Nilai-Nilai Pendidikan Tata Busana dan Rias Pandhelori dalam Perspektif Hermeneutik 307 Nilai-Nilai Pendidikan Tata Busana dan Rias Srimpi Pandhelori dalam Perspektif Hermeneutik

Wenti Nuryani, Suminto A Sayuti, Dwi Siswoyo Program Studi Ilmu Pendidikan Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta Jl. Colombo No 1, Depok, Caturtunggal, Kec. Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 55281 Tlp. 087734147935, E-mail: [email protected]

ABSTRACT

This research was a descriptive qualitative research using a hermeneutic approach and was aimed at revealing the meaning of traditional symbols contained in Yogyakarta-style Srimpi Pandhelori dance costumes and makeup. The symbols in Srimpi Pandhelori costumes and makeup are the media that transform noble characters. It is closely related to the character building based on local genious. Therefore, this research is aimed at describing the symbols found in Srimpi Pandhelori dance as an absorption element of the noble character values. Every instrument in costumes and makeup represents local wisdom which is designed to be a medium of noble character education. The main data collection technique of the research was direct observation of Srimpi dance performances strengthened by records. The data were validated by using credibility techniques by doing 1). observation perseverance, 2). triangulation of methods and sources, 3). peer discussion, and 4). adequacy of references. The data analysis used in this research was a dialectical hermeneutics approach i.e. the approach where interpretation procedures to obtain meaning uses elements of analysis from Madisson called a normative method consisting of coherence, comprehensiveness, contextuality, penetration, and appropriateness. The results show that each instrument in costumes and make up of Srimpi Pandhelori dance pattern contains symbols. These symbols contain educational values, namely: the value of self-control education, the value of education about accuracy, the value of Godhead education.

Keywords: values, Srimpi Pandhelori, hermeneutic

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan hermeneutik, bertujuan untuk mencari makna dari simbol-simbol tradisi dalam rias dan busana tari srimpi Pandhelori gaya Yogyakarta. Simbol-simbol dalam rias dan busana tari srimpi Pandhelori merupakan media mentransformasikan budi pekerti luhur. Hal tersebut berkaitan erat dengan pembagunan karakter yang didasarkan pada local genious. Oleh sebab itu dalam penelitian ini mencoba menguraikan simbol-simbol dalam tari Srimpi Pandhelori sebagai unsur serapan nilai- nilai budi pekerti luhur. Setiap insrumen dalam rias busana merupakan representasi kearifan lokal yang dimaksudkna menjadi media pendidikan budi pekerti luhur. Teknik pengumpulan data yang utama adalah pengamatan secara langsung pertunjukan tari Srimpi yang diperkuat dengan rekaman. Untuk keabsahan datanya menggunakan teknik kredibilitas yang dilakukan dengan cara: 1). ketekunan pengamatan, 2). trianggulasi metode dan sumber, 3). diskusi sejawat, 4). kecukupan referensi. Sementara analisis datanya menggunakan pendekatan hermeneutika dialektis, dimana prosedur penafsiran dalam rangka memperoleh makna menggunakan unsur- unsur analisis dari Madisson yang disebutnya sebagai metode normatif, terdiri dari coherence, comprehensiveness, contextuality, penetration, appropriateness. Hasil penelitian menunjukan setiap instrumen dalam rias dan busana dalam tari Srimpi Pandhelori merupakan simbol. Dalam simbol tersebut mengandung nilai-nilai pendidikan yaitu: nilai pendidikan pengendalian diri, nilai pendidikan tentang kecermatan, nilai pendidikan Ketuhanan.

Kata Kunci: Nilai-Nilai Pendidikan, Srimpi Pandhelori, hermeneutik

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Wenti Nuryani, Suminto A Sayuti, Dwi Siswoyo 308 PENDAHULUAN Suryobrongto (1982, hlm. 17) bahwa “ ...beksa Seni tari berdasarkan bentuk garapnya Srimpi cacah sekawan (4). Bab punika mendhet dapat dibedakan menjadi dua, tari tradisional wewaton Dhawuh Dalem Hingkang Sinuwun dan kreasi baru. Jenis tari tradisional masih Kanjeng Sultan Hagung Prabu Hanyokrokusumo, dikelompokkan lagi menjadi tiga, yaitu tari hingkang kawrat ing Babad Nitik, kaca 40. primitif, tari klasik, dan tari kerakyatan Pengagemipun dalah pahesipun sedaya wau dipun (Soedarsono, 1996, hlm. 20). Tari primitif sami satunggal lan satunggalipun, tanpa wonten bersifat sangat sederhana, gerakannya bedanipun” (tari Srimpi jumlahnya empat. menyerupai gerakan sehari-hari, yang Dalam hal ini selaras dengan sabda dan terpenting di sini adalah keyakinan yang arahan dari Sultan Agung Hanyokrokusumo, terletak di belakang tarian tersebut. Tari yang ditulis dalam Babad Nitik halaman 40. klasik, digunakan untuk menyebut kesenian Dalam hal busana dan riasnya semua dibuat yang berasal dari istana, karena mendapat sama, antara satu dengan lainnya tidak ada pemeliharaan yang baik, dalam koreografinya, bedanya). sehingga terciptalah standardisasi. Dalam hal Tari Srimpi merupakan tarian ini Lindsay mengungkapkan: peninggalan dari kerajaan Mataram. Sejak tari klasik memiliki batasan-batasan zaman kuno, tari maupun Srimpi formal, bentuk yang dapat dikenali, dan sudah memiliki kedudukan yang istimewa telah diatur menurut prinsip-prinsip di keraton Jawa dan tidak dapat disamakan formal. Dengan kata lain, kesenian istana dengan tarian yang lain karena sifatnya yang terikat oleh aturan yang ketat, sedangkan sakral, dan dianggap sebagai pusaka kerajaan. tari kerakyatan, merupakan perkembangan Berkaitan dengan hal ini Wardhana, (1981, dari zaman primitif, bentuk tarinya sangat hlm. 42) mengungkapkan “kategori sakral kita sederhana dan kurang mengindahkan kenakan pertama-tama karena jenis tarian ini kaidah keindahan dan bentuk yang tidak sembarang waktu dipentaskan. Hanya standar. Sementara itu tari kreasi baru pada keperluan tertentu di Keraton, yang adalah tari-tarian yang masih memiliki merupakan pusat ritual Kejawen”. kaidah-kaidah bentuk yang mengacu Srimpi merupakan suatu karya budaya pada seni tradisional, tetapi sudah tidak yang mencerminkan ajaran luhur bagi memiliki nilai simbolis serta nilai sakral. nilai-nilai hidup manusiawi. Sudah tentu (Lindsay, 1991, hlm. 51) keberadaan tari Srimpi di beberapa istana Tari tradisi klasik memiliki berbagai selalu berkaitan erat dengan konsepsi hidup, varian, baik yang berbentuk tari tunggal, konsepsi lingkungan, konsepsi budaya, berpasangan maupun kelompok, Srimpi adalah konsepsi pendidikan, konsepsi harapan, ujub- salah satunya. Tarian ini lazim dibawakan ujub tertentu, bahkan kekuasaan itu sendiri. oleh empat orang penari, dengan busana dan Di istana Yogyakarta diketahui bahwa Srimpi rias yang sama. Seperti yang dijelaskan oleh merupakan jenis penyajian tari putri yang

