Vol.9 No.2 Juli 2018 ISSN 2338-428X (Online) DOI: 10.33153/capture.v9i2.2063 ISSN 2086-308X (Cetak)

TURONGGO YAKSO IN ETHNO-PHOTOGRAPHY

Mandira Citra Perkasa1, Andry Prasetyo2 1 Institut Seni (ISI) Surakarta 2 Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta E-mail: [email protected]

ABSTRACT

The idea of a photographic creation entitled Turonggo Yakso in Ethnophotography is a follow-up in addressing the disappearance of the handwritten textbook of the founder of the art of Turonggo Yakso, which contains important notes on the art of Dongkol Village society. The book contains about the history of the art of Turonggo Yakso, the design of motion, and all the rules regarding the Baritan ceremony. The purpose of the creation of this work in an attempt to re-collect records in the form of text data from the interview results of the artists Turonggo Yakso, and visual data from the show performances which are packaged in ethnophotographic photos. The process of creating this work using the ethnophotographic method supported by Dipti Desai ie Pseudo- Ethnography or "Pseudo" ethnography, where the creator not follow the ethnographic methods strictly, but rely more on field data from interviews by informants and environmental observations. The creation of this work presents ethnophotographic works about the folk art of Turonggo Yakso in Dongko community, Trenggalek regency, East province from preparation, during the performance, to the end of the show. Keywords: Ethnophotographic, Turonggo Yakso, performance, and Jaranan.

ABSTRAK

Ide karya penciptaan fotografi yang berjudul Turonggo Yakso dalam Etnofotografi merupakan tindak lanjut dalam menyikapi kasus hilangnya buku tulisan tangan sesepuh pendiri kesenian Turonggo Yakso, yang berisi catatan penting tentang kesenian masyarakat Desa Dongkol. Buku tersebut berisi tentang sejarah kesenian Turonggo Yakso, rancangan gerak, dan segala aturan seputar upacara Baritan. Tujuan penciptaaan karya ini sebagai usaha untuk mengumpulkan kembali catatan-catatan yang berupa data teks hasil wawancara dari para pelaku kesenian Turonggo Yakso, dan data visual dari peristiwa pertunjukannya yang dikemas dalam foto etnofotografi. Proses penciptaan karya ini menggunakan metode etnofotografi yang dicetuskan oleh Dipti Desai yakni Pseudo-Ethnography atau etnografi “semu”, di mana pengkarya tidak mengikuti metode etnografi secara ketat, namun lebih mengandalkan data lapangan dari hasil wawancara oleh narasumber dan pengamatan lingkungan. Hasil penciptaan karya ini menyajikan karya-karya etnofotografi tentang kesenian rakyat Turonggo Yakso di masyarakat Kecamantan Dongko, Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur mulai dari persiapan, saat pertunjukan, hingga akhir pertunjukan. Kata Kunci: Etnofotografi, Turonggo Yakso, Kesenian, dan Jaranan.

1. PENDAHULUAN seperti Jaranan Butho, , Jaran Kesenian rakyat Jaranan Turonggo Kepang, Jaran Dor, Jaranan Sentherewe, Yakso merupakan kebudayaan asli Jathilan, Jaran Bodog, dan Jaranan Pegon. Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, Ciri yang mencolok untuk membedakan tari Jawa Timur. Kesenian jaranan ini mirip Turonggo Yakso dengan tarian jaranan dengan kesenian jaranan lainnya, misalkan sejenis dapat dilihat dari bentuk kuda bagian

1

badan atas hingga kepala berwujud Buto kutipan tersebut muncul pertanyaan atau raksasa, dan badan bawah hingga ekor bagaimana cara merekam kebudayaan yang bewujud kuda. Daya tarik yang lain dari dapat mengantarkan peristiwa saat ini ke kesenian Jaranan Turonggo Yakso ini masa depan. Dalam hal ini karya foto terletak pada busana penarinya, rias wajah menjadi sebuah dokumen. Disiplin fotografi dan kedudukannya yaitu sebagai tarian mengenal genre fotografi dokumenter yakni sakral masyarakat Dongkol. Hingga saat ini foto yang dapat dijadikan bukti keterangan kesenian rakyat tersebut masih dapat suatu peristiwa yang dapat dipelajari di masa disaksikan dalam pergelaran rakyat di tempat depan. Fungsi foto dokumenter menurut kesenian ini berasal Kecamatan Dongko, Andry Prasetyo (2014:11): Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Melaui “Fotografi dokumenter berfungsi sebagi catatan atau merekam peristiwa yang fenomena di lapangan tersebut, muncul terjadi di sekitar kita setiap waktu, baik beberapa pertanyaan yang selanjutnya kejadian kecil yang sering kita temui saat melakukan aktivitas keseharian menjadi rumusan penelitian ini, yaitu: maupun peristiwa besar yang terjadi Bagaimana usaha masyarakat Dongkol secara tiba-tiba, fokus dari fotografi dokumenter adalah manusia dalam dalam menjaga keberadaan kesenian hubungannya dengan umat manusia Jaranan Toronggo Yakso hingga saat ini. itu sendiri dan manusia dengan alam sekitarnya”. Sebagai fenomena budaya, kesenian

