WARNA LOKAL BETAWI DALAM NOVEL KRONIK BETAWI KARYA RATIH KUMALA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA DI SMA

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh ROBBY RINALDI NIM 11160130000051

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2021

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

WARNA LOKAL BETAWI DALAM NOVEL KRONIK BETAWI KARYA RATIH KUMALA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh

Robby Rinaldi NIM. 11160130000051

Menyetujui Pembimbing

Ahmad Bahtiar, M. Hum. NIP. 19760118 200912 1 002

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2021

ABSTRAK

Robby Rinaldi, NIM. 11160130000051, “Warna Lokal Betawi dalam Novel Kronik Betawi Karya Ratih Kumala dan Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Dosen Pembimbing: Ahmad Bahtiar, M. Hum.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui warna lokal Betawi yang terdapat dalam novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala yang diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran di SMA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dengan subjek warna lokal dan menggunakan pendekatan sosiologi sastra karena karya sastra lahir dari masyarakat dan nilai yang ada di karya sastra akan kembali kepada masyarakat sehingga penciptaan karya sastra mengandung nilai manfaat kepada para pembaca. Berdasarkan temuan dan hasil analisis yang dilakukan novel ini, dapat diketahui bahwa novel Kronik Betawi memuat unsur sosial dan unsur budaya. Hasil analisis unsur sosial; pertama, kelas sosial dipandang dari segi profesi yakni profesi tukang ojek dalam Betawi dipandang rendah daripada menjadi juragan kontrakan yang dinilai lebih tinggi; kedua, dinamika sosial berupa pengendalian sosial berupa Islam menjadikan masyarakat Betawi menjadi satu dan penyimpangan sosial yakni dominasi kaum lelaki pasca menikah; ketiga, kelompok sosial ditemukan kelima penari yang ingin pergi ke luar negeri untuk menari; keempat, lembaga sosial Setia Warga pimpinan. Hasil analisis selanjutnya dari segi unsur budaya; pertama, sistem religi Betawi seperti melepas haji, nyambut haji, selametan, tradisi , pemberian nama Islam; kedua, sistem pengetahuan Betawi seperti Si Pitung, Si Doel, , Piare Calon None Pengantin, dan Haji Bokir; ketiga, teknologi tradisional Betawi seperti golok dan bale; keempat, sistem kemasyarakatan Betawi seperti Betawi terbentuk dari masyarakat heterogen yang berada lama di Batavia, pasca menikah biasanya orang Betawi tinggal tidak jauh dari keluarga besarnya, penghormatan kepada yang lebih tua saat tradisi lebaran idul fitri, panggilan sapaan kepada yang lebih tua atau muda dalam Betawi; kelima, mata pencarian orang Betawi seperti usaha sapi perah, juragan kontrakan, kesenian sebagai mata pencarian, dan profesi modern seperti pengusaha percetakan; keenam, kesenian Betawi seperti tari topeng, tanjidor, ondel-ondel, gambang kromong, , pencak silat, rebana, lagu kicir-kicir, lagu keroncong , makanan , , ayam, pancong, combro; ketujuh, bahasa Betawi seperti penggunaan bahasa Betawi dialek kota atau tengah dan variasi bahasa Betawi.

Kata kunci: Warna Lokal, Novel Kronik Betawi, Kualitatif, Unsur Sosial- Budaya.

i

ABSTRACT

Robby Rinaldi, NIM. 11160130000051, "Betawi Local Colors in Kronik Betawi a Novel written by Ratih Kumala and Its Implications to Learn and Literature in High School", Department of Indonesian Language and Literature Education in Faculty of Education and Teacher Training, Syarif Hidayatullah Islamic State University, Jakarta. Supervisor: Ahmad Bahtiar, M. Hum.

This study aims to determine the local Betawi colors contained in the novel Kronik Betawi by Ratih Kumala, which is expected to be used as learning material in High School. This Research used qualitative method, with the subject of local colors and used the sociology of literature approach because literature works created from society. Than, the values that exist in literature will be back to the community, so the creation of literature works contains useful values for the readers. Based on the findings and results of the analysis carried out by this novel, it can be seen that the Kronik Betawi novel contains social elements and cultural elements. The results of the analysis of social elements; first, social class was seen from a professional point of view, call it that the driver of motorcycle in Betawi considered lower than being a landlord which is looked higher upon; second, social dynamics, in the form social control, Islam makes become one and the form of social deviations, domination of men after marriage; third, social group such as five dancer want to abroad; fourth, the social institution is Setia Warga group. The results of the subsequent cell analysis in terms of cultural elements; first, the Betawi religious system, such as welcome departure the hajj, welcome home the hajj, Selametan, Eid tradition in Betawi, giving name of Islam; second, the Betawi knowledge system such as Si Pitung, Si Doel, crocodile bread, Piare Calon None Pengantin, Haji Bokir; third, Betawi traditional technology such as golok and bale ; fourth, the Betawi social system such as Betawi is formed from heterogeneous communities that have been living in Batavia for a long time, after marriage Betawi people usually live not far from their big family, respect for the elders during the Eid al-Fitr tradition, the nickname for the older or younger in Betawi; fifth, the livelihoods of the Betawi people, such as a cattle raiser, rented skipper, art as a livelihood, and a fashion profession such as a printing business; sixth, Betawi arts such as topeng dance, tanjidor, ondel-ondel, gambang kromong, lenong, pencak silat, rebana, kicir-kicir songs, Kemayoran keroncong songs, sayur asem food, rendang, opor, pancong cake, combro; seventh, the , such as the use of the city or middle dialect of the Betawi language and variations of the Betawi language.

Keywords: Local Color, Kronik Betawi Novel , Qualitative , Socio-Cultural Elements.

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia, serta nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Warna Lokal Betawi dalam Novel Kronik Betawi Karya Ratih Kumala dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”. Penulis menyusun skripsi ini untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana pendidikan. Dengan demikian, skripsi ini dapat terwujud dari berbagai pihak yang membantu penulis. Oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Dr. Sururin, M. Ag., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Makyun Subuki, M. Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Novi Diah Haryanti, M. Hum., Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Ahmad Bahtiar, M. Hum., dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan dan motivasi, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 5. Rosida Erowati, M. Hum., dosen penasihat akademik yang telah membantu masalah akademik. 6. Seluruh dosen dan staf Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, khususnya jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan pengalaman untuk penulis selama perkuliahan. 7. Orangtua yang sangat terhormat Bapak Nawiri dan Ibu Munawaroh, serta Kanda Lina Silvi Agtari dan Bripka Totok Setiawan, dan seluruh keluarga besar.

iii

8. Calon istri atau pacar yang mendampingi dan memotivasi penulis selama proses penyusunan skripsi. 9. Kanda dan Yunda HMI Komisariat Tarbiyah Cabang Ciputat yang telah memberikan pengalaman berharga seperti 3A: Akademis, Aktivis, dan Asmara. 10. Teman-teman tongkrongan sekaligus ngopi yakni: Dudodit, Paris Adventure, Geng Kapak (PES Football), Bocah Jambu Trubus 3, IRSOS, Anak Kosan Bu RT Pisangan, dan yang lain, yang telah menjadi tempat penyegaran otak selama penulis pusing mengerjakan skripsi. 11. Teman-teman seperjuangan PBSI B angkatan 2016, khususnya M. Bagus Aldhino, Rizky A. Imansyah, M. Roihan, Ahmad Fahri, Malik Abdul Karim yang selalu berdialektika selama proses perkuliahan. 12. Para ilmuwan dan ahli yang membantu penulis selama proses pencarian data sehingga namanya penulis gunakan dalam catatan kaki. 13. Semua pihak yang memberikan motivasi dan doa kepada penulis. Semoga semua nilai positif yang telah diberikan kepada penulis dibalas oleh Allah SWT. Dengan segala hormat, penulis selalu terbuka untuk menerima kritik dan saran terkait skripsi ini. Semoga skripsi ini menjadi manfaat bagi semua pihak. Jakarta, 24 Januari 2021

Penulis

iv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH ABSTRAK ...... i ABSTRACT ...... ii KATA PENGANTAR ...... iii DAFTAR ISI ...... v BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Identifikasi Masalah ...... 4 C. Batasan Masalah ...... 4 D. Rumusan Masalah...... 5 E. Tujuan Penelitian ...... 5 F. Manfaat Penelitian ...... 5 G. Metodologi Penelitian...... 6 1. Objek Penelitian ...... 6 2. Metode Penelitian ...... 6 3. Sumber Data ...... 6 4. Teknik Analisis Data ...... 6

BAB II KAJIAN TEORI ...... 8 A. Hakikat Novel ...... 8 B. Pengertian Novel ...... 8 C. Unsur-unsur Novel ...... 9 1. Tema ...... 9 2. Tokoh ...... 10 3. Alur ...... 11 4. Latar ...... 13 5. Sudut Pandang ...... 14 6. Gaya Bahasa ...... 15 7. Amanat ...... 16 D. Sosiologi Sastra ...... 16 E. Warna Lokal ...... 18 1. Unsur-unsur Sosial ...... 21 a. Kelas Sosial ...... 21 b. Dinamika Sosial ...... 21 c. Kelompok Sosial ...... 22

v

d. Lembaga Sosial ...... 23 2. Unsur-unsur Budaya ...... 23 a. Sistem Religi ...... 24 b. Sistem Organisasi Kemasyarakatan ...... 24 c. Sistem Pengetahuan ...... 24 d. Sistem Mata Pencarian Hidup ...... 25 e. Sistem Teknologi ...... 25 f. Bahasa ...... 26 g. Kesenian ...... 26 F. Pembelajaran Sastra di Sekolah ...... 26 G. Penelitian Relevan ...... 29

BAB III BIOGRAFI DAN PANDANGAN PENGARANG ...... 33 A. Biografi Ratih Kumala...... 33 B. Karya Ratih Kumala ...... 34 C. Pandangan Ratih Kumala Sebagai Penulis ...... 36 D. Pandangan Ratih Kumala Terhadap Novel Kronik Betawi ...... 37

BAB IV KAJIAN ANALISIS ...... 40 A. Analisis Unsur Intrinsik ...... 40 1. Tema ...... 40 2. Tokoh ...... 41 3. Alur ...... 49 4. Latar ...... 53 5. Sudut Pandang ...... 57 6. Gaya Bahasa ...... 59 7. Amanat ...... 61 B. Analisis Warna Lokal ...... 61 1. Unsur-unsur Sosial ...... 61 a. Kelas Sosial ...... 61 b. Dinamika Sosial ...... 63 c. Kelompok Sosial ...... 65 d. Lembaga Sosial ...... 66 2. Unsur-unsur Budaya ...... 67 a. Sistem Religi ...... 67 b. Sistem Pengetahuan ...... 71 c. Sistem Teknologi ...... 75 d. Sistem Kemasyarakatan ...... 77 e. Sistem Mata Pencarian ...... 80 f. Kesenian ...... 84

vi

g. Bahasa ...... 92 C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di SMA ...... 95

BAB V PENUTUP ...... 98 A. Simpulan ...... 98 B. Saran ...... 99

DAFTAR PUSTAKA ...... 101 LAMPIRAN BIOGRAFI PENULIS

vii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara sederhana warna lokal bisa diartikan sebagai ciri khas daerah. Adapun dalam hal lain warna lokal sebagai bentuk atau cara meningkatkan corak identitas budaya yang mengakibatkan budaya tersebut tetap ada. Selain itu, masalah utama warna lokal Betawi adalah hilangnya eksistensi kearifan lokal Betawi. Contoh kasus warna lokal dari Betawi adalah ondel-ondel. Namun ondel- ondel menjadi perbincangan yang hangat di publik karena kurangnya apresiasi masyarakat. Budayawan Betawi Yahya Andi Saputra dalam detik.com (22/12/2018) mengatakan ondel-ondel ataupun kesenian lainnya memang sejak dulu dijadikan sarana hiburan sekaligus sebagai mata pencarian. Orang dulu menjadikan ondel-ondel sebagai mata pencarian tidak lantas mengabaikan unsur pelestarian budaya. Contohnya adalah ondel-ondel digunakan ketika pesta perkawinan, pergelaran acara hari besar nasional, dan festival budaya. Yahya menambahkan pada zaman sekarang ondel-ondel mengabaikan kearifan lokal. Tujuan utamanya hanya untuk mencari uang seperti pengamen ondel-ondel. Oknum tersebut salah karena ketika ada pengamen ondel-ondel berkeliling mengakibatkan keadaan menjadi tidak tertib, bahkan meresahkan masyarakat.1 Dengan demikian pendapat Yahya Andi secara kontektsual mengenai perbandingan penggunaan ondel-ondel dahulu dengan yang sekarang. Hal tersebut menjadi masalah serius karena demi meningkatkan corak warna lokal Betawi. Selain itu, warna lokal juga berkaitan dengan bahasa. Bahasa dengan sastra sangat berhubungan, karena sastra adalah praktik berbahasa. Sastra warna lokal dapat ditemukan di dalam novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala. Warna lokal

1 Eva Safitri, Budayawan Betawi Setuju Pengamen Ondel-ondel Ditertibkan, Asal ..., dalam www.detik.com., pada Rabu, 8 Mei 2019 pukul 22.53 WIB.

1

2

dalam novel ini sangat kaya, namun anehnya belum ada peneliti yang membahas dari segi warna lokal. Sastra warna lokal mempunyai andil yang begitu besar dalam pelestarian budaya bangsa. Dalam pendidikan, materi sastra di sekolah kebanyakan menggunakan sastra klasik, seperti karya Chairil Anwar, WS Rendra, Armin Pane, dan Ahmad Tohari. Namun jarang sekali materi yang dibawakan dari penulis terbaru seperti Ratih Kumala yang menulis novel Kronik Betawi. Dengan demikian materi warna lokal di sekolah jarang dibahas di sekolah yang mengakibatkan para peserta didik tidak tahu tentang sastra warna lokal. Selain itu, ada permasalahan lain perihal warna lokal Betawi di sekolah. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena dampak globalisasi bisa menggerus budaya lokal, akibatnya budaya modern lebih dihargai daripada budaya tradisional. LKB (Lembaga Kebudayaan Betawi) mendorong budaya Betawi masuk muatan lokal di sekolah. Ketua LKB Beki Marda dalam Jawa Pos (17/05/19) menyatakan bahwa faktor kesulitan budaya Betawi ke anak muda bukan karena faktor internal saja, melainkan adapula faktor eksternal seperti budaya asing yang terus menekan dari berbagai aspek.2 Dengan demikian dua poin penting dari pendapat Beki bahwa pengaruh globalisasi bisa berdampak negatif bagi budaya Betawi dan mendesak pemerintah supaya budaya Betawi masuk dalam muatan lokal di sekolah. Implikasi sastra warna lokal ke dunia pendidikan dalam novel Kronik Betawi bisa dijadikan pembentukan karakter peserta didik seperti apresiasi sastra dan juga mengenalkan kearifan lokal Betawi kepada peserta didik. Sedangkan bagi guru, adanya novel ini dapat dijadikan sumber pembelajaran. Dengan demikian novel Kronik Betawi bisa diimplikasikan kepada peserta didik sebagai generasi pemuda mendatang dan diharapkan mampu bertindak untuk menjaga warisan budaya bangsa. Selanjutnya mengerucut kepada pengarang novel Kronik Betawi yakni Ratih Kumala. Ratih Kumala lahir di Jakarta pada 1980. Novel pertamanya Tabula Rasa (Grasindo 2004, GPU 2014), memenangkan Sayembara Menulis Novel Dewan

2 Jawa Pos, LKB Dorong Budaya Betawi Masuk Muatan Lokal di Sekolah, dalam www.jawapos.com., Diakses pada Minggu, 19 Mei 2019 pukul 13.13 WIB.

3

Kesenian Jakarta 2003. Novel keduanya Genesis (Insist Press, 2005). Kumpulan cerita pendeknya, Larutan Senja (Gramedia Pustaka Utama, 2006). Karya keempatnya Kronik Betawi berupa novel yang terbit pada 2009 di Gramedia Pustaka Utama. Karya kelimanya berupa novel Gadis Kretek (GPU, 2012) dan buku keenamnya kumpulan cerpen Bastian dan Jamur Ajaib (GPU, 2015). Novelnya Gadis Kretek (GPU, 2012) yang masuk dalam Top 5 kategori prosa Khatulistiwa Literary Award 2012 dan telah diterjemahkan ke Bahasa Inggris – Cigarette Girl (GPU, 2015), bahasa Jerman – Das Zigarettenmadchen (culturbooks publishing, 2015). Selain menulis fiksi, Ratih juga menulis skenario untuk televisi layar lebar.3 Berdasarkan data tersebut karier Ratih sangat progresif. Tidak heran kalau ia berhasil meraih prestasi. Novel Kronik Betawi adalah karya Ratih Kumala keempat yang bercerita tentang Jakarta dan anak daerahnya yang tergusur dan tergeser. Tiga tokoh utama novel ini, Haji Jaelani, Haji Jarkasi, dan Juleha, masing-masing berkisah tentang problema mereka sebagai anak Betawi. Novel ini bersetting dari zaman penjajahan (sekitar tahun 40-an) hingga Reformasi (1998).4 Novel Kronik Betawi berkonten kearifan lokal Betawi yang tengah terjadi di tengah masyarakat. Transisi dari tradisional ke modern sangat jelas diceritakan oleh Ratih Kumala. Bisa disimpulkan bahwa novel Kronik Betawi lahir dari seorang penulis berdarah Betawi yang tinggal di masyarakat Betawi. Itu artinya sastra lahir dari masyarakat dan dikembalikan nilai yang ada di dalam karya sastra tersebut kepada masyarakat yang mengandung manfaat di dalamnya. Para ahli menyebutnya dengan sosiologi sastra, sebab sastra dan masyarakat saling berhubungan. Berbeda dengan tiga buku sebelumnya, dalam novel ini Ratih Kumala merasa telah berkembang lebih dewasa. Ia tidak lagi terpesona dengan metafora- metafora, melainkan lebih suka bercerita dengan cara sederhana dan apa adanya. Mengingat Kronik Betawi adalah novel tentang Betawi, Ratih juga sengaja menggunakan bahasa Betawi dalam dialognya. Novel Kronik Betawi sebelum

3 Ratih Kumala, Ratih Kumala, dalam www.ratihkumala.com. diakses pada Minggu, 12 Mei 2019 pukul 14.27 WIB. 4 Ibid. pukul 14.33 WIB.

4

terbit sebagai buku, juga pernah dipublikasikan sebagai cerita bersambung di harian Republika.5 Berdasarkan penjelasan dari peneliti, dengan demikian peneliti tertarik untuk meneliti novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala terbitan PT Gramedia Pustaka Utama pada 2009. Peneliti beralasan karena novel tersebut bercerita cukup kaya tentang warna lokal Betawi dan juga latar belakang peneliti adalah Betawi. Bisa disimpulkan penelitian terhadap novel Kronik Betawi berhubungan dekat dengan latar belakang peneliti. Penelitian ini juga akan diimplikasikan ke pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah. Demikian judul penelitian adalah Warna Lokal Betawi dalam Novel Kronik Betawi Karya Ratih Kumala dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di SMA.

B. Identifikasi Masalah Sesuai dengan latar belakang masalah, maka identifikasi masalah dapat dinyatakan sebagai berikut: 1. Hilangnya eksistensi warna lokal Betawi. 2. Belum ada penelitian warna lokal terhadap novel Kronik Betawi. 3. Rendahnya materi sastra warna lokal dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah. 4. Belum ada muatan lokal budaya Betawi di sekolah wilayah Jakarta.

C. Batasan Masalah Batasan masalah bertujuan membatasi banyaknya masalah yang muncul dalam penelitian ini. Batasan masalah juga dapat mempermudah peneliti objek yang diteliti lebih spesifik dan mendalam. Pada novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala terdapat banyak temuan masalah, peneliti membatasi dan memfokuskan penelitian pada: 1. Mendeskripsikan warna lokal Betawi dalam novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala.

5Ratih Kumala. Op. Cit., pukul 14.48 WIB.

5

2. Mengimplikasikan hasil analisis warna lokal pada novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA.

D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana warna lokal Betawi dalam novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala? 2. Bagaimana implikasi warna lokal dalam novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA?

E. Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan di atas, maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan warna lokal Betawi dalam novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala. 2. Mendeskripsikan implikasi warna lokal dalam novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA.

F. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca, peneliti, dan penikmat sastra untuk dapat mengetahui warna lokal Betawi melalui sebuah novel. Penelitian ini diharapkan bisa menambah ilmu pengetahuan khususnya tentang warna lokal Betawi bagi pembaca, peneliti, dan penikmat sastra, terutama dunia pendidikan bagi peserta didik dan guru di sekolah. Pihak-pihak terkait tersebut agar dapat mengapresiasi karya sastra dan wawasan tentang dunia sastra yang difungsikan sebagai bahan kajian tentang budaya suatu masyarakat.

6

G. Metodologi Penelitian 1. Objek Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala dengan subjek warna lokal. Penelitian dimulai pada Februari 2020 sampai dengan Februari 2021. Tempat yang digunakan dalam penelitian seperti perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah dan perpustakaan nasional. Tempat penelitian fleksibel karena objek yang diteliti berupa teks karya sastra yang terdapat pada novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala yang terbit pada 2009 oleh PT Gramedia Pustaka Utama dengan tebal kurang-lebih sebanyak 255 halaman.

2. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara untuk membedah objek yang diteliti. Metode penelitian yang digunakan yakni kualitatif dengan penyajian deskriptif. Ratna berpendapat bahwa metode kualitatif memanfaatkan metode penafsiran kemudian menyajikannya dalam bentuk deskripsi dari objek yang diteliti.6 Ciri dari metode kualitatif yakni memberikan perhatian utama pada makna dan pesan sesuai dengan hakikat objek, yaitu sebagai studi kultural.7 Dengan demikian teks sastra menyajikan kata-kata tekstual atau kontekstual, wacana, dan kalimat sehingga metode ini tepat digunakan pada teks sastra.

3. Sumber Data Sumber data dibagi menjadi dua: primer dan sekunder. Sumber data primer pada penelitian ini adalah novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala. Sedangkan sumber data sekunder adalah buku ilmiah, jurnal, skripsi, dan media online. 4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah identifikasi, klasifikasi, analisis, dan deskripsi.

6 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 46. 7 Ibid., h. 47.

7

a. Identifikasi Setelah data terkumpul, peneliti membaca secara kritis dengan mengidentifikasi novel yang dijadikan sumber data dalam penelitian. b. Klasifikasi Setelah diidentifikasi, data novel diseleksi dan diklasifikasikan sesuai dengan hasil identifikasi, yaitu unsur-unsur intrinsik serta warna lokal dalam novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA. c. Analisis Selanjutnya seluruh data dari hasil proses pengklasifikasian dianalisis dan ditafsirkan maknanya. d. Deskripsi Hasil analisis dalam novel disusun secara sistematis sehingga memudahkan dalam mendeskripsikan makna dari setiap unsur yang terkandung dalam novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala.

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Hakikat Novel 1. Pengertian Novel Abrams berpendapat bahwa novel berasal dari bahasa Inggris novel, Italia novella, Jerman novelle kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia menjadi novel. Abrams menyimpulkan novel merupakan sebuah barang baru yang kecil.1 Novel berbeda dengan cerita pendek, berdasarkan dari segi formalitas (bentuk) novel memuat cerita yang kompleks dan menjelaskan kejadian secara spesifik. Adapun cerita pendek dari segi formalitas memuat cerita yang eksplisit (tersirat) dan cenderung lebih pendek dalam hal cerita.2 Wahyudi Siswanto dan Saini K.M. memberikan pengertian bahwa novel merupakan cerita berbentuk prosa dalam ukuran luas. Ukuran luas di sini dapat berarti cerita dengan plot (alur) yang kompleks, karakter yang banyak, tema yang kompleks, suasana yang beragam, dan setting cerita yang beragam pula.3 Bisa disimpulkan bahwa novel merupakan bentuk cerita kompleks dengan kisah di dalamnya yang sangat detil.

Dengan demikian novel merupakan karya fiksi yang memuat cerita yang panjang atau kompleks. Novel juga biasanya ketika dibaca cenderung lama untuk diselesaikan, beda halnya dengan cerpen yang cenderung dibaca cepat selesai.4

1 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012), h. 9. 2 Ibid., h. 10. 3 Jakob Sumardjo dan Sainy K.M., Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: PT Gramedia, 1986), h. 29. 4 Burhan Nurgiyantoro, Loc. Cit., h. 10.

8

9

2. Unsur-unsur Novel Novel bagaikan bangunan yang membutuhkan unsur pembangun supaya bangunan tersebut tampak indah dan menarik. Unsur-unsur yang ada di dalam novel saling melengkapi untuk menciptakan gagasan penulis supaya tercipta dunia imajinasi yang diidealkan. Novel mempunyai unsur pembangun yang berada di dalamnya yang disebut unsur intrinsik. Nurgiyantoro menyatakan bahwa unsur intrinsik adalah sistem yang terdapat di dalam novel itu sendiri seperti: tema, amanat, sudut pandang, tokoh/penokohan, alur, latar, gaya bahasa.5 Dengan demikian unsur novel adalah suatu sistem yang saling berhubungan yang mengakibatkan terciptanya novel lengkap atau padu. Unsur intrinsik bisa dibilang unsur secara tekstual atau unsur yang ada di dalam teks itu sendiri.

a. Tema

Stanton memberikan pernyataan bahwa tema merupakan sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Ada banyak cerita yang menggambarkan dan menelaah kejadian atau emosi yang dialami manusia seperti cinta, derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan, pengkhianatan manusia terhadap diri sendiri, disilusi, atau bahkan usia tua. 6

Stanton mengibaratkan tema seperti maksud dalam sebuah gurauan; setiap orang paham maksud dalam sebuah gurauan, tetapi mengalami kesulitan ketika diminta untuk menjelaskannya.7 Stanton melanjutkan cara paling efektif untuk menemukan tema adalah mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di dalam cerita.8

5 Burhan Nurgiyantoro, Teori ..., Op. Cit., h. 23. 6 Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 36- 37. 7 Ibid., h. 39. 8 Ibid., h. 42.

10

Pendapat lain dari Nurgiyantoro bahwa tema dibagi menjadi dua yakni tema pokok dan tema tambahan. Tema pokok merupakan makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya sastra. Adapun, tema tambahan merupakan sub tema bagian kecil yang menjadi pendukung terhadap tema pokok.9

Cerita mempunyai maksud, tujuan, makna tekstual atau kontekstual. Setiap karya sastra mempunyai tema yang dimaksudkan pengarang kepada pembaca. Pengarang biasanya menyelipkan tema dalam bentuk tersirat. Demikian tema bisa dibilang merupakan benang merah atau konsep kerangka cerita. b. Tokoh

Tokoh merupakan sosok atau pelaku yang berada di dalam cerita sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita. Abrams dalam Nurgiyantoro mengemukakan, tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.10

Tokoh-tokoh dalam cerita fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis, yaitu sebagai berikut:

1) Jika dilihat dari peran tokoh dalam perkembangan plot, maka dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian atau yang dikenai kejadian. Sedangkan tokoh tambahan kehadirannya hanya jika ada kaitannya dengan tokoh utama.11

9 Burhan Nurgiyantoro, Teori ..., Op. Cit., h. 82-83. 10Ibid., h. 165. 11 Ibid., h. 177.

11

2) Jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh, maka dapat dibedakan menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis yakni tokoh yang merupakan pengejewantahan nilai- nilai yang ideal. Sedangkan tokoh antanogis merupakan tokoh penyebab terjadinya konflik yang berposisi dengan tokoh protagonis.12 3) Jika dilihat dari perwatakan tokoh, maka dapat dibedakan menjadi tokoh sederhana dan tokoh bulat. Tokoh sederhana adalah tokoh yang memiliki kualitas pribadi tertentu saja. Sedangkan tokoh bulat adalah tokoh yang dapat menampilkan watak dan tingkah laku yang beragam, bahkan tampak bertentangan dan sulit diduga.13

Peran tokoh merupakan hak subjektif pengarang dalam novel. Novel tanpa adanya tokoh tidak akan hidup, maka tokoh merupakan unsur yang melekat dan wajib hadir dalam kisah cerita apapun. Terkait permasalahan tokoh utama/tambahan, protagonis/antagonis, sederhana/bulat, hal tersebut merupakan idealisme pengarang dalam mengemas tokoh di dalam novel. Pengarang yang berkualitas tentunya memberikan peran tokoh yang berkualitas pula seperti pemberian nama yang unik dan mengandung maksud tertentu, sikap atau emosi dari tokoh yang sulit diterka, dan atau tokoh dalam cerita mewakili zaman ketika cerita itu dibuat.

c. Alur

Stanton menyatakan bahwa alur adalah rangkaian-rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita.14 Samsuddin menambahkan istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang berhubungan secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan

12 Ibid., h. 178-179. 13 Ibid., h. 182-183. 14 Robert Stanton, Op. Cit., h. 26.

12

atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya. Peristiwa kausal tidak hanya terbatas pada hal-hal yang fisik saja, seperti ujaran atau tindakan, tetapi juga mencakup perubahan sikap karakter, kilasan- kilasan pandangannya keputusuan-keputusannya, dan segala yang menjadi variabel dalam dirinya.15

Berikut tambahan dari Tasrif dalam Nurgiyantoro tentang pembagian plot yang secara rinci dibagi menjadi lima:

1) Tahap situation: tahap penyituasian, tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita. 2) Tahap generating circumstances: tahap pemunculan konflik, pada tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik dan akan berkembang menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. 3) Tahap rising action: tahap peningkatan konflik, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti semakin menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi tepat dalam bentuk internal dan eksternal, pertentangan, benturan-benturan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari. 4) Tahap climax: tahap klimaks, konflik yang terjadi, yang dilakukan dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadi konflik utama. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks.

