Dramatari Gambuh

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Dramatari Gambuh Dramatari Gambuh I MADE DJIMAT Gambuh adalah tarian dramatari yang dianggap paling tinggi mutunya dan juga merupakan dramatari klasik Bali yang paling kaya akan gerak-gerak tari, sehingga dianggap sebagai sumber segala jenis tari klasik Bali. Gambuh adalah satu istilah yang digunakan untuk seni tari yang berbentuk drama tari, tembang dan wayang. Kata “Gambuh” bisa ditemukan dalam bahasa Melayu, Jawa dan Sunda. Dalam bahasa Melayu istilah ini dihubungkan dengan perasaan “Terima Kasih”, dalam bahasa Sunda dihubungkan dengan hiasan kepala topeng yang juga dinamakan tekes. Sementara itu, dalam bahasa Jawa istilah ini merujuk pada nama pupuh dengan pada lingsa u, 10u, 12i, 8u, 80. Pada lingsa adalah patokan dalam satu bait lagu atau pupuh gending Bali (dikutip Bandem dkk 1975: 2-3) Diperkirakan Gambuh ini muncul sekitar abad ke-15 yang lakonnya bersumber pada cerita Panji. Gambuh berbentuk total teater karena di dalamnya terdapat jalinan unsur seni suara, seni drama dan tari, seni rupa, seni sastra, dan lainnya. Diiringi dengan gamelan Penggambuhan yang berlaras pelog Saih Pitu. Tokoh-tokoh yang biasa ditampilkan adalah Condong, Kakan-kakan, Putri, Arya / Kadean-kadean, Panji (Patih Manis), Prabangsa (Patih Keras), Demang, Temenggung, Turas, Panasar dan Prabu. Dalam memainkan tokoh-tokoh tersebut semua penari berdialog, umumnya bahasa Kawi, kecuali tokoh Turas, Panasar dan Condong yang berbahasa Bali, baik halus, madya dan kasar. Pementasannya dalam upacara-upacara Dewa Yadnya seperti odalan, upacara Manusa Yadnya seperti perkawinan keluarga bangsawan, upacara Pitra Yadnya (ngaben) dan lain sebagainya 1. Sebagai Tari Bebali (seremonial), yaitu sebagai pengiring upacara di pura-pura. Dramatari Gambuh sebagai tari lakon klasik tertua dalam khazanah tari Bali adalah merupakan bentuk total teater yang memiliki unsur seni, drama, music, dialog dan tembang. 2. Sebagai sarana dan pelaksanaan upacara-upacara besar terutama tingkatan upacara "mapeselang". Tarian Gambuh ditarikan pada waktu Ida Bhatara turun ke paselang 3. Sebagai sebuah hikayat yang menceritakan kehidupan, peperangan, roman dari raja-raja Jenggala, Kediri, Gegelang, dan sebagainya. Dalam pementasan dramatari, yang dipentingkan adalah pemahaman setiap pelaku terhadap alur cerita yang dibawakan yang akan berdampak pada pengenalan karakter tokoh yang ditarikan oleh pelaku pementasan. Bila tidak demikian, dapat dipastikan pementasan yang dibawakan kurang memiliki penjiwaan dan bahkan mungkin pesan ataupun amanat yang terkandung dalam cerita tersebut tidak sampai pada penonton yang menunjukkan pementasan tersebut boleh jadi dikatakan gagal. Dalam Gambuh tokoh Panji mempunyai peran yang sangat vital, mengingat ia merupakan tokoh utama yang menentukan alur cerita. Panji merupakan tokoh putra halus yang memiliki watak tenang dan manis. Dalam melantunkan wawankata, tokoh Panji memiliki kemiripan dengan tokoh Putri yaitu suaranya bernada tinggi datar, terkadang memperpanjang silabus kata dan gaya jalannya luwes. Namun demikian, penulis selalu menekankan sisi maskulinitas dari tokoh Panji tetap dikedepankan dalam setiap ragam gerak dan wawankatanya karena memang sebenarnya ia adalah seorang laki-laki. Sebagai tokoh yang memiliki karakter halus dan manis, rias dan busana tokoh Panji harus disesuaikan untuk mendukung karakter yang diinginkan. Dimulai dari rias wajah, Panji memiliki alis yang ramping dan pada bagian ujung dibentuk agak sedikit naik untuk tetap memperlihatkan sisi maskulinnya. Panji dalam rias wajahnya tidak