Tinjauan Sejarah Dan Dinamika Komisi Pemberantasan Korupsi Di Indonesia Pada Periode I Dan Ii (2003-2011)

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Tinjauan Sejarah Dan Dinamika Komisi Pemberantasan Korupsi Di Indonesia Pada Periode I Dan Ii (2003-2011) TINJAUAN SEJARAH DAN DINAMIKA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA PADA PERIODE I DAN II (2003-2011) Febry Satya Wibawa Hussein Madrasah Aliyah Negeri Lumajang, Indonesia Email: [email protected] Abstrak: Tulisan ini akan mengulas sejarah KPK di Indonesia antara tahun 2003 sampai 2011 meliputi tugas-tugas, profil pimpinan, konflik pada lembaga, beserta penindakan kasus-kasus korupsi di Indonesia. Secara teori, metode yang digunakan dalam merumuskan tulisan ini adalah metode penelitian sejarah dengan deskriptif naratif. Menggunakan sumber primer berupa arsip Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 mengenai KPK, Kepres No. 73 Tahun 2003 mengenai pembentukan panitia seleksi KPK Periode I, dan Keputusan Presiden No 9 Tahun 2007 mengenai pembentukan panitia seleksi KPK Periode II. Selain itu juga menggunakan kajian pustaka yang berhubungan dengan tema dimaksud. Sebagaimana diketahui, kasus korupsi terus menerus terjadi dan sangat sulit diberantas. Ini pula yang melatarbelakangi berdirinya KPK periode I tahun 2003 yang dipimpin oleh Taufieqqurachan Ruki seorang pensiunan polisi bintang dua berpangkat Inspektur Jenderal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa KPK baik periode I dan II sudah berjalan sukses walaupun banyak hambatan dan konflik yang harus dihadapi, lembaga adhoc atau sementara ini pun juga pernah diwacanakan untuk dibubarkan tentu dengan catatan jika kepolisian dan kejaksaan sudah berjalan baik dalam pemberantasan korupsi faktanya Komisi Pemberantasan Korupsi sepertinya berjuang sendiri karena kepolisian dan kejaksaan tampaknya mendukung dengan setengah setengah karena adanya oknum yang melakukan korupsi dan para koruptor yang ada di Indonesia ini semakin canggih dalam melakukan praktik korupsi. Kata Kunci: Dinamika KPK, Periode 1 dan 2 Pendahuluan Indonesia merupakan Negara kaya akan sumber daya alam. Hal tersebut menggambarkan Indonesia mempunyai potensi menjadi salah satu negara maju jika semua bidang dikelola dengan baik dan benar. Tetapi dapat menjadi masalah jika penyelenggara negara lebih mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok dengan menggunakan wewenangnya melakukan tindak pidana korupsi sehingga kepentingan masyarakat luas diabaikan. Khazanah: Jurnal Edukasi Volume 2, Nomor 1, Maret 2020; p-ISSN: 2657-2265, e-ISSN: 2685-6247; 1-28 Febry Satya Wibawa Hussein Tinjauan Sejarah dan Dinamika Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia pada Periode I dan II (2003-2011) Dewasa ini korupsi1 menjadi momok bagi setiap negara dan menghambat pencapaian negara tersebut untuk menjadi negara maju. Hal ini ditindaklanjuti oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan konvensi antikorupsi/ United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang isinya mengenai langkah-langkah preventif, penegakan hukum, kerja sama internasional, pemulihan aset, bantuan teknis dan pertukaran informasi.2 Harapan rakyat terhadap kepolisian dan kejaksaan sebagai garda terdepan melaksanakan supervisi kepada penyelenggara negara yang melakukan korupsi belum terlihat signifikan. Korupsi yang dilakukan penyelenggara negara tidak bisa ditindak dengan tegas oleh kepolisian dan kejaksaan. Menurut Bernard de Spevile secara tegas menyatakan korupsi merupakan hal yang paling susah dideteksi, diinvestigasi dan dibuktikan.3 Hal ini dikarenakan dalam lembaga kepolisian dan kejaksaan juga marak terjadi praktik korupsi. Sehingga tidak mungkin jika kepolisian bisa menindak perwira menengah yang melakukan korupsi dengan asas proporsionalitas karena lembaga tersebut tentu saja tidak ingin malu di depan publik memiliki anggota yang korup. Sehingga