Peran Elit Masyarakat: Studi Kebertahanan Adat Istiadat Di Kampung Adat Urug Bogor Asep Dewantara

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Peran Elit Masyarakat: Studi Kebertahanan Adat Istiadat Di Kampung Adat Urug Bogor Asep Dewantara Asep Dewantara : Peran Elit … 89 Peran Elit Masyarakat: Studi Kebertahanan Adat Istiadat di Kampung Adat Urug Bogor Asep Dewantara Abstrak Tulisan ini merupakan penelitian studi lapangan dengan Judul Peran Elit Masyarakat: Studi Kebertahanan Adat Istiadat Di Kampung Adat Urug Bogor ini bertujuan pertama, menguji teori Ajip Rosidi mengenai Perubahan Sosial Budaya melalui data lapangan atau secara empiris. Kedua untuk mengungkapkan nilai- nilai budaya dalam adat istiadat atau kearifan lokal di Kampung Adat Urug dan menjelaskan peran Ketua Adatnya sebagai elit masyarakat dalam menjaga keberlangsungan adat istiadat tersebut. Penelitian ini bersifat deskriptif-kualitatif dengan menggunakan pendekatan Antropologis, Sosiologis dan Hermeunitik. Sementara Subjek kajiannya adalah masyarakat kontemporer di Kampung Adat Urug, Desa Kiarapandak, Kecamatan Sukajaya kabupaten Bogor, terutama Ketua Adat yang berjumlah tiga orang dan sebagian warga sebagai informan. Kata kunci: Elit Masyarakat, Kebertahanan, Adat-istiadat, Kampung Adat Urug Abstract Thesis research field studies with title Role Of Elite Society: Studies Of Viability Customs In Kampung Adat Urug Bogor aims first to test the theory of Ajip Rosidi on social-cultural change through field data or empirically. Second to express cultural values in customs or local wisdom in Kampung Adat Urug Bogor and explains the role of chairman of the customary as an elite society in maintaining the continuity of traition. This research is a descriptive-qualitative anthropological, sociological and hermeunitik. While the subject of study is of contemporary society in Kampung Adat Urug, Kiarapandak village, Sukajaya District, Bogor regency, especially indigenous Chairman of three people and some residents as informants. Keywords: Elite Society, Viability, Customs/Local Wisdom, Kampung Adat Urug Bogor. 90 Al-Turāṡ Vol. XIX No. 1, Januari 2013 A. Pendahuluan Indonesia yang mendiami sebelah Barat pulau Jawa, yaitu daerah-daerah yang Kajian ini ingin melihat sekarang dikenal dengan nama masyarakat Sunda Bogor sebagai Bandung, Garut, Sukabumi, Cianjur, sebuah komunitas yang mengalami Tasikmalaya, Sumedang, Ciamis, perubahan seiring dengan kemajuan Kuningan, Cirebon, Banten yang zaman. Kesimpulan hasil studi Ajip sekarang menjadi provinsi sendiri,3 Rosidi menyebutkan bahwa seiring Bekasi, Karawang dan Bogor. Bahasa dengan perubahan zaman akan terjadi dan penggunaan nama diri menjadi pergeseran atau pengikisan adat istiadat salah satu identitas kesundaan mereka dan tradisisi.1 Akan tetapi Kenyataan yang paling menonjol. Sedang dalam lapangan, penulis menemukan bahwa perspektif antropologi budaya, suku pada komunitas masyarakat Sunda bangsa Sunda adalah orang-orang yang Bogor dalam praktek kehidupan sehari- secara turun-temurun menggunakan harinya masih berpedoman dan bahasa Sunda beserta dialeknya sebagai berpegang teguh pada adat istiadat dan bahasa ibu dalam kehidupan sehari-hari tradisi setempat.2 Persoalannya dan berasal atau bertempat tinggal di mengapa pada komunitas masyarakat Jawa Barat. Demikianlah, daerah Jawa Sunda Bogor adat istiadat dan Barat dikenal juga dengan istilah Tanah tradisinya bisa bertahan. Menurut Pasundan atau Tatar Sunda yang secara asumsi penulis bahwa kebertahanan kultural (penggunaan bahasa), masih adat istiadat dan tradisi ini tidak lepas terlihat dipakai di daerah Cilosari dan dari peran sesepuh sebagai elit Citanduy yang menjadi batas wilayah masyarakat dalam menjaga adat istidat Jawa Barat dan Jawa Tengah.4 dan tradisi tersebut. Dalam konteks pemikiran di Masyarakat Sunda adalah salah atas sering kali sebutan Urang Sunda satu kelompok etnis atau suku bangsa di (Orang Sunda) adalah mereka yang mengaku dirinya dan