ITTO Project TFL-PD 019/10 Rev.2 (M) Developing Collaborative Management of Cibodas Biosphere Reserve, Indonesia

(Integrated Strategic Management Plan for Cibodas Biosphere Reserve)

Laporan Pelaksanaan Kegiatan Terkait Output 2 “Integrated Management Plan for Cibodas Biosphere Reserve Formulated”

Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Bekerjasama dengan Konsultan Internasional

Cibodas, Desember 2012

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan YME dengan selesainya laporan konsultansi ITTO untuk menyusun Rencana Strategi Terpadu Pengelolaan Cagar Biosfer Cibodas (Integrated Strategic Management Plan for Cibodas Biosphere Reserve). Dokumen ini disusun berdasarkan mandat dari program UNESCO Man and Biosphere mengenai keseimbangan antara konservasi keanekaragaman hayati dengan pembangunan berkelanjutan. Renstra memuat informasi tentang sasaran-sasaran pengelolaan yang ingin dicapai serta program dan kegiatan pengelolaan yang relevan dan diperlukan untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut berikut sumberdaya yang dibutuhkan.

Kegiatan penyusunan strategi terpadu pengelolaan Cagar Biosfer Cibodas adalah merupakan kompilasi dari Activity 2.1 dan 2.2 dari Proyek ITTO TFL-PD 019/10 Rev. 2 (M). Laporan kegiatan ini secara singkat menguraikan rencana strategis pengelolaan yang ingin dilaksanakan dalam jangka menengah dengan mengacu pada permasalahan yang ada, ketersediaan sumberdaya, serta peluang, kendala maupun tantangan guna merumuskan pemecahannya dan selanjutnya dituangkan sebagai strategi pengelolaan jangka menengah dengan tetap mengacu pada rencana pengelolaan jangka panjang (RPTN) propinsi Jawa Barat dan tiga kabupaten terkait yakni , Cianjur dan .

Dengan selesainya penyusunan rencana strategi pengelolaan Cagar Biosfer Cibodas ini, kami ucapkan terimakasih kepada Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango beserta jajarannya; Dr Samedi dkk; Dr Purwanto; Mr. Usep Suparman; anggota tim penyusun yakni Drh Indra Exploitasia, Yani Septiani MSc, Diah Herlinawati, dan semua pihak yang telah memberikan kontribusi dalam satu dan lain bentuk. Semoga dokumen ini bermanfaat bagi pembangunan Cagar Biosfer Cibodas.

Penyusun,

Hiras P. Sidabutar

ii

DAFTAR ISI

RENCANA STRATEGI TERPADU PENGELOLAAN CAGAR BIOSFER CIBODAS (INTEGRATED STRATEGIC MANAGEMENT PLAN FOR CIBODAS BIOSPHERE RESERVE)

KATA PENGANTAR...... ii DAFTAR ISI...... iii 1. PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Informasi...... 1 1.2 Proyek ITTO TFL-PD 019/10 Rev. 2 (M) ...... 2 1.3 Penyusunan Strategi Terpadu Pengelolaan Cagar Biosfer Cibodas (CBC)...... 2 1.4 Organisasi Dokumen Strategi...... 2 2. KONSEP PEMBANGUNAN CAGAR BIOSFER 2.1 Konsep Dasar Pembangunan Cagar Biosfer...... 5 2.2 Seville Strategy...... 7 2.3 Madrid Action Plan (MAP) ...... 8 3. CAGAR BIOSFER INDONESIA DAN CAGAR BIOSFER CIBODAS 3.1 Cagar Biosfer Indonesia...... 12 3.2 Cagar Biosfer Cibodas ...... 14 3.2.1 Penetapan Kawasan...... 14 3.2.2 Potensi dan Kondisi Kawasan ...... 16 a. Zona inti...... 16 b. Zona penyangga...... 21 c. Zona transisi...... 23

3.3 Keunggulan Cagar Biosfer Cibodas...... 24 3.4 Ancaman dan Tantangan Pengelolaan ...... 25 3.4.1 Definisi Konflik ...... 26 3.4.2 Jenis-jenis konflik...... 26 a. Konflik tata ruang dan tata guna lahan...... 27 b. Konflik pemanfaatan kehati...... 29 b.1. Konflik lahan garapan...... 31 b.2. Perambahan...... 32

iii

4. IMPLEMENTASI KONSEP CAGAR BIOSFER DI CAGAR BIOSFER CIBODAS 4.1 Sistem Zonasi yang Berlaku ...... 34 4.2 Usulan Zonasi Cagar Biosfer Cibodas...... 36 4.2.1 Metoda ...... 36 4.2.2 Kriteria zonasi...... 36 4.2.3 Analisis zonasi...... 36 4.2.4 Zonasi usulan...... 39 4.3 Arahan Pengelolaan Ruang CBC...... 39 5. RENCANA STRATEGI TERPADU PENGELOLAAN CBC 5.1 Definisi dan Relevansi Strategi ...... 42 5.2 Ciri Pokok Strategi yang Diinginkan ...... 43 5.3 Pendekatan...... 43 5.4 Analisis Masalah...... 45 5.5 Strategi Dasar Pengelolaan CBC...... 49

6. RENCANA PROGRAM DAN AKSI JANGKA MENENGAH (2013-2020) 6.1 Prioritasi...... 51 6.2 Rencana Program dan Aksi Pengelolaan (RPAP) ...... 51 6.3 Estimasi Anggaran Belanja ...... 52 6.4 Logical Framework...... 63

7. PENUTUP 7.1 Kondisi Pemungkin (enabling conditions) ...... 63 7.2 Rencana Monitoring dan Evaluasi ...... 68

Lampiran

Lampiran 1. Arah kebijakan pengelolaan ruang CBC Lampiran 2. Spesifikasi inputs kegiatan dan estimasi biaya RPAP 2013-2020 Lampiran 3. Terms of Reference (TOR)

iv 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Informasi Cagar biosfer adalah kawasan yang ditunjuk oleh suatu negara melalui kerjasama program Man and Biosphere (MAB)-UNESCO untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan berlandaskan upaya masyarakat lokal dan ilmu pengetahuan yang handal. Cagar biosfer adalah kawasan yang ideal untuk menguji dan mendemonstrasikan pendekatan-pendekatan yang mengarah kepada pembangunan berkelanjutan pada tingkat regional (UNESCO 2003). Karena itu cagar biosfer adalah kawasan konservasi yang keberadaannya diakui secara international sebagai suatu kawasan yang mempromosikan keseimbangan hubungan antara manusia dan lingkungan.

Cagar Biosfer Cibodas (CBC) merupakan salah satu dari delapan cagar biosfer yang ada di Indonesia dengan ekosistem terbesar hutan hujan pegunungan. Fungsi dari CBC tidak saja dipahami sebagai pendukung kehidupan secara langsung, seperti sumber air minum dan habitat beranekaragaman mahluk, tapi juga memiliki berbagai fungsi ekologis seperti pengendali banjir, erosi, pencemaran, dan pengendalian iklim global. Kawasan konservasi juga akan sulit dipulihkan kondisinya apabila terdegradasi, dan perlu bertahun-tahun untuk pemulihannya. Dengan demikian, untuk melestarikan fungsi kawasan CBC sebagai pengatur siklus air dan penyedia air permukaan maupun air tanah perlu dilakukan pengelolaan secara bijaksana dengan memperhatikan keseimbangan ekologis dan kepentingan generasi sekarang dan mendatang.

Sebagian Areal CBC Gunung Gede Pangrango (foto Balai Besar TNGGP)

Secara administratif, kawasan CBC dengan area inti Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) terletak di provinsi Jawa Barat dan tersebar di tiga wilayah kabupatan, yaitu Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi dengan batas wilayah luar adalah jalan/lingkar Ciawi, , Cianjur, dan Sukabumi. Sebagian besar dari TNGGP adalah hutan hujan pegunungan sementara wilayah penyangga adalah merupakan wilayah pemanfaatan dan pemukiman penduduk yang sangat penting.

Provinsi Jawa Barat, dibentuk berdasarkan UU No.11 Tahun 1950, tentang pembentukan Provinsi Jawa Barat adalah provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia. Jawa Barat selama lebih dari tiga dekade telah mengalami perkembangan ekonomi yang pesat. Saat ini peningkatan ekonomi modern ditandai dengan peningkatan pada sektor manufaktur dan jasa. Disamping perkembangan sosial dan infrastruktur, sektor manufaktur terhitung terbesar dalam

1 memberikan kontribusinya melalui investasi, hampir tigaperempat dari industri-industri manufaktur non-minyak berpusat didalam dan sekitar Jawa Barat.

Kepadatan penduduk dan pesatnya pembangunan berakibat pada meningkatnya kebutuhan akan lahan. Dalam konteks pembangunan wilayah berkelanjutan Jawa Barat, maka perlu ada pemikiran terhadap penerapan konsep pengelolaan yang mensinergikan konservasi sumber daya alam hayati dengan pembangunan ekonomi. Di dunia internasional, terdapat konsep pengelolaan cagar biosfer yang mengintegrasikan kedua komponen tersebut diatas, dan CBC dapat dijadikan sebagai lokasi implementasi konsep pengelolaan terpadu tersebut.

1.2 Proyek ITTO TFL-PD 019/10 Rev. 2 (M) Dalam rangka implementasi konsep pengelolaan terpadu cagar biosfer, dewasa ini Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Kementerian Kehutanan, bekerjasama dengan International Tropical Timber Organization (ITTO), sedang melaksanakan proyek berjudul “Developing Collaborative Management of Cibodas Biosphere Reserve, West Java Indonesia”. Sasaran umum dari proyek ini adalah untuk meningkatkan implementasi pengelolaan cagar biosfer Cibodas (CBC) secara kolaboratif; sementara sasaran khususnya adalah untuk menginisiasi proses multi-pihak (multi-stakeholders) dalam implementasi pengelolaan CBC sebagai alat utama untuk pengelolaan yang efektif dari cagar biosfer. Keluaran yang diharapkan dari proyek ini adalah: i) meningkatnya komitmen para pihak dalam mengelola CBC secara efektif, ii) tersusunnya rencana terpadu pengelolaan CBC, dan iii) meningkatnya kesadaran masyarakat atas manfaat CBC melalui peningkatan kesejahteraan.

Salah satu kegiatan pokok dari proyek terkait keluaran kedua dimuka adalah menyusun rencana strategi terpadu pengelolaan CBC. Untuk mencapai tujuan tersebut, mutlak dilakukan zonasi dari CBC berlandaskan konsep pengembangan cagar biosfer dengan memperhatikan kondisi-kondisi faktual khususnya menyangkut konflik dan permasalahan pengelolaan yang dihadapi. Informasi menyangkut pengembangan zonasi CBC dan prosesnya serta analisis konflik/permasalahan pengelolaan CBC, yang masing-masing dihimpun oleh ahli yang berbeda, adalah merupakan bagian esensial dari rencana strategi pengelolaan CBC sehingga harus dijadikan acuan utama dalam penyiapan dokumen rencana strategi dimaksud. Terms of reference (TOR) dari kegiatan penyusunan rencana strategi terpadu adalah seperti disajikan pada Lampiran 3.

1.3 Penyusunan Strategi Terpadu Pengelolaan Cagar Biosfer Cibodas (CBC)

Pembangunan suatu wilayah akan mencapai hasil yang optimal, terarah, dan terintegrasi bila dilandasi suatu perencanaan yang komprehensif dan terintegrasi. Sebagai bagian integral dari perencanaan pembangunan wilayah kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi serta propinsi Jawa Barat maka penyelenggaraan pembangunan CBC dituangkan dalam Rencana Strategis Terpadu Pengelolaan Cagar Biosfer Cibodas, dengan:

Tujuan • Menyiapkan dokumen Rencana Strategi Terpadu Jangka Menengah untuk dijadikan acuan bersama oleh para pihak dalam penyiapan Rencana Operasi Pengelolaan (ROP) Jangka Pendek • Menjamin sinergi dari berbagai program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh para pihak diberbagai tingkat pemerintahan dan kabupaten dalam menyelesaikan masalah-masalah pengelolaan CBC

2 Sasaran • Agar program dan kegiatan dilaksanakan mengacu pada tata-waktu dan anggaran belanja yang telah ditetapkan didalam dokumen strategi • Agar masalah-masalah pengelolaan dapat diselesaikan secara efektif

Mekanisme penyusunan perencanaan pengelolaan CBC, mengacu kepada rencana-rencana pengelolaan secara bertingkat, sebagaimana gambar berikut:

• Perencanaan Nasional Nasional

• Perencanaan Provinsi Provinsi

• Perencanaan Kabupaten Kabupaten dan Institusi • Perencanaan Tiap Institusi

RENCANA STRATEGI TERPADU

PENGELOLAAN CBC DISEPAKATI DAN DIJALANKAN PARA PIHAK

ANALISA ZONASI DAN ANALISA KONFLIK (Dr Samedi et al, 2012 & Dr Purwanto)

MADRID ACTION PLAN AND SEVILLE STRATEGY

Gambar 1: Mekanisme penyusunan perencanaan

1.4 Organisasi Dokumen Strategi

Dokumen rencana strategi terpadu pengelolaan CBC disajikan dengan sistimatika sebagai berikut:

• Bagian kedua menyajikan informasi singkat tentang konsep pembangunan biosfer berdasarkan dokumen relevan yang diterbitkan oleh MAB Program terutama Seville Strateggy dan Madrid Action Plan (MAP);

• Bagian ketiga memaparkan informasi umum tentang keberadaan cagar biosfer di Indonesia dan secara khusus tentang CBC meliputi dasar hukum penetapan dan pengelolaan CBC serta potensi dan kondisi cagar disetiap zona kawasan; sebagian besar dari informasi yang disajikan bersumber pada laporan-laporan teknis yang dipersiapkan oleh konsultan nasional yakni Dr. Samedi, et.al. (2012), Mr. Usep Suparman (2012) dan Dr. Purwanto (2012); • Informasi tentang status implementasi konsep pembangunan cagar biosfer di CBC disajikan pada bagian ke-empat dan meliputi: sistem zonasi yang berlaku, zonasi usulan dan arahan kebijakan teknis pengelolaan CBC; dipaparkan pula secara singkat tentang metoda dan kriteria zonasi yang diterapkan dalam proses mencapai zonasi usulan. Informasi yang disajikan pada bagian ini hampir murni merupakan saduran dari laporan teknis yang dipersiapkan oleh Dr. Samedi, et.al. (2012);

• Bagian ke-lima dari dokumen memuat informasi tentang strategi dasar pengelolaan CBC yang dijabarkan dari Solution Tree yang dibangun berdasarkan Problem Tree yang menunjukkan hubungan sebab-akibat dari masalah pokok pengelolaan CBC;

• Program dan kegiatan pengelolaan CBC prioritas jangka menengah disajikan pada bagian ke- enam dan meliputi kriteria prioritasi kegiatan, logical framework serta estimasi anggaran belanja; dan

• Bagian terakhir dari dokumen menyajikan informasi tentang enabling conditions untuk menerapkan rencana strategi pengelolaan baik menyangkut perangkat hukum, kelembagaan maupun pendanaan serta arti penting dari rencana monitoring dan evaluasi untuk mengukur kinerja pengelolaan berdasarkan logical framework yang disajikan didalam dokumen.

4 2. KONSEP PEMBANGUNAN CAGAR BIOSFER

2.1 Konsep Dasar Pembangunan Cagar Biosfer

Konsep cagar biosfer dicetuskan pertama kali pada tahun 1974 oleh Satuan Tugas “Man and Biosphere (MAB) Programme dari UNESCO. Cagar Biosfer merupakan konsep pengelolaan kawasan untuk tujuan mengharmoniskan konservasi baik ekosistem daratan atau pesisir dengan pembangunan ekonomi dengan berlandaskan hasil-hasil riset sehubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam termasuk kekayaan kultural yang diakui oleh ditingkat internasional sebagai bagian dari Program UNESCO: Man and the Biosphere (MAB) Programme-Program Manusia dan Biosfer untuk mempromosikan keseimbangan antara manusia dan alam. Penerapan konsep cagar biosfer adalah untuk menyelaraskan konservasi keanekaragaman hayati dalam pembangunan berkelanjutan guna mewujudkan keseimbangan hubungan antara manusia dan alam. Seiring dengan perkembangannya, konsep ini telah diadopsi oleh berbagai negara untuk mengelola kawasan konservasi dan kawasan di sekitarnya. Sejak diluncurkannya program ini pada tahun 1976, telah berkembang dari 324 cagar biosfer di 82 negara pada tahun 1995 menjadi 430 cagar biosfer di 95 negara pada tahun 2002 dan berkembang menjadi 531 cagar biosfer di 105 negara pada tahun 2008. Perkembangan ini menunjukkan bahwa pendekatan pengelolaan kawasan dengan konsep cagar biosfer dianggap tepat dan terukur untuk konservasi sumber daya dan pembangunan berkelanjutan.

Pada tahun 1983, UNESCO dan UNEP (United Nations Enviornment Programme) bekerjasama dengan FAO dan IUCN menyelenggarakan Kongres Internasional Pertama Cagar Biosfer di Minsk (Belarus). Kegiatan Kongres pada tahun 1984 dirumuskan menjadi "Rencana Aksi untuk Cagar Biosfer", yang secara resmi disahkan oleh Konferensi Umum UNESCO dan oleh Dewan Kerja UNEP. Walaupun sebagian besar Rencana Aksi tersebut masih berlaku hingga saat ini, namun konteks implementasi pengelolaan cagar biosfer telah banyak mengalami perubahan, sebagaimana disebutkan dalam proses UNCED terutama setelah adanya Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD). Konvensi tersebut disahkan pada "Earth Summit' di Rio de Janeiro pada bulan Juni 1992 dan berlaku mulai bulan Desember 1993; sampai saat ini CBD telah diratifikasi oleh lebih dari 100 negara. Tujuan utama dari konvensi ini adalah: konservasi keanekaragaman hayati; pemanfaatan sumber daya keragaman hayati yang berkelanjutan, dan pembagian yang adil dan merata atas manfaat yang diperoleh dari pemanfaatan sumber daya genetik. Cagar biosfer mendukung pendekatan terpadu dan dengan demikian mempunyai posisi yang baik untuk mendorong proses implementasi konvensi.

Sejauh ini telah terjadi inovasi penting di dalam pengelolaan cagar biosfer. Metodologi baru yang melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) dalam proses pengambilan keputusan dan penyelesaian konflik telah berkembang, dan perhatian terhadap sistem pendekatan regional semakin besar. Tipe baru cagar biosfer telah ditetapkan, seperti cagar kelompok dan lintas batas (cluster and transboundary reserves), dan banyak cagar biosfer mengalami perkembangan pesat, yaitu dari kawasan yang semula fokus utamanya hanya konservasi, telah berubah menjadi perpaduan antara konservasi dan pembangunan melalui peningkatan kerjasama antar pemangku kepentingan. Jaringan internasional baru, yang didukung oleh kemajuan teknologi, termasuk kornputer dengan kemampuan yang lebih canggih dan internet, telah mempermudah komunikasi dan kerjasama antar cagar biosfer di berbagai negara. Jaringan cagar biosfer merupakan komponen kunci dari tujuan MAB untuk mencapai keseimbangan yang berkelanjutan antara pencapaian tujuan melestarikan keanekaragaman hayati yang terkadang menimbulkan konflik, peningkatan pembangunan sektor ekonomi dan pelestarian nilai-nilai budaya yang terkait. Cagar biosfer merupakan situs terpilih untuk menguji, memperbaiki, mendemonstrasikan dan rnelaksanakan tujuan tersebut.

Keunggulan dari penerapan konsep cagar biosfer terletak pada perpaduan tiga fungsi yang dimilikinya yaitu :

5 i) Fungsi konservasi sumberdaya hayati dan ekosistem serta keragaman budaya. Fungsi ini memberikan kontribusi konservasi lansekap, ekosistem, jenis dan plasma nutfah serta keragaman budaya; ii) Fungsi pembangunan yang menumbuhkan dan memperkaya pembangunan ekonomi yang berkelanjutan yang bijak secara ekologi maupun budaya; dan iii) Fungsi pendukung berbagai kegiatan logistik termasuk penelitian, pendidikan, pelatihan dan pemantauan yang terkait dengan masalah konservasi dan pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal, regional, nasional maupun global.

Gambar 2. Konsep dasar pembangunan cagar biosfer

Dalam rangka mengintegrasikan ke tiga fungsi tersebut, maka penerapannya diatur dengan sistem pembagian wilayah atau zonasi di wilayah cagar biosfer yaitu dibagi menjadi 3 zona berdasarkan fungsi dan perannya yaitu: 1. Area inti (core area): sebagai area untuk pelestarian dan harus mempunyai perlindungan hukum jangka panjang untuk melestarikan keanekaragaman hayati, memantau ekosistem yang tidak terganggu dan melakukan penelitian yang tidak merusak serta kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya pasif seperti pendidikan dan pelatihan. Area inti dari 8 Cagar Biosfer yang dimiliki Indonesia adalah berupa taman nasional dan oleh karena itu kepemilikan lahannya berada pada negara. Hal ini bukan berarti area inti cagar biosfer harus berupa taman nasional. Area inti kawasan cagar biosfer dapat juga berupa kawasan milik pribadi, milik organisasi non pemerintah, tanah masyarakat, kawasan milik swasta atau dapat juga milik masyarakat adat yang diperuntukkan untuk kawasan konservasi. Pada prinsipnya area inti harus berupa kawasan konservasi atau kawasan lindung yang dilindungi secara formal oleh aturan pemerintah atau secara informal oleh masyarakat adat (lembaga adat). 2. Zona penyangga (buffer zone) yaitu wilayah yang mengelilingi atau berdampingan atau bersebelahan dengan area inti dan jelas fungsinya adalah untuk melindungi area inti dari dampak kegiatan manusia. Wilayah zona penyangga dapat berupa suatu kawasan milik masyarakat baik individu atau suatu lembaga, swasta dan lain-lainnya. Pengelolaan kawasan penyangga tetap berada pada pemiliknya dan cara-cara pengelolaannya harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh peraturan pemerintah. Sehingga kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan di zona ini adalah kegiatan yang secara ekologi dapat dipertanggungjawabkan seperti penelitian, pendidikan, pelatihan, ekoturisme dan pemanfaatan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan atau yang dapat diperbaruhi (renewable resources). 3. Area transisi adalah merupakan kawasan untuk kerjasama dengan masyarakat lokal. Kawasan ini berdampingan dengan zona penyangga. Area transisi adalah milik masyarakat baik secara individu, organisasi, lembaga swasta, atau badan hukum lainnya. Area ini merupakan tempat melaksanakan kegiatan pengembangan berbagai model pembangunan berkelanjutan, dimana berbagai pihak pemilik kawasan ini bersama-sama dengan pemangku kepentingan lainnya mengembangkan pengelolaan sumberdaya alam di kawasan tersebut.

Zona penyangga dan zona transisi berfungsi sebagai koridor yang fungsinya adalah melindungi dan menjamin fungsi area inti sebagai kawasan konservasi sumber daya alam hayati. Agar pengelolaan kawasan cagar biosfer memiliki efektivitas tinggi, maka setiap zona harus memiliki batas yang jelas. Kepastian tentang batas zona kawasan cagar biosfer diperlukan dalam implementasi pengembangan setiap zona atau area di kawasan cagar biosfer.

Untuk mencapai misi Program MAB, UNESCO menyelenggarakan pertemuan pakar internasional di Seville, Spanyol pada tanggal 20-25 Maret 1995 dan mengadopsi dua sistem pendekatan yaitu: i) menelaah pengalaman masa lampau dalam melaksanan konsep baru cagar biosfer, dan ii) melihat ke masa depan untuk mengidentifikasi penekanan yang harus diberikan terhadap tiga fungsi cagar biosfer, yaitu konservasi, pembangunan, dan dukungan logistik.

2.2 Seville Strategy

Konferensi Seville menyimpulkan bahwa walaupun terdapat permasalahan dan keterbatasan yang dihadapi dalam pembangunan cagar biosfer, program tersebut secara keseluruhan merupakan program yang inovatif dan sukses. Khususnya ketiga fungsi dasar cagar biosfer akan tetap berlaku pada tahun-tahun mendatang sebagaimana awalnya dirumuskan.

Pertemuan tersebut juga melahirkan Strategi Seville (Seville Strategy). Strategi Seville merekomendasikan kegiatan aksi yang harus diambil untuk pengembangan cagar biosfer ke depan pada abad 21. Strategi Seville dibuat lebih terarah pada beberapa prioritas di tingkat internasional, nasional dan lokal, yaitu: (a) memanfaatkan cagar biosfer untuk konservasi sumberdaya alam dan budaya; (b) memanfaatkan cagar biosfer sebagai model pengelolaan lahan dengan pendekatan untuk pembangunan yang berkelanjutan; (c) memanfaatkan cagar biosfer untuk penelitian, monitoring, pendidikan dan pelatihan; dan (d) implementasi konsep cagar biosfer.

Strategi Seville berisi rekomendasi bagi pengembangan cagar biosfer yang efektif dan bagi pengembangan fungsi jaringan cagar biosfer dunia agar bekerja dengan baik. Strategi ini tidak mengulangi prinsip-prinsip dasar Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) maupun Agenda 21, tetapi mengindentifikasi peran khusus cagar biosfer dalam mengembangkan visi baru mengenai hubungan antara konservasi dan pembangunan. Oleh karena itu, dokumen ini menitikberatkan pada beberapa prioritas.

Strategi mengusulkan beragam tindakan yang dianggap efektif untuk pengelolaan cagar biosfer diberbagai tingkatan baik internasional, nasional, maupun lokal. Meskipun demikian, karena besarnya perbedaan sistem pengelolaan pada tingkat nasional dan lokal, bentuk tindakan yang direkomendasikan tersebut perlu dipandang sebagai pedoman dan diterapkan sesuai dengan kondisi setempat. Perlu diketahui bahwa tingkat nasional harus diartikan mencakup instansi-instansi pemerintah lain yang lebih tinggi tingkatnya dari individual cagar biosfer misalnya propinsi, negara bagian, kabupaten, dsb. Di beberapa negara, lembaga swadaya masyarakat (LSM) nasional atau

7 lokal dianggap sesuai sebagai institusi pengganti. Demikian pula, kegiatan di tingkat internasional sering mencakup kegiatan di tingkat regional dan antar-regional.

Strategi Seville juga menyajikan rekomendasi indikator implementasi sehingga memungkinkan semua pihak yang terlibat untuk mengikuti dan mengevaluasi implementasi strategi tersebut. Kriteria yang dipakai dalam merumuskan indikator adalah: availability (ketersediaan informasi), simplicity (kejelasan informasi dan kemudahan koleksi), dan usefulness (kegunaan informasi yang dihimpun). Elemen pokok dari strategi tersebut terdiri dari empat (4) tujuan (goals), sebelas (11) sasaran dan sembilan puluh dua (92) kegiatan sebagai berikut:

Goal 1: Memanfaatkan cagar biosfer untuk melestarikan keragaman alam dan budaya Sasaran 1.1: Meningkatkan ruang lingkup keragaman alam dan budaya Sasaran 1.2: Memadukan cagar biosfer kedalam perencanaan konservasi

Goal 2: Memanfaatkan cagar biosfer sebagai model pengelolaan lahan dan model pendekatan pembangunan berkelanjutan Sasaran 2.1: Mengamankan dukungan dan keterlibatan masyarakat lokal Sasaran 2.2: Menjamin harmonisasi dan interaksi yang lebih baik antara berbagai zona biosfer Sasaran 2.3: Memadukan cagar biosfer kedalam perencanaan pembangunan regional

Goal 3: Memanfaatkan cagar biosfer untuk riset, monitoring, pendidikan dan pelatihan Sasaran 3.1: Meningkatkan pengetahuan tentang interaksi antara manusia dan biosfer Sasaran 3.2: Meningkatkan kegiatan monitoring Sasaran 3.3: Meningkatkan pendidikan serta kesadaran dan keterlibatan publik Sasaran 3.4: Meningkatkan pelatihan para manager dan specialist

Goal 4: Menerapkan konsep pengembangan cagar biosfer Sasaran 4.1: Memadukan fungsi-fungsi cagar biosfer Sasaran 4.2: Memperkuat World Network of Biosphere Reserves (WNBR)

Dari 92 kegiatan yang dirumuskan meliputi 32 kegiatan ditingkat internasional, 31 kegiatan ditingkat nasional dan 29 kegiatan ditingkat biosfer atau tapak; kegiatan tersebut mencakup 4 Goals masing-masing 9 kegiatan untuk Goal 1, 16 kegiatan untuk Goal 2, 29 kegiatan untuk Goal 3 dan 38 kegiatan untuk Goal 4. Artinya, sekitar 40% dari kegiatan yang diusulkan dalam Seville Strategy adalah untuk menerapkan konsep pembangunan cagar biosfer (Goal 4).

2.3 Madrid Action Plan (MAP)

MAP disahkan pada Kongress Dunia Biosfer Ketiga yang berlangsung di Madrid, Spanyol, pada tahun 2008. MAP disusun berdasar Seville Strategy, seperti diuraikan pada bagian dokumen sebelumnya, dimaksudkan untuk memanfaatkan (capitalize) keunggulan strategis dari instrumen Seville Strategy dan untuk meningkatkan cagar biosfer menjadi kawasan utama pembangunan berkelanjutan yang diakui secara internasional pada abad ini. Fokus dari MAP adalah dalam mewujudkan model pembangunan lestari ditingkat global, nasional dan lokal serta menjadikan cagar biosfer sebagai tempat belajar bagi para professional, pengambil keputusan, masyarakat ilmuwan dan peneliti, praktisi dan masyarakat luas dalam menterjemahkan prinsip-prinsip global pembangunan berkelanjutan kedalam kegiatan-kegiatan lokal yang relevan. Wewenang pengelolaan setiap unit cagar biosfer adalah oleh pemerintah terkait dan langkah-langkah yang disajikan dalam MAP dapat ditempuh bila dianggap sesuai untuk meningkatkan fungsi biosfer yang dikelola.

8 MAP adalah sebagai jawaban terhadap berbagai tantangan yang berkembang sejak Seville Strategy diadopsi pada tahun 1995. Tantangan yang dimaksud meliputi: - Meningkatnya perubahan iklim berikut akibat-akibatnya pada manusia dan ekosistem; - Meningkatnya kehilangan keragaman biologi dan budaya yang dikhawatirkan akan mengurangi kemampuan ekosistem untuk menghasilkan berbagai jasa yang sangat dibutuhkan manusia; dan - Meningkatnya laju urbanisasi yang merupakan faktor utama perubahan lingkungan.

