Hayati, Maret 2005, hlm. 17-22 Vol. 12, No. 1 ISSN 0854-8587

Tanggap Fungsional Parasitoid Eriborus argenteopilosus (Cameron) terhadap pavonana (Fabricius) pada Suhu yang Berbeda Functional Response of the Parasitoid Eriborus argenteopilosus (Cameron) to Crocidolomia pavonana (Fabricius) under Different Temperature

NOVRI NELLY1*, TRIMURTI HABAZAR1, RAHMAT SYAHNI1, BANDUNG SAHARI3, DAMAYANTI BUCHORI2

1Fakultas Pertanian, Universitas Andalas, Kampus Limau Manis, Padang 25163 2Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Faperta, Institut Pertanian Bogor, Kampus Darmaga, Bogor 16680 3Center for Conservation and Studies, Perum Alam Sinar Sari, Jalan Kecipir 2 A-33, Cibeureum Darmaga, Bogor 16680

Diterima 29 Maret 2004/Disetujui 1 Desember 2004

The functional response of the parasitoid Eriborus argenteopilosus (Cameron) (Hymenoptera: Ichneumonidae) were studied using Crocidolomia pavonana (Fabricius) (: Pyralidae) larvae as host at different densities. All larvae were exposed to one E. argenteopilosus female for three hours at three different temperatures, i.e 20 oC, 25 oC, and 30 oC. Data were analyzed using logistic regression to determine the type of functional response. At 20 oC E. argenteopilosus showed type II functional response, while at 25 oC and 30 oC the functional response is type III. Based on surface analysis, the optimal parasitism rate occurred at 22.24 oC with 10.12 larvae parasitized/hour. The larvae density to achieve optimal parasitism rate was 69.38 larvae. The optimal oviposition rate was 12.59 eggs/hour which occurred at 24.41 oC, using a density of 94.54 larvae. ______

PENDAHULUAN 1949 (Sharov 1996) untuk menyatakan perubahan jumlah mangsa yang diserang oleh predator pada kerapatan populasi Parasitoid Eriborus argenteopilosus (Cameron) mangsa per satuan waktu. Tanggap fungsional merupakan (Hymenoptera: Ichneumonidae) di Indonesia banyak dijumpai komponen yang sangat esensial dalam dinamika interaksi menyerang hama tanaman kubis Crocidolomia pavonana antara parasitoid dan inang (Oaten & Murdoch 1975), karena (Fabricius) (Lepidoptera: Pyralidae). Parasitoid ini juga dapat dapat memberikan gambaran mengenai potensi parasitoid menyerang Spodoptera litura (Fabr.) dan Helicoverva tersebut dalam mengendalikan populasi inangnya (Hassel armigera (Hubner) (Lepidoptera: Noctuidae) (Kalshoven 2000). Tanggap fungsional dibedakan atas tiga tipe. Tipe I 1981; Hadi 1985). Beberapa penelitian yang telah dilakukan atau tipe tanggap fungsional linier, yaitu laju pemangsaan mengenai parasitoid tersebut antara lain adalah studi biologi meningkat atau menurun sehubungan dengan peningkatan dan perilaku (Othman 1982; Hadi 1985), dan studi enkapsulasi atau penurunan kerapatan inang. Tipe I ini biasanya ditemukan sebagai pertahanan inang (Anindhita 1999; Sahari 1999). pada predator yang bersifat pasif seperti laba-laba. Jumlah Keefektifan parasitoid sangat tergantung pada lalat yang terperangkap pada jaring laba-laba sebanding kemampuan mencari dan menangani inangnya pada keadaan dengan kerapatan populasi lalat (Sharov 1996). Pada tipe II lingkungan tertentu, misalnya keadaan suhu, kelembaban, atau tanggap fungsional hiperbolik, laju parasitisasi parasitoid curah hujan, serta kualitas, jumlah, dan kerapatan inang menurun dengan meningkatnya kerapatan inang; mortalitas (Godfray 1994). Kerapatan inang sebagai aspek penting yang inang maksimal terjadi pada kerapatan inang yang rendah. mempengaruhi tingginya parasitisasi perlu dipelajari (Collins Sedangkan tipe III atau tanggap fungsional sigmoid, pada et al. 1981; Tillman 1996; Wang & Ferro 1998, Montoya et al. awalnya peningkatan pemangsaan berlangsung lambat, diikuti 2000; Jones et al. 2003). Laju parasitisasi pada kerapatan inang dengan peningkatan yang lebih cepat, kemudian konstan yang berbeda akan mempengaruhi kinerja parasitoid itu (Hassel 2000). sebagai agens pengendali hayati. Suhu habitat mempengaruhi tanggap fungsional parasitoid Tanggap fungsional merupakan salah satu ukuran untuk dalam mengendalikan populasi inang. Laju parasitisasi menentukan keefektifan suatu parasitoid atau predator dalam Trichogramma ostriniae (Pang & Chen) (Hymenoptera: pengendalian hayati. Pada awalnya tanggap fungsional Trichogrammatidae) terhadap Ostrinia nubilalis (Hubner) dikembangkan dari model pemangsaan predator (Rogers 1972). (Lepidoptera: Pyralidae) pada suhu 20 oC adalah tanggap Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Solomon di tahun fungsional tipe II dan tipe III pada suhu 27 oC (Wang & Ferro ______1998). Hasil pengamatan Jones et al. (2003) terhadap tanggap ∗ ∗Penulis untuk korespondensi, Tel./Fax. +62-751-72702, fungsional parasitoid Aphidius colemani (Viereck) E-mail: [email protected] (Hymenoptera: Aphidiidae) dan Lysiphlebus testaceipes 18 NELLY ET AL. Hayati

