Penggambaran Ideal Perempuan Jawa Pada Masa

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Penggambaran Ideal Perempuan Jawa Pada Masa View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk brought to you by CORE provided by Crossref PURBAWIDYA: Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi p-ISSN: 2252-3758, e-ISSN: 2528-3618 Akreditasi LIPI No. 695/Akred/ P2MI-LIPI/07/2015 Vol. 6(2), November 2017, pp 105 – 116 DOI: doi.org/10.24164/pw.v6i2.205 PENGGAMBARAN IDEAL PEREMPUAN JAWA PADA MASA HINDU-BUDDHA: REFLEKSI PADA ARCA-ARCA PEREMPUAN Ideal Perception of Javanese Women during Hindu-Buddhist Period: Reflection on the Statues of Women Agustijanto Indradjaja Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Jln. Condet Raya Pejaten No. 4 Pasar Minggu Jakarta Selatan E-mail: [email protected] Naskah diterima 9 Agustus 2017 — Revisi terakhir 20 Oktober 2017 Disetujui terbit 23 November 2017 — Tersedia secara online 30 November 2017 Abstract An Archaeological research has various purposes, one is to direct a historical recon- struction emergence and the collapsing of a dynasty and the other, can also be used to reveal the socio-cultural aspects of a community group in the past. Some problems of social-cultural in the past may be connected with some social cultural problems that oc- ccured today. The issue to be revealed in this paper is the perception of ancient Javanese people on the meaning of “beauty” for Javanese women. In this case, the researcher used the historical-archaeology as a method; this approach seeks an equal combina- tion of “historical” and “archaeological” data to the study of the past. The results of research on Durga statue from Prambanan Temple and Prajnaparamita statue from Sin- gasari temple, East Java seem to represent the perception of “beauty” for Javanese women during that time. Keywords: beauty, Javanese, iconography, Hindu-Buddhist Abstrak Penelitian arkeologi, selain ditujukan pada usaha rekonstruksi sejarah atau muncul dan runtuhnya sebuah dinasti, dapat pula digunakan untuk mengungkapkan aspek sosial- budaya suatu kelompok masyarakat pada masa lalu. Banyak permasalahan sosial budaya masa lalu yang memiliki keterkaitan dengan problematika sosial budaya yang terjadi saat ini. Permasalahan yang ingin diungkap dalam tulisan ini adalah bagaimana persepsi masyarakat Jawa kuna terhadap kecantikan perempuan Jawa. Metode yang dipakai adalah metode arkeologi sejarah, yakni pendekatan yang menggunakan data artefaktual dan data tekstual yang berupa naskah untuk studi masa lalu. Hasil penelitian terhadap arca Durga dari Candi Prambanan dan arca Prajnaparamita dari Candi Singasari, Jawa Timur tampaknya dapat mewakili persepsi masyarakat Jawa kuna tentang kecantikan perempuan Jawa pada masa lalu. Kata kunci: kecantikan, Jawa, ikonografi, Hindu-Buddha 105 PURBAWIDYA Vol. 6, No. 2, November 2017: 105 – 116 PENDAHULUAN cantik menurut Kamus Lengkap Bahasa Kedudukan perempuan di dalam Indonesia (Tim Redaksi, 2005) memiliki masyarakat Jawa sering kali digambarkan arti ‘elok, molek, dan indah’. Kemudian, sebagai kaum yang dikekang, dibatasi, dalam penerapannya, pemaknaan feminin, dan tidak berdaya. Padahal, seseorang terhadap kecantikan itu perempuan Jawa pada masa Hindu- berbeda, bahkan selalu berubah dari waktu Buddha diketahui memiliki posisi yang ke waktu. Makna kecantikan di daerah sama dengan kaum pria. Berita Cina dari tertentu bisa jadi berbeda dari makna zaman dinasti Tang menyebutkan bahwa kecantikan di daerah lain. Di Eropa pada pada 674 M rakyat Ho-ling mengangkat abad pertengahan, kecantikan perempuan Ratu Hsimo sebagai raja Jawa yang terkait erat dengan fertilitasnya. Pada dikenal sangat adil (Poesponegoro dan abad ke-15-17 M perempuan cantik dan Notosusanto 1984). Bahkan, penguasa seksi adalah mereka yang punya perut wilayah Lasem pada masa Majapahit, dan panggul yang