dalam pelaksanaan supervisi kepada lembaga kepolisian dan kejaksaan dibutuhkan suatu lembaga independen yang langsung bertanggung jawab kepada presiden. Hal ini sesuai dengan Ketetapan MPR No.XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, juga setahun kemudian ketetapan itu terwujud dengan adanya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan draft usulan Rancangan Undang- Undang yang dibuat oleh Menteri Kehakiman Muladi di zaman Presiden Habibie yakni selain merugikan keuangan perekonomian negara juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.4 1 Definisi korupsi yaitu menyalahgunakan kekuasaan dan wewenang untuk keuntungan pribadi lihat Jeremy Pope. Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional (terj) (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan TII, 2007), 30. 2 Ian McWalters, Memerangi Korupsi: Sebuah Peta Jalan Untuk Indonesia (Surabaya: Jawa Pos Books, 2006), 8. 3 Tim Kompas, Jihad Melawan Korupsi, Editor: HCB Darmawan dan Al Soni BL de Rosari, (Jakarta: Kompas, 2005), 209. 4 Fransiskus Surdiasis, Ulin Ni’am Yusron dan Rusdi Mathari, 10 Tahun Reformasi Bakti Untuk Indonesia: Enam Ikon Pembawa Tradisi Baru (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2008), 211. 2 | Khazanah: Jurnal Edukasi; Volume 2, Nomor 1, Maret 2020 p-ISSN: 2657-2265, e-ISSN: 2685-6247 Febry Satya Wibawa Hussein Tinjauan Sejarah dan Dinamika Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia pada Periode I dan II (2003-2011) Di berbagai belahan dunia tindak pidana korupsi menjadi perhatian lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimengerti karena ekses yang ditimbulkan dapat menghancurkan berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi dan politik serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moral karena seiring berjalannya waktu akan menjadi sebuah budaya, sehingga dapat menjadi hambatan yang terjal untuk menuju kepada masyarakat yang adil dan makmur.5 Pada tahun 2006 dibentuk Undang-Undang No.7 tentang Pengesahan Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).6 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai korupsi tersebut merekomendasikan hal penting untuk memiliki pemahaman yang jelas tentang UNCAC dengan dua alasan. Pertama, untuk penindakan kriminalisasi tindak pidana korupsi juga keberhasilan penindakan para koruptor sebagai strategi internasional. Kedua penting bagi Pemerintah mana pun untuk mengetahui kewajiban-kewajiban yang akan mereka jalankan bila menandatangani Konvensi tersebut. Tujuan dari Konvensi ini diantaranya adalah untuk mempromosikan dan memperkuat langkah-langkah guna mencegah dan memerangi korupsi secara lebih efisien dan efektif, memberikan bantuan kerja sama internasional dan bantuan teknis dalam pencegahan dan perang melawan korupsi dan pemulihan aset, kemudian untuk mempromosikan integritas, akuntabilitas, dan manajemen urusan dan properti publik dengan baik.7 Di Indonesia kampanye melawan korupsi bukan sebuah gerakan baru. Sejak Orde Lama hingga Orde Baru, Pemerintah pernah membentuk berbagai tim atau komisi yang khusus menangani masalah korupsi. Pada 1967 misalnya dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi yang diketuai Jaksa Agung Jenderal Sugih Arto, lalu diteruskan Jaksa Agung Jenderal Ali Said. Pada 1970 Soeharto membentuk Komisi Empat anggotanya antara lain Mohammad Hatta, Anwar Tjokroaminoto, Herman Johannes, dan Soetopo Yoewono. Ketua tim dipimpin oleh Mohammad Hatta yang 5 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi: Edisi Kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), 1. 6 Frans H. Winarta, Suara Rakyat Hukum Tertinggi (Jakarta: Kompas, 2009), 291. 