(Cresson) (Hymenoptera: Aphidiidae) pada suhu 14-26 oC diletakkan di bagian atas kurungan. Kurungan ini diletakkan menunjukkan tanggap fungsional tipe II atau III, bergantung dalam inkubator (tipe MRL 250) dengan suhu sesuai perlakuan pada suhu lingkungannya. (20, 25, dan 30 oC). Setiap perlakuan diulang masing-masing Belum banyak informasi dan laporan tentang keefektifan 10 kali. Larva C. pavonana yang telah dipaparkan pada parasitoid E. argenteopilosus sebagai agens pengendali hayati parasitoid diambil dan dibedah di bawah mikroskop stereo, yang dinilai dari tanggap fungsionalnya. Dalam hubungan untuk memeriksa larva yang terparasit dan jumlah telur yang itu telah dilakukan penelitian yang bertujuan mempelajari diletakkan parasitoid. tanggap fungsional parasitoid E. argenteopilosus terhadap Analisis Statistik. Bentuk tanggap fungsional pada tiap C. pavonana sebagai inang pada suhu yang berbeda. Selain suhu dianalisis dengan regresi logistik antara proporsi inang itu penelitian ini juga mempelajari laju parasitisasi dan yang diparasit (Ne) dan kerapatan inang yang tersedia (No). peletakan telur optimal oleh parasitoid tersebut pada suhu Data diuji dengan fungsi polinomial yaitu hubungan antara dan kerapatan C. pavonana yang berbeda. Ne/No dan No dengan menggunakan persamaan (Juliano 1993):

2 3 BAHAN DAN METODE Ne exp (Po+ P1No+ P2No + P3No ) = N 1 + exp (P + P N + P N 2 + P N 3) Perbanyakan Serangga Inang C. pavonana. Larva inang o o 1 o 2 o 3 o

C. pavonana dikoleksi dari pertanaman kubis di daerah dengan Po, P1: intersep koefisien linier, P2: intersep koefisien

Cibodas, Jawa Barat. Larva tersebut dibiakkan di laboratorium kuadratik, P3: intersep koefisien kubik. Keempat parameter ini dalam kotak plastik pemeliharaan berukuran 35 x 27 x 7 cm. diduga menggunakan metode kemungkinan maksimum dengan Pada dasar kotak diberi alas kertas stensil dan diberi daun prosedur PROC CATMOD SAS (SAS Institute 1990). Tipe kubis sebagai pakan larva. Ketika larva sudah mencapai instar tanggap fungsional ditentukan dengan melihat nilai P1 empat, diberi serbuk gergaji untuk tempat berpupa. Semua (koefisien linier) dan P2 (kuadratik). Tanggap fungsional tipe imago jantan dan betina yang muncul dari pupa dipelihara II, dinyatakan dengan nilai P1 dan P2 negatif, yang dalam kurungan kain kasa berbingkai kayu berukuran 50 x 50 menggambarkan proporsi inang yang terparasit menurun x 50 cm. Imago tersebut diberi pakan larutan madu 10% seiring dengan menurunnya kerapatan inang. Sedangkan

