Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar i Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta

Pasal 2 :

1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta ata Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72 : 1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau dengan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta).

-----

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpan seizin tertulis dari Penerbit.

ii Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar iii Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar

Editor: Dwityo Akoro Soeranto, Pangihutan Marpaung, Chandra R.P. Situmorang,

ISBN : 978-623-92286-5-1

Tim Naskah: Fajar Wahyu Hermawan, Dwitri Waluyo, Suparjo Hutagalung,

Tim Riset dan Data: Rezky Gauthama, Andrea Y.T. Endismoyo, Tegar Subekti, Rizki Fajar Muhammad, Hendra Budiman, Pawestri Dyah Tara Dewi, Raissa Aprilia, Sofyan Eko Sanjoyo, Elad Oktarizo, Yogi T. Simamora, Ristyan Mega Putra

Tim Desain dan Tataletak: Kuntoro

Foto: Ahmad Muhaimin Bagian Hukum dan Komunikasi Publik Direktorat Jenderal Perumahan

Cetakan Pertama: Desember 2020, xiv + 264, hlm; 20 x 25 cm

Pertamakali diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Penanggung Jawab: Direktorat Sistem dan Strategi Penyelenggaraan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

iv Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar daftar isi

DAFTAR ISI

PROLOG ix

KATA PENGANTAR Dirjen Perumahan Kementerian PUPR Khalawi Abdul Hamid xiii

BAB I Jalan Panjang Berburu Hunian 1 1.1. Kekurangan Rumah 11 1.2. Perkembangan Perumahan 15 1.3. Peri Urban Jangan Diabaikan 18 1.4. Inklusif, Barometer Pertumbuhan Bangsa 20 1.5. Syarat Hidup Inklusif 21 1.6. Peran Teknologi 22 1.7. Belajar dari Pandemi 25

BAB II Kejarlah Hunian Hingga ke Pinggiran 27 2.1. Isu Regulasi 33 2.2. Siasat di Tengah Keterbatasan 37 2.3. Perubahan Indikator 38 2.4. Urgensi Pengembangan Perumahan Skala Besar 45 2.5. Pengembang Besar dan Masalahnya 46 2.6. Kewenangan yang Hilang 47 2.7. Persoalan Ketimpangan 48 2.8. Melirik Potensi Lain 50 2.9. RTRW yang Samar 52

BAB III Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian 57 3.1. Masalah Penyediaan Tanah 63 3.2. Dari Rumah Tapak Hingga Rumah Susun 66

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar v daftar isi

3.3. Kalibata City, Menghadirkan Lingkungan Hijau 69 3.4. Apartemen Green Pramuka City 75 3.5. Ketika Asing Merambah Pasar Properti 79 3.6. Upaya Memenuhi Kebutuhan 81 3.7. Menghadirkan Solusi 85

BAB IV Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan 87 4.1. Kebijakan Pasca Kemerdekaan 90 4.2. Tebet dan Sejarah Ganefo 98 4.3. Depok, Sebuah Tonggak Perumahan Skala Besar Perum Perumnas 100 4.4. Perumnas dan Kisah Lahan “Peyek” 107 4.5. Perumahan Skala Besar oleh Swasta 112 4.6. Pluit, Daerah Resepan yang Berkembang 119 4.7. Pondok Indah, Mengangkat Derajat Penghuninya 120 4.8. Kelapa Gading, Kawasan yang Awalnya Tak Dilirik 122 4.9. BSD, Menyulap Hutan Karet 126 4.10. Kota Mandiri KHI 133 4.11. Summarecon Bandung, Menghidupkan LahanTidur 135 4.12. , Awal Dimulainya Rumah Susun Skala Besar 137 4.13. Meikarta, Proyek Ambisius Lippo 139 4.14. Perumahan Skala Besar Era Kabinet Kerja 142 4.15. Tanjung Selor, Konsep Kota Pintar dan Berkelanjutan 148 4.16. Sofifi Akan Tak Sepi 151 4.17. Sorong, Gerbang Kota Minyak 153

BAB V Menyiasati Keterbatasan Lahan 157 5.1. Komunitas Berpagar 160 5.2. Segregasi Ruang Perkotaan 163 5.3. MBR Termarjinalisasi di Ruang-ruang Informal 165 5.4. Penerapan Hunian Berimbang Belum Optimal 167 5.5. Amanat yang Harus Dijalankan 169 5.6. Memberi Kemudahan MBR 174 5.7. Dilema Hunian Berimbang 177

BAB VI Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar, Tanggung Jawab Siapa 181 6.1 Pemerintah Pusat, Bisa Apa? 200 6.2 Pemda dan Perannya 201

vi Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar daftar isi

6.3. Belajar dari Kabupaten Tangerang 202 6.4. Rumah Berbasis Komunitas, Sebuah Alternatif Skala Besar? 202 6.5. Lima Kriteria 206 6.6. Swasta, Di Mana Perannya 206

BAB VII Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata 211 7.1. Arti Kolaborasi 213 7.2. Bentuk Kolaborasi 214 7.3. Pembangunan Kota Baru dan Perumahan Skala Besar 219 7.4. Kasus Jakarta 223 7.5. Kolaborasi Pembangunan Rumah Susun 228 7.6. Menata Manado 247 7.7. Kabupaten Tangerang, Tak Mau Mengabaikan Peluang 250

BAB VIII Rekomendasi 255 8.1. Kesimpulan 257 8.1.1. Penyediaan Tanah 257 8.1.2. Pembangunan Perumahan dan Penjualan Rumah 259 8.2. Rekomendasi 262

Daftar Info Grafis Grafis 1.1. Capaian Program Sejuta Rumah (PSR) 7 Grafis 1.2. Kebijakan dan Strategi 10 Grafis 1.3. Tiga Strategi Pelaksanaan Program Sejuta Rumah 11 Grafis 1.4. Arah Pembangunan ke Depan 13 Grafis 1.5. Laju Urbanisasi Indonesia 20 Grafis 1.6. Memahami Komponen Kota Cerdas 22 Grafis 1.7. Model Kota Cerdas 23 Grafis 1.8. Pilar Kota Berkelanjutan 2015-2045 24

Grafis 2.1. Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hunian Berimbang 32 Grafis 2.2. Kronologis Regulasi Pengembangan Skala Besar 33 Grafis 2.3. Pergeseran dan Penambahan Indikator 39 Grafis 2.4. Agenda SDGs dan New Urban Agenda (NUA) 39 Grafis 2.5. Capaian Rumah Layak Huni Berdasarkan Akses Air Minum Perprovinsi Tahun 2018 40

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar vii daftar isi

Grafis 2.6. Capaian Rumah Layak Huni Berdasarkan Akses Sanitasi Perprovinsi Tahun 2018 40 Grafis 2.7. Persentase Rumah Tangga Nasional yang Mendiami Rumah Layak Huni di Indonesia (Rincian Per Indikator) Tahun 2015-2019 41 Grafis 2.8. Arah Kebijakan RPJMN 2020-2024 44 Grafis 2.9. Target RPJMN Bidang Perumahan 44 Grafis 2.10. Target Intervensi Langsung dalam RPJMN 2020-2024 (5 Juta Unit) 45

Grafis 3.1. Urbanisasi dan Konversi Lahan 59 Grafis 3.2. Urbanisasi di Indonesia 61 Grafis 3.3. Backlog Hunian di Indonesia 63 Grafis 3.4. Kebijakan Pola Hunian 65

Grafis 4.1. RTRW KecamatanTebet 2005-2030 99 Grafis 4.2. Peta Administrasi Kota Depok, Jawa Barat 101 Grafis 4.3. Peta Lokasi Perumnas di Kota Medan 108 Grafis 4.4. Masterplan Pondok Indah, Jakarta 121 Grafis 4.5. Masterplan Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan 129 Grafis 4.6. Lokasi Pembangunan Rusunami di Wilayah Jabodetabek 2007-2009. (1-15) 137 Grafis 4.7. Lokasi Pembangunan Rusunami di Wilayah Jabodetabek 2007-2009. (16-39) 138 Grafis 4.8. Lokasi Pembangunan Rusunami di Wilayah Jabodetabek 2007-2009. (40-52) 138

Grafis 6.1. Luas Lahan dan Luas Rumah Sehat 185 Grafis 6.2. Pembagian Ruangan Rumah Sehat 186 Grafis 6.3. Kasiba dan Lisiba 194

Grafis 7.1. Pembangunan Kota Baru RPJMN 2015-2019 218 Grafis 7.2. Kronologi Pengembangan Kota Baru 220 Grafis 7.3. Peruntukan Lahan Dki Jakarta 224 Grafis 7.4. Perubahan Fungsi Lahan Dki Jakarta 225 Grafis 7.5. Kepemilikan Rumah Penduduk Dki Jakarta 225 Grafis 7.6. Backlog wilayah dki jakarta 226 Grafis 7.7. Pengembangan TOD Wilayah Dki Jakarta 247 Grafis 7.8. Sebaran Perumahan di Kota Manado 248

viii Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar prolog

prolog Kebutuhan Pengembangan Perumahan Skala Besar

Tulisan dengan judul Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar ini berawal dari pemikiran yang disampaikan oleh Ir. Pangihutan Marpaung kepada Direktur Jenderal Perumahan. Secara umum, beliau mengemukakan bahwa pengembangan perumahan skala besar merupakan salah satu solusi untuk memastikan optimalitas suplai rumah di Indonesia dalam rangka pemenuhan target Program Sejuta Rumah (PSR), pengembangan fungsi hunian yang terintegrasi dengan sistem infrastruktur skala wilayah, ketersediaan infrastruktur yang mampu mendukung keberlanjutan fungsi perumahan dan permukiman, serta memudahkan pengawasan implementasi kebijakan hunian berimbang dalam rangka meningkatkan ketersediaan hunian bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan menghindari segregasi sosial antar kelompok pendapatan. Gayung bersambut, Direktur Jenderal Perumahan menugaskan agar konsep pengembangan perumahan skala besar dibahas lebih lanjut melalui serangkaian diskusi dengan para stakeholders. Hasil diskusi tersebut kami bukukan dalam tulisan dengan judul Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar, yang saat ini berada di tangan pembaca yang terhormat. Pencanangan Program Sejuta Rumah (PSR) oleh Presiden Joko Widodo merupakan momentum bagi seluruh stakeholders untuk melaksanakan percepatan penyediaan hunian yang layak dan terjangkau, terutama bagi MBR. Melalui kerja keras dan kerja sama semua pemangku kepentingan, pada periode tahun 2015-2020 dilaksanakan pembangunan sekitar 5,7juta unit rumah yang sebagian besar diantaranya merupakan rumah sederhana untuk kelompok MBR. Tugas tentu tidak selesai dengan hanya membangun rumah. Hal yang lebih krusial adalah memastikan agar rumah yang dibangun memenuhi standar kelayakan huni, didukung

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar ix prolog oleh PSU yang memadai dan terintegrasi dengan sistem infrastruktur wilayah, lokasi perumahan terintegrasi dengan sistem aktivitas sosial-ekonomi, harga rumah terjangkau oleh kelompok masyarakat yang membutuhkan hunian, serta terhuni. Tugas selanjutnya tentu adalah memastikan lingkungan perumahan terpelihara dengan baik sehingga tidak tumbuh menjadi titik kumuh baru. Saat ini, pembangunan perumahan sering dilakukan secara sporadis dan dalam jumlah terbatas. Akibatnya, usaha yang dikeluarkan tidak secara signi­ fikan mempengaruhi capaian PSR dan pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, perlu dilakukan upaya massif dalam bentuk pembangunan perumahan skala besar yang mampu menyuplai hunian dalam jumlah banyak dan mampu menjadi pionir pertumbuhan kawasan. Dengan demikian, pembangunan perumahan tidak hanya sekedar menyediakan hunian baru, tapi juga mampu mendorong pengembangan wilayah dan menggerakkan kegiatan ekonomi pada sektor terkait. Pendekatan pengembangan perumahan skala besar tidak mungkin dilak­ sanakan oleh single-actor. Dibutuhkan adanya kolaborasi antar stake­holders untuk mewujudkan hal tersebut. Untuk itu, perlu dirumuskan konsep yang matang, pembagian tugas yang jelas, langkah kongkrit yang harus dilaksanakan, serta konsistensi untuk menerapkan tahapan pembangunan dalam jangka panjang. Dalam perkembangan terbaru, pada aspek kebijakan, RPJMN Tahun 2020-2024 secara implisit juga mendorong pengembangan perumahan skala besar melalui proyek Prioritas (major project) Pembangunan Rumah Susun Perkotaan (1 Juta) di 6 (enam) Kawasan metropolitan utama Indonesia. Mela­ lui pelaksanaan major project ini, diharapkan akan diwujudkan 500 ribu unit rusunawa dan 500 ribu unit rusunami menggunakan sumber pembiayaan pemerintah, pemerintah daerah, BUMN/BUMD, swasta, dan masyarakat. Se­ men­tara itu, pada saat ini Ditjen Perumahan juga melakukan kolaborasi dengan pengembang swasta, Pemerintah Kota Manado, dan Pemerintah Kabu­paten Tangerang dalam rangka mendorong realisasi pembangunan perumahan skala besar di Kabupaten Tangerang dan Kota Manado.

Ucapan Terima Kasih Hadirnya buku ini tidak terlepas dari peran dan dukungan sejumlah pi­ hak. Untuk itu, ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Menteri Peker­ jaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Direktur Jenderal Perumahan Khalawi Abdul Hamid, dan Sekretaris Direktorat Jenderal Peru­ mahan Dadang Rukmana. Dalam kesempatan ini, izinkan kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada para narasumber dalam proses diskusi yang dilaksanakan dalam rangka

x Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar prolog

penyusunan buku ini, diantaranya Ade Armansjah, Ade Mulyanti, Adrianto Pitoyo Adhi, Dewi Lestari Simanjuntak, Diaz Rossano, Fitri Novianti Ratna K, Ignesjz Kemalawarta, Ira Lubis, Mary Octo Sihombing, Surjono Herlambang, dan Taufik Emil. Ucapan terima kasih juga kami haturkan kepada para pembahas dalam rangkaian diskusi tersebut. Diantaranya Arnold M. Mamesah, Budi Prayitno, Danni Rahmat, Diaz Rossano, Didin Syamsudin, Djohermansyah Djohan, Endang Kawidjaja, Haryo Winarso, Helmi Arief Gunawan, Machfud Zarqoni, Manda Machyus, Suminarti, dan Yayat Supriatna, serta Zulfi Syarif Koto. Terima kasih yang sebesar­besarnya atas kontribusi dan pandangan serta masukan, yang menginspirasi dalam penyusunan buku singkat ini. Semoga Allah SWT memberikan berkah kepada kita semua. Aamiin.

Jakarta, Desember 2020

Dwityo A. Soeranto Direktur Sistem dan Strategi Penyelenggaraan Perumahan

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar xi xii Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar kata pengantar

kata pengantar

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, di tahun 2014, angka backlog atau ke­ kurangan kebutuhan rumah terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), mencapai jumlah sebanyak 13,5 juta unit. Selain itu, jumlah masyarakat yang menghuni rumah tidak layak huni sejumlah 3,4 juta. Selanjutnya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat, ada­ nya permukiman kumuh seluas 37.407 Ha. Mespon fakta tersebut, sejak 2015, Pemerintah mencanangkan Program Sejuta Rumah (PSR). Hasilnya sangat signifikan, yakni berhasil membangun 4.800.170 unit rumah layak huni (periode 2015-2019). Mengacu keberhasilan tersebut, program yang dimaksudkan untuk mengurangi backlog rumah dari sisi kepemilikan maupun hunian itu dilanjutkan untuk periode 2020-2024. Keberhasilan Kementerian PUPR mewujudkan Program Sejuta Rumah, tidak berdiri sendiri. Di sana, melibatkan sejumlah pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengembang, dan masyarakat. Mereka berperanan sesuai dengan kapasitas masing-masing dan membangun sinergi dengan Kementerian PUPR. Dalam Program Sejuta Rumah tersebut, Kementerian PUPR me­ miliki 3 peran, yaitu: 1) Sebagai pembangun yang aktif menyediakan peru­mahan; 2) Sebagai stimulan; dan 3) Sebagai regulator, hal ini terkait percepatan dalam memangkas perizinan. Selanjutnya, dalam praktek di lapangan, Kementerian PUPR menerapkan 3 pendekatan untuk mendorong program: Pertama adalah Program Pembangunan dan sistem­ pembiayaan perumahan.­ Dalam pelaksa­na­an­nya, program ini terintegrasi dengan program bantuan­­ pem­biayaan perumahan Kredit Pemilikan Rumah dengan skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Peru­mahan (KPR, FLPP, SSB, SBUM, dan BP2BT). Kedua, adalah pembangunan perumahan skala besar (PPSB) yang ter­integrasi dengan Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) dengan melibatkan pengembang besar. Dalam hal ini para pengembang diharapkan dapat terlibat aktif dengan

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar xiii kata pengantar melaksanakan pembangunan dengan Pola Hunian Berimbang. Ketiga, adalah proses finalisasi skema penyediaan perumahan untuk Aparatur Sipil Negara (ASN)/TNI/Polri serta skema perumahan untuk generasi millenials dengan kemudahan perizinan dan non perizinan. Keempat, adalah penguatan pasokan lahan untuk perumahan melalui pen­ ca­dangan lahan, konsolidasi tanah, pemanfaatan aset tanah negara dan alokasi lahan perumahan dalam RTRW. Selain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011, masalah hunian berimbang juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, yang mencantumkan bahwa pelaku pembangunan rumah susun komersial wajib menyediakan rumah susun umum (rusun bagi MBR), sekurang- kurangnya 20 % dari total luas lantai rumah susun komersial yang dibangun, kewajiban dimaksud dapat dilakukan di luar lokasi rumah susun komersil pada kabupaten/kota yang sama. Sementara itu Peraturan Menteri Perumahan Rakyat telah pula mengatur, bahwa pelaku pembangunan yang membangun rumah susun komersial (mewah) sejumlah 1 (satu) unit atau membangun rumah menengah sejumlah 2 (dua) unit, wajib membangun rumah umum bagi MBR sejumlah 3 (tiga) unit dan pelaku pembangunan rumah susun komersial wajib membangun rumah susun umum sebanyak 20% (duapuluh persen) dari luas lantai rumah susun komersial. Meski aturan sudah jelas, namun dalam praktek di lapangan, ternyata tidak selalu berjalan mulus. Terdapat sejumlah kendala dalam pelaksanaan, sehingga hasilnya kurang maksimal. Problematika pelaksanaan PPSB itulah yang dibahas dalam buku ini. Hal itu juga menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh stakeholder sektor perumahan, sehingga perlu dicari jawaban dan untuk dilaksanakan dikemudian hari, demi terlaksananya amanat undang-undang di sektor perumahan. Sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, idealnya rumah harus dimiliki oleh setiap keluarga, terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah dan bagi masyarakat yang tinggal di daerah padat penduduk di perkotaan. Negara juga bertanggung jawab dalam menyediakan dan memberikan kemudahan perolehan rumah bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman serta keswadayaan masyarakat. Selamat bekerja!

Jakarta, Desember 2020

Khalawi Abdul Hamid Direktur Jenderal Perumahan

xiv Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Jalan Panjang Berburu Hunian

BaB I

Jalan Panjang Berburu Hunian

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 1 Jalan Panjang Berburu Hunian

Presiden Jokowi dan Ibu Iriana saat meninjau Rumah MBR

2 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Jalan Panjang Berburu Hunian

BaB I Jalan Panjang Berburu Hunian

Sudah sejak 2006 Irwansyah bermimpi bisa punya rumah sendiri. Apalagi saat itu ia baru saja menikah. Karena belum memiliki rumah, untuk sementara ia tinggal di rumah orang tuanya. Bersama istrinya, ia lalu berburu perumahan. Semua informasi tentang rumah ia kumpulkan dan setiap kali ada pameran perumahan ia datangi, bahkan beberapa kali ia berkunjung ke lokasi perumahan yang sedang dibangun. Namun upayanya untuk mendapat rumah yang diinginkan selalu gagal. Bersama isterinya, ia akhirnya memutuskan untuk mengontrak rumah petak yang berukuran 3 m x 9 m, yang terbagi dalam 3 sekat dan dibatasi gordijn, ruang tamu, ruang tidur dan dapur serta kamar mandi di bagian belakang. Beberapa tahun tinggal di rumah petak, Irwan, begitu ia biasa disapa, kembali mencoba peruntungannya untuk membeli rumah dengan cara cicilan. Lagi-lagi keinginannya untuk memiliki rumah sendiri harus tertunda. Pengajuan kredit pemilikan rumahnya selalu ditolak. Maklum, Irwan hanyalah seorang office boy di sebuah perusahaan swasta. Kemampuannya untuk memenuhi uang muka yang ditetapkan bank penyalur KPR dan pendapatannya sebagai OB kerap menjadi kendala saat mengajukan kredit kepemilikan rumah. Irwan dan isterinya tak patah arang. Keinginannya untuk punya rumah sendiri masih menggebu. Menabung menjadi agenda utamanya. Sejak pertama bekerja ia telah menyisihkan sedikit demi sedikit penghasilannya setiap bulan untuk ditabung. Begitu tabungannya dirasa cukup, ia kembali mengulangi berburu informasi perumahan, mulai dari mengumpulkan brosur hingga mendatangi pameran. Dari sejumlah informasi yang dikumpulkan itu ada satu dua yang menarik perhatiannya. Di situ ada tawaran kepemilikan rumah dengan subsidi dari pemerintah untuk kalangan menengah bawah. Irwan pun tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, ia kembali menjajal mengajukan kredit pemilikan rumah. Hasilnya? Kali ini permohonannya dikabulkan. Ia pun mendapatkan sebuah rumah bersubsidi di daerah Parung, Bogor dengan cicilan tetap Rp1,3 juta perbulan selama 10 tahun. Jumlah cicilannya naik menjadi Rp1,5 juta perbulan pada tahun ke-11 hingga ke-15, namun Irwan merasa plong, keinginannya untuk

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 3 Jalan Panjang Berburu Hunian

Bermodal informasi yang telah dihimpun, lajang 25 tahun ini mendatangi sebuah kawasan perumahan di daerah Cilebut, Bogor pada 2019. Perumahan ini merupakan salah satu kawasan yang mendapat subsidi pemerintah. Luas tanahnya 60 m2. Tak besar memang. Tapi dengan rumah milik sendiri, kini ia tak perlu lagi mengeluarkan uang bulanan untuk kos. punya rumah sendiri terwujud. Irwan tak sendiri. Ada juga Eunike Louis Gracia, yang ketika baru saja memiliki pekerjaan, sudah berkeinginan punya rumah. Ia tak ingin uangnya ‘lenyap’ tiap bulan untuk biaya kos, karena baginya, lebih baik uang kos setiap bulan dipergunakan untuk mencicil rumah. Ia pun mulai mengumpulkan uang untuk modal uang muka rumah. Sambil menabung ia mengumpulkan sejumlah informasi tentang rumah yang pas dengan pendapatan dia. Impian Irwan dan Eunike hanyalah dua contoh dari jutaan masyarakat berpenghasilan menengah bawah untuk punya hunian sendiri di era akhir 2020an ini, dan sesungguhnya hal ini telah terjadi pada setiap era sebelumnya, seiring dengan pertumbuhan penduduk, urbanisasi dan kemajuan ekonomi yang serta merta diikuti oleh kebutuhan hunian yang semakin meningkat. Hasrat besar, khususnya di kalangan masyarakat berpenghasilan ren­ dah (MBR) untuk memiliki tempat tinggal/hunian, mendapat perhatian besar pemerintah bahan sejak awal kemerdekaan negara ini melalui di­seleng­ga­ra­ kannya Kongres Perumahan Rakyat Sehat, di Bandung tanggal 25-30 Agustus 1950, saat dimana Wakil Presiden Mohamad Hatta mengungkapkan, bahwa cita-cita untuk terselenggaranya kebutuhan perumahan rakyat bukan mustahil

Selanjutnya, untuk memenuhi hak rakyat tersebut, dari waktu ke waktu pemerintah berupaya keras lewat berbagai cara. Antara lain, di tahun 1974, ditunjukan dengan langkah pemerintah mendirikan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas) melalui Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1974, sebagai National Urban Development Coorporation dengan tugas utama sebagai penyedia rumah murah dan bank tanah (land banking).

4 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Jalan Panjang Berburu Hunian

untuk diwujudkan. Bung Hatta yang juga merupakan Bapak Perumahan Indonesia menegaskan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menem­pati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam ling­kungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur. Perum Perumnas secara resmi merupakan Badan Usaha Miik Negara (BUMN) pertama pada level nasional dalam penyediaan perumahan, khususnya bagi MBR. Pendirian Perum Perumnas telah didahului oleh pendirian beberapa badan usaha swasta dua tahun sebelumnya, seiring dengan permintaan hunian yang terus meningkat. Selanjutnya badan usaha swasta pembangunan perumahan mendirikan mendirikan organisasi Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) pada 11 Februari 1972 di Jakarta dan dilanjutkan dengan pembukaan beberapa Dewan Pengurus Daerah (DPD) di berbagai provinsi di Indonesia. Secara kelembagaan, Presiden Soeharto menunjuk Cosmas Batubara sebagai Menteri Muda Perumahan Rakyat (yang menginduk pada Kementerian Pekerjaan Umum) pada Kabinet Pembangunan III (1978-1983). Selanjutnya statusnya ditingkatkan menjadi Menteri Negara Perumahan Rakyat (1983- 1988) dan masih dipimpin oleh Cosmas Batubara. Selama era Orde Baru terjadi beberapa pergantian Menteri Negara Perumahan Rakyat setelah era Cosmas Batubara, yaitu kepada Siswono Yudhohusodo, Akbar Tanjung, dan

Pameran perumahan.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 5 Jalan Panjang Berburu Hunian

Theo Sambuaga. Di masa terakhir itu, nomenklatur kementerian berubah menjadi Kementerian Negara Perumahan dan Permukiman, walaupun hanya berlangsung tidak sampai 2 tahun hingga tahun 1998, dimana terjadi pergantian kepemimpinan nasional dari Presiden Soeharto kepada BJ. Habibie. Memasuki era reformasi, era Presiden Gus Dur, terjadi peleburan kelem­ bagaan 2 (dua) Kementerian, Kementerian Negara Perumahan dan Permukiman dengan Kementerian Pekerjaan Umum menjadi Kementerian Permukiman dan Pengembangan Wilayah (Kimbangwil) dengan menterinya Erna Witoelar. Saat ini, sektor perumahan ditangani oleh Direktorat Jenderal Pengembangan Permukiman. Di samping itu dibentuk pula Kementerian Negara Pekerjaan Umum. Di era kepemimpinan Megawati Soekarno Putri terjadi kembali peru­ bahan nomenklatur kementerian menjadi Kementerian Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) yang dipimpin oleh Soenarno. Kali ini urusan perumahan ditangani Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman. Pemerintah terus mengupayakan penyediaan perumahan diwujudkan dengan membentuk Kementerian Negara Perumahan Rakyat dan disusun ber­bagai program, antara lain pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa), pembangunan rumah khusus, pemberian Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) untuk meningkatkan kualitas rumah MBR, dileng­ kapi dengan pemberian subsidi kredit kepemilikan rumah dalam bentuk Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), untuk melengkapi Subsidi Selisih Bunga (SSB) dan Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM) yang telah ada sebelumnya.

Diperkenalkannya Program Seribu Tower di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono – Wakil Presiden Yusuf Kalla (2004-2009) dimulai oleh Perum Perumnas di Pulo Gebang Jakarta Timur yang segera diikuti oleh banyak pengembang swasta, antara lain di Cawang, di Cengkareng Jakarta Barat kerjasama Perum Perumnas dengan pengembang swasta, Kalibata City dan Kebagusan City di Jakarta Selatan, Gading Nias di Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Kemudian di tahun 2015, pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memfasilitasi harapan itu lewat program se­juta rumah (PSR). Program ini dicanangkan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, April 2015. Program ini kembali dilanjutkan pada periode kedua kepemimpin Joko Widodo bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin (2019- 2024). Hasil pelaksanaan PSR tercatat sangat signifikan. Sepanjang 2015-2019, Kementerian PUPR, mencatat total realisasi pembangunan rumah MBR se­

6 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Jalan Panjang Berburu Hunian

Capaian Program Sejuta Rumah 2015-2019

Grafis 1.1. Capaian Program Sejuta Rumah 2015-2019.Su mber: Ditjen Perumahan Kementerian PUPR

banyak 4.761.245 unit rumah. Terdiri dari 699.770 unit rumah (2015), 805.169 unit rumah (2016), 904.758 unit rumah (2017), 1.132.621 unit rumah (2018) dan tercapai 1.218.927 unit rumah (2019). Dengan capaian tersebut, PSR telah berhasil mengurangi backlog kepe­ milikan rumah yang dalam catatan BPS sebesar 11,4 juta (tahun 2014), sehingga menjadi ±7,64 Juta (tahun 2020). Hanya saja, untuk tahun 2020, pelaksanaan PSR sedikit terganggu adanya pandemi Covid-19, jelas Dirjen Perumahan Kementerian PUPR, Khalawi Abdul Hamid, karena dilakukannya refocusing/ realokasi anggaran kementerian/lembaga untuk kebutuhan penanganan Covid-19. Namun demikian, capaian target 1 juta rumah baru dapat mencapai 856.758 unit hingga 21 Desember 2020. Untuk meningkatkan performa program PSR, Kementerian PUPR mela­ kukan program percepatan penyediaan perumahan dengan enam strategi: Pertama, penyesuaian harga rumah bersubsidi dengan mempertimbangkan tingkat daya beli masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Kedua, standarisasi bangunan melalui revisi pedoman teknis pembangunan rumah sederhana. Ketiga, penyediaan perumahan terjangkau di lokasi strategis atau Transit Oriented Development (TOD). Keempat, pembangunan rumah susun bagi aparatur sipil negara (ASN),

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 7 Jalan Panjang Berburu Hunian

Peletakan batu pertama rumah susun Tni di Tanah Abang, Jakarta.

TNI/Polri dan milenial. Kelima, pembangunan rumah swadaya sebagai homestay, di Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), dan Keenam, inovasi kebijakan penyediaan perumahan berupa pembangunan perumahan skala besar yang menerapkan konsep hunian berimbang. Pemerintah juga mendorong pembangunan perumahan berbasis komu­ nitas, dengan dukungan Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) dan kredit mikro perumahan untuk menjangkau MBR non fixed income yang merupakan kelompok masyarakat dengan backlog terbesar mela­ lui program penyediaan dan sistem pembiayaan perumahan. Untuk mengefektifkan pelaksanaannya, beragam upaya dilakukan melalui penerbitan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang antara lain; pembentukan BP3 (Badan Percepatan Penyelenggaraan Peru­ mahan), pembentukan bank tanah, pemanfaatan tanah terlantar melalui penyusunan RPP pelaksanaan UU Cipta Kerja.

8 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Jalan Panjang Berburu Hunian

Selain itu, pemerintah juga akan memaksimalkan lahan publik seperti lahan milik BUMN, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, terutama la­ han strategis dekat terminal atau stasiun untuk pembangunan perumahan. Pe­merintah juga akan mendorong P2BK untuk menjangkau MBR non fixed income yang merupakan kelompok masyarakat dengan backlog terbesar. Upaya lainnya, pemerintah akan mendorong pembangunan perumahan skala besar dengan konsep hunian berimbang untuk menjamin komposisi hu­nian yang berkeadilan, dan kepastian kepemilikan rumah bagi MBR, juga dikembangkan public housing, rumah susun sederhana sewa, rumah khusus, peningkatan kualitas rumah swadaya yang antara lain dilakukan melalui per­ baikan tata kelola yang sudah ada, mengubah mindset dari keharusan memiliki­ rumah menjadi menempati hunian layak sepanjang hidup yang diberikan oleh pemerintah. Selanjutnya, Kementerian PUPR mengupayakan juga pembiayaan pem­ bangunan perumahan melalui Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha

Pembangunan rumah MBR di Aceh.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 9 Jalan Panjang Berburu Hunian

(KPBU), dengan memanfaatkan tanah-tanah Barang Milik Negara atau Daerah (BMN/D), sekaligus mengkaji ulang peraturan perundang KPBU yang belum kondusif bagi pembangunan perumahan masyarakat berpenghasilan rendah. Yang juga tidak kalah penting adalah melakukan kolaborasi dan sinergi dengan pemangku kepentingan perumahan; pemerintah daerah, BUMN, swas­ ta/pengembang, dan masyarakat. Langkah ini dimaksudkan untuk mendorong ketersedian pasokan hunian terjangkau melalui pembangunan perumahan berkonsep hunian berimbang, baik itu di dalam pembangunan perumahan skala kecil, menengah maupun besar. Di Jabodetabek, sebagai pusat pertumbuhan ekonomi nasional, misalnya, pembangunan perumahan tumbuh subur di daerah penyangga; Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, serta kawasan perumahan yang lumayan jauh dari Jakarta, berjarak sekitar 50-70 km, dengan mengupayakan kota-kota tersebut dapat menjadi counter magnet bagi pengembangan kawasan ibu kota. Kawasan tersebut dinilai mampu berkembang, karena memiliki sejumlah kriteria, di­

kebijakan dan strategi

Grafis 1.2. Kebijakan dan Strategi. Sumber: Ditjen Perumahan Kementerian PUPR

10 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Jalan Panjang Berburu Hunian

antaranya; harga lahan yang masih relatif terjangkau, mampu menyediakan fasilitas-fasilitas skala kawasan, antara lain seperti tempat bekerja, fasilitas umum, dan fasilitas lain, yang dapat dimanfaatkan oleh para penghuninya.

1.1. Kekurangan Rumah Sekalipun berbagai upaya sudah digencarkan, antara permintaan dan penye­ diaan perumahan belum juga seimbang. Tiap tahun, angka kekurangan rumah terus bertambah. Berdasarkan data Kementerian PUPR, backlog perumahan­ mencapai 7,64 juta unit per awal 2020. Jumlah itu terdiri dari 6,48 juta rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) non fixed income, 1,72 juta unit rumah untuk MBR fixed income, dan 0,56 juta unit rumah untuk non-MBR. Kekurangan rumah layak dapat dijelaskan bahwa tahun 2015 hingga 2019 jumlahnya telah mencapai 2,36 juta unit rumah, dan diperparah oleh hadirnya kaum urban ke kota-kota besar yang meningkat dengan cepat, termasuk meluas­nya permukiman kumuh di perkotaan. Akibatnya masyarakat hidup di lingkungan yang tidak sehat dan mengalami berbagai penyakit sosial antara

Tiga Strategi Pelaksanaan Program Sejuta Rumah

Grafis 1.3. Tiga Strategi Pelaksanaan Program Sejuta Rumah.Su mber: Ditjen Perumahan Kementerian PUPR

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 11 Jalan Panjang Berburu Hunian lain malas, tidak produktif, dan cenderung mengharapkan bantuan pemerintah terus menerus. Masalahnya dan ini yang menjadi masalah utama di kota besar tidak ter­ sedia rumah yang cukup dengan jumlah yang memadai dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan miskin termasuk kurangnya akses sarana transportasi umum yang murah, aman, dan layak serta pelayanan air minum yang memadai, sehingga tinggal di permukiman kumuh menjadi satu- satunya pilihan di kota besar. Ada beberapa hal yang menjadi isu utama masalah perumahan di Indo­ nesia, yaitu: 1. Belum diprioritaskannya penyediaan perumahan bagi rakyat miskin dan MBR, sehingga belum ada kebijakan pemerintah yang komprehensif dan terintegrasi antara sisi pasokan dan sisi permintaan. 2. Kondisi keuangan negara dan ‘political will’ para pemangku kebijakan dalam penyaluran subsidi kepemilikan rumah belum mampu menjangkau seluruh MBR dan miskin. 3. Kebijakan regulasi perbankan yang fokus pada perumahan masih berfokus pada Bank BTN sebagai satu-satunya bank yang portofolionya perumahan dan penyediaan perumahan MBR tidak difokuskan pada Perum Perumnas. 4. Pengelolaan lahan yang semakin hari semakin sulit dilakukan untuk penye­ diaan perumahan MBR akibat harga lahan yang semakin tinggi sehingga membuat daya beli kalangan MBR dan masyarakat miskin semakin kecil. Salah satu cara mengatasi masalah lahan pemerintah membuat regulasi dan menyediakan anggaran untuk pembangunan Rusunawa. 5. Pemerintah perlu terus mengembangkan program pembangunan peru­ mahan murah bagi kaum marginal dengan membangun rusun sewa dan

Misalnya orang-orang yang terbiasa hidup di permukiman kumuh satu lantai di gang-gang sempit tanpa ada aturan yang jelas, tiba-tiba harus dipindahkan ke rusun bertingkat. Perubahan lingkungan dan cara hidup warga yang berbeda dari sebelumnya tentu memerlukan pembinaan dan pendampingan. Untuk mengatur berbagai hal di lingkungan tersebut diperlukan adanya manajemen pengelolaan urusan perumahan rakyat tidak bisa lagi sepenuhnya diletakkan sebagai urusan pribadi orang per orang.

12 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Jalan Panjang Berburu Hunian

rusun sederhana milik, sekaligus mempersiapkan masyarakat untuk meng­ huninya. Penyediaan perumahan yang didominasi oleh bisnis properti melalui spe­kulasi tanah harus segera dihentikan, karena hanya semakin mendorong ter­kurasnya sumberdaya tanah, meningkatnya kebutuhan prasarana, dan ber­tambahnya beban anggaran negara. Berbagai pandangan awam seperti penye­diaan perumahan rakyat yang membebani keuangan negara, dalih peme­ rintah tugasnya memfasilitasi kelancaran proyek pengembang swasta, dan badan usaha negara di bidang perumahan cukup ditugaskan mencari untung saja, itu semuanya hanyalah mitos yang sudah harus dikoreksi secara total. Berbagai kegagalan sistem penyediaan perumahan rakyat harus segera diperbaiki, dimana negara harus menetapkan arah kebijakan dan strategi jangka panjang yang jelas dan penerapannya harus berkuantitas. Untuk itu, sebagai penyelenggara negara, pemerintah harus menjamin tersedianya sum­ ber-sumber daya, tanah, anggaran dan prasarana untuk dikelola secara ber­

Arah Pembangunan ke depan

Penguatan Keterpaduan Program dan Sumber Pendanaan Pembangunan Infrastruktur Perkotaan dan Permukiman

Grafis 1.4. Arah Pembangunan ke Depan.Su mber: ksppn, bappenas

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 13 Jalan Panjang Berburu Hunian

Rumah susun Pasar Rumput, Jakarta. keadilan bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah harus men­ jamin tersedianya kapasitas produksi yang berkelanjutan dari semua sistem penyediaan perumahan rakyat secara seimbang, dengan mengutamakan pe­ rumahan MBR dan masyarakat miskin, dalam bentuk perumahan sosial dan perumahan swadaya, dengan mengendalikan pembangunan perumahan komersial. Memajukan perumahan publik bertujuan membangun budaya hidup per­kotaan serta mendorong tumbuhnya kelas menengah yang tangguh dan ber­jati diri dalam kebudayaan Indonesia modern. Sedangkan memajukan perumahan swadaya dan perumahan sosial adalah manifestasi dari hadirnya negara dalam memberdayakan berbagai komunitas masyarakat. Komunitas- komunitas masyarakat perlu diberdayakan untuk mewujudkan perumahan secara berkelompok maupun membangun kelompok-kelompok tradisional

14 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Jalan Panjang Berburu Hunian

yang kuat di tengah arus perubahan modernisasi dan globalisasi. Reformasi perumahan rakyat harus segera dilaksanakan untuk mem­ per­kuat multi-sistem perumahan rakyat, melalui perwujudan perumahan publik, perumahan swadaya dan perumahan sosial sebagai pilihan kebijakan yang utama. Artinya, negara harus hadir sebagai pelayan publik, menjamin pengelolaan berbagai sumberdaya kunci yang ditujukan untuk merumahkan rakyat, sebagai manifestasi kedaulatan rakyat yang sesungguhnya. Penanganan permukiman kumuh, selain menyediakan sarana dan pra­ sarana fisik juga harus mengupayakan adanya pemberdayaan dan pen­ dam­pingan kepada masyarakat, melalui peningkatan kapasitas masyarakat, untuk mengantisapasi perubahan kondisi sosial dan budaya bermukim, se­ hingga upaya penyediaan sarana dan prasarana yang telah dibangun dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya, dapat dimanfaatkan dan terpelihara dengan baik serta berkelanjutan.

1.2. Perkembangan Perumahan Kebutuhan besar permintaan (demand) rumah yang tidak diikuti secara signifikan pada sisi pasokan (supply) rumah di pusat pertumbuhan ekonomi

Kawasan Summarecon Mal Serpong, Tangerang.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 15 Jalan Panjang Berburu Hunian kota-kota besar sebagai akibat permasalahan mendasar (lahan terbatas, har­ ga relatif mahal dan akses terbatas), menjadi peluang bagi swasta yang mena­ warkan beragam konsep desain dan kepemilikan rumah bagi terutama masya­ rakat berpenghasilan menengah keatas yang berdampak semakin sulit MBR dan masyarakat miskin menghuni rumah di kota-kota besar. Praktek penyelenggaraan Lingkungan Hunian Skala Besar dengan Kawasan Siap Bangun (Kasiba) di Indonesia sesungguhnya sudah dimulai sebelum di­ undangkannya Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman dan ditetapkannya PP No 80 Tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun (Kasiba) dan Lingkungan Siap Bangun (Lisiba), yaitu dengan dibangunnya kawasan Kebayoran Baru sebagai dormitory town oleh Belanda, dibangunnya kawasan Tebet untuk pemindahan penduduk dari Senayan yang diperuntukkan bagi pembangunan sarana olahraga nasional mendukung Ganefo yang diprakarsai oleh Presiden Soekarno. Kasiba wajib dilakukan pada Lingkungan Hunian Skala Besar untuk me­ wu­judkan tata ruang kota, sementara pembangunan Lingkungan Siap Bangun yang berdiri sendiri dan bukan bagian dari Kasiba dilakukan oleh banyak pengembang swasta yang tidak dipadukan infrastruktur kota, sehingga me­

Perumahan Grand Wisata Bekasi, Jawa Barat.

16 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Jalan Panjang Berburu Hunian

nim­bulkan banyak persoalan terutama penyediaan infrastruktur yang tidak optimal, sanitasi buruk, dan berdampak pada harga tanah tak terkendali, padahal beleid tersebut juga mengatur, bahwa pembangunan perumahan oleh pengembang swasta diprioritaskan dalam kawasan siap bangun atau, dengan mewujudkan lingkungan siap bangun di atas tanah yang berstatus Hak Milik, Hak Guna Bangunan, HPL, dan/atau Hak Pakai. Sesuai amanat UU No.1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Pemerintah mendorong pengembangan permukiman berbasis kawasan, termasuk merevisi PP No. 80 tahun 1999 dengan PP 14 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman agar lebih efektif, terarah dan berkelanjutan. Pemerintah mengakui banyak kelemahan dalam implementasi penyelenggaraan Lingkungan Hunian Skala Besar dengan Kasiba dan Lisiba terutama pada aspek penyediaan lahan, pengelolaan melalu badan pengelola, jumlah unit yang terbangun, dan penyediaan PSU yang memadai. Lokasi penyelenggaraan Lingkungan Hunian Skala Besar dengan Kasiba dan Lisiba diperkotaan melalui pembangunan rumah tapak sudah tidak memungkinkan lagi mengingat kebutuhan tanah yang besar se­ hingga penyelenggaraan Lingkungan Hunian Skala Besar diperkotaan hanya dimungkinkan melalui pembangunan rumah susun. Kombinasi rumah tapak dan rumah susun dalam skala besar dapat diselenggarakan pada kota baru yang merupakan solusi dari penyelenggaraan Lingkungan Hunian Skala Besar dengan Kasiba dan Lisiba di Indonesia. Meski aturan sudah ada dan dijaga ketat, Suryono Herlambang dari Peren­ canaan Kota dan Real Estate Jurusan Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Tarumanagara Jakarta, menyebutkan bahwa pengembangan perumahan skala besar (kota baru/new town) di Jabodetabek telah bergeser dari bayangan kebijakan awal pada 1990an, dimana pembangunan perumahan tapak menjadi sangat dominan. Suryono mendasarkan pendapatnya pada penga­matan sepanjang tahun 2019-2020. Kebijakan awal, kata Suryono dalam Forum Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Ditjen Perumahan Kementerian PUPR Oktober 2020 menyebut bahwa pembangunan perumahan yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman diwujudkan me­ la­lui pembangunan kawasan skala besar yang terencana secara menyeluruh dan terpadu dengan pelaksanaan bertahap sebagai salah satu cara untuk mengendalikan harga tanah di perkotaan dengan harapan tersedia cadangan tanah dan sekaligus mengurangi spekulasi tanah oleh perorangan maupun badan hukum termasuk dimungkinkannya penerapan hunian berimbang melalui konsep subsidi silang. Namun, 30 tahun kemudian, kondisi di lapangan masih jauh dari apa yang

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 17 Jalan Panjang Berburu Hunian

Perumahan Summarecon, Serpong. Sumber: Suryono Herlambang, 2020. dibayangkan. Kawasan skala besar justru didominasi oleh perumahan kelas menengah atas dengan menekankan fungsi komersial dan fasilitas kota yang lengkap (pendidikan, kesehatan, pemeran, perbelanjaan, hiburan, dan lainnya) sehingga harga tanah di kawasan tersebut meningkat cukup tajam dan hampir sama dengan harga tanah rata-rata di Jakarta.

1.3. Peri Urban Jangan Diabaikan Pesatnya perkembangan kawasan perkotaan tak dapat dipungkiri memak­ ­ sa kawasan di sekitarnya ikut berkembang. Perkembangan kawasan seki­tar ini diakibatkan karena pusat kota sudah tak lagi mampu menampung luapan aktivitas kota tersebut. Akibatnya, wilayah pinggiran (peri urban) yang sebe­ lumnya merupakan wilayah pedesaan berkembang secara signifikan. Wilayah peri urban ini memiliki peran penting dalam perkembangan kota di masa men­datang, dimana pemerintah harus lebih memperhatikan perkembangan wilayah tersebut yang jika tidak dikhawatirkan akan memunculkan berbagai permasalahan baru, baik spasial, ekonomi, maupun budaya. Di samping kota Jakarta, contoh peri urban itu dapat kita lihat di kota-kota Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, dan Surakarta, dimana secara gam­

18 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Jalan Panjang Berburu Hunian

blang menunjukkan bagaimana wilayah peri urban muncul sebagai dampak dari perluasan wilayah kota, mewujudkan metropolitan baru. Wilayah peri urban adalah wilayah sekitar atau pinggirian kota, di mana wilayah ini terletak di antara wilayah yang sepenuhnya bersifat kekotaan dan wilayah yang sepenuhnya masih bersifat pedesaan. Penanganan wilayah peri urban antar satu daerah dengan daerah lain relatif berbeda tergantung bagai­ mana strategi masing-masing pemangku kepentingan dan pemerintah daerah dalam mengelola kawasan peri urban itu pada konteks sinkronisasi kawasan perkotaan dengan wilayah peri urbannya. Surakarta, misalnya. Sebagai pusat perkembangan kawasan subosuko­ wonosraten, di mana salah satu wilayah peri urbannya adalah kabupaten Suko­harjo. Menyikapi potensi luapan kegiatan perkotaan tersebut, pemerintah Suko­harjo kemudian membangun kawasan penyangga yang di namakan Solo Baru. Solo Baru didesain untuk mengisi luapan aktivitas kota Surakarta baik aktivitas perdagangan maupun kebutuhan hunian. Berbeda dengan Kabupaten Sidoarjo yang merupakan wilayah peri urban dari Surabaya. Namun, dalam pengelolaanya, Sidoarjo belum memiliki arah pengembangan yang pasti terkait dengan perannya sebagai wilayah peri- urban dari Surabaya sehingga perubahan yang terjadi akibat proses urbanisasi kawasan penyangga dianggap merugikan kawasan peri urban. Selain dua kota tersebut, Kota Yogyakarta memberikan gambaran jelas mengenai bagaimana kawasan peri urban berkembang. Di kota ini, dapat kita temui fenomena perkembangan perumahan dan permukiman yang mengarah pada fenomena terbentuknya wilayah peri urban di mana perumahan banyak terbangun di wilayah sekitar kota seperti Kabupaten Sleman dan Bantul. Pada umumnya, masyarakat akan mencari rumah hunian perkotaan dengan harga yang tidak semahal di pusat kota dan berjarak tidak terlalu jauh dari tempat kerja. Dari beberapa contoh di atas bisa dikatakan perkembangan wilayah peri urban merupakan keniscayaan. Masalahnya, seberapa jauh para pemangku kepentingan, terutama pemerintah daerah mau menyadari perkembangan wilayah peri urban itu. Jika ada kesadaran maka semua pihak akan tergerak lebih memperhatikan perkembangan kawasan peri urbannya meskipun secara administrasi masuk dalam wilayah daerah lain. Sebagai sebuah keniscayaan sudah semestinya jika wilayah peri urban ini mendapat perhatian khusus dalam menangani perkembangannya, diperlukan kejelasan arah pengembangannya oleh pengelola kota untuk mengelola pusat kota hingga wilayah peri urbannya. Dengan adanya arah pengembangan yang baik dan terencana, maka pengen­ dalian perkembangan wilayah peri urban akan semakin tertata.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 19 Jalan Panjang Berburu Hunian

1.4. Inklusif, Barometer Pertumbuhan Bangsa Inklusif berarti merangkul semua golongan tanpa mengucilkan salah satu golongan warga sehingga tercipta ketakberpihakan dalam menentukan kebi­ ­ jakan. Artinya, di situ harus ada keadilan. Dengan landasan adil, tak ada ke­ pentingan pihak yang merasa berhak sebagai warga yang terabaikan. Landasan inklusif kini merupakan barometer bagi pertumbuhan suatu bangsa dunia. Dengan merangkul semua golongan masyarakat maka tumbuh rasa keadilan sehingga meletakkan landasan membangun untuk semua, bukan salah satu golongan masyarakat terpilih (elit). Bank Dunia menyatakan, sedikitnya enam langkah intervensi multi­di­men­ sonal dapat dilakukan untuk menciptakan kota yang inklusif seiring dengan meningkatnya arus urbanisasi. Bank Dunia menyatakan perlu dilakukan intervensi multidimesional dan inovatif me­lalui enam langkah intervensi, yakni:

Menurut Bank Dunia, urbanisasi telah menjadi satu dari pendorong yang paling kuat terhadap pembangunan global. Lebih dari separuh populasi dunia kini tinggal di kota, dan akan mencapai hingga 70% pada 2050.

Grafis 1.5. Laju Urbanisasi Indonesia. Sumber: bps, 2016.

20 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Jalan Panjang Berburu Hunian

1. Mengadopsi solusi multisektor untuk masalah yang multidimensional. Di antaranya adalah akses terhadap lahan, infrastruktur dan perumahan dengan inklusi kepada yang pihak yang terpinggirkan. 2. Menggabungkan solusi pencegahan dan kuratif. Pendekatan perbaikan perumahan kumuh telah dilakukan untuk meningkatkan kondisi warga, namun diperlukan juga perencanaan proaktif untuk pertumbuhan di masa mendatang. 3. Memprioritaskan dan meningkatkan investasi. Intervensi macam ini dibutuhkan berdasarkan konteks, prioritas dan kebutuhan ketika pendekatan multidimensional tak selalu mungkin diterapkan sekaligus. 4. Memanfaatkan potensi masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan dalam intervensi perkotaan dianggap sebagai kunci sukses. 5. Penguatan kapasitas di tingkat lokal. Pembangunan kota yang inklusif akan efektif jika didukung oleh institusi lokal. 6. Membina kemitraan. Menurut bank dunia kolaborasi antar ahli dalam pelbagai bidang sangatlah dimung­kinkan, selain bekerja sama dengan IFC atau sektor swasta. Swasta akan membantu melengkapi inisiatif sektor publik.

Apa indikator kota perumahan inklusif itu? Birmingham White Paper membuat indikatornya, yakni: 1. Mendukung keluarga dan anak kecil keluar dari kemiskinan; 2. Merangkul superdiversitas; 3. Melindungi yang terlemah; 4. Hubungkan orang dengan tempat; 5. Ciptakan kota yang memberi nilai kepada anak kecil dan orang muda; 6. Memberdayakan warga membentuk lingkungan sekitar tempat huniannya; 7. Menyuarakan keamanan, membebaskan keadaan keterasingan dan keterisolasian.

