p-ISSN : 2654-9905 e-ISSN : 2656-7008

Vol. 2 No. 2 April 2020

MUSAMUS FISHERIES AND MARINE JOURNAL

Berkala Ilmiah Penelitian Perikanan dan Kelautan

Volume 2, Nomor 2, April 2020

Musamus Fisheries and Marine Journal (MFMJ) adalah berkala ilmiah hasil penelitian dan telaah pustaka bidang perikanan dan kelautan, diterbitkan oleh Fakultas Pertanian (Faperta) Universitas Musamus (UNMUS). Terbit pertama kali pada bulan Oktober 2018 dalam versi cetak dan online. Jurnal ini diterbitkan 2 (dua) kali setahun pada bulan April dan Oktober.

PENGELOLA JURNAL

Penanggung Jawab Rosa D. Pengaribuan, S.Pi.,M.Si

Editor Utama Dandi Saleky, S.IK.,M.Si

Editor Pelaksana Marius Welliken, S.Pi.,M.Si Sunarni, S.Pi.,M.Si Modesta R. Maturbongs, S.Pi.,M.Si Muhammad Dailami, S.Si,M.Si

Alamat Redaksi Universitas Musamus Merauke Jl. Kamizaun Mopah Lama, Rimba Jaya, Kec. Merauke, Kabupaten Merauke, Papua 99611

Print ISSN : 2654-9905 Elektronik ISSN : 2556-7008

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas perkenan-Nya kami dapat menerbitkan Musamus Fisheries and Marine Journal (MFMJ) Volume 2 Nomor 2, April 2020. Dalam edisi ini disajikan 6 (enam) makalah berkaitan dengan bidang Perikanan dan Kelautan yang meliputi: (1) Tinjauan Konsep dan Aplikasi Teknologi Geospasial dalam Pemetaan dan Pemodelan Migrasi Hiu Paus (Rinchodon typus), (2) Struktur Komunitas Echinodermata di Perairan Desa Juanga, Kabupaten Pulau Morotai, (3) Pengaruh Pemberian Pakan Alami atau Buatan Terhadap Pertumbuhan Ikan Nila (Oreochromis niloticus), (4) Partisipasi Masyarakat Dalam Penanaman Mangrove (5) Pola Distribusi Sel Mast Pada Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) yang Terinfestasi Cacing Endoparasit Sebagai Pemicu Reaksi Anafilaksis, dan (6) Uji Kandungan Bakteri Escherichia dan Salmonella sp. pada Sagu Ikan di Desa Dehigila, Kabupaten Pulau Morotai. Terima kasih kami sampaikan kepada para peneliti, perekayasa dan para fungsional lain yang telah ikut berpartisipasi mengirimkan makalah untuk kelangsungan jurnal ini.

Kepada penulis dan mitra bebestari yang telah berkontribusi pada penerbitan jurnal edisi ini, kami menyampaikan terima kasih yang mendalam. Kami mengundang rekan sejawat peneliti dan praktisi agroindustri mengirimkan naskah untuk disajikan pada jurnal ini. Saran dan kritik yang membangun dari pelanggan, pembaca dan para pihak lainnya sangat kami harapkan. Selamat membaca.

Merauke, April 2020 Salam

Dewan Redaksi

MUSAMUS FISHERIES AND MARINE JOURNAL Berkala Ilmiah Penelitian Perikanan dan Kelautan Volume 2, Nomor 2, April 2020

DAFTAR ISI

Tinjauan Konsep dan Aplikasi Teknologi Geospasial dalam Pemetaan dan Pemodelan Migrasi Hiu Paus (Rinchodon typus) 77 - 101 Thomas Frans Pattiasina

Struktur Komunitas Echinodermata di Perairan Desa Juanga, Kabupaten Pulau Morotai 102 - 114 Nurafni , Sandra Hi Muhammad , Isman Dohu Pengaruh Pemberian Pakan Alami atau Buatan Terhadap Pertumbuhan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) 115 - 130 Stenly M.B.S Wairara , Rosa D. Pangaribuan Partisipasi Masyarakat Dalam Penanaman Mangrove Sajriawati , Astaman Amir , Edy HP Melmambessy , Siti Masiyah 131 - 141

Pola Distribusi Sel Mast Pada Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) yang Terinfestasi Cacing Endoparasit Sebagai Pemicu Reaksi 142 - 147 Anafilaksis Dewi Farah Diba, Buana Basir Uji Kandungan Bakteri Escherichia dan Salmonella sp. pada Sagu Ikan di Desa Dehigila, Kabupaten Pulau Morotai 148 - 164 Asy’ari , Titien Sofiat1 , Iswandi Wahab , Jana Sidin

Pattiasina. Tinjauan Konsep dan Aplikasi Teknologi Geospasial p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e- e-ISSN 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2466

Tinjauan Konsep dan Aplikasi Teknologi Geospasial dalam Pemetaan dan Pemodelan Migrasi Hiu Paus (Rinchodon typus)

A Review of The Concept and Application of Geospatial Technology in Mapping and Modeling the Migration of Whale Shark (Rinchodon Typus)

Thomas Frans Pattiasina1*

1Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Papua, * Korespondensi: [email protected]

ABSTRAK

Hiu Paus (Rinchodon typus) adalah spesies ikan pelagis dengan ukuran terbesar di dunia dan memiliki jangkauan pergerakan yang sangat luas. Dengan memahami migrasi hiu paus, sejumlah kebijakan penting dapat segera diterapkan untuk melestarikan populasi spesies ini di alam. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran umum tentang konsep dan aplikasi ilmu dan teknologi spasial untuk memetakan dan memodelkan migrasi spesies hiu paus. Tulisan ini adalah hasil review dari berbagai literatur, baik artikel jurnal ilmiah dan buku-buku yang berkaitan dengan pemetaan dan pemodelan hewan laut umum dan hiu paus pada khususnya. Tulisan ini dimulai dengan deskripsi aspek bioekologis dan ancaman terhadap populasi hiu paus. Lebih lanjut, konsep pemetaan dan pemodelan migrasi hiu paus akan dijelaskan, meliputi faktor-faktor penting dalam pemetaan dan pemodelan, pengembangan model migrasi informasi geografis (SIG) dan penerapan pemodelan migrasi hiu paus. Kesimpulan dari tinjauan ini adalah bahwa karakteristik bioekologis dan pola migrasi hiu paus menyebabkan spesies ini rentan terhadap berbagai ancaman baik dari faktor alam maupun aktivitas manusia. Pemetaan dan pemodelan migrasi umumnya didasarkan pada variasi lingkungan atau faktor oseanografi dan jenis pergerakan spesies. Hasil pemetaan dan pemodelan yang akurat akan sangat bermanfaat dalam perencanaan dan kebijakan mengenai pengelolaan dan konservasi spesies hiu paus.

Kata kunci: Pemetaan; Pemodelan spasial; Migrasi jenis; Oseanografi

ABSTRACT

The Whale Shark (Rinchodon typus) is a species of pelagic fish with the largest size in the world and has a very wide range of movements. By understanding the migration of whale sharks a number of important policies can be immediately applied to preserve the population of this species in nature. This paper aims to provide an overview of the concept and application of spatial science and technology to map and model the migration of whale shark species. This paper is the result of a review of various literatures, both scientific journal articles and books related to mapping and modeling of common marine animals and whale sharks in particular. The paper begins with a description of the bioecological aspects and threats to the whale shark population. Furthermore, the concept of mapping and modeling of whale shark migration will be described, covering important factors in mapping and modeling, development of marine geographic information migration model (GIS) and application of whale shark migration modeling. The conclusion from the review is that bioecological characteristics and patterns of whale shark migration cause these species to be vulnerable to various threats from both natural factors and human activities. Migration mapping and modeling is generally based on environmental variation or oceanographic factors and species movement types. Accurate mapping and modeling results will be of great value in planning and policies regarding the management and conservation of whale shark species.

Keywords: Mapping; Spatial modeling; Species migration; Oceanography

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 77-101 77

Pattiasina. Tinjauan Konsep dan Aplikasi Teknologi Geospasial p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e- e-ISSN 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2466

PENDAHULUAN

Daerah Perlindungan Laut (Marine Protected Area) sekarang sedang berkembang secara luas di seluruh dunia dan bertujuan, setidaknya sebagian, untuk membantu melindungi hewan migran di mana mereka bermigrasi untuk berkembang biak atau mencari makan (misalnya Cetacean, Hooker et al., 1999; Hiu, Kinney and Simpfendorfer, 2009; kura-kura laut, Schofield et al., 2013a). Walaupun demikian, dalam beberapa kasus Daerah Perlindungan Laut belum bisa sepenuhnya melindungi hewan-hewan laut yang bermigrasi dalam skala yang luas. Hal ini disebabkan karena spesies migrasi juga berisiko selama migrasi di sepanjang koridor yang menghubungkan habitat berkembang biak dengan habitat mencari makan (Womble and Gende, 2013). Kegagalan untuk melaksanakan perlindungan terhadap koridor migrasi satwa laut umumnya muncul karena pengetahuan tentang rute migrasi yang terbatas, dukungan logistik dan kapasitas yang terbatas, isu-isu stakeholder dan politik (Womble and Gende, 2013). Kondisi ini semakin parah pada jenis satwa laut yang melintasi hamparan laut terbuka dan jarak migrasi yang sangat panjang (Schofield et al., 2013b). Kesulitan yang terutama adalah mengelola (memonitor dan mengatur) aktivitas manusia yang berpotensi merugikan di areal yang luas (Hooker et al., 2011). Rute migrasi satwa laut seringkali bertabrakan dengan kegiatan lain seperti pelayaran komersial, stasiun energi alami (yaitu angin dan gelombang) dan daerah yang digunakan oleh angkatan bersenjata (misalnya Mullen et al., 2013) atau sumber daya penting perikanan (misalnya Zappes et al., 2013). Sampai saat ini studi untuk mengidentifikasi koridor utama yang digunakan oleh satwa laut sudah mulai berkembang (Mumby, 2006; Block et al., 2011; Olavo et al., 2011). Manfaat dari studi-studi tersebut adalah untuk memberikan informasi tentang rute migrasi yang menghubungkan habitat yang dilindungi, termasuk daerah terpencil yang sulit dijangkau. Hal ini berpotensi mengurangi risiko kepunahan spesies dengan meningkatkan stabilitas populasi, meningkatkan ukuran populasi, meningkatkan keanekaragaman jenis dan/atau meningkatkan pertukaran genetik (Hilty et al., 2012). Menurut Sequeira et al. (2013), memahami perilaku migrasi hiu paus (Rhincodon typus) merupakan inti dari manajemen konservasi spesies ini. Jalur migrasi yang panjang

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 77-101 78

Pattiasina. Tinjauan Konsep dan Aplikasi Teknologi Geospasial p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e- e-ISSN 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2466 dari habitat reproduksi ke habitat mencari makan (foraging habitat) atau sebaliknya, dengan pergerakan yang relatif lambat dan sebagian besar waktu di permukaan menyebabkan hiu paus sangat rentan terhadap ancaman baik secara alami maupun akibat kegiatan manusia. Dengan memahami migrasi hiu paus berbagai kebijakan penting dapat segera diterapkan untuk menjaga kelestarian populasi hiu paus di alam. Teknologi geospasial adalah salah satu dari tiga bidang ilmu yang utama saat ini, disamping bioteknologi dan nanoteknologi. Teknologi Geospasial (Geospatial Technology), atau biasa dikenal juga dengan Geomatic atau Teknologi Informasi Keruangan (Spatial Information Technology), merupakan teknologi yang digunakan untuk mengukur, menganalisis dan memvisualisasikan objek-objek atau fenomena yang ada di bumi. Teknologi geospasial mencakup tiga teknologi yang berbeda namun dalam prakteknya kerap dipadukan, yaitu: teknologi penginderaan jauh (remote sensing), sistem informasi geografis (geographical information system - GIS) dan teknologi navigasi (navigation technology) dimana salah satu sistem yang umum digunakan adalah Global Positioning System (GPS) milik Amerika Serikat. Pemetaan dan pemodelan pergerakan populasi perikanan (misalnya pemijahan atau migrasi untuk makanan) menggunakan teknologi geospasial adalah bentuk aplikasi yang baru berkembang. Walaupun demikian, hasil-hasil penelitian terkait pemetaan dan pemodelan migrasi ikan sejauh ini telah digunakan sebagai dasar untuk menetapkan kebijakan perlindungan atau pengelolaan sumberdaya ikan di berbagai tempat. Aplikasi pemetaan dan pemodelan dengan teknologi geospasial dapat digunakan untuk menggambarkan migrasi hiu paus sebagai dasar untuk menentukan kebijakan pengelolaan dan konservasi populasi spesies ini. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang konsep dan aplikasi ilmu dan teknologi geospasial untuk memetakan dan memodelkan koridor migrasi spesies hiu paus (Rhincodon typus), serta penerapannya dalam mendukung upaya pengelolaan dan konservasi spesies tersebut. Di bagian awal tulisan ini akan digambarkan aspek bioekologi, ancaman-ancaman, serta migrasi dan distribusi populasi hiu paus. Selanjutnya diuraikan konsep pemetaan dan pemodelan migrasi hiu paus, yang mencakup faktor-faktor penting

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 77-101 79

Pattiasina. Tinjauan Konsep dan Aplikasi Teknologi Geospasial p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e- e-ISSN 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2466 dalam pemetaan dan pemodelan, pengembangan model migrasi satwa laut berbasis sistem informasi geografis dan penerapan pemodelan migrasi hiu paus.

BIOEKOLOGI HIU PAUS

Morfologi

Hiu Paus atau Whale Shark (Rhincodon typus, Smith 1828) adalah ikan yang terbesar di planet bumi. Panjang total (TL) mencapai 10-12 m, jarang sampai 18 m. Massa tubuh hiu paus bisa mencapai 21.000 kg. Perbandingan panjang dan berat hiu paus dengan jenis hiu lainnya ditampilkan pada Tabel 1. Bagian kepala rata dan lebar dengan tubuh meruncing dari lingkar bahu yang lebar sampai ke pangkal ekor yang sempit. Mulut besar, melintang dan dekat-terminal. Ikan ini memiliki celah insang yang sangat besar dan gigi banyak tapi kecil. Bentuk mata lateralis dengan spirakel di belakang mata. Sirip punggung pertama jauh lebih besar dari kedua. Sirip ekor semi-bulan sabit. Tanda-tanda tubuh yang unik, terdiri dari pola kotak-kotak dari bintik-bintik cahaya, garis-garis horizontal dan garis vertikal dengan latar belakang yang gelap (Stewart and Wilson, 2005). Warna hiu paus mulai dari biru-abu-abu ke abu-abu-coklat, dengan 'kotak-kotak' pola garis dan bintik-bintik pada dorsal dan permukaan lateral. Permukaan ventral dari hiu ini biasanya memiliki pewarnaan cahaya putih (Norman, 2002).

Tabel 1. Perbandingan Panjang dan Berat Hiu Paus dengan Beberapa Jenis Hiu Lain (Sumber: www.discovery.com) Jenis Panjang (m) Berat (kg) Basking shark 10 14.500 Blacktip reef shark 1,60 13,6 Dwarf lanternfish shark 0,19 0,014 Great white shark 7 2.270 Mako shark 3,9 450 Megamouth shark 5,5 1.215 Nurse shark 4,3 330 Whale shark 14 21.000

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 77-101 80

Pattiasina. Tinjauan Konsep dan Aplikasi Teknologi Geospasial p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e- e-ISSN 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2466

Habitat Hiu paus bersifat epipelagik dan neritik, hidup di habitat laut dan pesisir, di wilayah tropis dan yang suhunya hangat. Hiu paus sering terlihat jauh di lepas pantai tapi secara teratur datang perairan dekat pantai dan terumbu karang serta kadang-kadang memasuki laguna atol karang. Di wilayah Pasifik barat tampaknya hiu paus lebih memilih daerah di mana suhu permukaan 21°C hingga 25°C dengan air dingin dari 17°C atau kurang dan salinitas 34,0-34,5 ppt (Compagno, 2001). Penandaan Satelit oleh Eckert and Stewart (1996) di Teluk California menunjukkan bahwa hiu lebih suka suhu air lebih dari 26°C dan sampai 34°C, meskipun tercatat beruaya dalam massa air pada suhu sampai 10°C; hiu cenderung untuk bergerak keluar dari bagian dari Teluk California di mana air permukaan didinginkan di bawah 26°C dengan upwelling. Kondisi ini mungkin optimal untuk produksi plankton dan organisme kecil untuk nektonic berukuran sedang, yang semuanya adalah mangsa dari hiu paus. Hiu paus umumnya dilihat atau ditemui dekat dengan atau pada permukaan di perairan hangat, meskipun penandaan satelit baru-baru ini di Laut Karibia off Belize menunjukkan bahwa hiu paus dapat menyelam hingga kedalaman 700 m dan dapat transit di dalam air dingin turun menjadi 7,8°C (R. Graham, pers.comm dalam Compagno, 2001). Di Ningaloo Reef di Australia Barat hiu sonic-tagged sering menyelam selama dua jam 18 lagu dan berkisar dari permukaan ke dekat bagian bawah pada kedalaman 40 sampai 70 m dengan salinitas di 34,9-35,2 ppt dan suhu 26,8-27,5°C pada permukaan sampai 26,4-25,4°C di bagian dasar.

Reproduksi Reproduksi ikan hiu paus adalah ovovivipar, dimana dalam proses reproduksi, telur dipertahankan sampai embrio menetas. Satu hiu yang ditangkap di perairan memiliki 300 embrio dalam rahim dalam berbagai tahap perkembangan. Informasi durasi kehamilan ikan hiu paus hingga saat ini belum diketahui. Pada saat lahir panjang ikan muda sekitar 55-60 cm dan berat 1 kg, dan ketika berumur 4 bulan bisa mencapai panjang hingga 1,4 m dan berat 20 kg. Masa ketertarikan seksual antara jantan dan betina serta waktu

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 77-101 81

Pattiasina. Tinjauan Konsep dan Aplikasi Teknologi Geospasial p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e- e-ISSN 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2466 kawin belum pernah diamati. Kematangan seksual diperkirakan pada ukuran panjang 6 m (Stewart and Wilson, 2005). Hal yang berlainan disampaikan oleh Colman (1997) bahwa bukti-bukti yang tersedia menunjukkan bahwa ukuran kematangan seksual baik jantan dan betina pada ukuran 9 m. Berdasarkan data yang diperoleh dari pengamatan bawah air di Western Australia, Norman and Stevens (2007) menyampaikan bahwa panjang pertama kali matang seksual untuk jantan sekitar 8 m (TL) dan 95 % dari jantan mencapai matang seksual pada ukuran panjang total (TL) sekitar 9 m. Informasi tambahan disampaikan oleh Chang et al., (1997) bahwa ukuran panjang telur rata-rata 21,1 cm dan lebar 20,1 cm, sedangkan panjang total (TL) embrio rata-rata 51,1 cm dan berat rata-rata 660,2 gram.

Makanan dan Cara Makan Colman (1997), mengemukakan bahwa hiu paus adalah hewan filter-feeder yang memakan berbagai planktonik dan organisme nektonik. Hiu paus diketahui muncul dari terumbu karang saat terjadi blooming organisme planktonik dan pemijahan karang. Krustasea kecil (termasuk copepoda) dalam jumlah besar dilaporkan sebagai makanan, bersama dengan ikan kecil seperti sarden, teri, mackerel, dan bahkan tuna kecil dan albacore serta cumi-cumi. Selanjutnya dikemukakan pula oleh Colman (1997), bahwa hiu paus dapat bergabung bersama dengan tuna dalam hubungan dengan pemijahan lantern fish (Diaphus dan Myctophidae) di Laut Coral Queensland; dan Pulau Christmas di Samudera Hindia bagian timur antara Jawa dan Australia Barat dalam hubungannya dengan pemijahan massal kepiting merah (Geocarcoidea natalis). Ikan hiu paus makan dengan tiga cara yang berbeda (Nelson and Eckert, 2007; Mota et al., 2010), yaitu: 1) Surface and subsurface passive feeding, yaitu berenang di dan bawah permukaan air sambil menyaring air. 2) Surface and subsurface ram filter/active feeding, yaitu berenang di permukaan air dan di bawah permukaan air sambil menyedot air. 3) Stationary/vertical suction feeding, yaitu diam di tempat dalam posisi tegak secara vertikal sambil menyedot air.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 77-101 82

Pattiasina. Tinjauan Konsep dan Aplikasi Teknologi Geospasial p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e- e-ISSN 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2466

Nelson and Eckert (2007), berdasarkan hasil penelitiannya di Bahia de Los Angeles, Baja California Norte, Mexico mengemukakan bahwa kelimpahan zooplankton berbeda secara signifikan antara tiga perilaku makan, dan menunjukkan bahwa kelimpahan mangsa dapat mempengaruhi teknik makan yang diterapkan. Kegiatan makan tidak berlangsung, ketika kepadatan minimal zooplankton kurang dari ~10.0×103 individu/m3. Hiu paus dapat mengikuti isyarat oseanografi (fisik dan biologis) baik di dalam teluk serta seluruh Teluk California yang menguntungkan bagi peningkatan mangsanya. Berdasarkan hasil penelitian di Semenanjung Yucatan, Mexico, Mota et al. (2010) menguraikan bahwa hiu paus rata-rata menghabiskan sekitar 7,5 jam/hari untuk makan di permukaan pada kondisi plankton padat dan didominasi oleh sergestids, copepoda calanoid, chaetognath dan larva sandfish. Berdasarkan pada perhitungan kecepatan aliran bukaan mulut bawah air, diperkirakan bahwa hiu paus dengan panjang total (TL) 443 cm menyaring 326 m3/jam, dan yang berukuran panjang total (TL) 622 cm menyaring sebanyak 614 m3/jam. Dengan biomassa plankton rata-rata 4,5 g/m3 di lokasi makan, dua ukuran hiu rata-rata akan menelan 1.467 dan 2.763 g plankton per jam, dan ransum harian mereka akan masing-masing menjadi sekitar 14.931 dan 28.121 kJ. Nilai-nilai ini konsisten dengan jatah makan independen yang berasal dari penangkaran, hiu paus yang tumbuh di akuarium. Mekanisme makan memanfaatkan filtrasi cross-flow dari plankton, yang memungkinkan hiu menelan plankton yang lebih kecil dari mesh sekaligus mengurangi penyumbatan aparatus filter. Meekan et al. (2009) melakukan uji genetik dari feses (kotoran) hiu paus di Pulau Christmas, Australia untuk mengetahui mangsa yang dimakan hiu paus. Hasil uji menunjukkan bahwa makanan yang dominan adalah larva kepiting Pulau Merah (Gecarcoidea natalis). Hasil penelitian menunjukkan pula bahwa agregasi hiu paus di perairan pesisir merupakan respon dari peningkatan mangsa planktonik. Clark and Nelson (1997) telah mengamati tujuh hiu paus kecil (panjang total 3,2 - 5,2 m) yang makan dengan cara menyedot plankton permukaan di Teluk La Paz yang berjarak 1 km dari pantai dan 2 km sebelah Utara dari dermaga Phospate di San Juan de la Costa. Berdasarkan pengamatan tersebut ditemukan bahwa ketika aktif makan hiu berbalik kepalanya dari sisi ke sisi,

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 77-101 83

Pattiasina. Tinjauan Konsep dan Aplikasi Teknologi Geospasial p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e- e-ISSN 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2466 bagian kepala terangkat keluar dari air, dan mulut dibuka dan ditutup 7-28 kali per menit. Penyedotan tersebut disinkronkan dengan pembukaan dan penutupan celah insang. Perilaku makan ini terjadi hanya di 10 sampai 30 cm di lapisan permukaan yang mengandung konsentrasi besar copepoda, dimana 95% di antaranya diidentifikasi sebagai Acartia Clausi.

ANCAMAN BAGI KELESTARIAN HIU PAUS

Ancaman Predator dan Faktor Alam Bukti pemangsaan terhadap juvenile hiu paus dikemukakan oleh Kukuyev (1996) yang menemukan juvenile sepanjang 55,7 cm dari dalam perut hiu biru (Blue Shark, Prionace glauca) di wilayah tropis Atlantik. Juvenil lain ditemukan hidup di dalam perut Blue Marlin (Makaira nigricans) yang ditangkap di perairan Mauritius (Colman, 1997). O’Sullivan (2000) merekam pemangsaan terhadap hiu dewasa dengan panjang sekitar 8 m oleh dua paus pembunuh (Killer Whales, Orcinus orca) di Teluk California (Gulf of California). Selain itu Fitzpatrick et al., (2006) juga telah mengamati hiu paus yang diserang oleh hiu besar, kemungkinan hiu putih (White Shark, Carcharodon carcharias). Beckley et al. (1997) menemukan sebanyak 36 kasus hiu yang terdampar di pantai selatan Afrika antara tahun 1984 sampai 1995. Diduga penyebabnya adalah kondisi topografi pantai, arus dan gelombang laut yang kencang.