15 Samsuddin, Pengkajian Prosa Fiksi Berbasis Intertekstual, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), h. 32-33.

13

5) Tahap denoument: tahap penyelesaian ketika konflik yang telah mencapai klimaks diberi jalan keluar, cerita diakhiri. Tahap ini sesuai dengan tahap akhir di atas.16

Berdasarkan penjelasan tersebut, alur/plot secara general dapat dibagi menjadi peristiwa awal, peristiwa tengah, dan peristiwa akhir. Ketiga poin itu merupakan bentuk simpulan yang telah dijelaskan para ahli.

d. Latar Abrams berpendapat bahwa latar menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan.17 Pendapat lain dari Nurgiyantoro bahwa latar adalah segala keterangan mengenai waktu, ruang, suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra. Kesesuaian antara persepsi dan deskripsi latar cerita akan memberikan kesan yang lebih meyakinkan bahwa cerita sungguh ada dan terjadi.18 Sehubungan dengan pendapat Nurgiyantoro mengenai deskripsi latar Nurgiyantoro juga menjelaskan bahwa unsur latar dapat dibedkaan ke dalam tiga unsur pokok: 1) Latar tempat, menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. 2) Latar waktu, berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.

16 Burhan Nurgiyantoro, Teori ..., Op. Cit., h. 149-150. 17 Ni Nyoman Karmini, Teori Pengkajian Prosa Fiksi dan Drama, (Bali: Pustaka Larasan, 2011), h. 67. 18 Burhan Nurgiyantoro, Sastra Anak, (Yogyakarta: UGM Press, 2013), h. 17.

14

3) Latar sosial, menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar ini berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, dan bersikap.19

e. Sudut Pandang

Sudut pandang (point of view) menurut Siswanto merupakan tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu, dan gayanya sendiri.20 Menurut Nurgiyantoro sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.21 Sementara Pradopo berpendapat bahwa sudut pandang digunakan oleh pengarang sebagai pusat pengisahan yang menerangkan siapa yang bercerita.22 Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa sudut pandang adalah alat untuk memposisikan pengarang dalam cerita. Pengarang menempatkan dirinya ketika menulis kisah cerita melalui sudut pandang tergantung cara pengarang memposisikan dirinya.

Nurgiyantoro membedakan sudut pandang berdasarkan perbedaan yang telah umum, yaitu bentuk persona tokoh cerita, orang ketiga dan orang pertama.23 Berikut penjelasan kedua sudut pandang tersebut:

1) Sudut Pandang Orang Ketiga: Dia

Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang orang ketiga memposisikan narator di luar cerita yang menampilkan

19 Burhan Nurgiyantoro, Teori ..., Op. Cit., h. 227-234. 20 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 151. 21 Burhan Nurgiyantoro, Loc. Cit., h. 248. 22 Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 75. 23 Burhan Nurgiyantoro, Loc. Cit., h. 256.

15

tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama atau kata ganti. Dalam sudut pandang ini. Dia dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu Dia bersifat serba tahu yang menjadikan narator dapat bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh dan Dia bersifat terbatas atau sebagai pengamat.

2) Sudut Pandang Orang Pertama: Aku

Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang orang pertama terletak pada seorang narator yang ikut terlibat dalam cerita. Dalam sudut pandang ini, Aku dibedakan menjadi dua macam, yaitu Aku sebagai tokoh utama yang hadir untuk mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik. Sedangkan Aku sebagai tokoh tambahan yang dikisahkan dibiarkan untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya.

f. Gaya Bahasa

Bahasa adalah media dalam karya sastra supaya dapat tersampaikan maksud atau pesan pengarang kepada pembaca. Berikut definisi gaya bahasa menurut Keraf

“Dilihat dari segi bahasa, gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa. Gaya bahasa memungkinkan kita dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan seseorang yang mempergunakan bahasa itu. Semakin baik gaya bahasanya, semakin baik pula penilaian orang terhadapnya; semakin buruk gaya bahasa seseorang, semakin buruk pula penilaian diberikan padanya.

Akhirnya style atau gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).”24

24 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia, 2002), h. 113.

16

Pengarang menyampaikan ide pemikirannya melalui bahasa yang hasilnya berupa karya sastra. Keraf membahas ragam gaya bahasa dan mengelompokkannya ke dalam empat bagian, yaitu gaya bahasa perbandingan, pertentangan, pertautan, dan perulangan.25 Dengan demikian gaya bahasa digunakan pengarang sebagai media untuk menyampaikan ekspresinya.

g. Amanat Esten berpendapat bahwa amanat adalah hasil pemecahan dari tema yang ingin disampaikan pengarang terhadap pembaca.26 Amanat menurut Nurgiyantoro bisa disampaikan secara langsung atau tak langsung. Penyampaian secara langsung bersifat menggurui. Berbeda dengan penyampaian tidak langsung, pesan hanya tersirat dalam cerita, berpadu secara koherensi dengan unsur cerita lain.27 Dengan demikian amanat merupakan pesan tersurat atau tersirat yang didapat oleh masing-masing pembaca dari novel yang telah dibaca.

B. Teori Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra menurut Ratna berasal dari bahasa Yunani, yaitu socio atau socius yang berarti bersama-sama, bersatu, kawan atau teman dan logos yang berarti sabda, perkataan, perumpamaan, atau ilmu.28 Sosiologi sastra merupakan salah satu pendekatan interdisiplin, selain empat pendekatan yang dikemukakan Abrams; pendekatan objektif, ekspresif, mimetik, dan pragmatik. Pendekatan ini menggabungkan antara ilmu sastra dengan ilmu sosiologi. Kedua ilmu tersebut memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat, namun terdapat perbedaan dalam hakikatnya. Ratna mengungkapkan bahwa sosiologi melukiskan

25 Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (: Angkasa, 1986), h. 6. 26 Mursal Esten, Kesusastraan: Pengantar Teori dan Sejarah, (Bandung: PT Angkasa, 2013), h. 20. 27 Burhan Nurgiyantoro, Teori ..., Op. Cit., h. 335-339. 28 Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), a. 1.

17

kehidupan manusia dan masyarakat melalui analisis ilmiah dan objektif, sedangkan sastrawan mengungkapkannya melalui emosi.29

Kemunculan sastra di tengah masyarakat tidak secara tiba-tiba. Kurniawan berpendapat bahwa “sebagai produk budaya yang berupa tulisan bermedia bahasa, sastra tidak dapat lepas dengan genetisnya, yaitu manusia sebagai pengarang. Sastra eksis karena ada manusia yang menulisnya (penulis), dan penulis itu hidup dalam sistem sosial masyarakat yang menjadi kajian sosiologi.”30Oleh karena itu, sastra tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat. Karya sastra seringkali dinyatakan sebagai “dokumen sosial” lantaran keberadaannya yang mencerminkan peristiwa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Emzir dan Rohman berpendapat bahwa “sebagai dokumen sosial, karya sastra dapat dilihat sebagai rekam jejak yang mencatat realitas keadaan sosial budaya pada masa karya itu diciptakan.”31

Ratna menyatakan sosiologi sastra adalah penelitian yang berfokus pada masalah manusia. Ratna menungkapkan bahwa di antara genre utama karya sastra; puisi, prosa, dan drama, genre prosalah khususnya novel, yang paling dominan dalam menampilkan unsur sosial. Alasan yang dapat dikemukakan di antaranya; novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang juga paling luas serta bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari yang paling umum digunakan dalam masyarakat. Oleh karena itu, karya sastra lebih jelas dalam mewakili ciri-ciri zamannya.32

Faruk menemukan setidaknya ada tiga sub pembahasan yang berbeda dalam sosiologi sastra, yaitu sosiologi pengarang, sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri, dan sosiologi sastra yang

29 Ibid., h. 4. 30 Heru Kurniawan, Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 6. 31 Emzir dan Saifur Rohman, Teori dan Pengajaran Sastra, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 114. 32 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 335-336.

18

mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.33 Kalau mengacu kepada pendapat Faruk, maka sosiologi sastra saling berkaitan, bahwa sosiologi sastra dapat disebut juga sosiokritik sastra, dengan mempertimbangkan aspek- aspek kemasyarakatannya.34

Berdasarkan beberapa pendapat ahli, sosiologi sastra memandang bahwa karya sastra lahir dari masyarakat. Pengarang sebagai bagian dari masyarakat turut serta merepresentasikan kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat. Sehingga segala ide dan karakteristik masing-masing karya sastra berbeda. Hal tersebut dipengaruhi oleh proses kreatif serta faktor latar belakang pengarang.

C. Warna Lokal

Kemunculan warna lokal pada saat berakhirnya Civil War sampai dengan abad ke-19. Para penulis fiksi pada saat itu fokus mengangkat kearifan lokal Amerika. Para penulis sastra warna lokal pada saat itu seperti: Nancy Glazener, Richard Brodhead, dan Charles. Masing-masing di antara mereka mempunyai pandangan yang berbeda mengenai local color. Adapun penerbit buku yang menampung sastra warna lokal, di antaranya bernama: Harper’s New Monthly Magazine, The Century, dan The Atlantic Monthly. Berikut penjelasan warna lokal

The terms “regionalism” and “local color fiction” refer to a literary movement that flourished from the close of the Civil War to the end of the nineteenth century. Although most fiction is regional in that if makes use of a specific setting, for regionalist writers the setting was not incidental but central, and the “local color” details that established that setting gave of name to the movement. In writing regional fiction, authors focused on representating the unique locals of what they saw as a vanishing American past whose customs, dialect, and characters they sought to preserve. Furthermore, as writers of a continuing national narrative implicitly focused on what it meant to be American, they often presented characters as types, sometimes as representatives of the collective traits of a community or region and sometimes as outsiders or eccentrics whose attempts to fit into a community exposed both the community’s values and their own. In addition to this emphasis on setting and its effect upon character, local

33 Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), h. 5. 34 Nyoman Kutha Ratna, Paradigma..., Op. Cit., h. 7.

19

color stories feature dialect that lends authenticity to the tale. Another element common to local color fiction is a degree of narrative distance rendered through the character of a narrator differing in class or place of origin from the region’s residents; a variation on this is a narrative voice distanced through educated diction or an ironic tone.35

Dapat disimpulkan bahwa para penulis pada masa itu fokus menulis fiksi mengenai masa lalu Amerika, seperti: ciri khas, dialek, dan latar. Warna lokal tersebut mengangkat tentang daerah dan juga sebagai perwakilan dari kelompok yang berkaitan dengan daerah itu. Menurut para penulis pada saat itu, warna lokal bersifat central atau dengan kata lain hanya fokus mendeskripsikan satu identitas budaya. Hal itu beralasan untuk mempertahankan identitas kebudayaan Amerika supaya tidak hilang dengan kedatangan zaman modern.

In “Writing Out of Place” for example, Fetterley and Pryse differentiate “local color” from “regionalist” fiction: “local color” writing exploits regional materials for the benefit of an urban elite, but “regionalist” fiction, with its sympathetic approach, does not.36

Adapun perbedaan warna lokal dan regionalis menurut Fetterley dan Pryse adalah terletak pada fungsinya. Sastra warna lokal diciptakan untuk mengidentifikasi secara mendalam mengenai unsur daerah dan berdampak kepada masyarakat perkotaan sebagai penikmat sastra, sedangkan sastra regionalis hanya memetakan masing-masing daerah mempunyai unsur warna lokal (tidak mendalam).

Kemudian masuk ke dalam ranah sastra warna lokal Indonesia. Ratna menyatakan bahwa sastra lokal atau sastra warna lokal merupakan terjemahan local color.37 Dalam sejarah sastra Indonesia hanya dikenal sastra warna lokal, yaitu karya sastra dengan melukiskan ciri-ciri daerah tertentu. Sastra warna lokal dengan demikian sudah dimulai sejak Balai Pustaka dengan menampilkan kekhasan daerah dan adat istiadat Minangkabau dengan ciri-ciri matriarkat dan

35 Donna Campbell, Regionalism and Local Color Fiction, American History Through Literature 1870-1920, dalam www.encylopedia.com., diakses pada Senin, 15 Februari 2021 pukul 21.37 WIB. 36 Ibid., pukul 21.45 WIB. 37 Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 383.

20

kawin paksa. Setelah melewati dua periode, yaitu Pujangga Baru dan Periode ’45, yang masing-masing menampilkan ciri-ciri nasionalisme dan humanisme, sastra warna lokal lahir kembali pada periode 1960-an, pada waktu bangsa Indonesia mulai mempertanyakan kembali jati dirinya.38 Sejarah sastra Indonesia modern sudah mulai menampakkan warna lokal pada karya-karyanya yang mewakili zaman dan menampilkan representasi lokal masyarakat pada saat itu.

Ratna memberikan penjelasan terkait warna lokal tidak hanya di pedesaan saja, melainkan di kota-kota besar masih banyak menyimpan kantong dengan berbagai kekhasannya, seperti Jakarta dengan Betawi dan Batavia, Yogyakarta dengan Malioboro, dan Pecinan yang tersebar di berbagai kota besar lain di Indonesia. Cerita Si Dul Anak Betawi (Aman Datuk Majoindo), baik sebagai cerita asli maupun sesudah menjadi sinetron Si Dul Anak Sekolahan, tetap menarik semata-mata karena setting dan warna lokalnya. Bangsa yang didominasi oleh ciri-ciri agraris tradisional memerlukan cerita-cerita dengan setting warna lokal sebab melalui lukisan tersebut dapat tersalurkan berbagai nostalgia masa lampau.39 Warna lokal merupakan cerminan dari khas masyarakat yang tidak hanya ada di pedesaan, melainkan di kota besar juga dapat ditemukan.

Kemudian, Bahtiar menyatakan bahwa sebuah cerita yang baik didukung oleh latar yang tajam dan jelas. Latar yang tajam dan jelas membenarkan dan memberikan kesaksian bahwa memang di sanalah sebuah cerita berlangsung. Latar yang tajam dan jelas menggambarkan waktu dan tempat juga sosial budaya dinamakan warna lokal (local color) atau warna setempat. Warna lokal menjadi bagian dari struktur karya sastra, khususnya aspek dari latar, atmosfer, dan penggunaan bahasa. Sebagai bagian dari latar fisik dan ruang, warna lokal dikaitkan dengan geografi yang mencakup ciri-ciri kultur setempat, misalnya adat

38 Ibid., h. 385. 39 Ibid., h. 386.

21

istiadat dan ritual, dan bahkan kecenderungan interferensi leksikal-idiomatis bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia yang digunakan di dalamnya.40

Penjelasan mengenai warna lokal tersebut sudah cukup jelas dari beberapa sumber, adapun wujud dari warna lokal berupa unsur sosial dan unsur budaya di dalamnya. Sebagai berikut:

1. Unsur-unsur Sosial Unsur berarti sesuatu yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Unsur-unsur sosial meliputi kelas sosial, kelompok sosial, dinamika sosial, dan lembaga sosial. a. Kelas Sosial Setiap masyarakat mempunyai tingkat keadaan yang berbeda. Keadaan tersebut merujuk kepada nilai tingkat atas, menengah, dan bawah. Kelas sosial berarti pengelompokan orang berdasarkan nilai budaya, sikap, perilaku sosial, yang secara umum sama. Misalnya masyarakat kelas menengah ke atas berbeda karakteristik dengan masyarakat menengah ke bawah.41 Kelas sosial dalam masyarakat sudah pasti ada. Biasanya merujuk kepada materi atau derajat sosial. Materi bisa dibilang seperti orang kaya raya dan orang miskin. Adapun derajat sosial seperti orang yang disebut tokoh masyarakat dan orang biasa. b. Dinamika Sosial Pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang dinamis. Akibatnya manusia yang hidupnya berkelompok sudah pasti mempunyai ide untuk berkembang. Perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya,

40 Ahmad Bahtiar, Warna Lokal Betawi dalam Kumpulan Cerpen “Terang Bulan Terang di Kali: Cerita Keliling Jakarta” Karya S.M. Ardan, Prosiding Seminar Sosiologi Satsra UI, 2016, h. 1. 41 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 399.

22

termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.42 Dinamika sosial yang pertama adalah pengendalian sosial. Pengendalian sosial merupakan cara atau proses pengawasan baik yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan untuk mengajak, mendidik bahkan memaksa warga masyarakat agar para anggota masyarakat mematuhi norma dan nilai yang berlaku. Dalam pengendalian sosial, struktur sosial memiliki alat-alat pengendalian yang berupa nilai-nilai dan norma yang dilengkapi dengan unsur kelembagaannya. Kedua, penyimpangan sosial merupakan perilaku sejumlah orang yang dianggap tidak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku sehingga penyimpangan tersebut menimbulkan reaksi-reaksi seperti pergunjingan masyarakat. Walaupun sudah ada nilai dan norma sebagai pedoman tingkah laku, akan tetapi pola kehidupan yang teratur masih sulit untuk dicapai. Hal ini diakibatkan kecenderungan manusia itu sendiri yang selalu ingin menyimpang dari tatanan tingkah laku tersebut. c. Kelompok Sosial Sosiologi menyatakan bahwa masyarakat terbentuk dari banyak individu yang menyebut dirinya kelompok. Suatu kelompok tersebut mencari identitasnya sendiri. Contoh kelompok yang sudah mempunyai identitas dalam sosial adalah keluarga. Kelompok tersebut akan berinteraksi dengan kelompok lainnya untuk mencapai tujuan dan kebutuhan. Suatu kelompok mencapai tujuan yakni dengan modal komunikasi. Setiap individu adalah anggota dari suatu kelompok. Tetapi tidak setiap warga dari suatu masyarakat hanya menjadi anggota dari satu kelompok tertentu, ia bisa menjadi anggota lebih dari satu

42 Basrowi, Pengantar Sosiologi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), h. 156.

23

kelompok sosial.43 Dengan demikian kelompok sosial merupakan bentuk alamiah manusia yang cenderung untuk membutuhkan manusia lainnya, dengan begitu mengakibatkan kelompok sosial. d. Lembaga Sosial Istilah lembaga sosial (social instutition) di sini, artinya bahwa lembaga sosial lebih menunjuk pada suatu bentuk perilaku sosial anggota masyarakat dalam kehidupan bersama, sekaligus juga mengandung pengertian yang abstrak perihal adanya norma-norma dan perartuan-peraturan tertentu yang menjadi ciri lembaga tersebut.44 Dapat diperjelas lagi, dengan demikian lembaga dapat dilukiskan sebagai suatu organ yang berfungsi dalam kehidupan masyarakat. Lembaga sosial baik secara formal maupun informal dibuat dengan tujuan untuk mengikat perilaku anggota masyarakat agar berperilaku sesuai dengan tatanan aturan yang menjadi kesepakatan sosial. 2. Unsur-unsur Budaya Konsep tentang warna lokal diperjelas C. Kluckhohn tentang unsur-unsur kebudayaan. Kluckhohn menyebutnya unsur-unsur kebudayaan universal yang berarti bahwa kebudayaan (seperti kebudayaan Minangkabau, Bali, atau Jepang) dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia berjumlah tujuh unsur, yang dapat disebut intisari dari setiap kebudayaan.45 Hubungan warna lokal dengan kebudayaan adalah kebudayaan merupakan kebiasaan manusia hidup yang meliputi pola pikir dan tindakan yang sifatnya sangat kompleks. Manusia hidup mempunyai adat istiadat, kebiasaan, filsafat hidup, nilai-nilai, dan sebagainya, hal itu merupakan hasil dari kebudayaan. Itu artinya produk kebudayaan tersebut dapat membedakan budaya satu dengan budaya lainnya, produk budaya tersebut memiliki ciri khas. Dengan demikian

43 Elly M. Setiadi, dkk., Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 100. 44 Basrowi, Pengantar..., Op. Cit., h. 93. 45 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi 1, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), h. 80-81.

24

produk kebudayaan tersebut dinamakan warna lokal. Berikut tujuh unsur kebudayaan a. Sistem Religi

Sistem ini merupakan produk manusia sebagai homo religious. Sistem religi dalam suatu kebudayaan mempunyai tiga unsur yaitu sistem keyakinan, sistem upacara keagamaan, dan suatu umat yang menganut religi itu. Keyakinan yang di dalamnya mengandung konsepsi tentang dewa yang baik maupun jahat, konsepsi tentang makhluk halus, konsepsi tentang roh leluhur, konsepsi tentang hidup, konsepsi tentang dunia, konsepsi tentang ilmu gaib, dan sebagainya. Sistem upacara keagamaan mengandung empat aspek, yakni tempat upacara keagamaan dilakukan, saat upacara keagamaan dijalankan, benda-benda dan alat upacara, orang yang melakukan dan memimpin upacara. Mengenai umat yang menganut keyakinan, biasanya dideskripsikan mengenai pengikut suatu kepercayaan dan hubungan satu dengan yang lainnya.46

b. Sistem Organisasi Kemasyarakatan

Sistem ini merupakan produk manusia sebagai homo socius. Setiap kehidupan masyarakat diatur oleh adat-istiadat dan aturan-aturan mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan tempat individu itu hidup dan bergaul. Menyadari bahwa dirinya lemah, maka manusia dengan akalnya membentuk kekuatan dengan cara menyusun organisasi kemasyarakatan yang merupakan tempat bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, yaitu meningatkan kesejahteraan hidupnya.47

c. Sistem Pengetahuan

Sistem ini merupakan produk manusia sebagai homo sapiens. Pengetahuan tentang alam sekitar, pengetahuan tentang alam flora dan fauna, pengetahuan tentang tubuh manusia dalam kebudayaan-

46 Sri Rahaju Djatimurti Rita Hanafie, Ilmu Sosial Budaya Dasar, (Yogyakarta: Andi Offset, 2016), h. 38. 47 Ibid.

25

kebudayaan, seperti ilmu untuk menyembuhkan penyakit, dan pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku manusia adalah pengetahuan yang teramat penting dalam suatu masyarakat. Selain itu, pengetahuan tentang sopan santun pergaulan, adat-istiadat, sistem norma, hukum adat, pengetahuan tentang sejarah tempat asal masyarakat itu menetap juga sangat penting.48

d. Sistem Mata Pencarian Hidup

Sistem ini merupakan produk manusia sebagai homo economicus. Sistem ini menjadikan tingkat kehidupan manusia secara umum terus meningkat. Dari food gathering berkembang ke food producing, dari bercocok tanam, kemudian berternak, mengusahakan kerjasama, berdagang dan terus berkembang.49

e. Sistem Teknologi dan Peralatan

Sistem ini merupakan produk manusia sebagai homo faber. Bersumber dari pemikirannya yang cerdas dibantu dengan kekuatan tangannya yang mampu memegang sesuatu dengan erat, manusia menciptakan sekaligus mempergunakan alat yang kemudian dimanfaatkan untuk lebih memenuhi kebutuhannya. Teknologi sering dikatakan sebagai cara-cara memproduksi, memakai, dan memelihara segala peralatan hidup setiap suku bangsa. Teknologi tradisional adalah teknologi yang belum dipengaruhi oleh teknologi yang berasal dari kebudayaan “Barat”. Teknologi tradisional mengenal tujuh macam sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik yang dipakai oleh masyarakat kecil atau masyarakat pedesaan yaitu: alat produksi, senjata, wadah, makanan, pakaian, tempat berlindung dan perumahan, serta alat- alat transportasi.50

48 Ibid., h. 39. 49 Ibid. 50 Ibid.

26

f. Bahasa

Bahasa dalam hal ini merupakan produk manusia sebagai homo longuens. Pembahasan ini mendeskripsikan tentang ciri-ciri terpenting dari bahasa yang diucapkan oleh suku bangsa yang bersangkutan beserta variasi dari bahasa tersebut. Ciri-ciri menonjol dari suku bangsa dapat diuraikan dengan beberapa contoh kata yang diambil dari ucapan bahasa sehari-hari. Kata-kata tersebut bisa mengenai anggota badan (kepala, mata, hidung, mulut, tangan, kaki, dan sebagainya), gejala-gejala dari alam (angin, hujan, panas, dingin, matahari, bulan, awan, langit, dan sebagainya), warna, bilangan, kata kerja pokok (makan, tidur, jalan, duduk, berdiri, dan sebagainya).51

g. Kesenian

Kesenian yang dimaksud merupakan produk manusia sebagai homo esteticus. Kesenian merupakan segala ekspresi hasrat manusia terhadap keindahan di dalam suatu kebudayaan. Hasil kesenian yang diciptakan oleh seniman di setiap daerah tentu beraneka ragam. Adapun ragam kesenian yang dimaksud misalnya seni rupa, seni suara, seni drama, dan lain-lain.52

D. Pembelajaran Sastra di Sekolah

Manfaat sastra menurut Wellek dan Warren adalah duice yakni menghibur dan utile berarti bermanfaat.53 Pendapat lain dari Rahmanto bahwa manfaat dari pembelajaran sastra di sekolah “membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, menunjang pembentukan watak”.54 Pembelajaran analisis novel di sekolah dapat membantu mengembangkan pola intelektual dan emosional siswa. Novel masuk ke dalam

51 Ibid., h. 39-40. 52 Ibid., h. 40. 53 Rene Wallek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2016), h. 23. 54 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 16.

27

mata pelajaran Bahasa Indonesia, adapun ketika peserta didik mempelajari novel mendapatkan empat keterampilan berbahasa: menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Tujuan empat kompetensi keterampilan berbahasa dalam novel tersebut, sebagai berikut:

1. Kompetensi menyimak meliputi kemampuan peserta didik mendengarkan dan memahami karya sastra ketika sedang ditampilkan di depan kelas oleh temannya. 2. Kompetensi berbicara meliputi kemampuan peserta didik memberikan tanggapan atau mendiskusikan karya sastra sesuai dengan konteks pembahasan. 3. Kompetensi membaca meliputi kemampuan peserta didik membaca secara ekstensif atau intensif terhadap karya sastra. 4. Kompetensi menulis meliputi kemampuan peserta didik produktif terhadap karya sastra, seperti menulis karya, kritik sastra, atau membuat esai sastra.

Pembelajaran sastra bertujuan melibatkan peserta didik dalam mengkaji nilai kepribadian, budaya, sosial, dan estetik. Misalnya dalam pembelajaran sastra peserta didik akan memperoleh pengalaman bersastra melalui kegiatan apresiasi dan ekspresi. Apresiasi sastra adalah penghargaan dan pengertian terhadap sastra yang tumbuh setelah melalui kegiatan mengakrabi dan menggemuli karya sastra dengan sungguh-sungguh.55 Sedangkan ekspresi adalah cara pengungkapan maksud, getaran ungkapan.56 Peserta didik belajar sastra bertujuan untuk menumbuhkembangkan kemampuan kecerdasan akal dan emosi, sebab sastra bagian dari seni, dengan demikian seni mengajarkan kepada manusia untuk dapat mengambil nilai yang ada di dalamnya.

