Jurnal Permukiman Vol. 11 No. 1 Mei 2016 : 43-56

KONSEP POLA SPASIAL PERMUKIMAN DI CIPTAGELAR

Spatial Pattern Concept of Settlement in Kasepuhan Ciptagelar

Susilo Kusdiwanggo Prodi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Jl. MT. Haryono 167, Malang Surel: [email protected] Diterima : 14 Maret 2016; Disetujui :12 April 2016

Abstrak Leluhur Ciptagelar yang dikenal sebagai komunitas Pancer Pangawinan adalah masyarakat adat berdasarkan pada budaya padi, yaitu masyarakat yang masih memiliki keyakinan, kepercayaan, dan religi pada padi. Mentalitas asli leluhur Ciptagelar adalah berbudaya padi huma dengan paparakoan sebagai atribut, karakternya, dan jejak spasial masyarakat peladang. Ngalalakon adalah satu bentuk sistem kepercayaan budaya padi yang wajib dijalankan. Ngalalakon merupakan aktivitas memindahkan permukiman ke titik nadir. Budaya bermukim dipengaruhi oleh ritual ngalalakon ini. Bagaimanakah konsep pola spasial permukiman dari leluhur Ciptagelar yang berbasis budaya padi dan selalu berpindah ? Tulisan ini bertujuan menggali konsep dasar yang melandasi pola spasial permukiman pada masyarakat budaya padi di Kasepuhan Ciptagelar. Melalui metode etnografi, unit-unit informasi dianalisis secara thick description dan domain analysis hingga membangkitkan konsep spasial sebagai salah satu tema kulturalnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa paparakoan huma menjadi rujukan dasar atas konsep pola spasial permukiman di Kasepuhan Ciptagelar. Pola spasial permukiman Kasepuhan Ciptagelar tidak semata berorientasi pada pembangunan fisik saja, melainkan juga sebagai usaha membangun keyakinan untuk peningkatan dan penyempurnaan diri. Peran dan kehadiran Leuit Jimat menjelaskan bahwa permukiman Ciptagelar merupakan refleksi dan bentuk penyempurnaan atau akumulasi terkini dari pencapaian puncak-puncak kebudayaan padi dari generasi Ciptagelar sebelumnya. Kata Kunci : Budaya padi, budaya bermukim, permukiman, spasial, Kasepuhan Ciptagelar

Abstract Ciptagelar ancestor known as Pancer Pangawinan community is indigenous people which based on rice culture, i.e. the people who still have faith, trust, and religion in rice. Indigenous mentality of Ciptagelar ancestor based on dry-land rice with paparakoan as attributes, character, and spasial traces. Ngalalakon is one form of obligation in rice cultural belief systems. Ngalalakon is activity to relocation the settlement to the lowest point. Dwelling culture affected by this ngalalakon ritual. How did spatial patterns concept of settlement on Ciptagelar ancestor that based on the rice culture and always on the move ? This paper aims to explore the basic concepts underlying the spatial pattern of settlement on rice culture community in Kasepuhan Ciptagelar. Using ethnographic methods, the unit of information analyzed by thick description and analysis domain in order to generate a spatial concept as one of the cultural theme. The results showed that paparakoan be a basic reference to spatial pattern concept of settlement in Kasepuhan Ciptagelar. The spatial pattern concept of settlement in Kasepuhan Ciptagelar not only oriented to physical development, but also as an effort to build belief in for enhancement and self-refinement. The role and presence of Leuit Jimat explained that the Kasepuhan Ciptagelar settlement is a reflection and form of improvement or current accumulation of achieving the peaks of the rice culture from previous generation. Keywords : Rice culture, dwelling culture, settlement, spatial, Kasepuhan Ciptagelar

PENDAHULUAN Ngalalakon merupakan tradisi bermukim Sebagai sebuah komunitas yang memiliki tradisi kelompok Pancer Pangawinan berdasarkan budaya ngalalakon, lembur (permukiman) Ciptagelar padi (rice culture) dengan cara memindahkan menjadi kesepuhan ke-19 sejak permukiman kasepuhan. Tradisi ini tidak dimiliki oleh kelompok pertama yang telah dibangun di Cipatat Urug pada kasepuhan lainnya seperti Citorek dan Cicarucub tahun 1368 silam. Permukiman Ciptagelar sendiri maupun kelompok Baduy. Leluhur Ciptagelar baru resmi dihuni pada 12 April 2000 lalu. memiliki tradisi bermukim yang senantiasa

43 bergerak. Pergerakan tersebut merupakan dijadikan sebagai pendekatan dalam penelitian kewajiban yang harus dijalani dari titah karuhun arsitektur vernakular (Knapp, 1997). Lingkungan (leluhur) melalui wangsit. Warga masih fisik yang ditemui merupakan lanskap kultural mempercayai bahwa kelak sesepuh Ciptagelar akan yang menjelaskan arsitektur vernakular sebagai memindahkan pusat pemerintahannya ke ekspresi langsung pada kehidupan warga dan permukiman baru lagi, tetapi dalam waktu yang aktivitas sehari-hari. belum bisa ditentukan. Selain lokus, topografi juga menjadi rujukan para Kasepuhan adalah suatu himpunan dari banyak peneliti vernakular. Nuraini (2014) menyatakan lembur dan kampung-kampung kecil dan besar secara eksplisit bahwa penelitiannya berada di yang terikat secara adat dan budaya. Setiap kali salah satu desa pegunungan dengan spesifikasi kasepuhan berpindah ke tempat baru, lokasi berada di tepi sungai, yaitu di Desa Singengu, di kasepuhan lama akan berubah berstatus menjadi Mandailing Julu, Sumatera Utara. Sementara itu, tari kolot. Area sebaran wilayah kultural lokus penelitian Rahaju (2005), sebenarnya juga kasepuhan leluhur Ciptagelar berada di seputar berada di tepi sungai, yaitu tepi Sungai Ciwulan di pegunungan Kendeng yang meliputi dua provinsi, Kampung Naga namun berbeda latar belakang yaitu Provinsi dan Jawa Barat yang disebut budayanya. sebagai Kesatuan Adat Banten Kidul Kasepuhan Ciptagelar. Selain sungai, beberapa penelitian sebelumnya menggolongkan penelitiannya di daerah Jejak sejarah perpindahan permukiman pegunungan, seperti Parimin (1986), Nuryanto menunjukkan bahwa tiap-tiap permukiman baru (2006), dan Rejeki (2012). Rejeki bahkan yang terbentuk tidak memiliki kesamaan artefak menyebutkan lokusnya secara spesifik di “lereng dan/atau elemen permukimannya. Permukiman Gunung Sindoro”. Jenis penelitian berdasarkan yang dibangun belakangan, relatif lebih memiliki topografi juga dirujuk oleh Salura (2005, 2007). kelengkapan elemen permukiman alih-alih Satu dari tiga lokus penelitian Salura berada di permukiman sebelumnya. Beberapa elemen daerah pegunungan walaupun tidak terlalu tinggi. permukiman tari kolot bahkan ikut dibawa pindah Salura membandingkan pola permukiman yang dan direlokasi ke tempat baru. Dengan demikian terjadi di tiga desa di Jawa Barat dengan topografi permukiman Ciptagelar sebagai permukiman yang berbeda, yaitu dari tinggi (900m dpl) – terkini merupakan permukiman yang memuat sedang (400m dpl) – rendah (50m dpl). Barangkali, akumulasi dan kristalisasi nilai-nilai bermukim Salura mencoba mengikuti klasifikasi Ekadjati terlengkap, pengalaman, dan kompilasi dari (1980) yang mengelompokkan kampung Sunda beragam artefak dan tata spasial permukiman berdasarkan tiga level topografi, yaitu pegunungan, sebelumnya. Pendirian permukiman baru berarti dataran rendah, dan pantai. Nuryanto juga membangun tatanan baru, baik bangunan maupun menggunakan klasifikasi yang sama untuk wilayah struktur organisasi sosialnya, melalui replikasi dari penelitiannya, yaitu di dataran tinggi seputar yang lama, adaptasi dari lingkungan sekitar, Gunung Halimun. maupun aplikasi dari sulaman budaya baru. Penelitian Nuraini bertujuan menemukan teori Beberapa elemen yang menyulam permukiman baru tentang permukiman pegunungan yang baru antara lain adalah kehadiran (1) Leuit Jimat berada di tepi sungai. Nuraini menggunakan pada tahun 1898 ketika pemerintahan kasepuhan metode fenomenologi. Temuan penelitian Nuraini di Bojong Cisono di bawah kepemimpinan Abah adalah arah bincar-bonom (terbit-terbenam Jasiun dan (2) tihang kalapa pada tahun 2000 di matahari) sebagai basis tata ruang permukiman Ciptagelar dibawah kepemimpinan Abah Encup Desa Singengu, sebagai bentuk kepatuhan kepada Sucipta. Sejak kelahirannya, Leuit Jimat selalu Datu (Sang Pencipta). Dengan menggunakan dibawa kemanapun kasepuhan ngalalakon metode penelitian fenomenologi yang sama, Rejeki (berpindah permukiman) hingga kedudukan melakukan penelitian di Desa Kapencar di kasepuhan saat ini di Ciptagelar. Leuit Jimat Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Penelitian menandai diberlakukannya pola pertanian Rejeki bertujuan untuk mengkaji secara mendalam campuran, antara pola berhuma dan bersawah. tentang tata permukiman, termasuk makna pundèn Sedangkan, kehadiran tihang kalapa relatif baru pada tatanan keruangan. Temuan dalam penelitian sebagai peneguh kekuasaan kasepuhan. Rejeki adalah falsafah pangayoman sebagai spirit keberadaannya sebagai substansi elemen hidup masyarakat dan pundèn sabagai simbol permukiman akan teruji setelah Kasepuhan keberadaan falsafah pangayoman itu sendiri. Ciptagelar ngalalakon di waktu yang akan datang. Perbedaan dari kedua penelitian tersebut adalah karakteristik lokus dan topografinya. Selain itu, Penelitian ini merupakan penelitian arsitektur budaya juga menjadi salah satu pembeda diantara vernakular. Faktor geografi, yaitu lokus sering kali kedua penelitian tersebut, namun budaya hanya

