1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah Keberagaman yang dimiliki ternyata tidak serta merta membuat negara ini menjadi lebih toleran. Diskriminasi terhadap kaum minoritas masih merupakan masalah yang aktual di Indonesia. Komnas HAM dalam laporannya yang terakhir tentang “Upaya Negara Menjamin Hak-Hak Kelompok Minoritas di

Indonesia” pada tahun 2016 mengelompokan ruang lingkup kelompok minoritas sebagai berikut, kelompok minoritas Ras, kelompok minoritas etnis dan kelompok masyarakat adat, kelompok minoritas agama dan keyakinan, kelompok penyandang disabilitas, kelompok minoritas berdasarkan identitas Jender dan orientasi seksual.

Identitas Jender dan orientasi seksual atau biasa disebut dengan Jender minoritas yang di dalamnya terdiri dari Gay, Lesbian, Transgender, Biseksual dan

Queer bukanlah sesuatu yang baru bagi Indonesia .Secara kultural fenomena ini dapat ditemukan dalam sejarah dan kebudayaan Indonesia. Seperti yang dikutip dalam buku The Gay Archipelago – Seksualitas dan Bangsa Indonesia

(Boellstroff, 2005 : 72): “Seorang transgender dari Makassar menceritakan bahwa pada tahun 1959 sudah ada banyak laki-laki homo; saya sudah tahu banyak laki- laki homo dari zaman Jepang (Perang Dunia II) dan Belanda, dan banyak perempuan yang lesbi juga, baik yang berpenampilan tomboi maupun yang berpenampilan lines (cewek)”.

Universitas Pelita Harapan

2

Fenomena ini juga terekam dalam tulisan Amen Budiman tahun 1979 tentang “Lelaki Perindu Lelaki” yang mengindikasi bahwa pada tahun 1970-an masalah homoseks semakin lama semakin menarik. Semakin banyak media massa berupa harian dan majalah yang sering memuat artikel tentang homoseks dan kisah pribadi mereka. Harian-harian di Jakarta bahkan mempunyai sebuah rubrik khusus Konsultasi dengan Psikiater, yang sering menjawab keluh kesah mereka yang homoseksual dan ingin mengubah orientasi seks mereka. Pada tahun 1980,

Dede Oetomo juga menulis sebuah cerita di majalah Anda dengan judul “Saya

Menemukan Identitas Saya Sebagai Seorang Homoseks”.

Namun demikian, keterbukaan fenomena ini ke media massa dimulai ketika majalah Tempo edisi 31 Mei dan majalah Liberty edisi 6 Juni 1981 memuat artikel tentang pernikahan antara dua perempuan lesbian pertama di Indonesia yang dihadiri oleh orang tua dan 120 undangan. Artikel utama Liberty minggu itu memuat liputan (Majalah Liberty, 1981) :

“Sebuah bangunan mentereng di Blok M Kebayoran Baru, Minggu malam 19 April 1981, puluhan pasangan manusia memenuhi ruangan Swimming Pub Bar. Tamu-tamu yang memenuhi tempat itu mengarahkan pandangannya pada sepasang “pengantin remaja”. Keduanya tidak henti- hentinya melemparkan senyum pada semua tamu. Pengantin pria, Jossie (25 tahun), berjas putih semu biru berdasi kembang-kembang merah dan pengantin wanita, Bonnie (20 tahun), bergaun panjang merah cerah. Kue pengantin mulai dipotong oleh tangan lembut Bonnie, kemudian mereka saling suap-suapan disaksikan puluhan pasang mata, bahkan kedua orangtua mereka hadir. Pesta pernikahan berjalan lancar dan tertib. Di antaranya tamu-tamu yang hadir malam itu kelihatan beberapa anggota kepolisian...”