besar serta dada yang kelima rajanya yang pernah memerintah di montok, yakni bagian tubuh yang berkait Lasem seluruhnya perempuan (Rahardjo, dengan fungsi reproduksi. Pada awal 2001) Pada masa yang lebih kemudian, dari abad ke-19 M kecantikan didefinisikan sumber tertulis dan babad tutur, diketahui dengan wajah dan bahu yang bundar serta bahwa perempuan Jawa diketahui telah tubuh montok. Sementara itu, memasuki berprofesi sebagai anggota prajurit abad ke-20 M kecantikan identik dengan perempuan pada masa Mangkunegara I perempuan dengan bokong dan paha besar. (Kumar, 2008). Di Afrika dan India umumnya perempuan dianggap cantik jika ia bertubuh montok, Banyak aspek perempuan Jawa yang terutama ketika ia telah menikah sebab telah disinggung dalam naskah-naskah kemontokannya menjadi lambang Jawa kuna, seperti kisah Sri Tanjung kemakmuran hidupnya (Syata, 2012). yang menceritakan kesetiaan seorang istri terhadap suaminya, Sidapaksa, yang Ketika belajar dari Eropa, tampaknya harus rela terbunuh untuk membuktikan sepanjang peradaban manusia, apa yang kesetiaannya (Susetyo, 2002). Citra disebut cantik selalu berubah menurut apa perempuan dalam kesusastraan Jawa yang dikonstruksikan oleh masyarakat memang beragam. Salah satunya adalah itu. Pandangan tentang cantik berubah perempuan Jawa dicitrakan sebagai bersama perkembangan teknologi. Di makhluk yang penuh kelembutan, Barat, semenjak Revolusi Industri, kesetiaan, susila, rendah hati, pemaaf, dan terjadi perubahan konsep kecantikan. Era penuh pengabdian (Endraswara, 2013). industrialisasi membuat banyak perempuan Tema kesetiaan, misalnya, dapat ditemukan bekerja di luar rumah dan independen pada bagian akhir cerita Ramayana ketika secara material. Keadaan ini, seperti yang Sinta harus menjalani peruwatan setelah diungkapkan Naomi Wolf, aktivis gerakan bebas dari cengkeraman Rahwana untuk perempuan dalam bukunya The Beauty membuktikan kesetiaannya pada Rama. Myth yang terbit tahun 1990, mendorong Tema yang juga menarik perhatian perempuan membelanjakan uangnya, sejak dahulu terhadap perempuan menjadi konsumen demi kecantikan yang adalah masalah kecantikan. Definisi sejalan dengan penciptaan mitos cantik 106 Penggambaran Ideal Perempuan Jawa.... (Agustijanto Indradjaja) secara massal oleh kaum industri kapitalis; ekofak yang dihasilkan masyarakat masa seperti tubuh yang ramping cenderung lampau pada masa sejarah ketika sudah kurus, muka cantik, bersih, dan kulit mengenal tulisan (Tjandrasasmita, 2009; kencang (Syata, 2012). Handoko, 2012). Karena mitos dan kriteria cantik itulah Untuk mengkaji penggambaran ideal banyak wanita tergoda terhadap tawaran perempuan Jawa pada masa Hindu-Buddha paket mempercantik diri yang kini banyak dilakukan tahapan sebagai berikut: (1) bertebaran; mulai dari melangsingkan tahap pengumpulan data melalui survei; tubuh, memutihkan kulit, mentato alis (2) tahap deskripsi dan analisis; (3) tahap mata, membentuk bokong atau payudara, eksplanasi dan interpretasi. Tahapan dan membuat lesung pipit. Tampak jelas penelitian yang dilakukan, sebagaimana citra kecantikan tengah dikonstruksikan yang diperkenalkan oleh K.R. Dark, oleh kaum industri kapitalis kecantikan, adalah bahwa di dalam penelitian seperti yang ditawarkan iklan dalam media arkeologi setiap artefak harus dilihat massa. Celakanya banyak perempuan yang sebagai data yang memuat informasi terpengaruh, baik secara sadar maupun arkeologis. Akan tetapi, datanya hanyalah tidak, mengikuti keinginan kaum industri informasi tentang eksistensinya sendiri kapitalis kecantikan tersebut. dan tidak dengan sendirinya menjadi bukti arkeologis. Data arkeologi baru menjadi Jika kecantikan adalah sesuatu yang bukti arkeologis setelah dimasukkan ke menarik perhatian, baik bagi kaum dalam kerangka interpretasi (Dark, 1995). perempuan sendiri maupun kaum pria, Dengan demikian, tahapan di dalam bagaimanakah