Guru ketika mengajar di kelas membutuhkan metode pembelajaran. Metode tersebut merupakan hak subjektif guru supaya tercapainya tujuan pembelajaran.

55 Mohamad Ngafenan, Kamus Kesusastraan, (Semarang: Dahara Prize, 1990), h. 21. 56 Ibid., h. 49.

28

Guru menjadi titik penting ketika mengajarkan metode pembelajaran sastra di sekolah. Ahmad Bahtiar menyatakan bahwa di Tangerang Selatan, guru sastra masih jauh dari harapan untuk menjadi guru dengan kompetensi sastra yang ideal. Data guru dalam memahami metode kajian atau pendekatan sastra, pengetahuan tentang metode hanya dikuasai (27,5%) responden, sebagian besar responden memilih cukup (52,5%), responden yang memilih kurang dalam memahami metode kajian sastra sebesar (17,5%), responden yang tidak menguasai metode dalam kajian sastra sebesar (2,5%).57 Dengan demikian melihat data kuantitatif kompetensi guru sastra di Tangerang Selatan, perlu ditekankan bahwa metode pengajaran merupakan hal yang penting untuk dilakukan di kelas. Sebagai contoh metode yang bisa diterapkan guru sastra di sekolah yakni, metode pembelajaran humor, metode pembelajaran dengan bermain game, atau metode pembelajaran dengan menggunakan film yang berhubungan dekat dengan materi sastra. Berdasarkan contoh tersebut, guru perlu kreatif dan inovatif supaya pembelajaran sastra menarik di kelas. Selain itu, guru juga perlu meningkatkan literasi sastra supaya pengetahuan, pemahaman, dan pengkajian terhadap sastra makin mendalam.

Menurut Rahmanto, belajar sastra pada dasarnya adalah belajar bahasa dalam praktik. Belajar sastra harus selalu berpangkal pada realisasi bahwa setiap karya pada pokoknya merupakan kumpulan kata yang bagi siswa harus diteliti, ditelusuri, dianalisis, dan diintegrasikan.58 Implikasi penelitian novel dalam pembelajaran dapat terlihat dalam bahasa dan sastra. Pada umumnya ada empat unsur dalam keterampilan berbahasa yaitu: menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Cepat atau lambat siswa akan diajarkan untuk terampil dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

57 Ahmad Bahtiar, “Kompetensi Kesusastraan Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di Wilayah Tangerang Selatan”. dalam Jurnal Indonesian Language Education and Literature, Vol. 2, No. 2., 2017, h. 210. 58 B. Rahmanto, Metode..., Op. Cit., h. 38.

29

E. Penelitian Relevan Suatu penelitian tidak terlepas dari konteks penelitian sebelumnya. Karya ilmiah harus membutuhkan referensi atau sumber acuan penelitian terdahulu supaya hasilnya terpercaya dan akurat. Peneliti mencari objek penelitian terkait novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala. Hasil penelitian relevan dari novel Kronik Betawi, sebagai berikut:

Penelitian terdahulu tentang novel Kronik Betawi ditulis oleh Thomas Prasetyo, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Thomas menulis skripsi pada 2010 dengan judul Aspek Budaya Novel Kronik Betawi Karya Ratih Kumala: Tinjauan Semiotik dan Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA. Tujuan penelitian dari Thomas yaitu pertama untuk mengetahui struktur yang membangun novel Kronik Betawi, kedua untuk mengungkap aspek budaya yang terkandung dalam novel Kronik Betawi berdasarkan tinjauan semiotik, ketiga untuk mendeskripsikan implikasi aspek budaya novel Kronik Betawi dalam pembelajaran sastra di SMA. Penelitian Thomas menggunakan metode deskriptif kualitatif. Teori yang digunakan adalah aspek budaya untuk membedah novel Kronik Betawi dengan tinjauan semiotik. Sementara teknik pengumpulan data dengan studi kepustakaan dan teknik analisis data menggunakan model analisis interaktif dengan pembacaan heuristik serta hermeneutik. Hasil penelitian dari skripsi Thomas adalah terkait nilai aspek budaya dengan pandangan semiotik dalam novel Kronik Betawi kemudian diimplikasikan dalam pembelajaran sastra di SMA dengan proses pembelajaran melalui standar kompetensi dan kompetensi dasar.

Selanjutnya Erna Fajarwati, mahasiswa Universitas Sebelas Maret, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Jurusan Sastra Indonesia, menulis skripsi pada 2012 dengan judul Problem-problem Sosial dalam Novel Kronik Betawi Karya Ratih Kumala: Pendekatan Sosiologi Sastra. Tujuan penelitian Erna, pertama mendeskripsikan unsur struktural meliputi, tokoh, alur, latar, tema, dan amanat. Kedua, mendeskripsikan problem sosial. Ketiga, mendeskripsikan respon pengarang

30

terhadap problem sosial dalam novel Kronik Betawi. Metode dalam penelitian Erna mengunakan metode kualitatif dengan pendekatan sosiologi sastra. Erna membagi dua objek dalam penelitian, yaitu: objek material berupa novel Kronik Betawi dan objek formal berupa problem-problem sosial dan respon pengarang. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik kepustakaan. Hasil penelitian dari Erna adalah pertama, analisis struktural: tema, latar, alur, tokoh, amanat, gaya bahasa adalah sistem yang tidak dapat dipisahkan. Kedua, problem sosial meliputi problem sosial kebudayaan dan problem intern masyarakat Jakarta. Ketiga, sikap pengarang terhadap kebudayaan Betawi menunjukkan ada penolakan.

Kemudian Erniza Puspita menulis jurnal media commoline dari Universitas Airlangga pada tahun 2013 berjudul Wacana Identitas Etnis Betawi Dalam Novel Kronik Betawi Karya Ratih Kumala. Erniza meneliti tentang identitas etnis Betawi dalam novel Kronik Betawi. Erniza beralasan bahwa teks sastra bersifat holistik dalam satu waktu atau zaman, sehingga mengakibatkan munculnya wacana mengenai etnis Betawi sejak kolonial sampai reformasi. Metode penelitian yang digunakan yakni metode analisis wacana kritis milik A. Van Dijk karena dapat melihat intertekstualitas novel Kronik Betawi ke dalam dunia nyata. Hasil penelitian mendeskripsikan bahwa etnis Betawi memiliki identitas yang dinamis karena terkait sosial dan historis.

Selain itu Nina Farlina dalam Jurnal Dialektika Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Jakarta 2016 menulis artikel berjudul Representasi Kekerasan Simbolik Terhadap Perempuan Betawi dalam Novel Kronik Betawi Karya Ratih Kumala. Artikel tersebut membahas tentang representasi kekerasan simbolik oleh Pierre Bourdieu terhadap kaum perempuan Betawi dalam novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala. Metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang diambil dari kajian pustaka mengenai kekerasan simbolik. Hasil penelitian dalam artikel ini menyatakan bahwa kekerasan simbolik dalam novel Kronik Betawi terjadi karena adanya nilai-nilai tradisional Betawi dan religi yang cenderung patriarki yang memberikan pengaruh dalam menentukan peran dan posisi kaum perempuan Betawi dalam kehidupan sehari-hari yang

31

termarginalisasi, tersubordinasi, sebagaimana karakter Juleha dalam novel tersebut. Akibatnya kaum perempuan Betawi tidak dapat berkontribusi di ranah publik dengan leluasa karena adanya nilai-nilai adat dan religi. Namun di sisi lain, kaum perempuan Betawi dapat juga memberikan kontribusinya dalam proses rekonstruksi identitas perempuan Betawi dalam nilai-nilai budaya dan agama di ranah publik. Hal tersebut merupakan bentuk kontruksi identitas kaum perempuan Betawi sehingga kekerasan simbolik dapat terhindarkan. Peran perempuan Betawi dapat diperhitungkan dalam kemajuan bangsa dan negara.

Sementara itu Mulya Abdul Aziz, mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, menulis skripsi pada 2018 dengan judul Fenomena Sosial dalam Novel Kronik Betawi Karya Ratih Kumala dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah. Penelitian Mulya bertujuan mendeskripsikan fenomena sosial dan sikap masyarakat Betawi terhadap lingkungan di dalam novel Kronik Betawi dan mengimplikasikan nilai-nilai yang ada di dalam novel Kronik Betawi ke pembelajaran di sekolah. Metode penelitian yang digunakan Mulya adalah metode deskriptif analisis dengan menggunakan subjek fenomena sosial. Hasil penelitian Mulya menunjukkan tujuh hasil penelitian novel Kronik Betawi, yaitu transformasi sistem religi dan upacara keagamaan masyarakat Betawi, penerapan norma-norma dalam sistem dan organisasi kemasyarakatan, strategi pewarisan sistem pengetahuan, adaptasi morfologis dalam sistem kebahasaan masyarakat Betawi, kebangkitan kesenian Betawi melalui pelestarian budaya, perubahan sistem mata pencarian hidup masyarakat Betawi, perkembangan sistem teknologi dan pembangunan. Ketujuh sistem ini menunjukkan representasi sosial yang terjadi di dalam novel kemudian dikaitkan juga dengan kehidupan nyata saat ini.

Penelitian relevan terakhir dari Setia Naka Andrian dan Ahmad Rifai mahasiswa Universitas PGRI Semarang dalam jurnal Unissula pada tahun 2018 menulis Ideologi Masyarakat Betawi dalam Novel Kronik Betawi Karya Ratih Kumala. Tujuan penelitian Setia dan Ahmad adalah mendeskripsikan ideologi

32

masyarakat Betawi. Pendekatan penelitian menggunakan sosiologi sastra dan menggunakan kajian hermeunetika. Hasil penelitian dari Setia dan Ahmad mengkaji bahwa novel yang berlatar Betawi seperti novel Kronik Betawi merupakan hal yang penting dan mendasar. Sebab berdasarkan kajian dalam novel Kronik Betawi, orang Betawi memandang sesama sukunya sebagai saudara dekat dan saling membutuhkan pertolongan. Bisa disimpulkan bahwa subjek penelitian terdahulu novel Kronik Betawi di antaranya: aspek budaya sosial, problem-problem sosial, wacana identitas, representasi kekerasan simbolik, fenomena sosial, dan ideologi masyarakat betawi. Dengan demikian belum ada subjek pembahasan warna lokal. Adapun persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini terletak pada objek yakni novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala. Berdasarkan penelitian terdahulu novel Kronik Betawi telah membantu peneliti untuk dapat mengkaji informasi tentang warna lokal Betawi. Dengan demikian peneliti menyusun skripsi ini dengan judul Warna Lokal Betawi dalam Novel Kronik Betawi Karya Ratih Kumala dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di SMA.

BAB III

BIOGRAFI DAN PANDANGAN PENGARANG

A. Biografi Ratih Kumala

Ratih Kumala lahir di Jakarta, 4 Juni 1980 dan besar dari keluarga Betawi-Jawa. Baginya mengingatkannya pada masa kecil. Ia sempat pindah ke kota lain mengikuti orangtuanya dan baru kembali ke Jakarta pada tahun 2006.1

Berdasarkan tulisan dari Raya Kultura yang mewancarai Ratih Kumala, berikut wawancaranya

“Sejak kapan senang menulis? Apakah karena juga didahului dengan senang membaca?” Andre Wibowo “Aku senang menulis mulai dari SMP, tapi lebih banyak untuk konsumsi sendiri. Sama sekali tidak pernah dimuat, cerpen-cerpen yang aku buat kadang tidak selesai. Sejak SD aku langganan majalah Bobo, suka sekali dengan cerpen-cerpen yang ada di majalah itu. Selain itu juga aku hobi baca buku-bukunya Enid Blyton. Mulai rada ABG bacanya buku-buku karangan Hilman. SMA aku vakum nulis, hanya baca saja. Saat kuliah aku mulai aktif nulis lagi dengan bacaan yang lebih berat. Kebanyakan buku-buku yang kumiliki adalah novel, baik itu novel berbahasa Inggris maupun Indonesia, sebagian pengembangan diri juga kumpulan Esai. Aku paling suka dengan Catatan Pinggir-nya Goenawan Mohammad. Aku kagum dengan cara bertutur Remy Sylado, dan daya khayal JK Rowling. Aku menikmati tulisna Ayu Utami dan Oka Rusmini yang kadang membuatku merinding.” Ratih Kumala2

Dengan demikian proses menulis Ratih dimulai sejak SMP sampai dengan kuliah walaupun sebelumnya sempat berhenti. Adapun proses kreatif menulis Ratih dipengaruhi oleh bacaan dari dalam negeri maupun luar negeri. Adapun selanjutnya masuk dalam wawancara novel pertamanya Tabula Rasa

1 Ratih Kumala, Kronik Betawi, (Jakarta: Gramedia, 2009), h. 255. 2 Redaksi Raya Kultura, Ratih Kumala: Profesi Penulis Mampu Menghidupi, dalam www.rayakultura.net, diakses pada Jumat, 31 Juli 2020 pukul 14.28 WIB.

33

34

“Bisa diceritakan bagaimana prosesnya hingga Ratih mengikuti lomba penulisan yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta tahun 2003?” Andre Wibowo “Aku menulis Tabula Rasa selama 1 tahun 8 bulan. Awalnya, ya... Cuma ingin nulis novel aja. Kupikir novel itu proyek nulis yang besar dan banyak menyita waktu dan pikiran. Beda dengan cerpen. Aku sempet keluar dari kerjaan tetapku hanya untuk nulis novel. Lagipula di tempat kerjaku waktu itu aku tidak merasa menemukan “jiwaku”, makanya aku memutuskan keluar dengan alasan yang konyol; ingin nulis buku. Setelah Tabula Rasa selesai aku minta beberapa teman untuk membacanya. Dan saat itu ada teman yang menyarankan untuk diikutkan ke lomba menulis novel DKJ 2003, tadinya novel itu mau aku ajukan ke penerbit tapi karena ada lomba itu jadi aku ikutan lomba.” Ratih Kumala3

Novel Tabula Rasa adalah novel perdana Ratih yang langsung diikuti lomba di DKJ pada 2003. Pada akhirnya Ratih mendapatkan posisi ketiga dalam ajang lomba tersebut.

B. Karya Ratih Kumala

Ratih memulai dari hal kecil yakni dengan menulis diary book, sampai kemudian bisa menulis novel atau cerpen bahkan sampai mendapatkan penghargaan yang luar biasa. Ratih mengungkapkan dengan menulis dirinya mampu mengungkapkan unek-unek secara luas dan tidak melulu setiap tulisannya mampu diberitahukan kepada orang banyak.4 Bisa disimpulkan bahwa dengan menulis dari hal yang kecil sampai besar menunjukkan bahwa Ratih bisa menungkapkan perasaannya. Dengan begitu ia bisa menjadikan menulis sebagai penemuan jati dirinya yang asli.

Ratih merupakan penulis yang sangat produktif dan mempunyai prestasi yang mumpuni. Terbukti dengan proses kepenulisannya dan ditambah dengan suami Eka Kurniawan sebagai penulis juga membuat Ratih makin progresif dalam kariernya. Ratih berhasil membuat karya yang berhasil diterbitkan

3 Ibid., pukul 15.12 WIB. 4 Redaksi Raya Kultura, Op. Cit., pada Minggu, 2 Agustus pukul 12.54 WIB.

35

yakni empat novel, dua cerpen, satu novelet. Lebih jelasnya dijabarkan sebagai berikut:

1. Novel a. Tabula Rasa (Jakarta: Grasindo, 2004). Novel ini meraih penghargaan juara ketiga Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta, 2004. b. Genesis (Yogyakarta: Insist Press, 2005). Novel ini merupakan karya kedua dari Ratih Kumala, yang dikeluarkan hanya berselang satu tahun setelah karya pertamanya. c. Kronik Betawi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009). Kronik Betawi adalah karya Ratih Kumala keempat d. Gadis Kretek (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012). Ini merupakan karya kelima dan novel keempat yang ditulis oleh Ratih Kumala. Novel ini juga masuk dalam lima besar (Short- list) Khatulistiwa Literary Awards 2012, untuk kategori prosa.5 2. Cerpen a. Larutan Senja (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006). Dalam alam imajinasi Ratih Kumala, bumi ini terdiri dari berbagai larutan yang ditemukan oleh sekelompok penemu di langit sana. Salah seorang penemu menciptakan larutan gerak agar manusia bisa bergerak, angin bertiup dan laut bergelombang. Penemu ini juga menemukan larutan yang rasanya tidak manis seperti siang, tidak pahit seperti malam, memiliki warna elegan. Larutan ini ia beri nama Larutan Senja. Karya ini merupakan kumpulan cerpen pertama yang ditulis Ratih Kumala. b. Bastian dan Jamur Ajaib (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015). Karya ini merupakan kumpulan cerpen kedua yang ditulis oleh Ratih Kumala. Kumpulan cerpen ini berisi 13 cerita

5 Mulya Abdul Aziz, Fenomana Sosial dalam Novel Kronik Betawi Karya Ratih Kumala dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah, Skripsi, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2018), h. 40-41.

36

pendek yang ditulis sejak tahun 2007 hingga 2014. Sebagian ada yang sudah diterbitkan, sebagian lagi masih benar-benar baru dan sengaja ditulis khusus untuk kumpulan cerpen ini.6 3. Novelet a. Wesel Pos (Jakarta: Gramedia, 2018). Wesel Pos terbit pada bulan Juni 2018 dan kemudian dibacakan di Universitas Leiden Belanda pada Sabtu sore, 29 September 2018.7

Berdasarkan penjabaran karya dan prestasi Ratih Kumala dapat disimpulkan bahwa Ratih terbukti penulis perempuan yang berkualitas. Kalau diurutkan karya pertama sampai dengan terakhir, Tabula Rasa (2004), Genesis (2004), Larutan Senja (2006), Kronik Betawi (2009), Gadis Kretek (2012), Bastian dan Jamur Ajaib (2015), dan terakhir Wesel Pos (2018).

C. Pandangan Ratih Kumala Sebagai Penulis

Ratih Kumala merupakan penulis perempuan yang kariernya melesat cepat. Berdasarkan tahun terbit dari di antara karya Ratih mempunyai jarak tahun yang dekat. Berikut ini wawancara Geo Times dengan Ratih Kumala pada Sabtu, 14 Februari 2015

“Sebenarnya tidak ada kesamaan di antara semua novel saya, hanya saja ada satu benang merah yakni perempuan tegar yang kuat,” ungkap Ratih. Mungkin terkesan Ratih penganut paham feminisme, tapi bagi Ratih itu hanya kebetulan.8 Pembahasan sebelumnya (lihat sub bab biografi) Ratih mengakui bahwa dirinya senang membaca buku Ayu Utami, JK Rowling, dan juga Oka Rusmini. Dengan demikian Ratih terpengaruh bacaan dari beberapa penulis perempuan terkenal tersebut. Selain itu, Geo Times menanyakan perihal karya terbaik Ratih, sebagai berikut

6 Ibid. 7 Joss Wibisono, Wesel Pos dan keberpihakan Ratih Kumala oleh Joss Wibisono, dalam www.ratihkumala.com. diakses pada Minggu, 2 Agustus 2020 pukul 13.47 WIB. 8 Geo Times, Kisah Gadis Kretek dan Lelaki Harimau, dalam www.ratihkumala.com., diakses pada Kamis, 11 Februari 2021 pukul 21.24 WIB.

37

Ditanya mengenai karya terbaiknya, Ratih merasa bahwa karya yang paling baru yang dia anggap paling baik. “Buku yang paling baru itu artinya kualitasnya lebih bagus karena kita pernah belajar dari kekurangan buku yang lama,” terangnya.9 Berdasarkan data yang ditemukan, dapat disimpulkan bahwa Ratih sebagai penulis perempuan mempunyai pandangan feminis. Hal tersebut terpengaruh dari beberapa bacaan dari penulis perempuan juga.

Adapun dalam pembahasan lain, Ratih sebagai penulis Indonesia sangat memperhatikan bentuk baku sesuai PUEBI. Namun, dirinya juga menyadari terkadang masih salah ketika menulis. Berikut pernyataannya

Ketika saya bercita-cita menjadi penulis, hal pertama yang saya lakukan adalah mengingat-ingat bagaimana meletakkan tanda baca yang baik dan benar. Sebab itu adalah pelajaran yang amat mendasar, sebelum akhirnya saya harus berlatih menulis yang benar. Tapi setidaknya, format tulisan saya tidak ngaco. Mungkin, saya menulis ini akan dilempar aqua kosong oleh orang banyak. Mungkin, akan dianggap songong karena banyak yang merasa tersinggung. Tapi, saya cuma mau bilang: kalau kamu memang bercita-cita jadi penulis, atau jadi editor, baik itu buku ataupun skenario, saya mohon dengan sangat, pelajari dulu hal mendasar. Mungkin saja nasib tulisanmu itu tergantung dari kemampuanmu menempatkan tanda baca.10 Data tersebut dapat ditafsirkan, selain mempunyai kontekstual tulisan feminis, Ratih juga sangat memperhatikan bentuk tekstual dalam tulisannya. Ratih menghimbau kepada para penulis muda supaya mempelajari hal paling mendasar yakni selalu patuh terhadap PUEBI.

D. Pandangan Ratih Kumala dalam Novel Kronik Betawi

Ratih Kumala mempunyai blog pribadi, dalam blog pribadi tersebut ia membuat ulasan sedikit tentang Kronik Betawi. Blog tersebut dapat dipercaya karena semua berisikan tentang asal-usul Ratih Kumala. Adapun arsip, ulasan

9 Ibid., pukul 21.33 WIB. 10 Ratih Kumala, Pengetahuan Dasar Kepenulisan, dalam www.ratihkumala.com., diakses pada Kamis, 11 Februari 2021 pukul 21.53 WIB.

38

karya, galeri yang ada di blog tersebut semua dikumpulkan oleh Ratih Kumala. Berikut ujaran Ratih tentang Kronik Betawi

“Kita semua tahu, Jakarta telah berubah sedemikian rupa. Tapi seperti apakah Jakarta (alias Betawi, alias Batavia) sebelum perubahan itu ada? Sebelum gedung menjulang tinggi, sebelum jalan padat merayap, sebelum orang berkerumunan bak rayap. Saya menemukan video menarik di Youtube.com yang diposting oleh falkonungu. Selamat menonton video pendek ini. Semoga kita makin menghargai kota ini”.11

“Saya sering berpikir seperti apa Jakarta jaman dulu. Menulis Kronik Betawi lebih banyak membuka memori tentang Jakarta ketika saya masih kecil. Betapa semua berbeda ketika beberapa waktu lalu saya kembali ke Pondok Gede, rumah di mana saya dibesarkan. Rumah Sakit Husni Tamrin bukan lagi sebuah klinik bersalin kecil seperti ketika adik saya yang paling kecil dilahirkan, tanah perkuburan di depan gang masuk menuju rumah saya kini telah diratakan dan konon tulang belulang manusia sudah dipindahkan dari situ. Jalan gang yang dulu besar, kini serasa pendek dan sempit, sedangkan kebun kecapi yang dulu luas dan penuh nyamuk telah disulap jadi rumah bertingkat”.12 “Buku saya keempat, Kronik Betawi, bercerita tentang Jakarta dari jaman penjajahan Jepang (tahun ’40-an) hingga awal era Reformasi (1998). Tiga tokoh yang merupakan anak daerah, yaitu Jaelani, Jarkasi, dan Juleha (beserta garis keturunan keluarga mereka) tiba-tiba tergusur dan tergeser. Novel ini sengaja saya tulis dengan sangat ringan dan sederhana, jauh dari kesan “high literature” yang jelimet. Ini adalah persembahan saya untuk kota kelahiran saya, Jakarta. Selamat membaca dan selamat makin mencintai Jakarta”.13 Kalau melihat dari dua sisi tentang Jakarta terdapat sisi positif dan sisi negatif. Sisi positifnya yaitu keadaan lingkungan dan sumber daya manusia yang makin maju atau teknologi dan fasilitas semua serba lengkap di Jakarta. Adapun banyak orang dari setiap penjuru kota di Indonesia, semuanya ingin ke Jakarta dengan alasan yang beranekaragam. Sisi negatif dari keadaan kota metropolitan ini adalah seperti pencemaran lingkungan (banjir) yang hampir setiap tahun selalu ada, padat penduduk yang berdampak kemacetan jalanan

11 Ratih Kumala, Betawi Jaman Doeloe, dalam www.ratihkumala.com., diakses pada Minggu, 2 Agustus 2020 pukul 14.02 WIB. 12 Ibid., pukul 14.13 WIB. 13 Ibid., pukul 14.17 WIB.

39

saat berkendara, dampak gedung pencakar langit sehingga penghijauan di Jakarta makin berkurang mengakibatkan kota makin panas. Dua sisi tersebut diceritakan secara kompleks dalam Kronik Betawi. Positif dan negatif merupakan hukum alam atau bisa dibilang sebab-akibat yang saling beriringan, hal tersebut tidak bisa dihilangkan namun bisa diredam oleh sumber daya manusianya.

BAB IV

KAJIAN ANALISIS

A. Analisis Unsur Intrinsik Unsur intrinsik merupakan unsur pembangun yang saling berhubungan satu sama lain dalam cerita. Adanya unsur intrinsik mengakibatkan karya sastra ada. 1. Tema

Dengan adanya tema, cerita mempunyai dasar atau foundation. Dasar cerita tersebut dapat berkembang dan berlanjut mengalir. Tema pokok novel Kronik Betawi adalah masyarakat Betawi yang tergusur akibat kemajuan di Jakarta. Hal tersebut terungkap dalam kutipan berikut

Padahal, dulu tanah lapang ada di mana-mana. Sekarang, semua diganti jadi gedung.1 Bisa diperjelas bahwa kemajuan zaman menyebabkan masyarakat Betawi di Jakarta menjadi terancam keberadaannya. Masyarakat Betawi tergusur di wilayahnya sendiri. Jakarta sebagai ibu kota negara terus mengalami peningkatan pembangunan. Adapun kutipan lain dan juga sebagai tema pendukung, sebagai berikut

Dari sini saya mulain tahu, Jakarta bukan milik saye lagi.2 Akibat adanya pembangunan, mereka bergeser ke daerah pinggiran Jakarta, seperti: Tangerang, Depok, Bogor, dan Bekasi. Tidak hanya masyarakatnya yang bergeser, kebudayaan Betawi juga mengalami benturan dengan budaya modern karena perubahan zaman. Berikut kutipannya

Ya, betul, saya kendiri sebetulnya juga heran. Suara kaleng rombeng gitu dibilang musik. Dari mane datengnye ye? Musik luar

1 Ratih Kumala, Kronik Betawi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 76. 2 Ibid., h. 120.

40

41

negeri apa ye? Padahal gambang kromong yang biase saye mainin kan juga kagak murni dari Betawi. Ada unsur musik orang bule dari jaman Belanda dulu, ada juga campuran Cina. Lihat aja alat musiknya, kalo gak percaya. Tapi bisa didenger. Kok musik anak tetangga tadi beday ya? Emang, jaman sudah berubah.3 Dapat disimpulkan masyarakat Betawi tergeser keberadaannya. Pergeseran tersebut berpengaruh sampai ke kebudayaan. Dalam cerita novel ini, masyarakat Betawi tersebut diwakilkan dengan Jaelani, Jarkasi, dan Juleha.

2. Tokoh

Tokoh dikatakan sebagai pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan. Tokoh utama novel ini adalah Jaelani, Jarkasi, dan Juleha. Sedangkan tokoh tambahannya adalah Japri dan Juned, Edah, dan Jiih. a. Jaelani Jaelani dalam certia berperan sebagai kepala keluarga yang mempunyai empat anak dengan dua istri. Berdasarkan peran tokoh, Jaelani termasuk dalam kategori tokoh utama. Jaelani adalah tokoh yang paling sering muncul dalam cerita dan berhubungan dengan tokoh lain sekaligus mempengaruhi perkembangan alur. Hal tersebut terungkap dalam kutipan berikut Dengan berlangsungnya dunia perkawinan, Jaelani dan Rimah tak lagi aktif di kesenian. Mereka lebih sibuk dengan urusan mengurus sapi, apalagi setahun kemudian mereka dikaruniai Zulkifli kecil, yang kemudian sehari-hari dipanggil Japri. Kemudian berturut-turut disusul kelahiran Junaedi, yang lebih familiar dipanggil Juned, putra kedua mereka. Sedang Rohani, – panggilan sehari-harinya Enoh – lahir tiga tahun setelah Juned lahir.4

Dalam kutipan tersebut digambarkan bahwa peran Jaelani sebagai kepala keluarga mempunyai keterlibatan terhadap tokoh lain sehingga perannya menjadi penting.