Media konvensional di Indonesia, baik cetak maupun elektronik, dapat digolongkan menjadi tiga kategori dilihat dari cara mereka meliput permasalahan

Jender minoritas. Yang pertama, media yang meliput permasalahan Jender

Universitas Pelita Harapan

3

minoritas secara seimbang, dengan usaha besar untuk melakukan edukasi umum tentang kelompok Jender minoritas sebagai bagian integral dalam masyarakat yang setara, seperti The Jakarta Post, The Jakarta Globe, harian Kompas dan majalah Tempo. Kategori kedua adalah media yang meliput permasalahan Jender minoritas dengan sekedar menyoroti aspek seksual dalam pemberitaan sensasional. Banyak media yang termasuk golongan ini, antara lain harian Pos

Kota di Jakarta dan Memo di . Kategori yang ketiga adalah media yang terkait dengan agama. Salah satunya adalah Islam garis keras, konservatif atau fundamentalis, seperti harian Republika, majalah Sabili, majalah Hidayatullah dan beberapa situs web www.arrahmah.com dan www.voa-islam.com. (UNDP,

USAID 2014 : 46)

Penolakan pada kelompok Jender minoritas di Indonesia ternyata masih terjadi sampai saat ini. Studi “Pembagian Global mengenai Homoseksual” yang dilakukan oleh Pew Reserch Center dengan menyurvei 37.653 orang di 39 negara, termasuk Indonesia. Di Indonesia, survei ini dilakukan dengan mewawancarai

1.000 orang dewasa, dengan margin kesalahan 4 persen. Hasilnya menunjukkan bahwa Indonesia sangat menolak homoseksual dengan 93 persen mengatakan bahwa gay tidak seharusnya diterima. Tidak ada perubahan yang signifikan jika dibandingkan dengan hasil studi yang sama yang dilakukan pada tahun 2007 yang menunjukan bahwa hanya 3 persen orang Indonesia yang mengklaim mendukung hak-hak kelompok gay. (VOA Indonesia, 2013)

Adanya penolakan dan pandangan negatif terhadap kelompok ini membuat masyarakat enggan, takut dan cenderung menjauhi homoseksual. Fenomena inilah

Universitas Pelita Harapan

4

yang disebut homophobia (Herek et al., 1991). Homofobia didefinisikan sebagai kecemasan, keengganan dan ketidaknyamanan pada diri seseorang jika berhadapan atau berada di sekitar Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender karena orang tersebut memiliki pengalaman negatif dengan mereka (Davies et al.,

1996 dalam Gilmore et al., 2011). Homofobia yang terjadi pada masyarakat biasanya berupa sikap dan perilaku menolak, mencemarkan dan melabel segala bentuk perilaku non-heteroseksual, baik identitas, hubungan, ataupun komunitas

(Mayer dkk, 2008 dalam Frost et al., 2009).

Menjadi minoritas dan dijauhi oleh masyarakat membuat kelompok mereka membutuhkan sebuah wadah yang dapat mempersatukan dan memberikan informasi seputar gay. Lambda Indonesia (1982) adalah organisasi gay pertama di

Indonesia yang mempublikasikan majalah dan melakukan berbagai kegiatan di

Surabaya. Bukan hanya di Surabaya, organisasi ini dengan cepat memperoleh anggota dari daerah lain (Boellstroff, 2005). GAYa Nusantara yang didirikan pada tanggal 1 Agustus 1987 di Surabaya juga membuat gebrakan dengan membuat majalah GAYa Nusantara sebagai sumber informasi kelompok Jender minoritas dan disebarkan secara nasional sampai saat ini (Boellstroff, 2005 : 161).

Selain itu, Arus Pelangi adalah sebuah organisasi yang terus mendorong terwujudnya tatanan masyarakat yang bersendikan pada nilai-nilai kesetaraan, berperilaku dan memberikan penghormatan terhadap hak-hak kaum Jender minoritas sebagai hak asasi manusia.