44 Jurnal Permukiman Vol. 11 No. 1 Mei 2016 : 43-56 sebagai latar bukan sebagai akar mentalitas masyarakat budaya padi di Kasepuhan Ciptagelar budaya yang disadari berdampak pada pola melalui budaya padi sebagai latar belakang budaya pemikiran dan perilaku komunitas. sekaligus sebagai mentalitas berpikir dan berperilaku. Budaya padi disadari sebagai dasar Sementara itu, penelitian Rahaju membahas utama yang melandasi kehidupan komunitas gagasan masyarakat dalam mengatur tempat di Ciptagelar. lingkungan alam, kampung, dan rumah dengan lokus Kampung Naga di Tasikmalaya Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan metode etnografi. Tema yang diperoleh dari penelitian Rahaju ini Tema-tema kultural yang muncul dalam penelitian adalah tema-tema budaya dalam hal gagasan tidak dimaknai dalam kerangka strukturalisme, pengaturan tempat pada masyarakat Kampung melainkan dideskripsikan secara berlapis (thick Naga. Salah satu di antaranya adalah peran dan description) berdasarkan pemahaman komunitas kedudukan makam leluhur kampung dan bumi (emik). Geertz (1973) menyatakan bahwa bagian ageung dalam setiap kegiatan adat kampung dan yang kritis dari etnografi adalah thick description, pola permukimannya. Penelitian Rahaju ini yaitu sebuah deskripsi detail yang ekstrim dari menggunakan metode etnografi. seluruh detail data kualitatif yang coba ditangkap oleh peneliti pada sebuah rona sosial dengan Berbeda dengan Rahaju yang mengunakan kehidupan orang-orang di dalamnya. Thick pendekatan etnografi, penelitian Salura description merupakan penjelasan mendalam di menggunakan metode antropologi dan sastra mana data yang diamati berada pada tiga paras budaya. Antropologi di sini merujuk pada (level), yaitu pertama, apa yang sebenarnya terjadi; perspektif strukturalisme Levi-Straus. Penelitian kedua, apa yang dianggap orang terjadi; ketiga apa Salura bermaksud mengungkap struktur yang mereka anggap seharusnya terjadi (Pranowo, permukiman dari bentuk dan makna atas tiga desa 1991). yang berbeda topografinya. Penggunaan konsep strukturalisme mengingatkan pada tulisan Jong Tradisi berpindah tempat (ngalalakon) leluhur (1952) dan Levi-Straus (1963) pada masyarakat Ciptagelar tidak identik dengan kebiasaan pindah Minangkabau. Tema yang dihasilkan dari (migrasi) kaum nomad di Eropa (Saputra, 1950). penelitian Salura tersebut adalah konsep sinegar- Tradisi pindah ini merupakan tugas dari karuhun tengah dan kaca-kaca. (leluhur) yang wajib dijalankan. Melaksanakan perintah karuhun adalah salah satu bentuk Penelitian Nuryanto dengan lokus Ciptagelar ketaatan beribadah. Ketika hijrah wangsit (pesan bertujuan untuk mengindentifikasi keberlanjutan leluhur secara supernatural) tiba, maka semua dan perubahan elemen fisik permukiman ladang, sawah, dan bangunan akan ditinggalkan, masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul dari kecuali beberapa bangunan saja, terutama Ciptarasa sebagai permukiman sebelumnya ke lumbung padi utama, yaitu Leuit Jimat. Ciptagelar sebagai permukiman baru. Nuryanto mengurutkan gaya arsitektural elemen Dalam perspektif migrasi peladangan berpindah permukiman, apakah terjadi keberlanjutan atau setidaknya dikenal tiga cara perpindahan, yaitu perubahan elemen-elemen fisik lembur dispersal, drift, dan flight (Alexander, 2006). (permukiman) ketika permukiman berpindah Dispersal adalah perpindahan sementara tempat lokasi. Melihat proses pengurutan ini penelitian tinggal dari kota ke lahan pertanian terpencil Nuryanto sebenarnya dapat dikategorikan sebagai selama masa puncak pertanian. Drift adalah penelitian dengan pendekatan arkeologis. Namun migrasi jarak pendek di mana individu atau rumah Nuryanto sendiri menyebutnya sebagai penelitian tangga berpindah ke pinggir kota besar, kota kecil, dengan dengan metode deskriptif – kualitatif. kota baru, atau permukiman baru untuk periode Penelitian Nuryanto tidak membahas konsep dan waktu yang lebih lama. Kadang-kadang terjadi filosofi yang melandasinya. lompatan perpindahan ke kota besar atau pusat kota. Flight adalah migrasi permanen dan dalam Walaupun memiliki lokus yang sama dengan jarak yang relatif jauh melampaui batas-batas penelitian Nuryanto dan metode penelitian Rahaju, otoritas politiknya yang seringkali terjadi karena tetapi penelitian ini berbeda karakteristiknya. merespon perpecahan pemerintahan, adanya faksi- Berdasarkan ritual ngalalakon dan jejak faksi, dan kerusuhan politik. Tiga cara perpindahan permukiman saat ini sebagai akumulasi nilai-nilai di atas bersifat penduduk-perorangan atau bermukim terkini, bagaimanakah konsep pola domestik. Demikian juga dengan proses migrasi spasial permukiman Kasepuhan Ciptagelar yang penduduk yang dideskripsikan oleh Hedberg dan berbasis pada budaya padi? Kepsu (2003) dan Jokisch (2002).