1.5. Syarat Hidup Inklusif Pengetahuan tentang mutu keruangan yang layak adalah dengan mempertimbangkan seluruh daur hidup pemukim: dari lahir hingga meninggal. Permukiman inklusif harus memenuhi persyaratan lingkungan yang layak bagi semua: kesehatan lingkungan; udara, air, ruang melepas ketegangan jiwa. Jaminan kepemilikan ruang memungkinkan penghuni merawat flora dan atau fauna sebagai pengisi kesibukan, pelepas ketegangan jiwa, dan

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 21 Jalan Panjang Berburu Hunian perwujudan aktualisasi diri. Para penghuni didorong untuk berpartisipasi dalam menciptakan dan merawat ruang bersama untuk bertindak yang sehat, tanpa kecuali. Dari sisi keterikatan sosial, semakin kuat ikatan sosial semakin mampu suatu masya­rakat mengatasi tantangan dan meningkatkan daya pulih. Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan sehat jasmani dan rohani. Jasmani/ragawi tak mungkin sehat jika lingkungan penuh dengan sumber penyakit. Karenanya, kesehatan lingkungan merupakan hal utama yang perlu dijaga agar yang hidup di dalamnya sehat. Jasmani tak mungkin sehat jika ikatan kekeluargaan rapuh. Ekslusivitas merupakan benih pemicu keretakan ikatan dan memperbesar kesenjangan masyarakat. Ikatan yang kuat adalah ikatan yang berlandaskan keadilan. Namun adil mensyaratkan ketidakberpihakan. Hidup di kota adalah hidup dalam keanekaragaman kepercayaan, yang mendahulukan ikatan batin yang kuat antar warga yang hanya dapat diwujudkan melalui penghormatan terhadap perbedaan.

1.6. Peran Teknologi Perkembangan pengetahuan dan teknologi selalu berpengaruh terhadap cara kita bermukim. Ilmu pengetahuan dan teknologi selalu punya peran sejak pertama kali terbentuknya­ kota. Misalnya, saat revolusi pertanian, yang memunculkan kota-kota pertanian dan pusat perdagangan tradisional. Di saat

memahami komponen kota cerdas

Grafis 1.6. Memahami Komponen Kota Cerdas. Sumber: ksppn, bappenas

22 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Jalan Panjang Berburu Hunian

model kota cerdas

Grafis 1.7. Model Kota Cerdas. Sumber: ksppn, bappenas

revolusi industri di Inggris, memun­cul­kan kota-kota industri yang kemudian berakibat pada pemisahan fungsi tinggal dan fungsi kerja dalam tata-ruang kota, sekaligus memunculkan kebutuhan hunian yang besar untuk mengantisipasi kebutuhan pekerja industri yang berpindah dari perdesaan ke perkotaan. Pun saat revolusi digital, memunculkan kota-kota cerdas, dimana hampir semua kota di dunia memanfaatkan teknologi dalam berbagai tingkatan. Smart city adalah salah satu contoh kota yang memanfaatkan kemajuan teknologi digital atau teknologi informasi-komunikasi untuk meningkatkan kinerja kota (bekerjanya fungsi-fungsi kota sebagai tempat tinggal, bekerja, berinteraksi sosial, lalu-lalang, berekreasi dll.) Pemahaman yang lebih luas menjangkau berbagai cara cerdas untuk mengatasi masalah/mencapai­ tujuan-tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan (tripple bottom-line atau SDGs), termasuk mengelola Big Data sebagai basis perwujudan Smart City. Pada 2030 diproyeksikan “wajah” kota-kota di Indonesia akan memperhatikan keta­han­an terhadap bencana, kota cerdas (smart city), dan modern (sesuai dengan standar internasional). Selain itu, “wajah” kota-kota di

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 23 Jalan Panjang Berburu Hunian

pilar kota berkelanjutan 2015-2045

Grafis 1.8. Pilar Kota Berkelanjutan 2015-2045. Sumber: ksppn, bappenas

Indonesia juga akan memperhatikan aspek keberlanjutan sosial, ekonomi dan lingkungan. Pendek kata, pada tahun itu, kota-kota di Indonesia sudah harus bersifat inklusif dan berkelanjutan, dengan dukungan layanan dasar dan perumahan yang aman serta terjangkau untuk mempromosikan pembangunan ekonomi kota. Tidak hanya itu, pada 2030 “wajah” kota-kota di Indonesia juga minim limbah, emisi kar­bon rendah, dan tersedia ruang hijau publik yang cukup, didukung sistem transportasi yang menjangkau seluruh masyarakat dengan jaminan keselamatan. Ada banyak versi bagaimana mewujudkan kota cerdas ini. Misalnya, Asosiasi Prakarsa Indonesia Cerdas (APIC) yang dipelopori Guru Besar Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB Profesor Suhono Harso Supangkat yang didasarkan pada Smart Economy, Smart Environment, dan Smart Society. Pada sisi lain, pemerintah melalui Bappenas juga memperkenalkan konsep Kota Cerdas Indonesia melalui Pilar Kota Berkelanjutan 2015-2045 melaui perwujudan Kota Layak yang aman dan nyaman, Kota Hijau yang berketahanan iklim dan bencana dan Kota Cerdas yang berdaya saing dan berbasis teknologi.

24 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Jalan Panjang Berburu Hunian

1.7. Belajar dari Pandemi Dalam peringatan puncak hari Habitat Dunia (HHD) 2020, 6 Oktober 2020, Presiden Joko Widodo meminta agar pandemi Covid-19 dijadikan pembelajaran untuk membangun perkotaan yang tangguh dan sehat di masa mendatang. Pandemi Covid-19 sudah harus dijadikan refleksi dan cara membentuk masa depan permukiman manusia dengan lebih tangguh. Perumahan yang inklusif, terjangkau, dan memadai menjadi inti dari transformasi kota dan komunitas kita dan menjadikannya tangguh. Pandemi juga menjadi momentum refleksi untuk merancang kebijakan perencanaan dan pengelolaan perkotaan yang inklusif dan berkeadilan sehingga mampu meningkatkan ketangguhan dalam menghadapi bencana alam maupun bencana nonalam, termasuk ke­ tangguhan terhadap wabah penyakit. D D D

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 25 Jalan Panjang Berburu Hunian

26 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kejarlah Hunian Hingga ke Pinggiran

BaB II

Kejarlah Hunian Hingga ke Pinggiran

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 27 Kejarlah Hunian Hingga ke Pinggiran

Perumahan bsd City, Tangerang.

28 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kejarlah Hunian Hingga ke Pinggiran

BaB II Kejarlah Hunian Hingga ke Pinggiran

Butuh 14 tahun bagi orang seperti Irwansyah (Baca Bagian I: Jalan Panjang Berburu Hunian) untuk bisa mewujudkan impiannya punya rumah sendiri. Sebuah waktu yang cukup panjang. Selama 14 tahun itu, ia tak henti-hentinya mencari dan berburu rumah yang terjangkau dengan profesinya sebagai office boy di sebuah perkantoran swasta yang terletak di bilangan Cilandak, Jakarta Selatan. Empat tahun menabung, dia akhirnya bisa mendapat sebuah rumah mungil di daerah Parung Bogor. Jarak rumah Irwansyah ke kantornya kurang lebih 25 kilometer. Sebuah jarak yang tak dekat.Namun bagi Irwansyah jarak tak jadi soal. Yang penting ia tak perlu lagi membayar uang kontrakan atau me­ numpang di rumah mertua atau orang tuanya. Irwansyah tak sendiri. Ada puluhan juta pekerja kelas menengah bawah yang bernasib seperti Irwansyah. Mereka harus rela mendapat hunian yang jauh dari tempatnya bekerja. Selain itu, akses terhadap transportasi publik pun terbilang minim. Dengan gaji yang relatif kecil (sekitar Rp5 juta) tak mungkin bagi Irwansyah dan puluhan juta pekerja kelas menengah bawah bisa menempati hunian di tengah kota yang dekat dengan tempatnya bekerja. Rata-rata, mereka hanya bisa mendapat rumah di pinggiran Jakarta. Begitulah nasib kelas menengah bawah seperti Irwansyah. Padahal, peme­ rintah sudah mencanangkan konsep pembangunan perumahan skala besar sejak sejak 1990. Pengembangan perumahan skala besar mulai dikembangkan saat Siswono Yudohusodo menjabat Menteri Perubahan Rakyat di Kabinet Pembangunan V (1988-1993). Pengembangan dilakukan untuk wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek). Di Bekasi misalnya, Perumnas membangun Taman Galaxy, Setia Mekar, dan Bumi Bekasi Baru. Sedangkan pengembang swasta mengembangkan perumahan Kemang Pratama. Namun kenyataan di lapangan pengembangan perumahan skala besar di Bekasi itu tidak sesuai dengan PP 80 Tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun Yang Berdiri Sendiri. Sekalipun Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 29 Kejarlah Hunian Hingga ke Pinggiran

2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, substansi Kasiba dan pembangunan perumahan skala besar tak berubah. Pun dengan PP 80 Tahun 1999. Meski telah dicabut dan diganti PP Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman, namun peraturan pelaksanaannya masih dinyatakan berlaku. Artinya, Pera­ turan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 31/Permen/M/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun Yang Berdiri Sendiri, Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 32/Permen/M/2006 tentang Petunjuk Teknis Kawasan Siap Bangun Dan Lingkungan Siap Bangun Yang Berdiri Sendiri, dan Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 32/Permen/M/2006 tentang Pe­ doman Tatacara Penunjukan Badan Pengelola Kawasan Siap Bangun dan Penyelenggara Lingkungan Siap Bangun Yang Berdiri Sendiri pada prinsipnya masih berlaku. Kasiba didefinisikan sebagai bidang tanah yang fisiknya serta prasarana, sarana, dan utilitas umum minimal sebesar 25% telah dipersiapkan oleh Badan Pengelola untuk pembangunan lingkungan hunian skala besar sesuai dengan rencana tata ruang. Sedangkan Lisiba adalah bagian dari Kasiba dimana fisik tanahnya serta prasarana, sarana, dan utilitas umum telah dipersiapkan untuk pembangunan perumahan dengan batas-batas kaveling yang jelas sesuai dengan rencana rinci tata ruang. Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penyeleng­ ­ garaan Perumahan dan Pemukiman menyebut, “pembangunan perumahan skala besar dengan hunian berimbang meliputi rumah sederhana, rumah me­ nengah, dan rumah mewah.”

Pengaturan PP 80 Tahun 1999 tentang Kasiba dan Lisiba Berdiri Sendiri KASIBA NO ITEMS LISIBA BS KETERANGAN LISIBA LISIBA Penetapan 25% PSU 1 Bupati/Walikota Bupati/Walikota Lokasi terbangun 2 Perencanaan Badan Pengelola/BUMN Swasta BUMN (Badan Pengelola) dapat membangun 3 Pelaksanaan BUMN Swasta Swasta Lisiba uuntuk menyangga harga

30 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kejarlah Hunian Hingga ke Pinggiran

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 31 Kejarlah Hunian Hingga ke Pinggiran

Komposisi hunian berimbang diatur dalam Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hunian Berimbang, dimana ditentukan setiap pengembang yang membangun satu hunian mewah, wajib membangun dua rumah kelas menengah, dan tiga rumah sederhana. Penyelenggaran perumahan dan kawasan permukiman dengan Hunian Berimbang pada Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hunian Berimbang dilaksanakan diatur sebagai berikut: ◆ Perumahan dengan jumlah sekurang-kurangnya 50 sampai dengan 1.000 rumah; ◆ Permukiman dengan jumlah sekurang-kurangnya 1.000 sampai dengan 3.000 rumah; ◆ Lingkungan hunian dengan jumlah sekurang-kurangnya 3.000 sampai dengan 10.000 rumah; ◆ Kawasan permukiman dengan jumlah lebih dari 10.000 rumah. Selain pengaturan hunian berimbang dalam bentuk rumah tapak, dikenal pula pengaturan hunian berimbang dalam bentuk rumah susun dimana pengembang yang membangun rumah susun komersial wajib membangun rumah susun umum sebesar 20% dari luas total rumah susun komersial

PENYELENGGARAAN hunian berimbang

KAWASAN PERMUKIMAN DI ATAS 10.000 RUMAH

LINGKUNGAN HUNIAN 3.000 - 10.000 RUMAH

PERMUKIMAN DI ATAS 1.000 - 3.000 RUMAH

PERUMAHAN 50 - 1.000 RUMAH

Grafis 2.1. Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hunian Berimbang.

32 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kejarlah Hunian Hingga ke Pinggiran

Kronologis regulasi Pengembangan Skala Besar

Grafis 2.2. Kronologis regulasi Pengembangan Skala Besar.

sebagaimana diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Namun, aturan pelaksanaan ketentuan ini belum dirumuskan dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Sebenarnya, jika aturan tentang hunian berimbang dilaksanakan, orang seperti Irwansyah tak perlu jauh-jauh mendapatkan hunian dari tempat kerja­ nya. Irwansyah yang bekerja di Cilandak, bisa saja mengambil rumah di daerah Tanjung Barat atau daerah lain yang jauh lebih dekat dengan tempat kerjanya. Selain itu, akses transportasi publik juga cukup tersedia.

2.1. Isu Regulasi Pemerintah, pengembang dan lembaga keuangan, adalah tiga pilar utama dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman skala besar. Meski dari sisi kelembagaan sudah jelas posisinya, namun terkait wewenang, tugas, dan kewajiban masing-masing pemangku kepentingan, pelaksanaannya ditengarai masih berjalan sendiri-sendiri. Program pembangunan perumahan skala besar yang berjalan sejauh ini, belum mampu mencegah spekulasi yang menjadikan tanah yang merupakan faktor penentu dalam penyediaan rumah dipergunakan sebagai barang komoditas sehingga melupakan fungsi sosialnya. Sejauh ini, kehadiran peru­ mahan skala besar seperti Bumi Serpong Damai, Summarecon, dan Alam

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 33 Kejarlah Hunian Hingga ke Pinggiran

Anami (Apartemen Sederhana Milik) Kalibata City, Jakarta.

34 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kejarlah Hunian Hingga ke Pinggiran

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 35 Kejarlah Hunian Hingga ke Pinggiran

Sutera jauh dari memperhatikan keadilan ruang bagi MBR. Untuk itu perlu adanya jaminan ketersediaan akses yang sama dan terjangkau bagi MBR sebagai bagian dari masyarakat. Meski pemerintah sudah mengatur adanya hunian berimbang, namun praktek di lapangan tidak berjalan mulus. Ketersediaan perumahan bagi ke­ lom­pok MBR masih menempati lokasi yang kurang strategis dan tidak cukup akses yang memadai, baik terhadap pusat perkotaan dan pusat kegiatan eko­ nomi. Pengaturan hunian berimbang diperbaharui melalui pasal 50 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang menyebut kewajiban pembangunan hunian berimbang di perumahan skala besar dalam satu hamparan dan dapat dikonversi menjadi rumah susun umum namun tetap diwajibkan dalam satu hamparan. Selanjutnya hasil konversi dalam ben­ tuk dana diserahkan kepada BP3 (Badan Percepatan Penyelenggaraan Peru­ mahan) untuk pembangunan rumah umum.

Apartemen Green Pramuka City, Jakarta.

36 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kejarlah Hunian Hingga ke Pinggiran

2.2. Siasat di Tengah Keterbatasan Meski belum sepenuhnya sepada dengan harapan, sejatinya pembangunan perumahan skala besar sangat dibutuhkan. Ira Lubis dari Direktorat Perumahan dan Pemukiman Bappenas menegaskan, sedikitnya ada empat alasan penting­ nya pembangunan perumahan skala besar. 1. Suatu bentuk kehadiran negara dan bagian dari strategi kota yang ber­ kelanjutan. 2. Mencegah terhadinya urban sprawl. 3. Menumbuhkan pusat kegiatan baru. 4. Memastikan struktur kota itu terarah, terpadu dan efektif di kabupaten dan kota. Kebijakan pembangunan perumahan dalam skala besar dalam lima tahun ke depan mengacu pada kebijakan yang tercantum dalam RPJMN dimana tuju­ an akhir pembangunan perumahan skala besar itu adalah membuat seluruh keluarga bisa menempati hunian yang layak dan terjangkau. Agar tujuan itu terpenuhi, menurut Ira, ada lima strategi yang akan dilaku­ kan yaitu: 1. Kebijakan perumahan ke depan harus terpadu dengan tata ruang dan insfrastruktur dasar pemukiman, khususnya transportasi publik. 2. Perumahan publik yang berbasis rumah susun di perkotaan. 3. Peremajaan kota sebagai cara mengakses lahan di perkotaan. 4. Memanfaatkan tanah milik negara. 5. Mengembangkan peran dunia usaha termasuk BUMN. Pada tahun 2023, pemerintah mentargetkan 70% rumah tangga di Indo­ nesia sudah memiliki hunian yang layak. Bagaimana caranya? Ada dua cara yang akan dilakukan, yaitu pertama, membangun hunian baru dan kedua, meningkatkan kualitas rumah yang sudah ada. Pembangunan perumahan skala besar bisa dilakukan oleh BUMN dan badan usaha swasta yang difasilitasi oleh pemerintah melalui badan Kasiba/ Lisiba, dimana badan usaha swasta diwajibkan menerapkan hunian berimbang atau membayar dana konversi kepada BP3. Pembangunan perumahan skala besar seharusnya diatur oleh pemerintah dengan memfasilitasi penyediaan lahan yang dilengkapi dengan akses trans­ portasi. Jika pembangunan skala besar itu lead-nya badan usaha, kata Ira, diper­lukan jaminan bahwa badan usaha menyediakan perumahan bagi MBR seba­gaimana diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Ira menyebut salah satu model pembangunan perumahan skala besar yang diinisiasi oleh BUMN. Namanya Parayasa. Lahannya dekat dengan stasiun Parung Panjang. Pembangunan perumahan ini merupakan model pem­ bangunan skala besar kombinasi antara Perum Perumnas, BPK dan BNI untuk

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 37 Kejarlah Hunian Hingga ke Pinggiran bisa mengembangkan kawasan perumahan. Model lain terdapat di Kota Palembang. Di sini pembangunan perumahan skala besar diinisiasi swasta bekerjasama dengan Bhayangkara. Kerja sama ini dilakukan untuk menyediakan perumahan bagi ASN dan anggota TNI/Polri. Dua model itu bisa menjadi contoh bagaimana pembangunan skala besar dila­ kukan. Pembangunan perumahan skala besar selama ini harus diakui memang banyak berorientasi pada perumahan tapak (landed houses), dan baru pada tahun 2010 dilakukan pembangunan rumah susun skala besar di Rawasari yang dikenal dengan nama Apartemen Green Pramuka dan diikuti oleh Lippo Group dengan membangun Meikarta pada tahun 2017. Membangun rumah tapak skala besar di perkotaan butuh lahan dan modal besar. Masalahnya, harga tanah sangat mahal. Dengan model rumah vertikal yang lokasinya berada di tengah kota, Ira yakin harganya juga masih terjangkau oleh masyarakat menengah ke bawah. Tawaran yang masuk akal. Dari pemetaan di enam metropolitan di Indonesia yang dilakukan Bappenas, menurut Ira, saat ini sudah tidak memungkinkan lagi membangun rumah tapak skala besar di tengah kota yang dekat dengan sarana transportasi, lokasi bagus, dan harganya terjangkau kalangan MBR. Selain membangun rumah vertikal, Ira menawarkan strategi urban renewal permukiman kumuh. Strategi ini merupakan cara lain menyediakan lahan di perkotaan, melalui kerjasama dengan pemilik lahan, konsolidasi tanah vertikal, revitalisasi rusun yang lama, atau mengkombinasikan dengan kewajiban pengem­bang membangun hunian berimbang.

2.3. Perubahan Indikator RPJM 2020-2024 menyebut, arah kebijakan pembangunan perumahan adalah meningkatkan akses masyarakat secara bertahap terhadap perumahan dan permukiman layak, aman, dan terjangkau untuk mewujudkan kota yang inklusif dan layak huni. Berdasarkan arahan Bappenas, terdapat 3 (tiga) tam­ bahan indikator dari semula 4 (empat) hingga menjadi 7 (tujuh) sehingga tuju­ an pembangunan berkelanjutan, adalah: 1. Ketahanan konstruksi; 2. Akses air minum; 3. Akses sanitasi; 4. Luas perkapita; 5. Mengentaskan pemukiman kumuh; 6. Mengurangi backlog perumahan, dan: 7. Menjamin keamanan ber­ mukim. Pengentasan permukiman kumuh terutama di kawasan metropolitan sebagai bagian dari SDGs sudah ditangani dengan lebih serius dengan ada Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku). Program ini bertujuan meningkatkan kualitas infrastruktur permukiman kumuh, dan selanjutnya oleh Bappenas diintegrasikan dengan New Urban Agenda (NUA)

38 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kejarlah Hunian Hingga ke Pinggiran

PERGESERAN DAN PENAMBAHAN INDIKATOR

Grafis 2.3. Pergeseran dan Penambahan Indikator. Sumber: bappenas, januari 2019.

Agenda SDGs dan New Urban Agenda (NUA)

Grafis 2.4. Agenda SDGs dan New Urban Agenda (NUA). Sumber: Ditjen Perumahan Kementerian PUPR.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 39 Kejarlah Hunian Hingga ke Pinggiran

CAPAIAN RUMAH LAYAK HUNI BERDASARKAN AKSES AIR MINUM PERPROVINSI TAHUN 2018

Grafis 2.5. Capaian Rumah Layak Huni Berdasarkan Akses Air Minum Perprovinsi Tahun 2018. Sumber: Bappenas, Februari 2020.

CAPAIAN RUMAH LAYAK HUNI BERDASARKAN AKSES SANITASI PERPROVINSI TAHUN 2018

Grafis 2.6. Capaian Rumah Layak Huni Berdasarkan Akses Sanitasi Perprovinsi Tahun 2018. Sumber: Bappenas, Februari 2020.

40 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kejarlah Hunian Hingga ke Pinggiran

Demikian halnya dengan akses air minum yang aman dan terjangkau. Hal itu merupakan mandat dari Sustainable Development Goals (SDGs). Sejauh ini, capaian rumah layak huni berdasarkan aspek ketersediaan air minum rata-rata nasional masih sekitar 61%. Provinsi Bengkulu menempati tempat terendah diikuti oleh provinsi Lampung dan Banten. Sementara posisi tertinggi ditempati oleh Provinsi Kalimantan Utara diikuti oleh Provinsi Bali dan Kepulauan Riau. Air minum perpipaan dinilai masih merupakan sumber air minum terbaik terutama di perkotaan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa penggunaan air tanah dangkal atau air permukaan banyak yang sudah tercemar oleh bakteri sedangkan penggunaan air tanah dalam membutuhkan investasi dan biaya ope­rasional yang besar. Akses sanitasi merupakan salah satu unsur yang dapat menjamin lebih baik­nya kesehatan masyarakat, di samping air minum, dimana jika sumber air minum dalam bentuk pompa dangkal berdekatan dengan septic tank dapat menye­babkan tercemarnya air minum yang dikonsumsi masyarakat.

Persentase Rumah Tangga Nasional yang Mendiami Rumah Layak Huni di Indonesia (Rincian Per Indikator) Tahun 2015-2019

Grafis 2.7. Persentase Rumah Tangga Nasional yang Mendiami Rumah Layak Huni di Indonesia (Rincian Per Indikator) Tahun 2015-2019. Sumber: Susenas KOR, diolah oleh Bappenas, 2019

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 41 Kejarlah Hunian Hingga ke Pinggiran

Hunian Mutlak Tahan Gempa Ketahanan konstruksi mutlak diperlukan mengingat pengalaman buruk pada saat terjadi bencana alam di Yogyakarta pada tahun 2006. Gempa tersebut meluluh lantakan bangunan rumah penduduk, sebagai akibat dipergunakannya konstruksi dinding (bata) pendukung yang tidak dilengkapi dengan tulangan besi beton untuk mengikat dinding dengan kolom, dengan slof atau pondasi dan balok ring. Hampir seluruh kerusakan rumah tinggal masyarakat yang dibangun dengan tradisonal turun temurun tersebut, bersumber dari pertemuan dinding dengan dinding yang membawa keruntuhan seluruh bangunan.

42 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kejarlah Hunian Hingga ke Pinggiran

Oleh karena itu setiap rumah yang dibangun oleh masyarakat maupun badan usaha harus dilengkapi dengan sanitasi yang baik, terdapat septic tank beserta rembesannya yang dilenglapi dengan kloset yang dapat berbentuk kloset jongkok, kloset duduk dan saluran pembuangan yang memadai, serta memiliki jarak cukup jauh kepada sumber air minum berbentuk pompa dang­ kal. Secara keseluruhan rumah layak sanitasi secara nasional masih relatif ren­ dah hanya sebesar 38,30% pada tahun 2018, dan provinsi Papua menempati urutan terendah, diikuti Kepulauan Bangka Belitung serta DKI Jakarta. Semen­ tara yang tertinggi berada di Provinsi Bali, diikuti oleh Kalimantan Utara dan DI Yogyakarta. Perilaku membangun yang tidak sesuai dengan kondisi kegempaan di Indonesia tidak hanya terjadi di Yogyakarta, bahkan di kota-kota lainnya. Be­ rangkat dari hal tersebut, Pemerintah mewajibkan seluruh rumah yang di­ bangun, baik oleh masyarakat maupun badan usaha harus memenuhi standar teknis bangunan tahan gempa dengan menggunakan beton bertulang dengan penggunaan diameter baja sesuai yang dipersyaratkan, sehingga masyarakat tidak dirugikan, apalagi rumah yang pemilikannya difasilitasi kemudahan oleh Pemerintah, hanya diasuransikan terhadap kebakaran, bukan terhadap gempa. Bangunan komersial seperti rumah toko juga mengalami kerusakan, walau­ pun tidak menyeluruh, ada yang masih berdiri, namun ada pula yang collaps. Sebaliknya rusunawa di Kabupaten Sleman yang dibangun oleh pemerintah, tidak mengalami kerusakan yang berarti dan masih berdiri dengan kokoh. Pemeriksaan struktur bangunan rumah susun menyimpulkan tidak ada kerusakan yang berarti, namun ada sebagian kecil dinding pengisi batako yang runtuh dan plesteran dinding yang terkelupas, hanya dilakukan perbaikan se­ perlunya. Berdasarkan pengalaman tersebut, maka ketahanan konstruksi bangunan rumah tinggal menjadi suatu keharusan. Diaz Rosano dari Direktorat Rumah Umum dan Komersial Ditjen Peru­ mahan Kementerian PUPR menyebutkan di RPJMN 2020-2024 terjadi peru­­ bahan indikator dari backlog kepemilikan rumah menjadi backlog kepeng­ hu­nian rumah. Indikator utama perumahan layak huni ini adalah ketahanan konstruksinya, akses air minum yang baik, akses sanitasi, dan luas lantai per orang. Dalam RPJMN itu disebut, hingga 2024 pemerintah menargetkan 11 juta rumah tangga yang bisa menghuni rumah layak, dan dari jumlah itu, 7,8 juta merupakan rumah tangga yang sudah ada, sedangkan 3,2 juta jumlah rumah tangga baru. Untuk memenuhi target itu, pemerintah akan membangun empat jenis rumah: rumah susun, bantuan PSU, bantuan stimulan rumah swadaya, dan rumah khusus. Model rumah ini akandibangun di sejumlah wilayah.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 43 Kejarlah Hunian Hingga ke Pinggiran

arah kebijakan RPJMN 2020-2024

Grafis 2.8. Arah Kebijakan RPJMN 2020-2024. Sumber: rpjmn 2020-2024.

target RPJMN bidang perumahan

Grafis 2.9. Target RPJMN Bidang Perumahan. Sumber: rpjmn 2020-2024.

44 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kejarlah Hunian Hingga ke Pinggiran

target intervensi langsung dalam RPJMN 2020-2024 (5 juta unit)

Grafis 2.10. Target Intervensi Langsung dalam RPJMN 2020-2024 (5 Juta Unit). Sumber: rpjmn 2020-2024.

Pelaksana Program Sejuta Rumah per tahun ini memang tak hanya dila­ ku­kan oleh pemerintah tapi juga melibatkan swasta/dunia usaha dan masya­ rakat. Agar program ini bisa terpenuhi, kata Diaz, pemerintah sangat ber­ harap dukungan dari swasta, mengingat pemerintah sendiri hanya mampu menyediakan maksimal 20 persennya. Sementara untuk memenuhi kebutuhan rumah layak huni bagi golongan MBR, pemerintah akan membangun 51.340 unit rusun, 10.000 unit rumah khusus, 813.350 unit rumah swadaya, dan 262.345 unit PSU. Program ini akan dijalan melalui pendekatan kolaboratif.

2.4. Urgensi Pengembangan Perumahan Skala Besar Menurut Diaz, ada lima alasan kenapa pengembangan skala besar ini perlu dilakukan. 1. Amanat dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman. 2. Pertumbuhan penduduk. 3. Tingginya laju urbanisasi. 4. Permasalahan sosial, kesehatan, segregasi sosial, kriminalitas, kesenjangan pertumbuhan wilayah. 5. Unplaned Development melalui pembangunan perumahan klaster yang semakin menjamur.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 45 Kejarlah Hunian Hingga ke Pinggiran

2.5. Pengembang Besar dan Masalahnya Gencarnya pemerintah membuat rencana program perumahan skala besar dipertanyakan guru besar dari ITB, Prof Haryo Winarso. Ia mempertanyakan apa definisi skala besar itu. Apakah besar dalam luasan lahan atau investasinya? Membangun perumahan skala besar untuk golongan MBR dalam satu ham­paran itu sangat sulit karena lahan terbatas. Kalau pun ada dipastikan har­ ga lahannya sangat mahal. Karena itu, Haryo mengusulkan agar pemerintah melakukan exception right. Maksudnya, setiap kali ada izin membangun kawasan besar, pemerintah punya hak membeli lebih awal lahan yang akan dibangun. Tentu harganya sesuai dengan harga pasaran saat itu. Sebab, jika pemerintah membeli lahan setelah perumahan terbangun, harganya sudah bisa dipastikan akan meroket. Haryo menunjukkan hasil penelitian yang dilakukan di Jakarta menun­juk­ kan, di kawasan Jabodetabek ada 123 rencana besar lokasi perumahan dengan luas lahan total sebesar 93 ribu hektare. Dari 123 rencana besar tersebut, 53% dimiliki oleh 8 kelompok pengembang besar yang menguasai 72% lahan di Jabodetabek, dimana lahan terbesar dikuasi grup Sinar Mas. Jika ini bisa dianggap sebagai potret yang terjadi di seluruh Indonesia, me­ nurut Haryo, maka hal yang sama dipastikan juga terjadi di daerah dimana pengembang menguasai paling tidak 70% lahan, yang jika tidak diatur dengan tegas, kebijakan mengenai perumahan MBR dipastikan tidak akan terwujud. Selama ini keuntungan terbesar yang diperoleh para pengembang besar, kata Haryo, hampir tak punya pengaruh kepada MBR. Contohnya, pengem­ bangan perumahan di kota Bandung dimana para pengembang banyak mem­ bangun perumahan mewah untuk kelas menengah ke atas dan perumahan me­wah tersebut tidak diikuti dengan pengembangan perumahan untuk MBR. Akibatnya, masyarakat berpenghasilan rendah mendapat perumahan yang lo­ kasinya di pinggiran. Para pengembang besar selama ini juga banyak mengabaikan konsep pem­ bangunan perumahan 1:2:3. Sayangnya, meski kerap tak melaksanakan konsep itu, mereka tak pernah mendapat sanksi. Karena itu, agar pembangunan skala besar dapat terwujud, menurut Haryo, pemerintah sebaiknya melakukan kerja sama dengan badan usaha, di­ mana pemerintah sebaiknya tidak membeli semua lahan masyarakat, namun mengajak masyarakat terlibat dalam pembangunan perumahan, misalnya masyarakat diajak share dalam pembangunan, dengan memberikan 20% dana secara tunai, sedangkan, 80 persennya dialokasikan untuk pembangunan peru­ mahan. Dengan model tersebut, pemerintah tak perlu banyak menyediakan uang tunai untuk membeli seluruh lahan. Selain masalah lahan, Haryo juga menyoroti sumbangan pengembang

46 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kejarlah Hunian Hingga ke Pinggiran

Survei lokasi perumahan Parayasa.

besar ke Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang hanya sekitar 2,27%, padahal pengembang skala besar itu punya potensi ekonomi yang luar biasa. Kondisi ini sangat jauh jika dibanding dengan Malaysia yang bisa menyumbangkan hingga 20,3%, sedangkan di Filipina, mampu menyumbang hingga 21% PDB.

2.6. Kewenangan yang Hilang Akses golongan MBR untuk bisa mendapat rumah di tengah kota agak­ nya masih jauh panggang dari api. Ini menjadi persoalan yang sangat serius,­ ketika harga rumah yang terus meningkat mengakibatkan MBR tidak mampu­ menjangkau harga jual rumah bersubsidi dan terpaksa bergeser ke pinggir­ an kota dengan membangun rumah dengan caranya masing-masing, karena disanalah dapat diperoleh rumah dengan harga jual yang terjangkau seba­gai­ mana ditetapkan oleh Pemerintah. Menurut mantan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan, meski masalah perumahan untuk golongan MBR ini diatur dalam UU Cipta Kerja, namun persoalannya tetap tidak akan selesai.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 47 Kejarlah Hunian Hingga ke Pinggiran

Siteplan dan model rumah Perumahan Parayasa.

Menurut dia dalam UU Cipta Kerja pemerintah pusat punya kecenderungan untuk menarik sebagian kewenangan pemerintah daerah kembali ke pusat, padahal, dalam konteks penyediaan perumahan bagi golongan MBR ini, UU Cipta Kerja seharusnya memberi tambahan kewenangan kepada daerah. Dalam lampiran UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memang tidak disebutkan kewenangan Pemda dalam penyediaan perumahan kecuali perumahan yang terdampak bencana dan terdampak program pemerintah. Namun di UU Cipta Kerja kewenangan perijinan masih merupakan kewenangan pemerintah daerah, sehingga jika ingin merealisasikan perumahan skala besar untuk MBR, seharusnya Pemda diberikan kewenangan yang cukup besar. Potensi daerah untuk membangun perumahan MBR sebenarnya cukup tinggi. Sebagai contoh, misalnya DKI Jakarta memiliki lahan yang cukup stra­ tegis di pusat-pusat kota seperti di lokasi pasar yang dikelola oleh PD Pasar Jaya, yang jika diberi kewenangan, lahan tersebut dapat dimanfaatkan untuk membangun perumahan MBR atau fungsi campuran antara hunian dan bukan hunian. Agar perumahan MBR itu terwujud, Djohermansyah mengusulkan tiga kriteria. 1. Perumahan MBR level rendah bawah, kewenangan pembangunannya ber­ ada di kabupaten/kota. 2. Perumahan MBR level rendah sedang, kewenangan pembangunannya ber­ada di provinsi. 3. Perumahan MBR level rendah sedang atas, kewenangan pembangunannya berada di pemerintah pusat.

2.7. Persoalan Ketimpangan Persoalan utama pembangunan perumahan skala besar untuk golongan MBR ini menyangkut masalah ketimpangan. Di satu sisi, banyak orang mengua­sai sedikit lahan, dan di sisi lain, ada segelintir orang yang menguasai

48 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kejarlah Hunian Hingga ke Pinggiran

banyak lahan. Persoalan klasik, memang. Sayangnya, persoalan ini belum juga mendapat penyelesaian yang memadai hingga saat ini. Karena belum mendapatkan penyelesaian, menurut M. Machfud Zarqoni dari Griya Kita, tak heran pembangunan-pembangunan yang dilakukan peme­ rintah malah justru terkesan sebagai penggusuran. Menurut Machfud Zarqoni, di DKI Jakarta banyak pengembang membeli tanah orang Betawi dengan harga murah, kemudian dijadikan kawasan peru­ mahan maupun perkantoran elit yang mengakibatkan harga tanah melambung. Uang ganti rugi yang diberikan pengembang kepada orang Betawi ternyata hanya bisa untuk membeli tanah di pinggiran Jakarta. Kondisi ini bertentangan dengan semangat UUD 1945, pasal 28H ayat (1) yang mengamanatkan, “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan, dan ayat (4) yang mengamanatkan, “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.” Pun pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan, “Bumi, ….. dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”

Perumahan Gading Serpong, Tangerang.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 49 Kejarlah Hunian Hingga ke Pinggiran

Pada kenyataannya, banyak rakyat kelas bawah yang sebelumnya memiliki tanah di lokasi strategis dalam kota tergusur ke pinggiran dimana pemilik tanah asli tidak pernah diajak untuk terlibat dalam proses pembangunan. Mereka tersingkir oleh pembangunan, dan karena tersingkir, kemiskinan baru tercipta di pinggiran kota. Ironis memang. Menurut Machfud pelaksanaan pembangunan perumahan skala besar semestinya bisa dilakukan secara partisipatif oleh masyarakat. Pengembang seharusnya melibatkan masyarakat asli dalam perencanaan dan pembangunan di kawasan tersebut. Ia bercerita, punya teman seorang Betawi yang bernama Haji Amin dan tinggal di Pulomas, Jakarta Timur. Haji Amin memiliki tanah cukup luas dan diajak kerja sama oleh pengembang Summarecon. Dalam perjalanannya ke­ mudian, Haji Amin dapat membangun usahanya sendiri bersama dengan anak­nya terlepas dari tekanan pengembang Summarecon. Dari cerita itu, kata Machfud, sebenarnya jika model kerja sama dilakukan, masyarakat lokal bisa menjadi pengusaha baru sebagai mitra pengembang. Selain model kerja sama sebagaimana tersebut di atas, model konsolidasi tanah juga bisa dilakukan untuk mewujudkan perumahan skala besar, misalnya dilakukan dengan pola bagi hasil antara pemilik tanah dengan pengembang. Ia mencontohkan pembangunan perumahan di Riau, dimana ada pengembang yang membangun 100 unit rumah dengan pola bagi hasil, sehingga pemilik tanah mendapat jatah sebanyak 30 unit rumah yang setara dengan nilai tanah yang dimilikinya semula. Machfud menilai, pembangunan perumahan skala besar di kawasan siap bangun (Kasiba) yang dilakukan oleh pengembang melalui pembangunan peru­mahan bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke atas selama ini rela­tif berhasil, namun untuk pembangunan dengan pendekatan non Kasiba, masya­rakat lokal justru banyak yang tergusur. Pembangunan perumahan di kawasan non Kasiba ini, menurut dia, ber­ langsung cukup hebat tapi antar kawasannya tidak terintegrasi. Sebagai con­ toh, perumahan di Gading Serpong dan BSD, dimana infrastuktur jalan dan drainase di kawasan tersebut, menurut Machfud, tidak nyambung.

2.8. Melirik Potensi Lain Pada kesempatan lain, Machfud menilai bahwa selama ini pemerintah terlalu menitikberatkan pembangunan perumahan di wilayah daratan. Pada­ hal, 70% wilayah Indonesia merupakan lautan, dimana sebagian masyarakat Indonesia juga banyak yang bekerja sebagai nelayan. “Kenapa kita tidak memi­ kir­kan membuat perumahan nelayan di lautan?” ujarnya. Contohnya di Brunei, pada tahun 1987, ia pernah dikirim pemerintah DKI

50 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kejarlah Hunian Hingga ke Pinggiran

Rusunawa Teluk Kelayan, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Jakarta untuk belajar masalah kampung air di Brunei, dimana pemerintahnya membangun perumahan untuk nelayan dalam wujud perkampungan di atas air. Contoh di Brunei ini mestinya bisa ditiru oleh Indonesia. Menurut Machfud, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Pena­ taan Ruang memungkinan untuk membangun perumahan di atas air dan menya­takan bahwa ruang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Selama ini beberapa nelayan sudah membangun perkampungannya di atas air. Namun pembangunan tersebut sebagian besar atas inisiatif masyarakat sendiri, dan negara tidak hadir untuk memfasilitasi perumahan yang layak huni. Jika mereka dibangunkan perumahan di atas air, mereka juga bisa berperan men­jaga lautan kita. Usul yang menarik.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 51 Kejarlah Hunian Hingga ke Pinggiran

2.9. RTRW yang Samar RTRW selama ini dianggap belum pernah memberi gambaran yang jelas di mana alokasi posisi zona kawasan untuk perumahan skala besar untuk go­ longan MBR harus dibangun. Padahal, RTRW merupakan pedoman untuk mem­bangun suatu kawasan. Menurut Didin Samsudin, anggota Tim Pengembangan Perumahan Skala Besar (PPSB) Kabupaten Tangerang, tidak jelasnya peruntukkan perumahan skala besar dalam RTRW memberikan peluang kepada pengembang untuk menguasai lahan dalam skala besar yang berdampak tersingkirnya MBR ke kawasan pinggiran. Samsudin mengakui, di Kabupaten Tangerang, para pengembang peru­ mahan skala besar seperti BSD, Alam Sutera, dan Lippo Karawaci, rata-rata belum menyediakan perumahan sederhana untuk MBR. Menurut dia, BSD memang pernah membangun perumahan MBR dalam skala kecil pada tahap pertama, namun seterusnya tidak melakukannya lagi. Agar pembangunan perumahan skala besar bisa terealisir, Samsudin mengu­sulkan perlunya pengaturan tugas dan wewenang yang jelas antara pemerintah­ pusat dan daerah. Dalam pengembangan perumahan skala besar ini, menurut dia, ada sembilan isu yang perlu diperhatian. 1. Wewenang, tugas, dan kewajiban. Perlu diatur jelas dan tegas wewenang, tugas, dan kewajiban masing-masing pemangku kepentingan (pemerintah, pengembang, lembaga keuangan) dalam penyelenggaraan PPSB. Pengaturan diperlukan untuk menjamin ke­seimbangan penyediaan perumahan untuk seluruh golongan ekonomi masyarakat serta mencegah terjadinya backlog maupun mencegah speku­ lasi yang menjadikan rumah hanya sebagai barang komoditas yang melupakan fungsi sosialnya. 2. Penyelenggaraan hunian berimbang. Perlunya menjamin ketersediaan akses yang sama dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat terhadap pusat perkotaan dan pusat ke­ giatan ekonomi dalam meningkatkan produktivitas masyarakat untuk pe­ningkatan pendapatan per kapita dan pendapatan daerah. Selama ini yang terjadi perumahan bagi MBR kurang strategis lokasinya dan kurang me­miliki akses yang baik terhadap pusat perkotaan dan pusat ekonomi lainnya. 3. Keterpaduan PSU perumahan dan kawasan permukiman. Pengembangan PSU oleh developer harus terkoneksi dengan baik ter­ hadap PSU yang dibangun oleh masyarakat secara swadaya di kawasan per­mukiman. Kondisi yang terjadi selama ini, pengembangan PSU peru­ mahan sangat ekslusif dan tidak terintegrasi dengan baik dengan kawasan

52 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kejarlah Hunian Hingga ke Pinggiran

permukiman sehingga menimbulkan kantong-kantong permukiman ku­ muh di sekitar kawasan pengembangan perumahan besar. 4. Penetapan zonasi. Perlunya pengaturan ruang khusus bagi penyediaan perumahan MBR pada kawasan-kawasan perkotaan untuk menjamin hak yang sama bagi seluruh masyarakat dan terbangunnya keadilan ruang. Penetapan zonasi di perkotaan harus lebih tegas. Posisi lokasinya seperi apa. Apakah MBR itu berupa rumah susun atau rumah deret yang bisa dimanfaatkan. 5. Penyediaan tanah. Pemerintah dan pemerintah daerah harus dapat menjamin ketersediaan tanah bagi pengembangan perumahan MBR, baik melalui pola pembelian, kerjasama, maupun pemanfaatan tanah terlantar. 6. Pendanaan. Perlunya menjamin kemudahan akses pembiayaan dan pendanaan peru­ mahan bagi MBR terhadap lembaga keuangan yang ada (perbankan, dana pemerintah, dan koperasi), serta memberikan insentif bagi MBR dalam hal kepemilikan rumah untuk mencegah backlog. 7. Kelembagaan dan pengelolaan. PPSB harus dilembagakan dan dikelola secara khusus oleh Unit pemerintah dan juga Unit Pemerintah Daerah (BUMD, Koperasi, UPTD). Ini penting dilakukan untuk menjamin setiap pelaku pengembangan perumahan da­ pat memenuhi hak dan kewajibannya sesuai peraturan yang berlaku, serta menjamin harmonisasi dan integrasi pengembangan perumahan dan per­ mukiman untuk seluruh lapisan masyarakat. 8. Peran masyarakat. Perlunya pengaturan khusus bagi masyarakat yang ingin berpartisipasi dalam hal pengembangan dan penyediaan perumahan baik secara individu maupun kelompok masyarakat. Selama ini pembangunan perumahan swadaya yang ada saat ini, baik rumah tunggal maupun rumah kelompok (kontrakan, kos-kosan) kurang memperhatikan kelayakan dan kesehatan hunian. 9. Pembinaan dan pengawasan. Penguatan peran Wasdal dan Satgas Perumahan untuk dapat memastikan bahwa pengembangan dan penyediaan perumahan yang dilakukan oleh seluruh pelaku sesuai dengan aturan main dan integrasi serta harmonisasi tata ruang dapat terbangun. D D D

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 53 Kejarlah Hunian Hingga ke Pinggiran

Rusunawa Pasar Rumput, Jakarta.

54 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kejarlah Hunian Hingga ke Pinggiran

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 55 Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian

56 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian

BaB III

Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 57 Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian

58 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian

BaB IIi Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian

Gagasan pembangunan perumahan skala besar sebenarnya sudah mulai mengemuka sejak akhir 1970an dengan ditandai adanya oil booming. Mak­ sudnya, sebagai salah satu penghasil minyak, Indonesia mendapatkan windfall dari kenaikan harga minyak dunia yang terus meningkat. Dampaknya, terjadi surplus neraca, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang pesat. Khususnya di wilayah perkotaan, terutama di Ibu Kota Jakarta, sebagai pusat perekonomian nasional. Tingginya migrasi penduduk dari desa ke wilayah perkotaan, ditambah dengan pertambahan penduduk secara alami (kelahiran dan kematian), meng­ akibatkan jumlah penduduk perkotaan meningkat dengan tajam. Akibatnya,­ ke­butuhan akan ruang untuk tempat tinggal, tempat usaha (perda­ ­gangan, jasa, perkantoran, dan industri), dan infrastruktur. Terlebih di Kawasan padat, se­ perti Jabodetabekpunjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur). Di era 1970an itulah pula, mulai terjadi pengalihan fungsi lahan perkebunan/ pertanian menjadi kawasan non pertanian, khususnya perumahan. Hal itu ber­ lanjut di akhir tahun 1980-an, seiring dengan dinamika pembangunan yang

urbanisasi dan konversi lahan

2012 2015 1. URBANISASI DAN KONVERSI LAHAN

Konversi lahan tidak terbangun à terbangun: ± 4.48%

Konversi lahan pertanian à lahan terbangun: ±32.06%

Sumber: Konsultasi Publik Revisi Perpres 54/2008 tentang Jabodetabekpunjur

Grafis 3.1. Urbanisasi dan Konversi Lahan. Sumber: Konsultasi publik revisi perpres 54/2008 tentang jabodetabekpunjur.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 59 Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian ditandai dengan transformasi struktur ekonomi dan demografi. Pada masa itu terjadi fenomena alih fungsi (konversi) lahan sawah ke penggunaan non­ pertanian secara masif di Pulau Jawa. Hasil Sensus Pertanian 1983 dan 1993 me­ nunjukkan bahwa selama kurun waktu 10 tahun telah terjadi penurunan luas lahan pertanian seluas 1,1 juta hektare. Dari penurunan luas lahan pertanian tersebut, sekitar 92% merupakan lahan pertanian di Jawa, dan sebagian besar adalah lahan sawah. Secara nasional alih fungsi lahan mencapai seluas 80.000 hektare dalam kurun waktu 2009-2012 (16.000 hektare/tahun). Merujuk hasil Lokakarya “Proyek Kebutuhan Padi di Indonesia dalam Hubungannya dengan Pengem­ bangan Pengairan” di Cipanas 16-17 September 1991, menyebutkan alih lahan tersebut masuk kategori tinggi. Dalam lokakarya tersebut, kategori konversi lahan dikelompokkan, yaitu skenario “rendah” adalah 6.500 hektare/tahun, “sedang” 15.500 hektare/tahun, dan “tinggi” bila mencapai angka 24.000 hektare/tahun. Perubahan fungsi lahan tersebut, khususnya di pinggiran (fringe) area mengakibatkan terjadinya degradasi lingkungan dan permasalahan-perma­ salahan sosial lainnya. Dari waktu ke waktu, seiring dengan semakin masifnya pembangunan perumahan, permasalahan pun semakin akut. Hal itu tidak terlepas dari permasalahan mendasar di Rencana Tata Ruang Wilayah sebagai dasar perizinan. Dari sisi tata ruang, faktor integrasi ruang dan infrastruktur kota masih jauh dari yang diharapkan. Walau 20 tahun terakhir pengembangan kawasan

Kebutuhan akan ruang hunian di tengah arus urbanisasi itulah yang ditangkap para pengusaha properti (pengembang) sebagai sebuah peluang. Mereka, ditambah pengusaha sektor lain yang memiliki dana melimpah (pengusaha rokok, kain dan obat), mulai melakukan penguasaan (membeli) lahan secara besar- besaran hampir di seluruh wilayah tanah air. Di kawasan Jabodetabekpunjur, umumnya mereka membeli tanah bekas perkebunan karet/teh.

60 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian

skala besar lebih dominan ke perumahan menengah atas dan fasilitas kota standar internasional, di lapangan masih terlihat ruang kota (urban-scape) dan jejaring infrastruktur kota belum terintegrasi (terutama jaringan transportasi publik baik di dalam kawasan, antar kawasan skala besar yang bersebelahan, terlebih dengan area luar kawasan). Integrasi internal perumahan skala besar (micro scale: jejaring ruang terbuka publik, jalur non motor, transportasi publik dari hunian ke pusat-pusat kegiatan lingkungan/kawasan. Integrasi antar perumahan skala besar (mezzo scale: struktur jalan kolektor, jaringan trans­ portasi publik, kerjasama pengelolaan Integrasi eksternal dengan kawasan di se­kitarnya (macro scale: integrasi struktur ruang dan jaringan infrastruktur kawasan skala besar dengan wilayah sekitar Dalam penyusunan masterplan kawasan skala besar oleh pengembang, cenderung mendahulukan kepentingan masing-masing, tertutup dan berlomba membuat proyek-proyek raksasa (gigantis). Perlu terobosan kebijakan yang menjembatani kepentingan publik yang lebih luas (konservasi sumber daya alam, penggunaan jaringan infrastruktur makro) dan kepentingan internal (menarik investor, penjualan produk, dsb).

urbanisasi di Indonesia tahun 2010-2015

Grafis 3.2. Urbanisasi di Indonesia. Sumber: Materi FGD, Ir.Ignesjz Kemalawarta MBA Director Sinarmas Land.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 61 Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian

pola urbanisasi tahun 2004-2005 PERSENTASE PENDUDUK KEPADATAN PENDUDUK PROVINSI 2004 2005 2004 2005 Nanggroe Aceh Darussalam 1.86 1.84 77 78 Sumatera Utara 5.68 5.68 167 169 Sumatera Barat 2.02 2.01 102 103 Riau 2.71 2.79 62 65 Jambi 1.20 1.21 49 50 Sumatera Selatan 3.07 3.08 71 73 Bengkulu 0.73 0.74 80 82 Lampung 3.32 3.33 203 206 Bangka Belitung 0.44 0.44 59 60 SUMATERA 21.03 21.12 95 96 DKI Jakarta 3.99 3.97 13.006 13.102 Jawa Barat 17.74 17.82 1.100 1.129 Jawa Tengah 14.68 14.55 976 980 DI Yogyakarta 1.50 1.50 1.020 1.030 Jawa Timur 16.36 16.22 739 742 Banten 4.18 4.15 1.047 1.076 JAWA 58.45 58.30 991 1.002 Bali 1.54 1.54 592 600 Nusa Tenggara Barat 1.98 1.98 213 216 Nusa Tenggara Timur 1.88 1.88 86 87 BALI, NUSA TENGGARA 5.40 5.41 160 162 Kalimantan Barat 2.00 2.00 29 30 Kalimantan Tengah 0.96 0.98 14 14 Kalimantan Tengah 1.47 1.48 73 74 Kalimantan Timur 1.27 1.28 12 12 KALIMANTAN 5.70 5.74 21 22 Sulawesi Utara 0.98 0.98 138 140 Sulawesi Tengah 1.09 1.10 37 38 Sulawesi Selatan 3.89 3.87 135 136 Sulawesi Tenggara 0.94 0.95 53 55 Gorontalo 0.40 0.40 71 71 SULAWESI 7.30 7.30 82 83 Maluku 0.57 0.58 26 27 Maluku Utara 0.41 0.41 28 29 Papua 1.14 1.15 7 7 MALUKU & PAPUA 2.12 2.13 10 11 indonesia 100.00 100.00 114 116

62 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian

BACKLOG HUNIAN DI INDONESIA (JUTA UNIT)

Grafis 3.3. Backlog Hunian di Indonesia. Sumber: kemenpera.