Ancaman dari Kegiatan Manusia Menurut Stewart and Wilson (2005), meskipun larangan perburuan hiu paus sudah diterapkan di beberapa negara seperti Filipina (dilarang pada tahun 1998), Indonesia, Maladewa (dilarang pada tahun 1995), India (dilarang pada tahun 2001) dan Pakistan, namun penegakan fungsional secara efektif masih minimal di sebagian besar daerah ruaya. Perburuan dan perdagangan sebagian besar didorong oleh permintaan daging untuk konsumsi lokal dan sirip untuk perdagangan sirip hiu di pasar Asia. Menurut Norman (2002), produk yang diperdagangkan berasal dari hiu paus termasuk sirip, hati (liver oil), rahang, daging (segar, beku atau asin untuk konsumsi manusia), lambung dan usus (untuk makanan), kartilago (digunakan dalam suplemen kesehatan), dan

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 77-101 84

Pattiasina. Tinjauan Konsep dan Aplikasi Teknologi Geospasial p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e- e-ISSN 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2466 kulit (untuk produk kulit). Sementara daging olahan, minyak dan tulang rawan hampir mustahil untuk diidentifikasi tanpa melakukan tes DNA di laboratorium. Rahang sirip dan set sirip dapat diidentifikasi lebih mudah, terutama di mana diperdagangkan utuh atau hanya sebagian diproses. Sirip hiu adalah salah Ssatu produk perikanan yang paling mahal di dunia. Sirip hiu diproses untuk menghasilkan jarum sirip hiu, produk agar-agar hambar digunakan dengan bahan-bahan lain untuk menyajikan sup sirip ikan hiu, khususnya di pasar Asia. Hampir setiap spesies hiu memiliki sirip bernilai komersial. Namun, nilai ini tergantung pada faktor-faktor seperti warna, ukuran, ketebalan dan konten jarum sirip. Disamping ancaman predator dan ancaman dari kegiatan manusia, ancaman lain disebabkan juga oleh kerusakan dan penghancuran habitat daerah makan musiman. Menurut Stewart and Wilson (2005), kerusakan habitat mencari makan seperti terumbu karang oleh eksploitasi langsung dari sumber biotik dan abiotik, pemutihan karang dan perubahan iklim yang cepat, dapat mengancam eksistensi dari hiu paus.

MIGRASI, DISTRIBUSI DAN STATUS POPULASI HIU PAUS

Pergerakan Migrasi Hiu Paus Sampai saat ini tidak diketahui dengan pasti sampai tingkat mana populasi hiu paus di dunia terfragmentasi. Namun yang pasti hiu paus adalah spesies ikan yang beruaya sangat luas. Pergerakan migrasi sekitar 1.000 km selama periode minggu atau bulan telah direkam melalui pelacakan satelit di Pasifik timur dan Asia Tenggara. Satu hiu satelit-tag di Laut Mindanao di Filipina dalam perjalanan lebih dari 3.000 km ke ZEE dari dalam dua bulan (pers. Comm. Dari S. Eckert, Hubbs-Sea World Research Institute, San Diego, California 1998 dalam CITES Amandements). Hiu paus lain ditandai di pantai Sabah di , menuju lepas pantai dan kemudian kembali ke perairan Malaysia pesisir lebih kurang 2.152 km dengan rute (pers. comm. dari S. Eckert, 1998 dalam CITES Amandements, 2000). Beberapa hiu yang ditandai di Teluk California, Meksiko bergerak lebih dari 12.000 km sebelah barat daya ke perairan internasional dan perairan lepas pantai negara Pasifik Selatan (pers. Comm. Dari S. Eckert, 1998 dalam CITES Amandements, 2000).

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 77-101 85

Pattiasina. Tinjauan Konsep dan Aplikasi Teknologi Geospasial p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e- e-ISSN 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2466

Migrasi hiu paus umumnya mengikuti komponen musiman dimana agregasi hiu paus muncul di perairan pantai tertentu dan dapat tetap selama beberapa bulan. Hal ini tidak diketahui apakah semua komponen dari populasi (dewasa, remaja, jantan, betina) mengalami migrasi ini, tetapi jelas bahwa hiu paus bermigrasi meliputi wilayah oleh dua negara atau lebih. Terkait migrasi dan status populasi dari spesies ini, ada dugaan bahwa hiu paus secara global merupakan satu populasi besar.

Populasi Hiu Paus di Dunia Schmidt et al. (2009) melakukan perekaman pertama lokus mikrosatelit pada hiu paus, dimana analisis lokus ini mewakili tiga bagian utama dari jangkauan ruaya mereka yaitu Lautan Pasifik (P), Lautan Karibia (C), dan Lautan India (I) G. Hasil analisis menunjukkan bahwa ada sedikit perbedaan populasi antara hewan sampel dari wilayah geografis yang berbeda, yang menunjukkan aliran gen historis antara populasi. Berdasarkan hasil analisis disimpulkan bahwa tingkat diferensiasi genetik rendah antara populasi hiu paus dari geografis yang berbeda, yang ditunjukan dengan nilai FST yang sangat kecil (Tabel 2). Dalam penelitian tersebut, digunakan juga data pelacakan satelit untuk mengungkap migrasi baik regional maupun jangka panjang dari hiu paus di seluruh jangkauan ruaya mereka, yang mendukung temuan aliran gen antara populasi. Hiu paus melintasi batas-batas geografis dan politik selama sejarah hidup mereka dan kawin silang dengan hewan dari populasi yang jauh. Oleh karena itu upaya konservasi harus bisa segera menargetkan perlindungan internasional untuk spesies ini.

Tabel 2. Matriks FST Untuk Populasi Hiu Paus di Tiga Lokasi Berbeda (Sumber: Schimidt et al., 2009) Pasifik Karibia Hindia Pasifik 0 0,0387 -0,0022 Karibia 0,0569 0 0,0296 Hindia 0,5028 0,0495 0

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 77-101 86

Pattiasina. Tinjauan Konsep dan Aplikasi Teknologi Geospasial p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e- e-ISSN 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2466

Sebagai tambahan informasi, Alam et al. (2010) melaporkan urutan lengkap pertama dari genom mitokondria (mitogenome) dari hiu paus diperoleh dengan metode sekuensing generasi berikutnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa komposisi nukleotida, jumlah dan susunan gen dalam mitogenome hiu paus adalah sama seperti yang ditemukan di mitogenome anggota lain dari ordo Orectolobiformes dan ordo terdekatnya Lamniformes dan Carcharhiniformes, meskipun hiu paus mitogenome memiliki wilayah kontrol yang sedikit lebih panjang. Selanjutnya dikemukakan bahwa ketersediaan urutan mitogenome (mitogenome sequence) hiu paus akan membantu studi sistematika molekuler, biogeografi, diferensiasi genetik, dan genetika konservasi spesies ini. Berdasarkan hasil penelitian secara genetik tersebut di atas, maka Sequeira et al. (2013) menyusun data yang tersedia pada penampakan, pelacakan pergerakan dan distribusi informasi untuk membuktikan hipotesis konektivitas berskala luas di antara populasi hiu paus. Selain itu untuk menghasilkan sebuah model yang menggambarkan bagaimana Rhincodon typus merupakan bagian dari satu meta-populasi global. Model konseptual digunakan untuk memvalidasi data yang memberikan dukungan bagi hipotesis bahwa R. typus mampu bergerak di antara tiga cekungan laut terbesar dengan total waktu perjalanan minimal sekitar 2-4 tahun. Model ini memberikan perspektif seluruh dunia tentang kemungkinan rute migrasi R. typus, dan menunjukkan fokus modifikasi untuk penelitian tambahan dalam menguji prediksi tersebut. Walaupun Sequeira et al. (2013) telah sampai pada kesimpulan bahwa hiu paus di dunia merupakan bagian dari satu meta-populasi global dengan analisis data spasial penampakan dan migrasi namun penelitian terkini oleh Vignaud et al. (2014) menunjukkan hasil yang bertolak belakang. Vignaud dan kawan-kawan melakukan penelitian terbaru tentang struktur genetika populasi di antara cekungan-cekungan samudera. Mereka menyajikan bukti genetik bahwa hiu paus, Rhincodon typus, terdiri dari setidaknya dua populasi yang jarang bercampur dan merupakan spesies yang pertama mendokumentasikan ekspansi populasi. Struktur genetik yang relatif tinggi ditemukan ketika membandingkan hiu dari Teluk Meksiko dengan hiu dari Indo-Pasifik. Sekalipun pencampuran terjadi antara Samudera Hindia dan Samudra Atlantik, hal itu tidak cukup untuk melawan penyimpangan

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 77-101 87

Pattiasina. Tinjauan Konsep dan Aplikasi Teknologi Geospasial p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e- e-ISSN 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2466 genetik. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua hiu paus merupakan bagian dari meta- populasi global tunggal. Ekspansi populasi yang signifikan yang ditunjukkan oleh mikrosatelit dan DNA mitokondria. Ekspansi tersebut mungkin terjadi selama masa Holosen, ketika spesies tropis bisa memperluas jangkauan mereka karena kenaikan permukaan air laut menghilangkan hambatan pemisah.

Penurunan Populasi Hiu Paus Hasil penelitian struktur genetika populasi oleh Vignaud dan kawan-kawan tersebut juga menunjukkan tren bersejarah peningkatan populasi kemungkinan telah dibalikan saat ini. Penurunan keanekaragaman genetik ditemukan selama 6 tahun berturut-turut di Ningaloo Reef di Australia. Penurunan dalam keragaman genetik yang terlihat sekarang adalah mungkin karena panen skala komersial hiu paus dan tabrakan dengan kapal dalam beberapa dekade terakhir di negara-negara lain di Indo-Pasifik. Perburuan hiu paus dilarang di Australia, tetapi terus berlangsung meskipun ada larangan di tempat-tempat seperti China. Temuan studi memiliki implikasi untuk model konektivitas populasi hiu paus dan arahan untuk terus fokus pada perlindungan yang efektif dari ikan terbesar dunia pada berbagai skala spasial. Hasil penelitian Vignaud dan kawan-kawan di atas mendukung hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Bradshaw et al. (2008). Bradshaw dan kawan-kawan menggunakan data dalam jangka panjang (4.436 penampakan) dari agregasi besar (300-500 individu) dari hiu paus di Ningaloo Reef, Australia Barat menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan berarti panjang hiu secara linear sebesar hampir 2,0 m and kelimpahan relatif diukur dari penampakan ekowisata telah menurun sekitar 40% selama dekade terakhir. Hasil tingkat populasi ini menegaskan prediksi sebelumnya tentang penurunan populasi berdasarkan model proyeksi. Sebagian besar perubahan ini didorong oleh penurunan jumlah individu yang besar dalam populasi. Pengurangan ini bisa terjadi meskipun perlindungan total hiu paus di perairan Australia, karena sebagai spesies hiu paus yang beruaya jauh, kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan bisa terjadi di tempat lain.bagian lain. Dengan demikian,

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 77-101 88

Pattiasina. Tinjauan Konsep dan Aplikasi Teknologi Geospasial p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e- e-ISSN 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2466 konservasi yang efektif dari hiu paus akan membutuhkan perlindungan internasional, dan studi penandaan secara kolaboratif perlu dilakukan untuk mengidentifikasi dan memantau jalur migrasi.

KONSEP PEMETAAN DAN PEMODELAN MIGRASI SATWA LAUT

Pentingnya Data dan Informasi Migrasi Satwa Laut Saat ini penutupan area dalam bentuk Daerah Perlindungan Laut (Marine Protected Area) sudah diimplementasikan di berbagai tempat untuk mengontrol penggunaan sumberdaya perikanan di suatu daerah. Walaupun demikian, belum ada kepastian apakah penutupan area tersebut bisa memberikan efek positif pada peningkatan stok perikanan di laut, apalagi untuk spesies-spesies ikan yang memiliki ruaya yang sangat jauh. Implementasi penutupan area sebagai alternatif manajemen sumberdaya perikanan masih kontroversial. Ada pendapat yang menyatakan bahwa pada umumnya jenis ikan komersial terlalu mobile, sehingga penutupan hanya cocok kasus yang khusus, biasanya untuk perikanan skala kecil (Gell and Roberts, 2003). Die and Watson (1992) dan Crowder et al. (2000) memprediksikan bahwa penutupan area bisa memberikan dampak negatif jika salah dalam penentuan lokasi. Stockhausen et al. (2000) menyatakan bahwa walaupun area yang ditutup sangat luas, tapi tidak tepat dalam penetapannya, justeru akan menyebabkan dampak terhadap keamanan stok ikan. Hasil simulasi model oleh Simons et al. (2014) menunjukan bahwa penutupan area yang meliputi tidak hanya daerah pemijahan tapi juga bagian dari rute migrasi spesies antara daerah pemijahan dan daerah makan paling efektif dalam melindungi biomassa stok pemijahan (Spawning stock biomass-SSB). Penutupan yang meliputi rute migrasi spesies ikan akan memungkinkan ikan untuk tetap berada pada daerah yang ditutup sepanjang masa pemijahan dan migrasi ke daerah makan. Penutupan seperti ini memberikan perlindungan hampir sepanjang tahun dan hasilnya berupa menurunnya kematian karena penangkapan (fishing mortality) dan peningkatan biomassa stok pemijahan (SSB) sampai 31 %. Di sisi lain, penutupan yang hanya mencakup sebagian saja dari rute migrasi ikan, walaupun dilakukan sepanjang tahun tidak memberikan efek yang berarti bagi penurunan kematian

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 77-101 89

Pattiasina. Tinjauan Konsep dan Aplikasi Teknologi Geospasial p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e- e-ISSN 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2466 karena penangkapan (fishing mortality). Jadi kesimpulannya lokasi, durasi dan ukuran area yang ditutup sangat berdampak pada kesuksesan perlindungan dari stok ikan. Jika suatu area yang ditutup didasarkan pada pertimbangan ukuran, durasi dan lokasi sesuai dengan migrasi musiman spesies, maka akan sangat sesuai untuk spesies mobile. Norse (2003) menyatakan bahwa spesies dengan jangkauan migrasi yang jauh seperti tuna dan hiu bisa diuntungkan dengan adanya penutupan area secara temporal, terutama jika area yang ditutup tersebut ditetapkan pada area-area dimana sangat rentan untuk ikan-ikan tersebut, seperti daerah pemijahan, daerah asuhan dan gunung-gunung bawah laut (sea mounts). Lebih jauh Hilborn and Walters (1992) menyatakan bahwa penutupan area secara temporal, jika diatur dengan baik akan menjamin perlindungan pada periode rentan dari kehidupan spesies ikan. Keberhasilan penutupan area untuk melindungi stok ikan sangat tergantung dari para ahli perikanan dan pengelola sumberdaya perikanan, terutama dalam menggali dan memanfaatkan informasi tentang daerah pemijahan dan asuhan dari spesies- spesies ikan yang terancam punah. Penutupan area akan berhasil jika didukung dengan data dan informasi dari hasil monitoring distribusi spasial dari populasi untuk memastikan bahwa area yang ditutup telah memenuhi porsi penting dan mendasar dari populasi.

Faktor-faktor Penting dalam Pemetaan dan Pemodelan Migrasi Satwa Laut Tipe gerakan (horizontal atau vertikal) dan yang skala (kecil atau besar) merupakan faktor penting dalam pemetaan koridor migrasi spesies (Schneider, 1998). Faktor penting lain, khususnya terkait dengan pemijahan atau makan migrasi spesies pelagis, adalah variasi lingkungan antara daerah agregasi dan daerah pemijahan atau daerah makanan. Variasi ini dapat diintegrasikan dalam pemodelan migrasi GIS seperti yang disajikan pada gambar berikut. Dengan mengintegrasikan data variasi lingkungan dan tipe pergerakan spesies ikan maka koridor migrasi ikan dapat dipetakan dan dimodelkan. Gambar 1 berikut ini menggambarkan alur penggunaan data-data variasi lingkungan dan tipe pergerakan spesies ikan dalam pemetaan dan pemodelan koridor migrasi spesies di perairan laut.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 77-101 90

Pattiasina. Tinjauan Konsep dan Aplikasi Teknologi Geospasial p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e- e-ISSN 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2466

Gambar 1. Integrasi Variasi Lingkungan dan Tipe Pergerakan dalam Pemetaan/Pemodelan Koridor Migrasi Spesies

Contoh penelitian migrasi ikan yang pernah dilakukan di masa lampau dengan memadukan faktor variasi lingkungan dan tipe pergerakan spesies misalnya yellowtail dan mackerel (Saitoh, 1983) dan cumi-cumi Rowell et al. (1985). Penelitian Saitoh (1983) dilakukan sepanjang kepulauan Jepang menggunakan alat bantu akustik (untuk kelimpahan relatif sarden dan konsentrasi klorofil), citra satelit (SST), foto udara (identifikasi gerombolan sarden berdasarkan bentuk dan warna) dan data penangkapan komersial. Hasil penelitian adalah berupa model migrasi yang menunjukkan bahwa spesies memanfaatkan alur hangat atau dingin dari daerah transisi dari Kuroshio dan Arus Oyashio selama migrasi makan mereka di perairan pantai. Penelitian lain dilakukan oleh Rowell et al. (1985) yang menunjukkan beberapa komponen spasial populasi cumi-cumi di Atlantic bagian barat. Mereka menggunakan tangkapan komersial dan suhu permukaan laut untuk menunjukkan bagaimana pengaruh arus teluk terhadap distribusi larva dan juvenile cumi serta pola migrasi mereka dari Tanjung Hatteras ke daerah Newfoundland. Studi sejenis juga dilakukan oleh Waluda et al. (2001) yang menggabungkan atau tumpang susun (overlay) antara data tangkapan spesies cumi-cumi sirip pendek Illex argentinus dan SST daerah front suhu permukaan laut di daerah penangkapan ikan Barat Daya Atlantic (Kepulauan Falkland/Islas Malvinas). Hasil

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 77-101 91

Pattiasina. Tinjauan Konsep dan Aplikasi Teknologi Geospasial p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e- e-ISSN 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2466 penelitian mereka menunjukkan bahwa distribusi geografis spesies sangat berhubungan dengan front suhu permukaan laut.

Pengembangan Model Migrasi Satwa Laut Berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) Pergerakan satwa-satwa laut yang besar dapat juga digunakan untuk memodelkan pola migrasi dan menentukan koridor migrasinya. Pada tahun 1995, Science Branch of the Fisheries and Oceans, Canada mengembangkan aplikasi berbasis sistem informasi geografis (SIG) dengan data perikanan dan lingkungan untuk pengelolaan perikanan terpadu di wilayah Newfoundland. Proyek percontohan ini mengintegrasikan penampakan satwa laut dengan beberapa variabel lingkungan (suhu, distribusi es, batimetri, dan lain-lain) ke dalam SIG (Gambar 2).

Gambar 2. Data dan Metode Pemodelan Migrasi Satwa Laut (Sumber: Science Branch of the Fisheries and Oceans, Canada)

Peta-peta yang dihasilkan memberikan gambaran visual dari distribusi satwa laut dan dan kondisi lingkungan yang cocok untuk mengembangkan hipotesis tentang interaksi lingkungan dan satwa laut serta sebagai dasar untuk pemodelan interaksi ini, terutama untuk studi migrasi satwa laut dan daerah makanan mereka.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 77-101 92

Pattiasina. Tinjauan Konsep dan Aplikasi Teknologi Geospasial p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e- e-ISSN 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2466

Denis dan Robin (2001) menciptakan alat-alat SIG untuk analisis pola spasial dalam tangkapan ikan (Perikanan Atlantic Perancis) dari metode-metode penangkapan ikan yang berbeda dan mengaitkan pola-pola ini dengan pendaratan per pelabuhan. Mereka menunjukkan bahwa tren spasial hasil tangkapan skala kecil berhubungan dengan migrasi spesies musiman di Timur Laut Atlantik. “Animal Movement” adalah upaya lain saat ini untuk memodelkan pergerakan spasial dari populasi ikan. Ini adalah salah satu ekstensi ArcView GIS yang berisi satu set fungsi khusus yang dirancang untuk membantu dalam analisis pergerakan hewan. Sistem ini dikembangkan oleh USGS Alaska Biological Science Centre dan NFS Glacier Bay National Park and Preserve (Hooge et al., 2000). Model pergerakan hewan “Animal Movement” didasarkan pada informasi pemilihan habitat spesies, hubungan di antara individu, pola penyebaran populasi atau efektifitas perlindungan laut dan menggunakan satu set alat klasifikasi dan algoritma pemilihan habitat. Sejalan dengan pengembangan perangkat lunak ESRI dari Arc View GIS menjadi ArcGIS, model ini dikembangkan dalam bahasa pemrograman Visual Basic pada ArcGIS versi 9x dengan nama Hawts Tools. Selanjutnya dikembangkan lagi untuk ArcGIS versi 10x dalam bahasa pemrograan Phyton yang diintegerasi dalam Geospatial Modelling Environment (GEM).

APLIKASI TERKINI PEMETAAN DAN PEMODELAN MIGRASI HIU PAUS

Hiu paus memiliki distribusi tersebar, oportunistik filter-feeders yang membutuhkan kepadatan besar mangsa untuk memenuhi tuntutan energik mereka (Compagno, 1984). Agregasi hiu paus umumnya di daerah produktivitas biologis tinggi, seperti blooming plankton, daerah pemijahan ikan, dan daerah di mana perubahan suhu air terjadi (Compagno, 1984; Taylor and Pearce, 1999; Heyman et al., 2001; Hoffmayer et al., 2005; Taylor, 2007). Pergerakan hiu paus mungkin sesuai dengan batimetri dan/atau fitur oseanografi, seperti front termal, pusaran (eddies), arus, dan zona konsentrasi klorofil tinggi (Taylor and Pearce, 1999; Hoffmayer et al., 2005; Hsu et al., 2007; Kumari and Raman, 2010). Hal ini mungkin karena adanya kumpulan zooplankton dan populasi ikan yang diketahui menumpuk di dekat fitur tersebut (Balch and Byrne, 1994).

