SEJARAH PARTUHA MAUJANA SIMALUNGUN TAHUN 1964-1969

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora Dalam Program Studi Magister Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Oleh:

ZULHAM SIREGAR NIM. 167050007

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2020

i

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA TESIS

SEJARAH PARTUHA MAUJANA SIMALUNGUN TAHUN 1964-1969

Diajukan oleh :

ZULHAM SIREGAR NIM: 167050007

Telah disetujui oleh Komisi Pembimbing

Pembimbing I

Dr. Suprayitno, M.Hum NIP. 1961011988031004 tanggal : ......

Pembimbing II

Warjio, Ph.D NIP. 197408062006041003 tanggal : ......

PROGRAM STUDI S2 ILMU SEJARAH Ketua,

Dr. Suprayitno, M.Hum NIP. 1961011988031004

ii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PERSETUJUAN

Judul tesis : SEJARAH PARTUHA MAUJANA SIMALUNGUN TAHUN 1964-1969 Nama : ZULHAM SIREGAR Nomor Pokok : 167050007 Program Studi : Magister (S2) Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Menyetujui Komisi Pembimbing,

Ketua, anggota,

Dr, Suprayitno, M.Hum Warjio, Ph.D NIP. 1961011988031004 NIP. 197408062006041003

Program Studi S2 Ilmu Seajarah : Fakultas Ilmu Budaya : Ketua, Dekan,

Dr, Suprayitno, M.Hum Dr.Budi Agustono, M.S NIP. 1961011988031004 NIP. 196008051987031001

iii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Telah diuji pada

Tanggal : 30 Januari 2020

Ketua pembimbing I : Dr. Suprayitno, M.Hum ( )

Ketua Pembimbing II : Warjio,Ph.D ( )

Penguji I : Dr. Budi Agustono, M.S ( )

Penguji II : Dr. Rahimah, M. Ag ( )

iv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ABSTRAK Tesis ini bertuuan mengkaji Sejarah lembaga adat Simalungun di kabupaten Simalungun yang diberi nama Partuha Maujana Simalungun pada periode 1964- 1969. PMS merupakan lembaga adat yang bergerak atas kelanjutan dari gerakan memperjuangkan identitasnya terhadap aksi zending, politik Kolonial serta dominasi Toba dalam penyebaran agama didalam gereja. Berawal dengan berdirinya gkps sebagai bentuk penguatan identitas didalam penyebaran agama lalu dilanjutkan dengan mendirikan lembaga adat Partuha Maujana Simalungun sebagai penguatan adat dan budaya Simalungun.

Fokus pertanyaan pada penelitian ini adalah (1) Bagaimana identitas Etnik Simalungun sebelum terbentuknya lembaga adat Partuha Maujana Simalungun? (2) Mengapa etnis Simalungun perlu membentuk lembaga adat Partuha Maujana Simalungun? Dalam penelitian ini menggunakan sejarah dengan memanfaatkan beberapa sumber, baik sumber primer maupun sumber sekunder. Adapun temuan dalam penelitian ini adalah; Pertama, pergulatan Identitas primordial orang Simalungun (hasimalungunon) telah ada sejak etnis ini ada jauh sebelum terbentuknya Lembaga Adat Partuha Maujana Simalungun. Keterkejutan yang luar biasa terjadi sebagai dampak perjumapaan orang Simalungun dengan kaum pendatang yang jumlahnya sangat besar dan diluar dari dugaan mereka. Dampak dari perjumpaan itu mengakibatkan ambigu pada diri orang Simalungun. Para pendatang yang awalnya sebagai kuli kontrak perkebenunan, secara bebas mengembangkan kebudayaan mereka di wilayah Simalungun. Kedua: melalui seminar kebudayaan dan pembentukan Lembaga Adat Partuha Maujana Simalungun, telah ditetapkan bahwa ‘ahap’ adalah identitas orang Simalungun. Hal ini merupakan perumusan dan perevitalisasian identitas setelah mengalami berbagai perubahan sosial budaya. Ketiga: Dalam pidatonya Radjamin Purba pada seminar kebudayaan yang dilaksanakan partuha maujana Simalungun mengatakan bahwa merembaknya separatisme akibat merebak ancaman disintegrasi bangsa oleh daerah-daerah berupa penolakan terhadap otoritas pusat. Pada saat itu, beberapa bergejolak dan menolak Negara Kesatuan Republik yang menyebutkan dirinya dengan PRRI dan DI/TII. Namun dapat dipastikan, pergualatan identitas dan perincian batas-batas kebudayaan Simalungun murni karena bentuk kesadaran etnis yang disebabkan oleh termarginalnya kebudayaan Simalungun oleh kebuyaan luar. Dengan begitu dengan berdirinya GKPS dan lembaga adat Partuha Maujana Simalungun dimaknai sebagai awal bangkitnya spirit hasimalungunon.

Kata kunci: Lembaga Adat, Partuha Maujana Simalungun

v

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ABSTRACT The aim of this thesis is to examine the history of the Simalungun customary institution in Simalungun district which was named Partuha Maujana Simalungun in the period 1964-1969. PMS is a traditional institution that is engaged in the continuation of the movement to fight for its identity against zending, colonial politics and the domination of the Toba Batak in the spread of religion in the church. Starting with the establishment of the GKPS as a form of strengthening identity in the spread of religion then it was continued by establishing the Partuha Maujana Simalungun customary institution as a strengthening of Simalungun customs and culture. The focus of questions in this research are (1) What was the identity of the Simalungun ethnic group before the formation of the customary institution Partuha Maujana Simalungun? (2) Why did the Simalungun ethnic group need to form the Partuha Maujana Simalungun customary institution? In this study using history by utilizing several sources, both primary and secondary sources. The findings in this study are; First, the struggle for primordial identity of the Simalungun people (hasimalungunon) has existed since this ethnicity existed long before the formation of the Partuha Maujana Simalungun Customary Institution. An extraordinary surprise occurred as a result of the encounter between the Simalungun people and the immigrants who were very large in number and beyond their expectations. The impact of this encounter caused ambiguity in the Simalungun people. The newcomers, who were originally contract workers in a plantation, freely developed their culture in the Simalungun area. Second: through cultural seminars and the establishment of the Partuha Maujana Simalungun Customary Institution, it has been determined that 'ahap' is the identity of the Simalungun people. This is the formulation and revitalization of identity after experiencing various socio-cultural changes. Third: In his speech Radjamin Purba at a cultural seminar held by Partuha Maujana Simalungun said that the outbreak of separatism was due to the widespread threat of national disintegration by regions in the form of rejection of central authority. At that time, some flared up and rejected the Unitary State of the Republic of Indonesia which identified itself as PRRI and DI / TII. However, it can be ascertained that the struggle for identity and the details of the boundaries of the Simalungun culture is purely due to the form of ethnic awareness caused by the marginalization of the Simalungun culture by external culture. In this way, the establishment of the GKPS and the customary institution Partuha Maujana Simalungun was interpreted as the beginning of the awakening of the hasimalungunon spirit.

Keywords: Customary Institutions, Partuha Maujana Simalungun

vi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Dengan ini saya, Zulham Siregar, menyatakan bahwa tesis ini adalah asli hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan sebagai pemenuhan persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan baik Strata Satu (S1), Strata Dua

(S2), maupun Strata Tiga (S3) pada Universitas Sumatera Utara maupun perguruan tinggi lain.

Semua informasi yang dimuat dalam tesis ini yang berasal daripenulis lain baik yang dipublikasikan maupun tidak telah diberikan penghargaan dengan mengutip nama sumber penulis seara benar dan semua isi dari tesis ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya sebagai penulis.

Medan, 30 januari 2020

Zulham Siregar Nim: 167050007

vii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Kalau Mau Menunggu Sampai Siap, Kita Akan Menghabiskan Sisa Hidup Kita Hanya Untuk Menungg.

“Lemony Snicket”

Dipersembahkan Untuk :

Kedua Orang Tua

viii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbli’alamin. Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah

SWT atas anugrah dan ridhonya yang diberikan kepada saya, sehingga thesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Sebuah penghormatan yang ternilai bagi saya ketika dalam pengerjaan thesis ini hingga rampung walaupun menelan waktu, tenaga, materi, pikiran dan serta moral yang tinggi. Thesis ini adalah salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap mahasiswa yang ingin mengakhiri masa studinya di pasca sarjana.

Setelah pergulatan yang cukup panjang, akhirnya tesis ini dapat diselesaikan walaupun meleset dari waktu yang seharusnya. Hal tersebut dikarenakan banyaknya tantanggan dalam penulisan thesis ini. Tantangan terberat dalam penulisan thesis ini yaitu data-data mengenai lembaga adat PMS yang sedikit serta sedikitnya tulisan yang membahas mengenai lembaga adat ini. Oleh sebab itu, proses penulisan tetap dimaksimalkan dengan penggunaan sumber-sumber sekunder yang sezaman serta ditambah dengan sumber berdasarkan wawancara.

Berkat keyakinan dan dorongan untuk menghasilkan penulisan sejarah lokal, akhirnya penulis dapat menyelesaikan thesis ini.

Tema dan judul tesis ini dipilih berdasarkan keinginan untuk menulis sejarah lokal khususnya sejarah lembaga adat PMS, penulis sebagai putera daerah merasa terpanggil untuk memberikan sumbangan kecil kepada tanah kelahirannya.

Di dalam tulisan ini terkandung harapan dan semoga bisa bermanfaat untuk menambah literasi sejarah lokal di Simalungun. Banyaknya kekurangan dalam

ix

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA penulisan sejarah lokal mengenai lembaga adat PMS, maka penulis menggali kekurangan tersebut agar penulisan tesis ini bisa dapat diselesaikan. Diharapkan tesis ini akan menjadi pedoman bagi peneliti-peneliti yang akan menulis sejarah lokal daerah Simalungun. Tentunya dengan segala kekurangan tersebut, sangat diharapkan kritik dan saran dari bebagai pihak untuk kesempurnaan historiografi ini.

Penulis mengucapkan banyak terimah kasih kepada banyak pihak yang memiliki andil selama proses penulisan tesis ini. Terutama kepada kedua orang tua saya, serta kepada seluruh keluarga saya yang telah memberi dukungan materi dan doanya. Selain itu juga saya ucapkan terimah kasih banyak kepada teman- teman saya yang selama ini selalu mendukung setiap langkah penulis. Terimah kasih saya ucapkan kepada Riza Umayah yang selalu mengingatkan agar dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Terimah kasih juga saya ucapkan kepada semua yang mendukung dan mendoakan untuk terselesaikannya tesis ini.

Terimah kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Suprayetno, M.Hum. dan

Bapak Warjio, Ph.D atas bimbingannya selama masa perkuliahan dan membimbing dalam penulisan tesis ini. Banyak hal yang dapat penuliis serap dari mereka mengenai penulisan sejarah yang baik dan benar, membiasakan berpikir historis, sistematis, memahami sejarah dengan metodologis, pendekatan keilmuan, mencermati tata bahasa, redaksional tulisan dan sebagainya. Dukungan, motivasi dan kesabaran dari mereka selama membimbing telah membuka wawasan terhadap cara memandang sejarah sebagai ilmu..

x

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kepada seluruh dosen-dosen yang mengajari penulis selama masa perkuliahan di Program Magister Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya USU yang tidak bisa disebut satu persatu, penulis mengucupkan banyak terimah kasih atas ilmu dan bimbingannya. Begitu juga dengan teman-teman seperjuangan kuliah

Pascasarjana Angakatan 2016 yaitu M.Zakir, Idrus, Murni Wahyuni, Bayu

Wicaksono, Halimah dan Deni Hartanto, yang selalu ada hingga akhir waktu studi. Kepada teman sekalian penulis ucapkan terimah kasih banyak. Semoga kita semua sukses di masa depan.

Penulis telah berusaha dengan segala kemampuan yang ada untuk bisa menyajikan yang terbaik untuk tesis ini, akan tetapi penulis menyadari masih banyaknya kekurangan baik dari isi maupun penyajiannya. Oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk perbakan dan kesempurnaan tesis ini dimasa yang akan datang, semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Akhir kata, penulis memohon dan hanya kepada ridho Allah SWT penulis berserah diri atas segala dosa dan kesalahan yang penulis perbuat, agar penulis menjadi orang yang sukses dan bertaqwa. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembacanya. Amin yarabbal alamin. Wassalam

Medan, 10 April 2019 Penulis

Zulham Siregar NIM. 167050007

xi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ...... I

PERSETUJUAN ...... II

ABSTRAK ...... III

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ...... IV

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...... V

KATA PENGANTAR ...... VI

DAFTAR ISI ...... XI

BAB I : PENDAHULUAN ...... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ...... 1 1.2 Rumusan Masalah ...... 9 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 9 1.4 Keaslian Penelitian ...... 10 1.5 Teori dan Kerangka Konseptual ...... 11 1.6 Tinjauan Pustaka ...... 14 1.7 Metode Penelitian ...... 17 1.8 Sistematika Penulisan ...... 20

BAB II : DEMOGRAFI UMUM ETNIS SIMALUNGUN ...... 22

2.1 Gambaran Wilayah Simalungun ...... 22 2.2 Sejarah Singkat Orang Simalungun ...... 28 2.3 Sistem Religi Orang Simalungun ...... 31 2.4 Marga Orang Simalungun ...... 34

BAB III : KESADARAN IDENTITAS ORANG SIMALUNGUN ...... 46

3.1 Masuknya Belanda dan Pengaruhnya di Simalungun...... 46 3.2 Misionaris Kristen Di Simalungun ...... 54 3.3 Terbentuknya Comite Nara Marpodah ...... 63 3.4 Semangat Kemandirian Orang Simalungun ...... 69

BAB IV : PMS DAN IDENTITAS SIMALUNGUN ...... 77 4.1 Kemandirian Dalam Gereja Orang Simalungun ...... 77

4.2 Mendirikan Lembaga Adat PMS ...... 81

xii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 4.3 PMS Dalam Melestarikan Kebudayaan Simalungun 1964-1969

4.3.1 Merumuskan Marga-marga Simalungun ...... 91

4.3.2 Menetapkan Hukum adat dan Perkawinan ...... 98

4.3.3 Merumuskan Bahasa dan aksara Simalungun ...... 101

4.3.4 Menetapkan Olahraga dan Permainan Tradisonal ...... 107

4.3.5 Merumuskan Hukum dan Hak Penguasaan Tanah...... 109

4.3.6 Kesenian Simalungun ...... 116

4.4 Peran Lembaga Adat Dalam Membangkitkan Pemahamaman

Masyarakat Tentang Pentingnnya Pelestarian Budaya…….. 117

BAB V : PENUTUP ...... 119

5.1 Kesimpulan ...... 119

5.2 Saran ...... 121

DAFTAR PUSTAKA ...... 124

LAMPIRAN I ...... 133

LAMPIRAN II ...... 139

LAMPIRAN III ...... 161

xiii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Simalungun adalah salah satu kabupaten di Sumatera Utara dan Pematang

Siantar sebagai ibu kotanya. Penduduk asli Simalungun adalah etnik Simalungun.

Nama “Simalungun” menurut sumber lisan turun-temurun berasal dari bahasa

Simalungun : “sima-sima” dan “lungun”, “sima-sima” artinya „peninggalan‟ dan

“lungun” artinya „yang dirindukan‟.1 Enik Simalungun sebagai salah satu etnik dinusantara memiliki kebudayaan tersendiri yang khas yang sampai saat ini masih dipakai oleh sejumlah pendukung kebudayaan. Kekhasan etnik Simalungun tampak pada ketujuh unsur kebudayaan universal, yakni: Sistem Peralatan dan perlengkapan hidup, system mata pencaharian hidup, system kemasyarakatan, bahasa, kesenian, system pengetahuan, dan religi.2

Etnik Simalungun selaku suku bangsa yang ada di Indonesia pada awalnya tinggal menetap dalam suatu wilayah, namun karena terbukanya migrasi keberbagai wilayah lain di Indonesia maka etnik Simalungun pada waktu itu sudah berdomisili hampir pada setiap provinsi di Indonesia.3 Demikian juga halnya dengan sejumlah

1 Budi Agustono, dkk., Sejarah Etnis Simalungun, Simalungun: Tanpa nama penerbit, 2012. hlm. 1. 2 Corry Purba, Sepintas Etnik simalungun dan Warisan Budayanya, Jurnal Berkala Arkeologi “Sangkhakala”,ISSN 1410-3974 nomor : 11/2003, Pusat Penelitian Arkeologi Balai Arkeologi Medan,2003. hlm. 7. 3 Jon Henri Sipayung. Perubahan Budaya Perkawinan Adat Simalungun. Pustaka Media Guru. 2019. Hlm. 2.

1

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

etnik yang lain merupakan bagian dari penduduk yang tinggal menetap dalam wilayah Kabupaten Simalungun karena terbukanya migrasi tersebut.4

Istilah suku bangsa atau etnik mengacu kepada suatu golongan manusia yang terikat kepada kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas tersebut seringkali oleh kesatuan bahasa.5 Kebudayaan sebagai warisan sosial diperoleh melalui proses belajar oleh individu-individu sebagai hasil interaksi anggota kelompok satu dengan yang lainnya sehingga kebudayaan tersebut sifatnya dimiliki secara bersama.6 Akan tetapi setiap praktik kebudayaan adalah fungsional untuk membantu survival masayarakat ataupun penyesuaian diri bagi individu maupun kelompok.

Berdasarkan hal tersebut, etnik Simalungun merupakan suatu golongan masyarakat yang terikat kepada kesatuan kebudayaan yang dikuatkan dengan adanya bahasa kesatuan yaitu bahasa Simalungun. Dengan begitu etnik Simalungun sebagai suatu golongan masyarakat yang ada di Indonesia mewujudkan diri dalam kehidupan yang kesehariannya berdasarkan kebudayaan yang dimiliki oleh etnis Simalungun sebagai warisan sosial yang dimiliki mereka. Perkembangan kebudayaan etnik

Simalungun yang khas terjadi melalui poses yang panjang, ibaratnya terjadi difusi

(diffusion), proses akulturasi (acculturation) dan proses asimilasi (assimilation) dengan unsur-unsur kebudayaan yang lain.

4 Radesman Sitanggang. Orientasi Nilai-nilai Folklore Etnik Simalungun di kota Pematang Siantar. Medan. Pasca Sarjana Universitas negeri Medan. 2012. Hlm. 1. 5 Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Aksara Baru. Hlm. 278. 6Jon Henri Sipayung. Op.Cit.

2

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Proses pembauran komunitas etnis Simalungun terhadap unsur-unsur kebudayaan lain sudah terjadi sejak adanya hubungan dagang kepada Tiongkok pada sekitar abad ke-6 dan dilanjutkan oleh pendatang-pendatang lainnya. Pada sekitar tahun 1900, orang Simalungun memasuki episode sejarah baru yang membawa mereka dalam dinamika sosial budaya. Pada periode ini orang Belanda dengan politik kolonial melakukan ekspansi “pax nederlandica‟ dengan meluaskan pengaruhnya keluar pulau Jawa, dan salah satu sasaran adalah Sumatera Timur dan Simalungun.7

Dengan masuknya pengaruh kolonial Belanda tersebut, kehidupan rakyat semakin terperosok kepada jaring politik kebudayaan kolonial. Kolonial menanamkan sikap kepada rakyat untuk patuh dan mengabdi kepada raja serta punggawanya sesuai dengan aturan-aturan yang diterapkan oleh pemerintah. Sejak masuknya Belanda ketanah Simalungun, terhentilah perguruan tulis baca aksara simalungun dan berkurangnya pembinaan terhadap kebudayaan daerah. Setiap kegiatan-kegiatan rakyat harus diarahkan kepada yang menguntungkan fihak pemerintahan Belanda.8

Pada akhirnya beberapa daerah banyak masyarakat yang buta huruf aksara

Simalungun.

Pada sisi lain periode ini orang Jerman juga datang dan berjumpa dengan orang

Simalungun. Misi Jerman adalah menyebarkan agama Kristen Protestan kepada orang

Simalungun, dengan disponsori oleh badan zending Rheinische Mission Gesselscaft

7 Hisarma Saragih, “Dinamika Penguat Identitas Etnik Simalungun (Hasimalungunon) di Balik Berdirinya Gereja Kristen Protestan Simalungun”, Disertasi S-3,Medan, Universitas Sumatera Utara,2018. hlm. 8. 8 M.D.Purba, Mengenal Kepribadian Asli Rakyat Simalungun. Medan. 1977,hlm. 54.

3

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(RMG). Berdasarkan laporan G.K. Simon serta laporan-laporan terdahulu, badan penyebaran injil yang bernama Rheinische Missions Gesselschaft (RMG) di dalam sebuah rapat di Laguboti pada 21-25 Januari 1903 telah memutuskan untuk melakukan penginjilan di wilayah Simalungun.9 Dalam proses tersebut, mereka dibantu oleh orang-orang yang beragama Kristen yang berasal dari suku Batak Toba.

Dalam perkembangan tersebut terjadilah dominasi suku Batak Toba yang membuat kristenisasi di Simalungun tidak berjalan efektif dan mengakibatkan orang

Simalungun merasa hasimalungunon10 mereka terabaikan.

Dominasi yang terjadi berupa pemakaian bahasa Batak Toba dalam hampir semua kegiatan RMG di Simalungun. RMG juga tidak pernah menghasilkan literatur etnografi menyangkut suku bangsa Simalungun selama 25 tahun RMG berkarya di

Simalungun, namun berbeda dengan Batak Toba yang literaturnya sudah banyak ditulis. Adanya penggunaan buku dan adat Batak Toba yang beredar di sekolah- sekolah dan perkumpulan orang Kristen. Dominasi tersebut semakin kuat dengan adanya faktor dari luar seperti migrasi besar-besaran suku Batak Toba ke

Simalungun.

Dengan kondisi demikian maka dikalangan orang Simalungun dihadapkan dalam zaman yang penuh dengan tantangan dan bagaimana upaya untuk menjawabnya dalam kesatuan identitas etnis, dapat dilihat dari persfektif dinamika identitas melewati zamannya. Identitas orang Simalungun yang memiliki pola

9 Juandaha Raya P. Dasuha, dkk., Tole! Den Timorlanden Das Evangelium!, : Kolportase GKPS, 2003, hal. 113. 10 Hasimalungunon berarti unsur budaya asli dalam diri masyarakat Simalungun.

4

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pemerintahan, bahasa, budaya, adat-istiadat, dan sistem kepercayaan bergerak dan digerakkan keadaan zaman. Pada kenyataannya di sekitar mereka telah berdiri gereja, namun bukan mereka pemimpinnya, telah berdiri sekolah namun bukan mereka jadi gurunya atau pengelolanya, bukan bahasa mereka sebagai bahasa pengantarnya, adatistiadat sopan santun yang tersisih dan butuh penguatan, sistem kepercayaan lama berubah, terbentuk pemerintahan gubernemen, namun bukan mereka menjadi pejabatnya, bahkan wilayahnya telah dikuasai oleh bukan orang Simalungun.

Berdasarkan hal tersebut, Pada 13 Oktober 1928, 14 orang tokoh yang beragama Kristen sepakat mengadakan diskusi. Diskusi ini mambahas mengenai cara-cara yang lebih baik untuk mengabarkan injil di wilayah Simalungun. Mayoritas dalam diskusi tersebut menyatakan bahwa bukan menggunakan bahasa dan orang- orang Batak Toba yang harus dipakai dalam penginjilan di Simalungun melainkan bahasa dan orang-orang Simalungun.11 Kemudian mereka memutuskan untuk mendirikan sebuah organisasi bernama Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen.12

Organisasi ini bertujuan untuk melestarikan bahasa Simalungun dan mengefektifkan kristenisasi di Simalungun. Berangkat dari kegelisahan terhadap lambatnya penyebaran agama Kristen di Simalungun dan ketidak sepakatan terhadap dominasi suku Batak Toba. Organisasi ini menjadi gerakan oposisi terhadap dominasi budaya Batak Toba khususnya dalam hal penyebaran agama Kristen. Selain kemajuan

11 Andri Ersada Tarigan, Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen : Peranannya Dalam Pelestarian Budaya Simalungun dan Penyebaran Agama Kristen (1928-1942), Skripsi S-1. Medan, Universitas Sumatera Utara, 2013. 12 Kata comite dipakai sebagai penanda bahwa organisasi ini nirlaba. Sedangkan na ra marpodah mengandung arti rasa tanggung jawab.

5

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

yang diperoleh dalam kristenisasi orang Simalungun, Comite Na Ra Marpodah

Simaloengoen dalam hal kebudayaan menjadi organisasi modern pertama yang berjuang untuk pelestarian kebudayaan Simalungun. Comite Na Ra Marpodah

Simalungun mampu mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan seperti: pemerintah kolonial, akademisi, kerajaan dan kalangan lainnya.13 Organisasi ini mengakhiri kegiatannya pada saat Jepang datang dan berkuasa. Pada tahun 1942, semua lembaga baik agama maupun pendidikan dihentikan aktivitasnya dan hanya bisa berjalan jika mendapat instruksi dari pemerintahan Jepang.

Ketidak puasan orang Simalungun tidak sampai disitu saja, dengan dibentuknya

HKBP Distrik Simalungun yang diresmikan oleh jemaat Simalungun yang bertempat di Pematang Raya.14 Kemudian pada tahun 1953 mereka menjadi satu distrik dengan

Huria Kristen Batak Protestan Simalungun (HKBPS) yang berpusat di Pearaja

(Tapanuli). Didalam komunitas ini mereka merasakan bahwa mereka diatur dan dikendalikan oleh HKBP Pearaja yang memandang bahwa Simalungun itu sama seperti batak Toba.15

Pada periode sesudah tahun 1953, semangat menunjukkan identitas Simalungun semakin menguat, bukan hanya di dalam tubuh Gereja HKBP Simalungun, tetapi juga dikalangan tokoh politik Simalungun. Dalam tubuh organisasi HKBP

13 Andri Ersada Tarigan, Op.cit. 14 Pan Djasmin Sipajoeng hoen Nagori Dolog, “District Simaloengoen” dalam: Sinalsal No. 118. Januari 1941/Thn.X1, hlm.5. 15 Hisarma Saragih. Disertasi Doktor (Studi Pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara).Dinamika Penguat Identitas Etnik Simalungun (Hasimalungunon) di Balik Berdirinya Gereja Kristen Protestan Simalungun. 2018. Hlm. 221.

6

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Simalungun mencuat keinginan untuk melepaskan diri secara penuh „manjae‟ dari

HKBP Pearaja. Kaum komunitas Kristen Simalungun menuntut supaya berdiri Gereja

Simalungun dengan nama Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS).

Orang Simalungun menuntut agar mereka lepas dari HKBP dan mendirikan gereja Simalungun yang berbudaya Simalungun dan diatur oleh orang Simalungun.

Strategi dilakukan dengan mengutus anak mereka mengikuti sekolah pendeta yang disokong oleh komunitas Kristen orang Simalungun dengan memberikan sumbangan berupa menyisihkan sebagian dari gaji mereka (bagi yang pegawai) dan sebagian dari hasil panen mereka untuk membiayai sekolah pendeta. Hasilnya hdapat menyelesaikan pendidikanya, kembali ke-Simalungun dan memperkuat HKBPS.

Akhirnya pada tahun 1963, HKBP Pearaja memenuhi tuntutan orang Simalungun yang ditandai dengan pelepasan „manjae‟ orang Simalungun lepas dari HKBP, dan semenjak 2 September 1963 orang Simalungun membentuk dan memberi nama gerejanya yaitu Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS).

Bergerak dari kondisi yang sulit tersebut maka timbullah keinginan tokoh- tokoh Simalungun pada masa itu, untuk merangkul dan menyatukan semua elemen

Simalungun termasuk menumbuhkan kecintaan dan kebanggaan identitas hasimalungunon (Ahap Simalungun). Beberapa tokoh Simalungun masa itu, antara lain Pdt. JP Siboro (Wakil Ephorus HKBPS) berikut Tuan Bandaralam Purba Tambak

(Keturunan Raja Silou yang beragama Muslim), berinisiatif membentuk lembaga yang bisa mempersatukan semua elemen masyarakat, dengan nama Partuha Maujana

7

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Simalungun (PMS). Partuha diartikan sebagai tokoh adat, agama dan tokoh masyarakat; sedangkan Maujana adalah kaum terpelajar, cendekiawan, kaum muda

TNI, Polri, dan PNS . Semua elemen tersebut bersatu dalam PMS, guna menghidupkan, membangun dan mengembangkan kembali budaya Simalungun.16

Partuha Maujana Simalungun adalah lembaga adat yang berdiri sejak dilaksanakannya seminar kebudayaan Simalungun se-Indonesia pada tahun 1964.

Sejarah pendirian PMS dilatar belakangi keinginan untuk menghidupkan kembali budaya dan identitas Simalungun pada masa itu, yang telah tergerus oleh perkembangan zaman. Kelahiran PMS Januari 1964 merupakan rangkaian sejarah panjang perkembangan masyarakat Simalungun, mulai dari masa penjajahan, kemerdekaan, zaman kerajaan sampai terjadinya revolusi sosial dengan terbunuhnya raja-raja dan keluarga raja di Simalungun.

Lembaga adat ini bertujuan agar masyarakat Simalungun tetap memelihara, memupuk dan memperkembangkan serta menyumbangkan kebudayaan Simalungun sebagai salah satu unsur yang permanen di dalam rangka mewujudkan kebudayaan nasional. Masyarakat Simalungun di harapkan menolak segala bentuk infiltrasi kebudayaan asing yang dapat menodai atau merusak kebudayaan nasional. Dengan membentuk atau mendirikan yayasan kebudayaan Simalungun diharapakan dapat melaksanakan hubungan kebudayaan secara timbal balik diantara kebudayaan- kebudayaan daerah dari Sabang sampai Merauke.

16 Rudolf Purba,JE. Saragih, dkk. Op.cit.

8

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dari uraian diatas, tentu menjadi pembahasan menarik untuk mengangkat sejarah Partuha Maujana Simalungun sebagai Lembaga Adat di Kabupaten

Simalungun. Struktur lembaga adat berperan penting dalam menciptakan keserasian dan keharmonisan dalam kehidupan sosial masyarakat Simalungun. Belum adanya kajian yang membahas sejarah Partuha Maujana Simalungun, maka penulis tertarik untuk mengangkat Pertuha Maujana Simalungun sebagai objek untuk di teliti. Atas dasar itu, peneliti berencana untuk menulis dan mengkaji lembaga adat ini dengan judul “ Sejarah Partuha Maujana Simalungun tahun 1964-1969 ”. Alasan penulis mengambil skop temporal pada tahun 1964-1964 sebagai awal dari perencanaan terbentuknya Partuha Maujana simalungun sekaligus banyaknya dinamika politik yang terjadi pada tahun tersebut dan pealihan dari orde lama ke orde baru serta berakhirya periode pertama dari lembaga adat ini.

1.2 Rumusan Masalah

Fokus dalam pembahasan tesis ini adalah membahas mengenai sejarah

Lembaga Adat Partuha Maujana Simalungun. Sebelum membahas Lembaga Adat

Partuha Maujana Simalungun, perlu juga dibahas perihal melatar belakangi terbentuknya Lembaga adat ini di Simalungun. Masyarakat Simalungun diharapkan menghendaki dan berkewajiban memberikan dharma baktinya kepada revolusi nasional dalam rangka mengintergrasikan kebudayaan Simalungun sebagai salah satu unsur dalam wujud kebudayaan nasional.

9

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Untuk lebih mudahnya dalam penulisan tesis ini akan dipandu dengan beberapa pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dituangkan dalam rumusan masalah penulisan tesis ini yaitu:

1. Bagaimana identitas Etnik Simalungun sebelum terbentuknya lembaga adat

Partuha Maujana Simalungun ?

2. Mengapa etnis Simalungun perlu membentuk lembaga adat Partuha Maujana

Simalungun ?

1.3 Manfaat dan Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dan manfaat penelitian ini adalah :

1. Menjelaskan identitas etnik Simalungun Sebelum terbentuknya lembaga adat

Partuha Maujana Simalungun.

2. Menjelaskan latar belakang terbentuknya lembaga adat Partuha Maujana

Simalungun.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah

1. Terhadap aspek ilmu pengetahuan hasil penelitian ini dapat menjadi

khasanah/wacana baru dalam keberadaan lembaga adat khususnya membahas

mengenai keberadaan lembaga adat Partuha Maujana Simalungun.

2. Bagi masyarakat umum, penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman

yang mendalam dan mengetahui tentang penguatan identitas etnik Simalungun

melalui lembaga adat Partuha Maujana Simalungun.

3. Memberikan informasi mengenai perjalanan Partuha Maujana Simalungun

terhadap kemajuan kebudayaan nasional.

10

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1.4 Keaslian Penelitian

Keberadaan Partuha Maujana Simalungun sebagai lembaga adat tentunya diharapkan mampu membawa kebudayaan Simalungun kepada roolesnya. Tidak ditemukannya penulisan mengenai lembaga adat Partuha Maujana Simalungun oleh penulis, sehingga menjadi tantangan tersendiri buat penulis untuk merampungkan penelitian ini. Berdirinya GKPS dan dibentuknya lembaga adat Partuha Maujana

Simalungun menjadi kekuatan tersendiri sebagai penguatan identitas etnik simalungun.

Penulis merasa perlunanya peneliti menggali dan menjelaskan peran dan bagaimana lembaga adat partuha Maujana Simalungun ini dapat berdiri. Maka penulis merasa perlunya untuk memberikan penjelasan bagimana pergulatan etnis

Simalungun sehingga mereka harus memandirikan GKPS dan membentuk lembaga adat sebagai penguatan identitas mereka. Maka dengan ini, tesis ini menjadi sebuah penelitian yang asli dengan tujuannya untuk melengkapi penelitian dan kajian sejarah lokal di kabupaten Simalungun., serta hal-hal yang mempengaruhi dinamika etnis

Simalungun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

1.5 Teori dan Konseptual

Penelitian ini bertemakan lembaga adat Partuha Maujana Simalungun ini tergolong kesejarah lokal, hal ini dikarenakan lembaga adat Partuha maujana memiliki peran dalam pelestarian kebudayaan daerah khususnya di Simalungun.