7 Ian McWalters, Memerangi Korupsi, 7-8. Khazanah: Jurnal Edukasi; Volume 2, Nomor 1, Maret 2020 p-ISSN: 2657-2265, e-ISSN: 2685-6247 | 3 Febry Satya Wibawa Hussein Tinjauan Sejarah dan Dinamika Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia pada Periode I dan II (2003-2011) dikenal jujur dan bersih dan menemukan penyimpangan di Pertamina8, lalu Bulog, kemudian penebangan hutan secara ilegal, sehingga muncul Operasi Penertiban pada 1977.9 Sikap manusia Indonesia yang melakukan korupsi ini seperti istilah yang dikemukakan Mochtar Lubis “Komersialisasi Jabatan” yang membuat negara ini semakin mundur.10 Problematika institusionalnya pada masa Orde Lama dan Orde Baru baik tim atau komisi tidak pernah efektif melakukan pemberantasan korupsi. Faktanya yang ditangkap merupakan koruptor kelas bawah, contohnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan anak buah pengacara Hotma Sitompoel, Mario Carmelio Bernardo dan staf Pendidikan dan Pelatihan Mahkamah Agung (MA), Djodi Supratman sebagai tersangka. Keduanya ditetapkan tersangka karena diduga melakukan suap senilai Rp 80 juta di Mahkamah Agung.11 Sehingga masih banyak anggaran negara yang dikorupsi. Kata kuncinya terkait kemauan politik pemerintah dalam mengusut tuntas kasus korupsi. Yang menjadi sorotan adanya aparat pemerintah terlibat pemain utama dalam kasus korupsi tersebut. Pada masa Orde Baru kritik korupsi mencuat sebagai contohnya pada tahun 1976 Sawito Kartowibowo mantan penasehat spiritual Soeharto saat itu yang menulis satu dokumen berjudul “Menuju Keselamatan” yang membujuk pemuka agama seperti T.B Simatupang yang menjadi ketua Dewan Gereja Indonesia dan Mohammad Hatta untuk menandatangani dokumen tersebut. Dokumen Sawito tahun 1977-1978 menjadi bukti satu forum publik untuk menentang korupsi. Demonstrasi besar sudah menjadi hal yang biasa di kampus-kampus karena gerah melihat tingkat korupsi yang besar saat itu. Sehingga pada tahun 1977, menurut Ricklefs ada media asing yang memberitakan bahwa seorang pejabat Departemen Penerangan meminta bayaran US$ 40 juta untuk kontrak satelit telekomunikasi, maka korupsi telah mengikis 30 % bantuan luar negeri dan anggaran belanja pemerintah. 8 “Dibawah Ibnu Sutowo Pertamina berada diluar kendali Pemerintah
Recommended publications
  • Buehler Corruption 11-23-09
    “Of Geckos and Crocodiles: Evaluating Indonesia’s Corruption Eradication Efforts” Michael Buehler Postdoctoral Fellow in Modern Southeast Asian Studies at the Weatherhead East Asian Institute, Columbia University November 23, 2009 Co-Sponsored with CSIS Indonesia’s anti-corruption measures these efforts have been successful. All began 10 years ago with the Clean of the anti-corruption agencies have Government Law, the first severe shortfalls. For example, the comprehensive act that clarified the National Ombudsman has no authority definition of corruption and outlined the to compel the government to follow up charges and procedures for prosecution. on its reports and recommendations, and Over the years, several additional laws has little political support. The Judicial and regulations were issued which Commission was stripped of its established a Corruption Court, a oversight powers in 2005 through a Judicial Commission, and a National decision by the Constitutional Court. In Ombudsman Commission. When general, Mr. Buehler said, the anti- President Yudhoyono came into office, corruption programs have not been well he established broad corruption socialized within the government. eradication programs, including a set of instructions on anti-corruption measures The Corruption Eradication Commission for all state institutions, and gave special (KPK) is the main organization tasked assignments to various ministries to with combating corruption in Indonesia. address corruption. In 2004, he Though it was established in 2002, the established the national Action Plan for commission did not begin work until the Eradication of Corruption, which 2006. The KPK handles around 30 works both to prevent corruption percent of Indonesia’s corruption cases, through transparency and empowerment, and has a 100 percent conviction rate.
