KATA PENGANTAR

Segala puji Bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Shalawat serta salam tertuju pada Junjungan kami baginda Nabi Besar Muhammad Sallallahu alaihi wasallam yang telah sangat berjasa memberikan ajaran yaitu sebagai agama kami serta kami berharap Syafaat beliau di hari kiamat kelak. Alhamdulillah, tugas akhir ini dapat saya rampungkan, segala proses yang saya lakukan dari semenjak penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian dan akhirnya adalah proses penulisan saya telah melalui banyak hal, dari yang mudah hingga yang sangat sulit. Mengumpulkan data-data dan informasi yang menyangkut Tionghoa apalagi yang berkaitan dengan Islam bukanlah hal yang mudah, ini membuat saya harus betul-betul fokus dalam melaksanakannya. Banyak kekurangan di sana-sisni memang saya rasakan, hal ini mengingat sumber-sumber primer yaitu pelaku sejarah sudah tidak hidup lagi, keturunannyapun tidak terlalu memperhatikan bagaimana sejarah mereka berjalan, ditambah lagi dengan terbatasnya literatur mengenai Tionghoa di UIN Syarif Hidayatullah. Semoga Penelitian ini dapat memicu sehingga ada pihak lain yang melakukan penelitian tentang Tionghoa secara lebih mendalam. Pada kesempatan ini pula saya ingin menyampaikan terimakasih atas kepada : 1. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Prof. Dr. Sukron Kamil M.Ag yang selalu memberi semangat agar dapat menyelesaikan studi dengan baik.

i

2. Prof. DR. M. Dien Madjid, yang banyak sekali memberi dukungan moral juga buku beliau Sejarah Kabupaten Tangerang yang sarat dengan arsip-arsip colonial sehingga saya mendapatkan gambaran beberapa peristiwa itu sebagai fakta atau sekedar fiksi, mengingat peninggalan arkeologis berupa artefak sangat sulit didapat. 3. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA, selaku Dosen Pembimbing yang dengan sabar membimbing saya dalam menyusun hasil penelitian ini menjadi tesis. 4. Dr. Parlindungan Siregar, Dosen Pembimbing yang selalu memberi support serta membimbing dalam proses penyusunan tesis ini. 5. Pengurus Program Magister Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab, terutama kepada Dr. Abdullah M.Ag sebagai Direktur Program, serta Dr. M. Adib Misbahul Islam M.Hum yang selalu bersedia membantu saya agar dapat menyelesaikan kewajiban akademik, serta jajaran dosen-dosen Program Magister SKI yang telah memberi pencerahan, transfer ilmu dan pengetahuan. 6. Istri tercinta Endarisi Retno Astuti, S.Pd, Ananda Kaylasyifa ANH. Serta Kefiyya Milladunka NB. Yang tak henti-hentinya menyemangati dan mengingatkan saya. 7. Ibunda tercinta Marida, yang selalu memberi restu sehingga langkah saya menjadi ringan dalam melaksanakan studi. 8. Sahabat Johan Wahyudi, M.Hum, yang tak bosan-bosan memberi masukan dalam penulisan tesis ini. 9. Sahabat Violano Tenori Sitorus, yang memberi saya bantuan dan keleluasaan waktu baik semasa studi maupun dalam penyusunan tesis.

Di atas semuanya itu, tentunya saya berterima kasih kepada Allah SWT.

ii

Saran dan kritik juga saya harapkan dari semua pihak agar menjadi perhatian saya dan dikemudian hari saya dapat menghasilkan karya tulis yang lebih baik lagi Harapan saya semoga tesis ini bisa memperluas khasanah kajian mengenai Tionghoa serta menjadi pemicu terlaksananya penelitian tentang Tionghoa yang lebih komprehensif.

Tangerang, 20 Mei 2017

Bambang Permadi, SE

iii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Bambang Permadi, SE NIM : 2112022100010 Tempat/tanggal lahir : , 14 Maret 1970 Jurusan : Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas : Adab dan Humaniora

Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis yang berjudul “Islam dan Etnis Tionghoa, Studi Kasus Komunitas Cina Benteng di Tangerang” (Tinjauan Historis) adalah benar asli karya saya, kecuali kutipan – kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila terdapat temuan, kesalahan dan kekeliruan didalamnya, menjadi tanggung jawab saya sepenuhnya. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar – benarnya.

Jakarta, 20 Mei 2017 Yang membuat pernyataan,

Bambang Permadi, SE NIM. 2112022100010

iv

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Bambang Permadi NIM : 2112022100010 Program Studi : Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas : Adab dan Humaniora Judul Tesis : “Islam dan Etnis Tionghoa, Studi Kasus Komunitas Cina Benteng di Tangerang” (Tinjauan Historis) Telah berhasil dipertahankan pada sidang dan diterima sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) Program Studi Sejarah Kebudayaan Islam Konsentrasi Islam Nusantara pada Program Magister Sejarah Kebudayaan Islam Konsentrasi Islam Nusantara Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah . Panitia Sidang Ketua Sidang Sekretaris Sidang Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag Dr. M. Adib Misbahul Islam, M.Hum NIP: 19690415 199703 1 004 NIP: 19730224 200801 1 009 Penguji I Penguji II

Prof. Dr. M. Dien Madjid, MA Dr. Awalia Rahma, MA. NIP: 19490706 197109 1 001 NIP: 197106212001122001 Tanggal :...... Tanggal :...... Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA Dr. Parlindungan Siregar, M.Ag. NIP: 19590203 198903 1 003 NIP : 19590115 199403 1 002 Tanggal :...... Tanggal :......

v

ABSTRAK

Cina Benteng, adalah sebutan yang lazim untuk masyarakat keturunan entnis Tionghoa di Tangerang, . Penyebutan kata Benteng mengacu pada bangunan sebuah benteng yang didirikan oleh pemerintah colonial Belanda di kota Tangerang, tepatnya sebelah Selatan sungai Cisadane. Walaupun sekarang mereka sudah menyebar ke seantero tangerang namun penyebutan kata Benteng terlanjur identik dengan Tangerang sehingga untuk masyarakat Tionghoa yang tinggal di Tangerang disebut dengan Cina Benteng.

Dari sisi identitas, masyarakat Cina Benteng berbeda dari komunitas masyarakat Tionghoa lain di . Cina Benteng lebih akomodatif terhadap budaya pribumi bahkan dari beberapa kesenian dan tradisi tergambar kolaborasi yang harmonis antara alat-alat musik dari Tionghoa dengan alat musik tradisional Jawa dan Melayu seperti yang terlihat pada kesenian Gambang Kromong. Dalam beberapa hal budaya Tiongkok juga ikut mewarnai sendi-sendi kehidupan masyarakat pribumi.

Cina Benteng adalah bentuk sempurna dari akulturasi budaya masyarakat keturunan Tionghoa dengan masyarakat pribumi. Peristiwa kawin campur yang terjadi sejak ratusan tahun lalu menyebabkan penampilan fisik orang Cina Benteng tak berbeda dengan warga pribumi Tangerang. Ada sebutan yang agak merendahkan terhadap orang Cina Benteng yang berkulit gelap, yaitu Hitaci, Singkatan dari kalimat Hitam Tapi Cina. Hampir tak pernah ada konflik yang serius antara pribumi dan keturunan Tionghoa.

vi

Penerimaan orang-orang Cina Benteng terhadap budaya pribumi yang notabene Islam rupanya tidak berbanding lurus dengan penerimaan mereka terhadap Islam sebagai dogma. Sangat sedikit orang Cina Benteng yang memeluk agama Islam jika dibandingkan dengan mereka yang memeluk Kristen atau Budha. Hal ini menjadi anomali manakala kita percaya pada anggapan bahwa sebagian dari Walisongo, penyebar Islam di tanah Jawa merupakan keturunan dari etnis Tionghoa.

Pendekatan historis dipilih penulis untuk mengungkap apa yang menjadi penyebab Islam sebagai agama tidak menarik untuk diikuti oleh sebagian besar warga Cina Benteng. Tentunya sejarah kedatangan para leluhur mereka ke Nusantara dan lebih spesifik ke Tangerang menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Hal paling penting yang ingin diungkap penulis adalah bagaimana relasi orang Cina Benteng dengan Islam sebagai agama dan sebagai budaya orang pribumi.

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...... KATA PENGANTAR...... i HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI...... iv LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………… v ABSTRAK...... vi DAFTAR ISI...... viii

BAB I PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang……………………………………………. 1 B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ……………………. 9 C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian………………………… 10 D. Penelitian Terdahulu……………………………………… 11 E. Metode Penelitian…………………………………………. 13 F. Landasan Teoritis…………………………………………. 16 G. Sistematika Penulisan…………………………………….. 23

BAB II TERMINOLOGI DAN KOSMOLOGI TIONGHOA 26 A. Terminologi Tionghoa...... …………………… 26 1. Pengertia Orang Cina Dan Orang Tionghoa ...... 26 2. Penghapusan Terminologi “Tiongkok” dari Bahasa Indonesia ……………………………………………….. 29 3. Penggunaan Terminologi “” Sebagai Kompromi… 31 4. Penggunaan Kembali Terminologi “Tiongkok” Di masa Reformasi…………………………………………...... 32 B. Kosmologi Orang Tionghoa…………………………… 34

viii

C. Mitologi Orang Tionghoa………………………………… 38 D. Agama Orang Tionghoa…………………………………. 40 1. Konsep agama bagi orang Tionghoa…………………. 40 2. Agama-agama orang Tionghoa ………………..…… 46 a. Konfusianisme………………………………………. 46

b. Daoisme (Taoisme)………………………………….. 50 c. Budhisme……………………………………………. 55 d. Mohisme…………………………………………….. 58 e. Islam…………………………………………………. 59

BAB III KEDATANGAN, INTERAKSI DAN AKULTURASI DENGAN PRIBUMI………………………………………….. 64 A. Kedatangan Orang Tionghoa ke Tangerang………………. 64 B. Pemukiman Awal Masyarakat Cina Benteng di Tangerang………………………………………………. 71 C. Pembentukan identitas Masyarakat Cina Benteng……... 75 D. Relasi Orang Cina Benteng dengan Penduduk Setempat 78 E. Akulturasi Budaya……………………………………….. 88

BAB IV PENGARUH KOLONIAL PADA MASYARAKAT CINA BENTENG……………………………………………………. 97 A. Awal Masuknya Kekuasaan Kolonial di Tangerang…… 97 B. Tanah Partikelir di Tangerang…………………………… 101 C. Catatan aksi kekerasan fisik terhadap warga Tionghoa… 108 1. Chinese Moord 1740…………………………………... 108 2. Jaman Gedoran………………………………………. 112 a. Gedoran 1942……………………………………….. 112 b. Gedoran 1946……………………………………….. 113

ix

BAB V ISLAM DAN MASYARAKAT CINA BENTENG ….……… 118 A. Islam sebagai Ingatan Sejarah Orang Tionghoa………... 118 B. Islam sebagai pribumisasi orang Tionghoa…………….. 125 C. Faktor Penghambat Berkembangnya Islam di kalangan Cina Benteng ……………………………………………. 135 D. Konfersi agama pada masyarakat Cina Benteng…………. 144

BAB VI PENUTUP …………………………………………………..… 148 A. Kesimpulan………………………………………………. 148 B. Saran……………………………………………………. 153

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………. 155

x

xi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari beragam etnis dan suku bangsa. Di antara mereka, terdapat kilasan-kilasan historis yang memberitakan bagaimana mereka bisa terus eksis dalam jajaran pergaulan dengan orang di luar kelompoknya. Proses interaksi yang demikian intens pada gilirannya mengakibatkan pertukaran budaya. Komunikasi dan ikatan hidup sehari-hari menjadi dua magnet yang mempertemukan mereka dalam wahana-wahana kehidupan, dan dengan perlahan-lahan ikut menyumbang pendewasaan serta kearifan dalam tubuh suku bangsanya.

Salah satu suku bangsa yang paling banyak menyebar ke seantero jagad adalah orang-orang yang berasal dari Tiongkok yang kemudian disebut dengan Orang Tionghoa. Diantara berbagai wilayah yang banyak dijadikan tujuan migrasi orang-orang Tionghoa adalah wilayah Selatan dataran Tiongkok, yang mereka sebut Nanyang. Wilayah yang dimaksud Nanyang juga seperti yang kita kenal dengan Asia Tenggara. Suku Tionghoa merupakan salah satu etnis yang sejak lama mendiami kawasan-kawasan Nusantara. Kedatangan mereka terjadi karena berbagai alasan, diantaranya adalah karena aktifitas perdagangan. Sudah bukan rahasia umum lagi jika bangsa Tionghoa merupakan salah satu bangsa dunia yang memiliki tradisi berniaga yang kuat. Ekspansi bisnis mereka sejak lama sudah menjangkau wilayah-wilayah di luar Tiongkok.

1

Ma Huan, sekretaris dan juru bahasa laksamana Cheng Ho, pada muhibahnya yang keempat (tahun 1413-1415) ke Jawa Timur, sempat merekam aktivitas orang Tionghoa dalam catatannya, mereka telah berdiam di kawasan pesisir Jawa.1 Saat itu di Jawa Timur terdapat tiga kelompok bangsa. Pertama, orang-orang Islam yang berasal dari kerajaan-kerajaan sebelah barat yang datang ke Majapahit untuk berniaga. Pakaian yang dikenakan mereka tampak layak dan bersih. Kedua, orang-orang Tionghoa yang berasal dari zaman Dinasti Tang, yang datang dari provinsi Kuang- tung, Chang-chou, Ch‟uan Chou dan wilayah-wilayah lainnya. Mereka datang sebagai pelarian dari daerah asalnya. Banyak di antara mereka yang memeluk Islam, melakukan shalat dan puasa. Ketiga, penduduk pribumi yang rambutnya kusut, tidak memakai alas kaki, dan masih menyembah hantu-hantu.2

Di masa sebelum kedatangan Belanda, aktivitas perdagangan Tionghoa mendapatkan reputasi dan kepercayaan yang tinggi di kalangan raja-raja di pesisir. paska perjanjian Giyanti tahun 1755, misalnya, pernah menempatkan orang Tionghoa sebagai pihak yang bisa membangun sektor finansial kerajaan. Di Yogyakarta sendiri kala itu sudah terdapat pemukiman orang Tionghoa dalam jumlah yang cukup besar, maka diangkatlah To In sebagai Kapitan Cina pertama yang menjabat 1755-1764. To In dan penerusnya menerima tugas sebagai penarik pajak gerbang tol. Setelah berpulangnya Sultan Hamengku Buwono I pada Maret 1794, jumlah pajak

1 Catatan ini diterbitkan tahun 1416 dengan judul Yingya Shenglan “Catatan Umum Pantai-Pantai Samudra” Ma Huan sendiri adalah seorang Muslim dan bisa berbahasa Arab. Lihat W.P. Groeneveldt, Nusantara dalam Catatan Tionghoa (Depok: Komunitas Bambu, 2009) hlm. xix-xx. 2 Amen, Budiman, Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia (Semarang: Penerbit Tanjung Sari, 1979) hlm. 10.

2

yang dikumpulkan mencapai f 128.000, naik tiga kali lipat dari jumlah tahun 1755.3

Keberadaan orang Tionghoa, diyakini pihak istana Jawa, amat dibutuhkan untuk menggerakkan ekonomi kerajaan. Mereka dianggap sebagai pihak yang bisa memberikan pinjaman uang dan sebagai ahli perdagangan. Mereka adalah para tenaga terampil di bidang finansial, suatu profesi yang masih amat jarang dijumpai dari kalangan penduduk Jawa. Sebaliknya, orang Tionghoa juga menganggap dirinya dengan istana harus terjalin suatu ikatan yang erat. Ikatan inilah yang akan menjadi jaminan bagi keberhasilan perniagaan mereka di wilayah pedalaman.4

Pada perkembangannya, para pendatang Tionghoa di Jawa juga menjalin hubungan baik dengan masyarakat pribumi. Mereka yang datang kebanyakan adalah laki-laki, dan di antara mereka ada yang mempersunting wanita-wanita pribumi sebagai istri, baik yang berasal dari kalangan bangsawan maupun dengan rakyat kebanyakan. Sebagai contoh, terdapat cerita mengenai seorang Babah Cina yang menikahi seorang penari Ronggeng di wilayah Sunda Kelapa. Situs makamnya terletak di dekat Kelenteng Cina. Kelenteng ini diperkirakan oleh sebagian sejarawan dulunya adalah masjid. Pernikahan lintas etnis ini kemudian membentuk sub etnis baru yang kemudian dinamakan Tionghoa Peranakan atau Cina Peranakan

3 Didi, Kwartananda, “Perang Jawa (1825-1830) dan Implikasinya terhadap Hubungan Tionghoa-Jawa” pengantar (edisi ke-2) dalam Peter Carey, Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa; Perubahan Persepsi Tentang Cina 1755-1825, Terj. Wasmi Alhaziri (Depok; Komunitas Bambu, 2015) hlm. vi. 4 Peter, Carey, Orang Cina ..., hlm. 6.

3

yang mengimbangi istilah Cina Totok atau orang Tionghoa yang berorangtuakan dan berleluhur asli Tiongkok.5

Selanjutnya, di kalangan istana Jawa juga ditemukan pernikahan antara orang Tionghoa dan Jawa. Wanita Tionghoa kerap diambil para penguasa lokal sebagai istri kedua (selir atau Garwa Ampeyan). Bagi Orang Tionghoa, pernikahan ini adalah suatu jalan untuk merawat hubungan yang baik dengan pihak penguasa, di samping hubungan-hubungan baik lainnya. Pernikahan- pernikahan Tionghoa-Jawa ini perlahan semakin meluas dan menjadi sarana akulturasi orang Tionghoa ke dalam budaya Jawa. Mereka tidak lagi merasa kesulitan untuk mempraktekkan tingkah laku dan bahasa orang Jawa. Hal ini juga semakin menabalkan identitas mereka sebagai Tionghoa Peranakan.6

Di masa kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) bercokol di Nusantara, orang Tionghoa menjadi mitra dagang bagi mereka. Ketika masa awal para pedagang VOC datang, sebagai orang asing mereka merasa perlu menjalin hubungan dengan pedagang asing lainnya, yakni orang Tionghoa. Mereka bekerjasama khususnya di bidang distribusi, sedangkan perdagangan perantara sendiri kala itu sudah banyak dikuasai oleh pedagang Tionghoa.

Perkenalannya dengan VOC dan tugasnya dalam membantu bagian distribusi, membuat wilayah jelajah Tionghoa menjadi lebih luas. Dari pekerjaannya ini mereka berkesempatan untuk mengirimkan barang-barang dari kota ke penduduk desa, dan darinya mereka mendapatkan uang tembaga dari penduduk desa. uang tembaga yang dimaksud adalah semacam uang kecil yang menjadi alat tukar yang standar di pedesaan. Uang-uang ini

5 Sumanto, Al Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa; Bongkar Sejarah Atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV dan XVI (Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press, 2003) hlm. 93. 6 Peter, Carey, Orang Cina ..., hlm. 6-7.

4

kemudian dijual ke VOC. Dari hal-hal tersebut kian lama hubungan antara pedagang Tionghoa dan VOC semakin akrab.7

Pemukiman kaum Tionghoa terdapat di hampir semua kota penting di pantai utara Jawa, salah satunya adalah Tangerang. Kedatangan orang Tionghoa ke kawasan ini, utamanya di Teluk Naga, didorong oleh faktor perniagaan dan juga diplomasi yang dilakukan Orang Tiongkok. Di masa Laksamana Cheng Ho melakukan muhibahnya sekitar tahun 1570. Dua tahun kemudian yakni 1572 dua orang utusan Laksamaa Cheng Ho mendarat di Teluk Naga, Tangerang. Salah seorang dari mereka bernama Chen Ci Lung.8 Angka tahun tersebut boleh dikatakan merupakan waktu pertama yang dipercaya warga Cina Benteng sebagai awal kedatangan orang Tionghoa ke Tangerang.

Diceritakan bahwa tatkala rombongan armada Cheng Ho sampai di Teluk Naga diutuslah dua orang untuk meneliti keadaan sekitar pesisir itu. Oleh sebab kapal-kapal armada Cheng Ho besar-besar maka armada itu tidak semuanya sampai menyentuh garis daratan pantai, mengingat kala itu Teluk Naga masih berupa pelabuhan kecil. Dua utusan tersebut datang menggunakan perahu kecil atau semacam sekoci pada masa itu. Setibanya di daratan, mereka meneliti daerah tersebut dan setelahnya mereka kembali dan melaporkan temuannya kepada Ma Huan, juru tulis Cheng Ho. Sejak itu, kian waktu semakin banyak orang Tiongkok terutama dari etnis Hokkian yang datang dan bermukim di Teluk Naga.

Diperkirakan, komunitas Tionghoa awal di Teluk Naga adalah beragama Islam. Kelompok Tionghoa di sana terbentuk karena inisiasi

7 Onghokham, Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina; Sejarah Etnis Cina di Indonesia (Depok: Komunitas Bambu, 2008) hlm. 1-2. 8 Wawancara Dengan Oey Tjin Eng, (Tangerang, Pengurus Perkumpulan Bun Tek Bio 27 Agustus 2015)

5

Cheng Ho yang berkeinginan memperkuat kedudukan kulturalnya dengan menitahkan beberapa pelautnya untuk membuat suatu pemukiman dan masjid di sana. Namun, seiring berjalannya waktu, orang-orang Tionghoa di sana tidak mampu mempertahankan keyakinannya, karena disinyalir setelah Cheng Ho kembali ke Tiongkok, mereka kembali memeluk keyakinan semula. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat banyak di antara pengikut Cheng Ho adalah orang taklukan yang beragama Konghucu baik mereka yang berkeyakinan Konfusian maupun Taoisme.

Menginjak tahun 1740, di Batavia terjadi geger pecinan yakni pembunuhan besar-besaran etnis Tionghoa oleh pemerintah VOC.9 Kala itu gubernur jenderal VOC, Adrian Vaalkenier merasa kedudukan Tionghoa di bidang ekonomi sedemikian kuat, sampai-sampai bisa mengancam kedudukan pemerintah Batavia. Perbedaan cara pandang ini menimbulkan gesekan di antara orang Tionghoa dan pemerintah Belanda dan berakhir dengan eksekusi mati orang-orang Tionghoa di sana. Kenyataannya, tidak semua orang Tionghoa mati, banyak dari mereka yang berhasil melarikan diri ke arah timur hingga mencapai Mataram. Banyak juga yang keluar dari Batavia menuju kota terdekat, Tangerang.

Di Tangerang, pelarian Tionghoa Batavia ini bertemu dengan para pemukim yang merupakan keturunan dari pengikut-pengikut Cheng Ho. Pertemuan mereka tidak sampai menimbulkan friksi kultural, melainkan di antara mereka saling tolong-menolong, mengingat akar budaya mereka sama. Mereka menganggap orang Tionghoa berasal dari satu keturunan yaitu keturunan Kaisar Kuning. Seiring berjalannya waktu, mereka sudah saling melebur, lantas menjadi cikal bakal etnis Tionghoa yang di kemudian waktu

9 Susan, Blackburn, Jakarta Sejarah 400 Tahun,Terj. Gatot Triwira (Depok: Komunitas Bambu, 2011) hlm. 37-39.

6

disebut dengan Cina Benteng atau Tionghoa Benteng. Sejak itu mayoritas mereka adalah pemeluk Konghucu dan jumlah kelompok Muslimnya amat minim sekali.

Keberadaan etnis Cina Benteng perlahan membentuk identitas ketionghoaannya sendiri. Struktur budaya dan sosial mereka amat berlainan dengan komunitas Tionghoa yang terdapat di Batavia dan di tempat-tempat lain. Jika di Betawi diyakini Tionghoa turut andil dalam membentuk struktur dan produk kebudayaannya.10 Yang terjadi di Tangerang justru sebaliknya, kebudayaan lokal yang membentuk tradisi dan kebudayaan orang Tionghoa- nya. Hal ini bisa dilihat ketika menyaksikan resepsi pernikahan Cina Benteng yang selalu menampilkan seni Gambang Kromong dan Tarian Cokek. Para penggiat seni tersebut mayoritas adalah warga lokal Tangerang yang berasal dari etnis Sunda.

Perbedaan lain terlihat ketika memperhatikan bahasa yang mereka gunakan. Biasanya orang Hokkian akan menggunakan bahasa Haka sebagai alat komunikasi di antara mereka. Namun yang terlihat di komunitas Cina Benteng, mereka justru menggunakan bahasa Sunda maupun Jawa. Bahkan di antara mereka ada yang sudah tidak bisa berbahasa Haka lagi. Ini justru berkebalikan dengan orang Hokkian lainnya yang menganggap bahasa Haka merupakan salah satu tradisi yang harus terus dipertahankan, minimal di antara sesama orang Tionghoa.

Fokus kajian peneliti adalah mengetahui bagaimana interaksi antara maysyarakat Cina Benteng dan Islam. Dalam hal ini Islam bukan saja sebagai ajaran agama, tetapi juga sebagai kebudayaan bahkan identitas dari

10 Sebagai contoh bisa dilihat dari busana adat pernikahan wanita Betawi yang tata busananya banyak mengambil model pakaian orang Tionghoa. Bahkan tata riasnya dinamakan dandanan care None Pengantin Cine. Lihat Abdul Chaer, Betawi Tempo Doeloe; Menelusuri Sejarah Kebudayaan Betawi (Depok: Komunitas Bambu, 2015) hlm. 105.

7

masyarakat pribumi. Perspektif pembahasan masalah tersebut menggunakan tinjauan secara historis. Pola ini dimaksudkan untuk lebih memahami suatu keadaan berdasarkan hal yang melatarbelakanginya.

Pengetahuan awal yang didapat oleh penulis adalah bahwa penyebar agama Islam di Tanah Jawa sebagian tokohnya adalah orang keturunan Tiong Hoa. Hal itu tak dapat disangkal jika kita mengamati bangunan Masjid yang menjadi tempat ibadah dan pusat aktifitas pendidikan dan sosial Islam, di sana banyak terdapat ornamen-ornamen khas Tiongkok. Arsitektur masjid yang menggunakan atap tumpang adalah merupakan ciri arsitektur Tiongkok.

Jika diperhatikan kondisi sekarang, komunitas Cina Benteng merupakan minoritas dari struktur masyarakat yang ada di Tangerang dan Islam hanya merupakan agama minoritas dalam komunitas masyarakat Cina Benteng itu sendiri. Peneliti menganggap ini merupakan gejala yang bisa diperbincangkan dalam sudut pandang teori kepercayaan atau agama. Tentu akan banyak dijumpai faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Termasuk dalam tujuan penelitian ini adalah bagaimana bangunan kebudayaan masyarakat Cina Benteng serta interaksi mereka dengan penduduk lainnya. Diharapkan dengan bahasan tersebut, dapat diketahui secara utuh bagaimana relasi orang Cina Benteng terhadap Islam.

Peneliti menyadari, informasi oral yang nantinya didapatkan, bisa saja berasal dari tokoh Cina Benteng yang non-Islam. Untuk itu, peneliti mengenyampingkan keyakinan atau agama informan, namun yang ingin diketahui adalah sejauh mana Islam berkembang dan mengisi masyarakat Cina Benteng dari waktu ke waktu. Keterangan dari tokoh masyarakat atau orang yang dianggap mengerti dari kalangan Cina Benteng tentu akan

8

bermanfaat dalam merekonstruksi pandangan orang Cina Benteng terhadap Islam, agama yang pernah eksis dalam kehidupan para leluhurnya.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Penelitian ini adalah penelitian sejarah religio-antropologis, yakni dengan menyorot pada masalah sejarah etnis Cina Benteng di Tangerang. Fokus pembahasan pada interaksi komunitas Cina Benteng dengan Islam yang konotatif dengan pribumi. Islam yang dikabarkan disebarluaskan di Tanah Jawa oleh tokoh-tokoh Tionghoa atau keturunan Tionghoa yang didukung oleh penguasa Demak dan Mataram kemudian diterima dengan baik di Banten. Demikian pula di Tangerang yang sebelumnya merupakan wilayah bagian dari kerajaan Pajajaran. Kepercayaan pribumi yang kebanyakan adalah Sunda Wiwitan dan Hindu, secara massif beralih memeluk Islam. Islam menjadi sebuah peradaban pribumi. Penelitian ini dibatasi pada hal-hal yang menyangkut interaksi antara komunitas Cina Benteng dengan Islam (pribumi). Dinamika yang terjadi di sekitar persentuhan antara keduanya menjadi objek dari penelitian ini.

Orang Cina Benteng merupakan sekumpulan orang Tionghoa yang awalnya mendiami pesisir pantai Tangerang (sekitar Teluk Naga) lalu merambah di sepanjang bantaran Cisadane sampai ke pusat kota Tangerang dan menyebar ke berbagai pelosok, ke Selatan (Karawaci, Legok, Cisauk dan Serpong) dan Ke Utara (Pasar Baru, Kedaung, Sepatan hingga Mauk). Mudahnya, sebutan Cina Benteng hanya berlaku untuk orang Tionghoa yang bermukim sejak lebih dari tiga generasi di Tangerang.11 Mereka yang tinggal bukan di Tangerang, maka bukan termasuk dalam sebutan Cina Benteng.

11 Wawancara dengan Oey Tjin Eng,

9

Hal lain yang dibatasi adalah mengenai pembicaraan tentang Islam itu sendiri. Islam bagi orang Tionghoa pada umumnya merupakan agama yang bukan berasal dari tradisi mereka. Untuk itu, bisa dimaklumi jika dalam pengumpulan sumber nantinya, hal-hal yang mengenai Islam bukan sekedar berkisar pada masalah doktrin dan amalan secara komprehensif, melainkan Islam yang dilihat dalam perspektif orang di luarnya (liyan). Islam pada titik ini bisa dimaknai sebagi produk peradaban di kalangan orang Cina Benteng.

Penelitian sejarah ini bersifat kronologis, yakni menjelaskan kehidupan Cina Benteng dari waktu ke waktu dikarenakan peneliti ingin mendapatkan gambaran yang utuh mengenai kehidupan Cina Benteng. Oleh sebab masalah yang diangkat masih amat luas, maka dibutuhkan rumusan masalah yang lebih konkret, yang dibentuk dalam beberapa pertanyaan sebagaimana di bawah ini:

1. Bagaiamana kehidupan masyarakat Cina Benteng di masa awal ? 2. Bagaimana proses akulturasi budaya antara orang Cina Benteng dengan orang pribumi ? 3. Bagaimana dinamika yang terjadi dalam interaksi Cina Benteng dengan Islam, baik sebagai doktrin agama maupun sebagai budaya.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penulisan tesis ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui bagaimana kedatangan orang-orang Tionghoa di Tangerang hingga terbentuknya sebuah tatanan sosial yang dikenal dengan Cina Benteng . 2. Memahami bagaimana struktur kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat Cina Benteng serta

10

3. Mengetahui bagaimana tanggapan mereka terhadap Islam, baik sebagai doktrin maupun peradaban. Sedangkan, kegunaan dari penulisan tesis ini adalah:

1. Memperkaya khazanah pengetahuan mengenai perkembangan komunitas Tionghoa di Tangerang

2 Menjadi referensi awal untuk penelitian selanjutnya di Fakultas Adab dan Humaniora dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta lembaga- lembaga pendidikan tinggi lainnya

3. Menjadi bahan bacaan untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya anggapan orang Tionghoa terhadap Islam, khususnya di kalangan masyarakat Cina Benteng.

D. Penelitian Terdahulu

Tulisan mengenai Cina Benteng kaitannya dengan Islam memang masih sangat jarang dijumpai. Jikapun ada sifatnya parsial, terserak di dalam tema- tema penulisan lain yang lebih luas. Meskipun begitu, dalam skala yang lebih umum, penulis menemukan beberapa buku, tulisan tematik serta sumber tertulis lainnya yang membahas tentang sejarah muslim Tionghoa di Nusantara.

Amen Budiman menulis mengenai sejarah keberadaan orang Tionghoa di Nusantara berjudul Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia (terbit tahun 1979). Buku ini memaparkan tentang latar belakang kedatangan dan sejarah orang Tionghoa muslim sampai pada masa kekinian, yakni saat buku itu dibuat. Budiman berupaya merekonstruksi sejarah Muslim Tionghoa dalam peta sejarah Nusantara. Beberapa uraiannya termasuk pendirian PITI

11

(Pembina Iman Tauhid Islam) berserta aktivitas dakwahnya. 12 Uraian buku ini sangat berguna dalam menambah khazanah literatur penulis. Meskipun demikian, informasi mengenai sejarah perkembangan Cina Benteng tidak dijelaskan secara panjang lebar, dan berlainan dengan maksud penelitian ini.

Sumanto Al Qurtuby mengupas masalah sejarah pertalian Cina-Islam- Jawa dalam bukunya Arus Cina-Islam-Jawa; Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV dan XVI. Buku ini menitikberatkan pada asal mula pembentukan identitas Cina-Islam- Jawa. Sumanto banyak menyorot sejarah awal perkembangan Islam di Jawa sebagai latar awal terbentuknya identitas religio-kultural tersebut. Dikatakan bahwa sudah sejak abad 15, eksistensi Muslim Tionghoa sudah terlihat di pesisir utara pantai Jawa. Keberadaan Muslim Tionghoa terekam dalam catatan para pengembara asing, babad-babad dan sejarah lisan. Selain itu, budaya Tionghoa juga telah berpadu dalam kebudayaan lokal yang terlihat pada peninggalan kepurbakalaan seperti yang bisa dilihat di masjid kuno Mantingan-Jepara, menara masjid Banten, bangunan gapura makam Sunan Giri dan lain sebagainya.13 Di buku ini juga belum ditemukan bahasan mengenai Cina Benteng yang berkaitan dengan tema yang penulis pilih.

Selanjutnya, Onghokham juga mengupas permasalahan sejarah Cina Peranakan lewat bukunya Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina; Sejarah Etnis Cina di Indonesia. Buku ini berisi kumpulan tulisan yang terkait dengan sejarah Tionghoa di Nusantara. Onghokham banyak mengkhususkan diri dalam sejarah Tionghoa pada masa kolonial. Dalam salah satu tulisannya berjudul “Etnis Cina di Indonesia; Sebuah Catatan Sejarah”, Ong menjelaskan bahwa orang Tionghoa memang sudah ada sejak

12 Amen,Budiman, Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia (Semarang: Tanjung Sari, 1979) hlm. 42-43. 13 Sumanto, Al Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa …, hlm. 39-41.

12

masa prakolonial, hanya saja segala sesuatu yang terlihat sebagai identitas orang Tionghoa masa kini, akar-akarnya bisa dilihat sejak masa kolonial, tepatnya di zaman Hindia Belanda.14

Di buku tersebut, sempat disinggung mengenai komunitas Cina di Tangerang. Pada 1945, dibentuk semacam milisi orang Cina di tengah pertempuran antara orang Belanda melawan bangsa Indonesia. Mereka terlibat di kancah perang itu, hingga terkepung dalam serangan anti-rasial. Ong menegaskan bahwa kerusuhan-kerusuhan yang terjadi sekitar tahun 1945, jika ada di antara korbannya adalah orang Tionghoa, maka secara umum sifatnya adalah insidental, kebetulan saja, atau mungkin mereka salah sasaran. Namun, pengecualian terjadi di Tangerang.15 Dikarenakan buku Ong ini berisi kumpulan tulisan, maka wacana mengenai Cina Benteng hanya berupa sisipan, dan tidak ada bab khusus yang membahasnya.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian sejarah Cina Benteng khususnya mengenai interaksi antara mereka dengan Islam. Islam di sini tentu saja mencakup aspek yang luas, bisa dikatakan mencakup doktrin dan peradaban. Uraian yang nantinya akan disampaikan akan diterangkan secara kronologis. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah penelitian yang perlu dijelaskan di bawah ini.

Pertama, yakni masalah pengumpulan sumber atau heuristik. Sumber yang dikumpulkan secara fisik terbagi dalam dua jenis yakni sumber tertulis dan sumber lisan. Sumber tertulis terdiri atas buku, catatan-catatan pribadi

14 Onghokham, Anti Cina …, hlm. 1. 15 Onghokham, Anti Cina ..., hlm. 7.

13

seseorang yang mengalami suatu peristiwa sejarah, jurnal, dan lain sebagainya. Sedangkan sumber lisan adalah hasil dari observasi dan wawancara dengan beberapa orang atau tokoh yang dianggap menegrti. Observasi dan wawancara dengan nara sumber harus juga mengakomodasi unsur representasi dari bagian-bagian dalam masyarakat. Sumber lisan di sini dikategorikan sebagai tradisi lisan, yakni penutur memberikan jawaban sesuai dengan pertanyaan yang diajukan, namun kedudukannya bukanlah sebagai pelaku sejarah. Meskipun begitu dalam tema-tema yang lebih kontemporer, sebisa mungkin ditampilkan para aktor sejarah atau orang yang mengalami suatu peristiwa di masa lampau. Kedudukannya adalah sebagai orang yang memberikan sejarah lisan dan amat penting sebagai salah satu rujukan utama.16

Selanjutnya dalam studi sejarah dikenal dua macam jenis sumber, yakni sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah sumber penulisan sejarah yang diproduksi pada zaman-zaman yang bersamaan ketika terjadinya suatu peristiwa sejarah. Termasuk dalam sumber primer adalah catatan pribadi, buku tulisan pribadi, memoar, rekaman suara serta hasil wawancara dari orang yang berpartisipasi dalam suatu even masa lampau. Kemudian, sumber sekunder adalah sumber yang bukan diproduksi dalam suatu masa terjadinya peristiwa terkait. Antara peristiwa dan kehadiran sumber ini terpaut masa yang berbeda. Biasanya, sumber itu dibuat setelah suatu even historis berlangsung.17

Termasuk dalam langkah-langkah mendapatkan sumber adalah dengan pengamatan. Peneliti mendatangi beberapa tempat yang diketahui merupakan

16 M. Dien, Madjid dan Johan, Wahyudhi, Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar (Jakarta: Kencana, 2014) hlm. 122-123. 17 Louis,Gottschalk, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI Pres, 2006) hlm. 73-74 dan 93-94.

14

peninggalan atau tempat yang diyakini pernah menjadi latar peristiwa masa lalu yang berkaitan dengan objek kajian. Observasi lapangan ini berfungsi untuk melacak sumber-sumber lainnya, yang berupa kunjungan ke klenteng, museum Benteng Heritage serta ke pemukiman Cina Benteng awal di Teluk Naga dan lain-lain. Hasil pengamatan ini akan digunakan sebagai tambahan analisa peneliti. Peneliti telah melakukan penelusuran awal yang berguna untuk membentuk jejaring pengetahuan awal perihal sejarah Cina Benteng. Penelusuran ini bersifat pengamatan yang dikaitkan dengan sumber-sumber yang didapat.

Kedua, setelah materi-materi penulisan sejarah berhasil dikumpulkan, maka akan masuk dalam tahap kritik sumber. Kritik sumber berguna untuk menentukan otentisitas dan keotoritatifan sumber sejarah. Dalam studi sejarah dikenal dua macam kritik, yakni kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal berkisar pada pengetahuan tentang keaslian fisik sumber sejarah. Misalnya saja peneliti mendapatkan babad, maka sebelum ditelaah kandungannya, penulis terlebih dahulu memeriksa keaslian kertas, tinta, watermark, bentuk tulisan, stempel atau tanda tangan (jika ada), serta segala aspek yang menyangkut kondisi bendawi dari babad tersebut. Selanjutnya, kritik internal adalah mengetahui kebenaran isi informasi di dalam teks tersebut.18

Ketiga, sumber yang telah melalui fase kritik, kemudian mencapai tahap interpretasi. Perlu diketahui, beberapa sumber sejarah, mungkin saja telah digunakan oleh peneliti lainnya, namun informasi tersebut tetaplah terbuka untuk dianalisa, disesuaikan dengan tema atau judul yang dipilih. Dengan begitu dapat dijumpai pembahasan yang berbeda menggunakan sumber yang

18 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 1995) hlm. 99-100; lihat juga Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah ..., hlm. 98-99 dan 112.