diakui oleh orang 1Ajip Rosidi, Manusia Sunda (Jakarta: Inti Idayu lain sebagai orang Sunda. Dengan Press, 1984), h. 13. Lihat pula Ajip Roisdi, demikian sekurang-kurangnya ada dua Mencari Sosok Manusia Sunda (Jakarta: kriteria bahwa seseorang atau Pustaka Jaya, 2010), h. 51-66. sekelompok orang dikatakan sebagai 2Survei penulis misalnya pada tanggal 7-8 April 2012 di Kampung adat Urug, Desa Kiara orang Sunda. Pertama, aspek genetik Pandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten (keturunan) atau hubungan darah. Bogor. Dalam praktek kesehariannya mereka Seseorang atau sekelompok orang bisa masih memegang teguh adat istiadat dari disebut orang Sunda bila orang tuanya, leluhurnya. Di sini Adat diartikan sebagai salah baik dari pihak ayah atau pihak ibu satu wujud kebudayaan yang bersifat abstrak, biasaya berupa gagasan yang dituangkan maupun keduanya adalah orang Sunda melalui lisan atau dalam bentuk tulisan. Adat dan di manapun orang itu dilahirkan, juga berfungsi untuk mengatur, mengendalikan dibesarkan dan berada. Kedua, aspek dan memberi arah kepada kelakuan dan lingkungan sosial budaya. Mereka akan perbuatan manusia dalam masyarakat. Lihat disebut orang Sunda jika lahir, tinggal Koentjaraningrat, Kebudayaaan mentalitas dan pembangunan (Jakarta: PT Gramedia, 1974), h. dan dibesarkan di daerah Sunda serta 5. Demikianlah adat yang masih bertahan dalam menggunakan dan menghayati norma- komunitas masyarakat Sunda di kampung Adat Urug, Bogor misalnya larangan untuk berlebihan dalam segala sesuatu, seperti dalam 3Banten sekarang menjadi provinsi sendiri sejak sikap dan tindakan jangan mengambil yang tahun 2000, lihat Nina Herlina Lubis, Banten bukan hak kita, harus menghormati orang tua, Dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, guru dan pemerintah yang baik, harus bisa dan Jawara (Jakarta: LP3S, 2003), h.233-237. memelihara indera atau alat-alat tubuh dan adat 4Koentjaraningrat, Manusia dan kebudayaan istiadat lainnya. Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1971), h. 300. Asep Dewantara : Peran Elit … 91 norma dan nilai-nilai budaya Sunda Dalam lingkungan masyarakat walaupun kedua orang tuanya atau Sunda ada peribahasa yang leluhurnya bukan orang Sunda.5 menggambarkan hal-hal yang negatif, Berdasarkan uraian di atas maka sehingga maksudnya mengingatkan bisa dirumuskan bahwa orang Sunda agar orang Sunda menghindari hal-hal mempunyai ciri-ciri di antaranya lahir itu, seperti tergambar dalam beberapa dan besar atau berasal dari Tanah peribahasa berikut; “Asa Aing uyah Pasundan, bisa berbahasa Sunda dan Kidul” (angkuh, sombong, merasa menggunakan nama diri khas Sunda6 paling hebat, seperti garam dari laut serta menghayati norma-norma dan Selatan yang lebih asin dari garam asal nilai-nilai budaya Sunda. Selain itu, laut lain), “Nyieun pucuk ti Girang” ciri-ciri manusia Sunda bisa dilihat juga (membuat pangkal permasalahan), dari pandangan hidup mereka yang “Kandel kulit beungeut” (tidak punya tergambar dalam beberapa peribahasa malu), “Mipit teu amit ngala teu atau ungkapan. Misalnya Orang Sunda mènta” (mengambil sesuatu atau sangat terikat dengan tanah memetik hasil tanaman tanpa meminta kelahirannya, sejauh apa pun dia pergi izin dahulu kepada yang punya). Selain atau merantau pasti akan kembali ke itu ada pula peribahasa yang tempat dia berasal seperti dalam menerangkan kebaikan sehingga orang peribahasa “Bengkung ngariung Sunda dianjurkan untuk melakukannya, bongkok ngaronyok jeung dulur di bali seperti peribahasa “Ka cai jadi saleuwi, geusan ngajadi” (meskipun “bungkuk” ka darat jadi salogak, sareundeuk tetapi bersama saudara di kampung saigel, sabobot sapihandèan, sabata sendiri)7. sarimbagan” (selalu hidup rukun tidak Peribahasa lainnya yang pernah bertengkar hanya karena silang menandakan sifat orang Sunda, yaitu pendapat), “Cikaracak ninggang batu, mengenai hubungan persaudaraan atau laun-laun jadi legok” (segala sesuatu hubungan darah yang diketahui dalam jika dikerjakan dengan