Jaranan Turonggo Yakso tidak hanya Merujuk pada jurnal yang ditulis oleh menarik untuk diteliti, tetapi bagi pengkarya Prasetyo maka fungsi foto dokumenter kesenian jaranan ini menarik untuk dijadikan dianggap mampu merekam segala aspek ide dasar bagi penciptaan karya kehidupan manusia. Etnografi merupakan etnofotografi. ilmu pengetahuan, bentuk penyelidikan di Fotografi secara sederhana adalah mana seorang peneliti berbaur dalam melukis menggunakan cahaya. Selain itu aktivitas individu atau komunitas. Tujuan fotografi merupakan upaya mengontrol etnografi menurut Malinowski adalah cahaya dan waktu. Tindakan mengambil “menangkap sudut pandang orang setempat gambar pada momen yang tepat adalah untuk mencapai visi dunianya”. Untuk itu sama halnya dengan menyegel peristiwa dan diperlukan kerja lapangan yang waktu untuk dibawakan ke masa depan Clark memungkinkan untuk menggali dan mengkaji Graham (1997:11). Mengutip tulisan dari kebudayaan manusia. Clark, peran fotografi sebagai dokumen Etnofotografi adalah gabungan dari dapat dimanfaatkan untuk menghadirkan kata “etno” atau etnik dan fotografi. Etno atau kembali kebudayaan saat ini untuk dipelajari etnik dalam hal ini adalah kesenian Turonggo lebih lanjut di masa depan. Berdasar dari Yakso sebagai budaya masyarakat Dongko,

2

Vol.9 No.2 Juli 2018 ISSN 2338-428X (Online) DOI: 10.33153/capture.v9i2.2063 ISSN 2086-308X (Cetak)

Kabupaten Trenggalek. Fotografi adalah beberapa bagian pada pangkon . tindakan mengambil gambar pada momen Komponen besi pada beberapa perangkat yang tepat pada saat kesenian ini sedang gamelan seperti: Kenong dan Gong. Bahan tumbuh subur di Kecamatan Trenggalek, kain dan manik-manik pada pakaian penari sehingga etnofotografi dalam konteks Turonggo Yakso. Bahan kulit sapi mentah penciptaan ini mengarah pada usaha untuk pada celeng, jaranan dan jamang pada mengumpulkan kembali catatan-catatan yang barongan. Pada sub-tema Ambengan yang berupa data teks dan catatan visual dari merupakan hidangan pada upacara Baritan peristiwa budaya pertunjukan kesenian harus difoto secara jelas wujud dan bentuk Turonggo Yakso. sajiannya. Dari beberapa komponen tersebut perlu adanya observasi sebelum sesi 2. METODE Penciptaan karya ini menggunakan pemotretan berlangsung, pertimbangan- metode pseudo-ethnography. Pseudo- pertimbangan yang harus diperhitungkan ethnography (etnografi semu) menurut Dipti agar foto yang dihasilkan dapat menunjukkan Desai (2002:309) adalah pandangan seorang dengan jelas bentuk warna dan wujud seniman sebagai etnografer. Oleh karena keseluruhannya secara detail dan akurat. seniman tidak mengikuti metodologi etnografi Untuk teknik pemotretan dapat dijabarkan yang ketat. Interaksi antara seniman dengan sebagai berikut: komunitas tidak intensif dan hanya 1) Objek bahan kayu pada objek barongan, melakukan wawancara dengan beberapa selompret, kendang, angklung dan orang. beberapa bagian pada pangkon gamelan, Pengumpulan data dilakukan melalui menggunakan setting-an kamera sebagai observasi untuk mendeskripsikan aktivitas- berikut. Bukaan diafragma: f/8, shutter aktivitas kesenian yang berlangsung, orang- speed: 1/200, ISO:200, kemudian orang yang terlibat dalam aktivitas, dan dikombinasikan dengan lampu studio mengetahui makna kejadian serta dengan tingkat pencahayaan 5 hingga 6 mengetahui keterlibatan masyarakat Dongko. level. Kombinasi ini untuk mendapatkan Sedangkan observasi dalam kaitannya detail pada objek kayu terutama pada dengan proses penciptaan dilakukan pada ukiran-ukiran, tekstur dan menghindari teknik fotografi untuk menentukan metode pantulan sinar lampu studio yang pemotretan yang efektif pada saat digunakan berlebihan pada permukaan kayu yang dalam memotret objek, mengingat setiap dipernis. objek memiliki karakteristik berbeda-beda 2) Objek bahan besi pada objek gamelan seperti kayu sebagai dasar 1). barongan, 2). Kenong dan Gong. Setting-an pada selompret, 3). kendang, 4). angklung dan kamera dapat diatur sebagai berikut,

