REFORMASI DI MILITER: STUDI PENGANGKATAN PANGLIMA TNI PADA MASA PEMERINTAHAN (1999-2002)

Skripsi diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana (S.Sos)

Oleh Ahmad Sidik Wibowo 1111112000101

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2016

ABSTRAKSI

Nama : Ahmad Sidik Wibowo Judul : Reformasi di Militer: Studi Pengangkatan Panglima TNI pada Masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2002)

Skripsi ini membahas tentang pengangkatan Laksamana Widodo Adi Sutjipto sebagai Panglima TNI di era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 1999-2002. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui alasan mengapa terjadi perbedaan pola pengangkatan Panglima TNI, yang menjadikan Laksamana Widodo Adi Sutjipto sebagai Panglima TNI pada era Kepresidenan Abdurrahman Wahid dibanding era sebelumnya. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan kualitatif melalui analisa deskritif yang terkait dengan reformasi di militer khusus pada pengangkatan Panglima TNI di era Presiden Abdurrahman Wahid. Pengumpulan data yang digunakan adalah dengan studi pustaka dan wawancara yang dilakukan peneliti. Landasan teori dalam skrispi ini adalah reformasi, institusi dan militer, masing-masing teori digunakan untuk menjawab reformasi militer khususnya TNI dalam pengangkatan Panglima TNI di era Kepresidenan Abdurrahman Wahid. Peneliti juga menggunakan teori kebijakan, untuk melihat kebijakan yang diambil Panglima TNI Laksamana Widodo Adi Sutjipto dalam mengawal Reformasi internal TNI. Dari hasil penelitian kualitatif melalui teori tersebut menunjukan terdapat 3 alasan pengangkatan Laksamana Widodo Adi Sutjipto sebagai Panglima TNI, yaitu: faktor politik, agenda dan struktur. Politik merupakan faktor utama yang menjadikan Laksamana Widodo Adi Sutjipto sebagai Panglima TNI oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Faktor kedua adalah agenda kemaritiman, Presiden Abdurrahman Wahid mempunyai agenda tentang kemaritiman, dan yang terakhir faktor struktur yang digagas Presiden Abdurrahman Wahid agar semua Angkatan mempunyai derajat yang sama dalam kesempatan menjadi panglima TNI. Kata Kunci: TNI, Pengangkatan Panglima TNI dan Presiden Abdurrahman Wahid

iv

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb Alhamdulillahi rabbil’alamin. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia, ilham serta inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Kepada Rasul Allah, junjungan Nabi besar kita Muhammad SAW, orang yang paling dicintai Allah beserta sahabat dan keluarganya, semoga kita bisa mendapat syafaat di hari akhir nanti. Amin ya Robbal ‘alamin. Rasa syukur, keberkahan dan kebahagian yang tidak terhingga dan tidak ternilai bagi peneliti adalah dapat mempersembahkan yang terbaik kepada banyak pihak yang telah mendukung dan memberikan dukungannya kepada peneliti baik berupa doa, moril maupun materil. Dengan segala kerendahan hati, izinkan peneliti untuk mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. Dr. Zulkifli sebagai dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta seluruh staff dan jajarannya. 2. Dr. Iding Rosyidin, sebagai ketua Program Studi Ilmu Politik. 3. Suryani, M.Si sebagai sekertaris Program Studi Ilmu Politik dan kepada semua dosen di Prodi Ilmu Politik yang selalu mengajarkan pentingnya keseriusan dalam menuntut ilmu. 4. Prof. Dr. Idzam Fautanu sebagai dosen pembimbing yang selalu memberi masukan-masukan yang berharga dan selalu meluangkan waktu sibuknya untuk peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 5. Bapak Edi Sugeng Haryadi dan Ibu Kumaryati, orang tua peneliti yang sangat peneliti cintai. Terima kasih yang sebesar-besarnya atas doa dan perjuang bapak dan ibu untuk putranya ini mendapatkan gelar Sarjana. Skripsi dan gelar ini dipersembahkan untuk kalian dan mungkin ini hanya kebanggaan kecil yang bisa peneliti berikan. Doakan terus agar anakmu ini dapat memberikan kebahagian-kebahagian lainnya yang lebih besar. 6. Kepada seorang yang spesial Ulfah Nailah Ningrum yang selalu memberikan semangat dan menemani dalam proses pembuatan skripsi ini dari belum terbuatnya Skripsi sampai dengan skripsi ini selesai. 7. Kepada Juru Bicara Kepresidenan era Abdurrahman Wahid Adhie Massardi, Pengamat Militer Salim Said dan Purn. Laksamana TNI Widodo Adi Sutjipto. Terima kasih atas ketersediaannya untuk ikut membantu peneliti dalam pencarian data yang peneliti butuhkan. 8. Untuk keluarga besar Saban dan Sadono, terima kasih atas doa dan supportnya kepada peneliti dalam pencarian data yang dibutuhkan selama penelitian berlangsung. 9. Khusus Untuk Michael Jordan, Koento, Roni dan Azim atas segala macam bantuan yang telah diberikan dalam pembuatan skripsi ini, semoga Tuhan Membalas amal perbuatan kelak di akhirat nanti.

v

DAFTAR ISI

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME...... i PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI...... ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI...... iii ABSTRAK ...... iv KATA PENGANTAR ...... v DAFTAR ISI...... vii DAFTAR TABEL…………………………………………………………….ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Pertanyaan Penelitian ...... 13 C. Tujuan dan manfaat ...... 14 C.1. Tujuan ...... 14 C.2. Manfaat ...... 14 C.2.a. Manfaat Akademis ...... 14 C.2.b. Manfaat Praktis...... 15 D. Tinjauan Pustaka ...... 15 E. Metode Penelitian ...... 16 F. Jenis Penelitian ...... 17 G. Teknik Analisa Data ...... 19 H. Metode Penulisan ...... 19 I. Sistematika Penulisan ...... 19 BAB II KERANGKA TEORITIS DAN KONSEPTUAL A. Reformasi ...... 22 B. Institusi ...... 24 C. Militer ...... 27 D. Kebijakan Publik ...... 33 BAB III SEJARAH MILITER DAN KONDISI POLITIK DI ERA ABDURRAHMAN WAHID A. Latar Belakang Sejarah Militer Indonesia ...... 41

vii

B. Kondisi Militer dan Politik Pasca Orde Baru ...... 50 C. Supremasi Sipildi Era Abdurrahman Wahid ...... 58 D. Militer di Era Reformasi ...... 60 BAB IV REFORMASI DI MILITER: STUDI PENGANGKATAN PANGLIMA TNI PADA MASA PEMERINTAHAN ABDURRAHMAN WAHID (1999-2002) A. Reformasi di Tubuh TNI ...... 68 B. Profil Panglima TNI Laksamana Widodo Adi Sutjipto ...... 79 C. Pengangkatan Laksamana Widodo Adi Sutjipto sebagai Panglima TNI ...... 86 D. Kebijakan Panglima TNI Widodo Adi Sutjipto ...... 96 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...... 99 B. Saran………………………………………………………..102 DAFTAR PUSTAKA...... 103 LAMPIRAN-LAMPIRAN...... 101

viii

DAFTAR TABEL

Tabel III.D.1 Daftar Panglima TNI ...... 63

ix

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Terdapat satu organisasi dalam sejarah Indonesia modern yang posisinya paling penting dibandingkan organisasi lain maka jawabannya adalah angkatan bersenjata. Angkatan bersenjata atau yang biasa dikenal sebagai militer, telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI). Hubungan militer dengan negara Indonesia di mulai dari sebelum Negara

Indonesia medeka, tepatnya pada masa penjajahan Belanda dan Jepang.

Sejarah terciptanya organisasi militer atau tentara di Indonesia, berawal pada masa kolonial Belanda. Proses ini terjadi ketika tahun 1826-1827, saat Belanda berperang dengan Pangeran Diponogoro1. Di peperangan tersebut, Belanda mendapatkan banyak kerugian, sehingga pemerintah kolonial Belanda membentuk pasukan khusus yang terdiri dari para pribumi dan pasukan bayaran2. Di bentuknya tentara khusus daerah Hindia-Belanda memberikan sebuah organisasi modern tentara pertama di Indonesia, walaupun pada saat itu mayoritas pasukannya masih berasal dari Belanda. Sekitar tahun 1930, pemerintah kolonial

Belanda memberikan izin untuk mendirikan sekolah akademi militer pertama di

Indonesiaa, yaitu tepatnya di Master Cornelius yang sekarang tempat itu bernama

Jatinegara. Di tempat itu, masyarakat Indonesia (kaum pribumi) dilatih untuk

1Petrik Matanasi, Pribumi Jadi Letnan KNIL. (Yogyakarta: Trompet, 2011), h. 3. 2Ibid., 4.

1 menjadi calon perwira militer pertama di Indonesia3. Sekolah militer tersebut, walaupun menjadi organisasi militer pertama yang menerima pribumi sebagai tentaranya, namun mereka juga harus setia dan berjuang atas nama Ratu Belanda4.

Ketika perang dunia kedua meletus, Belanda harus mengakui kekalahannya oleh

Jepang atas wilyah Hindia-Belanda. Masuknya pemerintah jepang di wilayah

Indonesia, juga memberikan akibat terhadap organisasi militer di Indonesia5.

Jepang membentuk organisasi yang bernama PETA (Pembela Tanah Air).

Titik ini menggambarkan perubahan drastis di dalam organisasi militer di

Indonesia. Kemerdekaan tahun 1945, pemerintah Indonesia tidak langsung membentuk organisasi militer, karena banyak yang menjadi pertimbangan6. Pada tanggal 5 Oktober 1945, barulah di bentuk organisasi militer yang murni dari masyarakat Indonesia, dengan nama TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Seiring dengan berjalannya waktu, tepatnya pada tanggal 5 Mei 1947 nama TNI (Tentara

Nasional Republik Indonesia) mulai digunakan oleh tentara Indonesia7.

Terbentuknya TNI sebagai nama kesatuan dari tentara Indonesia menjadi tonggak sejarah penting dari terciptanya organisasi militer professional Indonesia. TNI pada awal-awal kemerdekaan, pasukannya terdiri atas tentara KNIL, PETA, dan perjuang Laskar-Laskar yang ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan dari tangan Belanda.

3Colin Wild dan Peter Carey, ed., Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1986), h. 80. 4Ibid. 5Ibid., 81. 6Ibid., 136. 7Ibid., 82.

2

Organisasi militer di Indonesia saat ini terdiri dari ketiga pasukan yang bernaung di bawah TNI, yaitu Angkatan Darat, Laut, dan Udara. Ketiga pasukan ini menjadi tulang punggung organisasi militer di Indonesia. Di dalam ketiga angkatan militer ini di bentuk untuk menjaga keutuhan dan persatuan Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dari wilayah darat, laut, maupun udara dan untuk menghalau serangan dari musuh yang ingin menguasai Indonesia.

Militer di setiap negara merupakan sebagai salah satu lambang kekuatan dari negara tersebut. Tidak terkecuali di Indonesia, Militer di Indonesia disebut juga sebagai Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang menjaga kedaulatan seluruh wilayah Kesatuan Negara Republik Indonesia dari ancaman Luar Negeri. TNI dipimpin oleh seorang Panglima yang dipilih oleh Presiden. Panglima merupakan pemimpin besar dari tentara nasional Indonesia yang memimpin seluruh Angkatan di Indonesia, baik Angkatan Darat, Angakatan Laut dan Angakatan Udara.

Panglima ialah satu bagian utama yang tidak boleh terlewatkan, dunia ini pasti memiliki seorang pemimpin yang harus mengelola dan mengatur jalan organisasi tersebut. Kepemimpinan menjadi bagian yang terpenting di dalam sebuah organisasi, dan hal ini juga berlaku dalam militer. Panglima umunnya adalah seorang perwira atas atau senior yang berbintang empat. Panglima di organisasi militer menmimpin seluruh angkatan bersenjata yang bernaung di dalam organisasi tersebut. Panglima TNI bertugas untuk memimpin seluruh angkatan bersenjata yang berada di TNI, yaitu Angkatan Darat, Laut dan Udara. Jabatan ini diberikan oleh presiden kepada perwira senior yang telah di seleksi melalui berbagai tahap penyeleksiannya. Panglima Tentara Nasional Indonesia atau biasa

3 disebut Panglima TNI adalah pejabat yang menjadi pucuk pimpinan dari Tentara

Nasional Indonesia. Sebagai pucuk pimpinan, panglima adalah seseorang yang mempunyai wewenang komando operasional militer untuk menggerakkan pasukan atau alat negara8.

Di era Orde Lama, TNI yang dahulunya bernama Tentara Keamanan Rakyat

(TKR) sampai dengan runtuhnya Orde Baru pemimpin tertinggi militer di

Indonesia selalu dikuasai oleh Angkatan Darat. Kepemimpinan di awal negara

Indonesia dijabat oleh seorang panglima tertinggi yang berasal dari Angkatan

Darat yaitu Jenderal Sudirman yang dipilih langsung oleh Soekarno yang menjabat sebagai presiden pada saat itu.

Meninggalnya Jenderal Besar Sudirman maka berganti pula pucuk tertinggi dari militer Indonesia. Pergantian panglima terus berganti tetapi mereka tetap dari

Angkatan Darat yang terpilih sebagai Panglima. Rezim telah berganti, pemerintahan yang selanjutnya dipimpin oleh seorang yang berasal dari Angkatan

Darat, yaitu Letjen Soeharto. Pada masa Soeharto sistem pemerintahan juga berganti di berbagai sektor, termasuk Panglima TNI, pada masa ini Angkatan

Darat seolah-olah menjadi anak emas dari Soeharto sehingga segala kebutuhan

Angkatan Darat di akomodir, termasuk Panglima TNI yang terpilih dari Angkatan

Darat. Selama dia berkuasa 32 Tahun panglima tetap berasal dari Angkatan Darat.

Beberapa nama Panglima-panglima TNI, serta istilah Panglima TNI di era masing-masing pemerintahan, dari era pemerintahan Soekarno sampai dengan

8Liem Siok Lan. Mengutamakan Rakyat-Wawancara Mayor Jenderal TNI Saurip Kadi oleh Liem Siok Lan.( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2008), h. 147.

4

Abdurrahman Wahid, di mulai pada tanggal 14 Oktober 1945, beberapa bulan setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Jendral Urip Sumorharjo ditetapkan sebagai Kepala Staff Angkatan Perang dan pemimpin sementara angkatan perang yang baru dibentuk. Selanjutnya Presiden Soekarno melantik

Jenderal Soedirman menjadi Panglima Besar TKR pada 18 November 1945. Pada

8 Januari 1946, nama TKR diganti namanya menjadi Tentara Keselamatan

Rakyat.

Pada 26 Januari 1946, pemerintah Indonesia mengeluarkan maklumat mengenai pergantian nama Tentara Keselamatan Rakyat menjadi Tentara

Republik Indonesia (TRI). 25 Mei 1946, Panglima Besar Jenderal Soedirman dilantik oleh Presiden Soekarno sebagai Pimpinan Markas Besar Umum dan

Kementerian Pertahanan, Tentara Republik Indonesia. Kemudian 3 Juni 1947,

Presiden Soekarno, meresmikan berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang merupakan penggabungan antara TRI dan laskar-laskar perjuangan rakyat di seluruh Indonesia. Presiden lalu menetapkan pucuk pimpinan TNI yang bersifat kolektif yang anggotanya adalah para pimpinan TRI dan pimpinan laskar-laskar perjuangan rakyat, dengan ketuanya adalah Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Pada tahun 1948, Pemerintah Indonesia menata ulang organisasi TNI.

Presiden Soekarno mengeluarkan memecah pucuk pimpinan TNI menjadi Staf

Umum Angkatan Perang dan Markas Besar Pertempuran. Staf Umum dimasukkan ke dalam Kementerian Pertahanan di bawah seorang Kepala Staf Angkatan

Perang (KASAP). Sementara itu Markas Besar Pertempuran dipimpin oleh

5 seorang Panglima Besar Angkatan Perang Mobil (bergerak). Pucuk pimpinan TNI dan Staf Gabungan Angkatan Perang dihapus.

Presiden mengangkat Komodor Suryadarma sebagai Kepala Staf

Angkatan Perang dan Kolonel T.B. Simatupang sebagai wakilnya. Sebagai

Panglima Besar Angkatan Perang Mobil diangkat Jenderal Soedirman. Staf

Umum Angkatan Perang bertugas sebagai perencanaan taktik dan siasat serta berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan. Sementara Staf Markas Besar

Angkatan Perang Mobil, adalah pelaksana taktis operasional. Keputusan Presiden ini menimbulkan reaksi di kalangan Angkatan Perang. Maka pada 27 Februari

1948, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden No.9 Tahun 1948 yang membatalkan penetapan yang lama dan mengeluarkan penetapan baru.

Penetapan yang baru ini, Staf Angkatan Perang tetap di bawah Komodor

Suryadarma, sementara itu Markas Besar Pertempuran tetap di bawah Panglima

Besar Jenderal Soedirman, ditambah Wakil Panglima yaitu Jenderal Mayor A.H.

Nasution. Angkatan Perang berada di bawah seorang Kepala Staf Angkatan

Perang (KASAP) yang membawahi Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD),

Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL) dan Kepala Staf Angkatan Udara

(KASAU).

Pada 5 Maret 1948, diberlakukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1948 tentang Susunan Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang. Dalam undang- undang tersebut diatur bahwa Menteri Pertahanan berkewajiban untuk menyelenggarakan pertahanan negara dalam arti yang seluas-luasnya dengan

6 menyelenggarakan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) yang terbentuk dari Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Menteri Pertahanan dalam menjalankan kewajibannya dibantu oleh Kepala Staf Angkatan Perang yang dibantu oleh 3 orang anggota staf yaitu Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala

Staf Angkatan Laut dan Kepala Staf Angkatan Udara.

Setelah selesai perang kemerdekaan, jabatan Panglima Besar dihapus.

Pada tahun 1949, sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar dengan dibentuknya negara Republik Indonesia Serikat, maka dibentuk pula Angkatan Perang

Republik Indonesia Serikat (APRIS) yang merupakan gabungan antara anggota

Angkatan Perang Republik Indonesia dengan KNIL. Presiden RIS mengangkat

Soedirman sebagai Kepala Staf APRIS dengan pangkat Letnan Jenderal. Negara

Republik Indonesia Serikat tidak berumur panjang, dan Angkatan Perang

Republik Indonesia Serikat kembali menjadi Angkatan Perang Republik

Indonesia.

Pada 10 Juli 1951, Presiden Soekarno mengangkat Kolonel TB

Simatupang sebagai Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia.

Pada tahun 1955, dibuat suatu organisasi Gabungan Kepala-Kepala Staf yang merupakan bagian dari Kementerian Pertahanan dan berada di bawah langsung

Menteri Pertahanan. Gabungan Kepala-Kepala Staf ini diketuai oleh seorang ketua, yang dijabat bergiliran mulai dari Angkatan Darat, Angkatan Laut dan

Angkatan Udara. Gabungan Kepala-kepala Staf ini mempunyai fungsi sebagai penasihat dan perencana utama bagi Menteri Pertahanan untuk penetapan

7 kebijaksanaan penyelenggaraan koordinasi dalam lapangan strategis-militer serta operasi antara Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.

Mulai 1962, penggunaan istilah Angkatan Perang Republik Indonesia

(APRI) diganti menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang merupakan penyatuan dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan

Angkatan Kepolisian. Mulai 1965, Hari Angkatan Perang yang biasanya diperingati setiap 5 Oktober, juga diganti namanya menjadi Hari Angkatan

Bersenjata. Pada masa ini setiap angkatan berdiri sendiri dan mempunyai panglima sendiri, dan tidak ada sebutan sebagai Panglima ABRI. Seluruh panglima angkatan dan kepolisian berada di bawah komando langsung Presiden

Soekarno sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata.

Pada 21 Juni 1962, Presiden Soekarno mengangkat Jenderal Abdul Haris

Nasution menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Kemudian pada 1 Mei 1963 Panglima Komando Strategis Angkatan Darat

(Kostrad) dijabat oleh Mayjen Soeharto. Dua hari kemudian, tepatnya 3 Oktober

1965, Mayjen Soeharto diangkat sebagai Panglima Kopkamtib. Jabatan ini memberikan wewenang besar untuk melakukan pembersihan terhadap orang- orang yang dituduh sebagai pelaku G30-S/PKI.

Pada era ini, TNI melaksanakan fungsinya dengan jargon Dwi Fungsi

ABRI dengan dipelopori oleh Jendral A.H. Nasution. Dwi fungsi ABRI merupakan sebuah konsep politik di era orde baru, dimana menempatkan ABRI baik sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan maupun sebagai kekuatan sosial

8 politik. Struktur politik yang demikian itu telah diatur melalui peraturan-peraturan perundangan yang ada.9 Di lain hal, jabatan Panglima TNI dijabat oleh Jenderal

TNI M. Panggabean sejak 28 Maret 1973 hingga 17 April 1978. Kemudian digantikan Jenderal TNI M. Yusuf sejak 17 April 1978 hingga 24 Februari 1983.