sabar dan tekun, beberapa peribahasa di bawah ini antara pasti akan ada hasilnya), “Ngukur ka lain; “Buruk-buruk papan jati” kujur nimbang ka awak” (harus tahu (walaupun buruk seperti apa pun jika diri, sadar diri, jangan melakukan hal- dia saudara kita, akuilah sebagai hal yang di luar kemampuan kita). saudara), “Ari salaki atawa pamajikan Dalam konteks ini Ajip Rosidi mah aya urutna, tapi ari dulur mah menegaskan, bahwa peribahasa itu moal aya urutna” (boleh dikatakan mencerminkan bangsa yang suami atau istri itu ada bekasnya, tetapi memilikinya atau menunjukkan yang namanya saudara itu tidak akan kepribadian manusianya.8 pernah ada bekasnya). Nilai-nilai yang terkandung dalam peribahasa tersebut dapat diidentikkan dengan ciri-ciri manusia 5Edi Suhardi Ekadjati, Kebudayaan Sunda Jilid 1 Sunda sebagaimana yang penulis (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), h. 7. katakan di atas, terdapat dalam naskah 6Di zaman modern seperti sekarang ini, tidak sedikit memang orang Sunda yang sudah tidak Sunda lama yaitu naskah Sanghyang menggunakan nama khas Sunda. Dan sebagai Siksakandang Karesian (ajaran tentang catatan, tidak semua orang yang bisa berbahasa hidup arif berdasarkan darma)9, Sunda disebut orang Sunda, karena bisa saja orang tersebut bukan berasal dari Sunda dan tidak memiliki garis keturunan sunda sama 8Ajip Rosidi, Mencari Sosok Manusia Sunda, h. sekali serta tidak menghayati nilai dan norma 44. budaya Sunda, karena bahasa itu bisa dipelajari. 9Saleh Danasasmita, dkk., Sewaka Darma, 7Ajip Rosidi, Mencari Sosok Manusia Sunda, h. Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat 216-217. Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan 92 Al-Turāṡ Vol. XIX No. 1, Januari 2013 termasuk adat istiadat dan tradisi yang tiga poin, 1. Sebagai pedoman dalam bertahan pada komunitas masyarakat menjalani hidup, 2. Sebagai kontrol Sunda di Kampung Adat Urug, Desa sosial terhadap kehendak dan nafsu Kiara Pandak, Kecamatan Sukajaya, yang
Recommended publications
  • The Sundanese Eco-Religion Kampong of Kasepuhan Ciptagelar Indigenous Local Community: Case Study Kampong Cengkuk, Sukabumi Regency
    KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 29 No. 1, Mei 2020 (39-50) THE SUNDANESE ECO-RELIGION KAMPONG OF KASEPUHAN CIPTAGELAR INDIGENOUS LOCAL COMMUNITY: CASE STUDY KAMPONG CENGKUK, SUKABUMI REGENCY Kampung Eko-Religi Sunda Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar: Studi Kasus Kampung Cengkuk, Kabupaten Sukabumi Ary Sulistyo Tim Ahli Cagar Budaya Kota Depok, Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata Kota Depok Gedung Baleka 2 Depok Lt.9, Jl. Margonda Raya No.54 [email protected] Naskah diterima : 22 Januari 2020 Naskah diperiksa : 30 Maret 2020 Naskah disetujui : 30 Mei 2020 Abstract. This research focused on eco-religion of indigenous Sundanese local community of Kasepuhan Ciptagelar at Southern Halimun Mountain on how to manage sustainable environment. The Kampong Cengkuk is one of several kampongs that still follow the tradition of indigenous local community of Kasepuhan Ciptagelar for hundred years. This descriptive qualitative research aims to reveal the internal and external factors led to deforestation of natural forests with average around 6-8% per year. The research shows that the kampong is still practicing eco-religion tradition by protecting forestland (leuweung tutupan) only for their subsistence. The hypothesis is that the social-culture changes had been occurred in the community not only to restrict outer island agriculture in the forest, but also, in wet rice cultivation activities, to manage sustainable environment. The reduction in process and ceremonial activities also happened, which was originally eight ceremonies of outer island agriculture rituals into five ceremonies of wet rice cultivation. The more profane activities were developing economic crops in home garden. Keywords: Ecoreligion, Kampong, Environment, Forest, Tradition Abstrak.
