Olav Iban, Ragam Hias Tingang Haguet Alternatif Brand Identity

VOLUME 01, No. 01, November 2014: 19-31

PENCIPTAAN RAGAM HIAS TINGANG HAGUET SEBAGAI ALTERNATIF BRAND IDENTITY KABUPATEN PULANG PISAU TENGAH

Olav Iban Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada [email protected]

ABSTRACT Pulang Pisau is a 12 years old division in Province. The magnitude opportunities of tourism sector require the local government and various relevant stakeholders to developed their regional identity through brand identity. Dayak Ngaju, the biggest and dominant indigenous group in Pulang Pisau Regency, has the stand out cultural aspects and be able to represent the regency. The representation is fi ltered and merged into a visual form. The landscape aspect of Pulang Pisau Regency, like Kahayan and Sebangau rivers, also plays a main role in contributing the distinctive character. This paper is an attempt to build a brand identity of Pulang Pisau Regency through a simple study of the cultural identity of their local community. The result is an ornament named Tingang Haguet.

Keywords: Brand identity, Ornament, Dayak Ngaju, Pulang Pisau, Central Kalimantan.

ABSTRAK Pulang Pisau adalah nama kabupaten hasil pemekaran dari Provinsi Kalimantan Tengah, yang pada tahun 2014 baru berusia 12 tahun. Besarnya peluang di sektor pariwisata menuntut pemerintah daerah dan stakeholders mengembangkan brand identity terkait dengan identitas kedaerahan. Etnis Dayak Ngaju, sebagai indigenous group terbesar dan dominan di Kabupaten Pulang Pisau, dipandang memiliki aspek kultural yang menonjol dan mampu mewakili kabupaten itu untuk disaring dan dikemas menjadi sebentuk visual branding. Aspek bentang alam Kabupaten Pulang Pisau juga penyumbang karakter khas lewat keberadaan dua sungai yang mengapit kabupaten tersebut, mengingat kedua sungai itu merupakan bagian utama laju kehidupan masyarakat Dayak Ngaju. Tulisan ini merupakan bagian dari upaya pembentukan brand identity Kabupaten Pulang Pisau melalui proses penelitian mendalam terhadap identitas kultural masyarakat setempat, yang luarannya berupa terciptanya ragam hias bernama Motif Hias Tingang Haguet.

Kata kunci: Brand identity, Ragam Hias, Dayak Ngaju, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.

19 Jurnal Kajian Seni, Vol. 01, No. 01, November 2014: 19-31

PENGANTAR berimplikasi pada munculnya sumber Berdirinya Kabupaten Pulang Pisau pendapatan baru masyarakat, oleh merupakan hasil keinginan masyarakat karena populernya ayam bekisar sebagai lokal Kalimantan Tengah yang berdiam brand identity. Hal serupa pernah di antara hilir Sungai Sebangau dan dilakukan di daerah lain, salah satunya Sungai Kahayan yang menyatakan Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan keinginannya untuk memimpin wilayah Barat, yang pada tahun 2013. Empat mereka sendiri dengan cara pemekaran motif batik baru khas Kapuas Hulu kabupaten, terpisah dari Kabupaten telah diperkenalkan dan mendapat Kapuas. Bersama dengan 18 kabupaten perlindungan Hak Kekayaan Intelektual1, dan tiga kota baru lainnya di seluruh serta turut meningkatkan pendapatan , keinginan itu dibahas di masyarakat. Pembuatan motif batik baru dalam Sidang Paripurna DPR-RI, tanggal sebagai penguatan identitas lokal juga 11 Maret 2000. Pada bulan Juli 2002, sedang dilaksanakan Provinsi Papua tuntutan itu dipenuhi, dan berdirilah Barat dengan membuat motif batik Raja Kabupaten baru bernama Pulang Pisau Ampat2. di Provinsi Kalimantan Tengah. Pembuatan motif batik sedang Sebagai kabupaten yang baru dilakukan Kabupaten Pulang Pisau. berusia 12 tahun, keinginan untuk Terkait dengan persoalan itu, penulis menonjolkan diri lewat identitas yang berupaya memberikan kontribusi berbeda dan khas dengan daerah dalam penciptaan ragam hias Tingang tetangganya selalu muncul di permukaan, Haguet. Tulisan ini merupakan penelitian menjadi pembahasan serius, terutama awal untuk memunculkan identitas dalam konteks kesenian dan pariwisata. kedaerahan Kabupaten Pulang Pisau Hadirnya brand identity baru Kabupaten melalui terciptanya bentuk ragam hias Pulang Pisau dapat memberikan peluang yang dapat menjadi media visual branding berupa keuntungan ekonomi dalam dengan berdasar pada aspek kebudayaan, sektor pariwisata. Hal itu dapat berupa, keagamaan, geografis, dan kekayaan cinderamata khas yang kerap kali diburu alam, fl ora, maupun fauna. Ragam hias oleh wisatawan yang berkunjung. Selain yang tercipta akan menjadi sumbangan itu, suatu daerah dirasa perlu memiliki bermakna perihal kekayaan intelektual simbol yang khas sehingga memudahkan bidang kesenian yang hidup dan tumbuh masyarakat luas mengidentifi kasi daerah di Kabupaten Pulang Pisau. Konstruksi tersebut. ragam hias Tingang Haguet sebagai brand Upaya Pemerintah Provinsi Jawa identity Kabupaten Pulau Pisang menjadi Timur pada dekade 1990an, yang fokus dalam kajian ini. Penelitian ini menampilkan ayam bekisar sebagai menggunakan metode kualitatif dengan maskot, dapat menjadi contoh atas pendekatan multidisiplin. Penelitian ini pentingnya brand identity. Hal itu dilandaskan pada teori brand identity.