15

sama. Misalnya saja ada peneliti yang menulis tentang perjalanan orang Tionghoa ke Nusantara maka akan mengutip sumber semacam Yingya Shenglan, namun dalam kesempatan lain peneliti bisa pula mengakses karya itu sebagai sumber sejarah. Pada titik ini, yang membedakan di antara keduanya adalah interpertasi atau pembacaan ulang disertai komentar atau catatan kritis mengenainya. Tidak bisa dipungkiri, luasnya tema kajian berikut interpertasi mengenainya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari dinamika penulisan sejarah.19

Keempat atau terakhir, setelah proses di atas sudah dilalui, baru kemudian dilakukan penulisan sejarah (historiografi). Susunan pembahasan mengenai judul yang diangkat, akan dibahas secara kronologis, yakni dengan mengedepankan aspek runutan kurun waktu yang melingkupi eksistensi warga Cina Benteng. Pembahasan akan terfokus pada masalah yang diangkat, ketika sampai pada bab terakhir sebelum kesimpulan.20

F. Landasan Teoritis

Penelitan ini berusaha mengungkap perubahan sosial yang terjadi di tengah masyarakat Cina Benteng berkaitan dengan pergumulan mereka dengan Islam baik Islam sebagai dokma maupun Islam sebagai kultur yang hidup disekitar mereka. Masyarakat Cina Benteng bagaimanapun leluhur mereka berasal dari daratan Tiongkok dengan tradisi budaya yang kuat tentunya masih dalam pengaruh kosmologi dan agama-agama Konfusius, Taoisme dan Budhisme serta filsafat-filsafat Tiongkok yang nanti akan dibahas dalam bab berikut. Pengaruh Kosmologi dan agama-agama tersebut

19 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu ..., hlm. 100. 20 Dudung, Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Tangerang: Logos Wacana Ilmu, 1999) hlm. 91-93.

16

tercermin dalam ritual-ritual yang kerap diadakan oleh komunitas Cina Benteng. Eksistensi mereka sebagai komunitas masyarakat yang tinggal di Tangerang hingga kini masih diakui dan bahkan diapresiasi oleh masyarakat dari komunitas lain.

Meskipun hari ini sebagian besar masyarakat Cina Benteng tidak beragama Islam, namun peneliti ingin mendapatkan kelengkapan informasi yang ditunjang dengan analisa pribadi mengenai bagaimana mereka memandang Islam, hidup berdampingan dengan tradisi Islam, baik sebagai agama maupun kebudayaan. Yang dimaksud dengan Islam sebagai agama adalah mengenai doktrin-doktrin maupun ritual keagamaan. Sedangkan yang dimaksud Islam sebagai budaya adalah mengenai nilai-nilai Islam yang yang berkembang dalam sebuah masyarakat. Dengan kata lain Islam sebagai fungsi sosialnya.

Ketika melihat Tionghoa sebagai satu kesatuan tradisi maka secara tidak langsung akan berkaitan pula dengan kepecayaannya kepada ketuhanan. Taoisme, Konfusianisme dan Budhisme, bagi orang Tionghoa sudah menjadi keyakinan yang membentuk kebudayaan mereka. Proses itu sudah berlangsung sejak lama, bahkan sebelum para leluhur mereka sampai di Nusantara. Kepercayaan mereka diwariskan secara turun temurun dan terus sambung-menyambung, dan akarnyapun bisa ditelisik sejak leluhur mereka di Tiongkok. Kepercayaan mereka bersambung dengan tradisi ketionghoaan yang awalnya dibawa oleh para pendahulu mereka dan diwariskan secara turun temurun. Atau dengan kata lain beragama sesuai dengan agama orangtuanya. Agama menurut Durkheim bukanlah hal tentang kepercayaan kepada kekuatan-kekuatan supernatural, seperti tuhan dan dewa-dewa. Tidak semua agama percaya kepada tuhan walaupun mereka meyakini akan kekuatan supernatural. Dalam pengamatannya, Durkheim menemukan

17

karakteristik paling mendasar dari setiap kepercayaan agama yang bukan terletak pada elemen-elemen supernatural melainkan pada konsep tentang “yang sakral”. Dalam masyarakat beragama manapun, dunia dibagi menjadi dua bagian terpisah yaitu “dunia yang sakral” dan “dunia yang profan”, bukan seperti yang selama ini dikenal, yaitu naturan dan supernatural. Hal- hal yang sakral selalu diartikan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa, dalam keadaan normal dia tidak tersentuh dan selalu dihormati. Sementara hal yang profan adalah yang merupakan kebiasaan sehari-hari dan bersifat biasa-biasa saja. Konsentrasi utama agama terletak pada yang sakral.

Menurut Emile Durkheim, agama adalah manifestasi natural dari aktivitas manusia. Semua agama, apapun jenisnya, bersifat instruktif. Segala bentuk tata laku ritualnya, membantu pemeluknya untuk memahami aspek- aspek keagamaan. Merupakan bagian dari studi agama, yaitu mengetahui bagaimana mereka hidup di tengah peradaban manusia. Definisi mengenai agama, tidaklah bisa diketahui, jika belum melihat di mana tempat agama itu berasal. Dari tempat awal perkembangannya itulah bisa diketahui karakteristik-karakteristik yang membentuk agama tersebut.21

Agama dalam definisi Durkheim dikatakan bahwa agama adalah satu sistem kepercayaan dengan perilaku-perilaku yang utuh dan selalu dikaitkan dengan yang sakral, yaitu sesuatu yang terpisah dan terlarang. Apakah tujuan yang sakral ini ? maka jawabannya akan ditemukan dalam definisi kedua yang diberikan Durkheim. Perilaku-perilaku tersebut disatukan dalam komunitas moral, tempat masyarakat memberikan kesetiaannya.22 Yang menjadi kata kunci adalah komunitas. Yang sakral tersebut memiliki pengaruh luas, menentukan kesejahteraan dan kepentingan anggota

21 Emile,Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, Terjemahan dari Bahasa Prancis oleh Joseph Ward Swain (New York: Dover Publication, Inc, 2008) hlm. 24. 22 Durkheim, Elementary Forms…, hlm. 47

18

masyarakat. Pada pihak lain yang profan tidak memiliki pengaruh yang begitu besar, melainkan hanya merefleksikan keseharian individu-individu, baik menyangkut aktifitas pribadi maupun kebiasaan yang dilakukan setiap individu dan keluarga. Durkheim selanjutnya memperingatkan agar jangan salah artikan konsep ini sebagai pembagian moral, bahwa yang sakral sebagai kebaikan sedangkan yang profan sebagai keburukan. Di dalam yang sakral bisa jadi terdapat kebaikan juga keburukan, tetapi yang sakral tidak akan berubah menjadi yang profan. Demikian pula sebaliknya, dalam yang profan bisa juga terdapat kabaikan sekaligus keburukan tetapi yang profan tidak akan berubah menjadi yang sakral.

Sebagaiman yang disebut oleh pemikir Yunani, Archimides dengan pou sto, yang berarti dimana ia berdiri. Durkheim dengan jelas memperlihatkan posisi itu yang ia tunjukkan dari mana ia memulai argumentasinya. Jika diperhatikan definisi agama yang ia tulis di bagian awal buku The Elementary, agama menurutnya didasarkan pada pembedaan yang dibuat oleh setiap masyarakat antara yang sakral dan yang profan. Perhatian utama agama ditujukan kepada yang sakral, yang harus selalu dijaga agar tidak tercampur atau tertukar dengan yang profan. Yang sakral selalu terikat dengan peristiws-peristiwa besar dalam sebuah klan. Begitu juga sebaliknya, yang profan merupakan bagian dari kehidupan pribadi. Konsep ini menjadi dasar bagi seluruh bangunan teori Durkheim.

Nilai lebih dari studi yang dilakukan Durkheim terletak pada tekadnya untuk melakukan studi hanya pada satu tipe budaya. Dalam hal ini Durkheim mengambil objek studinya pada budaya masyarakat Aborigin Australia dan menjelaskan agama dalam konteks budaya masyarakat tersebut. Dalam pelaksanaannya dia sangat mengandalkan laporan etnografi dari Spencer dan Gilen serta para peneliti lainnya. Kemudian menyandarkan teorinya kepada

19

bukti-bukti yang didapat oleh ilmuwan-ilmuwan itu. Nilai ilmiah dari pendekatan Durkheim sudah jelas dan tidak dapat ditolak., akan tetapi masih memiliki kelemahan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada laporan- laporan ilmuwan tadi atau otentisitas bacaan Durkheim atas karya karya mereka diantaranya adalah apa yang tersisa dari teori Durkheim sendiri. Inilah yang menjadi titik yang dianggap lemah dari teori Durkheim dan mendapat kritik dari beberapa kalangan. Seorang sosiolog yang sebelumnya bekerja bersama Durkheim bernama Gaston Richard menyatakan dengan cermat, dia kembali meneliti masyarakat Australia dan memperlihatkan yang justru berlawanan dengan kesimpulan Durkheim. Richard juga menyatakan bahwa kebanyakan teori Durkheim dibangun bahkan sebelum dia menelaah laporan-laporan mengenai Australia itu sendiri.23

Fungsionalisme sosiologis adalah kata kunci dalam metode eksplanasi Durkheim. Dalam hal-hal tertentu, pendekatan yang dilakukan Durkheim tak perlu dipertanyakan lagi. Adalah kenyataan bahwa kepercayaan dan ritual- ritual keagamaan sering kali tercampur dengan tujuan-tujuan sosial, meskipun seringkali umat beragama tidak menyadarinya. Agama dan masyarakat memiliki hubungan yang sangat erat, bahkan keduanya tak dapat dipisahkan satu sama lain. Meski demikian tetap harus dipertanyakan bagaimana cara kerja sebenarnya dari hubungan itu. Durkheim selalu menyatakan bahwa agama akan selalu bergantung pada masyarakat. Masyarakat mengontrol sedangkan agama yang merefleksikannya.

Setiap kali penjelasan fungsionalisme terhadap agama kelihatan sangat alami dan cocok sehingga tak ada orang yang menyangkalnya. Contoh yang diajukan, masyarakatlah yang melahirkan keyakinan serta ritual keagamaan

23 Danie, L., Pals, Seven Theories Of Religion, Terj. Inyiak, Ridwan, Munzir, & M. Syukri, (Jokjakarta : IRCiSoD, 2011) hlm. 171

20

sedangkan agama dianggap tidak bisa melakukan hal yang sebaliknya kepada masyarakat. 24

Kritik terhadap Durkheim.

Durkheim selalu mengingatkan bahwa struktur sosial adalah realita dan seolah-olah hanya satu-satunya realita sedangkan agama hanya dianggap sebagai suatu penampakan. Perlu digaris bawahi bahwa di samping klaim- klaim Durkheim tentang tujuan agama, agama juga mempunyai fungsi sosial, tetapi seolah-olah Durkheim mereduksi makna dan nilai agama hanya terletak pada fungsi sosialnya saja. Bahwa yang menyangkut individu dari pemeluk agama dianggap sesuatu yang profan dan yang menyangkut tentang sosial kemasyarakatan dianggap sebagai suatu yang sakral. Durkheim memang melakukan penelitian untuk mendasari teorinya pada agama primitif seperti totemisme pada masyarakat aborigin di Australia. Teori Durkheim masih relefan menyangkut agama-agama seperti Konfusianisme, Taoisme dan Budhisme. Agama-agama tersebut tidak memiliki konsep tentang hukum yaitu pahala dan dosa yang keduanya menjadi tanggung jawab individu bagi pemeluk agama dan akan dimintakan pertanggungjawaban itu di kehidupan berikutnya.

Apa yang ditawarkan Durkheim yang menjelaskan agama hanya sebagai bentuk luarnya saja yang dalam istilahnya disebut effervescence25 yang dibentuk oleh realitas sosial yang lebih mendalam. Durkheim masih menganggap bahwa agama bagi sebagian masyarakat masih memiliki arti penting bagi kesejahteraan sosial, berbeda dari Sigmund Freud yang menganggap agama sebagai satu jenis penyakit akibat trauma psikologis. Dalam masalah agama, Durkheim dan Freud sama-sama dapat digolongkan

24 Pals, Seven Theories Of Religion, hlm. 25 Pals, Seven Theories…..,Hlm.172

21

sebagai aliran fungsionalis reduksionis agresif, tujuannya adalah mereduksi agama hanya pada fungsi sosialnya saja.

Islam, memerintahkan umatnya untuk melakukan shalat lima waktu setiap hari. Keutamaan ritual shalat memang lebih pada pelaksanaan yang berjamaah, dalam arti dilakukan bersama-sama namun shalat adalah perintah kepada setiap orang yang mengimani Islam. Shalat yang dilakukan secara sendiri-sendiri untuk melaksanakan perintah dan menggugurkan kewajiban tetap saja merupakan suatu yang sakral. Sebagaimana kita ketahui bahwa Durkheim menganggap suatu yang dilakukan individu adalah bukan suatu yang sakral melainkan yang profan.

Kebanyakan umat beragama menganggap teori-teori Durkheim tidak dapat diterima. Dalam pandangan iman agama, pendekatan-pendekatan reduksionis ini telah gagal memahami apa yang ada dalam agama tersebut terutama agama-agama monoteis. Dalam kontek Konfusianisme, Taoisme dan Budhisme, teori-teori Durkheim masih dapat diterima mengingat agama- agama tersebut sebenarnya bukan agama monoteistik. Mereka menyembah banyak dewa, bahkan seseorang yang dianggap banyak berjasa pada manusia, setelah kematiannya bisa saja dipuja sebagai dewa. Cheng Ho adalah salah satu sebab kemunculan pemukiman Tionghoa awal di Tangerang. Kedudukannya begitu dihormati bahkan oleh sebagian orang Tionghoa, Cheng Ho dipuja sebagai dewa.26 Kendatipun mereka mengetahui bahwa Cheng Ho sebenarnya beragama Islam.

Sejak kedatangan orang-orang Tionghoa dari Batavia akibat peristiwa pembantaian 1740, Keberagamaan dan kebudayaan Tinghoa seperti menemukan kembali penguatan tradisinya dengan banyak digelarnya ritual-

26 Onghokham, Anti Cina ..., hlm. 118.

22

ritual serta upacara-upacara pemujaan terhadap dewa-dewa dan arwah para leluhur. Inilah yang dimaksud Durkheim dengan pentingnya ritual-ritual tersebut sebagai penguat ikatan sosial bagi penganutnya hingga hal demikian itu menjadi identitas masyarakat Cina Benteng hingga sekarang. Agama sekali lagi bukan hanya berfokus pada fungsi sosialnya saja dalam sebuah masyarakat, individu-individupun harus menjadi fokus agama. Bagaimanapun, masyarakat terdiri dari individu-individu kesakralan beragama juga dapat terakomodasi dari nilai-nilai yang bersifat individu.

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan disajikan secara kronologis, dan terdiri atas 6 bab. Bab pertama berisi tentang hal-hal yang menyangkut landasan berpikir, baik secara teoritis maupun langkah penelitian yang akan ditempuh. Bab ini tersususun dari beberapa sub bab, antara lain, latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, kegunaan dan manfaat penelitian, penelitian terdahulu, metode penelitian, landasan teoritis dan sistematika penulisan.

Bab kedua mengetengahkan tentang pengertian yang menyangkut identitas orang Tionghoa. Seperti diketahui, terminologi mengenai Tionghoa, Tiongkok, Cina, dan China masihlah belum terjelaskan secara komprehensif. Penulis juga menganggap penting untuk kita memahami rasa kebatinan orang-orang Tionghoa terhadap sebuah kekuatan diluar dirinya. Untuk itu selain terminologi, penulis juga menjelaskan tentang kosmologi dan mitologi orang-orang Tionghoa dalam bab ini.

Penulis menganggap penjelasan ini menjadi penting untuk memahami bagaimana orang Tionghoa memaknai kehidupan dan alam ini. Pemahaman orang Tionghoa yang menganggap ada kekuatan lain di alam ini selain

23

manusia yaitu Tuhan (Tian) dan dewa-dewa perlu dijelaskan agar pembaca mempunyai pemahaman dalam hal melihat orang Tionghoa memahami agama.

Onghokham menjelaskan bahwa saat membicarakan agama orang Cina maka jangan samakan dengan agama monoteistik semacam Kristen, Yahudi ataupun Islam. konsep agama orang Cina lebih dekat dengan model beragama orang Yunani dan Romawi, yakni pemujaan terhadap dewa-dewa. Tidak ada ketetapan resmi, dewa-dewa apa yang dipuja di kalangan orang Cina, karena pemujaan ini sudah menyatu dalam konsep tradisi orang Cina. Bisa saja ditemukan di satu kampung Tionghoa hanya satu dewa saja yang dipuja, dan di kampung lainnya memuja dewa yang berlainan. Kepercayaan yang diyakininya ini adalah warisan dari para leluhur (ancestral cult).

Bab ketiga, pembahasan difokuskan pada bahasan historis orang Cina Benteng di Tangerang. Sejarah kedatangan orang-orang Tionghoa ke Tangerang, Pembentukan masyarakat awal Cina Benteng dan Aklturasi di masa kolonial Belanda, Tionghoa kerap dijadikan sebagai teman atau kawan. Kerusuhan 1740 di Batavia yang menyebabkan perpindahan sebagian orang Tionghoa dari Batavia ke Tangerang, menjadi realitas yang menguatkan pendapat bahwa tidak sepenuhnya orang Belanda memberi perlakuan khusus kepada Tionghoa atau masyarakat Timur Asing pada umumnya.

Bab empat mengetengahkan pengaruh kolonial terhadap kehidupan masyarakat Tionghoa di Tangerang. Panjangnya rentang waktu penjajahan terutama oleh Belanda tentu meninggalkan kebiasaan yang membekas dalam sendi-sendi kehidupan termasuk bagi masyarakat Tionghoa terutama di Tangerang. Kebijakan politik kolonial tentunya berpengaruh besar. Tentang pengelolaan tanah-tanah partikelir dan beberapa peristiwa kekerasan yang menimpa etnis Tionghoa di Tangerang turut juga dibahas dalam bab ini.

24

Letak geografis Tangerang yang bersebelahan dengan pusat kekuasaan yaitu Batavia, mau tidak mau menjadikan Tangerang sebagai wilayah yang tak pernah lepas dari perhatian kolonial. Pembahasan dalam bab ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada pembaca mengenai seberapa besar pengaruh kebijakan politik kolonial terhadap kehidupan masyarakat Cina Benteng.

Kemudian di bab selanjutnya, akan dipaparkan penjelasan mengenai bagaimana pandangan orang Cina Benteng terhadap Islam. Islam pada titik ini mencakup doktrin dan peradaban. Diharapkan pada bagian ini akan didapatkan keterangan lebih bagaimana Orang Cina Benteng menilai dan memposisikan Islam, yang notabene pernah ikut membangun sejarah para leluhurnya di Tangerang. Turut dijelaskan pula mengenai perkembangan kontemporer mengenai Islam di kalangan orang Cina Benteng. Bab terakhir berisi kesimpulan dan saran.

25

BAB II

TERMINOLOGI DAN KOSMOLOGI TIONGHOA

A. Terminologi Tionghoa

1. Pengertian Orang Cina dan Orang Tionghoa

Sebelum masuk dalam pembahasan mengenai Cina Benteng lebih lanjut, peneliti menganggap perlu memberikan penjelasan awal mengenai terminologi atau istilah-istilah yang tertulis dalam judul tesis ini yaitu Cina, China, Tiongkok dan Tinghoa. Hemat peneliti, hal ini merupakan elemen dasar dalam membincangkan persoalan-persoalan lain yang akan dibicarakan.

Dalam bahasa Inggris, secara konsisten digunakan istilah “People‟s Republic of China”27, yang merupakan nama resmi negara asal tempat orang Cina. Dalam penyebutan masa lampau wilayah Tiongkok sekarang, bahkan sejak sebelum era Konfusius, yakni sejak pemerintahan raja-raja Shang (sekitar 1400 SM) disebut Cina.28 Penyebutan ini sudah tercatat di dalam keanggotaan PBB. Tetapi dalam Bahasa Indonesia, masih sering terjadi kerancuan dalam penyebutan negara itu, apakah terjemahannya menjadi “Republik Rakyat Tiongkok” atau “Republik Rakyat Cina” atau “Republik Rakyat China”?

Penggunaan kata Cina (China dalam bahasa Inggris, Chine dalam bahasa Prancis dam bunyi mirip itu dalam bahasa-bahasa Eropa lainnya).

27 Diunduh dari https://www.cia.gov/library/publications/resourcesthe-world- factbook/geos/ch.html. Pada Pukul 14.36 WIB, Rabu 22 Juni 2016. 28 H. G. Creel, Alam Pikiran Cina; Sejak Confucius Sampai Mao Zedong (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990) hlm. 11.

26

Kata China berasal dari Qin (dibaca „Cin‟). Qin adalah dinasti asal Manchuria yang mempersatukan dan menguasai sebagian besar daratan Tiongkok dan berkuasa dari tahun 221 sampai dengan 206 SM. Meski hanya berkuasa 15 tahun, bangsa Qin memiliki pengaruh besar dan bahkan bisa mengalahkan supremasi bangsa Han (mayoritas) yang memiliki jumlah rakyat yang jauh lebih banyak, dan dengan demikian istilah Zhung Guo - penyebutan wilayah orang Cina sebelum China - di dunia luar lebih tergeser oleh istilah Cin yang kemudian menjadi China di Inggris, misalnya.

Kata Tiongkok berasal dari dari kata Zhong Guo (中国)yang dibaca sebagai „cung kuo‟. Kata ini mengacu pada wilayah Manchuria, Mongolia Dalam, Xinjiang, Tibet dan Taiwan. Kata Tionghoa berasal dari Zhong Hua digunakan sebagai penanda sifat (modifier) bagi hal-hal yang berkenaan dengan Tiongkok. Bila dianalogikan dengan penyebutan internasional untuk kawasan ini, maka Tiongkok sepadan dengan China, dan Tionghoa sepadan dengan Chinese.

Sebutan Tiongkok berasal dari zaman Dinasti Shang ketika daratan Tiongkok terpecah jadi banyak kerajaan kecil. Ketika Dinasti Shang menguasai wilayah di bagian tengah wilayah yang sekarang menjadi People’s Republic of China, kerajaan ini disebut “Zhong Guo”, yang berarti “Negara Tengah”.29

Secara kebahasaan, istilah “Tiongkok” dan “Tionghoa” hanya ditemukan di Indonesia karena lahir dari pelafalan “Zhong Guo” dalam Bahasa Indonesia dan dialek Hokien (yang digunakan di Provinsi Fujian, dari mana banyak etnis Tionghoa di Indonesia berasal). Oleh karena itu, kedua istilah tersebut tidak didapatkan di negara-negara tetangga yang

29 Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2002) hlm. 101.

27

bahasanya juga mempunyai akar bahasa Melayu seperti Malaysia dan Brunei. Namun demikian, di Asia, variasi dari istilah “Tiongkok” digunakan di Jepang (“Chugoku”), Korea (“Jungguk”), dan Vietnam (“Trung Quoc”).30

Pada 1900, nasionalisme orang Tionghoa di Hindia Belanda mulai muncul, ditandai dengan berdirinya Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yaitu perkumpulan Orang Tionghoa di Jakarta.31 Masyarakat Tionghoa di Indonesia membangun organisasi-organisasi dan sekolah-sekolah sebagai upaya untuk pengenalan lebih mendalam terhadap tanah leluhur. Dalam proses tersebut, penyebutan “Cina” (pada saat itu ditulis “Tjina”) dikurangi karena dianggap merendahkan. Sebagai gantinya, istilah “Tiongkok” digunakan untuk penyebutan negara, dan “Tionghoa” untuk sebutan orang Tiongkok.

Pada tahun 1910, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan undang- undang kewarganegaraan dan menyebut masyarakat Tionghoa dengan terminologi Cina.32 Dari perspektif masyarakat Tionghoa di Indonesia, penggunaan istilah Cina merupakan bentuk penghinaan, terutama karena status kelas masyarakat Tionghoa di Indonesia diletakkan lebih rendah dari orang Barat dan Jepang. Pada tahun 1928, Gubernur Jenderal Belanda saat itu mengganti penggunaan istilah menjadi Tiongkok dan Tionghoa. Sejak saat itu pula, tokoh-tokoh nasional Indonesia seperti Ki Hajar Dewantoro, H.O.S. Tjokroaminoto, Sutomo dan Sukarno menggunakan istilah Tiongkok dan Tionghoa.

Pada saat pembukaan hubungan diplomatik RI dan RRT di tahun 1950, dokumen resmi yang ditandatangi kedua belah pihak menggunakan Republik

30 Diunduh dari http://www.tionghoa.info/sejarah-migrasi-dan-populasi-kelompok- etnis-tionghoa/ pada pukul 9.21 WIB, Selasa 19 April 2016. 31 Leo Suryadinata, Tokoh-tokoh Tionghoa & Identitas Indonesia (Depok: Komunitas Bambu, 2010) hlm. 2. 32 Diunduh dari : ejournal.lipi.go.id/index.php/jmi/article/download/630/422

28

Rakyat Tiongkok untuk sebutan Zhong Hua Ren Min Gong He Guo, yang selanjutnya digunakan dalam segala persuratan resmi di antara kedua negara.

Di bawah ini akan dipaparkan beberapa penjelasan mengenai terminologi Cina dan Tiongkok, secara lebih spesifik:

2. Penghapusan Terminologi “Tiongkok” dari Bahasa Indonesia Tren penggunaan istilah “Tiongkok” dan “Tionghoa” berubah setelah meletusnya peristiwa G30S-PKI dan semakin maraknya arus anti-Cina di tanah air. Dalam iklim politis yang kurang kondusif demikian, pada tahun 1966, Seminar Angkatan Darat ke-2 di Bandung dalam laporannya mengambil kesimpulan sebagai berikut: “Demi memulihkan dan keseragaman penggunaan istilah dan bahasa yang dipakai secara umum di luar dan dalam negeri terhadap sebutan negara dan warganya, dan terutama menghilangkan rasa rendah-diri rakyat negeri kita, sekaligus juga untuk menghilangkan segolongan warga negeri kita yang superior untuk memulihkan penggunaan istilah „Republik Rakyat Tjina‟ dan „warganegara Tjina‟ sebagai ganti sebutan „Republik Rakyat Tiongkok‟ dan warga-nya.”33 Pada 25 Juli 1967, Presidium Kabinet Ampera mengesahkan keputusan Seminar tersebut dengan pertimbangan bahwa istilah tersebut adalah yang disenangi rakyat Indonesia. Kebijakan ini diresmikan dengan penerbitan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. 6 Tentang Masalah Cina, yang isinya secara spesifik melarang penggunaan istilah “Tiongkok” dan “Tionghoa” karena nilai-nilai psikologis yang dianggap merugikan rakyat Indonesia.34

Dalam tanggapannya, Pemerintah RRT melalui surat kabar Renmin Ribao pada tanggal 27 Oktober 1967 menyampaikan bahwa “perubahan sepihak Pemerintah Indonesia atas sebutan nama negara Tiongkok, adalah penghinaan besar dan rakyat Tiongkok menyatakan „sangat marah‟ atas

33 elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/12/DIKSRIMINASI-WARGA-TIONGHOA.pdf 34 http://jdih.ristekdikti.go.id/?q=system/files/perundangan/12158490547.pdf

29

sikap Pemerintah Indonesia yang tidak bersahabat tersebut.” Protes tersebut disampaikan berkali-kali sampai akhirnya hubungan diplomatik kedua negara dibekukan.

Pada tanggal 6 Desember 1967, ditetapkan Inpres No. 14 Tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, yang tujuannya untuk semakin menekan kebebasan berekspresi masyarakat Tionghoa di Indonesia, termasuk penggunaan istilah Tiongkok dan Tionghoa.

Semenjak itu, praktis tidak pernah lagi terdengar penggunaan istilah Tiongkok dan Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia. Yang ada hanya istilah Cina, yang walaupun secara tata bahasa dinilai netral, namun kerap digunakan dengan tendensi merendahkan.

Parsudi Suparlan menambahkan bahwa keengganan orang Tionghoa menggunakan istilah orang Cina karena menurut mereka Cina adalah sama dengan ejekan. Mereka merasa tidak nyaman apabila diejek “Cina, lu”. Sedangkan sebutan Tionghoa, bagi mereka adalah suatu sebutan yang membesarkan perasaan mereka, karena menurut mereka sebutan itu pengakuan bahwa mereka adalah orang dari Kerajaan Tengah yang merupakan pusat pemerintahan negeri Cina. Mereka seperti ingin diperlakukan layaknya tamu kerajaan yang datang ke Nusantara. Mereka adalah bangsa asing yang ingin dihargai karena keasingannya, bukan karena mereka adalah bagian dari penduduk lokal. Peneguhan akan keasingan mereka semakin diperkuat dengan begitu bangganya jika mereka dipanggil chinese, sebutan yang dialamatkan kepada mereka di luar Indonesia.35

35 Parsudi Suparlan, “Kesukubangsaan dan Posisi Orang Cina dalam Masyarakat Majemuk Indonesia” dalam Antropologi Indonesia, vol. 71, 2003, hlm. 32.

30

3. Penggunaan Terminologi “China” Sebagai Kompromi

Pada saat normalisasi hubungan diplomatik Indonesia dan RRC di tahun 1990, penyebutan People’s Republic of China dalam bahasa Indonesia menjadi salah satu faktor perselisihan antara kedua pihak yang berunding. Secara prosedural, Surat Presidium Kabinet Tahun 1967 masih melarang penggunaan istilah Tiongkok, sedangkan pihak Pemerintah RRT menilai penggunaan istilah Cina tidak merefleksikan itikad baik dari proses normalisasi hubungan diplomatik. Mengingat kepentingan untuk normalisasi hubungan diplomatik, kedua belah pihak akhirnya mencapai kesepakatan resmi untuk memformulasikan penggunaan “Republik Rakyat China”, atau menggunakan ejaan “Cina” dalam bahasa Inggris. Dengan penulisan seperti ini, maka dalam pelafalannya, baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia, Tiongkok disebut dengan “cai.na”.

Dapat dimengerti alasan dari proses kompromi ini. Namun demikian, yang menjadi permasalahan adalah status istilah “China” dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ke-empat tahun 2008 versi daring, istilah “Cina” tetap dieja tanpa hufu “h” dan dibaca “Ci.na”, bukan “Cai.na”. Selain itu, penjelasan mengenai Cina adalah “1. sebuah negeri di Asia; Tiongkok; 2. Bangsa yg tinggal di Tiongkok; Tionghoa”.36

Oleh karena itu, penggunaan istilah “China” (baik dalam penulisan maupun pelafalannya) dapat dilihat sebagai pemaksaan istilah bahasa Inggris “China” ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini mungkin bisa saja diterima oleh masyarakat Indonesia.

36. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/cina

31

4. Penggunaan Kembali Terminologi “Tiongkok” di masa Reformasi

Memasuki masa awal Reformasi di Indonesia, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967 yang dianggap diskriminatif dan tidak sesuai dengan norma dan cita-cita reformasi. Meskipun demikian, Surat Presidium Kabinet Ampera No. 6 Tahun 1967 (mengenai pelarangan penggunaan istilah-istilah “Tiongkok” dan “Tionghoa”) tidak ikut dicabut.37 Presiden Wahid adalah salah seorang tokoh Reformasi yang memutuskan kembali penggunaan istilah Tiongkok dan Tionghoa. Di dalam laporan kerja Pemerintah bulan Agustus 2000, Presiden Wahid secara tegas menggunakan sebutan Republik Rakyat Tiongkok dan tidak lagi menyebut Republik Rakyat Cina.

Presiden Megawati Soekarnoputri juga melakukan hal yang sama pada masa kepemimpinannya. Bahkan pada tahun 1998, sewaktu Presiden Megawati ketika dirinya menjabat sebagai Wakil Presiden, beliau mengatakan di hadapan suatu forum di Jawa Timur bahwa “sejak dahulu sampai sekarang, saya tetap menggunakan sebutan Tiongkok dan Tionghoa, keyakinan saya ini tidak berubah untuk selama-lamanya”.38

Pada masa pemerintahan setelahnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Keputusan Presiden No 12 tahun 2014 tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE- 06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967. Keppres yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 14 Maret 2014 ini, maksudnya adalah menghapus sebutan/istilah China atau Cina dan menggantinya menjadi Tiongkok. Nama negara Republik Rakyat Cina diganti menjadi Republik Rakyat Tiongkok.

37 Lihat juga Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967, diunduh dari http://www.hukumonline.com/ pada pukul 10.06 WIB, hari Jumat tanggal 2 Mei 2016. 38

32

Dengan berlakunya keputusan tertanggal 14 Maret 2014 itu, maka dalam semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, penggunaan istilah orang atau komunitas Tjina/China/Cina diubah menjadi orang atau komunitas Tionghoa. Sedangkan negara Republik Rakyat Cina kini disebut Republik Rakyat Tiongkok.

Meskipun sebagian pihak menilai keputusan presiden ini merupakan bagian dari manuver politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menggalang dukungan etnis Tionghoa menjelang pemilu, Asvi Warman Adam berpendapat, secara umum keputusan ini berdampak positif. "Lebih baik menyebut suatu kaum sebagaimana mereka ingin disebut," ujarnya.39

Demikian penjelasan penulis mengenai istilah atau terminologi Cina, China, Tiongkok dan Tionghoa. Jadi dalam penulisan tesis ini peneliti mengacu pada Keppres No. 12 tahun 2014. Namun demikian dalam hal penyebutan Cina Benteng, penulis masih menggunakan terminologi “Cina” hal itu dikarenakan istilah Cina Benteng sudah menjadi makna tersendiri dan sejauh ini baik di dalam masyarakat maupun media masih menggunakan istilah Cina Benteng bukan Tionghoa Benteng. Orang-orang Cina Benteng sendiri tidak merasa direndahkan dalam penyebutan istilah itu walaupun beberapa pihak menganggap penggunaan istialah Cina pada kalimat Cina Benteng terkesan seperti merendahkan.

Edi Purwanto menyebutkan bahwa di masa kini, istilah Cina Benteng kerap dialamatkan pada sesuatu yang merendahkan martabat orang Tionghoa. Cina Benteng sama halnya dengan sebutan untuk Tionghoa udik (kampungan), miskin dan kurang pendidikan. Anggapan demikian kerap disematkan kepada mereka oleh orang Tionghoa yang tinggal di Jakarta.

39 Diunduh dari https://m.tempo.co/read/news/2014/03/19/078563591/sebut-cina-atau- tionghoa, pada pukul 22.31 WIB, Rabu 22 Juni 2016.

33

Kondisi yang dialami masyarakat Cina Benteng amat bertentangan dengan fakta bahwa banyak orang Tionghoa yang kaya, bahkan etnis Tionghoa telah sedemikian identik dengan kemakmuran berlandaskan pada harta yang banyak serta jaringan bisnis yang luas.40

B. Kosmologi Orang Tionghoa

Filsafat dan keyakinan agama Tionghoa kuno muncul dari keyakinan primitif animisme yang memandang alam adalah kekuatan tertinggi. Karena itu pada jaman neolitik orang-orang Tionghoa menyembah matahari, bulan, bintang, petir, gunung, batu karang, air, api, bumi, langit, hujan dan lain sebagainya. Muncul dari rasa takut terhadap alam semesta, pikiran orang Tionghoa tertuju pada hubungan manusia dengan langit.

Mereka meyakini bahwa semua peristiwa termasuk nasib mereka ditentukan oleh Tianyi (Titah atau mandat dari langit).41 Para penguasa dan rakyat tidak punya kendali atas nasib dan terhadap bencana-bencana alam dan sosial seperti kekeringan, banjir, gempa bumi, kebakaran, kemiskinan, kelaparan dan lain sebagainya. Mereka takut akan mahluk-mahluk gaib seperti hantu, dewa dan menjaga jarak dengan hal-hal tersebut. Mereka menghormati mahluk-mahluk gaib itu dengan melayaninya, memberikan sesaji, mengutamakan dewa-dewa dalam setiap upacara. Mereka percaya akan dewa-dewa atau “Di” atau “Shangdi” (Tuhan Yang Maha Kuasa). Dia adalah penguasa tertinggi kosmos dan memiliki control mutlak terhadap segala sesuatu di dunia fisik. Dia mengirimkan berkah dan bencana, memberi

40 Edi Purwanto, “Kompeksitas Kemiskinan Tionghoa Benteng”, Disertasi (belum diterbitkan), Universitas Kristen Satyawacana, 2002, hlm. 1 dan 11. 41. Tan Ta Sen, Cheng Ho Penyebar Islam dari China ke Nusantara (Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2010) hlm. 32

34

perlindungan dalam setiap pertempuran, menjatuhkan sangsi serta memutuskan takdir dan nasib manusia termasuk penunjukan dan pencopotan terhadap pejabat. Dia juga memberi kepercayaan kepada raja-raja dengan mandate untuk memerintah. Karena itu raja harus meminta persetujuananya sebelum melakukan sesuatu.

Kehendak Yang Maha Kuasa dapat diketahui dengan membaca guratan- guratan yang tertulis pada tulang belulang yang memuat ramalan-ramalan. Dari guratan itu dapat diketahui peristiwa-peristiwa yang akan terjadi pada masa mendatang begitu juga keadaan cuaca atau musim. Guratan-guratan yang tampak di tulang-belulang lalu ditafsirkan sebagai respon dari pertanyaan pertanyaan yang diajukan. Jelaslah ketergantungan mereka akan dunia materi pada keinginan yang gaib.

Konsep tentang langit mengacu pada kekuatan moral kosmos yang suci dan hak dinasti untuk memerintah didasarkan justifikasi etika, kekuasaan bedasarkan kebajikan. Jika raja melalaikan tugas sucinya dan menjadi seorang tiran, Langit akan memperlihatkan ketidaksenangannya dengan menurunkan bencana-bencana. Jika raja lalai memperhatikan peringatan- peringatan itu, Langit aka menarik kembali mandatnya . Akhirnya Langit akan memilih penggantinya yang lebih bijak42. Raja bertindak sebagai penengah antara langit dan alam manusia. Kebijakan raja menjamin harmoni yang sebenarnya dari keduanya.

Pada perkembangannya peramalan menggunakan guratan-guratan tulang belulang mengalami perubahan dengan mulai ditulisnya kitab-kitab peramalan. Pembacaan guratan pada tulang belulang dianggap kurang dapat memenuhi harapan karena hanya dapat dibaca oleh seorang tabib atau dukun.

42 Yao Xinzhong, An Introduction to Confucianism (Cambridge: Cambridge Univesity Press, 2000) hlm. 147

35

Dengan demikian unsur subjektifitas menjadi terlalu kuat. Keterbatasan pengetahuan sang tabib sering kali menjadikan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan meleset.

Peramalan melalui pembacaan guratan tulang-belulang bergeser pada pembacaan kitab-kitab peramalan yang ditulis oleh seseorang yang dianggap kompeten. Ia mengamati setiap kejadian dan perubahan-perubahan yang dikonotasikan sebagai sebuah tanda-tanda akan terjadinya sebuah situasi atau peristiwa di masa datang. Peramalan dianggap begitu penting karena dengan memperoleh informasi mengenai yal yang akan dihadapi, orang Tionghoa menjadi lebih siap.

1. Aliran Yijing (Buku tentang perubahan tentang), Yin - Yang dan Wuxing (Lima Unsur/agen perubahan)

Kitab Yijing kemungkinan besar merupakan kitab peramalan tertua yang ditulis sekitar abad 11 SM. Kitab tersebut oleh Dinasti Han dijadikan pedoman bagi apa saja dan salah satu kitab paling berpengaruh tentang kebiasaan orang Tionghoa mulai dari ramalan nasib hingga strategi kemiliteran.43

Kitab Yijing merefleksikan pandangan dunia kosmos orang Tionghoa tentang perubahan. Alam semesta tidak bersifat statis tetapi alam adalah sebuah kegiatan yang bergerak terus-menerus yang merupakan realitas dari pertentangan, perjuangan, dan keanekaragaman serta perbedaan. Perubahan adalah intisari dari eksistensi. Yijing adalah kitab yang menjelaskan hasrat untuk bertindak sesuai dengan jalan atau aliran alam semesta yang dapat menjamin keberhasilan perubahan dalam kerangka kehidupan yang

43 Tan Ta Sen, Cheng Ho…, hlm. 37

36

senantiasa berubah.44 Yijing merrupakan kitab yang merujuk pada pencarian keseimbangan dan keteraturan dalam dunia yang kacau-balau.

Setiap perubahan berkaitan dengan dua kekuatan yaitu Yin, sebagai unsur yang bersifat pasif, feminis. Unsur Yang adalah bersifat aktif dan maskulin. Yin dan Yang adalah dua elemen yang saling melengkapi. Interaksi antar dua unsur tersebut akan mengarah pada perkembangan moralitas dan peradaban masyarakat. Interaksi dua kekuatan kosmos tersebut menghasilkan evolusi budaya, ide, dan system.