3 Ibid., h. 114. 4 Ibid., h. 22-23.

42

Jaelani merupakan tokoh yang dijadikan sebagai perwujudan nilai- nilai yang ideal. Jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh, Jaelani termasuk ke dalam kategori tokoh protagonis. Hal tersebut terungkap dalam kutipan berikut

Saya sebetulnya ingin juga punya kehidupan seperti Somad, apalagi karena sudah tua begini, ingin rasanya hanya menikmati hari tua. Tak perlu pergi ke mana-mana, tempat yang dituju hanya rumah dan masjid saja. Menabung pahala untuk persiapan sebelum betul- betul dipanggil Allah. Kenapa pula, dulu saya tidak mendirikan bangunan saja, ya? Jadi bisa seperti si Somad, jadi juragan kontrakan.5

Dalam kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Jaelani menyadari usianya sudah tua. Oleh sebab itu, ia hanya fokus melaksanakan ibadah kepada Allah. Hal itu berupa nilai-nilai ideal yang sesuai dengan pandangan kita secara umum. Apabila dilihat dari perwatakan tokoh, maka ia termasuk dalam kategori tokoh bulat. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut

Setelah istri pertamanya meninggal, Jaelani muda sebetulnya tak berniat kawin lagi. Ia mencintai perempuan itu sepenuh hati, sulit baginya untuk menggantikan Rimah.6

Selain dieksplorasi perilah tingkah laku yang beragam tentang Jaelani seperti ketika dalam keadaan bahagia, sedih, atau marah, dalam kutipan tersebut digambarkan bahwa Jaelani merupakan sosok yang setia walaupun dalam keadaan duda. Namun, seiring berjalannya alur mengalami perubahan tingkah laku Jaelani menghelas napas, menghentikan mencuci piring. Tangannya penuh busa sabun. “Ya sudah, entar gua pikir lagi,” katanya singkat. Jarkasi minta diri, pulang sambil berharap kakaknya betul-betul mempertimbangkan untuk menikah lagi.7

5 Ibid., h. 78. 6 Ibid., h. 8. 7 Ibid., h. 13.

43

Jaelani tidak konsisten dengan sikap kesetiaannya. Hal tersebut berdasarkan pengaruh Jarkasi untuk menyeru nikah. Dengan demikian tingkah laku Jaelani mengalami perubahan. b. Jarkasi Jarkasi merupakan adik pertama dari Jaelani. Dalam cerita, Jarkasi mengemban peran sebagai seorang seniman Betawi. Ia menyukai kesenian Betawi dimulai pada usia lima belas tahun. Hal tersebut tergambar dalam kutipan berikut

Jarkasi sendiri sampai saat ini, selain mengurus lima buah rumah petak yang dikontrakan, juga tak pernah absen mengurus kelompok gambang kromong meskipun nyaris tak ada lagi orang yang menggap kesenian tradisional itu.8

Kemampuan Jarkasi dalam bidang seni itu berpengaruh penting dalam konflik dan perkembangan alur novel Kronik Betawi. Terkadang ia memimpin latihan lenong, tari, bahkan sampai anaknya sendiri (Edah) dipaksa untuk gabung latihan. Hal itu mendapat penolakan dari istrinya dengan sikap Jarkasi tersebut. Dengan demikian Jarkasi termasuk dalam tokoh utama. Apabila dilihat dari fungsi penampilan tokoh, Jarkasi merupakan tokoh protagonis. Nilai ideal yang melekat di Jarkasi tidak hanya mengajarkan kesenian dengan tujuan menjaga warisan budaya, namun memberikan nasihat kepada abangnya (Jaelani)

“Lu jangan ngomong gitu, Bang! Gak baek duda lama-lama. Entar bisa-bisa lu zinah.... , tauk!” Lagi-lagi nasehat yang sama; zinah.9

Dapat dianalisis bahwa tokoh Jarkasi sangat peduli kepada abangnya supaya terhindar dari perbuatan buruk. Kalau dalam pandangan umum,

8 Ibid., h. 45. 9 Ibid., h. 13.

44

menikah merupakan anjuran dalam agama islam bagi mereka yang siap. Hikmah yang terkandung dalam pernikahan sangat banyak, seperti memenuhi kebutuhan biologis, religius, dan sosial. Selain itu, Jarkasi merupakan sosok yang memiliki tingkah laku tunggal. Dengan demikian, apabila dilihat dari perwatakan tokoh, maka ia termasuk dalam kategori tokoh sederhana. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut

Ujung-ujungnye sampe sekarang, kontrakan itu yang lebih banyak ngasih makan keluarga kami. Meski saye gak berhenti main musik, ngiringin lenong, yang kadang-kadang pulang membawa uang.10

Jarkasi mempunyai teguh pendirian untuk selalu giat dalam berkesenian. Konsistensi ini selalu ada dalam awal, tengah, dan akhir jalan cerita di dalam novel Kronik Betawi. c. Juleha Juleha merupakan adik kedua dari Jaelani. Sosok Juleha merupakan perempuan yang taat beragama, tegar, kuat, dan baik hati. Ia juga menganggap keponakannya sebagai anaknya sendiri. Berdasarkan peran tokoh, Juleha termasuk dalam kategori tokoh utama. Hal itu beralasan bahwa Juleha terlibat dengan Edah (anak Jarkasi) dan Fauzan (anak Jaelani) dalam motif cerita. Berikut kutipan teksnya

Juleha tak butuh waktu lama untuk menunggu. Dia berbicara pada abangnya, Jarkasi mengenai keinginan Edah untuk ikut proses seleksi itu. Enden mulai menangis mendengar keinginan Edah ke luar negeri.11

Dapat diperjelas bahwa Juleha selalu menerima curahan hati Edah ketika ada masalah dengan orangtuanya. Juleha mengerti bahwa keponakannya itu mempunyai semangat dan cita-cita yang tinggi. Namun

10 Ibid., h. 120. 11 Ibid., h. 243.

45

karena kendala orang tua, akhirnya Juleha melobi Jarkasi dan Enden untuk menyampaikan keinginan Edah yang selau ditolak olehnya. Dengan demikian keterlibatan Juleha dalam konflik antar tokoh sangat jelas. Selanjutnya Juleha membantu Fauzan, berikut kutipan teksnya

Seperti perjanjian awal dengan Jaelani, Juleha berusaha membujuk Fauzan agak tidak pergi. Toh anak itu memaksa pergi. Juleha bilang, “janji, kalo mulai rusuh, lu langsung lari ke rumah Encing sini ye! Encing tunggu bener-bener di ruang tamu.” “Iye Cing, janji.” Fauzan mencium tangan encingnya.12

Juleha yang tinggal di daerah Semanggi menerima rumahnya sebagai tempat pelarian bagi Fauzan. Hal itu karena Fauzan mengikuti aksi di depan gedung DPR. Awalnya Jaelani tidak menyetujui Fauzan berangkat aksi, namun ada perubahan pikiran dengan satu syarat yakni kalau ada kejadian yang tak diinginkan supaya lari ke rumah Juleha. Dengan demikian dominasi tokoh Juleha di cerita ini begitu penting, sehingga masuk dalam kategori tokoh utama. Selain itu, berdasarkan analisis fungsi penampilan tokoh. Juleha termasuk dalam tokoh protagonis. Berikut kutipan teksnya

Juleha, seperti perawan-perawan Betawi lainnya, menginginkan lelaki yang saleh. Pinter mengaji, pintar sembahyang. Itu saja prasyaratnya. Jaman ia cari suami, ia tak berpikir harus setinggi apa pendidikan calon suaminya dan harus seberapa banyak penghasilan suaminya per bulan. Baginya, jika agama sudah dipegang, maka semua akan berjalan dengan mudah.13

Pandangan Juleha dari kutipan teks itu seperti pandangan umum yang objektif. Artinya nilai yang terkandung di dalamnya dapat diterima semua orang. Khususnya wanita salehah akan mendapatkan suami yang saleh. Dengan demikian apapun tindakan kebaikan akan dibalas dengan kebaikan juga.

12 Ibid., h. 250. 13 Ibid., h. 55.

46

Adapun dalam hal lain, analisis berdasarkan perwatakan tokoh. Juleha masuk dalam tokoh sederhana. Berikut kutipan teksnya

Aku tidak pernah lupa nasihat Enyak, sebelum meninggal. Dia bilang, perempuan berkeluarga itu tugas utamanya menjaga suaminya. Mungkin itu sebabnya walau Enyak marah pada Babeh, dia tetap menunggui suaminya hingga laki-laki itu meninggal.14

Walaupun Jiih sebagai suami selalu menyakitinya, ia tetap sabar dan kuat menghadapi ujian itu. Karakter yang terdapat di dalam diri Juleha menggambarkan sosok perempuan yang taat, seperti taat kepada agama, kepada orang tua, dan kepada suami. Hal ini yang dinilai konsisten di jalan cerita. d. Japri dan Juned Japri dan Juned merupakan anak pertama dan kedua Jaelani dari istri pertama (Rimah). Mereka dalam cerita berperan sebagai tokoh tambahan. Penggabungan tokoh Japri dan Juned bertujuan mengikuti ketersediaan kutipan teks dalam cerita supaya mudah dalam menganalisisnya. Karena di dalam cerita mereka selalu muncul berbarengan. Japri dan Juned dikisahkan merupakan orang dewasa yang masing- masing sudah menikah. Mereka adalah tokoh yang diberikan kepercayaan untuk membantu usaha sapi perah Jaelani.

... Japri dan Juned perlu mandiri untuk punya penghasilan sendiri. Maka saya memercayakan kandang sapi saya kepada kedua anak itu. Toh sapinya hanya dua belas ekor. Diurus dua orang cukuplah.15

Mereka dibelikan motor oleh Jaelani demi kelancaran usahanya. Fasilitas yang diberikan tersebut bertujuan untuk mengantar susu kepada

14 Ibid., h. 235. 15 Ibid., h. 80.

47

pembeli. Namun, mereka menyalahgunakan motor tersebut untuk usaha ojek tanpa sepengetahuan Jaelani.

Sialan, Japri dan Juned diam-diam alih profesi?! kurang ajar dua anak itu betul-betul kagak tahu diuntung. Bapaknya mikir susah-susah buat mereka hidup layak, dikasih kesempatan biar dapat ilmu pelihara sapi perah, eh... malah jadi tukang ojek!16

Japri dan Juned merupakan tokoh yang menghalangi motif tokoh Jaelani. Mereka penyebab terjadinya konflik yang berposisi dengan tokoh protagonis. Dengan demikian mereka masuk dalam kategori tokoh antagonis. Kemunculannya yang tidak signifikan dalam sebuah cerita membuat Japri dan Juned tidak banyak diceritakan. Japri dan Juned hanya dikisahkan sebagai tokoh yang mempunyai pribadi malas dan bergantung kepada orangtua. Oleh karena itu, dalam hal ini Japri dan Juned masuk dalam tokoh sederhana. e. Edah Berdasarkan peran di dalam cerita, Edah merupakan tokoh tambahan. Hal tersebut dapat ditemukan dalam kutipan berikut

Suatu hari ketika mereka sedang berlatih lenong, dan Jarkasi mengajak Edah, tiba-tiba muncul satu ide; menambahkan satu tokoh tambahan dalam lenong. Tokoh satu anak kecil perempuan. Edah mau saja disuruh jadi pemain lenong. Ia menikmati perannya sebagai anak bawang. Ketika pulang, Jarkasi bercerita pada istrinya sambil tertawa- tawa, bahwa Edah tadi ikut latihan lenong sementara ia dan kelompoknya mengiringi dengan gambang kromong.17

Edah adalah anak kandung Jarkasi. Dalam cerita dikisahkan bahwa ia suka kesenian Betawi karena mengikuti jejak ayahnya.. Ia membantu peran ayahnya dalam cerita dengan mengikuti grup seni.

16 Ibid., h. 171. 17 Ibid., h. 46-47.

48

Beda kisah Bung Juned dengan anaknya Jarkasi, maka beda pula kisah Jarkasi dan anaknya, Edah. Edah justru seperti jambu yang jatuh dari pohonnya, berdiam di bawah pohon jambu induknya lalu seiring waktu ia melesak ke dalam tanah dan dengan bijinya tumbuh sebagai pohon jambu, persis asalnya.18

Berdasarkan fungsi dan perwatakan tokoh, Edah sama seperti tokoh Jarkasi yakni tokoh protagonis dan tokoh sederhana. Namun perbedaannya adalah bahwa ia sebagai anak mengikuti jejak ayahnya. Adapun dalam hal lain juga ia selalu konsisten untuk giat menari dan berakhir sampai menari ke luar negeri. f. Jiih Sosok Jiih di dalam cerita selalu terlibat dengan Juleha. Perempuan Betawi seperti Juleha pada umumnya memprioritaskan laki yang beragama yang bakal suaminya. Dengan demikian sosok Jiih hadir di hidup Juleha yang sesuai dengan pandangan Juleha pada mulanya. Berdasarkan peran di dalam cerita, Jiih termasuk tokoh tambahan. Hal tersebut dapat digambarkan kutipan berikut

Keberuntungan menyertai Jiih, Bung Juned menerima lamarannya tanpa syarat yang aneh-aneh pula. Bapak Juleha sudah terkesan lebih dahulu dengan predikat Jiih yang terkenal alim. Ia sangat mementingkan agama.19

Motif Juleha yang menginginkan suami saleh akhirnya terwujud dan Jiih menjadi suaminya. Namun dalam perkembangan jalan cerita, Jiih tak berbahagia karena Juleha mandul. Alhasil Jiih menikah lagi dengan perempuan lain dan Juleha mengizinkannya dengan rasa terpaksa

18 Ibid., h. 44. 19 Ibid., h. 59.

49

Dan yang paling penting aku ingin semua tahu bahwa aku memberi ijin kepada Bang Jiih menikah lagi karena terpaksa, tidak dengan tulus. Mana ada orang yang mau dikawain madu?20

Berdasarkan kutipan tersebut tokoh Jiih merupakan tokoh antagonis karena ia selalu memunculkan konflik baru dan berusaha bertentangan dengan tokoh protagonis (Juleha). Adapun dapat disimpulkan bahwa Jiih merupakan tokoh yang bulat, hal itu beralasan bahwa pada awalnya ia taat beragama, namun seiring berjalannya cerita ia mengalami perubahan tingkah laku yang bertentangan dengan agama. Tindakan Jiih yang menikah lagi mengakibatkan hubungan rumah tangga mereka menjadi tidak bahagia.

3. Alur

Analisis alur dalam novel Kronik Betawi menggunakan sumber dari Nurgiyantoro. Ada lima tahapan dalam alur: penyituasian, pemunculan, peningkatan konflik, klimaks, dan penyelesaian. Dengan demikian lima tahapan alur tersebut akan digunakan untuk menganalisis alur. a. Tahap Penyituasian Tahap penyituasian merupakan tahap pembukaan cerita. Tahap ini memberikan informasi awal sebagai landasan cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya. Pembukaan cerita dalam novel Kronik Betawi yaitu peristiwa bom atom yang dijatuhkan Amerika kepada Jepang, sehingga tentara Jepang yang berada di Indonesia kembali ke negaranya. Kejadian itu dimanfaatkan tuan Belanda bernama Henk untuk pulang ke negeri Belanda dan juga menyerahkan tanahnya yang berada di Karet kepada pembantunya yakni Juned dan Ipah. Di rumah itulah Juned memulai hidup baru, hidup yang layak bersama Ipah. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut

20 Ibid., h. 122.

50

Begitulah, alkisah cinta Juned yang tak dimulai dengan secuil pun. Hanya rasa kasihan dan tanggung jawab yang mewakili kebersediaan Juned menikahi Ipah. Kelak, dari Juned Ipah melahirkan tiga anak; Jaelani, Jarkasi, dan Juleha. Dua laki-laki, satu bontot perempuan.21

Kelahiran Jaelani, Jarkasi, dan Juleha di rumah itu melandastumpui cerita yang dikisahkan berikutnya. Hal pokok dalam tahap penyituasian merupakan pengenalan tokoh-tokoh utama yaitu Jaelani, Jarkasi, dan Juleha. Pada perkembangan cerita selanjutnya, tanah yang berada di Karet itu merupakan warisan yang berharga bagi mereka bertiga. Alur cerita menjadi tegang dan penuh dinamika sosial ketika setelah mereka menikah dan masing-masing punya anak/cucu. b. Tahap Pemunculan Konflik Tahap pemunculan konflik merupakan gerbang awal untuk menuju ke konflik utama. Tahap ini akan berkembang menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. Pemunculan konflik tampak pada Jaelani yang berhadapan dengan dua perlente yang mengklaim utusan dari Sultan Agung Mataram yang ingin merebut paksa tanah yang berada di Karet. Hal tersebut terungkap dalam kutipan berikut

“Nah..., keturunan keluarga besar Sultan Agung, yaitu para ahli warisnya, menginginkan tanah ini kembali. Tanah ini bersejarah, Pak. Demi kelangsungan pelestarian sejarah negara kita yang mulai mengikis, para pewaris kerajaan Mataram, khususnya keturunan langsung Sultan Agung, menginginkan tanah ini kembali. Nah, bukti- bukti tertulisnya bisa Bapak dapatkan dalam arsip-arsip ini, silakan Bapak pelajari,” kata laki-laki perlente tersebut dengan penuh percaya diri sambil menyerahkan surat-surat lecek itu.22

Jaelani pada suatu siang di rumahnya menerima tamu tak diundang yang datang dengan sikap tidak sopan. Motif dua perlente itu adalah bahwa tanah yang ditempati Jaelani dan keluarga besarnya ilegal, dengan demikian

21 Ibid., h. 37. 22 Ibid., h. 89.

51

tanah itu harus dikembalikan kepada negara. Dua perlente terus beradu argumen dengan Jaelani karena tanah itu milik kerajaan Mataram, bahkan sudah menjadi milik kerjaan sebelum Belanda datang menjarah. c. Tahap Peningkatan Konflik

Tahap peningkatan konflik merupakan tahap konflik yang sudah muncul makin berkembang kadar intensitasnya. Peristiwa yang terjadi makin menegangkan. Konflik yang makin mengarah kepada klimaks tak dapat dihindari.

Peningkatan konflik dalam novel Kronik Betawi diawali ketika munculnya petugas Badan Otorita. Konflik yang sebelumnya dibawa oleh dua perlente untuk merebut tanah keluarga besar Jaelani, Jarkasi, dan Juleha, tampak meningkat kadar intensitasnya menjadi konflik yang secara nyata. Kali ini tamu kedua datang kepada Jaelani dari petugas Badan Otorita. Hal berikut tampak dalam kutipan berikut

Sambil keheranan, saya letupkan kekesalan, “Lucu amat yak? Tanah milik aye, hanya gara-gara terlambat mengajukan permohonan, jadi milik Negara?! Sedang orang-orang pendatang dikasih sertifikat Prona. Mana adilnya!?” Petugas Badan Otorita yang kelihatannya lebih pintar dari pada dua perlente yang datang lebih dulu berlalu, meninggalkan sejumlah copy berkas-berkas dari lembaganya dengan penjelasan program pembangunan kawasan diplomatik.23

Dalam tahap peningkatan konflik ini, tanah warisan keluarga besar Jaelani makin berusaha direbut oleh para pengembang. Motif petugas Badan Otorita merupakan perwakilan dari pemerintah yang ingin menjadikan kawasan Jakarta sebagai kawasan diplomatik. Berdasarkan urutan keluarga, Jaelani sebagai sosok laki paling tua dalam keluarga (selain Jarkasi dan Juleha). Dengan demikian biasanya

23 Ibid., h. 92-93.

52

orang Betawi yang paling tua di keluarga perihal tanah atau warisan maju paling depan untuk menjaganya. d. Tahap Klimaks Tahap klimaks merupakan tahap konflik yang dilalui oleh para tokoh mencapai titik puncak. Tahap klimaks dalam novel Kronik Betawi terdapat pada peristiwa ketika anak Jaelani bernama (Enoh) melaksanakan pernikahan, itu artinya semua keluarga besar pada kumpul di Karet. Tiba- tiba petugas Badan Otorita kembali lagi untuk kedua kali. Kemudian Jaelani tak basa-basi langsung berantem dengan mereka.

“Apa?! Elu mau gua tinggal di kandang lutung yang lu bikin itu?! Sembarangan aja lu tanah orang mau diambil jadi milik negara! Negara siapa?! Heh? Negara moyang lu?! Langkahin dulu mayat gue kalo lu berani! Maju lu! Gue suwek lu pade!” Saya mengaksikan kuda-kuda.24

Dalam kutipan tersebut dapat dijelaskan bahwa puncak pertentangan berupa perlawanan Jaelani mewakili seluruh keluarga untuk melawan para petugas yang tak jelas yang ingin merebut tanahnya. Akibat perlawanan itu akhirnya petugas Badan Otorita kabur. Dengan demikian peristiwa itu dinilai sebagai titik puncak intensitas sebuah konflik yang berkembang. Tindakan yang dilakukan oleh Jaelani merupakan bentuk rasa cintanya dengan Betawi, sebab orang Betawi selalu terpinggirkan di wilayahnya sendiri. Oleh karena itu Jaelani, Jarkasi, dan Juleha berusaha mempertahankan tempat tinggalnya. e. Tahap Penyelesaian Tahap penyelesaian merupakan tahap konflik yang terjadi mulai menemukan solusi kemudian cerita diakhiri. Jaelani dan keluarga besar sudah terlanjur muak dengan penawaran para pengembang soal tanah

24 Ibid., h. 99.

53

mereka. Akhirnya mereka berhasil menjual tanah, kemudian Jaelani, Jarkasi, dan Juleha masing-masing mendapat hak waris. Berikut fakta teksnya

Tapi setelah itu, Jarkasi lebih tertarik pada gambang kromongnya. Untuk yang satu itu dia memang betul-betul kagak ada matinye! Ditinggallah saya dengan sapi-sapi ini. Setelah babeh meninggal, saya, Jarkasi, dan Juleha masing-masing dapat warisan.25

Dengan demikian nasib ketiga tokoh tersebut setelah tanah warisannya dijual, seperti: Jaelani setelah mendapatkan warisan kemudian tinggal di daerah Ciganjur bersama anak-anaknya, Jarkasi mengurus rumah petak dan fokus dengan grup gambang keromong, dan Juleha tinggal bersama suaminya di Semanggi.

4. Latar Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita. Dengan demikian latar antara lain tentang tempat, waktu, dan situasi sosial suatu cerita. Berikut ini pemaparan analisis latar dalam novel Kronik Betawi. a. Latar Tempat Kebanyakan latar tempat yang ada dalam novel Kronik Betawi berada di Jakarta. Hal penting mengenai latar tempat adalah latar itu yang banyak menjadi tempat konflik di dalam cerita. Berikut latar tempat terjadinya peristiwa

1) Karet Hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut

Ketika Tuan Henk balik ke Belanda, semua rumah dan tanahnya di Karet dan benda-benda milik keluarga Tuan Henk, termasuk sapi- sapinya yang tinggal enam ekor diberikan pada Juned.26

25 Ibid., h. 106. 26 Ibid., h. 43.

54

Juned adalah orang tua dari Jaelani, Jarkasi, dan Juleha. Dapat dijelaskan bahwa Karet merupakan tempat penting bagi Jaelani, Jarkasi, dan Juleha. Mereka lahir di situ sampai dengan dewasa. Namun, setelah Juned meninggal tanah warisan itu dibagi kepada mereka bertiga. Dengan demikian Karet adalah latar yang selalu terlibat konflik di dalam cerita.

2) Kampung Dukuh Hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut

Jarkasi sudah lebih dahulu bergabung dengan kelompok gambang kromong Setia Warga pimpinan Haji Bokir di Kampung Dukuh, Pondok Gede.27

Kampung Dukuh menjadi latar yang berpengaruh bagi Jarkasi. Tidak hanya Jarkasi, namun Jaelani pernah ikut latihan gambang kromong juga di situ. Dengan demikian Kampung Dukuh adalah tempat mereka berlatih grup kesenian Betawi.

3) Semanggi Hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut

“Lu pergi ke rumah encing lu sono, die kan di daerah Semanggi tuh. Nah, lu tunggu deh temen-temen lu di sane.”28

Encing dalam kutipan tersebut adalah Juleha. Pasca menikah dengan Jiih, ia tinggal di Semanggi. Latar tersebut menjadi penting karena pernikahannya dengan Jiih penuh dengan konflik entah senang atau sedih yang mendominasi di dalam cerita.

27 Ibid., h. 45-46. 28 Ibid., h. 250.

55

b. Latar Waktu Secara umum, latar waktu seperti pagi, siang, sore, dan malam semuanya ada dalam novel Kronik Betawi. Selain itu waktu khusus juga ada dalam novel ini, antara lain 1) 1942-1945 Hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut

Siaran Radio Republik Indonesia bilang; bahwa Perang Dunia II pecah. Kata berita itu, tahun lalu Jepang mengebom suatu tempat di Amerika bernama ‘Pelharbour’, nama yang asing di telinga Juned.29

Pesawat Jepang menyerang Pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour. Dengan demikian dari kutipan tersebut diperkuat bahwa novel Kronik Betawi mempunyai latar waktu pada era perang dunia II.

2) 1994 Hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut

Lagu pembuka sinetron Si Doel Anak Sekolahan di televisi terdengar sampai kamar. Sinetron itu mulai lagi. Salomah tidak pernah ketinggalan nonton satu episode pun.30

Dalam berita di Kompas.com bahwa Doel adalah karakter utama dalam sinetron yang tayang perdana di RCTI pada 1994. Doel dikenal sebagai sosok protagonis karena sangat memegang prinsipnya, yakni jujur, baik, dan penurut.31 Hubungan antara kutipan teks dalam novel

29 Ibid., h. 37. 30 Ibid., h. 169. 31 Baharudin Al Farisi, Nostalgia Sinetron Si Doel Anak Sekolahan, Intip Silsilah Keluarga Babe Sabeni, pada Kamis 30 April 2020 dalam www.kompas.com., diakses Jumat 2 Oktober 2020 pukul 15.07 WIB.

56

dengan sumber berita di Kompas.com bahwa latar waktu tersebut adalah tahun 1994 pada masa pemerintahan Orde Baru.

3) 11 November 1998 Hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut

Ketika itu 11 November 1998. Pemerintah mengadakan sidang istimewa MPR yang diadakan katanya bertujuan untuk menetapkan berbagai perubahan dalam rangka reformasi. Tapi semua juga tahu, bahwa itu hanyalah upaya pemerintah mempertahankan status quo.32

Novel Kronik Betawi mempunyai latar waktu sampai dengan pasca Reformasi. Jika diurutkan novel ini mempunyai masa waktu antara lain pra kemerdekaan, pasca kemerdekaan, orde baru, dan pasca reformasi. c. Latar Sosial Latar sosial dalam novel Kronik Betawi berkaitan tokoh dengan masyarakat dan kehidupan yang meliputi peristiwa di dalamnya. Latar sosial dalam kehidupan yang terdapat di dalam novel Kronik Betawi adalah perubahan Jakarta. Adapun seiringnya kemajuan Jakarta menjadi berubah lingkungannya. Berikut kutipan teksnya

Banyak yang hilang dimakan waktu, atau mungkin lebih tepatnya, dimakan peradaban. Walaupun saya tidak setuju disebut musabab kehilangan itu adalah ‘peradaban’ sebab menurut saya sebutan itu hanya tameng bagi orang-orang yang serakah. Berkali-kali saya bertanya, tanpa tahu jawaban sebenarnya; apakah yang namanya peradaban itu berarti membangun banyak gedung? Yang hilang tidak cuma tanaman-tanaman saja, yang menyisakan nama, tetapi sejarahnya juga ikut terkubur.33

Berdasarkan kutipan teks tersebut dapat dijelaskan bahwa novel Kronik Betawi sebagai gambaran fakta tentang keadaan lingkungan Jakarta

32 Ratih Kumala, Op. Cit., h. 249. 56 Ibid., h. 73.

57

yang dahulu dengan yang sekarang berubah signifikan. Dahulu di Jakarta banyak tanah lapang untuk dijadikan tempat bermain bagi masyarakatnya. Karena Jakarta adalah ibu kota negara Indonesia, maka dari itu menyebabkan pusat politik, ekonomi, bisnis, dan bidang lainnya menjadi unit di Jakarta. Akibatnya pembangunan dari tahun ke tahun meningkat karena keinginan para pengembang mendirikan pusat peradaban di ibu kota negara. Tidak hanya perubahan lingkungan, namun dari segi sumber daya manusia juga mengalami perubahan

Tapi, buktinya Jakarta tetap saja makin banyak penduduknya, makin padat penduduknya. Apalagi setelah usai Lebaran, pembantu- pembantu yang biasanya pulang kampung datang kembali ke Jakarta membawa temannya, untuk kerja di Jakarta menjadi pembantu pula. Semua numpuk jadi satu.34

Dengan demikian akibat perubahan Jakarta menyebabkan dampak dua sisi. Sisi positif berdampak kota menjadi maju dan berkembang masyarakatnya, dan sisi negatifnya menjadikan lingkungan sosial di Jakarta tidak mempunyai lahan dan akibatnya banjir selalu datang setiap tahun.