MAP juga dimaksudkan untuk mendukung pencapaian sasaran-sasaran Millenium Development Goals (MDGs) melalui upaya-upaya relevan termasuk: - Membangun mekanisme untuk mendorong pembangunan berkelanjutan dari cagar biosfer melalui kerjasama seluruh segmen masyarakat; - Uji-coba dan aplikasi kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim melalui koordinasi program-program pemerintah; - Membangun dan menguji-coba kebijakan dan kegiatan yang ditujukan untuk mengatasi masalah- masalah terkait perusakan ekosistem; dan - Mempersiapkan program-program penelitian ilmiah guna mengenali upaya-upaya yang efektif dalam penyelamatan ekosistem.

Sasaran umum dari MAP adalah untuk: - Memperkuat agenda riset, pelatihan, pembangunan kapasitas dan demonstrasi oleh MAB dalam rangka menangkal berbagai issu terkait konservasi dan pemanfaatan keragaman hayati, mitigasi dan adaptasi perubahaan iklim serta sosial-ekonomi dan kesejahteraan masyarakat; - Memberdayakan secara aktif kawasan biosfer sebagai tempat pembelajaran pembangunan berkelanjutan; - Menghimpun, mempelajari dan menyebarkan pengalaman (lessons learnt) dari pelaksanaan program-program MAB selama tiga dekade terakhir, termasuk dari penerapan MAP selama periode 2008-2013; dan - Mendorong munculnya generasi baru professional dan praktisi yang mampu menjadi penghubung antara agenda-agenda lingkungan global dengan kegiatan/aspirasi ditingkat nasional dan lokal.

MAP menetapkan 4 lingkup aksi utama, 31 target dan 67 aksi yang dianggap penting untuk mencapai visi dan misi program MAB sebagai berikut: a. Lingkup aksi tentang kerjasama, pengelolaan dan komunikasi dengan 11 target dan 23 aksi; lingkup aksi ini dimaksudkan untuk: - Menjamin efektivitas cagar biosfer sebagai tempat pembelajaran untuk pembangunan berkelanjutan ditingkat global, nasional dan lokal; - Menjadikan cagar biosfer sebagai alat utama untuk mencapai sasaran-sasaran program MAB dan instrument nyata untuk memperagakan komitmen pada kelestarian sumber daya alam dan pembangunan melalui riset lapangan yang sesuai kebijakan, penguatan kapasitas dan demonstrasi. b. Lingkup aksi tentang zonasi yang mengkaitkan fungsi dengan ruang biosfer; memiliki 3 target dan 7 aksi; lingkup aksi ini diperlukan atas dasar pemikiran bahwa: - Cagar biosfer harus memiliki satu atau lebih zona inti, zona penyangga dan zona transisi agar memenuhi prinsip multi-fungsi dari suatu cagar biosfer; - Dalam menghadapi tantangan-tantangan yang berkembang, sangat penting untuk menerapkan fungsi zonasi yang lebih terintegrasi. Misalnya, zona transisi, selain untuk fungsi pembangunan dapat juga memiliki tujuan atau kegiatan konservasi; zona inti, selain memiliki

9 fungsi konservasi, dapat pula memiliki fungsi penyedia jasa lingkungan seperti carbon sequestration, soil stability, supply of clean water, dan lain-lain; - Perhatian khusus perlu diberikan pada buffer zone karena fungsinya adalah untuk meminimalkan efek negatif dari luar yang ditimbulkan oleh manusia terhadap zona inti; tetapi dapat juga berfungsi spesifik seperti untuk pemeliharaan keragaman hayati dan budaya atau penghubung elemen biodiversity di zona inti dengan zona transisi; dan - Zona transisi memiliki fungsi sentral menyangkut pembangunan sosial-ekonomi dan dicirikan dengan penerapan multiple land-use principles. c. Lingkup ilmu pengetahuan dan penguatan kapasitas dengan 10 target dan 21 aksi; lingkup aksi ini dibutuhkan atas dasar pemikiran bahwa: - Cagar biosfer berperan penting dalam menghasilkan pengetahuan tentang bekerjanya sistem alam, bagaimana memelihara jasa lingkungan dan ketangguhan ekosistem; tetapi sistem- sistem tersebut harus juga dimanfaatkan untuk mencipatakan penghasilan, lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat - Pembinaan kerjasama dan komunikasi antara ilmuwan, pengambil keputusan, sektor swasta dan segmen masyarakat lain dalam pengelolaan cagar biosfer adalah sangat penting - Cagar biosfer dapat memainkan peran penting sebagai tempat pembelajaran untuk pembangunan berkelanjutan. d. Lingkup aksi tentang partnership dengan 7 target dan 16 aksi; lingkup aksi ini dianggap penting untuk: - Memfokuskan upaya dalam membangun dan membina partnership, menampilkan inisiatif baru dan menciptakan proyek-proyek yang melibatkan kerjasama berbagai pihak guna mewujudkan fungsi cagar biosfer; - Menciptakan nilai tambah lain dari partnership berupa meningkatnya efektifitas strategi pengelolaan, perubahan sikap dari para pihak, perbaikan pengambilan keputusan dan dukungan teknis maupun finansial untuk operasi pengelolaan biosfer.

MAB Program telah berjalan hampir empat dekade; 105 cagar biosfer telah ditetapkan di 28 negara Asia-Pasifik dan beberapa cagar masih dalam proses penetapan. Dengan demikian, pengalaman dalam pengelolaan cagar biosfer telah luar biasa banyaknya baik menyangkut sukses atau kegagalan, masalah pengelolaan yang dihadapi maupun solusinya. Meskipun sudah disadari bahwa cagar biosfer adalah konsep yang handal untuk konservasi dan pembangungan berkelanjutan melalui keterlibatan para pihak (multiple stakeholders) dan penerapan pendekatan pengelolaan yang holistik, masih ditemukan banyak masalah dalam penerapan konsep tersebut khususnya dikawasan Asia-Pasifik, termasuk: i) masih terbatasnya pengertian tentang cagar biosfer dikalangan institusi pemerintah maupun organisasi lain yang terlibat khususnya menyangkut apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan didalam kawasan cagar biosfer; ii) kurangnya informasi tentang cagar biosfer, monitoring dan evaluasi yang tidak memadai, dan lemahnya komunikasi yang semuanya mengakibatkan pencitraan (branding) cagar biosfer yang tidak jelas; dan iii) masih adanya ketidak- sesuaian antara sasaran-sasaran pembangunan cagar biosfer dengan legislasi menyangkut konservasi dan pembangunan berkelanjutan yang mengakibatkan tidak tercapainya sasaran-sasaran yang diinginkan dan terbatasnya pengakuan cagar biosfer ditingkat nasional maupun internasional.

Atas dasar kajian pengalaman dalam pengelolaan cagar biosfer dikawasan Asia-Pasifik, UNESCO memberikan beberapa rekomendasi arah pengelolaan cagar biosfer dimasa mendatang sebagai berikut:

• Memperkuat monitoring dan evaluasi untuk memungkinkan evaluasi dari efektivitas pengelolaan dan meningkatkan ketersediaan informasi; dewasa ini sangat sulit untuk mengetahui kinerja

10 pengelolaan dari suatu cagar biosfer karena informasi yang terbatas dan lemahnya upaya monitoring kinerja secara konsisten; • Meningkatkan kesesuaian legislasi nasional dan lokal dengan sasaran-sasaran pembangunan cagar biosfer melalui identifikasi masalah-masalah legislasi dan penyiapan pedoman penyelesaian masalah yang efektif; • Mempersiapkan dan mengadopsi pedoman kerjasama (partnership) antara berbagai organisasi pemeritah dan non-pemerintah dan menetapkan struktur yang diperlukan untuk menerapkan pedoman kerjasama tersebut; • Membangun pilot-pilot proyek menyangkut mititgasi dan adaptasi perubahan iklim untuk mempelajari potensi peran cagar biosfer dalam mengatasi masalah perubahan iklim; • Meningkatkan upaya pengentasan kemiskinan dan pembangunan pedesaan dizona penyangga dan transisi dengan melibatkan sektor industri yang pada akhirnya akan menghasilkan dana yang dibutuhkan untuk konservasi zona inti; dan • Mempersiapkan strategi komunikasi yang melibatkan media massa agar dapat mencapai audience yang lebih luas termasuk pejabat-pejabat pemerintah ditingkat pusat serta daerah dan masyarakat luas guna meningkatkan kesadaran publik tentang fungsi cagar biosfer yang pada gilirannya akan menciptakan citra (brand) cagar biosfer yang diinginkan.

11 3. CAGAR BIOSFER INDONESIA DAN CAGAR BIOSFER CIBODAS

3.1 Cagar Biosfer Indonesia

Di Indonesia, terdapat 8 cagar biosfer yaitu: Tanjung Puting, Kalimantan Tengah (1977); Cibodas, Jawa Barat (1977); Lore Lindu (Sulawesi Tengah); Komodo, NTB (1977); Pulau Siberut, Sumatera Barat (1981); Gunung Leuser, Aceh (1981); Giam Siak Kecil, Riau (2009) dan Wakatobi, Sulawesi Tenggara (2012).

Tabel 1. Cagar Biosfer Indonesia s/d 2012

Nama Area Inti Tahun Penetapan Lokasi

1977 Kalimantan Tanjung Puting TN Tanjung Puting (415.040 Ha) tengah

TN Gunung Gede 1977 Cibodas Jawa Barat Pangrango (15.196 Ha)

1977 Sulawesi Lore Lindu TN Lore Lindu (229.000 Ha) Tengah

1977 NusaTenggara Komodo TN Komodo (173.300 Ha) Barat

1981 Sumatera Pulau Siberut TN Siberut (190.500 Ha) Barat

1981 Gunung Leuser TN Gunung Leuser Aceh (792.675 Ha)

Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil (SM) Giam Siak Kecil, 2009 Riau Batu Batu (SM) Bukit Batu, dan (705.271,44 Ha) HPT

Sulawesi Wakatobi TN Wakatobi 2012 (1.390.000 Ha) Tenggara

Semua cagar biosfer yang terdapat di Indonesia memiliki zona inti yang merupakan kawasan konservasi. Kawasan Konservasi (KK) memiliki peran yang tidak tergantikan sebagai benteng perlindungan spesies dan bagi upaya konservasi keragaman hayati serta jasa ekosistem yang dapat disediakannya. Saat ini di Indonesia telah ditetapkan kawasan konservasi seluas 26.819.385 ha dimana 61% diantaranya termasuk dalam kategori taman nasional. Taman nasional merupakan kawasan konservasi yang mempunyai ekosistem asli, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Pengelolaan kawasan konservasi saat ini adalah dengan penerapan yang ketat terhadap 3 pilar konservasi yaitu perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan lestari yang telah bergeser menjadi konservasi yang lebih mengakomodasikan pemanfaatan yang lestari serta pembagian yang adil atas manfaat sumberdaya alam kepada masyarakat lokal dan pemilik sumber daya alam.

12

Gambar 3. Peta Lokasi Cagar Biosfer di Indonesia

Di Indonesia, kebijakan cagar biosfer diatur dalam UU No 5 Tahun 1990 yang menyatakan bahwa cagar biosfer adalah suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem asli, ekosistem unik, dan atau ekosistem yang telah mengalami degradasi yang keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan bagi kepentingan penelitian dan pendidikan. Dalam implementasinya, belum adanya kebijakan dibawah UU yang mengatur lebih detil tentang konsep tersebut, menyebabkan konsep cagar biosfer di Indonesia belum terlaksana secara optimal. Walaupun peraturan perundang- undangan dan pedoman mengenai pengelolaan cagar biosfer masih belum memadahi, cagar biosfer harus tetap dikelola sesuai dengan tujuan penetapannya.

Disatu sisi, pola pengelolaan kawasan konservasi (KK) berorientasi kepada keadilan dan kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan kolaborasi atau pengelolaan KK berbasis masyarakat sekitar KK. Paradigma pembangunan lama yang bersifat top-down perlu direorientasikan menuju pendekatan bottom-up yang menempatkan masyarakat atau petani di pedesaan sebagai pusat pembangunan dan yang mendapatkan keuntungan terbesar dari pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan.

Selain itu peran cagar biosfer adalah bagaimana pemanfaatan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan serta bagaimana agar akses sumber daya alam dapat langsung dimanfaatkan oleh masyarakat serta pengaturan pembagian yang adil atas nilai ekonomi yang dihasilkan, adalah penting dilakukan untuk generasi saat ini dan generasi mendatang dan bagi kelangsungan kehidupan umat manusia. Pengelolaan cagar biosfer di Indonesia saat ini juga harus dapat menjawab tantangan masalah-masalah global seperti mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, pengentasan kemiskinan, dan pencegahan defisit air bersih. Sehubungan dengan itu pengelolaan cagar biosfer dikaitkan dengan program-program REDD (Reducing Emission from Deforestation dan Forest Degradation) dan PES (Payment for Environmental Services).

13 Untuk itulah diperlukan suatu kelembagaan formal yang dapat menerapkan konsep pengelolaan cagar biosfer. Di Indonesia, kelembagaan formal yang telah terbentuk berada di Cagar Biofer Cibodas dan Giam Siak Kecil Bukit Batu. Selebihnya, selain kelembagaan formal yang belum ada juga sistem zonasi cagar biosfer belum disepakati para pihak. Selain itu, hampir semua cagar biosfer di Indonesia belum mempunyai sistem pengelolaan yang terarah dan terpadu diantara sektor- sektor dan pemangku kepentingan yang terlibat, sehingga rencana pengelolaan terpadu cagar biosfer menjadi mutlak diperlukan.

3.2 Cagar Biosfer Cibodas 3.2.1 Penetapan Kawasan CBC

Menurut Undang Undang No. 5 Tahun 1990 cagar biosfer merupakan kawasan suaka alam yang dikelola dalam rangka kerja sama internasional. Namun demikian penetapan cagar biosfer tidak pernah dilakukan dengan dasar legal yang memadahi, kecuali untuk area intinya yang seluruhnya merupakan kawasan konservasi yang diatur oleh Undang-undang Konservasi. Untuk zona penyangga dan area transisi yang berada di luar kawasan konservasi maka legalitas pengelolaannya bergantung kepada status lahan yang ada. Namun diketahui bahwa zona penyangga dan zona transisi sebagian besar berada di lahan-lahan privat. Di beberapa negara penetapan cagar biosfer ditetapkan melalui parlemen sehingga mempunyai kekuatan hukum yang memadahi. Oleh sebab itu agar implementasi konsep cagar biosfer dapat dilakukan dengan efektif dalam rangka pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di CBC terutama di zona penyangga dan area transisi maka diperlukan dasar legal agar semua pemangku kepentingan dapat menjalankan konsep tersebut. Dasar legal yang paling kuat untuk pelaksanaan di tingkat lapangan adalah melalui Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Barat, kerena CBC terdiri dari tiga Kabupaten atau Peraturan Gubernur.

Beberapa materi yang perlu masuk di dalam Peraturan Daerah atau Peraturan Gubernur diantaranya adalah: 1. Definisi dan konsep cagar biosfer 2. Batas-batas cagar biosfer 3. Batas-batas zona 4. Rambu-rambu aturan pemanfaatan lahan dan kegiatan di setiap zona 5. Organisasi pengelolaan cagar biosfer 6. Sanksi pelanggaran

Selain itu, mengingat pengelolaan cagar biosfer melibatkan Kementerian Kehutanan sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan dan bertanggung jawab terhadap pengelolaan area inti, yaitu taman nasional, serta melibatkan pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten, maka ada baiknya dikembangkan suatu kerangka kerja sama antara kementerian kehutanan dengan pemerintah daerah sebagai basis legal implementasi konsep cagar biosfer.

Cagar Biosfer Cibodas ditetapkan pada tahun 1977 dengan area inti pada saat itu berupa Cagar Alam Cibodas-Gunung Gede (1040 Ha), Cagar Alam Gunung Gede Pangrango (14.000 ha), Taman Wisata Situ Gunung (100 Ha) dan Cagar Alam Cimungkat (56 Ha), yang kemudian menjadi Taman Nasional Gunung-Gede Pangrango (TNGGP) seluas 15.196 ha yang ditetapkan pada tahun 1980. Cagar Biosfer Cibodas yang secara administratif terletak di tiga wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi mempunyai batas luar berupa jalan raya lingkar Ciawi, Puncak, Cianjur, Sukabumi, Ciawi. Secara geografis kawasan ini terletak pada 106051’ – 107002’ BT dan 6041’ – 6051’ LS.

14 Konsep pengelolaan cagar biosfer menggunakan sistem zonasi dimana tapak cagar biosfer dibagi menjadi tiga zona yaitu (1) Area Inti, (2) Zona Penyangga, dan (3) Area Transisi. Pembagian zona di dalam CBC terdiri dari Area Inti (Core Area) yang merupakan kawasan konservasi berupa Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Telaga Warna, Zona Penyangga (Buffer Zone) yang merupakan areal yang dikelola untuk mendukung konservasi pada Area Inti, serta Area Transisi yang merupakan kawasan dengan pengelolaan yang lebih intensif namun tetap berazaskan pelestarian dan pembangunan berkelanjutan. Konsep cagar biosfer secara garis besar adalah seperti Gambar 3.

Gambar 4. Konsep pengelolaan cagar biosfer

Mengingat kondisi kawasan ini sebagai daerah penyangga kehidupan, pada kawasan Bogor, Puncak, Cianjur dan Sukabumi dimana CBC berada, pendekatan pembangunan berkelanjutan seharusnya telah diterapkan sejak awal. Namun demikian, karena lokasinya yang strategis di dekat ibukota negara serta keindahan panoramanya, kawasan ini lebih dikembangkan untuk pembangunan ekonomi dimana masalah sosial dan lingkungan banyak diabaikan. Beberapa peraturan baik di tingkat nasional maupun lokal telah diundangkan untuk mencegah kerusakan yang lebih parah.

Diantara peraturan tersebut adalah Keppres 114 Tahun 1999 tentang Penataan Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur dan yang terbaru adalah Undang Undang Nomor 26 Ttahun 2007 tentang Penataan Ruang yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dimana kawasan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi- Puncak-Cianjur (Jabodetabekpunjur) ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional. Pelaksanaan UU dan PP tersebut telah juga diatur melalui Peraturan Presiden No 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, yang memerlukan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang secara terpadu sebagai alat koordinasi pelaksanaan pembangunan lintas wilayah pada Kawasan Jabodetabekpunjur. Melalui Perpres 54 Tahun 2008 ini, diharapkan dapat terwujud keterpaduan penyelenggaraan penataan ruang antardaerah pada kawasan Jabodetabekpunjur serta berkembangnya perekonomian wilayah yang produktif, efektif dan efisien. “Kebijakan penataan ruang Kawasan Jabodetabekpunjur diarahkan pada keterpaduan penyelenggaraan penataan ruang kawasan dalam rangka mewujudkan keseimbangan antara pengembangan ekonomi dan pelestarian lingkungan hidup”. Konsep ini bertujuan untuk menselaraskan antara program pengelolaan sumberdaya alam dan konservasi keanekaragaman hayati dengan pembangunan berkelanjutan.

15 Perubahan tata ruang dan mandat keterpaduan pada Perpres 54 Tahun 2008 ini sangat relevan dengan penerapan konsep cagar biosfer (UNESCO-Man and Biosphere Program) pada CBC. Namun demikian mengingat kawasan ini sudah sangat berkembang maka diperlukan disain zonasi yang lebih fleksibel dengan kondisi terkini tanpa mengabaikan prinsip-prinsip pengelolaan cagar biosfer. Dalam kaitan ini disain zonasi CBC sebagai landasan utama dalam membuat arahan program pengelolaan, peraturan perundangan dan rencana kegiatan dalam setiap zona cagar biosfer harus dilandasi oleh sistem legal yang memadahi. Dalam konteks ini Undang Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang beserta aturan pelaksanaannya akan menjadi dasar legal yang cukup kuat dalam mendisain zonasi CBC.

3.2.2 Potensi dan Kondisi Kawasan

Informasi tentang potensi dan kondisi kawasan CBC telah dihimpun oleh Samedi, et.al. 2012 dan secara ringkas disajikan berikut ini. a. Zona Inti 1. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP)

Saat ini salah satu area inti CBC merupakan TN Gunung Gede Pangrango yang merupakan salah satu kawasan pertama yang ditetapkan sebagai kawasan taman nasional di Indonesia berdasarkan Pengumuman Menteri Pertanian pada tanggal 6 Maret 1980 yang kemudian ditetapkan dengan SK Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982 meliputi kawasan seluas 15.196 ha. Sebelumnya kawasan ini terdiri dari kawasan CA Cimungkat (56 ha), CA Cibodas (1.040 ha). Kawasan Hutan Gede Pangrango (14.000 ha) dan Taman Wisata Situ Gunung (100 ha). Selanjutnya dengan SK Menteri Kehutanan No 174/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003, luas TN Gunung Gede Pangrango yang semula 15.196 Ha ditetapkan menjadi 21.975 ha dan berada di tiga wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Adapun areal perluasan eks Perum Perhutani tersebut sebelumnya berfungsi sebagai hutan produksi, hutan lindung, tanah terlantar, lahan garapan masyarakat dan lahan lain-lain. Berdasar Berita Acara Serah Terima Pengelolaan No 002/BAST-HUKAMAS/III/2009, No 1237/II-TU/2/2009 tanggal 6 Agustus 2009 dari Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten kepada Balai Besar TNGGP, luas kawasan yang diserahkan adalah seluas 7665 ha, dengan demikian total luas TNGGP adalah 22.861 ha.

Sejarah panjang kegiatan konservasi dan penelitian dikawasan konservasi ini dimulai sejak tahun 1830 dengan terbentuknya kebun raya kecil di dekat Istana Gubernur Jenderal Kolonial Belanda di Cipanas, dan kemudian kebun raya kecil ini diperluas sehingga menjadi Kebun Raya Cibodas sekarang ini. Pemerintahan Kolonial Belanda sangat antusias untuk meningkatkan tanaman- tanaman penting dan bernilai ekonomis serta perkebunan komersial, sehingga dibangun suatu stasiun penelitian dan percobaan pertanian di dataran tinggi ini. Tidak lama setelah itu, botanis- botanis lokal kemudian mulai tertarik untuk meneliti keanekaragaman tumbuhan disekitar pegunungan ini. Abad 19 merupakan masa-masa terbesar dan penting dalam sejarah koleksi tumbuhan, dan Cibodas menjadi salah satu lokasi koleksi tumbuhan saat itu. Keunikan lain adalah Gunung Gede dan Gunung Pangrango merupakan bagian rangkaian gunung berapi yang membujur dari Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara, terbentuk sebagai akibat pergerakan lapisan kulit bumi secara terus menerus selama periode kuarter, sekitar 3 juta tahun lalu, dan dalam skala waktu geologi kedua gunung termasuk ke dalam golongan gunung muda. Letusan gunung gede pertama kali terjadi tahun 1747/1748. Setelah itu terjadi beberapa kali letusan kecil (1761, 1780, dan 1832), gunung Gede kemudian ”tertidur” hampir 100 tahun. Pada tanggal 12 November 1840 terjadi sebuah letusan yang besar dan disertai semburan api setinggi 50 m diatas kawah.

16 Kondisi hutan TNGGP relatif sangat baik bahkan termasuk ekosistem yang masih utuh di Pulau Jawa. Secara umum tipe-tipe ekosistem di dalam kawasan TNGGP dapat dibedakan menurut ketinggiannya, antara lain (a) ekositem hutan pegunungan bawah; (b) ekosistem hutan pegunungan atas; dan (c) ekosistem sub alpin. Selain ketiga tipe ekosistem utama tersebut, ditemukan beberapa tipe ekosistem khas lainnya yang tidak dipengaruhi oleh ketinggian tempat. Ekosistem tersebut yaitu (a) ekosistem rawa; (b) ekosistem kawah; (c) ekosistem danau; dan (d) ekosistem hutan tanaman. Di kawasan TNGGP teridentifikasi lebih dari 1500 jenis tumbuhan, sekitar 800 jenis satwa liar serta memiliki banyak objek wisata alam. Beberapa jenis satwa langka yang merupakan satwa endemis kawasan ini adalah elang jawa, owa jawa, macan tutul, dan berbagai jenis burung raptor. Jasa lingkungan yang dimiliki TNGGP selain penyerap karbon juga fungsi hidro-orologis dengan potensi 4,3 milyar liter air/tahun, objek wisata, serta kekayaan keanekaragaman hayati dengan nilai dan manfaat yang tinggi.

Sebagai zona inti dari CBC yang ditetapkan oleh UNESCO pada tahun 1977, peranannya sebagai daerah perlindungan system penyangga kehidupan, khususnya fungsi perlindungan hidrologis dan iklim, terutama bagi Kabupaten Cianjur, Sukabumi dan Bogor, sangat menonjol dan telah diakui serta dirasakan manfaatnya bagi masyarakat luas. Selain itu peranannya sebagai pengawetan keanekaragaman hayati yaitu dapat dijadikan sebagai sumber plasma nutfah bagi kehidupan manusia. Manfaat lain, baik langsung maupun tidak langsung yang dapat diperoleh dari kawasan ini adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan dan latihan, penunjang budidaya dan pariwisata.

Pada dasarnya, pengelolaan kawasan TNGGP disesuaikan dengan prinsip kebijaksanaan pengelolaan kawasan konservasi secara umum. Dalam “Global Biodiversity Conservation Strategy” (1992) disebutkan bahwa dalam rangka pelestarian, pengawetan dan pemanfaatan kawasan konservasi terdapat 3 (tiga) kelompok tahapan utama yaitu save (penyelamatan), study (penelaahan), dan use (pemanfaatan). Ketiga tahapan ini tidak selalu bersifat runtut (sequential) tetapi sering berjalan bersamaan (simultaneously). Pada umumnya kawasan konservasi di Indonesia masih pada tahap penyelamatan, yaitu penetapan suatu kawasan dengan luasan tertentu yang mengandung ekosistem tertentu beserta komponen pendukungnya. i. Sistem zonasi di TNGGP Sesuai ketentuan Pasal 32 dalam UU No. 5 Tahun 1990, bahwa kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan dan zona lainnya sesuai dengan keperluan. Untuk TNGGP akibat adanya perluasan kawasan, maka klafikasi zona adalah: zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona tradisional, zona rehabilitasi, zona konservasi owa jawa dan zona khusus. Setiap zona memiliki karakteristik khusus sehingga pengelolaan setiap zona berbeda karena disesuaikan dengan fungsi dan perannya dalam sistem ekologi kawasan konservasi.

Dalam implementasi aturan diatas, peruntukan masing-masing zona di TNGGP yang merupakan area inti CBC meliputi: a) Zona inti untuk perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna khas beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan, sumber plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa liar, untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya. b) Zona rimba untuk kegiatan pengawetan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan menunjang budidaya serta mendukung zona inti. c) Zona pemanfaatan untuk pengembangan pariwisata alam dan rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan, kegiatan penunjang budidaya.

17 d) Zona tradisional untuk pemanfaatan potensi tertentu taman nasional oleh masyarakat setempat secara lestari melalui pengaturan pemanfaatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. e) Zona rehabilitasi untuk mengembalikan ekosistem kawasan yang rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya. f) Zona konservasi owa jawa, untuk areal pelepasan liar owa jawa hasil rehabilitasi yang bertujuan selain dalam rangka pengembangan konservasi in situ satwa owa juga pengembangan program pemberdayaan masyarakat melalui restorasi kawasan zonasi tersebut. g) Zona khusus untuk kepentingan aktivitas kelompok masyarakat yang tinggal diwilayah tersebut sebelum ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional dan sarana penunjang kehidupannya, serta kepentingan yang tidak dapat dihindari berupa sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik. ii. Ketentuan perundangan terkait aspek pemanfaatan sumber daya alam hayati TNGGP - UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Kenakeragamanan Hayati dan Ekosistemnya - PP No. 28 Tahun 2011 (pengganti PP No. 68 tahun 1998) tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam - PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar - PP No. 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam, di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Hutan Raya - Dan peraturan Menteri Kehutanan di bawah peraturan pemerintah yang mengatur pemanfaatan potensi jasa lingkungan yang dimiliki TNGGP yang meliputi: Potensi Hidrologi Kawasan TNGGP merupakan daerah tangkapan dan pemasok air yang sangat penting bagi daerah sekitarnya. Tidak kurang dari 1.075 sungai dan anak sungai yang mendistribusikan air di tiga Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu DAS Ciliwung, DAS Citarum dan DAS Cimandiri terdapat di dalam kawasan ini. Dalam rangka mendukung pengembangan wisata, beberapa sungai telah dikembangkan untuk kegiatan wisata alam dan pendidikan lingkungan. Contohnya, Sungai Cisuren di Kompleks Air Terjun Barubolang untuk kegiatan water tracking. Selain dikembangkan untuk wisata, potensi hidrologi ini telah dimanfaatkan untuk kepentingan industri air minum dan beberapa kajian telah dilaksanakan untuk dapat dimanfaatkan sebagai energi terbarukan. Potensi Flora LIPI mencatat tidak kurang dari 1.500 jenis tumbuhan berbunga hidup di kawasan pelestarian ini. Dari hasil penelitian Liem (Phillipina) terungkap bahwa kawasan ini ditumbuhi tidak kurang dari 120 jenis lumut kerak. Tidak kalah menariknya adalah komposisi dan struktur tumbuhan. Bila memasuki kawasan ini bisa dinikmati perubahan paling tidak tiga tipe hutan, yaitu tipe Sub Montana (1.000 s/d 1.400 m dpl), Montana (1.500 s/d 2.400 m dpl.) dan Sub Alpin (2.400 s/d 3019 m dpl.). Bunga abadi atau edelweis (Anaphalis javanica), banyak digemari sebagai lambang keberhasilan pendakian dan lambang keabadian. Raflesia (Rafflesia rochussenii), banyak mengundang rasa penasaran orang karena langka dan unik serta endemik. Kantong semar (Nephentes gymnamphora) yang dikenal sebagai “Pembunuh Berdarah Dingin” unik dengan kantung penjebak serangga menggelantung diujung daun. Perut (Balanophora spp.), kiaksara (Macodes petola), pinang jawa (Pinanga javana), paku sutra (Diksonia blumei) dan beberapa jenis lain sudah langka, unik dan menarik.

18 Potensi Satwa Liar Menurut data yang ada, 260 dari 450 jenis burung di Jawa bisa ditemukan di TNGGP; 21 dari 25 jenis endemik Jawa juga hidup di kawasan ini, termasuk elang jawa (Spizaetus bartelsi) yang telah diresmikan sebagai satwa dirgantara. Macan tutul (Panthera pardus) merupakan predator terbesar di kawasan ini. Selain itu terdapat sekitar 110 jenis mamalia lain seperti, anjing hutan (Cuon alpinus), kijang (Muntiacus muntjak), owa (Hylobates moloch) dan surili (Presbytis comata). Tercatat sekitar 75 jenis binatang melata berkembang di Taman Nasional ini, antara lain bunglon (Pseudocalotes tymanistriga dan P. chamaeleontinus), bengkarung (Mabuya multifasciata), ular sanca (Python reticulatus), ular hijau (Ahaetulla prasina).

