Prosiding Seminar Nasional Desain dan Arsitektur (SENADA) Vol.2, Februari 2019

REVITALISASI INTERIOR GEDUNG LOTENG KERATON SUMENEP SEBAGAI SARANA WISATA SPA TRADISIONAL MADURA DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0 Anggri Indraprasti ¹), Imam Santosa ²) ¹) Institut Teknologi Bandung [email protected] ²) Institut Teknologi Bandung [email protected]

ABSTRACT Indonesia has a long history of its royal kingdoms that once lived and ruled the Nusantara archipelago dated back since the 4th century. Each kingdom delivers their own cultures with high philosophy value and benefit for the civilization, material and nonmaterial. Some of the culture have extinct, some have nourished and sustain, and some are struggling to survive. In the modern era like recently known as the 4.0 Industry Revolution Eras, nearly most of the living aspects have been demanded and being forced by the acceleration of machine, digitally and manually. In other words each aspect of living must perform its “cultures” dynamically and adaptive. Sumenep, a regency located at the east part of Madura island, is the only East regent that has a royal remains, the Royal Palace of Sumenep. Inherited from the palace is the tradition of producing and consuming traditional herbs, called the Madura, as a way of keeping the body healthy and well (beautiful). Along with the 4.0 industry revolution, the Sumenep District Government responded creatively by revitalizing the interior of the Gedung Loteng building to accommodate the practice of producing and consuming the Maduranese traditional herbs (jamu) and transforming it in to a modern spa relaxation facility. This paper studies the aspects of an interior design of a spa facility that is corporated in to the Gedung Loteng building. The Gedung Loteng is integrated with the Royal Palace of Sumenep and is listed as one of the cultural conservation building. Keywords: Keraton Sumenep, Gedung Loteng, revitalization, traditional spa, 4.0 industry revolution ABSTRAK Indonesia memiliki sejarah yang besar tentang kerajaan-kerajaan yang pernah hidup dan memerintah di kepualuan Nusantara sejak awal abad ke 4. Masing- masing kerajaan melahirkan kebudayaan baik benda maupun tak benda yang memiliki nilai falsafah tinggi dan manfaat bagi kehiduan. Beberapa dari kebudayaan tersebut ada yang sudah punah, ada yang masih hidup lestari, ada pula yang terus berjuang untuk dapat bertahan hidup. Di era moderen sekarang ini atau yang disebut dengan era revolusi industri 4.0, hampir semua bidang kehidupan tak lepas dari sistem kecepatan dan percepatan mesin, digital maupun manual. Dengan kata lain semua aspek kehidupan menuntut setiap performa “budaya”nya bergerak cepat dan praktis. Sumenep, sebuah kabupaten di ujung timur pulau Madura, adalah satu-satunya wilayah di Jawa Timur yang masih memiliki peninggalan artifak budaya berupa keraton. Termasuk dalam keraton tersebut adalah budaya menjaga kesehatan dan merawat kecantikan tubuh dengan mengkonsumsi ramuan rempah tradisional yang disebut dengan jamu Madura. Jamu Madura diolah dengan cara tradisional. Seiring berlarinya era revolusi industri 4.0 pihak pengelola keraton tanggap dalam menyikapi tuntutan- tuntutan era tersebut, salah satunya yaitu memperdayakan potensi meramu dan mengkonsumsi jamu tradisonal dan mengemasnya dalam wadah modern yaitu dengan revitalisasi interior Gedung Loteng sebagai sarana wisata Spa Tradisional Madura. Dalam kesempatan ini penulis meninjau tentang aspek-aspek perancangan interior sebuah sarana wisata spa yang terdapat pada Gedung

646 Prosiding Seminar Nasional Desain dan Arsitektur (SENADA) Vol.2, Februari 2019

Loteng, dimana gedung tersebut adalah satu kesatuan bagian dari komplek bangunan Keraton Sumenep, dan termasuk dalam bangunan cagar budaya. Kata kunci: Keraton Sumenep, Gedung Loteng, revitalisasi, spa tradisional, revolusi industri 4.0