Penelitian ini bertujuan menggali konsep dasar Mobilitas (perpindahan) dilakukan untuk yang melandasi pola spasial permukiman pada mempertahankan hidup (Wilkinson dalam

45 Tjiptoherijanto, 2000). Proses mempertahankan satu hal penting dalam tahap persiapan adalah hidup melebar mencakup konteks ekonomi, sosial, reconnaissance, yaitu proses penjajagan di politik, juga budaya. Mobilitas dapat dikatakan juga lapangan untuk memastikan fokus dan lokus migrasi. Migrasi melibatkan dua aspek, yaitu penelitian. Reconnaissance dimanfaatkan sebagai tempat keberangkatan dan titik kedatangan: upaya memperoleh akses dan membangun memusatkan pada tempat dan memencarkannya hubungan sosial dengan informan pertama pada menjadi beberapa urusan politis ekonomis pada kelompok budaya. diferensiasi ruang (Amith, 2005). Tinjuan pustaka didudukkan sebagai latar Gupta (1992) melihat migrasi bukan sekadar belakang pengetahuan atau informasi yang proses gerakan fisik, tetapi juga pelibatan berbagi berguna dalam memberi gambaran fokus pengalaman pribadi yang berkembang, apakah itu penelitian. Beberapa teori yang ada tidak serta mempertahankan dan mereproduksi pola-pola merta dirujuk sebagai usaha membangun kerangka umum, identitas dan komunitas. Migrasi adalah berpikir. Penelitian ini menggunakan tema kultural proses place making, yaitu bangun perasaan yang atau perspektif teoritis, di mana teori muncul di terikat pada ruang, waktu, dan memori dalam awal penelitian. Sesuai dengan rancangan memproduksi lokasi. Dengan meminjam istilah penelitian kualitatif, teori yang muncul di awal ini structures of feeling (Williams, 1979), di dalam dapat dimodifikasi atau disesuaikan sedemikian migrasi terdapat hubungan dialektis antara rupa berdasarkan pandangan dari para partisipan individu dan sosial, partikular dan general, privat selama penelitian berlangsung. dan publik, proses dan struktur, serta pengaturan hubungan masa kini dengan masa lalu dan masa Dalam penelitian etnografi, data adalah milik depan. kelompok yang diteliti. Data penelitian ini dihimpun dengan cara observasi, wawancara, dan Migrasi pada dasarnya adalah fenomena mengisi dokumentasi atau mengambil catatan lapangan. suatu relung lingkungan atau ruang baru, ekonomi, Data dihimpun langsung dari lapangan melalui dan politik di mana imigran beradaptasi dan observasi. Pengamatan dilakukan secara mengakibatkan difusi, perubahan perilaku, dan menyeluruh terhadap aktivitas budaya padi warga pergeseran budaya (Binford, 2001). Pergeseran dalam lingkungan alamiah guna mendapatkan budaya bisa membawa perubahan budaya. Hal ini informasi dari tangan pertama. Peneliti mengamati tidak mengherankan karena budaya dapat dilihat dan berpartisipasi secara langsung (participant as sebagai dinamika proses. Migrasi terjadi karena observer) pada tahap-tahap aktivitas budaya padi. adanya perubahan budaya. Observasi lapangan dilakukan secara periodik dalam kurun waktu empat kali masa tanam untuk Saat ini, kajian migrasi atau perpindahan dari memperoleh data yang komprehensif. Peneliti perspektif ekonomi sangat mendominasi. Para tidak menetap sepanjang empat musim tanam cendekia masih kesulitan menentukan migrasi tanpa jeda, tetapi melakukan observasi ulang dalam motif ekonomi dan nonekonomi (Kunz, secara periodik, terutama pada peristiwa-peristiwa 1973). Migrasi terjadi karena adanya dikotomi dua budaya padi selama rentang waktu tersebut, kutub. Jalur mobilitas mengalir dari rural ke urban, kalibrasi data, maupun refleksikalitas informasi. dari tradisional ke urban. Tetapi bagaimana jika ternyata mobilitas justru berlaku sebaliknya? Dari Dalam wawancara, informan berikutnya semimodern kembali ke tradisional lagi. Dari ditentukan oleh informan sebelumnya. Setiap masyarakat affluent yang sudah berswasembada informan terdahulu membawa informasi untuk pangan kembali ke masyarakat yang mulai informan berikutnya. Pendalaman informasi mempertahankan hidupnya lagi dari awal dilakukan hingga mencapai titik jenuh (saturated). (subsisten). Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar merupakan fakta bahwa masih ada kelompok Dokumentasi atau catatan lapangan berbentuk masyarakat kultural yang melakukan mobilitas foto, audio, video, sketsa, dan catatan etnografi (ngalalakon) kembali ke titik nadir. Budaya yang ditulis di luar lapangan. Catatan etnografi bermukim warga leluhur Ciptagelar yang berbasis dibagi menjadi dua bagian, yaitu deskriptif dan budaya padi dipengaruhi oleh ritual ngalalakon. reflektif. Catatan deskriptif diwujudkan dalam bentuk jurnal harian yang menyajikan rincian kejadian. Beberapa kejadian dalam catatan METODE deskritif masih perlu diberi catatan tambahan Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berupa memo analitik maupun inferensi peneliti. dengan strategi etnografi (Creswell, 2003:14) atau Catatan reflektif adalah catatan deskriptif yang lebih dikenal sebagai field research (Neuman, 2006: dibawa kembali ke informan pada kunjungan 378). Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, berikutnya untuk mendapatkan umpan balik data yaitu persiapan, observasi, dan penulisan. Salah dan informasi, agar hasil penelitian tetap natural.

46 Jurnal Permukiman Vol. 11 No. 1 Mei 2016 : 43-56

Catatan etnografi diperlukan untuk menjembatani peneliti bertindak sebagai instrumen penelitian, antara observasi dan analisis. maka dalam rangka memperoleh pemaknaan mendalam peneliti harus melalui proses Data yang sudah dihimpun menghasilkan jenis data membangun kepercayaan komunitas dan membaur berupa kutipan asli, uraian, dan kutipan dokumen. dengan masyarakat dalam kegiatan budaya padi Data dibagi dalam dua kelompok, yaitu data sistem yang dilakukan secara berulang. Aktivitas ini tentu kepercayaan dan aktivitas budaya padi. saja memerlukan rentang waktu yang panjang.