3.1. Masalah Penyediaan Tanah Lahan terbatas dan harga yang relatif tinggi untuk perumahan MBR di perkotaan, tidak lepas dari penguasaan lahan potensial oleh kelompok/swasta. Sejak bertahun-tahun pula, mekanisme pasar bekerja sehingga terjadi spekulasi tanah yang berakibat kepada berbagai macam permasalahan. Keterbatasan lahan dan harga yang relatif mahal, memaksa masyarakat men­cari hunian yang terjangkau. Pilihan mereka pun terbatas. Yakni, tinggal di perumahan di pinggiran yang minim akses transportasi. Merespons hal itu, pemerintah mencanangkan program hunian vertikal. Hal ini, misalnya ditunjukkan pemerintah lewat Program 1.000 Tower di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono – Wakil Presiden Jusuf Kalla (2004-2009). Secara berbarengan pula, kalangan pengembang ikut melakukan sejumlah inovasi. Produk hunian berupa apartemen dan rumah susun pun mulai hadir di tengah masyarakat perkotaan. Produk ini terlihat diserap pasar. Hanya saja, unit apartemen atau hunian vertikal, hanya terjangkau oleh kalangan atas. Sebagian besar malah diborong oleh investor, bukan pembeli penghuni (end user). Mereka, para investor (spekulan properti) biasanya punya kedekatan dengan jaringan broker, sehingga

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 63 Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian

64 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian

mendapatkan lokasi dan harga terbaik (discount price). Mereka berharap akan dijual kembali setelah harga naik, atau disewakan dengan berbagai pola: sewa konvesional tahunan hingga kerja sama dengan pihak virtual hotel operator. Konsekuensi dari pola kepemilikan ini (dominasi investor) daripada pemilik penghuni, adalah rendahnya tingkat hunian rumah susun. Permasalahan- permasalahan sistemik tersebut merupakan fenomena penyediaan hunian di Indonesia. Meskipun kebutuhan lahan sangat mendesak, terutama untuk pengadaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, usaha-usaha positif dari pihak pemerintah hamper di seluruh negara-negara berkembang untuk mengatasi masalah tersebut masih mengalami kendala. Konsolidasi lahan masih berjalan di tempat. Penerapan konsolidasi tanah di Indonesia masih menemui banyak tantangan. Beberapa tantangan yang paling utama dalam pelaksanaan konsolidasi tanah adalah keterbatasan anggaran daerah, ketidaksesuaian antara pembangunan dalam kegiatan konsolidasi lahan dengan rencana tata ruang, sulitnya memperoleh persetujuan dari pemilik lahan dan konsensus pemilik lahan, serta sulitnya menyepakati besaran persentase sumbangan tanah. Di masa mendatang, tantangan konsolidasi tanah beralih ke peningkatan harga lahan dan menurunnya ‘budaya’ partisipasi masyarakat. Untuk itu perlu mekanisme yang inovatif dalam penyediaan tanah sehingga dapat memberi kontribusi peningkatan ketersediaan tanah bagi perumahan. Perlu mekanisme konversi yang aman dari HGU ke HGB. Konversi harus di­ lan­jutkan dengan mitigasi yuridis yang membatasi “capital-gain” dengan

Kebijakan Pola hunian

INBRENG Diperkotaan sulit krn ISU KEBIJAKAN PELAKSANAAN kurang adanya KONSOLIDA trust masy SI TANAH kpd pemerintah/p anitia KERJASAMA BAGI HASIL NON KASIBA PENYEDIAAN PEMBANGU AKUISISI NAN KAWASAN LAHAN PERUMAHAN PERUMAHAN SEKALA BESAR 15% mengatasi KASIBA/LISIBA TDK BERHASIL backlog perumahan (?)

-Topdown -Tidak ikatan hukum dng pemilik tanah

Grafis 3.4. Kebijakan Pola Hunian.S UMBER: Materi FGD DItjen Perumahan Kementerian PUPR.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 65 Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian me­lakukan larangan penggabungan sertifikat sampai dengan luas tertentu. Kemudian perlu juga dilakukan pelarangan jual beli untuk waktu tertentu yang ter­tera pada halaman depan sertifikat.

3.2. Dari Rumah Tapak Hingga Rumah Susun Pembangunan perumahan adalah unsur utama pembentuk kota dan per­ kotaan di Indonesia. Pun di Jakarta. Pada era pemerintahan Presiden Soekarno, inisiasi pengembangan perumahan skala besar dilakukan oleh pemerintah di daerah Tebet, Slipi, dan Bendungan Hilir Jakarta. Saat itu, pembangunan peru­ mahan secara besar-besaran yang dilakukan pada 1950-1960, ditujukan untuk memenuhi pegawai negeri. Sejak awal tahun 1970-an, pemerintah pusat mulai membangun perumahan perumahan skala besar di beberapa kota melalui Perum Perumnas (Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional). Pembentukan Perumnas sebagai Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang pembangunan perumahan diikuti dengan penunjukan Bank Tabungan Negara (BTN) sebagai bank yang mengelola keuangan pembangunan perumahan. Melalui kedua lembaga inilah pemerintah memfasilitasi subsidi perumahan yang ditujukan untuk masyarakat lapisan tertentu.Perum Perumnas bertugas membangun rumah murah atau sederhana yang didukung ketersediaanprasarana lingkungan, pembiayaan serta penguasaan, pematangan dan pengelolaan tanah. Karena penugasan itu, pada 1974 Perum Perumnas membangun rumah massal di Depok dan Klender. Di Depok perumnas membangun rumah di atas lahan seluas 400 hektare. Sedangkan di Klender Permunas membangun peru­ mahan di atas tanah seluas 200 hektare. Dari dua lokasi itu kemudian Perum Perumnas secara bertahap melakukan pembangunan perumahan skala besar di berbagai kota mulai dari Aceh hingga Papua. Berdasarkan data dari Perum Perumnas, pada rentang 1974 hingga 2002, Perumnas telah mambangun 431.233 unit rumah. Dari jumlah itu 64 persen­nya merupakan rumah sangat sederhana atau rumah inti seluas 15 m² sampai 36 m². Sesuai dengan amanatnya, Perumnas “ditakdirkan” untuk melayani masya­rakat golongan menengah bawah. Karena “takdir”nya itu pula, BUMN ini tidak pernah membangun rumah yang besarnya lebih dari 70 m², apalagi rumah mewah. Untuk golongan menengah ke atas pemerintah mendorong pihak swasta sebagai pelaksananya. Pada tahun 1970an, pengembang swasta mulai merintis pembangunan permukiman di Pondok Indah dan Bintaro. Di dua daerah itu mereka mem­ bangun di atas lahan seluas lebih dari 1.000 hektare. Pembangunan perumahan ini tampaknya gemilang. Mereka pun mulai percaya diri. Para pengembang

66 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian

Konsep hunian vertikal di tengah kota.

swasta ini lalu memprakarsai pembangunan sejumlah rumah dengan berbagai skala (kecil, sedang dan besar) di berbagai tempat, selain di sekitar kota-kota besar di Jawa, juga merambah ke luar Jawa. Dari data yang ada, pada tahun 1972, telah berdiri 33 perusahaan yang ter­gabung dalam Real Estate Indonesia (REI). Jumlah ini terus berkembang hingga mencapai 2.445 perusahaan pada 1997. Namun krisis moneter yang ter­jadi pada 1998, menjadi mimpi buruk kalangan pengembang. Saat krisis itu

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 67 Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian banyak pengembang yang tumbang. Jumlah mereka menyusut menjadi 1.195 perusahaan. Meski terjadi pasang surut, program pembangunan perumahan terus berjalan. Dalam catatan REI, antara tahun 1994-2002 perusahaan yang ter­ gabung dalam REI telah membangun rumah sekitar 1,7 juta unit rumah. Jumlah yang lumayan fantastis, tentu. Pada saat itu pula, tahun 1990an, pembangunan perumahan dalam skala besar mulai terwujud. Hal itu bermula di tahun 1983, ketika sejumlah perusahaan pengembang, berhasil menguasai tanah bekas perkebunan seluas 6.000 hektare. Mereka, kemudian membentuk konsorsium (11 perusahaan), mengajukan izin mem­ bangun perumahan skala besar yang bernama Bumi Serpong Damai (BSD). Pembentukan konsorsium ini bertujuan untuk memadukan kapasitas finansial, manajerial, dan teknikal. Namun ada juga dugaan pembentukan konsorsium itu dilakukan untuk mengatasi hambatan perizinan. Karena pada waktu itu, ada aturan pembatasan bagi pengembang swasta untuk mengelola lahan tidak lebih dari 200 hektare. Pada 1993 atau disebut juga era deregulasi perkembangan pembangunan mulai meningkat. Disebut era deregulasi karena pemerintah membuka kran investasi yang dikenal dengan Paket Kebijakan 23 Oktober 1993 (Pakto 23/1993). Paket kebijakan ini berisi kemudahan kepada kegiatan usaha termasuk pengembang dalam hal pemberian izin lokasi dan pembebasan tanah. Booming proposal pembangunan permukiman pun muncul, terutama di Jabodetabek dan di kota Bandung, dan terutama di sekitar DKI Jakarta. Dalam jangka waktu 3 tahun (1993-1996) di Jawa Barat telah diberikan izin lokasi sebanyak 1.322, di atas lahan seluas 116.358 hektare. Pakto tersebut memberi kemudahan kepada kegiatan usaha termasuk pengembang dalam hal pemberian izin lokasi dan pembebasan tanah. Hanya saja, pada masa itu, ada permasalahan pengawasan dan pengendaliannya yang kurang dilakukan oleh pemerintah daerah. Acap terjadi lokasi yang diajukan tidak cukup mendapatkan telaah yang cermat cermat, namun hanya sekedar pemenuhan syarat administrasi. Maka, sampai tahun 1996 tercatat, telah inisiatif pembangunan permukiman yang terdaftar mencapai luasan lebih dari 500 hektare. Dengan kondisi tersebut sesungguhnya banyak masyarakat yang dirugi­ kan, karena tanah belum dibayar tunai oleh para pengembang dan tanah tersebut­ tidak dapat dikelola oleh pemiliknya, sehingga pemilik tanah yang belum dibayar tidak lagi punya penghasilan dari bercocok tanam dan terpaksa men­cari pekerjaan baru di kota-kota besar, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan lainnya. Pada sisi lain tanah ditelantarkan oleh pengembangnya, dan perilaku ini sesungguhnya juga merugikan perbankan yang pada saat itu masih di­ perkenankan memberi pinjaman untuk pengadaan tanah.

68 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian

3.3. Kalibata City, Menghadirkan Lingkungan Hijau Kalibata City merupakan sebuah kawasan hunian vertikal yang di bangun oleh PT. Pradani Sukses Abadi, yang merupakan anak perusahaan dari Agung Podomoro Group. Dengan surat perizinan atas pembangunan kawasan Kalibata City yaitu: SIPPT: No. 342/-1.711.534, PIMB: 43/S/I/pimb/2009, Blok Plan: 0301/GSB/JS/PC/IV/2009 dan dengan sertifikat strata title sebagai surat kepemilikan atas unit hunian Kalibata City. Kalibata City merupakan sebuah kawasan rusunami yang memiliki luas area sebesar 12 hektare yang berada di Kecamatan Pan­coran Kelurahan Rawajati, Jakarta Selatan. Konsep yang digunakan pada pembangunan Kalibata City adalah mixed used development yang lengkap dan terpadu dengan harapan dapat memberikan kenyamanan hidup bagi para penghuni untuk tinggal, bekerja, bermain, berbelanja dan me­ lakukan aktifitas lainnya. Kalibata City dibangun dengan mengkombinasikan konsep kehidupan diperkotaan yang modern dengan lingkungan hijau yang asri dan nyaman di Selatan Jakarta. Menggunakan konsep yang dimana dalam sebuah kawasan apartemen terdapat Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang luas untuk para peng­ huninya dan di tunjang dengan fasitas-fasilitas pendukung yang berada di­ dalam lokasinya. Kalibata City menjadi sebuah kawasan hunian masyarakat yang sehat dilengkapi dengan adanya sebuah hutan kota seluas 7.000 m2 yang akan menjadi penunjang aktifitas kegiatan penghuni dan paru-paru kota. Pada era pembangunan Seribu Tower rusun terjadi hal yang menarik yang menginspirasi cara perhitungan NPP (Nilai Perbandingan Proporsional), dari semula dihitung berdarakan luas menjadi berdasarkan harga atau nilai jual. Inspirasi ini bermula dari dijualnya sarusun pada Kalibata City yang meng­ hadap kolam renang dengan harga lebih tinggi dengan alasan view daripada sarusun yang menghadap makam (TMP Kalibata). Inspirasi tersebut kemudian dituangkan dalam revisi UU 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun ke dalam UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Jika sebelumnya NPP sarusun sama, karena luasnya, maka dengan menghitung harga atau nilai jual, maka NPP antara sarusun dan sarusun yang lain dapat berbeda walaupun luas sarusunnya sama dan berada pada lantai yang sama. Hal ini dirasakan cukup adil karena NPP sesungguhnya berkaitan dengan biaya perawatan bangunan rumah susun. Bagi mereka yang lebih mampu karena membeli sarusun lebih mahal ditetapkan NPPnya lebih tinggi, sehingga jika terjadi perawatan bagian bersama atau benda bersama maka mereka yang memiliki NPP lebih besar memiliki kewajiban membayar biaya perawatan yang lebih besar pula. Sebagai contoh seseorang A yang memiliki NPP sebesar 0,0015 dan seorang B yang memiliki NPP 0,001 maka jika misalnya terjadi kerusakan pada elevator dan membutuhkan biaya perawatan sebesar Rp200 juta, maka A punya

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 69 Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian

Anami (Apartemen Sederhana Milik) Kalibata City, Jakarta.

70 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 71 Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian kewajiban berpartisipasi sebesar 0,0015 x Rp200 juta = Rp300.000,- sedangkan B punya kewajiban sebesar 0,001 x Rp200 juta = Rp200.000,- Nilai Total NPP dalam 1 (satu) tanah bersama berjumlah 100% atau 1 (satu). Jika terdapat 2 (dua) tower maka jumlah NPP dari setiap sarusun untuk kedua tower besarnya 100% atau 1 (satu), tetap belum tentu jumlah NPP untuk setiap tower (dari 2 tower) otomatis dapat dikatakan 0,5. Hal ini karena bisa saja sarusun yang dijual belakangan harganya lebih tinggi daripada sarusun yang dijual lebih awal. Selain menggunakan NPP untuk pemeliharaan dan perawatan bangunan rumah susun, dikenal pula IPL, Iuran Pengelolaan Lingkungan atau service charge dan sinking fund atau dana mengendap, yang dikenakan kepada pemilik atau penghuni satuan rumah susun. IPL atau service charge ditetapkan per meter persegi luas lantai perbulan. Misalnya ditetapkan Rp15.000,-/m²/bulan, maka pemilik apartemen dengan luas 36 m² membayar sebesar Rp15.000,-/ m² x 36 m² = Rp540.000,- yang diserahkan kepada PPPSRS atau pengelola yang ditunjuk oleh PPPSRS (Perhimpunan Pemilik dan Penghuni satuan rumah Susun). Bagaimana dengan sinking fund? Sinking fund ditetapkan oleh PPPSRS berdasarkan kesepakatan bersama, umumnya sebesar 10-20% dari IPL, dalam contoh di atas dapat berkisar antara Rp54 ribu hingga Rp100 ribu (kesepakatan), yang disimpan dalam rekening PPPSRS. Pengelolaan inilah yang selalu menjadi sumber konflik antara PPPSRS dengan pengembang, karena pengembang ingin terus mengelola rumah susun. Pembangunan Kalibata City merupakan bagian dari “Program 1.000 Tower” era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Kawasan ini dikembangkan menjadi hunian bertingkat dengan harga terjangkau. Program ini tergolong berhasil walaupun terjadi inflasi global pada tahun 2008 yang mempengaruhi sektor properti, yang berakibat kenaikan pada harga bahan bangunan sebagai dampak kenaikan harga BBM dunia. Banyak pengembang swasta yang harus mengkalkulasi ulang harga jual sarusun, apalagi saat itu Gubernur DKI Jakarta sempat melakukan penyegelan beberapa lokasi pembangunan rusunami dan mengenakan denda karena pengembang sudah melakukan pembangunan rumah sekalipun IMB belum terbit, bahkan sudah melakukan penjualan dengan KPR inden Bank DKI. Tentu saja pengembang membebankan denda tersebut kepada MBR, belum lagi 2 (dua) lantai teratas harus dipotong atau dikurangi karena terkena wilayah KKOP (Komite Keselamatan Operasional Penerbangan) sehingga harga jual satuan satuan rumah susun (sarusun) yang semula ditentukan Rp144 juta terpaksa dinaikkan oleh pengembang, dan sasaran penjualan berubah, dari tadinya Masyarakat Berpenghasilan Rendah berubah kepada masyarakat

72 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian

berpenghasilan menengah bawah karena harga jual perunit menjadi sekitar Rp180 juta. Perubahan harga ini yang menyebabkan subsidi KPA (Kredit Pe­ milikan Apartemen/ Kredit Pemilikan Sarusun Bersubsidi) tidak dapat berjalan. Apartemen Kalibata City memiliki 18 menara, dan tiap menara terdiri dari 21 lantai, dimana tiap lantai berisi sekitar 40-50-an unit. Tower atau menara Bangunan terbagi tiga kelompok: Kalibata Residence, Kalibata Regency, dan Green Palace. Kawasan yang disebut downtown, area yang paling padat, terletak

Kalibata City yang berlokasi di jalan Kalibata termasuk perintis penjualan rusunami (apartemen) dengan harga terjangkau di bawah Rp200 juta dan berhasil oleh Agung Podomoro Grup (AGP) yang diikuti dengan pembangunan rusunami (apartemen) Gading Nias di Kelapa Gading.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 73 Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian

Block plan Kalibata City, Jakarta. di sekitar Kalibata Residence. Proyek yang dibangun oleh Agung Podomoro Group dan Synthesis Group ini seketika menjadi barang menggiurkan, karena saat itu belum ada apartemen yang dijual dibawah harga Rp200 juta, sehingga ada pembeli yang tak ragu untuk mengambil beberapa unit apartemen seka­ ligus dengan tujuan untuk disewa-sewakan. Kini unit bisa disewa per hari sam­ pai per tahun dengan tarif Rp350.000 hingga Rp400.000 per hari untuk harga sewa satu unit apartemen dengan dua kamar. Harga ini jauh lebih murah dari­ pada sewa hotel di sekitar lokasi yang sama. Pengembang Kalibata City bukan hanya membangun rusun melainkan juga pusat perbelanjaan dan ruang publik lain yang bisa dimanfaatkan untuk sekolah, tempat ibadah, kafe, dan restoran. Sarana-sarana inilah ditambah dengan jarak ke stasiun kereta api yang dekat mendorong tingginya tingkat pen­jualan sarusun di Kalibata City. Dengan jumlah tower yang cukup banyak dan jumlah unit yang cukup besar membuat Kalibata City sesungguhnya lebih cocok disebut kawasan rumah susun skala besar. Tahun lalu nilai jual sarusun Kalibata City sudah meningkat menjadi Rp400 hingga Rp500 juta, atau

74 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian

meningkat lebih dari 150% sejak tahun 2009 atau dalam kurun waktu 10 tahun atau peningkatan rata-rata pertahun 15%, jauh lebih tinggi daripada bunga sim­panan deposito yang hanya sekitar 6% pertahun.

3.4. Apartemen Green Pramuka City Terletak di Pusat Kota Jakarta, Apartemen Green Pramuka City, tepat berada di sisi jalan protokol Jend. A Yani, Jakarta Pusat. Hunian tersebut hadir dengan konsep mixed used area, dimana terdapat hunian dan pusat perbelanjaan yang saling terintegrasi dalam satu kawasan. Green Pramuka City memiliki aksesibilitas lokasi terbaik, salah satunya dekat dua exit dan entry Tol Rawa­mangun dan Pulomas, serta dekat menuju kawasan perkantoran SCBD, Kuning­an, Rasuna Said, Gambir. Kawasan ini juga dikelilingi pusat pendidikan. Apartemen Green Pramuka City merupakan proyek hunian yang dikem­ bangkan PT Duta Paramindo Sejahtera dengan skema SP3T atau Surat Per­ janjian Penggantian Penggunaan Tanah di lahan milik PT Angkasa Pura. Green Pramuka City berdiri di atas lahan seluas 12,9 hektare dengan izin pengem­ bangan sebanyak 17 tower apartemen. Setelah mengembangkan sembilan­ tower sejak 2010 dengan kapasitas rata-rata 1.000 unit per menara. Saat ini, Green Pramuka City sudah membangun sembilan menara apar­ temen. Tower tersebut adalah Faggio, Pino, Chrysant, Bougenville, Orchid, Penelope, Scarlet, Nerine, dan Magnolia. Sembilan tower pertama dibangun

Apartemen Green Pramuka City, Jakarta.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 75 Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian

Apartemen Green Pramuka City, Jakarta.

76 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 77 Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian

Apartemen Green Pramuka City, Jakarta. dua tahap. Tahap pertama sebanyak 4 tower dan tahap kedua 5 tower. Beberapa menara apartemen memiliki koneksi langsung dengan pusat perbelanjaan Green Pramuka Square. Mall, pusat belanja empat lantai dengan luas mencapai 35.000 m2. Superblok ini memiliki lokasi strategis karena berada di pertemuan antara tiga wilayah yaitu kawasan Jakarta Pusat, Jakarta Utara, dan Jakarta Timur. Jika seluruh tower pada Green Pramuka City terbangun, diperkirakan jumlah penduduk yang akan bermukim di kawasan tersebut mendekati jumlah 30.000 jiwa, yang dalam perumahan tapak sudah seperti satu kelurahan tersendiri. Penentuan RTRW dan PPPSRS hingga kini masih belum jelas, karena Green Pramuka belum terwujud seluruhnya. Sementara untuk status tanah Green Pramuka City merupakan Hak Pengelolaan (HPL) atas nama PT. Angkasa Pura. Sementara unutk surat HGB (Hak Guna Bangunan), berdasar perjanjian, di­ pegang oleh PT Duta Paramindo Sejahtera. Mengingat Green Pramuka City dibangun dalam waktu cukup lama, dalam

78 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian

perjanjian antara PT. Angkasa Pura dan PT Duta Paramindo Sejahtera se­ harusnya ada kesepakatan kesediaan kedua pihak untuk memperpanjang SHGB (Sertipikat Hak Guna Bangunan) selama 20 tahun dan kemudian diperbaharui selama 30 tahun. Jika tidak pembeli sarusun, pada saat SHGB berjalan 5 tahun tentu akan dirugikan, karena SHMSRS (Sertipikat Hak Milik Satuan Rumah Susun) dengan sendirinya berakhir manakala SHGB tidak diperpanjang dan diperbaharui. Di samping itu perlu pula diatur dalam perjanjian kedua pihak berapa konstribusi yang harus diserahkan pemegang SHGB kepada pemegang HPL manakala SHGB diperpanjang atau diperbaharui. Kondisi semacam itu sudah seharusnya diketahui oleh pembeli sarusun dan PPPSRS agar tidak terjadi konflik dikemudian hari.

3.5. Ketika Asing Merambah Pasar Properti Paska krisis 1998, kendati pasar properti domestik belum pulih benar, sejumlah pengembang asing mulai ikut mengintip peluang. Dalam tahap awal, saat menjejakkan kakinya di Indonesia, mereka menggandeng perusahaan lokal. Sebut saja seperti China Communications Construction Group (CCCG) yang mengembangkan Daan Mogot City, di Jakarta Barat dengan luas lahan seluas 16 hektare. Kemudian ada GIC Pte Ltd, perusahaan investasi dan pengembang asal Singapura yang sejak lama memilih ekspansi ke kota Surabaya, Jawa Timur dan membangun pergudangan di Jadebotabek. Sementara Bin Zayed Group (BZG) asal Dubai, Uni Emirat Arab, juga menggarap hunian terjangkau di berbagai lokasi. Selanjutnya, ada Toyota Housing Corp membentuk Toyota Housing Indonesia (THI) dalam menggarap hunian di beberapa lokasi di Indonesia. Daan Mogot City (Damoci) adalah kawasan rumah susun yang berada di jalan Daan Mogot Raya. Di atas lahan seluas 16 hektare, dimana 60% diantara berupa ruang terbuka hijau, dibangun hunian dengan mengusung konsep 4 H

Daan mogot City (Damoci) adalah kawasan rumah susun yang berada di jalan Daan Mogot Raya di atas lahan seluas 16 hektare di mana 60% nya berupa ruang terbuka hijau dan mengusung konsep 4 H (Happines, Health, Heritage, dan High Quality Education) dan saat ini sudah topping off tahap pertama.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 79 Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian

Daan Mogot City (Damoci), Jakarta.

(Happines, Health, Heritage, dan High Quality Education). Saat ini, tahun 2020, pembangunan sudah dalam posisi topping off tahap pertama. Apartemen Damoci menyediakan berbagai tipe. Tipe terkecil dengan luas 26,24 m² (tipe studio), lalu tipe 1 kamar tidur (41,1 m²), dan tipe 2 atau 3 kamar tidur dengan luas 51,62 m². Sementara Crown Group, mengembangkan proyek hunian perdana di Indonesia; Eye View Water front City. Proyek ini diperkirakan memakan waktu pembangunan delapan tahun. Kelak, proyek ini mampu menyediakan hunian untuk 800 keluarga. Manajemen Crown Group menggandeng PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk untuk mengembangkan proyek hunian pertama di Indonesia dengan nilai investasi Rp10 triliun. Dibangun di atas lahan 4,70 hektare dengan konsep luxury waterfront living, hunian vertikal ini merupakan perwujudan dari kawasan waterfront Sydney yang terkenal di dunia seperti Darling Harbour dan Circular Quay dalam pembangunan hunian vertikal mixed-use dengan konsep water front pertama di Jakarta dan akan terdiri dari delapan menara yang nanti akan dilengkapi hotel bintang lima dan shopping arcade. Adapun Creed Group (Jepang) bermitra dengan Mustika Land Development (MLD), menggarap Mustika Sukamulya (35 hektare) di Kecamatan Sukatani,

80 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian

Bird Eye View Water front City yang dikembangkan oleh Crown Grup dari Australia di pantai utara Jakarta.

Cikarang, Bekasi (Jawa Barat). PT Midas Citra Mandiri (Greenwoods Group) juga menggandeng Creed Group melansir apartemen menengah bawah Puri 8 Residence (1,5 hektare/3 menara/31-32 lantai/1.050 unit). Ada juga Nishitetsu yang berbasis di Tenjin, Fukuoka, Jepang, juga menggarap apartemen murah Sayana (2 hektare/2 menara/25 lantai/1.531 unit) bersama Damai Putra Group (DPG), pengembang Kota Harapan Indah (KHI/2.200 hektare) Bekasi. Adapun harga jual rumah direncanakan Rp148,5 juta hingga Rp187 juta, dengan luas rumah 30 m².

3.6. Upaya Memenuhi Kebutuhan Data Kementerian PUPR menyebut, backlog perumahan pada awal 2020 mencapai 7,64 juta unit. Jumlah itu terdiri atas 6,48 juta rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) nonfixed income, 1,72 juta unit rumah untuk MBR fixed income, dan 0,56 juta unit rumah untuk non-MBR. MBR adalah masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah. Backlog perumahan juga terjadi pada rumah tidak layak huni (RTLH) ini sebanyak 2,36 juta unit rumah terdiri atas backlog RTLH 2015 hingga 2019. Untuk mengatasi backlog itu salah satu caranya adalah Program Sejuta Rumah (PSR). Program yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2015 ini ditujukan kepada MBR dan non- MBR dan akan dilanjutkan dalam periode 2020-2024

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 81 Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian

Target pembangunan 1 juta public housing dalam bentuk rumah susun sepanjang periode tahun 2020-2024 bukanlah perkara mudah. Dari jumlah sebesar 1 juta sarusun tersebut, 500 ribu unit merupakan rumah susun seder­hana sewa dan 500 ribu lagi berupa rumah susun sederhana milik. Untuk tar­get tersebut paling tidak dibutuhkan anggaran sebesar Rp350 triliun, yang diperoleh­ baik dari APBN, APBD, KPBU maupun BUMN dan badan usaha swasta. Dalam periode tersebut APBN diperkirakan hanya sebesar Rp53,7 triliun. Dan sebagian besar kebutuhan tanah diharapkan dari tanah-tanah BMN/BMD (Barang Milik Negara/ Daerah). Saat memimpin Rapat Koordinasi tentang Penguatan Kebijakan Penyediaan Rumah Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah dan Mendukung Pemulihan Ekonomi Nasional di Jakarta, pada September 2020, Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin memperkirakan backlog

major project : rumah susun perkotaan (1 juta public housing) Prioritas Nasional Memperkuat Infrastruktur untuk Mendukung Pengembangan Ekonomi dan Pelayanan Dasar Major Project Rumah Susun Perkotaan (1 Juta) • Persentase rumah tangga yang tinggal di hunian layak pada tahun 2019 sebesar 56,75%. • Belum optimalnya pemanfaatan lahan di perkotaan untuk kebutuhan hunian. Kondisi Saat ini • Masyarakat menengah ke bawah bertempat tinggal jauh dari pusat kegiatan. • Belum adanya sistem penyediaan perumahan di perkotaan yang terjangkau bagi seluruh kalangan masyarakat. 1. Meningkatnya akses masyarakat terhadap perumahan layak, aman, dan terjangkau untuk sejuta rumah tangga perkotaan dan mencegah terbentuknya permukiman kumuh; Manfaat Proyek 2. Terbentuknya sistem perumahan publik yang profesional di metropolitan (lintas kabupaten/ kota). Durasi 2020-2024 (5 tahun) 2020 2021 2022 2023 2024 Total • 500.000 unit Rumah Susun Sederhana Sewa. • 500.000 unit Rumah Susun Target Sederhana Milik. 50.000 100.000 200.000 300.000 350.000 • Lokasi : 6 Kawasan Metropolitan (Mebidangro, Maminasata, Bandung Raya, Gerbang Kertosusilo, Jabodetabek, Kedungsepur)

Perkiraan Alokasi (antara 2020 2021 2022 2023 2024 Total lain : Belanja K/L, DAK, Rp350 T Rp17.5 T Rp35 T Rp70 T Rp105 T Rp122.5 T KPBU, BUMN) (APBN/APBD/KPBU/Swasta) Pelaksana Kementerian PUPR, BUMN, Swasta, Pemerintah Daerah 1. Pembangunan Rumah Susun termasuk untuk buruh, pekerja, dan ASN (Kementerian PUPR) Rincian Major Project 2. Pembangunan Rumah Susun Sewa/Milik Sederhana untuk MBR (KPBU). (maksimal 5 proyek KL/ 3. Pembangunan Rumah Susun Sewa/Milik oleh pengembang (Dunia Usaha). BUMN/Swasta/DAK) 4. Urban Renewal.

SUMBER: bappenas, 2019.

82 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian

Direktur Jenderal Perumahan Kementerian PUPR Khalawi Abdul Hamid.

rumah pada tahun ini mencapai 7,64 juta. Dari jumlah itu mayoritas berasal dari Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Untuk memenuhi kebutuhan rumah itu sejumlah strategi dibuat. Strategi itu, menurut Dirjen Perumahan Kementerian PUPR Khalawi Abdul Hamid di­ antaranya mendorong pembangunan perumahan berbasis komunitas, Tapera, dan skema KPBU. Khalawi berharap cara-cara yang ditempuh bisa memberi semangat kepada semua pihak untuk membangun rumah, khususnya untuk MBR. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Kawasan Permukiman dan Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan MBR menyebut, masyarakat dalam kategori MBR adalah mereka yang memiliki keterbatasan daya beli dan perlu mendapat du­ kungan pemerintah untuk memiliki rumah. Menurut Khalawi, saat ini pemerintah sedang menyusun skema baru

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 83 Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian

kerangka pendanaan ditjen penyediaan perumahan skenario anggaran rp53.7 triliun target/anggaran program kegiatan lokasi satuan total ket 2020 2021 2022 2023 2024 Program : Unit 186.241 123.050 129.350 133.850 127.009 699.500 Pengembangan Perumahan sasaran Program : Meningkatnya akses (Rp M) 8.262,94 10.949,15 11.496,80 11.476,90 11.154,14 53.341,93 masyarakat terhadap rumah layak huni dan terjangkau kegiatan 1: Pembinaan dan Unit 5.491 7.050 6.850 6.350 6.759 32.500 Pengembangan Rumah Susun sasaran kegiatan : (Rp M) 3.204,16 4.298,25 4.045,25 3.526,05 3.564,72 18.638,42 Unit 3.121 4.500 4.000 3.400 3.500 18.521 Termasuk untuk ASN, Tersebar di TNI/POLRI, Jumlah Rumah Susun 34 Provinsi (Rp M) 2.300,53 3.316,50 2.948,00 2,505,80 2.579,50 13.650,35 Pekerja di kawasan indsutri Jumlah Rumah Susun Unit 2.370 2.550 2.850 2.650 2.559 12.979 Tersebar di Lembaga Pendidikan 34 Provinsi dan Lembaga Keagamaan (Rp M) 903.,61 987,75 1.097,25 1.020,25 985,22 4.988

6 Kawsasan Unit — — — 300 700 1.000 Jumlah Rumah Susun KPBU KPBU Metropolitan (Rp M) — — — — — —

Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk aparatur sipil negara (ASN) dan anggota TNI-Polri yang dinilai masuk kategori MBR. Skema itu mengalami perubahan batas maksimum penghasilan ASN dan anggota TNI- Polri yang bisa mendapatkan subsidi melalui FLPP. Mengacu pada Peraturan Menteri (Permen) PUPR Nomor 26 Tahun 2016, penerima subsidi melalui skema FLPP adalah untuk golongan I dan II ASN dan anggota TNI-Polri dengan penghasilan dari Rp4 juta hingga Rp7 juta per bulan. Namun Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin meminta batas maksimal pene­ rima subsidi FLPP itu diubah menjadi Rp8 juta per bulan. Skema tersebut juga mengatur syarat rumah subsidi yang bisa dibiayai FLPP, yakni seharga Rp300 juta dengan luas tanah 72 m2. Langkah lain untuk mempercepat pengadaan rumah bagi golongan MBR ini juga tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Untuk mempercepat pengadaan perumahan itu pemerintah bakal membentuk Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan (BP3). Pasal 117A ayat (1) menyebut, Pemerintah Pusat membentuk BP3 untuk mewujudkan penyediaan rumah umum yang layak dan terjangkau bagi MBR. Ayat 2 pasal itu

84 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian

menjelaskan, pembentukan BP3 perumahan bertujuan untuk mempercepat penyediaan rumah umum dan menjamin bahwa rumah umum hanya dimiliki dan dihuni oleh MBR. Selain mempercepat penyediaan perumahan, lembaga baru ini juga akan mengelola dana konversi hunian berimbang yang kemudian akan dimanfaatkan untuk membangun rumah susun umum di wilayah per­ kotaan. Sebelumnya, pemerintah juga telah menghadirkan Tabungan Peru­ mah­an Rakyat (Tapera). Dengan hadirnya Tapera ini diharapkan MBR bisa mendapatkan kesempatan untuk memiliki rumah karena tidak semua masya­ rakat bisa mempunyai akses ke perbankan untuk mendapatkan Kredit Pemi­ likan Rumah (KPR). Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyeleng­ga­ raan Tabungan Perumahan Rakyat disebutkan, pemerintah akan memberikan fasilitas tabungan perumahan untuk pekerja baik PNS, TNI/Polri atau pekerja­ swasta dan mandiri. PP Penyelenggaraan Tapera ini mengatur proses penge­ lolaan Dana Tapera yang mencakup kegiatan pengerahan, pemupukan, dan pemanfaatan untuk pembiayaan perumahan bagi Peserta.

3.7. Menghadirkan Solusi Menurut Direktur Sistem dan Strategi Penyelenggaraan Perumahan Ditjen Perumahan Kementerian PUPR, Dwityo Akoro Soeranto (Koko), konsep hunian berskala besar sebenarnya mulai dicanangkan sejak 1990. Pada tahun itu ada sejumlah kelompok pengembang besar yang mendapatkan izin lokasi dan pendanaan murah. Koko mengatakan bahwa ketika itu, pengembang besar mulai berlomba- lomba membangun kawasan dengan berbagai slogan yang menggoda. Misalnya mereka mengusung slogan kota baru atau kota mandiri. Sayangnya, dalam perkembangan perumahan kota baru atau kota mandiri ini belum mengarah pada keadilan ruang, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Tak terwujudnya keadilan ruang bagi MBR ini tentu bukan tanpa sebab. Penyebabnya, kata Koko, karena penerapan law enforcement dan political will pemda belum optimal. Agar pengembangan hunian berskala besar terwujud, Direktorat Jenderal Perumahan membuat Rencana Strategis (Renstra) 2020-2024. Ketiga strategi ini dilakukan untuk mendorong percepatan penyediaan rumah layak huni melalui implementasi skema penyediaan perumahan yang inovatif, antara lain melalui upaya: 1. Pembangunan perumahan berbasis komunitas. Program ini akan terintegrasi dengan program Bantuan Stimulan peru­ mah­an Swadaya (BSPS) atau bedah rumah dan bantuan pembiayaan peru­

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 85 Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian

mahan Kredit Pemilikan Rumah dengan skema Fasilitas Likuiditas Pem­ biayaan Perumahan (KPR FLPP). 2. Pembangunan perumahan skala besar yang terintegrasi dengan Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) dengan melibatkan pengembang besar. Pada strategi kedua ini, para pengembang diharapkan dapat terlibat aktif dengan melaksanakan pembangunan dengan Pola Hunian Berimbang. 3. Proses finalisasi skema penyediaan perumahan untuk Aparatur Sipil Negara (ASN)/TNI/Polri serta skema perumahan untuk generasi milenial. Sebagai salah satu strategi, kata Dwityo, pembangunan rumah berskala besar yang layak huni akan dilakukan secara kolaboratif. Selain itu, penyedia­ ­ annya juga akan dilakukan dengan skema yang inovatif. Strategi tersebut dirumuskan dalam rangka menjawab tantangan pem­ bangunan perumahan yang sangat dinamis akibat pertumbuhan penduduk dan perkembangan sosial budaya dan ekonomi yang sangat cepat di sektor­ perumahan. Jika mengacu program sejuta rumah yang dicanangkan peme­ rintah, dalam lima tahun mendatang pemerintah harus mampu menyediakan sebanyak lima juta rumah. Angka yang cukup tinggi, tentu. Untuk mewujudkan target itu, Kementerian PUPR akan melakukan kerja kolaboratif dengan pihak terkait. Kerja kolaboratif perlu dilakukan mengingat dana yang dipunyai peme­ rintah sangat terbatas. Karena itu, kata Koko, pengembangan perumahan perlu didorong secara masif untuk melibatkan seluruh potensi yang dimiliki pemerintah, dunia usaha, swasta, dan masyarakat. Sebab, selama ini lahan-lahan sudah di­kua­sai pengembang, dunia usaha, dan masyarakat. Dengan kerja kolabo­ratif itu di­ harapkan penyediaan perumahan berimbang bagi masyarakat berpeng­ ­hasilan rendah bisa terpenuhi. Kolaborasi seperti itu, kata Koko, tentu membutuhkan lembaga pengelola. Bentuk lembaga apa yang diperlukan, tentu perlu dirumuskan agar bisa mewu­ judkan perumahan skala besar secara efektif. D D D

86 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Perumahan Skala Besar, Bukan Sekadar Impian

BaB Iv

Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 87 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Sejumlah siswa sekolah dasar bermain di kawasan Rumah Susun (Rusun) Marunda, Jakarta.

88 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

BaB Iv Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Pembangunan perumahan adalah unsur utama pembentuk kota dan per­ kotaan di Indonesia dengan penggunaan lahan yang cukup luas, bahkan alih fungsi lahan pertanian dilakukan untuk penyediaan lahan perumahan, terutama di sekitar kota metropolitan. Tidak jarang pula rawa-rawa di kawasan perkotaan diuruk untuk memperoleh lahan perumahan, bahkan banyak kota- kota besar seperti Jakarta, Makassar, Manado, Kendari, Denpasar dan kota- kota lainnya, yang melakukan reklamasi atas pantainya untuk tujuan perolehan lahan bagi perumahan dan kawasan komersial, karena melakukan reklamasi sudah lebih murah dari pada mengadakan lahan secara konvensional melalui pembelian tanah di darat. Sebagai contoh reklamasi di pantai utara Jakarta pada tahun 2000an hanya memerlukan dana Rp4 juta/m2 lahan jadi siap bangun, sedangkan membeli lahan rawa di kawasan pantai utara paling sedikit berharga Rp10 juta/m2, itupun masih harus diurug, karena dengan harga tersebut hanya diperoleh tanah rawa. Kondisi wilayah perkotaan sekarang ini merupakan akumulasi dari perja­ lanan panjang persinggahan manusia. Kota dapat juga disebutsebuah artefak urban yang kolektif dan pada proses pembentukannya mengakar dalam budaya masyarakat setempat. Di setiap persinggahan, manusia akan selalu membangun suatu permu­ kiman. Permukiman itu merupakan salah satu tanda di mana di wilayah itu per­nah menjadi tempat manusia singgah dan hidup. Antara kota dan pemukiman penduduk merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Kota merupakan pusat dimana manusia modern hidup, bekerja, berkehidupan sosial dan bertempat tinggal. Perkembangan kota akan sebanding dengan perkembangan pemukimannya. Semakin tingginya pertumbuhan kota akan semakin banyak arus urban yang akan mendiami kota maju tersebut. Perkembangan perumahan di perkotaan merupakan bagian dari perkem­ bangan perkotaan secara keseluruhan yang dipengaruhi oleh perkembangan ber­ bagai faktor seperti ekonomi, sosial budaya, politik, teknologi dan keadaan alam.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 89 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Kota tumbuh menjadi lebih besar (berkembang dari permukiman pede­ saan yang sudah ada atau dengan membangun kota baru. Dalam konteks Indo­nesia, pelaksanaan kebijakan perumahan dan permukiman merupakan ama­nat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ber­tujuan untuk mensejahterakan rakyat melalui penyediaan sandang, pangan dan papan. Karena itu pada era pemerintahan Presiden Soekarno, ia menginisiasi pengembangan perumahan skala besar di kompleks perumahan Tebet, Slipi, Ben­dungan Hilir di Jakarta, di mana inisiasi itu untuk Tebet dilakukan untuk memindahkan pendududk dari Senayan yang diperuntukkan bagi Ganefo dan lokasi lainnya baru sebatas untuk memenuhi kebutuhan perumahan pegawai negeri.

4.1. Kebijakan Pasca Kemerdekaan Setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia mulai merintis kebijakan perumahan nasional melalui Balai Perumahan. Balai ini bernaung di bawah wewenang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perhubungan pada 1947. Sementara di daerah-daerah, urusan ini ditangani oleh dinas-dinas atau jawatan-jawatan khusus. Kebijakan untuk menyediakan rumah layak dan murah untuk rakyat akhirnya terwujud usai penyerahan kedaulatan Indonesia dari Belanda pada akhir 1949. Gagasan tersebut resmi tercetus dalam Kongres Perumahan Rakyat Sehat yang digelar pada 25-30 Agustus 1950 di Bandung, dan inilah tonggak sejarah pengadaan rumah bagi rakyat Indonesia. Tujuan awal kongres itu adalah membahas mengenai eksplorasi sekaligus peremajaan bagi rumah-rumah warga yang kurang mampu yang terancam oleh wabah pes yang oleh tikus. Namun, dalam perjalanan kongres, tercetus usulan memfasilitasi pembangunan rumah sederhana untuk masyarakat banyak. Selanjutnya, pada 20 Maret 1951,pemerintah membentuk Badan Pembantu Perumahan Rakyat. Badan ini berhasil menyusun Peraturan Pembiayaan Pem­bangunan Perumahan Rakyat. Sebagai tindak-lanjut kongres, melalui SK Presiden Nomor 05 Tahun 1952, pada 25 April 1952, Presiden Soekarno membentuk Djawatan Perumahan Rakyat dan Yayasan Kas Pembangunan (YKP) yang tugas pokoknya antara lain menyusun konsep kebijakan peru­mah­an dan mengatur penyelenggaraa pembiayaan pembangunan peru­mah­an. Data Kantor Menteri Negara Perumahan Rakyat menyebut YKP membangun12.460­ unit rumah di 12 kota hingga tahun 1961. Namun, dana besar yang dibutuhkan membuat proyek perumahan rakyat di era Orde Lama ini tersendat, terlebih saat itu Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi. Akibatnya, YKP mengalami kesulitan untuk menuntaskan proyek perumahan rakyat perdana ini. Kesulitan keuangan itu kemudian mela­

90 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

hirkan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan (LPMB) di Bandung, yang berfungsi pula sebagai Pusat Perumahan Regional PBB (RHC). Sementara itu Kelembagaan yang mengurusi perumahan setingkat ke­ men­terian senantiasa mengalami timbul tenggelam. Pada tahun 1979 di­ bentuk Kementerian Muda Perumahan Rakyat, namun pada tahun 1999 di­ lebur kedalam Kementerian Permukiman dan Pengembangan Wilayah serta Kementerian Permukiman dan Prasarana Wilayah dan perumahan diurusi oleh Direktorat Jenderal. Tahun 2005 kembali dibentuk Kementerian Negara Perumahan Rakyat dan pada tahun 2014 kembali dilebur ke dalam Kementerian Pekerjaan Umum menjadi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Secara ringkas berikut ini kelembagaan yang mengurusi perumahan sejak era Pra Kemerdekaan.

Rumah-rumah modern di Centrum Westpark, Batavia. foto: anri.go.id

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 91 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Periode Pra Kemerdekaan • Tahun 1926 Pemerintah Hindia Belanda memprakarsai pendirian Perusahaan Pembangunan Perumahan Rakyat (N.V Volkshuisvesting) di 13 kotapraja dan kabupaten dan dilakukan kegiatan penyuluhan perumahan rakyat dan per­­baikan kampong (kampong verbetering) dalam rangka penanggulangan penyakit­ pes • Tahun 1934 diterbitkan Peraturan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Burgelijke Woning Regeling/ BWR).

Periode 1950 – 1956 • 25 Agustus-30 Agustus 1950 Kongres Perumahan Rakyat Sehat di Ban­dung, dihadiri peserta dari 63 kotapraja/ kabupaten, 4 provinsi. • 22 Maret 1951 terbit Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Tentang Pembentukan Badan Pembantu Perumahan Rakyat. • 25 April 1952 terbit Keputusan Presiden No. 65 Tahun 1952 Tentang Pem­ bentukan Jawatan Perumahan Rakyat di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga Kerja. • Tahun 1953 melalui Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1953, Pemerintah Pusat menyerahkan sebagian urusan mengenai pekerjaan umum kepada Pemerintah Provinsi. • 1 Maret 1955 dibentuk Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan di Bandung yang juga menjalankan fungsi sebagai United Nation Regional Housing Centre untuk kawasan Asia Tenggara.

Periode 1956 – 1966 • Tahun 1957 diterbitkan Undang-undang No. 72 Tahun 1957 yang mengatur penyelenggaraan penjualan rumah negeri golongan III kepada Pegawai Negeri. • Tahun 1958 diterbitkan Undang-undang No. 3 Tahun 1958 yang mengatur penghunian rumah melalui Surat Izin Penghunian oleh Kantor Urusan Peru­ mahan. • Tahun 1960 Dewan Perancang Nasional menyusun Rancangan Dasar Undang- undang Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahun 1961-1969, yang antara lain memasukan pemikiran Bank Perumahan. • Tahun 1961 dibentuk 200 Yayasan Kas Pembangunan yang membangun dan menyewabelikan rumah lebih rendah dari pada harga pasaran kepada anggota penabung selama 20 tahun, dengan jumlah rumah terbangun dalam kurun waktu sepuluh tahun sebanyak 12.640 unit. • Tahun 1962 diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.

92 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

6 Tahun 1962 yang mengatur kebebasan membangun rumah dan menetapkan­ penggunaannya untuk ditempati sendiri, disewakan atau dijual. • Tahun 1963 diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1963 yang menugaskan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik menyediakan pola bantuan berupa contoh rumah dan diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1963 yang mengatur tentang hubungan dan hak sewa menyewa, har­ga sewa dan penyelesaian sengketa serta diterbitkan Keputusan Presiden­ No. 237 Tahun 1963 Tentang Badan Perancang Perumahan Tahun 1964 dan disahkan Undang-undang No. 1 Tahun 1964 Tentang Pokok Peru­mahan.

Periode 1966 – 1972 • Dalam PELITA I perumahan rakyat menjadi salah satu sektor dikenal dengan nama sektor O/ Papan, dari 17 sektor pengendalian operasional pembangun­ ­ an lima tahun dan diketuai oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik dengan anggota 10 Menteri ditambah Gubernur Bank Indonesia dan Ketua LIPI. • Tahun 1970 dibentuk 4 Building Information Centre di Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Denpasar. • 6 Mei 1972 Lokakarya Nasional Kebijaksanaan Perumahan dan Pembiayaan Pembangunan dibuka presiden RI di Bina Graha Jakarta. • Tahun 1972 dibentuk asosiasi Real Estat Indonesia (REI). • Dalam periode ini diperkenalkan Program P 1000 yang merupakan ujicoba pem­ bangunan rumah sebesar 1000 unit di Jakarta, Karawang, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Jember.

Periode 1974 – 1979 • Tahun 1974 dibentuk Badan Kebijaksanaan Nasional Perumahan melalui Ke­ putusan Presiden No. 35 Tahun 1974 dan dibentuk Perum Perumnas melalui Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1974 serta berdasarkan Surat Menteri Keuangan, Bank Tabungan Negara ditugaskan sebagai Bank yang memberikan Kredit Pemilikan Rumah. • Tahun 1976 UN Habitat menghasilkan Vancouver Declaration. • Dalam periode ini dilakukan perluasan Building Information Centre (BIC) di seluruh pro­vinsi dan diperkenalkan 3 program pokok, meliputi 2 program di perkotaan, yaitu pem­bangunan 73.000 unit rumah sederhana dan Perintisan Perbaikan Kampung (KIP), dan uji coba Site & Services serta 1 program di per­ desaaan, yaitu bimbingan tek­nis dan stimulan bagi 1.000 desa melalui Perin­ tisan Pemugaran Perumahan Desa (P3D).

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 93 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Periode 1979 – 1984 • Tahun 1979 dibentuk Menteri Muda Urusan Perumahan Rakyat. • Tahun 1981 dibentuk PT. Papan Sejahtera. • Dalam periode ini target pembangunan rumah sederhana ditetapkan 150.000 unit, KIP di 200 kota, P3D di 6.000 desa, dan pengadaan air bersih dan sanitasi lingkungan di 500 Ibukota Kecamatan.

Periode 1984 – 1989 • Tahun 1979 dibentuk Menteri Negara Perumahan Rakyat Tahun 1985 terbit Undang-undang No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun. • Tahun 1987 ditetapkan PBB sebagai Tahun Papan Sedunia dan memperkenal­ kan Global Shelter Strategy (GSS 2000) yang menitik beratkan Enabling Strategy dalam pembangunan perumahan. • Dalam periode ini terdapat 4 program di perkotaan dan 2 program di perdesaaan, yaitu Pembangunan Perumahan Sederhana dengan target sebesar 280.000 unit, P3KT, KIP di 400 kota, Market Infrastructure Improvement Programme (MIIP) di 100 kota dan peremajaan kota seluas 100 hektare, serta P2DPP dan P2LDT di 10.000 desa.

