FRAGMENTASI UMAT DAN PENCIPTAAN OTORITAS KEAGAMAAN: TANGGAPAN TERHADAP ‘ISLAM LOKAL’ DAN ‘ISLAM ASING’ DI

FRAGMENTATION OF UMMAH AND CREATION OF RELIGIOUS AUTHORITY: RESPONSES TO ‘ISLAM LOKAL’ AND ‘ISLAM ASING’ IN INDONESIA

Yanwar Pribadi Fakultas Dakwah, UIN Sultan Maulana Hasanuddin, [email protected]

Abstract Today, Islamist groups in Indonesia are apprehensive with , a catch-all term to refer to various expressions of localised Islam and socio-political thoughts and attitudes propagated by the country’s largest Muslim organisation, the Nahdlatul (NU). In response, the proponents of Islam Nusantara call for the unity of Indonesian Muslims to restrain what they perceive as an orchestrated effort to Arabize Indonesian Islam and eradicate local cultures and traditions. By looking at Banten and Madura through ethnographic fieldworks in between 2009-2018, this paper investigates the contestation between supporters of ‘local’ and ‘foreign’ Islam in defining their own Islam and making religious authority. While both supporters share the global viewpoints of , the former is strongly characterised by local cultures and traditions that have been well preserved for centuries. The latter is well-known to display foreign-influenced, mostly Salafism from Gulf countries, expressions of Islam that include communal piety, religious commodification, Islamic populism, and popular Islamism. I argue that in both contemporary Banten and Madura, the defining of Islam and the making of religious authorityhave been frequently marked by conflicting responses in complex and fluctuated relationships. The relationships involve the phenomena of contestation between variants of Indonesian Islam and the fragmentation of the ummah. Keywords: fragmentation of the ummah, religious authority, salafism, islamism, , Islam Nusantara Abstrak Saat ini, kelompok-kelompok Islamis di Indonesia khawatir dengan Islam Nusantara, yaitu istilah umum yang merujuk pada ekspresi Islam lokal dan pemikiran serta sikap sosial-politik yang disebarluaskan oleh organisasi Muslim terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU). Sebagai tanggapannya, para pendukung Islam Nusantara menyerukan persatuan Muslim Indonesia untuk menahan apa yang mereka anggap sebagai upaya yang terorganisasi untuk ‘meng-Arabisasi’ Islam Indonesia dan memberantas budaya dan tradisi setempat. Dengan melihat Banten dan Madura melalui penelitian lapangan etnografis antara tahun 2009-2018, makalah ini menyelidiki persaingan antara pendukung ‘Islam lokal’ dan ‘Islam asing’ dalam mendefinisikan Islam mereka sendiri dan menciptakan otoritas keagamaan. Sementara kedua pendukung berbagi pandangan mengenai Islam Sunni, yang pertama sangat dicirikan oleh budaya dan tradisi lokal yang telah terpelihara dengan baik selama berabad-abad oleh para pendukung mereka, sedangkan yang terakhir terkenal agresif dalam menampilkan berbagai pengaruh asing, terutama Salafisme dari negara-negara Teluk, yaitu ekspresi keislaman yang mencakup kesalehan komunal, komodifikasi agama, populisme Islam, dan Islamisme populer. Penulisberpendapat bahwa di Banten dan Madura saat ini, pendefinisian Islam dan penciptaan otoritas keagamaan oleh kedua kelompok tersebut sering ditandai oleh tanggapan yang saling bertentangan dalam hubungan yang kompleks dan fluktuatif. Hubungan tersebut melibatkan fenomena kontestasi antara varian Islam Indonesia dan fragmentasi umat. Kata kunci: fragmentasi umat, otoritas keagamaan, salafisme, islamisme, Nahdlatul Ulama, Islam Nusantara

Jurnal Masyarakat & Budaya , Volume 21 No. 1 Tahun 2019 103 Pendahuluan Keadaan yang kompleks tersebut telah meningkat sejak jatuhnya pemerintahan Suharto Di Indonesia yang semakin terdemokratisasi ketika Indonesia ditandai oleh fluktuasi besar dan sekaligus terislamisasi sejak jatuhnya dalam bidang sosial-politik dan dominasi pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998 ini, paradigma ekonomi neo-liberal (Lim, 2009: 14). telah terjadi keterjalinan yang kompleks antara Transformasi sosial-politik sejak 1998 telah kesalehan komunal, komodifikasi agama, populisme memicu ekspresi identitas masyarakat Muslim Islam, dan Islamisme. Keterjalinan yang kompleks yang mencakup etnis, agama, dan kelas sosial, tersebut sering kali melibatkan fenomena sebagaimana ditunjukkan dalam beragam konsumsi kontestasi antara pendukung varian Islam dan komodifikasi yang cepat dalam praktik dan Indonesia dan memunculkan fragmentasi umat. perayaan keagamaan serta dalam penciptaan Pergeseran ekspresi keagamaan yang dianggap identitas keagamaan, kesalehan, kebanggaan sesuai dengan ide-ide transnasional Islam dan Muslim, dan persaudaraan melalui perniagaan kekuatan penetrasi ekonomi pasar global marak merk-merk Barat dan lokal, yang sebelumnya terjadi di kalangan Muslim kelas menengah telah diabaikan selama Orde Baru, tetapi yang perkotaan. dengan cepat dipolitisasi dalam bidang politik Dalam konteks populisme Islam dan regional yang terdemokratisasi dan terdesentralisasi Islamisme populer, misalnya, Muslim kelas (Millie et . al ., 2014: 195; Fealy, 2008: 15-39; menengah perkotaan ini tampaknya mengikuti Lukens-Bull, 2008: 220-234). ide-ide populis dalam isu-isu sosial seperti, Umat Muslim di kota-kota besar antara lain, mengidentifikasi dan mengutuk Indonesia yang berpartisipasi dalam kegiatan- musuh bersama, yang sering kali didefinisikan kegiatan keagamaan pada tahun 1990-an akan sebagai orang kaya non-Muslim yang memiliki terlihat akrab dengan konsep ghazwul fikri (al- keturunan asing, terutama keturunan Tionghoa, ghazw al-fikri , invasi gagasan atau invasi atau kekuatan-kekuatan sekuler Barat yang selalu budaya). Konsep yang mencolok tersebut dianggap memiliki niat untuk menghancurkan mengacu pada berbagai bentuk invasi budaya Islam. Selain itu, kelompok-kelompok ini juga Barat atau hegemoni Barat yang diklaim secara cenderung mengikuti ide-ide populis dalam isu- sistematis akan menghancurkan nilai-nilai dan isu sosial yang terkait dengan, misalnya, masalah pemikiran Muslim dan untuk memisahkan sosial-agama dan konflik di negara-negara Muslim dari agama mereka sendiri. Bentuk- mayoritas Muslim lainnya, seperti Palestina dan bentuk invasi tersebut termasuk musik populer, Suriah, dan dalam isu-isu politik lokal terkait, film, mode, makanan, gaya hidup, dan terutama antara lain, pemilihan umum dan partai politik. pemikiran dan sikap Barat–terutama Amerika Dalam konteks kesalehan komunal dan Serikat–terhadap agama, terutama sekularisme, komodifikasi agama, mereka tampaknya gemar liberalisme, dan pluralisme agama. berpartisipasi secara terus-menerus dalam kegiatan- kegiatan ritual keagamaan komunal populer dan Kini, banyak Muslim kelas menengah di saat yang bersamaan menikmati semangat perkotaan telah menjadi, atau setidaknya telah mengkonsumsi ‘komoditas suci’, seperti kegandrungan dikaitkan erat dengan atau setidaknya telah terhadap ‘busana syar’i’ dan juga umrah yang mendukung, kelompok-kelompok Islamis yang semakin lama semakin populer. gelisah dengan berbagai ekspresi keagamaan dan ritual Islam Nusantara, di antaranya tahlilan, Kelompok-kelompok yang sedang berkembang ziarah, khaul, , dan yang lebih penting pesat ini terus berusaha untuk meraih identitas lagi bersikap gelisah terhadap pemikiran dan Islam yang “sesungguhnya” dan menghendaki sikap sosial-politik yang menempatkan Islam pengakuan identitas mereka sebagai identitas Nusantara sebagai perantara yang ramah dalam yang paling tepat, sekaligus mempromosikannya hubungan antara Islam dan budaya lokal sebagai identitas sosial-budaya yang ideal untuk Indonesia. Sementara di tahun 1990-an, perhatian seluruh bangsa Indonesia. Pengklaiman identitas kaum Islamis sebagian besar diarahkan pada nilai- keislaman tersebut telah difasilitasi oleh nilai dan norma-norma Barat yang membahayakan penetrasi ide-ide dan praktik-praktik keislaman para pendukung ghazwul fikri , kini kegelisahannya lokal dan transnasional dalam beragam bentuk terutama ditujukan pada ekspresi-ekspresi sosial- kesalehan komunal, komodifikasi agama, keagamaan Islam tradisional. Sebagai tanggapannya, populisme Islam, dan Islamisme populer. para pendukung Islam Nusantara menyerukan persatuan Muslim Indonesia untuk menahan apa