(madu:air = 1:9 v/v) yang diserapkan pada segumpal kapas tanggap fungsional tipe III dengan nilai P1 positif dan P2 dan digantung dalam kurungan. Untuk tempat peletakan telur negatif, menggambarkan proporsi parasitisasi meningkat pada bagi imago digunakan daun kubis yang ditaruh dalam kurungan kisaran kerapatan inang tertentu. Proporsi inang yang tersebut. Telur dipanen setiap hari dan disimpan dalam cawan diparasitisasi awalnya meningkat dengan peningkatan petri sampai menetas. Larva instar dua siap dijadikan inang kerapatan, kemudian menurun walaupun kerapatan inang untuk percobaan. meningkat (Juliano 1993). Persiapan Parasitoid E. argenteopilosus. Parasitoid E. Untuk memperoleh nilai penduga waktu penanganan argenteopilosus dikoleksi dari tempat yang sama dengan asal (handling time, Th) dan laju pencarian atau laju parasitisasi inangnya. Imago parasitoid di lapangan ditangkap dengan (a) digunakan model persamaan cakram Holling (disc menggunakan jaring serangga, dan dipelihara di laboratorium equation), yaitu: dalam kurungan plastik berbentuk tabung (tinggi 23 cm, Tanggap fungsional tipe II persamaannya adalah: diameter 12 cm). Sebagai pakan diberikan larutan madu 10%. Ne = aTNo/(1 + aThNo) dan Untuk perbanyakan parasitoid, larva inang dipaparkan pada Tanggap fungsional tipe III persamaannya adalah: 2 2 parasitoid selama 24 jam. Inang itu kemudian dipelihara dalam Ne = bTNo /(1 + cNo + dThNo ) wadah plastik (diameter 10 cm dan tinggi 12 cm) sampai pupa dengan Ne: jumlah inang yang diparasit; T: lama inang tersedia parasitoid terbentuk. Pupa parasitoid tersebut kemudian untuk diserang (3 jam); No: kerapatan inang; Th: waktu yang dikumpulkan dalam kurungan plastik (tinggi 27 cm, diameter digunakan parasitoid untuk menangani satu inang; a: laju 12 cm) sampai imago muncul. Imago betina yang muncul parasitisasi; b, c, d: konstanta yang diturunkan dari parameter digunakan untuk percobaan atau untuk perbanyakan a (Hassel 2000). berikutnya. Pupa parasitoid juga dikoleksi langsung dari larva Nilai penduga parameter diperoleh melalui regresi nonlinier C. pavonana yang dikumpulkan dari lapangan dan dipelihara menggunakan program PROC NLIN. Sedangkan nilai a dihitung di laboratorium. Imago yang muncul dari pupa tersebut juga dengan menggunakan persamaan (Juliano 1993): digunakan langsung untuk percobaan. a = d +bNo/1+cNo

Tanggap Fungsional E. argenteopilosus pada Suhu dengan a: laju parasitisasi; b, c, d: konstanta; No: kerapatan Berbeda. Larva inang C. pavonana instar dua dengan inang. kerapatan berbeda (15, 30, 60, 90, dan 120 larva), masing-masing Untuk mempelajari hubungan perlakuan suhu dan diletakan pada sehelai daun brokoli, yang ditancapkan pada kerapatan dengan laju parasitisasi, dilakukan analisis tabung film yang diberi air untuk menjaga kesegaran daun. permukaan respons (Meyer 1971), dan laju parasitisasi optimal Larva C. pavonana dipaparkan pada satu betina E. dihitung dengan menggunaan persamaan: β β β β 2 β 2 β argenteopilosus (berumur 4-6 hari) dalam kurungan plastik Y = o + 1No + 2t + 11No + 22t + 12 No t (tinggi 27 cm, diameter 12 cm), selama 3 jam. Sebagai pakan dengan Y: pemarasitan maksimal, yaitu jumlah maksimal larva parasitoid diberi madu 10% yang diserapkan pada kapas dan terparasit atau jumlah maksimal telur; No: populasi inang yang Vol. 12, 2005 TANGGAP FUNGSIONAL PARASITOID 19