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Nilai-Nilai Pendidikan Tata Busana dan Rias Srimpi Pandhelori dalam Perspektif Hermeneutik 309 bermakna bagi legitimasi kekuasaan raja. jaman pemerintahan HB I hingga HB VI penari Dalam hal ini kedudukan Srimpi tidak jauh Bedhaya maupun Srimpi mengenakan busana beda dengan kedudukan Bedhaya maupun dodot/, dengan rias paes ageng ataupun wong (Pramutama, 1999, hlm. 1). tanpa paes, dengan gelung bokor. Masuknya Sejalan dengan hal ini Putraningsih (2016, pengaruh Belanda mulai masa pemerintahan hlm. 176) mengungkapkan bahwa tari-tarian HB VII, pada masa itu busana tari Srimpi keraton mengandung nilai-nilai filosofis yang dan Bedhaya berubah menggunakan rompi tinggi. Nilai-nilai tersebut adalah, nilai etik, dan bulu-bulu serta masuknya instrumen nilai estetika, sosial dan religius. Nilai- nilai ini trompet dalam unsur iringan, menandai bersumber pada budaya Jawa dengan segala pengaruh Belanda. Dalam segi durasi kaidahnya yang diakui oleh masyarakat. pertunjukan, sudah dipadatkan, dari yang Gasiyah (2015, hlm. 396) mengatakan semula tujuh puluh lima menit menjadi dua bahwa Bedhaya dan Srimpi memiliki tingkat puluh lima menit. Menurut Titik Agustin kesakralan yang sama dengan pusaka atau dalam hal properti yang digunakan juga benda-benda yang melambangkan kekuasaan sudah mengalami perubahan. Pada awalnya raja yang berasal dari zaman Jawa Hindu. saat bagian perangan, penari menggunakan Kemunculan tari Srimpi berawal dari masa jebeng (semacam perisai) dan keris. Kemudian kejayaan Kerajaan Mataram saat Sultan Agung berubah hanya menggunakan keris saja, memerintah pada tahun 1613-1646. Tarian ini hingga saat ini (wawancara, 10 Januari 2019). dianggap sakral karena hanya dipentaskan Masuknya pengaruh barat ini tidak dalam lingkungan keraton untuk ritual hanya dalam hal keseniannya saja, tetapi juga kenegaraan sampai peringatan kenaikan tahta dalam kehidupan sehari-hari para , sultan. Pada tahun 1775 Kerajaan Mataram seperti diungkapkan oleh Purwadmadi (2014, pecah menjadi Kasultanan Yogyakarta dan hlm. 30) bahwa “...masa pemerintahan Sri Kasunanan Surakarta. Perpecahan ini berimbas Sultan HB VII adalah masa makin merasuknya pada tari Srimpi sehingga terjadi perbedaan pengaruh busana ala Barat dalam kehidupan gerakan, walaupun inti dari tariannya masih sehari-hari kalangan bangsawan dan awam”. sama (Gasiyah, 2015, hlm. 397). Mari Condronagoro (dalam Purwadmadi Srimpi Pandhelori diciptakan pada masa & Linaras, 2014, hlm. 35) mengatakan “Pengaruh pemerintahahan Hamengkubuwana (HB) VII itu tidak berhenti pada pengedepanan status pada tahun 1877-1921, dan hingga hari ini sosial saja, tetapi lebih dari itu. Peningkatan masih sering dipentaskan. Tentu saja dalam kualitas busana tidak saja dilandasi ambisi beberapa hal telah mengalami perubahan, pribadi guna menunjukan keunggulan, yang sesuai perkembangan jaman. Perubahan namun mengandung makna yang lebih dan perkembangan tersebut termasuk dalam bagi kepentingan politik”. Pada akhirnya, hal elemen-elemen pendukung tari Srimpi, puncak perkembangan tersebut juga dalam misalnya saja dalam hal tata busana. Pada hal keterbukaan pihak istana yang kemudian

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Wenti Nuryani, Suminto A Sayuti, Dwi Siswoyo 310 mengijinkan tari-tari klasik istana dipelajari busana, bentuk dan macam accesories, jenis oleh masyarakat awam dan dikembangkan riasannya dan sebagainya. di luar tembok keraton termasuk Srimpi dan Nilai adalah konsep-konsep atau Bedhaya. Hal ini sebenarnya mengindikasikan gagasan dari individu, sekelompok individu, bahwa keraton mulai terbuka, tidak lagi borjuis atau masyarakat, yang dijadikan pedoman tapi populis. Tampak adanya kesadaran bahwa untuk menentukan sikap tentang baik-buruk, keberadaan keraton didukung sepenuhnya benar-salah, pantas-tidak pantas, dan menjadi oleh masyarakat awam. dasar untuk memberikan penghargaan Untuk cerita Srimpi Pandhelori diambil dan atau mengevaluasi orang lain. Dalam dari serat Menak Kustub, karya Rg. Yasadipura sejumlah hal, nilai tertentu akan bersifat I. Cerita tersebut menceritakan peperangan subjektif, artinya tergantung pada individu antara Dewi Kadarwati melawan Dewi yang memberikan penilaian, maupun situasi Ngumyunadikin. Judul tarian diambil dari tempat individu itu berada. Setiap individu, nama gendhingya yaitu gendhing Pandhelori, ada sekelompok individu, atau masyarakat juga yang menyebut gendhing Bandhilori (hal ini memiliki pandangan-pandangannya sendiri biasa terjadi untuk penyebutan beberapa kata mengenai nilai. Konsep-konsep ataupun dalam istilah Jawa, antara konsonan P dan B kesepakatan yang lahir dari suatu masyarakat bisa saja bertukar tempat karena keduannya dipengaruhi oleh norma-norma, aturan, sama-sama konsonan yang dihasilkan oleh kebiasaan, dan adat istiadat yang berlaku di bibir /bilabial). dalam masyarakat yang bersangkutan. Oleh Srimpi Pandhelori merupakan sebuah karena itu pengertian tentang nilai menjadi struktur estetis yang dibangun dari berbagai sangat beragam. Light dkk (1989, hlm. 81) elemen. Pemahaman terhadap elemen-elemen menyatakan bahwa, tak ada nilai-nilai yang dalam membangun struktur itu bisa melalui bisa diterapkan pada segala situasi. Selalu ada hermeneutic circle (lingkaran hermeneutik), pengecualian. Meskipun demikian nilai-nilai yang mengandung makna bahwa teks yang dipegang orang cenderung mewarnai harus ditafsirkan secara sirkular: bagian- cara hidup mereka secara keseluruhan. bagian harus dilihat dalam keseluruhan dan Pendidikan pada dasarnya adalah sebuah sebaliknya keseluruhan harus dipandang upaya atau proses untuk mendewasakan dan juga menurut bagian-bagiannya. Artikel ini mengembangkan kemampuan individu secara difokuskan untuk membahas tata rias dan menyeluruh baik jasmani maupun rohani. busana Srimpi Pandhelori agar pembahasan Seperti yang tertulis dalam The International lebih mendalam. Di samping hal tersebut Dictionary of Education (Puspositardjo, 2005, busana dan rias merupakan elemen struktur hlm. 155) yang memberikan batasan bahwa Pandhelori yang tidak boleh diabaikan karena “Education is the total processes developing human di dalamnya sejumlah nilai, sejumlah pesan ability and behavior” (pendidikan merupakan artistik itu dikapsulkan lewat warna, model proses secara total dari pengembangan