3

bukaan diafragma f/6,3, shutter speed 5) Objek hidangan makanan pada sub-tema 1/200, ISO 200, kemudian dipadukan Ambengan dipotret menggunakan setting- dengan lampu studio dengan kekuatan 8 an sebagai berikut: bukaan diafragma hingga 9 level dan bisa lebih tinggi lagi f/5,6, shutter speed 1/200, ISO 200, yang dikarenakan objek gamelan lebih besar dipadukan dengan lampu blitz dengan dari pada objek lainnya. Tujuan dari kekuatan pencahayaan 1/4 hingga 1/8 komposisi tersebut untuk menampilkan untuk menampilkan hidangan secara goresan dan bercak pada logam besi detail dan jelas. yang digunakan sebagai bahan utama Wawancara dilakukan untuk pembentuk kenong dan gong. mengumpulkan informasi-informasi penting 3) Objek kain dan manik-manik pada seputar kesenian Turonggo Yakso. Informasi pakaian dipotret menggunakan setting-an penting dapat digunakan sebagai acuan sebagai berikut: bukaan diafragma f/6,3, dalam penulisan teks, selain itu hasil shutter speed 1/200, ISO 200, kemudian wawancara dari berbagai pihak nantinya dipadukan dengan lampu studio dengan dapat disimpulkan bagaimana strategi dalam kekuatan 6 hingga 7 level Penggunaan menciptakan karya etnofotografi. Beberapa komposisi ini bertujuan untuk informan yang berbagi informasi dan sejarah menampilkan warna pakaian secara dalam proses penciptaan ini: akurat, menampilkan detail kecil seperti 1) Pamrih, seorang pencipta gerak tari manik-manik yang dijahit pada objek Turonggo Yakso. sabuk, celana cinde, samir, jamang, 2) Muan, sebagai pengrajin properti tari sumping, boro samir, kalung kace, dan Turonggo Yakso seperti jaranan, klat bahu. barongan dan slompret. 4) Bahan kulit sapi pada objek jaranan, 3) Jiman, salah satu sesepuh pendiri celeng, dan jamang barongan dapat kesenian Turonggo Yakso dan sejarawan menggunakan setting-an kamera sebagai 4) Putut,, sesepuh masyarakat Kecamatan berikut, bukaan diafragma: f/9, shutter Dongko. speed: 1/200, ISO: 200, kemudian Pengumpulan data juga dilakukan dipadukan dengan pencahayaan lampu dengan menulusuri dokumen-dokumen yang studio dengan kekuatan 6 hingga 7 level. berkaitan dengan kesenian Jaranan Komposisi tersebut menghasilkan hasil Turonggo Yakso. Upaya untuk foto yang cukup baik dengan mempermudah dalam proses pencatatan pencahayaan yang tidak terlalu flat, ukiran data di lapangan, dilakukan pada media kulit terlihat jelas dan warna pendokumentasian menggunakan media pada objek tidak memudar. kamera, meliputi naskah gerak, setting lokasi, 4

Vol.9 No.2 Juli 2018 ISSN 2338-428X (Online) DOI: 10.33153/capture.v9i2.2063 ISSN 2086-308X (Cetak)

dan setting pengambilan gambar. Foto lokasi foto yang digunakan dalam memotret meliputi lokasi latihan menari atau sanggar, gerakan tari Turonggo Yakso. Masing-masing lokasi pertunjukan, lokasi pembuatan poin akan diuraikan sebagai berikut: jaranan, lokasi pembuatan busana. Setting 1) Pencahayaan lokasi pertunjukan berupa denah Teknik pencahayaan pada beberapa pertunjukan. Setting pengambilan gambar objek foto seperti ambengan, menggunakan berupa denah dan arah pengkarya teknik bouncing flash dimana pencahayaan mengambil foto. Dokumentasi ini dipantulkan ke arah atas untuk mendapatkan dimaksudkan agar pengkarya memperoleh pencahayaan yang seimbang dan merata setting yang tepat dalam proses pengambilan tidak pada suatu titik tertentu atau spotted. gambar dan akan digunakan untuk Pengunaan lampu kilat (blitz) merupakan menyusun referensi tentang kesenian pemilihan yang tepat untuk pemotretan jaranan Turonggo Yakso. keliling (mobile) namun pemilihan lampu kilat Eksplorasi dilakukan untuk ini kurang tepat. Pada uji coba pemotretan mengelompokkan sub-tema dari seluruh sesi pertama, lampu kilat ditambahkan komponen yang menyusun komponen softbox agar pencahayaan lebih lembut dan pagelaran kesenian Turonggo Yakso. Objek- menyebar rata pada permukaan objek yang objek yang akan difoto dipisahkan dan berukuran kecil, namum pada saat dikelompokkan pada pokok-pokok sub-tema pemotretan objek besar seperti manusia yang telah dibuat, kemudian ditata dan cahaya yang dihasilkan kurang maksimal. diurutkan sesuai dengan adegan yang terjadi Maka dengan adanya kekurangan tersebut di lapangan. Dengan mengelompokkan per untuk memotret gerakan tari ini dibutuhkan sub-tema diharapkan pembagian sesi lampu studio dengan softbox konvensional pemotretan dapat dijadwalkan secara untuk mendapatkan hasil yang maksimal. terpisah tidak menjadi satu kesatuan yang Lampu kilat dengan soft box modifikasi membingungkan. yang menghasilkan cahaya kurang maksimal Eksperimen pada penciptaan karya untuk objek berukuran besar. Setelah Turoggo Yakso dalam Etnofotografi penting mengalami hasil foto yang kurang maksimal untuk dilakukan untuk memecahkan masalah dari lampu kilat dengan sof tbox modifikasi dalam teknik pemotretan dan mendapatkan jeriken maka sistem pencahayaan diganti hasil foto yang diinginkan. Proses dengan lampu studio dan soft box eksperimen dalam pengerjaan karya ini konvensional. meliputi 1) Pencahayaan, 2) Penataan objek yang akan difoto, 3) Angle foto yang digunakan untuk memotret objek, 4) Teknik