Periode 1989 – 1994 • Tahun 1990 diterbitkan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 1990 yang berisi ketentuan mengenai peremajaan kota di atas tanah negara. • Tahun 1992 diterbitkan Undang-undang Perumahan dan Permukiman serta di­ se­lenggarakan Lokakarya Nasional Perumahan dan Permukiman di Jakarta dan pencanangan Gerakan Nasional Perumahan dan Permukiman Sehat (GNPPS) • Tahun 1994 dibentuk Badan Kebijakan Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman Nasional (BKP4N) melalui Keputusan Presiden No. 37 Tahun 1994 • Dalam periode ini ditargetkan pembangunan 450.000 rumah sederhana, penanganan terpadu untuk KIP di 400 kota, MIIP di 100 kota, peremajaan kota seluas 1.450 hektare, P2LDT di 20.000 desa dan P2DPP di 1.000 desa.

Periode 1994 – 1998 • Target pembangunan 500.000 unit Rumah Inti, Rumah Sangat Sederhana, dan Rumah Sederhana, perbaikan kumuh di 125 kota seluas 21.250 hektare, peremajaan kumuh seluas 750 hektare, penyediaan prasarana dan sarana

94 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

perdesaan di 21.000 kawasan dengan konsep Kawasan Terpilih Pusat Pengem­bangan Desa (KTP2D), pembangunan prasarana air limbah di 9 kota metropolitan dan kota besar, 200 kota sedang dan kecil serta 20.000 desa yang melayani 13 juta penduduk perkotaan dan 4 juta penduduk perdesaan, peningkatan pengelolaan persampahan dan penanganan drainase di 20 kota metropolitan dan kota besar serta 200 kota sedang dan kecil. • Tahun 1998 Menteri Negara Perumahan Rakyat dirubah menjadi Menteri Negara Perumahan dan Permukiman.

Periode 1999 – 2014 • Tahun 1999 Menteri Negara Perumahan dan Permukiman dan Departemen Pekerjaan Umum dilebur menjadi Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah, dan Menteri Negara Pekerjaan Umum dimana penanganan perumahan dan permukiman dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pengembangan Permu­ kiman (Keppres 63/2000). • Tahun 2002 Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah dirubah menjadi Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, dan Direktorat Jen­deral Pengembangan Permukiman dirubah menjadi Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman dan diperkenalkannya Rumah Sederhana Sehat sebagai pengganti Rumah Sangat Sederhana dan Rumah Sederhana dengan diterbitkannya Kepmenkrimpraswil No. 403 Tahun 2002; • Tahun 2002 Presiden Megawati Sukarnoputri mencanangkan Gerakan Na­ sional Pengembangan Sejuta Rumah (GNPSR) di Denpasar Bali dalam rangka peringatan Hari Habitat Dunia. • Tahun 2004 dibentuk Kementerian Negara Perumahan Rakyat dan diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2004 Tentang Perusahaan Umum Pem­ bangunan Perumahan Nasional, pengganti PP yang lama, dan tahun 2005 dibentuk PT. Sarana Multigriya Finance (SMF). • Dalam periode ini target-target pembangunan rumah sederhana sehat sebesar 1.350.000 unit, Rumah Susun Sederhana Sewa sebesar 60.000 unit dan Rumah Susun Sederhana milik dengan peran swasta sebesar 25.000 unit • Desember 2006 diterbitkan Keputusan Presiden No. 22 Tahun 2006 Tentang Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Rumah Susun di Kawasan Perkotaan, dan tanggal 5 April 2007 Pemancangan Pertama Pembangunan Rusunami oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono di Pulogebang, Jakarta. D D D

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 95 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Suryono Herlambang, Dosen Universitas Taruma Negara Jakarta dalam acara Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Direk­torat Jenderal Perumahan Kementerian PUPR.

Dinamika Pengembangan Perumahan Berdasarkan riset Centropolis 2017-2020, dinamika pengembangan ka­ wasan skala besar di Jabodetabek berlangsung dalam 4 periode yang saling mem­penga­ruhi, yakni: periode 1988-1997, periode 1998-2007, periode 2008- 2017, dan periode 2018-sekarang. Tahun 2020 merupakan awal era Un­dang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dimana be­be­rapa pasal dalam UU 1/2011 tentang Peru- mahan dan Kawasan Permukiman ser­ta UU 20/2011 tentang Rumah Susun dicomot dan rumusannya direvisi untuk kemudahan investasi badan usaha, terutama pengembang, disamping adanya ke­wajiban untuk mempercepat ter­ wujudnya hunian berimbang, demi mencegah semakin melebarnya kesen­ jangan perumahan masyaraat berpenghasilan menengah atas dengan MBR. Pasal 50 ayat (4) mengatur tentang kawajiban pembangunan hunian berim- bang di perumahan skala besar dalam satu hamparan.

96 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Ketentuan ini mempertahankan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 na­mun dengan tambahan pengaturan baru yaitu rumah sederhana ta­ pak yang menjadi kewajiban­ pengembang dapat dikonversikan menjadi ru­ mah susun umum dan dengan tetap diwajibkan dalam satu hamparan. Ke­ tentuan lainnya menyebutkan, rumah susun umum yang menjadi kewajiban pengembang yang membangun rusun komersial dapat dikonversi dalam bentuk dana yang pengelolaannya diserahkan kepada BP3 (Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan) untuk pembangunan rumah umum. Menurut dosen Universitas Taruma Negara, Jakarta, Suryono Herlambang, penetapan kembali ketentuan kewajiban hunian berimbang dalam satu ham­ paran dalam pembangunan perumahan skala besar memperjelas dasar ke­ bijakan perumahan skala besar di masa depan. Herlambang mengusulkan ketentuan tambahan konversi rumah seder­ hana ke rumah susun umum dalam satu hamparan sebaiknya diberi penjelasan dalam PP, terutama terkait dengan kriteria konversi kerumah susun.seperti har­ ga lahan, lokasi, akses ketitik transportasi umum, luas minimal, dan kepadatan maksimal. Menurut Herlambang, ketentuan konversi rumah susun umum dalam ben­­tuk dana dan dikelola oleh BP3 masih perlu diperdalam. Misalnya, apakah ber­­arti pembangunan Rusun Umum yang dilakukan BP3 di lokasi perumahan skala besar harus membeli lahan dengan harga pasar atau sebaiknya fungsi BP3 hanya berlaku pada penyelenggaraan rumah umum di luar wilayah perumahan skala besar. Kita juga tahu saat ini pemerintah sedang mempercepat pembangunan infrastruktur makro di Jabodetabek guna mempercepat pertumbuhan kawasan skala besar. Cadangan lahan siap bangun yang cukup luas makin menarik developer dan investor asing masuk ke kawasan skala besar seperti housing to land development dan new town to global city, sementara pengembangan peru­­mahan skala besar terjadi pemusatan dalam satu kawasan (aglomerasi) di wilayah Barat (BSD, Summarecon, Paramount, Lippo Karawaci, Alam Sutera, Bintaro Jaya, dan Maja). Sementara di wilayah Timur ada Lippo Cikarang, Mei­ karta, Delta Mas, Jababeka, Karawang, dan Purwakarta. Namun kawasan aglomerasi ini makin jauh dari kota induknya serta belum layak dika­ta­kan sebagai kota mandiri (self contain city), walaupun telah terdapat berbagai sarana, seperti sarana perkantoran, pendidikan, kesehatan hingga perbelanjaan bahkan dilengkapi dengan sarana MICE. Pada sisi lain, developer BUMN yang berbasis usaha kontraktor (Wijaya Karya, PP, dan lainnya) makin agresif membangun proyek mixed use dengan intensitas­ tinggi termasuk yang terintegrasi dengan titik transportasi (TOD brand) walaupun tidak terintegrasi dengan wilayah sekitarnya, termasuk kawasan perumahan skala besar.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 97 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

4.2. Tebet dan Sejarah Ganefo Berawal pada tahun 1960. Saat itu Indonesia ditunjuk menjadi tuan rumah hajatan olah raga, Games of New Emerging Forces atau GANEFO sebuah pesta olah raga yang dimak­sudkan sebagai tandingan Olimpiade. GANEFO diikuti negara-negara berkembang atau Non Blok, di mana Indonesia menjadi perintis di­mulainya acara olah raga ini yang diselenggarakan pada 10 - 22 November 1963. Sebagai negara yang relatif baru merdeka, saat itu Indonesia nyaris tak punya apapun. Namun Presiden Soekarno ingin, sebagai tuan rumah, Indonesia mampu menyelenggarakan hajat besar tersebut dan untuk itu Indonesia all out

Sebagian penduduk yang dipindahkan ke kawasan Tebet ternyata membuat perumahan kumuh di atas lahan yang direncanakan untuk RTH, sehingga pemerintah DKI Jakarta membangun rusunawa untuk menampung penduduk tersebut. Namun karena lokasi rusunawa Tebet sangat strategis rumah susun tersebut disewakan kembali kepada warga lain.

98 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

RTRW KecamatanTebet 2005-2030

Grafis 4.1. RTRW KecamatanTebet 2005-2030.

menyiapkannya. Ia memerintahkan untuk membangun gedung olah raga dan perkampungan atlet di daerah Senayan. Semua warga yang telah bermukim di daerah Senayan dipindahkan ke daerah Tebet, sebagai kawasan yang masih relatif kosong. Sejalan dengan rencana tersebut dibangunlah jalan 2 jalur yang cukup lebar dari arah semanggi menuju Tebet yang beberapa tahun kemudian ditempatkanlah sebuah patung di atas sebuah busur yang kemudian dikenal sebagai Tugu Dirgantara (dibuat Edhi Sunarso pada tahun 1964-1970), karena di lokasi tersebut terdapat markas besar TNI Angkatan Udara (desain Friedrich Silaban pada tahun 1962-1964, yang dibelakangnya dilengkapi dengan peru­ mahan bagi perwira TNI AU dan dikenal dengan nama Tri Loka. Tebet Terletak di Kota Administrasi Jakarta Selatan, Kecamatan Tebet me­ miliki luas wilayah­ 9.53 km². Sekarang wilayah ini terdiri dari tujuh 7; kelurahan: Tebet Barat, Tebet Timur, Kebon Baru, Bukit Duri, Manggarai, Manggarai Selatan, dan Menteng Dalam. Perencanaan Tebet dimulai pada tahun 1960an dengan konsep perumahan taman kota, meniru perencanaan distrik peru­ mahan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan yang sudah ada terlebih dahulu. Kon­ sep­nya adalah mengembangkan perencanaan jalan yang hierarkis, taman, ada­nya sarana pendukung seperti sekolah, pasar, ruko, rumah sakit, klinik, dan kuliner serta daerah resapan air. Salah satu taman peninggalan yang ada apa yang sekarang dikenal sebagai Taman Honda. Sementara taman-taman lain seperti Rawa Bilal telah menjadi

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 99 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan hunian yang dan dikenal dengan nama Tebet Mas. Sebagian ruang terbuka hijau yang dulu dikenal dengan perumahan kumuh di mana terdapat apa yang dinamakan pasar Darurat sekarang dijadikan sarana olah raga jogging dan lokasi rumah susun sederhana sewa. Sebagai tempat pemukiman baru,Tebet direncanakan dengan baik dan di­ bagi-bagi atas banyak kaveling mulai dari kaveling-kaveling besar hingga kecil, disediakan pula taman, sarana umum, jalan raya sebagai akses utama yang di­ kenal dengan naman jalan Tebet Raya, dan jalan-jalan pemukiman serta sa­ rana penunjang lainnya, seperti pasar, sekolah, puskesmas, serta sarana peme­ rintahan seperti kantor camat dan lurah. Pada awal dibangun tak banyak orang luar Tebet yang mau tinggal di dae­ rah itu, dengan alasan jauh dari pusat keramaian kota Jakarta, karena pasar terdekat­ saat itu adalah pasar Jatinegara. Namun seiring dengan berjalannya wak­tu, ternyata Tebet berkembang sangat pesat. Tebet sekarang menjadi pu­ sat baru. Tak hanya sebagai tempat tinggal tapi juga menjadi tempat usaha dengan dibangunnya Pasar Tebet Barat, pasar PSPT, sarana pendidikan dasar dan menengah, dan lainnya. Tebet memiliki stasiun Kereta Listrik (KRL): yang menghubungkannya dengan stasiun Manggarai di utara dan stasiun Cawang di Selatan. Sadar atau tidak sadar, pengembangan hunian berimbang sesungguhnya sudah dilakukan­ di Tebet dengan mengikuti konsep Kebayoran Baru. Pada jalan- jalan yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan papasan ditempatkan kaveling berukuran cukup besar, dengan ukuran sekurang-kurangnya 200 m², sedangkan jalan-jalan yang hanya dapat dilalui dengan satu arah, umumnya pakai menggunakan nama dalam di belakangnya, seperti jalan Tebet Timur Dalam, Tebet Utara Dalam, jalan Tebet Barat Dalam, ditempatkan kaveling ber­ukuran kecil, sekitar 120-150 m², dan sarana komersial ditempatkan di jalan raya, seperti jalan Tebet Raya, jalan Tebet Timur Raya dan seterusnya.

4.3. Depok, Sebuah Tonggak Perumahan Skala Besar Perum Perumnas Guna mengatasi masalah kurangnya perumahan pemerintah mengemu­ kakan gagasan untuk membangun perumahan skala besar. Kita sebut saja Kebayoran Baru, Tebet di mana untuk kebayoran baru direncanakan sebagai dormitory town para pegawai pemerintahan dan Tebet ditujukan untuk pe­ min­dahan penduduk dari kawasan Senayan yang akan diperuntukkan sebagai­ kompleks olah raga untuk kepentingan Ganefo. Untuk mewujudkan peru­ mahan skala besar pemerintah pusat menjalin kerjasama dengan daerah- daerah di sekitar Jakarta seperti Bekasi, Tangerang, dan Bogor dan pada 1965 pe­merintah mensahkan rencana induk pengembangan DKI Jakarta (1965- 1985). Di dalam rencana tersebut Jakarta dikembangkan secara seimbang ke

100 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

arah Timur-Barat dan membatasi pengembangan ke selatan yang dicadangkan sebagai daerah tangkapan air. Radius pengembangan kota yang semula 15 km, kemudian diperluas menjadi 50 km, sehingga dinamakan Jabodetabek dan mencakup sebagian wilayah Bogor, Depok, (saat itu masih menjadi bagian dari Kabupaten Bogor), Tangerang dan Bekasi. Pada tahun 1974 sesudah dibentuknya Perum Perumnas pemerintah mu­ lai concern pada pembangunan perumahan di pelbagai daerah, khususnya un­tuk pegawai negeri sipil. Ribuan rumah di bangun di daerah Bekasi, Tange­ rang, Bogor, Depok dan meluas hingga Cirebon, Semarang, Surabaya, Medan, Padang, dan Makassar. Perumnas I Depok merupakan perumahan rakyat pertama di Indonesia yang dibangun oleh pemerintah melalui Perum Perumnas pada REPELITA III. Perumahan Perumnas I Depok mulai dibebaskan tanahnya pada tahun 1974. Master­plan Pembangunan tahap 1 ini dibagi kedalam 2 (dua) lokasi, yaitu lokasi Depok Utara yang diperuntukkan bagi PNS golongan III atau perwira me­nengah pada TNI/POLRI dan Depok Jaya yang diperuntukkan bagi PNS PETA ADMINISTRASI KOTA DEPOK, JAWA BARAT

Grafis 4.2. Peta Administrasi Kota Depok, Jawa Barat.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 101 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Golongan II dengan lebar jalan berukuran 6,0 m. Nama Nusantara dijadikan nama jalan yang menghubungkan Depok Utara dengan Depok Jaya, namun sarana pasar ditempatkan di jalan Nusantara Depok Jaya. Untuk jalan-jalan di lokasi Depok Utara menggunakan nama jalan meng­ gunakan nama pulau, seperti jalan Jawa, jalan Kalimantan, jalan Madura serta menggunakan nama-nama sayuran, seperti jalan Bayam, jalan Seledri, jalan Tomat dan sebagainya, sedangkan di lokasi Depok Jaya jalannya ditambahkan imbuhan raya, seperti jalan Mawar Raya, Jalan Teratai Raya, jalan Mangga Raya. Jalan-jalan yang lebih sempit menggunakan angka romawi di belakangnya seperti jalan Mangga I, jalan Mawar II dan seterusnya. Terdapat 11 kecamatan di kota Depok, yaitu Beji, Bojong Sari, Cilodong, Cimanggis, Cinere, Cipayung, Limo, Pancoran Mas, Sawangan, Sukmajaya, dan Tapos dengan 63 kelurahan. Pada tahun 2017, jumlah penduduknya mencapai 1.809.120 jiwa dengan luas wilayah 200,29 km² dan sebaran penduduk 9.032 jiwa/km². Pemilihan Depok sebagai kawasan pembangunan perumahan oleh Perum Perumnas, dengan pertimbangan harga tanah murah, dan dekat dengan Ibu Kota Jakarta. Selain itu, di Depok masih banyak lahan kosong dengan peruntukan semula sawah atau kebun dan dengan ketinggian 92 m di atas permukaan laut, saat itu Depok cukup sejuk. Perumahan Perumnas I Depok dibangun pada masa kepemimpinan Menteri Muda Urusan Perumahan Drs. Cosmas Batubara dan Presiden Seoharto kemudian meresmikan perumahan tersebut pada tanggal 12 Agustus 1976. Serah terima dilakukan secara simbolis di mana Presiden Soeharto menyerahkan kunci rumah kepada Sugito, seorang wartawan Harian Angkatan

Rumah sederhana di Depok pada awal pembangunannya, berbentuk rumah deret, berdinding batako tanpa plester, menggunakan lantai ubin kepala basah dan beratap asbes dengan kuda- kuda kayu yang diawetkan. kusen pintu dan jendela menggunakan kayu kelas II dan daun jendela aslinya menggunakan nako. rumah dilengkapi juga dengan bak mandi dan kloset jongkok.

102 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Bersenjata. Sugito mewakili 180 keluarga wartawan dan karyawan pers saat itu. Bersamaan dengan peresmian Perumnas tersebut, Soeharto juga meresmikan Peng­ gunaan Taman Kanak-Kanak Pertiwi di Jl.Kedondong Raya dan Menteri Cosmas meresmikan­ jalan akses ke lokasi perumahan Perumnas I Depok dari jalan Margonda Raya, menjadi­ jalan Arif Rahman Hakim, dari sebelumnya bernama jalan Komodo Raya. Yang menarik perumahan yang dibangun di Depok juga menjadi uji coba rumah maisonette yang di desain oleh Puslitbangkim Departemen Pekerjaan Umum, di samping rumah sederhana. Rumah maisonette deret, merupakan rumah 2 lantai di atas lahan sempit, di mana lantai 2 menggunakan konstruksi kayu, di mana pada lantai dasar terdapat ruang tamu, ruang makan, 1 ruang tidur, dapur dan ruang makan, sedangkan kamar mandi/WC ditempatkan di bawah tangga. Pada lantai Drs. Cosmas Batubara atas terdapat 2 ruang tidur. Rumah maisonette deret ini justru ditempatkan di jalan Nusantara Raya, yang menghubungkan Depok Utara dan Depok I. Hingga saat ini masih terdapat beberapa rumah maisonette dalam bentuk aslinya, dan sebagian besar lagi telah berubah fungsi menjadi hunian dan tempat berusaha (toko, rumah makan). Sukses membangun Depok I, pemerintah kemu­dian membangun perumahan di Depok II (Tengah) dan Depok III (Timur) pada 1978. Haji

Rumah maisonette deret yang berada di jalan utama, jalan Nusantara yang menghubungkan Depok Utara dan Depok I, sebagian besar sudah berubah menjadi fungsi ganda, sebagai hunian dan tempat usaha, walaupun ada pula bangunan semula masih belum berubah, masih menggunakan konstruksi kayu dengan penutup asbes gelombang.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 103 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Parkir bersama sebagai hasil dari swasembada dibangun dan dikelola bersama oleh warga perumahan di Depok yang tinggal di gang, di mana lokasi parkir bersamanya disatukan dengan ruang terbuka atau di atas tanah sisa yang tidak dimanfaatkan, sehingga tidak ada standar tertentu ruang.

Junidar Hasan salah seorang warga Perumnas I Depok bercerita, pembangunan Perumnas I Depok dilaksanakan dalam­ tiga tahap. Tahap pertama (1977-1978) ialah pembangunan­ blok yang nama-nama jalan­nya menggunakan­ nama buah- buahan dan nama bunga, seperti Jalan Delima dan Jalan Anggrek. Tahap kedua (1979-1980) pembangunan blok yang nama-nama jalannya menggunakan nama burung, seperti Jalan Kenari dan Jalan Cendrawasih. Tahap ketiga (1981- 1982) pembangunan blok di sebelah utara, dan karenanya disebut Depok Utara. Sejak awal Perumnas Depok I memang diperuntukkan bagi para pegawai pe­merintahan dan golongan profesi lainnya yang bekerja di Jakarta, seperti wartawan, tenaga medis dan belum memiliki rumah sendiri. Pemilihan tipe rumah disesuaikan dengan golongan atau besaran gaji dan kemampuan cicilan dari calon pemiliknya. Thomas Sebayang (77 tahun), seperti ditulis Berita Raya Online, mengatakan, dirinya mendapat rumah di Depok I pada pembangunan gelombang kedua (1979-1980). Saat itu ia mendapa tipe 45/102 m2 dengan uang mukanya Rp45.000 dan cicilan perbulannya sebesar Rp16.410 selama 20 tahun. Satu pelajaran yang dapat diambil dari pengembangan Perumahan Perumnas di Depok, adalah tidak semua jalan didesain untuk dilalui kendaraan roda empat dengan ukuran 4,0 m. Namun, Perumnas juga mengembangkan jalan-jalan dengan lebar hanya 2,4 m yang menghubungkan jalan-jalan ling­ kungan. Hal ini yang membedakan Perumnas Depok dengan pengembangan peru­mahan yang lain yang saat ini banyak dibangun di sejumlah lokasi, Uniknya pula, masih terkait Perumnas Depok, pengembang secara khusus menyediakan tempat parkir bersama di lokasi-lokasi tertentu. Fasilitas umum ini memungkinkan warga yang tinggal di gang untuk menyimpan mobilnya di lokasi yang telah ditentukan. Pembangunan Perumnas Depok I dianggap sukses, karena selain menye­

104 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Presiden Suharto meresmikan penghunian perumahan Perumnas Depok I didampingi oleh Menteri Muda Urusan Perumahan Rakyat pada tanggal 12 Agustus 1976.

diakan pemukiman­ yang murah dan layak bagi para penghuninya, Perumnas Depok I juga mampu mendorong­ kegiatan ekonomi masyarakat Depok. Ke­ ha­diran Perumnas Depok I secara tidak langsung membuat Depok dilirik se­ bagai kawasan hunian baru. Penduduk Depok terus bertambah dari tahun ke­ tahun. Setelah Perumnas Depok I berdiri dan mulai dihuni secara bertahap pemerintah membangun infrastruktur pendukung lain, seperti sekolah, rumah sakit dan terminal. Sebelum menjadi kota, Depok merupakan kecamatan di Kabupaten Bogor, yang terdiri dari 11 desa yaitu Desa Depok, Desa Depok Jaya, Desa Pancoran Mas, Desa Mampang, Desa Rangkapan Jaya, Desa Rangkapan Jaya Baru, Desa Beji, Desa Kemiri Muka, Desa Pondok Cina, Desa Tanah Baru, Desa Kukusan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1981 Kecamatan Depok dimekarkan,­ dengan tujuan untuk meningkatkan status kecamatan men­­jadi kota administratif. di mana hasil pemekaran tersebut antara lain mem­ bentuk: 1. Kecamatan Beji, terdiri dari 5 desa, yaitu: Desa Beji, Desa Kemiri Muka, Desa Pondok Cina, Desa Tanah Baru, Desa Kukusan.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 105 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

2. Kecamatan Pancoran Mas, terdiri dari 6 desa, yaitu Desa Pancoran Mas, Desa Depok, Desa Depok Jaya, Desa Mampang, Desa Rangkapan Jaya, Desa Rangkapan Jaya Baru. Dengan semakin pesatnya perkembangan dan tuntutan aspirasi masya­ rakat, maka pada tanggal 27 April 1999 terbentuklah Kota Depok yang terdiri dari 3 kecamatan dan ditambah dengan sebagian wilayah Kabupaten Bogor, yaitu Kecamatan Cimanggis, Kecamatan Limo, Kecamatan Sawangan, dan di­ tambah 5 desa dari Kecamatan Bojong Gede. Pada tahun 2007, kecamatan yang ada di Depok dimekarkan menjadi 11 kecamatan, yaitu: Kecamatan Beji, Kecamatan Bojongsari, Kecamatan Cilodong, Kecamatan Cimanggis, Kecamatan Cinere, Kecamatan Cipayung, Kecamatan Limo, Kecamatan Pancoran Mas, Kecamatan Sawangan, Kecamatan Sukmajaya, dan Kecamatan Tapos. Namun, kini Perumnas Depok I tidak lagi dihuni oleh para penghuni ‘asli’nya seperti pada pada awal berdirinya yang nota bene adalah para pegawai pemerintahan dan wartawan. Kondisi ini diakui Marliwati (68 tahun), salah seorang warga ‘asli’ Perumnas Depok I. Kata dia, sebagian besar penduduk asli’ atau generasi pertama penghuni Perumnas Depok I su­dah banyak yang pindah, karena pensiun kemudian pulang ke kampung halamannya, atau su­ dah meninggal. Kehadiran proyek-proyek pengembangan permukiman Perumnas di ber­bagai wilayah menghasilkan multiplier effect yang luar biasa terhadap pengem­bangan kawasan sekitarnya, sebagaimana lokasi-lokasi Perumnas yang lain seperti di Helvetia dan Martubung di Medan, Ilir Barat di Palembang, Banyumanik di Semarang, Tamalanrea di Makassar, Dukuh Menanggal di Sura­baya, Griya Rejo di Gresik, dan Antapani di Bandung adalah berbagai

Salah satu jalan lingkungan (gang) di Depok yang tidak dapat dilalui kendaraan bermotor roda 4, namun kerjasama warga yang digerakkan oleh kelurahan bersama RT dan RW mampu menghjaukan lingkungan perumahan dengan berbagai tanaman, sehingga menambah keasrian lokasi perumahan.

106 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

contoh perumahan skala besar yang pembangunannya dirintis oleh Perumnas dan turut memberikan ben­ tuk terhadap kotanya. Kawasan perumahan skala be­­sar yang dibangun Perumnas tersebut kini telah berkembang menjadi cikal bakal kota baru yang pros­ pektif atau setidak-tidaknya menjadi perluasan kota, sebagaimana perumahan Perumnas di Condong Catur yang walaupun terletak di Kabupaten Sleman, namun sudah menyatu dengan Yogyakarta. Selain itu, Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi juga merupakan “Kota Baru” yang pengembangannya dirintis oleh Perumnas yang berkembang pesat menjadi kawasan strategis dan kawasan penyangga ibukota.

4.4. Perumnas dan Kisah Lahan “Peyek” “Saya mendesain sampai jadi konsep itu bisa memakan waktu hingga dua tahun.” Ade Mulyanti, GM Perencanaan Teknis Perum Perumnas Kalimat itu meluncur dari mulut Ade Mulyanti, GM Perencanaan Teknis Perum Perumnas, pada Senin (10/11/2020), dalam acara Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Direk­ torat Jenderal Perumahan Kementerian PUPR itu, pada saat Ade membeberkan kisah pembebasan lahan hingga berdirinya hunian. “Kalau kami membangun perumahan pasti skalanya besar. Luasnya bisa ratusan hektare,” ujarnya. Jejak Perumnas dalam pembangunan hunian skala besar memang bisa kita lihat di sejumlah daerah, baik di Jawa maupun luar Jawa. Namun membuka dan membangun kawasan hingga menjadikannya hunian berdiri tegak rupa­ nya menyimpan sejumlah cerita. Ade bercerita, setiap kali akan memulai mem­ buka lahan, Perum Perumnas selalu melakukan kajian. Pertama-tama tim akan melakukan pra studi kelayakan (prefeasibility study). Pra studi kelayakan ini dilakukan oleh tim internal Perum Perumnas, dan jika dinyatakan layak, Perumnas akan mengundang konsultan eksternal untuk melakukan studi ke­ layakannya. Penggunaan tim luar ini dilakukan untuk menilai objektivitasnya. Jika konsultan menyatakan layak, Perumnas bergerak membebaskan lahan. Jika para pemilik lahan tidak rewel, pembebasan bisa berjalan relatif cepat dan izin lokasi bisa langsung diurus. Izin lokasi memang tak keluar dalam hitungan hari atau minggu tapi kurang lebih enam bulan.”Ini kalau uangnya ada,” ujar Ade terkekeh. Jika tanah yang dibebaskan sudah ‘bulat’ dan izin keluar, Perumnas baru bisa membuat­ gambar rencana. Bulat yang dimaksud Ade, jika lahan yang

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 107 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan dibebaskan tidak ter­pencar-pencar atau dalam istilah Ade seperti peyek. Sebab, Perumnas biasanya baru bisa membangun rumah jika luas lahannya berkisar pada 30 sampai 50 hektare. Namun jika negosiasi dengan para pemilik lahan alot, pembebasan bisa memakan waktu­ puluhan tahun.”Ini bedanya dengan swasta. Kalau swasta biasanya mereka membeli dulu. Kalau Perumnas itu enggak bisa,” ujar Ade. Nah, jika semua selesai pihaknya baru akan menggambar. Di sini juga tak bisa berjalan cepat. Kata Ade, membuat desain hingga menjadi konsep hunian bisa memakan waktu dua tahun lebih. Kadang gambar sudah selesai, tiba-tiba ada pergeseran-pergeseran, akhirnya gambar harus direvisi, padahal, idealnya menggambar hingga jadi konsep itu memakan waktu enam bulan.”Saya bisa revisi gambar hingga 30 kali,” katanya. Ade menyebut contoh pembebasan lahan di Maja (Banten) dan Jonggol (Bogor). Di Maja, proses pembebasan sudah dilakukan sekitar tahun 1998 namun sampai sekarang belum juga kelar. Lahan yang dibebaskannya pun masih berpencar-pencar alias seperti peyek. Begitulah kisah Perum Perumnas dalam membangun hunian. Meski lembaga ini BUMN namun toh ternyata tidak serta merta bisa dengan mudah dalam proses membangun hunian. Statusnya sebagai BUMN justru terkesan lembaga ini kurang strike.”Mau ke kanan salah, ke kiri salah. Akhirnya di tengah bingung,” ujar Ade.

PETA LOKASI PERUMNAS DI KOTA MEDAN

Grafis 4.3. Peta Lokasi Perumnas di Kota Medan.

108 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Perumahan Griya Martubung, Medan.

Perumahan Skala Besar Martubung, Medan, Sumatera Utara Didirikan tahun 1980, Perum Perumnas Regional I Medan beralamat di Jl. Matahari Raya No. 313 Helvetia Medan. Pada awalnya mereka membangun Perumnas Mandala, lalu dilanjutkan membangun di Simalingkar, Martubung, Rumah Susun Suka Ramai di kota Medan dan unit-unit perumahan lainnya di ibukota-ibukota kabupaten dan kotamadya di wilayah Regional I. Luas perumahan yang dikelola Perum Perumnas Regional I di Martubung sebesar 276 hektare. Perumnas membagi pengembangan Kasiba Martubung menjadi tiga bagian (Lisiba): Martubung I, Martubung II, dan Martubung III. Ada juga beberapa klaster yang dibangun dengan pola kerja sama usaha dengan pihak ketiga dan untuk mengangkat citra lokasi mereka menggunakan nama Griya Martubung dan Pesona Martubung. Pada tahun 2006 Kementerian Negara Perumahan Rakyat membangun 2 tower rusunawa berlantai 4 dengan luas tiap unit 21 m² di Martubung, namun tidak diminati masyarakat akibat adanya kompetitor rumah masyarakat dengan biaya sewa yang lebih murah, walau­pun sebenarnya berdampingan dengan Kawasan Industri Medan (KIM). Perumahan skala besar Martubung sendiri

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 109 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan pertumbuhannya tidak begitu pesat. Penyebabnya, jalan akses yang kurang memadai (rusak), sebagian lokasinya banjir karena berdekatan dengan laut, dan masih kurangnya sarana permukiman lainnya. Ada beberapa upaya yang sudah dilakukan agar pertumbuhan di daerah membaik, diantaranya membangun Islamic Centre dan pengembangan waduk Martubung untuk pengendalian banjir. Waduk ini sekaligus juga akan dijadikan sarana wisata air yang pengelolaannya akan diserahkan kepada pemerintah kota Medan. Untuk mendongkrak pemasaran, Perum Perumnas menggandeng pihak ketiga. Hasil­nya? Lumayan. Perumahan kawasan Martubung sudah mulai ber­ kem­bang, karena desain­nya lebih baik dan harganya juga mulai naik. Namun mereka punya pe-er, yakni banyak rumah yang dibangun pada tahap awal da­ lam kondisi rusak. Rumah-rumah itu memerlukan perbaikan agar dapat dijual­ kembali.

Masterplan Kota Baru Driorejo (KBD), Gresik, Jawa Timur. Sebagian lahan sebelah kanan jalan utama sempat menimbulkan masalah dan sengketa dengan pengembang atau pihak lain, namun sebagian dapat diselesaikan melalui kerjasama usaha (KSU) dan sebagian lainya arus menempuh jalur hukum. Lokasi Driorejo sendiri tidak seluruhnya dikuasai Perum Perumnas, ada banyak lahan- lahan yang tidak dapat dibebaskan karena berbagai sebab.

110 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Sentraland Perumnas Driyorejo Gresik.

Perumahan Skala Besar Driorejo, Gresik Selain di Martubung, Perum Perumnas juga mengembangkan perumahan skala besar atau Kasiba di Driorejo, Gresik, Jawa Timur. Kawasan ini diberi nama Kota Baru Driorejo (KBD) dengan luas 203 hektare. Pengembangan kasiba Driorejo berlangsung sudah cukup lama, namun sampai saat ini belum seluruh lahannya dibangun seperti rencana awalnya. Sebagian lahan malah sudah ada yang diokupasi pihak lain hingga akhirnya masuk ke ranah hukum. Untuk mempercepat pembangunan KBD, Perumnas bekerja sama dengan pengembang swasta yang membangun perumahan komersial. Salah satu pengembang yang diajak kerja sama adalah PT Mustika Cendana. Perusahaan ini membangun sebuah kawasan sentra bisnis yakni sebuah lokasi untuk ber­ dagang, tempat pameran dan sejumlah rumah toko (Ruko). Pada awalnya dimulai dari banyaknya penghuni perumahan ataupun dari luar peru­mahan yang memanfaatkan lahan di pinggiran jalan-jalan utama pada perumahan KBD tersebut untuk berjualan di mana hal ini telah berlangsung cukup lama dan berkembang sangat pesat sehingga pinggiran jalan-jalan utama Perumahan menjadi ramai namun tidak tertata dengan rapi. Oleh PT. Mustika Cendana, di lokasi tersebut dibangunlah bebagai sarana komersial, antara lain ruko sehingga jalan utama kembali dapat berfungsi dengan baik, tidak macet dan secara keseluruhan lebih tertata.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 111 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, Banten.

4.5. Perumahan Skala Besar oleh Swasta Pada tahun 1970an, pengembang swasta mulai merintis pembangunan permukiman di Pondok Indah dan Bintaro. Di dua daerah itu mereka mem­ bangun di atas lahan seluas lebih dari 1.000 hektare diawali dengan pem­ bangunan perumahan seluas 100 hektare. Pembangunan perumahan ini tam­ paknya gemilang. Mereka pun mulai percaya diri. Para pengembang swasta ini lalu memprakarsai pembangunan-pembangunan perumahan skala besar di berbagai lokasi dan daerah. Dari data yang ada, pada tahun 1972, telah berdiri 33 perusahaan yang tergabung dalam asosiasi perusahaan Real Estate Indonesia (REI). dan jumlah ini terus berkembang hingga mencapai 2.445 perusahaan pada 1997. Namun

112 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

krisis monoter yang terjadi pada 1998 merupakan kondisi muram bagi banyak pengembang, Saat krisis itu banyak pengem­bang yang tumbang sehingga jumlah mereka menyusut menjadi 1.195 perusahaan. Dalam catatan REI, antara tahun 1994-2002 perusahaan yang tergabung dalam REI telah membangun­ rumah sekitar 1,7 juta unit rumah. Jumlah yang lumayan fantastis, tentu. Pada tahun 1983, bermula dari penguasaan tanah bekas perkebunan karet seluas 600 hektare, dibentuklah konsorsium yang terdiri dari 10 perusahaan untuk membangun kota baru yang bernama Bumi Serpong Damai (BSD). Pembentukan konsorsium ini bertujuan untuk memadukan kapasitas finansial, manajerial, dan teknikal. Namun ada dugaan pembentukan konsorsium itu dilakukan untuk mengatasi hambatan perizinan. Karena pada waktu itu, ada

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 113 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan aturan pembatasan bagi pengembang swasta untuk mengelola lahan tidak lebih dari 300 hektare. Lima tahun kemudian (1988) atau disebut juga era deregulasi sektor ke­ uangan. Disebut era deregulasi karena pemerintah membuka kebijakan ke­ uangan yang dikenal dengan Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 (Pakto 88 era Menteri Keuangan JB Sumarlin), di mana salah satu ketentuan fundamental dalam Pakto 88 adalah pendirian bank swasta nasional dipermudah. Cukup dengan modal disetor minimum Rp10 miliar, orang bisa mendirikan bank umum. Adapun untuk pendirian bank perkreditan rakyat (BPR), syaratnya mo­ dal disetor minimum sebesar Rp50 juta. Hasilnya, industri perbankan nasional pun booming! Bank yang ada langsung memanfaatkan kebijakan ini untuk ekspansi dengan membuka kantor cabang di mana-mana. Bank-bank baru pun tumbuh seperti jamur di musim penghujan, dan Bank Indonesia mencatat, pada September 1988, jumlah perbankan nasional hanya 108 bank umum, ter­ diri dari enam bank pemerintah, 64 bank swasta, 27 BPD, 11 bank campuran. Total kantor bank umum pada periode itu sebanyak 1.359 unit.. Pakto 88 membawa berkah bagi sejumlah konglomerat. Sebut saja Moch­ tar Riady yang mendirikan Bank Lippo dan William Soerjddjaja (Group Astra) dengan Bank Summa. Lalu, Mooryati Sudibyo mendirikan Bank Ratu dan Abu­rizal Bakrie dengan Bank Nusa Nasional. Tak ketinggalan putra putri Soe­ harto pun masuk ke bisnis perbankan. Bambang Trihatmojo memiliki Bank Andromeda sementara si sulung dari trah Cendana, Siti Hardiyanti Rukmana memiliki Bank Yama. Beberapa lembaga juga melebarkan sulur bisnisnya ke perbankan. Sebut saja Asuransi Bumi Putera dengan Bank Bumi Putera, dan Koperasi Angkatan Ber­senjata RI yang memiliki Bank Yudha Bhakti. “Saat itu pemerintah memang ingin menggenjot perekonomian melalui sek­tor per­bankan, karena sumber ekonomi utama saat itu, yakni industri migas melemah,” terang Eko­nom Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Doddy Ariefianto. Dari tahun 1970-an, hingga awal 1980-an, Indonesia sedang jaya-jayanya karena industri migas. Harga minyak yang tinggi menjadikan penerimaan ne­ gara surplus. Namun, setelah harga minyak melemah, pemerintah harus men­ cari sumber perekonomian yang lain, dan salah satunya perbankan. Doddy dan Enny mengapresiasi paket kebijakan era Soeharto ini, terutama Pakto 88 yang memang berdampak positif bagi perbankan Indonesia, yang pada periode sebelumnya susah berkembang. Catatan Bank Indonesia, pasca lahirnya Pakto 88, perekonomian nasional selalu tumbuh di atas 6,5%. Tahun 1988, ekonomi RI hanya tumbuh 5,8%, namun setelah adanya Pakto 88 tapi melesat menjadi 7,5% pada 1989, dan 7,1% pada tahun 1990, dan 6,6% tahun 1991. Hanya saja, bagi Enny, deregulasi pada tahun 1980-1990-an dianggap kebi­

114 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

jakan yang kurang matang, sehingga menimbulkan permasalahan di kemudian hari, seperti krisis ekonomi 1997. “Pemerintah saat itu tergesa-gesa mengambil keputusan, sehingga kebijakan yang ada hanya menyentuh permukaan masalah dan tidak siap dengan efek negatifnya,” papar Enny. Doddy sependapat, paket- paket di era Soeharto terlihat tidak terstruktur dan tanpa arah yang jelas. “Mung­kin karena saat itu, Indonesia memang sedang tahapan belajar, sehingga tahapan kebijakannya pun kurang terstruktur,” papar Doddy. Namun, Doddy juga tak menyalahkan pemerintahan saat itu. Pasalnya, di negara lain pun, kebijakan di sektor perbankan juga belum sebagus saat itu. Pada periode itu, di negara-negara lain juga berlangsung permasalahan di sektor perbankan yang menyebabkan krisis ekonomi. Dampak Pakto 88 bagi perumahan adalah dialihkannya perolehan dana masyarakat yang diperoleh melalui bank yang dibentuk oleh para pengusaha dengan iming-iming tingkat bunga yang tinggi kepada tanah, sehingga jumlah

Kawasan Kota Batam, Kepulauan Riau.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 115 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan tanah yang dimintakan izin lokasinya dengan jumlah ratusan hingga ribuan hektare. Dana masyarakat yang dipergunakan untuk melakukan spekulasi tanah tersebut berdampak pada kesulitan untuk membayar bunga dan pengembalian pokok tabungan atau deposito ke masyarakat sehingga secara bertahap terjadi krisis moneter yang puncak terjadilah krisis ekonomi pada tahun 1997. Tercatat pemerintah telah mengeluarkan izin lokasi sebanyak 1.322 di lahan seluas 116.358 hektare di Jawa Barat dalam jangka waktu 3 tahun (1993-1996). Namun dari izin lokasi itu hingga tahun 1996 pembangunan perumahan yang terwujud hanya sekitar 500 hektare saja. Namun demikian kebijakan Pakto 88 telah turut mendorong pembangunan perumahan skala besar, walaupun tidak seluruhnya berhasil. Pada sisi lain BPN tidak pernah membatalkan atau mencabut izin lokasi yang diterbit­kan namun lahannya tidak dibangun oleh pengembang. Masyarakat pemilik tanah menjadi korban, karena mereka tidak bisa memanfaatkan tanah yang baru diberi uang muka pembelian­ atau panjar oleh pengembang dan belum dilunasi. Tak hanya di Jawa, pertumbuhan perumahan skala besar juga terjadi di luar Jawa seperti Kota Batam Kepulauan Riau, Bontang di Kalimantan Timur, Metro di Lampung, dan Timika di Papua. Kota Batam yang semula hanya men­jadi pangkalan operasi dan logistik Pertamina akhirnya memanfaatkan posisi stategisnya yang dekat dengan Singapura. Pada tahun 1971 pemerintah mulai membangun sarana pelabuhan, pergudangan, dan perbengkelan. Un­ tuk mempercepat pertumbuhannya, pada 1973 pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden tentang Daerah Industri Pulau Batam yang pelaksanaan­ nya dilakukan oleh Perusahaan Perseroan Pengusahaan Daerah Industri Pulau Batam. Lembaga ini bertugas membantu Badan Otorita Batam yang mengelola pembangunan dan perkembangan Pulau Batam. Melalui Keputusan Presiden tersebut, Menteri Negara Ekonomi, Keuangan dan Industri/Ketua BAPPENAS sebagai Ketua ditetapkan sebagai Ketua Badan Pengawas merangkap Anggota. Mereka kemudian menyusun rencana pengem­bangan Batam yang tidak hanya berbasis pada kegiatan minyak bumi tapi juga mendorong berkembangnya aneka industri, pertanian, peternakan, dan juga pariwisata. Sejumlah prasarana berupa jalan, pembangkit listrik, dan waduk penampung air mulai dibangun. Pada saat inilah mulai dirasakan perlu­­nya penyediaan perumahan dalam jumlah besar, karena dampak dari per­tumbuhan Batam, banyak tenaga kerja yang akhirnya membangun rumah- rumah liar (ruli). Tahun 1983, pemerintah menetapkan Batam sebagai Daerah Otonom yang terdiri dari 238 pulau dengan luas daratan 103.800 hektare. Investor- inves­tor mulai berdatangan ke Batam. Properti di Batam berkembang sangat

116 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Kawasan Tembagapura, Papua.

pesat. Banyak pengembang yang berinvestasi properti di Batam, di antaranya Pollux Habibie, Oxley Convention City, Citra Plaza Nagoya, Formosa Residence Nagoya, Orchard View, Puri Khayangan, Blitz Park, One Residence, The Nove Residence, Triniti Land, dan Batam Damai Eco-City Seibeduk, dan lainnya. Tak hanya Batam, pemerintah juga membangun Kota Bontang, Kota Bontang terwujud sebagai dampak eksploitasi dan pengolahan cadangan gas alam di Badak, Kalimantan Timur yang merupakan cadangan terbesar kedua setelah Natuna. Gas alam di Badak ini diolah menjadi pupuk oleh PT. Pupuk Kaltim, gas cair, untuk di ekspor dan sebagai bahan bakar pembangkit tenaga listrik. Seluruh pengolahan ini ditempatkan di Bontang sehingga terbentuklah kota akibat backward dan forward linkages pabrik Pupuk Kaltim dan pengolahan LNG. Kompleks tempat tinggal karyawan LNG dan pabrik pupuk menjadi inti pertumbuhan Kota Bontang pada awal tahun 1970an. Hingga akhirnya pada tahun 1999, Bontang ditetapkan sebagai daerah otonom dengan jumlah pen­ duduk 99.679 jiwa dan terbentuk Kota Bontang Baru. Selesai mengembangkan Bontang, pemerintah kemudian mengembangkan

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 117 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan kota lain. Kali ini Kota Metro Lampung. Kota Metro adalah suatu kota yang hadir dan berkembang dari sebuah dusun pertanian. Karakter pertanian masih tampak kuat dari tatanan ruang dan permukimannya meski disebut kota. Ketika jumlah penduduknya mencapai sekitar 110 ribu jiwa di tahun 1999, Metro ditetapkan sebagai kota otonom. Kota ini awalnya adalah sebuah desa yang bernama Desa Trimurjo sebagai tempat penampungan awal kolonis dari Jawa dalam rangka program kolonisasi pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1934 dan 1935. Program yang ditu­ jukan untuk mengurangi tekanan penduduk di Jawa dan Bali dilanjutkan kem­ bali oleh Pemerintah pada masa Orde Baru yang disebut Transmigrasi. Metro adalah salah satu kota yang berkembang akibat proses panjang program ter­ sebut. Trimurjo adalah desa induk tempat penampungan awal para kolonis se­ belum ditempatkan­ di permukiman tetap. Di desaini dibangun bedeng-bedeng sebagai penampungan sementara yang kemudian berkembang menjadi pusat logistik dan pertukaran hasil bumi. Proses evolusi desa menjadi Kota Metro terjadi selama 65 tahun, suatu waktu yang cukup lama. Selesai pengembangan di wilayah barat, pengembangan beralih ke wilayah timur. Kota Timika Papua menjadi pilihannya. Kota Timika berkembang akibat kehadiran usaha tambang besar berjangka panjang di desa adat suku Amungme dan Kamoro serta terbentuknya transmigrasi. Kota yang menjadi ibukota Kabupaten Mimika ini berkembang dimulai dari hadirnya PT Freeport tahun 1969 untuk mengeksploitasi tembaga di pegunungan Estberg. Waktu berjalan, eksploitasi PT Freeport membuahkan hasil. Tak hanya tembaga tapi juga emas dengan kandungan sekitar 30 gram per ton dengan cadangan yang cukup besar. Karena itulah PT Freeport membangun pabrik yang mengekstrak mineral menjadi konsentrat logam. Untuk mendukung operasinya tersebut, pada tahun 1970-1971 PT Freeport membangun Kota Tembagapura sebagai tempat tinggal pekerja tambang, lapang­an terbang yang menjadi pusat angkutan perbekalan dan prasarana jalan yang menghubungkanTembagapura dengan lapangan terbang dan fasilitas lainnya. Aktivitas itu membentuk per­ mu­kiman di sekitar lapangan udara. Permukiman ini merupakan perpaduan­ antara penduduk lokal dan transmigrasi dengan total jumlah penduduk hampir mencapai 11.000 jiwa. Transmigran mempelopori produksi hasil bumi seperti sayuran, palawija, dan ternak. Produk-produk itu disuplai untuk kebutuhan Tembagapura. Perte­ muan rantai pasok antara permintaan dan pasokan tersebut menimbulkan pasar yang dikenal dengan Pasar Swadaya. Proses evolusi desa menjadi Kota Timika terus berlangsung seiring dengan meningkatnya aktivitas pertambangan. Aktivitas penambangan juga terus meningkat. Pada tahun 1980 penam­

118 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

bang­an hanya sekitar 8.000 ton per hari menjadi 32.000 ton perhari di tahun 1990 dan 115.000 ton per hari di tahun 1995. Kemudian PT Freeport membangun kawasan permukiman eksklusif untuk kebutuhan pegawainya yang disebut Kuala Kencana yang berada di antara Tembagapura dan Kota Timika.

4.6. Pluit, Daerah Resepan yang Berkembang Menurut sejarawan JJ Rizal, Pluit termasuk bagian dari rawa. Ketika zaman penjajahan Belanda, VOC menjadikan daerah ini sebagai benteng pertahanan terhadap Banten. Paska banjir besar Batavia 1918, Pluit diproyeksikan sebagai daerah rawa untuk peresapan alami. Namun pada tahun 1960, bersamaan dengan pembangunan Gelora Senayan, pemerintah menerapkan delapan wilayah pembangunan dalam rencana detail. Rencana itu disetujui DPRD DKI Jakarta. Satu dari delapan yang ditetapkan untuk rencana detail adalah Kampung Gusti/Pluit yang luasnya mencapai 1415,6 hektare. Van Breen

Kawasan Pluit, Jakarta.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 119 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan penggagas Kanal Banjir Barat, pada 1931 Pluit mengatakan bahwa penetapan Kanal Banjir Barat sebagai daerah polder. Asumsinya Pluit merupakan daerah rendah dan berbatasan dengan laut, sehingga air harus dipompa. Bahkan tahun 1960, Kawasan Pluit sempat dinyatakan sebagai kawasan tertutup melalui Peperda Jakarta Raya dan Sekitarnya No. 387/th 1960. Penutupan dilakukan sebagai keperluan rencana polder Pluit dan pekerjaan pengerukan kali. Namun dibawah Otorita Pluit. Pluit kemudian dikembangkan menjadi perumahan, industri, dan waduk, sedangkan Muara Karang, Teluk Gong, dan Muara Angke, selain dijadikan peru­ mahan juga dikem­bangkan untuk pembangkit listrik, serta kampung nelayan. Proyek ini terus dilanjutkan hingga 1971. Namun karena lahannya kurang, perluasan dilakukan ke dan Pejagalan. Pada tahun 1976, kawasan Pluit mengalami percepatan­ pembangunan. Bahkan kini Pluit bukan daerah rawa lagi, melainkan telah disulap­ menjadi daerah permukiman modern lengkap dengan tempat rekreasi dan lokasi perindustrian. Pembangunan Pluit berada dibawah Badan Pengelola Lingkungan (BUMD milik DKI Jakarta). Namun pada September 1997, aset-aset Badan Pengelola Lingkungan dilimpahkan kepada PT Pembangunan Pluit Jaya. PT Pembangunan Pluit Jaya ini kemudian berubah menjadi PT Jakarta Propertindo pada 15 September 2000. . Banjir besar lainnya terjadi pada 15-16 Januari 1985. RS Universitas Atma­ jaya terendam 1 meter. Banjir juga memporak-porandakan perumahan Pluit Indah Permai yang luasnya 70.000 m2. Berdampingan lahan ini juga berdiri Kom­pleks Mega Mall Pluit dengan luas 22 hektare. Dari luasan 22 hektare itu 50 persennya didedikasikan untuk taman dan lapangan parkir. Sebelum menjadi kawasan perumahan, Pluit Indah Permai merupakan Taman Tirta Loka. Ada juga beberapa empang. Kawasan ini dikerjasamakan dengan PT Duta Wisata Loka dengan pola bangun kelola serah. Kerjasama di­ buat antara Badan Pengelola Lingkungan (c.q.Pemda DKI Jaya) dengan PT Duta Wisata Loka. Keputusan kerja sama ini tertuang dalam SK Gubernur Nomor 700 Tahun 1995 tertanggal 31 Desember 1995. Lama perjanjian 30 tahun dan bakal berakhir pada tahun 2025 dengan sewa sebesar Rp20 miliar. Sejak dibangun menjadi kawasan perumahan, Pluit menjadi langganan banjir. Pada 2002, banjir kembali melanda kawasan ini. Karena kerap dilanda banjir, sejumlah warga di kawasan itu menuding Mega Mall Pluit sebagai penyebab banjir.