EKSISTENSI KERATON DI ERA REVOLUSI INDUSTRY 4.0 Dari catatan sejarah didapatkan bahwa daerah-daerah di nusantara pernah memiliki bentuk pemerintahan berupa kerajaan atau kesultanan. Sebuah kerajaan lazimnya memiliki tempat yang dikenal dengan keraton (Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Madura, dan lain-lain), atau puri (Bali). Keraton adalah tempat tinggal dan memerintah seorang penguasa (raja atau ratu) dalam sistem kerajaan (Kasali 2018:277). Usia keraton-keraton tersebut mencapai lebih dari 300 tahun. Banyak keraton yang usianya hingga 700 tahun, namun secara fisik sudah rapuh bahkan hancur sama sekali. Banyak pengetahuan tentang sejarah dan kearifan lokal yang dapat dipelajari dari periode berdirinya sebuah keraton untuk kemudian dikembangkan kandungan potensinya agar dapat memberi manfaat. Keraton layak dijadikan destinasi wisata sejarah yang potensial. Desakan dinamika kehidupan modern dan hadirnya generasi baru dengan tuntutan pemenuhan fasilitas yang canggih dari segi teknis maupun performa mengharuskan keraton sebagai obyek destinasi wisata sejarah sekaligus edukasi untuk berbenah agar bisa mengakomodasi berbagai tuntutan perkembangan jaman tersebut. Kecenderungan generasi moderen adalah enggan untuk mengikuti kegaiatan seremoni kebudayaan lama, upacara atau adat lainnya termasuk mengunjungi situs-situs bersejarah seperti kearton sebaliknya lebih berminat pada kegiatan berselancar di dunia maya. Terlebih bila media sosialisasi kurang kuat. Selain itu perkembangan teknologi yang pesat menciptakan dunia tanpa sekat menyebabkan penetrasi budaya asing tidak dapat dihindari. Budaya asing dan budaya pop (kontemporer) yang ringan lebih mudah diminati. Pihak pengelola keraton dan masyarakatnya harus melakukan upaya kreatif agar kegiatan seremoni budaya lokal tetap relevan dengan perkembangan jaman dan dapat hidup berkelanjutan. Dengan demikian akan terjaga eksistensi keraton. Forum Silaturahmi Keraton Nusantara (FSKN) sebagai contoh, telah mengupayakan solusi dengan menghadirkan aplikasi “My Keraton” yang disosialisasikan di Kementrian Pariwisata, Februari 2018 (kompas.com, 22 Februari 2018). Melalui aplikasi ini masyarakat dapat mengetahui dan mempelajari sejarah keraton yang jumlahnya mencapai 250 di seluruh Indonesia. Selain melalui aplikasi, beberapa keraton di Indonesia juga berbenah secara fisik. Sebagai contoh, membuat suasana di keraton lebih nyaman, terutama pada interior keraton dengan dilengkapinya mesin pendingin ruang, penambahan fasilitas coffee shop atau fasilitas spa seperti yang terdapat di salah satu bangunan dalam kompleks Keraton Sumenep, yaitu Gedung Loteng. SEJARAH BERDIRINYA GEDUNG LOTENG PADA KERATON SUMENEP Gedung Loteng merupakan sebuah bangunan yang terletak di depan pendopo, di seberang halaman depan dan sekaligus merupakan pagar depan komplek Keraton Sumenep. Pada awal berdirinya bangunan tersebut, oleh Belanda dimaksudkan untuk keperluan pejabat-pejabat Belanda (VOC) yang menginap di Keraton Sumenep, sekaligus merupakan kantor administrasi VOC. Posisi dimana bangunan tersebut berdiri juga dimaksudkan agar tentara Belanda dapat memantau setiap aktifitas yang dilakukan oleh penghuni keraton dalam hal ini raja/ ratu beserta pengikutnya. Selain itu, posisi bangunan yang segaris dengan pagar halaman depan dan sekala bangunan tersebut yang lebih tinggi dari keraton sengaja dirancang oleh Belanda agar fasad utama bangunan keraton tertutup. Hal ini dimaksudkan agar citra kewibawaan keraton jatuh dan tidak tersekspos (Wiryoprawiro 1986: 73).