Doktrin Yin dan Yang dihubungkan dengan teori Lima Unsur atau Lima Agen, yaitu Logam, Kayu, Air, Api dan Tanah. Semua materi kehidupan mengandung lima unsur itu. Doktrin memasukkan konsep penting tentang rotasi yang menggambarkan keterhubngan antara penciptaan dan pemusnahan yang bergantung pada siklus pergerakan Lima Unsur. Hubungan antara perjuangan, keselarasan, persaingan dan pertentangan adalah han yang mendasar bagi doktrin Yin dan Yang serta Lima Unsur.

Konsep Yin dan Yang serta Lima Unsur juga melengkapi kerangka intelektual orang Tionghoa di bidang pengobatan dan biologi. Seluruh bagian tubuh dipandang saling berkaitan dan munculnya penyakit diakibatkan gangguan terhadap keseimbangan Yin dan Yang atau Lima Unsur. Karena itu diagnosis mengenai ketidakseimbangan tersebut menjadi penting untuk menentukan terapi yang harus dijalankan maupun obat yang akan diberikan. Ketepatan membaca keseimbangan tersebut sangat menentukan keberhasilan sebuah pengobatan.

Kosmologi berdasarkan teori perubahan Yin dan Yang serta Lima Unsur menandai kemajuan luar biasa dalam memikiran filsafat Tionghoa. Jika

44. Tan Ta Sen, Cheng Ho…, hlm. 37

37

sebelumnya alam semesta dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan spiritual dengan hasrat dan keinginan yang disampaikan kepada manusia melalui peramalan, berikutnya manusia dapat menentukan dan memprediksi operasi kekuatan-kekuatan alam secara objektif melalui metode analisa. Aliran tersebut juga menghasilkan Feng shui, tongshu (almanac Cina).

C. Mitologi Orang Tionghoa

Menurut mitologi Orang Tionghoa, disebutkan bahwa nenek moyang mereka adalah Kaisar Kuning Huang Ti, salah seorang pahlawan kebudayaan Tiongkok. Kedudukannya lebih bersifat mitologis dan hanya didasarkan pada legenda, ketimbang sosok nyata yang pernah hidup. Kuburannya terdapat di Huang Ling, sebuah kota kecil di tepi Sungai Kuning. Nama lengkapnya Shen Yeng Huang, kaisar ketiga menurut mitologi Tiongkok dan pendiri Taoisme. Gelarnya merefleksikan bahwa ia dilahirkan pada hari unsur tanah (kuning adalah warna tanah) pada 2704 SM.45

Kaisar Kuning memperkenalkan perhitungan secara matematis dan kalender dengan siklus 60 tahunan yang sampai sekarang masih dipakai. Ia juga dikenal sebagai penemu mata uang, blok-blok bangunan dan jarum kompas. Ia juga mengajarkan kepercayaan dengan memberikan korban kepada langit (surga) yang diletakkan di atas meja/altar (meja sembahyang/samkai). Dialah yang pertama membangun istana kekaisaran, mendatangkan bambu ke Tiongkok, membuat peralatan musik dan mendesain perlengkapan dapur dari kayu, tanah dan logam. Kaisar ini juga dipercaya sebagai pembuat kapal, alat pengangkut, kereta yang ditarik lembu dan mempelajari pengobatan untuk memperpanjang usia. Orang-orang

45 Benny G Setiono. Tionghoa Dalam Pusaran Politik (Jakarta: Tansmedia, 2008) hlm. 38

38

Tionghoa yang mengikuti ajarannya berusaha hidup dengan saleh dan kebijaksanaan yang sempurna.

Di samping Huang Ti, orang Tionghoa secara turun-temurun mengakui Yen Ti atau Kaisar Yen sebagai nenek moyang mereka. Yen Ti juga dikenal sebagai Shen Nung atau suami teladan. Ia adalah orang yang selalu disebut- sebut saat orang membicarakan ilmu pengobatan Tiongkok. Hal tersebut dikarenakan menurut tradisi dirinya telah mempelajari dedaunan sebagai obat dan membuat dunia farmasi Tionghoa menjadi kenyataan. Daftar 365 jenis tanaman obat yang dibuatnya kemudian menjadi dasar dari obat-obatan Tionghoa. Menurut mitologi Tiongkok, Shen Nung adalah kaisar kedua yang dilahirkan pada abad 28 SM dengan kepala seperti banteng dan berbadan manusia. Dalam legenda Tionghoa, Shen Nung pernah menjinakkan lembu dan kuda untuk menarik gerobak dan bajak. Ia mengajari rakyat cara mengolah tanah dengan bantuan binatang dan karenanya ia dikenal sebagai orang yang membangun pertanian.

Berdasarkan legenda, Kaisar Kuning mempunyai 25 orang anak dan 14 orang di antaranya diberi nama keluarga yang berbeda oleh ayahnya. Kuat dugaan bahwa seluruh nama Tionghoa berkembang dari 14 nama tersebut. Hal ini juga yang menjadi latar belakang pengumuman yang dilakukan Kaisar Dinasti Ming, bahwa semua orang Tionghoa, tidak peduli di manapun mereka berada, menetap dan beranak-pinak, mereka tetap dianggap sebagai warga atau kawula Tiongkok.46

Gambaran di atas setidaknya menjelaskan dua hal. Pertama, Kebudayaan Tiongkok sudah terbilang maju, jauh mendahului negeri-negeri lain termasuk Eropa. Dengan demikian orang Tionghoa dapat dikatakan sudah lebih mampu menjalani kehidupan dengan baik dibading dengan

46 Benny G Setiono. Tionghoa dalam …, hlm. 38-39.

39

bangsa-bangsa lainnya. Teknologi dan peralatan-peralatan sudah banyak digunakan. Berkaca pada penjelasan tersebut, seharusnya bangsa Tionghoa hidup lebih sejahtera. Pertanyaan besar kemudian muncul, mengapa terjadi arus kepergian bangsa Tionghoa ke luar Tiongkok? Apakah kebudayan mereka tidak dapat menjawab tuntutan alam di Tiongkok, atau ada faktor lain yang melatarbelakanginya ?

Kedua, hubungan emosional yang dibangun oleh orang-orang Tionghoa memang sudah dilakukan sejak awal yaitu dengan menciptakan mitos bahwa mereka berasal dari satu keturunan, yaitu keturunan Kaisar Kuning. Ini cukup memberikan alasan , mengapa budaya nenek moyang di kalangan orang-orang Tionghoa begitu mengakar kuat. Bangsa Tionghoa percaya pada suatu dogma bahwa supremasi Tiongkok terhadap negara-negara lain begitu tertanam dalam benak bangsa Tionghoa. Kaisar mereka ditunjuk oleh langit untuk menjadi pemimpin seluruh dunia.47 Dalam beberapa naskah ditemukan bahwa mereka menyebut bangsa-bangsa lain dengan sebutan bangsa barbar.

D. Agama Orang Tionghoa

1. Konsep agama bagi orang Tionghoa

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Onghokham, tidaklah cocok jika dipandang sebagai agama monoteistik. Agama monoteistik adalah agama yang bertumpu pada pemujaan Tuhan yang Esa, seperti Islam, Kristen dan Yahudi. Agama orang Tionghoa lebih cocok dibincangkan melalui sudut pandang agamanya orang Yunani atau Romawi, yakni pemujaan terhadap banyak dewa dan dewi dan demon (iblis).48 Struktur keagamaan orang

47 W.P. Groeneveldt. Nusantara Dalam Catatan Tionghoa (Depok: Komunitas Bambu, 2009) hlm. 6. 48 Onghokham, Anti Cina ..., hlm. 118.

40

Tionghoa telah tersistematisasi ke dalam kultur orang Tionghoa itu sendiri. Dengan kata lain, antara agama dan kebudayaan sudah menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Orang Tionghoa secara tradisi sudah memiliki keyakinan akan kepercayaan tertentu sejak lahir. Ini tentu berbeda dengan agama monoteistik, yang merupakan produk kebudayaan baru dalam kehidupan suatu komunitas manusia, yang tidak ada sangkut paut historis dengan proses awal turunnya wahyu atau pendirian agama itu sendiri. Misalnya saja Islam di Arab tentu tidak serta merta langsung cocok dengan keyakinan orang Jawa yang sebelumnya masih Hindu-Budha.

Tidak ada kesepakatan yang jelas, dewa mana yang disembah oleh orang Tionghoa. Bisa terjadi, antara satu kampung di Tionghoa dengan kampung lainnya, menyembah dewa yang berbeda. Dewa bukan hanya berasal dari tokoh mitologis, orang yang dianggap berjasa besar di masa lalu bisa pula dijadikan sebagai dewa, seperti Laksamana Cheng Ho. Bahkan, orang Tionghoa di Tiongkok dengan Tionghoa peranakan bisa menyembah dewa yang berbeda. Merupakan kesulitan tersendiri untuk mengidentifikasi dewa-dewa lokal baik di Tiongkok maupun di perantauan.49

Konghucu merupakan kepercayaan yang populer di kalangan orang Tionghoa. kepercayaan ini merujuk pada pengamalan ajaran-ajaran seorang tokoh agung Tiongkok bernama Kong Fu Tse atau Konfusius (551-449 SM). Konghucu seyogyanya bukanlah agama, karena ajaran ini tidak mengandung pengetahuan tentang hidup setelah mati, doa sebagai komunikasi antara orang yang hidup dan mati serta bagaimana seseorang mempertahankan pertalian antara orang yang hidup dengan yang sudah mati. Konghucu tidak membicarakan semua ajaran itu. Penganut Konghucu menyembah roh-roh dan Tian (Tuhan). Meskipun begitu, konsepnya tentang Tuhan, tidaklah

49 Onghokham, Anti Cina ..., hlm. 118.

41

sama dengan Kristen. Konghucu mendudukkan posisi Tuhan sebagai nasib, alam dan proses alamiah.

Munculnya ajaran Konghucu merupakan respon atas kehancuran tatanan orang Cina akibat pertempuran yang tidak kunjung usai. Pertikaian politik yang berkepanjangan di antara penguasa menyebabkan kehidupan masyarakat semakin jauh dari kebaikan dan banyak tumbuh kebiasaan asusila di antara mereka. Awalnya, Konfusius ingin mendapatkan posisi penting di tataran politik, agar lebih mudah menerapkan aturan yang dianggapnya benar, namun hal tersebut tidak kunjung didapatkan. Ia juga rajin melakukan penyadaran melalui ajaran-ajarannya, namun tidak mendapat hasil yang diharapkan. Kejadian itu berlangsung sampai ia meninggal. Lima belas tahun setelah kematiannya, ajarannya mulai mendapat simpati di kalangan orang Tiongkok dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.50

Selain pemujaan dewa dan para leluhur, serta Konfusianisme, agama atau kepercayaan yang dipeluk oleh orang Tionghoa lainnya yang menjadi identitas dari kebudayaan mereka adalah Budha dan Taoisme. Budha merupakan kepercayaan yang menitikberatkan pada pemujaan terhadap Budha yang tercerahkan (Bodisatva). Di dalam Budha sendiri terdapat beberapa aliran. Selain itu, orang Tionghoa juga ada yang percaya akan ajaran Taoisme. Taoisme atau Daoisme adalah serangkaian ajaran mengenai kehidupan yang diperkenalkan oleh Yang Chu (hidup sekitar 279-289 SM yang lebih dikenal dengan nama Lao-tzu (Lao Tse) yang bermakna “Empu Tua”. Lao Tsu sendiri hidup sezaman dengan Konfusius. Kitab umat Daoisme adalah Tao-Te-Ching yang bermakna kitab klasik mengenai jalan

50 Leo Suryadinata, Negara dan Etnis ..., hlm. 167.

42

dayanya. Sepeninggal Lao Tzu, tokoh daois yang terkenal adalah Chuan Tzu (hidup sekitar 286 SM).51

Dalam sebagian sejarah eksistensi Tionghoa di Nusantara, terselip juga sejarah tentang Muslim Tionghoa. Sejak zaman Dinasti Ming (1368-1645), agama Islam mazhab Hanafi telah berkembang di Tiongkok. Orang-orang Tiongkok yang Muslim kebanyakan berasal dari Yunnan. Sekitar tahun 1407, armada Tiongkok berhasil merebut Kukang (Palembang) yang beberapa waktu sebelumnya dijadikan sarang perompak Tionghoa non- Muslim. Kepala perampoknya bernama Tjen Tsu Ji. Sang pimpinan perompak ditawan dan dihukum mati di Peking. Di Kukang kemudian dibangunlah suatu pemukiman Muslim Tionghoa Hanafi yang pertama di Nusantara. Tidak lama berselang pemukiman serupa juga dibangun di Sambas, . Dalam rentang waktu 1411-1416, pemukiman Tionghoa Muslim juga dibentuk di Semenanjung Malaya, Jawa dan di Filipina. Di pesisir pulau Jawa didirikan beberapa masjid seperti di Ancol (Jakarta), Sembung (Cirebon), Lasem, Tuban, Tse Tsun (Gresik), Djiaotung Djorotan (Jiaotung Jorotan), Tjangki (Cangki) Mojokerto dan lain-lain.52

Amen Budiman menjelaskan bahwa keberadaan orang Tionghoa Muslim di Nusantara adalah sejak abad ke 9. Saat itu Tiongkok sedang berada pada akhir kekuasaan Dinasti Tang tepatnya pada 874. Menginjak tahun 880, umat Islam saat itu berada pada tahun-tahun kesedihan. Di Canton, tempat-tempat pemukiman orang Islam mengalami kerusakan yang serius. Abu Zaid, seorang pengelana Arab yang pada tahun 878 mengunjungi Tiongkok, melaporkan bahwa di Kota Hang-chow-fu terjadi kemelut yang

51 Bagus Takwin, Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran-Pemikiran Timur (Depok: Jalasutra, 2009) hal. 93. 52 Mangaradja Onggang Parlindungan, Tuanku Rao (Yogyakarta: LKiS, 2007) hlm. 652-653.

43

menewaskan sekitar 120.000 orang di antara mereka adalah orang Muslim, Yahudi, Kristen dan Persia. Akibat dari kerusuhan itu, kemungkinan banyak di antara Muslim Tionghoa yang mencari tempat aman yakni dengan mengunjungi daerah-daerah baru, seperti di Pulau Jawa. Jika demikian, maka besar kemungkinan para keturunan mereka inilah yang disaksikan Ma Huan sekitar abad 15, sudah bermukim di pantai Jawa Timur.53

Keberadaan kelompok Tionghoa Muslim berpengaruh di pesisir utara Pantai Jawa dibuktikan oleh banyaknya tokoh penyebar Islam awal di Jawa (Wali Songo) yang merupakan keturunan Tionghoa. sekitar tahun 1445, Bong Swi Hoo (diyakini sebagai Raden Rahmad, Sunan Ampel) dipercaya oleh Swan Liong (seorang pembesar di Jawa Timur), untuk menghadap Haji Gan Eng Tju di Tuban untuk ditempatkan sebagai Kapten Cina Islam di suatu tempat. Haji Gan Eng Tju sendiri memiliki nama asli dari Ario Tejo yang mendapat gelar “A Lu Ya” dari Radja Su King Ta (Ratu Suhita) yang bekruasa pada 1427-1447. Di Tuban Bong Swi Hoo menikah Nyi Ageng Manila. Bong Swi Hoo sendiri adalah Raden Rahmat atau Sunan Ampel.54

Gang En Tju mempunyai anak bernama Gan Si Cang yang mempunyai nama lain Sunan Kalijaga. Suatu ketika Sunan Kalijaga meminta kepada Kin San (Raden Kusen) untuk membantu mendirikan masjid di Demak. Permintaan ini dikabulkan dan di sanalah ia kemudian berdakwah. Di masjid itu terdapat saka tatal yang dibuat Gan Si Cang dengan meniru model tiang utama kapal-kapal Cina. Di pesisir Jawa Barat terdapat seorang Tionghoa Muslim yang juga mempunyai peran besar dalam pengembangan Islam di

53 Amen Budiman, Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia (Semarang: Penerbit Tanjung Sari, 1979) hlm. 13. 54 Mangaradja Onggang, Tuanku Rao ..., hlm. 654-655.

44

sana. Ia bernama Toh A Bo yang disebut sebagai Sunan Gunung Jati. Diceritakan bahwa ia adalah putra dari Sultan Trenggana.55

Melihat pada pemaparan historis di atas, bisa dipahami bahwa kontribusi Muslim Tionghoa di Nusantara juga tidak bisa dianggap kecil. Namun, amat disayangkan, jumlah pemeluk Islam pada saat ini (sampai tahun 2016) di kalangan orang Tionghoa masihlah minim. Ingatan bahwa umat Islam Tioghoa ikut pula membangun dakwah Islam di Nusantara sepertinya tidak membekas dalam hal kuantitas, yang berarti banyaknya umat Muslim di kalangan orang Tionghoa saat ini. Peneliti melihat keengganan orang Tionghoa memeluk Islam adalah karena ajaran Islam melarang beberapa tradisi Tionghoa yang sudah berurat akar. Dalam Islam tidak diperkenankan makan daging babi, berjudi dan minum arak. Padahal hal tersebut merupkan kebiasaan orang Tionghoa yang sudah membudaya.

Sebenarnya, wacana masuk Islam sudah didengungkan oleh umat Muslim Tionghoa yang lebih dahulu masuk Islam. Junus Jahja, salah satu tokoh Muslim Tionghoa mengatakan bahwa masuknya orang Tionghoa ke agama Islam, menunjukkan bahwa dirinya telah mempunyai identitas orang Indonesia. Bagi Junus, Islam adalah pemecahan dari segenap permasalahan yang menyangkut kedudukan orang Tionghoa dalam masyarakat Indonesia. Ia meyakini, karena Islam-lah umat yang berbeda suku bangsa bisa berada dalam satu kesamaan tanpa mempersoalkan kembali identitas kesukuan. Islam dapat ditonjolkan sebagai bukti bahwa orang Tionghoa adalah bagian dari mayoritas penduduk negeri ini, dengan tidak mengabaikan faktor genetika mereka yang memang keturunan Tionghoa.56

55 Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (Yogyakarta: LKiS, 2009) hlm. 99 dan 103. 56 Leo Suryadinata, Negara dan Etnis ..., hlm. 53.

45

Sekitar tahun 1950-an, pernah diperkenalkan suatu kategorisasi baru mengenai kepercayaan orang Tionghoa, yakni Tri Darma atau Sam Kao. Ajaran Tri Darma mengandung unsur Budha, Konfusius dan Tao. Tujuan dari ajaran ini adalah menghidupkan Klenteng sebagai rumah ibadah orang Tionghoa. meksipun begitu ajaran ini pernah sempat dihapus, namun kini sepertinya masih tetap eksis. Sebenarnya, memisahkan dunia spiritual orang Tionghoa dengan klenteng, amatlah sulit dilakukan. Hal ini mengingat Klenteng adalah bagian dari instrumen kelengkapan peribadatan orang Tionghoa, seperti juga kuatnya pengaruh Islam dalam keraton Yogyakarta.57

Seiring berjalannya waktu banyak pula keturunan Tionghoa atau Tionghoa asli Tiongkok yang memeluk agama-agama lainnya, seperti Katolik, Protestan dan lain-lain. Cikal bakal tertariknya orang Tionghoa masuk Kristen adalah keinginan mereka untuk berintegrasi dengan masyarakat Eropa di abad 19. Saat itu diberlakukan tiga stratifikasi sosial bagi penduduk Hindia Belanda, di mana orang Tionghoa dan kelompok Timur Asing lainnya dikelompokkan sebagai warga negara kelas dua. Beberapa orang Tionghoa menganggap berpendidikan Barat adalah salah satu jalan untuk mencapai kedudukan yang sama dengan orang Eropa, karena itu mereka ada yang beralih kepercayaan, karena banyak pula di antara mereka yang sekolah di sekolah misi Kristen Belanda.58

2. Agama-agama orang Tionghoa

a. Konfusianisme

Konfusius atau Konghucu (15 – 479 SM) lahir si sebuah negeri kecil Lu. Beliau berkelana bersama murid-muridnya ke banyak negeri mencari

57 Onghokham, Anti Cina ..., 122. 58 Parsudi Suparlan, “Kesukubangsaan ...”, hlm. 29.

46

penguasa yang mau mendengarkan ajarannya dan menjalankan pemerintahan yang berahlak. Dia pernah mengabdi sebagai pejabat pada pemerintahan Lu dan pemerintahan Wei, namun terlalu muda untuk mendesakkan pengaruh pada pemerintahan. Beliau kecewa dan memutuskan mundurdari jabatan pemerintahan dan memusatkan perhatian pada bidang pengajaran.59

Konfusius berulang kali bicara mengenai jaman ideal dengan mengungkapkan sebuah visi tentang masyarakat yang lebih sempurna dimana penguasa dan rakyat, bangsawan dan orang kebanyakan, orang tua dan anak-anak, suami dan istri, kakak dan adik, serta sesame kawan semua akan menerima spenuh hati peran yang diberikan pada mereka, mengabdikan diri sebagai bentuk tanggung jawab mereka kepada orang lain. Beliau juaga menghomati tradisi dan mengajarkan seni tradisional sembari tetap memberlakukan standar moral yang tinggi.

Ajaran Konfusius diwariskan melalui ujaran-ujarannya yang dicatat murid-muridnya dalam kitab Lunyu (The analects). Tema utama ajaran- ajarannya adalah :

1). Li (Ritual)

Dalam bahasa Tinghoa Li bermakna upacara, ritual, etika moral serta aturan tatakrama. Konfusius sangat percaya pada pentingnya ritual dan upacara serta nilai penting budi pekerti dan kesopanan. Konfusius dan murid-muridnya mentransformasikan praktik-praktik keagamaan Dinasti Shang dan Dinasti Zhou menjadi doktrin sistematis yang digunakan sebagai pedoman bagi praktik-praktik resmi pemerintahan dan juga rakyat biasa.60 Hal itu membantu menegakkan system administrasi kerajaan dan memberi

59 Tan Ta Sen, Cheng Ho…, hlm. 39 60 Tan Ta Sen, Cheng Ho…, hlm. 39

47

otoritas untuk menafsirkan keyakinan dan praktik-praktik agama. Jika setiap orang ber prilaku sesuai Li, maka dunia akan tertib, tentram dan damai. Kinerja ritual yang ketat dan tegas merupakan bagian esensial dari pemerintahan suatu Negara, karena ini akan menjamin harmoni, kebahagiaan, dan kemakmuran untuk negara. Bagi Konfusius dan murid- muridnya, ritual adalah sebuah wahana kearifan dan makna hidup yang diwujudkan.

2). Ren (kebajikan), Zhong (kepedulian dan kesetiaan), Shu (Tenggang Rasa)

Bagi Konfusius pendidikan dan olah diri sangatlah penting untuk membentuk karakter pribadi yang memiliki de (kearifan). Kearifan yang diajarkan Konfusius adalah ren, yang berarti kebajikan, kemanusiaan, kebaikan, cinta kasih, dan sebagainya. Dalam spek keseimbangan dan harmoni individu dan masyarakat, ren dinyatakan dengan istilah Zhong (peduli pada orang lain), Shu (tenggang rasa) dan yi (kebajikan). Manusia yang ingin mengukuhkan diri harus terlebih dahulu mengukuhkan orang lain. Jika ingin menonjol dan terkenal harus menolong orang lain agar dikenal. Sebaliknya hal yang kamu tidak suka pada dirimu jangan kamu lakukan pada orang lain. Demikianlah shu, yang merupakan aspek negative dari ren. Pesan yang mendasari prilaku semacam itu merupakan sifat zhong dan shu yang mengutamakan kepentingan orang banyak daripada kepentingan individu. Zhong dan shu mengarah pada pengamalan dan tanggung jawab dan tugas seseorang dalam masyarakat yang mengandung kualitas yi (kesalehan).61

3). Tianming (jalan langit) dan Zhiguo (memerintah)

61 Tan Ta Sen, Cheng Ho…, hlm. 42

48

Pada masa tiga dinasti kuno, kekuatan spiritual disebut Di, atau (shandi (Tuhan Yang Maha Esa) namun Konfusius tidak pernah menyebut Di tetapi sering kali bicara tentang Tian (Langit) dan Tianming (mandat dari langit). Namun langit tidak lagi sebagai kekuatan tertinggi yang menguasai dunia melalui para penguasa. Langit hanya memerintah dengan meninggalkan hukum dan moral untuk bekerja sendiri. Itu adalah jalan dimana peradaban harus dibangun dan manusia harus berprilaku sesuai moral dan hukum. Konfusius sangat memercayai humanisme dan menekankan pentingnya kehidupan sekarang dan manusia ketimbang kehidupan setelah kematian dan kekuatan-kekuatan spiritual. Dia percaya bahwa manusia adapat membuat Dao (jalan) hebat dan bukan jalan yang membuat manusia menjadi hebat. Dia mendukung pemerintahan yang baik, yang memerintah dengan arif dan memberi teladan moral ketimbang mengutamakan pemberian hukuman. Dalam Analect, Konfusius mengatakan ;

“Apabila anda memimpin rakyat dengan bantuan peraturan dan memelihara ketertiban dengan bantuan hukuman, mereka akan kehilangan hati nurani dalam usaha untuk menghindari aturan dan hukuman tersebut. Apabila anda memimpin mereka dengan menggunakan kebajikan dan mempertahankan ketertiban di antara mereka dengan upacara keagamaan, mereka akan mempunyai suara hati dan akan memperbaiki diri.”62 4). Tertib sosial (Sangang dan Wuchang)

Penganut ajaran Konfusius memiliki visi tentang tatanan masyarakat ideal dimana terdapat lima relasi menusia yang utama, yakni penguasa dan yang dikuasai, ayah dan anak, suami dan istri, kakak dan adik serta sesame teman. Setiap individu dalam masyarakat akan menerima peran terhormat mereka dan mencurahkan tanggung jawab mereka untuk orang lain. Syarat- syarat moral dan politik Konfusianisme kemudia diejawantahkan sebagai

62 Tan Ta Sen, Cheng Ho…, hlm. 43

49

“Tiga Prinsip Membimbing” (sangang) dan “Lima Peraturan Tetap” (wuchang). Tiga Prinsip Membimbing yaitu rakyat kepada penguasa, anak pada ayah, istri pada suami. Sementara Lima Peraturan Tetap mengacu pada kearifan Konfusian ; Ren (cinta kasih), Yi (kebenaran/keadilan/ kebaikan/kewajiban), Li (ritual/tatakrama/kesusilaan), Zhi (bijaksana) dan Xin (Kejujuran). Prinsip-prinsip dan aturan itu diterima sebagai etika Konfusian yang mengatur prilaku sosial. Prinsip itu membekali negara dengan sebuah format ideologis dan melengkapi pemerintahan dengan standar-standar perilaku dan pemikiran.63

b. Daoisme (Taoisme)

Taoisme juga dikenal dengan Daoisme, diprakarsai oleh Laozi sejak akhir Zaman Chunqiu yang hidup pada 604-517 SM atau abad ke-6 sebelum Masehi. Taoisme merupakan ajaran Laozi yang berdasarkan Dao De Jing . Awalnya Dao De Jing disebut Laozi Wuqianyan atau Tulisan Laozi Lima Ribu Kata. Selanjutnya Dia meninggalkan ibu kota dan tidak pernah terdengar lagi kabar beritanya. Belakangan, semasa Dinasti Han (202 – 221 SM) kitab itu mulai disebut Daodejing, karena membahas mengenai Dao ( Jalan ) dan De (Kebajikan) yang diajarkan Laozi.64

Kitab singkat yang berjudul Dao De Jing itu, untuk selanjutnya menjadi kitab pegangan utama bagi para penganut Daoisme. Pengikut Laozi yang terkenal adalah Zhuangzou yang merupakan tokoh penulis kitab yang berjudul Zhuangzi. Selain itu ada Lie Zi, Huainan zi juga termasuk filsuf Taoisme. Lie Zi, Huainan Zi juga membuat kitab yang berjudul Lie Zi dan Huainan Zi.

63 Yao Xinzhong, An Introduction…, hlm. 34 64 Diunduh dari http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/188-riwayat-lao-zi

50

Taoisme adalah sebuah aliran filsafat yang berasal dari Cina. Taoisme sudah berumur ribuan tahun, dan akar-akar pemikirannya telah ada sebelum masa Konfusiusme. Hal ini dapat disebut sebagai tahap awal dari Taoisme. Bentuk Taoisme yang lebih sistematis dan berupa aliran filsafat muncul kira- kira 3 abad SM. Selain aliran filsafat, Taoisme juga muncul dalam bentuk agama rakyat, yang mulai berkembang 2 abad setelah perkembangan filsafat Taoisme.

Naskah Dao De Jing yang ditulis Laozi yang lahir abad 7 sebelum masehi dan naskah Chuang Tzu (Zuangzhi) yang ditulis Zuangzhou (369 – 286) SM adalah dua naskah klasik Daois. Ketidak setujuan terhadap segala yang tidak alami dan artifisial merupakan konsep pokok Daoise. Daoisme mengkritik keras Konfusianisme yang memakai pandangan dunia intervensionis dan pejabat kerajaan yang menekankan sebuah tertib social dan kehidupan aktif. Pandangan sebaliknya dunia Daois adalah wuwei (non aktif) dan zuochan (meditative) sera berpusat pada kehidupan dan keheningan individual.

Laozi mengatakan, “Segala sesuatu di dunia terjadi dari Yu (Ada) dan Ada menjadi ada dari Wu (Tiada)”. Artinya, jika kita menganalisis keberadaan berbagai hal, yang kita lihat kali pertama seharusnya Ada sebelum yang lain. Dao tidak bernama, Dao adalah Tiada (non-being) dan berdasarkan Tiada maka semua hal mewujud. “Karena itu sebelum Ada mewujud, harus ada Tiada, dari mana Ada mewujud.

Gagasan-gagasan penuntun Laozi adalah Taiyi (Yang Maha) dan Ada serta Tiada yang tidak berubah. “Yang Ada” adalah Dao yang alami, abadi, spontan dan tak bernama. Bila Dao dimiliki oleh sesuatu yang individual, dia menjadi karakter atau kebajikannya (de). Dia menjadi azas penuntun bagi

51

kehidupan ideal seorang individu, keteraturan ideal bagi masyarakat, dan tipe pemerintahan yang ideal. 65

Dalam kehidupan sehari-hari, Laozi menyarankan agar memahami hukum-hukum alam dan melakukan tindakan yang selaras dengan hukum- hukum alam. Ketika sesuatu mencapai titik ekstrim, ia akan kembali pada titik keseimbangan, bisa jadi, titik keseimbangan baru. Secara sederhana saat berkurangnya sesuatu, dia akan bertambah. Ketika sesuatu bertambah, dia akan berkurang.

Kaidah Daois lainnya adalah, jika ingin menjadi kuat, maka harus memulainya dengan merasa lemah. Tidak menonjolkan diri karena sebuah keberhasilan. Itu juga strategi Daois dalam membimbing orang agar hidup tentram di dunia dan dapat menggapai tujuan-tujuannya. Demikian pula ajaran Daois lainnya yaitu Wuwei (Tidak bertindak) yang bukan dalam keadaan tidak aktif, melainkan tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan alam. Dengan kata lain, membiarkan alam bertindak sekehendaknya tanpa kepalsuan dank e sewenang-wenangan. Filosofi dasar dari wuwei adalah jika kita mengikuti arus alam dan menjadi bagian dari jalan Dao, kita akan dikabulkan dan dipuaskan. Jika yang dilakukan adalah sebaliknya, kita akan menciptakan masalah bagi diri sendiri. Laozi menulis dalam Dao De Jing,

“Jalan yang dapat dibahas adalah bukan jalan sejati. Nama yang dapat dinamakan adalah bukan nama yang tidak berbeda. Nama yang tidak dikenal adalah sumber langit dan bumi. Namanya adalah ibu dari semua ciptaan. Sejak tanpa hasrat, seseorang dapat mengamati rahasianya. Sejak memiliki hasrat, manusia dapat mengamati perwujudannya. Dua kebenaran itu adalah sama, tetapi tampil dengan nama yang berbeda.

65 Tan Ta Sen, Cheng Ho…, hlm. 52

52

Identitas mereka dapat disebut sebagai sebuah misteri”.66

Walaupun Daoisme mengedepankan kelemahan, tak bernama, dan kehampaan ideal, namun bukan berarti ini adalah eskapisme, atau negatifisme atau penarikan diri. Sesungguhnya filosofi itu mengajarkan kiat- kiat praktis untuk bertindak sebagaimana dia mengajarkan kepatuhan dan menentang pemerintahan yang menindas. Kebijakan terbaik penguasa yang arif adalah tidak campur tangan dan cara hidup terbaik manusia adalah mengikuti alam sebagaimana digambarkan Dao De Jing tentang negara dan masyarakat yang ideal ;

“Pada jaman purba, mereka yang menonjol dalam jalan. Tidak memanfaatkannya untuk membuat rakyat cerdas tapi menjaga mereka agar tetap bodoh. Bila rakyat sulit diatur, ini karena mereka terlalu banyak tahu. Jadi, mereka yang menggunakan pengetahuan untuk memerintah negara. Adalah bencana bagi negeri. Mereka yang tidak menggunakan pengetahuan untuk memeriintah negara. Adalah berkah bagi negeri. Pahami kedua hal itu, keduanya adalah ukuran. Pengakuan tetap terhadap ukuran disebut kabajikan yang misterius. Kebajikan misterius yang mendalam dan luas; Kembali bersama berbagai hal sepanjang jalan menuju keselarasan sempurna”.67

Laozi merasa bahwa Negara ideal seharusnya kecil dengan sedikit rakyat yang berhenti mengunakan peralatan mereka dan kembali menggunakan anyaman tali (sebagai ganti kegiatan tulis-menulis). Maka rakyat akan hidup damai. “Rakyat dari Negara tetangga yang berdekatan dapat saling melihat dan mendengan suara-suara anjing dan ayam-ayam mereka yang beranjak tua tanpa pernah mengunjungi satu sama lain”.

66 Tan Ta Sen, Cheng Ho…, hlm. 53

53

Sedangkan bagi Zhuangzi, alam bukan hanya spontanitas tetapi juga tetap mengalir secara alamiah dan berubah tiada henti sebagai proses semesta yang mengikat segala sesuatu menjadi satu, Menyamakan segala hal dan semua pandangan. Dia berharap meraih emansipasi dan perdamaian (pencerahan) absolut dengan mengetahui kemampuan dan keterbatasan sifat dasar seseorang, memelihara dan menyesuaikannya pada proses transformasi semesta.

Zhuangzi memberi sejumlah tambahan penting kepada Daoisme. Dao dalam teks Laozi bersifat duniawi, tetapi dalam teks Zhuangzi menjadi Transendental. Dia tidak berbicara tentang pembaruan seperti Laozi dan lebih suka berkelana melampaui dunia yang fana.

“Sendiri ditemani Langit dan Bumi dan ruh, tanpa melepaskan atau memandang rendah sesuatu yang bersifat duniawi. Dia tidak bertengkar mengenai benar atau salah, dan bergaul dengan masyarakat biasa. Di atas dia mengembara bersama Sang Pencipta, dan di bawah dia bersahabat dengan mereka yang lebih mementingkan kehidupan dan kematian serta melampaui permulaan dan akhir. Berkaitan dengan yang hakiki dia berpandangan luas, komprehensif, amat mendalam, dan terikat. Berkaitan dengan hal yang fundamental, dia mampu menyelaraskan segala sesuatu dan menembus tingkat tertinggi”.68

Seperti Laozi ia juga menyokong pemerintahan melalui non-pemerintah. Dia menggunakan air tenang sebagai metefora untuk wuwei. “Langit dan Bumi terpantul di dalamnya, cermin semua kehidupan. Kosong, tak beriak, tenang, datar, hening, senyap, non-aktif, itulah keterpusatan Langit dan Bumi serta Dao dan kebajikan”.

68 Tan Ta Sen, Cheng Ho…, hlm. 54

54

c. Budhisme

Sakyamuni, atau Gautama Sidaharta, dia adalah pendiri Budhisme yang juga dikenal sebagai Budha (orang yang telah mencapai Pencerahan Sempurna). Dia adalah putra raja ksatrya dari Suku Sakya, salah satu suku yang berdiam di kaki Himalaya. Dilahirkan pada tahun 566 SM sedikit lebih awal dari Konfusius 551 SM. Dia menjalani kehidupan sebagai pangeran muda di dalam istana yang megah dan indah. Dia adalah seorang yang terpelajar dan mempelajari semua seni. Ketidakpuasan dan kegelisahan dalam menjalani kehidupan membuat ia memutuskan meninggalkan keluarga dan kehidupannya yang serba ada untuk menjalani takdirnya sebagai pertapa. Setelah enam bulan berlalu, ia menyadari bahwa bertapa bukanlah jalan yang tepat sehingga ia mengalihkan ke meditasi sebagai media penyelamatan spiritual untuk mencari kadamaian batin.

Pada hari ke empat puluh Sembilan ia menerima pencerahan hingga memahami penyebab penderitaan di dunia. Tujuh minggu berikutnya, ia melanjutkan meditasinya di bawah pohon Bodhi. Budha menyampaikan khotbah pertamanya di Taman Rusa dihadapan lima orang murid pertamanya yang sebelumnya juga seorang pertapa.

Khotbah pertama disebut Memutar Roda Hukum yang merupakan inti dari ajaran Budhis. Ia menggabungkan;

* Empat Kebenaran Mulia – dipenuhi dengan penderitaan, penderitaan disebabkan oleh hasrat manusia, penyangkalan hasrat adalah jalan menuju penyelamatan, penyelamatan dimungkinkan melalui Delapan Ruas Jalan Kemuliaan.

* Delapan Ruas Jalan Kemuliaan – terdiri dari delapan prinsip tindakan yang mengarah pada kehidupan sederhana dan seimbang, yaitu : pandangan

55

tepat, ketetapan hati, cara berbicara, perilaku, mata pencaharian, upaya, ingatan dan meditasi. Itulah yang dianggap sebagai kombinasi yang digambarkan sebagai Jalan Tengah.69

Pada awal abad kedua, Budhisme terpecah menjadi dua cabang, yaitu Hinayana atau Budhisme Theravada yang ortodoks dan Mahayana yang cenderung revormis. Hinayana popular di Sri Lanka, Myanmar dan Asia Tenggara, Sementara Mahayana menjadi aliran mainstream di India, Asia Tengah, Tibet, Tiongkok dan Jepang. Aliran Hinayana dianggap lebih dekat dengan ajaran Budha yang orisinal. Ajaran kunci Hinayana adalah bahwa alam semesta ini menyedihkan, bersifat sementara serta tidak berjiwa karea itu adalah sebuah agama tanpa jiwa dan tanpa dewa. Bagi Hinayana dalam transformasi roh setelah kematian tak satupu yang melewati satu kehidupan menuju kehidupan lain kecuali bahwa suatu kehidupan yang baru, muncul sebagai bagian dari rantai peristiwa yang mencakup kehidupan lama.

Penganut Budha Mahayana menyembah Budha sebagai dewa dan ada banyak Budaha-budha yang lain. Selain itu juga ada banyak Bohisatwa di alam semesta. Mereka bekerja dengan kearifan dan kasih sayang melalui banyak kehidupan sehingga dapat menjadi Budha. Penganut Budha Mahayana meyakini doktrin reinkarnasi dan alih kebajikan dari kehidupan satu ke kehidupan lainnya. Kematian bukanlah akhir kehidupan, tapi merupakan awal kehidupan yang baru. Dia yang mati akan lahir kembali. Kehidupan sebelumnya melahirkan kehidupan sekalang dan kehidupan mendatang akan melahirkan kehidupan berikutnya. Hakikat individu adalah hasil dari apa yang dia perbuat dalam kehidupan sekarang dan akan menentukan kehidupan berikutnya yang diinginkan.

69 Tan Ta Sen, Cheng Ho…, hlm. 78

56

Kedatangan Budhisme Di Tiongkok dari India sejak abad ke 1 menghasilkan perubahan-perubahan besar dalam budaya dan kehidupan orang Tionghoa. Pengaruh tersebut mencapai puncaknya pada masa Dinasti Shui dan Dinasti Thang. Budhisme menuntaskan proses sinisisasi secara utuh.

Budhisme sebagai agama asing yang muncul di Kerajaan Tengah pada abad ke 1 SM. Tiongkok tidak memusuhi hal-hal dari luar. Orang Tionghoa tidak mengembangkan agama negara yang berwatak eksklusif terhadap masuknya budaya,filsafat maupun agama-agama dari luar Tiongkok. Konfusianisme, intinya adalah filsafat, sedangkan Daoisme menekankan pada non-tindakan, akibatnya penyebaran Budhisme ke Tiongkok tidak menemui kendala berarti.

