Bab I Pendahuluan
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Keberagaman yang dimiliki Indonesia ternyata tidak serta merta membuat negara ini menjadi lebih toleran. Diskriminasi terhadap kaum minoritas masih merupakan masalah yang aktual di Indonesia. Komnas HAM dalam laporannya yang terakhir tentang “Upaya Negara Menjamin Hak-Hak Kelompok Minoritas di Indonesia” pada tahun 2016 mengelompokan ruang lingkup kelompok minoritas sebagai berikut, kelompok minoritas Ras, kelompok minoritas etnis dan kelompok masyarakat adat, kelompok minoritas agama dan keyakinan, kelompok penyandang disabilitas, kelompok minoritas berdasarkan identitas Jender dan orientasi seksual. Identitas Jender dan orientasi seksual atau biasa disebut dengan Jender minoritas yang di dalamnya terdiri dari Gay, Lesbian, Transgender, Biseksual dan Queer bukanlah sesuatu yang baru bagi Indonesia .Secara kultural fenomena ini dapat ditemukan dalam sejarah dan kebudayaan Indonesia. Seperti yang dikutip dalam buku The Gay Archipelago – Seksualitas dan Bangsa Indonesia (Boellstroff, 2005 : 72): “Seorang transgender dari Makassar menceritakan bahwa pada tahun 1959 sudah ada banyak laki-laki homo; saya sudah tahu banyak laki- laki homo dari zaman Jepang (Perang Dunia II) dan Belanda, dan banyak perempuan yang lesbi juga, baik yang berpenampilan tomboi maupun yang berpenampilan lines (cewek)”. Universitas Pelita Harapan 2 Fenomena ini juga terekam dalam tulisan Amen Budiman tahun 1979 tentang “Lelaki Perindu Lelaki” yang mengindikasi bahwa pada tahun 1970-an masalah homoseks semakin lama semakin menarik. Semakin banyak media massa berupa harian dan majalah yang sering memuat artikel tentang homoseks dan kisah pribadi mereka. Harian-harian di Jakarta bahkan mempunyai sebuah rubrik khusus Konsultasi dengan Psikiater, yang sering menjawab keluh kesah mereka yang homoseksual dan ingin mengubah orientasi seks mereka. Pada tahun 1980, Dede Oetomo juga menulis sebuah cerita di majalah Anda dengan judul “Saya Menemukan Identitas Saya Sebagai Seorang Homoseks”. Namun demikian, keterbukaan fenomena ini ke media massa dimulai ketika majalah Tempo edisi 31 Mei dan majalah Liberty edisi 6 Juni 1981 memuat artikel tentang pernikahan antara dua perempuan lesbian pertama di Indonesia yang dihadiri oleh orang tua dan 120 undangan. Artikel utama Liberty minggu itu memuat liputan (Majalah Liberty, 1981) : “Sebuah bangunan mentereng di Blok M Kebayoran Baru, Minggu malam 19 April 1981, puluhan pasangan manusia memenuhi ruangan Swimming Pub Bar. Tamu-tamu yang memenuhi tempat itu mengarahkan pandangannya pada sepasang “pengantin remaja”. Keduanya tidak henti- hentinya melemparkan senyum pada semua tamu. Pengantin pria, Jossie (25 tahun), berjas putih semu biru berdasi kembang-kembang merah dan pengantin wanita, Bonnie (20 tahun), bergaun panjang merah cerah. Kue pengantin mulai dipotong oleh tangan lembut Bonnie, kemudian mereka saling suap-suapan disaksikan puluhan pasang mata, bahkan kedua orangtua mereka hadir. Pesta pernikahan berjalan lancar dan tertib. Di antaranya tamu-tamu yang hadir malam itu kelihatan beberapa anggota kepolisian...” Media konvensional di Indonesia, baik cetak maupun elektronik, dapat digolongkan menjadi tiga kategori dilihat dari cara mereka meliput permasalahan Jender minoritas. Yang pertama, media yang meliput permasalahan Jender Universitas Pelita Harapan 3 minoritas secara seimbang, dengan usaha besar untuk melakukan edukasi umum tentang kelompok Jender minoritas sebagai bagian integral dalam masyarakat yang setara, seperti The Jakarta Post, The Jakarta Globe, harian Kompas dan majalah Tempo. Kategori kedua adalah media yang meliput permasalahan Jender minoritas dengan sekedar menyoroti aspek seksual dalam pemberitaan sensasional. Banyak media yang termasuk golongan ini, antara lain harian Pos Kota di Jakarta dan Memo di Surabaya. Kategori yang ketiga adalah media yang terkait dengan agama. Salah satunya adalah Islam garis keras, konservatif atau fundamentalis, seperti harian Republika, majalah Sabili, majalah Hidayatullah dan beberapa situs web www.arrahmah.com dan www.voa-islam.com. (UNDP, USAID 2014 : 46) Penolakan pada kelompok Jender minoritas di Indonesia ternyata masih terjadi sampai saat ini. Studi “Pembagian Global mengenai Homoseksual” yang dilakukan oleh Pew Reserch Center dengan menyurvei 37.653 orang di 39 negara, termasuk Indonesia. Di Indonesia, survei ini dilakukan dengan mewawancarai 1.000 orang dewasa, dengan margin kesalahan 4 persen. Hasilnya menunjukkan bahwa Indonesia sangat menolak homoseksual dengan 93 persen mengatakan bahwa gay tidak seharusnya diterima. Tidak ada perubahan yang signifikan jika dibandingkan dengan hasil studi yang sama yang dilakukan pada tahun 2007 yang menunjukan bahwa hanya 3 persen orang Indonesia yang mengklaim mendukung hak-hak