentuk eksperimen pakeliran ini dilakukan oleh dosen dan mahasiswa Pedalangan STSI Denpasar ketika perayaan Siwaratri di lapangan Puputan Badung, Denpasar pada Selasa, 12 Februari 2002. Dengan kelir lebar khusus yang terbuat dari bahan plastik berukuran 8 x 4 meter dipasang mirip layar tancap dengan melibatkan crew berjumlah 75 orang, cukup berhasil menyedot ribuan penonton sampai subuh. Ide tersebut muncul dari keinginan untuk mengakomodir berbagai kemampuan, pengalaman dan keterampilan yang dimiliki kalangan para dosen, mahasiswa dan alumnus Pedalangan STSI/ISI Denpasar. Kemampuan mereka bersinergi satu dengan yang lainnya dalam satu sajian yang bertajuk pakeliran layar lebar dengan lakon khusus Lubdaka, berkisah tentang kematian seorang pemburu bernama Lubdaka, rohnya mendapatkan sorga karena tanpa sengaja ia jagra/suntuk pada malam Siwarartri (Kakawin Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung). Karya-karya eksperimental yang dipersembahkan oleh para insan dalang akademis, menunjukkan bahwa pertunjukan wayang kulit Bali sudah ditumbuh-kembangkan dalam dua aspek yakni, aspek isi dan bentuk. Aspek isi, dikembangkan dengan mengadakan penafsiran kembali terhadap plot/pembabakan ceritera-ceritera wayang yang sudah umum dikenal, sehingga dapat disusun struktur narasi baru dari lakon-lakon tradisi. Penyusunan narasi ini sudah barang tentu akan diikuti oleh perubahan alur dramatik, dan urutan pepeson (struktur pertunjukan). Dengan cara-cara seperti ini akan muncul teknik-teknik baru dalam pertunjukan wayang yang belum lazim dalam penyajian tradisi. Sebagai contoh, penggunaan teknik kilas balik (flash back) - dalam pewayangan tradisi, kilas balik biasanya hanya diceriterakan oleh para panakawan, tetapi dalam karya inovasi sering digarap keduanya baik wacana maupun visualnya. Pengembangan aspek isi, juga dilakukan dengan cara mementaskan ceritera/lakon baru yang tidak terdapat dalam repertoar tradisi wayang seperti, lakon Dalem Dukut, Maling Sakti, Sengit Grigis (babad); Kamandaka (tantri); Bandana Pralaya (sejarah Bali); Luh Mertalangu (panji); Gadjah Mada (sejarah Jawa); Dalang Buricek, Murwaka Bhumi, Muktipapa (tokoh-tokoh bangsa/masyarakat) dan lain-lainnya. Aspek bentuk, terjadi pada teknik penyajian dan perubahan aparatusnya. Salah satu teknik yang paling menonjol ialah, adanya kecendrungan untuk memperkaya dimensi pewayangan dari dua menjadi tiga dimensi, termasuk penggunaan aparatus yang lebih besar seperti, pemakaian layar/kelir lebar, wayang besar, tata lampu modern, ansamble gamelan non-konvesional, dekorasi panggung, scenery, computer, LCD, gerong/sinden, dan jumlah dalang lebih dari satu orang sekaligus. Dengan kondisi seperti ini, peluang untuk memperbaharuhi teknik pementasan wayang kembali semakin bertambah dan berkembang. Konsep-konsep pembaharuan yang mendasari karya-karya/ garapan seni kampus menunjukkan adanya kelentikan, kebebasan, dan kreativitas, sehingga ciri- ciri ini identik dengan sifat kampus sebagai lingkungan di mana kebebasan mimbar-akademik menjadi ciri utama (Rustopo, 1991: 1).

120

PERTUNJUKAN WAYANG DALAM DINAMIKA GLOBAL-LOKAL Meneropong masa depan kesenian wayang di dalam konteks arus globalisasi dewasa ini, menghadapkan kita (khususnya insan Pedalangan) pada berbagai panorama masa depan yang menjanjikan berbagai optimisme, sekaligus pesimisme. Optimisme itu muncul, disebabkan globalisasi dianggap dapat memperlebar ‗cakrawala‘ kebudayaan dan kesenian, yang kini hidup di dalam sebuah ‗pergaulan‘ global, sehingga semakin terbuka peluang bagi penciptaan berbagai bentuk, gagasan, atau ide-ide kebudayaan dan kesenian yang lebih kaya dan lebih bernilai bagi kehidupan itu sendiri. Akan tetapi pesimisme itu muncul, mengingat bahwa proses globalisasi dianggap tidak dengan sendirinya menciptakan pemerataan dan kesetaraan dalam setiap bentuk perkembangan, termasuk perkembangan kebudayaan dan kesenian (Piliang, 2000: 112). Globalisasi sering diterjemahkan sebagai gambaran dunia yang lebih seragam dan terstandar melalui teknologi, komersialisasi, dan sinkronisasi budaya yang dipengaruhi oleh Barat, oleh karenanya globalisasi erat kaitannya dengan modernitas. Namun dalam perkembangannya, konsep globalisasi masih menjadi perdebatan karena dipahami secara bervariasi, karena setiap pakar mempunyai cara pandang dan argumentasinya sendiri tentang globalisasi. Menurut Jan Nederveen Pieterse, seperti dikutip M. Jazuli (2000: 91-98) menyebutkan bahwa, konsep globalisasi sebagai hibridisasi yakni budaya baru sebagai hasil saling silang atau pencangkokan dari berbagai budaya, transisi dari berbagai sumber budaya, dan pengemasan baru dari budaya lama. Analogi dengan hal tersebut di atas, ada masalah mendasar selain pergeseran nilai yang disebabkan oleh perubahan kondisi struktural, yakni semakin berkembangnya cara pandang dan kepentingan seniman (dalang) dalam kerangka global. Perkembangan tersebut terkait dengan ideologi seniman meliputi 3 (tiga) varian yakni, konservatif, progresif, dan pragmatis. Setiap kategori akan dilihat dari beberapa indikator yaitu, orientasi, format sajian, hubungan dengan penikmat, profesionalisasi, tantangan, dan strategi seniman (Jazuli, ibid). Pertama, seniman (dalang) berideologi konservatif, cendrung berorientasi pada masa lampau dengan tujuan preservasi. Kelompok dalang ini mempunyai kepentingan untuk memperoleh prestise dengan format sajian pakelirannya masih tampak konservatif atau tradisional (relatif sederhana) dengan memanfaatkan teknologi yang relevan dalam jangkauan lokal. Posisi ini terjadi pada dalang tradisional (otodidak) yang banyak bertebaran di desa-desa di Bali. Dalang dalam hubungan dengan penonton sebagai akomodator yaitu, mengkomunikasikan dan mengakomodasikan berbagai kepentingan (sering ritual dan agama) serta menyesuaikan dalam kesatuan sosial (menghindari konflik). Tingkat profesionalismenya cendrung defensif, persaingan terjadi dalam tataran internal. Tantangan yang dihadapinya adalah tuntutan perubahan yang mengakibatkan krisis vitalitas dan intensitas, sedangkan jaringan (sistem) yang ada tidak berfungsi, tak mampu mengeliminasi keadaan. Adapun strategi yang dilakukan untuk mengatasi tantangan oleh kelompok dalang ini, di antaranya adalah tetap mengikuti konvensi yang berlaku, mengadakan kaderisasi (pembinaan) secara terus-menerus, melakukan pergelaran secara rutin, dan memanfaatkan teknologi yang relevan. Positifnya, dalang-dalang konservatif yang banyak melestarikan keberadaan wayang kulit Bali sehingga bisa utuh sampai saat ini, seperti wayang parwa, wayang ramayana, wayang gambuh, wayang calonarang, dan wayang cupak. Kedua, berideologi progresif adalah kategori seniman/dalang yang berorientasi masa depan, dengan tujuan menawarkan alternatif. Kepentingan dalang seperti ini adalah pengenalan dan reputasi. Munculnya wayang arja, wayang tantri, wayang babad, dan pakeliran layar lebar merupakan produk pakeliran dengan format sajian karyanya lebih bersifat inovatif dan hibrid. Format penyajiannya berbeda, namun prototipe wayangnya (kecuali wayang arja) mendekati sama dengan wayang tradisi karena berupa vokabuler yang bersifat konvensional, sedangkan yang baru adalah repertoarnya (lakon dan iringannya). Sekalipun penggagas genre wayang tersebut di atas (I Made Sidja, I Wayan Wija, dan I Ketut Klinik) adalah dalang otodidak, namun beliau itu adalah sosok seniman dengan wawasan sangat luas dan profesional, serta banyak bersentuhan dengan dunia luar. Kehadiran wayang tersebut mendapat sambutan sangat antusias dari masyarakat Bali

121

yang selalu respon terhadap kesenian tradisi yang inovatif. Tantangan yang dihadapinya adalah belum memiliki jaringan yang kuat, artinya belum banyak dalang di Bali yang menekuni jenis wayang tersebut, dan wilayah penyebarannya masih terbatas. Sekalipun state (Dinas Kebudayaan Provinsi Bali) mempelopori dengan event Festival Wayang Arja (1998), Festival Wayang Tantri (1999), dan Parade Wayang Babad (2000), namun ia hanya sebatas pengenalan. Hal yang sama juga terjadi pada penyajian pakeliran karya seniman akademis. Adapun strategi yang dilakukan untuk mengatasi tantangan tersebut, baik pemerintah maupun penggagas yakni proaktik dan kreatif, mencari alternatif lain atau penafsiran baru dari karya yang sudah ada. Hal itu dilakukan dengan cara mengadakan eksperimen secara terus-menerus sebagai bentuk penawaran dari sejumlah kemungkinan, meningkatkan wawasan, menjalin dan membangun relasi, memanfaatkan berbagai kekuatan produksi (sumber daya manusia), serta berupaya menguasai teknologi yang ada. Ketiga, berideologi pragmatis, dalang yang cendrung berorientasi masa kini. Kelompok seniman ini selalu mencari keseimbangan (moderat) dan melayani kepentingan serta selera massa/pasar (ambivalen). Adapun tujuan kelompok seniman moderat adalah prestise dan komersial, sedangkan seniman ambivalen adalah reputasi dan komersial. Format sajian (moderat dan ambivalen) cendrung glamor, spektakuler, sensasional, hibrid (pencangkokan berbagai unsur), asal beda, asal laku (Jazuli, 2000: 99). Sekitar tahun 1970-an di Bali, sempat geger dengan kehadiran pakeliran gaya dalang I Ketut Rupik (80 tahun) yang disebut nyeleneh/soleh (lain dari kebiasaan/tradisi) dalam mementaskan wayang baik tempat pementasannya maupun tuturan/antawacananya. Rupik yang terkenal dengan julukan ―dalang wakul‖, adalah dalang otodidak namun melek dengan kondisi kini, penyajian pakelirannya teradopsi oleh aneka budaya dari pop hingga klasik. Rupik sadar bahwa, wayang sudah menjadi barang komoditi, maka ia melihat dan berfikir tentang gejala pangsa pasar, maka ia berusaha terus bersinggungan dengan budaya-budaya global yang sangat amat deras menjejali ruang dan waktu saat ini. Ia mengangkat isu-isu aktual disela-sela ceriteranya yang kontekstual dengan masyarakat penonton, maka sajian pakelirannya disebut ‗berita dunia II‘ setelah berita dunia pertama pada layar kaca (TV). Beliau tidak menampik bahwa, sajian pewayangannya rada nyeleneh, mengeksploitasi sex dan humor, menyalahi pakem/wimba dan lain sebagainya. Baginya ―biarkan anjing mengonggong kafilah tetap berlalu, yang penting penonton tidak berlalu‖ (Wicaksana, 1999: 1-3). Dalang I Wayan Nardayana (50 tahun) yang dikenal ‗dalang Cenk Blonk‘ juga dianggap kesenian ‗ngepop‘ dalam tradisi pewayangan di Bali, karena pakelirannya dikemas ringan petuah/tutur dan lebih menonjolkan humor yang sifatnya menghibur. Sesungguhnya struktur pementasannya tradisi, namun yang membedakan adalah musik pengiringnya merupakan gabungan dari instrumen non-konvensional seperti, gamelan batel suling dipadu dengan gemelan gender rambat (unsur palegongan); cengceng kopyak (unsur balaganjur); rebab (unsur gambuh); dan kulkul bambu (unsur tektekan). Untuk mencapai kualitas sajiannya, ia merangkul seniman-seniman akademis ikut menggarap komposisi karawitan, panggung kelir (gayor) dirancang knout down dengan ukiran kayu gaya Bali, efek sinar listrik, teknik tetikesan (sabet), dengan harapan pagelarannya menjadi semarak dan memikat. Tak cukup iringan/gamelan yang dipikirkan, ia memasuk-kan gerong (Jawa, sinden), suara vokal `chourus` yang ditembangkan oleh empat wanita sebagai fungsi narasi baik saat mulai pertunjukan (pategak/talu), adegan petangkilan (sidang), rebong (adegan romatis) tangis/mesem (sedih), dan akhir pertunjukan (ending). Yang menonjol pakelirannya, Nardayana mengangkat isu sosial aktual masa kini mendominasi gaya pakelirannya lewat tokoh rakyat bernama Nang Klenceng dan Pan Keblong, dua panakawan `sisipan` dengan dialek (logat/aksen) khas daerah Tabanan. Pada awalnya banyak mengeksploitasi humor yang bernada pornografi seperti halnya dalang Wakul pendahulunya, sehingga penonton hanya menanti-nantikan panakawan (Cenk-Blonk) yang akan memainkan berbagai strategi humor semisal sex dan perselingkuhan. Namun begitu terkenal, ia tidak larut dan mulai mengurangi unsur pornografi dengan cara mengemas humor-humor isu sosial pilitik yang tengah aktual di masyarakat. Secara intensitas, ia melakukan sistem paket dalam kemasan

122

penyajiannya, dengan struktur dan isi serta waktu yang ketat dan tepat. Maka tak heran Nardayana bisa pentas dua kali dalam semalam dan penonton selalu membanjirinya, terutama anak muda (Wicaksana, 2000: 61-63). Model yang sama juga dilakukan oleh `dalang Joblar` (I Ketut Muada), dalang muda dari daerah Badung. Kehadiran kedua dalang muda (lulusan ISI Denpasar) berbakat ini dianggap sebagai kesenian pinggiran, sebagai media alternatif untuk menggairah-kan kembali seni pewayangan di Bali yang lesu dan sepi penonton. Mengamati penyajiannya, ada kecenderungan para dalang tersebut sangat kondusif dan sinergi yaitu, mengimbangkan antara tuntutan situasi dengan norma dan komitmennya, namun senantiasa merespon fenomena yang nge-trend, asal beda. Tantangan yang dihadapi di antaranya, harus selalu mempertahankan vitalitas dan intensitas sesuai tuntutan, harus produktif dan menarik penggemar agar laku, piawai mencari dan mengantisipasi peluang pasar, menjalin relasi, dan memanfaatkan berbagai sumber kekuatan produksi. Strategi yang dilakukan oleh kelompok dalang ini adalah menjawab tantangan tersebut, terutama lewat pemanfaatan berbagai bidang keahlian serta memanfaatkan teknologi sesuai perkembangan jaman bagi proses produksinya. Sekalipun moderat dan ambivalen, mereka berkomitmen untuk tetap mengutamakan nilai keseimbangan, sambil melayani berbagai kepentingan dan selera pasar. Mempersoalkan identitas di tengah percaturan budaya global, secara sederhana dapat dilacak jawabannya melalui karya-karya para seniman kreatif. Pengertian lokal/tradisi kiranya sudah diketahui secara umum sebagai salah satu tatanan nilai dari sebuah masyarakat yang berlangsung dalam perjalanan waktu yang cukup lama, sehingga menjadi sebuah kebiasaan secara turun-temurun. Kebenaran tata nilai ini diyakini sebagai hal yang baik sehingga dikerjakan dan dipertahankan dengan suka rela oleh masyarakat pendukungnya tanpa ada unsur paksaan (Kasidi, 1999: 2). Lebih lanjut dikatakan bahwa, tradisi itu dengan sendirinya menjadi pranata sosial yang menjadi salah satu unsur munculnya budaya tertentu. Salah satu pranata sosial yang berkaitan dengan masalah ini adalah fungsi keperluan masyarakat untuk menghayati rasa keindahan dan rekreasi atau disebut dengan istilah aestetic and recreational institutions (Kasidi, 1999: 3). Tidaklah aneh seni pewayangan dan jagad pedalangan begitu dikenal sebagai salah satu bentuk kesenian tradisional, yang bersumber dan berakar dari nilai-nila moral budaya para leluhur, serta telah dirasakan sebagai milik bersama masyarakat pendukungnya. Bentuk garap jenis kesenian tradisional ini didasarkan pada cita-cita masyarakat meliputi, tata nilai, pandangan hidup, filosofi, rasa estetik, etika dan ungkapan-ungkapan lingkungan hidup tertentu sesuai dengan lokal genius yang menopangnya. Selanjutnya dituangkan ke dalam format seni pewayangan sebagai wahana simbolik pendukungnya, oleh Ernest Cassirer seperti dikutip Kasidi (1999: 4) menyebutnya sebagai human simbolicum. Pijakan ini rupa-rupanya dipertahankan sesuai dengan gerak langkah maju perkembangan jaman di satu sisi dan tuntutan keinginan masyarakat di pihak lainnya. Pakeliran layar lebar sebagai karya inovatif adalah sebuah proses kreatif, karenanya seniman (dalang) terdorong untuk menangkap respons-respons kreatif melalui pengalaman-pengalaman yang dapat memperkuat kreativitas antara lain, pengalaman eksploratif, improvisasi, serta forming/ pembentukan atau komposisi. Layar lebar membuktikan sinerginya budaya lokal/tradisi dan modern, walaupun keduanya masih saling tumpang tindih oleh karena masih berupa proses adaftif. Sebuah contoh, efek penyinaran listrik masih dianggap wantah/terang-benderang dibandingkan dengan efek lampu blencong yang memiliki aura magis. Dalang sebagai pemegang otoritas pertunjukan wayang perlu kerjasama dengan seorang ahli elektrik, untuk memodifikasi efek sinar listrik mendekati sama efeknya dengan lampu blencong yakni bisa redup dan sedikit bergetar. Tidak saja dalam hal fisikal, juga wacana-wacana sebagai aspek isi yang bermuatan lokal (satyam, siwam, sundaram) ditransfomasikan menjadi nilai estetika, etika, dan logika dengan mencermati fenomena-fenomena kekinian.

123

DIALEKTIKA PERTUNJUKAN WAYANG Wayang sebagai karya seni kolektif mempunyai hubungan dialektika antara tradisi, inovasi, partisipasi, dan profesi. Hal tersebut menandakan bahwa keberadaan wayang dan dalang tak terlepas dengan bidang kehidupan lainnya. Dalam konteks kehidupan lokal/tradisional, dialektika tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut, (1) hubungan antara seni tradisi dan inovasi memerlukan pengaturan atau sistem manajemen; (2) hubungan antara inovasi dan partisipasi membutuhkan pengkayaan dan rekayasa; (3) hubungan antara partisipasi dengan profesi dijembatani oleh legalitas; (4) hubungan antara tradisi dengan profesi dimediasi oleh tatanan etis dan normatif; (5) hubungan antara tradisi dengan partisipasi memerlukan subsidi; dan (6) hubungan antara inovatif dengan profesi memerlukan proaktif dan kreatif. Penentuan tersebut didasarkan oleh berbagai faktor di antaranya adalah orientasi, tujuan, kemampuan memformat sajian, respons terhadap penonton (konsumen), profesionalisasi, tantangan yang dihadapi dan strategi untuk mengatasinya (Jazuli, 2000: 100). Terjadinya kolaborasi dan penggunaan teknologi modern dalam pertunjukan wayang sebagai kreativitas adalah salah satu bentuk inovatif, namun tidak mengurangi nilai yang dikandung oleh karya tersebut sebagai hasil karya cipta seni karena pedoman budayanya tetap berakar pada seni budaya Bali. Penggunaan teknologi modern dalam penggarapan atau penciptaan karya seni pewayangan dianggap hanya sebagai salah satu elemen dalam memberikan suasana estetik terhadap karyanya. Dengan demikian penyelamatan dan pengembangan kesenian Bali (wayang) memang menyatu antara kebutuhan masyarakat, pemerintah, dan konsumen seni di Bali. Menyatunya dukungan tersebut telah terbukti sampai sekarang Bali tetap dikenal oleh masyarakat dunia sebagai daerah seni yang memiliki aneka ragam kesenian dari yang berfungsi ritual dan seni yang bersifat hiburan sampai pada seni kontemporer (Seramasara, 2004: 88). Bila dicermati secara mendalam tentang aspek-aspek yang dimiliki oleh wayang sebagai sebuah wujud seni tradisi, ia mempunyai kekuatan spiritual (mental) maupun material (fisikal) yang merupakan kaidah-kaidah universal yang berlaku disemua bentuk ekspresi seni pertunjukan. Semakin besar minat untuk mengembangkan ide-ide pewayangan, maka semakin besar pulalah kepedulian seniman (dalang) menimbang aspek-aspek keindahan dan logikanya. Ide yang mengarah pada aspek keindahan, sekiranya sudah banyak diolah dalam struktur pertunjukannya, sedangkan dari aspek logika akan terwujud melalui kecendrungan meliput gejala-gejala sosial untuk diangkat dalam pakeliran. Munculnya lakon-lakon wayang yang bertemakan kerakyatan berpeluang besar menguak peristiwa aktual yang sedang dan akan terjadi pada masyarakat kini sebagai konskuensi globalisasi. Kekuatan yang ada pada seni pewayangan, telah memberikan nilai sejarah dan sumber penggarapan seni untuk dikembangkan sebagai kekayaan budaya yang dapat menata kehidupan masyarakat baik secara moral maupun material. Pengembangan seni pewayangan diharapkan akan tetap mempunyai arah karena memiliki pedoman budaya yang hidup dan dapat dijadikan sumber penciptaan atau penggarapan karya seni. Sebuah anjuran yang arif nan bijaksana dari Sri Hastanto (1998: 6-8) mengatakan bahwa, globalisasi, industrialisasi, modernisasi sebagai suatu kesempatan bukan sebagai suatu ancaman. Bahkan kita harus menggunakan teknologi modern itu untuk wahana mempersiapkan calon-calon anggota masyarakat pewayangan itu untuk mengembangkan lembaga kritik pedalangan/ pewayangan yang harus disosialisasikan secara nyata. Masyarakat kini sudah membutuhkan hal-hal yang membumi, yang riil, bukan sekedar hal-hal yang normatif saja.

SIMPULAN Interaksi budaya berkembang kian cepat dan meluas, tidak saja antara budaya Bali (Indonesia), juga dengan unsur-unsur budaya asing. Keadaan ini memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh karena sementara budaya lokal/nasional masih belum mantap, budaya asing mengalir deras dengan segala dampaknya. Perubahan sistem sosial ekonomi, kemajuan teknologi dan cepatnya arus komunikasi mendorong masyarakat dunia memasuki era globalisasi. Pada era

124

inilah membuka peluang luas bagi unsur-unsur budaya asing untuk masuk dan akrab dengan masyarakat Bali (Indonesia). Sudah barang tentu unsur-unsur budaya asing itu ada pula manfaatnya, di samping dampak negatif yang dapat ditimbulkannya. Wayang merupakan aktualisasi konsep kehidupan yang abstrak yang disajikan sebagai ajaran moral, oleh karena itu pakeliran inovatif yang banyak mengadofsi teknologi modern, diharapkan tetap mematri ungkapan nilai budaya lokal disamping informatif dan edukatif dengan dua paradigma yakni ―tontonan dan tuntunan‖. Dengan kemampuan semacam ini, akan membuktikan bahwa seni pedalangan/pewayangan sebagai salah satu karya seni klasik mempunyai peran dalam proses globalisasi.

DAFTAR PUSTAKA Bandem, I Made. 2000. "Melacak Identitas di Tengah Budaya Global", dalam MSPI, Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Th. X/2000, Penerbit Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, Bandung. ______dan I Nyoman Sedana, M. A. 1993. ―Pertunjukan Wayang Kulit Bali antara Tradisi dan Inovasi‖, Makalah disampaikan pada Sarasehan Nasional Wayang Kulit, Pesta Kesenian Bali XV, Denpasar. Hastanto, Dr. Sri. 1988. Wayang Kulit: Ke-Adiluhungan-nya, Profesionalisme, dan Prospek Masa Depan, Makalah disajikan pada Sarasehan Wayang Senawangi, TMII Jakarta. Kasidi Hadiprayitno. 1999. Perkembangan dan Masa Depan Seni Pedalangan Gagrag Yogyakarta, Makalah disampaikan pada Sarasehan Wayang Indonesia, Jakarta. Kodi, B.A., I Ketut, dan I Dewa Ketut Wicaksana, B. A. 1988. Pakeliran Layar Berkembang “Anugrah”, Skrip Pedalangan, STSI Denpasar. Murtana, I Nyoman. 1996. ―Kiwa-Tengen: Dua Hal yang Berbeda dalam Pertunjukan Wayang Kulit Bali, Sebuah Kajian Baik-Buruk terhadap Pertunjukan Wayang Kulit Tantri lakon Batur Taskara Sajian I Dalang Wija‖, Laporan Penelitian STSI Surakarta. Piliang, Yasraf Amir. 2000. ―Global/Lokal: Mempertimbangkan Masa Depan, dalam Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Penerbit MSPI, Bandung. Seramasara, I Gusti Ngurah. 2004. ―Usaha-usaha Menyelamatkan Wayang Kulit dalam Goncangan Modernisasi‖ dalam Wayang, Jurnal Ilmiah Seni Pewayangan, Jurusan Seni Pedalangan, Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar. Soetarno, 1988. Perspektif Wayang dalam Era Modernisasi, Pidato Dies Natalis XXIV ASKI Surakarta. Wicaksana, I Dewa Ketut. 1999. ―Dalang Wakul dalam Menyikapi Pewayangan Masa Kini‖, Makalah disampaikan dalam diskusi Gelar Dalang Wakul serangkaian HUT Warung Budaya Bali, di Taman Budaya (Art Centre) Denpasar, Selasa 16 Februari 1999. ______. 2000. "Perkembangan dan Masa Depan Seni Pedalangan/Pewayangan Bali", dalam Mudra, Jurnal Seni Budaya, no. 8, Th. VIII, STSI Denpasar. Zajuli, M. 2000. ―Seni Pertunjukan Global: Sebuah Pertarungan Ideologi Seniman‖, dalam Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Penerbit MSPI, Bandun

125

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN CERITA RAKYAT BALI UNTUK PENUNJANG PENGEMBANGAN MORAL DAN NILAI AGAMA ANAK USIA DINI

Kadek Widnyana Jurusan/Prodi Seni Pedalangan, Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Denpasar

Abstrak Bercerita dapat menjadi media untuk menyampaikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Dalam hal ini cerita menempati posisi pertama untuk mengubah etika anak-anak, karena sebuah cerita mampu menarik anak-anak untuk menyukai dan memperhatikannya. Dengan dasar pemikiran seperti ini, maka cerita merupakan bagian terpenting yang disukai anak-anak bahkan orang dewasa. Cerita yang baik adalah cerita yang mampu mendidik akal budi, imajinasi, dan etika seorang anak, serta bisa mengembangkan potensi pengetahuan yang ia miliki. Salah satu bentuk kebudayaan Bali yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat Bali adalah Satua Bali (cerita rakyat Bali) yang diwariskan secara turun temurun sebagai milik bersama. Dalam Satua Bali tersebut tersirat fungsi dan makna dalam kehidupan individu, kelompok atau masyarakat yang memilikinya. Satua juga dapat berfungsi sebagai media hiburan, menanamkan nilai-nilai moral spirituial, relegiusitas. Character Building melalui kegiatan mendongeng atau bercerita saat ini sudah jarang dilakukan, padahal dengan mendongeng atau bercerita merupakan salah satu cara efektif untuk membentuk kepribadian anak menjadi generasi yang handal di masa depan. Begitu Pula pendidik kurang kreatif dalam menciptakan alat peraga untuk bercerita. Hal ini berdampak pula pada minat anak terhadap kegiatan tersebut. Mereka menjadi kehilangan kesempatan pengalaman untuk dapat berapresiasi dan berekspresi sastra khususnya dalam memahami cerita. Tujuan penelitian ini (1) Mengidentifikasi jenis-jenis Satua Bali, yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembelajaran pengembangan moral dan nilai-nilai agama AUD di Taman Kanak-kanak; (2) Merancang model mesatua Bali (cara penuturan cerita rakyat Bali) yang dapat digunakan dalam pembelajaran pengembangan moral dan nilai-nilai agama AUD di Taman Kanak-kanak. Metode penelitian yang digunakan adalah Research and Development (R&D). Penelitian akan dilaksanakan selama dua tahun dengan alur penelitian pengembangan perangkat pembelajaran Cerita Rakyat Bali yang diawali dengan studi pendahuluan dan dilanjutkan dengan pengembangan media Satua AUD yang interaktif sebagai hasil akhir dari kegiatan penelitian.

Keywords : pengembangan perangkat pembelajaran, cerita rakyat bali, moral, nilai agama, anak usia dini.

LATAR BELAKANG MASALAH Salah satu sikap dasar yang harus dimiliki seorang anak untuk menjadi seorang manusia yang baik dan benar adalah memiliki sikap dan nilai moral yang baik dalam berperilaku sebagai umat Tuhan, anggota keluarga dan anggota masyarakat. Usia Taman Kanak-kanak adalah saat yang paling baik untuk meletakkan dasar-dasar pendidikan nilai, moral dan agama kepada anak Taman Kanak-kanak. Dengan diberikannya landasan pendidikan moral dan agama kepada anak Taman- Kanak-kanak, seorang anak Taman Kanak-kanak dapat belajar membedakan perilaku yang benar dan salah. Contohnya di Taman Kanak-kanak, seorang anak dapat belajar bahwa mereka tidak boleh menjadi anak yang senang berbohong, mengambil barang yang bukan miliknya atau mengganggu orang lain. Seiring dengan perkembangan koginitif yang terjadi pada usia Taman Kanak-kanak antara lain terlihat dari perkembangan bahasanya anak usia tersebut diharapkan mulai memahami aturan dan norma yang dikenalkan oleh orang tua melalui penjelasan-penjelasan verbal dan sederhana. Orang tua atau orang dewasa lain di sekitarnya mulai mengenalkan, mengajarkan, dan membentuk sikap dan perilaku anak; mulai dari sikap dan cara mengahadapi orang lain, cara berpakain dan berpenampilan, cara dan kebiasaan makan, dan cara berperilaku sesuai dengan atauran yang

126

dituntut dalam suatu lingkungan atau situasi tertentu. Dalam hal ini komunikasi dan interaksi antara orang tua dan anak menjadi sangat penting keberadaannya. Oleh sebab itu, sejak awal dikatakan bahwa upaya penanaman dan pengembangan perilaku moral yang dilakukan orang tua pada anak tidak dapat dipisahkan dari proses sosialisasi yang terjadi antara mereka (Daeng Sri, 1996: 133-134). Ide perlunya pengembangan moral dan nilai-nilai agama sejak kecil yang dimulai pada anak usia dini pada dasarnya diilhami oleh sebuah keprihatinan atas realitas anak didik bahkan output pendidikan di Indonesia dewasa ini yang belum sepenuhnya mencerminkan kepribadian yang bermoral. Hal ini, menunjukkan bahwa ada sesuatu yang perlu diperbaiki dalam sistem pendidikan kita, khususnya pada jenjang pendidikan yang paling dasar (pra sekolah). Oleh karenanya, sebagai upaya awal perbaikan terhadap sistem pendidikan di Indonesia maka sangat diperlukan adanya pengembangan moral dan nilai-nilai agama sejak dini sebagai upaya pengokohan mental-spiritual anak. Menurut Piaget (dalam Satibi, 2007) mengatakan tentang perkembangan moral manusia, bahwa yang sangat perlu mendapat fokus perhatian kita sebagai praktisi pendidikan pada jejang pendidikan prasekolah (TK) adalah pada tahapan Heteronomous (anak usia 2 sampai dengan 6 tahun). Alasannya adalah pada fase perkembangan ini anak masih sangat labil, mudah terbawa arus, mudah terpengaruh dan dalam rangka pendidikan moral, mereka sangat membutuhkan bimbingan, proses latihan serta pembiasaan yang terus menerus. Oleh karena itu, kebijakan dalam pengembangan PAUD menghendaki adanya internalisasi nilai-nilai kearifan budaya lokal ke dalam proses layanan pengasuhan dan perlindungan anak. Lingkungan disekitar anak mencakup keluarga, sekolah, dan masyarakat. Budaya menjadi bagian dalam lingkungan tersebut. Pendidikan dalam keluarga mewarisi nilai budaya yang didapat secara turun temurun. Orang tua mendidik anak sesuai dengan bagaimana cara nenek moyang mendidik anak-anaknya. Lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang berbudaya memberi peluang dalam pengembangan moral dan nilai- nilai agama berbasis pada nilai-nilai luhur budaya yang positif. Oleh karena itu, perlu dikembangkan pendidikan berbasis budaya lokal untuk melestarikan budaya lokal yang positif. Salah satunya caranya adalah dengan mengenalkan dan membiasakan anak untuk mendengar, dan membaca cerita-cerita rakyat yang ada di daerahnya. Bercerita adalah salah satu wahana yang cukup ampuh untuk memasukkan nilai-nilai dalam keluarga dan masyarakat. Bercerita merupakan cara untuk meneruskan warisan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya (Gordon & Browne dalam Moeslichatoen, 1996: 21). Bercerita juga dapat menjadi media untuk menyampaikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Dalam hal ini cerita menempati posisi pertama untuk mengubah etika anak-anak, karena sebuah cerita mampu menarik anak-anak untuk menyukai dan memperhatikannya. Anak-anak akan merekam semua doktrin, imajinasi dan peristiwa yang ada di dalam alur cerita. Dengan dasar pemikiran seperti ini, maka cerita merupakan bagian terpenting yang disukai anak-anak bahkan orang dewasa. Cerita yang baik adalah cerita yang mampu mendidik akal budi, imajinasi, dan etika seorang anak, serta bisa mengembangkan potensi pengetahuan yang ia miliki. Anak-anak sangat menyukai kegiatan bercerita. Bercerita untuk anak menurut Winda Gunarti,dkk. (2008) memberi suatu nilai penting bagi anak dengan beberapa alasan, antara lain: (1) mengembangkan kemampuan menyimak (listening), juga kemampuan dalam berbicara (speaking) serta menambah kosa kata yang dimilikinya; (2) mengembangkan kemampuan berpikirnya, karena dengan bercerita anak diajak untuk memfokuskan perhatian dan berfantasi mengenai jalan cerita serta mengembangkan kemampuan berpikir secara simbolik; (3) menanamkan pesan-pesan moral yang terkandung dalam cerita yang akan mengembangkan kemampuan moral dan agama, misalnya konsep benar-salah atau konsep ketuhanan; (4) mengembangkan kepekaaan sosial-emosi anak tentang hal-hal yang terjadi di sekitarnya melalui tuturan cerita yang disampaikan; (5) melatih daya ingat atau memori anak untuk menerima dan

127

menyimpan informasi melalui tuturan peristiwa yang disampaikan; (6) mengembangkan potensi kreatif anak melalui keragaman ide cerita yang dituturkan. Salah satu bentuk kebudayaan Bali yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat Bali adalah Satua Bali (cerita rakyat Bali) yang diwariskan secara turun temurun sebagai milik bersama. Dalam Satua Bali tersebut tersirat fungsi dan makna dalam kehidupan individu, kelompok atau masyarakat yang memilikinya. Satua juga dapat berfungsi sebagai media hiburan, menanamkan nilai-nilai moral spirituial, relegiusitas. Bagus (1986: 2) mengatakan bahwa; ―Cerita rakyat dalam bentuknya yang sederhana, ternyata mengandung suatu nilai yang penting artinya bagi kehidupan serta diakui memiliki arti yang amat penting dalam pendidikan, dan cerita rakyat tidak hanya berguna bagi anak, dapat juga berguna bagi pendengarnya. Subagiasta (2006: 130) mengatakan bahwa; Pendidikan memiliki peranan penting dalam membentuk akhlak, moral peserta didik. Hal ini disebabkan anak pertama kali mendapat pendidikan dalam lingkungan keluarga, sebelum anak didik melanjutkan ke jenjang berikutnya. Salah satu upaya yang ditempuh dalam meningkatkan proses dan hasil perilaku anak didik di Sekolah adalah dengan menggunakan Satua sebagai media pembelajaran pada anak. Namun, hal itu belum sepenuhnya terealisasi karena evidensi di lapangan membuktikan bahwa begitu banyak cerita-cerita rakyat yang diwariskan memiliki nilai-nilai luhur untuk pengembangan moral dan nilai-nilai agama anak yang sudah semakin hilang dan tidak dikenal. Pendidik lebih memilih cerita-cerita yang diterjemahkan dari luar negeri untuk bercerita. Selain itu penerbit buku juga sangat produktif untuk menerjemahkan buku anak dari Barat dalam bahasa Indonesia dengan pandangan untuk membentuk budaya gemar membaca. Buku-buku tersebut misalnya wanita berkerudung merah, cinderela, putri aurora, si cantik dan monster (beauty and the beast), goldilock dan tiga beruang, pinokio, dan lain sebagainya yang mengandung sangat sedikit nilai moral yang dapat membentuk karakter bangsa. Dapat dikatakan bahwa sangat sedikit bahkan sangat terbatas buku-buku cerita rakyat yang dikemas untuk anak usia dini, dengan gambar yang menarik, sedikit tulisan dan alur cerita yang mudah dipahami. Pengembangan moral dan nilai-nilai agama pada anak usia dini melalui cerita rakyat budaya lokal tidak hanya dirangsang dengan media bergambar dalam bentuk buku cerita, namun dapat pula dengan boneka-boneka, wayang, dan berbagai media agar anak dapat belajar memahami jalan cerita yang konkrit. Selain itu media yang menarik dapat memotivasi anak untuk tetap fokus mendengarkan cerita. Namun kenyataannya, pendidik kurang kreatif dalam menciptakan alat peraga untuk bercerita. Hal ini berdampak pula pada minat anak terhadap kegiatan tersebut. Mereka menjadi kehilangan kesempatan pengalaman untuk dapat berapresiasi dan berekspresi sastra khususnya dalam memahami cerita. Lebih lanjut Setiadi (2010) mengatakan ―Character Building melalui kegiatan mendongeng atau bercerita saat ini sudah jarang dilakukan, padahal dengan mendongeng atau bercerita merupakan salah satu cara efektif untuk membentuk kepribadian anak menjadi generasi yang handal di masa depan‖. Mengacu pada uraian di atas, Permasalahan yang akan diteliti dirumuskan sebagai berikut: 1. Jenis-jenis Satua Bali apa saja yang dapat dikembangkan untuk kegiatan pengembangan moral dan nilai-nilai agama AUD di Taman Kanak-kanak? 2. Bagaimana model mesatua Bali (cara penuturan cerita rakyat Bali) dalam pembelajaran pengembangan moral dan nilai-nilai agama AUD di Taman Kanak-kanak? Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk: 1. Mengidentifikasi jenis-jenis Satua Bali, yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembelajaran pengembangan moral dan nilai-nilai agama AUD di Taman Kanak-kanak. 2. Merancang model me-Satua Bali (cara penuturan cerita rakyat Bali) yang dapat digunakan dalam pembelajaran pengembangan moral dan nilai-nilai agama AUD di Taman Kanak- kanak (pada tahun kedua).

128

URGENSI (KEUTAMAAN PENELITIAN). Hasil akhir yang diharapkan dari penelitian ini adalah (1) teridentifikasi secara lebih luas dan detail jenis-jenis Satua Bali yang memiliki potensi untuk menjadi sumber pembelajaran pengembangan moral dan nilai-nilai agama AUD; (2) tersedianya paket sumber pembelajaran serta cara-cara pemanfaatannya dalam kegiatan pembelajaran pengembangan moral dan nilai- nilai agama di Taman Kanak-kanak yaitu berupa buku ajar dan media pembelajaran. Satua Bali dalam bentuk CD Pembelajaran Interaktif berbahasa Indonesia dan berbahasa daerah Bali. Penyusunan buku ajar merupakan salah satu target yang ingin dicapai setelah berakhirnya kegiatan penelitian pada tahun pertama, sedangkan media pembelajaran merupakan salah satu target yang ingin dicapai setelah berakhirnya kegiatan penelitian pada tahun kedua. Untuk Artikel ilmiah merupakan target yang ingin dicapai pada setiap tahun kegiatan penelitian. Artikel ilmiah yang akan dihasilkan memuat informasi tentang kegiatan penelitian yang terkait dengan pengembangan perangkat pembelajaran cerita anak berbasis budaya lokal Bali (Satua Bali) untuk mata pelajaran pengembangan moral dan nilai-nilai agama AUD. Artikel ilmiah akan diusulkan untuk diterbitkan pada jurnal lembaga (ISI Denpasar), dan juga pada jurnal nasional setiap tahunnya.

SATUA BALI SEBAGAI TRADISI LISAN DI BALI Istilah Satua dalam Kesusastraan Bali mengenang pengertian baik Dongeng Lisan maupun Tulisan. Pengertian ini muncul sebagai akibat sejarah perkembangan Satua itu sendiri. Pada awalnya sebelum ada usaha-usaha untuk menginventarisasikan Satua yang ada dalam masyarakat Bali, Satua-satua ini bersifat lisan yang dalam Bahasa teknisnya disebut Satua Pagantian (Bagus, 1968: 14). Bentuk sastra lisan yang dinamakan Satua ini merupakan bagian dari kekayaan budaya daerah yang sampai sekarang ini terasa masih hidup di dalam masyarakat. Cara penyampaiannya dilakukan secara lisan, yakni oleh Tukang Satua (Pendongeng). Hal mesatua ini biasanya dilakukan pada malam hari diwaktu menjelang anak-anak mau tidur. Umumnya para Tukang Satua ini berasal dari golongan usia lanjut atau orang-orang tua yang sudah dijuluki dengan nama kakek– kakek atau nenek-nenek. Dari aspek lain yang di dalam Perpustakaan Lontar Gedong Kirtya Singaraja secara implisit tergambar bahwa Satua-satua yang sudah dinaskahkan masuk ke dalam kelompok tutur. Yang dimaksudkan dengan tutur dalam penelitian ini adalah pesan-pesan rohani atau batiniah yang terkandung di dalam cerita tersebut, dan bermanfaat dalam membina dan membentuk karakter anak menjadi generasi-generasi yang lebih baik setelah mereka dewasa nanti. Suastika, dalam bukunya Tradisi Sastra Lisan (Satua) di Bali (2011), mengatakan: Tradisi lisan di Bali, yang istilah dalam masyarakat Bali mesatua telah lama dikenal. Tradisi lisan mesatua selanjutnya dipakai istilah masatua adalah sejalan dengan sejarah perkembangan masyarakat Bali. Dilihat dari perkembangannya itu, banyak hal belum dapat diungkapkan apakah jenis-jenis masatua itu sejak lama ada, atau dalam perkembangannya berubah entah hilang atau lainnya. Hal yang diketahui hingga sekarang adalah adanya berbagai warisan cerita lisan dalam tradisi Bali yang dikenal sekarang. Tradisi lisan di Bali sebagaimana halnya tradisi tulis, sebagai alat yang penting dalam menyampaikan ide, rasa, nilai, pengetahuan, adat, kebiasaan, yang ada dalam lingkungan masyarakatnya. Dengan demikian, tradisi masatua adalah merupakan pewarisan kebudayaan yang telah ada sejak lama. Melalui tradisi lisanlah adanya transformasi budaya yang disampaikan secara berkesinambungan dengan gaya yang khas. Dalam tradisi masatua ini peranan orang tua, yaitu ayah ibu, kakek nenek sangatlah penting melakukan usaha berupa menyampaikan cerita lisan ini dengan terus menerus sebagai milik bersama di waktu malam ketika akan menidurkan anak-anak dan cucunya. Penting diketahui dalam kesadaran anak seperti inilah nilai pendidikan, agama, budi pekerti, kemanusiaan akan tumbuh secara dini sebagai dasar pembentukan karakter dan moral

129

anak. diharapkan dengan dasar-dasar budi pekerti yang kuat, akan terbentuk jiwa kemanusiaan yang kuat dan budi pekerti yang luhur menghargai lingkungannya. Tradisi masatua di Bali memiliki berbagai fungsi, antara lain untuk hiburan dalam mengisi waktu senggang, menyampaikan berbagai nilai kehidupan lewat tokoh-tokoh dan dialog-dialognya termasuk pula pesan agama dan moral sesuai cara-cara tokohnya menyelesaikan masalah tersebut. Dengan ungkapan lain, sebagai hiburan yang menyenangkan bagi anak-anak dengan seolah-olah menirukan perbuatan tokoh-tokohnya. Amanat cerita lewat penuturan bahasa Bali yang komunikatif, yang mengandung nilai baik dan buruk tahap demi tahap dimengerti sebagai nilai pendidikan dan agama yang patut dihayati dan nantinya dipakai suatu pijakan dalam melangkah dan menapaki hidup di dunia ini. Sebagian masyarakat masih melakukan kegiatan masatua itu, sebagian lagi masyarakat Bali menganggap tradisi itu kurang relevan lagi dalam dunia modern. Ada sebagain pula masyarakatnya menganggap kegiatan masatua tersebut sudah tidak aktual lagi, kemudian menceritakan cerita negeri yang sedang ngetop di televisi. Kenyataannya tradisi masatua semakin tahun semakin memudar terutama di kota-kota besar. Tidak hanya di kota saja, bahkan di beberapa desa pun karena derasnya arus teknologi pertelevisian, radio, handphone, game maka tradisi masatua semakin kurang diminati. Lain halnya di salah satu desa di Bali, masih mempertahankan dengan kuat tradisi masatua. Desa itu adalah desa Sekardadi, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Di desa ini kegiatan masatua merupakan sebuah tradisi nenek moyang yang masih hidup sampai sekarang. Orang tua seperti ayah-ibu, kakek-nenek masih bercerita siang atau malam kepada anak dan cucunya. Satua ini umumnya dipakai hiburan, sebagai tranformasi nilai dalam kehidupan secara turun-temurun, di samping sebagai media pembelajaran dari generasi ke generasi. Sampai saat ini ada sejumlah kajian tentang tradisi lisan di Kabupaten Bangli, yaitu Karsa (2006) (berjudul ―Satua Sebagai Media Pendidikan Agama Hindu pada Lingkungan Keluarga di Desa Sekardadi, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli‖; Pudja (2006) berjudul ―Penggunaan Satua Bali Sebagai Media Pembelajaran Pendidikan Agama Hindu Pada TK Pra Widya Dharma Pusat Kabupaten Bangli‖; dan Suastika (2008) menulis artikel ―Nilai Agama dan Pendidikan dalam Satua di Bali: Kasus di Desa Sekardadi, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Tulisan Karsa (2006) dan Pudja (2006) mengkaji dari aspek pembelajaran Agama Hindu, dan Suastika (2008) sebuah artikel mengkaji dari nilai. Kajian ini belum pernah dikerjakan, mencakup pendekatan yang lebih luas dari aspek sastra, yaitu struktur, fungsi dan makna.