persepsi kecantikan melakukan penelitian arkeologi adalah wanita Jawa pada masyarakat Jawa kuna? sebagai berikut. Dapatkah konsep kecantikan perempuan Jawa pada masa lalu direpresentasikan 1. Sumber Data. pada arca-arca perempuan abad ke-8-13 M Sumber data di dalam penelitian di Jawa? Sasaran penelitian ini difokuskan adalah sumber subjek dari tempat pada tinggalan arca-arca perempuan masa data dapat diperoleh. Pada penelitian Hindu-Buddha. ini sumber data diperoleh dari hasil survei. METODE Selain data artefaktual, pengumpulan data juga dilakukan dengan Arkeologi sebagai bagian ilmu budaya melakukan penelusuran literatur dalam mencapai tujuan penelitian sering yang berhubungan dengan kajian kali membutuhkan disiplin ilmu lain, data artefaktual dalam bentuk buku, baik sebagai alat pengolah data maupun prosiding serta artikel/makalah membantu dalam melakukan interpretasi. lainnya. Usaha tersebut kemudian menghasilkan ilmu perbatasan, seperti arkeologi sejarah 2. Data. (Harkatiningsih et al., 1999). Menurut Temuan arkeologi yang diperoleh Tjarasasmita, arkeologi sejarah adalah melalui survei diolah menjadi arkeologi yang mempelajari masyarakat data dengan melakukan deskripsi masa lampau melalui artefak, fitur, dan terhadap temuan, yang dilanjutkan 107 PURBAWIDYA Vol. 6, No. 2, November 2017: 105 – 116 dengan analisis. Ada dua jenis 3. Evidence turunkan pada tahap cara, analisis, yakni analisis khusus yang dilakukan adalah meletakkan dan analisis kontekstual. Analisis temuan di dalam konteks arkeologi. khusus merupakan analisis yang Konteks di dalam arkeologi dapat menitikberatkan pada ciri-ciri fisik bermakna konteks ruang atau waktu artefak/ikonografi. pada saat arca dibuat dan digunakan. Menyangkut aspek ikonografi pada Analisis konteks dapat digunakan arca, menurut Edi Sedyawati, ada dua untuk menjawab pertanyaan penelitian nilai yang akan diperhatikan, yakni dengan cara menempatkan kajian arca (1) nilai ikonografi, menyangkut ini ke dalam ruang dan waktu pada sistem
Recommended publications
  • Asia Society Presents Music and Dance of Yogyakarta
    Asia Society Presents Music and Dance of Yogyakarta Sunday, November 11, 2018 7:00 P.M. Asia Society 725 Park Avenue at 70th Street New York City This program is approximately ninety minutes with no intermission In conjunction with a visit from Hamengkubuwono X, the Sultan of Yogyakarta in Indonesia, Asia Society hosts a performance by the court dancers and musicians of Yogyakarta. The Palace of Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat is the cultural heart of the city. From generation to generation, the Sultans of Yogyakarta are the traditional governors of the city and responsible for passing on art and culture heritage. The entire royal family is involved in preserving these art forms, and the troupe must perform with a member of the royal family present. The dances from Yogyakarta will be accompanied by gamelan music native to Java. Program Golek Menak Umarmaya Umarmadi Dance Masked Dance Fragment (Wayang Wong) “Klana Sewandana Gandrung” Bedhaya Sang Amurwabhumi About the forms: Golek Menak The golek menak is a contemporary example of the seminal influence exerted by the puppet theater on other Javanese performing arts. This dance was inspired by the stick–puppet theater (wayang golek), popular in the rural area of Yogyakarta. Using the three dimensional rod-puppets, it portrays episodes from a series of stories known as menak. Unlike the high-art wayang kulit (shadow puppets), it is a village entertainment, and it did not flourish at the court. As a dance drama, golek menak focuses on imitating this rod-puppet theater with amazing faithfulness. Human dancers realistically imitate the smallest details of puppet movement, right down to the stylized breathing of the puppets.
    [Show full text]
  • Women on the Margins : an Alternative to Kodrat?