Keberhasilan penyebaran Budhisme di Cina tak lepas dari sistem patronase politik dan interaksi yang intens antara sarjana-sarjana Konfusian juga Daois dengan biksu-biksu Budhis. Kondisi sosial di Tiongkok yang sedan kacau balau membuat konsep-konsep Budhis mendapat perhatian khusus dari orang-orang Tiongkok awam. Budhisme yang menyokong kesetaraan social, belas kasih, kemurahan hati, perdamaian, harmoni tanpa kekerasan rupanya memang merupakan nilai-nilai yang sejalan dengan budaya Tiongkok. Pengolahan diri dan pencerahan sangat bersesuaian dengan ajaran Konfisian tentang pendidikan diri, konsep reinkarnasi Budhis juga dianggap memperkuat keyakinan orang Tionghoa yang menyembah arwah leluhur dan roh-roh. Budhisme menyediakan jalan menuju keselamatan dan mencari kedamaian batin, terutama selama masa-masa gejolak social dan politik di Tiongkok.

Sinkretisme Budhisme dengan Konfusianisme dan Daoisme adalah pola transformasi agama dan budaya yang menjalin kontak dengan agama

57

dan budaya setempat. Budhisme melakukan adaptasi tersebut setelah menyebar ke Tiongkok pada masa Dinasti Han. Hal itu adalah realita yang telah diperhitungkan oleh penyebar Budhisme dari Asia Barat agar dapat memperoleh tempat berpijak di tanah Tiongkok.

Proses akulturasi Budhisme dari agama asing asal India menjadi Budhisme Tiongkok yang tersinisisasi sepenuhnya menciptakan sebuah model yang bagus bagi agama-agama asing yang datang berikutnya agar dapat menyebar dengan baik di dataran Tiongkok, demikian juga dengan masuknya Islam ke Tiongkok.

d. Mohisme

Pendiri Mohisme adalah Mozi (479 – 438 SM). Mozi bersikap kritis pada ajaran konfusius. Mozi menentang upacara-upacara pemakaman yang rumit, masa berkabung yang terlalu lama, tata upacara formal, musik dan kepercayaan kepada takdir yang dikedepankan Konfusius. Dia mengajarkan kasih saying universal, mengutuk peperangan dan mengedepankan kehendak Langit. Akan tetapi kaum Mohis juga mengaitkan doktrin-doktrin tersebut dengan keuntungan yang dapat mereka hasilkan. Karenanya kaum Mohis juga disebut penganut utilitarianisme.70

Kasih saying yang bersifat universal adalah doktrin Mohisme yang paling penting. Seperti Konfusius, Mozi juga menekankan arti penting ren (kemanusiaan, kedermawanan) dan Yi (kebajikan), namun kemanusiaan dan kebajikan Mozi berarti cinta kasih kepada semua. SEtiap orang di dunia ini seharusnya mencintai orang lain dengan adil tanpa diskriminasi. Konfusius juga mengajarkan cinta kasih kepada semua tetapi diskriminatif karena

70 Tan Ta Sen, Cheng Ho…, hlm. 55

58

mengutamakan cinta kepada orang tua masing-masing. Bagi kaum Mohis, mencintai dan menyayangi orangtua orang lain seperti orang tua sendiri.

Mozi mengajarkan bahwa setiap orang harus menghormati Negara lain seperti menghargai negaranya sendiri, kota lain seperti kotanya dan rumah lain seperti rumahnya sendiri, dengan demikaian pasti tidak akan terjadi peperangan, penyerbuan terhadap bangsa lain, juga penindasan suatu bangsa terhadap bangsa yang lain.

Untuk mempengaruhi rakyat agar mengamalkan kasih saying universal, Mozi memperkenalkan konsep kehendak dari Langit. Mozi menyajikan dua bab ( Kehendak Langit dan Bukti Kebenarah Roh) dalam bukunya yang berjudul Mozi. Kaum Mohis mengakui adanya Dewa (Langit) dan pelbagai Roh dengan tingkat yang lebih rendah. Dewa menyukai kebajikan dan membenci kejahatan. Dia mencintai umat manusia dan kehendakNya adalah bahwa semua manusia harus saling mencintai. Dia tak pernah berhenti mengawasi kegiatan-kegiatan manusia, terutama penguasa. Dewa akan mengganjar mereka yang mematuhi kehendakNya dengan keberuntungan berlimpah, namun menghukum mereka yang tidak mematuhi kehendakNya dengan malapetaka dan musibah. Demikian pula dengan roh-roh yang tingkatannya lebih rendah, yang juga akan mengganjar mereka yang mengamalkan kasih saying universal dan menghukum yang tidak mengamalkan kasih saying universal.

e. Islam

Kontak antara Tiongkok dengan dunia Islam terjadi sejak abad ke 7 Masehi, tak lama setelah Nabi Muhammad memproklamirkan Islam di Tanah Arab. Berbeda dengan kedatangan Budhisme yang disebarkan dengan proaktif, Kedtangn Islam merupakan produk sampingan dari hubungan

59

perdagangan dan hubungan diplomatic anrata Tiongkok dengan Bangsa Arab semasa inasti Tang dan Dinasti Song.

Islam adalah agama asing baru yang dperkenalkan ke Tiongkok bukan oelh pera juru da‟wah melainkan orang-orang awam seperti para serdadu dan saudagar. Mereka membangun kantong-kantong pemukiman di pusat-pusat perdagangan. Sikap dan perhatian dari pemerintahan Tang dan Song terhadap Islam dan minoritas muslim ternyata cukup mendukung sehingga mereka dapat bertahan di bawah aturan-aturan non Islami.

Ideologi politik di sepanjang Dinasti Tang didominasi oleh Konfusianisme dan sebagian kecil Daoisme dan Budhisme. Penganut Konfusianisme mengendalikan pemerintahan dan administrasi, sementara Budhisme dan Daoisme popular dikalangan masyarakat awam di sekitar istana. Penganut Konfusianisme memperbesar pengaruh melalui sistem pendidikan serta ujian-ujian masuk kepegawaian. Mereka juga berupaya memperkuat ajaran Konfusianisme tentang tata cara pemerntahan yang manusiawi dan pengolahan diri yang menekankan pentingnya aturan-aturan keluarga dan tanggung jawab social.

Kelompok-kelompok minoritas Muslim di Chang-an dan di kota-kota pelabuhan utama sepanjang jalur perdagangan Guangzhou, Yangzhou, Quanzhou, Mingzhou, dan Hangzhou. Mereka memosisikan diri sebagai bukan ancaman bagi Konfusianisme, Budhisme dan Daoisme. Demikian pula penguasa-penguasa Tang dan Song juga bersikap lunak dan toleran terhadam Islam dan kaum Muslim. Pada periode itu kaum muslimin terdiri dari pedagang-pedagang kaya dari Arab dan Persia. Mereka sangat adalah pedagang rempah-rempah, batu permata dan pengobatan yang sangat menguntungkan. Mereka adalah kelompok yang sangat dihormati dan disegani oleh otoritas setempat.

60

Meskipun dianggap tidak mengancam, namun tetap saja dianggap perlu langkah-langkah antisipasi agar Islam tidak sampai masuk ke Istana dan berpotensi menggusur dominasi Kunfusian di kalangan istana. Pemerintahan Dinasti Tang sempat mengeluarkan larangan bagi Kaum Muslim menikahi perempuan Tionghoa walaupun larangan itu akhirnya dicabut pada pemerintahan Dinasti Song. Mereka tidak diijinkan memiliki property sendiri dan hidup dalam sebuah lokalisasi yang disebut Fanfang dengan alasan untuk menjamin keamanan mereka.71

Pada Abad ke 13 Bangsa Mongol yang merupakan suku-suku nomaden, di bawah kepemimpinan Temujin mencoba menaklukkan dunia. Temujin menyatukan suku-suku nomaden dan membentuk kekuatan militer yang luar biasa kuat. Temujin menyandang gelar Jengis Khan, penguasa alam semesta dari Padang Steppa pada sekitar tahun 1206. Ia memprokalamirkan diri sebagai utusan Langit dan setiap yang menghalanginya dianggap menentang kehendak Langit.

Kendati Jengis Khan mengklaim sebagai sebagai orang yang memegang mandal langit namun keberhasilan penaklukan bangsa Mongol atas Tiongkok lebih disebabkan oleh keunggulan militer, bukan karena De (kebajikan). Jengis Khan Menyatukan suku-suku Mongol dan membentuk mereka menjadi mesin perang yang maha dahsyat. Penguasa-penguasa yang menentang Jengis Khan akan dilumat dan menyaksikan rakyat mereka dibantai dan kota-kota mereka luluh-lantak.

Bangsa Mongol mendirikan Dinasti Yuan (1271 – 1368) di bawah pinmpinan cucu Jengis Khan, Kubilai Khan. Bangsa Mongol harus menghadapi kompleksitas permasalahan Negara seperti beragamnya ras dan

71 Tan Ta Sen, Cheng Ho…, hlm. 116

61

agama penduduk wilayah yang ditaklukannya. Meskipun memiliki keunggulan militer namun budaya mereka masih tertinggal dengan negeri- negeri taklukan bahkan luas negeri taklukan mereka ribuan kali lebih luas dari wilayah mereka sendiri.

Konfusian mulai kehilangan dominasinya di kalangan istana karena tidak lagi menjadi ideologi resmi Negara. Semasa Dinasti Yuan sistem ujian untuk merekrut pejabat negara tidak lagi berdasarkan sarjana-sarjana Konfusian namun diperlebar oleh Kubilai Khan menjadi terbuka untuk semua golongan, bangsa Han, Mongol dan juga Kaum Semu ( Muslim)72

Bangsa Mongol memerlukan dukungan pihak lain untuk emnghapus dominasi Bangsa Han di Tiongkok. Orang-orang Muslim (semu) diberi kesempatan untuk duduk sebagai pejabat Negara. Kesempatan itu tidak terlepas dari rekam jejak kaum semu dalam keikutsertaan mereka dalam perang Kubilai Khan melawan Dinasti Song Selatan juga peran besar mereka dalam dinamika perdagangan Timur – Barat.

Dalam aksi militer Mongol ke Barat untuk menundukkan kawasan Muslim Arab, banyak orang Arab, Persia dan Asia Tengah yang ditangkap dan diwajibkan mengikuti wajib militer dan membentuk tentara Hui Hui yang berperang bersama bala tentara Mongol untuk merebut kerajaan- kerajaan Jin, Xi Liao, serta kekaisaran Song Selatan. Seusai perang mereka diharuskan menetap. Banyak dari mereka yang di tempatkan di Tingkok Barat Laut juga ke selatan Sungai Yangtze. Mereka kemudian menikahi perempuan-perempuan setempat. Bangsa Mongol juga menangkap sejumlah

72 Tan Ta Sen, Cheng Ho…, hlm. 124

62

pengrajin dan pekerja dari Bukhara, Samarkand dan daerah Asia tengah lainnya untuk dikirim dan dipekerjakan di Tingkok. 73

Berkat terciptanya keamanan jalur perniagaan, Perdagangan internasional dan anter benua meningkat dengan tajam. Semakin banyak pedagang-pedagang asal Arab dan Persia yang dating membuka pangkalan dagang di Tiongkok. Meningkatnya arus perdagangan juga diikuti oleh arus migrasi para ahli mesin, astronom, sarjana, ahli fisika serta bidanglain termasuk para juru dakwah berbondong-bondong memasuki Tiongkok. Penduduk Muslim di Tiongkok pada akhirnya meningkattajam.

Kondisi ini menjadi gambaran penting untuk mengkonfirmasi peran orang-orang Muslim dalam pemerintahan di Tiongkok khususnya pada masa Dinasti Yuan dan awal kekuasaan Dinasti Ming. Hal ini juga menjawab pertanyaan beberapa kalangan yang masih meragukan peran seorang utusan yang melakukan muhibah ke negara-negara selatan dengan membawa armada yang luar biasa besar, Laksamana Cheng Ho.

Penerimaan orang Tiongkok atas ajaran Islam didasarkan pada asas kesetaraan, kesederhanaan dan nilai-nilai kemanusiaan lain sebegaimana yang diajarkan Konfusianisme, Daoisme serta Budhisme namun ada hal yang sangat sulit diterima oleh orang-rang yang sebelumnya menganut tiga aliran kepercayaan itu. Hal itu adalah kosep tentang Tuhan Yang Maha Esa. Tradisi menyembah dewa-dewa dan pemujaan terhadap arwah leluhur membuat konsep Tuhan Yang Maha Esa tak sejalan dengan tradisi mereka. Selain itu, hukum tentang halal-haram. Islam yang mengharamkan makan Daging Babi, minum arak serta berjudi, sangat tidak dapat diterima karena hal itu sudah menjadi tradisi dan budaya yang mengakar kuat di kalangan orang Tionghoa.

73 Tan Ta Sen, Cheng Ho…, hlm. 123

63

BAB III

KEDATANGAN, INTERAKSI DAN AKULTURASI DENGAN PRIBUMI

A. Kedatangan Orang Tionghoa ke Tangerang

Keberadaan orang Cina Benteng di Tangerang tidak terlepas dari sejarah panjang hadirnya orang Tionghoa ke Nusantara. Kedatangan mereka dari daratan Tingkok di kepulauan Nusantara terekam dalam catatan pendeta Budha Tionghoa, Fa Xien (Fa Hien). Saat itu ia mengunjungi pulau Jawa dalam perjalannya menuju India yang berlangsung antara tahun 399 sampai 414 M. Perjalanan itu diuraikan dalam bukunya Fahueki.74 WP. Groeneveldt, dalam buku terjemahan yang berjudul “Nusantara Dalam Catatan Tionghoa” juga menyebut; “ Fo Guo Ji, “Catatan Negara-negara Budhis”, ditulis oleh seorang biksu bernama Faxian. Pada 400 Masehi dia melakukan perjalanan darat dari Tiongkok menuju India untuk mencari buku-buku agama Budha. Dia kembali ke Tiongkok melalui lautan dan singgah di Sri Lanka dan Jawa. Buku ini ditulis dari narasinya dan diterbitkan tidak lama setelah dia meninggal”.75

Catatan perjalanan yang populer tentang perjalanan pendeta Budha lainnya adalah yang dibuat pendeta I-Tsing yang berangkat dari Kanton ke Nalanda (India) melalui Sriwijaya tahun 671. Sebelum abad ke-8 perjalanan-perjalanan bangsa Tionghoa ke Nan Yang (negara-negara Selatan)

74 Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu dan Timbulnya Negara-negara Islam Di Nusantara (Yogyakarta: LKiS, 2005) hlm.. 81. 75 W.P. Groneveldt, Nusantara dalam CatatanTionghoa (Depok: Komunitas Bambu, 2009) hlm. xxi.

64

terbatas pada perjalanan keagamaan melalui jalur laut karena ganasnya alam jika menempuh perjalanan darat.

Setelah abad ke 8 barulah perjalanan dagang banyak dilakukan ke Nan Yang, mengingat banyaknya komoditi yang dihasilkan dari daratan Tiongkok. Perdangangan tidak hanya memperjualbelikan komoditi barang dan hasil bumi, melainkan juga manusia sebagai komoditas dagang. Sejak arus perdagangan ke Selatan mulai ramai, Migrasi bangsa Tionghoa akhirnya juga memasuki wilayah kepulauan Nusantara. Sangat mungkin orang-orang yang datang dari daratan Tiongkok lebih banyak sebagai tenaga kerja dibanding dengan pedagang. Penguasaan teknologi pertanian dan pertukangan bahkan pertambangan membuat tenaga-tenaga kerja dari Tiongkok banyak dibutuhkan dalam pembangunan di wilayah Nan Yang. Leonard Blusse menerangkan bahwa: “Jung-jung dan wangkang dari Amoy, Kanton, Chenhai dan Ningpo setiap musim semi datang memasok Batavia dengan aneka macam barang dagangan dari Cina, mulai dari barang-barang besar sampai pada barang-barang mewah. Satu-satunya “barang muatan” yang paling istimewa : beribu-ribu orang Cina setiap tahun dikapalkan menuju ke pantai Jawa”. 76

Pada masa ketika banyak orang Tionghoa berdatangan itu, di Nusantara sedang memasuki zaman kerajaan Hindu-Budha. Uka Tjandrasasmita mengatakan bahwa kerajaan-kerajaan Hindu-Budha Nusantara telah mempunyai jaringan perdagangan internasional. Biasanya kerajaan-kerajaan itu mempunyai bandar-bandar besar dan ibukota yang berbentuk negara-kota (city-state). Tata kota seperti demikian dibangun dengan menimbang posisinya sebagai pusat perniagaan, selain sebagai legitimasi berpusatnya

76 Leonard Blusse, Persekutuan Aneh; Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia VOC, Terj. Abdur Rozaki (Yogyakarta: LKiS, 2004) hlm. 180.

65

kekuasaan raja serta sentral pengawasan atas tanah-tanah bawahan. Sriwijaya, Majapahit dan Pajajaran – dengan Pakuan Pajajaran sebagai ibukotanya – merupakan perwujudan dari negara-kota.77

Sama dengan Uka, Abdul Chair juga meyakini bahwa Tangerang merupakan salah satu pelabuhan Pajajaran. Penduduk di daerah pelabuhan, baik di Tangerang, Pontang, Banten maupun Kalapa, umumnya bermata pencaharian sebagai pedagang. Di wilayah pedalaman, masyarakat Sunda masih berkeyakinan Hindu-Budha. Masuknya pengaruh Hindu-Budha disinyalir terjadi saat penduduk Sunda sudah berinteraksi dengan para pedagang dari India sejak abad ke satu Masehi. Di antara mereka juga ada yang berkeyakinan Animisme dan Dinamisme, atau yang lebih dikenal dengan istilah Sunda Wiwitan. Selain beternak dan bertani mereka mengisi hari-hari mereka dengan berkesenian seperti tukang ngamen, tukang banyol (pelawak), gamelan, wayang dan penyanyi.78

Perjalanan legendaris bangsa Tionghoa ke Nusantara terekam dalam catatan Ma Huan yang mendampingi sang duta terkenal Zeng He atau kita lebih mengenalnya dengan Laksamana Cheng Ho yang diterbitkan tahun 1416, Yingya Shenglan (Catatan Umum Pantai-pantai Samudra). Dalam kata pengantarnya, Ma Huan menyatakan bahwa ia dikirim bersama Zeng He ke negeri-negeri asing pada 1413.79

Terbentuknya ingatan historis mengenai kehadiran komunitas Muslim Tionghoa di Tangerang tidak bisa dilepaskan dari perjalanan muhibah Laksamana Cheng Ho ke Nusantara. Laksamana Cheng Ho (1371-1433)

77 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009) hlm. 38. 78 Abdul Chaer, Betawi Tempo Doeloe; Menelusuri Sejarah Kebudayaan Betawi (Depok: Komunitas Bambu, 2015) hlm. 31 dan 35. 79 Groeneveldt, Nusantara ..., hlm. xx.

66

adalah seorang pelaut Tiongkok yang mengabdikan waktu hidupnya selama 28 tahun (1405-1433) memimpin armada besar Tiongkok mengunjungi 30 negara yang terletak di Asia Tenggara, Samudera Hindia, Laut Merah, Afrika Timur dan lain-lain. Cheng Ho melakukan pelayaran selama tujuh kali selama 28 tahun, dan waktu pelayarannya ini tidak bisa disamakan dengan para pelaut Eropa pada masa yang sama, misalnya saja Christopher Colombus berlayar sekitar tahun 1451-1506, Vasco da Gama sekitar 1460 sampai 1524 dan Ferdinand Magellan sekitar 1480-1521.80

Diceritakan bahwa Laksamana Cheng Ho membawa armada yang besar dengan manusia yang banyak pada setiap pelayarannya. Pada pelayarannya yang pertama, ia disertai dengan 62 kapal besar dengan jumlah awak kapal lebih dari 27.800 orang. Pada pelayarannya yang ketiga, Cheng Ho membawa 48 kapal besar berjenis Junk dengan awak kapal berjumlah lebih dari 27.000 orang. Pada pelayaran ketujuh, kapal besar yang ikut sekitar 61 buah yang ditumpangi oleh lebih dari 27.550 awak kapal.

Dalam setiap pelayarannya, rata-rata Cheng Ho mengajak serta sekitar 60 buah kapal besar ditambah kapal sedang dan kecil yang jumlah kesemuanya bisa mencapai 200 buah. Kapal terbesar dalam armada Cheng Ho disebut Kapal Pusaka yang mempunyai panjang 44,4 zhang (138 m) dan lebanya 18 zhang (56 m2). Kapal seperti itu termasuk kapal yang terbesar di dunia. Kapal Pusaka ini adalah kapal induk. Di samping itu ada pula kapal kuda yang mengangkut barang-barang dan kuda, kapal tempur, kapal pembawa bahan makanan serta kapal duduk yang merupakan kapal

80 Hembing Wijayakusuma, Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007) hlm. 3.

67

komando. Kapal-kapal dengan kegunaan lain juga terdapat dalam armada ini, disesuaikan dengan kebutuhan.81

Keberadaan armada Cheng Ho di pantai-pantai Nusantara, sejatinya merupakan respon atas perniagaan yang digalang Tiongkok dengan negara- negara sekutunya di Nan Yang. Perdagangan rempah-rempah dan keramik adalah wahana yang memantik kesadaran Dinasti Ming untuk mengirim suatu ekspedisi guna merawat hubungan yang baik dengan pasar-pasar di pesisir Asia Tenggara. Selain itu, pelayaran Cheng Ho juga menandai babak baru penyebaran Islam di kawasan kepulauan itu.82

Ekspedisi pelayaran Cheng Ho berhasil menemukan beberapa pemukiman orang Tiongkok sepanjang pantai Jawa dan . Para pemukim Tiongkok ini mempunyai beberapa ciri, yakni; 1) mereka adalah minoritas; 2) kedatangan mereka ke Nusantara adalah didorong oleh pertikaian politik di daerah asalnya, banyak dari mereka yang berasal dari Guangdong dan Quanzhou, Fujian serta Zhangzou; 3) sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai saudagar kaya yang dimuliakan oleh penguasa lokal; 4) dalam beberapa hal, mereka memiliki otoritas tersendiri dalam mengatur kebutuhannya, utamanya mengenai komunitas mereka.83

Di samping itu, pemukim Tionghoa di pantai Jawa sebagian adalah keturunan pasukan Mongol-Tiongkok yang menyerang Jawa sekitar 1297. Pendapat itu disampaikan oleh Wang Dayuan, yang pernah mengunjungi beberapa tempat di Asia Tenggara antara 1337 sampai 1339 dalam catatannya Daoyi Zhilue.84 Di dalam tubuh pasukan Mongol itu terdapat

81 Hembing, Muslim Tionghoa ..., hlm. 3-4. 82 Tan Ta Sen, Cheng Ho Penyebar Islam dari China ke Nusantara, Terj. Abdul Kadir (Jakarta: Kompas, 2010) hlm. 215-216. 83 Tan Ta Sen, Cheng Ho ..., hlm. 255. 84 Tan Ta Sen, Cheng Ho ..., hlm. 265.

68

orang Hui-Hui yang beragama Muslim. Dengan kata lain, orang Tiongkok Muslim yang dijumpai Cheng Ho di pesisir Jawa adalah keturunan orang Hui-Hui tersebut.85 Ike Mese yang berkunjung ke Jawa sebelum 1292, dan sempat mencatat kekalahan pasukan Tiongkok-Mongol dalam Sejarah Dinasti Yuan, menyebut bahwa sebagian pasukan itu ada yang hidup dan memutuskan untuk kembali ke kapalnya dan tidak lagi memulai pertempuran baru.86

Ma Huan dalam Yingya Shenglan atau “Catatan Umum Perjalanan di Lautan” (diterbitkan pada 1436) menyebutkan bahwa di Pantai Majapahit ditemukan orang Tiongkok yang beragama Islam. Mereka berasal dari Guangdong, Zhangzou dan Quanzhou (kedua lokasi terakhir terdapat di Fujian, tidak jauh dari Xiamen). Mereka melarikan diri dari tanah asalnya dan menetap di Majapahit (Moa-cia-pah-i, menurut lafal orang Tionghoa Fujian (Hokkian) selatan.87

Dari dua catatan Tiongkok di atas, diketahui bahwa pemukiman orang Tiongkok sudah ada sejak sebelum muhibah Laksamana Cheng Ho. Besar kemungkinan, mereka sudah sedemikian rupa membangun hubungan yang baik dengan masyarakat dari benua lain, serta penduduk lokal. Di masa Majapahit sendiri, pelabuhan pesisir Jawa Timur sudah menjadi tempat perkumpulan saudagar dari regional Asia Tenggara maupun dari mancanegara. Mereka dipersatukan oleh tujuan yang sama, yakni mendulang untung sebesar-besarnya dari perniagaan setempat. Didi Kwartanada

85 Tan Ta Sen, Cheng Ho ..., hlm. 265. 86 Groeneveldt, Nusantara ..., hlm. 48. 87 Groeneveldt, Nusantara ..., hlm. 67 dan 69.

69

menambahkan bahwa sejak masa prakolonial, orang Tiongkok banyak yang dipercaya men jadi syahbandar.88

Menurut wawancara dengan Oey Tjin Eng, Sejarawan Cina Benteng yang juga pengurus perkumpulan sosial Bun Tek Bio, menyatakan ketika Cheng Ho melakukan muhibah ke Pantai Utara Jawa sekitar tahun 1570, ia mengutus dua orang yang mengendarai kapal kecil untuk meneliti keadaan sekitar pesisir setempat (Teluk Naga, Tangerang). Setelah itu, para utusan kembali ke Kapal Induk dan melaporkan penglihatannya kepada sekretaris kapal, Ma Huan. Saat itu, kapal-kapal besar Cheng Ho tidak bisa menepi ke pelabuhan, mengingat saat itu Teluk Naga masih berupa pelabuhan kecil. Sejak itu secara berangsur-angsur banyak orang dari Tiongkok yang datang dan memutuskan bermukim di Taluk Naga. Mereka dipercaya adalah leluhur kaum Cina Benteng masa awal. Banyak dari mereka adalah beragama Islam. Oey menambahkan bahwa salah satu dari utusan Cheng Ho tersebut bernama Chen Ci Lung.89

Uka Tjandrasasmita menyebutkan bahwa amat mungkin ditemukan pada abad 15 pemukiman orang Tiongkok di beberapa pelabuhan di pesisir Jawa. Pemukiman mereka membentang dari timur hingga barat pantai utara Jawa. Di wilayah Tatar Sunda, mereka mendirikan rumah-rumah di Cirebon, Kalapa (Jayakarta) dan Banten.90 Ketika pasukan Banten bertempur melawan VOC di sekitar Tangerang, maka di wilayah pesisir sudah berdiri pemukiman orang Tiongkok. Biasanya, mereka membentuk pemukiman sub-

88 Didi Kwartanada, “Perang Jawa (1852-1830) dan Implikasinya terhadap Hubungan Tionghoa-Jawa” pengantar dalam Peter Carey, Orang Cina, bandar Tol, Candu, dan Perang Jawa; Perubahan Persepsi tentang Cina 1755-1825 (Depok: Komunitas Bambu, 2015) hlm. vi. 89 Wawancara dengan Oey Tjin Eng Humas Klenteng Bun Tek Bio, pada 27 Agustus 2015 di Kantor Klenteng Bun Tek Bio Tangerang. 90 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Nusantara ..., hlm. 92.

70

urban di kota-kota pelabuhan, dan pemukiman mereka lebih dikenal dengan nama pecinan.91

Pernyataan Uka Tjandrasasmita dan Oey Tjin Eng bersesuaian dengan kenyataan di lapangan tentang pemukiman pecinan dan kedatangan utusan laksamana Cheng Ho ke Tangerang. Peneliti menemukan bahwa pemukiman Orang Tionghoa di Tangerang tersebar dari Pantai Tanjung Burung di Teluk Naga lalu merangsek ke tengah kota menyusuri bantaran Sungai Cisadane.

B. Pemukiman Awal Masyarakat Cina Benteng di Tangerang.

Jauh sebelum kedatangan utusan Laksamana Cheng Ho ke Tangerang, orang Tionghoa sudah lebih dahulu sampai dan menetap disana. Mereka adalah para pedagang dalam kelompok-kelompok kecil yang hidup dari aktifitas perdagangan di Tangerang. Mereka belum mempunyai keterikatan satu sama lain dan belum mempunyai kesadaran untuk hidup bersama dan membangun kebudayaan untuk mencapai kesejahteraan hidup.

Yang penulis maksud dengan masyarakat Cina Benteng adalah sebuah masyarakat yaitu sekumpulan individu-individu yang hidup bersama, bekerja sama untuk memperoleh kepentingan bersama yang telah memiliki tatanan kehidupan, norma-norma, dan adat istiadat yang ditaati dalam lingkungannya.

Pengertian masyarakat terbagi atas dua yaitu pengertian masyarakat dalam arti luas dan pengertian masyarakat dalam arti sempit. Pengertian masyarakat dalam arti luas adalah keseluruhan hubungan hidup bersama tanpa dibatasi lingkungan, bangsa dan sebagainya. Sedangkan pengertian masyarakat

91 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Nusantara ..., hlm. 92.

71

dalam arti sempit adalah sekelompok individu yang dibatasi oleh golongan, bangsa, teritorial, dan lain sebagainya. Pengertian masyarakat juga dapat didefinisikan sebagai kelompok orang yang terorganisasi karena memiliki tujuan yang sama. Pengertian Masyarakat secara Sederhana adalah sekumpulan manusia yang saling berinteraksi atau bergaul dengan kepentingan yang sama. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang relatif mandiri, yang hidup bersama-sama yang cukup lama, yang mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama dan melakukan sebagian besar kegiatan dalam kelompok itu.

Dalam buku pengantarnya, Museum Benteng Hetitage mengutip catatan sejarah Sunda “Tina Layang Parahyangan” yang menyatakan bahwa pad tahun 1407 rombongan orang Tionghoa yang dipimpin oleh Chen Cie Lung (Ha Lung) mendarat di pantai Utara Tangerang yang dikenal dengan Teluk Naga. Mereka kemudian bermukim dan membuka lahan pertanian di sepanjang sungai Cisadane. Rombongan ini diyakini merupakan pengikut Laksamana Cheng Ho (), Seorang Muslim Tionghoa yang diutus oleh Kaisar Yongle (Zhu Di) dari Dinsti Ming, Tiongkok.

Terbentuknya masyarakat karena manusia menggunakan perasaan, pikiran dan keinginannya memberikan reaksi dalam lingkungannya. Kesadaran bersama akan upaya pencapaian kesejahteraan adalah cita-cita bersama yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat. Penjabaran arti dari masyarakat di atas dimaksudkan penulis untuk menjelaskan masyarakat Cina Benteng yang dimaksud adalah orang-orang Tionghoa di Tangerang yang dengan kesadaran membentuk sebuah masyarakat dengn identitas tertentu. Mereka itu bukanlah orang-orang Tionghoa di yang hanya melakukan kegiatan perdagangan di Tangerang.

72

Teluk Naga dianggap wilayah yang tepat untuk membuat suatu pemukiman. Faktor Sungai Cisadane merupakan faktor utama mengapa wilayah ini dipilih sebagai basis pemukiman mereka. Sungai selain menjamin ketersediaan air untuk kehidupan sehari-hari juga memberikan pasokan air yang penting bagi kegiatan bercocok tanam. Sungai Cisadane juga sebagai sarana transportasi yang merupakan tulang punggung perdaganagan, yaitu jalur distribusi hasil bumi dari wilayah hulu ke wilayah hilir sungai, bahkan hingga ke muara hingga pelabuhan Teluk Naga. Dari pelabuhan Tangerang, komoditas-komoditas perniagaan bisa didistribusikan lagi ke Kalapa, sebagai bandar dagang yang utama bagi Kerajaan Pajajaran untuk diteruskan sebagai perdagangan antar pulau maupun antar negeri, begitu pula sebaliknya. Pelabuhan-pelabuhan Sunda menggantungkan eksistensinya pada aliran sungai-sungai yang bermuara tidak jauh dari lokasinya.

Barang-barang dagang yang menjadi produk ekspor kala itu adalah lada, beras, asam, sayur-mayur, daging dan ternak seperti sapi, kambing, babi, domba dan buah-buahan. Hasil bumi itu sebagian ada yang diteruskan sampai ke Malaka, Maladewa dan negeri-negeri lainnya. Relasi perniagaan juga dilakukan kepada kerajaan-kerajaan Nusantara lainnya. Komoditas tersebut umumnya didapatkan dari para petani dan peternak yang hidup di pedalaman. Gambaran lebih lanjut mengenai komoditas dan perdagangan pesisir-pedalaman Sunda ini bisa dilihat di naskah Sunda bernama Sanghyang Sisikandang Karesian (ditulis sekitar tahun 1518).

Bandar Kalapa sendiri merupakan bandar yang menerima komoditas impor dari negeri-negeri asing. Komoditas itu antara lain adalah belacu, yakni pakaian dari Cambay dan Keling, serta keramik dan lain-lain. Di pelabuhan Kalapa sendiri telah ramai dikunjungi orang-orang mancanegara,

73

seperti dari India, Tiongkok dan Melayu, serta dari belahan Nusantara lainnya. Di samping mata uang lokal yang disebut tumdaya, mata uang asing, seperti mata uang cash, yang berasal dari Tiongkok, beredar di pasar-pasar pelabuhan Kalapa. Mata uang ini berbentuk kecil-kecil dan memiliki lubang. Biasanya orang membawa mata uang ini dengan menyusunnya dalam ikatan benang, seperti mata uang ceiti.92

Melihat pada aktifitas perniagaan yang begitu massif menghubungkan pedalaman dan pesisir Jawa Barat tersebut, maka tidak menutup kemungkinan leluhur Cina Benteng ikut andil di dalamnya. Pelabuhan Tangerang memang tidak sebesar Pelabuhan Kalapa, namun kedudukannya tidak bisa dikesampingkan sebagai penyuplai kebutuhan dari pedalaman, terlebih yang lokasinya berdekatan dengan jalur sungai besar, Sungai Cisadane. Dari perniagaan ini, mereka merasa betah dan lebih dekat dengan penduduk lokal, karena terlibat dalam kegiatan yang saling menguntungkan.

Sungai Cisadane merupakan sebuah ecofact atau fakta ekologi dimana masyarakat Cina Benteng awal mulai beraktifitas. Kondisi sekarang yang ditemukan oleh peneliti, sepanjang sungai Cisadanae dari Tanjung Burung hingga pusat Kota Tangerang adalah merupakan pemukiman Cina Benteng yang tidak terputus.

Di bantaran Sungai baik sisi bagian Barat maupun Timur banyak dijumpai kegiatan usaha perbaikan kapal. Hal ini menunjukkan bahwa bantaran sungai Cisadane wilayah hilir adalah wilayah yang cocok bagi usaha-usaha sarana transportasi yang berbasis air. Dari perahu perahu kecil hingga ke kapal-kapal yang ukurannya lebih besar yang memungkinkan memasuki daerah aliran sungai Cisadane tersebut.

92 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam ..., hlm. 138-139.

74

Aktifitas masyarakat Cina Benteng awal adalah berdagang dan bercocok tanam serta pembuatan/perbaikan kapal (Perlu penelitian lebih jauh). Selain Pedagang, orang Cina Benteng adalah petani, Hingga hari ini masih banyak orang Cina benteng yang mencari nafkah dengan bercocok tanam atau bertani, baik sebagai pemilik lahan maupun hanya sebagai buruh tani. Teknologi pertanian yang dibawa oleh orang-orang dari Tiongkok membuat hasil usaha dari bidang ini meningkat tajam. Teknologi pembalikan lapisan tanah dengan menggunakan cang-kul ditengarai dibawa oleh meraka. Hal ini dikonfirmasi sebuah artefak cangkul yang terbuat dari kayu yang pada mata cangkulnya dilapisi logam yang sekarang merupakan salah satu koleksi dari Museum Benteng Heritage. Alat dengan fungsi serupa untuk membalikkan lapisan tanah yang ditarik oleh binatang yaitu lu-ku juga diperkirakan adalah teknologi yang dibawa dari daratan Tiongkok.

Pemukiman masyarakat Cina Benteng terus merangsek ke arah hulu hingga tengah kota menyusuri daerah aliran Sungai Cisadanae. Daerah yang sekarang dikenal dengan Pasar Lama adalah sebagai pusat aktifitas masyarakat Cina Benteng yang berprofesi sebagai pedagang. Hingga sekarang daerah pasar lama adalah situs peradaban masyarakat Cina Benteng dimana terdapat klenteng tertua di Tangerang yaitu Klenteng Boen Tek Bio.

C. Pembentukan identitas Masyarakat Cina Benteng.

Sekelompok orang yang dengan kesadaran memilih hidup bersama dalam suatu teritori yang kemudian disebut masyarakat itu tentunya memerlukan pengakuan akan eksistensi mereka dari kelompok masyarakat lainnya. Untuk mendapatkan pengakuan tersebut sekelompok masyarakat

75

membutuhkan identitas. Kebutuhan tersebut memicu mereka menciptakan ikatan-ikatan social tertentu sebagai syarat bagi lahirnya sebuah kelompok social. Selanjutnya mereka akan menemukan kesamaan-kesamaan maupun perbedaan-perbedaan baik terhadap hal-hal yang terkait dengan kepentingan- kepentingan maupun unsur-unsur yang membentuk konsep diri mereka. Kelompok social inilah yang kemudian mampu berperan sebagai sumber pembentukan identitas dan pemberi rasa aman bagi anggota-anggotanya.

Kajian terhadap proses interaksi antar kelompok sosial tersebut yang kemudian dikenal dengan sebutan teori identitas sosial. Khasanah kajian teori identitas sosial adalah pembahasan tentang prilaku individu-individu dalam konteks hubungan antar kelompok yang mencerminkan keberadaan unit-unit lebih besar dimana individu-individu dapat bernaung di dalamnya.

Identitas sosial terbentuk dari keterlibatan, rasa peduli dan rasa bangga individu sebagai bagian dari kelompok sosial yang dinaunginya. Hal tersebut merupakan bagian dari konsep diri individu yang bersumber dari pengetahuannya selama berada dalam suatu kelompok sosial tertentu. Selanjutnya individu itu dengan sengaja menginternalisasi nilai-nilai, turut berpartisipasi serta mengembangkan kepedulian dan kebanggaan terhadap kelompoknya.

Paparan di atas menjelaskan bahwa komunitas Cina benteng dengan kesadaran membangun suatu simtem sosial diantara individu-individu di dalamnya dengan menetapkan nilai-nilai serta norma-norma yang pada gilirannya membentuk sebuah budaya. Eksistensi komunitas Cina Benteng harus dapat menunjukkan rasa peduli, serta menumbuhkan kebanggaan sebagai bagian dari sebuah kelompoknya dihadapan kelompok masyarakat lainnya baik kelompok pribumi maupun kelompok pedagang timur asing lainnya.

76

Bentuk identitas sosial terus mengalami penyesuaian seiring perjalanan waktu yang dipengaruhi persentuhan mereka dengan lingkungan social seperti situasi politik, kebijakan penguasa menjadikannya sebuah realita social yang turut memberi andil besar dalam perubahan atau penyesuaian identitas social. Turner, JC. Dalam self-categorization theory menjelaskan bahwa realitas social merupakan tempat berkembangnya nilai-nilai yang menjadi acuan bagi identitas kelompok, dan dalam perkembangannya kemudian melahirkan batas-batas kelompok. Identitas social yang mewujud dalam interaksi social dengan demikian merupakan penjelmaan dari kegiatan memilih, menyerap sekaligus mempertahankan nilai-nilai tersebut. Pada dasarnya setiap kelompok akan membawa dan memperjuangka kepentingan mereka dalam interaksi social. Kecenderungan sebuah kelompok social untuk menyerap nilai-nilai tertentu dibanding kelompok lainnya merupakan cara kelompok tersebut dalam membuat batas pembeda dengan kelompok- kelompok lainnya. Proses yang mewakilinya itu disebut kategorisasi diri.93 Bagi individu yang menjadi bagian dari kelompok social tersebut selanjutnya akan menempatkan nilai-nilai yang berkembang dalam kelompoknya itu sebagai rujukan dalam berperilaku dan menjadi bagian dari identitas sosialnya., sementara disaat yang sama ia akan bersikap sebaliknya yang cenderung menganggap rendah nilai-nilai yang berkembang yang dianut kelompok lain.