    [Show full text]
  • Land- ​ En Volkenkunde
    Music of the Baduy People of Western Java Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal- , Land- en Volkenkunde Edited by Rosemarijn Hoefte (kitlv, Leiden) Henk Schulte Nordholt (kitlv, Leiden) Editorial Board Michael Laffan (Princeton University) Adrian Vickers (The University of Sydney) Anna Tsing (University of California Santa Cruz) volume 313 The titles published in this series are listed at brill.com/ vki Music of the Baduy People of Western Java Singing is a Medicine By Wim van Zanten LEIDEN | BOSTON This is an open access title distributed under the terms of the CC BY- NC- ND 4.0 license, which permits any non- commercial use, distribution, and reproduction in any medium, provided no alterations are made and the original author(s) and source are credited. Further information and the complete license text can be found at https:// creativecommons.org/ licenses/ by- nc- nd/ 4.0/ The terms of the CC license apply only to the original material. The use of material from other sources (indicated by a reference) such as diagrams, illustrations, photos and text samples may require further permission from the respective copyright holder. Cover illustration: Front: angklung players in Kadujangkung, Kanékés village, 15 October 1992. Back: players of gongs and xylophone in keromong ensemble at circumcision festivities in Cicakal Leuwi Buleud, Kanékés, 5 July 2016. Translations from Indonesian, Sundanese, Dutch, French and German were made by the author, unless stated otherwise. The Library of Congress Cataloging-in-Publication Data is available online at http://catalog.loc.gov LC record available at http://lccn.loc.gov/2020045251 Typeface for the Latin, Greek, and Cyrillic scripts: “Brill”.
    [Show full text]
  • Ruang Publik Dan Ritual Warga Kampung Kasepuhan Ciptagelar Di Kabupaten Sukabumi-Jawa Barat Oleh: Nuryanto *)
    Ruang Publik dan Ritual Warga Kampung Kasepuhan Ciptagelar di Kabupaten Sukabumi-Jawa Barat Oleh: Nuryanto *) Abstrak Ruang antar bangunan dipahami sebagai area-area terbuka yang dapat diakses oleh masyarakat, dan biasanya terletak di antara bangunan-bangunan. Ruang antar bangunan dalam kajian ini menjadi menarik karena di dalamnya dapat terselenggara aktivtas bersifat publik dalam skala komunitas yang cukup terbatas. Sepintas lalu ruang antar bangunan adalah sebuah ruang publik yang dimiliki secara komunal oleh komunitas atau fasilitas negara yang diperuntukan untuk kepentingan publik. Namun kenyataan yang terjadi tidaklah demikian. Sebagian ruang-ruang antar bangunan yang ada adalah milik pribadi. Lapangan-lapangan yang biasa digunakan untuk olah raga, sebagian besar adalah milik pribadi yang belum dimanfaatkan lalu dibiarkan dimanfaatkan oleh publik hingga suatu saat ia memanfaatkannya, sehingga definisi ruang publik dalam hal ini bukan sekedar ruang untuk masyrakat publik, tapi juga diselenggarakan oleh masyarakat secara swadaya. Riset ini bersifat eksploratif dengan memanfaatkan pendekatan fenomenologis hermenitik dalam arsitektur dan etnografi. Sebagai kesimpulan umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa fenomena ruang antar bangunan sebagai ruang terbuka publik masih dieksplorasi sebagai sebuah fenomena umum dari ruang terbuka. Ruang publik akan terlihat bermakna pada saat ada acara-acara adat tertentu (ritual adat), seperti: seren tahun, ngadegkeun imah, hajat sasih, dan lain-lain. Di luar acara-acara tersebut, maka ruang publik seakan telah kehilangan fungsinya secara jelas. Ruang publik hanya dimaknai sebagai ruang terbuka biasa untuk kegiatan sehari-hari warganya. Hasil riset memberikan kontribusi pada pengembangan riset tentang budaya lokal yang akan memperkaya pengajaran tentang arsitektur vernakular. Di bidang praksis, riset ini dapat dimanfaatkan dalam desain ruang publik kontemporer Sunda, seperti restoran, café, dan sebagainya.