5. Sudut Pandang Nurgiyantoro membagi dua sudut pandang: sudut pandang persona pertama Aku dan sudut pandang persona ketiga Dia. Dari dua pembagian sudut pandang itu kemudian dibagi lagi, yakni sudut pandang Aku dibagi menjadi dua: Aku sebagai utama dan Aku sebagai tambahan. Adapun Dia dibagi menjadi dua: Dia maha tahu dan Dia terbatas. Nurgiyantoro juga menambahkan ada kemungkinan pengarang menulis prosa dengan menggunakan lebih dari satu sudut pandang, itu artinya ada sudut pandang campuran (Aku dan Dia). Dengan demikian Ratih Kumala sebagai

57 Ibid., h. 77.

58

pengarang novel Kronik Betawi menggunakan jenis sudut pandang campuran dalam teknik berceritanya. a. Sudut pandang Dia maha tahu Hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut Jarkasi sendiri sampai saat ini, selain mengurus lima buah rumah petak yang dikontrakan, juga tak pernah absen mengurus kelompok gambang kromong meskipun nyaris tak ada lagi orang yang menanggap kesenian tradisional itu. Sejak belum punya anak, bahkan sebelum ia pacaran dengan Enden, bakal istrinya, Jarkasi sudah lebih dahulu bergabung dengan kelompok gambang kromong Setia Warga pimpinan haji Bokir di Kampung Dukuh, Pondok Gede. Di situlah ia berguru pertama kali. Ia sebetulnya tak heran jika Sarida, anaknya yang lebih sering dipanggil Edah punya kesukaan menari.35

Pengarang berperan sebagai narator yang mengungkapkan gagasan pikirannya melalui sudut pandang Dia maha tahu pada tokoh Jarkasi. Narator mengetahui latar belakang, peristiwa, tokoh, dan motivasi yang melatarbelakangi tindakan tokoh itu. Narator dalam bercerita bebas mengkreasikan hasil pikirannya bergerak dari satu hal ke hal yang lain. Seperti dalam kutipan teks novel tersebut bahwa sudut pandang Dia maha tahu ada dalam Jarkasi, narator berhak menggerakkan Jarkasi yang menjelaskan latar belakang, peristiwa, motif, dan menyelipkan tokoh tambahan untuk mendukung jalan cerita. b. Sudut Pandang Aku Utama Hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut Aku memalingkan muka, melihat ke arah pintu kamar. Bang Jiih juga diam saja. Tak berani lagi bicara apa-apa. Kami tahu ini akan jadi cekcok kalau diteruskan. Sekali-kali, sebetulnya ingin juga aku cekcok besar dengan laki-laki ini. Aku ingin tetangga- tetangga dengar keributan kami, aku ingin semua orang tahu bahwa ada masalah besar di rumah ini. Dan yang paling penting aku ingin semua tahu bahwa aku memberi ijin kepada Bang Jiih menikah lagi karena terpaksa, tidak dengan tulus. Mana ada orang yang mau dikawin madu? 36

35 Ibid., h. 45-46. 36 Ibid., h. 122.

59

Sudut pandang aku utama dalam kutipan di atas menunjukkan bahwa narator sudah tidak berhak dalam menggambarkan tokoh dalam cerita. Nurgiyantoro menyatakan bahwa si “aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik, hubungannya dengan sesuatu di luar dirinya. Si “aku” menjadi fokus, pusat kesadaran, pusat cerita. Segala sesuatu yang di luar diri si “aku”, peristiwa, tindakan, dan orang, diceritakan hanya jika berhubungan dengan dirinya, dan dipandang penting.37 Dengan demikian dari pemaparan tersebut bahwa sudut pandang dalam novel Kronik Betawi menunjukkan sudut pandang campuran. Hubungan sudut pandang dengan pengarang bagaikan kulit dengan dalangnya. Jadi pengarang memainkan cerita melalui tokoh yang dikendalikannya sehingga jalan cerita pun menjadi menarik.

6. Gaya Bahasa Dalam novel Kronik Betawi ditemukan empat gaya bahasa, antara lain: gaya bahasa simile, gaya bahasa sarkasme, gaya bahasa erotesis, dan gaya bahasa epizeukis. Empat gaya bahasa tersebut sangat menonjol di dalam cerita. Adapun gaya bahasa tersebut berfungsi untuk menguatkan suasana peristiwa antar tokoh di dalam cerita. a. Simile Hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut

Jiih tak ingin zinah, sementara keinginan syahwatnya sudah naik, ibarat lelacur ngudak-ngudak ayam biang.38

Simile yang disebut gaya bahasa perbandingan secara jelas tampak pada kutipan tersebut melalui penggunaan kata ibarat. Dengan demikian

37 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012), h. 263. 38 Ratih Kumala, Op. Cit., h. 59.

60

maksud dari kutipan itu adalah bahwa Jiih berambisi untuk menikahi Juleha secepatnya supaya tidak terjebak dalam zina. b. Sarkasme Hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut

“Kentut lu kagak beda dari bomnya Jepang! Geblek!” Omel mereka sambil menutup hidungnya.

Sarkasme masuk dalam gaya bahasa pertentangan. Sarkasme tersebut ditemukan dengan kata Geblek. Sarkasme yang disebut sebagai gaya bahasa yang mengandung perkataan kasar tampak dalam kutipan tersebut ketika orang Betawi sedang mengumpat dari kejaran para penjajah. c. Erotesis Hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut

Kenapa pula, dulu saya tidak mendirikan bangunan saja, ya? Jadi bisa seperti si Somad, jadi juragan kontrakan.39

Erotesis masuk dalam gaya bahasa pertautan. Erotesis adalah gaya bahasa yang berupa pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban ketika Jaelani sedang merenung yang ingin mengikuti temannya untuk membangun kontrakan. d. Epizeukis Hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut

“Pak, saya idup sendiri. Kagak punya ibu-bapak. Kagak punya sodare. Apalagi banda. Kagak punye. Apa Bapak masih mau saye kawin ama anak Bapak?”40

Epizeukis yang disebut gaya bahasa perulangan yang bersifat langsung kepada kata yang dipentingkan tampak dalam kutipan tersebut melalui penggunaan ujaran Kagak punya yang diulang sebanyak tiga

39 Ibid., h. 78. 40 Ibid., h. 36.

61

kali. Hal tersebut menegaskan bahwa Babeh Juned tidak sanggup untuk menikahi Ipah.

7. Amanat Amanat adalah hasil pemecahan dari tema yang ingin disampaikan pengarang terhadap pembaca.41 Amanat mengandung pesan moral yang biasanya tergantung pembaca mendapatkanya dari novel. Amanat dari novel ini adalah melestarikan kebudayaan Betawi. Hal tersebut seperti kutipan berikut

... Tapi tetep, satu keinginan itu gak mati-mati dalam nih ati. Biar kata jarang orang yang nanggep juga, harganya bukan harga kacang rebus. Saye pengen ngedidik anak-anak yang muda-muda, biar tertarik sama gambang kromong, lenong, tari-tari Betawi. Saye pengen warisan budaya ini gak jadi kenangan doang.42

Peneliti sekaligus pembaca novel Kronik Betawi mendapatkan amanat bahwa jangan sampai kebudayaan asli Betawi luntur di Jakarta.

B. Analisis Warna Lokal dalam Novel Kronik Betawi 1. Unsur-unsur Sosial Unsur sosial merupakan sesuatu yang berhubungan dengan sesuatu yang lain dalam masyarakat. Sesuatu tersebut bisa diperjelas melalui empat poin: kelas sosial, dinamika sosial, kelompok sosial, dan lembaga sosial. a. Kelas Sosial Penjelasan mengenai kelas sosial singkatnya adalah manusia dalam bermasyarakat mempunyai derajat atau status yang mempengaruhi kehidupannya. Derajat tersebut mempunyai tingkatan dalam wilayah tempat tinggal manusianya, seperti tingkatan atas atau bawah. Orang Betawi tidak mengenal keturunan raja atau ningrat seperti orang Jawa. Orang Betawi dari segi sejarah terbentuk dari berbagai suku

41 Mursal Esten, Kesusastraan: Pengantar Teori dan Sejarah, (Bandung: PT Angkasa, 2013), h. 20. 42 Ratih Kumala, Op. Cit., h. 121.

62

yang mendiami wilayah Batavia (Jakarta pada zaman Belanda), sehingga kesamaan nasib pada orang Betawi mempunyai kelas sosial yang sama pada saat itu. Adapun yang menjadi perbedaan derajat sosial dalam suku Betawi seperti pekerjaan, pendidikan, dan gelar tokoh masyarakat. Dalam novel Kronik Betawi, Jaelani mempunyai sejumlah tanah yang bisa dijadikan kontrakan. Ia berniat tanah tersebut untuk warisan Japri dan Juned, namun kedua anak itu malah menjadi tukang ojek. Jaelani merasa kecewa karena tidak sesuai harapan dengan kedua anak itu. Berikut kutipan teksnya

... Saya juga bilang, bahwa saya tidak mau melihat mereka ngojek lagi, saya ingin melihat mereka jadi juragan rumah kontrakan. Kelihatannya, mungkin inilah profesi yang tepat untuk penduduk aseli di Jakarta.43

Berdasarkan kutipan tersebut bahwa orang Betawi terkenal dengan julukan juragan kontrakan. Alasan tersebut karena mereka mendiami wilayah Jakarta dan sekitarnya dari keturunan nenek moyang sampai dengan anak-cucu, itu artinya tanah warisan leluhur masih mereka miliki. Selain itu, Jaelani juga mempunyai peternakan sapi perah yang dinilai layak untuk dijadikan pekerjaan untuk Japri dan Juned. Namun, kedua anak itu tetap bersikeras dengan pekerjaan ojeknya. Pekerjaan menjadi tukang ojek memang sangat mudah, karena kalau menjadi tukang sapi perah harus siap kotor. Berikut kutipan teksnya

Saya menimbang-nimbang lagi, apa yang harus saya lakukan pada dua anak saya itu. Saya sebetulnya juga tidak tega membiarkan mereka jadi tukang ojek. Saya tidak pernah punya cita-cita membesarkan anak-anak saya jadi seperti itu, meskipun mereka dengan bodohnya menganggap jadi tukang ojek jauh lebih terhormat daripada mengurus kandang sapi. Hanya karena yang satu menghasilkan tahi dan yang lain tidak.44

43 Ibid., h. 232. 62 Ibid., h. 226.

63

Berdasarkan kenyataan sosial, manusia membutuhkan uang untuk mencukupi kebutuhannya. Latar belakang profesi apapun itu sudah menjadi kehendak nasib bagi mereka yang berusaha untuk mencari rezeki. Dapat ditegaskan bahwa tukang ojek, juragan kontrakan, pengusaha sapi perah dalam cerita tersebut adalah sebuah stereotip dalam pandangan orang Betawi.

b. Dinamika Sosial Dinamika sosial merupakan fenomena yang sudah pasti ada di dalam masyarakat. Nilai yang dinamis membuat manusia menjadi berubah hidupnya seperti pola pikir atau sikap, sehingga muncul nilai yang baik dan buruk. Nilai yang baik ini disebut sebagai bentuk pengendalian sosial dan nilai yang buruk disebut sebagai bentuk penyimpangan sosial. Pertama, pengendalian sosial. Dikisahkan dalam novel bahwa Jiih adalah seorang pembina remaja masjid sekaligus penceramah agama. Banyak para warga yang menyukai sikapnya. Begitu juga dengan Juleha yang merasa bangga mempunyai suami taat beragama. Berikut kutipan teksnya

Semenjak kami menikah, usaha percetakannya maju. Ketika itu pula, ia diangkat menjadi pembina masjid. Dia dianggap seorang muda yang mampu memomong adik-adiknya. Sejak itulah kerap diminta ceramah di masjid-masjid, dan karena kami sudah berstatus suami-istri, suatu hari kelompok arisan ibu- ibu yang saya ikuti memutuskan untuk mengundang suamiku.45

Bagi masyarakat Betawi, Islam bukan hanya sekadar sebagai religi tetapi juga kultur. Pola kehidupan religi keislaman dan tradisi yang menyertainya bagi masyarakat Betawi merupakan daya

63 Ibid., h. 124.

64

sosial yang kuat, sekaligus menjadi unsur pemersatu yang membuat masyarakat Betawi hidup bagaikan suatu keluarga besar, dan juga tidak terhalang perbedaan tingkat sosial ekonomi.46 Dengan demikian pengendalian sosial dalam novel ini adalah pengaruh Islam yang kuat membuat masyarakat Betawi menjadi satu. Kedua, penyimpangan sosial. Dalam novel ini dikisahkan bahwa Jiih yang tidak bisa menerima kenyataan terhadap Juleha karena kemandulannya. Alhasil ia sebagai penceramah agama tidak seharusnya memaksa Juleha untuk mengizinkannya menikah dengan perempuan lagi. Juleha merespon hal ini dengan sakit hati yang menyebabkan ia kesal dan meluapkan seluruh emosinya kepada Jiih. Dengan demikian sudah seharusnya penceramah agama mampu memberikan contoh yang baik, namun beda halnya dengan Jiih yang dinilai buruk di mata Juleha. Berikut kutipan teksnya

“Eha!” Bang Jiih mengangkat tangannya hendak memukulku. Aku tercengang melihat tangannya di atas kepalaku. Dia kelihatan besar dan berkuasa dengan posisi tubuh seperti itu. Tiba-tiba sebuah kekuatan muncul entah dari mana sebelum tangan itu mendarat di pipiku. “PUKUL! PUKUL AKU!” teriakku. “PUKUL! BIAR SEMUA UMMATMU TAU..., DI SINILAH CACATMU!” Dia menurunkan tangannya, lalu katanya buru-buru dengan suara setengah berbisik sekaligus berteriak, “Ha... sssttt..., jangan teriak-teriak! Malu didengar tetangga! Apa kata orang kalau kita berantem aja kerjaannya?”47

Berhubungan dengan kutipan itu bahwa norma masyarakat secara horizontal menginginkan pasca pernikahan adalah keluarga bahagia yang jauh dari kekerasan dan kekuasaan dalam mengemban amanah dalam keluarga yakni antara suami atau istri. Keduanya harus saling melengkapi dan saling mengerti dalam menjalankan keluarga.

46 H. Ahmad Yunus, dkk. Arti dan Fungsi Upacara Tradisional Daur Hidup Pada Masyarakat Betawi, (Jakarta: Depdikbud, 1993), h. 13. 47 Ratih Kumala, Op. Cit., h. 132.

65

Adapun beda halnya dengan suku Betawi yang dapat dilihat dari kutipan novel tersebut sangat jelas. Secara singkat kutipan teks tersebut adalah kekuasaan laki terhadap perempuan yang ingin menang sendiri.

Bersamaan dengan pembahasan tersebut terdapat beberapa hal yang menjadikan masyarakat Betawi menggunakan sistem patriarki, sebagai berikut:

1) Terdapat pengaruh budaya Arab, Cina, dan Barat yang memiliki sistem kekerabatan, keluarga ataupun organisasi sosial yang patriarki. 2) Terdapat sistem keturunan yang patrilineal dan, 3) Terdapat sistem tempat tinggal yang patriokal.48

Sistem-sistem tersebut digunakan masyarakat Betawi yang menjadikan kaum perempuan Betawi tersubordinasi oleh dominasi kaum lelaki. Peranan kaum perempuan pun lebih diarahkan pada fokus rumah tangga saja dibandingkan ranah publik. Seperti halnya pada karakter Juleha yang menuruti perintah suami dan taat pada suami dalam hal mengizinkan suami menikah lagi tanpa melihat perasaan dirinya yang tersakiti oleh kekuasaan kaum patriarki.49 Dengan demikian bentuk penyimpangan sosial dalam novel ini adalah kekuasaan kaum lelaki kepada perempuan pasca pernikahan.

c. Kelompok Sosial Manusia cenderung hidup berkelompok di dalam masyarakat karena hal ini adalah suatu kebutuhan untuk manusia itu sendiri. Kelompok sosial yang dimaksud adalah posisi manusia di dalam masyarakat yang mengalami nasib atau persamaan tujuan sehingga

48 Nina Farlina, Representasi Kekerasan Simbolik Terhadap Perempuan Betawi dalam novel Kronik Betawi Karya Ratih Kumala, dalam Jurnal Dialektika, 3 (1), 2016, h. 59. 49 Ibid., h. 59-60.

66

membentuk kelompok sosial. Dalam novel dikisahkan bahwa Edah dan temannya berlatih menari di wisma dengan tujuan ingin pergi ke luar negeri. Berikut kutipan teksnya

Senin berikutnya, kelima gadis penari itu menuju wisma pelatihan dengan bekal bawaannya.50

Kelompok sosial terbentuk oleh masing-masing individu yang saling berinteraksi. Dengan adanya interaksi, suasana mereka makin akrab. Kutipan tersebut tampak kelima penari yang mempunyai tujuan yang sama. Dengan demikian kelompok penari ini disebut sebagai kelompok sosial.

d. Lembaga Sosial Secara sederhana lembaga sosial berarti tempat manusia untuk berproses untuk mencapai tujuan yang sama. Tempat itu menjadi wadah bagi masyarakat untuk mengubah pola pikir dan sikap menjadi lebih berkualitas. Lembaga sosial terkadang mempunyai peraturan dan norma yang menjadi ciri lembaga tersebut. Dalam novel Kronik Betawi ditemukan lembaga yang memang sudah menjadi ikon bagi orang Betawi, yakni: lembaga kesenian Setia Warga. Dikisahkan bahwa Jarkasi dari sebelum menikah sampai dengan punya anak masih aktif bergabung dengan grup gambang keromong ini. Berikut kutipan teksnya

... Sejak belum punya anak, bahkan sebelum ia pacaran dengan Enden, bakal istrinya. Jarkasi sudah lebih dahulu bergabung dengan kelompok gambang kromong Setia Warga pimpinan haji Bokir di Kampung Dukuh, Pondok Gede 51

50 Ratih Kumala, Op. Cit., h. 149. 51 Ibid., h. 45-46.

67

Sanggar topeng Betawi Setia Warga didirikan pada tahun 1969. Sanggar ini beralamat di Kelurahan Dukuh, Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur. Sanggar ini dalam kegiatannya meliputi seni musik dan tari tradisional Topeng Betawi.52 Sanggar Topeng Setia Warga sudah memiliki gedung untuk berlatih sekaligus sekretariatnya. Gedung ini berada di rumah Idi Kushandi (ketua sanggar). Selain gedung, sanggar ini pun sudah memiliki perangkat Topeng Betawi.53 Dengan demikian temuan lembaga sosial dalam novel ini berupa sanggar Setia Warga.

2. Unsur-unsur Budaya

Pembahasan mengenai unsur-unsur budaya dalam novel Kronik Betawi terbagi menjadi tujuh poin, antara lain: sistem religi, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem mata pencarian hidup, teknologi, bahasa, dan seni. Selain tujuh poin unsur kebudayaan tersebut, ditambahkan juga dengan referensi pendukung analisis yang sesuai dengan kebutuhan peneliti.

a. Sistem Religi Islam sudah sangat mengakar di tanah Betawi sejak zaman dahulu. Nilai-nilai Islam mencakup seluruh aspek kehidupan, salah satunya adalah ibadah haji. Permasalahan ibadah haji itu akan mengerucut ke dalam kutipan teks novel Kronik Betawi. Dikisahkan bahwa Jiih merasakan keresehan karena Juleha tak kunjung punya anak. Dengan demikian, ia mencoba doa di depan ka’bah supaya lekas diberikan anak oleh Allah. Sebelum berangkat haji para tetangga mendoakan kepergiannya ke tanah suci. Berikut kutipan teksnya

52 Yuzar Purnama, Peranan Sanggar Dalam Melestarikan Kesenian Tradisional Betawi, dalam Jurnal Patanjala, Vol. 7, No. 3 September 2015, h. 465. 53 Ibid., h. 466.

68

Satu hari sebelum Jiih berangkat ke Tanah Suci, rumah mereka ramai didatang para kerabat handai taulan yang mengantar dengan doa, juga beberapa orang menitip doa agar dipanjatkan di Masjid Nabawi. Tak sedikit pula yang menitip air zam-zam untuk dibawakan bagi mereka yang anggota keluarganya sakit. Jiih, yang betul-betul menyadari pesanan orang lain adalah amanah, dan amanah berarti hutang, bahkan mencatat semua doa yang orang-orang pesankan untuk ia panjatkan di Masjid Nabawi.54

Dulu, orang yang akan melaksanakan ibadah haji – orang Betawi menyebutnya pegi belayar, karena berangkat dan pulang dengan kapal layar – dianggap sebagai orang yang sudah dimiliki oleh Allah. Keluarga atau orang-orang di kampung sudah memaafkan, mengikhlaskan, dan meridakan kepergian layaknya kepergian jenazah. Itu sebabnya orang Betawi melepas keberangkatan ibadah haji dengan ekspresi kepasrahan dan suasana yang sakral.55 Setelah melaksanakan haji, Jiih membawa cendera mata. Khususnya kepada sang istri dan umumnya kepada para tetangga yang menyambutnya pulang dari tanah suci. Berikut kutipan teksnya

“Buat belanja di pasar,” ujar Jiih. Selain itu ada pula parfum dengan bau menyengat yang tak pernah digunakan Juleha, juga celak mata di dalam sebuah wadah kuningan dengan gagang berukir. Celak ini kerap dipakainya untuk membentuk alis seperti bulan muda dan mempertegas garis mata. Sedang air zam-zam yang Jiih bawa lumayan banyak, dengan adil ia masukkan ke dalam botol-botol kecil lalu dibagi-bagikan kepada handai taulan.56

Kepulangan jemaah haji memang ditunggu. Ketika jemaah haji sampai di rumah kemudian dipasang petasan. Pembakaran petasan sebagai tanda kepada warga kampung bahwa bapak dan ibu haji sudah tiba di rumah dengan selamat dan sehat walafiat. Maka, tetangga datang berbondong- bondong untuk mengucapkan selamat. Selain itu, para tetangga

54 Ratih Kumala, Op. Cit., h. 61. 55 Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2008), h. 121. 56 Ratih Kumala, Loc. Cit., h. 62.

69

mengharapkan oleh-oleh yang dibawa dari tanah suci. Oleh-oleh yang biasanya tidak pernah luput adalah air zamzam, siwak, pacar, sipat mata, , tasbih, sajadah, kacang Arab, kismis, dan rumput fatimah.57 Sistem religi di Betawi tidak hanya pegi belayar, selain itu ada kebiasaan selametan atau sedekahan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah. Kebiasaan itu tampak pada Jaelani yang merayakan syukuran karena diterimanya Fauzan di UI. Berikut kutipan teksnya

Rumah Haji Jaelani ramai. Mereka mengadakan selametan, selain buat rumah baru juga untuk selametan Fauzan yang keterima kuliah. Tadinya Haji Jaelani tak berniat mengadakan acara apa pun, tapi semenjak pengumuman penerimaan mahasiswa baru di koran, dia merasa punya alasan untuk merayakan sesuatu.58

Jika abangan di Jawa banyak melakukan selametan sehubungan dengan ritus-ritus yang mereka jalani, maka di Betawi baik dari golongan orang biasa maupun mualim, keduanya selalu melakukan sedekahan, yaitu makan bersama yang dilakukan sehubungan dengan suatu upacara. Misalnya sedekahan acara kelahiran, khitan, pernikahan, atau hal yang penting lain seperti dalam kutipan teks tersebut kelulusan menjadi mahasiswa.59 Selanjutnya, pada peristiwa tokoh Juleha digambarkan kebiasaan orang Betawi menjelang hari raya Idul Fitri. Berikut kutipan teksnya

Malam ketika takbiran, keluarga-keluarga di kampung masyarakat Betawi biasa memasak untuk keesokan hari; Lebaran. Sesiangan semua sudah mulai belanja, menghabiskan stok daging, ayam, -bumbu serta bahan kue di pasar. Sekitar sehabis Isya’ masakan mulai jadi. Semua keluarga selalu memasak sedikit lebih banyak untuk dibagi-bagikan ke tetangga kanan-kiri ala kadarnya. Semua saling hantar makanan, piring yang dihantar tak pernah pula pulang dengan kosong. Selalu ada sedikit makanan balasan. Entah itu sekadar tiga butir , semangkuk kecil sayur labu, beberapa

57 Yahya Andi Saputra, Op. Cit., h. 125. 58 Ratih Kumala, Op. Cit., h. 179. 59 Portal Resmi DKI Jakarta, Religi, Kamis 05 Juni 2014, dalam www.jakarta.go.id., diakses pada Jumat, 9 Oktober 2020 pukul 17.00 WIB.

70

potong kue poncong, atau kalau beruntung sepiring kecil rendang sapi atau .60

Sehari sebelum lebaran ibu-ibu memasak ketupat, yang memakan waktu sampai lima atau enam jam, memasak sayur sambel godog pepaya atau kacang panjang, membuat daging, serta lauk-pauk lainnya. Juga pada hari terakhir sebelum lebaran ini ibu-ibu biasanya dibantu bapak-bapak sibuk nguli tape uli. Sore hari menjelang buka puasa pada hari terakhir biasanya orang-orang Betawi saling mengantar masakan yang dibuat kepada tetangga dekat atau kepada orang yang dihormati. Juga mengantar hasil masakannya ke masjid atau ke langgar untuk buka puasa bersama.61 Selanjutnya, sistem religi pada novel Kronik Betawi tampak pada nama tokoh-tokohnya. Hal ini didapatkan ketika Jaelani mempunyai cucu dari anaknya bernama Enoh yang diberikan nama Islam. Berikut kutipan teksnya Tiga tahun setelah saya mengusir petugas badan Otorita menjelang pernikahan anak saya, mereka tak lagi datang. Hidup juga terasa damai tak ada yang mengganggu. Selain itu, Enoh melahirkan anak pertamanya. Laki-laki diberi nama Muhammad Adrian.62

Identitas Betawi ditandai ciri khas nama-nama warganya. Masyarakat Betawi tengahan mempunyai ciri khas nama yang dipengaruhi oleh keislaman dan ke-Arab-an, baik untuk nama perempuan maupun nama lelaki.63 Contohnya: Muhammad, Siti, Nur, dan Abdul yang sering ditemukan. Dengan demikian, hasil analisis sistem religi dalam novel Kronik Betawi ditemukan antara lain: pegi belayar, nyambut haji, selametan, tradisi lebaran, dan pemberian nama Islam.

60 Ratih Kumala, Op. Cit., h. 204. 61 Abdul Chaer, Folklor Betawi, (Jakarta: Masup Jakarta, 2012), h. 171. 62 Ratih Kumala, Loc. Cit., h. 102. 63 Ahmad Bahtiar, Warna Lokal Betawi Dalam Kumpulan Cerpen Terang Bulan Terang Di Kali: Cerita Keliling Jakarta Karya S.M. Ardan, Prosiding Seminar Sosiologi Sastra UI 2016, h. 5.