11

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Pialang17 mengatakan bahwa menghidupkan kembali budaya lokal sama artinya dengan menghidupkan kembali identitas lokal, oleh karena identitas merupakan unsur yang dapat dipisahkan dari kebudayaan, identitas itu sendiri menjadi sebuah isu tatkala segala sesuatu yang telah dianggap stabil sebagai warisan kultural masa lalu diambil alih oleh pengaruh-pengaruh dari luar, khususnya akibat berlangsungnya proses globalisasi, yang menciptakan homogenisasi budaya. Krisis identitas muncul ketika apa-apa yang telah melekat di dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat lagi dipertahankan, oleh karena ia telah direnggut oleh nilai-nilai lain yang berasal dari luar.

Dalam konteks sosialnya, identitas merupakan sesuatu hal yang dimiliki secara bersama-sama oleh sebuah komunitas atau kelompok masyarakat tertentu dan kemudian membedakan mereka dari komunitas atau kelompok masyarakat lainnya.

Identitas, dengan demikian memberikan setiap individu di dalam sebuah masyarakat pengertian mengenai posisi sosial mereka di antara berbagai kelompok masyarakat lainnya. Penguatan identitas merupakan unsur kunci dalam pembentukan realitas sosial. Sekali sebuah identitas mengkristal, ia akan dipelihara, dimodifikasi atau bahkan diubah melalui berbagai bentuk hubungan sosial. struktur yang ada dalam sistem sosial adalah realitas sosial yang dianggap otonom, dan merupakan organisasi keseluruhan dari bagianbagian yang saling tergantung.18 Dalam suatu sistem terdapat

17 Pialang, Yasraf Amir. 2011. Dunia Yang Dilipat : Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Bandung: Mizan. Hlm. 211-212. 18 Wirawan. 2014. Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma Fakta Sosial, Definisi Sosial & Perilaku. Jakarta: Prenadamedia Group. Hlm. 49.

12

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pola-pola perilaku yang relatif abadi. Struktur sosial dianalogikan dengan organisasi birokrasi modern, didalamnya terdapat pola kegiatan, hierarki, hubungan formal, dan tujuan organisasi.

Mengingat dalam penelitian ini akan mengungkapkan perubahan sosial dan kebudayaan maka diperluakan teori dan konsep yang akan membahas perubahan sosial dan kebudayaan di Simalungun. Martono19 mengatakan perubahan sosial dan perubahan kebudayaan hanya dapat dibedakan dengan membedakan secara tegas pengertian antara masyarakat dan kebudayaan. Dengan membedakan dua konsep tersebut, maka dengan sendirinya akan membedakan antara perubahan sosial dengan perubahan kebudayaan. Terdapat perbedaan yang mendasar antara perubahan sosial dan perubahan budaya. Perubahan sosial merupakan bagian perubahan budaya.

Perubahan sosial meliputi perubahan dalam perbedaan usia, tingkat kelahiran dan penurunan rasa kekeluargaan antar anggota masyarakat sebagai akibat terjadinya arus urbanisasi dan modernisasi. Perubahan kebudayaan jauh lebih luas daripada perubahan sosial. Perubahan budaya menyangkut banyak aspek dalam kehidupan seperti kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, aturan-aturan hidup berorganisasi dan filsafat. Perubahan sosial dan perubahan budaya yang terjadi dalam masyarakat saling berkaitan, tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan dan sebaliknya tidak mungkin ada kebudayaan tanpa masyarakat.

19 Nanang Martono. 2014. Metode penelitian kuantitatif: analisis isi dan analisis data sekunder. Rajawali Pers. Hlm.8.

13

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Selanjutnya peneliti akan menggunakan teori identitas etnik menurut Cliforrd

Geertz20 bahwa etnisitas merupakan sentimen primordial. Stella Ting Toomey berpendapat bahwa Identitas merupakan refleksi diri atau cerminan diri yang berasal dari keluarga, budaya, gender, , etnis dan proses sosialisasi.21 Teori identitas berawal ketika Henri Tajfel dan John Turner mengemukakan dan mengembangkan teori ini untuk memahami dasar psikologis dari diskriminasi antar kelompok pada tahun 1979.

Mereka berusaha untuk mengidentifikasi kondisi minimal yang akan membawa anggota dari suatu kelompok untuk melakukan diskriminasi terhadap anggota kelompok lain.

Selanjutnya dijelaskannya oleh Geertz22 bahwa etnisitas dibentuk oleh berbagai sentimen primordial seperti kekerabatan, agama dan bahasa. Namun demikian Geertz tidak menekuni studi-studi konflik antar etnis secara mendalam, namun dari posisinya melihat bahwa etnisitas dibangun atas sentimen primordial, maka sebetulnya bibit konflik antar etnis dapat terjadi karena adanya dorongan pembentukan identitas etnis akibat berkembangnya parokialisme, komunalisme dan rasialisme. Implikasi metodologis dari posisi teoritis Geertz yang dikenal dengan interpretasi simbolik adalah “unit analisis” yang bersifat komunitas dalam upayanya melihat simbol- simbol yang disepakati bersama sebagai suatu “kebudayaan” oleh masyarakat.

20 Dikutif dari disertasi Hisarma Raragih. 2019. Dinamika Penguat Identitas Etnik Simalungun (Hasimalungon) di Balik Berdirinya Gereja Kristen Protestan Simalungun. Hlm. 52-53. Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures : Selected Essays, New York: Basic Books Publishers. 21 Larry A. Samovar, Richard E. Porter, Edwin R. McDaniel .2009. Communication Between Cultures. Cengage Learning. ISBN 0495567442 hlm. 154-161. 22 https://www.utwente.nl/en/bms/communication-theories/ di akses pada tanggal 20 November 2018

14

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Identitas etnis merupakan sentimen primordial sebagaimana teori Geertz bahwa etnisitas dibentuk oleh berbagai sentimen primordial seperti kekerabatan, agama dan bahasa, berlaku bagi orang Simalungun. Orang Simalungun memiliki symbol-simbol identitas etnisnya yang disepakati bersama „kita‟ dan membedakannya dengan etnis lain „mereka‟.

Sejalan dengan itu pula Liliwery23 menjelaskan etnisitas merupakan bagian identitas kelompok yang didasarkan pada kesamaan karakteristik bahasa, kebudayaan, sejarah dan asal usul geografis. Dan pembagian atau pertukaran kebudayaan yang berbasis pada bahasa, agama, dan kebangsaan, selalu dihubungkan dengan keyakinan yang berlebihan pada bahasa, agama, dan kebangsaan melebihi kelompok bahasa, agama, dan kebudayaan lain, oleh sebab itu hal demikian dapat digunakan menganalisis dinamika penguatan identitas etnis sepanjang sejarah etnis itu.

1.6 Tinjauan Pustaka

Dalam menulis karya ilmiah diperlukanlah beberapa literatur untuk mendukung penulisan tersebut. Literatur-literatur itulah yang penulis sebut dengan tinjauan pustaka. Tinjauan adalah literatur yang relevan dan memiliki keterkaitan secara dekat dengan pokok permasalahan yang akan diteliti. Tinjauan pustaka berisi tentang uraian-uraian yang mengarahkan penulis tentang betapa pentingnya literatur sehingga digunakan sebagai sumber acuan yang menimbulkan ide, sumber informasi dan

23 Liliweri, Alo. 2005, Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur, Yogyakarta : LkiS. Hlm. 14.

15

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pendukung penelitian. Adapun literatur yang digunakan untuk mendukung penulisan ini adalah sebagai berikut:

Rudolf Purba, JE.Saragih,dkk dalam bukunya yang berjudul Peradaban

Simalungun “ Inti Sari Seminar KEbudayaan Simalungun Se-Indonesia pertama

Tahun 1964” sangat membantu penulis dalam menjelaskan sejarah terbentuknya lembaga adat Partuha Maujana Simalungun. Dalam buku ini penulis menemukan pemikiran beberpa toko budayawan Simalaungun yang dengan dedikasi tinggi menghadirkan rasa “ Hasimalungon”24 kepada para peserta seminar pada saat itu.

Didalam buku ini juga penulis dapat memahami seminar yang dilaksanakan pada tahun 1964 sebagai gerakan inventarisasi dan revitalisasi kebudayaan simalungun yang sebelumnya kehilangan akarnya. Kemudian merumuskan apa yang dimaksud dengan kebudayaan simalungun beserta unsusr-unsurnya. Selanjutnya, unsure-unsur kebudayaan yang telah diinventarisasi dan direvitalisasi tersebut menjadi identitas budaya ( cultural identity ) dan jati diri sebagai orang Simalungun.

M.D. Purba dalam bukunya yang berjudul “ Mengenal Kepribadian Asli Rakyat

Simlaungun “ menguraikan bagaimana melihat asli kepribadian rakyat Simalungun.

Kepribadian dari suatu puak, suku atau bangsa tidak dapat dipisahkan dari satu sama lainnya. Buku ini bertujuan untuk memantabkan pengenalan kepribadian asli rakyat simalungun yang berpedomankan kepada : “ Habonaron Do Bona”.25

24 “Hasimalungunon” berarti unsur budaya asli dalam diri masyarakat Simalungun. 25 “Habonaron do bona” merupakan salah satu falsafah puak Simalungun. Hal itu dapat dilihat dari motto yang dicantumkan daam simbol pemerintahan Kabupaten Simalungun. Falsafah ini mengajarkan agar setiap warga masyarakat Simalungun berhati dan berprilaku yang benar. Habonaron

16

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

D.Kenan Purba.SH dan Drs. J.D. Poerba dalam bukunya yang berjudul

“Sejarah Simalungun” menguraikan salah satu sebab larutnya orang simalungun dalam pergaulan hidup sehari-hari dengan suku lainnya ialah karena orang simalungun sanagat toleran dan tidak menonjolkan diri mereka sendiri. Malah toleransi yang seperti itu sering digunakan dalam pelaksanaan adat tanpa menonjolkan adat mereka sendiri, sehingga mereka menjadi larut dan seakan kehilangan jati dirinya. Sebagai usaha untuk mengangkat harkat, jati diri dan eksistensinya, buku ini mencobah mengetengahkan perkembangan simalungun melalui fakta-fakta sejarah mulai dari tahun 500 sampai dengan 1956.

Budi Agustono, dkk., Sejarah Etnis Simalungun, Simalungun: Tanpa nama penerbit, 2012. Dalam bukunya “ Sejarah etnis Simalungun” menguraikan sejarah etnik Simalungun dalam proses perjalanan sejarah dan kontribusi etnik Simalungun dalam pusaran sejarah local dan nasional. Dalam buku ini dijelaskan peran dari raja

Simalungun selain sebagai pemangku adat tetapi dia juga adalah pimpinan pemerintahan.26 Oleh karena itu posisi raja di Simalungun sangatlah penting dalam memajukan kebudayaan Simalungan. Dikatan didalam buku ini, bahwa dalam diri raja itulah sesungguhnya apa yang disebut dengan kebudayaan Simalungun, sebab rumah bolon ( istana ) raja adalah pusat kebudayaan, adat dan agama Simalungun

( kebenaran ) adalah pangkat dari segala-galanya dalam kehidupan sehari-hari. Dari falsafah ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat Simalungun pada dasarnya adalah merupakan orang-orang yang jujur dan tulus hati. Hisarma Saragih dan Ulung Napitu, Etnik Simalungun dalam Menyikapi Falsafah Hidup Sebagai Warisan Budaya, Jurnal Berkala Arkeologi “SANGKHAKALA”,ISSN 1410-3974 nomor : 11/2003, Pusat Penelitian Arkeologi Balai Arkeologi Medan,2003. hlm.39. 26 Budi Agustono, dkk., Sejarah Etnis Simalungun, Simalungun: Tanpa nama penerbit, 2012. hlm. 179.

17

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

kuno. Dengan hilangnya rumah bolon maka Simalungun juga kehilangan budaya aslinya dan condong mengikuti budaya lain yang belum tentu sejalan dengan budaya asli Simalungun.27

Proyek pengembangan permuseuman Sumatera Utara Departeen Pendidkan dan Kebudayaan republik Indonesia 1980/1981 yang berjudul “ laporan survey

„Monografi kebudayaan suku batak simalangun di kabupaten Simalungun” menguraikan monografi kebudayaan Simalungun baik gambaran umum kabupaten

Simalungun, struktur sosial, system religi, bahasa dan kesenian Simalungun. Latar belakang dalam penilisan buku ini, kekhawatiran pencampuran budaya asli

Simalungun degan budaya luar, maka disegerakanlah pencatatan kebudayaan yang ada dan pengaruhnya terhadap Simalungun.

Tuanku Luckman sinar asarshah, s.h. dan Letkol.purn.MD.Purba dalam buk yang berjudul “ Lintasan adat dan Budaya Simalungun” yang menguraikan struktur/susunan masyarakat Simalungun yang sejak dahulu dalam kehidupan sehari- hari, terdiri dari 2 aspek, yaitu : Aspek pemerintahan dan aspek adat istiadat.

Berdasasrkan aspek adat- istiadat susunan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari berbentuk Tolu Sahundulan dan Lima Saodoran.28

1.7 Metode Penelitian

Tesis ini nantinya akan menggunakan metode yang lazimnya digunakan dalam penelitian sejarah adalah metode sejarah. Dalam metode sejarah terdapat beberapa

27 Ibid. 28 Tuanku Luckman sinar asarshah, s.h. dan Letkol.purn.MD.Purba, Lintasan adat dan budaya Simalungun, Forum Komunikasi Antar Lembaga Adat ( Forkala ) Sumatera Utara,2009, hlm.22.

18

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

langkah-langkah yang meliputi heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (kritik sumber), interpretasi dan historiografi (penulisan).29 Semua tahapan-tahapan ini sangat penting karena dari keempat tahapan ini kemudian peneliti dapat terarah dalam menyelesaikan penelitian tesis ini.

Tahapan pertama adalah pengumpulan sumber, sumber-sumber yang dikumpulkan adalah sumber-sumber sejarah yang banyak tersimpan di Arsip

Nasional Republik Indonesia (ANRI), Arsip Daereah Simalungun, Perpustakaan

Simalungun dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). Pada umumnya sumber-sumber yang dicari dan dikumpulkan yang kemudian dijadikan sebagai bahan informasi untuk penelitian ini terdiri dari dua golongan besar. Pertama, adalah sumber-sumber tertulis primer yakni arsip-arsip yang terdapat di ANRI. Kedua, adalah sumber-sumber tertulis sekunder yakni buku-buku, koran, terbitan berkala, atrikel, dan sebagainya baik yang berbahasa Indonesia, Inggris maupun Belanda.

Selain sumber primer, peniliti juga menemukan beberapa sumber sekunder di beberapa perpustakaan seperti Perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara,

Perpustakaan Daerah Provinsi Sumatera Utara, Perpustakaan Kota Medan,

Perpustakaan Tengku Lukman Sinar, dan Perpustakaan Pusat Stusi Ilmu-Ilmu Sosial

(PUSIS) UNIMED.

Setelah sumber-sumber sejarah terkumpul semuanya, barulah peneliti mengerjakan tahapan kedua dalam metode penelitian yakni verifikasi atau kritik sumber. Dalam tahapan ini terdapat dua jenis kritik yakni kritik intern yakni kritik

29 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2001, hlm. 91.

19

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

terhadap isi sumber tersebut dan kritik ekstern yakni kritik terhadap sumber-sumber tersebut apakah perlu digunakan atau tidak.30 Kritik intern penting dilakukan mengingat belum tentu sumber-sumber sejarah yang peneliti dapatkan di ANRI,

PNRI maupun di berbagai perpustakaan teruji keasliannya atau belum tentu benar informasi yang didapatkan dari sumber-sumber sejarah tersebut. Selain kritik intern, perlu juga dilakukan kritik ekstern. Kritik ekstern penting dilakukan karena banyak sumber-sumber yang peneliti dapatkan belum tentu berguna untuk penulisan tesis.

Dalam kata lain kritk ekstern ini dapat dikatakan sebagai proses penyeleksian sumber-sumber sejarah yang diperlukan bagi penulisan tesis.

Tahapan selanjutnya adalah interpretasi yaitu memuat analisis dan sintesis terhadap data yang telah dikritik atau diverifikasi. Tahapan ini dilakukan dengan cara menafsirkan fakta, membandingkannya untuk diceritakan kembali dalam bentuk tulisan. Interpretasi atau penafsiran sering disebut sebagai biang subyektifitas.31

Maka peneliti menghindari sebisa mungkin subyektifitas dalam menarik kesimpulan yang diperolah dari fakta-fakta sumber-sumber yang telah di kritik atau verifikasi.

Tahapan terakhir dari metode ini adalah historiografi atau penulisan. Tahapan penulisan dilakukan agar fakta-fakta yang telah ditafsirkan baik secara tematis maupun kronologis dapat dituliskan. Historiografi merupakan proses mensintesakan fakta suatu proses menceritakan rangkaian fakta dalam suatu bentuk tulisan yang kritis analitis dan bersifat ilmiah sehingga tahap akhir dalam penulisan ini dapat

30 Ibid., hlm. 99. 31 Ibid., hlm. 100.

20

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dituangkan dalam bentuk tesis dengan terlebih dahulu menulis rancangan daftar isi atau outline.

1.8 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan sangat penting untuk memberikan gambaran umum pada peneliti untuk menyusun penulisan tesis ini. Sistematika penulisan yang dimaksud antara lain sebagai berikut:

BAB I. Pendahuluan; latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan;

BAB II. Mendeskripsikan gambaran umum etnis Simalungun, gambaran geografis dan kependudukan, adat kebiasaan orang simalungun, system mata pencaharian, dan sitem kepercayaan awal etnis simaungun

BAB III. Mendeskripsikan perjumpaan etnis Simalungun dengan Orang asing,

Belanda sebagai Kolonial, zending Kristen protestan, dan terbentuknya komunitas

Kristen protestan

BAB 1V.Mendeskipsikan kesadaran identitas etnis Simalungun, identitas etnis

Simalungundalam arus zending, kesadaran identitas Kristen Simalungun, dan penguatan identitas Simalungun melalui lembaga adat Partuha Maujana Simalungun.

BAB V. Penutup; yang berisi kesimpulan dan saran.

21

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB II DEMOGRAFI UMUM ETNIS SIMALUNGUN

2.1 Gambaran Wilayah Simalungun

”Simalungun” digunakan sebagai nama wilayah pemerintahan yakni Kabupaten

Simalungun dan sebagai nama salah satu suku bangsa diIndonesia. Kata Simalungun digunakan pihak Belanda untuk menamai sebuah wilayah, yakni “Simeloengoen- landen” (Tanah Simalungun) yang meliputi beberapa kerajaan yaitu: Kerajaan Purba, kerajaan Panei, kerajaan Dolog Silou, kerajaan Siantar, kerajaan Raya, kerajaan

Silimakuta, dan kerajaan Tanah Jawa. Pada Awalnya, daerah itu lebih di kenal dengan sebutan Batak Timur, dikarenakan letaknya di sebelah Timur Tapanuli. Suku bangsa yang mendiaminya juga di sebut Batak Timur, karena budaya mereka dianggap berbeda dengan budaya suku-suku Batak lainnya. Namun, suku Batak

Timur (yang kemudian bernama Simalungun) tidak hanya terdapat di wilayah

Kabupaten Simalungun saja. Sebelum belanda masuk, sudah cukup banyak wilayah yang berpenduduk Simalungun menaklukkan diri (martuan/marpaung) ke penguasa wilayah lain (seperti Padang, Serdang, Deli, Batu Bara, Asahan dan Karo). Sebagian dari mereka membaurkan diri dengan budaya yang mempengaruhinya dan menanggalkan identitas mereka sebagai orang Simalungun. Tetapi, ada juga yang tetap mempertahankan identitas budaya sukunya, termasuk dalam sistem pemerintahan huta (kampung). Di daerah bekas Kesultanan Deli dan Serdang bahkan memiliki aturan dan susunan pemerintahan sendiri menurut adat dan budaya

22

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Simalungun. Sedangkan dalam kesultanan Serdang untuk daerah Batak Timur ditempatkan wakil sultan yang disebuat ”wakil sultan Batak Timur Dusun.32

Dalam Pustaka Simalungun Kuno (Pustaha Parpadanan Na Bolag) dikisahkan bahwa cikal bakal daerah Simalungun (Parpadanan Na Bolag) pada zaman dulu adalah kerajaan tertua di Sumatera Timur yang meliputi wilayah yang sangat luas, bermula dari Jayu (daerah pesisir selat malaka) hingga ke Toba. Malah, ada yang menyebut wilayahnya meliputi daerah Gayo dan alas di Aceh sekarang hingga keperbatasan sungai Rokan di . Namun, dalam perkembangan sejarahnya, sejak abad ke-15 sampai abad ke-20 satu demi satu daerah kediaman suku bangsa

Simalungun makin menciut hingga menyisakan wilayah seluas kabupaten

Simalungun sekarang. Masuknya penjajah Belanda khususnya sejak penandatanganan

Traktat siak oleh kesultanan siak tahun 1858 memuluskan usaha Belanda untuk menguasai daerah-daerah yang masih merdeka di Sumatera Timur dan mendorong proses pengepingan daerah Simalungun. Khususnya invasi yang terus menerus meluas dari Kesultanan Melayu, mengancam eksistensi kerajaan-kerajaan tradisional

Simalungun yang berpusat di pedalaman. Pada tahun 1865 misalnya, Sultan

Basyaruddin Syaiful Alamsyah Sultan Serdang (1862-1946) dipaksa oleh Belanda untuk menyerahkan daerah Denai, Padang dan Badagei yang penduduknya mayoritas

Suku bangsa Batak Timur kepada jajahan Sultan Deli.

32 J Purba, Sejarah Etnis Simalungun. (Pematang Siantar: Presidium Partuha Maujana Simalungun. 2012), hlm.124.

23

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Penciutan daerah Simalungun berlanjut terus sampai tahun 1901 dimana

Belanda dengan paksa memasukkan daerah Partuanon Badjalinggei dan Dolog

Marawan ke daerah kekuasaan Sultan Deli yang mendapatkan protes keras dari Raja

Panei Tuan Djontama Purba Dasuha. Raja bahkan berangkat ke Medan untuk menghadap Residen pesisir Timur Sumatera, namun sesampai di sana raja dimasukkan ke dalam penjara. Pada tahun 1865-1866 ketika Belanda mulai menancapkan kuku penjajahannya ke Simalungun dalam ekspedisinya yang pertama ke daerah Simalungun Hilir dan selanjutnya mengintensifkan aneksasinya atas daerah yang subur ini daerah Simalungun berbatas dengan Sibolangit (Landschap Suka) di sebelah utara Danau Toba dan Tuktuk Sipiak (Parapat) di sebelah Tenggara berlanjut terus hingga ke gunung Dolog Pangulubau dan sungai Bah Silou sebagai batas alam

Simalungun dengan Asahan. Sedangkan disebelah Timur berbatas dengan

Onderafdeelingen Batubara dan Padang Bedagei serta Serdang. Luas wilayah

Onderafdeelingen Simeoloengoen setelah pasifikasi tercatat 441.380 hektar dengan perincian: Landchap Siantar (93.510ha), Dolog Silou (35.160ha), Poerba (23.270ha) dan Silimakuta (25.000ha).33

Topografi Simalungun terdiri dari dataran rendah dan pengunungan dikelilingi

Bukit Barisan di sekitar Danau Toba dengan ketinggian sekitar 1200 meter dari permukaan laut. Pengunungan yang terdapat di dataran tinggi Simalungun adalah:

Dolog Batu Mardinding (1608m), Dolog Marpalatoek(1770m), Dolog Sisae-Sae

33 Tideman, J. 1922. Simeloengoen: Het Lan der Timoer- in Zijn Vroegere Isolatie en Zijn Ontwikkeling tot een deel van het Cultuurgebied van de Oostkust van Sumatera, Leiden: Stoomdrukkerij Louis H. Bacherer. hlm.127-130.

24

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(1764m), Dolog Batu Loting (1810m), Dolog Sipoloeng, Dolog Simnoek-Manoek yang merupakan batas antara Simalungun, Asahan dan Tapanuli. Dekat perbatasan dengan Tanah Karo terdapat Dolog Sipiso-Piso (Tanduk Banua 1946m), Dolog

Singgalang (1844m), Dolog Simarjaroenjoeng serta Dolog Simbolon (1511m) di dekat perbatasan Raya dengan Padang Badagei. Sungai yang terdapat di Simalungun umumnya bermuara ke Selat Malaka seperti Sungai Bah Bolon, Bah Kasindir, Bah

Sialu Tua, Bah Karei (Sungai Ular), Bah Bahapal, Bah Tongguron, Bah Kuras, Bah

Hapasuk.

Secara geografis Simalungun letaknya di lereng Bukit Barisan sebelah Timur adalah daerah yang hawanya sejuk dan nyaman, keadaan alamnya yang indah, sudah cukup terkenal di daerah ini bahkan di seluruh tanah air. Parapat, Haranggaol, Tigaras adalah objek wisata yang mempunyai masa depan yang gemilang.Untuk lebih jelasnya Simalungun berbatasan dengan daerah: Sebelah Utara: Kabupaten Deli

Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai; Sebelah Barat: Kabupaten Karo; Sebelah

Selatan : Kabupaten Tapanuli Utara; Sebelah Timur : Kabupaten Asahan.

Pada tahun 196234 Kabupaten ini memiliki 17 kecamatan dengan statistic penduduk Simalungun adaah sebagai berikut:

Tabel 1. Statistik Penduduk Simalungun tahun 1962 di Simalungun Atas Daerah Jumlah Simalungun Batak Jawa Suku Penduduk (%) Toba (%) lainnya (%) (%)

34 Clauss, wolfgang. Economic and Sosial Change among the Simalungun Batak of North Sumatera. Saarbrucken Fort Laurdeedale: Verlag Breitenbach Publishers, 1982.hlm. 36.

25

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1 Silimakuta 10.246 90 2 0,5 7,5

2 Purba 13.046 95 2 0,0 3

3 Dolog Silau 6.737 95 1 1 3

4 Silau Kahean 9.906 85 2 10 3

5 Raya Kahean 6.760 90 3 2 5

6 Dolog 11.054 80 15 2,5 2,5

Perdamean

7 Raya 19.250 95 2 2 1

Tabel 2. Statistik Penduduk Simalungun tahun 1962 di Simalungun Bawah Daerah Jumlah Simalungun Batak Jawa Suku penduduk (%) Toba (%) lainnya (%) (%) 1 Siantar 63.263 10 40 40 10

2 Sidamanik 28.543 30 20 30 20

3 Panei 38.210 30 30 30 10

4 Jorlang Hataran 12.710 20 50 20 10

5 Tanah Jawa 95.576 20 30 30 20

6 Bosar Maligas 48.801 20 30 30 20

7 Dolog 15.105 10 60 10 20

Pangaribuan

8 Girsang 5.976 10 70 2.5 17,5

Sipangan Bolon

26

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

9 DologBatu 44.145 30 20 40 10

Nanggar

10 Bandar 97.477 30 20 40 10

Total 526.835

Dapat dilihat dari statistik diatas bahwa suku Simalungun lebih dominan

Setelah masuknya Belanda disusul oleh etnis Batak Toba dan Jawa. Sedangkan di wilayah Simalungun Bawah yang merupakan daerah Perkebunan sejak zaman

Belanda didominasi oleh suku Batak Toba dan Jawa. Etnis Batak Toba dan Jawa sengaja didatangkan oleh pada tahun 190735 oleh pemerintahan Belanda dalam rangka tujuan politis ekonomi dan agama. Batak Toba selain didatangkan untuk membuka persawaan untuk persediaan logistik beras buruh perkebunan di

Simalungun juga dalam rangka kristenisasi Etnis Simalungun dari yang beragama suku ke agama Kristen Protestan sedangkan Suku Jawa didatangkan ke simalungun sebagai buruh kontrak ( Contract Coeli ) di perkebunan-perkebunan yang telah dibuka oleh Belanda di Simalungun.

Hingga tahun 1960 agama orang Simalungun atas lebih dominan Kristen dan

Khatolik sedangkan di Simalungun Bawah loebih dominan yang Beragama .36

Meskipun berbeda kepercayan, kerukunan umat beragama di simalungun cukup baik dan toleran. Hal ini dapat dilihat didalam satu kerbat dekat, kedua agama itu menjadi

35 Budi Agustono, dkk., Sejarah Etnis Simalungun, Simalungun: Tanpa nama penerbit, 2012. hlm. 135. 36 Ibid.

27

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

kepercayaan oleh mereka, sehingga pertentangan dengan dasar perbedaaan agama atau keyakinan hampir tidak pernah pernah ditemukan diantara orang Simalngun.

Orang simalungun biasanya berbahasa daerah ketika sedang berbicara terhadap sesame suku sedangkan dengan suku lainnya biasanya mereka cenderung menyesuaikan dengan bahasa lawan bicaranyayang berbeda suku.

Banyak beranggapan bahwa itu adalah sisi lemah dari orang Simalungun yang tidak bisa mempertahankan bahasa daerahnya sendiri. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa orang Simalungun ketimbang menunggu lawan bicaranya mengungkapkan perasaannya dalam bahasa Simalungun yang tidak dikuasai mereka, orang Simalungun cenderung memilih untuk mempelajari bahasa lawan bicaranya untuk melancarkan komunikasi mereka. Sebagai contohnya, diperbatasan Simalungun dengan Karo orang simalungun cenderung berbahsa karo sedangkan orang karo tidak menggunakan bahasa Simalungun. Di perbatasan Simalungun dengan batak Toba orang Simalungun berbahsa Toba sedangkan sebaliknya orang batak Toba tidak menggunakan bahasa Simalungun begitu juga dengan wilayah lainnya.

2.2 Sejarah Singkat Orang Simalungun

Asal usul orang Simalungun masih diliputi oleh banyak misteri, sama halnya dengan asal-usul raja-raja Simalungun yang dibungkus oleh legenda dan mitos. Ada beberapa naskah kuno yang sedikit menjelaskan asal usul beberapa marga-marga

Simalungun, itu pun tidak menyeluruh menjelaskan asal usul leluhur marga-marga

Simalungun. Kalaupun ada naskah kuno (misalnya, Pustaha Tuan Bandar Hanopan) yang menerangkan asal usul seluruh marga yang disebut halak (suku bangsa)

28

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Simalungun. Secara umum, diketahui bahwa orang Simalungun termasuk rumpun proto Melayu yang berasal dari Hindia Belakang. Di duga moyang suku bangsa

Simalungun berasal dari dua keturunan nenek moyang berdasarkan gelombang masuknya ke Simalungun.

Gelombang pertama yang datang dari India Belakang melalui Aceh (pesisir

Timur dan sebagian dari Singkel (pesisir Barat), sedang gelombang kedua merupakan peleburan suku-suku bangsa yang kemudian masuk ke Simalungun dan memakai adat dan budaya Simalungun yang secara populer disebut ”namarahap Simalungun”.

Selama berabad-abad nenek moyang suku bangsa Simalungun ini berdiam di Pantai dan setelah masuknya orang-orang Melayu dari Malaka akibat serbuan Portugis tahun

1511 berangsur-angsur mereka terdesak hingga mencapai pedalaman Sumatera sampai ke pinggiran Danau Toba.37

Yepes, etnolog yang lama tinggal di tanah Batak, menyebutkan bahwa suku bangsa Batak yang mendiami pengunungan sekitar Dolog Pusuk Buhit, leluhurnya semula berasal dari Utara pulau Sumatera yaitu daerah Pasai dari sana menyebar ke

Gayo-Alas dan sebagaian lagi ke pinggiran Danau Toba. Neuman menyebutkannya dengan banyaknya cabang marga Tarigan yang hampir sama dengan cabang marga

Purba di Simalungun. Lagi pula tidak adanya marga Tarigan yang menjadi penguasa

(Sibayak) di tanah karo memberi kesan bahwa mereka adalah marga pendatang di sana.

37 D,Kenan Purba. Sejarah Simalungun (Jakarta: Bina Budaya Simalungun.1995), hlm.3-5.

29

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dengan demikian dari penelitian para ahli di atas kemungkinan bermarga yang ada pada suku-suku bangsa rumpun Batak itu diawali ketika mereka masih berada di daerah Gayo, kemudian semakin berkembang sesampai mereka di daerah kediaman suku-suku bangsa tersebut. Dengan begitu, anggapan yang menyatakan etnis

Simalungun merupakan bagian ”peralihan” dari suku bangsa Batak Toba tidak berdasar pada fakta sejarah Simalungun. M.D. Purba memberikan argumentasi bagaimana marga-marga Simalungun yang empat itu (Sinaga, Saragih, Damanik, dan

Purba) berkembang dan menyebar sampai ke luar daerah Simalungun yaitu Tapanuli ketika serbuan asing mencoba untuk menalukkan daerah Simalungun. Untuk menyelamatkan diri, banyak diantara mereka yang terpaksa mengungsi sampai ke

Tapanuli dan daerah-daerah yang dianggap relatif aman, bahkan menyeberang sampai ke Pulau Samosir. Di pulau ini keturunan keempat marga induk proto Simalungun ini berasimilasi dan berintegrasi dengan marga suku bangsa Batak Toba setempat, sehingga muncullah opini di kemudian hari yang menyatakan bahwa marga

Simalungun yang empat itu berasal dari Pulau Samosir.