    [Show full text]
  • Public Space and Ritual in a Sundanese Traditional Hamlet Case: Kampung Kasepuhan Ciptagelar, Sukabumi Regency, West Java By: Sri Rahaju B.U.K
    Public Space and Ritual in a Sundanese Traditional Hamlet Case: Kampung Kasepuhan Ciptagelar, Sukabumi Regency, West Java by: Sri Rahaju B.U.K. Dept. of Architecture, Bandung Institute of Technology (ITB) [email protected] Nuryanto Dept. of Architecture, Indonesia University of Education (UPI) [email protected] History of the Formation of Kampung Kasepuhan Ciptagelar Kampung Kasepuhan Ciptagelar is a small hamlet, the place of the central government of an ancient traditional community of Ciptagelar (Kasepuhan Ciptagelar), which resided in several hamlets in the surrounding areas. The community is a part of the United Ancient Traditional Community of South Banten (Kasepuhan Kesatuan Adat Banten Kidul). Ciptagelar was built after the community leader had have a divine revelation or dream to move (hijrah wangsit) from the old location. According to ancient believe, it carried along an order from their ancestors, to leave their old hamlet, move, and built a new one at a certain location. This dream could happen several times to a leader, regardless of place and time. According to oral history, the events of moving motivated by hijrah wangsit could still be traced back to the time of Abah Ardjo, the late community leader. During his reign he had moved the central hamlet (kampung gede) several times. First, he had a dream to move kampung gede from Cidamar to Sirnaresmi, Cisolok District. Second, he moved from Sirnaresmi to Ciganas which he changed its name to Sirnarasa. Sirna meant lost, rasa meant "taste or trace" from city life. It’s meant that the community of the village isolated themselves from the influence of city life.
    [Show full text]
  • Download Article
    1st UPI International Conference on Sociology Education (UPI ICSE 2015) Local Wisdom of Ciptagelar in Managing Environmental Sustainability S. Komariah Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, INDONESIA [email protected] Abstract-Indonesian society as multicultural precisely in Sukabumi are indigenous peoples namely communities have localized knowledge that is invaluable in Ciptagelar community. Ciptagelar has different fostering harmony with nature. As in Ciptagelar people who characteristics with people outside Ciptagelar, such as have a variety of localized knowledge so that their living setting up facilities and infrastructure, including; granary, environment is maintained. The issue that will be studied in farming systems, livelihood, economic system, culture, this research is how local wisdom Ciptagelar in preserving art, traditional institutions, which hold government and the environment? As well as the efforts being made to others. Ciptagelar community based on the similarity of improve the preservation of the environment to realize the identity and high compliance with customary norms. This harmony of the human environment? In this study, is a major factor of environmental rights of indigenous researchers used a descriptive research method to describe villages with a variety of activities. a situation or event that is associated with the implementation of local wisdom community Ciptagelar. The Ciptagelar community has local wisdom is very subject of research is the custom figures, community valuable in fostering harmony with the natural leaders, and community Ciptagelar. Data collection environment so that sustainability of the environment. techniques in the study gained through observation, in- They stay awake. This was the impetus for the self- depth interviews, the study documentation. Data analysis reliance of the community Ciptagelar in managing its techniques include the reduction of the data, the environment so that their food needs are met in spite of presentation of data, and the withdrawal of the conclusion.