20 Olav Iban, Ragam Hias Tingang Haguet Alternatif Brand Identity

PEMBAHASAN barat terdapat Kabupaten Katingan. Sekilas Tentang Pulang Pisau dan Bentang alam Kabupaten Pulang Pisau Penduduknya berada di dataran rendah Lembah Barito Pulang Pisau pada mulanya hanyalah (Barito Basin) yang dilintasi dua sungai perkampungan kecil yang berada di tepian besar dan menjadi penopang hidup Sungai Kahayan seperti kebanyakan masyarakatnya. Sungai yang melintas itu perkampungan Suku Dayak Ngaju lainnya. ialah: (1) sungai Sebangau di sisi barat, Perkampungan ini berkembang dan dan (2) Sungai Kahayan di sisi timur menjadi spesial karena adanya sebuah anjir (Pulang Pisau dalam Angka, 2013:3). (terusan) yang menghubungkan Sungai Seperti di sebagian besar daerah hilir Kahayan dan Kapuas. Anjir yang dinamai sungai-sungai di Kalimantan Tengah, anjir Kalampan itu dibuat oleh pemerintah indigenous group terbesar yang bermukim kolonial Belanda dengan memanfaatkan di daerah Kabupaten Pulang Pisau adalah daerah pasang surut di antara kampung etnis Dayak Ngaju. Dayak Ngaju adalah Pulang Pisau di Sungai Kahayan dan salah satu dari tujuh rumpun utama Suku kampung Mandumai di Sungai Kapuas. Dayak, yang terdiri dari empat suku se- Perlu diketahui bahwa sebelum terdapat datuk, dan 90 suku kekeluargaan (Riwut, jalan aspal Trans Kalimantan, konsep 2003:184-190). Segala adat istiadat, jalan sebagai sarana transportasi yang gaya hidup, hingga falsafah hidup Suku ada di benak masyarakat Dayak adalah Dayak Ngaju telah mempengaruhi banyak sungai. Di masa lalu, penduduk di sekitar aspek sebagai unsur pembentuk identitas Sungai Kapuas membutuhkan berminggu- Kalimantan Tengah pada umumnya, dan minggu perjalanan darat menembus hutan Kabupaten Pulang Pisau pada khususnya rimba untuk mencapai Sungai Kahayan. mengingat kabupaten tersebut adalah Oleh karenanya, keberadaan anjir di wilayah sebaran Suku Dayak Ngaju perkampungan Pulang Pisau sungguh bersama delapan kabupaten lainnya fenomenal pada masanya. (Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Perkembangan ekonomi yang Kalimantan Tengah, 1984:52). distimulasi kemudahan akses itu perlahan- Masyarakat Dayak Ngaju memiliki lahan menjadi pemicu tumbuhnya kepercayaan asli yang disebut Kaharingan perubahan sosial. Pulang Pisau, yang (Koentjaraningrat, 1961:424). Seperti mulanya perkampungan kecil, kini telah halnya masyarakat primordial lain, berkembang menjadi ibukota kabupaten. kepercayaan asli selalu mencakup Pulang Pisau menjadi pusat administratif aspek-aspek penting dalam kebudayaan dari wilayah seluas 8.997 km2, dengan mereka. Adat istiadat, ritual kepercayaan, batas paling selatan mencapai Laut Jawa, pandangan hidup, dan kesenian, sementara di utara berbatasan dengan semuanya didasarkan pada sistem religi. Kota dan Kabupaten Demikian pula kepercayaan Kaharingan Gunung Mas. Di batas timur terdapat bagi perkembangan kebudayaan Dayak Kabupaten Kapuas, sedangkan di batas Ngaju.