    [Show full text]
  • President Jokowi's Leadership Style
    www.rsis.edu.sg No. 086 – 5 May 2017 RSIS Commentary is a platform to provide timely and, where appropriate, policy-relevant commentary and analysis of topical issues and contemporary developments. The views of the authors are their own and do not represent the official position of the S. Rajaratnam School of International Studies, NTU. These commentaries may be reproduced electronically or in print with prior permission from RSIS and due recognition to the author(s) and RSIS. Please email: [email protected] for feedback to the Editor RSIS Commentary, Yang Razali Kassim. 2017 Jakarta’s Election and Indonesia’s Democracy Ascent of a Javanese King: President Jokowi’s Leadership Style By Emirza Adi Syailendra Synopsis With endless political tussles confronting him, particularly during the 2017 Jakarta Gubernatorial Election, President Joko Widodo has drawn inspiration from Javanese philosophy for his political compass when dealing with his political opponents. Commentary JAVANESE CULTURE has permeated Indonesian politics throughout Indonesia’s short political history. Sukarno’s quest for national unity drew inspiration heavily from the Javanese figure Gadjah Mada who was determined to unite the archipelago under the control of the Majapahit Kingdom. Benedict Anderson, writing in 1998 about Sukarno’s successor, described him thus: “[W]hen speaking off the cuff, Suharto sees himself not as a modern president but as a Javanese king.” Former President Abdurrahman Wahid, Megawati Sukarnoputri, and Susilo Bambang Yudhoyono were also drawn to the practice of mysticism in search of wangsit or inspiration before taking important political decisions. President Joko Widodo (Jokowi) is similarly influenced by Javanese political culture though in his own ways.
    [Show full text]
  • The Rise and Fall of Historic Chief Justices: Constitutional Politics and Judicial Leadership in Indonesia
    Washington International Law Journal Volume 25 Number 3 Asian Courts and the Constitutional Politics of the Twenty-First Century 6-1-2016 The Rise and Fall of Historic Chief Justices: Constitutional Politics and Judicial Leadership in Indonesia Stefanus Hendrianto Follow this and additional works at: https://digitalcommons.law.uw.edu/wilj Part of the Comparative and Foreign Law Commons, Constitutional Law Commons, and the Judges Commons Recommended Citation Stefanus Hendrianto, The Rise and Fall of Historic Chief Justices: Constitutional Politics and Judicial Leadership in Indonesia, 25 Wash. L. Rev. 489 (2016). Available at: https://digitalcommons.law.uw.edu/wilj/vol25/iss3/5 This Article is brought to you for free and open access by the Law Reviews and Journals at UW Law Digital Commons. It has been accepted for inclusion in Washington International Law Journal by an authorized editor of UW Law Digital Commons. For more information, please contact [email protected]. Compilation © 2016 Washington International Law Journal Association THE RISE AND FALL OF HISTORIC CHIEF JUSTICES: CONSTITUTIONAL POLITICS AND JUDICIAL LEADERSHIP IN INDONESIA By Stefanus Hendrianto † Abstract : In the decade following its inception, the Indonesian Constitutional Court has marked a new chapter in Indonesian legal history, one in which a judicial institution can challenge the executive and legislative branches. This article argues that judicial leadership is the main contributing factor explaining the emergence of judicial power in Indonesia. This article posits that the newly established Indonesian Constitutional Court needed a strong and skilled Chief Justice to build the institution because it had insufficient support from political actors. As the Court lacked a well- established tradition of judicial review, it needed a visionary leader who could maximize the structural advantage of the Court.
