Penggambaran Ideal Perempuan Jawa Pada Masa
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk brought to you by CORE provided by Crossref PURBAWIDYA: Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi p-ISSN: 2252-3758, e-ISSN: 2528-3618 Akreditasi LIPI No. 695/Akred/ P2MI-LIPI/07/2015 Vol. 6(2), November 2017, pp 105 – 116 DOI: doi.org/10.24164/pw.v6i2.205 PENGGAMBARAN IDEAL PEREMPUAN JAWA PADA MASA HINDU-BUDDHA: REFLEKSI PADA ARCA-ARCA PEREMPUAN Ideal Perception of Javanese Women during Hindu-Buddhist Period: Reflection on the Statues of Women Agustijanto Indradjaja Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Jln. Condet Raya Pejaten No. 4 Pasar Minggu Jakarta Selatan E-mail: [email protected] Naskah diterima 9 Agustus 2017 — Revisi terakhir 20 Oktober 2017 Disetujui terbit 23 November 2017 — Tersedia secara online 30 November 2017 Abstract An Archaeological research has various purposes, one is to direct a historical recon- struction emergence and the collapsing of a dynasty and the other, can also be used to reveal the socio-cultural aspects of a community group in the past. Some problems of social-cultural in the past may be connected with some social cultural problems that oc- ccured today. The issue to be revealed in this paper is the perception of ancient Javanese people on the meaning of “beauty” for Javanese women. In this case, the researcher used the historical-archaeology as a method; this approach seeks an equal combina- tion of “historical” and “archaeological” data to the study of the past. The results of research on Durga statue from Prambanan Temple and Prajnaparamita statue from Sin- gasari temple, East Java seem to represent the perception of “beauty” for Javanese women during that time. Keywords: beauty, Javanese, iconography, Hindu-Buddhist Abstrak Penelitian arkeologi, selain ditujukan pada usaha rekonstruksi sejarah atau muncul dan runtuhnya sebuah dinasti, dapat pula digunakan untuk mengungkapkan aspek sosial- budaya suatu kelompok masyarakat pada masa lalu. Banyak permasalahan sosial budaya masa lalu yang memiliki keterkaitan dengan problematika sosial budaya yang terjadi saat ini. Permasalahan yang ingin diungkap dalam tulisan ini adalah bagaimana persepsi masyarakat Jawa kuna terhadap kecantikan perempuan Jawa. Metode yang dipakai adalah metode arkeologi sejarah, yakni pendekatan yang menggunakan data artefaktual dan data tekstual yang berupa naskah untuk studi masa lalu. Hasil penelitian terhadap arca Durga dari Candi Prambanan dan arca Prajnaparamita dari Candi Singasari, Jawa Timur tampaknya dapat mewakili persepsi masyarakat Jawa kuna tentang kecantikan perempuan Jawa pada masa lalu. Kata kunci: kecantikan, Jawa, ikonografi, Hindu-Buddha 105 PURBAWIDYA Vol. 6, No. 2, November 2017: 105 – 116 PENDAHULUAN cantik menurut Kamus Lengkap Bahasa Kedudukan perempuan di dalam Indonesia (Tim Redaksi, 2005) memiliki masyarakat Jawa sering kali digambarkan arti ‘elok, molek, dan indah’. Kemudian, sebagai kaum yang dikekang, dibatasi, dalam penerapannya, pemaknaan feminin, dan tidak berdaya. Padahal, seseorang terhadap kecantikan itu perempuan Jawa pada masa Hindu- berbeda, bahkan selalu berubah dari waktu Buddha diketahui memiliki posisi yang ke waktu. Makna kecantikan di daerah sama dengan kaum pria. Berita Cina dari tertentu bisa jadi berbeda dari makna zaman dinasti Tang menyebutkan bahwa kecantikan di daerah lain. Di Eropa pada pada 674 M rakyat Ho-ling mengangkat abad pertengahan, kecantikan perempuan Ratu Hsimo sebagai raja Jawa yang terkait erat dengan fertilitasnya. Pada dikenal sangat adil (Poesponegoro dan abad ke-15-17 M perempuan cantik dan Notosusanto 1984). Bahkan, penguasa seksi adalah mereka yang punya perut wilayah Lasem pada masa Majapahit, dan panggul yang besar serta dada yang kelima rajanya yang pernah memerintah di montok, yakni bagian tubuh yang berkait Lasem seluruhnya perempuan (Rahardjo, dengan fungsi reproduksi. Pada awal 2001) Pada masa yang lebih kemudian, dari abad ke-19 M kecantikan didefinisikan sumber tertulis dan babad tutur, diketahui dengan wajah dan bahu yang bundar serta bahwa perempuan Jawa diketahui telah tubuh montok. Sementara itu, memasuki berprofesi sebagai anggota prajurit abad ke-20 M kecantikan identik dengan perempuan pada masa Mangkunegara I perempuan dengan bokong dan paha besar. (Kumar, 2008). Di Afrika dan India umumnya perempuan dianggap cantik jika ia bertubuh montok, Banyak aspek perempuan Jawa yang terutama ketika ia telah menikah sebab telah disinggung dalam naskah-naskah kemontokannya menjadi lambang Jawa kuna, seperti kisah Sri Tanjung kemakmuran hidupnya (Syata, 2012). yang menceritakan kesetiaan seorang istri terhadap suaminya, Sidapaksa, yang Ketika belajar dari Eropa, tampaknya harus rela terbunuh untuk membuktikan sepanjang peradaban manusia, apa