Salah bentuk kegiatan penyadaran masyarakat adalah peringatan hari anti homofobia dan transfobia (International Day Against Homophobia and

Universitas Pelita Harapan

5

Transphobia – IDAHOT) pada setiap tanggal 17 Mei. Sejak Badan Kesehatan

Dunia (WHO) mencabut homoseksual dari daftar identifikasi penyakit, setiap tahun hampir 120 negara memperingatinya. Homoseksual bukan penyakit dan tidak menular serta tidak terkategori sebagai gangguan kejiwaan. Forum LGBT-

IQ bersama dengan Megawati Institut mengadakan Malam Budaya, Puncak

Peringatan IDAHOT 2014 dengan mengusung tema: INDONESIA Rumah Kita,

INDONESIA Rumahku Juga. Stop stigma, kekerasan dan diskriminasi pada

LGBTI di Indonesia. Salah satu acara yang digelar adalah Pemutaran dan Diskusi

Film The Mangoes karya Tony Trimarsanto, sebuah film dokumenter tentang bagaimana transgender (waria) bertahan hidup dalam lingkungan yang penuh stigma.

Q! Film Festival (QFF) adalah sebuah festival film yang mengangkat tema tentang Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex dan Questioning, Hak Asasi

Manusia (HAM), Feminisme, dan HIV/AIDS. QFF diadakan pertama kali pada tahun 2002 oleh sejumlah wartawan freelance dan penggemar film di Jakarta,

Indonesia.

Beberapa kelompok fundamentalis agama memprotes keras penyelenggaraan festival ini dalam beberapa tahun terakhir.Seperti yang terjadi pada tanggal 28 September 2010, sekitar 100-an anggota dari Front Pembela

Islam (FPI) menggelar aksi di depan kantor Pusat Kebudayaan Prancis, Jl.

Salemba Raya, Jakarta Pusat dan membuat panitia Q! Film Festival akhirnya membatalkan pemutaran beberapa film di sejumlah tempat. BBC Indonesia juga memberitakan dengan judul “Pemutaran Film Gay di Jakarta Batal” (BBC

Universitas Pelita Harapan

6

Indonesia, 2010) :

“Pembatalan terjadi akibat tekanan sekelompok massa Front Pembela Islam, FPI yang datang ke lokasi pemutaran film antara lain Pusat Kebudayaan Prancis CCF, Goethe Institut, Erasmus Huis dan Japan Foundation di Jakarta. Sambil membawa spanduk dan pengeras suara menuntut menolak lokasi pemutaran film “Kan negara kita adalah negara agama, tentunya kita tidak mau ada homo dan lesbi,” kata Mashuri. Dia juga mengancam akan ada aksi kekerasan jika pemutaran film tetap dilangsungkan. “Jangan salahkan umat marah ambil tindakan sendiri, bakar tempat ini membunuh orang di dalamnya,” tantangnya.”

Film sebagai media komunikasi massa sekaligus produk budaya popular dipercaya mempunyai andil besar dalam mengkonstruksi berbagai realitas, maka muncul istilah realitas media. Realitas media yang berupa simbol atau tanda tertentu terdapat dalam isi dari suatu produk media massa (Bungin, 2001). Tujuan dari film untuk mereplikasi realitas sedekat mungkin, menjadikan film sebagai media yang menarik dibandingkan media lainnya (Turner, 1988 : 24). Dengan kata lain film dapat menjadi cermin dari tindakan dan kejadian yang ada di masyarakat.

Di Amerika, film menjadi alat untuk mewakili sekaligus merubah pola pikir publik, dalam disertasi Changing Media, Changing Mind: The Lesbian and Gay

Movement, Television and Public Opinion, Jeremiah J. Garretson (2009) menyatakan bahwa perubahan opini publik dapat terjadi ketika ada perubahan sistematis dan permanen dalam cara media, berita dan hiburan, menyajikan tentang kehidupan dan isu-isu minoritas. Ketika perempuan ditampilkan bekerja di luar rumah dalam film, publik akan menjadi lebih mengerti, menerima dan memahami perempuan yang bekerja. Ketika kaum gay dan lesbian muncul di televisi dalam peran positif, masyarakat tidak lagi melihatnya sebagai sesuatu

Universitas Pelita Harapan

7

yang harus dibenci.