β β dipaparkan (kerapatan inang); t: suhu; o: konstanta; 1: tetapi tidak ada korelasi antara jumlah telur yang diletakkan β β koefisien jumlah inang linier; 2: koefisien suhu linier; 11: dengan suhu (P = 0.006; Tabel 2). β koefisien jumlah inang kuadratik; 22: koefisien suhu Analisis regresi logistik menunjukkan bahwa hubungan β kuadratik; 12: koefisien interaksi suhu dan jumlah inang. antara kerapatan inang dengan jumlah inang terparasit pada Untuk menghitung parasitisasi optimal, yaitu pada suhu, suhu 20 oC menggambarkan tanggap fungsional tipe II. Hal kerapatan jumlah larva terparasit, dan jumlah telur diletakkan ini ditunjukkan oleh koefisien linier (P1) yang negatif dan o yang maksimal, persamaan di atas diturunkan: koefisien kuadratik (P2) negatif, sedangkan pada suhu 25 C o dY/ dNo = 0 dan 30 C adalah tipe III dengan nilai P1 positif, koefisien

dY/ dt = 0 kuadratik (P2) negatif (Tabel 3). Sedangkan laju parasitisasi (a) dan laju peletakan telur optimal Nilai penduga laju pencarian dan parasitisasi (a) dan waktu dihitung dengan persamaan: penanganan inang (Th) oleh E. argenteopilosus pada suhu a = Y/T 20, 25, dan 30 oC saling berbeda, karena tipe tanggap fungsional dengan a: laju parasitisasi dan peletakan telur maksimal pada juga berbeda (Tabel 4). Pada tanggap fungsional tipe II yaitu suhu dan kerapatan inang tertentu, Y: jumlah maksimal larva pada suhu 20 oC nilai a atau laju parasitisasi adalah konstan terparasit dan jumlah maksimal telur diletakkan, T: lama 0.314. Sedangkan tipe III pada suhu 25 dan 30 oC nilai a adalah pemaparan. dari fungsi kerapatan (No), nilai a berubah dengan perubahan kerapatan inang, atau tergantung kepada kerapatan inangnya

HASIL (No). Laju parasitisasi parasitoid per jam semakin rendah dengan bertambahnya kerapatan inang, hal ini terjadi pada Tanggap Fungsional. Hasil pengamatan menunjukkan tipe tanggap fungsional III. Laju parasitisasi pada suhu 30 oC jumlah larva C. pavonana terparasit oleh E. argenteopilosus lebih tinggi dibandingkan dengan suhu 25 oC (Tabel 5). dipengaruhi oleh suhu dan kerapatan inang (P = 0.000; Tabel Gambar tipe tanggap fungsional pada tiap suhu yang 1). Persentase larva inang terparasit tertinggi terjadi pada suhu berbeda, yaitu kurva hiperbolik untuk tipe II pada suhu 20 oC 30 oC dan kerapatan inang 15, 30, 60 larva, yaitu sekitar 78- dan sigmoid untuk tipe III pada suhu 25 oC dan 30 oC (Gambar 1). 79%. Jika dilihat pengaruh masing-masing perlakuan yaitu Pengaruh Suhu dan Kerapatan Inang terhadap Laju suhu atau kerapatan inang, terdapat korelasi antara jumlah Parasitisasi dan Peletakan Telur. Untuk menghitung nilai larva terparasit dengan suhu atau dengan kerapatan inang. laju parasitisasi dan peletakan telur optimal oleh parasitoid E. Jumlah telur yang diletakkan E. argenteopilosus juga argenteopilosus adalah berdasarkan hasil analisis koefisien berkorelasi dengan kerapatan larva inang (P = 0.000), akan regresi (Tabel 6). Dari tabel tersebut dibuat persamaan untuk

Tabel 1. Persentase larva C. pavonana terparasit oleh E. argenteopilosus Tabel 2. Korelasi antara jumlah telur yang diletakkan dan larva pada suhu dan kerapatan inang yang berbeda C. pavonana terparasit oleh E. argenteopilosus pada suhu dan kerapatan inang yang berbeda Kerapatan inang Suhu (oC) Nilai koefisien (larva) 20 25 30 Faktor n Nilai P 15 67.33ab 64.00bc 78.67a korelasi 30 52.33cd 27.41e 79.00a Suhu dengan jumlah telur 0.154 150 0.006 60 39.35ef 40.45de 78.00a Kerapatan dengan jumlah telur 0.775* 150 0.000 90 32.78ef 29.11ef 54.78c Suhu dengan larva terparasit 0.198* 150 0.000 120 38.92ef 36.33ef 31.00ef Kerapatan dengan larva terparasit 0.800* 150 0.000 Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak *Korelasi nyata pada taraf nyata 0.1% berbeda nyata dengan uji Tukey pada taraf nyata 0.1%