21 Jurnal Kajian Seni, Vol. 01, No. 01, November 2014: 19-31

Pada tahun 1980, dalam wacana memperoleh pengakuan dari Pemerintah Republik Indonesia, kepercayaan Kaharingan digabungkan dalam kelembagaan Hindu Dharma, dan dikenal sebagai agama Hindu Kaharingan (SK Menteri Agama No.37/MA/203/1980). Pada tahun 2013, hanya 212 dari 122.511 jiwa penduduk Pulang Pisau yang tercatat memeluk agama Hindu, sedangkan 1.783 jiwa lainnya tercatat beragama lain (Pulang Pisau dalam Angka, 2013:80). Jika diasumsikan, kedua kategori agama itu masuk sebagai penganut kepercayaan Kaharingan, artinya kurang dari 2% penduduk Kabupaten Pulang Pisau memeluk agama Hindu Kaharingan. Gambar 1. Burung tingang (mengapit) dan Jata (pada belanga di pangkal pohon) Kendati angka statistik itu dalam ragam hias Batang Garing (Sumber: membuktikan rendahnya penganut dokumentasi penulis, 2013). kepercayaan Kaharingan, namun penggunaan simbol-simbol Kaharingan atau kakek buyutnya adalah pemeluk yang masif dan dominan dapat dengan kepercayaan Kaharingan. Artinya, sebagai mudah dijumpai di sebagian besar daerah keturunan kedua atau ketiga yang sudah Kalimantan Tengah, termasuk Kabupaten memeluk agama Islam atau pun Kristen, Pulang Pisau. Hal ini telah dibuktikan mereka tetap menghormati kepercayaan melalui penelitian mendalam tentang nenek moyangnya. Ragam Hias Batang Garing, sebagai Pohon Hayat Kaharingan, yang menjadi Simbol Visual dalam Budaya simbol kultural masyarakat Dayak Ngaju, Kaharingan Kalimantan Tengah (Iban, 2014). Orang Dayak Ngaju masa lampau Orang Dayak Ngaju percaya bahwa, percaya terdapat satu Tuhan Yang meskipun mereka sekarang memeluk Mahakuasa, yang mereka sebut Ranying agama Islam, Kristen, atau pun Katolik, Pohotara Jakarang Raja Tuntung namun nenek moyang mereka adalah Matanandau Kanaruhan Tambing pemeluk kepercayaan Kaharingan. Tidak Kabanteran Bulan atau Ranying Hatalla seperti kepercayaan Hindu Jawa, jarak (Riwut, 2003:489). Ranying Hatalla historis yang memisahkan mereka dengan memiliki rupa lain yang hadir dari kepercayaan tersebut tidaklah jauh. Mudah bayangannya sendiri, yang diberi dijumpai seorang Dayak Ngaju beragama nama Jata Balawang Bulau Kanaruhan Islam maupun Kristen, namun kakek Bapager Hintan (Riwut, 2003:510).

22 Olav Iban, Ragam Hias Tingang Haguet Alternatif Brand Identity

Keduanya dianggap mewakili sisi Pesta Tiwah), kemudian burung tingang maskulin dan feminin Tuhan yang muncul dalam representasi rupa bentuk bersifat saling memiliki (respectively) banama tingang (perahu pengantar arwah (Kroef, 1954:851). menuju langit ke tujuh), sedangkan Jata Ranying Hatalla disimbolkan ke muncul menghiasi sandong (peti mati). dalam rupa burung tingang atau rangkong Ketiganya memiliki posisi perannya badak (Buceros rhinoceros) yang tinggal di masing-masing sesuai dengan apa yang Dunia Atas, di langit ketujuh. Sementara mereka wakili. Batang Garing, yang itu, Jata dilambangkan berwujud seperti dianggap mewakili kehadiran Tuhan, ular naga yang berdiam di Dunia Bawah, ditempatkan di tengah area Pesta Tiwah; di dalam sungai, sebagai simbol primeval kemudian burung tingang, yang mewakili water (air suci awal kehidupan). Simbol Dunia Atas, dimaknai sebagai pembawa burung tingang dan Jata tak pelak arwah ke langit ke-tujuh; sedangkan merupakan simbol penting dalam budaya Jata, yang mewakili Dunia Bawah dekat Kaharingan. dengan simbolisasi kematian (Scharer, Simbol burung tingang dan Jata 1963:19). muncul melengkapi Batang Garing, Seiring dengan berkembangnya sebuah Pohon Kehidupan versi zaman, makna simbol rupa bentuk Kaharingan. Batang Garing menjadi tersebut mengalami berbagai penafsiran simbol utama Kaharingan karena ulang sesuai dengan keadaan sosial perannya yang fundamental dalam masyarakat di masa-masa tertentu mitos kosmogoni Dayak Ngaju. Di dalam (Peursen, 1984:149). Kini, kendati mitos tersebut dikisahkan bahwa Batang sebagian besar masyarakat Dayak Ngaju Garing menjadi sumber makanan, tempat tidak lagi memeluk agama Kaharingan, pertarungan suci (sacred contest) antara namun simbol rupa bentuk tersebut representasi Ranying Hatalla dan Jata masih dapat dijumpai sebagai ragam Balawang Bulau. Kematian keduanya hias di rumah-rumah penduduk, kantor menjadi awal kehidupan nenek moyang pemerintahan, juga menjadi mural di manusia Dayak. Akibat dari perannya ruang-ruang kosong kota. Namun, ketiga itu, Batang Garing dipandang sebagai jenis rupa bentuk itu kini tidak lagi sebagai simbol kesatuan dualitas Tuhan, yang representasi yang berkaitan dengan dapat dikerucutkan sebagai simbol agama, melainkan dipandang sebagai Tuhan Yang Tunggal itu sendiri (Scharer, simbol kultural yang melambangkan 1963:19). karakteristik daerah Provinsi Kalimantan Simbol burung tingang, Jata, dan Tengah3. pohon Batang Garing tersebut acapkali muncul dalam representasi rupa bentuk Brand Identity Kabupaten Pulang dalam ritual Dayak Ngaju. Batang Garing Pisau muncul dalam representasi rupa bentuk Kerapnya perjumpaan antarbudaya sangkaraya (tiang utama dalam ritual memungkinkan penduduk Pulang Pisau