Selanjutnya Jenderal TNI L. B Murdani memimpin pada 24 Februari 1983 hingga

6 September 1988. Kemudian disusul oleh Jenderal TNI Tri Sutrisno pada 6

September 1988 sampai 20 Februari 1993. Selanjutnya Jenderal TNI Edi Sudrajat menjabat pada 20 Februari 1993 hingga 21 Mei 1993. Selepas itu jabatan dipegang oleh Jenderal TNI Faisal Tanjung mulai 21 Mei 1993 hingga 20

Februari 1998.

Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, kembali ditegaskan nama

Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai sebutan resmi Angkatan Perang

Republik Indonesia, yang bersama dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia

(Polri) merupakan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pada era ini mulai dipilih Panglima ABRI, sebagai pimpinan Angkatan Bersenjata Republik

Indonesia. Jenderal TNI terpilih kala itu.

Sejak mundurnya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia, dimulailah era baru pimpinan ABRI. Sejak dipisahkannya Kepolisian Negara Republik

Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia dari ABRI per 1 April 1999, istilah

Panglima ABRI diganti menjadi Panglima TNI. Pada 4 November 1999 sampai

9Soebijono, dkk., Dwifungsi ABRI Perkembangan dan Peranan dalam Kehidupan Politik di Indonesia.( Yogyakarta; UGM Press 1997), h. 1.

9

18 Juni 2002 jabatan Panglima TNI dijabat oleh Laksamana TNI Widodo Adi

Sutjipto.10

Rezim Orde Baru akhirnya runtuh. Presiden selanjutnya dipimpin oleh B.J

Habibie yang merupakan wakil dari Soeharto akhirnya naik sebagai presiden.

Tetapi panglima TNI tetap masih dari Angkatan Darat. Setelah B.J Habie turun, diadakanlah pemilu di parlemen, untuk memilih siapa presiden selanjutnya.

Akhirnya terpilih Abdurrahman Wahid sebagai presiden Indonesia. Di mulai dari sini Panglima TNI dipimpin oleh Laksamana Widodo A.S yang berasal dari

Angkatan Laut menggantikan Jendral Wiranto yang berasal dari Angkatan Darat.

Dan terjadi reformasi di militer yang mengakibatkan perwakilan dari Angkatan

Laut dapat menjadi Panglima TNI yang sebelumnya di kuasai oleh Angkatan

Darat. Salah satu peberdannya adalah Laksamana Widodo A.S memerintah sebagai Panglima pada saat pasca Reformasi, dimana paham dwi fungsi ABRI perlahan mulai dihapuskan. Dwi fungsi ABRI adalah ABRI tidak hanya berperan sebagai pelindung negara tetapi juga sebagai pemegang pemerintahan.11

Di era Presiden Abdurrahman Wahid atau yang biasa kita kenal sebagai Gus

Dur telah menetapkan banyak kebijakan baru termasuk pergantian Panglima TNI yang sebelumnya dipegang oleh Jendral Wiranto, lalu digantikan oleh Laksamana

Widodo Adi Sutdjipto sebagai Panglima TNI yang baru. Pada era reformasi, militer juga menyatakan dirinya tidak lagi terlibat dalam politik dan menegaskan

10Susi Fatimah Panglima TNI, “Jejak Soedirman hingga Moeldoko,” 22 Januari 2016 [tulisan online]; tersedia di http://news.okezone.com/read/2014/10/07/337/1048928/panglima-tni- jejak-soedirman-hingga-moeldoko 11 Yudhi Chrisnandi, Reformasi TNI Prespektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), h. 3.

10 tidak akan mencampuri urusan politik. Dengan pergantian rezim kekuasaan, masyarakat semakin berani menyuarakan pendapatnya menuntut militer tidak lagi terlibat dalam urusan politik yang sudah dijalaninya bersama rezim orde baru dibawah presiden soeharto. Tak hanya itu, militer juga dituntut untuk kembali pada fungsi tugas utamanya sebagai alat pertahanan negara dan keamanan negara.12

Berbagai pandangan muncul untuk menilai jalannya reformasi TNI. Sejumlah pengamat berpendapat bahwa TNI telah banyak mengurangi pengaruhnya dalam proses politik, telah memperbaiki standar profesionalisme dan penghargaan terhadap nilai HAM serta berada di bawah pengawasan sipil. John Bradford menyatakan saat ini TNI beserta komitmen serta keputusan yang dihasilkan, telah menjauhkannya dari politik praktis dan lebih berkaitan dengan pertahanan luar13.

Di lain hal, pengamatan senada juga diungkapkan serta diperjelas oleh Marcus

Mietzner yang membagi refomasi TNI ke dalam dua tahap yaitu reformasi angkatan pertama dan reformasi TNI angkatan kedua. Reformasi TNI angkatan pertama terjadi di masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie (1998-1999). Pada masa kepemimpinan Jendral Wiranto ini TNI melakukan reformasi ke dalam (self- reform). Tahapan selanjutnya diistilahkan Mietzner sebagai reformasi radikal

(radical-reform) yaitu melakukan supremasi sipil terhadap militer. Tindakan ini terjadi di era Presiden Abdurahman Wahid. Penempatan Juwono Sudarsono

12 Yuddi chrisnandi, Reformasi TNI Prespektif Baru Hubungan Sipil- Militer di Indonesia (Jakarta; Pustaka LP3ES indonesia, 2005), h. 93. 13Beni Sukadis, Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia (DCAF & LESPRESI, 2007), h. 21.

11 sebagai Menteri Pertahanan adalah simbol keinginan Presiden Wahid melakukan supremasi sipil atas militer. Posisi Panglima TNI yang di masa orde baru dipegang oleh angkatan darat diubah dengan diangkatnya Laksamana Widodo sebagai

Panglima TNI.14

Fenomena ini bukan menjadi hal yang dipandang tabu dalam militer. Yang menjadikan hal ini dianggap berbeda karena sejarah Indonesia yang biasanya menempatkan Angkatan Darat (AD) yang seakan-akan sangat berjasa bagi perjuangan kemerdekaan bangsa dan sangat di hormati di era Orde Baru yang membuat AD mendapatkan prioritas lebih besar dibandingkan dengan angkatan- angkatan lainnya yang sesungguhnya dari tingkat hirarki sejajar. Bagaimana tidak, naiknya Letnan Jendral Soeharto yang mempunyai latar belakang dari Angkatan

Darat naik sebagai Presiden, menjadikan Angkatan Darat sebagai salah satu kekuatan politik di era tersebut. Tidak dapat di pungkiri lagi AD bahkan telah menempati jabatan – jabatan penting di dalam pemerintahan salah satunya

Departemen Pertahanan (Dephan) yang sekarang berubah nama menjadi

Kementrian Pertahanan (Kemhan) selalu di dominasi oleh AD secara berturut – turut.15

Keputusan pergantian posisi yang terjadi di tubuh militer, mencerminkan reformasi dari kebijakan Abdurrahman Wahid menempatkan Laksamana Widodo

14Marcus Mietzner, The Politics of Military Reform in Post-Suharto Indonesia: Elite Conflict, Nationalism, and Institutional Resistance (Washington:East-West Center, 2006), h. 20. 15A. Malik Haramain, Gus Dur Militer dan Politik (Yogyakarta:LkiS, 2004), h. 65.

12

Adi Sutjipto sebagai Panglima Angkatan Bersenjata (Pangab TNI).16 Kebijakan ini merupakan upaya menciptakan tradisi baru dalam TNI dimana jabatan ini selalu diisi oleh Angkatan Darat. Banyak kalangan yang berpendapat bahwa penempatan orang yang berasal dari Angkatan Laut di posisi hirarki tertinggi dalam militer sebagai usaha mengubah mindset bahwa Angkatan Darat harus mengisi jabatan tertinggi dalam hirarki tersebut. Keputusan ini menjadi sangat tepat diambil karena selama ini kekuatan hanya berpusat pada Angkatan Darat.

Dengan ditetapkan kebijakan ini diharapkan terjadi pembagian kekuatan dan kekuasaan antar angkatan yang terdapat di TNI.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan tema utama atau rumusan masalah diatas maka permasalahan dalam penelitian ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Bagaimana reformasi militer pada masa pemerintahan Abdurrahman

Wahid dan hal apa saja yang melatar belakangi Laksamana Widodo

Adi Sutjipto sebagai panglima Tentara Nasional Indonesia?

2. Bagaimana kebijakan Widodo Adi Sutjipto dalam reformasi militer

setelah diangkat sebagai Panglima TNI oleh Pemerintahan Presiden

Abdurrahman Wahid?

16Bambang Irawan FX, Supremasi Sipil? Agenda Politik Militer Gus Dur (Yogyakarta: eLstReba, 2000), h. 66.

13

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Menganalisis tentang pola pergantian panglima tertinggi di masa

pemerintahan Abdurrahman Wahid yang pada kenyataannya telah

terjadi perubahan. Khususnya sistem pengangkatan Panglima TNI

Karena panglima TNI merupakan pemimpin tertinggi di kubu

militer yang memberi perintah dan kebijakan terhadap TNI yang

bertugas bukan hanya sebagai pelindung negara dari ancaman luar

tetapi juga demi menjaga stabilitas politik.

b. Mendeskripsikan hubungan reformasi militer terhadap

pengangkatan panglima di Indonesia. Karena di era ini Panglima

pertama kali berasal dari TNI Angkatan Laut, bukan berasal dari

TNI Angkatan Darat lagi, dan kebijakan yang dibuat oleh

Laksamana Widodo Adi Sutjipto dalam melakukan reformasi

militer.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Akademik

Mengetahui reformasi di bidang militer terutama dalam

pengangkatan serta kebijakan yang dibuat oleh Panglima TNI

Laksamana Widodo A.S yang terpilih sebagai Panglima TNI

pertama yang berasal dari Angkatan Laut di era kepemimpinan

Presiden Abdurrahman Wahid Tahun 1999-2002.

14

b. Tujuan Praktis

 Menambah referensi penelitian mengenai militer di UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta

 Untuk memenuhi syarat akademik untuk mendapatkan

gelar S.Sos (Sarjana Sosial).

D. Tinjauan Pustaka

Terdapat beberapa penelitian yang terkait dengan penelitian saya yaitu :

1. Skripsi yang ditulis oleh Istikhori, Mahasiswa UIN Syariff Hidayatullah

Jakarta, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat tahun 2008 yang berjudul :

“Profesionalisme Militer Pasca Orde Baru”. Skripsi ini menganalisa

tentang berkisar tentang bentuk nyata yang harus dilakukan militer untuk

menciptakan profesionalisme militer pasca orde baru.

Penulis menemukan bahwa militer pasca orde baru jika ingin menjadi

profesional dalam menjalankan tugasnya harus mempunya 5 indikator,

yaitu : kembali ke barak, tidak berpolitik praktis, pemisahan TNI POLRI,

tidak berbisnis, dan Refungsional dan Restrukturisasi teritorial.

Bedanya dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian ini lebih terfokus

dalam menegaskan pada struktur kepeminpinan Panglima TNI.

2. “Militer di era Abdurrahman Wahid : studi kasus hubungan Abdurrahman

Wahid-militer”. Sebuah Tesis karya Abdul Malik Harmein mahasiswa

15

Pascasarjana Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Universitas Indonesia lulusan tahun 2003.

Penelitian ini difokuskan pada format hubungan sipil-militer di era

Abdurrahman Wahid, khususnya hubungan antara Presiden dengan TNI.

Beberapa alasan yang menjadi dasar pemikirannya adalah, pertama, bahwa

Abdurrahman Wahid telah mengeluarkan sejumlah kebijakan penting

berkaitan dengan posisi dan peran TNI-Polri dalam format kehidupan

kenegaraan dan kebangsaan Indonesia selama ia menjabat sebagai

Presiden Rl ke-4 hasil pemilu 1999.

Perbedan dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian ini lebih terfokus

pada hubungan antara Presiden Abdurrahman Wahid dalam kebijakannya

melakukan reformasi di militer dengan mengangkat Laksamana Widodo

Adi Sutjipto sebagai Panglima TNI yang pertama berasal dari barisan TNI

Angkatan Laut.

E. Metodologi Penelitian

Dalam sebuah penilitian, menentukan metode yang digunakan merupakan hal yang sangat penting guna mendapatkan data yang sesuai dan akurat. Peneliti akan melakukan metode penelitian berdasarkan analisa data dengan menggunakan metode analisis. Metode analisis yang dimaksud adalah analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Penelitian ini berhubungan dengan tipe data. Data dalam penelitian terdiri dari: data kualitatif dan kuantitatif. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metodologi penelitian kualitatif yang datanya merupakan data

16 dalam berskala nominal dan beberapa pendapat juga menyatakan termasuk data berskala ordinal. Dengan kata lain, data kualitatif merupakan data yang didalamnya penggunaan angka terbatas pada klasifikasi kategori dan bukan untuk mengukur urutan, selisih, atau perbandingan kategori. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menggambarkan isi tetapi tidak berdasarkan pada akurasi statistik. Kata-kata yang disusun dalam bentuk cerita atau peristiwa, mempunyai kesan yang lebih nyata, lebih hidup, penuh makna, dan sering kali jauh lebih meyakinkan pembaca, peneliti lainnya, pembuat kebijakan, praktisi daripada halaman-halaman yang penuh dengan angka-angka.17

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tulisan dan dengan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang diteliti.18 Penelitian kualitatif melibatkan penggunaan dan pengumpulan berbagai bahan empiris seperti studi kasus, wawancara, pengamatan, teks sejarah.

F. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam melakukan pelaksanaan studi ini adalah metode penelitian kualitatif. Menurut John Creswell19 penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian ilmiah yang lebih dimaksudkan untuk memahami masalah-masalah manusia dalam konteks sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks yang disajikan, melaporkan pandangan

17Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial (Bandung: Refika Aditama, 2010), h. 39. 18Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 5. 19Mengutip dari John Craswell dalam Jozef Raco, Metode Penelitian Kualitatif: Jenis Karakteristik dan Keunggulan (Jakarta: Grasindo, 2012), h. 37.

17 terperinci dari para sumber informasi, serta dilakukan dalam setting yang alamiah tanpa adanya intervensi apapun dari peneliti.

1. Teknik Pengumpulan Data

Teknik untuk melakukan pengumpulan data merupakan hal yang penting, disini Instrumen yang akan digunakan oleh peneliti dalam pengumpulan data penelitian adalah:

a. Dokumentasi

Dokumentasi adalah catatan tertulis tentang berbagai kegiatan atau

peristiwa pada waktu yang lalu, dan dokumentasi juga merupakan teknik

pengumpulan data mengenai hal-hal atau masalah yang akan diteliti

melalui literatur buku, catatan, transkip, surat kabar, majalah dan internet.

Dokumentasi diperlukan untuk mempermudah peneliti untuk memberikan

jawaban dan kejelasan dari permasalahan penelitian.

b. Wawancara

Wawancara adalah suatu metode yang digunakan untuk

mengumpulkan data dalam bentuk komunikasi langsung antara peneliti

dan responden melalui percakapan yang berlangsung secara sistematis

dan terorganisir. Komunikasi berlangsung dalam bentuk tanya jawab

dalam hubungan tatap muka, sehingga gerak dan mimik responden

merupakan pola media yang melengkapi kata-kata secara verbal.20

20W Gulo, Metodologi Penelitian (Jakarta: Grasindo, 2013), h. 119.

18

Dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara dengan

narasumber terkait, yaitu Adhie Massardi sebagai mantan juru bicara

Presiden Abdurrahman Wahid, dan Salim Said sebagai pengamat militer.

G. Teknik Analisis Data

Dalam bagian analisa data, penulis akan menggunakan metode analisa penelitian secara deskriptif analitis, yaitu metode yang menggambarkan hal-hal yang menjadi objek penelitian atau menggambarkan suatu keadaan secara tepat, sehingga diharapkan mampu menjawab berbagai permasalahan tersebut. Proses ini terbagi dalam tiga bagian yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.21

H. Metode Penulisan

Metode penulisan induktif dimana terlebih dahulu melihat fakta-fakta yang sedang terjadi lalu mengaitkannya dengan sebuah teori.

I. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, untuk mempermudah memahami isi dari skripsi ini, maka penulis membagi skripsi ini terdiri dari lima bab, tiap bab yang di dalamnya terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematikanya sebagai berikut:

 Bab I: Pendahuluan meliputi fenomena awal yang terjadi di pemerintahan

Presiden Abdurrahman Wahid dalam mengambil keputusan dengan

21Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif (Jakarta: Erlangga, 2009), h.148.

19

mengangkat Panglima TNI Laksamana Widodo Adi Sutjipto sebagai

panglima TNI petama di Indonesia yang berasal dari Angkatan Laut.

Dalam bab ini penulis menguraikan latar belakang masalah, perumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi

penelitian, dan sistematika penulisan.

 Bab II: Kerangka Teori, meliputi pengertian reformasi, pengertian Institusi

menurut ahli, pengertian militer dalam hubungan antara sipil militer, dan

Kebijakan Publik.

 Bab III: pola pergantian panglima TNI pada era kepemimpinan presiden

Abdurrahman Wahid dan sebelumnya. Serta kilasan biografi Laksamana

Widodo Adi Sutjipto dan bab ini membahas sistimatika pola-pola

pergantian.

 Bab IV: bab ini merupakan bagian terpenting dari penulisan skripsi,

karena berisikan tentang permasalahan yang penulis angkat. Penulis akan

menjelaskan reformasi militer yang terjadi di Indonesia, dalam studi

pengangkatan panglima TNI serta kebijakan yang dibuat dalam reformasi

militer pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid.

 Bab V: Penutup, meliputi: kesimpulan dan saran-saran penulis, serta

rekomendasi studi kasus yang diangkat, sekaligus merupakan akhir dari

keseluruhan tulisan ini, di bagian akhir, penulis juga mencantumkan daftar

pustaka yang penulis gunakan sebagai rujukan dalam penulisan skripsi ini.

20

BAB II

KERANGKA TEORITIS DAN KONSEPTUAL

Dalam bab ini, secara garis besar akan dibahas mengenai sebuah landasan teoritis dalam ruang lingkup normatif dengan asumsi-asumsi penelitian mengenaihal-hal yang akan dikaji dalam penulisan skripsi ini. Dengan memberikanlandasan teoritis, diharapkan penelitian ini dapat menganalisis reformasi dimiliter: studi pengangkatan panglima TNI pada masa pemerintahan

Abdurrahman Wahid serta kebijakan yang diambil Widodo Adi Sutjipto sebagai panglima TNI yang mengawal reformasi (1999-2002).

Secara khusus, teori adalah generalisasi yang abstrak mengenai beberapa fenomena dan dalam menyusun generalisasi, teori selalu memakai konsep. Jadi teori adalah konsep-konsep yang saling berhubungan menurut aturan logika menjadi suatu bentuk pernyataan tertentu sehingga dapat menjelaskan fenomena tersebut secara ilmiah.1 Teori juga memiliki peran dalam melakukan korelasiantara permasalahan dan aktualisasi penelitian.

Teori-teori ini akan menjelaskan tentang pengertian reformasi dan institusi militer sebagai lembaga pertahanan negara sebagaimana penelitian ini akan membahas tentang reformasi dalam pengangkatan Panglima TNI yang berasal dari Angkatan Laut pertama di Indonesia yang terjadi di era Abdurrahman Wahid.

Penulis menggunakan teori Reformasi, Institusi, dan Militer.

1 Miriam Budiharjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2008), h. 43.

21

A. Reformasi

Reformasi berasal dari kata Reformation yang berakar padakata reform yang mempunyai arti pembaharuan, perbaikan, memperbaiki dan menjadi lebih baik.

Reformasi dalam hal ini lebih mengarah kepada pembaharuan menuju arah yang positif. Reformasi lebih mengarah menuju perubahan yang terbatas dan mengikuti jaman dalam laju kepemimpinan, kebijakan dan pranata politik.2

Dapat dipahami bahwa reformasi merupakan perubahan secara damai kearah positif, maka dalam pelaksanaan reformasi yang perlu ditekankan adalah kinerja sistem politik yang berlangsung. Dalam hal ini yang berperanan didalam peta perpolitikan adalah kaum pendukung reformasi berbenturan dengan kekuatan pendukung yang masih ingin menggunakan sistem lama, yang merupakan perimbangan kekuatan dan strategik pendukung keduanya. Reformasi merupakan negosiasi antar kekuatan politik.3

Kata Reformasi sendiri adalah suatu gerakan untuk mengadakan pembaharuan dalam kekristenan barat yang dimulai sejak abad ke-14 hingga abad ke-17.