4.7. Pondok Indah, Mengangkat Derajat Penghuninya Kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan merupakan suatu kawasan pe­ mukiman yang berisikan rumah-rumah mewah. Pondok Indah sendiri termasuk salah satu perumahan elit di kota Jakarta yang cukup dikenal hingga saat ini. Ka­wasan elit Pondok Indah dikembangkan PT Metropolitan KentjanaTbk

120 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

(Pondok Indahmast Group).erp lanKawasan pon Pondokdok Indah ind dilengkapiah jakar denganta segala sa­ rana fasilitas yang mendukung. Di antaranya pusat perbelanjaan Pondok Indah Mall, kawasan perkantoran di Pondok Indah Office Tower, lapangan Golf, ru­ mah sakit, dan berbagai fasilitas lainnya. Sebelum dikembangkan menjadi kawasan elit pada 1970-1980, kawasan seluas 460 hektare ini merupakan sebuah hamparan sawah dan kebun karet. Oleh pengembang, PT. Metropolitan Kentjana, Pondok Indah disulap menjadi kawasan perumahan yang menyasar segmen menengah atas yaitu para ekspatriat dan sejumlah pengusaha. Pengembang mena­ ­warkan sebuah hunian yang megah, mewah dalam kaveling berukuran besar dan lingkungan­ yang asri Saat ini di lokasi Pondok Indah dikembangkan pula beberapa tower apar­ temen bagi masyarakat berpenghasilan menengah atas. Sejalan dengan pem­ bangunan apartemen dan pusat perbelanjaan (Pondok Indah Mall II/ PIM II) Pemda DKI Jakarta mensyaratkan pembangunan underpass untuk mengurangi kemacetan pada persimpangan memasuki kawasan Pondok Indah. Persyaratan

Grafis 4.4. Masterplan Pondok Indah, Jakarta.

Kawasan Pondok Indah, Jakarta.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 121 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Underpass kawasan Pondok Indah, Jakarta. pembangunan underpass tersebut merupakan salah satu prasyarat pem­ bangunan PIM II dan pembangunan apartemen. Hal ini memperlihatkan bah­wa kewajiban penyediaan prasarana jalan di luar kawasan pengembang da­pat juga dilakukan oleh pengembang atau badan usaha, sebagaimana pem­ bangunan flyover yang dibangun menuju perumahan Summarecon di Bekasi.

4.8. Kelapa Gading, Kawasan yang Awalnya Tak Dilirik Kelapa Gading awalnya dikenal sebagai daerah rawa dan persawahan seluas 1.633,7 hektare. Tapi, sejak pertengahan tahun 1970, PT Summarecon Agung Tbk mulai memasuk dan membangun daerah ini. Masuk ke daerah ini, Summarecon menggandeng masyarakat Betawi asli untuk diajak kerja sama. Namun di tengah jalan keduanya akhirnya pisah. Orang Betawi ini akhirnya mendirikan perusahaan sendiri bernama PT Gading Kirana. Kelapa Gading merupakan wilayah kecamatan yang terletak di Kota Jakarta Utara. Keca­matan ini merupakan daerah yang dikembangkan oleh perusahaan properti Summarecon Agung sejak tahun 1975. Kecamatan Kelapa Gading terdiri dari tiga kelurahan: Kelapa Gading Barat, Kelapa Gading Timur, dan Pegangsaan Dua. Pada 2003, jumlah penduduk Kelapa Gading berjumlah 102.426 jiwa.

122 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Saat awal pembangunan, hunian banyak yang tak bertingkat. Kini, kawasan ini sudah bermunculan apartemen seperti. The Summit, Apartemen Wisma Gading Permai, apartemen di superblok Kelapa Gading Square, Apartemen Gading Mediterania Residence, Apartemen Kharisma, Apartemen Paladian Park (dulunya bernama Apartemen Menara 7 Gading), Kondominium Menara Kelapa Gading, Summerville Apartment, Apartemen Gading Nias Residence, dan Apartemen Grand Emerald. Penataan dan pengelolaan Kelapa Gading saat ini telah diserahkan sepe­ ­ nuhnya kepada puluhan pengembang yang ada. Di antaranya PT. Summa­

Pintu masuk ke kawasan Kelapa Gading, Jakarta.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 123 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

124 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 125 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan recon Agung Tbk, PT Bangun Cipta Sarana, PT Graha Rekayasa Abadi, PT PangestuLuhur, PT Nusa Kirana, dan yang terakhir PT. Agung Podomoro dan Agung Sedayu.

4.9. BSD, Menyulap Hutan Karet Lebih dari 30 tahun yang lalu, Serpong merupakan hamparan hutan karet yang tidak produktif. Tahun 1988, jalan menuju hutan karet ini hanya jalan tanah, tak beraspal. Jika musim hujan, jalan berubah jadi kubangan. Saat kemarau tiba, debu-debu berterbangan di jalan itu. Jika malam tiba, kondisinya gelap. Karena gelap itu, banyak orang yang enggan melintasi perkebunan karet ini. Mungkin legenda Mat Item yang tersohor membuat warga takut berpergian malam hari. Mat Item adalah seorang jawara yang sangat ditakuti di Tangerang. Kelakuannya sangat buruk. Ia tokoh yang jahat. Suka memperkosa. Namun sejak 1989, kawasan ini mulai berubah di mana Ciputra mulai membangun kawasan Bumi Serpong Damai dengan slogannya “Kota Mandiri”. Ciputra mengangkat menantunya, Budiarsa sebagai Presiden Direktur. Pemegang saham pendiri BSD adalah PT. Serasi Niaga Sakti; PT. Anangga Pertiwi Megah, PT. Nirmala Indah Sakti, PT. Supra Veritas, PT. Bhinneka Karya Pratama, PT. Simas Tunggal Centre, PT. Apra Citra Universal, PT. Aneka Karya Amarta, PT. Metropolitan Transcities Indonesia, dan PT. Pembangunan Jaya (saham mayoritas milik Pemerintah DKI Jakarta). Sejak saat itu Serpong mulai berkembang. Peresmian pembangunan BSD pertama kali dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri (waktu itu) Rudini. Di Bumi Serpong Damai, Ciputra memegang izin lokasi hingga 6.000 hektare. Akses ke Bumi Serpong Damai pun lambat laun mulai terbuka. Saat itu, baru ada jalan tol -Tangerang-Merak. Jarak Bumi Serpong Damai masih relatif jauh dari pusat kota Jakarta. Menuju Serpong saat itu hanya bisa dijangkau dengan angkutan umum, seperti bus Patas dengan jumlah yang terbatas. Agar akses menuju ke Serpong mudah, jalan tol dari Bumi Serpong Damai- Bintaro-Pondok Indah dibangun. Jalan tol itu akan menyambung ke Citra Raya, salah satu proyek properti milik Ciputra di Cikupa, Tangerang. Saat pembangunan dimulai, krisis melanda negeri ini pada tahun 1997. Industri properti termasuk yang mati suri. Pembangunan di Bumi Serpong Damai terhenti. Sekitar lima tahun lamanya, industri properti stagnan. Bangun­ an di Gading Serpong tak terurus lagi. Tahun 2003-2004, Bumi Serpong Damai beralih kepemilikan. Setelah di­ ambil alih grup Sinarmas, namanya menjadi BSD City. Sementara Gading Ser­

126 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

pong diambil alih dua pengembang besar, Summarecon (yang sukses menyulap rawa-rawa di Kelapa Gading menjadi kawasan elit) dan Paramount. Paramount adalah perusahaan modal asing dari Singapura, yang bergerak di bidang peralatan rumah sakit, lalu mendirikan perusahaan properti di Indonesia. Hanya Alam Sutera yang tidak berganti kepemilikan. Setelah tahun 2004, industri properti di Serpong mulai bergairah kembali. Sinarmas membangun cluster-cluster baru dengan nama asing, mulai dari De Latinos, The Icon, Sevilla, sampai Foresta. Pertimbangan mereka karena alasan permasaran. Lebih mudah memasarkan­ rumah dengan nama asing dari pada nama Indonesia sendiri. Kawasan BSD makin berkembang pesat setelah jalan tol BSD-Bintaro- Pondok Indah-TB Simatupang dapat dilalui. Harga rumah di BSD langsung naik dua kali lipat. Ketika jalan tol BSD-Pondok Indah-TB Simatupang ini me­ nyambung ke Cikunir, yang memudahkan orang yang akan ke tol Jagorawi maupun tol Cikampek, harga rumah di BSD naik kembali. Pembangunan infra­ struktur ini betul-betul membuat BSD kian berkibar.

Menteri Dalam Negeri Rudini ketika meresmikan Kota Mandiri Bumi Serpong Damai, 16 Januari 1989.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 127 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Bumi Serpong Damai beralih kepemilikan. Setelah diambil alih grup Sinarmas, namanya menjadi BSD City.

Sementara itu Grup Summarecon dengan gagah berani membangun mal, pusat perbelanjaan di kawasan permukiman itu. Padahal lokasinya relatif jauh. Sebelumnya memang sudah dibangun jalan tembus langsung dari jalan tol Km 18 Tomang-Tangerang-Merak, menuju permukiman ini. Mal yang diresmikan 28 Juni 2008 ini diisi dengan barang-barang dari brand-brand terkenal. Agaknya Summarecon mengajak serta tenant-tenant yang sukses di Kelapa Gading, ke mal baru di Serpong. Presdir Summarecon Agung Tbk Johannes Mardjuki mengatakan SMS (Summarecon Mall Serpong) akan dikembangkan sampai tiga tahap. Summa­ recon boleh berbangga karena kawasan ini kian berkembang. Grup Kompas Gramedia turut serta membangun kampus Universitas Multimedia Nusantara (UMN) di kawasan ini di mana kampus ini merupakan salah satu daya tarik dan pemacu berkembangnya­ kawasan. Pengembang lainnya, Paramount Serpong, selain membangun rumah, juga mengembangkan kawasan komersial dengan membangun hotel bintang empat Aston Paramount dan kawasan pedestrian mirip Orchard Road di Singapura. Tanto Kurniawan yang sebelumnya tangan

128 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

kanan Ciputra di Grup Jaya, kini memegang Paramount. Bagaimana dengan Alam Sutera? Alam Sutera selain membangun rumah dan jalan tembus masuk dan keluar tol Tomang-Tangerang, juga membangun mal yang relatif besar. Tapi sebelumnya, di Alam Sutera dibuka restoran Ban­ dar Djakarta, yang merupakan cabang kedua setelah Ancol. Serpong kini meru­ pakan daerah tujuan wisata kuliner. Di sepanjang Jalan Raya Serpong, ada resto-resto terkenal seperti Bumbu Desa, Telaga Seafood, Pondok Kemangi, dj’s Kampoeng Aer, Waroeng Sunda, Gado-gado Boplo, Mang Kabayan, sampai ma­kanan khas daerah Palembang seperti Pempek Golden, Pempek Pak Raden, Pempek 161, dan aneka masakan lainnya. Lebih dari itu, Serpong kini merupakan magnet baru dalam dunia properti. Saat ini, dari Serpong, anda dapat melanjutkan perjalanan melalui jalan tol JORR BSD-Bintaro-Pondok Indah-TB Simatupang yang terus menyambung ke Cikunir, dan langsung ke jalan tol Cikampek maupun tol Jagorawi. Dari Serpong anda juga dapat melanjutkan perjalanan lewat jalan tol Merak-Tangerang- Jakarta, yang tentunya dapat tembus ke jalan tol dalam kota. Serpong juga memiliki akses cepat yaitu jalur KRL. Setelah PT KAI meng­ operasikan KRL hingga malam hari, dan membangun stasiun Rawa Buntu yang bahkan dikembangkan menjadi hunian TOD (Transit Oriented Development).

masterplan bumi serpong damai

Grafis 4.5. Masterplan Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan. Sumber: Peta Rupa Bumi Indonesia 2000.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 129 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

penggunaan kawasan bsd penggunaan lokasi tahap 1 tahap 2 tahap 3 JUMLAH Kawasan Hunian 1.050 1.461 2.135 4.646 Sub Pusat Kota 150 141 145 436 Kawasan Komersial CBD - 223 225 448 Taman Kota CBD - 75 75 150 Kawasan Industri 100 100 70 270 Jumlah 1.300 2.000 2.650 5.950

sumber : divisi perencanaan BSD (2006)

Banyak warga Serpong dan sekitarnya yang memanfaatkan KRL ini untuk berangkat kerja dan pulang kerja serta tersedia pula angkutan umum sebagai sarana transportasi warga menuju stasiun KRL. Di samping tersedia pula shuttle bus ke Jakarta, yang diminati banyak pengguna. Namun tidak semua proyek-properti di Serpong sukses dan bersinar. Ada juga yang meredup karena pengembang salah membaca pasar dan demand. Serpong Plaza misalnya, kini mati suri. Hidup segan mati tak mau. Untung lah ada restoran buffet Hanamasa yang membuat orang masih mau singgah di sana. Selain itu Serpong Town Square (yang kemudian diganti menjadi CBD Ser­ pong), juga seakan hidup segan mati tak mau. BSD Junction juga termasuk salah satu yang kurang berhasil. Awalnya direncanakan menjadi pusat gaya hidup dengan banyak restoran ternama, tapi kini terpaksa berubah konsep menjadi su­per market bangunan. Akhirnya ketiga properti itu, semuanya menjual kios- kios. Saat ini (2020) harga tanah di BSD, Alam Sutera dan sekitarnya, berkisar antara Rp20 juta hingga Rp =25 juta per m². Harga ini naik berlipat-lipat dari harga awal Ciputra bersama grupnya membeli tanah seharga Rp =1.500 per m² atau senilai sebungkus rokok saat itu akhir tahun 1970an. Pada tahun 2005 penduduk BSD sudah mencapai 10.000 jiwa. Kawasan ini diharapkan dapat menampung sebanyak 30.000 jiwa dalam waktu 25-30 tahun sejak dimulainya pembangunan perumahan pada tahun 1990. Sejak tahun 2015 atau 25 tahun kemudian pembangunan perumahan di BSD dan sekitarnya (Alam Sutera, Summarecon, Gading Serpong) mulai bergerak ke arah vertikal (rumah susun atau apartemen). Pembangunan ini menyusul pembangunan 2 tower bangunan apartemen pertama setinggi 60 lantai di kawasan Karawaci oleh grup Lippo.

130 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Kawasan Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan.

Sempurnakah pengembangan BSD? Tidak. Setidaknya setelah kurang lebih 30 tahun, ada 18 catatan atas pengembangan BSD City ini. 1. BSD City bukan merupakan suatu kota mandiri seperti cita-cita semula, karena banyak penduduk BSD adalah kaum komuter yang memiliki pe­ kerjaan di Jakarta; 2. BSD City berusaha menjadi kota berwawasan hijau, namun belum jelas keterkaitannya dengan kegiatan budidaya pertanian atau perkebunan, ka­ rena merasa nilai tanah yang sudah tinggi tidak efisien lagi dipergunakan untuk kawasan hijau; 3. Belum terlihat pembangunan yang mengintegrasi area pinggiran dari BSD City dengan masterplan. Saat ini yang berkembang justru pembebasan ta­ nah yang meluas; 4. Sarana transportasi yang terintegrasi masih belum terlihat di area-area pengembangan. Warga masih belum mudah untuk mencapai area-area yang dikembangkan itu kecuali menggunakan mobil pribadi walaupun telah tersedia banyak angkutan umum ke berbagai jurusan. Jalur sepeda me­mang sudah tersedia namun seperti biasa tidak mendapat perawatan

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 131 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

dan perhatian yang memadai selain memang jarang pula digunakan oleh warga; 5. Peran BSD City dalam perpajakan tidak terlalu signifikan karena masih di­ ken­dalikan oleh pemerintah daerah Tangerang Selatan; 6. Di beberapa lokasi yang merupakan peninggalan dari pendiri awal kawasan (Ciputra) sudah terlihat peran serta dari warga setempat untuk berpartisipasi dalam menjaga kelestarian dan keberlangsungan lingkungannya, tetapi di lokasi yang dikembangkan belakangan, peran tersebut tidak terlihat; 7. Lingkungan permukiman di desain cukup kompak dan ramah, beberapa lokasi malah didukung oleh kegiatan perekonomian, namun akses pejalan kaki memang tidak konsisten tersedia yang disebabkan akibat kekurang cermatan pelaku pembangunan maupun karena telah berubah fungsi menjadi area komersial (pedagang kaki lima); 8. Berbagai kegiatan di beberapa area di BSD memang telah dapat dicapai dan terhubung dengan hanya berjalan kaki saja, namun tidak demikian di area-area yang terakhir dikembangkan saat ini yang mau tidak mau harus menggunakan kendaraan untuk mencapainya; 9. Pembangunan perumahan di dalam satu kompleks atau cluster cenderung seragam, sehingga kecil kemungkinannya untuk menciptakan keberagaman kelas sosial di dalam suatu area; 10. Saat ini BSD telah memiliki jaringan feeder busway yang melayani beberapa trayek dan juga jalur KRL Jakarta-Tangerang yang menghubungkan kota ini dengan pusat bisnis di Jakarta. Dalam hal ini BSD City masih berperan sebagai kota satelit yang menjaga dan menyokong kehidupan Jakarta, bukan sebaliknya; 11. Civic Center dan berbagai tempat kegiatan budaya lainnya seperti sekolah terlokalisasi di suatu area khusus sehingga tidak memungkinkan bagi anak- anak untuk mencapainya sendiri tanpa bantuan orang tua ataupun supir pribadi; 12. Usaha-usaha penghijauan dan taman kota sudah dilakukan namun masih belum terdistribusi secara merata. Pengembang masih perlu mengalokasikan taman kota yang lebih banyak lagi walaupun setiap cluster perumahan sudah mencoba menerapkan konsep hijau dan taman kota di dalamnya; 13. Ruang publik memang sangat jarang, kalaupun ada hanya dalam bentuk mall modern. Itulah sebabnya banyak warga yang sering mengadakan acara-acara di tanah kosong yang masih belum dibangun. Ruang publik (bangunan) yang banyak tersedia adalah properti yang dimiliki dan disediakan oleh pihak yang bergerak dalam kegiatan komersial, sehingga warga tetap harus membayar walaupun sekedar untuk parker

132 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

kendaraannya; 14. Akses kendaraan pribadi sangat disokong, terkadang mengorbankan akses pejalan kaki. Pejalan kaki memang tidak terlalu diperhatikan kepentingannya walaupun tidak bisa dibilang tidak ada sama sekali; 15. Ruang publik kecil (squares) sepertinya belum mendapat perhatian khusus, kecuali yang berada di dalam cluster perumahannya sendiri. Itu pun hanya bersifat fasum yang sepertinya jarang dipergunakan oleh penghuninya kecuali oleh anak-anak dengan babysitter-nya; 16. Dengan iklim tropis panas dan lembab serta gaya hidup yang semakin modern, sepertinya­ design arsitektur rumah tidak terlalu diperdulikan kondisi alam tropis lagi. Selama mereka dapat memberikan kenyamanan dalam bentuk pendingin udara; 17. Bangunan kultural/umum (civic) serta tempat berkumpul warga sepertinya memang sudah mendapat porsi dan perhatian. Karena berbagai fasilitas ini ditempatkan pada lokasi-lokasi strategis demi menarik minat banyak orang; 18. Walaupun pihak pengembang telah menjaga beberapa situs peninggalan sejarah seperti monumen Daan Mogot, namun tidak terlihat usaha untuk mengikut-sertakannya di dalam perencanaan kota agar menjadi bagian dari kegiatan kota dan dapat dinikmati warga. Sehingga bangunan dan situs sejarah hanya menjadi semacam monumen atau tugu pengingat, untuk kemudian ditinggalkan begitu saja. Dari pembandingan berbagai kondisi BSD City dengan guidelines yang dikeluarkan oleh CNU (Charter of New Urbanism) terlihat bahwa BSD masih ‘keteteran’ dalam menyediakan lingkungan binaan yang benar-benar berwawasan urban.

4.10. Kota Mandiri KHI Kota Harapan Indah (KHI) merupakan area perumahan skala besar yang dikembangkan PT. Hasana Damai Putra sejak tahun 1989. Pada tahun 2003, KHI mengubah konsep menjadi kota baru mandiri. Perubahan konsep tersebut terjadi setelah pengembang KHI mampu­ mengokupansi lahan seluas 1.400 hektare, dari semula sekitar 600 hektare untuk penyediaan­ perumahan kelas menengah saja. Sejak tahun 2003, KHI mulai mengklaim dirinya sebagai kota baru mandiri melalui jargon “kehidupan lengkap sudah”. Adapun beberapa justifikasi lain yang dapat memperkuat klaim tersebut adalah: 1. Luas wilayah dan jumlah penduduk. Kota Harapan Indah dikembangkan di atas tanah seluas 2.000 hektare. Dengan luas wilayah tersebut, KHI telah dapat digolongkan sebagai kota

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 133 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Masterplan Kota Harapan Indah, Bekasi. Sumber: www.sayanaapartments.com

baru mandiri sebagaimana kriteria yang dijabarkan Sujarto (1995) di mana sebuah kota baru umumnya memiliki luas minimal 1.200 hektare dan dihuni 35-100 ribu jiwa. Secara administratif, KHI terletak di dua kecamatan yang berbeda induk, yaitu Kecamatan Medan Satria, Kota Bekasi dan juga Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi. Hingga tahun 2014, PT. Hasana Damai Putra mengklaim kotabaru KHI telah dihuni oleh lebih dari 25.000 kepala keluarga atau sekitar 125 ribu jiwa (Damai Putra Group, 2014). 2. Kelengkapan fasilitas berskala kota. Menurut Golany (1976), kota baru mandiri merupakan area bermukim terpadu yang mampu menyediakan infrastruktur dengan kualifikasi setara kota. Adapun infrastruktur tersebut ditunjukkan melalui penyediaan lima unsur permukiman kota, meliputi unsur wisma, karya, marga, suka, dan penyempurna (Sujarto, 1995). Sebagai kota baru yang mandiri, KHI pun telah menyediakan kelima unsur tersebut: a. Unsur wisma yang ditunjukkan melalui penyediaan kluster-kluster perumahan beragam seperti Kluster Harmoni yang menyediakan hunian ragam bertipe 36-105 m2; Kluster Ifolia yang menyediakan ragam hunian bertipe 53-135 m2; dan Kluster Heliconia yang

134 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

menyediakan hunian bertipe 143-180 m2. b. Unsur karya melalui penyediaan kawasan-kawasan sentra bisnis dan niaga seperti sentra bisnis, niaga, dan perbankan Boulevard Hijau, sentra bisnis Mega Boulevard, sentra handphone, serta sentra otomotif. c. Unsur marga melalui penyediaan jaringan jalan yang menghubungkan semua bagian wilayah permukiman dan wilayah sekitarnya, salah satunya berupa akses langsung ke Kelapa Gading, Jakarta Timur. Penyediaan unsur marga juga ditun­jukkan melalui keberadaan SPBU, angkutan umum trayek K30, serta bus lintas kota seperti bus DAMRI dan bus eksekutif lain menuju Jakarta. d. Unsur penyempurna melalui penyediaan Rumah Sakit Citra Harapan, Global Insani Islamic School, Sekolah Terpadu BPK Penabur, SMA Negeri 10 Bekasi, Masjid Al-Furqan, serta Gereja Santo Albertus. e. Unsur suka melalui keberadaan Harapan Indah Club, lapangan futsal Harapan Indah, lapangan tennis Boulevard Hijau, danau buatan, serta taman kuliner Mali-Melo.

Sumber: Rudy A Diningrat, JurnalPerencanaan Wilayah dan Kota, vol. 25, no. 3, hlm. 192-212 Desember 2014.

4.11. Summarecon Bandung, Menghidupkan LahanTidur Gedebage merupakan sebuah kawasan yang terdapat di Bandung Timur. Kawasan ini dulunya kurang diperhitungkan karena dikenal sebagai area per­ sawahan dan terdapat banyak lahan tidur. Daerah yang berdekatan dengan Cibiru dan Sapan ini lebih dikenal sebagai daerah langganan banjir ketika musim hujan tiba. Ketika musim kemarau tiba daerah ini hampir selalu di­landa kekeringan. Tak hanya itu, kawasan Gedebage dikenal sebagai terminal peti­ kemas, Pasar Induk Gedebage dan saat ini di kenal pula sebagai lokasi Sta­dion Ge­lora Bandung Lautan Api (GBLA). Pemerintah Kota Bandung berencana mendirikan “Bandung Technopolis” yaitu sebuah kawasan atau kota baru yang dikhususkan untuk mewadahi mereka yang ahli dan ingin mengembangkan bisnis dibidang teknologi Informasi. Dalam perencanaan mendirikan Bandung Technopolis, pemerintah Kota Bandung menyebutkan ada enam pemilik lahan yang akan membangun kawasan modern tersebut. Mereka adalah Pemerintah Provinisi Jawa Barat, Pemerintah Kota Bandung, PT. Adipura, PT. Batunggal, PT. Propiden, dan Summarecon (PT. Mahkota Permata Perdana) yang mendominasi lahan sekitar 70% atau setara dengan 400 hektare. Summarecon direncanakan sebagai kota dengan kawasan residensial, komersial. Summarecon Technopolis berpadu harmonis sebagai tempat untuk tinggal, bekerja, dan rekreasi, modern dan inovatif yang menjadi wadah masyarakat modern untuk tumbuh dan berkembang. Summarecon memulai persiapan pembangunan pada akhir tahun 2014 atau awal tahun 2015

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 135 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Masterplan Summarecon Bandung. Sumber: Summarecon

Stadion Gelora Bandung Lautan Api yang berlokasi di Gedebage di klaim sebagai stadion terbesar di Jawa Barat. Stadion ini menjadi salah satu icon di Gedebage yang turut mendukung pengembangan perumahan Summarecon Bandung.

136 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

dan hingga kini sudah berdiri sejumlah rumah tapak. Tak hanya Summarecon, ada banyak badan swasta lain yang mengem­ bangkan perumahan skala besar di Bandung. Sebut saja perumahan Cikarang Baru, perumahan Rancamaya di Bandung, Meikarta di Cikarang yang dido­mi­ nasi oleh rumah susun, dan perumahan Antapani.

4.12. Jakarta, Awal Dimulainya Rumah Susun Skala Besar Sesungguhnya minat pengembang swasta untuk pembangunan rusunami di wilayah Jabodetabek pada tahun 2007-2009 sangat besar dengan progres cukup pesat, bahkan banyak pengembang yng memiliki lahan cukup luas be­ ren­cana membangun perumahan skala besar dalam bentuk rumah susun. Salah satunya sebut saja Agung Podomoro Group (APG) yang membangun Kali­bata City dan Gading Nias di Kelapa Gading. Tidak kurang dari 52 lokasi yang sudah direncanakan dan banyak di­an­ taranya sudah mulai pembangunan rusunami. Namun pergantian Gubernur DKI Jakarta yang lama kepada gubernur baru yang merubah kebijakan KLB dari semula diperkenankan 6,0 menjadi 3,5 dan boleh sampai 4,0 setelah melalui Rapim Provinsi DKI Jakarta yang dipimpin oleh gubernur baru menyebabkan pembangunan rusunami terhenti. Kondisi ini ditambah lagi dengan adanya

LOKASI PEMBANGUNAN RUSUNAMI WILAYAH JABODETABEK 2007-2009

Grafis 4.6. Lokasi Pembangunan Rusunami di Wilayah Jabodetabek 2007-2009. (1-15)

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 137 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

LOKASI PEMBANGUNAN RUSUNAMI WILAYAH JABODETABEK 2007-2009

Grafis 4.7. Lokasi Pembangunan Rusunami di Wilayah Jabodetabek 2007-2009. (16-39)

LOKASI PEMBANGUNAN RUSUNAMI WILAYAH JABODETABEK 2007-2009

Grafis 4.8. Lokasi Pembangunan Rusunami di Wilayah Jabodetabek 2007-2009. (40-52)

138 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Rusunami/Anami Kalibata CIty merupakan salah satu lokasi rumah susun yang disegel oleh Pemprov DKI Jakarta, karena sudah melakukan pembangunan walaupun izin Pendahukuan sudah terbit namun IMB belum diterbitkan. Ironisnya Gubernur DKI saat itu hadir dan menyampaikan sambutan ketika acara ground breaking. Dua orang Kabid Kemenpera (Tri Wahyusidi dan Roem Indraningsih) berfoto di depan plank segel Kalibata City.

jumlah lantai yang terpotong akibat beleid Gubernur DKI yang baru, bahkan beberapa lokasi pembangunan rusunami yang disegel dan dikenakan denda retribusi IMB yang jumlahnya tidak sedikit. Tragis memang!!

4.13. Meikarta, Proyek Ambisius Lippo Proyek Meikarta diluncurkan pada 8 Mei 2017 oleh orang nomor satu di Lippo Group, James Riady. Riady menjadikan proyek ini sebagai salah satu proyek ambisius dan terbesar yang pernah dibuat Lippo. Pengembang Meikarta adalah PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) yang merencanakan sebuah kota mandiri baru di atas lahan seluas 500 hektare, di mana pembangunannya di­ per­kirakan menelan biaya hingga Rp243 triliun. Di lokasi tersebut, pengembang merencanakan pembangunan 100 gedung pencakar langit lengkap dengan segala fasilitas sebuah kota modern seperti area komersial, hotel, sarana pendidikan, rumah sakit, pusat perbelanjaan hingga perkantoran. Untuk tahap pertama akan dibangun 250.000 rumah dan apartemen yang dibanderol sangat murah menurut ukuran Jakarta, hanya Rp127 juta untuk tipe terkecil. Harga itu bahkan lebih murah dari harga jual rumah umum tapak subsidi yang ditetapkan pemerintah. Pancingan harga murah tersebut terbukti ampuh memancing pasar. Baru sehari diperkenalkan, apartemen Meikarta langsung diserbu pembeli yang rata-rata berasal dari Jakarta yang bersedia memberikan booking fee sebesar Rp1 hinggga 2 juta. Dalam waktu sehari pengembang berhasil menjual

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 139 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan apartemen sebanyak 16.800 unit, atau denga kata lain, jika booking fee dihitung Rp1 juta maka telah terkumpul Rp16,9 miliar, suatu jumlah yang tidak sedikit. Ini rekor dalam penjualan properti di Indonesia. Tak salah jika kemudian Museum Rekor Indonesia (MURI) memberikan penghargaan kepada Lippo sebagai pihak yang berhasil­ menjual unit apartemen terbanyak dalam satu hari. Pada Januari 2019 lalu, pelaku pembangunan telah melakukan serah terima kunci apartemen Pasadena Suites, Irvine Suites, dan Westwood Suites dan pada Agustus 2019 mereka telah melakukan topping off (penutupan atap) empat menara yang kemudian akan dilanjutkan dengan serah terima seluruh tower tersebut pada 3 bulan berikutnya. Saat itu pengembang sedang membangun 56 tower, dengan jumlah total mencapai 22.500 unit. Dari jumlah unit tersebut, pengembang mengklaim telah menjual sebesar 65 persennya. Dari informasi yang beredar, di kawasan itu Lippo juga akan membangun mall terbesar di Indonesia. Keberadaan pusat perbelanjaan ini diharapkan menjadi magnet untuk menarik pengunjung datang ke kawasan Meikarta. Ada satu metode yang dipergunakan pengembang bermodal besar untuk memperta­hankan harga jual satuan rumah susun atau apartemennya, khu­ susnya bagi yang melakukan pembelian melalui KPA (Kredit Pemilikan Apar­ temen).

Masterplan Meikarta, Cikarang. Sumber: Summarecon

140 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Pembangunan Proyek Meikarta, Cikarang.

Jika pembeli gagal membayar angsuran (default), pengembang akan mem­ beli kembali (buy back) unit rumah susun atau apartemennya. Setelah dibeli kem­bali, pengembangakan menjualnya kepada pihak lain dengan harga baru. Sementara uang pembeli lama yang terlanjur disetorkan akan dikembalikan se­ sudah dipotong dalam jumlah cukup besar, antara lain biaya-biaya uang muka, biaya bank, asuransi dan denda akibat gagal bayar. Arti­nya pembeli pertama sesungguhnya akan merugi. Di samping itu, banyak pula pembeli yang tidak menghuni apartemennya melainkan melakukan invetasi dalam pembelian apartemen, karena diiming- iming pengembang. Biasanya­ pembeli diiming-imingi unit apartemen dapat­ disewakan dengan jaminan pengembang­ atau perusahaan lain yang beker­

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 141 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Harga Sarusun apartemen Meikarta (Desember 2019) Tipe Unit Ukuran Harga Keterangan Studio, Tower B Unit N 21,85 m2 195 jutaan Non furnish Type 2BR, Tower B Unit K 42,58 m2 360 jutaan Non furnish Type 2BR, Tower B Unit L 55,31 m2 448 jutaan Non furnish Type 3BR, Tower B Unit B 64,17 m2 520 jutaan Non furnish Type 3BR, Tower B Unit A 68,74 m2 553 jutaan Non furnish Type 4BR, Tower A Unit F 84,56 m2 647 jutaan Non furnish Type 4BR, Tower A Unit C 98,28 m2 732 jutaan Non furnish jasama dengan pengembang, dan biaya sewa tersebut dapat membantu pem­ beli untuk membayar cicilan. Tidak seperti BSD dan Kelapa Gading di mana pelaku pembangunan lebih dari satu, Meikarta sejak tahun 2017 hingga saat buku ini disusun masih di­ tangani oleh Lippo Group, walaupun sempat tersandung masalah hukum, yang ber­kenaan dengan perizinan tanah. Berbeda dengan perumahan skala besar lainnya (BSD, Kelapa Gading, Alam Sutera), di Meikarta tidak ada rumah tapak (landed), semuanya berupa rumah susun atau apartemen.

4.14. Perumahan Skala Besar Era Kabinet Kerja Pembangunan kota-kota baru muncul kembali merupakan salah satu strategi manajemen­ dalam mengelola tingginya urbanisasi di kota-kota metro­ politan. Pada RPJMN ke-3 2015-2019 diamanatkan pembangunan 10 kota baru publik yang tersebar di seluruh Indonesia­ yaitu: Padang, Palembang, Maja, Pontianak, Pekanbaru, Tanjung Selor, Makassar, Manado, Sorong, dan Jaya­ pura. Dalam perkembangannya pemerintah menambah lagi dengan empat kota baru publik, yaitu: Sei Mangkei, Kemayoran, Bandar Kayangan, dan Sofifi.

Maja, Menahan Laju Ubranisasi ke Jakarta Pembangunan Kota Baru Maja sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1994, melalui SK Menpera Nomor 02/KPTS/M/1998 tentang Penetapan Pengem­ bangan Kota Baru Maja. Namun saat krisis moneter, program ini berhenti dan kembali berlanjut pada 2006 dimana Menteri Perumahan Rakyat kembali mengeluarkan SK Menpera Nomor 51/KPTS/M/2008 tentang Tim Kerja Fasi­ litasi Pengembangan Kembali Kota Baru. Pada tahun 2011 pemerintah kembali melakukan studi kawasan dalam rangka evaluasi pengembangan kota baru.

142 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Setelah studi kawasan selesai, pemerintah kembali meneruskan pengem­ bangannya. Pengembangan ini ditandai dengan pembangunan proyek peru­ mahan yang dilakukan oleh Citra Maja Raya (grup Ciputra). Proyek ini telah diresmikan oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pada No­ vember 2017. Menurut Basuki, kawasan kota baru Maja direncanakan bisa menampung hingga 1,2 juta jiwa penduduk. Pemerintah memfasilitasi penyiapan lahan seluas 2.000 hektare dalam proyek tersebut yang sebagian besar dikembangkan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Pengembangan wilayah ini didukung akses transportasi kereta Jakarta-Rangkasbitung. Selain akses kereta api, Kementerian PUPR juga membangun jalan arteri dari Pamulang-Parung Panjang-Maja, maupun jalan tol Serpong-Balaraja dan Serang-Panimbang. Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) Kementerian PUPR pun merencanakan 10 ribu unit rumah dalam proyek ter­ sebut. Jumlah itu terdiri dari 8.000 unit hunian MBR, serta 1.000 unit rumah ber­subsidi dengan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Kota Maja juga akan didukung oleh Instalasi Pengelolaan Air Minum (IPAM) Rangkas­bitung. Untuk pemenuhan kebutuhan air baku akan diambil sebagian dari suplai Bendungan Karian termasuk untuk mensupplai Kabupaten Lebak.

Gerbang utama perumahan Citra Maja Raya, Banten.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 143 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

144 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 145 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Rencana pengembangan dengan luas 2.600 hektare dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti CBD, pusat- pusat lingkungan, sarana pendidikan, sosial, ibadah, sport, dan rekreasi yang sesuai dengan skala pengembangan untuk menunjang fungsi kota yang terintegrasi dengan baik.

Masterplan Perumahan Citra Maja Raya.

Semua pembangunan itu bukan eksklusif untuk Citra Maja Raya saja, me­ lainkan untuk kota baru Maja yang terletak di sebelah barat Jakarta, di mana pembangunan kota baru ini sekaligus untuk menahan urbanisasi ke Jakarta. Melalui Perpres 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Me­nengah Nasional 2020-2024 pemerintah menetapkan empat major project pengembangan kota baru sebagai target indikator prioritas KP pengembangan kawasan perkotaan. Keempat kota baru itu yakni: Kota Baru Publik Maja (Pulau Jawa), Kota Baru Publik Tanjung Selor (Pulau Kalimantan), Kota Baru Publik Sofifi ibukota provinsi Maluku Utara (Pulau Maluku), dan Kota Baru Publik Sorong (Pulau Papua). Maja berada Kabupaten Lebak dan Kabupaten Tangerang di Provinsi Banten serta Kabupaten Bogor di Provinsi Jawa Barat. Kota Baru Maja dibangun di kawasan seluas 15.511 hektare di mana Citra Raya Maja menguasai 2.600 hektare. Untuk turut mewujudkan pembangunan kota ini, Citra Raya Maja mengu­ sung visi: 1. Pengembangan berskala kota yang terintegrasi berbasis Transit Oriented Development (TOD) dengan penyediaan rumah MBR (Affordable Housing) guna turut pengurangan backlog perumahan; 2. Stasiun kereta api Maja sebagai simpul (hub) pengembangan dan interkoneksi; 3. Konsep pengembangan yang mendukung peningkatan mobilitas dan konektifitas melalui penggunaan angkutan umum yang terjangkau; dan 4. Terbangunnya lingkungan perumahan yang memiliki kemudahan akses dan kedekatan terhadap berbagai fasilitas umum seperti pendidikan, kese­ hatan, keamanan, periba­ ­datan, sarana komersial dan rekreasi serta sarana sosial lainnya.

146 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Menteri PUPR Basuki Hadimuljono dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melihat masterplan perumahan Citra Maja Raya, No­vember 2017.

Untuk mengembangkan kota baru Maja, pemerintah daerah juga melibat­ kan para pengembang dalam penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Mereka menyusun rencana bagaimana interkoneksi dibangun antar pengembangan baru dengan enclave-enclave perumahan yang telah ada di sekitarnya dengan harapan, melalui forum koordinasi sepert itu bisa dibangun kawasan pengembangan yang inklusif yang mampu berintegrasi satu sama lain dengan baik. Proporsi rumah yang dibangun di kawasan ini pada tahap awal 90% meru­ pakan rumah bagi masyarakat berpengasilan rendah (MBR) termasuk di dalam­nya kluster rumah MBR bersubsidi (FLPP). Pada fase 1, jumlah unit yang di­bangun sebesar 13,200 unit di lahan seluas 263 hektare dengan perbandingan rumah mewah dan menengah berbanding dengan rumah sederhana 11% ber­ banding 89%. Pada fase 2, jumlah unit yang dibangun 14,300 unit di lahan seluas 256 hek­ tare dengan perbandingan rumah mewah dan menengah berbanding dengan rumah sederhana 8% berbanding 92%.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 147 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Pengembangan kawasan dilakukan secara kolaboratif antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah dan Badan Usaha atau pengem­bang. Penyediaan infrastruktur dilakukan secara kolaboratif sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing stakeholder. Presiden Direktur PT. Ciputra Residence, Budiarsa Sastrawinata mengakui perkem­bangan pembangunan Citra Maja Raya tidak lepas dari bantuan pe­ merintah dalam membangun­ daerah sekitar Citra Maja Raya, termasuk penye­ diaan jalan kereta api double track. Menurut Budiarsa, Citra Maja Raya memi­ liki masterplan yang dirancang sesuai dengan semangat pemerintah dalam memprioritaskan penggunaan moda transportasi massal. Salah satunya lewat konsep Transit Oriented Development (TOD). Di mana Citra Maja Raya hanya berjarak 500 meter dari Stasiun Maja. Pusat ekonomi Citra Maja Raya akan berada di Eco Plaza dan juga Central Business District (CBD). Saat ini Fun World sudah bergabung dan memastikan akan membuka site-nya di Eco Plaza. Selain CBD dan Eco Plaza, Citra Maja juga akan membangun Rukan Citra Maja, Convenience Store, dan juga pasar modern. Menurut Direktur Senior Ciputra Group, Agus Surja Widjaja, Kota Baru Citra Maja Raya dilengkapi pusat perbelanjaan dan life style. Selain itu, juga akan dilengkapi dengan berbagai fasilitas di antaranya sekolah, waterpark, dan juga akan ada 16.000 unit rumah serta kawasan sarana komersil. Selain Grup Ciputra, di sana juga ada PT Hanson International Tbk (MYRX). Di sini PT Hanson bekerja sama dengan Grup Ciputra untuk Citra Maja Raya. Saat ini perusahaan telah memegang sekitar 4.000 hektare di wilayah Maja. Sebanyak 2.600 hektare lahan sudah direncanakan untuk dibangun ber­sama Ciputra melalui joint operation yakni melalui proyek Citra Maja Raya, MYRX juga mengungkapkan telah memegang kepemilikan tanah dari Serpong, Parung Panjang, dan Tenjo. Saat ini Hanson tengah meningkatkan jangkauannya hingga Rangkas Bitung. Untuk proyek hunian di Maja, Banten, dapat dikatakan bahwa Hanson dan Group Ciputra merupakan pelopor.

4.15. Tanjung Selor, Konsep Kota Pintar dan Berkelanjutan Tanjung Selor adalah sebuah kecamatan dan merupakan pusat pemerin­ tahan Provinsi Kalimantan Utara dan Kabupaten Bulungan. Tanjung Selor memiliki luas wilayah 1.277,81 km². Berdasarkan data BPS Kabupaten Bu­ lungan jumlah penduduk Tanjung Selor sebanyak 42.231 jiwa pada tahun 2012. Jum­lah itu terdiri dari 22.488 laki-laki dan 19.743 perempuan. Jika dirata-rata, kepadatan penduduk Kota Tanjung Selor sebesar 33 orang per km². Kota Baru Tanjung Selor termasuk dalam salah satu dari 10 kota baru yang diprioritaskan pengembangannya dalam Perpres No. 2 Tahun 2015 tentang

148 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

RPJMN 2015-2019. Dalam Perpres 18 Tahun 2020, tentang RPJM 2020-2024, Tanjung Selor menjadi salah satu dari empat major project kota baru. Untuk mempercepat pengembangan kota baru, Gubernur Kalimantan Utara menerbitkan­ Pergub Nomor 050/842/Bapp.04/XII/2015 tentang Pene­ tapan Tanjung Selor sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Utara. Ada juga Inpres No.9 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Kota Baru Mandiri Tanjung Selor dan penandatanganan Komitmen dan Rencana Aksi oleh 12 Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah. Dalam rangka mendukung program tersebut, Kementerian PUPR melalui BPIW dan Direktorat Pengembangan Kawasan Permukiman melaksanakan penyusunan­ review master­plan dan rencana pembangunan infrastruktur per­ mu­kiman (RPIP) Kota Baru Mandiri. Pengembangan Kota Baru Mandiri (KBM) Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan akan dibagi kedalam 4 tahapan. Delineasi tahap pengembangan pertama KBM Tanjung Selor adalah seluas 376 hektare

Tugu Cinta Damai, Tanjung Selor, Kalimantan Utara.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 149 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan yang mengusung konsep kota pintar dan berkelanjutan (Smart and Sustainable City). Fokus program dan kegiatan terdiri atas penyediaan sistem penyediaan air minum, sistem pengelolaan Air limbah skala kawasan, sistem pengelolaan per­sampahan skala kawasan, sistem drainase, sistem jaringan jalan lingkungan di dalam kawasan serta ruang terbuka publik. Pengembangan kota baru man­ diri Tanjung Selor diharapkan memberi multiplier effect yang dapat mengem­ bangkan perekonomian di kawasan tersebut. Tahapan selanjutnya dilakukan dengan melengkapi kebutuhan infrastruktur di kawasan pusat pemerintahan seluas 811 hektare serta pengembangan di kawasan prioritas seluas 2.079 hektare. Lalu, dilengkapi dengan pengembangan infrastruktur di lahan 11.390 hektare. Konsep pengembangan kawasan tersebut sebagai dasar dalam pembangunan 5 tahun pertama (2020-2024). Di mana prio­ritasnya adalah pengembangan pusat pemerintahan seluas 376 hektare yang didukung fasilitas seperti blok hunian tapak dan hunian vertikal.

Pembangunan perumahan bersubsidi di Tanjung Selor, Kalimantan Utara.

150 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Selain itu, untuk mengantisipasi genangan ataupun banjir maka disediakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dilengkapi polder air atau kolam retensi. Penerapan pola grid dan prinsip densifikasi (pemadatan) penggunanaan lahan diharapkan dapat membuat aktivitas kawasan pemerintahan lebihramai dan hidup karena penggunaan ruang juga lebih efisien dan optimal. Ada beberapa upaya yang dilakukan Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara untuk mempercepat pembangunan Tanjung Selor, di antaranya: 1. Percepatan proses perizinan; 2. Melakukan evaluasi peraturan daerah yang menghambat; 3. Melakukan fasilitasi percepatan ketersediaan lahan; 4. Prioritasi penganggaran untuk kegiatan penunjang KBM Tanjung Selor; dan 5. Melakukan fasilitasi percepatan penyusunan RTRW dan RDTR.

4.16. Sofifi Akan Tak Sepi UU Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara menetapkan Sofifi sebagai Ibu kota Provinsi Maluku Utara. Namun hingga tahun 2020 Sofifi masih berstatus desa yang berada di wilayah Kecamatan Oba Utara Kota Tidore Kepulauan. Karenanya, pemerintah Provinsi Maluku Utara mendorong pembentukan Daerah Otonom Baru atau penetapan wilayah administratif Ibu kota Provinsi atau Wilayah Perkotaan Sofifi. Sebagai wilayah perkotaan baru publik, Sofifi perlu berbenah dengan melakukan percepatan pembangunan infrastaruktur berupa sarana, prasarana, dan utilitas. Rencana pengembangan kota Sofifi tidak terlepas dari posisi strategis wilayah ini. Wilayah ini masuk dalam simpul transportasi nasional dengan ada­ nya pelabuhan Ternate (dalam jaringan Tol Laut). Karena letaknya yang stra­ tegis diperkirakan pada 2024 bakal terjadi kenaikan jumlah penduduk sebesar 6% dari jumlahpenduduk yang ada pada 2019. Untuk itu kolaborasi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemerintah kab/kota mutlak harus dilakukan bersama-sama dengan badan usaha serta masyarakat. Beberapa program dan kegiatan prioritas yang dilakukan untuk mendukung percepatan pembangunan Kota Sofifi adalah: • Penyusunan RDTR untuk PKW Sofifi, arahan Menteri PPN/Kepala Bappenas untuk pembangunan ibu kota provinsi; • Penyediaan Air Baku di Kawasan Perkotaan (Kementerian PUPR) seperti ben­dungan, waduk, dan embung; • Meningkatkan dukungan infrastruktur pelayanan dasar seperti akses air minum dan sanitasi seperti SPALD-S Skala Kota, SPALD-T Skala Per­mu­ kiman, TPA, TPS3R (Kementerian PUPR, DAK, APBD, Masyarakat, Swasta, KPBU);

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 151 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Kawasan Sofifi, Maluku Utara.

• Meningkatkan sarana pendidikan, sarana perdagangan, sarana kesehatan, dan lainnya; • Meningkatkan dukungan sarana dan prasarana transportasi pembangunan Pelabuhan bandara (Kemenhub, BUMN, Swasta); • Pengembangan sistem angkutan umum masal perkotaan berbasis jalan (Kemenhub). Berdasarkan SK Walikota Tidore Kepulauan No.109.1 Tahun 2018 delineasi Kota Baru Sofifi seluas 2.840,7 hektare meliputi : 1. Desa Gosale; 2. Kelurahan Guraping; 3. Desa Balbar; 4. Desa Galala; 5. Kelurahan Sofifi; 6. Desa Bukit Durian; 7. Desa Oba; 8. Desa Ampera; 9. Desa Somahode; 10. Desa Garojou; 11. Desa Akekolano; 12. Desa Kusu.

152 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Ke-12 desa dan kelurahan ini berada di wilayah Kecamatan Oba Utara. Perencanaan yang telah dilakukan dalampengembangan Kota Baru Sofifi adalah:

No Tahun Dokumen/ Kegiatan • Koordinasi dan Survey Lapangan • Dokumen Konsep Master Plan Pembangunan Kota Baru Pemenrintahan Sofifi 1 2015 • SK Menteri PPN/Bappenas Tim Koordinasi • SK Gubernur Maluku Utara Pembentukan Tim Koordinasi Pembangunan Kota BaruSofifi Nomor 167/KPTS/MU/2015 2 2016 Penyusunan Development Plan oleh BPIW, Kementerian PUPR Masuk sebagai usulan tambahan prioritas 10 Kota Baru pada Evaluasi 3 2017 Paruh Waktu RPJMN 2015-2019 • RKP 2018 • Monitoring dan Evaluasi Kegiatan Perencanaan K/L mitra (fasilitasi RDTR, 4 2018 development plan dan DED sertarencanateknis) • SK WalikotaTidore Kepulauan Nomor 109.1 Tahun 2018 tentang Pentapan Delineasi Kawasan Kota Baru Sofifi

Delapan (8) rancangan percepatan pembangunan Maluku Utara yang disampaikan Yasin itu yakni, 1) Mayor Project Pembangunan Kota Baru Sofifi; 2) Sentra Pengembangan Perikanan Terpadu (SKPT) Bacan; 3) Pengembangan Pulau Obi Sebagai Kawasan Industri (KI); 4) Kawasan Industri (KI) Weda; 5) Kawasan Pedesaan Prioritas Nasional (KPPN) Sula-Mangoli-Taliabu, Halmahera Barat dan Halmahera Utara; 6) Pengembangan Wilayah Adat Halmahera Barat, Halmahera Utara dan Kota Tidore Kepulauan; 7) Pengembangan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KPPN) Pulau Widi; dan 8) Peningkatan Konektifitas Maluku-Maluku Utara.

4.17. Sorong, Gerbang Kota Minyak Kota Sorong adalah sebuah kota di Provinsi Papua Barat. Kota ini dikenal dengan sebutan Kota Minyak, di mana Nederlands Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM) mulai melakukan aktivitas pengeboran minyak bumi di Sorong sejak tahun 1935. Sorong adalah kota terbesar di Provinsi Papua Barat serta kota terbesar ke­ dua di Papua Indonesia, setelah Kota Jayapura. Kota Sorong sangatlah strategis

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 153 Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Kawasan Kota Sorong, Papua Barat. karena merupakan pintu keluar masuk dan transit ke Provinsi Papua Barat. Kota Sorong juga merupakan kota industri, perdagangan, dan jasa. Sorong dikelilingi oleh kabupaten lain yang mempunyai sumberdaya alam yang sangat potensial sehingga membuka peluang bagi investor dalam maupun luar negeri untuk menanamkan modalnya. Kota Sorong merupakan gerbang masuk ke salah satu destinasi tersohor, Raja Ampat.