647 Prosiding Seminar Nasional Desain dan Arsitektur (SENADA) Vol.2, Februari 2019

Bangunan Gedung Loteng memiliki 2 lantai. Pada bagian atas (lantai 2) memiliki beberapa ruang dengan jendela kaca yang menghadap ke luar dan ke dalam komplek keraton. Pada bagian bawah (lantai 1) ruang-ruanganya menghadap ke depan dengan pintu-pintu yang lebar. Sedangkan untuk ke arah dalam keraton hanya terdapat dua pintu kecil yang masing-masing membuka ke arah barat dan timur dan relatif tersembunyi. Ketinggian lantai pada bangunan ini memiliki perbedaan yang mencolok dengan bangunan-bangunan keraton. Ketinggian lantai bangunan Gedung Loteng sekitar 40 cm dari permukaan tanah. Sementara ketinggian lantai bangunan keraton hanya 10 cm. Hal ini seperti sudah jelas direncanakan oleh pihak Belanda untuk menyampaikan maksud bahwa bagaimanapun Kolonial Belanda adalah tetap penguasa yang mempunyai status yang lebih tinggi dari pada penguasa setempat. Setelah jaman kemerdekaan, bangunan ini berfungsi sebagai bagian dari kantor Pemda Kabupaten Sumenep, yaitu untuk kantor Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten. Kondisi bangunannya kurang terawat bila dibanding dengan bangunan keraton yang lain. Atas kondisi tersebut Pemda Kabupaten Sumenep merevitalisasi interior bangunan Gedung Loteng dengan mengubah fungsi kedua lantai sebagai Museum Pusaka (lantai 2) dan sarana Spa Tradisional Madura (lantai 1). Adapun fungsi administrasi Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sumenep dipindah ke gedung eks Kantor Kebersihan dan Pertamanan Sumenep. KEARIFAN LOKAL JAMU TRADISIONAL MADURA Pengobatan modern banyak dikenal oleh masyarakat di Indonesia, namun di berbagai masyarakat masih ada yang mengobati penyakit atau menjaga kesehatan dengan cara tradisional, di antaranya dengan mengonsumsi jamu. Bahan baku jamu diperoleh dari alam sekitar. Kearifan lokal tertentu yang terkandung dalam jamu sangat berbeda dari satu wilayah dengan wilayah lain. Madura merupakan daerah di ujung Pulau Jawa yang sebagian masyarakatnya masih mengonsumsi jamu. Menurut hasil penelitian menunjukkan bahwa jamu atau obat tradisional yang menggunakan bahan-bahan alami seperti tumbuh-tumbuhan baik berupa daun, batang, biji, buah, maupun akar yang berkhasiat sudah biasa diminum masyarakat Madura secara turun temurun dari nenek moyang mereka (Kearifan Lokal Orang Madura 2014). Masyarakat Madura sebagian besar masih mempertahankan kearifan lokal, diantaranya tentang pengobatan alternatif dengan minum jamu ramuan Madura. Minum jamu tidak hanya untuk mengobati penyakit, tetapi untuk pencegahan penyakit, menjaga stamina tubuh, merawat kecantikan bahkan untuk melangsingkan tubuh. Hal ini dilakukan dalam kehidupan sehari-hari dengan minum jamu baik yang dijual di toko/kios maupun minum jamu gendhong, terutama kaum perempuan. Jamu bisa dikatakan sebagai mata budaya bangsa Indonesia yang diperoleh dari para leluhur sejak dahulu dan patut dilestarikan dalam “kemasan” baru (Astutik, Antropologi-Unair). SPA SEBAGAI GAYA HIDUP MASYARAKAT MODERN Spa di Indonesia sudah ada sejak jaman kerajaan Hindu – Budha, dimana pada jaman dahulu telah menjadi ritual-ritual tradisi adat. Perkembangan adanya spa di Indonesia dibuktikan dengan sebuah literatur kuno pada tahun 1872 yang menuliskan adanya tempat pemandian di kompleks Keraton dan Medang. Terdapat Candi Tikus dan Kolam Segaranyang yang digunakan untuk membersihkan diri, jiwa, dan raga. Di terdapat Taman Sari milik Sri Sultan Hamengkubuwono yang dibangun pada tahun 1789. Di Bali terdapat Tirta Empul Tampaksiring, yaitu tempat pemandian yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Gianyar, dan di Keraton Sumenep terdapat pemandian keraton yang dinamakan Taman Sare (taman yang asri) (Sejarah Sumenep 2014). Dari zaman dahulu masyarakat Indonesia sangat menyenangi mandi air yang mengandung banyak mineral atau belerang yang gunanya untuk menyembuhkan