    [Show full text]
  • AKTIVITAS KOMUNIKASI RITUAL SEREN TAUN (Studi Etnografi Aktivitas Komunikasi Ritual Seren Taun Di Kasepuhan Cisungsang)
    1 AKTIVITAS KOMUNIKASI RITUAL SEREN TAUN (Studi Etnografi Aktivitas Komunikasi Ritual Seren Taun di Kasepuhan Cisungsang) SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Program Studi Ilmu Komunikasi Oleh : JUHENDI NIM 6662121051 KONSENTERASI HUBUNGAN MASYARAKAT PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2018 2 3 4 5 MOTTO DAN PERSEMBAHAN TEKAD, UCAP, LAMPAH -Juhendi- Persembahan Skripsi ini penulis persembahkan kepada : Ibu dan Bapak yang luar biasa sabar, mereka orang tua yang punya pemikiran progresif, meraka sadar bahwa pendidikan adalah bekal yang paling berharga untuk diwariskan, mereka paham betul bagaimana pendidikan bisa menuntun seseorang. Mereka orang tua yang membebaskan anaknya untu melakukan apapun selama bisa bertanggung jawab dan menyelesaikannya. Hatur nuhun Ibu, Bapak.. 6 ABSTRAK Juhendi. NIM 6662121051. Skripsi. Aktivitas Komunikasi Ritual Seren Taun (Studi Etnografi Aktivitas Komunikasi Ritual Seren Taun di Kasepuhan Cisungsang). Kasepuhan Cisungsang merupakan komunitas adat yang terletak di Lebak-Banten, masyarakat Cisungsang masih menjaga adat istiadat warisan Karuhun seperti seren taun. Ritual seren taun merupakan sebuah prosesi yang unik, seren taun dilaksanakan selama7 (tujuh) hari 7 (tujuh) malam dengan berbagai rangkaian ritual adat. Ritual seren taun mencerminkan sebuah aktivitas komunikasi yang kompleks, yang di dalamnya terdapat peristiwa-peristiwa komunikasi yang khas yang melibatkan tindak-tindak komunikasi
    [Show full text]
  • Religiosity of the Indigenous Kasepuhan Sunda Community in West Java Deni Miharja1* Idrus Ruslan2
    Advances in Social Science, Education and Humanities Research, volume 492 Proceedings of the 1st Raden Intan International Conference on Muslim Societies and Social Sciences (RIICMuSSS 2019) Religiosity of the Indigenous Kasepuhan Sunda Community in West Java Deni Miharja1* Idrus Ruslan2 1Faculty of Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Bandung, Indonesia 2Faculty of Uhsuluddin and Religious Study, Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, Bandar Lampung, Indonesia *Corresponding author. Email: [email protected] ABSTRACT This research is set out on the basis of a unique diversity that occurs in an indigenous (kasepuhan) Sundanese community in Ciptagelar. In general, Sundanese people are Muslims, but some Sundanese indigenous peoples are practicing a religion that is better known as the Sunda Wiwitan, a religious belief born and developed by the Sundanese Buhun, or early Sundanese people. This research aims to uncover and find out values of religiosity of the indigenous Sundanese community in Ciptagelar, located in Sirnarasa village of Sukabumi district, West Java province. This research uses a qualitative, descriptive method, a technique that reveals the research data in depth in order to know the description of the objects accurately. The results of this research substantiates a religion that thrives among the indigenous Sundanese people, rituals of which are based on the culture of Sunda wiwitan or buhun (indigenous people) and the influences of Islamic teachings. Hence, the religion of the indigenous kasepuhan Sundanese community is an accommodation of how the Sundanese local culture with the teachings of Islam. Keywords: Religiosity, Sundanese culture, indigenous religion, Islam, and Ciptagelar community 1. INTRODUCTION people from local cultures in various parts of the world are "stable, well-fed and comfortable, often more so than Indonesia is a nation of diverse culture, race, ethnicity, many of the non-elite members of European societies until language and tribe.