5

4) Teknik pemotretan Pada karya tema gerak tari menggunakan teknik long exsposure untuk menampilkan urutan gerak tari secara runtut dalam satu bingkai foto, teknik ini diterapkan karena pada sesi pemotretan sebelumnya para penari bingung dalam menganalisis hasil karya foto gerak tari dengan gambar yang statis/diam. Maka pada sub-tema ini teknik dikembangkan untuk menciptakan hasil foto yang dapat dibaca dengan jelas.

Teknik Flat Lay Photography untuk Gambar 1. Pembuatan soft box pakain tari dan sesajen. Teknik ini menata (Foto: Mandira Citra, 2017) obyek di atas background dan difoto secara

2) Penataan objek bird eye (foto dari atas). Teknik Long Penataan objek dipertimbangkan Exposure dengan Open Flash untuk gerakan dalam proses pemotretan dan hasil foto yang tari agar mendapatkan wujud gerakan tari disajikan. Kedua hal tersebut dipikirkan dan dalam satu frame foto. Teknik Still Life untuk direncanakan secara cermat agar proses properti tari seperti jaranan, pecut dan pemotretan mudah dan memungkinkan untuk gamelan. Semuanya dilakukan dengan dua dilakukan, di sisi lain mendapatkan hasil yang lampu studio. foto yang nyaman untuk dipandang 5) Tahap pengerjaan karya

3) Sudut pandang pengerjaan foto Pengerjaan karya etnofotografi ini ada Karena hasil karya etnofotografi ini beberapa tahap yang harus ditempuh agar merupakan data dan bukti yang harus dalam proses pengerjaan karya tidak rumit ditampilkan secara detail dan aktual maka dan penyajiannya terkesan lebih sederhana pada sembilan sub-tema yang disajikan dan tidak membingungkan. Langkah pertama menggunakan teknik foto yang sederhana dalam mengerjakan karya ini adalah proses pada tema ambengan dan pakaian tari pemotretan, setelah melakukan langkah menggunakan high angle/flaylay untuk pendekatan etnografi untuk mengumpulkan menunjukkan objek secara jelas dan data dari observasi, eksplorasi, dan detail.dan tema lainnya menggunakan eye wawancara dari beberapa pihak dan tempat level angle seperti pemotretan biasa untuk maka kesimpulan dapat ditarik untuk menunjukkan objek secara aktual. melanjutkan ke langkah pemotretan. Proses

6

Vol.9 No.2 Juli 2018 ISSN 2338-428X (Online) DOI: 10.33153/capture.v9i2.2063 ISSN 2086-308X (Cetak)