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Nilai-Nilai Pendidikan Tata Busana dan Rias Srimpi Pandhelori dalam Perspektif Hermeneutik 311 kemampuan dan tingkah laku manusia). Penelitian ini bertujuan mengungkapkan Sementara itu Vygotsky (dalam Moll, 1993, dan menafsirkan nilai-nilai pendidikan dalam hlm. 1) memandang bahwa, pendidikan tidak tata busanadan rias Srimpi Pandhelori gaya sekedar upaya pengembangan kemampuan Yogyakarta melalui perspektif hermeneutik kognitif saja, tetapi juga merupakan inti serta menganalisis seberapa besar potensi dari aktivitas sosiokultural. Pendidikan nilai-nilai pendidikan yang terdapat secara yang berakar pada kultur bangsa ini juga simbolis di tata busana dan rias dapat diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara (2004, digunakan sebagai media pendidikan. Hasil hlm. 14-15) bahwa “Pendidikan umumnya penelitian diharapkan dapat bermanfaat berarti daya upaya untuk memajukan untuk menambah wawasan dan informasi bertumbuhnya budipekerti (kekuatan batin, bagi pemerhati bidang pendidikan bahwa seni karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak. tari dapat digali nilai-nilai kependidikannya, …dalam pengertian Taman Siswa tidak boleh sehingga bisa dimanfaatkan sebagai sumber dipisah-pisahkan agar kita dapat memajukan pendidikan nilai untuk memperkokoh kesempurnaan hidup…”. pendidikan karakter bagi generasi muda. Lebih lanjut Dewantara mengatakan bahwa, pendidikan Nasional menurut paham Taman Siswa adalah pendidikan yang METODE beralaskan garis-garis hidup dari bangsanya Penelitian ini adalah penelitian deskriptif (cultural-national), dan diperuntukan untuk kualitatif dengan menggunakan pendekatan keperluan perikehidupan yang dapat hermeneutik, yang bertujuan untuk mengangkat derajat Negara dan rakyatnya, mengungkapkan nilai-nilai pendidikan dari agar dapat bekerja bersama-sama dengan simbol-simbol tradisi, yaitu nilai pendidikan bangsa lain. dalam tata busana dan rias tari Srimpi Pandhelori Berdasarkan pengertian nilai dan gaya Yogyakarta. Pendekatan hermeneutik pendidikan tersebut di atas, dapat dirumuskan yang digunakan adalah hermeneutik bahwa nilai pendidikan merupakan dari Gadamer. Menurut Gadamer tujuan konsep-konsep atau gagasan dari individu, hermeneutik bukanlah menerapkan berbagai sekelompok individu, atau masyarakat, yang macam aturan baku dan kaku untuk meraih dijadikan pedoman untuk mengembangkan pemahaman yang benar objektif, tetapi untuk kemampuan individu secara menyeluruh mendapatkan pemahaman seluas mungkin. baik jasmani maupun rohani. Konsep-konsep Kunci untuk memahami bukan memanipulasi maupun gagasan tersebut bisa berupa karya atau menguasai, tetapi dengan partisipasi dan tari klasik seperti Srimpi Pandhelori, yang di keterbukaan; bukan dengan pengetahuan, dalam instrumen tata busana dan riasnya tetapi dengan pengalaman; dan bukan berupa simbol-simbol tradisi yang didalamnya dengan metodologi, tetapi dengan dialektika mengandung nilai-nilai pendidikan. (Palmer, 2016, hlm. 255). Dengan demikian

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Wenti Nuryani, Suminto A Sayuti, Dwi Siswoyo 312 dalam penelitian ini peneliti sebagai intepreter metode normatif. Metode Madisson ini melakukan dialog dengan teks, yang dalam peneliti gunakan untuk mengarahkan hal ini adalah busana dan rias Srimpi Pandhelori tindakan peneliti sebagai intepreter, dalam untuk mengungkapkan nilai-nilai pendidikan mengintepretasikan nilai-nilai pendidikan yang terdapat di dalamnya. yang secara simbolis terdapat dalam tata Objek material utama penelitian ini busana dan rias Srimpi Pandhelori. Terdapat adalah gelar/pertunjukan tari Srimpi, oleh sepuluh metode intepretasi dari Madisson, karena itu, teknik pengumpulan data yang namun dalam penelitian ini hanya digunakan utama adalah pengamatan secara langsung empat metode saja yaitu: pertunjukan tari Srimpi, yang diperkuat dengan 1. Koherensi, tafsir terhadap karya seorang rekaman. Untuk memperoleh data mengenai pengarang harus menjadi koheren dalam Srimpi Pandhelori, peneliti mengamati secara karya itu sendiri, yaitu menyajikan langsung gelar pertunjukan tari Srimpi gambaran yang tersatukan dan tidak Pandhelori di Bangsal Sri Manganti Kraton terjadi kontradiksi dalam karya tersebut. Yogyakarta, sekaligus merekam pertunjukan Dalam ungkapan Gadamer (1975, hlm. tersebut. Dalam kegiatan pengamatan secara 259), harmoni antara semua rincian langsung ini sekaligus peneliti memilah- dengan keseluruhan merupakan kriteria milah satuan datanya, sehingga diperoleh pemahaman yang benar. Kegagalan data mengenai elemen-elemen yang mencapai harmoni berarti pemahaman mendukung pertunjukan Srimpi Pandhelori, telah gagal. Berangkat dari pemaknaan salah satunya adalah tata busana dan riasnya. tata rias dan busana srimpi Pandhelori Untuk memperoleh keabsahan data, peneliti inilah koherensi dengan elemen lain melakukan pengamatan yang berulang-ulang dibangun pada kajian selanjutnya. melalui rekaman pertunjukan Srimpi Pandhelori 2. Kekomprehensifan, prinsip (hal ini sekaligus untuk mendapatkan data kekomprehensifan memperhatikan yang lebih detail mengenai tata busana dan hubungan tafsir dengan karya yang rias Srimpi Pandhelori), trianggulasi metode ditafsirkan. Artinya dalam menafsirkan dan sumber dengan mewawancarai tiga orang pikiran-pikiran pengarang (kreator) informan, melakukan diskusi dengan teman penafsir harus memperhitungkan pikiran- sejawat, dan juga membaca beberapa referensi pikiran itu sebagai sebuah keseluruhan yang mendukung. dan tidak menolak karya-karya yang Analisis data dilakukan dengan relevan dengan itu. menggunakan pendekatan hermeneutika 3. Kontekstualitas, karya seorang pengarang dialektis, di mana prosedur penafsiran dalam tidak boleh dibaca lepas konteks, yakni rangka memperoleh makna menggunakan kaitan karya itu dengan konteks kultural unsur-unsur analisis dari Madisson (1990, dan historisnya. Oleh karena itu, dalam hlm. 29-30) yang disebutnya sebagai mengungkapkan nilai-nilai pendidikan