kelompok gay. (VOA Indonesia, 2013) Adanya penolakan dan pandangan negatif terhadap kelompok ini membuat masyarakat enggan, takut dan cenderung menjauhi homoseksual. Fenomena inilah Universitas Pelita Harapan 4 yang disebut homophobia (Herek et al., 1991). Homofobia didefinisikan sebagai kecemasan, keengganan dan ketidaknyamanan pada diri seseorang jika berhadapan atau berada di sekitar Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender karena orang tersebut memiliki pengalaman negatif dengan mereka (Davies et al., 1996 dalam Gilmore et al., 2011). Homofobia yang terjadi pada masyarakat biasanya berupa sikap dan perilaku menolak, mencemarkan dan melabel segala bentuk perilaku non-heteroseksual, baik identitas, hubungan, ataupun komunitas (Mayer dkk, 2008 dalam Frost et al., 2009). Menjadi minoritas dan dijauhi oleh masyarakat membuat kelompok mereka membutuhkan sebuah wadah yang dapat mempersatukan dan memberikan informasi seputar gay. Lambda Indonesia (1982) adalah organisasi gay pertama di Indonesia yang mempublikasikan majalah dan melakukan berbagai kegiatan di Surabaya. Bukan hanya di Surabaya, organisasi ini dengan cepat memperoleh anggota dari daerah lain (Boellstroff, 2005). GAYa Nusantara yang didirikan pada tanggal 1 Agustus 1987 di Surabaya juga membuat gebrakan dengan membuat majalah GAYa Nusantara sebagai sumber informasi kelompok Jender minoritas dan disebarkan secara nasional sampai saat ini (Boellstroff, 2005 : 161). Selain itu, Arus Pelangi adalah sebuah organisasi yang terus mendorong terwujudnya tatanan masyarakat yang bersendikan pada nilai-nilai kesetaraan, berperilaku dan memberikan penghormatan terhadap hak-hak kaum Jender minoritas sebagai hak asasi manusia. Salah bentuk kegiatan penyadaran masyarakat adalah peringatan hari anti homofobia dan transfobia (International Day Against Homophobia and Universitas Pelita Harapan 5 Transphobia – IDAHOT) pada setiap tanggal 17 Mei. Sejak Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencabut homoseksual dari daftar identifikasi penyakit, setiap tahun hampir 120 negara memperingatinya. Homoseksual bukan penyakit dan tidak menular serta tidak terkategori sebagai gangguan kejiwaan. Forum LGBT- IQ bersama dengan Megawati Institut mengadakan Malam Budaya, Puncak Peringatan IDAHOT 2014 dengan mengusung tema: INDONESIA Rumah Kita, INDONESIA Rumahku Juga. Stop stigma, kekerasan dan diskriminasi pada LGBTI di Indonesia. Salah satu acara yang digelar adalah Pemutaran dan Diskusi Film The Mangoes karya Tony Trimarsanto, sebuah film dokumenter tentang bagaimana transgender (waria) bertahan hidup dalam lingkungan yang penuh stigma. Q! Film Festival (QFF) adalah sebuah festival film yang mengangkat tema tentang Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex dan Questioning, Hak Asasi Manusia (HAM), Feminisme, dan HIV/AIDS. QFF diadakan pertama kali pada tahun 2002 oleh sejumlah wartawan freelance dan penggemar film di Jakarta, Indonesia. Beberapa kelompok fundamentalis agama memprotes keras penyelenggaraan festival ini dalam beberapa tahun terakhir.Seperti yang terjadi pada tanggal 28 September 2010, sekitar 100-an anggota dari Front Pembela Islam (FPI) menggelar aksi di depan kantor Pusat Kebudayaan Prancis, Jl. Salemba Raya, Jakarta Pusat dan membuat panitia Q! Film Festival akhirnya membatalkan pemutaran beberapa film di sejumlah tempat. BBC Indonesia juga memberitakan dengan judul “Pemutaran Film Gay di Jakarta Batal” (BBC Universitas Pelita Harapan 6 Indonesia, 2010) : “Pembatalan terjadi akibat tekanan sekelompok massa Front Pembela Islam, FPI yang datang ke lokasi pemutaran film antara lain Pusat Kebudayaan Prancis CCF, Goethe Institut, Erasmus Huis dan Japan Foundation di Jakarta. Sambil membawa spanduk dan pengeras suara menuntut menolak lokasi pemutaran film “Kan negara kita adalah negara agama, tentunya kita tidak mau ada homo dan lesbi,” kata Mashuri. Dia juga mengancam akan ada aksi kekerasan jika pemutaran film tetap dilangsungkan. “Jangan salahkan umat marah ambil tindakan sendiri, bakar tempat ini membunuh orang di dalamnya,” tantangnya.” Film sebagai media komunikasi massa sekaligus produk budaya popular dipercaya mempunyai andil besar dalam mengkonstruksi berbagai realitas, maka muncul istilah realitas media. Realitas media yang berupa simbol atau tanda tertentu terdapat dalam isi dari suatu produk media massa (Bungin, 2001). Tujuan dari film untuk mereplikasi realitas sedekat mungkin, menjadikan film sebagai media yang menarik dibandingkan media lainnya (Turner, 1988 : 24). Dengan kata lain film dapat menjadi cermin dari tindakan dan kejadian yang ada di masyarakat. Di Amerika, film menjadi alat untuk mewakili sekaligus merubah pola pikir publik, dalam disertasi Changing Media, Changing Mind: The Lesbian and Gay Movement, Television and Public Opinion, Jeremiah