648 Prosiding Seminar Nasional Desain dan Arsitektur (SENADA) Vol.2, Februari 2019

kulit, atau merilekskan otot dan persendian yang kaku. Tempat tersebut dapat ditemui di Tangkuban Perahu dan Ciater, Jawa Barat. Spa merupakan bagian dari tadisi dan kehidupan sosial di Indonesia dan menjadi gaya hidup yang didasarkan pada kedekatan dengan alam. Sejumlah gunung berapi di Indonesia kaya akan mineral yang bermanfaat untuk perawatan tubuh. Banyak masyarakat yang datang ke pegunungan untuk menikmati pemandian sumber air panas yang diyakini mempunyai daya penyembuhan yang mampu meningkatkan kesehatan baik fisik maupun fungsional serta menjaga kecantikan dan kebugaran tubuh. Bangsa Indonesia memiliki bermacam-macam upacara mandi yang secara ritual didasarkan pada siklus kehidupan seorang perempuan. Sebagai contoh:  Upacara Siraman, untuk membersihkan jiwa dan raga calon pengantin  Upacara Mitoni (Tujuh Bulanan)  Upacara Selapan  Upacara Ruwatan, untuk mendapat keselamatan, kebahagiaan dan dijauhkan dari pengaruh jahat.  Upacara Tetesan (Siraman Anak Gadis) Selain itu hal tersebut dapat dibuktikan dari sejarah yang tertulis pada artefak dalam beberapa literatur. Pada relif Candi menggambarkan kehidupan Budha yang mempersiapkan diri untuk mandi di kolam yang dipenuhi dengan bunga dan berbagai macam ekstrak tumbuhan lainnya. Pada relief lain juga terdapat gambar tubuh Ratu Maya, tangan dan kakinya sedang dipijat oleh para dayang. Pada salah satu relif Candi menunjukkan beberapa kegiatan upacara, antara lain mandi untuk penyucian, pijat, dan beberapa tanaman obat. Selain itu dalam Serat Centhini yang ditulis tahun 1872, dapat dibaca tentang tempat pemandian pada masa Mojopahit dan Kerajaan Medangkemulan di Pulau Jawa yang menggunakan air dari sumber air panas mineral yang berasal dari pegunungan Dieng. Pada zaman modern ini kebutuhan hidup manusia semakin meningkat dan berpengaruh pula terhadap kebutuhan jasmani manusia. Kesehatan tubuh merupakan faktor utama bagi manusia untuk dapat melakukan berbagai aktifitas. Kebiasaan menjaga kondisi kebugaran dan kecantikan sudah dilakukan oleh nenek moyang dan ada di Indonesia sejak kerajaan/keraton. Dewasa ini, usaha manusia dalam menjaga kesehatan, kebugaran, dan kecantikan tubuh dikemas dalam bentuk yang lebih modern. Spa modern tidak hanya berupa terapi pemijatan, namun juga berbagai perawatan tubuh lainnya dengan menggunakan bahan-bahan tradisional dan aromatherapy yang khas dari berbagai daerah di Indonesia. Spa yang berkembang di Indonesia menampilkan ciri khas tersendiri sesuai dengan kearifan lokal masing-masing. Masyarakat Madura, khususnya kaum perempuan, termasuk yang berorientasi pada jamu dan perawatan tubuh karena disana terdapat sejarah ritual spa keraton Madura, sehingga masyarakatnya memiliki warisan budaya perawatan kesehatan dan kecantikan ala keraton. GEDUNG LOTENG SEBAGAI SARANA SPA TRADISIONAL MADURA DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0 Reviltalisasi adalah proses, cara, perbuatan menghidupkan atau menggiatkan kembali berbagai kegiatan kesenian tradisional diadakan dalam rangka kebudayaan lama (Mardhani 2011). Tujuan secara umum yaitu mewujudkan Kabupaten Sumenep sebagai tujuan wisata sejarah dan mengangkat budaya setempat dengan memadukan sarana prasarana dan mendorong peran serta seluruh investor dan pemerintah. Tujuan secara khusus yaitu:

