SULUH PENDIDIKAN (Jurnal Ilmu-Ilmu Pendidikan)
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
p-ISSN 1829–894X # e-ISSN 2623-1697 SULUH PENDIDIKAN (Jurnal Ilmu-ilmu Pendidikan) Vol. 17 No. 2 Desember 2019 Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Saraswati Suluh Pendidikan, 2019, 17 (2): 115 — 128 p-ISSN 1829–894X # e-ISSN 2623-1697 MENYAMA BRAYA : REPRESENTASI KEARIFAN LOKAL BALI DALAM PEMERTAHANAN PERSATUAN BANGSA Made Kerta Adhi1, Ni Putu Seniwati2, I Ketut Ardana3 IKIP Saraswati email : [email protected]; [email protected]; [email protected] ABSTRAK Kajian pustaka kritis ini, bertujuan mendeskripsikan nilai-nilai menyama braya sebagai salah satu nilai kearifan lokal Bali dalam pemertahanan persatuan bangsa. Perkembangan Ipteks, dinamika masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya dan pertahanan keamanan menjadikan varian kepentingan manusia dan bangsa semakin kompleks. Apalagi ada sifat egoistis, dan permainan kapitalis cenderung mudah menimbulkan prasangka, konflik, bahkan perpecahan. Akar permasalahannya, diduga nilai-nilai persatuan dan nasionalisme yang terkandung dalam nilai-nilai kearifan lokal termarjinalkan. Oleh karena itu, aset budaya yang dimiliki oleh bangsa atau komunitas budaya, seperti kearifan lokal Bali mesti dibina, dikembangkan dan dilestarikan. Pemertahanan keutuhan dan persatuan bangsa, belum cukup jika dilakukan dengan membuat regulasi, serta melakukan pemertahanan ideologi, sosial-ekonomi, politik, dan keamanan. Akan tetapi, perlu juga dibidang budaya dengan dibangun dan dibudayakan nilai-nilai kearifan lokal Bali: menyama braya dalam praktik kehidupan sehari-hari secara konsisten dan berkelanjutan. Dengan demikian nilai-nilai persatuan dan pemertahanan bangsa cenderung dapat diwujudnyatakan dan perlawanan terhadap model penjajahan sekarang (soft power) akan dapat diredam bahkan dihindari. Kata kunci: menyama braya, representasi, kearifan lokal dan pemertahanan MENYAMA BRAYA : THE REPRESENTATION OF BALINESE LOCAL WISDOM IN THE DEFENSE OF NATIONAL UNITY ABSTRACT This critical literature study aimed at describing the values of Menyama Braya as one of Bali’s local wisdom values in maintaining the national unity. The development of science and technology, the dynamics of society in social, economic, political, cultural and security defense make the variants of human and national importance more complex. Moreover, there are egoistic nature and capitalist games which tend to lead to prejudice, conflict, and even division easily. The root of the problem, it is assumed that the values of unity and nationalism contained in local wisdom values are marginalized. Therefore, cultural assets owned by the nation or cultural community, such as Bali’s local wisdom must be fostered, developed and preserved. The defense of national integrity and unity is not enough if it is done by making regulations, as well as carrying out ideology, socio- economic, political, and security. However, it is also necessary to develop and cultivate the culture, such as values of Balinese local wisdom: Menyama Braya in daily life practically in a consistent and sustainable manner. Thus, the values of national unity and defense tend to be manifseted and resistanced to the current model of soft power which will be able to be muted and even avoided. Key words: menyama braya, representation, local wisdom and defense 115 Suluh Pendidikan, 2019, 7 (2): 115 — 128 p-ISSN 1829–894X # e-ISSN 2623-1697 PENDAHULUAN Namun sekarang, seiring perkembangan Sejarah membuktikan bahwa bangsa manusia dan dinamika kepentingan telah Indonesia telah mengalami pengalaman terjadi pergeseran nilai-nilai kebersamaan pahit, dijajah hingga tiga setengah abad dan tatwamasi, yang berdampak pada lamanya. Bangsa Indonesia yang nan subur disintegrasi bangsa. Fenomena ini dan permai dijajah oleh bangsa-bangsa tampak dari beberapa kejadian yang yang memiliki potensi alam yang nota bena dilatar belakangi oleh beberapa faktor lebih rendah dari keadaan alam Indonesia, yang terakumulasi dari masalah sosial seperti Belanda. ekonomi, ideologi, politik, keamanan. Di berbagai wilayah Indonesia pun Indonesia sebagai negara multikultural telah terjadi peperangan untuk melawan pada dasarnya cenderung rawan konflik penjajah sebagai representasi cinta tanah air akibat keanekaragaman suku bangsa, dan membela ibu pertiwi. Pejuang di masa bahasa, agama, ras dan etnis golongan. lalu benar-benar berdedikasi membangun Dengan semakin marak dan meluasnya dan mempertahankan negara ini. Semua konflik akhir-akhir ini, merupakan suatu ego kesukuan, agama, dan ras seolah runtuh petanda menurunnya rasa nasionalisme. di bawah satu payung Merah-Putih. Perang Kondisi seperti ini dapat terlihat dengan untuk mencapai kemerdekaan dan perang meningkatnya konflik yang bernuansa untuk