memakai kumis buatan. Sementara busana tariannya memakai jenis sesaputan, dengan lelancingan yang dibuat agak panjang dibiarkan terseret. Bila diperkirakan, panjang kain untuk lelancingan ini kurang lebih 4 meter. Tokoh Panji menggunakan baju lengan panjang putih, badong manis, stewel hijau, celana panjang putih dan saput berwarna hijau. Warna hijau di sini dimaksudkan untuk memberi kesan kesejukan dan kedamaian sehingga dapat menunjuang karakter yang diinginkan. Lanjut pada hiasan kepala atau yang bisa disebut gelungan, Panji menggunakan hiasan kepala berbentuk Keklopingan dengan menggunakan bancangan / onggar ( susunan bunga berwarna putih atau kuning ) yang ditempatkan di kedua sisi gelungannya diletakkan lurus ke atas. Pada sisi kiri dan kanan gelungan tepat berada di atas telinga, terdapat perekapat dengan gelenternya yang berupa susunan pernik-pernik mote berwarna kuning emas. Terakhir, pada kedua telinga dipasangkan sepasang rumbing. ◦ Mungkah Lawang : gerakan seperti membuka langse yang biasanya ◦ Ngelangsut. dipakai untuk memulai suatu tarian condong. ◦ Ngerajeg : gerakan mencari rajeg yang biasanya berfungsi sebagai dekorasi di sudut-sudut arena tari. ◦ Ngeseh : gerakan sendi untuk menghubungkan agem kanan ke agem ◦ Nyeleyog : gerak perpindahan yang disertai dengan perputaran bahu dadn kiri. kemudian dilakukan bersama-sama dengan memindahkan arah hadap. ◦ Ngalih pajeng : gerakan pencari pajeng (paying) yang merupakan ◦ Anadab gelung : gerakan tangan untuk menyentuh bagian samping dari salah satu property dari tempat pementasan (kalangan). gelungan. ◦ Nayog : berjalan dengan ayunan tangan agak datar ke samping. ◦ Anadab karna : gerakan tangan untuk menyentuh telinga bagian atasnya. ◦ Anadah oncer : gerakan mengambil oncer. ◦ Nyambir : mengambil ujung (sisi) kampuh kanan dengan tangan kiri dan kanan kemudian diangkat bersama-sama setinggi dada (di muka ◦ Tayungan ngotes (kotes) : ayunan tangan tepat ke muka dan ke belakang. dada). ◦ Nakep dada : menutup dada dengan posisi tangan menyilang. ◦ Butangawasari : posisi berdiri dengan mengangkat sebelah kaki ◦ Milpil : berjalan cepat. (nengkleng) dengan tangan kanan ditekuk diatas kepala, sedangkan ◦ Malpal : berjalan cepat dengan langkah agak lebar dan berat. tangan kiri ditekuk ke samping. ◦ Ngulah : sejenis ngangsel namun dilakukan dengan melangkah ke depan. ◦ Gelatik nuut papah : meloncat kecil seperti burung gelatik baik ke ◦ Ngeger : semacam ngangsel namun dilakukan dalam batas lagu yang lebih kanan maupun ke kiri, sementara ditekuk datar ke samping kanan panjang. Ngeger ini juga disebut (ngopak lantang). maupun kiri. ◦ Kirig udang : gerakan semacam ngangsel yang dilakukan dengan menarik salahsatu kaki dengan tolehan stakato ke bawah. ◦ Nepuk : mengambil (menyentuh) kampuh pada pertengahan dada, baik oleh tangan kanan maupun tangan kiri. Pada pementasan ini, lakon yang diambil masih bersumber pada kisah Malat yang menceritakan penyamaran Panji untuk menculik kekasihnya Dyah Ratna Merta. Tersebutlah Raden Panji dari kerajaan Jenggala putra mahkota dari Raja Jenggala. Beliau memiliki seorang kekasih yang sangat ayu rupanya bernama Dyah Ratna Merta. Oleh karena tidak disetujui oleh ayahnya, Raden Panji berupaya untuk melarikan diri bersama sang kekasih. Namun untuk menyamarkan tindakannya, Raden Panji berganti nama dan busana agar tidak diketahui orang. Selama dalam penyamaran, nama beliau adalah Kelana Carang Naga Puspa. Dengan dibantu para Arya, dibakarlah pasar kerajaan agar memperoleh kesempatan untuk melarikan diri di tengah kepanikan. Taktik ini berhasil, dimana Raden Panji berhasil mengajak lari