23 Jurnal Kajian Seni, Vol. 01, No. 01, November 2014: 19-31 berupaya menemukan identitas diri Identitas suatu daerah, setelah sebagai pembeda dengan pendatang melewati proses okupasi dunia marketing yang hilir mudik melalui perkampungan dan pariwisata, dapat diartikan ulang mereka. Dari sinilah, paling tidak, awal sebagai brand identity. Brand atau timbulnya keinginan untuk mencari dan merek, menurut American Marketing menemukan bentuk identitas Pulang Association, didefi nisikan sebagai istilah Pisau. Terdapat banyak konstruksi yang merujuk pada a name, term, design, identitas orang Dayak Ngaju di Pulang symbol that identifi es one seller’s good Pisau, yang berlangsung sejak tahun or service as distinct from those of other 1690-an, ketika orang Eropa pertama seller (Franzen dan Moriarty, 2009:18). berlabuh di Pulopetak Sungai Barito Branding, atau kegiatan membentuk Ngaju4. Sampai dengan saat ini, sebuah brand, menekankan pentingnya konstruksi identitas orang Dayak Ngaju simbol. David Aeker (dalam Schmitt telah melalui proses sejarah panjang, dan Simonson, 1997:17) menyebutkan baik secara politis maupun kultural. Dari bahwa sebuah simbol yang kuat dapat konfl ik etnis pada awal Era Reformasi menyalurkan kohesi dan struktur pada hingga tahun-tahun merebaknya otonomi sebuah identitas, dan membuatnya lebih daerah seperti sekarang ini, konstruksi mudah dikenali dan diingat. Simbol identitas orang Dayak Ngaju menjadi selalu representatif, dan sebuah brand sangat beragam dan subjektif terutama yang baik harus merefl eksikan dengan oleh dunia di luar etnis mereka. Dayak akurat apa yang direpresentasikannya Ngaju dilihat sebagai masyarakat primitif melalui simbol-simbol. Sederhananya, dengan kebiasaan potong kepala ataupun branding is one small element of the larger sebagai masyarakat yang kaya kesenian picture of managing an identity and image yang erat dengan alam. (Schmitt dan Simonson, 1997:17). Di dalam tulisan ini, kajian identitas Kata branding acapkali dikaitkan masih dalam katagori awal sebagai dengan perusahaan modern, iklan, sebuah sikap bagaimana eksistensi suatu atau pun produk dagang, dan sering masyarakat ingin dipandang kembali oleh diikuti dengan istilah corporate branding. dunia di luar secara positif. Selebihnya Tetapi perkembangan konsep dan teknik dimaksudkan untuk meluruskan perihal branding sekarang ini telah meluas dan bagaimana sikap orang memandang bisa digunakan oleh banyak bidang, sesuatu dan bagaimana pula sesuatu itu termasuk seni tradisi. Bagaimana pun, dipandang orang. Identitas, dalam tulisan branding sangat berguna sebagai alat ini, tidak menganalisis citra yang dipersepsi navigational yang baik untuk bermacam- oleh masyarakat luar, melainkan sebagai macam tujuan. Branding, dalam konteks citra yang digambarkan sesuai dengan ini, sanggup menyerap apa yang ada konteks sosial-budayanya, kemudian di dalam suatu masyarakat lokal, lalu disampaikan untuk dipahami secara positif menyesuaikannya dengan pasar, membuat oleh masyarakat di luar komunitasnya. kebaruan, dan kemudian menjualnya.

24 Olav Iban, Ragam Hias Tingang Haguet Alternatif Brand Identity

Perbedaan antara corporate branding paling menonjol dari kabupaten tersebut, dengan branding Kabupaten Pulang yakni kekayaan budaya dan kekayaan Pisau dalam tulisan ini terdapat pada alamnya. kompleksitasnya, multidimensionalnya, Brand identity dari Kabupaten serta multiple stakeholders yang Pulang Pisau merupakan gambaran dilibatkannya. Pembentukan brand holistik berupa aspek-aspek visual yang Kabupaten Pulang Pisau dihasilkan dari dimaksudkan menjadi perwakilan dari intisari kekayaan intelektual primordial, banyak sisi kebupaten tersebut, seperti yang telah ada jauh sebelum Kabupaten sisi budaya, sosial, maupun geografi . Di Pulang Pisau berdiri, sebagai arketipe yang dalam tulisan ini, perwakilan tersebut selalu melekat pada gerak-gerik perilaku diwujudkan dalam bentuk ragam hias sosial budaya masyarakat Pulang Pisau. khas yang nantinya dapat diterapkan Arketipe itu hadir berupa simbol-simbol sebagai motif batik, sehingga dapat kultural. Kekhasan inilah yang kemudian diperdagangkan sebagai buah tangan hari diolah dan dijadikan produk dagang guna mengangkat ekonomi pariwisata pariwisata. Dengan demikian brand daerah. identity dapat diartikan sebagai persepsi terhadap Kabupaten Pulang Pisau yang Materi Subjek Ragam Hias Kalimantan ingin disampaikan kepada masyarakat Tengah luas sehingga dapat membangun persepsi Kebanyakan corak ragam hias konsumen terhadap kabupaten tersebut. Indonesia bertolak dari simbolisme Melalui pembentukan persepsi itu, apa spiritual tentang kekuatan semesta yang ingin disampaikan ialah hal yang alam, kehidupan setelah mati, atau