104 Jurnal Masyarakat & Budaya , Volume 21 No. 1 Tahun 2019 yang mereka anggap sebagai upaya yang Menurut Sajarah Banten , Maulana terorganisasi dengan baik untuk ‘meng-Arabkan’ Hasanuddin, pendiri kesultanan Banten, mengkonversi Islam Indonesia dan memberantas budaya lokal 800 pendeta Hindu menjadi Muslim, yang para yang sudah berusia ratusan tahun, jauh sebelum pemimpinnya telah menghilang di kaki Gunung Islam datang. Pulosari. Kepercayaan ini menyebar dan segera setelah itu ia menjadi persepsi penting tentang Dengan melihat kasus-kasus dari Banten Maulana Hasanuddin yang suci. Kronik tersebut dan Madura sebagai dua daerah yang sangat menekankan bahwa Maulana Hasanuddin adalah dipengaruhi oleh tradisi dan budaya lokal yang seorang wali yang juga mengubah kepercayaan kuat yang dengan data yang diperoleh dari penduduk lokal dari Hindu menjadi Islam penelitian lapangan etnografis antara tahun (Pudjiastuti, 2000: 326-333). 2009-2018, makalah ini menyelidiki persaingan antara para pendukung ‘Islam lokal’ dan ‘Islam Tempat-tempat keagamaan, seperti Masjid asing’ dalam mendefinisikan Islam mereka sendiri Kasunyatan,1 memainkan peran penting dalam dan dalam penciptaan otoritas keagamaan. kehidupan beragama, dan berfungsi sebagai Sementara kedua pendukung berbagi pandangan sarana untuk menunjukkan kekayaan, kekuasaan, global mengenai Islam Sunni, yang pertama dan pengabdian sultan kepada Islam. Selain itu, sangat dicirikan oleh budaya dan tradisi lokal Islam juga berfungsi sebagai kekuatan ideologis yang telah dipertahankan dengan baik selama dalam sistem politik kesultanan. Syariah (hukum berabad-abad, sedangkan yang terakhir terkenal Islam) dipraktikkan hanya di wilayah terbatas, agresif untuk menampilkan berbagai pengaruh dan hanya ketika tidak bertentangan dengan asing, terutama Salafisme dari Arab Saudi dan kepentingan keraton. Ritual keraton menekankan negara-negara Teluk lainnya. Penulis berpendapat bahwa sultan adalah perwakilan sah Tuhan di bahwa di Banten dan Madura saat ini, bumi. Selain itu, beberapa sarjana Belanda, yaitu pendefinisian Islam dan penciptaan otoritas Snouck Hurgronje, de Graaf, Pigeaud, dan keagamaan oleh kedua kelompok tersebut sering Drewes, telah menekankan bahwa reputasi ditandai oleh tanggapan yang saling bertentangan Banten sebagai wilayah Muslim pada abad ke-19 dalam hubungan yang kompleks dan berfluktuasi. dan ke-20 berakar dari tradisi di kesultanan Hubungan tersebut melibatkan fenomena kontestasi (Atsushi, 2006: 34). antara varian Islam Indonesia dan fragmentasi Mengenai kebangkitan agama di Banten umat Islam di Indonesia yang sejak tahun 1998 pada abad ke-19, Sartono Kartodirdjo (1966) semakin terdemokratisasi dan terislamisasi. menginvestigasinya secara mendalam, yang akhirnya

memberi kita penjelasan yang jelas tentang latar Ekspresi Keislaman Lokal belakang keagamaan dari banyak pemberontakan Banten terkenal dengan sejarah panjang di Banten. Menurutnya, bagian akhir abad ke-19 mistisisme dan pemberontakannya, serta orientasi adalah periode kebangkitan agama yang mendorong keislaman masyarakatnya. Setelah mewarisi gerakan-gerakan di Banten. Meningkatnya aktivitas tradisi perlawanan besar terhadap kekuatan keagamaan bukan hanya karena kondisi bahwa asing, tradisi panjang pemberontakan di Banten orang Banten adalah penganut agama Islam yang dapat ditelusuri hingga ke abad ke-16. saleh, tetapi juga karena fakta bahwa ada Bersamaan dengan pemberontakan, Banten juga gangguan ketertiban tradisional dan, secara memiliki tradisi mapan sebagai pusat berbagai bersamaan, menimbulkan keresahan sosial. ilmu esoteris. Setelah Banten jatuh ke tangan Selain itu, di satu sisi banyak orang mengalami Belanda, tiga bentuk kepemimpinan informal perampasan hak-hak politik, dan di sisi lain muncul dalam masyarakat Banten. Pertama mengalami reafirmasi sosial. Karena itu, adalah aristokrasi tradisional. Dua yang lainnya kebangkitan agama di Banten dapat diidentifikasi adalah ulama dan jawara (orang kuat lokal). Dari sebagai gerakan agama-politik, yang mengakomodasi ketiganya, dua yang terakhir masih ada di berbagai ketegangan sosial. Namun, kebangkitan masyarakat saat ini. Bahkan, mereka menjadi agama menjadi cara merekrut orang untuk elemen penting dalam masyarakat Banten, tidak pemberontakan, bukan sebagai gerakan keagamaan hanya selama periode kolonial, tetapi juga murni. Hal tersebut sangat tepat, terutama jika setelah kemerdekaan Indonesia, hingga hari ini (Pribadi, 2008: 1). 1 Nama sebuah masjid di Banten Lama, wilayah para sultan yang hingga kini masih sering dikunjungi orang.

Jurnal Masyarakat & Budaya , Volume 21 No. 1 Tahun 2019 105 kita melihat lebih dekat pada kenyataan bahwa di budaya dan budaya nonsantri. Hal yang Banten pada abad ke-19 kebangkitan agama dan terakhir sering dianggap sebagai budaya yang jenis-jenis gerakan sosial lainnya memiliki titik- seperti karena kemiripannya dengan titik kemiripan yang menonjol, khususnya dalam budaya abangan di Jawa. Dalam tradisi , seruan mileniarisme pada basis kelas bawah santri adalah murid pesantren. Namun, selain masyarakat. merujuk pada istilah yang berhubungan dengan tradisi pesantren, santri digunakan terutama Namun demikian, penulis berpendapat untuk merujuk pada mayoritas Muslim Madura bahwa pemberontakan-pemberontakan di Banten yang merupakan pendukung Islam yang lebih dapat dianggap sebagai gerakan keagamaan, ortodoks berdasarkan pengaruh Islam Sunni karena lembaga keagamaan, seperti tarekat dan global. Sebagai perbandingan, orang-orang dari juga masyarakat, memainkan beberapa bagian budaya yang seperti abangan adalah minoritas di penting dalam gerakan-gerakan tersebut. Pemicu antara Muslim Madura. Sementara itu, kelompok yang kuat mungkin dapat diidentifikasi sebagai terakhir ini juga merupakan penganut Islam kebencian terhadap dominasi Belanda dan Sunni, mereka juga adalah pendukung bentuk permusuhan yang kuat terhadap orang asing agama yang kurang ortodoks yang lebih dipengaruhi yang juga menemukan jalan keluar dalam oleh sistem kepercayaan mistis lokal (Pribadi, kesetiaan dengan gerakan keagamaan ekstrim 2018: 21). (Kartodirdjo, 1966: 140-141). Jika kita melihat Jawa sebagai contoh umum, kita mengetahui Penulis menegaskan bahwa budaya bahwa bagi orang Jawa, penguasa mereka jauh santri di Madura dapat diwakili oleh tiga elemen lebih dari sekadar raja suci atau pembela agama utama, yaitu lembaga pendidikan Islam, kelompok Islam. Sultan dianggap sebagai satu-satunya Islam, dan pemimpin Islam. Seperti daerah lain penghubung antara manusia dan kosmos, dan yang sering dihubungkan dengan tradisi keagamaan dengan demikian, penting untuk menjaga yang kuat, seperti (Morris, 1983: 22; Saby, keharmonisan antara alam surga dan terestrial. 1995: xix) atau Banten (Van Bruinessen, 1995a: Karena itu, orang Belanda yang menjabat 165), di Madura, tempat masyarakat secara sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda tradisional terikat dengan pandangan religius, bukanlah pengganti yang tepat. Mereka menunjukkan banyak tradisi dan istiadat terkait dengan sedikit kecenderungan untuk mendukung Islam. agama, dan dengan demikian, penulis juga Kenyataannya, kemajuan kekuasaan Belanda berpendapat bahwa Islam di Madura secara mengancam kemungkinan pemisahan otoritas budaya tertanam dalam semua aspek kehidupan. keagamaan dan politik, yang sakral dan yang Mungkin pada abad ke-18 para pemimpin sekuler (Moertono, 1981: 2-4; 26-28; 33-37; dan keagamaan mendirikan pusat-pusat keagamaan, 83-84). khususnya di daerah pedesaan Madura. Elly Kartodirdjo juga berpendapat bahwa Touwen-Bouwsma telah menguraikan dua alasan kebangkitan agama juga termasuk revitalisasi yang menjelaskan mengapa pusat-pusat agama mendalam mengenai kehidupan keagamaan dapat berkembang secara independen dari melalui institusi Islam lokal dan kosmopolitan, kekuatan yang berkuasa. Pertama, tidak seperti dan bahwa mitra politik gerakan Pan-Islam dapat elit politik, kiai harus menghidupi diri mereka dilihat di pesantrendan tarekat. Selama beberapa sendiri dan mungkin mereka memperluas tempat dekade, di Banten terjadi intensifikasi fanatisme baru dengan bantuan penduduk desa. Kedua, di kalangan pesantren, dan sikap bermusuhan tampaknya penduduk desa memberi mereka serta agresif mulai tertanam dalam diri santri tanah karena mereka percaya bahwa kiai adalah terhadap orang asing dan (Kartodirdjo, anggota kelompok elit masyarakat (Touwen- 1966: 154-157). Bouwsma, 1992: 114). Di Madura, tradisi keagamaan yang Pesantren di Madura mirip dengan yang lebih kuat tampaknya muncul sebagai hasil dari ada di Jawa dan di Semenanjung Melayu. proses Islamisasi jangka panjang, sebanding Lembaga-lembaga ini adalah pusat transmisi dengan apa yang telah terjadi di Aceh dan Islam tradisional dengan yang Banten. Meskipun pulau ini tidak sepenuhnya berfungsi sebagai teks klasik dari berbagai berbeda dengan bagian lain Indonesia sehubungan pengetahuan Islam yang diajarkan oleh para guru dengan karakteristik sosial-keagamaan, setidaknya (Van Bruinessen, 1994: 121) untuk mempertahankan dua bentuk Islam dapat diidentifikasi di Madura: tradisi serta membentuk manusia sebagai