Demikian juga yang dilakukan komunitas Cina Benteng pada masa awal, mereka menyerap nilai-nilai budaya dari luar kelompoknya yaitu kelompok masyarakat pribumi dan pedagang asing yang ada di Tangerang, memila-milah nilai-nilai mana yang menguntungkan dan dapat diterapkan dalam kelompoknya, dalam waktu yang bersamaan ia memperkenalkan nilai-

93 Afthonul Afif, , Identitas Tionghoa Muslim Indonesia, (Depok, Kepik, 2012) hlm. 33.

77

nilai yang dianggap luhur yang dibawa dari tanah leluhur mereka untuk diperkenalkan kepada kelompok lain sehingga menimbulkan apresiasi terhadap kelompok mereka. Nilai-nilai kesetiaan terhadap penguasa yang ditunjukkan oleh kelompok pribumi merupakan suatu nilai yang baik yang dapat diserap dan diterapkan dalam kelompok masyarakat Cina Benteng. Hingga masa itu, belum pernah ditemukan informasi mengenai gerakan makar maupun separatis dari orang pribumi Tangerang terhadap Pajajaran maupun Kesultanan Banten. Di lain pihak kita banyak mendengar gerakan- gerakan melawan penguasa yang dilakukan oleh orang-orang Tiongkok dengan dalih apapun.

Kebudayaan dan tradisi dan budaya Tiongkok yang disokong oleh ideologi Konfusianisme, Daoisme dan Budhisme membentuk nilai-nilai menjadikan budaya Tiongkok begitu kuat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan sosial di wilayah Tangerang. Penggabungan antara nilai-nilai lokal yang diserap dengan eksistensi nilai-nilai Tiongkok menjadikan masyarakat Cina Benteng suatu identitas masyarakat baru sebagai realitas sosial masyarakat di wilayah Tangerang. Dengan kata lain setiap perubahan jaman selalu menuntut penyesuaian, begitupun dalam hal identitas sosial.

Dalam perkembangannya, ada beberapa peristiwa yang menandai sebuah kurun waktu tertentu yang sangat berpengruh terhadap perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat Cina Benteng.

D. Relasi Orang Cina Benteng dengan Penduduk Setempat

Jika mengikuti pendapat Oey Tjin Eng, bahwa masyarakat Cina Benteng masa awal adalah berasal dari utusan atau anak buah dari Laksamana Cheng Ho yang Mendarat di Teluk Naga. Seorang sejarawan yang juga pemilik dari

78

Museum Benteng Heritage yaitu Udaya Halim alias Liem Tjin Peng juga sepakat bahwa masyarakat awal Cina Benteng awal adalah mereka yang mendarat di Teluk Naga. Hanya saja Udaya Halim menjelaskan kemungkinan mereka adalah kelompok yang tercecer dari rombongan besar yang ikut dalam misi muhibah Cheng Ho ke Nusantara. Mereka menempati pemukinan di tepi sungai Cisadane. 94

Sungai Cisadane menjadi jalan air yang berguna untuk penghidupan orang Tionghoa. Secara berkala, mereka menggunakannya sebagai jalur perdagangan untuk mendapatkan komoditas alam dari daerah hulu sungai hingga pedalaman dengan junk-junk mereka.95 Profesi mereka sebagai pedagang perantara ini, semakin memperkuat posisinya dalam keseharian masyarakat Nusantara. Mereka membawa porselin-porselin Tiongkok yang kemudian ditukar dengan rempah-rempah. Beberapa dari mereka juga ada yang bekerja di pelabuhan Kalapa sebagai ahli-ahli servis kapal. Selain itu ada pula yang berprofesi sebagai pembuat arak dan penyedia air bersih bagi kapal-kapal yang bertambat di Kalapa.96

Orang pedalaman yang dimaksud di atas terhitung sampai abad 16, adalah orang Sunda yang beragama Hindu-Budha atau sunda wiwitan. Iklim politik di pedalaman relatif stabil, hal ini berbeda dengan di kawasan pesisir yang mulai terjadi pergesekan antara Pajajaran, Islam (Banten) dan Portugis. Belakangan, Pajajaran menjalin hubungan dengan Portugis untuk membendung pengaruh Islam. Salah satu bukti perjanjian Pajajaran dan Portugis bisa dilihat di prasasti Padrao yang berangka tahun 1521 M. Isi

94 Wawancara dengan Udaya Halim als. Liem Tjin Peng, 64 Th, di Museum Benteng Heritage, Pasar Lama, Tangerang, tgl. 7 Maret 2017. 95 Susan Blackburn, Jakarta Sejarah 400 Tahun, Terj. Gatot Triwira (Depok: Komunitas Bambu, 2012) hlm. 22-23. 96 Susan Blackburn, Jakarta Sejarah ..., hlm. 8-9.

79

prasasti itu antara lain Portugis diperkenankan mendirikan markas dagang di Kalapa dan Portugis wajib memberikan imbalan kepada Raja Pajajaran.97

Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal atau Padrão Sunda Kelapa adalah sebuah prasasti berbentuk tugu batu (padrão) yang ditemukan pada tahun 1918 di Batavia, Hindia-Belanda. Prasasti ini menandai perjanjian Kerajaan Sunda–Kerajaan Portugal yang dibuat oleh utusan dagang Portugis dari Malaka yang dipimpin Enrique Leme dan membawa barang-barang untuk "Raja Samian" (maksudnya Sanghyang, yaitu Sang Hyang Surawisesa, pangeran yang menjadi pemimpin utusan raja Sunda). Padrão ini didirikan di atas tanah yang ditunjuk sebagai tempat untuk membangun benteng dan gudang bagi orang Portugis.

Prasasti ini ditemukan kembali ketika dilakukan penggalian untuk membangun fondasi gudang di sudut Prinsenstraat (sekarang Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Kali Besar Timur I), sekarang termasuk wilayah Jakarta Barat. Padrao tersebut sekarang disimpan di Museum Nasional Republik Indonesia, sementara sebuah replikanya dipamerkan di Museum Sejarah Jakarta. 98

Perjumpaan orang Tiongkok dan penduduk Sunda bukan sesuatu yang terjadi dalam waktu yang sebentar. Di salah satu kawasan tua yang bernama Banten Girang, ditemukan banyak pecahan kramik dari Tiongkok, Siam dan Annam. Keramik-keramik ini diidentifikasi berasal dari masa Dinasti Tang, Song (Sung) dan Yuan. Ditemukan juga uang-uang Kepeng yang juga berasal dari Tiongkok dan Indocina. Penemuan ini memperkuat anggapan sudah terjadi kontak perdagangan antara orang Sunda dengan dunia

97 Abdul Chaer, Jakarta ..., hlm. 33-36. 98 www.wikipedia.com

80

internasional yang jika ditelisik terjadi di masa yang lebih awal, yakni sekitar abad 12 – 13. Banten Girang, yang berada di bawah kekuasaan Pajajaran, sudah dijadikan semacam wilayah istimewa oleh pemerintah pusat.99

Komposisi penduduk lokal yang semula Hindu-Budha secara berangsur- angsur menjadi Islam. Hal ini tidak terlepas dari pergerakan pasukan Demak, Cirebon sampai Mataram dari arah Timur dan Banten dari arah Barat yang rajin menanamkan pengaruh di wilayah pedalaman Sunda yang tujuan utamanya adalah mengancam kedudukan Portugis-Pajajaran di pedalaman Sunda sampai wilayah pesisir. Masa-masa perpindahan agama ini terjadi antara abad 16 dan di abad-abad berikutnya. Terhitung sejak 1527, sudah terjadi perubahan kondisi sosio-politik di Jawa sejak masuknya Islam ke kantung-kantung kekuasaan. Salah satu momentumnya, adalah dikuasainya Cirebon oleh kelompok Islam yang kemudian menjadi sekutu Demak, juga Banten yang kemudian menjadi kerajaan Islam.100

Di wilayah Tangerang, etnis Sunda tinggal di daerah Tangerang Selatan dan Tangerang Tengah yang tersebar di kecamatan Tangerang, Cikupa, Serpong, Curug, Tigaraksa dan Legok. Dalam Kronik Sejarah Banten terdapat uraian yang menjelaskan tentang kedatangan orang Sunda ke wilayah Tangerang, yakni mengenai keberadaan pasukan dari Priangan yang membantu pasukan Mataram menyerbu Batavia. Setelah perang usai, beberapa orang Priangan tidak ikut pulang dan meminta izin untuk menetap di Tangerang.

99 Lukman Nurhakim, “Banten Girang, Pakuan Pajajaran dan Banten Lama Pendekatan Arkeologi Sejarah Masa Transformasi Hindu-Islam: dalam Hasan Muarif Ambarai,ed, Masyarakat dan Budaya Banten; Kumpulan Karangan dalam Ruang Lingkup Arkeologi, Sejarah, Sosial dan Budaya (Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1996) hlm. 33. 100 Abdul Chaer, Jakarta ..., hlm. 35.

81

Mereka yang dinamakan orang Sunda, hingga kini, mudah untuk menngidentifikasinya. Orang Sunda hampir pasti menggunakan bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, mereka menamai kampungnya dengan nama layaknya di wilayah Sunda lainnya, seperti Kampung Priangan, Kampung Lengkong Sumedang dan lain-lain. pada umumnya, mereka menggantungkan hidup sebagai petani dan membuat barang-barang kerajinan. Mereka dikenal sebagai Muslim yang taat.

Selain orang Sunda, penduduk lokal lainnya adalah orang Betawi. Pemukiman mereka banyak tersebar di wilayah perbatasan Batavia, yakni Teluk Naga, Batu Ceper, Ciledug dan Ciputat. Selain berprofesi sebagai petani, sebagian yang lain adalah pedagang. Para petani Betawi menanam sayur-mayur dan buah-buahan di kebunnya. Pilihan hidup sebagai petani dirasa lebih menguntungkan, karena barang dagangan mereka bisa segera dijajakan di Batavia. Hal ini mengingat tempat tinggal mereka yang tidak jauh dari kota itu. Mereka juga dikenal sebagai penganut Islam yang taat. Secara berkala mereka melakukan ibadah hariannya di masjid dan langgar yang didirikan tidak jauh dari rumah-rumah mereka.

Orang Jawa juga sejak lama dikenal sebagai penduduk Tangerang masa awal. Mereka menempati wilayah Tangerang sebelah barat laut dan utara yakni tempat-tempat yang dekat dengan pantai. Kampung-kampung mereka berdiri di Mauk, Kronjo, Kresek dan Rajeg. Secara historis, mereka adalah keturunan dari para prajurit Mataram yang ditugaskan menyerang Batavia bersama Sultan Agung. Sehari-harinya mereka menghabiskan waktu di sawah dan ladang, atau melaut ke lepas pantai.101

101 M. Dien Madjid dkk, Sejarah Kabupaten Tangerang (Tangerang: Pemerintah daerah Tingkat II Tangerang bekerjasama dengan Lembaga Penetlitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UNIS Tangerang, 1992) hlm. 22-23.

82

Baik sebagian orang Tionghoa peranakan dengan orang Sunda, Betawi dan Jawa mereka sama-sama menjadi penduduk Tangerang dan hidup damai, belum ditemukan persengketaan maupun pertikaian di antara mereka, terutama yang mengakibatkan suatu goncangan tatanan sosial. Mereka hidup dalam harmoni, yakni berjalan bersamaan dengan peran ekonomi dan sosial yang telah tersemat dalam kehidupannya sehari-hari. Perniagaan benar-benar menjadi kesibukan yang membangun kerukunan di antara warga Tangerang saat itu. Gejolak politik yang terjadi di pesisir Tangerang tidak lantas menggugurkan pertalian mereka, yakni penduduk pedalaman dan pesisir.

Lodewycks menuturkan bahwa di pusat kerajaan Banten, sekitar tahun 1596, sudah ada pemukiman Muslim Tionghoa. Mereka tinggal di sana dalam waktu yang sudah cukup lama. Bukti laporan Lodewycks ini diperkuat dengan keberadaan reruntuhan masjid pecinan di Banten, dekat makam- makan orang Tiongkok. Reruntuhan itu masih menyisakan suatu bekas menara. Pada 1902, Stutterheim, seorang sarjana Eropa, menerangkan bahwa di sekitar tempat itu terdapat menara masjid yang bergaya Eropa, namun memiliki corak hiasan ala Tiongkok. Jika dilihat sekilas, mirip dengan yang ditemukan di Masjid Kasunyatan di Banten Selatan.102

Di Banten, orang Tionghoa sudah sedemikian dekat dengan kehidupan masyarakat lokal. Mereka sudah berhasil meleburkan dirinya dari penduduk “luar negeri” sampai kepada “dalam negeri”. Kedudukan mereka berubah semenjak beberapa dari mereka dipercaya sebagai syahbandar maupun sebagai pejabat bupati atau jabatan eksekutif lainnya. Reputasi mereka bertumpu pada penguasaan jejaring perdagangan perantara serta pedagang lada. Aktivitas demikian adalah bagian dari upaya perbaikan ekonomi penduduk Banten. Kelihaian berdagang inilah yang disebut Blusse sebagai

102 Amen Budiman, Masyarakat Islam ..., hlm. 32.

83

“Kuda Troya”-nya orang Tionghoa untuk memperoleh keuntungan- keuntungan lainnya.103

Keterangan mengenai keberadaan komplek pemukiman dan masjid pecinan menandaskan bahwa orang Tionghoa memiliki persamaan hidup layaknya orang dari suku bangsa lainnya. Belum ada ditemukan kerusuhan di Banten dilatarbelakangi perbedaan etnisitas, apalagi dengan menonjolkan status pribumi atau non-pribumi. Semua yang tinggal di pelabuhan adalah duta atau saudagar yang harus dihormati pihak kerajaan beserta masyarakatnya, karena hal itu menjadi dasar bagi keberlangsungan hubungan internasional suatu kerajaan. Tidak terkecuali bagi orang Tionghoa yang tinggal sejak lama di wilayah yang lebih jauh dari pusat kota, maka mereka pun dipandang sebagai rekan yang menguntungkan dan membawa kebaikan bagi bersama.

Sangat sedikit orang Tionghoa yang ada di Banten, Kalapa, Tangerang, serta di pesisir utara Jawa bagian Barat menganut Islam terhitung sampai pertengahan abad 18. Sejauh yang peneliti dapatkan pemukiman Tionghoa di Tangerang pertama adalah saat pertama Laksamana Cheng Ho menempatkan beberapa anak buah kapalnya yang beragama Islam. Namun besar kemungkinan, sepeninggal Cheng Ho anak buahnya yang berasal dari orang- orang taklukan terutama mereka para mantan bajak laut yang pernah ditaklukan di Palembang, Bintan dan Bangka, mereka adalah orang-orang Hokian yang dahulu menganut tradisi leluhur yaitu Konghucu dan Taoisme kembali kepada kepercayaan lamanya.

Oey Tjin Eng beranggapan bahwa orang-orang perompak yang pernah ditaklukan di Palembang, Bangka, dan Bintan kemudian banyak dari mereka

103 Leonard Blusse, Persekutuan Aneh; Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia VOC (Yogyakarta: LKiS, 2004) hlm. 73-74.

84

yang mengabdi pada Cheng Ho dan tak sedikit dari mereka yang kemudian masuk Islam. Rombongan Orang Tionghoa yang tiba di Teluk Naga pimpinan Chen Tjie Lung ditengarai juga banyak yang beragama Islam. Setelah kepergian Cheng Ho, mereka banyak yang kembali pada keyakinan semula yaitu Konfusianisme, Daoisme dan Budhisme. Sejauh penelusuran peneliti di sepanjang Tanjung Burung, Teluk Naga, menyusuri Bantaran Sungai Cisadane hingga Pasar Lama, belum menemukan artefak berupa tempat ibadah (Masjid atau Mushalla) yang dibangun oleh orang-orang Cina Benteng untuk komunitas mereka. Boleh jadi karena sifat masyarakat Cina Benteng yang inklusif, berbaur dengan masyarakat setempat hingga tak ada ciri-ciri khusus pada masjid-masjid pada masa itu.

Peneliti menemukan beberapa legenda yang mengarah pada perubahan fungsi masjid ke klenteng, diantaranya, Klenteng Tjo Soe Kong, di Tanjung Kait. Konon pertama kali bangunan itu ditemukan di tengah belukar, bentuknya menyerupai Masjid karena memiliki mihrab (paimaman). Karena Lahan tempat bangunan itu ditemukan adalah milik orang Cina, maka bangunan yang dianggap ajaib itu dikeramatkan dan dibangun sebagai klenteng. Mengenai alih fungsi bangunan masjid menjadi kelenteng ini sudah banyak terjadi di banyak tempat di Pantai Utara Jawa seperti Cirebon dan Ancol.

Banyaknya larangan dalam Islam termasuk tradisi yang sudah mendarah daging seperti minum arak dan berjudi dirasa sangat memberatkan. Belum lagi perintah untuk menjalankan ritual shalat yang harus lima kali dalam sehari. Bandingkan dengan ritual pemujaan leluhur mereka yang hanya satu kali, itupun tak ada sanksi dosa jika tidak melaksanakannya. Hal di atas ditambah dengan ancaman kehidupan setelah mati yang menakutkan dimana

85

ada siksa kubur dan siksa neraka. Sangat wajar jika pada akhirnya mereka memilih meninggalkan Islam dan kembali pada agama leluhur.

Dalam kenyataannya banyak juga orang-orang Cina Benteng yang memutuskan masuk Islam, namun hal itu kebanyakan disebabkan oleh perkawinan silang dengan perempuan pribumi. Biasanya keluarga-keluarga pribumi yang putrinya akan dipersunting oleh laki-laki Tionghoa, mereka mengajukan satu syarat bahwa harus masuk Islam sebelum ijab-kabul pernikahan dilangsungkan. Biasanya mereka yang masuk Islam lantaran ingin mengawini perempuan pribumi yang notabene Islam, mereka tidak menjadi Muslim yang taat. Anak-anak hasil perkawinan itu yang kemudian banyak menjadi Muslim yang taat karena menjalani pendidikan dalam keluarga Muslim (Ibunya).

Perkawninan campur lebih banyak dilakukan oleh laki-laki Cina Benteng dengan perempuan pribumi. Perempuan-perempuan Cina Benteng jarang yang mau melakukan kawin campur dengan laki-laki pribumi karena hal itu akan mengakibatkan terputusnya garis keturunan mereka. Anak-anak yang akan dilahirkan dari perkawina semacam itu dipastikan akan kehilangan marga keluarga. Faktor ketidak inginan kehilangan marga keluarga lebih dominan jika dibandingkan dengan persoalan agama yang ditimbulkan. Misalnya jika sang lelaki beragama Islam dan perempuannya beragama Konghucu maka si perempuan mengikuti agama laki-laki yaitu Islam. Demikian juga jika agama Laki-laki Konghucu, ia harus mengikuti agama si perempuan yaitu Islam.

Dikalangan keluarga Cina Benteng yang sudah befikiran lebih moderat, perkawinan campur antara perempuan Cina Benteng dengan laki-laki pribumi bukan lagi dianggap sebagai masalah. Menurut mereka kebahagiaan adalah kehidupan yang akan dijalani bersama pasangan hidup yang

86

mempunyai visi yang sama dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Garis keturunan, marga keluarga bukan lagi menjadi faktor penentu bagi berlangsungnya sebuah perkawinan.

Dalam penelusurannya, penulis menemui Maesaroh alias Siti Kholishoh alias Oey Hong Nio 55 th di desa Sangiang, kecamatan Sepatan Timur. Sebelum menikah, ia sudah masuk Islam. Ia mengalami perjalanan spiritual yang unik dimana ia bermimpi, dalam mimpinya ia diarahkan untuk masuk Islam. Mimpi itu berlanjut beberapa kali, setiap ia ceritakan mimpi itu pada keluarganya, keluarganya menanggapinya dengan pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu kemudian mendapat jawaban pada mimpi- mimpinya berikutnya. Hal itu terjadi beberapa kali hingga akhirnya seluruh keluarga Ibu Maesaroh yang saat itu tinggal di Tanjung kait, masuk Islam.104

Lain halnya yang terjadi pada Nia Naenia alias Yo Song Ni, 35 tahun di desa Kali Baru, Kecamatan Pakuhaji. Ia dipersunting oleh Abdul Gani, teman semasa sekolahnya. Keluarga Nia adalah keluarga Cina Benteng yang moderat, bahkan ayah dan ibunya penganut Kristiani. Nia pernah menanyakan pada Kakeknya tentang agama yang paling benar menurutnya. Sang kakek menjelaskan bahwa sebenarnya agama yang paling benar dan baik menurut kakeknya adalah Islam. Kedekatan Nia dengan keluarga Abdul Gani disebabkan upaya Nia untuk memperoleh penjelasan mengenai Islam. Kebetulan sang ayah dari Abdul Gani adalah seorang tokoh agama yang cukup dikenal di kalangan masyarakat Kali Baru. Walaupun agama dalam

104 Wawancara dengan Maesaroh, alias Siti Kholishoh alias Oey Hong Nio 55 th, di Desa Sangiang, kecamatan Sepatan Timur, Tangerang

87

keluarga besarnya berbeda-beda namun hubungan kekeluargaan diantara mereka tetap erat. 105

Jaringan perdagangan yang luas dengan orang-orang Tionghoa lain, membuat usaha Kaum Tionghoa di Tangerang mengungguli saudagar dari kalangan lain. Penguasaan aspek pemasaran juga menjadi faktor yang sangat mendukung usaha dibidang pertanian. Teknologi pertanian yang dibawa dari tanah Tiongkok tergolong lebih maju dari teknologi yang sebelumnya digunakan oleh petani-petani pribumi. Petani Tionghoa tidak mengalami kesulitan ketika harus menjual komoditi hasil pertanian mereka karena jaringan distribusi hasil bumi didominasi oleh kalangan orang-orang Tionghoa. Meski demikian, banyak orang-orang Cina benteng yang berprofesi sebagai buruh rendah, baik di bidang perdagangan maupun sebagai buruh tani.

E. Akulturasi Budaya

Geger Pecinan di Batavia tahun 1740 memaksa terjadinya migrasi secara massif orang-orang Tionghoa keluar dari Batavia. Daerah terdekat dan aman bagi mereka adalah Tangerang jika dibandingkan dengan daerah sekitar Batavia lainnya seperti Bekasi dan Bogor. Tangerang menjadi lebih aman karena di Tangerang telah lebih dulu didiami oleh banyak warga keturunan Tionghoa yang kemudian kita sebut dengan Cina Benteng.

Warga Cina Benteng dapat menerima mereka sebagai saudara satu leluhur yaitu Kaisar Kuning. Mereka berbaur kemudian menjadi lebih kuat. Untuk menghindari represi dari penguasa colonial mereka memilih untuk

105 Wawancara dengan Nia Naenia alias Yo Song Ni, 35 tahun di Desa Kali Baru, Kecamatan Pakuhaji, Tangerang

88

meleburkan diri dengan penduduk pribumi, mereka bahkan mengadopsi tradisi budaya pribumi setempat dan kemudian dijadikan sebagai salah satu Identitas komunitas mereka. Contoh paling sempurna dalam bahasan ini adalah musik Gambang Kromong. Gambang Kromong adalah salah satu musik harmoni yang terdiri dari banyak instrument musik diantaranya, gambang yang terbuat dari bilah-bilah kayu yang disusun dan terdiri dari banyak nada. Kromong adalah alat musik terbuat dari logam berbentuk seperti Botol-botol gemuk atau dalam bahasa jawa dikenal sebagai bonang. Selain itu ada tehyan, alat musik gesek khas Tiongkok, gong, kendang, kecrek dan sebagainya.

Jika diamati, Komposisi gambang kromong terdiri dari berbagai alat musik yang bersal dari beberapa daerah, Orkes gambang kromong merupakan perpaduan yang serasi antara unsur-unsur pribumi dengan unsur Tionghoa. Secara fisik unsur Tionghoa tampak pada alat-alat musik gesek yaitu sukong, tehyan, dan kongahyan. Perpaduan kedua unsur kebudayaan tersebut tampak pula pada perbendaharaan lagu-lagunya. Di samping lagu- lagu yang menunjukkan sifat pribumi, seperti lagu-lagu Dalem (Klasik) berjudul: Centeh Manis Berdiri, Mas Nona, Gula Ganting, Semar Gunem, Tanjung Burung, Kula Nun Salah, dan Mawar Tumpah dan sebagainya, dan lagu-lagu Sayur (Pop) berjudul: Jali-jali, Stambul, Centeh Manis, Surilang, Persi, Balo-balo, Akang Haji, Renggong Buyut, Jepret Payung, Kramat Karem, Onde-onde, Gelatik Ngunguk, Lenggang Kangkung, Sirih Kuning dan sebagainya, terdapat pula lagu-lagu yang jelas bercorak Tionghoa, baik nama lagu, alur melodi maupun liriknya, seperti Kong Ji Liok, Sip Pat Mo, Poa Si Li Tan, Peh Pan Tau, Cit No Sha, Ma Cun Tay, Cu Te Pan, Cay Cu

89

Teng, Cay Cu Siu, Lo Fuk Cen, dan sebagainya.106 Dalam gambang kromong terlihat terjadinya tawar-menawar budaya antara budaya Tiongkok dengan budaya pribumi. Harmoni dalam berkesenian tentu merupakan gambaran harmoni dalam keseharian.

Pillihan untuk melakukan akulturasi budaya dilakukan untuk membentuk suatu identitas komunitas baru Tionghoa agar lebih dapat diterima oleh masyarakat pribumi. Di sisi lain pembentukan komunitas masyarakat baru Tionghoa yang bukan sekedar dimaksudkan agar dapat menghindari kewajiban-kewajiban pajak dan kewajiban lain yang ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda kepada warga Tionghoa.

Pembauran Tionghoa dan pribumi menemukan bentuk yang paling sempurna di Tangerang. Hampir tak pernah ada friksi antara keduanya. Dari sisi budaya kedua belah pihak dapat menerima dan sekaligus memberi nilai- nilai tradisi mereka. Jika dalam paparan di atas komunitas Cina Benteng mau menerima budaya pribumi sebagai suatu identitas, demikian juga sebaliknya, budaya Tionghoa juga sangat kental mewarnai kehidupan masyarakat. Di bidang pertanian, alat-alat pertanian dari cangkul, luku, hingga topi lebar untuk melindungi diri dari sengatan matahari langsung, banyak diadaptasi dari peralatan pertanian Tiongkok. Belum lagi makanan, mie, pao, kecap, baso dan sebagainya, semua itu beasal dari Tiongkok. Di Tangerang hingga kini ada dua pabrik kecap legendaris yang masih berproduksi, letaknya tidak jauh dari Pasar Lama. Dahulu, sebutan Kecap Benteng (kecap dari Tangerang) merupakan jaminan rasa yang enak bagi salah satu penyedap rasa berbahan dasar kedelai itu.

106 Wawancara Dengan Go Yong, Seniman dan pembuat tehyan, di rumahnya di Neglasari, Tangerang, 20 Desember 2017.

90

Di kampung Tanjung Kait, sekarang Desa Tanjung Anom terdapat sebuah klenteng Tionghoa yaitu Klenteng Tjo Soe Kong, selain tempat ritual pemujaan terhadap leluhur, Klenteng Tjo Soe Kong juga merupakan pusat kebudayaan warga Tionghoa dan pribumi, bukan saja dari sekitar klenteng, melainkan juga banyak didatangi oleh warga Tionghoa dari luar daerah seperti Bogor, Bandung, Semarang bahkan Surabaya. Setiap tahun di Klenteng Tjo Soe Kong diselenggarakan taradisi budaya bertajuk “Wayang Tanjung” biasanya berlangsung sekitar 7 hari. Selama 7 hari tersebut dipentaskan beberapa jenis kesenian dari mulai Tarian Barongsai, Liong, Wayang Potehi, Wayang Golek, Topeng, Lenong dan sebagainya. Kesenian yang berasal dari Tiongkok dipentaskan terkadang berkolaborasi dengan kesenian pribumi. Perayaan Wayang Tanjung bukan sekedar pesta dan pentas kesenian, lebih dari itu Wayang Tanjung dipercaya sebagai penanda dimulainya musim tanam padi bagi petani di seantero Tangerang. Dalam hal ini menjadi jelas bagaimana budaya Tionghoa sebagai budaya pendatang mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat pribumi.

Dalam hal toleransi, penulis menemukan contoh sempurna di kampung Kebon Baru, Desa Marga Mulya, Kecamatan Mauk terdapat Komplek Makam Keramat Emak Dato, Makam Emak Dato adalah makam keramat yang sering didatangi orang Tionghoa. Konon Emak Dato adalah sosok wanita yang sangat dihormati semasa hidupnya. Emak Dato terdampar di pantai Tanjung Kait tak jauh dari komplek tersebut setelah menempuh perjalanan dagang dari . Di kampung Kebon Baru ia membeli sebidang tanah dan akhirnya menetap di sana.

Profesi Emak Dato sendiri selain pedagang juga sebagai tabib yang sering kali memberikan pertolongan bukan sekedar masalah-masalah kesehatan tapi juga urusan lain seperti usaha, peramalan dan sebagainya.

91

Singkatnya keberadaan Emak Dato menjadi bermanfaat bagi penduduk sekitar. Dalam aktifitasnya menolong orang, Emak menggunakan kendaraan sado atau delman. Mang Compreng adalah partner setia sebagai kusir yang mengantar Emak kemanapun di perintah. Tak jelas berasal dari suku mana Emak Dato tapi Mang Compreng adalah seorang Muslim yang taat.

Setelah Emak Dato Wafat dimakamkan di komplek tersebut, tak lama kemudian Mang Compreng menyusul dan dimakamkan hanya beberapa meter di sebelah makam Emak Dato. Komplek Pemakaman tersebut dianggap keramat karena terdapat makam seorang yang dianggap mampu menebarkan berkah bagi manusia lainnya sehingga layak mendapatkan pemujaan. Makam tersebut dianggap keramat juga karena pada saat meletusnya gunung Krakatau tahun 1883, seluruh pantai di utara pulau Jawa mengalami tsunami yang dahsyat, Akibat tsunami tersebut pantai-pantai di utara jawa kebanjiran. Anehnya komplek makam Emak Datok tidak kebanjiran sehingga warga sekitar menjadikannya sebagai tempat pengungsian. Itulah sebabnya komplek makam tersebut dianggap keramat dan layak mendapatkan pemujaan dari orang-orang Tionghoa sekitar.

Makam Emak Dato dibangun layaknya makam-makam Tionghoa sedangkan makam Sang Kusir, Mang Compreng juga dibangun, disediakan ruang berdo‟a lengkap dengan berbagai buku-buku dan kitab yang bertema Islam dan dihiasi ornament kaligrafi yang mengagungkan Allah dan memulyakan Nabi Muhammad SAW.

Setiap Tahun Pengelola situs Emak Dato mengadakan pesta yang bertajuk “Ulang Tahun Emak Dato” Selama 7 hari digelar berbagai pentas kesenian baik kesenian pribumi maupun yang berasal dari Tiongkok. Dalam perayaan tersebut juga digelar pesta makanan dimana semua orang baik Tionghoa maupun pribumi bebas makan di tempat itu. Uniknya dalam pesta

92

itu tidak boleh ada makanan dan minuman yang haram menurut Islam seperti Babi dan arak. Hal itu dimaksudkan untuk menghargai Mang Compreng dan juga maysarakat pribumi.

Kehidupan orang Tionghoa di Nusantara memang sudah terbiasa dengan pola spiritualitas yang akulturatif. Mereka dikenal sebagai sosok yang tidak selalu fanatik dengan keyakinannya. Masuk dalam Islam tidak selalu didorong oleh hidayah, melainkan karena melihat peluang dan keuntungan yang lebih menjanjikan ketika mereka menjadi Muslim. Salah satu alasan utama orang Tionghoa menjadi Muslim di Tangerang adalah karena perkawinan dengan wanita penduduk setempat. Mereka tidak segan untuk berganti agama menjadi Islam, karena biasanya masyarakat lokal begitu teguh memegang keyakinannya, laki-laki Tionghoa memilih mengalah dan menjadi Muslim.107

Dalam hal kebudayaan dan tradisi orang pribumi, masyarakat Cina Benteng dapat menerimanya bahkan menjadikannya sebagai sebuah identitas bagi komunitas mereka. Penerimaan masyarakat Cina benteng terhadap budaya pribumi tidak berbanding lurus dengan penerimaan mereka terhadap ajaran agama Islam. Dalam hal pemilihan agama mereka lebih memilih Kristen, hal ini disebabkan Islam mengharamkan tradisi judi, minum arak dan makan daging babi. Kristen, baik protestan maupun katolik masih mentolerir hal tersebut. Untuk kalangan elit Tionghoa, Islam dianggap tak berpendidikan, kampungan dan sebagainya, sedangkan Kristen terkesan lebih modern. Keadaan demikian memang diciptakan oleh pemerintah kolonial dimana masyarakat digolongkan dam tiga bagian atau strata. Strata teringgi adalah warga dan keturunan orang Eropa. Tentu saja penggolongan

107 Wawancara dengan Marsudi (Yo Bun Siong) di rumahnya di Desa Kohod pada 11 Juni 2016. Anak Marsudi bernama Nia Naenia (Yo Song Ni) menikah dengan seorang Muslim bernama Abdul Gani.

93

orang Eropa ditujukan kepada orang-orang Belanda mengingat sangat sedikit orang Eropa dari Negara selain Nederland. Penyebutan Eropa juga dimaksudkan untuk mendapat dukungan moral dari orang-orang Eropa lain pelaku Imperialisme. Golongan kedua adalah masyarakat yang berasal dari Asia Timur Asing (Tionghoa) dan Timur Tengah (Arab). Penggolongan mereka pada kasta kedua ini dimaksudkan agar mereka mau bekerjasama dengan pemerintah mengingat posisi mereka yang begitu kuat dalam jajaran perdagangan, jaringan distribusi dan pedagang perantara. Kasta ketiga adalah masyarakat dari kalangan pribumi yang diposisikan begitu rendah. Penggolongan mereka kepada kasta terendah tentunya dimaksudkan untuk meruntuhkan mental mereka, menghancurkan rasa percaya diri dan akhirnya terkubur dalam jurang keputusasaan.

Tentu saja, orang-orang Tionghoa yang sudah merasa berada pada strata kedua, tidak menginginkan untuk masuk ke dalam strata masyarakat terendah. Mereka yang mempunyai ambisi besar pasti ingin dipersamakan dengan golongan orang-orang Eropa. Banyak dari mereka yang mencukur kuncirnya bukan lantaran menjadi Muslim tetapi karena ingin dipersamakan dengan orang Eropa. Cara berpakaian mulai menggunakan jas ala Eropa. Gaya hidup mereka juga mengikuti orang eropa dengan mengikuti pesta- pesta bahkan membuat acara pesta-pesta dansa dengan mengundang orang- orang Eropa. Mereka ini pada akhirnya menyempurnakan dengan berpindah agama menjadi Kristen atau Katolik layaknya agama orang-orang Eropa.

Setelah kerusuhan di Batavia, rupanya tidak menghentikan kedatangan imigran Tionghoa lainnya. Para pendatang yang disebut Sing keh (tamu baru) atau Cina Totok ini banyak juga yang memilih Tangerang sebagai lokasi

94

menyambung hidupnya. Mereka juga menggantungkan diri dengan bertani dan berladang.108

Identitas Tionghoa Tangerang yang hari ini dikenal sebagai Cina Benteng menemui penguatan historisnya pada periode ini. Cina Benteng, awalnya merujuk pada orang Tionghoa yang tinggal di sekitar benteng VOC yang beberapa tahun sebelumnya didirikan sebagai basis perlawanan terhadap serangan pasukan Banten. Bangunan ini berdiri di tepi sungai Cisadane. Benteng ini merupakan benteng terdepan yang mebatasi wilayah pengaruh VOC dan Kesultanan Banten. Keberadaan benteng ini, ikut pula mengundang beberapa Tionghoa sekitar untuk ikut berinteraksi dengan para pejabat VOC yang bertugas di benteng tersebut.109

Pendapat lain mengatakan bahwa istilah Cina Benteng memang tercipta paska tragedi 1740. Banyak orang Tionghoa yang memilih tinggal di sekitar bekas benteng VOC yang terletak di tepi sungai Cisadane. Keturunan mereka itulah yang menyandang sebutan Cina Benteng. Mereka hidup membaur dengan masyarakat non-Tionghoa setempat. Bahkan, beberapa dari mereka ada yang masuk Islam dan menolak memakan babi.

Terdapat beberapa keterangan mengenai dorongan mereka memeluk Islam, yakni menghindari diri dari pajak yang dialamatkan khusus kepada etnis Tionghoa, karena dengan masuk Islam kedudukan mereka dianggap sama dengan pribumi. Kedua, fenomena ini terjadi akibat pergaulan yang kian dekat dengan orang-orang Muslim. amalgamasi, yakni menikah dengan

108 M. Dien Madjid dkk, Sejarah Kabupaten Tangerang (Tangerang: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang dan Lembaga Penelitian Pengabdian Masyarakat (LPPM) UNIS Tangerang, 1992) hlm. 24-25. 109 Muhamad Arif, “Model Kerukunan Sosial Pada Masyarakat Multikultural Cina Benteng (Kajian Historis dan Sosiologis)” dalam Sosio Didaktika, Vol. I, No. 1 Mei 2014, hlm. 58.

95

wanita setempat menjadi wahana yang memperteguh proses pribumisasi mereka dengan penduduk lokal Tangerang.110

Pillihan untuk melakukan akulturasi budaya dilakukan untuk membentuk suatu identitas komunitas baru Tionghoa agar lebih dapat diterima oleh masyarakat pribumi. Jika terjadi krisis politik yng kemudian berkembang menjadi krisis sosial, orang Cina Benteng bisa berlindung pada orang-orang pribumi. Peristiwa 1740 di Batavia benar-benar taraumatik sehingga sebisa mungkin dihindari.

110 Muhamad Arif, “Model Kerukunan ...”, hlm. 58.

96

BAB IV

PENGARUH KOLONIAL PADA MASYARAKAT CINA BENTENG

A. Awal Masuknya Kekuasaan Kolonial di Tangerang (Banten)

Direbutnya Bandar Jayakarta oleh VOC pada 1619111, semakin memantapkan posisi VOC di mata dunia. Di bawah pengelolaan VOC, Batavia menjadi kota pelabuhan yang semakin ramai dikunjungi banyak saudagar dan pelaut mancanegara. Jejaring perdagangan VOC yang perlahan semakin melebar, membentuk jejaring kuasa-dagang yang bertumpu pada monopoli yang dijadikan senjata mereka merebut kantong-kantong ekonomi masyarakat lokal. Batavia menjadi kota kosmopolitan yang kedudukannya sepadan dengan kota-kota Eropa, terutama karena kedudukannya sebagai pusat komando VOC di Nusantara

Semakin meningginya posisi Batavia dalam rantai niaga di Nusantara, membawa serta pada daerah-daerah sekitarnya. Tangerang kian waktu kian dipadati oleh pendatang baik dari penduduk pedalaman maupun bangsa asing, seperti Tiongkok. Posisi mereka secara sosial kian kuat, bahkan menjadi golongan menengah yang berpengaruh. Hal ini dicapainya berkat memaksimalkan bakat berdagangnya dan jaringan distribusi yang dikuasai kelompok ini.

111 Onghokham, Anti Cina ..., hlm. 57.

97

Iklim politik yang berubah secara drastis, di mana kekuatan Banten serta kekuatan lokal lainnya perlahan surut dari pantai utara Jawa, sama sakali tidak mengganggu aktivitas orang Tionghoa secara signifikan.

VOC menilai orang Tionghoa merupakan sekutu yang sepadan. Mereka hadir di kepulauan Nusantara didorong oleh semangat perbaikan hidup, begitu pula Belanda. Mereka berdua sama-sama yakin, hanya dengan perniagaan-lah kemakmuran bisa diraih. Ketika Batavia diperintah oleh Jan Pieterzoon Coen (memerintah pada 1619-1623), ia menganggap orang Tionghoa adalah aset ekonomi yang penting. Bahkan, ia sampai membujuk orang Tionghoa yang tinggal di Banten untuk pindah ke Batavia. Di Batavia, mereka banyak bergerak sebagai tukang, pedagang, kontraktor hingga kuli. Di kota ini jumlah orang Tionghoa cukup besar, bahkan sempat menjadi penduduk mayoritas di Batavia.112

Orang Tionghoa di kemudian waktu diajak oleh VOC untuk bersama melakukan kerja-kerja sosial. Misalnya, pada tahun 1655, pemerintah VOC tergabung dalam suatu Dewan Perwalian (boedelmeesters) bersama dengan orang Tionghoa yang mengurusi masalah harta peninggalan orang Tionghoa yang kaya yang sebelum meninggal tidak mempunyai wasiat dan tidak mempunyai anak. Harta-harta tersebut kemudian disalurkan untuk membangun rumah sakit, rumah yatim piatu dan fasilitas umum lainnya. Keduanya juga kerap memikirkan perbaikan sanitasi di Batavia. Di dalam dunia perbankan, keduanya juga menjalin kerja sama, khususnya di bidang debitor-kreditor yang menyangkut dua bangsa itu.