Penduduk Kabupaten Simalungun yang merupakan penduduk aslinya, adalah suku Simalungun. Daerah Simalungun sekarang didiami oleh suku-suku atau golongan-golongan yang heterogen. Suku yang paling banyak di Simalungun yang menempati posisi pertama dan kedua yaitu suku Jawa dan Toba/Tapanuli baru disusul posisi yang ketiga penduduk asli (Simalungun). Bahasanyapun disana-sini sudah menunjukkan perbedaan-perbedaan dan tidak mempunyai kesatuan yang bulat. Hal ini dapat kita pahami karena daerah ini didiami banyak suku bangsa. Apa yang kita

30

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

sebut sebagai suku “Simalungun asli” dan “bahasa Simalungun asli” tidak begitu menonjol, sehingga tidaklah berlebih-lebihan kalau kita mengatakan bahwa proses nasionalisasi Simalungun adalah yang terdepan diantara suku-suku lainnya, di

Sumatera Utara bahkan di Indonesia. Ini ternyata, bahwa putera-puteri daerahnya sedikit sekali yang kawin dengan gadis-gadis daerah itu sendiri.38

2.3 Sistem Religi Orang Simalungun

Orang Simalungun pada awalnya menganut kepercayaan agama suku dan mereka menyebut parbegu atau sipajuh begu-begu. Orang Simalungun percaya bahwa setiap makhluk, tumbuh-tumbuhan atau alat tertentu mempunyai kekuatan gaib.39 Allah yang dipuja orang Simalungun ialah Naibata, semacam tritunggal yang menguasai bumi (nagori) di atas dan di bawah, serta di tengah. Sejak zaman dahulu menurut Pustaha Parpandanan Na Bolag, orang Simalungun sudah percaya bahwa di atas segala sesuatunya di dunia ini, hanya Naibata yang maha kuasa atas seluruh makhluk. Naibata akan memberikan ganjaran yang adil dan setimpal bagi manusia sesuai dengan perilaku yang diperbuatnya. Apabila ada orang yang berbuat tidak adil, maka Naibata akan menimpakan kepadanya hukuman, bukan hanya kepada oknum yang melakukan ketidakadilan itu, tetapi juga kepada keturunannya.

Roh-roh yang menjadi pujaan orang Simalungun selain Naibata, adalah

Sinumbah dan Simagod. Sinumbah yaitu roh yang diyakini mendiami suatu tempat yang dianggap keramat, seperti kayu besar, batu, sungai dan medium lainnya yang

38 J Purba, .Op.cit. hlm.131-133. 39 Tambak T.B.A. Purba, 1982, Sejarah Simalungun, Percetakan HKBP, Pematangsiantar. Hlm. 133.

31

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dianggap berkuasa yang disebut parsinumbahan yang disucikan dan dikeramatkan penduduk sebuah kampung atau harajaan. Kekuatan gaib Sinumbah diyakini dapat melindungi bahkan menandingi kuasa Sinumbah dari pihak yang lain yang ingin mencelakakan orang Simalungun dalam huta tertentu.

Orang Simalungun pada awalnya percaya Sinumbah adalah „roh‟ yang diciptakan oleh Naibata bersama dengan manusia dan dikirimkan ke dunia ini, sedangkan Simagod ialah „roh‟ yang sudah mati. Jika ada sesuatu yang mereka inginkan dari Sinumbah atau Simagod maka mereka mengadakan upacara ritual khusus dengan memberikan kurban atau menyatakan nazar atau niatnya kepada sembahannya itu. Bila „roh‟ itu menepatinya, maka ia harus menepati janjinya atau nazarnya dengan upacara khusus yang disebut Manganjab Simagod atau Sinumbah.

Tradisi Manganjab Simagod ni Panakboru Anggaranim boru Damanik di kolam renang Pamatang di Siantar masih dilakukan pada masa pemerintahan Belanda

(1907-1908). Controelur J.L.O. Brien sendiri menurut Hasan Pane Paruhum bahkan ikut mengorganisisr pesta itu.40 Menurut legenda, upacara ini berawal dari cerita bahwa puteri Raja Siantar yang sangat cantik jelita berubah menjadi ular besar, disebabkan rasa kesalnya akibat ranting kayu yang jatuh dan melukai hidungnya.

Sang puteri yang konon tinggal menunggu hari perkawinannya dengan putera Raja bermarga Purba, bersumpah pada seluruh puteri keturunan marga Damanik dari

Kerajaan Siantar, agar jangan berwajah cantik, molek sebagaimana dirinya. Sebelum

40 Simanjuntak, Batara Sangti. 1977. Sejarah Batak. Hlm 166.

32

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

ia meninggalkan Tapian Suhi Bah Bosar, dipesankannya agar keturunan Raja Siantar setiap tahun mengadakan upacara adat Manganjab Simagod.41

Di Kerajaan Panei terkenal Sinumbah Simangalobong yang dipercaya memiliki kekuatan melindungi kerajaan dari serangan atau niat jahat musuh. Mula-mula

Sinumbah ini terletak di Suha Bolag dekat Tigarunggu (kampung asal raja Panei marga Purba Sidasuha) kemudian dipindahkan ke Panei di Kampung Bah Kapul dekat sungai kecil bernama Bah Silobong42. Begitu banyaknya orang yang datang pada masa manumbah ini sebagaimana horja horja adat (pesta adat) yang dilakukan oleh orang Simalungun. Mereka percaya bahwa tonduy, tuah atau begu-begu mempunyai sifat-sifat yang berbeda, sebagaimana dalam ungkapan Simalungun,

“Martonduy na manggoluh, marbegu na dob matei” artinya, „bahwa manusia yang hidup yang mempunyai roh, sementara orang yang sudah meninggal rohnya berubah menjadi semacam “hantu” atau makhluk halus‟. Hakekatnya, pada religi asli orang

Simalungun, tonduy tidak pernah mengganggu, sebaliknya begu-begu sering memberikan gangguan kepada makhluk hidup. Sipayung (1978),43 berpendapat bahwa kebahagiaan manusia dan keberuntungannya dalam kehidupan ini ditentukan oleh tonduy. Tonduy juga memiliki tempat-tempat kediaman tertentu di tubuh manusia, seperti: Si Tarihat yang berada di kulit, Si Ramboeni yang tinggal di dalam

41 Amin T. dan Damanik Sidamanik, Jaramen, 1976 : Turi-turian ni Ompung Na I Horsik, Pematangsiantar : diterbitkan Persatuan Ompung Na i Horsik. Hlm. 131. 42 Purba, M.D. 1970, Pustaha Panei Bolon (Naskah Ketikan), Pematangsiantar: Kalangan Sendiri. Hlm. 7. 43 K. Sipayung dalam Ambilan pakon Barita: Majalah Bulanan Gereja Kristen Protestan Simalungun, Nomor 53. Juli 1978. Hlm 21

33

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

daging, Si Goeliman yang menyerupakan dirinya dalam bentuk otot atau pembuluh darah, Si Pangoetan yang berdiam di dalam tulang, dan Si Djoenjoengan yang menempati kepala atau otak manusia.

Keseluruhan tonduy ini merupakan unsur-unsur yang melindungi dan menolong manusia. Posisi tonduy dan hubungannya dengan tubuh (Angkula) sangat erat sekali.44 Orang Simalungun juga percaya kepada benda-benda tertentu yang dapat memberikian perlindungan kepada pemiliknya. Kepercayaan ini merupakan bagian dari “agama asli” orang Simalungun, sebelum masuknya Islam dan penginjilan

Kristen di Simalungun.

2.4 Marga Orang Simalungun

Budi Agustono dkk,45 juga Kaco46, berpendapat bahwa setiap bangsa di dunia ini memiliki cerita sendiri asal usul marga mereka yang disebut folklore. Sebagai contoh bahwa orang Yunani menghubungkan nenek moyangnya dengan Dewa Zeus, orang Jepang dengan Dewi Amaterasu Omikami, orang Gowa Selatan dengan mitos Tumanurunga, orang Toba dengan mitos Si Raja Batak yang menurut mitos diturunkan para dewa di Pusuk Buhit. Orang Minangkabau percaya bahwa mereka diturunkan di Bukit Siguntang dari Sang Sapurba yang konon adalah turunan

Iskandar Zulkarnain. Orang Simalungun sendiri percaya mereka datang dari seberang

44 Tideman, J. 1922. Simeloengoen: Het Lan der Timoer-Bataks in Zijn Vroegere Isolatie en Zijn Ontwikkeling tot een deel van het Cultuurgebied van de Oostkust van Sumatera, Leiden: Stoomdrukkerij Louis H. Bacherer. Hlm. 157-159. 45 Agustono, Budi dkk., 2012. Sejarah Etnis Simalungun, Medan : Diterbitkan atas kerjasama Pemda kabupaten Simalungun dengan FIB Universitas Sumatera Utara Medan. Hlm 20-21. 46 Kaco.H, Suardi. 2012, Sejarah Benteng Somba Opu Sebagai Situs Sejarah: dari Pembiaran ke Perusakan dalam M.Nurkhoiron, Ruth Indah Rahayu.ed. Identitas Urban, Migrasi dan Perjuangan Ekonomi Politik di Makassar, Depok: Yayasan Desantara.

34

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

atau tepatnya dari suatu tempat nun jauh dari daratan pulau Sumatera yang dalam cerita rakyat disebutkan datang dari Banua Holing, Tanah India.

Folklore orang Simalungun menceritakan bahwa zaman dahulukala di

Simalungun berdiri kerajaan Nagur sebagai penguasa yang cukup kuat melindungi rakyatnya, namun pada masa kerajaan ini terjadi wabah penyakit sampar (kolera) yang sangat meluas. Penyakit ini sendiri menurut orang Simalungun dahulu berawal dari kutukan „dewa‟ (orang Simalungun Naibata) sehingga banyak orang meninggal.

Untuk menghindari penyakit ini maka para „tabib‟ Simalungun menganjurkan bahwa orang Simalungun harus keluar dari kerajaan Nagur dan harus menyeberangi „air‟ supaya wabah penyakit tidak dapat mengikutinya, akibatnya orang Simalungun pergi menyeberang dan menuju Danau Toba yang orang Simalungun menyebut dengan

„laut tawar‟ atau „Bah Sibongbong‟. Menurut alam pikiran orang Simalungun ketika itu bahwa air danau berhasiat selain sebagai penangkal ‟Hantu Sampar‟ juga sebagai penawar atau „tawar‟ (obat). Begitu kejam dan sadisnya penyakit sampar sampai orang Simalungun member makian atau sumpah serapah dikaitkan dengan „sampar‟ misalnya “matei ma ho ibuat Sampar Hantu Bedagai” artinya matilah engkau dimakan Hantu Bedagai. Hal ini mengingatkan akan kekejaman wabah sampar di kampung Bedagai pada zaman dulu. Dari kerajaan Nagur orang Simalungun pergi menyeberangi danau dan sampai ke satu daerah yang mereka sebut „sahali misir‟

(sekali berangkat ke seberang) sekarang disebut Samosir. Setelah beberapa tahun

35

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

kemudian orang Simalungun yang mengungsi sudah merasakan bahwa kerajaan

Nagur telah aman dari wabah penyakit tersebut, maka mereka pulang kembali ke daerah asalnya Nagur yang sudah „sepi‟ mereka merindukan daerah itu (malungun) dan sadar bahwa apa yang tertinggal hanya sima-sima (peninggalan) saja, dengan demikian nama daerah itu disebut simalungun, yang merupakan perpaduan kata

„sima-sima‟dan „lungun‟.

Orang Simalungun membantah nenek moyang mereka berasal dari keturunan orang Batak dari Toba seperti yang diceritakan dalam tarombo (silsilah) orang Batak

Toba. Ketika peneliti bertanya kepada KM. Damanik dalam suatu percakapan tentang hal diatas maka beliau berpendapat : bahwa leluhur „kami‟ Simalungun berasal dari seberang lautan (dipar) yaitu dari Tanah India (Banua Holing), datang dalam dua gelombang, rombongan pertama disebut Simalungun Naparlobei atau Proto

Simalungun. Rombongan ini sampai ke Simalungun setelah melewati daerah Assam di India Timur, menyusuri Birma (Myanmar), Siam dan Malaka, terus menyeberang ke Sumatera Timur tepatnya di daerah Kabupaten Batu Bara sekarang. Kemudian mereka bertempat dan menetap di sekitar pesisir Timur (sekarang kabupaten Serdang

Bedagai, Batubara, Tebing Tinggi) dan membentuk kerajaan yang pertama yang bernama Kerajaan Nagur.

36

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Menurut Agustono.dkk,47 dan juga Purba,48, bahwa nama kerajaan Nagur ini sama dengan nama daerah di India yaitu Kerajaan „Nagpur‟ atau „Nagore‟. Kerajaan

Nagur sudah dicatat di Tiongkok pada zaman dinasti Sui abad ke-6. Raja Nagur yang pertama bernama Datuk Parmanik-manik yang kemudian berubah menjadi Damanik

(„da‟ artinya ‟Sang‟ dan „manic artinya „berwibawa‟). Diyakini marga Damanik merupakan marga penguasa pertama di Simalungun, dan keturunan Damanik ini juga menjadi penguasa di Kerajaan Siantar sekitar abad ke-14. Kerajaan Siantar merupakan bagian dari Simalungun dan sekarang sudah menjadi daerah Tingkat II kota Pematang Siantar.

Kerajaan Nagur ternyata tidak abadi sebab mengalami perpecahan diantara elite kerajaannya, terjadi saling berebut kekuasaan dan perang saudara. Dalam suasana perang saudara tersebut, muncul kesadaran diantara elite kerajaan disebabkan munculnya musuh dari luar kerajaan yaitu dari negeri India, sehingga mereka berdamai dan bersatu menghadapi musuh dari luar kerajaan. Dari perdamaian ini maka mereka membentuk empat kelompok marga di Simalungun seturut dengan nama Panglima Kerajaan Nagur yaitu: (1) Raja Banua Purba (Purba artinya „timur‟) menjadi Raja Silou (membentuk kerajaan Dolog Silou, Panei dan Silimakuta) bermarga Purba; (2) Raja Banua Sobou Parnabolon menjadi marga Saragih (Sa-Ragih artinya „sang pemilik aturan‟) dan keturunannya menjadi yang dipertuan di daerah

47Budi Agustono, dkk., Sejarah Etnis Simalungun, Simalungun: Tanpa nama penerbit, 2012. hlm. 23-24.. 48Purba, M.D.1977, Mengenal Kepribadian Asli Rakyat Simalungun, Medan : Penerbit M.D.Purba Jl.Kap.Pattimura 441. Hlm. 8.

37

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Raya (sekarang kabupaten Simalungun), Padang Bedagai (sekarang kota Tebing

Tinggi dan Serdang Bedagai), dan Deli Serdang (sekarang wilayah Tanjung Merawa) dikenal dengan marga Saragih Garingging dan Saragih Dasalak; (3) Raja Saniang

Naga yaitu nama dewa penguasa lautan yang menjadi marga Sinaga penguasa di

Kerajaan Batangiou (kemudian beralih menjadi kerajaan Si Tonggang dan terakhir

Tanah Jawa) dan (4) Raja Nagur marga Damanik sebagai raja di kerajaan Nagur.

Berdasarkan keterangan tersebut diatas disimpulkan bahwa orang Simalungun mengakui adanya empat marga induk yang disingkat dengan Si Sa Da Pur, yaitu

Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba. Marga ini yang merupakan marga utama yang menjadi pemilik tanah di Simalungun semenjak zaman dahulu. Masing-masing marga berdiri sendiri dan bersifat eksogami. Untuk mengikat persaudaraan dan kekerabatan diantara keempat marga ini, maka masing-masing kerajaan yang empat ini (kerajaan

Tanah Jawa/Sinaga, kerajaan Siantar/Damanik, kerajaan Panei/Purba Dasuha, kerajaan Dolog Silou/Purba Tambak, kerajaan Raya/Saragih) memiliki tradisi budaya perkawinan antar kerajaan dimana permaisuri (Puang Bolon) haruslah berasal dari putri raja tetangganya yang berbeda marga. Adat yang berlaku adalah bahwa pewaris mahkota raja di seluruh Simalungun haruslah anak laki-laki tertua yang dilahirkan

Puang Bolon. Dan yang dapat menjadi Puang Bolon haruslah berasal dari putri raja tetangganya, demikian secara turun temurun tanpa terputus demi melanggengkan kekerabatan sesame raja Simalungun. Berdasarkan informasi bagaimana raja, marganya, dan asal / sumber permaisurinya (Puang Bolon) pada masa sebelum kemerdekaan RI (1945) adalah sebagai berikut :

38

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Tabel 3. Raja, marganya, dan asal permaisurinya (Puang Bolon) pada masa sebelum kemerdekaan RI (1945) di Simalungun No Nama Kerajaan Marga Raja Asal / sumber Permaisuri

(Puang Bolon)

1 Nagur Damanik Padang Rapuhan (Padang

Lawas

2 Batangiou Sinaga Nagur (Damanik)

3 Silou Purba Tambak Silou Nagur (Damanik) Buttu

4 Dolog Silou Purba Tambak Nagur (Damanik), kemudian Lombang Saragih Garingging (Raya

5 Tanah Jawa Sinaga Siantar (Damanik), Tuan Girsang dari Raya (Saragih Garingging), Tuan Dolog Panribuan dan Jorlang Hataran dari Simarimbun (Panei).

6 Panei Purba Dasuha Siantar atau Tuan Marihat (Damanik)

7 Siantar Damanik Tuan Silampuyang atau Sipoldas (Saragih Sidabuhit)

8 Purba Purba Pakpak Siantar (Damanik)

9 Raya Saragih Garingging Panei atau Bajalinggei atau Guru Raya (Purba Dasuha)

10 Silima Kuta Purba Girsang Raya (Saragih Garingging) atau

39

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dari Tongging (Saragih

Munthe)

Sumber: Agustono.dkk, 49 dan Tideman,50: (diolah).

Berdasarkan sistem perkawinan permaisuri yang berlaku pada raja orang

Simalungun maka dapat diduga bahwa ada politik perkawinan untuk menjaga keseimbangan dan stabilitas kekuasaan masing-masing raja untuk saling menjaga tidak saling menyerang sebab sudah memiliki pertalian keluarga. Selain itu orang

Simalungun juga mengakui adanya marga marga cabang dari marga utama tersebut yaitu :

Tabel 4. Marga utama, Cabang marga orang Simalungun

No Marga Utama Cabang marga Daerah

1 Sinaga Nadihoyong Jorlang Hataran

Hataran Dolog Panribuan

Nadihoyong Bodat Girsang Sipangan Bolon

Sidahapintu Sibaganding

Sidasuhut Girsang Sipangan Bolon

Porti Tanah Jawa

Simandalahi Girsang Sipangan Bolon

49 Budi Agustono, dkk., Sejarah Etnis Simalungun, Simalungun: Tanpa nama penerbit, 2012. hlm. 23-24.. 50 Tideman, J. 1922. Simeloengoen: Het Lan der Timoer-Bataks in Zijn Vroegere Isolatie en Zijn Ontwikkeling tot een deel van het Cultuurgebied van de Oostkust van Sumatera, Leiden: Stoomdrukkerij Louis H. Bacherer. Hlm. 50-83.

40

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Sidanlogan Dolok Panribuan

Simanjorang Dolok Panribuan

Simaibang Girsang Sipangan Bolon

Sidabariba Girsang Sipangan Bolon

Sidagugur Girsang Sipangan Bolon

2 Saragih Sumbayak Raya, Raya Kahean

Garingging Silou Kahean

Dasalak Raya Kahean, Padang Bedagai

Dajawak Rakut Bessi

Simanihuruk Raya

Simarmata Silimakuta

Sitio Haranggaol, Silumbak

Turnip Tigaras

Sitanggang Tanah Jawa, Raya

Sidauruk Raya, Dolok

Sijabat Pardamean,Sidamanik

Munthe Dolok Pardamean, Sidamanik

Simbolon Raya, Dolok Pardamean,

Silimakuta

Purba, Horisan

3 Damanik Nagur/Rappogos Nagur Raya, Raya Kahean

41

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Usang Raya

Bariba Padang Bedagai

Bayu Siantar, Bandar

Hajangan Sidamanik

Simaringga Sipolha, Nagasaribu

Tomok Silimakuta

Soula Dolok Malela

Sarasan Tambun Raya,

Tomok Manik Saribu,

Ambarita Sihilon,

Gurning Hutamula.

Malau Sidamanik

4 Purba Tambak Dolog Silou,

Tambak Lombang Siloubuttu,

Tambak Bawang Serdang

Tambak Tualang Cingkes

Pakpak Purba, Panombean, Pane

Tua Dolog Silou, Serdang

Silangit Pane, Dolog Silou

Sigumonrong Raya, Dolog Silou

Sidasuha Lokkung, Marubun, Pane

42

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Sidadolog Raya, Sinaman, Lokkung,

Sidagambir Cingkes

Tondang Panei, Raya, Bajalinggei

Tambunsaribu Marihat, Raya

Siboro Sinaman, Raya, Saribudolok

Manorsa Raya, Huta Hinalang, Huta

Girsang Tano

Girsang Parhara Haranggaol, Siboro

Girsang Jongjong Gaunggungan,

Girsang Jabubolon Nagasaribu,

Girsang Tambun Silimakuta,

Girsang Siseat Hambing Purbasaribu

Tanjung Nagasaribu,

Sinomba Silimakuta,

Purbasaribu

Sipinggan, Hinalang

Tigarunggu, Hinalang

Sumber : Claus,51 ; Agustono.dkk,52 Tideman,53; Saragih, (1964: 7): (diolah)

51 Clauss, Wolfgang. 1982. Economic and Social Change among the Simalungun Batak of North , Saarbrucken Fort Lauderdale: Breilenbach. Hlm. 42. 52 Budi Agustono, dkk., Sejarah Etnis Simalungun, Simalungun: Tanpa nama penerbit, 2012. hlm. 26-28.. 53 Tideman, J. 1922. Simeloengoen: Het Lan der Timoer-Bataks in Zijn Vroegere Isolatie en Zijn Ontwikkeling tot een deel van het Cultuurgebied van de Oostkust van Sumatera, Leiden: Stoomdrukkerij Louis H. Bacherer. Hlm. 90-91.

43

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Seiring dengan perjalanan waktu, dan manusia semakin banyak jumlahnya serta munculnya kebutuhan akan kehidupan yang lebih layak maka wilayah Simalungun menjadi salah satu daerah yang menjanjikan kehidupan karena tersedia lahan yang luas, relatif subur dan jumlah orang Simalungun relatif sedikit suasana yang masih

„sunyi‟ atau lungun. Orang Simalungun juga menerima arus pendatang disebabkan kebutuhan akan tenaga kerja untuk lahan pertanian mereka. Mereka yang datang dan bekerja pada lahan orang Simalungun menyebutnya dengan istilah parombou atau

„pekerja‟. Mereka yang datang ini pada awalnya berasal dari Toba, dan Samosir.

Para Raja Simalungun dan penguasa Simalungun menerima orang dari Toba dan

Samosir menjadi warganya yang dijadikan sebagai pekerja dan harus menyesuaikan diri marga asalnya dengan marga Raja orang Simalungun (Sinaga, Saragih, Damanik,

Purba), dengan demikian mereka dapat diakui sebagai kaula merdeka, dan dapat diberikan tanah oleh Raja Simalungun. Untuk menyesuaikan dirinya orang-orang yang datang dari Toba dan Samosir itupun beradaptasi dengan marga raja dimana dia berdomisili dan melaporkannya kepada raja melalui aparatnya. Banyak marga yang menyesuaikan diri atau beradaptasi kepada marga orang Simalungun, dan mereka ini menjadi orang Simalungun sebab sudah mengakui marganya menjadi marga

Simalungun, sudah mempunyai Ahab Simalungun, mengaku dirinya orang

Simalungun, berbahasa Simalungun, berkepribadian Simalungun, berbudaya

Simalungun, berkesenian Simalungun dan beradat Simalungun. Diantara marga

44

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pendatang yang menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan marga orang Simalungun itu antara lain adalah :

Tabel 5. Marga utama, Cabang marga yang datang dan menyesuaikan dengan Marga Utama di Simalungun No Marga Utama Simalungun Marga yang datang dan menyesuaikan dengan marga utama 1 Sinaga a. Sipayung f. Sihotang b. Sihaloho g. Simanjorang c. Silalahi h. Situngkir d. Lingga i. Sidebang e. Sitopu 2 Saragih a. Munthe b. Simarmata 3 Damanik a. Manik b. Malau 4 Purba a. Simamora b. Sihombing Sumber : Agustono dkk.,54 ,Tideman 55,Saragih (1964 : 7) : (diolah).

54 Agustono dkk. Ibid. hlm. 26-28. 55 Tideman. Ibid. hlm. 90-91.

45

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB III KESADARAN IDENTITAS ORANG SIMALUNGUN

3.1. Masuknya Belanda dan Pengaruhnya di Simalungun

Orang Simalungun mulai berjumpa dengan bangsa barat sejak akhir abad ke-19 dan semakin intensip pada awal abad ke-20 yaitu dengan orang Belanda. Orang

Belanda datang adalah dengan misi dagang atau kepentingan ekonominya dan melakukan penjajahan, untuk melindungi usaha perkebunan yang telah dimulai di kawasan Sumatera Timur, serta melanjutkanya ke daerah Simalungun. Orang

Simalungun oleh Belanda dianggap sebagai bagian dari daerah „Batak Merdeka‟ karena itu perlu dikuasai melalui berbagai pendekatan terhadap orang-orang

Simalungun yang memiliki sistim kerajaan.

John Anderson56 ilmuan dari Inggris tahun 1823 telah berhasil mengunjungi daerah Sumatera Timur dan bertemu dengan orang Simalungun di daerah Asahan,

Batubara, bahkan ia sampai ke daerah Tanah Jawa Simalungun. Kemudian menurut

Tideman57 bahwa tahun 1865 pejabat kolonial Belanda Controleur A. C. Van den

Boer, mengunjungi daerah Asahan, Batubara, dan Tanah Jawa, demikian juga L. De

Schumaker mengunjungi daerah hulu Batubara dan Simalungun, dengan motif ekonomi untuk meneliti kemungkinan-kemungkinan perluasan perkebunan ke berbagai daerah di Sumatera Timur.

56 Anderson, John. 1971. Mission To The East Coast Of Sumatera In 1823, London New York : Oxford University Press. Hlm 119-152. 57 Tideman, J. 1922. Simeloengoen: Het Lan der Timoer-Bataks in Zijn Vroegere Isolatie en Zijn Ontwikkeling tot een deel van het Cultuurgebied van de Oostkust van Sumatera, Leiden: Stoomdrukkerij Louis H. Bacherer. Hlm 40.

46

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Memasuki tahun 1888 pemerintah kolonial mulai campur tangan terhadap kebebasan orang Simalungun dengan alasan penertiban terhadap wilayah Batak merdeka untuk dimasukkan menjadi bagian pemerintahan kolonial. Orang

Simalungun dari Raja Raya yaitu Tuan Rondahaim Saragih Garingging memimpin rakyatnya melakukan perlawanan, demikian juga Raja Siantar yaitu Sang Nawaluh

Damanik, melakukan perlawanan. Namun kurangnya kesatuan antara kerajaan- kerajaan tersebut, memudahkan kolonial Belanda untuk menguasai dengan jalan membantu salah satu dari pihak-pihak kerajaan yang bersengketa. Satu demi satu

Raja orang Simalungun takluk dan mengaku tunduk kepada pemerintahan Belanda, seperti raja Sang Nawaluh Damanik dari kerajaan Siantar tunduk 1888, Raja Djittar

Sinaga penguasa kerajaan Tanah Jawa tahun 1889, Raja Djontama Purba Dasuha dari kerajaan Panei menyatakan tunduk tahun 1890, berikutnya tahun 1892 giliran Raja

Tandjarmahai Purba Tambak dari kerajaan Dolok Silou. Selama tahun 1896 tiga orang Raja Simalungun yaitu Tuan Hapoltakan dari kerajaan Raya, Tuan Rahalim

Purba Pakpak dari kerajaan Purba, dan Tuan Pamoraidup Girsang dari kerajaan

Silimakuta juga menyatakan takluk. Sebagai konsekwensinya maka raja orang

Simalungun melanjutkan pengakuan tunduk mereka dalam bukti tertulis dihadapan pemerintah kolonial yang diwakili C. J. Westenberg Asisten Residen urusan Batak, dengan penandatanganan Plakat Pendek atau Korte Verklaring.

Waktu dan tempat penandatanganan Plakat Pendek atau Korte Verklaring ini ditentukan pemerintah kolonial dan dilakukan di pusat kerajaan, untuk Raya dilaksanakan tanggal 9 Nopember 1902 bertempat di Pematang Raya. Untuk Pane

47

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dilaksanakan tanggal 24 September 1903 bertempat di Pematang Panei. Untuk Dolok

Silou dilaksanakan tanggal 27 April 1904 bertempat di Pematang Dolok, Untuk daerah Purba dilaksanakan 4 Mei 1904 di Pematang Purba58

Plakat Pendek atau Korte Verklaring intinya menyangkut tiga pasal yaitu: (1)

Pengakuan takluk kerajaannya sebagai bagian dari Hindia Belanda, (2) Tidak akan mengadakan hubungan politik dengan negeri asing, (3) Sepenuhnya melaksanakan semua perintah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui pamongpraja Belanda. Setelah penandatanganan Pelakat Pendek ini maka dilanjutkan dengan Pengesahan oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda terhadap Verklaring para

Raja orang Simalungun yaitu: tanggal 4 September 1907 untuk Panei, Raya, dan

Silimakuta, 5 September 1907 untuk Purba, 6 September 1907 untuk Tanah Jawa, 10

September 1907 untuk Dolok Silou, dan 16 Oktober 1907 untuk Siantar.59

Sebagai taktik kolonial Belanda raja orang Simalungun menerima pengakuan pemerintahan otonom, namun dalam prakteknya sudah berada dibawah pengawasan kontrolir dan Belanda menyebut lebih tertib dari pemerintahan sebelumnya.

Simalungun dijadikan sebuah onderafdeeling dari afdeeling Simeloengoen en de

Karolanden, residensi Oostkust van Sumatra. Afdeeling ini pusatnya semula 1906 di

Seribudolok, namun sejak 1912 dengan pertimbangan strategis ekonomis dipindahkan ke Pematangsiantar. Sebelum 1906 daerah Simalungun (Tanah Jawa dan

Siantar) berada dibawah pengawasan Onderafdeeling Batu Bara, dan sejak 12

58 ANRI, SoK Bisluit No. 34, 7 September 1904, Bijlagen 10. 59 Tideman, J. 1922. Ibid. Hlm 48-49.

48

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Desember 1906 dibentuk Afdeeling baru meliputi Simalungun dan Tanah Karo sebagai daerah-daerah Batak yang baru ditaklukkan.60

Para Raja orang Simalungun diwajibkan untuk menangani tertib administrasi kerajaannya, menetapkan batas-batas wilayah tiap kerajaan dengan lebih tegas, sehingga secara resmi pemerintah kolonial Belanda mengakui tujuh kerajaan di

Simalungun, dimana setiap kerajaan dibagi atas beberapa distrik, dan perkampungan.

Adapun ketujuh kerajaan (landschap) tersebut terdiri dari 16 distrik meliputi:

1. Siantar, dibagi atas tiga distrik yaitu : (1) Siantar, (2) Bandar, (3) Sidamanik.

2. Tanah Jawa, terdiri atas lima distrik yaitu: (1) Tanah Jawa, (2) Bosar Maligas, (3)

Jorlang Hataran, (4) Dolok Panribuan, (5) Girsang Sipangan Bolon.

3. Panei, terdiri atas dua distrik yaitu: (1) Panei, (2) Dolok Batunanggar.

4. Raya, terdiri atas dua distrik yaitu: (1) Raya, (2) Raya Kahean.

5. Dolok Silou, terdiri atas dua distrik yaitu: (1) Dolok Silou, (2) Silou Kahean.

6.Purba, hanya satu distrik yaitu Purba

7. Silimakuta, juga hanya satu distrik yaitu Silimakuta61

Liddle (1970)62 berpendapat bahwa para raja orang Simalungun yang telah berada dibawah tertib administrasi politik kolonial Belanda tetap melaksanakan sistem kerajaan, dan kolonial Belanda memanfaatkan system tersebut dengan cara

60 ANRI, SoK Besluit No. 22, 12 Desember 1906.; Juga dalam Staatsblad Van Nederlandsch-Indie, 1906, No. 531. 61 ANRI, SoK Besluit 15 Nopember 1912 No. 4, Bijlagen 2, No. 5104/4: 14-15; juga Radjamin Purba, 1972: 12. 62 Liddle, R. William. 1970. Ethnicity, Party, and National Integration, London: Yale University Press. Hlm 22-24.

49

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

mengukuhkannya demi kepentingan ekonomi dan politik mereka di Simalungun. Raja orang Simalungun oleh pihak kolonial diberi kuasa untuk memimpin persidangan wilayah kerajaannya bersama-sama dengan Partuanon. Persidangan itu disebut kerapatan oeroeng yang bertugas memutuskan perkara-perkara yang berkaitan dengan tindak pidana dan perdata di tengah-tengah penduduk. Keputusan yang diambil dalam Kerapatan ini harus mengikuti petunjuk hukum yang digariskan pemerintah kolonial (De Inlandsche Zelfbesturen in Simeloengoen). 63

Sementara itu peradilan di tingkat onderafdeeling Simalungun yakni kerapatan nabolon, pemerintah kolonial menunjuk salah seorang diantara raja orang

Simalungun untuk menjadi ketua persidangan, yaitu atas hunjukan asisten residen

Afdeeling Simeloengoen en Karolanden. Perkara-perkara yang dapat disidangkan dalam kerapatan nabolon ini ialah perkara yang berbiaya f.150 dan perkara yang berbiaya f.60, menurut hukum adat Batak Simalungun serta perkara-perkara yang berhubungan dengan pegawai-pegawai kerajaan. Dalam prakteknya, walaupun ketua persidangan dihunjuk dari seorang raja Simalungun akan tetapi tetap dibawah kendali pemerintah kolonial. Hal ini ditandai dengan ditugaskannya seorang ambtenar mengawasi jalannya persidangan. Namun dalam rangka memperkukuh wibawa raja sebagai ketua persidangan, maka segala perkara yang diputuskan dalam kerapatan nabolon tidak dibenarkan naik banding lagi.