Owa Jawa, (Hylobates moloch)

Tercatat sekitar 20 jenis amfibi berada di hutan Gn. Gede, diantaranya katak bintik merah (Leptophyre cruentata) yang endemik Jawa Barat, katak serasah (Megophrys montana), katak pohon (Rhacophorus reindwardti) dan katak bibir putih (Rana chalconate). Tidak kalah menariknya adalah berbagai jenis serangga. Seorang ahli Zoologi asal Australia berhasil mengidentifikasi sebanyak 300 jenis serangga di kawasan ini. Beberapa diantaranya tawon (Vespa velutina), kumbang kayu (Episcapha glabra), bangbara (Bombus rufipes), kupu-kupu paris (Papillio paris) dan kupu-kupu ekor panjang (Actias maenas).

Hutan TNGGP dengan kekayaan floranya (foto Balai Besar TNGGP)

19 Potensi Keunikan Fenomena Alam Puncak Gunung Gede (2.958 m dpl.) dan Pangrango (3.019 m dpl.), kawah, alun-alun Suryakancana merupakan fenomena alam yang sangat menarik dan merupakan tujuan wisaata yang sangat digemari oleh bagi para pendaki di kawasan ini. Tercatat tujuh belas (17) air terjun berada di dalam kawasan ini; selain air terjun, ekosistem danau dan rawa juga merupakan potensi wisata yang banyak digemari seperti Danau Situgunung yang telah dilengkapi dengan sarana akomodasi dan Rawa Gayonggong. Bagi yang senang berkemah, tersedia bumi perkemahan Pondok Halimun di Selabintana, Bobojong di Gn. Putri, dan Barubolang di Cisarua. Kanopi trail di Bodogol diperuntukan bagi mereka yang ingin menikmati kehidupan di tajuk pohon.

Kawah Ratu, Telaga Biru dan kanopi trail, beberapa objek wisata dan sarpras penunjang wisata TNGGP (foto Balai Besar TNGGP)

Untuk mengoptimalkan pemanfaatan objek wisata alam, TNGGP telah mengembangkan berbagai paket wisata alam. Pengembangan ekowisata TNGGP berlandaskan 7 prinsip ekowisata, yaitu (1) ekologi/Konservasi, (2) pendidikan konservasi/lingkungan, (3) ekonomi, (4) sosial, (5) budaya, (6) partisipasi masyarakat, dan (7) kenyamanan dan keselamatan pengunjung. Adapun jenis-jenis kegiatan yang akan, sedang dan atau telah dikembangkan, antara lain: 1. Wisata Minat Khusus, antara lain bird watching, eksplorasi fauna (ekplorasi Owa Jawa, phantera watching, raptor exploration, dll), pengamatan flora, pengamatan kawah, dll. 2. Hiking ke Puncak Gunung Gede dan Puncak Pangrango 3. Wisata Pendidikan (education tourism) antara lain: school visit, kemah konservasi, outbound 4. Wisata Petualangan bersama Polhut (ranger patrol) 5. Wisata Budaya, pengamatan kehidupaan budaya Cimandean di Desa Cimande 6. Wisata Ziarah; situs legenda batu dongdang, sejarah Eyang Suryakencana, dll 7. Rekreasi ke air terjun 8. Wisata ke Puncak Gunung Gede dan Pangrango dengan skyline Dalam rangka mendukung pengembangan ekowisata yang optimal maka kegiatan ekowisata TNGGP dilengkapi fasilitas, sarana dan prasarana ekowisata, diantaranya: Wisma Tamu, Asrama Pendidikan, canopy trail, trail wisata, shelter, MCK, instalasi air bersih, Pusat Informasi, Pusat Pengunjung, dan lain sebagainya.

2. Cagar Alam dan Taman Wisata Alam (TWA) Telagawarna TWA Telaga Warna yang terletak di sekitar Puncak dan tidak jauh dari jalan raya Bogor - Cianjur memiliki pemadangan alam yang indah dengan udara yang sejuk. Di samping itu juga terdapat danau alam dengan kondisi alamnya yang relatif masih utuh merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Di TWA Telaga Warna juga terdapat obyek wisata budaya berupa makam keramat yang sering dikunjungi para peziarah. Kegiatan wisata yang dapat dilakukan antara lain menikmati panorama dan keindahan alam, foto, pengamatan burung dan lintas alam. Fasilitas yang telah tersedia bagi wisatawan antara lain pusat informasi, jalan setapak, MCK, shelter dan pos jaga.

Areal Telagawarna mempunyai dua status kawasan konservasi yaitu cagar alam dan taman wisata alam. Fitur utama di kawasan ini adalah danau dataran tinggi dengan temperatur rata-rata 20o C dengan kemiringan sekitar 45o yang merupakan tempat sempurna untuk kunjungan wisata. Oleh sebab itu Telagawarna harus dikembangkan untuk kunjungan wisata dan dapat dibuat jaringan dengan obyek-obyek wisata di sekitarnya. Sebelum ditetapkan menjadi Taman Wisata Alam, Telaga Warna merupakan bagian dari Cagar Alam Gunung Mega Mendung dan Gunung Hambalang yang ditetapkan pada tahun 1972. Kawasan ini merupakan hulu sungai Ciliwung dan dapat menjadi penyangga TNGGP dan dapat pula diarahkan untuk dikelola sebagai tempat penelitian dan pendidikan lingkungan alam.

Karena kawasan ini merupakan kawasan konservasi maka pengelolaannya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan pelaksanaan Undang-undang No. 5 Tahun 1990. Namun demikian pengembangan paket-paket ekowisata wisata dengan mengkaitkan semua obyek wisata harus dilakukan untuk dapat menyebarkan sehingga mengurangi tekanan daya dukung pengunjung.

3. Taman Wisata Alam Jember

TWA Jember terletak di antara batas wilayah administrasi kabupaten Bogor dan Cianjur tepat di Puncak dan ditunjuk oleh Menteri Pertanian pada tahun 1979 dengan luas kurang lebih 50 ha.

Potensi yang dimiliki TWA Jember selain bentang alam juga terdapat flora dan fauna yang dilindungi seperti kantong semar, elang jawa, kancil dan lain sebagainya. TWA Jember juga dapat menjadi home range dari berbagai satwa yang berasal dari TNGGP juga CA/TWA Telagawarna mengingat letaknya yang bersebelahan dengan kata lain adalah koridor satwa area inti cagar biosfer cibodas. Oleh karena itu dalam pengelolaanya mengacu pada pengelolaan kawasan hutan konservasi. b. Zona Penyangga

Zona penyangga biasanya mengelilingi atau berbatasan langsung dengan area inti. Zona penyangga dimanfaatkan untuk kegiatan yang sesuai untuk mendukung konservasi di area inti. Dalam zona penyangga disarankan hanya ada kegiatan yang berwawasan ekologis, seperti pendidikan lingkungan, rekreasi, ekoturisme dan riset dasar. Hasil identifikasi Dr Samedi et al, 2012 terdapat 180 desa yang masuk dalam zona penyangga CBC dengan 42 desa di kabupaten Bogor, 51 desa desa di kabupaten Cianjur dan 87 desa di kabupaten Sukabumi (hasil rekapitulasi data statistik dan pengumpulan data di lapangan).

21 Kondisi umum dari desa-desa di zona penyangga berdasarkan kabupaten adalah seperti di bawah ini.

Kondisi Desa Penyangga di Kabupaten Cianjur Berdasarkan data statistik Kecamatan Cianjur Dalam Angka Tahun 2009, 2010 dan 2011 lebih dari 20 desa yang masuk dalam zona penyangga CBC, diantaranya yaitu Desa-desa Nyalindung, Sukamulya, Mangunkerta, Galudra, Padaluyu, Talaga, Cirumput, Ciloto, Sindangjaya, Cimacan, Gadog, Sukatani, Cipandawa, Ciherang, Ciputri, Bunikasih, Tegallega, Mekarwangi, Kebon Peuteuy, dan Gekbrong. Desa-desa tersebut termasuk dalam 3 (tiga) kecamatan meliputi Pacet, Cugeneng dan Warung Kondang. Kondisi topografi desa secara umum berada pada ketinggian 1.000-1.500 m dpl dengan kemiringan landai sampai terjal.

Tutupan lahan desa pada zona penyangga CBC secara berurutan didominasi oleh sawah tadah hujan, perkebunan, semak belukar dan ladang. Sumberdaya alam utama yang dihasilkan meliputi pertanian (palawija, tanaman hias/bunga), peternakan (kambing, domba, ayam) dan perikanan air tawar. Mata pencaharian penduduk mayoritas adalah petani dan buruh perkebunan teh, dan sebagian lainnya bermatapencaharian dibidang peternakan dan perikanan.

Kondisi Desa Penyangga di Kabupaten Sukabumi Berdasarkan data statistik Kecamatan Sukabumi Dalam Angka Tahun 2009, 2010 ada 22 desa dimana pada tahun 2011 dan 2012 terjadi banyak pemekaran desa yang masuk dalam zona penyangga CBC, diantaranya yaitu Desa-desa Benda, Sukamulya, Nanggerang, Girijaya, Wangun Jawa, Gede Pangrango, Pawenang, Ginanjar, Sukamanis, Sukamaju, Babakan Panjang, Cipetir, Karawang, Cisarua, Cikembang, Kalaparea, Cikahuripan, Darmareja, Langensari, Sundajaya Girang, Sukamaju, Cihanjawar. Desa-desa tersebut termasuk dalam 7 (Tujuh) kecamatan meliputi Kecamatan Caringin, Cicurug, Kadudampit, Nagrak, Sukabumi, Sukalarang dan Sukaraja. Kondisi topografi desa secara umum berada pada ketinggian 500-1.000 mdpl dengan kemiringan landai sampai terjal. Tutupan lahan desa-desa yang berada dalam zona penyangga CBC di dalam wilayah Kabupaten Sukabumi secara berurutan didominasi oleh sawah tadah hujan, perkebunan, semak belukar dan ladang. Sumber daya alam utama yang dihasilkan terutama meliputi pertanian (padi dan palawija), peternakan (domba, kambing dan ayam) dan perikanan (air tawar). Mata pencaharian penduduk desa-desa tersebut mayoritas adalah petani dan buruh (buruh perkebunan dan pertanian) dan sebagian kecil memiliki mata pencaharian di bidang peternakan dan perikanan.

Kondisi Desa Penyangga di Kabupaten Bogor Berdasarkan data statistik Kecamatan Bogor Dalam Angka Tahun 2009 ada 17 desa yang masuk dalam zona penyangga CBC yaitu desa-desa Citeko, Cibeureum, Tugu Selatan, Sukagalih, Sukagalih, Kuta, Cilengsi, Citapen, Cibedug, Bojong Murni, Jambu Luwuk, Pancawati, Cinagara, Lemah Duhur, Cimande, Pasir Buncir, Cigombong. Desa-desa tersebut berada di dalam wilayah 5 (Lima) kecamatan meliputi Cisarua, Megamendung, Ciawi, Caringin, Cigombong. Potensi sumber daya alam dan ekonomi desa-desa tersebut diuraikan secara lengkap dalam laporan Zonasi Cagar Biosfer Cibodas yang disusun Dr Samedi et al, 2012. Kondisi topografinya secara umum berada pada ketinggian 500-1.500 mdpl dengan kemiringan landai sampai terjal.

Tutupan lahan desa-desa yang berada dalam zona penyangga CBC secara berurutan didominasi oleh perkebunan, sawah tadah hujan, sawah irigasi, ladang dan semak belukar. Sumber daya alam utama yang dihasilkan meliputi pertanian (padi, palawija dan sayuran), perkebunan (buah- buahan berupa alpukat, durian, pepaya, nenas dan pisang). Mata pencaharian penduduk pada desa penyangga yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Bogor mayoritas adalah petani, buruh dan wiraswasta (berdagang dan perhotelan).

22 c. Zona transisi

Area transisi CBC adalah berupa perkotaan, daerah pertanian, perikanan dan kegiatan manusia lainnya serta area dimana masyarakat lokal, dinas-dinas terkait, ilmuwan, LSM, kelompok- kelompok budaya, masyarakat ekonomi dan pemangku pihak lainnya bekerja bersama-sama untuk mengelola dan membangun sumberdaya di area tersebut secara berkelanjutan.

Sebagaimana di zona penyangga, area transisi juga dimanfaatkan untuk praktek-praktek pembangunan ekonomi dan sosial. Riset berupa eksperimen dapat dilakukan untuk mengetahui pola dan proses di dalam ekosistem. Bentang alam rusak atau yang telah mengalami modifikasi dapat dimasukkan ke dalam areal rehabilitasi untuk restorasi ekologi sebagai upaya mengembalikan produktivitas yang berkelanjutan.

Melihat peran cagar biosfer yang harus mempromosikan atau mengedepankan pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan, area transisi menjadi signifikan secara ekonomi dan sosial bagi pembangunan daerah. Para pemangku kepentingan harus sepakat untuk membangun wilayah tersebut secara berkelanjutanyang dituangkan ke dalam peraturan atau sistem legal lainnnya, sehingga mengikat bagi seluruh pihak untuk menjalankannya. Kondisi desa-desa di area transisi secara umum disetiap kabupaten dapat diuraikan sebagai berikut:

Kabupaten Cianjur Berdasarkan data Statistik Kecamatan Cianjur dalam Angka Tahun 2009, 2010, dan 2011 ada 21 desa yang masuk ke dalam zona transisi CBC; desa-desa tersebut termasuk dalam 7 (tujuh) kecamatan. Secara umum kondisi topografi desa-desa dalam area tersebut bervariasi mulai dari kondisi berbukit, landai sampai dengan datar, dan berada pada ketinggian 1.200 m dpl. Kondisi topografi yang demikian menjadi pendukung kegiatan pertanian, perkebunan, peternakan dan pariwisata yang menjadi komoditi utama desa-desa tersebut. Tutupan lahannya kabupaten Cianjur sebagian besar didominasi lahan persawahan dan sebagian kecil lainnya terdiri dari lahan perkebunan, pemukiman, dan areal peruntukan lainnya.

Komoditi utama yang dihasilkan desa-desa dalam zona transisi CBC dalam wilayah kabupaten Cianjur adalah pertanian, dan sebagian kecil berupa komoditi perkebunan dan peternakan. Mata pencaharian penduduk yang berada di areal transisi ini mayoritas petani dengan tingkat pendidikan sebagian besar lulusan SLTP.

Kabupaten Sukabumi Di wilayah Kabupaten Sukabumi, terdapat 38 (tiga puluh delapan) desa yang masuk dalam 10 (sepuluh) kecamatan di dalam zona transisi CBC. Secara umum, kondisi topografi desa-desa ini landai dengan kondisi tutupan lahan berupa pertanian (sawah irigasi), perkebunan dan APL. Hal ini sangat berpengaruh terhadap mata pencaharian penduduk yang mayoritas petani dengan komoditi utama berupa padi dari sawah irigasi.

Kabupaten Bogor Zona transisi CBC wilayah Kabupaten Bogor meliputi 5 (lima) kecamatan dengan jumlah desa transisi sebanyak 19 (sembilan belas) desa. Sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani tanaman pangan dan sayuran. Kondisi topografi desa-desa tersebut berbukit dan landai, serta tutupan lahan yang di dominasi oleh sawah tadah hujan dan pemukiman. Konflik tata guna lahan yang banyak terjadi adalah ketidaksesuaian anatara RTRW dengan pemnafaatannya, contohnya kawasan yang diperuntukan sebagai daerah resapan air dansawah tadah hujan ternyata menjadi areal pemukiman dan kawasan industri tidak ramah lingkungan.

23

3.3 Keunggulan Cagar Biosfer Cibodas

Cagar Biosfer Cibodas yang berada di Propinsi Jawa Barat dan merupakan bagian dari Kawasan Strategis Nasional, (KSN) sudah tertata dalam suatu tata ruang dalam bentuk zonasi kawasan yang saling terkait dan saling mendukung satu sama lainnya. Hanya tinggal bagaimana merealisasi pengembangan wilayah secara terpadu dengan konsep cagar biosfer tersebut di atas yang dapat dicapai melalui pengembangan sistem tata ruang yang tepat. Selain itu Cagar Biosfer Cibodas telah didukung oleh berbagai kebijakan seperti KSN, yang bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya hayati dan lingkungannya secara lestari dan bermanfaat.

Sistem tata ruang ini mencakup kawasan konservasi sebagai area inti yang dilindungi secara ketat yang dikelilingi oleh kawasan penyangga yang menekankan pada pengelolaan yang ramah lingkungan, serta secara keseluruhan (kawasan konservasi dan penyangga) tersebut dikelilingi oleh area transisi yang merupakan kawasan kerjasama untuk mengembangkan jenis-jenis hayati potensial yang memiliki keunggulan secara ekonomi dan juga ekologi dalam rangka mempromosikan pembangunan berkelanjutan. Implementasinya melalui pendekatan perencanaan bioregional yang mengintegrasikan konservasi keanekaragaman hayati ke dalam pembangunan berkelanjutan. Pengelolaan kawasan Cagar Biosfer harus dirancang konsepnya agar mampu menjawab suatu tantangan dalam rangka menyelaraskan tujuan upaya konservasi keanekaragaman hayati dengan pengembangan ekonomi dan sosial serta sekaligus juga melestarikan nilai-nilai budaya yang terkait di kawasan tersebut. Artinya bahwa pengelolaan kawasan secara terpadu selain didasarkan pada penataan tata ruang juga melibatkan semua pemangku kepentingan di kawasan tersebut termasuk masyarakatnya.

Salah satu keunggulan penerapan konsep Cagar Biosfer dalam mengelola suatu kawasan konservasi adalah bahwa di dalam konsep ini pengelolaan suatu kawasan konservasi (area inti) tidak cukup hanya fokus menjaga dan melindungi kawasan konservasi itu saja, melainkan diperlukan pula suatu upaya terintegrasi dan terpadu untuk mengembangkan kawasan di sekitarnya. Pengembangan kawasan penyangga dan area transisi di sekitar kawasan konservasi tersebut sebenarnya dalam rangka melindungi kawasan konservasi itu sendiri dan meningkatkan kualitas kawasan sekitarnya secara menyeluruh melalui pengembangan ekonomi dengan memanfaatkan keunggulan potensi sumber daya alam yang dimiliki kawasan tersebut. Untuk itu diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:

1) Penyusunan tata ruang di kawasan tersebut yaitu tata ruang yang mempunyai pola zonasi untuk konservasi dan pembangunan; 2) Pengelolaan harus didasarkan pada pendekatan ekosistem, artinya selain menjaga dan melindungi kawasan konservasi diperlukan pula upaya pengembangan wilayah di sekitar kawasan konservasi (zona penyangga dan area transisi) agar supaya kawasan konservasi tersebut menjadi terlindungi. Disamping itu pengelolaan kawasan yang didasarkan pada pendekatan ekosistem tersebut juga dapat mengintegrasikan keanekaragaman budaya dengan keanekaragaman hayati, terutama peran pengetahuan tradisional dalam pengelolaan ekosistem; 3) Pengelolaan lebih menitik-beratkan pada pendekatan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder) yang secara khusus menekankan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan kawasan; 4) Penyusunan tata ruang sesuai dengan fungsi dan perannya sehingga tidak menimbulkan konflik kepentingan yang dapat menyebabkan terjadinya konflik pemanfaatan sumber daya alam;

24 5) Pengelolaan kawasan harus didasarkan pada kajian ilmiah (hasil penelitian) dan diikuti dengan kegiatan monitoring dan evaluasi; 6) Langkah-langkah pengelolaan kawasan harus mengedepankan kepentingan meningkatkan kualitas hidup masyarakat di kawasan tersebut melalui pengembangan sumber daya alam potensial tanpa mengurangi upaya konservasi dalam kerangka pembangunan berkelanjutan.

3.4. Ancaman dan Tantangan Pengelolaan

Informasi tentang ancaman dan tantangan serta analisa konflik yang ada di CBC telah dihimpun oleh Purwanto, et.al. 2012 dan secara ringkas disajikan berikut ini.

Tantangan pengelolaan CBC adalah bagaimana menyelaraskan kepentingan ekonomi dengan kepentingan konservasi sekaligus dalam mengelola sumber daya alam hayati di kawasan cagar biosfer. Konflik antara kepentingan konservasi dengan kepentingan ekonomi ini berkembang pada tataran konflik tata ruang, konflik pemanfaatan sumber daya alam hayati, konflik kepemilikan lahan, dan konflik perambahan.

Ekosistem TNGGP sebagai area inti CBC sekaligus sebagai kawasan konservasi, ditinjau dari konteks ekosistem regional saat ini dapat dikatakan sedang mengalami tekanan yang tinggi. Hal ini disebabkan karena telah terdegradasinya atau berubahnya fungsi penutupan lahan di sekitar kawasan terutama dari pembangunan berbagai sarana wisata massal. Hampir seluruh areal di sekitar kawasan taman nasional telah berubah fungsi. Perubahan penutupan lahan di sekitar kawasan TNGGP mengakibatkan kawasan ini terisolasi dengan kawasan ekosistem hutan di sekitar. Oleh karena itu proses keseimbangan ekologis akan berlangsung seolah-olah seperti ekosistem pulau (efek bio-geografi pulau), dimana proses penyederhanaan komponen ekosistem di dalam kawasan sedang dan telah terjadi. Permasalahan utama adanya pemutusan/fragmentasi habitat satwaliar akan menyebabkan terjadinya proses inbreeding, persaingan antar dan inter populasi spesies satwaliar (persaingan ruang, pakan dan air). Proses ini akan berlangsung menurut satuan waktu tertentu sesuai dengan skala intensitas gangguan dan secara bersamaan akan menyebabkan kepunahan jenis dimulai dari jenis-jenis yang memiliki sebaran toleransi hidupnya kecil, seperti serangga, predator, dan lain-lain. Karena itu, pengelolaan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya menjadi prioritas pengelolaan TNGGP.

Perubahan Ekosistem Regional Kebijakan • Pengalihan Fungsi Lahan • Pengembangan Terganggunya Sarana dan Degradasi habitat jenis Prasarana Ekosistem satwa dan • Pengembangan TNGGP tumbuhan khas Ekonomi Wilayah, • dll

Degradasi Ekosistem • Pengambilan air berlebihan • Kebakaran Hutan • Pengambilan sumberdaya

Gambar 5. Beberapa permasalahan yang dapat mengganggu kelestarian ekosistem TNGGP pada masa yang akan datang (Sumber TNGGP).

25

3.4.1. Definisi konflik

Pengertian konflik adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih baik bersifat individu maupun kelompok yang disebabkan karena perbedaan dalam hal pandangan, pendapat, kepentingan, nilai, aktivitas, status, harga diri, perebutan hak, dan kelangkaan sumber daya alam. Sebenarnya penyebab utama terjadinya konflik adalah karena adanya perbedaan pandangan dan kepentingan mengenai sesuatu hal dari dua kubu atau lebih baik secara individu maupun kelompok. Perbedaan yang menyebabkan konflik tersebut dapat pula disebabkan karena adanya sasaran- sasaran yang tidak sejalan atau tidak sama dalam meraih suatu tujuan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Fisher et al. (2001) yang mengungkapkan bahwa konflik muncul karena ada sasaran-sasaran yang tidak sejalan atau tidak sama. Marina dan Dharmawan (2011) menyatakan bahwa konflik akan selalu ditemui selama manusia menjalankan peranannya di dalam kehidupan. Manusia melakukan berbagai usaha untuk memenuhi kebutuhannya, yang dalam pelaksanaannya manusia harus melaksanakan hak dan kewajibannya. Ketika merealisasikan hak-hak manusia yang merupakan bagian dari komunal, sering terjadi benturan-benturan antara pemenuhan hak-hak tersebut. Benturan-benturan tersebut menimbulkan ketidakadilan dan memicu tumbuhnya konflik antar manusia. Selanjutnya Tadjudin (2000) menyatakan bahwa sumber yang menimbulkan konflik adalah karena adanya perbedaan dan perbedaan tersebut bersifat mutlak yang artinya secara obyektif memang berbeda, walaupun perbedaan tersebut hanya ada pada tingkat persepsi. Oleh karena itu pandangan mengenai konflik tersebut terjadi karena ada anggapan bahwa pihak lain bisa dipersepsikan memiliki sesuatu yang berbeda dan pihak lain memang dicurigai sebagai berbeda, meskipun secara obyektif sama sekali tidak terdapat perbedaan.

3.4.2. Jenis-jenis konflik

Menurut Hendricks (1996) dalam Ilham (2006) menyatakan bahwa terdapat beberapa karakteristik dari konflik yaitu: (1) Apabila terjadi meningkatnya konflik, maka perhatian pada konflik itu akan meningkat pula; (2) Adanya keinginan yang kuat untuk menang seiring dengan meningkatnya keinginan pribadi; (3) Orang yang menyenangkan dapat menjadi berbahaya bagi orang lain, seiring dengan meningkatnya konflik; (4) Strategi manajemen konflik yang berhasil pada tingkat konflik tertentu, sering tidak efektif pada tingkat konflik yang lebih tinggi; (5) Konflik dapat melampaui tahapan yang lazim; dan (6) Seseorang dapat menjadi individu yang berbeda selama berada dalam konflik. Oleh karena itu konflik dapat berubah pada setiap saat, pada berbagai aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahap-tahap ini penting untuk diketahui dalam rangka membantu menganalisis berbagai dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan masing-masing tahapan konflik (Fisher et al., 2001). Berdasarkan hasil pengamatan, secara umum jenis konflik yang terjadi di kawasan Cagar Biosfer Cibodas meliputi: (a) Konflik tata ruang dan tata guna lahan; dan (b) Konflik Pemanfaatan SDAH. Penyebab terjadinya konflik pemanfaatan sumberdaya alam di CBC adalah: 1. Perbedaan persepsi: Perbedaan persepsi terjadi ketika pihak taman nasional (pengelola kawasan konservasi) menganggap masyarakat sebagai perambah hutan dan pelaku illegal aktivitas (encroachment, illegal logging, illegal hunting, illegal collection of NTFPs, etc.). Sedangkan masyarakat lokal menganggap alih fungsi dari hutan produksi ke taman nasional menghambat akses mereka terhadap hutan baik berupa tumpang sari, pemanfaatan hasil hutan maupun perburuan satwa. 2. Perbedaan tata nilai: Perbedaan dalam menilai fungsi hutan terjadi ketika pihak taman nasional menganggap kawasan Gunung Gede Pangrango sebagai kawasan hutan yang perlu dijaga kelestariannya karena merupakan daerah resapan air dan memiliki keanekaragaman yang tinggi, sehingga diperlukan upaya konservasi. Sedangkan masyarakat lokal menilai hutan sebagai

26 tempat pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari mereka dan sebagai tempat spiritual yang dipercaya memiliki nilai religi dan historis. 3. Perbedaan kepentingan: Perbedaan kepentingan terjadi ketika pihak taman nasional memiliki kepentingan konservasi pada kawasan Gunung Gede Pangrango dan masyarakat lokal memiliki kepentingan terhadap Gunung Gede Pangrango sebagai ruang hidup. Masing-masing pihak memiliki kepentingan yang berbeda atas obyek yang sama yaitu hutan. Masyarakat lokal memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap kawasan Gunung Gede Pangrango untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga mustahil bagi mereka untuk meninggalkan dan lepas dari kawasan TNGGP. Selain itu Balai Besar TNGGP beranggapan bahwa kawasan hutan Gunung Gede Pangrango perlu untuk di konservasi karena memiliki keanekaragaman yang tinggi. Kepentingan-kepentingan yang berbeda dan masing-masing pihak merasa bahwa kepentingannya yang harus didahulukan membuat pihak-pihak tersebut konflik. 4. Perbedaan dalam akuan hak kepemilikan (claim): Hal ini terjadi ketika pihak Taman Nasional menganggap bahwa kawasan TNGGP sebagai milik Negara karena tidak terbebani hak atas tanah, namun masyarakat lokal menganggap bahwa kawasan Gunung Gede Pangangro adalah wariskan oleh leluhur untuk anak-cucu mereka. Sebagai contoh sertifikasi lahan kawasan konservasi oleh oknum masyarakat di kawasan penyangga untuk kepentinga pribadi. Konflik perbedaan akuan hak kepemilikan juga terjadi antara TNGGP dengan Pemerintah Kabupaten di sekitarnya, terutama mengenai klaim pemanfaatan ruang. Sebagai contoh kawasan perluasan TNGGP areal alih fungsi dari Perum Perhutani, oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi sesuai dengan rencana tata tuang yang mereka tetapkan, kawasan tersebut sebagai kawasan budidaya. Hal ini akan menimbulkan konflik antara kepentingan konservasi dengan kepentingan budidaya. a. Konflik tata ruang dan tata guna lahan

Konflik tata ruang dan tata guna lahan yang terjadi dalam suatu daerah terutama untuk daerah yang memiliki intensitas pembangunan tinggi dilatarbelakangi oleh pandangan para perencana dan birokrat yang tidak tegas dalam menentukan arah kebijakannya yaitu antara untuk kepentingan ekonomi sesaat atau untuk pembangunan ekonomi yang berkelanjutan yang memiliki keuntungan ekonomi dan sekaligus ekologi. Konflik tata ruang antara daerah satu dengan daerah yang lainnya salah satu penyebabnya adalah masih adanya euphoria kekuasaan dalam konteks otonomi daerah masih kental melekat pada kebijakan pembangunan ditingkat daerah. Pengaruh negatif yang muncul akibat dari pembangunan di suatu wilayah dan menjadi masalah bagi wilayah lainnya tidaklah menjadi hambatan ketika secara ekonomis masih menguntungkannya. Sebagai contoh penyusunan tata ruang di kawasan penyangga CBC yang disusun Pemda masih kurang mengacu pada dampak yang ditimbulkan untuk daerah di sekitarnya. Pemberian ijin pembangunan fisik di kawasan lindung di kawasan zona penyangga dan transisi secara tidak langsung mengurangi daya serap air hujan, sehingga aliran permukaan menjadi lebih besar dan tentu sebagggai akibatnya adalah melimpahnya air mengalir ke kawasan di sekitarnya seperti Depok, Jakarta, Bekasi dan Tangerang. Sehingga tidak heran apabila Jakarta selalu mendapat kiriman air hujan dari kawasan Bogor. Penyusunan tata ruang dan tata guna lahan hendaknya mengacu pada bentuk hubungan antar berbagai aspek antara lain: sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sumber daya buatan, sosial, budaya, ekonomi, teknologi, informasi, administrasi, Hankam, fungsi lindung dan budidaya, dan estetika lingkungan. Kemudian bentuk produknya adalah suatu konsep tata ruang dan tata guna lahan yang mengacu pada aspek ekonomi dan ekologis serta aspek sosial budaya masyarakat di kawasan tersebut. Keseimbangan antara kepentingan ekonomi dengen kepentingan ekologi menjadi pertimbangan utama karena kerusakan ekologi yang diakibatkan oleh kesalahan penyusunan tata ruang memiliki pengaruh yang berlangsung secara terus-menerus dan dalam waktu yang lama.