Sebenarnya, reformasi merupakan gerakan yang hendak mengembalikan kekristenan kepada otoritas Alkitab, dengan iman kepercayaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Wahyu Allah. Reformasi meletus di abad ke-16 dan letusannya terjadi di beberapa tempat yang berbeda. Pertamatama terjadi di

Jerman dengan Martin Luther sebagai pelopornya. Setelah itu Zwingli memimpin reformasi di Swiss, kemudian Johanes Calvin yang mempelopori reformasi di

2Al Chaidar, ReformasiPremalur (Jakarta: DarulFalah, 1998), h. 160. 3Ibid., 161.

22

Perancis, serta di Jenewa dan Swiss. Selain itu, reformasi juga terjadi di tempat lain seperti di Inggris.4

Jakob Oetama mengemukakan bahwa reformasi timbul karena terjadinya tindakan kesewanang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintah, yang mengakibatkan rasa untuk memperbaiki yang diwarnai emosi. Emosi muncul akibat terjadinya penekanan serta penahanan diri yang terjadi cukup lama.

Reformasi bertujuan memberikan arti secara benar dalam merealisasikan prinsip- prinsip kedaulatan rakyat dan keadilan masyarakat dalam supremasi hukum.

Sedangkan reformasi Menurut Samuel Huntington, adalah suatu perubahan yang terbatas dalam hal cakupan moderat, dalam laju kepemimpinan, kebijakan, dan pranata-pranata politik.5 Masih ada seorang ahli yang mengungkapkan tentang reformasi yaitu Hirschman, reformasih menurutnya adalah perubahan dengan nama “kekuasaan berbagai kelompok-kelompok istimewa dikekang sementara posisi ekonomi dan status sosial kelompok-kelompok yang kurang beruntung diperbarui.

Reformasi birokrasi sendiri menurut Imanuel Khan mendefinisikan reformasi sebagai suatu usaha melakukan perubahan-perubahan pokok dalam suatu sistem birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang telah lama. Selain itu ditambahkan pula oleh Quah bahwa reformasi sebagai suatu cara untuk mengubah proses dan prosedur birokrasi publik

4Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, Penerjemah Liem Sien Kie (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), h. xiii. 5Samuel P. Huntington, Tertib Politik di dalam Masyarakat yang sedang Berubah,(Jakarta: CV. Rajawali, 1983), h. 531.

23 dan sikap serta tingkah laku birokrat untuk mencapai efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional.6

Teori ini berkaitan dengan tema penelitian karena berangkat dari teori reformasi, kita dapat mengetahui apa itu reformasi dan terutama dapat menjelaskan reformasi dimiliter. Jadi reformasi dimiliter merupakan perubahan secara damai kearah positif, maka dalam pelaksanaan reformasi yang perlu ditekankan adalah kinerja sistem politik yang berlangsung, yang sebelumnya di dalam militer yang dijadikan alat oleh Penguasa Orde baru yang menjadikan TNI jauh dari tugas sebagai militer yang sesungguhnya, sehingga diadakan perubahan di dalam tubuh militer menuju perubahan yang lebih baik dengan menjalankan tugas utama TNI yang telah ditetapkan yaitu menjaga kedaulatan Negara Kesatuan

Republik Indonesia dari segala bentuk ancaman dari luar negeri.

B. Institusi/ Lembaga

Kata Institusi berasal dari bahasa Latin. Arti dari dasarnya menetapkan, meresmikan.7 Lembaga menurut Samuel Huntington adalah perwujudan perilaku moral dan kepentingan timbal balik dimana, keluarga, clan, suku, atau desa yang terpencil dapat menjadi suatu komunitas dengan usahan yang dilandasi oleh sedikit kesadaran. Secara historis, lembaga politik terbentuk sebagai hasil interaksidan akibat konflik yang terjadi antara berbagai kekuatan sosial, maupun karena perkembangan tahap demi tahap berbagai prosedur dan sarana yang

6Agus Dwiyanto, Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 23. 7 Frans Sugiyono, Mencintai liturgi (Yogyakarta: Kanisius, 2010), h. 91.

24 diperlukan untuk mengatasi konflik tersebut. Berkumpulnya orang-orang secara bersamaan harus dilembagakan. Dengan demikian pembentukan lembaga politik yang melibatkan timbal balik merupakan elemen yang sangat diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan komunitas di dalam suatu masyarakat yang kompleks.8

Paul B. Horton mengatakan, lembaga atau institusi adalah suatu sistem norma yang dipakai untuk mencapai tujuan atau aktvitas yang dirasa penting, atau kumpulan kebiasaan dan tata kelakuan yang terorganisir yang terpusat dalam kegiatan utama manusia. Jadi, bisa dikatakan bahwa lembaga berupa norma- norma yang dipakai masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Dan norma- norma itu berupa kebiasaan dan tata kelakuan. Lembaga adalah proses yang terstruktur, yang dipakai untuk menyelenggarakan kegiatannya.

North Doglas9 seorang sejarawan ekonomi terkemuka mendefinisikankelembagaan sebagai batasan-batasan yang dibuat untuk membentuk polainteraksi yang harmonis antara individu dalam melakukan interaksi politik, sosialdan ekonomi. Senada dengan North, Schmid mengartikan kelembagaan sebagai sejumlah peraturan yang berlaku dalam sebuah masyarakat, kelompok atau komunitas, yang mengatur hak, kewajiban, tanggung jawab, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Sedangkan menurut Schotter, kelembagaan merupakan regulasi atas tingkah laku manusia yang disepakati oleh

8Samuel P. Huntington. Tertib Politik di dalam Masyarakat yang Telah Berubah. penerjemah Suryatim BA (Jakarta: CV Rajawali,1983), h. 19. 9Aceng Hidayat, Modul Ekonomi Kelembagaan [buku on-line] (Institut Pertanian Bogor: 2007, artikel diakses pada 3 Desember 2015); tersedia di https://www.scribd.com/doc/47760007/modul-peng-ek-kelembagaan.

25 semua anggota masyarakat dan merupakan penata interaksi dalam situasi tertentu yang berulang.

Berdasarkan atas bentuknya (tertulis/tidak tertulis) North membagi kelembagaan menjadi dua: informal dan formal. Kelembagaan informal adalah kelembagaan yang keberadaannya di masyarakat umumnya tidak tertulis. Adat istiadat, tradisi, pamali, kesepakatan, konvensi dan sejenisnya dengan beragam nama dan sebutan dikelompokan sebagai kelembagaan informal. Sedangkan kelembagaan formal adalah peraturan tertulis seperti perundang-undangan, kesepakatan, perjanjian kontrak, peraturan bidang ekonomi, bisniss, politik dan lain-lain. Kesepakatan-kesepakatn yang berlaku baik pada level international, nasional, regional maupun lokal termasuk ke dalam kelembagaan formal.

Banyak kalangan yang menyamakan institusi/lembaga dengan organisasi.

Penyamaan ini tidak mutlak salah tapi juga tidak selalu benartergantung pada konteksnya. Namun, untuk keperluan analisis keduanya harusdibedakan secara jelas.

North mendefinisikan organisasi sebagai bangunan atau wadah tempatmanusia berinteraksi, seperti organisasi politik, ekonomi, keagamaan, pendidikan,olah raga dan lain-lain. Yaitu, kumpulan individu yang terikat oleh kesamaantujuan dan berupaya untuk mencapai tujuan tersebut sebagai kepentinganbersama.10 North mengilustrasikan organisasi dengan tim olah raga

(sepak bola,bola basket) dimana banyak orang terlibat baik sebagai pelatih, pengurusorganisasi, pemain, dan lain-lain dengan tujuan bagaimana

10Ibid.,

26 memenangkan setiappertandingan. Sedangkan lembaga adalah serangkaian peraturan yang berlakudalam setiap pertandingan yang harus ditaati baik oleh pemain, pelatih maupunstakeholder lainnya. Ketidakjelasan lembaga akan menyebabkan pertandinganberjalan kacau dan tujuan memenangkan setiap pertandingan yang ditargetkanoleh tim tidak akan tercapai dengan baik.

Norman T. Uphoff, seorang ahli sosiologi mengemukakan bahwa, Institutions are complexes of norms and behaviors that persist over time serving collectivelly valued purposes. (Institusi atau lembaga adalah serangkaiannorma dan perilaku yang sudah bertahan (digunakan) selama periode waktutertentu yang relatif lama.11

C. Militer

pengertian militer, dalam bahasa Inggris "Military" adalah " thesoldiers; the amry, the armed/orees" yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikanprajurit atau tentara, angkatan darat, angkatan bersenjata. Mereka terdiri daribeberapa angkatan, yakni; darat, laut dan udara.

Amos Perlmutter menyebutkan bahwa organisasi militer adalah sebuah organisasi yang paling sering melayani kepentingan umum tanpa menyertakan orang-orang yang menjadi sasaran usaha-usaha organisasi itu. Profesi militer disebut sebagai suatu profesi sukarela karena setiap individu bebas memilih suatu pekerjaan di dalamnya, namun ia juga bersifat memaksa karena para anggotanya tidak bebas untuk membentuk suatu perkumpulan sukarela melakukan terbatas kepada suatu hirarki birokrasi. Militer merupakan suatu profesi sukarela karena

11Ibid.,

27 setiap individu bebas memilih suatu pekerjaan didalamnya, namun ia juga bersifat memaksa karena para anggotanya tidak bebas untuk membentuk suatu pekumpulan sukarela melainkan terbatas kepada suatu situasi hirarki birokrasi.12

Lebih lanjut dapat pula didefikasi bahwa dalam diri para prajurit militer terdapat tiga ciri khas sekaligus, yaitu koorporatis (dalam hal ekskulusifitas), birokratis (dalam hal hirarki), dan profesional (dalam hal semangat misi). Militer adalah organisasi kekerasan fisik yang sah untuk mengamankan negara atau bangsa dari ancaman luar negeri maupun dalam negeri. Dalam hal ini militer berfungsi sebagai alat negara yang menjungjung tinggi supremasi sipil.

Militer yang profesional menurut Erick A. Nodlinger terkait juga dengan kemampuan seorang prajurit menjalankan tugasnya mempertahankan ketertiban nasional dalam menghadapi ancaman, menggunakan senjata dalam pertempuran, serta tidak melibatkan diri dari urusan nonmiliter13

Teori Samuel P. Huntington mengenai hubungan sipil–militer Samuel

Huntington mengemukakan bahwa adanya dua konsep yang menjelaskan bagaimana kontrol sipil itu di lakukan. Yaitu Subjective Civilian

Control (Maximizing Civilian Control) yaitu memaksimalkan kekuasaan sipil.

Dapat di artikan bahwa model ini bisa diartikan sebagai upaya meminimalisasi kekuasaan militer dan memaksimalkan kekuasaan kelompok–kelompok sipil.

Kedua, Objective Civilian Control ( Maximizing Military Professionalism) yaitu memaksimalkan profesionalisme militer dan menunjukkan bahwa adanya

12Amos Perlmutter, Militer dan Politik (Jakarta: Rajawali Pers, 2000), h. 2. 13 Erick A. Nordlinger, Militer Dalam Politik (Jakarta: Rhineka Cipta, 1990), h. 69.

28 pembagian kekuasaan politik antara kelompok militer dan kelompok sipil yang kondusif menuju perilaku professional.

Dua konsep Huntington ini menuju pada arah non–politikal professional military yang menempatkan aktor militer sebagai abdi negara yang di tugaskan untuk mempertahankan negara tanpa berupaya untuk mengembangkan sejarah ideologi dan landasan moral dari evolusi negara. Abdi negara ini lalu mengembangkan misi teknis operasional berupa penggunaan kekuatan bersenjata untuk mempertahankan kedaulatan politik dan territorial Negara di bawah kendali otoritas politik sipil yang sah.14

Ada tiga jenis organisasi militer yang timbul di dala negara bangsa yang modern, masing-masing bertindak sebagai reaksi terhadap jenis kekuasaan sipil yang dilembagakan.

1. Prajurit profesional.

Prajurit dengan pengetahuan dan keahlian profesionalnya, menjadi pelindung tunggal negara. Lembaga militer, yang merupakan suatu unit korporasi berjuang keras untuk menjaga ini. Yang mempunyai ciri-ciri; keahlian, pertautan(tanggung jawab terhadap masyarakat atau negara), koporatisme

(kesadaran kelompok dan organisasi birokrasi), dan ideologi(semangat militer).15

14 Samuel P.Huntington, Prajurit dan Negara, Teori politik Hubungan Militer dan Sipil,. (Massachussets : Harvard University Press, 1959), h. 80. 15Amos Perlmutter, Militer dan Politik (Jakarta: Rajawali Pers, 2000), h. 14.

29

2. Prajurit Pretorian

Semakin tinggi kedudukan seorang perwira, semakin ia bersifat politis terutama pada situasi pretorian dan revolusioner, yang mungkin melibatkan seluruh organisasi militer dalam aksi politik. Hal ini dapat terjadi pada masyarakat yang ideologisnya terpecah-pecah.16

3. Prajurit Revolusioner

Tentara revolusioner cenderung takluk pada pengaruh politik. Ketika revolusi berangsur-angsur melembaga, gerakan partai menjadi kekuasaan tertinggi dalam negara. Kemudian ia menentang perwira rasional (profesional). Tentara tampil sebagai alat mobilisasi partai yang revolusioner.17

b. Larry Diamond & Marc F Plattner

Teori hubungan Sipil-Militer Ideal menurut Larry Diamond & Marc F Plattner yang menyatakan bahwa hubungan sipil-militer terbaik akan ditemukan di negara di mana otoritas sipil mampu memenangkan perselisihan kebijakan dengan militernya belum dapat dibuktikan di Indonesia selama berlangsungnya era reformasi. Kondisi Hubungan Sipil-Militer di Indonesia pasca- Soeharto (1998-

2004), menunjukkan model baru hubungan-sipil militer yang lebih tepat disebut

Equal-Controllable Relation (hubungan- hubungan yang seimbang dan tekendali).

Hubungan sipil- militer seperti yang dipraktikan oleh tiga pemerintahan pasca-

Soeharto melahirkan kendali sipil objektif atas militer yang masih semu, namun

16 Ibid., 18. 17 Ibid., 20.

30 jauh lebih baik dari masa sebelum reformasi. Hubungan tersebut cocok diterapkan pada kondisi negara yang tengah bertransisi menuju demokrasi.18

Alfred Stephan melihat hubungan sipil-militer dengan mengamati sejauh mana sipil mampu mengurangi hak istimewa militer dan sejauh mana militer berhasil mempertahankan hak-hak istimewanya. Ia memperkenalkan konsep “hak istimewa”19 militer. Stepan menjelaskan beberapa hak istimewa militer yang terpenting dan potensial. Dengan melihat kecenderungna posisi militer, Stepan membagi tingkat Hak Istimewa militer dalam kualifikasi rendah, moderat, dan tinggi. Hak istimewa dalam kadar rendah disebabkan oleh control de jure dan de facto yang dijalankan oleh para pejabat dengan beberapa prosedur dan lembaga- lembaga yang didukung oleh rezim demokratis. Namun pemerintahan demokratis baru seringkali mendapatkan penolakan-penolakan aktif atau pasif dari militer, akibatnya pemerintahan baru tidak mampu melaksanakan hak istimewa secara efektif, makan hak istimewa militer bergerak menuju tingkat moderat. Sebaliknya jika militer sangat menentang setiap upaya pemerintahan demokratis baru untuk mengurangi hak istimewa, maka hak istimewa ini bergerak ke arah tinggi. Karena itu posisi militer tidak bisa dilepaskan dari sejauh mana pihak sipil mampu membatasi dan mengurangi otoritas militer dari misi nonmiliternya.

Keberadaan dan posisi militer dalam kancah sosial-politik, tidak bisa dipisahkan dari konteks pemikiran akademisi Barat. Mereka mencoba

18Yudhi Chrisnandi, Reformasi TNI Prespektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), h. Xii. 19A. Malik Haramain, Gus Dur Militer dan Politik (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2004), h. 19.

31 mengklasifikasikan peran dan fungsi militer dari segi posisi dalam kekuasaan pemerintahan, sosial-politik, dan profesionalisme. Dari segi profesionalisme, keberadaan dan posisi militer pada umumnya langsung dikaitkan dengan keahlian yang mereka miliki, yakni sebagai penguasa alat-alat kekerasan (managers ofviolence) yang mereka manfaatkan untuk menjaga kestabilan pemerintahan yang diselenggarakan oleh masyarakat sipil.

Dalam konteks ini, militer adalah instrumen yang harus ada dalam seluruh sistem penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang dikelola oleh masyarakat.

Apapun bentuk pemerintahan yang mereka pilih, apakah kerajaan, parlementer, presidensial, monarki, clan sebagainya. Termasuk apapun bentuk sistem sosial politik-ekonomi yang mereka terapkan, apakah sosialisme, komunisme, liberalisme, kapitalisme, dan sebagainya. Penyerahan pengelolaan alat-alat kekerasan pada militer, pada mulanya tidak lepas dari pemikiran sederhana, bahwa masyarakat sipil memerlukan pihak-pihak yang bisa melindunginya dari segala ancaman perang dan kekerasan.

Elliot A. Cohan mengklasifikasikan pola (patterns) hubungan sipil-militer ke dalam 4 model, yaitu: Pertama, The Traditional Model. Militer dibangun menjadi kelompok profesional, secara sosial terisolasi, memusatkan perhatian pada masalah-masalah teknis dan hanya berorientasi kepada ancaman dari luar.

Kedua, The "Constabulary" Model. Pada dasarnya, tentara berfungsi sebagai kekuatan kepolisian di mana para pemimpinnya lebih bertindak sebagai

"managers" daripada "warriors", dengan orientasi ke luar maupun ke dalam negeri dan lebih melihat pada pentingnya ketertiban (order) daripada berperang

32 menghadapi musuh. Ketiga, The Military as Reflection of Society. Sebuah sistem nasional di mana militer memainkan peran penting dalam membangun civil society yang dilaksanakan melalui dinas militer secara luas dengan pendidikan dan indoktrinasi yang positif (conscious). Keempat, The Guardian Military.

Sebuah sintesa dimana militer melindungi orde politik dan sosial namun tidak melibatkan diri dalam politik praktis (day to day intervention in politics).

D. Kebijakan Publik

Kebijakan publik merupakan kebutuhan yang mendasar bagi setiap warga

negara dalam proses mengatur dan mengelola sebuah pemerintahan. Proses ini

penting guna mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyat yang berada di wilayah

sebuah pemerintahan. Kebijakan publik memiliki kaitan yang erat dengan aturan-

aturan yang dibuat dan dilaksanakan oleh negara sebagai sebuah tindakan

pemerintah.

Istilah kebijakan publik sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari dan

dalam kegiatan akademis, seperti dalam kuliah-kuliah ilmu politik. Istilah

kebijakan mungkin digunakan secara luas seperti dalam “kebijakan luar negeri

Indonesia’ atau “kebijakan keuangan negara-negara berkembang”. Namun, istilah

kebijakan juga dapat dipakai untuk merujuk pada sesuatu yang lebih khusus,

seperti misalnya kebijakan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Republik

Indonesia yang membuat sebuah kebijakan di dalam TNI dan kebijakan Panglima

TNI Widodo A.S sebagai panglima yang berasal dari Angkatan Laut dalam

mengawal TNI dalam melakukan reformasi internal.

33

Konsep yang ditawarkan ini, mengandung pengertian yang cukup luas,

karena yang dimaksud kebijakan publik dapat mencakup banyak hal, kebijakan

publik lebih mengarah kepada apa yang ditetapkan oleh aktor atau pemerintah,

atau sejumlah aktor yang dalam mengatasi sejumlah masalah, konsep ini

dianggap tepat karena memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya

dilakukan, bukan pada apa yang diusulkan. Namun demikian, satu hal yang harus

diingat dalam mendefinisikan kebijakan, adalah bahwa pendefenisian kebijakan

tetap harus mempunyai pengertian mengenai apa yang sebenarnya dilakukan,

ketimbang apa yang diusulkan dalam tindakan mengenai suatu persoalan tertentu.

Terdapat banyak definisi kebijakan publik dari para ahli. Salah satu definisi

mengenai kebijakan publik diberikan oleh Robert Eyestone. Ia mengatakan

bahwa “secara luas” kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai “hubungan

suatu unit pemerintah dengan lingkungannya”20. Definisi lain kebijakan publik

diberikan oleh Thomas R. Dye yang mengatakan bahwa “kebijakan publik adalah

apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan”. Lalu

menurut Amara Raksasataya, kebijakan adalah sebuah taktik atau strategi yang

terarahkan untuk mencapai suatu tujuan.21Selain itu, James Anderson juga

memberikan definisi mengenai kebijakan publik, ia menjelaskan kebijakan

20Budi winarno, Kebijakan Publik: Teori dan Proses (Yogyakarta: Media Pressindo, 2007), h. 17. 21M, Irfan Islami, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1989), h. 17.