Gambar 2. Atap panggung pertunjukan di Stadion Sanaman Mantikei, Palangka Raya, yang didominasi ragam hias berbentuk sulur tanaman, Jata, dan Batang Garing (Sumber: dokumentasi penulis, 2013).

25 Jurnal Kajian Seni, Vol. 01, No. 01, November 2014: 19-31 kekuasaan arwah dengan gagasan mereka (Harrison, 1984:21-22). Tokoh- bentuk yang diangkat dari ekologi dan tokoh utama dalam realitas transenden budaya setempat (Supangkat dan Zaelani, Dayak Ngaju ialah pasangan Ranying 2006:117). Demikian pula yang terjadi Hatalla dan Jata Balawang Bulau, yang pada ragam hias Kalimantan Tengah. merupakan supreme beings dalam alam Struktur sulur tanaman menjalar, pikir Dayak Ngaju masa silam. bentuk kelopak bunga anggrek Ranying Hatalla digambarkan dalam hutan, dengan lekuk liuknya, sering rupa burung tingang. Burung tingang mendominasi materi subjek berbagai memiliki karakter fisik yang sangat ragam hias masyarakat Dayak Ngaju khas. Ukuran burung tingang dewasa yang diaplikasikan sebagai ornamen mencapai 120 cm dengan berat 3-4 kg. talawang (tameng), lontong (tas berladang Paruhnya yang begitu besar melengkung dari rotan), atau pada pulang pisau ke bawah dengan warna cerah sangat (kepala mandau yang terbuat dari tulang kontras dengan bulu-bulu yang menutupi hewan). Aspek ekologis seperti itu kerap badannya. Tanduk yang menempel di muncul dalam seni rupa Dayak Ngaju. sisi atas paruhnya melengkung ke atas Terdapat tiga gaya ragam hias menambah aksen kuat pada burung ini. yang masing-masing telah memberi Bulu ekornya berwarna putih dengan sumbangan terhadap pembentukan seni satu baris hitam. Rentang sayapnya hias Nusantara, yaitu ragam hias gaya yang lebar dapat mengepak hingga Neolit, gaya Dong-son, dan gaya Chou menimbulkan suara bising seperti Tua. Di Kalimantan, ragam hias gaya helikopter. Belum lagi umurnya yang Chou Tua, dengan karakter komposisi rata-rata mencapai 90 tahun. Dengan asimetrisnya, berperan dalam stilistikasi karakter kuatnya itu menjadikan burung materi subjek yang telah ada jauh sejak tingang sebagai burung mitis di banyak Era Dong-son (Wagner, 1995:25; Wales, kebudayaan, khususnya di kalangan 1959:101). Materi subjek itu ialah konsep masyarakat Dayak Ngaju (Scharer, primordial tentang kosmos yang bersifat 1963:18). biner, seperti burung tingang dengan ular Bagi orang Dayak Ngaju, burung naga/ular/anjing, burung elang dengan tingang adalah burung sakral. Mereka buaya/kadal/ikan, langit dengan bumi/ meyakini bahwa Ranying Hatalla samudera, lelaki dengan perempuan, menyatakan diri dalam wujud burung senjata dengan kain (King, 1985: 8). ini (Kroef, 1954:858). Wujudnya yang Seperti halnya masyarakat mengesankan dengan karakternya yang primordial lain, masyarakat Dayak kuat membuat burung ini menjadi salah Ngaju mengimitasi objek alam ke dalam satu objek numinus di mata mereka, karya seninya. Mereka mengimitasi alam yaitu objek yang menimbulkan rasa untuk merefl eksikan paham fi losofi snya kagum atau takut, kuasa atau kekuatan, tentang realitas yang lebih tinggi (higher urgensi atau energi, serta menimbulkan realities) sebagai materi subjek karya seni rasa tertarik dan terpikat (Dhavamony,