mempertahankan kemerdekaan SARA, serta munculya gerakan-gerakan menjadi peristiwa terpenting bagi bangsa yang ingin memisahkan diri dari NKRI Indonesia. akibat dari ketidakpuasan dan perbedaan Beberapa peperangan epik dan kepentingan. Apabila kondisi ini tidak dramatis yang pernah terjadi di Indonesia, dikelola dengan baik akhirnya akan antara lain pertempuran Surabaya 10 berdampak pada disintegrasi bangsa. November 1945, Bandung Lautan Api, Galtung yang terkenal model segitiga Operasi Trikora (Irian Barat), Serangan konflik menyatakan, bahwa konflik dapat Umum 1 Maret 1949 (Yogyakarta), muncul karena adanya kontradiksi atau Pertempuran Laut Aru (Maluku), Operasi ketidakcocokan antara nilai sosial dan Dwikora (Malaysia), Insiden Hotel Yamato struktur sosial, adanya sikap atau kesalahan (Surabaya), Perang Gerilya Soedirman, persepsi yang cenderung mengembangkan Perang Ambarawa (Semarang), dan stereotip yang merendahkan satu sama lain Puputan Margarana (Bali), serta perang serta adanya perilaku yang bertentangan Diponegoro. (Liliweri, 2009: 314). Begitu hebat rasa persatuan, rasa ikut Kekhawatiran tentang perpecahan memiliki dan bertanggungjawab terhadap (disintegrasi) bangsa di tanah air dewasa ini bangsanya (sense of belonging dan yang digambarkan sebagai penuh konflik sense of responsibility), rakyat Indonesia dan pertikaian, serta gelombang reformasi bersatu padu untuk membela tumpah yang tengah berjalan menimbulkan darahnya tanpa pamrih dan egosektoral. berbagai kecenderungan dan realitas baru. 116 Suluh Pendidikan, 2019, 17 (2): 115 — 128 p-ISSN 1829–894X # e-ISSN 2623-1697 Segala hal yang terkait dengan Orde Baru dan dinamika merupakan suatu ciri yang termasuk format politik dan paradigmanya hakiki dalam masyarakat. Fakta yang tak dihujat dan dibongkar. Bermunculan pula terbantahkan, bahwa perubahan merupakan aliansi ideologi dan politik yang ditandai fenomena yang selalu mewarnai perjalanan dengan menjamurnya partai-partai politik sejarah setiap masyarakat. Tidak ada baru. Seiring dengan itu lahir sejumlah suatu masyarakat pun yang statis dalam tuntutan daerah-daerah di luar Jawa agar arti yang absolut. Setiap masyarakat mendapatkan otonomi yang lebih luas atau selalu mengalami transformasi dalam merdeka yang dengan sendirinya makin fungsi waktu, sehingga tidak ada satu menambah problem, manakala diwarnai masyarakat pun yang mempunyai potret terjadinya konflik dan benturan antar etnik yang sama, kalau dicermati pada waktu dengan segala permasalahannya. yang berbeda, baik masyarakat tradisional Penyebab timbulnya disintegrasi maupun masyarakat modern. Perubahan- bangsa juga dapat terjadi karena maraknya perubahan bukanlah semata-mata berarti penyebaran ideologi selain Pancasila, suatu kemajuan (progress), namun dapat ketimpangan di bidang demografi, pula berarti kemunduran (regress) dalam kesenjangan kekayaan alam di antara bidang-bidang kehidupan tertentu. daerah, iklim politik yang kurang sehat, Globalisasi turut bermain dalam lambannya kemajuan ekonomi, serta kancah perubahan dan pembangunan menurunnya tingkat toleransi di tengah bangsa, seperti “globalisasi tempo masyarakat. Seiring berlangsungnya era dulu” yang menjajah bangsa Indonesia. globalisasi, nyatanya tingkat toleransi Globalisasi model terkini tentu beda di tengah masyarakat malah semakin dengan tempo dulu. Kenichi Ohmae (1996) menurun. Perbedaan dijadikan faktor menyatakan, faktor-faktor globalisasi untuk beradu pendapat, yang sering sebagai “4I” (investasi, industri, informasi ditemui di media sosial. Namun, banyak dan individual), sementara Anthony juga perpecahan yang disebabkan oleh Giddens sebagai time space distanziation. konflik antar etnis, konflik antar agama, Bahwa interaksi manusia dengan teknologi maupun konflik adat (https://guruppkn. semakin intensif, makna baru didapat dari com/penyebab-terjadinya-disintegrasi- objektivikasi baik rasional maupun irasional nasional). karena perkembangan basis material, Iptek Di sisi lain kehidupan manusia yang terus berubah (Soyomukti, 2008:42). dan perangkat kebutuhannya senantiasa Masyaraktat Bali bukanlah suatu dinamis, terus berkembang, berkoneksi pengecualian dalam hal ini. Dengan dan terhegemoni pihak eksternal. Fakta perkataan lain, Bali tidaklah statis, itu terbentuk karena libido masyarakat melainkan selalu mengalami perubahan tinggi untuk maju, agar tidak ketinggalan secara dinamis dari masa ke masa, bahkan atau dijajah bangsa-bangsa lain. Pitana dari hari ke hari lantaran kena sentuhan (1994) menyatakan, bahwa perubahan globalisasi. Fenomena ini terjadi, tidak 117 Suluh Pendidikan, 2019, 7 (2): 115 — 128 p-ISSN 1829–894X # e-ISSN 2623-1697 saja di Bali pun terjadi di Indonesia, tetapi pulau Dewata atau pulau seribu pura dan terjadi pula pada bangsa-bangsa lain. masyarakatnya yang murah senyum serta Oleh