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 77-101 93

Pattiasina. Tinjauan Konsep dan Aplikasi Teknologi Geospasial p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e- e-ISSN 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2466

Sampai saat ini teknologi geospasial telah diaplikasikan untuk memetakan dan memodelkan migrasi hiu paus di berbagai lokasi yang didasarkan pada kondisi lingkungan dan penampakan atau kemunculannya. Pada umumnya pemetaan dan pemodelan migrasi hiu paus menggunakan kombinasi metode dan teknologi geospasial, meliputi sistem informasi geografis, teknologi penginderaan jauh dan satellit tracking (GPS), dan dilengkapi dengan data pemantauan kehadiran ikan. Sequiera et al. (2013) secara global memetakan pola migrasi dan konektivitas dari populasi hiu paus dari cekungan samudera yang berbeda, yaitu Lautan Pasifik, Lautan India dan Karibia. Mereka menggabungkan data kehadiran dan data tracking satelit. Pada waktu belakangan ini telah dikembangkan model-model yang digunakan untuk menggambarkan migrasi dari spesies-spesies ikan termasuk hiu paus. Salah satunya yang dikerjakan oleh McKinney et al., (2012). Mereka menggambarkan distribusi spasial agregasi makan ikan hiu paus di Northern Gulf of Mexico (NGOM) selama musim puncak dengan menggunakan 2 jenis pendekatan pemodelan distribusi spesies, yaitu: 1) Maximum entropy (MaxEnt) (Phillips et al., 2006), yaitu distribusi probabilitas spesies terjadinya di seluruh wilayah studi menggunakan kompleks suite transformasi di lingkungan variabel. 2) Ecological niche factor analysis (ENFA) (Hirzel et al., 2002, 2007). Mirip dengan analisis komponen utama (PCA), serangkaian orthogonal faktor ditentukan berdasarkan kombinasi linear variabel lingkungan yang dapat memberikan gambaran hubungan antara nilai-nilai yang ditemukan di lokasi di mana spesies yang hadir dengan keseluruhan area studi. Data yang digunakan adalah data kehadiran hiu paus, data variabel lingkungan dan data untuk keperluan validasi model. Dengan menggunakan kedua jenis model, distribusi hiu tahun penelitian berbeda (2008 dan 2009) dimodelkan secara terpisah. Hasil pemodelan menunjukkan bahwa habitat hiu paus yang sesuai diperkirakan mengikuti pinggir paparan benua, dan habitat yang paling cocok diprediksi di selatan dari kawasan Delta Sungai Mississippi. Distribusi spasial habitat yang sesuai adalah dinamis; Oleh karena itu, sebuah studi multi-tahun perlu dilakukan untuk lebih menggambarkan tren temporal dalam

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 77-101 94

Pattiasina. Tinjauan Konsep dan Aplikasi Teknologi Geospasial p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e- e-ISSN 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2466 distribusi ikan hiu paus regional dan untuk mengidentifikasi daerah-daerah yang konsisten kesesuaian tinggi. Hasil penelitian ini juga menunjukan bahwa kedua model tersebut adalah alat yang ampuh untuk menggambarkan habitat regional yang penting yang rentan untuk ruaya spesies. Disamping pemodelan migrasi secara horizontal, beberapa penelitian juga telah dilakukan untuk memodelkan migrasi/pergerakan hiu paus secara vertikal. Salah satunya adalah yang dilakukan oleh Brunschweiler and Sims (2011) di bagian barat Lautan India. Berdasarkan model pergerakan vertikal tersebut maka dapat diperkirakan bahwa pergerakan vertikal: 1) Dilakukan pada fase samudera (oceanic phase) dalam pergerakan jarak jauh. 2) Dilakukan pada kondisi tidak ada hambatan batimetri. 3) Terkait perilaku makan (foraging behavior) ketika melewati daerah samudera yang kurang produktif. Pemodelan yang lebih lanjut dengan skala global dilakukan oleh Sequeira et al. (2013), yang memprediksi pengaruh perubahan iklim terhadap distribusi dari hiu paus. Mereka menggunakan data kehadiran hiu paus selama 30 tahun dan data variabel lingkungan dengan skenario kenaikan air laut dan asumsi bahwa tidak ada upaya berarti untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Hasil pemodelan menunjukkan bahwa perubahan iklim dapat berdampak pada berubahnya distribusi hiu paus di tahun 2070.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 77-101 95

Pattiasina. Tinjauan Konsep dan Aplikasi Teknologi Geospasial p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e- e-ISSN 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2466

Gambar 3. Metode Pendekatan Model Prediksi Dampak Perubahan Iklim Terhadap Distribusi Hiu Paus Global (Sumber: Sequeira et al., 2013)

KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan beberapa hal terkait pemetaan dan pemodelan migrasi spesies ikan sebagai berikut: 1) Karakteristik bioekologi dan pola migrasi hiu paus menyebabkan spesies ini rentan terhadap berbagai ancaman baik dari faktor alami maupun oleh aktivitas manusia. 2) Pemetaan dan pemodelan koridor migrasi spesies perikanan berbasis Sistem Informasi Geografis adalah aplikasi yang relatif baru dan terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. 3) Pemetaan dan pemodelan koridor migrasi secara umum didasarkan pada faktor variasi lingkungan dan tipe pergerakan spesies. 4) Kombinasi alat dan metode yang berbeda seperti data penginderaan jauh (citra satelit dan foto udara), alat bantu akustik, pengukuran parameter lingkungan secara in-situ dan data penampakan akan memberikan hasil model migrasi spesies hiu paus yang lebih akurat.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 77-101 96

Pattiasina. Tinjauan Konsep dan Aplikasi Teknologi Geospasial p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e- e-ISSN 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2466

5) Hasil pemetaan dan pemodelan yang akurat akan sangat bermanfaat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan kawasan konservasi dan pengelolaan sumberdaya perikanan laut yang berkelanjutan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada Prof. Marsoedi dan Dr. Nuddin Harahab (Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya) atas saran dan masukan yang diberikan untuk melengkapi tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Alam, M. T., R. A. Petit III, T. D. Read, and A. D. M. Dove, “The complete mitochondrial genome sequence of the world's largest fish, the whale shark (Rhincodon typus), and its comparison with those of related shark species,” Gene vol. 539 (2014), pp. 44– 49, 2010. Arzoumanian, Z., J. Holmberg, and B. Norman, “An astronomical pattern-matching algorithm for computer-aided identification of whale shark Rhincodon typus,” J. Appl. Ecol., Vol 42, pp. 999-1011, 2005. Balch, W. M. and C. F. Byrne, “Factors affecting the estimate of primary production from space,” J. Geophys. Res., Vol. 99, pp. 7555−7570, 1994. Beckley, L. E., G. Cliff, M. J. Smale and L. J. V. Compagno, “Recent strandings and sightings of whale sharks in South Africa,” Environ. Biol. Fish., Vol. 50, pp. 343- 348, 1997. Block, B. A., I. D. Jonsen, S. J. Jorgensen, A. J. Winship, S. A. Shaffer and S. J. Bograd, “Tracking apex marine predator movements in a dynamic ocean,” Nature, Vol 475, pp. 86–90, 2011. Bradshaw, C. J. A., B. M. Fitzpatrick, C. C. Steinberg, B. W. Brook and M. G. Meekan, “Decline in whale shark size and abundance at Ningaloo Reef over the past decade: the world’s largest fish is getting smaller,” Biological Conservation. Vol. 141, pp. 1894-1905, 2008. Brunnschweiler, J. M. and D. W. Sims, “Diel oscillations in whale shark vertical movements associated with meso-and bathypelagic diving,” American Fisheries Society Symposium, Vol. 76, pp. 1–14, 2011. Brunnschweiler, J. M., H. Baensch, S. J Pierce and D. W. Sims, “Deep-diving behaviour of a Whale Shark Rhincodon typus during long-distance movement in the Western Indian Ocean,” Journal of Fish Biology, Vol. 74. No. 3, pp. 706-714, 2009. Chang, W. B., M. Y. Leu, and L. S. Fang, “Embryos of the whale shark, Rhincodon typus; early growth and size distribution,” Copeia, Vol. 2, pp. 444-446, 1997.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 77-101 97

Pattiasina. Tinjauan Konsep dan Aplikasi Teknologi Geospasial p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e- e-ISSN 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2466

Clark, E. and D. R. Nelson, “Young whale sharks, Rhincodon typus, feeding on a copepod bloom near La Paz, Mexico,” Environmental Biology of Fishes, Vol. 50, pp. 63–73, 1997. Colman, J. G. “A review of the biology and ecology of the whale shark,” J. Fish Biol., Vol. 51, pp. 1219-1234, 1997. Compagno, L. J. V. “Sharks of the world. An annotated and illustrated catalogue of shark species known to date. Volume 2. Bullhead, Mckerel and Carpet Sharks (Heterodontiformes, Lamniformes and Orectolobiformes),” FAO species catalogue for fishery purposes, Vol. 2, No. 1, 269p, 2001. Compagno, L. J. V. “Sharks of the world: an annotated and illustrated catalogue of shark species known to date,” FAO species catalogue, Vol. 4, Part 1, Hexanchiformes to Lamniformes, UN Dev. Prog., FAO, Rome. 249 pp, 1984. Crowder, L. B., S. Lyman, W. Figueira and J. Priddy, “Source-sink population dynamics and the problem of siting marine reserves,” Bull Mar Sci, Vol. 66, pp. 799–820, 2000. Denis V. and J. P. Robin, “Present status of the French Atlantic fishery for cuttlefish (Sepia officinalis),” Fisheries Research, Vol. 52(1-2), pp.11-22, 2000. Die, D. J. and R. A.Watson, “A per-recruit simulation model for evaluating spatial closures in an Australian Penaeid fishery,” Aquat. Living Resour., Vol. 5, pp. 145–53, 1992. Eckert S. A. and B. S. Stewart, “Migration and movement of the whale shark (Rhincodon typus) in The Sea of Cortez as determined by satelillite telemetry,” Hubbs-Sea World Research Institute, Tech. Rep., 96-269, pp. 1-22, figs 1-10, tabs 1-2, app. 1-3, 1996. Fitzpatrick, B., M. Meekan and A. Richards, ”Shark attack on whale shark (Rhincodon typus) at Ningaloo Reef, Western Australia,” Bull. Mar. Sci., Vol. 78, pp. 397-402, 2006. Gell, F. R. and C. M. Roberts, “Benefits beyond boundaries: the fishery effects of marine reserves,” Trends Ecol. Evol., Vol. 18, pp. 448-55, 2003. Heyman, W. D., R. T. Graham, B. Kjerfve, R. E. Johannes, “Whale sharks Rhincodon typus aggregate to feed on fish spawn in Belize,” Mar. Ecol. Prog. Ser., Vol. 215, pp. 275-282, 2001. Hilborn J R. and C. J. Walters, “Quantitative fisheries stock assessment: choice, dynamics and uncertainty,” Rev. Fish Biol, Fish, Vol. 2, pp. 177-8, 1992. Hilty, J., W. Jr. Lidicker and A. Merenlender, “Corridor ecology: the science and practice of linking landscapes for biodiversity conservation,” Washington Island Press, Washington, 323p, 2012. Hirzel, A. H., J. Hausser, D. Chessel and N. Perrin, “Ecological niche factor analysis: how to compute habitat-suitability maps without absence data?,” Ecology, Vol. 83, pp. 2027−2036, 2002. Hirzel, A. H., J. Hausser and N. Perrin, "Biomapper 4.0.” Laboratory for Conservation Biology, Department of Ecology and Evolution, University of Lausanne, Switzerland." URL: http://www2. unil. ch/biomapper, 2007.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 77-101 98

Pattiasina. Tinjauan Konsep dan Aplikasi Teknologi Geospasial p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e- e-ISSN 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2466

Hoffmayer, E. R., .J. S. Franks and J. P. Shelley, “Recent observations of the whale shark (Rhincodon typus) in North Central Gulf of Mexico,” Gulf Caribb. Res., Vol. 17, pp. 117−120, 2005. Hooge, P. N., W. M. Eichenlaub and E. K. Solomon, "Using GIS to analyze animal movements in the marine environment." Spatial Processes and Management of Marine Populations. Alaska Sea Grant College Program, Anchorage Alaska, pp. 37-51, 2001. Hooker, S. K., A. Cañadas, D. Hyrenbach, C. Corrigan, J. J. Polovina and R. R. Reeves, “Making protected area networks effective for marine top predators,” Endang Species Res, Vol. 13, pp. 203-218, 2011. Hooker, S. K., H. Whitehead and S. Gowans, “Marine protected area design and the spatial and temporal distribution of cetaceans in a submarine canyon,” Conserv Biol., Vol. 13, No. 3, pp. 592–602, 1999. Hsu, H. H., S. J. Joung, Y. Y. Liao and K. M. Liu, “Satellite tracking of juvenile whale sharks, Rhincodon typus, in the Northwestern Pacific. Fish Res., Vol. 84, pp. 25-31, 2007. Kinney, M. J. and C. F. Simpfendorfer, “Reassessing the value of nursery areas to shark conservation and management,” Conserv. Lett., Vol. 2, pp. 53–60, 2009. Kumari, B. and M. Raman, “Whale shark habitat assessments in the Northeastern Arabian Sea using satellite remote sensing,” Int J Remote Sens., Vol. 31, pp. 379-389, 2010. Lowry, L. F., K. J. Frost, R. Davis, D. P. DeMaster and R. S. Suydam, “Movements and behavior of satellite tagged spotted seals (Phoca largha) in The Bering and Chukchi Seas,” Polar Biology, Vol. 19, pp. 221-230. 1998. McKinney, J., E. Hoffmayer, W. Wu, R. Fulford and J. Hendon, “Feeding habitat of the whale shark Rhincodon typus in the Northern Gulf of Mexico determined using species distribution modeling,” Marine Ecology Progress Series, Vol. 458, pp. 199– 211, 2012. Meekan, M.G., S.N. Jarman, C.McLean and M.B. Schultz, “DNA evidence of whale sharks (Rhincodon Typus) feeding on red crab (Gecarcoidea Natalis) larvae at Christmas Island, Australia,” Marine and Freshwater Research, Vol. 60, pp. 607-609, 2009. Motta, P. J., M. Maslanka, R. E. Hueter, R. L. Davis, R. de la Parra, S. L. Mulvany, M. L. Habegger, J. A. Strother, K. R. Mara, J. M. Gardiner, J. P. Tyminski and L. D. Zeigler, “Feeding anatomy, filter-feeding rate, and diet of whale sharks Rhincodon typus during surface ram filter feeding off the Yucatan Peninsula, Mexico,” Zoology, Vol. 113, No. 4, pp. 199-212, 2010. Mullen, K. A., M. L. Peterson and S. K. Todd, “Has designating and protecting critical habitat had an impact on endangered North Atlantic right whale ship strike mortality?,” Mar. Policy, Vol. 42, pp. 293-304, 2013. Mumby, P. J., “Connectivity of reef fish between mangroves and coral reefs: algorithm for the design of marine reserves at seascape scales,” Biol. Conserv., Vol. 128, pp. 215- 222, 2006. Nelson D. and S. A. Eckert, “Foraging ecology of whale sharks (Rhincodon typus) within Bah´ıa de Los Angeles, Baja California Norte, M´exico,” Fisheries Research, Vol. 84, pp. 47–64, 2007.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 77-101 99

Pattiasina. Tinjauan Konsep dan Aplikasi Teknologi Geospasial p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e- e-ISSN 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2466

Norman B. M. and J. D. Stevens, “Size and maturity status of the whale shark (Rhincodon typus) at Ningaloo Reef in Western Australia,” Fish Res., Vol. 84, pp. 81-86, 2007. Norman, B. “CITES identification manual whale shark (Rhincodon typus Smith 1829),” ECOCEAN. Marine Species Section, Environment Australia, 2002. Norse, E. A. “Marine reserves: the best option for our oceans?,” Conserv Biol., Vol. 12, pp. 1180–97, 2003. Olavo, G., P. A. S. Costa, A. S. Martins, B. P. Ferreira, “Shelf-edge reefs as priority areas for conservation of reef fish diversity in the tropical Atlantic,” Aquat Conserv., Vol. 21, pp. 199-209, 2011. O’Sullivan, J. B. “A fatal attack on whale shark Rhincodon typus, by killer whales Orcinus orca off Bahia de Los Angeles Baja California,”. In: Abstract of the American Elasmobranch Society 16th Annual Meeting, La Paz, Mexico, June 14-20, 2000, p.282, 2000. Proponent, B. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora Amendments to Appendices I and II of CITES - Eleventh meeting of the conference of the parties Nairobi (Kenya), April 10-20, 2000. Phillips, S. J., R. P. Anderson and R. E. Schapire, “Maximum entropy modeling of species gographic distributions,” Ecol Model, Vol. 190, pp. 231−259, 2006. Rowell, T. W., L. W. Trites and E. G. Dawe, “Distribution of short finned squid (Illex Illecebrosus) larvae and juveniles in relation to the gulf stream frontal zone between Florida and Cape Hatteras,” Northwest Atlantic Fisheries Organization Science Council Studies, Vol. 9, pp. 77–92, 1985. Saitoh, S. “Changes of rings and temporal and spatial variability of resources biomass,” Marine Science, Vol. 15, pp. 274-285, 1983. Schmidt, J. V., C. L. Schmidt, F. Ozer, R. E. Ernst, K. A. Feldheim, M. V. Ashley and M. Levine, “Low genetic differentiation across three major ocean populations of the whale shark, Rhincodon typus,” PLoS ONE, Vol. 4, No. 4, pp. e4988, 2009. Schneider, D. C. ”Applied scaling theory. In D. L. Peterson and V.T. Parker, eds. Ecological Scale: Theory and Applications,” Columbia University Press, NY, USA. pp. 253–269, 1998. Schofield, G., R. Scott, A. Dimadi, S. Fossette, K. A. Katselidis, D. Koutsoubas, M. K. S. Lilley, J. D. Pantis, A. D. Karagouni and G. C. Hays, “Evidence based marine protected area planning for a highly mobile endangered marine vertebrate,” Biol Conserv., Vol. 161, pp. 101–109, 2013a. Schofield, G., R. Scott, A. Dimadi, S. Fossette, K. A. Katselidis, D. Koutsoubas, M. K. S. Lilley, A. Luckman, J. D. Pantis, A. D. Karagouni and G. C. Hays, “Satellite tracking large numbers of individuals to infer population level dispersal and core areas for the protection of an endangered species,” Divers Distrib., Vol. 19, No. 7, pp. 834–844, 2013b. Sequeira, A. M. M., C. Mellin, M. G. Meekan, D. W. Sims and C. J. A. Bradshaw, “Review paper: inferred global connectivity of whale shark Rhincodon typus populations,” Journal of Fish Biology, Vol. 82, pp. 367–389, 2013.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 77-101 100

Pattiasina. Tinjauan Konsep dan Aplikasi Teknologi Geospasial p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e- e-ISSN 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2466

Simons, L. S., R. Döring and A. Temming, “Combining area closures with catch regulations in fisheries with spatio-temporal variation: bio-economic implications for The North Sea Saithe Fishery,” Marine Policy, Vol. 51, pp. 281-292, 2014. Speed, C. W., M. G. Meekan, D. Rowat, S. J. Piercek, A. D. Marshall and C. J. A. Bradshaw, “Scarring patterns and relative mortality rates of Indian Ocean whale sharks,” Journal of fish biology, Vol 72, pp. 1488-1503, 2008. Stewart, B. S. and S. G. Wilson, “Threatened fishes of the world: Rhincodon typus (Smith 1828) (Rhincodontidae),” Environ Biol Fishes, Vol. 74, pp. 184-185, 2005. Stockhausen, W. T., R. N. Lipcius and B. M. Hickey, “Joint effects of larval dispersal, population regulation, marine reserve design, and exploitation on production and recruitment in the Caribbean spiny lobster,” Bull Mar Sci., Vol. 66, pp. 957-90, 2000. Taylor, J. G. and A. F. Pearce, “Ningaloo reef currents: implications for coral spawn dispersal, zooplankton and whale shark abundance,” J R Soc West Aust., Vol. 82, pp 57-65, 1999. Taylor, J. G. “Ram filter-feeding and nocturnal feeding of whale sharks (Rhincodon typus) at Ningaloo Reef, Western Australia,” Fish Res., Vol. 84, pp. 65-70, 2007. Vignaud, T. M., J. A. Maynard, R. Leblois, M. G. Meekan, R. Vázquez-Juárez, D. Ramírez-Macías, S. J. Pierce, D. Rowat, M. L. Berumen, C. Beeravolu, S. Baksay and S. Planes, “Genetic structure of populations of whale sharks among ocean basins and evidence for their historic rise and recent decline,” Molecular Ecology, Vol. 23, No. 10, 2014. Waluda, C. M., P. G. Rodhouse, P. N. Trathan and G. J. Pierce, “Remotely sensed mesoscale oceanography and the distribution of Illex argentinus in the South Atlantic,“ Fisheries Oceanography, Vol.10, No. 2, pp. 207-216, 2001. Womble, J. N., S. M. Gende, “Post breeding season migrations of a top predator, the harbour seal (Phoca vitulina Richardii), from a marine protected area in Alaska,” PlosOne, Vol. 8, No. 2, pp. e55386, 2013. Zappes, C. A., C. Ventura da Silva, M. Pontalti, M. L. Danielski and A. P. Madeira Di Beneditto, “The conflict between the southern right whale and coastal fisheries on the Southern Coast of Brazil,” Mar Policy, Vol. 38, pp. 428-437, 2013.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 77-101 101

Nurafni et al. Struktur Komunitas Echinodermata p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN 2656 - 7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2687

Struktur Komunitas Echinodermata di Perairan Desa Juanga, Kabupaten Pulau Morotai

Community Structure of Echinodermata in Juanga Village Water, Morotai Island Regency

Nurafni1*, Sandra Hi Muhammad1, Isman Dohu1

1Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pasifik Morotai *Korespondensi: [email protected]

ABSTRAK

Echinodermata adalah hewan yang termasuk invertebrata yang memiliki kulit berduri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis struktur komunitas Echinodermata di perairan pantai Juanga, Kabupaten Pulau Morotai. Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2019 di perairan Desa Juanga, Kabupaten Pulau Morotai. Dengan menggunakan metode transek kuadrat, garis transek ditarik secara tegak lurus ke arah laut sepanjang 100 m saat surut atau mendekati pasang terendah, mulai dari meteran nol (0) dan kuadrat 1x1 m ditempatkan pada setiap jarak 10 m sepanjang transek yang dianggap mewakili lokasi yang ada sampelnya. Sedangkan analisis data yang digunakan adalah kepadatan jenis (D), keanekaragaman spesies (H), indeks dominansi (C), dan kemerataan (E). Hasil penelitian menemukan 14 jenis Echinodermata yang tersebar di lokasi penelitian. Analisis kepadatan tertinggi di stasiun I adalah 0.53 ind/m² (Holothuria atra) dan terendah 0.02 ind/m² (Acanthaster planci). Stasiun II dengan nilai tertinggi 0.33 ind/m² (Holothuria atra) dan jenis terendah Stichopus variegatus, Echinothrix calamaris, Ophiaracna affinis, Ophiocoma brevipes dengan nilai 0.02 ind/m², stasiun III kepadatan tertinggi dari jenis Holothuria atra (0.42 ind/m²), yang terendah adalah jenis Acanthaster planci, Ophiaracna affinis, Ophiocoma brevipes dengan nilai rata-rata 0.02 ind/m². Analisis struktur komunitas (H ') stasiun I sampai III termasuk dalam kategori sedang, indeks dominansi (C) tidak ada spesies yang mendominasi sedangkan indeks kemerataan (E) jenis tersebar sangat merata di semua lokasi penelitian.

Kata kunci: Echinodermata; Struktur komunitas; Morotai

ABSTRACT

Echinoderms are animals that are included invertebrates that have thorny skin. The aim of this study was to analyze the structure of the Echinodermata community in Juanga coastal waters, Morotai Island Regency. This research was conducted in November 2019 in the waters of Juanga Village, Morotai Island Regency. By using the quadratic transect method, the transect line is pulled perpendicular to the sea along 100m at low tide or near lowest tide, starting at zero (0) and 1x1m squared are placed at each 10 m distance along the transect that is considered to represent the location for which there are samplesEchinoderms . While the analysis of the data used is the density of species (D), species diversity (H), demination index (C), and evenness (E). The results found 14 types of Echinoderms that were scattered at the study site. The highest density analysis at station I was 0.53 ind/m² ( Holothuria atra ) and the lowest 0.02 ind/m² (Acanthaster planci). Station II with the highest value of 0.33 ind/m² (Holothuria atra) and the lowest type of Stichopus variegatus, Echinothrix calamaris, Ophiaracna affinis, Ophiocoma brevipes with 0.02 ind / m², station III the highest density is still from the type Holothuria atra (0.42 ind/m²), the lowest is the kind Acanthaster planci, Ophiaracna affinis, Ophiocoma brevipes with an average value of 0.02 ind/m². Analysis of community structure (H') of stations I to III is included in the medium category, dominance index (C) no species dominates while the evenness index (E) of species distribution is very evenly distributed in all research locations.

Keywords: Echinoderms; Community structure; Morotai

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 102-114 102 Nurafni et al. Struktur Komunitas Echinodermata p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN 2656 - 7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2687

PENDAHULUAN

Echinodermata merupakan hewan berkulit duri dan termasuk hewan invertebrata. Hewan ini memiliki berbagai ukuran, bentuk, struktur dan warna seperti bintang, bulat, pipih, bulat memanjang. Secara ekologis Echinodermata berperan sangat penting dalam rantai makanan (food chain), karena biota ini umumnya sebagai pemakan detritus dan predator. Keberadaannya di pengaruhi oleh ekosistem terumbu karang dan padang lamun yang merupakan salah satu habitat bagi Echinodermata.

Echinodermata disebut sebagai kunci spesies ekologi yang berperan dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut (Raghunathan and Venkataraman, 2012). Echinodermata ditemukan di tempat tertentu atau mempunyai zonasi. Hal tersebut diduga berhubungan dengan vegetasi, yaitu rumput laut dan lamun dan adanya karang mati. Yusron (2013) membedakan lima macam habitat dari bentuk topografi daerah terumbu karang yaitu zona pasir, zona pertumbuhan lamun, rumpu laut, terumbu karang dan tubir. Adanya pasang surut dan gelombang, juga diduga menjadi penyebab lain terjadinya zonasi tersebut (Koroy et al., 2019). Sehingga pola sebaran Echinodermata di suatu tempat akan berbeda dengan tempat yang lain. Echinodermata dapat ditemukan hampir di seluruh perairan Indonesia, salah satunya di perairan Kabupaten Pulau Morotai.

Hasil penelitian yang dilakukan Nurafni et al., (2019) ditemukan sebanyak 10 jenis Echinodermata di Perairan Pulau Ngele-Ngele Kecil Kabupaten Pulau Morotai. Akan tetapi data awal di Selatan Morotai tepatnya di desa Juanga belum dilakukan. Perairan Desa Juanga terletak di selatan kota Daruba yang memiliki potensi sumber daya yang berlimpah salah satunya Echinodermata. Minimnya informasi dan data penelitian tentang Echinodermata di Perairan Juanga sehingga perlu dilakukan penelitian tentang struktur komunitas di lokasi ini.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 102-114 103 Nurafni et al. Struktur Komunitas Echinodermata p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN 2656 - 7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2687

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November - Desember 2019 di Perairan Desa Juanga Kecamatan Morotai Selatan Kabupaten Pulau Morotai. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian Struktur Komunitas Echinodermata

Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah meteran rol, plastik sampel, kuadrat 1x1 m, spidol permanen, pensil, mistar, buku tulis, kamera, termometer, hand refraktometer, kertas indikator pH universal, GPS, buku identifikasi (Setiawan, 2010; Colin and Arneson, 1995), sedangkan bahan yang digunakan adalah biota Echinodermata.

Prosedur Pengambilan Data Penelitian ini menggunakan metode transek kuadrat. Tali transek ditarik tegak lurus kearah laut sepanjang 100 m pada saat air laut surut atau menjelang surut terendah, mulai dari titik nol (0), jarak kuadrat 10 m sedangkan jarak transek 30 m. Penempatan kuadrat pada setiap jarak 10m sepanjang transek yang dianggap dapat mewakili lokasi yang

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 102-114 104 Nurafni et al. Struktur Komunitas Echinodermata p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN 2656 - 7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2687 terdapat sampel Echinodermata. Echinodermata yang terdapat di sepanjang transek, di dalam kuadrat diamati kemudian diidentifikasi dengan menggunakan buku identifikasi (Setiawan, 2010) dan (Colin and Arneson, 1995) kemudian dihitung jumlah individu dari masing - masing jenis dan diamati tipe substratnya. Untuk mendapatkan Echinodermata yang membenamkan diri dalam pasir dan memperoleh data yang optimum, maka pencarian Echinodermata dilakukan dengan cara menggali atau menyekop lokasi - lokasi yang biotanya jarang, maka dilakukan koleksi bebas dengan cara menyusuri perairan pantai (Radjab et al., 2014). Sedangkan pengukuran parameter perairan meliputi pengukuran suhu, salinitas dan pH perairan.