27 Sehubungan dengan peruntukan tata ruang dan tata guna lahan agar tidak terjadi konflik kepentingan, maka seharusnya dilakukan secara seksama dan cermat mengacu pada kondisi aktual melalui kajian ekonomi, ekologi dan aspek sosial budaya. Ketidaksinkronan dalam merencanakan tata ruang akan menjadi boomerang bagi daerah bersangkutan. Oleh karena itu penyusunan tata ruang harus tidak tumpang tindih antara ruang untuk program pembangunan secara sektoral dengan program pembangunan daerah atau regional. Adanya integrasi penyusunan tata ruang wilayah dengan wilayah sekitarnya dapat mengurangi konflik pengelolaan kawasan atau wilayah. Untuk itu kebijakan penyusunan tata ruang daerah (kawasan cagar biosfer misalnya) diarahkan untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam memanfaatkan potensi daerah yang didasarkan atas kondisi, potensi serta kegiatan daerah yang ada dan diperkirakan akan berkembang di daerah bersangkutan. Pengelolaan tata ruang di CBC seharusnya terintegrasi antara wilayah Sukabumi, Cianjur, Bogor dan wilayah DKI Jakarta, mengingat bahwa penataan ruang di suatu daerah memiliki pengaruh pada daerah yang lainnya, yang memiliki pengaruh pada sistem ruang secara keseluruhan. Pada umumnya Pemda dalam penataan ruang sering kurang memperhatikan keseimbangan dan keserasian lingkungan sekitar. Oleh karena itu perencanaan tata ruang menuntut dikembangkannya suatu sistem keterpaduan sebagai ciri utamanya. Pemerintah daerah di kawasan CBC dalam penyusunan tata ruang dan tata guna lahan memiliki kendala utama yaitu acuan data masih banyak mengandalkan data yang kadaluwarsa, tidak akurat dan kurang tepat guna. Data potensi dan kelemahan kawasan belum terdokumentasi secara sentral dan peta yang dijadikan dasar perencanaan belum tersedia. Diperparah lagi nafas otonomi yang berpusat pada kebijakan parsial daerah nampak begitu begitu kentara dijadikan dasar dalam kebijakannya. Kendala lain dalam penyusunan tata ruang wilayah yang kita temukan di kawasan CBC adalah tentang sinergitas ekologi, sosial dan budaya sebagai cerminan dalam memperhitungkan dampak penyusunan tata guna lahan masih tersamarkan oleh alasan untuk keuntungan ekonomi. Untuk itu terdapat beberapa catatan mengenai penyusunan tata ruang wilayah Kabupaten yang berkaitan dengan CBC kurang mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: (1) Informasi kondisi geografi kawasan: informasi kondisi geografi kawasan masih sangat terbatas dan tidak sesuai dengan kriteria kawasan (2) Data analisa spasial: terbatasnya ketersediaan data analisis spasial yang akurat, misalnya ketersediaan peta dasar dengan skala peta yang akurat (3) Aspek yuridis: kekuatan hukum rencana tata ruang kawasan, sehingga apabila terjadi pelanggaran, maka ada konsekuensi hukumnya (4) Kewenangan instansi atau birokrasi: ada kejelasan instansi yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan tata ruang berikut pengawasan dan monitoringnya. (5) Pengaturan atau kebijakan penataan ruang (6) Kebijaksanaan penyelenggaraan penataan ruang yang jelas (7) Aspek perizinan dan status penguasaan sumber daya alam (8) Perundang-undangan yang berlaku: kawasan cagar biosfer masuk dalam kawasan pengembangan prioritas nasional Pola pemanfaatan ruang kawasan CBC disusun berdasarkan hasil deliniasi yang didasarkan pada kriteria kawasan konservasi (sebagai area inti) dan kawasan budidaya (sebagai kawasan zona penyangga dan area transisi) yang dipengaruhi oleh rencana pembangunan pemerintah dan swasta, rencana struktur wilayah, status penguasaan tanah dan perizinan, rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang lebih tinggi dan RTRW pemda yang bersebelahan dan rencana tata guna sumberdaya alam lainnya. Susunan pola pemanfaatan ruang ini dapat disajikan dalam berbagai bentuk seperti peta atau buku. Setidaknya sajian dalam peta maupun buku harus meliputi data dan fakta daerah yang akurat, rencana pemanfaatan ruang, dan kebijakan penataan ruang.

28 Penataan ruang dan pengelolaan kawasan CBC merupakan fenomena yang relatif baru bagi masyarakat dan Pemerintah Daerah di kawasan ini, sehingga banyak dijumpai ketimpangan- ketimpangan dan penyimpangan dari berbagai rencana. Dari berbagai kasus yang terkait dengan tata ruang kawasan akhir-akhir ini seperti disebutkan diawal bagian ini menunjukan bahwa penataan ruang harus dilakukan secermat mungkin. Untuk itu dalam penataan ruang harus memperhatikan beberapa hal antara lain: (a) Situasi lingkungan strategis dan perkembangan dalam skala global, regional, dan nasional; dan (b) Perencanaan penataan ruang harus berorientasi pada masa depan. Oleh karena itu kondisi data dan informasi lingkungan termasuk peta yang tersedia sangat berpengaruh dan sangat menentukan bobot rencana pengembangan wilayah yang diwujudkan dalam rencana tata ruang daerah bersangkutan. Tantangan tersebut diatas menimbulkan suatu permasalahan dalam mengimplementasikan konsep cagar biosfer di kawasan ini. Salah satu permasalahan yang menimbulkan konflik adalah pemanfaatan lahan dan pengaturan tata ruang kawasan. Permasalahan yang nampak dalam pengaturan tata ruang adalah adanya tumpang tindih peruntukan lahan baik pada tingkat lokal, regional maupun nasional. b. Konflik pemanfaatan kehati Konflik pemanfaatan SDAH antara masyarakat lokal yang tinggal di sekitar kawasan konservasi dengan kawasan konservasi TNGGP meliputi pemanfaatan hasil hutan non-kayu seperti pinus, damar, paku tiang, buah-buahan (buah canar, buah konyal, buah saninten), jenis tumbuhan hias, kayu bakar, bambu, dan hasil hutan lainnya. Secara tradisional masyarakat memanfaatkan keanekaragaman jenis hasil hutan non kayu tersebut yang berasal dari kawasan konservasi TNGGP. Oleh karena itu TNGGP memetakan ke dalam sistem zonasi Taman Nasional yang salah satunya adalah zona pemanfaatan tradisional seperti kita lihat pada Gambar 6.

29

Gambar 6. Peta zona pemanfaatan tradisional Pemanfaatan tradisional hasil hutan non kayu yang diekstrak dari kawasan konservasi sering menimbulkan permasalahan apabila tidak dilakukan dengan baik cara pemanenannya (pengambilannya). Sebagai contoh pengambilan damar, bila dilakukan secara berlebihan dan cara pengambilannya yang tidak benar maka akan mengakibatkan kerusakan pada pohon damar di kawasan konservasi. Oleh karena itu pemanfaatan hasil hutan non kayu (NTFPs) oleh masyarakat perlu pengawasan yang ketat dan kerjasama yang komprehensif antara masyarakat dengan pengelola kawasan konservasi.

Konflik pemanfaatan sumber daya hasil hutan tersebut dapat kita lihat melalui data tentang kegiatan illegal yang dilakukan masyarakat terhadap hasil hutan yang terdapat di kawasan konservasi yang menjadi area inti cagar biosfer. Kegiatan illegal yang dilakukan masyarakat meliputi pencurian berbagai jenis hasil hutan yang memiliki nilai ekonomis, diantaranya adalah: 1) Kegiatan illegal logging: pencurian kayu seperti kayu rasamala, kayu puspa, kayu kihuut, huru leer 2) Kegiatan pencurian hasil hutan non kayu: bunga aggrek dan eldeweis, pohon pakis, buah- buahan, kulit kayu kilemo, pencurian kulit kayu kina dan damar 3) Perburuan liar: babi hutan dan satwa dilindungi trenggiling

Terjadinya konflik pemanfaatan sumber daya hasil hutan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat lokal di sekitar kawasan konservasi masih tergantung pada hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Oleh karena itu upaya peningkatan pendapatan masyarakat lokal di sekitar kawasan konservasi harus menjadi prioritas utama dalam rangka menjaga kelestarian kawasan konservasi disamping melalui pemahaman, penyadaran dan peningkatan pengetahuan. Upaya peningkatan eknomi masyarakat di sekitar kawasan konservasi dapat dilakukan melalui berbagai cara seperti menciptakan kegiatan ekonomi berbasis sumber daya yang dimiliki di kawasan tersebut melalui adopsi teknologi tepat guna, pengembangan produk hasil hutan non kayu yang memiliki nilai ekonomi, pengembangan pertanian terpadu, dan lain-lainnya.

30 b.1. Konflik lahan garapan

Konflik lahan garapan antara TN Gunung Gede Pangrango dengan masyarakat di sekitar kawasan terjadi karena adanya perluasan areal kawasan TN Gunung Gede pangrango bekas areal PT Perhutani. Bekas lahan PT Perhutani berupa kawasan hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas seluas 7.655,03 Ha diserahkan kepada TN Gunung Gede Pangrango dan berubah fungsi menjadi kawasan konservasi. Sehingga luas Total TN Gunung Gede Pangrango = 22.851,03 ha.

Catatan: Luas kawasan TNGGP 22.851,03 Ha (Lama seluas 15.196 Ha dan perluasan seluas 7.655,03 Haa)

Gambar 7 . Peta perluasan kawasan TN Gunung Gede Pangrango

Sedangkan untuk peta perubahan fungsi dari kawasan hutan produksi tetap dan produksi tidak tetap PT Perhutani menjadi kawasan hutan konservasi TN Gunung Gede pangrango dapat dilihat pada Gambar 7. Peta tersebut menunjukkan perluasan kawasan TN Gunung Gede Pangrango menjadi 22.851,03 ha dari luas sebelumnya 15.196 ha. Sehingga pembagian luas TN Gunung Gede Pangrango di ketiga kabupaten sebagai berikut: Kabupaten Cianjur seluas 4.650,58 ha, kabupaten Bogor seluas 8.044,76 ha dan kabupaten Sukabumi seluas 10.198,03 ha.

Gambar.8 Peralihan Fungsi Kawasan Hutan Perhutani Menjadi Kawasan Hutan Konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

b. 2. Perambahan

Istilah perambahan disini mungkin kurang pas, namun karena masyarakat menggarap kawasan konservasi maka digunakan istilah perambahan kawasan. Walaupun sebenarnya masyarakat telah menggarap kawasan bekas PT Perhutani yang dimasukkan ke dalam kawasan konservasi tersebut. Namun karena kawasan tersebut telah dialih fungsikan sebagai kawasan konservasi maka penggarapan lahan yang dilakukan masyarakat dapat dikategorikan sebagai perambahan. Perambahan yang terjadi di kawasan TNGGP sebenarnya terjadi pada kawasan bekas PT Perhutani bukan di kawasan TN sebelum perluasan. Kawasan ini pada awalnya merupakan kawasan hutan produksi tetap dan kawasan hutan produksi tidak tetap yang dikelola oleh PT Perhutani dan dalam pengelolaannya masyarakat diperbolehkan menggarap lahan tersebut untuk kegiatan usahatani sayuran. Sehubungan dengan perubahan fungsi kawasan hutan menjadi kawasan hutan konservasi, maka kegiatan usahatani di kawasan hutan ini tidak diperbolehkan lagi sehingga menimbulkan konflik antara para petani penggarap dengan Balai Besar TNGGP sebagai pengelola kawasan konservasi TNGGP. Berdasarkan data tahun 2012, luas total areal yang dirambah masyarakat adalah seluas 1.222 Ha oleh 2.763 KK. Peta perambahan tersebut ditampilkan pada Gambar 9.

32

Gambar 9. Peta perambahan kawasan konservasi TN Gunung Gede Pangrango seluas 1.222 ha

Adapun rekapitulasi perambahan atau luas garapan di kawasan konservasi bekas hutan PT Perhutani adalah seperti disarikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Rekapitulasi luas lahan garapan di bekas PT Perhutani

No Lokasi Luas Garapan (Ha) Jumlah Penggarap (Orang) 1 Bidang I Cianjur 313,211 1090 2 Bidang II Sukabumi 463,9 1280 3 Bidang III Bogor 127,3293 393 JUMLAH 904,4403 2763

Luas kawasan hutan konservasi yang masih digarap oleh masyarakat seluas 905,4403 ha dan data terakhir tahun 2012 luas garapan menjadi seluas 1.222 ha yang digarap oleh 2.763 Kepala Keluarga (KK).

4. IMPLEMENTASI KONSEP CAGAR BIOSFER DI CBC

4.1 Sistem Zonasi yang Berlaku

Cagar Biosfer Cibodas (CBC) ditetapkan pada tahun 1977 dengan area inti pada saat itu berupa Cagar Alam Cibodas-Gunung Gede (1040 Ha), Cagar Alam Gunung Gede Pangrango (14.000 ha), Taman Wisata Situ Gunung (100 Ha) dan Cagar Alam Cimungkat (56 Ha), yang kemudian menjadi Taman Nasional Gunung-Gede Pangrango (TNGGP) seluas seluas 15.196 ha yang ditetapkan pada tahun 1980. Cagar Biosfer Cibodas yang secara administratif terletak di tiga wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi mempunyai batas luar berupa jalan raya lingkar Ciawi, Puncak, Cianjur, Sukabumi, Ciawi. Secara geografis kawasan ini terletak pada 106051’ – 107002’ BT dan 6041’ – 6051’ LS.

Penetapan batas buatan berupa jalan raya pada CBC dimaksudkan untuk mempermudah dileniasi di lapangan. Namun demikian, daerah-daerah penting di sebelah luar jalan dikeluarkan dari sistem pengelolaan cagar biosfer. Sebagai contoh Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Telaga Warna yang letaknya sangat berdekatan dan secara ekologis mempunyai kedekatan dengan TNGGP berada di luar sistem CBC. Zonasi CBC ditetapkan dengan area inti berupa TNGGP dengan zona penyangga berupa kawasan perkebunan, dan desa wisata, serta sisanya berupa area transisi. Gambar 10 memperlihatkan zonasi CBC saat ini (Samedi, et.al. 2012).

Luas total CBC adalah sekitar 108.000 ha dengan zonasi yang memperlihatkan batas luar yang jelas, namun batas antar zona, terutama antara zona penyangga dengan area transisi masih belum terlalu jelas karena merupakan batas imajiner yang berupa hasil “GIS buffering” di atas peta dengan jarak buffer sekitar 2 km dari batas luar kawasan taman nasional. Area inti berupa taman nasional yang pada saat ditetapkan luasnya 15.196 ha dengan batas-batas berupa pal batas taman nasional. Zona Penyangga ditetapkan berupa Perkebunan Teh PTP Gunung Mas, Taman Safari Indonesia Peternakan Tapos dan Kampung Wisata Pancawati dengan luas sekitar 12.700 ha. Zona terluar berupa Area Transisi merupakan pemukiman dan lahan budidaya lainnya termasuk hutan produksi (yang dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 174 tahun 2003 telah dirubah statusnya menjadi areal perluasan taman nasional) dengan luas area transisi sekitar 80,104 ha yang seluruhnya dibatasi oleh jalan raya Gadog-Ciawi-Sukabumi-Cianjur-Puncak-Gadog.

Secara umum zonasi CBC menunjukkan bentuk yang ideal, dimana area inti sepenuhnya dikelilingi oleh zona penyangga dan di bagian paling luar sepenuhnya dikelilingi area transisi. Namun demikian zonasi tersebut ditetapkan tidak melalui analisis yang lebih mendalam dan hanya dilakukan di atas peta dan menggunakan kriteria yang terbatas, maka penerapan di lapangan dapat menimbulkan masalah, terutama karena belum pernah dikonsultasikan secara publik dan batas- batasnya imajiner, kecuali batas terluar.

Selain itu walaupun penggunaan jalan raya sebagai batas cagar biosfer dapat memudahkan dalam pengelolaan dan dilineasi, dari sisi ekologis dan penetapan dasar legal dapat menyulitkan. Banyak desa yang terpotong oleh jalan raya sehingga hanya sebagian wilayah desa yang masuk dalam sistem cagar biosfer. Hal tersebut dapat menyulitkan apabila cagar biosfer telah mempunyai dasar legal dimana ada suatu wilayah administratif (desa) yang hanya sebagian diatur dan dikenai pembatasan-pembatasan, padahal satu desa tersebut mempunyai kharakteristik yang homogen. Gambar dibawah ini memperlihatkan wilayah-wilayah administrasi (desa) yang berada di batas wilayah cagar biosfer yang terpotong oleh jalan raya Gambar 11.

34 Gambar 10. Zonasi Cagar Biosfer Cibodas saat ini

Gambar 11. Wilayah administrasi desa Cagar Biosfer Cibodas

35 4.2 Usulan Zonasi CBC

4.2.1 Metoda

Metoda yang digunakan dalam disain penyesuaian zonasi CBC adalah dengan menganalisa secara spatial dengan alur sebagaimana terlihat dalam diagram pada Gambar 12. Data yang dikumpulkan berupa data spasial dan data tekstual. 1. Peta Taman Nasional Gn Gede 2. Peta Citra Resolusi Tinggi 3. Peta Desa di sekitar TNGGP 4. Peta Kawasan Lindung Jabar 5. Peta Kawasan Non Lindung Jawa Barat 6. Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Gede Pangrango 7. Peta Rencana Pola Ruang Jabar 8. Peta Arahan Penanganan Kawasan Strategis 9. Peta Dasar berupa Peta Rupa Bumi

Sedangkan data tekstual berupa Statistik Desa, Kecamatan atau Kabupaten dan dokumen Rencana Tata Ruang Nasional, Provinsi Jawa Barat atau Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi, termasuk dokumen Kawasan Strategis Nasional Jabodetabekpunjur. Selain itu data lapangan yang diperoleh berdasarkan kunjungan lapangan menjadi data pendukung untuk menentukan kriteria zona dan arahan pengelolaan.

Batas CBC direvisi dengan Jalan Lingkar Ciawi-Sukabumi-Cianjur-Cipanas-Ciawi sebagai referensi, namun dengan memasukkan bagian dari desa yang terpotong jalan, memasukkan CA dan TWA Telaga Warna dan memasukkan desa-desa dengan tutupan lahan baik berdasarkan citra satelit.

4.2.2 Kriteria zonasi

Kriteria zonasi ditentukan berdasarkan lokasi administratif desa, pola ruang, pola hidrologi, kerawanan terhadap bencana dan tutupan lahan. Kriteria-kriteria tersebut adalah sebagai berikut:

1. Area Inti ditetapkan dengan kriteria seluruh kawasan TNGGP dan Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Telaga Warna. 2. Zona Penyangga ditetapkan dengan kriteria seluruh desa yang berbatasan langsung dengan taman nasional dan Cagar Alam dan Taman Wisata Alam (desa layer ke 1), kawasan dengan tutupan vegetasi baik dilihat dari citra satelit resolusi tinggi, daerah resapan air, kawasan rawan bencana (KRB) III (selalu terancam aliran lava, gas beracun dan awan panas) dan kawasan lindung berdasar RTRW. 3. Area Transisi ditetapkan berdasarkan desa layer kedua di belakang zona penyangga, pemukiman berupa kawasan pedesaan yang bukan zona penyangga, dan KRB II (berpotensi terhadap aliran lava, gas beracun dan awan panas) dan KRB I (berpotensi dilanda aliran lahar) yang bukan zona penyangga.

4.2.3 Analisis zonasi

Bersamaan dengan tahapan pemetaan sebagaimana terlihat dalam Gambar 12, dilakukan tahapan analisis spasial untuk menentukan zona dan klasifikasi wilayah-wilayah untuk arahan pengelolaan. Analisis spasial dilakukan di dalam platform GIS dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS Versi 9.3.(ESRI, 2008). Tahapan-tahapan tersebut seperti disarikan pada Gambar 6 dapat diuraikan sebagai berikut:

36

Tahap 1: Pembuatan peta dasar kawasan TNGGP beserta daerah di sekelilingnya termasuk CA dan TWA Telaga Warna dan desa-desa yang berada di sekitarnya samapi ke layer ke 2 atau 3 setelah batas taman nasional. Batas kawasan taman nasional menjadi batas antara Area Inti dengan Zona Penyangga.

Tahap 2: Membuat daftar daerah sekitar TNGGP dan CA dan TWA Telaga Warna dan desa-desa di sekelilingnya beserta kondisi saat ini.

Tahap 3: Membuat analisis potensi daerah sekitar TNGGP dan CA dan TWA Telaga Warna dan desa-desa di sekelilingnya, serta membuat analisis kemungkinan pengembangan daerah tersebuut berdasar potensi masing-masing desa sebagai berikut: a. Potensi Sosial dan Ekonomi b. Potensi Budaya c. Potensi Wisata d. Kegiatan saat ini (pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, bisnis, usaha industri rumah tangga, potensi konflik penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya seperti pemukiman di atas resapan air, dan sebagainya) e. Kemungkinan pengembangan wilayah untuk mendukung CBC, keterkaitan dengan TNGGP dan Telagawarna dan pengembangan wilayah setempat

Tahap 4: Klasifikasi kemungkinan pengembangan kegiatan di dalam setiap zona, seperti berikut: 1. Area Inti: a. Kawasan terbatas b. Penelitian dan pemantauan keanekaragaman hayati dan fitur fisik lainnya c. Ekoturisme, wisata budaya dan religi d. Pendidikan konservasi e. Pengendalian melalui pemanfaatan HHBK IAS f. Pemanfaatan jasa ekosistem g. Restorasi 2. Zona Penyangga a. Ekoturisme dan turisme berbasis alam b. Pendidikan Konservasi c. Konservasi ex situ d. Pertanian berkelanjutan, seperti pertanian organik, peternakan terpadu dengan pengembangan energi alternatif (misalnya biogas), daur ulang, dsb. e. Perkebunan ramah lingkungan f. Ekonomi berkelanjutan g. Cagar budaya h. Pendidikan lingkungan 3. Area Transisi a. Industri ramah lingkungan b. Pemukiman ramah lingkungan

Tahap 5: GIS Analisis, klasifikasi poligon berdasar kelas kemungkinan pengembangan kegiatan sebagaimana dihasilkan dalam analisis tahap 4.

37

Data Peta

Start 1. Dokumen RTRW 1. Peta Taman Nasional Gn Gede 2. Peta Citra Satelit Resolusi Tinggi Nasional, Provinsi, (Quickbird, 2009) Kabupaten, 3. Peta Desa di sekitar TNGGP 2. Data Statistik Desa, 4. Peta Kawasan Lindung Jabar 3. Informasi Lapangan 5. Peta Kawasan Non Lindung Jawa Barat 6. Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Gede Pangrango 7. Peta Rencana Pola Ruang Jabar 8. Peta Arahan Penanganan Kawasan Strategis 9. Peta dasar berupa Peta Rupa Bumi 10. Peta Batas Cagar Biosfer Cibodas 1977

Kriteria Area Inti Kriteria Zona Penyangga Kriteria Area Transisi 1. Desa Batas Langsung 1. Desa layer ke 2 setelah 1. Taman Nasional Gn Gede Pangrango TNGGP (layer ke 1) batas zona penyangga 2. Tutupan Lahan Baik 2. Pemukiman berupa 2. CA, TWA Telaga Warna kawasan pedesaan 3. Daerah Resapan Air yang bukan zona

4. KRB III penyangga 5. Kawasan lindung 3. KRB II, I yang bukan berdasar RTRW zona penyangga

Yes No

Desa Transisi dan Batas Desa Penyangga Luar

Arahan Pengelolaan Arahan Pengelolaan Arahan Pengelolaan Area Inti Zona Penyangga Area Transisi

End

Gambar 12. Diagram alur pembuatan desain zonasi cagar biosfer

38

4.2.4 Zonasi usulan

Konsep zonasi pada cagar biosfer didisain cukup fleksibel dan dapat diimplementasikan dalam berbagai cara untuk memenuhi atau disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi lokal. Di Indonesia cagar biosfer umumnya dibangun dengan taman nasional (walaupun UU No. 5 Tahun 1990 menyebut bahwa cagar biosfer merupakan kawasan suaka alam) sebagai area inti yang dikelilingi oleh zona penyangga dan area transisi yang dikelola sedemikian rupa untuk mendukung upaya konservasi keanekaragaman hayati di dalam kawasan konservasi.

Usulan penyempurnaan zona CBC dilakukan agar pengelolaan cagar biosfer dapat dilakukan dengan efektif dengan memperhatikan kondisi dan lingkungan strategis terkini serta sesuai dengan kriteria untuk mendukung implementasi pembangunan berkelanjutan di wilayah Bogor, Cianjur dan Sukabumi yang mendukung Kawasan Strategis Nasional Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi-Puncak- Cianjur (Jabodetabekpunjur).

Batas luar dan luasan CBC Pada saat diusulkan pertama kali untuk ditetapkan, CBC dibatasi oleh jalan raya yang melingkar dari Ciawi-Sukabumi-Cianjur-Cipanas-Cisarua-Ciawi. Walaupun penetapan batas dengan menggunakan jalan raya dapat memudahkan terutama dalam dileniasi batas dan posisi jalan raya secara geografis relatif tidak berubah, namun secara ekologis dan administratif jalan raya tersebut telah memotong ekosistem yang serupa dan wilayah administratif desa. Untuk itu diusulkan batas cagar biosfer direvisi dengan tetap memakai batas lama (jalan raya) sebagai referensi namun dengan memperhatikan satu kesatuan batas wilayah desa dan kondisi tutupan lahan di sekitar dan sepanjang batas lama tersebut. Dengan demikian tidak ada satu desa yang hanya sebagian wilayahnya saja yang masuk di dalam cagar biosfer.

Selain itu, dengan berubahnya batas cagar biosfer, maka CA dan TWA Telaga Warna yang pada batas lama berada di luar sistem cagar biosfer, namun yang sebenarnya mempunyai tipe ekosistem yang berkaitan dengan TNGGP akan masuk ke dalam sistem cagar biosfer. Dengan demikian area inti CBC menjadi dua kawasan konservasi.

Dengan berubahnya batas luar CBC maka total luas kawasan cagar biosfer berubah dari semula 108.000 ha menjadi 167.000 ha (Gambar 13).

4.3 Arahan Pengelolaan Ruang CBC Berdasarkan kondisi faktual dari kawasan CBC dan tujuan pengelolaan pada umumnya, Samedi, et.al. (2012) mengusulkan 9 arah pengelolaan CBC seperti pada Tabel 3 (No. 1 s/d 9). Kebijakan penelitian dan pengembangan (R & D) serta monitoring diusulkan untuk dimasukkan secara eksplisit agar sesuai dengan konsep dasar pembangunan cagar biosfer dan arahan Seville Strategy maupun Madrid Action Plan. Arahan pengelolaan pada Tabel 3 secara rinci disajikan pada Lampiran 1.

39

Tabel 3. Arahan kebijakan pemanfaatan ruang CBC Zona No. Arahan kebijakan Zona Inti Zona Transisi Penyangga 1. Ekowisata/tourisme berbasis alam X X X 2. Pendidikan konservasi/lingkungan X X X 3. Pertanian berkelanjutan - X X 4. Perkebunan ramah lingkungan - X X 5. Ekonomi berkelanjutan (termasuk pemanfaatan jasa lingkungan HHBK X X X dikawasan terbatas) 6. Cagar budaya - X X 7. Industri ramah lingkungan - X X 8. Pemukiman ramah lingkungan - X X 9. Rehabilitasi DAS X X X 10. Penelitian dan pengembangan (R & D) X X X (dan monitoring lingkungan)

Catatan: No. 10 adalah tambahan terhadap usulan Samedi, et.al. 2012

40

Gambar 13. Cagar Biosfer Cibodas usulan baru

41 5. RENCANA STRATEGI TERPADU PENGELOLAAN CBC

5.1 Definisi dan Relevansi Strategi

Secara umum, strategi dapat diartikan sebagai rangkaian program dan kegiatan yang dianggap efektif untuk merubah suatu kondisi (bermasalah) yang tidak diinginkan menjadi suatu kondisi (bebas masalah) yang diinginkan. Karena itu, suatu strategi selalu memiliki tiga elemen dasar yaitu: i) titik awal yg merupakan kondisi bermasalah yang tidak diinginkan, ii) titik tujuan yang merupakan kondisi bebas masalah yang diinginkan; dan iii) rangkaian program dan kegiatan yang melakukan proses transformasi titik awal menjadi titik tujuan atau yang merupakan intervensi pengelolaan untuk merubah kondisi yang tidak diinginkan menjadi kondisi yang diinginkan.

Strategi pengelolaan adalah intervensi berupa program dan kegiatan yang dianggap efektif untuk mencapai sasaran-sasaran pengelolaan yang diinginkan sesuai arahan kebijakan yang berlaku melalui penyelesaian masalah-masalah pengelolaan yang dihadapi oleh pengelola baik yang bersifat institusi maupun teknis operasi.

Bila demikian, suatu strategi hanya akan efektif apabila titik awal yang bermasalah betul-betul dimengerti oleh perencana strategi. Untuk itu, informasi detil dan terpercaya menyangkut kondisi serta permasalahan demografis, social-ekonomi, budaya, bio-fisik dan lingkungan harus tersedia dan dimengerti; titik tujuan harus dirumuskan secara benar berdasar arahan kebijakan nasional yang berlaku dengan memperhatikan konsep dasar pembangunan dan pengelolaan cagar biosfer seperti tertuang dalam dokumen Seville Strategy; dan program serta kegiatan yang relevan harus dirumuskan berdasar masalah faktual pengelolaan.

1 Strategy 1‐11 11

2 22 Strategy 4‐11 3 33

4 Strategy 4‐44 44

Gambar 14. Loci kondisi awal, kondisi yang diinginkan dan relevansi strategi

Relevansi strategi pengelolaan CBC di ilustrasikan pada Gambar 14 sebagai berikut:

• Apabila Titik 1, dikenali sebagai kondisi awal pengelolaan CBC, dan Titik 11 adalah kondisi yang ingin dituju, maka strategi yang relevan untuk diterapkan adalah Strategi 1-11

• Apabila Titik 4 adalah kondisi awal yang benar dan Titik 11 adalah kondisi yang ingin dicapai, maka strategi yang relevan untuk diterapkan adalah Strategi 4-11

• Apabila Titik 4 adalah kondisi awal yang benar dan Titik 44 adalah kondisi yang sesungguhnya ingin dicapai, maka strategi yang relevan untuk diterapkan adalah Strategi 4-44

• Artinya, relevansi dari suatu strategi yang diterapkan sangat dipengaruhi oleh ketepatan dalam mendefinisikan kondisi Titik awal dan Titik tujuan. Dalam Gambar 14 dimuka, Strategi 1-11

42

hanya relevan untuk transformasi Titik 1 menjadi Titik 11, tidak relevan untuk transformasi Titik 4 menjadi Titik 11 atau transformasi Titik 4 menjadi Titik 44

• Relevansi strategi juga sangat tergantung pada kesesuaian program dan kegiatan dengan masalah-masalah aktual pengelolaan yang dihadapi karena program dan kegiatan adalah alat untuk menyelesaikan masalah yang ada. Pengenalan masalah yang teliti dan tepat akan memfasilitasi perencanaan program dan kegiatan yang relevan dan sesuai untuk menyelesaikan masalah-masalah pengelolaan. Relevansi serta kesesuaian program dan kegiatan sangat menentukan tingkat efektivitas penyelesaian masalah dan pencapaian tujuan pengelolaan.