34

merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang

aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan.22

Kebijakan publik menurut Anderson terbagi atas dua pembagian, yakni kebijakan subtantif dan kebijakan prosedural.23 Kebijakan substantif adalah kebijakan yang akan dilakukan oleh pemerintah mengenai pembangunan yang ada di daerah. Salah satu contoh dari kebijakan substantif, yaitu pembangunan jalan

Tol dan infrastruktur lainnya. Sedangkan kebijakan prosedural adalah kebijakan mengenai siapa yang akan diberi kewenanagan mengambil keputusan.

Yang termasuk dalam kebijakan prosedural, yakni undang-undang yang mengatur mengenai pembentukan suatu badan tertentu dan proses yang akan dijalankan, Analisis Kebijakan (Policy Analysis) dalam arti historis yang paling luas merupakan suatu pendekatan terhadap pemecahan masalah sosial dimulai pada satu tonggak sejarah ketika pengetahuan secara sadar digali untuk dimungkinkan dilakukannya pengujian secara eksplisit dan reflektif kemungkinan menghubungkan pengetahuan dan tindakan.

Setelah memaparkan makna kebijakan, maka secara sederhana kebijakan publik digambarkan oleh Bill Jenkins di dalam buku The Policy Process sebagai

Kebijakan publik adalah suatu keputusan berdasarkan hubungan kegiatan yang

22Budi winarno, Kebijakan Publik: Teori dan Proses (Yogyakarta: Media Pressindo, 2007), h. 18. 23Anderson, James, Public Policy Making: An Introduction, (Boston: Houghton Mifflin Company: 2006) , h. 56.

35 dilakukan oleh aktor politik guna menentukan tujuan dan mendapat hasil berdasarkan pertimbangan situasi tertentu.24

Dari beberapa definisi kebijakan publik, definisi yang diberikan oleh

Anderson dianggap sebagai definisi yang paling tepat untuk menjelaskan

permasalahan yang peneliti angkat dalam karya ilmiah ini.

Dalam studi kebijakan publik sering ditemui dan memberi perhatian yang

kecil terhadap sifat masalah-masalah publik. Secara formal masalah dapat

didefinisikan sebagai sebuah kondisi atau situasi yang menimbulkan kebutuhan

atau ketidakpuasan pada sebagian orang yang menginginkan pertolongan atau

perbaikan. Suatu masalah akan menjadi masalah publik bila ada orang atau

kelompok yang menggerakkan ke arah tindakan guna mengatasi masalah

tersebut. Dengan demikian masalah publik adalah masalah-masalah yang

mempunyai dampak yang luas dan mencakup konsekuensi-konsekuensi bagi

orang-orang yang tidak secara langsung terlibat.

Berdasarkan berbagai definisi para ahli kebijakan publik, kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di masyarakat di mana dalam penyusunannya melalui berbagai tahapan.

1. Penyusunan agenda

Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai

24Riant Nugroho D, Understanding Public Policy ( Yogyakarta: Media Presindo, 2004), h. 3.

36 apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain.

Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Isu kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat diantara para actor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut William Dunn (1990), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan.

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Sebelumnya masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk kedalam agenda kebijakan. Padaa khirnya, beberapa masalah masuk keagenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap ini suatu masalah mugkin tidak disentuh sama sekali, sementara masalah yang lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan, atau ada pula masalah karena alasan- alasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama.

2. Formulasi kebijakan

Masalah yang telah masuk keagenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah- masalah tadi di definisikan untuk kemudian

37 dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternative atau pilihan kebijakan yang ada. Samahalnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan, pada tahap perumusan kebijakan masing- masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing- masing actor akan “bermain” untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.

3. Adopsi kebijakan

Dari sekian banyak alternative kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.

4. Implementasi kebijakan

Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elite, jika program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, keputusan program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah ditingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana(implementators), namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.

38

5. Evaluasi Kebijakan

Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi,

untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan

masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang

diinginkan. Dalam hal ini, memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh

karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar

untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak yang iinginkan.

Selain itu terdapat masalah-masalah publik dapat dikenali dengan jelas

melalui sifat-sifatnya, seperti yang dikemukakan William Dunn, setidaknya ada

empat ciri pokok masalah kebijakan, yakni:

1. Saling ketergantungan. Masalah-masalah kebijakan dalam satu bidang

dapat mempengaruhi masalah-masalah kebijakan dalam bidang lain.

2. Subyektivitas. Kondisi eksternal yang menimbulkan suatu permasalahan

didefinisikan, diklasifikasikan, dijelaskan dan dievaluasi secara selektif.

Masalah kebijakan merupakan suatu hasil pemikiran yang dibuat pada

situasi dan lingkungan tertentu dan merupakan elemen dari suatu situasi

yang diabtraksikan dari situasi tersebut oleh analis.

3. Sifat buatan. Masalah-masalah kebijakan hanya mungkin ketika manusia

membuat penilaian mengenai keinginannya untuk mengubah beberapa

situasi masalah. Masalah kebijakan merupakan hasil penilaian subyektif

manusia; masalah kebijakan itu juga bisa diterima sebagai definisi-

definisi yang sah dari kondisi sosial obyektif, dan karenanya masalah

kebijakan dipahami, dipertahankan dan diubah secara sosial.

39

4. Dinamika masalah kebijakan. Ada banyak solusi yang bisa ditawarkan

untuk memecahkan suatu masalah sebagaimana terdapat banyak definisi

terhadap masalah-masalah tersebut.

40

Bab III

SEJARAH MILITER INDONESIA DAN KONDISI POLITIK DI ERA ABDURRAHMAN WAHID

A. Latar Belakang Sejarah Militer Indonesia

Menurut Finer tujuan pokok militer dalam suatu negara adalah adalah untuk bertempur dan memenangkan pertempuran guna mempertahankan dan memelihara eksistensi negara1. Di Indonesia cikal bakal militer sudah ada sejak jaman penjajahan. Tetapi diresmikan secara sah sebagai Tentara Nasional Indonesia, pada saat setelah Indonesia merdeka. Pada tanggal 17 Agustus 1945, Proklamasi kemerdekaan Indonesia di kumandangkan ke seluruh pelosok Indonesia dan menyebar ke seluruh dunia bahwa telah lahirnya bangsa Indonesia sebagai negara yang merdeka. Sehari setelah kemerdekaan bangsa Indonesia, Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia mulai mengadakan sidang yang berkaitan dengan berdirinya bangsa Indonesia. Sidang tersebut dilakukan sebanyak tiga kali. yaitu

1. Sidang pada 18 Agustus 1945, dalam sidang ini medapat keputusan

berupa pengesahan UUD 1945 dan mengangkat Presiden Ir. Soekarno dan

Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta masing-masing secara aklamasi.

2. Pada 19 Agustus 1945 diadakan sidang ke dua, dalam sidang ini

mendapatkan hasil berupa membentuk kabinet sebagai badan eksekutif

dengan dua belas departemen yang masing-masing dikepalai oleh menteri

1 S.E, Finer, The Man On Hoerseback: The Role o the Military in Politics (New York, N. Y.: Fedrick A. Praeger, 1962), h. 7.

41

dan pada hari itu pula ditunjuk beberapa menteri kecuali menteri

pertahanan.

3. Pada tanggal 22 Agustus 1945 diadakan sidang ke tiga, pada sidang ini

mendapatkan hasil berupa terbentuknya Komite Nasional Indonesia (KNI)

dengan Mr Kasman Singodimedjo sebagai ketuanya. KNI mempunyai

tugas sebagai pemberi nasehat kepada Presiden beserta anggota

kabinetnya. Dalam hal ini Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(PPKI) melebur kedalam KNI Pusat. KNI dibentuk sampai ke daerah-

daerah. Hasil berikutnya dalam sidang ini adalah dibentuknya Badan

Penolong Keluarga Korban Perang, yang salah satu bagiannya bernama

“Badan Keamanan Rakyat” (BKR) yang berada dibawah KNI. BKR

dibentuk dari pusat sampai ke daerah. Dalam sidang ini juga telah diambil

keputusan bahwa telah diambil ketetapan pembentukan satu partai tunggal

yang bersifat nasional guna menyalurkan aspirasi dari rakyat.2

Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa negara yang baru lahir dari situasi yang mencekam dan rawan ancaman dari luar, tidak memiliki tentara nasional sebagai pelindung negara. Hal ini menyebabkan beberapa kalangan pemuda dan pejuang beranggapan bahwa suatu kelambatan dan kesalahan besar yang dilakukan pemimpin kemerdekaan, karena tidak serta diikuti dengan dekrit yang menjadikan bekas-bekas

2Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966 (Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2002), h. 22.

42

Heiho dan PETA sebagai tentara nasional yang merupakan angkatan perang yang mempunyai fungsi vital dalam menentukan tegak atau rubuhnya negara.3

Saat dibentuk pada tanggal 22 Agustus 1945, BKR bukanlah merupakan organisasi kemiliteran yang resmi. BKR masih bersifat kerakyatan bukan bersiat kemiliteran dan masih di bawah KNI, tidak dibawah presiden baik sebagai Panglima tertinggi angkatan perang4, bahkan BKR tidak dibawah kordinasi kementrian

Pertahanan karena jabatan sebagai mentri pertahanan sempat kosong beberapa waktu.

Tetapi Soekarno-hatta bermaksud menjadikan BKR sebagai pemelihara keamanan dan ketentraman setempat saja, dengan strategi politik Soekarno yang menitik beratkan pada segi diplomasi (perundingan). Lagi-lagi hal ini membuat para pejuang tidak puas karena tidak menitik beratkan BKR sebagai kekuatan bersenjata.

Sementara itu, walau ada sedikit ketidakpuasan para pemuda tetap dalam semangat perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan, para pemuda yang tergabung maupun yang tida tergabung dalam BKR segera melucuti Jepang untuk mempersenjatai dirinya. Hal ini menimbulkan bentrokan-bentrokan yang tidak dapat dihindari, sebab disamping Jepang mengkhawatirkan akan pemberontakan terhadap dirinya, melalui Marsekal Terauchi telah diperintahkan oleh Jenderal MacArthur untuk mempertahankan status quo. didaerah bekas pendudukannya. Status quo merupakan keadaan tetap sebagaimana keadaan sekarang atau sebagaimana keadaan

3 A.H Nasution, Sedjarah Perjuangan Nasional di Bidang Bersendjata (Djakarta: Mega Bookstore, 1966), h. 69. 4 UUD 1945 pasal 10

43 sebelumnya.5 Serta pada tanggal 16 September 1945, Angkatan perang Inggis yang tegabung dalam South East Asian Command (SEAC) dibawah Laksamana Muda

Lord Louis Mountbatten mendarat di Jakarta untuk tetap mempertahankan status quo, dengan hal ini Indonesia masih dianggap sebagai daerah jajahan. Serta Jepang yang melawan pada saat menentang pelucutan senjata yang dilakukan oleh pemuda

Indonesia. Pada tanggal 29 September 1945 tentara Inggris yang dipimpin oleh

Letnan Jenderal Sir Philip Christison, Panglima Allied orces Netherlands East Indies

(AFNEI) dengan membawa pasukan Belanda di dalam Netherland Indie Civil

Administration (NICA). Hal ini menimbulkan perlawanan yang semakin sengit yang dilakukan oleh pejuang Indonesia terhadap para penjajah yang masih ingin menguasai

Indonesia. Pertempuran meluas ke berbagai daerah. Melihat dari segi potensi dan kekuatan yang dimiliki Indonesia, Inggris segera melakukan politik yang ditentang oleh Belanda, dengan memberikan de facto kepada Indonesia.6

Melihat situasi yang semakin membahayakan negara, para pemimpin negara menyadari bahwa sangat sulit dan hampir tidak mungkin mempertahankan suatu negara tanpa adanya angkatan perang. Pada saat genting seperti ini, saatnya pemerintah Indonesia dalam mengambil tindakan, Pemerintah memanggil Mayor

KNIL, Urip Sumohardjo yang merupakan bekas dari tentara KNIL. Dia ditugaskan sebagai Kepala Staff dan membentuk tentara kebangsaan yang dipimpin olehnya

5 Artikel diakses pada 15 Juli 2016 di http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/petunjuk_praktis/608 6 Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966, h. 25.

44 sendiri. Pada tanggal 5 Oktober 1945 pemerintah mengeluarkan maklumat tentang terbentuknya organisasi militer yang bernama “Tentara Keamanan Rakyat” (TKR).7

Sehari kemudian pemerintah mengeluarkan maklumat tetang pengangkatan Suprijadi yang merupakan bekas Komandan Pleton PETA sebagai Menteri Keamanan Rakyat.8

Pembentukan TKR ini diikuti oleh perintah dari KNIP untuk memobilisasi TKR sebagai organisasi yang membawahi BKR dan pada tanggal 9 Oktober 1945 menyatukan PETA, KNIL, Heiho, Laskar-laskar, serta barisan lainnya untuk melebur mempertahankan Republik Indonesia. Pada tanggal 6 Desember 1945 markas besar

BKR mengeluarkan maklumat memperbolehkan laskar-laskar untuk menggunakan senjata selain tentara. Sebab mempertahankan negara bukan semata tugas dari tentara.9

Pada tanggal 20 Oktober 1945 pemerintah Indonesia melakukan beberapa pengangkatan dilingkungan kementerian Kemanan Rakyat. Bekas komandan

Batalyon tentara PETA Muhammad Sulyoadikusumo diangkat sebagai Pemimpin

Tertinggi TKR dan Urip Sumohardjo sebagai kepala Staf Umum TKR.10

7 A.H Nasution, T.N.I, jilid 1, Cetakan kedua (Djakarta: Ganeco, 1968), h. 120. 8 Nasution, T.N.I, h. 120. 9 A.H Nasution, Sedjarah Perjuangan Nasional di Bidang Bersendjata (Djakarta: Mega Bookstore, 1966). h. 202. 10 Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966 (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), h. 25.

45

Sebulan kemudian Urip Sumohardjo yang telah diangkat menjadi Letnan

Jenderal membentuk Markas tetinggi TKR yang berkedudukan di Yogyakarta, telah membagi TKR dalam 10 divisi di Jawa dan Madura, dan 6 divisi di Sumatera.

Pada tanggal 1 Januari 1946, pemerintah Indonesia mengluarkan penetapan No.

2/S.D 1946 berisi tentang merubah nama Tentara Kemanan Rakyat menjadi Tentara

Keselamatan Rakyat dan Kementerian Keamanan Rakyat Menjadi Kementerian

Pertahanan. Belum berjalan sebulan, pemerintah mengeluarkan maklumat pada tanggal 26 Januari 1946 yang berisi pergantian nama dari tentara Keselamatan Rakyat menjadi Tentara Republik Indonesia(TRI).11 Dalam maklumat tersebut dikatakan bahwa TRI bersifat kebangsaan dan organisasi militer resmi Indonesia. Meskipun tidak menjelaskan organisasi bersenjata lain di luar TRI seperti laskar-laskar, tetapi

Markas tertinggi TKR mengakui eksistensinya.

Pada awal tahun 1946 terbentuk sub markas TKR seperti TKR-TKR Laut yang merupakan perwujudan kekuatan Laut Indonesia dan akhirnya pada tanggal 19 Juli

1946 dibentuk Angkatan Laut Republik Indonesia(ALRI). Kemudan pada 9 April

1946, melalui surat Penetapan Pemerintah Indonesia, No. 6/S.0 TRI bagian perhubungan Udara diganti nama dan perubahan struktur menjadi Tentara Republik

Indonesia Angkatan Udara yang lebih dikenal dengan nama Angkatan Udara

Republik Indonesia(AURI), dengan menangkat R. Suriadi Surjadarma menjadi

Kepala Staf dengan Pangkat Komodor Udara (Mayor Jenderal).

11 A.H Nasution, T.N.I, jilid 1, Cetakan kedua (Djakarta: Ganeco, 1968), h. 245.

46

Demi terwujudnya suatu kesatuan militer, pada tanggal 26 Juni 1946, pemerintah Indonesia mengangkat Jenderal R. Sudirman resmi sebagai Panglima

Besar TKR dan pada November, diadakan konferensi di Yogyakarta dengan keputusan mengangkat Jenderal R. Sudirman sebagai Panglima Besar Angkatan

Perang Republik Indonesia yang meliputi Angkatan Darat, laut, dan Udara.12

Masih dalam situasi paska kemerdekaan Indonesia, dimana Belanda masih melancarkan serangannya guna merebut kembali Indonesia dalam genggamannya menyebabkan eksistensi Indonesia semakin terancam. Perbedaan pendapat antara pihak militer dengan pemerintah juga merupakan masalah internal di dalam

Indonesia, dimana pihak militer menginginkan Indonesia melawan kekuatan Belanda dengan kekuatan Militer yang Indonesia punya saat itu, tetapi pemerintah berpendapat lain, pemerintah menginginkan penyelesaian masalah dengan diplomasi, itu dikarenakan para pendiri bangsa ingin menunjukkan kepada dunia bahwa

Indonesia sebagai negara yang baru merdeka adalah negara sivil society bukan negara yang menganut sistem fasisme ataupun militeristik.

Disatu sisi terdapat permasalahan di dalam barisan bersenjata, itu disebabkan selain dari TKR terdapat juga laskar-laskar rakyat yang meskipun mereka diakui oleh

TKR akan tetapi para laskar tersebut dibawah oleh partai-partai atau kubu-kubu yang berideologi masing-masing. Hal ini yang menyebabkan mereka tidak selalu searah

12 A.H Nasution, T.N.I, jilid 1, Cetakan kedua (Djakarta: Ganeco, 1968), h. 285.

47 dengan strategi militer yang akan di terapkan oleh militer. Hal ini menimbulkan masalah yang cukup merepotkan.

Untuk mengatasi masalah tersebut, pada tanggal 5 Mei 1947, Presiden mengeluarkan dekrit yang isinya tentang membentuk panitia yang dipimpin Presiden sendiri. Panitia ini disebut “Panitia Pembentukan Organisasi Tentara Nasional

Indonesia” . Panitia ini beranggotakan 21 orang yang diambil dari pemimpin pasukan bersenjata termasuk beberapa laskar yang paling berpengaruh. Setelah organisasi tersebut bekerja tiga puluh hari lebih semenjak dibentuk, akhirnya pada tanggal 7

Juni 1947 keluarlah penetapan Presiden untuk membentuk organisasi militer yang bernama “Tentara Nasional Indonesia” atau bisa disebut TNI, adalah langkah dalam penyempurnaan dari TRI. Dalam penetapan tersebut pada tanggal 3 Juni 1947 diresmikan juga sebagai hari berdirinya TNI. Komposisi dari TNI terdiri dari seluruh angkatan perang dan dari laskar-laskar bersenjata.13

Dilihat dari sejak berlangsung Proklamasi dan terbentuknya BKR hingga terbentuknya TNI, dapat disimpulkan bahwa TNI terbentuk dari 3 unsur utama yang masing-masing mempunyai latar belakang yang berbeda. Yaitu:

13 A.H. Nasution, T.N.I., dijilid 2, cetakan pertama (Djakarta: Seruling Masa, 1968), h. 87.

48

Bekas Tentara KNIL

Koninklijke Nederlands Indische Leger atau bisa disebut KNIL, merupakan pasukan militer yang didirikan oleh Pemerintah Belanda. Hanya beberapa orang pribumi yang diizinkan bergabung. Ada sejumlah para petinggi militer Indonesia ada sebagian dari KNIL, seperti Panglima TKR Mayor Urip Sumoharjo, Jenderal A.H nasution, Mayor Jenderal T.B Simatupang dan Mayor Jenderal gatot Subroto dan lain-lainnya.14

Bekas Prajurit PETA

Pada detik-detik kekalahan Jepang oleh sekutu, Pemerintah Militer Jepang membentuk pasukan sukarela yang dinamakan Pembela Tanah Air (PETA) pada tahun 1943, atau “Booi Gijugun”. Militer Jepang membuka kesempatan selebar- lebanrya bagi yang ingin bergabung, tidak halnya seperti KNIL yang membatasi pribumi untuk bergabung. Pada tanggal 15 Agustus 1945, Kaisar Jepang mengeluarkan dekrit untuk membubarkan PETA, tanggal 19 Agustus Jenderal

Nagano sebagai Pemimpin PETA resmi membubarkan PETA. Beberapa tentara

PETA yang sekarang menjadi Perwira TNI yaitu Jenderal Soeharto bekas Komandan

Kompi PETA, Jenderal Ahmad Yani bekas Komandan Pleton PETA, kemudian

Letnan Jenderal Sudirman, Letnan Jenderal Sarbini, Mayor Jenderal Bambang

Sugeng, merupakan pemuda Indonesia yang sempat menjabat sebagai Komandan

14 Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966 (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), h. 31.