Analisis data tidak dilakukan menunggu semua Kelompok data II terdiri dari 34 unit informasi, data terkumpul, tetapi dilakukan selama masa yang terdiri dari 32 unit informasi peristiwa turun di lapangan. Analisis data dilakukan secara budaya padi. Seluruh unit-unit informasi pada mendalam, bertingkat, dan berlapis. Data dianalisis kelompok data II dikodekan secara bertingkat dan diorganisasikan berdasarkan kedekatan tema- menggunakan domain analysis untuk mengangkat tema kulturalnya. Analisis data dilakukan tema-tema kultural ke permukaan. Terdapat tiga berdasarkan kelompok datanya. Data kelompok tingkatan kode yang digunakan sebagai analisis, pertama dianalisis melalui pendekatan thick yaitu pengodean terbuka (open coding), aksial description menghasilkan tema I. Data kelompok (axial coding), dan terseleksi (selective coding). kedua dianalisis secara bertahap menggunakan Salah satu tema kultural yang muncul teknik analisis domain dan taksonomi dipermukaan adalah spasial. menghasilkan tema II. Tema I digunakan sebagai pijakan dan teropong tema II. Hasil analisis keduanya disintesiskan secara simultan hingga merumuskan bangun teori. Kelompok data pertama yang berisi unit informasi Sebelum menulis laporan, peneliti harus tentang sistem kepercayaan dan religi, dikaji dalam memutuskan keterlibatan dan meninggalkan tiga paras (level). Seringkali data yang diperoleh masyarakat Ciptagelar. Ketidakhadiran peneliti muncul dalam bentuk argot yang artinya tersamar harus sepengetahuan kelompok budaya yang sehingga maknanya tidak bisa segera didapatkan. diteliti. Laporan penelitian disusun dalam tiga Argot ini mengantarkan pada informan dan/atau substansi, yaitu deskriptif, analisis, dan teoritis. unit informasi berikutnya, demikian seterusnya Secara diagramatik alur proses analisis unit-unit sehingga berlapis-lapis. Pemahaman makna informasi seperti yang ditunjukkan pada gambar 1. etnografi tetap menganut asas emik. Karena

Sumber: Hasil Analisis Kusdiwanggo, 2015 Gambar 1 Proses Analisis Unit-unit Informasi

47 HASIL DAN PEMBAHASAN budaya padi tersebut adalah masih Sebelum kelahiran Leuit Jimat, pola pertanian mempertahankan ajaran dan nilai-nilai tradisi leluhur Ciptagelar adalah berhuma. Sejak karuhun. Keduanya jauh dari modernitas. kehadirannya, pola pertanian menjadi akulturatif antara budaya padi huma dan sawah. Budaya padi Jejak artefak budaya padi huma yang masih huma adalah asli, sedangkan bersawah adalah terproteksi dan terpreservasi dari zaman leluhur asimilasi. Boelaars (1984), menunjukkan bahwa hingga saat ini adalah paparakoan. Paparakoan masyarakat yang berbasis huma dan sawah hanya hadir di ladang huma, tetapi tidak di lahan memiliki mentalitas dan karakter budaya yang sawah. Stereometri paparakoan huma terdiri dari berbeda. Mentalitas masyarakat peladang (huma) empat bilah bambu tali (Gigantochloa apus) yang bersifat ganda, antara sifat peramu dan sawah, berorientasi pada masing-masing arah mata angin, yaitu antara produktif sekaligus konsumtif, yaitu selatan (indung), barat (bapa), utara dependen-independen (resiprokal), hubungan (pangawasa), dan timur (cahaya). Masing-masing darah lebih penting dalam organisasi sosial bilah bambu saling berpasangan (sakuren) ganda, daripada sosial, dan pentingnya perantara. yaitu dari garis selatan berpasangan dengan garis Sementara itu, mentalitas masyarakat sawah utara dan garis barat berpasangan dengan garis bersifat produktif (mengolah lahan), sehingga timur; menjadi sakuren selatan-utara berpasangan dunianya adalah dunia buatan dan bukan dunia dengan sakuren barat-timur. Keempat garis bilah alamiah, bersifat dependen-kolektif (gotong bambu tidak saling berpotongan, melainkan setiap royong), mementingkan organisasi kerja, ujung terdalam berada di setengah bilah bambu solidaritas kelompok yang kuat, dan memandang lainnya secara tegak lurus. Dari keempatnya lokalitas sebagai satu kesatuan sosial menghasilkan ruang persegi (parako) di tengahnya. Parako huma menjadi mediator, ruang Sebagai budaya asli, huma memiliki peran tengah, dan ruang taksa, karena merupakan signifikan dan strategis. Walaupun pola pertanian pertemuan dari empat kualitas sifat orientasi. bersifat akulturatif, tidak lantas menjadikan Sebagai tempat pangawinan (pertemuan) dari artefak budaya keduanya saling melebur. Jejak entitas yang berbeda kualitas tersebut, parako artefak budaya padi huma tidak serta-merta merepresentasikan suwung atau ruang kosong. digunakan pada budaya padi bersawah. Antara Suwung adalah tempat terjadinya pangawinan huma dan sawah adalah realitas sakuren dan/atau tempat yang harus dicari atau tujuan dari (sepasang). Keduanya saling melengkapi tetapi nilai-nilai kepercayaan masyarakat adat tidak saling meniadakan. Masing-masing memiliki Cipategelar. Paparakoan adalah sumber dan dasar eksistensinya sendiri-sendiri secara harmonis spasial masyarakat bermentalitas budaya padi tanpa dialektika. Persamaan diantara kedua huma (gambar 2).

Sumber: Hasil Analisis Kusdiwanggo, 2015 Gambar 2 Stereometri Paparakoan Huma

Secara emik, paparakoan memuat lima zona bersandi. Setelah sandi di-dekodekan, diperoleh imajiner, yaitu zona periferi (I-IV) dan zona tengah skema korespondensi dengan analogi masing- (0). Masyarakat setempat menyebut masing- masing teritori sebagai berikut, zona indung-bapa masing zona imajiner tersebut dengan bahasa (I) adalah air (bawah/keberangkatan), zona bapa- 48 Jurnal Permukiman Vol. 11 No. 1 Mei 2016 : 43-56 pangawasa (II) adalah pamuk (penjaga) yang batas, mediator, transisi, dan ruang sakral diantara diwakili oleh api dan/atau udara (angin), zona dua pasang sumbu sakuren tadi. Suwung adalah pangawasa-cahaya (III) adalah air sekaligus tanah pancer yang memuat makna transendental dan (tengah-taksa-paradoksal), zona cahaya-indung vertikal. Pada ruang suwung hadir pungpuhunan, (IV) adalah tanah (atas/kedatangan), dan zona yaitu sosok gunungan atau pohon hayat yang tengah (0) adalah suwung (transendental). Zona I- terbuat dari daun seel. Tidak seperti paparakoan IV sebagai zona periferi empirik yang teralami, yang hanya hadir di ladang huma, pungpuhunan sedangkan zona suwung sebagai zona inti meta- hadir juga di lahan sawah. empirik yang adikodrati. Zona IV merupakan zona kedatangan bagi manusia, sedangkan zona suwung Di ruang suwung tidak ada titik peleburan. merupakan zona kedatangan bagi sukma. Keempat sumbu horizontal masih tetap ada. Ruang kosong di tengah adalah pihak ketiga yang Paparakoan baru muncul ketika masyarakat eksplisit. Relasi antara dua sakuren sumbu dengan melaksanakan ngaseuk (menanam padi huma). ruang suwung di tengah menciptakan relasi tiga Dalam ritual ngaseuk, padi pertama ditanam di pihak (terner). Empat bilah bambu paparakoan tengah paparakoan. Padi berikutnya ditanam di huma membangun sakuren ganda. Keduanya tepi terluar ladang pada satu titik mata angin dipertemukan dengan modus pangawinan. Hasil tertentu menurut perhitungan naptu (nilai) perkawinan mewujud secara eksplisit menjadi kelahiran masing-masing pemilik huma. Dari titik ruang suwung di tengah, yang disebut pancer. tersebut, warga menanam padi sambil berjalan ke Kembali lagi bahwa dalam konsep sakuren ini tidak katuhu (kanan/ searah jarum jam) mengelilingi ada garis yang saling berpotongan, bersinggungan, ladang hingga berakhir dan kembali di tengah dan peleburan seperti pada tapak jalak, catuspatha paparakoan. Pola gerak katuhu adalah pola gerak atau papat keblat kalimo pancer. Dalam sakuren naik yaitu aktivitas meminta berkah atau tidak ada ketegangan dan konfrontasi diantara memberikan sesuatu kepada kausa prima. pasangan-pasangan tersebut, karena dari ruang Pergerakan berputar atau berjalan mengelilingi itu suwung akan memancar pancer. Pancer adalah disebut ngalasuwung (mencari keselamatan). keselamatan.