5.2 Ciri Pokok Strategi yang Diinginkan

• Harus sesuai dengan konsep dasar pembangunan cagar biosfer seperti tertuang dalam dokumen Seville Strategy maupun Madrid Action Plan yaitu: perencanaan program dan kegiatan pembangunan yang didasarkan pada konsep zonasi cagar biosfer melalui pendekatan ekosistem • Harus sejalan dengan peraturan perundangan pengelolaan CBC yang berlaku khususnya PP No. 26 Tahun 2008 dan Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2008 dan Keppres No. 114 tahun 1999 tentang Penataan Ruang untuk Pembangunan di Wilayah Bogor, Puncak dan Cianjur • Harus problem solving oriented; artinya, rencana strategi pengelolaan harus relevan untuk menyelesaikan masalah-masalah pengelolaan aktual maupun potensial • Harus partisipatif; artinya, rencana strategi pengelolaan harus didasarkan pada hasil-hasil konsultasi dan mencerminkan aspirasi dari para pihak yang terlibat dalam pengelolaan CBC • Harus adaptif artinya perlu penyesuaian antar waktu berdasar progress dalam implementasi dan dinamika lingkungan cagar biosfer • Harus efektif, artinya mampu mewujudkan fungsi konservasi lingkungan yang sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan • Harus bersifat kolaboratif yang berarti bahwa sesuai dengan sifat multi-sektor dari pengelolaan cagar biosfer, strategi yang dibangun harus dilaksanakan secara kolaboratif antar sektor yang dapat mewujudkan harmoni antara pembangunan lingkungan, ekonomi dan sosial secara berimbang.

5.3 Pendekatan

Pengalaman menunjukkan bahwa beberapa kelemahan yang sering terjadi dalam penyiapan rencana strategi pengelolaan adalah sebagai berikut: − Kekeliruan dalam menentukan titik awal atau titik berangkat karena informasi yang dipakai tidak mencerminkan kondisi dan permasalahan yang sesungguhnya. Dalam Gambar 14 dimuka, kondisi awal yang mestinya di Titik 1 dinyatakan di Titik 4

− Kelemahan lain adalah dalam penetapan sasaran yang ingin dicapai; apa yang diinginkan tidak dinyatakan secara jelas dan benar. Pada Gambar 14, mestinya menuju Titik 11 tetapi dinyatakan sebagai Titik 44. Menetapkan sasaran pengelolaan CBC bukanlah pekerjaan mudah karena harus mengacu pada arahan kebijakan nasional, regional dan lokal yang berlaku dan juga pada konsep dasar pembangunan biosfer − Kelemahan lain adalah dalam formulasi intervensi atau program dan kegiatan. Intervensi seringkali tidak relevan dengan masalah-masalah pengelolaan yang dihadapi karena sebab- akibat dari masalah pokok pengelolaan tidak dipahami secara benar dan menyeluruh

43

Dalam penyiapan rencana strategi pengelolaan CBC, kelemahan-kelemahan dimuka telah diupayakan untuk sejauh mungkin tidak diulangi melalui pendekatan berikut:

• Pemahaman tentang kondisi awal dan permasalahan yang dihadapi pengelola CBC didasarkan pada informasi yang tersedia dari berbagai sumber, khususnya laporan konsultan terkait yang diyakini dipersiapkan melalui konsultasi dengan para pihak • Sasaran pengelolaan dirumuskan berdasar kebijakan nasional yang ada khususnya PP No. 26/2008, Peraturan Presiden No. 54/2008 dan Keppres No. 114/1999 dengan memperhatikan konsep pengelolaan cagar biosfer seperti tertuang dalam Seville Strategy dan Madrid Action Plan • Penetapan prioritas program dan kegiatan jangka menengah didasarkan pada relevansi program serta volume kegiatan yang realistis untuk dilaksanakan dalam menyelesaikan masalah dengan mempertimbangkan ketersediaan sumberdaya • Masalah pokok pengelolaan CBC berikut hubungan sebab-akibatnya dianalisis menggunakan teknik pohon masalah (problem tree technique); sementara pohon solusi (solution tree) dibangun sebagai cermin dari pohon masalah. Pohon solusi secara jelas menunjukkan intervensi (program dan kegiatan) yang relevan untuk menyelesaikan masalah-masalah pengelolaan CBC karena pohon solusi menunjukkan means-end relationship yang merupakan cermin dari cause-effect relationship • Strategi dirumuskan berdasar pohon masalah dan pohon solusi; program dirumuskan berdasar penyebab langsung (direct causes) dari masalah pokok pengelolaan sementara kegiatan dirumuskan berdasar penyebab tidak langsung (indirect causes) dari masalah pokok. Dengan cara ini dapat dipastikan bahwa rencana strategi yang dihasilkan adalah intervensi yang relevan dan efektif untuk menyelesaikan berbagai masalah pengelolaan dalam upaya mencapai sasaran-sasaran pengelolaan yang diinginkan. Artinya, relevansi dan efektivitas strategi yang diusulkan dapat dipertanggungjawabkan • Intervensi juga didasarkan pada arahan kebijakan pengelolaan yang sesuai dengan kondisi- kondisi faktual dari setiap zona CBC.

Strategi dasar dari pengelolaan CBC adalah: i) memanfaatkan cagar biosfer untuk konservasi SDA dan budaya, ii) memanfaatkan cagar biosfer sebagai model pengelolaan lahan dengan pendekatan untuk pembangunan yang berkelanjutan, iii) memanfaatkan cagar biosfer untuk penelitian, monitoring, pendidikan dan pelatihan, dan iv) implementasi konsep cagar biosfer.

Sasaran utama pengelolaan cagar biosfer Cibodas adalah untuk mewujudkan tiga fungsi biosfer yang saling mendukung (complementary fuctions) yakni: i) fungsi konservasi guna mempertahankan sumber genetika jenis, ekosistem maupun lanskap; ii) fungsi pembangunan guna mendorong pembangunan ekonomi maupun manusia secara lestari, dan iii) fungsi dukungan logistik guna mendukung proyek-proyek demonstrasi, pendidikan dan pelatihan lingkungan, riset dan monitoring terkait masalah-masalah konservasi dan pembangunan berkelanjutan ditingkat lokal, nasional maupun global.

Prasyarat untuk mencapai sasaran pengelolaan tersebut adalah melalui pengembangan sistem tata-ruang biosfer yang tepat yang mencakup kawasan konservasi sebagai areal inti, kawasan penyangga dan kawasan transisi. Pengelolaan kawasan cagar biosfer harus didasarkan pada konsep yang mampu menjawab tantangan dalam rangka menyelaraskan tujuan upaya konservasi keanekaragaman hayati dengan pengembangan sosial ekonomi serta sekaligus melestarikan nilai- nilai budaya yang ada dikawasan konservasi. Sistem tata-ruang biosfer yang dimaksud adalah pengembangan tata-ruang zonasi kawasan dan pemanfaatan ruang disetiap zona kawasan.

44

5.4 Analisis Masalah

Analisis masalah pengelolaan dilakukan berdasar informasi yang dihimpun dari berbagai sumber termasuk studi literature, laporan teknis konsultan terkait khususnya Dr. Samedi dan Dr. Poerwanto, maupun konsultasi dengan para pihak berkepentingan khususnya Balai Besar TNGGP, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi serta pihak kompeten lainnya termasuk akademisi dan praktisi. Dengan cara ini diharapkan bahwa inti masalah (core problem) pengelolaan beserta sebab-akibatnya dapat dikenali dan dipahami secara benar. Analisis masalah secara partisifatif dan kolaboratif adalah pra-syarat untuk dapat merumuskan rencana strategi pengelolaan yang komprehensif dan terpadu.

Informasi yang tersedia menunjukkan bahwa masalah pokok yang dihadapi saat ini adalah belum terselenggaranya pengelolaan CBC sesuai dengan konsep pembangunan cagar biosfer. Masalah ini mutlak harus diselesaikan bila sasaran pembangunan CBC ingin dicapai secara efektif. Penyebab langsung (primary causes) dan penyebab tidak langsung (secondary causes) dari masalah pokok tersebut dapat diringkas sebagai berikut: i) Kawasan dan tata-ruang CBC belum mantap: Masalah belum mantapnya kawasan dan tata-ruang adalah akibat dari: • Dasar hukum penetapan kawasan dan tata-ruang yang belum memadai • Zonasi kawasan yang belum tuntas • Kawasan dan tata-ruang CBC belum diakomodasi didalam RTR provinsi dan kabupaten terkait • Lemahnya komitmen para pihak dalam penataan dan pemanfaatan kawasan maupun tata-ruang ii) Kelembagaan CBC belum berfungsi efektif Penyebab utama dari masalah kelembagaan adalah: • Tumpang-tindih kebijakan pengelolaan ditingkat pusat, provinsi dan kabupaten • Rencana operasi pengelolaan oleh pemerintah pusat dan daerah belum sinkron • Sistem tata-kerja (SOP) untuk operasi pengelolaan belum disiapkan/disepakati oleh satuan organisasi pelaksana ditingkat pusat dan daerah • Forum koordinasi dan komunikasi (FKK) stakeholders belum berfungsi efektif • Pendanaan operasi pengelolaan belum dirumuskan/disepakati iii) Konflik pemanfaatan ruang CBC masih berlangsung Konflik pemanfaatan ruang baik yang bersifat vertikal, horizontal maupun structural masih terus berlangsung sebagai akibat dari: • Hubungan antara pengelola CBC dengan stakeholders belum harmonis (vertikal) • Konflik antar segmen masyarakat dalam pemanfaatan ruang (horizontal) • Tata-guna ruang menurut perundangan tidak sesuai dengan kenyataaan (struktural) • Tata-laksana dan prosedur penyelesaian konflik belum dirumuskan/disepakati • Penegakan hukum atas pelanggaran pemanfaatan ruang masih lemah • FKK stakeholders belum berfungsi efektif iv) Best management practices (BMP) belum dikenali/disepakati/diterapkan Masalah menyangkut BMP terjadi karena beberapa faktor, termasuk: • Kegiatan pemanfaatan yang sesuai untuk setiap zona belum dirumuskan sesuai kondisi faktual maupun konsep pembangunan CBC • BMP belum dipaham/disepakati stakeholders • Uji-coba BMP masih sangat terbatas • Pedoman teknis untuk BMP belum tersedia • Keterampilan yang dibutuhkan untuk menerapkan BMP belum dimiliki

45 v) Dukungan masyarakat masih terbatas Masyarakat yang bermukim didalam kawasan CBC belum mendukung penuh pengelolaan CBC karena: • Tingkat pemahaman tentang fungsi cagar biosfer yang rendah • Ketergantungan yang tinggi dari masyarakat pada kawasan CBC sebagai sumber penghidupan • Insentif bagi masyarakat untuk mendukung pengelolaan CBC tidka memadai • Masyarakat belum memiliki kapasitas untuk menerapkan BMP vi) Sistem informasi dan kampanye pengembangan CBC masih lemah Lemahnya sistem informasi dan kampanye pengembangan CBC adalah akibat dari beberapa faktor berikut: • Belum adanya sistem tata-kelola informasi CBC yang mendukung pendokumentasian secara akurat dari setiap informasi yang relevan • Sistem database yang handal dan dapat diakses publik belum dibangun/operasional • Lemahnya kapasitas operasi penyuluhan baik ditingkat pusat maupun daerah • Rendahnya partisipasi CBC dalam events internasional menyangkut pembangunan cagar biosfer • Media massa nasional, khususnya televisi belum dilibatkan dalam kampanye pembangunan CBC • Diseminasi informasi tentang CBC masih sangat terbatas

Analisis masalah dimuka disarikan dalam diagram pohon masalah (problem tree) seperti pada Gambar 15. Problem tree menunjukkan hubungan sebab-akibat yang seluruhnya dinyatakan dalam kalimat negative; apabila pernyataan negatif diubah menjadi pernyataan positif, maka akan dihasilkan apa yang disebut pohon solusi atau solution tree seperti terlihat pada Gambar 16. Pohon solusi menunjukan dengan jelas tentang langkah-langkah penyelesaian masalah yang relevan; disebut relevan karena pohon solusi adalah cermin dari pohon masalah yang merupakan presentasi dari berbagai masalah yang dihadapi dan perlu diselesaikan. Pohon solusi pada Gambar 16 dipakai sebagai dasar perumusan program dan kegiatan dasar yang relevan untuk menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi. Program dirumuskan setara dengan penyebab langsung (direct causes) sementara kegiatan pokok dirumuskan setara dengan penyebab tidak langsung (indirect causes).

46

Problem Tree

Kelestarian kawasan tidak terjamin dan multi-fungsi CBC tidak akan Konsekuensi terwujud optimal

Pengelolaan CBC belum diselenggarakan sesuai konsep Masalah Pokok pembangunan cagar biosfer

Kawasan dan tata-ruang Kelembagaan CBC belum Best management practices Masih ada konflik pemanfaatan Dukungan masyarakat masih Lemahnya sistem informasi dan CBC belum mantap berfungsi efektif (BMP) belum diterapkan ruang CBC terbatas kampanye pengembangan biosfer

Dasar hukum penetapan Tumpang tindih Arah pemanfaatan setiap Hubungan pengelola dengan Rendahnya pemahaman Dokumentasi informasi kebijakan pemerintah kawasan belum memadai zona belum dirumuskan stakeholders belum harmonis tentang fungsi biosfer tidak memadai pusat dan daerah Zonasi kawasan belum BMP belum dikenali dan tuntas Rencana operasi tingkat Kebijakan pemanfaatan ruang Kehidupan sangat tergantung Database handal belum dipahami stakeholders Kawasan CBC belum pusat dan daerah belum tidak dilaksanakan pada ruang biosfer dibangun/operasional terpadu diakomodasi dalam RTR Uji coba BMP masih sangat Pemda terbatas Masih ada konflik antar Insentif bagi masyarakat untuk Kapasitas operasi Forum KK belum segmen masyarakat mendukung masih lemah penyuluhan rendah Komitmen para pihak berfungsi efektif Pedoman teknis BMP belum masih lemah tersedia Masyarakat belum memiliki Rendahnya partisipasi Belum adanya sistem Tata-laksana dan prosedur skills yang dibutuhkan dalam events biosfer kerja para pihak untuk Stakeholders belum penyelesaian konflik blum ada international operasi pengelolaan memiliki keterampilan yang CBC dibutuhkan Penegakan hukum yang Kampanye CBC belum Pendanaan operasi lemah melibatkan media massa pengelolaan CBC tidak jelas Disseminasi informasi CBC masih terbatas

Gambar 15. Hubungan sebab-akibat masalah pengelolaan CBC

Solution Tree

47

Kelestarian kawasan terjamin dan Dampak multi-fungsi CBC terwujud optimal

Pengelolaan CBC diselenggarakan sesuai konsep pembangunan cagar Sasaran pokok biosfer

Kawasan dan tata-ruang Kelembagaan CBC Best management practices Konflik pemanfaatan ruang Dukungan masyarakat Sistem informasi dan CBC mantap berfungsi efektif (BMP) diterapkan CBC berkurang/minimal meningkat kampanye pengembangan biosfer diperkuat

Kebijakan pemerintah Arah pemanfaatan setiap Hubungan pengelola dengan Pemahaman tentang fungsi Sistem tata-kelola informasi Dasar hukum penetapan pusat dan daerah zona dirumuskan kawasan memadai sinkron stakeholders harmonis biosfer meningkat dirumuskan/diterapkan BMP dipahami/disepakati Zonasi kawasan tuntas Rencana operasi tingkat oleh stakeholders Kebijakan pemanfaatan ruang Ketergantungan pada ruang Database CBC yang handal dilaksanakan pusat dan daerah serasi dilaksanakan dilapangan biosfer untuk penghidupan dibangun/operasional Uji coba BMP dilaksanakan menurun Kawasan CBC diakomodasi Forum KK berfungsi secara luas Konflik antar segmen Kapasitas operasi dalam RTR Pemda Insentif bagi masyarakat untuk efektif masyarakat berkurang penyuluhan diperkuat Pedoman teknis BMP mendukung diperkuat Komitmen para pihak tersedia Sistem kerja para pihak Partisipasi dalam events meningkat Masyarakat memiliki skills untuk pengelolaan CBC Tata-laksana dan prosedur biosfer international yang dibutuhkan dirumuskan/disepakati Stakeholders dilatih dalam penyelesaian konflik tersedia meningkat keterampilan yang dibutuhkan Pendanaan operasi Penegakan hukum dalam Media massa dilibatkan pemanfaatan ruang diperkuat pengelolaan CBC jelas dalam kampanye CBC

Disseminasi informasi CBC diperluas/diperkuat

Gambar 16. Hubungan upaya-hasil (means-end) intervensi pengelolaan CBC

48

5.5 Strategi Dasar Pengelolaan CBC

Program dan kegiatan pokok dari strategi dasar pengelolaan CBC berdasarkan pohon solusi seperti diuraikan dimuka adalah seperti pada Tabel 4.

Tabel 4. Strategi dasar pengelolaan CBC

Program Kegiatan pokok 1. Pemantapan kawasan dan tata-ruang CBC 1.1 Menelaah dan/atau melengkapi dasar hukum penetapan kawasan dan zonasi 1.2 Menuntaskan zonasi kawasan CBC secara realistis dan rasional 1.3 Menelaah dan merevisi RTR provinsi dan kabupaten berdasar hasil Kegiatan 1.2 1.4 Meningkatkan komitmen para pihak dalam penetapan kawasan dan tata-ruang 2. Penguatan kelembagaan CBC 2.1 Melakukan harmonisasi kebijakan pengelolaan CBC ditingkat pusat, provinsi dan kabupaten 2.2 Melakukan sinkronisasi rencana operasi pengelolaan oleh pemerintah pusat dan daerah 2.3 Mempersiapkan dan menyepakati SOP pengelolaan oleh satuan organisasi pengelola ditingkat pusat dan daerah 2.4 Mengaktifkan fungsi FKK stakeholders 2.5 Merumuskan dan menyepakati strategi pendanaan operasi pengelolaan CBC 3. Penyelesaian konflik pemanfaatan ruang 4.4 Menelaah kesesuaian antara kebijakan CBC peruntukan lahan dengan status pemanfaatan faktual 4.5 Menyelesaikan konflik antar segmen masyarakat dalam pemanfaatan ruang 4.6 Melakukan harmonisasi hubungan antara otoritas pengelolaan dengan stakeholders 4.7 Merumuskan dan menyepakati tata-laksana dan prosedur penyelesaian konflik 4.8 Meningkatkan kapasitas penegakan hukum

4. Perumusan dan penerapan best 4.1 Merumuskan BMP yang sesuai untuk setiap management practices (BMP) disetiap zona zona 4.2 Melakukan sosialisasi BMP agar dipahami dan didukung oleh stakeholders di seluruh tingkatan 4.3 Melakukan uji-coba penerapan BMP bekerjasama dengan stakeholders 4.4 Mempersiapkan pedoman teknis pelaksanaan BMP berdasar hasil uji-coba 4.5 Melatih stakeholders dalam pelaksanaan BMP sesuai kondisi lokal

49

Tabel 4. (lanjutan) Program Kegiatan pokok 5. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam 5.1 Meningkatkan pemahaman masyarakat operasi pengelolaan CBC tentang fungsi CBC melalui dialog 5.2 Mengurangi ketergantungan masyarakat pada kawasan CBC sebagai sumber penghasilan 5.3 Mengenali dan menerapkan insentif yang sesuai bagi masyarakat agar mendukung pelestarian CBC 5.4 Meningkatkan kapasitas masyarakat dalam penerapan BMP yang sesuai melalui pelatihan teknis dan manajemen 6. Penguatan sistem informasi dan kampanye 6.1 Merumuskan dan menerapkan sistem pembangunan CBC kelola informasi CBC 6.2 Membangun dan mengoperasikan website CBC yang dinamis 6.3 Meningkatkan kapasitas operasi penyuluhan 6.4 Meningkatkan partisipasi dalam events cagar biosfer ditingkat internasional guna memperluas dan memperkuat jejaring CBC 6.5 Melibatkan media massa dalam kampanye pembangunan CBC 6.6 Mempersiapkan, memproduksi dan menyebarluaskan informasi CBC berupa brosur, leaflet, dll.

50

6. RENCANA PROGRAM DAN AKSI JANGKA MENENGAH (2013-2020)

6.1 Prioritasi Program dan Kegiatan

Mencermati program dan kegiatan pokok pengelolaan dalam Tabel 4 dapat disimpulkan bahwa seluruh program yang diusulkan mutlak untuk segera dilaksanakan; artinya ke-enam program tersebut adalah merupakan langkah-langkah esensial yang relevan untuk menyelesaikan masalah- masalah utama yang menyebabkan belum terselenggaranya pengelolaan CBC sesuai konsep pembangunan cagar biosfer yang dirumuskan oleh MAB Program seperti tertuang dam Seville Strategy maupun Madrid Action Plan.

Namun disadari pula bahwa tidak semua kegiatan dari setiap program dapat dilaksanakan sekaligus dalam jangka menengah terutama karena keterbatasan sumberdaya operasi pengelolaan khususnya tenaga dan dana yang dibutuhkan. Karena itu, perlu dilakukan prioritasi kegiatan pokok khususnya terkait program “perumusan dan penerapan BMP disetiap zona”. Seperti disajikan pada Tabel 3, paling tidak ada 10 arahan kebijakan teknis pemanfaatan zona yang sesuai dengan kondisi lapangan yang dapat diterapkan di 3 zona kawasan di 3 kabupaten. Sebagai gambaran tentang volume kegiatan untuk penerapan kebijakan teknis pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut: • Apabila untuk setiap kebijakan teknis ditetapkan satu bentuk kegiatan maka akan diperoleh 15 kegiatan di zona inti (5 arah kebijakan, 3 kabupaten), 30 kegiatan di zona penyangga (10 arah kebijakan, 3 kabupaten), dan 30 kegiatan di zona transisi (10 arah kebijakan, 3 kabupaten) atau seluruhnya 75 kegiatan • Jumlah kegiatan akan bertambah secara pesat bila untuk setiap arah kebijakan teknis diterapkan lebih dari 1 kegiatan.

Menerapkan seluruh kegiatan BMP tersebut sekaligus adalah tidak memungkinkan sehingga prioritasi mutlak diperlukan. Kriteria prioritasi yang digunakan adalah sebagai berikut: i) Kegiatan BMP harus secara langsung mendukung penyelesaian masalah pengelolaan CBC; ii) Setiap kegiatan BMP harus diterapkan paling tidak pada 2 zona di 2 kabupaten untuk memungkinkan perbandingan; iii) Kegiatan BMP adalah yang langsung mendukung penerapan konsep pembangungan cagar biosfer; dan iv) Kegiatan BMP harus berbasis sumberdaya hutan/sumberdaya alam dan mengutamakan pemanfaatan sumberdaya lokal.

6.2 Rencana Program dan Aksi Pengelolaan (RPAP) 2013-2020

Atas dasar kriteria dimuka maka RPAP jangka menengah yang diusulkan adalah seperti disajikan pada Tabel 5. Periode jangka menengah ditetapkan untuk 8 (delapan) tahun sejak 2013 sehingga RPAP akan berlaku untuk kurun waktu 2013-2020. Jangka waktu ini dipilih mengingat: i) jangka waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan dan mengadopsi RPAP cukup panjang karena harus melibatkan stakeholders ditingkat pusat, provinsi dan kabupaten, dan ii) rumitnya proses penyiapan dan adopsi RPAP. RPAP 2013-2020 adalah seperti disajikan pada Tabel 5.

51

6.3 Estimasi Anggaran Belanja RPAP 2013-2020

Pada Tabel 6 disajikan estimasi kebutuhan dana untuk penerapan RPAP 2013-2020; estimasi didasarkan pada spesifikasi inputs kegiatan seperti disajikan pada Lampiran 2. Rekapitulasi estimasi kebutuhan dana disajikan pada Tabel 7.

Tabel 6 menunjukkan bahwa total dana yang dibutuhkan untuk menerapkan RPAP 2013-2020 adalah Rp. 29.413.000.000. Program yang paling banyak menyerap dana adalah Program No. 4.” Perumusan dan penerapan BMP disetiap zona” (48,04%) sementara yang paling kecil adalah Program No.2 “Penguatan kelembagaan CBC” (2.40%).

Besarnya alokasi dana untuk Program No. 4 sangat beralasan karena masalah paling penting dalam pengelolaan CBC saat ini adalah ketidak-sesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dengan situasi dan kondisi faktual setiap zona. Kegiatan-kegiatan yang tidak sesuai perlu dirubah melalui penerapan kegiatan-kegiatan yang sesuai.

Program lain yang menyerap dana cukup besar adalah Program No. 5 “Peningkatan partisipasi masyarakat dalam operasi pengelolaan CBC” (18,67%), Program No. 6 “Penguatan sistem informasi dan kampanye pembangunan CBC” (18,96%) dan Program No. 3 “ Penyelesaian konflik pemanfaatan ruang CBC” (8,92%). Secara total, Program No. 3 s/d 6 akan menyerap dana hampir 95%; hal ini sesuai dengan sifat program yang berorientasi keluar, artinya program-program tersebut melibatkan secara langsung stakeholders pada umumnya baik pemerintah maupun non-pemerintah.

Penyerapan dana untuk seluruh program meningkat sejak tahun ke-1 (2013), mencapai puncaknya pada tahun ke-5 (2016) sekitar Rp. 6.268.000.000 dan selanjutnya menurun menuju akhir RPAP. Trend penyerapan dana dari tahun ke-tahun cukup realistis karena pada awal-awal tahun masih memerlukan konsolidasi dan koordinasi antar pihak-pihak yang bertanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan sehingga penyerapan dana masih terbatas.

Satuan harga inputs yang dipakai dalam Lampiran 2 didasarkan pada pengalaman dan kewajaran, tidak mengacu pada satuan-satuan biaya yang diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan maupun pemerintah daerah. Satuan harga konsultan sebesar Rp. 20.000.000 per bulan dimaksud adalah inklusif biaya lumpsum tetapi eksklusif ongkos perjalanan. Sementara satuan harga untuk rapat-rapat dibedakan menurut sifat rapat (teknis, konsultasi, koordinasi, dll). Dalam pelaksanaannya, tempat dan jumlah peserta dari setiap rapat perlu disesuaikan dengan besaran dana yang dialokasikan.

Pelaksanaan kegiatan, tergantung pada sifat kegiatan, banyak diserahkan kepada NGO dan Universitas; kegiatan-kegiatan yang berorientasi praktis akan ditangani oleh NGO sementara kegiatan dengan bobot ilmiah atau konsepsi yang tinggi akan mengandalkan universitas dalam eksekusinya. Beban kesibukan rutin yang tinggi dari pejabat dan staf Balai Besar TNGGP dan Pemerintah Daerah baik provinsi maupun kabupaten diperkirakan tidak akan mendukung pelaksanaan kegiatan secara efektif; mereka lebih diharapkan lebih banyak terlibat pada pembahasan dokumen-dokumen teknis yang dipersiapkan para konsultan.