Di Indonesia sendiri, institusi perfilman mengalami transformasi akibat pergolakan dan kekacauan di tahun 1965 – 1966, seperti yang ditelaah secara mendalam oleh Krishna Sen (1994) dalam bukunya Indonesia Cinema: Framing the New Order. Pada tahun 1971 produksi film lokal naik menjadi 52 film, dan mencapai puncaknya pada tahun 1977 dengan 124 film. Pada tahun 1980-an, rata- rata jumlah film yang diproduksi adalah sebanyak 50 film per tahun dan kembali mencapai puncaknya pada tahun 1989 dengan 101 film (Heider 1991: 19). Pada tahun 1990-an produksi film mulai mengalami penurunan secara kuantitas dan kualitas karena banyaknya pelaku industri film yang pindah ke televisi sebagai akibat dari perubahan substansial dalam industri media, dan mati suri pada tahun

1997 – 1998 karena krisis ekonomi. Selama periode inilah, karakter waria, lesbian dan gay muncul di perfilman Indonesia. Setidaknya terdapat 30 film yang memuat karakter yang bagi penonton Indonesia dapat dengan mudah dikenali sebagai

Jender yang tidak biasa atau tidak termasuk dalam norma yang berlaku.

Film bertemakan Jender minoritas di Indonesia mulai muncul pada tahun

1970-an yang diramaikan dengan film-film seperti Betty Bencong Selebor, Istana

Kecantikan dan Catatan Si Boy. Film Betty Bencong Selebor adalah film yang menceritakan tentang waria bernama Betty (Benyamin Sueb) yang diterima sebagai seorang pembantu di keluarga Bokir (Bokir). Betty Bencong Selebor merupakan film terlaris ke-5 di Jakarta pada tahun 1979 dengan jumlah penonton sebanyak 133.258 orang menurut data dari Perfin (Kristanto, 1995).Film ini menampilkan gaya unik tersendiri mengenai stereotip waria di dunia film. Selain

Universitas Pelita Harapan

8

itu, juga memperlihatkan sedikit dari sekian banyak masalah yang dialami waria di masa itu, dan bahkan hingga saat ini.

Film Istana Kecantikan yang dibintangi oleh Mathias Mucus dan Nurul

Arifin menjadi salah satu film cukup fenomenal di tahun 1980-an. Film ini bercerita tentang seorang gay bernama Nico (Mathias Muchus) yang dipaksa menikah dengan Siska (Nurul Arifin) yang ternyata telah dihamili oleh Sumitro

(August Melasz), teman sekerja Nico. Istana Kecantikan mendapatkan nominasi film terbaik di Festival Film Indonesia tahun 1988, dan aktor Mathias Muchus memenangkan Piala Citra sebagai Aktor Utama Terbaik untuk perannya sebagai pria gay bernama Nico. Banyak artikel dari media yang membahas tentang akting dari Mathias Muchus sebagai pria gay, dan fakta bahwa cerita gay merupakan hal yang menarik diangkat di Indonesia. Istana Kecantikan ditayangkan pada

Kampanye Film Nasional tanggal 27 Oktober 1988 di Pusat Perfilman H. Usmar

Ismail Jakarta, sebagai salah satu peserta Festival Film Indonesia tahun 1988.

(Murtagh : 2013)

Berbeda dengan kedua film sebelumnya, Catatan Si Boy yang dirilis pada tahun 1987 disutradarai oleh Nasry Cheppy dan diperankan oleh 3 pemain utama, yaitu Onky Alexander, Meriam Bellina, dan Didi Petet. Kelanjutan film ini kemudian dibuat secara berturut-turut pada tahun 1988, 1989, 1990, 1991, dan dengan gaya yang lebih modern yang diperankan oleh pada tahun

2011. (Murtagh 2013)

Kritik dari para komentator yang menulis tentang film pada periode Orde

Baru sering menyatakan bahwa penggambaran paling umum tentang homoseksual

Universitas Pelita Harapan

9

dalam film Indonesia cenderung menggunakan waria sebagai tokoh insidental yang menyenangkan, dengan penokohan gay dan waria yang sering digabung menjadi satu kategori yang membingungkan untuk di pahami.