649 Prosiding Seminar Nasional Desain dan Arsitektur (SENADA) Vol.2, Februari 2019

1. Memberikan pengetahuan keberadaan suatu situs bersejarah di Madura dengan menggali nilai sejarah melalui bangunan Keraton Sumenep. 2. Mengembangkan kapasitas dan potensi Keraton Sumenep sehingga mampu berperan secara optimal baik bagi pengembangan kebudayaan, pendidikan, dan ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan tentang perawatan kesehatan dan kecantikan secara tradisional. 3. Meningkatkan fungsi bangunan Gedung Loteng sebagai salah satu aset penting dalam menumbuhkan jaringan kegiatan pariwisata di Madura, khususnya wisata Spa. PEMBAHASAN Keraton Sumenep di Jawa Timur dikenal dengan sebutan Keraton Potre Koneng atau Keraton Putri Kuning. Disebut seperti itu karena dulu pernah hidup seorang puteri keraton, Ratu Ayu Tirto Negoro, yang memiliki kulit kuning bersih. Untuk menghormati sang permaisuri, fisik luar sebagian besar bangunan di komplek keraton diberi warna kuning cerah, termasuk Gedung Loteng dimana fasilitas Spa Tradisional Madura berada. Keistimewaan dari perawatan spa yang disediakan oleh pengelola keraton adalah ramuan tradisional Madura yang telah diturunkan oleh leluhur masyarakat Sumenep terutama dari kalangan bangsawan keraton. Budaya Spa Tradisional Madura tersebut diakomodasi dengan bangunan Gedung Loteng yang memiliki cerita sejarah tentang Keraton Sumenep itu sendiri. Berikut adalah pembahasan dari aspek Desain Interior pada masing-masing ruang/ area perawatan Spa Tradisional Madura yang terdapat dalam bangunan Gedung Loteng.

Gambar 1. View Gedung Loteng dari dalam area keraton. Berada di depan Pendopo, menutup fasad utama keraton dari luar (jalan utama). Sifat bangunan kolonial yang kokoh dan pemberian warna kuning mencolok perlu dipertimbangkan ulang untuk dapat memberi kesan “ramah” pada tamu yang akan berkunjung, khususnya untuk tujuan relaksasi (spa).

650 Prosiding Seminar Nasional Desain dan Arsitektur (SENADA) Vol.2, Februari 2019

Gambar 2. Company Profile Museum Pusaka (keris) dan Rumah Spa di depan Gedung Loteng. Dari aspek bentuk dan warna perlu dipertimbangkan untuk dapat menyampaikan kesan sakral dan anggun.

Gambar 3. Area penerima tamu, Menjadi satu dengan area penyimpanan arsip dan perlengkapan ringan keperluan perawatan spa. Perlu dipertimbangkan aspek privasi dan hirarki ruang.

Gambar 4. Area tunggu (ruang tamu), Perlu sterilisasi dari benda-benda lain (mainan anak, sebagai contoh) selain perlengkapan keperluan spa. Pemilihan kain tirai perlu dipertimbangkan agar dapat menyampaikan kesan ‘made in Madura’.

Gambar 5. Ruang Perawatan Ratus

651 Prosiding Seminar Nasional Desain dan Arsitektur (SENADA) Vol.2, Februari 2019

Tampilan desain kursi cukup unik dan khas, namun perlu dipertimbangkan kenyamanan tamu ketika duduk di kursi perawatan tersebut dalam waktu yang cukup lama, mengingat bahan utama adalah kayu.

Gambar 6. Ruang Pemijatan dan Lulur Penggunaan kain batik khas Madura untuk alas fasilitas pemijatan (lulur) menciptakan nuansa yang harmonis dengan linkungan budaya dimana fasilitas spa tersebut berada, namun perlu diperhatikan lebih cermat lagi tentang pemilihan bahan maupun desain tirai penyekat antara fasilitas pijat, agar tercipta satu kesatuan nuansa khas Madura.

Gambar 7. Ruang Berendam Bunga Cukup ergonomis namun perlu diselesaikan lebih detail agar tercipta nuansa estetika Madura yang kuat.

Gambar 8. Ruang Mandi Rempah (bilas) Cukup mewakili ciri khas produk budaya Madura namun perlu dipertimbangkan lagi aspek kenyamanan pengguna dalam posisi berdiri menggayung air.