Skema korespondensi antar-zona paparakoan Paparakoan yang hadir pada budaya padi huma menunjukkan bahwa arah pergerakan (laku) ke atau masyarakat peladang memuat makna spasial kenca (kiri), yaitu dari zona I, II, III, IV, dan yang menunjukkan batas-batas atau teritori. berakhir di tengah (0). Walaupuan zona periferi Ketidakhadiran paparakoan di lahan sawah bersifat serial, tetapi memiliki kadar kedekatan, menunjukkan sebaliknya bahwa mentalitas fungsi, dan hierarki yang berbeda. Dari keempat masyarakat budaya padi persawahan tidak zona periferi, hanya zona II (barat-utara) sebagai memiliki batas. Teritori menjadi cair. Pola zona akses, terbuka, dan menunjukkan potensi pertanian sawah menuntut lahan persawahan dan hadirnya bahaya, sehingga akses tersebut perlu permukiman yang semakin luas. Kelahiran Leuit dijaga (pamuk). Proteksi berlaku untuk seluruh Jimat sebagai tanda akulturasi budaya padi huma periferi. Zona II menjadi tidak terkait langsung dan sawah telah merubah secara signifikan luas dengan tiga zona periferi lainya (I, III, dan IV), dan batas wilayah kasepuhan, kemakmuran, sehingga zona II dapat dilepaskan dari rangkaian komponen lembur, dan sistem ritual budaya padi zona periferi. Sedangkan, zona periferi I, III, dan IV karena tuntutan atas pemenuhan budaya padi menunjukkan relasi sakuren dan ketaksaan. Zona sawah. air atau bawah (I) sakuren (berpasangan) dengan zona tanah atau atas (IV). Zona air-tanah (III) Dalam prosesi ngalalakon, Leuit Jimat akan ikut adalah mediator, paradoksal, atau taksa karena dibawa ke manapun kasepuhan berpindah tempat. menjadi titik kontak atau pertemuan diantara Secara simbolis, Leuit Jimat merupakan lambang sakuren air dan tanah. kedaulatan, legitimasi kekuasaan, dan kesatuan Kasepuhan Ciptagelar. Leuit Jimat adalah bangunan Keempat zona periferi menjadi ruang empiris bagi terakhir yang didirikan dan menjadi tanda awal manusia yang teralami. Zona suwung (0) adalah berdenyutnya kehidupan baru. Leuit Jimat menjadi tujuan atau tempat kedatangan dari prosesi dan kunci pola spasial permukiman. Namun demikian, ritual laku (ngalasuwung). Zona suwung bersifat elemen penyusun permukiman Ciptagelar tidak adikodrati, oleh karena itu ruang suwung hanya Leuit Jimat. Terdapat beberapa bangunan merupakan ruang meta-empiris yang tidak lain yang bersinergi membentuk pola spasial teralami oleh manusia dan tidak permukiman. diperuntukkannya. Sebagai kasepuhan, lembur Ciptagelar dilengkapi Dalam hubunganya dengan dua sakuren sumbu, dengan infrastruktur permukiman yang berbeda ruang suwung di tengah merupakan titik kontak, dengan permukiman tari kolot. Elemen utama

49 permukiman yang menjadi pembeda antara tari yang berteras. Pasir dan lebak menjadi batas kolot dengan kasepuhan adalah Leuit Jimat. Secara tumbuh permukiman. umum elemen-elemen penyusun permukiman Kasepuhan Ciptagelar terbagi menjadi dua, yaitu Orientasi permukiman sendiri ditentukan oleh elemen natural dan buatan. Elemen natural yang kiblat Leuit Jimat yang menghadap ke arah talapak. menonjol adalah pasir (gunung) dan lebak Saat ini orientasi permukiman Ciptagelar (lembah). Pasir Pangkulahan berada di sisi selatan, menghadap ke selatan. Talapak adalah situs sedangkan lebak berada di sisi utara. megalitikum yang dikeramatkan oleh karuhun Korespondensi keduanya menciptakan sumbu Ciptagelar, berisi kode-kode informasi imajiner permukiman (gambar 3). tersembunyi yang merekam jejak kepercayaan karuhun Ciptagelar. Keberadan talapak berada di Masing-masing ujung selatan dan utara dekat sumber air, atau pertemuan sumber permukiman, sebelum naik ke pasir dan turun ke beberapa hulu sungai. Talapak dapat dikatakan lebak ditandai dengan kumpulan leuit. Setelah identik dengan mandala. Talapak lebih dulu hadir kelompok leuit tersebut tidak dijumpai lagi adanya sebelum permukiman dibangun. Talapak menjadi bangunan lain kecuali hamparan sawah dan ladang prasyarat atas dibangunnya permukiman baru.

I

KETERANGAN : A A. Pasir B. Lebak B 1085 C. Alun-alun.

D. Lokasi1099 pengambilan ayam rasulan E. Garis awal rute

D 1102 F. Lapangan

1105 1106 1. Bale warga F 2. Studio 3. Tiang kalapa 4. Dapur panyayuran 1112 5. Tihang awi 1117 6. Imah gede 7. Ajeng 1 7 8. Pangkemitan wetan 5 C 9. Pangkemitan kulon 3 2 11 8 10 10. Leuit Jimat 6 11. Mushola 4 1133 9 12. Saung lisung rurukan 1135

1138 12

1141 1132

1142 1136 F 1135

1150

1152 10 50 0 20 100m A I B Alun-alun Leuit Jimat ke Pasir Pangkulahan (Indung/Selatan) Leuit warga

ke Lebak (Pangawasa/Utara) Potongan I-I

Sumber: Hasil Analisis Kusdiwanggo, 2012 Gambar 3 Situasi Permukiman Ciptagelar

Selain elemen bentang alam tersebut, beberapa panyayuran, (5) tihang awi, (6) imah gede, (7) kelompok bangunan utama yang berada di tengah ajeng, (8) pangkemitan wetan, (9) pangkemitan permukiman, yaitu (1) bale warga, (2) studio kulon, (10) Leuit Jimat, (11) mushola, dan (12) televisi dan radio, (3) tihang kalapa, (4) dapur saung lisung rurukan. Dari dua belas bangunan 50 Jurnal Permukiman Vol. 11 No. 1 Mei 2016 : 43-56 utama tersebut, tiga di antaranya merupakan Tampak bahwa struktur permukiman terbangun bangunan lama yang dibawa dari permukiman dari keberadaan bangunan (solid) dan alun-alun sebelumnya (permukiman Ciptarasa) dalam ritual (void), termasuk akses jalannya. Bangunan- ngalalakon, yaitu ajeng, pengkemitan, dan Leuit bangunan berkumpul di sekitar alun-alun. Jalur Jimat. Selebihnya adalah bangunan baru yang jalan ke utara, barat, dan timur memiliki jari-jari dibangun di permukiman baru (Ciptagelar). yang panjang. Jalur jalan ke arah selatan sangat Sebaran antara komponen bentang alam dan pendek. Jari-jari jalan samar dan seolah melebur bangunan utama penyusun permukiman dapat ketika bertemu alun-alun. Berdasarkan dilihat pada gambar 4 dan tabel I. rekonstruksi jejak jalan, menunjukkan bahwa jari- jari jalan saling bersilangan tetapi tidak saling Berdasarkan unsur penyusun permukiman, memotong di alun-alun, melainkan membentuk struktur permukiman Ciptagelar dapat ditelusuri pusaran sendiri yang terpisah dari alun-alun yang dari jejak fisiknya melalui pemetaan solid-void. ditempati oleh Leuit Jimat (Gambar 5).

