Tinjauan Sejarah Dan Dinamika Komisi Pemberantasan Korupsi Di Indonesia Pada Periode I Dan Ii (2003-2011)
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
TINJAUAN SEJARAH DAN DINAMIKA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA PADA PERIODE I DAN II (2003-2011) Febry Satya Wibawa Hussein Madrasah Aliyah Negeri Lumajang, Indonesia Email: [email protected] Abstrak: Tulisan ini akan mengulas sejarah KPK di Indonesia antara tahun 2003 sampai 2011 meliputi tugas-tugas, profil pimpinan, konflik pada lembaga, beserta penindakan kasus-kasus korupsi di Indonesia. Secara teori, metode yang digunakan dalam merumuskan tulisan ini adalah metode penelitian sejarah dengan deskriptif naratif. Menggunakan sumber primer berupa arsip Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 mengenai KPK, Kepres No. 73 Tahun 2003 mengenai pembentukan panitia seleksi KPK Periode I, dan Keputusan Presiden No 9 Tahun 2007 mengenai pembentukan panitia seleksi KPK Periode II. Selain itu juga menggunakan kajian pustaka yang berhubungan dengan tema dimaksud. Sebagaimana diketahui, kasus korupsi terus menerus terjadi dan sangat sulit diberantas. Ini pula yang melatarbelakangi berdirinya KPK periode I tahun 2003 yang dipimpin oleh Taufieqqurachan Ruki seorang pensiunan polisi bintang dua berpangkat Inspektur Jenderal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa KPK baik periode I dan II sudah berjalan sukses walaupun banyak hambatan dan konflik yang harus dihadapi, lembaga adhoc atau sementara ini pun juga pernah diwacanakan untuk dibubarkan tentu dengan catatan jika kepolisian dan kejaksaan sudah berjalan baik dalam pemberantasan korupsi faktanya Komisi Pemberantasan Korupsi sepertinya berjuang sendiri karena kepolisian dan kejaksaan tampaknya mendukung dengan setengah setengah karena adanya oknum yang melakukan korupsi dan para koruptor yang ada di Indonesia ini semakin canggih dalam melakukan praktik korupsi. Kata Kunci: Dinamika KPK, Periode 1 dan 2 Pendahuluan Indonesia merupakan Negara kaya akan sumber daya alam. Hal tersebut menggambarkan Indonesia mempunyai potensi menjadi salah satu negara maju jika semua bidang dikelola dengan baik dan benar. Tetapi dapat menjadi masalah jika penyelenggara negara lebih mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok dengan menggunakan wewenangnya melakukan tindak pidana korupsi sehingga kepentingan masyarakat luas diabaikan. Khazanah: Jurnal Edukasi Volume 2, Nomor 1, Maret 2020; p-ISSN: 2657-2265, e-ISSN: 2685-6247; 1-28 Febry Satya Wibawa Hussein Tinjauan Sejarah dan Dinamika Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia pada Periode I dan II (2003-2011) Dewasa ini korupsi1 menjadi momok bagi setiap negara dan menghambat pencapaian negara tersebut untuk menjadi negara maju. Hal ini ditindaklanjuti oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan konvensi antikorupsi/ United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang isinya mengenai langkah-langkah preventif, penegakan hukum, kerja sama internasional, pemulihan aset, bantuan teknis dan pertukaran informasi.2 Harapan rakyat terhadap kepolisian dan kejaksaan sebagai garda terdepan melaksanakan supervisi kepada penyelenggara negara yang melakukan korupsi belum terlihat signifikan. Korupsi yang dilakukan penyelenggara negara tidak bisa ditindak dengan tegas oleh kepolisian dan kejaksaan. Menurut Bernard de Spevile secara tegas menyatakan korupsi merupakan hal yang paling susah dideteksi, diinvestigasi dan dibuktikan.3 Hal ini dikarenakan dalam lembaga kepolisian dan kejaksaan juga marak terjadi praktik korupsi. Sehingga tidak mungkin jika kepolisian bisa menindak perwira menengah yang melakukan korupsi dengan asas proporsionalitas karena lembaga tersebut tentu saja tidak ingin malu di depan publik memiliki anggota yang korup. Sehingga dalam pelaksanaan supervisi kepada lembaga kepolisian dan kejaksaan dibutuhkan suatu lembaga independen yang langsung bertanggung jawab kepada presiden. Hal ini sesuai dengan Ketetapan MPR No.XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, juga setahun kemudian ketetapan itu terwujud dengan adanya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan draft usulan Rancangan Undang- Undang yang dibuat oleh Menteri Kehakiman Muladi di zaman Presiden Habibie yakni selain merugikan keuangan perekonomian negara juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.4 1 Definisi korupsi yaitu menyalahgunakan kekuasaan dan wewenang untuk keuntungan pribadi lihat Jeremy Pope. Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional (terj) (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan TII, 2007), 30. 2 Ian McWalters, Memerangi Korupsi: Sebuah Peta Jalan Untuk Indonesia (Surabaya: Jawa Pos Books, 2006), 8. 3 Tim Kompas, Jihad Melawan Korupsi, Editor: HCB Darmawan dan Al Soni BL de Rosari, (Jakarta: Kompas, 2005), 209. 