Di lain pihak, orang Tionghoa begitu menikmati fasilitas Hukum Dagang Belanda di Batavia. Mereka merasa VOC bisa melindungi harta

112 Onghokham, Anti Cina ..., hlm. 55.

98

benda mereka. Dilihat secara fisik, Batavia merupakan kota yang sudah dibangun sedemikian rupa dengan sistem keamanan yang tarpadu di zamannya. Dari sini mereka bisa menjalin jejaring bisnis dengan pelaku- pelaku ekonomi lainnya, yang di antaranya adalah orang Tionghoa yang tinggal di luar Batavia, termasuk dengan Tangerang, di mana salah satu profesi orang Tionghoa adalah sebagai pedagang perantara.113

Pada 17 April 1684, VOC menandatangani suatu perjanjian dengan Banten. Secara umum perjanjian ini dapat diartikan sebagai kemenangan VOC atas Banten, dan berarti pula Kompeni berhak melebarkan kepentingannya di wilayah yang semula diduduki Banten. Perjanjian ini pula yang menjadi pintu gerbang dikuasainya wilayah Tangerang oleh VOC. Untuk memperkuat posisinya atas wilayah itu, Kompeni mendirikan Kabupaten Tangerang dan yang menjadi pemimpinnya adalah seorang bergelar bupati. Kabupaten Tangerang ini berdiri sejak 1682 hingga 1890, sampai ketika Tangerang dipecah kembali menjadi tanah-tanah partikelir.

“Dan harus diketahui dengan pasti sejauhmana batas-batas daerah kekuasaan yang sejak masa lalu telah dimaklumi maka akan tetap akan ditentukan yaitu daerah yang dibatasi oleh sungai Untung Jawa atau Tangerang dari pantai Laut Jawa hingga pegunungan-pegunungan sejauh aliran sungai tersebut dengan kelokan-kelokannya dan kemudian menurut garis lurus dari selatan hingga utara hingga sampai di Laut Selatan. Bahwa semua tanah di sepanjang Untung Jawa atau Tangerang akan jadi milik atau ditempati Kompeni.”114 Demikian isi salah satu pasal perjanjian antara Kompeni dengan Banten yang ditandatangani oleh Sultan Haji pada 17 April 1684 menyusul tertangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa. Perjanjian itu menandai berakhirnya perlawanan masyarakat Banten terhadap Kompeni dengan kata lain dapat diartikan sebagai kemenangan Kompeni. Sejak itu seluruh Tangerang menjadi milik

113 Onghokham, Anti Cina ..., hlm. 55-57. 114 M. Dien, Madjid, Sejarah…, hlm.51

99

Kompeni. Untuk mengurus wilayah yang baru diperolehnya itu Belanda menjadikan Tangerang sebagai daerah administrasi berupa kabupaten yang dipimpim oleh seorang bupati.

Pada tahun 1800 VOC sebagai kongsi dagang Belanda yang menguasai monopoli perdagangan hampir di seluruh Nusantara, bahkan mencapai Afrika Selatan, Malabar, Sailan dan Formosa mengalami kebangkrutan akibat korupsi yang merajalela di kalangan pimpinan kongsi dagang itu. Sejak itu semua kegiatan serta hak milik termasuk tanah jajahan diambil alih oleh Kerajaan Belanda. Pemerintah Belanda melanjutkan politik yang dijalankan oleh VOC di tanah jajahan dengan tujuan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya bagi kerajaan Belanda.

Untuk mengurusi tanah daerah-daerah jajahan terutama Hindia Belanda, pada tahun 1802 dibentuk sebuah komisi. Tugas komisi ini adalah untuk menjamin jalannya pemerintahan agar dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya sebagai penerimaan keuangan bagi Kerajan Belanda. Penerimaan keuangan benar-benar diperlukan oleh kerajaan pada saat itu mengikan kondisi kas negara benar-benar kosong akibat konflik dengan Inggris dan Prancis.

Sebagai pimpinan pemerintahan tanah jajahan dipercayakan pada Herman William Daendels dengan jabatan Gubernur Jenderal Hindia Belanda padatahun 1808. Untuk mendapatkan dana segar dalam waktu cepat Pemerintah Hindia Belanda menjual dan menyewakan tanah-tanah yang ditinggalkan pemiliknya maupun hasil rampasan kasus-kasus criminal maupun pajak. Tanah-tanah ini yang disewakan dan dijual kepada para pemilik modal atau tuan-tuan tanah. Di Batavia, para tuan tanah didominasi oleh orang-orang Belanda namun di Tangerang, tuan-tuan tanah didominasi oleh kalangan Tionghoa selain Arab dan pribumi kaya.

100

B. Tanah Partikelir di Tangerang.

Didorong oleh hasrat investasi yang tinggi, banyak pejabat-pejabat senior VOC yang membeli tanah di pinggiran Batavia. Tanah-tanah itu kemudian disewakan kepada orang Tionghoa untuk digarap. Di tanah garapan itu, terjalin hubungan yang erat antara petani lokal dengan orang Tionghoa yang dampaknya bisa dirasakan bagi keuntungan Batavia. Kemajuan ekonomi ini nyatanya tidak dimaksudkan untuk pembangunan Batavia yang berkelanjutan. Banyak dari para pejabat yang menyimpan hasil keuntungan itu untuk memperkaya diri dan berfoya-foya di Belanda. Sebenarnya, orang Belanda tidak begitu memperdulikan kegiatan apa yang dilakukan oleh orang yang hidup dari tanah pertanian sekitar kota.115

Penduduk di daerah Batavia dan sekitarnya yang tanahnya dijual kepada tuan tanah harus menyerahkan sebagian dari hasil buminya kepada tuan tanahnya. Mereka juga harus menjalani kerja wajib untuk tuan tanah mereka. Cenderung terjadi tindakan penghisapan yang dilakukan tuan tanah terhadap penduduk pekerja mereka. Kesewenangan kerap terjadi, yang mengakibatkan kurang harmonisnya hubungan diantara mereka. Penduduk yang hidup di tanah partikelir mendapatkan tekanan hidup yang berat, mereka juga harus membayar berbagai pajak (cuke).116

Sampai tahun 1930, banyak orang Tionghoa yang tinggal di kawasan pedesaan. Jika dibandingkan dengan populasi Tionghoa yang hidup di kota, maka jumlahnya lebih besar di kawasan pedesaan. Masyarakat Cina Benteng awal yang tersebar dari Teluk Naga menyusuru Bantaran sungai Cisadane menuju kota kemudian berbaur dengan orang-orang Tionghoa dari Batavia

115 Jean Gelman Taylor, Kehidupan Sosial di Batavia, Terj. Tim Komunitas Bambu (Depok: Komunitas Bambu, 2009) hlm. 13. 116 M. Dien, Madjid, Sejarah…, hlm.76

101

lalu mulai menyebar ke Karawaci, Legok, lalu ke Selatan menuju Cisauk dan Serpong. Sedangkan kearah Utara menuju Pasar Baru, Sangiang, Kedaung, Sepatan, Mauk hingga Tanjung Kait. Di bagian Utara seperti Sepatan dan Mauk, Orang-orang Tionghoa mengupayakan pertanian pangan karena di daerah seperti Sepatan dan Mauk area persawahan terbentang luas, Sedangkan di bagian selatan mereka mengupayakan perkebunan, utamanya Karet dan buah-buahan seperti rambutan, durian dan buah lainnya.

Di Tangerang tanaman kopi tidak dapat tumbuh dengan baik karena memang letak geografis Tangerang berada di dataran rendah sedangkan kopi hanya dapat tumbuh dengan baik di dataran tinggi dengan suhu udara yang lebih rendah. Tanaman yang dapat tumbuh denga baik di tangerang adalah padi, palawija, kelapa dan tebu. Tanah-tanah partikelir di daerah tangerang hapir seluruhnya dikuasai oleh orang-orang Tionghoa karena tuan tanah orang belanda biasanya mengelola perkebunan yang hasil buminya untuk keperluan ekspor ke Eropa seperti Kopi, Tembakau dan Lada. Kebetulan tanaman-tanaman itu tidak tumbuh dengan baik di Tangerang. Tuan-tuan tanah Tionghoa di Tangerang pada umumnya adalah pekerja keras, mereka mempekerjakan orang-orang pribumi dan juga orang Tionghoa lainnya. Buruh-buruh ini menggarap tanah milik tuan tanah yang ditanami padi. Mereka mengolah mulai persiapan, pembibitan, hingga panen. Pembagian hasil panen dilakukan dengan bagi hasil. Ada kuli tetap, ada juga kuli-kuli lepas. Hanya pada saat-saat dibutuhkan tenaga yang banyak saja mereka dipekerjakan, misalnya penanaman dan pemanenan karena pekerjaai itu harus dilakukan secara serempak dalam waktu yang bersamaan.

Cara lain dalam mengelola tanah partikelir adalah dengan menyerahkan pengelolaannya kepeda penduduk untuk diolah dengan syarat tuan tanah menerima sebagian hasil dari pengelolaan tanah tersebut dengan cara

102

perpuluh atau 1/10 bagian merupakan hak tuan tanah. Selain membagi hasil panen, penduduk masih harus membayar pajak-pajak yang lain.

Cina Benteng ada yang berstatus sebagai tuan tanah namun banyak juga diantara mereka yang merupakan buruh buruh tani saja. Sebagai tuan tanah mereka dituntut untuk memperbaiki fasilitas-fasilitas umum di daerah mereka yang pada saat itu kondisinya buruk seperti jalan dan jembatan, disamping tentu saja melakukan pengawasan atas pajak yang diterima pemerintah. Pemerintah kolonial turun tangan dalam hal menjaga keamanan di tanah-tanah partikelir terutama di Batavia dan sekitarnya.

Lahan pertanian yang diolah oleh orang Tionghoa ini banyak juga yang merupakan tanah orang Belanda. Baik pejabat senior VOC maupun pengusaha Belanda swasta sudah banyak yang mempunyai tanah yang terletak di sekitar Batavia. Mereka menyewakan tanah-tanah itu untuk kemudian dikelola oleh orang-orang Tionghoa. Bahkan, dalam perkembangannya, tanah-tanah itu banyak yang dimiliki oleh orang Tionghoa. Merujuk pada “Straat der Partikuliere Landerijen in 1879” yang dimuat dalam Regering Almanak 1891, di wilayah sebelah barat Batavia hingga Tangerang, tanah-tanah partikelirnya banyak yang dimiliki oleh orang Tionghoa.

Tidak seluruh orang Tionghoa menggarap tanahnya sendiri, beberapa dari mereka juga menggunakan tenaga orang pribumi. Bagi sebagian orang pribumi tinggal di tanah yang dikelola orang Tionghoa lebih nyaman ketimbang tinggal di tanah orang Belanda yang langsung dikelola oleh mereka. Alasan utama yang melatarbelakangi anggapan tersebut, adalah karena orang Tionghoa lebih memilih tanaman konsumsi lokal seperti jagung, padi, kacang, singkong dan tanaman palawija lainnya, sedangkan

103

tanah-tanah orang Eropa banyak ditanami tanaman komoditas ekspor, seperti kopi, teh dan karet. 117

Yang dimaksud sebagai tanah pertanian, tanah sewa atau tanah partikelir bukanlah tanah kosong tidak bertuan. Tanah-tanah itu sudah ditinggali oleh penduduk pribumi yang sudah mendiami lahan itu secara turun-temurun. Mereka adalah kelompok rakyat biasa yang menggantungkan hidup dari kebun dan sawahnya yang di atasnya terdapat tanaman kelapa, padi dan rumput. Setelah tanah-tanah itu secara formal dimiliki oleh para tuan tanah, penduduk di situ dipekerjakan sebagai buruh dengan upah yang murah atau mereka dikenakan pajak atau sewa tanah dengan harga yang cukup tinggi. Terkadang penarik pajak memperlakukan para penduduk yang tidak bisa membayar pajak dengan semena-mena. Suatu tindakan yang dikemudian waktu menyulut perlawanan warga dan kerap diselesaikan dengan aksi militer pasukan kolonial.118

Ketimpangan sosial yang terjadi di tanah-tanah partikelir antara tuan tanah dan buruh sering kali menimbulkan perasaan tertindas dari kaum buruh tani hingga batas-batas tertentu perasaan itu taktertahankan lagi dan akhirnya meletus menjadi sebuah tindakan perlawanan baik yang terang-terangan maupun yang sembunyi-sembunyi. Bagi yang tidak tahan terhadap penindasan tuan tanah dan pemerintah, meraka yang punya keberanian lebih banyak yang memilih hidup sebagai bandit dan rampok. Untuk melindungi keamanan para tuan tanah, pemerintah memperbolehkan para mador untuk

117 Abdul Chaer, Betawi Tempo Doeloe; Menelusuri Sejarah Kebudayaan Betawi (Depok: Komunitas Bambu, 2015) hlm. 52. 118 Abdul Chaer, Betawi Tempo ..., hlm. 54.

104

memegang senjata api, tentunya dengan seijin dan terdaftar pada komisaris urusan bumiputera.119

Untuk kepentingan jangka panjang, para tuan tanah Tionghoa biasanya menjalin hubungan yang baik dengan warganya. Mereka membangun hubungan yang akrab dengan para buruhnya. Mereka kerap mengakomodir kebutuhan warga mereka, mulai dari kebutuhan harian sampai peminjaman uang. Dalam bergaul, tuan Tionghoa dengan warganya kerap terlibat dalam suasana yang luwes, menggunakan bahasa Melayu yang sama-sama dimengerti kedua belah pihak. Suasana sedemikian tentu tidak umum tercipta manakala warga pribumi bertemu dengan tuan tanahnya yang berbangsa Eropa.120

Di pertengahan abad 19, terjadi perubahan model ekonomi dengan maraknya pembukaan perkebunan-perkebunan di pelbagai wilayah Nusantara. Pada tahun 1870, digulirkan undang-undang bahwa para penyewa tanah hanya boleh menyewa selama lima tahun. Tujuannya adalah agar tidak terjadi perampasan tanah warga secara semena-mena. Kekhawatiran ini muncul karena banyak para pemodal swasta yang berinvestasi di Tangerang. Tanah-tanah di Tangerang sudah banyak yang ditanami tanaman produksi seperti karet. Muncul tren baru di kalangan para pemilik tanah yang banyak di antaranya adalah orang Cina dan Arab yakni mereka semakin leluasa mengeksploitasi wilayahnya dan di sisi lain mereka juga mendapat perlindungan hukum dari pemerintah.

Kian kemari, semakin banyak orang Tionghoa, baik yang asli Cina Benteng maupun yang Singkeh, yang memiliki tanah partikelir. Dalam Tabel Tanah Partikelir Tangerang Tahun 1900-1910 misalnya tercatat nama orang

119 M. Dien, Madjid, Sejarah…, hlm.78 120 Abdul Chaer, Betawi Tempo ..., hlm. 53.

105

Tionghoa seperti Ong Jam San yang menyewa Pondok Djagoeng dengan luas tanah 723 bahu (1 bahu = 500m2) dengan jumlah penduduk di dalamnya sebanyak 1446 jiwa, Oei Giok Koen menggarap tanah Poris seluas 1556 bahu dengan jumlah pemukim 7891 jiwa, Tjiong Goan Ho dkk menyewa tanah Sepatan dengan luas 3259 bahu dengan penduduk sebanyak 6768 orang dan lain sebagainya.121

Para petani keturunan Tionghoa di Tangerang terbagi dalam tiga golongan. Kesatu, golongan “petani besar”. Ialah mereka jang memiliki tanah-tanah atau sawah-sawah jang terkadang luasnja sampai beberapa ratus HA. Tanah-tanah atau sawah-sawah itu mereka peserah dalam pengusahaan para petani jang tidak mempunjai tanah sendiri. Hasil panen dibagi antara pemilik dan pengusaha menurut kebiasaan jang lazim berlaku. Mengenai ini sebentar akan didjelaskan lebih djauh.

Kedua adalah petani-petani ketjilan jang mempunjai sedikit tanah atau sawah (beberapa HA). Mereka mengusahakan sendiri atau kalau dapat membijajainja menggunakan tenaga beberapa pembantu. Ada pula jang berikan tanah atau sawahnja dalam pengusahaan kepada orang lain.122 Menurut data yang dilansir dari Publicaties van de Afdeeling Handel Jaar 1919, No. 1 (Publikasi Bagian Perdagangan Tahun 1919, No. 1) sawah padi di Tangerang adalah salah satu yang terluas di Jawa, selain Krawang, Brebes dan Temanggung. Namun begitu luasnya sawah tidak menjamin kemakmuran penduduknya. Terbukti Banyuwangi dan Jember yang luas sawahnya tidak sebanding dengan daerah-daerah tersebut, mempunyai tingkat kemakmuran yang lebih tinggi.123

Semakin menguatnya posisi tuan tanah Tionghoa, membuka celah baru dalam perhubungan dengan warga lokal. Perlahan mulai terdengar kabar- kabar yang tidak sedap mengenai arogansi tuan tanah atas para warganya. Kekecewaan yang dihadapi para buruh seidkit demi sedikit terakumulasi

121 M. Dien Madjid, Sejarah Tangerang ..., hlm. 68-70. 122. Star Weekly, Koran Mingguan, No. 372, 14 Peb. 1953 123 C. De Savorvir Lohman, “Verhouding de Sawahpadi-Productie; Tot de Dichtheid Der Bevolking Op En Madoera In En Ult o, 1917” dalam Publicaties van De Afdeeling Handel, 1919, No. 1 (Batavia: Drukkerij G. Kolff & Co., 1919) hlm. 3.

106

menjadi kebencian etnisitas. Perasaan bahwa tanah yang mereka garap sejatinya adalah tanah leluhurnya, dan keberadaan mereka serta pemerintah Belanda adalah orang luar perlahan meluas. Ledakkan kemarahan warga buruh terlihat salah satunya dalam peristiwa pemberontakan mesianistik yang dipimpin oleh Kain Bapa Kayah pada 1924.

Kain Bapa Kayah merupakan sosok panutan di masyarakatnya, yakni di Pangkalan. Awalnya Kain adalah seorang buruh tani yang mempunyai tempat tinggal di atas tanah milik saudara perempuannya. Karirnya sebagai petani kian membaik. Ia sempat mencicipi profesi kalangan menengah pada masa itu, seperti mandor, pembantu polisi, pembantu dalang sampai menjadi dalang. Kehidupannya semakin membaik setelah ia menikah dengan wanita Tionghoa yang banyak memberi dampak pada sikap dan perbuatannya menjadi lebih terpandang di lingkungannya. Kain dikenal sebagai sosok yang memiliki ilmu kanuragan atau kesaktian seperti mampu mendatangkan mendung, banjir, bisa menghilang dan berganti wajah.

Salah satu penyebab pemberontakan Kain ini adalah represi para tuan tanah Tionghoa kepada para buruhnya. Orang Tionghoa yang bergerak di bidang pertanian, yang dalam penggarapannya mengandalkan buruh setempat, disebut teko. Di Pangkalan, daerah Kain, orang Tionghoa lebih banyak mempunyai tanah dibanding pribumi, yakni satu banding tiga. Gerakan ini tidak bisa dimaknai sebagai kerusuhan etnis, mengingat di dalam keluarga Kain sendiri terdapat unsur Tionghoa. Istri Kain, Tan Tjeng Nio atau dikenal sebagai Nyonya Banten, kebetulan adalah orang Tionghoa dan kemungkinan besar adalah berasal dari kelompok Cina Benteng. Salah

107

seorang guru pedalangan Kain yang berasal dari Mauk, adalah juga seorang Tionghoa.124

C. Catatan aksi kekerasan fisik terhadap warga Tionghoa

1. Chinese Moord 1740

Penaklukan Jayakarta tahun 1619 oleh jan Pieterzon Coen menandai kekuasaan Belanda di Jayakarta yang kemudian diubah namanya menjadi Batavia, suatu kota yang telah lama diidam-idamkan Kompeni.

“Pondasi dari suatu titik temu yang lama kita dambakan, pada hari ini telah diletakkan, mulai saat ini tanah yang subur serta laut yang makmur di kelilingnya adalah milik tuan.” 125

Demikian nukilan surat Coen kepada pimpinan VOC di Negeri Belanda. Sejak itu Batavia dibangun sedemikian rupa hingga nyaman untuk didiami. Daerah sekitar yang merupakan wilayah yang subur oleh imigran Tionghoa dan Eropa dikembangkan sebagai daerah pertanian dan industri.

Tahun 1740 perekonomian Batavia mengalami kemunduran. Pembangunan kota dihentikan, buruh-buruh kesulitan mendapatkan pekerjaan, akibatnya angka pengangguran meningkat tajam. Membanjirnya imigran asal Tiongkok semakin menambah kompleksitas permasalahan sosial di Batavia. Keadaan tersebut disebabkan setidaknya oleh dua hal yaitu, masalah lingkungan hidup dimana hutan-hutan sekitar Batavia yang selama ini memasok bahan bakar bagi pabrik-pabrik gula sudah habis ditebangi. Hal ini menyebabkan

124 M. Dien, Madjid, Sejarah…, hlm.87 125 Van Helsdingen-Hoogenberk, Mission Interupted, The Dutch in the East Indies and Their Work in the XXth Century, Elsevier, Amsterdams-Brussel-London-New York 1945, p.25

108

meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan industry untuk mendapatkan bahan bakar. Di sisi yang lain, pertumbuhan industry gula di luar Jawa seperti Malaka, Filipina, Benggala dan Hindia Barat membuat persaingan harga gula di pasaran dunia menjadi sangat tajam. Berdagang gula bagi Kompeni tidak lagi menguntungkan, mereka menurunkan harga pembelian dari pabrik. Tentusaja produsen gula , orang-orang Tionghoa tentu saja menjadi pihak pertama yang harus menanggung kerugian.126

Jumlah pengangguran yang besar tentunya berakibat pada angka kriminalitas yang tinggi, namun keadaan itu tidak menyurutkan keinginan orang-orang Tionghoa masuk ke Batavia. Tahun 1739 angka penduduk Batavia tercatat 10.574 jiwa, dari sebelumnya tahun 1719 sekitar 7.55 jiwa.127 Angka-angka tersebut adalah angka resmi, tentunya jumlah sebenarnya jauh lebih besar, mengingat banyaknya pendatang Tionghoa secara illegal.

Pesatnya perkembangan angka penduduk Tionghoa di Batavia tentunya mengundang kekhawatiran dari pihak Kompeni. Untuk membendung laju peningkatan jumlah penduduk Tionghoa di Batavia, Kompeni memberlakukan aturan berupa pengetatan perijinan hingga kewajiban membayar dengan sejumlah uang. Ancaman deportasi hingga pembuangan ke Seilong Sri Lanka membuat orang-orang Tionghoa ketakutan dan menjadi bulan-bulanan pejabat Kompeni. Mereka ditangkap dan dilepas kembali setelah membayar sejumlah uang, namun tak lama kemudian ia ditangkap kembali. Aturan bermotif ekonomi itu disinyalir karena VCO mulai mengalami kemerosotan keuangan yang luar biasa. Hal itu disebabkan

126 Leonard, Blusse, Persekutuan Aneh Pemukiman Tionghoa-Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia VOC (Yogyakarta : LKiS, Pelangi Aksara, 2004) hlm. 51 127 Hembing, Wijayakusuma, Pembantaian Massal 1740, (Jakarta : Pustaka Populer Obor, 2005) hlm. 80.

109

jatuhnya pasaran harga rempah di Eropa dan VOC mulai kalah bersaing dengan Kongsi Dagang Inggris, EIC (East Indie Company).128

Suasana Batavia semakin mencekam ketika orang-orang Tionghoa merayakan Imlek, Kompeni mulai melakukan penangkapan besar-besaran terhadap orang Tionghoa yang dicurigai tak memiliki ijin tinggal. Kekacauan mulai timbul saat orang-orang Tionghoa mulai bergerombol membentuk kumpulan untuk mempertahankan diri. Jika pada awalnya mereka bertindak defensive, namun kemudian mereka mulai agresif. Menurut lapuran kepala personalia VOC De Roy kepada Gubarnur Jenderal Vackenier, 4 Februari 1740, orang Tionghoa mulai menyerang penjara untuk membebaskan rekan- rekan mereka yang ditahan.129

Gubernur Jenderal Valckenier lalu meminta pendapat Dewan Hindia atas situasi tersebut. 25 Juli 1740, Dewan Hindia membuat keputusan bahwa warga Tionghoa, baik yang memeliki ijin tinggal maupun tidak, apabila dicurigai melakukan perbuatan yang tidak baik akan ditangkap. Mereka yang terbukti belum mempunyai pekerjaan akan dibuang ke Sri Lanka.130

Akhir September 1740 segerombolan orang Tionghoa yang berjumlah sekitar 1.000 orang terlihat berkumpul di pabrik gula di Gandaria (sekarang wilayah Jakarta Selatan) di bawah komando seorang Tionghoa yang biasa dipanggil Kompeni dengan nama Khe Panjang. Tokoh yang kelak menempati posisi sentral dalam Perang Tionghoa-Jawa melawan Kompeni tahun 1743. Bermula dari Gandaria gerombolan Tionghoa mulai menyerang pos-pos Kompeni yang berda di pinggir kota seperti Tangerang, Meester Cornelis (Jatinegara) dan De Qual. Serangan terhadap De Qual terjadi pada pagi hari

128 Daradjadi, Geger Pecinan…, hlm. 30 129 Hembing, Wijayakusuma, Pembantaian Massal …, hlm. 82 130 Hembing, Wijayakusuma, Pembantaian Mas sal…, hlm. 82

110

tanggal 7 Oktober 1740 saat pasukan Kompeni dalam perjalanan ke Tangerang diserang di Kaduwang (Kedaung). Sore harinya segerombol pasukan Tionghoa sudah berjaga di sekitar gerbang Batavia.

Mengantisipasi situasi tersebut, Kompeni mengeluarkan maklumat. Pertama : Semua orang dilarang masuk kota untuk membawa keluar perempuan Tionghoa. Ketentuantersebut dipicu sehari sebelumnya banyak perempuan-perempuan Tionghoa tela diungsikan ke luar kota. Kedua : Orang Tionghoa yang menolak menyerahkan senjata atau menyerang pejabat hukum atau pasukan Kompeni akan ditembak mati. Ketiga: Mulai pukul 18.30 semua orang Tionghoa harus berdiam di rumah masing-masing dan tidak menyalakan lampu. Maklumat tersebut diumumkan tanggal 8 Oktober 1740 pagi.131

Keesokan harinya, pemberontak Tionghoa yang semula berkumpul di gerbang kota berhasil dibubarkan. Dalam operasi itu banyak yang ditangkap dan diperintahkan untuk dibuang ke Ceylon. Hal tersebut menimbulkan desas-desus bahwa mereka akan dibuang ke tengah laut. Berita itu menimbulkan kepanikan di kalangan orang Tionghoa baik yang memberontak maupun yang tidak. Mereka berusaha melarikan diri keluar dari Batavia untuk mencari perlindungan, termasuk pada para pemberontak. Kompeni berusaha menghalangi mereka dengan melepaskan tembakan. Tak pelak korban bergelimpangan tersebar di seluruh kota.

Gubernur Jenderal Valckenier segera mengerahkan seluruh kekuatan untuk membentai orang Tionghoa tanpa pandang bulu. Selain itu Kompeni membujuk penduduk Batavia untuk ikut menumpas pemberontakan orang Tionghoa. Orang Tionghoa menjadi buruan Kompeni, Pribumi, dan orang

131 Hembing, Wijayakusuma, Pembantaian Massal …, hlm. 97.

111

asing lainnya termasuk orang Moor. Adapun orang Eropa dan golongan budak merupakan kelompok yang paling banyak membantai.132 Mereka yang berhasil keluar dari Batavia banyak yang menuju Tangerang dan sekitarnya.

2. Jaman Gedoran

a. Gedoran 1942

Jaman Gedoran adalah sebuah sebutan yang merujuk pada suatu kejadian kekerasan terhadap warga Tionghoa di Tangerang. Istilah gedoran sendiri mengacu pada caracaa kekerasan itu dilakukan, yaitu dengan menggedor pintu dan melempar keluar rumah harta-harta berharga milik warga Tionghoa dan kemudian rakyat pribumi menjarah harta-harta tersebut.

Peristiwa ini dilakukan oleh serdadu-serdadu Jepang kepada warga Tionghoa sebagai aksi balas dendam para serdadu Jepang akibat terjadinya perang antara Tiongkok dengan Jepang sehingga menimbulkan rasa tidak suka serdadu-serdadu Jepang kepada orang-orang Tionghoa. Sebagaimana diketahui bahwa Jepang mengobarkan Perang Dunia ke II dengan melakukan penaklukan-penaklukan kepada Negara-negara Asia dan sekitarnya. Penguasaan wilayah asia juga dimaksudkan untuk membangun kekuatan militer mereka dalm rangka menghadapi pasukan sekutu. Dalam pelaksanaan imperialime Jepang tentunya mendapat perlawanan dari bangsa-bangsa yang tak mau dijajah dan dijadikan martir untuk melawan sekutu. Perlawanan sengit dilakukan oleh bangsa Korea dan Tiongkok. Ini yang mengakibatkan timbulnya dendam para tentara Jepang kepada orang-orang Tionghoa.

Aksi ini juga dimaksudkan agar terjadi antipati penduduk pribumi terhadap warga Tionghoa, demikian juga sebaliknya. Traumatik yang mendalam

132 MC. Ricleft, Sejarah Indonesia Modern (, Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2005) hlm. 209-210

112

membekas pada sebagian warga Tionghoa. Mereka menyampaikan kepada generasi penerusnya agar jangan percaya kepada pribumi. Mereka tak berpendidikan sehingga tak tahu berterima kasih. Banyak pribumi yang kesehariannya bekerja pada orang Tinghoa tetapi ternyata malah ikut-ikutan menjarah harta-harta orang Tionghoa.133

Salah satu korban aksi ini adalah Oey Kim Tiang, seorang sastrawan dan budayawan Tionghoa yang sangat nasionalis yang juga menulis cerita silat dengan nama samaran OKT. Dalam buku catatan laporan ke kepolisian, ia menuliskan pada covernya “Lelakon Djeman Gedoran”.134

Maret 1942, sekelompok pasukan Jepang menggedor rumah-rumah orang Tionghoa di Tangerang, terlebih mereka yang berpendidikan dan mempunyai harta yang relative banyak. Barang-barang yang ada di dalamnya seluruhnya dilemparkan keluar rumah. Pasukan Jepang juga sudah menyiapkan orang-orang pribumi untuk menjarah barang-barang yang dilemparkan keluar rumah tersebut. Harta benda, perabot rumah tangga, pakaian, pusaka keluarga, sapu lidi, kipas bamboo, lukisan, meja altar, semua ludes tak tersisa, hingga daun-daun jendela juga diangkut oleh para begundal. Peristiwa ini dengan cepat meluas tak terkendali.

b. Gedoran 1946

Tahun 1946 adalah masa transisi pemerintahan. Republik belum kuat, Jepang belum sepenuhnya pergi, Belanda ingin berkuasa lagi. Taka da yang merasa sepenuhnya aman, terlebih masyarakat Tionghoa yang pernah mengalami tindak kekerasan oleh Belanda tahun 1740, belum sembuh luka

133 Wawancara dengan Maesaroh 134 Wawancara dengan Udaya Halim

113

akibat kekerasan oleh serdadu Jepang dan begundal pribumi. Mereka terpecah. Ada yang pro kepada Republik, ada pula yang pro kepada Belanda.

Pembentukan organisasi massa menjadi salah satu fenomena baru di kalangan orang Indonesia. sebelumnya, mereka belum pernah terlibat secara serius, dengan jumlah yang besar dan tidak dibatasi oleh penguasa dalam hal pembelajaran berorganisasi. Organisasi massa yang paling menonjol di masa ini adalah yang berhaluan politik dan militer. Para angkatan muda berlomba- lomba memasuki organisasi ini. Kejadian yang sama juga terlihat di Tangerang di mana kaum lelakinya banyak tergabung dalam beberapa kelompok yang bergerak di bidang politik dan militer seperti Barisan Banteng, Kelompok Banteng Merah, Kelompok Hoo Koo Kay (HKK), Kelompok Curug dan lain-lain.

Orang Cina Benteng tidak tinggal diam. Phoa Chin Houw, seorang Tionghoa, bergerak mengumpulkan simpatisan dari kalangan pemuda Tionghoa untuk berkumpul di markasnya di Babakan, Sukasari, Tangerang membentuk kelompok. Organisasi ini bernama Poa An Tui. Para pemuda yang dikumpulkan berasal dari kampung-kampung sekitar. Alasan terbentuknya kelompok ini adalah masih membekasnya rasa kekhawatiran bahwa mereka akan menjadi korban dari gesekan politik yang terjadi berikutnya. Di masa itu, kelompok Tionghoa dituduh memberi informasi pada Kempetai (Polisi Jepang) dalam menangkap para pejuang. Rakyat yang marah menjadikan mereka sebagai sasaran kebencian. Mereka pun hidup dalam suasana yang tidak tenang.

Pada awalnya, kegiatan Poa An Tui hanya sekedar berjaga-jaga di sekitar kampung-kampung Tionghoa. Oleh sebab siatuasi yang semakin tidak memihak, mereka mulai beralih memusuhi pasukan revolusi. Tidak semua orang Tionghoa di Tangerang mendukung kegiatan organisasi ini.

114

Banyak di antara orang Tionghoa di kota lebih memilih netral.135 Poa An Tui dikatakan sebagai sepasukan Tionghoa yang dipersenjatai Belanda yang dianggap kontra-revolusioner. Keberadaan mereka juga dikecam oleh kelompok Tionghoa pro-republik.136

Masyarakat Cina Benteng sempat bersitegang dengan penduduk non- Tionghoa pasca Proklamasi Kemerdekaan. Kerusuhan anti-Tionghoa meletus kembali pada tahun 1946 di Tangerang. Di beberapa tempat terjadi pertikaian antara orang Tionghoa lokal dengan orang Indonesia dan semakin mengerucut pada konflik yang berdarah-darah. Akar dari masalah ini adalah sikap netral yang ditujukan orang Tionghoa yang tidak berpihak pada Belanda dan tidak pula tertarik menggabungkan diri dalam barisan tentara Indonesia. Pemerintah Jakarta bahkan sampai menekan orang-orang Tionghoa untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap kemerdekaan Indonesia. Sikap netral ini ditujukan karena kelompok Tionghoa merasa tidak ada kejelasan masa depan mereka jika negara ini merdeka, terlebih saat itu sistem politik dan ekonomi belum menjamin adanya distribusi keadilan dan kemakmuran yang merata.137 Tokoh Tionghoa pro-republik seperti Siauw Giok Tjhan dan Dan Dokter Tjoa Sik Ien dengan tegas menyalahkan bahwa kerusuhan Tangerang didalangi oleh Belanda.138

Sumber lain mengatakan bahwa meledaknya kerusuhan antaretnis tersebut dilatarbelakangi oleh adanya seorang tentara NICA beretnis Tionghoa yang menurunkan bendera Merah Putih dan menggantinya dengan bendera Belanda. Tentara Republik yang mengetahui hal itu segera bergabung dengan barisan lascar rakyat mengepung dan menyerang rumah-

135 M. Dien Madjid, Sejarah Tangerang ..., hlm. 109. 136 Leo Suryadinata, Tokoh Tionghoa dan Identitas Indonesia; Dari Tjoe Bou San sampai Yap Thiam Hien (Depok: Komunitas Bambu, 2010)hlm. 85. 137 Leo Suryadinata, Tokoh Tionghoa ..., hlm. 120-121. 138 LeoSuryadinata, Tokoh Tionghoa ..., hlm. 86.

115

rumah orang Cina Benteng. Rosihan Anwah dalam harian Merdeka tanggal 13 Juni 1946, menyebut bahwa saat itu hubungan Cina Benteng dengan warga pribumi berada pada kemunduran paling ekstrem. Poh Antui bergerak mengungsikan orang Cina Benteng ke Batavia. Pasukan Belanda dibantu Poh Antui kemudian menggempur lawannya, dan berakhir dengan mundurnya pasukan Republik dari medan laga.

Ketika pemukiman-pemukiman Cina Benteng diketahui kosong, masyarakat pribumi berbondong-bondong melakukan penjarahan di sana. Sekembalinya dari pengungsian orang-orang Cina Benteng mendapati harta bendanya tidak lagi berada dalam kondisi semula. Rumah-rumah mereka mengalami kerusakan yang parah. Tanah-tanah mereka diambil alih oleh orang-orang pribumi. Saat itu bisa dikatakan sebagi titik balik kehidupan para tuan tanah Cina Benteng, dari yang semula kaya raya, kini menjadi kalangan tidak berpunya.139

Penderitaan warga Tionghoa di Tangerang, penulis mengutip berita dari Star Weekly, Sebuah korang minguan yang terbit pada masa itu ;

“Noraka bagi pendoedoek Tionghoa”

Sasoedah tentara Blanda masoek di Tangerang, lantes moelai penderitaan bangsa kita jang amat heibat. Pada malem tanggal 28 Mei (besoknya tentara Blanda masoek) lascar rahayat soedah sediaken banjak minjak, maksoednya terang sekali aken bakar abis kota Tangerang. Aken tetapi setjara jang tida didoega di itu hari sorenja boleh toeroen oedjan begitoe besar dan begitoe deres, dengan disertaken djoega goentoer, hingga maksoed marika itu tida kesampean. Besoknja tentara Blanda telah masoek di kota Tangerang, dan ini bearti pendoedoek Tionghoa di itoe kota terhindar dari bahaja maoet. Tapi

139 Mohammad Arif, “Model Kerukunan ...”, hlm. 59.

116

sebaliknja pendoedoek jang ada di loear kota joestroe telah mesti menampak nasib jang menjedihken sekali. Orang-orang Indonesiers, jang mengakoeh ada djadi anggota Laskar Rakjat seperti kerangsokan setan telah pada masoek di roemah-roemah orang Tionghoa, dengen bawa sendjata tadjem, senapan biasa, pistol atawa karabijn dan pedang Djepang. Marika lakoeken perampasan dan perampokan dan djoega memboenoeh setjara boeta-toeli. Lebih Djau roemah-roemah laloe dibakar dan korban-korbannjya jang telah dianiajah, tapi belon binasa djadi ketamboes idoep-idoep. Djoega anak ketjil, ia malahan anak baji jang belon ngarti soeatoe apa, poen tiada loepoet dari kekedjamannja itoe binatang-binatang alas. Anak-anak jang lagi didoedoeng oleh iboenja, telah dirampas dan di depan mata sang iboe djuga dilempar ka dalem api jang sedeng berkobar- kobar. Bagaimana rasanja orang jangdjadi iboe, itoelah pembatja bisa bajangin sendiri. Toean-toean Ang Soen Kim, Ang Ke Ang, dan Tjie A joeng telah binasa terboenoeh, kemudian maitnja ditjemplungken ka dalem Soemoer. Satoe prampoean toea, oemoer 80 taon, jalah mamanja toean Oey Boen Seng pun dapet seroepa nasib. Di kampoeng panggang, bilangan Tjilongok, 3 orang Tionghoa dibakar idoep-idoep. Banjak sekari rapportan jang kita trima tentang kedjadian- kedjadian seroepa itoe djoega, jang satoe lebih kdjem dari pada djang laen. Dan kaloe semoea itoe moesti ditoelis di sini, rasanja halaman kita tiada aken tjoekoep tempatnja.140 Demikian gambaran Star Weekly tentang peristiwa yang menimpa masyarakat Tionghoa di Tangerang pada tahun 1946. Masyarakat sering menyebut peristiwa itu juga dengan Jaman Gedoran.

Ada beberapa peristiwa lagi setelah itu yang juga menjadikan warga Tionghoa sebagai korban kekerasan, seperti peristiwa 1965 dan peristiwa Mei 1998 namun peristiwa tersebut sudah banyak diungkapkan di banyak media dan forum.