Sumber: Hasil Observasi Kusdiwanggo, 2012 Gambar 4 Sebaran Unsur Penyusun Permukiman Ciptagelar

Tabel 1 Kelompok Unsur Penyusun Permukiman Indung (selatan) Pangawasa (utara) Bapa (barat) Cahaya (timur) Tengah  Leuit Jimat  Bale warga  Tihang kalapa  Bale pam Alun-alun  Imah gede  Ajeng wayang  Tihang awi swakarsa dengan dapur  Bale pameran  Pangkemitan  Bale budaya panyayuran.  Ajeng jipeng  Lokasi  Saung lisung  Podium  Bale pengambilan rurukan  Studio  Lebak ayam rasulan  Lapangan  Mushola  Lokasi awal  Pasir rute pawai Pangkulahan seren taun.

51

Sumber: Hasil Analisis Kusdiwanggo, 2015 Gambar 5 Solid-Void Permukiman Ciptagelar

Selain pola ruang berdasarkan sumbu jalan, diantaranya memiliki nilai signifikansi dan hierarki konfigurasi bangunan-bangunan di sekitar tengah tertentu. Berdasarkan nilai tersebut, semua permukiman juga menunjukkan pola ruang bangunan yang berada di tengah permukiman tertentu. Secara skematik, sumbu dan orientasi dapat direduksi menjadi beberapa bangunan saja. atau arah hadap bangunan yang mengelompok Apabila bangunan hasil reduksi tersebut membangun garis imajiner tertentu. Merujuk pada direkonstruksi, maka akan muncul komposisi masa aktivitas dan kedekatan relasi budaya padi bangunan yang membangun pola ruang tertentu masyarakat Ciptagelar, tidak semua bangunan (parako), seperti yang ditunjukkan pada gambar 6. tersebut memiliki peran yang sama. Beberapa

Sumber: Hasil Analisis Kusdiwanggo, 2015 Gambar 6 Skema Paparakoan Permukiman Ciptagelar

Berdasarkan rujukan pada paparakoan huma, padi sebagai entitas Sri (indung). Padi adalah salah elaborasi antara sumbu jalan, sumbu bangunan, satu entitas Sri, yang merepresentasikan dan orientasi bangunan di tengah permukiman, perempuan. Tempat kedudukan padi di leuit juga menunjukkan bahwa pola spasial permukiman mewakili perempuan. Dalam kehidupan sehari- yang terbentuk semakin jelas mengikuti pola hari, orang yang berkewajiban dan memiliki hak paparakoan huma. Garis-garis imajiner mengeluarkan padi di dalam leuit adalah paparakoan lembur, menciptakan zona-zona ruang perempuan. Perempuan juga identik dengan air yang juga identik dengan zona ruang paparakoan (basah). Signifikansi jajaran leuit rurukan konsisten huma. dengan makna zona I pada pada paparakoan huma sebagai wilayah ‘air’ yang berwatak indung atau Distribusi elemen pengisi pada zona paparakoan perempuan (♀). lembur dapat dirinci menurut rincian paparakoan huma. Elemen pengisi zona I (indung-bapa) Elemen pengisi zona II (bapa-pangawasa) ditempati oleh jajaran leuit rurukan yang relatif ditempati oleh satu kesatuan bangunan rurukan tenang dan jauh dari hiruk-pikuk. Isi leuit adalah yang dilengkapi dengan saung pagkemitan. 52 Jurnal Permukiman Vol. 11 No. 1 Mei 2016 : 43-56

Kesatuan bumi rurukan Ciptagelar berekuivalen (maskulin) memegang angklung buhun (feminin). dengan isi suwung pada paparakoan huma, Lelaki menjadi periferi perempuan di inti (tengah). sedangkan, saung pangkemitan merupakan Suasana di zona IV selalu riuh. Keriuhan juga bangunan penjagaan (pamuk). Pangkemitan digunakan untuk menyambut kedatangan para berkarakter “api” karena api menjadi syarat pelaku ngunjal yang telah sampai ke permukiman. kehadiran pangkemitan. Api harus selalu menyala Pelaku utama ngunjal adalah lelaki. Lokasi saung setidaknya berasap sepanjang hari. Api akan lisung rurukan berada di tempat kedatangan menyala bila ada udara (angin). Api dan angin sebelum memasuki permukiman. Bahkan lembur menjadi penanda ‘jaga’ atau pamuk. Zona II pada disekitar zona IV bernama Lebak Sampai. Selain paparakoan lembur konsisten dengan makna zona itu, keriuhan juga terjadi pada saat acara II pada pada paparakoan huma sebagai zona ngarempug, yaitu prosesi awal yang dilalui oleh pamuk yang diberi pager, yaitu elemen ritual warga ketika akan melakukan hajat dengan saling simbolis yang dipasang di zona pamuk sebagai menggulingkan di atas tanah secara beramai- elemen proteksi paparakoan. Pangkemitan ramai. Saung lisung rurukan dengan segala memproteksi kesatuan bumi rurukan. Zona II aktivitas yang menyertainya konsisten dengan adalah wilayah ‘api’ sekaligus udara (angin) makna zona IV pada pada paparakoan huma yang berkarakter pamuk. berkarakter naik, tempat tujuan, maupun tempat kedatangan, sekaligus membawa sifat aktivitas Zona III (pangawasa-cahaya) ditempati oleh bale riuh atau maskulin (♂). warga. Bale warga sebagai tempat pertemuan antara pemimpin dan rakyatnya. Bale warga Zona tengah adalah area suwung (0), yaitu tempat merupakan titik kontak atau taksa, karena sebagai para jiwa. Wilayah ini ditempati oleh Leuit Jimat. tempat pertemuan antara atas dan bawah atau Kedudukan Leuit Jimat berbeda dengan leuit antara pemimpin dengan rakyatnya. Bale warga rurukan atau leuit warga. Leuit Jimat hanya ada juga menjadi tempat transisional (space in satu dan dibawa kemanapun kasepuhan pindah. between) antara isi padi Leuit Jimat saat ngalalakon Leuit Jimat adalah pengunci elemen sekaligus sebelum Leuit Jimat didirikan, maupun tempat pembuka kehidupan baru di kasepuhan. Zona transisi padi saat ngunjal sebelum masuk ke dalam suwung (0) adalah tujuan akhir dari ngalasuwung leuit, atau ditumbuk untuk acara ngayaran, rasulan, atau ngalalakon manusia yang empirik untuk dan seren taun. Bale warga memuat makna mendapatkan hakikat meta-empirik. pangawinan (pertemuan) dari realitas sakuren. Kedudukan dan fungsi bangunan bale warga Namun demikian, tidak semua elemen pada konsisten dengan makna zona III pada pada paparakoan huma terdistribusi ekuivalen pada paparakoan huma sebagai wilayah air sekaligus paparakoan lembur. Perbedaan muncul pada tanah dan berkarakter taksa (♀♂). elemen pengisi zona suwung (Gambar 7). Pergeseran elemen pengisi paparakoan dari tengah Zona IV (cahaya-indung) berisi saung lisung ke tepi juga menunjukkan adanya pembentukan rurukan sebagai tempat terjadinya transformasi lapisan (layer) ruang dari agrikultur ke lembur entitas Sri dari padi ke beras sekaligus tempat sebagaimana lapisan makna ruang pada zona kedatangan. Cahaya adalah pasangan kualitas paparakoan. Warga mulai menggeser simbol- bapa. Pelaku utama aktivitas nutu adalah simbol agrikultur yang tidak dihuni, menjadi perempuan (indung). Perempuan (feminin) simbol-simbol permukiman yang dapat dihuni. memegang alu (maskulin). Setiap aktivitas nutu Walaupun warga Cipatagelar menggunakan maupun ngagondang selalu dihadiri oleh baris akulturasi budaya padi huma dan sawah, tetapi angklung buhun yang pelaku utamanya adalah jejak budaya huma masih lekat dan tetap terlihat lelaki (pasangan kualitas bapa). Laki-laki sebagai dasar pembentukan permukiman.