    WOMEN ON THE MARGINS AN ALTERNATIVE TO KODRAT? by Heather M. Curnow Submitted in fulfilment of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy. University of Tasmania, Hobart School of Asian Languages and Studies October 2007 STATEMENTS OF OrtiONALITY / AUTHORITY TO ACCESS Declaration of otiginahtY: ibis thesis contains no material which has been acep ted for a degree or diploma by the University or any other institutions, except by way of hackground information and duly acknowledged in the thesis, and to the best of the candidate's knowledge and belief, no material previously published or written by another person, except- uthere due actabowledgement has been made in the text of the thesis. Statement of Authority of access: This thesis may be made available for loan and limited copying in accordance with the Copyright Act 1968. ,C70 11leather Cuniow Date: A,5 hit tibigki ittool ABSTRACT: WOMEN ON THE MARGINS During New Order Indonesia (1966 — 1998) women's roles were officially defined by the Panca Darma Wanita (The Five Duties of Women). Based on traditional notions of womanhood, these duties were used by the Indonesian State to restrict women's activities to the private sphere, that is, the family and domesticity. Linked with the Five Duties was kodrat wanita (women's destiny), an unofficial code of conduct, loosely based on biological determinism. Kodrat wanita became a benchmark by which women were measured during this period, and to a large extent this code is still valid today. In this thesis, I have analyzed female characters in Indonesian literature with specific identities that are on the periphery of this dominant discourse.
    [Show full text]
  • Representasi Simbolisme Wanita Jawa Dari Arca Prajnaparamitha Pada Karya Seni Batik Post- Modern
    Proceeding: International Conference on Art, Design, Education, and Cultural Studies (ICADECS) 2019 (ISSN : 2686-617X) Universitas Negeri Malang, Malang, Jawa Timur, Indonesia Representasi Simbolisme Wanita Jawa dari Arca Prajnaparamitha pada Karya Seni Batik Post- Modern 1st Okta Viviana A. Nusantari Art and Design Department State University of Malang Malang, Indonesia [email protected] Abstract—Prajnaparamitha is a statue form of the sebagai makhluk yang feminim, atau matriarki penuh Bodhisattwadewi from ancient Java which famous as a misteri, namun terdapat asumsi bahwa wanita adalah representation of Ken Dedes. This statue was estimated makhluk yang memiliki sifat lembut, sabar, elok , dan from the 13th century in the era of Singhasari Kingdom. beberapa sifat kefeminiman lain yang jarang ditunjukkan Prajnaparamitha statue is one of the best masterpieces as a wanita. Apabila berpijak pada persepsi filosofis yang classic figurative statue in Hindu-Budha Indonesia which menempatkan peran wanita sekadar sebagai kanca can represents Javanese women who is graceful and full of wingking (istri yang pekerjaannya cuma di dapur dan symbolic value of women’s life in Java land. The statue’s sumur), isi-sining omah (istri sebagai pelengkap dalam visual characteristics and historical-philosophy values that rumah tangga ) tersebut sesungguhnya sangat contained in it has to be the idea of Javanese women’s life bertentangan dengan kearifan masyarakat Jawa symbolism representation in post-modern batik artwork. (Adji&Achmad, 2018:12). In this research, the art method of creation that is Wanita Jawa pada masa Hindu-Buddha tampak adopted in the process of making post-modern batik memiliki posisi yang sama dengan kaum pria. Tengok saja artwork is a theory from SP.
    [Show full text]
  • RESEARCH NOTES Javanese Names During the Height Of
    KEMANUSIAAN Vol. 20, No. 2, (2013), 81–89 RESEARCH NOTES Javanese Names during the Height of the Hindu-Buddhist Kingdoms in Java: An Ethnolinguistic Study SAHID TEGUH WIDODO Universitas Sebelas Maret, Indonesia. [email protected] Abstract. Javanese names have undergone numerous developments throughout the course of human civilisation. The study of names is an important means of discovering the desires, cultural tastes and lifestyles of the Javanese from one period to another. This study used a qualitative descriptive research method. The data for the research were obtained from Indonesian historical sources, the story of Babad Tanah Jawa, epigraphs and selected informants. The techniques used to collect the data were content analysis and interviews with a number of historical and language experts. The analysis resulted in a description of the development of the form and structure of Javanese names. Based on the historical context, these names were strongly influenced by the Sanskrit language of the centuries- old Hindu and Buddhist traditions in India. The influence of the ancient Javanese language on Javanese names began to appear at the beginning of the Javanese Hindu era, along with a decline in the Hindu-Buddhist influence in Java. This influence was marked by the appearance of elements in names that do not exist as syllables in Sanskrit. This phenomenon indicates an acculturation of the Javanese, Hindu and Buddhist cultures. Ancient Javanese influences are still found today in modern Javanese names, such as in the use of the names Dyah, Jaya, Dewi/Devi, Wardhana, Arya and Rangga. Keywords and phrases: name, Javanese, Hindu, Buddhist, Sanskrit Introduction The height of the Hindu and Buddhist era in Java was marked by the establishment of large kingdoms and a high level of civilisation.