JENIS-JENIS TRADISI LISAN Berbicara tradisi lisan (oral tradition) ruang lingkupnya sangat luas, apalagi masuk ke wilayah yang oleh Dananjaya (1986) yang disebut folklore (cerita rakyat) adalah ruang lingkup yang meliputi aspek kelisanan yang luas karena menyangkut aspek kemasyarakatan dan kebudayaan yang dilisankan. Misalnya aspek arsitektur, seni, hukum adat, kepercayaan, ritual, pengobatan tradisonal, sastra lisan dan mantra, ilmu perbintangan, pertanian tradisional, dan lain-lain. Untuk penelitian ini difokuskan pada sastra lisan (satua Bali). Apabila diperhatikan beberapa pendapat para ahli, seperti Levi-Strauss dalam Structure Antropology yang di Indonesia dikembangkan oleh Heddy Shri Ahimsa Putra (2001) ada teori diterapkan dalam salah satu kajian suku Bajo, agar dapat membuka dan menganalisis cerita lisan (mitos) orang Bajo, untuk dapat menyelami batin yaitu makna yang hidup di kalangan orang Bajo itu dapat dikaji dari pendekatan antropologi, khususnya yang dikenal pendekatan struktural antropologi. Menganalisis mitos sama halnya menganalisis bahasa, ada struktur-bentuk, fungsi, makna (meaning). Ada petanda dan penanda yaitu ada bentuk dan arti serta makna yang berlaku pada masyarakatnya. Salah satu cerita orang Bajo meliputi mitos mengandung makna tertentu dalam fenomena kehidupannya. Mitos/dongeng yang berjudul Pitoto‘ si Muhamma‘ dapat dijelaskan dengan menunjuk fungsinya, suatu argumen yang logis dalam bentuk proporsi-proporsi. Mitos dapat menjelaskan dan memecahkan berbagai kontradiksi yang ada dalam berbagai

130

kepercayaan yang dianut oleh suatu masyarakat. Disamping itu ada bentuk dongeng dalam dunia sastra mengandung berbagai nilai, norma, konsep dalam masyarakatnya. Teeuw (1984) menyebutnya dengan kebenaran universal (universal truth), dongeng diceritakan pada umumnya untuk hiburan, meskipun di dalamnya juga mengandung unsur kebenaran, berisikan pelajaran moral, atau bahkan sindiran (Dananjaya, 1986). Berbagai jenis tradisi lisan atau kelisanan (oral tradition) yang disampaikan dalam masyarakat Bali sampai kini lebih dikenal dengan istilah Satua Bali (yang tidak tertulis) yang diungkapkan dari mulut ke mulut dengan pengantar bahasa Bali. Apabila dikembalikan kepada jenis ceritanya Satua Bali dapat dibagi menjadi fable (tokoh binatang), legenda (kejadian suatu daerah dengan tokoh tertentu), mitos (mite) lebih mengacu kepada asal usul atau kepercayaan yang diyakini kebenarannya. Apabila diklasifikasikan menurut tokoh-tokohnya cerita lisan dapat dibagi menjadi tokoh binatang dan tokoh manusia. Dari tokoh binatang misalnya I Siap Selem, I Lutung. Cerita dengan tokoh binatang lucu misalnya I Bojog dan I Kambing yang dirangkum dalam cerita Tantri. Dari tokoh manusia misalnya Pan Balang Tamak, I Ubuh, I Lengeh, dan I Kiyul. Cerita tokoh Panji, misalnya I Dempu Awang, Raden Galuh Gede, Galuh Anom, dan Ki Dukuh Sakti.

BENTUK CERITA LISAN (SATUA) Bentuk cerita lisan yang lebih dikenal dengan istilah satua, berbentuk prosa. Bentuk prosa disampaikan secara bebas, tidak ada ikatan yang jelas seperti dalam puisi Bali yang disebut gaguritan, adanya aturan yang disebut pada-lingsa, yaitu jumlah baris dalam satu bait (pada), jumlah suku kata dala tiap kata dalam tiap baris (carik), dan bunyi akhir pada tiap baris (dong ding). Dalam satua Bali penyampaiannya secara lisan dengan menggunakan bahasa Bali kapara (lumrah) secara umum dikenal oleh masyarakat Bali. Ketika memulai bercerita, Sang Pencerita menyebutkan “Ada tuturan satua kene… (cerita dimulai)‖. Setelah itu ada bagian dialog antar tokoh-tokohnya. Setelah selesai dialog tentang suatu hal, maka kembali Sang Pencerita berkata “gelisang satua… (cerita diteruskan)‖, lagi dialog antar tokohnya, kemudian Sang Pencerita meneruskan alur cerita dengan menyebutkan kalimat “kacarita jani atau jani kacarita… (diceritakan sekarang)‖ secara berulang-ulang, disamping adanya dialog terus menerus antar tokohnya. Kemudian Sang Pencerita berkata, ”gelisang satua…(cerita dipercepat atau cerita akan selesai)‖. Cerita mendekati kepada penyelesaian alur cerita selalu dimulai dengan kalimat “ditu lantas…, masaut lantas…, keto lantas…(lalu…, lalu…lalu)‖. Akhir alur cerita Sang Pencerita menyebutkan “asapunika caritane puput (cerita selesai)‖. Dapat disampaikan cerita lisan berupa Satua memiliki kebebasan dalam pengungkapannya, adanya kalimat narasi yang panjang dan pendek sesuai kebutuhan alur cerita, ada kalimat tanya, ada dialog berulang-ulang antar tokohnya, ada kata penanda untuk mempercepat alur, dan ada bagian simpulan atau cerita selesai dengan ungkapan “asapunika satuane puput”. Gerakan alur cerita ada permulaan, alur cerita memuncak dengan berbagai masalah atau konflik yang dialami para tokohnya ruang dan waktu tertentu, kemudian penyelesaian konflik, dan alur cerita selesai (puput). Sampai saat ini ada sejumlah kajian tentang tradisi lisan di Kabupaten Bangli, yaitu Karsa (2006) berjudul ―Satua Sebagai Media Pendidikan Agama Hindu pada Lingkungan Keluarga di Desa Sekardadi, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli‖. Pudja (2006) berjudul ―Penggunaan Satua Bali Sebagai Media Pembelajaran Pendidikan Agama Hindu Pada TK Pra Widya Dharma Pusat Kabupaten Bangli‖. Suastika (2008) menulis artikel ―Nilai Agama dan Pendidikan dalam Satua di Bali: Kasus di Desa Sekardadi, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Tulisan Karsa (2006) dan Pudja (2006) mengkaji dari aspek pembelajaran Agama Hindu, dan Suastika (2008) sebuah artikel mengkaji dari nilai.

131

PENGEMBANGAN MORAL DAN NILAI-NILAI AGAMA ANAK USIA DINI Orientasi moral menurut Peter, disamakan dengan moral position atau ketetapan hati. lebih lanjut Peter menjelaskan bawa yang dimaksud dengan moral position itu dimiliki seseorang terhadap suatu nilai moral yang didasari oleh dua landasan perhitungan/penilaian, yaitu: cognitive motivation aspect, dan affective mitivation aspects. Cognitive motivation aspec memiliki makna sebagai suatu perhitungan antisipatif dari seseorang terhadap resiko yang mungkin muncul jika dirinya menentukan suatu hal. Sedangkan affective mitivation aspects memiliki makna sebagai suatu perhitungan emosi yang akan diakibatkan dari sebuah keputusan yang diambil seseorang (Peter, dalam A. Kosasih Djakhiri, 1996:47). Seperti telah diketahui bersama, bahwa pada dasarnya manusia memiliki kesamaan pola perkembangan moral, seperti pada awal kehidupannya manusia tidak memiliki konsep kehidupan yang mencerminakn nilai moral. Pendidikan memiliki peranan sangat strategis dalam hal ini, sebab tanpa landasan pendidikan, manusia akan banyak dikendalikan oleh dorongan kebutuhan biologisnya belaka ketika hendak menentukan segala sesuatu. Apresiasi yang kedua dari teori di atas adalah, pada tahapan selanjutnya ketika anak manusia telah mengalami pertambahan usia dan menemukan lingkungan baru dalam kehidupannya, maka faktor lingkungan itupun sangat besar memberikan pola dalam menentukan sikap dan perilakunya. Di sinilah kita sadari bahwa lingkungan pendidikan sangat dibutuhkan pada tahapan ini. Lingkungan yang kondusif dan edukatif, akan mampu memberi sumbangsih terbesar dalam mendasari kehidupan anak selanjutnya. Pada tahapan terakhir seorang manusia, setelah melewati tahapan awal kehidupannya dan melewati pertambahan usia yg dijalani dengan hidup dilingkungannya, maka mausia itu sendiri akan mampu menentukan berbagai pilihan sikap dan kepribadiannya dengan dasar pola berpikirnya sendiri. Itulah tahapan kedewasaan manusia. Secara teoritis Anak Taman kanak- kanak,berada pada fase pertama dan kedua. Oleh sebab itu seorang guru Taman Kanak-kanak perlu memperhatikan kedua karakteristik tahapan perkembangan moral tersebut.

MEDIA PEMBELAJARAN Burden dan Byrd (1999: 137) mendefinisikan media pembelajaran sebagai alat yang menyediakan fungsi-fungsi pembelajaran dalam pendidikan terutama dalam mengantarkan informasi dari sumber ke penerima, yang dapat memfasili-tasi dan meningkatkan kualitas belajar siswa. Brown, Lewis, dan Harcleroad (1977: 2-3) mengistilahkannya sebagai teknologi dalam pembelajaran yang merupakan sebuah cara sistematis dari perancangan, penggunaan dan evaluasi dari keseluruhan proses belajar mengajar pada subjek tertentu dengan mengkom-binasikan berbagai sumber daya manusia dan non manusia. Sadiman, dkk (2008: 7) mendefinisikan media pembelajaran sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi. Media pembelajaran merupakan salah satu bentuk stimulus yang sangat penting dalam sebuah proses pembelajaran. Kemp dan Smellie (1989) dalam Burden dan Byrd (1999: 137) mengemukakan beberapa kontribusi media dalam kegiatan pembelajaran yakni 1) memotivasi 2) menyajikan informasi 3) menyediakan instruksi yang dibutuhkan dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini sejalan dengan konsep teori belajar yang dikemukakan oleh Gagne dalam Dahar (1996: 141-147), bahwa tindakan belajar (learning act) terbagi dalam berbagai fase yang berkesinambung- an meliputi fase motivasi, pengenalan, perolehan, retensi, pemanggilan, generalisasi, penampilan, dan umpan balik. Keberadaan media pembelajaran yang dipilih dan digunakan dengan tepat oleh guru tentunya akan membantu peserta didik dalam melalui fase-fase belajar tersebut. Smaldino, dkk (2005: 10) mengemukakan beberapa jenis media yang seringkali digunakan dalam proses pembelajaran teks, audio, gambar, media film dan animasi, objek-objek yang dapat dimanipulasi, serta orang. Burden dan Byrd (1999: 144-155) mengelompokkannya dalam bentuk: a) audio visual yang mencakup audio, multi-media, film dan video, media instruksional berbasis

132

komputer, simulasi dan permainan; b) buku dan material yang bisa diperbanyak dalam bentuk cetakan seperti buku teks, non teks, lembar kerja; dan c) sumber-sumber lain seperti ruang kelas, sekolah, dan masyarakat. Keberagaman jenis media ini menunjukkan bahwa sesungguhnya kebutuhan peserta didik terhadap media dalam proses pembelajaran sangatlah beragam. Pada berbagai jenjang dan level peserta didik, jenis media yang tepat akan mempengaruhi proses belajar itu sendiri yang pada akhirnya turut mempengaruhi kualitas hasil belajar yang mereka peroleh. Keberagaman alternatif penggunaan media sebagai alat bantu dalam kegiatan pembelajaran salah satunya didasari oleh teori Edgar Dale yang dikenal dengan Kerucut Pengalaman Dale, yang pada intinya mengklasifikasi pengalaman menurut tingkat dari yang paling konkret ke yang paling abstrak (Lalley & Miller, 2007: 65). Teori ini merupakan elaborasi dari konsep Bruner mengenai tiga tingkatan pengalaman belajar yakni pengalaman langsung (enactive), pengalaman gambar (iconic), dan pengalaman abstrak (symbolic) (Smaldino, dkk (2005: 12).

IDENTIFIKASI SATUA-SATUA BALI. Dari sekian banyak cerita rakyat khususnya Satua Bali yang tersebar di seluruh wilayah di Bali, Bapak I Nengah Tinggen adalah salah satu orang yang sangat komitmen dalam mengidentifkasi atau mendokumentasikan dan menerbitkannya sebagai sebuah buku bacaan, sehingga dapat dijadikan cermin kehidupan bagi pembacanya. Karena kegigihan dan ketekunannya maka dari tahun 1993 hingga 2003, terkumpul 84 satua Bali ke dalam 15 jilid buku. Buku-buku tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Jilid I, diterbitkan tanggal 12 Juli 1993 oleh toko buku Indrajaya Singaraja, terdiri atas 6 cerita: Satua Ni Daha Tua, Satua I Rare Angon, Satua Pedanda Made Putra, Satua I Sangging Lobangkara, Satua I Sigir Jlema Tuah Asibak, Satua I Cicing Gudig. 2. Jilid II, diterbitkan tanggal 17 Agustus 1993 oleh toko buku yang sama, terdiri atas 5 cerita: Satua Anak Agung di Mesir, Satua Basong Kalikukun, Satua Men Cekepel, Satua Pan Dora Pan Waya, Satua I Dempu Awang. 3. Jilid III, diterbitkan tanggal 25 September oleh toko buku yang sama, terdiri atas 4 buah cerita: Satua Pan Brengkak, Satua I Lacur, Satua Crukcuk Kuning, Satua I Pucung. 4. Jilid IV, tanggal 30 Oktober 1993, dengan 4 buah cerita didalamnya: Mpu Gandring, Satua I Belog Mantu, Satua Satua I Clepuk, Satua I Nganten Anyar. 5. Jilid V, diterbitkan tanggal 10 Nopember 1993, oleh toko buku yang sama, terdiri atas 4 cerita: Satua Pan Jempenit, Satua Galuh Payuk, Satua Men Leket, Satua Sang Kodara 6. Jilid VI, diterbitkan tanggal 20 Nopember 1993, terdiri atas 4 buah cerita: Satua Pan Angklung Gadang, Satua Tosning Dadap Tosning Presi, Satua I Kecut, Satua I Rare Sigaran. 7. Jilid VII, diterbitkan tanggal 1 Desember 1993, dengan 4 cerita di dalamnya: Satua I Bulan Kuning, Satua Lubak Jenggot, Satua Ni Wayan Waluh, Satua Raden Jajar Pikatan. 8. Jilid XIII, tanggal 1 Januari 1994, oleh toko buku yang sama yang terdiri atas 4 cerita: Satua Luh Pulasari, Satua I Wayang Penyerikan teken I Wayan Pengan, Satua Bagus Diarsa, Satua I Pucung 9. Jilid IX, diterbitkan tanggal 1 Januari 1994, bersamaan dengan jilid VIII, terdiri atas 4 cerita: Satua Galuh Pitu, Satua I Jaga, Satua I Lengar, Satua Ayam Ijo Sambu 10. Jilid X, terbit tanggal 20 Januari 1994, diterbitkan di tempat yang sama, terdiri atas 4 cerita: Satua Pan Balang Tamak, Satua Nang Bangsing teken I Belog, Satua Taluh Mas, Satua Ibawang teken I Kesuna. 11. Jilid XI, terbit tanggal 15 Januari 2000, dengan penerbit yang sama yang terdiri atas 10 cerita:

133

Satua Naga Basukih, Satua Pan belog, Satua Ayam Sangkur, Satua I Ubuh, Satua Tukang Pancing, Satua I Jaga, Satua I Kulen, Satua I Botol Teken I Sang Mong, Satua I Balu Kajanan teken I Balu Kelodan, Satua I Gadagan. 12. Jilid XII, terbit tanggal 15 Januari 2001, dengan penerbit yang sama yang terdiri atas 10 cerita: Satua I Bta teken I Rumpuh, Satua Siap Selem, Satua Taluh Mas, Satua Sang Lutung teken Sang Kakua, Satua Nang Cubling, Satau I Belog, Satua Buduh ring Ula Aya, Satua Kidang teken Cekcek, Satua I Cicing Gudig, Satua Luh Sari. 13. Jilid XIII, diterbitkan tanggal 2 Mei 2002, penerbit yang sama dengan 7 buah cerita: Satua Tuung Kuning, Satua Pan Tuung Kuning teken Men Tuung Kuning, Satua I Kodok, Satua Ayam Ijo Sambu, Satua I Cekel, Satua Penyamaan ajaka Dadua, Satua Pengalu Dagang Buah. 14. Jilid XIV, diterbitkan pada tanggal, bulan, tahun yang sama, tanggal 2 Mei 2002 dengan penerbit yang sama dengan 7 buah cerita: Satua Sang Astika, Satua Siap Badeng, Satua Men Tiwas teken Men Sugih, Satua Sang Muun ring Sang Lanjana, Satua I Baluan Satua I Clempung, Satua I Brakah. 15. Jilid XV, diterbitkan pada tanggal 14 Agustus 2003 dengan penerbit yang sama terdiri atas 7 cerita: Satua I Kelesih, Satua I Yuyu Misi Enjekan Kebo Ditundune, Satua Barong Landung, Satua Sang Rama Ngemit Tapasui, Satua Pamuteran Gunung Mandara, Satua Dewi Winata Dados Panyeroan, Satua I Bintang Lara. Selain bapak I Nengah Tinggen, pemerhati Satua Bali yang teridentifikasi oleh penulis adalah I.N.K. Supatra, Wayan Budha Gautama, I Putu Sanjaya, Dharma Dewi, I Buyut Dalu, I Wayan Jendra dan A.A. Gde Raka Mas. Dalam penyempaian ceritanya dua nama terkhir sudah menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan cerita yang dikumpulkan oleh Supatra selain mengumpulkan beberapa cerita dalam satu buku, juga mengumpulkan cerita berseri dalam satu buku. Cerita berseri tersebut adalah ―I BELOG, dan Pan Balang Tamak‖ yang di dalamnya terdapat empat cerita berseri tentang kehidupan tokoh I BELOG, dan empat cerita berseri tentang kehidupan tokoh Pan Balang Tamak. Sedangkan Wayan Budha Gautama menitipkan ceritanya ke dalam bukunya Supatra yaitu pada seri I Cicing Gudig Dadi Raden Galuh. Para pengumpul Satua Bali lainnya teknik pengakomodasian ceritanya sama dengan yang dilakukan I Nengah Tinggen, yaitu dalam satu buku terdiri atas beberapa cerita, dan menggunakan bahasa Bali. Hasil identifikasi di lapangan, penulis hanya menemukan lima jilid buku yang diterbitkan oleh I.N.K. Supatra. Adapun cerita tersebut adalah ―I Cicing Gudig Dadi Raden Galuh, diterbitkan 1 April 2006 oleh Kayumas Agung Denpasar, terdiri atas lima cerita, sebagai berikut: Satua I Jaran Lua Masang Daya Silib, I Bojog Teken I Kedis Sangsiah (oleh: Wayan Budha Gautama), I Cicing Gudig Dadi Raden Galuh (oleh: I Cicing Gudig Dadi Raden Galuh), Pan Angklung Dadi Parekan, Pan Angklung Ngelah Tungked Sakti. Buku berikutnya adalah ―Sang Mong Teken I Kidang, diterbitkan September 2006 oleh Kayumas Denpasar, terdiri atas lima cerita: Satua Olas Asih, Ni Luh Suplug, Galuh Pitu, Sang Mong teken I Kidang, I Celempung Buku berikutnya adalah dua cerita berseri yaitu I Belog dan Pan Balang Tamak, diterbitkan oleh Kayumas Agung pada bulan dan tahun yang sama dengan cerita Sang Mong Teken I Kidang yaitu September 2006. Pada seri I Belog terdiri atas empat cerita: I Belog dalam kisah: Kakul Menyanyah teken Jaja Iwel, I Belog dalam kisah: Jaja Begina teken Keladi, I Belog dalam kisah: I Belog Ngalih Duk, I Belog dalam kisah: I Belog Dadi Mantu, Cerita berseri Pan Balang Tamak terdiri atas empat cerita: Pan Balang Tamak Ngelah Siap Selem, Pan Balang Tamak Cicing Borosan, Pan Balang Tamak Mamula Pulet-Pulet, Pan Balang Tamak Bangkene Kasembah Desa Buku terakhir berjudul Kambing Takutin Macan dengan penerbit yang sama yaitu; Kayumas Agung bulan Nopember 2010, terdiri atas enam cerita:

134

I Kambing Takutin Macan, I Cita Maprekara, I Kedis Sangsiah teken I Bojog, Jeleg Tresna Telaga, I Yuyu Misi Enjekan Kebo. Bapak I Putu Sanjaya mengumpulkan beberapa cerita rakyat ke dalam tiga jilid buku, dengan judul: Kumpulan ―Satua Bali‖ Ke: 1, Ke: 2, dan Ke: 3 yang diterbitkan oleh toko buku Indra Jaya Singaraja (tanpa tahun). Jilid pertama terdiri atas Sembilan cerita diantaranya: Satua I Lutung lan I Kancil, I Sakepel, I Kebo, Meme Ketumpit, I Lutung lan I Kekua, I Sengar lan I Sengir, I Macan lan I Lutung, I Joan Lantang, I Luh Sari Jilid ke 2 terdiri atas Sembilan cerita: Satua I Singa, Satua Pengangon Bebek, Satua I Lasan, Satua I Macan Poleng lan I Macan Tutul, Satua I Lengit, Satua I Goak, Satua I Kambing Teken I Macan, Satua I Cangak lan I Lubak, Satua I Pencor Jilid ke 3 terdiri atas tujuh cerita: Satua I Lutung Maling Isen, I Kerug, I Lutung Maborbor, I Sara lan ISura, I Getap, Pengangon Sampi, Dadong Jepun

PESAN PENGARANG DAN NILAI YANG TERPINGGIRKAN Di jaman serba modern dewasa ini, cerita-cerita rakyat hampir sebagian besar telah ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya dimana dianggap tidak relevan lagi dengan kebutuhan jaman. Para orang tua lebih memilih melepaskan anak-anaknya untuk mengkonsumsi cerita-cerita yang ditayangkan di TV. Memang tidak bisa dipungkiri, sekarang sudah banyak pilihan untuk mendapatkan model permainan atau hiburan, dan juga buku-buku bacaan yang lebih modernis sesuai dengan perkembangan jaman. Generasi tua yang mengenal beberapa cerita yang dulunya didapat dari leluhurnya juga telah melupakan karena tiada pernah ada waktu untuk bercerita lagi kepada anak cucunya. Demikian pula di toko-toko buku, bacaan-bacaan seperti satua Bali sudah tertindih di rak buku paling bawah, berdebu dan usang. Namun masih untung di beberapa sekolah khususnya Sekolah Dasar masih ada mata pelajaran Bahasa Bali yang terkadang gurunya menyinggung tentang satua-satua Bali tersebut. Pada jaman dahulu, orang tua kita mengefektifkan nilai-nilai yang terkandung dalam satua Bali ini sebagai aplikasi nilai moral dan agama. Dengan kata lain untuk mengaktualisasikan nilai moral dan nilai agama digunakan beberapa satua Bali sebagai media ungkap, dalam rangka mensukseskan program pemerintah tentang revolusi mental. Program ini diterjemahkan atau identik dengan istilah Bali ―Karang Awak‖ yang kebetulan sesuai dengan tema Pesta Kesenian Bali (PKB) XXXVIII 2016. Jadi pada dasarnya tujuan identifikasi ini adalah untuk memperkenalkan kepada masyarakat dan mengangkat kembali cerita rakyat Bali (satua) kepermukaan agar bisa digunakan sebagai sarana pendidikan kepada anak usia dini. Para pendokumentasi satua Bali di atas, juga berpendapat sama bahwa cerita rakyat sangat bagus dipakai tuntunan sekaligus tontonan (hiburan) dalam dunia anak-anak. Ungkapan beliau ditulis di halaman paling depan sebagai prolog yaitu uraian singkat mengapa buku ini diterbitkan. I.N.K. Supatra prolognya berjudul ―Atur Pamungkah‖, isinya sebagai berikut: OM Swatyastu Malarapan antuk paswecan Ida Sang Hyang Paramakawi prasida cakepan alit, buku satua puniki kasurat. Buku satua puniki katur ring alit-alite mangda uning ngwacen satua- satua. Sesampune uning ngwacen, mangda taler ngresepang sukseman satuane sane medaging tetuwek-tetuwek. Denpasar, September 2006 Para Panyurat

I Nengah Tinggen judul prolognya ―Purwaka‖. Isinya sebagai berikut: Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas karunia dan perlindungannya, sehingga kami dapat bekerja dengan tenang untuk menyelesaikan buku satua-satua Bali ini. Kami mengumpulkan cerita-cerita rakyat ini dengan maksud turut membantu menyebar

135

luaskan, disamping ingin memetik isinya yang sebagian besar mengacu kepada pendidikan dan juga sebagai hiburan, terutama bagi anak-anak. Bahannya sebagian besar kami dapatkan dari Gedung Kirtia Singaraja, hanya saja ejaannya telah kami rubah sesuai ―ejaan Bahasa Daerah Bali Yang Disempurnakan (huruf latin)‖. Kumpulan cerita ini kami rencanakan terdiri atas 15 jilid dan diterbitkan oleh Toko Buku ―Indra Jaya‖ Singaraja. Atas bantuan dan kepercayaannya tidak lupa kami mengucapkan banyak-banyak terima kasih. Harapan kami mudah-mudahan dengan tersebarnya buku ini para siswa maupun mahasiswa tidak kesukaran lagi untuk mendapatkan bahan-bahan cerita, yang sering merupakan tugas sekolah dari guru-guru pengajar bahasa daerah Bali. Atas segala kekurangannya tak lupa kami mohon maaf. Pengumpul ttd I NENGAH TINGGEN

Dari uraian pengumpul cerita rakyat di atas, sudah jelas dikatakan bahwa satua-satua ini digunakan untuk kepentingan pendidikan baik di lingkungan sekolah maupun diluar sekolah. Oleh sebab itu, satua-satua ini tidak boleh hanya tersimpan rapi di perpustakaan Gedung Kirtia, atau menjadi penghias toko-toko buku. Oleh sebab itu perlu adanya identifikasi, dan disebar luaskan kembali ke masyarakat luas melalui ide-ide kreatif atau direkonstruksi serta ditafsirkan kembali nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sesuai dengan perkembangan jaman. Dari sekian banyak cerita yang teridentifikasi, penulis memilih lima cerita/satua sebagai bahan analisis. Adapuan lima satua tersebut adalah: 1) Satua I Lacur, 2) Stua Men Leket, 3) Satua Taluh Mas, 4) Satua I Siap Selem, 5) I Bawang teken I Kesuna. Kendatipun penulis hanya memilih lima cerita, bukan berarti Satua Bali lainnya tidak bisa digunakan sebagai pendidikan moral dan agama (pendidikan karakter). Hal ini dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa dengan membahas lima Satua tersebut sudah dapat menjawab permasalahan yang pertama di atas, selain juga pertimbangan masalah waktu dan pendanaan. Namun selain kelima cerita tersebut penulis juga melampirkan beberapa cerita yang lain sebagai bahan bacaan bagi para pembaca, khususnya pera pendidik agar menjadikan Satua-Satua tersebut sebagai materi pendidikan yang berbasis kearifan lokal.

PERTIMBANGAN MEMILIH LIMA CERITA DI ATAS. Pemilihan kelima cerita di atas didasari beberapa pertimbangan di antaranya adalah bahwa cerita-cerita tersebut sudah dikenal masyarakat secara umum. Selain itu alur ceritanya juga dipilih yang lebih sederhana juga variatif agar tidak menjenuhkan baik bagi pencerita maupun pendengarnya. Yang paling penting bagaimana caranya agar pencerita mampu membawakan cerita yang disampaikan sehingga mudah dipahami. Jadi setiap cerita terdiri atas tiga sampai lima tokoh saja sehingga mudah diingat oleh anak-anak. Jika alur ceritanya panjang dan berbelit-belit atau menjelimet maka akan sulit dipahami oleh daya nalar anak-anak usia dini. Pertimbangan lainnya adalah pemilihan cerita yang tokohnya tidak ada pada cerita lainnya. Dengan kata lain Satua satu dengan yang lainnya tidak ada atau meminimalis adegan dan tokoh yang sama. pariasi cerita sekaligus pariasi tokoh atau pemeran seperti binatang (monyet/kera, ayam/siap selem, kuuk/kucing hutan), manusia (I Leket dan Ibunya, I Buta dan I Rumpuh, Ni Bawang dan Ni Kesuna), pohon/tanaman (waluh, bawang, kesuna) dan raksasa. Pariasi suasana yang terdapat pada setiap alur cerita juga menjadi pertimbangan lainnya. Kelima cerita di atas sudah mewakili suasana yang berpariasi seperti suasana bahagia/gembira, suasana sedih, suasana menakutkan, suasana aneh/mistis (membuka buah waluh berisi emas permata dan binatang melata). Pertimbangan pariasi cerita yang dimaksudkan adalah berusaha membahas cerita dengan alur dan tokoh yang berpariasi yaitu; tokoh ceritanya khusus manusia (I Buta teken I Rumpuh), ceritanya khusus binatang (I Siap Selem), ceritanya Campuran antara manusia dan

136

binatang (Satua Men Leket, dan Satua Taluh Mas), ceritanya campuran yang lebih komplek antara manusia, binatang, alam dewa dan alam Bhuta/raksasa. (satua I Bawang Teken I Kesuna, Satua I Leket), Pertimbangan yang terakhir adalah berusaha mencari nilai-nilai pendidikan moral dan agama yang berbeda-beda untuk meminimalis penjelasan nilai yang sama atau berulang-ulang dari cerita satu dengan yang lainnya. a. Cerita sudah sangat dikenal dimasyarakat. Hal ini dimaksudkan bahwa kelima cerita di atas secara umun sudah sangat dikenal oleh masyarakat kebanyakan, dari jaman penulis masih kanak-kanak. Oleh sebab itu akan lebih mudah dipahami terutama oleh penceritanya dalam menyampaikan alur cerita dan dalam menghafal nama-nama tokoh yang ada dalam cerita tersebut. Selain itu yang paling penting adalah memaknai nilai-nilai yang terkandung pada cerita tersebut. b. Pemilihan cerita yang sederhana. Dari sekian banyak cerita rakyat Bali (satua Bali) banyak di antaranya memiliki alur cerita yang agak rumit untuk ukuran anak usia dini, karena dikutif dari sumber cerita seperti Tantri, Panji, bahkan Itihasa dan Purana. Oleh sebab itu, lima cerita di atas merupak hasil identifikasi dari beberapa cerita yang ada, bahkan juga yang dianggap sudah memiliki alur sederhana. Namun demikian memilih lima cerita di atas sudah dipandang cukup untuk mewakili menjawab permasalahan di atas. c. Pariasi cerita sekaligus pariasi tokoh. Pariasi ini dimaksudkan untuk menghindari alur cerita yang sama sehingga betul- betul diidentifikasi sehingga cerita yang disampaikan menjadi berpariasi. Selain itu identifikasi tokoh juga menjadi pertimbangan penting. Dengan menampilkan atau membahas tokoh-tokoh yang berbeda diharapkan mengurangi kejenuhan dan mampu menambah ketertarikan anak-anak untuk mendengarkan dan memperhatikan cerita yang disampaikan. Pariasi tokoh-tokoh dari kelima cerita di atas adalah sebagai berikut: Dewa (perujudan Tuhan yang memberi restu/anugrah kepada I Leket), Raja (raja Daha), binatang (monyet/kera, ayam/siap selem, kuuk/kucing hutan), manusia (I Leket dan Ibunya, I Buta dan I Rumpuh, I Bawang dan I Kesuna), pohon/tanaman (waluh, bawang, kesuna) dan raksasa. d. Pariasi suasana pada setiap alur cerita. Suasana merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam membangun sebuah cerita. Dengan suasana pencerita dapat menyampaikan pesan-pesan yang ada dalam cerita tersebut, sesuai denagn keinginannya. Suasanan itu bisa bahagia, sedih, marah, kecewa, takut, dan lain sebagainya. Demikian halnya denga suasana yang dibangun oleh cerita itu sendiri sehingga setiap cerita memiliki suasana yang berbeda-beda. Walaupun demikian tetap bisa dielaborasi lagi sesuai keinginan pencerita. Perlu diketahui bahwa kualitas pencerita sangat mempengaruhi kualitas cerita yang disampaikan. Untuk itu dalam membangun sebuah alur yang baik, memahami bangun suasana yang ada dalam cerita tersebut sangatlah penting. e. Meminimalis Penjelasan nilai-nilai yang sama pada setiap cerita. Untuk meminimalis penjelasan nilai yang sama dari cerita sebelumnya maka perlu identifikasi cerita satu dengan yang lainnya. Kendatipun demikian, jika ada nilai yang sama, maka hal yang demikian akan diusahakan mengelaborasi nilai-nilai tersebut agar tidak terkesan pengulangan. Sebagai sebuah catatan penting bahwa dalam pembahasan ini ada satu nilai yang menjadi sebuah simpulan dari setiap cerita. Nilai yang dimaksud adalah nilai sebab akibat (Karma Pala). Nilai ini menjadi penjelasan nilai moral dan agama yang paling terakhir setelah menyampaikan nilai-nilai lainnya. Pendidikan Nilai ini sudah menjadi pendidikan karakter yang universal, bahwasanya semua perbuatan pasti memetik hasilnya, pepatah mengatakan; ―Rajin Pangkal Pandai, Hemat Pangkal Paya‖. Sebagai sebuah ilustrasi, penulis menyajikan sebuah contoh dalam mengelaborasi

137

nilai Karma Pala (nilai sebab akibat) menjadi sebuah nilai yang memberikan pencerahan kepada anak usia dini dengan meminjam salah satu tokoh sentral yang baik sebagi icon. Pendidikan nilai ini dilakukan setelah bercerita. Sebagai berikut: ―anak-anak yang cantik-cantik dan ganteng-ganteng, sekarang I Lacur menjadi Raja atau Presiden, karena I Lacur rajin belajar, rajin membaca, rajin menulis, rajin sembahyang, rajin berdoa. I Lacur tidak sombong, tidak nakal-nakal, tidak suka memukul teman, tidak suka mencuri atau mengambil milik teman, tidak suka marah- marah, tidak suka nangis-nangis/cengeng, tidak suka manja-manja, rajin berdoa dan rajin sembahyang, selalu nurut perintah orang tua, tidak boleh bermain sendiri kesembarang tempat. Oleh sebab itu, anak-anak cantik dan ganteng, mulai sekarang harus rajin bela....jar..!, agar kelak menjadi pinter sehingga bisa menjadi ra....ja...! seperti I La...cur..!‖. siapa mau jadi raja angkat tangan..., siapa mau jadi presiden, angkat tangan...,mulai sekarang anak-anak janji rajin belajar ya.., rajin berdoa ya..., bagus... dan tidak boleh boros atau membeli sesuatu yang tidak penting, lebih baik uangnya ditabung sehingga kelak menjadi orang kaya dan hidup sukses sehingga berguna bagi keluarga, masyarakat dan negara kita yaitu..? Indonesia....apa anak-anak?... negara kita In..do..ne.. sia...bagus, tepuk tangan...‖

KESIMPULAN Satua Bali adalah kebudayaan Bali yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat Bali yang diwariskan secara turun temurun sebagai milik bersama. Dalam Satua Bali tersebut tersirat nilai-nilai tuntunan dan tontonan, yaitu; dapat berfungsi sebagai media hiburan, menanamkan nilai-nilai moral spirituial, relegius/agama. Mendongeng atau bercerita merupakan salah satu cara efektif untuk membentuk kepribadian anak menjadi generasi yang handal dimasa depan. Begitu Pula pendidik kurang kreatif dalam menciptakan alat peraga untuk bercerita. Hal ini berdampak pula pada minat anak terhadap kegiatan tersebut. Mereka menjadi kehilangan kesempatan pengalaman untuk dapat berapresiasi dan berekspresi sastra khususnya dalam memahami cerita. Usia Taman Kanak-kanak adalah saat yang paling baik untuk meletakkan dasar-dasar pendidikan nilai, moral dan agama. Dengan diberikannya landasan pendidikan moral dan agama kepada anak Taman-Kanak-kanak, seorang anak belajar membedakan perilaku yang benar dan salah. Mengacu pada uraian di atas, pemanfaatan Satua Bali sebagai salah satu seni sastra budaya lokal kedaerahan tentu saja bisa menjadi satu alternatif yang dapat dilakukan dalam upaya pengembangan moral dan nilai-nilai agama anak usia dini sekaligus sebuah cara meneruskan warisan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya yang mendorong pencapaian hasil belajar lebih maksimal.

DAFTAR SUMBER/REFRENSI Ahimsa Putra, Heddy Shri. 2001. Strukturalisma Levi-Strauss, Mitos dan Karya sastra. Yogyakarta: Kepel Press. Bagus, I Gusti Ngurah. 1968. Arti Dongeng Bali dalam Pendidikan. Denpasar: Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan Cabang Singaraja. Brown, Lewis dan Harcleroad. 1977. AV Instruction Technology, Media, and Methods. Mc Graw- Hill, Inc All Right Reserved. Fifth Edition. Burden, Paul R dan Byrd, David M. 1999. Method For Effective Teaching (2nded). Needham Heights: Allyn and Bacon A Viacom Company. Coles, R. 2000. Menumbuhkan Kecerdasan Moral pada Anak. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Dahar, Ratna Wilis. 1996. Teori-Teori Belajar. Bandung: Erlangga. Danandjaya, James. 1986. Foklor Indonesia Ilmu Gosip dan Dongeng. Jakarta: Graffiti Press. Djakhiri, A. K. et. al. 1996. Dasar dan Konsep Pendidikan Moral. Jakarta Depdikbud.

138

Daeng Sari, Dini,P. 1996. Metode Mengajar di Taman Kanak-Kanak. Jakarta Depdikbud. Fasil Jalal, 2011. Kebijakan Nasional Pendidikan karakter. J akart a: Makalah disajikan dalam Temu Pakar PAUDNI. Hadi Sumandiyo, 2 0 0 0 . Seni Dalam Ritual Agama, Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia. Hadis, F.A. 1996. Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta: Depdikbud. Jendra, I Wayan. 2009. Tokoh-Tokoh Cerdik Dalam Cerita Rakyat. Surabaya: Paramita. Karsa, I Wayan. 2006. ―Satua Sebagai Media Pendidikan Agama Hindu pada Lingkungan Keluarga di Desa Sekardadi, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli‖. Tesis (tidak diterbitkan. Program Pasca sarjana, IHDN Denpasar). Kemp dan Smellie. 1989. Planning, Producing and Using Instructional Media. Harper & Row, Publishers Newyork. Sixts Edition. Keriana, Ketut. 2004. ―Mesatua Bali” dalam Transisi. Denpasar: Masyarakat Seni Pertunjukan Bali. Koentjaraningrat, 1997. Metode-Metode Penelitian Masyarakat Jakarta: P.T GramediaPustaka Umum. Kosasih, A Djahiri. 1996. Dasar-Dasar Umum Metodologi Pengajaran Nilai Moral. Bandung: Lab. PMPKN IKIP. Lally, James., Miller, Robert H. 2007. The Learning Pyramid: Does It Poin Teacher In The Right Direction?. Proquest Education Journal, Education. 128, (1), 65. Levi-Strauss, Claude.2005. Antropologi Struktural. Yogyakarta: Kreasi Wacana Offset Mas, A.A Gede Raka. 2007. Cerita Rakyat Bali (Balinese Folklore). Surabaya: Paramita. Moleong, Lexy A. 1998. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: P.T. Gramedia. Moeslichatoen. 1996. Metode Pengajaran di Taman Kanak-Kanak. Jakarta: Depdikbud Dirjen-Dikti P2Tk. Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pudja, I Nyoman. 2006. ―Penggunaan Satua Bali Sebagai Media Pembelajaran Pendidikan Agama Hindu Pada TK Pra Widya Dharma Pusat Kabupaten Bangli‖. Tesis (tidak diterbitkan. Program Pasca sarjana, IHDN Denpasar). Sadiman, Arief S. dkk. 2008. Media Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sanjaya, I Putu. Tt. Kumpulan Satua Bali Jilid I dan II. Singaraja: Indra Jaya. Satibi Hidayat, Otib. 2007. Metode Pengembangan Moral dan Nilai-Nilai Agama. Jakarta: Universitas Terbuka. Setiadi, Nugroho J. 2010. Perilaku Konsumen. Jakarta: Kencana. Smaldino, E. Sharon dkk. 2008. Instructional Tehnology and Media For Learning. Upper Saddle Rivev, Newjersy Colombus Ohio. Subagiasta, I Ketut. 2006. Teologi, Filsafat, Etika dan Ritual dalam Susastra Hindu. Surabaya: Paramita. Supatra, I.N.K. 2006. Satua Bali Pan Balang Tamak. Kayumas Agung. ______, 2010. Satua Bali I Kambing Takutin Macan. Kayumas Agung. Schiller, P. et. al. 2002. 16 Moral Dasar bagi Anak. Jakarta : Elex Media Komputindo. Soedarsono, R.M, 1999. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Suastika, I Made. 2008. artikel ―Nilai Agama dan Pendidikan dalam Satua di Bali”: Kasus di Desa Sekardadi, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. dalam Jurnal Ilmiah Widya Santhi. Vol. 2 No. 3. Januari. Mataram: STAH. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Tinggen, I Nengah. 1993-2003.Satua-Satua Bali I – XV. Singaraja: Indrajaya. Tim Penyusun. 1995. Program Kegiatan Belajar Taman Kanak-Kanak. Jakarta: Depdikbud.

139

Tim Penyusun. 1996. Metodik Khusus Pengembangan Kemampuan Berbahasa di Taman Kanak- Kanak. Jakarta : Depdikbud. Tim Penyususun, 2002. Acuan Menu Pembelajaran pada Pendidikan Anak Dini Usia (Menu Pembelajaran Generik). Jakarta: Diplusepa, Depdiknas. Tim Penyusun, 2002. Potret Taman Kanak-Kanak. Jakarta : Yayasan Insan Kamil. Tim Penyusun, 2003. Buletin PADU, Menu Pembelajaran PADU, Vol 2 No. 01. Jakarta: Diklusepa, PADU. Winda, Gunarti., Lilis Suryani., Atitah Muis 2008. Metode Pengembangan Perilaku dan Kemampuan Dasar Anak Usia Dini. Jakarta: Universitas Terbuka. Widyastono, Herry. 2009. Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Kemahasiswaan, Ditjen Pendidikan Tinggi.

140

WAYANG KULIT BALI DI ERA GLOBAL: KASUS TAYANGAN WAYANG CENK BLONK DI STASIUN DEWATA-TV

I Made Marajaya Prodi/Jurusan Seni Pedalangan, Fakultas Seni Pertunjukan

Abstrak Di era modern sekarang ini yang lebih sering disebut sebagai era globalisasi, seni pertunjukan wayang kulit tradisional mulai kehilangan popularitasnya, kecuali pertunjukan wayang kulit inovatif yang secara kreatif mau berupaya mengadopsi selera estetika masyarakat masa kini. Pertunjukan wayang kulit inovatif dengan format barunya telah mulai melepaskan diri dari kebiasaan-kebiasaan yang berlaku pada pertunjukan wayang kulit tradisional yang ada selama ini. Kesenian wayang kulit yang dikhawatirkan kehilangan popularitasnya di era globalisasi justru bangkit dengan kehadiran WCB dengan format barunya yang lebih menonjolkan aspek hiburan daripada isi lakonnya. Oleh karena itulah, Dewata-TV menjadikannya sebagai materi unggulan untuk menarik pemirsa dalam acara ―Pentas Dewata‖ di tahun 2015. Tayangan WCB di layar kaca sangat digemari oleh masyarakat pencinta wayang karena mampu bersaing dengan seni pentas lainnya dan ikut mewarnai dinamika seni budaya Bali. Pertunjukan WCB yang ditayangkan di Dewata-TV merupakan hasil rekaman yang diproduksi oleh Bali Record dan Aneka Record. Tayangan yang berdurasi 60 menit diwarnai dengan selingan pariwara dan program acara siaran lainnya cukup memberi makna baik bagi pihak penyiaran maupun pemirsa yang ada di rumah. Dengan demikian, tayangan WCB setiap hari mulai pukul 20.00-21.00 Wita di Dewata-TV diyakini memberi arti dan makna yaitu: (1) makna hiburan; (2) makna pelestarian; (3) media iklan dan; (4) makna pencitraan.

Kata kunci : Wayang Cenk Blonk, Dewata-TV.