49

Batalyon PETA. Namun karena alasan politik, kebanyakan mereka disingkirkan oleh

Jepang, hanya beberapa yang dapat menjabat di TNI.15

Bekas-bekas Laskar

Selain KNIL buatan Pemerintah Belanda dan PETA buatan Jepang, tedapat unsur utama berikutnya dalam pembentukan TNI, yaitu Laskar. Laskar terdiri dari pemuda Indonesia yang diberi pelatihan militer oleh Jepang. Laskar bertujuan membantu tentara Jepang dalam melawan sekutu. Nama lain dari dari laskar seperti

“Barisan Pelopor”, “Barisan Berani Mati” (Jibaku-tai), “Hisbullah” (Kaiko Seinen

Teisyintai), dan “Barisan Pelajar”. Setelah Proklamasi, Pemerintah Indonesia mengeluarkan maklumat pada tanggal 3 Nopember 1945 yang mendorong untuk melahirkan Partai Politik. Dari sini dapat dikatakan awal mengapa para laskar bergabung dengan partai politik yang sesuai dengan ideologi mereka. Seperti Pemuda

Sosialis Indonesia yang bergabung dengan Partai Sosialis, Barisan Banteng dengan induknya PNI, barisan Hisbullah yang bergerak dibawah Partai Masyumi, dan Laskar

Rakyat yang mengaitkan diri dengan Partai Komunis. Para laskar sangat berarti bagi bangsa Indonesia dalam melawan Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia.

Walau para Laskar mempunyai peran yang sangat besar, tentu saja membuat TKR sulit dalam membuat strategi dalam kordinasi pertahanan dengan para laskar.

15 Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966 (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), h. 33.

50

Akhirnya pada tanggal 7 Juni 1947 semua organisasi melebur menjadi satu kesatuan militer Indonesia yanti Tentara Nasional Indonesia yang disingkat TNI.16

B. Kondisi Politik dan Militer Pasca Orde Baru

Jatuhnya Presiden Soeharto terjadi karena kisis politik dan krisis ekonomi pada pertengahan juli 1997. Fenomena krisis ekonomi bermula ketika jatuhnya nilai mata uang Rupiah terhadap Dollar AS, yang mengakibatkan lumpuhnya sendi-sendi perekonomian orde baru lumpuh. Krisis ekonomi di Indonesia merupakan peristiwa yang mengejutkan, di tengah beragam pujian atas prestasi perkembangan ekonomi yang dialami. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 7,5% dan target 8% merupakan hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Ada beberapa yang membuat krisis di Indonesia dinilai lebih parah daripada krisis ekonomi di Negara lainnya. Pertama, sistem perekonomian Indonesia tidak memiliki fondasi yang kuat. Lemahnya dasar-dasar ekonomi Indonesia tersebut ditunjukkan oleh tidak jelasnya sirkulasi perekonomian. Akibatnya timbul dan berkembang praktik KKN sebagai bukti ketidakjelasan arah ekonomi Indonesia.

Sebagai contoh Anjloknya nilai tukar Rupiah sampai pada angka di atas Rp10.000 per Dollar AS memang sudah diperkirakan pada bulan bulan sebelumnya menyusul rentetan krisis moneter semenjak Juli 1997. Sulit dimengerti ketika Januari 1998

Presiden Soeharto membacakan pidato tahunan dalam sidang membahas RAPBN

16 Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966 (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), h. 34.

51

1998-1999 adalah Rp 4.000,- per Dollar AS. Kedua, krisis di Indonesia pada fase berikutnya melahirkan krisis politik. Dengan demikian, integrasi antara krisis ekonomi sekaligus politik pada waktu bersamaan merupakan faktor utama yang mempersulit Indonesia untuk keluar dari krisis nasional. Ketiga, bahwa krisis yang terjadi merupakan kesalahan dari arah perekonomian Indonesia di masa Orde baru yang hanya menekankan pada aspek petumbuhan ekonomi semata, di mana pembagaian “kue pembangunan” hanya dinikmati oleh sekelompok elit tertentu.17

Pada tahun 1999, dapat dikatakan bahwa Indonesia melakukan pemilu dengan demokratis setelah era orde baru. Walau masih terdapat kekurangan karena perlengkapan yang kurang siap. Walaupun terdapat 27 partai yang tidak setuju dengan hasil pemilu karena dianggap belum adil, presiden Habibie tetap menganggap ini sah karena para pelapor tidak menyertakan bukti tertulis.

Dengan terjadinya krisis ekonomi yang mengakibatkan krisis politik, mengakibatkan pergolakan di masyarakat. Golongan yang pertama memberikan suara keras untuk memberikan tuntutan terhadap pemerintah adalah mahasiswa, lalu diikuti oleh aktivis LSM, Cendekiawan dan masyarakat umum. Dilihat dari kronologis, aksi mahasiswa sudah di mulai sejak tahun 1997 pada saat pemilu.

Yang memuncak pada Mei 1998 pada saat pendudukan gedung DPR oleh masyarakat. Gerakan mahasiswa begitu kuat bukan hanya terjadi di Jakarta, tetapi di daerah-daerah juga mempunya semangat reformasi yang kuat agar tercapainya

17 Haramain, A Malik. Gus Dur Militer dan Politik (Yogyakarta:LkiS, 2004), h. 1.

52 reformasi. Pemerintah tidak diam begitu saja melihat hal ini. Dengan sisa-sisa cara dan kekuatan, Pemerintah mengajak mahasiswa dan menjadikan Nur Kholis Madjid sebagai Ketua Komisi Reformasi. Namun hal itu di tolak oleh mahasiswa dan Nur

Kholis madjid.

Selain itu Soeharto juga melakukan reshuffle kabinet pembangunan VII yang baru saja dilantik sekaligus membentuk komite Reformasi yang tidak berjalan efektif karena kental dengan nuansa KKN.Tuntutan mereka secara umum adalah satu suara, yaitu reformasi politik yang di dalamnya adalah reformasi kepemimpinan nasional dan reformasi ekonomi yang di dalamnya adalah pemulihan kondisi masyarakat yang terhimpit masalah ekonomi. Tujuan utama dari tuntutan itu adalah agar segera digelar

Sidang Istimewa MPR dan pengunduran Soeharto dari jabatan sebagai Presiden

Republik Indonesia.

Akibat opini publik tentang reformasi yang tertuju pada penolakan terhadap

Soeharto tidak dapat dibendung lagi. Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun bukanlah suatu hal yang menakutkan lagi oleh mahasiswa seperti sebelumnya.

Ditinggalnya Soeharto oleh para menterinya, desakan dari DPR dan masyarakat agar

Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 20 Mei 1998 di dalam pidatonya, dan mengangkat B.J Habibie sebagai Presiden yang didasarkan pada Pasal 8 UUD 1945.

Turunnya Soeharto bukan semata-mata dari luar pemerintah, melainkan dari dalam. Salah satu kekuatan pendukung yang menjadi kekuatan utama Soeharto

53 adalah Militer. Sebagai pendukung utama kekuatan Orde baru dan di akhir kekuasaan

Soeharto terjadi desakan yang luar biasa terhadap reformasi politik yang menjadikan militer mengambil sikap mendua. Militer tidak hanya menentang mahasiswa dalam demonstrasi, tetapi juga mendesak agar Soeharto mengundurkan diri atau mengambil tindakan pengaman lainnya. Sikap ini bisa dikatakan menguntungkan posisi militer untuk menghindari kekerasan dengan masyarakat, di lain sisi sikap seperti ini dianggap militer hanya mengamankan posisi di tengah keadaan yang tidak menguntungkan.

Dalam menghadapi unjuk rasa mahasiswa, dengan ketat para personil militer menjaga agar mereka tidak keluar kampus. Pengawasan ketat dilakukan ABRI yang represif tidak menyulutkan semangat mahasiswa untuk keluar kampus. Mahasiswa terlihat berani mengambil sikap konfrontasi dengan militer, itu dilakukan agar suara mereka terdengar ke dunia luar.

Karena sikap militer yang seperti ini, akhirnya militer terkena dampaknya.

Terjadi sebuah kejadian yang bernama “Insiden Trisakti Berdarah” pada tanggal 12

Mei 1998. Setelah pemanasan di dalam kampus akhirnya para mahasiswa mulai menerobos keluar kampus. Mereka menuju DPR/MPR dengan menerobos barikade aparat. Mahasiswa melakukan negosiasi dengan aparat tetapi negosiasi terjadi kebuntuan akhirnya bentrokan tidak dapat terelakan. Tewasnya mahasiswa Trisakti yakni Elang Mulya, Haidin Royan, Hendriawan Lesamana, dan Hendri Heryanto.

54

Setelah itu pihak militer mendakwa dua orang polisi sebagai pelaku, tetapi pihak polisi membantah, akhirnya Panglima Jendral Wiranto mencopot jabatan

KAPOLRI dari Dibyo Widodo. Banyak yang menuduh kejadian itu dilakukan oleh seseorang dengan keterampilan khusus yaitu dari satuan kopasus, sebab tentara biasa sulit melakukan itu, yang dipimpin oleh Letjen Prabowo Subianto.

Sekitar satu minggu sebelum Soeharto turun, terjadi kerusuhan yang luar biasa di Jakarta atau dikenal sebagai Mei kelabu. Masa mengamuk dengan warga keturunan

Tionghoa dikarenakan pada saat itu ekonomi dikuasai oleh keturunan etnis Tionghoa.

Terjadi penjarahan dan pemerkosaan.

Kecaman dialamatkan ke militer, dengan beberapa alasan, yaitu pertama, karena militer dianggap tidak bisa mengendalikan kerusuhan yang terjadi. Kedua, karena militer dianggap terlibat dalam merekayasa kerusuhan Mei 98. Jika faktor pertama tidak secara langsung dijawab, maka faktor yang kedua menjadi problematik.

Kepercayaan masyarakat bahwa militer adalah pelindung dan pengayom, seketika itu lenyap. masyarakat lebih banyak bersikap antipasti terhadap militer baik institusi maupun secara personal.

Di dalam militer terdapat isu perpecahan antara Panglima ABRI Jenderal TNI

Wiranto dengan Letjen Prabowo Subianto sebagai Pangkostrad. Sering terjadi kesalahpahaman terhadap perintah komando. Secara hirarki Wiranto lebih tinggi, tetapi Wiranto tidak dapat sepenuhnya mengendalikan. Salah satu dugaan kuat bahwa

55 kerusuhan 98 adalah jika Negara keadaan darurat atau SOB, maka pilihan utamanya adalah menyerahkan kekuasaan kepada militer. Dari sini muncul rivalitas antara

Wiranto dengan Prabowo, dinilai Wiranto tidak dapat mengamankan, makan

Prabowo yang akan menggantikannya. Menurut Saurip Kadi, persoalan terdapat di semua pemimpin TNI yang melakukan tindakan atas perintah Soeharto.18

Konflik yang meruncing di tubuh militer mengakibatkan terbagi duanya kubu militer, yaitu ABRI Hijau dan ABRI merah putih. Sikap Wiranto berseberangan denganb Prabowo salah satunya pada saat wawancara Wiranto berkata, Prabowo mempunyai kepentingan untuk membuat suasana tidak terkendali. Wiranto menuduh bahwa prabowo memberi sejumlah uang untuk membuat kerusuhan. Dengan kekacauan yang menuduh Wiranto sebagai pimpinan tertinggi TNI, Prabowo dinilai mengambil simpati masyarakat.

Habibie dan Militer

Perbedaan mendasar antara peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, dan

Soeharto menuju Habibie adalah problem integrasi politik. Jika peralihan yang pertama ditandai dengan konsolidasi dan koordinasi yang kukuh di antara masing- masing elemen masyarakat (mahasiswa, militer, birokrat dan kekuatan-kekuatan anti komunis), peralihan kedua justru ditandai dengan kerapuhan sendi-sendi politik di sekitar Habibie.

18 A. Malik Haramain. Gus Dur Militer dan Politik (Yogyakarta: LKiS, 2004)., h. 100.

56

Perbedaan peralihan dari dua rezim yang berbeda adalah banyak terjadi pergolakan politik dan hukum serta parahnya bangunan ekonomi Indonesia saat itu melampaui apa yang terjadi di tahun 1966-1969. Jika dalam periode itu, bubarnya

PKI segera disusul dengan loncatan ekonomi yang luar biasa, terutama koalisi efektif antara ABRI dan kekuatan-kekuatan anti komunis lainnya maka dalam periode 1998 secara nyata tidak disusul dengan bubar dan hancurnya Golkar sebagai kekuatan utama penopang utama rezim Orde baru.19

Gerakan mahasiswa yang semula bersatu dalam mengusung agenda politik dan reformasi yang sama, dalam rangka menyambut naiknya Habibie ke kursi presiden ternyata menciptakan perbedaan pendapat yang cukup tajam. Itu dikarenakan Habibie dianggap sebagai utusan dari Soeharto yang masih berafiliasi dengan orde baru. Dan didukung dengan beberapa kegagalan seperti salah satunya dalam hal disintegrasi yaitu lepasnya Timor-timur dari NKRI. Dan kurangnya kordinasi dengan militer.

Menjelang pertengahan September 1998 mahasiswa kembali berdemonstrasi menutut Habibie mundur karena dianggap tidak dapat mengatasi keadaan. Di tubuh militer juga terdapat konsolidasi besar-besaran. Mayjen TNI Syamsul Maarif sebagai

Kapuspen Hankam ABRI mengatakan mutas itu merupakan hal yang biasa, namun sudah diduga terjadi beberapa kepentingan politik yang memanas pada saat itu.

Mutasi itu diantaranya pergantian Kasum ABRI. Dari Letjen TNI fachrul Razi diganti Letjen TNI Sugiono. Posisi Letjen Sugiono sendiri diisi Letjen TNI Johny

19 A. Malik Haramain, Gus Dur Militer dan Politik (Yogyakarta: LKiS, 2004)., h. 110.

57

Lumintang digantikan Mayjen TNI Agus Widjaja yang sebelumnya menjabat sebagai

Asisten Perencanaan umum (Asrenum). Pangab Asrenum kemudian dijabat oleh mayjen TNI Agus Wirahadikusumah yang sebelumnya menjabat sebagai komandan

Sesko TNI AD. Selain, posisi kepala Badan Intelejen ABRI yang sebelumnya dijabat

Mayjen TNI Tyasno Sudarto, yang sebelumnya menjabat Pangdam IV Diponegoro.20

Terdapat beberapa kekacauan antara kubu militer dengan Habibie, diantaranya adalah lepasnya Timur-timor pada tanggal 27 Januari 1990. Dimana pada saat itu TNI militer sudah susah payah dalam mempertahankan wilayah NKRI sampai terjadinya konfrontasi tetapi Habibie melakukan hal sebaliknya yaitu melakukan referendum yang hasilnya mengecewakan pihak militer. Habibie beranggapan dengan melakukan

Referendum citra Indonesia akan baik di mata dunia dengan lebel sebagai Negara demokratis demi melepas sebutan otoriter.

Selain itu dihapuskannya paket undang-undang politik tentang mengebiri aspirasi rakyat, sehingga terjadinya pemilu multipartai yang mengakibatkan kekalahan Golkar dan suara terbanyak didominasi oleh PDI Perjuangan. Pemilu ini tercatat pemilu paling demokrasi di Indonesia sejak tahun 1955, karena pemilu di rezim orde baru penuh dengan rekayasa.

Salah satu kebijakan yang direalisasikan militer di masa pemerintahan Habibie adalah perubahan nama ABRI menjadi TNI pada bulan April 1999. Perubahan nama

ABRI menjadi TNI diusulkan oleh Jenderal Wiranto kepada BJ Habibie yang

20 A. Malik Haramain, Gus Dur Militer dan Politik (Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 111.

58 dimaksudkan sebagai upaya untuk memperbaiki citra militer di tengah masyarakat yang anti terhadap militer.21

C. Supremasi Sipil di era Abdurrahman Wahid

Abdurrahman wahid merupakan seorang tokoh yang terjun kedalam politik sebagai oposisi karena pada saat itu melihat kegelisahan bangsa ini di dalam kekuasaan rezim yang di pengang oleh Soeharto bertangan besi dan sangat membebani sipil. Semua yang tidak sejalan dengan rezim tersebut akan di libas habis.

Presiden Abdurrahman Wahid mempunyai pandangan bahwa di dalam negara demokrasi kekuasaan tertinggi harus ditangan sipil. Bukan di tangan militer sebagai pucuk kekuasaan.

Pada saat rezim orde baru runtuh lalu digantikan oleh B.J Habibie yang pada saat itu adalah wakil presiden dari Soeharto, lalu setelah B.J Habibie mengudurkan diri dari jabatan Presiden, naiklah presiden Abdurrahman Wahid sebagai presiden

Indonesia yang ke 4.

Pada saat Abdurrahman Wahid memimpin sebagai presiden Republik Indonesia,

Abdurrahman Wahid banyak mereformasi institusi-institusi pemerintahan. Itu di karenakan untuk menghilangkan yang berkaitan dengan orde baru, karena hampir semua insitusi di pegang oleh seseorang yang berlatar belakang militer, sehingga

21 A. Malik Haramain, Gus Dur Militer dan Politik (Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 117.

59 institusi harus di pegang oleh sipil. Institusi utama yang menjadi sorotan pada saat era reformasi adalah Institusi Militer.

Alasan Presiden Abdurrahman Wahid menjadikan institusi militer sebagai institusi pertama yang harus di reformasi agar Indonesia sebagai negara civilization, itu disebabkan isntitusi militer adalah alat utama di dalam rezim orde baru sebagai alat legitimasi kekuasaan, dan sebagai perpanjangan tangan dari Presiden sebelum- sebelumnya yaitu Soeharto yang memang mempunyai latar belakang Militer, yaitu menjabat sebagai Panglima TNI pada saat sebelum pergantian presiden dari Soekarno lalu digantikan oleh Soeharto. Karena hal ini sehingga dengan mudah Soeharto menjadikan Militer sebagai alat dalam melanggengkan kekuasaannya. Dan mendominasi pemerintahan dengan militer.

Yang petama dengan melakukan supremasi sipil, yaitu pemisahan TNI dan

POLRI ke dalam ranah pemerintahan. Menurut Abdurrahman Wahid, Pemerintahan demokrasi yang baik adalah pemerintahan yang di kuasai oleh sipil. Abdurrahman

Wahid merupakan seorang yang visioner, dia sudah memikirkan untuk hal kedepannya dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Bisa dibayangkang jika TNI dan POLRI tidak dipisahkan dari ranah pemerintah salah satu akibatnya adalah setiap masalah dan konflik di Negara ini akan selalu melibatkan militer sebagai penyelesaian masalah. supremasi sipil yang dilakukan oleh Presiden Abdurrahmah

Wahid dilakukan sampai ke daerah-daerah, yaitu dengan cara tidak ada kepala daerah yang dipegang oleh militer.

60

Atas dukungan dari semua golongan terutama golongan sipil, walaupun sentimental terhadap militer sangat tinggi, tetapi Presiden Abdurrahman Wahid berani mengambil keputusan untuk melakukan reformasi di militer.

Ada beberapa hal didalam militer yang di reformasi oleh Presiden Abdurrahman

Wahid selain supremasi sipil, membebaskan sipil dalam membentuk partai politik, pada era orde baru hanya ada tiga partai yang boleh mengikuti pemilu. Partai-patai sebelumnya yang ada di era orde lama harus bergabung diantara tiga partai yang ada yaitu Golkar (Golongan Karya), PDI (Partai Demokrasi Indonesia), dan PPP (Partai

Persatuan Pembangunan). Di era Presiden Abdurrahman Wahid, partai politik tidak terbatas hanya pada tiga partai utama, para partai politik yang sebelumnya bersatu dengan partai-partai utama mereka mulai bermanuver dengan cara memisahkan dari partai utama dan membuat partai sendiri.

D. Militer di era reformasi

Secara garis besar, militer di era reformasi tidak lagi menyatakan terlibat lagi di dalam politik praktis dan tida akan mencampuri urusan politik, melalui reformasi internal TNI, militer rmenunjukan bahwam mereka telah bersungguh-sungguh dalam menarik diri dari politik.22 Dalam masa peralihan Presiden Soeharto ke Presiden B.J

Habibie, terdapat banyak perubahan dalam hal kebijakan di dalam kedudukan kubu militer.

22 Yudhi Chrisnandi, Reformasi TNI Prespektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), h. 93.

61

Berhentinya Soeharto sebagai Presiden Indonesia yang menjabat selama kurang lebih 33 tahun yang dipandang masyarakat sebagai simbol dari kekuasaan militer. Dengan pergantian rezim kekuasaan, masyarakat semakin berani membuka suara kritikan terhadap pemerintah, dalam hal urusan politik maupun militer, yang tidak bisa masyarakat lakukan pada saat orde baru.