106 Jurnal Masyarakat & Budaya , Volume 21 No. 1 Tahun 2019 makhluk yang akan menjaga tradisi tersebut. Tattango), Sampang (Prajan), dan bahkan di Lembaga-lembaga pendidikan Islam ini tidak beberapa tempat-tempat di Jawa, seperti Bondowoso muncul sebelum abad ke-18, dan pada (Blindungan, Pancagati, dan Prajekan), Situbondo kenyataannya, mereka hanya menyebar luas (Panjhi, Sukorejo, Asembagus, dan Bajulmati) pada paruh kedua abad ke-19 di Hindia Belanda dan Probolinggo (Klapasawit, Randupangger, (Van Bruinessen, 1994: 131-133; 1995a: 173- dan Kebonsari) (Zainalfattah, 1951: 107-108). 176; Ricklefs, 2007: 52). Ekspresi Keislaman Transnasional Pesantren secara eksklusif dimiliki oleh kiai atau keluarga kiai dan dipandang sebagai Di Banten, kebangkitan Muslim kelas pusat keagamaan untuk pendidikan santri yang menengah perkotaan disebabkan oleh kondisi ingin menjadi pemimpin agama atau bagi wilayah ini yang telah berkembang pesat sejak mereka yang hanya dikirim oleh orang tua tahun 2000 ketika ia menjadi provinsi baru. mereka untuk belajar pengetahuan Islam. Kelompok-kelompok ini telah berkontribusi pada Pondok sebagai bagian dari pesantren dibangun kebangkitan komersialisme dan konsumerisme untuk memfasilitasi para santri yang datang dari Islam. Berbagai layanan dan barang-barang di jauh untuk tinggal di pesantren. Di Pamekasan, bawah label Islam telah didistribusikan karena menurut tradisi lisan, Pesantren Batuampar permintaan yang tinggi, yang akibatnya didirikan sekitar paruh kedua abad ke-19, dan di menghasilkan citra daerah tersebut sebagai salah Bangkalan, Pesantren Syaichona Kholil Demangan satu daerah yang sedang ditandai oleh dari Kiai Kholil yang legendaris, juga dikatakan komodifikasi Islam yang kuat. Pada saat yang didirikan pada sekitar waktu yang sama. Pada sama, provinsi ini juga ditandai oleh pertumbuhan abad ke-19, ada laporan statistik tentang jumlah kelompok-kelompok Islam baru yang menunjukkan santri di Madura. Misalnya, pada 1865 ada penguatan kesalehan komunal. Baik kesalehan 2.504, pada 1866 ada 9.674, dan pada 1871 ada komunal dan komodifikasi agama adalah 18.106 orang (Kuntowijoyo, 2002: 331). karakteristik yang jelas dari budaya Islam pop, yaitu perpaduan antara iman dengan budaya pop. Kebanyakan pesantren mengadakan perayaan tahunan pada hari peringatan kematian kiai James Hoesterey menunjukkan bahwa pendiri mereka ( khaul ). Pesantren terkenal, seperti konsumsi dan tampilan publik dari produk- Pesantren Demangan Bangkalan, dikunjungi produk Islam telah menjadi jalan yang semakin secara teratur selama khaul . Sebagian besar dari penting ketikaMuslim kelas menengah perkotaan banyak pesantren di Madura menyimpan unsur- yang bersemangat di seluruh dunia mencari unsur kesalehan dan mistis dalam tradisi makna dan mengekspresikan kesalehan mereka. keagamaan mereka, seperti khaul, sebagai cara Ia menunjukkan bahwa fenomena Islam pop di mempertahankan reputasi pesantren yang sakral. Indonesia meliputi novel dan film bertema Islam, fashion Islam, “seksolog”, pengkhotbah selebriti, Untuk orang Madura masa kini, para jaringan New Age Sufi di kalangan elit pemimpin agama sering kali disamakan dengan perkotaan, dan “pelatih spiritual” (Hoesterey, kiai. Namun, istilah kiai dalam tradisi Madura 2012: 45). Perkembangan Islam pop telah tidak statis sepanjang waktu. Pada periode- difasilitasi oleh perluasan teknologi komunikasi periode sebelumnya, kiai adalah sebutan bagi baru, seperti radio, televisi, media cetak, dan orang-orang yang memiliki karakteristik khusus, internet (Hasan, 2009: 245). Dampak industrialisasi baik dalam arti positif maupun negatif. Oleh media terhadap ekspresi keagamaan yang dimediasi karena itu, seorang penjahat atau bahkan di Indonesia sangat besar. Ada persimpangan pedagang MuslimTionghoa dapat disebut kiai antara perdagangan dan ekspresi Islam dalam jika ia menunjukkan karakteristik khusus narasi yang menggunakan ajaran Islam untuk dibandingkan dengan rakyat jelata. Kiai juga mengatasi masalah sosial yang dialami oleh merupakan gelar bangsawan Madura (Zainalfattah, Muslim kelas menengah. Ini, pada gilirannya, 1951: 68-69). Para bangsawan Madura, terutama memproyeksikan citra Islam Indonesia yang para bupati, memiliki hubungan dekat satu sama mengaburkan perpecahan politik yang ada di lain karena mereka memiliki ikatan keluarga. Di masyarakat Indonesia (Rakhmani, 2014). Pamekasan, misalnya, sejumlah besar keturunan Adikoro (salah satu penguasa Pamekasan pada Di provinsi yang baru berkembang abad ke-18) menjadi ulama di Pamekasan tersebut, umat Muslim di Banten telah (Sumberanyar, Banyuanyar, Batuampar, dan berkontribusi pada meningkatnya konsumsi

Jurnal Masyarakat & Budaya , Volume 21 No. 1 Tahun 2019 107 barang-barang keagamaan yang berkisar pada untuk religiositas mereka. Contohnya adalah seputar layanan jasa, kosmetik, perawatan buah kurma, habbatus sauda (jintan hitam), dan kecantikan, pakaian, perjalanan keagamaan, dan susu unta; yang semuanya merupakan komoditas makanan. Di Indonesia pasca-Orde Baru, pasar non-Indonesia. Bagi mereka, kebiasaan tersebut, keagamaan telah menjangkau banyak orang dan bersama dengan partisipasi dalam kegiatan menciptakan dampak besar dan permintaan yang keagamaan, sekarang dianggap sebagai ekspresi sangat tinggi. keagamaan yang paling tepat dari identitas Islam yang “sesungguhnya”. Islam tampaknya telah menjadi populer, trendi, muda, dan keren di kalangan Muslim Di Indonesia, Islam telah menjadi bagian kelas menengah perkotaan. Di Indonesia, religiositas dari budaya konsumen yang luas dan ia juga sejak 1980-an secara bertahap menjadi faktor berfungsi sebagai identitas yang penting sebagai penting dalam pernyataan politik terbuka tanda status sosial dan afiliasi politik. terhadap pemerintahan Suharto dan sebagai Kekuatannya terletak pada kenyataan bahwa ia simbol kebanggaan politik identitas keagamaan telah berkembang menjadi semacam jaringan setelah runtuhnya rezim otoriter tersebut. Seperti yang memungkinkan banyak orang dari berbagai yang dikatakan oleh Hoesterey dan Clark, latar belakang sosial untuk berbagi dan budaya populer telah menjadi arena penting di melakukan kontak, baik nyata maupun virtual. Indonesia ketika umat Islam membentuk dan Melalui jaringan ini, pesan kebangkitan Islam menentang gagasan tentang Islam dan kesalehan global telah secara signifikan diperkuat, yang (Hoesterey dan Clark, 2012: 207). Di tempat akhirnya mempengaruhi berbagai bidang sosial- lain, maraknya Islam pop telah memberikan politik dan mendorong identitas “Islam yang platform penting bagi umat Muslim untuk sesungguhnya” secara kolektif. Mengenakan ‘busana memutuskan peran gender tradisional, membangun syar’i’ yang pantas, menonton acara-acara modal sosial, dan memperoleh keterampilan televisi Islami, berkumpul di kafe-kafe dan salon partisipatif yang diperlukan untuk membawa kecantikan Muslim, berjilbab, menghadiri lingkaran ‘masyarakat madani’ ke dalam komunitas mereka belajar (halaqah ) dengan para pengkhotbah sendiri (Mushaben, 2008: 507). populer, melakukan ‘olahraga Islami’, seperti memanah dan menunggang kuda, atau umrah Seperti yang telah kita perhatikan, membuat seorang individu, secara tidak religiositas telah menjadi isu signifikan di antara langsung, berhubungan dengan kelompok sosial komunitas Muslim dalam beberapa dekade yang lebih besar dan dengan umat dalam terakhir di Indonesia. Menjadi seorang Muslim pengertian yang luas. Jaringan tersebut, pada berarti bahwa seseorang tidak hanya harus gilirannya, menyediakan jalur yang kredibel melakukan ritual-ritual keagamaan dan menghindari untuk mobilitas ke atas dan juga pasar untuk aktivitas yang tidak bermoral dan salah, tetapi produk komersial (Hasan, 2009: 231). juga dengan bangga dan terus-menerus perlu menunjukkan identitas keislamannya. Di banyak Pattana Kitiarsa menunjukkan bahwa kelompok pengajian, menjadi religius dengan komodifikasi agama membantu mendefinisikan jelas dapat ditunjukkan melalui penampilan kembali agama sebagai komoditas pasar serta Islami. Bagi perempuan, ‘busana syar’i’ yang pertukaran di pasar spiritual yang selanjutnya khas, seperti jilbab yang panjang dan longgar diperluas oleh koneksi transnasional organisasi (dan sering kali juga mahal) dapat menjadi keagamaan dan jaringan pasar (Kitiarsa, 2008: 6- simbol utama. Untuk laki-laki, menumbuhkan 7). Pasar untuk produk pembaruan agama dan janggut dan mengenakan ‘celana cingkrang’ spiritual agak beragam. Di satu sisi, banyak (celana pendek di bawah lutut tetapi di atas Muslim dengan rajin memilih merek dan produk pergelangan kaki) adalah identitas utama. yang secara simbolis terkait dengan Islam Mereka gemar mengklaim bahwa mengenakan daripada yang ditandai oleh produk-produk non- dan menunjukkan pakaian dan penampilan agama. Di sisi lain, beberapa program promosi Islami adalah langkah pertama untuk menjadi kesalehan yang disampaikan secara komersial Muslimyang “sesungguhnya”. Mereka juga lebih paling sukses menggabungkan ajaran agama suka menyebutkan kata-kata tertentu dalam dengan unsur budaya sekuler untuk meningkatkan bahasa Arab yang terpatah-patah daripada daya tarik mereka dan menunjukkan relevansinya menggunakan istilah-istilah dalam bahasa Indonesia. dengan kehidupan modern (Howell, 2013: 402- Selain itu, mengkonsumsi apa yang dianggap 403). sebagai komoditas Islami juga sangat penting