71

b. Sistem Pengetahuan Sistem pengetahuan yang dijelaskan dalam novel Kronik Betawi antara lain: pengetahuan akan legenda atau cerita rakyat, nilai filosofis tradisi Betawi, dan ikon ternama Betawi. Pertama, legenda si Pitung. Dikisahkan Juned pada masa penjajahan Belanda membawa susu sapi untuk diantar kepada pembeli. Tiba-tiba ketika di jalan, ia bertemu dua perampok yang menghadangnya. Kondisinya terancam, kemudian datang Haji Ung untuk melawan dua perampok itu. Alhasil dua perampok itu kalah, dan Haji Ung mengibaratkan dua perampok itu seperti Pitung. Berikut kutipan teksnya

“Nah terus, ngapa lu rampok die? Lu mau jadi Pitung?” “Kagak Bang...” “Iya Bang...” Kali ini jawaban mereka berbeda. Yang satu menggeleng dan yang lain mengangguk.64

Masyarakat Betawi generasi yang lalu sangat mengenal akan cerita atau kisah si Pitung. Diceritakan bahwa si Pitung yang dilahirkan di daerah Rawabelong, yang sekarang termasuk wilayah Jakarta Barat adalah seorang laki-laki bertubuh kecil (dalam versi lain digambarkan bertubuh besar dan tegap) yang memiliki ilmu bela diri tinggi dan memiliki kesaktian karena memakai berbagai macam jimat. Ia suka sekali merampok tuan-tuan tanah atau orang-orang kaya di Betawi sampai ke wilayah Jatinegara. Hasil rampokan itu tidak digunakan untuk keperluan sendiri, melainkan dibagikan kepada rakyat. Oleh karena itu, rakyat menjadi senang kepadanya dan menganggapnya sebagai pahlawan. Namun, tindakan si Pitung yang suka merampok orang-orang kaya dan tuan-tuan tanah di seputar Jakarta membuat pemerintah Belanda menjadi panik dan berusaha menangkapnya. Berbagai upaya penangkapan telah dilakukan, tetapi dengan kesaktian dan kepandaiannya si Pitung selalu dapat meloloskan diri.65

64 Ratih Kumala, Op. Cit., h. 31. 65 Abdul Chaer, Op. Cit., h. 50-51.

72

Kedua, kisah Si Doel. Hampir semua orang tahu tentang Si Doel. Kisah Si Doel adalah fiksi yang kemudian diangkat ke layar lebar dan menjadi populer. Dalam novel Kronik Betawi dikisahkan bahwa Jarkasi sudah biasa ketika melihat istrinya menonton film Si Doel. Terkadang Jarkasi suka memanggil istrinya untuk keperluan penting, namun selalu diabaikan pada saat menonon tayangan itu. Berikut kutipan teksnya

Lagu pembuka sinetron Si Doel Anak Sekolahan di televisi terdengar sampai kamar. Sinetron itu mulai lagi. Salomah tidak pernah ketinggalan nonton satu episode pun. Biarpun saya panggil-panggil, Salomah tidak bakalan mau. Selama satu jam ke depan dia tak boleh diganggu. Dulu film Si Doel Anak Betawi pernah main di bioskop- bioskop. Bintangnya Benyamin Suaeb, cucunya Haji Ung, guru silat babeh saya jaman Belanda.66

Si Doel Anak Sekolahan (SDAS) adalah sinetron arahan sutradara Rano Karno yang diproduksi pertama kali pada tahun 1994. Sinetron ini mengadaptasi karya sinematografi layar lebar atau film bioskop sebelumnya berjudul “Si Doel Anak Betawi” pada tahun 1973 karya sutradara Syumanjaya yang dibintangi juga oleh Rano Karno yang saat itu masih berusia SD. Film ini diangkat dari novel “Si Doel Anak Jakarta” karya Aman Datok Modjoindo.67 Ketiga, makna filosofis roti buaya. Dikisahkan dalam novel bahwa Jaelani merayakan pesta pernikahan anaknya, lalu dibuatkan roti buaya. Berikut kutipan teksnya

Roti buaya, sebagai lambang kesetiaan, pun sengaja dibuat besar-besar. Konon, buaya adalah binatang setia, tak seperti merpati. Buaya hanya hidup dengan satu pasangan seumur hidupnya, sedang merpati jika pasangannya pergi, bisa mencari pasangan lain. Entah kenapa dua jenis binatang ini diartikan terbalik. Sebutan buaya darat untuk laki-laki berhidung belang yang doyan cari perempuan. Sedang

66 Ratih Kumala, Op. Cit., h. 169. 67 Aceng Abdullah, dkk. Si Doel Anak Sekolahan, Sinetron Indonesia Paling Fenomenal, dalam Journal Unpad, Vol. 2, No. 2, September 2018., h. 210.

73

merpati selalu dilambangkan kesetiaan dengan ungkapan ‘merpati tak pernah ingkar janji’.68

Roti buaya dalam seserahan pernikahan merupakan adat kebiasaan masyarakat Betawi yang sudah ada sejak zaman dahulu. Roti buaya ini merupakan lambang setia untuk menunjukkan bahwa menikah hanya sekali dalam seumur hidup.69 Dengan adanya roti buaya dalam seserahan pernikahan, maka ini merupakan bagian dari mempertahankan adat istiadat Betawi. Sehingga adat kebudayaan Betawi tetap terjaga dan terlestari.70 Keempat, tradisi piare calon none pengantin. Kebiasaan itu ditujukan kepada mereka yang ingin menikah untuk tidak berpergian karena makin dekatnya hari pernikahan. Dalam novel dikisahkan bahwa Jaelani dan istrinya menyeru anaknya (Enoh) untuk melaksanakan piare calon none pengantin. Berikut kutipan teksnya

Hari bahagia yang ditunggu-tunggu semakin dekat, dua hari lagi ijab-kabul dilaksanakan. Salomah sempat puasa pula, berdoa meminta agar acara pernikahan Enoh berjalan lancar tanpa kurang suatu apa pun. Enoh tidak boleh keluar rumah, sengaja dipingit. Biarpun dia kesal sebab menurutnya ini tradisi kuno, tapi saya keras kepala menyuruhnya tetap berada di dalam rumah.71

Masa dipiare yaitu masa calon none mantu (pengantin wanita) dipelihara oleh tukang piara atau tukang rias. Masa piara ini dimaksudkan untuk mengontrol kegiatan, kesehatan, dan memelihara kecantikan calon none mantu (pengantin wanita) untuk menghadapi hari akad nikah nanti.72 Selama dipiare ini calon none mantu diharuskan memakai baju terbalik sebagai lambang tolak bala, bahkan dilarang mengganti baju. Kalau calon none mantu gemuk, makan dan minumnya diatur (diet), tidak boleh

68 Ratih Kumala, Op. Cit., h. 22. 69 Dian Rana Afrilia, Hukum Adat Betawi Yang Menggunakan Roti Buaya Dalam Seserahan Pernikahan Perspektif Hukum Islam, Skripsi, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2015), h. 58. 70 Ibid., h. 59. 71 Ratih Kumala, Loc. Cit., h. 96. 72 Yahya Andi Saputra, Op. Cit., h. 48.

74

makan yang digoreng. Makanan yang dianjurkan adalah makanan yang dibakar/dipanggang dan diharuskan minum godok dan jamu air secang. Seluruh tubuhnya diurut dan dilulur sekali sehari.73 Kelima, Haji Bokir sebagai salah satu ikon Betawi. Haji Bokir merupakan tokoh Betawi yang terkenal. Dalam novel dikisahkan bahwa Jaelani dan Jarkasi bergabung grup gambang keromong pimpinan Haji Bokir. Selama di sana mereka belajar kesenian Betawi. Berikut kutipan teksnya

Masyarakat Kampung Dukuh membedakan antara Dukuh Depan dengan Dukuh Belakang, sebab kampung Dukuh Depan dihuni oleh seluruh keluarga Haji Bokir bin Dji’un. Sanggar seni bokir adalah rumah yang paling besar di antara rumah-rumah lainnya.74

Berdasarkan kutipan tersebut, bahwa nama lengkap Bokir adalah Bokir Jiun. Ia lahir di Cisalak, Bogor 25 Desember 1925 dan meninggal di Jakarta 18 Oktober 2002. Bakatnya menurun dari ayahnya yang bernama Dji’un. Ayahnya seorang seniman topeng Betawi pada masa kolonial. Ia telah menggeluti seni topeng Betawi semenjak usia 13 tahun. Semula menjadi pemain musik saja, dari sampai rebab dikuasainya. Kemudian mendirikan grup kelompok topeng sendiri yang diberinya nama Setia Warga. Sejak awal tahun 1970-an grup ini sudah sering unjuk kebolehan di TVRI.75 Selain main topeng dan lenong, Bokir juga aktif dalam bidang lain yakni sebagai pemain film. Ada sekitar 50-an film yang dibintanginya. Salah satu di antaranya film berjudul Petualangan Cinta Nyi Blorong (1986) yang dibintanginya bersama Suzanna dan disutradarai Sisworo Gautama Putra. Penampilan terakhir Bokir dan kelompok Setia Warga pada September 2002 di sebuah hajatan perkawinan di Cilangkap. Mereka

73 Ibid. 74 Ratih Kumala, Op. Cit., h. 18. 75 Portal Resmi Provinsi DKI Jakarta, Bokir, dalam www.jakarta.go.id., diakses pada Sabtu, 10 Oktober 2020 pukul 14.57 WIB.

75

memainkan cerita Salah Denger yang juga didukung oleh Bolot, Malih, Bodong, Mandra, Omas.76 Dengan demikian Bokir mempunyai peran penting di grup kesenian Betawi Setia Warga dan juga terlibat aktif sebagai pemain film. Berdasarkan penjelasan analisis sistem pengetahuan, dapat ditemukan hasilnya antara lain: Si Pitung, Si Doel, Roti Buaya, Piare Calon None Pengantin, dan Haji Bokir. c. Sistem Teknologi

Teknologi merupakan peralatan atau perlengkapan untuk memudahkan manusia dalam hidupnya. Dalam novel Kronik Betawi ditemukan teknologi tradisional berupa Bale dan Golok. Dikisahkan bahwa kursi tamu rumah Jaelani di Karet memakai bale. Seiring berjalannya cerita, ia dibelikan sofa oleh calon mantu yang akan menikah dengan anaknya. Berikut kutipan teksnya

... Haji Jaelani yang dihadiahi sofa waktu itu senang-senang saja, toh dia sebetulnya juga ingin tidur-tiduran di kursi empuk itu. Lagipula kursi tamunya yang terbuat dari anyaman bambu memang jauh lebih keras dan tak nyaman diduduki 77

Ada beberapa macam tempat tidur yang pernah digunakan orang Betawi. Pertama, yang terbuat dari besi, disebut ranjang atau katil, lengkap dengan kelambu, kasur, bantal, dan guling. Tempat tidur ini biasanya cuma dimiliki oleh orang yang “berada”. Kedua, tempat tidur yang terbuat dari kayu terukir yang juga hanya dimiliki orang kaya. Ketiga, tempat tidur yang hanya berupa bale, terbuat dari kayu dan papan; ada yang dilengkapi dengan kasur dan bantal, ada pula yang tidak. Bale ini pun ada yang terbuat dari bambu dan bilah-bilah bambu; lazim disebut bale bandeng. Keempat,

76 Portal Resmi Provinsi DKI Jakarta, Op. Cit., pukul 15.01 WIB. 77 Ratih Kumala, Op. Cit., h. 3.

76

tempat tidur berupa bale, tetapi berukuran kecil, untuk satu orang; lazim disebut dengan nama ta’pang.78

“Duduk dulu deh!” ujar Pei yang kemudian menemani Jaelani dan Jarkasi duduk di kursi tamu yang terbuat dari bambu.79

Dengan demikian berdasarkan kutipan teks tersebut menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan pengarang sangat tersirat yakni terbuat dari bambu, hal tersebut mengarah kepada bale. Bale ada yang bentuknya seperti kasur untuk rebahan bisa lebih dari satu orang, dan ada bale kecil hanya untuk satu orang yang biasa disebut ta’pang. Selanjutnya, teknologi tradisional Betawi bernama golok. Dikisahkan bahwa Jaelani kesal dengan para pengembang yang ingin merebut tanah warisannya secara paksa atau dengan alasan apapun. Alhasil ia kesal dengan para pengembang, bahkan sampai mengeluarkan golok.

... Saya udah tahu apa mau mereka. Paling-paling mereka orang proyek yang mau membangun properti di sini dan cari cara untuk dapat tanah dengan harga murah. Dengan emosi, saya tarik golok yang di pinggang, saya damprat si pokrol dengan gaya preman!80

Orang-orang Betawi dulu mempunyai kebun yang cukup luas. Dalam kebun tersebut terdapat berbagai macam pohon dan buah-buahan, seperti rambutan, mangga, jambu, duku, pepaya, dan sebagainya. Isi kebun ini biasanya ditanami pohon singkong, ubi jalar dan tanaman sayuran lainnya. Pekerjaan di kebun diperlukan peralatan atau perabotan, seperti golok untuk memotong atau menebang pohon.81 Selain untuk memotong, golok juga biasa digunakan dalam pencak silat Betawi untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Berdasarkan analisis teknologi tradisional bisa disimpulkan bahwa teknologi merupakan perangkat untuk memudahkan manusia, namun bisa

78 Abdul Chaer, Op. Cit., h. 272. 79 Ratih Kumala, Op. Cit., h. 17. 80 Ibid., h. 90. 81 Abdul Chaer, Loc. Cit., h. 279.

77

digunakan melindungi diri dan juga teknologi ini bisa sebagai alat kejahatan. Adapun hasil analisis yang didapat terdapat dua: Bale dan golok.

d. Sistem Kemasyarakatan Dalam suatu kesatuan hidup manusia, terdapat pula apa yang disebut sebagai komunitas. Komunitas ini memiliki rasa kesatuan seperti yang dimiliki hampir semua kesatuan manusia lainnya, namun perasaan kesatuan dalam komunitas tersebut biasanya sangat tinggi, sehingga terdapat perasaan bahwa kelompoknya memiliki ciri-ciri kebudayaan atau cara hidup yang berbeda dari kelompok lain.82 Dikisahkan bahwa Jaelani merasa terasingkan di tanah kelahirannya sendiri akibat adanya pembangunan di Jakarta. Kemudian penggambaran peristiwa yang ada di dalam teks melukiskan asal-usul orang Betawi dari sudut pandang Jaelani. Berikut kutipan teksnya

... Bukan cuma Belanda yang datang ke Sunda Kelapa, semua orang dari suku yang beda-beda dulu datang ke tanah ini walaupun sempat dijadikan budak para kumpeni. Orang-orang pribumi itu hidup di tanah yang sama, di sini, di Batavia. Awalnya mereka berkelompok-kelompok, tapi lama kelamaan mereka mereka tidak lagi beragam. Nah, orang-orang pribumi yang ada di Batavia ini memanggil dirinya orang Betawi, yang kemudian dianggap sebagai etnis asli Batavia. Orang Betawi berbicara dengan bahasa sendiri, punya adat istiadat sendiri, yang adatnya merupakan percampuran dari beberapa suku yang awalnya berimigrasi ke Batavia. Misalnya, rumah tradisional Betawi sebenernya merupakan kombinasi antara arsitektur Bugis, Makassar, Cina, dan Belanda.83

Penduduk di Jawa yang berbahasa Melayu, kemudian hari disebut sebagai orang Betawi. Orang Betawi ini disebut juga sebagai orang Melayu Jawa. Merupakan hasil percampuran antara orang-orang Jawa, Melayu, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, Manado, Timor, Sunda, dan mardijkers (keturunan Indo-Portugis) yang mulai menduduki kota pelabuhan Batavia

82 Reddy Suzayzt, Warna Lokal Melayu dan Tionghoa dalam Kumpulan Cerpen Istri Muda Dewa Dapur Karya Sunlie Thomas Alexander, Skripsi, (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2016), h. 63. 83 Ratih Kumala, Op. Cit., h. 91.

78

sejak awal abad ke-15. Di samping itu juga merupakan percampuran darah antara berbagai etnis: budak-budak Bali, serdadu Belanda dan serdadu Eropa lainnya, pedagang Cina atau pedagang Arab, serdadu Bugis atau serdadu Ambon, kapten Melayu, prajurit Mataram, orang Sunda, orang Mestizo.84 Masyarakat Betawi adalah penduduk “asli” kota Jakarta. Secara sepintas masyarakat Betawi yang sudah modern, seperti yang ada di Jakarta sekarang ini, sulit dibedakan dari masyarakat suku lainnya. Mereka mengalami kemajuan mengikuti perkembangan zaman. Namun demikian, bila diamati lebih cermat masih dapat dilihat beberapa hal yang mencerminkan keaslian budaya mereka, misalnya cara hidup yang sederhana, dialek bicara yang medok, dan gaya bicara yang spontan. Ciri masyarakat Betawi yang paling menonjol adalah terbuka dan mudah bergaul, serta kerukunan masyarakat yang pada umumnya bernapaskan Islam.85 Sistem kemasyarakatan selanjutnya dikisahkan pasca pernikahan Jaelani dengan Rimah untuk kembali tinggal di Karet. Dengan alasan ingin tinggal dekat bersama orangtuanya. Berikut kutipan teksnya

Jaelani memboyong Rimah ke daerah Karet, awalnya mereka numpang hidup bersama mertuanya. Lantas ayahanda Jaelani membagi tanahnya yang memang luas untuk dipakai Jaelani dan Rimah. 86

Berdasarkan kutipan teks, dalam sistem kekerabatan Betawi. Pada prinsipnya mereka mengikuti garis keturunan bilineal, artinya garis keturunan pihak ayah atau pihak ibu. Adat menetap sesudah nikah sangat tergantung pada perjanjian kedua pihak orang tua sebelum pernikahan dilangsungkan. Ada pengantin baru yang menetap di lingkungan kerabat

84 Portal Resmi Provinsi DKI Jakarta, Betawi, Suku, dalam www.jakarta.go.id., diakses pada Senin,12 Oktober pukul 11.08 WIB. 85 Emot Rahmat Taendiftia, dkk. Gado-gado Betawi (Masyarakat Betawi dan Ragam Budayanya), (Jakarta: PT Grasindo, 1996), h. 9. 86 Ratih Kumala, Op. Cit., h. 22.

79

suami (patrilokal) dan ada pula yang menetap di lingkungan kerabat istri (matrilokal). Secara umum orang tua cenderung menyandarkan hari tuanya pada anak perempuan. Mereka menganggap anak perempuan akan lebih telaten mengurus orang tua daripada menantu perempuan.87 Tidak hanya tempat tinggal dengan orang tua, masyarakat Betawi ketika lebaran Idul Fitri berada di satu titik kumpul bersama keluarga besar. Biasanya mereka berkumpul di rumah kakek dan nenek, jikalau tidak ada, maka kumpul berdasarkan saudara kandung yang paling tua. Hal ini sesuai dengan Juleha sebagai saudara paling muda yang bertanggung jawab untuk silaturahmi ke tempat saudara tuanya dan juga kepada orangtuanya. Berikut kutipan teksnya

Hari pertama Lebaran, Juleha biasa pergi ke rumah mertuanya, lalu mengunjungi ibunya sendiri yang tinggal hanya bersama pembantu. Bapaknya, Bung Juned, meninggal dua tahun setelah pernikahan Juleha dengan Jiih. Di rumah itu pula ia dan kakak- kakaknya – Jaelani dan Jarkasi – beserta seluruh keluarganya akan bertemu. Berkali-kali ia mengajak ibunya untuk tinggal bersamanya, tetapi ibunya tak mau dengan alasan tak ingin menganggu rumah tangga anaknya.88

Tatanan sosial orang Betawi lebih didasarkan pada senioritas umur, artinya orang muda menghormati orang yang lebih tua. Apabila seseorang bertemu dengan orang lain, yang muda mencium tangan orang yang lebih tua. Pada hari-hari lebaran, orang yang didahulukan adalah orang tua atau yang dituakan. Memang orang Betawi juga cukup menghormati haji, orang kaya, orang berpangkat, asalkan mereka memang “baik” dan bijaksana, atau memperhatikan kepentingan masyarakat.89 Selain itu, penghormatan juga tampak dalam hal sapaan, seperti bapak, ibu, kakek, dan nenek. Dalam novel juga dikisahkan Edah yang memanggil Juleha dengan sebutan (Encing). Panggilan ini adalah ciri khas orang Betawi. Berikut kutipan teksnya

87 Portal Resmi DKI Jakarta, Betawi, Suku, Op. Cit., pukul 11.36 WIB. 88 Ratih Kumala, Op. Cit., h. 205. 89 Portal Resmi Provinsi DKI Jakarta, Betawi, Suku, Op. Cit., pukul 11.57 WIB.

80

“Lagi ngapain Cing?” “Lagi ngerjain pembukuan percetakan.” “Cieee..., bendahara nih ye!” goda Edah. “Kalo enggak dikerjain sama Encing, siapa lagi?”90

Senioritas dalam orang Betawi juga terbukti dalam panggilan nama kerabat berdasarkan struktur keluarga. Contohnya engkong atau kakek, nyai atau nenek, babeh atau bapak, mak/nyak atau ibu, encang atau adik kandung laki dari bapak atau ibu, encing adik kandung perempuan dari bapak atau ibu, entong atau anak laki, eneng atau anak perempuan. Dengan demikian berdasarkan analisis ciri khas kemasyarakatan Betawi dapat ditemukan beberapa poin penting. Hasil dari analisis ini, di antaranya: masyarakat Betawi terbentuk dari beberapa suku daerah di Indonesia atau luar negeri yang mengalami nasib sama di Batavia dan menyebut identitasnya adalah orang Betawi, setelah menikah orang Betawi biasanya tinggal di sekitar tempat yang masih terjangkau dengan keluarga besarnya tetapi hal tersebut berdasarkan kesepakatan suami/istri, orang Betawi menghormati yang lebih tua, dan yang terakhir panggilan sapaan dalam keluarga menunjukkan identitas kesopanan dalam orang Betawi. e. Sistem Mata Pencarian Sistem mata pencarian merupakan usaha manusia untuk bekerja yang hasilnya berupa materi. Tujuannya untuk mencukupi kebutuhan pokok. Bisa dibilang mereka berusaha mendapatkan hasil, setelah mendapatkan hasilnya akan mendapatkan manfaat. Dalam novel Kronik Betawi dikisahkan Jaelani mempunyai ternak sapi perah. Ia terkadang dibantu oleh Japri dan Juned, serta anak buahnya bernama Iman. Berikut kutipan teksnya

Ada dua belas ekor sapi yang saya punya. Tadinya saya urus sendiri, dibantu Iman, seorang anak kampung yang biasa bantu-bantu saya bebersih kandang, buang tahi hingga memandikan sapi. Iman seumuran Japri. Sedari kecil Japri dan Juned juga sudah sering saya

90 Ratih Kumala, Op. Cit., h. 236.

81

ajak ke kandang, ikut bantu memerah sapi. Mereka sebetulnya sudah pintar, tapi seiring mereka besar, mereka semakin jarang mau saya ajak ke kandang.91

Berdasarkan asal usul sejarah Betawi, bahwa pada saat tahun lima puluhan banyak penduduk di daerah Kuningan dan Senayan yang memelihara sapi perah. Ada yang memiliki empat atau enam ekor, bahkan ada yang lebih. Sapi-sapi ini dirawat dengan baik, diberi makan secukupnya dan dijaga betul kesehatan dan kebersihannya.92Setiap hari sapi-sapi ini diperah, hasil perahannya dijual dengan para langganan di daerah Tanah Abang dan daerah Menteng. Susu ini dikemas dalam botol khusus lalu diantar atau dijajakan dengan naik sepeda.93 Selain daerah Betawi tengah, ada sebagian orang Betawi di daerah pinggiran yang masih bergelut dengan usaha sapi perah. Hal tersebut beralasan daerah Betawi pinggiran seperti Bekasi, Tangerang Selatan, Depok masih ada pakan rumput yang cukup untuk menjadi tukang sapi perah atau bisa jadi menjadi tukang sapi potong pada saat hari raya idul adha. Dengan demikian, orang Betawi suka beternak sapi perah atau potong yang menjadi sistem mata pencariannya. Dalam hal lain, orang Betawi biasanya mendapatkan julukan juragan kontrakan. Kejadian ini biasanya mereka menjadi tuan tanah di daerahnya. Masih banyak tanah warisan dari orang tua dahulu yang diturunkan kepada anak/cucunya. Seperti penggambaran dalam novel ini bahwa Jarkasi mempunyai tanah yang dijadikan kontrakan untuk menghasilkan materi. Berikut kutipan teksnya

Jarkasi sendiri sampai saat ini, selain mengurus lima buah rumah petak yang dikontrakan, juga tak pernah absen mengurus kelompok gambang kromong meskipun nyaris tak ada lagi orang yang menanggap kesenian tradisional itu.94

91 Ratih Kumala, Op. Cit., h. 78-79. 92 Abdul Chaer, Op. Cit., h. 232. 93 Ibid. 94 Ratih Kumala, Loc. Cit., h. 45.

82

Para warga pendatang yang merantau ke Jakarta sudah tentu sebagian dari mereka tidak punya tempat tinggal. Solusinya adalah menetap sementara di rumah kontrakan, hal tersebut merupakan sumber keuntungan orang Betawi yang memanfaatkan kesempatan itu. Dengan demikian, menjadi juragan kontrakan adalah identitas mata pencarian orang Betawi. Selain punya kontrakan biasanya orang Betawi pandai dalam kesenian seperti: silat, lenong, dan gambang kromong. Kejadian ini digambarkan dalam novel bahwa Jarkasi sebagai seorang seniman Betawi memanfaatkan kelebihannya untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Berikut kutipan teksnya

“Ya lu kudu maklum, namenye kerjaan kayak gini.” Saye mengambil beberapa lembar uang ribuan di yang tadi saye selipkan di peci, uang hasil ngelenong, pembagian jatah yang rata dengan pemain lainnya, “nih!” saye kasih uang itu ke Enden. Dia ngitung uang yang melipat-lipat itu. Ada tiga ribu rupiah, diselipin di kutangnya.95

Kesenian Betawi sangat banyak, biasanya mereka yang pandai harus belajar di kelompok kesenian. Jika sudah bisa dalam berkesenian, mereka dipercaya untuk segera tampil di depan orang banyak untuk menunjukkan kebolehannya. Orang Betawi terkenal dengan sandiwara Betawi, seperti beradu pantun dalam aksi palang pintu. Media untuk menunjukkan kualitas kesenian Betawi biasanya ketika hari besar islam, hari peringatan nasional, dan juga pesta pernikahan. Kalau perihal upah dari hasil kerja di kesenian, biasanya ada yang dipasang tarif atau dibayar sepantasnya. Seiring berkembangnya zaman maka pergeseran nilai dalam mata pencarian orang Betawi sangat beragam. Hal ini dapat ditemukan ketika suami Juleha yakni Jiih mempunyai usaha percetakan. Berikut kutipan teksnya

Sejak dulu, Bang Jiih laki-laki yang taat. Jika ada anugerah pemuda teladan, maka Bang Jiih pasti dapat. Dia punya usaha

95 Ibid., h. 119.

83

percetakan yang diurusnya sendiri, modalnya dikumpulkan dengan dua orang teman lainnya ... 96

Dalam kutipan teks tersebut terbukti bergesernya nilai mata pencarian orang Betawi. Sebenarnya banyak cara untuk mencari rezeki. Apalagi di zaman modern saat ini lapangan kerja makin beragam. Dimulai dari pengusaha, pegawai swasta, dan pegawai negeri. Hal tersebut dimanfaatkan orang Betawi sebagai mata pencarian. Tempo dulu hampir tidak ada orang Betawi yang menjadi pedagang menengah apalagi pedagang besar. Paling-paling yang banyak adalah pedagang warung kebutuhan sehari-hari, yang lazim disebut warung cabe bawang. Itu pun seringkali kalah bersaing dengan warung-warung milik orang Cina.97 Kalau dikatakan hampir tidak ada bukanlah berarti tidak ada. Sampai akhir tahun 50-an ada seorang Betawi pengusaha kerajinan kulit yang tinggal di Karet punya dua buah toko yang menjual kerajinan tas, dompet, ikat pinggang dari kulit buaya, ular, atau biawak. Satu di jalan Majapahit dan satu lagi di jalan Blora, Menteng. Ada lagi seorang Betawi yang tinggal di Karet Belakang, pengusaha atau pembuat sepatu punya toko satu di Pasar Senen dan satu lagi di Pasar Baru. Di samping itu, ada lagi pengusaha sepatu atau tas yang menitipkan penjualan barang-barang yang dibuatnya di toko-toko lain di Tanah Abang atau Pasar Senen.98 Orang-orang Betawi yang bertempat tinggal tidak jauh dari pasar atau dari tempat keramaian tempo dulu banyak juga yang berprofesi sebagai pedagang. Namun, yang diperdagangkan terbatas pada barang-barang hasil kebun mereka dan menurut musimnya, seperti buah rambutan, nangka, mangga, cempedak, pepaya dan jambu. Bahkan juga cuka yang dibuat dari air nira (tuak).99

96 Ibid., h. 124. 97 Abdul Chaer, Op. Cit., h. 236. 98 Ibid. 99 Ibid.

84

Dengan demikian dari analisis mata pencarian orang Betawi dapat ditemukan beberapa poin. Hasil tersebut, di antaranya: peternak sapi, juragan kontrakan, kesenian sebagai mata pencarian, dan contoh profesi modern seperti menjadi pengusaha percetakan. f. Kesenian Setiap suku di Indonesia mempunyai kesenian beragam. Khususnya suku Betawi yang banyak keseniannya. Analisis ciri khas kesenian Betawi dapat dibagi per poin berdasarkan kutipan teks dalam novel Kronik Betawi.