52

Tabel 5. Rencana Program dan Aksi Pengelolaan CBC 2013-2020

Penanggung No. Program/Kegiatan 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 jawab 1. Pemantapan kawasan dan tata‐ruang CBC 1.1 Menelaah dan/atau melengkapi dasar hukum penetapan kawasan dan X X BB, PP, PK, NC zonasi 1.2 Menuntaskan zonasi kawasan CBC secara realistis dan rasional 1.2.1 Mensosialisasikan zonasi usulan X BB, PP, PK 1.2.2 Mengadopsi zonasi usulan X BB, PP, PK 1.3 Menelaah dan merevisi RTR provinsi dan kabupaten berdasar hasil X PP, PK Kegiatan 1.2 1.4 Meningkatkan komitmen para pihak dalam penetapan kawasan dan X X X X X X BB, FKK tata‐ruang (diskusi, seminar, dll) 2. Penguatan kelembagaan CBC 2.1 Melakukan harmonisasi kebijakan pengelolaan CBC ditingkat pusat, X X BB, PP, PK provinsi dan kabupaten (utk mendukung zonasi yg diadopsi) 2.2 Melakukan sinkronisasi rencana operasi pengelolaan oleh pemerintah X X BB, PP, PK, NC pusat dan daerah (mengacu pd zonasi yg diadopsi) 2.3 Mempersiapkan dan mengadopsi SOP pengelolaan oleh satuan X BB, PP, PK, NC organisasi pengelola ditingkat pusat dan daerah 2.4 Mengaktifkan fungsi FKK stakeholders 2.4.1 Menelaah dan menyempurnakan TOR FKK X PP, NC 2.4.2 Menyiapkan rencana kerja FKK X PP, BB 2.4.3 Menyelenggarakan rapat‐rapat konsultasi X X X X X X X X BB, FKK 3. Penyelesaian konflik pemanfaatan ruang CBC 3.1 Menelaah kesesuaian antara kebijakan peruntukan lahan dengan X BB, PK, NC status pemanfaatan factual 3.2 Melakukan harmonisasi hubungan antara otoritas pengelolaan X X X X X X BB, PK dengan stakeholders (melalui 6 fora di tingkat kabupaten) 3.3 Menyelesaikan konflik antar segmen masyarakat dalam pemanfaatan X X X X X X X BB, PK ruang (melalui 9 fora dialog di tingkat kecamatan)

53

Tabel 5. (lanjutan) Penanggung No. Program/Kegiatan 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 jawab 3.4 Merumuskan dan menyepakati tata‐laksana dan prosedur

penyelesaian konflik 3.4.1 Merumuskan tata‐laksana dan prosedur penyelesaian konflik X BB, PP, PK, NGO, FKK 3.4.2 Melakukan konsultasi dan mengadopsi aturan & prosedur X BB, PP, PK, NGO, FKK Menerapkan dan mengevaluasi efektivitas aturan tata‐laksana dan 3.4.3 X X X X BB, PP, PK, NGO, FKK prosedur 3.5 Meningkatkan kapasitas penegakan hokum 3.5.1 Melakukan gap analysis kapasitas patroli kawasan hutan X BB, NC Membentuk satuan patroli tambahan dan menyiapkan 3.5.2 X X BB perlengkapan dan fasilitas operasi 3.5.3 Menyiapkan SOP patroli hutan X BB, NC 3.5.4 Melatih penerapan SOP (polhut dan masyarakat) X X BB, NC 4. Perumusan dan penerapan best management practices (BMP) disetiap zona 4.1 Merumuskan BMP yang sesuai untuk setiap zona X BB, PK 4.2 Melakukan sosialisasi BMP agar dipahami dan didukung oleh X X BB, PP, PK stakeholders di seluruh tingkatan (melaui Act. 3.1 ‐3.3) 4.3 Melakukan uji‐coba penerapan BMP bekerjasama dengan stakeholders X X X X X X X 4.3.1 Mengembangkan ekowisata berbasis alam a. Mengenali dan menyepakati obyek‐obyek wisata X BB, PK, NC b. Melakukan promosi obyek‐obyek wisata (3 zona, 3 kab) X X X X X X X BB, PK c. Melatih masyarakat dalam kegiatan‐kegiatan ekowisata X X BB, PK, NGO Mengembangkan pola kemitraan antara pemerintah, swasta d. X X BB, PK dan masyarakat e. Membangun model ekowisata (3 zona, 3 kab) X X X X X X BB, PK f. Membangun jejaring ekowisata di CBC X X X X X X X BB, PP, PK 4.3.2 Menyelenggarakan pendidikan konservasi/lingkungan Melakukan konsultasi dengan lembaga‐lembaga pendidikan a. X BB, UN (Pusat, Provinsi, Kabupaten) b. Menyiapkan dan menyebarkan kurikulum pendidikan X BB, UN c. Menerapkan kurikulum dan memonitor kesesuaian X X X X X BB, UN Membangun model perpustakaan lingkungan di tingkat d. X X X X BB, UN kabupaten (9 unit) e. Membangun fasilitas pendidikan konservasi X X X X X X X BB, PP, PK

54

Tabel 5. (lanjutan) Penanggung No. Program/Kegiatan 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 jawab 4.3.3 Mengembangkan usaha tani berkelanjutan a. Mengenali kegitatan usaha tani yang paling diminati X X BB, PK, NGO masyarakat b. Mengembangkan model usaha tani dan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam kegiatan usaha tani ramah X X X X X X BB, PK, NGO lingkungan (2 zona, 3 kab; 3 jenis usaha) 4.3.4 Mengembangkan usaha perkebunan ramah lingkungan a. Merumuskan C & I perkebunan ramah lingkungan X BB, NC, IN b. Menerapkan C & I bekerjasama dengan 3 investor X X BB, NC, IN c. Memonitor dan evaluasi penerapan C & I X X X X X X BB, NC, IN 4.3.5 Mengembangkan kegiatan ekonomi berkelanjutan a. Melakukan studi kelayakan pemanfaatan jasa X BB, UN lingkungan (air, flora, fauna, dsb.) ‐‐‐ Act. 4.3.10 b. Merumuskan dan menyepakati pola P3 (partnership‐ X BB, IN pemerintah‐pengusaha) pemanfaatan SDA 4.3.6 Mengembangkan cagar budaya a. Mengenali dan mempromosi cagar budaya yang ada X BB, NGO b. Merumuskan sistem tata‐kelola cagar budaya X BB, NGO 4.3.7 Mengembangkan industri ramah lingkungan a. Mengenali produk‐produk kerajinan tangan yang X BB, PK diminati masyarakat lokal untuk dikembangkan b. Melatih masyarakat dalam sistem produksi berbasis X X X X X X BB, PK, NGO rumah tangga atau koperasi desa (15 produk) c. Mengembangkan sistem insentif‐disinsentif industri X X BB, PP, PK, IN 4.3.8 Mendukung pembangunan perumahan ramah lingkungan a. Merumuskan C & I perumahan ramah lingkungan X BB, NC b. Menerapkan dan memonitor penerapan C & I X X X X X BB, NC, IN bekerjasama dengan 6 investor di 3 kabupaten 4.3.9 Melakukan rehabilitasi DAS a. Mengenali kondisi tentang kondisi faktual DAS X BB, NC b. Menyiapkan rencana kerja rehabilitasi DAS X BB, NC c. Melaksanakan kegiatan rehabilitasi hulu DAS di 3 lokasi X X X X X BB, PK, KD, NGO

55

Tabel 5. (lanjutan) Penanggung No. Program/Kegiatan 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 jawab 4.3.10 Melakukan R & D a. Melakukan studi potensi jasa lingkungan dan kelayakan X BB, UN pemanfaatan b. Melakukan studi dan monitoring biodiversity X X X BB, NN c. Melakukan penelitian menyangkut teknik rehabilitasi X X X X X X BB, NC tepat guna melalui sistem agro‐forestry d. Melakukan kajian penerapan “insentif hulu‐hilir” dalam X X BB, PP, UN pengendalian dan pemanfaatan air 4.4 Menyiapkan pedoman teknis BMP berdasar hasil uji‐coba X X X X BB, UN 4.5 Melatih masyarakat dalam pelaksanaan BMP (sudah dicakup dalam

kegiatan‐kegiatan 4.3) 5. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam operasi pengelolaan CBC 5.1 Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang fungsi CBC melalui X X X X X X X BB, NGO dialog (melalui Act. 3.3) 5.2 Mengurangi ketergantungan masyarakat pada kawasan CBC sebagai X X X X X X BB, NGO sumber penghasilan melalui pelatihan keterampilan (+ Act. 4.3.7) 5.3 Mengenali dan menerapkan insentif yang sesuai bagi masyarakat agar X X X BB, NGO mendukung pelestarian CBC melalui 3 pilot‐project desa konservasi 5.4 Meningkatkan kapasitas masyarakat dalam penerapan BMP yang X X X X BB, NGO sesuai melalui pelatihan teknis dan manajemen (melalui Act. 5.3) 6. Penguatan sistem informasi dan kampanye pembangunan CBC 6.1 Merumuskan dan menerapkan tata‐kelola informasi CBC X X BB, UN 6.2 Membangun dan mengoperasikan website CBC yang dinamis X X X X X X X BB, PP, PK 6.3 Meningkatkan kapasitas operasi penyuluhan 6.3.1 Menelaah kebutuhan sumberdaya penyuluhan X BB, NGO 6.3.2 Menyediakan sumberdaya penyuluhan X X BB, PP, PK

56

Tabel 5. (lanjutan) Penanggung No. Program/Kegiatan 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 jawab 6.4 Meningkatkan partisipasi dalam events cagar biosfer ditingkat X X X X X X X BB internasional guna memperluas dan memperkuat jejaring CBC 6.5 Melibatkan media massa dalam kampanye pembangunan CBC X X X X X X X X BB 6.6 Mempersiapkan, memproduksi dan menyebarluaskan informasi CBC

berupa brosur, leaflet, dll. 6.6.1 Mempersiapkan materi dengan desain dan teks yang atraktif X X X X BB, NC (4 materi @10.000 copy) 6.6.2 Memproduksi dan menyebarkan materi penyuluhan X X X X BB, PP, PK

Catatan:

BB = Balai Besar TNGGP NGO = Lembaga Swadaya Masyarakat PP = Pemerintah Provinsi FKK = Forum Kordinasi dan Komunikasi CBC PK = Pemerintah Kabupaten KD = Koperasi Desa NC = National Consultant IN = Investor UN = Universitas

57

Tabel 6. Estimasi Anggaran Belanja RPAP 2013-2020 (juta Rp)

No. Program/Kegiatan Total 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 Remarks 1. Pemantapan kawasan dan tata‐ruang CBC 1.1 Menelaah dan/atau melengkapi dasar hukum penetapan kawasan 250 125 125 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ dan zonasi 1.2 Menuntaskan zonasi kawasan CBC secara realistis dan rasional 190 190 ‐ ‐‐‐‐‐‐ 1.3 Menelaah dan merevisi RTR provinsi dan kabupaten berdasar hasil 230 ‐ 230 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ Kegiatan 1.2 1.4 Meningkatkan komitmen para pihak dalam penetapan kawasan 216 ‐ 36 36 36 36 36 36 ‐ dan tata‐ruang (diskusi, seminar, dll) Total Program # 1 886 315 391 36 36 36 36 36 ‐ 3.01% 2. Penguatan kelembagaan CBC 2.1 Melakukan harmonisasi kebijakan pengelolaan CBC ditingkat 112 57 55 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ pusat, provinsi dan kabupaten (utk mendukung zonasi yg diadopsi) 2.2 Melakukan sinkronisasi rencana operasi pengelolaan oleh 68 35 33 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ pemerintah pusat dan daerah (mengacu pd zonasi yg diadopsi) 2.3 Mempersiapkan dan mengadopsi SOP pengelolaan oleh satuan 184 ‐ 184 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ organisasi pengelola ditingkat pusat dan daerah 2.4 Mengaktifkan fungsi FKK stakeholders 343 ‐ 343 ‐‐‐‐‐‐ Total Program # 2 707 92 615 ‐‐‐‐‐‐2.40% 3. Penyelesaian konflik pemanfaatan ruang CBC 3.1 Menelaah kesesuaian antara kebijakan peruntukan lahan dengan 137 ‐ 137 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ status pemanfaatan factual 3.2 Melakukan harmonisasi hubungan antara otoritas pengelolaan 168 ‐ 28 28 28 28 28 28 ‐ dengan stakeholders (melalui 6 fora di tingkat kabupaten) 3.3 Menyelesaikan konflik antar segmen masyarakat dalam 153 ‐ 22 22 22 22 22 22 21 pemanfaatan ruang (melalui 9 fora dialog di tingkat kecamatan) 3.4 Merumuskan dan menyepakati tata‐laksana dan prosedur 229 ‐ 39 38 38 38 38 38 ‐ penyelesaian konflik 3.5 Meningkatkan kapasitas penegakan hokum 1.937 ‐ 61 625 625 626 ‐‐‐ Total Program # 3 2.624 ‐ 287 713 713 714 88 88 21 8.92%

58

Tabel 6 (lanjutan) No. Program/Kegiatan Total 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 Remarks 4. Perumusan dan penerapan best management practices (BMP) disetiap

zona 4.1 Merumuskan BMP yang sesuai untuk setiap zona Kegiatan ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 2012 4.2 Melakukan sosialisasi BMP agar dipahami dan didukung oleh Lihat Act. 3.1 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ stakeholders di seluruh tingkatan (melaui Act. 3.1 ‐3.3) ‐3.3 4.3 Melakukan uji‐coba penerapan BMP bekerjasama dengan stakeholders 4.3.1 Mengembangkan ekowisata berbasis alam 3.584 ‐ 189 746 746 475 475 475 478 4.3.2 Menyelenggarakan pendidikan konservasi/lingkungan 4.036 ‐ 295 385 770 770 770 770 276 4.3.3 Mengembangkan usaha tani berkelanjutan 1.343 ‐ 42 251 210 210 210 210 210 4.3.4 Mengembangkan usaha perkebunan ramah lingkungan 406 ‐ 58 108 105 33 33 33 36 4.3.5 Mengembangkan kegiatan ekonomi berkelanjutan 118 ‐‐ 118 ‐‐‐‐‐ 4.3.6 Mengembangkan cagar budaya 181 ‐‐ 63 118 ‐‐‐‐ 4.3.7 Mengembangkan industri ramah lingkungan 1.331 54 137 190 190 190 190 190 190 4.3.8 Mendukung pembangunan perumahan ramah lingkungan 430 ‐‐ 118 64 62 62 62 62 4.3.9 Melakukan rehabilitasi DAS 826 ‐ 96 133 121 119 119 119 119 4.3.10 Melakukan R & D 1.369 105 630 68 68 178 68 68 184 4.4 Menyiapkan pedoman teknis BMP berdasar hasil uji‐coba 506 ‐‐ ‐‐125 125 125 131 4.5 Melatih masyarakat dalam pelaksanaan BMP (sudah dicakup ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ Lihat Act. 4.3 dalam kegiatan‐kegiatan 4.3) Total Program # 4 14.130 159 1.447 2.180 2.392 2.162 2.052 2.052 1.686 48.04% 5. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam operasi pengelolaan CBC 5.1 Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang fungsi CBC melalui ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ Lihat Act. 3.3 dialog (melalui Act. 3.3) 5.2 Mengurangi ketergantungan masyarakat pada kawasan CBC Lihat Act. sebagai sumber penghasilan melalui pelatihan keterampilan (+ Act. ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 4.3.7 4.3.7) 5.3 Mengenali dan menerapkan insentif yang sesuai bagi masyarakat agar mendukung pelestarian CBC melalui 3 pilot‐project desa 5.490 ‐ ‐ ‐ 1.830 1.830 1.830 ‐ ‐ konservasi 5.4 Meningkatkan kapasitas masyarakat dalam penerapan BMP yang ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ Lihat Act. 5.3 sesuai melalui pelatihan teknis dan manajemen (melalui Act. 5.3) Total Program # 5 5.490 ‐‐ ‐1.830 1.830 1.830 ‐‐18.67%

59

Tabel 6 (lanjutan) No. Program/Kegiatan Total 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 Remarks 6. Penguatan sistem informasi dan kampanye pembangunan CBC 6.1 Merumuskan dan menerapkan tata‐kelola informasi CBC 138 138 ‐ ‐‐‐‐‐‐ 6.2 Membangun dan mengoperasikan website CBC yang dinamis 614 ‐ 140 140 66 66 66 66 70 6.3 Meningkatkan kapasitas operasi penyuluhan 1.784 ‐ 83 850 851 ‐‐‐‐ 6.4 Meningkatkan partisipasi dalam events cagar biosfer ditingkat internasional guna memperluas dan memperkuat 640 80 80 80 80 80 80 80 80 jejaring CBC 6.5 Melibatkan media massa dalam kampanye pembangunan CBC 1.600 200 200 200 200 200 200 200 200 6.6 Mempersiapkan, memproduksi dan menyebarluaskan 800 100 100 100 100 100 100 100 100 informasi CBC berupa brosur, leaflet, dll. Total Program # 6 5.576 518 603 1.370 1.297 446 446 446 450 18.96% Grand Total RPAP 29.413 1.084 3.343 4.299 6.268 5.188 4.452 2.622 2.157 100.00%

60

Tabel 6 (lanjutan) No. Program/Kegiatan Total 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 Remarks 6. Penguatan sistem informasi dan kampanye pembangunan CBC 6.1 Merumuskan dan menerapkan tata‐kelola informasi CBC 138 138 ‐ ‐‐‐‐‐‐ 6.2 Membangun dan mengoperasikan website CBC yang dinamis 614 ‐ 140 140 66 66 66 66 70 6.3 Meningkatkan kapasitas operasi penyuluhan 1.784 ‐ 83 850 851 ‐‐‐‐ 6.4 Meningkatkan partisipasi dalam events cagar biosfer ditingkat internasional guna memperluas dan memperkuat 640 80 80 80 80 80 80 80 80 jejaring CBC 6.5 Melibatkan media massa dalam kampanye pembangunan CBC 1.600 200 200 200 200 200 200 200 200 6.6 Mempersiapkan, memproduksi dan menyebarluaskan 800 100 100 100 100 100 100 100 100 informasi CBC berupa brosur, leaflet, dll. Total Program # 6 5.576 518 603 1.370 1.297 446 446 446 450 18.96% Grand Total RPAP 29.413 1.084 3.343 4.299 6.268 5.188 4.452 2.622 2.157 100.00%

61

Tabel 7. Rekapitulasi Estimasi Anggaran Belanja RPAP 2013-2020 (juta Rp)

No. Program/Kegiatan Total 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 % 1. Pemantapan kawasan dan tata‐ruang CBC 886 315 391 36 36 36 36 36 ‐ 3.01 2. Penguatan kelembagaan CBC 707 92 615 ‐‐‐‐‐‐ 2.40 3. Penyelesaian konflik pemanfaatan ruang CBC 2.624 ‐ 287 713 713 714 88 88 21 8.92 4. Perumusan dan penerapan best management practices (BMP) disetiap 14.130 159 1.447 2.180 2.392 2.162 2.052 2.052 1.686 48.04 zona 5. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam operasi pengelolaan CBC 5.490 ‐‐ ‐1.830 1.830 1.830 ‐‐18.67 6. Penguatan sistem informasi dan kampanye pembangunan CBC 5.576 518 603 1.370 1.297 446 446 446 450 18.96 Total RPAP 29.413 1.084 3.343 4.299 6.268 5.188 4.452 2.622 2.157 100.00 % 100.00 3.69 11.37 14.61 21.31 17.64 15.14 8.91 7.33

62

6.4 Logical Framework

Tabel 8. Indikator capaian, alat verifikasi dan asumsi pokok

No. Program Indikator capaian Alat verifikasi Asumsi

1. Pemantapan kawasan • Zonasi usulan CBC diadopsi • Permenhut • Komitmen kuat dan tata-ruang CBC tahun 2013; Permenhut terbit para pihak • Revisi RTR provinsi dan • Perda kabupaten diadopsi tahun 2014 • Rapat koordinasi terselenggara • Notulen rapat tahun 2014-2019 2. Penguatan • 2 workshop koordinasi zonasi • Laporan workshop kelembagaan CBC terselenggara tahun 2013-2014 • ROP Pusat dan Daerah selesai • Dokumen ROP • Komitmen kuat tahun 2013-2014 para pihak • SOP pengelolaan oleh Pusat dan • Dokumen SOP Daerah diadopsi • 15 rapat FKK diselenggarakan • Notulen rapat tahun 2013-2020 3. Penyelesaian konflik • Telaah fakta pemanfaatan ruang • Laporan teknis • Partisipasi lokal pemanfaatan ruang selesai tahun 2014 konsultan stakeholders CBC • 6 fora dialog tingkat kabupaten • Laporan teknis terselenggara 2013-2019 • 9 konflik horizontal terselesaikan • Laporan teknis • Kerjasama di 3 kabupaten masyarakat • Tata-laksana konflik disepakati • Dokumen teknis • Kerjasama dan diterapkan masyarakat • SOP patroli hutan diadopsi dan • Dokumen SOP diterapkan • 60 orang tenaga patroli hutan • Laporan teknis dilatih tahun 2016-2017 4. Perumusan dan • BMP yang sesuai disetiap zona • Dokumen RPAP • Partisipasi penerapan BMP dikenali tahun 2013 masyarakat disetiap zona • BMP disosialisasikan melalui 13 • Laporan teknis fora dialog (Act. 3.2-3.3)

Ekowisata 9 9 model ekowisata 9 Laporan teknis 9 Minat masyarakat dikembangkan di 3 kabupaten kuat tahun 2014-2020 9 Jejaring ekowisata terbentuk 9 Laporan teknis tahun 2020 9 Inspeksi lapangan

9 180 anggota masyarakat dilatih 9 Laporan teknis tentang ekowisata

Pendidikan konservasi dan lingkungan 9 Dukungan Pemda 9 Kurikulum pendidikan tersusun 9 Laporan teknis dan Kemendikbud dan diterapkan di 9 sekolah di 3 kabupaten tahun 2014-2015 9 4 model perpustakaan dibangun 9 Laporan teknis di provinsi dan kabupaten tahun 9 Inspeksi lapangan 2016-2019 9 Fasilitas pendidikan konservasi 9 Laporan teknis dibangun di 9 sekolah model 9 Inspeksi lapangan tahun 2014-2020

63

Logical framework (lanjutan)

No. Program Indikator capaian Alat verifikasi Asumsi

Perumusan dan Usaha tani berkelanjutan penerapan BMP 9 12 model usaha tani dibangun di 9 Laporan teknis 9 Dukungan Pemda disetiap zona 3 kabupaten tahun 2015-2020 dan masyarakat

Usaha perkebunan ramah lingkungan 9 C & I perkebunan diadopsi dan 9 Laporan teknis 9 Dukungan diterapkan tahun 2015-2020 pengusaha

Ekonomi berkelanjutan 9 Pola partnership pemerintah- 9 Dokumen partnership 9 Dukungan pengusaha diadopsi tahun 2015 pengusaha

Cagar budaya 9 Sistem tata-kelola cagar budaya 9 Laporan teknis 9 Masyarakat diadopsi tahun 2015 berminat

Industri ramah lingkungan 9 120 anggota masyarakat dilatih 9 Laporan teknis teknik produksi utk 15 produk kerajinan tahun 2015-2020 9 Laporan teknis 9 Kerjasama industri 9 Sistem insentif-disinsentif industri diadopsi thn 2014

Perumahan ramah lingkungan 9 C & I pemukiman ramah 9 Laporan teknis 9 Kerjasama lingkungan diterapkan tahun pengembang 2016-2020

Rehabilitasi DAS 9 Rehabilitasi hulu DAS di 3 lokasi 9 Laporan teknis dilaksanakan tahun 2016-2020

R & D 9 Studi potensi jasa lingkungan 9 Laporan studi selesai tahun 2014 9 Studi bio-diversity dilaksanakan 9 Laporan studi tahun 2014-2020 9 Kajian insentif hulu-hilir 9 Laporan teknis dilaksanakan tahun 2013-2014

• 10 pedoman teknis penerapan • Dokumen teknis BMP diproduksi tahun 2017- 2020

64

Logical framework (lanjutan) No. Program Indikator capaian Alat verifikasi Asumsi

5. Peningkatan partisipasi • 3 model desa konservasi • Laporan teknis • Dukungan Pemda masyarakat dalam dibangun tahun 2016-2018 • Inspeksi lapangan dan masyarakat pengelolaan CBC • Fungsi CBC dimengerti • Laporan teknis masyarakat di 3 kabupaten Act. No.3.2-3.3 • Sumber penghasilan alternatif • Laporan teknis dikembangkan di 3 kabupaten Act. No.4.3.1; 4.3.3; 4.3.7 • Kapasitas 420 anggota • Laporan teknis masyarakat meningkat dalam Act. No.4.3.1; 4.3.3; penerapan BMP 4.3.7

6. Penguatan sistem • Tata-kelola informasi CBC • Dokumen teknis informasi dan diadopsi tahun 2014 kampanye • Website CBC operasional mulai • Laporan teknis pembangunan CBC tahun 2014 • Inspeksi lapangan

• 4 paket perlengkapan dan • Bukti pengadaan fasilitas penyuluhan diadakan tahun 2015-2016 • 40 orang penyuluh dilatih tahun • Laporan pelatihan • Peserta pelatihan 2015-2016 cukup • Partisipasi pada 16 events • Laporan teknis • Ada undangan OC internasional tahun 2014-2020 • 8kegiatan CBC diliput media • Dokumentasi TV • Kerjasama TV massa tahun 2013-2020 • 10.000 copies materi kampanye • Hardcopies diproduksi dan disebarkan

65

7. PENUTUP

7.1 Kondisi Pemungkin (Enabling Conditions) a. Legitimasi RPAP RPAP 2013 – 2020 perlu legitimasi sebelum dapat diterapkan; artinya perlu disepakati dan didukung secara formal oleh instansi tingkat pusat, provinsi dan kabupaten. Proses legitimasi tersebut butuh proses konsultasi dan diharapkan dapat selesai pada tahun 2013 ditandai dengan adanya dokumen memorandum kesepakatan dan dukungan. Tanpa legitimasi, penerapan RPAP mengandung resiko yang mengancam keberlanjutan dari program dan aksi yang telah dirumuskan. b. Pendanaan Dana yang dibutuhkan untuk menerapkan RPAP 2013-2020 sangat besar, mencapai Rp. 29,4 milyar. Berdasar pengalaman, sulit mengharapkan ketersediaan dana dalam jumlah yang dibutuhkan secara kontinyu dari tahun ke-tahun bila hanya mengharapkan dana APBN dan APBD. Salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan adalah sebagaiberikut: • Mempersiapkan proyek hibah ITTO - Dana ITTO akhir-akhir ini sangat terbatas, umumnya kontinyu dari satu juta US dollar per proyek - Salah satu dari program dalam RPAP 2013-2020 diformulasikan menjadi proyek ITTO; dana APBN dan APBD dialokasikan untuk mendanai beberapa kegiatan proyek yang relevan - Diharapkan bahwa ITTO akan mencukupi sekitar 70% dari dana proyek yang dibutuhkan; sekitar 30% dicukupi dari APBN dan APBD

• Mempersiapkan proyek hibah multi-lateral - Beberapa program diformulasikan menjadi proyek hibah multi-lateral dan diajukan le GEF (General Environmental Facilities) dan WB (World Bank) - Mungkin diperlukan lebih dari satu proyek dan mungkin memerlukan penyesuaian berbagai kegiatan terhadap selera donor - Diharapkan bahwa dana hibah multi-lateral akan mencukupi sekitar 70% dari dana yang dibutuhkan; sisanya sekitar 30% dialokasikan melalui APBN dan APBD - Penyiapan proyek multi-lateral butuh proses panjang sehingga perlu dimulai sedini mungkin c. Kelembagaan

Untuk mengimplementasikan kegiatan pengolaan maka dibutuhkan suatu struktur kelembagaan yang mampu untuk melayani perpaduan 3 fungsi dari konsep keseimbangan manusia dan alam, yaitu: (a) memfasilitasi kontribusi untuk konservasi lansekap, ekosistem, jenis dan plasma nutfah, (b) mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan baik secara ekologi, budaya dan (c) mendorong adanya dukungan logistic untuk penelitian, pemantauan, pendidikan dan pelatihan yang terkait dengan masalah konservasi dan pembangunan berkelanjutan ditingkat lokal, nasional dan global. Dasar pemikiran penetapan kelembagaan, adalah sebagai berikut: 1. Kegiatan – kegiatan yang harus dilakukan oleh para pihak terkait dengan pengelolaan cagar biosfer terintegrasi di setiap level (internasional – nasional – propinsi – kabupaten); 2. Kebijakan dan program pembangunan nasional dan daerah sinergi dan sejalan dengan konsep cagar biosfer; 3. Dinamika dan masalah yang terjadi di daerah berkaitan dengan konservasi ekosistem, species dan genetik dapat teratasi dalam konteks pembangunan di era Otonomi Daerah; 4. Kewenangan dan tanggung jawab (nasional dan daerah)

66

Lingkup aktivitas lembaga dalam rangka pengelolaan CBC, sebagai berikut: 1. Kerjasama lintas wilayah kewenangan: ‐ Perencanaan penetapan batas area inti, area penyangga dan area transisi ‐ Identifikasi Penelitian dan pengembangan cagar biosfer ‐ Kerterkaitan dan kerjasama antara area inti sebagai area pelestarian kehati dengan area penyangga sebagai area penjamin perlindungan area inti serta area transisi sebagai area pembangunan berkelanjutan ‐ Promosi internasional dan kepedulian publik 2. Pengelolaan area inti (Taman Nasional Gunung Gede Pangrango) ‐ Pengumpulan data dasar ‐ Penguatan pengelolaan TN ‐ Penguatan kapasitas lembaga dan SDM ‐ Pengembangan penelitian ‐ Restorasi dan rehabilitasi hutan 3. Pengelolaan area penyangga dan area transisi ‐ Pengumpulan data dasar ‐ Pengembangan best practices dalam pengelolaan sumber daya alam ‐ Pengembangan kapasitas dan SDM ‐ Pengelolaan SDA berbasis masyarakat lokal ‐ Pengembangan penelitian 4. Pengelolaan kelembagaan dan keuangan: APBN, APBD, Pembayaran Jasa Lingkungan, Insentif dan pengembangan Dana Konservasi

Kerangka Kelembagaan Cagar Biosfer Cibodas mencakup kawasan konservasi, lansekap alami, dan kawasan budidaya. Pengelolaan dilaksanakan secara multipihak antara pemangku kepentingan (stakeholders) yang ada dalam wilayah cagar biosfer Cibodas. Berbagi peran antara semua pihak meliputi kegiatan konsultasi, advokasi, pembangunan kapasitas sumber daya manusia, dukungan pendanaan, pengembangan perencanaan program yang relevan dengan konsep cagar biosfer.

Lembaga yang dibentuk lebih merupakan wadah koordinasi dengan kesepakatan menunjuk leading sector yang dapat berfungsi untuk: ‐ membangun kesepakatan terhadap cakupan kawasan yang disesuaikan dengan RUTR (nasional/propinsi/kabupaten), ‐ melakukan inventarisasi dan identifikasi kegiatan pengelolaan cagar biosfer dan mengintegrasikan kedalam perencanaan pembagunan para pihak dalam wilayah cagar biosfer, ‐ menyusun perencanaan kegiatan sesuai jangka waktu dan kesepakatan (Rencana Pengelolaan Cagar Biosfer Cibodas) ‐ merumuskan solusi atas kemungkinan terjadinya perbedaan kepentingan ‐ menyusun proposal untuk penggalangan pendanaan ‐ monitoring dan evaluasi

d. Sumber Daya Manusia

Dalam rangka optimalisasi pengelolaan CBC, diperlukan sumberdaya manusia pengelolaa CBC. Terkait hal tersebut, telah diterbitkan Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 522.51/Kep.157- BKPPW I/2010 tentang Forum Koordinasi dan Komunikasi Pengelolaan CBC (FK2PCBC).

67

Struktur FK2PCBC, sebagai berikut: 1. Pengarah 2. Ketua FK2PCBC 3. Wakil Ketua FK2PCBC 4. Sekretaris FK2PCBC 5. Bidang Konservasi, Pendidikan dan Penelitian 6. Bidang Pemberdayaan Masyarakat 7. Bidang Pembangunan Berkelanjutan dan Ramah Lingkungan 8. Sekertariat

Tugas utama FK2PCBC adalah menyelaraskan program para pihak dengan membangun Rencana Pengelolaan CBC, serta mengembangkan sistem pendanaan berkelanjutan untuk CBC. Unsur FK2PCBC terdiri dari Pemerintah Pusat dan Daerah, Perguruan Tinggi, NGOs, Peneliti, BUMN dan Sektor Swasta. Lebih dari 60 Institusi: 75 anggota baik itu dari pemerintah, swasta, universitas/ perguruan tinggi serta organisasi non pemerintah.

7.2 Rencana Monitoring dan Evaluasi (Monev)

Capaian RPAP antar waktu perlu diukur dan dievaluasi menggunakan indikator seperti disajikan pada logical framework. • Sebaiknya Monev dilaksanakan setidaknya per semester; dengan cara ini, penyimpangan yang terjadi dapat dideteksi dini dan perbaikan yang diperlukan segera dilakukan • Monev harus dilakukan oleh lembaga independen untuk menjamin objektivitas; Universitas, perusahaan konsultan dan LSM dapat dipertimbangkan untuk melakukan monev • Rencana operasi Monev perlu dipersiapkan dan dilengkapi dengan terms of reference yang jelas • Program yang telah disepakati dari tiap bidang dilaksanakan secara terintegrasi dengan pendanaan masing-masing para pihak dan dikontrol oleh setiap unsur dalam FK2PCBC

Guna menjamin objektivitas evaluasi capaian intervensi pengelolaan, indikator monev yang dipakai adalah seperti dirinci pada logical framework serta harus menggunakan sumber informasi yang relevan. Dalam evaluasi capaian program, asumsi pokok harus pula mendapat perhatian yang memadai menyangkut valid tidaknya suatu asumsi selama kurun waktu operasi yang sedang dievaluasi.