pemotretan dibagi menjadi sembilan sub- make-up dan pakaian. Foto-foto dokumentasi tema atau pokok bahasan yakni a). pada karya ini meliputi sesajen, properti tari, Ambengan yang merupakan sajian dalam gamelan, satu portrait penari jaranan, upacara Baritan, b). Dandan, c) Properti pementasan tari Turonggo Yakso hingga barongan dan celeng, d). Pakaian Turonggo adegan kesurupan yang merupakan puncak Yakso, e). Properti Mentah barongan dan pementasan kesenian tari ini. Foto yang Jaranan, f). Gamelan, g). Gerakan tari, h). tersaji pada karya Turonggo yakso dalam Pentas, dan i). Kesurupan. Proses tersebut Etnografi ini meliputi a) Ambengan atau ditempuh untuk menyederhanaan rangkaian sesajen, b) Gerakan penari, c) Properti tari, pagelaran tari Turonggo Yakso secara jelas d) barongan, celeng-an dan jaranan dan padat. Pada pengerjaan karya fotografi Turonggo Yakso, e) kesatriyo atau penari sebelum melakukan proses pemotretan, jaranan, dan f) pertunjukan kesenian. terlebih dahulu merancang storyboard Sinopsis Turonggo Yakso merupakan hasil sebagai alat bantu agar karya yang wawancara dari seorang sesepuh dan dihasilkan tidak meluas atau bahkan sejarawan Turonggo Yakso yakni Jiman, menyimpang dari ide yang sudah beliau bercerita secara rinci mulai dari ritual direncanakan. Baritan yang kemudian diubah menjadi kesenian Lembu Suro lan Lembu Andhini 3. PEMBAHASAN hingga akhirnya berevolusi menjadi Turonggo 3.1. Hasil Karya Yakso. Berikut ini sebagian karya Turonggo Karya Turanggo Yakso ini Yakso dalam Etnofotografi. menghasilkan fotografi yang mencakup hal- hal seputar kesenian tari Turonggo Yakso 3.2. Sinopsis Tari Turonggo Yakso secara khusus. Turonggo Yakso merupakan Kesenian tari jaranan Turonggo Yakso kesenian tari khas Kecamatan Dongko merupakan bentuk lanjut dari upacara Kabupaten Trenggalek. Kesenian yang lahir Bartian, upacara ini merupakan wujud bentuk dari upacara ritual Bartian yang merupakan rasa syukur masyarakat Dongko terhadap wujud rasa syukur masyarakat Dongko atas pencipta atas hasil bercocok tanam yang hasil panen yang diperoleh. Karya ini dapat sukses. Sedikit penggalan cerita untuk saat disebut sebagai fotografi yang etnografis ini upacara Bartian sudah berhenti selama 50 karena foto-foto yang disampaikan dipotret tahun karena banyaknya biaya dan sumber dengan pendekatan etnografi. Teknik yang daya alam yang dikeluarkan untuk upacara digunakan dalam pemotretan karya fotografi Bartian, maka pada tahun 1996 dibentuk ini adalah still life karena dianggap dapat sebuah tarian untuk memperingati upacara merepresentasikan objek secara realistis dan Bartian dalam bentuk kesenian tari. portrait untuk menunjukkan profil penari Berikut ini merupakan sedikit sejarah

7

kesenian tari Turonggo Yakso sebagai adat dapat diwujudkan dalam bentuk gambaran bagaimana kesenian ini terbentuk. kesenian. Maka pada tahun 1966 dibentuk Turonggo Yakso merupakan upacara sakral kesenian hewan seperti banteng/lembu yang yang sudah dilaksanakan beberapa ratus bernama Lembu Sura dan Maheso Ndanu tahun yang lalu, namun pada beberapa tahun (Kebo Ndanu). Namun setelah dipentaskan tertentu tidak dilaksanakan karena adanya banyak yang mengkritisi (ngelokne) kenapa beberapa peristiwa yang tidak wujud jaranan mirip dengan lambang partai memungkinkan digelarnya upacara tersebut, politik (pada saat itu masih dekat dengan seperti tahun 1918, 1923, 1942 invasi kasus Gerakan 30 September Partai Jepang, 1945 hari Proklamasi Kemerdekaan Komunis Indonesia atau sering disingkat Republik Indonesia, 1948 peristiwa Madiun, dengan G 30 S PKI). Pada tahun 1979 dan 1965 pemberontakan G30S PKI dibentuk (mereka merancang ulang wujud (Gerakan 30 September Partai Komunis jaranan yang berbentuk kerbau tersebut agar Indonesia). Karena upacara sakral namun tidak diejek (dilokne ) mirip lambang partai tidak dilaksanakan secara rutin tiap tahunnya politik) terbentuk gagasan baru untuk maka muncul bencana, seperti pada tahun mewujudkan upacara Bartian ke dalam 1918 udan salah mongso (tidak ada hujan) kesenian tari dan menyampaikan bahwa bahkan menurut Jiman hingga selama satu kerbau dan sapi merupakan mitra kerja tahun tidak turun hujan di Kecamatan petani, maka tahun 1979 terbentuklah Dongko hingga mengakibatkan tanaman kesenian tari Turongo Yakso. pada ladang persawahan kekeringan, tahun 3.3 Karya Tema Ambengan 1923 larang pangan (kelangkaan pangan), Ambengan sering disebut dengan tahun 1942 terjadi invasi Jepang dan terjadi sesajen merupakan sajian-sajian khas dari hukum alam yakni hasil panen yang tidak upacara baritan (bubar ngarit tanduran) yang sukes. Hingga pada tahun 1966 tidak biasaya dihadirkan pada tiap pementasan tari dilaksanakan sampai sekarang, karena Turonggo Yakso. Tujuan utama Ambengan situasi dan kondisi Kecamatan Dongko yang yang dihidangkan adalah sebagai tidak memungkinkan untuk digelarnya persembahan kepada “Sing Moho Kuwoso” upacara Bartian. dan unsur lain yang dianggap memiliki Karena upacara Bartian merupakan pengaruh dalam kehidupan seperti danyang wujud ekosistem yang kental antara manusia, dan lain sebagainya. Menurut Jiman, salah hewan (kerbau dan sapi sebagai mitra kerja satu sesepuh kesenian Turonggo Yakso petani) dan alam (sumber air, kebun dan setiap sesajen memiliki maksud dan tujuan tanaman) maka Suwargi dan Puguh masing masing namun secara keseluruhan mempertanyakan bagaimana upacara sakral memiliki makna meminta ketentraman guyub 8