kekasihnya. Tak lama diceritakan bagaimana galau hati sang raja mendengar putranya melarikan diri. Lalu diutuslah Patih Kebo Angun-angun untuk mencari dimana putra mahkotanya berada. Tugas berat itu sanggup diemban sang patih dengan dibantu oleh dua orang bawahannya yaitu Demang dan Tumenggung. Setelah lama pencarian, bertemulah patih dengan Kelana Carang Naga Puspa. Keduanya berdialog dengan tegang dan pecahlah pertempuran diantara patih Kebo Angun-Angun dengan Kelana Carang Naga Puspa. Disanalah penyamaran beliau terbongkar. Patih Kebo Angun-Angun tidak menyangka bahwa lawan yang ia hadapi adalah tuannya sendiri. Kebo Angun-Angun hanya bisa berlutut keheranan dan menyampaikan maksud dan tujuannya agar bisa kembali pulang ke kerajaan karena sang ayah sedang gelisah menunggu. Akhirnya, Raden Panji beserta kekasihnya kembali ke negaranya yaitu Kerajaan Jenggala. Gamelan Gambuh (Tabuh Pagambuhan; Pegambuhan) merupakan jenis Instrumen musik yang biasanya di Bali dipergunakan untuk mengiringi tarian atau tari gambuh dan dramatari gambuh seperti yang disebutkan , gambuh juga memiliki peralatan gamelan yang terdiri dari : Rebab (satu buah), Suling berukuran besar (dua atau tiga buah), Kendang (sepasang), Kajar, (satu buah), Klenang (satu buah), Ricik atau cengceng kecil (satu buah), Kenyir (satu tungguh), Gentorang atau ogar (satu atau dua buah), Gumanak (dua buah), Kangsi (sebuah). Nama : I Made Djimat TTL : Gianyar, 5 Oktober 1948 Alamat : Br. Pekandelan, Batuan, Sukawati, Gianyar, Bali No. HP : 082237787016 Penghargaan yang pernah didapatkan: - .
Recommended publications
  • Innovative Approaches to Melodic Elaboration in Contemporary Tabuh Kreasibaru
    INNOVATIVE APPROACHES TO MELODIC ELABORATION IN CONTEMPORARY TABUH KREASIBARU by PETER MICHAEL STEELE B.A., Pitzer College, 2003 A THESIS SUBMITTED IN PARTIAL FULFILLMENT OF THE REQUIREMENTS FOR THE DEGREE OF MASTER OF ARTS in THE FACULTY OF GRADUATE STUDIES (Music) THE UNIVERSITY OF BRITISH COLUMBIA August 2007 © Peter Michael Steele, 2007 ABSTRACT The following thesis has two goals. The first is to present a comparison of recent theories of Balinese music, specifically with regard to techniques of melodic elaboration. By comparing the work of Wayan Rai, Made Bandem, Wayne Vitale, and Michael Tenzer, I will investigate how various scholars choose to conceptualize melodic elaboration in modern genres of Balinese gamelan. The second goal is to illustrate the varying degrees to which contemporary composers in the form known as Tabuh Kreasi are expanding this musical vocabulary. In particular I will examine their innovative approaches to melodic elaboration. Analysis of several examples will illustrate how some composers utilize and distort standard compositional techniques in an effort to challenge listeners' expectations while still adhering to indigenous concepts of balance and flow. The discussion is preceded by a critical reevaluation of the function and application of the western musicological terms polyphony and heterophony. ii TABLE OF CONTENTS Abstract ii Table of Contents : iii List of Tables .... '. iv List of Figures ' v Acknowledgements vi CHAPTER 1 Introduction and Methodology • • • • • :•-1 Background : 1 Analysis: Some Recent Thoughts 4 CHAPTER 2 Many or just Different?: A Lesson in Categorical Cacophony 11 Polyphony Now and Then 12 Heterophony... what is it, exactly? 17 CHAPTER 3 Historical and Theoretical Contexts 20 Introduction 20 Melodic Elaboration in History, Theory and Process ..' 22 Abstraction and Elaboration 32 Elaboration Types 36 Constructing Elaborations 44 Issues of "Feeling".