108 Jurnal Masyarakat & Budaya , Volume 21 No. 1 Tahun 2019 Di Madura, Sumenep sangat dianggap daerah itu menolak ortodoksi Arabnya yang kuat sebagai daerah pusat sekolah keagamaankarena dan tidak menyetujui kenyataan bahwa ia datang ada banyak pesantren yang terkemuka di sana, dari luar Madura. Setelah pengusirannya, ia seperti yang ada di Guluk-guluk dan juga mendirikan pesantren di Guluk-guluk. Pesantren Pesantren Al Amien di Prenduan karena sangat lamanya di Prenduan diturunkan kepada muridnya, terkenal oleh pengaruh Timur Tengahnya, terutama Kiai Achmad Chotib (De Jonge, 1989: 242-244). ortodoksi yang dipengaruhi dan berorientasi Pengusiran Syarqawi dari Prenduan oleh kepada tradisi Arab. Pesantren Al Amien terletak penduduk lokal mirip dengan situasi yang di jalan utama Madura bagian selatan yang dihadapi oleh (organisasi Islam menghubungkan Pamekasan dengan Sumenep, terbesar kedua di Indonesia) sejak diperkenalkan sekitar 32 kilometer sebelah timur Pamekasan di di Madura. Fitur tradisional Islam di Madura Kecamatan Prenduan di Sumenep. Karena menunjukkan bahwa banyak gagasan Islam lembaga ini terletak di tanah tegalan (tanah modernis, seperti upaya Muhammadiyah untuk kering dan tidak teririgasi), orang juga ‘memurnikan’ tradisi Islam yang diciptakan menyebutnya ‘Pondok Tegal’. (bid’ah ), tidak akan diterima dengan baik. Bagi orang luar, perbedaan antara ortodoksi Arab Syarqawi, seorang saleh yang dipengaruhi Syarqawi dan ide-ide modernis Muhammadiyah oleh ortodoksi Arab, mendirikan pesantren dibandingkan dengan fitur tradisional Islam tersebut mungkin pada paruh kedua abad ke-19, Madura mungkin tidak tampak besar. Namun, meskipun tepatnya kapan tidak jelas. Kiai bagi umat Islam Madura, perbedaan-perbedaan Achmad Chotib, seorang kiai terkenal di yang tampaknya kecil ini justru sangat berarti. Prenduan, mengelola pesantren pada tahun-tahun awal pendiriannya. Ia tampaknya memiliki visi Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke- yang baik tentang masa depan pesantrennya 20, haji dan kiai membentuk elemen-elemen dengan mengirim enam anaknya untuk belajar di sentral dari lingkaran-lingkaran keagamaan di bawah bimbingan kiai-kiai terkemuka, seperti Madura. Tidak mudah untuk memisahkan haji kiai Tebu Ireng, Panji Sidoarjo, dan Gontor di dan kiai pada periode itu, tetapi Kuntowijoyo Jawa, sehingga di masa yang akan datang, percaya bahwa haji dan kiai berbeda dalam mereka akan memiliki pengetahuan luas tentang banyak hal. Ia berpendapat bahwa kiai bukanlah ajaran Islam dan pengelolaan pesantren. Di figur yang tepat untuk mengatur gerakan sosial antara anak-anaknya, Kiai A.H. Jauhari Chotib modern. Karisma mereka sendiri tidak memadai pergi ke Guluk-guluk pada 1930-an dan kemudian jika tidak disertai dengan kemampuan untuk ke Tebu Ireng dan akhirnya, mengikuti tradisi mengatur gerakan sosial. Di sisi lain, haji keluarga kiai kaya, ia pergi belajar ke Mekah mampu memberikan kontribusi positif terhadap selama tiga tahun. Tak lama setelah itu, ia perubahan sosial yang sedang berlangsung kembali ke rumah, menikah, dan dibantu oleh karena mobilitas tinggi dan eksplorasi daerah di saudara-saudaranya, ia menjadi pemimpin luar tempat asal mereka. Bahkan jika seorang pesantren keluarga setelah kematian ayahnya. haji tidak memiliki kemampuan yang memadai Selama belajar di Mekah, Kiai Jauhari menjadi di bidang agama, status sosial-keagamaannya akrab dengan tarekat Tijaniyah. Selain tugasnya tetap sangat dihargai. sebagai pemimpin pesantren, ia juga menjadi Dalam membedakan kiai dan haji, guru tarekat (Van Bruinessen, 1995b: 108). Kuntowijoyo memberikan contoh pada kiai yang Berkenaan dengan pesantren dan kiai memberontak di desa Prajan di Sampang. Kiai dalam jaringan keagamaan ini, patut dicatat tersebut bertindak tidak hanya sebagai guru betapa berbedanya perkembangan Islam di agama, tetapi juga sebagai dukun dan peramal. Ia Sumenep dengan daerah lain di Madura. menyampaikan khotbah-khotbah yang provokatif, Wilayah Prenduan dan mungkin Guluk-guluk meminta agar penduduk desa mengambil peran dapat dianggap lebih ortodoks dalam hal aktif dalam memerangi diskriminasi dari orientasi keagamaan dibandingkan dengan Belanda (Kuntowijoyo, 2002: 337-345). Selain wilayah Madura lainnya. Syarqawi, pendiri itu, Kuntowijoyo berpendapat bahwa haji lebih Pesantren Al-Amien adalah orang terpelajar ortodoks dalam mengidentifikasi diri mereka yang leluhurnya berasal dari Kudus, Jawa dengan Islam universal. Sebagai contoh dari Tengah. Namun, kepemimpinannya di pesantren kelompok haji, ia menunjuk ke haji-haji dari tersebut berumur pendek, karena orang-orang dan menyatakan bahwa mereka yang lebih berorientasi pada tradisi lokal di adalah individu yang saleh yang juga adalah

Jurnal Masyarakat & Budaya , Volume 21 No. 1 Tahun 2019 109 sebagai pedagang dan warga kota. Sementara itu, 2001; Bakhri, 2006). Kini Kiai Kholil masih kiai berasal dari elit petani di desa. Singkatnya, hidup di benak orang Madura, baik mereka yang ia menganggap kiai sebagai pialang kekuasaan tinggal di pulau itu maupun mereka yang telah yang dapat memobilisasi rakyat, sedangkan haji pindah. Bagi banyak peziarah, makamnya adalah pialang budaya dalam kebangkitan Islam dianggap sebagai tempat terakhir dalam ziarah (Kuntowijoyo, 1988: 108). Saran-saran ini yang membentang dari Banten ke Madura. tampaknya tidak akurat karena kenyataannya Singkatnya, di Banten dan Madura, tidaklah mudah untuk membedakan antara kiai terlepas dari konsekuensinya yang kompleks, dan haji di Madura pada akhir abad ke-19 dan fenomena yang dibahas di atas menunjukkan ke-20. proses Islamisasi dan re-islamisasi yang Sebagai contoh, meskipun reformis berkesinambungan. Di banyak benteng Muslim, terkenal Kiai Jauhari dari Prenduan, Sumenep, proses keduanya tidak selalu merupakan adalah seorang guru tarekat Tijaniyah, ia kemunduran. Mereka tampaknya telah menjadi menghubungkan pesantrennya dengan ortodoksi proses Islamisasi yang panjang dan sedang Arab dan mengirim putranya ke Pesantren berlangsung dalam beberapa dekade terakhir, Gontor yang modernis. Salah satu putranya dan mereka benar-benar mendapatkan dukungan bahkan belajar di Mekah dan menjadi anggota publik terutama karena euforia demokratisasi. Liga Muslim Dunia. Jelas sudah bahwa Kiai Sementara itu, tantangan substantif terhadap Jauhari dianggap lebih progresif daripada otoritas negara di bawah bendera Islam belum kebanyakan kiai Madura lainnya (Van Bruinessen, dapat benar-benar direalisasikan. 1995b: 91) dan memainkan peran penting dalam kebangkitan Islam dengan mengadopsi metode Tanggapan yang Saling Bertentangan modern di pesantrennya yang jarang terjadi di Secara umum, baik di Banten maupun kalangan pesantren Madura saat itu. Kiai Jauhari Madura dan juga tempat-tempat lain di sebagai kiai dan haji sekaligus, bersama dengan Indonesia, telah terjadi upaya oleh berbagai para pemimpin agama lainnya di Prenduan, organisasi Muslim, seperti Hizbut Tahrir Indonesia mendirikan cabang gerilyawan Hizbullah yang (HTI) dan kelompok-kelompok lain yang lebih secara aktif terlibat dalam perlawanan terhadap kecil yang diilhami oleh Salafisme untuk Belanda selama Agresi Militer tahun 1947 (De mengidealkan wilayah mayoritas Muslim, termasuk Jonge, 1989: 256). Madura dan Banten, untuk menjadi negara yang Di Madura, Kiai Muhammad Kholil dari berdasarkan agama dan didefinisikan serta diatur Bangkalan mungkin adalah kiai yang paling oleh Tuhan melalui cara politik. Di Madura terkemuka dalam sejarah pulau tersebut. Ada pasca-Orde Baru, sebagian besar pengikut NU banyak cerita tentang tokoh legendaris ini yang yang lebih konservatif menjalankan tugas ini, sebagian besar ditandai oleh mitos. Ia dilahirkan sedangkan di Banten keyakinan tersebut lebih pada paruh pertama abad ke-19 (antara 1819 dan tersebar, tidak hanya di kalangan warga NU, 1835) dan meninggal sekitar tahun 1923-1925. tetapi juga pengikut organisasi-organisasi massa Di antara teman-teman seangkatannya di Mekah lainnya. adalah Nawawi dan Abdul Karim dari Banten Salah satu langkah nyata yang dan Mahfudh Tarmisi dari Tremas, Jawa Timur. didambakan adalah terwujudnya ‘peraturan Ia dikenal tidak hanya sebagai wali, tetapi juga daerah (perda) syariah’. Di Madura, misalnya, sebagai ahli tata bahasa Arab klasik, serta pakar tepatnya di Kabupaten Bangkalan, sebagian dalam bidang fiqih dan juga ahli kekuatan ulama NU dan Bassra (Badan Silaturahmi Ulama supranatural. Ia dianggap sebagai figur penting Pesantren Madura) saling mendukung ‘perda dalam pembentukan komunitas santri di syariah’ tentang kewajiban bagi aparatur pemerintah kepulauan Indonesia, tempat ia menghasilkan perempuan dan juga siswa perempuan di atas kiai-kiai dan meletakkan dasar yang kuat untuk usia sembilan tahun untuk mengenakan jilbab. penciptaan jaringan kiai-pesantren. Saat ini, Kewajiban ini sering dikutip sesuai dengan sejumlah besar kiai Madura dan Jawa karakteristik Kabupaten Bangkalan sebagai kota menganggapnya sebagai guru tidak langsung santri. Sementara itu di Banten, tepatnya di Kota mereka, karena banyak kiai terkemuka di Jawa, , MUI mendukung ‘perda syariah’ yang seperti Kiai Wahab Hasbullah dan Kiai Hasyim melarang warga menjual makanan dan minuman Asyari, dua pendiri NU, belajar di pesantrennya di siang hari pada bulan Ramadan. Salah satu (Dhofier, 1982; Van Bruinessen, 1995b; Rachman,