1) Tari Topeng Dikisahkan bahwa dalam novel Kronik Betawi penggambaran latar belakang Rimah sebagai istri pertama Jaelani. Berikut kutipan teksnya

Rimah, istri pertama Jaelani yang sudah almarhumah, adalah seorang penari Topeng Betawi yang pada masanya adalah seorang primadona. Semasa muda, Jaelani kerap berkunjung ke Kampung Dukuh di bilangan Kramat Djati, waktu itu Jakarta belum padat. 100

Tari Topeng Betawi adalah tarian yang dibawakan saat pementasan teater rakyat Topeng Betawi, seni pertunjukan tradisional yang terdiri dari tari, musik, nyanyi, bebodoran (lawak), dan lakon (drama). Kesenian ini berkembang di wilayah komunitas Betawi Pinggir (Betawi Ora), mengangkat kehidupan masyarakat yang direpresentasikan dalam bentuk gerak tari dan lakon. Tema pementasan Topeng Betawi mempengaruhi gerakan tarian karena tarian Topeng Betawi sifatnya teatrikal, di mana dalam gerakan tari mengandung pesan yang hendak disampaikan. Tari Topeng Betawi awalnya dipentaskan secara berkeliling oleh para seniman. Mereka biasanya diundang sebagai pengisi hiburan dalam acara pesta

100 Ratih Kumala, Op. Cit., h. 13.

85

pernikahan, khitanan, dan lainnya. Masyarakat Betawi dulu mempercayai bahwa tarian Topeng Betawi bisa menjauhkan diri dari mara bahaya atau petaka. Namun seiring perubahan zaman kepercayaan itu mulai luntur, dan tari Topeng Betawi hanya berfungsi sebagai hiburan semata dalam hajatan atau acara adat lainnya.101

2) Tanjidor Tampak suasana Jarkasi yang menyaksikan kelompok tanjidor di sekitar Istana Merdeka pada masa pemerintahan Soekarno. Berikut kutipan teksnya

... Lagu Surilang sedang diperdengarkan dengan alat-alat musik tiup dan tambur berwarna kekuningan dan tak mulus. Jarkasi mendekati kelompok tanjidor itu.102

Tanjidor adalah sebuah kesenian Betawi yang berbentuk orkes. Kesenian ini sudah dimulai dari abad ke-19. Alat-alat musik yang dimainkan biasanya terdiri dari gabungan alat-alat musik tiup, alat-alat musik gesek, dan alat-alat musik perkusi. Biasanya kesenian ini dimainkan untuk mengantar pengantin atau dalam acara pawai daerah. Adapun pada umumnya kesenian ini diadakan di suatu tempat yang akan dihadiri oleh masyarakat Betawi secara luas kayak sebuah orkes.103

3) Ondel-ondel Ondel-ondel di sini tampak pada penggambaran mengenai grup sanggar Setia Warga yang dijadikan tempat latihan oleh Jaelani dan Jarkasi. Berikut kutipan teksnya

101 Hendra S., Pertunjukkan Tradisional DKI Jakarta, (Depok: Khalifah Mediatama, 2020), h. 3. 102 Ratih Kumala, Op. Cit., h. 14. 103 Hendra S., Loc. Cit., h. 59-60.

86

... Di sanggar itu ada sepasang ondel-ondel yang dipajang di tengah-tengah ruangan layaknya sepasang raja dan ratu.104

Salah satu bentuk pertunjukan rakyat Betawi yang sering tampil dalam pesta-pesta rakyat. Permainan boneka khas masyarakat Betawi ini berupa boneka raksasa yang dimainkan oleh seseorang yang masuk ke dalam boneka tersebut sambil menari-nari menurut irama musik pengiringnya. Dalam menari biasanya ondel-ondel ini berpasangan, boneka laki-laki dan boneka wanita, tetapi ada juga ondel-ondel anak- anak. Tampaknya ondel-ondel memerankan leluhur atau nenek moyang yang senantiasa menjaga anak cucunya. Oleh karena itu, ondel-ondel dapat dikatakan sebagai dayang desa.105 Semua ondel-ondel berfungsi sebagai penolak bala atau gangguan roh halus yang gentayangan. Dewasa ini ondel-ondel biasanya digunakan untuk menambah semarak pesta-pesta rakyat atau untuk penyambutan tamu terhormat.106

4) Gambang Kromong Tampak dalam kutipan berikut ketika Jarkasi melihat tetangganya mendengarkan musik asing dengan suara yang aneh. Kemudian ia menyadari bahwa musik yang sering dimainkannya (Gambang Keromong) juga tidak murni dari Betawi tapi enak didengar.

... Padahal gambang kromong yang biase saye mainin kan juga kagak murni dari Betawi. Ada unsur musik orang bule dari jaman Belanda dulu, ada juga campuran Cina 107

Nama gambang keromong berasal dari dua alat utamanya, yaitu gambang dan keromong. Gambang adalah alat musik berupa bilah-

104 Ratih Kumala, Op. Cit., h. 18. 105 Portal Resmi Provinsi DKI Jakarta, Ondel-ondel, dalam www.jakarta.go.id., diakses pada Rabu, 14 Oktober 2020 pukul 14.37 WIB. 106 Hendra S., Op. Cit., h. 70. 107 Ratih Kumala, Loc. Cit., h. 114.

87

bilah kayu yang berjumlah 18 buah banyaknya. Bilah-bilah ini terbuat dari sejenis kayu tertentu yang empuk suaranya apabila dipukul. Sedangkan keromong berupa bilah-bilah yang berjumlah 10 buah, biasanya terbuat dari perunggu atau besi.108 Gambang keromong merupakan perpaduan yang serasi antar unsur Cina dan Betawi. Alat-alat musiknya campuran Cina dan Betawi. Yang dari Cina adalah alat-alat musik gesek, yaitu tehyan, kongahyan, dan sukong. Sedangkan alat musik lainnya, yaitu gambang, keromong, gendang, kecrek, dan adalah alat musik asli pribumi. Lagu-lagu yang dinyanyikan adalah lagu-lagu Betawi, tetapi ada pula lagu-lagu cinta.109

5) Rebana Tampak pada kutipan berikut adalah penggambaran peristiwa pernikahan dari anak Jaelani yang diiringi musik rebana. Sebagai berikut

... Rebana ditabuh keras-keras, mengiringi lagu puji-pujian berulang-ulang yang diteriakan serempak. Dari ujung sampai ujung, semua tahu kalau di suatu tempat ada perayaan perkawinan. 110

Rebana adalah alat musik berbentuk bundar, badannya terbuat dari kayu dan bagian yang dimainkan terbuat dari kulit. Tempo dulu di daerah Betawi Tengah Rebana ini biasa dimainkan sebagai hiburan dalam pesta-pesta pernikahan atau sunatan. Permainan rebana biasanya disertai dengan “nyanyian-nyanyian” yang memuji kebesaran Allah dan pembacaan shalawat. Selain itu juga digunakan dalam mengarak pengantin pria untuk duduk nikah. Dalam acara

108 Abdul Chaer, Op. Cit., h. 202. 109 Ibid. 110 Ratih Kumala, Op. Cit., h. 100.

88

maulidan dengan pembacaan riwayat Nabi dari kitab “barzangi” dan sebagainya juga digunakan sampai bagian “asyarakal”.111

6) Lenong Pada peristiwa ketika Jarkasi sedang bermain lenong, lalu ada kekurangan satu tokoh dalam cerita. Alhasil, ia mengajak anaknya (Edah) untuk bergabung latihan. Berikut kutipan teksnya

... Suatu hari ketika mereka sedang berlatih lenong, dan Jarkasi mengajak Edah, tiba-tiba muncul satu ide; menambahkan satu tokoh tambahan dalam lenong. Tokoh anak kecil perempuan. 112

Lenong adalah kesenian teater tradisional atau sandiwara rakyat Betawi yang dibawakan dalam dialek Betawi berasal dari Jakarta, Indonesia. Kesenian tradisional ini diiringi musik gambang keromong dengan alat-alat musik seperti gambang, keromong, gang, kendang, kempor, suling, dan kecrekan, serta alat musik unsur Tionghoa seperti tehyan, kongahyang, dan sukong. Lakon atau skenario lenong umumnya mengandung pesan moral, yaitu menolong yang lemah, membenci kerakusan, dan perbuatan tercela. 113

7) Pencak Silat Semenjak dihadang dua perampok ketika mengantar susu, kemudian Juned berlatih pencak silat dengan Haji Ung. Berikut kutipan teksnya

Maka sejak hari itu, Juned berlatih pencak silat. Jiung menjelaskan panjang lebar tentang pencak silat. ‘Pencak’ berarti jurus sedang ‘silat’ berarti salat atau sembahyang. Jadi pencak silat bukan untuk mencari musuh atau berkelahi. Selain itu, ‘silat’ juga kependekan dari ‘silaturahmi’.114

111 Abdul Chaer, Op. Cit., h. 201. 112 Ratih Kumala, Op. Cit., h. 46. 113 Hendra S., Op. Cit., h. 51. 114 Ratih Kumala, Loc. Cit., h. 33.

89

Pencak silat bisa juga masuk ke dalam seni tari karena menggunakan gerakan-gerakan tubuh sebagai alat penyampaiannya. Pencak silat juga termasuk seni beladiri, yang merupakan salah satu tuntutan anak Betawi yang selain bisa ngaji dan bisa pergi haji, juga harus bisa bela diri.115 Tari pencak silat sebenarnya hanyalah gerakan-gerakan “kembang” dari isi silat yang sebenarnya, yaitu silat sebagai alat bela diri. Sedangkan tari pencak silat adalah sebuah pertunjukan, bukan penggunaan silat yang sebenarnya. Namun, tari pencak silat ini dapat memberi gairah para pemuda untuk belajar silat yang sebenarnya.116

8) Lagu Kicir-kicir Lagu ini dinyanyikan Jaelani saat ia mencoba menghibur Rimah yang sedang bersedih. Berikut kutipan teksnya

“Ha ha ha ha...!” Tiba-tiba meledaklah tawa Rimah, mendengar lagu Kicir-kicir yang dikarang asal-asalan oleh Jaelani. Matanya masih bersemu kehitaman akibat celak yang meleleh.117

Lagu ini mempunyai pakem yang khas karena terikat oleh rima dan jumlah suku kata. Ciri yang demikian sering dijumpai dalam tradisi pantun dan syair melayu. Selain itu, lagu ini punya irama yang begitu energik, dengan aransemen musik yang mewah, dan lirik berupa kumpulan pantun sederhana. Namun, kesederhanaan bentuk pantun yang pakem ini justru menjadi hal yang unik. Karena dengan paduan musik yang terkesan ceria, lagu ini seakan membawa pendengarnya untuk ikut berdendang.118

115 Abdul Chaer, Op. Cit., h. 203. 116 Ibid. 117 Ratih Kumala, Op. Cit., h. 20. 118 Ahmad Efendi, Lirik Lagu Kicir-kicir yang Jadi Bahan Belajar dari Rumah TVRI, dalam www.tirto.id., diakses pada Rabu, 14 Oktober 2020 pukul 16.00 WIB.

90

9) Lagu Keroncong Kemayoran Lagu ini ditemukan ketika Jarkasi bersama grup Setia Warga tampil lenong di acara pernikahan Bang Juki yang menikahi anaknya. Berikut kutipan teksnya

Lalu keluar seorang lakon perempuan sambil bawa kemoceng. Musik gambang kromong mengalun, mengiringi lakon perempuan yang bebersih sambil nyanyi ‘Keroncong Kemayoran’ tapi kagak selesai gara-gara lihat lakinya murem. 119

“Keroncong Kemayoran” adalah lagu tradisional Betawi. Tidak diketahui secara pasti siapa yang menciptakan lagu tersebut, namun sudah banyak versi Keroncong Kemayoran yang dirilis dengan lirik berbeda-beda. Salah satu versi yang paling populer adalah yang dinyanyikan mendiang Benyamin Sueb.120

10) Seni Kuliner Sayur Asem Jaelani dan istrinya makan sayur asem, padahal ia ingin makan barang bersama anaknya (Fauzan). Namun karena anaknya pulang kuliah tidak pasti, akhirnya ia mendahulukan makan bersama istrinya. Berikut kutipan teksnya

Malam sudah turun sempurna ketika salat Isya sudah didirikan Haji Jaelani dan keluarganya. Salomah sibuk mencuci piring di dapur, sisa makan malam mereka berdua. Ia sengaja menyisakan sepotong lauk, semangkuk sayur asem dan sepiring nasi untuk Fauzan yang hingga malam begitu belum juga pulang 121

Sayur Asem adalah sayur khas Betawi sebagai makanan sehari- hari. Bahan sayur ini adalah jagung muda, melinjo, karuk (daun

119 Ratih Kumala, Op. Cit., h. 118. 120 Naura Alifia Rania, Lirik dan Chord Lagu Keroncong Kemayoran Versi Benyamin Sueb, dalam www.kompas.com., diakses pada Rabu, 14 Oktober 2020 pukul 16.08 WIB. 121 Ratih Kumala, Loc. Cit., h. 196.

91

melinjo muda beserta dengan bakal buah melinjo), petai cina, nangka muda, pepaya muda dan asam muda. Semuanya direbus jadi satu dengan air secukupnya disertai dengan bumbu-bumbu tertentu. Sayur asem enak disantap dengan ikan kering atau ikan asin.122

11) Seni Kuliner Rendang, Opor Ayam, dan Kue Pancong Beberapa makanan ini ditemukan pada penggambaran peristiwa Juleha saat persiapan merayakan lebaran Idul Fitri. Berikut kutipan teksnya

... Semua saling hantar makanan, piring yang dihantar tak pernah pula pulang dengan kosong. Selalu ada sedikit makanan balasan. Entah itu sekadar tiga butir ketupat, semangkuk kecil sayur labu, beberapa potong kue pancong, atau kalau beruntung sepiring kecil rendang sapi atau opor ayam.123

Opor adalah lauk yang bahannya daging ayam, yang dimasak dengan kuah santan dan bumbu-bumbu lainnya. Opor ini tidak biasa dibuat untuk makan sehari-hari, tetapi hanya kalau ada hajatan saja atau lebaran.124 Rendang, biasanya berbahan daging sapi. Rendang Betawi dibuat dengan cara: daging setelah dibersihkan dipotong-potong; lalu dimasak dengan parutan kelapa yang diberi bumbu-bumbu tertentu. Rendang Betawi kering tidak basah dan berkuah, seperti rendang Padang. Biasa disantap dengan buras atau nasi biasa.125 Kue Pancong, bahannya tepung beras dan gula pasir, dibuat dalam cetakan yang dibakar. Kue ini tidak dibuat di rumah-rumah, hanya dibuat oleh pedagang keliling.126

122 Abdul Chaer, Op. Cit., h. 241. 123 Ratih Kumala, Op. Cit., h. 204. 124 Abdul Chaer, Loc. Cit., h. 241-242. 125 Ibid., h. 242. 126 Ibid., h. 249.

92

12) Seni Kuliner Combro Tampak pada kutipan berikut Fauzan yang mencicipi makanan ini bersama Jaelani.

“Enak lho Beh,” sambung Fauzan. Combro! Udah tahu kalo itu enak, enggak usah ngomong, batin saya.127

Combro, terbuat dari singkong yang diparut, dibentuk bulat- bulat sebesar bola pingpong di dalamnya diberi ; lalu digoreng.128

Berdasarkan pemaparan analisis kesenian Betawi maka didapatkan hasil. Hasil ciri khas kesenian Betawi dalam novel Kronik Betawi, di antaranya: tari topeng, tanjidor, ondel-ondel, gambang kromong, lenong, pencak silat, rebana, lagu kicir-kicir, lagu keroncong kemayoran, makanan sayur asem, rendang, opor ayam, kue pancong, dan combro.

g. Bahasa Kalau melihat analisis sebelumnya mengenai latar tempat terjadinya peristiwa dalam novel ini terjadi. Maka dominasi latar tempat yang terjadi berada di tengah kota Jakarta. Fakta teks bebicara seperti di Karet, Kampung Dukuh, dan Semanggi. Itu artinya bahasa Betawi yang digunakan antar dialog tokoh-tokoh di dalamnya menggambarkan tuturan bahasa Betawi kota. Ciri kebudayaan etnik Betawi dibagi menjadi dua, yaitu Betawi Tengah (Betawi Kota) dan Betawi Pinggiran yang ada pada masa pemerintahan Hindia Belanda disebut Betawi Ora. Berdasarkan geografis, etnik Betawi dibagi menjadi Betawi Tengah (Kota), Betawi Pesisir, dan Betawi Pinggir (Udik/Ora).129

127 Ratih Kumala, Kronik Betawi, Op. Cit., h. 224. 128 Abdul Chaer, Op. Cit., h. 248. 129 Mita Purbasari, Indahnya Betawi, dalam Jurnal Humaniora, Vol. 1, No. 1, April 2010, h. 3.

93

Betawi Tengah/Kota menetap di bagian kota Jakarta yang dahulu dinamakan keresidenan Batavia (Jakarta Pusat – uban), mendapat pengaruh kuat kebudayaan Melayu (islam). Betawi Tengah menganut gaya hidup tempo lama, misalnya perayaan upacara perkawinan, khitanan, tradisi lebaran, dan memegang teguh agama serta adat istiadat (mengaji). Orang Betawi yang tinggal di Jakarta Pusat mengalami tingkat arus urbanisasi dan modernisasi dalam skala yang tinggi, juga mengalami tingkat kawin campuran yang tinggi. Dalam bidang kesenian, mereka menikmati keroncong Tugu, musik Gambus, Qasidah, orkes Rebana, dan menggemari cerita bernafaskan islam seperti Seribu Satu Malam. Mereka memiliki dialek yang disebut dialek Betawi Kota, bervokal akhiran e pada beberapa kata yang dalam bahasa Indonesia berupa a atau ah, misalnya: kenapa menjadi kenape.130 Betawi Pinggiran, biasa disebut Betawi Udik atau Ora, terdiri atas dua kelompok, yaitu pertama, kelompok dari bagian Utara dan Barat Jakarta serta Tangerang, yang dipengaruhi oleh kebudayaan Cina: kedua, kelompok dari bagian Timur dan Selatan Jakarta, Bekasi, Bogor, yang dipengaruhi oleh kebudayaan dan adat istiadat Sunda.131 Biasanya ciri khas Betawi pinggiran menggunakan tuturan ora yang dalam bahasa Indonesia berarti tidak. Hal itu dapat dibuktikan dalam novel Kronik Betawi ketika Juned memberikan susu sapinya dengan ikhlas kepada orang tua Ipah yang kelak menjadi istri pertamanya. Berikut kutipan teksnya

“Iye Pak. Ambil deh... buat keluarga ini. Lagian kan sekarang suse cari makan. Tu orang Jepang ngider aje. Sapi di kandang Tuan Henk aje ada yang ilang, tebakan saye sih itu diambil orang Jepang,” jawab Juned. “Alhamdulilee...,” kata ayahanda Ipah.132

130 Ibid., h. 3. 131 Ibid. 132 Ratih Kumala, Op. Cit., h. 35-36.

94

Kutipan teks tersebut membuktikan bahwa dialek Betawi Kota sangat kental dengan tuturan akhiran a berubah menjadi e dan juga ah berubah menjadi e. Dalam Betawi Kota bunyi konsonan h diucapkan tanpa h seperti kutipan di atas susah menjadi suse dan alhamdulillah berubah menjadi alhamdulille, sedangkan tuturan yang berakhiran a berubah menjadi e seperti saja menjadi saje atau aje. Bunyi yang berawalan konsonan h dilesapkan, seperti dari kutipan teks tersebut hilang menjadi ilang, atau contoh yang lain hancur menjadi ancur (kecuali kosa kata yang bukan dari bahasa Melayu).

“Serahin duit lu!” pencoleng itu mengulangi perintahnya.133

Sufiks atau akhiran –in dapat berpadanan dengan akhiran –kan dan –i bahasa Indonesia. Dengan demikian Serahkan dalam bentuk bahasa Indonesia berubah menjadi kata Serahin dalam bentuk bahasa Betawi. Atau dalam bentuk sufiks –an bisa berarti lebih, banyak, seperti, putihan, recehan yang berarti lebih putih dan banyak receh. Hingga saat ini ada anggapan dari orang yang bukan Betawi bahwa bahasa Betawi itu mudah. Apabila sudah mengganti bunyi [a] atau [ah] pada akhir sebuah kata dengan bunyi [e], berarti kita sudah berbahasa Betawi, begitu juga apabila kita sudah mengganti sufiks (akhiran) –kan dan –i dengan sufiks –in, serta apabila kita sudah menggunakan kata gue dan lu untuk menyatakan “saya” dan “kamu”. Anggapan ini sungguh keliru karena pertama bahasa Betawi mempunyai beberapa variasi lafal untuk bunyi [a] dan [ah] yang terdapat pada bahasa Indonesia atau bahasa Melayu umum, begitu juga bahasa Betawi mempunyai sistem kosakata sendiri yang khas yang tidak sama dengan sistem kotakata bahasa Indonesia atau bahasa Melayu umum.134 Dengan demikian dapat ditemukan analisis ciri khas bahasa Betawi dalam novel Kronik Betawi. Hasilnya adalah bahwa bahasa Betawi dalam

133 Ibid., h. 29. 134 Abdul Chaer, Op. Cit., h. 13.

95

novel ini menggunakan bahasa Betawi dialek kota atau tengah karena ada bukti latar tempat yang digunakan pada cerita di dalam novel. Selain itu bahasa Betawi juga mengalami variasi bahasa seperti yang telah dijelaskan pada analisis tersebut.

C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di SMA Keberadaan materi sastra pada mata pelajaran Bahasa Indonesia diharapkan mampu membentuk karakter dan mengasah kepekaan terhadap nilai sosial-budaya di dalamnya. Peserta didik ketika mempelajari karya sastra dapat menambah pengetahuan, karena setiap karya mempunyai nilai. Materi sastra juga membantu peserta didik untuk kenal terhadap warna lokal Betawi. Hasil penelitian berupa analisis warna lokal yang telah dilakukan pada novel ini bisa menjadi alternatif untuk pembelajaran menganalisis teks novel baik lisan maupun tulisan. Pendidik diharapkan dapat memberikan bahan ajar berupa unsur intrinsik dan warna lokal kepada peserta didik di dalam novel ini. Warna lokal dalam novel ini mencakup unsur sosial dan unsur budaya. Unsur sosial meliputi kelas sosial, dinamika sosial, kelompok sosial, dan lembaga sosial. Serta unsur budaya meliputi sistem religi, sistem pengetahuan, sistem teknologi tradisional, sistem kemasyarakatan, mata pencarian, kesenian, dan bahasa. Pembelajaran sastra di sekolah mempunyai hubungan dengan analisis warna lokal Betawi dalam novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala. Hubungan ini dapat ditemukan pada saat peserta didik menganalisis unsur intrinsik dan warna lokal di dalamnya. Hal ini sesuai dengan silabus pada kurikulum 2013 kelas XII SMA semester genap yang terdapat kompetensi dasar yaitu menganalisis teks novel baik lisan maupun tulisan dalam novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala. Sebelum kegiatan pembelajaran dimulai, pendidik mengingatkan kepada peserta didik untuk membaca keseluruhan isi novel. Hal ini supaya peserta didik mampu memahami isi novel dan materi pembelajaran. Adapun pendidik

96

sebelum kegiatan pembelajaran dimulai menyusun RPP untuk mengetahui apa saja yang ingin disampaikan di dalam kelas. RPP dalam mempelajari novel ini di sekolah menggunakan model Problem Based Learning (PBL) dengan penyajian diskusi kelompok. Kegiatan pembelajaran dengan model PBL ada lima poin penting, antara lain: orientasi peserta didik pada masalah, mengorganisasi peserta didik, membimbing penyelidikan, mengembangkan hasil karya, dan evaluasi. Waktu yang dibutuhkan adalah empat jam pelajaran. Media yang digunakan seperti Ms. Power Point, alat tulis, proyektor, papan tulis, dan lemba kerja siswa. Kemudian praktik implikasi dalam kegiatan mengajar di kelas, pertama pendidik memberikan masalah seperti unsur intrinsik novel dan kebudayaan Betawi di Jakarta, kedua adanya diskusi antara pendidik dengan peserta didik sesuai materi pembelajaran, ketiga peserta didik mampu mengolah data dan menghasilkan karya berupa laporan atau makalah sesuai materi pembelajaran, keempat pendidik melakukan evaluasi pembelajaran. Dengan kayanya warna lokal Betawi dalam novel Kronik Betawi bisa mengenalkan kepada peserta didik kebudayaan Betawi. Selain itu, peserta didik juga bisa mengapresiasi kearifan lokal Betawi melalui novel ini. Sehingga novel ini dapat dijadikan pengembangan pola pikir, emosional, dan keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis). Selanjutnya mengenai tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran ini menggunakan pendekatan saintifik dan model pembelajaran Problem Based Learning. Tujuannya supaya peserta didik mampu menemukan unsur intrinsik dan warna lokal dengan rasa ingin tahu, responsif, tanggung jawab terhadap proses pembelajaran dan bersikap jujur, serta pantang menyerah. Adapun tujuan lain sebagai tambahan yakni untuk meningkatkan minat literasi peserta didik khususnya terhadap dunia sastra Indonesia dengan mengenalkan penulis baru seperti Ratih Kumala. Langkah terakhir berupa pemberian nilai. Penilaian yang dilakukan berdasarkan tiga aspek: kognitif, afektif, dan psikomotorik. Adapun bentuk

97

nilai yang dilakukan pendidik adalah penilaian pengetahuan, penilaian sikap, penilaian hasil tugas, dan penilaian diskusi. Dengan demikian penelitian warna lokal Betawi dalam novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala dengan fokus pada batasan warna lokal kemudian mengimplikasikannya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia kelas XII SMA semester genap. Implikasi ini berdasarkan kompetensi dasar yakni menganalisis teks novel baik lisan maupun tulisan. Penelitian ini juga mempunyai manfaat untuk mengetahui budaya Betawi bagi pembaca, peneliti lain, penikmat sastra, dan dunia pendidikan.