    [Show full text]
  • Apresiasi Masyarakat Terhadap Kesenian Burok Grup Pandawa Nada Di Desa Kemurang Wetan Kabupaten Brebes
    APRESIASI MASYARAKAT TERHADAP KESENIAN BUROK GRUP PANDAWA NADA DI DESA KEMURANG WETAN KABUPATEN BREBES SKRIPSI disajikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Seni Musik oleh M. Ricky Juliardi 2503407015 JURUSAN PENDIDIKAN SENI DRAMA, TARI, DAN MUSIK FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013 ii iii MOTTO DAN PERSEMBAHAN Motto: Ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu dan bersabarlah (Q.S Yunus: 109) Persembahan: Kupersembahkan skripsi ini untuk orang-orang terkasih yang telah memberi warna dan makna dalam alur kehidupan yang telah terlalui dan yang akan dilalui: Ayahku yang tercinta Joko Irianto, Ibuku yang tersayang Lily Mulyati dan adikku Laras Nur Maulida yang cinta dan kasihnya tak pernah terbatas. Rekan-rekan Mahasiswa Pendidikan Seni Musik Angkatan Tahun 2007. Segenap Dosen Sendratasik Abdul Muklis, Lingling, dan teman-teman kos Tumpuk yang telah membantu dan memberikan inspirasi kepadaku. iv KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya. Hanya dengan anugerah dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Apresiasi Masyarakat Terhadap Kesenian Burok Grup Pandawa Nada Di Desa Kemurang Wetan Kabupaten Brebes”. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis baik secara langsung maupun tidak langsung dalam rangka penyusunan skripsi ini, terutama kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum., Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberi kesempatan untuk menyelesaikan studi di Pendidikan Sendratasik FBS Universitas Negeri Semarang. 2. Bapak Prof. Dr. Agus Nuryatin, M.Hum., Dekan Fakultas Bahasa dan Seni yang telah memberikan ijin untuk melaksanakan penelitian.
    [Show full text]
  • Performance in Bali
    Performance in Bali Performance in Bali brings to the attention of students and practitioners in the twenty-first century a dynamic performance tradition that has fasci- nated observers for generations. Leon Rubin and I Nyoman Sedana, both international theatre professionals as well as scholars, collaborate to give an understanding of performance culture in Bali from inside and out. The book describes four specific forms of contemporary performance that are unique to Bali: • Wayang shadow-puppet theatre • Sanghyang ritual trance performance • Gambuh classical dance-drama • the virtuoso art of Topeng masked theatre. The book is a guide to current practice, with detailed analyses of recent theatrical performances looking at all aspects of performance, production and reception. There is a focus on the examination and description of the actual techniques used in the training of performers, and how some of these techniques can be applied to Western training in drama and dance. The book also explores the relationship between improvisation and rigid dramatic structure, and the changing relationships between contemporary approaches to performance and traditional heritage. These culturally unique and beautiful theatrical events are contextualised within religious, intel- lectual and social backgrounds to give unparalleled insight into the mind and world of the Balinese performer. Leon Rubin is Director of East 15 Acting School, University of Essex. I Nyoman Sedana is Professor at the Indonesian Arts Institute (ISI) in Bali, Indonesia. Contents List
    [Show full text]
  • Glossary.Herbst.Bali.1928.Kebyar