110 Jurnal Masyarakat & Budaya , Volume 21 No. 1 Tahun 2019 alasan dukungan MUI juga karena mereka agama dan menghindar dari kegiatan mengkritik meyakini bahwa Kota Serang adalah kota santri. isu-isu agama yang kontroversial, fakta-fakta yang menunjukkan kekuatan pengaruh agama Menurut Michael Buehler, pembuatan dalam politik Indonesia saat ini (Tanuwidjaja, kebijakan ‘perda syariah’ merupakan indikator 2010). Akibatnya, partai-partai Islam tidak lagi yang baik untuk menerangkan bagaimana menjadi saluran tunggal untuk aspirasi Islam, perubahan hubungan di dalam negara kemudian dan dengan demikian mereka tampaknya telah membentuk hubungan antara negara dan gagal mendapatkan dukungan rakyat atau masyarakat. Lebih jauh Buehler berpendapat memanfaatkan sentimen ini (Sakai dan Fauzia, bahwa di daerah dengan karakter Islam yang 2014: 41; Hicks, 2012: 40). kuat, pemulihan hubungan antara negara dan masyarakat menemukan ekspresinya dalam Islamisme di Indonesia telah meningkat penerapan ‘perda syariah’ (Buehler, 2014: 159 & sejak tahun-tahun awal pasca Orde Baru. Minako 174). Sakai dan Amelia Fauzia berpendapat bahwa peningkatan kelompok-kelompok Islamis di Penulisberpendapat bahwa situasi saat Indonesia adalah hasil dari kondisi ketikaMuslim ini adalah refleksi dari apa yang terjadi selama ‘awam’ beralih ke Islam sebagai referensi untuk pemerintahan sebelumnya. Selama Orde Baru, mengatur hidup mereka (Sakai dan Fauzia, 2014: dominasi politik negara atas masyarakat meluas 43). Faktanya, sementara gerakan Islam di secara luar biasa. Rezim Suharto yang Indonesia telah dipengaruhi oleh fitur-fitur didominasi oleh militer dan para pendukungnya transnasional, keberhasilan penyebaran gerakan bergerak untuk membatasi partisipasi politik dan tersebut yang bersifat lokal justru didasarkan memusatkan kekuasaan, dan umumnya tetap pada penggunaannya yang efektif atas repertoar waspada terhadap dan berusaha menetralisasi penalaran lokal (sejarah lokal, adat, ritual dan kekuatan Islam (Macintyre, 1991: 2, 3; Hamayotsu, ingatan), dibandingkan pada argumen-argumen 2002: 356). Secara umum, pemerintah di semua tertulis (Alimi, 2014), serta ekspansi televisi tingkatan mengabaikan kepentingan sosial- yang merajalela dan program pengajian melalui politik Muslim dan berusaha menerapkan media lainnya serta pengajian-pengajian ‘rumahan’ kebijakan pembangunan dengan cara yang kaku. yang menawarkan kesempatan bagi umat Islam Oleh karena itu, tampak jelas bahwa semua untuk memperoleh pengetahuan Islam secara pemerintahan demokratis pasca-Orde Baru akan mandiri untuk peningkatan kualitas diri secara menghadapi tantangan dari generasi Muslim etis (Sakai dan Fauzia, 2014: 43; Muzakki, 2008; yang baru dilahirkan kembali yang terpinggirkan Howell, 2008). Oleh karena itu, daripada selama pemerintahan Orde Baru. Dalam menanggapi melibatkan diri secara langsung dalam gerakan kekuasaan dan kebijakan negara, kelompok- politik Islam, banyak Muslim di Indonesia kelompok Muslim kelas menengah perkotaan ini berusaha menerapkan cara hidup Islam dalam cenderung menggunakan ide-ide populis dalam dunia yang sekuler (Sakai dan Fauzia, 2014: 43). semua aspek kehidupan. Bahkan, ada kelompok- Kondisi-kondisi ini terutama berlaku untuk kelompok yang ingin mengambil alih negara Muslim kelas menengah perkotaan. untuk memberlakukan hukum syariah sepenuhnya, atau untuk mengambil alih institusi tertentu Seperti yang dikatakan oleh Noorhaidi sebagai sarana untuk memaksakan pandangan Hasan, meningkatnya kesadaran kaum Muslim mereka pada masyarakat dan untuk menekan kelas menengah di kota untuk terlibat dalam pandangan yang bertentangan dari Muslim lain debat dan objektifikasi agama mereka memerlukan (Ricklefs, 2013: 19) . ketersediaan ruang keagamaan di kota-kota besar. Mengingat meningkatnya permintaan untuk ruang- Hal tersebut menunjukkan kepada kita ruang seperti itu, kompleks perumahan elit dan bahwa di Indonesia saat ini, hubungan antara pusat perbelanjaan menyediakan tempat pertemuan Islam dan politik yang melibatkan, antara lain, untuk mendengarkan ceramah-ceramah tentang proses demokratisasi yang sedang berlangsung, Islam. Pusat-pusat Islam yang mewah telah politik identitas, dan penciptaan masyarakat dibangun di kota-kota besar, seperti Jakarta, madani telah menjadi lebih kompleks dari Surabaya, Bandung, Yogyakarta, dan Makassar. sebelumnya. Kini, aspek-aspek keislaman telah Di tempat-tempat itu kaum Muslim kelas berhasil menembus partai-partai politik nasionalis menengah perkotaan berpartisipasi dalam pembacaan dan sekuler yang dominan. Hampir semua pihak Alquran sambil mendiskusikan berbagai aspek kini telah gemar menampung aspirasi atas nama tentang Islam (Hasan, 2009: 237).

Jurnal Masyarakat & Budaya , Volume 21 No. 1 Tahun 2019 111 Bagi umat Muslim perkotaan, dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di berbagai meminjam istilah dari Peter Berger, Islam cabang di Banten dan juga anggota berbagai mewakili berbagai kanopi suci yang menyuburkan organisasi massa Islam. Mereka mewakili ekspresi ikatan dan kesalehan bersama serta memaksakan lokal keislaman. Karena itu, dibandingkan perintah suci secara moral pada kegiatan duniawi dengan Banten pada masa kolonial, posisi kiai di kosmologis sehari-hari. Kita menjadi terbiasa Banten saat ini bahkan lebih kuat. Hal tersebut melihat bagaimana masyarakat Muslim yang agak sebanding dengan kondisi di Jawa Timur religius berupaya berinteraksi dengan dunia yang tempat otoritas agama dan politik yang besar sekuler. Dunia, dengan pengecualian Eropa berada di tangan kiai, sedangkan di Yogyakarta, Barat dan Utara, semakin hari menjadi semakin setidaknya pada prinsipnya, sultan adalah religius (Berger, 1992: 32). Keadaan ini bertentangan otoritas agama dan politik tertinggi (Woodward, dengan pernyataan para ahli teori sekularisasi 2011: 40). yang memperkirakan penurunan signifikan Meskipun demikian–dalam tulisan penulis agama sebagai penentu tindakan sosial yang yang akan datang–penulis memperlihatkan bahwa berpengaruh ketika orang mengalami modernisasi dengan memanfaatkan kemampuan dan sumber dan rasionalisasi. Bahkan, modernisasi juga telah daya mereka, banyak ustaz(guru mengaji, memicu segudang penangkal sebagaimana dibuktikan terutama di majelis taklim dan pengajian oleh gerakan-gerakan kebangkitan agama di ‘rumahan’) dan para peserta pengajian perkotaan seluruh dunia (Kitiarsa, 2008: 3; Pohl, 2006: di Banten tampaknya, secara terbuka atau tidak, 393). menantang kiai sebagai pemegang otoritas Namun, religiositas sering dibangun di keagamaan utama untuk mengamankan kepentingan atas ketidakpuasan. Transformasi sosial yang mereka sendiri. Sementara itu, melalui jaringan cepat yang ditandai oleh industrialisasi, urbanisasi, pesantren dan organisasi massa Islam, para kiai dan modernisasi dapat menghasilkan ketercerabutan dengan hati-hati menanggapi tantangan tersebut dan kekecewaan di antara segmen masyarakat dengan menjauhkan diri dari kegiatan keagamaan tertentu, seperti kaum muda, borjuis kecil, dan yang diadakan oleh para ustaz. Ustazperkotaan anggota kelas menengah lainnya yang mengalami dikenal sangat adaptif dan responsif terhadap frustrasi untuk mobilitas sosial dan mulai transformasi sosial-politik. Mereka dapat membentuk memprotes cara hidup modern (Ismail, 2006: 11- hubungan yang saling menguntungkan dengan 13). Dalam hal pendidikan, banyak aktivis muda negara dan kiai ketika kekuatan negara dan Islam yang datang dari keluarga kelas menengah pengaruh kiai terlalu kuat untuk ditentang atau yang baru di perkotaan ternyata tidak pernah ketika membuat aliansi seperti itu dipandang mendapatkan pendidikan agama formal (Tan, sebagai opsi yang bermanfaat (Pribadi, akan 2011). Sebaliknya, banyak dari mereka yang datang). justru telah dididik di lembaga sekulerketika Sementara itu, banyak penghuni di penguasaan atas pengetahuan dan keterampilan kompleks perumahan elit di Banten mendukung dihormati sebagai kunci untuk kemajuan sosial dakwah para ustaz dan banyak penduduk di meritokrasi. pinggiran kota menyukai gaya dakwahkiai,

sebagian besar penduduk kota di kompleks Fragmentasi Umat dan Penciptaan Otoritas perumahan non-elit dan perkampungan di tengah Keagamaan kota yang relatif terpinggirkan secara sosial- Di Banten pada masa kolonial, kiai dan ekonomi, tidak memiliki preferensi spesifik haji dianggap memiliki kedudukan sangat tinggi dalam ketaatan agama dan aliran,maupun pilihan secara sosial. Mereka memiliki kekuatan kepada para pengkhotbah. Area samar-samar karismatik karena mereka dikagumi oleh (kelabu) tersebut telah menjadi ladang terbuka penduduk setempat dan karena posisi mereka bagi ustaz yang aktif dan agresif serta para yang relatif independen (Kartodirdjo, 1966: 54- pengikutnya untuk menarik orang-orang di 58). Di Banten saat ini, pemegang otoritas daerah tersebut dengan misi evangelis mereka. keagamaan utama adalah kiai yang telah Hal tersebut telah menciptakan situasi yang menunaikan ibadah haji dan terutama memimpin rentan karena sebagian besar orang tanpa latar pesantren. Sehubungan dengan manajemen belakang pendidikan agama yang memadai masjid, kiai juga biasanya bertindak sebagai sekarang berada dalam kebingungan, ketika fungsionaris masjid dan amil yang mengumpulkan mereka mencoba untuk memutuskan siapa dan zakat. Banyak dari mereka juga adalah anggota apa yang harus diikuti karena secara umum