Militer dituntut tidak berpihak kepada kekuasaan politik manapun termasuk

Golkar yang merupakan kendaraan politik pada masa sebelum reformasi. Militer dituntut untuk tidak mencampuri urusan politik pemerintahan sipil dan tidak terlibat lagi dengan persoalan yang tidak ada hubungannya dengan keamanan dan petahanan.

Serta tuntutan dari kalangan kepolisian untuk memisahkan diri dari ABRI dengan tujuan ABRI tidak lagi perlu menangani tugas keamanan yang merupakan tugas dari polisi.23

Pergantian dari pemerintahan BJ Habibie menuju pemerintahan Abdurrahman

Wahid berjalan dengan demokratis. Pada tanggal 20 Oktober 1999 perolehan suara menyatakan 373 suara untuk Abdurrahman Wahid dan 313 untuk Megawati. Dengan begitu Megawati terpilih sebagai wakil Presiden. Dalam pandangan militer memastikan militer tidak mengarahkan kepada wakil-wakilnya di parlemen karena tidak ada komando.

23 Yudhi Chrisnandi, Reformasi TNI Prespektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), h. 94.

62

Era baru kepresidenan Abdurrahman Wahid, menunjukkan kedekatannya dengan militer dengan mengangkat beberapa perwira tinggi seperti Letjen Susilo

Bambang Yudhoyono, Letjen Agum Gumelar, Letjen Luhut Panjaitan, dan Letjen

Suryadi Sudirja kedalam kabinet.24

Selain itu terjadi beberapa keregangan dengan militer ketika Abdurrahman

Wahid melakukan Pengangkatan terhadap beberapa perwira tinggi di lingkungan

Mabes ABRI dan Mabes Angkata Darat yang dianggap militer tidak sesuai prosedur

Dewan Jabatan Kepangkatan Tinggi. Beberapa kebijakan yang dianggap kontroversial salah satunya pencopotan Jenderal Wiranto dari Menkopolkam yang menjadikan militer semakin kecewa. Alasan Presiden Abdurrahman Wahid mencopot

Wiranto adalah terkait kasus HAM di Timur- Timor.

Militer melihat bahwa hal itu merupakan kekalahan pengaruh militer atas tekanan pemerintahan sipil yang dipimpin oleh Presiden Abdurrahman Wahid, walau begitu TNI menerima karena TNI sudah berkomitmen untuk melakukan reformasi

TNI secara total. Keputusan komando militer terletak pada Panglima sebagai pucuk kekuasaan tertinggi dalam mengkordinasi internal secara menyeluruh. Pada saat pemerintahan Abdurrahman Wahid terjadi sebuah gebrakan yaitu Pengangkatan

Panglima yang berasal dari matra selain Angkatan Darat, hal ini merupakan

24 Yudhi Chrisnandi, Reformasi TNI Prespektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), h. 104.

63 perubahan tradisi di kubu TNI yang sebelumnya selalu di kuasai oleh Angkatan Darat bahkan jabatan-jabatan strategis juga di dominasi oleh Angkatan Darat.

Salah satu indikator yang bisa dipakai untuk mengukur kontrol sipil atas militer adalah dengan melihat persoalan pergeseran mutasi di tubuh militer. Kebijakan

Presiden Abdurrahman Wahid merupakan langkah awal dalam mereformasi kubu militer demi terciptanya kesetaraan kekuasaan di Angkatan.25

Tabel III.D.1 Daftar Panglima Sejak Awal Militer Militer di Indonesia

Terbentuk

No Foto Nama Dari Sampai Angkatan Keterangan

Kepala Staf Tentara Keamanan Rakyat

Kepala Staf Letnan 5 Novembe Umum TKR Jenderal TNI (1945-1946) 1 Oktober r Urip Angkatan Kepala Staf

1948 Darat Sumohardjo 1945 MBT (1946-

1948)

25 Yudhi Chrisnandi, Reformasi TNI Prespektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), h. 238.

64

Panglima Tentara Keamanan Rakyat (TKR)

12 29 Jenderal TNI November Januari 2 Angkatan Soedirman

1945 1950 Darat

Kepala Staf Angkatan Perang/Angkatan Bersenjata

Jenderal 29 4 Kepala Staf Major TNI Angkatan 3 Januari November TB Angkatan Perang (1950-

Darat Simatupang 1950 1953 1953)

Kepala Angkatan Bersenjata

Kepala Staf Jenderal TNI Juni Februari TNI Angkatan 4 Abdul Haris 1966 Angkatan Bersenjata Nasution 1962 Darat (1962-1966)

65

Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)

Merangkap Juni Maret Jenderal TNI TNI 5 Angkatan Presiden RI, Soeharto 1968 1973

Darat Menhankam

28 17 Jenderal TNI TNI Merangkap 6 Maraden Maret April Angkatan Panggabean Menhankam Darat 1973 1978

17 28 Jenderal TNI TNI Merangkap 7 April Maret Angkatan M. Yusuf Menhankam

Darat 1978 1983

66

Jenderal TNI 28 27 TNI Merangkap Pan 8 L.B. Maret 198 Februari Angkatan gkopkamtib Moerdani 3 1988 Darat

27 19 Jenderal TNI TNI 9 Februari Februari Try Sutrisno Angkatan 1993 1988 Darat

19 Merangkap 21 Mei TNI Jenderal TNI Februari 10 Angkatan KSAD dan Edi Sudradjat 1993

Darat 1993 Menhankam

Jenderal TNI 12 21 TNI 11 Feisal Februari Mei 1993 Angkatan Tanjung 1998 Darat

67

16 26 TNI Merangkap Jenderal TNI Februari Oktober 12 Angkatan Wiranto Menhankam

1998 1999 Darat

Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI)

Laksamana 26 7 TNI TNI Oktober 13 Juni Angkatan Widodo Adi

Laut Sutjipto 1999 2002

Sumber : Sumber: http://news.okezone.com/read/2014/10/07/337/1048928/panglima- tni-jejak-soedirman-hingga-moeldoko

68

BAB IV

REFORMASI DI MILITER: STUDI PENGANGKATAN PANGLIMA TNI PADA MASA PEMERINTAHAN ABDURRAHMAN WAHID (1999-2002)

A. Reformasi di Tubuh TNI

Reformasi berasal dari kata Reformation yang berakar pada kata reform yang mempunyai arti pembaharuan, perbaikan, memperbaiki dan menjadi lebih baik.

Reformasi dalam hal ini lebih mengarah kepada pembaharuan menuju arah yang positif. Reformasi lebih mengarah menuju perubahan yang terbatas dan mengikuti jaman dalam laju kepemimpinan, kebijakan dan pranata politik.1

Dapat digaris bawahi reformasi merupakan perubahan secara damai kearah positif, maka dalam pelaksanaan reformasi yang perlu ditekankan adalah kinerja sistem politik yang berlangsung. Dalam hal ini yang berperanan didalam peta perpolitikan adalah kaum pendukung reformasi berbenturan dengan kekuatan pendukung yang masih ingin menggunakan sistem lama, yang merupakan perimbangan kekuatan dan strategi pendukung keduanya. Reformasi merupakan negosiasi antar kekuatan politik.2

Berfokus pada pengertian refomasi tersebut, jika dihubungkan dengan apa

yang terjadi setelah tersungkurnya Orde Baru Soeharto yang menghasilkan

perubahan yang baru di sistem politik Indonesia. Perubahan ini juga berdampak

pada institusi militer di Indonesia. TNI sebagai institusi militer di Indonesia,

1A Chaidar, Reformasi Premalur, (Jakarta: Darul Falah, 1998), h. 160. 2Ibid., 161.

68

kemudian menggagas reformasi internal dan mendesain paradigma baru TNI

sesuai dengan perubahan yang terjadi di Indonesia. Reformasi internal TNI

sedikitnya didasarkan atas tiga motivasi utama. Pertama, keinginan meningkatkan

kemampuan bangsa untuk menghadapi persaingan dalam era globalisasi. Kedua,

untuk mendapatkan jaminan kepastian kewenangan bagi prajurit TNI ketika

bertugas di lapangan, agar tidak mudah dituduh melanggar hukum dan hak asasi

manusia. Ketiga, komitmen TNI untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa dan

negara.3

TNI di era reformasi melakukan tugas dengan sepenuhnya yaitu tidak

melakukan tugas yang lain, hanya melakukan tugas utama sebagai Pelindung

kedaulatan NKRI dari ancaman luar negeri. Hal ini sesuai dengan teori reformasi

menurut Samuel Huntington, adalah suatu perubahan yang terbatas dalam hal

cakupan moderat, dalam laju kepemimpinan, kebijakan, dan pranata-pranata

politik.4 Pengertian refomarsi seperti yang dijelaskan oleh Samuel P. Hungtinton

sesuai dengan reformasi internal yang terjadi di dalam TNI. Reformasi internal

TNI yang ditemukan oleh penelti dilatarbelakangi oleh beberapa hal pokok, antara

Iain:5

3 Yusuf Fadly, “Militer dan Politik: Suatu Tinjauan Atas Reformasi Internal TNI dan Implikasinya terhadap Transisi Demokrasi di Indonesia 1999-2004,” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2008), h. 65. 4Samuel P. Huntington, TertibPolitik di dalam masyarakat yang sedang berubah,(Jakarta: CV. Rajawali, 1983), h. 531. 5 Yuddy Chrisnandi, Kesaksian Para Jenderal: Sekitar Reformasi Internal dan Profesionalisme TNI (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2005). h, 109.

69

a. Perubahan sedemikian cepat menjadikan dunia berubah, terrnasuk

keadaan di dalam negeri. Untuk itu TNI juga harus melakukan perubahan.

b. Prediksi tantangan militer di abad ke-21 sangat besar, kompleks dan

multidimensional. Atas dasar itu militer harus segera menyesuaikan diri.

c. Militer harus senantiasa mau dan mampu mendengar dan merespon aspirasi

rakyat.

d. Militer mengakui secara jujur, jernih, dan objektif, sebagaimana komponen

bangsa yang lainnya bahwa ada kekurangan dan distorsi di masa lalu

sebagai konsekuensi logis dari format politik Orde Baru.

1. Profesionalisme TNI

Memasuki era reformasi, militer memiliki kesempatan untuk introspeksi diri atas apa yang telah dilakukan pada masa sebelumnya. Dalam hal ini militer merumuskan paradigma baru dan melakukan reformasi internal yang disertai dengan serangkaian konsep redefinisi, reposisi, dan reaktualisasi perannya dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan untuk menatap masa depan. Apa yang dilakukan, pada hakikatnya merupakan usaha memperbaiki dan meningkatkan image serta prestasi militer.

Pertimbangan utama yang menjadi latar belakang reformasi internal TNI ialah menyesuaikan TNI dengan perubahan dunia yang begitu cepat berubah,

70 menyesuaikan tantangan TNI di abad ke-21 yang begitu besar, kompleks, dan multidimensional, ini memungkinkan TNI senantiasa harus mau dan mampu mendengar dan merespons aspirasi rakyat; mengakui secara jujur bahwa di masa lalu, ada kekurangan dan penyimpangan sebagai akibat logis dari format Orde

Baru.6 Latar belakang reformasi internal TNI sangat sesuai dengan ciri militer profesional. Militer yang profesional menurut Erick A. Nodlinger terkait juga dengan kemampuan seorang prajurit menjalankan tugasnya mempertahankan ketertiban nasional dalam menghadapi ancaman, menggunakan senjata dalam pertempuran, serta tidak melibatkan diri dari urusan non militer.7

Setelah tumbangnya rezim Orde Baru, militer terus berbenah diri untuk menciptakan image yang baik di mata rakyat Indonesia, salah satunya adalah dengan mewujudkan reformasi internal militer. Tujuan dari reformasi internal militer tersebut adalah agar terciptanya profesionalisme militer. Adapun bentuk nyata yang harus dilakukan militer agar menjadi militer yang profesional pasca

Orde Baru adalah sebagai berikut; militer harus kembali ke barak, tidak berpolitik praktis, pemisahan TNI POLRI, tidak berbisnis, serta refungsionalisasi dan restrukturisasi teritorial. Ini mengacu pada pendapat Huntington mengenai ciri profesionalisme militer, yaitu; Ahli dan mahir dalam melaksanakan tugas pertahanan negara atau perang melawan ancaman dari musuh negara, bersikap netral dan tidak melibatkan diri dalam politik praktis, menghargai pihak berkuasa

6 Mabes TNI 1999, TNI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi,(Jakarta:Mabes TNI, 1999 ) h. 16. 7 Erick A. Nordlinger, Militer Dalam Politik;(Jakarta: Rhineka Cipta, 1990), h. 69.

71

atau supremasi sipil, memiliki moral dan etika keprajuritan yang tinggi,

menghargai dan membela rakyat secara proporsional, dan memiliki disiplin,

menaati hukum, serta memiliki esprit de corps (jiwa korsa) yang tinggi dan

sehat.8

2. Kembali Ke Barak

Militer di Indonesia lahir dari proses perjuangan kemerdekaan bangsa atau

dari revolusi nasional, yang pada asal mulanya adalah dari perlawanan rakyat

dengan diawali dari pembebasan nasional dan kemudian beralih menjadi gerakan

perlawanan bersenjata. Tujuannya adalah untuk merebut kemerdekaan dari tangan

penjajah.9

Bidang fungsi dan profesi yang tidak sesuai dengan keahlian dan tugasnya,

maka dalam menciptakan profesionalismenya, militer harus ditarik kembali ke

barak. Memasuki era reformasi, militer harus kembali ke barak untuk introspeksi

diri atas apa yang telah dilakukan pada masa sebelumnya. Menyadari

kesalahannya, dan menyikapi permasalahan yang kompleks dengan berusaha

untuk membentuk militer yang profesional. Mengembalikan tugas dan fungsi

awal militer yaitu sebagai alat pertahanan dan keamanan negara.

8 Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara Pasang Surut Politik Militer 1945-2004, (Yogyakarta: LKIS.2005), h. 245. 9 Soemitro, Suksesi Militer dan Mahasiswa, (Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1997), h. 59.

72

Sebenarnya tugas TNI sebagai alat pertahanan negara sudah menjadi prinsip ketika TNI mula-mula berdiri. Hal itu tercermin dalam amanat Panglima Besar

Tentara Keamanan Rakyat Letnan Jenderal Soedirman pada Konfrensi TKR di

Yogyakarta, 12 November 1945. Ia menyatakan: Tentara hanya mempunyai kewajiban satu, ialah mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga keselamatannya. Sudah cukup kalau tentara teguh memegang kewajiban ini, lagi pula sebagai tentara, disiplin harus dipegang teguh.10

Fungsi pertahanan pada hakikatnya merupakan fungsi untuk menghadapi ancaman baik dari luar maupun dari dalam, yang mengancam kedaulatan dan integritas negara serta melindungi bangsa dan negara dengan kekuatan bersenjata.

Oleh karena itu, untuk menjalankan fungsinya itu militer harus kembali ke barak, dengan tujuan menumpukan pembinaan pada profesionalisme, disiplin, dan kesadaran hukum. Artinya peningkatan profesionalisme sebagai tentara yang berfungsi sebagai alat pertahanan negara harus dilakukan dengan sungguh- sungguh, disiplin, dan menaati hukum.

Jadi tujuan militer agar kembali ke barak adalah pertama, supaya militer kembali kepada fungsi awalnya sebagai alat pertahanan negara sehingga tidak ada fungsi lain yang dimiliki militer selain fungsi utamanya sebagai alat pertahanan negara. Kedua, untuk menciptakan keahlian prajurit sehingga mahir dalam menggunakan senjata. Ketiga, supaya militer dapat menumpukan tugasnya pada

10 Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara h. 206

73 penciptaan profesionalisme, dimana selama Orde Baru militer selalu berada di luar barak yang mengakibatkan lemahnya profesionalisme militer. Dalam rangka mewujudkan reformasi internal militer, maka militer mengatur kembali tugas dan fungsinya sebagai alat pertahanan negara yang telah dikukuhkan dengan ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 dan Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 serta

Undang-Undang No. 34 Tahun 2004. Dengan itu, militer tidak melakukan banyak fungsi lagi dan tidak akan terlibat dalam politik praktis. Dengan kata lain, ini menjadi pedoman dan kewajiban bagi militer untuk kembali ke barak, agar militer dapat menginstrospeksi diri serta memperbaiki tugas dan fungsinya.

3. Penghapusan Dwi Fungsi ABRI

Penghapusan dwi fungsi ABRI merupakan salah satu agenda dari

Proesionalisme militer pada era Reformasi yang merupakan tugas-tugas pokok

TNI yang harus dilakukan sebagaimananya. Desakan agar militer segera melepaskan diri dari persoalan politik yang semarak pada akhir tahun 1997 dapat dilihat sebagai tahap awal dari surutnya peran politik militer atau depolitisasi.

Tuduhan masyarakat bahwa surutnya gerakan demokrasi, terpuruknya kehidupan politik, suburnya Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) dan diskriminasi penegakan hukum muncul karena keterlibatan militer yang terlalu jauh masuk dalam kehidupan sosial politik di bawah rezim kekuasaan Presiden Soeharto. Militer dianggap turut bertanggung jawab atas terjadinya krisis multidimensi yang berlangsung sejak pertengahan tahun 1997. Tuntutan reformasi yang memasukan

74

agenda pencabutan Dwifungsi ABRI dapat dilihat sebagai pembuka jalan

keluarnya militer dari politik.11

Sebagian besar perwira menganggap bahwa keterlibatan ABRI dalam

kehidupan sosial politik sebagai sesuatu yang wajar mengingat peranan prajurit

ABRI sebagai stabilisator dan dinamisator pembangunan masih diperlukan

masyarakat. Militer dengan spirit kebangsaan yang yang kuat, memandang

kalangan sipil mudah terpecah-belah karena perbedaan latar belakang, suku

bangsa, agama, ras dan ideologi politiknya, yang merupakan potensi ancaman

bagi persatuan bangsa. Kehadiran para prajurit di tengah masyarakat sebagai

perekat paham kebangsaan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Tampilnya Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Soeharto yang

menumpukan kekuatan pada militer dengan mendasarkan pada dwifungsi

ABRI/TNI. Dwifungsi ABRI dijadikan alasan ikut sertanya ABRI ke dalam

semua aspek kehidupan bernegara. Untuk menguatkan sentralisasi kekuasaannya,

Soeharto menggunakan tentara untuk mendominasi jabatan-jabatan politik

strategis dan membenarkan campur tangan tentara dalam politik. Keterlibatan

militer dalam politik pada awal Orde Baru tampak pada banyaknya ABRI yang

dikaryakan. Hal itu terlihat dari 27 anggota kabinet yang diangkat Soeharto pada

Juli 1966, terdapat 12 menteri yang merupakan ABRI, yakni 6 menteri berasal

11 Yudhy Chrisnandi, Reformasi TNI: Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2005) h. 136.

75

dari Angkatan Darat. Dan yang menduduki posisi strategis pada saat itu di tingkat

pusat misalnya, dari 20 departemen yang berurusan dengan sipil terdapat 11

anggota ABRI yang menduduki jabatan Sekretaris Jendral. Pada awalnya ABRI

hanya beberapa saja yang menduduki jabatan sipil, namun pada tahun 1968

jumlah itu meningkat menjadi 68%. Pada awal tahun 1970 meningkat menjadi

92%. Jabatan Bupati yang dipegang perwira ABRI pada tahun 1968 sebanyak

59%. Pada awal 1970 jumlahnya menjadi 84% di Jawa Timur.

Jumlah anggota ABRI yang duduk di dalam kabinet tahun 1973 sebanyak 13

orang. Anggota kabinet yang seharusnya wakil partai saat itu banyak diisi oleh

kaum teknokrat. Sementara itu anggota ABRI yang dikaryakan ditingkat pusat

pada tahun 1973 mencapai 400 oarang. Sedangkan untuk jabatan Gubernur ABRI

menempatkan anggotanya sebanyak 22 orang dari 26 propinsi.12

Keterlibatan militer dalam politik ditingkatkan melalui partai politik Golkar dan

perwakilan politik di MPR, DPR, DPRD I, dan DPRD II. Militer juga meningkatkan

keterlibatan dalam politik melalui badan keamanan atau Kopkamtib/Bakornas. Ini

karena pada setiap pemilu Golkar selalu menang, yang didukung oleh PNS dan

anggota ABRI.13

Upaya untuk memantapkan keterlibatan militer dalam politik juga dilakukan

melalui jalur yuridis. Maka munculah landasan konstitusional dalam bentuk

12 Andria Samego, Bila ABRI Berbisnis, (Bandung: Mizan, 1998), h. 106. 13 A. M. Fatwa, DEMI SEBUAH REZIM: Demokrasi dan Keyakinan Beragama Diadili, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 164.