    [Show full text]
  • Site Setup Patirtan Watugede Singosari, Malang, Indonesia As a Spiritual Tourism Object
    ! " Site Setup Patirtan Watugede Singosari, Malang, Indonesia As a Spiritual Tourism Object Junianto1, Rosalia Niniek Sri Lestari2*, A. Tutut Subadyo2 (1)History of Architecture Lab. Magister Architecture, University of Merdeka Malang. (2)Building and Env. Science Lab., Department of Architecture, University of Merdeka Malang. Corresponding Author: [email protected] ABSTRACT Patirtan site is an ancient cultural relic, associated with the ritual bath with holy water. Patirtan Watugede site in Singosari Malang, is one of the ancient kingdom of Singhasari, which is a big kingdom in East Java. Spiritual tourism activities at temple sites and Patirtan sites in East Java and Malang Raya continue to increase. On the other hand, some Patirtan sites evolved into tourist destinations, undergoing uncontrolled development renovations. Utilization and development in the area of partial Patirtan sites, tend to contradict the concept of conservation. Through the historical approach, then analyzing the physical character and function of Watugede's Patirtan site, as well as the value of society's preference, can be formulated the concept of Patirtan Area Arrangement as a tourist destination spiritual. There are findings of the main elements used as a spiritual tourism activity on these Patirtan sites, namely: water source, meditation area, ritual ceremonial courtyard and building site Patirtan. Formulation of Concept The arrangement and development of Patirtan website as a spiritual tourism object is done descriptively, with the implementation of Draft Drawing. The concept of Arrangement and development of Watugede's Patirtan site as a spiritual tourism object was found as a result of research, by examining the phenomenon of Patirtan site in Malang Regency, which is related to the utilization, preservation of physical element, socio-culture, economy and environment.
    [Show full text]
  • Contemporary Art’: Propositions of Critical Artistic Practice in Seni Rupa Kontemporer in Indonesia
    CONTEXTUALIZING ‘CONTEMPORARY ART’: PROPOSITIONS OF CRITICAL ARTISTIC PRACTICE IN SENI RUPA KONTEMPORER IN INDONESIA A Dissertation Presented to the Faculty of the Graduate School of Cornell University in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of Doctor of Philosophy by Amanda Katherine Rath January 2011 © 2011 Amanda Katherine Rath CONTEXTUALIZING ‘CONTEMPORARY ART’: PROPOSITIONS OF CRITICAL ARTISTIC PRACTICE IN SENI RUPA KONTEMPORER IN INDONESIA, 1973-1994 Amanda Katherine Rath, Ph. D. Cornell University 2011 This dissertation contends with the development of seni rupa kontemporer (contemporary art) between 1973 and 1993, with certain case studies extending to the late 1990s. I offer a history and genealogy of concepts of critical artistic practice, examining to what purpose strategies of a contemporary art have been put and from what conditions they emerged. I examine how these have been interpreted to possess criticality in Indonesia. Taking the controversial curatorial essay published for the 9th Jakarta Biennale of Art (1993) as a catalyst rather than as a point of reference, I rethink the possibility and value of a construct of an avant-garde and postmodern in seni rupa kontemporer.I propose a kind of avant-garde without modernism’s tradition of transgressive poetics. The mode of marginality I have in mind is a critical position possible only on this side of the political sea change and depoliticization of the cultural field in Indonesia after 1965. This entails tracing shifting notions of art’s and artistic autonomy, which were largely dependent upon the relation art had with politics and the spheres in which artistic practice was seen to reside.