    [Show full text]
  • Making Decentralized Coastal Zone Management Work in Indonesia: Case Studies of Kabupaten Konawe and Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan
    MAKING DECENTRALIZED COASTAL ZONE MANAGEMENT WORK IN INDONESIA: CASE STUDIES OF KABUPATEN KONAWE AND KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN By Hendra Yusran Siry A thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy of the Australian National University. THE AUSTRALIAN NATIONAL UNIVERSITY CANBERRA APRIL 2009 Declaration This thesis is my own original work. The interpretations and perceptions contained in this thesis are my constructions of the world as I see it. Apart from citations of works of other researchers, the content of this thesis is my own. Therefore, I take responsibility for the limitations of its content and errors within this thesis. Hendra Yusran Siry 28 April 2009 Abstract Coastal governance in Indonesia is entering a new phase with new administration mechanisms, following the changes of political, administrative and fiscal framework resulting from decentralisation policy. For the first time provincial and district governments have mandates, resources, and responsibilities to manage their coastal zones. To this point, only a few studies have been conducted that focus on the analysis of effective coastal zone management (CZM) at district level in Indonesia under the decentralisation setting This dissertation presents a study of decentralized CZM in eastern Indonesia based on case studies of two districts in Sulawesi Island, Kabupaten Konawe in Southeast Sulawesi and Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) in South Sulawesi. The dissertation focuses on these district local governments’ responses to decentralisation policy in managing their coastal zones. This new shift is very significant in the sector of marine and coastal governance in Indonesia. This research applied qualitative methods through in-depth and semi-structured interviews as well as field-site observations.
    [Show full text]
  • By Andreas Harsono* When Antasari Azhar, a Senior Government
    By Andreas Harsono* When Antasari Azhar, a senior government prosecutor, was applying to be one of five commissioners of Indonesia’s Corruption Eradication Commission (KPK — Komisi Pemberantasan Korupsi), he lobbied a number of politicians. In December 2007, Azhar finally won not only the seat, but he also secured the most votes in the House of Representatives to be the KPK chairman. His selection as chairman, however, raised some eyebrows. Azhar was an “old guard” prosecutor among Indonesia’s successful prosecutors, and was, for the most part, perceived as a corrupt person by the population. Activists said his selection might undermine the KPK’s credibility. When Azhar was the province’s chief prosecutor, he failed to implement jail sentences against 35 West Sumatra councilors whom the Supreme Court had found guilty of corruption charges. Azhar also was blamed for not imprisoning former President Soeharto’s son, Hutomo Mandala Putra, on time, allowing Putra to go into hiding. Azhar firmly denied the allegations. Interestingly, in the first year of his chairmanship, the KPK made some big-time arrests and convictions, including the Attorney General Office Senior Prosecutor Urip Tri Gunawan, politically connected businesswoman Artalyta Suryani, the former central banker Burhanuddin Abdullah and several lawmakers. The Most Popular Man in Indonesia Azhar soon gained wide publicity. He sang with Slank, one of Indonesia’s most popular rock bands. He traded jokes with comedian Thukul in a late-night television show. He dominated the KPK’s news conferences, winning the title of “anti-corruption tsar.” Jimly Asshiddiqie, then-chairman of the Constitutional Court–another powerful institution established after the fall of Soeharto in 1998–once introduced Azhar as “the most popular man” in Indonesia.