PENDAHULUAN Pertunjukan wayang kulit adalah salah satu bentuk seni pertunjukan Bali yang hidup berabad-abad seiring dengan kemajuan dan perkembangan zaman. Hingga kini pertunjukan wayang kulit yang sering disebut sebagai seni adiluhung tersebut, masih digemari oleh masyarakat karena dapat dipentaskan dalam berbagai konteks. Selain sebagai pelengkap upacara ritual keagamaan (Hindu-Bali), pertunjukan wayang kulit juga dimanfaatkan sebagai media komunikasi dan informasi dalam menyebarluaskan pesan-pesan penting mengenai ajaran agama Hindu, kesehatan, keamanan dan keberhasilan pembangunan lainnya yang dilaksanakan oleh pemerintah. Di era modern sekarang ini yang lebih populer disebut sebagai era globalisasi, seni pertunjukan wayang kulit tradisional mulai kehilangan popularitasnya, kecuali pertunjukan wayang kulit inovatif yang secara kreatif mau berupaya mengadopsi selera estetika masyarakat masa kini. Pertunjukan wayang kulit inovatif dengan format barunya telah mulai melepaskan diri dari kebiasaan-kebiasaan yang berlaku pada pertunjukan wayang kulit tradisional, dan selalu mengikuti perkembangan zaman dan pola pikir masyarakat pencinta kesenian wayang. Berkiblat dari fenomena tersebut di atas dan untuk mengembalikan kejayaan wayang kulit di era globalisasi ini, maka munculah pemikiran kreatif seorang dalang yang bernama I Wayan Nardayana untuk membuat pertunjukan wayang kulit inovatif. Melalui proses kreatif inilah akhirnya lahir bentuk pertunjukan wayang kulit inovatif yang jauh berbeda dengan pertunjukan wayang kulit tradisional lainnya yang ada di Bali. Pertunjukan inovatif tersebut diberi nama pertunjukan Wayang Cenk Blonk (WCB). WCB merupakan salah satu dari pertunjukan wayang kulit inovatif di Bali memiliki keistimewaan dan kekhasan tersendiri. Kekhasan yang dimaksud adalah: (1) WCB ditampilkan melalui panggung khusus lengkap dengan aparatusnya (kelir lebar, gayor, iringan, soundsystem, lampu listrik) ; (2) memakai gerong dan juru tandak; (3) menampilkan atraksi-atraksi melalui (lampu, keyboard, smoke, slide); (4) lebih mengutamakan lawakan/lelucon daripada lakon; (5) sebagai media iklan promo dan; (6) memiliki transportasi sendiri yang bertuliskan ―Sanggar Seni

141

Cenk Blonk‖. Dengan kekhasan yang dimilikinya itu, maka penggemar dan penonton WCB tidak hanya masyarakat Bali, melainkan masyarakat luar Bali dan bahkan masyarakat Internasional. Selain kekhasan yang dimiliki tersebut di atas, WCB juga memiliki kemampuan untuk mewacanakan segala lini kehidupan masyarakat mulai dari kehidupan beragama, seni, politik, hukum, kesehatan, keamanan, lingkungan, ekonomi, organisasi, dan lain sebagainya. Hal tersebut di atas dapat diwacanakan dan dikomunikasikan dengan bahasa yang pasih dan lugas serta mudah dimengerti oleh penonton. Hal ini juga diperkuat oleh kemampuan intelektual dalang Nardayana yang dilalui melalui pendidikan formal dan non formal. Di saat-saat terpuruknya pertunjukan wayang kulit tradisional Bali, WCB justru menjadi idola masyarakat, serta dianggap sebagai ikon seni pewayangan Bali. WCB dikenal oleh masyarakat luas karena dapat ditonton melalui pemutaran VCD dan kaset, radio, televisi (TV), HP, internet, dan lain-lain. Sebagai ikon seni pewayangan Bali, WCB banyak diteliti dan dibicarakan oleh para ilmuwan dan sarjana dari berbagai bidang ilmu. Selain para ilmuwan, masyarakat awampun sering membicarakan WCB di berbagai kesempatan. Begitu populernya WCB di mata masyarakat Bali, maka salah satu stasiun televisi (TV) lokal Bali yaitu Dewata-TV yang mulai mengudara sejak tahun 2008 tertarik untuk menjadikannya sebagai salah satu acara unggulan yaitu ―Pentas Dewata‖. Tayangan wayang kulit yang dimulai pada pertengahan tahun 2011 hingga 2015, tetap banyak mendapatkan pemirsa. Berdasarkan hasil Source Nielsen Media Research Arianna tentang Top Program Performance Denpasar Marker all People, week 10 (March 4-10, 2012), program acara siaran dari 20 station televisi di Indonesia, tayangan Wayang Kulit menduduki rating 13 dengan TVR =4,7; Share =12,2; 000s =41. Sementara untuk Station Kompas-TV (KTV) tayangan Wayang Kulit Inovatif menduduki rating teratas dengan TVR =4,7; Share =12,2; 000s =41. Kemudian untuk Top Program Performance National Market All Peaple, period 10 (March 4-10, 2012) untuk Kompas-TV di 5 Kota, progran acara Wayang Kulit yang disiarkan KTV/Dewata-TV mendapat rating teratas dengan TVR= 0,8; Share; 2,3; 000s = 41. Hasil survei tersebut di atas menunjukkan bahwa pertunjukan wayang kulit inovatif sangat digemari oleh pemirsa TV baik di Kota Denpasar maupun secara nasional. Seperti diketahui bahwa, program acara Wayang Kulit di KTV/Dewata-TV ditayangkan setiap hari minggu mulai pukul. 20.00–21.00 Wita, bahkan di tahun 2015 WCB ditayangkan setiap hari pukul 20.00–21.00 Wita. Tayangan ‖Special Wayang Cenk Blonk‖ tersebut merupakan hasil rekaman dari Bali Record dan Aneka Record mulai dari tahun 1997 yang telah terjual bebas di pasaran. Tayangan wayang kulit di Dewata-TV merupakan resistensi dari kesenian tradisional yang terhegemoni oleh hiburan-hiburan baru yang dikemas dengan menggunakan teknologi canggih. Selain membawa misi melestarikan kesenian Bali di era globalisasi, kehadiran Dewata-TV berkomitmen untuk menggali, melestarikan, mengembangkan, dan memperkenalkan budaya Bali agar dikenal oleh masyarakat dunia. Apalagi Bali terkenal sebagai destinasi pariwisata yang telah dikenal secara regional maupun internasional. Hal ini sejalan dengan amanat UU No.32, tahun 2002 tentang penyiaran. Kebijakan ini merupakan regulasi agar media TV mampu menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, dan hiburan yang sehat. Selain itu, TV juga diharapkan menjadi media yang memiliki fungsi kontrol dan perekat sosial. Fenomena tayangan WCB di Dewata-TV merupakan fenomena budaya dan menarik untuk dikaji dengan disiplin ilmu kajian budaya yang bersifat kritis. Dengan demikian muncul pertanyaan bagaimana proses penyiaran WCB di Dewata-TV, dan apa maknanya bagi pemirsa TV dan seni pewayangan Bali?.

WAYANG CENK BLONK Wayang kulit sebagai warisan budaya dunia sesungguhnya telah berusia berabad-abad lamanya. Di dalam pertunjukan Wayang Kulit banyak terdapat nilai-nilai yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Untuk memperoleh pengertian yang lebih jelas tentang Wayang Kulit, I Gusti Bagus Sugriwa (1963) menjelaskan bahwa wayang kulit adalah pertunjukan yang menampilkan

142

boneka yang berupa bentuk khayalan dari dewa-dewa, raksasa, binatang, pohon-pohonan dan lain- lain. Secara harfiah kata ―wayang‖ berarti ―bayangan‖, tetapi dalam perjalanan waktu pengertian wayang berubah, dan kini wayang dapat berarti pertunjukan panggung atau teater (aktor dan aktris). Wayang sebagai seni teater berarti pertunjukan panggung karena sutradara ikut bermain. Jadi berbeda dengan sandiwara atau film yang sutradaranya tidak muncul sebagai pemain. Adapun sutradara pertunjukan wayang itu dikenal sebagai dalang, yang peranannya dapat mendominasi pertunjukan seperti wayang Purwa di Jawa, wayang Parwa atau Ramayana di Bali, dan wayang Banjar di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur (Guritno, 1988: 11). Bandem (1994: 31) mengatakan bahwa, kata ―wayang‖ sama artinya dengan ―bayang- bayang‖ sebuah istilah yang mengandung pengertian prihal dan seluk beluk wayang terutama pertunjukan wayang yang dibuat dari kulit sapi atau kerbau. Sebagai seni pertunjukan yang menggunakan wayang sebagai media ungkap, wayang kulit dimainkan oleh seorang ahli yang dinamakan dalang. Wayang merupakan salah satu bentuk kesenian tradisional, merupakan ekspresi kolektif masyarakat pendukungnya. Artinya bahwa wayang adalah milik kolektif masyarakat pendukungnya, bukan milik individu. Oleh karena itu, semua fenomena yang dibangun di dalamnya merupakan representasi dari jagad pikir masyarakatnya. Sebagai sebuah karya seni, wayang pada dasarnya adalah sarana komunikasi dari penggubah ke masyarakatnya, dari suatu generasi ke generasi selanjutnya (Kayam, 1981: 39). Wayang juga dikatakan sebagai sumber inspirasi figur, nilai moral, etika, tata krama pergaulan, bahkan semua aspek kehidupan. Semua aspek dalam wayang mampu menyusup ke dalam semua tatanan sosial masyarakat. Oleh karena itu wayang mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam tata kehidupan masyarakat (Bandem, 1996 : 72). Bentuk pertunjukan wayang kulit yang penyajiannya didukung oleh peralatan modern, misalnya menggunakan keyboard, lampu warna warni, dan efek suara (sound effect), disebut pakeliran inovatif berpola tradisi. Kebaruan di dalam seni tradisi, khususnya pakeliran, bukan semata-mata karena bentuk, sarana ungkap, atau tampilan fisiknya saja yang baru, tetapi isi atau pesan yang disampaikan pun harus baru atau kekinian. Bahkan, ukuran kebaruan sebuah kesenian diutamakan pada sesuatu yang bersifat prinsipal, yaitu esensi atau pesan yang disampaikan melalui berbagai sarana ungkap, baik antawacana, gerak wayang, dan gending (Nugroho, 2009: 18). Popularitas dan publikasi seni wayang kulit kini semakin berkembang pesat. Frekuensi pertunjukan juga diikuti dengan kreativitas yang sangat mengagumkan. Modifikasi pagelaran dan teknik panggung menjadi cair serta bebas tanpa ikatan yang sering dianggap kuno dan ketinggalan zaman (Soetrisno, 2008: iii). Cenk Blonk adalah singkatan dari dua nama punakawan yaitu Nang Klenceng (Cenk) dan Nang Eblong (Blonk). Nama tersebut dijadikan ―maskot‖ pertunjukan wayang kulit oleh dalang Nardayana. Sebelum bernama WCB, pertunjukan wayang kulit yang mulai mekebah (pentas perdana) pada hari Minggu, 11 April 1992 tersebut bernama wayang kulit ―Gita Loka‖. Kata ―Gita‖ berarti nyanyian, dan kata ―Loka‖ berarti alam, jadi ―Gita Loka‖ berarti nyanyian alam semesta. Pencetus nama Cenk Blonk bukanlah ide dari dalang Nardayana sendiri, melainkan dari penonton yang sangat menggemari pertunjukannya. Kisahnya berawal dari sebuah pementasan yang dilakukan oleh dalang Nardayana di Desa Jumpayah, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Ketika grup wayang kulit Gita Loka ini tiba di tempat pementasan, disambut dengan antusias oleh penonton dengan menyebut-nyebut nama Cenk Blonk. Setelah pementasan, hal tersebut direnungkan dan dipikirkan secara matang, maka akhirnya dalang Nardayana memutuskan mengganti nama pertunjukannya menjadi ―Wayang Cenk Blonk‖ yang divisualisasikan dengan simbul kepala Nang Klenceng dan Nang Eblong di bagian atas kelir. Sementara perubahan fonim ―ng‖ menjadi ―nk‖ dari kedua nama tokoh populer tersebut merupakan ide dalang Nardayana sendiri.

143

Ciri khas lainnya yang dimiliki oleh WCB adalah memakai iringan gamelan Sekar Langon yang merupakan repertuarisasi dari gamelan Gong Kebyar, Semar Pagulinganan, dan Gender Wayang. Guna melengkapi kadar atau muatan estetik iringannya, dalang Nardayana memasukkan unsur gerong dan tandak. Untuk gerong (sinden di Jawa) dinyanyikan oleh empat orang wanita, dan tandak dinyanyikan oleh dua orang pria. Dilihat dari aparatusnya, WCB termasuk wayang kulit yang paling lengkap yang ada saat ini. WCB tidak lagi menggunakan kelir ukuran standar yang umum dipakai dalam pertunjukan wayang kulit tradisional, melainkan telah menggunakan kelir berukuran lebar dengan panjang 6 meter dan tinggi 1,5 meter. Lampu blencong tidak lagi digunakan sebagai pencahayaan dan telah digantikan dengan lampu listrik dan LCD (Lazer Compac Disc). Sound system yang terdiri atas Loud Speaker dan Box Speaker serta panggung bongkar pasang terbuat dari besi lengkap dengan tendanya ditata oleh petugas teknis. Terkait dengan aparatus WCB tersebut di atas, Ardana (dalam Mariyah, 2006: 204) mengatakan bahwa, WCB tergolong kearifan lokal dalam kebudayaan Bali, karena mempunyai kemampuan menerima unsur- unsur asing (teknologi) untuk menjadi milik dan memperkaya kebudayaan sendiri tanpa kehilangan kepribadian.

TAYANGAN WAYANG CENK BLONK DI DEWATA-TV Dewasa ini TV sebagai produk budaya populer telah menjadi salah satu sumber hiburan bagi masyarakat. Kehadiran TV telah menembus hampir seluruh pelosok tanah air. TV tidak saja merupakan perlengkapan rumah tangga, namun juga sebagai media informasi yang sangat dibutuhkan masyarakat di era globalisasi ini, sehingga di kantor, rumah sakit, hotel, rumah makan, bale banjar, bank dan lain-lain dapat ditemukan kotak berlayar kaca ini. Hal ini disebabkan TV memiliki sejumlah kelebihan terutama kemampuannya dalam menyatukan antara fungsi audio dan visual, ditambah dengan kemampuannya dalam memainkan warna. Penonton leluasa menentukan saluran mana yang mereka sukai. Selain itu, TV juga mampu mengatasi jarak dan waktu, sehingga penonton yang tinggal di daerah-daerah terpencil dapat menikmati siaran TV. Pendek kata TV membawa bioskop ke dalam rumah tangga, mendekatkan dunia yang jauh ke depan mata tanpa perlu membuang waktu dan uang untuk mengunjungi tempat-tempat tersebut (Cangara, 2002: 135-136). Di samping memberikan informasi menarik tentang realitas sosial dalam bidang pembangunan baik fisik maupun mental spiritual, TV juga berfungsi sebagai media hiburan yang berdampak terhadap kebudayaan, pendidikan dan agama. Berkaitan dengan itu Panuju (2001: 132) menjelaskan bahwa, tayangan film-film impor dari Barat baik itu yang menonjolkan unsur daya tarik seks (sex appeal) maupun kekerasan fisik (brutalisme) mengandung dua resiko sekaligus, yaitu bertentangan dengan kebudayaan bangsa (budaya ketimuran) dan bertolak belakang dengan ajaran agama. Masyarakat Bali sangat menggemari kesenian dalam berbagai bentuk, termasuk kesenian bertutur seperti wayang kulit dan seni pentas yang ditayangkan di layar kaca- TV. Kegemaran ini berkaitan erat dengan pengaturan waktu-waktu mereka, sehingga tidak melewatkan acara yang disukainya. Oleh karena TV banyak menampilkan bentuk hiburan yang berkaitan dengan seni pertunjukan tradisional, maka dengan mudah masyarakat dapat menyaksikan pelbagai pagelaran kesenian tanpa harus datang ke tempat pertunjukan itu dilangsungkan. Di Bali khususnya, Dewata-TV mempunyai suatu komitmen yaitu mengembangkan kesenian tradisi di daerah, telah menjadikan wayang kulit sebagai salah satu sajian khusus siaran paket budaya. Demikian pula Darma Putra (1998: 19) mengatakan bahwa kesenian yang akan dikhawatirkan merosot kehidupannya dan ditinggalkan pendukungnya di zaman modern ini, ternyata tidak menjadi realitas berkat upaya TV yang menjadikan kesenian Bali sebagai salah satu acara unggulan untuk menarik pemirsa. Acara-acara tersebut mendapat sambutan masyarakat dan nyata ikut mewarnai dinamika kehidupan seni budaya Bali.

144

Dewata-TV yang mempunyai misi yaitu turut melestarikan seni budaya Bali, serta mendokumentasikan seni budaya Bali, menyiarkan pertunjukan wayang kulit setiap hari mulai pukul 20.00-21.00 Wita. Sehubungan dengan penayangan wayang kulit di TV, Dibia (1998: 7) mengatakan bahwa, masyarakat kita belum sepenuhnya dapat melihat dan merasakan perbedaan kualitas artistik dan kenikmatan menonton sajian wayang kulit di layar kaca-TV bila dibandingkan dengan pertunjukan langsung (live). Sementara di TV pemirsa hanya dapat melihat ilusi dari kesenian yang ditayangkan, sedangkan dalam pementasan langsung penonton dapat mengalami dan sekaligus menjadi bagian dari peristiwa pertunjukan itu sendiri.

HASIL REKAMAN Tayangan WCB di Dewata-TV yang disaksikan oleh pemirsa selama ini bukan merupakan produksi pihak TV sendiri, melainkan hasil rekaman yang diproduksi oleh Bali Record dan Aneka Record dalam bentuk VCD yang beredar di pasaran. VCD yang telah beredar tersebut dapat dibeli di toko-toko kasset dan pedagang kaki lima. Hampir sebagian besar masyarakat pencinta wayang telah memiliki rekaman WCB baik berupa kaset tape recorder, CD, maupun VCD yang sewaktu-waktu bisa diputar di rumah, kantor, dan mobil. Demikian juga dapat diakses di internet dan handphone. Berbeda halnya dengan TVRI Denpasar (kini TVRI Bali) ketika di tahun 2000-an pernah memproduksi siaran wayang kulit tradisional berdurasi selama 51 menit dari beberapa dalang terkenal di Bali yang ditayangkan setiap hari purnama (sebulan sekali) tanpa diselingi iklan pariwara (Marajaya, 2002: 206). Pada umumnya durasi waktu rekaman dalam VCD WCB adalah 180 menit (tiga jam) untuk tiga keping CD. Sementara waktu tayang yang dibutuhkan adalah 60 menit (satu jam) dan diselingi dengan tayangan iklan pariwara serta program siaran lainnya. Jadi secara keseluruhan waktu yang dibutuhkan dalam tayangan WCB berkisar kurang lebih 40 menit. Untuk menghabiskan satu lakon pihak broadcasting bisa menayangkan sebanyak empat kali. Dengan durasi maksimum 40 menit tersebut, pemirsa TV tidak bisa menyaksikan tayangan WCB secara utuh. Mereka harus menungggu hari esoknya sampai lakon itu berakhir. Di sinilah pemirsa TV dituntut kesabarannya untuk bisa menikmati satu lakon secara utuh. Ketika WCB ditayangkan setiap hari Minggu, para pemirsa lebih lama lagi menunggu sampai-sampai unsur-unsur estetik dalam pertunjukan dilupakan. Berikut adalah gambar tayangan WCB di Dewata-TV.

Gambar Gambar WCB di Dewata-TV Dengan Lampu Listrik WCB di Dewata-TV Dengan Lampu Blencong

Dua gambar di atas adalah bentuk tayangan WCB di Dewata-TV dengan judul‖ Sutha Amerih Bapa‖ dengan menggunakan lampu listrik tampak gambarnya lebih tajam. Berikutnya adalah gambar tayangan WCB di Dewata-TV dengan Judul ―Diah Ratna Takeshi‖ merupakan rekaman perdana ketika masih menggunakan lampu blencong. Tayangan wayang kulit memakai lampu listrik di TV gambarnya lebih menarik jika dibandingkan dengan pertunjukan yang masih menggunakan lampu blencong yang gambarnya agak bergerimis.

145

PILIHAN ORANG-TV Hampir selama 3 tahun Dewata-TV telah berhasil menayangkan beberapa judul pertunjukan WCB seperti: Suta Amerih Bhapa, Katundung Ngada, Gamia Gemana, Gatot Kaca Anggugah, Diah Ratna Thakesi, Ludra Murti, Lathomahosandhi, Tebu Sala, Bimaniyu Mekrangkeng, Anoman ke Suarga, dan lain-lain merupakan pilihan orang-TV. Ketika WCB ditayangkan setiap hari di tahun 2016 tidak menutup kemungkinan ada beberapa judul ditayangkan lebih dari dua sekali seperti judul ―Sutha Amerih Bhapa‖. Selain menayangkan WCB secara berturut-turut, Dewata-TV juga sempat menayangkan pertunjukan wayang kulit inovatif lainnya yaitu wayang D-Karbit dan pertunjukan dalang cilik (tradisi) sebagai selingan. Akan tetapi pertunjukan WCB tetap menjadi materi acara unggulan siaran wayang kulit tersebut, karena dianggap paling populer dan paling banyak memiliki dokumen rekaman berupa VCD. Terkait dengan pilihan orang-TV dalam tayangan WCB di Dewata TV, Dibia (1998: 10) mengatakan bahwa apa yang dinikmati oleh para pemirsa TV di rumah adalah hasil pilihan orang lain (orang-TV) bukan hasil pilihan pemirsa sendiri. Bedanya dalam pertunjukan langsung penonton dapat menikmati pertunjukan secara aktif dan kreatif, dalam keadaan utuh dan dalam tiga dimensi, serta penonton bisa berhubungan langsung dengan para pelakunya. Pilihan orang TV tidak banyak berpengaruh terhadap pemirsa, karena yang memiliki hak dan program siaran adalah pihak TV. Tayangan WCB selama tiga tahun lebih tidak membosankan pemirsa karena dianggap sangat memikat. Hal tersebut berdasarkan hasil survey yang dilakukan pihak TV bekerjasama dengan pihak lain seperti telah disebutkan di atas. Jadi, pilihan orang-TV telah mewakili pilihan pemirsa di rumah yang tinggal mau menonton atau tidak acara yang ditayangkan. Berikut adalah gambar tayangan penabuh, juru tandak, dan juru gerong yang merupakan pendukung WCB.

Gambar penabuh dan Juru Tandak WCB Gambar Juru Gerong WCB

Apabila kita perhatikan kedua gambar di atas seolah-olah tidak terkait dengan pertunjukan wayang kulit. Seperti kita ketahui bahwa pada umumnya Juru tandak dan juru gerong dapat ditemukan dalam pertunjukan sendratari. Hal yang fenomenal inilah justru menjadikan WCB memiliki daya pikat ketika digunakan dalam pertunjukannya seperti halnya oleh dalang-dalang pertunjukan wayang kulit inovatif lainnya di Bali yang ingin meniru gaya dalang Nardayana yang mirip dengan gaya Ki Manteb Soedarsono.

KELAYAKAN SIARAN Secara kualitas, sesungguhnya tidak semua jenis kesenian Bali layak untuk ditayangkan di layar kaca-TV. Beberapa produk kesenian Bali yang ditayangkan selama ini seolah-olah asal pernah masuk TV. Sebagai dampaknya, pemirsa tidak dapat menikmati keindahan dan kesenangan sesuai dengan harapan. Sebaliknya yang menikmati kesenangan itu adalah mereka-mereka yang tampil di TV. Di Bali banyak ditemukan pertunjukan wayang kulit tradisi berkualitas yang layak ditayangkan di layar kaca-TV, tetapi pihak Dewata-TV lebih memilih yang paling berkualitas yaitu WCB. Itu artinya, pihak TV tidak ingin kehilangan moment untuk menjadikan kesenian paling populer sebagai daya tarik untuk mendapatkan banyak pemirsa. Hal tersebut wajar dilakukan oleh pihak TV

146

karena dalam proses penyiaran membutuhkan dana yang cukup banyak. Oleh karena itulah pihak TV lebih selektif memilih materi untuk memuaskan pemirsa yaitu dengan memilih WCB yang telah dikemas dengan teknologi modern di samping untuk memikat para pemasang iklan. Pertunjukan wayang kulit tradisional yang masih memakai pencahayaan lampu belencong (lampu tradisisonal), ketika ditayangkan di layar kaca-TV memang tidak menarik untuk ditonton. Kualitas dan ketajaman gambar tidak bisa diakses dengan masksimal, sehingga tidak memiliki daya tarik bagi pemirsa. Contoh lainnya, ketika WCB dengan lakon Diah Ratha Takesi (rekaman pertama) produksi Bali Record ditayangkan di Dewata-TV dengan menggunakan pencahayaan lampu belencong, gambar yang dihasilkan tidak begitu cerah dan tajam. Gambar di layar kaca tampak bergerimis yang diakibatkan oleh cahaya lampu listrik tidak mau menyatu atau membias dengan sinar lampu tradisional. Sebagai dampaknya, materi siaran tidak menarik untuk ditonton dibandingkan dengan rekaman-rekaman lainnya yang sudah memulai memakai lampu listrik.

MANFAAT SIARAN Pemanfaatan program kesenian di Dewata-TV adalah dengan menempatkannya sebagai sumber informasi dan dokumentasi kesenian. Artinya, apabila penonton tidak sempat menyaksikan pertunjukan aslinya secara langsung, atau memutar VCD-nya, program yang ditayangkan di TV dapat dijadikan informasi pengganti sementara selama belum sempat melihat peristiwa yang sebenarnya (Dibia, 1998: 13). Dengan kemampuan jarak jauhnya TV dapat dijadikan sebagai alat penyebarluasan kesenian wayang kulit, sehingga berbagai bentuk pertunjukan wayang kulit yang tidak sempat ditonton oleh anak-anak dan mereka yang mempunyai kesibukan, dapat menonton di layar TV. Ibrahim (1997: 256) mengatakan bahwa secara universal TV berfungsi dalam mendifusikan informasi (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to entertain), dan memengaruhi (to influence) masyarakat pemirsa. WCB di Dewata-TV merupakan kemasan dari layar perak ke layar kaca. Dengan kemasan yang bersifat ganda itu maka terjadilah pergeseran nilai-nilai tradisional ke modern yang lebih mengoptimalkan aspek hiburan daripada konstektualnya sebagai seni religius. Selain sebagai entertainments, tayangan tersebut mengandung nilai komersial, seperti selingan iklan pariwara. Demi keperluan iklan, maka terjadilah cuting yang dilakukan oleh broadcaster tidak sesuai dengan alor cerita/pementasan. Kurangnya pemahaman orang-TV terhadap materi yang disiarkan, berakibat pada aspek-aspek estetik pada pertunjukan tersebut menjadi hilang dan pesan yang disampaikan kurang komunikatif. Sebagai media masa modern, TV menjadi sarana terpenting dari sebuah produksi multi- media. Selain itu keprofesionalan orang-TV sangat menentukan kualitas produksi dari sebuah kesenian yang disiarkan, sehingga pesan (massage) yang disampaikannya tepat pada sasarannya. Jika dilihat sepintas lalu, tampaknya pertunjukan wayang kulit di Dewata-TV tidak jauh berbeda dengan pertunjukan aslinya. Walaupun demikian, beberapa hal menyangkut aspek estetik terutama yang terjadi pada bentuk visual seperti: struktur pertunjukan, tetikesan (gerak), bahasa/antawecana dan iringan sangat menarik untuk didiskusikan. Selain pertunjukan itu bermanfaat bagi dalangnya sendiri, juga kepada masyarakat penonton TV, seperti dikatakan Darwanto dalam bukunya berjudul ―Televisi sebagai Media Pendidikan‖ (1995: 72) bahwa, dewasa ini media masa TV semakin dirasakan manfaatnya karena sifat khasnya audio-visual sangat membantu perkembangan fisik maupun mental masyarakat. Dengan tayangan yang bersifat pragmatis, tontonan yang disuguhkan akan berubah menjadi sebuah tuntunan.

MAKNA TAYANGAN WCB DI DEWATA-TV Bagi masyarakat Bali yang masih memiliki tradisi kuat dalam kesenian, seni pertunjukan wayang kulit dianggap mempunyai arti dan makna yang penting dalam kehidupannya. Apapun wujud dan kegunaannya di masyarakat, wayang kulit diyakini memiliki arti dan makna: (1) sebagai penggugah rasa indah dan kesenangan; (2) sebagai pemberi hiburan sehat; (3) sebagai media

147

komunikasi; (4) sebagai persembahan simbolis; (5) sebagai penyelenggaraan keserasian norma- norma masyarakat (6) sebagai pengukuhan institusi sosial dan upacara keagamaan; (7) sebagai kontribusi terhadap kelangsungan dan stabilitas kebudayaan dan; (8) sebagai pencipta integritas masyarakat (Bandem, 1994: 33). Pertunjukan wayang kulit seharusnya dilihat sebagai suatu keutuhan simbolik yang terpadu, artinya pemahamannya tidaklah cukup sekedar mendeskripsikan gagasan/ide, lakon, unsur-unsur pertunjukan serta teknik penyajiannya. Melainkan bagaimana ide-ide yang lebih spesifik tersebut termasuk pula unsur-unsur dalam pertunjukannya serta teknik penyajiannya dipandang secara holistik, sehingga memberi makna bagi kehidupan masyarakat. Terkait dengan hal tersebut di atas, tayangan WCB di Dewata-TV memunculkan beberapa makna baru. Makna yang satu dengan makna yang lain saling bertautan. Adapun makna yang dimaksud adalah makna hiburan, makna pelestarian, makna iklan, dan makna pencitraan.

MAKNA HIBURAN Tayangan WCB di Dewata-TV bermakna sebagai hiburan. Seperti pada umumnya, TV sebagai produk budaya populer lebih banyak menyuguhkan hiburan kepada masyarakat luas. Richard Dyers (dalam Bungin, 2001 :61-62) mengatakan, bahwa hiburan merupakan kebutuhan pribadi masyarakat. Hiburan merupakan respon emosi jiwa dan perkembangan implikasi emosi diri, merupakan suatu tanda keinginan manusia yang meronta-ronta ingin ditanggapi dengan memenuhinya. Prinsip-prinsip yang menonjol pada hiburan adalah kesenangan yang tertanam dan menjelma dalam kehidupan manusia sehingga pada saat lain akan membentuk budaya manusia. Sedyawati (2007: 129) mengatakan bahwa hiburan sifatnya langsung merangsang pancaindra atau juga tubuh untuk mengikuti dengan gerak, mementingkan glamor, dan sensasional. Bentuk-bentuk seni yang tergolong hiburan dewasa ini memenuhi ―pasaran‖ di Indonesia. Dilihat dari berbagai modus penyajiannya, ada yang langsung berupa pertunjukan, dan berupa siaran (langsung atau tunda), ataupun yang berupa hasil kemasan dalam bentuk kaset, CD, VCD, dan lain-lain. Sasaran sebuah seni pertunjukan wayang kulit adalah penonton. Oleh sebab itu, secara psikologis wayang (dalang) dan penonton mempunyai hubungan batin saling membutuhkan. Wayang membutuhkan dukungan penonton, sebaliknya penonton membutuhkan kepuasan atas objek yang ditontonnya. Untuk memenuhi kebutuhan itu, dalang harus mampu menggugah emosi penonton dalam berbagai kondisi mengikuti alur dramatik lakon seperti: rasa sedih, rasa haru, gembira, benci, kesal, bahkan menyebalkan dengan menggunakan sistem komunikasi yang ―empaty‖, artinya pertunjukan wayang harus mampu memikat perhatian penonton (Somantri, 1998: 11). Pertunjukan wayang kulit hanya menjadi hiburan belaka bagi masyarakat, sebuah tontonan yang menarik, tontonan yang kadang kala dipertunjukkan untuk mendapatkan hiburan dan segala kesumpekan yang terjadi pada dirinya kemudian menjadi hilang. Itulah kemudian yang menjadikan diri mereka menjadi lebih tenang. Bahkan pentas wayang kemudian banyak diselingi dengan berbagai macam humor yang cerdas, humor yang bisa membuat seluruh masalah yang terjadi pada pikiran mereka menjadi sirna. Ruang hiburan pada pertunjukan wayang kulit terletak pada fungsinya (the function), tempat pementasan itu ditonton agar bisa menjadikan masyarakat bisa lebih senang, pikiran terhibur (Ra‘uf, 2010: 15-16). Arwan Subaidi (dalam Ra‘uf 2010: 161) mengatakan bahwa pergelaran wayang kulit yang dimainkan oleh seorang dalang kiranya bisa disebut penghibur publik terhebat di dunia. Bagaimana tidak, selama semalam suntuk, sang dalang memainkan seluruh karakter aktor wayang kulit yang merupakan orang-orangan berbahan kulit sapi/kerbau dengan dihiasi motif hasil kerajinan tatah sungging (ukir kulit). Ia harus mengubah karakter suara, berganti intonasi, mengeluarkan guyonan, dan bahkan menyayi.

148

Tayangan WCB di Dewata-TV tujuan utamanya adalah menghibur para pemirsa. Setiap memunculkan rekaman baru dalang Nardayana selalu menyajikan lawakan-lawakan terbaru dan terkini yang bersumber dari fenomena kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tidak jarang dalang Nardayana mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat dan sebaliknya memuji dan mendukung kebijakan pemerintah yang dapat mensejahterakan rakyat. Sebagai seni komersial yang muncul di layar kaca, WCB telah mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, ia termasuk seni paling populer di antara seni pertunjukan wayang kulit lainnya yang dapat menghibur masyarakat dalam kurun waktu yang sangat panjang, yaitu hampir melebihi dua kekade mulai dari tahun 1992 hingga sekarang. Selain mengajak penonton tertawa, WCB juga dapat menghibur penonton melalui musik pengiring atau gamelan- nya yang dilengkapi dengan gerong dan tetandakan yang dikemas sesuai dengan selera estetik masyarakat masa kini.

MAKNA PELESTARIAN Tayangan special WCB di Dewata-TV adalah sebagai upaya untuk melestarikan kebudayaan wayang agar lebih dikenal oleh masyarakat luas dan generasi berikutnya. Sementara tayangan iklan sebagai selingan dalam pertunjukan WCB di Dewata-TV merupakan iklan yang berkaitan dengan konsumen atau yang memiliki tujuan mempromosikan produk dan memberikan informasi program-prgram siaran kepada pemirsa. Semakin baik pencitraan tayangan itu, maka semakin banyak pula perusahan berniat memasang iklan produk pada acara tersebut. Walaupun demikian, visi dan misi dewata-TV untuk melestarikan kesenian wayang kulit patut diapresiasi, karena sebagian besar siaran TV di tanah air lebih memilih tayangan sinetron atau film import sebagai tontonan populer untuk menarik pemirsa. Demikian pula stasiun-stasiun TV lokal yang ada di Bali saat ini lebih memporsikan jenis tayangan seni pertunjukan lainnya (dramatari calon arang, tari-tarian, karawitan, musik, dan lain-lain) daripada pertunjukan wayang kulit. Sebagai dampaknya, terjadilah marginalisasi terhadap kesenian lainnya seperti halnya pertunjukan wayang kulit tradisional. Di sinilah dituntut kesadaran pihak pertelevisian di Bali untuk memformulasikan penyiaran berbagai varian kesenian Bali agar tidak dilupakan oleh masyarakat pendukungnya.

MAKNA IKLAN Selain memberi makna pelestarian, tayangan WCB di Dewata-TV juga memiliki makna iklan. Iklan pada dasarnya adalah media komunikasi antara produsen dan konsumen dalam memperkenalkan produk. Iklan hadir sebagai salah satu solusi dari para produsen untuk menghadapi persaingan dari jumlah bisnis serupa yang terlalu berlebihan. Istilah Advertising (periklanan) berasal dari kata latin abad pertengahan advertere, ‖mengarahkan perhatian kepada‖. Istilah ini menggambarkan tipe atau bentuk pengumuman publik apa pun yang dimaksudkan untuk mempromosikan penjualan komoditas atau jasa spesifik, atau untuk menyebarluaskan sebuah pesan sosial atau politik. Ada tiga katagori dalam periklanan yaitu: (1) periklanan untuk konsumen, yaitu yang bertujuan mempromosikan produk; (2) periklanan untuk dagang, di mana pelemparan barang ke pasar ditujukan pada dealer dan kalangan profesional melalui publikasi dan media dagang yang sesuai dan; (3) periklanan politik-sosial, yaitu yang dimanfaatkan oleh kelompok dengan minat khusus (seperti kelompok antirokok) dan politisi untuk mengiklankan pandangan mereka (Danesi, 2010: 363-364). Iklan tidak selalu menyangkut tentang produk, melainkan menyangkut pula kategori-kategori deskriptif lainnya seperti: jasa, citra perusahan, dan informasi publik (Burton, 2008: 177). Jadi iklan yang ditayangkan sebagai selingan WCB di Dewata-TV merupakan iklan kategori pertama yaitu yang berkaitan dengan konsumen atau yang memiliki tujuan mempromosikan sebuah produk ke pemirsa TV. Semakin baik tayangan itu membawa citra, maka semakin banyak pula perusahan ingin memasang iklan pada acara-acara unggulan tersebut.

149

Iklan bukan merupakan bentuk komunikasi tetapi merupakan cara menggunakan berbagai bentuk komunikasi untuk mencapai efek. Efek ekonomi iklan sangat besar. Suka atau tidak suka, iklan menghasilkan pekerjaan dengan menghasilkan permintaan bagi berbagai produk. Apa pun argumentasi tentang efek-efeknya, terdapat bukti yang jelas bahwa iklan memang melejitkan penjualan berbagai produk ketika iklan tersebut diapresiasi positif oleh masyarakat (Burton, 2008: 164-165). Iklan adalah sebuah bentuk tontonan yang mengiringi sebuah produk dan menawarkan citra-citra sebagai acuan nilai dan moral masyarakat (baik-buruk, benar-salah). Pada hal citra-citra tersebut sebagai dikatakan oleh Haug, sesungguhnya adalah rangkaian ilusi-ilusi yang disuntikkan pada sebuah komoditi, dalam rangka mengendalikan konsumer, seperti sebuah suntikan bius. Konsumer, dengan demikian, menjadi konsumer ilusi (consumer of ilusion), yaitu konsumer yang membeli ilusi ketimbang barang, mengonsumsi relasi sosial (status, prestise) ketimbang fungsi produk. Salah satu ilusi yang sering dieksploitasi di dalam iklan adalah ilusi-ilusi yang berasal dari penggunaan tubuh (libidinal power), tubuh dan potensi sensualitasnya dijadikan sebagai sebuah elemen tontonan dalam rangka menarik perhatian konsumer pada pandangan pertama (Piliang, 2003: 289). Berkaitan dengan hal tersebut di atas, WCB yang ditayangkan di Dewata-TV adalah model pencitraan atau sebuah strategi di dalam sistem periklanan, karena telah dijadikan memori oleh masyarakat. Jadi, penggunaan seni pertunjukan wayang kulit sebagai kemasan iklan membuktikan bahwa telah terjadi distorsi dari pemakaian tubuh sensualitas wanita seperti yang dikatakan oleh Piliang tersebut di atas. Pemutarbalikan fakta ini terlihat pada penampilan WCB yang tidak merupakan tontonan untuk membangkitkan libido atau sensualitas, tetapi lebih menghibur. Jadi, kekuatan menghibur masyarakat inilah yang sesungguhnya menjadi daya tarik dari sistem periklanan yang dikemas ke dalam WCB. Di tengah-tengah kekhusukan penonton menikmati hiburan diselingi dengan iklan yang sesungguhnya keluar konteks dari alur pertunjukan itu sendiri. Benny H. Hoed (2008: 120) mengatakan bahwa, seni pedalangan dan pewayangan yang terikat oleh pakem sudah lama menampilkan perubahan atas dasar kreativitas. Meski pakem tetap dipertahankan sebagai acuan, namun dialognya menyajikan topik-topik yang aktual sesuai dengan perkembangan zaman. Fungsi wayang kulit juga berkembang, yaitu ada dalang yang menyajikan pertunjukan wayang kulit untuk iklan di TV, sehingga diprotes oleh para dalang yang lain dan kalangan penggemar yang masih konservatif. Pada bagian terakhir ini fungsi wayang berubah karena pertimbangan mengikuti selera publik.

MAKNA PENCITRAAN Pencitraan adalah sebuah strategi penting di dalam sistem periklanan yang di dalamnya konsep, gagasan, tema atau ide-ide dikemas dan ditanamkan pada sebuah produk untuk dijadikan sebagai memori publik (public memory), dalam rangka mengendalikan diri (self) mereka. W.F. Haug, salah seorang filsuf dari Frankfurt School, menggambarkan di dalam Critique of Commodity Aesthetics: Apprearance, Sexuality and Advertising in Capitalist (1983), bahwa komoditi di dalam masyarakat kapitalis berkaitan secara langsung dengan domain citra, yaitu citra digunakan sebagai alat untuk mengendalikan massa konsumer. Komoditi merupakan sebuah wacana pengendalian selera, gaya, gaya hidup, tingkah laku, aspirasi, serta imajinasi-imajinasi kolektif masyarakat secara luas (massa) oleh para elit (kapitalis), lewat berbagai citra yang diciptakan yang sesungguhnya tidak berkaitan dengan substansi sebuah produk yang ditawarkan. Ilusi (illusion) dan manipulasi (manipulation) adalah cara yang digunakan untuk mendominasi selera masyarakat, agar mereka tergerak membeli sebuah produk. Salah satu bentuk ilusi dan manipulasi yang menonjol di dalam iklan, menurut Haug, adalah penggunaan efek-efek sensualitas, penggunaan representasi tubuh dan organ-organ tubuh perempuan, untuk menciptakan citra sensualitas, sebagai cara untuk merangsa- ng hasrat pembeli (Piliang, 2003: 287).

150

Citra, akhirnya menjadi instrumen utama dalam menguasai kehidupan jiwa (inner life), membentuk dan mengatur tingkah laku setiap orang yang dipengaruhinya. Rangkaian citra kemudian menjadi landasan rasional dalam memilih sebuah produk, dalam menentukan baik/buruk, benar/salah, berguna/tak berguna. Citra menjadikan sebuah benda yang tidak berguna menjadi sangat berguna, sebuah benda yang tidak diperlukan menjadi perlu, sebuah benda yang tidak dibutuhkan menjadi kebutuhan. Citra mengomunikasikan konsep diri setiap orang yang dipengaruhinya yaitu: kesempurnaan diri, tubuh, kepribadian. Setiap orang diarahkan untuk gandrung membeli sebuah produk disebabkan image produk daripada nilai-nilai substansi dan fungsional produk tersebut (Piliang, 2003: 287). WCB yang merupakan salah satu dari seni pertunjukan wayang kulit inovatif yang ada di Bali saat ini, telah memiliki citra sebagai seni pertunjukan yang paling populer. Citra tersebut didasari oleh kreativitas seni yang tiada henti di tengah-tengah pesatnya perkembangan teknologi dan menjamurnya hiburan baik secara langsung maupun yang tidak langsung di era globalisasi ini. WCB yang ditayangkan secara khusus setiap hari Minggu pukul 20.00-21.00 Wita di tahun 2013- 2014 dan setiap hari di tahun 2015 di Dewata-TV ini telah membuktikan bahwa WCB memiliki citra di masyarakat. Pertunjukan wayang kulit dalam rangka perhelatan partai politik dan pameran pembangunan dari sejak zaman orde lama hingga orde baru sudah pernah ada di Bali. Seiring dengan perkembangan zaman, pada era reformasi ini fungsi tersebut dapat bergeser ke ranah ekonomi kapitalis yaitu sebagai ajang promosi sebuah produk melalui siaran TV. Citra pertunjukan wayang kulit dipergunakan sebagai media atau arena untuk berkomunikasi dan memengaruhi masyarakat agar senantiasa mengonsumsi produk yang ditawarkan. Banyak hiburan menarik lainnya yang masih layak dipakai sebagai media dalam rangka promo atau sosialisasi, tetapi pilihan tepat yang ditujukan kepada WCB merupakan bentuk pengakuan pihak TV bahwa kesenian wayang masih diterima oleh masyarakat kekinian. Jadi, para pemakai jasa WCB seperti pengusaha dan pihak TV memberikan hiburan secara gratis, namun di balik itu ada unsur kesengajaan untuk menawarkan produk atau program-program tayangan unggulan. Selain memberi pencitraan kepada para pemirsa TV, tayangan WCB juga memberi makna pencitraan kepada pertunjukan wayang kulit Bali bahwa pertunjukan wayang kulit tidak bersifat statis, tetapi sangat dinamis mengikuti perkembangan zaman. Wayang kulit adalah sebuah media yang hampir dimiliki oleh sebagian masyarakat baik yang berprofesi sebagai dalang, pewaris, maupun mereka yang menjadikannya sebagai benda koleksi dan aksesoris dalam rumah tangga. Jadi, tanpa adanya kesadaran masyarakat untuk menghidupkan dan mensosialisasikan kesenian wayang, sangat mustahil kesenian itu bisa dikenang kembali oleh masyarakat luas. Dalang sebagai fasilitator dan mediator dengan kreasi inovatifnya secara dinamis mampu menghidupkan kembali citra kesenian wayang kulit itu sendiri, sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat melalui tayangan TV. VCD WCB yang secara mudah dapat diperoleh di toko-toko kaset, atau dapat diakses melalui internet, HP, memberi pencitraan terhadap pertunjukan wayang kulit, bahwa ia tidak tenggelam dan menghilang dari semaraknya berbagai bentuk hiburan baik berupa kesenian tradisional maupun kesenian modern yang ditayangkan di TV. Sebuah makna baru muncul karena pertunjukan wayang kulit di era globalisasi ini dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang status sosial. Citra yang dibangun oleh WCB terhadap kesenian wayang kulit memberi petanda (makna) bahwa kesenian itu bersifat adiluhung, multidimensional, dan paling kompleks.

SIMPULAN Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, Dewata-TV mempunyai suatu komitmen mengembangkan kesenian tradisi di daerah, yaitu dengan menjadikan pertunjukan wayang kulit sebagai salah satu sajian khusus siaran paket budaya yang ditayangkan setiap hari Minggu mulai

151

pukul 20.00-21.00 Wita di tahun 2013-2014 dan setiap hari di tahun 2015. Kesungguhan Dewata- TV menayangkan WCB melalui layar kaca adalah bentuk modernisasi dan cara berinovasi dalam berkesenian di era globalisasi. WCB yang ditayangkan di Dewata-TV merupakan hasil rekaman VCD yang tersebar luas di pasaran. Dalam tayangan tersebut pihak TV memiliki otoritas untuk memilih lakon-lakon WCB sesuai kelayakan siaran yang di diproduksi oleh Bali Record dan Aneka Record. Tayangan special WCB di Dewata-TV adalah untuk menghibur masyarakat dan sebagai upaya untuk melestarikan kebudayaan wayang agar lebih dikenal oleh masyarakat luas dan generasi berikutnya. Sementara iklan yang ditayangkan sebagai selingan WCB di Dewata-TV merupakan iklan produk, usaha, dan acara-acara siaran pilihan. Semakin baik pencitraan sebuah tayangan, maka semakin tertarik pula para pengusaha dan pebisnis untuk memasang iklan pada jam tayangan tersebut. Tayangan WCB dengan berbagai lakon memberikan ruang bagi pemirsa untuk menikmati, mengapresiasi, dan bahkan mengkritisi keberadaan kesenian wayang kulit ketika ditayangkan melalui layar kaca yang ditengarai ada nilai positif dan nilai negatifnya bagi eksistensi seni pewayangan itu sendiri. Selain memberi pencitraan kepada para pemirsa TV, tayangan WCB juga memberi pencitraan kepada pertunjukan wayang kulit Bali bahwa pertunjukan wayang kulit tidak bersifat statis, tetapi sangat dinamis mengikuti perkembangan zaman.