    [Show full text]
  • Kerajaan Singasari
    Era Kerajaan: Kerajaan Singasari Sumber sejarah tentang Kerajaan Singasari di Jawa Timur adalah kitab-kitab kuno, seperti Pararaton (Kitab Raja-Raja) dan Negarakertagama. Kedua kitab itu berisis sejarah raja-raja. Kerajaan Singasari dan majapahit yang saling berhubungan erat. Ketika Ken Arok berkuasa di Tumapel, di Kerajaan Kediri berlangsung perselisihan antara Raja Kertajaya dengan para Brahmana. Para Brahmana tersebut melarikan diri ke Tumapel. Namun, dalam pertempuran di Ganter, ia mengalami kekalahan dan meninggal. Kemudian, Ken Arok menyatukan Kerajaan Kediri dan Tumapel, serta mendirikan Kerajaan Singasari. Ia bergelar Sri Rangga Rajasa (Rajasawangsa) atau Girindrawangsa di Jawa Timur. Dari istri yang pertamanya yang bernama Ken Umang, Ken Arok mempunyai empat orang anak, yaitu Panji Tohjaya, Panji Sudhatu, Panji Wregola, dan Dewi Rambi. Dari perkawinannya dengan Ken Dedes, Ken Arok mempunyai empat orang anak, yaitu Mahisa Wong ateleng, Panji Sabrang, Agni Bhaya, dan Dewi Rimbu. Ken Arok juga memiliki seorang anak tiri, yaitu Anusapati yang merupakan anak Tunggal Tunggul ametung dan Ken Dedes. Tunggul Ametung adalah Bupati Tumapel yang dibunuh Ken Arok. Pada tahun1227, masa pemerintahan Ken Arok berakhir ketika ia dibunuh oleh anak tirinya Anusapati, sebagai balas dendam terhadap kematian Ayahnya. Diceritakan bahwa Ken Arok dibunuh dengan menggunakan keris Mpu Gandring yang di pakai untuk membunuh Tunggul Ametung. Kemudian Ken Arok dimakamkan di Kagenengan (sebelah selatan Singasari). Setelah Ken Arok wafat, Anusapati yang bergelar Amusanatha, naik tahta sebagai raja kedua Kerajaan Singasari. Anusapati memerintah sampai tahun 1248. Tohjaya yang mengetahui bahwa ayahnya dibunuh oleh Anusapati, merencanakan pembalasan dendam. Tohjaya membunuh Anusapati juga dengan mengunakan keris Mpu Gandring. Setelah Wafat, jenazahanusapati diperabukan di Candi Kidal.
    [Show full text]
  • “Ramayana”, an East Javanese Shadow Puppet Performance Text
    kata 2012, 14(1), 1-42, DOI: 10.9744/kata14.1.7-14 ISSN 1411-2639 (Print), ISSN 2302-6294 (Online) OPEN ACCESS http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/ing Reinterpreting Ramayana: The (Re)Production of the Meanings of Power in “Ramayana”, an East Javanese Shadow Puppet Performance Text Basuki, R.1 and Setiawan, D.2 1,2 English Department, Faculty of Letters, Petra Christian University, Siwalankerto 121-131, Surabaya 60236, East Java, INDONESIA E-mails: [email protected]; [email protected] ABSTRACT In this article we discuss the meanings of power that are produced/reproduced in an East Javanese shadow puppet show entitled Ramayana by Ki Sinarto. In Foucauldian perspective, the meanings of power are constantly intertwined with other issues, and in Ki Sinarto‘s Ramayana they are closely related to the state, revelation/women, family, and people. Despite the puppeteer‘s efforts in doing a 'subversive interpretation' of Ramayana, the Javanese concept of power still ‗overpowers‘ his discourse. Addressing the contemporary Indonesian state, Ki Sinarto is propagating the concept of Javanese power from the late Mataram kingdom. He also proposes that women can have a legitimizing power as the bearers of revelation, but the discourse of women as distractors to men‘s career still surfaces. Ki Sinarto further pictures the main conflict of Ramayana as a dispute of an aristocratic family instead of woman. Finally, the relations between Javanese people and their leaders are not necessarily straightforward and linear. Key words: Javanese shadow puppet, Ramayana, power relations, state, women, family, people. INTRODUCTION: SETTING THE CONTEXT first listened to its tape-recorded text, we mistook it for a Mataraman style because its music sounded like that of the As one of the styles in Javanese shadow puppet theatre in dominant group.