Vol.9 No.2 Juli 2018 ISSN 2338-428X (Online) DOI: 10.33153/capture.v9i2.2063 ISSN 2086-308X (Cetak)

rukun sesama penduduk, kesuburan selalu terdapat sajian berupa ambengan. tanaman pertanian dan kelancaran dalam Karya foto Ambengan ini menjelaskan secara melakukan pengolahan sawah, hewan ternak simbolik bahwa upacara Bartian masih yang sehat serta beranak pinak serta dilaksanakan oleh masyarakat Dongko kedamaian di alam semesta. Ambengan walaupun secara sederhana pada setiap dikenal sebagai salah satu syarat dalam pementasan jaranan Turonggo Yakso. pelaksanaan upacara atau ritual adat Jawa. Ambengan biasanya berupa nasi beserta lauk dan sayur.

Gambar 3. Karya judul Ambengan tema Sesajen (Foto: Mandira Citra, 2017)

Ambengan merupakan kelengkapan sesajen yang biasa disajikan pada upacara Gambar 2. Skema memotret Ambengan Bartian yang merupakan asal-usul kesenian (Desain: Mandira Citra, 2017) Turonggo Yakso, maka Ambengan turut Dalam ritual atau upacara Ambengan melengkapi seri foto dokumen ini. Ambengan adalah bentuk ucapan terima kasih yang terdiri dari: Jenang Sengkala (jenang merah); biasanya diringi oleh suatu doa keselamatan, Mule lan Metri (nasi srundeng dan telur); ketenteraman, hasil panen yang melimpah Nylametne (nasi mie atau sayur yang dan lain-lain (Nanik Herawati, 2012:64). diatasnya diberi potongan tempe goreng dan Ambengan juga dapat dikatakan sebagai telur dadar); Gedhang Setangkep lan sekar sesajen. Menurut Koentjaraningrat (2002) telon (pisang dan bunga 3 jenis); Takir/ sesajen atau sesaji adalah menyejikan Pecok Bakal (sesajen); Beras ketan beras makanan, benda-benda kepada makhluk pari lan kambil gundil (beras padi, beras halus, dewa-dewa, ruh nenek moyang. ketan dan kelapa); Jenang Werno Limo Sesajen biasanya mengambil tempat yang (jenang lima warna); Pulo Gimbal Pulo dianggap keramat. Demikian halnya bagi Gising; Nyambung tuwuh nyiram tuwuh, 10) masyarakat Dongko, Kabupaten Trenggalek sekul suci ulam sari; kloso; dan dadung. yang selalu menyelenggarakan upacara Tujuan dari disajikannya ambengan ini selain dalam setiap aktivitas yang dianggap penting, untuk mengingat upacara Bartian juga seperti upacara bartian. Upacara Bartian

9

digunakan sebagai bentuk rasa syukur adanya kesamaan rupa dengan partai politik kapada Sang Pencipta untuk segala rejeki maka bentuk sebelumnya diubah menjadi dan usaha yang sudah tercapai. wujud buto. Foto ini menjadi foto utama dalam penciptaan karya Turonggo Yakso 3.4. Karya Tema Properti Tari dalam Etnofotografi karena jaranan inilah Jaranan buto merupakan perwujudan yang menjadi identitas kesenian tari ini. dari empat hawa Nafsu yakni nafsu amarah, Jedheran biasanya digunakan ksatria jaranan nafsu syaitonah, nafsu launah dan nafsu sebagai properti tari yang dipegang di tangan serakah, yang berhasil dikendalikan oleh kanan. ksatria.

Gambar 5. Karya judul Jaranan III Tema: Properti penari Jaranan Gambar 4. Skema memotret objek properti (Foto: Mandira Citra, 2017) (Desain: Mandira Citra, 2017) 3.5. Karya Tema Gerakan Tari Selain itu buto dianggap memiliki Kesenian tari Turonggo Yakso lahir di kekuatan yang dasyat untuk dimanfaatkan Kecamatan Dongkp Kabupaten Trenggalek oleh ksatria (penari jaranan) sebagai sarana yang berlatar belakang kehidupan membantu petani, karena figur ksatria dalam masyarakatnya mayoritas adalah petani, pementasan tari Turonggo Yakso merupakan maka dari sekian banyak gerakan dasar pada mitra petani dalam mengusir hama pertanian. tari Turonggo Yakso mengambil dari kegiatan Nama Turonggo Yakso diambil dari wujud para petani ketika sedang menggarap sawah, jaranan ini yakni Turonggo merupakan seperti a) Budhalan merupakan gerakan sebutan untuk tarian kuda dan Yakso yang yang diambil dari gerakan petani yang berarti buto (raksasa). Jaranan ini merupakan sedang berangkat ke sawah; b) Gerakan bentuk kedua dari ubahan bentuk lembu, sembahan merupakan bentuk simbolis untuk pada versi sebelumnya (kesenian tari Lembu menggambarkan nyenyuwun atau meminta Suro (Kebo Ndanu) wujud jaranan ini keselamatan selama bekerja kepada Tuhan berbentuk lembu dan kerbau namun setelah Yang Maha Esa; c) Gerakan petani yang adanya usulan dari berbagai pihak karena sedang berjalan mengelilingi sawah; d) Sirik