DAFTAR PUSTAKA Bandem, I Made, 1994. ―Mengembangkan lingkungan Sosial yang Mendukung Wayang―. Dalam Majalah Mudra No. 2 Th. II hal. 31. STSI Denpasar. Bandem, I Made & Murgiyanto, Sal. 1996. Teater Daerah Indonesia. Yogyakarta: Kanisius Bungin, Burhan, 2001. Imaji Media Massa: Konstruksi dan Makna Realitas Sosial Iklan Televisi dalam Masyarakat Kapitalis. Burton, Graeme. 2008. Yang Tersembunyi di Balik Media. Yogyakarta dan Badung: Jalasutra. Cangara, Hafied. 2002. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra. Darma Putra, I Nyoman, 1998. ―Kesenian Bali di Panggung Elektronik: Perbandingan Acara Apresiasi Budaya RRI dan TVRI Denpasar. Dalam Majalah Mudra, No. 6 Tahun VI, Hal. 31. STSI Denpasar. Darmawan, I Dewa Made. 2005. ―Wayang Kulit Cenk Blonk dalam Media Rekam‖. Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister. Denpasar : Universitas Udayana. Darwanto, S.S. 1995. Televisi sebagai Media Pendidikan. Duta Wacana University Press, Yogyakarta. Dibia, I Wayan. 1998. ―Pertunjukan Kesenian di Televisi‖. Dalam Majalah Mudra No. 2 Th. II hal. 7. STSI Denpasar. Guritno, Pandan. 1988. Wayang, Kebudayaan Manusia dan Pancasila. Jakarta: UI-Press. Hoed, Benny H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI Depok. p. 103. Ibrahim, Idi Subandy dan Dedy Djamaluddin Malik. 1997. Hegemoni Budaya. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Kayam, Umar. 1981. Seni Tradisi dan Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan. Marajaya, I Made. 2002. Pertunjukan Wayang Kulit Parwa Lakon Brahmana Sidi di TVRI Denpasar. Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister. Denpasar: Universitas Udayana. Mariyah, Emiliana. 2006. ―Wayang Kulit Dalam Era Globalisasi‖. Dalam Wacana Antropologi. (ed. Pujaastawa). Denpasar: Jurusan Antropologi Fakultas sastra Universitas Udayana. Panuju, Redi. 2001. Komunikasi Organisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Piliang, Yasrat Amir. 2003. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogjakarta: Jalasutra.

152

Ra‘uf, Amrin. 2010. Jagad Wayang. Yogyakarta: Garailmu. Sedyawati. 2007. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Soetrisno, R. 2008. Wayang Sebagai Warisan Budaya Dunia. Surabaya: Penerbit SIC. Sugriwa, I Gusti Bagus. 1963. Ilmu Pedalangan/Pewayangan. Yayasan Pewayangan Daerah Bali. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32, Tahun 2002 tentang penyiaran.

153

DARI “GEGENDINGAN” KE MUSIK POP BALI SAMPAI LAGU POP DAERAH BALI GAYA PKB

Ni Wayan Ardini Program Studi Musik, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar email: [email protected]

Abstrak Pesta Kesenian Bali yang berlangsung atas gagasan dan inisiatif Prof. Dr. Ida Bagus Mantra sejak 1979, tahun 2016 (ke-38), mampu berkesinambungan memanggungkan Parade Lagu Pop Daerah Bali sejak awal. kehadiran musisi besar Bali seperti mendiang Anak Agung Made Cakra, I Gusti Ngurah Ardjana, dan lainnya, parade diikuti delapan kabupaten/kota sejak 1990-an. Parade Gong Kebyar yang menjadi ikon ―kompetisi‖ PKB tetapi Parade Lagu Pop Daerah Bali (PLPDB) tidak segemebyar Parade Gong Kebyar. PLPDB, diniatkan mengembangkan dan melestarikan seni-budaya musik (daerah) Bali ke seluruh kabupaten/kota. Semangat mengawinkan aspek lokal dan global, tradisi dan modern, patut diapresiasi tinggi. PLPDB sebagai arena cerdas untuk mensinambungkan kebermaknaan musik daerah Bali. Intensitas persaingan estetiknya begitu tinggi karena kenyataannya nama besar belum tentu berkinerja bagus di atas panggung melawan tim-tim underdog. Pengamatnya para akademisi musik dan/atau tokoh- tokoh musisi di Bali. Lima tahun terakhir, muncul nama I Komang Darmayuda, I Gusti Agung Bagus Mantra, I Gusti Ayu Heny Janawati, dan penulis sendiri. Ini menunjukkan perkembangan dan pengembangan lagu pop daerah Bali. Parade dilaksanakan selama tiga hari dengan penampilan 60 menit menggunakan pakem (biasanya dua lagu anak dan tiga dewasa, dengan pemaduan putra-putri, baik sendiri-sendiri/solo/individual, maupun duet, trio, dan/atau kelompok (group. Artikel ini menelisik perjalanan musikal yang memadukan antara lagu tradisi Bali, gegendingan, dan musik pop yang dapat ditemukan dalam salah satu peristiwa (program acara) kebudayaan dalam Pesta Kesenian Bali yang dinamakan Parade Lagu Pop Daerah Bali. Produk PLPDB merupakan hasil paduan atau sintesis, lagu-lagu pop daerah Bali dengan sebuah dinamika lokal-global. Keberadaan lagu-lagu pop daerah Bali ala (gaya) PKB ada dua entitas seni-budaya yakni gegendingan dan musik pop (khususnya musik pop Bali). Persoalan interpretasi yang berbeda di antara masyarakat penikmat. ―Penilaian‖ yang netral-objektif dan bertanggung jawab secara ilmu musik ada di catatan para kritikus/kritisi, seniman-akademis, dan kelima pengamat. Tidak adil menilai baik-buruknya mereka tanpa pernah memberi mereka masukan konstruktif dan kompetitif serta reward.

Kata kunci : musik, lagu, pop, dan gegendingan.

PENDAHULUAN Pesta Kesenian Bali yang berlangsung atas gagasan dan inisiatif Prof. Dr. Ida Bagus Mantra sejak 1979, atau kali ke-38 pada 2016, mampu secara berkesinambungan memanggungkan Parade Lagu Pop Daerah Bali sejak awal. Pada tahun-tahun awalnya, dengan kehadiran nama-nama besar musisi Bali seperti mendiang Anak Agung Made Cakra, mendiang I Gusti Ngurah Ardjana, dan sebagainya, parade diikuti delapan kabupaten/kota sesuai jumlah daerah tingkat II di wilayah Provinsi Bali. Sejak 1990-an, ketika Badung menjadi Badung dan Denpasar, peserta menjadi sembilan: satu kota Denpasar dan selebihnya delapan kabupaten yang ada, yaitu Badung, Bangli, Buleleng, Gianyar, Jembrana, Karangasem, Klungkung, dan Tabanan. Tidak segemebyar Parade Gong Kebyar yang menjadi ikon ―kompetisi‖ PKB tetapi kehebohan performance masing-masing peserta Parade Lagu Pop Daerah Bali tampak di setiap penampilannya. Ia sesungguhnya hanya sebuah parade dan bukan lomba atau kompetisi meskipun semangat ―terbaik‖, ―menang‖, atau setidaknya ―lebih baik dari peserta lain‖ tampak nyata. Tujuan PLPDB adalah mengembangkan dan melestarikan kebudayaan (seni-budaya) Bali, khususnya lagu pop daerah Bali. Secara lebih spesifik, kegiatan ini dilakukan untuk menggali bakat-bakat di seluruh kabupaten/kota dalam seni musik terkait. Aspek politiknya di sejumlah kalangan tertentu begitu kentara: tingkat keberhasilan dan/atau kualitas tampilan dalam parade ini sering diasumsikan berkorelasi positif dengan kemampuan melakukan pembangunan seni-budaya di kabupaten/kota masing-masing.

154

Penonton pun begitu hangat menyemangati jagoannya masing-masing. Apalagi yang sedang ―bertanding‖ adalah salah satu atau beberapa dari duta ini: Badung, Denpasar, dan Gianyar. Diam-diam intensitas persaingan estetiknya begitu tinggi karena kenyataannya nama besar belum tentu berkinerja bagus di atas panggung melawan tim-tim underdog. Para pengamatnya pun adalah akademisi musik dan/atau tokoh-tokoh musisi yang sudah malang-melintang di Bali. Dalam lima tahun terakhir, muncul nama-nama I Komang Darmayuda, I Gusti Agung Bagus Mantra, I Gusti Ayu Heny Janawati, dan penulis sendiri. Ini sangat bagus bagi perkembangan dan pengembangan lagu pop daerah Bali ke depan. Sejak berformat sembilan kabupaten/kota, parade dilaksanakan berturut-turut tiga hari. Biasanya setiap penampil unjuk kebolehan sekitar 60 menit dengan pakem, biasanya dua lagu anak dan tiga dewasa, dengan pemaduan putra-putri, baik sendiri-sendiri/solo (individual) maupun duet, trio, dan/atau kelompok (group). Pada tahun 2016, acara diadakan pada hari Minggu-Senin-Selasa, 02-04 Juli mulai pukul 20.00 Wita. Badung, Jembrana, dan Gianyar beraksi di hari pertama; selanjutnya Klungkung, Buleleng, dan Bangli; Tabanan, Denpasar, dan Karangasem sebagai pamungkas. Sebagaimana judulnya, tulisan ini menelisik perjalanan musikal yang memadukan antara lagu tradisi Bali, yakni gegendingan, dan musik pop yang dapat ditemukan dalam salah satu peristiwa (program acara) kebudayaan dalam Pesta Kesenian Bali yang dinamakan Parade Lagu Pop Daerah Bali. Intinya adalah, produk-produk dalam PLPDB merupakan hasil paduan atau sintesis, berupa lagu-lagu pop daerah Bali dari sebuah dinamika lokal-global. Untuk itu, sebelum keberadaan lagu-lagu pop daerah Bali dikedepankan, akan dikemukakan dua entitas seni-budaya yang mendahului lagu pop daerah Bali ala (gaya) PKB, yakni gegendingan dan musik pop, khususnya musik pop Bali.

KONSEP LAGU POP DAN MUSIK POP Sebelum membahas lebih jauh tentang parade lagu pop daerah Bali dan proses pembentukannya, konsep lagu pop perlu ditegaskan. Istilah ―lagu pop‖ dan ―musik pop‖, khususnya dalam bahasa Indonesia, sering mengecoh. Setidaknya dapat dikatakan secara sederhana di sini bahwa cakupan ―lagu‖ lebih sempit daripada ―musik‖. Tentang ―lagu‖, Banoe (2003: 233) dalam bukunya menyatakan, ―Lagu-Nyanyian; melodi pokok. Juga berarti: karya musik. Karya musik untuk dinyanyikan atau dimainkan dengan pola dan bentuk tertentu‖ sementara mengenai ―musik‖, ia (2003: 288) menguraikan, ―Musik adalah cabang seni yang membahas dan menetapkan berbagai suara ke dalam pola-pola yang dapat dimengerti dan dipahami manusia‖. Bila dicermati, ―lagu pop‖ pun tidak sama persis dengan ―musik pop‖ meskipun dalam beberapa kasus keduanya sering disinonimkan dan digunakan secara saling menggantikan. Hal ini perlu ditegaskan karena banyak pihak akhirnya mengacaukan pengertian keduanya. Dalam konteks bahasa Inggris, kata pop music (musik pop) berbeda dengan pop songs (lagu-lagu pop). Kalau musik pop akhirnya sering dikaitkan dengan persoalan ekonomi industri dan industrialisasi di samping aspek-aspek estetika dan asal usul kerakyatan selain kepolitikannya, maka lagu-lagu pop cenderung memokus ke persoalan estetika dan kerakyatannya (Ardini, 2016). Setidaknya musik pop lebih luas dari lagu pop. Dalam pandangan Pramayuda (2010: 25), musik secara umum bukan hanya lagu tetapi juga suara-suara lain yang disengaja maupun tidak disengaja. Dalam diskursus cultural studies, musik pop memiliki pengertian lebih luas dan kompleks daripada lagu pop. Musik pop, di samping mencakup lagu pop itu sendiri, membahas aspek-aspek industrialisasi yang terkait dengannya, termasuk persoalan produksi, distribusi, dan konsumsi produk-produknya. Lagu pop lebih berkenaan dengan keberadaannya sebagai produk kesenian sedangkan musik pop jauh lebih luas pengertiannya, hingga mencakup aspek-aspek politik, ekonomi, sosial-budaya yang mengelilinginya. Lagu pop adalah (hanya) bagian dari persoalan industrialisasi yang terkait produksi karena merupakan produk sebagai hasil dari produksi dalam industrialisasi musik pop sedangkan musik pop dalam industrialisasi musik pop meliputi persoalan produksi, distribusi, dan konsumsi. Dalam konteks penelitian, lagu pop umumnya diteliti sebagai penelitian (kajian) seni, yakni studi ―seni untuk seni‖, sedangkan musik pop sebagai penelitian multi-/interdisipliner dari percampuran seni/estetika, politik, ekonomi, sosiologi, teknologi, dan sebagainya, sehingga dalam pencampurannya itu, pantas dikategorikan penelitian cultural studies, yang berbeda dengan study of culture.

155

Seperti halnya lagu pop, musik pop adalah bagian integral budaya pop. Baik lagu pop maupun musik pop adalah jenis musik populer yang disukai rakyat dan berasal dari rakyat. Musik pop adalah tahap lebih lanjut (kalau bukan tujuan) lagu pop. Dengan sentuhan kapitalisme yang menyediakan kekuatan ekonomi, kecanggihan teknologi, media, dan adanya budaya musik baru dalam masyarakat, musik pop diproduksi, didistribusi, dan dikonsumsi secara massal. Itulah sebabnya, sebagai budaya postmodernis, musik pop tidak berada di wilayah persoalan kesenian (estetika) semata tetapi lebih dalam, tajam, dan luas hingga bisnis (ekonomi) dan bahkan politik. Menurut pakar budaya pop John Storey (2004: 10-25), ia disebut budaya postmodernis karena merupakan budaya yang melabrak batas-batas budaya tinggi-rendah.

PEMBAHASAN PERJALANAN MUSIKAL GEGENDINGAN KE MUSIK POP (BALI) Sebagai sesama keluarga musik Bali, musik pop Bali yang berkembang saat ini tidak dapat dilepaskan dari keberadaan karawitan vokal di Bali, khususnya sekar rare atau gending rare, yang begitu populer di masa lalu. Sekar/gending berarti lagu dan rare berarti anak. Sekar/gending rare adalah lagu-lagu anak berbahasa Bali di Bali yang dinyanyikan untuk kepentingan permainan (bermain-main). Itulah sebabnya, liriknya sederhana, nadanya dinamis serta riang, dan mudah diingat, dengan pesan-pesan tertentu yang melekat di dalamnya, sehingga cocok bagi suasana batin anak yang sedang menikmati kegembiraan bersama teman-teman sebayanya. Tentu saja di era kejayaan sekar/gending rare di masa lalu, Bali masih bersuasana pedesaan di mana kebudayaannya dibalut tradisi pertanian yang kuat. Mengacu pada sebuah tulisan dari Arya Sugiartha yang dibuat pada 1996, Suryatini (1999) menulis bahwa seni karawitan vokal (tembang) Bali dikelompokkan menjadi empat, yaitu sekar rare (gegendingan), sekar alit (macapat), sekar madya (makidung), dan sekar ageng (kakawin). Tiga kelompok terakhir memiliki pola dan struktur baku sedangkan kelompok pertama (gegendingan) tidak baku, sehingga bentuknya dapat berubah-ubah. Oleh masyarakat Bali, tembang ini dianggap yang paling sederhana, sehingga diidentifikasi sebagai lagu anak-anak. Sekar rare termasuk jenis folk song atau nyanyian rakyat. Identitas folkloritasnya dikenal dengan penyebaran lisan (oral transmission), berbentuk tradisi, dan mempunyai banyak varian. Bentuk musikal dan liriknya sederhana. Kalimat lagunya pendek-pendek dan menggunakan bahasa Bali lumrah serta cara melagukannya paca periring (sillabis). Sekar rare yang dominan dinyanyikan anak-anak di samping sebagai hiburan dan nyanyian saat bermain, mengandung makna yang dalam, seperti perjuangan bangsa, petuah, tata krama, sindiran, dan kerohanian. Sebagaimana tulisan Suryatini (1999), berdasarkan pendapat Sugriwa (1977: 6), Bandem (1992: 3), dan Suarka (2009: 259), karawitan vokal di Bali dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori, yaitu sekar rare (dolanan/lagu permainan anak), sekar alit (macapat), sekar madya (kidung), dan sekar ageng (kakawin). Menurut Sudirga (2012), sekar rare adalah sekelompok gending (nyanyian tradisional) yang menurut fungsinya dapat dibedakan lagi menjadi beberapa kelompok. Gending yang digunakan untuk mengiringi permainan disebut gegendingan (dolanan), seperti ‖Meong-meong‖, ‖Semut-semut Api‖, ‖Goak Maling Taluh‖, ‖Juru Pencar‖, dan sebagainya. Gending untuk mengiringi tari sanghyang adalah ‖Kukus Arum‖, ‖Sekar Emas‖, dan ‖Tunjung Biru‖. Gending untuk mengiringi tari janger adalah ‖Siap Sangkur‖, ‖Adi Ayu‖, ‖Nyen Nyampat Duran Daja‖, dan sebagainya. Jenis lagu ini disebut gegendingan yang umumnya tidak terikat hukum-hukum prosodi sastra yang ketat. Menurut Sugriwa (dalam Sudirga, 2012), bentuk nyanyian ini umumnya disusun berdasarkan gending gong. Jenis nada dong, deng, dung, dang, dan ding diganti dengan vokal (o, e, u, a, i), kemudian vokal tersebut diterapkan dengan mengisi kata-kata yang mengandung arti. I Gusti Putu Gede Wedhasmara (dikenal juga sebagai Anak Agung Wedhasmara), dalam acara ‖Pabligbagan‖ di Bali TV pada awal berdirinya stasiun televisi swasta ini, menyatakan bahwa setelah gegendingan, muncul istilah gending Bali (seperti ‖Cening Putri Ayu‖, ‖Cai Ketut

156

Matetajen‖, dan ‖Kaki-kaki Tanguda Mebok‖) yang diiringi gamelan (Bali). Dalam sebuah program diskusi di TVRI Bali tanggal 20 Maret 2006, I Gusti Ngurah Ardjana berpendapat bahwa pada tahun 1960-1964, muncul lagu ‖Cening Ayu‖, ‖Juru Pencar‖, ‖Bawang Kesuna‖, dan ‖Bajang Buleleng‖, yang bahasa Balinya masih bagus dan bertangga nada pentatonik. Awal mula musik pop Bali ditunjukkan Darma Putra dalam studinya tentang politik lagu pop Bali yang dituangkannya dalam artikelnya ‖Kecenderungan Tema Politik dalam Perkembangan Mutakhir Lagu Pop Bali‖, dalam Jurnal Kajian Budaya (Vol. 1, No. 2, 2004) yang kemudian dituangkan dalam buku Bali dalam Kuasa Politik (2008). Darma Putra menggunakan istilah ―lagu pop Bali‖ dibandingkan ―musik pop Bali‖. Mengacu pada beberapa sumber, dalam keduanya ia menulis awal mula lagu (maksudnya: musik) pop Bali sebagai berikut. Kapankah lagu pop Bali bermula? Sejauh ini disepakati bahwa lagu pop Bali muncul tahun 1960-an namun baru memasuki industri rekaman awal 1970-an (Setia 1986; Widminarko 2000; Dharna 2002). Kelahiran lagu pop Bali berkait erat dengan dinamika sosial politik di Bali. Menurut Gde Dharna, seorang pencipta lagu pop Bali dari Singaraja, ‖embrio‖ lagu pop Bali sudah muncul sekitar tahun 1963, di tengah-tengah semaraknya kehidupan politik di Indonesia pada umumnya dan Bali pada khususnya (2002:91). Dinamika politik pada masa itu didominasi gerakan merebut simpati massa antara dua partai besar yaitu PNI (Partai Nasionalis Indonesia) dan PKI (Partai Komunis Indonesia). Partai-partai ini didukung oleh lembaga keseniannya masing-masing yaitu LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) untuk PNI dan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) untuk PKI. Saat itu, lagu pop Bali tampil mengusung tema kerakyatan, tema politik, dan nasionalisme, seperti lagu ‖Juru Pencar‖ (Nelayan) dan ‖Buah Buni‖ (sejenis anggur kecil) dan ‖Merah Putih‖ (Bendera Merah Putih). Lagu pop Bali kerap dijadikan alat propaganda, isinya menggaungkan celaan terhadap lawan partai (Setia 1986:128).

Darma Putra (2004 dan 2008) menyimpulkan lagu pop Bali dimulai pada tahun 1960-an padahal, menurut Darma Putra (2004 dan 2008) sendiri, I Gde Dharna (kelahiran Sukasada, Buleleng, tanggal 27 Oktober 1934 dan meninggal 13 September 2015) menciptakan ‖Merah Putih‖ yang mengumandangkan rasa nasionalisme pada tahun 1950-an. Lagu ini memiliki lirik yang sangat sederhana dan tidak terikat aturan musik yang rumit sehingga mudah dilagukan (dinyanyikan). Hampir setiap orang pada era 1950-an sampai 1970-an dapat menghapal lagu tersebut. Dharna sendiri adalah veteran pejuang. Menurut Radar Bali/Jawa Pos (Jumat, 31 Juli 2015, hal. 28), ‖Merah Putih‖ diciptakan pada tahun 1950 saat Dharna bersekolah di sebuah SMP di Singaraja. Dharna dan Cakra adalah pelopor pemunculan lagu dan musik pop Bali. Dharna sendiri dalam sebuah artikelnya ‖Mencari ‘Bali‘ pada Lagu Pop Bali Masa Kini‖ (Bali Post, Sabtu, 30 Agustus 2003) menyatakan dirinya sebagai orang yang memperkenalkan lagu Bali kepada masyarakat tetapi Cakralah yang memomulerkannya dalam bentuk kaset. Selain Dharna dan Cakra, Bali memiliki musisi populer lainnya bernama I Gusti Putu Gede (Anak Agung) Wedhasmara kelahiran Denpasar tanggal 10 September 1932 yang masih hidup sampai saat ini. Laki-laki yang berasal dan tinggal di Puri Jero Batan Moning ini bahkan satu-satunya musisi Bali yang paling go national pada masanya. Ia bersahabat karib dengan Cakra dan bahkan sempat membentuk band bersama yang akhirnya ditinggalkannya karena memutuskan melanglang buana untuk tujuan bersekolah di Jakarta. Beberapa karya monumental diciptakan Wedhasmara, seperti ‖Senja di Batas Kota‖, ‖Berpisah di St. Carolus‖, dan ‖Kau Selalu di Hatiku‖. Sebelum berkiprah di ibukota (Jakarta) bersama Gesang, Idris Sardi, dan Ismail Marzuki, ia menulis lagu ‖Kaden Saja‖ pada dasawarsa 1960-an namun saat itu belum ada publikasi dalam bentuk rekaman seperti saat ini. ‖Kaden Saja‖ tergolong lagu legendaris dan sering dinyanyikan terutama dalam bentuk paduan suara. Wedhasmara memang akhirnya lebih dikenal sebagai pencipta lagu pop Indonesia dibandingkan lagu pop Bali. Bahkan sekarang, ketika sudah memutuskan menghabiskan sisa-sisa hidupnya di tempat kelahirannya Denpasar, ia masih saja lebih dikenal dengan ‖Senja di Batas Kota‖, ‖Berpisah di St. Carolus‖, atau ‖Kau Selalu di Hatiku‖ daripada ‖Kaden Saja‖.

157

Musik pop Bali sendiri adalah bagian dari keluarga musik pop. Persoalannya adalah apakah yang sejatinya dimaksud dengan musik pop daerah (Bali) tersebut. Dalam kasus musik pop daerah di Indonesia, cara memahami musik pop daerah secara sederhana adalah dari jenis bahasa yang digunakan sebagaimana Edwin Juriens (2004) memahami lagu (maksudnya: musik) pop Sunda dan lagu (maksudnya: musik) pop Jawa. Dikatakan bahwa lagu pop Sunda dan lagu pop Jawa adalah lagu pop yang dinyanyikan dalam bahasa Sunda atau Jawa (Juriens, 2004). Tentu lagu pop daerah tidak hanya berkenaan dengan bahasa yang digunakan saja tetapi juga dengan berbagai penanda (identitas) kedaerahan terkait, seperti alat musik, tangga nada, koreografi, atribut visual (seperti kostum), sampai gaya komunikasi (dalam pertunjukan/show). Perlu digarisbawahi adanya pandangan yang paling bisa diterima di kalangan luas di Bali bahwa musik pop Bali adalah jenis musik modern yang bersumberkan kekhasan Bali dalam karyanya, terutama (setidaknya) menggunakan syair/lirik berbahasa Bali. Pada awalnya, sistem notasi yang digunakan di dalamnya adalah pentatonik dengan laras pelog-slendro-pemero sebagai pengaruh penggunaan alat musik tradisional Bali (gangsa, cengceng, kendang, dan suling) yang dipadukan dengan alat musik modern (gitar, drum, keyboard, dan sebagainya). Dalam keberadaannya sebagai musik Bali, tema lagu yang dipilih adalah kehidupan manusia dan kebudayaan Bali. Pertunjukannya menggunakan ikon-ikon identitas kebalian, seperti gaya komunikasi, busana, koreografi, dan tata panggung/dekorasi. Dengan semakin berorientasi keuntungan ekonomi, musik pop Bali berkembang dan mengalami perubahan signifikan dalam sejumlah aspeknya, khususnya sejak terjadinya era industrialisasi musik pop Bali (mulai dasawarsa 1990-an). Tema lagunya meluas dan tidak lagi mementingkan tata nilai konvensional (makna, pesan, dan petuah). Syair/liriknya semakin dicampur bahasa lain, terutama bahasa Indonesia. Notasinya semakin diatonik yang merupakan karakteristik musik modern (Barat). Alat musik modern mendominasi dan menggantikan alat musik tradisional karena sistem teknologi terbaru mampu menampilkan suara alat musik tradisional, baik dalam rekaman maupun pertunjukan. Tampilan panggung dan tampilan musisi pun semakin tidak Bali yang menunjukkan arah musik pop Bali yang semakin global. Seni musik (di) Bali bisa mengacu kepada baik yang tradisional maupun yang modern. Seni musik tradisional (di) Bali mengacu pada seni karawitan sedangkan seni musik modern diartikan sebagai seni musik nontradisional. Keduanya disebut seni musik lokal Bali yang sama-sama hidup dalam masyarakat Bali saat ini. Tentu saja seni musik tradisional (karawitan) terlebih dahulu lahir dan eksis di Bali dibandingkan bentuk-bentuk seni musik modern yang ada, termasuk musik pop Bali. Perkembangan jenis musik nontradisional Bali, khususnya sepanjang 1960-2000 dijelaskan secara kritis oleh Rudolf Dethu dalam bukunya Blantika Linimasa Kaleidoskop Musik Non-trad Bali, Sejak Lahir, Tumbuh Kembang, Berdiri, Pingsan, Berdiri Lagi, dan Menolak Mati (2011). Dalam buku tersebut dijelaskan keberadaan tiga kelompok musik yang cukup besar di Bali, yaitu musik berbahasa Bali, berbahasa Indonesia, dan berbahasa asing. Semuanya adalah bentuk-bentuk musik nontradisional (non-trad). Kehidupan seni musik modern di Bali secara praktis dan pragmatis tepat mengingat keberadaan Bali sebagai daerah tujuan wisata internasional. Kenyataannya, di luar seni karawitan Bali yang sudah menjadi trade mark dan kebanggaan, musik-musik berjenis modern di Bali dipertunjukkan sebagai produk pariwisata untuk wisatawan, terutama di hotel, restoran, bar, pub, kafe, dan sebagainya. Di tempat tujuan wisata utama seperti Kuta, Sanur, Nusa Dua, Ubud, dan Candidasa, hal ini lumrah terjadi. Sebagian pelaku seni yang terlibat di dalamnya adalah orang- orang Bali. Sebagai bagian dari musik modern, justru musik pop Bali tidak serta merta menjadi produk pariwisata Bali di mana sejak awal abad 20 Bali menjadi destinasi wisata internasional. Hampir tidak ada hotel, restoran, kafe atau sejenisnya yang secara khusus mempertunjukkan musik pop

158

Bali padahal, secara teoretis, hal ini memungkinkan karena ada unsur-unsur budaya Bali yang cukup unik dan menarik dalam musik tersebut. Secara umum, sejarah dan perkembangan musik pop Bali hingga mengalami industrialisasi seperti saat ini tidak bisa dilepaskan dari kiprah dan jasa Anak Agung Made Cakra sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Berkat Cakra yang sering dipanggil Gung Cakra, musik pop Bali bisa diterima masyarakat Bali hingga saat ini. Ia adalah sosok yang lengkap sebagai musisi, yakni sebagai pencipta lagu, pemain musik (khususnya biola) dan komposer, penyanyi, sampai pemimpin kelompok musik, yang dimulai dari genre keroncong. Menurut Setia (1986), pada pertengahan 1976, karena kemampuannya bermain biola, ia dijuluki Idris Sardinya Bali. Kiprah Dharna dan kemudian Wedhasmara diikuti karya-karya Anak Agung Made Cakra, seperti ‖Dagang Tuak‖, ‖Kosir Dokar‖, ‖Bungan Sandat‖, dan ‖Pulung-pulung Ubi.‖ Bersama ketujuh anaknya, dengan modal satu gitar bolong dan pengeras suara, Cakra membentuk Putra Dewata pada awal tahun 1963 yang peralatan musiknya ia buat sendiri dari bahan-bahan seperti kulit kambing, piring, besi plat, dan seng bekas (Listibya Provinsi Bali, 1986: 11-13). Pada pertengahan dasawarsa 1970-an, Cakra bersama bandnya membuat terobosan dengan menjadi pelopor perekaman dalam bentuk kaset tape di bawah bendera Bali Stereo (sekarang Bali Record). Hasil rekamannya mendapat sukses besar. Waktu itu diperkirakan direkam ulang hingga 900.000 keping. Sampai tahun 1978, Cakra dan Putra Dewata mengeluarkan empat album di mana yang tergolong paling gemilang adalah album Kosir Dokar (1976), di mana Kosir Dokar belakangan lebih sering ditulis Kusir Dokar. Seratus ribu kaset langsung terjual habis di mana angka tersebut merupakan sebuah jumlah yang relatif fantastik pada masanya, khususnya sebagai album musik pop Bali pertama di Bali. Ada 13 lagu lainnya dan ‖Kusir Dokar‖ terpilih menjadi sampul kaset (judul album). Menurut Setia (1986: 129), dengan meledaknya album ini, radio-radio swasta di Bali mulai memutar musik pop Bali. Di antaranya, Radio Menara, Denpasar (berdiri tanggal 9 Oktober 1971), yang memiliki daya pancar kuat dan berterima di daerah pegunungan setiap hari mengumandangkannya. Harian Bali Post, terutama edisi Minggunya, juga memuat teks-teks syair/lirik lagu-lagu pop Bali. Ada lagi lagu Cakra yang sangat populer di Bali, yaitu ‖Bungan Sandat‖. Lagu ini sering dijadikan ‖lagu wajib‖ dalam kegiatan lomba menyanyi dan acara-acara lainnya di masyarakat Kota Denpasar maupun di Bali. ‖Bungan Sandat‖ menjadi karya yang sulit ditandingi lagu-lagu lain (oleh musisi lain), baik dari isi (kedalaman makna) lagu maupun musikalitasnya di era tersebut. Lagu ini dapat ditemukan pada album Dagang Koran yang direkam sekitar tahun 1975-1976. Karena popularitas Cakra dengan ‖Bungan Sandat‖-nya, puluhan ribu kaset Dagang Koran terjual pada saat itu. ‖Bungan Sandat‖ berisi petuah kepada para pemuda-pemudi agar menjaga kehormatan diri sebaik-baiknya (seperti yang menjadi sifat alamiah bunga kenanga) dalam pergaulan dan kehidupan sehingga tidak menjadi manusia yang dicampakkan. Setelah Kusir Dokar, muncul album Putri Bali kemudian Galang Bulan. Meskipun popularitas Cakra dirasakan mulai menurun dibandingkan pada dasawarsa 1970-an, pada tahun 1984 diproduksi album Guna Kaya dan Kepupungan. Setelah itu, masih ada album-album Sampek Ingthai, Raja Pala, dan I Durma. Kemudian pada tahun 1985, Cakra mengeluarkan album Dagang Koran dengan produsernya yang lama, yakni Bali Record. Bila dilihat lebih jauh, kehebatan Cakra adalah kenyataan bahwa hampir setiap lagunya memiliki makna yang mendalam. Berkat kepeloporan Cakra dan bandnya, industrialisasi musik pop Bali lahir, hidup, dan berkembang sampai saat ini. Setelah era Cakra dengan ‖Kusir Dokar‖ dan terutama ‖Bungan Sandat‖-nya yang begitu populer hingga akhir 1970-an, musik pop Bali mengalami kevakuman. Kaset-kaset musik pop Bali tetap diproduksi tetapi tidak terlalu laku di masyarakat. Para musisi pop Bali pun kehilangan semangat untuk berkarya. Setelah masa itu berlalu, perkembangan musik pop mulai normal kembali.

159

Demam musik pop Bali sempat meredup karena adanya siaran TVRI di Bali yang menyelipkan musik-musik non-Bali (Setia, 1986: 130). TVRI menyebabkan masyarakat Bali mulai menggandrungi musik-musik non-Bali. Di samping itu, musik pop Bali dapat dikatakan disaingi kesenian tradisional drama gong di mana, menurut Dethu, drama gong mengalami masa keemasannya pada dasawarsa 1980-an (2011: 20). Masyarakat Bali diberikan alternatif hiburan berbentuk drama gong yang merupakan hiburan teater tradisional yang menggunakan seni karawitan gong di dalamnya dengan aneka cerita yang menyelipkan lawakan-lawakan di samping petuah-petuah moral. Drama gong begitu disuka masyarakat justru karena lawakannya yang menghibur. Pada masa redup tersebut, musisi pop Bali mencoba menempuh jalan yang berbeda dari masa sebelumnya. Tidak terelakkan, terjadi pembalikan paradigmatis di mana kalau pada dasawarsa 1970-an, sebagaimana lagu-lagu Cakra, musik pop Bali begitu dalam mengandung makna kehidupan dan pesan-pesan moral, pada dasawarsa 1980-an, lagu-lagu yang tercipta justru tidak terlalu mementingkan kedalaman makna. Artinya, sejak 1980-an, makna lagu dinomorduakan karena yang dipentingkan adalah sekadar kemeriahan musikal di samping kitik sosialnya, termasuk sindiran terhadap situasi sosial yang ada pada saat itu. Sebagai contoh, Yong Sagita menciptakan ‖Jaja Kakne‖ dan Nono S (Made Raka Jaya Sutarma) ‖Sing Ade Ape De‖. Tidak mudah memahami makna judul tersebut serta isi lagunya tetapi masyarakat Bali pada saat itu begitu menyukai lagu- lagu tersebut, dan bahkan sering menjadikan kata-kata aneh di kedua judul lagu tersebut atau semacam gurauan (gimmick) yang seolah-olah tidak perlu diartikan apa-ap Yong Sagita atau Gusti Putu Yong Sagita Swastika sudah mengeluarkan beberapa album musik pop Bali berturut-turut dari Madu teken Tube (album duet dengan Sayub, sebagai 2S atau Sagita & Sayub, Aneka Record, 1985), Ngipi Lucut (sebagai 2S, Aneka Record, tahun produksi tidak jelas), Karmina (Maharani Record, 1987), Ngiler-ngiler (Kosot Kumis Beli) atau Karmina II (Maharani Record, 1988), Karmina III (Maharani Record, 1988), dan Karmina IV (Maharani Record, 1990). Lagu yang paling populer dan sampai kini menjadi ciri khasnya adalah ‖Jaja Kakne‖ dari album Ngiler-ngiler (Kosot Kumis Beli) atau Karmina II. Meskipun saat ini tergolong musisi gaek (tua, kawakan) ia masih mampu mengeluarkan album ke-15 (Aneka Record, 2012) dalam bentuk kaset dan VCD dengan lagu-lagu berjudul ‖Ngipiang Tunangan‖, ‖Ngiler-ngiler‖, ‖Semara di Kedisan‖, ‖Puber Kedua‖, ‖Ciri-ciri‖, dan ‖Nyesel Dewek Pedidi‖. Pada dasawarsa yang sama, sebelum Yong Sagita mencapai puncak popularitasnya, ada musisi (penyanyi dan pencipta lagu) lain bernama Ketut Bimbo yang juga cukup dikenal di kalangan masyarakat pecinta musik pop Bali dan berasal dari kecamatan yang sama dengan Yong Sagita. Ketut Bimbo berasal dari Desa Banyuatis, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng. Berpindah-pindah dari Bali Record ke Aneka Record, kemudian ke Maharani Record, dan akhirnya balik ke Aneka Record, ia mengeluarkan beberapa album dengan lagu-lagu terkenalnya seperti ‖Korting 3 Bulan‖, ‖Manis Nyakitin‖, ‖Main Bilyard‖, ‖Ngabut Keladi‖, dan ‖Tukang Pukul‖. Sama dengan Yong Sagita, tema yang diangkat Ketut Bimbo lebih pada kehidupan sosial sehari-hari. Lagu-lagu kedua musisi tersebut tampak jenaka dan jaruh (porno). Dengan lagu-lagu seperti ‖Jaja Kakne‖ (Yong Sagita) dan ‖Sing Ade Ape De‖ (Nono S), musik pop Bali dalam sejarahnya berlangsung pada dasawarsa 1980-an meskipun tidak terlalu seberkembang masa sesudahnya. Saat itu, komponen terpenting yang menjaga keberlangsungannya adalah radio-radio di Bali yang menyediakan ruang bagi kiprah musik pop Bali. Pada tahun 1980- an, radio-radio di Bali yang memiliki acara lagu pop Bali adalah Radio Republik Indonesia (RRI) Stasiun Denpasar (milik pemerintah) dan radio-radio swasta. Beberapa radio swasta yang bertebaran khususnya di Kota Denpasar yang sebagiannya berubah dari AM ke FM (frequency modulation) dan semuanya bisa dipantau dari berbagai pelosok Bali aktif memutar musik pop Bali dengan aneka program siarannya masing-masing. Sebaliknya, ada radio-radio swasta di Bali yang sama sekali tidak memutarnya karena memang tidak memiliki progran siaran seperti itu sesuai visi dan misi radio-radio yang bersangkutan.

160

Lahirnya produk-produk musik pop Bali dan ikut sertanya radio-radio dalam sosialisasinya pada dasawarsa 1980-an yang mengantar menuju proses industrialisasi pada dasawarsa selanjutnya menunjukkan adanya embrio industri musik pop Bali itu sendiri. Hal ini ditandai lahirnya studio- studio musik sederhana dalam jumlah terbatas pada dasawarsa 1980-an, seperti Bali Record (Denpasar) dan Maharani Record (Denpasar). Aneka Record (Tabanan) bahkan sudah berdiri sejak 1970-an dan mengalami kejayaannya pada dasawarsa 1980-an. Bali dasawarsa 1980-an belum mengenal era televisi swasta lokal dan teknologi canggih lainnya seperti sekarang ini. Musik pop Bali hanya dipancarkan melalui radio-radio swasta lokal yang ada, seperti Menara, AR, Cassanova, Yudha, dan beberapa yang lainnya, baik di Denpasar maupun di kota-kota lainnya di Bali. Berkat peran radio, tentu di samping berbagai faktor lainnya, seperti kesejahteraan masyarakat Bali akibat mulai berkembangnya Bali menjadi daerah tujuan wisata internasional, musik pop Bali bisa bertahan pada dasawarsa 1980-an dan bahkan mengalami industrialisasi pada masa setelahnya (dasawarsa 1990-an). Hanya, karena kebijakan manajemennya, Menara dan Cassanova tidak lagi memiliki program musik pop Bali. Radio yang bertahan dan setia dengan musik pop Bali adalah AR. Tentu banyak radio di luar itu saat ini yang memiliki program sejenis. Seperti diketahui, setelah era Cakra pada dasawarsa 1970-an dan era Yong Sagita pada dasawarsa 1980-an, muncullah era Widi Widiana mulai dasawarsa 1990-an yang merupakan penanda terpenting dimulainya industrialisasi musik pop Bali. Widi Widiana tercatat menapaki kebintangannya sebagai musisi, khususnya penyanyi, paling populer sejak tahun 1993 saat album- albumnya mulai meledak di pasaran. Sejak era Widi Widiana yang didukung oleh para pemain industri lainnya, industrialisasi musik pop Bali mengalami dinamikanya, baik dari aspek produksi dan distribusi maupun konsumsinya. Beberapa musisi, baik solo maupun kelompok (grup), yang eksis terinspirasi kesuksesan Widi Widiana di era 1990-an di antaranya adalah, Lolot n Band, [XXX], Bayu KW, Agung Wirasutha, Dek Ulik, Raka Sidan, dan KIS Band, yang begitu populer dengan karya-karyanya yang dapat dinikmati sampai saat ini, baik rekaman fisik maupun pertunjukannya. Inilah era industrialisasi musik pop Bali yang melibatkan begitu banyak musisi Bali dari semakin majunya teknologi digital sebagai pengganti sistem analog. Nama-nama tersebut, dan masih banyak nama lainnya, dipermudah oleh keberadaan teknologi digital, termasuk alat musik dan alat rekam serta produk fisik (CD/compact disc sebagai pengganti kaset), dan lebih-lebih dengan kehadiran Bali TV sejak 2002.