4 Fransiskus Surdiasis, Ulin Ni’am Yusron dan Rusdi Mathari, 10 Tahun Reformasi Bakti Untuk Indonesia: Enam Ikon Pembawa Tradisi Baru (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2008), 211. 2 | Khazanah: Jurnal Edukasi; Volume 2, Nomor 1, Maret 2020 p-ISSN: 2657-2265, e-ISSN: 2685-6247 Febry Satya Wibawa Hussein Tinjauan Sejarah dan Dinamika Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia pada Periode I dan II (2003-2011) Di berbagai belahan dunia tindak pidana korupsi menjadi perhatian lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimengerti karena ekses yang ditimbulkan dapat menghancurkan berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi dan politik serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moral karena seiring berjalannya waktu akan menjadi sebuah budaya, sehingga dapat menjadi hambatan yang terjal untuk menuju kepada masyarakat yang adil dan makmur.5 Pada tahun 2006 dibentuk Undang-Undang No.7 tentang Pengesahan Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).6 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai korupsi tersebut merekomendasikan hal penting untuk memiliki pemahaman yang jelas tentang UNCAC dengan dua alasan. Pertama, untuk penindakan kriminalisasi tindak pidana korupsi juga keberhasilan penindakan para koruptor sebagai strategi internasional. Kedua penting bagi Pemerintah mana pun untuk mengetahui kewajiban-kewajiban yang akan mereka jalankan bila menandatangani Konvensi tersebut. Tujuan dari Konvensi ini diantaranya adalah untuk mempromosikan dan memperkuat langkah-langkah guna mencegah dan memerangi korupsi secara lebih efisien dan efektif, memberikan bantuan kerja sama internasional dan bantuan teknis dalam pencegahan dan perang melawan korupsi dan pemulihan aset, kemudian untuk mempromosikan integritas, akuntabilitas, dan manajemen urusan dan properti publik dengan baik.7 Di Indonesia kampanye melawan korupsi bukan sebuah gerakan baru. Sejak Orde Lama hingga Orde Baru, Pemerintah pernah membentuk berbagai tim atau komisi yang khusus menangani masalah korupsi. Pada 1967 misalnya dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi yang diketuai Jaksa Agung Jenderal Sugih Arto, lalu diteruskan Jaksa Agung Jenderal Ali Said. Pada 1970 Soeharto membentuk Komisi Empat anggotanya antara lain Mohammad Hatta, Anwar Tjokroaminoto, Herman Johannes, dan Soetopo Yoewono. Ketua tim dipimpin oleh Mohammad Hatta yang 5 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi: Edisi Kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), 1. 6 Frans H. Winarta, Suara Rakyat Hukum Tertinggi (Jakarta: Kompas, 2009), 291. 7 Ian McWalters, Memerangi Korupsi, 7-8. Khazanah: Jurnal Edukasi; Volume 2, Nomor 1, Maret 2020 p-ISSN: 2657-2265, e-ISSN: 2685-6247 | 3 Febry Satya Wibawa Hussein Tinjauan Sejarah dan Dinamika Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia pada Periode I dan II (2003-2011) dikenal jujur dan bersih dan menemukan penyimpangan di Pertamina8, lalu Bulog, kemudian penebangan hutan secara ilegal, sehingga muncul Operasi Penertiban pada 1977.9 Sikap manusia Indonesia yang melakukan korupsi ini seperti istilah yang dikemukakan Mochtar Lubis “Komersialisasi Jabatan” yang membuat negara ini semakin mundur.10 Problematika institusionalnya pada masa Orde Lama dan Orde Baru baik tim atau komisi tidak pernah efektif melakukan pemberantasan korupsi. Faktanya yang ditangkap merupakan koruptor kelas bawah, contohnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan anak buah pengacara Hotma Sitompoel, Mario Carmelio Bernardo dan staf Pendidikan dan Pelatihan Mahkamah Agung (MA), Djodi Supratman sebagai tersangka. Keduanya ditetapkan tersangka karena diduga melakukan suap senilai Rp 80 juta di Mahkamah Agung.11 Sehingga masih banyak anggaran negara yang dikorupsi. Kata kuncinya terkait kemauan politik pemerintah dalam mengusut tuntas kasus korupsi. Yang menjadi sorotan adanya aparat pemerintah terlibat pemain utama dalam kasus korupsi tersebut. Pada masa Orde Baru kritik korupsi mencuat sebagai contohnya pada tahun 1976 Sawito Kartowibowo mantan penasehat spiritual Soeharto saat itu yang menulis satu dokumen berjudul “Menuju Keselamatan” yang membujuk pemuka agama seperti T.B Simatupang yang menjadi ketua Dewan Gereja Indonesia dan Mohammad Hatta untuk menandatangani dokumen tersebut. Dokumen Sawito tahun 1977-1978 menjadi bukti satu forum publik untuk menentang korupsi. Demonstrasi besar sudah menjadi hal yang biasa di kampus-kampus karena gerah melihat tingkat korupsi yang besar saat itu. Sehingga pada tahun 1977, menurut Ricklefs ada media asing yang memberitakan bahwa seorang pejabat Departemen Penerangan meminta bayaran US$ 40 juta untuk kontrak satelit telekomunikasi, maka korupsi telah mengikis 30 % bantuan luar negeri dan anggaran belanja pemerintah. 8 “Dibawah Ibnu Sutowo Pertamina berada diluar kendali Pemerintah