76

ketetapan MPR maupun perundang-undangan. Dwifungsi ABRI dimasukkan dalam

GBHN, ABRI menjadi modal dasar pembangunan bersama bentuk perundang-

undangan lainnya, seperti UU No. 20/1982 tentang pokokpokok Hankam negara yang

kemudian disempurnakan dalam UU No. 1/1989 dan UU No. 2/1988 tentang pokok-

pokok keprajuritan. Asas legalitas ini merupakan pelengkap atau penyempurna

legalitas sejarah dan perjuangan bangsa. Sementara itu, untuk menciptakan militer

yang profesional, militer harus bersikap netral, tidak memihak partai apapun juga

militer dilarang terlibat dalam politik praktis. Edy Prasetyono, peneliti senior CSIS

menyebutkan: “UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI tegas menyatakan, TNI dilarang

terlibat politik praktis. Karena langkah ini akan merusak TNI hingga tidak mampu

melaksanakan fungsi pertahanan negara secara profesional”.

Masyarakat militer secara langsung tunduk di bawah kekuasaan Negara atau

pemerintah, bukan kepada segelintir orang. Ini karena negaralah yang memenuhi

kebutuhan primer anggota, seperti makanan, rumah, pakaian, uang, pengajaran,

pelatihan, dan perlindungan kesehatan. Selain itu, negara juga menyediakan fasilitas

dan sarana materil perang dan sipil.14

14 Imad Abdurrahim Az-Zaghul, Psikologi Militer, Edisi Indonesia, (Jakarta: Khalifa, 2004), h. 32.

77

4. Dewirantonisasi

Dewirantonisasi merupakan salah satu langkah yang dilakukan oleh presiden

Abdurrahman Wahid dalam semangat reformasi yaitu memecat Wiranto serta mengganti semua pejabat-pejabat militer yang berkaitan dengan orde baru yang pada saat itu merupakan bawahan dari Wiranto selaku panglima TNI sebelumnya yang sangat erat kaitannya dengan Orde Baru.

Alasan pemecatan Wiranto ada dua hal utama, yaitu terkaitnya Wiranto dengan kasus HAM di Timor- Timur serta kasus pergolakan yang terjadi pada tahun 1998 terhadap mahasiswa dan beberapa aktivis dan yang ke dua memutuskan hubungan dengan kekuatan orde baru.

Wiranto pada saat orde baru menjabat sebagai Panglima ABRI sekagus menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan melakukan pengamanan terhadap orde baru dan bertanggung jawab selaku Panglima tertinggi terhadap kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya.

Alasan ke dua yaitu mereposisi jabatan-jabatan yang di isi oleh orang-orang yang dinilai dekat dengan Wiranto. Salah satu contohnya adalah pergantian posisi Pangkostrad secara mendadak dari Letjen TNI Djaja Suparman kepada Mayjen TNI Agus Wirahadi Kusuma yang dinilai lebih reformis. Mayjen TNI

78

Agus Wirahadi Kusuma dinilai oleh Presiden Abdurrahman Wahid memiliki pandangan yang mutlak terhadap tugas dari TNI yang sesungguhnya.15

B. Profil Panglima TNI Laksamana Widodo Adi Sutjipto

Widodo Adi Sutjipto lahir di Boyolali pada selasa 1 Agustus 1944 merupakan anak ke empat, dari pasangan Adi Sutjipto dan Siti Fatonah. Adi Sutjipto ayah dari

Widodo, pernah menginjak pendidikan di sekolah binaan Belanda yang bernama

Kweek School, merupakan lembaga pendidikan calon guru pribumi yang lulus pada tahun 1930, dan di tugaskan di Probolinggo. Waktu mengajar di Probolinggo itulah

Adi Sutjipto menemukan pasangan hidupnya, Siti Fatonah. Setahun setelah bertemu, mereka melangsungkan pernikahan. Dikarenakan tugas sebagai seorang guru, ayah

Widodo sering dipindah tugas ke daerah-daerah. Ini yang menyebabkan Widodo Adi

Sutjipto di besarkan di Solo.

Ragam kehidupan kota Solo yang tenang, banyak membentuk kepribadian

Widodo yang pediam. Kelak kepribadian ini memberikan semacam kekuatan bagi dirinya dalam memimpin Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Widodo mengenyam pendidikan di SMP II Solo dan lulus pada tahun 1959, setelah itu Widodo melanjutkan di SMA favorit. Widodo A.S menamatkan pendidikannya di SD tahun 1956 kemudian SMP tahun 1959 dan SMA tahun 1963.

Setamat SMA, Widodo diterima di Fakultas Tehnik Mesin Universitas Gadjah Mada,

15 A. Malik Haramain, Gus Dur Militer dan Politik, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2004)., h. 250.

79

Yogyakarta, tanpa perlu mengikuti ujian masuk karena nilai-nilainya rata-rata di atas

8. Namun karena merasa kasihan dengan beban orangtuanya yang juga harus membiayai kuliah kedua kakaknya serta terinspirasi oleh kakaknya, Iskandar, yang telah menjadi perwira TNI AD, akhirnya Widodo mendaftarkan diri ke Akademi

Angkatan Laut (AAL) di Surabaya dan Akademi Angkatan Udara AAU di

Yogyakarta.16

Seolah nasib Widodo telah ditakdirkan untuk berkarier di TNI AL, AAL justru yang pertama kali memanggilnya. Saat Widodo diterima menjadi Kadet AAL tahun

1964. Pada saat menjalani kehidupan sebagai Kadet AAL Angkatan XIV, terjadi peristiwa kelam di lingkungan TNI AL, yaitu munculnya Gerakan Perwira Progresif

Revolusioner (GPPR) yang merasa kecewa dengan kondisi di lingkungan TNI AL saat itu. Sebagai ekses dari gerakan tersebut, akhirnya seluruh Angkatan XIV dijauhkan pengaruh kadet-kadet seniornya dengan melakukan kegiatan di luar akademi sebanyak mungkin. Dinamika lainnya dialami Angkatan XIV, adalah perubahan nama dari Kadet menjadi Taruna Laut pada tanggal 29 Maret 1965.

Widodo A.S bersama rekan-rekan seangkatannya dilantik menjadi perwira remaja berpangkat Letnan Muda pada tanggal 10 Desember 1968 di Dermaga Ujung,

Surabaya, bersama-sama dengan alumnus AMN, AAU dan Akpol. Para perwira remaja tersebut merupakan alumnus pertama Akademi Angkatan Bersenjata RI

16 Usamah Hisyam. Widodo AS Nahkoda diantara Tiga Presiden, (Surabaya: Dharmapena Multimedia, 2003), h. 22.

80

(Akabri), sebagai wadah pendidikan perwira yang sejalan dengan program integrasi

ABRI tahun 1965, yang menempatkan pendidikan akademi dalam satu institusi.

Letnan Muda Widodo A.S mengawali kariernya di TNI AL sebagai Perwira

Senjata di Divisi Meriam Serbaguna di RI Irian terhitung mulai tanggal 1 Januari

1969. RI Irian merupakan kapal penjelajah Kelas Sverdlov buatan Uni Soviet yang memperkuat TNI AL sejak tahun 1962. Kemudian pada tanggal 24 Oktober 1970,

Letnan Widodo mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi Sri Murniati. Pasangan

Widodo A.S – Sri Murniati dikaruniai 3 orang anak (1 puteri dan 2 putera) dan selanjutnya 3 orang cucu. Tugas-tugas berikutnya Widodo A.S lebih banyak di daratan, yang diawali sebagai Komandan Peleton Kompi Protokol Denma Armada (1

Desember 1971), Perwira Urusan Dalam Lanal Semarang (3 Maret 1972), Kepala

Seksi Operasi Keamanan Laut Lanal Semarang (1 Januari 1974), Kabag Penerangan dan Protokol Siaga PAL Surabaya (15 November 1975), Paban Muda Operasi Sops

Kowilhan-IV / Hankam (1 Januari 1981) dan Paban Perencanaan dan Evaluasi

Operasi Kowilhan-IV / Hankam (1 Juni 1981).

Setelah lama berdinas di darat, akhirnya Widodo A.S yang kini telah menyandang pangkat Letnan Kolonel Laut, kembali berdinas laut, yaitu terhitung tanggal 25 Juli 1985 sebagai Palaksa KRI Samadikun-341, kapal perang jenis fregat buatan Amerika Serikat Kelas Claud Jones. Kemudian mulai tanggal 1 Juli 1986 menjabat sebagai Komandan KRI Monginsidi-343, kapal fregat sekelas dengan Samadikun. Setelah itu, mulai tanggal 1 Februari 1988 Letkol Widodo A.S

81 pindah tugas sebagai Komandan KRI Ki Hadjar Dewantara-364, kapal perang jenis korvet buatan Yugoslavia yang juga berfungsi sebagai kapal latih lanjut Taruna

Akabri Bagian Laut. Setahun kemudian tepatnya tanggal 28 Juni 1989, Letkol

Widodo dipercaya sebagai Kepala Proyek Pengadaan Kapal “Van Speijk”. Saat bertugas di Belanda tersebut, Widodo A.S dinaikkan pangkatnya menjadi Kolonel

Laut. Selesai bertugas di Belanda, terhitung tanggal 1 November 1989 Kolonel

Widodo bertugas sebagai Komandan KRI Abdul Halim Pedanakusuma-355, kapal perang jenis fregat buatan Belanda dari Kelas Van Speijk.

Kemudian terhitung mulai 15 Maret 1991, Kolonel Widodo menjabat sebagai

Asisten Operasi Komandan Gugus Tempur Laut Armada Timur. Pada saat Kol.

Widodo menjabat Asops Danguspurlatim, terjadi sebuah peristiwa penting di wilayah

Timor-Timur (Tim-Tim) yang kala itu masih menjadi bagian dari NKRI. Tahun 1991 terjadi kerusuhan berdarah di Kota Dili yang memancing reaksi negatif dari masyarakat internasional. Sekelompok aktifis HAM, LSM, media massa dan pendukung kemerdekaan Tim-Tim bermaksud melakukan aksi propaganda anti

Indonesia dengan menggunakan sebuah kapal feri tua Portugal bernama Lusitania

Expresso yang akan berlayar dari Portugal menuju Dili, Tim-Tim. Guna mencegah sekaligus menghalau kapal propaganda tersebut, Guspurlatim menggelar Operasi Aru

Jaya di perairan antara Tim-Tim dengan Australia. Tindakan tegas Indonesia tersebut, akhirnya berhasil mengusir kapal Lusitania Expresso untuk meninggalkan perairan teritorial NKRI pada tanggal 11 Maret 1992.

82

Berkat prestasi Kolonel Widodo yang menjadi lulusan terbaik saat mengikuti

Seskogab Angkatan XVIII tahun 1991-1992, Mabes ABRI menugaskannya untuk menjadi salah satu Guru Militer Sesko ABRI di Bandung. Selain menjadi Guru

Militer, Kol. Widodo juga merangkap jabatan sebagai Perwira Pembantu (Paban) I

Strategi dan Operasi pada Direktorat Kajian dan Pengembangan Sesko ABRI terhitung mulai 1 Oktober 1992. Pada saat menjadi Guru Militer, tahun 1993 Widodo mengikuti Kursus Reguler Angkatan (KRA) XXVI Lemhanas dan lulus dengan predikat terbaik. Setelah mengikuti Lemhanas, Kolonel Widodo diangkat menjadi

Komandan Gugus Keamanan Laut Armada Barat (Guskamlabar) terhitung tanggal 15

Juli 1993, yang tak lama kemudian mulai 1 Oktober 1993 pangkatnya dinaikkan menjadi Laksamana Pertama TNI.

Selanjutnya setahun kemudian, tepatnya mulai 1 April 1994, Laksma Widodo diangkat menjadi Kepala Staf Komando Armada RI Kawasan Barat (Koarmabar).

Setahun kemudian, Widodo A.S diangkat menjadi Panglima Komando Armada RI

Kawasan Barat mulai tanggal 1 Februari 1995. Seiring dengan kenaikan jabatan tersebut, pangkat Laksma Widodo A.S pun turut dinaikkan menjadi Laksamana Muda

TNI mulai tanggal 1 Maret 1995. Kemudian mulai tanggal 1 Maret 1996 Laksda

Widodo diangkat menjadi Asisten Perencanaan dan Anggaran (Asrena) Kasal.

Selepas menjabat sebagai Asrena, Widodo diangkat menjadi Wakil Kepala Staf TNI

AL (Wakasal) terhitung mulai tanggal 15 Juli 1997 dan mulai 1 Agustus pangkatnya dinaikkan menjadi Laksamana Madya TNI.

83

Pada tahun 1997 Indonesia diguncang krisis moneter yang berujung pada krisis multidimensi sehingga meletupkan gelombang aksi demonstrasi besar-besaran dari berbagai elemen masyarakat. Aksi demonstrasi massal tersebut berujung terjadinya kerusuhan sosial yang terjadi antara 13 hingga 15 Mei 1998. Guna mencegah kian berlarutnya aksi massa, akhirnya Presiden Soeharto mengundurkan diri dan digantikan oleh wakilnya, B.J. Habibie. Setelah resmi menjabat sebagai Presiden RI ketiga, B.J. Habibie kemudian menunjuk Laksdya Widodo sebagai Kasal untuk menggantikan Laksamana TNI Arief Kushariadi mulai tanggal 26 Juni 1998. Seiring hal tersebut, terhitung tanggal 1 Februari 1999 pangkat Widodo A.S dinaikkan menjadi Laksamana TNI.

Laksamana TNI Widodo A.S tidak lama menjabat sebagai Kasal, karena kemudian Presiden Habibie mengangkatnya menjadi Wakil Panglima TNI mulai tanggal 17 Juli 1999. Ternyata Widodo A.S hanya 3 bulan menjabat sebagai Wakil

Panglima TNI, karena Presiden RI berikutnya sesuai hasil Sidang Umum MPR 1999, yaitu Abdurrahman Wahid (Gus Dur), mengangkatnya menjadi Panglima TNI menggantikan Jenderal TNI Wiranto.

Widodo A.S menjabat Panglima mulai tanggal 26 Oktober 1999. Selama

Laksamana Widodo A.S menjabat sebagai Panglima TNI, kembali terjadi peristiwa genting yang nyaris membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu ketika terjadi perselisihan antara Presiden Gus Dur dengan MPR yang meminta pertanggung

84 jawaban presiden atas terjadinya berbagai krisis politik hingga buruknya kinerja pemerintah.

Presiden Gus Dur bereaksi dengan ancaman hendak mengeluarkan Dekrit

Presiden yang membubarkan MPR/DPR. Akibatnya, MPR melalui Sidang Istimewa

2001 memberhentikan Gus Dur sebagai presiden keempat dan mengangkat Wapres

Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI kelima. Pada situasi yang kritis tersebut, Widodo berhasil mempertahankan profesionalitas dan netralitas TNI serta menjaga kekompakan TNI, dengan tidak memihak kepada salah satu pihak walaupun peluang itu terbuka luas. Laksamana Widodo A.S berhasil menjadi nahkoda yang tangguh dan profesional diantara 3 Presiden RI, yaitu B.J. Habibie, Gus Dur dan

Megawati Soekarnoputri.

Laksamana Widodo mengakhiri masa jabatannya sebagai Panglima TNI pada tanggal 18 Juni 2002 dan menyerahkan estafet kepemimpinan TNI kepada penggantinya Jenderal TNI . Meskipun sudah tidak lagi menjabat sebagai Panglima TNI dan bersiap memasuki masa pensiun, tidaklah berarti Widodo

A.S dapat “duduk tenang”, karena negara masih membutuhkan pengabdian dan keahliannya. Antara tahun 2002-2003, muncul Krisis Irak-Amerika Serikat yang berujung pada meletusnya perang terbuka, sehingga akibatnya memberi ekses negatif pada Warga Negara Indonesia yang bermukim di Irak.

85

Berkaitan dengan hal tersebut, Presiden Megawati mengangkat Widodo sebagai

Ketua Tim Nasional Penanggulangan Dampak Situasi Irak (TNPDSI) yang bertanggung jawab terhadap keseluruhan proses evakuasi WNI dari Irak. Kemudian setelah bertugas sebagai Ketua TNPDSI, Laksamana Widodo A.S diangkat oleh

Presiden RI keenam, yaitu , menjadi Menteri

Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan RI (Menkopolhukam) menggantikan

Hari Sabarno, yang dijabatnya antara tanggal 21 Oktober 2004 sampai 22 Oktober

2009. Selama menjabat sebagai Menkopolhukam, Widodo A.S juga merangkap sebagai Menteri Dalam Negeri ad-interim (2 April-29 Agustus 2007). Setelah selesai menjabat sebagai Menkopolhukam, Widodo A.S diangkat menjadi Menteri Negara

Pendayagunaan Aparatur Negara ad-interim antara 1 Oktober sampai 22 Oktober

2009 dan selanjutnya mulai 25 Januari 2010 hingga saat ini diangkat sebagai anggota

Dewan Pertimbangan Presiden.

C. Pengangkatan Laksamana Widodo Adi Sutjipto sebagai Panglima TNI

Dalam suatu pembagian jabatan di dalam dunia militer pembagian kekuasaan kepada tiga angkatan bersenjata yaitu Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan

Udara merupakan hal yang lumrah. Tetapi tidak untuk Indonesia, dalam sejarah militer di Indonesia terdapat salah satu angkatan yang seolah-olah dianggap sebagai saudara tua karena berjasa bagi kemerdekaan bangsa.17

17 A. Malik Haramain, Gus Dur Militer dan Politik, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2004), h. 238.

86

Rezim silih berganti, Orde Lama berganti dengan Orde Baru, Presiden Soekarno turun dan digantikan oleh Presiden Soeharto yang berasal dari latar belakang militer terutama Angkatan Darat. Dengan naiknya Soeharto menjadi presiden, menjadikan

Angkatan Darat memperoleh prioritas dibandingkan dengan Angkatan Lainnya dengan mendapatkan jabatan-jabatan strategis di Departemen Pertahanan yang selalu didominasi oleh Angkatan ini dan Angkatan Darat dijadikan sebagai alat legitimasi oleh Soeharto. Kekuasaan panglima tertinggi selalu berada atau dikuasai oleh satu

Angkatan di dalam angkatan bersenjata Indonesia yaitu Angkatan Darat.

Berbeda di era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid yang mempunyai latar belakang seorang sipil tetapi mampu melakukan kontrol sipil terhadap militer, adalah dengan cara melakukan pergeseran posisi (mutasi) di tubuh militer. Kebijakan

Presiden Abdurrahman Wahid menempatkan Laksamana Widodo AS sebagai

Panglima TNI dianggap menciptakan sebuah tradisi dalam militer dengan merotasi jabatan panglima untuk Angkatan-Angkatan lain.

Perubahan ini juga akhirnya membuat hubungan sipil-militer ikut mengalami perubahan yang menciptakan kontrol sipil pada militer. Gagasan konsep ini seperti ytang dikemukan oleh Samuel P. Hungtington dalam menjelaskan tentang konsep hubungan sipil-militer. Menurut Samuel P. Hungtinton mengenai hubungan sipil– militer, ia memaparkan bahwa adanya dua konsep yang menjelaskan bagaimana kontrol sipil itu di lakukan. Yaitu Subjective Civilian Control (Maximizing Civilian

Control) yaitu memaksimalkan kekuasaan sipil. Dapat di artikan bahwa model ini bisa

87 diartikan sebagai upaya meminimalisasi kekuasaan militer dan memaksimalkan kekuasaan kelompok–kelompok sipil. Kedua, Objective Civilian Control (

Maximizing Military Professionalism) yaitu memaksimalkan proesionalisme militer dan menunjukkan bahwa adanya pembagian kekuasaan politik antara kelompok militer dan kelompok sipil yang kondusif menuju perilaku professional.

Dua konsep Huntington ini menuju pada arah non–politikal professional military yang menempatkan aktor militer sebagai abdi negara yang di tugaskan untuk mempertahankan negara tanpa berupaya untuk mengembangkan sejarah ideologi dan landasan moral dari evolusi negara. Abdi negara ini lalu mengembangkan misi teknis operasional berupa penggunaan kekuatan bersenjata untuk mempertahankan kedaulatan politik dan territorial Negara di bawah kendali otoritas politik sipil yang sah.18

Berfokus pada konsep tersebut, dapat dikatakan setiap tindakan atau kebijakan yang dilakukan oleh presiden Abdurrahman Wahid mengutamakan kontrol sipil terhadap militer dan membuat militer untuk profesonal, yang diartikan bahwa militer tak ikut campur di dalam urusan politik. Hal ini bisa dilihat dari kebijakan dalam menyusun kabinet dan pengangkatan panglima TNI yang dilakukan oleh Presiden

Abdurrahman Wahid. Pada pengangkatan panglima TNI Presiden Abdurrahman

18 Samuel P.Huntington, Prajurit dan Negara, Teori politik Hubungan Militer dan Sipil,. (Massachussets : Harvard University Press, 1959), h. 80.