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Nilai-Nilai Pendidikan Tata Busana dan Rias Srimpi Pandhelori dalam Perspektif Hermeneutik 313 tata busana dan rias Srimpi Pandhelori, menggambarkan keagungan, keanggunan peneliti sebagai intepreter juga melihat putri dari dalam istana. Untuk itu, kaitan karya tari ini dengan situasi kultural pada bagian kepala penari dipasangkan dan historisnya pada masa pemerintahan accessories sebagai berikut: Sinyong HB VII. merupakan visualisasi dari sanggul, 4. Penetrasi, intepreter memasukan dirinya terbuat dari kain yang di dalamnya diisi pada wilayah kreator, untuk memahami kapas sehingga ringan dan mudah ditusuk, intensi (maksud, kehendak) sang berwarna hitam. Pelik, terbuat dari kertas kreator. Intepretasi yang baik seharusnya berwarna putih yang dipotong menyerupai menembus ke dalam. Intepreter masuk bentuk bunga Melati, ditempelkan pada menerobos kulit gejala sehingga sampai sanggul bagian belakang. pada hakekat kenyataan. Dalam hal ini Jebehan ceplok pada awalnya merupakan peneliti berusaha memasuki wilayah tiruan bunga mawar yang dibuat dari kreator tari Srimpi Pandhelori, agar dapat kain sutera. Dipasang di kanan-kiri pada memahami maksud kreator lebih dalam sinyong (jebehan: untaian tiga bunga lagi. mawar), dan ceplok dipasang di bagian belakang sanggul tepat di tengahnya. Mentul, hiasan sanggul yang bentuknya HASIL DAN PEMBAHASAN mirip dengan setangkai bunga. Jumlahnya 1. Tata Busana dan Rias Srimpi Pandhelori ada lima buah, merupakan simbol lima Busana di dalam tari bisa dikategorikan nafsu manusia yaitu kasih sayang, menjadi tiga bagian, busana bagian kepala, kenikmatan, keinginan, kekuasaan, dan busana pada bagian torso dan busana pada kesucian. Jungkat sering disebut pethat bagian kaki. Busana kepala meliputi accesories yang berbentuk gunungan merupakan yang dikenakan di kepala. Busana badan lambang keagungan Tuhan dan terciptanya meliputi pakaian dan accesories yang dikenakan kebahagiaan (Condronagoro, 2010, hlm. di bagian badan. Sedangkan busana kaki 121). adalah segala sesuatu yang dikenakan di kaki Jamang adalah mahkota yang terbuat penari. Untuk desain/tata busana pada tari dari kulit yang dipulas dengan warna klasik gaya Yogyakarta putri pada umumnya emas dan dipasangkan permata. Bulu- terdiri dari busana kepala dan torso. Adapun bulu, mendapat pengaruh dari gaya tata busana pada tari Srimpi Pandhelori adalah sanggul wanita Inggris pada abad XVIII, sebagai berikut: yang meletakan bulu-burung Unta atau a. Busana pada Kepala Kasuari di bagian depan sanggulnya Busana pada bagian kepala merupakan (Suprianto, 2013, hlm. 4 ). Sumping, yang accesories yang menggambarkan identitas dikenakan adalah sumping jenis ron penari sebagai puteri keraton. Lebih (daun) biasa disebut ronsumping, sumping

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Wenti Nuryani, Suminto A Sayuti, Dwi Siswoyo 314 164) . Pemakaian baju rompi ini dikatakan sudah ada pengaruh dari Eropa, seperti halnya hiasan bulu-bulu di kepala yang diselipkan pada jamang (Supriyanto, 2009, hlm. 4). Sampur, atau sonder menggunakan sampur dengan motif cindhe berwarna merah. Slepe, sabuk bagian luar (ikat pinggang) yang dikenakan setelah sampur, lengkap dengan bathokan-nya. Kelat Bahu yang dipakai adalah kelat bahu yang disebut Nagamamangsa (naga Gambar 1. Busana kepala memangsa sesuatu). Bentuknya seekor (Sumber foto: Wenti Nuryani, 2018) naga yang menurut pengertian orang Jawa yang bentuknya menyerupai daun. adalah lambang kemakmuran. Kalung Menurut peneliti kata sumping merupakan susun, bentuknya tanggalan (bulan muda), pemendekan dari sumpel kuping (menutup jumlahnya gasal (bersusun tiga). Gelang, telinga dengan sesuatu). Sengkang yang dipakai adalah sepasang gelang kana. (sengkang ronyok), yaitu hiasan yang Kana artinya simpai atau suh. Memakai dikenakan pada telinga kanan dan kiri dan gelang kana artinya agar menyadari fungsi terbuat dari emas berlian. dirinya sebagai suh (pengikat). Keris, yang dipakai adalah keris wanita, sehingga b. Busana pada bagian Torso bentuknya kecil. Menggunakan oncen keris Busana pada bagian torso yang terbuat dari benang yang berwarna- merupakan busana yang dipakai untuk warni. Keris ini berfungsi sebagai property menggambarkan puteri keraton, yang tari, digunakan saat bagian perangan. ditandai dengan ragam hias yang melekat Penari Srimpi Pandhelori juga ala busana yang dikenakan. Untuk itu, mengenakan kain dengan motif penari Srimpi Pandhelori mengenakan yang biasa digunakan para putra-putri rincian busana sebagai berikut; rompi, dalem. Biasanya mengenakan kain batik sampur, slepe, kelat bahu, kalung susun, motif lereng, parang. Motif ini menjadi gelang kana, dan mengenakan property bagian penting sebagai simbol status sebuah keris. Rompi, baju dari kain sosial dalam lingkungan istana. Untuk itu, beludru dengan bordiran benang atau penari Srimpi Pandhelori mengenakan kain payet warna emas, tanpa lengan. Mulai batik parang gurdha. dikenakan oleh penari srimpi di masa HB ke VIII (Kawendrosusanta, 1981, hlm.

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Nilai-Nilai Pendidikan Tata Busana dan Rias Srimpi Pandhelori dalam Perspektif Hermeneutik 315 maksud tertentu (intensi) yang hendak disampaikan oleh koreografer kepada penonton. Meskipun hal ini tidak serta merta membuat penonton memahami arti dan nilai- nilai yang secara simbolis terdapat pada tata rias dan busana tersebut, namun paling tidak mampu membawa imajinasi penonton masuk lebih dalam lagi untuk memahami karakter tokoh, peran, ataupun maksud tarian. Tidak semua bagian busana yang dikenakan dalam tari Srimpi Pandhelori mengandung maksud tertentu, beberapa accessories yang dikenakan

Gambar 2. Busana badan dan kepala tampak depan- murni untuk memenuhi unsur keindahan saja. belakang (Sumber foto: Wenti Nuryani, 2018) Mentul, yaitu hiasan sanggul yang bentuknya mirip dengan setangkai bunga. 2 . Nilai-nilai Pendidikan tata busana dan Jumlahnya ada lima buah, merupakan Rias Srimpi Pandhelori simbol lima nafsu manusia yaitu kasih a.Simbol dan Arti dalam Busana sayang, kenikmatan, keinginan, kekuasaan, Busana dan accesories yang dikenakan dan kesucian. Bentuk ini mengandung arti dalam tari Srimpi Pandhelori tersebut tidak bahwa (pengantin) wanita diharapkan dapat sekedar untuk memenuhi unsur estetisnya menguasai kelima nafsu tersebut agar dapat saja, namun dibalik itu ada artinya, atau menjadi wanita yang utama (Widayanti mengandung maksud tertentu yang 2011, hlm. 247). Berkaitan dengan hal ini diselaraskan dengan maksud tariannya. Dwikurniarini (2014, hlm. 84) mengungkapkan Berkaitan dengan hal ini Maryono (2015), bahwa, pada dasarnya cundhuk mentul hlm. 222) mengungkapkan bahwa “jenis- bentuknya adalah ceplik (seperti halnya jenis simbolis bentuk dan warna busana para sengkang). Ceplik ini menggambarkan matahari penari mempunyai peranan sebagai identitas dan sinarnya. Matahari adalah lambang peran, karakteristik peran, dan ekspresi pemberi kehidupan, yang memberikan estetis. bentuk atau mode busana dalam kehangatan (manfaat) bagi semua makhluk pertunjukan tari tersebut dapat mengarahkan hidup tanpa pandang bulu (tidak membeda- penonton pada pemahaman jenis peran atau bedakan). figur tokoh”. Dengan demikian cundhuk mentul Ungkapan Maryono ini menunjukan merupakan lambang hidup. Matahari bahwa tata rias dan busana pada pertunjukan mempunyai arti positif, memberi manfaat tari tidak sekedar untuk memenuhi unsur bagi semua makhluk hidup, tanpa pandang keindahan saja, namun dibalik itu ada bulu. Jumlah mentul yang dipakai adalah