10

Vol.9 No.2 Juli 2018 ISSN 2338-428X (Online) DOI: 10.33153/capture.v9i2.2063 ISSN 2086-308X (Cetak)

Gejuk merupakan gerakan yang menirukan Tari Turonggo Yakso lahir dari dunia kegiatan petani yang sedang menanam padi agraris masyarakat Kecamatan Dongko yang (tandur); e) Macul merupakan gerakan petani mayoritas pekerjaan penduduknya adalah yang sedang mencangkul sawah; f) Gerakan petani, maka dibuatlah ukel-ukel atau gerak tari yang menggambarkan petani sedan tari yang terinspirasi dari kegiatan petani membersihkan rumput (matun); g Gerakan yang sedang bekerja di sawah. tari yang menirukan seorang petani pada saat menanam padi; h) Makan minum merupakan gerakan yang menirukan seorang petani sedang makan dan minum (ngaso).

Gambar 7. Skema memotret tari Turonggo Yakso (Gambar: Mandira Citra, 2017)

Setelah pementasan tari yang Gambar 5. Skema memotret gerak tari mencerminkan petani menggarap sawah ini (Desain: Mandira Citra, 2017) usai, maka muncul adegan perangan kesatriyo melawan celeng-an, adegan peperangan dengan celeng ini menggambarkan bagaimana usaha petani dalam menghalau celeng agar tidak mengobrak-abrik tanaman yang ada di ladang. Peperangan sengit tersebut akhirnya dimenangkan oleh kesatriyo, tidak lama setelah perangan itu berakhir, keluarlah dua sosok barongan dengan menggaplokkan (membuka tutup rahangnya) dengan keras sembari berlari kearah sekawanan kesatriyo, dengan sigap keenam kesatriyo memukul Gambar 6. Karya judul Budhalan, tema: Gerak Tari moncong barongan hingga akhirnya (Foto: Mandira Citra, 2017) menyerah dan melarikan diri. Setelah dua 3.6. Karya Tema Pementasan kemenangan satriyo melawan celeng dan

11

barongan pementasan tari Turonggo Yakso sesepuh (tetua, bisa dukun atau pawang diakhiri dengan adegan Tiban. dalam keseian tari Turonggo Yakso) untuk meminta Pulung yakni pegengan (berbentuk benda) yang dapat digunakan sebagai media transfer mahkluk halus kepada para penari. Biasanya pada suatu pergelaran tari Turonggo Yakso seorang penari yang kesurupan biasa memakan kembang, telur ayam kampung, dan meminum minyak wangi atau biasa disebut minyak srimpi. Ada Gambar 8. Karya judul Perangan Barongan Tema: Pentas Turonggo Yakso beberapa pertunjukan yang lebih ekstrim (Foto: Mandira Citra, 2017) para pawang menyuguhkan ayam kampung

3.7. Karya Tema Kesurupan dan kambing untuk dihisap darahnya oleh Kesurupan merupakan atraksi para penari yang kesurupan. Turonggo Yakso yang biasanya ditunggu- tunggu karena menghadirkan suasana mistis. Beberapa penari sengaja untuk kesurupan karena hal ini sudah menjadi kebiasaan para penari Turonggo Yakso. Kesurupan atau kemasukan setan, trance, kerasukan merupakan fenomena dimana manusia dapat berhubungan degan mahkluk halus yang masuk dalam tubuhnya. Gambar 9. Karya judul Kesurupan III Tema: Kesurupan Kejadian ini sudah menjadi bagian dari (Foto: Mandira Citra, 2017) pementasan kesenian tari Turonggo Yakso, 4. SIMPULAN fenomena mahkluk halus yang merasuki Turongo Yakso dalam Etnografi tubuh manusia seperti sudah menjadi tradisi merupakan karya fotografi yang mencakup bagi penari jaranan, ada ungkapan dari kesenian tari Turonggo Yakso dengan banyak kalangan penari jaranan bahwa pendekatan Etnografi, Pendekatan terhadap “njaran kok ra kesurupan” (menari jaranan subjek dilakukan untuk kepentingan kok tidak kesurupan). Menurut Putut seorang mengumpulkan data keperluan penciptaan penari jaranan dan pengrajin barongan, karya. Penerapan teknik fotografi sebagai kesurupan merupakan hal yang dicari oleh media penciptaan karya dapat digunakan beberapa penjaran pemula. Para penjaran ini sebagai referensi visual. Proses penciptaan berusaha kesurupan dengan cara mencari karya Turongo Yakso dalam Etnografi dibagi 12