140 Star Weekly, No. 23 Tahon ke 1, 9 Juni 1946.

117

BAB V

ISLAM DAN MASYARAKAT CINA BENTENG

A. Islam sebagai Ingatan Sejarah Orang Tionghoa

Islam merupakan agama yang ikut membangun peradaban orang Cina Benteng. Hal ini bisa dilihat dari pembangunan awal pemukiman Tionghoa Muslim saat masa pelayaran ketiga Cheng Ho. Namun, kenyataan historis ini tidak mampu menjadi pondasi yang kuat lahirnya masyarakat Islam yang bertahan dari generasi ke generasi hingga saat ini. Yang terjadi justru semakin banyak jumlah orang Cina Benteng yang beragama non-Muslim.

Apa yang terjadi dalam tubuh masyarakat Cina Benteng ini dapat dikatakan sebagai anomali sejarah. Bagaimana mungkin jumlah penganut Islam mengalami penurunan, sedangkan di sebagian besar wilayah yang semula belum Islam lantas menjadi Islam, perkembangan jumlah penganutnya cenderung beranjak naik. Salah satu contohnya adalah wilayah Jawa Timur yang semula dikuasai kerajaan-kerajaan beragama Hindu-Budha sejak sebelum abad 15. Penduduknya semakin banyak yang menganut Islam terhitung sejak naiknya pamor Demak hingga saat ini, penduduk Jawa mayoritas adalah beragama Islam.141

Kawasan Tangerang, ditinjau secara geografis, memang bukanlah pusat pemerintahan yang besar di masa lalu. Sejak zaman Pajajaran hingga penjajahan Belanda, wilayah ini dibayangi oleh kebesaran Kerajaan Banten dan Batavia yang terletak sejajar dengannya di wilayah pesisir utara Jawa

141 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Terj. Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995) hlm. 55-56.

118

Barat. Jumlah pemukim kawasan ini tentu saja tidak sebesar di Batavia atau di Banten. Melihat pada sejarah panjang masyarakat Tionghoa di sana, terdapat satu hal yang mencuat, yakni masalah pembauran antara pendatang dan pribumi. Dalam beberapa segi dikatakan bahwa orang Tionghoa di Tangerang adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sebutan “Masyarakat pribumi”, suatu sebutan yang sempat dipermasalahkan, ketika membicarakan kedudukan orang Tionghoa dalam negeri ini.142

Riwayat Cina Benteng memang tidak bisa disamakan dengan riwayat orang Tionghoa di tempat lain seperti Palembang, Semarang atau Surabaya. Di ketiga tempat itu historisitas orang Tionghoa banyak dicatat dalam laporan-laporan pada masa itu dan kajian-kajian mengenainya juga tidak sulit untuk didapatkan.143 Keberadaan masyarakat Cina Benteng secara historis masih menjadi suatu yang sumbernya masih tercecer di tinggalan geografis, cerita lisan, maupun catatan kolonial. Bisa dikatakan, sumbernya masih terserak dan masih sedikit menemukan ulasan atau penjelasan tertulis mengenainya.

Ketika membicarakan Islam dalam hal peradaban, agaknya akan berbeda ketika mendudukannya dalam pembicaraan dari segi keimanan. Islam di kalangan Cina Benteng dalam sejarahnya sudah sedemikian menjelma menjadi daur keseharian mereka, khususnya mereka yang memilih untuk meninggalkan kebudayaan Tionghoanya, lantas berpindah mengikuti kebudayaan kelompok masyarakat pribumi seperti Sunda. Ini menimbulkan kesulitan tersendiri dalam mengidentifikasi mana yang telah termobilisasi ke dalam kebudayaan lokal dan mana yang justru mendirikan suatu komunitas

142 Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia; Sebuah Bunga Rampai 1965-2008 (Jakarta: Kompas, 2010) hlm. 184. 143 Salah satu sumber yang bisa dilihat mengenai sejarah orang Tionghoa di beberapa tempat di Jawa adalah H. J. De Graaf dkk, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI antara Historisitas dan Mitos (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998).

119

Muslim yang menjadi wahana berkumpul mereka yang beragama Islam namun tetap mempertahankan tradisi ketionghoannya.

Asimilasi memang sejak lama dijadikan metode mendekatkan diri orang Tionghoa dengan masyarakat. Saat mereka berpindah keyakinan menjadi Muslim, maka pada tahap itu mereka sudah melakukan sebagian dari proses asimilasi. Belakangan, istilah asimilasi diartikan secara luas sebagai pembauran. Islam terbukti efektif meredam perbedaan status pribumi atau non-pribumi, keadaan yang sempat menjadi kenyataan kelam bagi orang- orang Tionghoa di negeri ini. Jika sudah menjadi Muslim, maka persaudaraan dengan Muslim lainnya dengan sendirinya terbentuk. Seorang Muslim adalah saudara bagi muslim lainnya (al-muslim akhul muslim), demikian dikatakan dalam suatu riwayat.144

Dalam bentangan sejarah Islam di Tiongkok Daratan, agama Islam hanya mempengaruhi sebagian kecil jalannya sejarah pemerintahan Tiongkok. Jikapun ada tokoh-tokoh Tionghoa Muslim, seperti Cheng Ho di sana, perannya dalam pengembangan Islam sampai kini belum banyak diketahui. Yang didapat dari mereka adalah kontribusinya memajukan kekaisaran Tiongkok, sebagaimana yang dilakukan Cheng Ho tatkala berkunjung ke Nusantara atas nama Kaisar Tiongkok dan bukan didorong oleh maksud menyebarkan Islam.

Di beberapa kawasan Tiongkok, sebagai kekuatan politik, Islam berkembang dengan lambat. Seperti di Xinjiang, umat Islam di sana kerap terlibat dalam konflik, yang satu di antaranya adalah diakibatkan karena kebijakan pemerintah . Xinjiang adalah wilayah yang terletak di Tibet bagian Utara. Pada tahun 1884, Dinasti Ching (berkuasa 1644-1911)

144 Abdul Baqir Zein, Etnis Cina dalam Potret Pembauran di Indonesia (Jakarta: Prestasi Insan Indonesia, 2000) hlm. 94.

120

menamai daerah ini sebagai Xinjiang, menggantikan nama sebelumnya yakni Turkistan Timur. Masyarakat Xinjiang terdiri dari berbagai macam etnis seperti Uyghur, Hui, Kazakh, Kyrgiz, Tajik, Uzbek dan Tatar. Identitas mereka lama kelamaan melebur menjadi sebuah bangsa yang diikat dengan kesamaan agama, yakni Islam.

Dinasti Ching banyak melakukan kebijakan adu domba dalam memecah belah persatuan Muslim. Etnis beragama Islam kerap terlibat pertikaian dengan orang Mongol, Han, dan Tibet yang kesemuanya dilakukan untuk mencapai superioritas bangsa satu atas yang lainnya. Pada prakteknya, permusuhan ini membuat mereka berada dalam keadaan yang semakin lemah. Saat Dinasti ini memimpin, terdapat beberapa pemberontakan yang diinisiasi oleh etnis muslim kepada pemerintah pusat, di antaranya adalah Perang Lanchu, Chekamo, Sinkiang (Xinjiang/Turkistan Timur), Yunan dan Shansi.145

Di Indonesia kaum Tionghoa juga mengalami tekanan. Akar-akar represi terhadap orang Tionghoa terjadi pada masa kolonial. Penggolongan bangsa Tionghoa sebagai warga koloni kelas dua, menyebabkan mereka harus puas duduk sebagai warga yang mendapatkan pelayanan di bawah orang Eropa. Lahan-lahan bisnis yang terbuka lebar nyatanya tidak mampu mengalihkan perhatian mereka untuk menjadi warga setingkat orang Eropa. Kekerasan tahun 1740, begitu membekas di hati mereka sebagai salah satu bentuk diskriminasi ras yang dilakukan pemerintah Belanda saat itu. Alasan tersebut mendorong mereka berlomba-lomba menjadi warga koloni kelas satu, sesuatu yang sebenarnya tidak diinginkan Belanda. Alih-alih mendapat status itu, mereka justru semakin dikurung dalam “ketionghoaan” mereka. Maksudnya, adalah mereka diharuskan menggunakan atribut Tiongkok,

145 Dhurorudin Mashad, Muslim di Cina (Jakarta: Pensil 324, 2006) hlm. 5-6.

121

seperti baju twikkif dan memelihara kuncir. Mereka yang menginginkan status layaknya orang Eropa biasanya didorong oleh naluri gengsi atau keinginan untuk mengadopsi kebudayaan Eropa dalam keluarga mereka secara radikal.146

Terdapat semacam reaksi berseberangan ketika orang Belanda memandang agama orang Tionghoa. Jika dalam bidang perniagaan mereka begitu menganggap tinggi kedudukan mereka, maka hal sebaliknya terjadi saat mereka melihat kepercayaan orang Tionghoa. Seorang rohaniawan Belanda, K. Gutzlaff, yang sempat berdiam di Nusantara pada tahun 1850- an, menyebut bahwa banyak orang Tionghoa yang sejak lama menetap di Hindia Belanda, hidup jauh dari pendidikan, tidak beradab dan penuh dengan dosa.147 Pernyataan ini sedikitnya mengindikasikan betapa orang Tionghoa bukan sekedar mengalami represi di bidang politik, namun juga di bidang pendidikan dan agama.

Dalam keadaan itu, bagi sebagian kelompok yang memang terbiasa menjalankan tradisi Tionghoa Daratan bukanlah masalah yang berat. Kecuali pada pajak konde yang menuntut mereka membayar lebih karena disinyalir Batavia sempat menjadi tempat pelarian dari orang Tiongkok saat Dinasti Manchu berkuasa. Ditekan secara status kenegaraan, nyatanya tidak membuat mereka membuat aksi perlawanan, sebagian dari mereka merasa nyaman dengan budaya dan tradisi Tionghoa yang kental, sehingga membuat dakwah Islam di lingkungan mereka sulit berkembang. Ini adalah salah satu poin penting yang menjadi alasan mengapa perkembangan jumlah Muslim

146 Onghokham, Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina; Sejarah Etnis Cina di Indonesia (Depok: Komunitas Bambu, 2008) hlm. 57-58. 147 K. Gutzlaff, Aan mijne mede-christenen in Nederland (Amterdam: Loman Jr, 1850) hlm. 2.

122

semakin menurun di kalangan masyarakat Tionghoa, seperti yang terlihat pada masyarakat Cina Benteng.

Warga Cina Benteng yang masih bertahan dalam tradisi ketionghoannya, termasuk dalam aspek keagamaannya, adalah mereka yang bernenek moyang kelompok di atas. Mereka senantiasa menjaga bentuk- bentuk tradisi leluhur, termasuk memulyakan para dewa serta roh para pendahulu mereka. Antara tradisi, warisan serta agama sudah sedemikian menyatu dan menjadi sesuatu yang estabilished dalam daur hidup mereka. Dalam keadaan ini, ajakan dakwah Islam belum mampu merubah hal tersebut secara masif. Jikapun ada, maka karena faktor hidayah, atau karena kerelaan orang per orang Cina Benteng memeluk Islam, melanjutkan agama orang tua (ibu) atau karena faktor pernikahan. Bisa dikatakan, Islam belum mampu berbicara banyak dalam mendorong perpindahan agama secara massal di tubuh masyarakat Cina Benteng, terutama mereka yang masih menjalankan tradisi dan budaya nenek moyang. Ritual-ritual yang dilakukan suatu agama dapat mempererat ikatan sosial diantara mereka. Agama adalah suatu system kepercayaan dengan perilaku-perilaku yang utuh dan selalu dikaitkan dengan yang sakral, yaitu sesuatu yang terpisah dan terlarang. Yang sakral inilah yang kemudian meyatukan umatnya dalam satu komunitas moral tempat mereka memberikan kesetiaannya.148

Dalam hal ritual-ritual keagamaan orang Tionghoa dan demikian juga yang terjadi pada agama pribumi yang diwakili Islam. Penulis menganggap kondisi pribumi di Tangerang sejak masa Kolonial hingga Geertz melakukan penelitian di Mojokuto (Pare) Jawa Timur hampir sama dengan masyarakat Islam di Tangerang.

148 Daniel L. Pals, Seven Theories…, hlm. 145

123

Islam yang menurut Geertz terbagi dalam tiga lapisan masyarakat yaitu Abangan, Santri dan Priyai, mempunyai persamaan dengan agama Tionghoa terutama pada aktifitas ritual-ritual. Slametan adalah akifitas yang lazim dilakukan baik dalam lingkup yang besar hingga lingkup keluarga dan tetangga. Pada ritual-ritual baik yang dilakukan oleh orang pribumi (Islam) seringkali juga melibatkan atau mengundang orang Tionghoa, demikian juga sebaliknya seperti yang terjadi pada ritual Ulang Tahun Emak Dato di kampung Kebon Baru, Desa Margamulya, Kecamatan Mauk.

Orang Tionghoa, sejak ketika masih di Tiongkok Daratan, adalah etnis yang amat dekat dengan kebudayaan leluhur. Peran pemerintah dalam kehidupan mereka tidak banyak berpengaruh. Rakyat Tiongkok menganggap keberadaan pemerintah, baik ketika masa kekaisaran serta memasuki fase negara modern tidak lebih adalah penengah dari pihak-pihak yang bertikai. Negara tidak hadir di setiap momen kehidupan rakyat. Negara dianggap sebagai sesuatu yang amat jauh dari kehidupan orang Tionghoa kebanyakan.149 Anggapan semacam ini sedikit banyak juga dibawa, bahkan ditularkannya kepada generasi-generasi yang berdiam di perantauan. Dengan adanya kebijakan rasis kolonial, perasaan ini terasa semakin mengkristal.

Menginjak pasca kemerdekaan, orang Tionghoa di Jakarta dan sekitarnya justru disibukkan oleh perbedaan sikap berpolitik. Sebagian dari mereka mendukung lahirnya Republik dan menjalani apa yang kemudian ditetapkan pemerintah yang berkuasa. Yang lain terjebak dalam perbedaan politik tanah nenek moyang, antara mendukung Kuomintang atau gerakan Komunis Mao. Kelompok yang lain merasa di Jakarta atau di Indonesia pada umumnya, mereka hanya ingin menjalankan bisnis dan tidak berkeinginan

149 H.G. Creel, Alam Pikiran Cina; Sejak Confusius sampai Mao Zedong, Terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990) hlm. 253.

124

untuk terlibat dalam haru biru politik.150 Perpecahan sudut pandang ini sedikit banyak membawa pengaruh pada semakin asingnya wacana keislaman dalam kehidupan mereka.

Ekonomi, benar-benar dimaknai sebagai pelarian yang menguntungkan bagi orang Tionghoa. Catatan episode panjang penderitaan mereka, seakan hilang terhapus seiring dengan semakin maju usaha-usaha yang dilakukan mereka. Arti agama tidak lebih hanya sematan, yang urgensinya tidaklah terlalu signifikan dalam kehidupan mereka. Namun, tentu tidak seluruh orang Tionghoa dapat sukses dalam usaha bisnisnya, banyak pula di antara mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan seperti yang dialami orang Cina Benteng.

B. Islam sebagai pribumisasi orang Tionghoa

PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) merupakan salah satu organisasi Muslim Tionghoa yang aktif menggiatkan dakwah di kalangan Tionghoa dan masyarakat umum. Beragam kegiatan positif mereka lakukan, tidak terkecuali PITI Tangerang Selatan. Pada hari Senin tanggal 2 November 2015, PITI Tangerang Selatan diwakili oleh Ustadz Sholihin Sani melakukan kunjungan ke Kantor al-Haram Media. Kunjungan ini adalah bagian dari safari dakwah yang dilakukan PITI di 14 provinsi di Indonesia.

Dalam pertemuan ini terlihat pegawai al-Haram menyimak pengalaman- pengalaman dakwah Ustadz Sholihin. Salah satu yang dibicarakannya adalah pengalamannya berdakwah di Bangka-Belitung. Saat itu ia memutuskan untuk berdakwah sendiri tanpa ada sponsor. Dari informasi ini diketahui bahwa Muslim Tionghoa di Tangerang Selatan sudah mempunyai kepedulian

150 Susan, Blackburn, Jakarta Sejarah 400 Tahun, Terj. Gatot Triwira (Depok: Komunitas Bambu, 2012) hlm. 218.

125

yang tinggi untuk mensyiarkan Islam ke wilayah lain. Diskusi semacam ini adalah upaya sederhana orang Tionghoa Muslim di Tangerang Selatan untuk mendekatkan diri dengan elemen masyarakat lainnya, termasuk dengan awak media.151

Pada tanggal 25 Mei 2016, peneliti berkesempatan menelusuri jejak- jejak masa lalu Cina Benteng di kawasan muara Tanjung Burung, Tangerang. Di bantaran sungai sebelah kanan dan kiri,masih banyak dijumpai pemukiman orang Cina Benteng. Sebagian besar dari mereka masih menganut kepercayaan Tionghoa, sedangkan muslim berada dalam jumlah yang lebih kecil. Pertanian dan perikanan masih menjadi mata pencaharian kebanyakan dari mereka. Sungai Cisadane yang membelah pemukiman ini masih dimanfaatkan sebagai jalur transportasi air, kendati kapal-kapal yang melintas tidak terlalu besar.

Di masa lalu, sekitar kawasan ini dikenal sebagai kawasan produksi dan perbaikan kapal. Lokasinya yang dekat dengan kawasan pesisir, mampu diterjemahkan penduduknya sebagai kesempatan menciptakan lapangan kerja yang bersinggungan dengan lokus geografis yang mereka tempati. Di daerah itulah, disinyalir, ABK Cheng Ho yang mendarat di pantai Tangerang bermukim. Hal ini mengingat daerah tersebut adalah pemukiman Cina Benteng yang tertua di Tangerang, selain juga melihat posisi pemukiman ini yang berada di kawasan pantai, wilayah yang memang di masa lalu kerap ditinggali para pendatang asing.152

151 http://amanah.alharamnews.com/post/481/safari-dakwah-pengurus-piti-tangerang- selatan-silaturahmi-di-kantor-alharam-media diunduh pada hari Senin, 16 Mei 2016, pukul 9. 23 WIB. 152 Wawancara dengan Oey Tjin Eng

126

Prosentase jumlah pemukim keturunan dan pribumi sekitar 60 – 40153. Beberapa Tinghoa keturunan bahkan menyandang jabatan sebagai ketua Rukun Tetangga (RT) maupun ketua Rukun Warga (RW). Sepintas, atribut- atribut ketionghoaan sudah sangat jarang dijumpai dalam keseharian mereka. Bahasa yang digunakan pun adalah Sunda dan bukan bahasa Hakka. Memang, tidak ada citra dominan yang muncul bahwa daerah itu didiami mayoritas orang peranakan. Hal berbeda jika kita benar-benar mengamati dan bertanya kepada beberapa penduduk setempat mengenai masa lalu tempat ini.154

Muslim Tionghoa, oleh sebagian kalangan, dinilai telah menjadi orang Indonesia seutuhnya. Junus Jahja menyebutkan bahwa dengan masuknya orang Tionghoa ke Islam, maka dengan sendirinya ia mendapatkan Identitas keindonesiaannya. Ia meyakini bahwa Islam merupakan faktor pemersatu umat, terlepas dari etnis mana ia berasal. Seorang Tionghoa yang telah muslim, tidak harus tidak mengakui ketionghoaannya. Mereka harus tegas menjawab, jika ditanya siapa mereka, maka jawablah, dirinya adalah seorang warga negara Indonesia, keturunan Tionghoa dan beragama Islam.

Junus berkeyakinan bahwa Islam menjadi solusi tepat untuk memecahkan masalah identitas Tionghoa. Lewat yayasan yang pernah didirikannya pada 1981 bernama Yayasan Ukhuwah Islamiyah, ia mendakwahkan pesan positif ajaran Islam. Ia meyakini, sebenarnya tidaklah ada persinggungan antara agama, etnis dengan identitas kebangsaan. Masalah yang dihadapi Tionghoa yakni berupa peminggiran politik dan sosial,agaknya bisa sedikit demi sedikit tertanggulangi, apabila mereka

153 Wawancara dengan Tan Wan Chang, Penjaga Vihara Atta Naga Vimutti, Desa Tanjung Burung, Kec. Teluk Naga 154 Wawancara dengan Marsudi (Yo Bun Siong) di rumahnya di Desa Kohod pada 11 Juni 2016.

127

masuk Islam. Setidaknya dengan memeluk Islam, mereka sudah menjadi bagian umat Islam indonesia.155

Salah satu sebab yang ditinggalkan tatkala orang Tionghoa sudah beralih menjadi Muslim adalah penghilangan identitas ketionghoaannya.156 Anggapan ini meskipun menggembirakan, namun juga menyisakan kekhawatiran, khususnya mengenai kelangsungan Tionghoa sebagai suatu sistem budaya. Memang, kepercayaan tradisional berkaitan erat dengan pernak-pernik keseharian orang Tionghoa. Bisa dilihat di toko-toko milik orang Tionghoa, yang memasang altar kecil persembahan bagi leluhur atau dewa yang disembahnya. Melepaskan diri dari agama Tonghoa, sama halnya dengan meninggalkan kepecayaan yang diwariskan oleh leluhur. Sedangkan belum ada semacam produk-produk kebudayaan yang konsisten mengawinkan wawasan ketionghoaan-keindonesiaan-keislaman. Jikapun ada maka belumlah menjadi suatu identitas yang baku dan mengakar.

Sebagian orang Cina Benteng meyakini bahwa Islam hanyalah tradisi masyarakat pribumi. Semua agama pada hakekatnya mengajarkan kebaikan. Berbeda agama bukan berarti halangan untuk bermasyarakat. Kedudukan Islam sama dengan ajaran Tao yang diajarkan oleh leluhur. Islam telah menjadi tradisi orang Tangerang pribumi (non-Tionghoa).157

Memudarnya pengaruh ketionghoaan dalam tubuh Orang Cina Benteng juga sedikit banyak terlihat. Penggunaan perangkat budaya setempat yang dipengaruhi kebudayaan Sunda, Jawa dan Betawi juga semakin menjauhkan mereka dari ketersambungan dengan tradisi nenek moyang mereka. Untuk

155 Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus indonesia (Jakarta: LP3ES, 2002) hlm. 53. 156 Leo Suryadinata, Negara dan Etnis ..., hlm. 54. 157 Wawancara dengan Salim (Lim Han Liong) di Klenteng Lun Shan Bio, Kedaung, Tangerang pada 11 Juni 2016.

128

memikirkan ini mereka tentu tidak memiliki waktu yang banyak, bahkan mungkin saja mereka tidak menyadari akan fenomena demikian. Hal ini dikarenakan banyak dari mereka yang hidup di bawah batas berkecukupan. Mereka hanya menjalankan apa yang sudah didapat dari orang tuanya.

S.H. Alatas menggambarkan para imigran Tiongkok menjadi penyumbang terbesar ketidakberdayaan orang Melayu di Malaysia mengatasi masalah hidupnya. Hampir semua yang dikerjakan oleh orang Melayu, bisa ditiru oleh orang Tionghoa bahkan mereka bisa mengerjakannya lebih baik dan mau diupah lebih murah. Ketekunan orang Tionghoa perlahan menggeser posisi orang Melayu dalam bidang perdagangan kecil dan pertukangan. Setelah posisi ekonominya mantap, Orang Tionghoa melakukan apa yang dilakukan generasi pendahulunya di Tiongkok Daratan, yakni memantapkan koneksi orang Tionghoa yang berprofesi sebagai petugas atau pegawai dengan kelompok pedagang. Suap menyuap menjadi pelicinnya. Pada titik ini orang Tionghoa di Malaysia perlahan menegakkan supremasi ekonominya.158

Keadaan semacam itu agaknya tidak terlihat di Tangerang. Meskipun dalam sejarahnya Orang Tionghoa pernah menjadi penguasa kecil masalah perkebunan dan pajak di sana.159 Reputasinya ini perlahan menurun saat Indonesia telah merdeka. Ditambah dengan keberadaan orang Cina Benteng yang lebih kerasan mengikuti pola hidup orang pribumi, semakin mencerai- beraikan perspektif persatuan Tionghoa mereka. Mereka memilih menyibukkan diri dalam kontestasi mencari penghidupan dalam

158S. H. Alatas, Mitos Pribumi Malas; Citra Orang Jawa, Melayu dan Filipina dalam Kapitalisme Kolonial, Terj. Akhmad Rofi‟ie (Jakarta: LP3ES, 1988) hlm. 218. 159 Ilyas, “Gerakan Millenarian Kaiin Bapa Kayah: Protes Sosial Petani Tangerang 1942” Tesis belum diterbitkan (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016) hlm. 59.

129

kesehariannya. Sudah bukan rahasia lagi, jika kemiskinan menjadi momok orang Cina Benteng hingga saat ini.160

Sebenarnya, integrasi Orang Cina Benteng ke dalam masyarakat pribumi, bukanlah merupakan masalah yang perlu diperdebatkan. Berbeda dengan orang Tionghoa pada umumnya, mereka sejak lama sudah menjadi bagian dari masyarakat Tangerang dan bergaya hidup layaknya suku bangsa lainnya yang sudah menyandang status sebagai Orang Tangerang. Hampir tidak ada perbedaan yang mencolok di antara mereka. Dalam keseharian mereka kerap disebut Hitaci yang merupakan kependekan dari “Hitam tapi Cina”. Hitam merujuk pada warna kulit mereka yang sama dengan warga pribumi lainnya. Selain karena faktor keturunan karena menikahi perempuan pribumi yang sudah berlangsung lebih dari sepuluh generasi, kulit hitam juga dialamatkan pada profesi Orang Cina Benteng yang banyak menjadi petani, nelayan atau pedagang kecil yang memaksa kulit mereka terpapar sinar matahari langsung yang menyebabkannya menjadi gelap.

Keyakinan atau kepercayaan orang Tionghoa yang menyelipkan kepercayaan dunia adi kodrati dengan tradisi asal, mempertegas pandangan bahwa kepercayaan tidak bisa dilepaskan dari asal muasal agama itu lahir dan berkembang. Agama memiliki karakteristik yang berasal dari tempat kelahirannya. Tata cara ritual agama bersifat natural dan dekat dengan kondisi latar kehidupan para penganutnya.161

160 Leo Suryadinata mengatakan bahwa kesuksesan ekonomi Tionghoa dalam kasus Indonesia, umumnya ditemukan pada orang Tionghoa yang “belum membaur” dengan budaya Indonesia. Mereka bisa berbahasa Tionghoa dan menggunakan klik-klik bisnis mereka yang bersifat eksklusif, dan tidak semua orang Tionghoa bisa mengaksesnya. Prosentase jumlah orang Tionghoa yang miskin lebih banyak dari yang kaya. Lihat Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa..., 184. 161 Emile Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, Terj. Joseph Ward Swain (New York: Dover Publication, Inc, 2008) hlm. 24.

130

Agama adalah sesuatu yang sangat sosial. Kendatipun sebagai individu yang memiliki pilihan-pilihan dalam hidup ini, namun pilihan-pilihan itu tetap dalam kerangka sosial. Faktanya manusia adalah mahluk sosial. Sejak kelahirannya manusia lahir dalam sebuah kelompok. Berbicara bukan dengan bahasa yang kita buat sendiri, menggunakan perkakas bukan yang dibuatnya sendiri, ilmu pengetahuan yang dimiliki bukan dari hasil penggalian sendiri. Dalam setiap kebudayaan, agama adalah bagian yang paling berharga dari seluruh kehidupan sosial. Agama melayanai anggota masyarakat dengan menyediakan ide, ritual-ritual dan perasaan-perasaan yang akan menuntun seseorang dalam hidup bermasyarakat.

Jika diperhatikan, masyarakat Cina Benteng adalah buah dari proses dialogis kehadiran mereka di Tangerang sejak masa yang lama. Kepercayaan pada leluhur yang mendarah daging serta ritual keagamaan yang bersifat warisan yang harus terus dilakukan merupakan bukti kesinambungan masa lalu dengan masa kini serta masa depan. Denyut kepercayaan Tionghoa akan tetap semarak manakala anggota etnisnya tetap melestarikan peninggalan leluhur. Sama seperti suku-suku lain yang masih mempraktekkan adat istiadat lokal, begitu pula orang Tionghoa yang memiliki adat istiadat tersendiri. Meskipun ritual kepercayaan yang mereka lakukan tidaklah selalu sama dengan yang ditemui di Republik Rakyat Tiongkok masa kini, paling tidak mereka masih merasa mengerjakan apa yang menjadi wasiat nenek moyang.

Ritual-ritual keagamaan, lebih utama dan lebih fundamental sehingga melahirkan keyakinan. Jika memang ada sesuatu yang paling abadi dalam agama, maka kebutuhan masyarakat akan ritual-ritual itulah yang paling abadi, yang berupa upacara-upacara peneguhan kembali dedikasi setiap anggota masyarakat. Dengan ritual-ritual tersebut seluruh anggota

131

masyarakat diingatkan kembali bahwa kepentingan bersama lebih utama dibandingkan kepentingan pribadi. Sebaliknya, keyakinan bukanlah hal yang paling abadi karena fungsi-fungsi sosial dari ritual keagamaan akan selalu konstan, sebaliknya muatan intelektual agama akan selalu mengalami perubahan. Perbedaan ide-ide dalam agama yang ada di dunia akan selalu dijumpai bahkan ide-ide dalam satu agama juga kadang-kadang berbeda namun kebutuhan akan ritual-ritual akan selalu ada. Ritual dan upacara merupakan sumber dari kesatuan sosial, pengikat utama seluruh anggota masyarakat. Ritual-ritual itu akhirnya akan dapat mengungkap arti agama sesungguhnya.

Agama sangat dekat dengan aspek supernatural162, begitu pula yang ditemui dalam kepercayaan Tionghoa. Hal ini bisa dilihat dari kepercayaan mereka tentang memulyakan orang tua. Meskipun para leluhur sudah meninggal, mereka tetap bersembahyang atas namanya. Orang Cina Benteng masih melestarikan tradisi ini. Di pemukiman Orang Cina Benteng di bantaran Kali Cisadane terdapat beberapa klenteng dan rumah warga yang di dalamnya menyimpan persembahan untuk para leluhur mereka. Bisa dikatakan ini merupakan wujud ritual agama orang Tionghoa yang asli dan telah menjadi identitas dari sistem kepercayaan mereka.

Biasanya, pemujaan terhadap leluhur juga dibuktikan dengan menyimpan abu dalam rumah, dan ayah sebagai kepala keluarga yang memimpin upacara. Kewajiban ini diturunkan kepada anak lelaki sulung dan begitu selanjutnya. Anak perempuan yang telah menikah akan ikut dengan suaminya, dan ia akan memuja leluhur pihak suaminya. Ada semacam pemahaman bahwa anak lelaki adalah penting keberadaannya, karena ia akan melanjutkan tradisi hao (bakti) leluhurnya. Kebutuhan anak laki-laki bukan

162 Emile Durkheim, The Elementary Forms ..., hlm. 24.

132

hanya sekedar pelanjut she-nya (nama keluarga), namun juga untuk menggantikan tugas ayahnya sebagai perawat abu leluhurnya.163

Dalam ajaran Kong Fu Tse, dikatakan bahwa merupakan suatu ketidakbaktian (put hao), jika melakukan tiga hal, yang salah satunya adalah tidak mempunyai anak.164 Berbakti kepada orang tua memang merupakan suatu ajaran yang umum ditemui oleh suku dan bangsa apapun. Tetapi, orang tua dalam perspektif orang Tionghoa menempati sesuatu yang sangat penting, menyangkut kehidupan duniawi dan ukhrawi. Orang Tionghoa memposisikan orang tua dan leluhur bukan sekedar sosok yang “melahirkan”namun juga “mengadakan” mereka. Istilah itu memang terkesan sama, namun kata “mengadakan” mencakup semua hal yang dialami oleh manusia, lebih daripada kelahiran dari perspektif biologis.

Sosok yang melahirkan adalah sebuah subjek yang punya andil besar dalam keberadaan mahluk. Melahirkan adalah sebuah proses kehidupan yang menandai dimulainya sebuah kehidupan di alam dunia. Sebelumnya didahului oleh fase kehidupan di alam rahim. Orang tua menjadi berarti ketikan mempunyai andil dalam melaksanakan fase-fase kehidupan. Zat yang mengadakan adalah kekuatan yang mempunyai kehendak akan hadirnya sebuah kehidupan bagi mahluk melalui jalan yang dikehendakinya juga. Yang mengadakan adalah yang menciptakan dari tidak ada menjadi ada. Dalam hal ini ruh-ruh leluhur dianggap dapat mempengaruhi jalannya kehidupan. Ruh-ruh leluhur dianggap dapat memberikan pertolongan kepada manusia yang masih hidup untuk mengatasi permasalahan-permasalahan dan juga bisa memberikan bantuan untuk melimpahkan berkat kepada orang- orang yang memujanya.

163 Lebba Kadorre Pongsibanne, Islam dan Budaya Lokal (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013) hlm. 210. 164 Lebba Kadorre, Islam dan Budaya ..., hlm. 210.

133

Orang Tionghoa menganggap bahwa keberadaan mahluk mustahil terjadi tanpa melalui peran orang tua yaitu melaui proses evolusi biologis. Berbeda dengan Islam yang percaya bahwa zat Yang Maha Pencipta dapat melakukan apa saja termasuk penciptaan manusia melalui proses yang dikehendakiNya, melalui peran orang tua ataupun tidak. Tuhan dipercaya pernah menciptakan Isa tanpa peran seorang ayah. Tuhan juga digambarkan telah menciptaka Adam tanpa peran orang tua sama sekali baik ayah ataupun ibu.

Arti penting ritual keagamaan pada gilirannya akan membawa kita pada inti dari teori Durkheim, yaitu penjelasan fungsional tentang agama. Dalam pendekatan intelektualis, keyakinan dan ide-ide yang disebut Durkheim sebagai sisi spekulatif agama adalah kata kunci untuk menjelaskan kebudayaan. Sebagai contoh, bagaimana memahamisimbol-simbol dalam upacara-upacara kematian orang Tionghoa. Ada replica dari benda-benda kesayangan milik “si mati” semasa hidupnya yang dibakar. Begitu juga dengan uang-uang kertas yang dibakar. Walaupun banyak kalangan mereka sendiri menganggap hal seperti itu adalah absurd, bahkan mereka sendiri menyebutnya sebagai Hell‟s Money, atau uang neraka. Jika hal-hal tersebut dianggap absurd, lalu mengapa ritual-ritual itu tetap dipertahankan dalam rentang waktu yang demikian panjang ?

Jawaban dari pertanyaan itu hanya bisa ditemukan pada satu titik, yaitu pada fungsi sosialnya, bukan pada muatan-muatan keimanan atau apa yang mereka yakini. Arti penting agama justru terletak pada ritual-ritual yang dapat memberikan semangat kepada individu-individu kelompok mereka. Ritual dan upacara juga berfungsi sebagai pengikat yang dapat mempererat hubungan antar individu tersebut. Pada akhirnya ritual dan upacara tersebut kemudian menciptakan kebutuhan akan adanya satu simbol yang

134

menggambarkan ide-ide dan keyakinan tentang roh-roh leluhur dan dewa- dewa.

Walaupun ide-ide agama dianggap absurd dan salah oleh beberapa kalangan namun perilaku keagamaan akan tetap selalu ada dalam setiap masyarakat, karena perilaku keagamaan berupa ritual maupun upacara dianggap memberikan kekuatan pada masyarakat. Ide-ide dan keyakinan bisa diperdebatkan, tapi ritual-ritual atau bentuk-bentuk lainnya yang sama fungsinya akan tetap dipertahankan. Masyarakat tidak akan eksis tanpa adanya upacara-upacara karena dengan begitu agama akan tetap selalu ada.

Islam merupakan alat asimilasi yang pernah didengungkan sebagai cara alternatif mengatasi problem ketionghoaan. Namun, ketika melihat kasus Cina Benteng, Islam tidak bisa dikatakan hanya alat tunggal dalam hal tersebut. Lingkungan budaya serta bahasa yang justru menjadi alat asimilasi yang lebih dominan. Mereka masih tetap menjalankan beberapa ritual dan kepercayaan leluhur, meskipun bentuknya berlainan dengan yang ditemukan di Tiongkok Daratan.Sebagai contoh, mereka tetap memulyakan leluhur dengan cara memujanya. Ini seperti kompromi dari upaya resistensi mereka akan tradisi leluhur di tengah lingkungan yang berbeda, yang perlahan membentuk kepribadian berbudaya yang sama dengan suku bangsa lainnya.

C. Faktor Penghambat Berkembangnya Islam di kalangan Cina Benteng

Merupakan pandangan yang bisa dimaklumi,jika disebutkan Islam merupakan agama minoritas bagi masyarakat Cina Benteng. Apalagi di antara Tionghoa Keturunan, dalam sejarahnya banyak yang memilih menjadi warga pribumi dengan meninggalkan adat istiadat serta budaya yang menjadi identitas Tionghoa. Akan muncul dua sudut pandang antara Cina Benteng

135

yang Muslim yang masih melakukan tradisi ketionghoaan dan Cina Benteng Muslim yang berasimilasi dengan penduduk pribumi, sehingga mereka hampir tidak bisa lagi dikatakan sebagai Tionghoa Keturunan. Terlepas dari itu, setidaknya kini masih dapat dijumpai orang Cina Benteng yang Muslim meskipun jumlahnya masih terbatas.

Maksud dari penulisan tesis ini sejatinya tidaklah ingin menghubungkan wacana kesejarahan dengan sesuatu yang bersifat kuantitas. Memang, bisa dikatakan besarnya peradaban Islam akan berdampak signifikan bagi jumlah umat Islam yang jumlahnya banyak. Terlebih wacana Islam sudah menjadi doktrin dalam keluarga, budaya dan lingkungan sosial. Dalam kasus Cina Benteng, anggapan mengenai sejarah dan kuantitas semacam itu sudah selaiknya dipinggirkan. Karena, peneliti hanya ingin mengangkat sejarah Islam dalam tubuh Cina Benteng hanya sebagai suatu ingatan historis atau bahan telaah bahwa sejatinya Islam pernah pula beredar di kalangan leluhur mereka, meskipun relevansi kontinyuitasnya pada masa kini belum terlalu kelihatan. Apalagi jika dihubungkan pada masalah islamisasi Cina Benteng, maka masih amat sedikit informasi yang didapat.

Keinginan orang memeluk Islam seyogyanya tidak berhenti pada masalah hidayah. Petunjuk dari Tuhan merupakan lahan lain, yang sifatnya transendental, tidak bisa diungkap secara ilmiah. Jikapun bisa maka sifatnya terlalu subjektif. Ketertarikan orang akan suatu agama, juga bisa dilihat dari kondisi sosial, yakni menyangkut pergaulannya dengan orang di sekitarnya. begitu pula sebaliknya, ada faktor sosial lainnya yang menyebabkan seseorang justru enggan masuk dalam suatu agama. Alasan terkuat salah satunya adalah menyangkut latar belakang budaya yang dimilikinya.

136

Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi mengapa perkembangan Islam terhambat dalam tubuh masyarakat Cina Benteng, antara lain sebagai berikut:

Pertama, budaya judi dan makan daging babi yang telah mendarah daging di tengah kehidupan orang Tionghoa. Judi merupakan salah satu kebiasaan orang Tionghoa yang sudah mengakar, termasuk juga makan daging babi. Bagi mereka keduanya lebih dari pada sekedar aktivitas harian, melainkan sudah menjadi tradisi yang perlahan menyokong identitas ketionghoaan mereka. Dua hal ini merupakan larangan dalam ajaran Islam. Jika sudah menjadi Muslim, maka tidak diperkenankan untuk melakukan dua kegiatan itu. Bagi orang Tionghoa, meninggalkan keduanya adalah berat, sama halnya dengan memutuskan diri dari jalinan budaya nenek moyang.

Di Museum Benteng Heritage yang terletak di Kota Tangerang, terdapat meja judi orang Cina Benteng tempo dulu yang bentuknya unik. Meja ini dibentuk sedemikian rupa, untuk memenuhi aktifitas berjudi. Meja itu dilengkapi dengan laci tempat uang serta tempat makan bagi masing-masing pelakunya. Penyediaan fasilitas tempat makanan menggambarkan bahwa aktifitas judi bagi orang Tionghoa bisa berlangsung dalam tempo yang panjang sehingga dianggap perlu untuk menyediakan tempat makanan agar pelakunya tak perlu harus meninggalkan arena hanya karena rasa lapar. Peninggalan ini sekaligus menjadi penguat bahwa budaya judi begitu lekat dengan orang Cina Benteng. Berjudi merupakan wahana yang tepat dalam memupuk semangat kolektivitas. Terkadang jumlah yang dipertaruhkan tidaklah menjadi soal, asalkan mereka bisa berkumpul dengan teman sebangsanya. Jika mengalami kekalahan dalam berjudi, mereka menganggapnya sebagai buang sial.