Strategi pemerintah kolonial Belanda selanjutnya untuk memperkokoh kedudukan raja nampak dalam hal pembebasan kerja rodi (kerja paksa). Para orang

63 Arsip ANRI De Inlandsche Zelfbesturen in Simeloengoen1908-1932. Hlm 84-85.

50

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Simalungun beserta keluarga dekat, pegawai kerajaan, pegawai agama, guru sekolah, guru penolong serta para murid sekolah dibebaskan dari kewajiban itu. Selain itu raja juga memperoleh upah raja, setiap penduduk yang pindah dari satu kampung ke kampung lain wajib membayar biaya hadat pindah sebesar f. 3 dengan perincian: f. 1 untuk raja, f. 0,50 untuk gamot yaitu pegawai pemerintah yang bertugas sebagai pembantu pemerintahan desa (Saragih, 1989: 70) dan f. 1,50 untuk penghulu kampung (De Inlandsche Zelfbesturen in Simeloengoen).64

Dengan demikian ada upaya pemerintahan kolonial Belanda memperkokoh posisi para raja orang Simalungun, dan ini merupakan politik kebudayaan Belanda demi mempertahankan supremasi ekonomi dan politiknya di tanah orang

Simalungun. Sekalipun raja berhak mengambil keputusan di wilayah kerajaannya akan tetapi keputusan itu senantiasa berada dibawah pengawasan dan kekuasaan pihak kolonial. Dapat dikatakan masa ini pemerintahan di Simalungun ditandai dengan semakin intensifnya kekuasaan kolonial dan pada sisi lain semakin terbatasnya kekuasaan raja-raja pribumi.65

Memang masuknya kekuasaan kolonial ke Simalungun telah membawa perubahan, misalnya untuk mendukung tata administrasi pemerintahan kolonial dibangun sarana-sarana penunjang seperti kantor-kantor kerajaan dan personilnya.

Sejumlah kantor yang dibangun meliputi kantor pengadilan, kantor polisi, rumahsakit, rumah sekolah, kantor urusan garam dan candu. Sejak 1917 di setiap

64 Ibid. Hlm 40. 65 Liddle, R. William. 1970. Ethnicity, Party, and National Integration, London: Yale University Press. Hlm 25-26.

51

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

kerajaan diangkat seorang personal yang bertugas mengepalai urusan administrasi kerajaan yang disebut pangulu bale66.

Sementara itu pihak kolonial Belanda juga menetrapkan peraturan-peraturan yang menyangkut kebersihan, penertiban dalam pemeliharaan ternak, perambahan hutan, irigasi, penggajian pegawai kerajaan, penertiban harga sandang pangan dan papan. Raja orang Simalungun secara perlahan-lahan membuka mata untuk menyesuaikan diri dengan pola kehidupan Barat dan keinginan untuk menyesuaikan diri dengan pola kehidupan tersebut, serta hasrat untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi dalam sistem organisasi pemerintahan. Untuk mencapai hasrat demikian tidak boleh tidak harus didukung oleh persyaratan-persyaratan tertentu diantaranya kemampuan membaca, menulis, berhitung, bahasa Belanda, yang keseluruhannya itu tidak tersedia dalam lembaga pendidikan tradisional orang Simalungun. Memang sampai dengan tahun 1900 Orang Simalungun telah mengenal pendidikan non formal, yaitu model pendidikan yang diajarkan oleh Datu atau disebut Guru Bolon sebagai guru, dengan materi pelajaran meliputi pengetahuan praktis seperti Mandihar

(bela diri Silat), menulis di atas potongan Bambu atau kulit kayu (Laklak), pengetahuan kesehatan, ilmu-ilmu kebatinan dan lain-lain. Pendidikan ini menekankan nilainilai religius, moral, budaya, maupun politik dan ekonomi. Keadaan demikian pada gilirannya mendorong kalangan raja orang Simalungun mulai

66ANRI De Inlandsche Zelfbesturen in Simeloengoen1908-1932. Hlm 85.

52

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

mengejar dan menikmati pendidikan Barat yang disediakan kolonial dan juga badan zending.67

Pada sisi lain dengan masuknya penetrasi kolonial tersebut, bagi kehidupan rakyat semakin terperosok kepada jaring politik kebudayaan kolonial. Kolonial menanamkan sikap kepada rakyat untuk patuh dan mengabdi kepada raja serta punggawanya sesuai dengan aturan-aturan yang diterapkan oleh pemerintah68.

Perlawanan orang Simalungun terhadap terhadap raja hampir tidak pernah muncul sepanjang periode kolonial, meskipun rakyat tidak puas dengan kondisi demikian, namun sifat masyarakat agraris yang melekat dan keterikatannya terhadap adat tradisinya yang kuat membuat mereka enggan melakukan protes apalagi sampai melawan rajanya.69 Perbedaan sosial antara golongan bangsawan dengan rakyat semakin tampak. Golongan raja-raja Simalungun semakin menunjukkan rasa superioritasnya.70 Perhatian mereka lebih banyak ditujukan kepada tugas-tugas kerajaan yang berorientasi kepentingan ekonomi dan politik kolonial, menyebabkan kurangnya perhatian terhadap masalah identitas budaya Simalungun. Masalah- masalah sosial politik yang berkenan sebagai akibat dari kolonialisme Belanda tidak dapat mengalihkan perhatian orang Simalungun ke arah situasi identitas Simalungun.

67 Aritonang, Jan Sihar. 1988. Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak, Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm 41. 68 ANRI, SoK Serie Ie No. reel film 21, MvO F. J. Neiboer, 1934. Hlm 24. 69 Reid, Anthony. 1979, The Blood of the People, Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra, Lumpur: Oxford University. Hlm 54. 70 ANRI,MvO F.J.Neiboer,op.cit.,. Hlm 25.

53

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

3.2. Misionaris Kristen di Simalungun

Masuknya zending ke tanah Batak Sumatera Utara pada abad ke-19 telah membuka lembaran sejarah baru bagi orang Simalungun. Orang pertama yang menyebar Injil (zendeling) memasuki Tanah Batak tahun 1824 adalah Richard Buton dan Nathaniel Ward dari lembaga zending Inggris yaitu Baptist Mission Society of

England.71 Buton dan Ward berangkat dari Sibolga dan berhasil mencapai daerah

Batak yang paling sentral, yaitu Silindung dengan selamat. Selanjutnya pada tahun

1834 dua orang zendeling Amerika, Henry Lyman dan Samuel Munson tiba di

Sibolga. Mereka melanjutkan perjalanan ke Lembah Silindung, tiba di pinggir lembah tersebut, malam tiba. Karena itu mereka berhenti dan bermalam di Lobupining.

Malam itu tanggal 28 Juni 1834, Raja Panggalamei beserta dua ratus orang rakyatnya menangkap dan membunuh kedua zendeling tersebut. Berita tentang pembunuhan kedua zendeling ini agaknya simpang siur. Pedersen menyatakan tidak ada bukti dan saksi mata yang jelas terhadap peristiwa itu. Selanjutnya dengan mengutip pendapat

James W. Gould, Pedersen mengatakan bahwa: (1) ada dugaan pembunuhan itu boleh jadi ada kaitannya dengan keterlibatan Belanda yang secara rahasia menentang usaha- usaha zending, kendati sikap manis mereka diluar.(2) Mereka dicurigai orang-orang

Batak sebagai mata-mata Belanda atau musuh yang mau menyerang. (3) ada kemungkinan dibunuh oleh para pembantu mereka sendiri.72

71 Lumbantobing, Andar M. 1992, Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm 65. 72 Lumbantobing, Andar M. 1992, Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm 66.

54

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Setelah peristiwa tersebut, muncul anggapan adanya kanibalisme di kalangan

Batak, sehingga usaha pekabaran Injil ke daerah ini agak surut. Kemudian 1861 usaha zending ke daerah ini mucul kembali oleh zendeling Lidwig Ingwer Nommensen, yang diutus Rheinsische Missions Gesellschaft yang berpusat di Barmen, Jerman.73

Ada dua alasan yang menyebabkan zending RMG untuk memasuki daerah Batak yaitu: Pertama, zending RMG yang sejak 1835 telah mendapat ijin dari pemerintah kolonial Belanda untuk bekerja menyebarkan agama Kristen di daerah Kalimantan

Selatan harus hengkang sebagai akibat pecahnya perang Banjar tahun 1859.74

Peristiwa ini mengakibatkan sejumlah zendeling kehilangan pekerjaan dan untuk itu perlu dicari daerah zending yang baru. Kedua, informasi tentang masyarakat

Batak berupa buku yang beraksara Batak hasil karya Neubronner Van der Tuuk, secara tidak sengaja ditemukan seorang Inspektur zending RMG yang bernama Fabri, di rumah Witteven seorang tokoh zending Belanda. Buku itu ternyata berisi terjemahan kitab Injil Yohannes dalam bahasa Batak Toba karya Van der Tuuk.

Neubronner van der Tuuk pada awalnya adalah zendeling Belanda, yang tahun 1849 dikirim oleh Lembaga Alkitab Belanda tinggal di Barus, pesisir Barat Sumatera. Ia mempunyai keahlian khusus mengenai bahasa Batak dan telah menulis tata-bahasa

Batak, menterjemahkan beberapa bab dari Kitab Injil ke dalam bahasa Batak yang kemudian dicetak oleh Lembaga Alkitab Belanda. Boleh jadi ialah orang Eropa yang pertama melihat danau Toba. Ia kemudian bekerja sebagai ahli bahasa dan etnologi

73 Kruger, Muller. 1966 Sejarah Geredja di Indonesia, Jakarta: Badan Penerbit Kristen. Hlm 208. 74 End, Th.van den. 1996, Ragi Carita 1 Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860, Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm 194.

55

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

untuk pemerintah Belanda, dan juga mengadakan penelitian tentang bahasa Lampung,

Kawi, Bali dan menyusun kamus Batak-Belanda.75

Setelah mengadakan pembicaraan dengan Witteven diperoleh kesepakatan untuk menyatukan pekerjaan pemberitaan injil di Tanah Batak dibawah bimbingan

RMG, sehingga tenaga zending yang menganggur di Kalimantan dikirim ke Tapanuli.

Pada tanggal 7 Oktober 1861, berlangsung pertemuan antara zendeling Jerman: Heine dan Klammer, dengan zendeling Belanda: Van Asselt dan Betz di Sipirok Tapanuli, untuk membicarakan cara-cara penginjilan dan daerah kerja masing-masing.

Semenjak saat itu usaha perintisan pekabaran injil di tanah Batak dilakukan oleh

Jerman. Perwujudan zending di daerah ini kemudian mengutus L. I. Nommensen ke

Sumatera, dan tiba di Barus pada tahun 1862. Di sana untuk sementara ia tinggal sambil meningkatkan pengetahuannya mengenai bahasa dan adat Batak Toba, dan

Melayu. Setelah merasa cukup lalu dari Barus dia berangkat ke Angkola, bagian

Selatan Tanah Batak yang ditemukannya pada saat itu sudah tersebar agama Islam, sehingga pada tahun 1864, dia meneruskan perjalannya ke pedalaman tanah Batak yaitu lembah Silindung dan menetap di tengah-tengah masyarakat Batak yang masih memeluk agama suku itu.76

Orang Batak Toba yang tinggal di Silindung pada awalnya kurang menyenagi kehadiran Nommensen. Kesadaran demikian mereka hubungkan dengan pengalaman

75 End, Th.van den. 1996, Ragi Carita 1 Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860, Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm 173. 76 Lumbantobing, Andar M. 1992, Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm 69-71.

56

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

sejarah sebelumnya, dimana setiap kunjungan orang asing kulit putih selalu dikuti dengan bencana, kegagalan panen ataupun wabah penyakit. Penduduk beranggapan bahwa bencana-bencana itu disebabkan oleh karena orang asing kulit putih itu tidak memelihara adat, bahkan mereka berprasangka bahwa orang asing itu akan merusak adat mereka.

Siasat Nommensen pertama kali adalah mendekati raja-raja huta yang dijadikan sebagai sahabat dalam menyebarkan agama Kristen. Dengan kepandaianya mengobati orang yang sakit merupakan modal besar baginya untuk merebut hati penduduk setempat. Raja Ompu Tarida, Ompu Tunggul dan raja Amandari merupakan orang yang pertama yakin bersahabat dengan Nommensen. Raja

Amandari dari Saitnihuta, Silindung memberi sebidang tanah rawa untuk tempat pendirian rumah Nommensen. Pada tanggal 27 Agustus 1865 Nommensen berhasil membabtis 13 orang Batak Toba menjadi Kristen (Pedersen, 1970: 61). Pada mulanya orang-orang pertama jadi Kristen ini, dikucilkan dari huta oleh masyarakat, dan tidak mendapat hak dan kewajiban tata adat di Silindung misalnya hak warisan tanah, barang-barang pusaka. Mereka ini kemudian oleh pihak zending ditampung dalam sebuah huta yang disebut “Huta Dame”.77 Di “Huta Dame”ini didirikan sebuah gereja, sebuah gedung sekolah, dan beberapa rumah sebagai tempat orang-orang yang beralih agama menjadi Kristen. Disamping itu di „Huta Dame‟ juga didirikan suatu pusat pengobatan (poliklinik) yang bertujuan sebagai pelayanan sosial bagi semua

77 Schreiner, Lothar. 1996. Adat dan Injil: Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak, Jakarta : PT. BPK GunungMulia. Hlm 44.

57

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

penduduk. Pelayanan sosial merupakan aspek penting yang menarik perhatian penduduk untuk tertarik kepada zending. Nommensen sering membayar tebusan budak-budak yang tadinya terjerat dalam hutang.78 Tindakan-tindakan demikian mengakibatkan perluasan zending di Silindung dan bahkan terjadi konversi massal.

Raja-raja dan masyarakat yang dulunya khawatir bahwa ajaran agama Kristen akan merusak nilai-nilai adat mereka, ternyata tidaklah demikian. Zending dapat menyelaraskan prinsip-prinsip agama Kristen dengan adat, sehingga keduanya hidup berdampingan dalam tata hidup bermasyarakat. Pada mulanya timbul kekhawatiran di kalangan zending RMG di Barmen terhadap kemajuan yang terlalu cepat (konversi massal) di kalangan orang Batak Toba. RMG khawatir bahwa konversi massal itu hanya merupakan mode belaka tanpa ada peningkatan rohaniah. Pusat RMG dari

Barmen menganjurkan agar Nommensen membatasi perluasan Kristen secara massal, dan lebih mencurahkan perhatian kepada kepribadian masing-masing individu, sesuai dengan konsep Pietisme yang dianut para zendeling. Akan tetapi Nommensen mengatakan pada saat itu mereka bertugas bukan memancing dengan kail, melainkan menjala dengan pukat.79 Proses konversi di tengah-tengah masyarakat Batak Toba sungguh begitu cepat yang diperlihatkan oleh angka-angka dalam tabel berikut dalam wadah gereja Batak, yaitu Huria Kristen Batak Protestan (selanjutnya disebut HKBP).

78 Pedersen. 1970. Darah Batak dan Jiwa Protestan. Perkembangan gereja-gereja Batak di Sumatera Utara. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 63-64. 79 Kruger, Muller. 1966 Sejarah Geredja di Indonesia, Jakarta: Badan Penerbit Kristen. Hlm. 218.

58

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Tabel 6. Jumlah Anggota Babtis di Daerah Batak Toba

Tahun Jumlah Anggota Babtis

1861 3 orang

1871 1.250 orang

1876 2.056 orang

1881 7.500 orang

1891 27.779 orang

1900 47.779 orang

1918 185.731 orang di Sumatera Utara

(Sumber: Lempp, 1976: 115. Diolah )

Setelah sukses di kalangan masyarakat Batak Toba, zending RMG selanjutnya

1903 berangkat ke Simalungun dan menjumpai orang-orang Simalungun yang mereka anggap sama dengan orang Batak Toba (Kraemer, 1958: 48.; Tideman, 1922:

276.; Tichelman, 58 Tahun 1936,:33).

Sikap zending RMG terhadap kolonialisme Belanda tidak terlepas dari pandangan Friedrich Fabri yang digelar sebagai Bapak Gerakan Kolonial Jerman.80

Friedrich Fabri (1824-1891) adalah Inspektur Pertama dan merangkap sebagai guru seminar dalam zending RMG di Barmen. Pengaruhnya dalam RMG begitu mengesankan dalam setiap kebijakan lembaga itu terutama menyangkut daerah

Batak. Beliau adalah penganut pietis yang menekankan kesalehan pribadi dan

80 Aritonang, Jan Sihar. 1988. Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak, Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 109-110.

59

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pemahaman alkitab sangat harafiah. Baginya tugas zending adalah penyampaian Injil dari kulit putih kepada pihak “kafir” kulit gelap, serempak dengan menyampaikan peradaban yang lebih tinggi, sehingga Bangsa Barat ditempatkannya dalam posisi super .

Friedrich Fabri melihat zending sebagai pembawa Injil serempak dengan peradaban Barat dan sebagai negara yang menganut agama Kristen, Jerman harus mendukung zending. Dengan jalan kolonisasi maka serentak bersama zending mengadakan penginjilan dan pengadaban. Kerjasama antara zending dan kolonialisme ini baginya merupakan salah satu penampakan tujuan suci pembentukan kerajaan Ilahi. Bagi Fabri yang terpenting diharapkan dari pemerintah bukanlah dukungan finansial, melainkan memberi kebebasan dan perlindungan kepada zending, sedangkan pemerintah kolonial hanyalah alat untuk mencapai Injil dan mentobatkan pribadi.

Berkaitan dengan hubungan zending dan pemerintah kolonial Belanda di

Indonesia, bahwa umumnya pemerintah kolonial Belanda memberi perhatian yang cukup besar terhadap zending Kristen, bukan karena mereka berkeinginan menyebarkan agama Kristen, namun ditolelir karena pertimbangan politik. Selain pertimbangan politik juga pertimbangan ekonomis dan militer kolonial Belanda menyokong kegiatan zending di Sumatera Utara. 81

81 Lumbantobing, Andar M. 1992, Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm .80.

60

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Pandangan demikian dapat kita temukan misalnya pada diri tokoh-tokoh kolonialisme Belanda J. T. Cremer dan D. Fock. J. T. Cremer seorang pengusaha perkebunan dan menteri daerah jajahan 1897-1901, mengusulkan agar zending NZG segera bekerja di Tanah Batak Karo dalam upaya mengamankan daerah itu dan mencegah masuknya Islam, sehingga zending dijadikan sekutu Belanda dengan jalan pengkristenan. Dalam upaya ini Cremer pada 1889 mengumpulkan dana untuk membantu zending NZG membuka sejumlah sekolah yang harus menyebarkan agama

Kristen dan peradaban Barat tersebut. D. Fock menteri daerah jajahan 1905- 1908 memberi keyakinan akan pekerjaan zending NZG sangat berharga sekali dalam memajukan kesusilaan dan kemasyarakatan rakyat jajahan, sehingga pemerintah kolonial perlu memberi sokongan terhadap pekerjaan zending. 82

Untuk memulai pekerjaannya di setiap lokasi di Tanah Batak para zendeling

RMG harus terlebih dahulu memperoleh ijin dari pemerintah kolonial. Ijin ini biasanya sekaligus mencakup ijin menyelenggarakan sekolah. Namun demikian ada kalanya ijin membuka sekolah ini harus diminta lagi secara khusus dari pejabat setempat, terutama di lokasi yang sudah memiliki sekolah pemerintah. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya dubbele zending atau tumpang tindih dan persaingan dua badan zending di satu lokasi (Randwijck, 1989: 212).83 Ijin kerja di

“daerah merdeka” mempersyaratkan persetujuan raja-raja setempat, yang juga bertujuan untuk mencegah terulangnya kasus pembunuhan zendeling di Kalimantan

82 Randwijck, S.C.Graaf van. 1989. Oegstgeest: Kebijaksanaan Lembaga-lembaga Pekabaran Injil yang Bekerjasama 1897-1942, Jakarta : BPK Gunung Mulia. Hlm. 154. 83 Ibid. hlm. 212.

61

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

185984 (End 1, 1996: 194-195) yang oleh kalangan zending RMG dianggap terjadi karena kurangnya perlindungan pemerintah kolonial atas para zendeling di sana.

Pada sisi lain khususnya dalam abad ke-19 banyak orang Belanda baik di negerinya sendiri maupun di Hindia Belanda yang sangat antusias sekali untuk mendukung zending dalam rangka mengimbangi pengaruh Islam terhadap penduduk di Nusantara. Hal ini selain didasarkan pada pemahaman yang dangkal oleh masyarakat Barat ketika itu tentang keunggulan Kristen atas Islam, juga adanya anggapan yang salah bahwa sifat sinkritis Islam Nusantara di tingkat desa akan membuat peralihan kepada agama Kristen. 85

Perkembangan selanjutnya adalah kepentingan zending dan kolonialisme mulai berbenturan sehingga sikap zending semakin kritis menilai fungsi pemerintah kolonial. Sikap ini semakin nyaring sejak dasawarsa tahun 1920-an, menjelang masuknya Jepang ke Indonesia. Ada dua faktor penyebab sikap kritis dari zending

RMG khususnya dan zending di Indonesia umumnya. Pertama, pemerintah kolonial tidak selalu mendukung zending RMG yang bekerja di tanah Batak, kendatipun adanya dukungan pemerintah terhadap zending. Hal ini sematamata bukanlah didasarkan pada pertimbangan atau motif religius tetapi lebih banyak dalam pertimbangan politis. Kedua, zending RMG yang bekerja di tanah Batak semakin

84 End. 1996. Hlm. 194-195. 85 Benda, Harry J. 1989, “Christiaan Snouck Hurgronje dan Landasan Kebijakan Belanda Terhadap Islam di Indonesia” dalam Ahmad Ibrahim (ed.), Islam di Asia Tenggara: Suatu Persfektif Historis, Jakarta: LP3ES. Hlm. 125.

62

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

sadar bahwa pemerintah kolonial bukanlah alat Kerajaan Allah dalam arti yang didahulukan pemerintah kolonial bukanlah kepentingan religius- Kristiani, melainkan kepentingan sekuler sifatnya. Itulah sebabnya zending RMG yang bekerja di tanah

Batak tidak lagi menyebut pemerintah kolonial sebagai pemerintah Kristen.86

Dapatlah dikatakan, bahwa sampai permulaan abad ke-20 kekristenan di

Indonesia tidak bersikap anti kolonialisme, dalam arti tidak mengecam kenyataan- kenyataan buruk dalam praktek kolonial, bukan karena mendukungnya, melainkan karena menganggap hal itu di luar urusan agama. Sikap zending terhadap kolonialisme lebih banyak besifat pasif sebagai akibat dari pengaruh pietisme yang kurang menyoroti kritik sosial terhadap kenyataan kolonialisme.87 Bagaimanapun sikap anti kolonialisme ini juga berdampak pada orang Simalungun dalam menentukan sikap mereka terhadap masuknya zending ke wilayah kekuasaannya di daerah Simalungun. Ketegangan sosial-politik di Simalungun semakin diperuncing lagi dengan masuknya kolonial Belanda maupun imigran Batak Toba yang berkat dukungan pemerintah diberi ijin membuka persawahan di Simalungun dan tidak jarang pula menimbulkan konflik dengan orang-orang Batak Simalungun.88

3.3 Terbentuknya Comite Nara Marpodah

Sebelum kemunculan Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen, bahasa

Simalungun dalam aktifitas kristenisasi merupakan bahasa yang terpinggirkan.

86 Aritonang, Jan Sihar. 1988. Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak, Jakarta: BPK GunungMulia. Hlm. 435-436. 87 Ngelow, Zakaria J. 1994. Kekristenan dan Nasionalisme: Perjumpaan Umat Kristen Protestan dengan Pergerakan Nasional Indonesia 1900-1950, Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm . 55. 88 ANRI, MvO F. J.Nieboer, 1934. Hlm. 23.

63

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Sangat jarang bahasa Simalungun digunakan dalam khotbah RMG. Para penginjil selalu menggunakan bahasa Toba.

Ada kekeliruan yang menyebabkan hal ini terjadi. Kekeliruan tersebut adalah

RMG memandang remeh perbedaan antara Simalungun dan Toba. RMG percaya bahwa suku Simalungun adalah cabang dari Batak yang nenek moyangnya berasal dari Samosir dan Pusuk Buhit, sebagaimana klaim mitos Batak Toba,89 sehingga perbedaan Simalungun dan Toba tak perlu dipandang lebih jauh. Ditambah lagi tenaga penginjil yang membantu RMG adalah orang Batak Toba, semakin kokohlah pendirian RMG untuk menggunakan bahasa Toba. Tokoh RMG bernama

Bregenstroth90 menyatakan, ”Orang Simalungun cukup mengerti bahasa Toba, namun dewasa ini, dengan sengaja setiap penyimpangan bahasa dijadikan bahasa pustaka.”91

Orang Simalungun justru dinilai menyimpang.

Dari sudut pandang Simalungun, sikap RMG yang menggunakan bahasa Toba dalam mengkhotbahi orang-orang Simalungun merupakan sikap yang ”tidak tepat, sedikit arogan dan melukai”.92 Dalam budaya Simalungun, ada istilah ahap,93 bagian terdalam dari perasaan orang Simalungun. Salah satu ahap Simalungun adalah

89 Jubil Raplan Hutauruk, Kemandirian Gereja: Pemikiran Historis Sistematis Tentang Gerakan Kemandirian Gereja di Sumatera Utara dalam Kancah Pergolakan Kolonialisme dan Gerakan Kebangsaan Indonesia, 1899-1942, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993, hal. 163. 90 Bregenstroth adalah pendeta RMG yang bertugas di Pematang Siantar. Bregenstroth sangat mengutamakan pelayanan terhadap orang-orang Batak Toba yang ramai bermigrasi ke Simalungun. 91 Juandaha Raya P. Dasuha, dkk., op.cit., hal. 176. 92 Martin Lukito Sinaga, op.cit., hal. 65. 93 Ahap adalah suatu integritas kepribadian yang terbentuk melalui adat istiadat Simalungun yang kemudian teraktualisasi dalam solidaritas dan persaudaraan. El Imanson Sumbayak (ed.), op.cit., hal. 4.

64

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

penggunaan bahasa. Tanpa penggunaan bahasa Simalungun, akan sangat sulit meresapkan injil ke dalam kehidupan orang Simalungun.

Di sisi lain, ketika orang Toba memandang rendah orang Simalungun karena belum beragama dan tak berpendidikan, sebaliknya orang Simalungun juga memandang rendah orang Toba. Dalam sejarahnya, orang-orang Toba yang datang ke

Simalungun biasanya adalah orang yang hendak bekerja sebagai buruh upahan tuan tanah. Hal ini membuat orang Simalungun skeptis terhadap ajaran yang disampaikan orang Toba, karena dianggap rendah. Superioritas yang dianut keduanya membuat

Toba dan Simalungun sulit menyatu sekalipun itu dalam aktifitas keagamaan.

Karena didominasi Toba, sempat orang Simalungun beranggapan bahwa Yesus

Kristus adalah orang Toba. Seperti yang ditanya seorang Simalungun beragama suku kepada seorang guru injil, ”Ai halak Toba do Toehan Jesoes Goeroe?” nini. ”Ai sai hata Toba do tong iloearhon Toehan Jesoes hoebogei ibasa ham?” (Orang Toba kah

Tuhan Yesus itu, Guru? Selalu kudengar bahasa Toba yang dipakai Tuhan Yesus yang anda baca?)94

Kekeliruan ini yang disadari oleh Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen.

Komite memperjuangkan penggunaan bahasa Simalungun dalam kristenisasi guna mengoptimalkan pengkristenan Simalungun. Komite menerbitkan sejumlah literatur yang berhubungan dengan aktivitas kristenisasi dalam bahasa Simalungun, seperti:

Kathekismus kecil karangan Luther, ayat-ayat alkitab, liturgi gereja, nyanyian- nyanyian gerejani, cerita-cerita Alkitab Perjanjian Lama dan Baru, berikut bacaan

94 Sinalsal, No. 90/September/1938, hal. 4.

65

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

untuk pembangunan rohani.95Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen berupaya membuat ajaran Kristen semakin mudah diterima dan dipahami oleh orang

Simalungun.

Pada 1930, Wismar Saragih resmi menjadi orang Simalungun pertama yang menjadi pendeta. Sejak saat itu ia dikenal sebagai Pdt. J. Wismar Saragih.96 Dalam khotbah-khotbahnya, J. Wismar Saragih aktif menggunakan bahasa Simalungun. Ia juga menggunakan tata bahasa dan cerita yang dekat dengan keseharian orang

Simalungun.

Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen memiliki majalah bulanan bernama

Sinalsal. Dalam tulisan-tulisan di majalah Sinalsal, yang tentu berbahasa

Simalungun, tertuang ajaran Kristen yang bercorak pietisme. 97Pietisme ini diperoleh

J. Wismar Saragih, redaktur Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen, dari corak pengajaran Nommensen.

Kemajuan paling mendasar dalam kristenisasi khas J. Wismar Saragih, adalah penerjemahan istilah ”Allah” menjadi ”Naibata” (Simalungun). Naibata adalah sebutan agama suku Simalungun untuk dewa penguasa segalanya. J. Wismar Saragih dengan penuh percaya diri menggunakan istilah dari agama suku itu. Sebagai contoh, sebuah kalimat dari majalah Sinalsal: Turun ma ham Naibata na i atas!.98

95 Paul Bodholt Pedersen, op.cit., hal. 104-105. 96 Nama Pdt. J. Wismar Saragih diabadikan menjadi nama sebuah jalan di Pematangsiantar. Di jalan tersebut kantor pusat GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun) berdiri. 97 Pietisme adalah corak rohani yang menekankan kesalehan pribadi dan penghayatan iman. Christiaan de Jonge, Gereja Mencari Jawab, Kapita Selekta Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993, hal. 34. 98 Terjemahan: “Turunlah engkau Allah yang di atas!” Sinalsal No. 1/April/1931, hal. 1.

66

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Melalui pemakaian istilah dari agama suku ini disertai berbagai penjelasannya yang juga dimuat di Sinalsal, semangat kekristenan disuntikkan tepat di akar budaya

Simalungun. Tak hanya sebatas teks, istilah tersebut terus dipakai dalam kegiatan kristenisasi sehingga meraih hasil yang memuaskan. Hal yang tak terpikirkan oleh penginjil RMG.

Gerakan penerbitan literatur Kristen Comite Na Ra Marpodah Simalungun kemudian disambut oleh munculnya gerakan-gerakan kristenisasi lain seperti: Kongsi

Laita, Kongsi Sintoea Protestant Simaloengoen (KSPS), Kongsi Sihol Matoea, dan

Kas Saksi ni Kristus. Sukses yang diraih oleh gerakan-gerakan kemandirian Kristen

Simalungun ini adalah meningkatnya jumlah orang Kristen Simalungun menjadi

5700 orang pada 1940.99

Aktifitas Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen bukan tanpa halangan. Pada

1935, Ephorus mengajukan pemutasian J. Wismar Saragih dari Simalungun ke

Pearaja. J. Wismar Saragih menolak, ia sampai harus menghubungi direktur RMG di

Barmen agar pemutasiannya dibatalkan. Direktur RMG ketika itu adalah J. Warneck, orang yang sebelumnya menjabat sebagai Ephorus di Sumatera, sehingga kenal dengan J. Wismar Saragih. Pemutasiannya pun dibatalkan. Dalam otobiografi J

Wismar Saragih tertulis:

“Ada permintaan Ephorus pada 15 Agustus 1935 supaya Pd Wismar menjadi

Evangelis Umum bertempat di Pearaja. Rupanya ada yang mengusulkan jika

99 Bandingkan dengan masa sebelum Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen , pada 1903- 1928, yang hanya berhasil mengkristenkan 900 orang dalam 25 tahun.

67

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Pd Wismar dipindahkan tidak akan berkembang lagi bahasa Simalungun di

daerah itu dan bahasa Toba-lah yang dipakai di seluruh Simalungun. Dengan

pendek Pd Wismar menjawab: ”Makanya saya mau jadi pendeta ialah karena

saya melihat Simalungun, itulah sebabnya saya jadi pendeta di sini.” Tetapi

mereka mendesak juga dan dikatakan dapat menaikkan gajinya, sebab dari 50

pendeta di Tanah Batak hanya dia katanya yang sanggup ke sana. Pd. Wismar

terus merasakan hal ini akan menghalang-halangi jalannya bahasa

Simalungun dan dijawab: ”Rupanya Tuan belum mengetahu bahwa saya

bekerja tidak melihat gaji. Tuan boleh ambil gaji saya yang seharusnya dan

boleh diberikan kepada Evangelis Umum itu, biarkanlah saya terus menjadi

pendeta di sini. Sebab rumah yang saya tempati ini, bukan rumah jemaat dan

sawah yang di sana akan memberi gaji kami.”100

Dalam kasus yang berbeda, J. Wismar Saragih juga punya kegelisahan kenapa bukan HKBP distrik Simalungun yang dibentuk. Dalam suratnya kepada penginjil H.

Volmer di Saribudolog pada 27 Oktober 1937, J. Wismar Saragih menuliskan:

”Sudah sejak awal ada lima distrik di HKBP, yaitu Angkola, Silindung,

Humbang, Toba dan Simalungun. Tetapi karena bertambah luasnya daerah

pelayanan tuan Praeses Pematang Siantar, maka nama Simalungun menjadi

hilang begitu saja dan diganti dengan distrik Ooskust van Sumatra, Aceh dan

Dairilanden. Perubahan nama itu tidak adil sebab pusat kegiatan distrik

100 Otobiografi ini ditulis J. Wismar Saragih dengan sudut pandang orang ketiga. J. Wismar Saragih, op.cit., hal. 145.

68

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

berada di Simalungun, tetapi nama Simalungun dihapuskan. Kalau memang

tidak berhubungan lagi Simalungun ke sinode am HKBP, maka saya sebagai

urusan dari orang Simalungun tidak akan hadir lagi mengikuti sinode tersebut.