Tabel 3. Hasil analisis regresi logistik proporsi larva C. pavonana yang terparasit oleh E. argenteopilosus pada suhu dan kerapatan inang berbeda Suhu (oC) Tipe tanggap fungsional Parameter Koefisien Sd X2 Nilai P 20 I Titik potong (Po) 1.5898 0.4047 15.43 0.0001 Linier (P1) -0.0288 0.0221 1.70 0.1942 Kuadratik (P2) -0.00006 0.000339 0.03 0.8546 Kubik (P3) 1.39E-06 1.54E-06 0.82 0.3649 25 II Titik potong (Po) -0.2379 0.3602 0.44 0.5090 Linier (P1) 0.0173 0.0202 0.74 0.3908 Kuadratik (P2) -0.00047 0.000316 2.19 0.1385 Kubik (P3) 2.50E-06 1.45E-06 2.96 0.0852 30 III Titik potong (Po) 1.0564 0.4558 5.37 0.0205 Linier (P1) 0.0498 0.0245 4.12 0.0425 Kuadratik (P2) -0.00096 0.000373 6.66 0.0098 Kubik (P3) 3.51E-06 1.67E-06 4.38 0.036 3

Tipe II jika nilai P1 negatif. P2 negatif, Tipe III jika P1 positif P2 negatif 20 NELLY ET AL. Hayati

Tabel 4. Nilai penduga parameter laju pencarian (a) dan masa laju parasitisasi 10.12 larva/jam. Jumlah maksimal larva C. penanganan inang (Th) berdasarkan model persamaan disc pavonana terparasit oleh E. argenteopilosus selama 3 jam equation, hubungan antara parasitisasi oleh E. argenteopilosus dengan kerapatan inang C. pavonana pada suhu berberbeda pemaparan pada keadaan laju pencarian optimal, adalah 30.36 larva. Sedangkan jumlah telur optimal yang diletakkan E. Suhu (oC) Tipe tanggap fungsional a (jam-1) Th (jam) R argenteopilosus terjadi pada suhu 24.41 oC pada kerapatan 20 II 0.314 0.51300 0.95 25 III -a 0.00798 0.73 inang 94.54 larva, dengan laju peletakan telur 12.59 butir/jam. 30 III -a 0.08300 0.84 Jumlah maksimal telur yang diletakkan parasitoid pada keadaan pada tipe III, a =d+bN/1+cN, untuk suhu 25 dan 30 oC optimal selama 3 jam pemaparan adalah 37.77 telur. Jumlah telur yang diletakkan dan jumlah larva C. pavonana yang Tabel 5. Laju parasitisasi (a) (jam-1) pada tanggap fungsional tipe III diparasitisasi oleh E. argenteopilosus pada kerapatan inang pada suhu 25 dan 30 oC dan suhu berbeda terlihat pada Gambar 2. Laju parasitasi pada kerapatan inang (jam-1) Suhu (oC) 15 30 60 90 120 PEMBAHASAN 25 0.193 0.163 0.148 0.143 0.140 30 0.637 0.510 0.446 0.425 0.414 Pada setiap perbedaan suhu dan tipe tanggap fungsional E. argenteopilosus, terlihat laju parasitisasi (a) berbeda. Pada suhu 20 oC dengan tipe II, nilai a atau laju parasitisasi lebih tinggi dibandingkan dengan pada suhu 25 oC dan 30 oC dengan tipe III. Kerapatan inang mempengaruhi laju parasitisasi, yaitu semakin tinggi kerapatan inang maka laju parasitisasi/jam semakin rendah, waktu penanganan satu inang (handling time) juga lebih pendek. Pada suhu 20 oC, 25 oC dan 30 oC, penanganan satu inang oleh E. argenteopilosus paling lama hiperbolik = suhu 20 oC pada suhu 20 oC, sedangkan pada suhu 25 oC lebih pendek sigmoid = suhu 25 oC dibandingkan dengan pada suhu 30 oC. Aktivitas parasitoid sigmoid = suhu 30 oC relatif kurang pada suhu rendah, termasuk aktivitas parasitisasi. Menurut McCaffrey dan Horsburgh (1986) parasitoid yang memarasit Orius insidiosus (Hemiptera: Kerapatan inang (larva) Anthocoridae) relatif tidak aktif pada suhu rendah sampai Gambar 1. Kurva hiperbolik dan sigmoid jumlah larva inang terparasit oleh E. argenteopilosus pada kerapatan inang dan suhu sedang. berbeda.