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Wenti Nuryani, Suminto A Sayuti, Dwi Siswoyo 316 lima buah. Demikian pula halnya dengan sosial raja dan keluarganya di tengah-tengah sengkangnya yang supaya kelihatan lebih pergaulan istana. Tradisi kirim tanda mata, baik dan hebat temunggul-nya, satu yang di tali asih antar raja-raja, termasuk bulu-bulu, tengah masih ditambah pengarak (pinggiran) benda yang lain itu menjadi simbol integritas hingga dinamakan sengkang ronyok. Dari raja dan kerajaannya maka disisipkan sebagai pendapat ketiganya ini bisa digaris bawahi accesories untuk menghormati hubungan antar bahwa cundhuk mentul yang berjumlah lima dua kerajaan. yang dipakai penari Srimpi memiliki arti, Sumping, yang dikenakan adalah sumping dalam kehidupan manusia harus mampu jenis ron (daun) biasa disebut ronsumping, mengendalikan kelima nafsu yang senantiasa sumping yang bentuknya menyerupai daun. mengiringi langkah manusia dalam mencapai Menurut peneliti kata sumping merupakan tujuan hidup. Sehingga hidup kita bermanfaat pemendekan dari sumpel kuping (menutup tidak hanya bagi kita sendiri tetapi juga bagi telinga dengan sesuatu). Artinya, kita harus orang lain, lingkungan sosial dan alam. bisa menyaring berita atau informasi yang Jungkat, atau sering disebut pethat kita dengar, tidak semua dimasukan ke dalam yang berbentuk gunungan merupakan hati mentah-mentah. Harus disaring mana lambang keagungan Tuhan dan terciptanya informasi yang benar, mana yang sekedar kebahagiaan (Condronagoro, 2010, hlm. 121). issue (sekarang: hoax). Sumping terbuat dari Di dalam , bentuk gunungan kulitan dipasang di telinga, bagian bawah yang meruncing ke atas ini mempunyai dihiasi dengan untaian benang warna-warni makna sangkan paraning dumadi (asal muasal dan kertep, berwarna emas yang bermakna kehidupan). Hal ini mengingatkan kepada keagungan. Sengkang (sengkang ronyok), yaitu kita semua tentang arah dan tujuan hidup, hiasan yang dikenakan pada telinga kanan bahwa pada akhirnya hidup kita akan kembali dan kiri dan terbuat dari emas berlian. Wujud kepada Sang Khalik. Di samping hal tersebut, sengkang yang bercahaya mengandung makna gunungan juga melambangkan semua meningkatnya pengetahuan manusia melalui kehidupan yang terdapat di dalam jagad raya. cahaya kehidupan dan harapan terciptanya Jamang, adalah mahkota yang terbuat sesuatu yang abadi. dari kulit dipulas dengan warna emas dihiasi Kain (jawa: jarik) parang gurdha, motif permata, menjadi simbol status sosial sebagai parang polanya berbentuk pedang yang sering putri raja. Accessories ini merepresentasikan dipakai para kesatria. Sedangkan motif gurdha, kemuliaan dan kewibawaan sebagai puteri berasal dari kata garuda, yaitu nama sejenis raja. Bulu-bulu, mendapat pengaruh dari gaya burung besar yang menurut pandangan sanggul wanita Inggris pada abad XVIII, yang hidup orang Jawa khususnya Yogyakarta meletakan bulu-burung Unta atau Kasuari di mempunyai kedudukan yang sangat penting. bagian depan sanggulnya (Suprianto, 2013, Bentuk motif gurda ini terdiri dari dua buah hlm. 4 ). Kokar bulu mereprentasikan integritas sayap (lar) dan ditengah-tengahnya terdapat

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Nilai-Nilai Pendidikan Tata Busana dan Rias Srimpi Pandhelori dalam Perspektif Hermeneutik 317 badan dan ekor. Burung ini dianggap sebagai yang mulia bagi mempelai. burung yang teguh timbul tanpa maguru, yang Slepe, sabuk bagian luar (ikat pinggang) artinya sakti tanpa berguru kepada siapapun. yang dikenakan setelah sampur, lengkap Versi lain mengenai motif parang ini dengan bathokannya. Terbuat dari kulitan, (dalam situs resmi Keraton Yogyakarta ) mengandung makna sebagai peringatan untuk dijelaskan bahwa, motif parang diciptakan mengendalikan nafsu birahi, karena apabila Panembahan Senapati saat mengamati gerak terlepas maka kesucian wanita akan hilang. ombak Laut Selatan yang menerpa karang di Makna simboliknya, selain harus selalu dekat tepi pantai. Sehingga pola garis lengkungnya dengan Sang Pencipta, manusia juga harus diartikan sebagai ombak lautan yang menjadi memiliki iman yang kuat. pusat tenaga alam. Dalam hal itu yang Kelat Bahu, yang dipakai adalah kelat dimaksud adalah kedudukan raja. Komposisi bahu yang disebut Nagamamangsa (naga miring pada motif parang ini juga menjadi memangsa sesuatu). Bentuknya seekor naga lambang kekuasaan, kebesaran, kewibawaan, yang menurut pengertian orang Jawa adalah dan kecepatan gerak. Memakai kain motif lambang kemakmuran. Misalnya bagi petani parang gurdha diyakini akan menambah Jawa kalau ada ular (ular sawah) yang masuk kekuatan dan kesaktian pemakainya. Oleh ke dalam rumah dianggap sebagai pertanda karena itu, di keraton Yogyakarta tidak bahwa sawahnya akan menghasilkan sembarang orang diperkenankan memakai padi yang banyak dan rejekinya juga akan kain motif ini. Bahkan sejak jaman HB I (1785) menjadi banyak (Kawendrasusanta, 1981, batik parang rusak telah menjadi batik larangan. hlm. 166). Sementara itu Widayanti (2011, Pemakaian kain tradisional motif hlm. 249) mengatakan bahwa “kelatbahu naga tertentu yang berkaitan dengan ritual tertentu ini merupakan simbol bersatunya pola rasa juga diungkapkan oleh Ciptandi (2016, hlm. dengan pola pikir. Arti yang terkandung 262), bahwa “latar belakang pembuatan kain di dalamnya ialah suatu harapan untuk tradisional adalah untuk kebutuhan acara- mendapatkan rejeki dan kekuatan dalam acara yang bersifat ritual bagi beberapa menjalani hidup”. kelompok masyarakat tertentu”. Ungkapan Kalung susun, bentuknya tanggalan Ciptandi ini bisa diperkaya dengan melihat (bulan muda), jumlahnya gasal (bersusun tiga). beberapa acara ritual seperti upacara adat Melambangkan kewanitaan, jumlah gasal perkawinan di daerah Yogyakarta (tidak menunjukan sifat positif. Secara keseluruhan tertutup kemungkinan di daerah lain) kain memberi arti hidup (Kawendrasusanta, 1981, batik yang dikenakan oleh kedua mempelai hlm. 166). Berkaitan dengan arti dari Kalung biasanya menunjuk pada motif tertentu Susun ini, Condronagoro (2010, hlm. 120) seperti: wahyu tumurun, sidoluhur, sidomukti. maupun Widayanti (2011, hlm. 149) keduanya Semuanya itu memiliki nilai filosofis, yang mengungkapkan bahwa, mengungkapkan berkaitan dengan doa dan harapan-harapan bahwa “tiga tingkatan dalam kalung susun