Bahkan sinode distrik Ootkust pun tidak pantas diikuti orang Simalungun.

Kaum Kristen Simalungun hanya pantas ikut dalam distrik Simalungun... Tuan

tahu bahwa saya begitu mementingkan kepentingan perjuangan identitas

Simalungun dalam perkabaran injil. Untuk itu, adalah lebih berharga bahwa

saya menyampaikan Injil kepada orang Simalungun daripada gaji kependetaan

saya. Mohon tuan mengerti dan memenuhi keinginan kami.101

HKBP dalam Tata Gereja HKBP 1940 tetap mengesahkan nama HKBP distrik

Oostkust van Sumatra, Aceh dan Dairilanden, sekalipun telah diprotes terlebih dahulu dalam surat J. Wismar Saragih kepada Volmer. Komunitas-komunitas Kristen

Simalungun mengajukan keberatan. Sinode am HKBP pada 10-11 juli 1940 di

Pearaja membicarakan keberatan orang Simalungun ini. Lalu diputuskanlah agar

HKBP membicarakan hal tersebut dengan jemaat Simalungun. Dalam pertemuan dengan jemaat-jemaat Simalungun di Raya, Saribudolog dan Nagoridolog, pada 26

September 1940, dipenuhilah keinginan jemaat Simalungun untuk membentuk HKBP distrik Simalungun.

3.4 Semangat Kemandirian Orang Simalungun

Gagasan untuk memakai bahasa Simalungun tidak hanya diperjuangkan oleh

Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen melalui penerbitan literatur saja, tetapi juga

101 Juandaha Raya P. Dasuha, dkk., op.cit., hal. Hal.211.

69

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

melalui rekomendasi-rekomendasi ke pemerintah dan RMG. Dalam hal ini, Djaoedin

Saragih banyak berperan. Dengan semangat nativisme, ia berkata:

”Sudah 25 tahun kekristenan di Raya, tetapi masih tetap bahasa Batak Toba

yang dipakai di sekolah dan kebaktian gereja. Kami melihat bahwa guru-guru

zending dari Tapanuli tidak mau belajar bahasa Simalungun. Itulah yang

membuat pelajaran di sekolah menjadi macet dan kaku. Perlu tuan-tuan

ketahui bahwa bahasa Simalungun jauh berbeda dengan bahasa Batak Toba.

Karena itu saya meminta kepada tuan-tuan guru zending yang berasal dari

Tapanuli yang bekerja di Raya agar mempelajari bahasa Simalungun dan

apabila buku-buku pelajaran telah ada dalam bahasa Simalungun, hendaknya

itulah yang diajarkan kepada anak-anak sekolah.”102

Ucapan tersebut disampaikan oleh Djaoedin Saragih dalam rapat guru-guru zending di Pamatang Raya pada 2 November 1929. Djaoedin Saragih kemudian menguraikan kata-kata bahasa Toba yang berbeda maknanya dengan bahasa

Simalungun, bahkan ada kata-kata yang dalam bahasa Toba terdengar biasa saja tetapi dalam bahasa Simalungun tergolong tabu.

Tambah Djaoedin Saragih lagi, ”... Kalau masih terdengar kata-kata seperti itu, maka dalam tempo satu tahun ini, mulai tanggal 2 November 1929, baiklah mereka diadili ke kerapatan karena membuat malu orang Simalungun.” Atas kerja keras

Djaoedin, Tuan Soemajan Saragih, pemimpin kerajaan Raya, menetapkan bahasa

102 Juandaha Raya P. Dasuha, dkk., op.cit., hal. 199.

70

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Simalungun sebagai bahasa pengantar (voertaal) satu-satunya di seluruh wilayah kerajaan Raya.

Djason Saragih, ketua Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen, menjadi kepala sekolah pertama di Simalungun. Ia terutama memperjuangkan bahasa Simalungun di sekolah-sekolah. Buah dari upaya memperjuangkan pemakaian bahasa Simalungun di sekolah-sekolah mulai tampak jelas pada 1936. Dari 102 sekolah di seluruh wilayah

Simalungun, terdapat 46 berbahasa Simalungun, 41 berbahasa Batak Toba dan 1 berbahasa Karo. Sekolah yang memakai bahasa Simalungun sudah lebih banyak daripada yang memakai bahasa Batak Toba.103

Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen dalam perjuangannya menawarkan social progress/hamajuon (kemajuan) kepada orang Simalungun. Sebelumnya, orang

Simalungun sering dituduh pemalas dan suka memakai candu, sehingga tidak tertarik terhadap agama, persawahan dan pendidikan. Comite Na Ra Marpodah

Simaloengoen mencoba menjadi counter stigma (perlawanan paradigma) atas itu. Hal ini membuat gerakan Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen dijuluki sebagai gerakan kemandirian Simalungun. Semangat kemandirian tersebut paling terasa dalam tulisan-tulisan yang muncul di Sinalsal. Salah-satunya adalah pantun berjudul

Siparmaloeonkon ni halak Simaloengoen.

103 Jubil Raplan Hutauruk, Lahir, Berakar dan Bertumbuh dalam Kristus, op.cit., hal. 107.

71

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Table 7. Kumpulan pantun Siparmaloeonkon ni halak Simaloengoen yang dimuat majalah Sinalsal,104 berserta terjemahannya.

Siparmaloeonkon ni halak Simaloengoen ”Siparmaloeonkon” orang Simalungun

Marboeah ma galoegoer Berbuahlah asam gelugur

Tading i joema roba Yang ada di ladang ”Joema roba” Kalau

Anggo na hoerang oehoer kita kurang bijaksana

Tarjoel ma hoe Kita akan dijual sebagai budak

Toba Ilandja ma baloehoer ke Toba Dipikullah ”baloehoer”

Laho hoe dagang dokah Untuk dijual di pekan

Hoendja dalan maroehoer Jika ingin bijaksana

Ningon laho marsikolah Haruslah kita bersekolah

Irandoeg ma hadingan Dipikullah ”hadingan”

Hoe pongkalan Hatoemoean Ke ”pokkalan” tempat orang berkumpul

Ganoep do partadingan Semuanya kita ketinggalan

Anggo seng dong parmaloean Kalau tak punya ”parmaloean”

104 Sinalsal, No. 90/September/1938, hal. 32.

72

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Horbou paninggalei e Kerbau yang biasa membajak

Boban hoelang-hoelangmoe Jangan lupa bawa kukmu

Antong baor malistang Jadi lubangi dengan bor memanjang Di

Ilonggi-longgi laklak celah-celah kulit kayu

Bani sihala bolon Di ”sihala” yang besar

Bangsa Simaloengoen e Hai, bangsa Simalungun

Boban parmaloeanmoe” Bawalah ”parmaloean”-mu

Antong bador ma hita Jadi sangatlah kita dipermalukan

Idodingdodingi halak Diejek-ejek orang lain dengan nyanyian

Bani dalan na bolon! Di jalanan besar!

Sinalsal memuat berbagai tema. Mulai dari kristenisasi, budaya, sampai ekonomi. Di dalam Sinalsal ada juga artikel tentang bagaimana bertani dengan sistem persawahan. Sejarah raja-raja juga dimuat didalamnya. A.G. Hoekema menuliskan,

”Sinalsal adalah sarana memperjuangkan emansipasi yang diinginkan orang Kristen-

Simalungun”.105

Sinalsal layak disebut sebagai karya terpenting Comite Na Ra Marpodah

Simaloengoen. Di dalam Sinalsal, tertuang ide-ide dasar yang filosofis tentang kemajuan Simalungun, khususnya Kristen-Simalungun. Sinalsal juga bisa disebut sebagai laboratorium ide bagi tokoh-tokoh Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen untuk merancang serangkaian aksi kemandirian bagi Simalungun di masa berikutnya

105 Alle Gabe Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis: Sejarah Lahirnya Teologi Protestan Nasional di Indonesia, Sekitar 1860-1960, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997, hal. 156.

73

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(paska Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen). Pemikiran-pemikiran J. Wismar Saragih

106 dan Bendjamin Damanik menjadi inti majalah Sinalsal.

Sejumlah buku diterbitkan oleh Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen. Pada 8 tahun pertama, sudah terbit 20 jenis buku berbahasa Simalungun yang dicetak sebanyak

27000 eksamplar dan telah laku sebanyak 15000 eksamplar, baik di Simalungun maupun luar Simalungun (Padang/Tebing, Bedagai, Serdang dan batubara). Organisasi ini juga menerbitkan kalender bulanan (Maandkalender) dan almanak saku (Susukkara). Buku terbitan pertama pada 1929 adalah buku tentang penanaman kopi (Parkonoenan Kopi), cara memerintah (Panggomgomion), nasihat bekerja (Podah Marhordja), dan buku-buku

Kristen pada 1930.

Buku-buku pelajaran (Rudang Ragi-ragian dan Sitolusaodaron) terbit pada

1931. Buku cara bersawah (Parsabahon) dan buku pelajaran terbit pada 1932. Buku tata ibadah Kristen (Agenda) dan buku pelajaran terbit pada 1933. Buku renungan harian Kristen (Manna), saduran kitab Perjanjian Lama (Parpadanan Na Basaia) dan tata bahasa Simalungun (Ruhut Manurat) terbit pada 1934. Almanak Kristen

(Susukkara) dan saduran Perjanjian Baru (Padan Na Baru) terbit pada 1936.107 Pada tahun ini juga terbit kamus pertama Simalungun karangan J. Wismar Saragih, dengan bantuan pemerintah dari cukai karet (rubbergelden) berjudul Partingkian ni Hata

Simalungun.

106 Juandaha Raya Purba Dasuha, Perjumpaan Masyarakat Simalungun dengan Zending dan Kolonialisme, Medan: STT Abdi Sabda, 2009, hal. 165. 107 Sinalsal No. 63/Juni/1936, hal. 9-10. Universitas

74

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

J. Wismar Saragih secara khusus mendirikan dua perpustakaan di Pematang

Raya, yaitu perpustakaan Dos ni Riah dan perpustakaan pribadi Parboekoenan ni Pan

Djaporman pada 1937. Pada tahun yang sama, J. Wismar Saragih mendirikan

Parsaoran ni Laingan, sebuah sanggar kesenian. Comite Na Ra Marpodah

Simaloengoen bekerjasama dengan pihak kerajaan-kerajaan Simalungun menggagasi berdirinya Roemah Poesaka Simaloengoen (Museum Simalungun) pada 1940 dan organisasi Partuha Maujana Simalungun (organisasi persatuan tetua dan kerabat kerajaan Simalungun). Kedua lembaga ini masih berdiri dan berfungsi sampai sekarang.

Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen melalui karya tulisnya telah merumuskan sebuah ruang identitas bagi penghidupan identitas Kristen Simalungun.

Sebelumnya, kaum Kristen Simalungun terombang-ambing, antara pietisme dan nativisme.108 Antara social progress (kemajuan sosial, berpendidikan dan beragama, tapi mengikuti arus Toba) atau social defense (pertahanan sosial, mempertahankan kultur Simalungun namun berpotensi merusak hubungan dengan RMG). Comite Na

Ra Marpodah Simaloengoen menemukan titik tengahnya, tempat untuk kaum Kristen

Simalungun berpijak.

Dalam Sinalsal tertulis:

Ada tidaknya suatu bangsa tergantung pada jawaban atas soal ini: Adakah

aksaranya? Adakah budi bahasanya, adatnya, perumpamaannya, gendangnya,

108 Nativisme adalah penonjolan keaslian atau kepribumian. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hal. 610.

75

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

tariannya? ... dan untuk kita Simalungun semua itu ada ... 1. Aksara kita: Kita

punya aksara ... dan sedikit berbeda karena ada nada suara yang khas (inggou)

... 2. Gendang (gual) kita: Gendang itu biasanya kita pakai pada pesta

kematian ... Kita orang Kristen ada yang tidak mau lagi main gendang ...

menurut saya hal itu salah, sebab apa bedanya gendang itu dengan musik yang

ada di gereja sekarang ini? Musik gereja itu dari Eropa, dan kita pun punya

musik gendang sendiri ... Soal adat, kita bawalah adat itu ke zaman yang baru

... Pertimbangkanlah hal itu!109

109 Sinalsal, 88/Juli/1938, hal. 3-4.

76

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB IV PMS DAN IDENTITAS ETNIS SIMALUNGUN

4.1 Kemandirian di dalam Gereja Orang Simalungun

Kebudayaan itu tidak pernah statis, melainkan dinamis.110 Kebudayaan yang sudah dibentuk dari zaman nenek moyang orang Simalungun tentunya memiliki banyak perubahan seiring berkembangnya zaman. Kebudayaan sesudah mengenal agama tentunya sudah sangat berbeda dibandingkan sebelum mengenal agama. Tidak sedikit juga kebudayaan dari zaman nenek moyang masih ada sampai pada saat ini.

Dalam bukunya, Jhon A Titaley mengatakan bahwa kebudayaan yang dinamis sifatnya itu hanya bisa terjadi dalam suatu ketentuan tertentu, entah itu adat-istiadat, agama, hukum atau kepentingan bersama. Untuk mencapai kepentingan bersama, tentunya harus ada komitmen bersama. Tanpa komitmen tidak akan ada take and give diantara sesama manusia.111 Salah satu alasan mengapa banyaknya gereja suku berdiri di Indonesia adalah Kebudayaan. Salah satu contohnya adalah etnis Simalungun yang mendirikan GKPS yang selama ini mengalami gejolak identitas didalam gereja akibat dari dominisasi Batak Toba.

Dinamika Identitas etnis Simalungun tidak terlepas dari peristiwa historis tahun

1903 dengan hadirnya zendeling August Theis di Pamatang Raya oleh zending RMG, yang sudah terlebih dahulu melakukan misinya terhadap orang Batak Toba di

Residensi Tapanuli. Kemudian tahun 1907 kolonial Belanda menganeksasi dan

110 John A. Titaley. Religiolitas Di Alinea Tiga (Pluralisme, Nasionalisme dan Tranformasi Agama-agama). Satya Wacana University Pres, Salatiga , 2013, hal.163 111 Ibid.

77

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

menguasai wilayah orang Simalungun, yang ditandai dengan penandatanganan

„pengakuan tunduk‟ atau korte verklaring para Raja Simalungun, sehingga kegiatan misi zending semakin gencar, dan arus migrasi orang „asing‟ meningkat, terutama orang Batak Toba yang didukung kolonial dan zending RMG. Pada tahun 1928 komunitas orang Kristen Simalungun muncul yang merasakan bahwa mereka

„terancam punah‟ dihimpit budaya etnis lain di tanah leluhur sendiri dalam wadah

Gereja Batak yang berpusat di Pearaja Tarutung (Tapanuli). Mereka bangkit melawan dan menunjukkan serta menegaskan identitas mereka sebagai orang Simalungun dalam tubuh gereja Batak, membentuk Komite na ra marpodah, Kongsi Laita, Kongsi

Sintua, Kas Saksi Ni Kristus, menterjemahkan Alkitab ke bahasa Simalungun, menerbitkan Majalah „SINALSAL‟ dalam bahasa Simalungun, sehingga jumlah komunitas bertambah.

Orang- orang Simalungun merasa tidak puas dengan otonominya dalam HKBP

Distrik Simalungun yang sebelumnya telah diresmikan oleh jemaat Simalungun dibawah satu distrik yang diberi nama Distrik HKBP Simalungun yang berkedudukan di Pematang Raya.112 Selanjutnya pada tahun 1953 mereka menjadi satu Distrik dengan nama Huria Kristen Batak Protestan Simalungun (HKBPS) dalam organisasi gereja Batak yang berpusat di Pearaja (Tapanuli).113 Komuntas ini

112 Pan Djasmin Sipajoeng hoen Nagori Dolog, “District Simaloengoen” dalam: Sinalsal No. 118. Januari 1941/Thn.X1, hlm.5. 113 Hisarma Saragih. Disertasi Doktor (Studi Pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara).Dinamika Penguat Identitas Etnik Simalungun (Hasimalungunon) di Balik Berdirinya Gereja Kristen Protestan Simalungun. 2018. Hlm. 221.

78

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

merasakan bahwa mereka diatur dan dikendalikan oleh HKBP Pearaja, yang memandang bahwa Simalungun itu sama seperti orang Batak Toba.

Pada periode sesudah tahun 1953, semangat menunjukkan identitas Simalungun semakin menguat, bukan hanya di dalam tubuh Gereja HKBP Simalungun, tetapi juga dikalangan tokoh politik Simalungun. Dalam tubuh organisasi HKBP

Simalungun mencuat keinginan untuk melepaskan diri secara penuh „manjae‟ dari

HKBP Pearaja. Kaum komunitas Kristen Simalungun menuntut supaya berdiri Gereja

Simalungun dengan nama Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS).

Para tokoh Kristen, simpatisan dan intelektual orang Simalungun secara tegas memberikan dukungan terhadap usaha pemerdekaan HKBP Simalungun dari HKBP

Pearaja. Dukungan kaum intelektual Simalungun ini turut membantu percepatan maksud kaum Kristen Simalungun memerdekakan dirinya dari HKBP Pearaja.

Semangat pembebasan dari HKBP dipacu pula dengan makin tumbuh suburnya kesadaran etnisitas dan “patriotisme-lokal” etnis Simalungun. Gejala demikian ditandai dengan dibentuknya wadah payung politik yang cukup kuat dalam KRSST

(Kebangunan Rakyat Simalungun Sumatera Timur) bagi cita-cita perjuangan kesukuan orang Simalungun. KRSST memberi pressure bagi perwujudan cita-cita kebebasan orang Simalungun dari HKBP. Pendeta J. Wismar Saragih sebagai wakil ephorus HKBP, juga memelihara komunikasi yang baik dengan pengurus KRSST

79

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Kabupaten Simalungun membicarakan masa depan Gereja Simalungun.114 Kerinduan orang Simalungun pada periode ini untuk melestarikan dan mempertahankan identitas etnis Simalungun „hasimalungunon‟ di tengah derasnya arus penetrasi budaya dan pengaruh politik para etnis pendatang semakin membentuk kesadarannya sendiri.

Orang Simalungun menuntut agar mereka lepas dari HKBP dan mendirikan gereja Simalungun yang berbudaya Simalungun dan diatur oleh orang Simalungun.

Strategi dilakukan dengan mengutus anak mereka mengikuti sekolah pendeta yang disokong oleh komunitas Kristen orang Simalungun dengan memberikan sumbangan berupa menyisihkan sebagian dari gaji mereka (bagi yang pegawai) dan sebagian dari hasil panen mereka untuk membiayai sekolah pendeta. Hasilnya hdapat menyelesaikan pendidikanya, kembali ke-Simalungun dan memperkuat HKBPS.

Akhirnya pada tahun 1963, HKBP Pearaja memenuhi tuntutan orang Simalungun yang ditandai dengan pelepasan „manjae‟ orang Simalungun lepas dari HKBP, dan semenjak 2 September 1963 orang Simalungun membentuk dan memberi nama gerejanya yaitu Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS).

Berdirinya GKPS pada 2 September 1963, merupakan keberhasilan orang

Simalungun dan sebagai penguatan identitas etnik Simalungun. Walaupun orang

Simalungun bukan seluruhnya beragama Kristen Protestan (GKPS), namun penguatan identitas Simalungun (hasimalungunon) sampai saat ini tetap dijaga dan

114 Sinaga, Martin Lukito. 2004. Identitas Poskolonial “Gereja Suku” dalam Masyarakat Sipil: Studi tentang Jaulung Wismar Saragih dan Komunitas Kristen Simalungun, Yogyakarta : LKiS. Hlm. 247.

80

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dipelihara GKPS. Orang Simalungun menamakan diri halak Simalungun, mempunyai wilayah Simalungun, merasa terikat oleh adanya kesatuan turunan nenek moyang, dan mengaku bahwa mereka berasal dari suatu rumpun, memiliki leluhur, marga

„morga‟, adat Kebiasaan, busana khas, sistim kepercayaan, bahasa „sahap‟ , serta sistem mata pencaharian. Menyadari adanya warisan leluhur yang senasib sepenanggungan „sisada parmaluan, sisada lungun‟ telah menggugah mereka untuk bersatu dalam „ahab Simalungun‟ untuk menunjukkan identitas mereka sebagai orang Simalungun.

4.2 Mendirikan Lembaga Adat Simalungun (PMS)

Terlepas dari berdirinya GKPS sebagai reaksi terhadap terbelenggunya orang

Simalungun dari kebudayaan-kebudayaan yang telah berkembang luas pada orang

Simalungun. Gerakan kemandirian tersebut kemudian dilanjutkan oleh pemerincian batas-batas kebudayaan melalui seminar kebudayaan Simalungun yang digelar tahun

1964. Pelaksanaan seminar ini dapat dikatakan sebagai momentum awal penggalian dan revitalisasi kebudayaan Simalungun. Seminar tersebut telah menjadi inspirasi dalam penelitian-penelitian tentang hasimalungunon oleh generasi penerusnya.

Dalam seminar tersebut, membahas beberapa tema yang sangat dekat dan selalu hidup dikalangan orang Simalungun. Adapun tema yang dibahas dalam seminar tersebut seperti sisilah marga-marga, bahasa dan aksara, kesenian (tari dan nyanyian), hukum adat tanah, olahraga (permainan) dan perspektif kebudayaan Simalungun.

Tema –tema yang diangkat tersebut merupakan tema yang dapat dilihat (diamati)

81

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

menjadi pembeda atau batas-batas yang jelas (well-defined boundaries) yang memisahkan kelompok etnik dengan kelompok etnik lainnya. Secara de facto masing- masing kelompok etnik itu memiliki budaya yang padu.

Menurut Malinowski, satu kelompok etnik dapat dibedakan dengan yang lain baik dalam organisasi kekerabatan, bahasa, agama ( system kepercayaan ), ekonomi, tradisi ( hukum ), maupun pola hubungan antar kelompok etnik, termasuk dalam pertukaran jasa dan pelayanan. Dia menegaskan bahwa batas-batas suatu bangsa dapat dituangkan ke dalam sebuah peta etnografi.115 Karena masing- masing bangsa

(etnis) di samping memiliki batas- batas “ de facto” budaya dan keturunan (ras).

Sebab itu pula, suatu bangsa (etnis) tidak hanya dapat dibedakan dari batas-batas teritorial tetapi juga dari karakteristik budaya seperti organisasi sosial, bahasa, agama, sitem kepercayaan, ekonomi, hokum, dan pola kerja sama dengan bangsa lain.116

Bahkan menuru Barth kelompok-kelompok etnik tidak hanya didasarkan pada teritorial yang ditempatinya, tetapi pada pernyataan dan pengakuan yang berkesinambungan mengenai identifikasi dirinya. Menurutnya, apabila suatu kelompok tertentu memiliki kriteria yang sama dalam penilaian dan pertimbangan

(evoluation and judgement), maka memungkinkan sesame mereka dapat melakukan

“playing the sama game” yang disebutnya sebagai batas-batas sosial (social

115 Walaupun Kajian Malinowski kaya dengan data tangan pertama dan muncul dari perspektif kelompok masyarakat yang ditelitinya., tetapi fokus studinya sangat terkait dengan interdependensi antar lembaga budaya ( institution), bukan antar kelompok masyarakat setempat ( lihat Levine dan Campbell, 1972:82-84). 116 Usman pelly “ Etnisitas dalam politik multicultural”. 2015. Hlm 5.

82

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

boundaries).117 Dengan begitu, batas- batas etnik yang paling penting adalah batas- batas sosial, walaupun mereka memiliki teritorial sendiri.

Seminar tersebut adalah bentuk implikasi nyata dalam mewujudkan jati diri etnis Simalungun sebagai satu kelompok masyarakat yang memiliki kebudayaan

Sendiri. Seminar tersebut adalah sebagai bagian dari upaya mempersonalisasikan kebudayaan (cultural personalized) Simalungun untuk memelihara identitas kebudayaannya dengan cara menetapkan kategori-kategori sosial dan prilaku interaksinya. Jadi, identitas kenudayaan mereka baik berupa materil maupun immaterial disusun sebagai pembeda dengan etnis lain yang kemudian disalurkan kepada individu atau kelompok sebagai identitas masayarakat dan kebudayaannya.

Selama ini kebudayaan non Simalaungun telah merasuki orang Simalungun pada saat pembukaan perkebunan di Simalungun. Proses pembauran etnis

Simalungun terhadap unsure-unsur kebudayaan lain sudah terjadi sejak adanya hubungan dagang kepada tiongkok yaitu sekitar abad ke-6. Selanjutnya, hubungan kepada orang jawa sekitar tahun 1295. Oleh sebab itu kepribadian etnis Simalungun dipengaruhi oleh terjadinya proses pembauranyang telah dilalui.118

Dinamika kebudayaan Simalungun berhadapan dengan konteks yang dialaminya baik ditinjau dari segi unsur-unsur universal kebudayaan (bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata

117 Fedrik bart “ethnic grup and boundaries, the sosial organization of culture difference. Bostom. Little, Brown and company. 1969. Hlm. 15. 118 Sortaman Saragih .”orang Simalungun‟.jakarta. 2008. Hlm. 76.

83

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pencaharian hidup, sistem religi , dan kesenian), dapat ditinjau dari aspek kebudayaan sudah tentu akan mengalami perkembangan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam perkembangannya banyak kebudayaan suku bangsa yang mengalami pergeseran, semakin menyerupai kebudyaan suku bangsa disekitarnya.119

Berdasarkan hal tersebut, tampaknya kebudayaan etnis Simalungun juga mengalami perubahan dari waktu ke waktu sesuai dengan zaman dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, baik faktor-faktor yang bersifat internal maupun faktor- faktor yang bersifat eksternal. Perubahan yang terjadi dalam kebudayaan Simalungun dapat dilihat dari dua sisi yaitu bagaimana kebudayaan Simalungun Pada masa lampau, dan bagaimana kebudayaan itu mewujudkan diri pada masa kini dan yang akan datang.

Satu kejadian penting dalam pergulatan jati diri orang Simalungun adalah adanya dorongan untuk memandirikan GKPS DAN HKBPS. Peristiwa tersebut tercatat pada tanggal 2 September 1963, sekitar 1 tahun sebelum pelaksaan Seminar

Kebudayaan Simalungun pada tahun 1964. Gerakan kemandirian tersebut diikuti oleh perincian batas-batas kebudayaannya melalui seminar kebudayaan Simalungun tersebut.

Melalui seminar kebudayaan tersebut telah ditetapkan bahwa “ahap” adalah identitas etnis Simalungun. Ahap adalah moralitas kebuyaaan Simalungan yang

119 Jon Henri Sipayung, S.Pd., M.Si. “Perubahan Budaya Perkawinan Adat Simalungun”. 2019. Hlm. 4.

84

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

bersifat universal yang diharapkan dapat mengayomi seluruh kebudayaan dan etnis simalungun. Rumusan seminar tersebut telah menjadi patokan dalam perkembangan kebudayaan Simalungun karena telah dirumuskan batas –batas kebudayaan

Simalungun. Namun harus digaris bawahin batas –batas etnisitas dewasa ini sudah semakin menyempit, oleh karena itu reinterpretasi terhadap kebudayaan itu penting disesuaikan dengan perubahan sosial budaya yang tengah atau akan terjadi.

Keinginan tokoh-tokoh Simalungun pada masa itu, untuk merangkul dan menyatukan semua elemen Simalungun termasuk menumbuhkan kecintaan dan kebanggaan identitas hasimalungunon (Ahap Simalungun). Beberapa tokoh

Simalungun masa itu, antara lain Pdt. JP Siboro (Wakil Ephorus HKBPS) berikut

Tuan Bandaralam Purba Tambak (Keturunan Raja Silou yang beragama Muslim), berinisiatif membentuk lembaga yang bisa mempersatukan semua elemen masyarakat, dengan nama Partuha Maujana Simalungun (PMS). Partuha diartikan sebagai tokoh adat, agama dan tokoh masyarakat; sedangkan Maujana adalah kaum terpelajar, cendekiawan, kaum muda TNI, Polri, dan PNS. Semua elemen tersebut bersatu dalam PMS, guna menghidupkan, membangun dan mengembangkan kembali budaya Simalungun.120

Keberadaan lembaga adat Partuha Maujana Simalungun tidak semerta –merta mengembalikan kebudayaan Simalungun yang sudah berbaur dengan kebudayaan luar kembali seperti semula. Partuha Maujana Simalungun diharapkan mampu

120 Rudolf Purba,JE. Saragih, dkk. Op.cit.

85

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

membawa kebudayaan Simalungun yang selama ini telah berbaur tersebut kembali seperti semula. Tentunya dalam proses pengembalian tersebut perlu jangka waktu yang panjang namun bukan berrati tidak bisa dilakukan.

Keberadaan lembaga adat ini pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan suatu masyarakat, dan fungsinya adalah untuk menjaga, melaksanakan dan melestarikan adat yang berlaku pada masyarakatnya turun temurun. Peran lembaga adat dalam pewarisan budaya adalah mensosialisasikan norma dan adat yang berlaku dalam masyarakat. Oleh karenanya, keberadaan lembaga adat dalam setiap masyarakat pada prinsipnya selalu dijaga dan diberdayakan, agar khasanah budaya setiap masyarakat serta nilai-nilai yang dikandungnya tetap terjaga dan lestari. Hal itu disebabkan karena lembaga adat sebagai organisasi kemasyarakatan bertugas mengatur pelaksanaan adat sebagaimana diwarisi dari generasi sebelumnya, dan akan memberikan sanksi bagi warga yang melanggarnya. Lembaga adat sebagai tempat pewarisan kebudayaan mengajarkan betapa pentingnya menjaga kelestarian adat, agar generasi muda tidak melupakan begitu saja.

Oleh sebab itu, peristiwa kemandirian GKPS (1963) dan pelaksanaan seminar seminar kebudayaan Simalungun (1964) tersebut menjadi titik awal (rallying point) kesadaran etnis dan kesetiakawanan sosial (ethnic based solidarity). Jika kemandirian

GKPS telah memberikan ruang gerak leluasa terhadap penyebaran aspek rohani orang

Simalungun Yang beragama Nasrani, Maka seminar kebudayaan dan pembentukan

PMS adalah sebagai pemerinci batas-batas kebudayaan sebagai orang Simalungun.

86

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dengan demikia, dua peristiwa besar tersebut dapat dimaknai sebagai awal bangkitnya spirit Hasimalungunon.

Periode terpenting dalam proses sejarah terbentuknya lembaga PMS adalah dimana pada periode ini banyak pergerakan separatisme pada saat itu. Hal serupa juga disampaikan oleh Radjamin purba yang mengatakan, “bahwa meebaknya suatu ancamman disentegrasi bangsa oleh daerah-daerah berupa penolakan terhadap otoritas pusat. Gerakan gerakan saparatisme yang bergejolak itu mereka sebut dengan PRRI dan DI/TII.

Pergerakan ini disebabkan karena telah terjadi polarisasi politik di pemerintahan Soekarno. Sentimen etnis dan agama juga menjadi latar belakang munculnya ketidakpuasan pemerintah di daerah.121 Berbagai persoalan itu hanyalah persoalan yang datang belakangan dan membuat situasi semakin memanas.

Permasalahan utama hingga terjadinya gerakan ini merupakan ketidakpuasan pemerintah daerah yang telah bertahun-tahun dipendam kepada pemerintah pusat.

Hal inilah menurut radjamin purba perlunya penguatan identitas etnis khususnya etnis Simalungun, karena menurut beliau kebudayaan yang terlepas dari akarnya akan berdampak kepada masayarakat yang kehilangan identitasnya pada akhirnya menjadi salah satu faktor ancaman separatisme ditanah air. Senada dengan

121 Dra. Eni May, M.Si Laporan Penelitian jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas“Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia dan Gagalnyya Penerapan Sistem Otonomi Daerah di Ssumatera Barat 1956-1961”. 2017. Hlm. 8.

87

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

hal tersebut Raminah Boru Garingging122 menyatakan proses pengutan Identitas

Simalungun adalah proses yang cukup panjang sehingga perlunya sebuah lembaga adat sebagai sistem pengatur adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai penting etnik Simalungun.

Menurut Raminah terbentuk lembaga adat partuha Maujan Simalungun adalah murni atas dasar kesadaran etnik Simalungun terhadap kebudayaan Simalungun yang pada saat itu sudah mengalami pasang surut terbelenggu oleh masa lalu. Menurut beliau penguatan melalui lembaga dat PMS tidak begtu maksimal, karena pada kenyataannya GKPS yang banyak berperan dalam proses pengatan Identitas

Simalungun. Senada dengan beliau, Hisarmah123 berpendapat bahwa lembaga elemen orang Simalungun seperti : GKPS, Partuha Maujana Simalungun (PMS), Museum

Simalungun, Universitas Simalungun (USI), Pemerintah kabupaten Simalungun,

Ikatan Keluarga Simalungun Islam (IKEIS) yang paling menonjol dalam merawat dan menggunakan identitas Simalungun, adalah GKPS.

Sebagai lembaga adat yang lahir ditengah banyaknya gerakan saparitisme diIndonesia tentunya PMS mempunya tantangan sendiri. Menurut Djapanten Purba, tidak banyaknya arsip yang ditinggalkan oleh PMS periode pertama mengenai apa dan bagaimana PMS pada saat itu. Menurut beliau gerakan-gerakan separatis yang

122 Raminah Boru Garingging adalah adalah cicit dari Rondahim Saragih selaku pelaku tradisi Simalungun dan pelatih tortor Simalungun mengalami pasang surutnya penguatan Identitas Simalungun. Beliau lahir pada tahun 1934 dan saat ini masih terus berjuang untuk mempertahankan dan menguatkan identitas Simalungun dalam tarian Simalungun.