    [Show full text]
  • Downloaded4.0 License
    Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 175 (2019) 446–473 bki brill.com/bki The Countryside in Indonesian Contemporary Art and Media From Distant Horizons to Traversing Drones Edwin Jurriëns The University of Melbourne [email protected] Abstract This article analyses explorations of social and environmental problems and solutions in artistic representations of the Indonesian countryside and rural society, culture, and wisdom. It focuses on urban–rural creative collaborations that combine tradi- tional culture and knowledge with modern technology and media, such as drones and the Internet, to empower local communities, promote artistic innovation, and enhance environmental sustainability. It seeks to demonstrate that contemporary art and media strengthen the urban–rural network and the accessibility and exchange of creative ideas and information. At the same time, the author argues that some of the causes of cultural conflict and anthropogenic disaster are embedded in forms of audio-visual representation itself. The display of urban–rural encounters in art fest- ivals and social media can even instigate new forms of surveillance, and power and knowledge hierarchies, or reinforce regimes of consumer culture, partially respons- ible for the very problems the audio-visual representations and collaborations seek to address. Keywords contemporary art – rural culture – environmental problems – creative collaboration – Indonesia This article analyses explorations of social and environmental problems and solutions in artistic representations of the Indonesian countryside and rural society, culture, and wisdom. It focuses on urban–rural creative collaborations © edwin jurriëns, 2019 | doi:10.1163/22134379-17502023 This is an open access article distributed under the terms of the CC-BY-NCDownloaded4.0 License.
    [Show full text]
  • KONSEP POLA SPASIAL PERMUKIMAN DI KASEPUHAN CIPTAGELAR Spatial Pattern Concept of Settlement in Kasepuhan Ciptagelar
    Jurnal Permukiman Vol. 11 No. 1 Mei 2016 : 43-56 KONSEP POLA SPASIAL PERMUKIMAN DI KASEPUHAN CIPTAGELAR Spatial Pattern Concept of Settlement in Kasepuhan Ciptagelar Susilo Kusdiwanggo Prodi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Jl. MT. Haryono 167, Malang Surel: [email protected] Diterima : 14 Maret 2016; Disetujui :12 April 2016 Abstrak Leluhur Ciptagelar yang dikenal sebagai komunitas Pancer Pangawinan adalah masyarakat adat berdasarkan pada budaya padi, yaitu masyarakat yang masih memiliki keyakinan, kepercayaan, dan religi pada padi. Mentalitas asli leluhur Ciptagelar adalah berbudaya padi huma dengan paparakoan sebagai atribut, karakternya, dan jejak spasial masyarakat peladang. Ngalalakon adalah satu bentuk sistem kepercayaan budaya padi yang wajib dijalankan. Ngalalakon merupakan aktivitas memindahkan permukiman ke titik nadir. Budaya bermukim dipengaruhi oleh ritual ngalalakon ini. Bagaimanakah konsep pola spasial permukiman dari leluhur Ciptagelar yang berbasis budaya padi dan selalu berpindah ? Tulisan ini bertujuan menggali konsep dasar yang melandasi pola spasial permukiman pada masyarakat budaya padi di Kasepuhan Ciptagelar. Melalui metode etnografi, unit-unit informasi dianalisis secara thick description dan domain analysis hingga membangkitkan konsep spasial sebagai salah satu tema kulturalnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa paparakoan huma menjadi rujukan dasar atas konsep pola spasial permukiman di Kasepuhan Ciptagelar. Pola spasial permukiman Kasepuhan Ciptagelar tidak semata berorientasi pada pembangunan fisik saja, melainkan juga sebagai usaha membangun keyakinan untuk peningkatan dan penyempurnaan diri. Peran dan kehadiran Leuit Jimat menjelaskan bahwa permukiman Ciptagelar merupakan refleksi dan bentuk penyempurnaan atau akumulasi terkini dari pencapaian puncak-puncak kebudayaan padi dari generasi Ciptagelar sebelumnya. Kata Kunci : Budaya padi, budaya bermukim, permukiman, spasial, Kasepuhan Ciptagelar Abstract Ciptagelar ancestor known as Pancer Pangawinan community is indigenous people which based on rice culture, i.e.