88

Wahid, benar-benar mengambil kebijakan yang beresiko salah satunya menaikkan

Widodo Adi Sutjipto sebagai Panglima TNI.

Terdapat banyak faktor yang menjadikan Laksama TNI. Dalam pengangkatan

Laksamana Widodo Adi Sutjipto, peneliti menemukan tiga hal utama yang mempengaruhi pengangkatan Laksamana Widodo Adi Sutjipto menjadi Panglima

TNI, yaitu: politik, agenda kemaritiman, dan rotasi.

1. Politik:

Di era reformasi, Presiden Abdurrahman Wahid membuat suatu

perubahan posisi-posisi pimpinan di lembaga-lembaga pemerintahan. Di

antara lain pada institusi militer yang merupakan sektor penting dalam

mengiringi transisi dari Orde Baru menuju era Reformasi, karena institusi

militer di Indonesia dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan orde baru

yang diktator dalam menjalankan pemerintahan Indonesia seperti

penggunaan cara-cara represif dalam meredam kelompok-kelompok yang

sangat berseberangan, kritis, dan bertentangan dengan kebijakan-

kebijakan rezim pada saat itu. Mempertimbangkan hal tersebut, cara yang

dilakukan oleh Orde Baru dianggap bertentangan dengan ideologi negara

Indonesia yang demokratis.19

19 Wawancara Pribadi dengan Salim Said, Jakarta 16 Juli 2016.

89

Bagian ini menjadi agenda setting di dalam kebijakan yang diambil oleh presiden Abdurahman Wahid dalam melakukan pengangkatan

Panglima TNI. Agenda setting adalah bagian dari lima langkah di dalam melakukan sebuah proses kebijakan publik. Agenda setting dalam kasus ini adalah reformasi politik yang telah terjadi di Indonesia juga harus menyebar di dalam institusi politik lainnya yang sangat penting. Institusi itu tidak lain adalah lembaga militer yang dikenal sebagai TNI. Di dalam tubuh TNI sejak awal Orde Baru sampai berakhirnya telah diketahui bahwa TNI dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan politik sehingga masuknya era reformasi di Indonesia juga menuntut untuk ada perubahan di dalam tubuh TNI itu sendiri. Diantara perubahan itu adalah penggantian

Panglima TNI yang dari awal dikuasai oleh Angkatan Darat dan saat era

Reformasi kedudukan itu diberikan kepada Angkatan Laut.

Para pejabat militer yang mempunyai kedekatan dengan orde baru dicopot dari jabatannya dan diganti dengan orang-orang yang dinilai mempunyai tujuan yang sama dengan Presiden Abdurrahman Wahid.

Terutama dalam kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan refomasi, profesionalisme, serta komitmen TNI dalam menjaga stabilitas pertahanan dan keamana NKRI. Alasan itu sangat sesuai dengan penjelasan tentang penyusunan agenda yang berubah agenda setting dalam kebijakan publik.

Menurut mantan Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid, Adhie

Massardi, Untuk mereformasi TNI maka harus mengganti pucuk

90

pimpinannya, TNI menganut sistem komando yang mempunyai arti jika

suatu pangkat struktural yang lebih tinggi kedudukannya memberi sebuah

perintah dan instruksi maka struktur pangkat di bawahnya akan mengikuti

perintah dan instruksi dari garis komando yang sudah ditetapkan.

Selanjutnya Adhie Massardi mengemukakan, terdapat unsur politik dalam

pengangkatan Panglima TNI Laksamana Widodo Adi Sutjipto yaitu

menghindari manuver politisi mendorong Jenderal- Jenderal

memperebutkan kursi jabatan Panglima TNI.20

Unsur politik itu adalah bagian dari formulasi kebijakan publik.

Formulasi kebijakan adalah masalah yang telah masuk keagenda

kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-

masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah

terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau

pilihan kebijakan yang ada. Sama seperti perjuangan suatu masalah untuk

masuk ke dalam agenda kebijakan, pada tahap perumusan kebijakan

masing- masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan

yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing

aktor akan “bermain” untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.

Penjelasan tersebut memberikan sebuah gambaran tentang formulasi

kebijakan publik dan jika dikaitan dengan penjelasan menurut mantan

Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid, Adhie Massardi sebelumnya

20Wawancara Pribadi dengan Adhie massardi, Jakarta 16 Juli 2016.

91 daapat disimpulkan bahwa yang menjadi formulasi kebijakan di dalam pengangkatan Laksamana Widodo sebagai Panglima TNI adalah unsur politik yang telah dijelaskan sebelumnya. Penjelasan itu secara garis besar menjelaskan bahwa jika menginginkan perubahan di dalam militer haruslah mengganti pemimpin tertingginya, dan itu adalah Panglima TNI.

Hal ini adalah alternatif-alternatif pemecahan masalah di dalam formulasi kebijakan.

Untuk membuat sebuah keselarasan antara pemerintah dengan TNI, maka Panglima TNI diganti oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Panglima

TNI sebelumnya berasal dari Angkatan Darat yaitu Jenderal Wiranto digantikan dengan Laksamana Widodo Adi Sutjipto yang merupakan

Panglima TNI pertama yang berasal dari Angkatan Laut, tidak pernah ada

Panglima TNI di Indonesia sejak zaman Orde Baru sampai dengan awal pemerintahan Abdurrahman Wahid yang berasal dari golongan selain

Angkatan Darat.

Pengangkatan Laksamana Widodo Adi Sutjipto pada 4 November

1999 merupakan sebuah gebrakan awal reformasi di militer yang dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Dengan ini diharapkan TNI dapat mencapai optimalisasi dalam menjaga keamanan dan stabilitas nasional.

92

2. Agenda Kemaritiman

Dalam agenda reformasi Presiden Abdurrahman Wahid, salah satunya

mengenai kemaritiman Indonesia. Indonesia merupakan Negara kepulauan

memiliki 17.508 pulau yang mempunyai kekayaan laut yang melimpah

dan wilayah laut yang cukup luas dengan garis pantai 81.000 km. 21

Agenda reformasi yang berkaitan dengan kemaritiman jika dihubungkan

dengan tahap kebijakan publik maka agenda kemaritima ini berhubungan

dengan adopsi kebijakan dalam tahapan kebijakan publik. Adopsi

kebijakan adalah dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan

oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif

kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif,

konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan. Agenda

kemaritiman ditempatkan sebagai adopsi kebijakan hal ini dikarenakan

berhubungan dengan kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid tentang

kemaritiman yang akan diuraikan lebih jelas selanjutnya.

Di era pemerintahan Gus Dur 2 (dua) tahun sebelumnya mengeluarkan

kebijakan membentuk kementerian baru yakni Departemen Eksplorasi

Laut dengan Keputusan Presiden No.355/M Tahun 1999 tanggal 26

Oktober 1999. Dalam perjalanannya, namanya berubah-ubah dan akhirnya

saat ini menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan berdasarkan

21

93

Peraturan Presiden No. 47 tahun 2009. Pada masa pemerintahan Presiden

Abdurrahman Wahid juga dibentuk Dewan Maritim Indonesia (DMI)

yang bertugas untuk mengkoordinasikan dan mensinergikan program

pembangunan kelautan di Indonesia.

Demi menjaga dan mengoptimalisasi kekayaan laut Indonesia,

Presiden Abdurrahman Wahid membuat kementerian khusus yang

menangani Kelautan Indonesia, yaitu Departemen Eksplorasi Kelautan

yang dipimpin oleh Sarwono Kusumaatmaja. Agar dapat optimal dalam

mengelola kekayaan laut Indonesia, Angkatan Laut juga berperan dalam

menjaga keamanan dan kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia dari sisi kelautan.22

Presiden Abdurrahman Wahid ingin memperkuat Laut Indonesia

antara lain dengan cara mengangkat Panglima TNI dari Angkatan Laut

yaitu Laksamana Widodo Adi Sutjipto. Diharapkan dengan kemampuan

yang dimiliki Laksamana Widodo Adi Sutjipto dalam hal menjaga

keamanan di sektor laut Indonesia. Penejalsan ini sangat berhubungan

dengan adopsi kebijakan, sehingga hal ini menjadikan keyakinan peneliti

meletakan agenda kemaritiman menjadi adopsi kebijakan publik dalam

pengangkatan Laksamana Widodo sebagai Panglima TNI di masa

presiden Abdurrahman Wahid.

22Wawancara pribadi dengan Salim Said, Jakarta, 16 Juli 2016

94

Disamping itu Angkatan Laut merupakan Angkatan terbesar ke dua di

Indonesia berdasarkan jumlah personil anggota saat ini diantaranya:

Angkatan Darat 273.693 personil, Angkatan Laut 68.180 presonil dan

Angkatan Udara 27.590 personil. Ini salah satu pertimbangan Presiden

Abdurrahman Wahid mengangkat Laksamana Widodo Adi Sutjipto yang

berasal dari Angkatan Laut.23

3. Rotasi

Dalam Pengangkatan Panglima TNI merupakan hak prerogratif dari

seorang Presiden, tetapi secara struktur seakan-akan telah dipersiapkan

oleh Wiranto yang menunjuk Laksamana Widodo Adi Sutjipto sebagai

Wakil Panglima TNI pada saat itu. Secara struktur terdapat syarat secara

tidak langsung mengenai pengangkatan Panglima Widodo Adi Sutjipto24.

Abdurrahman Wahid Ingin merotasi Panglima TNI yang sebelumnya

didominasi oleh Angkatan Darat, sehingga seluruh Angkatan

mendapatkan hak yang sama dalam menjabat Panglima TNI.

Penjelasan tersebut sangat berkaitan dengan tahap keempat di dalam

kebijakan publik, yaitu implemitasi/pelaksanaan kebijakan. Suatu program

kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika program tersebut

tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, keputusan program kebijakan

yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus

23Wawancara dengan Adhie Massardi, Jakarta, 21 Januari 2016 24Ibid.,

95

diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi

maupun agen-agen pemerintah ditingkat bawah dalam hal ini adalah

segala kesatuan yang ada di dalam tubuh TNI yaitu Angkatan Darat, Laut,

dan Udura. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit

administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia.

Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing.

Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana

(implementators), namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh

para pelaksana.

Terakhir dari tahapan kebijakan publik adalah evalusia kebijakan.

Pada bagian evalusi kebijakan akan diuaraikan dan dijelaskan melalaui

proses reformasi di tubuh TNI dan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh

laksaman Widodo Adi Sutjipto sebagai Panglima TNI. Hal ini sangat

berhubungan dengan pengangkatan dan program yang akan

dilaksanakannya sebagai Panglima TNI.

D. Kebijakan Widodo

Keputusan Panglima Laksamana Widodo Adi Sutjipto sebagai Panglima TNI di era Pemerintahan Abdurrahman Wahid, mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan reformasi. Selama mencermati dua bulan pertama masa

96 kepemimpinannya, Panglima TNI Laksamana Widodo AS merumuskan enam pokok tugas-tugas TNI berikut:25

a. Melanjutkan reformasi internal TNI, meliputi aspek struktural dan

kultural.

b. Meningkatkan profesionalisme dengan menaati program latihan secara

bertahap, bertingkat, dan berkelanjutan, serta menaati kembali

program-program pendidikan di dalam dan di luar negeri.

c. Memperbaiki citra TNI secara bersungguh-sungguh dengan

membenahi penampilan institusi prajurit TNI, serta selalu taat asas

melaksanakan tugas pokok dan fungsi TNI selaku komponen utama

pertahanan.

d. Membantu pemerintah daerah dan Polri, terutama dalam mengatasi

keadaan di daerah-daerah rawan keamanan.

e. Memelihara kesiapsiagaan seluruh jajaran untuk penugasan setiap saat.

f. Melanjutkan tugas luar negeri dalam rangka perdamaian dunia.

25 Hisyam, Usamah . Widodo AS Nahkoda diantara Tiga Presiden, (Surabaya: Dharmapena Multimedia, 2003.)

97

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pemaparan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pengangkatan

Panglima TNI Laksamana Widodo Adi Sutjipto di era Presiden Abdurrahman wahid merupakan suatu kebijakan yang sangat momentum dan sangat tepat dalam mengawali era Reformasi, karena Panglima pertama di Indonesia yang berasal dari matra Angkatan Laut. Dari awal kemerdekaan yang dipimpin oleh Ir. Soekarno hingga Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto, semua panglima berasal dari matra

Angkatan Darat, tetapi pada saat era Reformasi yang di pimpin oleh Presiden

Abdurrahman Wahid yang merupakan symbol dari supremasi sipil yang merupakan sebuah keharusan yang diterapkan di dalam Negara Indonesia yang menganut sistem demokrasi.

Pengangkatan Widodo Adi Sutjipto sebagai Panglima TNI di era Kepresidenan

Abdurrahman Wahid tidak terjadi secara kebetulan. Dalam kenyataannya terdapat beberapaalasan yang ditemukan oleh peneliti. Dalam pengangkatan Laksamana

Widodo Adi Sutjipto menjadi Panglima TNI, peneliti menemukan tiga hal utama yang mempengaruhi, yaitu: pertama politik, kedua agenda kemaritiman, dan ketiga rotasi.

99

Alasan pertama pengangkatan Laksamana Widodo Adi Sutjipto sebagai

Panglima TNI merupakan politik, Menurut mantan Juru Bicara Presiden

Abdurrahman Wahid, Adhie Massardi, Presiden Abdurrahman Wahid memilih karena untuk menghindari manuver antar Jenderal yang inginmenjadiPanglima TNI yang merupakan kroni-kroni dari Orde Baru. Presiden Abdurrahman Wahid ingin mereshuffle semua oknum yang terkait Orde Baru, alasan tersebut dikemukakan agar terdapat keselarasan dengan semua perangkat Negara dalam menjalankan roda pemerintahan. Laksamana Widodo Adi Sutjipto dinilai oleh Presiden Abdurrahman

Wahid sebagai sosok yang dapat menjalankan tugas sebagai Panglima TNI selaras dengan Pemerintah.

Alasan kedua yaitu kemaritiman, Presiden Abdurrahman Wahid mulai meningkatkan kembali poros kemaritiman karena Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan sumber daya kelautan yang melimpah, oleh karena itu diangkatnya Panglima TNI yang berasal dari Angkatan Laut diharapkan dapat secara optimal menjaga kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia terutama dari sektor kelautan, dan memperkuat alusista Angkatan Laut.

Alasan ketiga yaitu rotasi, dalam pengangkatan Panglima TNI di dalam

Undang- Undang merupakan hak Prerogratif dari seorang Presiden akan tetapi dalam semangat Reformasi, Presiden Abdurrahman Wahid ingin melakukan suatu perubahan dimana Panglima TNI tidak harus berasal dari Angkatan Darat. Presiden

Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa setiap Angkatan mempunyai hak yang sama

100

untuk menjadi Panglima TNI. Selain itu Presiden Abdurrahman Wahid ingin membuat tradisi baru, yaitu pengangkatan Panglima TNI secara bergantian dia wali oleh Angkatan Laut, karena Angkatan Laut sebagai Angkatan Perang terbesar di

Indonesia setelah Angkatan Darat.

Dalam menjalankan reformasi secara utuh, TNI mereformasi diri dengan menjalankan fungsi TNI dengan seharusnya. Reformasi TNI dikomando oleh

Panglima TNI Laksamana Widodo Adi Sutjipto yang mengeluarkan kebijakan – kebijakan dan memperbaiki TNI dengan mengutamakan Reformasi di dalam TNI dengan Profesionalisme TNI menjalankan fungsi militer dengan sesungguhnya yaitu menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengikuti perdamaian dunia.

101

B. Saran

Saran ditujukan untuk instansi TNI dan Presiden, Dengan adanya Reformasi militer Indonesia dalam hal pengangkatan Panglima TNI, diharapkan sistem pergantian panglima dengan rotasi antar Angkatan tetap dijalankan demi menghilangkan dominasi salah satu Angkatan sehingga tercipta stabilitas di dalam

TNI dan selalu bersinergi dengan Pemerintahan yang sedang berkuasa. Selain itu

Supremasil Sipil selalu dilakukan di dalam pemerintahan Indonesia agar terciptanya

Negara yang demokrasi.

102

Daftar Pustaka

Az-Zaghul, Imad Abdurrahim. Psikologi Militer. Jakarta: Khalifa, 2004. Budiharjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008. Chaidar, Al. Reformasi Prematur. Jakarta: Darul Falah, 1998. Chrisnandi, Yuddy. Kesaksian Para Jenderal: Sekitar Reformasi Internal dan Profesionalisme TNI. Jakarta: Pustaka LP3ES, 2005. Chrisnandi, Yuddy. Reformasi TNI Prespektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES, 2005. Dwiyanto, Agus. Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010. Dwiyanto, Agus. Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010. E. Mc Grath, Alister. Sejarah Pemikiran Reformasi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002. Fatah, Abdoel. Demiliterisasi Tentara Pasang Surut Politik Militer 1945-2004. Yogyakarta: LKIS, 2005. FX, Bambang Irawan. Supremasi Sipil? Agenda Politik Militer Gus Dur. Yogyakarta: eLst Reba, 2000. Gulo, W. Metodologi Penelitian. Jakarta: Grasindo, 2013. Haramain, A Malik. Gus Dur Militer dan Politik. Yogyakarta: LkiS, 2004. Hisyam, Usamah. Widodo AS Nahkoda diantara Tiga Presiden. Surabaya: Dharmapena Multimedia, 2003. Huntington, Samuel P. Tertib Politik di dalam Masyarakat yang Telah Berubah. Jakarta: CV Rajawali, 1983. Huntington, Samuel P. Prajurit dan Negara, Teori politik Hubungan Militer dan Sipil. Cambridge Maas: The Belknap Press of Howard University Press, 1959. Idrus, Muhammad. Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Jakarta: Erlangga, 2009.

103

Lan, Liem Siok . Mengutamakan Rakyat-Wawancara Mayor Jenderal TNI Saurip

Kadi oleh Liem Siok Lan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.

Matanasi, Petrik. Pribumi Jadi Letnan KNIL. Yogyakarta: Trompet, 2011. Mietzner, Marcus. The Politics of Military Reform in Post-Suharto Indonesia: Elite Conflict, Nationalism, and Institutional Resistance. Washington: East-West Center, 2006. Muhaimin, Yahya A. Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002. Nasution, A.H. Sedjarah Perjuangan Nasional di BidangBersendjata. Djakarta: Mega Bookstore, 1966. Nasution, A.H. T.N.I Jilid I, 2nd ed. Djakarta: Ganeco, 1968. ParlMutter, Amos. Militer dan Politik. Jakarta: Rajawali Pers, 2000. Raco, Jozef. Metode Penelitian Kualitatif: Jenis Karakteristik dan Keunggulan. Jakarta: Grasindo, 2012. Salim, Agus. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001. Samego, Andria. Bila ABRI Berbisnis. Bandung: Mizan, 1998. Silalahi, Ulber. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama, 2010. Soebijono. dkk. Dwifungsi abri perkembangan dan peranan dalam kehidupan poliyik di indonesia. Yogyakarta: Ugm press, 1997. Soemitro. Suksesi Militer dan Mahasiswa. Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1997. Sugiyono, Frans. Mencintai liturgi. Yogyakarta: Kanisius, 2010. Sukadis, Beni. Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia. DCAF & LESPRESI, 2007. Wild, Colin dan Peter Carey, ed. Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1986.

104

Arsip Fadly, Yusuf. “Militer dan Politik: Suatu Tinjauan Atas Reformasi Internal TNI dan Implikasinya terhadap Transisi Demokrasi di Indonesia 1999-2004.” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (Mabes TNI). TNI Abad XXI: Redefinisi

Reposisi.. Jakarta: Mabes TNI, 1999.

UUD 1945

Media Elektronik

Agenda Kemaritiman, Artikel diakses pada 22 Agustus 2016 melalui www.kkp.go.id

BiografiLaksamanaWidodoAdiSutjipto, Artikel diakses pada tanggal 10 September 2016 dari http://www.tnial.mil.id/Aboutus/Sejarah/Biografi/tabid/116/articleType/Articl eView/articleId/5454/LAKSAMANA-TNI-WIDODO-AS.aspx Daftar Panglima TNI, artikel diakses pada 1 Juli 2016 dari http://news.okezone.com/read/2014/10/07/337/1048928/panglima-tni-jejak- soedirman-hingga-moeldoko Panglima TNI, artikel diakses pada 1 Juli 2016 dari

http://www.kamusbesar.com/55719/panglima-tni

Wawancara

Wawancara dengan Adhie Massardi, juru bicara Kepresidenan Era Pemerintahan

Presiden Abdurrahman Wahid

Wawancara dengan Salim Said, pengamat militer.

105