123 Hisarma Saragih, Disertasi Doktor (Studi Pembangunan) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,”Dinamika Penguat Identitas Etnik Simalungun (Hasimalungunon) di Balik Berdirinya Gereja Kristen Protestan Simalungun”.2018. hlm. 70-71.

88

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

terjadi pada saat itu tidak mempengaruhi PMS secara langsung. Justru pada saat itu masyarakat Simalungun sedang semangatnya dalam menguatkan identitas

Simalungun.

4.3 PMS dalam Melestarikan Kebudayaan Simalungun 1964-1969

Proses regenarasi kebudayaan yang dilakukan oleh Partuha Maujana

Simalungun tentunya membutuhkan proses yang cukup panjang. Sebagai mana yang disampaikan Radjamin Purba ( bupati Simalungun), bentuk kekwatiran terhadap sparatisme yang mengancam disentegrasi bangsa oleh daerah-daerah berupa penolakan otoritas terhadap pemerintahan pusat. Pemerintah Orde Lama yang menerapkan desentralisasi justru berbuah malapetaka dengan munculnya sejumlah pemberontakan di Indonesia.124 Ada beberapa daerah pada saat itu bergejolak yang menolak Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menyebut dirinya Pemerintah

Revolusioner Republik Indonsia (PPRI)125 dan DI/TII.126

124 Erond L. Damanik. POLITIK LOKAL: Dinamika Etnisitas pada era Desentralisasi di Sumatera Utara. Simetri Institute Medan. 2018. Hlm. 20. 125 pergolakan yang melibatkan PRRI-Permesta pada awalnya merupakan sikap yang diambil oleh para perwira militer daerah setelah melihat berbagai ketidakberesan pemerintah pusat dalam mengurus pemerintahan. Sikap itu dipicu oleh keputusan pemerintah yang melakukan perampingan di tubuh TNI sehingga sebagian pasukan harus gantung senjata, dan menimbulkan kekecewaan bagi mereka yang selama masa Revolusi turut berjuang mempertahankan Republik. Ditambah lagi, melihat kisruh politis di pusat yang tidak memberi dampak positif ke daerah, para perwira politikus di daerah bergerak untuk melakukan pembagunan daerah. Itu jelas tampak dalam tuntutan mereka kepada pemerintah pusat mengenai pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan transparan. Faishal Hilmy Maulida. “Hitam Putih PRRI-PERMESTA: Konvergensi Dua Kepentingan Berbeda 1956–1961”. Paradigma Jurnal Kajian Budaya Vol. 8 No.2 (20 18):174–185. DOI: 10.17510/paradigma.v8i2.180. hlm. 183. 126 Darul Islam / Tentara Islam Indonesia yang dibentuk oleh Kartosoewirjo pada 1949 me-rupakan sebuah bentuk gerakan politik. Terdapat tiga hal penting yang mengindikasi DI/TII sebagai sebuah gerakan politik. Indi-kasi tersebut antara lain didirikannya gerakan DI/TII sebagai bentuk kekecewaan terhadap kepemimpinan Soekarno. Selain itu mobili-sasi sumber daya yang dilakukan dalam ge-rakan DI/TII. Kemudian gerakan DI/TII ber-hasil menimbulkan ketegangan politik den-gan pemerintahan

89

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Menurut Lay (2011),127 sejumlah pemberontakan di Indonesia pada era Orde

Lama ditopang oleh tiga pilar utama yang berbasis lokal, yaitu: pertama militer daerah yang dikendalikan sejumlah perwira yang memiliki akar yang sangat kuat, baik di kesatuan maupun masyarakat politik, sehingga lebih mudah dalam rangka pengorganisasiannya untuk „memberontak‟, kedua kekuatan entrepreneurship lokal yang merupakan sayap ekonomi dari berbagai aksi „pemberontakan‟ daerah, dan ketiga sayap politik daerah yang direpresentasikan melalui aktor politik lokal.

Hal inilah kemungkinan, Radjamin beranggapan bahwa kebudayaan yang daerah yang terlepas dari akarnya (rootless) yang pada akhirnya menjadi salah satu faktor ancaman saparatisme ditanah air. Masyarakat yang tercerabut dari akar budayanya sekaligus akan kehilangan patokan atau standart prilaku yang sesuai dengan kebudayaanya. Beliau mengaskan :

”dari segi kebudayaan yang kami rasakan sebagai satu hal yang

penting dan pokok dalam menuju character forming mental, spiritual

sehingga cocok , seirama dengan gerak putarnya dan dinamikanya

Revolusi Indonesia dalam menuju Nation Building”

Jadi menurut beliau, kebudayaan daerah berguna dan terutama untuk pembentukan karakter mental dan spiritual sehingga diharapkan cocok dan seirama menuju pembangunan bangsa (nation building). Dengan demikian, kebudayaan daerah mempunyai kontribusi yang efektif untuk membentuk pribadi-pribadi yang

Indonesia. Wahyu Irwansyah Tambunan. “Gerakan Politik S.M. Kartosoewirjo (DI/TII 1949 – 1962). Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.1|Januari 2014. ISSN: 0216-9290. 2013. Hlm. 36. 127 Lihat. Erond L. Damanik.op,cit. 2018. Hlm. 21.

90

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

nasionalis, yang menjunjung tinggi nilai nilai kebudayaan daerah, khususnya kebudayaan daerah Simalungun. Hal inilah yang mendasari perlunya dibentuk sebuah lembaga adat sebagai salah satu elemen penting dalam menggerakan kebudayaan di

Simalungun. Lembaga adat Partuha Maujana Simalungun Sesungguhnya dapat meningkatkan aktivitas partisipasi masyarakat itu dapat didorong atau dirangsang baik oleh prakarsa lembaga adat lokal, pemerintah maupun inisiatif sendiri.128

Kesadaran masyarakat Simalungun akan nilai-nilai budaya modal sosial yang cukup kuat dan perlu dipertahankan. Dibutuhkan perhatian dari berbagai pihak terutama lembaga adat Partuha Maujana Simalungun untu meningkatkan kesadaran masyarakat agar kebudayaan- kebudayaan yang ada menjadi identitas Simalungun tetep terpelihara dengan baik dan dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya.

Tradisi dan kebudayaan Simalungun ini bisa saja terancam hilang kalau tidak ada upaya untuk melestarikannya kebudayaan tersebut. Adapaun perjalan proses perjuangan PMS dalam melestaraikan tradisi Simalungun sebagai berikut :

4.3.1 Merumuskan marga-marga Simalungun

Mengenai asal muasal marga-marga etnis Simalungun sangatlah minim, akan tetapi beberapa sumber tertulis menyatakan bahwa ada 4 marga asli etnis Simalungun yang biasa diberi akronim SISADAPUR.129 Menurut hukum adat Simalungun marga

128 Syamsul Bahria; M. Natsir Tompob; Rasyidah Zainuddinc; Harifuddin Halimd. Lembaga Adat “TO A‟PA” dan Urgensinya bagi Masyarakat di desa Labuku Kecamatan Maiwa Kabupaten Enrekang. PROCEEDING OF International Conference on Multidisciplinary Research 2016. Isbn 978 602 99771 1 0. Hlm. 304. 129 The Simalungun Protestant Church in Indonesia, a brief history, Kolportase GKPS, Pematang Siantar, 1983. Hlm. 6

91

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

mempunyai makna yang sangatlah penting, hal itu dikarenakan marga mempunyai nilai historis untuk menentukan sejarah tiap generasinya agar tidak terputus. Marga ini bertujuan menunjukkan suatu kelompok tertentu yang ada hubungan darah

(samudar). Marga mengandung aspek identitas sedarah, keturunan, satu nenek moyang yang sama. Dalam status sosial marga menentukan perbedaan kedudukan apakah sebagai marga raja, marga boru atau marga penumpang dalam lingkungan kampong (huta).

Menurut sejarahnya semasa berdirinya kerajaan maropat pada abad ke XVIII dalam kerajaan Silau (“Partikian Bandar Hanopan”) raja ke VI meminta bantuan kepada Raja Panei, ada seseorang memberikan seseorang untuk menjadi temannya yang bernama si Birong yang bermarga Sipahutar keturunan dari Rahalam

Sipahutar.130 Dari ada marganya Sipahutar inilah dugaan di Simalungun hanya terdiri dari 4 marga yang tidak dapat diterimah mereka.

Memunculkan narasi mengemukakan marga etnis Simalungun tidak hanya mempertahankan 4 marga saja telah diusulkan pada rapat “Harungguan Bolon” pada tahun 1930. Namun pada saat itu belum bisa dijalankan dikarenakan terdapat beberapa raja Simalungun dulu mempunyai banyak istri (“Nasipuang” bahasa

Simalungun). Menyebutkan nama dari Nasipuang adalah melanggar adat, sehingga apabila seorang raja mempunyai lebih dari 3 istri maka lebih tepat memanggil mereka

130 Rosnidar Sembiring. Tesis Keberdaan Hak Ulayat di Kabupaten Simalungun. Program Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. 2001. Hlm. 100.

92

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dengan nama cabang mereka. Sebagai contoh apabila raja mempunyai 3 istri dari klan

“Purba” maka dalam menyebut nama mereka umpanya “Puang Pardahan” yaitu istri yang bertugas memasak, lalu “Puang Paninggirian” yaitu istri yang bertugas dalam mempersiapkan sesembahan, dan “Puang Siappar Apei” yaitu istri yang bertugas mengembangkan tikar dan lain lain. Dari hal tersebutlah perlunya di usulkan untuk mempergunakan cabang marga etnis Simalungun dan bukan untuk meresmikan cabang marga di istana menjadi pokok marga. Pdt. J. Wismar Saragih pernah menuliskan surat permohonan pada Raja-Raja Simalungun yang berkumpul di

Pematang Siantar dan meminta agar Raja-Raja tersebut merumuskan dan menetapkan marga-marga baru sebagai tambahan kepada marga resmi Simalungun dengan maksud agar semakin banyak marga Simalungun seperti pada suku lain. Walaupun ide tersebut diterima oleh Raja-Raja tersebut namun permohonan J. Wismar Saragih belum disetujui karena belum tepat waktunya.

Hal inilah jugalah yang mendasari perlunya peranan dari lembaga adat khususnya PMS agar bisa merumuskan dan menetapkan cabang-cabang marga dari etnis Simalungun. Hal tersebut dapat dilihat dari diadakannya seminar perumusan dan penetapan marga_marga Simalungun oleh lembaga adat PMS. Karena alasan tersebut, sebagian orang berpandangan bahwa masih ada kemungkinan bertambahnya marga- marga di Simalungun. Senada dengan apa yang pernah dituliskan mengenai asal usul beberapa marga-marga Simalungun. Misalnya marga Saragih Garingging, yang disenyalir berasal dari keturunan Pinangsori, dari Ajinembah (sebuah daerah di

93

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Kabupaten Karo) dan bermigrasi ke Raya sehingga bertemu dengan Raja Nagur dan dijadikan marga Saragih Garingging. Begitupun marga Purba Tambak, disebutkan berasal dari penduduk daerah Pagaruyung yang bermigrasi ke daerah Natal, kemudian ke Singkel, hingga tiba di daerah Tambak, Simalungun. Keturunannya kemudian menikah dengan keturunan Raja Nagur dan mereka dijadikan sebagai bagian dari

Purba, yaitu Purba Tambak. Marga Damanik juga disebut sebagai pendatang yang menikah dengan keturunan Tuan Silampuyang yang bermarga Saragih dan kemudian diberi marga.131

Pdt. J. Wismar Saragih selaku pemerasaran dalam seminar yang diadakan pada

25 Februari 1964 di gedung nasional yang dipimpin oleh Rudolf Purba, berpendapat bahwa suku Simalungun masih berpegang teguh pada perkawainan “eksogami”,

(menikah dengan marga lain) dan suku Simalungun juga mempunyai pantangan yaitu dalam pernikahan “endogamie” (menikah dengan marga sendiri ) atau disebut juga dengan “mardawan begu”. Marga-marga yang ada saat ini (sisadapur) dinaikkan derajadnya menjadi marga keturunan atau marga asal. Cabang marga yang ada saat ini diangkat menjadi marga-marga di Simalungun. Adapun marga tersebut :

Tabel 8. Cabang-cabang dari Marga-marga Simalungun

PURBA SARAGIH DAMANIK SINAGA

Tambak Sumbayak Bariba Sidahapintu

Sidasuha Garingging Tomok Sidahalogan

131 TBA Purba Tambak. 1982. Sejarah Simalungun, percetakan HKBP. Pematang Siantar. Hlm. 137.

94

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Sidadolog Sidauruk Ambarita Simaibun

Sidagambir Turnip Rampogos Sidasuhut

Pakpak Simarmata Gurning Simanjorang

Tondang Sitio Seula Simandalahi

Siboro Dajawak Sarasan Dadihoyang Bodat

Sitanggang Usang

Bayu

Menurut pdt J.Wismar Saragih, bahwa orang Simalungun datang dalam dua periode yaitu proto Simalungun yang datangnya dari Gayo juga Alas dan Deutro

Simalungun yang datangnya dari toba. Namun, hal tersebut dibantah oleh Somen

Purba. B.A. (pembanding dalam seminar tesebut) menurut beliau pendapat J.Wismar

Saragih bertentangan dengan kepribadian Simalungun. Beliau berpendapat Asal usul

Simalungun harus dilihat berdasarkan sejarah, mana yang lebih tua, Simalungun atau

Toba.

Menurut seminar tersebut, etnis Simalungun mempunyai jalan perkembangannya sendiri. Maka dari itu PMS sebagai lembaga adat juga sebagai panitia seminar yang berperan penting dalam hal ini, menganjurkan agar dibentuk musyawarah masing- masing marga. Hal ini bertujuan untuk menentukan sejarah dan silsilah marga-marga tersebut dan mentapkannya sebagai cabang dari marga etnis

Simalungun.

95

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dalam hal ini, seminar yang dilaksanakan oleh tokoh masyaraka Simalungun dan lembaga adat Partuha Maujana Simalungun memutuskan dan menetapkan bahwa marga mereka sependapat dengan ahli sejarah yang menetapkan bahwa ada 4 marga asli dalam Suku Simalungun . Keempat marga ini merupakan hasil dari “Harungguan

Bolon” (permusyawaratan besar) antara empat raja besar untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan, istilahnya: marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang mussuh. dengan tidak saling menyerang maka bentuk- bentuk kesenian khas masyarakat Simalungun dapat dilestarikan hingga sekarang.

Adapaun marga- marga tersebut sebagai berikut:

1. Damanik

Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), dalam bahasa Simalungun,

Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas). Raja ini berasal dari kaum bangsawan India Selatan dari Kerajaan Nagore. Pada abad ke-12, keturunan raja Nagur ini mendapat serangan dari Raja Rajendra Chola dari India, yang mengakibatkan terusirnya mereka dari

Pamatang Nagur di daerah Pulau Pandan hingga terbagi menjadi 3 bagian sesuai dengan jumlah puteranya: Marah Silau yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja

Jumorlang, Raja Sipolha, Raja Siantar, tuan raja siantar dan tuan raja damanik Soro

Tilu (yang menurunkan marga raja Nagur di sekitar gunung Simbolon: Damanik

Nagur, Bayu, Hajangan, Rih, Malayu, Rappogos, Usang, Rih, Simaringga, Sarasan,

Sola) Timo Raya (yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya

Damanik Tomok). Selain itu datang marga keturunan Silau Raja, Ambarita Raja,

96

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gurning Raja, Malau Raja, Limbong, Manik Raja yang berasal dari Pulau Samosir dan mengaku Damanik di Simalungun.

2. Saragih

Saragih dalam bahasa Simalungun berarti Simada Ragih, yang mana Ragih berarti atur, susun, tata, sehingga simada ragih berarti Pemilik aturan atau pengatur, penyusun atau pemegang undang-undang. Keturunannya adalah:

 Saragih Garingging yang pernah merantau ke Ajinembah dan kembali ke

Raya. Saragih Garingging kemudian pecah menjadi dua, yaitu: Dasalak,

menjadi raja di Padang Badagei, Dajawak merantau ke Rakutbesi dan Tanah

Karo dan menjadi marga Ginting Jawak.

 Saragih Sumbayak keturunan Tuan Raya Tongah, Pamajuhi, dan Bona ni

Gonrang. Walaupun jelas terlihat bahwa hanya ada dua keturunan Raja Banua

Sobou, pada zaman Tuan Rondahaim terdapat beberapa marga yang mengaku

dirinya sebagai bagian dari Saragih (berafiliasi), yaitu: Turnip, Sidauruk,

Simarmata, Sitanggang, Munthe, Sijabat, Sidabalok, Sidabukke, Simanihuruk.

Ada satu lagi marga yang mengaku sebagai bagian dari Saragih yaitu Pardalan

Tapian, marga ini berasal dari daerah Samosir. Rumah Bolon Raja Purba di

Pematang Purba, Simalungun.

3. Purba

Purba menurut bahasa berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Purwa yang berarti timur, gelagat masa datang, pegatur, pemegang Undang-undang, tenungan pengetahuan, cendekiawan atau sarjana. Keturunannya adalah: Tambak,

97

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Sigumonrong, Tua, Sidasuha (Sidadolog, Sidagambir). Kemudian ada lagi Purba

Siborom Tanjung, Pakpak, Girsang, Tondang, Sihala, Raya. Pada abad ke-18 ada beberapa marga Simamora dari Bakkara melalui Samosir untuk kemudian menetap di

Haranggaol dan mengaku dirinya Purba. Purba keturunan Simamora ini kemudian menjadi Purba Manorsa dan tinggal di Tangga Batu dan Purbasaribu.

4. Sinaga

Sinaga berarti Simada Naga, dimana Naga dalam mitologi dewa dikenal sebagai penyebab Gempa dan Tanah Longsor. Keturunannya adalah marga Sinaga di

Kerajaan Tanah Jawa, Batangiou di Asahan. Saat kerajaan Majapahit melakukan ekspansi di Sumatera pada abad ke-14, pasukan dari Jambi yang dipimpin Panglima

Bungkuk melarikan diri ke kerajaan Batangiou dan mengaku bahwa dirinya adalah

Sinaga. Menurut Taralamsyah Saragh, nenek moyang mereka ini kemudian menjadi raja Tanoh Djawa dengan marga Sinaga Dadihoyong setelah ia mengalahkan Tuan

Raya Si Tonggang marga Sinaga dari kerajaan Batangiou dalam suatu ritual adu sumpah (Sibijaon).132

4.3.2 Merumuskan Hukum adat dan Perkawinan

Komunitas etnik Simalungun selaku bagian dari kependudukan yang ada dalam wilayah Kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera Utara mewujudkan diri dalam sistem kebudayaan yang khas. Perkembangan kebudayaan etnik Simalungun menjadi suatu kebudayaan yang khas terjadi melalui suatu proses yang panjang, umpamanya

132 Tideman, J. 1922. Simeloengoen: Het Lan der Timoer-Bataks in Zijn Vroegere Isolatie en Zijn Ontwikkeling tot een deel van het Cultuurgebied van de Oostkust van Sumatera, Leiden: Stoomdrukkerij Louis H. Bacherer. Hlm. 90.

98

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

terjadinya proses difusi atau diffusion, proses akulturasi atau acculturation, dan proses asimilasi atau assimilation dengan unsur-unsur kebudayaan yang lain. Proses pembauran komunitas etnik Simalungun terhadap unsur-unsur kebudayaan lain sudah terjadi sejak adanya hubungan dagang kepada Tiongkok yaitu sekitar abad ke-6, dan selanjutnya hubungan kepada orang Jawa sekitar tahun 1295.133 Oleh sebab itu Letkol

Jansen Saragih garingging dan dkk, perlunya membuat rumusan hukum adat perkawinan Simalungun agar tidak bercampur engan kebudayaan etnis lain.

Sistem perkawinan adat dikalangan etnik Simalungun menganut prinsip exogami marga dalam hubungan asimetrikal yaitu perkawinan antara seorang lelaki kepada seorang perempuan yang berbeda marga. Idealnya menurut tradisi etnik

Simalungun bahwa perkawinan antara seorang lelaki kepada seorang perempuan adalah marboru ni tulang yaitu seorang lelaki mengawini anak perempuan dari saudara lelaki ibu silelaki. Atau disebut juga maranak ni amboru yaitu seorang perempuan mengawini anak lelaki dari saudara perempuan Bapak siperempuan.

Sedangkan sistem perkawinan dengan prinsip endogami marga yaitu perkawinan antara seorang lelaki kepada seorang perempuan yang satu marga sangatlah dilarang.

Apabila terjadi hal seperti ini maka komunitas etnik Simalungun akan mengucilkan yang bersangkutan dalam kegiatan-kegiatan adat maupun dalam pergaulan sosial sehingga yang bersangkutan akan merasa terasing.

Sebelum suatu upacara perkawinan adat etnik Simalungun dilakukan maka terlebih dahulu kedua belah pihak (pihak laki-laki dan pihak perempuan)

133Sortaman Saragih. 2008. Orang Simalungun. Jakarta: cv Citama Vigora. Hlm.76.

99

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

menyepakati apa saja yang menjadi kewajiban dan hak masing-masing sehingga upacara perkawinan adat yang akan dilaksanakan dapat berjalan dengan sebaik- baiknya. Proses yang lazim ditempuh dikalangan etnik Simalungun untuk mewujudkan sebuah perkawinan atau marhajabuan setelah seorang pemuda atau parana dan seorang pemudi atau panakboru sepakat untuk membentuk ikatan perkawinan diawali dengan mangalop bona boli atau pamit kepada paman, kemudian marlasalasa atau membicarakan mahar serta bentuk perhelatan yang akan diadakan, marpadan atau berjanji, maralop atau menjemput, dan selanjutnya marhajabuan atau menikah. Proses perkawinan yang ideal dikalangan etnik Simalungun ialah alop dear atau dijemput dengan baik. Terjadinya proses alop dear didasarkan kepada kesepakatan kedua belah pihak antara lelaki dan perempuan dengan konsekwensi bahwa marpadan dan resepsi perkawinan dilakukan ditempat kediaman perempuan.

Dalam proses alop dear dikenal horja sadari atau pekerjaan dalam satu hari dengan adat na gok atau pelaksanaan adat yang tuntas. Selain proses diatas dikenal juga proses perkawinan taruhon jual atau antar jual yaitu perempuan diantar ketempat kediaman lelaki karena perhelatan akan dilakukan ditempat kediaman lelaki.

Disamping itu dikenal juga proses perkawinan alop jual yaitu menjemput perempuan dari tempat kediamannya karena perhelatan akan dilakukan ditempat kediaman lelaki sedangkan marpadan sudah dilakukan ditempat kediaman perempuan.

Terdapat beberapa perubahan dalam tata cara pelaksanaan perkawinan adat

(ibagas dear) etnik Simalungun apabila dibandingkan kepada waktu yang lampau sebagai berikut. Pertama, bahwa pada waktu dahulu pemilihan jodoh ditentukan oleh

100

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

anggota kerabat, sedangkan pada saat sekarang ini pemilihan jodoh sepenuhnya merupakan kesepakatan antara si pemuda dengan si pemudi. Kedua, bahwa pada waktu dahulu hela (menantu) tidak digotongi oleh tondong, sedangkan pada saat sekarang umumnya hela digotongi oleh tondong. Ketiga, bahwa pada waktu dahulu sebelum hiou (kain adat) tanda hela (menantu) diberikan oleh pihak tondong kepada hela (menantu) terlebih dahulu disampaikan demban tangan-tangan (sirih), sedangkan pada saat sekarang ini pada umumnya demban tangan-tangan sudah tidak dilakukan lagi. Keempat, bahwa pada waktu dahulu mahar diletakkan diatas para- para, tetapi sekarang mahar diletakkan diatas lemari. Kelima, bahwa pada waktu dahulu manaruhkon indahan siopat borngin dilakukan oleh pihak parboru (pihak perempuan), sedangkan pada saat sekarang ini manaruhkon indahan siopat borngin sudah tidak dilakukan lagi tetapi langsung diintegrasikan kepada acara horja sadari atau acara pesta dalam satu hari. Keenam, bahwa pada waktu dahulu paulak limbas dilakukan oleh pihak paranak (pihak lelaki), sedangkan pada saat sekarang ini paulak limbas sudah tidak dilakukan lagi tetapi langsung diintegrasikan kepada acara horja sadari.

4.3.3 Menetapkan Bahasa dan Aksara Simalungun

Orang Simalungun mempunyai bahasa dan berbicara dengan bahasa

Simalungun. Mereka juga menggunakan tulisan atau aksara Simalungun. Baik bahasa maupun aksara tersebut berbeda dengan yang digunakan rumpun sub-etnik Batak lain seperti Toba, Karo, Pakpak, Mandailing, Angkola maupun suku-suku lainnya di

101

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Indonesia. Menurut P. Voorhoeve134 (seorang ahli bahasa Belanda, pernah menjabat sebagai taalambtenaar Simalungun tahun 1937), mengatakan bahasa Simalungun merupakan bahasa rumpun Austronesia yang lebih dekat dengan bahasa Sansekerta yang banyak mempengaruhi bahasa-bahasa di Nusantara.135 Voorhoeve dan Juga

Purba menyebutkan bahwa kedekatan bahasa Simalungun dengan bahasa Sansekerta ditunjukkan dengan huruf penutup suku mati uy, dalam kata apuy dan babuy, g dalam kata dolog, b dalam kata abab, d dalam kata bagod dan ah dalam kata babah, sabah juga ei dalam kata simbei, dan ou dalam kata sopou, lopou.

Lebih jauh Voorhoeve juga menyatakan bahwa bahasa Simalungun berada pada posisi menengah antara rumpun Batak Utara dan rumpun Batak Selatan.136 Penelitian lain yang dilakukan oleh A. Adelaar menunjukkan bahwa bahasa Simalungun merupakan cabang dari rumpun Batak Selatan yang terpisah dari bahasa-bahasa

Batak Selatan sebelum terbentuknya bahasa Toba atau Mandailing yang sekarang.137.

Sementara itu Eron L Damanik138 menjelaskan tentang aksara Batak termasuk keluarga tulisan India. Aksara India yang tertua adalah aksara Brahmi yang menurunkan dua kelompok tulisan yakni India Utara dan India Selatan. Aksara

134 P. Voorhoeve, “Uittreksel uit het verslag van Dr. P. Voorhoeve, Taalambtenaar te beschikking van de Zelfbesturen in Simeloengoen, Over het eerste Kwartaal 1937”. (Arsip Koleksi Pdt. Jan Jahaman Damanik). Hlm. 22-23. 135 Juandaha Raya P. Dasuha, Martin Lukito Sinaga, Tole! Den Timorlanden das Evangelium! Sejarah Seratus Tahun Pekabaran Injil di Simalungun, Kolportase GKPS, 2003, hlm. 16. 136 Voorhoeve,Petrus .1955. Critical Survey of Studies on the Languages of Sumatra.'s Gravenhage:Nijhoff. Hlm. 9. 137 Adelaar, K. Alexander. 1981. Reconstruction of Proto-Batak Phonology. Historical Linguistics in Indonesia, Part I (NUSA: Linguistic Studies in Indonesian and Languages in Indonesia, 10), 1-20. Jakarta: Lembaga Bahasa, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Hlm. 10-20. 138 Damanik, Eron L. 2017. Nilai Budaya, Hakikat Karya Dan Orientasi Hidup Orang Simalungun, Medan : Penerbit Simetri Institute. Hlm.

102

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Nagari dan Palawa masing-masing berasal dari kelompok utara dan selatan dan kedua-duanya pernah dipakai diberbagai tempat di Asia Tenggara, termasuk

Indonesia. Diantara kedua aksara ini, maka yang paling luas dan berpengaruh pengunaannya adalah aksara palawa, dan semua tulisan asli di Indonesia berinduk pada aksara Palawa.

Orang Simalungun memiliki bahasa penutur sehari-hari „bahasa ibu‟ yakni bahasa Simalungun, yang termasuk ke dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia, yakni cabang terbesar dalam rumpun bahasa Austronesia. Voorhoeve berpendapat bahwa bahasa Simalungun berada pada posisi menengah antara bahasa rumpun Batak Utara dan bahasa rumpun Batak Selatan. Selanjutnya Adelaar 139mengatakan bahwa bahasa

Simalungun merupakan cabang dari rumpun Batak Selatan yang terpisah dari bahasa- bahasa Batak Selatan sebelum terbentuknya bahasa Toba atau Mandailing yang sekarang. Bahasa Simalungun adalah rumpun Austronesia sebagaimana juga disebut oleh Voorhoeve.

Menurut Kozok140, bahasa Batak terbagi dalam dua kelompok bahasa: bahasa

Angkola, Mandailing dan Toba adalah rumpun selatan, sedangkan bahasa Karo dan

Pakpak termasuk rumpun utara. Bahasa Simalungun adalah kelompok ketiga berdiri diantara rumpun bahasa utara dan selatan. Bahasa Simalungun dapat dibedakan dalam empat dialek yaitu : (1) Silimakuta, (2) Raya, (3) Horisan atau tepi pantai sekitar

139 Damanik, Eron L. 2017. Nilai Budaya, Hakikat Karya Dan Orientasi Hidup Orang Simalungun, Medan : Penerbit Simetri Institute. Hlm. 140 Kozok, Uli. 1999, Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak, Kepustakaan Popular Gramedia: Jakarta. Hlm. 14.

103

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

danau Toba, (4) pesisir pantai timur sering juga disebut „Jahe-Jahe‟.141 Dari segi intonasi bahasa Simalungun yang demikian halus dinyatakan mirip dengan bahasa

Mandailing dan Angkola serta jauh berbeda dengan bahasa Toba, Pakpak dan Karo.

Bahasa Simalungun menggambarkan struktur bertingkat serta tutur sapa yang sopan dan santun, sehingga dalam berbahasa orang Simalungun wajib menghormati dan memperagakan bahasa sesuai lingkungannya. Hal demikian juga terpengaruh dengan struktur dan tatanan sosial masyarakatnya.

Bahasa Simalungun adalah merupakan identitas dari etnis Simalungun. Namun pada kenyataannya tidak hanya didalam gereja di dalam sekolah yang didirikan oleh zending RMGpun tidak menggunakan bahasa Simalungun. Mereka (etnis simalungun yang beragama Kristen) menuntut akan penggunaan bahasa Simalungun sebagai bahasa pengantar di gereja dan di sekolah HKBP juga di sekolah pemerintah. Mereka berhasil membujuk para bangsawan pemerintah swapraja di Raya agar menggunakan bahasa Simalungun sebagai satu-satunya bahasa pengantar di semua sekolah. Tetapi hal ini tidak berlaku di Purba, (bahasa Melayu, Batak Toba, dan Batak Simalungun) dipakai sebagai bahasa pengantar, sesuai kehendak pemerintah swapraja serta penduduk setempat.

Sejak mulai berdirinya sekolah-sekolah di daerah Purba, bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar utama, sedangkan bahasa Batak Toba berlaku sebagai bahasa pembantu. Dengan diberlakukannya bahasa Simalungun sebagai bahasa

141 Tarigan, Henry Guntur. 1987, Bahasa dan Kepribadian Simalungun (Makalah seminar) pada Harungguan Bolon Partuha Maujana Simalungun Ke III, di Pematangsiantar. Hlm. 4.

104

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pengantar, serta tidak mengubah kedudukan bahasa Batak Toba, hal ini dianggap orang Simalungun sebagai „tidak menghargai‟ budaya lokal. Namun orang

Simalungun menuntut zendeling untuk memasukan buku-buku bacaan dari Raya di

Purba dan berusaha meyakinkan swapraja Purba serta kaum penduduknya.142

Pada perkembangannya di Simalungun secara keseluruhan, ternyata jumlah sekolah berbahasa Simalungun bertambah banyak sedangkan yang memakai bahasa

Melayu atau bahasa Batak Toba semakin berkurang. Pada tahun 1929 terdapat 49 sekolah, di antaranya 20 yang berbahasa Simalungun dan 29 yang Berbahasa Batak

Toba. Pada tahun 1934 jumlah sekolah ialah 99, diantaranya 35 yang berbahasa

Simalungun, 46 berbahasa Batak Toba, 17 berbahasa Melayu dan 1 yang menggunakan Bahasa Batak Karo. Namun pada tahun 1936 sudah lebih banyak sekolah yang berbahasa Simalungun ketimbang berbahasa Batak Toba. Dari 102 sekolah, 46 berbahasa Batak Simalungun, 41 berbahasa Batak Toba, 14 berbahasa

Melayu dan 1 berbahasa Batak Karo.143 Dengan begitu bahasa Simalungun telah mendapatkan kedudukan dominan di sekolah yang dapat dipandang sebagai sukses yang diraih gerakan orang Simalungun dalam menguatkan identitas Simalungun.

Dengan proses perjalanan penguatan identitas bahasa simalungun yang cukup panjang, hal ini yang membuat beberapa tokoh adat Simalungun dan lembaga adat

Partuha Maujana Simalungun harus menetapkan batas-batas aksara dan bahasa

142 Hutauruk, J.R.1992. Kemandirian Gereja: Penelitian Historis-sistematis tentang Gerakan Kemandirian Gereja di Sumatera Utara dalam Kancah Pergolakan Kolonialisme dan Gerakan Kebangsaan di Indonesia, 1899-1942, Jakarta : PT.BPK Gunung Mulia. Hlm. 154. 143 Ibid. Hlm. 155

105

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Simalungun. Hal ini sesuai dengan tuntutan manipol yang menganjurkan untuk memajukan kebudayaan Nasional . dengan mempuk kebudayaan daerah tersebut diharapkan diperoleh nilai-nilai kearifan lokal. Acara perumusan batas-batas bahasa dan aksara ini dilakukan pada 27 Februari 1964 yang dipimpin oleh O. Berlin

Girsang.