68

Lampiran 1. Arah kebijakan pengelolaan ruang CBC

1. Ekowisata

Hampir seluruh area dalam wilayah cagar biosfer mempunyai potensi wisata yang dapat dikembangkan seperti flora, fauna, gejala alam, dan budaya. Dalam pengelolaan kepariwisataan alam (ekoturisme) secara umum di Cagar Biosfer Cibodas (CBC), Objek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) Alam, merupakan aset bagi kesinambungan pengembangan pariwisata suatu kawasan CBC, disamping sarana dan prasarana pendukung, serta publikasinya yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

Awalnya, di Indonesia pengembangan pariwisata dipandang sebagai kegiatan pembangunan yang berbasiskan kebudayaan, kemudian sebagai salah satu andalan sektor ekonomi terutama bagi peningkatan penerimaan devisa. Terakhir, sejak tahun 1999 sampai sekarang pariwisata dikembalikan pada konsep semula sebagai program pembangunan sosial budaya. Perubahan kebijakan tersebut telah membawa implikasi luas, baik pada kegiatan kepariwisataan itu sendiri, maupun bagi pengelolaan lingkungan alam, sosial dan budaya sebagai sumber daya yang menjadi andalan utama dalam kegiatan pariwisata. (Adriwijaya,2007).

Pemanfaatan ekowisata pada areal inti kawasan suatu taman nasional harus mengacu pada Peraturan Pemerintah RI nomor 36 Tahun 2010 dimana setiap pengguna areal inti untuk kepentingan wisata diwajibkan mengajukan Ijin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA).Dalam pelaksanaannya kegiatan ekowisata yang dijalanakan harus melibatkan para pihak, diantaranya pemerintah pusat/daerah, swasta, masyarakat local, dan LSM serta Perguruan Tinggi. Ekowisata juga harus dapat memberikan nilai ekonomi bagi kegiatan ekosistem di dalam lingkungan yang dijadikan obyek wisata.

Adapun bentuk kegiatan yang dimungkinkan dilakukan di Cagar Biosfer Cibodas adalah : ¾ Eko-tour, dimana kegiatan pariwisata memanfaatkan potensi / gejala alam spot by spot (point of interest) yang terdapat di dalam tiga area (inti, penyangga, transisi). ¾ Pendakian, yang dilakukan di area inti dengan memperhatikan aspek-aspek konservasi. ¾ Eco homestay, yaitu pemukiman penduduk yang dijadikan penginapan bagi pengunjung dengan menjunjung tinggi kearifan local baik itu kesenian, makanan, tempat, pakaian, dan aktifitas sehari- hari masyarakat. ¾ Jungle track, yaitu kegiatan wisata dengan melakukan eksplorasi hutan ¾ Animal watching, yaitu kegiatan pengamatan satwa liar, seperti pengamatan burung (Bird watching).

Apabila kemungkinan-kemungkinan bentuk kegiatan di atas dapat dilaksanakan di dalam kawasanCagar Biosfer Cibodas , maka ekowisata akan melahirkan beberapa keuntungan, antara lain; ¾ Menghasilkan keuntungan secara langsung untuk pelestarian lingkungan ¾ Memberikan keuntungan secara langsung dan tidak langsung bagi para pihak terkait (stakeholders), misalnya pendapatan ekonomi bagi pemandu wisata lokal, retribusi bagi pemerintah setempat, dll; ¾ Membangun konstituen atau dukungan bagi konservasi di tingkat lokal, nasional dan internasional; ¾ Mempromosikan penggunaan sumber daya alam yang berkelanjutan; ¾ Mengurangi ancaman terhadap kenekaragaman hayati yang ada di obyek wisata tersebut.

Pengembangan kegiatan ekowisata di zona penyangga dan area transisi harus dikaitkan dengan pengembangan ekowisata di area inti. Untuk itu pengembangan ekowisata tidak berdiri sendiri namun terkait satu sama linnya dengan tetap memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan.

69

2. Pendidikan Konservasi/Lingkungan

Pendidikan konservasi adalah usaha sadar yang dilakukan secara terus menerus supaya masyarakat mempunyai kesadaran dan kepedulian konservasi sumber daya alam dan segala permasalahannya sehingga masyarakat akan memiliki pengetahuan, sikap, keahlian, motivasi dan komitmen untuk ikut memecahkan permasalahan konservasi.

Pendidikan konservasi mutlak diperlukan untuk meningkatkan kepedulian terhadap kelestarian sumber daya alam. Undang-undang No. 5 tahun 1990 telah mengatur tentang konservasi keanekaragaman hayati, termasuk pengelolaan sumber daya alam hayati dengan tiga hal, yaitu perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Undang-undang tersebut menghendakinya agar seluruh bangsa Indonesia peduli terhadap pentingnya keanekaragaman hayati di Indonesia.

Menurut Judi dan Wood (1993), ada dua cara untuk mengajarkan pendidikan konservasi dan lingkungan termasuk mitigasi bencana, yaitu melalui metode infusion dan metode block. Metode infusi dilakukan dengan cara menyisipkan muatan dan proses pendidikan konservasi atau lingkungan atau mitigasi bencana ke dalam subyek kurikulum yang ada, misalnya dimasukkannya materi/pesan pendidikan terkait ke dalam pelajaran IPA ataupun IPS. bahkan materi ini dapat disisipkan ke semua subyek pelajaran, termasuk membaca, menulis, berbahasa, matematika, musik, seni dan olah raga. Metode blok adalah proses pembelajaran yang berdiri sendiri baik dalam bentuk mata pelajaran khusus (kurikulum muatan lokal/intra kurikuler) maupun ke dalam kegiatan ekstra kurikuler khusus. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan.

Meskipun demikian, pesan konservasi harus tersampaikan kepada generasi muda khususnya para pelajar melalui berbagai sumber pembawa pesan termasuk para guru di isekolah. Guna mendukung hal tersebut perlu disiapkan model, metode dan media pembelajaran untuk mendorong para guru agar mau dan mampu menerapkannya, baik untuk tingkat SD, SMP atau pun SMA yang berada di sekitar area CBC. Metoda tersebut adalah : a. Memasukkan Pendidikan konservasi/lingkungan pada pendidikan formal berupa muatan local di sekolah dari tingkat SD sampai dengan Perkuliahan, baik dengan cara menyisipkan maupun penyampaian secara keseluruhan b. Pendidikan konservasi dilaksanakan di luar pendidikan formal seperti Pembinaan kepada kelompok penggiat alam, atau acara-acara yang berbasis konservasi (pameran, Lomba-lomba, siaran media elektronik atau cetak).

Area inti kawasan Cagar Biosfer Cibodas dapat dijadikan area praktek lapang dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan konservasi tersebut. Untuk area penyangga dan transisi dapat dijadikan sebagai subjek pendidikan konservasi yang akan disampaikan kepada masyarakat usia dini, sebagai salah satu target dari arahan kebijakan ini merupakan masyarakat usia dini.

Dengan dilakukannya pendidikan konservasi di sekitar area CBC diharapkan dapat mengembangkan kepekaan individu atau kelompok komunitas terhadap konservasi sumber daya alam, memberikan kesempatan kepada semua orang untuk mendapatkan kesadaran, pengetahuan, dan keahlian dan komitmen untuk melakukan konservasi sumber daya alam, membentuk pola prilaku yang ramah terhadap sumber daya alam, mengembangkan etika konservasi, memberantas buta konservasi, serta meningkatkan kualitas sumber daya alam.

70

3. Pertanian /Peternakan Berkelanjutan

Indonesia merupakan negara yang berbasiskan masyarakat dengan mayoritas bermatapencaharian dalam bidang pertanian. Berbagai upaya dilakukan pemerintah dan petani untuk meningkatkan produksi pertaniannya, namun dalam perkembangannya, usaha peningkatan produksi pertanian hanya mengutamakan produksi saja tanpa atau kurang memikirkan dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

Revolusi Hijau (Green Revolution) merupakan salah satu program pemerintah dalam usaha meningkatkan produksi pertanian di masa lalu yang bertujuan untuk memperoleh hasil produksi pertanian yang maksimal. Dalam program ini pemerintah menganjurkan menggunakan pupuk kimia serta berbagai sarana produksi lainnya yang mengandung bahan kimia dalam upaya peningkatan produksi pertanian. Dalam perkembangannya tujuan dari proragm ini tercapai namun dari segi lingkungan dinilai tidak berkelanjutan dan sangat merugikan lingkungan. Dampak lingkungan yang ditimbulkan justru menimbulkan harga yang jauh lebih mahal, seperti meledaknya populasi hama, munculnya hama sekunder, munculnya penyakit baru, timbulnya resistensi hama, penurunan keanekaragaman hayati dan terjadinya pencemaran lingkungan seperti air, tanah dan lain sebagainya.

Pilihan yang tepat untuk pertanian saat ini adalah pertanian berkelanjutan. Pertanian berkelanjutan merupakan pertanian yang memacu peningkatan produksi dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Salah satu contoh pertanian berkelanjutan adalah pertanian organik. Perkembangan pertanian organik dalam 10 tahun terakhir yang dirasa menjadi langkah positif dalam menjembatani antara kepentingan produksi pertanian dalam mencukupi kebutuhan pangan dengan tuntutan akan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan.

Sistem pertanian berkelanjutan secara sederhana pada hakikatnya adalah sistem pertanian yang tidak merusak, tidak mengubah, serasi, selaras dan seimbang dengan lingkungan atau pertanian yang patuh dan tunduk pada kaidah-kaidah alamiah. Keberlanjutan dapat diartikan sebagai prinsip untuk menjaga agar usaha pertanian dapat terus berlangsung dan kemampuan untuk bertahan dapat terjaga agar tidak merosot. Dalam konteks pertanian, keberlanjutan adalah prinsip untuk pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang terus berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumber daya alam. Sistem pertanian berkelanjutan berisi suatu ajakan moral untuk berbuat kebajikan pada lingkungan sumber daya alam dengan mempertimbangkan tiga aspek sebagai berikut : ¾ Kesadaran Lingkungan (Ecologically Sound), sistem budidaya pertanian tidak boleh menyimpang dari sistem ekologis yang ada. Keseimbangan adalah indikator adanya harmonisasi sistem ekologis yang mekanismenya dikendalikan oleh hukum alam. ¾ Bernilai ekonomis (Economic Valueable), sistem budidaya pertanian harus mengacu pada pertimbangan untung rugi, baik bagi diri sendiri juga bagi orang lain, untuk jangka pandek dan jangka panjang, serta bagi organisme dalam sistem ekologi maupun diluar sistem ekologi. ¾ Berwatak sosial atau kemasyarakatan (Socially Just), sistem pertanian harus selaras dengan norma-noma sosial dan budaya yang dianut dan dijunjung tinggi oleh masyarakat disekitarnya. Sebagai contoh, seorang petani akan mengusahakan peternakan ayam dipekarangan milik sendiri. Mungkin secara ekonomis dan ekologis menjanjikkan keuntungan yang layak, namun ditinjau dari aspek sosial dapat memberikan aspek yang kurang baik misalnya, pencemaran udara karena bau kotoran ayam.

Untuk menuju pembangunan pertanian berkelanjutan memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Hal ini dikarenakan pola pikir petani yang telah dikondisikan untuk menggunakan bahan-bahan kimia pada saat masih berlangsungnya kampanye revolusi hijau. Ketegasan

71 pemerintah dalam menagani pembatasan penjualan bahan-bahan kimia yang digunakan untuk proses-proses pertanian, akan sangat efektif untuk mengurangi dampak yang lebih parah terhadap aspek lingkungan.

Sosialisasi pemerintah untuk mulai menggalakkan pertanian organik dengan bertujuan mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada diharapkan terus meningkat. Berbagai upaya dapat dilakukan dengan melakukan sosialisasi program pertanian organik, pelatihan bagi petani untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada seperti dalam pembiakan agen hayati, pestisida botani dan sebagainya.

Contoh kongkrit sistem pertanian berkelanjutan yang dapat diterapkan antara lain: ¾ Pupuk organik Menggunakan pupuk organik seperti kompos, kotoran hewan sebagai salah satu cara dalam upaya penyuburan tanah. Pupuk ini tidak akan memberikan dampak negatif/kimiawi terhadap jasad renik yang ada di dalam tanah seperti cacing yang berfungsi sebagai penyubur tanah dan jasad renik lainnya yang mempunyai fungsi sangat penting dalam proses penyuburan tanah; ¾ Sistem terasering Untuk kondisi daerah pertanian yang relatif miring/terjal dapat menggunakan sistim terasering, untuk menghidari terjadinya erosi; ¾ Menggunakan pestisida biologis Penggunaan pesstisidan botani sebagai pembasmi hama seperti penggunaa tumbuhan cabe untuk mengusir serangga, atau penggunaan bahan kimia yang masih diperbolehkan dalam batas tertentu, seperti halnya penerapan pengendalian hama terpadu (PHT). ¾ Menggunakan sistem mekanis/pengolahan manual seperti bajak dengan kerbau.

Banyak manfaat yang dapat diperoleh dengan sistem pertanian berkelanjutan manfaat secara ekonomi maupun secara ekologi antara lain : ¾ Tidak ada pencemaran air tanah maupun air permukaan; ¾ Mengontrol terjadinya erosi dan memperbaiki struktur tanah; ¾ Mempertahankan kesuburan tanah dengan cara menjaga keseimbangan hara; ¾ Tidak ada pencemarahan tanah akibat penggunaan bahan pupuk kimiawi; ¾ Tidak ada pengendapan dan pendangkalan pada sungai dan danau akibat erosi dan pencemaran air tanah maupun air permukaan; ¾ Dapat mempertahankan sumber alam sebagai penunjang produksi tanaman jangka panjang, dengan cara mengontrol erosi dan memperbaiki struktur tanah, mempertahankan kesuburan tanah dengan cara menjaga keseimbangan hara, mengusahakan diversifikasi tanaman di lahannya; ¾ Tidak ada ketergantungan terhadap sarana produksi yang berasal dari industri ataupun bahan import seperti pupuk kimiawi; ¾ Keberlanjutan ekologis adalah upaya mengembangkan agroekosistem agar memiliki kemampuan untuk bertahan dalam kurun waktu yang lama melalui pengelolaan terpadu untuk memelihara dan mendorong peningkatan fungsi sumber daya alam yang ada. Pengembangan sistem juga berorientasi pada keragaman hayati (biodiversity)

Sesuai dengan program Cagar Biosfer Cibodas , kawasan yang konsepnya menggambarkan keselarasan hubungan antara pembangunan ekonomi, pengembangan sosial melalui pemberdayaan masyarakat dan konservasi lingkungan, dimana keseimbangan hubungan manusia dan alam tetap dijaga, sehingga cagar biosfer merupakan kawasan yang sempurna untuk mengimplementasikan pendekatan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dengan membangun tiga pilar yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan secara selaras dan seimbang, pada tingkat lokal (tapak).

72

Banyak sekali desa yang mempunyai potensi pertanian berada di dalam zona penyangga CBC untuk pengembangan sistem pertanian keberlanjutan, misalnya Desa Cileungsi Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor. Jumlah penduduk desa ini sebanyak 7.252 jiwa, dengan luas wilayah 365,9 ha (sawah 130 ha, pekarangan dan perumahan 16.6 ha, ladang dan empang 216 ha). Dari luasan sawah ini, hasil panen yang dapat dicapai per ha adalah 6,30 ton/ha. Desa ini juga merupakan daerah penghasil produksi buah-buahan (yaitu alpukat, durian, pepaya, nenas dan pisang), penghasil palawija (yaitu jagung, ubi kayu dan ubi jalar, kacang tanah), penghasil sayuran (yaitu bawang daun, petsai sawi, wortel, kacang merah, kacang panjang, cabe, tomat, terong, buncis, mentimun dan labu).

4. Perkebunan ramah lingkungan

Dasar pengelolaan kebun ramah lingkungan adalah Undang-Undang RI nomor 18 Tahun 2004 tentang perkebunan. Dalam UU tersebut tertuang bahwa Perkebunan diselenggarakan berdasarkan atas asas manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, serta berkeadilan.

Perkebunan mempunyai fungsi: ¾ ekonomi, yaitu peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta penguatanstruktur ekonomi wilayah dan nasional; ¾ ekologi, yaitu peninkatan konservasi tanah dan air, penyerap karbon, penyedia oksigen, dan penyangga kawasan lindung; dan ¾ sosial budaya, yaitu sebagai perekat dan pemersatu bangsa.

Perkebunan Ramah Lingkungan dapat diartikan sebagai upaya secara sadar dan terencana yang mengintegrasikan (sistem) aspek ekonomi, sosial-budaya dan perlindungan daya dukung ekosistem dengan memperhatikan generasi sekarang dan generasi akan datang. Bentuk kegiatan pada Pembangunan Perkebunan ramah lingkungan antara lain : ¾ Menanam tanaman perkebunan baik tanaman inti maupun tanaman pelindung yang tidak mempunyai sifat invasif. ¾ Mengurangi penggunaan pupuk kimia dan mengganti dengan pupuk organik. ¾ Mengganti pestisida kimia dengan pestisida dari bahan organik. ¾ Mengembangkan penanaman jenis MPTS (multi purpose trees species) berupa tanaman buah- buahan pada area penyangga dan transisi. ¾ Memamfaatkan lahan pinggir jalan dan kanan kiri sungai untuk ditanami tanaman berbuah.

Manfaat pembangungan Perkebunan Ramah Lingkungan antara lain: ¾ Terjaminnya kualitas tanah ¾ Produksi perkebunan berkelanjutan ¾ Pencemaran baik tanah maupun air dapat di hindari ¾ Ekosistem lingkungan terjaga

5. Ekonomi berkelanjutan

Pembangunan ekonomi berkelanjutan adalah sebagai upaya manusia untuk memperbaiki mutu kehidupan dengan tetap berusaha untuk tidak melampaui kemampuan ekosistem yang mendukung kehidupannya. Salah satu masalah penting yang dihadapi dalam pembangunan ekonomi adalah bagaimana menghadapi keseimbangan (trade-off) antara pemenuhan kebutuhan pembangunan disatu sisi dan upaya mempertahankan kelestarian lingkungan disisi lain. Pembangunan ekonomi yang berbasis sumber daya alam yang tidak memperhatikan aspek kelestarian lingkungan pada akhirnya akan berdampak negatif pada lingkungan itu sendiri, karena pada dasarnya sumber daya alam dan lingkungan memiliki kapasitas daya dukung yang terbatas. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi yang tidak memperhatikan kapasitas sumber daya alam dan lingkungan akan menyebabkan permasalahan pembangunan dikemudian hari. Pertumbuhan ekonomi akan sangat dibatasi oleh

73 ketersediaan sumber daya alam. Dengan ketersediaan sumber daya alam yang terbatas, arus barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber daya alam tidak akan selalu bisa dilakukan secara terus menerus (on sustainable basis).

Penduduk atau masyarakat selaku subjek dan objek ekonomi berperan penting dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan. Terciptanya penduduk yang berkualitas memungkinkan untuk bisa mengolah dan mengelola potensi sumber daya alam dengan baik, tepat, efisien, dan maksimal dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Sehingga harapannya akan terjadi keseimbangan dan keserasian antara jumlah penduduk dengan kapasitas daya dukung alam dan daya tampung lingkungan.

Kawasan Cagar Biosfer Cibodas terdiri dari beberapa wilayah desa yang terletak di area penyangga dan area transisi. Sebagian besar penduduk desa tersebut berpendidikan rendah dan hidup dalam kegiatan usaha kecil baik di sektor tradisional maupun modern, terdapat beberapa potensi bentuk usaha kecil atau usaha rumah tangga yang berada di desa CBC tersebut diantaranya home industry, nursery, dan flories yang mana dipandang perlu adanya dukungan dari berbagai pihak yang berkepentingan (pemerintah, swasta, dan masyarakat di tingkat nasional, regional maupun local).

Sumber daya alam yang melimpah merupakan modal dasar dalam pembangunan ekonomi. Namun dalam hal pemanfaatannya harus didukung upaya terpadu dan terorganisasi untuk mengembangkan kualitas ekonomi melalui pengaturan, perencanaan, pengendalian, pemantauan, dan pemeliharaan sumber daya alam secara ekologis sekaligus layak secara ekonomi juga adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut dipandang perlu adanya arah kebijakan sebagai berikut ; ¾ Memantapkan Tata kelola yang baik (Good Governance) dengan dukungan SDM yang berkualitas serta prasarana dan sarana yang memadai ¾ Mengembangkan ekonomi kerakyatan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat dengan pengelolaan Sumber Daya alam (SDA) yang berkelanjutan dan terkendali. ¾ Meningkatkan infrastruktur dan konservasi alam yang handal berdasarkan tata ruang yang mantap untuk mendukung industri pariwisata berbasis lingkungan dan budaya. ¾ Meningkatkan situasi kondusit daerah dengan mendorong pelaksanaan demokrasi dan penegakan hukum. ¾ Mengembangkan jejaring yang sinergis dengan semua pihak.

Perundang-undangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan ekonomi berkelanjutan adalah: ¾ Undang-undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ¾ Undang-undang No. 22 Th 2001 tentang Gas dan Bumi ¾ UU No. 41 Th 1999 tentang kehutanan ¾ UU No. 24 Th 1992 tentang Penataan Ruang

Konsep dasar pembangunan ekonomi berkelanjutan adalah antara lain ; ¾ Tidak ada pemborosan penggunaan sumber daya alam atau depletion of natural resources; ¾ Tidak ada polusi dan dampak lingkungan lainnya; ¾ Kegiatannya harus dapat meningkatkan useable resources ataupun replaceable resource. Kemungkinan bentuk kegiatan kongkrit di kawasan Cagar Biosfer Cibodas yang mengarah pada pembangunan ekonomi berkelanjutan adalah antara lain ; ¾ Pemanfaatan jasa lingkungan pada zona inti sebagai asset wisata dengan tetap memperhatikan azas kelestarian. ¾ Pengembangan usaha kecil rumah tangga pada zona penyangga dan transisi dengan memilih produk yang tidak mengakibatkan dampak buruk terhadap lingkungan. Contoh one village one product.

74

¾ Pengembangan koperasi sebagai wadah bagi Usaha Kecil Menengah yang berada di zona penyangga dan zona transisi. ¾ Pengembangan usaha dalam bidang nursery dan flories dengan memanfaatkan air permukaan yang ramah lingkungan. ¾ Penginapan, hotel, dan villa dengan mengembangkan konsep ramah lingkungan

Dengan Melakukan aktivitas ekonomi yang berkelanjutan, maka manfaat yang di peroleh adalah antara lain ; ¾ Terciptanya sinergisitas antara pelestarian dan pemanfaatan Sumber Daya Alam dengan kegiatan ekonomi di kawasan Cagar Alam Biosfer. ¾ Meningkatnya tingkat pendapatan masyarakat yang diikiuti dengan meningkatnya kualitas Sumber Daya Alam.

6. Cagar Budaya

Cagar Budaya dan Kebudayaan merupakan unsur yang sangat erat kaitannya, apabila dilihat dari pengertiannya Kebudayaan (culture) adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya. Kebudayaan terdiri atas unsur-unsur universal, yaitu : bahasa, teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi dan kesenian dan tersistem dalam tiga wujud ialah : ide, aktivitas, dan kebendaan yang masing-masing biasanya disebut sistem budaya atau sistem adat istiadat, sistem sosial dan kebudayaan kebendaan. Adapun pengertian dari Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan (UU No. 11 tahun 2010).

Dari unsur-unsur tersebut kebudayaan sangat mempengaruhi terhadap pola/pandangan aktivitas manusia dalam suatu lingkungannya baik dalam upaya memenuhi kebutuhan ekonomi maupun dalam pengelolaan alam lingkungannya. Misalkan, ketika manusia di dalam budaya dan kebudayaannya sudah menganggap bahwa sesuatu (tempat, benda) penting buat mereka baik buat budaya, ekonomi, sosial maupun untuk ekologinya maka meraka akan terus berusaha untuk menjaga dan melestarikannya dan sebaliknya apabila mereka tidak menganggap penting maka hal tersebut akan mereka abaikan.

Salah satu tujuan dari pembentukan cagar biosfer adalah meningkatkan perlindungan keanekaragaman hayati dan budaya, hal ini dengan memberikan perhatian khusus pada habitat- habitat yang mengalami fragmentasi, ekosistem yang terancam, dan lingkungan-lingkungan alam dan budaya yang rawan terhadap kerusakan. Jelas bahwa antara budaya, ekonomi, lingkungan harus dikelola secara seimbangan dan tidak saling mendominasi dalam implementasinya.

Cagar Biosfer Cibidos yang meliputi 3 kabupaten (Cianjur, Sukabumi, Bogor) terdapat beberapa Cagar Budaya yang mempunyai nilai penting dan sejarah dalam kehidupan. Seperti pada zona inti CBS tepatnya di Alun-alun Suryakencana (TN Gunung Gede Pangrango) terdapat sebuah batu (Batu Sidondang/Kursi), sampai saat ini masyarakat percaya bahwa itu salah satu patilasan/peninggalan Raja Siliwangi dan sampai sekarang masih sering dikunjungi oleh masyarakat. Kuburan Jerman yang berada di Zona Penyangga tepatnya di Desa Sukaresmi Kecamatan Megamendung, disini terdapat beberapa kuburan orang jerman yang gugur pada saat perang dunia ke II dan merupakan salah satu obyek wisata sejara di Kabupaten Bogor. Desa Budaya Cimande yang berada Zona Penyangga di Kabupaten Bogor.

75

Lokasi-lokasi tersebut harus terus dipertahankan keberadaannya, karena sangat bermanfaat secara budaya, ekonomi (wisata), adat dan ekologi. Sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 11 tahun 2010, bahwa cagar budaya harus terus dilakukan pelestarianya karena memberikan manfaat yang besar bagai kehidupan dengan tujuan sebagai berikut : a. melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia; b. meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budaya; c. memperkuat kepribadian bangsa; d. meningkatkan kesejahteraan rakyat; dan e. mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional.

7. Industri Ramah Lingkungan

Perkembangan industri dan pola kehidupan masyarakat modern berhubungan langsung dengan peningkatan kebutuhan barang dan jasa, pemakaian sumber-sumber energi, dan sumber daya alam. Penggunaan sumber daya alam secara besar-besaran dengan mengabaikan aspek lingkungan akan mengakibatkan berbagai dampak negatif yang terasa dalam waktu relatif cepat maupun dalam jangka panjang. Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu upaya dan pola pendekatan dalam pemanfaatan sumber daya alam, untuk memenuhi kebutuhan manusia sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pengembangan industri mulai dituntut untuk menaati berbagai peraturan dan standar yang berhubungan dengan lingkungan.

Fenomena Pemanasan global (global warming), di mana terbentuknya lubang ozon disebabkan oleh kegiatan industri merupakan contoh issu global lingkungan yang terus menjadi perhatian . Konsentrasi karbon dioksida yang merupakan hasil pembakaran hidrokarbon meningkat tajam sejak terjadinya Revolusi Industridiyakini sebagai penyebab terjadinya pemanasan global. Pemanasan global ini dengan mudah dapat disamakan dengan efek rumah kaca (greenhouse effect). Rumah kaca apabila terkena sinar matahari akan mengalami suatu proses yang menyebabkan suhu di dalam rumah kaca lebih tinggi dibandingkan dengan suhu di luar.

Lubang ozon (ozone depletion) merupakan permasalahan lingkungan terkini terkait dengan kegiatan industri. Ozon (O3) di lapisan statosfer berfungsi menyerap radiasi ultraviolet (uv) membentuk senyawa oksigen (O2) dan radikal oksigen (O*). Dalam keadaan setimbang akan terjadi reaksi balik antara oksigen dengan radikal oksigen membentuk ozon. Adanya emisi CFC di bagian atas atmosfer akan bereaksi dengan radiasi ultraviolet menghasilkan radikal khlorine (Cl.) yang selanjutnya berfungsi sebagai katalis peruraian ozon. Pembatasan pemakaian bahan-bahan kimia penyebab kerusakan ozon dilakukan agar terbentuknya lubang ozon dapat dicegah.

Demikian pula pengaruh kadar karbon dioksida yang tinggi di atmosfer memunyai efek sama dengan rumah kaca. AKibat semakin tingginya emisi karbon dioksida, industri dituntut untuk menggunakan energi secara efisien dan mengurangi emisi karbon dioksida. Program Mekanisme Pembangunan Bersih [Clean Mechanism Develpomant] dikembangkan untuk mengurangi emisi karbon dioksida secara global.

Konsep-konsep pengelolaan limbah saat ini telah bergeser dari pengolahan limbah (waste treatment) ke arah pencegahan timbulan limbah (waste prevention) dan pemanfaatan limbah menjadi produk (waste to product). Dalam beberapa kasus, pengolahan limbah juga seringkali tidak dapat memecahkan masalah lingkungan, karena pada beberapa proses pengolahan hanya memindahkan pencemar dari satu media (misalnya, air) ke media lain (misal udara ).

76

Ada beberapa konsep yang harus dijalankan oleh setiap industri dalam pembangunan industri berwawasan lingkungan diantaranya : ¾ Minimalisasi limbah ¾ Pencegahan pencemaran ¾ Produksi bersih ¾ Responsible care ¾ Eko Efisiensi (Eco-efficiency) atau efisiensi sumber daya dalam proses produksi ¾ Pembatasan Pemakaian Bahan-bahan Berbahaya ¾ Desain Berwawasan Lingkungan ¾ Produktivitas Ramah Lingkungan ¾ Produk Ramah Lingkungan ¾ Mengubah Limbah Menjadi Produk ¾ Pertukaran Limbah ¾ Bursa Limbah ¾ Kawasan Industri Berwawasan Lingkungan

Berdasarkan perpres No 28 tahun 2008 tentang kebijakan industri nasional dimana setiap pembangunan industri yang mampu menjaga keseimbangan ekosistem, memelihara sumberdaya yang berkelanjutan, menghindari eksploitasi sumberdaya alam dan fungsi pelestarian lingkungan. Pengelolaan industri hijau / ramah lingkungan dapat dicapai melalui kegiatan antara lain: ¾ Meningkatkan upaya-upaya pengelolaan internal/house keeping; ¾ Meningkatkan proses pengawasan; ¾ Daur ulang bahan/material; ¾ Modifikasi peralatan yang ada; ¾ Teknologi bersih; ¾ Perubahan bahan baku; ¾ Modifikasi produk; dan ¾ Pemanfaatan produk samping ¾ Pengolahan limbah industry ¾ Optimalisasi CSR (corporate social responsibility) untuk daerah sekitar area industri

Jika melihat bahwa sekitar kawasan Cagar Biosfer Cibodas (CBC) dikelilingi oleh kawasan industri yang jika dalam pengelolaannya tidak berwawasan lingkungan akan sangat berpengaruh terhadap kelestarian kawasan CBC. Maka dengan ini perlu adanya penataan serta pengawasan secara benar agar seluruh kawasan industri yang ada disekitar kawasan konservasi dalam kawasan Cagar Biosfer Cibodas (CBC) tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.