    [Show full text]
  • Nilai-Nilai Karakter Dalam Perjuangan Ken Arok Mendirikan Kerajaan
    Bihari: Jurnal Pendidikan Sejarah dan Ilmu Sejarah, Vol. 4 No. 1 Tahun 2021 URL : http://jurnal.unsil.ac.id/index.php/bihari P-ISSN : 2655-3600, E-ISSN: 2714-7908 Nilai-Nilai Karakter Dalam Perjuangan Ken Arok Mendirikan Kerajaan Singasari Tahun 1222 Roberto Nainggolan a, 1 *, Anny Wahyudi b , Budi Purnomo c a b c Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Jambi, Jambi, Indonesia 1 [email protected]; * Corresponding author Abstrak Ken Arok merupakan seorang raja dari kerajaan Singasari. Sebelum menjadi raja, ia merebut kekuasaan dari seorang Akuwu di Tumapel yang terkenal kejam bernama Tunggul Ametung. Perlawanan Ken Arok terhadap Tunggul Ametung merupakan upaya perebutan kekuasaan pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Kisah ini bahkan diadopsi dalam karya sastra sehingga fakta dari kejadian sejarah pada abad ke-13 ini dapat diteladani dalam kehidupan di abad ke-21 ini. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yang mencakup heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian menunjukkan jika Ken Arok mulanya merupakan seorang rakyat biasa yang mengabdi pada Tunggul Ametung. Pada perkembangannya, ia berhasil mengambil alih kekuasaan Tumapel dan bahkan menaklukan Kerajaan Kediri untuk mendirikan kerajaan Singasari. Nilai karakter yang dapat dipelajarai oleh tokoh Ken Arok adalah pekerja keras, kepemimpinan, dan gagah berani. Kata Kunci: Ken Arok, Tunggul Ametung, Singasari, Nilai Karakter Abstract Ken Arok is a king of the Singasari kingdom. Before becoming king, he seized power from an Akuwu in Tumapel who was famous for being cruel, named Tunggul Ametung. Ken Arok's fight against Tunggul Ametung was the first attempt to seize power in the history of the Indonesian nation. This story is even adopted in literary works so that the facts of historical events in the 13th century can be imitated in life in the 21st century.
    [Show full text]
  • RHSS-Vol.6 No.10 2016
    Research on Humanities and Social Sciences www.iiste.org ISSN (Paper)2224-5766 ISSN (Online)2225-0484 (Online) Vol.6, No.10, 2016 Architectural and Religious Study on Signifier of Shiva-Buddhist in Jago Temple Deny Yudo Wahyudi Department of History, Faculty of Social Science Universitas Negeri Malang Indonesia Jl. Semarang No 5 Malang East Java Indonesia 65145 Slamet Sujud Purnawan Jati, Department of History, Faculty of Social Science Universitas Negeri Malang Indonesia Jl. Semarang No 5 Malang East Java Indonesia 65145 Abstract Shiva-Buddhist is a phenomenon which is appeared during the Singhasari-Majapahit period. It can be seen from the signifier of Jago temple, Malang. The element of the signifier can be seen from the substance of the related manuscript. Based on the form of architecture, Jago Temple shows the paralellism of Shiva-Buddhist. In addition, the description of the relief is useful to explore the paralellism. The accompanying artifacts reinforce the hypothesis of Shiva-Buddhist pararellismin the period ofSinghasari-Majapahit. Keywords : Shiva-Buddhism, paralellism, signifier Hinduism and Buddhism are present in the archipelago. The appearance is predicted in early century. Although, some foreign chronicles have alluded that the contactbetween Hinduism-Buddhism and Nusantara in some centuries. A fascinating phenomenon is occurred during the Singhasari period that is the parallelism between Shiva and Buddhism (Santiko, 1995 and Kinney et.al., 2003). Parallelistic shape is expressed by Pigeaud and is supported by Santiko. There has been a mix of the religion of Shiva and Buddhistpoint of view in the equation of the concepts equivalent to the highest Shiva-Buddhism (Wahyudi, 2005).