112 Jurnal Masyarakat & Budaya , Volume 21 No. 1 Tahun 2019 mereka terus mencari perlindungan kepada tentang siapa yang memenuhi syarat untuk agama. Dititik inilah muncul fragmentasi umat, berbicara sebagai pemegang otoritas keagamaan dan pada akhirnya hal tersebut memberikan dan tentang seberapa serius umat Islam pada tantangan bagi wajah tradisional dan moderat umumnya harus menerima pernyataan dari para dari Islam Indonesia (Pribadi, akan datang). ulama (Hefner, 2005: 6). Di Indonesia, citra Islam Indonesia tetap menjadi wacana yang Namun, sebenarnya keadaan tersebut diperebutkan. Hal tersebut jelas bukanlah produk tidak unik hanya untuk Indonesia saja. Dalam tanpa pengaruh asing. Seperti yang dikatakan tulisan lain penulisberpendapat bahwa politik oleh Martin van Bruinessen, Islam Indonesia Muslim mendorong orang untuk terlibat dalam bukanlah produk isolasi relatif dari pengaruh aliansi dan kompetisi atas interpretasi simbol- asing, tetapi karena interaksi aktif berabad-abad simbol Islam dan budaya, dan kontrol lembaga dengan aliran budaya yang sangat beragam, negara dan publik. Aliansi dan kompetisi dengan termasuk Timur Tengah dan Barat yang telah tujuan yang pasti untuk memastikan penegakan menjadi sumber dominan dan bersaing, dari Islam yang telah terus-menerus diartikulasikan, aliran gagasan, dengan peran yang lebih kecil sebenarnya berlaku umum di negara-negara yang terlihat dari Cina dan Asia Selatan (Van mayoritas Muslim, meskipun mereka berbeda Bruinessen, 2015: 62-63). Hal tersebut sejalan dalam konsepsi dan bentuk. Hubungan antara dengan gagasan Mark Woodward yang mengatakan Islam dan politik sangat rumit ketika diubah bahwa agama, budaya, dan kebangsaan sama- menjadi simbol, wacana, dan praktik publik. sama diperebutkan saat ini seperti yang terjadi Namun demikian, di Indonesia, tantangan lebih dari 70 tahun yang lalu ketika Indonesia substantif terhadap otoritas negara di bawah didirikan (Woodward, 2011: 270). panji-panji Islam belum direalisasikan (Pribadi, 2018: 9, 11). Rupanya, mempromosikan Islam yang “sesungguhnya” adalah cara tertentu untuk Indonesia, di satu sisi, pada tahun 1990- mengklaim dan memperkuat identitas Islam an–dan sekarang terlahir kembali ke bentuk lain– kelompok-kelompok Muslim kelas menengah ditandai oleh kekhawatiran akan gagasan perkotaan di Banten. Tampaknya sikap mereka ghazwul fikri . Di sisi lain, sebagai tanggapannya, akan bertahan sangat lama jika mereka didukung banyak yang merasa khawatir dengan apa yang oleh perasaan identitas diri mereka yang kuat. mereka anggap sebagai upaya ‘Arabisasi’ Islam Kenyataannya, mereka telah mendorong budaya Indonesia dan menghapuskan praktik-praktik tandingan mereka vis-à-vis budaya Islam lokal dan interpretasi liberal. Terhadap Islam tradisional setempat yang sangat berpengaruh politik bergaya Arab ini, para intelektual dalam masyarakat Banten. Namun demikian, terkemuka Muslim mengajukan konsep apa yang orang-orang ini tidak menyerang secara terbuka mereka sebut sebagai ‘Islam budaya’, yaitu karena pendukung utama kelompok Islam tradisional ekspresi nilai-nilai Islam dalam bentuk budaya di Banten, yaitu para kiai, masih sangat Indonesia. Kedua belah pihak tampaknya dihormati oleh banyak segmen masyarakat. Di berbagi persepsi bahwa Islam Indonesia berada Banten, bagi banyak orang, menentang kiai di bawah ancaman akan ditumbangkan oleh merupakan pelanggaran etika yang serius, pengaruh asing dan asumsi bahwa sebagian dengan konsekuensi sosial dan spiritual (Tihami, besar budaya lokal adalah penerima pasif dari 1992: 99-100; Wilson, 2003: 246). Situasi ini arus global (Van Bruinessen, 2015: 61-62). Saat masih berlaku di Banten hingga saat ini. ini, justru para pendukung ‘Arabisasi’ yang peduli dan secara aktif berusaha untuk mencegah Jelas bahwa Banten memiliki semacam gagasan Islam Nusantara yang disebarkan oleh pandangan dunia Islam campuran. Di satu sisi, faksi tradisional Islam Indonesia (terutama Islam tradisional yang berakar pada era Kesultanan Nahdlatul Ulama) dan didukung oleh segmen masih bertahan di era kontemporer, dan dengan luas dari masyarakat yang menentang demikian tradisi dan adat istiadat seperti tahlilan, ‘Arabisasi’, termasuk para intelektual terkemuka muludan, ziarah, dan yang lainnya masih yang terkait dengan sekularisme, liberalisme, dipraktikkan oleh banyak Muslim di Banten. Di dan pluralisme agama, seperti yang berkumpul di sisi lain, revivalisme agama pada abad ke-19 (JIL). yang menghasilkan banyak pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda tampaknya Saat ini sebagian besar masyarakat telah muncul kembali dan telah menghasilkan Muslim ditandai oleh ketidaksepakatan mendalam peningkatan kegiatan keagamaan yang tidak

Jurnal Masyarakat & Budaya , Volume 21 No. 1 Tahun 2019 113 hanya disebabkan oleh fakta bahwa orang mereka dapatkan, secara sukarela atau tidak, di Banten adalah penganut agama Islam yang saleh, kemudian hari. tetapi juga karena fakta bahwa telah terjadi Selain itu, prestise seorang kiai juga gangguan terhadap tatanan sosial-politik pada diperoleh dari kunjungan para tamu. Kiai periode pasca-Orde Baru, dan, bersamaan dengan terkemuka sadar bahwa mereka bisa mendapatkan itu, menghasilkan re-Islamisasi atau kembali ke citra masyarakat yang lebih akurat dengan Islam yang “sesungguhnya”. Sebagai provinsi bertemu orang-orang tidak hanya dari daerah yang sedang berkembang, Banten adalah salah mereka sendiri, tetapi juga dari daerah lain. satu tempat paling mencolok tempat‘Islam lokal’ Selama era Orde Baru, ketika hanya sebagian yang diwakili terutama oleh penduduk Muslim kecil orang berpendidikan di desa-desa yang kelas bawah, bertemu dan berinteraksi dengan memiliki akses ke radio, televisi, surat kabar, ‘Islam asing’ yang sebagian besar diwakili oleh dan majalah, kiai dapat menyebarkan isu-isu Muslim kelas menengah perkotaan, dengan yang terkini kepada tamu mereka. Berbekal informasi terakhir menjadi pendukung populisme Islam terbaru, mereka dapat menciptakan lebih banyak dan Islamisme populer di satu sisi dan kesalehan perhatian di antara pengunjung mereka tentang komunal serta komodifikasi agama di sisi lain. dunia sosial-politik di luar tempat asal mereka. Di Madura, secara umum diakui bahwa Namun, mereka juga sadar bahwa dengan kiai saat ini memiliki pengaruh besar terhadap memperlihatkan independensi mereka, kiai dapat masyarakat. Kiai dipandang sebagai orang-orang membuktikan bahwa mereka hanya bertanggung yang memiliki pengetahuan luas tentang Islam, jawab kepada Tuhan. Dengan menjauhkan diri dan yang kemampuannya dalam bidang agama dari dunia yang sekuler, kiai mendapatkan melampaui kemampuan rakyat jelata. Mereka kepercayaan dari para pengikut mereka. Selama dihormati sebagai sumber yang paling otoritatif seorang kiai independen, ia akan menikmati dalam dominasi Islam. Penghargaan tinggi ketika kepemimpinan di antara para pengikutnya. masyarakat melihat kiai membuat mereka Memiliki informasi tentu saja penting menempatkan kiai sebagai tokoh yang memerintah dalam kehidupan sosial-politik untuk seorang dan menjadi pemimpin rakyat, sebuah posisi kiai, seperti yang dikatakan oleh Anna Tsing, yang sebagian besar telah dicapai sejak awal berita adalah informasi yang diperlukan untuk abad ke-19 ketika aristokrasi lokal secara menjadi partisipan dalam kelompok publik dan bertahap kehilangan pengaruh mereka. Terutama masalah politik. Seseorang menjadi subjek di desa-desa dan kecamatan-kecamatanlah, publik dan politik ketika seseorang membaca, daerah-daerah yang menjadi pusat kekuatan merespons, dan membuat ulang berita. Namun, besar kiai, yang penghormatannya tidak hanya pembuatan berita dan interpretasi berita juga diperlihatkan oleh penduduk desa tetapi juga mengkonstruksi garis-garis perbedaan dan oleh para pejabat negara. Bentuk-bentuk otoritas, pengucilan serta ruang partisipasi (Tsing, 2003: di satu sisi, diperebutkan oleh kiai, dan di sisi 192). Hal yang harus kita ingat adalah bahwa lain, mereka juga menikmati manfaat kepemimpinan sebagai elit agama, kiai mampu merangkul, kiai di antara masyarakat. Tanpa dukungan kiai, menantang, dan mengubah ideologi dan kebijakan akan sangat mustahil untuk melibatkan penduduk yang dipaksakan; inilah yang kebanyakan orang desa dalam pelaksanaan program pembangunan biasa tidak mampu melakukannya. selama era Orde Baru. Baik otoritas negara dan kiai tentu sadar akan situasi tersebut. Mengingat perkembangan sosial-politik ini, kita telah melihat pentingnya peran kiai Status terhormat kiai juga dinikmati oleh sebagai aktor sentral dalam politik lokal di keluarga mereka. Penghargaan orang-orang terhadap Indonesia dan mencerminkan pentingnya ulama keluarga kiai adalah puncak keberhasilan kiai sebagai aktor kunci dalam politik Muslim di dan keluarganya dalam memenangkan simpati. negara-negara mayoritas Muslim lainnya. Di Institusi dan kepribadian mereka juga telah banyak tempat, mereka menegaskan hak mereka memainkan peran penting dalam keberhasilan untuk eksistensi dan menolak konformasi mendapatkan pengikut. Meskipun pengecualian pemaksaan dari negara yang akan menyangkal terjadi, posisi kiai di Madura adalah status yang sumber daya dan pengakuan mereka (Hall dan berasal dari keturunan, ketika anak-anak kiai Held, 1989: 175). Hal tersebut dapat terjadi (terutama, tetapi tidak secara eksklusif, anak karena politik Muslim melibatkan persaingan laki-laki) juga menikmati status tinggi yang dan kontestasi atas interpretasi simbol dan diberikan kepada ayah mereka–posisi yang akan