26 Olav Iban, Ragam Hias Tingang Haguet Alternatif Brand Identity

2002:103). Bahkan, nama tingang sendiri yang dibuat dari tumbukan daun sirih, diyakini adalah nama mula-mula Tuhan bermakna kehidupan dan kesuburan. orang Dayak Ngaju sebelum berubah Warna putih, yang dibuat dari kapur menjadi Ranying Hatalla akibat pengaruh sirih, memiliki makna kebersihan dan Hindu Majapahit dan Islam (Wales, kesucian. Warna hitam, yang dibuat dari 1959:103; Baier, 2007:566). arang, menyimbolkan kuasa kegelapan Sebagai pasangan Ranying Hatalla, dan sifat negatif alam (Wawancara terdapat Jata Balawang Bulau, sisi dengan Darius Yansen Dupa, Wakil feminin dari Tuhan menurut kepercayaan Bupati pertama Kabupaten Pulang Pisau, orang Dayak Ngaju. Jata Balawang Bulau 11 Februari 2014). digambarkan dalam rupa ular naga, dan tinggal di dasar sungai. Di satu Ragam Hias Tingang Haguet sisi, lekuk-lekuk Jata Balawang Bulau Dipicu oleh tuntutan social seakan menyerupai bentang sungai- appropriation dalam dunia pariwisata sungai di Kalimantan yang berkelok- yang mengedepankan nilai komersial kelok. Di sisi lain, Jata Balawang Bulau dan hiburan, serta ditambah dengan lebih disimbolkan lewat wujud belanga kayanya harta kultural yang dimiliki (guci) berornamen naga derivasi China. masyarakat Dayak Ngaju khususnya Hal ini dikarenakan belanga dipandang yang berada di Kabupaten Pulang Pisau, sebagai wadah primeval water, sebuah maka diciptakan sebuah ragam hias Dunia Bawah. Sebagai representasi yang khas dan autentik sebagai alternatif Dunia Atas dan Dunia Bawah, burung upaya branding kabupaten tersebut. tingang dan Jata Balawang Bulau kerap Ragam hias ini dinamakan Tingang kali diposisikan atas dan bawah pada Haguet. Nama ini diambil dari kosa karya-karya seni (Scharer, 1963:13). kata Dayak Ngaju yang kurang lebih Selain kedua simbol biner tersebut, memiliki arti “burung tingang yang warna juga memiliki peran tersendiri bersiap terbang.” Nama ini berkesusaian dalam ragam hias Kalimantan Tengah. dengan Kabupaten Pulang Pisau yang Bahenda (kuning), bahandang (merah), muda dan bersiap mencapai puncak bahijau (hijau), baputi (putih), babilem kejayaannya. (hitam) adalah warna-warna penting Tingang Haguet adalah ragam hias dalam kebudayaan Dayak Ngaju. Warna non-geometris percampuran dari tiga kuning, yang dibuat dari perasan tanaman unsur yang telah mengalami stilisasi, kunyit (Curcuma longa), menyimbolkan yaitu: (1) burung tingang, (2) Sungai kemakmuran, kekayaan, keluhuran, Kahayan dan Sebangau, serta (3) kepala serta merepresentasikan keberadaan Jata Balawang Bulau. Ketiga unsur Tuhan. Warna merah, yang dibuat tersebut merupakan hasil perasan dari buah rotan jernang (Daemonorops atau akumulasi dari aspek kultural, draco), melambangkan kebulatan tekad sosiologis, dan geografi s yang dominan yang tidak pernah luntur. Warna hijau, di Kabupaten Pulang Pisau. Perasan ini

27 Jurnal Kajian Seni, Vol. 01, No. 01, November 2014: 19-31 berdasarkan observasi emik singkat serta dari delapan helai yang menyimbolkan dilanjutkan dengan tahap pembuatan delapan kecamatan sebagai penggerak draft berupa sketsa manual. Kabupaten Pulang Pisau. Tiga helai ekor Temuan lain yang muncul sebagai merepresentasikan tiga stakeholders hasil penelitian berupa Batang Garing, penting, yaitu pemuka adat Dayak Ngaju, mandau, tameng, dan Rumah Betang pemuka agama mayoritas, dan pemimpin disisihkan, dengan alasan sudah cukup pemerintah daerah sebagai pamong banyak motif lokal yang memakai materi sekaligus penentu arah kemajuan subjek tersebut. Alasan lain ialah sebagai Kabupaten Pulang Pisau. Arah badan langkah pengerucutan diferensiasi serta kepala yang menatap ke kanan produk sehingga dipilihlah unsur tingang, atas menyimbolkan proyeksinya kepada Sungai Kahayan - Sebangau, dan kepala masa depan. Tingang dimaksudkan Jata Balawang Bulau. Ketiga subjek sebagai personifikasi masyarakat material itu kemudian dilebur menjadi Kabupaten Pulang Pisau dengan segala sebentuk motif ragam hias yang unik sifat positif yang dimilikinya. Bentuknya dan khas, yang dinamakan Tingang yang menukik melengkung dengan Haguet. Haguet dalam bahasa Dayak sayap direntangkan merupakan hasil Ngaju secara harafi ah berarti berangkat pengamatan lapangan di Taman Burung atau bergerak. Kebun Binatang Gembira Loka tanggal 8 Unsur Tingang ditempatkan tepat Februari 2014 terhadap burung tingang di area tengah. Ia terbagi menjadi empat (Buceros rhinoceros), ketika burung bagian utama yakni kepala, badan, hendak terbang atau hanya melompat sayap, dan ekor. Sayap Tingang terdiri dari satu dahan ke dahan lain. Bentuk