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Wenti Nuryani, Suminto A Sayuti, Dwi Siswoyo 318 merupakan lambang dari tiga tingkatan kehidupan manusia yaitu: lahir, kawin, mati (alam fana, alam antara, dan alam baka)”. Gelang, yang dipakai adalah sepasang gelang kana. Kana artinya simpai atau suh. Memakai gelang kana artinya agar menyadari fungsi dirinya sebagai suh (pengikat). Keris yang dipakai adalah keris wanita, sehingga bentuknya kecil. Menggunakan oncen keris yang terbuat dari benang yang berwarna- warni. Keris ini berfungsi sebagai properti tari, digunakan saat bagian perangan.

Gambar 3. rias mata jahitan b. Rias Wajah (Foto, Wenti Nuryani, 2018) Rias Wajah tari Srimpi Pandhelori menggunakan bahan riasan yang modern merupakan rias yang menggambarkan yaitu menggunakan alas bedak (fondation), putri keraton yang cantik. Jenis riasnya dilanjutkan dengan bedak tabur dan bedak menggunakan teknik rias jahitan seperti padat, yang merknya sangat beragam. pada riasan mata penganten Paes Ageng gaya Yogyakarta. Jahitan pada mata dibentuk 3. Nilai-Nilai Pendidikan Busana dan Rias menggunakan pensil alis warna coklat. Tari Srimpi Pandhelori Maknanya untuk memperjelas penglihatan Setelah simbol-simbol tradisi yang supaya lebih fokus, dapat membedakan baik terdapat di dalam busana dan rias Srimpi dan buruk, yang kemudian dinalar sehingga Pandhelori diungkapkan, tampak adanya nilai- dapat dijadikan pegangan yang kuat selama nilai pendidikan yang dapat dimanfaatkan hidup. Makna tersebut tergambar pada jahitan sebagai media pendidikan untuk menunjang mata yang berupa dua garis menuju ke pelipis pendidikan karakter. Dalam penataan rias (Widayanti, 2011, hlm. 247). busana tari tersebut didasarkan pada narasi Pada awalnya, bedak yang digunakan simbolik filsafat hidup dalam budaya Jawa. adalah boreh atau lulur yang berwarna kuning, a. Nilai pendidikan yang berkaitan ditambah dengan pemakaian pemerah dengan pengendalian diri (mengendalikan bibir (lipstik) dan gincu (sekarang rouge: nafsu birahi) agar hidup manusia memiliki pemerah pipi). Dibalurkan pada wajah, arti baik untuk diri sendiri, orang lain, tangan, dan kaki serta berbau harum. Dalam lingkungan sosial dan alam. Senantiasa perkembangannya hingga saat ini boreh atau mendekatkan diri pada Sang Khalik dan lulur hanya dikenakan di lengan tangan dan teguh imannya. Hal ini dapat diamati kaki saja. Sementara untuk wajahnya sudah pada makna simbolis slepe, sabuk bagian

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Nilai-Nilai Pendidikan Tata Busana dan Rias Srimpi Pandhelori dalam Perspektif Hermeneutik 319 luar (ikat pinggang) yang dikenakan Sejalan dengan tingkat kemajuan dalam setelah sampur, lengkap dengan bathokan- bidang IT, komunikasi antar wilayah, nya. Terbuat dari kulitan, mengandung arti negara, benua bisa terjalin dengan begitu sebagai peringatan untuk mengendalikan mudahnya, dan seakan tanpa batas. Efek nafsu birahi, karena apabila terlepas samping dari hal ini adalah masuknya maka kesucian wanita akan hilang. Nilai informasi-informasi yang belum tentu pengendalian diri juga dapat dicermati benar, seperti saat ini banyak berita-berita pada arti simbolis cundhuk mentul yang hoax memenuhi media sosial. Hal ini berjumlah lima yang dipakai penari Srimpi apabila tidak dicermati akan menimbulkan memiliki arti dalam kehidupan manusia berbagai konflik. Nilai ini dapat diamati harus mampu mengendalikan kelima pada makna simbolis sumping. Kata nafsu yang senantiasa mengiringi langkah sumping merupakan pemendekan dari manusia dalam mencapai tujuan hidup. sumpel kuping (menutup telinga dengan Sehingga hidup kita bermanfaat tidak sesuatu). Artinya, kita harus bisa hanya bagi kita sendiri tetapi juga bagi menyaring berita atau informasi yang kita orang lain, lingkungan sosial dan alam. dengar, tidak semua dimasukan ke dalam b. Nilai pendidikan yang berkaitan hati mentah-mentah. Harus disaring mana dengan sangkan paraning dumadi (asal informasi yang benar, mana yang sekedar muasal hidup). Adanya kesadaran tentang issue (sekarang: hoax). tujuan akhir hidup manusia ini akan d. Nilai pendidikan yang berkaitan menuntun manusia ke arah kebaikan. Hal dengan membangun kegigihan dalam ini dapat diamati pada makna simbolis menghadapi tantangan hidup, berani Jungkat, atau sering disebut pethat yang mandiri dan cekatan. Nilai ini terlihat pada berbentuk gunungan merupakan lambang jarik (kain) penari yang bermotif parang keagungan Tuhan dan terciptanya gurdha, berasal dari kata garuda, yaitu kebahagiaan (Condronagoro, 2010, hlm. nama sejenis burung besar yang menurut 121). Di dalam wayang kulit, bentuk pandangan hidup orang Jawa khususnya gunungan yang meruncing ke atas ini Yogyakarta mempunyai kedudukan mempunyai makna sangkan paraning yang sangat penting. Bentuk motif gurda dumadi (asal muasal kehidupan). Hal ini ini terdiri dari dua buah sayap (lar) dan mengingatkan kepada kita semua tentang ditengah-tengahnya terdapat badan arah dan tujuan hidup, bahwa pada dan ekor. Burung ini dianggap sebagai akhirnya hidup kita akan kembali kepada burung yang teguh timbul tanpa maguru, Sang Khalik yang artinya sakti tanpa berguru kepada c. Nilai pendidikan yang berkaitan siapapun. dengan kejelian, kecermatan dalam e. Nilai pendidikan yang berkaitan menyaring informasi yang kita terima. dengan menyelaraskan cipta, rasa,