Vol.9 No.2 Juli 2018 ISSN 2338-428X (Online) DOI: 10.33153/capture.v9i2.2063 ISSN 2086-308X (Cetak)

dalam sembilan sub-tema 1) Ambengan atau Sembilan sub-tema tersebut dikelompokkan yang sering disebut sesajen adalah sajian keperluan dan adegan dalam kesenian yang harus ada pada saat upacara baritan Turonggo Yakso secara ringkas sebagai berlangsung, saat ini sajian pada ambengan referensi, rekam jejak dan bukti keseian tersebut dihadirkan kembali pada kesenian Turonggo Yakso pernah ada dan menjadi Turonggo Yakso untuk memperingati dan bagian dari masyarakat Dongko Kabupaten mengingatkan kepaada masyarakat bahwa Trenggalek. upacara Baritan masih berlangsung walaupun hanya diadakan secara sederhana, 5. DAFTAR ACUAN 2) Dandan, merupakan proses merias diri Andry Prasetyo. 2014. Fotografi Dokumenter: “Representasi Faktual sebagai dan mengenakan kostum tari pada seorang Cerminan Masa Depan, LAYAR-Jurnal penari sebelum melakukan pentas, riasan Ilmiah Seni Media Rekam, ISBI Bandung,Vol. 1. penari pada Turonggo Yakso untuk menampilkan tokoh kesatria berkuda yang Barret, Terry. 2010. “Principles for Interpreting Photographs”, dalam melawan barongan dan celeng. 3) Properti Swinnen, Johan and Luc Deneulin jaranan, meliputi Barongan dan celengan (Eds.). The Weight of Photography: Photography History Theory and yang merupakan musuh para kesatria Criticism. Brussels: ASP, hal: 147-172. berkuda. 4) Pakaian tari, menampilkan Desai, Dipti. “The Ethnographic Move in pakaian kesenian tari Turonggo Yakso yang Contemporary Art: What does It Mean telah dimodifikasi untuk keperluan for Art Education?”. Studies in Art Education; A Journal of Issues and pementasan. 5) Barongan dan Celeng, Research, 2002; Vol. 43, No. 4, hal.: menampilkan figur barongan dan celeng 307-323. kedua mahluk ini adalah perwujudan dari ular Graham, Clarke. 1997. The Photograph. New dan babi hutan yang merupakan musuh dari York, Oxford University Press. petani. 6) Gamelan, menampilkan instrumen Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu apa saja yang tampil pada kesenian tari Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Turonggo Yakso klasik 7) Gerak tari, Krüger, Simone. 2008. Ethnography in the menunjukkan gerak tari (utama) pada Performing Arts: A Student Guide. Liverpool: John Moores University. pementasan tari Turonggo Yakso 8) Pementasan, untuk menunjukkan bagaimana Mullen, Leslie. 1998. Truth in Photography: Perception, Myth and Reality in the wujud pementasan kesenian tari Turonggo Postmodern World. (Master Thesis: Yakso pada saat pementasan dan 9) University of Florida, tidak diterbitkan).

Kesurupan. yang merupakan sesi dari Mlauzi, Linje Manyozo. 2003. Reading rangkaian pertunjukan Turonggo Yakso yang Modern Ethnographic Photography: A Semiotic Analysis of Kalahari Bushmen selalu dinantikan oleh masyarakat Dongko. Photographs by Paul Weinber and

13

Sian Dunn. (Master Thesis University of Natal, Durban, tidak diterbitkan).

Murchison, Julian. 2010. Ethnography Essentials. San Francisco: Jossey- Bass.

Nanik Herawati. 2012. “Kearifan Lokal Bagian Budaya Jawa”. Magistra.No. 79 Maret 2012.

Riviera, Diana. 2010/ “Picture This: A Review of Doing Visual Ethnography: Images, Media, and Representation in Research by Sarah Pink”. The Qualitative Report, Vol: 15, No. 4, 988- 991.

Rafee, Yakup Mohd (et al.). 2015. “Visual Ethnography and It’s Application in Ethnographic Painting”. Procedia – Social and Behavioral Sciences, Vol. 211, Hal.: 399-406.

Susanto, Mikke. 2004. Menimbang Ruang Menanata Rupa – Wajah & Tata Pameran Seni Rupa, Yogyakarta: Galang Press.

Suhrur, Misbahus. 2012. Turonggo Yakso Berjuang untuk Sebuah Eksistensi.

Whitehead, Tony L. 2005. “Basic Classical Ethnographic Research Met hods: Secondary Data Analysis, Fieldwork, Observation/Participant Observation, and Informal and Semi‑structured Interviewing”. Ethnographically Informed Community And Cultural Assessment Research Systems (EICCARS) Working Paper Series Working Paper Series.

14