    Bali 1928 – Volume I – Gamelan Gong Kebyar Music from Belaluan, Pangkung, Busungbiu by Edward Herbst Glossary of Balinese Musical Terms Glossary angklung Four–tone gamelan most often associated with cremation rituals but also used for a wide range of ceremonies and to accompany dance. angsel Instrumental and dance phrasing break; climax, cadence. arja Dance opera dating from the turn of the 20th century and growing out of a combination of gambuh dance–drama and pupuh (sekar alit; tembang macapat) songs; accompanied by gamelan gaguntangan with suling ‘bamboo flute’, bamboo guntang in place of gong or kempur, and small kendang ‘drums’. babarongan Gamelan associated with barong dance–drama and Calonarang; close relative of palégongan. bapang Gong cycle or meter with 8 or 16 beats per gong (or kempur) phrased (G).P.t.P.G baris Martial dance performed by groups of men in ritual contexts; developed into a narrative dance–drama (baris melampahan) in the early 20th century and a solo tari lepas performed by boys or young men during the same period. barungan gdé Literally ‘large set of instruments’, but in fact referring to the expanded number of gangsa keys and réyong replacing trompong in gamelan gong kuna and kebyar. batél Cycle or meter with two ketukan beats (the most basic pulse) for each kempur or gong; the shortest of all phrase units. bilah Bronze, iron or bamboo key of a gamelan instrument. byar Root of ‘kebyar’; onomatopoetic term meaning krébék, both ‘thunderclap’ and ‘flash of lightning’ in Balinese, or kilat (Indonesian for ‘lightning’); also a sonority created by full gamelan sounding on the same scale tone (with secondary tones from the réyong); See p.
    [Show full text]
  • Balinese Dances As a Means of Tourist Attraction
    BALINESE DANCES AS A MEANS OF TOURIST ATTRACTION : AN ECONOMIC PERSPECTIVE By : Lie Liana Dosen Tetap Fakultas Teknologi Informasi Universitas Stikubank Semarang ABSTRACT Makalah ini menguraikan secara ringkas Tari Bali yang ditinjau dari perspekif ekonomi dengan memanfaatkan Bali yang terkenal sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia. Keterkenalan Bali merupakan keuntungan tersendiri bagi pelaku bisnis khususnya bisnis pariwisata. Kedatangan wisatawan asing dengan membawa dolar telah meningkatkan ekonomi masyarakat Bali, yang berarti pula devisa bagi Indonesia. Bali terkenal karena kekayaannya dalam bidang kesenian, khususnya seni tari. Tari Bali lebih disukai karena lebih glamor, ekspresif dan dinamis. Oleh karena itu seni tari yang telah ada harus dilestarikan dan dikembangkan agar tidak punah, terutama dari perspektif ekonomi. Tari Bali terbukti memiliki nilai ekonomi yang tinggi terutama karena bisa ‘go international’ dan tentunya dapat meningkatkan pemasukan devisa negara melalui sektor pariwisata. Kata Kunci: Tari, ekonomi, pariwisata, A. INTRODUCTION It is commonly known that Bali is the largest foreign and domestic tourist destination in Indonesia and is renowned for its highly developed arts, including dances, sculptures, paintings, leather works, traditional music and metalworking. Meanwhile, in terms of history, Bali has been inhabited since early prehistoric times firstly by descendants of a prehistoric race who migrated through Asia mainland to the Indonesian archipelago, thought to have first settled in Bali around 3000 BC. Stone tools dating from this time have been found near the village of Cekik in the island's west. Most importantly, Balinese culture was strongly influenced by Indian, and particularly Sanskrit, culture, in a process beginning around the 1st century AD. The name Balidwipa has been discovered from various inscriptions.