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Wenti Nuryani, Suminto A Sayuti, Dwi Siswoyo 320 dan karsa, harapannya agar diperoleh tradisional lainnya sebagai media pendidikan kemudahan dalam mencapai cita-cita, ini penting dilakukan karena mengandung rejeki, dan kuat (tabah) dalam menjalani nilai-nilai filososfis yang tinggi, berkaitan kehidupan. Hal ini disimbolkan dalam dengan nilai moral, budi pekerti, dan kelatbahu naga, yang merupakan simbol nilai-nilai kehidupan yang lain. Sekaligus bersatunya pola rasa dengan pola pikir. merupakan upaya untuk memperkokoh jati Arti yang terkandung di dalamnya ialah diri bangsa. Kokohnya jati diri suatu bangsa suatu harapan untuk mendapatkan rejeki ini berpengaruh terhadap ketahanan Nasional dan kekuatan dalam menjalani hidup. bangsa yang bersangkutan. Dalam hal ini f. Nilai pendidikan yang berkaitan Sayuti mengungkapkan bahwa, dengan pemahaman tentang tiga tahapan ... sebagai bangsa yang memiliki kehidupan manusia yaitu, lahir, hidup, dan kosa-budaya yang melimpah ruah, apapun mati. Kesadaran akan tahapan kehidupan bentuk dan wujudnya, budaya bangsa manusia ini akan mengarahkan perilaku tersebut merupakan dan menjadi modal dan sikap manusia dalam mencapai dan identitas, benteng, serta sekaligus tujuan hidup. Bahwa manusia tidak boleh sebagai paspor utama, terlebih lagi, dalam hanya mementingkan kehidupan di dunia, tata pergaulan dan tegur-sapa global. namun juga harus mempersiapkan bekal Budaya merupakan modal dan identitas di alam baka. Secara simbolis terdapat kita dalam berelasi dan berinteraksi pada kalung susun, hal ini telah dijelaskan dengan yang lain, yang bukan kita, liyan, bahwa tiga tingkatan dalam kalung susun the others. ... Sementara itu, proses berelasi merupakan lambang dari tiga tingkatan dan berinteraksi dengan yang lain itu kehidupan manusia yaitu lahir, kawin, juga meniscayakan masuknya beragam dan mati (alam fana, alam antara, dan nilai secara tak terhindarkan, yang dalam alam baka). sejumlah hal acapkali bertentangan dengan Nilai-nilai pendidikan tersebut, sejauh nilai-nilai yang sudah lama terinternalisasi pengamatan peneliti, masih relevan apabila dan diyakini. Dalam konteks inilah, nilai- dimanfaatkan sebagai media pendidikan di nilai yang inheren dalam kosa-budaya era millenia ini karena pendidikan mengenai bangsa berfungsi sebagai benteng (2016, ketuhanan, pengendalian diri, kegigihan, hlm. 1) kemandirian, kecermatan, dan keselarasan Apa yang diungkapkan oleh Sayuti ini cipta-rasa-karsa, merupakan nilai-nilai yang menunjukan betapa pentingnya melestarikan bersifat universal dan penting ditanamkan berbagai macam bentuk seni sebagai salah kepada setiap orang, terutama generasi muda satu kekayaan budaya Nusantara yang sebagai generasi penerus. merupakan identitas dan jati diri bangsa Memanfaatkan seni tradisional seperti , sekaligus sebagai filter dan tari Srimpi, wayang kulit, dan seni-seni benteng dari pengaruh budaya luar yang

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Nilai-Nilai Pendidikan Tata Busana dan Rias Srimpi Pandhelori dalam Perspektif Hermeneutik 321 kurang sesuai dengan konteks keindonesiaan. Bagi seorang wanita memahami tentang Tentu saja harus disertai dengan revitalisasi, unsur-unsur keindahan ini penting, karena rekontekstualisasi, rekonstruksi (bila perlu) hal ini berkaitan dengan kemampuan untuk menyesuaikan dengan perkembangan jaman ngadi sarira dan ngadi busana. Ngadi sarira dan dan kemajuan di bidang teknologi. busana secara filosofis memiliki arti sebagai Dewantara (2013, hlm. 304) upaya untuk merawat diri baik lahir maupun menjelaskan tujuh manfaat mempelajari tari batin, secara total dan menyeluruh melalui srimpi yaitu, (1) Tari srimpi itu memiliki sifat perawatan diri/mempercantik diri dan pendidikan gerak badan dan rasa keindahan memperindah busana, serta menguasai tata (pendidikan jasmani dan aesthetika), (2) Tari krama di dalam pergaulan. Dengan demikian srimpi itu bersifat sport, yang menghaluskan keanggunan seorang wanita akan dilihat tidak dan menyehatkan tubuh (3) Tari srimpi itu sekedar dari sisi wajahnya yang cantik saja, mendidik wirama, yakni mengekang diri, dan atau busananya yang indah saja, tetapi juga gerak wiraga, yakni kesusilaan (4) Tari srimpi kesantunannya dalam pergaulan sehari-hari. itu menarik gadis kepada rasa kesenian (5) Tari srimpi itu menarik gadis kepada rasa kesucian (6) Tari srimpi itu suatu alat atau senjata untuk PENUTUP menolak sifat-sifat adat-istiadat yang kasar dari Tari Srimpi pada awalnya merupakan gadis-gadis kita, yang jadi korban pendidikan media untuk pendidikan putri-putri raja dan cara barat. Yaitu yang umumnya tidak dapat bangsawan lainnya, terutama untuk mendidik membedakan mana adat-istiadat yang baik, etika dan budi pekerti wanita di kalangan mana yang jelek dan jahat (7) Tari srimpi itu istana. Oleh karena itu, tarian ini sarat dengan pusaka indah dari leluhur kita, yang terbilang nilai-nilai pendidikan yang berkaitan dengan suatu cahaya keadaban; oleh karenanya etika, sopan-santun, dan tata krama, yang lahir harus kita hidupkan, kita muliakan, dan kita dari kearifan lokal budaya Jawa. Meskipun sebarkan. Kita pelihara serta kita populerkan lahir dari kearifan lokal budaya Jawa, namun sehingga tidak akan mati, atau hidup tetapi di esensi nilai-nilainya bisa diterapkan untuk negeri lain umum, tidak terbatas kalangan masyarakat Dari ungkapan Dewantara ini dapat Jawa saja. Demikian pula nilai-nilai pendidikan digaris bawahi bahwa, mempelajari tari yang terdapat di dalam tata rias dan busana Srimpi dapat menghaluskan budi pekerti dan Srimpi Pandhelori, nilai-nilai tersebut bersifat menyehatkan badan karena mengandung universal, meskipun lahir dari konsep unsur-unsur sport. Di samping hal tersebut, budaya Jawa. Di samping hal tersebut, nilai- dengan mempelajari tari Srimpi seseorang nilai pendidikan dalam tata rias dan busana dapat belajar mengenai keindahan (estetika), srimpi Pandhelori, masih relevan dimanfaatkan karena di dalam desain tata busana dan tata sebagai media pendidikan, terutama dalam riasnya sarat dengan nilai-nilai keindahan. hal pendidikan nilai, moral, dan budi pekerti.