PERSOALAN LOKAL-GLOBAL DALAM PARADE LAGU POP DAERAH BALI PKB Dari pembicaraan sebelumnya, tampak bahwa musik Bali menapaki dua kecenderungan besar, yaitu aspek tradisi yang diwakili gegendingan dan aspek modern yang direpresentasikan musik pop (Bali). Secara kronologis, gegendingan berkembang lebih awal dibandingkan musik pop Bali. Dengan dinamika dan perkembangannya masing-masing, keduanya memiliki ―nasib‖ yang berbeda. Hari ini, gegendingan semakin redup dan jarang terdengar sementara musik pop Bali tampak mapan karena ia merupakan suatu industri tersendiri di mana setiap produknya terkait dengan sumberdaya uang (modal). Industri musik pop Bali bisa menghidupi pelakunya sementara tidak demikian halnya dengan gegendingan. Merupakan gagasan cerdas teknokrat Pesta Kesenian Bali (PKB) ketika dikotomi antara gegendingan dan musik pop Bali seperti itu coba disintesiskan dalam salah satu program acaranya. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di Taman Budaya (Art Centre) Denpasar, yang berlangsung sejak 1978, PKB menampilkan puncak-puncak seni-budaya Bali di setiap tahunnya. Sejumlah kesenian mayor (ala PKB) yang merupakan agenda tetap menjadi perhatian para penikmat, peminat seni dan kritikus, khususnya di Bali, yang salah satunya adalah Parade Lagu Pop Daerah Bali. Acara berlangsung tiga malam dengan format tiga kabupaten/kota di setiap harinya. Setiap penampil umumnya beraksi sekitar 60 menit dengan dua lagu anak dan tiga dewasa, melalui

161

pemaduan putra-putri, baik solo maupun duet, trio, dan/atau kelompok. Untuk itu, kajian budaya kritis berbasis review kepustakaan ini dilakukan untuk mengetahui proses dialektis atau sintesis antara aspek tradisi dan aspek modern atas produk-produk yang ditampilkan serta hasil proses tersebut. Untuk alasan penyederhanaannya agar gampang dipahami, dapat dikemukakan di sini bahwa, dalam konteks ini, tradisi berkorelasi dengan lokal (Bali) dan modern dengan global. Rupanya ―lagu pop daerah Bali‖ yang dimaksud (setidaknya oleh Panitia PKB) adalah suguhan ―lagu-lagu seni‖ berbahasa Bali yang dibungkus dengan musikalitas modern, dengan menggunakan sejumlah instrumen musik gitar, keyboard, drum, dan sebagainya, untuk menemani gangsa, kendang, cengceng, dan sebagainya, yang merupakan alat musik tradisional Bali. Kemodernan lagu-lagu tersebut diperkuat dengan penampilan fisikal yang mengelilingi para penampil, seperti tata kostum, tata rias, tata panggung. (Panitia) PKB menggunakan istilah ―lagu pop (daerah Bali)‖ dan bukan ―musik pop (daerah Bali)‖ merupakan pilihan yang cerdas karena aspek-aspek yang dilihat adalah musikalitas dan performance pertunjukan terkait. Parade ini memiliki konteks pembinaan musisi dan bukan ajang komersial untuk kepentingan pasar (industri). Meskipun demikian, ternyata sebagian dari bakat- bakat muda yang terasah di ajang PLPDB akhirnya bertransformasi menjadi musisi popular, setidaknya di Bali. Hasil kajian menunjukkan bahwa seluruh ke delapan penampil memiliki kemampuan dan kinerjanya sendiri yang tidak sama satu sama lain. Secara konseptual, semua kabupaten/kota cukup mampu memadukan sedemikian rupa antara lokalitas dan globalitas dalam karya-karyanya di PLPDB meskipun dalam praktiknya hasilnya sering berbeda. Disadari atau tidak, yang muncul adalah ada yang menekankan aspek tradisi dan keadiluhungan (budaya tinggi). Sebaliknya, ada pula yang lebih mengedepankan aspek modernnya. Secara umum, semua kabupaten/kota mencoba memadukan kedua aspek tersebut sedemikian rupa, sehingga dalam rangka mewujudkan produk- produk postmodern dalam suatu glokalitas (paduan antara yang global dan yang lokal) yang meskipun secara kualitas masih perlu ditingkatkan tetapi secara tontonan enak dinikmati dan menghibur. Menikmati sajian-sajian pertunjukan, kebanyakan masyarakat penonton menganggap PLPDB lebih sebagai kesenian hiburan. Setidaknya, dalam pandangan mereka, lagu pop daerah Bali, atau apa pun nama/istilah yang diberikan kepadanya, adalah bagian integral dari kebudayaan Bali itu sendiri. Lagu-lagu yang dinyanyikan adalah hampir semuanya lagu-lagu seni, sebagiannya berasal dari gegendingan, terutama dalam kategori anak-anak. Meskipun demikian, praktiknya bisa berbeda. Tabanan, Jembrana, dan Karangasem tampak biasa-biasa saja tetapi menjadi spesial dan unik karena berani menampilkan karang awak (potensi diri)-nya sesuai tema PKB tahun (2016) ini. Jembrana menampilkan unsur jegog. Tabanan menampilkan elemen tektekan dan okokan. Karangasem tidak ketinggalan dengan magenjekan. Klungkung secara umum bagus dan begitu bersemangat luar-dalam dalam menampilkan yang terbaik tetapi secara segera dinilai keluar konteks ketika memasukkan intro sinetron Mahabarath di televisi melalui lagu ―Mahabharata‖-nya. Yang lebih keluar konteks adalah Buleleng. Aransemen lagu-lagunya tergolong bagus dan para penyanyinya matang dan berpengalaman. Hanya, ditampilkannya satu lagu berbahasa Indonesia, hal yang dilakukan tahun sebelumnya. Bahkan ada lagu-lagu lainnya bercampur syair/lirik berbahasa Indonesia. Bisa dipertanyakan, inikah spirit karang awak. Lebih tepat, apakah karang awak yang dimaksud dalam konteks kekinian sudah tidak lagi terbatas lokal-kebalian. Dengan kata lain, dapatkah dikatakan ini sekadar bentuk paduan lokal-global versi PLPDB. Badung, Denpasar, dan Gianyar adalah representasi bentuk persaingan tradisional. Di ketiga daerah ini para musisi terbaik Bali berasal dan atau hidup/tinggal. Banyak yang berpandangan, mereka adalah barometer lagu pop daerah Bali. Berhubungan atau tidak, mereka adalah kabupaten/kota dengan PAD (pendapatan asli daerah) terbesar di Bali, dan bahkan pernah menduduki tiga peringkat terbaik secara nasional. Logikanya adalah, Pemkab/Pemkot yang ―kaya‖

162

lebih royal dalam pembiayaan latihan dan penampilan di PLPDB. Tidak mengherankan, ada musisi dari suatu kabupaten/kota tiba-tiba mewakili kabupaten/kota lainnya. Kenyataannya, di balik keglamoran penampilan dan gaya menghiburnya, ketiganya mampu menjaga kelokalan Bali sehingga tidak terlalu banyak aspek keglobalan mendominasi. Aransemen dan komposisinya rapi. Larasnya dominan pentatonik sebagai ciri musik Bali. Nada, melodi, irama, tempo, dan dinamika yang dimainkan secara rata-rata cukup ideal, yakni setidaknya sesuai standar umum yang diinginkan Panitia dan seniman/pakar musik Bali yang sempat menilainya. Tidak mudah menilai yang terbaik di antara ketiganya atau mana yang lebih baik dari yang lain. Lebih-lebih, sekali lagi, ini sekadar parade. Yang terpenting adalah PLPDB menunjukkan betapa semangat musikal lokal tidak mati di era (global) ini dan betapa kemodernan dapat digunakan untuk memainkan penanda-penda musikal lokal dan tradisional-kebalian. Lokal dan global begitu dinamis bergerak dalam PLPDB.

PENUTUP Dapat dicatat bahwa PKB dengan demikian telah, sedang, dan terus akan memberi jalan tengah yang menegosiasikan antara kutub keadiluhungan (budaya tinggi/high culture) gegendingan dan kutub budaya permukaan dan budaya industri (budaya pop/pop culture) komersial musik pop Bali. Sukar meramalkan musik jenis apa lagi atau evolusi/revolusi musikal apakah yang bakal tumbuh di Bali di luar (baca: setelah) gegendingan, musik pop Bali, dan lagu pop daerah Bali ala PKB. Dibutuhkan penelitian yang sahih untuk ini. Berterima kasih kepada PKB, PLPDB, sesuai visi dan misinya, diniatkan mengembangkan dan melestarikan seni-budaya musik (daerah) Bali di seluruh kabupaten/kota yang ada. Semangat mengawinkan aspek lokal dan global, tradisi dan modern, di dalamnya patut diapresiasi tinggi. Aspek lokal dan tradisi saja akan kaku dan mati di era global ini dan, sebaliknya, aspek global dan modern saja akan kering dan tanpa makna. PLPDB merupakan arena yang cerdas untuk mensinambungkan kebermaknaan musik daerah Bali. Perihal ada penampil atau kabupaten/kota yang terlalu lokal (yakni kuat menjaga identitas kebaliannya) atau terlalu global (keluar dari pakem pentatonik Bali) sering hanya persoalan interpretasi yang berbeda di antara masyarakat penikmat. ―Penilaian‖ yang netral-objektif dan bertanggung jawab secara ilmu musik ada di catatan para kritikus/kritisi, seniman-akademis, dan khususnya pada kelima pengamat. Tidak adil menilai baik-buruknya mereka tanpa pernah memberi mereka masukan konstruktif, apalagi berbuat nyata dengan menawarkan gagasan-gagasan segar terutama workshop-workshop dan pelatihan-pelatihan yang relevan dan signifikan untuk perbaikannya. Ke depan, diharapkan, dengan segala dukungan pemerintah, akademisi, dan masyarakat, PLPDB semakin baik dan semakin baik. Sebagai masukan, lebih baik memberikan kesempatan sesungguhnya kepada potensi- potensi lokal (―asli‖) untuk berkarya dalam PLPDB. Demi meraih ―kemenangan‖, tidak jarang terjadi ―bon-bonan‖ pemain (penyanyi dan pemain musik). Dalam beberapa kasus misalnya, ada mahasiswa di kabupaten/kota X asal kabupaten/kota Y mewakili kabupaten/kota Z. Sebaiknya dibiarkan lebih alamiah sebab bukankah ini hanya parade! Sesungguhnya bakat-bakat muda musik Bali bertebaran di mana-mana. Hanya, selama ini karena mismanajemen seni musik semata ditambah persoalan citra (image) tertentu, seolah-olah kabupaten-kabupaten lain ada di bawah standar Badung, Denpasar, dan Gianyar. Padahal semuanya hampir merata dan kompetitif! Karenanya betapa elegan bila pemerintah kabupaten/kota menarik potensi-potensi yang tersebar di tempat lain untuk pulang mewakili kabupaten/kotanya dalam ajang tersebut. Tentu saja mereka harus diberikan reward yang positif untuk itu. Sistem meritokrasi patut dijalankan. Setidaknya, semoga PLPDB benar-benar ajeg memberikan seni musikal yang gayut dengan konteks zamannya di tengah kegandrungan penikmatan masyarakat atas konsumsi-konsumsi budaya instan yang sering tak tentu arah dan menyesatkan…

163

DAFTAR PUSTAKA Ardini, Ni Wayan. 2016. ―Industrialisasi Musik Pop Bali: Ideologi, Kepentingan, dan Praktiknya‖, disertasi, Program Studi Kajian Budaya, Program Doktor, Program Pascasarjana, Universitas Udayana, Denpasar. Banoe, Pono. 2003. Kamus Musik. Yogyakarta: Kanisius. Darma Putra, I Nyoman. 2004. ‖Kecenderungan Tema Politik dalam Perkembangan Mutakhir Lagu Pop Bali‖, Jurnal Kajian Budaya, Volume 1, Nomor 2. Darma Putra, I Nyoman. 2008. Bali dalam Kuasa Politik. Denpasar: Arti Foundation. Dethu, Rudolf. 2011. Blantika Linimasa: Kaleidoskop Musik Non-trad Bali, Sejak Lahir, Tumbuh Kembang, Berdiri, Pingsan, Berdiri Lagi, dan Menolak Mati. Denpasar: Matamera Book. Dharna, I Gde. 2003. ‖Mencari ‘Bali‘ pada Lagu Pop Bali Masa Kini‖, Bali Post, Sabtu, 30 Agustus. Juriens, Edwin. 1995. ‖Poscolonialism and the Space-Clearing Gestures of Sundanese Pop Songs‖, makalah. Listibya Propinsi Bali Seksi Musik. 1986. Inventarisasi Seniman Musik Diatonis Daerah Bali Th. 1985. Denpasar: Proyek Penggalian/Pemantapan Seni Budaya Klasik dan Baru Tahun 1986/1987. Pramayuda, Yuda. 2010. Buku Pintar Olah Vokal. Yogyakarta: Bukubiru. Radar Bali/Jawa Pos. 2015. ‖I Gde Dharna, Veteran Pencipta Lagu Merah Putih, Terinspirasi Penurunan Bendera di Pabean‖, Jumat, 31 Juli, hal. 28 (Rubrik Idadane). Setia, Putu. 1986. Menggugat Bali. Jakarta: PT. Pustaka Grafitipers. Storey, John. 2004. Teori Budaya dan Budaya Populer: Memetakan Lanskap Cultural Studies (terjemahan). Yogyakarta: CV. Kalam. Suarka, I Nyoman. 2009. ‖Mabebasan menuju Sebuah Pendekatan Tradisional‖, orasi ilmiah Dies Natalis ke-50 dan BK ke-21 Fakultas Sastra, Universitas Udayana, 25 September. Sudirga, I Komang. 2012. ‖Kebangkitan Pasantian di Bali pada Era Globalisasi‖, disertasi, Program Doktor, Program Studi Kajian Budaya, Program Pascasarjana, Universitas Udayana, Denpasar. Sugiartha, I Gede Arya. 1996. ‖Reaktualisasi Gegendingan Bali Antisipasi Awal Kesenjangan Karawitan pada Anak-anak Usia Dini‖, makalah, Seminar Akademik Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar, Denpasar. Sugriwa, I Gusti Bagus. 1977. Penuntun Pelajaran Kakawin. Denpasar: Dharma Bakti. Suryatini, Ni Ketut. 1999. ‖Aktualisasi Konsep Tri Hita Karana dalam Gegendingan Bali‖, makalah, Seminar Hasil-hasil Penelitian Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar, 2 Januari.

164

BALI FUSION POP MUSIK

I Wayan Sudirana Program Sudi Musik, Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Denpasar email : [email protected]

Abstrak Dalam sepuluh tahun terakhir, fenomena menarik telah muncul di dunia musik Bali. Musisi telah menjadi tertarik dalam menggabungkan instrumen serta meminjam unsur-unsur musik dari luar Bali, terutama dari musik Barat. Mereka telah tenggelam dalam konsep "menjadi modern." Bagi para musisi ini, diyakini bahwa kemampuan untuk memanfaatkan alat musik asing dan teknik dalam musik mereka sebagai simbol modernitas dapat membantu untuk meningkatkan status sosial mereka. Meskipun sedikit orang yang menyadari keberadaannya sebelumnya, musik baru ini baru-baru ini mendapatkan popularitas dengan diperkenalkan ke khalayak yang lebih besar. Makalah ini dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, saya membahas secara singkat latar belakang sejarah munculnya musik fusion pop di Bali sebagai akibat dari globalisasi, bersama dengan isu-isu yang berkaitan dengan mengelompokkan gaya. Pada bagian kedua, saya menjelajahi dua kelompok musik Bali yang telah mengabdikan diri untuk menggabungkan alat musik asing dan elemen dengan yang lokal. Saya bertanya bagaimana musisi ini mengadopsi musik asing pw bahwa instrumen I dan bahan ke dalam musik mereka. Akhirnya, di bagian ketiga, saya menjelajahi makna dan dampak musik pop fusion pada budaya Bali dengan membahas reaksi ini genre musik baru dan efek itu telah di genre tradisional. Perbandingan musik pop fusion Bali ke campursari Jawa diuraikan sebagai pembahasan akhir di setiap bagian.

Kata kunci: fusion, pop, westernisasi, modernisasi, campursari

PENDAHULUAN Dalam sepuluh tahun terakhir, fenomena menarik telah muncul di dunia musik Bali. Musisi dan komposer mulai tertarik untuk menggabungkan instrumen serta meminjam unsur-unsur musik dari luar Bali, terutama dari musik Barat, ke dalam karya musik mereka. Dengan kata lain, mereka telah tenggelam dalam konsep being modern (menjadi modern). Bagi para musisi ini, diyakini bahwa kemampuan untuk memanfaatkan alat musik asing dan penguasaan teknik dalam musik luar sebagai simbol modernitas dan dapat membantu untuk meningkatkan status sosial mereka. Meskipun sedikit orang yang menyadari keberadaannya sebelumnya, perkembangan sistem pengkaryaan musik seperti ini mulai mendapatkan popularitas dengan diperkenalkan ke khalayak yang lebih besar. Paper ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama membahas secara singkat latar belakang sejarah munculnya musik fusion pop di Bali sebagai akibat dari globalisasi, bersama dengan isu-isu yang berkaitan dengan mengelompokkan gaya. Pada bagian kedua, dijelajahi dua kelompok/group musik Bali yang telah mengabdikan diri untuk menggabungkan alat musik dan elemen musik asing dengan yang lokal. Bagaimana musisi ini mengadopsi alat musik dan elemen/bahan musk luar/asing ke dalam musik mereka? Akhirnya, di bagian ketiga, dijelajahi makna dan dampak musik tersebut serta efeknya terhadap genre musik tradisional. Perbandingan musik pop fusion Bali dengan musik campur sari Jawa diuraikan sebagai pembahasan akhir di setiap bagian. Ide menggabungkan alat musik asing dengan gamelan telah ada di Jawa sejak 1970-an. Hal ini disebut campursari, sebuah genre yang awalnya mengkombinasikan keroncong1 dan gamelan Jawa. Barulah pada akhir 1980-an musi gaya campursari mulai tumbuh dan saat ini terus- menerus berkembang, baik dalam hal kualitas, format musik, fungsi, dan frekuensi pertunjukannya

1 Keroncong adalah nama dari instrumen jenis ukulele dan gaya musik Indonesia yang biasanya dipakai dalam musik keroncong (nama berasal dari suara chrong-chrong-chrong dikatakan dibuat oleh alat ini). Band atau ensemble (disebut keronchong orkestra) terdiri dari seruling, biola, gitar melodi, cello yang dimainkan dalam gaya pizzicato, sebuah string bass juga bermain pizzicato, dan seorang penyanyi wanita atau laki-laki.

165

(Supangah 2003: 3). Bentuk dasar campursari adalah kombinasi instrumen-instrumen dari ensambel keroncong, dengan penambahan gamelan dan alat musik asing seperti saksofon, terompet, drum set, bongos, marakas, tabla, dan keyboard. Dalam kombinasi tersebut, namun demikian, fungsi instrumen barat didominasi oleh instrumen tradisional Jawa, sebagaimana yang dilakukan pada genre sebelumnya seperti langgam Jawa2, dan oleh bentuk-bentuk gending tradisional3 jawa secara umum. Namun akhirnya fenomena ini dikalahkan oleh popularitas genre musik lainnya, seperti dangdut,4 keroncong, dan karawitan5. Popularitas campursari sebenarnya hanya berpusat di Jawa, khususnya Jawa Tengah (Yogyakarta) dan Jawa Timur. Campursari juga populer di daerah dengan populasi besar, seperti daerah-daerah di Jakarta (ibukota Indonesia) dan Lampung (di bagian selatan Sumatera). Supangah mengatakan bahwa, campursari adalah refleksi dari kehidupan kelas menengah ke bawah masyarakat Jawa, ―yang memiliki berbagai macam sudut pandang, gaya hidup, tingkat pendidikan dan karakteristik yang cukup kompleks seperti yang tercermin dalam luasnya, keterbukaan dan kompleksitas dari musik campursari‖ (2003: 15). Selama ini, popularitas campursari tidak mencapai daerah-daerah pesisir pulau Bali. Situasi ini terjadi karena, di satu sisi, masyarakat Bali tidak begitu akrab dengan nuansa dan karakteristik musik fusion. Di sisi lain, di Bali sendiri, berbagai bidang budaya musik telah dibudidayakan dalam kerangka tradisi Bali. Namun, ide menggabungkan unsur musik asing dan lokal adalah konsep generik yang disebabkan oleh globalisasi. Sejak lama musisi Bali telah memiliki kontak dengan orang Barat, termasuk artis seperti Walter Spies, Colin McPhee, dan Antonio Blanco, kecenderungan terhadap mengadopsi material baru diperkenalkan kepada mereka, langsung atau tidak langsung, selama proses kolaborasi dengan seniman asing tersebut. Pada zaman sekarang ini, kolaborasi merupakan hal yang umum, dan mungkin dianggap hal yang bergengsi bagi orang Bali karena banyak seniman Bali yang mencari kesempatan untuk berkolaborasi dengan seniman asing. Globalisasi telah menjadi alasan utama bagi para seniman lokal untuk mencari identitas baru untuk bersaing di pasar global, hubungan dan interaksi yang dihasilkan oleh pertemuan antara global dan lokal terus menyebabkan homogenisasi antara tradisi lokal (Lomax 1968). Oleh karena itu, seniman Bali sudah mulai membangun kembali atau bentuk- bentuk kesenian tradisional sebagai genre modern. Seperti apa yang diungkapkan oleh Paady Sandino bahwa, ―A proud cliché of Balinese culture is the simultaneous openness to new ideas and the steadfast preservation of tradition (Sebuah klise yang dibanggakan dari budaya Bali adalah keterbukaan simultan untuk ide-ide baru dan pelestarian teguh tradisi)‖ (2008: 26).

Mereka telah mengadopsi ide-ide berdasarkan pengalaman mereka bekerja dengan seniman asing. Secara khusus, musisi Bali sudah mulai mengikuti jalan seperti yang dilakukan oleh musisi di Jawa dalam menggabungkan alat musik dan elemen musikal asing dengan kepunyaan mereka sendiri. Namun, apakah yang sebenarnya dilakukan oleh musisi-musisi Bali tersebut? Apakah yang mereka lakukan cenderung sama dengan konsep yang dilakukan seniman jawa dalam campursari Jawa, atau memang sama-sama memiliki keunikan tersendiri?

2 Langgam jawa adalah bentuk regional musik keroncong Indonesia yang paling sering dikaitkan dengan kota Surakarta (Solo). Seperti halnya dengan musik keroncong tradisional, langgam jawa menggunakan berbagai instrumen non-pribumi, seperti seruling, gitar, ukulele, cello dan biola. Namun, instrumen ini dilakukan dengan menggunakan tujuh nada skala gamelan Jawa yang dikenal sebagai pelog. cello biasanya memainkan peran drum gamelan ciblon, dengan pemain yang perlahan mencabut atau menampar string dalam mode perkusi. 3 Gending adalah kelas struktur yang digunakan dalam musik gamelan Jawa. Gending juga dapat digunakan untuk merujuk kepada komposisi gamelan pada umumnya. 4 Dangdut adalah genre musik populer Indonesia yang sebagian berasal dari bahasa Melayu, Arab, dan musik Hindustan. Ini dikembangkan pada 1970-an di kalangan pemuda Muslim yang bekerja-kelas, tetapi dimulai pada akhir 1990-an mencapai berikut yang lebih luas di kelas rendah Indonesia, Malaysia, dan Filipina Selatan. 5 Karawitan adalah istilah umum untuk musik dan bernyanyi terkait dengan gamelan Jawa

166

WARNA SUARA BARU DAN PENGGABUNGAN TRADISI MUSIK Bruno Nettl menjelaskan bahwa produksi musik di banyak masyarakat non-Barat dibedakan oleh tiga faktor memotivasi: (1) the desire to preserve traditional culture (keinginan untuk melestarikan budaya tradisional), (2) a complete westernization, that is, incorporation of a society into the western cultural system (konsep westernisasi lengkap, yaitu, penggabungan masyarakat ke dalam sistem budaya barat), dan (3) modernization, which combines aspects from the first two categories (modernisasi, yang menggabungkan aspek dari dua pertama kategori) (2005: 347). Faktor pertama adalah menjadi bagian dari "unwritten rules (aturan tak tertulis)" dalam lembaga-lembaga seni sebagai pedoman standar untuk siswa dalam menciptakan musik.6 Faktor kedua dan ketiga biasanya terwujud dalam kelompok (group) musik atau seni modern dalam sistem penciptaan atau produksi musik mereka. Sebagaimana diketahui bahwa westernisasi dan modernisasi adalah dua konsep berbeda yang saling bersandingan—westernisasi adalah adaptasi total jenis tertentu dari musik Barat, dan modernisasi adalah keinginan untuk membuat versi yang baru, yang disesuaikan, dan yang modern dari versi yang asli—salah satu yang biasanya diadopsi dalam penciptaan musik baru oleh komponis kontemporer Bali adalah konsep modernisasi. Sebagaimana Nettl mendefinisikan modernisasi sebagai, “The adoption and adaptation of Western technology and other products of Western culture, as needed, simultaneously with an insistence that the core of cultural values will not change greatly and does not match those of the West‖ (Adopsi dan adaptasi teknologi Barat dan produk lainnya dari budaya Barat, yang diperlukan, bersamaan dengan desakan bahwa inti dari nilai-nilai budaya tidak akan berubah secara mendasar dan tidak sesuai dengan apa yang ada Barat) (ibid: 348 ).

Hal ini karena ―modernisasi tidak berarti penolakan total tradisi masa lalu melainkan merupakan perubahan dari tradisi tersebut untuk beradaptasi dengan kebutuhan yang modern‖ (Heimark 2003: 8). Dalam proses penciptaan (produksi) gaya musik baru yang inovatif oleh komposer Bali di jaman modern ini, ada dua pendekatan musik yang kontras. Pertama adalah adaptasi dari musik pop ke gaya musik dan sensibelitas lokal. Hal ini sering berorientasi pada pasar pariwisata yang mengharapkan struktur-struktur musik yang akrab di telinga pendengar—musik seperti ini cenderung berdurasi relatif singkat, menggunakan pola-pola lagu yang sederhana dan memanfaatkan inovasi teknologi untuk menghasilkan variasi baru pada tema musik yang sudah ada. Yang kedua adalah murni menekankan pada kreativitas musikal idealis—seperti jenis 7 eksperimen musik yang lebih berfokus pada penemuan identitas baru dan kepuasan diri. Berbeda dengan yang pertama, musik esperimen seperti ini memiliki struktur yang belum ada sebelumnya, mengintegrasikan unsur musik asing, dan menciptakan perkembangan musik radikal baru, yang dalam beberapak konteks tertentu, bergerak menjauhi tradisinya. Pada bagian pembahasan paper ini, saya tidak akan membahas pergerakan komposer pada kategori kedua di atas, namun mengeksplosari dan membahas pergerakan komponis Bali masa kini yang mengikuti kategori pertama yang disebutkan di atas, dalam menciptakan karya musik mereka. Untuk menggambarkan hal ini, saya menjelajahi dua kelompok yang telah mengikuti jalan ini. Yang pertama adalah Sanggar Bona Alit (SBA) dengan komposer I Gusti Ngurah Adiputra (Agung Alit), dan yang kedua adalah Gus Teja World Music (GTWM) dengan komposer Agus Teja Sentosa.

SANGGAR BONA ALIT Sanggar Bona Alit (SBA), yang dipimpin oleh Agung Alit, adalah salah satu group musik yang terkenal Bali. Alit berasal dari keluarga puri (kerajaan Bali) yang sudah dari dulu memang menjadi pusat pelestarian dan perkembangan tradisi kuno melalui berbagai bentuk seni.

6 Lihat McGraw 2005, Sudirana 2011 7 Lihat McGraw 2005, Sudirana 2011

167

Group Bona Alit ini mementaskan musik Bali dalam bentuk/gaya ―World Music‖ yang, menurut mereka, unik dan biasanya menggabungkan beragam gaya musik Bali, Indonesia, dan mengadopsi alat-alat musik dunia (termasuk yang unik yang benar-benar dibuat oleh sendiri). Alit mengatakan bahwa, eksplorasinya berdasarkan elemen-elemen musik Bali dan/atau Indonesia sangat tradisional, dan membawanya ke dimensi artistik lain melalui karya musik dan bentuk seni yang terkait.8 Alit berargumen bahwa pecinta musik kini sudah seharusnya disuguhkan dengan sentuhan musik lain (selain musik yang sudah biasa mereka dengar) tetapi yang bisa membuat mereka bisa cepat menyukai musik yang dipersembahkan tersebut. Jadi kebanyakan musik ciptaan Alit cenderung ―memanjakan‖ telinga pendengarnya dan mengikuti trend pasar musik sekarang ini. Merespon hal tersebut, Alit bersama kelompoknya, Bona Alit, meluncurkan seri album yang berjudul ―Kishi-Kishi‖ (bisikan) pada awal tahun 2001. Album ini, menurut Alit, adalah hasil dari eksplorasi yang inovatif dalam menemukan identitas musiknya sendiri. Lagu-lagu di album ini menunjukkan penggunaan berbagai instrumentasi dan menggabungkan setidaknya tiga gaya musik yang berbeda; Bali, degung Sunda, dan gaya Keroncong. Misalnya, pada lagu yang berjudul ―Melasti‖ (prosesi ritual), elemen musik Bali yaitu Gilak, yang berstruktur pengulangan ukuran delapan ketukan gong yang sering digunakan dalam musik prosesi ritual Baleganjur, diadopsi sebagai struktur dasar dari lagu tersebut. Gitar bass memainkan bagian melodi menggantikan fungsi instrumen calung gamelan Bali. Melodi utama dimainkan oleh Erhu (sejenis rebab Cina dengan menggunakan dua senar) buatan Alit sendiri. Instrumen inilah yang sering ditampilkan sebagai icon dalam (hampir keseluruhan) musik Alit. Di bagian tengah lagu ini, bagian menyerupai gaya degung Sunda dimasukkan. Kendang Sunda digunakan sepanjang lagu dari awal sampai akhir, yang membantu mengintegrasikan kombinasi dari gaya-gaya musik yang digunakan. Gaya musik keroncong dan degung Sunda juga sangat jelas dipamerkan pada lagu-lagu yang lainnya di album tersebut. Misalnya lagu berjudul ―ngempu,‖ sangat jelas menggunakan struktur dasar musik degung Sunda. Kendang Sunda dimainkan dalam gaya kental permainan kendang Sunda untuk memberikan rasa keasliannya. Ukulele dipetik sesuai dengan gaya Keroncong yang berbeda. Seperti biasa, perjalanan melodi lagu tersebut yang dimainkan oleh instrumen erhu buatan Alit sendiri, dan instrumen- instrumen lainnya ditata untuk memperkaya lagu, seperti genggong pukul (buatan Alit sendiri) memainkan figurasi interlocking, gitar menekankan melodi dengan akord, serta melodi skeletal dimainkan pada organ menggunakan suara gamelan sampel. Sebagaimana dikatakan oleh Gerhard Steingress, ―with regard to popular music, it is evident that musical evolution itself is a process of continuous blending of different styles, techniques of composition, arrangement and instrumentation‖ (berkaitan dengan musik populer, jelas bahwa evolusi musik itu sendiri adalah proses pencampuran berkelanjutan dari gaya yang berbeda, teknik komposisi, aransemen/pengaturan dan instrumentasi) (2002: 307). Dalam gaya musik fusion pop, diketahui bahwa unsur-unsur bentuk seni tradisional terus dieksplorasi dan diaransemen ulang dengan karakteristik mendasar dari gaya musik pop. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, sudah jelas bahwa apa yang dilakukan oleh Agung Alit merupakan implementasi dari gaya musik populer. Penggabungan/fusion gaya musik dengan berlandaskan pada gaya musik populer seperti apa yang dilakukan oleh Bona Alit memiliki kesamaan dengan musik campursari Jawa yang kita bahas pada bagian sebelumnya. Bentuk musik campursari adalah kombinasi dari berbagai instrumentasi dan unsur musik, termasuk gaya lagu tradisional, yang menciptakan gaya musik pop baru berdasarkan susunan/penataan komposer, dan Alit, dalam proses penciptaan musiknya, juga melakukan gagasan gagasan yang sama. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa Alit menciptakan alat musik baru yang mewakili identitasnya sendiri. Akibatnya, identitas ini dan reinterpretasi unsur

8 Wawancara dengan Agung Alit, August 6, 2011.

168

tradisional yang dikombinasikan dengan elemen musik asing, merupakan evolusi dari tradisional ke musik populer.

GUS TEJA WORLD MUSIC Gus Teja World Music (GTWM) didirikan oleh Agus Teja Sentosa pada tahun 2009. Kelompok ini terfokus pada penciptaan bentuk-bentuk baru dari musik yang, menurut Agus, ―mewakili masa depan World Music di Bali‖. Tidak seperti Agung Alit, Agus menyusun kreasi musiknya secara menyeluruh pada instrumen khusus buatannya sendiri dikombinasikan dengan hanya dua instrumen Barat, acoutic gitar dan gitar bass. Dia membuat sebuah versi baru dari tingklik Bali (instrumen tradisional seperti gambang berbahan bambu) yang menggunakan standar dasar tangga nada Barat, yang dia namakan ―tingklik baro‖. Dia juga melakukan hal yang sama kepada instrumen slonding Bali (gamelan kuno sepeti gambang berbahan besi) yang ia namakan ―slokro‖ (singkatan dari Selonding dan Kromatik). Agus juga membuat berbagai macam bentuk suling yang berbeda seperti Native American Flute, Shakuhachi, Pan Flute, Bansuri, dan, tentu saja, seruling Bali.9 10 Pada tahun 2010, GTWM merilis album pertama berjudul ―Rhythm of Paradise.‖ Dalam album ini, Agus mengeksplorasi kemungkinan dalam memanfaatkan instrumen yang disebutkan di atas, menggunakan pengetahuan musik dan intuisi untuk menciptakan gaya musik pop yang inovatif. Sebagaimana yang dikatakan oleh Gerhard Steingress, ―innovation is the positive trait most often associated with fusion‖ (inovasi adalah sifat positif yang paling sering dikaitkan dengan fusion) (2002: 126). Musik Agus di album ini memang bisa digolongkan dengan musik fusion— jenis musik yang inovatif dan ―beristirahat bebas‖ dari sifat-sifat tradisionalisme sebagai bentuk utama dalam mendefinisikan karakteristiknya sendiri. Tetapi dengan cara Agus yang juga cenderung lebih banyak mengadopsi karakteristik gaya musik pop modern; struktur yang familiar, sederhana dan lagu yang relatif singkat, membuat lebel ―fusion music‖ cenderung dilepaskan secara tidak sadar oleh sifat-sifat populer yang terlalu banyak dibebankan ke dalam karyanya. Walaupun dia melakukan fase metamorfosis instrumentasi dan elemen musikal yang diadaptasi secara menyeluruh sehingga bisa menyembunyikan karakteristik tradisionalnya, namun karakter musik pop sangatlah kental menutupi dan cenderung berkesan pesanan. Namun demikian, dan mengingat gagasan yang disebutkan di atas, musik fusion pop Agus menunjukkan lingkup musik yang lebih memiliki ciri khas dibandingkan dengan ciri yang ada pada musik campursari Jawa. Agus dengan cerdas, menggunakan sifat-sifat populer, mengubah teknik bermain dan penampilan fisik instrumen neo-tradisional tingklik baro dan slokro yang dibangun untuk sepenuhnya dibebaskan dari sifat normatif dari instrumen aslinya, dan disesuaikan dengan kebutuhan komposisinya. Seperti disebutkan sebelumnya, Agus juga menciptakan duplikat (atau membeli langsung) beberapa seruling dari seluruh dunia agar disesuaikan dengan kemampuannya dalam memainkan dan memanipulasi instrumen-instrumen tiup tersebut. Selain itu, ia juga menata kendang angklung Bali dalam bingkai kayu sehingga dapat dimainkan mirip dengan instrumen Conga Kuba. Dari inovasi ini muncul konsep pengkaryaan yang pada gilirannya memotivasi metode komposisi yang sudah umum (atau baru) dan dalam settingan pengkaryaan tertentu dari alat musik yang dia rancang sendiri. Alat-alat pengkaryaan seperti ini termasuk, misalnya, keragaman warna nada, penyesuaian teknik permainan, jumlah oktaf yang lebih luas 11 (tiga oktaf), dan formula original untuk mengintegrasikan bahan-bahan intuitif. Alat-alat pengkaryaan tersebut menyampaikan identitas musik original untuk pop musik fusion yang dirancang Agus. Diferensiasi lain antara musik Gus Teja dengan campursari terletak dalam penggunaan alat musik Barat. Sementara dalam musik campursari, teknik bermain instrumen

9 Wawancara dengan Agus Teja Sentosa, August 8, 2011. 10 Sampai saat ini sudah ada dua album yang dirilis oleh GTWM: Rhythm of Paradise dan Ulah Egar 11 Ini adalah dasar dari semua komposisi musik Gus, di mana ia menggunakan intuisinya dalam bahan menyusun dan mengintegrasikan mereka dengan tidak ada notasi musik.

169

Barat, seperti keyboard, gitar, cello, dll dimanipulasi untuk menggantikan fungsi instrumen tradisional dalam gamelan Jawa, namun teknik permainan konvensional gitar dan bass ala Barat dalam musik pop fusion Gus Teja dipertahankan.

SIGNIFIKANSI DAN DAMPAK Kemampuan dalam memanfaatkan alat musik Barat dalam proses pengkaryaan dan wujud karya seni dianggap mengangkat status sosial komponis dalam lingkungan masyarakat karena ada anggapan bahwa kemampuan melakukan hal tersebut dianggap ―modern‖. Istilah ―modern‖ menandakan tindakan mengadopsi kehidupan modern dan budaya kosmopolitan, yang bagi kebanyakan orang khususnya di Bali, identik dengan budaya Barat. Orang-orang juga memberikan penghormatan yang tinggi—penghormatan yang sama diberikan untuk kepala adat atau orang penting lainnya. Sebagai contoh, setiap kali Bona Alit dan Gus Teja World Music melakukan pementasan di depan umum, orang-orang mengapresiasi dan menyambut mereka dengan sopan dan menggunakan bahasa bali halus (tata bahasa bali pada level tertinggi). Secara langsung status musisi mereka, dalam hal ini, lebih tinggi dari musisi tradisional karena mereka dianggap cukup berpengetahuan dalam menggunakan dan mengskploitasi alat musik luar yang mendukung pengkaryaan komposisi mereka. Partanyaannya adalah apakah penggunaan alat musik dan elemen musik luar (Barat) dalam karya-karya musisi-musisi tersebut sudah dipikirkan dengan matang atau hanya sekedar dipermukaan saja? Pada saat pertama kali mendengarkan musik SBA dan GTWM, penonton bisa saja mendapatkan kesan yang aneh dengan suara-suara non-tradisionalnya.12 Dengan penggunaan alat muaisk luar dan elemen-elemen asing, hal tersebut memang sangat bisa terjadi pada saat pementasan berlangsung. Tetapi kalau dilihat dari karakteristik musik-musik karya SBA dan GTWM, keanehan/keasingan dari pendengaran penonton sebenarnya bertolak belakang dengan kenyataan. Musik-musik SBA dan GTWM sebenarnya sangat mudah dipahami dan tidak kedengaran asing. Musik-musik mereka bisa dengan mudah menjadi populer karena memiliki karakteristik yang sama dengan musik pop modern—musik dengan menggunakan motif garis melodi yang sederhana dan mudah diikuti, biasanya menggunakan ketukan 4/4, dan memiliki tema melodi tunggal dalam setiap lagunya. Hal ini sesuai dengan pernyataan banyak orang yang menganggap musik-musik mereka menyenangkan dan menjadi musik favorit kebanyakan orang yang telah mendengarnya. Sebagian besar dari mereka juga mengatakan bahwa musik-musik SBA dan GTWM membuat mereka bahagia dan tenang. Selain itu, karakteristik musik-musik tersebut memiliki relevansi untuk lingkungan masyarakat perkotaan (modern/perkantoran) yang setiap harinya disibukkan dengan perkerjaan mereka atau kondisi dimana orang-orang tersebut sering merasa tertekan dengan mudah dalam pekerjaan mereka. Jadi dengan mendengar melodi-melodi dari musik SBA dan GTWM, mereka mampu melepaskan tekanan/stress dari pekerjaan mereka. Tidak dapat dipungkiri, saat ini musik-musi SBA dan GTWM memang bersifat komersial. Musik mereka populer tidak hanya di masyarakat Bali, tetapi juga di pasar pariwisata global. Didasarkan pada bisnis pasar statistik lokal, menurut Alit dan Agus, kedua album (―Rhythm of Paradise‖ dan ―Kishi-Kishi‖) adalah album terlaris di Bali sekarang ini. Musik mereka selalu terdengar di pusat-pusat perbelanjaan, hotel, restoran, dan spa di Kuta, Sanur, dan Ubud—semua daerah tujuan wisata Bali. Mereka sering tampil di resepsi pernikahan tradisional dan modern, perayaan komunal desa (HUT desa dan upacara pribadi), perayaan kesenian tahunan dan festival musik di seluruh Bali (Ubud Festival, Kuta Carnival, Sanur Village Festival, dan Pesta Kesenian Bali), konvensi-konvensi nasional dan internasional (di Bali dan Jakarta) dan peristiwa-pariwisata terkait lainnya. Jelas bahwa konteks dari musik-musik mereka adalah non-religius, tapi berbasis hiburan. Permintaan masyarakat lokal dan pasar pariwisata yang signifikan memang berdampak untuk meningkatkan popularitas musik fusion di Bali.

12 Wawancara dengan penggemar, August 19, 2011.

170

Akibatnya, kelompok gamelan tradisional Bali mulai memiliki tempat yang agak kecil di mata penyelenggara acara komersial (CEO). Saat ini, undangan-undangan pentas untuk musik tradisional cenderung lebih sedikit untuk tampil di acara-acara yang lebih penting di hotel dan/atau peristiwa komersial lainnya. Sebaliknya, SBA dan GTWM menjadi pilihan pertama dari hiburan musik komersial. Musik mereka memberi ―ketenangan‖ dan tidak terlalu asing bagi telinga wisatawan, tapi cukup untuk memperkaya rasa eksplorasi eksotis mereka. Jadi musik-musik SBA dan GTWM memang menjadi icon/merek khusus fusion pop musik yang memang begitu berharga untuk industri pariwisata. Ada juga alasan praktis bagaimana CEO lebih memilih untuk menyewa jenis pementasa fusion pop musik daripada kelompok gamelan tradisional: (1) kelompok gamelan tradisional memakan waktu dan ruang yang besar, (2) instrumen gamelan yang berat dan tidak praktis cenderung sering menjadi permasalahan yang mendasar dalam konteks transportasi dan mengatur gamelan tersebut dalam ruang pementasan yang cenderung terbatas, (3) gamelan tradisional sering memerlukan musisi dengan jumlah besar, dan (4) karena tiga alasan pertama ini, biaya menyewa gamelan tradisional cenderung tinggi karena mencakup sebagain besar biaya untuk musisi yang banyak, transportasi (untuk instrumen dan musisi), dan makanan. Semua keterbatasan ini memberikan kondisi yang tepat untuk SBA dan GTWM untuk menggantikan fungsi ensemble gamelan dalam berbagai perayaan (non-religius) dalam masyarakat Bali dan pertunjukan komersial untuk industri pariwisata.

SIMPULAN Dalam era globalisasi ini, interaksi antarbudaya antara musisi dari seluruh dunia tidak bisa dihindari. Interaksi ini pada akhirnya memperkaya musik-musik fusion di seluruh posok dunia. Blaukopf mengatakan, ―acculturation doesn’t necessarily mean the loss of cultural identity; there is also acculturation which leads to enrichment in music, independent of its economical significance” (akulturasi tidak berarti hilangnya identitas budaya; ada juga akulturasi yang mengarah ke pengayaan dalam musik, independen signifikansi ekonomis) (Steingress 2002: 317). Munculnya kelompok-kelompok musik fusion pop, seperti SBA dan GTWM, adalah respons alami terhadap pengaruh modernisasi di Bali. Bentuk yang dikomersialkan dari musik mereka adalah efek dari pesatnya perkembangan industri pariwisata Bali. Inovasi dan ide-ide kreatif yang diketengahkan oleh SBA dan GTWM merupakan respon terhadap kebutuhan konsumen mereka (musik pesanan). Tetapi sebenarnya, kalau dilihat dari konteks pemikiran akademis, hasil positif dari inovasi dan ide-ide kreatif adalah bahwa komposer mencari gaya baru dan cara bermain, menyusun, dan menjelajahi dan selalu diusahakan untuk tidak bersinggungan dengan yang tradisional. Namun apakah SBA dan GTWM menggarisbawahi pola pikir mereka dalam proses penciptaan semua karya baru dengan identitas kreatif seperti itu? Sebenarnya musik baru (termasuk pop fusion di Bali) bergerak secara paralel dengan musik tradisional, bukan timbul dari revolusi musik, atau ―beristirahat‖ dari tradisi. Dengan kata lain, ―a creative approach to composing fusion pop music does not obscure, let alone destroy, Balinese classical music‖ (pendekatan kreatif untuk menyusun fusion pop musik tidak menghilangkan, apalagi menghancurkan, musik klasik Bali) (Sudirana, 2011: 18). Genre klasik Bali telah mengkristal dan akan tidak mungkin bisa berubah. Satu-satunya perubahan adalah elemen tradisi itu sendiri— menciptakan ruang hubungan sosial dan budaya untuk musik fusion pop, sebagai reaksi terhadap proses globalisasi. Oleh karena itu, sebagai bagian dari tradisi, musik pop fusion akan terus berkembang, bersama dengan para stake holders (pemangku kepentingan), untuk memperkaya khasanah/gaya musik Bali.

171

DAFTAR PUSTAKA Baulch, Emma (2002) ―Creating a Scene: Balinese Punk‘s Beginnings.‖ International Journal of Cultural Studies 5(2): 153–77. ______. (2003) ―Gesturing Elsewhere: The Identity Politics of the Balinese Death/Thrash Metal Scene.‖ Popular Music 22 (2): 195–215. ______. (2007) Making Scenes: Reggae, Punk, and Death Metal in 1990s Bali. Durham and London: Duke University Press. Harnish, David (2005) ―Teletubbies in Paradise: Tourism, Indonesianisation and Modernisation in Balinese Music.‖ Yearbook for Traditional Music 37: 103-23. Heimark, Britta (2003) Balinese Discourse on Music and Modernization Village Voices and Urban Views. New York and London: Routledge. Lomax, Alan (1968) Folk Song Style and Culture. Washington, D.C.: Association for the Advancement of Science. McGraw, A. (2005) Musik kontemporer: Experimental music by Balinese composers. Unpublished PhD dissertation, Wesleyan University. McIntosh, Jonathan (2010) ―Dancing to a Disco Beat? Children, Teenagers, and the Localizing of Popular Music in Bali,‖ Asian Music, Volume 41, Number 1, Winter/Spring, pp. 1-35, University of Texas Press Nettl, Brunno (2005) The Study of Ethnomusicology: Thirty-one Issues and Concepts. Urbana: University of Illinois Press. Sandino, J. (2008) Recent Structural Developments in Tabuh Kreasi Gong Kebyar, Unpublished MA Thesis, University of British Columbia Steingress, Gerhard (2002) Song of the Minotaur–Hybridity and Popular Music in the Era of Globalization. Transaction Publishers, New Brunswick, U.S.A., and London, U.K. Sudirana, I Wayan (2011) ―Borrowing, Stealing, Transforming: Cross-cultural Influences in Balinese Neo-Traditional Composition.‖ Performing Arts in Postmodern Bali: Changing Interpretations and Founding Traditions. Grazer Beitrage zur Ethnomusicologie, German, 2012 Supangah, Rahayu, 2003, ―Campur Sari: A Reflection,‖ Asian Music, Vol. 34, No. 2, An Indonesia Issue (Spring–Summer, 2003), pp. 1-20 University of Texas Press. Vickers, Adrian 1996 ―Modernity and Being Moderen: An Introduction.‖ In Being Modern in Bali: Image and Change, ed. Adrian Vickers, 1–36. Monograph 43, Southeast Asia Studies. New Haven, CT: Yale University Press.

Interviews 1. I Gusti Ngurah Adiputra, Ketua Sanggar Bona Alit, Bona, Gianyar, Bali 2. Agus Teja Sentosa, pemilik Gus Teja World Music, Ubud, Bali 3. Penggemar SBA and GTWM: I Made Suardika, I Made Ardika, I Wayan Danayasa, I Wayan Pasek Sucipta, I Wayan Sumadi.