    [Show full text]
  • Phd Thesis Tamara Aberle
    Socially-engaged theatre performances in contemporary Indonesia Tamara Alexandra Aberle Royal Holloway, University of London PhD Thesis 1 Declaration of Authorship I, Tamara Alexandra Aberle, hereby declare that this thesis and the work presented in it is entirely my own. Where I have consulted the work of others, this is always clearly stated. Signed: ______________________ Date: ________________________ 2 Abstract This thesis argues that performances of contemporary theatre in Indonesia are socially- engaged, actively creating, defining and challenging the socio-political environment, and that theatre practitioners are important members of a vibrant civil society who contribute and feel actively committed to democratic processes. Following an initial chapter about the history of modern theatre from the late 19th century until the fall of President Suharto in 1998, the four core chapters centre on four different aspects of contemporary Indonesian socio-politics: historical memory and trauma, violence and human rights, environmentalism, and social transition. Each of these chapters is preceded by an introduction about the wider historical and socio-political context of its respective discourse and is followed by an analysis of selected plays. Chapter 2 focuses on historical trauma and memory, and relates the work of two theatre artists, Papermoon Puppet Theatre and Agus Nur Amal (a.k.a. PM Toh), to processes seeking truth and reconciliation in Indonesia in the post-Suharto era. Chapter 3, on violence and human rights, discusses the works of Ratna Sarumpaet and B. Verry Handayani, with a specific focus on human trafficking, sexual exploitation, and labour migration. Chapter 4 discusses environmentalism on the contemporary stage. It investigates the nature of environmental art festivals in Indonesia, taking Teater Payung Hitam’s 2008 International Water Festival as an example.
    [Show full text]
  • B. Barendregt the Sound of Longing for Homeredefining a Sense of Community Through Minang Popular Music
    B. Barendregt The sound of longing for homeRedefining a sense of community through Minang popular music In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 158 (2002), no: 3, Leiden, 411-450 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl Downloaded from Brill.com09/23/2021 02:24:12PM via free access BART BARENDREGT The Sound of 'Longing for Home' Redefining a Sense of Community through Minang Popular Music Why, yes why, sir, am I singing? Oh, because I am longing, Longing for those who went abroad, Oh rabab, yes rabab, please spread the message To the people far away, so they'll come home quickly (From the popular Minangkabau traditional song 'Rabab'.) 1. Introduction: Changing mediascapes and emerging regional metaphors Traditionally each village federation in Minangkabau had its own repertoire of musical genres, tunes, and melodies, in which local historiography and songs of origin blended and the meta-landscape of alam Minangkabau (the Minangkabau universe) was depicted.1 Today, with the ever-increasing disper- sion of Minangkabau migrants all over Southeast Asia, the conception of the Minangkabau world is no longer restricted to the province of West Sumatra. 1 Earlier versions of this article were presented at the 34th Conference of the International Council of Traditional Music, Nitra, Slovakia, August 1996, and the VA/AVMI (Leiden Uni- versity) symposium on Media Cultures in Indonesia, 2-7 April 2001. Its present form owes much to critical comments received from audiences there. I would like to sincerely thank also my colleagues Suryadi, for his suggestions regarding the translations from the Minangkabau, and Robert Wessing, for his critical scrutiny of my English.
    [Show full text]
  • Body of Tradition: Becoming a Woman Dalang in Bali
    Body of Tradition: Becoming a Woman Dalang in Bali A dissertation presented to the faculty of the College of Fine Arts of Ohio University In partial fulfillment of the requirements for the degree Doctor of Philosophy Jennifer L. Goodlander August 2010 © 2010 Jennifer L. Goodlander. All Rights Reserved. 2 This dissertation titled Body of Tradition: Becoming a Woman Dalang in Bali by JENNIFER L. GOODLANDER has been approved for the Interdisciplinary Arts and the College of Fine Arts by William F. Condee Professor of Theater Charles A. McWeeny Dean, College of Fine Arts 3 ABSTRACT GOODLANDER, JENNIFER L., Ph.D., August 2010, Interdisciplinary Arts Body of Tradition: Becoming a Woman Dalang in Bali (248 pp.) Director of Dissertation: William F. Condee The role of women in Bali must be understood in relationship to tradition, because “tradition” is an important concept for analyzing Balinese culture, social hierarchy, religious expression, and politics. Wayang kulit, or shadow puppetry, is considered an important Balinese tradition because it connects a mythic past to a political present through public, and often religiously significant ritual performance. The dalang, or puppeteer, is the central figure in this performance genre and is revered in Balinese society as a teacher and priest. Until recently, the dalang has always been male, but now women are studying and performing as dalangs. In order to determine what women in these “non-traditional” roles means for gender hierarchy and the status of these arts as “traditional,” I argue that “tradition” must be understood in relation to three different, yet overlapping, fields: the construction of Bali as a “traditional” society, the role of women in Bali as being governed by “tradition,” and the performing arts as both “traditional” and as a conduit for “tradition.” This dissertation is divided into three sections, beginning in chapters two and three, with a general focus on the “tradition” of wayang kulit through an analysis of the objects and practices of performance.