Produksi ketiga film tersebut menjelang akhir tahun 1980-an tidak diragukan lagi merupakan refleksi dari peningkatan kesadaran media terhadap posisi gay di akhir 1970-an dan awal 1980-an. Film tersebut memang bukan film pertama yang memuat karakter gay (atau karakter yang mungkin dipahami sebagai gay) tetapi merupakan film penting karena menarik perhatian media dan diskusi publik. Emon, karakter menarik di Catatan Si Boy yang dibuat empat sekuel dan baru-baru ini digambarkan sebagai banci paling dicintai di Indonesia

(Iwan, 2008). Istana Kecantikan menarik perhatian karena fokus narasinya tentang seorang pria gay dan terus diingat, atau setidaknya paling disebut sebagai "film gay" dari masa Orde Baru.

Kunci dari usaha untuk menampilkan kelompok marginal, diantaranya gay dan lesbian, adalah sutradara dan produser Nia Dinata dan perusahaan filmnya,

Kalyana Shira Film. Adalah Arisan!, film kedua Nia Dinata sebagai sutradara, yang mencuri perhatian baik di Indonesia maupun internasional untuk alur cerita gay yang positif dan dilengkapi dengan ciuman sesama lelaki tanpa sensor.

Arisan! memenangkan banyak penghargaan, termasuk Piala Citra untuk Film

Terbaik dan Sutradara Terbaik pada Festival Film Indonesian (FFI) dan MTV

Movie Award. Tidak ada keraguan lagi mengenai dampak film ini di Indonesia, dan sejumlah akademisi menyambut film ini untuk pendekatan baru dan

Universitas Pelita Harapan

10

menyegarkan tentang subyektivitas gay di Indonesia (Maiumunah dan

Paramaditha 2011) (Murtagh 2013 : 106).

Kemunculan film Arisan! yang kemudian dibuat kelanjutannya dengan judul yang sama, Arisan 2, mampu merangsang munculnya film Indonesia bertema

LGBT dengan penggambaran berbeda sepanjang tahun 2003-2014. Lovely Man,

Sanubar Jakarta, dan Selamat Pagi Malam merupakan film-film yang sukses membuat penonton Indonesia tercengang dengan ide cerita dan karakter Jender minoritas yang diperankan.

1.2. Identifikasi Masalah

Pasang surut perfilman di Indonesia terjadi karena adanya beberapa faktor, diantaranya adanya lembaga sensor dan berbagai peraturan dari pemerintah. Data produksi film Indonesia dari Sinematek Indonesia menunjukan bahwa keruntuhan film Indonesia mulai terjadi pada tahun 1998 dengan hanya empat judul (termasuk yang dibuat dalam format video). Hal ini berlanjut pada tahun-tahun berikutnya: tiga judul pada tahun 1999, tiga judul pada tahun 2000, dan empat judul pada tahun 2001. Padahal, pada tahun 1997 masih tercatat 27 judul, begitu juga pada tahun 1996 dengan 15 judul atau tahun 1995 dengan 12 judul.

Kehadiran sekelompok orang-orang muda seperti Mira Lesmana, Riri Riza,

Nia Dinata, dan Rizal Mantovani sempat disebut sebagai kelahiran generasi baru perfilman Indonesia. Semangat independen ini melahirkan film seperti Kuldesak

(1998) yang disebut-sebut sebagai “Bapak Gerakan Film Independen di

Indonesia”. Kuldesak adalah sebuah film pendek omnibus karya Mira Lesmana,

Riri Riza, Rizal Mantovani, dan Nan T. Achnas. Empat sutradara dengan empat

Universitas Pelita Harapan

11

cerita yang tak saling berhubungan satu dengan yang lainnya ini ternyata punya satu persamaan. Keempatnya melukiskan dunia anak muda dari kaca mata mereka sendiri. Film ini seakan menunjukkan kita sedang berhadapan dengan satu generasi baru perfilman Indonesia yang seolah putus dari sejarahnya. Mereka sangat menikmati membuat film tanpa gagasan, tradisi, sekat-sekat Negara, dan sebagainya, hingga bahasa, idiom, dan simbol bisa mereka dapat dari mana saja.