    [Show full text]
  • The Local Wisdom Values of Kasepuhan Ciptagelar Community As a Source of History Learning
    THE LOCAL WISDOM VALUES OF KASEPUHAN CIPTAGELAR COMMUNITY AS A SOURCE OF HISTORY LEARNING ILHAM ROHMAN RAMADHAN Siliwangi University Tasikmalaya [email protected] Abstract This study aims to 1) analyze the history and local wisdom of the Kasepuhan Ciptagelar community; 2) obtaining values of local wisdom that can be integrated into the subjects of History; 3) Making local wisdom Kasepuhan Ciptagelar community as an alternative source of history learning. The method used in this research is descriptive qualitative. The results showed 1) The local wisdom of the Kasepuhan Ciptagelar community has tangible and intangible forms; (2) the values of local wisdom include social solidarity, pro- environmental approach, democratic, honesty, responsibility and creativity, (3) the values of local wisdom can be integrated into the subjects of Indonesian history in class X (Ten). We can conclude that the value of local wisdom in the Kasepuhan Ciptagelar community can be used as an alternative source of historical learning. Keywords: local wisdom, Kasepuhan Ciptagelar, history learning INTRODUCTION Indonesia is well known for its cultural diversity and tradition. These sublime cultures and traditions come from the hundreds of ethnics that inhabit the archipelago. Each of these communities has a variety of languages, customs, ways of life, values, and different spiritual norm, which are expressed in various forms of artifact (tangible) and tradition (intangible) that are resembled in the life of indigenous/ traditional societies. Local traditions are maintained in the community as a distinctive identity, where local cultural values contained in the tradition are used as a guide and the truth and sacredness of the community are believed.
    [Show full text]
  • Tone Systems, Angklung, Keromong, Dancing and Gender Aspects
    chapter 5 Tone Systems, angklung, keromong, Dancing and Gender Aspects As already mentioned, the earliest written sources about Baduy music, other than the Old Sundanese manuscripts, date from the beginning of the 19th cen- tury. The information in these reports cannot always be taken at face- value. The angklung (now a set of 9 bamboo idiophones, which are shaken) is men- tioned by almost all 19th century visitors to the area: Blume (1993[1822]: 32), Spanoghe (1838: 303), Van Hoëvell (1845: 429), Koorders (Meinsma 1869: 331), Jacobs and Meijer (1891: 24). However, it is not always clear whether the re- marks concern the Inner or the Outer Baduy, or even the surrounding Sun- danese. For instance, Jacobs and Meijer (1891: 24) report that the Baduy only have angklung and kacapi and that they are not allowed to have other instru- ments. I presume that these authors refer to the Inner Baduy, but even then this seems to be wrong. Inner Baduy have always had the karinding Jew’s harp, and the tarawélét (or taléot) and kumbang flutes as well, as far as we know. Jacobs and Meijer (1891: 24) also mention that the Baduy angklung consists of four instruments and that is very different from the nine instruments that are used nowadays in every ensemble in Kanékés. Without further evidence it seems likely that Jacobs and Meijer made a mistake. These authors classified the pantun stories under ‘language and literature’ and discussed it in a spe- cial section of their book, written by Meijer (Jacobs and Meijer 1891: 111–175).
    [Show full text]
  • I Pendahuluan
    Journal of Architectural Research and Education Vol. 2 (No.1), 2020 Journal of Architectural Research and Education (JARE) Vol. 2 (1) 37-45 @ Nuryanto, Sri Rahaju B.U.K., Indah Widiastuti. 2020 DOI: 10.17509/jare.v2i1.24033 STUDY OF PHENOMENOLOGY-HERMENITIC ON SUNDANESE VERNACULAR ARCHITECTURE PUBLIC SPACE Nuryanto1; Sri Rahaju B.U.K.2; Indah Widiastuti3 1 Department of Architectural Engineering Education, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Indonesia 2, 3 Department of Architecture, SAPPK Institut Teknologi Bandung, Indonesia Corresponding Author: [email protected], [email protected], [email protected] Article History: Received: 13 April Revised: 18 April Accepted: 24 Apri; Available online: 30 April 2020 2020 2020 2020 Abstract - This research is motivated by the phenomenon of inter-building space which is understood as an open area and can be accessed by people who are usually located between buildings. This study is a case study on public spaces in kampung Kasepuhan Ciptarasa and Ciptagelar, Sukabumi-West Java. The space between buildings in this study is interesting because in it public activities and rituals on a community scale can be held which are quite limited. The community itself becomes the agent responsible for care. The purpose and significance of public space research lie in the disclosure of open space phenomena that are local and participatory. The research method used is phenomenology-hermeneutics to find out the meaning of interpretation of the text of a phenomenon of public space that occurs. The results showed that the use of public space for the residents of kampung Kasepuhan Ciptarasa and Ciptagelar due to ritual activities, especially Seren Taun.
    [Show full text]