    [Show full text]
  • “Saweran Sebagai Bentuk Interaksi Simbolik Antara
    “SAWERAN SEBAGAI BENTUK INTERAKSI SIMBOLIK ANTARA PEMAIN DAN PENONTON DALAM TARI REOG GONDORIYO PADA KESENIAN BARONGAN SINGO LODRO DI DESA TODANAN KECAMATAN TODANAN KABUPATEN BLORA” SKRIPSI untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S1) Oleh: Nama : Selvi Widya A NIM : 2501412154 Program Studi : Pendidikan Seni Tari Jurusan : Pendidikan Seni Drama Tari dan Musik JURUSAN SENI DRAMA TARI DAN MUSIK (PENDIDIKAN TARI) FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2017 i PERSETUJUAN PEMBIMBING Skripsi dengan judul “Saweran Sebagai Bentuk Interaksi Simbolik Antara Pemain Dan Penonton Dalam Tari Reog Gondoriyo Pada Kesenian Barongan Singo Lodro Di Desa Todanan Kecamatan Todanan Kabupaten Blora” telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke Sidang Panitia Ujian Kripsi Semarang, 11 Agustus 2017 Pembimbing I Pembimbing II Drs. Bintang Hanggoro P. M. Hum.. Restu Lanjari, S.Pd, M.Pd. NIP. 196002081987021001 NIP. 196112171986012001 ii PENGESAHAN KELULUSAN Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan Seni Drama, Tari dan Musik, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang pada hari : Jumat tanggal : 11 Agustus 2017 Panitia Ujian Skripsi Prof. Dr. Agus Nuryatin, M. Hum. (196008031989011001) Ketua Abdul Rachman, S.Pd.M.Pd (198001202006041002) Sekertaris Dra. Eny Kusumastuti, M.Pd (196804101993032001) Penguji I Restu Lanjari, S.Pd, M.Pd (196112171986012001) Penguji II/Pembimbing II Drs. Bintang Hanggoro P, M. Hum. (196002081987021001) Penguji III/Pembimbing I Prof. Dr. Agus Nuryatin, M. Hum. (196008031989011001) Dekan Fakultas Bahasa dan Seni iii PERNYATAAN Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi yang berjudul “Saweran Sebagai Bentuk Interaksi Simbolik Antara Pemain Dan Penonton Dalam Tari Reog Gondoriyo Pada Kesenian Barongan Singo Lodro Di Desa Todanan Kecamatan Todanan Kabupaten Blora” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan dari karya orang lain, baik sebagian atau seluruhnya.
    [Show full text]
  • The Origins of Balinese Legong
    STEPHEN DAVIES The origins of Balinese legong Introduction In this paper I discuss the origin of the Balinese dance genre of legong. I date this from the late nineteenth century, with the dance achieving its definitive form in the period 1916-1932. These conclusions are at odds with the most common history told for legong, according to which it first appeared in the earliest years of the nineteenth century. The genre Legong is a secular (balih-balihan) Balinese dance genre.1 Though originally as- sociated with the palace,2 legong has long been performed in villages, espe- cially at temple ceremonies, as well as at Balinese festivals of the arts. Since the 1920s, abridged versions of legong dances have featured in concerts organized for tourists and in overseas tours by Balinese orchestras. Indeed, the dance has become culturally emblematic, and its image is used to advertise Bali to the world. Traditionally, the dancers are three young girls; the servant (condong), who dances a prelude, and two legong. All wear elaborate costumes of gilded cloth with ornate accessories and frangipani-crowned headdresses.3 The core 1 Proyek pemeliharaan 1971. Like all Balinese dances, legong is an offering to the gods. It is ‘secu- lar’ in that it is not one of the dance forms permitted in the inner yards of the temple. Though it is performed at temple ceremonies, the performance takes place immediately outside the temple, as is also the case with many of the other entertainments. The controversial three-part classification adopted in 1971 was motivated by a desire to prevent the commercialization of ritual dances as tourist fare.