154 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Membangun Hunian, Menghadirkan Kehidupan

Karena dinamikanya itu, pemerintah mendorong pembentukan kota baru Sorong sebagai salah satu penyangga pesatnya perkembangan kota sorong. Delineasi Kota Baru Sorong terpacu pada penggerak ekonomi yang berada di sekitar KEK Sorong yang pusatnya adalah Distrik Aimas. Pemerintah Pusat melalui Kementerian PUPR (BPIW) sudah menyusun MPDP Sorong dengan fokus pembangunan awal pada KEK di sekitar kota Sorong. Delineasi Kota Baru Sorong berada di wilayah administrasi Kota Sorong dan Kabupaten Sorong. Kota Sorong terdiri dari 6 (enam) distrik, yaitu Distrik Sorong Barat, Sorong Utara, Sorong, Sorong Manoi, Sorong Timur, dan Sorong Kepulauan. Wilayah Kota Sorong dan Distrik Aimas (Kabupaten Sorong) selanjutnya disebut wilayah Sorong Raya. Kota Baru Sorong merupakan salah satu PKN dan pusat pertumbuhan dalam WPS Pertumbuhan Baru Sorong-Manokwari. Arah pengembangan Kota Baru Sorong perlu diintegrasi­ ­kan secara komprehensif dengan kebutuhan infrastrukturnya. Beberapa program dan kegiatan prioritas yang dilakukan untuk mendukung percepatan pembangunan Kota Baru Sorong adalah: • Penyediaan air baku di kawasan perkotaan (Kementerian PUPR) seperti bendungan, waduk dan embung; • Meningkatkan dukungan infrastruktur pelayanan dasar seperti akses air minum dan sanitasi seperti SPALD-S Skala Kota, SPALD-T Skala Per­ mukiman, TPA, TPS3R (Kementerian PUPR, DAK, APBD, Masyarakat, Swasta, KPBU); • Meningkatkan sarana pendidikan, sarana perdagangan, sarana kesehatan, dan lainnya • Meningkatkan dukungan sarana dan prasarana transportasi Pembangunan Pelabuhan Bandara (Kemenhub, BUMN, Swasta); • Pengembangan sistem angkutan umum masal perkotaan berbasis Jalan (Kemenhub). D D D

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 155 Menyiasati Keterbatasan Lahan

156 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Menyiasati Keterbatasan Lahan

BaB v

Menyiasati Keterbatasan Lahan

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 157 Menyiasati Keterbatasan Lahan

158 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Menyiasati Keterbatasan Lahan

BaB v Menyiasati Keterbatasan Lahan

Tak dapat dipungkiri, perkembangan kota baru yang sangat pesat turut dipicu oleh spekulasi tanah yang dilakukan oleh beberapa warga masyarakat yang memiliki sumber dana dan kekuasaan dan beberapa pengembang swasta. Para pengembang berlomba-lomba menguasai lahan secara spekulatif dengan dukungan birokrasi pemerintah yang cenderung tidak transparan. Selain itu, juga pemberian izin tanah yang tidak terkendali yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk pembangunan perumahan di daerah ter­ sebut. Akibatnya, terjadi pengalihan kepemilikan tanah besar-besaran dari pe­ milik tanah sebelumnya, terutama petani miskin. Sementara mereka yang ke­ hilangan tanahnya, dengan atau tanpa ganti rugi yang adil, harus mencari mata pencaharian baru. Sistem perizinan lahan yang tidak terkendali mengakibatkan banyak lahan yang sudah lama dibebaskan terbengkalai. Lahan-lahan itu menjadi lahan tidur. Tommy Firman dari Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota ITB, dalam artikelnya berjudul, “Large-Scale Housing and New Town Development in Jakarta Metropolitan Area (JMA): Towards an Urban Spatial Segregation,” menyebut, dari 1993 hingga 1998 tercatat pemerintah mengeluarkan izin pem­ bangunan kurang lebih 72.000 hektare atau 12.000 hektare lahan pertahun. Tanah-tanah ini rata-rata berada di daerah pinggiran Jakarta. Jumlah tanah ini lebih dari cukup untuk menampung lebih dari 8,5 juta orang. Asumsinya 60% cakupan dan kepadatan perumahan 200 orang per hektare. Dalam banyak kasus, pengembang memperoleh pinjaman untuk pengada­ ­ an tanah dan pembangunan rumah dari bank kelompok usahanya sendiri. Bah­ kan, banyak bank swasta nasional yang terlalu gencar memberikan pinjaman kepada perusahaan properti. Model ini kerapkali mengakibatkan pelanggaran standar kelayakan pinjaman dan batas pinjaman yang sah. Padahal Undang- Undang Perbankan Indonesia menyebut, bank hanya diperbolehkan mem­ berikan pinjaman maksimal 30% dari total modal bank kepada perusahaan afiliasi, termasuk perusahaan properti, dan individu terafiliasi. Sistem perizinan penguasaan tanah pada saat itu secara eksklusif mengizin­ kan pencadangan tanah bagi pengembang-pengembang besar. Akibatnya, kata

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 159 Menyiasati Keterbatasan Lahan

Perumahan di kawasan Tangerang, Banten.

Tommy, terjadi spekulasi lahan dan menigkatnya harga lahan. Proses penga­ da­an tanah di kawasan metropolitan di Indonesia biasanya melibatkan calo tanah yang mengambil untung dalam jumlah besar sebagai biaya komisi dan membuat prosesnya menjadi lebih rumit. Menurut Tommy, calo tanah di Jakarta mengumpulkan sekitar 10% dari transaksi yang nilainya kurang dari Rp100 juta. Hal ini mencerminkan tidak adanya mekanisme yang efektif untuk mengontrol pengalihan lahan pada posisi tawar yang ‘setara’. Pemanfaatan lahan di pinggiran kawasan metropolitan sering­kali diwarnai dengan ‘konflik’ yang melibatkan masyarakat pemilik lahan, pengembang, serta pemerintah daerah. ‘Konflik’ tersebut seringkali ber­ akhir dengan penggusuran penghuni lama.

5.1. Komunitas Berpagar Perkembangan kota-kota baru dan hunian skala besar di kawasan metro­ politan di Indonesia, kata Tommy, cenderung berjalan dengan mekanisme

160 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Menyiasati Keterbatasan Lahan

Apartemen Sentra Timur, Jakarta. pasar. Pemerintah daerah belum memainkan perannya secara optimal untuk mengatur dan menata perkotaan secara inklusif. Pengembang menguasai lahan sudah sejak lama sehingga intervensi pemerintah menjadi terbatas dalam mengatur ruang-ruang perkotaan. Padahal pemerintah punya peran mengatur dalam pembangunan kota. Pandangan ini sesuai dengan teori institusional yang melihat korporasi sebagai entitas yang beroperasi di dalam dan dibentuk oleh batasan institusional. Namun kenyataannya, pengembang swasta telah mengambil alih beberapa peran yang seharusnya menjadi peran pemerintah. Jabodetabek memiliki luas kurang lebih 6.400 km2. Tanah seluas itu diper­kirakan akan dihuni penduduk kurang lebih 30 juta pada tahun 2020. Dari 30 juta penduduk itu, 10 juta warga tinggal di Kota Jakarta. Sampai saat ini terdapat lebih dari 27 proyek skala besar di wilayah tersebut, dengan luas berkisar antara 500 hingga 6.000 hektare. Proyek-proyek ini sebagian besar dibangun oleh pengembang yang sebagian besar merupakan anggota Real Estat Indonesia (REI). Lahan-lahan pertanian di pinggiran Kota Jakarta telah diubah menjadi permukiman dalam skala yang besar. Perkembangan pengembangan perumahan dan permukiman skala besar

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 161 Menyiasati Keterbatasan Lahan marakterjadi karena kemudahan akses dana investasi dari pasar internasional dan nasional. Ada dua jenis kota baru di Jabodetabek: pertama, kota yang benar-benar baru dibangun di pinggiran. Kota baru ini dibangun di atas tanah yang dulu­ nya merupakan daerah pertanian atau perkebunan. Kedua, kota baru yang di­kembangkan di dalam wilayah kota Jakarta. Jenis kedua ini dikembangkan melalui proyek pembaruan perkotaan di wilayah pemukiman yang ada, seperti kawasan kampung kota yang dikembangkan menjadi superblock dan hunian vertikal dengan skala yang sangat besar. Menurut Tommy, dari sudut pandang pengembang, kota-kota baru di Jabodetabek telah dikembangkan dengan tiga tujuan utama: 1. Untuk memenuhi keinginan masyarakat untuk tinggal di lingkungan yang tenang, modern dan aman; 2. Memberi mereka peluang investasi; dan 3. Untuk mendapatkan keuntungan moneter yang besar dan cepat. Jumlah kota-kota baru pada dasarnya dirancang sebagai daerah pemukiman eksklu­sif yang dikelilingi oleh tembok, berisi deretan rumah dan klaster rumah berbentuk ‘gated community’. Pembangunan klaster perumahan menjadi penyebab utama ketimpangan pendapatan, terutama antara warga dalam klaster perumahan dengan warga sekitar. Faktor determinan ketimpangan adalah:

Pembangunan perumahan tapak yang masif tidak dapat lagi dilakukan di kota-kota besar, dan saat ini secara perlahan sudah mulai beralih ke pembangunan vertikal dengan pendekatan superblok yang multifungsi, di mana dalam satu kawasan bisa terdapat lebih dari 20 fungsi. Sumber: Suryono Herlambang, 2020

162 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Menyiasati Keterbatasan Lahan

1. Masyarakat yang tinggal di klaster perumahan adalah para komuter yang lokasi kantornya berada di perkotaan; 2. Diferensiasi kerja menyebabkan variasi tingkat upah yang mengakibatkan pendapatan penduduk di klaster perumahan tidak merata dengan penda­ patan penduduk lokal.

5.2. Segregasi Ruang Perkotaan Para pengembang yang tidak memiliki modal besar saat ini cenderung lebih menyukai membangun perumahan klaster, dengan asumsi lebih mudah menjual dan harga rumah pasti naik setiap tahun dibandingkan jika mereka membangun rumah susun. Tragisnya, mereka membangun di tengah lingkungan permukiman warga lokal, yang berdampak pada terjadinya kesenjangan ruang di masyarakat. Dalam kasus ini, gated community semakin marak dibanding 14 tahun yang lalu. Melalui uji man whitney (uji non parametris yang digunakan untuk mengetahui perbedaan median 2 kelompok bebas), menurut Tommy, ditemukan adanya ketidakcocokan antara warga perumahan klaster dengan warga lokal dan dalam banyak hal menimbulkan konflik. Isu konflik meliputi konflik sosial dan konflik kepentingan dalam memanfaatkan sumberdaya se­ per­ti air minum serta akses terhadap jalan. Pada saat yang sama, baik warga di peru­mahan klaster maupun warga lokal sama-sama tersegregasi. Segregasi di Indonesia terjadi pada kedua kawasan dengan tekanan segregasi yang berbeda-beda. Segregasi tercipta tidak hanya akibat dari preferensi warga pada kedua kawasan, tetapi terjadi karena sistem ekonomi dan kebijakan pem­ bangunan. Ini bisa terjadi antara perumahan di dalam lingkungan, antara ling­ kungan perkotaan, dan antara kota dan daerah sekitarnya. Segregasi spasial pada hakikatnya merupakan pembentukan sekat-sekat ruang yang berasal dari manifestasi keragaman kondisi sosial-ekonomi pen­ duduk saat ini dan mekanisme yang mempengaruhi perubahannya. Menurut Tommy, segregasi spasial yang terjadi di dalam pengembangan kota baru me­ micu penyekatan antar penghuni yang didasarkan pada kondisi sosial-ekonomi sehingga menghasilkan komunitas berpagar (gated community). Kondisi ini memang tak bisa disalahkan. Sebab, segregasi spasial yang ter­jadi di dalam pengembangan perumahan skala besar merupakan akibat dari dinamika pasar berupa permintaan dan penawaran. Dalam konsep ini pengem­bang memegang sisi penawaran yang menangkap adanya permintaan pen­duduk tentang lingkungan hunian (perumahan) yang mewah, modern, dan eksklusif. Selain itu, segregasi spasial terjadi karena tidak semua penduduk kota me­miliki kemampuan yang sama dalam berkompetisi terhadap penguasaan lahan. Menurut Tommy, persepektif semacam ini juga dikenal dengan istilah

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 163 Menyiasati Keterbatasan Lahan

Perumahan cluster menjamin mendapatkan tempat tinggal yang ekslusif. pers­pektif segregasi spasial tradisional (traditional spatial segregation theory). Ada tiga pandangan tentang segregasi spasial ini, yaitu: a. Teori kelas (class theory). Teori ini mengungkapkan bahwa sekat-sekat keruangan perumahan dise­ babkan oleh perbedaan kelas sosial-ekonomi. b. Teori segregasi diri-sendiri (self segregation theory). Teori ini menyatakan bahwa penyekatan keruangan terjadi karena ke­ inginan atau preferensi seseorang untuk tinggal di lingkungan yang seba­ gian besar penduduknya memiliki kesamaan status dan karakter. Misal: peru­mahan para pejabat daerah. c. Teori diskriminasi (discrimination theory). Teori ini mengatakan bahwa fanatisme kelompok sebagai hal yang prinsip, sehingga kelompok lain yang secara nilai dasar berada di luar kelompoknya harus didiskriminasikan meski secara karakter tertentu telah memenuhi kesamaan. Sebagai contoh adalah orang negro yang tidak diperbolehkan untuk hidup bersama dengan kelompok kulit putih, meski secara ekonomi sudah terbilang mapan. Karakteristik penduduk kota yang semakin modern yang cenderung ber­ sikap individualis, perlahan menggerus kebiasaan-kebiasaan mereka dalam ber­interaksi sosial dengan para tetangganya. Hal ini membuat keinginan mereka

164 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Menyiasati Keterbatasan Lahan

tentang kebutuhan hunian menjadi bergeser pada lingkungan perumahan yang memiliki tingkat keamanan tinggi agar terbebas dari gangguan siapapun, yang diwujudkan dengan memasang portal dan penjaga pada gerbang masuk perumahan serta memasang CCTV di setiap jalan lingkungan perumahan. Di sisi lain, banyak pengembang perumahan yang menangkap ini sebagai peluang bisnis dan merefleksikannya pada pembangunan perumahan-peru­ mahan kluster yang bahkan semakin menambah segregasi spasial. Permintaan akan kota-kota baru ini pada dasarnya diciptakan oleh pengem­ bang yang mampu membangun dan menjual citra kota-kota baru sebagai simbol ‘modernisme’, seperti di masyarakat maju. Hal ini pada gilirannya telah memperkuat segregasi spasial dalam tiga cara: Pertama, telah memolarisasi kelompok penduduk berpenghasilan me­ nengah dan atas ke dalam kota-kota baru, menghasilkan kantong-kantong ka­wasan pemukiman eksklusif yang tersebar di mana penduduk menikmati gaya hidup eksklusif, infrastruktur dan fasilitas yang jauh lebih baik dan yang terpenting, keamanan, berdampingan dengan kawasan permukiman yang di­ huni oleh MBR dan masyarakat miskin. Kedua, di dalam kota-kota baru itu sendiri, kelas menengah-atas dan kaum elit menempati bagian dari wilayah yang dirancang secara eksklusif untuk ting­ kat keamanan dan kenyamanan setinggi mungkin. Ketiga, di beberapa kota baru, pengelolaan pembangunan kota dilakukan oleh pengembang swasta, bukan oleh pemerintah kota. Proses segregasi spasial di Indonesia pada dasarnya mirip dengan pembentukan komunitas yang terjaga keamanannya di kota-kota besar Amerika Latin.

5.3. MBR Termarjinalisasi di Ruang-ruang Informal Seperti telah disinggung di Bab 1 (Jalan Panjang Berburu Hunian), MBR sebagai kelompok yang seharusnya mendapatkan perlindungan dari Pemerin­ tah belum mendapatkan keadilan akibat keterbatasan fiskal pemerintah dan besarnya backlog kepemilikan serta penghunian. Masyarakat MBR yang beker­ ja di pusat kota memiliki akses yang rendah terhadap hunian di pusat kota. MBR cenderung mengisi ruang-ruang minor di perkotaan yang berada diantara tem­bok-tembok perumahan eksklusif. Alasan kaum MBR memilih kawasan- kawasan tersebut sebagai tempat tinggal karena dekat dengan tempat kerja atau di tempat yang berpeluang untuk mendapatkan pekerjaan, minimal pekerjaan di sektor informal, dan keterbatasan kemampuan untuk menyewa rumah yang lebih baik. Kualitas fisik hunian dan lingkungan tidak penting sejauh mereka masih bisa menyelenggarakan kehidupan dan penghidupan mereka. Bagi me­ reka yang penting tidak diusir atau digusur, walaupun harus terancam oleh ben­cana banjir dan kebakaran.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 165 Menyiasati Keterbatasan Lahan

Program hunian layak yang ditawarkan pengembang dan kepemilikannya disubsidi oleh pemerintah berlokasi sangat jauh dari lokasi mereka bekerja. Jarak yang jauh tentu menimbulkan pengeluaran biaya transportasi yang besar dan beresiko kecelakaan lalu lintas. Lahan menjadi kendala utama sulitnya mewujudkan affordable housing bagi MBR. Saat ini banyak lahan yang telah di­kuasai para pengembang besar dan spekulan yang berimbas pada kenaikan harga rumah yang demikian tinggi, dimana kenaikannya setiap tahunnya jauh lebih tinggi daripada kenaikan masyarakat. Bahkan di kawasan-kawasan penyangga Ibukota (sub urban), seperti Tangerang, Bekasi, Depok dan Bogor har­ga rumah sudah tak terjangkau oleh MBR, karena harga jual rumah termurah sudah mencapai 400 juta rupiah. Pengembang yang fokus membangun rumah ber­subsidi semakin tersisih, lahan yang didapat semakin ke pinggiran sub- urban.

Perumahan Pondok Amor Indah, Kabupaten Mimika, Papua.

166 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Menyiasati Keterbatasan Lahan

5.4. Penerapan Hunian Berimbang Belum Optimal Dalam pelaksanaannya konsep hunian berimbang ini masih mengalami banyak kendala sehingga tidak bisa berjalan dengan baik. Negara bertang­ ­ gung­jawab agar kebutuhan akan perumahan masyarakat dapat terpenuhi. Untuk memenuhi tanggung jawab itu konsep hunian berimbang menjadi sa­ lah satu jalan keluar pemenuhan hak perumahan masyarakat. Namun niat ini ditanggapi miring pengembang. Menurut mereka, pembangunan rumah bagi MBR tidak mungkin dilakukan sepanjang harga tanah di perkotaan sudah tinggi dan sebagian pengembang berpendapat bahwa penerapan konsep hu­ ni­an berimbang itu seakan negara ingin melemparkan tanggung jawab ke pengembang, sementara pada sisi lain pengembang telah menguasai lahan dalam skala besar dan membiarkannya untuk spekulasi. Pandangan yang wajar. Sebab, selama ini pemerintah tidak menyiapkan bantuan dan kemudahan bagi pengembang serta insentif yang masif bagi ke­ pemilikan rumah oleh MBR. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permu­ kiman pasal 34 ayat (4) menyebut dalam hal pembangunan perumahan, pe­ merintah dan/atau pemerintah daerah dapat memberikan insentif kepada badan hukum untuk mendorong pembangunan perumahan dengan hunian berimbang. Sementara pada pasal 54 ayat (2) disebutkan, untuk memenuhi ke­butuhan rumah bagi MBR, pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memberikan kemudahan pembangunan dan perolehan rumah melalui pro­ gram perencanaan pembangunan perumahan secara bertahap dan ber­ kelanjutan. Perbedaan ini menjadi terlihat seperti membedakan antara penye­dia rumah bagi MBR dan pengembang yang terkena ketentuan hunian ber­im­bang. Sementara pada dasarnya keduanya juga membangun rumah se­ der­hana. Bahkan tidak tertutup kemungkinan jumlah rumah sederhana yang dibangun dalam skema hunian berimbang dapat berjumlah lebih besar jika pemerintah memberikan bantuan dan insentif, termasuk pengendalian harga tanah. Mahalnya harga tanah mempersulit pengembang untuk menyiapkan porsi lahan tertentu untuk pembangunan rumah sederhana yang harganya telah ditentukan, sementara harga tanahnya sendiri hampir mendekati harga rumah sederhana yang telah ditentukan tersebut. Kondisi ini menjadikan pengembang terbebani secara finansial, khususnya pada daerah dengan harga tanah yang tinggi. Padahal ke depannya tidak ada jaminan bahwa kaveling untuk rumah sederhana tidak dipindahtangankan kepada mereka yang tidak berhak. Konsep hunian berimbang banyak disalahpahami hanya sekedar mengu­ rangi backlog. Padahal filosofi utamanya adalah menjaga keserasian sosial dalam masyarakat melalui hidup berdampingan diantara beragam strata sosial

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 167 Menyiasati Keterbatasan Lahan

Pembangunan apartemen di Jakarta tak diimbangi dengan pembangunan rumah tapak untuk MBR. dalam satu lingkungan hunian seperti yang tertuang dalam SKB 3 (tiga) Menteri tahun 1992 maupun dalam Permenpera Nomor 10 Tahun 2012. Karenanya, hunian berimbang dalam satu hamparan merupakan kenis­ cayaan. Namun perlu juga disepakati luasan minimal yang dapat dikategorikan sebagai satu hamparan yang memenuhi standar kelayakan minimal terben­ ­ tuknya suatu komunitas yang heterogen, walaupun perumahan untuk MBR dapat diwujudkan dalam bentuk rumah susun sederhana.

168 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Menyiasati Keterbatasan Lahan

5.5. Amanat yang Harus Dijalankan Pembukaan UUD 1945 secara jelas menyebut soal “Memajukan Kesejah­ teraan Umum.” Salah satu barometer kesejahteraan masyarakat juga dilihat dari kualitas dan kuantitas hunian di dalam masyarakatnya. Permukiman me­ ru­pakan sebuah sistem yang terdiri dari lima unsur, yaitu: alam, masyarakat, manusia, lindungan dan jaringan. Bagian permukiman yang disebut wadah tersebut merupakan paduan tiga unsur: alam (tanah, air, udara), lindungan (shell) dan jaringan (networks), sedang isinya adalah manusia dan masyarakat. Sehingga rumah tinggal bukan hanya sebuah bangunan dalam arti fisik, melainkan juga tempat kediaman yang memenuhi syarat-syarat kehidupan yang layak, dipandang dari berbagai segi kehidupan masyarakat. Hal itu sejalan dengan Pasal 28H (1) UUD 1945 menyebut, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman pasal l 2 telah menetapkan 12 asas dalam melaksanakan pembangunan peruamahan dan kawasan permukiman. Ke-12 asas itu adalah: 1. Kesejahteraan Yang dimaksud asas ini adalah adalah memberikan landasan agar kebutuhan perumahan dan kawasan permukiman yang layak bagi masyarakat dapat terpenuhi sehingga masyarakat mampu mengembangkan diri dan beradab, serta dapat melaksanakan fungsi sosialnya. 2. Keadilan dan Pemerataan Perumahan dan permukiman harus bisa memberikan landasan agar hasil pembangunan di bidang perumahan dan kawasan permukiman dapat dinikmati secara proporsional dan merata bagi seluruh rakyat. 3. Kenasionalan Yang diamksud dengan asas ini adalah memberikan landasan agar hak kepemilikan tanah hanya berlaku untuk warga negara Indonesia, sedangkan hak menghuni dan menempati oleh orang asing hanya dimungkinkan dengan cara hak sewa atau hak pakai atas rumah. 4. Keefisienan dan Kemanfaatan Maksud asas ini adalah, memberikan landasan agar penyelenggaraan peru­­ mahan dan kawasan permukiman dilakukan dengan memaksimalkan po­ tensi yang dimiliki berupa sumber adaya tanah, teknologi rancang bangun dan industri bahan bangunan yang sehat untuk memberikan keuntungan dan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. 5. Keterjangkauan dan Kemudahan Yang dimaksud asas ini adalah memberikan landasan agar hasil pem­ bangunan di bidang perumahan dan kawasan permukiman dapat dijangkau

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 169 Menyiasati Keterbatasan Lahan

oleh seluruh lapisan masyarakat, serta mendorong terciptanya iklim kon­ dusif dengan memberikan kemudahan bagi MBR agar setiap warga negara Indonesia mampu memenuhi kebutuhan dasar akan perumahan dan per­ mukiman. 6. Kemandirian dan Kebersamaan Yang dimaksud asas ini adalah memberikan landasan agar penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman bertumpu pada prakarsa, swadaya dan peran masyarakat. Mereka didorong untuk turut serta mengupayakan pengadaan dan pemeliharaan terhadap aspek–aspek perumahan dan ka­wasan permukiman sehingga mampu membangkitkan kepercayaan, kemampuan dan kekuatan sendiri, serta terciptanya kerja sama antara pe­ mangku kepentingan di bidang perumahan dan kawasan permukiman. 7. Kemitraan Yang dimaksud asas ini ini adalah memberikan landasan agar penye­ leng­­garaan perumahan dan kawasan permukiman dilakukan oleh Peme­ rintah dan pemerintah daerah dengan melibatkan peran pelaku usaha dan masyarakat dengan prinsip saling memerlukan, memercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang dilakukan, baik langsung maupun tidak langsung 8. Keserasian dan Keseimbangan Memberikan landasan agar penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dilakukan dengan mewujudkan keserasian antara struktur ruang dan pola ruang, keselarasan antara kehidupan manusia dengan lingkungan, keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antardaerah, serta memperhatikan dampak penting terhadap lingkungan. 9. Keterpaduan Memberikan landasan agar penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dilaksanakan dengan memadukan kebijakandalam peren­ canaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pengendalian, baik intra maupun antarinstansi, serta sektorterkait dalam kesatuan yang bulat dan utuh, salingmenunjang, dan saling mengisi. 10. Kesehatan Memberikan landasan agar pembangunan perumahan dan kawasan per­ mukiman memenuhi standar rumah sehat, syarat kesehatan lingkungan dan perilaku hidup sehat. 11. Kelestarian dan Keberlanjutan Memberikan landasan agar penyediaan perumahan dan kawasan per­ mukiman dilakukan dengan memperhatikan kondisi lingkungan hidup dan menyesuaikan dengan kebutuhan yang terus meningkat sejalan de­ ngan laju kenaikanjumlah penduduk dan luas kawasan secara serasi dan seimbang untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang.

170 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Menyiasati Keterbatasan Lahan

12. Keselamatan, Keamanan, Ketertiban, dan Keteraturan. Memberikan landasan agar penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman memperhatikan masalah keselamatan dan keamanan bangun­an beserta infrastrukturnya, keselamatan dan keamananan ling­ kung­an dari berbagai ancaman yang membahayakan penghuninya, ke­ tertiban administrasi, dan keteraturan dalam pemanfaatan perumahan dan kawasan permukiman. Sayangnya, banyak kondisi perumahan yang ada seperti sekarang ini belum memenuhi unsur yang dimaksud di atas. Pengembangan perumahan secara klaster dan acak dengan kondisi PSU yang tidak memadai sudah merupakan pemandangan yang umum khususnya di wilayah sub urban sebagai akibat dari pembangunan perumahan yang bersifat sprawl di perkotaan. Spekulasi lahan mengakibatkan perencanaan kawasan tidak dapat lagi dilakukan secara terpadu antar kawasan. UU Nomor 1 Tahun 2011, menyebut, “perumahan skala besar” adalah peru­mahan yang direncanakan secara menyeluruh dan terpadu yang pelak­ sa­naannya dilakukan secara bertahap. Sedangkan Kawasan siap bangun yang selanjutnya disebut Kasiba adalah sebidang tanah yang fisiknya serta prasarana, sarana, dan utilitas umumnya telah dipersiapkan untuk pembangunan ling­ kungan hunian skala besar sesuai dengan rencana tata ruang. Perencanaan pembangunan lingkungan hunian baru perkotaan meliputi perencanaan ling­ kungan hunian baru skala besar dengan Kasiba dan perencanaan lingkungan hunian baru bukan skala besar dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum.

Perumahan Griya Darussalam 2 di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan sebagai contoh perumahan yang menampilkan luas ruang hijau lebih besar daripada luas perumahan.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 171 Menyiasati Keterbatasan Lahan

172 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Menyiasati Keterbatasan Lahan

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 173 Menyiasati Keterbatasan Lahan

Perumahan yang didesain dengan pola grid dan berbentuk deret lazim ditemukan di dalam pinggiran kota besar untuk efisiensi penggunaan lahan, bahkan lebar kavling yang semula 6m saat ini sudah berkurang menjadi 5m dengan tujuan efisiensi investasi prasarana jalan.

5.6. Memberi Kemudahan MBR Sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, idealnya rumah harus dimiliki oleh setiap orang, terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah. Jenis rumah yang disediakan bagi MBR sebagai bagian dari kewajiban negara adalah penyediaan rumah umum, baik sewa maupun milik sebagaimana tercantum dalam Pasal 21 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2011 yang menyebutkan jenis rumah berdasarkan kelompok sasaran yang dituju dan bentuk penghunian. Jenis itu meliputi rumah komersial, rumah umum, rumah swadaya, rumah khu­sus, dan rumah negara. Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang yang sama juga menyebutkan, pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memberikan kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Ternyata menjalankan amanah tersebut tidaklah mudah. Selain kendala mahalnya harga tanah tanah, kemampuan masyarakat untuk membeli rumah belum menjadi prioritas utama. Lahan dikuasai oleh pengembang atau pemilik modal secara besar-besaran cenderung dikembangkan sebagai perumahan elit dengan harga yang sangat tinggi. Karena itu, bank tanah salah satu cara atau strategi mengatasi tingginya harga tanah di perkotaan untuk lebih menjamin tersedianya tanah bagi pem­ bangunan perumahan yang terjangkau bagi MBR. Maria S.W Soemardjono memformulasikan land banking sebagai kegiatan pemerintah untuk menye­ dia­kan tanah yang dicadangkan penggunaannya di kemudian hari. Bank tanah ini punya beberapa fungsi, yakni: a. Penghimpun tanah atau pencadangan tanah (land keeper); b. pengamanan tanah untuk berbagai kebutuhan pembangunan di masa akan datang (land warrantee); c. pengendali tanah (land purchaser); d. pendistribusian tanah untuk berbagai keperluan pembangunan (land distributor).

174 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Menyiasati Keterbatasan Lahan

Perumahan BSD pada tahun 1980an.

Perumahan BSD pada tahun 2000an.

Condo Villa tren perumahan masyarakat menengah atas saat ini.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 175 Menyiasati Keterbatasan Lahan

Konsep bank tanah dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu: a. Land banking sebagai exchange land banking, maka land bank akan mem­beli tanah yang selanjutnya tanah tersebut akan dipertahankan un­ tuk sementara waktu sebelum tanah tersebut dilepaskan/dipertukarkan dengan pihak ketiga. b. Kegiatan land bank sebagai financial instrument dilakukan dengan cara pemerintah membeli tanah untuk kemudian disewakan dengan periode yang lama (umumnya 26 tahun). c. Land bank as developer pada umumnya dilakukan oleh sektor swasta dengan cara melakukan pembelian tanah dalam jumlah besar dengan harap­an di masa depan akan perubahan fungsi atas lokasi tanah tersebut (spe­kulasi) seperti berubah menjadi daerah pemukiman, rekreasi, kegiatan ekonomi sehingga akan meningkatkan nilai tanahnya. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Ke­pentingan Umum menyebut, pemerintah dan pemerintah daerah wajib men­jamin ketersediaan tanah untuk kepentingan umum termasuk pen­ danaannya. Penguasaan lahan secara besar-besaran oleh badan usaha swasta di masa lalu mengakibatkan terjadinya praktik spekuasi tanah dan berdampak kepada meroketnya harga tanah, sudah seharusnya mulai dikendalikan oleh pemerintah. Untuk itu, tanah/bangunan yang ketersediaannya sangat terbatas perlu dikelola secara optimal agar kebutuhan tanah untuk publik bisa terpenuhi. Selain itu, penyediaan rumah terjangkau bagi MBR perlu dilakukan peme­ rintah dengan memberi peran yang jelas kepada Perumnas sebagai ‘leading sector’ pembangunan perumahan MBR.

Rainbow Springs Condo Villa, Hunian Resort Fasilitas Modern.

176 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Menyiasati Keterbatasan Lahan

5.7. Dilema Hunian Berimbang Pembangunan perumahan dan permukiman dengan lingkungan hunian­ berimbang merupakan pembangunan kawasan perumahan dengan perban­ ­ dingan tertentu, meliputi rumah sederhana, rumah menengah, dan rumah mewah. Pengembangan hunian berimbang perlu dilakukan dengan tujuan agar dapat menampung berbagai kelompok masyarakat secara serasi dalam satu lingkungan hunian. Peraturan hunian berimbang muncul pertama kali di tahun 1992, melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, dan Menteri Negara Perumahan Rakyat menerbitkan Nomor 648-384 Tahun 1992, Nomor 739/KPTS/1992, dan Nomor 09/KPTS/1992 tentang Pedoman Pembangunan Perumahan dan Permukiman dengan Lingkungan Hunian yang berimbang, dengan komposisi 6:3:1 (enam rumah sederhana berbanding tiga rumah menengah, dan berbanding satu rumah mewah), dalam bentuk rumah tapak hanya mengkonsumsi tanah untuk perumahan sederhana sebesar 20% dari lingkungan hunian yang direncanakan.

Pembangunan Transit Oriented Development (TOD) Pondok Cina, Depok.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 177 Menyiasati Keterbatasan Lahan

Aturan ini kemudian diperbaharui di pasal 34 hingga 36 Undang-Un­ dang No. 1 Tahun 2011. Komposisi hunian diatur dalam Peraturan Menteri­ Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 10 Tahun 2012 tentang Penye­leng­ garaan Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan Hunian Berimbang dan Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 7 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 10 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Ka­ wasan Permukiman dengan Hunian Berimbang. Jika komposisi semula 6:3:1 kini berubah menjadi 3:2:1 (tiga rumah sederhana berbanding tiga rumah menengah, dan berbanding satu rumah mewah). Dengan komposisi ini, kon­ sumsi tanah untuk perumahan sederhana sebesar 17% dari lingkungan hunian yang direncanakan. Dengan komposisi hunian berimbang seperti itu, selain ditujukan untuk terbentuknya kohesi sosial di masyarakat juga diharapkan terjadinya subsidi

Suasana perumahan bersubsidi di Pattallassang, Gowa, Sulawesi Selatan.

178 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Menyiasati Keterbatasan Lahan

silang untuk mewujdkan keseimbangan kehidupan yang serasi dan harmonis diantara beragam strata sosial atau penghuni rumah mewah, rumah menengah, maupun sederhana. Pemerintah berharap niat untuk menciptakan hunian berimbang ini bisa dijembatani para pengusaha pembangunan perumahan, aparat pemerintah di daerah, dan bank-bank pemberi kredit pemilikan rumah. Penerapan hunian ber­imbang merupakan kewajiban bagi perorangan atau badan hukum yang membangun perumahan atau permukiman komersial walaupun tidak harus diwujudkan dalam satu hamparan namun tetap dalam kabupaten/kota yang sama sebagaimana amanat UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Bagi pengembang masalah mulai muncul ketika pengembangan dilakukan di tengah kota di mana harga tanahnya sudah selangit bahkan jika dilakukan da­lam bentuk rumah susun, dimana pengembang merasa kesulitan untuk melakukan kewajiban tersebut. Namun jika pengembangan perumahan dila­ kukan di pinggiran, ketentuan perbandingan jumlah rumah dalam hunian berimbang kemungkinan tidak terlalu sulit dipenuhi, karena harga tanah yang belum terlalu mahal dan masih terjangkau oleh MBR dan masyarakat ber­ penghasilan menengah ke bawah. Solusinya? Jawabannya ada UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dalam beleid tersebut, pengembang yang membangun hunian komersial bisa menkonversi kewajibannya membangun perumahan sederhana dalam bentuk dana. Konversi berupa dana ini nantinya akan dikelola oleh Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan (BP3). D D D

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 179 Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar,Tanggung Jawab Siapa

180 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar,Tanggung Jawab Siapa

BaB vi

Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar, Tanggung Jawab Siapa

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 181 Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar,Tanggung Jawab Siapa

182 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar,Tanggung Jawab Siapa

BaB vI Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar,Tanggung Jawab Siapa

Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Begitulah pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyebut. Tempat tinggal mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengamanatkan bahwa: “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.” Sebagai salah satu hak dan kebutuhan dasar manusia, idealnya rumah harus dimiliki oleh setiap keluarga, terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah dan bagi masyarakat yang tinggal di daerah padat penduduk di per­ko­ taan. Agar setiap warga bisa memiliki rumah, negara bertanggung jawab da­ lam menyediakan dan memberikan kemudahan perolehan rumah bagi ma­ syarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman serta keswadayaan masyarakat. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Pasal 16 menyatakan: Pemerintah berwenang menyusun dan menetapkan norma, standar, pedoman, dan kriteria rumah, perumahan, permu­ ­ kiman, dan lingkungan hunian yang layak, sehat, dan aman. Selanjutnya Pasal 19 ayat (2) menyatakan: Penyelenggaraan rumah dan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/ atau setiap orang untuk menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang se­ hat, aman, serasi, dan teratur. Adapun ayat (1) menyatakan penyelenggaraan rumah dan perumahan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia bagi peningkatan dan pemerataan kese­ ­ jahteraan rakyat. Apa yang menjadi ukuran kelayakan rumah beserta PSUnya? Apakah Rumah Layak = Rumah Sehat? Persyaratan kesehatan rumah tinggal telah ditentukan oleh Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 829/Menkes/SK/VII/1999, yaitu:

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 183 Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar,Tanggung Jawab Siapa

1. Bahan Bangunan a. Tidak terbuat dari bahan bangunan yang dapat melepaskan zat-zat yang dapat membahayakan kesehatan, antara lain sebagai berikut: 1) Debu Total tidak lebih dari 150 µg m3. 2) Asbes bebas tidak melebihi 0,5 fiber/m3/4jam. 3) Timah hitam tidak melebihi 300 mg/kg. b. Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkem­ bangnya mikroorganisme patogen. 2. Komponen dan penataan ruang rumah Komponen rumah harus memenuhi persyaratan fisik dan biologis sebagai berikut: a. Lantai kedap air dan mudah dibersihkan b. Dinding: 1) Di ruang tidur, ruang keluarga dilengkapi dengan sarana ventilasi untuk pengaturan sirkulasi udara. 2) Di kamar mandi dan tempat cuci harus kedap air dan mudah dibersihkan. c. Langit-langit harus mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan. d. Bumbung rumah yang memiliki tinggi 10 meter atau lebih harus dilengkapi dengan penangkal petir. e. Ruang di dalam rumah harus ditata agar berfungsi sebagai ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, ruang tidur, ruang dapur, ruang mandi dan ruang bermain anak. f. Ruang dapur harus dilengkapi dengan sarana pembuangan asap. 3. Pencahayaan Pencahayaan alam dan/atau buatan yang langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60 lux, dan tidak menyilaukan. 4. Kualitas Udara Kualitas udara di dalam rumah tidak melebihi ketentuan sebagai berikut: a) Suhu udara nyaman berkisar 18°C sampai dengan 30°C. b) Kelembaban udara berkisar antara 40% sampai 70%. c) Konsentrasi gas SO2 tidak melebihi 0,10 ppm/24 jam. d) Pertukaran udara (“air exchange rate”) 5 kaki kubik per menit per penghuni. d) Konsentrasi gas CO tidak melebihi 100 ppm/8 jam. e) Konsentrasi gas formaldehid tidak melebihi 120 mg/m3. 5. Ventilasi Luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas lantai.

184 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar,Tanggung Jawab Siapa

6. Binatang Penular Penyakit Tidak ada tikus bersarang di dalam rumah. 7. Air a) Tersedia sarana air bersih dengan kapasitas minimal 60 liter/hari/ orang. b) Kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih dan/ atau air minum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 8. Tersedianya sarana penyimpanan makanan yang aman 9. Limbah a) Limbah cair yang berasal dari rumah tidak mencemari sumber air, tidak menimbulkan bau, dan tidak mencemari permukaan bumi. b) Limbah padat harus dikelola agar tidak menimbulkan bau, pencemaran terhadap permukaan tanah. 10. Kepadatan hunian ruang tidur Luas ruang tidur minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun.

LUAS LAHAN DAN LUAS RUMAH SEHAT

LUAS RUMAH 80 90 112,5 48,0

60 72 36,0

45 54 67,5 27,0

36 45 21,6

LUAS LAHAN 30 40 50 60 70 80 90

= Rumah Inti Tumbuh RIT-1 = Rumah Sederhana Sehat Lebar 6,00 m = Rumah Sederhana Sehat Lebar 7,50 m = Luas Lahan Efektif

Grafis 6.1. Luas Lahan dan Luas Rumah Sehat.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 185 Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar,Tanggung Jawab Siapa

Lantas apa syarat kelayakan rumah? Menurut Pusat Permukiman (dahulu Pusat Litbang Permukiman) seba­ gaimana diatur dalam Kepmenkimpraswil 403/2002, terdapat 2 (dua) ukuran kelayakan luas, yaitu luas berdasarkan ambang batas per orang sebesar 7,2 m² dan luas berdasarkan minimum yaitu 9,0 m² per orang, sehingga untuk keluarga dengan 4 orang, maka luas lantai minimal 36 m². Selanjutnya disebutkan pula perbandingan antara luas lantai rumah dan luas kaveling atau luas lahan efektif: Artinya, kalau didesain luas rumah sederhana yang dianggap layak 36 m² dengan lebar kaveling 6,0 m, maka luas kaveling sebesar 72 m² sedangkan jika lebar kaveling 7,5 m, maka luas kaveling menjadi 90 m². Namun jika direncanakan Rumah Inti Tumbuh (RIT) dengan luas lantai 36 m² yang dikembangkan dari luas lantai 27 m² maka luas kaveling dapat 60 m² dimana ukuran 36 m² merupakan luas lantai maksimum untuk kaveling 60 m² (Koefsien Dasar Bangunan, KDB 60 %), sehingga jika akan dikembangkan lebih besar dari 35 m², maka pengembangan rumahnya harus vertikal atau 2 lantai. Sesungguhnya RIT dapat dikembangkan menjadi rumah sederhana sehat

Pembagian ruangan Rumah Sehat

RIT-1 RIT-2 Pengembangan ruang pada Rumah 3,00 M Inti Tumbuh (RIT), menjadi Rumah Sejahtera Sehat (RsS) yang 3,00 M disesuaikan dengan peningkatan penghasilan masyarakat, sehingga 3,00 M harga jual RIT lebih terjangkau oleh Masyarakat Berpenghasilan Rendah 3,00 M (MBR). Pada kenyataannya di lapangan, sebagian besar masyarakat RsS-1 RsS-2 tidak mengembangkannya berdasarkan skenario tersebut, 3,00 M mungkin karena tidak mengerti atau

3,00 M tidak mau ambil pusing, melainkan membongkar habis bangunan lama

3,00 M dan menggantikannya dengan bangunan yang sama sekali 3,00 M baru. Secara nasional kondisi ini

3,00 M 3,00 M 3,00 M 3,00 M sesungguhnya merugikan.

Grafis 6.2. Pembagian ruangan Rumah Sehat.

186 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar,Tanggung Jawab Siapa

dengan tahapan RIT 1 menjadi RIT 2, kemudian dikembangkan lagi menjadi Rumah Sederhana Sehat 1 (RsS 1) dan Rumah Sederhana Sehat 2 (RsS 2) yang oleh Kepmenkimpraswil 403/2002 digambarkan denga penambahan ruang- ruang. Hal ini adalah satu cara agar harga rumah dapat dijangkau oleh MBR, di mana sejalan dengan peningkatan penghasilan MBR dapat pula diperluas ru­ mahnya. Di samping dari sisi luas lantai, hal lain yang dikernalkan oleh Kepmen­ kimpraswil (Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah) No. 403/2002 adalah konstruksi RIT dan RsS, yang memungkinkan rumah dibangun dengan konatruksi kau, kayu panggung, setengah tembok maupun tembok. Dengan demikian maka kelayakan suatu rumah atau hunian dapat dinilai dari kecukupan luas dan kesehatan rumah, yang berkaitan dengan pengudaraan alami (idealnya dengan ventilasi silang), penerangan alami di mana setiap rumah memperoleh cahaya matahari, tingkat kelembaban dan dari bahan-bahan yang dipergunakan tidak mengeluarkan racun yang mengancam kesehatan penghuninya dalam jangka panjang, baik bahan bangunan pembentuk seperti penggunaan asbes untuk atap dan bahan bangunan finishing seperti cat yang ada mengandung racun. Dari sisi PSU, paling tidak prasarana jalan dan drainase layak, artinya jalan tidak berlubang yang dapat menampung air atau saluran drainase yang tidak mengalir baik akibat saluran mampet atau karena pada saat pelaksanaan kemiringannya kurang. Sarana paling sedikit terdapat ruang terbuka hijau publik seluas 10% dari luas perumahan, dan jika memungkinkan terdapat sarana-sarana lain seperti sarana olah raga, sarana perniagaan sesuai skala perumahan dan sarana-sarana lainnya, sedangkan kelayakan dari sisi utilitas umum, paling tidak tersedia air bersih yang layak, tidak berbau, tidak berwarna dan tidak mengandung logam yang berbahaya, baik yang bersumber dari PDAM maupun dari sumur dangkal. Di samping itu tersedia jaringan listrik

kayu kayu tidak setengah Tipe rumah tembok ket panggung panggung tembok RIT-1 RIT RIT-2 RsS-1 Rs SEHAT RsS-2 Pada saat aturan ini diterbitkan maka rumah-rumah di daerah rawa seperti Kalimantan yang dibangun dengan konstruksi kayu panggung tetap memperoleh KPR bersubsidi.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 187 Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar,Tanggung Jawab Siapa yang mampu mensupplai rumah sesuai dengan kebutuhan atau persyaratan PLN. Negara memang punya jawab melindungi segenap bangsa Indonesia me­ lalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat­ mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau­ di dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia.

Siapa yang bertanggung jawab mewujudkan rumah dan PSU yang layak? Undang-undang No. 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Per­mukiman, menyatakan setiap orang wajib mewujudkan rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat. Sementara pada pasal 129 tentang Hak dan Kewajiban mencantumkan setidaknya 6 (enam) hak sebagai yang dinyatakan sebagai­ berikut: Dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, setiap orang berhak: a. menempati, menikmati, dan/atau memiliki/memperoleh rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur; b. melakukan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman; c. memperoleh informasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan perumah­ an dan kawasan permukiman; d. memperoleh manfaat dari penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman; e. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialami secara langsung sebagai akibat penyelenggaraan perumahan dan kawasan per­ mukiman; dan f. mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan terhadap penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang merugikan masyarakat. Siapakah yang dimaksud dengan setiap orang ? Pasal 1 angka 25 menyatakan bahwa “Setiap orang adalah orang perse­ orangan atau badan hukum”. Artinya setiap orang baik orang perorangan maupun badan hukum berkewajiban untuk menciptakan rumah layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur.

Lantas apa kewajiban dari setiap orang? Setiap orang sebelum menikmati haknya harus melaksanakan kewajibannya terlebih dahulu, sebab tidak ada hak yang dapat dinikmati sebelum kewajiban dilaksanakan. Pasal 130 UU 1/2011 menyatakan: Dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, setiap

188 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar,Tanggung Jawab Siapa

Komplek KPR bersubsidi di Desa Lam Ujong Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar, Aceh.

orang wajib: a. menjaga keamanan, ketertiban, kebersihan, dan kesehatan di perumahan dan kawasan permukiman; b. turut mencegah terjadinya penyelenggaraan perumahan dan kawasan per­mukiman yang merugikan dan membahayakan kepentingan orang lain dan/atau kepentingan umum; c. menjaga dan memelihara prasarana lingkungan, sarana lingkungan, dan utilitas umum yang berada di perumahan dan kawasan permukiman; dan d. mengawasi pemanfaatan dan berfungsinya prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan dan kawasan permukiman. Jadi jelas Hak setiap orang lebih banyak dari kewajibannya.

Pertanyaannya; dimana peran pemerintah? Untuk mejawab pertanyaan tersebut, pemerintah berwenang untuk menyu­­sun sejumlah norma, kebijakan, strategi, standar, pedoman dan kriteria

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 189 Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar,Tanggung Jawab Siapa yang dapat dipergunakan oleh setiap orang. Beberapa diantaranya adalah pera­turan perundang-undangan, bauk berwujud Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri yang pelaksanaannya di daerah masih memerlukan Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Kepala Daerah (Perkada) baik Peraturan Gubernur maupun Peraturan Bupati/ Wali­ kota. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat saja tersusun berurutan dari mulai Undang-Undang, Peraturan Pemerintah hingga Peraturan Men­ teri, namun dapat pula tidak berurutan, misalnya Peraturan Pemerintah yang berkenaan dengan Kepemilikan Hunian Oleh Orang Asing pada saat diterbit­ ­ kannya PP No. 41 tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan Di Indonesia. PP 41/1996 ini adalah PP mandiri yang tidak ditugaskan oleh Undang-Undang. Namun berkaitan dengan perumahan skala besar yang dalam UU No. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman, perumahan skala besar

Pengendara sepeda motor mellintas di salah satu kompleks perumahan yang difasilitasi dengan Kredit Pemilikan Rumah (KPR), di Palu, Sulawesi Tengah.

190 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar,Tanggung Jawab Siapa

di definisikan sebagai Kawasan Siap Bangun atau Kasiba, dengan peraturan pelaksanaannya PP No. 80 Tahun 1999 Tentang Kawasan siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun yang Berdiri Sendiri. Melalui pembangunan peru­ mah­an skala besar yang dilakukan melalui pola pengembangan kawasan siap bangun (Kasiba), lingkungan siap bangun (Lisiba) yang merupakan bagian dari Kasiba, dan kaveling tanah matang atau kaveling siap bangun yang sesuai dengan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) daerah ditetapkan batas-batas Kasiba, tanpa harus terlebih dahulu menguasai tanah dalam skala besar, sebab begitu suatu Kasiba ditetapkan dan ada rencana penyediaan tanah, maka pada saat bersamaan akan terjadi spekulasi tanah. Artinya perorang atau badan hukum akan membeli tanah yang direncanakan untuk Kasiba untuk kemudian dijual kembali kepada Badan Pengelola (BP) dengan memperoleh margin. Paling tidak terdapat 3 (tiga) penyebab gagalnya konsep Kasiba, yaitu: 1. Adanya anggapan BP (Badan Pengelola) akan membebaskan sejumlah besar tanah untuk mewujudkan Kasiba, sehingga perorangan maupun ba­dan hukum sudah memasang ancang-ancang untuk membeli tanah dengan cara membayar panjar kepada pemilik tanah. Di samping itu BP Kasiba tidak memiliki kemampuan atau tidak memiliki anggaran untuk menyusun rencana terperinci tata ruang (RDTR), di samping pada masa itu masih banyak pemda yang belum memiliki RTRW dalam bentuk Perda. 2. Terbukanya peluang Lingkungan Siap Bangun yang Berdiri Sendiri (Lisiba BS) lepas dari konsep Kasiba dan ini merupakan cara pengembang untuk menguasai lahan dalam skala besar. Bukan rahasia lagi bahwa saat Un­ dang-Undang akan ditetapkan ada kekhawatiran pengembang yang telah menguasai lahan dalam skala besar akan diambil alih oleh BP dan di­tetapkan sebagai kasiba, sehingga kewenangan (atau keuntungan?) pengem­bang tersebut akan berkurang atau hilang, padahal pengembang dalam praktek penguasaan lahan tidak pernah membayar lunas lahan kepada pemiliknya; 3. BP yang diharapkan berbentuk BUMN atau BUMD sangat tergantung pada pemerintah daerah tidak memiliki akses yang kuat untuk mempengaruhi pemerintah daerah dalam hal perizinan, sehingga sekalipun Kasiba telah di­tetapkan oleh pemerintah daerah, tetapi pengembang yang sudah mem­bebaskan tanah tetap dapat memperoleh Persetujuan Prinsip dan Izin Lokasi dari pemerintah daerah, sehingga tercipta dualisme. Jelaslah BP yang ditetapkan untuk mengelola Kasiba melalui perencanaan Lisiba seba­gai bagian dari Kasiba dengan tujuan untuk dikerja samakan dengan pengembang menjadi tidak berdaya, karena pengembang yang sudah memiliki tanah lebih memilih mengembangkan Lisiba BS yang tidak dire­ coki oleh BP dan pemerintah daerah. Ini terbukti dari bantuan PSU yang

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 191 Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar,Tanggung Jawab Siapa

192 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar,Tanggung Jawab Siapa

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 193 Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar,Tanggung Jawab Siapa

kasiba dan lisiba

Grafis 6.3. Kasiba dan Lisiba.

di­tujukan untuk mendukung Kasiba dalam bentuk menyediakan jalan akses ataupun jalan lingkungan sebesar 25% dari luas Kasiba sebagaimana diamanatkan oleh PP 80/1999 tidak berarti sama sekali. Pengembang tetap tidak tertarik untuk membangun Lisiba sebagai bagian dari Kasiba

Pertanyaan berikutnya: Adakah Kasiba yang berhasil? Ada. Kasiba yang direncanakan oleh Perum Perumnas merupakan contoh Kasiba yang berhasil, walaupun untuk mewujudkannya memang tidak mudah dan memakan waktu yang cukup lama. Antara lain adalah Martubung di Me­ dan, Talang Kelapa di Palembang dan Driorejo di Gresik, adalah beberapa con­ toh Kasiba yang dikembangkan oleh Perum Perumnas. Bumi Serpong Damai, Alam Sutera, Gading Serpong, Sumarecon, Kelapa Gading, Kota Harapan Indah sekalipun merupakan perumahan skala besar, namun tidak pernah dinyatakan sebagai Kasiba dan tidak pernah pula dinyata­ kan sebagai Lingkungan Siap Bangun yang Berdiri Sendiri (Lisiba BS) oleh pe­ me­rintah daerah. Karena tidak pernah ditetapkan sebagai Lisiba BS oleh peme­ rintah daerah, tentu saja pengembang tidak perlu memenuhi ketentuan PP No. 80/1999 yang justru menghambat gerak mereka termasuk untuk melakukan spekulasi tanah.

