Turonggo Yakso in Ethno-Photography
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Vol.9 No.2 Juli 2018 ISSN 2338-428X (Online) DOI: 10.33153/capture.v9i2.2063 ISSN 2086-308X (Cetak) TURONGGO YAKSO IN ETHNO-PHOTOGRAPHY Mandira Citra Perkasa1, Andry Prasetyo2 1 Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta 2 Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta E-mail: [email protected] ABSTRACT The idea of a photographic creation entitled Turonggo Yakso in Ethnophotography is a follow-up in addressing the disappearance of the handwritten textbook of the founder of the art of Turonggo Yakso, which contains important notes on the art of Dongkol Village society. The book contains about the history of the art of Turonggo Yakso, the design of motion, and all the rules regarding the Baritan ceremony. The purpose of the creation of this work in an attempt to re-collect records in the form of text data from the interview results of the artists Turonggo Yakso, and visual data from the show performances which are packaged in ethnophotographic photos. The process of creating this work using the ethnophotographic method supported by Dipti Desai ie Pseudo- Ethnography or "Pseudo" ethnography, where the creator not follow the ethnographic methods strictly, but rely more on field data from interviews by informants and environmental observations. The creation of this work presents ethnophotographic works about the folk art of Turonggo Yakso in Dongko community, Trenggalek regency, East Java province from preparation, during the performance, to the end of the show. Keywords: Ethnophotographic, Turonggo Yakso, performance, and Jaranan. ABSTRAK Ide karya penciptaan fotografi yang berjudul Turonggo Yakso dalam Etnofotografi merupakan tindak lanjut dalam menyikapi kasus hilangnya buku tulisan tangan sesepuh pendiri kesenian Turonggo Yakso, yang berisi catatan penting tentang kesenian masyarakat Desa Dongkol. Buku tersebut berisi tentang sejarah kesenian Turonggo Yakso, rancangan gerak, dan segala aturan seputar upacara Baritan. Tujuan penciptaaan karya ini sebagai usaha untuk mengumpulkan kembali catatan-catatan yang berupa data teks hasil wawancara dari para pelaku kesenian Turonggo Yakso, dan data visual dari peristiwa pertunjukannya yang dikemas dalam foto etnofotografi. Proses penciptaan karya ini menggunakan metode etnofotografi yang dicetuskan oleh Dipti Desai yakni Pseudo-Ethnography atau etnografi “semu”, di mana pengkarya tidak mengikuti metode etnografi secara ketat, namun lebih mengandalkan data lapangan dari hasil wawancara oleh narasumber dan pengamatan lingkungan. Hasil penciptaan karya ini menyajikan karya-karya etnofotografi tentang kesenian rakyat Turonggo Yakso di masyarakat Kecamantan Dongko, Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur mulai dari persiapan, saat pertunjukan, hingga akhir pertunjukan. Kata Kunci: Etnofotografi, Turonggo Yakso, Kesenian, dan Jaranan. 1. PENDAHULUAN seperti Jaranan Butho, Kuda Lumping, Jaran Kesenian rakyat Jaranan Turonggo Kepang, Jaran Dor, Jaranan Sentherewe, Yakso merupakan kebudayaan asli Jathilan, Jaran Bodog, dan Jaranan Pegon. Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, Ciri yang mencolok untuk membedakan tari Jawa Timur. Kesenian jaranan ini mirip Turonggo Yakso dengan tarian jaranan dengan kesenian jaranan lainnya, misalkan sejenis dapat dilihat dari bentuk kuda bagian 1 badan atas hingga kepala berwujud Buto kutipan tersebut muncul pertanyaan atau raksasa, dan badan bawah hingga ekor bagaimana cara merekam kebudayaan yang bewujud kuda. Daya tarik yang lain dari dapat mengantarkan peristiwa saat ini ke kesenian Jaranan Turonggo Yakso ini masa depan. Dalam hal ini karya foto terletak pada busana penarinya, rias wajah menjadi sebuah dokumen. Disiplin fotografi dan kedudukannya yaitu sebagai tarian mengenal genre fotografi dokumenter yakni sakral masyarakat Dongkol. Hingga saat ini foto yang dapat dijadikan bukti keterangan kesenian rakyat tersebut masih dapat suatu peristiwa yang dapat dipelajari di masa disaksikan dalam pergelaran rakyat di tempat depan. Fungsi foto dokumenter menurut kesenian ini berasal Kecamatan Dongko, Andry Prasetyo (2014:11): Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Melaui “Fotografi dokumenter berfungsi sebagi catatan atau merekam peristiwa yang fenomena di lapangan tersebut, muncul terjadi di sekitar kita setiap waktu, baik beberapa pertanyaan yang selanjutnya kejadian kecil yang sering kita temui saat melakukan aktivitas keseharian menjadi rumusan penelitian ini, yaitu: maupun peristiwa besar yang terjadi Bagaimana usaha masyarakat Dongkol secara tiba-tiba, fokus dari fotografi dokumenter adalah manusia dalam dalam menjaga keberadaan kesenian hubungannya dengan umat manusia Jaranan Toronggo Yakso hingga saat ini. itu sendiri dan manusia dengan alam sekitarnya”. Sebagai fenomena