53

Sumber: Hasil analisis Kusdiwanggo, 2015 Gambar 7 Transformasi Elemen Paparakoan dari Huma ke Permukiman

Dengan meninggalkan zona II sebagai akses Aktivitas ngaseuk rurukan yang bergerak katuhu permukiman yang perlu di jaga, hubungan antara mengelilingi paparakoan bermakna naik. zona I, III, IV membangun relasi tiga pihak (terner). Pergerakan dimulai dari zona I Relasi ini menarasikan proses pergerakan atau (bawah/perempuan). Pemegang aseukan (tongkat perputaran paparakoan lembur. Namun demikian, pembuat lubang di tanah) adalah laki-laki. Dalam secara keseluruhan hubungan zona I, II, III, dan IV pantun Panggung Karaton dijelaskan bahwa merupakan relasi sakuren ganda yang dimediasi perempuan adalah representasi Dunia Atas, dengan zona suwung. Korespondensi keempat zona sebaliknya Dunia Bawah mewakili laki-laki keliling membangun eusi (isi). Dalam konstruksi (Sumardjo, 2003). Pergerakkan katuhu sakuren, eusi (ada) merupakan pasangan dari mengelilingi paparakoan merupakan paradoks suwung (kosong). Setelah melalui berlapis-lapis perjalanan turun (kenca) perempuan dari Dunia realitas sakuren lainnya, relasi suwung dan eusi Atas ke Dunia Bawah yang lelaki (kisah pantun adalah realitas sakuren yang paling hakiki. Realitas gede Lutung Kasarung). sakuren suwung-eusi masih harus dipertemukan atau dikawinkan. Pangawinan terjadi di ruang Berdasarkan zona paparakoan dan pola suwung. Ritus pangawinan menghasilkan Leuit pergerakan katuhu-kenca, diperoleh gagasan Jimat sebagai entitas taksa atau paradoksal yang tentang sifat horizontal dan vertikal. Paparakoan terhubung secara vertikal dan memancarkan lebih bersifat ruang horizontal dalam keselamatan. Hasil pangawinan adalah pancer atau mendistribusikan, mengelola, atau menata padi keselamatan. Leuit Jimat menandai awal dan siklus atau mengelola beberapa perletakan elemen atau baru kehidupan di Ciptagelar dan generasi bangunan. Sementara itu, pola gerak katuhu dan penerusnya. kenca lebih bersifat ruang vertikal. Ketika seseorang bergerak katuhu atau kenca, maka Taksa atau paradoks adalah karakter dan ciri seseorang tersebut sedang melakukan jejak mentalitas masyarakat peladang (huma). Segala pergerakan naik atau turun. sesuatu memiliki pasangan (sakuren) paradoksalnya. Sakuren adalah relasi saling Elemen vertikal pada paparakoan huma adalah melengkapi, bukan saling mendominasi atau pungpuhuan dan rawun. Pungpuhunan lebih dulu mengendalikan. Fenomena kosong adalah noumena hadir dari rawun. Pungpuhunan hadir di huma dan isi. Sebaliknya, fenomena isi adalah noumena sawah. Pungpuhunan memiliki sifat vertikal. Peran kosong. Apa yang tampak justru tidak dan kedudukan pungpuhunan adalah sebagai axis menunjukkan hakikat yang sebenarnya. Bahwa mundi (Eliade, 1974). Kehadiran pungpuhuan yang yang eusi adalah suwung yang sejatinya eusi; lebih awal identik sebagai pohon hayat. Sementara adanya Ada karena Kosong yang sebenarnya Ada. itu, rawun yang hadir belakangan berperan sebagai elemen sawen (proteksi). Kehadiran elemen

54 Jurnal Permukiman Vol. 11 No. 1 Mei 2016 : 43-56 proteksi selalu hadir setelah konstelasi axis mundi agrikultur. Paparakoan memuat informasi spasial dan elemen pendukungnya lengkap. asli dari komunitas Pancer Pangawinan sebagai masyarakat budaya padi yang bermentalitas Kehadiran Leuit Jimat di lembur (permukiman) peladang. Jejak artefak paparakoan tidak saja hadir identik dengan pungpuhunan di huma. Leuit Jimat di lahan agrikultur, melainkan juga di lembur dapat disebut sebagai pohon hayat atau pohon (permukiman). Konsep pola spasial permukiman kehidupan permukiman. Leuit Jimat dibangun dari Kasepuhan Ciptagelar berdasarkan pada konstelasi proses mediasi antara warga dengan lingkungan paparakoan huma. Konstelasi paparakoan hadir di tempat tinggalnya. Dalam proses mediasi tersebut permukiman (lembur) Ciptagelar dengan beberapa terdapat dua sifat relasi, yaitu horizontal dan penyesuaian karena faktor kosmologi, yaitu vertikal. Relasi horizontal tercipta melalui elemen- paparakoan sebagai mandala tempat bersemayam elemen hunian dan lingkungannya. Relasi vertikal jiwa-jiwa dan paparakoan sebagai hunian manusia terbangun melalui elemen khusus berkedudukan tempat beraktivitas. sebagai elemen vertikal yang secara spiritual terhubung ke langit. Elemen vertikal yang berada Penyesuaian terjadi pada zona suwung di tengah permukiman merupakan simbol paparakoan. Zona suwung lembur dipersiapkan makrokosmos dari pertemuan bumi dan langit atau untuk kehadiran Leuit Jimat. Leuit Jimat bukan axis mundi. Leuit Jimat yang berkedudukan di merupakan bangunan hunian manusia, melainkan ruang tengah atau suwung paparakoan lembur, wadah bersemayamnya entitas Sri yang berkedudukan sebagai axis mundi, elemen vertikal, supernatural. Leuit Jimat adalah generator dan sumbu yang menjembatani ruang manusia kehidupan. Sebagai pohon hayat, Leuit Jimat adalah dengan ruang spiritual. sebuah ekspresi total dari kreativitas dan keabadian serta pengulangan penciptaan (the Pada komunitas Pancer Pangawinan, Leuit Jimat repetition of the creation) dan pembaharuan dunia merupakan axis mundi yang berpindah tempat. (the renewal of the world). Leuit Jimat terlibat Berbeda dengan kisah perpindahan ibukota dalam budaya bermukim sebagai aktivitas nyata kerajaan Kartasura ke Surakarta yang terekam bukan sekadar ritual dan mitos. Setiap kali Leuit dalam Babad Giyanti yang membawa waringin Jimat berpindah tempat, setiap kali pula siklus kurung (pohon hayat/axis mundi) dari lokasi lama kehidupan baru dibangkitkan. Leuit Jimat sebagai ke lokasi baru. Pemberkatan tanah baru hanya bisa axis mundi yang berpindah tempat adalah dilakukan dengan pohon beringin ini (Lombard perspektif baru dalam konsep ruang vertikal 2000: 108-111). Waringin kurung yang ditanam sekaligus sebagai pengulangan bentuk kehidupan akan tumbuh besar dan permanen. Waringin tidak dan pembaharuan dunia. lagi berpindah tempat atau diperjalankan. Belajar dari waringin dan Leuit Jimat diperoleh makna Leuit Jimat yang baru hadir pada tahun 1898 filosofi bahwa yang tumbuh bergerak itu menunjukkan bahwa elemen permukiman sebenarnya diam dan yang duduk diam itu komunitas ini bersifat dinamik. Kasepuhan hakikatnya bergerak. Ciptagelar sebagai permukiman terkini merupakan refleksi dan bentuk penyempurnaan atau Leuit Jimat yang berada di zona tengah paparakoan akumulasi terkini dari pencapaian puncak-puncak lembur, memang tidak diperuntukkan bagi kebudayaan padi dari generasi Ciptagelar manusia. Ruang yang tercipta di tengah sebelumnya. Kehadiran pola pengolahan padi paparakoan huma adalah ruang mandala. Karena sawah dan Leuit Jimat merupakan pencapaian sosok, sifat, kedudukan, dan muatannya, puncak-puncak kebudayaan padi tersebut. Pada menjadikan Leuit Jimat tidak memerlukan sawen mulanya, puncak-puncak budaya merupakan (proteksi). Leuit Jimat bukan bagian dari lembur subsistem budaya padi. Namun pada gilirannya yang statik yang memerlukan sawen. Leuit Jimat akan mengaglomerasi menjadi sistem baru yang akan selalu menjadi bagian dari kasepuhan baru mensubversi sistem lama. Suatu saat nanti, jika ketika ngalalakon. Leuit Jimat adalah sawen itu dalam kisah ngalalakon mencapai puncak sendiri. Leuit Jimat adalah sawen kasepuhan. kebudayaan lagi, maka tidak menutup kemungkinan puncak kebudayaan tersebut akan tersulam pada permukiman terbaru dan KESIMPULAN membentuk tatanan kehidupan baru pula. Bagi Walaupun telah terjadi proses akulturasi budaya antar-generasi kasepuhan, budaya bermukim dan padi di Ciptagelar antara huma/ladang (asli) dan permukiman tidak lagi dilihat sebagai prinsip baku sawah (asimilasi), namun budaya asli ladang masih tatanan sosial-kultural padi yang kaku, melainkan tetap memiliki daya tahan primordial. Paparakoan dipandang sebagai komitmen atas nilai-nilai adalah salah satu artefak atau produk budaya padi budaya padi yang terbarukan. Permukiman huma yang masih terproteksi dan terpreservasi Masyarakat budaya padi Ciptagelar menunjukkan dari zaman leluhur hingga saat ini di lahan