    [Show full text]
  • Problematika Hukum Indonesia, Teori Dan Praktik
    Problematika Hukum Indonesia, Teori dan Praktik Problematika Hukum Indonesia, Teori dan Praktik Dr.Rosyidi Hamzah,SH,MH, dkk RAJAWALI PERS Divisi Buku Perguruan Tinggi PT RajaGrafindo Persada D E P O K Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT) Hamzah, Rosyidi Problematika Hukum Indonesia, Teori dan Praktik/Rosyidi Hamzah —Ed. 1.—Cet. 1.—Depok: Rajawali Pers, 2017. xxx, xxx hlm., 23 cm Bibliografi: hlm. xx ISBN 978-602-425-xxx-x 1. xxxxxx. I. xxxxx xxx.xxx Hak cipta 2017, pada penulis Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit 2017.xxxx RAJ Dr. Rosyidi Hamzah,SH,MH, dkk PROBLEMATIKA HUKUM INDONESIA, TEORI DAN PRAKTIK Cetakan ke-1, Desember 2017 Hak penerbitan pada PT RajaGrafindo Persada, Depok Desain cover oleh [email protected] Dicetak di Kharisma Putra Utama Offset PT RAJAGRAFINDO PERSADA Kantor Pusat: Jl. Raya Leuwinanggung No. 112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Kota Depok 16956 Tel/Fax : (021) 84311162 – (021) 84311163 E-mail : [email protected] Http://www.rajagrafindo.co.id Perwakilan: Jakarta-16956 Jl. Raya Leuwinanggung No. 112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Depok, Telp. (021) 84311162. Bandung-40243, Jl. H. Kurdi Timur No. 8 Komplek Kurdi, Telp. 022-5206202. Yogyakarta-Perum. Pondok Soragan Indah Blok A1, Jl. Soragan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Telp. 0274-625093. Surabaya-60118, Jl. Rungkut Harapan Blok A No. 09, Telp. 031-8700819. Palembang-30137, Jl. Macan Kumbang III No. 10/4459 RT 78 Kel. Demang Lebar Daun, Telp. 0711-445062. Pekanbaru-28294, Perum De' Diandra Land Blok C 1 No.
    [Show full text]
  • Two Decades of Reformasi: Indonesia and Its Illiberal Turn
    Two decades of reformasi: Indonesia and its illiberal turn Rachael Diprose, Dave McRae and Vedi Hadiz Author details: Dr Rachael Diprose University of Melbourne Parkville VIC 3010 Australia Dr Dave McRae University of Melbourne Parkville VIC 3010 Australia Professor Vedi Hadiz University of Melbourne Parkville VIC 3010 Australia 1 Two decades of reformasi: Indonesia and its illiberal turn Rachael Diprose, Dave McRae and Vedi Hadiz1 Abstract: Pressures for a particularist form of Indonesian democracy – illiberal in many of its characteristics – have strengthened rather than receded since reformasi. The exclusivist religious and nativist mobilisation that surrounded the 2017 Jakarta gubernatorial elections was only one recent manifestation of this illiberal turn. This article surveys the impacts of this illiberal turn across diverse areas of policy making in Indonesia, including decentralisation, civil-military relations, economic and foreign policy, as well as in the approaches to recognising past abuses of human rights. We find clear variation in its impacts, produced by differing constellations of old and new forces in each sector, as well as the strategic politico-economic value at stake and the salience of each sector to coherently expressed public pressure for reform. In particular, where the state and the market has failed to address social injustices, more illiberal models of Indonesian politics have emerged, some under the guise of populist discourses that nonetheless continue to serve predatory elite interests and shift attention away from the inequalities in Indonesian society. Key words: Indonesia, democratisation, illiberalism, political reform, policy 1 This article and the others in this Special Issue have been compiled from the Conference on Two Decades of Reformasi: Reflections on Social and Political Change in Indonesia hosted by the Faculty of Arts, the School of Social and Political Sciences, and the Asia Institute at University of Melbourne, 3-4 November 2016.