137

Kedua, sisi kehidupan meterialistik yang ditunjukkan saat upacara kematian. Perayaan kematian merupakan salah satu episode kehidupan paling penting bagi orang Tionghoa. Kematian tidak selesai jika hanya didoakan lantas dikremasi begitu saja. Mereka yang berasal dari kelompok berpunya, akan menjadikan kematian ini sebagai perayaan serta unjuk kekayaan yang disokong oleh megahnya pesta kematian serta jumlah massa yang datang berduyun-duyun. Upacara kematian orang Tionghoa kerap diselenggarakan hampir menyerupai suatu parade budaya yang sekaligus menampilkan kebesaran orang yang mati serta keluarga yang menyertainya.

Dalam prosesi penguburan jenazah, biasanya ikut dikuburkan pula barang-barang kesayangan si mati di masa-masa yang lalu. Barang kesayangan ini disertakan dalam liang pekuburan. Misalnya ia mencintai perhiasan serta uangnya, maka barang-barang itu akan dikuburkan di sisinya. Kepercayaan ini dilakukan agar si jenazah dapat tenang di alam kemudian. Benda-benda kesayangannya akan digunakan sebagai modal di sana. Orang Tionghoa percaya uang, perhiasan atau emas itu akan digunakan oleh roh orang yang mati sebagai bekal hidup di alam kelanggengan, sama seperti bekal kubur pada masyarakat pra sejarah.

Lambat laun, penggunaan barang-barang asli sebagai bekal kubur mulai ditinggalkan. Sebagai gantinya, mereka membuat miniatur replika barang- barang tersebut, misalnya replika pesawat, mobil, emas-emasan, bahkan uang pun yang nantinya menjadi bekal adalah uang palsu atau dalam istilah mereka disebut “uang neraka”. Tidak jelas memang mengapa uang itu dinamakan demikian, namun yang jelas terjadi semacam perubahan persepsi mengenai barang-barang demikian, yang disandarkan pada pemikiran pragmatis. Jika barang-barang palsu tersebut diyakini bisa menjadi bekal, maka mengapa harus menyertakan barang yang asli ? Yang masih

138

mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan dapat dipergunakan oleh keluarganya yang masih hidup, demikian hemat mereka.

Onghokham menyebutkan bahwa label Orang Tionghoa yang dikatakan sebagai “manusia ekonomi”, sesungguhnya adalah bentukan zaman. Sejak masa kolonial hingga Orde Baru, orang Tionghoa mengalami peminggiran hak-hak bernegara, berbudaya dan berpolitik dan satu-satunya peluang yang dimiliki mereka adalah bergerak di sektor ekonomi. Sejak masa kolonial, orang Tionghoa yang kaya sudah terbiasa menyelenggarakan upacara pemakaman yang monumental, seperti pemakaman Mayor Tan Tjien Kie, Mayor Cina Cirebon, Opsir Cina yang terkaya sepanjang abad 19. Biaya pemakamannya menyentuh angka 100.000 gulden. Mereka yang sudah meninggal disemayamkan di musoleum yang indah dan megah sebagaimana bisa dijumpai di pemakaman Karet Jakarta. Belum lagi yang hidup diharuskan membangun meja sembahyang untuk pemujaan nenek moyang yang menelan biaya yang tidak sedikit.165

Sekarang, Komplek pemakaman yang mewah juga disediakan bagi orang-orang yang kaya seperti di San Diego Hills, Karawang Jawa Barat. Sebagian besar yang dikebumikan disana tak lain adalah orang-orang dari etnis Tionghoa.

Sepertinya, kemegahan penguburan orang Tionghoa telah menjadi tradisi yang akarnya bisa ditemukan sejak masa prasejarah. Tonkin, disebut- sebut merupakan tempat asal migrasi produk-produk kebudayaan ke kawasan Nusantara. Daerah tersebut adalah pusat kebudayaan perunggu di Asia Tenggara. Di Dongson, juga ditemukan kepingan uang zaman Dinasti Han

165 Onghokham, Anti Cina ..., hlm. 44.

139

(Sekitar 100 tahun SM) dan nekara kecil sebagai bekal orang mati.166 Sejak masa yang lama kebudayaan orang Tiongkok telah sampai ke Indonesia. Hal ini bisa dijadikan alasan mengapa hingga kini orang Tionghoa masih menyertakan benda-benda yang dianggap mewakili kekayaan semasa hidup sebagai bekal kubur. Semakin kaya seseorang semasa hidupnya, semakin banyak nilai bekal kubur yang disertakannya.

Dalam Islam dikenal kesamaan tindakan dalam memperlakukan orang mati. Baik miskin ataupun kaya, berpangkat atau tidak, maka tetap saja mereka akan disucikan, dikafani, dishalati lantas dimakamkan.167 Secara umum hampir tidak ada perbedaan yang mencolok dari prosesi kematian semua orang Muslim di Indonesia. Jika diperhatikan ajaran Islam lebih menempatkan prosesi kubur sebagai bentuk bersahaja dari pengamalan ketentuan Islam. Simbol-simbol yang terlihat berupa penggunaan kain putih sebagai pembungkus mayat, penguburan di tanah merah dan setiap prosesi diiringi dengan salawat kepada Nabi SAW dan doa adalah rangkaian kegiatan yang jauh dari sifat materialistis. Amat berbeda dengan ajaran Orang Tionghoa.

Dalam kehidupan Muslim, kematian dianggap sebagai suatu fenomena yang pasti akan dialami setiap manusia. Tidur, dalam ajaran Islam sudah dianggap sebagai keadaan tubuh “mati sementara” yang tercermin dalam doa bangun tidur: “Segala puji bagi-Mu ya Allah, yang telah menghidupkan kembali diriku setelah kematianku, dan hanya kepada-Mu nantinya kami semua akan berpulang kepada-Mu. Oleh orang Jawa, hidup diartikan sebagai “hanya mampir minum”, yang mengindikasikan bahwa dunia kematian

166 Sidi Ibrahim Boechari, Prasejarah Indonesia (Jakarta: Gunung Tiga, 1985) hlm. 81- 82. 167 Lebih lanjut mengenai tata cara memperlakukan mayat menurut hukum Islam lihat Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fathul Mu’in Jilid 1, Terj. Aliy As‟ad (Kudus: Menara Kudus, 1980) hlm. 354-366.

140

adalah justru kehidupan yang sebenarnya. Setiap warna kehidupan sudah seharusnya diterima secara lapang dada dan disyukuri. Pada titik ini ada korelasi antara pandangan hidup orang Jawa dan ajaran Islam yang bermuara pada kepasrahan dan kebersahajaan.168

Bagi orang Tionghoa yang masih memegang teguh adat nenek moyang serta kebesaran nama keluarga, penguburan model Islam tentu menjadi hal yang tidak terpikirkan. Mengantar orang yang mati dengan kebesaran adalah suatu tugas mulia, sebagai bentuk penghormatan terakhir baginya. Model penguburan orang Islam yang penuh kesahajaan dianggap bukan meruapakan bukti penghormatan yang seharusnya dan bukan merupakan ajaran Tionghoa yang otentik. Untuk itu alasan ini kiranya juga menjadi latarbelakang mengapa orang Tionghoa, terutama yang kaya, enggan memeluk Islam.

Ketiga, orang Tionghoa akan mempertimbangkan agama Budhha ketimbang Islam. Secara kultural, ajaran Buddha lebih dekat dengan tradisi Tionghoa. Sama seperti Islam, ajaran ini juga mengedepankan kepasrahan dan kebersahajaan bagi penganutnya. Bahkan dalam beberapa segi, ajaran Buddha lebih radikal dalam mendudukkan makna kesederhanaan. Sama seperti Konghuchu, Budha merupakan kepercayaan yang banyak dipeluk orang Tionghoa. Bahkan pada satu fase, kepercayaan ini sempat mengalami fusi ke dalam aliran Tri Dharma, bersama pengikut ajaran Tao dan Konfusius.

Jika dilihat arsitektur vihara pengikut Tri Dharma bentuknya unik. Bangunannya begitu didominasi oleh unsur-unsur budaya Tionghoa, seperti cat berwarna merah, patung naga liong dan lain sebagainya. Namun yang menjadi fokus keunikan, adalah ketika memasuki ruang sembahyang utama,

168 Abdul Karim, “Makna Kematian dalam Perspektif Tasawuf” dalam Esoterik, Vol. I, No. 1, Juni 2015, hlm. 23-26.

141

di meja altar terdapat tiga patung persembahan yang diletakkan sejajar. Ketiga patung itu adalah Buddha Gautama, Lao Tse dan Konfusius. Vihara ini menjadi titik berkumpul penganut tiga aliran ini.169 Sisi positif yang bisa dilihat dari keberadaan Tri Dharma adala menciptakan persatuan Tionghoa berbasiskan tradisi dan ajaran nenek moyang.

Meskipun tata cara peribadatan Buddha lebih sederhana, namun ajaran ini termasuk banyak dianut oleh orang Tionghoa. Kebersahajaan yang ditampilkan mampu memikat orang-orang yang mendambakan kesederhanaan dan berusaha positif dalam kehidupan. Di tambah lagi, aliran Budha termasuk kepercayaan yang sudah berkembang pesat di Tiongkok Daratan.170 Tionghoa penganut Buddha tentu merasa mereka masihlah berada dalam koridor tradisi nenek moyang, dan tidak tercerabut jauh dari para kerabatnya yang menganut kepercayaan penyembahan dewa-dewa yang amat banyak itu.

Bikkhu Sujato menjelaskan bahwa dalam perspektif Budhis, kehidupan manusia layaknya api. Di dalam kehidupan berisi segala bentuk problematika hidup. Seseorang yang ingin mencapai nirwana,maka harus “keluar dari nyala api”. Proses berada di alam api adalah sebagian dari proses spiritual yang harus dilalui dan masanya adalah panjang tidak bisa hanya seketika (sebentar). Kalimat “keluar dari api” terjadi secara alami,yakni setelah

169 Salah satu Vihara Tri Dharma yang pernah dikunjungi adalah Vihara Tri Dharma Cariya di Marga Mulya, Mauk, Tangerang. 170 Ajaran Buddha datang dari India ke Tiongkok sekitar 2000 tahun yang lalu. Ajaran Buddha di sini dikasifikasikan ke dalam tiga komunitas berdasarkan tiga bahasa yang digunakan, yakni Mandarin, Tibet dan Bali. Kelompok Buddha Mandarin berasal dari suku Han Tiongkok, aliran Buddha Tibet (disebut juga Lamaist) adalah orang-orang dari bangsa Tibet, Mongolia, Uyghur, Lhoba, Moinba dan Tujia. Sedangkan ajaran Buddha berbahasa Bali dianut oleh etnis Dai dan Bulang yang mendiami Provinsi Yunan. Lihat “Mengenal Agama dan Kepercayaan di Tiongkok” diunduh dari http://yinhuadaily.com/mengenal- agama-dan-kepercayaan-di-tiongkok/ pada hari Jumat, tanggal 17 Juni 2016, pukul 09.40 WIB.

142

manusia merasakan api itu sendiri. dengan kata lain “keluar dari api” adalah hasil dari pencapain spiritual yang hampir selesai.171

Keempat, Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas pribumi, Islam adalah representasi dari pribumi yang identik dengan kurang berpendidikan, miskin, primitif dan barbar. Kristen menjadi pilihan pertama bagi orang Cina benteng yang ingin melakukan konversi agama. Pada masa colonial, masuk ke dalam Kristen dapat menyejajarkan diri dengan orang- orang Eropa. Sebagaimana kita ketahui bahwa pada masa kolonial, masyarakat dibagi menjadi tiga golongan, yang paling atas adalah golongan Eropa, yang kedua adalah golongan Asia (Jepang dan Tiongkok) dan Timur asing (Arab). Yang paling bawah adalah Pribumi, bangsa terjajah.

Dengan memeluk Kristen, mereka dapat beribadah bersama orang-orang eropa, dapat mengenakan busana eropa, mengikuti pesta dansa yang sering kali diadakan orang-orang eropa, Menggunakan nama-nama eropa di depan nama keluarga mereka, dan pada gilirannya dapat menjalin hubungan bisnis dengan orang-orang eropa yang biasanya mereka terdiri dari aparat penguasa kolonial dan pengusaha besar yang biasanya menguasai perkebunan besar yang tentu saja mereka membutuhkan sarana distribusi bagi hasil perkebunan mereka.

Keempat faktor di atas merupakan sebagian dari alasan mengapa Orang Tionghoa tidak mau menjadi Muslim. Meskipun ketiga faktor ini bisa jadi berbeda dengan apa yang dilihat orang lain, setidaknya peneliti telah menemukan beberapa alasan di balik sedikitnya jumlah orang Tionghoa Muslim. Islam bagi masyarakat Cina Benteng memang menjadi suatu

171 Bikkhu Sujato, Kelahiran Kembali dan Keadaan Antara dalam Buddhisme Awal, Terj. Ariyakumara (t. Tp: Dhammacitta Press, 2008) hlm. 20-21; artikel ini bisa diunduh di http://dhammacitta.org pada hari Selasa, tanggal 14 Juni 2016, pukul 08. 30 WIB.

143

ingatan historis keberadaan mereka. Mereka tidak menampik bahwa leluhur mereka ada yang berasal dari kalangan Tionghoa Muslim. Bagi Tionghoa peranakan, Ibu mereka juga orang pribumi yang dapat dipastikan Muslim. Namun, pada perkembangannya Islam tidak menjadi agama mayoritas yang dipeluk oleh Tionghoa. Ini merupakan suatu kasus unik dalam kajian sejarah Indonesia, di mana Islam justru surut dalam perkembangannya.

D. Konversi agama pada masyarakat Cina Benteng.

Konversi agama pada Masyarakat Cina Benteng terjadi dalam beberapa fase dari Masa awal terbentuknya masyarakat Cina Benteng, Masa Kolonial, masa orde baru hingga sekarang. Konversi agama yang dimaksudkan penulis adalah konversi agama yang bersifat massif.

Pertama, yaitu pada masa awal. Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa masyararakat awal Cina Benteng adalah mereka yang mendarat di Teluk Naga. Sebagai pengikut Laksamana Cheng Ho, tentu banyak dari mereka yang menganut Islam karena Laksamana Cheng Ho sendiri adalah seorang Muslim dengan nama aslinya yaitu Ma He. Ma adalah singkatan bagi Muhammad, jadi nama aslinya adalah Muhammad He.172

Ternyata banyak dari pengikut Cheng Ho adalah orang-orang taklukan. Mereka adalah para perompak yang dikalahkan Cheng Ho di Malaka, Bintan dan Palembang.173 Sebagai orang-orang taklukan mereka mengikuti Cheng Ho dan akhirnya menganut Islam sebagaimana agama yang dianut Laksamana Cheng Ho. Setelah mereka menetap di Tangerang dan misi muhibah Laksamana Cheng Ho kembali ke Tiongkok, Orang-orang taklukan ini mulai banyak yang kembali kepada agama leluhur. Seperti yang terjadi di

172 Wawancara dengan Udaya Halim 173 Parlindungan,MO, Tuank Rao……, Hlm.652

144

Semarang, Masjid yang dibangun berubah menjadi kelenteng Sam Po Kong.174

Kedua, pasca peristiwa 1740 di Batavia, Banyak orang-orang Tionghoa yang mengungsi ke wilayah Tangerang dan menemukan saudara satu leluhur mereka. Para pendatang dari Batavia itu sering kali melakukan ritual-ritual upacara yang menghidupkan kembali budaya dan tradisi Tionghoa. Orang- orang Cina Benteng yang banyak memeluk Islam karena menikah dengan perempuan pribumi (Islam) kembali kepada agama leluhur mereka yaitu Konfusianisme, Taoisme dan Budhisme.

Ketiga, Pada masa kolonial banyak orang-orang Tionghoa yang mengubah keyakinan agamanya kepada Kristen. Hal tersebut terjadi lebih disebabkan factor sosial dan ekonomi. Seperti telah dijelaskan di muka bahwa pada masa colonial, Belanda menggolongkan masyarakat menjadi tiga strata, yang teratas adalah golongan Eropa. Bagian ini diisi oleh orang- orang Belanda baik sebagai aparat pemerintahan colonial maupun para pengusaha. Selain orang Belanda ada juga pengusaha dari Inggris. Sebagaimana diketahui bahwa Inggris juga sempat menguasai atau menjajah di Nusantara. Demikian pula dengan orang-orang dari Perancis. Golongan dibawahnya adalah golongan Asia dan Timur Asing, yaitu orang-orang Tionghoa, Jepang, India dan Timur Tengah. Biasanya mereka adalah para saudagar. Pada strata masyarakat yang paling rendah didisi oleh pribumi yang mempunyai konotasi tak berpendidikan dan miskin. Tentunya banyak orang Tionghoa yang ingin naik kelas, stidaknya bisa dekat dan akrab dengan orang-orang Eropa yang berkonotasi lebih berpendidikan dan

174 Muljana Slamet, Runtuhnya Kerajaan Hindu………….., Hlm. 193

145

seabagai penguasa kolonial. Jika mereka masuk ke dalam Kristen mereka dapat beribadah bersama-sama dengan orang Eropa, bergaul dengan mereka dan berpenampilan seperti orang Eropa serta berpeluang mendapatkan fasilitas untuk digunakan mengambil keuntungan ekonomi.

Seperti yang diungkapkan Karl Marx, bahwa agama sama saja dengan negara, seni, tatanan moral,dan hasil karya intelektual lain. Semua itu merupakan superstruktur masyarakat yang sangat tergantung pada pondasi ekonomi. Maka, seandainya terjadi perubahan ekonomi, agamapun akan ikut berubah. 175

Keempat adalah pada masa Orde Baru. Pemerintahan orde Baru hanya mengakui empat agama yaitu Islam, Kristen dimana Protestan dan Katolik ada di dalamnya, Hindu dan Budha. Pada masa pemerintahan Orde Baru, Orang orang Tionghoa mengalami diskriminasi dimana agama mereka, yaitu Konghucu dan Taoisme tidak diakui oleh negara. Agar mendapat pengakuan secara administratif dari negara, kebanyakan dari mereka mengubah keyakinan mereka menjadi Budha. Budha adalah ajaran agama yang paling dekat dengan kosmologi orang Cina Benteng. Banyak juga dari mereka menganut Budha sejak nenek moyang mereka. Kelenteng-kelenteng mereka diubah namanya menjadi vihara agar dari luar mereka dianggap Budha walaupun setelah masuk ke dalam kelenteng, mereka beribadat menurut ajaran Konfusius. Di Desa Tanjung burung peneliti menemukan sebuah vihara yaitu Vihara Atta Naga Vimutti. Dari namanya, terkesan bahwa vihara ini adalah tempat ibadah bagi umat Budha. Pada kenyataannya didalam Vihara ini memang terdapat altar Budha tetapi di sebelahnya juga terdapat altar pemujaan Dewi Kwan Im yaitu Dewi Welas Asih yang banyak dipuja oleh umat Konghucu.

175 . Palls, Seven Theories…, hlm 213

146

Budha adalah agama yang merupakan paling banyak dipilih oleh kalangan masyarakat Cina Benteng. Pilihan terhadap Budha tentuna di latarbelakangi oleh sejarah agama Budha di Tiongkok yang juga mendapatkan sambutan yang luas. Pada urutan berikutnya adalah masuk Kristen, baik Protestan maupun Katolik. Pilihan ini juga didasarkan pada alasan-alasan sosial ekonomi, sama seperti yang terjadi pada masa kolonial. Pilihan masuk Islam adalah urutan berikutnya. Biasanya motivasinya adalah kedekatan hubungan personal dengan guru-guru spiritual. Motivasi yang terbanyak adalah perkawinan dengan perempuan pribumi.

147

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kumunitas Cina Benteng atau masyarakat tionghoa yang tinggal di Tangerang dengan identitas yang melekat sehingga berbeda dengan komunitas Tionghoa lain di seluruh nusantara tentunya tidak terjadi dengan sendirinya. Perjalanan panjang sejarah hingga terbentuklah suatu kelompok masyarakat dengan identitas yang khas inilah yang coba diulas oleh penulis serta interaksi dengan masyarakat pribumi secara sosiologis. Tentu saja terjadi sebuah tawar-menawar antara keduanya. Orang Tionghoa dengan latar belakang budaya yang kuat dengan budaya pribumi dengan akar budaya yang juga kuat. Pandangan mereka tentang kosmos dan ajaran kebaikan atau agama dari keduanya juga merupakan sesuatu yang menarik untuk dibicarakan.

Pertama, kehidupan masyarakat Cina Benteng masa awal. Dari beberapa catatan perjalanan baik dari para pendeta Budha I-Tsing maupun berita dari Tome Pires serta kronik lainnya, bisa jadi pada masa itu sudah terdapat orang dari daratan Tiongkok yang datang ke Tangerang. Yang dimaksud dengan masyarakat Cina Benteng adalah masyarakat yang mendiami sebuah pemukiman hingga membentuk suatu identitas masyarakat itu sendiri, biasanya dikaitkan dengan lokasi dimana pemukiman itu didirikan bisa juga identitas tersebut dikaitkan dengan tradisi atau budaya dari masyarakat tersebut. Dalam hal ini identitas itu terkait dengan tempat atau lokasi dimana masyarakat itu tinggal yaitu Benteng, sebutan sebuah kota dimana terdapat

148

Benteng Belanda. Yang dimaksud dengan daerah Benteng tak lain adalah Tangerang.

Pemukiman awal masyarakat Cina Benteng ditengarai adalah wilayah Tanjung Burung, Teluk Naga dimana di sana mendarat utusan dari armada kapal Laksamana Ceng Ho yang dipimpin Tjen Tji Lung. Di Teluk Naga mereka membangun sebuah pemukiman. Aktifitas mereka beragam, dari bercocok tanam, penangkap ikan, hingga berdagang. Pemukiman mereka berkembang ke arah pusat kota Tangerang menyusuri bantaran sungai Cisadane. Setelah mereka mencapai kota, mereka seolah tak terbendung kemudian menyebar ke seantero Tangerang.

Tragedi 1740 di Batavia seolah menambah kekuatan mereka, gelombang pengungsi orang Tionghoa dari Batavia seperti mendapatkan sambutan hangat dari saudara satu leluhur mereka. Pengalaman bersentuhan dengan pribumi dari pendatang Tionghoa dari Teluk Naga dengan cara berbaur dengan mereka membuahkan hasil yang gemilang, di sisi lain pengalaman pahit orang Tionghoa pengungsi dari Batavia menimbulkan traumatik tersendiri membuat mereka mengikuti langkah pendahulunya untuk berbaur dengan masyarakat pribumi.

Bermula dari Teluk Naga, ke hulu menyusuri bantaran sungai Cisadane hingga ke tengah kota Tangerang. Setelah menguasai jalur distribusi mereka menyebar ke selatan, ke Karawaci, Legok, Serpong dan Cisauk, ke utara melalui Kedaung, Sepatan, Pakuhaji, Mauk hingga Kronjo. Cina Benteng seolah tak berjarak dengan pribumi. Menguasai jalur distribusi membuat orang Tionghoa di Tangerang menguasai sendi-sendi perdagangan. Tidak hanya bidang perdagangan, pertanianpun menjadi bidang yang dikuasai oleh orang Tionghoa. Teknologi pertanian dari Tiongkok turut berpengaruh dalam peningkatan produksi pertanian.

149

Melebur dengan pribumi, bukan sekedar menikahi perempuan pribumi tapi juga meleburkan diri dengan budaya pribumi. Tawar menawar budaya terjadi, akulturasi sempurna antara orang Tionghoa dengan orang pribumi di segala sendi kehidupan pada akhirnya melahirkan identitas baru bagi masyarakat Tionghoa yang tinggal di Tangerang yang dikemudian hari dikenal dengan Cina Benteng.

Kedua, terjadi konversi agama di kalangan Cina Benteng. Orde Baru mengakui empat agama di Indonesia yaitu Islam, Kristen, Hindu dan Budha. Sebagai warga negara harus menganut salah satu agama yang diakui Negara, jika tidak resikonya akan terlalu berat. Bakal dicap sebagai ateis atau komunis, sebuah paham yang diharamkan keberadaannya di bumi pertiwi terutama pada masa orde baru. Menganut sebuah agama akan tercatat dalam kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk, hal ini memaksa warga Cina Benteng untuk memilih salah satu agama yang diakui, seperti kita ketahui pada masa itu Konghucu belum diakui menjadi salah satu agama di Indonesia.

Warga muslim Cina Benteng pada waktu itu lebih banyak merupakan muslim keturunan dari ibu mereka yang pribumi dan ayah yang baru masuk Islam. Mereka bukanlah muslim yang taat, banyak dari mereka yang masih menjalankan tradisi-tradisi leluhur seperti judi dan minum arak. Saudara dari ayah mereka masih merupakan orang Tionghoa yang memuja para Dewa. Ketika diharuskan oleh pemerintah untuk mencantumkan agama sebagai identitas pribadi, maka mereka akan memilih satu dari empat agama tersebut sesuai kepentingan mereka.

Budha, adalah agama yang paling banyak dipilih oleh mereka lantaran sejak masih di tanah Tiongkok mereka sudah mengenal Budhisme dengan baik. Untuk mengelabui pemerintah ada upaya mengkolaborasikan agama

150

nenek moyang dengan Budha. Istilah Tridharma adalah penyatuan antara Konfisianisme, Taoisme dan Budhisme. Pada masa orde baru klenteng- klenteng diubah sebutannya menjadi vihara seolah-olah itu adalah tempat ibadah agama Budha. Ada beberapa klenteng yang juga menyediakan altar Budha tetapi ada juga yang tidak.

Kristen, baik Katolik maupun Protestan adalah terbanyak ke dua yang dipilih sebagai agama orang Cina Benteng pada masa itu. Alasannya Kristen tidak mewajibkan ritual menyembah Tuhan setiap hari hingga beberapa kali, Kristen juga tidak melarang dengan keras kebiasaan berjudi, minum arak dan makan daging babi. Disamping hal-hal diatas, Kristen juga membawa nuansa modern, kebarat-baratan hingga terkesan lebih berpendidikan dan lebih terpandang.

Islam berada pada urutan ke tiga sebagai agama yang dipilih oleh orang- orang Cina Benteng. Pilihan terhadap Islam biasanya disebabkan oleh keinginan untuk mempersunting wanita pribumi dan pihak wanita pribumi mempersyaratkan harus masuk Islam terlebih dahulu. Keengganan memilih Islam juga disebabkan oleh ancaman yang menakutkan akan siksa di alam kubur, belum lagi siksa neraka. Sangat sedikit orang Cina Benteng beralih ke Islam karena kesadaran berketuhanan atau hidayah. Hindu dapat dikatakan hampir tidak ada kecuali orang Tionghoa keturunan dari Bali yang tinggal di Tangerang.

Konversi agama yang massive pada masa itu terjadi dari Taoisme dan Konfusianisme ke Budha dan Kristen, sayangnya konversi ke Islam hanya sedikit sekali terjadi, mungkin benar karena tidak ada paksaan dalam memeluk Islam. Sebelumnya konversi agama juga terjadi dari orang Tionghoa muslim yang tidak taat kembali ke agama leluhur mereka yaitu ketika gelombang pengungsi Tionghoa dari Batavia tahun 1740 masuk ke

151

Tangerang. Hal tersebut dengan sendirinya menambah semarak khasanah tradisi dan budaya Tiongkok. Itu menyebabkan orang-orang Tionghoa yang sudah memeluk Islam karena menikah dengan pribumi yang Islam ataupun keturunan dari hasil kawin campur tersebut, kembali pada keyakinan awal mereka yaitu memuja dewa-dewa dan arwah leluhur mereka. Sayangnya penulis tidak menemukan data pasti perubahan komposisi angka yang mencerminkan hal itu. Keterangan itu penulis dapatkan dari beberapa wawancara dengan nara sumber.

Ketiga, Pandangan Masyarakat Cina Benteng Terhadap Islam. Sebagai sebuah budaya, Islam dapat diterima dengan baik oleh seluruh masyarakat, tak terkecuali masyarakat Cina Benteng. Nilai-nilai rahmatan lil alamin ternyata dapat dengan jelas dirasakan oleh mereka. Tradisi dan kebudayaan pribumi yang notabene Islam juga dapat diterima dan diakomodir dalam keseharian mereka. Menggunakan sarung dan peci bukanlah hal yang aneh bagi orang Cina Benteng. Dalam hal berkesenian, kolaborasi antara permainan alat-alat musik khas Tiongkok dengan permainan alat musik lokal menjadi simbol dapat diterimanya budaya dan tradisi Islam oleh masyarakat Cina Benteng.

Penerimaan Budaya dan tradisi Islam oleh kalangan orang Cina Benteng tidak berbanding lurus dengan Islam sebagai agama dan doktrin. Kewajiban menjalankan rukun Islam bagi setiap pribadi muslim ini dirasa sangat memberatkan mereka. Larangan terhadap aktifitas judi, makan babi dan minum arak juga dianggap terlalu berat karena kegiatan itu sudah mendarah daging menjadi tradisi turun temurun. Doktrin tentang dosa, siksa kubur dan siksa neraka dirasa sangat menakutkan. Kesan tidak modern juga terlanjur melekat pada masyarakat pribumi yang kebetulan muslim. Terlalu banyak hal yang harus dirubah jika seorang Tionghoa mau masuk ke dalam Islam.

152

Orang Cina Benteng bisa menerima Islam sebagai budaya dan tradisi tapi sebagai agama yang mengajarkan doktrin mereka tidak mau mengikuti, sebagai ajaran agama mereka lebih memilih agama lain yang membolehkan tradisi leluhur mereka dan mereka berdalih bahwa semua agama sama-sama mengajarkan kebaikan.

B. Saran

Dalam melakukan penelitian tentang topik ini penulis merasa kesulitan dalam hal referensi serta literatur mengenai Tionghoa lebih khusus lagi mengenai komunitas masyarakat Tionghoa Tangerang atau yang lazim disebut Cina Benteng.

Penulis menyarankan agar UIN Syarifhidayatullah melakukan kajian mendalam terhadap tema-tema yang berkaitan dengan Tionghoa mengingat besarnya pengaruh orang-orang atau masyarakat keturunan Tionghoa dalam arus sejarah nusantara dari masa ke masa.

Issue Tionghoa selalu menjadi seksi jika dikaitkan dengan Islam, mengingat kontroversi pendapat mengenai penyebar Islam keturunan Tionghoa. Maka penting kiraya UIN Syarifhidayatullah melakukan penelitian khusus mengenai tema ini. Hasil penelitian tersebut nanti diharapkan dapat memberikan perspektif baru atau membenarkan salah satu pendapat mengenai peran orang-orang Tionghoa sebagai penyebar Islam.

Perpustakaan UIN sudah seharusnya menjalin kerjasama dengan berbagai pihak terkait untuk mendapatkan beberapa catatan perjalanan dari orang-orang dari daratan Tiongkok yang pernah memasuki kawasan nusantara.

153

Semoga penelitian ini berguna dan memperkaya khazanah sejarah orang-orang Tionghoa di Indonesia. Penulis berharap semoga tulisan ini memicu penulis lain melakukan penelitian yang lebih sempurna terhadap masalah-masalah Tionghoa lebih khusus lagi tentang masyarakat Cina Benteng yang memiliki karakteristik berbeda dengan komunitas Tionghoa lain di Indonesia.

154

Daftar Pustaka

A. Buku

Abdurrahman Dudung, Metode Penelitian Sejarah (Tangerang: Logos Wacana Ilmu, 1999)

Al Qurtuby Sumanto, Arus Cina-Islam-Jawa; Bongkar Sejarah Atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV dan XVI (Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press, 2003)

Alatas S. H., Mitos Pribumi Malas; Citra Orang Jawa, Melayu dan Filipina dalam Kapitalisme Kolonial, Terj. Akhmad Rofi‟ie (Jakarta: LP3ES, 1988)

Arif Muhamad, “Model Kerukunan Sosial Pada Masyarakat Multikultural Cina Benteng (Kajian Historis dan Sosiologis)” dalam Sosio Didaktika, Vol. I, No. 1 Mei 2014

Azra Azyumardi, (Ed), Perspektif Islam di Asia Tenggara (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia)

Blackburn Susan, Jakarta Sejarah 400 Tahun, Terj. Gatot Triwira (Depok: Komunitas Bambu, 2012)

Blusse Leonard, Persekutuan Aneh; Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia VOC, Terj. Abdur Rozaki (Yogyakarta: LKiS, 2004)

Boechari Sidi Ibrahim, Prasejarah Indonesia (Jakarta: Gunung Tiga, 1985)

155

Budiman Amen, Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia (Semarang: Penerbit Tanjung Sari, 1979)

Carey Peter, Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa; Perubahan Persepsi Tentang Cina 1755-1825, Terj. Wasmi Alhaziri (Depok; Komunitas Bambu, 2015)

Chaer Abdul, Betawi Tempo Doeloe; Menelusuri Sejarah Kebudayaan Betawi (Depok: Komunitas Bambu, 2015)

Creel H.G., Alam Pikiran Cina; Sejak Confusius sampai Mao Zedong, Terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990)

De Graaf H. J. dkk, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI antara Historisitas dan Mitos (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998).

Durkheim Emile, The Elementary Forms of The Religious Life, Terjemahan dari Bahasa Prancis oleh Joseph Ward Swain (New York: Dover Publication, Inc, 2008)

Elvian Akhmad, Perang Bangka Tahun 1812-1851 Masehi (Pangkalpinang: Disbudparpora Kota Pangkalpinang, 2012)

Fairservis Walter A., Asal-Usul Peradaban Orang-Orang Jawa dan Tionghoa, Terj. Anwar (Surabaya: Surabaya Selasar Publishing, 2009

Gottschalk Louis, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI Pres, 2006)

Groeneveldt W.P.. Nusantara Dalam Catatan Tionghoa (Depok: Komunitas Bambu, 2009)

156

Gutzlaff K., Aan mijne mede-christenen in Nederland (Amsterdam: Loman Jr, 1850)

Jahja Junus, Peranakan Idealis; Dari Lie Eng Hok dampai Teguh Karya (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003)

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 1995)

Lohman C. De Savorvir, “Verhouding de Sawahpadi-Productie; Tot de Dichtheid Der Bevolking Op Java En Madoera In En Ult o, 1917” dalam Publicaties van De Afdeeling Handel, 1919, No. 1 (Batavia: Drukkerij G. Kolff & Co., 1919)

Madjid M. Dien dan Wahyudhi Johan, Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar (Jakarta: Kencana, 2014)

Madjid M. Dien dkk, Sejarah Kabupaten Tangerang (Tangerang: Pemerintah daerah Tingkat II Tangerang bekerjasama dengan Lembaga Penetlitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UNIS Tangerang, 1992)

Mulyana Slamet, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara- Negara Islam di Nusantara (Yogyakarta: LKiS, 2009)

Onghokham, Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina; Sejarah Etnis Cina di Indonesia (Depok: Komunitas Bambu, 2008)

Oostwouder Alexander J., “ Passenger Pasar; Chinese Junk Trade and Passenger Transport Batavia 1825-1875”, Disertasi (belum diterbitkan), Universitas Leiden, 2012

Pals, Daniel, L., Seven Theories of Religion,

157

Parlindungan, Mangaradja, Onggang, Tuanku Rao, (Yogyakarta : LKiS, 2007)

Pongsibanne Lebba Kadorre, Islam dan Budaya Lokal (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013)

Purwanto Edi, “Kompeksitas Kemiskinan Tionghoa Benteng”, Disertasi (belum diterbitkan), Universitas Kristen Satyawacana, 2002

Reid Anthony, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680: Tanah di Bawah Angin, Terj. Mochtar Pabotinggi (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2011)

Reid Anthony, Perjuangan Rakyat; Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera, Terj. Tim PSH (Jakarta: Sinar Harapan, 1987)

Ricklefs M.C., Sejarah Indonesia Modern, Terj. Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995)

Sen Tan Ta, Cheng Ho Penyebar Islam dari China ke Nusantara, Terj. Abdul Kadir (Jakarta: Kompas, 2010)

Setiono Benny G., Tionghoa Dalam Pusaran Politik (Jakarta: Tansmedia, 2008)

Suparlan Parsudi, “Kesukubangsaan dan Posisi Orang Cina dalam Masyarakat Majemuk Indonesia” dalam Antropologi Indonesia, vol. 71, 2003

Suryadinata Leo, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia; Sebuah Bunga Rampai 1965-2008 (Jakarta: Kompas, 2010)

158

Suryadinata Leo, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2002)

Suryadinata Leo, Tokoh Tionghoa dan Identitas Indonesia; Dari Tjoe Bou San sampai Yap Thiam Hien (Depok: Komunitas Bambu, 2010)

Takwin Bagus, Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran-Pemikiran Timur (Depok: Jalasutra, 2009)

Taylor Jean Gelman, Kehidupan Sosial di Batavia, Terj. Tim Komunitas Bambu (Depok: Komunitas Bambu, 2009)

Tjandrasasmita Uka, Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009)

Wijayakusuma Hembing, peny, Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007)

Yong Liu, The Dutch East-India Company’s Tea Trade with China 1757- 1781 (Leiden: Brill, 2007)

Zein Abdul Baqir, Etnis Cina dalam Potret Pembauran di Indonesia (Jakarta: Prestasi Insan Indonesia, 2000)

B. Jurnal Ilmiah

Alexander J. Oostwouder, “ Passenger Pasar; Chinese Junk Trade and Passenger Transport Batavia 1825-1875”, Disertasi (belum diterbitkan), Universitas Leiden

159

Arif Muhamad, “Model Kerukunan Sosial Pada Masyarakat Multikultural Cina Benteng (Kajian Historis dan Sosiologis)” dalam Sosio Didaktika, Vol. I, No. 1 Mei 2014

Ilyas, “Gerakan Millenarian Kaiin Bapa Kayah: Protes Sosial Petani Tangerang 1942” Tesis belum diterbitkan (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016)

Lukman Nurhakim, “Banten Girang, Pakuan Pajajaran dan Banten Lama Pendekatan Arkeologi Sejarah Masa Transformasi Hindu-Islam: dalam Hasan Muarif Ambarai,ed, Masyarakat dan Budaya Banten; Kumpulan Karangan dalam Ruang Lingkup Arkeologi, Sejarah, Sosial dan Budaya (Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1996)

C. Media online

“Mengorek Asal-Usul Bahasa Indonesia” diunduh dari http://www.antaranews.com/print/121004/mengorek-asal-usul- bahasa-indonesia.

Ardian C. dkk, “Membahas Teori “ouf of Yunnan” artikel dalam http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/3710-membahas- teori-out-of-yunnan diunduh pada pukul 10.59

Arif Ahmad, “Jejak Pembauran Melanesia dan Austronesia” artikel diunduh dari http://sains.kompas.com/read/2015/11/23/15030471/Jejak.Pembauran .dan.Austronesia.

160

Darmosumarto Santo, “”Tiongkok”, “Cina” dan “China” dalam Diplomasi Indonesia”, artikel diunduh dari http://diplomatic- knots.blogspot.com/2011/08/tiongkok-cina-dan-china-dalam- diplomasi.html?m=1

Darmosumarto Santo, “Istilah “Tiongkok”, “Cina” dan “China”, artikel diunduh dari http://kompasiana.com/sdarmosumarto/istilah-tiongkok- cina-dan-china_550e2b62813311c22cbc61a6 http://amanah.alharamnews.com/post/481/safari-dakwah-pengurus-piti- tangerang-selatan-silaturahmi-di-kantor-alharam-media http://www.tionghoa.info/sejarah-migrasi-dan-populasi-kelompok-etnis- tionghoa/ http://yinhuadaily.com/mengenal-agama-dan-kepercayaan-di-tiongkok/ https://www.cia.gov/library/publications/resourcesthe-world- factbook/geos/ch.html

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967, diunduh dari http://www.hukumonline.com/

Marpaung Rooslynda, “Meraih Eksistensi Kaum Tionghoa Indonesia” artikel diunduh dari http://www.kompasiana.com/rooslyndam/meraih- eksistensi-kaum-tionghoa-indonesia_54f3488d745513972b6c6f25

Setiono Budi, “Hikayat Ali-Baba”, artikel diunduh dari http://historia.id/modern/hikayat-alibaba

161

Wu Thng Liang dan Hian Liao King, “Sekilas Sejarah Tiongkok (bagian pertama” artikel diunduh dari http://web.budaya- tionghoa.net/index.php/item/3788-sekilas-sejarah-tiongkok-bagian- pertama

162