194 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar,Tanggung Jawab Siapa

Kondisi tersebut, ditambah lagi dengan kenyataan bahwa UU 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman merupakan salah satu Undang-Undang yang tidak mencantumkan sanksi, karena saat itu mungkin ada anggapan bahwa perusahaan pengembang diurus oleh orang baik-baik. Seandainya Lisiba BS ditetapkan oleh pemerintah daerah, maka berlaku ketentuan Pasal 47 PP 80 Tahun 1999 yang menyatakan: (1) Perolehan tanah oleh penyelenggara harus telah dimulai selambat-lam­bat­ nya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah penunjukan diperoleh dan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun telah mencapai sekurang-kurangnya 50% (lima puluh per seratus) serta mencapai 100% (seratus per seratus) da­ lam jangka waktu 5 (lima) tahun. (2) Prasarana lingkungan dan kaveling tanah matang dengan rumah yang di­bangun oleh penyelenggara di Lisiba yang berdiri sendiri harus sudah di­mulai selambat-lambatnya dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun setelah penunjukan diperoleh dan harus selesai seluruhnya selambat-lambatnya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun. Fakta yang terjadi bisa disaksikan saat ini, dimana BSD yang sudah ber­ jalan selama lebih dari 30 tahunpun hingga kini belum 100% terbangun, mung­ kin hanya sekitar 60% yang terbangun. Apakah dapat dikatakan bahwa peme­ rintah daerah juga berperan atas tidak dapat dijalankannya UU 4/1992 dan PP 80/1999? Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman Pasal 34 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengamanatkan, pembangunan perumahan skala besar yang dila­ kukan oleh badan hukum wajib mewujudkan hunian berimbang dalam satu ham­paran. Keberimbangan hunian skala besar itu meliputi rumah sederhana, rumah menengah, dan rumah mewah, dimana rumah sederhana dapat dikon­ versi menjadi rumah susun umum. Selain itu, Undang-Undang Nomor 20 Ta­ hun 2011 tentang Rumah Susun mengamanatkan pelaku pembangunan yang membangun rumah susun komersial wajib membangun rumah susun umum sebesar 20% dari total luas rumah susun komersial.

Pertanyaannya, apa urgensi pembangunan skala besar dengan hunian berimbang? Pembangunan skala besar melalui pendekatan hunian berimbang sesu­ nguhnya sudah dimulai sejak pemerintahan kolonial Belanda, ketika mendesain Kebayoran Baru maupun perumahan di kawasan Dago dan Cipaganti di Ban­ dung. Rumah-rumah di jalan utama merupakan rumah dengan ukuran kaveling besar, walaupun secara berangsur sebagian berubah menjadi sarana komersial

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 195 Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar,Tanggung Jawab Siapa seperti yang terjadi pada rumah-rumah yang berada di jalan Suryo yang berubah menjadi rumah makan atau restoran, rumah-rumah di jalan Walter Mongonsidi yang berubah menjadi toko, rumah makan bahkan perkantoran dan hotel. Demikian pula di kota Bandung, dimana pada kawasan Dago maupun kawasan Cipaganti terdapat kaveling-kaveling kecil yang diperuntukkan bagi perumahan MBR, seperti jalan Cisitu Lama, jalan Tubagus Ismail dan Sekeloa. Sama halnya dengan kawasan Cipaganti, terdapat jalan Jurang, jalan Sejahtera dan jalan Sederhana dimana berlokasi perumahan MBR. Perumahan skala besar Bintaro Jaya, BSD, Kelapa Gading dan mungkin Pondok Indah sendiri pada awalnya menyediakan kaveling untuk perumahan MBR, tetapi tidak berlangsung lama, karena seperti biasa akibat lemahnya penga­ wasan oleh pemerintah daerah komitmen pengembang hanya berlangsung pada tahap pertama, padahal pada setiap rencana tapak yang ditandatangani pe­merintah daerah senantiasa tercantum jumlah rumah sederhana yang akan di­bangun oleh pengembang sebagai pelaksanaan hunian berimbang. Pada tahap pengembangan selanjutnya pengembangan hunian berimbang tidak lagi dilakukan, pengembang lebih tertarik untuk membangun rumah bagi ma­ syarakat berpenghasilan menengah atas, sehingga secata keseluruhan tercipta permukiman yang mewah dan kohesi sosial dimasyarakat sebagaimana yang diharapkan tidak dapat diwujudkan. Kondisi inilah yang mengakibatkan ter­ ja­di­nya kesenjangan perumahan skala besar yang dihuni oleh masyarakat ber­penghasilan menengah atas dengan masyarakat miskin di sekitarnya dan ke­tika terjadi kerusuhan pada tahun 1998 di mana terjadi pembakaran dan pen­jarahan, perumahan skala besar tersebut terpaksa dikawal tentara dan banyak penghuninya yang pindah bahkan keluar negeri karena takut terbunuh. Kondisi semacam inilah yang dicoba dihindari ketika tidak terjadi kohesi sosial di masyarakat yang sesungguhnya dapat diciptakan melalui pembangunan

Jalan di kebayoran baru direncanakan dari utara ke selatan dan dari timur ke barat, di mana Jalan Sisingamangaraja, jalan Pattimura, Iskandarsyah dan Hasanudin merupakan jalan dari utara ke selatan, sedangkan jalan Walter Mongonsidi, jalan Kyai Maja dan Trunojoyo merupakan jalan yang direncanakan arah barat timur.

196 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar,Tanggung Jawab Siapa

lingkungan hunian dengan perumahan skala besar. Setidaknya terdapat 2 (dua) tujuan penyelenggaraan perumahan skala besar, yaitu penyediaan akses perolehan rumah bagi setiap orang dan mencip­ ta­kan kohesi sosial antara masyarakat kalangan the have dan kalangan the have not atau masyarakat yang kurang beruntung atau MBR. Bagi masyarakat miskin yang sudah memiliki tanah, pemerintah menyedia­ kan skim peningkatan kualitas rumah melalui BSPS (Bantuan Stimulan Peru­ mahan Swadaya), sedangkan masyarakat yang bermukim di perumahan ku­ muh atau permukiman kumuh dapat menghuni rusunawa yang disediakan pe­merintah bekerja sama dengan pemerintah daerah yang menyediakan ta­ nah, walaupun upaya pemerintah ini masih terkendala terbatasnya anggaran dan kekurang mampuan pemerintah daerah menyediakan tanah.

Namun ada fenomena yang aneh! Ketika masyarakat masih bermukim di perumahan kumuh dan menghuni kamar dengan ukuran 3 m x 3 m dan terbuat dari konstruksi kayu atau tripleks, tanpa plafond dan dengan atap asbes, masyarakat bersedia membayar sewa sebesar Rp. 500 ribu sebulan, namun ketika pemerintah membangun rusunawa dan akan disewakan kepada masyarakat dengan tarif sewa Rp300 ribu sebulan atau kurang, banyak masyarakat tidak bersedia membayar tarif sewa, padahal setiap unit rusunawa didesain cukup luas dan dibangun dengan konstruksi yang aman serta arsitektur yang baik, tersedia toilet di setiap unit rumah, terhindar dari ancaman kebakaran dan banjir, tidak lembab dan memenuhi persyaratan

Wilayah perencanaan Kebayoran Baru adalah 730 hektare, dengan sekitar 45% dialokasikan untuk kawasan pemukiman, 16% untuk RTH, dan 14% untuk pertokoan dan bangunan lainnya. Sisa 25% kawasan Kebayoran Baru dialokasikan untuk jalan raya. Blok A dirancang sebagai kawasan pemukiman yang dilayani oleh pasar Blok A di ujung selatan dan di belakang pasar terdapat kaveling-kaveling kecil untuk perumahan MBR pada masa itu. Demikian pula blok B, blok C hingga blok P dan blok S terdapat rumah dengan ukuran kaveling kecil bagi MBR. Inilah awal dari konsep hunian berimbang.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 197 Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar,Tanggung Jawab Siapa kesehatan, keamanan dan kenyamanan. Alasan tidak membayar sewa rusunawa karena ada anggapan bahwa penye­ diaan rusunawa sudah menjadi tugas dan kewajiban pemerintah, sementara ke­patuhan membayar tarif sewa yang lebih mahal pada hunian sempit di peru­ mahan kumuh, karena perumahan tersebut dikelola oleh preman. Tampaknya masyarakat di permukiman kumuh lebih takut dan taat kepada preman dari pada kepada pemerintah. Kasus tunggakan atas sewa unit rusunawa banyak terjadi di Jakarta, seperti rusunawa Buddha Tzu Chi, rusunawa Kampung Melayu, rusunawa Cengkareng dan lainnya, dengan tunggakan sewa dilakukan oleh 70% penghuninya. Itulah sebabnya untuk rusunawa Buddha Tzu Chi, pemda DKI Jakarta maupun Perum Perumnas selaku pemilik tanah tidak bersedia menerima pengalihan dari yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, sebab akan menanggung beban subsidi pengelolaan.­ Tabel berikut ini contoh besar tarif sewa unit rusunawa dengan jumlah lantai minimal 6 seperti rusunawa Kampung Melayu.

Tarif Retribusi Sewa Tower Tipe 30 Tipe 36 Minimal 6 MBR ket Lantai Hunian Terprogram Umum Terprogram Penghasilan Penghasilan Rp2,5 - 4,5 Rp4,5 - 7,0 juta/bulan juta/bulan Lantai untuk hunian/ unit disabilitas 300.000 460.000 505.000 765.000 1.500.000 Perbulan lantai dasar Per meter Lantai Untuk Usaha 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 persegi perbulan

Sumber: Pergub DKI Jakarta No. 55 Tahun 2018 Tentang Penyesuaian Tarif Retribusi Pelayanan Perumahan

Pemerintah DKI melakukan pengelompokan tarif sewa berdasarkan ma­ sya­rakat yang terprogram, misalnya yang menghuni perumukiman kumuh atau bantaran sungai dan masyarakat umum, sedangkan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di kelompokkan berdasarkan penghasilannya. Tujuan dilakukannya pengelompokkan ini untuk dapat dilakukan subsidi silang antar kelompok masyarakat dalam satu tower rusunawa, karena biaya pengoperasian dan pemeliharaan rusunawa 6 lantai lebih mahal dengan ada­ nya elevator. Kondisi yang berbeda terjadi di kota Surabaya, di mana pemerintah kota harus menyediakan subsidi cukup besar setiap tahunnya melalui APBD, karena tarif sewa unit rusunawa ditetapkan sangat murah. Menurut informasi yang di­

198 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar,Tanggung Jawab Siapa

terima pada saat FGD dengan Pemko Surabaya, tarif sewa setiap unit rusunawa yang dikelola oleh pemerintah kota (pemko) di Surabaya setiap tahunnya harus disubsidi rata-rata sebesar Rp50 juta, artinya APBD harus menganggarkan subsidi setiap tahun dalam jumlah yang cukup besar mengingat jumlah tower rusunawa di Surabaya cukup besar, walaupun belum ada rusunawa dengan jumlah lantai 6 atau lebih yang menggunakan elevator. Peraturan Walikota Sura­baya No. 5 Tahun 2020 Tentang Tarif Sewa Rumah Susun Sederhana Sewa dalam Pengelolaan Pemerintah Kota Surabaya mencantumkan tidak ada di atas Rp100 ribu perbulan, dan tidak mengelompokkan masyarakat menjadi masyarakat terprogram dan masyarakat umum sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta. Sebagai contoh tarif sewa yang ditetapkan oleh pemerintah kota Surabaya:

tarif sewa ru sunawa penjaringansari tarif sewa rusunawa pesapen tahap iv per satuan rumah setiap bulan per satuan rumah setiap bulan Lantai I sebesar Rp96.00 Lantai I sebesar Rp85.00 (sembilan puluh enam ribu rupiah) (delapan puluh lima ribu rupiah) Lantai II sebesar Rp86.00 Lantai II sebesar Rp76.00 (delapan puluh enam ribu rupiah) (tujuh puluh enam ribu rupiah) Lantai III sebesar Rp76.00 Lantai III sebesar Rp68.00 (tujuh puluh enam ribu rupiah) (enam puluh delapan ribu rupiah) Lantai IV sebesar Rp62.00 Lantai IV sebesar Rp55.00 (enam puluh dua ribu rupiah) (lima puluh lima ribu rupiah) Lantai V sebesar Rp43.00 Lantai V sebesar Rp38.00 (empat puluh tiga ribu rupiah) (tiga puluh delapan ribu rupiah)

Pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) dalam skala besar sesungguhnya sudah terjadi di beberapa kota, seperti Marunda, Rawa Be­bek, Daan Mogot di Jakarta, Muka Kuning di Batam, Rancacili dan Cingised di Bandung dan lokasi-lokasi lain yang akan tumbuh sebagai kawasan rumah susun. Dengan demikian pengembangan perumahan skala besar dapat dilakukan melalui pembangunan rumah tapak, pembangunan rumah susun atau cam­ puran antara rumah susun dengan rumah tapak. Tentu pelaksanaan pengembangan perumahan skala besar ini tak bisa di­ be­bankan pada pemerintah pusat saja tapi juga harus melibatkan semua kom­ ponen, baik pemerintah daerah, dunia usaha, dan juga masyarakat. Direktur PT Ciputra Residence, Mary Octo Sihombing mengurai peran masing-masing pemangku kepentingan itu.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 199 Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar,Tanggung Jawab Siapa

A. Pemerintah • Sebagai regulator dan fasilitator. • Sebagai penyedia infrastruktur dasar. • Sebagai land lord dalam kerja sama usaha. Sebagai pemilik tanah peran ini dapat dilakukan, namun jika konteks­ nya KPBU penyediaan tanah Barang Milik Negara (BMN) atau BMD tidak menarik untuk pengembang, karena tanah yang diperkenankan untuk di­ker­jasamakan adalah tanah yang dipergunakan untuk membangun rusunawa. Ini kurang menarik bagi pengembang karena return akan terjadi sesudah 17 tahun. B. Dunia Usaha/Pengembang • Sektor swasta sebagai mitra dalam mengisi ruang yang telah diatur dalam ketetapan ruang dan perundangan. • Swasta sebagai mitra dalam menggerakan sektor ekonomi melalui pen­­ciptaan lapangan kerja, penyediaan ruang usaha, dan sebagai pembayar­­ pajak. C. Masyarakat • Masyarakat sebagai pasar/konsumen . • Masyarakat sebagai pengguna/pemilik dengan hak-hak publik yang dilindungi. • Masyarakat sebagai mitra usaha.

6.1. Pemerintah Pusat, Bisa Apa? Dalam pengembangan skala besar, pemerintah pusat berperan: 1. Menerbitkan kebijakan PPh 1% dari semula 5% kepada pelaku pem­ bangunan yang membangun rumah MBR; 2. Menerbitkan kebijakan PPn ditanggung negara jika harga jual rumah memenuhi ketentuan harga jual pemerintah; 3. Memberikan subsidi kepada masyarakat berpenghasilan rendah dalam ben­tuk Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Subsidi Ban­­ tuan Uang Muka (SBUM) dan Subsidi Selisih Bunga (SSB) melalui pem­ biayaan APBN. Namun dalam hal perizinan, pemerintah seolah tidak berdaya. Ini terbukti saat pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan MBR yang berisi tentang penyederhanaan dan kemudahan perizinan dan Permendagri Nomor 55 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Perizinan dan Nonperizinan Pembangunan Perumahan Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah di Daerah. Tak banyak pemerintah daerah yang merespons dua aturan itu. Kota Bitung bahkan bisa memberikan retribusi IMB Rp0.

200 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar,Tanggung Jawab Siapa

Sejumlah anak bermain di sebuah komplek perumahan di Cinunuk, Kabupaten Bandung, Jawa Barat

6.2. Pemda dan Perannya Peran pemerintah daerah dalam penyelenggaraan perumahan sangat besar. Mereka tidak membedakan perlakuan atas pembangunan perumahan berdasarkan skalanya. Semua diperlakukan sama, mulai dari izin prinsip, izin lokasi, rekomendasi peil banjir, rekomendasi berbagai Dinas (tata ruang, perhubungan, pemakaman), persetujuan site plan, IMB dan SLF serta RPL/RKL yang menghasilkan UPL/UKL dan Amdal (tergantung skala pembangunan). Selain kemudahan perizinan, sesungguhnya pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk memberikan kelonggaran dalam beberapa hal. Di antaranya kelonggaran KDB atau KLB, BPHTB (seperti yang dilakukan Pemerintah DKI Jakarta), PBB-P2, keringanan tarif air minum dan lainnya. Namun ada pula pemerintah daerah yang masih belum berpihak kepada masyarakat berpenghasilan rendah. Misalnya mereka memberikan batasan

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 201 Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar,Tanggung Jawab Siapa

KLB hingga 3,5 atau maksimum 4,0 untuk pembangunan rumah susun seder­ hana, mewajibkan 50% luas lantai dasar rumah susun milik untuk MBR tidak boleh dijual. Sementara untuk rumah susun komersial lantai dasar boleh dijual. Tidak berpihaknya Pemda kepada MBR ini ikut menyurutkan keinginan pelaku pembangunan berpatisipasi membangun perumahan MBR. Apalagi jika subsidi kepemilikan rumah bagi MBR selalu habis menjelang tengah tahun berjalan.

6.3. Belajar dari Kabupaten Tangerang Kabupaten Tangerang bisa diambil sebagai contoh. Dalam pembangunan perumahan Kabupaten Tangerang berperan: 1) Menetapkan atau mengesahkan rencana tapak lokasi perumahan yang diajukan pengembang; 2) Rekomendasi peil banjir. Dengan rekomendasi ini dalam pengembangan perumahan skala besar tidak ada pengembang yang saling meninggikan lokasinya yang berakibat merugikan lokasi yang lain; 3) Perizinan membangun dan pengawasan pelaksanaan pembangunan; 4) Sertifikasi tanah oleh kantor pertanahan, termasuk balik nama dari pengembang kepada pembeli. Ada contoh nyata yang diperankan Kabupaten Tangerang saat beberapa pengembang menyusun rencana tapak atau master plan rencana pembangunan perumahan skala besar. Di sini Pemda Kabupaten Tangerang mengambil peran­ un­tuk memadu serasikan rencana-rencana tapak tersebut dan meminta ko­ mit­men para pengembang untuk mendukung terwujudnya perumahan skala besar.

6.4. Rumah Berbasis Komunitas, Sebuah Alternatif Skala Besar? Pada Januari 2019 lalu, Presiden Joko Widodo menyebut pemerintah bakal mulai fokus menyediakan perumahan bersubsidi kepada sejumlah komunitas. Penyediaan rumah berbasis komunitas ini berdasarkan usulan dari masing- masing komunitas alias buttom up. Dari usulan itu nanti pemerintah akan menyiapkan subsidi fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), dan uang muka. Sebuah niat yang mulia, tentu. Program ini merupakan salah satu bagian dari program sejuta rumah yang telah dicanangkannya sejak 2015 lalu. Penyediaan rumah berbasis komunitas ini sekaligus untuk mengejar target backlog perumahan di tanah air. Contoh pembangunan perumahan berbasis yang sudah berjalan yakni perumahan untuk komunitas tukang cukur di Kabupaten Garut, Jawa Barat dan rumah komunitas guru honorer di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Ada juga komunitas TNI/Polri dan ASN di Kota Palembang, Sumatera Selatan.

202 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar,Tanggung Jawab Siapa

Peletakan batu pertama Perumahan Komunitas oleh Presiden Joko Widodo.

Data di Kementerian PUPR menyebut hingga 2020 ini sudah ada 24 komu­ nitas yang mengajukan bantuan subsidi perumahan dari pemerintah. Ke-24 komunitas itu di antaranya berasal dari komunitas buruh tani kopi, petugas ke­bersihan kota, pedagang kaki lima (PKL), buruh tani, tukang bakso, tukang tempe dan tahu, pekerja rokok tembakau, makanan dan minuman, nelayan, guru honorer, penarik bentor, porter, supir taksi, pedagang buah, tukang cukur, buruh kelapa petani garam dan rumput laut. Setidaknya ada 22 lokasi dengan luas lahan mencapai 214,95 hektare yang disiapkan sebagai lokasi pembangunan rumah komunitas tersebut. Lokasi itu tersebar di beberapa provinsi seperti Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo dan Nusa Tenggara Timur. Dari luas lahan tersebut diperkirakan bisa dibangun 7.473 unit rumah komunitas. Menurut Direktur Rumah Umum dan Komersial (RUK) Direktorat Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR Mochammad Yusuf Hariagung, berdasarkan data yang masuk, usulan bantuan pembangunan rumah berbasis komunitas (P2BK) di berbagai daerah pada 2020 ini mencapai 10.000 rumah.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 203 Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar,Tanggung Jawab Siapa

204 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar,Tanggung Jawab Siapa

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 205 Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar,Tanggung Jawab Siapa

Yusuf berharap Pemda di seluruh Indonesia bisa melakukan program peru­ mahan berbasis komunitas ini. Langkah ini penting agar masyarakat memiliki rumah yang layak huni. Masalah penting yang harus diperhatikan dalam prgram P2BK ini, menurut Yusuf, adalah kejelasan status tanah. Ada dua konsep dalam pengadaan tanah itu. Pertama, tanah disediaan Pemda. Kedua, tanah disediakan badan usaha koperasi atau pengembang.

6.5. Lima Kriteria Untuk bisa membangun rumah komunitas harus memenuhi lima kriteria. Yakni: 1. Komunitas tersebut merupakan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) non fixed income atau mereka yang termasuk Desil satu sampai empat yang memiliki penghasilan mulai Rp1,2 juta hingga Rp2,6 juta; 2. Belum pernah memiliki rumah, memiliki lahan atas nama sendiri atau berkelompok tapi dapat dipecah atas nama masing-masing dan komunitas tersebut berasal dari satu kelompok sosial yang berasal dari lingkungan yang sama atau berbeda atau beberapa kelompok sosial yang berasal dari lingkungan yang sama atau berbeda; 3. Komunitas tersebut berjumlah paling sedikit 50 kepala keluarga dan kese­ luruhan anggotanya adalah MBR yang sudah berkeluarga dan memiliki ke­ mampuan berswadaya dan memiliki kelompok; 4. Komunitas tersebut berbadan hukum atau jika tidak harus memiliki akta pen­dirian dan notaris dan tercantum AD/ ART; 5. Komunitas tersebut ditetapkan oleh Walikota/Bupati. Hal tersebut menjadi dasar pengajuan permohonan bantuan perumahan berbasis komunitas dan permohonan dilakukan oleh Ketua Komunitas atau Pengurus lain yang tercantum dalam akta. Jika memenuhi lima kriteria itu, pemerintah akan memberi bantuan berupa Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) dalam bentuk pembangunan rumah baru, bantuan prasarana, sarana dan utilitas (PSU) perumahan seperti sanitasi komunal, persampahan (Tempat Pembuangan Sampah Terpadu), jaring­an air bersih, jalan lingkungan, dan drainase. Selain itu juga ada fasilitasi penyediaan lahan dan fasilitasi pembiayaan perumahan.

6.6. Swasta, di Mana Perannya Sulit menelusuri secara mendalam bagaimana sebenarnya penanganan skala besar yang dilakukan badan usaha swasta. Namun secara garis besar ada tiga pola yang biasa dilakukan: 1. Saat akan menentukan lokasi, biasanya seorang pimpinan badan usaha

206 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar,Tanggung Jawab Siapa

swasta besar turun langsung menjajagi lokasi yang diinginkan. Mereka melakukan survei harga tanah di lokasi sambil memeriksa RTRW. Setelah mereka melakukan pendekatan kepada pimpinan daerah yang berwenang menerbitkan izin prinsip dan izin lokasi. Jika pimpinan daerah tidak dike­ nal, mereka berusaha mencari orang-orang dekatnya, entah kolega, staf/ ajudan, atau pengusaha lokal, untuk mencari tahu karakter pimpinan dae­ rah tersebut. Jika sudah mengenal, mereka akan mengundang pimpinan­ daerah. Dalam pertemuan itu biasanya mereka langsung menyatakan ke­ inginannya untuk membangun perumahan skala besar. Setelah itu pengu­ saha tersebut mengajukan permohonan izin lokasi dalam skala besar. Tanah pada lokasi yang berbatasan langsung dengan jalan dibebaskan 100%. Sedangkan tanah-tanah lain dipanjar. Mereka juga melakukan per­ janjian dengan pemilik tanah. Dalam perjanjian mereka menyepakati harga, larangan menjual ke pihak lain, waktu, cara dan besar pembayaran dan menawar dengan harga semurah mungkin. Meski tanah belum dibebaskan 100%, biasanya pengusaha itu akan menyusun masterplan. Sejalan dengan penyusunan masterplan, mereka juga akan membangun gapura di pintu masuk kawasan. Masterplan yang disusun terdiri dari klater-klaster. Dalam klaster-klaster ada pula blok-blok perumahan yang luasannya berbeda antara satu klaster dengan klaster lainnya. Klaster-klaster ini biasanya diserahkan kepada anak perusahaan (bisa lebih dari satu) untuk dibangun dan dikelola. Jika di tengah jalan pengusaha tersebut mengalami kesulitan finansial, melalui anak perusahaan itu, mereka menjual atau menjalin kerja sama dengan pengusaha lain. Selan­ jutnya perusahaan pemegang klaster bersama pembeli klaster akan mem­ bangun jalan di dalam kawasan itu dengan perjanjian kerjasama, pem­ bangunan, pemasaran dan pembagian keuntungan, tata cara pembayaran dan lainnya yang cukup rumit. Pada saat kerjasama inilah master plan bisa diubah sebagai akibat peru­ bahan­ siteplan klaster perumahan. Untuk lokasi klaster yang sangat strategis, peruntukan klaster bisa diubah yang awalnya rumah tapak men­jadi rumah susun (kondominium/apartemen) tetapi untuk pertum­ buh­an yang agak lama (10 hingga 15 tahun kedepan). Untuk mendorong pembangunan, pengusaha pemegang izin lokasi menawarkan kerjasama ke­pada para investor untuk membangun sarana jasa komersial. Entah pusat perbelanjaan, hotel, campuran pusat perbelanjaan dengan perkantoran, rumah sakit, sekolah/universitas, atau showroom. Pertanyaannya, di mana rumah sederhana dibangun dan kapan dila­ ku­kan? Pembangunan rumah sederhana (bukan bersubsidi) dilakukan pa­

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 207 Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar,Tanggung Jawab Siapa

da awal pembangunan lokasi. Rumah ini biasanya ditempatkan di lokasi yang tidak strategis. Tujuannya, agar kawasan terisi dan terbangun dulu. Strategi ini dilakukan tak lain adalah untuk menarik pembeli dan sekaligus memperlihatkan bahwa kawasan tersebut telah dikuasai. 2. Beberapa pengusaha (perusahaan) mengumpulkan modal bersama untuk mendirikan perusahaan induk (konsorsium). Induk perusahaan adalah perusahaan penyetor modal terbesar. Pemilik modal besa ini biasanya su­ dah melakukan penjajagan di beberapa kawasan untuk dilakukan pem­ bangunan perumahan skala besar. Selanjutnya mereka secara bersama menyusun master plan kawasan di mana perusahaan-perusahaan anggota perusahaan induk berhak untuk menyusun perencanaan ditiap klaster yang diinginkannya sekaligus membebaskan tanah pada klaster yang ber­ sangkutan.

Suasana proyek pembangunan hunian vertikal di samping tol Bogor Outer Ring Road (BORR), Cibuluh, Kota Bogor, Jawa Barat.

208 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Hunian Layak dan Perumahan Skala Besar,Tanggung Jawab Siapa

Pengurusan izin membangun, pelaksanaan pembangunan, pemasaran di tiap klaster dilakukan oleh tiap perusahaan, namun dapat pula pema­ saran dilakukan atas nama perusahaan induk untuk meningkatkan nilai jual. Untuk menghindari persaingan antar klaster dalam penjualan rumah,­ dilakukan diversifikasi harga jual melalui perbedaan luas kaveling, luas rumah, desain model rumah (tapak, bertingkat), dan sarana untuk me­ ningkatkan penjualan rumah dengan harga yang lebih mahal. Misalnya, ada sarana kolam rencang, pemagaran, cctv di tiap rumah, penggunaan kar­tu akses, portal yang dijaga 24 jam dan sebagainya. Pengembangan skala besar dengan pola seperti ini memerlukan komit­ men kuat di antara anggota konsorsium. Sebab, kepentingan satu peru­ sahaan dengan lainnya berbeda. Misalnya dalam memutuskan siapa yang memulai pembangunan terlebih dahulu , bagaimana memutuskan harga jual agar tidak saling banting harga dan merusak pasar, bagaimana saling kerja sama dalam pembangunan maupun penjualan dan sebagainya. 3. Perusahaan membentuk anak perusahaan. Biasanya perusahaan induk akan melakukan pembebasan tanah, sementara anak perusahaan ditugasi merencanakan, mendesain, membangun dan memasarkan rumah. Ada kalanya beberapa pekerjaan dilakukan beberapa perusahaan atau anak perusahaan lain). Misalnya satu anak perusahaan atau perusahaan lain ditugasi untuk perencanaan dan perancangan sekaligus mengurus per­ izinan. Sementara perusahaan yang lain ditugasi untuk melakukan pem­ bangunan. Biasanya anak perusahaan ini diberikan target keuntungan dan sam­ pai batas-batas tertentu diberikan pula keleluasaan untuk mengambil ke­ putusan, terutama yang berkaitan dengan perizinan dan pemasaran dan cara penjualan, serta target waktu pentahapan dalam pembangunan. D D D

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 209 Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

210 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

BaB vIi

Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 211 Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

212 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

BaB vIi Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

7.1. Arti Kolaborasi Kolaborasi adalah suatu bentuk interaksi, diskusi, kompromi, kerjasama yang berhubungan dengan individu, kelompok atau beberapa pihak lainnya, baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu, kolaborasi artinya memiliki nilai-nilai yang sama dan kuat sebagai komponen kolaborasi efektif. Misalnya, memiliki arah tujuan yang sama, persamaan persepsi, rasa ke­inginan untuk saling berkompromi, tekad untuk mencari solusi bersama- sama, dan lain sebagainya. Kolaborasi sangat diperlukan di dalam dunia kerja. Yap! Kolaborasi kerja ditanamkan di banyak perusahaan agar semua karyawan memiliki kolaborasi tim yang kuat. Memang benar bahwa kolaborasi tidak selamanya membawa keuntungan bagi kita. Meskipun begitu, sama seperti hal-hal lainnya, kola­ borasi juga memiliki beberapa kerugian bagi yang menjalankannya. Salah satu ke­rugian kolaborasi adalah kita akan mengalami stres karena terlalu banyak konflik yang terjadi. Logikanya semakin banyak orang, maka ide-ide yang di­ sam­paikan juga akan semakin banyak, dan konflik yang hadir pun akan semakin beragam. Meskipun begitu, kolaborasi tetap menjadi hal yang penting untuk diterap­ ­ kan di dalam tempat kerja. Pentingnya kolaborasi juga menjadi salah satu kunci kesuksesan bagi orang-orang jenius di zaman dahulu loh! Ada begitu banyak para penemu dan orang jenius yang sangat terkenal sampai sekarang yang du­ lu­nya sangat bergantung dengan kolaborasi. Dalam buku yang ditulis oleh Vera John-Steiner dengan judul “Kolaborasi Kreatif” menceritakan tentang bagaimana kesuksesan yang dimiliki orang- orang cerdas seperti Pablo Picasso dan Albert Einstein sangat dipengaruhi oleh kemitraan dengan orang-orang di zaman mereka. demikian pula pada ma­sa kini Kolborasi tidak hanya antar individu, melainkan antar badan usaha, bahan antara badan usaha dengan pemerintah daerah yang berwenang mener­ bitkan perizinan dan bahkan perbankan yang mendukung pendanaan yang da­lam bidang perumahan dapat dilakukan dari sisi pasokan maupun dari sisi permintaan. Kolaborasi kreatif juga masih diperlukan sampai sekarang.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 213 Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

Terlebih lagi, perkembangan teknologi telah mempermudah kita untuk bisa saling berkolaborasi dengan menggunakan kemajuan teknologi yang ada. Sebagai contoh, rekan pembaca memiliki satu penyanyi idola, dan penyanyi idola Anda ini bisa berkolaborasi dengan band musik lain dan menggunakan aransemen lagu yang lebih menarik. Itu bisa dikatakan sebagai kolaborasi yang kreatif. Contoh lainnya, perusahaan rekan pembaca bergerak di bidang pen­ didikan dan training. Mungkin di lain kesempatan Anda bisa berkolaborasi dengan perusahaan digital, yang mana kedua perusahaan membuat bisnis yang berkaitan dengan training secara digital. Itu juga bisa dikatakan sebagai kola­ borasi kreatif, yang mungkin akan sering kita temukan di era modern seperti sekarang ini.

7.2. Bentuk Kolaborasi Ada beberapa bentuk kolaborasi berdasarkan teknologi informasi sejak tahun 2000, yang bisa diterapkan dalam kerjasama yaitu: 1. Fully-Integrated Merger; yaitu kolaborasi yang terjadi ketika dua atau lebih organisasi mengkombinasikan kegiatan-kegiatan operasional dan misi- misi kedalam satu organisasi. Kolaborasi ini paling umum digunakan da­ lam kerjasama atau biasa dikenal dengan merger. 2. Partially-Integratif Merger; yaitu kolaborasi ini adalah merupakan alternatif bentuk kolaborasi bagi kerjasama organisasi yang menginginkan tidak ada­nya bentuk organisasi yang baru. Kolaborasi ini memanfaatkan sumber daya yang ada untuk dijadikan sebagai keuntungan strategis organisasi. 3. Joint Program Office adalah model kolaborasi ini terjadi karena adanya suatu program yang dikerjakan oleh dua atau lebih organisasi dengan tuju­ an untuk menguatkan visi kerjasama kedua organisasi tanpa harus men­ ciptakan struktur organisasi yang baru dari kedua belah pihak. 4. Joint Partnership with Affiliated Programming Dua atau lebih organisasi yang berkolaborasi dalam mengirimkan layanan (service) pada suatu pro­ gram tertentu atau pada kegiatan operasional mereka yang melibatkan klien. Kolaborasi seperti ini biasanya dilakukan pada kerja sama jangka pan­­jang ataupun yang sedang fokus pada proses menjalin hubungan kerja­ sama untuk jangka panjang. 5. Joint Partnership for issue Advocacy yaitu model kolaborasi ini sangat cocok digunakan untuk organisasi komunitas dalam membagi kebutuhan untuk berbicara dengan satu suara sehingga pesan kolektif tersebut bisa didengar. Kolaborasi seperti ini muncul akibat sebuah isu. Kerja sama bisa dalam skala jangka pendek atau sesuai dengan periode isu yang berkembang. Or­ga­nisasi-organisasi yang mengimplementasikan bentuk kolaborasi se­ perti ini memungkinkan mereka untuk bergerak, berkomunikasi, dan

214 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

memobilisasi dalam sebuah kesatuan. 6. Joint Partnership with the birth of a new formal organization yang dalam bidang perumahan skala besar sering disebut dengan konsosium, yaitu memunculkan sebuah organisasi baru tanpa menghilangkan organisasi yang lama. Sebuah program bersama yang akan lebih baik jika bekerja secara terpisah dengan organisasi yang mandiri yang dibentuk oleh kerja sama dua atau lebih organisasi. Pembuatan organisasi yang baru mencer­ ­ minkan kedewasaan tujuan dari kedua organisasi tersebut. 7. Joint administrative office and Back office operations yaitu kolaborasi pada joint adminstrative office yang merupakan strategi pencapaian efisiensi yang akan dicapai melalui pembagian administrasi kantor dan personil, termasuk dalam hal finansial, manajemen sumber daya manusia, dan teknologi informasi. 8. Confederation adalah kolaborasi konfederasi merupakan bentuk kolabo­ ­ rasi yang dipakai di Amerika Serikat, dimana setiap negara bagian mem­

Perumahan subsidi di kawasan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 215 Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

216 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 217 Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

punyai kewenangan operasional sendiri yang dikontrol oleh payung orga­ nisasi yang bernama federasi. Diantara entitas-entitas yang terpisah ini, konfederasi dapat membangun dan menciptakan koordinasi yang ke­ luar dari sebuah kekacauan dan pembagian dimana payung organisasi merupakan pemegang kendali penuh yang mengontrol sumberdaya dan informasi. Dalam pembangunna perumahan skala besar, tidak ada satu bentuk kola­ borasi yang ditetapkan dari kedelapan pilihan bentuk kolaborasi tersebut, se­lalu saja ada modifikasi yang dilakukan untuk penyesuaian terhadap kon­ disi lokal. Namun penanganan bidang-bidang yang berkaitan dengan pem­ bangunan perumahan skala besar misalnya, dapat menggunakan kemampuan berdasarkan bidang spesialisasi yang paling diunggulkan oleh satu perusahaan, seperti perusahaan yang sudah sangat berpengalaman dalam penyediaan atau

Pembangunan Kota Baru RPJMN 2015-2019

Grafis 7.1. Pembangunan Kota Baru RPJMN 2015-2019.

218 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

pembelian tanah, dimana diperlukan orang-orang yang piawi dalam negosiasi dengan pemilik tanah, mempunyai hubungan yang luas dengan instansi yang mengurusi tanah. Demikian pula dengan perencanaan dan desain, se­ ka­lipun dapat menyewa konsultan tetapi diperlukan pula kemampuan un­ tuk membaca pasar dan selera calon konsumen. Sama halnya dengan pelak­ sanaan pembangunan perumahannya terdapat banyak metoda yang dapat dipergunakan untuntuk membangun dengan efisien.

7.3. Pembangunan Kota Baru dan Perumahan Skala Besar Pemerintah mencanangkan 10 proyek metropolitan baru pada 2019 lalu. Menurut Kepala Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) ketika itu, Bambang Brodjonegoro, pembangunan kota-kota tersebut sejalan dengan rencana pemerintah memindahkan ibu kota negara ke luar Pulau Jawa. Kota didefinsikan sebagai pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang memiliki batasan wilayah administrasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1987 mengenai Penyusunan Ren­ cana Kota. Sementara itu dari buku Eco Cities: Ecological Economic Cities (2010) karya Hiroaki Suzuki, dalam Max Weber, pengertian kota adalah suatu tempat yang penghuninya dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonomi di pasar lokal. Sedangkan pengertian perkotaan dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, perkotaan adalah wilayah yang memiliki kegiat­an utama bukan pertanian, diaman perkotaan memiliki susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pela­yanan jasa pemerintah, pelayanan sosial, serta kegiatan ekonomi. Dilihat dari jumlah penududknya, kota memiliki lima klasifikasi yang ter­ bagi dalam: 1. Kota kecil, memiliki jumlah penduduk 20.000 hingga 50.000 jiwa. 2. Kota sedang, memiliki jumlah penduduk 50.000 sampai 100.000 jiwa. 3. Kota besar, memiliki jumlah penduduk 100.000 sampai 1 juta jiwa. 4. Kota metropolitan, memiliki jumlah penduduk 1-5 juta jiwa. 5. Kota megapolitan, memiliki jumlah penduduk lebih dari 5 juta jiwa. Kota memiliki ciri-ciri yang terbagi dalam dua kelompok, yaitu: 1. Berdasarkan fisik kota Dilihat dari fisiknya, kota dikelompokkan menjadi beberapa, yakni: • Memiliki daerah terbuka yang digunakan sebagai open space atau paru-paru kota. Memiliki gedung pemerintahan; • Memiliki gedung perkantoran dan hiburan memiliki sarana olahraga; • Memiliki alun-alun;

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 219 Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

• Memiliki lahan parkir; • Memiliki kompleks hunian untuk masyarakat ekonomi rendah, sedang, dan elite. 2. Berdasarkan karakter masyarakat, yaitu: • Memiliki Hubungan sosial yang bersifat gesselschaft; • Memiliki segresi keruangan; • Norma keagamaan tidak terlalu ketat; • Penduduk memiliki sikap individualisme serta egois, dan; • Masyarakat kota memiliki pandangan hidup lebih rasional jika diban­ dingkan masyarakat desa. Kota baru adalah kota yang dibangun atau kawasan yang ditata melalui pro­ ses perencanaan (tidak tumbuh secara organik/alamiah) di lahan yang belum terbangun atau kawasan perdesaan, memiliki sarana dan prasarana yang leng­ kap, mempunyai kesiapan unsur-unsur kependudukan, perekonomian dan

kronologi pengembangan Kota Baru

Grafis 7.2. Kronologi Pengembangan Kota Baru.

220 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

sosial budaya, yang diperlukan sebagai kota masa depan yang berkelanjutan. Pembangunan 10 kota baru ini berdasarkan amanat Perpres No 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang menyebutkan bahwa arah kebijakan pembangunan wilayah perkotaan difokuskan untuk membangun kota berkelanjutan dan berdaya saing menuju masyarakat kota yang sejahtera berdasarkan karakter fisik, potensi ekonomi dan budaya lokal. Dalam hal ini ada tambahan yaitu pengembangan potensi ekonomi dan pengembangan budaya lokal. Pengembangan potensi eknomi pada suatu kota perlu dukungan dari daerah sekitarnya atau kabupaten di sekitarnya, sedangkan pengembangan budaya lokasl diperlukan agar kota tidak kehilangan identitasnya. Tidak seperti yang sekarang terjadi dimana ruko berkembang dan mengisi ruang terbesar kota, sehingga suatu kota dengan kota lainnya sulit dibedakan, karena budaya lokal tidak dijadikan acuan. Contohnya kota Banjarmasin, yang dalam tahun 1960an dikenal dengan nama kota seribu sungai, sekarang sungai sudah mengecil terdesak oleh pe­ nam­bahan dan pelebaran jalan. Padahal kalau saja sejak dulu dikembangkan transportasi air dan sekarang juga masih digunakan oleh masyarakat seperti kapal klotok pada sungai-sungai besar dan perahu, bukan tidak mungkin dapat menyaingi kota Venesia di Italia. Kota berkelanjutan merupakan kebutuhan pengembangan saat ini yang dimulai dari pengembangan konsep pembangunan berkelanjutan yang mulai mencuri perhatian pada saat terbitnya buku Silent Spring karya Rachel Carson tahun 1962. Kebutuhan atas pembangunan berkelanjutan membuat pe­ ningkatan kesadaran memberikan lingkungan bagi bumi yang bisa bertahan lebih ekologis. Ada lima strategi yang disusun untuk mewujudkan rencana itu. Yakni: 1. Perwujudan Sistem Perkotaan Nasional (SPN); 2. Percepatan pemenuhan Standar Pelayanan Perkotaan (SPP) untuk mewu­ judkan kota aman, nyaman, dan layak huni; 3. Perwujudan Kota Hijau yang Berketahanan Iklim dan Bencana; 4. Pengembangan kota cerdas yang berdaya saing dan berbasis teknologi dan budaya lokal; serta 5. Peningkatan Kapasitas Tata Kelola Pembangunan Perkotaan. Pembentukan kota baru publik yang mandiri dan terpadu di sekitar kota atau kawasan perkotaan metropolitan khususnya di luar Jawa-Bali merupakan sesuatu yang mendesak. Pembentukan ini juga sekaligus sebagai keberpihakan terhadap masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah serta diarahkan sebagai pengendali (buffer) urbanisasi. Kawasan kota baru sebagai bagian dari kawasan permukiman perkotaan

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 221 Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata harus direncanakan, dilaksanakan serta dikelola dengan baik dengan memasuk­ kan unsur-unsur kota hijau dan kota cerdas. Hal ini penting untuk mendukung terwujudnya kawasan permukiman yang layak huni dan berkelanjutan. Ide kota hijau adalah membentuk siklus tertutup (closing the loops) dalam pemanfaatan air, energi dan limbah, sehingga pencemaran air, tanah dan udara (emisi GRK) dapat ditekan ke level minimal. Filosofinya adalah mengubah per­ soalan menjadi peluang, mengubah tantangan menjadi potensi yang dapat mem­berikan manfaat bagi masyarakat kotanya. Salah satu bentuk pemodelan yang terkenal untuk menggambarkan kondisi ini ada Model Hammarsby yang dikembangkan di Stockholm. Model ini mampu memperlihatkan satu siklus pengelolaan air, energi dan limbah pada skala distrik yang terpadu. Konsep Kota Cerdas (smart city) awalnya diciptakan oleh perusahaan IBM. Sebelumnya berbagai nama sempat dibahas para ahli dunia dengan nama digital city atau kota cerdas (smart city). Intinya kota cerdas (smart city) ini meng­gunakan teknologi informasi untuk menjalankan roda kehidupan kita yang lebih efisien. Kota cerdas (smart city) adalah sebuah konsep kota cerdas/pintar yang mem­bantu masyarakat yang berada di dalamnya dengan mengelola sumber daya yang ada dengan efisien dan memberikan informasi yang tepat kepada ma­sya­rakat/lembaga dalam melakukan kegiatannya atau pun mengantisipasi keja­dian yang tak terduga sebelumnya. Kota cerdas (smart city) cenderung mengintegrasikan informasi di dalam­ kehidupan masyarakat kota. Definisi lainnya, Kota Cerdas (smart city) dide­ finisikan juga sebagai kota yang mampu menggunakan SDM, modal sosial, dan infrastruktur telekomunikasi modern untuk mewujudkan pertumbuhan eko­ nomi berkelanjutan dan kualitas kehidupan yang tinggi, dengan manajemen sumber daya yang bijaksana melalui pemerintahan berbasis partisipasi ma­ syarakat. Dengan cara mengembangkan kota baru yang ada di luar Jawa pemerintah berharap kesenjangan antara kawasan timur dan barat Indonesia bisa di­ku­ rangi. Dua dari 10 kota baru yang bakal dikembangkan itu adalah Kota Manado, di Sulawesi Utara dan kota Maja di Banten dan Jawa Barat, karena kota Maja berada di 2 provinsi. Perumahan skala besar tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kota, termasuk perkembangan kota baru, khususnya dalam hal pengunaan tanah. Persentase luas tanah yang diperuntukan bagi fungsi hunian (perumahan) di suatu kota di Indonesia, menempati persentase terbesar dibandingkan dengan penggunaan tanah oleh fungsi lain, kecuali kota didesain sebagai kota hijau (green city). Hal ini terutama dipengaruhi oleh tingginya tingkat urbanisasi pada kota-

222 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

kota metropolitan dan kota besar, dimana masyarakat urban membutuhkan lahan bagi huniannya. Bagi mereka yang mampu dapat membeli rumah dalam suatu lokasi perumahan yang tertata yang dibangun oleh pengembang, baik dalam bentuk rumah tapak maupun rumah susun, namun bagi masyarakat yang kurang mampu menghuni perumahan kumuh dengan cara sewa atau beli, walaupun seringkali tidak sesuai dengan peruntukannya dan bahkan tanahnya milik orang lain. Itulah sebabnya mengapa perumahan kumuh dan permukiman kumuh senantiasa bertambah tinggi kepadatannya dan bertambah luas atau menyebar. Pada sisi lain, pengembang baik yang membangun perumahan atau sarana komersial lainnya lebih memilih mengosongkan permukiman kumuh, yang dilakukan oleh pihak lain yang ditugasi, dengan pertimbangan tidak ada lagi tanah yang cukup luas di pusat kota dan nilai tanah bisa lebih murah serta keinginan masyarakat untuk memperoleh ganti untung (bukan ganti rugi) untuk dipergunakan membangun perumahan di pinggiran kota atau di kota lain. Kondisi inilah yang terjadi di banyak kecamatan, seperti kecamatan Setiabudhi yang sekarang didominasi perkantoran komersial, hotel dan apartemen bagi masyarakat berpenghasilan menengah atas.

7.4. Kasus Jakarta Di DKI Jakarta, luas perumahan menempati porsi terbesar dari seluruh luas daratan DKI Jakarta, yaitu sebesar 48,41%, sedangkan peruntukan untuk fungsi lain (industri, perkantoran, perdagangan dan pemerintahan) hanya me­ nempati 15,68%. Penanaman Modal Asing (PMA) untuk perumahan industri dan perkantoran juga menempati porsi terbesar (36%), bahkan lebih besar dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang hanya sebesar 5,9%. Artinya pengembang Indonesia belum menjadi tuan di negaranya sendiri, walaupun sesungguhnya PMA pasti menggandeng perusahaan Indonseia sebagai mitranya. Pertanyaannya, mengapa PMA lebih tertarik di bandingkan dengan pe­ ngem­bang Indonesia? Sementara pengembang besar Indonesia seperti grup Ciputra, Lippo sudah melakukan ekspansi ke Singapore, Vietnam, Laos, India dan negara-negara lainnya. Jika dicermati dari komposisi penjualan rumah (tahun 1976), maka ma­ syarakat menengah bawah dan bawah sebanyak 36,4% tersebar di Jabodetabek, di mana porsi terbesar ditempati oleh masyarakat bepenghasilan atas, me­ nengah atas dan menengah. Data di atas memperlihatkan bahwa dugaan semakin tersingkirnya MBR dan masyaraat miskin ke pinggiran atau luar kota benar adanya. Itulah sebabnya dalam tahun 2006 tercetus ide pembangunan seribu menara rumah susun dengan slogan “back to the city”, yang ditujukan terutama bagi masyarakat ber­

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 223 Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

peruntukan lahan dki jakarta

Grafis 7.4. Peruntukan Lahan Dki Jakarta.

NILAI SHARE NILAI SHARE PMA PMDN INVESTASI (%) INVESTASI (%) (JUTA USD) (Rp MILIAR) Perumahan, Kawasan 731,149.5 36.0 Pertambangan 8,290.204 37.7 Industri, dan Perkantoran Transportasi, Gudang, dan Jasa Lainnya 492,810.5 24.2 7,592,382 34.5 Telekomunikasi

Perdagangan dan Reparasi 396,962.9 19.5 Konstruksi 4,124,060 18.8

Transportasi, Gudang, dan Perumahan, Kawasan 95,162.4 4.7 1,292,975 5.9 Telekomunikasi Industri, dan Perkantoran Hotel dan Restoran 66,574.1 3.3 Perdagangan dan Reparasi 339,204 1.5 sumber : bkpm s.d Triewlan II-2017 penghasilan rendah, karena semua orang pada dasarnya berhak untuk tinggal di kota. Sebanyak 51% penduduk DKI Jakarta yang memiliki rumah sendiri dapat diartikan bahwa sebagian besar masyarakat berpenghasilan rendah dan miskin di Jakarta menempati rumah yang bukan miliknya sendiri. Namun tidak dipungkiri bahwa banyak pula penduduk Jakarta yang me­ miliki rumah atau apartemen lebih dari satu untuk tujuan di sewakan. Kekurangan rumah (dimiliki) di Jakarta cukup besar, yaitu sebesar hampir sebesar 303 ribu, artinya ada sebsar 1,2 juta penduduk yang menyewa rumah, menumpang atau menempati rumah dinas, sehingga sangat mungkin cukup

224 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

perubahan fungsi lahan dki jakarta

Grafis 7.5. Perubahan Fungsi Lahan Dki Jakarta.

kepemilikan rumah penduduk dki jakarta

Grafis 7.6. Kepemilikan Rumah Penduduk Dki Jakarta. banyak satu rumah dihuni oleh 2 atau lebih keluarga. Kalau rumah yang dihuni oleh lebih dari satu keluarga tersebut memiliki kecukupan ruang (9,0 m² perorang)­ hal tersebut masih memadai, tetapi pengamatan di perkampungan kumuh­ kecukupan ruang tersebut jauh lebih rendah. Hal tersebut terjadi tidak saja di Jakarta, tetapi di metropolitaan Jabodetabek juga. Melihat kondisi tersebut, tidaklah heran jika kawasan ini selalu merupakan zona erah penyebaran Covid-19. Jika kekurangan rumah sebesar 303 ribu tersebut ditampung dalam rumah susun, di

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 225 Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

ketinggian lahan pola sifat lingkungan kdb (%) klb bangunan perencanaan (m2) Sangat Padat 60 5,0 32 3.000 Padat 55 4,5 24 5.000 Kurang Padat 50 4,0 16 10.000 Tidak Padat 45 3,5 16 15.000 Kebijakan ini tetap mengacu pada RDTR dan tidak berlaku umum di semua ruang dengan peruntukan perumahan. Namun dimungkinkan merencanakan bangunan rumah susun dengan fungsi campuran, hunian dan bukan hunian.

backlog wilayah dki jakarta

Grafis 7.7. Backlog Wilayah Dki Jakarta.