Gambar 3. Ragam hias Tingang Haguet. (Sumber: karya penulis, 2014)

28 Olav Iban, Ragam Hias Tingang Haguet Alternatif Brand Identity ini distilisasi sehingga membentuk pemerintah Kabupaten Pulang Pisau dalam sebuah bulatan, yang dimaksudkan hal persebaran kemajuan infrastruktur, sebagai perlambang keseimbangan struktur, dan suprastruktur sampai ke kosmos seperti halnya yang didambakan wilayah-wilayah terpencil. masyarakat Kaharingan. Kesatuan dari tiga unsur tersebut– Unsur berikutnya ialah kepala Jata yang saling mengikat, baik dalam Balawang Bulau yang dimaksudkan bentuk estetis maupun filosofis– sebagai simbol Laut Jawa (batas selatan merepresentasikan semboyan Kabupaten Kabupaten Pulang Pisau) sekaligus Pulang Pisau “Handep Hapakat”. Handep muara dua sungai utama yang mengairi memiliki arti saling menolong, sementara kabupaten ini: Sungai Kahayan dan Hapakat secarah harafi ah berarti sepakat. Sebangau. Selain itu, Jata Balawang Bulau Ini menunjukkan adanya persatuan dan yang dalam kepercayaan masyarakat kesatuan semua komponen masyarakat Dayak masa silam disebut sebagai tanpa membedakan agama maupun etnis penguasa Dunia Bawah, dan dikisahkan dalam falsafah hidup Rumah Betang tinggal di dasar sungai (Scharer, 1963:16); dalam bingkai Negara Kesatuan Republik kini diartikan ulang secara luas sebagai Indonesia5. ibu bumi atau ibu pertiwi. Itu sebabnya Sulur-sulur kecil yang menghiasi kepala Jata Balawang Bulau ditempatkan unsur Sungai Kahayan dan Sungai di bagian bawah ragam hias Tingang Sebangau mengambil materi subjek Haguet. Kepala Jata Balawang Bulau dari tanaman menjalar yang banyak dimaksudkan sebagai representasi ditemui di hutan Kabupaten Pulang nilai kultural Kabupaten Pulang Pisau Pisau. Meski sifatnya hanya sebagai yang menjadi dasar tindak-tanduk isian (isen-isen) sulur-sulur tersebut berkehidupan sosial masyarakatnya. menyimbolkan kedekatan masyarakat Unsur ketiga ialah Sungai Kahayan setempat dengan alam jasmani mereka, dan Sungai Sebangau. Keduanya kecintaan mereka terhadap alam. Ia juga ditempatkan mengapit sebelah kiri dan melambangkan anugerah alam yang kanan Tingang sebagai perlambang melimpah di Kabupaten Pulang Pisau, tumpuan hidup masyarakat Kabupaten yang lebih dari setengah daerahnya Pulang Pisau mula-mula. Keterlibatan merupakan hutan non-budidaya. Sungai Kahayan dan Sungai Sebangau Secara keseluruhan, ragam hias dimaksudkan sebagai representasi Tingang Haguet diharapkan menjadi keunikan geografi s Kabupaten Pulang simbol semangat bekerja sama, hasrat Pisau. Lekuk-lekuknya menunjukkan altruis, keluasan wawasan, serta kesetiaan pengairan yang menjangkau ke segala dan pengabdian bagi pemakainya. Ia arah, sedangkan liuk-liuk yang saling juga melambangkan keseimbangan kait melambangkan anjir yang terdapat dan kesuburan, sehingga diharapkan di Kabupaten Pulang Pisau. Pengairan dapat menghadirkan kemakmuran yang tersebar diartikan sebagai tekad bagi pemakainya. Lewat ragam hias