55 bahwa kebudayaan tidak berhenti dan statik, Kunz, E. F. 1973. The Refugee in Flight: Kinetic melainkan cair dan dinamik. Models and Forms of Displacement, International Migration Review, Vol. 7, No. 2 (Summer, 1973), pp. 125-146. DAFTAR PUSTAKA Levi-Strauss, Claude. 1963. Structural Alexander, Rani T. 2006: Maya Settlement Shifts Anthropology. New York: Basic Books, Inc. and Agrarian Ecology in Yucatán, 1800-2000. Lombard, Denys. 2000. Nusa Jawa: Silang Budaya Journal of Anthropological Research, Vol. 62, Kajian Sejarah Terpadu. Bagian III: Warisan No. 4 (Winter, 2006), pp. 449-470. Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Terj. Arifin dkk. http://www.jstor.org/ (diakses 28 Agustus Jakarta: Gramedia 2013). Neuman, W. Lawrence. 2006. Social Research Amith, Jonathan D. 2005. Place Making and Place Methods: Qualitative and Quantitative Breaking: Migration and the Development Approaches. 6th Edition. Pearson International Cycle of Community in Colonial Mexico. Edition. American Ethnologist, Vol. 32, No. 1 (Feb., Nuraini, Cut. 2014. Bincar-Bonom sebagai Basis 2005), pp. 159-179. http://www.jstor.org/ Tata Ruang Permukiman Desa Singengu. (diakses 28 Agustus 2013). Disertasi. Yogyakarta: UGM. Boelaars, Y. 1984. Kepribadian Indonesia Modern: Nuryanto. 2006. Kontinuitas dan Perubahan: Pola Suatu Penelitian Antropologi Budaya, Jakarta: Kampung dan Rumah dari Kasepuhan Gramedia Ciptarasa ke Ciptagelar di Kabupaten Binford, Lewis R. 2001. Constructing Frames of Sukabumi Selatan – Jawa Barat. Tesis. Reference: An analytical method for Bandung: ITB. archaeological theory building using hunter- Parimin, Ardi P. 1986. Fundamental Study on gatherer and environmental data sets. Berkeley: Spatial Formation of Island Village : University of California Press. Environmental Hierarchy of Sacred-Profane Creswell, John W. 2003. Research Design: Concepts in Bali. Dissertation, Osaka: Osaka Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods University. Approaches. 2nd Edition. Sage Publication. Pranowo, M, Bambang. 1991. Creating Islamic Ekadjati, Edi. S. 1980. Masyarakat dan Kebudayaan Tradition in Rural Java. Ph.D. Thesis. Sunda, Bandung: Pusat Ilmiah dan Department of Anthropology and Sociology. Pembangunan Regional Jawa Barat. Monash University. Eliade, Mircea. 1974. Cosmos and History, Rahaju, SLT. 2005. Gagasan Pengaturan Tempat translated by W. R. Trask New York: Harper pada Masyarakat Kampung Naga Kabupaten Torcbooks Tasikmalaya Jawa Barat. Disertasi. Bandung: Geertz, Clifford. 1973. Interpretation of Culture: ITB. Selected Essays. New York: Basic Books. Rejeki, VG Sri. 2012. Tata Permukiman Berbasis Gupta, Akhil, and James Ferguson. 1992. Beyond Punden Desa Kapencar, Lereng Gunung "Culture": Space, Identity, and the Politics of Sindoro, Kabupaten Wonosobo. Disertasi. Difference. Cultural Anthropology, Vol. 7, No. 1. Yogyakarta: UGM. (Feb., 1992), pp. 6-23. http://www.jstor.org/ Salura, Purnama. 2005. Dinamika Perubahan (diakses 26 Mei 2015). Konsep Bentuk dan Makna Arsitektur pada Hedberg, Charlotta and Kaisa Kepsu. 2003. Masyarakat Sunda di Kampung Dukuh, Migration as a Cultural Expression? The Case of Kampung Ciherang, Kampung Palasah. the Finland-Swedish Minority's Migration to Disertasi. Bandung: ITB. Sweden. Geografiska Annaler. Series B, Human Salura, Purnama. 2007. Menelusuri Arsitektur Geography, Vol. 85, No. 2. Pp. 67-84. (diakses Masyarakat Sunda. Bandung: Ciptasastrasalura. 28 Agustus 2013). Saputra, Suria. 1950. Baduy. Bogor. (Tidak Jokisch, Brad D. 2002. Migration and Agricultural dipublikasikan). Change: The Case of Smallholder Agriculture in Sumardjo, Jakob. 2003. Simbol-Simbol Artefak Highland Ecuador, Human Ecology, Vol. 30, No. Budaya Sunda: Tafsir-Tafsir Pantun Sunda, 4, pp. 523-550. (diakses 28 Agustus 2013). Bandung: Kelir. Jong, P. E. De Josselin. 1952. Minangkabau and Williams, Raymond. 1979. Politics and Letters: Negri Sembilan. Socio-political structure in Interviews with New Left Review. New York: Indonesia. The Hague Schocken. Knapp, Ronald G. 1997. Geographical, in Paul Oliver Tjiptoherijanto, Prijono. 2000. Mobilitas Penduduk (ed). 1997. Encyclopedia of Vernacular dan Pembangunan Ekonomi. Architecture of the World. Chambrige http://www.bappenas.go.id/ (diakses 29 University Press, pp. 43-45. Agustus 2013).

56