yang kesetiaannya (Susetyo, 2002). Citra disebut cantik selalu berubah menurut apa perempuan dalam kesusastraan Jawa yang dikonstruksikan oleh masyarakat memang beragam. Salah satunya adalah itu. Pandangan tentang cantik berubah perempuan Jawa dicitrakan sebagai bersama perkembangan teknologi. Di makhluk yang penuh kelembutan, Barat, semenjak Revolusi Industri, kesetiaan, susila, rendah hati, pemaaf, dan terjadi perubahan konsep kecantikan. Era penuh pengabdian (Endraswara, 2013). industrialisasi membuat banyak perempuan Tema kesetiaan, misalnya, dapat ditemukan bekerja di luar rumah dan independen pada bagian akhir cerita Ramayana ketika secara material. Keadaan ini, seperti yang Sinta harus menjalani peruwatan setelah diungkapkan Naomi Wolf, aktivis gerakan bebas dari cengkeraman Rahwana untuk perempuan dalam bukunya The Beauty membuktikan kesetiaannya pada Rama. Myth yang terbit tahun 1990, mendorong Tema yang juga menarik perhatian perempuan membelanjakan uangnya, sejak dahulu terhadap perempuan menjadi konsumen demi kecantikan yang adalah masalah kecantikan. Definisi sejalan dengan penciptaan mitos cantik 106 Penggambaran Ideal Perempuan Jawa.... (Agustijanto Indradjaja) secara massal oleh kaum industri kapitalis; ekofak yang dihasilkan masyarakat masa seperti tubuh yang ramping cenderung lampau pada masa sejarah ketika sudah kurus, muka cantik, bersih, dan kulit mengenal tulisan (Tjandrasasmita, 2009; kencang (Syata, 2012). Handoko, 2012). Karena mitos dan kriteria cantik itulah Untuk mengkaji penggambaran ideal banyak wanita tergoda terhadap tawaran perempuan Jawa pada masa Hindu-Buddha paket mempercantik diri yang kini banyak dilakukan tahapan sebagai berikut: (1) bertebaran; mulai dari melangsingkan tahap pengumpulan data melalui survei; tubuh, memutihkan kulit, mentato alis (2) tahap deskripsi dan analisis; (3) tahap mata, membentuk bokong atau payudara, eksplanasi dan interpretasi. Tahapan dan membuat lesung pipit. Tampak jelas penelitian yang dilakukan, sebagaimana citra kecantikan tengah dikonstruksikan yang diperkenalkan oleh K.R. Dark, oleh kaum industri kapitalis kecantikan, adalah bahwa di dalam penelitian seperti yang ditawarkan iklan dalam media arkeologi setiap artefak harus dilihat massa. Celakanya banyak perempuan yang sebagai data yang memuat informasi terpengaruh, baik secara sadar maupun arkeologis. Akan tetapi, datanya hanyalah tidak, mengikuti keinginan kaum industri informasi tentang eksistensinya sendiri kapitalis kecantikan tersebut. dan tidak dengan sendirinya menjadi bukti arkeologis. Data arkeologi baru menjadi Jika kecantikan adalah sesuatu yang bukti arkeologis setelah dimasukkan ke menarik perhatian, baik bagi kaum dalam kerangka interpretasi (Dark, 1995). perempuan sendiri maupun kaum pria, Dengan demikian, tahapan di dalam bagaimanakah persepsi kecantikan melakukan penelitian arkeologi adalah wanita Jawa pada masyarakat Jawa kuna? sebagai berikut. Dapatkah konsep kecantikan perempuan Jawa pada masa lalu direpresentasikan 1. Sumber Data. pada arca-arca perempuan abad ke-8-13 M Sumber data di dalam penelitian di Jawa? Sasaran penelitian ini difokuskan adalah sumber subjek dari tempat pada tinggalan arca-arca perempuan masa data dapat diperoleh. Pada penelitian Hindu-Buddha. ini sumber data diperoleh dari hasil survei. METODE Selain data artefaktual, pengumpulan data juga dilakukan dengan Arkeologi sebagai bagian ilmu budaya melakukan penelusuran literatur dalam mencapai tujuan penelitian sering yang berhubungan dengan kajian kali membutuhkan disiplin ilmu lain, data artefaktual dalam bentuk buku, baik sebagai alat pengolah data maupun prosiding serta artikel/makalah membantu dalam melakukan interpretasi. lainnya. Usaha tersebut kemudian menghasilkan ilmu perbatasan, seperti arkeologi sejarah 2. Data. (Harkatiningsih et al., 1999). Menurut Temuan arkeologi yang diperoleh Tjarasasmita, arkeologi sejarah adalah melalui survei diolah menjadi arkeologi yang mempelajari masyarakat data dengan melakukan deskripsi masa lampau melalui artefak, fitur, dan terhadap temuan, yang dilanjutkan 107 PURBAWIDYA Vol. 6, No. 2, November 2017: 105 – 116 dengan analisis. Ada dua jenis 3. Evidence turunkan pada tahap cara, analisis, yakni analisis khusus yang dilakukan adalah meletakkan dan analisis kontekstual. Analisis temuan di dalam konteks arkeologi. khusus merupakan analisis yang Konteks di dalam arkeologi dapat menitikberatkan pada ciri-ciri fisik bermakna konteks ruang atau waktu artefak/ikonografi. pada saat arca dibuat dan digunakan. Menyangkut aspek ikonografi pada Analisis konteks dapat digunakan arca, menurut Edi Sedyawati, ada dua untuk menjawab pertanyaan penelitian nilai yang akan diperhatikan, yakni dengan cara menempatkan kajian arca (1) nilai ikonografi, menyangkut ini ke dalam ruang dan waktu pada sistem