29 Jurnal Kajian Seni, Vol. 01, No. 01, November 2014: 19-31 ini, pemakainya diharapkan menjadi Dibutuhkan tindakan praktis untuk penyebar kesejahteraan seperti Sungai memompa semangat itu, oleh karenanya Kahayan dan Sebangau yang menjalar ke ragam hias Tingang Haguet hadir sebagai pelosok-pelosok; memiliki kebijaksanaan sumbangan konkret untuk mengejar dan pengetahuan seluas Laut Jawa; ketertinggalan dalam pengelolaan dan serta mengutamakan pengabdian dan pembaruan budaya Kabupaten Pulang kesetiaan, seperti burung tingang kepada Pisau. betinanya. Ragam hias Tingang Haguet Ragam hias ini dimaksudkan untuk merupakan ekspresi material yang pemakaian diagonal, namun tidak curam. bersumber dari kondisi alam dan Bentuk ujung atas dan ujung bawah sosial Kabupaten Pulang Pisau. Setiap ragam hias ini dapat saling mengait unsurnya melambangkan kekhasan sehingga menghasilkan pola vertikal daerah tersebut. Burung tingang dan diagonal yang menarik. Keterkaitan ini Jata mewakili aspek kultural, sementara adalah perlambang dari asimilasi antara Sungai Kahayan dan Sungai Sebangau Dunia Atas dan Dunia Bawah, kehidupan mewakili aspek ekologi. Percampuran dan kematian, sekaligus sebagai simbol antara aspek ekologi dengan aspek keseimbangan kosmos dan perasaan kepercayaan suku Dayak Ngaju di mawas diri bagi pemakainya. masa lampau menjadikan konsep dan autentisitas ragam hias Tingang Haguet KESIMPULAN yang berbeda dengan daerah lain. Dengan Pulang Pisau merupakan sebuah demikian, ragam hias ini diharapkan kabupaten yang masih belia di Indonesia, mampu menjadi alternatif branding namun ia telah ada jauh sebelum Kabupaten Pulang Pisau pada sektor kemerdekaan Republik Indonesia tahun kebudayaan dan pariwisata. 1945. Secara formal, administratif berdirinya Kabupaten Pulang Pisau tercatat DAFTAR PUSTAKA 12 tahun lalu. Meskipun demikian, hal itu Baier, Martin. “The Development of bukan berarti Kabupaten Pulang Pisau the Hindu Kaharingan Religion: tidak memiliki harta karun kultural. A New Dayak Religion in Central Diakui, bahwa Kalimantan Tengah tengah Kalimantan,” Anthropos, Anthropos tertinggal dari daerah lain dalam hal Institute. Bd. 102, H. 2., 2007, hal. pengelolaan dan pembaruan seni budaya. 566-570. Rendahnya mutu pendidikan; kecilnya Balai Batik Kembangkan Motif Baru dari kesadaran inventarisasi budaya; kurangnya Raja Ampa., Tribun Jogja. 24 April. kemauan untuk mengembangkan apa 2014. hal. 3. yang telah ada; serta sedikitnya minat Dhavamony, Mariasusai. Phenomenology menyelami kekayaan intelektual nenek of Religion, terj. Kelompok Studi Agama moyang, hanyalah beberapa faktor yang Driyarkara. Yogyakarta: Kanisius. menutup-nutupi upaya kemajuan lokal. 2002.

30 Olav Iban, Ragam Hias Tingang Haguet Alternatif Brand Identity

Franzen, Giep dan Moriarty, Sandra. The Schmitt, Bernd dan Simonson, Alex. Science and Art of Branding. New York: Marketing Aesthetics: The Strategic M.E. Sharpe, Inc. 2009. Management of Brands, Identity, and Harrison, Jane Ellen. Ancient Art and Image. New York: The Free Press. Ritual. London: Oxford University 1997. Press. 1948. Scharer, Hans. Ngaju Religion: The Iban, Olav. “Batang Garing: Realitas Conception of God Among A South Transenden, Estetika Ragam Hias, Borneo People. The Hague: Martinus dan Simbol Identitas Dayak Ngaju,” Nijhoff. 1963. (Tesis, Pengkajian Seni Pertunjukan Supangkat, Jim dan Zaelani, Rizki A. dan Seni Rupa Sekolah Pascasarjana Ikatan Silang Budaya: Seni Serat Universitas Gadjah Mada, 2014). Biranul Anas. Jakarta: KPG. 2006. King, Victor T. “Symbols of Social Wagner, Fritz A. Indonesia: Kesenian Suatu Differentiation in Borneo”, Newsletter Daerah Kepulauan, terj. Hildawati (Museum Ethnographers Group), No. Sidharta. Jakarta: Departemen 18 (June 1985), hal. 8-20. Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kroef, Justus M. van der. “Dualism and Wales, H.G. Quaritch. “The Cosmological Symbolic Antithesis in Indonesian Aspect of Indonesian Religion”, Society”, American Anthropological Journal of the Royal Asiatic Society of Association, American Anthropologist, Great Britain and Ireland, Cambridge New Series, Vol. 56, No. 5, Part 1 (Oct., University Press, No. 3/4 (Oct., 1959), 1954), 847-862. hal. 100-139. Koentjaraningrat. Metode-metode Antropologi dalam Penyelidikan- Catatan penyelidikan Masyarakat dan 1 (www.bappeda.kapuashulukab.go.id Kebudayaan Indonesia. Jakarta: diakses 8 Februari 2014). Penerbitan Universitas. 1961. 2 (Tribun Jogja, 24 April 2014). Peursen, C. A. van. Strategi Kebudayaan 3 (lihat gambar 2). terj. Dick Hartoko. Yogyakarta: 4 (Martin Baier, Contributions to Ngaju Penerbit Yayasan Kanisius. 1984. History: 1690-1942, “Borneo Research Pulang Pisau dalam Angka. Pulang Pisau: Bulletin”, 2 January 2002, http://www. Badan Pusat Statistik Pulang Pisau. thefreelibrary.com diakses 8 Februari 2013. 2014). Riwut, Nila (ed.). Maneser Panatau Tatu 5 (www.pulangpisaukab.go.id diakses 8 Hiang. Palangka Raya: Pustaka Lima. Februari 2014). 2003.

31