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dalam novel Kronik Betawi, dapat diambil beberapa simpulan, yaitu: 1. Novel Kronik Betawi dapat dibuktikan sebagai karya sastra yang berunsur warna lokal. Warna lokal ini berdasarkan segi unsur sosial yakni ditemukan kelas sosial berupa profesi tukang ojek yang dinilai rendah daripada menjadi juragan kontrakan yang dinilai lebih tinggi, dinamika sosial berupa pengendalian sosial yang dibuktikan dengan pengaruh Islam membuat masyarakat Betawi menjadi satu dan bentuk penyimpangan sosial terhadap kaum perempuan Betawi, selanjutnya kelompok sosial ditemukan kelima penari yang berlatih bersama untuk ke luar negeri, terakhir lembaga sosial yakni lembaga kesenian Setia Warga. Warna lokal lain juga dapat ditemukan dari segi unsur budaya. Pertama, sistem religi antara lain: pegi belayar, nyambut haji, selametan, tradisi lebaran, pemberian nama Islam. Kedua, sistem pengetahuan seperti legenda atau cerita rakyat: Si Pitung, Si Doel. Adapun dalam hal lain nilai filosofis tradisi Betawi tampak pada pembuatan roti buaya dan piare calon none pengantin. Terakhir, ikon ternama Betawi bernama Haji Bokir. Ketiga, teknologi tradisional Betawi seperti bale dan golok. Keempat, sistem kemasyarakatan Betawi seperti pembentukan beberapa suku sehingga membentuk identitas yang bernama Betawi, tempat tinggal pasca nikah yang berdekatan keluarga besar, nilai kesopanan terhadap yang lebih tua, sapaan dalam kekerabatan keluarga. Kelima, mata pencarian Betawi seperti usaha sapi perah susu, juragan kontrakan, kesenian sebagai mata pencarian, profesi modern (pengusaha percetakan). Keenam, kesenian Betawi seperti tari topeng, tanjidor, ondel- ondel, gambang keromong, lenong, pencak silat, rebana, lagu kicir-kicir,

98

99

lagu keroncong kemayoran. Seni kuliner seperti sayur asem, rendang, opor ayam, kue pancong, combro. Ketujuh, bahasa Betawi ditemukan bahwa Betawi kota dengan pelafalan a atau ah berubah menjadi e, dan sufiks –kan, -i, berubah menjadi –in. 2. Warna lokal dalam novel Kronik Betawi dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan silabus kurikulum 2013 kelas XII SMA semester genap dengan kompetensi dasar menganalisis teks novel baik lisan maupun tulisan. Adapun indikatornya adalah peserta didik menemukan unsur-unsur intrinsik dan menemukan warna lokal Betawi dalam novel Kronik Betawi. Dengan adanya penelitian ini, maka novel Kronik Betawi bisa dijadikan referensi untuk menganalisis teks novel baik lisan maupun tulisan, khususnya mengenai warna lokal, sehingga peserta didik dapat mengamati dan menilai unsur intrinsik yang membangun karya sastra.

B. Saran Berdasarkan simpulan yang telah dijelaskan, penulis mengajukan beberapa saran dan semoga menjadi masukan untuk ke depannya agar lebih baik terkait pendidikan, khususnya pendidikan bahasa dan sastra Indonesia: 1. Saran bagi Guru Bahasa dan Sastra Indonesia Novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala dapat dijadikan sumber pembelajaran sastra di sekolah. Novel ini dapat dikaitkan dengan RPP mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMA. Dengan kompetensi dasar menganalisis teks novel baik lisan maupun tulisan dan indikatornya peserta didik mampu menemukan unsur-unsur intrinsik serta menemukan warna lokal Betawi dalam novel ini. 2. Saran bagi Mahasiswa Mahasiswa yang ingin melakukan penelitian sastra, khusus novel harus membaca terlebih dahulu karya sastra. Setelah membaca karya sastra, mahasiswa harus mengamati persediaan teks yang dominan untuk dianalisis tersebut. Kemudian mahasiswa mencari teori yang pas untuk menganalisis

100

novel tersebut. Dengan demikian ada titik temu antara teks dengan teori yang digunakan. Teknik analisis akan berjalan lancar dan kemudian hasil pun akan didapatkan. 3. Saran bagi Peneliti Lain Peneliti lain diharapkan mampu mengembangkan pembahasan lain. Khususnya pembahasan mengenai kebudayaan Betawi dari teks-teks sastra Indonesia. Supaya eksistensi kebudayaan Betawi tetap bertahan di zaman modern.

DAFTAR PUSTAKA

Basrowi. Pengantar Sosiologi. Bogor: Ghalia Indonesia. 2005.

Chaer, Abdul. Folklor Betawi. Jakarta: Masup Jakarta. 2012.

Emzir dan Saifur Rohman. Teori dan Pengajaran Sastra. Jakarta: Rajawali Pers. 2016.

Esten, Mursal. Kesusastraan: Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: PT Angkasa. 2013.

Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2016.

Hanafie, Sri Rahaju Djatimurti Rita. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Yogyakarta: Andi Offset. 2016.

Karmini, Ni Nyoman. Teori Pengkajian Fiksi dan Drama. Bali: Pustaka Larasan. 2011.

Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia. 2002.

Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi 1. Jakarta: Rineka Cipta. 2011.

Kumala, Ratih. Kronik Betawi. Jakarta: Gramedia. 2009.

Kurniawan, Heru. Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2012.

M., Elly dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2010.

Ngafenan, Mohamad. Kamus Kesusastraan. Semarang: Dahara Prize. 1990.

Nurgiyantoro, Burhan. Sastra Anak. Yogyakarta: UGM Press. 2013.

. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2012.

Pradopo, Rachmat Djoko. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009.

Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. 1988.

101

102

Ratna, Nyoman Kutha. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009.

. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010.

. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2015.

S., Hendra. Pertunjukkan Tradisional DKI Jakarta. Depok: Khalifah Mediatama. 2020.

Samsuddin. Pengkajian Fiksi Berbasis Intertekstual. Yogyakarta: Deepublish. 2016.

Saputra, Yahya Andi. Upacara Daur Hidup Adat Betawi. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. 2008.

Setiadi, M. Elly, dkk. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana. 2011.

Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo. 2008.

Stanton, Robert. Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.

Sumardjo, Jakob dan Sainy K.M. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia. 1986.

Taendiftia, Emot Rahmat, dkk. Gado-gado Betawi (Masyarakat Betawi dan Ragam Budayanya). Jakarta: PT Grasindo. 1996.

Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa. 1986.

Wallek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2016.

Yunus, H. Ahmad, dkk. Arti dan Fungsi Upacara Tradisional Daur Hidup Pada Masyarakat Betawi. Jakarta: Depdikbud. 1993.

103

Jurnal dan Prosiding

Abdullah, Aceng, dkk. Si Doel Anak Sekolahan, Sinetron Indonesia Paling Fenomenal. dalam Journal Unpad Vol. 2 No. 2. 2018.

Afrilia, Dian Rana. Hukum Adat Betawi Yang Menggunakan Roti Buaya Dalam Seserahan Pernikahan Perspektif Hukum Islam. Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah. 2015.

Aziz, Mulya Abdul. Fenomena Sosial dalam Novel Kronik Betawi Karya Ratih Kumala dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah. Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah. 2018.

Bahtiar, Ahmad. “Kompetensi Kesusastraan Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di Wilayah Tangerang Selatan”. dalam Jurnal Indonesian Language Education and Literature. Vol.2, No. 2. 2017.

. Warna Lokal Betawi dalam Kumpulan Cerpen “Terang Bulan Terang di Kali: Cerita Keliling Jakarta” Karya S.M. Ardan. Prosiding Seminar Sosiologi Sastra UI. 2016.

Farlina, Nina. Representasi Kekerasan Simbolik Terhadap Perempuan Betawi dalam novel Kronik Betawi Karya Ratih Kumala. dalam Jurnal Dialektika 3 (1). 2016.

Purbasari, Mita. Indahnya Betawi. dalam Jurnal Humaniora Vol. 1 No. 1. 2010.

Purnama, Yuzar. Peranan Sanggar Dalam Melestarikan Kesenian Tradisional Betawi. dalam Jurnal Patanjala Vol. 7 No. 3. 2015.

Suzayzt, Reddy. Warna Lokal Melayu dan Tionghoa dalam Kumpulan Cerpen Istri Muda Dewa Dapur Karya Sunlie Thomas Alexander. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. 2016.

Daring

Campbell, Donna. Regionalism and Local Color Fiction, American History Through. dalam www.encylopedia.com.

104

Efendi, Ahmad. Lirik Lagu Kicir-kicir yang Jadi Bahan Belajar dari Rumah TVRI. dalam www.tirto.id.

Farisi, Baharudin Al. Nostalgia Sinetron Si Doel Anak Sekolahan, Intip Silsisah Keluarga Babe Sabeni. dalam www.kompas.com.

Jakarta, Portal Resmi Provinsi DKI. Religi. dalam www.jakarta.go.id.

. Betawi, Suku. dalam www.jakarta.go.id.

. Bokir. dalam www.jakarta.go.id.

. Ondel-ondel. dalam www.jakarta.go.id.

Kultura, Redaksi Raya. Ratih Kumala: Profesi Menulis Mampus Menghidupi. dalam www.rayakultura.net.

Kumala, Ratih. Betawi Jaman Doeloe. dalam www.ratihkumala.com.

. Pengetahuan Dasar Kepenulisan. dalam www.ratihkumala.com.

. Ratih Kumala. dalam www.ratihkumala.com.

Pos, Jawa. LKB Dorong Budaya Betawi Masuk Muatan Lokal di Sekolah. dalam

www.jawapos.com.

Rania, Naura Alifia. Lirik dan Chord Lagu Keroncong Kemayoran Versi Benyamin Sueb. dalam www.kompas.com.

Safitri, Eva. Budayawan Betawi Setuju Pengamen Ondel-ondel Ditertibkan, Asal .... dalam www.detik.com.

Times, Geo. Kisah Gadis Kretek dan Lelaki Harimau. dalam www.ratihkumala.com.

Wibisono, Joss. Wesel Pos dan Keberpihakan Ratih Kumala oleh Joss Wibisono. dalam www.ratihkumala.com.

UJI REFERENSI

Nama : Robby Rinaldi NIM 11160130000051 Fakultas : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Judul Skripsi : Warna Lokal Betawi dalam Novel Kronik Betawi Karya Ratih Kumala dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

Halaman Halaman No. Referensi Paraf Kutipan Skripsi

1. Basrowi. Pengantar Sosiologi. 93, 156 22, 23 Bogor: Ghalia Indonesia. 2005.

13, 50, 51, 171, 201, 70, 71,

202, 203, 76, 81, Chaer, Abdul. Folklor Betawi. 2. 232, 236, 83, 87, Jakarta: Masup Jakarta. 2012. 241, 242, 88, 89,

248, 249, 91, 92, 94

272, 279 Emzir dan Saifur Rohman. Teori dan 3. Pengajaran Sastra. Jakarta: Rajawali 114 17

Pers. 2016.

Esten, Mursal. Kesusastraan: 4. Pengantar Teori dan Sejarah. 20 16, 61

Bandung: PT Angkasa. 2013.

5. Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra. 5 18 Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2016.

6. Hanafie, Sri Rahaju Djatimurti Rita. 38, 39, 40 24, 25, 26

Ilmu Sosial Budaya Dasar. Yogyakarta: Andi Offset. 2016. Karmini, Ni Nyoman. Teori 7. Pengkajian Fiksi dan Drama. Bali: 67 13 Pustaka Larasan. 2011.

8. Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya 113 15 Bahasa. Jakarta: PT Gramedia. 2002.

Koentjaraningrat. Pengantar 9. Antropologi 1. Jakarta: Rineka Cipta. 80, 81 23 2011.

3, 8, 13, 14, 33, 40,

17, 18, 20, 41, 42,

22, 23, 29, 43, 44,

31, 33, 35, 45, 46,

36, 37, 43, 47, 48,

44, 45, 46, 49, 50,

47, 55, 59, 51, 52,

61, 62, 73, 53, 54,

76, 77, 78, 55, 56, 79, 80, 89, 57, 58,

90, 91, 92, 59, 60, Kumala, Ratih. Kronik Betawi. 93, 96, 99, 61, 62, 10. Jakarta: Gramedia. 2009. 100, 102, 63, 64, 106, 114, 66, 68, 118, 119, 69, 70, 120, 121, 71, 72, 122, 124, 73, 74, 132, 149, 75, 76, 169, 171, 77, 78, 179, 196, 79, 80, 204, 205, 81, 82, 224, 226, 83, 84, 232, 235, 85, 86, 236, 243, 87, 88,

249, 250, 89, 90, 255 91, 92, 93, 94 Kurniawan, Heru. Teori, Metode, dan

11. Aplikasi Sosiologi Sastra. 6 17 Yogyakarta: Graha Ilmu. 2012. M., Elly dan Usman Kolip.

Pengantar Sosiologi. Jakarta: 12. 399 21 Kencana Prenada Media Group. 2010.

Ngafenan, Mohamad. Kamus 13. Kesusastraan. Semarang: Dahara 21, 49 27 Prize. 1990.

15. Nurgiyantoro, Burhan. Sastra Anak. 17 13 Yogyakarta: UGM Press. 2013. 9, 10, 23, 82,

83, 149, 150,

165, 177,

178, 179,

182, 183,

227, 228, 8, 9, 10 . Teori 16. Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: 229, 230, 11, 13, Gadjah Mada University Press. 2012. 231, 232, 14, 16, 59 233, 234, 248, 256, 263, 335, 336, 337, 338, 339

Pradopo, Rachmat Djoko. Beberapa 17. Teori Sastra, Metode Kritik, dan 75 14 Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009. 18. Rahmanto, B. Metode Pengajaran 16, 38 26, 28 Sastra. Yogyakarta: Kanisius. 1988.

Ratna, Nyoman Kutha. Paradigma 19. Sosiologi Sastra. Yogyakarta: 1, 4, 7 16, 17, 18 Pustaka Pelajar. 2009. . Sastra dan 383, 385, 20. Cultural Studies: Representasi Fiksi 19, 20 dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka 386 Pelajar. 2010. . Teori, 46, 47, 335, 21. Metode, dan Teknik Penelitian 6, 17 Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 336 2015.

S., Hendra. Pertunjukkan Tradisional 3, 51, 59, 60, 22. DKI Jakarta. Depok: Khalifah 85, 86, 88 70 Mediatama. 2020.

Samsuddin. Pengkajian Fiksi 23. Berbasis Intertekstual. Yogyakarta: 32, 33 12 Deepublish. 2016.

Saputra, Yahya Andi. Upacara Daur 24. Hidup Adat Betawi. Jakarta: 48, 121, 125 68, 69, 73 Wedatama Widya Sastra. 2008.

Setiadi, M. Elly, dkk. Ilmu Sosial dan 25. Budaya Dasar. Jakarta: Kencana. 100 23 2011.

26. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori 151 14 Sastra. Jakarta: Grasindo. 2008.

Stanton, Robert. Teori Fiksi Robert 36, 37, 39, 27. Stanton. Yogyakarta: Pustaka 9, 11 42 Pelajar. 2007.

Sumardjo, Jakob dan Sainy K.M. 28. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT 29 8 Gramedia. 1986. Taendiftia, Emot Rahmat, dkk. 29. Gado-gado Betawi (Masyarakat 9 78 Betawi dan Ragam Budayanya). Jakarta: PT Grasindo. 1996.

Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran 30. Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa. 6 16 1986.

Wallek, Rene dan Austin Warren. 31. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT 23 26 Gramedia Pustaka Utama. 2016. Yunus, H. Ahmad, dkk. Arti dan 32. Fungsi Upacara Tradisional Daur 13 64 Hidup Pada Masyarakat Betawi.

Jakarta: Depdikbud. 1993. 33. Abdullah, Aceng, dkk. Si Doel Anak 210 72

Sekolahan, Sinetron Indonesia Paling Fenomenal. dalam Journal Unpad Vol. 2 No. 2. 2018.

Afrilia, Dian Rana. Hukum Adat Betawi Yang Menggunakan Roti 34. Buaya Dalam Seserahan Pernikahan 58, 59 73 Perspektif Hukum Islam. Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah. 2015. Aziz, Mulya Abdul. Fenomena Sosial dalam Novel Kronik Betawi Karya Ratih Kumala dan Implikasinya 35. Terhadap Pembelajaran Bahasa dan 40, 41 35 Sastra Indonesia di Sekolah. Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah. 2018.

Bahtiar, Ahmad. “Kompetensi Kesusastraan Guru Bahasa dan Sastra 36. Indonesia di Wilayah Tangerang 210 28 Selatan”. dalam Jurnal Indonesian Language Education and Literature. Vol.2, No. 2. 2017. . Warna Lokal Betawi dalam Kumpulan Cerpen 37. “Terang Bulan Terang di Kali: Cerita 1, 5 21, 70 Keliling Jakarta” Karya S.M. Ardan. Prosiding Seminar Sosiologi Sastra UI. 2016. Farlina, Nina. Representasi

Kekerasan Simbolik Terhadap 38. Perempuan Betawi dalam novel 59, 60 65 Kronik Betawi Karya Ratih Kumala. dalam Jurnal Dialektika 3 (1). 2016.

Purbasari, Mita. Indahnya Betawi. 39. dalam Jurnal Humaniora Vol. 1 No. 3 92 1. 2010. Purnama, Yuzar. Peranan Sanggar

40. Dalam Melestarikan Kesenian 465, 466 67 Tradisional Betawi. dalam Jurnal Patanjala Vol. 7 No. 3. 2015. Suzayzt, Reddy. Warna Lokal

Melayu dan Tionghoa dalam 41. Kumpulan Cerpen Istri Muda Dewa 63 77 Dapur Karya Sunlie Thomas Alexander. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

2016.

Campbell, Donna. Regionalism and 42. Local Color Fiction, American History Through. dalam www.encylopedia.com. Efendi, Ahmad. Lirik Lagu Kicir- 43. kicir yang Jadi Bahan Belajar dari Rumah TVRI. dalam www.tirto.id.

Farisi, Baharudin Al. Nostalgia 44. Sinetron Si Doel Anak Sekolahan, Intip Silsisah Keluarga Babe Sabeni. dalam www.kompas.com.

Jakarta, Portal Resmi Provinsi DKI. 45. Religi. dalam www.jakarta.go.id. .

46. Betawi, Suku. dalam www.jakarta.go.id.

. 47. Bokir. dalam www.jakarta.go.id. .

48. Ondel-ondel. dalam www.jakarta.go.id. Kultura, Redaksi Raya. Ratih

Kumala: Profesi Menulis Mampus 49. Menghidupi. dalam www.rayakultura.net. Kumala, Ratih. Betawi Jaman

50. Doeloe. dalam www.ratihkumala.com. . Pengetahuan Dasar

51. Kepenulisan. dalam www.ratihkumala.com.

52. . Ratih Kumala. dalam www.ratihkumala.com.

53. Pos, Jawa. LKB Dorong Budaya Betawi Masuk Muatan Lokal di

Sekolah. dalam www.jawapos.com. Rania, Naura Alifia. Lirik dan Chord

54. Lagu Keroncong Kemayoran Versi Benyamin Sueb. dalam www.kompas.com. Safitri, Eva. Budayawan Betawi

55. Setuju Pengamen Ondel-ondel Ditertibkan, Asal ..... dalam www.detik.com.

Times, Geo. Kisah Gadis Kretek dan 56. Lelaki Harimau. dalam www.ratihkumala.com.

Wibisono, Joss. Wesel Pos dan 57. Keberpihakan Ratih Kumala oleh Joss Wibisono. dalam www.ratihkumala.com.

Jakarta, 12 April 2021 Dosen Pembimbing

Ahmad Bahtiar, M. Hum. NIP. 19760118 200912 1 002

Sinopsis Novel Kronik Betawi Karya Ratih Kumala

Tiga kisah tentang saudara kandung asal tanah Betawi. Jaelani yang merupakan anak pertama Baba Juned yang mengurus keluarga kecilnya. Jaelani menikah dengan istri pertamanya bernama Rimah yang melahirkan anak (Juned, Japri, dan Enoh) dan istri kedua bernama Salomah yang melahirkan anak (Fauzan). Jaelani dengan tersangkut masa lalunya bersama Rimah yang telah meninggal mengakibatkan hidup duda yang lama sehingga sempat dibantu oleh Jarkasi adik kandungnya dan sampai menikah dengan istri keduanya. Dengan mengenal dan mendalami tokoh Jaelani, pembaca diajak untuk berimajinasi bahkan sampai turut merasakan keluarga Betawi yang sesungguhnya. Jarkasi merupakan anak kedua dari Baba Juned yang tercebur dalam dunia kesenian Betawi. Mempunyai anak semata wayang (Edah) dengan hasil pernikahannya dengan Enden. Jarkasi mendukung sedangkan Edah menolak yang berbeda pandangan terkait bagaimana mengambil keputusan terbaik demi Edah dalam dunia kesenian Betawi. Pada tokoh Jarkasi ini, pembaca bisa mengenal kesenian Betawi dan juga ada benturan budaya asing dengan dunia kesenian ini.

Juleha merupakan anak ketiga dari Baba Juned atau satu anak perempuan terakhir. Dalam tokoh Juleha para pembaca diajak untuk mengerti akan perasaan wanita yang sesungguhnya pasca nikah. Juleha menikah dengan Jiih dan tidak kunjung punya anak alias mandul. Akhirnya Jiih menikah dengan perempuan lain tanpa diketahui oleh Juleha. Akibat tindakan Jiih itu, Juleha pun merasakan sambaran petir dalam hatinya. Pembaca ketika membaca tokoh Juleha ini diajak untuk mengerti bahwa perasaan memang tidak bisa dimainkan.

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

Nama sekolah : SMA Mata pelajaran : Bahasa Indonesia Kelas/Semester : XII/Genap Tahun pelajaran : 2020/2021 Materi pokok : Novel Alokasi waktu : 4 jam pelajaran (180 menit)

A. Kompetensi Inti KI 1 : Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. KI 2 : Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, santun, peduli (gotong royong, kerja sama, toleran, damai), bertanggung jawab, responsif, dan pro aktif dalam berinteraksi secara efektif sesuai dengan perkembangan anak di lingkungan, keluarga, sekolah, masyarakat dan lingkungan alam sekitar, bangsa, negara, kawasan regional dan kawasan internasional. KI 3 : Memahami, menerapkan dan menganalisis, pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknolodi, seni budaya dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik dengan bakat dan minat untuk memecahkan masalah. KI 4 : Mengolah, menalar dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, bertindak secara efektif dan kreatif, serta mampu menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan.

B. Kompetensi Dasar 3.3 Menganalisis teks novel baik lisan maupun tulisan.

C. Indikator 3.3.1 Menemukan unsur-unsur intrinsik dalam novel. 3.3.2 Menemukan warna lokal dalam novel.

D. Tujuan Melalui kegiatan pembelajaran dengan pendekatan saintifik dan model pembelajaran Problem Based Learning, peserta didik mampu menemukan

unsur intrinsik dan warna lokal dengan rasa ingin tahu, responsif, tanggung jawab terhadap proses pembelajaran dan bersikap jujur, serta pantang menyerah.

E. Materi Pembelajaran 1. Teks novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala. 2. Unsur intrinsik. 3. Warna lokal.

F. Metode Pembelajaran Pendekatan : Saintifik. Metode : Diskusi dan penugasan. Model : Problem Based Learning

G. Media Pembelajaran 1. Microsoft Power Point. 2. Proyektor. 3. Spidol atau ATK lainnya. 4. Papan tulis. 5. Lembar kerja siswa.

H. Sumber Belajar 1. Buku Bahasa Indonesia Kemendikbud 2018 dengan mengikuti Kurikulum 2013. 2. Sumber lain yang relevan.

I. Kegiatan Pembelajaran Tahap Kegiatan Pendidik Kegiatan Peserta Didik Waktu - Pendidik datang dan - Peserta didik mengucapkan salam. menjawab salam. - Pendidik meminta satu - Peserta didik orang untuk membaca doa. memimpin doa. Peserta didik - - Pendidik memeriksa menjawab ketika 15 Pendahuluan kehadiran peserta dipanggil daftar hadir. didik. - Peserta didik menit - Pendidik menanyakan menjawab kabar. kabar kepada peserta - Peserta didik didik. menyimak. - Pendidik menyampaikan

kompetensi dasar, indikator, dan tujuan pembelajaran.

Orientasi siswa pada Orientasi siswa pada masalah masalah - Pendidik mengajukan pertanyaan yang ada - Peserta didik keterkaitannya dengan menjawab berbagai masalah kebudayaan masalah kebudayaan Betawi di Jakarta. Betawi di Jakarta.

Mengorganisasi Peserta Mengorganisasi didik Peserta didik - Pendidik membentuk - Peserta didik kelompok peserta membuat kelompok didik untuk membahas kemudian berdiskusi warna lokal Betawi untuk membahas dalam novel Kronik warna lokal Betawi Betawi karya Ratih dalam novel Kronik Kumala. Betawi karya Ratih Kumala.

Mengolah Data Mengolah Data - Pendidik meminta - Peserta didik peserta didik untuk berdiskusi untuk menganalisis intrinsik mencari unsur dan warna lokal dalam intrinsik dan warna novel. lokal. 60 Inti menit Membimbing Membimbing penyelidikan penyelidikan - Pendidik membimbing - Peserta didik dengan peserta didik dalam rasa hormat pengumpulan menyimak dengan informasi yang penuh untuk relevan, melaksanakan memahinya. eksperimen, hingga mendapat insight untuk pemecahan masalah.

Mengembangkan hasil Mengembangkan hasil karya karya - Pendidik membantu - Peserta didik peserta didik ketika menyiapkan karya

proses perencanaan dari hasil diskusi dan penyajian data. seperti dalam bentuk Beberapa di laporan atau antaranya seperti makalah. laporan atau makalah.

Memverifikasi Memverifikasi - Pendidik meminta - Peserta didik peserta didik untuk mengumpulkan tugas. mengumpulkan tugas.

Evaluasi Evaluasi - Pendidik memberikan - Peserta didik bertanya. kesempatan kepada - Peserta didik peserta didik untuk menyimak bertanya terhadap - Peserta didik materi yang telah menjawab salam. 15 Penutup dipelajari. - Pendidik menit menyimpulkan materi pelajaran. - Pendidik menutup pelajaran dengan mengucap salam.

J. Penilaian

Instrumen Penilaian Pengetahuan

Tes lisan atau tulisan Aspek Penilaian Skor Menemukan unsur intrinsik dalam novel Menemukan warna lokal dalam novel

Instrumen Penilaian Sikap

Aspek Penilaian Skor Jujur Kerja sama Tanggung jawab

Instrumen Penilaian Keterampilan Penilaian hasil tugas Aspek Penilaian Skor Kesesuaian respon dengan pertanyaan Kesesuaian pemilihan kata Kesesuaian penggunaan tata bahasa

Penilaian diskusi Aspek Penilaian Skor Penguasaan materi diskusi Kemampuan menjawab pertanyaan Kemampuan menyelesaikan masalah

Tangerang Selatan, ...... 2021

Mangetahui, Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran

...... Robby Rinaldi

BIOGRAFI PENULIS

Robby Rinaldi adalah seorang anak bontot berdarah Betawi yang lahir pada Juli 1998 di Pondok Cabe Ilir, kecamatan Pamulang, Tangerang. Lahir dari pasangan suami/istri yakni Bapak Nawiri dan Ibu Munawaroh dan juga mempunyai kakak kandung bernama Lina Silvi Agtari.

Robby mengawali pendidikan TK Saadatudawam lulus pada 2004, MI Saadatudawam lulus pada 2010, SMP Yapia Ciputat lulus pada 2013, SMK Al- Hidayah Ciputat lulus pada 2016. Selanjutnya pasca lulus sekolah, Robby diterima di perguruan tinggi negeri yakni jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah.

Selama menjadi mahasiswa, ia pernah mengikuti Kuliah Kerja Nyata di desa Cibanteng, Ciampea, Bogor pada Juli- Agustus 2019, pernah mengikuti pekan apresiasi sastra dan drama 2019 dengan tema Napak Tilas Danarto dan Pengenalan Lapangan Pra-sekolah di SMAN 8 Tangerang Selatan.

Adapun prestasi yang diraih Robby selama menjadi mahasiswa, antara lain: delapan judul puisi telah terbit di media lokal Tangsel Pos pada 29-30 Juli 2017, telah lolos proyek antologi puisi Festival Literasi Tangerang Selatan pada 2017, enam judul puisi telah terbit di media lokal Tangsel Pos pada 6-7 Januari 2018, telah lolos seleksi lomba menulis puisi di Ngolah Pikiran Purwakarta bekerjasama dengan Wancino Tobacco Purwakarta dan Athena Publisher pada 2018, telah lolos proyek antologi puisi Malam Puisi Tangerang pada 2018, telah lolos proyek antologi puisi 101 Penyair bersama Rumah Seni Asnur pada 2018, telah lolos seleksi puisi dalam proyek pembuatan Jurnal Rusabesi pada 2018, telah lolos seleksi Opini dalam media online Rembes.net oleh Himpunan Mahasiswa Brebes pada 2019.