a Tabel 6. Koefisien regresi tanggap fungsional, larva C. pavonana terparasit dan jumlah telur diletakkan parasitoid E. argenteopilosus pada suhu dan kerapatan inang berbeda Koefisien regresi Variabel Jumlah larva terparasit Julmah telur Beta Se Nilai P Beta Se Nilai P 220 oC Konstanta(β ) 152.004 30.869 0.000 150.8230 35.79 0.000 o 225 oC Suhu (t) -13.542 2.484 0.000 -13.3810 2.880 0.000 30 oC Kerapatan(No) 0.8210 0.117 0.000 0.9380 0.136 0.000 3 t 2 0.2940 0.490 0.000 0.2890 0.057 0.000 t.No -0.0067 0.040 0.072 0.0077 0.004 0.076 No -0.0026 0.001 0.000 0.0033 0.001 0.000 Beta = nilai koefiesien regresi, Se = standar error b menghitung jumlah maksimal larva terparasit (Ylrv), dan jumlah telur maksimal yang diletakkan (Ytlr), sebagai berikut:

2 2 Ylrv = 152.004-13.542 t +0.821 No +0.294 t -0.0067 t No -0.0026 No dengan R2 =0.777 Ytlr = 150.823 –13.381t +0.938 N +0.289 t2-0.0077 t N -0.0033 N 2 220 oC o o o o dengan R2 =0.726 225 C 330 oC Dari persamaan di atas diturunkan menjadi :

dY/dNo = 0 dY/dt = 0 Gambar 2. Jumlah telur yang diletakkan (a) dan jumlah larva C. sehingga diketahui nilai laju parasitisasi (a) optimal terjadi pavonana terparasit (b) oleh E. argenteopilosus pada suhu pada suhu 22.24 oC pada kerapatan inang 69.38 larva, dengan dan kerapatan inang berbeda. Vol. 12, 2005 TANGGAP FUNGSIONAL PARASITOID 21