(Kristanto : 2004)

Kebangkitan industri perfilman Indonesia begitu terasa sampai saat ini dengan semakin banyaknya film Indonesia yang diproduksi. Percepatan sosial politik untuk membangun masyarakat baru pada kurun 2000-2005 terepresentasikan pada generasi baru perfilman Indonesia yang berupaya membangun hubungan baru dengan penonton yang baru, baik lewat bioskop maupun komunitas pasca-reformasi. Masyarakat yang lebih dari sepuluh tahun kehilangan tontonan film popular di bioskop kembali mendapatkan beragam jenis film baru. Anak-anak dan keluarga terpuaskan dengan film Petualangan Sherina pada tahu 2000 karya Riri Riza yang meraih 1,6juta penonton. Sementara, masyarakat yang kehilangan idola bintang film remaja, terpenuhi hasratnya dengan film Ada Apa Dengan Cinta? di tahun 2001 karya Rudi Soejarwo.

Tercatatpula kehadiran para sutradara dan produser seperti Riri Riza, Mira

Lesmana, Nia Dinata, Teddy Soeriaatmadja, John De Rantau, , dan

Hanung Bramantyo. (Nugroho, Herlina S : 2013)

Film Arisan! di tahun 2003 karya Nia Dinata merupakan salah satu yang menjadi pusat perhatian di tengah kebangkitan industri film di Indonesia. Di

Universitas Pelita Harapan

12

antara sangat sedikitnya film Indonesia yang menjadi berita internasional, laporan tentang Arisan! beredar luas di awal 2004. Laporan Associated Press mengenai dilirisnya Arisan! menyebutkan, “Negara dengan penduduk muslim terbesar, untuk pertama kalinya melihat dua pria lokal berciuman di layar” (Djauhari,

2004).

Begitu juga dengan laporan Rachel Harvey dari BBC pada tahun 2004 dengan tajuk “Indonesia menerima ciuman gay pertama layar lebar”, dan berfokus pada respon lokal yang umumnya positif, penerimaan kritis yang kuat, dan kurangnya suara penolakan dari kaum konservatif. Selaian itu, sebuah artikel Reuters yang ditulis Tomi Soetjipto (2004) muncul di sumber-sumber berita online, dari Los

Angeles Times sampai China Daily, dengan berbagai judul, dan juga berfokus pada ciuman gay, tetapi memberi lebih banyak ruang untuk reaksi negatif penonton, "Saya sudah mendengar tentang hal-hal yang berbau gay, tapi saya tidak siap dengan adegan ciuman.Ini semacam sesuatu yang memuakkan, bukan? termasuk pelanggaran film terhadap hal-hal yang tabu” (Seotjipto 2004).

Setelah kesuksesan film Arisan! yang mengangkat tentang kehidupan masyarakat urban di Jakarta berbagai film Indonesia bergenre drama mulai bermunculan, bukan hanya bercerita tentang masyarakat urban tapi juga kaum minoritas yang merupakan bagian dari masyarakat urban saat ini. Salah satunya adalah Lovely Man (2011). Film ini menceritakan tentang Cahaya, seorang gadis pesantren, yang pergi ke Jakarta untuk mencari Syaiful, bapaknya yang meninggalkan rumah, dan menemukan kenyataan bahwa ayahnya bekerja sebagai seorang waria dengan nama Ipuy. “Teddy Soeriaatmadja sungguh berani dalam

Universitas Pelita Harapan

13

membuka film panjang keenamnya, Lovely Man. Ia tidak saja mempertemukan bapak dan anak dalam sebuah relasi yang terlihat absurb, setidaknya untuk konteks negeri ini, tetapi juga menghadapkan dua kelompok yang selama ini terkait dengan pencitraannya masing-masing: Islam dan waria”, tutur Adrian

Jonathan Pasaribu, editor dan redaktur harian untuk cinemapoetica.com. Lovely

Man mendapat satu penghargaan dan dua nominasi Asia Film Award di Hong

Kong, dua penghargaan di Osaka Asian Film Festival, dua penghargaan di

Tiburon International Film Festival, dan satu di Tel Aviv International Film

Festival pada tahun 2012.