    [Show full text]
  • Unity in Diversity’: a Reading of Ken Arok and Ken Dedes Narratives1
    Surviving Legend, Surviving ‘Unity in Diversity’: a Reading of Ken Arok and Ken Dedes Narratives1 Novita Dewi (National University of Singapore) Abstrak Tulisan ini mengkaji interpretasi-interpretasi ulang atas cerita Ken Arok dan Ken Dedes dalam drama yang ditulis oleh Muhammad Yamin, Ken Arok dan Ken Dedes (1928) dan Pramoedya Ananta Toer novel Arok Dedes (1999). Kedua teks ditafsirkan dengan berlatarbelakang masalah-masalah di Indonesia saat ini, yaitu pelestarian ideologi nasional yang dirumuskan berdasarkan prinsip bhinneka tunggal ika. Pembahasan berkisar seputar alasan-alasan reproduksi narasi tersebut untuk melihat apakah beragam representasi yang terkandung di dalamnya merefleksikan ketegangan dalam sejarah, masyarakat, dan politik Indonesia. Yamin menjadikan kebudayaan Jawa sebagai dasar dari karyanya, sedangkan Pramoedya menggunakan bahan yang sama dengan beberapa pemikiran baru. Sementara fokus drama Yamin adalah pada kesatuan nasional, Arok Dedes karya Pramoedya menekankan pada sikap kritisnya terhadap kondisi politik. Dalam hal ini jelaslah, wacana seringkali mengabaikan kenyataan bahwa ide-ide lokal dibentuk sebagai tanggapan terhadap berbagai bentuk otoritas. Myths, legends, hikayat, babad2 and vari- and socio-political messages were woven into ous other types of folk stories from the ancient these court texts at the time of production. As kingdoms have become familiar backdrops in such, these texts can be treated as referential literary works and stage performances through- and meaningful through the specific cultural, out Indonesian archipelago. Moral, cultural religious and political environments that pro- duced them. 3 Given that these folk stories travel 1 This article is a revised version of the paper pre- sented in the panel on: ‘Unity in Diversity in Folk- lore’ at the 3rd International Symposium of the Jour- tween two controversial heroes, Hang Tuah (embodi- nal ANTROPOLOGI INDONESIA: ‘Rebuilding Indo- ment of loyalty to authority) and Hang Jebat (symbol nesia, a Nation of “Unity in Diversity”: Towards a of outlawry).
    [Show full text]
  • Ken Angrok Pendiri Wangśa Rājasa
    KEN ANGROK PENDIRI WANGŚA RĀJASA Devan Firmansyah 1) Program Studi Pendidikan Sejarah dan Sosiologi Ikip Budi Utomo Malang [email protected] Yahmin 2) IKIP Budi Utomo Malang [email protected] ABSTRACT This research have a purpose to reveal Ken Angrok’s figure in establish Tumapĕl’s Kingdom and also Wangśa Rājasa’s cause Ken Angrok establish this family’s name in 13th Century. In this research, have a research’s methods can be use, that is historiography’s methods. Historiography’s methods consist of four stage. This stage is: 1) Heuristic (aggregation of data source, that is ancient inscription, manuscript, foreign’s report and folklore); 2) Criticical Source (verify to accurate data source); 3) Interpretation (declension to various sata source); and 4) Historriography (writing about result’s research into form about scientific activities). This research can be conclusion that is Ken Angrok succesfull fall out Kaḍiri’s Kingdom and establish his kingdom and the new dynasty’s name. Successful from Ken Angrok because the right political strategy and with support from the clergy, the leader from local’s area and the leader from vilages in the east Kawi’s Mountain and the legitimacy from politics pass through his wedding with Ken Dĕḍĕs. Keyword: Ken Angrok, Wangśa Rājasa, Kerajaan Tumapĕl. PENDAHULUAN Setelah pembagian Kerajaan Pertentangan tersebut terjadi Mĕdang yang dilakukan oleh Raja sampai masa Kerajaan Kaḍiri akhir. Airlangga menjadi dua yaitu Keraja-an Keraja-an Kaḍiri sendiri adalah penerus Janggala dan Paṅjalu kepada para Kerajaan Paṅjalu, yang keberadaan putranya pada tahun 1052 M (Hinzler & awalnya dapat diketahui lewat pra-sasti Schoterman, 1979:483; Kusumadewi, Padlĕgan tahun 1038 Śaka (11 Januari 1988:74 dan Riana, 2009:333), di Jawa 1117 M) bersama dengan para rajanya telah terjadi dis-integrasi sosial-politik dan menghiasi panggung sejarah Jawa (Tim juga da-lam beberapa aspek-aspek Penulisan Sejarah Nasional II, 2010:286).
    [Show full text]