114 Jurnal Masyarakat & Budaya , Volume 21 No. 1 Tahun 2019 kontrol institusi, formal dan informal, yang penting, hilangnya sebagian otoritas keagamaan menghasilkan dan mempertahankan keduanya. mereka. Penafsiran simbol dimainkan dengan latar Secara umum, para pemimpin agama di belakang kerangka dasar yang umum bagi umat Indonesia menanggapi perkembangan ideologis Islam di seluruh dunia. Sistem politik, baik di dan politik dengan berbagai cara, sebagian dunia Muslim atau di tempat lain, mau tidak mau karena di masing-masing daerah mereka melibatkan pengelolaan kepentingan yang bersaing. berhubungan dengan situasi politik lokal. Di Kekhasan politik Muslim dapat dikatakan terletak Indonesia saat ini, kehidupan beragama belum pada nilai-nilai spesifik, simbol, ide, dan tradisi terintegrasi ke dalam negara politik. Meskipun yang menciptakan Islam (Eickelman dan Piscatori, sejumlah pemimpin agama menduduki posisi 1996: 5). Jelas sekarang bahwa Madura adalah birokrasi, sebagian besar elit agama di Indonesia tempat yang nyataketika konflik dan akomodasi tidak berafiliasi dengan birokrasi, dan dengan antara Islam, negara, dan masyarakat telah sering demikian itu berarti bahwa otoritas politik tidak dibentuk dan ditandai oleh gerakan keagamaan bergantung pada otoritas agama. Bagaimanapun, Islam yang telah menciptakan Islam sebagai mereka terus memainkan peran penting di kekuatan ideologis yang intens yang menantang Indonesia. negara baik secara terbuka maupun secara tersembunyi. Tingginya tingkat kepatuhan pengikut NU ke NU dan kiai telah menjadi faktor kunci Selama pemerintahan Suharto, banyak dalam mengarahkan kiai di Madura untuk kiai khawatir bahwa mereka dapat diasingkan berinteraksi dengan dunia politik. Ini karena kiai dan diisolasi dari jaringan mereka jika mereka tahu betul bahwa mereka akan mendapat memiliki atau dianggap memiliki ikatan tertentu manfaat signifikan dari para pengikut NU, tidak dengan pemerintah. Keengganan sebagian besar hanya di dunia politik, tetapi juga dalam hal kiai untuk bergabung dengan berbagai asosiasi kesejahteraan ekonomi. Tentu saja, kiai beradaptasi yang disponsori negara menimbulkan masalah dengan baik dengan dunia politik modern. Hal bagi organisasi-organisasi itu dalam hal menarik tersebut telah membantu menjelaskan mengapa kiai terkemuka. Dalam skala yang lebih besar, identitas agama dan budaya orang Madura sering keengganan kiai terkemuka untuk bergabung menghadirkan tantangan budaya-politik bagi negara dengan Golkar disebabkan oleh kekhawatiran dalam politik lokal, terutama dalam pemilihan tentang kemungkinan bahwa mereka akan umum, pembangunan ekonomi dan masyarakat, diabaikan dan tidak hanya dikeluarkan dari dan dalam urusan agama. jaringan keagamaan mereka yang luas tetapi juga dari masyarakat. Meskipun tidak lazim di banyak Singkatnya, alasan untuk menarik umat tempat di Indonesia bagi kiai terkemuka dan Muslim di seluruh dunia ke masalah-masalah tokoh agama lainnya untuk menjaga hubungan keagamaan global disebabkan oleh kebangkitan dekat dengan Golkar dan bahkan berkampanye Islam global dalam beberapa dekade terakhir untuk mereka selama pemilihan umum, 2 di yang telah memecah bentuk otoritas keagamaan Madura akan tidak benar untuk menyatakan tradisional, yang akhirnya menghasilkan tokoh- bahwa sebagian besar kiai bertindak sebagai tokoh baru kesalehan publik, dan menciptakan mitra pemerintah. Kebanyakan kiai tetap berada publik baru tempatajaran Islam disusun dan di luar struktur kekuasaan pemerintah. Mereka diperebutkan (Hoesterey, 2012: 38). Meningkatnya sangat sadar bahwa aliansi dengan pemerintah tingkat pendidikan dan kebangkitan media seperti itu dapat merugikan sehubungan dengan komunikasi baru juga telah berkontribusi pada pengaruh mereka terhadap masyarakat. Situasi munculnya ruang publik tempat sejumlah besar seperti itu dapat mencakup kepergian santri- orang menginginkan hak suara dalam isu-isu santri dari pesantren mereka dan yang lebih politik dan agama. Hasilnya adalah tantangan untuk otoriterianisme, fragmentasi otoritas agama dan politik, dan semakin terbukanya diskusi 2Misalnya, Kiai Chalid Mawardi, seorang tentang isu-isu yang berkaitan dengan ‘kebaikan anggota NU yang berpengaruh memilih Golkar, bersama’ dalam Islam (Salvatore dan Eickelman, sementara Kiai Musta’in Romly dari Pesantren Darul 2004:xi). Di Indonesia, seiring dengan meningkatnya Ulum, Jombang menjadi juru bicara aktif Golkar, dan kesadaran umat Islam untuk menunjukkan diri bahkan Kiai diangkat sebagai mereka religius di ruang publik, Islam telah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) semakin berubah menjadi perhatian publik dan mewakili Golkar.

Jurnal Masyarakat & Budaya , Volume 21 No. 1 Tahun 2019 115 menjadi bagian dari ekspresi politik, transaksi demokratis sepanjang sejarah pada saat yang hukum, kegiatan ekonomi, dan praktik sosial dan bersamaan. budaya (Hasan, 2009: 230). Singkatnya, penulisberpendapat bahwa

baik di Banten dan Madura saat ini, pendefinisian Penutup Islam dan penciptaan otoritas keagamaan oleh Sebagai daerah yang dipengaruhi oleh kelompok-kelompok yang bertikai sering ditandai Kesultanan Banten di masa lalu, Banten umumnya oleh tanggapan yang saling bertentangan dalam dikenal sebagai daerah keagamaan tradisional. hubungan yang kompleks dan berfluktuasi. Jelas, keprihatinan komunal di Banten dalam Hubungan tersebut melibatkan fenomena kontestasi masalah agama dipengaruhi oleh lingkungan dan antara varian Islam Indonesia dan fragmentasi pengalaman budaya dan agama di sekitarnya. umat di Indonesia yang semakin terdemokratisasi Namun, kedatangan Muslim kelas menengah dan terislamisasi. Banten dan Madura hanyalah perkotaan yang sebagian besar bermigrasi dari dua contoh saja, sedangkan keadaan yang sama kota-kota yang lebih besar dan lebih maju, serta juga sedang terjadi di daerah-daerah perkotaan munculnya generasi baru Muslim di Banten dan lain di Indonesia. kota-kota sekitarnya yang tinggal di daerah tersebut telah secara signifikan mengubah Daftar Pustaka lanskap ekspresi budaya dan agama dari tradisi Alimi, Moh. Yasir. (2014). “Local Repertoires of keislaman di Banten. Reasoning and the Islamist Movement in Tidak seperti Aceh atau Banten saat ini, Post-Authoritarian Indonesia”. Indonesia yang telah dianggap sebagai daerah dengan and the Malay World 42, No. 122 (2014): kepatuhan Islam yang sangat kuat dan yang 24–42. tampaknya semakin berorientasi pada syariah, Atsushi, Ota. (2006). Changes of Regime and Madura cenderung berpegang teguh pada nilai- Social Dynamics in West : Society, nilai dan norma-norma Islam tanpa menyangkal State and the Outer World of Banten keberadaan budaya lokal, yang pada kenyataannya 1750-1830 . Leiden and Boston: Brill. pendukung setiap budaya menunjukkan bahwa Islam dan tradisi lokal dapat hidup berdampingan. Bakhri, Mokh. (2006). Syaiful. Syaichona Kholil Namun demikian, penciptaan otoritas keagamaan Bangkalan: Kiai Legendaris dari Madura . di Madura juga terus melibatkan interaksi yang Pasuruan: Cipta Pustaka Utama. kompleks antara dua pihak: ekspresi lokal dari Berger, Peter. (1992). A Far Glory: The Quest of Islam dan pemahaman serta praktik-praktik Faith in an Age of Credulity . New York: keislaman asing. Akibatnya, seperti di Banten, di Doubleday. Madura juga saat ini telah terjadi fragmentasi umat, suatu kondisi yang diperburuk oleh maraknya Bruinessen, Martin van. (1994). “Pesantren and polarisasi politik populer sejak pemilihan Kitab Kuning: Continuity and Change in a presiden 2014. Tradition of Religious Learning”. In Texts from the Islands: Oral and Written Kini telah muncul perdebatan mengapa Traditions of Indonesia and the Malay kekuatan Islam telah menghadirkan tantangan World , edited by Wolfgang Marschall. bagi negara-negara sekuler di seluruh dunia, Bern: Institute of Ethnology, University of termasuk Indonesia. Tampaknya Indonesia telah Bern. menjadi tempat munculnya hubungan yang sangat kompleks antara Islam dan politik selama Bruinessen, Martin van. (1995a). “Shari’a Court, tahun-tahun terakhir Orde Baru dan tahun-tahun Tarekat and Pesantren: Religious Institutions pertama pasca Orde Baru. Kita harus ingat in the Banten Sultanate”. Archipel 50: bahwa Banten, Madura, dan Indonesia pada Banten Histoire d’une Region (1995a): umumnya memiliki banyak contoh tentang 165-199. bagaimana Islam dapat bertindak sebagai Bruinessen, Martin van. (1995b). “Tarekat and kekuatan positif, dan bagaimana para pelaku Tarekat Teachers in Madurese Society”. In agama, budaya, dan pejabat negara menjadi Across Madura Strait: The Dynamics of kekuatan yang positif bagi demokrasi, walaupun an Insular Society , edited by Kees van kita juga perlu mencatat bahwa seringkali Islam Dijk, Huub de Jonge, and Elly Touwen- dan aktor-aktor ini memainkan peran non- Bouwsma. Leiden: KITLV Press.