172

PENDIDIKAN SENI BERMUTU BERBASIS KEARIFAN LOKAL: MONOLOG CERITA RAKYAT PADA DRAMATURGI PERFILMAN

Oleh Ni Wy. Suratnia, Nyoman Lia Susanthib, Prodi Sendratasik, Fakultas Seni Pertunjukkan, Institut Seni Indonesia Denpasar [email protected], [email protected], 087835286900a, 08155850026b

Abstrak Film sebagai karya seni memiliki kelengkapan dari beberapa unsur seni yaitu seni rupa dan desain, seni fotografi, seni artitektur, seni tari, seni puisi sastra, seni teater (drama) dan seni musik. Salah satu unsur film adalah tokoh pemeran yang dikenal dengan istilah bintang film. Bintang film adalah aktor yang memerankan atau membintangi sebuah cerita film sesuai dengan tuntutan skenario. Keberhasilan sebuah film tidak terlepas dari keberhasilan aktor dalam memerankan tokoh sesuai skenario terutama dalam menampilkan watak dan karakter tokohnya. Untuk itu terurai jelas bahwa fungsi dan peran teater (drama) dalam film sangat erat relevansinya. Matakuliah tentang drama disebut dengan matakuliah dramaturgi. Secara harfiah pengertian dramaturgi adalah ajaran tentang masalah hukum dan konvensi drama. Matakuliah dramaturgi adalah matakuliah yang mempelajari mengenai hukum-hukum dalam pendramaan. Dramaturgi penting dipelajari karena (1) Drama mencerminkan nilai-nilai sosial masyarakatnya, sekaligus berpengaruh terhadap masyarakat atau mampu menimbulkan dampak; (2)Drama mengandung seni sastra, bahkan filsafat, sejarah antropologi, geografi, sosiologi, pesikologi–psikiatri; (3) Drama adalah hiburan bagi manusia, sebagai alat pendidikan, sebagai senjata sosial/ politik dan sebagai dokumen sejarah. Materi dramaturgi yang diberikan pada Prodi Film dan TV tentunya memiliki karakteristik berbeda dengan prodi lainnya. Dramaturgi pada Prodi Film dan TV lebih banyak mendalami mengenai peran tokoh dalam film yang dikenal dengan istilah bintang film. Materi yang spesifik tentang dramaturgi perfilman merupakan masalah bagi pengampu matakuliah tersebut untuk dapat menyesuaikan kebutuhan drama dalam film. Sementara itu luaran dari matakuliah Dramaturgi I adalah mahasiswa Film dan TV menuntut mahasiswa mampu tampil memerankan beberapa karakter dalam satu lakon (monolog), sedangkan luaran Dramaturgi II adalah mahasiswa dapat memerankan tokoh dalam film sesuai tuntutan skenario. kata kunci : pendidikan seni, film, kearifan lokal, dramaturgi

PENDAHULUAN Film sebagai karya seni memiliki kelengkapan dari beberapa unsur seni yaitu seni rupa dan desain, seni fotografi, seni artitektur, seni tari, seni puisi sastra, seni teater (drama) dan seni musik. Salah satu unsur film adalah tokoh pemeran yang dikenal dengan istilah bintang film. Bintang film adalah aktor yang memerankan atau membintangi sebuah cerita film sesuai dengan tuntutan skenario. Keberhasilan sebuah film tidak terlepas dari keberhasilan aktor dalam memerankan tokoh sesuai skenario terutama dalam menampilkan watak dan karakter tokohnya. Untuk itu terurai jelas bahwa fungsi dan peran teater (drama) dalam film sangat erat relevansinya. Drama berasal dari bahasa Yunani yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, bereaksi dan lain sebagainya. Drama dapat berupa komedi (suka cerita) dan tragedi (duka cerita). Menurut Moulton drama diartikan sebagai hidup yang dilukiskan dengan gerak. Ditinjau dari media drama dapat dibagi menjadi 6 yaitu drama panggung, drama radio, drama televisi, drama film, drama wayang dan drama boneka (Harymawan, 1993). Materi tentang drama masuk dalam kurikulum di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar khususnya pada program studi yang memerlukan pendramaan sebagai salah satu luarannya, seperti Program Studi Seni Tari, Sendratasik, Pedalangan dan Program Studi Film dan TV. Matakuliah tentang drama disebut dengan matakuliah dramaturgi. Secara harfiah pengertian dramaturgi adalah ajaran tentang masalah hukum dan konvensi drama. Matakuliah dramaturgi adalah

173

matakuliah yang mempelajari mengenai hukum-hukum dalam pendramaan. Dramaturgi penting dipelajari karena (1) Drama mencerminkan nilai-nilai sosial masyarakatnya, sekaligus berpengaruh terhadap masyarakat atau mampu menimbulkan dampak; (2)Drama mengandung seni sastra, bahkan filsafat, sejarah antropologi, geografi, sosiologi, pesikologi–psikiatri; (3) Drama adalah hiburan bagi manusia, sebagai alat pendidikan, sebagai senjata sosial/ politik dan sebagai dokumen sejarah. Pada program studi (prodi) Film dan TV ISI Denpasar, mata kuliah dramaturgi diperoleh pada semester IV dan V. Materi dramaturgi yang diberikan pada Prodi Film dan TV tentunya memiliki karakteristik berbeda dengan prodi lainnya.Dramaturgi pada Prodi Film dan TV lebih banyak mendalami mengenai peran tokoh dalam film yang dikenal dengan istilah bintang film. Materi yang spesifik tentang dramaturgi perfilman merupakan masalah bagi pengampu matakuliah tersebut untuk dapat menyesuaikan kebutuhan drama dalam film. Masalah lainnya adalah mahasiswa pada Prodi Film dan TV ISI Denpasar berasal dari latar belakang pendidikan non seni pertunjukkan. Mereka rata-rata berasal dari siswa SMA/SMK dengan jurusan non seni pertunjukkan.Sehingga mereka yang biasa berada di belakang layar, memiliki kelemahan dan kekurangan jika tampil di panggung ataupun di layar (kamera). Sementara itu luaran dari matakuliah Dramaturgi I adalah mahasiswa Film dan TV menuntut mahasiswa mampu tampil memerankan beberapa karakter dalam satu lakon (monolog), sedangkan luaran Dramaturgi II adalah mahasiswa dapat memerankan tokoh dalam film sesuai tuntutan skenario. Dari capaian kelas Dramaturgi ini diharapkan mahasiswa setelah mendapatkan matakulaih dramaturgi selama 2 semester, mahasiswa tahu bagaimana teknik memainkan peran tokoh yang baik sesuai dengan tuntutan skenario, serta mahasiswa bisa memperagakan kepada aktor ataupun aktris peran yang dibutuhkan sutradara, dan terakhir mahasiswa dapat melakukan casting pemain untuk kebutuhan film. Dalam metode pengajaran seni berbasiskan kearifan lokal diartikan sebagai cara mengajar pendidikan seni yang tetap memunculkan unsur-unsur lokal sebagai satu kesatuan pengajaran. Pengertian kearifan lokal adalah menurut Haryati Soebadio bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asingsesuai watak dan kemampuan sendiri. Terkait dengan hal ini maka menarik peneliti untuk mengkaji apakah unsur-unsur kearifan lokal berupa penyisipan cerita rakyat dalam matakuliah Dramaturgi dapat meningkatkan pengetahuan mahasiswa tentang cerita rakyat di Indonesia.

METODE PENELITIAN Sumber data dalam penelitian diklasifikasikan menjadi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh berdasarkan pengamatan langsung, pemotretan, perekaman, wawancara dengan pakar dan akademisi dalam bidang drama khsusnya aktor ataupun aktris yang terlibat dalam syuting film. Selain itu juga melakukan wawancara dengan tokoh masyarakat yang memiliki latar belakang terkait dengan subyek penelitian. Sedangkan untuk data sekunder diambil melalui studi pustaka yang didukung oleh pakar dan akademisi seni yang dihasilkan dalam bentuk buku, hasil seminar, jurnal ilmiah dan sebagainya. Dalam proses pengumpulan data ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mendapatkan data yang valid untuk mendukung keabsahan hasil penelitian. Adapun metode tersebut dapat dibagi menjadi studi kepustakaan, wawancara, observasi dan dokumentasi (Sutrisno, 183:139). Dalam penelitian kualitatif, proses pengumpulan dan analisis data dilakukan setelah data yang diperoleh memiliki keterkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Model analisis data seperti ini dikenal dengan Metode Analisis Interaktif yang merupakan teori yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (Sutopo, 1996: 85). Guna mendapatkan data tentang minat mahasiswa dalam meningkatkan pengetahuan dalam bidang cerita rakyat, maka peneliti menggunakan metode penelitian tindakan kelas (PTK).

174

Secara garis besar terdapat 4 tahapan yang biasa dilalui pada PTK yaitu (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengamatan dan (4) refleksi.

HASIL PEMBAHASAN Karakteristik Kelas Dramaturgi Pada Program Studi Film Dan Tv Isi Denpasar Program studi (prodi) Film dan TV ISI Denpasar berdiri merupakan prodi paling baru yang dimiliki kampus seni ISI Denpasar. Program ini berada dibawah naungan Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ISI Denpasar. FSRD ISI Denpasr memiliki 7 prodi yaitu Seni Rupa Murni, Seni Kriya, Desain Interior, Desain Komunikasi Visual, Fotografi, Desain Mode dan terakhir adalah Prodi Film dan TV ISI Denpasar. Prodi Film dan TV ISI Denpasar berdiri tahun 2012 berdasarkan Mandat Dikti No. 777/E/T/2012 sebagai program Diploma IV. Sebagai program diploma atau vokasi maka Prodi Film dan TV ISI Denpasar menitikberatkan pada sklill kerja dengan prosentase 60% praktek dan 40% teori. Pendidikan vokasi pada Prodi Film dan TV ISI Denpasar merupakan pendidikan tinggi program diploma yang menyiapkan mahasiswa untuk pekerjaan dengan keahlian terapan dalam bidang Film dan TV sehingga mendapatkan gelar sarjana terapan. Luaran dari Prodi Film dan TV ISI Denpasar adalah mahasiswa dapat menjadi seorang sutradara baik dalam bidang film maupun di bidang televisi. Luaran tersebut ketika dijabarkan maka mahasiswa secara khusus dapat menjadi editor, kameramen, penulis naskah, penata lampu, penata artistik, narator, presenter, produser, aktor dan tim produksi lainnya dalam krabat kerja bidang film dan TV. Mengacu pada luaran di atas maka mata kuliah yang pada Prodi Film dan TV ISI Denpasar menitikberatkan pada keilmuan-keilmuan yang relevan untuk meghasilkan luaran tersebut. Salah satu matakuliah yang wajib ditempuh bagi mahasiswa adalah matakuliah Dramaturgi. Matakuliah ini diperoleh mahasiswa Film dan TV ISI Denpasar pada semester IV dan V. Berdasarkan pendidikan vokasi tersebut maka luaran dari matakuliah Dramaturgi I adalah mahasiswa Film dan TV mampu tampil memerankan beberapa karakter dalam satu lakon, sedangkan luaran Dramaturgi II adalah mahasiswa dapat memerankan tokoh dalam film sesuai tuntutan skenario. Pada Penelitian Tikdakan Kelas (PTK) ini peneliti mengamati mahasiswa angkatan tahun 2014 yang merupakan angkatan ke-2 pada prodi ini. Dosen pengampu pada matakuliah ini adalah Nyoman Lia Susanthi, S.S., M.A; Ni Wy. Suratni, S.Sn., M.Sn, I Kadek Puriartha, S.Sn., M.Sn. Jumlah mahasiswa adalah 36 orang dengan rincian sebanyak 25 mahasiswa laki-laki dan 11 perempuan. Topik bahasan yang telah dirancang pada kelas Dramaturgi I Prodi film dan TV ISI Denpasar yaitu: pertemuan 1-2 topik bahasan tentang pengertian drama, dramaturgi, teater, sandiwara, tonil, sejarah teater di dunia, Indonesia dan Bali, perbedaan peran pada teater dengan film, formula dramaturgi 4M, masalah dramaturgi; pertemuan 3 topik bahasan tentang Membangun naskah drama, seni berperan/seni peran; pertemuan ke 3-4 topik bahasan tentang olah tubuh; pertemuan 6-7 expresi wajah; pertemuan 8 topik bahasan UTS (ujian tengah semester); pertemuan 9-10 olah vokal; pertemuan 11-12 komposisi pentas (pembabakan, setting, property); pertemuan 13-15 tata pakaian, tata rias (make up karakter) dan pertemuan 16 topik bahasan UAS (uajian akhir semsester).

Penelitian Tindakan Kelas Dramaturgi Padaprogram Studi Film dan TV ISI Denpasar Sebelum melakukan PTK peneliti menetapkan fokus permasalahan pada kelas Dramaturgi yaitu kurangnya pengetahuan mahasiswa tentang cerita-cerita rakyat daerah di Indonesia. Perencanaan solusi masalah yaitu: PTK pertama topik bahasan tentang membangun naskah drama seni peran. Proses pembelajaran sebelumnya terdiri atas (a) Mahasiswa diberikan teori penulisan naskah, (b) Mahasiswa bebas memilih cerita untuk ditampilkan monolog. Perencanaan solusi masalah yaitu: (a) Mahasiswa diberikan teori penulisan naskah, (b) Mahasiswa wajib mengangkat cerita rakyat Indonesia dalam ujian monolog yang ditampilkan. PTK kedua topik bahasan tentang

175

olah tubuh, ekspresi wajah, olah vokal. Proses pembelajaran sebelumnya mahasiswa praktek monolog dengan cerita biasa. Perencanaan solusi masalah yaitu: (a) masing-masing mahasiswa praktek monolog menggunakan cerita rakyat Indonesia, (b) praktek vokal menyesuaikan logat daerah, (c) mempelajari adat dan budaya daerah setempat. PTK ketiga topik bahasan tentang ujian monolog. Proses pembelajaran sebelumnya Masing-masing mahasiawa ujian monolog mengangkat cerita bebas. Perencanaan solusi masalah yaitu: (a) masing-masing mahasiswa monolog mengangkat cerita rakyat Indonesia, (b) memahami dialek dan adat budaya daerah cerita rakyat monolog, (c) memahami kostum dan properti daerah cerita rakyat monolog.

Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) Pelaksanaan tindakan merupakan realisasi dari menerapkan rancangan tindakan yang telah disusun berdasarkan permasalahan yang diduga mempengaruhi rendahnya pengetahuan mahasiswa Prodi Film dan TV ISI Denpasar tentang cerita rakyat di Indoensia. Pelaksanaan penelitian ini adalah peneliti yang bertindak sebagai pengamat sekaligus sebagai dosen pengajar matakuliah Dramaturgi Prodi Film dan TV ISI Denpasar.

PTK Tahap I Pokok bahasan yang disampaikan pada PTK tahap I adalah materi tentang naskah drama. Untuk sub pokok bahasan alokasi waktunya 2 jam pelajaran @ 45 menit dan didistribusikan ke dalam satu rencana pembelajaran. Pelaksanaan putaran I matakuliah Dramaturgi bertujuan agar mahasiswa mampu memahami dan memproduksi naskah monolog berdasarkan cerita rakyat yang diangkat. Guna meningkatkan hasil belajar mahasiswa, pada tahap I kegiatan awal yang dilakukan dosen adalah memberikan kesempatan kepada mahasiswa agar mempersiapkan dirinya terlebih dahulu untuk mata kuliah Dramaturgi yang akan dilakukan. Membahas dan memberi penjelasan tentang naskah drama. Memutarkan beberapa video tentang cerita-cerita rakyat, membagikan buku-buku tentang cerita rakyat di Indonesia. Kegiatan selanjutnya yang dilakukan adalah dosen memberikan tugas mandiri untuk membuat naskah drama yang mengangkat cerita rakyat Indonesia, sesuai dengan format yang diberikan dan dipelajari.

Hasil PTK Tahap I Observasi dan Monitoring PTK Tahap I Hasil penelitian pada PTK tahap I, diperoleh bahwa tindakan dosen dalam memberikan penjelasan tentang naskah drama diselipi cerita-cerita rakyat Indonesia, mampu memberikan motiovasi kepada mahasiswa untuk membaca dan mengetahui cerita-cerita rakyat di Indonesia. Refleksi PTK Tahap I Kegiatan refleksi ini mendiskusikan hasil observasi tindakan kelas tahap I dan diperoleh kesepakatan bahwa pada tahap I untuk mengendalikan tindakan belajar masih terdapat beberapa refleksi yaitu:  Bahan materi yang berupa ppt dilengkapi dengan video (film) memudahkan mahasiswa untuk memahami materi naskah drama yang diberikan.  Mahasiswa masih kurang berani bertanya untuk materi-materi yang belum jelas. Evaluasi PTK Tahap I Hasil pengamatan pada PTK tahap I dievaluasi bahwa perilaku siswa yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat pada penelitian ini sementara dapat disimpulkan. Banyaknya mahasiswa yang mengetahui cerita rakyat berjumlah 0-3 judul cerita rakyat sebanyak 83%, 4-6 judul cerita rakyat sebanyak 17%, dan di atas 7 judul cerita rakyat sebanyak 0%.

PTK Tahap II Pelaksanan PTK tahap II dengan materi olah tubuh; ekspresi wajah dan olah vokal bertujuan agar mahasiswa dapat memainkan 3 peran yaitu sedih, marah dan sombong (angkuh).

176

Selain itu tujuan PTK tahap II ini untuk meningkatkan hasil belajar mahasiswa pada tahap II adalah sebagai berikut: kekurangan-kekurangan pada tahap I yang berhubungan dengan minat belajar siswa seperti keaktifan mahasiswa dalam belajar dibenahi dosen pada pembelajaran tahap II ini. Awal perkuliahan dosen memberikan kata-kata semangat atau pujian agar siswa aktif. Dosen melakukan pendekatan kepada mahasiswa yang kurang memiliki perhatian dalam pembelajaran. Pada awal pembelajaran, tugas rumah mahasiswa di bahas bersama-sama dengan melibatkan seluruh mahasiswa. Dosen memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk membahas dan mendiskusikan tugas yang sudah diberikan. Bagi mahasiswa yang aktif diberikan nilai tambahan sebagai point nilai keaktifan. Dalam pembahasan materi ajar, dosen menggunakan aturan seperti pada pertemuan sebelumnya, tetapi pada pembelajaran kali ini dosen membenahi gaya mengajarnya dengan melakukan pendekatan kepada mahasiswa yang dinilai kurang dalam kemampuan dan kurang memperhatikan pada saat pelajaran berlangsung. Praktek dilakukan di luar ruang kelas yang salah satu materinya adalah mempraktekkan monolog dari masing-masing cerita rakyat. Mahasiswa diminta untuk mencari dialek dan kebiasaan masyarakat pada cerita monolog tersebut termasuk pakaian daerah mereka dan property apa untuk mendukung cerita rakyat tersebut.

Hasil PTK Tahap II Observasi dan Monitoring PTK Tahap II Hasil penelitian pada tindakan kelas tahap II diperoleh bahwa tindakan dosen Dramaturgi sudah sesuai dengan harapan, yaitu: memberitahukan tujuan pembelajaran, memberikan gambaran kegiatan yang akan dilakukan dalam menyampaikan maeri ajar. Secara sistematis, dosen memberikan semangat dalam belajar, mendorong dan membimbing mahasiswa menyampaikan ide, dosen tidak membedakan perlakuannya terhadap semua siswa. Dosen selalu mengingatkan mahasiswa untuk mengulangi materi ajar yang telah diajarkan, menciptakan suasana yang membuat mahasiswa terlihat secara aktif, yaitu dengan memberikan pertanyaan kepada mahasiswa. Pola pembelajaran yang dilakukan dosen merupakan metode kombinasi anatara metode demonstrasi, sandiwara dan permainan. Keterlibatan mahasiswa dalam setiap topik bahasan mulai tampak, sehingga dominasi dosen berkurang. Semua mahasiswa telah terlibat dalam praktek- praktek yang diberikan secara menarik dan dengan bantuan media seperti musik, dan media puisi. Dosen telah melibatkan secara aktif untuk bertanya, mengemukakan ide dan mempraktekkan kemampuan mereka. Pada PTK tahap II sudah ada peningkatan minat belajar mahasiswa. Tetapi usaha untuk mendorong mahasiswa aktif terus dilakukan untuk memperoleh hasil yang sempurna. Refleksi terhadap PTK Tahap II Hasil observasi PTK tahap II memperlihatkan dosen sudah memotivasi mahasiswa untuk lebih aktif, dengan memberi kesempatan mahasiswa untuk mempraktekkan ekspresi dan olah vokal yang baik. Namun masih ada sebagian mahasiswa yang belum berani praktek tersebut, kemudian dengan bantuan teman lainnya mereka mulai berani praktek bersama teman-temannya. Pada pertemuan kedua ini sudah mulai terjadi tukar pendapat diantara mahasiswa dalam membahas materi kelas. Penerapan untuk keseluruhan materi ajar pada setiap pertemuan sebagai latihan terkontrol maupun latihan mandiri, tugas-tugas diarahkan dengan jelas. Secara umum tindak mengajar yang dilakukan dosen dramaturgi pada tahap II untuk mengendalikan tindakan belajar, sudah baik yaitu: a. Pembelajaran di luar ruangan lebih baik daripada hanya mengandalkan praktek di dalam ruangan, karena mahasiswa mampu berekplorasi dan mengeluarkan emosi tanpa ragu di alam terbuka dibandingkan di dalam kelas.

177

b. Pembelajaran praktek menggunakan metode kombinasi antara metode demonstrasi, sandiwara dan permainan lebih efektif dibandingkan hanya menggunakan metode demontrasi. Evaluasi terhadap PTK Tahap II Berdasarkan pembelajaran secara keseluruhan sampai pada tindakan kelas tahap II, hasil perilaku siswa yang berkaitan dengan permasalahan tersebut adalah: Pertama, hasil siswa dalam mengetahui jumlah cerita rakyat meningkat yaitu jumlah mahasiswa yang mengetahui cerita rakyat 0-3 judul sebanyak 61%, 4-6 judul cerita rakyat sebanyak 27% dan jumlah mahasiswa yang mengetahui jumlah cerita rakyat di atas 6 judul adalah 12%.

PTK Tahap III PTK Tahap III berkaitan dengan model pembelajaran, strategi pembelajaran, pendekatan pebelajaran sesuai dengan putaran sebelumnya. Materi ajar yang disampaikan adalah komposisi pentas (pembabakan, setting, properti); tata pakaian, dan tata rias (make up) yang terangkum dalam ujian Dramaturgi. Tujuan pembelajaran adalah agar mahasiswa mampu memainkan monolog dengan mengangkat cerita rakyat dilengkapi dengan pengetahuan adat, budaya, logat, kebiasaan dan pakaian khas daerah berdasarkan cerita yang diangkat. Mahasiswa diminta satu per satu menampilkan kemampuan monolog lengkap dengan pakaian dan property yang dibutuhkan. Mahasiswa lain memperhatikan dan satu mahasiswa secara bergantian sebagai sutradara untuk dapat memeberikan masukan dan tanggapan sebagai seorang sutradara.

Gambar 5.3 Hasil Praktek Olah vokal, ekspresi, tata rias, tata kostum

178

Hasil PTK Tahap III Observasi dan monitoring PTK Tahap III Hasil penelitian tindakan kelas pada tahap III diperoleh yaitu: memberitahukan tujuan pembelajaran, memberikan gambaran kegiatan yang akan dilakukan dalam menyampaikan materi ajar secara sistematis, dosen memberikan semangat dalam belajar, mendorong dan membimbing mahasiswa untuk menyampaikan ide, dosen tidak membedakan perlakuan terhadap semua mahasiswa. Dosen selalu mengingatkan mahasiswa untuk selalu mengulangi materi ajar yang telah diajarkan, menciptakan suasana yang membuat mahasiswa terlibat secara aktif. Sikap kesabaran dan kebijakan dosen sangat membantu dalam kelancaran belajar mahasiswa dengan bimbingan yang sabar kini mahasiswa yang ―lambat‖ dapat mengikuti mahasiswa yang sudah berhasil.Hal ini dibuktikan mereka juga bisa melakukan praktek seni peran walaupun tidak sebaik mereka yang berbakat. Pembelajaran dilakukan dengan metode kombinasi yaitu metode demonstrasi dengan metode simulasi. Proses pembelajaran juga menambahkan media video untuk membantu mahasiswa memahami praktek tata rias. Dalam setiap pembahasan pembelajaran dosen melibatkan mahasiswa secara aktif. Dosen telah melibatkan mahasiswa secara aktif untuk bertanya, mengemukakan ide dan melakukan praktek tat arias, tata kostum dan properti. Pada tindak kelas tahap III sudah ada peningkatan minat belajar siswa, tetapi usaha untuk mendorong siswa aktif harus terus dilakukan untuk memperoleh hasil yang sempurna. Refleksi terhadap PTK Tahap III Hasil observasi tindakan kelas tahap III dan diperoleh kesepakatan. Dosen dalam mendorong dan membimbing siswa untuk lebih aktif, menguasai dan memahami materi serta kemandirian belajar. Hal ini ditunjukkan semua mahasiswa mampu dalam proses pembelajaran. Penerapan untuk keseluruhan materi ajar pada setiap pertemuan sebagai latihan terkontrol maupun latihan mandiri tugas-tugas diarahkan dengan jelas. Secara umum tindak mengajar untuk mengendalikan tindak belajar sudah cukup baik. Evaluasi terhadap tindakan kelas putaran III Berdasarkan pembelajaran secara keseluruhan sampai pada tindakan kelas tahap II, hasil perilaku siswa yang berkaitan dengan permasalahan tersebut adalah: Pertama, hasil siswa dalam mengetahui jumlah cerita rakyat meningkat yaitu jumlah mahasiswa yang mengetahui cerita rakyat 0-3 judul sebanyak 33%, 4-6 judul cerita rakyat sebanyak 41% dan jumlah mahasiswa yang mengetahui jumlah cerita rakyat di atas 6 judul adalah 26%.

Evaluasi Program PTK Matakuliah Dramaturgi Tindak belajar perilaku mahasiswa dalam pembelajaran Dramaturgi yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat pada penelitian ini, di setiap kelas dan masing-masing putaran telah dilaporkan pada evaluasi hasil evaluasi yang berupa profil kelas sebelum dan sesudah dilakukan serangkaian tindakan dapat dirangkum yaitu: hasil belajar siswa pengetahuan cerita rakyat 0-3 judul cerita rakyat tahap I ada 30 mahasiswa (83%), tahap II ada 22 mahasiswa (61%), tahap III ada 12 mahasiswa (33%). Hasil belajar siswa pengetahuan cerita rakyat 4-6 judul cerita rakyat tahap I ada 6 mahasiswa (17%), tahap II ada 10 mahasiswa (27%), tahap III ada 15 mahasiswa (41%). Hasil belajar siswa pengetahuan cerita rakyat 6 judul cerita rakyat tahap I ada 0 mahasiswa (0%), tahap II ada 4 mahasiswa (12%) dan tahap III ada 9 mahasiswa (26%). Dari pemaparan tersebut dapat diperoleh informasi bahwa dengan diadakannya tindakan-tindakan kelas pada setiap putaran keaktifan siswa dalam pembelajaran pemahaman konsep dan materi, serta pengetahuan tentang cerita rakyat Indonesia dapat meningkat secara perlahan-lahan.

179

Grafik 1 Profil Kelas Selama Penelitian 35 30 25 20 15 PTK I 10 5 PTKII 0 PTK III Pengetahuan Pengetahuan Pengetahuan cerita rakyat 0-3 cerita rakyat 4-6 cerita rakyat di judul judul atas 6 judul

Dari grafik di atas dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut: 1. Pada kelas Dramaturgi pengetahuan mahasiswa terkait materi cerita rakyat perlahan mengalami peningkatan dengan dijadikannya cerita rakyat sebagai materi ujian monolog Dramaturgi. 2. Keberhasilan mahasiswa meningkatkan hasil belajar yaitu: jumlah mahasiswa yang mengetahui cerita rakyat 0-3 judul sebanyak 33%, 4-6 judul cerita rakyat sebanyak 41% dan jumlah mahasiswa yang mengetahui jumlah cerita rakyat di atas 6 judul adalah 26%. Berikut ini adalah gambaran beberapa judul cerita rakyat yang diangkat mahasiswa sebagai karya monolog pada ujian akhir: I Komang Tri Prasetya judul cerita rakyat Subali lan Sugriwa, Bayu Dwi Atmoko judul cerita rakyat Joko Kendil Mencari Cinta, Rai Dwi Purnama Dewi judul cerita rakyat Ni Bawang Teken Ni Kesuna, Lutfia Hidayatul Laili judul cerita rakyat Roro Jongrang, Ni Kadek Ary Meilyani judul cerita rakyat Legenda Danau Toba, Arga Agustianto judul cerita rakyat Kisan Majapahit dengan Blambangan, I Gusti Ngurah Fajar Paramartha judul cerita rakyat I Belog Meli Bebek, Ary Puja Wardana judul cerita rakyat Candi Roro Jongrang, Ni Kadek Ferry Aryanthi judul cerita rakyat Nang Cubling, Fajar Hari Priagasta judul cerita rakyat Legenda Watu Ulo, I Wayan Sulis Setiawan judul cerita rakyat Tangkuban Perahu, I Gusti Bagus Bimantara Suputra judul cerita rakyat Asal Usul Nama Buleleng, I Made Wira Sanjaya judul cerita rakyat Cupak Teken Gerantang, I Kadek Oko Suarcaya judul cerita rakyat Itiwas Lan Isugih, Kadek Satriya Wibawa judul cerita rakyat Legenda Asal Mula Danau Batur, Ni Made Juni Indah Suputri judul cerita rakyat Kanjeng Ratu Kidul, Rai Dwi Purnama Dewi judul cerita rakyat I Ketimun Mas, Luh Kade Anggun Yulandari judul cerita rakyat I Tiwas Teken I Sugih, Gde Arystha Adhi Arjana judul cerita rakyat Siwelatri, Dewa Made Widhya Nugraha judul cerita rakyat I Belog Nganten Ajak Bangke, I Putu Nova Widiantara judul cerita rakyat Jayaprana dan Layonsari, I Wayan Dian Andika Parta judul cerita rakyat Walunateng Dirah, Katherina D. Kuncoro judul cerita rakyat Timun Mas, Galih Sekar Sari judul cerita rakyat , Ni Nengah Noviani judul cerita rakyat Legenda Tujuh Gadis Yang Dibuang, Dewa Putu Ananta Mahaputra judul cerita rakyat Satua Pan Meri, Peggy Ramdani judul cerita rakyat Cerita Gunung Arjuna, Luh Kade Anggun Yulandari judul cerita rakyat Men Tiwas Lan Men Sugih, Ferry Renaldo judul cerita rakyat Malin Kundang, Ade Aprilia Puspayanti judul cerita rakyat Bawang Merah dan Bawang Putih, Ni Kadek Ary Meilyani judul cerita rakyat Legenda Danau Toba, I Gusti Ngurah Fajar Paramartha judul cerita rakyat I Belog Meli Bebek, I Kadek Pausan Dwi Agustino judul cerita rakyat Sang Kuriang, Diane Febby Pietersz judul cerita rakyat Malin Kundang, Putu Raditya Pandet judul cerita rakyat Tanduk dari Fabel Anjing dan Kambing, Hanif Syahrul Mubarik judul cerita rakyat Aji Saka. Pemaparan menunjukkan bahwa terdapat 36 cerita rakyat yang diakat oleh mahasiswa Film dan TV ISI Denpasar. Beberapa cerita rakyat kebanyakan mengambil cerita dari daerah Bali yaitu berjumlah 18 judul cerita. Secara tidak langsung mahasiswa lainnya mengikuti seluruh rangkaian cerita monolog karya teman-teman mereka.

180

PENUTUP Peningkatan pengetahuan siswamenunjukkan bahwa pembelajaran yang didasarkan pada penerapan berbasiskan kearifal lokal melalui cerita rakyat, mampu meningkatkan pengetahuan mahasiswa tentang cerita-cerita rakyat nusantara. Sesuai dengan ciri-ciri kearifan local menurut Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986: 40-41) bahwa unsur budayadaerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untukbertahan sampai sekarang. Dengan memasukkan cerita rakyat pada tugas mahasiswa maka mampu mempertahankan budaya sendiri terdap budaya luar, memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli, mempunyai kemampuan mengendalikan, dan mampu memberi arah pada perkembangan budaya.

DAFTAR PUSTAKA Darojah, R. U. 2011. Peningkatan Kemampuan Berbicara Melaporkan dengan Media Film Animasi pada Siswa Kelas VIII SMPN 12 Yogyakarta. Skripsi. UNY, Yogayakarta. http://eprints.uny.ac.id/1296/1/Rid an_07201241029.pdf. Diakses tanggal 19 Mei 2016. Effendy, Heru. 2004. Mari Membuat Film Panduan untuk Menjadi Produser. Yogyakarta: Panduan. Harymawan, Rma. 1993. Dramaturgi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hasanah, Umrotul dan Lukman Nulhakim. 2015. Pengembangan Media Pembelajaran Film Animasi Sebagai Media Pembelajaran Konsep Fotosintesis. Serang: Jurnal Penelitian. file:///Users/ISIPUSKOM1/Downloads/283-493-1-SM%20(1).pdf. Diakses tanggal 19 Mei 2016. Herdiannanda, D. 2010. Pemanfaatan Audio Visual (Film Kartun) Sebagai Media Bantu Siswa dalam Penguasaan Kosakata Bahasa Mandarin di SMA Negeri 4 Surakarta. Laporan Tugas Akhir (D III). UNS, Surakarta. http://eprints.uns.ac.id/501/1/1668 10209201012171.pdf. Diakses tanggal 19 Mei 2016. Milles, M.B., & Huberman, A.M. 1992. Analisa Data Kualitatif. Alih Bahasa Oleh Tjet Jeb. R. Rohadi. Universitas Indonesia, Jakarta. Moleong, L.J. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Raimukti. 2013. Perkembangan Film Animasi di Indonesia. http://repository.stisitelkom.ac.id/ 72/2/Pekembangan_film_animasi _di_indonesia.pdf. Diakses tanggal 18 Mei 2016. Sanjaya, W. 2009. Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Bandung. Kencana Prenada Media Group. Sobandi, B. 2008. Model Pembelajaran Kritik dan Apresiasi Seni Rupa. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Bandung. Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Kebudayaan. Surabaya: Unesa Unipress dengan Citra Wacana.

181

LOCALGENIUS KNOWLEDGE SENI TRADISI BALI SEBAGAI SUMBER BELAJAR DI SEKOLAH DASAR

Ni Luh Sustiawati, Ni Ketut Suryatini, AA Ayu Mayun Artati Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar Email : [email protected] HP. 081389050155

Abstrak Sejak awal sejarah perkembangan pendidikan banyak cara dilakukan agar pembelajaran dapat berlangsung dengan efektif. Seperti mengutamakan metode induktif yaitu berdasarkan pengalaman agar semua peserta didik mampu membangun pengetahuan sendiri dan menekankan bahwa pembelajaran harus bertolak dari alam sekitar. Hal ini sejalan dengan kaidah pendidikan yang ada dalam khasanah budaya nasional kita, yaitu alam takambang jadi guru yang menekankan pentingnya segenap materi dan kondisi yang ada dalam alam fisik, mental, spiritual dan kehidupan perlu dijadikan bahan pembelajaran, dijadikan guru bagi kita semua. Pada awal anak memasuki dunia pendidikan, perlu diciptakan dan dikelola lingkungan yang sesuai untuk anak-anak agar mereka mampu bermain, menyanyi, menari, menggambar, berkarya. Pendidikan harus berlangsung dengan memperhatikan harga diri peserta didik, serta memberikan keteladanan mengenai nilai-nilai luhur yang perlu dijunjung. Semua itu bermuara pada tujuan moral, sosial, dan pendidikan yang memberikan kontribusi dalam perkembangan pribadi dan sosial seseorang. Jenjang pendidikan Sekolah Dasar merupakan satuan pendidikan yang paling penting keberadaannya. Pada jenjang tersebutlah sebagai pondasi pembentukan karakter dan peletakan dasar ilmu pengetuhuan. Ibarat sebuah bangungan, jika pondasinya kuat, maka semua bagian yang berada di atas pondasi dapat disangga dengan kuat, sehingga bangunan menjadi kokoh. Begitu juga sebaliknya, jika pondasi tidak kuat, maka semua elemen sebagus apapun yang berada di atasnya akan mudah roboh. Oleh karenanya, pengimbasan kearifan lokal dari tingkat dasar akan memudahkan pengembangan pada tingkat selanjutnya, disitulah esensi dari pendidikan dasar. Localgenius knowledge atau pengetahuan kearifan lokal Bali sebagai identitas/kepribadian budaya bangsa wajib dilestarikan. Salah satu localgenius knowledge (kearifan lokal) Bali yang masih hidup dengan segar sebagai warisan masa lampau dan memiliki keunggulan nilai-nilai luhur adalah seni tradisi yang dapat dijadikan sumber belajar di jenjang pendidikan Sekolah Dasar.

Kata Kunci : Localgenius knowledge, seni tradisi

PENDAHULUAN Pendidikan pada hakekatnya merupakan proses pembudayaan dan pemberdayaan manusia yang sedang berkembang menuju pribadi yang mandiri untuk membangun dirinya sendiri maupun masyarakatnya. Pendidikan juga dapat dipandang sebagai upaya untuk membantu manusia ‗menjadi apa‘ yang bisa diperbuat dan ‗bagaimana harus menjadi atau berada‘. Oleh karena itu pendidikan harus bertolak dari pemahaman tentang hakekat manusia. Jagat pendidikan harus memuat adanya ‗pendidikan nilai‘ yakni suatu proses pembudayaan yang selalu berusaha meningkatkan harkat dan martabat manusia, pendidikan memanusiakan manusia, pendidikan humaniora (Jazuli, 2008). Pendidikan nilai merupakan suatu aktivitas yang secara khusus bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai tertentu, seperti nilai religius (pendidikan agama), nilai moral (pendidikan kewarganegaraan), dan nilai estetik (pendidikan seni budaya). Dengan demikian pendidikan nilai harus menjadi bagian integral yang berperan sentral dalam jagat pendidikan. Pencatuman seni dalam program-program pendidikan dapat difungsikan untuk membantu pendidikan, khususnya dalam usahanya untuk menumbuhkembangkan peserta didik agar menjadi utuh, dalam arti cerdas nalar serta rasa, sadar rasa kepribadian serta rasa sosial, dan cinta budaya bangsa sendiri maupun bangsa lain (Soehardjo, 2005). Tujuan pendidikan seni di sekolah umum

182

tidak semata-mata dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi pelaku seni atau seniman namun lebih menitik beratkan pada sikap dan perilaku kreatif, etis dan estetis. Lansing (dalam Elindra, 2011) mengatakan bahwa pendidikan seni bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan, kepribadian dan keterampilan, diselaraskan dengan perkembangan fisik, mental, dan emosional anak. Lansing juga menyatakan bahwa lingkungan dan kebudayaan sangat besar pengaruhnya terhadap kemampuan dan perkembangan seni anak. Begitu pula pendidikan seni berperan mengembangkan kemampuan anak secara multidimensial, multilingual, dan multikultural secara terintegrasi baik dalam satu bidang seni, antara bidang maupun lintas bidang (Depdiknas, 2006: 2). Haryati Soebadio mengatakan bahwa localgenius adalah cultural identity, identitas/ kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal (Sartini, 2006). Eiseman Jr (1990) menyebutkan bahwa, dalam masyarakat Bali, kearifan lokal dapat ditemui dalam dongeng atau cerita rakyat, nyayian, pepatah, petuah, semboyan, sendratari (seni drama dan tari), seni tradisi dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Salah satu yang masih hidup dengan segar berbagai karya seni warisan masa lampau disebut seni tradisi.

PENDIDIKAN SENI DI SEKOLAH DASAR Integrasi kearifan lokal Bali diperlukan untuk tetap mempertahankan nilai-nilai luhur kearifan lokal budaya Bali melalui pendidikan sejak dini. Pemilihan jenjang pendidikan SD karena pada jenjang tersebutlah sebagai pondasi pembentukan karakter dan peletakan dasar ilmu pengetahuan. Pendidikan adalah usaha sadar mengembangkan anak dalam segala hal, sehingga anak menjadi orang dewasa. Pengertian dewasa meliputi kedewasaan berpikir, berperilaku dan kedewasaan menjalankan tugasnya sebagai anggota masyarakat. Untuk mewujudkan tugas pendidikan tersebut maka perlu adanya usaha sadar mendorong potensi yang ada dalam diri seseorang dikendalikan oleh otak (pikir), perasaan dan karsa. Ketiga komponen tersebut bekerja secara simultan (kinerja saling mengisi diantara komponen satu dengan yang lain secara terus menerus) yang ditunjukkan dalam bentuk perilaku kehidupan sehari-hari. Seperti diketahui bahwa peranan otak kiri manusia adalah mengembangkan kedisiplinan, keteraturan dan berpikir sistematis, sedangkan kinerja otak kanan adalah untuk mengembangkan kemampuan kreasi yang unstructured seperti ekspresi, kreasi, imajinasi yang tidak membutuhkan sistematika kerja. Dengan kebebasannya, seorang anak akan tumbuh keinginan maju terus menerus. Berangkat dari prinsip kerja otak kanan dan otak kiri inilah dirancang pendidikan yang mampu mendorong pengembangan kedua-duanya. Oleh karenanya sebuah kurikulum pendidikan di SD mempunyai pilar pendidikan otak kanan dan otak kiri. Masing-masing kinerja otak kiri ini didukung oleh beberapa mata pelajaran yang dikenal dengan kelompok mata pelajaran yang berbasis pelatihan berpikir, demikian pula otak kanan dan kelompak mata pelajaran yang berbasis pelatihan rasa. Kelompok mata pelajaran berbasis berpikir adalah matematika, IPA. Sedangkan kelompok mata pelajaran berbasis pelatihan rasa: seperti IPS, agama, dan kesenian. Kelompok mata pelajaran pelatihan pengembangan rasa dikemas dengan melatih rasa sosial, rasa keTuhanan dan rasa keindahan. Materi ini merupakan dasar manusia hidup, oleh karenanya pelatihan rasa sosial akan menjadikan seorang anak mudah bergaul dan bermasyarakat. Dari kebutuhan ini maka timbul suatu teori tentang pergaulan, bermasyarakat, serta teori sosial yang semakin lengkap dengan sistem pembelajarannya. Demikian pula untuk rasa kebutuhan yang berdasarkan kepercayaan sebenarnya adalah usaha untuk menggugah rasa anak atas makna keTuhanan tadi. Melalui penghayatan pengetahuan agama ini anak akan tetap menjunjung harkat

183

beragama, karena agama merupakan kebutuhan pribadi atas ketentraman manusia sebagai makhluk sosial. Selanjutnya pendidikan seni, melatih rasa keindahan yang sifatnya juga individual. Dalam hal ini Herbert Read mengemukakan art is most simply and most usually defined as attempt to create a pleasing form, secara sederhana seni adalah usaha untuk menciptakan bentuk yang menyenangkan (the meaning of art, Penguin Books: 1959). Jika seni merupakan kreasi keindahan bentuk, suara dan gerak maka pelajaran seni di dalam kurikulum pendidikan umum berusaha mengembangkan rasa keindahan yang sebenarnya sangat berguna dalam penampilan. Kelengkapan penampilan seseorang terletak pada kemampuan mengatur diri agar percaya diri serta mempunyai rasa kemanusiaan. Di samping itu pembelajaran seni juga melatih mengungkapkan rasa (ekspresi) agar dalam diri anak terjadi keseimbangan antara penerimaan yang sudah menumpuk dalam memori dapat diungkapkan. Seni yaitu segala perbuatan manusia yang timbul dari hidup perasaannya dan bersifat indah, hingga dapat menggerakkan jiwa dan perasaan manusia (Ki Hajar Dewantara, bagian pertama: Pendidikan; Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1977). Dalam hal ini, Lowenfield (dalam Education and Art: A Symposiumn, 1953:33), menjelaskan bahwa ―In a well balanced education all components of growth, whether emotional, intellectual, physical, perceptual, social, aesthetic or creative, are equally significant and they are pre-eminently present in art experiences. Artinya, perkembangan anak membutuhkan keseimbangan antara emosi (perasaan) dengan pikiran (intelektual) yang dikemas dalam model pengalaman kreatif. Demikian pula menurut teori kejiwaan seseorang senantiasa seimbang antara pemasukan materi dalam pikiran dan rasa dengan pengeluaran sehingga dapat terjadi imbas. Jika digambarkan jiwa seseorang ini seperti balon yang senantiasa diisi angin secara terus menerus dan tidak dikempeskan maka suatu ketika akan meledak. Gambaran ini jika terjadi dalam balon perasaan anak yang kadangkala diisi dengan keinginan yang tidak tercapai, atau menerima kemarahan orang lain dan kemudian disimpan dalam balon, rasa tersebut akhirnya pada suatu ketika akan meledak sebagai emosi yang tidak terkendali. Akhirnya anak akan menjadi semaunya sendiri atau perasaan sudah tidak peka lagi. Akibatnya segala tindakan menjadi anarkis dan semaunya sendiri mirip anak yang kurang penyaluran emosinya. Produksi dan apresiasi seni akan membantu melepaskan ketegangan yang dialami anak. Anak usia SD (sekitar usia 7 sampai 12 tahun) memerlukan berkomunikasi visual (berekspresi seni) sejalan dengan perkembangan fisik dan psikisnya. Seni membantu pengembangan daya pikir, rasa, dan karsa. Membantu pelatihan pengembangan daya pikir, ketika seorang siswa menyanyi dan menari, seluruh ingatan dan memori gerak dan nada maupun irama berkonsentrasi dalam satu penampilan. Proses ini memerlukan kecermatan mengatur tempo, maupun ekspresi yang sebenarnya saling berkaitan antara gerak dan irama. Di samping itu, proses menari melatih kerja otak ketika seorang anak sedang mengungkap kembali cerita tarian tadi yang dikemas dalam bentuk-bentuk gerak, iringan lagu yang mengandung syair. Dalam kondisi seperti ini, proses menari merupakan kesatuan kerja antara fungsi rasa dan pikir menyatu untuk menggerakkan dorongan berkarya. Demikian pula, ketika seorang anak menggambar dan menciptakan benda seni yang praktis, kinerja otak dan rasa menyatu untuk menemukan proporsi bentuk yang ideal serta keindahan bentuk yang memuat pengetahuan tentang warna, bahan serta medium karya. Seni membantu pelatihan pengembangan kepekaan rasa, proses kerja rasa digerakkan untuk menciptakan suasana keindahan. Ketika anak melukis segala angan-angan dan ide anak dicurahkan agar warna yang ditampilkan sesuai dengan bentuk yang dibayangkan, kadangkala seorang anak harus mengatur kekuatan warna yang dilakukan secara otomatis. Peristiwa ini juga terdapat pada seorang anak ketika menyanyikan sebuah lagu; perasaan anak bergerak untuk memperoleh keselarasan nada yang diatur dalam rasa. Sebagai contoh, dalam proses menyanyi; anak secara terus menerus akan menyesuaikan nada/bunyi instrumen dengan rasa, dan ketika hal

184

tersebut berlangsung anak akan mempertahankan citra suara agar tetap konsisten dengan nada dalam instrumen tersebut. Pada kesempatan ini Leo Toltstoy mengemukakan pendapatnya yakni suatu kegiatan manusia yang terdiri bahwa seorang secara sadar dengan perasaan-perasaan yang telah dihayatinya kepada orang-orang lain, sehingga mereka kejangkitan perasaan ini dan juga mengalaminya (The Liang Gie, 1976). Pendapat Tolstoy tersebut memberi gambaran jelas bahwa pendidikan seni sangat erat dengan pendidikan rasa. Semakin anak diberikan rasa estetik (keindahan) semakin mampu mengutarakan pendapatnya kepada orang lain, dan semakin anak mempelajari seni secara mendalam maka kepekaan rasa pun akan tinggi dan dalam. Ternyata prinsip kepekaan rasa juga diungkapkan oleh Wadjid Anwar (1980), …bahwa aktivitas seni membangkitkan dalam diri seseorang suatu perasaan yang pernah dialaminya dan setelah perasaan itu timbul, maka dengan perantaraan gerak, garis, warna, suara atau bentuk kata-kata, perasaan tadi disampaikan kepada orang-orang lain agar mereka mengalami perasaan yang sama. Seni membantu belajar memahami materi pelajaran lain, bahwa secara umum belajar pasti menemui kesulitan, dan dari belajar ini seorang akan mencari jalan keluar. Proses ini disebut dengan belajar. Namun, adakalanya belajar untuk mencari jalan ke luar belum tentu mudah, bahkan sebagian di antara siswa akan mengalami kesulitan hingga memeras otak. Kondisi belajar ini dapat dibantu oleh guru untuk menemukan jalan keluar dari permasalahan, yaitu dengan cara kreatif memahami kesulitan siswa satu per satu atau pada umumnya. Cara guru kreatif ini menggunakan cara yang bermacam-macam, misalnya: membuat permainan, gambar atau pun gerakan yang memancing ide dan akal siswa muncul. Gambar dan permainan ini dikaitkan secara langsung dengan permasalahan maupun tidak langsung yang dapat menggugah ingatan atau memori siswa serta memancing siswa untuk kreatif menemukan cara memecahkan masalah, cara seperti ini sering pula disebut dengan seni. Melalui gambar dan permainan akan membuat pikiran siswa mengarah kepada satu titik permasalahan atau membuat siswa gembira. Dengan kegembiraan ini nantinya siswa akan segera kembali ingatan dan pikiran yang telah diperas ketika sedang memecahkan permasalahan. Tanggapan siswa terhadap soal yang diberikan oleh guru tentunya bervariasi: membuat siswa senang, jenuh, atau pun termotivasi untuk melanjutkan dan mengembangkan ide-ide barunya. Misalnya: ketika seorang siswa kelas satu kesulitan membagi angka 8 menjadi 4, seorang guru dapat mengajarkan dengan menggunakan ornamen. Guru memperlihatkan gambar bulatan yang kemudian dibagi menjadi beberapa bagian dan akhirnya ditemukan bagian seperempat. Kemudian langkah guru diteruskan dengan menghubungkan dengan soal pembagian dalam matematika. Dari contoh di atas dapat ditarik suatu kesimpulan tentang peranan seni dalam pembelajaran tersebut, yaitu (1) seni membantu meningkatkan persepsi siswa dalam belajar: persepsi ini dapat berupa asosiasi bentuk yang berkaitan dengan soal atau permasalahan belajar terhadap mata pelajaran yang lain, atau asosiasi kata yang memancing pendapat baru siswa dalam memecahkan permasalahan; (2) seni membantu siswa berasosiasi terhadap bentuk yang lain seperti korelasinya dengan mata pelajaran yang lain, seperti: (a) sejarah dengan gambar pakaian adat di suatu daerah; (b) matematika dengan gambar geometris; (c) pemandangan gunung dengan IPA, dst.; (3) seni membantu berimajinasi dari abstrak menuju kongkrit dan sebaliknya dari kongkrit menuju abstrak. Misalnya, ketika siswa diminta menggambar keramaian di pasar, proses berpikir siswa diminta memadatkan situasi pasar yang kompleks menuju sebuah ungkapan dalam gambar anak. Demikian pula ketika anak diberi judul kuda-kuda dengan dipancing gambar kuda, siswa dapat mengembangkan imajinasi menciptakan gerakan kuda dalam sebuah karya tari. Tampilan tarian kuda-kuda akan menyangkut gerakan tubuh, iringan musik serta imajinasi siswa ketika melihat kuda yang sesungguhnya tentang bentuk, jalan serta peranan kuda terhadap kehidupan manusia.