    [Show full text]
  • Freedom in the World - Indonesia (2011)
    http://freedomhouse.org/inc/content/pubs/fiw/inc_country_detail.cfm?y... Print Freedom in the World - Indonesia (2011) Capital: Jakarta Political Rights Score: 2 * Civil Liberties Score: 3 * Population: 243,306,000 Status: Free Overview President Susilo Bambang Yudhoyono’s parliamentary support weakened in 2010, with a majority voting in March that there were significant irregularities surrounding a controversial 2008 bank bailout. The subsequent resignation of Finance Minister Sri Mulyani, a target of the parliamentary inquiry, was an apparent attempt to avoid an impeachment effort against Vice President Boediono. Security forces in February raided a jihadi training camp in Aceh, and in March killed terrorism suspect Dulmatin, who was wanted for his alleged involvement in a 2002 Bali bombing that killed 202 people. A case against two deputy chairmen of the country’s anticorruption commission, which had been dropped in 2009 after the exposure of an apparent conspiracy by police and prosecutors to undermine the commission, was revived during the year. However, the attorney general’s office announced its intention to legally drop the case for the “sake of public interest” in late October. Violence against the Ahmadiyya minority sect continued in 2010, and there were several attacks on Christian churches. Separately, a Malukan political activist died in jail, allegedly due to torture and denial of treatment. Indonesia declared independence from its Dutch colonial rulers in 1945, though the Netherlands did not recognize its sovereignty until 1949. The republic’s first president, Sukarno, assumed authoritarian powers in 1957. The army, led by General Suharto, crushed an apparent Communist Party of Indonesia (PKI) coup attempt in 1965.
    [Show full text]
  • Legal Dilemmas in Releasing Indonesia's Political Prisoners
    Southeast Asia Research Centre (SEARC) Working Paper Series No. 194 Legal Dilemmas in Releasing Indonesia's Political Prisoners Daniel Pascoe Assistant Professor School of Law City University of Hong Kong LEGAL DILEMMAS IN RELEASING INDONESIA’S POLITICAL PRISONERS Daniel Pascoe1 Abstract In May 2015, in an effort to foster peace in the restive Papua and West Papua Provinces, Indonesian President Joko ‘Jokowi’ Widodo granted clemency to five political prisoners, releasing them from sentences ranging from 20 years to life. The president also stated that there would be ‘a follow-up granting clemency or amnesty to other [political prisoners] in other regions’ (Jakarta Post, 10 May 2015). However, with up to 50 political prisoners still incarcerated in prisons around Indonesia (mostly Papuan and Moluccan separatists), Jokowi’s selective release policy faces several legal and political obstacles. This article outlines the various options open to Jokowi in facilitating future political prisoner releases (including amnesty, clemency, remissions and conditional release), the advantages and disadvantages of each, before suggesting an acceptable way forward for all parties. Keywords: amnesty, clemency, Indonesia, political prisoners, West Papua, Maluku, transitional justice, forgiveness I. Introduction On 9 May 2015, in an effort to foster peace in the restive Papua and West Papua Provinces, Indonesian President Joko ‘Jokowi’ Widodo granted executive clemency to five political prisoners. 2 Apotnaholik Lokobal, Linus Hiluka and 1 Assistant Professor, School of Law, City University of Hong Kong. Email: [email protected] The author would like to thank Toni Tong Yihan and Sungbin Michelle Choi for their research assistance, and Dave McRae for his comments on a draft version of this article.