Dari metode pengelolaan industri ramah lingkungan dapat diambil beberapa manfaat dan keuntungan antara lain: ¾ Meningkatkan profitabilitas (keuntungan) melalui peningkatan efisiensi sehingga dapat mengurangi biaya operasi, pengurangan biaya pengelolaan limbah dan tambahan pendapatan dari produk hasil samping bagi perusahaan maupun masyarakat sekitar; ¾ Meningkatkan kinerja dan image perusahaan; ¾ Fleksibilitas dalam regulasi; ¾ Menjaga kelestarian fungsi lingkungan secara global; ¾ Pencegahan pencemaran dengan sasaran peningkatan produktifitas dan limbah yang minim; ¾ Mengurangi dampak emisi dari pemanasan global dunia; ¾ Dampak dari pengelolaan limbah industri terhadap masyarakat sekitar kawasan industri dapat diminimalisir sehingga kerusakan lingkungan dapat dihindari. ¾ Semakin banyak kawasan industri yang menerapkan konsep ramah lingkungan dapat berdampak pada semakin banyak peluang kerja baru bagi masyarakat sekitar kawasan industri sehingga meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar;

77

¾ Jika industri menerapkan konsep ramah lingkungan dalam pengelolaannya maka akan menghindari timbulnya konflik antara masyarakat sekitar dengan perusahaan;

8. Pemukiman Ramah Lingkungan

Pemukiman ramah lingkungan adalah sebuah kawasan yang terdiri dari beberapa rumah/ villa yang menerapkan prinsip pengelolaan lingkungan hidup yang berwawasan ramah lingkungan. Contohnya penerapan prinsip pemukiman ramah lingkungan : 1. Pembagunan rumah / villa dengan green garden atau roof garden yang berfungsi sebagai media untuk menurunkan suhu panas di rumah tersebut, sehingga seluruh pencahayaan dan sirkulasi udara pada setiap rumah berjalan secara alami dan tidak tergantung terhadap sumber energy, Konsep ini akan sangat ramah dan hemat energi, khususnya untuk pencahayaan dan pengaturan suhu ruangan. 2. Seluruh bangunan yang dibangun pada kawasan pemukiman tersebut harus memiliki luas bangunan tidak lebih dari 60% luas lahan yang ada, sehingga memiliki lahan kosong sebagai lahan hijau yang bisa dimanfaatkan sebagai daerah resapan air hujan dengan cara memberikan pori-pori pada tanah dengan cara membuat lubang. Selain sebagai daerah resapan air lahan kosong juga bisa dimanfaatkan untuk taman dengan melakukan penanaman tanaman yang nantinya dapat berfungsi sebagai penyaring kebisingan dan debu, sehingga lingkungan menjadi lebih sehat. 3. Serta menerapkan prinsip pengelolaan limbah rumah tangga yang mencerminkan ramah lingkungan.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman dijelaskan bahwa Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Dimana perumahan dan kawasan pemukiman berwawasan lingkungan diselenggarakan dengan berasaskan kesejahteraan, keadilan dan pemerataan, kenasionalan, keefisienan dan kemudahan, keterjangkauan dan kebersamaan, kemitraan, keserasian dan keseimbangan, keterpaduan, kesehatan, kelestarian dan keberlanjutan, dan keselamatan, keamanan, ketertiban dan keteraturan.

Sebagian besar kawasan yang masuk di dalam kawasan Cagar Biosfer Cibodas (CBC) digunakan sebagai kawasan pemukiman untuk villa dan perumahan yang sebagian besar lokasinya berdekatan dengan kawasan konservasi. Hal ini sangat berdampak terhadap konsep konservasi jika dalam pengelolaannya tidak berasaskan ramah lingkungan. Untuk itu perlu adanya pengaturan, pengawasan dan pengelolaan kawasan yang lebih baik dalam pemberian ijin pemanfaatan lahan yang berdekatan dengan kawasan konservasi yang masuk kawasan Cagar Biosfer Cibodas (CBC) sebagai kawasan pemukiman/ perumahan termasuk villa. Hal ini perlu untuk mencegah timbulnya dampak negatif dari pembangunan kawasan tersebut bagi kawasan konservasi serta masyarakat sekitarnya.

Dari metode pengelolaan pemukiman ramah lingkungan dapat diambil beberapa manfaat dan keuntungan antara lain: ¾ Jika setiap rumah / bangunan menerapkan pemanfaatan lahan luas untuk taman dan penanaman , akan menghasilkan sirkulasi udara yang baik sehingga akan mendapatkan kenyamanan rumah dan lingkungan. Selain itu, radiasi matahari secara langsung dapat dihindari serta dapat menurunkan suhu udara daerah sekitar areal pembangunan kawasan pemukiman. Sehingga dengan semakin banyak ruang hijau maka semakin banyak kawasan yang dapat menurunkan suhu udara panas akibat dari pemanasan global.

78

¾ Konsep green building yang dilakukan dengan mengurangi konsumsi energi dan sumberdaya alam, seperti minyak bumi dan air bersih secara berlebihan, akan mengurangi pemanfaatan serta eksplorasi terhadap sumberdaya alam secara berlebihan. ¾ Pembuatan pori-pori pada tanah dengan cara memberikan lubang tanah sehingga akan membantu dalam proses penyerapan air di pemukiman pada daerah sekitar kawasan konservasi sehingga dampak banjir yang diakibatkan oleh pembangunan pemukiman yang tidak berasaskan lingkungan hidup dapat dihindari. ¾ Pengelolaan sampah rumah tangga yang dihasilkan oleh kawasan pemukiman sangat berpengaruh terhadap kelestarian lingkungan dan mengurangi dampak dari pemanasan global, tetapi jika dalam pengelolaan sampah rumah tangga dijalankan secara benar dengan menjalankan konsep ramah lingkungan maka akibat dari pemanasan global dapat dikurangi serta sampah hasil rumah tangga sebagian dapat digunakan sebagai kompos organik dengan cara melakukan pengolahan daur ulang untuk dijadikan kompos organik.

9. Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah daratan atau lahan yang mempunyai komponen topografi, batuan, tanah, vegetasi, air, sungai, iklim, hewan, manusia dan aktivitasnya yang berada pada, di bawah, dan di atas tanah.

Pengelolaan DAS adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik antar sumberdaya alam terutama vegetasi, tanah dan air dengan sumberdaya manusia di daerah aliran sungai dan segala aktivitasnya untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan jasa lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian ekosistem DAS. Pengelolaan DAS pada prinsipnya adalah pengaturan tata guna lahan atau optimalisasi penggunaan lahan untuk berbagai kepentingan secara rasional serta praktek lainnya yang ramah lingkungan sehingga dapat dinilai dengan indikator kunci (ultimate indicator) kuantitas, kualitas dan kontinuitas aliran sungai pada titik pengeluaran (outlet) DAS. Jadi salah satu karakteristik suatu DAS adalah adanya keterkaitan biofisik antara daerah hulu dengan daerah hilir melalui daur hidrologi.

Adapun regulasi yang terkait dengan Daerah Aliran Sungai diantaranya adalah undang-undang nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, dan Perpres nomor 12 tahun 2008 tentang Dewan Sumber Daya Air. Tingkat kekritisan suatu DAS ditunjukkan oleh menurunnya penutupan vegetasi permanen dan meluasnya lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan DAS dalam menyimpan air yang berdampak pada meningkatnya frekuensi banjir, erosi dan penyebaran tanah longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau.

Tingkat kesadaran dan kemampuan ekonomi masyarakat petani yang rendah akan mendahulukan kebutuhan primer dan sekunder (sandang, pangan, dan papan) bukan kepedulian terhadap lingkungan sehingga sering terjadi perambahan hutan di daerah hulu DAS, penebangan liar dan praktik-praktik pertanian lahan kering di perbukitan yang akan meningkatkan kekritisan DAS. Mengingat kondisi tersebut di atas maka dipandang perlu adanya upaya rehabilitasi terhadap DAS guna menekan bahkan menurunkan laju kerusakan DAS hal ini menjadi tanggung jawab bersama baik dari sektor pemerintah daerah/pusat, perusahaan swasta maupun masyarakat di kawasan CBC.

Beberapa bentuk kegiatan yang dapat dilakukan dalam rangka rehabilitasi DAS tersebut diantaranya ; ¾ Pencegahan pencemaran air sungai dengan tidak membuang sampah atau bahan lainnya yang mengandung detergent ke sungai ¾ Pemulihan kondisi tepian sungai (riparian) dan perbaikan habitat perairan ¾ Perlindungan sempadan sungai dengan menanam pohon di sisi kiri dan kanan sungai ¾ Penyadartahuan masyarakat akan pentingnya sungai yang bersih

79

Dengan terkelolanya Daerah Aliran Sungai di sekitar kawasan CBC akan diperoleh beberapa manfaat dan keuntungan, antara lain: ¾ Dengan kondisi sungai yang bersih, maka pasokan air bersih akan lebih mudah tersalurkan ke setiap rumah penduduk. ¾ Sebagai pendukung kegiatan pertanian dan perikanan yang dilakukan masyarakat sekitar kawasan CBC dalam rangka peningkatan taraf ekonomi masyarakat.

80

Lampiran 2. Spesifikasi inputs kegiatan dan estimasi biaya RPAP 2013‐2020

Unit harga Total biaya No. Program/Kegiatan Unit Quantity Remarks (juta Rp) (juta Rp) 1. Pemantapan kawasan dan tata-ruang CBC 1.1 Menelaah dan/atau melengkapi dasar- dasar hukum • Tim konsultan MM 6 20.0 120.0 Kontrak UN • Rapat konsultasi Paket 3 30.0 50.0 • Transport lokal TD 30 0.6 18.0 • Lain-lain Paket 1 25.0 22.0 Sub total 1.1 250.0

1.2 Menuntaskan zonasi 1.2.1 Mensosialisasikan zonasi usulan • Rapat tatap muka tingkat pusat dan Paket 4 30.0 120.0 daerah • Lain-lain Paket 1 5.0 5.0 1.2.2 Mengadopsi zona usulan • Rapat koordinasi Paket 2 30.0 60.0 • Lain-lain Paket 1 5.0 5.0 Sub total 1.2 190.0

1.3 Menelaah dan merevisi RTR • Tim konsultan MM 4 20.0 80.0 • Rapat pembahasan Paket 8 15.0 120.0 • Transport lokal TD 30 0.6 18.0 • Lain-lain Paket 4 3.0 12.0 Sub total 1.3 230.0

1.4 Meningkatkan komitmen para pihak • Rapat koordinasi Paket 8 25.0 200.0 • Lain-lain Paket 8 2.0 16.0 Sub total 1.4 216.0 Total Program # 1 886.0

81

Lampiran 2 (continued) Unit harga Total biaya No. Program/Kegiatan Unit Quantity Remarks (juta Rp) (juta Rp) 2. Penguatan kelembagaaan CBC 2.1 Melakukan harmonisasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah • Rapat kordinasi Paket 4 25.0 100.0 • Lain-lain Paket 4 3.0 12.0 Sub total 2.1 112.0

2.2 Melakukan sinkronisasi ROP tingkat pusat dan daerah • Rapat teknis Paket 4 15.0 60.0 • Lain-lain Paket 4 2.0 8.0 Sub total 2.2 68.0

2.3 Mempersiapkan dan mengadopsi SOP • Tim konsultan MM 4 20.0 80.0 • Rapat teknis Paket 2 20.0 80.0 • Transport lokal TD 30 0.6 18.0 • Lain-lain Paket 2 3.0 6.0 Sub total 2.3 184.0

2.4 Mengaktifkan FKK 2.4.1 Menelaah TOR FKK • Konsultan MM 1 20.0 20.0 • Rapat konsultasi Paket 1 15.0 15.0 • Transport lokal TD 10 0.6 6.0 • Lain-lain Paket 1 3.0 3.0

2.4.2 Menyiapkan rencana kerja FKK • Konsultan MM 1 20.0 20.0 • Rapat konsultasi Paket 1 15.0 15.0 • Transport lokal TD 10 0.6 6.0 • Lain-lain Paket 1 3.0 3.0

2.4.3 Mengoperasikan FKK • Rapat konsultasi Paket 15 15.0 225.0 • Lain-lain Paket 15 2.0 30.0 Sub total 2.4 343.0 Total Program # 2 707.0

82

Lampiran 2 (continued) Unit harga Total biaya No. Program/Kegiatan Unit Quantity Remarks (juta Rp) (juta Rp) 3. Penyelesaian konflik pemanfaatan ruang CBC 3.1 Menelaah kesesuaian kebijakan • Konsultan MM 3 20.0 60.0 • Rapat konsultasi Paket 2 20.0 40.0 • Transport lokal TD 45 0.6 27.0 • Lain-lain Paket 2 5.0 10.0 Sub total 3.1 137.0 3.2 Melakukan harmonisasi hubungan institusi • Tatap muka tingkat kabupaten Paket 6 25.0 150.0 • Lain-lain Paket 6 3.0 18.0 Sub total 3.2 168.0 3.3 Menyelesaikan konflik horizontal • Dialog tingkat kecamatan Paket 9 15.0 135.0 • Lain-lain Paket 9 2.0 18.0 Sub total 2.3 153.0 3.4 Merumuskan tata-kelola konflik 3.4.1 Merumuskan tata-kelola • Konsultan MM 2 20.0 40.0 • Transport lokal TD 30 0.6 18.0 • Lain-lain Paket 1 3.0 3.0 3.4.2 Mengadopsi tata-kelola • Rapat konsultasi Paket 2 20.0 40.0 • Lain-lain Paket 2 2.5 5.0 3.4.3 Menerapkan tata-kelola • Uji-coba pada 6 kasus Paket 6 15.0 90.0 • Rapat konsultasi Paket 2 15.0 30.0 • Lain-lain Paket 1 3.0 3.0 Sub total 3.4 229.0 3.5 Meningkatkan kapasitas penegak hukum 3.5.1 Melakukan gap analysis • Konsultan MM 2 20.0 40.0 • Transport lokal TD 30 0.6 18.0 • Lain-lain Paket 1 3.0 3.0 3.5.2 Membentuk satuan patroli Fasilitas operasi 4 unit patroli kawasan Paket 4 400.0 1600.0 3.5.3 Menyiapkan SOP patroli • Konsultan Paket 2 20.0 40.0 • Rapat teknis Paket 1 20.0 20.0 • Transport lokal TD 30 0.6 18.0 3.5.4 Melatih penerapan SOP • Konsultan MM 1 20. 20.0 • DSA, 60 org @5 hari MD 300 250.0 75.0 • Logistic 4 sesi pelatihan Paket 4 20.0 80.0 • Transport lokal TD 30 0.6 18.0 • Lain-lain Paket 1 5.0 5.0 Sub total 3.5 1.937.0 Total Program # 3 2.624.0

83

Lampiran 2 (continued) Unit harga Total biaya No. Program/Kegiatan Unit Quantity Remarks (juta Rp) (juta Rp) 4. Perumusan dan penerapan BMP 4.1 Merumuskan BMP Selesai 2012 4.2 Sosialisasi BMP Selesai 2012 (overlap Act. 3.1-3.3) 4.3 Melakukan uji-coba BMP 4.3.1 Mengembangkan ekowisata a Mengenali objek wisata • Konsultan MM 2 20.0 40.0 NGO • Rapat konsultasi Paket 2 20.0 40.0 • Transport lokal TD 40 0,6 24.0 • Lain-lain Paket 1 5,0 5.0

b Promosi objek wisata • Konsultan Paket 4 20.0 80.0 NGO • Transport lokal TD 60 0,6 36.0 • Material Paket 9 25,0 225.0 • Lain-lain Paket 9 5,0 45.0

c Melatih masyarakat • Konsultan MM 3 20,0 60.0 NGO • DSA 30 peserta, 6 sessi @ 4 hari MD 720 0,25 180.0 • Transport lokal TD 60 0,6 36.0 • Transport peserta Paket 180 0.1 18.0 • logistik Paket 6 20.0 120.0 • Lain-lain Paket 6 5.0 30.0

d Mengembangkan pola kemitraan • Konsultan MM 2 20,0 40.0 NGO • Rapat konsultasi Paket 2 15,0 30.0 • Transport lokal TD 30 0,6 18.0 • Lain-lain Paket 1 10,0 10.0

e Membangun model • Konsultan MM 9 20,0 180.0 NGO • Material & fasilitas Paket 9 200.0 1800.0 • Transport lokal TD 150 0.6 90.0 • Rapat konsultasi Paket 6 20.0 120.0 • Lain-lain Paket 9 30.0 180.0

f Membangun jejaring CBC • Konsultan MM 3 20.0 60.0 NGO • Rapat konsultasi Paket 3 20.0 60.0 • Transport lokal TD 45 0,6 27.0 • Lain-lain Paket 3 10.0 30.0 Sub total 4.3.1 3,584.0

84

Lampiran 2 (continued) Unit harga Total biaya No. Program/Kegiatan Unit Quantity Remarks (juta Rp) (juta Rp) 4.3.2 Pendidikan konservasi a Konsultasi pendidikan • Konsultan MM 2 20.0 40.0 UN • Transport lokal TD 30 0,6 18.0 b Menyiapkan kurikulum • Konsultan MM 2 20.0 40.0 UN • Rapat konsultasi Paket 3 20.0 60.0 • Transport lokal TD 30 0,6 18.0 • Lain-lain Paket 3 10.0 30.0 c Menerapkan kurikulum (9 sekolah) • Konsultan MM 3 20.0 60.0 UN • Rapat evaluasi Paket 3 20.0 60.0 • Transport lokal TD 45 0,6 27.0 • Lain-lain Paket 3 10.0 30.0 d Membangun perpustakaan (4 unit) • Konsultan MM 3 20.0 60.0 UN • Rapat persiapan Paket 3 20.0 60.0 • Fasilitas dan materi Paket 9 200.0 1800.0 • Transport lokal TD 45 0,6 27.0 • Lain-lain Paket 3 15.0 45.0 e Membangun fasilitas pendidikan konservasi (9 unit) • Konsultan MM 4 20.0 80.0 UN • Rapat konsultasi Paket 3 20.0 60.0 • Fasilitas Paket 9 150.0 1350.0 • Transport lokal TD 60 0,6 36.0 • Lain-lain Paket 9 15.0 135.0 Sub total 4.3.2 4,036.0

4.3.3 Mengembangkan usaha tani a Mengenali kegiatan (3 kab) • Konsultan MM 3 20.0 60.0 NGO • Transport lokal TD 30 0,6 18.0 • Lain-lain Paket 1 5.0 5.0 b Mengembangkan model usaha tani (12 model) • Konsultan MM 12 20.0 240.0 NGO • Fasilitas dan materi Paket 12 50.0 600.0 • DSA petani 120 org @ 2 hari MD 240 0,25 60.0 • Transport lokal TM 12 15.0 180.0 • Rapat teknis Paket 12 10.0 120.0 • Lain-lain Paket 12 5.0 60.0 Sub total 4.3.3 1,343.0

85

Lampiran 2 (continued) Unit harga Total biaya No. Program/Kegiatan Unit Quantity Remarks (juta Rp) (juta Rp) 4.3.4 Mengembangkan perkebunan a Merumuskan C & I • Konsultan MM 2 20.0 40.0 NGO • Transport lokal TD 30 0,6 18.0 b Menerapkan C & I • Konsultan MM 3 20.0 60.0 NGO • Rapat konsultasi Paket 3 15.0 45.0 • Transport lokal TD 45 0,6 27.0 • Lain-lain Paket 3 5.0 15.0 c Monev C & I • Konsultan MM 3 20.0 60.0 NGO • Rapat monev Paket 6 15.0 90.0 • Transport lokal TD 60 0,6 36.0 • Lain-lain Paket 3 5.0 15.0 Sub total 4.3.4 406.0 4.3.5 Mengembangkan kegiatan ekonomi a Studi kelayakan - - - - Lihat Act. 4.3.10 b Merumuskan pola P3 • Konsultan MM 2 20.0 40.0 NGO • Rapat konsultasi dan adopsi Paket 3 15.0 45.0 • Transport lokal TD 30 0,6 18.0 • Lain-lain Paket 3 5.0 15.0 Sub total 4.3.5 118.0 4.3.6 Mengembangkan cagar budaya a Mengenali cagar • Konsultan MM 2 20.0 40.0 NGO • Transport lokal TD 30 0,6 18.0 • Lain-lain Paket 1 5.0 5.0 b Merumuskan sistem tata kelola • Konsultan MM 2 20.0 40.0 NGO • Rapat konsultasi Paket 3 15.0 45.0 • Transport lokal TD 30 0,6 18.0 • Lain-lain Paket 3 5.0 15.0 Sub total 4.3.6 181.0 4.3.7 Mengembangkan industri ramah lingk. a Mengenali produk • Konsultan MM 3 20.0 60.0 NGO • Transport lokal TD 30 0,6 18.0 • Lain-lain Paket 1 5.0 5.0 b Melatih masyarakat • Konsultan MM 12 20.0 240.0 NGO • DSA peserta 120 org @ 2 hari MD 240 0,25 60.0 • Fasilitas dan material Paket 12 50.0 600.0 • Transport lokal TM 12 15.0 180.0 • Lain-lain Paket 12 5.0 60.0 c Membangun sistem insentif • Konsultan MM 2 20.0 40.0 NGO • Rapat konsultasi dan adopsi Paket 2 20.0 40.0 • Transport lokal TD 30 0,6 18.0 • Lain-lain Paket 2 5.0 10.0 Sub total 4.3.7 1.331.0

86

Lampiran 2 (continued) Unit harga Total biaya No. Program/Kegiatan Unit Quantity Remarks (juta Rp) (juta Rp) 4.3.8 Mendukung perumahan ramah lingkungan a Merumuskan C & I • Konsultan MM 2 20.0 40.0 UN • Rapat konsultasi Paket 3 15.0 45.0 • Transport lokal TD 30 0.6 18.0 • Lain-lain Paket 3 5.0 15.0 b Menerapkan C & I • Konsultan MM 6 20.0 120.0 UN • Rapat monev Paket 6 15.0 90.0 • Transport lokal TD 120 0.6 72.0 • Lain-lain Paket 6 5.0 30.0 Sub total 4.3.8 430.0 4.3.9 Melakukan rehabilitasi DAS a Mengenali kondisi faktual • Konsultan MM 3 20.0 60.0 NGO • Transport lokal TD 60 0.6 36.0 b Menyiapkan rencana kerja • Konsultan MM 2 20.0 40.0 NGO • Rapat konsultasi Paket 3 20.0 60.0 • Transport lokal TD 30 0.6 18.0 • Lain-lain Paket 3 5.0 15.0 c Melaksanakan rehabilitasi hulu • Konsultan MM 12 20.0 240.0 NGO • Material (3 lokasi) Paket 3 75.0 225.0 • Transport lokal TD 120 0.6 72.0 • Lain-lain Paket 3 20.0 60.0 Sub total 4.3.9 826.0 4.3.10 Melakukan R & D a Studi potensi jasa lingkungan • Tim konsultan MM 12 20.0 240.0 UN • Transport lokal TD 180 0.6 108.0 • Workshop regional Paket 1 50.0 50.0 • Lain-lain Paket 1 20.0 20.0 b Studi bio-diversity • Tim konsultan MM 12 20.0 240.0 UN • Monitoring demplot TD 120 0.6 72.0 • Lain-lain Paket 1 20.0 20.0 c Meneliti teknik rehabilitasi (4 paket) • Konsultan MM 12 20.0 240.0 NGO • Workshop Paket 2 30 60.0 • Transport lokal TD 120 0.6 72.0 • Lain-lain Paket 4 10.0 40.0 d Kajian insentif hulu-hilir • Tim konsultan MM 3 20.0 60.0 UN • Workshop regional Paket 2 50.0 100.0 • Transport lokal TD 45 0.6 27.0 • Lain-lain Paket 2 10.0 20.0 Sub total 4.3.10 1.369.0 Total 4.3 13.077.0

87

Lampiran 2 (continued) Unit harga Total biaya No. Program/Kegiatan Unit Quantity Remarks (juta Rp) (juta Rp) 4.4 Menyiapkan pedoman teknis BMP (10 pedoman) • Tim konsultan MM 6 20.0 120.0 UN • Rapat teknis Paket 35 15.0 75.0 • Transport lokal TD 60 0.6 36.0 • Produksi dan diseminasi Copy 5,000 0.05 250.0 • Lain-lain Paket 5 5.0 25.0 Sub total 4.4 506.0 4.5 Melatih masyarakat dalam pelaksanaan BMP - - - - Sudah dicakup dalam Act. 4.3 Total Program # 4 14.130.0 5 Peningkatan partisipasi masyarakat 5.1 Meningkatkan pemahaman masyarakat Lihat Act. 3.3 5.2 Mengurangi ketergantungan pada CBC Lihat Act. 4.3.7 5.3 Menerapkan sistem insentif melalui 6 model desa konservasi • Konsultan MM 12 20.0 240.0 UN • Rapat konsultasi Paket 3 40.0 120.0 • Material dan fasilitas Paket 6 400.0 3000.0 • Prasarana Paket 6 300.0 1800.0 • Transport lokal TD 12 15.0 180.0 • Lain-lain Paket 6 25.0 150.0 Sub total 5.3 5.490.0 5.4 Meningkatkan kapasitas masyarakat Melalui Act. 5.3 Total Program # 5 5.490.0 6 Penguatan sistem informasi dan penyelenggaraan kampanye CBC 6.1 Membangun sistem tata-kelola informasi • Konsultan MM 2 20.0 40.0 NGO • Rapat konsultasi Paket 2 30.0 60.0 • Transport lokal TD 30 0,6 18.0 • Lain-lain Paket 2 10.0 20.0 Sub total 6.1 138.0 6.2 Membangun website CBC • Konsultan MM 3.0 20.0 60.0 NGO • Rapat konsultasi Paket 2.0 15.0 30.0 • Chief operator MM 96 3.0 288.0 • Peralatan dan fasilitas Paket 1 150.0 150.0 • Server MM 96 0.5 48.0 • Transport lokal TD 30 0.6 18.0 • Lain-lain Paket 2 10.0 20.0 Sub total 6.2 614.0 6.3 Memperkuat kapasitas operasi penyuluhan 6.3.1 Menelaah kebutuhan sumberdaya • Konsultan MM 2 20.0 40.0 NGO • Rapat konsultasi Paket 1 20.0 20.0 • Transport lokal TD 30 0.6 18.0 • Lain-lain Paket 1 5.0 5.0

88

Lampiran 2 (continued) Unit harga Total biaya No. Program/Kegiatan Unit Quantity Remarks (juta Rp) (juta Rp) 6.3.2 Mengadakan sumberdaya penyuluhan • Perlengkapan dan fasilitas operasi Paket 4 400.0 1600.0 Pusat, Kabupaten • Pelatihan SDM, 2 sessi @ 20 org @ 3 hari MD 120 0.5 60.0 • Tim konsultan MD 30 0.7 21.0 NGO • Lain-lain Paket 2 10.0 20.0 Sub total 6.3 1.784.0

6.4 Meningkatkan partisipasi internasional Trip 16 40.0 640.0 6.5 Meningkatkan kerjasama dengan media massa • Presentase pejabat teras Paket 8 150.0 1200.0 • Liputan kegiatan CBC Paket 8 50.0 400.0 Sub total 6.5 1.600.0

6.6 Menyiapkan dan menyebarkan informasi CBC Copy 40.000 0.02 800.0 BB, PP, PK

Total Program #6 5.576.0 Grand Total RPAP 29.413.0

89

Lampiran 3. Terms of Reference

INTERNATIONAL TROPICAL TIMBER ORGANIZATION

Term of Reference for National Consultant for Asses and analyzing the existing conflict of interest in implementing integrated conservation natural resource and development. TFL-PD 019/10 Rev.2 (M)

“Developing Collaborative Management Of Cibodas Biosphere Reserve West Java, Indonesia”

INTRODUCTION

Mount Gede Pangrango National Park (MGPNP) is one of the Indonesian protected areas and functions as a core zones of Cibodas Biosphere Reserves (CBR). As a conservation areas of CBR, MGPNP have contributed to the reduce of poverty based on sustainable development. Therefore, the integration of protected areas management within the framework of biosphere reserves will be highly important for the sustainable development of the areas.

However in the meantime the protected area is under significant pressure caused by forest encroachment, lack of good governance practises, and problems of land tenure. The concept of Cibodas Biosphere Reserve is an answer on how to managed conflict of interest in accordance with the current guidelines Man & Biosphere. The concept could make local community as an owner and co managers of considerable areas of land designated as protected area by involving stakeholder’s commitment to support conservation of the protected areas.

In light of the importance in tackling the issues, the project will promote the conservation and sustainable use of biodiversity and environmental services based on a collaborative management system. The specific objective of the project is to strengthen forest law enforcement and governance in the conservation and sustainable use of biodiversity and environmental services rendered by the Cibodas Biosphere Reserve.

It is needed to identify constraints from incompatible policies with regards to resource uses versus resource protection, different commitments of land use among stakeholders, incompatible policies in the management of production forest and conservation forest, and critical integrating broad-scale conservation planning into other land-use planning innitiatives and sectoral policies (such as agroforestry and livestock management). These identification problems are used for a basis for assess and analyzed the existing conflict of interest of the implementaion of conservation and sustainable development. It is expected that the result of consultancy will be able to strengthen forest law enforcement and governance in Cibodas Biosphere Reserve.

90

1. Activity: To support activity 2.1 asses the existing conflict of interests in implementing integrated conservation natural resource and development.

2. Objectives: • To identify and asses on conflict of interests in implementing integrated conservation natural resource and sustainable development. • To analyzed and solve the problems of land tenure

3. Expected Output : • Identification issues of conflict interest on land tenure • Asses and analysis information related to sustainable development and conservation at province and district level • Conduct discussion with key decision makers and relevant stakeholders in the process of consultation. • Result report within the period of assignment.

4. Input Needed : The national consultant must be: • Hold expertise and knowledge in Seville strategy and nature biosphere reserve, protected area management option and should have access/network to the relevant stakeholders at province and district level

Qualification: Hold at least Master degree and 3-5 years experience social forestry and land tenure. Good understanding in English both oral and written. Sufficient knowledge in situation of the field.

Responsibilities: the expert will be responsible (1) identification conflict of interest on land tenure (2). Assess and analyses information related to sustainable development and conservation programme of province district level (2) Conduct discussions with key decision makers and relevant stakeholders in the process of consultation (3) Prepare a result report within the period of assignment. The report and documentation must be presented in project meeting

Site/Location : Bogor, Cianjur, and Sukabumi

5. Budget :

The budget to support the work of international consultant to implement Activity 2.1 is to be sourced from project TFL-PD 019/10 Rev. 2 (M) in the amount as stipulated in the document

91