Selamat Pagi Malam (In The Absence of The Sun), film karya sutradara

Lucky Kuswandi yang ditayangkan pada Juli 2014 lalu juga cukup menarik perhatian publik. Film ini membawa penonton ke dalam kehidupan malam kota

Jakarta. Cik Surya (Dayu Wijanto), Indri (Ina Panggabean), dan Anggia (Adinia

Wirasti) adalah tiga karakter perempuan dengan tiga macam kelas yang berbeda yang pada suatu malam hidupnya berubah melalui pertemuan-pertemuan tak terencana. Anggia di film ini digambarkan sebagai seorang lesbian yang mencoba mencari Naomi (Marissa Anita), pasangannya selama di New York, yang ternyata akan segera menikah dengan seorang pria, tapi pada akhirnya mereka bertemu dan menghabiskan malam bersama. Koran kenamaan Singapura, The Straits Times, menyebut film ini sebagai surat cinta sekaligus tinju bagi Jakarta. Film ini ditayangkan di beberapa festival film internasional, diantaranya Tokyo

International Film Festival dan Singapore International Film Festival, dinominasikan pada tiga kategori Piala Citra Festival Film Indonesia 2014, dan

Universitas Pelita Harapan

14

meraih Piala Prisma untuk kategori Pencapaian Terbaik Sutradara Film Panjang dalam Indonesian Film Directors Club.

Dalam katalog film Indonesia mencatat sebanyak 15 – 20 film yang mengangkat cerita tentang kaum minoritas khususnya homoseksual, lesbian, dan transgender yang telah ditayangkan di bioskop sejak tahun 2004 sampai dengan

2014 dengan rata-rata jumlah penonton lebih dari 50 ribu untuk satu film . Jumlah ini belum termasuk film pendek dan panjang yang dibuat untuk festival film di luar negeri maupun untuk pemutaran khusus.

Sementara itu, pada 27 Mei 2014 USAID (United Stated Agency for

International Development) mengeluarkan laporannya tentang Hidup sebagai lesbian, gay, biseksual, dan transgender di Asia yang mengulas tentang lingkungan hidup dan sosial yang dihadapi kelompok tersebut khususnya di

Indonesia. Laporan ini merupakan hasil dialog dari komunitas LGBT Nasional

Indonesia yang diwakili oleh beberapa organisasi LGBT, perwakilan pemerintah pusat, lembaga hak asasi nasional, lembaga perguruan tinggi, beberapa lembaga bantuan hukum serta tokoh agama. Dalam laporan ini terdapat beberapa pembahasan yang seperti perlindungan hak, kesempatan kerja, kasus kesehatan, media dan teknologi informasi, yang masih sangat memperihatinkan di Indonesia.

Sementara itu dari laporan ditahun 2015 menurut www.suarakita.org terjadi beberapa penangkapan terhadap transgender di Aceh.

Kondisi ini seakan bertentangan dengan penerimaan kaum minoritas

(lesbian, gay dan transgender) di Indonesia. Di satu sisi produksi film yang mengangkat cerita tentang kaum minoritas terus meningkat tetapi di sisi lain

Universitas Pelita Harapan

15

penerimaan masyarakat terhadap isu-isu terkait kaum minoritas tersebut seakan berjalan di tempat, dalam arti sikap masyarakat masih menolak. Hal ini yang membuat peneliti ingin mengetahui bagaimana hal tersebut terjadi, bagaimana mungkin terjadi dualitas sikap seperti ini. Peningkatan respon terhadap film disatu sisi dan sikap individual terhadap jender minoritas (gay, lesbian, dan transgender) dalam film Indonesia, khususnya film Arisan!, Lovely Man, dan Selamat Pagi,

Malam.

1.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan di atas, masalah yang hendak di teliti dapat dirumuskan :

1) Bagaimana penggambaran terhadap kaum jender minoritas (gay, lesbian,

dan transgender) dalam film Arisan!, Lovely Man dan Selamat Pagi,

Malam?