185

SENI TRADISI SEBAGAI SUMBER BELAJAR DI SEKOLAH DASAR Tulisan ini merupakan hasil penelitian Hibah Bersaing Tahun 2016 (tahun pertama) dengan judul ―Pengembangan Desain Pembelajaran Seni Tari Di Sekolah Dasar Berbasis Localgenius Knowledge Berpendekatan Integrated Learning‖ Hasil penelitian tahun pertama ini telah teridentifikasi kearifan lokal (Localgenius Knowledge) dari berbagai sumber melalui studi kepustakaan, observasi maupun wawancara. Salah satu jenis kearifan budaya lokal Bali yang masih dijumpai dan dikenal peserta didik sehari-hari di lingkungannya adalah seni tradisi. Pemilihan seni tradisi sebagai sumber belajar di Sekolah Dasar, karena pada dasarnya seni tradisi memiliki keunggulan nilai, Pertama, seni tradisi menjadi manifestasi jati diri bangsa. Kesadaran dan kebanggaan terhadap potensi seni tradisional tersebut akan menumbuhkan keyakinan diri sebagai bangsa yang berbudaya, sehingga terhindar dari rasa rendah diri dan perasaan termarginalkan dalam kehidupan global. Kedua, seni tradisi telah teruji oleh waktu dalam proses hidup yang sangat panjang dan telah menjadi bagian dari jaringan sistem kehidupan masyarakat. Seni tradisi menawarkan harmoni kehidupan yang selaras dengan orientasi hidup masyarakatnya; dan yang mengkristal ke dalam filsafat, pandangan hidup, norma, serta tata krama pada pranata kehidupan masyarakat. Ketiga, seni tradisi dapat digunakan sebagai mediasi bagi pengembangan fungsi jiwa, khususnya yang bersentuhan dengan pengembangan ranah afeksi, yakni ketelitian, ketekunan, kepekaan, keteraturan, dan kedisiplinan. Nilai-nilai tersebut sungguh diperlukan dalam kehidupan nyata untuk mengkondisikan kehidupan masyarakat yang relatif tertib, di samping nilai yang bersinggungan dengan pengembangan potensi motorik. Keempat, karya seni tradisi menawarkan kearifan hidup yang demokratik, penghargaan terhadap kecenderungan hidup yang plural dan multikultural. Dengan begitu pembinaan terhadap kehidupan kesenian tradisional tersebut sekaligus akan mengangkat harkat kehidupan masyarakat baik pada dimensi lokal, nasional, maupun internasional, atas kesadaran hidup dalam kebersamaan yang beragam dan dalam kesetaraan. Sikap penghargaan terhadap kehidupan yang bersifat plural pada seni tradisi tersebut, pada dasarnya memiliki resistensi terhadap konflik dan berfungsi sebagai sarana integrasi sosial ketika pranata-pranata sosial lainnya telah lumpuh. Kelima, seni tradisi memiliki kearifan sebagai media komunikasi untuk mendidik atau mengkritik kehidupan dengan cara-cara yang lebih halus. Banyak karya-karya yang bersifat kurang sopan dikemas dengan sangat halus dan simbolik sehingga tidak menyakitkan orang lain. Seni tradisi yang dikaji dalam tulisan ini sebagai perwakilan dari beberapa kabupaten di Bali adalah (1) Gebug Seraya merupakan seni tradisi Kabupaten Karangasem (mewakili Bali Timur); (2) Med-medan merupakan seni tradisi Kota Denpasar (mewakili Bali Selatan); (3) Megoak-goakan merupakan seni tradisi Kabupaten Buleleng (mewakili Bali Utara) dan (4) Makepung merupakan seni tradisi Kabupaten Jembrana (mewakili Bali Barat). Pemilihan seni tradisi ini disesuaikan dengan dua tema pada pembelajaran di kelas 5 Sekolah Dasar, yakni tema ―Hidup Rukun‖ dan tema ―Bangga Sebagai Bangsa Indonesia‖. Dengan digulirkan Kurikulum 2013, pembelajaran di Sekolah Dasar menggunakan tematik integratif, maka seni budaya merupakan pelajaran yang masuk di dalam tema dan sub tema sesuai dengan kompetensi dasar di dalam tema tersebut. Pembelajaran di SD/MI didasarkan pada pengalaman sehari-hari peserta didik yang dijadikan tema dalam pembelajaran integratif yang meliputi semua mata pelajaran, baik antar bidang seni (seni tari, musik, seni rupa dan teater) atau pun dengan bidang studi yang lain misalnya dengan bahasa, agama, geografi dan yang lainnya. Dengan sistem ini guru akan lebih mudah untuk menyampaikan pesan nilai dari pelajaran secara luas dan mendalam yang berhubungan dengan kehidupan siswa. Dantes (2014) menyebutkan bahwa pembelajaran tematik terpadu adalah proses pembelajaran dengan materi tematik-terpadu tertentu yang mengaktifkan peserta didik baik di dalam maupun di luar ruangan kelas melalui kegiatan berpikir, merasa, bersikap, bertindak dan bertanggung jawab dalam mengembangkan dan membentuk sikap, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik.

186

Pemilihan tema Hidup Rukun dan tema Bangga Sebagai Bangsa Indonesia didasari pada fenomena bahwa rasa nasionalisme dan kecintaan terhadap tanah air semakin menipis. Adanya suatu sikap ketidakperdulian dari sebagian warga mengakibatkan kekurang pekaan terhadap berbagai ancaman yang dapat membahayakan stabilitas dan keutuhan negara kita. Ketidak- perdulian ini dapat dilihat pada semakin sedikit anak sekolah mengetahuai dan mempelajari seni budayanya, makin sedikit murid-murid yang tahu nama pahlawannya, makin sedikit rasanya sekolah yang melaksanakan upacara bendera. Tentunya menjadi kewajiban bersama untuk menanamkan kembali rasa cinta tanah air yang semakin meluntur dari warga negara Indonesia sehingga tumbuh kemauan dari setiap warga negara untuk turut serta dalam upaya bela negara. Nilai-nilai bela negara yang dikembangkan dalam rangka pertahanan nasional, antara lain pertama, cinta tanah air, yaitu mengenal, memahami, dan mencintai wilayah nasional; menjaga tanah dan pekarangan serta seluruh ruang wilayah Indonesia; melestarikan dan mencintai lingkungan hidup; memberikan kontribusi pada kemajuan bangsa dan negara; menjaga nama baik bangsa dan negara serta bangga sebagai bangsa Indonesia dengan cara waspada dan siap membela tanah air terhadap ancaman tantangan, hambatan, dan gangguan yang membahayakan kelangsungan hidup bangsa serta negara dari manapun dan siapapun. Nilai yang kedua adalah sadar akan berbangsa dan bernegara, yaitu dengan membina kerukunan menjaga persatuan dan kesatuan dari lingkungan terkecil atau keluarga, lingkungan masyarakat, lingkungan pendidikan, dan lingkungan kerja; mencintai dan melestarikan budaya bangsa dan produksi dalam negeri; mengakui, menghargai, dan menghormati bendera merah putih, lambang negara dan lagu kebangsaan indonesia raya; menjalankan hak dan kewajiban sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dan mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi, keluarga dan golongan (http://www.dmcindonesia.web.id/ diakses 20 Juni 2016). Nilai ketiga adalah yakin kepada Pancasila sebagai ideologi negara, yaitu memahami hakikat atau nilai Pancasila, melaksanakan nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, menjadikan Pancasila sebagai pemersatu bangsa dan negara, serta yakin pada kebenaran Pancasila sebagai ideologi negara. Nilai keempat adalah rela berkorban untuk bangsa dan negara, yaitu bersedia mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran untuk kemajuan bangsa dan negara, siap mengorbankan jiwa dan raga demi membela bangsa dan negara dari berbagai ancaman, berpastisipasi aktif dalam pembangunan masyarakat, bangsa dan negara, gemar membantu sesama warga negara yg mengalami kesulitan, serta yakin dan percaya bahwa pengorbanan untuk bangsa dan negara tidak sia-sia (http://www.dmcindonesia.web.id/ diakses 20 Juni 2016). Seni tradisi yang sarat simbol sebagai ekspresi religiusitas, etika, dan estetika memang relevan dijadikan pondasi sosial. Malahan seni tradisi tidak jarang terlahir karena terinspirasi oleh religi lokal yang juga merupakan ekspresi untuk memahami realitas tertinggi. Konsep Siwanataraja misalnya, yang begitu populer pada masyarakat Hindu adalah penggambaran Siwa sebagai penari kosmis, sekaligus merupakan visualisasi dari filsafat Saiwa Siddhanta. Siwa diyakini sebagai pencipta seni dan sekaligus menjadi tujuan kreativitas yang dipersembahkan (Suamba, 2003:5). Kehadiran Yang Illahi dalam kreativitas seni menegaskan orientasi kesenian sebagai media persembahan kepada Tuhan. Di sinilah seni menjadi tradisi religius yang dibangun di atas kerangka keTuhanan, keseimbangan hidup, kalangwan (kelangenan), tuntunan, dan taksu. Lebih lanjut Sedyawati (2006) menegaskan karya seni itu menggugah rasa, yang berkisar pada rasa indah, rasa haru, rasa hormat, kagum, dan empati terhadap perikehidupan di alam ini. Dengan demikian, kehadiran spirit keTuhanan, kemanusiaan, estetika, dan etika telah menjadi keutamaan dari seni tradisi nusantara pada setiap zamannya. Ketika seni tradisi Indonesia telah melingkupi nilai-nilai keTuhanan, kemanusiaan, dan lingkungan alam pada setiap zamannya, maka seni tradisi ini tetap relevan untuk membangun dan mengembangkan sistem nilai pada zaman kini. Dalam hal ini seni tradisi menjadi penting dan

187

relevan dalam pengembangan nilai-nilai kebangsaan termasuk dalam pengembangan spirit bela negara sebagai salah satu komponen pertahanan nasional. Pemahaman mengenai seni tradisi yang berkelanjutan dalam perubahan (continuity in change) semestinya disandarkan pada nilai-nilai keutamaan di atas. Kepekaan pada pertanda zaman menjadi inspirasi lahirnya produk-produk kreatif dalam berkesenian baik, klasik maupun kreasi baru hingga kontemporer. Melalui pengalaman, kepekaan, imajinasi, dan kekayaan batin para seniman diharapkan mampu melahirkan karya yang mencerahkan masyarakat. Arah pengembangan seni menuju ―pencerahan‖ inilah yang mesti diupayakan oleh para seniman, kritikus seni, dan pemerintah demi terbentuknya jati diri bangsa yang kuat dan tangguh. Dengan demikian seni tradisi Indonesia dapat menjadi komponen yang relevan dan signifikan dalam upaya membangun semangat bela negara.

SENI TRADISI GEBUG SERAYA Gebug Seraya diperkirakan lahir pada saat terjadi kontak atau peperangan antara kerajan Karangasem dengan Lombok, yaitu sejak jatuhnya kerajaan Pejanggik pada tahun 1692 dengan mulainya Karangasem menanamkan kekuasaannya di pulau Lombok, sehingga pada tahun 1744 sudah berdiri kerajaan-kerajaan kecil di Lombok Barat yang semuanya diperintah oleh satu keluarga berasal dari Karangasem Bali (Agung, 1981: 13-20). Peperangan yang terjadi antara kerajaan Karangasem dengan Lombok melibatkan orang-orang Seraya sebanyak 40 orang (sorohan petang dasa) sebagai pasukan atau prajurit pilihan Raja Karangasem (I Gusti Ketut Karangasem) bersenjatakan tombak dan perisai yang posisinya ada di barisan paling depan (Agung, 1981: 16). Menurut pemaparan Bapak Nyoman Matal (Bendesa Adat desa Seraya Karangasem), Gebug Seraya berasal dari dua kata yaitu Gebug dan Seraya. Gebug artinya memukul, megebug artinya saling memukul, magegebug berarti penyerangan atau berperang. Sedangkan kata Seraye bisa dimaknai sebagai nama desa Seraya, juga bisa dimaknai sebagai kanti atau teman (dalam bahasa Pedalangan disebut kunti seraye) yang siap membantu Raja dalam bidang keprajuritan (militer), baik untuk perang antar kerajaan di Bali maupun menghadapi kerajaan di luar Bali. Fungsi Gebug Seraya adalah: (1) sebagai sebuah permainan perang, terkait dengan peperangan pada masa-masa kerajaan Karangasem berfungsi melatih ketangkasan, kelihaian memainkan senjata (penyalin) dan tameng (ende) yang diimbangi dengan keberanian melawan musuh. Sesungguhnya yang terpenting dalam hal ini adalah makna yang terkandung di dalamnya, yaitu melatih kepintaran, melatih ketangkasan, melatih kekuatan, melatih kedisiplinan serta melatih kejujuran sebagai seorang abdi Raja; (2) sebagai sebuah ritual menurunkan atau proses mengundang hujan apabila musim kemarau yang berkepanjangan melanda desa Seraya dengan mengadakan sebuah permainan; (3) sebagai sebuah hiburan rakyat oleh masyarakat Seraya Karangasem (wawancara 15 Juli 2016, di Seraya Barat). Hari baik menurut tradisi masyarakat Seraya untuk menyelenggarakan Gebug Seraya sebagai ritual mendatangkan hujan dilaksanakan sesudah upacara usaba desa atau ngusaba di Pura Puseh yaitu Purnamaning Kapat setiap bulan keempat menurut perhitungan bulan atau kalender Bali bertempat di halaman (natah) Pura Bale Agung Desa Seraya yang konon merupakan tempat berkumpulnya prajurit-prajurit Seraya sebelum berangkat ke medan pertempuran, di sini mereka mengadakan latihan memainkan tombak dan tameng. Satu-persatu prajurit (sorohan petang dasa) kemudian masuk ke dalam (jeroan) Pura Puseh yang merupakan stana dari Dewa Wisnu untuk melempar tombak ke sebuah batu besar. Apabila tombak yang dilempar ke batu tersebut mengeluarkan api, berarti orang tersebut diperbolehkan ikut ke medan pertempuran, namun jika sebaliknya tombak yang dilempar patah, maka orang tersebut belum diperbolehkan untuk ikut. Maka dari itu Pura Bale Agung menjadi satu-satunya tempat yang dipercaya oleh para tokoh agama, adat serta seluruh masyarakat Seraya sebagai tempat dilangsungkannya ritual Gebug Seraya. Menurut Bapak Nyoman Matal jika dihubungkan dengan pura kahyangan desa, ada salah satu pura dengan sebutan Pura Bale Sang Hyang di desa Seraya. Bale ada yang memberikan arti rumah

188

manusia, menurut saya makna bale dapat dilihat dari perubahan pengejaan yang pada akhirnya kata bale menjadi bala (prajurit). Berdasarkan kepercayaan dan keyakinan masyarakat desa Seraya, sampai saat ini bahwa Pura Bale Sang Hyang merupakan tempat para prajurit berlatih sebelum berperang dan di pura ini ada Arca Lingga Dewa Indra yang merupakan dewa perang sehingga atas restu Dewa Indra pasukannya menjadi kuat (wawancara 15 Juli 2016, di Seraya Barat). Kewajiban terakhir yang harus ditaati oleh seluruh pemain pada saat magebug adalah mematuhi peraturan permainan. Aturan-aturan main tersebut berupa (1) Tidak boleh memukul di bawah pinggang; (2) Tidak boleh memukul lawan yang belum siap misalnya saat lawan sedang mencoba ende dan belum mengangkat ende untuk mulai berhadapan; (3) Tidak boleh memukul dengan membalikkan penyalin atau mempergunakan bongkol (pangkal) penyalin; (4) Tidak boleh memukul ketika lawan meminta berhenti sejenak (cub), misalnya karena ada sesuatu yang terlepas seperti udeng, saput maupun penyalin atau ende; (5) Tidak boleh melewati batas yang sudah ditentukan; (6) Tidak boleh maruket, hal ini biasanya terjadi ketika sudah terjadi kesengitan antara kedua pemain dan biasanya langsung dilerai oleh pakembar atau saya (wasit) (wawancara dengan Bapak Komang Nisma, 17 Juli 2016).

Foto: Prosesi Gebug Seraya (Dokumen Sustiawati)

SENI TRADISI MED-MEDAN Tradisi yang disebut Med-medan ini tampak sederhana, namun memiliki makna yang luas yakni makna religi, solidaritas dan budaya. Med-medan adalah suatu mitologi yang diterima sebagai warisan masyarakat Banjar Kaja Sesetan secara turun-temurun dari generasi tua sampai generasi saat ini. Menurut Tim Penyusun Kamus Bali Indonesia (Warna, dkk, 1991: 475-476), kata dasar moomed-omedan adalah omed. Kata omed diulang menjadi omed-omed mendapat konfiks ma-an, sehingga kata itu menjadi maomed-omedan yang artinya bertarik-tarikan (dalam kegiatan ini tanpa alat apapun alias tangan kosong). Beradasarkan uraian dalam kamus tersebut, secara gramatikal kata maomed-omedan atau momed-omedan adalah lebih tepat untuk menamakan tradisi tersebut. Setiap tahun Med-medan dilaksanakan untuk menyongsong Tahun Baru Saka dikaitkan dengan ajaran agama, terutama rangkaian urutan melis, tawur, nyepi dan ngembak geni. yang merupakan ajang masima karma. Upacara tradisi Med-medan ini diadakan pada hari ngembak geni dimulai tepat pukul 15.00 Wita, semua peserta dan Prajuru Banjar telah siap di tempat yang ditentukan (di Aula Bale Banjar) dengan urutan kegiatan, (1) upacara pembukaan singkat oleh Prajuru Banjar; (2) persembahyangan bersama; (3) dharma santi atau masima karma dan tari-tarian Bali (tari lepas); (4) Med-medan di depan Bale Banjar; (5) makan bersama; dan (6) penutup. Berdasarkan hasil wawancara dengan I Gusti Ngutah Oka Putra salah seorang keturunan Jero Banjar Kaja atau Puri Oka Banjar Kaja Kelurahan Sesetan menjelaskan awal pelaksanaan sebelum tahun 1980 tradisi Med-medan sebagai berikut, bahwa leluhurnya yang bernama Anak Agung Made Raka yang dijulukinya Ida Bhatara Kompiang oleh sentananya menjadi pemucuk atau

189

mengatur pemerintahan di Desa Sesetan pada saat Hari Nyepi Ida Bhatara Kompiang menderita sakit keras, walau sudah diobati ke berbagai dukun, tetapi tidak sembuh, beliau sulit berdiri apalagi berjalan. Kepada warga di Banjar Kaja Sesetan beliau berpesan agar mereka tidak menjenguk beliau dan jangan mengadakan keramaian atau ribut-ribut di depan Puri. Ketika Hari Nyepi tiba, warga di Banjar Kaja Sesetan sedih dan kecewa, karena adanya larangan seperti di atas. Di tengah kesedihan dan kekecewaan yang dirasakan masyarakat pada saat itu, ada beberapa di antaranya yang mencoba melanggar larangan tokoh Puri dengan memberanikan diri tetap melaksanakan tradisi Med-medan yang telah diwarisinya sejak nenek moyangnya. Akhirnya Med-medan pun ramai seperti sedia kala. Ida Bhatara Kompiang sedang sakit keras di tempat tidurnya menjadi marah dan seketika itu juga memerintahkan keluarganya untuk menghantarkan beliau ke depan Puri, maksudnya tokoh Puri akan memarahi para abdinya, menghentikan keributan yang terjadi di depan puri dan akan mengusirnya, supaya suasana menjadi tenang. Pada saat beliau diantar ke luar Puri, sakitnya dirasakan berkurang dan sampai di tempat rakyat berkumpul sakitnya sama sekali tidak terasa dan merasa sehat seperti sedia kala. Seketika itu pula tokoh Puri mengurungkan niat beliau melarang keramaian, malahan berkehandak sebaliknya. Beliau kemudian menyarakan kepada khalayak, agar keramaian Med-medan diteruskan sesuai dengan tradisi yang ada dan Beliau merasakan ada sesuatu keajaiban yaitu yang pada awalnya beliau sakit seketika menjadi sehat (wawancara, 5 Juli 2016).

Foto: Seni Tradisi Med-medan (Dokumentasi Sustiawati)

Seni tradisi Med-medan memiliki kandungan nilai budaya yang mendalam, di antaranya: (1) Nilai Religi, yakni upacara ritual penghormatan (bakti) terhadap Leluhur dan Ida Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Secara psikologis para peserta upacara percaya diri, merasa aman, dan optimis akan keselamatan dan kesejahteraan yang akan diterimanya, karena itu pelaksanaan upacara dilaksanakan secara rutin dengan rasa ketulus ikhlasan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa upacara tradisi Med-medan sebagai wadah kearifan lokal merupakan sarana masyarakat warga Banjar Kaja Kelurahan Sesetan sebagai salah satu bentuk perlindungan manusia untuk menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan; (2) Nilai Kesetiakawanan (Menyama Braya), artinya tradisi Med-medan berfungsi sosial yaitu untuk memupuk rasa kesetiakawanan atau menyama braya di antara masyarakat warga Banjar Kaja Kelurahan Sesetan. Slogan: saling asih, saling asah, dan saling asuh, artinya; selalu mengutamakan hidup yang selaras, serasi, harmonis dan berkeseimbangan dalam hubungannya dengan orang lain terbangun dalam pelaksanaan tradisi Med-medan dan menjiwai aktivitas sosial mereka dalam kehidupan sehari-hari di Banjar Kaja Kelurahan Sesetan; (3) Nilai Keharmonisan, tradisi Med-medan sebagai wadah kebersamaan dan sebagai wadah resolusi konflik, artinya guna menjaga keseimbangan dan keutuhan masyarakat di wilayah Banjar Kaja Kelurahan Sesetan memerlukan adanya pengendalian sosial yang dianggap

190

dapat berperan positif dalam mengurangi ataupun menyelesaikan terjadinya konflik.; (4) Nilai Solidaritas, tradisi Med-medan sebagai wadah kearifan lokal ikut memupuk dan melestarikan solidaritas dan persatuan masyarakat warga Banjar Kaja Kelurahan Sesetan. Konsep saling asih, saling asah, saling asuh mengajarkan untuk memahami dan menghayati serta melaksanakan prinsip berperilaku untuk mencintai, mengajari, dan mengasuh atau mengawasi saudara dan tetangga dekat. Konsep ini juga berarti saling memberi dan saling meminta, baik dalam keadaan suka maupun duka (bergotong royong dalam hidup bermasyarakat); (5) Nilai Hiburan, tradisi Med- medan biasanya berlangsung semarak, kemeriahan itu diperlihatkan pemain Med-medan dan para penonton karena mampu memberi kesenangan dan hiburan, dapat bertemu dengan kerabat lamanya, juga dapat berkenalan dengan kaum remaja putra/putri di tempat pertunjukan; (6) Nilai Ekonomi, secara sosio-ekonomis upacara pelaksanaan tradisi Med-medan merupakan salah satu institusi nonformal yang dapat menggerakkan masyarakat di Banjar Kaja Kelurahan Sesetan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup mereka. Para tamu yang datang merupakan potensi ekonomi yang dapat diperoleh masyarakat setempat sebagai hasil dari penyelenggaraan upacara pelaksanaan tradisi Med-medan. Tamu-tamu tersebut baik tamu asing maupun domestik tentu membelanjakan uangnya di Banjar Kaja Kelurahan Sesetan, seperti membeli makanan, minuman, kipas asli cendana atau eben, dan barang-barang yang beraneka macam yang terpajang di toko-toko di pinggir jalan di sekitar lokasi itu.

SENI TRADISI MAGOAK-GOAKAN Magoak-goakan telah menjadi tradisi rakyat atau penduduk desa pakraman Panji Buleleng, biasanya dilaksanakan pada hari Ngembak Geni (sehari setelah hari raya Nyepi) di lapangan desa pakraman Panji. Nama Magoak-goakan diambil dari nama Burung Gagak (Goak yang gagah) yang terinspirasi ketika melihat burung ini tengah mengincar mangsanya. Magoak-goakan ini diperkirakan sudah ada pada masa pemerintahan Ki Gusti Ngurah Panji Sakti di Buleleng (hasil wawancara dengan I Gusti Nyoman Tiga, 7 Juli 2016). Diceritakan pada suatu hari Ki Gusti Ngurah Panji Sakti sedang termenung memikirkan cara yang tepat untuk mengalahkan kerajaan Blambangan di Jawa Timur. Tiba-tiba beliau tersentak, karena di halaman istana para pemuda sedang bermain Magoak-goakan. Awalnya Ki Gusti Ngurah Panji Sakti hanya menyaksikan rakyatnya bermain Magoak-goakan, selanjutnya beliau mendapat satu gagasan bahwa permainan Magoak-goakan ini dapat dimanfaatkan untuk mencapai keinginannya menaklukkan kerajaan Blambangan. Beliau pun mengajak Truna Goak (rakyatnya) untuk bermain goak-goakan dan masing-masing gagak yang menang boleh minta sesuatu kepada raja sebagai hadiah. Hal tersebut menjadikan banyak prajuritnya ikut serta bermain Magoak-goakan. Kesempatan pertama raja menunjuk prajuritnya untuk menjadi goak (orang yang ada paling depan barisan) dan berusaha menangkap peserta yang paling belakang (ekor barisan, yang disebut kacang). Setelah semua pemain mendapat giliran jadi goak dan kacang, tibalah giliran raja untuk menjadi goak. Saat raja bermain, posisi raja dalam permainan itu mempunyai derajat yang sama dengan rakyatnya. Sang raja berusaha sekuat tenaga dapat menangkap ekor (pemain yang terakhir). Setelah ekor berhasil ditangkap oleh raja, maka raja berhak meminta hadiah dari rakyatnya. Adapun permintaan yang diminta oleh raja saat itu adalah kesediaan rakyat untuk bersedia bersama-sama menggempur kerajaan Blambangan di Jawa Timur. Rakyat bersorak untuk mendukung keinginan rajanya, dan permintaan raja tersebut mampu membangun prajurit yang tangguh, sebagai pertahanan kerajaan yang akan dilatih untuk melawan kerajaan Blambangan. Tujuan sebenarnya adalah membangun dan mengobarkan semangat teruna goak melawan musuhnya yaitu kerajaan Blambangan di Jawa Timur (Simpen, 2002:34). Magoak-goakan ini bertemakan kepahlawanan yang awalnya dimainkan oleh pemain putra yang diatur dengan pola lantai membentuk garis lurus berjejer, namun perkembangan selanjutnya sebagai sebuah pertunjukan Magoak-goakan juga dimainkan oleh pemain putri. Adapun nilai-nilai yang dapat ditemukan dalam tradisi Magoak-goakan adalah: (1) Nilai Religi, tradisi Magoak-

191

goakan ini menjadi tolak ukur masyarakat Desa Panji untuk penghormatan terhadap Raja Ki Gusti Ngurah Panji Sakti dengan pasukannya yang bernama Truna Goak. Tradisi Magoak-goakan dapat dikaitkan dengan ajaran agama Hindu yaitu konsep Tri Hita Karana artinya tiga hubungan yang harmonis yang menyebabkan kebahagiaan bagi umat manusia. Tiga hubungan yang harmonis antar manusia dengan penciptanya (prahyangan), manusia dengan alam (palemahan), dan manusia dengan sesamanya (pawongan). Dalam pelaksanaan Magoak-goakan melalui mendekatkan diri dengan Dewa-Dewi dan para leluhur, diawali dengan persembahyangan di pura Pajenengan Panji untuk memohon keselamatan agar manusia dapat menjalin rasa persaudaraan dan selalu menjaga lingkungannya; (2) Nilai Etika, Tradisi Magoak-goakan mengandung nilai (a) kebenaran dan kejujuran. Unsur kebenaran dan kejujuran dalam Magoak-goakan dapat dilihat dari tokoh Ki Gusti Ngurah Panji Sakti saat rakyatnya bermain Magoak-goakan. Beliau berjanji akan memberikan hadiah apapun yang diminta, jika prajurit goak tersebut berhasil menangkap ekor (prajurit yang berada paling belakang). Kejujuran dan kebenaran dari sikap Ki Gusti Ngurah Panji Sakti tersebut dapat mencerminkan tindakan yang baik menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri sendiri maupun pihak lain. Sikap kejujuran dan kebenaran tersebut sangat penting dan harus diterapkan pada lingkungan sekitar; (b) tanpa kekerasan, dalam Magoak-goakan dapat dilihat dari para pemain yang berlari-lari dan terjatuh berulang kali tanpa ada yang merasa dirugikan, para pemain juga menjaga barisan dengan memegang erat teman yang ada didepannya dan saling menjaga satu sama lain agar tidak terlepas dalam Magoak-goakan, hal ini menunjukkan sikap saling peduli; (c) kebajikan atau kemurahan hati, dalam Magoak-goakan dapat terlihat pada saat Ki Gusti Ngurah Panji Sakti melihat rakyatnya bermain Magoak-goakan, dengan tidak adanya rasa malu beliau ikut langsung dalam permainan tersebut. Masyarakatpun terkejut karena biasanya permainan ini dilakukan oleh masyarakat biasa, namun seorang raja pun ingin ikut bermain. Beliau merupakan raja yang bisa berbaur dan santun dengan masyarakat. Sikap kemurahan hati dari Ki Gusti Ngurah Panji Sakti termasuk pendidikan budi pekerti (dharmadana) yang patut ditiru oleh setiap orang; (d) ketekunan dan kerja keras, dalam Magoak-goakan dapat dilihat dari pemain goak berlari-lari dan mengincar ekor (penari paling belakang). Goak di sini dengan usaha dan ketekunannya mengincar ekor tersebut hingga tertangkap, dan sangat teliti dalam melihat gerak-gerik ekor yang selalu menghindar dari kejarannya, namun goak tetap bangkit dan semangat mengejar ekor tersebut hingga pada akhirnya dapat tertangkap. Pemain yang lain juga kerja keras menghalangi goak yang ingin mengincar ekor. Nilai ketekunan dan kerja keras yang terkandung dalam Magoak-goakan ini dapat diterapkan kepada masyarakat untuk selalu berusaha dengan kerja keras dan tekun agar mendapatkan hasil yang ingin dicapai; (e) keluhuran budi, dalam Magoak-goakan dapat dilihat dari sikap kesetiakawanan sosial, solidaritas para pemain dengan gerakan-gerakan lincah yang kadang kala berlari, menari, jongkok, merayap berputar-putar, berbalik, atau melompat ke sana ke mari untuk menjaga dan mempertahankan barisan agar terhindar dari incaran pemain goak, walaupun pada akhirnya ekor tersebut juga tertangkap. Kearifan lokal Magoak-goakan ini dapat memberi nilai-nilai penguatan dan memperteguh perilaku kesetiakawanan sosial yang sekarang ini semakin luntur, perlu dibangkitkan kembali sebagai pondasi memperkokoh kebhinekaan dan memperkuat restorasi social; (f) kepahlawanan. Pahlawan lekat sekali dengan tentara perang yang berjuang membela negara, mempertahankan kemerdekaan, menjaga keamanan, rela berkorban, cinta tanah air, senasib sepenanggungan memiliki nilai filsafat yang luar biasa yang membuat tidak egois, tidak sombong dan selalu mengedepankan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan golongan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau dan mampu menghargai sejarah perjuangan para pendahulunya, oleh karena itu, penggalian dan pelestarian seni tradisi yang sarat dengan nilai-nilai kepahlawanan terus dilakukan dan disebarluaskan serta diaktualisasikan oleh seluruh komponen bangsa; (2) Nilai Estetika, Magoak-goakan sebagai seni tradisi mengandung nilai keindahan yaitu dapat membangkitkan semangat dan rasa gembira bagi pemain dan para

192

penontonnya. Aksi kejar-kejaran yang dilakukan goak ingin menangkap ekor dan ekor dapat tertangkap oleh goak membuat penonton bersorak ria dan merasa terhibur.

Foto: Seni Tradisi Magoak-goakan (Dokumentasi: Sustiawati)

SENI TRADISI MAKEPUNG Makepung adalah seni tradisi yang berangkat dari keinginan untuk mengangkat kehidupan agraris dan kebudayaan tradisi masyarakat Kabupaten Jembrana yaitu kabupaten yang terletak di Bali Barat. Sejak bulan Desember tahun 2013 Makepung telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) Indonesia. Tradisi ini awalnya muncul dari kegiatan membajak sawah (proses melumatkan tanah menjadi lumpur) yang dilakukan secara gotong royong oleh para petani selama musim tanam di sawah. Dalam kegiatan membajak tersebut digunakan dua ekor kerbau yang menarik bajak lampit slau (bajak kayu tradisional) yang ditunggangi oleh seorang joki/sais. Dalam kegiatan gotong royong membajak sawah tersebut terdapat banyak bajak lampit yang masing- masing dtunggangi oleh seorang joki/sais, mulailah timbul rasa untuk saling mengadu kekuatan kerbau mereka masing-masing. Hal itulah yang menjadi cikal bakal perlombaan yang dinamakan Makepung dalam bahasa Indonesia berarti berkejar-kejaran antara dua pasang kerbau atau lebih guna untuk menjadi pemenang. Tradisi Makepung di sawah ini berkembang sekitar tahun 1930 dan sais/jokinya berpakaian seperti prajurit Kerajaan di Bali jaman dulu yaitu memekai destar, selendang, selempod, celana panjang tanpa alas kaki dan di pinggang terselip sebilah pedang yang memakai sarung poleng (warna hitam putih). Oleh karena pakaian para sais/joki selalu kotor dilumuri lumpur setelah Makepung di sawah, maka mulai tahun 1960 tradisi Makepung diadakan di jalan tanah dekat sawah. Organisasi Makepung sekarang ini terdiri atas dua kelompok, yakni kelompok yang berada di sebelah timur sungai Ijo Gading (blok timur), diberi Nama ―Regu Ijo Gading Timur‖ dengan lambang Bendera warna merah dan kelompok yang berada di sebelah barat Sungai Ijogading (blok barat), diberi Nama ―Regu Ijo Gading Barat‖ dengan lambang Bendera Warna Hijau. Ijo Gading adalah nama sebuah sungai yang membelah jantung Kota Negara, ibu kota kabupaten Jembrana, menjadi dua bagian yaitu belahan kota sebelah barat sungai Ijo Gading dan belahan sebelah timur sungai Ijo Gading (wawancara dengan I Ketut Suwentra, 9 Juli 2016). Sarana yang dipakai bukan lagi bajak lampit melainkan cikar/gerobak dengan ukuran yang lebih kecil yang dihiasi dengan ukiran di tambah aksesoris lain dan tongkat rotan yang berisi paku (alat pemukul kerbau). Cikar ini nantinya sebagai tempat si tukang lempang (joki) dalam mengendalikan kerbau. Tongkat rotan yang berisi paku digunakan untuk memukul kerbau agar ia terpacu lebih cepat dalam berlari, dan luka yang membekas pada kulit kerbau dapat disembuhkan dengan obat tradisional, salah satunya memakai getah dari pohon pisang (diambil dari kerikan batang pohon pisang muda yang masih segar). Para sais/joki berbusana tradisional yaitu memakai destar batik, baju tangan panjang memakai selempod, memakai celana panjang dan memakai

193

sepatu tetapi tidak menyelipkan pedang pada pinggang. Kerbau yang digunakan dalam perlombaan makepung adalah kerbau jantan yang khusus dipersiapkan untuk Makepung. Kerbau jantan hitam disebut dengan kebo, sedangkan kerbau jantan putih (bule) disebut dengan misa. Kerbau-kerbau ini tidak hanya berasal dari Bali saja, tetapi dari luar Bali juga. Seperti dari Jawa dan Sulawesi. Kerbau yang khusus untuk Makepung ini sudah dilatih sejak umur 2 tahun (wawancara dengan I Ketut Gama, 13 Juli 2016).

Foto: Seni Tradisi Makepung (Dokumentasi: Sustiawati)

Sebagai upaya pelestarian, pengembangan dan penyebarluasan kepada generasi penerus, maka tradisi Makepung dilaksanakan setiap tahun, yaitu pada saat para petani selesai panen di sawah sekitar bulan Juli sampai Oktober, baik itu berupa latihan, pertandingan persahabatan, perebutan piala Bupati (Bupati cup) maupun perebutan piala Gubernur (Gubernur cup). Dalam tradisi Makepung ini bukan hanya untuk mengejar materi semata melainkan untuk melestarikan suatu warisan budaya lokal yang mempunyai nilai-nilai luhur dari para pendahulu kita (wawancara dengan I Ketut Suwentra, 9 Juli 2016). Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tradisi Makepung adalah (1) dapat menciptakan rasa kekeluargaan, mempererat hubungan antar masyarakat, dan memupuk rasa kesetiakawanan di antara masyarakat, sehingga dapat berperan positif dalam mengurangi ataupun menyelesaikan terjadinya konflik; (2) aspek religius yaitu rasa terima kasih dan wujud syukur terhadap karunia yang Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan jiwa pada ciptaannya dan yang mengatur gerak atau peredaran alam semesta ini; (3) memiliki nilai semangat yang tinggi untuk mencapai tujuan; (4) mempertahankan konsep tradisi mengenang kehidupan masyarakat agragris terdahulu, yang mana saat ini sudah beralih dengan menggunakan teknologi mesin yaitu traktor, yang pada awalnya menggunakan kerbau untuk membajak sawah.

SIMPULAN Pemberdayaan seni tradisi sebagai kekayaan budaya nasional melalui pengembangan dan peningkatan mutu akan mendorong berkembangnya kehidupan masyarakat fluralis yang menghormati perbedaan. Selain itu, mengingat seni tradisi yang lazimnya berkaitan erat dengan aktivitas keagamaan dalam suatu wilayah etnis, maka pembinaan terhadap seni tradisi akan mendorong peningkatan penghayatan, pengamalan, dan peribadatan. Religiusitas masyarakat juga dapat menjadi potensi besar dalam pembangunan dan pengembangan pertahanan nasional. Dalam hal ini, seni tradisi menjadi penting dan relevan dalam pengembangan nilai-nilai kebangsaan termasuk dalam pengembangan spirit bela negara sebagai salah satu komponen pertahanan nasional. Pemahaman mengenai seni tradisi yang berkelanjutan dalam perubahan (continuity in change) semestinya disandarkan pada nilai-nilai keTuhanan, kemanusiaan, dan lingkungan alam pada setiap zamannya, maka seni tradisi ini tetap relevan untuk membangun dan mengembangkan sistem nilai pada zaman kini dan seni tradisi Indonesia dapat menjadi komponen yang relevan dan signifikan dalam upaya membangun semangat bela negara.

194

Integrasi nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan lingkungan alam yang terkandung dalam seni tradisi sebagai kearifan lokal diperlukan mulai pendidikan sejak dini. Pemilihan jenjang pendidikan SD karena merupakan pendidikan dasar, di mana pada jenjang tersebutlah sebagai pondasi pembentukan karakter dan peletakan dasar ilmu pengetahuan.

DAFTAR PUSTAKA Ayatrohaedi. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Localgenius). Jakarta: Pustaka Jaya. Cote, Paulette. 2006. The Power of Dance in Society and Education: Lessons Learned from Tradition and Innovation, Provide a Solid Foundation for Dance Education. The Journal of Physical Education, Recreation & Dance, Vol. 77. Damayanti, Deni. 2014. Panduan Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta: Araska. Dantes, N. 2014. Landasan Pendidikan, Tinjauan dari Dimensi Makropedagogis. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Pendidikan Ganesha Program Pascasarjana. Singaraja Depdiknas, 2006. Panduan Pengembangan Silabus Mata Pelajaran Seni Budaya Sekolah Menegah Pertama. Direktoral Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Direktorat Pendidikan Sekolah Mengenah Pertama. Jakarta. Djelantik, A.A.M. 2004. Estetika Sebuah Pengantar. Bandung : Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI). Fuad Hassan. 1989. Renungan Budaya. Jakarta: Balai Pustaka. Gagnon dan Collay, 2001. Pengertian Komponen dan Desain. (didownload dari http:// www.taufiqslow.com/2012/01/. Diakses tanggal 2 Maret 2015). http:// www.taufiqslow.com/2012/01/ pengertian-komponen-dan desain.html Komalasari, Heni. 2007. Aplikasi Model Pembelajaran Tari Pendidikan di SDN Nilem 2 Bandung. Laporan Hasil Penelitian. FPBS Universitas Pendidikan Indonesia Bandung Miarso Yusufhadi. 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta. Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan Pustekkom Diknas Mudji Sutrisno. 2009: 110 dalam Artikel Mudra, https://core.ac.uk/download/pdf/12238593.pdf Muhammad, Abdulkadir. 2005. Ilmu Sosial Budaya Dasar. : PT. Citra Aditya Bakti. Purna, I Made. 2001. Fungsi Kearifan Lokal Dalam Upacara Peserta Ponan Pada Kehidupan Masyarakat Desa Poto (Tesis, belum diterbitkan) Ruslan, Rosady. 2001. Etika Kehumasan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sartini. 2006. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati. http://filsafat.ugm.ac.id, diakses tanggal 20 Maret 2015. Simpen, I W. 2003. Riwayat Kerajaan Buleleng (Buku Sejarah Ki Barak Panji Sakti). Surabaya: SIC. Soehardjo, 2005. Pendidikan Seni dari Konsep sampai Program. Buku Satu, Malang: Balai Kajian Seni dan Desaín Jurusan Pendidikan Seni dan Desain Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Soekanto, Soeryono. 2003. Sosiologi (Suatu Pengantar). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Suarka, Nyoman, dkk. 2011. Nilai Karakter Bangsa dalam Permainan Tradisional Anak-Anak Bali. Denpasar: Udayana University Pers Kampus Universitas Udayana Denpasar. Suhardana, K.M. 2006. Pengantar Etika dan Moralitas Hindu: Bahan Kajian Untuk Memperbaiki Tingkah Laku. Surabaya: Paramita. Suseno, Frans Magniz. 1993. Etika Jawa, Sebuah Analisis Falsafah Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sustiawati. 2008. Pengembangan Manajemen Pelatihan Seni Tari Multikultur Berpendekatan Silang Gaya Tari Bagi Guru Seni Tari Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Denpasar. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana UM. Wiana, Ketut. 2002. Makna Upacara dalam Agama Hindu. Surabaya; Paramita.