Tanggap fungsional E. argenteopilosus tipe II, yaitu (Hymenoptera: Trichogrammatidae) menunjukkan bahwa parasitisasi meningkat seiring dengan peningkatan jumlah tanggap fungsional berubah dari satu tipe ke lain tipe pada inang, namun peningkatan akan menurun pada kisaran tertentu suhu yang berbeda. Perubahan ini terjadi akibat pengaruh (decreasing curve/inverse density dependent). Berdasarkan suhu terhadap aktivitas pencarian inang, variasi keperidian perilaku parasitoid, spesies parasitoid yang memperlihatkan dan lama hidup parasitoid betina. Di samping itu Wang dan tanggap fungsional tipe II diperkirakan tidak mampu mengatur Ferro (1998) juga menyatakan bahwa perlakuan suhu populasi hama yang menjadi inangnya (Hassel 2000). Tanggap berpengaruh terhadap inang. Suhu akan berpengaruh fungsional tipe II pada parasitoid E. argenteopilosus terjadi terhadap kesegaran (fresh) telur Ostrinia nubilalis (Hubner) pada suhu 20 oC. Pada suhu 20 oC pertambahan populasi inang (Lepidoptera: Pyralidae) sebagai inang, sehingga penerimaan tidak sebanding dengan kemampuan parasitisasi oleh inang oleh parasitoid T. ostrinia akan berkurang pada suhu parasitoid. tinggi karena telur tersebut tidak segar lagi. Pada tanggap fungsional tipe III atau sigmoid, dengan Jumlah larva terparasit maksimal terjadi pada suhu peningkatan kerapatan inang parasitoid cenderung mencari 22.24 oC, dan jumlah maksimal telur yang diletakkan terjadi inang lebih banyak, sehingga parasitisasi meningkat. Pada pada suhu 24.41 oC. Laju parasitisaasi parasitoid terhadap parasitoid E. argenteopilosus, ini terjadi pada suhu 25 oC dan larva inang yang optimal pada suhu 22.24 oC dengan 30 oC. Menurut beberapa peneliti (Collins et al. 1981; De Clercq kerapatan 69.38 larva, yaitu 10.12 larva/jam. Sedangkan laju et al. 2000; Montoya et al. 2000) perbedaan tanggap peletakan telur optimal pada suhu 24.41 oC dengan kerapatan fungsional dapat terjadi karena perbedaan tempat pengamatan, inang 94.54 larva yaitu 12.59 butir/jam. Ini menunjukkan pada jenis tanaman dan suhu lingkungan. Berdasarkan tempat kisaran suhu 22.24 dan 24.41 oC adalah suhu yang optimal pengamatan, tanggap fungsional tipe II lebih banyak terjadi parasitisasi bagi E. argenteopilosus. apabila pengamatan dilakukan di laboratorium, yaitu inang Dari hasil percobaan ini dapat disimpulkan bahwa E. yang disediakan terbatas. Sedangkan jika dalam kondisi alami argenteopilosus merupakan parasitoid yang potensial sebagai di lapangan parasitoid akan pindah mencari area pencarian, agens pengendali C. pavonana, karena berdasarkan tipe jika pada area sebelumnya kerapatan inang rendah. Hasil tanggap fungsional parasitoid ini adalah tanggap fungsional pengamatan Collins et al. (1981) menunjukkan tanggap tipe III pada suhu 25 dan 30 oC. Tanggap fungsional tipe III fungsional Aphelinus thompsoni (Graham) (Hymenoptera: menunjukan bahwa parasitisasi meningkat dengan Aphelinidae) adalah tipe III jika parasitoid ini diberi kesempatan meningkatnya kerapatan inang. Persyaratan suhu di lapangan untuk berpindah area percobaan, sebaliknya apabila terkurung dari inang juga berkisar pada suhu yang sama. Ketidakefektifan bersama inangnya dalam waktu yang tetap parasitoid parasitoid ini di lapangan diduga akibat terjadinya enkapsulasi memperlihatkan tanggap fungsional tipe II. telur parasitoid di dalam inang (Hadi 1985). Aktivitas pencarian dan waktu penanganan satu inang (Th/handling time) oleh E. argenteopilosus dipengaruhi oleh UCAPAN TERIMA KASIH suhu. Pada suhu 20 oC aktivitas pemarasitan berkurang karena waktu penanganan satu inang lebih lama, dibandingkan Kepada kepala Lab. Bioekologi Parasitoid dan Predator dengan suhu 25 dan 30 oC yaitu parasitoid lebih aktif sehingga Departemen HPT Faperta IPB, dan Direktur Yayasan PEKA waktu penanganan dan laju pemarasitan lebih cepat. Terdapat Indonesia, atas semua fasilitas yang diberikan. Kepada Dirjen pola, semakin rendah suhu maka aktivitas parasitoid semakin Dikti yang telah memberi dana Hibah Bersaing X untuk berkurang. Perbedaan respons parasitoid terhadap inang membiayai penelitian ini. terjadi akibat perubahan tingkah laku pencarian inang, karena pengaruh suhu. Jones et al. (2003) menyatakan terdapat DAFTAR PUSTAKA hubungan negatif antara suhu dengan laju parasitisasi, yaitu terjadi pengurangan rata-rata penyerangan oleh parasitoid Abduchalek B. 2000. Kerapatan populasi parasitoid larva Eriborus dengan menurunnya suhu. Beberapa spesies parasitoid argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) pada dua jenis inang di pertanaman brokoli dan tomat petani di daerah seperti Lysiphlebus testaceipes Cress. (Hymenoptera: Cibodas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Fakultas ), Chepalonomia watersoni (Gahan) Pertanian, Institut Pertanian Bogor. (Hymenoptera: Bethylidae) Cardiochiles philippinensis Anindhita K. 1999. Oviposisi, enkapsulasi dan keberhasilan hidup (Ashmead) (Hymenoptera: Braconidae) memperlihatkan Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera; Ichneumonidae) pada inang Crocidolomia binotalis Zeller hubungan dengan inangnya sangat dipengaruhi oleh suhu. (Lepidoptera; pyralidae), Spodoptera litura Fab. dan Helicoverpa Laju penyerangan parasitoid terhadap inangnya menurun armigera (Lepidoptera; noctuidae) [Skripsi]. Bogor: Fakultas dengan menurunnya suhu, karena aktivitas parasitoid Pertanian, Institut Pertanian Bogor. termasuk oviposisi berkurang pada suhu rendah. Jika Collins MD, Ward SA, Dixon AFG. 1981. Handling time and the functional response of Aphelinus thompsoni, a predator and penyerangan dan parasitisasi inang oleh parasitoid berkurang parasite of the aphid Drepanosiphum platanoidis. Anim Ecol maka telur yang dihasilkannya juga berkurang. Menurut Papaj 50:479-487. (2001), apabila kegiatan oviposisi tidak ada maka tidak ada De Clercq PD, Mohaghegh J, Tirry L. 2000. Effect of host on stimuli ovari untuk memproduksi telur. functional response of predator Podisus nigripinus (Heteroptera: ). Biol Control 18:65-70. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wang dan Ferro Godfray HCJ. 1994. Parasitoids, Behavioral and Evolutinary Ecology. (1998) dengan parasitoid Trichogramma ostriniae New Jersey: Princeton Univ Pr. 22 NELLY ET AL. Hayati