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Wenti Nuryani, Suminto A Sayuti, Dwi Siswoyo 322 Secara simbolis slepe, sabuk bagian luar Kelatbahu naga, merupakan simbol (ikat pinggang) yang dikenakan setelah bersatunya pola rasa dengan pola pikir. Arti sampur, lengkap dengan bathokan-nya, yang terkandung di dalamnya ialah suatu terbuat dari kulitan, mengandung arti sebagai harapan untuk mendapatkan rejeki dan peringatan untuk mengendalikan nafsu kekuatan dalam menjalani hidup. Kalung susun birahi, karena apabila terlepas maka kesucian hal ini telah dijelaskan bahwa tiga tingkatan wanita akan hilang. Arti simbolis cundhuk dalam kalung susun merupakan lambang dari mentul yang berjumlah lima yang dipakai tiga tingkatan kehidupan manusia yaitu lahir, penari Srimpi merupakan simbol bahwa kawin, dan mati (alam fana, alam antara, dan dalam kehidupan manusia harus mampu alam baka). mengendalikan kelima nafsu yang senantiasa Mengingat kandungan nilai-nilai mengiringi langkah manusia dalam mencapai pendidikan yang penting dalam Srimpi tujuan hidup. Sehingga hidup kita bermanfaat Pandhelori, maka mengajarkan tarian ini tidak hanya bagi kita sendiri tetapi juga bagi kepada generasi muda menjadi suatu hal orang lain, lingkungan sosial dan alam. yang merupakan keniscayaan. Meskipun Secara simbolis Jungkat, atau sering untuk mewujudkan hal ini perlu upaya disebut pethat yang berbentuk gunungan yang terus menerus karena gerusan arus merupakan lambang keagungan Tuhan dan globalisasi semakin tak terbendung, sehingga terciptanya kebahagiaan (Condronagoro, masuknya berbagai macam jenis seni yang 2010, hlm. 121). Di dalam wayang kulit, lebih mencitrakan kekinian menjadi begitu bentuk gunungan yang meruncing ke atas mudah dan menggoda kalangan generasi ini mempunyai makna sangkan paraning muda millenia. dumadi (asal muasal kehidupan). Hal ini mengingatkan kepada kita semua tentang arah dan tujuan hidup, bahwa pada akhirnya hidup kita akan kembali kepada Sang Khalik. * * * Sumping merupakan pemendekan dari sumpel kuping (menutup telinga dengan sesuatu). Memiliki arti harus bisa menyaring berita atau informasi yang diperoleh, tidak Daftar Pustaka semua dimasukan ke dalam hati mentah- Cahya. 2016. Nilai, Makna, dan Simbol Dalam Pertunjukan Wayang mentah. Bentuk motif kain gurda ini terdiri Golek Sebagai Representasi Media dari dua buah sayap (lar) dan ditengah- Pendidikan Budi Pekerti. Panggung 26 (2), 117-127. tengahnya terdapat badan dan ekor. Burung Ciptandi, Fajar, Sachori. A& Haldani. A. 2016 . dipersepsikan sebagai burung yang teguh Fungsi dan Nilai pada Kain Batik Tulis timbul tanpa maguru, yang artinya sakti tanpa Gedhog khas Masyarakat di Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. berguru kepada siapapun. Panggung, 26 (3), 261-271.

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Nilai-Nilai Pendidikan Tata Busana dan Rias Srimpi Pandhelori dalam Perspektif Hermeneutik 323 Condronagoro, Mari. 2010. Memahami Busana Puspositardjo, S. 2005. Seni Dalam Adat Kraton Yogyakarta, Warisan Pendidikan. Kumpulan Makalah Seri Penuh Makna. Yogyakarta: Yayasan Seni Pertunjukan Indonesia. Surakarta: Pustaka Nusutama. Kerjasama PPS STSI & The Ford Dewantara, KH. 2004. Pendidikan Bagian I. Foundation. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Pramutama, R.M. 1999. Unsur Pendidikan Taman Siswa. Seksual Pada Srimpi Renggawati di Dwikurniarini, Dina. 2014. Simbolisme Seni Kraton Dalam Budaya Jawa Di Era Global: Yogyakarta. Laporan Penelitian, STSI Suatu Kajian Dari Batik Dan Tari Klasik Surakarta. Gaya Yogyakarta. MOZAIK, Jurnal Purwadmadi & Linaras A. 2015. Seni Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora 6 (1), Pertunjukan Indonesia 4. Dokumentasi 78-90. tari Klasik (Beksan Jebeng, Beksan Faiz, Fakhruddin. 2002. Hermeneutika al- Floret, Srimpi Nadheg Putri, Bedaya Qur’an. Yogyakarta: Qolam, Cet.III. Tejanata). Yogyakarta: UPTD Taman Gadamer, Hans, Georg. 1975. Thruth and Budaya. Method: Diterjemahkan oleh Ahmad Putraningsih, Titik. 2016. “ R e l e v a n s i Sahidah. 2010. Kebenaran dan Metode. Nilai- Nilai Tari Bedhaya Bondhet Yogyakarta: Pustaka Pelajar. dalam Gasiyah. 2015. Media Pembelajaran Interatif Pendidikan Karakter”. Imaji, Jurnal Seni Dan Seni Tari Srimpi Menggunakan Adobe Pendidikan Seni 14 (2), 160-176 Flash CS5. Proseding Seminar Nasional Sayuti, Suminto A. 2016. Budaya Dan Universitas PGRI Yogyakarta, 396-401. Kerifan Lokal di Era Global: Pentingnya Kawendrasusanta, Kuswaji. 1981. B u s a n a Pendidikan Bahsa Dan Sastra. Tari Klasik Gaya Yogyakarta, Disampaikan pada Seminar Nasional Yogyakarta” Fred Wibowo. (Ed),Mengenal Tari “Bahasa, Sastra, dan Pemuda” yang Klasik Gaya Yogyakarta,Yogyakarta: diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Bidang Kesenian Propinsi DIY. Bahasa dan Sastra Indonesia FIP Lindsay, Jennifer. 1991. Klasik, Kitsch, Universitas Trunojoyo, Madura; pada Kontemporer: Sebuah Studi tentang hari Kamis, tanggal 29 September 2016 Seni Pertunjukkan Jawa. Yogyakarta: Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik, Sebuah Gadjah Mada University Press Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Madison, G.B. 1990. The Hermeneutics of Supriyanto. 2009. Busana Tari Bedaya Post Modernity. Indiana University Gaya Yogyakarta Sebuah Kajian Press. Estetika. Agem 8 (1), 1-17. Maryono. 2015. Makna Pragmatik Tindak Soedarsono. 1996. Indonesia Indah, Seni Tutur Direktif Pada Tari Gathutkaca Tari Tradisional Indonesia. : . Panggung 25 (3), 211-226. Yayasan Harapan Kita/BP3TMII. Moll, C. Luis. 1990. Vygotsky and Education. Suryobrongto, GBPH. 1981. Kawruh Joged Instructional Implications and Mataram. Yogyakarta: Dewan Ahli Applications of Sociohistorical YayasanSiswa Among Beksa. Psychology. Cambrigde University Wardhana, Wisnoe, RM. 1981. Tari Tunggal, Press. Beksan Dan Tarian Sakral Gaya Palmer, Richard E. (2003) Hermeneutics, Yogyakarta. Dalam Mengenal Tari Intepretation Theory In Schleimacher, Klasik Gaya Yogyakarta, Wibowo Fred Dilthey, (Ed). Dewan Kesenian Propinsi DIY. Heideger, and Gadamer.Diterjemahkan Widayanti, Sri. 2011. Tinjauan Filsafat Seni oleh Musnur Hery dan Damanhuri Terhadap Tata Rias dan Busana Muhamad. Hermeneutika, Teori Baru Pengantin Paes Ageng Kanigaran Gaya Mengenai Interpretasi. Yogyakarta: Yogyakarta. Jurnal Filsafat, 1,(3),240- Pustaka Pelajar 256.

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Wenti Nuryani, Suminto A Sayuti, Dwi Siswoyo 324

Sumber Internet: Batik Larangan. Retrieved 15 Februari 2019 from https://www.kratonjogja.id/ kagungan-dalem/12/motif-batik- larangan.

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020