Gambar 2. Skema ilustrasi penempatan transek

Analisis Data 1. Kepadatan (Krebs, 1989)

D = Kepadatan setiap jenis (Ind/m²) X = Jumlah individu tiap jenis (Ind) A = Luas areal yang terukur dengan kuadrat (m²)

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 102-114 105 Nurafni et al. Struktur Komunitas Echinodermata p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN 2656 - 7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2687

2. Keanekaragaman Jenis Untuk menghitung besarnya keanekaragaman digunakan metode Shannon dan Weinner (Ludwig and Reynolds, 1988) sebagai berikut :

Keterangan: H = Keanekaragaman Jenis ni = Jumlah individu jenis-i N = Jumlah seluruh individu

3. IndeksDominasi. Untuk menghitung indeks dominasi digunakan formula (Odum, 1994) sebagai berikut :

2

Keterangan: C = Indeks doominasi ni = Jumlah individu tiap jenis N = Jumlah individu seluruh jenis Dengan Kriteria: Nilai C berkisar 0 - 1, Jika C mendekati 0 tidak ada spesies yang mendominasi dan apabila nilai C mendekati 1 adanya salah satu spesies yang mendominasi.

4. Indeks Kemerataan (Wibisono, 2005)

Keterangan: E = Indeks kemerataan H’ = Keanekaragaman Jenis Hmax = Ln S S = Jumlah Taksa

Dengan kriteria: >0,81 = Penyebaran jenis sangat merata 0,61-0,80 = Penyebaran jenis lebih merata 0,41-0,60 = Penyebaran jenis merata 0,21-0,40 = Penyebaran Jenis cukup merata <0,21 = Penyebaran jenis tidak merata

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 102-114 106 Nurafni et al. Struktur Komunitas Echinodermata p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN 2656 - 7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2687

HASIL DAN PEMBAHASAN

Parameter Kualitas Perairan Data pengukuran parameter kualitas perairan Desa Juanga Kabupaten Pulau Morotai meliputi pH, salinitas dan suhu. Hasil pengukuran kondisi lingkungan tersebut disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Parameter kualitas perairan Desa Juanga Stasiun Parameter I II III Suhu (°C) 32 32 33 Salinitas (‰) 33 33 33 pH air 7 7 8 Substrat Berpasir Berpasir Pasir patahan karang Kedalaman (1m) ≤ 1m ≤ 1m ≤ 1m

Hasil pengukuran suhu perairan pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 32 - 33°C. Menurut Effendi (2012), peningkatan suhu perairan menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air sehingga konsumsi oksigen menjadi lebih tinggi. Suhu perairan laut dipengaruhi oleh penyinaran sinar matahari dan pola temperatur, diperairan laut pada umumnya suhu semakin dingin dengan bertambahnya kedalaman (Elviana and Monika, 2019). Menurut Aziz (1998) kisaran suhu untuk kehidupan hewan laut terutama Filum Echinodermata berkisar 16 - 36°C. Hasil pengukuran salinitas pada ketiga stasiun penelitian 33 ‰. Kisaran salinitas yang masih mampu mendukung kehidupan organisme perairan, khususnya makrozoobentos termasuk Echinodermata adalah 15 - 35‰ (Hutabarat and Evans, 1985). Salinitas di ketiga stasiun penelitian menunjukkan pertumbuhan yang optimal untuk kehidupan biota Echinodermata. Sedangkan untuk pengukuran derajat keasaman (pH) pada ketiga stasiun adalah 7 - 8. Menurut Barus (2004), kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun basa dapat membahayakan kelangsungan hidup organisme yang menyebabkan gangguan metabolisme dan respirasi pada organisme tersebut. KepMen LH (2004), menyatakan baku mutu derajat keasaman perairan optimal untuk biota laut adalah 7 - 8.5. Sementara kedalaman di lokasi <1 m karena saat pengambilan sampel dilakukan saat surut. Substrat terdiri dari campuran

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 102-114 107 Nurafni et al. Struktur Komunitas Echinodermata p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN 2656 - 7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2687 pasir dan patahan karang. Menurut Odum (1994) biota laut seperti Echinodermata menyukai substrat keras yang terdiri dari campuran pasir dan patahan karang.

Analisis Struktur komunitas Echinodermata

1. Jenis yang ditemukan di Lokasi Penelitian Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada perairan Juanga diperoleh 4 kelas dari fylum Echinodermata yaitu kelas Asteroidea (bintang laut), Ophiuroidea (bintang ular), Echinoidea (bulu babi) dan Holothuroidea (teripang). Tabel 2. Jenis Echinodermata yang ditemukan di lokasi penelitian Stasiun Kelas Spesies I II III Asteroidea Protoreaster nodosus √ √ √ Linckia laevigata √ √ √ Acanthaster planci - - √ Ophiuroidea Ophioracna affinis √ - - Ophioratna erinaceus - √ - Echinoidea Diadema setosum √ √ √ Echinothrix calamaris √ √ √ Echinometra mathaei √ - - Tripneutes gratilla √ √ √ Holothuroidea Holothuria atra - √ √ Holothuria edulis √ √ √ Holothuria scabra √ √ √ Holothuria leucaspilota √ - √ Stichopus variegatus √ √ √ Keterangan: (-) : Tidak ditemukan (√) : Ditemukan

Kelas Asteroidea ditemukan 3 jenis yaitu Linckia laevegata, Protoreaster nodosus, Acanthaster planci. 5 jenis dari kelas Holothuroidea yaitu Holothuria atra, Holothuria scabra, Holothuria edulis, Holothuria leocaspilota dan Stycopus variegatus, 4 kelas dari Echinoidea yaitu Deadema sitosum, Echinothrix calamaris, Echinometra mathei, Tripneutes gratilla. Sedangkan kelas Ophiuroidea ditemukan 2 jenis yaitu Ophiaracna erinaceus dan Ophiocoma affinis.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 102-114 108 Nurafni et al. Struktur Komunitas Echinodermata p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN 2656 - 7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2687

2. Kepadatan jenis Hasil analisis kepadatan Echinodermata dengan nilai tertinggi pada stasiun I adalah 0.80 ind/m² (Holothuria atra) dan terendah 0.03 ind/m² (Acanthaster planci). Stasiun II dengan nilai tertinggi 0.50 ind/m² (Holothuria atra) dan terendah jenis Stichopus variegatus, Echinothrixcalamaris, Ophiaracna affinis, Ophiocoma brevipes dengan nilai 0.03 ind/m². Sedangkan pada stasiun III kepadatan tertinggi masih dari jenis Holothuria atra (0.63 ind/m²), terendah adalah jenis Acanthaster planci, Ophiaracna affinis, Ophiocoma brevipes dengan nilai rata - rata 0,03 ind/m². Holothuria atra memiliki nilai tertinggi untuk seluruh stasiun. Holothuria atra yang ditemukan di lokasi penelitian dengan substrat berpasir. Hal ini disebabkan oleh Holothuria atra memiliki kemampuan membenamkan diri untuk menghindari cahaya matahari.

Gambar 3. Kepadatan Jenis stasiun I

Holothuria atra menempeli badannya dengan butiran pasir halus, pasir yang menempel pada tubuhnya akan memantulkan cahaya dan membuat suhu tubuhnya lebih rendah (Elfidasari, 2012) sedangkan terendah jenis Acanthaster planci sebesar 0.02. Hal ini disebabkan karena pada setiap lokasi sampling spesies ini jarang ditemui karena tekstur substratnya yang mana spesies Acanthaster planci hidup di substrat berkarang. Tingginya kepadatan jenis Holothuria atra di tiga stasiun bahwa jenis ini memiliki tingkat toleransi yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis lainnya serta mampu memanfaatkan keanekaragaman jenis jasat renik di perairan sebagai makanannya (Hasbullah, 2017). Teripang jenis Holothuria atra biasanya hidup secara soliter atau sendiri dan menyukai substrat berpasir serta adanya lamun (Sese et al., 2018).

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 102-114 109 Nurafni et al. Struktur Komunitas Echinodermata p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN 2656 - 7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2687

Gambar 4. Kepadatan Jenis stasiun II

Dari ketiga stasiun penelitian untuk jenis bintang laut seperti Linckia laevigata dan Protoreaster nodosus memiliki nilai rata rata 0.13 – 0.31 ind/m². Kedua jenis ini masih dalam jumlah kategori sedang dibandingkan jenis Ophiaracna affinis, Stichopus variegatus dan Ophiocoma brevipes yang memiliki nilai paling rendah dari semua stasiun. Tinggi atau rendahnya diduga berkaitan dengan habitat yang cocok ataupun makanan yang mendukung (Setiawan, 2010).

Gambar 5. Kepadatan Jenis stasiun III

Indeks Keanekaragaman, Kemerataan dan Dominasi Indeks keanekaragaman (H’), kemerataan (E) dan dominasi (C) merupakan kajian indeks yang sering digunakan untuk menduga kondisi suatu lingkungan perairan berdasarkan komposisi biologis. Nilai dari indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominasi disajikan dalam Tabel 3. Tinggi rendahnya nilai indeks keanekaragaman jenis

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 102-114 110 Nurafni et al. Struktur Komunitas Echinodermata p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN 2656 - 7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2687 dapat disebabkan berbagai faktor, antara lain jumlah jenis atau individu yang didapat, adanya beberapa jenis yang ditemukan dalam jumlah yang melimpah, homogenitas substrat dan kondisi tiga ekosistem penting di daerah pesisir (padang lamun, terumbu karang dan ekosistem mangrove) sebagai habitat dari biota perairan. Berdasarkan hasil yang diperoleh nilai indeks keanekaragaman (H’) pada III stasiun yang diamati memiliki nilai H’ lebih dari 1 kurang dari 3. Jika nilai H’ lebih dari 1 maka nilai keanekaragaman jenis disuatu wilayah perairan termasuk dalam kategori sedang. Indeks keanekaragaman mengukur kelimpahan komunitas berdasarkan jumlah jenis dan jumlah individu dari setiap jenis pada suatu lokasi. Semakin banyak jumlah jenis maka akan semakin beragam komunitasnya. Hasil analisis indeks keanekaragaman jenis (H’) Echinodermata di ketiga stasiun penelitian 2.031 – 2.183 dan termasuk kriteria keanekaragaman jenis sedang sesuai dengan rumus dari Shannon Winner. Menurut Novianti et al., (2016) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis dikatakan sedang jika jumlah spesies dan jumlah individunya relatif sedang. Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Karuniasari (2013) bahwa keanekaragaman dipengaruhi oleh persebaran jumlah individu setiap jenis. Indeks kemerataan dari semua stasiun penelitian termasuk dalam kategori penyebaran jenis sangat merata. Nilai indeks kemerataan jenis menggambarkan seimbangan komunitas Echinodermata, semakin merata penyebaran individu antar jenis maka keseimbangan ekosistem akan semakin meningkat (Monika et al.,2019). Suatu komunitas bisa dikatakan stabil bila mempunyai nilai kemerataan mendekati angka 1 dan sebaliknya suatu komunitas bisa dikatakan stabil bila mempunyai nilai indeks kemerataan jenis mendekati angka 0.41 dan sebaliknya dikatakan tidak stabil jika mempunyai nilai indeks kemerataan jenis yang mendekati nilai 0.21 (Wibisono, 2005). Berdasarkan hasil yang diperoleh dari ketiga stasiun ini sama-sama termasuk pada komunitas yang sangat merata atau tersebar merata karena memiliki nilai kemerataan 0.806 - 1.125. Jika indeks kemerataan jenis tersebar sangat merata maka indeks keanekaragaman termasuk kategori sedang atau tinggi.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 102-114 111 Nurafni et al. Struktur Komunitas Echinodermata p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN 2656 - 7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2687

Tabel 3. Keanekaragaman Jenis (H’), Indeks Dominasi dan Kemerataan (E) Stasiun H' Kategori C Kategori E Kategori I 2.040 sedang 0.162 Tidak mendominasi 1.125 Sangat Merata II 2.031 sedang 0.158 Tidak mendominasi 0.847 Sangat Merata III 2.183 sedang 0.144 Tidak mendominasi 0.806 Sangat Merata

Nilai indeks dominan di ketiga stasiun penelitian berkisar 0.144 - 0.162. Hasil analisis dominasi menunjukkan bahwa tidak ada spesies yang mendominasi dengan nilai tidak mendekati 1 atau mendekati 0.5. Kualitas lingkungan sangat dipengaruhi oleh tingkat tekanan yang diterima oleh lingkungan tersebut. Tidak adanya jenis Echindermata yang mendominasi pada stasiun I, II dan III diduga karena karakteristik habitat yang hidup menyebar diseluruh zona perairan.

KESIMPULAN

Hasil analisis struktur komunitas yang terdiri dari kepadatan jenis, keanekaragaman jenis, dominasi dan kemerataan di tiga stasiun penelitian menunjukkan jenis yang memiliki kepadatan tertinggi adalah jenis Holothuria atra. Indeks keanekaraaman jenis termasuk dalam kriteria sedang (2.031 - 2.183), indeks dominasi di tiga stasiun penelitian tidak ada jenis yang mendominasi dengan nilai 0.144 - 0.162 dan indeks kemerataan termasuk dalam dua kriteria yaitu penyebaran jenis sangat merata pada tiga stasiun penelitian (0.806 - 1.125).

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, A. 1998. Pengaruh tekanan panas terhadap fauna Echinodermata. Jurnal Oseana, 13(3): 125-132. Barus, T.A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Darat. Medan: USU Press. Colin, P.L., Arneson, C. 1995. Tropical Pasific Invertebrates. Coral Reef Press. California USA. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kasinus. Yogyakarta. Elfidasari, D. 2012. Identifikasi Jenis Teripang Genus Holothuria Asal Perairan Sekitar Kepulauan Seribu Berdasarkan Perbedaan Morfologi. Jurnal AlAzhar Indonesia Seri Sains dan Teknologi. 1 (3). Elviana, S. Monika, N. 2019. Kandungan Fosfat dan Nitrat Kaitannya Dengan Keberadaan Gastropoda Pada Ekosistem Mangrove Di Perairan Kambapi, Kabupaten Merauke.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 102-114 112 Nurafni et al. Struktur Komunitas Echinodermata p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN 2656 - 7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2687

Musamus Fisheries and Marine Journal. 1 (1): 74-83. DOI:https://doi.org/10.35724/mfmj.v1i1.1630. Hasbullah. 2017. Keanekaragaman Jenis Teripang (Holothuroidea) di perairan Tanjung Kelit. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Maritim raja Ali Haji. Hutabarat S, Evans. 1985. Pengantar Oseanografi. Jakarta (ID): UI Press. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004. Tentang baku mutu air laut. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup. Krebs, C.J. 1989. Ecological Methodology. Harper Collins Publisher. NewYork. 649p. Karuniasari. A. 2013. Struktur komunitas makrozoobentos sebagai bioindikator kualitas perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta. Skripsi. FPIK. Universitas Padjadjaran. Koroy, K., Nurafni, Pina F. Analisis Ekosistem Pantai Sebagai Ekowisata Bahari di Pulau Kokoya Kabupaten Pulau Morotai. Musamus Fisheries and Marine Journal, 2 (1): 63-76. Ludwig, J.A., Reynolds. J.F. 1988.Statistical Ecology: A primer onmethods and computing. JohnWiley & Sons. New York. Monika, N., Merly, S. Kakumun, F. 2019. Struktur Komunitas Gastropoda di Sungai Digoel Distrik Edera Kabupaten Mappi. Musamus Fisheries and Marine Journal, 1(1): 64-73. doi: 10.35724/mfmj.v1i1.1626. Novianti, M., Rusyana, A., Romansyah, R. 2016. Keanekaragaman jenis Echinodermata Pada Berbagai Macam Substrat Pasir, Lamun dan Karang Di Perairan Pantai Sindangkertacipatujuh Tasikmalaya. Jurnal Pendidikan Biologi. 4 (1). Nurafni., Muhammad. S.H., Sibua, I. 2019. Keanekaragaman Jenis Echinodermata di perairan Ngele Ngele Kecil Kabupaten Pulau Morotai. Jurnal Ilmu Kelautan Kepulauan. 2 (2). Odum, E.P., 1994. Dasar-dasar Ekologi. Samingan T, penerjemah; Srigandono B, editor. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Fundamental of Ecology. Raghunathan, C.,Venkataraman. K. 2012. Diversity of Echinoderms in Rani Jhansi. Journal of Marine National Park, Andaman and Nicobar Islands. International Day for Biodiversity. 1 : 22 - 40. Rajab, W. D., Rumahega, A. S., Soamelo. A., Polnaya, D., Barend,s W. 2014 Keanekaragaman dan kepadatan Echinodermatadi Perairan Teluk Weda Maluku Utara. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 6 (1): 17-30. Sese, M.R., Annawaty., Yusron, E. 2018. Keanekaragaman Echinodermata (Echinoidea dan Holothuroidea) di Pulau Bakalan Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah Indonesia. Scripta Biologica. 5(2) : 73 – 77. Setiawan, F. 2010. Identifikasi Ikan Karang dan Invertebrat Laut. Manado. pp.278- 292. Supono., Arbi, U.Y. 2010. Struktur Komunitas Ekhinodermata di Padang Lamun Perairan Kema, Sulawesi Utara. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 6(3): 329-342. Wibisono, M.S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 102-114 113 Nurafni et al. Struktur Komunitas Echinodermata p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN 2656 - 7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2687

Yusron, E. 2013. Biodiversitas Fauna Ekhinodermata (Holothuroidea, Echinoidea, Asteroidea dan Ophiuroidea) Di Perairan Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, Vol 22, No (1), Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 102-114 114 Wairara & Pangaribuan. Pengaruh Pemberian Pakan p-ISSN 2654 -9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN 2656 - 7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2618

Pengaruh Pemberian Pakan Alami atau Buatan Terhadap Pertumbuhan Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Effect of Natural or Artificial Feed on Growth of Tilapia (Oreochromis niloticus)

Stenly M.B.S Wairara1, Rosa D. Pangaribuan1

1Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Indonesia *Korespondensi : [email protected]

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis komposisi nutrisi yang terkandung di dalam lumut kopyok dan menganalisis pengaruh pemberian pakan alami atau buatan terhadap pertumbuhan ikan nila (Oreochromis niloticus). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober - November 2019, bertempat di Laboratorium Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Musamus, menggunakan metode eksperimen dan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Hewan uji yang digunakan adalah ikan nila juvenile berukuran berat 5-7 g dan panjang 5-10 cm dan berjumlah 27 ekor. Ikan dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan, yaitu P1 (kelompok pakan PF500 MS PRIMA FEED ), P2 (kelompok pakan Takari), dan P3 (kelompok pakan alami tepung lumut kopyok) dan masing-masing kelompok berjumlah sembilan ekor ikan. Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari hari secara ad libitum selama 30 hari secara terus-menerus. Hasil penelitian menunjukan bahwa pertambahan berat mutlak pada kelompok P2 lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok P1 dan P3, pertambahan panjang mutlak P3 lebih tinggi dibandingkan P1 dan P2 dan tingkat kelulushidupan P2 lebih tinggi dibandingkan dengan P1 dan P3. Hal ini menjelaskan bahwa kandungan nutrisi terutama protein pada pakan harus bearada pada jumlah yang dibutuhkan, jika tidak maka kelebihan protein akan dilepaskan ke lingkungan berupa amoniak (NH3), peningkatan toksisitas amoniak dapat menyebabkan kerusakan insang dan ginjal, penurunan pertumbuhan, terganggunya sistem otak, dan kadar oksigen terlarut menjadi rendah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa hasil analisis proksimat komposisi nutrisi yang terkandung didalam pakan alami lumut kopyok terdiri dari 8.92% air, 10.63 % protein kasar, 0.83% lemak kasar, 18,68% serat kasar dan 29.42 % abu. Pertumbuhan ikan yang meliputi berat dan panjang tubuh mutlak serta tingkat kelulushidupan pada setiap kelompok perlakuan dipengaruhi oleh kandungan nutrisi pada jenis pakan yang diberikan, baik pakan alami atau buatan.

Kata Kunci: Oreochromis niloticus; lumut kopyok; Spyrogira sp.

ABSTRACT

The purpose of this study was to analyze the composition of nutrients contained in kopyok moss and analyze the effect of natural or artificial feed on the growth of tilapia (Oreochromis niloticus). This research was conducted in October-November 2019, located in the Department of Aquatic Resources Management Laboratory of the University of Musamus, using the experimental method and Completely Randomized Design (CRD). Test animals used were juvenile tilapia weighing 5-7 g and 5-10 cm long and amounting to 27 tails. Fish were divided into three treatment groups, namely P1 (PF500 MS PRIMA FEED feed group), P2 (Takari feed group), and P3 (kopyok moss natural feed group) and each group consisted of nine fish. Feeding is done twice a day on an ad libitum basis for 30 days continuously. The results showed that the absolute

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 115-130 115

Wairara & Pangaribuan. Pengaruh Pemberian Pakan p-ISSN 2654 -9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN 2656 - 7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2618 weight gain in the P2 group was higher than in the P1 and P3 groups, the absolute length increase in P3 was higher than in P1 and P2 and the survival rate of P2 was higher than in P1 and P3. This explains that the nutrient content, especially protein in the feed, must be in the amount needed, otherwise the excess protein will be released into the environment in the form of ammonia (NH3), increased ammonia toxicity can cause gill and kidney damage, decreased growth, impaired brain system, and dissolved oxygen levels become low. Based on the results of research conducted it can be concluded that the results of the proximate analysis of the nutritional composition contained in the natural feed of kopyok moss consists of 8.92% water, 10.63% crude protein, 0.83% crude fat, 18.68% crude fiber and 29.42% ash. Fish growth which includes absolute body weight and length and survival rate in each treatment group is influenced by the nutrient content of the type of feed given, either natural or artificial feed.

Keyword: Oreochromis niloticus; kopyok moss; Spyrogira sp.

PENDAHULUAN

Kabupaten Merauke merupakan salah satu kabupaten yang terletak di paling timur Indonesia tepatnya di Provinsi Papua (Wagemu et al., 2018). Kabupaten merauke berbatasan langsung dengan (PNG) dan Australia. Ekosistem perairan Merauke terdiri dari ekosistem perairan laut (pesisir), sungai dan rawa (Ulukyanan et al., 2019). Merauke dikelilingi oleh beberapa sungai-sungai besar sehingga keanekaragaman dari spesies yang berada di sungai cukup tinggi (Sunarni & Elviana, 2019). Salah satu spesies ikan yang hidup dan berada di sungai adalah ikan nila (Oreochromis niloticus). Ikan nila merupakan salah satu komoditas penting perikanan budidaya air tawar di Indonesia (Balai Penelitian Perikanan Air Tawar, 2014). Di Merauke, keberadaan ikan nila saat ini cukup melimpah di alam karena ikan ini merupakan jenis ikan omnivora. Oleh masyarakat, ikan nila dijadikan sebagai salah satu sumber protein sehingga permintaan terhadap konsumsi ikan nila menjadi cukup tinggi. Pakan merupakan salah satu faktor penting dalam meningkatkan laju pertumbuhan ikan nila (Balai Penelitian Perikanan Air Tawar, 2014). Pakan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan dalam upaya meningkatkan produktivitas ikan yang dibudidaya. Namun, permasalahan yang sering muncul pada pembesaran ikan adalah biaya pakan yang tinggi yang lebih dari 60 % dari total biaya produksi ikan yang dipelihara. Kebutuhan pakan yang sangat besar dapat menimbulkan permasalahan bagi petani ikan dimana harga pakan yang semakin mahal, sehingga makin memperbesar biaya produksi (Amri & Khairuman, 2003). Pakan merupakan salah satu faktor terpenting dalam menentukan kelangsungan hidup

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 115-130 116

Wairara & Pangaribuan. Pengaruh Pemberian Pakan p-ISSN 2654 -9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN 2656 - 7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2618 ikan, diantaranya laju pertumbuhan, perkembangan maupun kesehatan. Nutrisi yang diperlukan ikan meliputi karbohidrat, protein, lemak, mineral dan vitamin serta beberapa jenis asam amino esensial dalam jumlah cukup dan seimbang (Djarijah, 1995). Pada umumnya, pakan terbagi menjadi dua, yaitu pakan buatan dan alami. Pakan buatan yang digunakan sebagai pakan ikan nila biasanya berbentuk pelet buatan pabrik dan telah diketahui komposisi nutrisinya. Pakan alami biasanya berasal dari alam dapat berupa alga, fitoplankton, zooplankton, insekta maupun beberapa jenis tumbuhan air. Lumut kopyok adalah jenis alga spirogyra yang tumbuh dan berkembang di sawah atau kolam air tawar dan secara morfologi mirip seperti rambut dan berwarna hijau tua. Lumut kopyok merupakan salah satu jenis pakan alami yang menjadi makanan pada larva ikan nila dan biasanya digunakan oleh sebagian masyarakat di Merauke sebagai umpan alami untuk memancing ikan nila. Tingkat ketertarikan masyarakat terhadap umpan lumut kopyok cukup tinggi karena mudah di dapat dan mempunyai harga yang lebih murah dibandingkan pakan buatan. Selain murah, penggunaan umpan lumut kopyok juga cenderung menghasilkan tangkapan ikan nila yang cukup banyak karena tidak mudah hancur di dalam air dibandingkan dengan penggunaan pelet (pakan buatan). Apabila dilihat dari segi pemanfaatan, lumut kopyok memiliki potensi untuk dijadikan sebagai bahan baku utama pada pembuatan pakan ikan nila. Akan tetapi, saat ini kajian ilmiah tentang komposisi nutrisi lumut kopyok yang terdapat di Merauke belum banyak diketahui. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis komposisi nutrisi yang terkandung di dalam lumut kopyok dan menganalisis pengaruh pemberian pakan alami atau buatan terhadap pertumbuhan ikan nila.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai November 2019 dan dilakukan di dua tempat. Laboratorium Manajemen Sumberdaya Perairan Universitas Musamus untuk menganalisis pertumbuhan ikan Nila (Oreochromis niloticus) dan Laboratorium Kualitas

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 115-130 117

Wairara & Pangaribuan. Pengaruh Pemberian Pakan p-ISSN 2654 -9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN 2656 - 7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2618

Air Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin untuk melakukan analisis proksimat lumut kopyok.

Alat, bahan dan hewan uji

Akuarium, aerator listrik, incubator, timbangan analitik, satu set alat bedah ikan, saring ikan, ember. Lumut kopyok, air bersih, pakan buatan pabrik (PF500 MS PRIMA FEED dan merk Takari), tisu, sarung tangan, masker, aluminium foil.

Hewan uji yang digunakan adalah ikan Nila (Oreochromis niloticus) juvenil, berukuran panjang tubuh 5-10 cm dan berat tubuh 5-7 g.

Gambar 3. Ikan Nila (Oreochromis niloticus) (Sumber : Dokumentasi pribadi) Prosedur kerja

Sediaan uji pakan buatan Pakan buatan pabrik yang digunakan adalah jenis pakan komersil, yang terdiri dari

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 115-130 118

Wairara & Pangaribuan. Pengaruh Pemberian Pakan p-ISSN 2654 -9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN 2656 - 7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2618 dua jenis yaitu : PF500 MS PRIMA FEED, ukuran pakan 0.5-0.7 mm dan Takara floating Type, ukuran 1 mm. Jenis dan komposisi pakan buatan yang digunakan ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis dan komposisi pakan buatan yang digunakan

Komposisi (%) No Jenis pakan PK L S KA KAi K K 1 PF500 MS PRIMA FEED, ukuran pakan 0.5-0.7 mm 39-41 5 4 11 10 2 Takara floating Type, ukuran 1 mm 30 3 4 12 12 Keterangan : PK = Protein Kasar LK = Lemak Kasar SK =Serat Kasar KA = Kadar Abu KAi = Kadar Air

Pengumpulan lumut kopyok

Lumut kopyok yang digunakan sebagai pakan alami diperoleh dengan cara dibeli dari pedagang yang biasa menjual lumut kopyok di daerah Blorep Kabupaten Merauke.

Pembuatan sediaan uji pakan alami (tepung lumut kopyok)

Lumut kopyok segar diambil dan dibersihkan dengan cara membuang sisa ranting dan dedaunan tumbuhan lain yang menempel. Lumut kopyok yang digunakan sebanyak 10 kg. Setiap dua kg lumut kopyok diambil untuk dikeringkan dengan menggunakan incubator (oven). Lumut kopyok diambil dan diletakan diatas aluminum foil yang telah dibentuk menjadi segi empat dan diletakan di dalam incubator pada suhu 70°C. Lama pengeringan berkisar antara 2-3 hari (3x24 jam). Selama proses pengeringan terjadi penyusutan berat ±90% dari total berat. Dua kg lumut kopyok segar yang dikeringkan menghasilkan 200 g lumut kopyok kering. Sehingga jumlah total lumut kopyok kering dari total lumut kopyok segar yang dikeringkan adalah satu kg. Lumut kopyok kering diambil dan digerus dengan menggunakan mortar sampai halus kemudian disaring. Sebanyak 200 g tepung lumut kopyok diambil dan dipisahkan untuk dilakukan uji/analisis proksimat meliputi kadar air, abu, protein dan lemak kasar.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 115-130 119

Wairara & Pangaribuan. Pengaruh Pemberian Pakan p-ISSN 2654 -9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN 2656 - 7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2618

Aklimasi Hewan Uji Sebelum dilakukan pengujian, dilakukan aklimasi terhadap hewan uji selama tujuh hari untuk menyesuaikan tubuh ikan dengan kodisi tempat hidupnya yang baru. Ikan dipelihara dalam akuarium berisi air dan aerator. Setiap aquarium berisi 3-4 ekor ikan. Pemberian pakan dilakukan secara ad libitum, serta dilakukan penimbangan berat badan terhadap seluruh hewan percobaan selama pemeliharaan.

Penentuan Kelompok dan Jumlah Ulangan Hewan Uji

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Ikan yang digunakan berjumlah 27 ekor, dibagi dalam tiga kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri dari sembilan ulangan (perhitungan untuk setiap jumlah ulangan berdasarkan rumus Federer, 1967).

dengan T = jumlah kelompok dan n = jumlah ulangan untuk setiap kelompok Ikan dibagi dalam tiga kelompok, yaitu 1. Pakan buatan 1 yaitu kelompok yang diberi PF500 MS PRIMA FEED, ukuran pakan 0.5- 0.7 mm 2. Pakan buatan 2 yaitu kelompok yang diberi Takara floating Type, ukuran 1 mm 3. Pakan alami yaitu kelompok yang diberi tepung lumut kopyok

Prosedur pengujian pertumbuhan ikan nila

Menyiapkan sampel, alat dan bahan yang akan digunakan. Masukan air bersih ke dalam akuarium telah diberi label sesuai kelompok perlakuan. Pindahkan ikan satu persatu secara perlahan-lahan dari akuarium stock ke dalam akuarium yang telah berisi air sesuai dengan kelompok perlakuan yang telah ditentukan. Akuarium dengan kapasitas 12 L berisi

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 115-130 120

Wairara & Pangaribuan. Pengaruh Pemberian Pakan p-ISSN 2654 -9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN 2656 - 7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2618 tiga ekor ikan sedangkan akuarium dengan kapasitas 18 L berisi empat ekor ikan. Setelah lima menit, masukan batu air stone yang telah terhubung dengan aerator ke dalam akuarium kemudian nyalakan (sambungkan aerator dengan sumber listrik). Ikan diberi pakan secara ad libitum (melimpah) selama 30 hari berturut-turut Penimbangan berat badan dan pengukuran panjang badan dilakukan pada awal (minggu ke-0) dan akhir (minggu ke-4). Skema alur uji pengaruh pakan alami atau buatan terhadap pertumbuhan ikan nila dilihat pada gambar skema 4.

Gambar 4. Skema alur uji pemberian pakan alami atau buatan terhadap pertumbuhan ikan nila

Pertambahan berat tubuh ikan nila Pengamatan pertambahan berat tubuh ikan nila dilakukan untuk menganalisis pertumbuhan dengan cara merata-ratakan berat ikan. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus (Effendie, 1997). Wm = Wt-W0

Keterangan : Wm = Perambahan berat mutlak (gram) Wt = Berat rata-rata akhir (gram) Wo = Berat rata-rata awal (gram)

Pertambahan panjang tubuh ikan nila

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 115-130 121

Wairara & Pangaribuan. Pengaruh Pemberian Pakan p-ISSN 2654 -9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN 2656 - 7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2618

Pengamatan panjang tubuh dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan benih ikan nila, diukur dengan menggunakan penggaris dengan ketelitian 0,1 mm. Pengamatan pertumbuhan dengan menggunakan rumus (Effendie, 1997). yaitu Lm = Lt – Lo

Keterangan : Lm = Pertambahan panjang mutlak (cm) Lt = Panjang rata-rata akhir (cm) Lo = Panjangrata-rata awal (cm )

Tingkat kelulushidupan ikan nila Pengamatan kelulushidupan dilakukan dengan menghitung jumlah ikan nila yang ditebar pada awal dan jumlah yang hidup pada akhir pemeliharaan dengan menggunakan rumus (Effendie, 1997). SR=Nt/N0x100% Keterangan : SR = Tingkat Kelulushidupan (%) Nt = Jumlah ikan pada akhir pemeliharaan (ekor) N0 = Jumlah ikan pada awal pemeliharaan (ekor)

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Microsoft Office excel dan menggunakan standar deviasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan merupakan suatu perubahan ukuran dari individu, biasanya meningkat serta dapat diukur dalam unit panjang, berat atau energi (Wootton, 1995). Pertumbuhan didefenisikan sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat dalam satuan waktu, sedangkan pertumbuhan bagi populasi sebagai pertambahan jumlah. Pertumbuhan pada ikan dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal diantaranya keturunan, jenis kelamin, umur, parasit dan penyakit, sedangkan faktor eksternal adalah makanan dan fisik-kimia lingkungan. Pada penelitian ini dilakukan analisis terhadap pertumbuhan ikan nila yang meliputi berat dan panjang mutlak serta tingkat kelulishidupan

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 115-130 122

Wairara & Pangaribuan. Pengaruh Pemberian Pakan p-ISSN 2654 -9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN 2656 - 7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2618 pasca diberi pakan alami berupa tepung lumut kopyok atau pakan buatan selama 30 hari berturut-turut.

Hasil Analisis proksimat pakan alami Lumut Kopyok Hasil analisis proksimat lumut kopyok ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil analisis proksimat pakan alami tepung lumut kopyok

No Pakan Alami K O M P O S I S I (%) Air Protein Lemak Serat Abu BETN kasar Kasar Kasar 1 Tepung lumut kopyok 8.92 10.63 0.83 18.68 29.42 31.52 Keterangan : BETN = Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen

Pengukuran pertumbuhan ikan Nila (Oreochromis niloticus) Untuk mengetahui adanya pengaruh pemberian pakan alami atau buatan terhadap pertumbuhan ikan nila maka diukur beberapa parameter pertumbuhan diantaranya pertambahan berat tubuh mutlak (WM) dan panjang tubuh mutlak (LM) serta tingkat kelulushidupan (SR).

Pertambahan Berat Tubuh Mutlak (WM) dan Panjang Tubuh Mutlak (LM) untuk setiap kelompok hewan uji untuk setiap kelompok hewan uji

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 115-130 123

Wairara & Pangaribuan. Pengaruh Pemberian Pakan p-ISSN 2654 -9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN 2656 - 7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2618

Gambar 5. menunjukan perbedaan pertambahan berat mutlak untuk setiap kelompok hewan uji. Berat mutlak untuk kelompok perlakuan 1 atau 3 lebih rendah dibandingkan kelompok perlakuan 2. Hal ini menunjukan bahwa pakan buatan PF500 MS PRIMA FEED dan pakan alami tepung lumut kopyok lebih sedikit memberikan pengaruh pertambahan berat badan dibandingkan dengan kelompok pakan buatan Takari. Gambar 6 menunjukan perbedaan terhadap panjang tubuh mutlak untuk setiap kelompok hewan uji. Panjang tubuh mutlak untuk kelompok perlakuan 3 lebih tinggi dibandingkan kelompok perlakuan 1 atau 2. Hal ini menunjukan bahwa pakan alami lebih banyak memberikan efek pertambahan panjang tubuh pada ikan nila dibandingkan dengan kelompok 1 atau 2. Tingginya pertumbuhan berat mutlak pada kelompok 2 diduga disebabkan oleh kandungan nutrisi yang cukup optimal dan seimbang yang terdapat di dalam pakan. Menurut Meyer dan Pena (2001), kadar protein untuk ikan nila berkisar antara 25-35%. Rendahnya berat badan mutlak pada kelompok perlakuan 1 (komposisi protein 39-41 %) dibandingkan kelompok perlakuan 2 (komposisi protein 30%) diduga disebabkan oleh adanya kelebihan efisiensi penggunaan protein di dalam tubuh. Kelebihan protein ini menyebabkan protein dikatabolisme menjadi asam amino dan nitrogen (N) dan diekskresikan sebagai amoniak ke lingkungan. Amoniak merupakan hasil katabolisme protein yang diekskresikan oleh organisme dan merupakan salah satu hasil dari penguraian zat organik oleh bakteri. Amoniak di dalam air terdapat dalam bentuk tak terionisasi (NH3) atau bebas dan dalam bentuk terionisasi (NH4) (Umroh, 2007).

Menurut Silaban, et.al., (2012) tingginya kadar kandungan amoniak di dalam perairan menyebabkan terjadi perubahan kualitas air. Menurunnya kualitas air menyebabkan keracunan dan kekurangan oksigen serta berakibat mempercepat bibit penyakit dan mengakibatkan kematian. Menurut Meyer dan Pena, (2001) ikan tidak dapat mentolerir konsentrasi amoniak yang terlalu tinggi karena dapat mengganggu proses metabolisme di dalam tubuh yaitu bepengaruh terhadap permeabilitas sel, mengurangi konsentrasi ion dalam tubuh, meningkatkan konsumsi oksigen dalam jaringan, merusak insang dan mengurangi kemampuan darah mengikat oksigen dan terjadi gangguan pada sistem pencernaaan dan hilangnya napsu makan pada ikan. Hariadi et al. (2005) menjelaskan

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 115-130 124

Wairara & Pangaribuan. Pengaruh Pemberian Pakan p-ISSN 2654 -9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN 2656 - 7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2618 selain protein, ikan nila juga membutuhkan beberapa nutrisi lain seperti karbohidrat dan lemak untuk pertumbuhan. Secara umum karbohidrat yang terdapat dalam pakan dapat berupa serat kasar yang cukup sulit dicerna oleh ikan (Hariadi, et al.).

Tingkat toksisitas amoniak akan meningkat dengan peningkatan pH dan temperatur. Jika konsentrasi amoniak yang berada di perairan cukup tinggi, maka peningkatan toksisitas amoniak dapat menyebabkan kerusakan insang dan ginjal, penurunan pertumbuhan, terganggunya sistem otak, dan kadar oksigen terlarut menjadi rendah (Durborow et al, 1997). Batas konsentrasi kandungan amoniak yang dapat mematikan ikan nila adalah ≥ 0,2 mg/L (Popma dan Masser, 1999). Pertumbuhan ikan juvenile terjadi akibat adanya asupan makanan yang masuk kedalam tubuh dan diubah menjadi energi untuk aktivitas dan metabolisme. Ukuran bukaan mulut akan menjadi salah satu faktor mudah tidaknya proses masuk makanan ke dalam tubuh. Ukuran makanan ikan yang lebih besar dari bukaan mulut akan menyebabkan kemampuan memakan makanan akan terhambat dan pertumbuhan pun akan terhambat (Effendi, 1997).

Tingginya pertambahan panjang mutlak pada kelompok perlakuan 3 dibandingkan dengan kelompok perlakuan 1 atau 2 diduga disebabkan oleh ketersediaan nutrisi yang cukup seimbang yang terdapat di dalam pakan (tabel 2). Hal ini sejalan dengan pendapat Marzuqi, 2015, yang menjelaskan bahwa nutrisi mempunyai pengaruh yang besar terhadap kesehatan, pertumbuhan dan reproduksi ikan. Kekurangan salah satu nutrisi dapat menurunkan laju metabolisme pertumbuhan, menyebabkan penyakit sedangkan kelebihan nutrisi dapat menyebabkan laju pertumbuhan terhambat. Menurut Linder (1992), nutrisi merupakan salah satu aspek penting terhadap pertumbuhan ikan. Beberapa komponen nutrisi yang penting dan harus tersedia di dalam pakan ikan antara lain adalah protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan ikan berbeda menurut jenis dan ukurannya. Pada nutrisi ikan, protein merupakan komponen organik utama penyusun tubuh hewan yaitu berkisar antara 65-75% dan berperan sebagai sumber energi dan sebagai zat pembangun dan pengatur untuk pertumbuhan. Setiap ikan membutuhkan kadar protein yang berbeda-beda untuk pertumbuhannya dan dipengaruhi oleh umur/ukuran ikan, namun pada umumnya ikan membutuhkan protein sekitar 35 – 50% dalam pakannya (Hepher 1990). Ikan–ikan omnivora seperti ikan nila (Oreochromis

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 115-130 125

Wairara & Pangaribuan. Pengaruh Pemberian Pakan p-ISSN 2654 -9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN 2656 - 7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2618 niloticus) yang berukuran juvenil membutuhkan protein 35%, ikan mas (Cyprinus carpio) yang berukuran 121 gram membutuhkan 31,6% protein (Shimeno, Kheyyali dan Shikata 1995), ikan gurame (Osphronemus gouramy) yang berukuran 0,27 gram membutuhkan 43,29% (Mokoginta, 1994) dan yang berukuran 27 – 31 g membutuhkan 32% protein (Suprayudi, Setiyawati dan Mokoginta 1994).

Tingkat kelulushidupan untuk setiap kelompok hewan uji

Gambar 7. Tingkat Kelulushidupan masing-masing kelompok hewan uji

Gambar 7 menunjukan perbedaan terhadap tingkat kelulushidupan pada setiap kelompok hewan uji. Tingkat kelulushidupan pada kelompok perlakukan 2 lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan 1 atau 3. Hal ini menunjukan bahwa pakan buatan Takara lebih baik dalam mempertahankan keberlangsungan hidup ikan nila dibandingkan dengan pakan alami atau pakan buatan PF500 MS PRIMA FEE. Hal ini di duga bahwa pakan yang diberikan pada kelompok 2 lebih lama atau tidak mudah hancur/larut didalam air dibandingkan dengan paka alami dan pakan PF500 MS PRIMA FEE, sehingga konsumsi pakan lebih efisien dan pakan tidak mudah mencemari air. Menurut Marzuqi, 2015 menjelaskan bahwa ikan yang mendapatkan pakan yang berukuran tepat dengan ukuran bukan mulutnya dan tidak mudah hancur di dalam air akan dapat melangsungkan hidupnya dengan baik. Kualitas air merupakan faktor penting dalam budidaya ikan karena diperlukan sebagai media hidup. Namun, pada penelitian ini tidak dilakukan pengukuran kualitas air karena adanya keterbatasan alat di laboratorium.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 115-130 126

Wairara & Pangaribuan. Pengaruh Pemberian Pakan p-ISSN 2654 -9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN 2656 - 7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2618

Akan tetapi secara visual, kualitas air kelompok ikan pada perlakuan 1 atau 3 terlihat lebih keruh dibandingkan dengan kelompok perlakuan 2. Hal ini terjadi karena pakan yang diberikan pada kelompok perlakuan 1 atau 3 lebih mudah hancur di dalam air sehingga terjadi pengendapan dan mempengaruhi menurunnya kualitas air. Hal ini yang menyebabkan rendahnya tingkat kelulus hidupan pada kelompok perlakuan 1 atau 3. Air merupakan media hidup utama bagi organisme akuatik. Pertumbuhan ikan selain ditentukan oleh kualitas pakan, juga dipengaruhi oleh kualitas media hidup (air). Kualitas air merupakan parameter kunci sebagai pendukung dalam pertumbuhan dan kelangsungan hidup organisme akuatik. Suhu merupakan salah satu parameter kualitas air yang mempengaruhi keberlangsungan hidup ikan nila karena suhu mempengaruhi ketersediaan oksigen terlarut di dalam perairan. Suhu optimal untuk hidup ikan nila berkisar antara 14-38ºC, dan secara alami ikan nila akan memijah pada suhu 22-37ºC, dan suhu optimal untuk perkembangbiakan ikan nila berkisar antara 25-30ºC. Kisaran kualitas air yang optimal untuk ikan nila pada ukuran juvenile (5-7 cm) yaitu, suhu antara 25-30*C, DO 5 ppm, pH 6,5-8,5 dan batas konsentrasi amoniak yang dapat mematikan ikan berada pada 0,1- 0,3 mg/L (Arie, 1999). Boyd (1990) menjelaskan bahwa konsentrasi beracun amoniak terhadap kehidupan ikan air tawar untuk jangka waktu singkat adalah 0,7-2,4 mg/L, sedangkan konsentrasi amoniak yang aman bagi ikan adalah 0,01 mg/L.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa hasil analisis proksimat komposisi nutrisi yang terkandung didalam pakan alami lumut kopyok terdiri dari 8.92 % air, 10.63 % protein kasar, 0.83% lemak kasar, 18.68 % serat kasar dan 29.42 % abu. Pertumbuhan ikan yang meliputi berat dan panjang tubuh mutlak serta tingkat kelulushidupan pada setiap kelompok perlakuan dipengaruhi oleh kandungan nutrisi pada jenis pakan yang diberikan, baik pakan alami atau buatan. Nutrisi penting yang sangat diperlukan pada pertumbuhan ikan nila juvenile adalah protein, yaitu sekitar 35 %. Jika komposisi protein berlebihan maka akan dilepas ke lingkungan dalam bentuk amoniak yang dengan mudah mencemari kualitas air yang berpengaruh terhadap rendahnya berat serta panjang tubuh mutlak dan tingkat kelulushidupan dari ikan nila juvenil.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 115-130 127

Wairara & Pangaribuan. Pengaruh Pemberian Pakan p-ISSN 2654 -9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN 2656 - 7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2618

DAFTAR PUSTAKA

Amri, K., Khairuman, 2003. Budidaya Ikan Nila Secara Intensif. Agromedia Pustaka, Depok. 75 hlm.

Balai Pembenihan dan Budidaya Ikan Air Tawar. 2019. http://bpbiatmuntilan. teknik- pembenihan-ikan-gurami. diakses pada 16 Juli 2019.

Boyd, C. E. 1988. Water Quality in Warmwater Fish Pond. Fourth Printing. Auburn University Agricultural Experiment Station. Alabama, USA. 359 pp.

Boyd, C. E. 1988. Water Quality in Warmwater Fish Pond. Fourth Printing. Auburn University Agricultural Experiment Station. Alabama, USA. 359 pp.

Cholik, F. 2005. Akuakultur. Masyarakat Perikanan Nusantara. Taman Akuarium Air Tawar. Jakarta. Global Aquaculture. Advocade. 5(3): 36-37.

Davis, L. K., Fox, B. K., Lim, C., Lerner, D. T., Hirano, T. Grau, E. G. 2010. Effects Of 11-Ketotestosterone and Fishmeal in the Feed on Growth of Juvenile Tilapia (Oreochromis mossambicus). Aquaculture, 305: 143 -149.

Dharmawan, B. 2010. Usaha Pembuatan Pakan Ikan Konsumsi. Yogyakarta : Pustaka Baru Press.

Djarijah, A.S. 1995. Pakan Alami. Yogyakarta : Kanisius

Durborow, R., David M., Martin, W. 1997. Ammonia in Fish Ponds.Southern Regional Aquaculture Center, SRAC Publication 463.

Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta

Effendi. 2004. Biologi Ikan Nila. Yayasan Pustaka Nusatama. Jakarta. 54 hal.

Federer, WT. 1967. Experimental design, theory and application. Oxford and IBH Publ. Co. New Delhi, Ramsey SC, Galeano.

Ghufran, 2009. Budidaya Perairan. Buku Kedua. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Ghufran, M.H., Kordi, K. 2010. Budidaya Ikan Lele di Kolam Ikan Terpal. Lily Publisher, Yogyakarta.

Hariyadi Purwiyanto. 2005. Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST).

Khairuman. 2002. Membuat Pakan Ikan Konsumsi. Jakarta : Agromedia Pustaka

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 115-130 128

Wairara & Pangaribuan. Pengaruh Pemberian Pakan p-ISSN 2654 -9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN 2656 - 7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2618

Linné, Carl von. 1785 [1774]. Systema vegetabilium (edisi ke-13 dari Systema Naturae) [ A System of Vegetables 2 vols. ] Lichfield: Lichfield Botanical Societ . Diakses pada 13 Juli 2019.

Lingga, P. 1989. Petunjuk Praktis Penggunaan Pupuk. Jakarta: Penebus Swaday

Linder. Maria C 1992. Nutritional Biochemistry and Metabolism. California State University. Page: 165 - 170.

Meyer, D.E., P. Pena. 2001. Ammonia excretion rates and protein adequacy in diets for tilapia Oreochromis sp. World Aquaculture Society, 1: 61 - 70.

Mokoginta, I; M. A. Suprayudi, M. Setiawati. 1995. Kebutuhan nutrisi ikan gurami (Osphronemus gouramy, Lac.) untuk pertumbuhan dan reproduksi. Laporan penelitian hibah bersaing II/2 perguruan tinggi tahun anggaran 1995/1996. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyasarakat. Dirjen Pendidikan Tinggi Depdikbud. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor.

Mokoginta, I. 2003. Budidaya Pakan Alami Air Tawar. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Ponzoni, R. W., Khaw, H. L., Nguyen, N. H., Hamzah, A. 2010. Inbreeding and effective population size in the Malaysian nucleus of the GIFT strain of Nile tilapia (Oreochromis niloticus). Aquaculture. 302: 42-48.

Popma, T., Masser, M. 1999. Tilapia Life History and Biology. Southern Regional Aquaculture Center Publication No. 283.

Ramaraj, R., D. D-W. Tsai and P. H. Chen. 2013. Chlorophyll Is Not Accurate Measurement For Algal Biomass. Chiang Mai J. Sci, 40: 547 – 555.

Ramaraj, R., D. D-W. Tsai and P. H. Chen. 2014a. An Exploration Of The Relationships Between Microalgae Biomass Growth And Related Environmental Variables. J. Photochem. Photobiol. B, 135: 44 - 47.

Ramaraj,R., D. D-W. Tsai and P. H. Chen .2014b. Freshwater Microalgae Niche Of Air Carbon Dioxide Mitigation. Ecol. Eng, 68: 47 - 52.

Saanin, H. 1968. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Binacipta. Bandung.

Sayed, A. 1999. Onggok bahan baku pakan ternak. Sumber:http://peluangusaha. kontan.co.id/v2/read/1298616362/59930/Mengolah-limbah-singkong-menjadi- pakan- ternak-bergizi.

Silaban, T.F., Limin, S., Suparmono. 2012. Peningkatan Kinerja Filter Air Untuk

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 115-130 129

Wairara & Pangaribuan. Pengaruh Pemberian Pakan p-ISSN 2654 -9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN 2656 - 7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2618

Menurunkan Konsentrasi Amonia Pada Pemeliharaan Ikan Mas (Cyprinus carpio). Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan 1(1): 47 - 56.

Sunarni., Elviana, S. 2019. Kebiasaan makan Mudskipper Boleophthalmus pectinirostris (Linnaeus, 1758) di muara Sungai Maro Kabupaten Merauke, Papua. Musamus Fisheries and Marine Journal, 1(1), 84-88. https://doi.org/10.35724/mfmj.v1i1.1631.

Ulukyanan, K., Melmambessy, E., Lantang, B. 2019. Perbandingan hasil tangkapan ikan dengan jaring insang tetap (set gill net) pada siang dan malam hari di Sungai Kumbe Distrik Malind Kabupaten Merauke. Musamus Fisheries and Marine Journal, 1(1), 89-100. https://doi.org/10.35724/mfmj.v1i1.1633.

Umroh. 2007. Pemanfaatan Konsorsia Mikroorganisme Sebagai Agen Bioremediasi Untuk Mereduksi Amonia Pada Media Pemeliharaan Udang Windu (Penaeus monodon Fabricius). Jurnal Sumberdaya Perairan, 1(1):15 - 20.

Wagemu, N., Mote, N., Merly, S. 2018. Inventarisasi hasil tangkapan ikan yang didaratkan oleh kelompok penangkapan CCDP-IFAD di Payum Kelurahan Samkai Kabupaten Merauke. Musamus Fisheries and Marine Journal, 1(1), 49-55. https://doi.org/10.35724/mfmj.v1i1.1505.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 115-130 130

Sajriawati et al. Partisipasi Masyarakat Dalam Penanaman Mangrove p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN e 2656- -7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2677

Partisipasi Masyarakat Dalam Penanaman Mangrove

Community Participation in Planting of Mangroves

Sajriawati1*, Astaman Amir1, Edy HP Melmambessy1, Siti Masiyah1

1Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Universitas Musamus, Indonesia *Korespondensi: [email protected]

ABSTRAK Penelitian tentang partisipasi masyarakat dalam penanaman mangrove di Pantai Payum bertujuan untuk mengetahui siapa saja yang terlibat dalam penanaman mangrove dan apa saja tahapan dalam penanaman bibit mangrove. Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Pantai Payum Kabupaten Merauke selama 5 (lima) bulan dari Bulan Juli sampai November 2019. Penelitian menggunakan metode survey dan wawancara langsung ke masyarakat. Objek penelitian adalah masyarakat yang tinggal di Wilayah Pantai Payum beserta lembaga adat sebagai tokoh kunci dari penelitian. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif dengan melaporkan hasil temuan penelitian dalam bentuk gambar dan tulisan yang menggambarkan sesuatu yang sedang berlangsung saat dilakukan penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi langsung masyarakat dalam pengelolaan mangrove yaitu melalui tahapan penanaman mangrove berbasis kearifan lokal oleh masyarakat di Pantai Payum. Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat adat, ketua adat, kaum perempuan dan anak-anak yaitu sebanyak 68 kepala keluarga dengan jumlah bibit mangrove sebanyak 3.100 buah. Kegiatan penanaman bibit mangrove terdiri dari 4 (empat) tahapan yaitu pembibitan/penyemaian, membawa bibit mangrove ke lokasi penanaman, kegiatan penanaman, dan kegiatan pemeliharaan. Kata kunci: Partisipasi masyarakat; Mangrove; Pantai Payum

ABSTRACT Research on community participation in mangrove planting in Payum Coastal aims to find out who is involved in planting mangroves and what are the stages in planting mangrove seedlings. This research was conducted in the Payum Coastal of Merauke Regency for 5 (five) months from July to November 2019. The research used survey methods and direct interviews with the community. The object of research is the people who live in the Payum Coastal Region along with traditional institutions as key figures of the study. Analysis of the data used is descriptive analysis by reporting research findings in the form of pictures and writings that describe something that is ongoing when the research is conducted. The results showed that direct community participation in mangrove management is through the stages of planting mangrove based on local wisdom by the community in Payum Coastal. This activity was carried out by indigenous peoples, traditional leaders, women and children, namely 68 households with 3.100 mangrove seedlings. Mangrove seedlings planting activities consist of 4 (four) stages, namely nursery / seeding, bringing mangrove seedlings to the planting location, planting activities, and maintenance activities. Keywords: Community participation; Mangrove; Payum Coastal

PENDAHULUAN

Ekosistem mangrove digambarkan sebagai kumpulan dari pohon mangrove yang membentuk hutan mangrove yang biasanya tumbuh di daerah rawa atau muara sungai

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 131-141 131 Sajriawati et al. Partisipasi Masyarakat Dalam Penanaman Mangrove p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN e 2656- -7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2677

(Sianturi & Masiyah, 2018). Mangrove memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri karena mampu hidup di wilayah peralihan darat dan laut (Mathius et al., 2018). Manfaat ekosistem mangrove sangat banyak, baik dari segi daya dukung lingkungan, dari segi ekologis maupun manfaat bagi perekonomian. Ekosistem mangrove sebagai salah satu tempat hidup biota laut yang mendukung keberlanjutan rantai ekosistem (Kusmana, 1996).

Ekosistem mangrove banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan pembangunan, seperti melakukan konversi lahan mangrove menjadi lokasi wisata atau lokasi tambak, sehingga manfaat mangrove sebagai daya dukung ekosistem menjadi berkurang. (Redjeki, 2013). Terjadinya konversi lahan mangrove secara besar-besaran menyebabkan kerusakan eksosistem (Syahrial, 2019). Hal tersebut akan sangat berdampak bagi keberlanjutan eksosistem pesisir karena hilangnya fungsi mangrove. Mangrove berfungsi mencegah terjadinya intrusi air laut yaitu perembesan air laut masuk ke daratan sehingga tidak baik untuk dikonsumsi, mencegah terjadinya pengikisan tanah oleh aliran air laut (erosi) maupun pengikisan tanah karena ombak (abrasi) seperti yang dilakukan di Wilayah Pesisir Cirebon tepatnya di Kecamatan Kejaksan.

Mangrove juga berfungsi sebagai penyaring alami yang berfungsi mempercepat proses penguraian limbah yang masuk ke laut, mangrove berfungsi sebagai habitat atau rumah bagi beberapa hewan laut seperti ikan, udang, dan kepiting. Mangrove menjadi sumber nutrisi dan tempat berlindung bagi berbagai jenis hewan (Juliyanti, 2017). Melihat pentingnya peranan dan fungsi mangrove bagi kehidupan dan ekosistem, maka sangat penting untuk dilakukan upaya menjaga kelestarian ekosistem mangrove . Upaya menjaga kelestarian hutan mangrove tidak dapat dilakukan oleh pemerintah atau masyarakat saja, namun harus ada sinergi dari keduanya.

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam pengelolaan eksositem mangrove, salah satunya yaitu melalui penyuluhan akan pentingnya ekosistem mangrove, penanaman kembali dengan menyediakan bibit dan upaya pemeliharaan dengan melibatkan masyarakat (Stanis, 2017). Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove menjadi unsur yang paling penting. Masyarakat adalah orang-orang yang secara langsung terlibat dalam penggunaan dan pemanfaatan

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 131-141 132 Sajriawati et al. Partisipasi Masyarakat Dalam Penanaman Mangrove p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN e 2656- -7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2677

ekosistem mangrove. Masyarakat sangat penting untuk turut serta dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan pelestarian ekosistem mangrove. Pandangan masyarakat harus diubah bahwa ekosistem mangrove sangat penting bagi kehidupan dan lingkungan, sehingga apabila dirusak maka lingkungan juga akan ikut rusak dan tentunya akan mempengaruhi kondisi lingkungan masyarakt baik secara fisik maupun ekonomi.

Untuk di daerah Merauke terdapat juga kearifan lokal seperti di daerah Kampung Rawa Biru. Kepala Kampung Rawa Biru menyatakan bahwa di Rawa Biru masyarakat masih kuat memegang adat istiadat dan kearifan lokal, antara lain mereka punya system adat sasi. Adat sasi melarang setiap orang menggunakan senjata api atau bersenjata angina. Penancapan tiang sasi juga untuk menjaga kelestarian alam salah satunya adalah menjaga kelestarian habitat ikan asli Rawa Biru yaitu Ikan Arwana. Masyarakat yang melanggar akan menerima sanksi adat. Sularso, wakil Bupati Merauke dalam kunjungannya ke Rawa Biru mengatakan bahwa prosesi adat seperti sasi menunjukkan kesungguhan pemilik hak ulayat, bahwa mereka sepakat menjaga lingkungan (Kearifan Jaga Alam dari Kampung Rawa Biru, 2018).

Pantai Payum adalah salah satu wilayah di Kabupaten Merauke yang memiliki potensi mangrove yang cukup potensial. Wilayah ekosistem mangrove di Pantai Payum cukup potensial karena jaraknya sangat dekat dengan Ibu Kota Kabupaten dan dekat dengan pemukiman penduduk. Penelitian sebelumnya dilaporkan bahwa berdasarkan survey didapatkan data bahwa 85% masyarakat di Wilayah Pantai Nasem, Pantai Payum dan Pantai Kumbe menyatakan paham akan pentingnya mengelola ekosistem mangrove (Maria Widiastuti, 2018).

Penelitian tentang bentuk partisipasi langsung masyarakat dalam pengelolaan mangrove berbasis kearifan lokal sangat penting dilakukan untuk mengetahui seberapa besar keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove yang merupakan bagian dalam kegiatan pelestarian dan konservasi semberdaya alam.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 131-141 133 Sajriawati et al. Partisipasi Masyarakat Dalam Penanaman Mangrove p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN e 2656- -7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2677

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Pantai Payum Kabupaten Merauke selama 5 (lima) bulan dari Bulan Juli sampai November 2019.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

Penelitian menggunakan metode survey dan wawancara langsung ke masyarakat (Singarimbun, M. & Effendi, 1989). Objek penelitian adalah masyarakat yang tinggal di Wilayah Pantai Payum beserta lembaga adat sebagai tokoh kunci dari penelitian. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif dengan melaporkan hasil temuan penelitian dalam bentuk gambar dan tulisan yang menggambarkan sesuatu yang sedang berlangsung saat dilakukan penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kabupaten Merauke adalah salah satu bagian dari Provinsi Papua bagian selatan dengan batas-batas wilayah meliputi Kabuapaten Boven Digoel dan Kabupaten Mappi (sebelah utara), Negara Papua New Guinea (sebelah timur), Laut Arafura (sebelah selatan dan barat). Kabupaten Merauke memiliki luas 45.071 km2 atau setara dengan 11% wilayah Provinsi Papua (Bappeda Merauke, 2016) . Umumnya wilayah Kabupaten Merauke terdiri dari dataran rendah dan rawa serta pesisir pantai. Topografi Kabuapten Merauke umumnya datar dan berawa di sepanjang pantai sehingga sangat cocok bagi tumbuhnya ekosistem mangrove di beberapa wilayah salah satunya Pantai Payum. Mata pencaharian penduduk di Wilayah Pesisir Payum Kabupaten Merauke umumnya

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 131-141 134 Sajriawati et al. Partisipasi Masyarakat Dalam Penanaman Mangrove p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN e 2656- -7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2677

berprofesi sebagai nelayan, yang dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu nelayan dari kelompok pendatang dan nelayan dari masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat pantai (Kearifan Jaga Alam dari Kampung Rawa Biru, 2018).

Nilai kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat pesisir Payum tentu saja sangat erat kaitannya dengan pengelolaan ekosistem pesisir, termasuk di dalamnya ekosistem mangrove. Hal ini sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa masyarakat Papua yang dikenal sebagai orang pantai sangat meyakini bahwa laut memiliki sumber kekuatan yang dapat memberikan kesejahteraan bagi manusia yang menjaga keselarasan dengan penguasa laut (Djaya, 2018). Begitupun dengan masyarakat pesisir Payum berdasarkan wawancara dengan Ketua Adat menyatakan bahwa laut dan pantai harus selalu dijaga untuk bisa dimanfaatkan, karena manusia dan alam adalah satu kesatuan yang saling membutuhkan.

Wilayah pesisir pantai Payum didominasi oleh mangrove jenis Avicennia sp dan Rhizophora sp (Gambar 2 dan Gambar 3). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Masiyah & Taslim (Masiyah, 2016) yang menyatakan bahwa jenis mangrove di Wilayah Pantai Payum didominasi oleh jenis Avicennia sp dan Rhizophora sp.

Gambar 2. Mangrove jenis Avicennia sp di Pantai Payum

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 131-141 135 Sajriawati et al. Partisipasi Masyarakat Dalam Penanaman Mangrove p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN e 2656- -7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2677

Gambar 3. Mangrove jenis Rhizophora sp di Pantai Payum

Kegiatan penanaman bibit mangrove berdasarakan nilai kearifan lokal masyarakat pesisir pantai Payum adalah salah satu bentuk pengelolaan dan pelestarian pesisir terutama ekosistem mangrove. Kegiatan penanaman mangrove dilakukan oleh semua kalangan, mulai dari kepala keluarga, istri sampai anak-anak juga dilibatkan dalam kegiatan penanaman mangrove. Masyarakat adat biasanya akan mewariskan nilai kearifan lokal secara turun-temurun. Sehingga penanaman mangrove berbasis kearifan lokal di Pantai Payum diharapkan akan terus dipertahankan sampai ke generasi berikutnya (Nababan, 2010). Keterlibatan seluruh anggota keluarga dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 4 di bawah ini :

Tabel 1. Partisipasi Masyarakat dalam Penanaman Mangrove Jumlah Partisipasi Masyarakat Jumlah Bibit yang ditanam No (Kepala Keluarga) (Buah) 1 13 900 2 25 1.000 3 30 1.200 Total 68 3.100 Sumber : Data Primer, diolah 2019

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 131-141 136 Sajriawati et al. Partisipasi Masyarakat Dalam Penanaman Mangrove p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN e 2656- -7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2677

Gambar 4. Keterlibatan Kaum Perempuan dan Anak-Anak dalam Penanaman Mangrove

Kegiatan penanaman mangrove biasanya dilakukan secara bersama-sama oleh semua masyarakat pesisir, dengan dikoordinasi oleh Kepala Kampung dan Ketua Adat. Banyak nilai-nilai kaerifan lokal dari kegiatan ini, selain nilai pengelolaan pesisir juga masih terlihat nilai-nilai kebersamaan dan kekerabatan dalam masyarakat pesisir, terutama kekompakan dan kerjasama dalam keluarga. Kegiatan penanaman dimulai dari kegiatan pembibitan/penyemaian. Setelah bibit mangrove mulai tumbuh akar barulah kemudian dipindahkan untuk ditanam di pesisir yang telah ditentukan sebelumnya. Kegiatan pembibitan/penyemaian dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6 di bawah ini:

Gambar 5. Kegiatan Penyemaian Bibit Mangrove

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 131-141 137 Sajriawati et al. Partisipasi Masyarakat Dalam Penanaman Mangrove p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN e 2656- -7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2677

Gambar 6. Bibit Mangrove Hasil Persemaian

Setelah kegiatan pembibitan mangrove yang telah tumbuh akarnya dicabut untuk dipindahkan ke tempat penanaman mangrove (Gambar 7).

Gambar 7. Membawa Bibit Mangrove ke Lokasi Penanaman

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 131-141 138 Sajriawati et al. Partisipasi Masyarakat Dalam Penanaman Mangrove p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN e 2656- -7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2677

Kegiatan terakhir yang dilakukan adalah melakukan penanaman mangrove pada wilayah yang telah ditentukan, seperti yang terlihat pada Gambar 8. Namun sebelum melakukan penanaman dilakukan tahapan pembuatan lubang dengan jarak tanam antar bibit yaitu 1 m. Penanaman mangrove dikatakan berhasil apabila mangrove tumbuh subur, yang ditunjukkan daun-daun yang tampak hijau segar dan adanya pertumbuhan pucuk daun baru, dan sebaliknya. Penanaman mangrove dikatakan gagal apabila mangrove yang ditanam mati, ditunjukkan oleh daun dan batang yang mengering, menguning, sebagian layu, dan tidak adanya pertumbuhan pucuk baru.

Gambar 8. Penanaman Mangrove

Tahapan yang tidak kalah pentingnya adalah pemantauan pertumbuhan mangrove yang telah ditanam untuk mengetahui dan memastikan apakah mangrove tumbuh dengan baik dan penanaman berhasil dilakukan. Indikator keberhasilan partisipasi masyarakat dapat dilihat dari keikutsertaan masyarakat dalam penanaman mangrove sampai tahap pemeliharaan mangrove. Kegiatan penanaman hutan Mangrove telah banyak dilakukan di Indonesia, misalnya di Pesisir Pantai Timur Sulawesi Selatan (Arfan, 2017), di Pesisir Segarajaya, Kecamatan Tarumajaya Kabupaten Bekasi (Shahibah, 2017).

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 131-141 139 Sajriawati et al. Partisipasi Masyarakat Dalam Penanaman Mangrove p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN e 2656- -7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2677

KESIMPULAN Partisipasi langsung masyarakat dalam pengelolaan mangrove yaitu melalui tahapan penanaman mangrove berbasis kearifan lokal oleh masyarakat di Pantai Payum. Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat adat, ketua adat, kaum perempuan dan anak- anak yaitu sebanyak 68 kepala keluarga dengan jumlah bibit mangrove sebanyak 3.100 buah. Kegiatan penanaman bibit mangrove terdiri dari 4 (empat) tahapan yaitu pembibitan/penyemaian, membawa bibit mangrove ke lokasi penanaman, kegiatan penanaman, dan kegiatan pemeliharaan.

DAFTAR PUSTAKA

Arfan, A. (2017). Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Mangrove Di Pesisir Pantai Timur Sulawesi Selatan . Prosiding Seminar Nasional Biologi dan Pembelajarannya, hal. 239-244. Prosiding Seminar Nasional Biologi Dan Pembelajarannya, 239–244. Bappeda Merauke. (2016). Gambaran Umum Kabupaten Merauke. Https://Www.Papua.Go.Id/View-Detail-Kabupaten-121/Gambaran-Umum.Html. Djaya, M. (2018). Menjaga Laut Papua dengan Tradisi Balobe, Bemeti, dan Molo. Https://Www.Kompasiana.Com/Mulyadipapua, Di unduh pada tanggal 26 November 2019 pukul 20.00. Juliyanti. (2017). The Participation of Society In Mangrove Forest Management In Kesenden Village Kejaksan Subdistrict Cirebon City (Issue 1). Kusmana, C. (1996). Nilai Ekologis Ekosistem Hutan Mangrove. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Media Konservasi, 1, 17–24. Maria Widiastuti, N. R. dan T. A. (2018). Community Understanding and Participation to Mangrove Ecosystem Management in the Coastal Area of Arafura Sea, Merauke Districts. J. Sosek KP, 13(1), 111–123. Masiyah, S. dan T. A. (2016). Kondisi dan Jenis Mangrove di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Jurnal Ilmiah Agribisnis Dan Perikanan (Agrikan UMMU- Ternate), 9(2), 34–40. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004 Mathius, R. S., Lantang, B., & Maturbongs, M. R. (2018). Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Keberadaan Gastropoda Pada Ekosistem Mangrove Di Dermaga Lantamal Kelurahan Karang Indah Distrik Merauke Kabupaten Merauke. Musamus Fisheries and Marine Journal, 1(2), 33–48. https://doi.org/10.35724/mfmj.v1i1.1440 Nababan. (2010). Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat Adat, Tantangan dan Peluang. IPB. Bogor.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 131-141 140 Sajriawati et al. Partisipasi Masyarakat Dalam Penanaman Mangrove p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - ISSN e 2656- -7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2677

Redjeki, S. (2013). Komposisi dan Kelimpahan Ikan di Ekosistem Mangrove di Kedungmalang Jepara. Jurnal Kelautan, 18(1), 54–60. Kearifan Jaga Alam dari Kampung Rawa Biru, (2018). Shahibah Yuliani, N. S. H. (2017). Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Desa Segarajaya, Kecamatan Tarumajaya Kabupaten Bekasi. Jurnal Green Growth Dan Manajemen Lingkungan, 6(2), 42–53. Sianturi, R., & Masiyah, S. (2018). Estimasi Stok Karbon Mangrove Di Muara Sungai Kumbe Distrik Malind Kabupaten Merauke. Musamus Fisheries and Marine Journal, 24–32. Singarimbun, M. dan Effendi, S. (1989). Metode Penelitian Survei. LP3ES. Stanis, F. X. . L. dan S. (2017). Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove di Kelurahan Oesapa Barat Kota Kupang, Kawistara. 7(3). Syahrial, M. (2019). Status biota penempel pasca penanaman mangrove Rhizophora spp. di Kepulauan Seribu: Studi Kasus Filum Moluska. JFMR-Journal of Fisheries and Marine Research, 3(2), 46–57. https://doi.org/10.21776/ub.jfmr.2019.003.02.7

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 131-141 141 Diba & Basir. Pola Distribusi Sel Mast p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e -eISSN- 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2731

Pola Distribusi Sel Mast Pada Ikan Cakalang (Katsuwonus Pelamis) yang Terinfestasi Cacing Endoparasit Sebagai Pemicu Reaksi Anafilaksis

Distribution Patterns of Mast Cells on Skipjack (Katsuwonus Pelamis) Infested with Endoparasitic Worms as Triggers for Anaphylactic Reactions

Dewi Farah Diba1*, Buana Basir1

1Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan *Korespondensi : [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pola distribusi sel mast pada saluran usus ikan cakalang (Katsuwono pelamis) yang terinfestasi cacing endoparasit dan membuktikan adanya korelasi antara cacing endoparasit dengan sel mast yang selalu terlibat dalam respon hipersensitivitas. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juli 2018 di Tempat Pelelangan Ikan Paotere dan di Laboratorium Histologi Klinik Hewan Pendidikan Universitas Hasanuddin. Sebanyak 30 ekor ikan cakalang yang berasal dari TPI Paotere digunakan sebagai sampel penelitian. Ikan kemudian dibedah untuk diambil bagian dalam organ tubuhnya yang terinfestasi cacing endoparasit kemudian difiksasi. Preparat slide histopatalogis dilakukan dengan mengikuti prosedur mikroteknik dan pewarnaan hematoksilin-eosin kemudian diamati di bawah mikroskop. Hasil penelitian menunjukkan bahwa infestasi cacing endoparasit pada tubuh ikan cakalang dapat mengertak aktifnya sel mast. Sel mast terdistribusi hanya pada gonad, insang, dan jantung ikan cakalang (Katsuwonus pelamis).

Kata kunci : Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis); Sel mast; Cacing endoparasit

ABSTRACT

This study aims to examine the pattern of mast cell distribution in the intestinal tract of skipjack fish (Katsuwono pelamis) infested with endoparasitic worms and prove the correlation between endoparasitic worms and mast cells which are always involved in hypersensitivity responses. The study was conducted from May to July 2018 at the Paotere Fish Auction Place and the Animal Climatology Histology Laboratory of Hasanuddin University. A total of 30 skipjack fish originating from the Paotere TPI were used as research samples, the fish were then dissected to be taken inside the organs infested with endoparasitic worms and then fixed and made histopathologis slide preparations with microtechnique procedures and hematoxylin-eosin staining to be observed under a microscope. The results showed that the infestation of endoparasitic worms in the body of skipjack fish could grasp the active mast cells. Mast cells are distributed only to the gonads, gills, and heart of skipjack fish (Katsuwonus pelamis).

Keywords : Cakalang Fish (Katsuwonus pelamis); Mast cell; Enddoparasite worm

PENDAHULUAN

Indonesia kaya akan berbagai jenis ikan dan sumber daya laut yang sangat melimpah jumlahnya. Kegiatan perikanan memiliki andil yang besar dalam memenuhi kebutuhan

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 142-147 142 Diba & Basir. Pola Distribusi Sel Mast p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e -eISSN- 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2731 masyarakat Indonesia pada umumnya. Perikanan laut di Indonesia diperkirakan memiliki potensi lestari sebesar 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia. Salah satu jenis ikan yang menjadi komoditas bernilai ekonomis adalah ikan lajang, ikan cakalang. ikan tuna, dan ikan layang. Penangkapan ikan ini tersebar hampir di seluruh Indonesia khususnya pada daerah penangkapan disekitar laut Maluku, Sumatra, dan Sulawesi (Ditjen Perikanan Tangkap, 2007). Ikan sebagai produk pangan penting ternyata memiliki efek yang tidak baik bagi tubuh yakni dapat memicu reaksi anafilaksis atau alergi apabila tidak ditangani dengan benar dan dikonsumsi mentah atau kurang matang. Selain ikan, makanan laut yang juga dapat memicu reaksi anafilaksis atau alergi adalah kepiting, lobster, udang, kerang, tiram, remis,gurita, dan cumi-cumi (Candra et al., 2011). Anafilaksis atau alergi terjadi ketika sistem imun bereaksi secara berlebihan terhadap protein makanan laut. Pada reaksi anafilaksis atau alergi ini dapat menimbulkan gatal-gatal pada badan yang berkolerasi dengan sel mast. Sebagai tanggapan tubuh terhadap patogen, maka tubuh memproduksi histamin didalam basofil dan sel mast, dengan adanya histamin maka terjadi peningkatan permeabilitas kapiler-kapiler terhadap sel darah putih dan protein lainnya. Hal ini akan mempermudah sel darah putih dalam memerangi infeksi di jaringan tersebut (Irianto, 2005). Pada reaksi anafilaksis atau alergi ini akan dilepaskan histamin oleh sel mast dan sel basofil akibat rangsangan alergen cacing yang terikat pada imunoglobulin E (Ig E) dan sel eosinofil. Tingginya jumlah sel mast mengindikasikan tingginya histamin dalam granul sel mast dan diketahui akan menggertak terjadinya reaksi anafilaksis atau alergi pada manusia yang mengkonsumsi ikan, sehingga untuk menghindari reaksi anafilaksis atau alergi ikan harus dikonsumsi dengan cara yang tepat yakni dimasak hingga matang (Tiuria et al., 2007). Tujuan penelitian ini adalah mengkaji distribusi sel mast pada saluran usus ikan cakalang (Katsuwono pelamis) yang terinfestasi cacing endoparasit dan membuktikan adanya korelasi antara cacing endoparasit dengan sel mast yang selalu terlibat dalam respon hipersensitivitas.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 142-147 143 Diba & Basir. Pola Distribusi Sel Mast p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e -eISSN- 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2731

METODE PENELITIAN

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan formalin 10%, larutan laktofenol, alkohol. aquades, xilol, parafin, albumin, glyserin, heamatoxilin, eosin. Alat- alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah object glass, deck glass, dissecting set, staining jars. mikrotom, mikroskop, inkubator, hot plate, kamera.

Metode Penelitian

Tahapan penelitian ini dimulai dari koleksi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) di yang diambil secara acak dari TPI Paotere. Ikan cakalang diidentifikasi untuk menentukan kepastian spesies sebagai Katsuwonus pelamis dengan menggunakan buku identifikasi Saanin (1995). Ikan cakalang kemudian dibedah, dan dilakukan pengamatan organ gonad, insang, dan jantung, otot, lambung, hati ikan cakalang. Organ dalam tubuh yang terinfestasi cacing endoparasit yaitu organ gonad, insang, dan jantung kemudian dibuat preparat histologinya dengan metode mikroteknik dan pewarnaan Heamatoxilin Eosin (HE) (Diba, 2005).

Pengamatan

Pengamatan dilakukan dengan bantuan mikroskop cahaya dengan pembesaran 40x, dan 100x dan dilakukan pengambilan gambar. Gambar difokuskan keberadaan sel mast. Analisis data dilakukan secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan pembedahan yang dilakukan terhadap 30 ekor ikan cakalang, ditemukan 62 ekor cacing endoparasit yang menyerang bagian dalam organ tubuh ikan cakalang (Tabel 1). Tabel 1. Jumlah cacing yang menginfestasi organ ikan cakalang No Organ Jumlah Cacing 1 Gonad 25 2 Insang 21 3 Jantung 16

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 142-147 144 Diba & Basir. Pola Distribusi Sel Mast p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e -eISSN- 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2731

Cacing tersebut tergolong ke dalam anggota kelas Nematoda. Distribusi sel mast pada jaringan organ tubuh ikan yang terserang dapat dilihat pada Gambar 1. Gambaran sel mast dan kerusakan jaringan dapat dilihat pada gambar berikut ini : A. Organ Gonad Ikan Cakalang

Gambar 1. Terdapat akumulasi sel-sel radang di sekitar jaringan (panah hitam), termasuk diantaranya sel-sel Mast (panah orange). Selain itu terlihat mild hemorrhagie di sekitar jaringan yang ditandai dengan adanya sel-sel darah merah (panah merah). Pembesaran A: 50x, B: 100x, C: 500x. Pewarnaan HE. Sumber : Dokumentasi Pribadi

B. Organ Insang Ikan Cakalang

Gambar 2. Insang. Terjadi kerusakan struktur insang. Terlihat adanya akumulasi sel radang termasuk sel Mast (panah orange). Pembesaran A: 100x, B: 500x, Pewarnaan HE. Sumber : Dokumentasi Pribadi

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 142-147 145 Diba & Basir. Pola Distribusi Sel Mast p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e -eISSN- 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2731

B. Organ Jantung Ikan Cakalang

Gambar 3. Jantung Potongan memanjang. Terdapat akumulasi sel-sel radang (panah hitam) pada sekitar otot serta sudah terjadi akumulasi hemosiderin (panah kuning) akibat adanya hemorhagie. Selain itu terlihat sel Mast (panah orange). Pembesaran A: 100 x dan B: 500x. Pewarnaan HE. Sumber : Dokumentasi Pribadi

Hasil pengamatan organ tubuh ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang terserang oleh cacing endoparasit adalah bagian otot, gonad, usus, lambung, hati, insang, sirip, ekor, dan jantung. Sel mast terdistribusi hanya pada gonad, insang, dan jantung ikan cakalang (Katsuwonus pelamis). Sel mast mengandung histamin yang merupakan mediator utama dari reaksi alergi. Histamin tersimpan dalam granula sel mast sebagai komplek yang berikatan dengan proteoglikan dan protein (Foreman, 1994). Reaksi alergi digunakan untuk menunjukkan adanya reaksi yang melibatkan antibodi IgE (immunoglobulin E). IgE terikat pada sel khusus, termasuk basofil yang berada di dalam sirkulasi darah dan juga sel mast yang ditemukan di dalam jaringan. Jika antibodi IgE yang terikat dengan sel-sel tersebut berhadapan dengan antigen (dalam hal ini disebut alergen), maka sel-sel tersebut didorong untuk melepaskan zat-zat atau mediator kimia yang dapat merusak atau melukai jaringan di sekitarnya. Alergen bisa berupa partikel debu, serbuk tanaman, obat atau makanan, yang bertindak sebagai antigen yang merangsang terjadinya respon kekebalan. Sel mast merupakan suatu sel yang besar dan berbentuk oval dan berada di jaringan ikat, memiliki diameter 20-30µm, dan sitoplasmanya berisi Basophilic granules. Sel mast berfungsi untuk melepaskan substansi bioaktif yang berperan dalam proses inflamasi, imun bawaan, dan perbaikan jaringan (Fathoni et all, 2015). Sel mast melepaskan histamin

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 142-147 146 Diba & Basir. Pola Distribusi Sel Mast p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e -eISSN- 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2731 karena adanya rangsangan cacing yang terikat pada imunoglubin E (Ig E) dan sel eosinophil. Tingginya jumlah sel mast akan mengindikasikan tingginya histamine dalam granula sel mast dan diketahui akan menggertak terjadinya reaksi anafilaksis pada manusia yang mengkonsumsi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis). Anafilaksis atau alergi adalah suatu kelainan reaksi dari sistem imun yang berlebihan terhadap substansi spesifik allergen cacing yang mengakibatkan kerusakan jaringan.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sel mast terdistribusi hanya pada gonad, insang, dan jantung ikan cakalang (Katsuwonus pelamis).

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kepada DRPM atas Hibah Penelitian Dosen Pemula Tahun Anggaran 2018.

DAFTAR PUSTAKA

Candra Y. Setiarini A. Rengganis I. 2011. Gambaran Sensitivitas Terhadap Alergen Makanan. Makara Kesehatan Vol. 15, No. 1, Juni 2011. Diba DF, 2005. Struktur Histologi Badan Malpighi Nephron Ginjal Mencit (Mus musculus) Akibat Pemberian Parasetamol. Universitas Hasanuddin. Makassar. Ditjen Perikanan Tangkap, 2007. Laporan statistik perikanan. DKP Sulawesi Selatan. Fathoni MH, Noor Z. Poerwosiusuanto. 2015. Pengaruh Insuflasi Terhadap Jumlah Sel Mast Peritoneum Tikus. [Diakses 12 September 2018]. Irianto A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press. Saanin H. 1995. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan 1 dan 2. Cetakan ke 3. Bina Cipta. Bandung Tiuria R. Rahmat A.Haryadi1. Priosoeryanto B. 2007. Distribusi Sel Mast Pada Ikan Konsumsi Air Tawar dan Laut Yang Terinfestasi Cacing Parasitik Sebagai Pemicu Reaksi Alergi

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 142-147 147 Asy’ari et al. Uji Kandungan Bakteri p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - eISSN- 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2741

Uji Kandungan Bakteri Escherichia dan Salmonella sp. pada Sagu Ikan di Desa Dehigila, Kabupaten Pulau Morotai

Content Test of Escherichia and Salmonella sp. Bacteria on Fish Sago in Dehigila Village, Morotai Island Regency

Asy’ari1, Titien Sofiati1, Iswandi Wahab1*, Jana Sidin1

1 Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pasifik Morotai, Maluku Utara, Indonesia * Korespondensi: [email protected]

ABSTRAK

Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang memiliki kandungan protein yang sangat dibutuhkan manusia. Dewasa ini ikan telah banyak diolah menjadi produk yang mempunyai daya tahan yang lebih lama, manusia telah memanfaatkan ikan sebagai bahan campuran pada produk yang telah didiversifikasi. Diversifikasi produk perikanan agar ikan dimanfaatkan dalam bentuk yang lain seperti mie instan, biskuit, dan produk tradisional seperti pembuatan sagu lempeng yang dicampurkan dengan daging ikan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kandungan bakteri E. coli dan Salmonella sp. pada produk sagu yang dihasilkan. Penelitian ini dilakukan pada bulan September - Oktober 2019. Pembuatan sampel sagu ikan dilakukan di Desa Dehegila Kabupaten Pulau Morotai. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Lingkungan Universitas Khairun Ternate. Data yang diperoleh kemudian dipaparkan secara deskriptif analitik dan studi literatur. Dari hasil penelitian diperoleh sagu lempeng yang ditambahkan daging ikan cakalang serta pengunaan penyedap rasa. Berdasarkan hasil analisis pada semua sampel sagu adanya pertumbuhan bakteri dengan jumlah rata-rata <0.30, sedangkan untuk sampel Salmonella sp. pada sagu Ao dan A1 negatif / 25 g.

Kata kunci: Sagu ikan; E. coli; Salmonella sp.

ABSTRACT

Fish is one of the foodstuffs that has a protein content that is needed by humans. Nowadays fish have been processed into many products that have longer durability, humans have used fish as a mixture in diversified products. Diversification of fishery products so that fish can be used in other forms such as instant noodles, biscuits, and traditional products such as making sago plates mixed with fish meat. The purpose of this study was to determine the content of E. coli and Salmonella sp. on sago products produced. This research was conducted in September-October 2019. Sampling of fish sago was carried out in Dehegila Village, Morotai Island Regency. Sample analysis was performed at the Khairun University Ternate Environmental Laboratory. The data obtained were then presented in a descriptive analytic and literature study. From the results of the study obtained by sago plate added skipjack tuna meat as well as the use of flavorings Based on the analysis of all sago samples there was bacterial growth with an average number <0.30. While for Salmonella sp. on sago Ao and A1 negative / 25 g.

Keywords: Fish sago; E. coli; Salmonella sp .

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 148-164 148 Asy’ari et al. Uji Kandungan Bakteri p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - eISSN- 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2741

PENDAHULUAN

Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang memiliki kandungan protein yang sangat dibutuhkan oleh manusia, juga karena mudah dicerna. Selain itu, protein ikan juga mengandung asam amino dengan susunan yang hampir sama dengan susunan asam amino yang terdapat pada tubuh manusia. Venugopal (2010), menjelaskan bahwa kandungan protein yang dibutuhkan manusia untuk kebutuhan sehari-hari apabila protein tersebut terdapat sumber energi dan asam amino penting untuk pertumbuhan dan perbaikan sel. Ikan bersifat mudah rusak dan membusuk maka perlu adanya pengolahan untuk dijadikan sebagai produk. Dewasa ini, ikan telah banyak diolah menjadi produk yang mempunyai daya tahan yang lebih lama (Laratmase et al.,2019). Manusia telah memanfaatkan ikan sebagai bahan campuran dalam diversifikasi produk-produk perikanan lain yang dihasilkan. Menurut Ira (2011), diversifikasi adalah upaya mencari dan mengembangkan produk atau pasar baru, atau keduanya, dalam rangka mengejar pertumbuhan, peningkatan penjualan, profibilitas, dan fleksibilitas. Diversifikasi produk perikanan dimaksudkan ikan dicampurkan dengan bahan-bahan yang lain dan menghasilkan produk olahan yang lebih bevariasi seperti mie instan, biskuit dan juga produk-produk tradisional seperti sagu lempeng yang dicampurkan dengan daging ikan. Sagu lempeng merupakan makanan tradisional masyarakat Maluku Utara khususnya Kabupaten Pulau Morotai yang berbahan baku batang pohon sagu dan ubi kayu. Pada umumnya, sagu lempeng yang dikonsumsi oleh penduduk Morotai adalah sagu lempeng dengan bahan baku berupa ubi kayu (Koroy et al., 2019). Namun, produk ini memiliki kandungan proteinnya sangat rendah karena tidak ada penambahan bahan lain untuk meningkatkan kandungan protein didalamnya. Dari penelitian pendahuluan telah dihasilkan sagu ikan, yaitu produk sagu lempeng dengan penambahan daging ikan cakalang untuk meningkatkan nilai gizi sagu lempeng. Penelitian terhadap penambahan daging ikan dalam sagu telah dilakukan sebelumnya dengan menggunakan ikan madidihang (Tunnus albacares). Akan tetapi, penelitian ini tanpa menggunakan penyedap rasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan daging ikan berpengaruh terhadap penampakan, warna, aroma, rasa, dan tekstur sagu

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 148-164 149 Asy’ari et al. Uji Kandungan Bakteri p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - eISSN- 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2741

lempeng (Hasan, 2006). Penelitian pendahuluan juga telah dilakukan dengan penambahan daging ikan ikan cakalang dan penyedap rasa. Uji proksimat merupakan serangkaian pengujian zat yang terkandung pada bahan makanan, terdiri dari kadar air, abu, protein, karbohidrat, dan lemak (Suparjo. 2010). Hal yang perlu diperhatikan selain kandungan gizi (protein) pada suatu produk yaitu adanya kontaminasi mikroba. Makanan yang terkontaminasi oleh mikroba akan berbahaya bila dikonsumsi karena akan menimbulkan berbagai macam penyakit diantaranya typhoid, diare, dan keracunan makanan pada toksin yang dihasilkan mikroba. Kontaminasi mikroba yang paling sering dijumpai pada makanan adalah mikroba golongan Colifrom, yaitu Echerichia coli, Campylobacter, Lesteria, Vibrio, Toxoplasma, Salmonella, dan Norovirus. Sehingga untuk keamanan produk yang dihasilkan harus diketahui ada tidaknya mikroba pada produk. Oleh karena itu dilakukan uji bakteri E. Coli dan Salmonella sp. pada sagu yang dihasilkan. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dilakukan penelitian tentang uji proksimat dan uji bakteri E. coli dan Salmonella sp. pada sagu ikan di Desa Dehegila Kabupaten Pulau Morotai.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2019 di Desa Dehegila Kecamatan Morotai Selatan Kabupaten Pulau Morotai. Pada awal proses penelitian dilakukan pembuatan sagu ikan, kemudian dilakukan pengujian sampel sagu ikan terkait kadungannya pada Laboratorium Lingkungan Universitas Khairun Ternate. Adapun lokasi pembuatan sampel sagu ikan dapat dilihat pada Gambar 1.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 148-164 150 Asy’ari et al. Uji Kandungan Bakteri p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - eISSN- 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2741

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sampel produk sagu lempeng. Adapun formulasi bahan terlihat pada formulasi berikut yaitu Ao: Kontrol 100% sagu berbahan dasar ubi kayu dan A1: 34% pati ikan + 64 % pati ubi kayu + 16 % royco + 04% lada

Alat

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada uraian dibawah ini: 1. Alat pembuatan sagu ikan: Dalam proses pembuatan sampel sagu alat yang digunakan adalah mesin parut, mesin pengepres, wajan, karung, ayakan, baskom, loyang, timbangan, letakan sagu, forno, kulit jagung, papan penutup forno, dan jepitan sagu. 2. Alat untuk analisis proksimat Alat yang digunakan dalam uji proksimat adalah cawan porselen, oven, desikator, timbangan analitik, labu takar 100 ml, erleyenmeyer, kertas saring, soxhlet, danlabu kjeldahl.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 148-164 151 Asy’ari et al. Uji Kandungan Bakteri p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - eISSN- 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2741

3. Alat untuk analisis bakteri Alat yang digunakan dalam uji bakteri adalah cawan petri, buret, Autoklaf, coloni counter, incubator, blender, tabung reaksi, erlenmeyer, jarum ose, dan mikro pipet.

Prosedur Penelitian a. Proses pembuatan sampel sagu

Pembuatan sampel sagu dilakukan secara bertahap yang terdiri dari penyiapan bahan baku pembuatan sampel. Pembuatan pati sagu, agar dijadikan bahan baku utama dalam pembuatan sampel sagu ikan dengan penambahan daging ikan cakalang, dapat dilihat pada alur berikut :

Gambar 2. Alur pembuatan sagu lempeng

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 148-164 152 Asy’ari et al. Uji Kandungan Bakteri p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - eISSN- 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2741

Cara pembuatan produk sagu lempeng dengan penambahan daging ikan adalah pati ubi kayu yang telah diayak, dan ikan yang telah dihaluskan dicampur dan diaduk hingga merata kemudian ditambahkan penyedap rasa (royco dan lada) dicetak dan dimasukan kedalam forno yang telah dipanaskan, kemudian ditutup selama 15 menit, setelah itu dibuka dan diangkat sagu lempeng yang telah jadi siap disajikan. Tahap selanjutnya yaitu tahap penjemuran dimulai saat sagu lempeng yang telah matang diangkat dan didinginkan, dibiarkan selama satu malam pada wadah yang tidak lembab. Kemudian sagu lempeng dibelah empat dan disusun diatas meja, dijemur dibawah terik matahari dengan waktu(8 jam). Sagu lempeng yang telah dibuat sesuai dengan komposisi dibiarkan diwadah selama beberapa hari.

Uji Bakteri E. coli dan Salmonella sp. Pengujian bakteri dilakukan dengan beberapa tahap pengujian yaitu sebagai berikut. 1. Tahap pra-kayaan Metode ini didasarkan pada analisis 25 g atau 225 ml contoh dengan perbandingan 1:9 untuk contoh dan media pengkayaan (lactose broth = LB). Contoh yang akan di uji, kemudian di masukkan kedalam wadah atau plastik stomacher steril dan di tambahkan 225 ml larutan Lactose Broth (LB). dalammenghomogenkan contoh (Stomacher) seama 2 menit untuk dianalisis. Secara aseptis, dengan memindahkan larutan contoh dalam wadah steril yang sesuai. Inkubasi 24 jam ± 2 jam pada suhu 35oC ± 1 oC. Lanjutkan pengujian sesuai dengan prosedur.

2. Tahap pengkayaan Mengkencangkan tutup wadah dan kocok perlahan contoh yang diinkubasi. Untuk produk perikanan dengan tingkat kontaminasi ±tinggi, dengan memindahkan 0,1 ml larutan contoh kedalam 10 mil Rappaport-Vassiliadis (RV) medium dan 1 ml larutan contoh kedalam 10 mil Tetrathionate Broth (TTB); untuk jenis produk perikanan lain, dengan memindahkan 1 ml larutan contoh kedalam masing-masing 10 ml SCB dan 10 ml TTB.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 148-164 153 Asy’ari et al. Uji Kandungan Bakteri p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - eISSN- 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2741

Inkubasi TTB selama 24 jam ±2 jam pada suhu 42 oC ±0,2 oC (water bath). Inkubasi TTB dan SCB selama 24 jam ±2 jam pada suhu 35 oC ±1 oC (Inkubator).

3. Tahap Isolasi Mengocok tabung (dengan vortex) dan dengan mengunakan jarum loop (3 mm) gores TTB yang diinkubasi kedalam media HE, XLD dan BSA. Siapkan BSA sehari sebelum digunakan dan disimpan ditempat gelap pada suhu ruang. Gores kedalam media yang sama dari RV Broth atau SCB. Inkubasi cawan BSA, HE dan XLD selama 24 jam pada suhu 35 oC ±1 oC. Amati kemungkinan adanya koloni E. coli danSalmonella sp.

Pengamatan Morfologi E. coli dan Salmonella sp Mengambil 2 atau lebih koloni E coli dan Salmonella sp. dari masing-masing media agar selektif setelah 24 jam ±2 jam inkibasi. Pada Hectoen Enteri (HE) agar. Koloni hijau kebiruan sampai biru dengan atau tanpa inti hitam. Umumnya kultur Echerichia coli dan Salmonella sp. membentuk koloni besar, inti hitam mengkilat atau hampir seluruh koloni terlihat berwarna hitam.

Identifikasi Echerichia coli dan Salmonella sp 1) Uji Urease Dipindahkan 1 ose penuh dari TSI agar miring kedalam Urea Broth. Inkubasikan selama 24 jam ±2 jam pada suhu 35 oC±1 oC. 2) Uji biokimia Purple broth base dengan 0,5% Dulcitol Memindahkan1 ose dari TSI kedalam media dulcitol Broth. Kendurkan tutupnya dan inkubasi selama 48 jam ± 2 jam pada suhu 35 oC ± 1oC, tetapi amati setelah 24 jam. Pada umumnya Echerichia coli dan Salmonella sp.memberikan hasil positif, ditandai dengan pembentukan gas dalam tabung durham dan pH asam (kuning) pada media. Reaksi negatif di tandai dengan tidak terbentuknya gas pada tabung durham dan warna ungu (bromorcresol purple sebagai indikator) pada seluruh media.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 148-164 154 Asy’ari et al. Uji Kandungan Bakteri p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - eISSN- 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2741

B. Tryptone broth (TB) Memindahkan 1 ose TSI kedalam media Tryptone Broth. Inkubasi selama 24 jam suhu 35 oC ±1 oC selanjutnya ikuti prosedur di bawa ini: a. Potasium Cyanida (KCN) Broth Pememindahkan 1 ose dari TB 24 jam kedalam media KCN Broth. Tutup tabung rapat – rapat dan lapisi dengan kerta parafilm. Inkubasikan selama 48 jam ± 2 jam pada suhu 35 oC ±1 oC tetapi amati setalah 24 jam. Hasil positif ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan (ditandai dengan adanya kekeruhan). Umumnya E. coli dan Salmonella sp. tidak tumbuh pada media ini yang ditandai dengan tidak terjadinya kekeruhan. b. Manate Broth Memindahkan atau pisahkan 1 ose dari TB 24 jam kedalam media Malonate Broth. Inkubasi selama 48 jam ± 2 jam pada suhu 35 oC ±1 oC, dengan mengamati selama 24 jam. Kadang- kadang tabung Malonate Brot yang tidak diinokulasi berubah menjadi baru. Oleh karena itu gunakan Malonate Broth sebagi kontrol. Reaktif positif ditandai dengan perubahan warna menjadi biru. Umumnya E. coli dan Salmonella sp. memberikan nagatif (hijau atau tidak ada perubahan warna pada Broth ini. c. Uji Indol Dipindahkan TB 24 jam kedalam tabung kosong dan tambahkan 0,2 ml – 0,3 ml Reagen Covacs’. Amaati segera setelah penambahan Reagen. Reaksi positif ditandai dengan terbentuknya cincin merah pada permukaan media.Umumnya E. coli dan Salmonella sp. memberikan reaksi negatif ( tidak terbentuk cincin merah pada permukaan media). d. Uji Serologi Polyvalent Somatic (O) Diambil 1 ose kultur dari TSI (dari butir 8.3f) yang telah diinkubasikan selama 24 jam – 48 jam dan letakkan di atas gelas preprat, kemudian tetesi dengan larutan saline 0,85% steril dan emulsikan. Letakan 1 tetes E. coli dan Salmonella sp. Polyvalent Somatic (O) Antiserum disamping suspensi kloni. Campurkan koloni antiserum sedikit demi sedikit dengan suspensi koloni sampai tercampur sempurna. Lakukan kontrol dengan mengunakan larutan saline dan antiserum. Miringkan campuran tersebut ke kiri dan ke kanan, dan amati

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 148-164 155 Asy’ari et al. Uji Kandungan Bakteri p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - eISSN- 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2741

segera pada latarbelakang yang gelap. Positif apabila terjadi menggumpulkan pada larutan kultur dan dan tidak terjadi penggumpulan pada larutan kontrol.Negatif apabila tidak terjadi penggumpulan baik pada larutan kultur maupun larutan kontrol. 3) Uji Biokimia Tambahan Uji biokimia tambahan dapat dilakukan jika pada biakan masi diragukan adanya E. coli dan Salmonella sp.atau tidak.Lakukan uji biokimia tambahan jika pada biakan tidak diklasifikasikan sebagai E. coli dan Salmonella sp. a. Purple Lactose Broth Memindahkan 1 ose dari TSI agar miring yang telah diinkubasi selama 24 jam – 48 jam kedalam phenol red lactose atau Purple Lactose Broth. Inkubasi selama 48 jam ± 2 jam pada suhu 35 oC ±1 oC, tetapi amati selama 24 jam.Positif, apabila terjadi pembentukan asam (kuning) dan gas pada tabung durham. Apabila hanya terjadi pembentukan asam, maka dapat dinyatakan positif. Umumnya E. coli dan Salmonella sp. memberikan hasil negatif ditunjukkan dengan tidak terbentuknya gas pada tabung durhan dan warna merah (phenol red sebagai indikator) pada seluruh media. b. Purple Sucrose Broth Memindahkan 1 ose pada TSI agar miring yang telah diinkubasi selama 24 jam – 48 jam kedam phenol red sucroseatau purple sucrose broth. Inkubasi selama 48 jam ± 2 jam pada suhu 35 oC ±1 oC, tetapi amati secara 24 jam.Positif apabila terjadi pembentukan asam (kuning) dan gas pada tabung durham. Apabila hanya terjadi pembentukan asam, maka dinyatakan positif. Umumnya E. coli dan Salmonella sp. memberikan hasil negatif, ditunjukan dengan tidak terbentuknya gas pada tabung durham dan warna merah ( phenol red sebagai indikator) pada seluruh media. c. Medium MR-VP Memindahkan 1 ose pada TSI agar miring kedalam media MR-VP Broth dan inkubasikan selama 48 jam ± 2 jam pada suhu 35 oC ±1 oC. d. Lakukan Uji VP Memindahkan 1 ml MR-VP Broth yang telah diinkubasikan selama 48 jam ± 2 jam pada suhu 35 oC ±1 oC kedalam tabung reaksi steril dan inkubasikan kembali MR-VP Broth

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 148-164 156 Asy’ari et al. Uji Kandungan Bakteri p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - eISSN- 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2741

selama 48 jam ± 2 jam pada suhu 35oC ±1oC untuk pengujian Methyl red. Tambahkan 0,6 ml Alpha Alphanaphtol dan kocok. Tambahjkan 0,2 ml larutan 40% KOH dan koccok kembali. Untuk mempercepat reaksi tambahan sedikit Kristal kreatin, dan amati hasilnya selama 4 jam. Perubahan warna menjadi merah muda eosin sampai merah mirah delima (ruby) pada media penunjukan reaksi positif. Umumnya E. coli dan Salmonella sp. memberikan reaksi VP negatif. e. Lakukan Uji MR Menambahkan 5 tetes – 6 tetes indikator Methyl Red kedalam media MR – VP yang telah diinkubasi selama 96 jam. Amati hasilnya dengan segera.Umumnya E. coli dan Salmonella sp. memberikan reaksi positif, ditandai dengan terjadinya difusi warna merah pada media. Terjadinya warna kuning menunjukkan reaksi negatif. f. Simmon Citrat Agar Memindahkan 1 ose dari TSI agar miring kedalam media Simmon Citrat Agar dengan cara mrnggores agar miring dan menusuk agak tegak. Inkubasikan selama 96 jam ± 2 jam pada suhu 35oC ±1oC.Positif,apabila terjadi pertumbuhan yang biasanya diikuti dengan perubahan warna dari hijau menjadi biru. .Umumnya E. coli dan Salmonella sp. memberikan hasil citrate positif, Negatif, apabila tidak ada atau sedik sekali pertumbuhan dan tidak terjadi perubahan warna.

Analisis Data Hasil analisis laboratorium dipaparkan secara deskriptif analitik dan studi literatur.Metode deskriptif analitik adalah suatu metode yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data atau sampel yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 148-164 157 Asy’ari et al. Uji Kandungan Bakteri p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - eISSN- 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2741

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Lokasi Penelitian

Desa Dehegila merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Morotai Selatan yang terletak diwilayah Kabupaten Pulau Morotai. Bagian Selatan berbatasan dengan Desa SP 1, bagian utara berbatasan dengan Desa Raja, bagian barat berbatasan dengan perkebunan rakyat, dan bagian timur berbatasan dengan Desa SP 3. Umumnya masyarakat Desa Dehegila bermata pencarian sebagai tani dan nelayan, Desa Dehegila juga dikenal sebagi pembuat sagu lempeng.

Analisis Uji Bakteri Analisis uji bakteri merupakan suatu cara atau perlakuan yang dilakukan untuk mengidentifikasi suatu biakan murni bakteri dari hasil isolasi melalui sifat-sifat fisiologinya. Analisis uji bakteri pada bahan pangan merupakan analisis yang digunakan mengidentifikasi mikroorganisme pada sampel uji pangan melalui pengujian laboratorium. Pengujian laboratorium dalam rangka pengawasan mutu secara mikrobiologis untuk menghitung jumlah koloni, mengisolasi, dan mengidentifikasi bakteri patogenyang mungkin ada (Sudian, 2008). Bakteri E. Coli dan Salmonella sp. adalah bakteri yang banyak ditemukan pada suatu bahan pangan salah satunya pada produk olahan makanan dan minuman (Aqmarina dan Hermawati, 2014). Untuk mengetahui adanya pertumbuhan bakteri pada suatu produk sagu harus melakukan analisis uji bakteri yang dilakukan dilaboratorium. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dilaboratorium dapat dilihat pada Tabel 6 berikut: Tabel 1. Nilaiuji bakeri E. coli dan Salmonella sp. Dari sagu ikan Hasil Uji Sampel Satuan A0 A1 E. coli APM/g <0,30 <0,30 Salmonella sp. /25 g Negative Negative Ket: A0 = Sagu tanpa penambahan ikan; A1 = sagu dengan penambahan ikan dan penyedap rasa.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 148-164 158 Asy’ari et al. Uji Kandungan Bakteri p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - eISSN- 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2741

Bakteri E. coli

Bakeri E. coli merupakan mikroba yang paling umum digunakan sebagai indikator adanya pencemaran feses dalam air, bahkan makanan maupun minuman, termasuk berbagai jenis produk makanan. E. coli merupakan mikroba dari kelompok colifrom secara keseluruhan bukan flora normal dalam air, makanan ataupun minuman, sehingga keberadaannya dapat dianggap sebagai petunjuk terjadinya pencemaran pada bahan pangan sehingga terjadi kontaminasi baik dari pencemaran yang berasal dari kotoran manusia maupun hewan (Purnawijayanti, 2001). Penanganan sanitasi yang kurang baik dapat menyebabkan terjadinya hal-hal yang merugikan manusia seperti keracunan (Handayani dan Werdeningsih, 2010). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dilaboratorium yang terdiri dari dua sampel yaitu sagu ubi kayu (Ao) dan sagu ikan (A1) dikultur pada media EMBA serta dilakukan uji biokimia terhadap koloni. Berdasarkan hasil identifikasi bakteri E. coli dari dua sampel terdapat adanya sedikit pertumbuhan isolat bakteri E. colisebesar<0,30 APM/g sesuai dengan standar mutu 10 APM/g.

Bakteri Salmonella sp.

Bakteri Salmonella sp. merupakan salah satu indikator keamanan pangan. Hal ini dapat menjadi indikasi dari cemaran jenis mikroba terutama bakteri Salmonella sp. karena sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Oleh sebab itu, berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh badan pengawas obat dan makanan (2009) bahwa bahan pangan dan produk perikanan tidak boleh mengandung bakteri Salmonella sp. cemaran mikroba jenis Salmonella sp. harus negatif. Berdasarkan hasil analisis laboratorium dari Tabel 6 diatas menunjukan bahawa, pada kedua sampel sagu tidak terdeteksi adanya pertumbuhan bakteri Salmonella sp. dan hasilnya rata-rata negatif, pada media HE, BSA, XLD tidak ada yang menunjukan ciri khas diduga bakteri Salmonella sp.Hal ini menunjukkan bahwa sagu ikan yang dihasilkan aman dan sesuai dengan standar mutu bahan pangan yaitu hasil uji Negatif/25 g sampel.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 148-164 159 Asy’ari et al. Uji Kandungan Bakteri p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - eISSN- 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2741

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. Berdasarkan hasil analisis pada semua sampel sagu adanya pertumbuhan bakteriE. coli dengan nilai sebesar <0,30 APM/g.Sedangkan untuk sampel Salmonella sp. pada sagu Ao dan A1 negatif. UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa di Lingkup Program Studi Teknologi Hasil Perikanan yang telah berpartisipasi dalam pengambilan data penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Andriyani, P., Nurhayati, T., Suseno, S.H.. 2017. Pengaruh Oksidatif Minyak Ikan Untuk Pangan. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 20(2): 275 - 285.

Anonim., 2008. Pengujian Mikrobiologi Makanan. InfoPOM Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 9 (2). Maret 2008. [cited 2014,Sep13] .Availablefrom:http://perpustakaan.pom.go.id/KoleksiLainnya/Buletin%20Info %20POM/0208.pdfBPOM RI.

Anonim, 2009. Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia Dalam Makanan. www.codexindonesia.bsn.go.id/ (5 Maret 2014). BPOM RI.

Arisman. 2009. Gizi dalam daur kehidupan EGC. Jakarta: 193-195.

Brooks, J & D. W. Rusel. 2008. Rapid Isolation of Yeast DNA CSH protocols.

Depkes, Permenkes RI Nomor.722/Menkes/Per/X/1999, Bahan Tambahan Pangan Jakarta : Depkes RI. 1999.

Dzen, J. M. 2008. Bakteriologik Medik, 187-197, Malang, Bayumedia.

Efendi 2014. Pengaruh Diversifikasi Program Studi Terhadap Minat Kuliah Mahasiswa Pada Universitas Islam Negeri Alaudin Makasar.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 148-164 160 Asy’ari et al. Uji Kandungan Bakteri p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - eISSN- 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2741

FAO. 1993. Food Agricultural Organization,1983.An annoted and ilusrated cataloque of Tunas, mackarls, Benitos and Rwlated Spesies Known to Date. Rome:Food and Agriculture of United Nations.137 PP.

Fardiaz, S. 1997. Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis. Pelatihan Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan Bagi Staf Pengajar. Kerja Sama Pusat Studi Pangan dan Gizi (CFNS)-IPB dengan Dirjen. Bogor, 21 Juli-1997.

Fausan 2011. Pemetaan Darah Potensial Penangkapan Ikan Cakalang( Katsuwonus pelamis)Berbasis Sistem Informasi Geografis Teluk Tomini Provinsi Gorontalo. (Skripsi). Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Hasanuddin Makasar.

Girard F, I. Batisson, J. Harel and J.M. Fairbrother.2003. Use of Egg Yolk-Derived Immunoglobulins as an Alternative to Antibiotic Treatment for Control of Attaching and Efafacing Escherichia coli Infection.

Hajiana L. 2018. Sifat Kimia dan Organoleptik Brwonis Kukus dari Propersi Tepung Mocaf dan Terigu. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia

Handayani dan Sundari. 2015. Komposisi kandungan gizi ubi kayu dan berbagai olahannya.

Handayani H.R. & W.Werdeningsih. 2010. Kondisi Sanitasi dan Keracunan Makanan Tradisional. Agroteksos. 20(2-3): 131-138.

Hasan, A. 2006. Skripsi Suplementasi daging ikan pada pembuatan sagu lempeng terhadap daya suka masyarakat.

Ira. 2011. Pengaruh Diversifikasi Usaha Terhadap Profibilitas dengan Leverage Sebagai Fariabel Intervening Studi Empiris Pada Perusahaan Sektor Barang Konsumsi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2008-2010. Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Irianto, 2006. Riped Isolation of Yeast DNA CSH protocols

Irianto, H.E, GiyatmiM S. 2009. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Penerbit Universitas Terbuka Jakarta.

Ispandi,A,. Hartono, K., 2001. Teknologi Pengembangan Produksi Ubi Kayu, Balitkabi, Malang.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 148-164 161 Asy’ari et al. Uji Kandungan Bakteri p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - eISSN- 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2741

Jading, A., Tethool, E,, Payung, P., Gultom, S. 2011. Karakteristik Fisikokimia Pati Sagu Hasil Pengeringan Secara Fludisasi Mengunakan Alat Pengering Cross Flow Fluidized Bed Bertenaga Surya dan Biomasa. J Rektorat 13: 155-164.

Jhon M. 1997. Kimia Makanan. Diterjemahkan: Padmawinata, K. Bandung :ITB

Jawet’z Menick, Adelberg’s. 2005. Mikrobiologi kedokteran, jakarta: Salemba Medika.

Kolter, P. Armsterong, G. 2008. Prinsip Prinsip Pemasaran Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Koroy, K., Nurafni, N., Pina, F. 2019. Analiysis of Coastal Ecosystem A Marine Ecotourism at Kokoya Island, Morotai Island District. Musamus Fisheries and Marine Journal, 2(1): 63-76. https://doi.org/10.35724/mfmj.v2i1.2231

Komposisi gizi ikan Kastuwonus pelamis menurut Depertemen of Health, Education and Walfare (USA) (1972) dalam Maghfiroh (2000).

Kordi, M. 2010. Budidaya Ikan Patin di Kolam Terpal. Lily publisher. Yogyakarta.

Latief. 2006. Karakteristik Sifat Fisik Tepung Ikan serta Tepung Daging dan Tulang.http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/32665/D06fla.pdf?Se quence=1, akses 20 Febuari 2013.

Laratmase, E., Mote, N., & Melmambessy, E. 2019. Iktiodiversitas di Sungai Wanggo Kampung Erambu Distrik Sota Kabupaten Merauke. Musamus Fisheries and Marine Journal, 1(1): 56-63. https://doi.org/10.35724/mfmj.v1i1.1625.

Lesmana M. 2003. Enterobacteriaceae: Sumunela & Shigella. FK Universitas Trisakti, Jakarta.

Litaay, C. 2012. Fortifikasi Tepung Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Terhadap Karakteristik Mie Sagu. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Maghfiroh, 2000. Pengaruh Penambahan Bahan Pengikat Terhadap Karakteristik dari Ikan . Skripsi, Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Mahmud, M. K., N. A. Hermana, I. Zulfianto, R.. R. Ngadiarti, B. Apriantono, Hartati, Bernadus dan Tinexelly. 2008. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. PT Elex Media Komputindo. Kompas Gramedia. Jakarta.

Marianto D, M Ariani 2005.Analisis Konsumsi Pangan Rumah Tangga. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. Jakarta.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 148-164 162 Asy’ari et al. Uji Kandungan Bakteri p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - eISSN- 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2741

Mukhsinatunisa, 2013.Analisis Kadar Air Dalam Bahan Makanan. http:// mukhsinatunisa.blogspot.cpm/2013/laporan-praktikum-kadara-air.htm.

Najiati dan Danarti, 2002.Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian.

Ningrum, E.N.1999.Kajian Teknologi Pembuatan Tepung Ubi Jalar Instan Kaya Pro- Vitamin. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB.Bogor.

Pratama, R. I., Lis R. Yusuf A. 2013. Komposisi Kandungan Senyawa Flavor Ikan Mas dan Hasil Pengukusannya, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Padjajaran, Bandung, Jurnal Akuatika Vol. IV No.1/Maret 2013.

Purnawijayanti, H. A. 2001. Sanitasi Higiene dan Keselamatan Kerja Dalam Pengolahan Makanan. Yogyakarta : Kanisius.

Rusky I, Iis R, Evi L. 2014. Karakteristik Biskuit dengan Penambahan Tepung Tulang Ikan Jangilus (Istiphorus Sp.) Jurnal. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran.Bandung.

Siagian, A. 2002. Mikroba Patogen Pada Makanan dan sumber pencemarannya. USU Digital Libray. FKM. Univ. Sumatera Utara. Then Human Body. Chapman and Hall. London.

Sebranek J.2009. Basic curing ingredients. Di dalam: Tarte R, editor. Ingredients in Meat Product. Properties, Functionalityand Applicatons. Springer Science. NewYork.

Soeparno, 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan III, Gadja MadaUniversity Press, Yogyakarta.

Sudermadji, S., B. Haryono dan Suhardi (1996). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberay. Yogyakarta.

Sudian, S. 2008.Pengujian Mikrobiologi Pangan. Infopom Badan Pengawas Obat dan Makanan Repoblik Indonesia,9:1-9. Jakarta.

Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta

Sudarmadji, 2007. Analisis Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.

Sugiono, 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R& D, Bandung : Al Tabeta.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 148-164 163 Asy’ari et al. Uji Kandungan Bakteri p-ISSN 2654-9905 www.ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish e - eISSN- 2656-7008 doi: 10.35724/mfmj.v2i2.2741

Sugito, dan Hayati, 2006. Penambahan Daging Ikan dan Aplikasi Pembekuan Pada Pembuatan Pempek Gluten. Jurusan Teknologi Pertanian. Palembang : Universitas Sriwijaya. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. 8(2).

Suismono, Nur Richan dan Suryanti. 2006.Pedoman Teknis Pengolahan dan Pemanfataan Kasava. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca panen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.

Suprapti, L, 2005. Teknologi pengolahan pangan, produk olahan ikan.penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Suparjo. 2010.Analisis Bahan Pangan Secara Kimiawi : Analisis Proksimat dan Analisis Serat. Fakultas Peternakan Universitas Jambi. Jambi.

Suswono.2004. Bahan pangan dan Ikan. Penerbit Asdi Mahasatya. Jakarta.

Susanna, D, Hartono, 2003. Pemantauan Kulitas Makanan Ketoprak dan Gado-Gsdo Di Lingkungan Kampus UI Depok, Melalui Pemeriksaan Bakteriologis. FKM UI, Depok.

Todar, K 2008. Salmonella Dan Salm0neosis Hpp://Www. Tekt Book Ot Bacteriology.Ne/Salmonella.Html.Diakses 10 Oktober 2013.

Uyoh EA, Ntui VO, dan Udoma NN. 2009.Karakteristik Tepung Ubi Kayu Terfermentasi Sebagai Bahan Pembuatan Sgu Kasbi. Program Studi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya. JI. Veteran-Malang.

Venugopal, S. 2010. Food and Nutrition Departement Fakulty of Family and Community

Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi Gremedia, Jakarta.

Winarno, F.G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi Gremedia. Jakarta.

©Musamus Fisheries and Marine Journal, Vol. 2 No. 2 April 2020, Pages: 148-164 164 PANDUAN PENULISAN NASKAH MUSAMUS FISHERIES AND MARINE JOURNAL

a) Ketentuan Umum

Redaksi MUSAMUS Fisheries and Marine Journal menerima naskah hasil penelitian, ilmiah di bidang Perikanan dan Kelautan. Bidang perikanan mencakup perikanan laut dan perikanan darat. Naskah belum pernah dimuat maupun dalam proses pengajuan dalam publikasi ilmiah lain. Penulisan naskah agar mengikuti kaidah penulisan yang berlaku. Untuk menghindari penyuntingan yang berlebihan atau ketidak sesuaian penulisan maka setiap penulis harus mematuhi ketentuan Format Naskah yang ditetapkan. Untuk menghindari adanya plagiarism, maka setiap naskah yang diterima oleh redaksi jurnal Musamus Fisheries And Marine Journal (MFMJ) wajib di turnityn dengan similarity ≤ 30%

b) Format Penulisan dan Pengiriman Naskah Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris yang baik dan benar. Penulisan naskah menggunakan Microsoft Word, font Times New Roman Ukuran 12 dan spasi 1,5 pada kertas A4 termasuk Gambar dan Tabel dengan Margin margin 2,5 cm di sekitar teks. Abstrat di tulis dalam satu paragraph dengan huruf Times New Roman font 10 dan jarak spasi 1. Abstrak tidak lebih dari 200 karakter. Panjang naskah berkisar antara 5–25 halaman, termasuk gambar dan tabel.

c) Sistematika Susunan Naskah Adapun sistematika susunan Naskah sebagai berikut: 1. Judul (sesingkat mungkin) tidak lebih dari 15 kata 2. Nama penulis, email koresponden autor dan asal instansi 3. Abstrak (apabila naskah berbahasa Indonesia maka abstrak dalam bahasa Inggris, dan sebaliknya) 4. Keyword 5. Naskah harus mengandung komponen-komponen naskah ilmiah berikut (sub judul sesuai urutan), yaitu: (d) Pendahuluan; (e) Metode Penelitian (Lokasi dan Waktu Penelitian; Alat dan Bahan; Metode; Analisis Data) ; (f) Hasil dan Pembahasan; (g) Kesimpulan; (h) Ucapan terima kasih; (i) Daftar Pustaka. Gambar dan tabel dapat digunakan untuk menerangkan hal-hal yang tidak mudah diterangkan dalam teks. Referensi atau rujukan ditulis dengan urutan : nama akhir pengarang, tahun penerbitan misalnya : (Nugroho, 2017) atau Menurut Nugroho (2017), Nugroho et al., (2017) atau menurut Nugroho et al., (2017) ….” Kata atau istilah asing yang belum lazim digunakan dalam bahasa Indonesia atau menjadi istilah teknis diketik dengan huruf miring. Naskah untuk diterbitkan dikirimkan ke alamat email : [email protected] paling lambat satu bulan sebelum waktu penerbitan.

Penggantian Biaya Cetak dan Ruang Promosi

Redaksi membebankan biaya cetak kepada penulis yang karya ilmiahnya dipublikasikan pada setiap terbitan sebesar Rp. 250.000 untuk setiap judul tulisan.

Penulisan Pustaka Daftar pustaka diurutkan secara alfabetis dan hanya memuat literatur yang dirujuk dalam naskah serta diketik dengan spasi 1. Penulisan daftar pustaka tersebut diurutkan sebagai berikut : nama penulis, tahun penerbitan, judul buku (dengan huruf miring), nama penerbit dan kota penerbit. Penulisan pustaka dalam Daftar Pustaka mengikuti contoh penulisan seperti tertera di bawah ini.

Pustaka dari jurnal : Ririhena S, W. 2008. Hakikat Pembangunan sebagai Proses Multidimensional. Jurnal Ilmu Sosial & Humaniora 1:1-11. Pustaka dari buku : Purwendero. S, Nurhidayati. 2007. Mengolah Sampah Untuk Pupuk dan Pestisida Organik. Penebar Swadaya, Jakarta. Pustaka dari bab suatu buku : Romano,A H. dan Saier, M.H.. 1992. Evolution of bacterial phospoenolpyruvate:sugar phosphotransferase system. I .Physiological and organismic consideration . Dalam Mortlock, R.P. (ed.). The Evolution of Metabolic Function, hal 171-204. CRC Press, Boca Raton. Informasi dari internet : ______. 2007. Ubi Alabio, Sumber Pangan Alternatif dari Lahan Rawa Pengganti Beras. http//www.litbang.deptan.go.id/berita/one/431/ [26 Peb. 2007].

Lain-lain

Bagi penulis yang naskahnya dimuat dapat langsung diunduh pada laman https://ejournal.unmus.ac.id/index.php/fish

Template Penulisan Naskah

Berikut disajikan Template penulisan naskah yang disubmit ke Musamus Fiheries and Marine Journal (MFMJ). Pembuatan template bertujuan untuk memudahkan penulis dan menyeragamkan persepsi format penulisan yang digunakan. Teks dapat di-copy paste ke template ini sehingga penulis tidak lagi kesulitan untuk menyesuaikan dengan format penulisan yang dimaksudkan. Penting untuk diketahui, template berikut menggunakan MS- Word tipe 2013 sehingga penulis dianjurkan menggunakan tipe yang sama dengan tujuan mencegah perbedaan tulisan. Penggunaan MS Word tipe 2010 masih dapat diterima namun tidak direkomendasikan.

MUSAMUS FISHERIES AND MARINE JOURNAL Berkala Ilmiah Penelitian Perikanan dan Kelautan Volume 2, Nomor 2, April 2020

DAFTAR ISI

Tinjauan Konsep dan Aplikasi Teknologi Geospasial dalam Pemetaan dan Pemodelan Migrasi Hiu Paus (Rinchodon typus) 77 - 101 Thomas Frans Pattiasina

Struktur Komunitas Echinodermata di Perairan Desa Juanga, Kabupaten Pulau Morotai 102 - 114 Nurafni , Sandra Hi Muhammad , Isman Dohu Pengaruh Pemberian Pakan Alami atau Buatan Terhadap Pertumbuhan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) 115 - 130 Stenly M.B.S Wairara , Rosa D. Pangaribuan Partisipasi Masyarakat Dalam Penanaman Mangrove Sajriawati , Astaman Amir , Edy HP Melmambessy , Siti Masiyah 131 - 141

Pola Distribusi Sel Mast Pada Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) yang Terinfestasi Cacing Endoparasit Sebagai Pemicu Reaksi 142 - 147 Anafilaksis Dewi Farah Diba, Buana Basir Uji Kandungan Bakteri Escherichia dan Salmonella sp. pada Sagu Ikan di Desa Dehigila, Kabupaten Pulau Morotai 148 - 164 Asy’ari , Titien Sofiat1 , Iswandi Wahab , Jana Sidin