Hadi S. 1985. Biologi dan perilaku Inareolata sp. (Hymenoptera; Oaten A, Murdoch WW. 1975. Functional response and stability in Ichneumonidae) parasitoid larva pada C. binotalis Zell predator prey system. Am Nat 109:289-298. (Lepidoptera; pyralidae) [Tesis]. Bogor: Fakultas Pasca Sarjana, Othman N. 1982. Biology of Crocidolomia binotalis Zeller Institut Pertanian Bogor. (Lepidoptera; Pyralidae) and its parasites from Cipanas area Hassel MP. 2000. The Spatial and Temporal Dynamics of Host (West Java). Bogor: Seameo Biotrop Indonesia. Parasitoid Interaction. New York: Oxford Univ. Papaj DR. 2001. Ovarian dynamics and host use. Annu Rev Entomol Jones DB et al. 2003. Fuctional response of an introduction parasitoid 45:423-448. and indigenous parasitoid on greenbug at four temperature. Environ Rogers DJ. 1972. Random search and insect population models. Anim Entomol 32:425-432. Ecol 41:569-383. Juliano SA. 1993. Non-linier curve fitting: Predation and functional Sahari B. 1999. Studi enkapsulasi parasitoid Eriborus argenteopilosus response curves. Di dalam: Scheiner SM, Gurevitch J (ed). Design Cameron (Hymenoptera; Ichneumonidae) dan implikasinya pada and Analysis of Ecological Experiments. New York: Chapman & inang Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera; Pyralidae) dan Hall. hlm 158-183. Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera; Noctuidae) [Skripsi]. Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crop in Indonesia. Revised and Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. translated by. P.A Van Der Laan. Jakarta: PT. Ichtiar Baru-Van SAS Institute. 1990. SAS User’s guide. ver. 6, Ed ke-4. vol II, Cary Hoeve. (North Carolina): SAS Institute Inc. McCaffrey JP, Horsburgh RL. 1986. Functional response of Orius Sharov A. 1996. Functional and numerical response. http://www.ento. insidiosus (Hemiptera: Anthocoridae) to the European red mite, vt.edu/~sharovPopEcol/lec10/funcreso.html. [28 Okt 2002]. Panonychus ulmi (Acari: Tetranychidae), at different constant Tillman PG. 1996. Functional response of Microplitis croceipes and temperatures. Environ Entomol 15:532-535. Cardiochiles nigriceps (Hymenoptera: Braconidae). Environ Meyer RH. 1971. Response Surface Methodology. Boston: Allyn and Entomol 25:524-528. Bacon Inc. Wang B, Ferro DX. 1998. Functional responses of Trichogramma Montoya P et al. 2000. Functional response and superparasitsm by ostriniae (Hymenoptera: Trichogrammatidae) to Ostrinia nubilalis Diachasmimorpha longicaudata (Hymenoptera: Brachonidae) a (Lepidoptera: Pyralidae) under laboratory and field conditions. parasitoid of fruit flies (Diptera: Tephritidae). Ann Entomol Soc Environ Entomol 27:752-758. Am 93:47-54.