116 Jurnal Masyarakat & Budaya , Volume 21 No. 1 Tahun 2019 Bruinessen, Martin van. (2015). “Ghazwul Fikri Hoesterey, James B. (2012). “Prophetic or Arabization? Indonesian Muslim Responses Cosmopolitanism: Islam, Pop Psychology, to Globalization”. In Southeast Asian and Civic Virtue in Indonesia”. City & Muslims in the Era of Globalization , Society 24, Issue 1 (2012): 38-61. edited by Ken Miichi and Omar Farouk. Hoesterey, James B. and Marshall Clark. (2012). Basingstoke: Palgrave Macmillan. “Film Islami: Gender, Piety and Pop Buehler, Michael. (2014). “Elite Competition Culture in Post-Authoritarian Indonesia”. and Changing State-Society Relations: Asian Studies Review 36, Issue 2 (2012): Shari’a Policymaking in Indonesia”. In 207-226. Beyond Oligarchy: Wealth, Power, and Howell, J.D. (2008 ). “Modulations of Active Contemporary Indonesian Politics , edited Piety: Propessors and Televangelists as by Michele Ford and Thomas B. Pepinsky. Promoters of Indonesian Sufism”. In Ithaca, NY: Cornell Southeast Asia Expressing Islam: Religious Life and Program Publications. Politics in Indonesia , edited by Greg Dhofier, Zamakhsyari. (1982). Tradisi Pesantren: Fealy and Sally White. Singapore: ISEAS. Studi tentang Pandangan Hidup Kiai . Howell, J.D. (2013). “’Calling’ and ‘Training’: Jakarta: LP3ES. Role Innovation and Religious De- Eickelman, Dale F. and James Piscatori. (1996). differentation in Commercialised Indonesian Muslim Politics . Princeton: Princeton Islam”. Journal of Contemporary Religion University Press. 28, No. 3 (2013): 401-419. Fealy, Greg. (2008). “Consuming Islam: Ismail, Salwa. (2006). Rethinking Islamist Politics: Commodified Religion and Aspirational Culture, the State and Islamism . London Pietism in Contemporary Indonesia”. In and New York: I.B. Tauris. Expressing Islam: Religious Life and Jonge, Huub de. (1989). Madura dalam Empat Politics in Indonesia , edited by Greg Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, Fealy and Sally White. Singapore: ISEAS. dan Islam: Suatu Studi Antropologi Hall, Stuart and David Held. (1989). “Citizens Ekonomi . Jakarta: Gramedia. and Citizenship”. In New Times: The Kartodirdjo, Sartono. (1966). The Peasants’ Changing Face of Politics in the 1990s , Revolt of Banten in 1888, Its Conditions, edited by Stuart Hall and Martin Jacques. Course, and Sequel: A Case Study of London: Verso. Social Movements in Indonesia . ‘s- Hamayotsu, Kikue. (2002). “Islam and Nation Gravenhage: Martinus Nijhoff. Building in Southeast Asia: Malaysia and Kitiarsa, Pattana. (2008). “Introduction: Asia’s Indonesia in Comparative Perspective”. Commodified Sacred Canopies”. In Religious Pacific Affairs 75, No. 3 (2002): 353-375. Commodification in Asia: Marketing Gods , Hasan, Noorhaidi. (2009). “The Making of edited by Pattana Kitiarsa. London and New Public Islam: Piety, Agency, and York: Routledge. Commodification on the Landscape of the Kuntowijoyo. (1988). “Islam and Politics: The Indonesian Public Sphere. Contemporary Local Sarekat Islam Movements in Islam 3 (2009): 229-250. Madura, 1913-20”. In Islam and Society in Hefner, Robert W. (2005). “Introduction: Southeast Asia , edited by Taufik Abdullah Modernity and the Remaking of Muslim and Sharon Siddique. Singapore: ISEAS. Politics”. In Remaking Muslim Politics: Kuntowijoyo. (2002). Perubahan Sosial dalam Pluralism, Contestation, Democratization , Masyarakat Agraris Madura, 1850-1940 . edited by Robert W. Hefner. Princeton: Yogyakarta: Matabangsa. Princeton University Press. Lim, Francis Khek Gee. (2009). “Charismatic Hicks, Jacqueline. (2012). “The Missing Link: Technology”. In Mediating Piety: Technology Explaining the Political Mobilisation of and Religion in Contemporary Asia , ”. Journal of Contemporary edited by Francis Khek Gee Lim. Leiden Asia 42, No. 1 (2012): 39-66. and Boston: Brill.

Jurnal Masyarakat & Budaya , Volume 21 No. 1 Tahun 2019 117 Lukens-Bull, Ronald. (2008). “Commodification Pudjiastuti, Titik. (2000). “Sadjarah Banten: of Religion and the ‘Religification’ of Suntingan Teks dan Terjemahan Disertai Commodities”. In Religious Commodifications Tinjauan Aksara dan Amanat”. Ph.D. in Asia: Marketing Gods , edited by Thesis, Universitas Indonesia. Pattana Kitiarsa. London and New York: Rachman, Saifur. (2001). Biografi dan Karomah Routledge. Kiai Kholil Bangkalan: Surat kepada Macintyre, Andrew. (1991). Business and Politics Anjing Hitam . Jakarta: Pustaka Ciganjur. in Indonesia . North Sydney, NSW: Allen Rakhmani, Inaya. (2014). “The Commercialization and Unwin. of Da’wah: Understanding Indonesian Millie, Julian et. al . (2014). “Post-authoritarian Sinetron and Their Portrayal of Islam”. Diversity in Indonesia’s State-owned The International Communication Gazette : a Manakiban Case Study”. 76, No. 4-5 (2014): 340-359. Journal of Southeast Asian Studies 45, Ricklefs, M.C. (2007). Polarising Javanese Issue 2 (2014): 194-213. Society: Islamic and Other Visions, c. Moertono, Soemarsaid.(1981). State and 1830-1930 . Leiden: KITLV Press. Statecraft in Old Java: A Study of the Ricklefs, M.C. (2013). “Religious Elites and the Later Mataram Period, 16 th to 19 th State in Indonesia and Elsewhere: Why Century . Ithaca, NY: Cornell University, Takeovers are so Difficult and Usually Southeast Asia Program, Cornell Modern Don’t Work”. In Encountering Islam: The Indonesia Project. Politics of Religious Identities in Morris, Eric Eugene. (1983). Islam and Politics Southeast Asia , edited by Hui Yew-Foong. in Aceh: A Study of Center-Periphery Singapore: ISEAS. Relations in Indonesia . Ithaca: Cornell Saby, Yusny. (1995). “Islam and Social Change: University Press. The Role of the Ulama in Acehnese Mushaben, Joyce Marie. (2008). “Gender, Hip Society”. Ph.D. Thesis, Temple University. Hop and Pop-Islam: the Urban Identities Sakai, Minako and Amelia Fauzia. (2004). of Muslim Youth in Germany”. Citizenship “Islamic Orientations in Contemporary Studies 12, Issue 5 (2008): 507-526. Indonesia: Islamism on the Rise?”. Asian Muzakki, A. (2008). “Islam as a Symbolic Ethnicity 15, No. 1 (2014): 41-61. Commodity: Transmitting and Consuming Salvatore, Armando and Dale Eickelman. Islam through Public Sermons in (2004). “Preface: Pubic Islam and the Indonesia”. In Religious Commodifications in Common Good”. In Public Islam and the Asia: Marketing Gods , edited by Pattana Common Good , edited by Armando Kitiarsa. London and New York: Salvatore and Dale Eickelman. Leiden and Routledge. Boston: Brill. Pohl, Florian. (2006). “Islamic Education and Tan, Charlene. (2011). Islamic Education and Civil Society: Reflections on the Pesantren Indoctrination: The Case in Indonesia . Tradition in Contemporary Indonesia”. London and New York: Routledge. Comparative Education Review 50, No. 3 (2006): 389-409. Tanuwidjaja, Sunny. (2010). “Political Islam and Islamic Parties in Indonesia: Critically Pribadi, Yanwar. (2008). “Jawara in Banten: Assessing the Evidence of Islam’s Political Their Socio-Political Roles in the New Decline”. Contemporary Southeast Asia: A Order Era 1966-1998”. MA Thesis, Journal of International and Strategic Department of Islamic Studies, Leiden Affairs 32, No. 1 (2010): 29-49. University. Tihami, M.A. (1992). “Kiyai dan Jawara di Pribadi, Yanwar. (2018). Islam, State and Banten: Studi tentang Agama, Magi, dan Society in Indonesia: Local Politics in Kepemimpinan di Desa Pasanggrahan Madura . London and New York: Serang, Banten”. MA Thesis, Universitas Routledge. Indonesia.

118 Jurnal Masyarakat & Budaya , Volume 21 No. 1 Tahun 2019 Touwen-Bouwsma, Elly. (1992). “The Ulama of Wilson, Ian Douglas. (2003). “The Politics of Madura: Rise and Expansion of a Inner Power: The Practice of Pencak Silat Religious Regime”. In Faith and Polity on in ”. Ph. D Thesis, Murdoch Religion and Politics , edited by Mart Bax, University. Peter Kloos and Adrianus Koster. Woodward, Mark. (2011). Java, Indonesia and Amsterdam: VU University Press. Islam . Dordecht etc.: Springer. Tsing, Anna Lowenhaupt. (2003).“The News in Zainalfattah. (1951). Sedjarah Tjaranya Pemerintahan the Provinces”. In Cultural Citizenship in di Daerah-daerah di Kepulauan Madura Island Southeast Asia , edited by Renato dengan Hubungannya . Pamekasan: The Rosaldo. Berkeley, Los Angeles, and Paragon Press. London: University of California Press.

Jurnal Masyarakat & Budaya , Volume 21 No. 1 Tahun 2019 119

120 Jurnal Masyarakat & Budaya , Volume 21 No. 1 Tahun 2019