    [Show full text]
  • Plagiat Merupakan Tindakan Tidak Terpuji Plagiat
    PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI JURNALISME MAKNA DALAM BERITA UTAMA KOMPAS DAN KEDAULATAN RAKYAT BULAN MEI 2009 DAN IMPLEMENTASINYA DALAM BENTUK SILABUS DAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN DI SMA KELAS XI SEMESTER II SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah Disusun Oleh : Yulius Dwi Pramono Nim : 031224048 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA, DAN DAERAH JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI JURNALISME MAKNA DALAM BERITA UTAMA KOMPAS DAN KEDAULATAN RAKYAT BULAN MEI 2009 DAN IMPLEMENTASINYA DALAM BENTUK SILABUS DAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN DI SMA KELAS XI SEMESTER II SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah Disusun Oleh : Yulius Dwi Pramono Nim : 031224048 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA, DAN DAERAH JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010 i PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI ii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI iii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI iv PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN
    [Show full text]
  • Bab I Pendahuluan
    1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemberian Grasi merupakan hak prerogatif Presiden kepada setiap warganya yang tersangkut kasus pidana, berupa pengampunan atau penghapusan pelaksanaan pidana itu sendiri dengan memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung. Dengan diberikannya grasi dari Presiden Joko Widodo kepada terpidana kasus pembunuhan Direktur Utama PT. Putra Rajawali Banjaran, Antasari Azhar, pada 23 Januari 2017 lalu, menyulut pemberitaan di media nasional mengenai grasi yang diberikan tersebut, baik di media cetak, elektronik atau online. Salah satunya adalah surat kabar Harian Kompas. Perjuangan Antasari dalam memperoleh hak pembebasannya tidak hanya ia lakukan sekali, terbukti dengan permohonan banding yang ia ajukan pada 17 Juni 2010 ditolak oleh Mahkamah Agung. Tak hanya sampai disitu, pada 06 September 2011, ia mengajukan Peninjauan Kembali (PK), dan Mahkamah Agung kembali menolak permohonan tersebut, pada 13 Februari 2012. Tetapi, usaha Antasari menuai hasil setelah permohonan grasi yang ia ajukan pada 09 Mei 2015 lalu, dikabulkan oleh Presiden Joko Widodo pada 23 Januari 2017. 2 Antasari merupakan mantan pejabat publik yang kontroversial, khususnya dalam hal pemberantasan korupsi. Banyak kasus korupsi yang ia bongkar dimana banyak melibatkan para petinggi di pemerintahan dari daerah hingga nasional. Salah satu kasus kontroversial yang ia berani ungkap adalah pada tahun 2007 ia mengusut adanya dana aliran sebesar Rp. 100 Miliar dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia, dimana dalam kasus tersebut melibatkan mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Aulia Pohan, Aulia Pohan sendiri merupakan besan Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono. Tak lama setelah ditetapkannya Aulia Pohan sebagai tersangka kasus aliran dana YPPI, pada 29 Oktober 2008. Publik dibuat kaget, dengan munculnya pemberitaan bahwa Antasari ditetapkan menjadi tersangka pembunuhan Direktur PT.
    [Show full text]
  • The London School of Economics and Political Science Berantas
    The London School of Economics and Political Science Berantas Korupsi: A Political History of Governance Reform and Anti-Corruption Initiatives in Indonesia 1945-2014 Vishnu Juwono A Thesis Submitted to the Department of International History of the London School of Economics for the degree of Doctor of Philosophy, London, May 2016 1 Declaration I certify that the thesis I have presented for examination for the MPhil/PhD degree of the London School of Economics and Political Science is solely my own work other than where I have clearly indicated that it is the work of others (in which case the extent of any work carried out jointly by me and any other person is clearly identified in it). The copyright of this thesis rests with the author. Quotation from it is permitted, provided that full acknowledgement is made. This thesis may not be reproduced without my prior written consent. I warrant that this authorisation does not, to the best of my belief, infringe the rights of any third party. I declare that my thesis consists of words <98,911> words. Statement of use of third party for editorial help I can confirm that my thesis was copy edited for conventions of language, spelling and grammar by Mrs. Demetra Frini 2 Abstract This thesis examines the efforts to introduce governance reform and anti-corruption measures from Indonesia‘s independence in 1945 until the end of the Susilo Bambang Yudhoyono‘s (SBY‘s) presidency in 2014. It is divided into three main parts covering Sukarno‘s ‗Old Order‘, Suharto's ‗New Order‘, and the reform period.
    [Show full text]