    [Show full text]
  • Bali: So Many Faces--Short Stories and Other Literary Excerpts in Indonesian. INSTITUTION Western Sydney Univ., Macarthur (Australia)
    DOCUMENT RESUME ED 411 529 CS 215 987 AUTHOR Cork, Vern, Comp. TITLE Bali: So Many Faces--Short Stories and Other Literary Excerpts in Indonesian. INSTITUTION Western Sydney Univ., Macarthur (Australia). Language Acquisition Research Centre.; Australian National Languages and Literacy Inst., Deakin. ISBN ISBN-1-87560-40-7 PUB DATE 1996-00-00 NOTE 200p. PUB TYPE Collected Works General (020) Creative Works (030) LANGUAGE English, Indonesian EDRS PRICE MF01/PC08 Plus Postage. DESCRIPTORS Anthologies; *Audience Awareness; Cultural Background; *Cultural Context; Foreign Countries; *Indonesian; Literary Devices; Non Western Civilization; *Short Stories; *Social Change; Tourism IDENTIFIERS *Bali; *Balinese Literature; Indonesia ABSTRACT This collection of 25 short stories (in Indonesian) by Balinese writers aims to give Bali's writers a wider public. Some of the stories in the collection are distinctly and uniquely Balinese, while others are more universal in their approach and are self-contained. But according to the collection's foreword, in all of the stories, experiences of Bali are presented from the inside, from the other side of the hotels, tour buses, and restaurants of "tourist" Bali. The writers presented come from a range of backgrounds, reflecting the diversity cf Balinese society--different castes, differences between urban and rural baa4xiouncl.s, .and varieties of ethnicity are all important to the multiplicity of voices found in the collection. In addition, the collection draws from backgrounds of journalism, theater, cartoons, poetry, and academia, and from writers who may have been born in other parts of Indonesia but who have lived for decades in Bali and reflect Bali's inseparability from the Indonesian nation.
    [Show full text]
  • Mapping the History of Malaysian Theatre: an Interview with Ghulam-Sarwar Yousof
    ASIATIC, VOLUME 4, NUMBER 2, DECEMBER 2010 Mapping the History of Malaysian Theatre: An Interview with Ghulam-Sarwar Yousof Madiha Ramlan & M.A. Quayum1 International Islamic University Malaysia It seems that a rich variety of traditional theatre forms existed and perhaps continues to exist in Malaysia. Could you provide some elucidation on this? If you are looking for any kind of history or tradition of theatre in Malaysia you won’t get it, because of its relative antiquity and the lack of records. Indirect sources such as hikayat literature fail to mention anything. Hikayat Raja-Raja Pasai mentions Javanese wayang kulit, and Hikayat Patani mentions various music and dance forms, most of which cannot be precisely identified, but there is no mention of theatre. The reason is clear enough. The hikayat generally focuses on events in royal court, while most traditional theatre developed as folk art, with what is known as popular theatre coming in at the end of the 19th century. There has never been any court tradition of theatre in the Malay sultanates. In approaching traditional theatre, my own way has been to first look at the proto- theatre or elementary forms before going on to the more advanced ones. This is a scheme I worked out for traditional Southeast Asian theatre. Could you elaborate on this? Almost all theatre activity in Southeast Asia fits into four categories as follows: Proto-Theatre, Puppet Theatre, Dance Theatre and Opera. In the case of the Philippines, one could identify a separate category for Christian theatre forms. Such forms don’t exist in the rest of the region.
    [Show full text]