2) Bagaimana para pembuat film melakukan konstruksi dalam karakter

jender minoritas?

3) Bagaimana masyarakat sebagai penonton film melihat kaum minotiras

jender di Indonesia?

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Untuk mengetahui bagaimana penggambaran kaum minoritas jender (gay,

lesbian, dan transgender) dalam film Arisan!, Lovely Man dan Selamat

Pagi, Malam.

Universitas Pelita Harapan

16

2) Untuk mengetahui bagaimana para pembuat film melakukan konstruksi

sosial dalam karakter minoritas jender.

3) Untuk mengetahui bagaimana masyarakat sebagai penonton film melihat

kaum minotiras jender di Indonesia

1.5. Batasan Masalah

Penelitian ini akan berfokus pada film Indonesia yang mengangkat isu tentang kaum jender minoritas (gay, lesbian, dan transgender) yang telah tayang di bioskop sepanjang tahun 2002 – 2014 dengan jumlah penonton di atas 10 ribu.

Film yang dipilih juga harus mewakili karakter gay, lesbian dan transgender secara utuh, dengan kata lain karakter ini menjadi pemeran utama dalam film yang juga mengangkat permasalahan berkaitan erat dengan masyarakat di

Indonesia. 3 Film dipilih sebagai bahan penelitian, yaitu Film Arisan! film tentang kaum Gay, Lovely Man film tentang kaum transgender dan Selamat Pagi Malam film tentang kaum lesbian.

1.6. Manfaat Penelitian

1) Manfaat Teoritis

a) Penelitin ini diharapkan bisa memperkaya kajian media dalam ilmu

komunikasi, khususnya dalam penggambaran karakter dari sebuah

film.

b) Bisa menjadi referensi bagi siapa saja yang ingin mendapatkan

pengetahuan tentang film yang mengangkat isu jender minoritas,

dan respon masyaraka terhadap jender minoritas dan respon

masyarakat terhadapnya.

Universitas Pelita Harapan

17

2) Manfaat Praktis

a) Penelitian ini bermanfaat memberikan sumbangan pemikiran

terhadap pemecahan masalah eksistentsi kaum minoritas jender

dalam film khususnya di Indonesia.

1.7. Sistematika Penulisan

Penulisan laporan penelitian ini terdiri dari enam bab yang berkaitan satu dengan yang lain. BAB I adalah pendahuluan yang terdiri dari beberapa sub bab antara lain, latar belakang, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. BAB II adalah objek penelitian terdiri dari objek yang terkait dengan penelitan yaitu film Arisan!, film

Selamat Pagi, Malam dan film Lovely Man berikut dengan data-data terkait dengan film serta fenomena yang terkait dengan film Jender minoritas di

Indonesia.

BAB III adalah tinjauan pustaka, yang menyampaikan tentang penelitian sebelumnya yang serupa dengan penelitian ini. Selain itu juga ada ringkasan tentang teori dari kesenangan dan toleransi represif dari Hurbert Marcuse dan analisis wacana kririts Norman Fairclough. BAB IV adalah metodologi penelitian yang berisi penjelasan mengenai metodologi yang digunakan yang menjadi dasar dari penelitian ini, yaitu metode penelitian dengan analisis wacana kritis

Fairlough, teknik pengumpulan data, aspek-aspek yang akan diteliti, unit analisis, teknik analisis data, keabsahan dan keterbatasan penelitian.

BAB V adalah hasil dan analisis penelitian pada bagian ini ditampikan temuan data dari film seperti potongan gambar dan dialog, setelah itu dilakukan

Universitas Pelita Harapan

18

analisis menurut analisis wacana kritis Fairclough dengan menggunakan teori- teori yang tertera dalam bagian tinjauan pustaka untuk menjawab pokok dari penelitian. BAB VI adalah kesimpulan dan saran, pada bagian ini diuraikan intisari dari hasil penelitian sebagai jawaban atas persoalan penelitian. Pada bagian saran peneliti mengajukan usulan yang mungkin bisa dikembangkan berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh.

Universitas Pelita Harapan