195

Windia, Nyoman. 2006. Konsep Tri Hita Karana dalam Tradisi Bali. Surabaya; Paramita. Yetti, Elindra. 2011. Tari Pendidikan Sebagai Upaya Pembentukan Karakter Anak Usia Dini Melalui Penerapan Model Pembelajaran Terpadu. Proceeding. Seminar Nasional ―Seni Berbasis Pluralitas Budaya Menuju Pendidikan Karakter ―Pembelajaran Tari Pendidikan Sebagai Upaya Pembentukan Karakter Anak Usia Dini Melalui Model Pembelajaran Terpadu‖ ISBN: 979-26-1879-1, Hal. 18 – 28, Yogyakarta, 11-12 November 2011

196

TARI PENYAMBUTAN DALAM INDUSTRI BUDAYA SEBUAH REPRESENTASI IDENTITAS

Oleh I Gusti Ngurah Seramasara Jurusan Pendidikan Sendratasik, Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Denpasar

Abstrak Perkebangan periwisata telah mengantarkan Bali memasuki era ekonomi modern dengan mengekemas budaya tradisional menjadi industri pariwisata, sehingga Bali saat ini lebih dikenal sebagai pusat industri pariwisata yang berbasi budaya tradisional. Istilah industri pariwisata mulai dikenal sejak dikeluarkanya Instruksi Presiden. RI. No 9 tahun 1969. Berdasarkan Inpres No 9 tahun 1969 itu, pengembangan pariwisata Bali diarahkan pada pengembangan Industri Pariwisata. Untuk mengembangkan Industri Pariwisata, maka Industri budaya menjadi acuan pokok. Kebijakan itu sangat mengkhawatirkan bagi eksistensi budaya Bali yang bisa mengarah pada prinsip-prinsip komersialisme, sehingga budaya Bali akan punah. Sebagai bagian dari Republik Indonesia, Bali tidak mungkin menentang kebijakan pemerintah yang berorientasi pada pengembangan industri pariwisata, tetapi oleh pemerintah daerah Bali, diterapkan dengan konsep pariwisata budaya. Penerapan konsep pariwisata budaya bertujuan supaya identitas budaya Bali tetap dapat dipertahankan. Terkait dengan pengembangan pariwisata muncul wacana yang sangat menggelitik, pariwisata untuk Bali atau Bali untuk pariwisata. Wacana itu mengingatkan kepada orang Bali, tentang bahaya globalisasi yang diantarkan oleh pariwisata akan berdampak pada punahnya budaya Bali. Seni pertunjukan sebagai salah satu budaya tradisional pada dasarnya merupakan representasi identitas yang perlu dipertahankan, ternyata telah menjadi ajang komersial untuk diperjual belikan pada wisatawan. Tari penyambutan mempresentasikan karakteristik orang Bali yang penuh dengan rasa hormat pada orang lain atau tamu, sopan, ramah dan indah telah berkembang menjadi kemasan industri pariwisata agar orang asing tertarik ke Bali menginvestasikan uangnya. Klasifikasi seni pertunjukan menjadi seni wali, bebali, dan balih-balihan merupakan rekayasa budaya yang dapat diidentifikasi berdasarkan pemikiran. Sebagai rekayasa budaya klasifikasi seni pertunjukan itu dikerjakan oleh aktor intelektual, untuk mempertahankan tatanan sosial agar tidak terjadi penyimpangan. Intelektual sebagai aktor yang mewujudkan klasifikasi seni menjadi seni wali, bebali, dan balih-balihan, telah diterima sebagai kesepakatan sosial oleh masyarakat Bali. Kesepakatan sosial itu, tanpa disadari telah mengandung perencanaan untuk memperjual belikan kesenian Bali. kata kunci : tari penyambutan, industri pariwisata, tradisi

PENDAHULUAN Perkebangan periwisata telah mengantarkan Bali memasuki era ekonomi modern dengan mengekemas budaya tradisional menjadi industri pariwisata, sehingga Bali saat ini lebih dikenal sebagai pusat industri pariwisata yang berbasi budaya tradisional. Istilah industri pariwisata mulai dikenal sejak dikeluarkanya Instruksi Presiden. RI. No 9 tahun 1969. Dalam bab 2 pasal 3 Inpres itu disebutkan bahwa, ―Usaha usaha mengembangkan pariwisata di Indonesia bersifat suatu pengembangan Industri Pariwisata dan merupakan bagian dari usaha pengembangan dan pembangunan kesejahteraan masyarakat dan negara‖ (Yoeti, 1985: 138-139). Berdasarkan Inpres No 9 tahun 1969 itu, pengembangan pariwisata Bali diarahkan pada pengembangan Industri Pariwisata. Untuk mengembangkan Industri Pariwisata, maka Industri budaya menjadi acuan pokok. Kebijakan itu sangat mengkhawatirkan bagi eksistensi budaya Bali yang bisa mengarah pada prinsip-prinsip komersialisme, sehingga budaya Bali akan punah. Sebagai bagian dari Republik Indonesia, Bali tidak mungkin menentang kebijakan pemerintah yang berorientasi pada pengembangan industri pariwisata, tetapi oleh pemerintah daerah Bali, diterapkan dengan konsep pariwisata budaya. Pnerepan konsep pariwisata budaya bertujuan supaya identitas budaya Bali tetap dapat dipertahankan. Pengembangan Bali sebagai daerah tujuan wisata dapat disadari akan menjadi arena pertemuan budaya dari berbagai negara

197

yang dikhawatirkan dapat mempengaruhi budaya Bali. Terkait dengan pengembangan pariwisata muncul wacana yang sangat menggelitik, pariwisata untuk Bali atau Bali untuk pariwisata. Wacana itu mengingatkan kepada orang Bali, tentang bahaya globalisasi yang diantarkan oleh pariwisata akan berdampak pada punahnya budaya Bali. Konsep pariwisata budaya dengan menempatkan seni pertunjukan sebagai identitas budaya, merupakan representasi identitas untuk membentengi budaya Bali. Representasi identitas bertujuan untuk memberikan arah terhadap pariwisata agar budaya Bali tidak di gilas oleh dampak negatif perkembangan pariwisata. Konsep pariwisata budaya ternyata merupakan wacana semu, karena telah memberikan kesadaran palsu terhadap perkembangan pariwisata di Bali. Kenyataanya telah terjadi industri budaya sebagai dampak munuclnya penanaman modal (investasi) di sektor pariwisata. Industri budaya merupakan objek industri pariwisata, karena wisatawan yang datang ke Bali, pada umunya ingin menikamti budaya tradisional Bali. Seni pertunjukan sebagai salah satu budaya tradisional pada dasarnya merupakan representasi identitas yang perlu dipertahankan, ternyata telah menjadi ajang komersial untuk diperjual belikan pada wisatawan. Tari penyambutan mempresentasikan karakteristik orang Bali yang penuh dengan rasa hormat pada orang lain atau tamu, sopan, ramah dan indah telah berkembang menjadi kemasan industri pariwisata agar orang asing tertarik ke Bali menginvestasikan uangnya. Klasifikasi seni pertunjukan menjadi seni wali, bebali, dan balih-balihan merupakan rekayasa budaya yang dapat diidentifikasi berdasarkan pemikiran Gramsci sebagai hegemoni kultural (Said, 2010:9). Sebagai rekayasa budaya klasifikasi seni pertunjukan itu dikerjakan oleh aktor intelektual, untuk mempertahankan tatanan sosial agar tidak terjadi penyimpangan. Intelektual sebagai aktor yang mewujudkan klasifikasi seni menjadi seni wali, bebali, dan balih-balihan, telah diterima sebagai kesepakatan sosial oleh masyarakat Bali. Kesepakatan sosial itu, tanpa disadari telah mengandung perencanaan untuk memperjual belikan kesenian Bali. Intelektual dalam hal ini, menurut Bourdeau mempunyai kekuasaan simbolis, untuk menunjukan berbagai hal supaya orang banyak menjadi percaya (Mutahir, 2011: 92). Intelektual seperti itu disebut dengan intelektual organik, yaitu intelektual yang dapat meyakinkan orang untuk mempertahankan tatanan sosial tertentu berdasarkan hasil penelitian dan kajian. Untuk menghindari hancurnya budaya sebagai dampak industri pariwisata sangat dibutuhkan intelektual organik untuk membentuk dan memformulasikan ideologi agarberjalan secara linier serta dapat mengikuti perubahan (Santoso, dkk, 2010: 87). Intelektual menurut Antonio Gramsci dapat dibagi menjadi beberapa tipologi yaitu: 1) Inteletual tradisional adalah tipe intelektual yang menyebarkan ide-ide yang berfungsi sebagai mediator antara kelas rakyat dengan kelas atasannya, 2) Intelektual organik adalah tipe intelektual dengan badan penelitian dan studinya yang berusaha untuk memberikan refleksi atas keadaan namun terbatas pada kelompoknya seniri, 3) Intelektual kritis adalah tipe inteketual yang mampu melepaskan diri dari hegemoni penguasa elit kuasa yang sedang memerintah dan mampu memberikan pendidikan alternatif untuk proses pemerdekaan, 4) Intelektual universal, adalah tipe intelektual yang berusaha memperjuangkan proses peradaban dan struktur budaya yang memperjuangkan pemanusiawian (Mutahir, 2011: 5-6). Perjuangan intelektual, terutama intelektual organik dalam mempertahankan budaya Bali agar tidak digilas oleh perkembangan pariwsata, telah dilakukan melalui seminar seni sakral dan profan, kemudian ajeg Bali disebut politik perbentengan (Henk, 2002). Ajeg Bali, telah menjadi wacana ideologi intelektual organik yang penuh dengan perbincangan. Ajeg Bali terus berkembang sebagai wacana ideologi yang seolah-olah membentengi budaya Bali dengan menjual berbagai atribut untuk menunjukan ajeg Bali. Di lain pihak ajeg Bali dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis mendukung perkembangan investasi dalam bidang pariwisata. Kondisi nyata yang ada di Bali terkait dengan ajeg Bali sebagai benteng budaya telah diulas secara detaildan lugas oleh Henk (2005), dalam bukunya yang berjudul Bali Benteng Terbuka, 1995-2005.

198

Pariwisata dapat dianggap sebagai pendorong terjadinya transformasi budaya. Transformasi budaya itu telah mempengaruhi kehidupan masyarakat Bali seperti: 1) Perluasan Lapangan Kerja, 2) Meningkatkan penghasilan perkapita, 3) Meningkatnya kreativitas dalam bidang seni dan budaya khususnya seni pertunjukan. Transformasi budaya ini telah menimbulkan 1) Dorongan terhadap materialisme semakin kuat, 2) Gencarnya komersialisme, 3) Dan berkembangnya mentalitas Individualisme (Geriya, 1989: 45). Artinya arena produksi budaya menjadi arena ekonomi dan seni mulai diperjual belikan. Pariwisata adalah pasar untuk memasarkan seni budaya Bali, sehingga berbagai kreativitas muncul dalam bidang kesenian. Hal itu tidak terjadi hanya pada seni lukis, patung, kria tetapi juga terjadi pada seni pertunjukan. Pariwisata yang dirintis sejak jaman kolonial Belanda tahun 1930, kemudian dilanjutkan oleh pemerintah RI dengan diresmikannya Hotel Bali Beach pada tahun 1966, dan ditetapkan dengan Inpres No 9 tahun 1969, oleh Presiden Soeharto, telah menyebabkan munculnya toko-toko kesenian untuk memperjual belikan barang-barang kesenian. Sejak tahun 1930 telah terjadi komesialisasi seni pertunjukan untuk memenuhi selera konsumen yaitu wisatawan. Dengan demikian maka seni pertunjukan mulai dikemas menjadi komuditi wisata yang disebut dengan Psuedo Tradisonal Ritual Art (Soedarsono, 1986 ).

TARI PENYAMBUTAN DI ERA PARWISATA SEBAGAI INDUSTRI BUDAYA. Pahun 1930, pengaruh Belanda sangat kuat dalam bidang pemerintahan di Bali. Wilayah kerajaan disebut dengan Zelfbestuur dan raja disebut dengan Zelfbestuurder. Pejabat Belanda, Residen, Asisten Residen Controlir yang mengawasi jalannya pemerintahan merupakan orang- orang terhormat yang harus diberikan pelayannan khsusus. Kunjungan pejabat di atas ke kerajaan ditempatkan sebagai tamu-tamu kerajaan, baik terdiri dari para sahabat raja yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Penyambutan terhadap tamu-tamu kerajaan yang paling meriah sekitar tahun 1930-1938 dilakukan oleh raja Gianyar, I Dewa Manggis VIII (Agung, 1993) dengan menyuguhkan tari penyambutan dan berbagai kesenian tradisional Bali lainnya. Ketertarikan pejabat kolonial Belanda di Bali terhadap seni budaya Bali, dan keramah tamahan orang Bali yang diperlihatan melalui tari penyambutan, telah mengundang kedatangan wisatawan asing ke Bali. Kedatangan wisatawan asing pertama kali ke Bali diangkut oleh Kapal Perusahan Dagang Belanda yaitu Koninklij Pakevaark Maskapij (KPM). Berkembangnya pariwisata tari penyambutan, kemudian dikemas tidak hanya untuk menyambut tamu-tamu pemerintahan tetapi juga digunakan untuk menyambut kedatangan wisatawan ke Bali. Tari penyambutan merupakan seni kemasan sebagai hasil kreativitas seniman untuk mendukung perkembangan pariwisata, sehingga terjadi pergeseran paradigma seni. Seni pertunjukan tradisional Bali yang semula merupakan seni agama dan untuk pengabdian sosial menjadi seni untuk memenuhi kebutuhan komersial dan konsumerisme. Pariwisata juga telah mendorong penciptaan seni pertunjukan terutama tari penyambutan sebagai industri pariwisata untuk merepresentasikan identitas Bali agar memiliki nilai jual pada wisatawan. Untuk tujuan tersebut masing kabupaten/kota membuat mascot kabupaten/kota dalam bentuk tari kebesara, yang secara tidak sadar juga digunakan sebagai tari penyambutan. Kabupaten Gianyar membuat tari pucuk bang, kota Denpasar membuat tari sekar jempiring, kabupaten Badung membuat tari sekar jepun, kabupaten Klungkung membuat tari sekar sandat. Menurut konsep Mazhab Franfurt, Industri budaya merupakan arena produksi yang mencerminkan fetisisme komoditas, dominasi asas pertukaran, dan meningkatnya kapitalisme monopoli negara. Industri budaya membentuk selera dan kecendrungan massa sehingga mencetak kesadaran atas kebutuhan-kebutuhan palsu (Strinati, 2010: 107; Lelland, 2005: 41). Kesadaran palsu yang diciptakan pada tari penyambutan untuk kepentingan pariwisata, diproses melalui seminar seni sakral dan profan dan kebijakan mengenai konsep Pariwisata Budaya. Konsep pariwisata budaya merupakankesadaran palsu, sebagai pemikiran ideologis yang diyakinkan oleh intelektual organik dengan tujuan bahwa seni budaya Bali bisa diperjual belikan dan nilai sakral

199

masih bisa dipertahankan. Di sini nampak adanya ambivalemsi pemikiran, disatu pihak dibutuhan untuk pariwisata dan disatu pihak bisa dipertahankan sebagai seni budaya yang bersifat sakral. Gambaran ideologis di atas telah mendorong munculnya berbagai jenis seni pertunjukan kemasaan yang disebut dengan pseudo tradisional art. Sebagai Sebuah industri budaya tari panyambutan dikemas tidak hanya untuk kepentingan pengembang kesenian, tetapi mempunyai rencana yang besar melebihi rencana pengembangan seni budaya, yaitu mengembangkanya menjadi komuditi yang berorienasi pasar. Tari penyambutan sebagai gambaran identitas orang yang ramah tamah, etika, dan bermoral, adalah untuk menunjukan bahwa Bali merupakan daerah tujuan wisata yang aman, damai dan indah. Tari penyambutan merupakan simbol bahwa Bali adalah Pulau Sorga, menyenangkan dan penuh dengan kedamaian. Covarrubias (1937), dalam bukunya Island of Bali menggambarkan bahwa pulau Bali adalah pulau yang romatis, eksotis dan wanita telanjang dada, setiap orang adalah seniman, merupakan tempat untuk mencari Sorga (Henk, 2002: 186). Munculnya berbagai fenomena sosial, kekerasan, Bom Bali, (Perkelaihan Laskar Bali dan Baladika 2015) dan, perang antar Banjar, tari penyambutan telah menampilkan kesadaran palsu kepada wisatawan. Kenyatan sosial yang ditawarkan oleh orang Bali menurut Henk (2002) adalah kekerasan, bringas, dan menekan seperti situasi Puputan Badung tahun 1906 dan Puputan Klungkung tahun 1908, menekan dan pembunuhan masal. Tari penyambutan sebagai karya seni tari merupakan produk kolektif yang melibatkan berbagai komponen untuk mendukung sebuah perencanaan agar masyarakat global mempunyai daya tarik terhadap budaya lokal, karana itu dilakukan revitalisasi terhadap seni budaya lokal. Revitalisasi dalam hal ini tidak hanya membangun dan mengembangkan kesenian sebagai tanggung jawab seniman, tetapi rivitaslisasi akan berhubungan dengan konskwensi budaya yang melibatkan berbagai komponen masyarakat termasuk seniman, budayawan, agamawan dan pemerintah. Seminar seni sakral dan provan yang diadakan pada tahun 1972, salah satu usaha revitalisasi dalam rangka menyongsong perkembangan pariwisata. Untuk memperkenalkan Bali ke manca negara, menggunakan seni budaya sebagai media promosi, karena seni budaya memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Pariwisata dikembangkan memiliki kepentingan ekonomi untuk meningkatkan devisa negara. Untuk menunjang kepentingan ekonomi itu, seni budaya dapat dijadikan relasi ekonomi dan dikembangkan sebagai bagian dari indutri pariwisata, sehingga seni mulai memasuki arena kapitalis. Hazel Henderson, dalam bukunya Paradigm in Progress: Life Beyond Economics, mengatakan daya tarik global terhadap lokal akan dapat dilakukan dengan cara mengubah paradigma kehidupan sosial itu sendiri (Piliang, 2011:210). Berdasarkan pandangan Henderson itu seni budaya Bali, semula hanya mendukung konsep pengabdian sosial dan upacara keagamaan, telah berubah paradigmanya menjadi konsep ekonomi untuk mendapatkan uang. Paradigma kehidupan sosial mayarakat Bali adalah segala sesuatu yang diciptakan sebagai sebuah kreativitas budaya merupakan pengabdian sosial dan religius. Hampir semua kreativitas masyarakat Bali dalam bidang kesenian diproduksi untuk memenuhi kebutuhan sosial tanpa mempertimbangkan nilai ekonomi. Sikap kolektif yang dijiwai oleh pengabdian sosial agar karyanya berguna bagi orang lain, merupakan faktor pendorong bagi seniman Bali untuk menciptakan karya seni. Paradigma ini harus diubah menjadi paradigma seni yang berorientasi pasar, dan menempatkan kebutuhan ekonomi sebagai sasaran pokok dalam menciptakan atau memproduksi karya seni. Perubahan paradigma itu didorong oleh pemikiran kapitalisme yang menempatkan seni budaya mempunyai nilai jual kepada wisatawan, karena ke khasnya. Kekhasan seni budaya telah menjadi identitas yang dapat membedakan diri antara etnis yang ada di Indonesia. Seni budaya Bali adalah seni budaya yang hidup dan dapat dinikmati kapan saja dan setiap saat, karena masing- masing kelompok sosial atau banjar di Bali memiliki kesenian, dan mengadakan latihan-latihan setiap saat. Dengan demikian seni telah melekat dengan kehidupan masyarakat, sehingga harus

200

dapat menghdupi seniman dan masyarakat Bali itu sendiri. Pandangan inilah yang mendorong munculnya berbagai kreativitas seni yang mengarah pada industri budaya. Dengan demikian, tidak dapat dipungkuri bahwa masyarakat Bali telah mengalami perubahan, terutama yang berhubungan dengan kehidupan seni budaya. Perubahan yang mendasar terjadi sejak budaya agraris mulai dipertanyakan oleh kekuatan-kekuatan lain di luar dirinya. Artinya mampukah masyarakat Bali mengolah hasil pertanian untuk kebutuhan hidupnya, dapatkah masyarakat Bali hidup dengan tidak memperjual belikan hasil pertanian, dan seterunya. Akhirnya proses industrialisasi menjadi kekuatan yang sangat penting untuk menjawab semua pertanyaan itu, selain memperkenalkan pola produksi yang baru, juga memaksa untuk melakukan penyesuain-penyesuaian nilai dan norma dalam masyarakat. Melalui pendangan itu kita dapat melihat perubahan paling tidak dalam tiga tahap: Pertama, masuknya pasar ke dalam masyarakat, artinya mengubah sistem ekonomi subsistem dan barter, menjadi ekonomi pasar dengan memperluas jaringan dan orientasi masyarakat keluar. Kedua, terjadinya integrasi pasar, karena pengaruh pasar lebih kuat sehingga barang-barang dari luar terintegrasi dipasar dan semua kebutuhan dapat dipenuhi oleh pasar. Ketiga, terjadinya ekspansi pasar, artinya pasar tidak terintegrasi secara lokal dan nasional, tetapi juga global (Abdullah, 2010: 16-17). Tahapan itu juga terjadi pada tari panyambutan sebagai salah satu bagian dari seni pertunjukan, karena semula seni pertunjukan diabadikan untuk kepentingan sosial dan agama, sehingga melekat dengan upacara keagaman, sehingga proses pengabdian ini seniman hanya mendapatkan kebutuhan makan saja untuk senimannya sendiri (subsitem dan barter). Tahap berikutnya seni pertunjukan mendapatkan upah, dalam setiap pementasan dengan jumlah bayaran sukarela, artinya tidak ada ketetapan bayaran dan hanya berlaku pada masyarakat lokal. Kemudian yang terakhir kesenian Bali khususnya seni pertunjukan dengan adanya pariwisata, sudah mulai melakukan ekspansi pasar, dengan kontrak-kontrak, ada kepastian harga, baik ke tingkat lokal, nasional maupun global. Globalisasi yang menciptakan budaya konsumerisme akhirnya mendesak seniman Bali untuk menciptakan sesuatu yang tidak hanya berguna bagi dirinya dan masyarakat tetapi berguna untuk memenuhi kebutuhan hidupnya maka seniman melakukan kreativitas yang melahirkan budaya kreatif tidak lagi karena dorongan sosial tetapi dorongan ekonomi. Dengan demikian terjadilah perkembangan dari budaya kreatif yang pada mulanya diciptakan atau diproduksi hanya untuk digunakan sendiri sebagai pengabdian sosial, kemudian menjadi industri budaya sebagai bagian ekonomi kreatif untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ekonomi kreatif adalah sebuah kegiatan ekonomi yang menjadikan kreativitas, budaya, warisan budaya dan lingkungan sebagai tumpuan masa depan (Moelyono, 2010: 218). Tari Panyambutan sebagai hasil budaya kreatif yang dikemas menjadi seni untuk kepentingan pasar wisata, dan merupakan hasil karya seni sebagai produk kolektif melibatkan: 1) Tehnologi, 2) lembaga Sosial, 3) Faktors-faktor Ekonomi (Wolff, 1981: 34). Teknologi dalam hal ini adalah bagaimana tari yang semula merupakan tari upacara digarap menjadi sebuah kesenian yang dapat mewkili identitas kesenian Bali, mempunyai nilai lokal dan memiliki gaya tarik global. Cara penggarapan adalah melalui pembentukan jaringan sosial secara volunteer (sukarela) dalam mempertahankan modal budaya yang berakar pada tradisi, adat istiadat, dan kehidupan sebagai peguyuban (Tilaar, 2007: 49). Dengan demikian maka faktor-faktor ekonomi telah diperhitungkan, bagaimana memasarkan, siapa pasarnya, dan apa tujuan pemasarannya. Kepentingan ekonomi akhirnya menjadi sangat jelas bagi kebutuhan ekonomi masyarakat dalam rangka untuk mendapatkan uang. Jika seni dirasuki oleh kepentingan ekonomi maka kehidupan budaya akan tergannggu dan kita akan mendapatkan diri kita dalam arena kehidupan yang diberikan lebel harga (Smiers, 2009: 3). Seni tidak lagi dilihat dari segi estetika yang menonjolkan originalitas pencitaan dan kualitas seni, tetapi menjadi komoditi yang diproduk untuk memenuhi kebutuhan pasar. Ketika label harga telah memasuki arena kehidupan masyarakat maka semua hal bisa diperjual belikan bukan hanya hasil

201

kreativitas dalam bidang kesenian, tetapi nilai-nilai sakral dalam kesenian juga menjadi arena pertarungan ekonomi, sehingga sulit membedakan antara yang sakral dan yang provan. Dengan demikian ada kekhawatiran bahwa semua sektor kehidupan di Bali mulai diperjual belikan, karena industri pariwisata semakin dinamis dan pariwisata telah menjadi bagian dari kebudayan Bali, sehingga Bali menjadi pulau yang sangat terbuka bagi seluruh kepentingan pariwisata termasuk terbuka terhadap hal-hal yang dianggap sakral. Dengan adanya pariwisata, Bali yang pada mulanya adalah homogen menjadi heterogen dalam ruang tertentu yaitu dikawasan pariwisata (Nordholt, 2010: xxi). Hal ini merupakan contoh bahwa Bali telah terbuka, sebagai arena budaya dari berbagai wilayah etnis maupun kebangsaan, yang akhirnya seni tradisional yang bersifat sakral terbuka bagi wisatawan dalam bentuk kemasan. Perkembengan pariwisata yang memberikan banyak peluang pada investasi dan lapangan kerja, tetapi tetap saja jumlah lapangan kerja sangat terbatas disandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang tersedia. Dengan berkembangnya pariwisata di Bali hampir setiap seke seke kesenian memciptakan paket-paket kesenian yang menempatkan tari penyambutan sebagai salah satu paket pementasan yang merupakan tari selamat datang (welcome dance) yang ditarikan paling awal dari paket pementasan tersebut. Era pariwisata Bali akhirnya telah meningkatkan kreativitas seniman untuk masuk ke wilayah industry budaya, sehingga para seniman pencipta tari berlomba-lomba untuk menciptakan jenis-jenis tari termasuk tari penyambutan. Dengan demikian berbagai jenis sajian tari penyambutan dimunculkan sebagai sebuah kompetisi kreativitas untuk menguasai pasar wisata. Tari penyambutan akhirnya tidak terbatas hanya pada tari pendet, tari gabor, tari panyembrahma, tari selat segara, dan tari puspa resti, tetapi tari legong pun kadang-kadang juga dijadikan tari penyambutan, bahkan dijadikan iklam sebagai ajang promosi wisata. Dengan demikian maka tari penyambutan diproduksi sebagai produksi massa dengan pola-pola yang sama bernuansa penyambutan mulai masuk pada ekonomi pasar sebagai komodifikasi kesenian yang dapat diperjual belikan. Produk-produk seni pertunjukan termasuk tari penyambutan sebagai paket wisata kemudian memasuki ranah kapitalis yang dipromosikan kepada wisatawan sebagai kekayaan seni budaya yang dapat memberikan daya tarik terhadap Bali. Keterbukaan wisatawan untuk menikmati seni budaya Bali telah mendorong terjadinya pelipat gandaan, pengembangbiakan, penganekaan ragaman jenis produksi tari penyambutan yang dapat memberikan informasi tanda dan kesenangan tanpa batas dalam sekala global yang menawarkan berbagai pilihan terhadap seni tari yang ada di Bali. Hal ini menujukan bahwa globalisasi ekonomi dan informasi kebudayaan telah menawarkan berbagai keterbukaan, dan kebebasan (Piliang, 2011:131). Keterbukaan budaya Bali telah mengispirasi seniman Bali untuk meningkatkan kreativitasnya, dan pergeseran budaya Bali merupakan hasil dari pergulatan antara kebijakan pemerintah dengan potensi budaya yang dimiliki oleh masyarakat Bali. Sehubungan dengan hal ini Gramsci membedakan masyarakat menjadi dua kelas yaitu masyarakat sipil dan masyarakat politis (Said, 2010: 9). Masyarakat sipil adalah masyarakat yang dibentuk berdasarkan kelompok masyarakat sukarela. Masyarakat sipil di Bali, dapat dianalogikan dengan seke kesenian, seke manyi (mengetam padi), seke mula (menanam padi), termasuk komunitas Banjar. Pengertian Banjar di Bali, adalah kelompok masyarakat yang sukarela dan membentuk ikatan-ikatan yang tidak memaksa. Masyarakat politis adalah masyarakat terbentuk dari badan- badan negara, angkatan bersenjata, kepolisian, birokrasi pusat, yang secara politis berperan sebagai pengauasa dominan. Suatu kebudayaan tentu beroperasi dalam masyarakat sipil, karena dalam masyarakat ini gagasan-gagasan, institusi, dan manusia di dalamnya tidak memberikan pengaruh melalui dominasi melainkan apa yang disebut oleh Gramsci sebuah kesepakatan (Said, 2010: 9). Kondisi ini nampak jelas di Bali bahwa ikatan-ikatan yang terjadi dalam masyarakat bersifat sukarela dan tidak memaksa. Gagasan-gagasan tentang kebudayaan menjadi sangat berpengaruh di Bali dari pada gagasan lainnya. Pengaruh gagasan kebudayaan dalam masyarakat, oleh Grammsci disebut dengan hegemoni kultural.

202

Seni pertunjukan tradisional Bali sebagai industri budaya telah menyebabkan hidupnya kembali seni pertunjukan tradisional dengan fungsinya yang telah berubah. Tari penyambutan yang semula merupakan tari yang diciptakan hanya dalam kaitannya dengan upacara keagamaan telah berkembang menjadi tari yang dikemas sebagai sajian wisata. Perkembangan ini telah menyababkan terjadinya peningkatan ekonomi masyarakat Bali, sehingga berbagai bentuk kreativitas orang Bali dalam bidang seni mulai di komersialisasikan. Seke-seke kesenian sebagai lembaga sosial yang berorientasi pada pengabdian masyarakat dalam pengelolalaan kesnian kemudian berkembang menjadi sanggar-sanggar kesenian, yang dikelola secara administratif dengan menajeman bisnis untuk memasarkan kesenian kepada wisatawan. Seke-seke sebunan yang merupakan basis kesenian tradisional yang hidup di banjar-banjar kemudian mengalami keterpinggiran, karena seni pertunjukan tradisional Bali telah masuk ke wilayah kapitalisme yang digerakan oleh pariwisata. Agen-agen pariwisata mulai bergerak masuk ke wilayah kesenian, khususnya seni pertunjukan untuk mendapatkan kesenian yang siap diperjual belikan tanpa mempertimbangkan nilai estetik, originalitas, dan kualitas kesenian. Yang dipentingkan dalam hal ini adalah kesenian yang bisa dipentaskan sesuai dengan waktu, dan kemampuan bayar konsumen (wisatawan). Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka berkembanglah sanggar-sanggar seni dengan managemen bisnis mampu memenuhi kebutuhan wisatawan seperti tersebut di atas, sehingga seke-seke sebunan di banjar secara berangsur-angsur tidak mendapatkan perhatian lagi baik oleh agen pariwisata maupun yang memiliki otoritas dalam bidang kebudayaan.

INDUSTRI BUDAYA DAN PERGESERAN KEBUDAYAAN Pergeseran Kebudayaan dari kebudayaan yang bersifat esensial atau generik yang didasarkan atas asumsi bahwa kebudayaan itu diwarisi menjadi difrensial bahwa kebudayaan itu dikonstruksi dan mengalami perubahan, maka paradigm kebudayaan yang semula sifatnya sangat simbolis menjadi kebudayaan yang sifatnya sangat ekonomis. Walaupun telah menjadi seni yang bernilai ekonomi namun tari panyambutan sebagai objek simbolis akan eksis jika dilembagakan secara sosial, diterima oleh penikmatnya dan kemudian diakui sebagai karya seni (Boerdieu, 2010: 15). Tari Panyambutan sebagai objek simbolis, kemudian dikemas menjadi karya seni untuk kepentingan pariwisata yang digunakan sebagai tari selamat datang (wecome dance) tanpaknya telah dilembagakan secara sosial dan diterima oleh penikmatnya yaitu wisatawan sebagai karya seni yang berakar pada nilai-nilai tradisional. Dengan demikian pariwisata dapat dianggap sebagai arena untuk melembagakan seni budaya Bali, sehingga seni budaya Bali menjadi eksis dan bisa bertahan, walaupun makna dan fungsinya telah berubah. Berkembangnya pariwisata tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu kekayaan Bali yang dianggap mampu untuk memberikan kesejahtraan adalah warisan budaya, hanya saja demi kesejahtran kadang-kadang orang Bali lupa bahwa kesenian Bali telah mengalami sekularisasi. Proses komersialisasi kebudyaaan mulai merambah pada seni tradisional yang dianggap sebagai bagian dari upacara dan simbol keagamaan, dengan menciptakan kemasan-kemasan atau produksi seni yang menirukan simbol-simbol keagaman seperti di atas. Akhirnya kita akan merasa sulit untuk memahami mana yang sakral dan mana yang provan. Dalam kondisi ini batas-batas kebudayaan mulai mengabur, serta peta kognitif tidak cukup lagi untuk menjadi penuntun tingkah laku manusia dalam menjalani hidup sehari-hari sebagai warga kebudayaan (Abdulah, 2010: 10). Kesenian Bali tidak lagi hanya ditemukan di Bali, tetapi kesenian Bali telah ke luar dari asalnya, dengan identitas dan ciri-cirinya yang masih kuat dengan nuasan budaya Bali. Seni pertunjukan tradisional Bali, telah dipentaskan tidak hanya untuk sajian wisata di Bali tetapi bisa diamati diberbagai daerah di seluruh dunia, seni telah masuk keranah globalisasi. Dalam kondisi seperti ini tari penyambutan sebagai salah satu bentuk seni wisata di Bali masuk ke wilayah arena Produksi, artinya hampir setiap seke kesenian yang menawarkan seni

203

pertunjukan sebagai paket wisata selalu menampilkan tari penyambutan sebagai welcome dance. Ketika seni tradisional masuk ke wilayah arena produksi kultural dalam memperebutkan hak untuk mengimposisi produksi kultural yang legitimit, maka akan terjadi pergulatan kelas dominan (antara seniman dan borjuis) dalam memperebutkan hak untuk mengimposisi prinsip dominasi (Bourdeau, 2010: 21). Hak yang dimaksud dalam hal ini adalah hak-hak ekonomis, karena ketika sebuah karya seni telah masuk dalam arena ekonomi, maka pergulatan akan terjadi dalam memperebutkan hak-hak ekonomi. Dalam sistem kapitalis produksi tidak hanya menghasilkan sesuatu yang hanya untuk memenuhi keperluan sendiri atau kebutuhan individu yang mempunyai kontak dengan dirinya (dalam pengabdian maupun individu maupun sosial), tetapi memproduksi karya seni khususnya kemasan seni pertunjukan yang dapat memenuhi kebutuhan ekonomi dalam kehidupannya sehari-hari dalam bentuk uang. Dengan demikian maka akan terjadi pergulatan hak hak ekonomi antara pelaku wisata, travel agent, hotel, dan seniman untuk memperebutkan hak-hak ekonominya. Kondisi ini dapat dibuktikan ketika Pemda Bali pada tahun 2000, mengeluarkan peraturan agar seniman yang ke Hotel tidak boleh diangkut dengan Truk tetapi harus diangkut dengan Bus, dan pementasannya harus dibayar minimal Rp 2.000.000,-. Pergulatan ekonomi mulai nampak bahwa travel agen, dan hotel yang memang merupakan bisnis murni sebagai jasa pelayanan wisata, tidak mau keuntungannya berkurang karena hanya mementaskan kesenian tradisional. Oleh karena itu mereka berlomba-lomba untuk mengadakan negosiasi dengan seke-seke kesenian dan sanggar- sanggar dengan menawarkan kontrak kerja sama untuk mengisi program pentas kesenian di Hotel. Mereka dalam kontrak diberikan kesempatan untuk pentas tatap tetapi dengan bayaran lebih murah dari ketentuan Pemda yang dibayarkan setiap bulan. Kondisi seperti ini menyebabkan seke- seke kesenian yang pentas ke Hotel tidak lagi mempertimbangkan kwalitas tetapi pertimbanganya mereka dapat uang tetap untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Menurut Ardono, industri budaya tidak melakukan apa-apa kecuali hanya mengahancurkan nilai seni dengan menariknya ke dalam kehidupan sehari-hari dan lebih luas lagi industri budaya telah mengahcurkan kemampuan seni untuk membebaskan dan memuliakan humanitas (Tester, 2003:69). Hal ini menujukan bahwa kualitas seni telah tidak diperhitungkan lagi, kemudian kemampuan dan originalitas kreativitas senimannya telah terbunuh, sehingga dalam produksi kesenian tidak ada lagi pertimbangan kemanusiaan yang ada hanya pertimbangan uang. Seni tidak lagi menjadi kreativitas original dari senimannya tetapi menjadi kreativitas komersial yang mengikuti selera pemesanya. Dalam rangka memasarkan seni pertunjukan tradisional, dalam hal ini tari penyambutan tidak lagi mempertimbangkan usia kerja, bahkan sering anak-anak yang masih dalam usia sekolah dimanfaatkan untuk menarikan tari penyambutan kepada wisatawan. Tujuannya akan menjadi sangat jelas bahwa bayaran bagi anak-anak usia sekolah bisa lebih murah dan anak-anak yang dapat pentas ke hotel memeliki kebanggaan tersendiri. Oleh karena itu tari Panyambutan merupakan seni tradisional yang dikemas sebagai komoditi melibatkan “pasar pertukaran” (exchange market) yang berhubungan dengan wisatawan baik domestik maupun wisatawan asing. Menurut Marx setiap komoditi termasuk tari penyambutan yang telah di komodifikasi, mempunyai aspek “ganda”, disatu pihak nilai pakai (use value) dan dilain pihak nilai tukar (exchange value) (Giddens, 2009: 57). Nilai pakai yang hanya direalisasikan dalam proses konsumsi mempunyai acuan pada keperluan-keperluan di mana sifat-sifat komoditi bisa digunakan untuk masksud tertentu. Suatu objek termasuk seni pertunjukan tradisional Bali seperti tari Penyambutan, bisa mempunyai nilai pakai, baik objek itu termasuk komuditi maupuntidak. Nilai pakai dalam hal ini diasumsikan hanya untuk digunakan dan tidak dikaitkan dengan ekonomi secara pasti. Nilai pakai dalam hal ini adalah pementasan tari penyambutan yang digunakan untuk peresmian seke Teruna Teruni, atau pementasan yang digunakan sebagai tari pembukaan dalam rangka untuk pertunjukan balih-balihan yang diadakan untuk memeriahkan upacara odalan di Pura. Ketika objek itu dalam hal ini tari penyambutan di komoditikan, maka objek itu sebagai

204

sebuah produksi harus mempunyai nilai pakai, karena apabila sebuah objek yang akan dikomodifikasikan tidak mempunyai nilai pakai maka objek itu tidak akan bisa diperjual belikan. Nilai tukar dalam hal ini beranggap bahwa nilai yang dimiliki oleh sebuah produk ada kaitannya dengan ekonomi yang pasti, dan nilai tukar hanya mempunyai arti dalam kaitannya dengan komoditi (Giddens, 2009: 57-58). Dengan demikian maka agar tari penyambutan memiliki nilai ekonomi maka harus dikomodifikasi menjadi seni pertunjukan sebagai sajian wisata dengan kepastian ekonomi baik dari segi harga jual, tempat pementasan, maupun kemudahan untuk mendapatkannya. Tari Panyembrahma sebagai seni kemasan tidak lagi memperhitungan patokan- patokan tarinya sebagai mana yang diciptakan oleh koreografernya, tetapi berpatokan pada kebutuhan wisatawan, baik berhubungan dengan waktu, kemampuan bayar, serta tempat pementasan. Waktu dalam hal ini adalah lama pementasan dengan memperhitungan waktu wisatawan, kemudian tempat pementasan tidak selalu di stage yang telah diperhitungkan tetapi di tempat mana yang diinginkan oleh wisatawan, bisa di pantai, di bawah pohan, atau di tempat lainya. Seni dalam hal ini tidak lagi disajikan kepada wisatawan tidak lagi diposisikan sebagai produk keindahan, tetapi diposisikan sebagai pemenuhan hasrat dan kenimatan wisatawan. Dengan demikian penyajian seni tidak lagi terikat dengan pola-pola yang dibutuhkan oleh elemen-elemen estetika sebagai patokan penggarapan sebuah kesenian, tetapi disesuaikan dengan hasrat dan selera wisatawan. Pencitraan-pencitraan tentang Bali yang menggambarkan Bali Pulau Seribu Pura, seolah-olah memiliki kekuatan spiritual yang tinggi ternyata telah menjadi sekuler, sehingga wisatawan hanya menemukan puing-puing kepalsuan. Bali yang dicitrakan sebagai Islan of Paradise, ternyata hanya terjadi bonsai-bonsai kesenian yang tidak utuh, yang dapat dinikmati oleh wisatawan. Pengkemasan-pengkemasan yang menghilangkan oiginalitas Bali, telah digambarkan oleh Nordholt Henk Schulte merupakan benteng yang terbuka (Schlte, 2010), karena pertahanan budaya Bali telah menjadi kabur antara budaya yang asli dengan budaya yang direkayasa untuk pemenuhan kebutuhan pasar

KESIMPULAN Perubahan pola hidup masyarakat Bali dari kehidupan dengan sistem pertanian menuju pada kehidupan dengan sistem industri di Bali yaitu industri pariwisata, maka berbagai produk seni budaya berkembang menjadi industri budaya dengan tujuan dapat dipasarkan menjadi sajian wisata. Salah satu produk industri budaya dalam hal ini adalah tari Penyambutan, yang diproduksi sebagai sajian wisata dan ditempatkan arena pariwisata untuk menunjukan identitas Bali sebagai masyarakat yang ramah, damai, sopan, dan beretika. Untuk kepentingan pariwisata, produksi tari penyambutan tidak hanya berhubungan dengan nilai estetik tarinya tetapi lebih banyak berhubungan dengan kebutuhan wisatawan, yang terkait dengan waktu, tempat pementasan, dan kemampuan bayar wisatawan. Dengan demikian maka tari yang semula berorientasi pada kwalitas estetik menjadi tari yang berorientasi pada uang. Kondisi ini sering menyebabkan nilai estetik dan originalitas sebuah kesenian akan menjadi hilang kemudian digantikan dengan nilai kemasan, dan selera wisatawan. Dengan demikian maka seni bukan lagi merupakan persoalan keindahan tetapi merupakan persoalan selera dan hasrat untuk memenuhi hidup. Pergeseran relasi makna sebuah kesenian telah menyebabkan kesenian Bali, mulai masuk keranah kapitalis, sehingga kesenian Bali eksis dan bisa bertahan bukan karena kaitannya dengan agama, tetapi karena kaitannya dengan pariwisata. Kalau kaitannya dengan agama maka seni akan hidup hanya sebagai pengabdian sosial dan tidak akan menjamur perkembangannya seperti sekarang ini. Kebijakan dan ideologi yang digulirkan melalui kesepakatan sosial, yang seolah-olah dianggap sebagai sesuatu yang baik sebagai benteng budaya Bali. Kesadaran akan terjadi perubahan sebagai dampak pariwisata yang menempatkan Bali dengan budayanya yang khas telah masuk ke ranah kapitalis, maka berbagai politik perbentengan mulai dimunculkan untuk

205

membendung arus global yang dikhawatirkan akan menggerus tatanan budaya serta kehidupan seni budaya Bali yang dibanggakan sebagai identitas Bali. Munculnya klasifikasi seni wali, bebali dan balih-balihan agar tidak sembarangan kesenian bisa masuk karena pariwisata sebagai ajang jual beli, kebijakan tentang pariwisata budaya agar perkembangan pariwisata tetap mempertahankan nilai-nilai budaya, serta ajeg Bali merupakan penerapan politik perbentengan. Ternyata semua politik perbentengan ini telah dibuka oleh ideologi kapitalis dengan dihegemoninya seluruh aspek kehidupan melalui perkembangan pariwisata yang ditempatkan sebagai sumber penghasilan masyarakat Bali.

DAFTAR PUSTAKA. Abdullah Irwan, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. 2010. Atmaja, Bawa, Ajeg Bali, Gerakan, Identitas Kultural, dan Globalisasi. Yogyakarta : LKiS Printing Cemerlang. 2010 Bourdieu, Peirre, Arena Produksi Kultural Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Bantul: Kreasi Wacana Offset. 2010. Giddens Anthony, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, Suatu Analisis Karya Marx, Durkheim dan Max Weber. Jakarta: Universitas Indonesia Press. 2009 Griya, I Wayan, Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan Nasional, Global: Bunga Rampai Antropologi Pariwisata. Denpasar: Upada Sastra. 1989. Hasil-Hasil Seminar, Seni Sakral dan Provan Bidang Tari, tanggal 24-25 Maret, 1971. Denpasar: Proyek Pemeliharaan dan Kebudajaan Daerah Bali. 1971. Lelland, David Mc, Ideologi Tanpa Akhir. Yogyakarta: Kreasi Wacana. 2005. Moeyono, Mauled, Menggerakan Ekonomi Kreatif Antara Tuntutan dan Kebutuhan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2010. Mutahir, Arizal, Intelektual Kolektif Pierre Boudieu Sebuah Gerakan Untuk Melawan Dominasi. Bantul: Kreasi Wacana. 2011 Nordholt, Henk Schulte, Bali Benteng Terbuka 1995-2005, Otonomi Daerah, Demokrasi Elektoral dan Identitas Identitas Defensif.Denpasar : Pustaka Larasan. 2010, Nordholt, Henk Schulte, Kriminalitas, Modernitas dan Identitas dalam Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002 Piliang Yasraf Amir, Dunia Yang Dilipat Tamsya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Bandung: Matahari. 2011 Soedarsono, R.M, Dampak Pariwisata Terhadap Perkembangan Seni di Indonesia. Yogyakarta: Pidato Ilmiah Pada Dies Natalis Kedua Institut Seni Indonesia. 1986: Smiers, Joost, Arts Under Pressure, Memperjuangkan Keaneragaman Budaya di Era Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press. 2009. Santoso, Listiyono, dkk, Seri Pemikiran Tokoh Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2010. Strinati, Dominic, Popular Cultural Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta: Ar- Ruzz Media Group. 2010. Said, W. Edward, Orientalisme Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timur Sebagai Subjek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010. Tillar, H.A.R, Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia, Tinjauan dari Perspektif Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. 2007. Tester, Keith, Seri Culural Studies Media, Budaya dan Moralitas. Yogyakarta: Kreasi Wacana. 2003. Wolff, Janet, The Social Production of Art. New York: Martinus‘s Press. 1981. Yoeti, A Oka, Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: Angkasa. 1985.

206