652 Prosiding Seminar Nasional Desain dan Arsitektur (SENADA) Vol.2, Februari 2019

KESIMPULAN Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan beberapa poin berikut: 1. Bangunan Gedung Loteng memiliki nilai sejarah yang tinggi. Merupakan bangunan cagar budaya dan terletak menjadi satu dalam kompleks bangunan Keraton Sumenep. Secara fisik memiliki bentuk bangunan tipe kolonial Belanda. Dari kondisi interior telah mengalami tahap renovasi dari semula sebagai Kantor Bidang Kebudayaan Sumenep menjadi sarana Spa Tradisional Madura. 2. Bangunan Gedung Loteng sebagai sarana Spa Tradisional Madura memiliki lokasi yang cukup strategis, yaitu tepat di depan komplek Keraton Sumenep dan memiliki pintu masuk menghadap jalan utama keraton, Jalan Dr. Soetomo. 3. Dari dimensi ruang, Gedung Loteng dapat menampung semua kebutuhan aktifitas dan fasilitas perawatan Spa Tradisional Madura. 4. Dari penyelesaian tampilan ruang, perlu dipertimbangkan aspek estetika ruang terutama yang dapat menyampaikan citra kuat tentang 3 hal berikut, yaitu citra Keraton Sumenep, citra Ramuan Tradisional Madura, dan citra Gaya Hidup Modern. SARAN Penulis memberi beberapa saran untuk pengelola Keraton Sumenep sebagai berikut: 1. Tampilan luar Gedung Loteng akan memberi kesan lebih “ramah” apabila pemilihan warna kuning disesuaikan dengan konsep warna sebuah bangunan untuk tujuan kegiatan relaksasi (spa). Dimana dalam kegiatan relaksasi diperlukan intensitas (tone) warna yang cukup rendah, dengan kata lain pemilihan warna cenderung lembut. Dengan demikian citra Gedung Loteng sebagai bangunan sarana kegiatan spa dapat tersampaikan dengan jelas dan efektif tanpa meninggalkan kesan kemegahan bangunan kolonialnya. 2. Bangunan Gedung Loteng sebagai sarana kegiatan Spa Tradisional Madura akan memiliki tampilan yang lebih anggun apabila pintu masuk utama diselesaikan dengan desain yang khusus. Sebagai contoh pemberian tanaman dalam pot dengan skala yang cukup besar, diletakkan masing- masing di sisi kiri dan kanan pintu masuk. Dengan demikian kehadiran kedua tanaman tersebut memberi tanda sebagai penyambut kedatangan tamu tanpa mengubah fisik utama bangunan yang termasuk dalam bangunan cagar budaya tersebut. 3. Dari aspek dimensi ruang, Gedung Loteng akan lebih terasa nyaman apabila ruang-ruang ditata mengikuti tingkat privasi masing-masing. Sebagai contoh area penyimpanan berkas administrasi maupun perlengakapan ringan spa dibuat terpisah dan tertutup dari pandangan tamu yang masuk, namun tetap dekat dengan area penerima tamu. Pemisahan secara tidak langsung tersebut dapat diupayakan dengan pemberian fasilitas berupa partisi berukir ragam hias Madura mislanya. Dengan demikian kesan tentang eksklusifitas sarana spa tetap tercapai.

DAFTAR PUSTAKA: Astutik, Rizki Medi, Upaya Pemeliharaan Kesehatan Perempuan Madura dengan Jamu dan Spa Madura. Antropologi, FISIP Unair, Surabaya. Kasali, Rhenald, 2018, The Great Shifting. PT.Gramedia. Jkt.

653 Prosiding Seminar Nasional Desain dan Arsitektur (SENADA) Vol.2, Februari 2019

Mardhani, Hibnu, 2011, Revitalisasi Keraton Kuning sebagai Daya Tarik Wisata di Pangkalan Bun, Jurnal PA Vol.06 No.01 2011 ……, 2014, Sejarah Sumenep, Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga, Kabupaten Sumenep. 2014. Wiryoprawiro, Zein M, 1986, Arsitektur Tradisional Madura Sumenep, Lab. Arsitektur Tradisional FTSP ITS Surabaya ……, 2014, Kearifan Lokal Orang Madura tentang Kesehatan Jamu untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pelestarian Nilai Budaya, Yogyakarta, 2014.

654