Masih herankah kita jika tanah di Jakarta sudah sangat mahal dan masih bertanyakah kita mengapa para pengembang lebih memilih melakukan reklamasi daripada membebaskan lahan di daratan Jakarta? Masih bertanyakah kita mengapa diperlukan kenaikan KLB (Koefisien Lantai Bangunan)? Mengapa begitu sulit untuk menetapkan KLB rumah susun MBR sebesar 6,0 di lokasi-lokasi yang tidak mengganggu keselamatan penerbangan sebagaimana dimungkinkan oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 74 Tahun 2007 ? Atau memang MBR tidak boleh lagi tinggal di Jakarta ? Sehingga Jakarta hanya untuk orang dari berpenghasilan menengah atas saja, sehingga MBR kalau ingin punya rumah ya di luar Jakarta?

226 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

mana setiap hektare lahan dapat menampung 1.000 satuan rumah susun,­ maka dibutuhkan tidak kurang dari 303 hektare lahan. Dari mana lahan seluas itu diperoleh? Pemerintah DKI Jakarta mengenalkan 4 (empat) Pola Sifat Lingkungan (PSL), yaitu sangat padat, padat, kurang padat dan tidak padat berdasarkan KDB, KLB dan luas lahan perencanaan, namun pada sisi lain membatasi jum­ lah lantai atau ketinggian bangunan, yang memudahkan badan usaha untuk merencanakan rumah susunnya. Untuk kebutuhan hunain bagi masyarakat berpenghasilan rendah, per­mo­ honan penyediaan rusunawa dari walikota administrasi dan Bupati administrasi­ (kepulauan seribu) di DKI Jakarta pada tahun 2018 total berjumlah 11.658 unit (sarusun). Suatu kebutuhan hunian yang besar dan kebutuhan ini akan terus meningkat seiring dengan peningkatan penduduk DKI Jakarta. Jika pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta masih dengan “low rise building”

Kepadatan wilayah DKI Jakarta memerlukan solusi dalam pengadaan perumahan untuk MBR.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 227 Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata atau “walk-up flat” dengan 4 atau 5 lantai, dimana dalam 1 Ha lahan hanya bisa menampung 300 unit (100 unit per tower), maka paling tidak dibutuhkan 38,9 hektare dengan kebutuhan tertinggi berada Jakarta Utara sebesar 23,7 hektare diikuti dengan kebutuhan di Jakarta Barat (5,1 hektare) dan Jakarta Timur yang kurang lebih sama dengan Jakarta Barat serta yang terendah di Jakarta Selatan, 1,8 hektare. Jika harga tanah rata-rata di Jakarta di lokasi yang cukup strategis Rp10 juta per meter persegi (lokasi strategis bisa mencapai Rp25 juta hingga Rp40 juta permeter persegi), maka kebutuhan anggaran hanya untuk tanah besarnya mencapai Rp3,89 triliun yang dibebankan pada APBD, atau dengan kata lain jika setiap unit dihuni oleh 4 orang, maka setiap orang membenai APBD sebesar Rp83,5 juta hanya untuk tanah, belum bangunan rumah susunnya. Suatu jumlah uang yang besar!

7.5. Kolaborasi Pembangunan Rumah Susun Kolaborasi tidak hanya dapat diwujudkan antara perusahaan dengan peru­ sahaan, tetapi dapat pula antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah,

Di lokasi C 2 dibangun rumah susun dengan ketinggian 18 lantai dan 24 lantai, sedangkan di lokasi D 10 terdapat 3 (tiga) rumah susun dengan ketinggian 24 lantai dan 32 lantai. Ke dua lokasi dibangun berbarengan dan kedua lokasi dipergunakan untuk kegiatan olah raga internasional Asian Games dan tahun berikutnya dipergunakan untuk event olah raga Olimpiade Paralympic.

228 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata antar pemerintah daerah, maupun antara pemerintah (pusat/daerah) dengan badan usaha (BUMN/D).

A. Kolaborasi Antar Kementerian Wisma Atlit merupakan contoh kolaborasi di antara kementerian. Tanah dimana Wisma Atlit berdiri merupakan aset negara di bawah penge­lolaan Kementerian Sekretariat Negara, sedangkan kompleks rumah­ susunnya di bangun melalui anggaran Kementerian PUPR (APBN) yang di alokasikan oleh Kementerian Keuangan, dimana persetujuan dan perizinannya dilakukan kepada pemerintah daerah DKI Jakarta. Koor­ dinasi secara keseluruhan dilakukan oleh Wakil Presiden, yang sekaligus­ membuktikan bahwa koordinasi antar kementerian belum dapat ber­jalan sebagaimana diharapkan

Masterplan Wisma Atlet di lokasi D10 dan perletakan bangunan rumah susun selang seling antara 24 lantai dan 32 lantai.

Rumah Susun 18 Lantai dalam proses finishing di lokasi C2 dilengkapi dengan parkir pada 3 lantai di bawah. Perletakan bangunan rumah susun pada lokasi C2 diatur dengan tower 24 lantai ditempatkan ditengah, diapit oleh 2 tower 18 lantai. Setiap menara dilengkapi dengan sarana parkir kendaraan bermotor, roda 2 dan roda 4. tidak setiap unit (sarusun) di lokasi Kemayoran memperoleh sarana parkir.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 229 Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

230 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 231 Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

dan tidak jelas pula bagaimana peran Ke­menterian Koordinator. Terdapat 2 (dua) lokasi pengembangan rumah susun skala besar di Ke­ mayoran, yaitu yang berada di Blok D 10 di mana dibangun 7 tower, yang saat ini dipergunakan sebagai rumah sakit untuk merawat pasien Covid-19 dan di Blok C2 di mana dibangun 3 tower rumah susun. Dengan jumlah tower 7 (tujuh) di lokasi Blok D 10, jumlah unit men­ capai 5.494 sarusun, luas bangunan 333.800 m², dan kapasitas hunian men­capai 16.482 jiwa, sedangkan di lokasi C 2, jumlah unit sebesar 1.932 sarusun, dengan total luas lantai 145.000 m² dan kapasitas hunian 5.796 jiwa. Semua sarusun dibangun dengan luas 36 m².

B. Kolaborasi Pemerintah Pusat - Pemda Rumah susun di Pasar Rumput merupakan rumah susun pertama yang dibangun dengan APBN dengan fungsi campuran, yaitu fungsi pasar dan fungsi hunian di atasnya. Rumah susun Pasar Rumput direncanakan untuk disewakan. Rumah susun campuran Pasar Rumput dibangun di atas lahan se­ luas 22.668 m² yang sebelumnya merupakan pasar yang tidak aktif lagi. di­ lengkapi dengan sarana parkir dengan daya tampung 135 mobil dan 551 se­peda motor dan sarana umum/sosial (fasos/fasum) Jika pada Wisma Atlet kolaborasi terjadi antara Kementerian Sekre­ tariat Negara selaku pengelola Kompleks Kemayoran (pemilik tanah), Ke­menterian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang menyusun perencanaan, melaksanaan pembangunan dan melakukan pengawasan se­lama pembangunan serta Kementerian Keuangan yang membiayai pe­rencanaan hingga pembangunan, maka pada lokasi Pasar Rumput, kolaborasi terjadi antara Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rak­yat dengan Pemda DKI Jakarta serta PD. Pasar Jaya selaku BUMD. Selain pembangunan rumah susun campuran Pasar Rumput yang merupakan kolaborasi, jauh sebelumnya pada tahun 2005 sesungguhnya

Rumah susun Pasar Rumput bersama rumah susun Pasar Minggu direncanakan pada saat Gubernur DKI Jakarta dijabat oleh Joko Widodo dengan tujuan utama untuk mengatasi perkampungan kumuh di bantaran sungai Ciliwung yang kerap dilanda banjir, tanpa menghilangkan fungsi pasar, di atas tanah BUMD, PD. Pasar Jaya.

232 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

2 lantai terbawah dari rumah susun campuran Pasar Rumput merupakan pasar yang terdiri dari pasar kering dan pasar basah yang dapat diakses dari tempat parkir, dan di atas pasar basah ditempatkan mushola

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 233 Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

234 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 235 Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

Interior pasar kering rumah susun campuran Pasar Rumput pada masa konstruksi.

Interior unit hunian rumah susun Pasar Rumput.

telah terjadi kolaborasi antara Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perumahan Rakyat dan Pemerintah DKI Jakarta dalam pembangunan rumah­ susun di Marunda. Rumah susun Marunda pada awal direncanakan ditujukan untuk menam­ ­pung penghuni kolong jalan tol, dimana tanah di Marunda disiapkan oleh Pemerintah DKI Jakarta, dengan menyiapkan zona untuk rumah susun yang akan dibangun Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perumahan­ Rakyat melalui APBN kedua kementerian serta zona rumah susun yang akan dibangun oleh Pemda DKI Jakarta, dalam hal ini Dinas Perumahan dan Bangunan Gedung. Kementerian Pekerjaan Umum membangun 6 tower rumah susun 5 lantai, Kementerian Negara Perumahan Rakyat membangun 5 tower se­dang­kan Pemerintah DKI Jakarta membangun 21 lantai, sehingga seluruhnya­ berjumlah 32 tower dari 40 tower yang direncanakan. Rumah susun ini lama belum dihuni, sebagai akibat ketiadaan sarana perbelanjaan (pasar), sarana kesehatan (puskesmas), sarana pendidikan (sekolah) dan belum terhubung­ oleh sarana tranportasi kota, bahkan rumah susun sederhana sewa­ di Marunda ini sempat dijarah dan mengalami kerusakan parah. Se­

236 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

Rusun Susun Sederhana Marunda, Jakarta.

rah terima bangunan rusunawa dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perumahan Rakyat kepada Pemerintah DKI Jakarta terka­ ­ tung-katung cukup lama. Baru kemudian di era Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, rumah su­ sun ini diperbaiki dan mulai dilakukan penghunian, serta dilengkapi oleh Pemda DKI Jakarta dengan meubelair, termasuk televisi LCD.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 237 Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

Rumah Susun Rawa Bebek, Jakarta.

Klaster Anggrek didesain Kementerian Perumahan Rakyat, dengan jumlah lantai 6 dan tiap unit luasnya 30 m² untuk 4 orang pekerjaan lajang di tiap unitnya.

Selain rusunawa di Marunda, Kementerian Perumahan Rakyat juga ber­ kolaborasi dengan pemerintah DKI Jakarta membangun rusunawa pekerja di rawa Bebek, dimana Kementerian Perumahan Rakyat membangun 6 tower yang diperuntukan bagi pekerja lajang di DKI Jakarta dan tanah dise­ diakan oleh Pemerintah DKI Jakarta dengan luas 14 hektare. Di Rawa Bebek terdapat 1 Tower dengan 16 lantai, jumlah unit 255 dan

238 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

Pola pengelolaan rusunawa di DKI Jakarta unit pengelola di masing- masing lokasi dengan struktur organisasi pada umumnya seperti di samping ini, sehingga ada UPRS Marunda, Penjaringan dan sebagainya.

dibangun pada tahun 2017 dan dihuni pada tahun 2019. Rumah susun Rawa Bebek dikelola oleh UPRS (Unit Pengelola Rumah Susun) Rawa Bebek dengan struktur organisasi sebagai berikut: UPRS bertanggung jawab kepada Dinas Perumahan dan Bangunan Gedung Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan terhadap aset-aset pusat (dibangun melalui APBN) pengelolaan oleh UPRS dilakukan setelah serah terima aset kepada pemerintah daerah.

C. Kolaborasi Pemerintah Pusat - Badan Usaha Swasta Pemerintah pusat (Kementerian Pekerjaan Umum saat itu, belum menjadi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan rakyat) melakukan kolaborasi dengan badan usaha swasta PT. Prima Kencana, dengan me­

Siteplan apartemen T-Plaza, Jakarta.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 239 Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

Proyek 4 tower apartemen dan 1 tower hotel ini dikembangkan di atas tanah seluas 1,65 hektare, dengan + 1.200 unit apartemen yang terdiri dari 3 jenis ukuran, 24 m2 (studio), 36 m2 (1 kamar) dan 3 kamar (70 m2) dan dipasarkan dengan harga Rp32 juta/m2. Rencananya, sekitar 10% dari total unit yang dibangun akan disewakan karena potensi sewa di area ini sangat menjanjikan. Fasilitasnya antara lain; fitness center & gym, kolam renang berbentuk lagoon, trek joging, arena bermain anak, bank, convenenience store, kafe dan restoran, supermarket dan tempat parkir yang luas dan sistem pengamanan 24 jam. Di lokasi yang sama, PT. Prima Kencana juga merencanakan pembangunan hotel dan ruko 2-3 lantai sekitar 42 unit.

manfaatkan tanah Barang Milik Negara (BMN) yang berlokasi di jalan Pen­ jernihan, Pejompongan Jakarta Pusat untuk membangun kawasan rumah susun, sebagai kawasan campuran hunian dan bukan hunian. Berdasarkan perjanjian antara Kementerian Pekerjaan Umum dengan PT. Prima Kencana, seharusnya rumah susun (apartemen) di T-Plaza bu­­kanlah untuk diperjualbelikan, melainkan disewakan, namun oleh pengem­­bangnya setiap unit (sarusun) dijual di kisaran harga Rp1 miliar (tergantung luas dan towernya). Apartemen T-Plaza bermasalah, pengembangnya tidak melanjutkan kesepakatan dalam perjanjian kerjasama untuk memberikan kontribusi kepada negara atas tanah yang disewanya, dan lucunya PT. Prima Ken­ cana memohon dipailitkan. Anehnya belakangan terbit HPL atas nama Kementerian Pekerjaan Umum, entah siapa yang mengajukan permo­ honannya.

240 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

D. Kolaborasi antar BUMN Kolaborasi antar BUMN dicontohkan ketika Perum Perumnas bersama PT. KAI mengembangkan rumah susun dengan pendekatan TOD (Transit Oriented Development) yang sudah berjalan di beberapa lokasi, antara in di stasiun Pondok Cina Depok, stasiun Tanjung Barat, stasiun Rawa Buntu. Kolaborasi ini diprakarsai oleh Menteri BUMN dan didukung oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Sebanyak 30% dari total satuan rumah susun (sarusun) didedikasikan kepada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dengan harga jual sebagaimana ditetapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dimana pembelinya memperolah subsisi pemilikan sarusun dari pemerintah.

Kerja sama antar BUMN dilakukan untuk pendayagunaan tanah BUMN PT. KAI dimana diatas HPL PT. KAI dilekatkan HGB untuk pembangunan rumah susun beserta sarana komersial dan kelengkapan lainnya. Dengan harga jual sebagaimana dotetapkan dalam Peraturan Menteri PUPR lebih besar daripada harga jual yang bebas PPn sebesar Rp250 juta, maka setiap pembeli sarusun dikenakan PPn sebesar Rp10%, yang cukup memberatkan konsumen, mengingat harga jualnya sudah di sekitar Rp300 juta per sarusun.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 241 Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

E. Kolaborasi BUMN - Badan Usaha Swasta Selain kolaborasi antara Perum Perumnas dengan badan usaha swasta dalam pengembangan rumah tapak/rusun yang dikenal dengan Kerja Sama Usaha (KSU), di rumah susun juga dikenal kolaborasi pengembangan rumah susun, yaitu pembangunan dan pengembangan kawasan Green Pramuka City, antara PT. Angkasa Pura selaku pemilik lahan seluas 12,9 hektare dengan PT. Duta Paramindo Sejahtera (DPS). Pengembangan rumah susun dalam skala kawasan ternyata membawa permasalahan antara pengembang PT. DPS dengan pembeli sarusun, yang menyangkut: a. belum diserahkannya SHMSRS (Sertipikat Hak Milik Satuan rumah Susun) kepada pembeli, karena pertelaan belum diajukan oleh pengem­bang kepada pemerintah DKI Jakarta untuk disahkan, dengan alasan pembangunan belum selesai. Tanpa diajukannya pertelaan, maka tidak dapat dibuat akta pemisahan yang menjadi dasar pener­ ­ bitan SHMSRS; b. pengelolaan, beberapa tower rumah susun yang dibangun dan dijual pengembang serta telah dihuni oleh pemiliknya membentuk PPPSRS (Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun) untuk mengelola rumah susunnya. Konflik terjadi karena PPPSRS merasa berhak mengelola rumah susun, sementara pengembang beranggapan PPPSRS belum dapat dibentuk karena pembangunan belum selesai, pertelaan belum ada dan penghuni yang sekarang belum dapat disebut pemilik, karena masih mencicil, belum terbit AJB dan SHMSRS.

Kedua pihak (pengembang dan pemilik membawa kasus ini ke pengadilan). MajeIis Hakim Pengadilan Niaga akhirnya memutuskan pengesahan homologasi perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) antara PT. Duta Paramindo Sejahtera (PT. DPS) yang merupakan pengembang Apar­ temen Green Pramuka City, dengan para krediturnya. Pengesahan tersebut sekaligus merupakan peresmian perdamaian antara kreditur dengan PT. DPS sebagai debitur yang akan menjalani perjanjian perdamaian yang ditawarkan kepada para kreditur. yang berarti debitur harus menjalankan apa yang di­ sampaikan pengurus dihadapan kreditur di persidangan. Saya berterimakasih pada Hakim Pengawas, yang pada saat persidangan telah dengan tegas memutuskan bahwa sidang hanya berfokus kepada tuntutan awal, yaitu penyelesaian masalah sertifikat dan bukan hal-hal lainnya,” ujar Dr. Hendri Jayadi Pandiangan, SH, MH., Kuasa Hukum PT. DPS, dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (19/8/2020). Hendri menjelaskan, pada tanggal 12 Agustus 2020 lalu telah dilakukan

242 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

Rapat Pembahasan Rencana Perdamaian dan Voting yang hasilnya adalah 96% kreditur menyetujui proposal perdamaian yang diajukan oleh PT. DPS. Sebelumnya, pada tanggal 27 Juli 2020 PT. DPS telah menyerahkan proposal perdamaian kepada sejumlah kreditur maupun kuasa kreditur dalam rangka mencapai perdamaian, yaitu berkomitmen untuk memenuhi kewajiban dalam mengurus sertifikat, dan berusaha semaksimal mungkin untuk mempercepat pemecahan sertifikat. Sebelum rapat pembahasan ini dilakukan, Pengurus PKPU sudah melakukan roadshow pertemuan dengan Debitur, Bank rekanan pengembang, Para Kuasa Hukum Kreditur dan Kreditur mandiri masing- masing secara terpisah. Untuk diketahui, lanjutnya. Putusan PKPU tersebut bukan menyangkut utang uang material, melainkan mengenai belum terlaksananya penyerahan Sertiflkat Sarusun. Sesuai dengan Peraturan Perundangan-undangan yang berlaku, penerbitan Sertifikat Sarusun harus melalui proses Pertelaan terkait dengan pihak ketiga antara lain Pemprov DKI Jakarta dan BPN. Sementara itu, Lusida Sinaga, Head of Communications Green Pramuka City menyampaikan rasa bersyukur karena persidangan tersebut telah berjalan dengan lancar dan semua proses berakhir damai dengan diterimanya proposal perdamaian yang telah ditawarkan. Setelah melalui proses diskusi, PT DPS akhirnya menyanggupi agar pemecahan sertifikat selambat-lambatnya akan di­mulai pada tahun ke 7 secara bertahap. ‘Sesuai dengan hasil voting yang

Apartemen Green Pramuka City, Jakarta.

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 243 Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata telah dilakukan pada rapat Pembahasan Proposal Perdamaian dan Voting tanggal 12 Agustus lalu, kami sangat mengharapkan dukungan dan kerjasama dari para kreditur untuk terciptanya suasana yang kondusif, sehingga kami pengembang dapat memenuhi tanggung jawab kami yang sedang mengurus proses pemecahan sertifikat, agar tidak mengganggu niIai investasi kreditur. Kami mengucapkan terima kasih atas dukungan-para kreditur yang mendu­ kung perdamaian ini,” ujar Lusida. Green Pramuka City, tambah Lusida, selalu berkomitmen untuk memberikan kenyamanan dan keamanan bagi para pe­ milik unit apartemen, tidak hanya untuk tinggal namun juga untuk ber­inves­ tasi dengan cara menyelesaikan permasalahan ini secara kekeluargaan tanpa ada yang dirugikan, terutama para pemilik unit. “Selama proses PKPU ini ber­ langsung, kegiatan operasional dan pelayanan perusahaan tetap berjalan nor­ mal seperti biasa,” pungkas Lusida.

F. Kolaborasi Pemerintah Daerah - BUMD Rumah susun Penjaringan merupakan salah satu contoh kolaborasi antara pemerintah daerah dengan BUMD, dimana tanahnya milik BUMD sedangkan biaya perencanaan hingga pembangunan dialokasikan melalui APBD.

Rumah Susun Penjaringan, Jakarta.

244 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami) Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan.

F. Kolaborasi Pemerintah Daerah - BUMN Salah satu contoh kolaborasi antara pemerintah daerah dengan BUMN adalah pembangunan rusunami di Jakabaring, Sumatera Selatan, di mana Perum Perumnas membangun rusunami di atas tanah HPL milik pemerintah daerah Provinsi Sumatera Selatan dan Perumnas memegang HGB di atas HPL. Rusunami yang akan dibangun direncanakan akan dijual kepada PNS di Sumatera Selatan, baik provinsi maupun kabupaten/ kota, namun sebelum dijual, rusunami tersebut terlebih dahulu akan diper­gu­ nakan olah atlit selama pesta olah raga Asian Games 2018. Pemprov Sumatra Selatan mendesak Perum Perumnas untuk mem­ percepat pembangunan 6 tower rusunami berkonsep apartemen yang akan digunakan untuk wisma atlet pada event Asian Games 2018. Gubernur Sumsel Alex Noerdin mengatakan properti yang berlokasi di Jakabaring Sport City (JSC) itu, selain akan digunakan untuk Asian Games 2018, juga me­rupakan proyek besar dan bergengsi Perumnas. “Selain itu, pengelola harus profesional, kalau tidak sebentar saja apartemen itu akan kumuh,” katanya saat menerima kunjungan Direktur Uta­ma Perumnas Bambang Triwibowo di Palembang, Rabu (2/11).

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 245 Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

Maket Rusunami Perumnas, semula 27 lantai (kiri) dan menjadi 10 lantai karena kurangnya pasar (kanan).

Terkait pemasaran, kata Alex, tidak boleh dilakukan sembarangan, walaupun pembeli sudah memenuhi syarat namun harus ada kriteria yang menentukan layak tidaknya pembeli tersebut tinggal di bangunan tersebut. Hal itu ditujukan agar 6 tower ini nantinya dapat terus terjaga dengan baik. Sementara Direktur Utama Perumnas Bambang Triwibowo menga­ takan, perusahaan terus meningkatkan koordinasi dengan pemda baik terkait progres pembangunan, perizinan dan pemasaran. “Saya baru dua bulan lebih menjabat di Perumnas, berhubungan dengan adanya proyek Perumnas di Sumsel, kami sengaja datang untuk mening­katkan koordinasi,” katanya. Rusunami dipasarkan oleh Perum Perumnas dan PT Jakabaring Sport City (JSC), dengan Direktur Utama Meina Fatriani Paloh. Semula rusunami ini akan dibangun setinggi 27 lantai, namun karena saat dipasarkan minat PNS yang tadinya menjadi pasar yang dianggap po­ tensial dengan jaminan Gubernur Sumatera Selatan saat itu Alex Noerdin dan masyarakat umum ternyata masih rendah, sehingga dipotong menjadi 10 lantai, sekalipun Gubernur Alex merencanakan pembangunan sirkuit motto GP di Jakabaring untuk menambah kelangkapan sarana olah raga yang telah ada. Namun sirkuit batal dibangun.

G. Kolaborasi Pemerintah Daerah - BUMD Contoh paling aktual dalam penyelenggaraan kolaborasi adalah pe­ ngembangan hunian campuran TOD (Transit Oriented Development) an­ tara perseroan daerah PT. MRT Jakarta dengan pemerintah provinsi DKI Jakarta. Pemerintah DKI Jakarta menerbitkan Peraturan Gubernur kepada PT. MRT Jakarta, berdasarkan kawasan yang akan dikembangkan, atau jalur MRT dibagi berdasarkan segmen dan diserahkan kepada PT. MRT Jakarta.

246 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

pengembangan tod wilayah dki jakarta

Grafis 7.8. Pengembangan OT D Wilayah Dki Jakarta.

Penyelenggaraan kolaborasi untuk mewujudkan sarana di kawasan TOD tentu saja akan sulit dan sangat mungkin menjadi sangat mahal, karena lokasi di sekitar TOD sudah terbangun. Sebagai contoh pengembangan kawasan TOD Blok M di Jakarta Selatan, sekalipun PT. MRT Jakarta telah menyusun rencana pengembangan kawasan terminal Blok M, banyak pihak yang masih harus diajak untuk mewujudkannya, tidak hanya masyarakat pemilik properti yang ada, termasuk bank swasta dan pemerintah yang ada di kawasan, hotel, pertokoan dan sebagainya.

7.6. Menata Manado Kumuh. Kesan itu yang terlintas saat kita singgah ke Kota Manado sebelum 2017. Kesan itu teridentifikasi dari beberapa indikator seperti kondisi bangunan, kondisi jalan lingkungan, kondisi drainase lingkungan, kondisi penyediaan air minum, kondisi pengelolaan air limbah, kondisi pengelolaan persampahan, dan kondisi pengamanan kebakaran. Berdasarkan data, luas kawasan kumuh di Kota Manado mencapai 157,33 hektare yang tersebar di 25 titik. Salah satu penyebab kekumuhan Kota Manado adalah adanya migrasi penduduk yang cukup tinggi. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2013 jumlah penduduk Kota Manado sebesar 39% adalah penduduk migrasi ke Kota Manado. Mereka bermigrasi rata-rata karena mencari pekerjaan ke kota. Akibatnya, tingkat kepadatan hunian di sana sangat tinggi. Namun karena

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 247 Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

sebaran perumahan di kota manado

Grafis 7.9. Sebaran Perumahan di Kota Manado. keterbatasan kawasan pengembangan Kota Manado, untuk mencegah keku­ muhan baru, pengembangan pusat kegiatan dan hunian dialihkan ke kawasan baru. Berdasarkan Surat Keputusan Walikota Manado No.128/Kep/B.01/ BAPELITBANG/2017 mengenai penetapan deliniasi Kota Baru Manado, pengem­bangan Kota Baru Manado diarahkan di Kecamatan Mapanget. Luas lahan di kecamatan yang terdiri dari 10 kelurahan ini mencapai kurang lebih 5.160 hektare, dengan ketinggian rata-rata 57 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Mapanget merupakan satu dari 5 kecamatan padat penduduk di Manado yakni dengan jumlah penduduk sekitar 50,752 jiwa pada tahun

248 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

2014. Jumlah penduduk kecamatan Mapenget pada tahun 2012 adalah 44,773 jiwa berarti pertumbuhan penduduk di kecamatan naik 5,979 jiwa. Kondisi ini membuat kebutuhan akan tempat hunian semakin tinggi sehingga pembangunan kawasan permukiman seperti perumahan terencana tak dapat dihindarkan. Kecamatan Mapanget memiliki potensi untuk menjadi pusat pereko­ no­mian baru di kota Manado. Secara umum perkembangan wilayah di Ke­ camatan Mapanget ditandai dengan adanya pusat–pusat kegiatan ekonomi bisnis serta perkantoran dan permukiman. Kondisi ini sangat dimungkinkan karenaketersediaan lahannya yang besar. Selain itu Mapengat juga memiliki sejumlah keunggulan yakni dekat dengan bandara Sam Ratulangi, dilalui jalan lingkar (Ring Road), dan merupakan daerah yang paling dekat akses ke Bitung yang mempunyai pelabuhan dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Perkembangan perumahan terencana di Kecamatan Mapanget akan ber­ dampak terhadap peningkatan aktifitas di antaranya pada sektor ekonomi, usa­ ha jasa, perdagangan, infrastruktur, transportasi, pendidikan, kesehatan dan juga pemerintahan. RTRW Kota Manado 2014-2034 menentapkan kawasan ini sebagai kawasan siap bangun (Kasiba). Kawasan ini nantinya akan berfungsi sebagai: 1. Kawasan perumahan dengan kepadatan sedang (KDB 45-59%) dan kepadatan rendah (KDB 30-44%); 2. Kawasan perdagangan dan jasa dengan skala kawasan; 3. Pengembangan kawasan super blok; 4. Pengembangan kawasan perkantoran pemerintah dan swasta; 5. Pengembangan kawasan industri, kecil, rumah tangga dan aneka industri; 6. Pengembangan kawasan pariwisata skala kota, pengembangan pendidikan, kesehatan dan sport center skala internasional; Dari kebijakan tata ruang RDTR, Kecamatan Mapanget ditetapkan sebagai kawasan perkotaan. Di kota baru ini akan menjadi pusat pemerintahan. Kota baru ini nantinya juga akan menjadi gerbang masuk Bandara Sam Ratulangi. Karena dekat dengan jalur Bandara Sam Ratulangi, Mapengat punya po­ tensi menjadi jalur penggerak roda perekonomian Kota Manado. Dari segi infrastruktur, kawasan Kota Baru Manado mempunyai banyak ke­unggulan. Di kawasan kota baru ini pemerintah berencana melakukan sejumlah pembangunan. Yakni: 1. Pembangunan Jalur KA Perkotaan Manado-Bitung; 2. Pembangunan jalan TOL kawasan pusat Kota Manado dengan Bandara Sam Ratulangi; 3. Jaringan jalan yang menghubungkan antara poros jalan regional dengan pusat-pusat kegiatan diarahkan sebagai jaringan jalan kolektor;

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 249 Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

4. Overpass Ring Road II dengan Ruas Jalan AA. Maramis; 5. Jalan layang interchange dengan jalan Tol Bandara – Pusat Kota di kawasan Kairagi; 6. Pembangunan jalan-jalan baru di lingkungan permukiman yang tersebar di seluruh wilayah kota; 7. Fly over Simpang Tiga (Y) antara jalan A. A. Maramis dan jalan Manado– Bitung (SPBU Kairagi). Sementara pengembangan permukiman dan infrastruktur di Kota Baru Manado (Mapanget) tahun 2010-2030 diarahkan untuk: 1. Pengembangan unit-unit permukiman baru sesuai ketersediaan lahan- efektif, baik secara swadaya maupun terencana (Kasiba/Lisiba); 2. Pengembangan unit-unit instalasi pengelolaan air bersih yang baru; 3. Pengembangan jaringan-jaringan distribusi air bersih yang baru. Sejak dipersiapkan sebagai salah satu kota metropolitan baru itu, per­ kembangan di Kota Manado mulai terlihat. Pertumbuhan sektor properti, misal­nya memperlihatkan proyek perumahan, ruko, hotel, apartemen, bahkan super­blok sudah mulai meramaikan wajah kota ini. DPD REI Sulut mencatat, dalam dua tahun terakhir, sejumlah pengembang besar dari Jakarta mulai masuk Kota Manado.Sebut saja Lippo Group yang meluncurkan Monaco Bay dan Holland Village Manado. Pengembang lain yang juga telah masuk ke Manado adalah Sinar Mas Land yang digandeng Capitol Group, Ciputra Group, dan AKR Land yang telah menyiapkan lahan 180 hektare untuk proyek Grand Kawanua International City. Untuk itu Direktorat Jenderal Cipta Karya menyusun masterplan pengem­ bangan Kota Baru Manado pada salah satu kecamatan yang ada dengan me­ ngajak serta pengembang perumahan yang terlabih dahulu sudah membangun di kecamatan Mapanget.

7.7. Kabupaten Tangerang, Tak Mau Mengabaikan Peluang Pengembang sesungguhnya telah melakukan pembebasan tanah di Kabupaten Tangerang sebelah selatan, jauh sebelum ide pembangunan peru­ mahan skala besar muncul. Pemerintah daerah bahkan sudah menerbitkan sejumlah izin lokasi di kawasan yang berada di sekitar stasiun kereta api Cikoya seluas 169,6 hektare. Tentu saja tanah yang dibebaskan tersebut tidak berbentuk satu hamparan, melainkan masih terdapat tanah-tanah masyarakat yang belum dibebaskan. Sebenarnya, jauh sebelum ada rencana perumahan skala besar di kota baru Maja di mana sebagian wilayahnya masuk dalam Kabupaten Tangerang, konsorsium pelaku pembangunan telah membebaskan tanah di daerah itu. Namun sejak awal dibebaskan sekitar 1990an, pengembangan di kawasan ini

250 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

sangat lambat. Baru setelah pada akhir tahun 2016 pemerintah menghidupkan jalur kereta api rel ganda (double track) yang menjangkau hingga Parung dan Maja, perkembangan kota baru Maja secara perlahan menggeliat, apalagi ketika Grup Ciputra mulai membangun rumah dengan harga (pada awalnya) sesuai dengan ketentuan harga jual rumah bersubsidi yang diatur oleh pemerintah pada 2018/2019. Data sementara izin lokasi yang telah diterbitkan Pemerintah Kabupaten Tangerang memperlihatkan bahwa tidak semua tanah yang telah memperoleh perizinan dapat dibebaskan oleh pelaku pembangunan seluas perizinan yang diperoleh. Belum keluarnya izin ini bisa ada dua kemungkinan. Pertama, pengembang tidak mampu membebaskan karena keterbatasan finansial atau ada keinginan untuk bernegosiasi dengan pengembang besar dengan tujuan menjual kembali untuk memperoleh keuntungan. Kedua, pengembang awal berharap dapat bekerja sama dengan pengem­ bang besar: • PT. Cipta Indoraya Perkasa (izin 4,5 hektare, bebas 4,5 hektare). • PT. Inti Indobangun Perkasa (izin 20 hektare, bebas 11 hektare). • PT. Metro Properti Land (izin 81 hektare, bebas 30 hektare). • PT. Realtis Cipta Mandi (izin 4,6 hektare, bebas 4,6 hektare). • PT. Harmoni Mitra Cemerlang (izin 40 hektare, bebas 25 hektare). Pengembangan perumahan skala besar di Kabupaten Tangerang ini, tidak

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 251 Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata terlepas dari rencana pengembangan Transit Oriented Development (TOD) di stasiun Cikoya dan di stasiun Maja. Kepala Bappeda Kabupaten Tangerang, Taufik Emil mengatakan daerahnya telah menyiapkan sejumlah aturan pendu­ kung pengembangan skala besar itu, baik melalui Peraturan Daerah maupun peraturan Bupati. Menurut Taufik, untuk pengembangan, pihaknya mengusulkan lokasinya di wilayah selatan dan wilayah utara. Wilayah selatan meliputi tiga kecamatan: Tigaraksa, Solear, dan Cisoka. Sedangkan wilayah utara meliputi delapan ke­ camatan: Kosambi, Teluknaga, Pakuhaji, Kemiri, Sukadiri, Kronjo, Kresek, dan Mauk. Usulan pengembangan di dua kawasan itu didasari pada dua alasan: 1. Tumbuhnya perumahan yang cepat, masif, dan eksklusif di dua kawasan itu jika tak ditangani akan membawa resiko terjadinya kesenjangan kesejah­ teraan perumahan dan pemukiman. 2. Kedua kawasan itu sudah mulai tumbuh hunian informal yang berpotensi terciptanya kekumuhan dan juga berpotensi tumbuhnya gentrifikasi (keti­ dakadilan secara ruang). Akibatnya, jika tak segera ditangani golongan MBR akan bermukim di area-area marjinal (tepian DAS, sekitar pasar, stasiun, dan lainnya). Menurut Taufik, pertimbangan lain penataan di wilayah selatan didasari beberapa hal. 1. Pemerintah sudah membangun jalur rel ganda yang menghubungkan Jakarta-Rangkas Bitung. 2. Wilayah selatan ini juga berbatasan dengan Maja yang sudah mulai ber­ kembang. 3. Ada rencana pembangunan jalan tol Balaraja-Serpong. 4. Ada sungai Cidurian. Hanya saja di wilayah selatan ini punya kelemahan yakni ketersediaan air bersih. Sementara untuk wilayah utara, menurut Taufik memiliki sejumlah potensi yaitu: 1. Dekat dengan Bandara Soekarno-Hatta. 2. Rencana pembangunan tol Kataraja. 3. Rencana pembangunan tol Semanan-Rajeg. 4. Sungai Cisadane yang dapat dikembangkan sebagai water front city dan wisata sungai. Kelemahannya, kata Taufik, pada ketersediaan air bersih yang belum me­ madai dan terjadinya abrasi serta sedimentasi di utara Kabupaten Tangerang. Rencana pengembangan perumahan skala besar di Kabupaten Tangerang, kawasan selatan.

252 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

Bandingkan dengan kawasan utara yang telah lebih dahulu tumbuh, karena potensi yang lebih baik dan didukung oleh pengembang kakap:

Jika perumahan skala besar di kawasan selatan dikembangkan bagi peru­ mahan masyaraat berpenghasilan rendah (MBR) dan menengah bawah oleh gabungan pengembang besar dan pengembang kecil, maka intervensi peme­ rintah pusat dan daerah harus lebih intens termasuk memberikan dukungan­ prasarana jalan, dan mungkin flyover di beberapa persimpangan, sum­ber dan jaringan air minum di samping pengendalian atas perencanaan, kualitas rumah, harga jual dan ketepatan sasaran bagi mereka yang berhak menerima­ subsidi kepemilikan rumah MBR. D D D

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 253 Kolaborasi Terlaksana, Kota Tertata

254 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kesimpulan dan Rekomendasi

BaB vIIi

Kesimpulan dan Rekomendasi

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 255 Kesimpulan dan Rekomendasi

256 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kesimpulan dan Rekomendasi

BaB vIiI Kesimpulan dan Rekomendasi

8.1. Kesimpulan

8.1.1. Penyediaan Tanah Terdapat beberapa pola peyediaan tanah dalam pembangunan perumahan skala besar, yaitu: a. Penyediaan tanah oleh satu perusahaan sebagaimana dilakukan Perum Perumnas ketika mengembangkan Kasiba Martubung di Medan, dan Driyo­rejo di Gresik. Setelah melakukan penyediaan tanah, walaupun tidak utuh atau bulat, tertapi sudah dapat dilakukan pembangunan dan pen­ jualan rumah, dengan terlebih dahulu memberikan panjar bagi tanah- tanah masyarakat yang belum dapat dibebaskan karena permintaan harga jual yang tinggi ataupun karena perusahaan belum memiliki anggaran; b. Satu perusahaan swasta yang membebaskan tanah, dengan dukungan orang perorangan, pemilik tanah atau pemilik modal, serta dukungan pin­ jaman bank atau pinjaman luar negeri. Pada kasus ini sebetulnya orang per­orangan kaya yang sudah terlebih dahulu memiliki tanah di suatu lokasi dan umumnya sudah satu hamparan, namun di sekitarnya masih terdapat tanah milik masyarakat asli di tempat tersebut, yang sekaligus dititipi oleh peroerangan kaya tersebut untuk menjaga dan menggarap tanahnya; c. Penyediaan tanah yang dilakukan oleh konsorsium perusahaan-perusa­ haan swasta yang dipimpin oleh satu perusahaan dan seorang pimpinan perusahaan pengembang yang sudah berpengalaman. Pola ini terjadi pada saat penyediaan tanah bagi pengembangan Bumi Serpong Damai, dimana Ciputra, seorang tokoh properti bersama perusahaannya memimpin kon­ sorsium perusahaan; d. Penyediaan tanah yang terdiri dari konsorsium perusahaan swasta dan BUMN (Perum Perumnas) seperti di Kota Baru Maja, dimana konsorsium secara bersama membebaskan tanah dan BUMN membebaskan tanahnya sendiri, namun masing-masing merencanakan sendiri rencana tapak dan perumahannya. e. Penyediaan tanah yang dilakukan perusahaan-perusahaan yang tidak

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 257 Kesimpulan dan Rekomendasi

tergabung dalam suatu konsorsium sebagaimana yang akan dikembangkan di Kabupaten Tangerang dan Kota Manado, di mana masing-masing pe­ ngem­bang menyusun sendiri rencana tapak dan disain rumahnya termasuk membuat sendiri akses keluar masuk lokasi perumahannya; f. Pembebasan tanah oleh satu perusahaan bekerja sama dengan BUMN pe­milik tanah atau pemerintah daerah dengan status HPL untuk pem­ bangunan kawasan rumah susun, seperti pada pengembangan Kawasan Green Pramuka City; g. Kerjasama antara BUMN untuk pengembangan kawasan rumah susun sebagaimana yang dikembangkan oleh PT. KAI dengan Perum Perumnas di kawasan TOD; Dalam proses pembebasan tanah untuk pembangunan perumahan skala besar, selalu saja terjadi permasalahan antara lain: 1. Umumnya masyarakat kecil pemilik tanah yang menjadi korban karena pembebasan tanah tidak pernah dibayar putus (tunai) oleh pembelinya melainkan hanya diberi tanda jadi, uang muka atau panjar dengan janji akan dilunasi. Namun sebelum pemilik tanah tidak diperkenankan untuk mengolah atau menggarap tanahnya untuk kehidupannya sehari-hari ka­ rena tidak diperkenankan oleh pembeli tanah; 2. Sering pengembang menjadikan tanah yang tidak dapat dibebaskan dari pemiliknya karena ketidakcocokan harga menjadikannya pulau dengan menggali tanah di sekitar tanah yang tidak dibebaskan sehingga pemilik tanah tidak lagi memiliki akses ketanahnya. Mestinya ini merupakan suatu kejahatan; 3. Ada pengembang yang menjadikan tanah yang tidak dapat dibebaskan atau karena pemiliknya tidak diketahui keberadaannya direncanakan sebagai ruang terbuka hijau atau taman dan celakanya siteplan yang diajukan ke­pada pemerintah daerah disahkan juga, tanpa memeriksa kebenaran doku­men hak atas tanahnya. Inipun merupakan suatu kejahatan; 4. Acap terjadi tanah yang sudah dibebaskan oleh pengembang kembali di­ okupasi masyarakat, bukan eks pemilik atau masyarakat di sekitar kawasan tersebut, tetapi oleh masyarakat lain yang entah dari mana datangnya; 5. Tanah untuk pembangunan perumahan skala besar tidak pernah selesai dalam jangka waktu 10 tahun, bahkan seperti BSD sekalipun sudah lebih dari 30 tahun tetapi pembangunannya belum selesai; 6. Ada kecenderungan untuk ekspansi atas tanah di sekitarnya bahkan dapat merambah ke lahan pertanian atau perkebunan milik badan usaha atau milik masyarakat;

258 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kesimpulan dan Rekomendasi

8.1.2. Pembangunan Perumahan dan Penjualan Rumah Terdapat beberapa pola pembangunan dan penjualan rumah pada perumahan skala besar: 1. Pengembang terlebih dahulu membangun dan menjualan rumah untuk MBR, bahkan dengan memberikan diskon yang cukup menarik untuk menjaring pembeli dan secara bertahap menaikkan harga jualnya; 2. Sebagian besar perumahan MBR yang dibangun pertama kali oleh pengem­ bang tidak memenuhi persyaratan teknis, sehingga rawan terhadap gempa, settlement dan kerusakan; 3. Pengembang menjual kaveling siap bangun umumnya berukuran besar tanpa rumah namun sudah dilengkapi dengan prasarana jalan, drainase dan utilitas umum; 4. Sebagian pengembang melalui kerjasama dengan pihak luar terlebih dahulu membangun sarana pusat perbelanjaan, MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition), sarana rekreasi atau sarana pendidikan tinggi, hotel (budget hotel) dan sebagainya untuk lebih menarik calon konsumen rumah; 5. Penjualan rumah dilakukan melalui PPJB dimana acapkali pengembang tidak memenuhi apa yang diperjanjikan dalam PPJB, di mana hal ini se­ be­nar­nya sudah melanggar UU No. 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, UU No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Su­ sun karena tidak memenuhi persyaratan yang tercantum dalam kedua Undang-Undang tersebut dan melanggar UU Perlindungan Konsumen. Pengembang seperti ini terancam dikenakan sanksi; 6. Pengembang melakukan perubahan rencana tapak yang celakanya kem­ bali ditandatangani oleh pemerintah daerah. Hal ini menyebabkan pe­ langgaran terhadap UU Perlindungan Konsumen, di mana pemerintah daerah yang menandatangani site plan beberapa kali untuk perumahan yang sama, sesungguhnya dapat dikenakan sanksi; 7. Bagi perumahan skala besar dimana sebagian besar lahannya sudah terjual atau terbangun perumahan tapak mengalihkan peruntukan tanah yang masih tersedia bagi pembangunan rumah susun atau apartemen, baik dalam bentuk high rise atau middle rise (dikenal dengan nama Condovilla) namun dilengkapi dengan prasarana, sarana dan view yang baik (KDB rendah); 8. Pengembang perumahan skala besar tidak ada yang menyerahkan PSU kepada pemerintah daerah untuk dikelola, dengan alasan pembangunan perumahannya belum selesai dan alasan lainnya seperti tidak ada jaminan pemeliharaan PSU dari pemerintah daerah, menurunkan nilai lokasi dan image pengembang jika tidak terpelihara dengan baik oleh pemerintah

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 259 Kesimpulan dan Rekomendasi

260 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kesimpulan dan Rekomendasi

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 261 Kesimpulan dan Rekomendasi

daerah dan lainnya. Agak aneh memang kalau pengembang meminta ja­ minan pemeliharaan PSU dari pemerintah daerah; 9. Ada pengembang yang menarik IPL (Iuran Pengelolaan Lingkungan) dari setiap pemilik rumah dengan besaran nilai yang tidak wajar, sehingga merugikan masyarakat yang sudah membeli rumah, membayar BPHTB dan membayar PBB. Untuk rumah susun, banyak pengembang yang tidak bersedia menyerahkan pengelolaannya kepada PPPSRS (Perhimpunan Pe­milik dan Penghuni Satuan Rumah Susun) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan alasan pembangunan belum selesai selu­ ruhnya atau alasan khawatir mengganggu penjualan rusunnya karena ter­ ganggu oleh PPPSRS atau memang karena pengelolaan kawasan rumah susun masih sangat menguntungkan pengembang; 10. Terdapat pengembang yang belum menyerahkan sertipikat tanah (HGB) kepada pembeli rumah tapak, atau belum menyerahkan SHMSRS (Sertifikat Hak Milik satuan Rumah Susun) kepada pembeli satuan rumah susun atau apartemen;

8.2. Rekomendasi Sejumlah permasalahan mengemuka dalam FGD pembangunan. Ada banyak yang perlu diselesaikan jika pemerintah berniat memfasilitasi dan men­dorong pembangunan perumahan skala besar. Pemasalahan ini mestinya segera direspons agar niat merumahkan rakyat bisa benar-benar terwujud. Kami mencoba merangkum sejumlah persoalan yang mengemuka dalam FGD yang digelar selama dua kali ini. 1. Perlu rumusan jelas, apa yang dimaksud dengan perumahan skala besar itu? Apakah mengacu pada luasan lahan ataukah dari investasinya. 2. Pengadaan lahan masih menjadi persoalan dalam pembangunan hu­nian baru, karena bisa memakan waktu lebih dari 2 tahun, apalagi pengem­ bangan perumahan skala besar kurang didukung oleh feasibility study (FS) yang matang yang selain memakan waktu juga biaya. Ini yang dialami Perumnas saat membangun perumahan berskala besar Parayasa di Parung Bogor. Di perumahan ini, Perumnas mengalokasikan 58% untuk MBR melalui FLPP. Apakah APBN bisa membiayai FS (melalui PMN) jika perumahan skala besar dilakukan oleh BUMN? 3. Ada permasalahan utama transformasi Perum Perumnas dari posisi awal­ nya pembentukannya pada 1974 sebagai lembaga yang ditugasi untuk menyediakan perumahan bagi rakyat, namun dalam perkembangannya, kurang mendapat dukungan penuh dari pemerintah, baik anggaran mau­ pun bantuan PSU.

262 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar Kesimpulan dan Rekomendasi

4. Perumnas perlu melakukan efisiensi di internal agar memiliki daya saing dibandingkan dengan badan usaha swasta lainnya. Salah satunya aspek manajemen Perumnas dalam penguasaan lahan. Banyak lahan-lahan cadangan yang dikuasai Perumnas sudah diokupasi oleh masyarakat atau pihak lain karena tidak dilakukan pengawasan atas yang kontinyu dan pemanfaatan untuk pembangunan perumahan yang terlalu lama. 5. Perlu dukungan dari lembaga lain. Misalnya saat pembangunan di Pa­ rung Panjang. Perumnas sangat menbutuhkan dukungan PSU khusus­ nya aksesibilitas berupa flyover yang bisa melintasi rel kereta api dan juga pembangunan stasiun, akses jaringan PDAM, serta dukungan penyam­ bungan jaringan listrik pada tahap awal. 6. Perlunya memposisikan MBR dalam pengembangan perumahan skala besar khususnya yang diinisiasi oleh pengambang swasta dalam wujud site plan dengan mencantumkan jumlah unitnya dengan catatan site plan yang sudah ditanda tangani pemerintah daerah tidak dirubah lagi; 7. Pengembangan perumahan skala besar seperti Kota Baru Maja harus mem­perhatikan keterpaduan dengan rencana pembangunan kota atau kabu­paten dan kawasan di sekitarnya. 8. Kedepan, pengembangan perumahan dan permukiman vertikal dalam skala besar merupakan pilihan yang harus diambil dan dipersiapkan serta di­ren­canakan denan baik karena semakin terbatasnya lahan. 9. Perlu dukungan pemerintah daerah dalam percepatan perizinan dan du­ kungan regulasi lainnya (tanah dan pajak) sehingga memberi kemu­dah­an bagi dunia usaha dan masyarakat. 10. Perlu membangun pendekatan-pendekatan inovatif dalam mengantisipasi bottlenecking penyediaan lahan perumahan, baik desain, investasi, kola­ borasi, dan regulasi, termasuk memberikan perlindungan hukum atau opsi yang menguntungkan kepada mayarakat yang tidak bersedia tanahnya di­ beli pengembang. 11. Integrasi kawasan pengembangan perumahan skala besar dengan rencana pengembangan kota dan rencana pengembangan PSU menjadi kunci ke­ ber­hasilan pengembangan kawasan. 12. Pemerintah daerah sebaiknya memberikan dukungan kebijakan pengem­ bangan skala besar dengan memperhatikan siklus yang panjang (tujuh tahunan) dalam pengembangan perumahan dan kawasan permukiman. 13. Pengembang swasta yang sudah berkontribusi menyediakan PSU perlu di­pikirkan untuk tidak dikenai (atau minimal diringankan) pajak dalam kurun waktu tertentu. 14. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan para pelaku usaha perlu duduk bersama dalam menyelesaikan berbagai macam permasalah pelaksanaan

Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar 263 Kesimpulan dan Rekomendasi

pembangunan. 15. Pemerintah perlu memiliki regulasi dan strategi yang komprehensif untuk memfasilitasi pembangunan perumahan skala besar. 16. Perlu adanya kolaborasi antar pengembang dengan pemerintah dan peme­ rintah daerah termasuk pembagian tugas dan wewenang yang jelas dari masing-masing pemangku kepentingan agar dalam pelaksananya tidak saling menunggu atau lempar tanggung jawab. D D D

264 Dinamika Pengembangan Perumahan Skala Besar