Banyaknya penelitian terhadap bahasa Simalungun hingga saat ini hanya berdasarkan penelitian orang-orang eropa seperti Van der Tuuk, J.H.Merwaldt dan

Dr.P. Voorhoeve. Mereka terlalu membesar-besarkan perbedaan dan menonjolkan chauvinism. Tidak senada dengan hal tersebut Urich H.Damanik, sebagai tahap awal hanya baru menemukan masalah yang harus dibicarakan dikemudian hari. Untuk saat ini kita harus merujuk kepada data dan penelitian yang ada dulu dalam menentukan bahasa dan aksara Simalungun.

Adapun hasil dari keputusan yang telah ditetapkan adalah :

Pertama : Bahasa Simalungun

1. Bahwa bahasa Simalungun benar-benar alat ammpuh di daerah

Simalungun sebbagai alat pemersatu bagi setiap anggota masyarakat.

2. Bahwa bahasa Simalungun berfungsi dapat menanggulangi atau

menggalang segala potensi rakyat demi keutuhan dan menuju pembinaan

Kebudayaan Nasional.

3. Bahwa bahasa Simalungun dapat memperkayaperbendaharaan Indonesia

sebagai bahasa Nasional dan menjadi objek research untuk penggalian

sastra dan budaya daerah demi ke agungan Kebudayaan Nasional.

106

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Kedua : Aksara Simalungun

1. Bahwa Aksara Simalungun ada 19 buah disebut Surat Sapuluh Siah

2. Menulis dari kiri ke kanan

3. Aksara ini segera mungkin diteliti agar rahasia yang terpendam dalam

pustah-pustaha dapat digali

Ketiga : Struktur dan Ejaan

1. Struktur disesuaikan dengan struktur bahasa Indonesia

2. Ejaannya begitu diucapkan begitu dituliskan dalam huruf latin.

4.3.4 Menentukan Olahraga dan Permainan Tradisonal

Olahraga tradisional adalah olahraga yang berkembang dari permainan rakyat yang timbul pada tiap-tiap etnis dan suku yang ada di Indonesia.144 Olahraga tradisional harus memiliki dua persyaratan yaitu “olahraga” dan “tradisional” baik dalam memiliki tradisi yang sudah berkembang selama beberapa generasi, maupun dalam arti sesuatu yang terkait dengan tradisi budaya suatu bangsa secara lebih luas.145

144 Ajun Khamdani. 2010. Olahraga Tradisional Indonesia. Klaten : PT. Mancanan Jaya Cemerlang. Hlm. 89. 145 Bambang Laksono,dkk.2012. Kumpulan Permainan Rakyat Olahraga Tradisional. Jakarta: Kementrian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia. Hlm. 1.

107

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Olahraga tradisional merupakan salah satu ekspresi kebudayaan di Indonesia yang mulai surut keberadaanya. Bentuk olahraga yang sering dimainkan dalam upacara-upacara adat, penyambutan tamu, dan hiburan oleh masyarakat primitive

Indonesia dan suku-suku yang ada di seluruh Indonesia. Olahraga tradisional pada masa dewasa ini hampir tidak lagi dipermainkan baik di daerah terpencil maupun di daerah perkotaan. Olahraga tradisional merupakan salah satu kebudayaan bangsa yang perlu dilestarikan agar tidak punah ditelan zaman. Bila satu elemen kebudayaan bangsa telah hilang, maka nilai-nilai dan norma-norma yang terkandung di dalamnya juga telah hilang.146

Proses perjalanan olahraga dan permainan tradisonal Simalungun saat sekarang sudah mengarah keposisi krisis, akibat derasnya arus perubahan berupa globalisasi, modrenisasi, dan westernisasi. Proses perubahan ini bisa saja bermanfaat apabila masyarakat pendukung suatu kebudayaan dapat menjadikan budaya sebagai modal menghadapi kehidupan modis yang semakin kompleks. Lodewijk Poerba147 beperndapat dalam Seminar tersebut, bahwa olahraga dan permainan tradisonal Simalungun sudah ada sejak zaman nenek moyang orang Simalungun dulu. Namun, belum ada kajian khusus yang menjelaskan bagaimana dan kapan nenek moyang orang Simalungun sudah memainkan Olahraga dan permainan Tradisonal tersebut.

Maka dengan kesempatan diadakannya Seminar mengenai olahraga dan permainan tradisional Simalungun, perlunya dirumuskan mana saja yang menjadi olahraga dan

146 Bambang Laksono,dkk.2012. Op.Cit. hlm. 9. 147 Lodewijk Poerba adalah ketua perumusan olahraga/ permainan-permaianan Simalungun yang dilaksanakan pada 27 februari 1964 di Pematang Siantar.

108

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

permaian tradisional Simalungun sesungguhnya. Karena menurut Darman Sinaga148 ada beberapa olahraga dan permaian tradisonal Simalungun yang mirip dengan olahraga dan permainan tradisional diluar Simalungun. Maka dari itu menurut beliau perlunya membentuk tim terkhusus masalah olahraga dan permanaian tradisional Simalungun Ini.

Adapun beberapa Permainan Olahraga yang dianggap menjadi warisan leluhur orang

Simalungun 149pada saat itu adalah sebagai berikut :

1.

2. Sampak Hotang

3. Marganjang Rambut

4. Margalah

5. Marjalangkat ( marnae-nae)

6. Marseok/marpatta

7. Marsembal

8. Martampul

9. Margasing

10. Marlubuk

11. Marsidaltu

12. Marpikse/marpitse

Dan lain-lainnya

4.3.5 Menentukan Hak Ulayat

148 Darman Sinaga adalah wakil ketua perumusan olahraga/ permainan-permaianan Simalungun yang dilaksanakan pada 27 februari 1964 di Pematang Siantar. 149 Rudolf Purba, JE. Saragih, dkk.2011. Peradapan Simalungun “ Inti Sari Seminar Kebudayaan Simalungun se-Indonesia Pertama Tahun 1964. Hlm. 339.

109

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Ciri terpenting subjek hukum adalah sebagai pendukung hak dan kewajiban, hal itu dikarenakan subjek hukum memiliki hak dan dapat melakukan perbuatan- perbuatan hukum seperti seorang manusia.150 Terhadap tanah, Wirdono

Prodjodikoro151 mengatakan, terkadang tidak hanya perorangan yang mempunyai hak milik atas tanah melaikan suatu persekutuan desa itu sendiri. Yang menjadi permasalahannya apakah masyarakat hukum adat menjadi subjek hak milik. Menurut

Vallenhoven, masayarakat adat/desa tidak mempunyai hak milik yang dinamakan hak komunal (hak ulayat) dan sebenarnya hak menguasai (beschikkingsrecht) desa atau masyarakat hukum lainnya.152 Sedangkan Jan Breman berpendapat adanya hak komunal itu pada zaman penjajahan hanyalah sebagai pertajaman dari istilah pelembut terhadap penyangkalan adanya milik perorangan.153

Guna melakukan perubahan hukum agar memberikan penghidupan dan keadilan agrarian bagi masyarakat, dalam perumusan hukum adat tanah Simalungun, maka disimpulkan bahwa UUPA no.5 tahun 1960 Jo.No: 56/ peraturan tahun 1960 adalah menjamin hukum adat dalam hukum tanah. Dari undang-undang tersebut dijelasakan bahwa hukum adat tanah Simalungun tidak dihapuskan melainkan turut menjadi dasar terbentuknyya U.U.P.A. Hukum adat Simalungun berfungsi sosial

150 R. Surbekti. 1984. Pokok-pokok Hukum Perdata. Cetakan ke-19, penerbit Intermasa. Jakarta. Hlm. 21. 151 Wirdono Prodjodikoro .1963. Hukum Perdata Tentang Hak-hak Atas Benda. Penerbit: Pembimbing Masa. Hlm. 39. 152 Imam Soetiknjo.1990. Politik Agraria Nasional. Gajah Mada University press. Yogjakarta. Hlm. 65. 153 Chadidjah Dalimunthe. 1998. Pelaksanaan Landreform di Indonesia. Edisi pertama, cetakan pertama. USU press. Medan. Hlm. 24.

110

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

sesuai dengan UUPA no:5 tahun 1960 pasal 6 dan pasal 33 UUPA termasuk pengaturan hak masyarakat hukum adat dalam pemanfaatan tanah, walaupun sampai saat ini masih banyak kalangan yang meragukan eksistensinya terhadap perlindungan hak masyarakat adat. Achmad Sodiki menyebutkan sekalipun kekayaan alam telah dikuras habis tetapi masyarakat setempat kurang mendapatkan manfaatnya.154

Berdasarkan ketentuan tersebut, hak masyarakat hukum adat haruslah benar- benar masih ada dan tidak diberikan peluang untuk diadakan kembali. Keberadaan tersebut harus diikuti dengan hubungan pemanfaatan antara tanah dan masyarakat.

Sedangkan masyarakat yang dimaksud adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya, sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum, karena kesamaan tempat tinggal atau karena keturunan yang dikenal dengan berbagai nama yang berbeda tiap daerah.

Dapat disimpulkan bahwa hukum adat155 dalam hal ini adalah hukum adat yang mengandung unsur-unsur yang membentuknya, seperti terdapat adat istiadat sebagai nilai-nilai yang telah melembaga dalam masyarakat nelalui perbuatan-perbuatan masyarakat, mengandung norma yang disepakati bersama secara tidak tertulis, memiliki institusi atau organisasi yang menegakkan, memilikisanksi serta

154 Achmad Sodiki, “Kebijakan Sumber Daya Alam dan Implikasi Juridisnya Pasca TAP MPR N IX/MPR/2001 dan Kepres No 34 tahun 2003”, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “Eksistensi dan Kewenangan BPN Pasca Keppres No. 34 tahun 2003. Malang, hlm. 8; Lihat dan bandingkan dengan John Haba, “Realitas Masyarakat Adat di Indonesia; Sebuah Realitas”, Jurnal Masyarakat dan Budaya LIPI Jakarta, Vol. 12 No. 2, Tahun 2010, hlm. 255-285. 155 Istilah masyarakat adat dari terjemahan kata indigenous peoples yang dibedakan dengan istilahh masyarakat hukum adat yang merupakan terjemahan dari belanda yakni rechtgemencshap.lihat dalam masyhud asyari, “ PemberdayaanHhak-hak Rakyat atas Tanah”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustu, Vol. 13 No. 7, April 2000. Hlm, 108-109 ; dan Jawahir Thontowi, “Nasional”, Jurnal Hukum, Vol. 57, juli 2005, Hlm.245.

111

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dipengaruhi oleh agama yang dianut pada masyarakat. Nilai-nilai dan norma-norma yang telah mendapatkan kesepakatan masa lalu, dalam kehidupan modern masih menjadi rujukan sebagai kearifan lokal ( local wisdom ).156

Pengakuan hak atas tanah berdasarkan hukum adat merupakan konsekuensi dari keberadaan masyarakat yang otonom, untuk mengatur hubungan hukumnya. Dengan kata lain, pada masyarakat hukum adat terdapat kepastian kelompok-kelompok sosial

(social field) dalam mencipta-kan mekanisme-mekanisme pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan tanah tersendiri (self-regulation) dengan disertai kekuatan pemaksa pentaatannya melalui norma hukum dan institusi yang diakui. Namun pada saat yang ber-samaan terdapat campur tangan dari pihak luar (negara), maka keberadaan masyarakat beserta norma yang telah disepakati tersebut menjadi semi otonom karena dipengaruhi oleh faktor eksternal. Pengaruh faktor eksternal menyebabkan terjadinya keberagaman hukum yang saling mempengaruhi secara dinamis dalam perilaku sosial masyarakat yang beragam. Hal ini sejalan dengan teori Semi-Autonomous Social

Field yang dikemukakan oleh Moore. Reali-tas ini, oleh Achmad Sodiki dinamakan ter-jadi pengaruh pada dinamika internal dan eksternal hukum dalam masyarakat.

Dalam kaitan tanah adat, B.F. Sihombing membagi dalam dua jenis, yakni hukum

156 Jawahir Thontowi, Op.cit. hlm. 239-240. Lihat juga Rachmad Syafa‟at, “Kearifan Lokal dalam Masyarakat Adat di Indonesia”, Jurnal publica, Vol. 4 No. 1, Januari 2008, malang : FISIP UMM. Hlm. 8-15.

112

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

tanah adat yang terjadi pada masa lampau dan hukum tanah adat yang terjadi pada masa kini.157

Hal ini lah yang mendorong PMS sebagai sebuah lembaga adat yang harus dapat berperan penting dalam melindungin hak ulayat masyarakat adat Simalungun.

Pada tanggal 28 februari 1964 dibentuklah susunan perumus hukum adat Simalungun yang diketuai Tuan Bandar Alam Purba Tambak untuk merumuskan hukum adat tanah di Simalungun. Rumus-rumusan inilah yang nantinya sebagai landasan masyrakat adat Simalungun dalam menentukan hak dan hukum penggunanan tanah masyarakat adat Simalungun.

Dalam acara tersebut Tuan Bandar Alam menjelaskan bahwa UUPA dikeluarkan berdasarkan berpedoman pada hukum adat, jadi UUPA tidak menyimpang atau bertentangan dengan hukum adat yang ada di Simalungun. Oleh karena itu, menurut hukum adat hak menguasai itu adalah sesuatu hak menguasai yang kira-kira sesuai dengan konversi. Jadi hukum adat Simalungun dihargai dan dimasukkan ke dalam UUPA namun hanya tanah yang sudah didaftarkan saja. Untuk hak galunggung yang belum didaftarkan yang belum didaftarkan akan diusahakan diberikan pengakuan hak milik.

157 Hukum Tanah Adat masa lampau ialah hak memiliki dan menguasai sebidang tanah pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Serta pada zaman Indonesia merdeka tahun 1945, tanpa bukti kepemilikan secara otentik maupun tertulis, jadi hanya pengakuan. Adapun ciri-ciri hukum tanah masa lampau adalah tanah-tanah yang dimiliki dan dikuasai oleh seseorang dan atau sekelompok masyarakat adat yang memiliki dan menguasai serta menggarap, mengerjakan secara tetap maupun berpindah- pindah dengan daerah, suku, dan budaya hukumnya, kemudian secara turun temurun masih berada di lokasi daerah tersebut, dan atau mempunyai tanda-tanda fisik berupa sawah, ladang, hutan, dan simbol- simbol berupa makam, patung, rumah-rumah adat, dan dan bahasa daerah sesuai dengan daerah yang ada di Negara Republik Indonesia. B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia. FHUP Press. 2004. hlm. 67.

113

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Adapun hasil rumusan Hukum Adat Tanah yang telah ditetapkan tersebut adalah

Sebagai Berikut :

1. Bahwa U.U.P.A. No 5 tahun 1960 Jo.No: 56/Peraturan Pemerintah tahun

1960 adalah menjamin hukum adat dalam hukum tanah.

2. Dari U.U.P.A. ini dijelaskan bahwa hukum adat tanah Simalungun tidak

dihapuskan melainkan turut menjadi dasar terbentuknya U.U.P.A.

3. Bahwa hukum adat tanah Simalungun adalah berfungsi sosial yang sesuai

pula dengan U.U.P.A. No.5 tahun 1960 pasal 6 dan pasal 33 U.U.D 1945.

4. Bahwa hak-hak yang terdapat dalam hukum adat tanah Simalungun yakni:

a. Hak Tombakan

b. Hak Gas-gas

c. Hak Galunggung

d. Hak Bunga Talun

e. Hak Talun

f. Hak Pengayakan/ Hak Penunggu atau Hak Guna Usaha

g. Hak Rahatan ni huta

h. Hak Bombongan sahuta

i. Hak Perjalangan ( hak desa ) adalah berfungsi sosial spesifik (khas)

5. Bahwa hukum adat tanah Simalungun mempunyai sanksi-sanksi hukum

kepada orang-orang yang melakukan “Parlobei Gogoh Parpudi Uhum”.

114

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

6. UUPA itu memberikan kelengkapan kepada hukum adat tanah Simalungun ,

bahwa wanita memperoleh sesuatu hak atas tanah.

7. Berdasarkan uraian yang diatas, jelaslah bahwa UUPA No. 5 tahun 1960

adalah melindungi hukum adat tanah Simalungun.

4.3.6 Kesenian Simalungun

Di masyarakat Simalungun seni musik terbagi dalam 2 bagian yaitu music vocal (inggou) dan musik instrument (gual).

1. Dalam musik vokal (inggou), jenis nyanyian Simalungun terbagi atas 2 yaitu

ilah (nyanyian bersama) dan nyanyian solo (doding).

a. Ilah dinyanyikan secara berama-ramai di halaman luas pada suatu desa

dan di nyanyikan oleh muda-mudi pada malam terang bulan ataupun pada

acara hiburan seperti acara rondang bittang, di nyanyikan sambil

menortor. Nyanyian ilah disajikan tanpa iringan musik, sebagai pengatur

tempo biasa adalah dengan bertepuk tangan.

b. Doding adalah nanyian solo yang dilakukan oleh seseorang apabila ia

sendirian. Doding dapat di nyanyikan dengan iringan musik seperti sulim,

husapi, sarunei, dan lainnya.

2. Musik instrument (gual) Simalungun dapat dibagi 2, yaitu: Alat musik yang

dimainkan dalam bentuk ensambel dan Alat musik yang dipergunakan dalam

permainan tunggal (solo instrument). Alat music yang dimainkan dengan

ensambel dapat dibagi 2 yaitu alat music yang terdapat pada ensambel

115

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gondrang Sipitu-pitu dan ensambel gonrang sidua-dua. Alat music yang ada

dalam ensambel gondrang sipitu-pitu adalah sarunei bolon, ogung, tujuh buah

gondrang sipitu-pitu, mongmongan, dan sitalasayak. Sedangkan alat music

ensambel gondrang sidua-dua adalah mongmongan dan ogung. Alat music

dalam permainan tunggal seperti arbab, hasapi, sulim, dan sordam.

4.4 Membangkitkan Pemahamaman Masyarakat Tentang Pentingnnya

Pelestarian Budaya

Menurut Soerjono Soekanto,158 berpendapat bahwa “Peranan merupakan aspek dinamis kedudukan (status) apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya, dia menjalankan suatu peranan”. Lembaga adat merupakan organisasi kemasyarakatan yang hidup dalam suatu masyarakat adat yang memiliki peran dalam masyarakat untuk mengatur kehidupan maupun menyelesaikan suatu permasalahan yang terjadi dalam suatu masyarakat adat. Seperti dalam hasil wawancara di bawah ini:

1. Informan Sri sultan saragih, S.si, seorang laki-laki berumur 43 tahun seorang

tokoh adat sekaligus penggiat kebudayaan Simalungun. Menurut informan

pembentukan lembaga adat PMS di dasarkan atas kesadaran masyarakat untuk

tetap mempertahankan keberadaan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam

tradisi etnis Simalungun. Masyarakat Simalungun sangat memahami bahwa

158 Soerjono Soekanto.2006. Sosiologi : suatu pengantar. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hlm. 212.

116

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

tradisi dan kebudayaan Simalungun memiliki nilai-nilai yang positif bagi

pembentukan karakter masyarakat, sehingga dengan terbentuk lembaga adat

PMS, dapat membentuk ruang gerak bagi masyarakat adat untuk

meningkatkan keaktivitasnya. Beliau juga sangat menyayangkan tidak adanya

generasi pewaris alat musik “arbab simalungun”. Tentunya hal ini menjadi

pekerjaan rumah dari lembaga adat PMS untuk segera melaksanakan perannya

sebagai lembaga adat agar kebudyaan Simalungun tidak punah ditelan zaman.

2. Informan Bapak Djapanten Purba, seorang Sekjen Partuha Maujana

Simalungun. Menurut informan keberadaan lembaga adat mendapat dukungan

luas oleh masyarakat Simalungun, hal ini disebabkan karena tidak adanya

organisasi kemasyarakatan yang berfokus kepada tradisi dan kebudayaan

Simalungun. Dengan ada nya lembaga adat ini diharapkan tradisi dan

kebudayaan Simalungun dapat di wariskankan kepada genarasi yang akan

datang dan melanjutkankan pekerjaan yang belum selesai, terutama terhadap

batas- batas kebudayaan yang dianggap belum selesai sampai saat ini.

3. Informan Op. Raminah Garingging, ( cicit dari Rondahim Saragih) pelaku

tradisi dan pelatih tor-tor Simalungun. Menurut informan pembentukan

lembaga adat Partuha Maujana Simalungun merupakan suatu keharusan,

karena seiring dengan perkembangan zaman. Masyarakat menyadari bahwa

tradisi ini membawa makna positif dimasyarakat. Nilai-nilai yang

ditinggalkan oleh para leluhur yang terapkan dalam tradisi dan kebuayaan

Simalungun dapat membentuk karakter masyarakat untuk hidup tertib, saling

117

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

menghargai, saling melayani, dan nilai-nilai positif lainya yang membuat

masyarakat Simalungun hidup dalam ketentraman dan kedamaian.

4. Informan Antropolog Unimed bapak Erond L Damanik, seorang dosen di

Unimed dan telah banyak menulis sejarah simalungun dan wilayah lainnya.

Menurut informan pada dasarnya pembentukan lembaga adat sangat baik dan

mendapat dukungan luas dari masyarakat Simalungun. Harapan terbesar dari

masyarakat Simalungun dalam pembentukan lembaga adat ini adalah agar

nilai-nilai budaya yang sudah terkikis ini dapat digali kembali dan

dilestarikan. Hal ini merupakan tugas berat dari lembaga adat maupun seluruh

masyarakat Simalungun, namun upaya untuk menggali kembali nilai-nilai

tradisi dan budaya Simalungun perlunya kerja sama dari semua pihak

terutama dari pemerintah daerah.

Dalam hasil wawancara di atas adanya upaya dari lembaga adat itu sendiri

(Local goverment/Pemerintah Lokal), yaitu: Melaksanakan tradisi dan kebudayaan, memberikan kedudukan kepada PMS terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan hubungan sosial ke-adatan dan keagamaan, Membina dan mengembangkan nilai-nilai adat dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan adat khususnya, Menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan tradisi dan kebudayaan untuk kesejahteraan masyarakat adat Simalungun. Oleh karena itu menurut penulis, bahwa masyarakat Simalungun salah satunya sangat menyadari dan masih mencintai bahwa derngan mendirikan PMS sebagai lembaga adat merupakan

118

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

suatu tradisi yang berharga dan telah meletakan dasar dalam mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam tradisi dan kebudayaan Simalungun memberikan dampak positif dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai budaya tersebut merupakan karakter masyarakat

Simalungun untuk hidup tertib, saling menghargai, saling tolong menolong, dan nilai- nilai positif lainya adalah membuat masyarakat Simalungun hidup dalam ketentraman dan kedamaian.

Masuknya budaya asing yang didukung dengan kamajuan teknologi informasi turut mempengaruhi warna kebuadayaan daerah. Masayarakat adat sebagai pendukung kebudayaan merupakan salah satu faktor penentu kelestarian kebudayaan, untuk itu peranan lembaga adat dalam memanfaatkan kekuatan yang dimiliki masyarakat ini sangat penting guna meminimalisir penggunaan budaya-budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa karena dapat mengancam eksistensi kebuayaan lokal.

119

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Upaya orang-orang Simalungun untuk menguatkan identitas mereka sudah lama terjadi sebelum terbentuknya lembaga adat Partuha Maujana Simalungun.

Lembaga adat pertama yang bergerak dalam kebudayaan adalah Comite Nara

Marpodah yang memperkasai kesadaran etnis di Simalungun. Lembaga ini menjadi jawaban atas ketidak pastian identitas Kristen orang Simalungun pada sebelumnya.

Berkat kerja keras organisasi ini lahirlah komunitas-komunitas lain yang bersatu dan melahirkan GKPS sebagai penguatan identitas mereka.

Dengan berdirinya GKPS pada 2 September 1963, merupakan keberhasilan orang Simalungun dalam penguatan identitas etnik Simalungun. Walaupun tidak semua orang Simalungun beragama Kristen Protestan (GKPS), namun penguatan identitas Simalungun (hasimalungunon) patut di apresiasi. Inilah cikal bakal lahirnya lembaga adat Partuha Maujana Simalungun. Dimana para cendikiawan dan tokoh adat maupun agama bersatu untuk mengokohkan identitas Simalungun melalui lembaga adat.

Hal tersebut disampaikan oleh Radjamin Purba selaku presidium pertama

Partuha Maujana Simalungun bahwa perincian batas-batas kebudayaan etnis

Simalungun perlu dilaksanakan, hal tersebut untuk membangkitkan semangat

120

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

hasimalungunon mereka. Hal tersebut dilakukan untuk merumuskan bahwa mereka berbeda dari kelompok etnis lainnya.

Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan penting, yaitu : Pertama, pergulatan Identitas primordial orang Simalungun (hasimalungunon) telah ada sejak etnis ini ada jauh sebelum terbentuknya Lembaga Adat Partuha Maujana Simalungun.

Keterkejutan yang luar biasa terjadi sebagai dampak perjumapaan orang Simalungun dengan kaum pendatang yang jumlahnya sangat besar dan diluar dari dugaan mereka.

Dampak dari perjumapaan itu mengakibatkan ambigu pada diri orang Simalungun.

Para pendatang yang awalnya sebagai kuli kontrak perkebenunan, secara bebas mengembangkan kebudayaan mereka di wilayah Simalungun. Padahal seharusnya pemerintah yang diharapkan dapat menjadi penengah justru tidak mampu berbuat apa-apa dalam melindungi kebudayaan Simalungun.

Tidak semuanya kebudayaan luar tersebut memberikan dampak negatif terhadap kebudayaan Simalungun. Namun, intensnya kebudayaan asing itu memainkan peranan (role) di wilayah Simalungun, telah menjadi alasan kuat untuk memarginalkan kebudyaan Simalungun tersebut. Ditambah lagi, agresifitas kaum migran tersebut yang disokong oleh pengusaha yang ada dibelakang mereka, menjadikan kaum migrant tersebut memainkan peranan secara leluasa.

Kedua : melalui seminar kebudayaan dan pembentukan Lembaga Adat Partuha

Maujana Simalungun, telah ditetapkan bahwa „ahap‟ adalah identitas orang

Simalungun. Hal ini merupakan perumusan dan perevitalisasian identitas setelah

121

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

mengalami berbagai perubahan sosial budaya. Adanya hegemoni dan dominasi etnis lain memaksa orang Simalungun menentukan basis identitasnya sebagai cara membedakannya dengan kelompok lain. Menurut teori Geertz bahwa identitas etnis dapat dibentuk oleh berbagai sentimen primordial seperti kekerabatan, agama dan bahasa yang berlaku bagi orang Simalungun.

Perincian batas-batas kebudayaan Simalungun yang dilakukan oleh GKPS dan

Partuha Maujana Simalungun, dapat dikatakan sebagai momentum awal penggalian dan revitalisasi kebudayaan Simalungun. Apa yang dilakukan mereka menjadi ispirasi dalam penelitian- penelitian mengenai hasimalungunon dan diharapkan mampu melestarikan kebudayaan Simalungun untuk generasi seterusnya. Namun, perincian batas-batas kebudayaan Simalungun masih banyaknya pembahasan- pembahasan unsur kebudayaan Simalungun yang belum selesai adalah menjadi tugas generasi selanjutnya untuk menyelesaikannya.

Ketiga : Dalam pidatonya Radjamin Purba pada seminar kebudayaan yang dilaksanakan partuha maujana Simalungun mengatakan bahwa merembaknya separatisme akibat merebak ancaman disintegrasi bangsa oleh daerah-daerah berupa penolakan terhadap otoritas pusat. Pada saat itu, beberapa bergejolak dan menolak

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menyebutkan dirinya dengan PRRI dan

DI/TII. Namun dapat dipastikan, pergualatan identitas dan perincian batas-batas kebudayaan Simalungun murni karena bentuk kesadaran etnis yang disebabkan oleh termarginalnya kebudayaan Simalungun oleh kebuyaan luar. Dengan begitu dengan

122

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

berdirinya GKPS dan lembaga adat Partuha Maujana Simalungun dimaknai sebagai awal bangkitnya spirit hasimalungunon.

Keempat : minimnya arsip yang ditingalkan oleh Partuha Maujana simalungun diperiode pertama mereka tahun 1964-1969, sehingga tidak banyak yang dapat kita gali langkah apa saja selama periode pertama mereka dalam melestarikan kebudayaan simalungun. Namun patut kita apresiasi keinginan etnis simalungun dalam mengembalikan eksistensi kebudayaan asli mereka ditengah pergulatan yang terjadi pada saat itu. Menjadi tugas generasi selanjutnya untuk kembali merumuskan batasan-batasan kebudayaan Simalungun yang belum terselesaikan. Diharapkan lembaga adat ini mampu berperan dalam mengembangkan kebuayaan Simalungun.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini perlu dirumuskan beberapa hal yang dapat menjadi saran untuk lembaga adat Partuha Maujana Simalungun maupun bagi bagi penelitian selanjutnya. Pertama : Bagi lembaga adat Partuha Maujana Simalungun agar dapat memberikan peranannya sebagai organisisasi yang diberikan kewenangan untuk mendorong anggota-anggota masyarakat adatnya supaya melakukan kegiatan pelestarian serta pengembangan adat dan kebuayaan Simalungun. Diperlukannya peningkatan tugas dan fungsi lembaga adat Partuha maujana Simalungun agar tradisi dan kebudayaan Simalungun tetap terpelihara dengan baik.

Kedua Perlu adanya penyususan rencana strategis pengembangan dan pelestarian budaya oleh PMS untuk menghadapi tantangan zaman agar kebudayaan

Simalungun yang sudah diperjuangkan selama ini tidak berbaur kembali dengan

123

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

kebuayaan asing. Sebagai pelaku kebudayaan, masyrakat juga diharapkan agar lebih banyak lagi berpartisipasi dalam pelestarian tradisi dan kebuyaan Simalungun. Maka dari itu, Perlu adanya koordinasi dan singkronisasi program antar lembaga dan pemerintah daerah untuk menigkatkan kreatifitas kebudayaan di tengah masyarakat

Simalungun.

Ketiga, sebagai lembaga adat yang bertanggung jawab dalam melestarikan kebudayaan Simalungun diharapkan melanjutkan kembali dalam merumuskan batas- batas kebudayaan Simalungun yang belum selesai dikerjakan pada tahun 1964.

Dengan begitu, batas-batas kebudayaan yang belum selesai tersibut bisa menjadi rujukan untuk memperkuat kembali tradisi dan kebuayaan Simalungun. Hal ini tentunya akan menjadi kekuatan baru untuk mempertahankan ahap Simalungun apabila berbenturan kembali dengan kebudayaan-kebudayaan luar yang akan mengancam eksistensi kebudayaan Simalungun tersebut.

Keempat, di era desentralisasi dan otonomi daerah, politik lokal menjadi arena baru konstestasi politik dimana aktor daerah menjadikan etnisitas sebagai alat politiknya. Tak jarang lembaga adat daerahpun dianggap tidak lagi murni memperjuangkan unsure kebudayaan dan etnisitas namun menjadi alat politik praktis.

Sebagai lembaga adat tentunya hal tersebut harus dihindari agar kemurnian lembaga adat Partuha Maujana Simalungun dalam memperjuangkan kebudayaan yang telah terkikis oleh modrenisasi murni karena ahap Simalungun dan keluar dari zona politik praktis.

124

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DAPTAR PUSTAKA

A. Titaley, John. 2013. Religiolitas Di Alinea Tiga (Pluralisme, Nasionalisme dan Tranformasi Agama-agama). Satya Wacana University Pres, Salatiga.

Adelaar, K. Alexander. 1981. Reconstruction of Proto-Batak Phonology. Historical Linguistics in Indonesia, Part I (NUSA: Linguistic Studies in Indonesian and Languages in Indonesia, 10), 1-20. Jakarta: Lembaga Bahasa, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

Agustono, Budi dkk., 2012. Sejarah Etnis Simalungun, Medan : Diterbitkan atas kerjasama Pemda kabupaten Simalungun dengan FIB Universitas Sumatera Utara Medan.

Amin T. dan Damanik Sidamanik, Jaramen, 1976 : Turi-turian ni Ompung Na I Horsik, Pematangsiantar : diterbitkan Persatuan Ompung Na i Horsik.

Anderson, John. 1971. Mission To The East Coast Of Sumatera In 1823, London New York : Oxford University Press.

Aritonang, Jan Sihar. 1988. Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Bart, Fedrik.1969.“ethnic grup and boundaries, the sosial organization of culture difference. Bostom. Little, Brown and company.

Basah, Sjachran. 1997. Ilmu Negara Pengantar Metode dan Sejarah Perkembangan, Cet.VIII, PTCitra Aditya Bakti, Bandung.

Benda, Harry J. 1989, “Christiaan Snouck Hurgronje dan Landasan Kebijakan Belanda Terhadap Islam di Indonesia” dalam Ahmad Ibrahim (ed.), Islam di Asia Tenggara: Suatu Persfektif Historis, Jakarta: LP3ES.

Clauss, Wolfgang. 1982. Economic and Social Change among the Simalungun Batak of , Saarbrucken Fort Lauderdale: Breilenbach.

D,Kenan Purba. Sejarah Simalungun. Jakarta: Bina Budaya Simalungun.1995.

Damanik, Eron L. 2017. Nilai Budaya, Hakikat Karya Dan Orientasi Hidup Orang Simalungun, Medan : Penerbit Simetri Institute.

125

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dasuha, Juandaha Raya P. dan Sinaga, Martin Lukito, 2003. Tole den Timorlanden Das Evangelium: Sejarah Seratus Tahun Pekebaran Injil di Simalungun 2 September 1903-2003, Pematangsiantar: Kolportase GKPS.

Dasuha, Juandaha Raya Purba dan Damanik, Eron L. 2011. Kerajaan Siantar Dari Pulou Holang ke kota Pematang Siantar, Pematangsiantar: Penerbit Ihutan Bolon Hasadaon Damanik Boru pakon Panogolan Siantar Simalungun. Dasuha, Juandaha Raya Purba. 2009. Perjumpaan Masyarakat Simalungun dengan Zending dan Kolonialisme, Medan: STT Abdi Sabda.