budaya, kesenian Jaranan Turonggo Yakso tidak hanya Merujuk pada jurnal yang ditulis oleh menarik untuk diteliti, tetapi bagi pengkarya Prasetyo maka fungsi foto dokumenter kesenian jaranan ini menarik untuk dijadikan dianggap mampu merekam segala aspek ide dasar bagi penciptaan karya kehidupan manusia. Etnografi merupakan etnofotografi. ilmu pengetahuan, bentuk penyelidikan di Fotografi secara sederhana adalah mana seorang peneliti berbaur dalam melukis menggunakan cahaya. Selain itu aktivitas individu atau komunitas. Tujuan fotografi merupakan upaya mengontrol etnografi menurut Malinowski adalah cahaya dan waktu. Tindakan mengambil “menangkap sudut pandang orang setempat gambar pada momen yang tepat adalah untuk mencapai visi dunianya”. Untuk itu sama halnya dengan menyegel peristiwa dan diperlukan kerja lapangan yang waktu untuk dibawakan ke masa depan Clark memungkinkan untuk menggali dan mengkaji Graham (1997:11). Mengutip tulisan dari kebudayaan manusia. Clark, peran fotografi sebagai dokumen Etnofotografi adalah gabungan dari dapat dimanfaatkan untuk menghadirkan kata “etno” atau etnik dan fotografi. Etno atau kembali kebudayaan saat ini untuk dipelajari etnik dalam hal ini adalah kesenian Turonggo lebih lanjut di masa depan. Berdasar dari Yakso sebagai budaya masyarakat Dongko, 2 Vol.9 No.2 Juli 2018 ISSN 2338-428X (Online) DOI: 10.33153/capture.v9i2.2063 ISSN 2086-308X (Cetak) Kabupaten Trenggalek. Fotografi adalah beberapa bagian pada pangkon gamelan. tindakan mengambil gambar pada momen Komponen besi pada beberapa perangkat yang tepat pada saat kesenian ini sedang gamelan seperti: Kenong dan Gong. Bahan tumbuh subur di Kecamatan Trenggalek, kain dan manik-manik pada pakaian penari sehingga etnofotografi dalam konteks Turonggo Yakso. Bahan kulit sapi mentah penciptaan ini mengarah pada usaha untuk pada celeng, jaranan dan jamang pada mengumpulkan kembali catatan-catatan yang barongan. Pada sub-tema Ambengan yang berupa data teks dan catatan visual dari merupakan hidangan pada upacara Baritan peristiwa budaya pertunjukan kesenian harus difoto secara jelas wujud dan bentuk Turonggo Yakso. sajiannya. Dari beberapa komponen tersebut perlu adanya observasi sebelum sesi 2. METODE Penciptaan karya ini menggunakan pemotretan berlangsung, pertimbangan- metode pseudo-ethnography. Pseudo- pertimbangan yang harus diperhitungkan ethnography (etnografi semu) menurut Dipti agar foto yang dihasilkan dapat menunjukkan Desai (2002:309) adalah pandangan seorang dengan jelas bentuk warna dan wujud seniman sebagai etnografer. Oleh karena keseluruhannya secara detail dan akurat. seniman tidak mengikuti metodologi etnografi Untuk teknik pemotretan dapat dijabarkan yang ketat. Interaksi antara seniman dengan sebagai berikut: komunitas tidak intensif dan hanya 1) Objek bahan kayu pada objek barongan, melakukan wawancara dengan beberapa selompret, kendang, angklung dan orang. beberapa bagian pada pangkon gamelan, Pengumpulan data dilakukan melalui menggunakan setting-an kamera sebagai observasi untuk mendeskripsikan aktivitas- berikut. Bukaan diafragma: f/8, shutter aktivitas kesenian yang berlangsung, orang- speed: 1/200, ISO:200, kemudian orang yang terlibat dalam aktivitas, dan dikombinasikan dengan lampu studio mengetahui makna kejadian serta dengan tingkat pencahayaan 5 hingga 6 mengetahui keterlibatan masyarakat Dongko. level. Kombinasi ini untuk mendapatkan Sedangkan observasi dalam kaitannya detail pada objek kayu terutama pada dengan proses penciptaan dilakukan pada ukiran-ukiran, tekstur dan menghindari teknik fotografi untuk menentukan metode pantulan sinar lampu studio yang pemotretan yang efektif pada saat digunakan berlebihan pada permukaan kayu yang dalam memotret objek, mengingat setiap dipernis. objek memiliki karakteristik berbeda-beda 2) Objek bahan besi pada objek gamelan seperti kayu sebagai dasar 1). barongan, 2). Kenong dan Gong. Setting-an pada selompret, 3). kendang, 4). angklung dan kamera dapat diatur sebagai berikut, 3 bukaan diafragma f/6,3, shutter speed 5) Objek hidangan makanan pada sub-tema 1/200, ISO 200, kemudian dipadukan Ambengan dipotret menggunakan setting- dengan lampu studio dengan kekuatan 8 an sebagai berikut: bukaan diafragma hingga 9 level dan bisa lebih tinggi lagi f/5,6, shutter speed 1/200, ISO 200, yang dikarenakan objek gamelan lebih besar dipadukan dengan lampu blitz dengan dari pada objek lainnya. Tujuan dari kekuatan pencahayaan 1/4 hingga 1/8 komposisi tersebut untuk menampilkan untuk menampilkan hidangan secara goresan dan bercak pada logam besi detail dan jelas. yang digunakan sebagai bahan utama Wawancara dilakukan untuk pembentuk kenong dan gong. mengumpulkan informasi-informasi penting 3) Objek kain dan manik-manik pada seputar kesenian Turonggo Yakso. Informasi pakaian dipotret menggunakan setting-an penting dapat digunakan sebagai acuan sebagai