De Jonge, Christiaan. 1993.Gereja Mencari Jawab, Kapita Selekta Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

End, Th.van den. 1996, Ragi Carita 1 Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Erond L. Damanik. 2018. POLITIK LOKAL: Dinamika Etnisitas pada era Desentralisasi di Sumatera Utara. Simetri Institute Medan.

Hadikesuma, Hilman. 1981. Hukum Ketatanegaraan Adat,Cet. I, Alumni, Bandung.

Hoekema, Alle Gabe. 1997. Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis: Sejarah Lahirnya Teologi Protestan Nasional di Indonesia, Sekitar 1860-1960, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Hutauruk, Jubil Raplan. 1993. Kemandirian Gereja: Pemikiran Historis Sistematis Tentang Gerakan Kemandirian Gereja di Sumatera Utara dalam Kancah Pergolakan Kolonialisme dan Gerakan Kebangsaan Indonesia, 1899-1942, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Kaco.H, Suardi. 2012, Sejarah Benteng Somba Opu Sebagai Situs Sejarah: dari Pembiaran ke Perusakan dalam M.Nurkhoiron, Ruth Indah Rahayu.ed. Identitas Urban, Migrasi dan Perjuangan Ekonomi Politik di Makassar, Depok: Yayasan Desantara.

Khamdani, Ajun. 2010. Olahraga Tradisional Indonesia. Klaten : PT. Mancanan Jaya Cemerlang.

Kozok, Uli. 1999, Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak, Kepustakaan Popular Gramedia: Jakarta.

Kruger, Muller. 1966 Sejarah Geredja di Indonesia, Jakarta: Badan Penerbit Kristen.

126

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang Budaya.

Laksono, Bambang,dkk. 2012. Kumpulan Permainan Rakyat Olahraga Tradisional. Jakarta: Kementrian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia.

Liddle, R. William. 1970. Ethnicity, Party, and National Integration, London: Yale University Press.

Lumbantobing, Andar M. 1992, Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Ngelow, Zakaria J. 1994. Kekristenan dan Nasionalisme: Perjumpaan Umat Kristen Protestan dengan Pergerakan Nasional Indonesia 1900-1950, Jakarta: BPK Gunung Mulia. Pedersen. 1970. Darah Batak dan Jiwa Protestan. Perkembangan gereja-gereja Batak di Sumatera Utara. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Pelly, Usman. 2015. Etnisitas Dalam Politik Multikultural, Buku I, Medan: Casa Mesra Publisher.

Purba, J. 2012. Sejarah Etnis Simalungun. (Pematang Siantar: Presidium Partuha Maujana Simalungun.

Purba, M.D. 1970, Pustaha Panei Bolon (Naskah Ketikan), Pematangsiantar: Kalangan Sendiri.

Purba, M.D. 1977. Mengenal Kepribadian Asli Rakyat Simalungun. Medan.

Purba, M.D.1977, Mengenal Kepribadian Asli Rakyat Simalungun, Medan : Penerbit M.D.Purba Jl.Kap.Pattimura 441.

Purba, Rudolf, JE. Saragih, dkk. 2011. Peradapan Simalungun: Inti Sari Seminar Kebudayaan Simalungun se-Indonesia Pertama tahun 1964, Pematang Siantar, Komite Penerbit Buku Simalungun.

Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, Cet. I, PT Rineka Cipta, Jakarta. 2001.

Randwijck, S.C.Graaf van. 1989. Oegstgeest: Kebijaksanaan Lembaga-lembaga Pekabaran Injil yang Bekerjasama 1897-1942, Jakarta : BPK Gunung Mulia.

127

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Reid, Anthony. 1979, The Blood of the People, Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra, Kuala Lumpur: Oxford University.

Reid, Anthony. 1979, The Blood of the People, Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra, Kuala Lumpur: Oxford University.

Ritzer, George. 2007. Contemporary Sociological Theory and Its lassial Roots: The Basics, Second Edition, New York: M Graw-Hill.

Schreiner, Lothar. 1996. Adat dan Injil: Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak, Jakarta : PT. BPK GunungMulia.

Sihombing, B.F. 2004. Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia. FHUP Press.

Simanjuntak, Batara Sangti. 1977. Sejarah Batak. Balige : Karl Sianipar Company.

Sinaga, Martin Lukito. 2004. Identitas Poskolonial “Gereja Suku” dalam Masyarakat Sipil: Studi tentang Jaulung Wismar Saragih dan Komunitas Kristen Simalungun, Yogyakarta : LKiS.

Sipayung Jon Henri,2019. “Perubahan Budaya Perkawinan Adat Simalungun”. Pustaka Media Guru.

Soekanto, Soerjono. 2005. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cet. XV, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soekanto,Soerjono. 2005. Sosiologi Suatu Pengantar, Cet. XXX, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sortaman Saragih. 2008. Orang Simalungun. Jakarta: CV. Citama Vigora.

Tambak T.B.A. Purba, 1982, Sejarah Simalungun, Percetakan HKBP, Pematangsiantar.

Taneko, Soleman. B. 1987. Hukum Adat Suatu Pengantar Awal dan Prediksi Masa Mendatang, Eresco, Bandung, Cetakan I.

Tarigan, Henry Guntur. 1987, Bahasa dan Kepribadian Simalungun (Makalah seminar) pada Harungguan Bolon Partuha Maujana Simalungun Ke III, di Pematangsiantar.

128

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Tideman, J. 1922. Simeloengoen: Het Lan der Timoer-Bataks in Zijn Vroegere Isolatie en Zijn Ontwikkeling tot een deel van het Cultuurgebied van de Oostkust van Sumatera, Leiden: Stoomdrukkerij Louis H. Bacherer.

Tuanku, Luckman Sinar Asarshah. dan Letkol.purn.MD.Purba, 2009. Lintasan adat dan budaya Simalungun, Forum Komunikasi Antar Lembaga Adat ( Forkala ) Sumatera Utara.

Voorhoeve,Petrus .1955. Critical Survey of Studies on the Languages of Sumatra.'s Gravenhage: Nijhoff.

Jurnal, Skripsi, Tesis, Disertasi

Asyari, Masyhud. 2005. “PemberdayaanHhak-hak Rakyat atas Tanah”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustu, Vol. 13 No. 7, April 2000. Hlm, 108-109 ; dan Jawahir Thontowi, “Nasional”, Jurnal Hukum, Vol. 57.

Bahria, Syamsul; M. Natsir Tompob; Rasyidah Zainuddinc; Harifuddin Halimd.2016. Lembaga Adat “TO A‟PA” dan Urgensinya bagi Masyarakat di desa Labuku Kecamatan Maiwa Kabupaten Enrekang. PROCEEDING OF International Conference on Multidisciplinary Research. Isbn 978 602 99771 1 0.

Maulida, Faishal Hilmy. 2018.“Hitam Putih PRRI-PERMESTA: Konvergensi Dua Kepentingan Berbeda 1956–1961”. Paradigma Jurnal Kajian Budaya Vol. 8 No.2 (20 18):174–185. DOI: 10.17510/paradigma.v8i2.180.

May, Eni. 2017. Laporan Penelitian jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas“Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia dan Gagalnyya Penerapan Sistem Otonomi Daerah di Ssumatera Barat 1956- 1961”.

Mursidi, Agus Jaelani. 2005. Keberadaan Lembaga Adat dalam konsep Otonomi Desa sesuai dengan undang-undang nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ( Studi tentang Lembaga Adat “Perdikan” di Desa Wonobodro Kecamatan Blado Kabupaten Batang ), Tesis S-2, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

129

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Purba, Corry. 2003. Sepintas Etnik simalungun dan Warisan Budayanya, Jurnal Berkala Arkeologi “SANGKHAKALA”,ISSN 1410-3974 nomor : 11/2003, Pusat Penelitian Arkeologi Balai Arkeologi Medan.

Saragih, Hisarma dan Ulung Napitu. 2003. Etnik Simalungun dalam Menyikapi Falsafah Hidup Sebagai Warisan Budaya, Jurnal Berkala Arkeologi “SANGKHAKALA”,ISSN 1410-3974 nomor : 11/2003, Pusat Penelitian Arkeologi Balai Arkeologi Medan.

Saragih, Hisarma. 2018. “Dinamika Penguat Identitas Etnik Simalungun (Hasimalungunon) di Balik Berdirinya Gereja Kristen Protestan Simalungun”, Disertasi S-3,Medan, Universitas Sumatera Utara. Sodiki, Achmad. 2010. “Kebijakan Sumber Daya Alam dan Implikasi Juridisnya Pasca TAP MPR N IX/MPR/2001 dan Kepres No 34 tahun 2003”, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “Eksistensi dan Kewenangan BPN Pasca Keppres No. 34 tahun 2003. Malang, hlm. 8; Lihat dan bandingkan dengan John Haba, “Realitas Masyarakat Adat di Indonesia; Sebuah Realitas”, Jurnal Masyarakat dan Budaya LIPI Jakarta, Vol. 12 No. 2.

Syafa‟at, Rachmad. 2008. “Kearifan Lokal dalam Masyarakat Adat di Indonesia”, Jurnal publica, Vol. 4 No. 1, Januari 2008, malang : FISIP UMM.

Tambunan, Wahyu Irwansyah. 2013.“Gerakan Politik S.M. Kartosoewirjo (DI/TII 1949 – 1962). Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.1|Januari 2014. ISSN: 0216-9290. 2013.

Tarigan, Andri Ersada. 2013. Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen : Peranannya Dalam Pelestarian Budaya Simalungun dan Penyebaran Agama Kristen (1928-1942), Skripsi S-1. Medan, Universitas Sumatera Utara.

Zuska, Fikarwin. 2012. “Politik Etnisitas dalam Pemekaran Daerah” dalam Antropologi Indonesia, Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology, Vol.33 No.3 September-Desember 2012.

130

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Arsip dan Majalah

Afdeeling Simeloengoen en de Karolanden F. J.Nieboer, 1934.

ANRI De Inlandsche Zelfbesturen in Simeloengoen 1908-1932.

ANRI, SoK Besluit 15 Nopember 1912 No. 4, Bijlagen 2, No. 5104/4.

ANRI, SoK Besluit No. 22, 12 Desember 1906.; Juga dalam Staatsblad Van Nederlandsch-Indie, 1906, No. 531.

ANRI, SoK Bisluit No. 34, 7 September 1904, Bijlagen 10.

ANRI, SoK Serie Ie No. reel film 21 Anvullende Memorie van Overgave van de

Arsip ANRI De Inlandsche Zelfbesturen in Simeloengoen 1908-1932.

K. Sipayung dalam Ambilan pakon Barita: Majalah Bulanan Gereja Kristen Protestan Simalungun, Nomor 53. Juli 1978.

P. Voorhoeve, “Uittreksel uit het verslag van Dr. P. Voorhoeve, Taalambtenaar te beschikking van de Zelfbesturen in Simeloengoen, Over het eerste Kwartaal 1937”. (Arsip Koleksi Pdt. Jan Jahaman Damanik).

Pan Djasmin Sipajoeng hoen Nagori Dolog, “District Simaloengoen” dalam: Sinalsal No. 118. Januari 1941/Thn.X1.

Sinalsal No. 1/April/1931.

Sinalsal No. 63/Juni/1936.

Sinalsal, 88/Juli/1938.

Sinalsal, No. 90/September/1938.

Sinalsal, No. 90/September/1938.

131

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Wawancara bersama Sekjen PMS, bapak Djapanten Purba pada tanggal 7 Februari 2019

Wawancara bersama Antropolog Unimed bapak Erond L Damanik pada tanggal 13 September 2019

132

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Wawancara bersama Op. Raminah Garingging ( cicit dari Rondahim Saragih) pelaku tradisi dan pelatih tor-tor Simalungun pada tanggal 7 Agustus 2019

Wawancara bersama Sri sultan saragih, S.si selaku penggiat kebudayaan dan tradisi Simalungun pada tanggal 7 Agustus 2019

133

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Wawancara bersama Bapak Dr.Hisarma Saragih , M.Hum dosen sejarah USI pada tanggal 7 Februari 2019

Wawancara bersama bapak Jalatua Hasugian, M.Hum pada tanggal 7 Februari 2019

134

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

135

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

136

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

137

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Struktur lembaga adat Partuha Maujana Simalungun sebagai berikut :

1. Penasehat terdiri dari :

1) Ketua.

2) Sekretaris.

3) Bendahara.

4) Beberapa Anggota.

2. Lembaga adat ini mempunyai kepengurusan yang disebut :

1) Ketua Umum dan beberapa wakil Ketua Umum.

2) Sekretaris Umum dan beberapa Wakil Sekretaris.

3) Bendahara Umum dan beberapa Bendahara.

4) Departemen- departemen.

3. Pengurus Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Kabupaten/ Kota terdiri dari :

1) Ketua dan beberapa Wakil Ketua.

2) Sekretaris dan beberapa Wakil Sekretaris.

3) Bendahara dan beberapa Wakil Bendahara.

4) Dan beberapa Pengurus kebidangan

4. Pengurus Dewan Pimpinan Anak Cabang (DPAC) di tingkat Kecamatan

terdiri dari :

1) Ketua dan beberapa Wakil Ketua.

2) Sekretaris dan beberapa Wakil Sekretaris.

3) Bendahara dan beberapa Wakil Bendahara.

138

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

4) Seksi- seksi

5. Pengurus Dewan Pimpinan Ranting (DPR) terdiri dari :

1) Ketua dan beberapa Wakil Ketua.

2) Sekretaris dan beberapa Wakil Sekretaris.

3) Bendahara dan beberapa Wakil Bendahara.

4) Seksi-seksi.

Sebagaimana yang telah diuraikan diatas dalam lembaga adat ini ada Departemen, bidang dan seksi struktur pada kepengurusan pusat Partuha Maujana Simalungun adalah sebagai berikut :

A. DPP/ Presedium Partuha Maujana Simalungun mempunyai Departemen

sebagai berikut :

1) Departemen adat.

2) Departemen Tortor, doding dan Hagualon.

3) Departemen Aksara dan Bahasa Simalungun.

4) Departemen Ornamen/Uhir Simalungun.

5) Departemen Pakaian Adat dan Parhiouon Simalungun.

6) Departemen Kuliner/Makanan dan Obat Tradisional

7) Departemen Sejarah.

8) Departemen Olahraga Tradisional.

9) Departemen Hukum Tanah Ulayat.

10) Departemen Litbang dan SDM.

139

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

11) Departemen Pendidikan dan Pengembangan.

12) Departemen Humas, Informasi dan Komunikasi.

B. Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partuha Maujana Simalungun Mempunyai

Bidang-bidang :

1) Bidang Adat.

2) Bidang Tortor, Doding dan Hagualon.

3) Bidang Aksara dan Bahasa Simalungun.

4) Bidang Ornamen/Uhir Simalungun.

5) Bidang Pakaian Adat dan Parhiouon Simalungun.

6) Bidang Kuliner/Makanan dan Obat Tradisional.

7) Bidang Sejarah.

8) Bidang Olahraga Tradisional.

9) Bidang Hukum Tanah Ulayat.

10) Bidang Litbang dan SDM.

11) Bidang Pendidikan dan Pengembangan.

12) Bidang Humas, Informasi dan Komunikasi.

C. Dewan Pimpinan Anak Cabang (DPAC) Partuha Maujana Simalungun

Mempunyai Seksi-seksi :

1) Seksi Adat.

2) Seksi Tortor, doding dan Hagualon.

3) Seksi Aksara dan Bahasa Simalungun.

4) Seksi Ornamen/Uhir Simalungun.

140

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

5) Seksi Pakaian Adat dan Parhiouon Simalungun.

6) Seksi Kuliner/Makanan dan Obat Tradisional

7) Seksi Sejarah.

8) Seksi Olahraga Tradisional.

9) Seksi Hukum Tanah Ulayat.

10) Seksi Litbang dan SDM.

11) Seksi Pendidikan dan Pengembangan.

12) Seksi Humas, Informasi dan Komunikasi.

D. Dewan Pengurus Ranting (DPR) Partuha Maujana Simalungun mempunyai

Seksi-seksi :

1) Seksi Adat.

2) Seksi Tortor, doding dan Hagualon.

3) Seksi Aksara dan Bahasa Simalungun.

4) Seksi Ornamen/Uhir Simalungun.

5) Seksi Pakaian Adat dan Parhiouon Simalungun.

6) Seksi Kuliner/Makanan dan Obat Tradisional

7) Seksi Sejarah.

8) Seksi Olahraga Tradisional.

9) Seksi Hukum Tanah Ulayat.

10) Seksi Litbang dan SDM.

11) Seksi Pendidikan dan Pengembangan.

12) Seksi Humas, Informasi dan Komunikasi.

141

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Susunan Panitia Besar Seminar Kebudayaan Simalungun dan Pembentukan PMS

Penasehat Agung : YM Menko/ Mempan Ruslan Abdul gani.

Pelindung : 1. Deputi Pangad Wilayah Sumatera.

2. Catur Tunggal Sumatera Utara

Penasehat : 1. Catur Tunggal Kabupaten Simalungun.

2. Kepala Inspektur Daerah Kebudayaan Sumatera Utara.

3. Kepala Inspektur Daerah Kebudayaan Tk.II Simalungun.

4. Ketua DPRD.GR?Ketua Front Nasional TK. II Simalungun.

5. Let.Kol. Lahiradja Munthe.

6. B. Salim Sihaloho ( Anggota MPRS/ DPR.GR. RI).

7. Patih Kenan Saragih

8. Djontari Damanik, BA

9. Ir. Jusuf Langkat Purba.

10. Ir. MingguSinaga.

11. Ir. Djusman Saragih.

12. Mulia Damanik, SH.

13. Drs. Barens TH Saragih.

Presidium : 1. Let.Kol. Radjamin Poerba, SH. ( Bupati Simalungun )

: 2. Pdt. J. Wismar Saragih, Wkl. Ephorus Pensiunan GKPS.

142

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

: 3. Let,Kol. TS.Mardjans S, K.Staf Korem 23 Dataran Tinggi.

: 4. Let.Kol.j.Pieter Saragih, K.Staf Korem 23 Dataran Tinggi.

: 5.O.BerlinGirsang,Ketua Umum LPKB SUMUT ( Mahasiswa)

Pelaksan Harian

Ketua I : A. Julan Purba.

Ketua II : Saralem Purba.

Ketua III : Urik H. Damanik

Ketua IV : J. R. Djamin Sinaga.

Sekretaris I : D. Kenan Purba.

Sekretaris II : Jon L. Girsang.

Seketaris III : Pintaradja Purba Tambak.

Pembantu Sekretaris I : Makmur Sinaga ( Penulis Cepat )

: Amiruddin Saragih.

: Buhu Sinaga.

Bendahara : 1. Ny. M. Sinaga/Girsang

: 2. Kadin Purba.

Keuangan : 1. Amir Damanik.

: 2. Kelas Ginting Simarmata.

: 3. Liman Girsang.

Anggota : 1. Mora Saragih.

: 2. Djakaria Saragih.

143

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

: 3. T. Obrien Saragih.

: 4. Daud Saragih.

: 5. Zakarias Sinagah.

: 6. Djabudin Saragih.

: 7. A. Umar Saragih.

: 8. Syamsiar Sipayung.

: 9. Idris Basir Saragih.

: 10. Dj. Budiman Purba.

Hubungan Masyarakat : D. Kenan Purba.

Akomodasi/Angkutan :

Ketua : Djatongam Saragih.

Wakil Ketua : Hotradja Purba.

Wakil Ketua : Djan Rasman Purba.

Anggota : 1. Djabudin Saragih.

: 2. Sekiben Saragih.

: 3. Gunung Purba.

: 4. Darwan Purba.

: 5. Kadjin Sinaga.

: 6. Arlis Saragih.

: 7. Rensy Purba.

: 8. Walter Saragih.

: 9. Mora saragih.

: 10. Djaludin Saragih.

144

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

: 11. J. A. Berlizoon Purba..

: 12. Rahasia Sitopu.

: 13. Baren Sinaga.

Konsumsi :

Ketua : J. Wismar Saragih.

Wakil Ketua : Djaendar Purba.

Anggota : 1. Jan Barisman Sinaga.

: 2. Rudi Purba.

: 3. Djafen F. Purba.

: 4. Lupe Purba.

: 5. Enny Sinaga.

: 6. Lenny Saragih.

Rekreasi :

Ketua : J. E. Saragih.

Wakil Ketua : Lettu Pens. Musa Sinaga.

Wakil Ketua : Ny. M . Sinaga/ Girsang.

Anggota : 1. Djain Damanik

: 2. Djadiaman Saragih.

Pematang Siantar, Siantar 1 April 1963

Bupati Kabupaten Simalungun

Ketua presidium

145

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

d.t.o

( Radjamin Poerba. SH )

Let. Kol. Ckh. Nrp. 13628.

146

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Daftar Perwakilan Seminar Kebudayan Simalungun Se-Indonesia

Dolog Silou di Saran Padang :

Ketua : Monan Poerba.

Sekretaris : Tamaurung Damanik.

Bendehara : K. Walter Saragih.

Anggota : 1. Dj. A. Rachman Poerba.

: 2. Ngoran Sipajung.

: 3. A. Henock Poerba.

: 4. Imat Poerba.

: 5. Tamai Poerba.

: 6. Giham Poerba.

: 7. Walden Poerba.

Purba di Tigarunggu :

Ketua : M. Djalik Girsang.

Sekretaris : M. R. Sihaloho.

Bendahara : Djorman Poerba.

Anggota : 1. Ernist Sipajung.

: 2. Firman Poerba.

: 3. Eston Sipayung.

: 4. Sangap Poerba.

: 5. Tuan Siloembak Saragih.

: 6. Karianus Poerba.

147

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

: 7. B. Djuda Poerba.

Raja di Pematang Raya :

Ketua : Tamiraja Sipajung.

Sekretaris : Jahofsen saragih.

Bendahara : Horaidjin Saragih.

Anggota : 1. Djustin Saragih.

: 2. Djainus Saragih.

: 3. Rahalim Saragih.

: 4. M. W. Sinaga.

: 5. Tambatuah Saragih.

: 6. Djonta Poerba.

: 7. Poltak Saragih.

Silou Kahean di Negori Dolog :

Ketua : Sumalam Saragih.

Sekretaris : K. Gerhard Poerba.

Bendahara : M. Jasudin Poerba.

Anggota : 1. Morgariah Poerba.

: 2. Djabarang poerba.

: 3. A. Djaubung Poerba.

: 4. St. T. Libersius Damanik.

: 5. Djamanta Poerba.

: 6. Pingas Sipajung.

: 7. Djoin Saragih.

148

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Sidamanik di Sarimatondang :

Katua : Pasang Damanik.

Sekretaris : Djari moechtar Damanik.

Bendahara : M. K. Saragih.

Anggota : 1. Sukma Damanik.

: 2. Dogmaitta br Haloho.

: 3. Patiaman Sihaloho.

: 4. TaraDamanik.

: 5. Djamontain Saragih.

: 6. Hara Saragih.

: 7. Djittar Damanik.

: 8. Djatiur Damanik..

Siantar Hilir di Nagori Malela :

Ketua Umum : Abdul Manan Saragih.

Ketua I : Abdul Wahab Damanik.

Ketua II : Djasim Damanik.

Ketua III : Badjar Saragih.

Sekretaris I : L. Edison Saragih.

Sekretaris II : Machmud Saqragih.

Bendahara I : M.Samain POerba.

Bendahara II : Lajur Saragih.

Seksi Adat : Ludin Saragih.

Seksi Seni : Koras Saragiih.

149

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Seksi Pemuda : Abdullah Saragih.

Seksi Hias/Pakaian Adat : Djasim Sinaga.

Seksi Penghubung : Djolhas Saragih.

Komisiaris : 1. Kammis Damanik.

2. Koras Saragih.

3. Badul Saragih.

Anggota : 1. Asim Damanik.

: 2. Ludin Saragih.

Dolog Pardameian di Sibuntuon :

Ketua : Elistin Poerba.

Wakil Ketua : T. Peris Poerba.

Sekretaris I : Samuel Saragih.

Sekretaris II : Akim Poerba.

Bendahara : Djonggam Silalahi.

Pengangkutan : T. Osman Damanik.

Anggota Pengangkutan : 1. Bastin Dabukke.

: 2. Kaldius Poerba.

Anggota : 1. Djanakkih Poerba.

: 2. Bangun Saragih.

: 3. Timan Silalhi.

: 4. Djanalom Sinaga.

: 5. Lulu Damanik.

: 6. Nasim Damanik.

150

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

: 7. Tarioh Poerba.

: 8. Sahlam Silalahi.

Tanoh Djawa Di Pematang Tanoh Jawa :

Penasehat : Frinus Saragih.

Pelindung : F. Sinaga.

Ketua I : Tinggi Poerba.

Ketua II : M. Kasim Sinaga.

Setia Usaha I : Saunur Sinaga.

Setia Usaha II : Kaliusman Sinaga.

Bendaha I : Ungkal Sinaga.

Bendahara II : Umar Sinaga.

Adat Dan Bahasa : 1. T. Djintan Sinaga.

: 2. Maddin Sinaga.

: 3. T. Tairim Sinaga.

: 4. Djaidi Poerba.

: 5. Taib Sitorus.

Kesenian/Olahraga : 1. Sinon Sirait.

: 2. Bandjar Sitorus.

: 3. Kali Sirait.

: 4. Kinder Sinaga.

: 5. Amat Poerba.

Djorlang Hataran di Tiga Balata :

Penasehat : Let. Kol.Bisara Sinaga, SH.

151

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Ketua : Krisman Sinaga.

Sekretaris : Ganda Sinaga.

Bendahara : Lettu Pens. Moesa Sinaga.

Anggota : 1.Odi J. Sinaga.

: 2. Ruman Sinaga.

: 3. Daim Sinaga.

: 4. Muda Sinaga.

: 5. Djamanta Sinaga.

: 6. Tiamin Sinaga.

: 7. Moradjim Sinaga.

: 8. Kaden Damanik.

: 9. Rahim Situmorang.

: 10. Larmin Sinaga.

: 11. Borain Sinaga.

: 12. Mantan Sinaga.

Bosar Maligas di Pasar Baru :

Penasehat : 1. Kepala Polisi Sektor Bosar Maligas.

: 2. Buterpra 54/0204.

: 3. Kepala Djupen Ketjamatan Bosar Maligas.

Ketua : W. Suleiman Sinaga.

Sekretaris : Paimin Damanik.

Bendahara : O. Sjahbudiin Poerba.

Anggota : 1. Langat Sinaga.

152

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

: 2. Machmud Damanik.

: 3. Endjib Sinaga.

: 4. Kondong Poerba.

: 5. Morin Damanik.

: 6. Usuf Sirait.

: 7. Bauasan Saragih.

Panei di Panei Tongah :

Ketua : M, Elikxon Gambir.

Sekretaris : Djadim Poerba.

Wakil Sekretaris : Mulia Sinaga.

Bnedahara : Koernelus Poerba.

Wakil Bendahara : Djaimar Saragih.

Anggota : 1. Taok Damnaika.

: 2. Marahal Saragih.

: 3. Djaobal POerba.

: 4. Lodji Poerba.

: 5. Atam Sinaga.

: 6. Galam Damanik.

: 7. Kuat Saragih.

: 8. Medan Saragih.

: 9. Ngian Poerba.

Karo Di Kabanjahe :

Ketua : T. Badja Poerba.

153

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Sekretaris : Djahutar Damanik.

Bendahara : Djainimar Damanik.

Anggota : 1. Djawasen Sinaga.

: 2. Djaumur Saragih.

: 3. Ngambang Girsang.

: 4. M. B. Girsang.

: 5. J.G. Saragih.

: 6. W. Saragih.

: 7. Dj. Girsang.

Pulau Djawa di Djakarta :

Pimpinan Umun : 1. Latif Poerba.

: 2. Awaluddin Poerba.

: 3. A. UMar Saragih.

: 4. Zakana Saragih.

: 5. Dja Sarlim Sinaga.

: 6. Let.Kol. Munthe.

: 7. Bachtiar Salim Sihaloho.

: 8. Drs. Barens Th. Saragih.

Pimpinan Harian : Bachtiar Salim Sihaloho.

Ketua : Saralen poerba.

Wakil Ketua : Humala Tua Manalu.

Wakil Keua : Drs. Barens Th. Saragih.

Wakil Ketua : Aberson Marle Sihaloho.

154

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Sekretaris : Saim Effendi Poerba.

Wakli Sekretaris : Latif Poerba.

Bendahara : Drs. Barens Th. Saragih.

Penerangan : John Laidin Poerba.

Kesenian : Djamedan Garingging.

Anggota : 1. Ir. Djusman Saragih.

: 2. Tuahman Damanik.

: 3. J. D. Sinaga.

: 4. Robinson Saragih.

: 5. Yenny R.R. Girsang.

: 6. Muller Damanik.

: 7. Guttaralam Poerba.

: 8. Rasiaman Saragih.

: 9. N. Lerman Damanik.

: 10. Samintan Sipajung.

: 11. J.R. DaDjim Sinaga.

: 12. J.K. Sidauruk.

: 13. Mulawesdin Poerba.

Jogjakarta : Kapten Rasiaman Damanik.

Bandung : Oscar Sipajung.

Bogor : Radja Kaliamsjah Sinaga.

Jogjakarta di Sendowo Complex B-89 :

Penasehat : 1. Lettu. R. D. Damanik.

155

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

: 2. Serma Usman Poerba.

Ketua Umum : Abick Saragih.

Sekretaris Umum : Karl Mataram Saragih.

Kettua : Dj. Kasman Sidauruk.

Sekretaris : J.R. Dadjim Sinaga.

Bendahara : Mula Siboro.

Anggota : 1. Parman damanik.

: 2. Bonar Damanik.

: 3. Halimah Sinaga.

: 4. Mulawesdyn Poerba.

Langkat/ Bindjai di Bindjai :

Ketua : H. Dj. Girsang.

Sekretaris : H.E.Saragih.

Bendahara : S.P. Damanik.

Anggota : Masyarakat Simalungun di Langkat/ Bindjai.

Dolog Batu Nanggar di Serbelawan :

Penasehat : Djingkar Poerba.

Ketua I : Kamat Saragih.

Ketua II : Morah Poerba.

Ketua III : Ng. Saragih.

Sekretaris I : Djonta Sinaga.

Sekretaris II : Jasmine Saragih.

Bendahara : Middin Poerba.

156

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anggota : 1. Muhammad Perba.

: 2. Rasjid Poerba.

: 3. T. Ms. Poerbaraya.

: 4. Anggaradjim Sinaga.

: 5. Mester Saragih.

: 6. K. H. Sinaga.

: 7. Imran Saragih.

Silima Kuta di Seribu dolog :

Ketua : Laurentius Sinaga.

Setia Usaha : Dj. Hotman Saragih.

Bendahara : Petrus Sipajung.

Anggota : 1. E. Mohammad Poerba.

: 2. Pasangan Tarigan.

: 3. Samuel Maringga.

: 4. M. Budiman Damanik.

: 5. Ekat Girsang.

: 6. Ngolah Girsang.

: 7. B. Prianus Girsang.

Raja Kahean di Sindar Raja :

Ketua : Dj. Asli Girsang.

Sekretaris : Djariah Saragih.

Bendahara : Johanson Poerba.

Anggota : 1. Jasianus Poerba.

157

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

: 2. Djohalom Damanik.

: 3. Julianus Saragih.

: 4. J. Djaiman Sinaga.

: 5. Djait Damanik.

: 6. J. K. Saragih.

: 7. Nurhason Saragih.

Bandar di Perdagangan :

Pelindung : Tritunggal Ketjamatan Bandar

Penasehat : D.O. Girsang.

Ketua I : Hasjim Saragih.

Ketua II : Guru Usman Sinaga.

Sekretaris I : Abdul Sjukur Damanik.

Sekretaris II : Samin Poerba.

Bendahara I : Suman Saragih.

Bendahara II : Siman Saragih.

Anggota : 1. Djainuddin Saragih.

: 2. Djanalih Saragih.

: 3. M. Sjakim Damanik.

: 4. Ismail Saragih.

: 5. Machmud Sidadolog.

: 6. Gr. Poerba Sidadolog.

: 7. Soli Sinaga.

: 8. Soli Sinaga- Pekan Kerasaan.

158

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

: 9. Djupri Sinaga.

: 10. Achmad Saragih.

: 11. Saim Damanik.

: 12. Djolok Poerba.

: 13. Usman Poerba.

: 14. Husin Poerba.

: 15. Busu Saragih.

: 16. Bnagin Sinaga.

: 17. Thahir Saragih.

: 18. Kola Poerba.

: 19. Riswan Saragih.

: 20. Topil Poerba.

: 21. Ibu Tjamat Bandar br Sinaga.

: 21. Ibu Djurnung Sinaga br Sitorus

159

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1. Pisau Suhul Gading (Pisau Bading), Melambangkan Keperkasaan Raja/ Pemimpin untuk mengatur sekaligus Senjata untuk mempertahankan diri dalam melaksanakan tugas. 2. Segi lima Heper melambangkan kebesaran etnis Simalungun yang biasanya terbuat dari emas, perak, suasah dan kuningan. 3. Rumah Balai adalah spesifik daerah yang menggambarkan adat, kebudayaan, dan kesenian daerah. 4. Padi dan Kapas adalah kebutuhan pokok untuk mencapai kemakmuran dan keadilan. 5. Semboyan lambang HABONARON DO BONA dalam bahasa daerah Simalungun yang artinya kebenaran itu adalah pokok. 6. Laki-laki dan perempuan yang memakai gotong serta 2 buku diantara mereka melambangkan para tokoh Cendikiawan atau Maujana Simalungun yang bertugas melestarikan kebudayaan Simalungun.

160

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA