ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI DANAU BUYAN KABUPATEN BULELENG, PROVINSI BALI

I Wayan Rian Riki Saputra1*), I Wayan Restu1), Made Ayu Pratiwi1)

1)Prodi Manajemen Sumberdaya Perairan, FKP Universitas Udayana *)Email: [email protected]

ABSTRACT

Buyan Lake is one of the lakes in Bali province. That located at Pancasari Village, District of Sukasada, Buleleng Regency. This lake they are many utilication of the lake such as agriculture, tourism and aquaculture activities. Those activities are considered to contribute an eutrophication in this lake. In order to investigate the effect of of floating net cages activity in Buyan Lake, the research about “The Analysis of Water Quality as a Basic Improvement of Aquaculture Management in Buyan Lake” was conducted This research method used in this study was done by observation method and took the samples in situ (at Buyan Lake site) and samples analysis was done by ex situ (at UPT. Laboratorium Kesehatan Propinsi Bali). They were 2 water quality parameters such as some physic parameters (temperature, clarity and turbidity) and chemistry parameters (pH, DO, ammonia, nitrate, BOD, COD, sulfide and phosphate). The data analysis of this research was analysis conducted by STORET index and pollution index (PI). Base on the analysis using STORET index, pollution status in Buyan Lake was heavily contaminated with average score of -82. The highest score was obtained in station 3 (-98). The results of pollution index showed that Buyan Lake has a lightly contamination with average score 3,4347 whereas the highest pollution index score was obtained in sation 4 (3.8673).

Keywords: Buyan Lake; Floating Net Cages; Water Quality; Physics And Chemistry Parameters

1. PENDAHULUAN komoditas ikan Nila (Oreocromis niloticus L). Secara umum tantangan yang berhubungan dengan sistem Danau Buyan merupakan salah satu danau di budidaya KJA yaitu terjadinya peningkatan Bali yang terletak di Desa Pancasari, Kecamatan kandungan nutrien di perairan yang berasal dari sisa Sukasada, Kabupaten Buleleng yang memiliki pakan yang tidak termakan, dan feses ikan, serta banyak potensi, baik yang berbasis alam maupun kemungkinan dampak yang ditimbulkan terhadap peninggalan budaya yang masih terjaga keasliannya kualitas perairan, lingkungan dan kondisi kesehatan yang saat ini dikelola dalam satu manajemen ekosistem (Halwart dkk., 2007). Kartamiharja (2008) konservasi Taman Wisata Alam. Taman Wisata menambahkan, pada kegiatan budidaya KJA yang Alam Danau Buyan dan Danau Tamblingan dilakukan di waduk yang berada di Jawa Barat mencakup areal seluas 1.491,16 hektar, berlokasi di teridentifikasi bahwa pakan yang terbuang ke Kecamatan Banjar seluas 442,35 hektar, Kecamatan perairan mencapai 30%–40%. Sukasada seluas 506,3 hektar, dan Kecamatan Danau Buyan dikhawatirkan akan mengalami Baturiti seluas 542,51 hektar (Badan Lingkungan eutrofikasi seperti yang terjadi di danau Batur. Hidup Daerah Provinsi Bali, 2010). Kawasan danau Nastiti dkk., (2001) mengatakan bahwa buyan saat ini telah dimanfaatkan untuk berbagai perkembangan unit keramba jaring apung dan keperluan masyarakat untuk kepentingan pertanian, keramba jaring tancap pada areal budidaya yang pariwisata dan perikanan sesuai dengan sejarah kurang terkendali menimbulkan dampak negatif masyarakat agraris di Bali yang berorientasi gunung terhadap lingkungan perairan. Danau Buyan diduga dan laut. sudah mendapat masukan zat hara yang paling Danau Buyan dimanfaatkan dalam bidang tinggi dari KJA. Berdasarkan uraian tersebut maka perikanan sebagai lahan budidaya ikan air tawar, penelitian mengenai “Analisis Kualitas Air Danau yaitu dengan menggunakan sistem budidaya Sebagai Dasar Perbaikan Manajemen Budidaya keramba jaring apung (KJA). Keramba jaring apung Perikanan di Danau Buyan” perlu dilakukan (KJA) merupakan suatu wadah pemeliharaan ikan penelitian untuk mengetahui status mutu kualitas berupa kantong jaring yang letaknya terapung di air Danau Buyan akibat adanya keramba jaring permukaan air. Komoditas utama yang apung, dalam rangka pengelolaan budidaya keramba dibudidayakan dalam KJA di Danau Buyan adalah jaring apung yang berkelanjutan.

ECOTROPHIC • 11 (1) : 1 - 7 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395 1 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

2. METODOLOGI 3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara Ketersedian sumber daya air untuk suatu pengambilan sampel secara sistematik yaitu peruntukan sangat tergantung pada kualitas sumber pengambilan sampel yang disusun dengan lokasi daya air tersebut. Kualitas air yang baik akan sampling dibuat dengan pola yang teratur. mengakomodasi kegiatan usaha atau pembangunan Pengukuran kualitas air dilakukan dengan dua cara yang lebih beragam, seperti suplai air untuk yaitu secara langsung di lokasi (in situ) dan cara kebutuhan domestik, pertanian, perikanan, industri pengawetan yang dilakukan di Laboratorium (ex maupun rekreasi (Maulana, 2001). Hasil yang didapat situ), terutama untuk sifat-sifat air yang dapat meliputi 11 parameter fisik dan kimia perairan. bertahan lama dalam kondisi yang sudah diawetkan. Parameter fisik terdiri dari suhu, kecerahan dan Analisis secara in situ dilakukan untuk parameter kekeruhan dengan parameter kimia yaitu pH, DO, kualitas air yang sifatnya cepat berubah, sehingga ammonia, nitrat, BOD, COD, sulfida dan phosfat. harus saat itu juga langsung dilakukan pengukuran. Berikut merupakan hasil rata-rata pengukuran Penelitian ini telah dilaksanakan selama 3 Bulan parameter fisik dan kimia perairan kualitas air di (Januari-Maret 2016) di perairan Danau Buyan. Danau Buyan (Tabel 1.). Hasil yang telah didapat meliputi 11 parameter fisik Analisis tingkat pencemaran dengan indeks dan kimia perairan. Parameter fisik terdiri dari suhu, STORET dilakukan untuk mengetahui tingkat kecerahan dan kekeruhan sedangkan parameter pencemaran perairan di wilayah pengamatan secara kimia yaitu pH, DO, ammonia, nitrat, BOD, COD, komprehensif. Penilaian dalam indeks STORET sulfida dan phosfat. Setelah dilakukan pengukuran dilakukan dengan membandingkan hasil parameter kualitas air baik secara in situ (ukur pengukuran dengan baku mutu Kelas III (PP No.82/ langsung di lapangan) maupun ex situ (analisis 2001) untuk perikanan. Skor STORET yang bernilai laboratorium), dilakukan analisis mutu air dengan 0 memiliki kriteria baik sekali, sedangkan yang mempergunakan baku mutu air yang disesuaikan bernilai lebih rendah dari -1 menunjukkan adanya dengan Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2001 pencemaran. Tabel 1 merupakan hasil evaluasi tentang baku mutu air lingkungan hidup dan berdasarkan indeks STORET. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup Tingkat pencemaran di 7 stasiun yang telah menyarankan dapat dianalisis dengan metode dilakukan di Danau Buyan menurut indeks STORET STORET dan indeks pencemaran (IP). tergolong dalam kategori tercemar berat. Semua

Gambar 1. Peta Lokasi Pengambilan Sampel

2 Analisis Kualitas Air Danau Sebagai Dasar Perbaikan Manajemen Budidaya Perikanan di Danau Buyan ..... [I W. Rian Riki Saputra, dkk.]

Tabel 1. Rata-rata Hasil Pengukuran Kualitas Air di Danau Buyan

Rata-Rata Hasil Pengukuran Parameter Satuan Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5 Titik 6 Titik 7 Titik Kontrol

Suhu oC 23.7556 23.7667 23.8000 24.1222 24.2556 24.4333 24.6222 24.7889 Kecerahan cm 209.3333 234.0000 185.8333 124.1667 136.3333 210.6667 198.0000 220.6667 Kekeruhan NTU 3.9344 4.6422 3.7311 4.0000 4.2211 3.8878 4.0289 4.3244 pH 8.0622 8.1867 8.2244 7.9924 8.1500 8.0689 8.1044 8.1689 DO mg/l 4.0000 4.7000 4.6222 4.6556 4.4444 4.4778 4.9667 5.0444 Ammonia mg/l 0.1173 0.0790 0.1013 0.1033 0.0870 0.0387 0.0783 0.0890 Nitrat mg/l 0.5744 0.3987 0.3341 1.1433 0.4088 0.5355 0.5710 0.4662

BOD5 mg/l 12.2000 28.1200 32.4400 19.1400 12.5067 8.1267 21.0400 11.9600 COD mg/l 32.1600 83.9467 103.2000 54.6133 31.9933 28.6933 80.5333 35.3600 Sulfida mg/l 0.0023 0.0027 0.0027 0.0037 0.0030 0.0037 0.0030 0.0063 Phosfat mg/l 0.2217 0.2158 0.2946 0.2958 0.4739 0.3639 0.4216 0.2100

Analisis dengan Metode indeks STORET Tabel 2. Skor Analisis Indeks STORET di Danau Buyan menduga status kualitas air Danau Buyan tergolong tercemar berat. Skor rata-rata yang didapat dari No Lokasi Skor Menurut Kelas Keterangan analisis pada semua stasiun pengamatan sebesar - Indeks STORET 82. Skor terburuk hasil Indeks STORET berada di 1 Stasiun 1 -78 D Tercemar Berat stasiun 3 sebesar -98. Kondisi Danau Buyan yang 2 Stasiun 2 -94 D Tercemar Berat tercemar berat didasarkan pada nilai hasil 3 Stasiun 3 -98 D Tercemar Berat pengukuran 7 parameter kualitas air yang melebihi 4 Stasiun 4 -88 D Tercemar Berat ambang baku mutu. Parameter tersebut diantaranya 5 Stasiun 5 -90 D Tercemar Berat Kekeruhan (-2), pH (-4), Ammonia (-20), Nitrat 6 Stasiun 6 -74 D Tercemar Berat (16), BOD (-20), COD (-20), dan Sulfida (-16). 7 Stasiun 7 -94 D Tercemar Berat Metode indeks STORET memberikan skor -2 8 Stasiun Kontrol -74 D Tercemar Berat terhadap parameter kekeruhan. Hal ini dikarenakan nilai hasil maksimum pengukuran kekeruhan di Rata-Rata Skor -82 D Tercemar Berat stasiun 3 sebesar 6.70 NTU (>baku mutu). Tingginya nilai kekeruhan akibat dari akumulasi partikel stasiun pengamatan memiliki kriteria buruk dengan cemaran berbagai aktifitas di sekitar lokasi seperti status cemaran berat dengan rata-rata skor yaitu partikel total suspended solid (TSS) dan total dissolve sebesar -84. Analisis parameter kualitas air juga solid (TDS) pada saat pengukuran dilakukan. Jenie dilakukan dengan menggunakan metode indeks dan Rahayu (1993), menyatakan bahwa kekeruhan pencemaran (IP). Hasil evaluasi nilai IP kurang dari biasanya disebabkan oleh adanya bahan tersuspensi 1 menunjukkan kondisi baik, sedangkan nilai yang (bahan organik, mikroorganisme dan partikel- lebih dari -1 dikategorikan telah tercemar (Lampiran partikel cemaran lain). Derajat keasaman (pH) di 2). Hasil evaluasi berdasarkan IP di 7 stasiun yang stasiun 3 memiliki skor Indeks STORET sebesar -4. telah dilakukan di Danau Buyan tergolong dalam Nilai maksimum hasil pengukuran pH di Danau tercemar ringan. Adapun rata-rata nilai IP dari 7 Buyan sebesar 9.04 (>baku mutu). Nilai pH yang stasiun pengamatan yang telah dilakukan penelitian tinggi karena disebabkan besarnya logam alkali dan yaitu sebesar 3.4337 (Tabel.2). alkali tanah di Danau Buyan. Nilai pH yang tinggi

Tabel 3. Nilai Analisis Indeks Pencemaran di Danau Buyan

No Lokasi Ci/Li (rata-rata) Ci/Li (maksimum) Nilai IP Keterangan

1 Stasiun 1 1.5127 4.8413 3.7427 Cemar Ringan 2 Stasiun 2 1.7161 4.3543 3.5249 Cemar Ringan 3 Stasiun 3 1.8717 4.6646 3.7925 Cemar Ringan 4 Stasiun 4 1.8721 4.7857 3.8673 Cemar Ringan 5 Stasiun 5 1.4541 4.1924 3.3019 Cemar Ringan 6 Stasiun 6 1.2553 3.1386 2.5498 Cemar Ringan 7 Stasiun 7 1.7404 3.9637 3.2992 Cemar Ringan 8 Stasiun Kontrol 1.5988 4.2418 3.3989 Cemar Ringan

Rata-Rata Nilai IP 3.4347 Cemar Ringan

3 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395 dapat meningkatkan konsentrasi ammonia dalam air terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme dalam yang juga bersifat toksik bagi organisme air (Kordi, mengoksidasi bahan organik. 2010). Hal tersebut berbanding lurus dengan rata- Tingginya kadar BOD di Danau Buyan rata nilai ammonia di stasiun 3 yang tergolong tinggi berbanding lurus dengan tingginya kadar Chemical sebesar 0.1013 mg/l (>baku mutu). Metode indeks Oxygen Deman (COD). Metode indeks STORET STORET memberikan skor yaitu sebesar -20 di memberikan skor -20 di stasiun 3. Nilai COD saat stasiun 3. Hal tersebut disebabkan oleh adanya proses penelitian di Danau Buyan pada stasiun 3 sebesar dekomposisi bahan organik (tumbuhan) dan biota 103.20 mg/l (>baku mutu). Nilai COD yang diperoleh akuatik yang telah mati oleh mikroba dan jamur. pada saat penelitian lebih besar daripada nilai BOD. Selain itu keberadaan biota akuatik khususnya ikan Menurut Marganof (2007), hal ini disebabkan bahan Nila (Oreochromis niloticus) yang dibudidayakan organik yang dapat diuraikan secara kimia lebih dengan sistem keramba jaring apung (KJA) di Danau besar dibandingkan penguraian secara biologi. Selain Buyan juga ikut berkontribusi karena kotoran dari dimanfaatkan untuk kegiatan KJA, wilayah di biota akuatik mengeluarkan ammonia. Sisa-sisa sekitar Danau Buyan juga dimanfaatkan sebagai metabolisme atau kotoran ikan semakin banyak yang lahan pertanian. Penggunaan zat-kimia dalam mengendap di dasar perairan tersebut sehingga aktifitas pertanian menyebabkan sisa dari zat kimia terjadi kecenderungan tingginya kadar ammonia. tersebut masuk ke perairan Danau Buyan. Djosetiyanto dkk., (2006) menyatakan bahwa lebih Parameter selanjutnya yang menyebabkan status dari 50% buangan nitrogen ikan berupa ammonia. kualitas air Danau Buyan tercemar berat adalah

Kadar ammonia yang tinggi di perairan Danau Buyan Sulfida (H2S) dengan nilai rata-rata sebesar 0.0057 juga dapat disebabkan oleh buangan limbah domestik mg/l (>baku mutu). Metode indeks STORET dari penduduk sekitar. Maniagasi dkk., (2013), memberikan skor -16. Walaupun tidak ada aktivitas menyatakan bahwa tingginya kadar amoniak suatu vulkanik, keberadaan KJA dapat menyebabkan perairan karena adanya buangan limbah domestik tingginya kadar H2S yang ada di Danau Buyan. dari penduduk sekitarnya. Tingginya kadar H2S disebabkan oleh terbentuknya

Kadar nitrat di Danau Buyan pada stasiun 3 NH3, H2S dan CH2 terbentuk dalam kondisi bahan berdasarkan hasil analisis indeks STORET memiliki organik tinggi dalam oksigen rendah. Sunarto (2003), skor -16. Rata-rata hasil pengukuran kadar nitrat menyatakan bahwa kadar H2S disebabkan oleh sebesar 0.3341 mg/l (>baku mutu). Tingginya kadar beberapa faktor diantaranya yaitu perubahan pH, nitrat disebabkan oleh sisa pakan dihasilkan oleh nitrat, nitrit, suhu dan ammonia sebagai hasil dari KJA di Danau Buyan. Ginting (2011), menyatakan proses dekomposisi yang berlangsung di perairan bahwa input pakan pada kegiatan budidaya ikan KJA dimana kegiatan budidaya berlangsung. mempunyai kontribusi terhadap pengkayaan nitrat Hasil analisis pada Indeks Pencemaran (IP)

(NO3) dalam badan air dengan koefisien determinasi didapatkan bahwa status perairan Danau Buyan sebesar 86%. Parameter selanjutnya yang melebihi tergolong dalam kategori tercemar ringan. Hal ini ambang baku mutu adalah Biological Oxygen berbeda dengan dengan hasil analisis indeks Demand (BOD) dengan nilai rata-rata sebesar 32.44 STORET. Perbedaan status pencemaran pada mg/l. Indeks STORET memberikan skor yaitu -20 di metode indeks STORET dan indeks pencemaran stasiun 3. Danau Buyan seperti danau lainnya yang mungkin disebabkan oleh prinsip analisis yang dimanfaatkan sebagai kegiatan perikanan, hal ini berbeda. indeks STORET memiliki prinsip yang menjadi penyebab tingginya nilai BOD di danau pendugaan nilai pencemaran berdasarkan tersebut. Menurut Barus (2004), nilai BOD perbandingan hasil pengukuran dengan baku mutu, merupakan parameter indikator pencemaran zat sedangkan Indeks Pencemaran memiliki prinsip organik, dimana semakin tinggi angkanya semakin pendugaan untuk mengetahui tingkat pencemaran tinggi tingkat pencemaran bahan organik dan secara relatif terhadap parameter kualitas air sebaliknya. Skor BOD yang tinggi dari indeks tertentu (Angraheni, 2015). STORET inilah yang juga menyatakan Danau Buyan Hasil analisis yang telah dilakukan dengan tergolong dalam status tercemar berat. Nilai BOD menggunakan indeks pencemaran didapat rata-rata yang tinggi menunjukkan bahwa jumlah oksigen nilai IP sebesar 3.4347. Meskipun tergolong tercemar yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk ringan tetapi pada beberapa stasiun didapatkan nilai mengoksidasi bahan organik dalam air tersebut IP yang lebih tinggi dari rata-ratanya yaitu stasiun tinggi. Hal ini berarti dalam air sudah terjadi defisit 1,2,3,4 dan 6. Nilai IP tertinggi pada lokasi penelitian oksigen. Hasil pembuangan sisa pakan KJA di Danau Buyan berada di stasiun 4 dengan nilai merupakan buangan bahan organik yang dapat 3.8673. Parameter yang memiliki nilai IP >1 membusuk atau terdegradasi oleh mikroorganisme, (tercemar) di stasiun 4 lokasi pengamatan adalah sehingga hal ini akan menaikkan populasi Ammonia (4.5654), Nitrat (4.7857), BOD (3.5190), mikroorganisme di perairan. Keadaan ini akan COD (1.1916), dan Sulfida (2.3359). Hal ini menyebabkan meningkatnya kebutuhan oksigen dikarenakan pada stasiun pengamatan 4 memiliki

4 Analisis Kualitas Air Danau Sebagai Dasar Perbaikan Manajemen Budidaya Perikanan di Danau Buyan ..... [I W. Rian Riki Saputra, dkk.] jarak yang cukup dekat dengan KJA yang ada di mudah terakumulasi karena rendahnya kecepatan Danau Buyan yaitu sejauh 150 meter kearah timur pergantian air. Untuk mencegah semakin rendahnya KJA. Stasiun 4 juga merupakan stasiun terdekat status mutu kualitas air di perairan Danau Buyan dengan lahan pertanian dan pemukiman perlu dilakukan upaya pengelolaan lingkungan masyarakat. Tingginya nilai Ammonia, Nitrat, BOD, perairan. Upaya perbaikan manajemen perikanan COD dan Sulfida juga disebabkan oleh akumulasi di Danau Buyan yang dapat dilakukan diantaranya dari beberapa limbah pencemar yang berasal dari yaitu : sisa pakan KJA, limbah masyarakat sekitar, dan a. Perlu dilakukan peninjauan kembali aktifitas pertanian yang berada di sekitar Danau berdasarkan hasil pengukuran kualitas air yang Buyan. Lokasi stasiun pengamatan 4 yang dekat telah dilakukan dalam pengembangan Keramba dengan areal pertanian dan pemukiman Jaring Apung (KJA) yang ada di Danau Buyan. menyebabkan masuknya buangan limbah domestik Tidak hanya fokus di satu lokasi saja. yang mengandung ammonia ke perairan Danau b. Penggunaan pakan alami (Azolla Microphylla) Buyan. Hal ini akan menyebabkan konsentrasi nitrat pada KJA di Danau Buyan. Tanaman azolla ikut tinggi dan tersebar ke beberapa stasiun merupakan gulma air yang tidak pengamatan lainnya karena adanya faktor arus yang termanfaatkan, tetapi memiliki kandungan digerakkan oleh angin. Meskipun terdapat perbedaan protein yang cukup tinggi, yaitu 28,12% berat status pencemaran berdasarkan hasil analisis indeks kering (Handajani, 2000). Selama ini KJA di STORET dan Indeks Pencemaran. Namun pada Danau Buyan sepenuhnya menggunakan pakan kedua metode tersebut stasiun pencemaran terendah pellet. Penggunaan pakan alami pada KJA yaitu pada stasiun pengamatan 6 (-74 dan 2.5498). Danau Buyan dapat mengurangi >50% sisa Nilai pencemaran yang rendah pada stasiun pakan pellet yang masuk ke perairan Danau pengamatan 6 dapat disebabkan oleh pada stasiun Buyan khususnya pada stasiun pengamatan 1, pengamatan 6 masukan bahan pencemar hanya 2 dan 3. berasal dari limbah KJA dan tumbuhan air. Pada c. Karena tumbuhan air mendukung keberadaan stasiun pengamatan 6 tidak dipengaruhi oleh limbah bahan organik dengan kecepatan perkembangan pertanian dan pemukiman. tumbuhan air yang sedemikian cepat. Nilai pencemaran di stasiun pengamatan kontrol Menyebabkan bahan organik yang berada di tergolong cukup tinggi (IP : 3,3968 dan Indeks badan Danau Buyan semakin buruk. Maka STORET -74) dan terdapat 4 parameter (ammonia, perlu dilakukan pembersihan tumbuhan air di nitrat, BOD dan sulfida) yang melibihi ambang baku Danau Buyan tidak hanya pada wilayah Utara mutu. Hal ini disebabkan pada saat pengamatan (Stasiun Pengamatan 1, 2, & 3). Tetapi juga pada ditemukan banyak tumbuhan air kiambang (Pastia wilayah Timur (Stasiun Pengamatan 4 & 5) dan stratiodes) di stasiun kontrol. Adanya tumbuhan air wilayah Barat (Stasiun Pengamatan 6 & 7). ini secara tidak langsung akan mempengaruhi nilai d. Berdasarkan hasil pengukuran bahwa BOD, parameter fisik dan kimia kualitas air yang diukur. COD, H2S, Phosfat, Ammonia dan Nitrat yang Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Kovaks (1992), tinggi berasal dari pertanian. Maka perlu bahwa tingginya kehadiran tumbuhan air di dalam mengurangi limbah pertanian dengan cara suatu perairan baik yang sejenis ataupun berbeda menghindari penggunaan pupuk dan insektisida jenis menandakan daerah tersebut memiliki tingkat yang berlebihan. Penggunaan pupuk kandang kesuburan tinggi dan dapat terjadi eutrofikasi. yang tidak terkontrol akan menyebabkan Tumbuhan air yang membusuk akan meningkatkan pencemaran organik yang masuk ke badan bahan pencemar di Danau Buyan. Hal ini karena perairan wilayah Utara (Stasiun pengamatan 1, daun kiambang yang membusuk mempunyai 2 dan 3) dan Barat (stasiun pengamatan 6 dan kandungan N dan P yang tinggi. Pada penelitian 7) Danau Buyan. yang telah dilakukan daun kiambang mengandung N sebesar 0,216 mg/l dan P sebesar 0,054 mg/l. Sedangkan pada akar mempunyai kandungan N 4. KESIMPULAN DAN SARAN sebesar 0,073 mg/l dan kandungan P sebesar 0,021 mg/l (Angga dkk., 2010). Pengaruh arus yang cukup 4.1. KESIMPULAN sedang di perairan Danau Buyan juga membawa Penilaian status pencemaran perairan di Danau bahan pencemar yang berasal dari KJA maupun Buyan berdasarkan metode Indeks STORET dan limbah pertanian terbawa hingga ke titik kontrol. Indeks Pencemaran tergolong dalam kategori Hal ini dikarenakan arus air di danau dapat bergerak tercemar berat dan tercemar ringan. Skor rata-rata ke berbagai arah (Effendi, 2003). Indeks STORET yang didapat sebesar -82 dengan nilai Pada Danau Buyan bahan pencemar pada terburuk sebesar -98 (stasiun 3). Status pencemaran umumnya berasal dari limbah domestik, pertanian, yang tergolong tercemar berat ini disebabkan oleh ataupun sisa pakan yang tidak termakan sangat terdapat 7 parameter (kekeruhan, pH, ammonia,

5 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395 nitrat, BOD, COD, dan sulfida) yang melebihi Angraheni,W. 2015. Status Pencemaran Perairan ambang baku mutu kualitas air di Danau Buyan. Pesisir Tanjung Pasir,Kabupaten Tangerang, Skor rata-rata Indeks Pencemaran yang didapat .(Skripsi).Fakultas Kelautan dan Ilmu sebesar 3.4347 dengan nilai tertinggi sebesar 3.8673 Perikanan. Institut Pertanian Bogor.Bogor (stasiun 4). Status pencemaran yang tergolong [BLH]-Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali. 2010. tercemar ringan ini disebabkan oleh 5 parameter Kelestarian Danau Buyan Kabupaten Buleleng (ammonia, nitrat, BOD, COD, dan sulfida) yang Provinsi Bali. Poster Online BLH Bali. Hal : 2. melebihi ambang baku mutu kualitas air di Danau Buyan. Pada kondisi tersebut pengaruh KJA, [BPS]-Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2010. Bali pertanian dan aktivitas lainnya memberikan beban dalam Angka. Katalog BPS No.1102001.51: berat terhadap perairan di Danau Buyan. Hal ini 465p. ditunjukkan dengan tingginya nilai parameter Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi, Studi kekeruhan, pH, ammonia, nitrat, BOD, COD dan Tentang Ekosistem Sungai dan Danau.(Skripsi). sulfida dari hasil pengukuran yang telah dilakukan. Jurusan Biologi Fakultas MIPA. Universitas Saran pengelolaan terhadap Danau Buyan dalam Sumatra Utara.Medan usaha perbaikan kualitas perairan yaitu dengan melakukan peninjauan kembali dalam Connel, D. W. dan Miller, G. J. 1995. Kimia dan pengembangan KJA yang ada di Danau Buyan, Otoksikologi Pencemaran. Cetakan Pertama. penggantian sebanyak >50% pellet dengan pakan : Universitas . 2 (1) : 93. alami, melakukan pembersihan tumbuhan air Djokosetiyanto, D., A. Sunarman dan Widanarni. Kiambang (Pastia stratiodes) di bagian Utara, Timur 2006. Perubahan Ammonia (NH3-N), Nitrit dan Barat Danau Buyan serta meminimalkan (NO2-N) dan Nitrat (NO3-N) pada Media penggunaan pupuk dan insektisida pada lahan Pemeliharaan Ikan Nila Merah (Oreochromis pertanian. Jika berdasarkan wilayah stasiun sp.) di dalam Sistem Resirkulasi. Jurnal pengamatan maka yang menjadi wilayah tercemar Akuakultur Indonesia. 5 (1) : 13-20. adalah wilayah Utara (Stasiun 1, 2 dan 3) dan Timur (Stasiun 4 dan 5). Selain dekat dengan KJA wilayah Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Utara dan Timur juga dekat dengan lahan pertanian, Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan jadi mendapat masukan bahan pencemar lebih Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 249 hal. banyak dibandingkan dengan wilayah Barat (Stasiun Erlania, Rusmaedi, A.B. Prasetio, J. Haryadi. 2010. 6 dan 7). Dampak Manajemen Pakan dari Kegiatan Budidaya Ikan Nila (Oreochromis niloticus) di 4.2. SARAN Keramba Jaring Apung Terhadap Kualitas Mengacu pada kesimpulan, pengembangan KJA Perairan Danau Maninjau. Prosiding Forum di Danau Buyan harus dilakukan berdasarkan Inovasi Teknologi Akuakultur. Tanjung Raya. pendekatan daya dukung perairan. Kalaupun sangat Diakses tanggal 12 Juli 2016 strategis harus mengembangkan Keramba Jaring Apung di Danau Buyan maka dibatasi jumlahnya Ginting, O. 2011. Studi Korelasi Kegiatan Budidaya dan zonasinya harus sesuai. Pemerintah, stakeholder Ikan Keramba Jaring Apung dengan Pengayaan dan masyarakat harus mengembangkan pertanian Nutrien (Nitrat dan Fosfat) dan Klorofil-a di berbasis organik atau sistem pertanian terpadu untuk Perairan Danau Toba. Jurnal Perikanan. 1 (2) : mengurangi beban pencemaran di Danau Buyan. 4-25. Goldman, C.R. and A.J. Horne, 1983. Limnology. McGraw Hill Book Company.New York. 464 DAFTAR PUSTAKA pages.

Angga, R.Muh, Salsabiela, Wahyu Mei S, Yuyun Handajani, 2000. Peningkatan Kadar Protein Indriana dan Anggun Rina. 2010. Kajian Biologi Tanaman Azolla Microphylladengan Mikro- Gulma Mengenai Berbagai Macam Kandungan simbion Anabaena Azollae dalam Berbagai dan Konsentrasi N dan P yang Berbeda pada Media Tumbuh.(Tesis).Program Program Pasca- PemanfaatanGulmaKiyambang.http:// sarjana Institut Pertanian Bogor.Bogor www.slideshare.net/RMABP_Permadi/biologi- gulma-gulma-kiambang. Diakses tanggal 13 Juli Halwart, M., Soto, D., & Arthur, J.R. 2007. Cage 2016. aquaculture-regional reviews and global over- view. FAO fisheries technical paper.241 pages. Anggoro, S. 1996. Dampak Pencemaran terhadap Fisik-Kimia Air. Materi Kursus AMDAL. Pusat Jenie. B.S.L & W.P. Rahayu. 1993. Penanganan Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) UNDIP. Limbah Industri Pangan: Kanisius. . 1 (1) : 103. Yogyakarta.172 hal

6 Analisis Kualitas Air Danau Sebagai Dasar Perbaikan Manajemen Budidaya Perikanan di Danau Buyan ..... [I W. Rian Riki Saputra, dkk.]

Kartamihardja E.S., 2008, Perubahan Komposisi Nastiti, A.S., Krismono, & Kartamihardja, E.S. 2001. Komunitas Ikan dan Faktor Faktor Penting Dampak Budidaya Ikan dalam Keramba Jaring yang Mempengaruhi selama 40 Tahun Umur Apung Terhadap Peningkatan Unsur N dan P Waduk Djuanda. Jurnal Iktiologi Indonesia. 2 di Perairan Waduk Saguling, Cirata, dan (3) : 13. Jatiluhur. Jurnal Penelitian Perikanan. Indonesia, Pusat Riset Perikanan Budidaya. Kordi, M. G dan Tancung A. B., 2005. Pengelolaan Jakarta, 7(2): 22-30. Kualitas air. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. 208 hal. Odum, E, P. 1994. Dasar-Dasar Ekologi. Terj. T. Samingan & B. Sriganono Yogyakarta : Edisi Kovaks, M. 1992. Biological indicators in ketiga. Gajah Mada University-Press. Hal 412. environmental protection. Ellis Horwood Liimited, England.155 pages Odum, E. P. 1996. Dasar – Dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hal 341. Maniagasi, Richard. Sipriana S. Tumembouw, Yoppy Mundeng. 2013. Analisis kualitas fisika kimia Pemerintah Republik Indonesia, 2001. Peraturan air di areal budidaya ikan Danau Tondano Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 Tentang Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Budidaya Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Perairan. 1 (2) : 12-13. Pencemaran Air. Jakarta. Margonof, 2007. Model Pengendalian Pencemaran Sunarto. 2003. Peranan Dekomposisi dalam Proses Perairan di Danau Maninjau Sumatera Barat. Produksi pada Ekosistem Laut, Institut (Tesis). Pascasarjana. Institut Pertanian Pertanian Bogor. Bogor. 98 hal. Bogor.Bogor

7 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

BIODEGRADASI REMAZOL BRILIANT BLUE DALAM SISTEM BIOFILTRASI VERTIKAL DENGAN INOKULUM BAKTERI DARI SEDIMEN SUNGAI MATI IMAM BONJOL DENPASAR

Luh Putri Kriswidatari1*), I W Budiarsa Suyasa1), dan I Made Siaka1)

1)Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Udayana *Email : [email protected]

ABSTRACT

The biodegradation research of Remazol Brilliant Blue (RBB) has been done in vertical biofiltration systems with bacterial inoculum that had seed from soil Mati River Imam Bonjol Denpasar. This aims of research are to obtain the best active suspension grown from soil samples of Mati river sediment and to determine the magnitude of the effectiveness and capacity of biosystem . The artificial waste water of RBB has made with a concentration of 200 mg/L. In the first phase, the best active suspension is obtained by determining the value of VSS ( Volatile Suspended Solid ) is the highest as a source of inoculum of bacteria capable of degrading RBB. While the second phase, the effectiveness and capacity of biosystem is obtained by determining the levels of waste of artificial RBB vertical biofiltration system (biosystem). Biofilm has made with attached bacteria consortium in volcanic rock for 7 days. RBB subsequently incoporated into it to determine the concentration of it and to determine the effectiveness and capacity and identified the bacteria contained in biosystem. The results showed the best sludge active from soil sediments of the Mati River Imam Bonjol Gang Keladian with a value of Volatile Suspended Solid (VSS) highest of 17200 mg/L when the sreeding time of 48 hours. The results of processing using biosystem known to decreased when the processing time from 6 hours up to 114 hours, from concentration of 200 mg/L to 19.6211 mg/L. Then the prosses has increased again into 19.8209 mg/L at the time to 120 hours. The highest effectivity of biosystem to degrading remazol brilliant blue of 90.19 % for 114 hours , while the highest capacity is obtained from the biosystem is 1.6525 x mg /g for 114 hours. The bacteria that act to decreased identified as Pseudomonas sp., Aeromonas sp . and Plesiomonas sp, with Pseudomonas sp more dominant in the degrading of dye RBB. The value of the colonists before degradation of 7.2 x CFU/gr and the value after the degradation of 2.6 x CFU/gr.

Keywords: Biodegradation ; Remazol Brilliant Blue ; Inoculum ; Bacteria ; Biosystem.

1. PENDAHULUAN selama proses fotosintesis akibat terhalangnya sinar matahari untuk masuk ke dalam badan air yang Limbah industri semakin bertambah, baik disebabkan oleh keberadaan limbah zat warna. Selain volume maupun jenisnya. Hal ini menyebabkan itu perombakan zat warna azo secara aerobik pada beban pencemaran lingkungan semakin berat, dasar perairan menghasilkan senyawa amina sedangkan kemampuan alam untuk menerima beban aromatik yang kemungkinan lebih toksik limbah terbatas. Jenis limbah industri banyak dibandingkan dengan zat warna azo itu sendiri (Zee, macamnya, tergantung bahan baku dan proses yang 2002). Remazol brilliant blue sangat tahan terhadap digunakan masing-masing industri. Setiap limbah oksidasi kimia karena kestabilan struktur aromatic memerlukan penanganan tersendiri agar dapat antaquinon. mencapai baku mutu yang ditetapkan oleh Metode alternatif yang dapat digunakan untuk pemerintah sebelum masuk ke lingkungan menangani masalah di atas adalah penggunaan (Sastrawidana et al., 2010). Salah satu limbah mikroorganisme untuk mengolah limbah tekstil yang industri yang menjadi kontributor utama penyebab disebut metode biodegradasi yang sangat berpotensi pencemaran air adalah limbah zat warna yang untuk dikembangkan karena limbah tekstil dengan dihasilkan dari proses pencelupan pada suatu industri kandungan bahan organik yang tinggi dapat tekstil, seperti zat warna azo. dimanfaatkan secara langsung maupun tidak Zat warna azo disintesis untuk tidak mudah langsung oleh mikroorganisme sebagai nutrisi untuk rusak melalui perlakuan kimia maupun fotolitik. pertumbuhannya. Oleh sebab itu, bila limbah tersebut dibuang ke Metode biodegradasi ini diterapkan untuk perairan akan mengganggu estetika dan meracuni melenyapkan bahan pencemar yang terkontaminasi biota air di dalam badan air tersebut. Hal ini dalam perairan. Perangkat yang digunakan dapat dikarenakan berkurangnya oksigen yang dihasilkan berupa bioreaktor tunggal dengan menggunakan

8 ECOTROPHIC • 11 (1) : 8 - 14 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395 Biodegradasi Remazol Briliant Blue dalam Sistem Biofiltrasi Vertikal dengan Inokulum Bakteri dari Sidemen..... [L. Putri Kriswidatari, dkk.] pipa plastik yang didalamnya telah dihidupkan volume, labu ukur, pipet tetes, selang aerator, inokulum bakteri spesifik zat warna azo remazol aerator, kapas, furnace, desikator, oven, timbangan brilliant blue. Metodenya dilakukan dengan analitik, saringan plastik, kawat, tabung biofiltrasi menambahkan bahan pencemar ke dalam suatu vertikal dengan diameter 12 cm dan tinggi 60 cm bioreaktor tunggal (biofiltrasi vertikal) yang telah dan Spektrofotometer UV-Vis Shimidzu 1800. berisi media cair untuk pertumbuhan mikroba. Kultur mikroba yang digunakan adalah kultur 2.3. Cara Kerja campur. Keunggulan dari proses pengolahan air limbah dengan biofiltrasi vertikal ini adalah A. Pengambilan Sampel pengolahannya sangat mudah, biaya operasi yang Pengambilan sampel dari sedimen perairan pada rendah, dibandingakan dengan proses lumpur aktif, beberapa titik di sungai Mati Jalan Imam Bonjol lumpur yang dihasilkan relatif sedikit (Hefang et al. Denpasar diambil pada kedalaman ± 10-15 cm dari 2004). permukaan sedimen dengan berat 100 gram dengan Denpasar merupakan kota dengan aktivitas yang menggunakan sendok plastik. Selanjutnya sampel padat, baik itu lalu lintasnya, penduduknya, maupun yang telah didapat dimasukkan ke dalam kantong industrinya. Dalam bidang industri, aktivitas plastik lalu diberi label dan dimasukkan ke dalam industri pencelupan terbilang cukup banyak dan kotak es (ice box). Sampel yang telah didapat menghasilkan limbah yang dibuang langsung ke diseeding di laboraorium Kimia FMIPA Universitas sungai tanpa ditreatment terlebih daluhu. Sehingga Udayana. menimbulkan pencemaran sungai. Salah satu sungai dengan limbah industri pencelupan dan percetakan B. Pembuatan media cair (Nutrien) adalah sungai Mati yang berada di Jalan Imam Bonjol, Komposisi media cair yang digunakan adalah hal tersebut terbukti dari warna air sungai yang sebanyak 2,0 gram glukosa (KH) ; 0,1 gram K2HPO4 selalu berubah-ubah setiap minggunya dan ; 0,1 gram KH2PO4 ; 0,1 gram (NH4)2[Fe(SO4)2].6H2O menimbulkan bau yang tidak sedap dan jauh dari ; 0,02 gram MgSO4 ; 0,02 gram FeSO4 ; 0,02 gram nilai estetika yang baik. Maka dari itu, sungai Mati ekstrak ragi dan 2 mg remazol brilliant blue memberikan kontribusi besar dalam pertumbuhan kemudian dilarutkan dengan aquades. Selanjutnya mikroorganisme zat warna tekstil yang mengandung campuran diaduk hingga homogen dan dimasukkan zat warna sintetik khususnya remazol brilliant blue, kedalam labu ukur 2 L dan diencerkan dengan dimana selain itu Sungai Mati banyak mengandung aquades hingga tanda batas. Kemudian larutan sampah, baik itu sampah organik maupun media cair dimasukkan ke dalam erlenmeyer 2L, lalu anorganik. Sampah-sampah tersebut mengandung Erlenmeyer ditutup dengan kapas dilapisi aluminium limbah organik dan anorganik. voil. Media disterilisasi selama 15 menit dengan suhu Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian 121oC lalu didiamkan pada suhu 37oC selama 5 menit, ini ditujukan untuk memperoleh suspensi aktif selanjutnya media dapat disimpan dalam lemari terbaik yang ditumbuhkan dari sampel sedimen pendingin sampai saat diperlukan (Ginting, 2007). tanah Sungai Mati Jalan Imam Bonjol Denpasar sebagai sumber inokulum bakteri yang mampu C. Pembuatan Larutan Standar Remazol mendegradasi zat warna remazol brilliant blue dan Brilliant Blue dan Larutan Limbah menentukan besarnya efektivitas dan kapasitas Remazol Brilliant Blue biosistem yang diinokulasi suspensi aktif dalam Larutan induk Remazol Brilliant Blue 1000 mendegradasi zat warna remazol brilliant blue. ppm, dibuat dengan menimbang 1 gram Remazol Brilliant Blue, dimasukkan kedalam labu takar 1000 mL kemudian dilarutkan dengan aquades hingga 2. METODOLOGI tanda batas. Untuk memperoleh larutan 20, 40, 80, 120, 160 dan 200 ppm, berturut – turut dipipet 2.1. Bahan sebanyak 2, 4, 8, 12, 16 dan 20 mL larutan Remazol Bahan yang digunakan yaitu sedimen yang Brilliant Blue 1000 ppm lalu dimasukkan ke dalam berasal dari Sungai Mati Imam Bonjol,Denpasar, labu takar 100 mL kemudian ditambahkan akuades glukosa ; K2HPO4 ; KH2PO4 ; (NH4)2[Fe(SO4)2].6H2O ; hingga tanda batas. Larutan kemudian diukur

MgSO4 ; FeSO4 ; ekstrak ragi, remazol brilliant blue, dengan Spektrofotometer UV-Vis untuk menentukan batu vulkanik steril, NPK dan aquades. panjang gelombang maksimum Remazol Brilliant Blue. Sedangkan untuk memperoleh air limbah 2.2. Peralatan artificial Remazol Brilliant Blue 200 ppm, dipipet 20 Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mL larutan Remazol Brilliant Blue 1000 ppm lalu gelas ukur, gelas beker, sendok plastik, kantong dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL kemudian plastik, ice box, paralon, erlenmeyer, batang ditambahkan akuades hingga tanda batas. pengaduk, aluminium foil, kertas saring, pipet

9 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

D. Memperoleh Suspensi aktif Terbaik yang 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Ditumbuhkan dari Sampel Sedimen Tanah Aliran Sungai Jalan Imam Bonjol Denpa- Berdasarkan hasil pengukuran, dapat diketahui sar sebagai Sumber Inokulum Bakteri panjang gelombang maksimum untuk larutan RBB dengan Waktu Tercepat dan VSS Terbesar adalah 591,0 nm. Selanjutnya panjang gelombang Dalam pembibitan dilakukan dengan maksimum tersebut digunakan untuk pembuatan menyiapkan 3 buah erlenmeyer 500 mL dengan kurva kalibrasi. kondisi bersih. Masing-masing sebanyak 250 mL media cair dimasukkan ke dalam erlenmeyer A, B 3.1. Suspensi aktif Terbaik sebagai Sumber dan C yang telah diisi label. Kemudian sampel Inokulum Bakteri dengan VSS (Volatil sedimen dari beberapa titik di Aliran Sungai Mati di Suspended Solid) Terbesar Jalan Imam Bonjol, Denpasar dimasukkan ke dalam Sampel bibit diamati pertumbuhan mikroba erlenmeyer berbeda dengan massa 5 gram untuk dengan mengukur nilai VSS setiap 6 jam selama masing – masing sampel. Setelah itu, media diaerasi empat hari waktu aerasi (proses penambahan dengan menggunakan aerator yang diberi selang, oksigen) dengan perlakuan yang sama untuk masing- yang diletakkan di dasar erlenmeyer. Erlenmeyer masing sedimen. Aerasi berfungsi untuk mensuplai ditutup dengan kapas kemudian diaerasi dan jumlah oksigen terlarut dalam media sehingga cukup diinkubasi selama 3 hari. Kemudian pertumbuhan untuk tumbuh kembang dari mikroorganisme mikroba diamati dengan mengukur nilai VSS-nya (Suharto, 2010). Peningkatan nilai VSS dapat dilihat dengan rentang waktu setiap 1 hari. Bibit yang paling pada kurva Gambar 1. cepat tumbuh dan memiliki nilai VSS tertinggi, maka sedimen tersebut merupakan bibit sedimen terbaik yang akan digunakan dalam pengolahan limbah (Suyasa, 2015).

E. Menentukan Kapasitas dan Efektivitas Biosistem yang Diinokulasi Suspensi aktif dalam Mendegradasi Remazol Brilliant Blue Disiapkan pipa plastik berdiameter 12 cm dan tinggi 60 cm dengan dilengkapi kran di bagian Gambar 1. Kurva Nilai VSS rata-rata pada Tiga Titik Sungai Mati bawah. Amobilisasi inokulum bakteri mengikuti Selama Pembibitan. metode yang telah dilakukan Castila, et al. (2003) yaitu, sebanyak 800 - 1000 g batu vulkanik steril Berdasarkan kurva diatas selama 72 jam terlihat dimasukkan ke dalam biosistem kemudian ke dalam peningkatan nilai VSS selama pembibitan yang tabung dimasukkan bibit yang menghasilkan bibit menyatakan adanya peningkatan biomassa. terbaik yang telah dilakukan pada percobaan 3.4.5 Aktivitas mikroorganisme ditandai dengan adanya dengan cara mengambil bibit sedimen tersebut pembelahan sel sehingga terbentuk sel baru pada sebanyak 25,0 gram lalu ditambahkan media cair 1 sistem suspensi aktif (Soeparno, 1992). Semakin tinggi L dan ditambahkan NPK hingga mencapai volume aktivitas mikroorganisme dalam menguraikan 2 L, dimasukkan kedalam bioreaktor yang telah bahan organik maka semakin tinggi pula biomassa dimasukkan batu vulkanik. Larutan dimasukkan yang dihasilkan. Peningkatan biomassa ini hingga batu vulkanik tersebut terendam semua. Bibit menyatakan jumlah bahan organik yang telah direndam dan sambil diamati terbentuknya filamen didegradasi oleh mikororganisme (Atlas and Bartha, - filamen pada batu. Setelah perendaman selesai 1987). Bibit sedimen Gang Keladian Imam Bonjol dilakukan selama 7 hari, ditentukan jumlah serta memberikan nilai VSS tertinggi yaitu 17200 mg/L ciri koloni mikroba di Laboratorium Mikrobiologi. selama pembibitan 48 jam, dibandingkan dengan Pada bioreaktor yang berisi batu dimasukkan bibit sedimen Pertigaan Jalan Gunung Soputan yaitu larutan remazol brilliant blue sebanyak 1000 mL 12400 mg/L dan bibit sedimen Pertigaan Jalan Pulau dengan konsentrasi 200 ppm, kemudian setiap 6 jam Galang yaitu 12400 mg/L. Nilai VSS pada bibit kran pada bagian bawah tabung dibuka ditampung sedimen Titik A dan bibit sedimen Titik B rendah pada botol gelap 30 mL. Larutan yang tertampung dibandingkan bibit sedimen Titik C dikarenakan di botol gelap diukur penurunan konsentrasinya pertumbuhan mikroorganisme pada bibit tersebut dengan menggunakan Spektrofotometer UV-Vis lambat yang disebabkan oleh waktu adaptasi yang dengan panjang gelombang maksimumnya setiap 6 lebih lama pada media selektif. Nutrien merupakan jam. Setelah itu ditentukan jumlah serta ciri koloni salah satu faktor yang sangat mempengaruhi mikroba di Laboratorium Mikrobiologi, kemudian pertumbuhan sel serta aktivitas enzim yang efektivitas dan kapasitas biositem. dihasilkan oleh mikroorganisme dalam mendegradasi

10 Biodegradasi Remazol Briliant Blue dalam Sistem Biofiltrasi Vertikal dengan Inokulum Bakteri dari Sidemen..... [L. Putri Kriswidatari, dkk.] bahan pencemar. Jumlah mikroorganisme yang sehingga terjadi pemutusan ikatan azo menghasilkan dapat tumbuh pada proses pembibitan dipengaruhi amina aromatik. Penurunan konsentrasi yang besar oleh faktor aerasi dan nutrien. Pemberian aerasi dan menandakan bakteri mampu mendegradasi zat nutrien yang seimbang akan memenuhi kebutuhan warna RBB dari awal konsentrasi 200 mg/L menjadi mikroorganisme sebagai makanannya sehingga 19.6211 mg/L. Proses perombakan zat warna azo, dapat meningkatkan pertumbuhan yang akan khususnya RBB oleh bakteri yang terlekat pada berbanding lurus dengan jumlah bahan pencemar media batu pada dasarnya merupakan suatu reaksi yang akan terdegradasi (Sudaryati et al., 2011). redoks yang dikatalisis oleh enzim. Pada proses Sehingga suspensi aktif yang berasal dari bibit glikolisis glukosa koenzim nikotinamida adenine sedimen Sungai Mati di Gang Keladian Jalan Imam dinukleotida (NAD+) dibebaskan dengan bantuan Bonjol, Denpasar sangat baik digunakan pada enzim dehirogenase yang berperan sebagai pembawa biosistem yang diinokulasi suspensi aktif untuk elektron dan terlibat dalam reaksi enzimatik. Pada mengolah limbah zat warna RBB. kondisi tidak ada oksigen, NADH mengalami reaksi oksidasi mengasilkan NAD+ sedangkan zat warna azo 3.2. Perubahan Kadar Limbah Remazol mengalami reaksi reduksi menghasilkan amina- Brilliant Blue selama Perlakuan dalam amina aromatik yang bersesuaian. Putusnya ikatan Biosistem yang Diinokulasi Suspensi aktif. azo pada zat warna azo menyebabkan warna menjadi Penentuan konsentrasi limbah RBB dalam hilang. Namun jika terdapat oksigen, maka zat sistem biofiltrasi dilakukan dengan lumpur aktif warna azo dan oksigen berkompetisi sebagai (suspensi aktif) yang telah diamobilisasi dengan batu penerima elektron dari NADH. Ion hidrogen pada vulkanik untuk mengolah air limbah artificial NADH lebih mudah ditransfer ke oksigen melalui dengan kadar RBB 200 mg/L. Sedimen tanah yang rantai transfer elektron. Dengan demikian, pada menghasilkan nilai VSS terbesar digunakan untuk kondisi aerobik zat warna azo sulit direduksi mengolah limbah RBB dalam biofiltrasi yang terbuat sehingga warnanya tetap. Berikut merupakan dari pipa paralon berdiameter 12 cm dengan tinggi perombakan zat warna azo dengan adanya kosubstrat 60 cm. Berikut merupakan hasil konsentrasi limbah yang dilaporkan oleh Van der Zee (2002) yang RBB dalam biofiltrasi yang ditambahkan suspensi disajikan pada Gambar 3 aktif pada pada Gambar 2 berikut.

Gambar 3. Mekanisme perombakan zat warna azo secara direct enzymatic.

3.3. Laju Penurunan Kadar Limbah RBB Arti- ficial selama Perlakuan dalam Biosistem Gambar 2. Kurva Kadar Rata-rata Limbah RBB Artificial dari jam ke-0 yang Diinokulasi Suspensi aktif. hingga jam ke-120. Laju penurunan kadar limbah RBB artificial dapat ditentukan dengan manerapkan data Berdasarkan hasil pengolahan menggunakan penurunan kadar limbah RBB yang diperoleh dalam biosistem dengan inokulum bakteri yang persamaan y = 0.00834x + 0.03516, dimana y adalah diamobiloisasi pada batu vulkanik diketahui terjadi serapan dari sampel dan x adalah kadar dari limbah. penurunan konsentrasi air limbah RBB artificial Laju penurunan tersebut dibagi menjadi tiga laju dalam 6 jam pertama diketahui penurunan penurunan. Pertama laju penurunan cepat, kedua konsentrasinya menjadi 160.7842 mg/L dari laju penurunan lambat dan yang ketiga adalah laju konsentrasi awal 200 mg/L. Penurunan terus terjadi penurunan stagnan (tetap). Dimana laju penurunan hingga mencapai waktu ke 114 jam dengan cepat digambarkan pada Gambar 4. konsentrasi air limbah RBB artificial menjadi Dari Gambar 4 terjadi proses penurunan 19.6211 mg/L. Kemudian terjadi peningkatan konsentrasi limbah RBB artificial yang cepat dari konsentrasi air limbah RBB artificial menjadi jam ke-0 hingga jam ke-36. Dimana terjadi 19.8209 mg/L pada waktu ke 120 jam. penurunan yang berlangsung cepat dengan Mikroorganisme dengan bantuan kosubstrat seperti persamaan y = = -4.001x + 185.4 dengan koefisien glukosa berfungsi sebagai donor elektron ke zat regresi linier (R2) sebesar 0.958. Nilai slope yang warna azo yang dikatalisis oleh enzim azoreductase merupakan tetapan laju penurunan konsentrasi

11 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

RBB melambat dalam menguraikan zat warna RBB. Hal ini dikarenakan mikroorganisme mengalami penurunan dalam melakukan mekanisme untuk menurunkan konsentrasi limbah RBB. Selain juga dikarenakan nutrien yang tersedia mulai berkurang dengan jumlah mikroorganisme yang semakin banyak. Semakin memperbesar persaingan antar mikroorganisme untuk mendapatkan nutrien, sehingga kemampuan mikroorganisme untuk menurunkan konsentrasi limbah RBB semakin menurun. Sebab nutrien merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan sel serta aktivitas enzim yang dihasilkan oleh Gambar 4 Kurva Laju Penurunan Kadar Limbah RBB Artificial dari jam ke-0 hingga jam ke-120. mikroorganisme untuk menurunkan konsentrasi Keterangan : y = persamaan garis laju penurunan cepat limbah RBB dalam larutan (Soeparno, 1992). Hal ini 1 dikarenakan mikroorganisme mengalami penurunan y2 = persamaan garis laju penurunan lambat

y3 = persamaan garis laju penurunan stagnan dalam melakukan mekanisme untuk menurunkan konsentrasi limbah RBB. Ini merupakan fase limbah RBB artificial (k) adalah -4.001, dari nilai stasioner, dimana kecepatan pertumbuhan seimbang tersebut dapat dinyatakan bahwa laju penurunan dengan kematian sel, tidak ada peningkatan sel, konsentrasi limbah RBB artificial dari jam ke-0 metabolisme menurun. Selain itu juga dikarenakan hingga jam ke-36 adalah sebesar 4.001 mg/L/jam. nutrien yang tersedia telah habis dengan jumlah Selanjutnya pada jam ke 42 hingga jam 90 jam terjadi mikroorganisme yang semakin banyak, sehingga laju penurunan lambat dengan persamaan y = - kemampuan mikroorganisme untuk menurunkan 0.442x + 60.88 dengan koefisien regresi linier (R2) konsentrasi limbah RBB menurun dan akhirnya sebesar 0.920. Nilai slope yang merupakan tetapan stagnan. laju penurunan konsentrasi limbah RBB artificial (k) adalah -0.442, dari nilai tersebut dapat dinyatakan 3.4. Efektivitas Biosistem yang Diinokulasi bahwa laju penurunan konsentrasi limbah RBB Suspensi aktif dalam Mendegradasi artificial dari jam ke-42 hingga jam ke-78 adalah Remazol Brilliant Blue. sebesar 0.442 mg/L/jam. Laju penurunan terakhir Efektivitas biosistem dalam presentase proses penurunan konsentrasi limbah RBB artificial ditentukan dengan membandingkan konsentrasi yang sangat lambat atau bisa dikatakan stagnan dari tertinggi dari hasil penurunan konsentrasi limbah jam ke-96 hingga jam ke-120. Dimana terjadi RBB artificial dengan penurunan konsentrasi limbah penurunan yang berlangsung sangat lambat dengan RBB artificial hingga waktu akhir penurunan. persamaan y = -0.099x + 31.26 dengan koefisien Efektivitas biosistem suspensi aktif dalam mengolah regresi linier (R2) sebesar 0.791. Nilai slope yang limbah RBB artificial terbesar pada saat waktu merupakan tetapan laju penurunan konsentrasi pengolahan sampel ke 114 jam, yaitu sebesar 90.19 limbah RBB artificial (k) adalah -0.099 dari nilai %. Hal ini menunjukkan bahwa pada waktu tersebut dapat dinyatakan bahwa laju penurunan pengolahan ke 114 jam mikroorganisme dalam konsentrasi limbah RBB artificial dari jam ke-96 biosistem telah dapat bekerja optimum untuk hingga jam ke-120 adalah sebesar 0.099 mg/L/jam. mengolah limbah RBB artificial. Efisiensi menurun Laju penurunan konsentrasi limbah RBB artificial setelah waktu pengolahan 114 jam, yang ditunjukkan yang berlangsung cepat ini menunjukkan bahwa pada waktu pengolahan 120 jam dengan nilai proses biodegradasi limbah RBB mampu efektivitas sebesar 90.09 %. Penurunan efisiensi menguraikan dengan cepat zat warna RBB. Hal ini terjadi karena meningkatnya toksisitas zat warna menandakan bahwa mikroorganisme yang terdapat terhadap bakteri yang merupakan racun bagi bakteri pada sedimen hasil pembibitan mampu untuk dan terbloknya sisi aktif dari enzim azo reductase menurunkan konsentrasi limbah RBB artificial oleh molekul zat warna. Selain itu mulai pada jam dengan baik. Penurunan ini juga dikarenakan ke 42 selisih efektivitas setiap jam penurunan mikroorganisme di dalam biosistem mengalami fase semakin berkurang. Hal itu terjadi karena eksponensial dengan kandungan nutrien yang kemampuan bakteri dalam menguraikan limbah zat berlimpah dan mikroorganisme melakukan warna RBB artificial semakin berkurang, namun mekanisme pertahanan diri agar tetap hidup (Gadd, tetap meningkatkan efektivitas setiap jamnya hingga 1990). Sedangkan laju penurunan lambat ini mencapai 90.19 % pada jam ke-114. menunjukkan bahwa proses biodegradasi limbah

12 Biodegradasi Remazol Briliant Blue dalam Sistem Biofiltrasi Vertikal dengan Inokulum Bakteri dari Sidemen..... [L. Putri Kriswidatari, dkk.]

Tabel 2 Hasil Identifikasi Bakteri dalam Biosistem

Kode Coliform E.coli Pseudomonas sp. Aeromonas sp. Vibrio sp. Plesiomonas sp. Sampel (MPN/100gr) (MPN/100 gr) (CFU/gr) (CFU/gr) (CFU/gr) (CFU/gr)

A 95 95 7.2 x 104 6.3 x 103 0 1.4 x 103 B 70 70 2.6 x 103 2.0 x 102 0 8.0 x 102

Sumber : Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi FMIPA UNUD Keterangan : A : Sampel filamen sebelum biosistem diberikan limbah B : Sampel filamen setelah biosistem diberikan limbah

3.5. Kapasitas Biosistem yang Diinokulasi ini menunjukkan bahwa bakteri Pseudomonas sp., Suspensi aktif dalam Mendegradasi Aeromonas sp. dan Plesiomonas sp. mampu Remazol Brilliant Blue. menguraikan dan tahan terhadap paparan zat warna Kapasitas merupakan kemampuan daya serap remazol brilliant blue. atau daya tampung yang dilakukan oleh biosistem yang diinokulasi Suspensi aktif dalam mendegradasi limbah RBB artificial. Dimana telah diketahui 4. SIMPULAN DAN SARAN konsentrasi penurunan limbah RBB artificial, sehingga bisa ditentukan nilai kapasitas dari 4.1. Simpulan biosistem tersebut. Kapasitas terbesar dari biosistem Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan suspensi aktif dalam menurunkan konsentrasi maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut : limbah RBB artificial adalah sebesar 1.6925 x mg/ 1. Suspensi aktif terbaik diperoleh dari pembibitan gram. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan sampel tanah dari sedimen Sungai Mati Jalan terbaik dari biosistem ditunjukkan pada pengolahan Imam Bonjol Denpasar dengan nilai Volatil limbah selama 114 jam. Dimana kemampuan Suspended Solid (VSS) dari pertumbuhan biosistem untuk menurunkan konsentrasi limbah biomassa mikroorganisme terbanyak sebesar RBB cukup berhasil dengan nilai kapasitas sebesar 17200 mg/L dalam 48 jam. 1.6925 x mg/gram, yang berarti kemampuan per 2. Efektivitas yang diperoleh dari biosistem yang gram berat batu vulkanik dapat menurunkan diinokulasi suspensi aktif dalam mendegradasi konsentrasi limbah RBB sebesar 1.6925 miligram. zat warna remazol brilliant blue adalah sebesar 90.19% selama 114 jam, sedangkan kapasitas 3.6. Identifikasi Mikroorganisme yang terbesar yang diperoleh dari biosistem yang Berperan dalam Penurunan Konsentrasi diinokulasi suspensi aktif dalam mendegradasi Limbah RBB pada Biosistem yang zat warna remazol brilliant blue adalah 1.6525 diinokulasi suspensi aktif x mg/gram selama 114 jam. Dari hasil uji identifikasi didapatkan hasil 3. Bakteri yang dapat menguraikan zat warna jumlah masing-masing bakteri dan jumlah total remazol brilliant blue adalah Pseudomonas sp., mikroorganisme, seperti pada tabel 2. Aeromonas sp. dan Plesiomonas sp, dengan Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa bakteri bakteri Pseudomonas sp. yang lebih dominan yang terdapat pada biosistem adalah Coliform, E.coli, dalam mendegradasi zat warna RBB yang Pseudomonas sp, Aeromonas sp., dan Plesiomonas menghasilkan jumlah koloni awal sebelum sp., sedangkan Vibrio sp. tidak terdapat dalam degradasi 7.2 x CFU/gr dan nilai sesudah biosistem. Dimana bakteri-bakteri tersebut mampu degradasi sebesar 2.6 x CFU/gr. mendegradasi limbah zat warna RBB yang ditunjukkan oleh hasil dari jumlah koloni dari setiap 4.2. Saran bakteri tersebut. Bakteri yang memberikan jumlah Dari penelitian yang telah dilakukan terdapat koloni tertinggi tertinggi adalah bakteri beberapa hal yang menarik untuk diperhatikan lebih Pseudomonas sp. yang menunjukkan nilai sebelum lanjut, antara lain : degradasi sebesar 7.2 x CFU/gr dan nilai sesudah 1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai proses pengolahan limbah zat warna tekstil degradasi sebesar 2.6 x CFU/gr. Kedua adalah dengan sistem kombinasi anaerobik-aerobik. bakteri Aeromonas sp. yang menunjukkan nilai 2. Perlu dilakukan penelitian dengan sebelum degradasi sebesar 6.3 x CFU/gr dan nilai menggunakan parameter lain seperti Total sesudah degradasi sebesar 2.0 x CFU/gr. Ketiga Suspended Solid (TSS) , COD dan BOD dengan adalah bakteri Plesiomonas sp. yang menunjukkan waktu pengolahan yang lebih lama untuk nilai sebelum degradasi sebesar 1.4 x CFU/gr dan melihat kemampuan bibit inokulum dan nilai sesudah degradasi sebesar 8.0 x CFU/gr. Hal efektivitasnya.

13 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

3. Perlu dilakukan pemurnian bakteri Elektrolisis, Makalah Penelitian UNDIP, Pseudomonas sp. dan Aeromonas sp. untuk Semarang. mengetahui hasil lebih lanjut. Manurung, R & Irvan, 2004, Perombakan Zat Warna Azo Reaktif Secara Anaerob, Jurnal Kimia USU, DAFTAR PUSTAKA Sumatera Utara. Atlas, R. M and R. Bartha, 1987, Microbial Ecology Metcalf And Eddy, 2003, Wastewater Engineering, : Fundmentals and Applications 2nd ed, Menlo Treatment and Reuse. Fourth Edition, McGraw Park : The Benjamin / Cummings Publ, Co., Inc. Hill Higher Education, New York. Bollag, W. B and Bollag, J. M, 1992, Biodegradation Sastrawidana, I Dewa K., Bibiana W. Lay, Anas Encyclopedia of Microbiology, Ledergerg, J, Ed, Miftah Fauzi, Dwi Andreas Santoso, 2010, Academic Press Inc, Boston : 269 – 276. Pengolahan Limbah Tekstil Sistem Kombinasi Dad, 2000, Bacterial Chemistry and Physiology, John Anaerobik-aerobik Menggunakan Biofilm Wiley and Sons Inc., NewYork. Bakteri Konsorsium dari Lumpur Limbah Tekstil, Ecotrophic 3 (2) :55-60. Fessenden,R.J. dan J.S. Fessenden. 1999. Kimia Organik. Jilid 1, a.b. Aloysius Hadyana Pudjaat- Soeparno, 1992, Ilmu dan Teknologi Daging, Gajah maka, Erlangga, Jakarta. Mada University, Yogyakarta. Gadd, G. M., 1990, Metal Tolerance in Microbiology Sudaryati, YS., Rahayu, SH., Setianingrum, N., of Extreme Envirenment, Edward, C., ed, Open Naiola, E, 2011, Kemampuan Bacillus University Press, Milton Keynes : 178 – 210. licheniformis dalam Memproduksi Enzim Protease yang Bersifat Alkalin dan Termofilik, Ginting, P, 2007, Sistem Pengelolaan Lingkungan Artikel, Media Litbang Kesehatan Volume 21 dan Limbah Industri, Yrama Widya, Bandung. Nomor 2 Tahun 2011. Hefang, HuWenrong and LiYuezhong, 2004, Suyasa, Wayan Budiarsa, 2015, Pencemaran Air dan Biodegradition mechanisms and kinetics of azo Pengolahan Air Limbah, Udayana University dys 4BS by a micobial consortium, Chemosphere Press, Denpasar. 57:293-301. Van der Zee, 2002, Anaerobic azo dye reduction, Indrawati, 2008, Dekolorisasi Larutan Remazol Thesis, Wageningen University, Netherland. Brilliant Blue Menggunakan Ozon Hasil

14 STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG MANUCOCO BERBASIS MASYARAKAT DI KOTA ADMINISTRATIF ATAURO, DILI TIMOR-LESTE

Ernesto Matos Soares1*), I Made Antara 2), I Made Adhika 3)

1) Direktorat Jenderal Lingkungan Hidup Timor-Leste 2) Fakultas Pertanian, Universitas Udayana 3) Fakultas Teknik, Universitas Udayana

*) Email: [email protected]

ABSTRACT

Manucoco Protected Area is a mountainous conservation area which is very important for Atauro community because it functions as water catchment areas, especially water sources, important habitat for birds and other biodiversity, but there are still problems that occur such as deforestation, shifting cultivation, system of slash-and-burn cultivation, area zoning is not clear, the expansion of settlements and forest fires, all of these problems can give a less impact on ecological functions of the forest. The aims of this study are 1) to describe the perception of the public about the conservation of natural resources Manucoco Protected Area as a conservation area 2) to formulate management strategies for community-based Manucoco Protected Area. The data collection techniques used questionnaires, interviews, documentation, and focus group discussions, whereas the determination of the respondents used a purposive sampling method. To formulate a management strategy, internal and external factors were identified by using SWOT analysis. The results showed that the public perception of the function of the forest was that the forests had multiple functions, the public perception related to management policies showed that people did not know the forestry legislations. Public perception regarding the rights and obligations in the management strategy namely the public has the perception that forests are common property. Based on the SWOT analysis produced several community- based management strategies that can be used in the management of Manucoco protected areas as follow 1) Maximizing the primary function of forests, (2) Increasing public knowledge through an intensive socialization (3) Increasing the involvement or participation of the community 4) Encouraging the community-based forests protection through HKM 5) Acceleration of area zoning 6) Increasing related department supervision 7) Performing the empowerment of communities around the protected areas 8) Preparing management plans which needs to involve all stakeholders 9) Establishing the management unit in the village/sub-district levels.

Keywords: Manucoco Protected Area, Pubic Perception, Conservation, Management Strategy

1. PENDAHULUAN hutan, sehingga hutan diartikan sebagai asosiasi masyarakat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang Kawasan lindung sebagai kawasan yang didominasi oleh pohon-pohonan dengan luasan mempunyai manfaat untuk mengatur tata air, tertentu sehingga dapat membentuk iklim mikro dan pengendalian iklim mikro, habitat kehidupan liar, kondisi ekologi tertentu (Suparmoko,1997). Widada sumber plasma nutfah serta fungsi sosial budaya bagi et al. (2006) bahwa hutan mempunyai beberapa masyarakat di sekitarnya dengan demikian fungsi diantaranya; mengatur tata air, mencegah dan pengelolaan kawasan lindung harus betul-betul membatasi banjir, erosi serta memelihara kesuburan sesuai tingkat kepentinganya bagi suatu wilayah. tanah selain itu juga menyediakan hasil hutan untuk Pengelolaan hutan mempunyai peran penting keperluan masyarakat, memberikan keindahan untuk menunjang kelangsungan hidup semua alam khususnya dalam bentuk cagar alam, suaka mahluk hidup khususnya umat manusia, hutan margasatwa,taman wisata, sebagai laboratorium tidak hanya memberikan manfaat langsung (tangible untuk ilmu pengetahuan, pendidikan dan pariwisata use) sebagai sumber penghasil hasil hutan berupa fungsi lain juga sebagai salah satu unsur strategi kayu dan non kayu, tetapi hutan juga memberikan pembangunan nasional. manfaat tidak langsung (intangible use) sebagai Pengelolaan berbasis masyarakat merupakan pengatur tata air, kesuburan tanah, iklim mikro, suatu upaya pengelolaan yang dilakukan oleh pencegah erosi dan longsor, sehingga eksistensinya masyarakat bersama-sama dengan pemerintah perlu tetap dipertahankan melalui pengaturan fungsi setempat, pengelolaan berbasis masyarakat

ECOTROPHIC • 11 (1) : 15 - 22 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395 15 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395 bertujuan untuk melibatkan masyarakat secara aktif bercocok tanam tebas dan bakar bertambahnya dalam kegiatan perencanaan dan pelaksanaan pemukiman penduduk dan kebakaran hutan semua pengelolaan (Tulungen et al.2002). permasalahan tersebut erat hubungannya dengan Persepsi adalah pandangan atau penilaian masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan lindung. seseorang terhadap obyek tertentu yang dihasilkan Keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi perlu oleh kemampuan mengorganisasi pengamatan, keterlibatan pemerintah secara aktif untuk persepsi sebagai proses pengorganisasian, mengajak dan merangkul masyarakat sekitar hutan penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima untuk ikut menjaga keutuhan kawasan hutan dan oleh organism atau individu sehingga merupakan memberikan pemahaman betapa pentingnya fungsi proses yang berarti dan merupakan proses integral dan manfaat kawasan yang ada di sekitarnya, dalam diri individu. Persepsi merupakan proses masyarakat tidak dilibat dalam suatu rencana penginderaan dan penafsiran rangsangan suatu pengelolaan maka masyarakat dihadapkan pada obyek atau peristiwa yang diinformasikan, sehingga posisi yang dilematis dimana di satu sisi bertindak seseorang dapat memandang, mengartikan dan sebagai pelaku pembangunan dalam aktivitas menginterpretasikan rangsangan yang diterimanya kesehariannya untuk bertindak sebagai pelindung sesuai dengan keadaan dirinya dan lingkungan kelestarian hutan dan di sisi lain masyarakat juga dimana berada, sehingga dapat menentukan turut serta berpartisipasi dalam perusakan, hal ini tindakannya Walgito (dalam Boedojo, 1986) bisa di pengaruhi karena faktor ekonomi, sosial atau Wilayah hutan Timor-Leste ± 869.130.41ha, budaya yang melatarbelangi serta faktor mewakili 59% dari keseluruhan luas wilayah daratan pengetahuan yang minim. 1.493.130.41 ha, kawasan hutan Timor-Leste Artikel ini membahas tentang dua hal pokok diklasifikasi menjadi dua bagian yaitu hutan yang yang menjadi fokus pada penelitian ini yaitu 1) mempunyai tutupan bagus 312,930.67 ha dan Bagaimana persespsi masyarakat tentang konservasi tutupan hutannya kurang 556.199.74 ha. (MAFP, sumberdaya alam KL Manucoco, 2) Bagaimana 2004). Deforestasi disebabkan sistem curah hujan dan strategi pengelolaan KL Manucoco sebagai kawasan topografi di mana 41% dari total wilayah memiliki konservasi berbasis masyarakat. lereng lebih besar dari 40% (Mota, 2002). Timor- Penelitian ini dimaksudkan untuk merumuskan Leste memiliki 44 Kawasan Lindung yang telah suatu strategi pengelolaan KL Manucoco berbasis ditetapkan berdasarkan Peraturan UNTAET No.19 masyarakat berdasarkan persepsi masyarakat tahun 2000. sebagai acuan dan arahan untuk pengelolaan ke Kawasan Lindung (KL) Manucoco merupakan depan. kawasan konservasi pegunungan yang sangat penting bagi masyarakat Atauro karena mempunyai fungsi sebagai daerah resapan air terutama sumber 2. METODOLOGI mata air, habitat penting bagi burung dan keanekaragaman hayati lainnya, kawasan ini Penelitian ini dilakukan di KL (Kawasan ditetapkan oleh Pemerintah Timor-Leste mengacu Lindung) Manucoco Kota Administratif Atauro, pada peraturan UNTAET No.19 tahun 2000, luas terutama desa yang berdekatan dengan kawasan area KL Manucoco ± 4000 ha, secara administratif lindung seperti Desa Macadade, Desa Maquili, Desa KL Manucoco terletak di Kota Administatif Atauro Vila dan Desa Beloi, metode yang digunakan adalah dengan ketinggian 700-970 meter dpl. Keberadaan metode penelitian kualitatif dan kuantitatif, data KL Manucoco sangat penting bagi Pulau Atauro yang yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kondisi geografinya kebanyakan berlereng terdapat primer dan data sekunder, untuk memperoleh data sedikit dataran rendah di sekitar daerah pesisir, persepsi masyarakat mengunakan kuisioner/angket, kondisi topografinya didominasi oleh bebatuan analisis data mengunakan analisis deskriptif karang, curah hujannya pendek sehingga daerah ini kualitatif, dalam merumuskan strategi pengelolaan adalah daerah kering, sehingga sangat penting untuk mengunakan analisis SWOT berpedoman pada faktor dikonservasi dan dilestarikan sebagai sumber internal dan eksternal, diskusi wawancara dan penyedia sumber air bagi pulau tersebut karena dokumentasi. kebanyakan sumber air bersih yang digunakan oleh masyarakat sumbernya dari KL Manucoco. Belum adanya upaya pengelolaan terhadap 3. HASIL DAN PEMBAHASAN kawasan lindung ini sehingga terjadi berbagai fenomena di antaranya kegiatan berladang 3.1. Keadaan Umum KL Manucoco masyarakat, pengambilan kayu bakar sebagai KL Manucoco merupakan kawasan hutan sumber energi bahan bakar dan penebangan pohon konservasi yang berada di Kota Administratif Atauro untuk kepentingan membuat rumah dan kapal Kota Madya Dili dengan luas 4000 hektar, meskipun tradisional/sampan, ladang berpindah, sistem sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung kebijakan

16 Strategi Pengelolaan Kawasan Lindung Manucoco Berbasis Masyarakat di Kota Administratif Atauro...... [Ernesto Matos Soares, dkk.] pemerintah untuk melakukan pengelolaan terhadap Mata Air Ebua, sedangkan di Desa Macadade yaitu kawasan tersebut belum berjalan secara maksimal, Mata Air di Kampung Berau, Mata Air Era Amak, secara keseluruhan masyarakat bersedia untuk Mata Air Essuan, Mata Air Era Apak, Mata Air Eralu mendukung kebijakan pemerintah dalam dan Mata Air Asame Lolon pemanfatan sumber air pengelolaan KL Manucoco. Potensi sumberdaya alam yang ada untuk kepentingan masyarakat Kota KL Manucoco seperti tanaman hias (bunga Administratif Atauro untuk memenuhi kebutuhan anggrek),rotan, pohon enau, bambu, kopi dan sehari-hari baik untuk air minum,memasak tanaman hutan lainnya seperti pohon kayu saria maupun mandi. Fungsi ekonomis ialah hutan dapat (Toona sureni), pohon kenari (Canarium reidentalia), menyediakan tanah yang subur dan hasil hutan yang ai na (Ptedocarpus indicus) dan berbagai jenis pohon bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk lainnya, KL Manucoco sebagai habitat penting bagi mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan burung, observasi peneliti terhadap aktivitas hidup yaitu melakukan aktivitas sehari-hari dengan masyarakat dapat dilihat bahwa masyarakat dari bertani di sekitar kawasan lindung, mencari kayu desa yang ada di sekitar kawasan lindung banyak bakar dan menebang pohon yang besar untuk melakukan aktivitas perladangan untuk menanami membuat perahu tradisional, pengalaman hidup jagung, kacang, ketela pohon, kelapa, pisang, nenas sehari-hari masyarakat memberikan kontribusi dan tanaman buah-buahan lainnya. terhadap timbulnya persepsi bahwa hutan memiliki KL Manucoco memiliki berbagai fungsi yakni fungsi ekonomi. fungsi sosial, fungsi ekologis dan fungsi ekonomis, fungsi sosial hutan sebagai tempat wisata atau 3.2. Persepsi Masyarakat Mengenai KL rekreasi, KL Manucoco menyimpan keindahan alam Manucoco Sebagai Kawasan Konservasi dan keanekaraman hayati baik flora maupun fauna Berdasarkan data persepsi masyarakat yang bisa dikelola sebagai obyek wisata alam, fungsi mengenai pelestarian KL sebagai kawasan konservasi ekologis berdasarkan pengamatan di lapangan terbagi dalam tiga bagian, diantaranya persepsi terlihat bahwa masyarakat Atauro umumnya masyarakat mengenai fungsi KL Manucoco, persepsi mengunakan mata air yang ada di KL Manucoco masyarakat tentang kebijakan pengelolaan, persepsi sebagai sumber air bersih, ada beberapa sumber mata masyarakat tentang hak dan kewajiban masyarakat air yang permanen atau sepanjang tahun tersedia dalam pengelolaan. yaitu di Desa Maquili terdapat Mata Air Tulai dan

Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian

17 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

3.2.1. Persepsi Masyarakat Mengenai Fungsi tingkat ketergantungan pada hutan akan Hutan KL Manucoco berpengaruh terhadap fungsi kawasan dan luasan hutan. A. Persepsi masyarakat mengenai fungsi hutan Persepsi masyarakat mengenai fungsi hutan, 3.2.2. Persepsi Masyarakat Tentang Kebijakan dianalisis bahwa hutan merupakan salah satu Pengelolaan komponen penting sumberdaya alam yang mempunyai fungsi majemuk yaitu memiliki fungsi A. Pengetahuan masyarakat mengenai peraturan sosial (sebagai tempat rekreasi/berlibur), fungsi perundanagan ekologis (seperti menyimpan cadangan air, mencegah Berdasarkan hasil tabulasi pengetahuan banjir/erosi dan sebagai tempat hidup fauna serta masyarakat tentang peraturan perundangan keanekaragaman hayati lainya) dan fungsi ekonomi menunjukkan bahwa 68,88% tidak mengetahui (untuk mencari penghasilan), persepsi tersebut tentang peraturan perundanagan kehutanandan ditunjukan dengan 60% respon den mempersepsikan 31,11% tahu, kondisi ini mungkin disebabkan karena bahwa hutan memiliki banyak fungsi (majemuk) saat ini Timor-Leste belum memiliki UU Kehutanan sedangkan 40% mempersepsikan bahwa hutan dan minimnya frekuensi sosialisasi. memilki fungsi tunggal. B. Persepsi masyarakat mengenai kelembagaan B. Persepsi masyarakat mengenai fungsi pengelolaan hutan. sumberdaya alam KL Manucoco Masyarakat punya persepsi bahwa lembaga Pada umumnya masyarakat yang memper- pengelola harus ditandai dengan adanya bangunan sepsikan fungsi hutan yang masih baik ditandai fisik seperti tersedia kantor untuk aktivitas para dengan adanya kerapatan vegetasi, aktivitas pengelola, persepsi tersebut dibuktikan dengan masyarakat yang rendah di dalam kawasan adanya 71,11% responden menyatakan bahwa KL Manucoco pemanfaatan jasa lingkungan serta ketersediaan belum mempunyai lembaga pengelola, 6.67% sumber mata air, masyarakat yang mempersepsikan menyatakan ada dan 22,22% tidak tahu, berdasarkan fungsi hutan masih baik mengindikasikan bahwa hasil tersebut secara tidak sadar masyarakat sudah secara sadar maupun tidak masyarakat akan mempersepsikan bahwa hutan perlu dikelola. Belum mengamati kondisi hutan seperti luas hutan dan adanya lembaga pengelola secara psikologis terkait jumlah penduduk yang tinggal di kawasan hutan dengan stimulan persepsi yang tumbuh di meskipun masyarakat tidak secara spesifik masyarakat bahwa hutan merupakan teritori yang menyebutkan angka kuantitatif luas hutan dan bebas dan bisa di manfaatkan untuk kegiatan apa jumlah penduduk yang tinggal di kawasan hutan, saja secara bebas atau sembarangan oleh persepsi masyarakat dibuktikan dengan 66,67% masyarakat. responden menyatakan bahwa KL Manucoco masih berfungsi dengan baik sebagai kawasan konservasi, C. Persepsi masyarakat mengenai Pengelolaan 17,78% menyatakan tidak berfungsi dengan baik dan hutan membutuhkan rencana 15,55 menyatakan tidak tahu, masyarakat yang Persepsi masyarakat mengenai perlu adanya mengatakan bahwa kondisi hutan masih baik tidak rencana dalam pengelolaan hutan maka baik selalu bermakna fungsinya masih baik, melainkan responden yang menjawab tahu tentang Undang- dapat bermakna bahwa masyarakat setempat masih Undang Kehutanan maupun yang tidak tahu, dapat menggantungkan kehidupan sosial semuanya menjawab bahwa dalam pengelolaan ekonominya akibat keberadaan hutan. hutan memerlukan rencana, hal ini dibuktikan dengan 55,56% menjawab bahwa perlu adanya C. Persepsi masyarakat mengenai pengaruh KL rencana dalam pengelolaan sumberdaya hutan, Manucoco terhadap kehidupan masyarakat 35,55% tidak membutuhkan rencana, 8,89% tidak Berdasarkan hasil tabulasi terhadap persepsi tahu, hasil ini menunjukkan masyarakat masyarakat menunjukkan bahwa 53,33% mempersepsikan kebijakan sebagai sesuatu yang menyatakan KL Manucoco berpengaruh terhadap sifatnya diberikan (given) dari pemerintah sebagai kehidup masayarakat, 20% menyatakan tidak pembuatan kebijakan tanpa diketahui masyarakat berpengaruh dan 26,67% tidak tahu, hasil tersebut dari mana asal kebijakan itu menunjukkan bahwa adanya interaksi masyarakat terhadap kawasan hutan meningkat atau D. Persepsi masyarakat mengenai peran serta kemungkinan masyarakat umumnya berprofesi dalam pengelolaan KL Manucoco sebagai petani sehingga mau tidak mau harus Kebijakan yang diterapkan dengan tujuan untuk melakukan aktivitas bertani di sekitar kawasan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga hutan sebagai sumber kehidupannya baik ekonomi masyarakat menyadari bahwa kebijakan sebagai maupun sosial, sadar atau tidak meningkatnya sesuatu yang familiar bagi masyarakat, berdasarkan

18 Strategi Pengelolaan Kawasan Lindung Manucoco Berbasis Masyarakat di Kota Administratif Atauro...... [Ernesto Matos Soares, dkk.] jawaban responden bahwa perlu peran serta 3.2.3. Persepsi Masyarakat mengenai Hak dan masyarakat dalam pengelolaan hutan, yaitu Kewajiban dalam Pengelolaan sebanyak 64,44% responden berpendapat bahwa masyarakat perlu dilibatkan dalam proses A. Persepsi masyarakat mengenai hak dan pengelolaan hutan, tidak perlu 20% dan 15,56% tidak kewajiban dalam pengelolaan tahu, hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada Berdasarkan analisis persepsi masyarakat pelibatan masyarakat akan berdampak terhadap mengenai hak dan kewajiban dalam pengelolaan tidak adanya rasa memiliki dan peran sertanya hutan merupakan satu paket kegiatan yang tidak dalam pelestarian hutan sedangkan masyarakat yang dapat dipisahkan satu dan lainnya dalam rangka dilibatkan dalam pengelolaan hutan tentu rasa memenuhi rasa keadilan publik (public justice) memiliki relatif lebih tinggi dibandingkan artinya bahwa pemenuhan kewajiban oleh masyarakat yang tidak dilibatkan. masyarakat harus disertai adanya jaminan bahwa haknya juga dipenuhi, sesuai dengan hasil analisis E. Persepsi masyarakat mengenai bentuk pelibatan diketahui bahwa masyarakat tidak memiliki yang diinginkan dalam pengelolaan pengetahuan yang memadai tentang peraturan Kebijakan pengelolaan hutan yang diterapkan perundangan kehutanan, jawaban ini dibuktikan harus menyentuh aspek mendasar kehidupan dengan 62,22% responden tidak mengetahui hak dan masyarakat yakni aspek ekonomi, pelibatan dalam kewajiban dalam pengelolaan hutan dalam konteks kerangka pemenuhan kesejahteraan masyarakat hukum yang ada. sebenarnya secara otomatis dapat menjamin bahwa masyarakat memiliki rasa tanggungjawab untuk B. Persepsi masyarakat mengenai tindakan menjaga kelestarian hutan sebagai sumber konservasi penghidupannya Persepsi masyarakat mengenai Masyarakat memiliki persepsi bahwa tindakan bentuk pelibatan menunjukkan 57,78% responden konservasi itu perlu karena di dalam tindakan ingin untuk berpatisipasi dalam pengelolaan (pola konservasi tersebut masyarakat memiliki pengelolaan partisipatif) sehingga dapat memperoleh kepentingan sosial ekonomi,tindakan konservasi manfaat ekonomi, turut mengawasi pengelolaan hutan sebenarnya dalam pengertian bahwa hutan supaya tidak disalahgunakan. Bentuk konservasi tersebut mensyaratkan adanya periode pelibatan yang diinginkan tersebut berarti penanaman dan penebangan hutan, masyarakat masyarakat tidak ingin sekedar dilibatkan dalam mempersepsikan bahwa jika sudah menanam dan pengelolaan hutan dalam bentuk mengawasi merawat tanaman/pohon di hutan, terlepas dari kelestarian hutan, melainkan melalui keterlibatan jenisnya, periode penanaman dan pemanenan hasil, akan mendapatkan manfaat ekonomi, keterlibatan maka menurut masyarakat hal itu berarti sudah tersebut berhubungan dengan tingkat sosial ekonomi ikut berpartispasi dalam konservasi hutan, masyarakat yang tinggal di kawasan hutan, artinya masyarakat berpendapat bahwa konservasi tersebut jika ada masyarakat yang tinggal di kawasan hutan menguntungkan karena bisa memenuhi kebutuhan maka kepentingan ekonominya harus diperhatikan. ekonominya, persepsi ini dibuktikan dengan 88,89% responden menjawab bahwa tindakan konservasi F. Persepsi masyarakat mengenai Penyuluhan/ menguntungkan dan 11,11% tidak tahu. sosialisasi instansi terkait Penyuluhan merupakan faktor yang penting dan C. Persepsi masyarakat mengenai aktivitas sebagai salah satu bentuk tindakan dalam rangka mengubah fungsi pokok KL Manucoco implementasi kebijakan pengelolaan dan pelestarian Terlepas dari pengetahuan masyarakat tentang hutan, terkait dengan penyuluhan maka 48,88% fungsi pokok hutan masyarakat memiliki persepsi responden menjawab bahwa penyuluhan pernah bahwa di kawasan hutan dimana mereka berdomisili dilakukan dan tidak pernah 26,67% dan tidak tahu cenderung tidak ada aktivitas yang merubah fungsi 24,44%, Jawaban ini menunjukkan bahwa tidak pokok hutan, persepsi ini dibuktikan dengan jawaban meratanya sosialisasi yang dilakukan instansi terkait responden 46,67% ada aktivitas mengubah fungsi KL kepada masyarakat, program penyuluhan yang Manucoco, tidak ada 42,22% dan tidak tahu 11,11%, dilakukan hanya sebagai mengejar target program hasil ini menunjukkan bahwa berubahnya fungsi semata tanpa mengedepan manfaat dari program pokok hutan salah satunya disebabkan oleh tekanan tersebut. kebutuhan akan perumahan seiring dengan pertumbuhan penduduk dan aktivitas budidaya.

19 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

Tabel 3.1. Identifikasi Faktor Internal dan Faktor Eksternal

Faktor Internal Faktor Eksternal

Faktor Kekuatan (Strength) Faktor peluang (Opportunitties)

1. KL Manucoco sebagai kawasan konservasi 1. Adanya dukungan pemerintah lokal dalam upaya konservasi 2. Keinginan masyarakat untuk turut serta dalam pengelolaan 2. Masyarakat mendukung untuk berpartisipasi dalam pelestarian kawasan hutan KL Manucoco lindung Manucoco 3. Sebagai daerah resapan air dan daerah penting bagi burung 3. Status sebagai kawasan lindung 4. Adanya kearifan lokal tarabandu untuk pelestarian hutan 5. Kondisi hutan primer masih baik

Faktor Kelemahan (weaknesses) Faktor Ancaman (Threats)

1. Pengetahuan masyarakat tentang peraturan perundangan 1. Penebangan pohon kehutanan masih minim 2. Lahan berpindah 2. Kurangnya keterlibatan/swadaya masyarakat dalam pelestarian hutan 3. Adanya pemukiman warga masuk ke dalam kawasan hutan 3. Penataan kawasan belum jelas 4. Kebakaran hutan 4. Minimnya petugas kehutanan dalam pengawasan 5. Kurangnya pemberdayaan masyarakat. 6. Rendanya intensitas sosialisasi 7. Lemahnya penegakan hukum 8. Tidak ada unit/lembaga pengelola

20 Strategi Pengelolaan Kawasan Lindung Manucoco Berbasis Masyarakat di Kota Administratif Atauro...... [Ernesto Matos Soares, dkk.]

D. Persepsi Masyarakat Mengenai Kearifan b) Persepsi masyarakat mengenai kebijakan Lingkungan pengelolaan pada umumnya masyarakat Kearifan lingkungan atau kearifan lokal (local tidak mengetahui peraturan atau regulasi wisdom) merupakan suatu kebiasaan tradisional yang mengatur tentang kehutanan, yang ada pada suatu daerah yang dipercaya dapat sehingga masyarakat tidak mempunyai pola berkontribusi dalam menjaga atau melestarikan SDA berfikir mengenai tindakan pengelolaan dan yang ada pada suatu daerah, menurut informasi yang pelestarian hutan dapat di lapangan bahwa dalam upaya untuk c) Persepsi masyarakat mengenai hak dan menjaga kelestarian SDA bahwa telah dilakukan kewajiban dalam pengelolaan sumberdaya aktivitas upacara ritual tara bandu yang alam ialah masyarakat beranggapan bahwa diselengarakan yang diprakarsa oleh tokoh adat hutan merupakan barang publik (common setempat dengan bantuan dari pemerintah yaitu property) sehingga masyarakat merasa sebagai upaya melarang masyarakat agar tidak punya hak dan kewajiban untuk merusak sumberdaya alam, hal yang dipantangkan berpartisipasi untuk menjaga dan seperti dilarang membakar hutan, jangan memelihara kelestarian sumberdaya alam sembarang menebang pohon di sumber mata air dan yang ada, selain itu masyarakat lain-lain, apa bila melanggar atau kedapatan maka mempersepsikan bahwa kearifan lokal/ akan dikenakan sanksi, persepsi ini dibuktikan aturan adat sangat bermanfaat dalam upaya dengan 84,44% menyatakan ada kearifan lingkungan pelestarian sumberdaya alam. untuk menjaga kelestarian SDA KL Manucoco. 2. Strategi Pengelolaan KL Manucoco Berbasis 3.3. Strategi Pengelolaan KL Manucoco Sebagai Masyarakat yang perlu dilakukan yaitu: (1) Kawasan Konservasi memaksimalkan fungsi utama hutan (2) meningkatkan program sosialisai secara intensif 3.3.1. Identifikasi Faktor Internal dan (3) Menerapkan pola perlindungan dan Eksternal pengamanan hutan berbasis masyarakat (4) Penyusunan strategi pengelolaan sumberdaya meningkatkan keterlibatan atau peran serta hutan KL Manucoco diawali dengan pengumpulan masyarakat dan instansi terkait dalam upaya data faktor internal (Kekuatan dan Kelemahan) dan konservasi terhadap KL Manucoco (5) percepatan faktor eksternal (Peluang dan Ancaman) untuk penataan kawasan (6) meningkatkan merumuskan strategi-strategi pengelolaan, seperti pengawasan terhadap pelestarian hutan (7) disajikan pada Tabel 3.1 meningkatkan pemberdayaan terhadap masyarakat sekitar kawasan lindung melalui 3.3.2 Strategi Pengelolaan KL Manucoco HKM (8) penyusunan rencana/kebijakan Sebagai Kawasan Konservasi pengelolaan bersama perlu melibatkan semua Berpedoman pada hasil observasi lapangan komponen masyarakat (stakeholder) (9) jawaban responden diskusi dan wawancara maka pembentukan unit pengelola tingkat desa atau terindentifakasi faktor internal (kekuatan dan kecamatan. kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman) yang mempengaruhi pengelolaan KL Manucoco 4.2. Saran kemudian dianalisis untuk merumuskan strategi Berdasarkan pembahasan maka dapat pengelolaan sumberdaya alam KL Manucoco sebagai disarankan beberapa hal yang perlu dilakukan dalam kawasan konservasi seperti pada Tabel 3.2 pengelolaan KL Manucoco sebagai berikut: 1) Para pemangku kepentingan (stakeholder) diharapkan untuk menerapkan strategi-strategi 4. SIMPULAN DAN SARAN yang hasilkan dalam penelitian ini sebagai acuan untuk pengelolaan KL Manucoco ke depan 4.1. Simpulan 2) Pemerintah perlu merampungkan proses Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat pembuatan Peraturan Perundangan- dirumuskan beberapa simpulan sebagai berikut: Kehutanan sebagai payung hukum untuk 1. Persepsi masyarakat terhadap pelestarian mengatur tata kelola Kehutanan di Timor-Leste sumberdaya alam KL Manucoco sebagai dan khususnya KL Manucoco kawasan konservasi antara lain: 3) Perlu membentuk unit pengelola tingkat desa a) Persepsi masyarakat mengenai fungsi hutan atau kecamatan (UPTD/UPTK) untuk bahwa hutan memiliki beraneka ragam melakukan pengelolaan atau pelestarian fungsi (majemuk) yaitu fungsi ekologis, terhadap KL Manucoco fungsi sosial dan fungsi ekonomi.

21 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

4) Perlu dilakukan sosialisasi secara intensif serta Suparmoko,1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan meningkatkan pemberdayaan terhadap masya- Lingkungan, BPFE: Yogyakarta rakat yang tinggal di sekitar kawasan lindung Tulungen J. Bayer. T, Dimpudus. M, Kasmidi. M, 5) Bagi masyarakat Atauro perlu menghidupkan Rotinsulu. C, Sukmara. A, nilai kebersamaan untuk mempertahankan KL Manucoco sebagai aset penting melalui program Tangkilisan N. (2002). Panduan Pembentukan dan konservasi secara swadaya untuk tetap menjaga Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis fungsi ekologis hutan Masyarakat. Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta DAFTAR PUSTAKA Peraturan UNTAET No. 19/2000 Tentang Penetapan Boedojo.1986. Arsitektur, Manusia dan Penga- Zona Kawasan Lindung Timor-Leste matannya. Jakarta: Djambatan Widada, Sri Mulyati, Hirishi Kobayashi, (2006). Hadi, P.2005. Dimensi Lingkungan Perencanaan Sekilas Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Pembangunan. Gadjah Mada University Press, Hayati dan Ekosistemnya, Jakarta: Pt. Penebar Yogyakarta. Swadaya Mota,F. (2002). Timor Leste: As novas Florestas do Pais.Ministério da Agricultura e Pescas, Direcção Geral de Agricultura, Divisão de Florestas.

22 STATUS DAN STRATEGI PENGELOLAAN LINGKUNGAN PERHOTELAN DI KAWASAN KOTA MADYA DILI TIMOR - LESTE

Adalgisa D.D.G. Alvares1*), Budiarsa Suyasa2), Syamsul A. Paturusi3)

1)Kementerian Pertanian dan Perikanan Timor-Leste 2)Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Udayana 3)Program Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana * E-mail: [email protected]

ABSTRACT

The research held about to reach two goals. To find out the condition and the strategy about the management of hotel environment at Dili. The decision of area research is held with purposive. All hotel in Dili will be chosen as the samples, it means that it will be held with census. Next, as the respondents in this research is the manager of the hotels. The result of this research shows that there are seven variables. They are the loyalty for its regulation, the programme and appreciation of environment, green park and space, the management of waste water, the management of rubbish, the management of emission, the management of non enviromental things. The indicator of the regulation (rules) of the company can be identified by using AMDAL document. The indicator of the programme and appreciation of environment can be identified by using the policy and appreciation that is dotained from this environment. The indicator of waste water management, can be recognized by using IPAL. The indicator of rubbish management can be recognized by using its mechanism. The indicator of emission management can be recognized by using its mechanism. The indicator of non environmental things management can be identified by using its mechanism. The level of this implementation for the hotel environment at Dili is about 65,08 % (Fairly). The implementation of per variable can be seen that the percentage of the loyalty for its regulation is about 74,8 % (good), the programme and appreciation of environment is about 44 % (not good), green park and space is about 76,8 % (good), the management of waste water is about 81,6 % (good), the management of rubbish is about 60,8 % (fairly), the management of emission is about 63,2 % (fairly), the non enviromental things management is about 54,4 % (fairly). The indicator supported by the environment needs the attention of hotel management which improves the hotel image for tourist or guests in the hotel.

Key Words : Hotel, Area, Dili, Management, Condition, Strategy

1. PENDAHULUAN konsep pembangunan nasional. Seiring dengan penerapan strategi pembangunan pada Kawasan di Saat ini masalah lingkungan telah menjadi isu Kota Dili, maka hotel yang kini banyak dibangun di global, ditengah-tengah proses pembangunan yang Dili, diharapkan juga menerapkan strategi penge- berjalan pesat. Lingkungan alam, sangat penting lolaan lingkungan yang baik karena pembangunan bagi manusia yang menjadi subyek pembangunan. hotel dalam proses pembangunan kepariwisataan di Protes,friksi, dan konflik yang kini terjadi dalam Kota Dili memiliki dampak yang sangat besar. proses pembangunan, karena manusia merasa telah Oleh karenanya, perlu ada penelitian tentang terdesak secara sosial,ekonomi, dan juga lingkungan. status dan strategi pengelolaan lingkungan Dampak lingkungan, bisa menyebabkan kehidupan perhotelan pada hotel-hotel di Kota Dili Timor-Leste, manusia menjadi tidak sehat,terdesak, dan tidak Adapun tujuan pokok dari penelitian ini adalah mendapatkan manfaat yang wajar dari proses sebagai berikut : mengetahui status pengelolaan ling- pembangunan dikawasannya. kungan perhotelan di Kawasan Kota Dili dan menyu- Pembangunan hotel dan infrastruktur lainnya sun strategi pengelolaan lingkungan perhotelan di di Kota Dili telah menekankan pada keberlanjutan Kawasan Kota Dili. prospek di bidang pariwisata. Hal ini tercermin pada visi pembangunan kota Dili tahun 2011-2030 yakni : menuju pembangunan berkelanjutan. Esensinya 2. METODOLOGI adalah bahwa pembangunan Kota Dili memang diharapkan akan menuju pada kemakmuran dan Penelitian ini dilakukan di Kota Madya Dili kesejahteraan masyarakat. Namun dalam proses Timor-Leste. Penelitian ini merupakan penelitian untuk tujuan itu, haruslah dilandaskan pada prinsip survei yang menggunakan pendekatan secara harmoni dan kebersamaan, sesuai dengan hakekat deskriptif kualitatif yang dikombinasikan dengan

ECOTROPHIC • 11 (1) : 23 - 28 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395 23 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395 analisis SWOT. Teknik pengumpulan data dilakukan 3.2 Status Pengelolaan Lingkungan Perho- dengan cara observasi lapangan, wawancara telan di Kawasan Kota Dili (interview) dan dokumentasi. Metode dan teknik Dalam kaitannya dengan penelitian tentang analisis data yang digunakan adalah analisis status pengelolaan lingkungan perhotelan harus deskriptif kualitatif dan analisis SWOT (Rangkuti, dilaksanakan dengan tidak hanya untuk memahami 2014). lingkungan fisik saja tetapi perlu juga memahami berbagai hal yang berkaitan dengan lingkungan manusia dan lingkungan spiritual. Hal itu 3. HASIL DAN PEMBAHASAN disebabkan karena hotel menampung para tamu yang memiliki karakter yang berbeda-beda, namun 3.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian mereka memerlukan ketenangan dan harmoni Kota Dili merupakan Pusat Ibu Kota Negara dalam kehidupannya. Dengan adanya harmoni, Timor-Leste segala aktivitas terpusat di Kota Dili maka keberlanjutan eksistensi hotel di kawasan itu salah satu sektor yang bergerak maju adalah sektor akan lebih terjamin dan para tamu yang menginap pariwisata dimana Kota Dili mempunyai beberapa di hotel tersebut merasa nyaman dan puas tinggal Ikon pariwisata yang sangat menarik para di hotel tersebut.Semua data yang ditampilkan dalam wisatawan untuk berkunjung ke Kota Dili. Tabel 1 tersebut bersumber dari data yang Berdasarkan data dari Badan Pertanahan dikumpulkan di lapangan dan selanjutnya di Nasional Timor-Leste tahun (2009), luas wilayah tampilkan dalam Tabel 1. secara keseluruhan Kota Dili adalah 13.637,97 hektar Tabel 1. menunjukkan bahwa penerapan status yang terbagi dalam 6 Kecamatan yaitu Kecamatan dalam pengelolaan lingkungan perhotelan di Dom Aleixo, Kecamatan Cristo Rei, Kecamatan Vera Kawasan Kota Dili termasuk kategori cukup dengan Cruz, Kecamatan Nain Feto, Kecamatan Metinaro, skor 65,08 %. Hal ini mungkin disebabkan karena Kecamatan Atauro. minimnya sumberdaya manusia di bidang perhotelan Melihat kondisi riil di lapangan bahwa semua dalam mengelola managemen perhotelan dan hotel yang menjadi sampel dalam penelitian ini kurangnya campur tangan pemerintah dalam terletak pada empat Kecamatan di Kota Dili Timor- memonitoring aktivitas perhotelan di Kota Dili, Leste yaitu pada Kecamatan Cristo Rei, Kecamatan dengan demikian kesadaran tentang peranan Dom Aleixo, Kecamatan Vera Cruz dan Kecamatan lingkungan yang sangat penting artinya dalam Nain Feto perkembangan pariwisata perlu diperhatikan dengan

Gambar 3.1. Peta Lokasi Penelitian Sumber : Dili Urban Master Plan, 2015.

24 Status dan Strategi Pengelolaan Lingkungan Perhotelan di Kawasan Kota Madya Dili Timor - Leste [Adalgisa D.D.G.Alvares, dkk.]

Tabel 1. Nilai Skor Rata-rata Status Pengelolaan Lingkungan Perhotelan

No Variabel Indikator Nilai Skor (%)

1 Ketaatan pada Peraturan 1.1 Adanya Izin Usaha 100 1.2 Adanya Dokumen AMDAL 49,6 Jumlah 149,6 Rata-rata 74,8 2 Program dan Penghargaan 2.1 Kebijakan Lingkungan 57,6 2.2 Penghargaan Lingkungan 30,4 Jumlah 88 Rata-rata 44 3 Taman dan RTH 3.1 Taman di kawasan Hotel 69,6 3.2 Ruang Terbuka Hijau 84 Jumlah 153,6 Rata-rata 76,8 4 Pengelolaan Air Limbah 4.1 Mekanisme IPAL 81,6 Jumlah 81,6 Rata-rata 81,6 5 Pengelolaan Sampah 5.1 Mekanisme Pengelolaan Sampah 60,8 Jumlah 60,8 Rata-rata 60,8 6 Pengelolaan Emisi 6.1 Mekanisme Pengelolaan Emisi 63,2 Jumlah 63,2 Rata-rata 63,2 7 Pengelolaan B3 7.1 Mekanisme Pengelolaan B3 54,4 Jumlah 54,4 Rata-rata 54,4

Skor Rata-rata 65,08

Sumber: Data Hasil Penelitian Hotel di Kota Dili, 2016. baik. Oleh karena itu pihak hotel tentu saja harus hotel terhadap sistem dokumen pengelolaan mengantisipasi permasalahan itu, dengan secara lingkungan sangat minim. sungguh-sungguh memperhatikan masalah lingkungannya. 3.2.2 Status Pengelolaan Lingkungan Variabel Berkaitan dengan eksistensi variabel tentang Program dan Penghargaan Lingkungan status pengelolaan lingkungan perhotelan di kawasan Berbagai indikator yang diukur dalam elemen Kota Dili, maka berikut akan diuraikan penerapan program dan penghargaan lingkungan adalah: (i) ketujuh elemen dalam status pengelolaan lingku- Kebijakaan lingkungan; (ii) Penghargaan ngan perhotelan sebagai berikut: lingkungan. Dalam penelitian ini didapatkan skor adalah 57,6 % (Cukup/Sedang). Hal ini menunjukkan 3.2.1 Status Pengelolaan Lingkungan Variabel bahwa dalam kegiatan operasional hotel pihak hotel Perizinan belum menerapkan kebijakan lingkungan secara Indikator pengelolaan lingkungan diukur merata di lingkungan perhotelan. dengan berbagai parameter dalam penelitian ini Salah satu indikator yang diukur dalam parameter yang digunakan untuk mengukur adalah: penelitian ini adalah variabel penghargaan Adanya Izin Usaha, dalam penelitian ini didapatkan lingkungan dalam penelitian ini didapatkan skor skor adalah 100 % (Sangat Baik). Hal ini adalah 30,4 % (sangat tidak baik). Hal ini menunjukkan bahwa dalam menerapkan variabel menunjukkan bahwa dalam kegiatan operasional ketaatan pada perizinan/peraturan yang ada semua hotel, pihak hotel belum secara serius pihak hotel sudah memiliki kesadaran yang tinggi memperhatikan berbagai aspek lingkungan. dalam hal ini semua pihak hotel telah memiliki izin usaha. Adanya dokumen AMDAL/UKL/UPL, ada 3.2.3 Status Pengelolaan Lingkungan Variabel pelaporan pelaksanaan sesuai aturan yang berlaku, Taman dan RTH ada pelatihan pada staf, ada program lingkungan, Berbagai indikator yang diukur dalam variabel ada pengelolaan lingkungan bersama masyarakat. taman dan RTH adalah (i) Taman di kawasan hotel, Adapun skor yang didapat adalah 49,6 % ( tidak (ii) Ruang terbuka hijau (RTH). Bahwa skor rata- baik ). Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran pihak rata untuk variabel Taman dan RTH adalah sebesar

25 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

76,8 % (baik). Skor tertinggi dicapai oleh indikator dalam melakukan proses pengolahan sampah di ruang terbuka hijau (RTH) dengan skor 84 % (sangat kawasan hotel masih sangat minim. baik). Skor 69,6 % (baik) dicapai oleh indikator taman dikawasan hotel. Dengan melihat data tersebut dapat 3.2.6 Status Pengelolaan Lingkungan Variabel dikatakan logis kalau pihak hotel mengutamakan Pengelolaan Emisi penataaan taman di kawasan hotel sebagai hal yang Indikator yang diukur dalam variabel penting dan diutamakan karena menyangkut citra pengelolaan emisi adalah mekanisme pengelolaan hotel kepada tamu-tamunya secara langsung di emisi tercatat bahwa skor 63,2 % (cukup / sedang). kawasan hotel tersebut. Hal ini menandakan bahwa perhatian pihak hotel dalam pengelolaan emisi perlu terus ditingkatkan. 3.2.4 Status Pengelolaan Lingkungan Variabel Pada hal masalah pengelolaan emisi adalah masalah Pengelolaan Air Limbah yang sangat penting agar lingkungan alam tetap Berbagai indikator yang diukur dalam variabel lestari dan eksistensi hotel akan tetap berlanjut. pengelolaan air limbah adalah mekanisme Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) tercatat bahwa skor 3.2.7 Pengelolaan Lingkungan Variabel 81,6% (baik). Hal ini menunjukkan bahwa perhatian Pengelolaan B3 pihak hotel dalam pengelolaan limbah sudah baik. Indikator yang diukur dalam variabel Pengelolaan B3 adalah mekanisme pengelolaan B3 3.2.5 Status Pengelolaan Lingkungan Variabel tercatat bahwa skor 54,4 % (cukup / sedang). Hal Pengelolaan Sampah ini menunjukkan bahwa perhatian pihak hotel dalam Berbagai indikator yang diukur dalam variabel pengelolaan B3 perlu diawasi oleh pihak pemerintah. pengelolaan sampah adalah mekanisme pengolahan Jadi perlu perhatian serius dari pihak pemerintah sampah tercatat bahwa skor 60,8 % (cukup / sedang). dalam memonitoring segala aktivitas operasional Hal ini menunjukkan bahwa perhatian pihak hotel hotel di Kawasan Kota Dili.

Tabel 2. Implementasi Status Pengelolaan Lingkungan pada Masing-masing Hotel.

Rata – rata Implementasi ( % ) Rata-rata No. Nama Hotel Implementasi Keterangan Perizinan Program Taman Limbah Sampah Emisi B3 (%) & RTH

1. Hotel Timor 100 100 100 100 40 100 100 91,4 Sangat Baik 2. Novo Turismo 60 20 100 80 80 100 60 81,2 Baik 3. Timor Plaza 90 20 30 60 80 100 60 85,7 Sangat Baik 4. Ramelau 100 70 70 60 40 80 60 68,5 Baik 5. Terra Santa 60 20 100 80 40 100 80 68,5 Baik 6. Excel Beach 100 60 100 80 80 100 100 88,7 Sangat baik 7. JL Villa 60 20 80 80 40 20 20 45,7 Tidak baik 8. D’City 80 20 70 80 20 80 60 58,5 Cukup 9. Dili Beach 80 90 80 80 40 20 20 58,5 Cukup 10. Lecidere 60 60 60 80 100 60 20 62,8 Cukup 11. Discovery Inn 100 60 70 100 100 100 20 78,5 Baik 12. The Plaza 60 60 80 100 80 60 60 71,4 Baik 13. Diamond 60 20 100 80 40 20 20 48,5 Tidak baik 14. Santos Living 90 60 100 100 40 20 60 67,1 Cukup 15. Sakura 60 20 40 80 40 100 20 51,4 Tidak baik 16. Oceanview 60 20 80 80 40 60 20 51,4 Tidak baik 17. Kolmera 60 20 90 80 40 20 20 47,1 Tidak baik 18. Ventura 70 20 80 80 80 20 80 64,2 Cukup 19. Beachside 100 70 60 80 100 60 100 81,4 Baik 20. Novo Horizonte 60 70 60 80 80 60 60 67,1 Cukup 21. Farol 100 60 100 80 20 100 100 80 Baik 22. VilaVerde 80 80 30 80 100 20 20 58,5 Cukup 23. Fen Kong 60 20 80 80 40 20 20 45,7 Tidak baik 24. Roccela 60 20 100 80 100 100 100 80,8 Baik 25. Sorte Diak 60 20 60 80 60 60 80 60 Cukup

26 Status dan Strategi Pengelolaan Lingkungan Perhotelan di Kawasan Kota Madya Dili Timor - Leste [Adalgisa D.D.G.Alvares, dkk.]

3.3 Kriteria dan Implementasi Status Hotel JL Villa dan Hotel Fen Kong (45,7 %) dengan Pengelolaan Lingkungan pada Masing- kategori tidak baik, umumnya skor yang masing Hotel implementasinya paling rendah adalah penerapan Kriteria implementasi status pengelolaan variabel program dan penghargaan lingkungan. lingkungan perhotelan pada masing-masing hotel di kawasan Kota Dili perlu diketahui. Hal itu penting, 3.4 Deskripsi dan Implementasi Status agar diperoleh gambaran tentang bagaimana pihak Pengelolaan Lingkungan Perhotelan di hotel mampu mengimplementasikan status Kawasan Kota Dili pengelolaan lingkungan perhotelan. Berdasarkan hasil observasi dan melalui Data pada tabel 2 menunjukkan bahwa dari 25 kegiatan wawancara mendalam baik secara individu hotel yang diteliti, enam hotel yang mengimple- maupun melalui diskusi dengan pihak managemen mentasikan status pengelolaan lingkungan pada hotel diperoleh gambaran bahwa, hotel-hotel di masing-masing hotel dalam kategori Tidak Baik, Kawasan Kota Dili harus fokus untuk delapan hotel berkategori Cukup, delapan hotel memperhatikan implementasi aktivitas operasional berkategori Baik dan tiga hotel berkategori Sangat hotel yang berhubungan dengan kondisi pengelolaan Baik. Secara umum Implementasi status lingkungan dengan lebih optimal untuk memperbaiki pengelolaan lingkungan hotel di Kawasan Kota Dili kinerja hotel ke masa depan yang lebih baik, agar adalah cukup. wisatawan atau tamu lebih senang untuk Hotel di kawasan kota Dili, yang skor mengunjungi Kawasan pariwisata di Kota Dili, hal implementasinya paling tinggi adalah Hotel Timor ( ini perlu di perhatikan oleh pihak manajemen hotel 91,4 % ) dengan kategori sangat baik. Sedangkan dan pemerintah setempat. hotel yang implementasinya paling rendah adalah

3.5 Analisis SWOT Strategi Pengelolaan Lingkungan Perhotelan di Kawasan Kota Dili

Faktor Internal Kekuatan Kelemahan 1. Sebagian besar hotel telah memiliki ketaatan pada 1. Masih ada hotel yang belum memiliki kebijakaan perizinan lingkungan yang lengkap lingkungan tercermin pada hotel JL Villa, Diamond, 2. Beberapa hotel telah memiliki program dan Sakura, Oceanview, kolmera, Fen Kong. kebijakaan lingkungan yang baik tercermin pada 2. Masih ada beberapa hotel yang tidak memiliki Taman hotel Timor,Ramelau,Timor Plaza, Novo Turismo yang memadai (luasnya< 10 % dari luas area) 3. Beberapa hotel memiliki Taman dan RTH seluas 3. Masih ada hotel yang belum menerapkan sistem 40 % dari luas hotel tercermin pada hotel Timor, pengelolaan sampah yang memadai. Ramelau,Novo Turismo, Terra Santa,JL Villa, 4. Mekanisme pengelolaan limbah,emisi dan B3 pada Santos Living beberapa hotel belum memenuhi kriteria 4. Beberapa hotel telah memiliki sistem pengelolaan sampah yang representatif tercermin dari kebersihan lingkungan di hotel tercermin pada hotel Timor, Ramelau,Novo Turismo,Timor Plaza 5. Beberapa hotel telah memiliki sistem pengelolaan limbah, emisi dan B3 yang baik tercermin pada hotel Timor,Ramelau,Timor Plaza, Novo Turismo Faktor Eksternal Peluang Strategi SO Strategi WO 1. Terciptanya kawasan 1. Peningkatan penerapan sistem pengelolaan 1. Sosialisasi ketaatan terhadap implementasi perizinan perhotelan yang nyaman dan limbah, sampah secara berkelanjutan dengan dan dokumen lingkungan pada pihak hotel bersih. menerapakan 3R. 2. Penerapan mekanisme sanksi kepada hotel yang tidak 2. Terjaganya kelestarian 2. Meningkatkan sistem pelaporan pengelolaan menerapkan sistem pengelolaan limbah, sampah sesuai sumberdaya lingkungan lingkungan kepada pemerintah. dengan standar yang ditetapkan. sekitarnya. 3. Menyediakan mekanisme insentif bagi hotel yang 3. Mengadakan kegiatan lomba pada sistem pengelolaan 3. Adanya peningkatan minat menerapkan sistem pengelolaan lingkungan yang lingkungan hotel secara periodik. wisatawan domestik dan sesuai dengan standar yang ditetapkan. mancanegara Strategi ST Strategi WT 1. Meningkatkan program pengelolaan lingkungan 1. Mendorong hotel untuk memenuhi segala bentuk Ancaman secara berkelanjutan perizinan dan dokumen lingkungan yang di perlukan 1. Adanya ancaman atau sanksi 2. Mendorong hotel untuk tetap menjaga lingkungan 2. Mendorong hotel untuk menjaga lingkungan dan dari pemerintah dan komunikasi yang baik dengan masyarakat komunikasi yang baik dengan masyarakat di sekitarnya 2. Adanya komplain dari di sekitarnya secara berkelanjutan. 3. Melakukan penataan lingkungan perhotelan untuk masyarakat 3. Melakukan inovasi secara terus menerus dalam meningkatkan kenyamanan tamu/wisatawan. 3. Kerusakan lingkungan penataan lingkungan perhotelan untuk 4. Turunnya minat wisatawan meningkatkan kenyamanan tamu/wisatawan. Sumber : Data Hasil Penelitian, 2016.

27 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

4. SIMPULAN DAN SARAN indikator pada variabel program dan penghargaan lingkungan tersebut. 4.1 Simpulan 2. Penerapan status pengelolaan lingkungan dalam Berdasarkan uraian pada hasil dan pembahasan kategori skor tidak baik dan cukup, masih penelitian, dan juga dengan mengacu pada tujuan ditemukan pada elemen program dan penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: penghargaan lingkungan, pengelolaan sampah, 1. Status Pengelolaan lingkungan perhotelan di pengelolaan emisi pada beberapa hotel. Untuk kawasan kota Dili terlihat bahwa hotel di itu perlu terus dikembangkan agar semua Kawasan Kota Dili dengan skor penerapan variabel pengelolaan lingkungan pada hotel-hotel status pengelolaan lingkungan tertinggi adalah di kawasan kota Dili, dapat masuk dalam Hotel Timor dengan skor (91,4 %), Hotel Timor kategori minimal Baik. Plaza dengan skor (85,7 %) dan Hotel Excel 3. Indikator hotel yang berbasis lingkungan Beach dengan skor (88,7 %) dengan kriteria kiranya dapat terus dikembangkan lebih lanjut, Sangat Baik. Hotel dengan penerapan status dan terus diuji pada kawasan pariwisata yang pengelolaan lingkungan dengan Kategori Baik lebih luas, sehingga dengan demikian akan adalah Hotel Novo Turismo dengan skor (81,2 didapatkan suatu indikator yang baku di masa %), Hotel Beachside dengan skor (81,4%), Hotel yang akan datang. Dengan demikian akan dapat Rocella dengan skor (80,8 %), Hotel Farol dengan dijadikan sebagai pegangan pokok dalam menilai skor (80 %), Hotel Discovery Inn dengan skor status dan strategi pengelolaan lingkungan pada (78,5 %), Hotel the Plaza dengan skor (71,4 %), hotel-hotel di kawasan kota Dili Hotel Ramelau dengan skor (68,5 %) dan Terra 4. Penelitian ini merupakan penelitian yang baru Santa dengan skor (68,5 %). Hotel dengan jadi perlu diteruskan atau dilanjutkan dalam penerapan status pengelolaan lingkungan penelitian berikutnya karena penelitian ini dengan Kategori Cukup adalah Santos Living merupakan sumber informasi bagi pihak dengan skor (67,1 %), Hotel Novo Horizonte (67,1 pemerintah dan hotel untuk diketahui sejauh %), Hotel Ventura dengan skor (64,2 %), Hotel mana kondisi dan strategi pengelolaan D’City dengan skor (58,5%), Hotel Dili Beach lingkungan perhotelan pada saat ini. dengan skor (58,5%) dan Hotel Vila Verde (58,5 %). Hotel dengan penerapan status pengelolaan DAFTAR PUSTAKA lingkungan dengan Kategori Tidak Baik adalah Adi, Ni Putu Massuli. 2015. “ Pengelolaan Oceanview Hotel dengan skor (51,4%), Hotel Lingkungan Hotel Berbasis Tri Hita Karana di Sakura dengan skor (51,4 %), Diamond Villa Kawasan Pariwisata Sanur.” (Tesis). Denpasar: dengan skor (48,5%), Hotel Kolmera dengan skor Universitas Udayana. (47,1%), JL Villa (45,7%) dan Fen Kong (45,7%). Tingkat Implementasi Status Pengelolaan Kementerian Pariwisata Timor Leste, 2014. Data lingkungan perhotelan di Kawasan Kota Dili Jumlah Hotel yang Beroperasi di Kota Dili. adalah sebesar 65,08% dengan kategori Cukup. Groiler Electronis Publising. Inc.1995. Pengertian 2. Untuk mendorong hotel menerapkan Hotel dan Defenisi Hotel. pengelolaan lingkungan maka diperlukan strategi sebagai berikut: Lensiana.HJ. 2010. “ Partisipasi Hotel Dalam a. Sosialisasi ketaatan terhadap implementasi Pengelolaan Lingkungan di Kelurahan Ubud, perizinan dan dokumen lingkungan pada Kabupaten Gianyar.” (Tesis). Denpasar: pihak hotel. Universitas Udayana. b. Penerapan mekanisme sanksi kepada hotel Rangkuti, Freddy. 2013. Analisis SWOT : Teknik yang tidak menerapkan sistem pengelolaan Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: PT. Gramedia limbah, sampah sesuai dengan standar yang Pustaka Utama. ditetapkan. Mengadakan kegiatan lomba pada sistem Stedmon & Kasavana.2004. Resepsionis Hotel. pengelolaan lingkungan hotel secara Jakarta. Penerbit Gramedia Pustaka Utama. periodik. Undang- Undang Lingkungan Hidup Timor – Leste No. 26 Tahun 2012. Tentang Pengelolaan 4.2 Saran Lingkungan hidup. 1. Hotel yang penerapan status pengelolaan lingkungan, dengan kriteria belum baik, perlu Undang-Undang No. 26 Tahun 2007. Tentang melakukan berbagai kegiatan yang berkaitan Penataan Ruang. dengan implementasi status pengelolaan Undang-undang No. 32 Tahun 2009. Tentang lingkungan, agar kategorinya dapat meningkat. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kegiatan yang dilakukan, sesuai dengan berbagai

28 PENGARUH JUMLAH BAKTERI METHANOBACTERIUM DAN LAMA

FERMENTASI TERHADAP PROPORSI GAS METANA (CH4) PADA PENGOLAHAN SAMPAH ORGANIK DI TPA SUWUNG DENPASAR

I. Putu Yudiandika 1*), I Wayan Suarna2) dan I Made Sudarma 3)

1)SMK Ilmu Komputer Ganesha Udayana 2)Fakultas Peternakan Universitas Udayana 3)Fakultas Pertanian Universitas Udayana *Email : [email protected]

ABSTRACT

A research has been conducted to find out the effect to the amount of methanobacterium bacteria and fermentation duration toward proportion of methana (CH4) at organic waste processing at TPA Suwung Denpasar. Methana gas produced from this organic waste will be processed become fuel of electric generation. From this study will be expected to get all methana gas that contained at the waste so that there is no methana gas loss to the atmosphere. This study was conducted by using 4 treatments that are without bacteria (B0), bacteria with number of population 106 CFU/ml (B1), bacteria with population of 107 CFU/ml (B2), and bacteria with population of 108 CFU/ml (B3). Each treatment conducted thrice (3) repeat. The four treatments conducted measurement of gas variable after fermentation during 0 week, 3 weeks, 5 weeks, 7 weeks and 9 weeks by uisng gas analyzer GA 2000 Geotech. Data from study result then analyzed by using complicated factorial design (RAL). From ANOVA analysis shows there was significant bacteria number and fermentation duration toward proportion or procentage of methana gas resulted. The longer fermentation time takes place, the bigger the proportion of the methane gas produced. However, the greater number of the bacteria population does not always produce bigger proportion of methane gas To find out the combination which could give best effect the researcher used Duncan test. The result of analysis from Duncan shows that combination at the ninth weeks by number of bacteria 107 CFU/ml giving best result that was percentage of methana gas is 55,10%.

Keywords: Methanobacterium, Fermentation duration, Organic waste, Methana, TPA Suwung.

1. PENDAHULUAN berwawasan lingkungan serta tidak terkoordinasi dengan baik. Permasalahan sampah merupakan Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari permasalahan yang sangat sulit dan rumit manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat khususnya di Kota Denpasar, baik dari segi (Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, pengumpulan, pengiriman dan pengelolaan sampah 2008). Jumlah atau volume sampah sebanding di TPA. dengan tingkat konsumsi manusia terhadap barang Tempat pemrosesan akhir Suwung merupakan atau material yang digunakan sehari-hari, sehingga TPA regional yang mencakup wilayah Denpasar, pengelolaan sampah tidak terlepas dari pengelolaan Badung, Gianyar, dan Tabanan (SARBAGITA). gaya hidup masyarakat. Sampai saat ini Tempat pemrosesan akhir Suwung terletak di Desa permasalahan sampah belum tertangani dengan baik Pesanggaran, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota terutama di perkotaan. Sampah telah menjadi Denpasar. Kondisi TPA Suwung saat ini memang permasalahan nasional sehingga pengelolaannya sangat memprihatinkan dan sudah over load, salah perlu dilakukan secara komprehensif dan terpadu satu penyebabnya adalah pengelolaan TPA kurang dari hulu sampai ke hilir agar dapat memberikan baik, minimnya kesadaran masyarakat dan manfaat secara ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan keterlibatan komponen pemerintah daerah dalam aman bagi lingkungan. mengelola sampah (Nawawi, 2003). Peningkatan produksi sampah telah Dengan meningkatnya tumpukan sampah, menimbulkan masalah pada lingkungan seiring maka perlu dipikirkan cara penanganannya. Salah dengan peningkatan jumlah penduduk perkotaan. satu cara yang dapat dilakukan yaitu menjadikan Sementara itu, lahan tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah memiliki nilai tambah yang bermanfaat. sampah juga semakin terbatas. Kondisi ini semakin Nilai tambah ini bukan hanya untuk memperlambat memburuk manakala pengelolaan sampah di laju eksploitasi sumber daya alam, seperti lewat masing-masing daerah kurang efektif, efisien, dan konsep Reuse, Recycle, and Recovery, namun juga

ECOTROPHIC • 11 (1) : 29 - 33 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395 29 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395 pemanfaatan sampah dari produk proses pengolahan dengan komposisi yang ada pada TPA Suwung. sampah itu sendiri (Nugroho, 2006). Sampah yang digunakan adalah 100% sampah Sampah apa pun jenis dan sifatnya, mengandung organik dengan komposisi 50% dedaunan dan senyawa kimia yang sangat diperlukan manusia baik rumput, 30% dari sampah pasar seperti sisa sayur secara langsung maupun tidak langsung. Namun dan buah-buahan dan 20% sampah rumah tangga jika pengelolaan sampah dilakukan secara tidak seperti nasi dan sisa makanan. Bakteri benar maka sampah akan dapat mencemari Methanobacterium dengan jumlah populasi 106 CFU/ lingkungan khususnya atmosfer karena sampah ml, 107 CFU/ml, 108 CFU/ml. Ember sebagai degister dapat memproduksi gas berbahaya seperti metana dengan volume ember 20 L dan dapat menampung

(CH4) dan karbon dioksida (CO2) yang dapat sampah sebanyak 10 kg. menyebabkan pemanasan global. Jadi agar sampah Penelitian ini diawali dengan pemilahan sampah menjadi bermanfaat, yang terpenting adalah sesuai jenisnya, kemudian sampah organik bagaimana kita dapat menggunakan dan dikumpulkan. Massa sampah yang akan diproses memanfaatkan sampah tersebut. Pemanfaatan ditimbang sebanyak 5 kg kemudian ditempatkan sampah antara lain sebagai sumber pupuk organik, pada ember degister yang sudah dipasangi sampel misalnya kompos yang sangat dibutuhkan oleh petani poin (keran) yang berfungsi menyalurkan gas sebagai sumber humus. papan komposit (komposit metana yang terbentuk dan memudahkan pada saat serbuk kayu plastik daur ulang), bahan baku dalam melakukan pengukuran gas. Sampah tersebut pembuatan bata (briket), serta manfaat lain yang kemudian ditambahkan bakteri Methanobacterium bisa diambil dari sampah adalah bahan pembuat sebanyak 160 ml yang sudah dicampur dengan 4 L biogas (Dodik, 2012). air, 2 sendok makan urea dan 4 sendok makan gula Di TPA Suwung, penggunaan sampah untuk pasir. Tumpukan sampah ditutup rapat agar terjadi penyediaan energi penggerak mesin pembangkit proses anaerobik. listrik sudah lama dicoba. Namun masih mengalami Analisis data hasil penelitian dengan beberapa kendala diantaranya yaitu rendahnya gas menggunakan model statistika faktorial yang terdiri metana (CH4) yang dihasilkan untuk dimanfaatkan dari dua faktor dengan pola dasar RAL dengan faktor menjadi sumber energi. Untuk mendapatkan W (lama fermetasi) dan B (jumlah bakteri)) adalah kandungan gas CH4 yang terus meningkat dalam sebagai berikut: proses pengolahan sampah ditentukan oleh banyak Yij = ì + Wi + Bj + WBij + ªij (1) faktor seperti temperatur, waktu fermentasi, jumlah bakteri (khususnya bakteri penghasil gas metana), Keterangan: katalisator, kadar air bahan, serta aerasi atau Yij : nilai pengamatan (respon) dari kelompok/ kandungan O2 dalam sampah,( Nugroho,2006). Atas perlakuan ke-1 yang memperoleh taraf ke-i dasar tersebut penelitian ini akan diteliti sebagian dari faktor W ( minggu ke nol sampai dari faktor tersebut yaitu pengaruh penambahan mingggu ke 9) dan taraf ke-j dari faktor B bakteri dan lamanya waktu fermentasi terhadap (kontrol sampai jumlah bakteri 108). produksi gas CH4 pada sampah organik di TPA ì : nilai rata-rata yang sesungguhnya (nilai Suwung Denpasar. tengan populasi).

Wi : pengamatn aditif ke-i dari faktor W

Bj : pengamtan aditif ke-j dari faktor B

2. METODOLOGI ªij : pengaruh galat percobaan pada kelompok ke-1 yang memperoleh kombinasiW (taraf Penelitian dilakukan di TPA Suwung Desa ke-i dari faktor W dan taraf ke-j dari faktor Suwung Kauh Kecamatan Denpasar Selatan, Kota B ). Denpasar. Penelitian ini dilaksanakan selama tiga Untuk mengetahui kombinasi yang memberikan bulan yang dimulai bulan Mei sampai dengan bulan pengaruh terbesar dilakukan dengan menggunakan Juli 2014. Percobaan menggunakan rancangan acak uji Duncan. lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 kali pengulangan. Adapun keempat perlakuan tersebut adalah B0 = tanpa bakteri Methanobacterium, B1 = 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 6 dengan bakteri Methanobacterium 10 CFU/ml, B2 = dengan bakteri Methanobacterium 107 CFU/ml, Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah 8 B3 = dengan bakteri Methanobacterium 10 CFU/ml. Suwung melayani pembuangan sampah dari wilayah Keempat perlakuan tersebut dilakukan pengukuran Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Jumlah variabel gas setelah fermentasi 0 minggu, 3 minggu, sampah yang terdata dan terangkut ke TPA sampah 5 minggu, 7 minggu dan 9 minggu. Suwung tahun 2011 sampai 2015 disajikan dalam Adapun bahan pada penelitian ini adalah Tabel 1. sampah organik dengan komposisi sampah sesuai

30 Pengaruh Jumlah Bakteri Methanobacterium dan Lama Fermentasi terhadap Proporsi Gas Metana (CH4) ..... [I Putu Yudiandika, dkk.]

Tabel 1. Volume/Jumlah Sampah Yang Terangkut Ke TPA Sampah Suwung (m3) tahun 2011-2015.

Tahun Bulan 2011 2012 2013 2014 2015

Januari 80.146 88.872 96.712 108.135 106.118 Februari 69.048 84.892 87.805 99.954 99.086 Maret 73.075 88.418 95.405 100.448 107.239 April 73.558 84.315 92.248 96.324 106.138 Mei 75.946 83.365 95.753 106.730 100.756 Juni 72.957 82.369 93.766 105.495 107.230 Juli 78.589 85.359 102.099 105.078 109.314 Agustus 77.109 86.552 100.553 106.048 111.568 September 73.561 89.180 92.275 103.007 108.184 Oktober 78.008 86.729 103.903 103.974 112.268 November 79.960 82.903 102.175 104.469 110.467 Desember 86.248 83.987 109.614 108.086 115.968

Jumlah 918.205 1.026.941 1.179.208 1.247.769 1.294.336

Sumber : Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Denpasar (2015).

Berdasarkan komposisinya adapun sampah yang Tabel 3. Proporsi Gas Metana (%) Pada Berbagai Waktu (Minggu) dan masuk ke TPA Suwung Denpasar dapat dilihat pada Bakteri (CFU/ml). Tabel 2. Waktu Bakteri Tabel 2 Komposisi Sampah TPA Suwung Denpasar. W0 W3 W5 W7 W9 NO. JENIS SAMPAH JUMLAH RATA RATA B0 I 0.1 5.6 18.1 20.3 21.8 II 0 5.1 19.2 21.7 22.1 1. Sampah Organik 780,12 Kg 44,29 % III 0 6.2 18.3 21.3 22.4 2. Sampah Anorganik : B1 I 0 7.9 24.3 35.2 37.6 - Kertas 53,98 Kg 0,06 % II 0.1 8.3 26.2 35.2 38.2 - Kayu 43,5 Kg 8 % III 0.1 7.7 25.8 34.6 36.8 - Kain/Plastik 18 Kg 1,02 % B2 I 0 9.3 30.2 50.4 56.7 - Plastik 368,2 Kg 21 % II 0 10.2 29.2 51.2 54.8 - Logam 6,39 Kg 0,36 % III 0.1 10.6 28.6 49.8 53.8 - Karet/Kulit Tiruan 14,5 Kg 1 % B3 I 0 12.5 32.8 35.6 37.4 - Gelas/Kaca 6,43 Kg 0,36 % II 0.1 12.3 31.6 34.7 36.8 - Tanah, Batu Pasir 54 Kg 3,06 % III 0 11.9 32.6 35.8 37.1 3. Residu 256,16 Kg 14,54 %

J u m l a h 1061,28 Kg / 5,4 M³ 93,69 % Data diatas selanjutnya dianalisis statistik. Berdasarkan analisis ANOVA didapat nilai signifikah Sumber : Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Denpasar (2015). 0,000 untuk interaksi waktu*Bakteri yang dibandingkan dengan alpha (á) 5%, maka nilai Berdasarkan data pada Tabel 1 jumlah sampah signifikan lebih kecil dari alpha (0,000 < 0,05) maka yang masuk ke TPA Suwung terus mengalami tolak H0 artinya ada pengaruh interaksi antara faktor peningkatan tiap tahunnya. Sedangkan dilihat dari W (lama fermetasi) dan faktor B (jumlah bakteri komposisinya sampah organik mencapai 44,29%. terhadap proporsi gas CH4). Interkasi mana yang Melihat hal tersebut sangatlah potensial untuk memberikan pengaruh dapat dilihat dengan dikembangkan menjadi salah satu sumber energi menggunakan uji Duncan. Adapun hasil analisis alternatif untuk menghasilkan listrik. proporsi gas metana pada berbagai bakteri dan waktu Pengolahan sampah organik menjadi listrik dengan menggunakan uji Duncan dapat dilihat pada diawali dengan pemilahan sampah. Setelah sampah Tabel 4. dipilah kemudian difermentasi selanjutnya Dari hasil analisis dapat dilihat bahwa semakin dilakukan pengukuran persentase gas dengan lama waktu fermentasi maka proporsi gas metana menggunakan gas analiser tipe GA2000. Adapun yang dihasilkan akan semaki banyak. Laju efektif hasil pengukuran proporsi gas metana yang dari peningkatan proporsi gas metana yang dihasilkan pada berbagai waktu dan bakteri dalam dihasilkan terjadi pada mingu ke tiga sampai dengan penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3. minggu ke lima yaitu terjadi peningkatan persentase

31 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

Tabel 4. Proporsi Gas Metana (%) Pada Berbagai Bakteri (CFU/ml) dan 1. Kondisi lingkungan abiotis Waktu (Minggu) Menggunakan Uji Duncan. Menurut Sutejo (2002) proses anaerob merupakan faktor terpenting dalam pembuatan Waktu Jumlah Bakteri Rata-rata biogas oleh sebab itu sebisa mungkin degister fermetasi biogas tidak boleh sampai bocor. Adapun B0 B1 B2 B3 indikator kebocoran degister biogas adalah meningkatnya persentase gas oksigen (O ) pada a a a a a 2 W0 0,03 0,07 0,03 0,03 0,04 proses pengukuran dengan menggunakan gas AAAA W3 5,63b 7,97b 10,03b 12,23b 8,97b analiser. Pada saat pengukuran apabila AB C D persentase gas oksigen melebihi 2% itu W5 18,53c 25,43c 29,33c 32,33c 26,41c menandakan degester mengalami kebocoran. AB C D Jika terjadi kebocoran maka dipastikan W7 21,10d 35,00d 50,47d 35,37e 35,48d persentase gas metana akan berkurang dan AB C D persentase gas balance akan meningkat. Jika W9 22,10e 37,53e 55,10e 37,10e 37,96e kebocoran ini dibiarkan maka tidak akan AB C D terbentuk gas metana hal ini disebabkan karena bakteri metanogenik menjadi mati sehingga Rata-rata 13,48 21,20 28,99 23,41 AB D C proses fermentasi tidak berjalan maksimal terhenti hanya pada tahap hidrolisis dan Keterangan : Nilai rata-rata perlakuan yang diikuti oleh hurup kecil yang asidogenisis sedangkan proses metanogenesis sama pada satu kolom dan hurup kapital yang sama pada tidak terjadi. Selain itu jika terjadi kebocoran satu baris adalah tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%, gas maka gas metana akan bereaksi dengan berdasarkan uji jarak berganda Duncan (Steel and Torrie. oksigen menjadi karbon dioksida dan air. 1981). 2. Temperatur/Suhu gas metana sebesar 17,44%. Akan tetapi pengaruh Suhu lingkungan juga sangat menentukan berbeda terjadi pada penambahan populasi bakteri aktif tidaknya bakteri yang berperan dalam yang diberikan, semakin banyak populasi bakteri pembuatan biogas. Perkembangbiakan bakteri yang diberikan belum tentu menghasilkan proporsi sangat dipengaruhi oleh suhu. Suhu yang terlalu gas metana yang semakin besar. Hal ini disebabkan tinggi atau rendah dapat menyebabkan kurang karena dalam proses pembentukan gas metana atau tidak aktifnya mikroba penghasil biogas. merupakan kelanjutan dari dua proses sebelumnya Menjaga agar suhu tetap berada pada kondisi yaitu proses hidrolisis dan proses asidogenesis. Jadi optimal merupakan suatu hal yang sangat dalam pembentukan gas metana juga ditentukan oleh penting. Kondisi optimum merupakan kondisi peranan bakteri pembusuk pada proses hidrolisis dan dimana laju pertumbuhan mencapai maksimum bakteri pengurai pada proses asidogenesis sehingga sehingga laju penguraian senyawa organik juga berpengaruh terhadap nutrisi (asam asetat) yang akan mencapai maksimum. Produksi biogas akan diubah menjadi gas metana oleh bakteri akan menurun secara cepat akibat perubahan methanobacterium. temperatur yang mendadak didalam instalasi Selain itu menurut Junus (1987) dalam proses pengolahan biogas (Simamora,S et al. 2006) Pada fermentasi jumlah bakteri asam dan bakteri penelitian ini tidak terjadi perubahan suhu yang metanogenik harus bekerja dalam jumlah yang terlalu tinggi pada setiap minggunya. Semua berimbang. Kegagalan dalam produksi metana dapat sampel berada pada suhu ideal yaitu (270C – 370C). dikarenakan tidak seimbangnya populasi bakteri metanogenik terhadap bakteri asam yang 3. Karbon dioksida menyebabkan lingkungan menjadi sangat asam Dalam proses pembuatan biogas keberadaan (pH<7) yang selanjutnya menghambat kelangsungan gas karbon dioksida merupakan indikator bahwa hidup bakteri penghasil metana. gas metana akan terbentuk. Pada minggu-ming- Dalam pembuatan biogas ada banyak faktor gu awal yaitu dari minggu ke nol sampai minggu yang dapat mempengaruhi produksi gas metana yang ke tiga maka persentase gas karbon dioksida dihasilkan diantaranya yaitu keadaan lingkungan terus meningkat. Pada minggu berikutnya gas abiotis (kondisi anaerob), temperatur, derajat karbon dioksida mulai menurun seiring mulai keasaman (pH), rasio perbandingan C dan N, jumlah terbentuknya gas metana. Hal ini disebabkan bakteri, dan waktu atau lamanya fermentasi. karena terbentuknya gas metana merupakan Meskipun demikian tidak semua faktor akan dibahas hasil reduksi dari gas karbon dioksida. karena keterbatasan alat yang digunakan tidak semua faktor-faktor dapat terukur dalam proses 4. Asam sulfida penelitian. Adapun faktor-faktor yang dibahas adalah Asam sulfida merupakan salah satu sebagai berikut: indikator bau dalam pembuatan biogas ataupun

32 Pengaruh Jumlah Bakteri Methanobacterium dan Lama Fermentasi terhadap Proporsi Gas Metana (CH4) ..... [I Putu Yudiandika, dkk.]

pengomposan sampah. Asam sulfida merupakan 4.2 Saran hasil sampingan selain gas karbon dioksida. Adapun saran yang dapat penulis sampaikan Semakin besar jumlah asam sulfida dari sampah yaitu dalam penelitian ini alat ukur yang digunakan maka akan semakin menyengat aroma atau bau penulis tidak dapat mengukur volume gas yang dari sampah tersebut begitu juga sebaliknya dihasilkan. Oleh sebab itu diperlukan penelitian lebih semakin sedikit jumlah asam sulfida maka lanjut untuk mengukur volume gas yang dihasilkan aroma atau bau busuk dari sampah akan dari fermentasi sampah sehingga lebih mudah berkurang. Dari hasil penelitian didapat bahwa dihitung potensi daya listrik yang dihasilkan. Selain penambahan bakteri dapat mengurangi bau atau itu semakin lama waktu fermentasi memerlukan aroma tidak sedap dari sampah. Jika bakteri metanobacterium yang lebih sedikit untuk dibandingkan dengan sampel yang tidak mendapatkan produksi gas metana yang maksimal.

ditambahkan bakteri (B0) dimana jumlah H2S terus mengalami peningkatan. Sampah yang ditambahkan dengan bakteri menjadi tidak DAFTAR PUSTAKA berbau hal ini disebabkan karena hidrogen Dinas Kebersihan dan Pertamanan. 2015. Data sulfida yang terbentuk dari pembusukan Komposisi dan Volume Sampah. Denpasar : sampah organik dengan bantuan bakteri akan DKP Kota Denpasar. diubah menjadi ion sulfat dan senyawa sulfur oksida Dodik, P. 2012. Kompos. Avaible from : URL : http:/ /dodikfaperta.blogspot.com/2012/02/ 5. Lama permentasi kompos.html, diakses tanggal 24 Juli 2013. Lama fermentasi berpengaruh terhadap Hermawan, dkk. 2007. Pemanfaatan Sampah membentukan biogas karena jika waktu Organik sebagai Sumber Biogas Untuk fermentasi belum mencukupi biogas tidak akan Mengatasi Krisis Energi Dalam Negeri. Karya terbentuk. Dari hasil penelitian didapat bahwa Tulis Ilmiah Mahasiswa Universitas Lampung. semakin lama waktu fermentasi maka proporsi Bandar Lampung gas metana yang dihasilkan akan semakin besar. Laju efektif dari peningkatan proporsi gas Junus. 1987. Teknik Membuat dan Memanfaatkan metana yang dihasilkan terjadi pada mingu ke Gas Bio. Yogyakarta : Gadjah Mada University tiga sampai dengan minggu ke lima yaitu terjadi Press. peningkatan persentase gas metana sebesar Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 17,44%. Menurut Hermawan dkk, (2007) 2008. Jakarta : Undang-undang Nomor 18 tahun persentase gas metana akan maksimum pada 2008 Tentang Pengelolaan Sampah kisaran 55-75%. Jadi jika persentase gas metana sudah mencapai maksimum, meskipun waktu Nawawi. S. Ir , 2003, Studi Khusus Pengolahan fermentasi terus diperpanjang maka persentase Sampah Secara Tuntas Di Sarbagita – Bali. gas metana tidak akan mengalami peningkatan. Surabaya :PT. Heliawan Elang Perkasa. Nugroho, A. 2006. Studi Pustaka Pemanfaatan Proses Biokonversi Sampah Organik Sebagai 4. SIMPULAN DAN SARAN Alternatif Memperoleh Biogas. Program Studi Pendidikan Kimia PMIPA FKIP UNS. 4.1 Simpulan Berdasarkan pembahasan maka adapun Simamora, S. et al. 2006. Membuat Biogas Pengganti simpulan pada penelitian ini adalah jumlah bakteri Bahan Bakar Minyak Dan Gas Dari Kotoran Methanobacterium dan lama fermentasi berpenga- Ternak. Jakarta: AgroMedia Pustaka. ruh terhadap proporsi gas metana pada pengolahan Steel, R.G.D and J.H Torrie. 1981. Principles and sampah organik di TPA Suwung Denpasar. Semakin Procedures of Statistic. New York : Mc. Graw- lama waktu fermentasi maka proporsi gas metana Hill Book Co.,Inc. yang dihasilkan juga semakin besar, akan tetapi semakin banyak populasi bakteri yang diberikan Sutejo, M. 2002. Penambahan Tepung Darah Dalam belum tentu menghasilkan proporsi gas metana yang Pembuatan Pupuk Organik Padat Limbah semakin besar. Hasil terbaik dari kombinasi kedua Biogas dari Fases Sapi dan Sampah Organik faktor tejadi pada minggu ke sembilan dengan jumlah Terhadap Kandungan N, P dan K. Jakarta : bakteri 107 CFU/ml yaitu sebesar 55.10%. Rineka Cipta

33 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

RESIDU PESTISIDA GOLONGAN ORGANOFOSFAT KOMODITAS BUAH CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) PADA BERBAGAI LAMA PENYIMPANAN

I G A Surya Utami Dewi1*), I Gede Mahardika2), Made Antara3)

1)Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Udayana 2)Fakultas Peternakan, Universitas Udayana 3)Fakultas Pertanian, Universitas Udayana *Email: [email protected]

ABSTRACT

In order to control pests and diseases in red chili plants, farmers use pesticides was over as impact leaving residue in the chili. The purpose of this study was to determine type, dose and frequency of pesticides used by the farmers, as well as to determine the organophospate residual in chili on different storage times. This study was conducted in two phases namely survey to 10 respondent farmers in Baturiti district, Tabanan regency used questioner and treatment pilot study used different storage time from 0, 1 and 3 days samples took from Apuan Village, Baturiti, Tabanan. Class of organophosphate pesticide residue analysis conducted in Denpasar Branch Police Forensic Laboratory. The results showed dominant pesticides used was organophosphates profenofos (curacron) 60 % and klorpirifos (kaliandra) 20 %. Dose pesticides used was > 40 ml (> 4 bottle cover volume 10 ml) and > 40 gram (> 4 spoon) for tank volume 17 liter and also > 30 ml (> 3 bottle cover volume 10 ml) and > 30 gram (> 3 spoon) for tank volume 14 liter. Frequency of pesticides used by farmers on 1 plant season was 90 % more than 12 times and the other 10 % used frequency 10-12 times. Farmers do not comply dose and frequency with the pesticides used regulations. Analysis result showed that the treatment effect of different storage time is not real to organophosphate pesticide residues groupon red pepper. The average residues detected are indicating a trend with residue storage profenofos on day 0, 1 and day 3 for 1,20 mg/kg, 2,70 mg/kg and 1,37 mg/kg and the amount of chlorpyrifos residues on the storage day 0, day 1 and day 3 is 0,0027 mg/kg, 0,0039 mg/kg and 0,0021 mg/kg. Profenofos and chlorpyrifos residue content is still below the Maximum Residue Limit (MRL) under the provisions of MRL profenofos on red pepper, which is 5 mg/kg and chlorpyrifos, which is 0,5 mg/kg.

Keywords: Pesticides Residue; Organophosphates; Profenofos; Chlorpyrifos

1. PENDAHULUAN konsumsi pestisida per tahun mencapai 6,33 %, namun pada kenyataanya di lapangan diperkirakan Dewasa ini tanaman cabai menjadi komoditi dapat mencapai lebih dari 10-20 % (Djunaedy, 2009). sayuran penting di Indonesia, memiliki nilai Penggunaan pestisida pada tanaman cabai paling ekonomis yang tinggi, dan seiring dengan sering ditemukan kandungan residunya. Kandungan pertambahan jumlah penduduk maka permintaan residu yang ditemukan yaitu pestisida golongan akan cabai merah akan meningkat tajam organofosfat jenis propenofos residunya melebihi batas (Yusniawati, 2008). Meningkatnya permintaan maksimum residu profenofos pada tanaman cabai masyarakat pada komoditas cabai di Bali dapat yaitu 5 mg/kg. Hal ini dikarenakan adanya petani dilihat dari tingkat produksi cabai pada tahun 2013 yang sering mengambil langkah praktis, mereka yang mengalami peningkatan 20,23 % dari tahun langsung menyemprot dengan pestisida tanpa sebelumnya, dimana produksi sayuran cabai memperhatikan nilai ambang ekonomi hama, dosis mencapai 35.856 ton dari tahun sebelumnya yang anjuran dan jenis pestisida (Afriyanto, 2008). hanya mencapai 29.824 ton (BPS Bali, 2013). Namun Berdasarkan hasil penelitian Soemirat (2003) residu kendalanya dalam budidaya cabai yaitu rentan akan insektisida golongan organofosfat ditemukan pada serangan hama dan penyakit. Serangan hama dan berbagai jenis sayuran seperti bawang merah dengan penyakit pada tanaman dapat menyebabkan konsentrasi 0,565-1,167 mg/kg, kentang 0,125-4,333 terjadinya penurunan hasil produksi serta gagal mg/kg. Sedangkan cabai dan wortel mengandung panen. Pestisida merupakan salah satu alternatif profenofos 0,11 mg/kg, detakmetrin 7,73 mg/kg, utama yang dipakai petani dalam menanggulangi klorpirifos 2,18 mg/kg, tulubenzuron 2,89 mg/kg, dan serangan hama dan penyakit karena dianggap lebih permetrin 1,80 mg/kg. efektif dibandingkan dengan penanggulangan secara Struktur kimia dan cara kerja organofosfat biologis dan fisik. Rata-rata peningkatan total berhubungan erat dengan gas syaraf. Organofosfat

34 ECOTROPHIC • 11 (1) : 34 - 39 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395 Residu Pestisida Golongan Organofosfat Komoditas Buah Cabai Merah (Capsicum annuum L.) pada Berbagai Lama ..... [IGA Surya Utami Dewi, dkk.] dapat menurunkan populasi serangga dengan cepat, Polri Cabang Denpasar dengan gas kromatografi (GC- persistensinya di lingkungan sedang sehingga MS). organofosfat secara bertahap dapat menggantikan organoklorin. Organofosfat merupakan insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida lainnya 3. HASIL DAN PEMBAHASAN dan sering menyebabkan keracunan pada manusia. Termakan hanya dalam jumlah sedikit saja dapat 3.1 Aplikasi Jenis, Dosis dan Frekuensi menyebabkan kematian, tetapi diperlukan beberapa Penggunaan Pestisida Oleh Petani Cabai milligram untuk dapat menyebabkan kematian pada Merah di Kecamatan Baturiti, Tabanan orang dewasa (Zulkarnain, 2010). Data kuisioner menunjukkan merk dagang Residu pestisida pada cabai dapat berasal dari insektisida yang paling banyak digunakan sejumlah hasil penyemprotan pada tanaman. Residu pestisida 60 % yaitu Curacron 500 EC, 20 % merk Kaliandra terdapat pada semua tubuh tanaman seperti batang, 482 EC dan sisanya 20 % menggunakan insektisida daun, buah, dan juga akar. Walaupun sudah dicuci dengan merk yang beragam diantaranya yaitu atau dimasak residu pestisida ini masih terdapat pada Winder, Decis, Bima, Matador, Metindo dan Sanval bahan makanan. Oleh karena itu maka dibuatlah (Tabel 1). suatu percobaan untuk mengetahui pengaruh lama Curacron dengan bahan aktif profenofos memiliki penyimpanan terhadap residu pestisida golongan gugus brom dan klor yang dikhawatirkan akan organofosfat pada komoditas buah cabai merah. memiliki bahaya yang sama dengan organoklor. Percobaan yang dilakukan juga diperkuat dengan Toksisitas pestisida dapat diketahui dari nilai LD 50 data wawancara mendalam yang dilakukan kepada oral dan dermal yaitu dosis yang diberikan dalam petani untuk mengetahui aplikasi jenis dosis dan makanan hewan-hewan percobaan yang frekuensi penggunaan pestisida oleh petani di menyebabkan 50 % dari hewan-hewan tersebut mati. Kecamatan Baturiti, Tabanan. Nilai LD 50 profenofos yaitu LD 50 (tikus) sekitar 358 mg/kg; LD 50 dermal (kelinci) dengan kelas toksisitas beracun sedang (IPCS, 1996). Sifat 2. METODOLOGI profenofos sebagai golongan organofosfat yaitu tidak menimbulkan kontaminasi terhadap lingkungan Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober untuk jangka waktu yang lama, lebih toksik sampai Desember 2015. Penelitian ini terdiri dari 2 terhadap hewan-hewan bertulang belakang jika tahapan yaitu penelitian tahap 1 dengan wawancara dibandingkan dengan organoklorin, mempunyai cara menggunakan kuisioner kepada petani di Kecamatan kerja menghambat fungsi enzim cholinesterase dan Baturiti, Kabupaten Tabanan dengan mengambil 10 berefek toksik bila tertelan (Afriyanto, 2008). Umur orang responden secara acak masing-masing di Desa residu dari profenofos ini tidak berlangsung lama Apuan, Desa Bangli, Desa Angsri, Desa Baturiti, sehingga peracunan kronis terhadap lingkungan Desa Perean dan Desa Candikuning. Variabel cenderung tidak terjadi karena faktor-faktor penelitian tahap 1 yaitu pengamatan mengenai jenis, lingkungan mudah menguraikan senyawa-senyawa dosis serta frekuensi penggunaan pestisida pada profenofos menjadi komponen yang tidak beracun. petani cabai merah. Instrumen yang digunakan Walaupun demikian senyawa ini merupakan racun dengan prosedur kerja melakukan wawancara akut sehingga dalam penggunaannya faktor-faktor langsung sekaligus mencatat jawaban responden. keamanan sangat perlu diperhatikan. Pestisida Hasil wawancara selanjutnya ditabulasi. Penelitian tahap 2 menggunakan rancangan Tabel 1. Penggunaan Jenis Pestisida Oleh Petani Cabai Merah di acak lengkap (RAL) dengan perlakuan yang Kecamatan Baturiti Tabanan dicobakan yaitu : CO : Lama penyimpanan 0 hari No Jenis Penggunaan Pestisida Jumlah (%) (panen); C1 : Lama penyimpanan 1 hari dan C3 : Lama penyimpanan 3 hari. Setiap unit perlakuan 1 Jenis pestisida yang digunakan diulang sebanyak 3 kali sehingga secara keseluruhan A. Pestisida organik/biopestisida 0 terdapat 9 petak percobaan. Sampel buah cabai B. Pestisida anorganik 100 merah yang digunakan dalam penelitian diambil di 2 Jenis pestisida yang paling banyak digunakan Desa Apuan, Kecamatan Baturiti, Kabupaten A. Herbisida 0 Tabanan. Variabel penelitian tahap 2 yaitu B. Fungisida 10 kandungan residu pestisida golongan organofosfat C. Insektisida 90 D. Lain-lain 0 jenis profenofos dan klorpirifos pada buah cabai 3 Merek dagang insektisida yang paling banyak digunakan merah dengan perlakuan lama penyimpanan. Untuk A. Curacron 60 mengetahui kandungan residu pestisida golongan B. Diazinon 0 organofosfat pada buah cabai merah sampel buah C. Kaliandra 20 cabai merah dianalisis di Laboratorium Forensik D. Lain-lain 20

35 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395 curacron merupakan pestisida yang memiliki izin sore hari. Interval penyemprotan yang pendek tentu terdaftar dan beredar untuk pertanian dan saja tidak efisien dan dapat menimbulkan dampak kehutanan tahun 2016 di Indonesia. negatif dari residu yang ditimbulkannya. Kaliandra dengan bahan aktif klorpirifos memiliki 3 gugus klor yang juga dikhawatirkan Tabel 2. Dosis dan Frekuensi Penggunaan Pestisida Oleh Petani Cabai dampak negatifnya. Nilai LD 50 klorpirifos yaitu LD Merah di Kecamatan Baturiti Tabanan 50 oral (tikus) sebesar 135-163 mg/kg; LD 50 dermal (tikus)>2.000 mg/kg dengan kriteria toksisitas No Dosis dan Frekuensi Penggunaan Pestisida Jumlah (%) beracun sedang (IPCS, 1996). Umur residu dari 1 Dosis yang digunakan melebihi atau kurang dari dosis klorpirifos ini sama dengan profenofos yaitu tidak yang dianjurkan berlangsung lama sehingga peracunan kronis A. Lebih dari dosis yang dianjurkan 100 terhadap lingkungan cenderung tidak terjadi karena B. Kurang dari dosis yang dianjurkan 0 faktor-faktor lingkungan mudah menguraikan 2 Frekuensi penyemprotan pestisida pada tanaman senyawa-senyawa klorpirifos menjadi komponen yang dalam 1 musim tanam tidak beracun. A. 5-10 kali 0 Penggunaan pestisida yang dilakukan oleh B. 10-12 kali 10 petani dalam hasil wawancara 100 % melebihi dari C. Lebih dari 12 kali 90 3 Waktu penyemprotan pestisida terakhir sebelum panen dosis pemakaian pestisida yang dianjurkan (Tabel A. 1-2 hari menjelang panen 20 2). Dalam penggunaan pestisida sebagian besar petani B. 3-7 hari menjelang panen 80 tidak membaca aturan pakai yang tertera dalam C. Lebih dari 1 minggu menjelang panen 0 kemasan pestisida. Pengukuran dosis pestisida yang dipakai petani adalah dengan menggunakan tutup botol pestisida atau menggunakan takaran sendok Waktu penyemprotan pestisida terakhir yang makan. Pencampuran pestisida yang dilakukan yaitu dilakukan sebelum panen menunjukkan hasil 80 % > 40 ml (> 4 tutup kemasan ukuran 10 ml) dan > 40 dilakukan pada 3 sampai 7 hari menjelang panen gram (> 4 sendok makan) untuk tanki ukuran 17 dan sisanya 20 % 1 sampai 2 hari menjelang panen. liter serta > 30 ml (> 3 tutup kemasan ukuran 10 Rekomendasi penyemprotan terakhir insektisida ml) dan > 30 gram (> 3 sendok makan) untuk tanki berbahan aktif klorpirifos minimal 15 hari sebelum ukuran 14 liter. Hal ini tidak sesuai dosis panen (Amoako, 2012), sementara aplikasi terakhir berdasarkan kriteria dosis dan ukuran tanki. Apabila profenofos yang dianjurkan 14 hari sebelum panen pestisida tersebut tidak dapat membunuh hama, (Irie, 2007). Secara teori makin lama waktu aplikasi maka petani akan meningkatkan dosis insektisida golongan organofosfat sebelum panen pemakaiannya. Pada saat menjelang panen dosis yang maka kadar residunya juga semakin rendah, hal dipakai bisa meningkat 2 kali dari dosis pemakaian tersebut mencerminkan lebih besarnya proses biasanya. degradasi residu yang terjadi pada buah cabai akibat Petani di Kecamatan Baturiti melakukan pengaruh suhu dan cahaya matahari yang lebih penyemprotan pestisida tidak sesuai dengan anjuran tinggi. Insektisida golongan organofosfat tidak tahan dari Dinas Pertanian yang menganjurkan terhadap suhu tinggi dan cahaya matahari, penyemprotan dilakukan hanya menggunakan satu khususnya spektrum ultraviolet (Syahbirin et al., jenis bahan pestisida. Petani di daerah ini 2001). Penelitian Triani (2005), juga melaporkan melaksanakan penyemprotan dengan mencampur bahwa semakin dekat waktu antara penyemprotan insektisida, fungisida, pupuk dan bahan perekat pada terakhir dengan waktu panen, semakin banyak residu saat penyemprotan dengan alasan untuk menghemat insektisida yang ada. waktu dan tenaga. Frekuensi penyemprotan pestisida oleh petani pada tanaman cabai di 3.2 Residu Pestisida Golongan Organofosfat Kecamatan Baturiti dalam 1 musim tanam 90 % lebih Pada Buah Cabai Merah dengan Perlakuan dari 12 kali dan sisanya 10 % dalam rentangan Lama Penyimpanan frekuensi 10-12 kali. Penyemprotan dilakukan pada Hasil analisis residu pestisida golongan saat tanaman cabai berumur 1 minggu sampai organofosfat jenis profenofos dan klorpirifos dengan dengan cabai siap panen. Waktu awal penanaman perlakuan lama penyimpanan pada buah cabai cabai sampai dengan siap panen rata-rata 105 hari. merah menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Frekuensi penyemprotan yang dilakukan berbeda- Hasil analisis residu disajikan pada Tabel 3. beda, pada saat musim hujan penyemprotan pestisida Kandungan residu profenofos dan klorpirifos pada dilakukan lebih intensif yaitu 2 sampai 3 hari sekali cabai merah menunjukkan adanya trend karena lebih rentan akan serangan hama dan berdasarkan perlakuan lama penyimpanan pestisida penyakit. Sedangkan pada musim kemarau yang diuji cobakan. Rata-rata residu profenofos yang penyemprotan pestisida dilakukan 7 hari sekali. terdeteksi yaitu 1,20 mg/kg sampai 2,70 mg/kg Penyemprotan pestisida dilakukan pada pagi atau sedangkan rata-rata residu klorpirifos yang terdeteksi

36 Residu Pestisida Golongan Organofosfat Komoditas Buah Cabai Merah (Capsicum annuum L.) pada Berbagai Lama ..... [IGA Surya Utami Dewi, dkk.] yaitu 0,0021 mg/kg sampai 0,0039 mg/kg. Kurva profenofos. Residu pestisida profenofos terdeteksi lebih kadar residu profenofos dan klorpirifos disajikan pada tinggi juga disebabkan karena tekanan uap gambar 2 dan 3. profenofos sebesar 1,87 x 10 -5 Pa bersifat tidak volatil, sehingga bahan aktifnya cenderung untuk terdeposit Tabel 3. Hasil Analisis Residu Profenofos dan Klorpirifos dipermukaan bahan (Suardiana, 2014). Gambar kurva 2 dan 3 menunjukkan kadar Jenis Perlakuan residu rata-rata profenofos pada hari ke-0 yang Pestisida terdeteksi yaitu 1,20 mg/kg, setelah disimpan 1 hari Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-3 rata-rata residu meningkat menjadi 2,70 mg/kg dan (Panen) (Penyimpanan (Penyimpanan 1 hari) 3 hari) setelah disimpan kembali selama 3 hari rata-rata residu turun menjadi 1,37 mg/kg. Sedangkan kadar Profenofos 1,20 a 2,70 a 1,37 a residu rata-rata klorpirifos pada hari ke-0 yaitu 0,0027 Klorpirifos 0,0027 a 0,0039 a 0,0021 a mg/kg, setelah disimpan selama 1 hari rata-rata residu naik menjadi 0,0039 mg/kg dan disimpan Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom selama 3 hari rata-rata residu menurun menjadi yang sama, menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda 0,0021 mg/kg. nyata pada uji Duncan. Kandungan residu profenofos dan klorpirifos pada hari ke-0 lebih rendah dari perlakuan penyimpanan selama 1 hari disebabkan karena pada saat hari ke- 0 kadar air yang terkandung dalam sampel cabai merah cenderung tinggi dalam kondisi sampel masih segar. Pada kondisi kadar air tinggi residu menurun karena sebagian besar residu berikatan dengan air membentuk persenyawaan. Setelah disimpan selama 1 hari didalam karung berongga (perlakuan sama dengan penyimpanan yang dilakukan petani/pedagang) residu profenofos dan klorpirifos meningkat karena kadar airnya menurun dan berat tanaman cabai mengalami penyusutan, inilah yang menyebabkan residu pestisida Gambar 1. Kurva Residu Profenofos Buah Cabai Merah terkonsentrasi sehingga terjadi peningkatan kadar CO: Residu lama penyimpanan 0 hari; C1: Residu lama penyimpanan residu. 1 hari; C3: Residu lama penyimpanan 3 hari Pada perlakuan penyimpanan sampel cabai selama 3 hari, residu profenofos dan klorpirifos rata- rata menurun dari perlakuan penyimpanan selama 1 hari. Penelitian (Chairul et al, 2007) menyebutkan bahwa penyimpanan cabai merah pada suhu 5oC selama 7 hari dapat menurunkan kandungan residu insektisida. Hal ini disebabkan karena senyawa profenofos dan klorpirifos mempunyai waktu paruh yang relatif singkat sehingga dengan dilakukannya penyimpanan selama 3 hari sudah mampu menurunkan kandungan residu pestisida pada buah cabai. Penurunan residu juga disebabkan karena pestisida golongan organofosfat mudah terdegradasi dan mudah menguap. Degradasi untuk semua jenis pestisida rata-rata >80 % dalam 10 hari setelah aplikasi (Zhang et al, 2007). Atmawidjaja (2004) juga menyebutkan pestisida Gambar 2. Kurva Residu Klorpirifos Cabai Merah golongan organofosfat adalah pestisida yang tidak CO: Residu lama penyimpanan 0 hari; C1: Residu lama penyimpanan memerlukan waktu lama untuk mengalami 1 hari; C3: Residu lama penyimpanan 3 hari penguapan. Pestisida yang menguap ke udara akan terurai karena pengaruh suhu, kelembaban dan sinar Hasil residu profenofos lebih tinggi dari residu matahari khususnya sinar ultra violet. Penguraian klorpirifos disebabkan oleh penggunaan insektisida bahan pestisida tersebut tidak terjadi seketika itu dengan bahan aktif klorfirifos di Desa Apuan masih juga, melainkan sedikit demi sedikit. Perubahan lebih rendah penggunaan dosisnya dibandingkan kimia yang terjadi pada residu organofosfat juga dapat dengan penggunaan insektisida dengan bahan aktif dipengaruhi oleh faktor panas, kelembaban, radiasi,

37 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395 enzim dari tanaman atau mikroorganisme tanaman. 4. SIMPULAN DAN SARAN Pestisida golongan organofosfat umumnya mudah terurai oleh faktor–faktor tersebut karena itu residu 4.1 Simpulan yang terdeteksi rendah atau tidak terdapat sebagai Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan residu dalam tanaman (Spear, 1991). dapat disimpulkan beberapa hal yaitu: Kandungan residu profenofos dan klorpirifos 1. Pestisida dominan yang digunakan petani cabai masih dibawah Batas Maksimum Residu (BMR) merah di Kecamatan Baturiti Tabanan adalah pestisida dengan ketentuan BMR profenofos pada insektisida golongan organofosfat dengan jenis cabai merah yaitu 5 mg/kg dan klorpirifos yaitu 0,5 profenofos (curacron) 60 % dan klorpirifos mg/kg. Kandungan residu pestisida organofosfat yang (kaliandra) 20 %. Dosis dan frekuensi rendah pada buah cabai disebabkan oleh faktor curah penggunaan pestisida yang digunakan petani hujan rata-rata daerah penelitian serta faktor cabai merah di Kecamatan, Baturiti, Tabanan karakteristik buah cabai merah. tidak sesuai dengan aturan/ketentuan Pada daerah penelitian pengambilan sampel di pemakaian pestisida. Desa Apuan, Kecamatan Baturiti, Kabupaten 2. Tidak ada perbedaan yang nyata dari kandungan Tabanan memiliki curah hujan rata-rata mencapai residu pestisida golongan organofosfat pada 1800 mm/tahun yang tergolong sangat tinggi. komoditas buah cabai merah di Desa Apuan, Pestisida organofosfat larut dalam air sehingga Baturiti Tabanan yang disimpan selama 3 hari. mudah hilang dalam pencucian (Alegantina et al., 2005). Klorpirifos hanya melekat pada permukaan 4.2 Saran daun maupun buah sehingga kemungkinan terbasuh Adapun saran yang diajukan dalam penyususan air hujan sangat tinggi. Hal ini dijelaskan pula pada tesis ini yaitu sebagai berikut. hasil penelitian Zhang et al (2007) menunjukkan 1. Perlu dilakukan kegiatan penyuluhan dan bahwa hujan merupakan penyebab utama hilangnya monitoring dari pemerintah kepada petani pestisida. Sejalan dengan hal tersebut Srikandi (2010) mengenai penggunaan pestisida yang bijaksana menjelaskan bahwa residu permukaan dapat sesuai dengan anjuran/aturan. menghilang karena pembilasan dan hidrolisis. Dalam 2. Perlu dilakukan pengamatan pada parameter waktu 1-2 jam setelah tanaman diperlakukan dengan kadar air, suhu, kelembaban dalam penelitian pestisida kemungkinan besar 40 % deposit telah pengaruh residu pestisida terhadap lama hilang karena pencucian jika terjadi hujan, sisanya penyimpanan untuk mendapatkan data terurai oleh sinar ultra violet. Faktor lain yang penelitian yang lebih akurat. menyebabkan residu yang terdeteksi masih dibawah 3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai BMR yaitu karena karakteristik tanaman yang residu pestisida golongan organofosfat dengan permukaannya mempunyai malam (wax), sukar perlakuan rentangan lama penyimpanan lebih dibasahi, sehingga absorpsinya lebih sukar dan panjang untuk melihat pengaruhnya terhadap deposit pestisidanya sedikit. Cabai merah kandungan residu pestisida. mempunyai permukaan licin, pestisida yang 4. Perlu dilakukan penelitian residu pestisida bahan menempel pada kulit buah lebih sukar terabsorpsi aktif lain selain organofosfat untuk melihat jenis sehingga deposit pestisida sedikit (Amvrazi, 2011). residu pestisida dominan yang terdeteksi di Walaupun hasil residu pestisida dalam buah lapangan. cabai merah masih berada dibawah BMR, tidak 5. Perlu adanya penelitian-penelitian mengenai menutup kemungkinan seseorang untuk mengalami bahan alam/tanaman yang dapat dipakai mende- gangguan kesehatan jika terpapar terus menerus. gradasi pengaruh residu pestisida terhadap Organofosfat memiliki waktu paruh di dalam tubuh lingkungan sehingga pencemaran lingkungan selama 10-12 hari, yang kemudian akan diekresikan akibat residu pestisida dapat dikurangi. lewat urine (Marbun et al., 2015). Residu insektisida 6. Perlu dilakukan penelitian-penelitian mengenai organofosfat yang terdapat pada sayuran masuk biopestisida sehingga dapat digunakan sebagai kedalam tubuh manusia melalui mulut, maka dapat alternatif pestisida ramah lingkungan pengganti memberikan pengaruh terhadap kesehatan manusia. pestisida kimia. Dampak terhadap konsumen umumnya berbentuk keracunan kronis yang tidak langsung dirasakan. DAFTAR PUSTAKA Namun, dalam waktu lama bisa menimbulkan gangguan. Gejala keracunan ini baru kelihatan Afriyanto. 2008. “Kajian Keracunan Pestisida Pada setelah beberapa bulan atau tahun kemudian Petani Penyemprot Cabe di Desa Candi (Djojosumarto, 2008). Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang” (tesis).Semarang: Universitas Diponegoro.

38 Residu Pestisida Golongan Organofosfat Komoditas Buah Cabai Merah (Capsicum annuum L.) pada Berbagai Lama ..... [IGA Surya Utami Dewi, dkk.]

Alegantina, S., Raini, M., Lastri. 2005. Penelitian Beredar di Pasar Tradisional Pringgan Kandungan Organofosfat Dalam Tomat dan Kecamatan Medan Baru Tahun 2015. Medan: Selada yang Beredar di Beberapa Jenis Pasar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas di DKI Jakarta. Media Litbang Kesehatan Sumatera Utara. Volume XV Nomor I. Soemirat. 2003. Analisis Residu Pestisida Pada Amoako P.K.,Kumah P. and Appiah F. 2010. Sayuran. Jurnal Pertanian Vol 45 (1), 10-14. Pesticides Usage In Cabbage (Brassica olearacea) Spear, Robert. 1991. Recognized and Posible exposure Cultivation In The Ejisu-Juaben Municipality Of to Pesticides dalam Handbook of Pesticide The Ashanti Region Of Ghana. International Toxicology, vol. I, 245- 255. Journal Of Research And Chemistry And Environment. Vol 2 Issue 3 July 2012 (26-31). Srikandi. 2010. “Hubungan Antara Tingkat Residu Pestisida dan Komunitas Biota Tanah pada Amvrazi, EG. 2011. The Impacts Of Pesticides Lahan Padi Sawah”(tesis). Bogor: Institut Exposure. M. Stoytcheva (Ed). Fate Of Pesticide Teknologi Bogor. Residues on Raw Agricultural Crops after Postharvest Storage and Food Processing to Suardiana, P. P. 2014. “Analisis Residu Pestisida Edible Portions, Pesticides-Formulations, Effects, Organofosfat Dalam Sayuran Dari Daerah Fate.576-588. Rijeka: Intech. Pertanian Kintamani Bangli”(tesis). Denpasar: Universitas Udayana. Atmawidjaja., Tjahjono., Rudyanto. 2004. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar Residu Pestisida Syahbirin, G., Purnama, H., Prijono, D. 2001. Residu Metidation Pada Tomat. [cited 5 Maret 2015]. Pestisida pada Tiga Jenis Buah Impor. Buletin Available from: URL: http://acta.fa.itb.ac.id. Kimia (2001) 1, 113-118. [cited 1 April 2016]. Available from: URL:http://repository.ipb.ac.id/ BPS Provinsi Bali. 2013. Bali Dalam Angka 2013. bitstream/handle/123456789/9790/ Denpasar: Badan Pusat Statistik Provinsi Bali Gustini_Syahbirin%20_Residu_pestisida.pdf?sequence=1. Triani, I, G, A, L. 2005. “Residu Insektisida Sidazinon Chairul, S. M. dan . N. Kuswadi. 2007. Penurunan pada Kacang Panjang (Vigna sinensis) yang Kandungan Residu Insektisida Dimetoat dalam Dihasilkan di Kabupaten Tabanan” (Tesis). Cabai Merah (Capsicum annum L.) Akibat Denpasar: Program Magister Ilmu Lingkungan Iradiasi Gamma. JFN 1(1):23-30. Universitas Udayana. Djojosumarto, P. 2008. Teknik Aplikasi Pestisida Yusniwati. 2008. Studi Regenerasi Beberapa Genotipe Pertanian. Yogyakarta: Kansius. Cabai (Capsicum annum L.) untuk Rekayasa Djunaedy, A. 2009. Biopestisida Sebagai Pengendali Genetika. Padang: Direktorat Jenderal Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Yang Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Ramah Lingkungan. Embryo Vol 6 No 1. ISSN Nasional, Pp 4-5.Vol 20. 0216-0188. Zhang, Z.Y.,Liu, X., Yu, X.,Zhang, C., Hong, X. 2007. IPCS, 1996. Pesticide residues in food—1991: Joint Pesticide Residue In Spring Cabbage (Brassica FAO/WHO Meeting on Pesticide Residues Oleacea L.Var.Capitata) Grown In Open Field. Evaluations 1991. Part II. Toxicology. Geneva: Food Conf. 18 (6): 723-730. World Health Organization. Zulkarnain, I. 2010. Aplikasi Pestisida dan Analisa Irie, M. 2007. Pesticide Residues in Food. Report of Residu Pestisida Golongan Organofosfat pada the JMPR 2007, FAO Plant Production and Beras di Kecamatan Portibi Kabupaten Padang Protection Paper, 191, pp 210. pages 1357,144. Lawas Utara. (Serial Online). [cited 10 Maret Marbun, Lulu Hotdina.,Nurmaini.,Taufik Ashar. 2015]. Available from: URL:http:// 2015. Analisis Kadar Residu Pestisida repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16894/ Organofosfat Pada Sayuran Serta Tingkat 5/Chapter%20I.pdf. Perilaku Konsumen Terhadap Sayuran yang

39 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

BIODEGRADASI ZAT WARNA REMAZOL BLACK B SECARA AEROBIK- ANAEROBIK DALAM SISTEM BIOFILTRASI VERTIKAL DENGAN MENGGUNAKAN TANAMAN TALAS (Colocasia esculenta)

Febby Hartesa W1*), I Wayan Budiarsa Suyasa1), I Nengah Simpen1)

1) Jurusan Kimia FMIPA Universitas Udayana, Bukit Jimbaran, Bali * Email : [email protected]

ABSTRACT

The research was conducted to decrease concentration of remazol black b on vertical biosystem of Colocasia esculenta plant with and without addition of activated suspension as variable. The activated suspension was collected from many sources such as sediment of Badung river, Serangan river, Soputan river and dying waste treatment. The aims of this research are: 1) to determine the best activated suspension from seeding sample from some ecosystems, 2) to determine optimal time of vertical biosystem plant to decrease concentration of remazol black b, 3) to know effectivity and capacity of vertical biosystem plant to decrease concentration of remazol black b, TDS and TSS. The results of research show that best activated suspension was provided from sample Serangan river sediment, optimal time to decrease concentration of remazol black b with and without addition of activated suspension is 60 hours and 96 hours. The effectivity system with addition activated suspension to decrease concentration of remazol black b is 97,82% and capacity is 2,7963 ppm/ m3hours. The effectivity system with addition activated suspension to decrease concentration of TDS is 83,93% and capacity is 14,44 ppm/m3hours. The effectivity on system with addition activated suspension to decrease concentration of TSS 89,75% and capacity is 9,1568 ppm/m3. The effectivity on system without addition activated suspension to decrease concentration of remazol black b is 89,35% and capacity is 2,5543 ppm/m3hours. The effectivity on system without addition activated suspension to decrease concentration of TDS is 65,71% and capacity is 11,31 ppm/m3hours. The effectivity on system without addition activated suspension to decrease concentration of TSS is 72,29% and capacity is 7,3746 ppm/m3 hours.

Keywords : activated suspension; biosystem; Colocasia esculenta; remazol black b.

1. PENDAHULUAN biota air. Hal ini disebabkan berkurangnya oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis akibat Industri tekstil merupakan salah satu industri terhalangnya sinar matahari yang masuk ke dalam yang tengah berkembang di Indonesia, hal ini dapat badan air (Zee, 2002). Untuk itu, sebelum dibuang dilihat dari banyaknya keberadaan industri-industri ke lingkungan limbah zat berwarna tersebut harus tekstil baik dalam skala besar maupun skala kecil. diolah terlebih dahulu untuk menghilangkan atau Keberadaan industri tekstil semakin meningkat menurunkan kadar bahan pencemar yang seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan terkandung didalamnya sehingga limbah cair aman pakaian. Sebagai salah satu industri yang tengah untuk dibuang ke badan air atau lingkungan (sesuai berkembang di Indonesia saat ini, industri tekstil dengan baku mutu yang ditetapkan). menghasilkan air limbah berwarna. Perkembangan Dalam hal penanganan pencemaran limbah yang industri tekstil terus meningkat tidak sebanding ditimbulkan dari industri pencelupan tekstil dapat dengan pengolahan air limbah yang dihasilkan. dilakukan pengolahan terhadap air limbah berwarna Kebanyakan air limbah yang mengandung zat warna baik secara kimia, fisika, biologi maupun gabungan dibuang begitu saja ke lingkungan tanpa ada dari ketiganya. Pengolahan limbah tekstil secara pengolahan terlebih dahulu (Daneshvar et al, 2007). kimia dan fisika cukup efektif untuk menghilangkan Zat warna azo paling sering digunakan pada warna, namun memiliki kelemahan yaitu biaya industri tekstil karena dapat terikat kuat pada kain, operasional relatif mahal. Pengolahan air limbah sehingga tidak mudah luntur dan memberikan yang mengandung berbagai bahan organik dan warna yang baik. Selain itu, zat warna azo mudah anorganik haruslah efisien, tidak memerlukan lahan ditemukan dan memiliki variasi warna yang lebih yang luas, ekonomis, serta tidak menimbulkan banyak dibandingkan pewarna alami (Pandey et al., polutan baru yang dapat mencemari lingkungan. 2007). Zat warna azo disintesis untuk tidak mudah Suatu sistem pengolahan limbah yang efektif harus rusak oleh perlakuan kimia maupun fotokatalitik, mampu menurunkan kadar bahan-bahan pencemar sehingga apabila dibuang ke dalam perairan akan dalam air limbah hingga memenuhi ketentuan yang merusak estetika perairan tersebut serta meracuni berlaku. Pengolahan secara biologis adalah

40 ECOTROPHIC • 11 (1) : 40 - 46 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395 Biodegradasi Zat Warna Remazol Black B Secara Aerobik-Anaerobik Dalam Sistem Biofiltrasi Vertikal dengan ..... [Febby Hartesa W., dkk.] pengolahan limbah yang efektif, murah dan ramah pembibitan untuk memilih suspensi aktif terbaik lingkungan. Pengolahan air limbah secara biologis yang nantinya akan ditambahkan kedalam sistem terutama diarahkan untuk mengolah bahan organik pengolahan. Adapun sumber suspensi aktif yang terlarut dari air limbah, dilakukan dengan cara digunakan diambil dari beberapa tempat berbeda anaerob, aerob atau dengan gabungan cara anaerob- yaitu, sedimen Sungai Badung, sedimen Sungai yang aerob (Budiyono dan Sunarso, 2007). berlokasi di Pulau Serangan, sedimen Sungai Soputan Biofiltrasi merupakan salah satu proses dan lumpur hasil pengolahan limbah tekstil. pengolahan limbah secara biologis yang pada Parameter pendukung dalam penelitian ini adalah prinsipnya melibatkan mikroba (bakteri pengurai) TSS dan TSS, pemilihan kedua parameter tersebut sebagai media penghancur bahan-bahan pencemar. adalah untuk mengetahui kemampuan sistem Proses perombakan zat warna azo oleh bakteri pada biofiltrasi vertikal tanaman dalam mengurangi dasarnya merupakan reaksi redoks yang dikatalisis padatan total serta benda padat terlarut yang oleh enzim. Koenzim nikotinamida adenin terkandung setelah pengolahan. Sistem pengolahan dinukleotida (NAD+) yang dibebaskan pada proses ini diharapkan dapat melakukan proses pengolahan glikolisis glukosa dengan bantuan enzim dalam menurunkan kadar remazol black b, serta dehidrogenase berperan sebagai pembawa elektron penyisihan bahan organik terlarut dan tersuspensi dan terlibat dalam reaksi enzimatik. Pada kondisi dalam limbah zat warna remazol black b. tidak ada oksigen, NADH mengalami reaksi oksidasi menghasilkan NAD+ sedangkan zat warna azo mengalami reaksi reduksi menghasilkan amina- 2. METODOLOGI amina aromatik yang bersesuaian. Putusnya ikatan azo pada zat warna azo menyebabkan warna menjadi 2.1 Tempat dan Waktu Penelitian hilang. Pada kondisi anaerob degradasi zat warna Penelitian dilakukan di Laboratorium Penelitian tekstil menggunakan bakteri lebih cepat Jurusan Kimia FMIPA Unud Laboratorium Bersama dibandingkan dengan kondisi aerob, namun FMIPA Unud di Kampus Bukit Jimbaran. Waktu kelemahannya yaitu menghasilkan amina aromatik penelitian selama 3 bulan dari bulan maret- mei. yang bersifat lebih toksik dibandingkan dengan zat warna azo itu sendiri. Hasil uji toksisitas 2.2 Alat dan Bahan Penelitian menunjukkan degradasi limbah tekstil pada kondisi Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian anaerob lebih toksik dibandingkan dengan limbah ini adalah: zat warma tekstil buatan (remazol black awal (Sastrawidana, 2012). Untuk itu perlu b teknis), tanaman (Colocasia esculenta), sampel dilanjutkan pengolahan pada tahap anaerob untuk tanah dari beberapa ekosistem, glukosa, K2HPO4, mengubah senyawa organik menjadi CO2, H2O, NH3. KH2PO4, (NH4)2[Fe(SO4)2].6H2O, MgSO4, FeSO4,

Hasil penelitian Purnamawati (2015) K2Cr2O4 berasal dari Merck, ekstrak ragi dari Haan, menyatakan bahwa, pengolahan limbah rhodamin b Aqua DM dari Brataco Chemika. Alat-alat yang dalam biofiltrasi sistem tanaman mampu diperluan dalam penelitian ini antara lain : menurunkan kadar rhodamin b, TDS dan TSS aluminium foil, kain kasa, kertas saring Whatman berturut-turut sebesar 51,07%, 47,60%, 50,44%. 42 dari Ajax Chemical, erlenmeyer Pyrex, gelas ukur Wibowo dan Komarawidjaja (2012) dalam Approx, bola hisap, pipet tetes, pipet volume dari penelitiannya menggunakan tanaman talas mampu Socorex, tanur, gelas beker Pyrex, aerator 6 buah, mereduksi kandungan bahan pencemar dalam air spektrofotometer UV-VIS 1800 Shimadzu, oven dari 3- terutama Nitrogen (N), karbon (C), dan fosfat (PO4 Memmert, desikator, labu ukur Approx, kulkas, ), sehingga talas dapat dimanfaatkan untuk autoklaf All American 75x, timbangan Ohaus Galaxy mereduksi suatu pencemar organik.Tanaman 400, neraca analitik Pioneer. merupakan makhluk hidup yang memerlukan Unit pengolahan biofiltrasi tanaman vertikal unsur-unsur hara yang esensial bagi dibuat dari pipa paralon berukuran diameter 12 cm pertumbuhannya. Tanaman mampu menyerap zat- dan panjang 90 cm. Pipa diposisikan dalam keadaan zat yang terkandung dalam air limbah, seperti nitrit, vertikal, bagian dalam pipa diisi dengan batu koral nitrat, amonium, dan sulfur dalam bentuk sulfat setinggi 60 cm dari dasar permukaan pipa dan (Lakitan, 2007). Oleh karena itu, pada penelitian ini diatasnya ditambahkan pasir setinggi 22 cm sebagai dilakukan penurunan kadar zat warna remazol black media tumbuhnya tanaman. Di dalam pipa paralon b secara aerobik-anaerobik dalam sistem biofiltrasi tersebut ditanam 1 buah Colocasia esculenta yang vertikal dengan menggunakan tanaman talas. memiliki daun 3 lembar dengan posisi tegak. Pada Teknik biofilter memiliki beberapa keunggulan bagian bawah pipa dibuat kran setinggi 15 cm dari diantaranya pengoperasiannya mudah, lumpur yang dasar pemukaan pipa untuk mengalirkan efluen air dihasilkan sedikit, tingkat efisiensinya tinggi, serta limbah yang sudah memasuki keadaan aerobik – dapat menghilangkan padatan tersuspensi dengan anaerobik. Sistem biofilter tanaman vertikal baik. Pengolahan ini diawali dengan cara melakukan

41 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

diisi media koral, pasir serta tanaman talas yang tumbuh sehat dan baik. Pada pipa pertama dimasukkan sejumlah air limbah yang mengandung remazol black b konsentrasi 46,517 ppm sampai sistem biofilter basah oleh air limbah. Pada pipa kedua, sebelum dialirkan zat warna remazol black b konsentrasi 46,517 ppm, ditambahkan terlebih dahulu sumber bibit terbaik kemudian sumber bibit diadaptasikan selama 12 jam pada sistem biofilter. Setelah itu sumber bibit dialirkan keluar melalui kran. Sejumlah air limbah remazol black b sebanyak 3,6 L dimasukkan kedalam sistem biofilter hingga sistem basah oleh air limbah. Proses pengolahan remazol black b pada sistem biofiltrasi vertikal dilakukan selama 96 jam. Setiap selang waktu 4 jam pengolahan, dilakukan pengambilan sampel air untuk analisis penurunan konsentrasi remazol black b dengan memplot grafik antara waktu pengolahan dan penurunan konsentrasi. Kurva yang mengalami penurunan konstan dianggap sebagai kadar akhir serta dapat ditentukan waktu optimal terhadap penurunan kadar remazol black b berdasarkan baku mutu air limbah domestik. Pengamatan sampel air juga dilakukan dengan mengukur kadar Total Gambar 1. Sistem Biofilter Vertikal Tanaman Dissolved Solid (TDS), dan kadar Total Suspended Solid (TSS). Dari pengukuran kadar remazol black 2.3 Prosedur Penelitian b dilakukan perhitungan mengenai tingkat efektivitas dan kapasitas sistem biofiltrasi vertikal 2.3.1 Sampling Sedimen tanaman dalam menurunkan kadar remazol Sedimen lumpur tercemar diambil black b, TDS dan TSS sesuai baku mutu yang menggunakan sekop dengan kedalaman 10 - 20 cm ditetapkan. dari permukaan dasar sebanyak 100 gram. Masing- masing lumpur diambil dengan menentukan tiga titik 3. HASIL DAN PEMBAHASAN sesuai arah mata angin yaitu pada bagian utara, selatan dan barat sungai maupun bak pembuangan 3.1 Hasil Suspensi Aktif Terbaik dengan limbah dengan asumsi dapat mewakili satu tempat, Pembibitan Sampel Sedimen Sungai dari lalu diletakkan sementara pada kantong plastik klip Beberapa Ekosistem dan disimpan pada cooler box. Berdasarkan hasil nilai VSS yang diperoleh pada masing-masing suspensi aktif pada proses 2.3.2 Pembibitan (Seeding) pembibitan, menunjukan bahwa suspensi aktif II Pembibitan suspensi aktif dilakukan dengan dengan komposisi lumpur yang berasal dari sedimen mengambil 0,5 gram sedimen lumpur dari masing- Sungai Serangan merupakan suspensi aktif terbaik. masing ekosistem kemudian tiap sedimen dimasukan Pemilihan suspensi aktif terbaik berdasarkan waktu kedalam gelas beaker yang berisi media cair sebanyak tercepat dalam memperoleh nilai VSS tertinggi, 500 mL. Media pada masing-masing gelas beaker dimana pada waktu optimal pembibitan 12 jam nilai diaerasi dengan menggunakan aerator yang diberi VSS tertinggi ditunjukan pada suspensi aktif yang selang yang diletakan didasar gelas beaker. Gelas berasal dari sedimen lumpur Sungai Serangan. beaker ditutup dengan kain kasa dan diikat dengan Jika dilihat dari kurva pertumbuhan nilai VSS karet lalu didiamkan selama 48 jam. Pada jam ke 6, yang diperoleh suspensi aktif II pada jam ke 6 terjadi 12, 28 dan 48 aerator dimatikan dan didiamkan peningkatan yang sangat cepat terhadap beberapa saat selama 10-15 menit untuk mengetahui pertumbuhan biomassa. Hal ini kemungkinan perkembangan isolat bakteri dengan mengukur nilai disebabkan jumlah dan aktivitas mikroorganisme VSS (Volatile Suspended Solid). yang tinggi sehingga selama pembibitan terjadi pertumbuhan yang cepat. Pada jam ke 12 terjadi fase 2.3.3 Pengolahan limbah sistem biofilter stasioner dimana tidak terjadi pengingkatan maupun penurunan terhadap pertumbuhan biomassa. Hal ini vertikal tanaman secara aerobik – terjadi karena nutrien yang dibutuhkan oleh bakteri anaerobik telah berkurang. Pada jam ke 28 dan 48 terjadi fase Dua buah paralon disiapkan sebagai sistem kematian akibat nutrisi dalam media cair telah habis biofiltrasi vertikal tanaman. Pipa pertama dan kedua sehingga terjadi penurunan kurva nilai VSS.

42 Biodegradasi Zat Warna Remazol Black B Secara Aerobik-Anaerobik Dalam Sistem Biofiltrasi Vertikal dengan ..... [Febby Hartesa W., dkk.]

Gambar 2. Kurva Pertumbuhan Biomassa Suspensi Aktif Gambar 3. Tanpa Penambahan Suspensi Aktif Keterangan: • Suspensi Aktif I = sedimen Sungai Badung • Suspensi Aktif II = sedimen Sungai Serangan • Suspensi Aktif III = sedimen Sungai Soputan • Suspensi Aktif IV = lumpur limbah pencelupan tekstil

Kecepatan kurva kematian lebih lambat dibandingkan kurva penurunan biomassa. Dibandingkan ketiga suspensi aktif lainnya, sedimen lumpur Sungai Serangan memiliki waktu tercepat, yakni 12 jam untuk mencapai nilai VSS tertinggi sebesar 1600 mg/L. Kondisi lingkungan disekitar tempat pengambilan sampel Sungai Serangan merupakan perairan tercemar yang mengandung limbah domestik dengan kadar organik yang tinggi dimana apabila suatu perairan tercemar mengandung bahan organik tinggi akan tercipta Gambar 4. Penambahan Suspensi Aktif suasana yang sesuai bagi mikroba untuk menggunakan bahan organik tersebut dalam proses metabolismenya. Aktivitas mikroba yang semakin ke 36, terlihat laju kurva penurunan kadar remazol tinggi dalam menguraikan bahan organik maka black b mulai melambat hingga memasuki waktu semakin tinggi pula biomassa yang dihasilkan pengolahan jam ke 84. Hal ini terjadi karena kondisi (Mukono, 2000). mikroorganisme mulai kehabisan sumber nutrien dan tidak ada tambahan nutrien lagi sehingga 3.2 Waktu Optimal Perlakuan Biosistem mikroorganisme tidak bisa melakukan pertumbuhan Vertikal Tanaman Terhadap Perubahan dan aktivitas penguraian akan semakin menurun Kadar Remazol Black B karena mikroorganisme sudah berada dalam kondisi Pada penelitian ditentukan waktu optimal jenuh yang disebut dengan keadaan stationary phase. pengolahan dengan membandingkan hasil Jika waktu pengolahan dilanjutkan diatas 96 jam penurunan kadar remazol black b setiap selang 4 maka kemungkinan besar grafik yang dihasilkan jam dengan baku mutu air limbah domestik yang akan cenderung stabil yang menunjukkan bahwa sudah ditetapkan. Adapum kurva pengukuran kadar mikroorganisme sudah tidak mampu lagi remazol black b selama 96 jam disajikan pada melakukan aktivitasnya dalam menguraikan Gambar 3 dan Gambar 4. remazol black b akibat kekurangan nutrien sehingga Pada sistem pengolahan dengan perlakuan tanpa lama kelamaan akan mencapai endogenous phase, penambahan suspensi aktif terlihat bahwa kurva yaitu suatu kondisi dimana mikroorganisme kadar remazol black b mengalami laju penurunan mengalami kematian dengan laju kematian tinggi yang pesat diawal perlakuan hingga jam ke 12, dan terjadi cell lysis. Selain itu, pada waktu kemudian pada rentang waktu pengolahan jam ke perlakuan ke 96 jam kadar remazol black b telah 12 hingga jam ke 36 laju penurunan masih terlihat berada dibawah baku mutu air limbah domestik pesat. Hal ini dikarenakan kebutuhan nutrien bagi dengan konsentrasi sebesar 4,9530 ppm, sehingga mikroorganisme masih mencukupi untuk waktu optimal yang diperlukan untuk menurunkan berkembang biak serta melaksanakan aktivitas kadar remazol black b hingga berada dibawah baku penguraian. Ketika memasuki waktu pengolahan jam mutu adalah 96 jam.

43 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

Berdasarkan Gambar 4. pada sistem pengolahan mutu yang ditetapkan sebelum mikoorganisme dengan penambahan suspensi aktif terlihat bahwa berada dalam kondisi stationary phase. laju penurunan kadar remazol black b terjadi dengan pesat diawal waktu pengolahan hingga jam ke 36. 3.3 Efektifitas dan Kapasitas Pengolahan Hal ini kemungkinan disebabkan adanya sumber Biosistem Vertikal Tanaman dalam nutrien yang mencukupi pada selang waktu Menurunkan Kadar Remazol Black B, TDS pengolahan tersebut sehingga menyebabkan aktivitas dan TSS mikroorganisme untuk menguraikan remazol black Efektivitas dari pengolahan limbah remazol b akan semakin pesat. Kurva laju penurunan kadar black b secara biosistem vertikal tanaman dengan remazol black b mulai mengalami perlambatan pada dan tanpa penambahan suspensi aktif dalam jam ke 48. Hal ini menunjukan bahwa menurunkan kadar remazol black b, nilai TDS dan mikroorganisme sudah memasuki stationary phase. TSS berturut-turut disajikan dalam Gambar 5, Tabel Pada jam ke 84 penurunan kurva kadar remazol 1, dan Tabel 2. black b mulai stabil, dimana dalam keadaan ini Pada biosistem vertikal tanaman dengan terjadi endogenous phase. Pada pengolahan penambahan suspensi aktif dengan waktu optimal penambahan suspensi aktif kurva penurunan kadar selama 60 jam, diperoleh nilai efektivitas sebesar zat warna lebih cepat stabil dibandingkan dengan sistem pengolahan tanpa penambahan suspensi aktif. Hal ini dikarenakan pada sistem dengan penambahan suspensi aktif mendapat tambahan mikroorganisme dari luar sehingga jumlah mikroorganisme yang ada lebih banyak dalam menggunakan sumber nutiren sebagai makanan dalam proses menguraikan zat warna. Waktu optimal yang diperoleh dalam menurunkan kadar remazol black b sesuai baku mutu pada sistem pengolahan dengan penambahan suspensi aktif adalah 60 jam. Perbedaan pencapaian waktu optimal ini disebabkan karena adanya penambahan mikroorganisme dari luar pada pipa II dengan perlakuan penambahan suspensi aktif sehingga jumlah mikroorganisme semakin banyak, maka kemampuan aktivitas mikroorganisme dalam memutuskan ikatan azo semakin meningkat dan Gambar 5. Grafik Efektivitas (%) Penurunan Kadar Remazol mampu menurunkan kadar zat warna dibawah baku Black B pada Pengolahan Biosistem Tanaman

Tabel 1. Efektivitas (%) Penurunan Nilai TDS pada Pengolahan Biosistem VertikalTanaman

Waktu TDS rata-rata dengan Efektivitas (%) TDS rata-rata Efektivitas (%) perlakuan (jam) penambahan suspensi penambahan penambahan mikroorga- tanpa penambahan aktif (mg/L) suspensi aktif nisme (mg/L) suspensi aktif

0 280 0 280 0 24 241 13,93 256 8,57 48 196 30 208 25,71 72 112 60 174 37,85 96 45 83,93 96 65,71

Keterangan : Nilai TDS maksimum yang dibolehkan berdasarkan Baku Mutu Air Limbah Industri Tekstil ( Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014) : 50 mg/L.

Tabel 2. Efektivitas (%) Penurunan Nilai TSS pada Pengolahan Biosistem Vertikal Tanaman

Waktu TSS rata-rata dengan Efektivitas (%) TSS rata-rata dengan Efektivitas (%) perlakuan (jam) penambahan suspensi penambahan penambahan miroor- tanpa penambahan aktif (mg/L) suspensi aktif ganisme (mg/L) suspensi aktif

0 166 0 166 0 24 132 20,48 156 6,02 48 98 40,96 117 29,52 72 66 60,24 84 49,39 96 17 89,75 46 72,29

Keterangan : Nilai TSS maksimum yang dibolehkan berdasarkan Baku Mutu Air Limbah Industri Tekstil ( Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014) : 50 mg/L

44 Biodegradasi Zat Warna Remazol Black B Secara Aerobik-Anaerobik Dalam Sistem Biofiltrasi Vertikal dengan ..... [Febby Hartesa W., dkk.]

90,36%, sedangkan biosistem vertikal tanpa Berdasarkan efektivitas pengolahan limbah penambahan suspensi aktif dengan waktu optimal remazol black b maka dapat ditentukan kapasitas selama 96 jam, diperoleh nilai efektivitas sebesar dari pipa pengolahan biosistem vertikal tanaman 89,35%. Untuk nilai TDS, efektivitas ditentukan dalam menurunkan kadar remazol black b, nilai TDS berdasarkan penurunan terbaik karena nilai TDS dan TSS. Dalam menurunkan kadar remazol black diawal perlakuan untuk sistem baik dengan dan b oleh pipa pengolahan biosistem vetikal tanaman tanpa penambahan suspensi aktif sudah berada talas, diperoleh kapasitas sebesar 2,5543 ppm/m3jam dibawah baku mutu air limbah domestik. Untuk untuk pipa pengolahan tanpa penambahan suspensi biosistem vertikal tanaman dengan penambahan aktif dan 2,5832 ppm/m3jam untuk pipa pengolahan suspensi aktif pemurunan nilai TDS terbaik terjadi dengan penambahan suspensi aktif. Jadi selama pada waktu perlakuan 96 jam dengan persentase waktu tinggal 96 jam, 1 m3 pipa pengolahan mampu efektivitas sebesar 83,93%, sedangkan pada menurunkan nilai TDS sebanyak 11,31 ppm/m3jam biosistem vertikal tanaman tanpa penambahan tanpa penambahan suspensi aktif dan 14,44 ppm/ suspensi aktif penurunan nilai TDS terbaik terjadi m3jam dengan penambahan suspensi aktif. Untuk pada waktu perlakuan 96 jam dengan persentase menurunkan nilai TSS, pipa pengolahan mempunyai efektivitas sebesar 65,71%. Untuk nilai TSS, nilai kapasitas sebesar 7,3746 ppm/m3jam tanpa efektivitas pada biosistem dengan penambahan penambahan suspensi aktif dan 9,1568 ppm/m3jam suspensi aktif dengan penurunan 89,75% selama 96 untuk sistem dengan penambahan suspensi aktif. jam, sedangkan untuk biosistem tanpa penambahan Dari data di atas dapat dilihat bahwa biosistem suspensi aktif turun sebesar 72,29% dan nilai TSS dengan penambahan suspensi aktif memiliki nilai yang diperoleh untuk perlakuan dengan dan tanpa kapasitas pengolahan yang lebih besar dalam penambahan suspensi aktif sudah berada dibawah menurunan kadar remazol black b, nilai TDS dan baku mutu yang ditentukan masing – masing TSS karena dengan mikroorganisme yang lebih sebesar 17 mg/L dan 46 mg/L. Pada pengolahan banyak maka senyawa organik yang dapat diuraikan biosistem vertikal tanaman dengan penambahan akan semakin banyak pula. Hasi penelitian ini juga suspensi aktif nilai efektivitas TDS dan TSS lebih didukung oleh Putra (2015), yang menyebutkan besar dari pada biosistem vertikal tanaman tanpa bahwa hasil pengolahan biosostem tanaman dengan penambahan suspensi aktif, hal ini terjadi karena penambahan suspensi aktif memiliki nilai kapasitas adannya peranan mikroorganisme yang pengolahan yang lebih besar dalam menurunkan ditambahkan dalam mengubah bahan organik kandungan surfaktan, fosfat, dan COD pada air seperti senyawa azo menjadi ukuran yang lebih kecil limbah laundri. dalam proses degradasi sehingga menyebabkan penurunan kadar TDS dan TSS lebih rendah sehingga nilai efektivitas keduanya lebih besar. 4. SIMPULAN DAN SARAN Penurunan nilai dari ketiga parameter tersebut menunjukan hasil yang bagus, baik dengan sistem 4.1 Simpulan yang terdapat penambahan suspensi aktif maupun 1. Suspensi aktif terbaik diperoleh pada sampel tidak karena nilainya sudah berada di bawah baku sedimen Sungai Serangan dengan perolehan nilai mutu air limbah domestik. Pengolahan biosistem VSS tertinggi1600 mg/L pada jam ke 12. vertikal tanaman sangat efektif dalam menurunkan 2. Waktu optimal yang diperlukan dalam nilai parameter TDS, TSS dengan sistem menurunkan kadar remazol black b hingga penambahan suspensi aktif serta kadar remazol berada dibawah baku mutu yang ditentukan black b untuk sistem dengan dan tanpa penambahan untuk pengolahan dengan penambahan suspensi suspensi aktif karena efektitivitas yang diperoleh aktif adalah 60 jam sedangkan untuk berada diatas 80%. Untuk sistem pengolahan tanpa pengolahan tanpa penambahan suspensi aktif penambahan suspensi aktif terbilang efektif dalam adalah 96 jam. menurunkan nilai parameter TDS dan TSS karena 3. Efektivitas dan kapasitas pada sistem tanpa efektivitas yang diperoleh keduanya berkisar antara penambahan suspense aktif untuk penurunan 50%-80%. kadar remazol black b adalah 89,35% dan 2,5543 Penelitian dengan pengolahan biosistem vertikal ppm/m3jam. Untuk TDS sebesar 65,71% dan tanaman talas dengan penambahan suspensi aktif 11,31 ppm/m3jam dan 72,29% dan 7,3746 ppm/ memiliki nilai efektivitas yang lebih besar dalam m3jam untuk TSS. Efektivitas dan kapasitas menurunkan parameter zat warna, TDS dan TSS dengan penambahan suspensi aktif untuk dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh penurunan kadar remazol black b adalah 90,36% Sumarni (2012), dengan metode absorben kombinasi dan 2,5832 ppm/m3jam. Untuk TDS sebesar karbon aktif dan pasir aktif dalam menurunan kadar 83,93% dan 14,44 ppm/m3jam dan 89,75% dan zat warna dan nilai TSS, dimana persentase 9,1568 ppm/m3jam untuk TSS. efektivitas yang diperoleh adalah 86,5% dan 87,9%.

45 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

4.2 Saran Pandey, A., Singh, P., Lyengar L., 2007, Bacterial 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan Decolorization and Degradation of Azo Dyes, menggunakan jenis tanaman yang berbeda Journal Int Biodet Biodeg, 59 : 73-84 untuk menurunkan kadar remazol black b. Purnamawati, K.Y., Suyasa, I.W.B., Mahardika, 2. Perlu dilakukan penelitian menggunakan zat I.G., 2015, Penurunan Kadar Rhodamin B dalam warna yang langsung berasal dari industri Air Limbah dengan Biofiltrasi Sistem Tanaman, tekstil. Ecotrophic: Journal of Environmental Science., 9 (2) : 46-51 DAFTAR PUSTAKA Putra, S., 2015, Biofilter Saringan Tanaman Pasir Pada Limbah Deterjen dalam Menurunkan Budiyono, I. N., dan Sunarso, W., 2007, Surfaktan, BOD (Biological Oxygen Demand) Perkembangan Teknologi Pengolahan Air dan COD (Chemical Oxygen Demand), Skripsi, Limbah Rumah Pemotongan Hewan (RPH), Universitas Udayana, Bali Prosiding Nasional Fundamental dan Aplikasi Teknik Kimia, Institut Teknologi Sepuluh Sastrawidana, I D. K., Maryam, S., Sukarta, I. N. November, Surabaya 2012. Perombakan Air Limbah Tekstil Menggunakan Jamur Pendegradasi Kayu Jenis Daneshvar, N., Ayazloo, M., Khatae, A.R., and Polyporus Sp 56 Teramobil Pada Serbuk Gergaji Pourhassan, M., 2007, Biological Decolorization Kayu. Jurnal Bumi Lestari, 12 (2) : 382 – 389 of Dye Solution Containing Malachite Green by Microalgae Cosmarium sp, Bioresource Sumarni, 2012, Adsorpsi Zat Warna dan Zat Padat Technology. 98 (6) : 1176- 1182 Tersuspensi dalam Limbah Cair Batik, Prosiding: Seminar Nasional Aplikasi Sains & Lakitan, B, 2007, Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan, Teknologi (SNAST) Periode III, Yogyakarta, 3 PT. Raja Grifando Persada, Jakarta. November 2012 Mukono, H.J., 2000, Prinsip Dasar Kesehatan Zee, V.D., 2002, Anaerobic Azo Dye Reduction, Thesis, Lingkungan, Airlangga University Press Wageningen University, Netherlands

46 DAMPAK KEGIATAN PERTANIAN TERHADAP TINGKAT EUTROFIKASI DAN JENIS – JENIS FITOPLANKTON DI DANAU BUYAN KABUPATEN BULELENG PROVINSI BALI

Ni Putu Vivin Nopiantari1*), I Wayan Arthana2) dan Ida Ayu Astarini 3)

1)Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Pesisir Universitas Udayana 2)Fakultas Kelautan Dan Perikanan Universitas Udayana 3)Fakultas MIPA Universitas Udayana *Email : [email protected]

ABSTRACT

This research was conducted to find out the impact of agricultural activities in the various levels of eutrophication and diversity of phytoplankton in Buyan Lake, Buleleng, Bali Province. Purposive sampling method was organized to determining research station, where the sampling stations were determined based on various considerations, such as conditions of study area, and predominant use of agricultural land in the study area. Sampling method of phytoplankton and the lake water were done by setting the 4 stations that represent agricultural activities around Buyan Lake. Phytoplankton samples were taken by filtering the water on the lake surface as much as 100 liters, using the plankton net with a mesh size of 25µm. Phytoplankton parameters was analyzed in laboratory. Data was analyzed using analysis of phytoplankton abundance, Equity index and dominance index. Results showed that abundance of phytoplankton at each stations in Buyan Lake was ranged between 1150 – 1791.67 cells / l. Average abundance of phytoplankton in all stations was 1504.17 cells / l. Based on the abundance of phytoplankton, waters of Buyan Lake was classified into water that have low fertility rate (oligotrophic). Agricultural activities around Buyan Lake resulted a moderate eutrophication level (mesotrofik).

Keywords: Eutrophication, phytoplankton, Buyan Lake

1. PENDAHULUAN Buyan yang dikenal sebagai sentra sayuran dan buah – buahan menggunakan pupuk anorganik untuk Danau merupakan salah satu bentuk ekosistem meningkatkan kualitas maupun kuantitas hasil air tawar yang bersifat menggenang (lentic). panen. Namun penggunaan pupuk yang melebihi Ekosistem ini menempati daerah yang relatif tidak dosis diduga terus meningkatkan pencemaran luas pada permukaan bumi dibandingkan dengan perairan Danau Buyan. habitat laut dan daratan (Effendi, 2003). Danau Penyuburan perairan (eutrofikasi), termasuk Buyan adalah sebuah danau yang terletak di Desa yang terjadi di Danau Buyan ternyata sudah menjadi Pancasari, Kecamatan Sukasada, Kabupaten salah satu permasalahan yang rumit. Permasalahan Buleleng, Bali. Luas Danau Buyan 301.84 Ha ini eutrofikasi ini terkait dengan berbagai kegiatan merupakan satu dari tiga danau kembar yang aktivitas masyarakat di sekitar perairan. Penelitian terbentuk di dalam sebuah kaldera besar. Danau ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak Buyan diapit oleh kedua danau lainnya, yakni Danau kegiatan pertanian terhadap tingkat eutrofikasi di Tamblingan di sebelah barat dan Danau Beratan di perairan Danau Buyan, mengetahui struktur sebelah timur. Kedalaman Danau Buyan kumunitas fitoplankton sebagai bio indicator dan diperkirakan sekitar 80 meter, dimana kedalaman untuk mengetahui tingkat kesuburan perairan danau ini pernah mencapai 140 meter sebelum terjadi Danau Buyan dilihat dari kelimpahan fitoplankton. pendangkalan dasar danau akibat erosi dan eutrofikasi. Pemanfaatan pupuk anorganik untuk budidaya 2. METODOLOGI sayuran dan tanaman buah-buahan di sekitar Danau Buyan, diduga sudah melewati ambang batas baku Penentuan lokasi pengambilan sampel air mutu dan mengakibatkan meningkatnya pence- menggunakan metode purposive sampling yaitu maran zat kimia. Pencemaran itu menyebabkan penentuan stasiun pengamatan dilakukan dengan degradasi atau penurunan kualitas lingkungan. Hal memperhatikan berbagai pertimbangan dan kondisi itu terjadi disebabkan tingginya pemakaian pupuk daerah penelitian, serta kondisi dominan kimia dan pestisida yang menyebabkan masuknya pemanfaatan lahan pertanian pada lokasi penelitian. kandungan nitrat dan fosfat. Petani di sekitar Danau Untuk itu ditentukan 4 stasiun yang mewakili

ECOTROPHIC • 11 (1) : 47 - 54 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395 47 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395 kegiatan pertanian disekitar Danau Buyan. Pada Dimana : masing – masing stasiun ditentukan 10 sub stasiun E : Indeks kesamaan pengambilan sampel, sehingga ada 40 sub stasiun. H’ maks : Ln s ( s adalah jumlah genus) Ke 10 sub stasiun pada masing – masing stasiun di H : Indeks keanekaragaman komposit sehingga mendapatkan sampel yang E = 0-0.5, pemerataan antar spesies rendah, artinya homogen. Sampel Fitoplankton diambil dengan kekayaan individu yang dimiliki masing-masing menyaring air permukaan sebanyak 100 liter spesies sangat jauh berbeda. E =0.6-1, pemerataan menggunakan jaring plankton dengan ukuran mesh antar spesies relatif seragam atau jumlah individu 25. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan masing-masing spesies relatif sama. Februari 2014. Analisis kandungan bahan organik dalam sampel air dilakukan di UPT Balai Indeks dominansi menggambarkan komposisi Laboratorium Kesehatan Provinsi Bali. Analisis jenis dalam komonitas jenis dalam komunitas dan struktur komunitas fitoplankton dilaksanakan di spesies yang dominan dalam suatu komunitas UPT Laboratorium, Sumberdaya Genetika dan memperlihatkan kekuatan spesies lain (Krebs, 1978). Biologi Molekuler Universitas Udayana Denpasar. Indesk dominansi dapat dihitung menggunakan Untuk identifikasi dan menghitung kelimpahan persamaan Indeks Dominansi Simpson (Odum, 1993) fitoplankton berpedoman pada Yamaji (1976), dan yaitu sebagai berikut : Davis (1995). Sedangkan untuk perhitungan kelimpahan fitoplankton menggunakan rumus (4) APHA (1989)

(1) Dimana : C = Indeks dominansi Simpson ni = Jumlah individu jenis ke-i Dimana : N = Jumlah total individu N = Kelimpahan individu fitoplankton (Individu/ S = Jumlah genus liter) Z = Jumlah individu fitoplankton X = Volume air sampel yang tersaring (50ml) 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Y = Volume 1 tetes air (0,06 ml) V = Volume air yang disaring (100l) Hasil pengamatan mikroskopis menunjukkan bahwa fitoplankton yang didapatkan di Danau Buyan Indeks Keanekaragaman yang digunakan untuk sebanyak 30 spesies (Tabel 3) yang terdiri dari 6 menghitung indeks ini adalah persamaan Sharon- Divisi, yaitu Bacillariophyta (7 genus), Chlorophyta Wiener (Michael, 1994). (5 genus), Cyanophyta (3 genus), Chrysophyta (2 genus), Dinophyta (1 genus), Pyrrophycophyta (1 (2) genus ), seperti yang terlihat pada Tabel 5.2. Jumlah spesies yang ditemukan pada setiap stasiun, yaitu stasiun 1 (18 spesies), stasiun 2 (10 spesies), stasiun Dimana : 3 (15 spesies), dan stasiun 4 (20 spesies). Terdapat H1 = indeks Keanekaragaman beberapa spesies yang selalu ditemukan pada keempat Pi = ni/N stasiun antara lain Bacillariophyta (3 spesies), ni = jumlah individu jenis ke I Chlorophyta (3 spesies), dan Chrysophyta (1 spesies). N = jumlah total individu Komposisi (%) Fitoplankton berdasarkan H’<1 = komunitas biota tidak stabil atau kualitas kelimpahan masing – masing Phyllum di Danau air tercemar berat, 13 sebanyak 81,7%. Selain phylum Bacillariophyta, = stabilitas komunitas biota dalam kondisi prima terdapat beberapa phylum fitoplankton lain yang (stabil) atau kualitas air bersih. menyusun populasi plankton di Danau Buyan, seperti Chlorophyta 13,3%, Cyanophyta 3,1%, Chrysophyta Indeks Kesamaan menurut Michael (1994), 1,7% dan Phyllum terendah 0,1% yaitu Dinophyta Indeks ini menunjukkan pola sebaran biota yaitu dan Phyrophycophyta. Hal tersebut menunjukan merata atau tidak. Jika nilai indeks relatif tinggi phylum Bacillariophyta memiliki penyebaran yang maka keberadaan setiap jenis biota di perairan dalam luas di perairan Danau Buyan. (Gambar 1.). kondisi merata. Pengukuran kualitas air danau buyan dilakukan secara in situ pada parameter Suhu, DO dan pH (3) sedangkan pengukuran laboratorium dilakukan pada

48 Dampak Kegiatan Pertanian terhadap Tingkat Eutrofikasi dan Jenis-jenis Fitoplankton di Danau Buyan ..... [Ni Putu Vivin Nopiantari, dkk.]

Tabel 3. Jenis dan Kelimpahan rata – rata fitoplankton (ind/l) yang ditemukan di Danau Buyan

parameter TDS, TSS, Amonia, Nitrit, Nitrat, BOD, COD dan Fosfat (Tabel4) Pola hubungan kadar nitrat dan fosfat pada setiap stasiun pengambilan sampel. Pada stasiun 1 terlihat perbandingan nilai yang cukup tinggi dimana nilai nitrat di stasiun 1, yaitu 5.545 mg/l dan fosfat di strasiun 1, yaitu 1.259 mg/l. Pada stasiun 2 nilai nitrat juga lebih tinggi dari pada nilai fosfat dan menurun pada stasiun 3 dan 4 yaitu nilai fosfat lebih tinggi dari pada nitrat.(Gambar 2). Pola hubungan nitrat dan fitoplankton di Danau Gambar 1. Komposisi (%) Fitoplankton berdasarkan kelimpahan masing Buyan dapat dilihat pada Gambar 4. Pola hubungan – masing Phyllum di Danau Buyan

49 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

Tabel 4. Hasil Analisis Kualitas Air Danau Buyan

Gambar 4. Pola hubungan fosfat dan fitoplankton

Gambar 2. Pola hubungan nitrat dan fosfat di Danau Buyan nitrat di Danau Buyan memiliki kecenderungan berbanding terbalik pada stasiun 1 , stasiun 3 dan stasiun 3, yaitu ketika kadar nitrat menurun kelimpahan fitoplankton meningkat begitu juga sebaliknya. Ketika kadar nitrat meningkat kelimpahan fitoplankton menurun. Sedangkan di stasiun 2 pola hubungan nitrat dan fitoplankton menunjukan hubungan sejalan yaitu ketika kadar nitrat menurun kelimpahan fitoplankton juga menurun. Pola hubungan fosfat dan fitoplankton di Danau Buyan dapat dilihat pada Gambar 4. Pada setiap stasiun pengambilan sampel menunjukan pola hubungan fosfat dan kelimpahan fitoplankton yang sejalan. Ketika kadar fosfat menurun kelimpahan Gambar 3. Pola hubungan nitrat dan fitoplankton fitoplankton juga ikut menurun dan sebaliknya.

50 Dampak Kegiatan Pertanian terhadap Tingkat Eutrofikasi dan Jenis-jenis Fitoplankton di Danau Buyan ..... [Ni Putu Vivin Nopiantari, dkk.]

Kelimpahan rata – rata fitoplankton di Danau dikolom perairan dan laju grazing oleh organisme Buyan selama penelitian berkisar antara 1150 – lain selain itu tinggi rendahnya kelimpahan plankton 1791,67 ind/l. Kelimpahan fitoplankton tertinggi di dipengaruhi oleh kondisi parameter fisika kimia dapatkan pada stasiun 3. Hal tersebut kemungkinan perairan antara lain: DO, BOD, COD, Nitrat, Nitrit, karena stasiun 3 merupakan tempat keramba ikan fosfat dan Amonia. Fitoplankton adalah makhluk sehingga unsur hara yang tersedia melimpah. renik yang melayang di permukaan air (Yatim, Fitoplankton memanfakatkan unsur hara nitrat dan 2003). Menurut Nontji (2006), fitoplankton fosfat untuk mendukung pertumbuhannya. Kadar merupakan tumbuhan yang seringkali ditemukan nitrat dan fhosfat yang di dapatkan di masing – masih di seluruh massa air pada zona eufotik, berukuran stasiun penelitian cukup tinggi yaitu nilai nitrat mikroskopis dan memiliki klorofil sehingga mampu 0,895 – 5,545 dan nilai Fosfat berkisar 1,1711 – 1,259, membentuk zat organik dari zat anorganik melalui sehingga fitoplankton memanfaatkan makronurien fotosintesis. Fitoplankton sebagai organisme autotrof tersebut untuk mengoptimalkan pertumbuhannya. menghasilkan oksigen yang akan dimanfaatkan oleh Hal ini di dukung oleh pendapat Mackenthun (1969), organisme lain, sehingga fitoplankton mempunyai pertumbuhan optimal fitoplankton diperoleh pada peranan penting dalam menunjang produktifitas kadar nitrat 0,9 – 3,5 mg/l dan kadar fhosfat 0,09 – perairan. Keberadaan fitoplankton dapat dilihat 1,8 mg/l. tingginya unsur hara tersebut karena berdasarkan kelimpahannya di perairan, yang adanya kegiatan pertanian di sekitar tepi Danau dipengaruhi oleh parameter lingkungan. Selain Buyan sehingga limpasan pupuk pertanian masuk sebagai produsen primer, fitoplankton juga sebagai ke badan air yang di bawa oleh aliran air hujan. Sisa penghasil oksigen terlarut di perairan bagi organisme – sisa unsure hara dari aktivitas pemupukan, lain (Kamali, 2004). terutama pemupukan urea akan terbawa melalui Spesies dominan dari masing-masing kelompok saluran – saluran irigasi ataupu aliran air hujan. fitoplankton yang ditemukan pada keempat stasiun Selain itu menurut, Wahyuni (2010) faktor – penelitian di Danau Buyan. Pada divisi Chlorophyta faktor yang mempengaruhi kelimpahan fitoplankton ditemukan 2 spesies yang dengan kelimpahan adalah ketersediaan nutrien, keberadaan cahaya terbesar yaitu dengan rata – rata pada ke empat

Gambar 5. Peta sebaran kelimpahan fitoplankton di Danau Buyan

51 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395 stasiun, Synedra ulna (860.42sel/l) dan Rhizosolenia kelimpahan fitoplankton di Danau Buyan. Meskipun stolterfothii (22.92 sel/l). dari hasil penelitian oleh demikian parameter lainnya juga ikut berperan Samudra, dkk., (2013) yang di lakukan pada bersama-sama tetapi dengan peranan yang relatif keramba, perairan non keramba dan muara, Synedra lebih kecil dibandingkan dengan peranan parameter ulna merupakan spesies doninan yang di temukan DO dan nitrat (Meiriyani, 2013). dengan kelimpahan keramba (970 sei/l), perairan non Indeks dominansi fitoplankton di Danau Buyan keramba (485 sel/l) dan muara (4365 sel/l). berkisar antara 0,469 – 0,698. Nilai rata – rata Indeks Kelimpahan rata – rata fitoplankton tertinggi di Dominansi Fitoplankton adalah 0,59. Hal tersebut setiap stasiun secara keseluruhan adalalah jenis menunjukan dominansi spesies di Danau Buyan Synedra ulna. Synedra ulna adalah spesies diatom tergolong rendah, karena nilai tersebut mendekati dominan yang ditemukan pada lapisan atas, spesies 0. Nilai indeks dominansi tidak jauh berbeda pada ini hadir diduga karena pengaruh akumulasi ke empat stasiun, hal ini di sebabkan karena pada sedimentasi yang terjadi. Diatom merupakan seluruh stasiun pengambilan sampel terdapat mikroalga dengan persebaran yang luas dan bersifat dominansi satu spesies yaitu Synedra ulna. Dari kosmopolitan, beberapa diatom dapat digunakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahyudiati, sebagai bioindikator perubahan lingkungan masa (2016) Indek dominansi fitoplankton di Bendungan lampau, karena sensitifitasnya terhadap kondisi Telaga Tunjung juga tergolong rendah antara 0,24 – habitatnya dan sifat diatom yang mampu terfosil 0,38, hal ini juga disebabkan karena terdapat satu dengan baik (Hariyati dkk., 2009). spesies dominan yaitu Peridinium sp. Hal ini juga Selain itu pada divisi Chlorophyta juga di dukung oleh penelitian yang dilakukan oleh, ditemukan 2 spesies dominan dengan rata – rata Jannah (2012) hasil analisis indeks dominansi kelimpahan tertinggi antara lain Staurastrum menunjukkan bahwa secara umum di wilayah paradoxum (102.08 sel/l) dan Chlorococcum estuaria Krueng Aceh tidak didominasi oleh jenis - humicola (56.25 sel/l). kedua spesies domina tersebut jenis tertentu terlihat dari nilai indeks dominansi dari hasil penelitian Erdina, dkk., (2010) pada yang rendah. Indeks dominansi pada Stasiun 1 perairan daerah pertanian juga di temukan adalah 0,016, pada Stasiun 2 adalah 0,045 dan pada Staurastrum paradoxum (2,31 sel/l) dan Stasiun 3 adalah 0,040. Hal ini diduga karena kondisi Chlorococcum humicola (6,93 sel/l). sekitaran Danau lingkungan yang terukur selama penelitian seperti Buyan juda di kelilingi oleh lahan pertanian sehingga suhu, salinitas dan kecerahan, mendukung hal ini juga merupakan salah satu factor keberadaan pertumbuhan fitoplankton. spesies dominan Staurastrum paradoxum dan Nilai Indeks keanekaragaman di Danau Buyan Chlorococcum humicola pada perairan Danau antara 0.812 - 1.455. Nilai rata – rata indeks Buyan. keanekaragaman fitoplankton 1,09. Nilai tersebut Spesies yang mendominasi pada divisi menunjukan keanekaragaman spesies di Danau Cyanophyta yaitu, Gloeocapsa magma (18.75 sel/ l). Buyan rendah. Menurut, Wahyudiati, (2016) Indeks dari hasil penelitian Pratiwi (2015) di temukan keanekaragaman dikatakan rendah jika nilainya Gloeocapsa sp. (59 sel/l) di perairan laut malang. kurang dari 2,306. Hal ini mengindikasikan perairan Menurut Fachrul, dkk., (2008) Gloeocapsa sp. Juga tersebut sedang mengalami tekanan ekologi. Nilai di temukan di perairan sungai Jakarta. indeks keanekaragaman terendah berada di stasiun Spesies yang dominan pada divisi Chrysophyta yaitu, III dan tertinggi di stasiun IV. Hal tersebut spesies Melosira granulate (16.67 sel/l). dari hasil berbanding terbalik dengan indeks dominansi. penelitian Hariyati, (2009) pada perairan Danau Indeks kesamaan di Danau Buyan berkisar Rawapening Semarang Jawa Tengah di temukan antara 0,326 – 0,662. Nilai rata – rata indeks Melosira sp sebanyak 153 sel / l. sedangkan pada 2 kesamaan fitoplankton adalah 0,47. Nilai ini tergolong divisi Dinophyt dan Pyrrophycophyt tidak ditemukan sedang, karena lebih dari 0,5. Hal ini menunjukan spesies yang terlalu dominan, namun di temukan penyebaran spesies merata dan komonitas spesies Diplopsalis lenticula (2.08 sel /l) dan pada fitoplankton dalam kondisi labil. Nilai indeks yang divisi Pyrrophycophyt juga ditemukan spesies mendekati 1 mempunyai keanekaragaman jenis Hypnodinium sphaericum (2.08 sel/l). Kelompok yang tinggi, sebaliknya jika nilai indeks yang dimana ditemukan kelimpahan fitoplankton yang mendekati 0 menunjukkan rendahnya keragaman rendah memiliki karakteristik perairan dengan jenis yang dimiliki oleh suatu komunitas (Odum, kandungan oksigen terlarut rendah serta nitrat yang 1993). rendah. Hal yang sama juga dijumpai pada kelompok Eutrofikasi adalah pengkayaan perairan oleh yang memiliki kelimpahan fitoplankton yang relatif unsur hara, khususnya nitrogen dan fosfat sehingga tinggi, dengan kandungan oksigen terlarut dan mengakibatkan pertumbuhan tidak terkontrol dari nitrat juga ditemukan lebih tinggi. Parameter tumbuhan air. Berdasarkan kandungan unsur oksigen terlarut dan nitrat memiliki peranan yang haranya, maka perairan dapat dikategorikan menjadi sangat besar dalam membedakan tinggi rendahnya oligotrofik, mesotrofik dan eutrofik. Kesuburan

52 Dampak Kegiatan Pertanian terhadap Tingkat Eutrofikasi dan Jenis-jenis Fitoplankton di Danau Buyan ..... [Ni Putu Vivin Nopiantari, dkk.] perairan merupakan pengayaan air dengan nutrient/ kelimpahan fitoplankton, perairan Danau Buyan unsur hara berupa bahan anorganik yang dibutuhkan tergolong kedalam perairan yang memiliki oleh tumbuhan dan mengakibatkan terjadinya kesuburan sedang (mesotrofik). peningkatan produktivitas primer perairan (Suprapto, 2014). Kesuburan perairan juga berkaitan 4.2 Saran dengan kelimpahan fitoplankton. Kelimpahar rata – Perlu adanya pengendalian penggunakan pupuk rata fitoplankton yaitu sebesar 1504.17 sel/l. nilai anorganik disekitar perairan Danau Buyan dan ini menunjukan bahwa kesuburan perairan di Danau pembersihan tanaman air secara rutin yang di Buyan tergolong rendah (oligotrofik). Danau di lakukan oleh masyarakat sekitar danau agar tidak katakana oligotrofik jika memiliki nilai kelimpahan menghambat kelimpahan fitoplankton, mengingat antara 0 – 2000 sel/l (Handayani, 2009). Menurut fitoplankton merupakan suber makanan ikan. Soeprobowati (2010) dari hasil penelitiannya di Danau Rawa Pening termasuk kategori oligotrofik. Hal ini karena kandungan klorofil-a yang terukur DAFTAR PUSTAKA merupakan ekspresi dari fitoplankton (produsen primer). Produktivitas primer ditentukan oleh APHA (American Public Health Association). 1989. kandungan klorofil-a. Jika di suatu perairan terjadi Standar Methods for The Examination of Water blooming mikroalga, tentu saja kandungan and Wastewater. American Public Control klorofilnya akan tinggi. Namun, yang terjadi di Federation. 20th edition, Washington DC. Danau Rawa Pening, mikroalga kalah bersaing American Public Health Asosiation. dengan tumbuhan tingkat tinggi sehingga Aisyah. 2013. Status Trofik Perairan Rawa Pening populasinya rendah dan tumbuhan air yang Ditinjau Dari Kandungan Unsur Hara Nitrat mendominasi. Itulah sebabnya kandungan klorofil- dan Fosfat Serta Klorofil-a. Pusat Penelitian a di Danau Rawa Pening kurang mengekspresikan Pengelolaan Perikanan dan Konservasi status trofik. Hal ini sesuai dengan keadaan Danau Sumberdaya Ikan. Buyan saat penelitian yaitu banyaknya terdapat tanaman air yang merambat di permukaan perairan Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelola Danau Buyan. Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Selain berdasarkan kelimpahan plankton, status Kanisius. Yogyakarta. kesuburan perairan juga dapat diketahui dari kadar Erdina, dkk. 2010. Keanekaragaman dan nitrat. Kadar nitrat rata – rata di Danau Buyan Kemelimpahan Alga Mikroskopis Pada Daerah sebesar 2,31 mg/l. hal ini menunjukan tingkat Persawahan di Desa Sungai Lumbah Kecamatan kesuburan Danau Buyan tergolong sedang Tanalalak Kabupaten Barito Kuala. Jurnal (mesotrofik). Menurut Wetzel (1983), kadar nitra 0 – Wahana Bio Volume III. 1 mg/l menujukan perairan tersebut tergolong oligotrofik, kadar nitrat 1 – 5 mg/l tergolong dalam Fachrul, dkk. 2008. Komposisi dan Model perairan mesotrofik dan kadar 5 – 50 mg/l tergolong Kemelimpahan Fitoplankton di Perairan Sungai perairan eutrofik. Hal ini sesuai dengan penelitian Ciliwung, Jakarta Composition and abundance yang dilakukan Aisyah (2013) hasil penelitian model of phytoplankton in water of Ciliwung menunjukkan bahwa kisaran nilai nitrat, fosfat dan River. Biodiversita. ISSN: 1412-033X Volume 9, klorofil-a pada Bulan Mei dan Juni masing-masing Nomor 4 Oktober 2008 Halaman: 296- adalah 1,38–2,18 mg/L dan 1,32–2,12 mg/L (eutrofik); 300.JurusanTeknik Lingkungan, Universitas 0,013–0,030 mg/L dan 0,012–0,031 mg/L (eutrofik) Trisakti. serta 4,67-7,22 mg/L dan 4,71–7,30 mg/L Handayani, D. 2009. Kelimpahan dan (mesotrofik). Berdasarkan kelimpahan plankton dan Keanekaragaman Plankton di Perairan Pasang kadar nitrat, perairan Danau Buyan tergolong Surut Keramba Blanakan Subang. Progam kedalam perairan yang memiliki kesuburan sedang Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. (mesotrofik). Universitas Islam Negeri Syarif Hidaya Tullah. Jakarta. 4. SIMPULAN DAN SARAN Hariyati, R. Trias, S.W. 2009. Struktur Komunitas Fitoplankton sebagai Bio Indikator Kualitas 4.1 Simpulan Perairan Danau Rawapening Kabupaten Kegiatan pertanian di sekitar Danau Buyan di Semarang Jawa Tengah. Laboratorium Ekologi lihat dari kandungan nitrat mengakibatkan tingkat dan Biosistematika Jurusan Biologi F. MIPA eutrofikasi sedang (mesotrofik). Kelimpahan rata – UNDIP. 5 (5) : 55-61. rata fitoplankton pada setiap stasiun di Danau Buyan Jannah., dkk. 2012. Komunitas fitoplankton di berkisar antara 1150-1791,7 sel/l. Berdasarkan daerah estuaria Krueng Aceh, Kota Banda Aceh

53 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

Phytoplankton community in estuary area of Pratiwi, E.D. 2015. Hubungan Kelimpahan Plankton Krueng Aceh, Banda Aceh. Depik, 1(3): 189-195 Terhadap Air di Perairan Malang Rapat Desember 2012 ISSN 2089-7790 189. Jurusan Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Budidaya Perairan, Koordinatorat Kelautan dan Mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP Perikanan, Universitas Syiah Kuala. Banda UMRAH. Aceh 23111, Provinsi Aceh. Samudra, dkk. 2013. Komposisi, Kemelimpahan dan Kamali, Dzikrulloh. 2004. Kelimpahan Fitoplankton Keanekaragaman Fitoplankton Danau Rawa Pada Keramba Jaring Apung Di Teluk Hurun Pening Kabupaten Semarang. BIOMA. ISSN: Lampung. Skripsi. IPB, Bogor. 1410-8801 Vol. 15, No. 1, Hal. 6-13. Program Studi Magister Biologi, Universitas Diponegoro. Krebs, C.J., 1985. Ecology (The experimental Analysis of Distribution and Abundance). Harper & Row Suprapto, dkk. 2014. Aquatic Productivity Analysis Publisher. New York. based on The Relationship between Physical and Chemical of Benthic Sediment with NO3 and PO4 Nontji, A. 2006. Tiada Kehidupan Di Bumi Tanpa in the Estuarine of Tuntang River Available Keberadaan Plankton. Lembaga Ilmu Penge- online at Indonesian Journal of Fisheries Science tahuan Indonesia Pusat Penelitian Oseanologi, and Technology (IJFST). Saintek Perikanan Jakarta. 248p (Indonesian Journal of Fisheries Science and Mackenthum,K.M. 1969. The Practice of Water Technology), ISSN : 1858-4748 56. Pollution Biology. United States Departement of Wahyudiati, W.D. 2016. Strutur Komonitas Plankton Interior, Federal Water Pollution Control dan Kualitas Perairan Di Bendungan Telaga Administration Division of Technical Support. Tunjung Tabanan. Program Studi Kelautan. Michael, P. 1994. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Universitas Udayan Bukit Jimbaran Bali. Lapangan dan Laboratorium. UI press, Jakarta. Wetzel, R.G. 1983. Limnology 2nd Edition. Saunders Meiriyani , dkk. 2011. Komposisi dan Sebaran College Publishing. Philadephia. Fitoplankton di Perairan Muara Sungai Way Yamaji, I. 1976. Illustration of Marine Plankton. Belau, Bandar Lampung . Putri Program Studi Japan: Hoikusha Publishing Co Ltd. 371p. Ilmu Kelautan FMIPA Universitas Sriwijaya. Journal 03 (2011) 69-77. Yatim, W. 2003. Biologi Medern Biologi Sel.Tarsito. Bandung. Odum, E.P., 1971. Dasar-dasar Ekologi. Gajah Mada University Press.

54 HUBUNGAN SANITASI RUMAH DENGAN KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS (TB) DI KECAMATAN KUTA

I Made Mudana1*), Nyoman Adiputra2), I.B.G. Pujaastawa3)

1)Dinas Kesehatan Kabupaten Badung 2)Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 3)Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana *Email: [email protected]

ABSTRACT

One of the endemic infectious diseases occured in the community is tuberculosis (TB). The World Health Organization (WHO) estimated about one third of the world’s population has been infected by the bacteria mycobacterium tuberculosis. Badung regency as one of the districts in the province of Bali also having cases of tuberculosis. From the report Badung Health Agency in 2015 was recorded 275 TB patients. From 6 districts in Badung district, subdistrict of Kuta occupy the highest number of cases recorded 100 patients. tuberculosis is closely related to homes sanitation that do not meet health requirements. The purpose of this study was to determine the relationship of home sanitation with disease incidence of tuberculosis in the district of Kuta. Based on the type of research is observational analytic, design research is a case control studies linking ie risk factors. (Home sanitation) with TB disease events, by comparing the case group and the control group. The population in this study are patients with TB BTA (+) were treated working area Puskesmas Kuta I and Puskesmas Kuta II sanitation as well as his home. The number of samples in this study was 60 consisting of the case group and the control group. How sampling is the total population of TB patients in the last 3 months of 2015 as well as sanitary home. Data collected from interviews, observations and measurements and then analyzed using chi square and followed by multiple logistic regression test. From the statistic test bivariate home sanitation with tuberculosis disease incidence 6 variables showed that: (1) lighting p = 0,00 (p< 0,05) OR = 21, (2) humidity p = 0,00 (p< 0,05) OR = 21,36 , (3) ventilation p = 0,00 (p< 0,05)OR = 11, (4) the walls of the house p = 0,00 (p< 0,05) OR = 8,64, (5) density residential home p = 0,00 (p<0,05) OR = 16,43 and (6) house floor p = 0,22 (p>0,05) OR = 2,143. To determine the relationship of all independent variables simultaneously multivariate analysis with multiple logistic regression test. Based on the results obtained that there are three independent variables significantly related (p<0,05) with the dependent variable is the humidity (OR = 19,158, 95% CI 3,171 –115,751), ventilation (OR = 6,408, 95% CI = 1,199 to 34,236), residential density (OR = 13,342, 95% CI = 2,261 – 78,733). Probability of people who occupy the house with sanitation (Humidity, Ventilation and Residential density) in the district of Kuta to contract tuberculosis (TB) is 97,08%. Based on these results, we can conclude that from the test bivariate (6 variables) are: lighting, humidity, ventilation, walls of houses, residential density and house floor associated with the incidence of tuberculosis in the district of Kuta. While the advice may be given to: (1). people who live in the district of Kuta in order to build or occupy a dwelling house to take into account the standard of sanitation and healthy home. (2). Government / agencies in order to provide guidance to the public in order to build houses of spatial attention and care homes that meet health requirements so that people who lived in the house to feel safe, comfortable, and avoid the disease especially those stemming from poor sanitation home.

Keywords: Sanitation, Home, Disease, Tuberculosis (TB)

1. PENDAHULUAN Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia terjadi pada negara-negara Salah satu penyakit menular yang masih berkembang (Kemenkes RI, 2011). endemis terjadi di masyarakat adalah penyakit Sumber penularannya adalah pasien TB BTA tuberkulosis (TB). Menurut World Health positif, pada waktu batuk atau bersin pasien Organization (WHO) diperkirakan sekitar sepertiga menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk penduduk dunia telah terinfeksi oleh kuman percikan dahak (droplet nuclei). Percikan dapat mycobacterium tuberculosis, Pada tahun 1995 bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang diperkirakan terdapat 9 juta pasien TB paru dan 3 gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien juta kematian akibat TB di seluruh dunia. ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan

ECOTROPHIC • 11 (1) : 55 - 61 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395 55 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395 dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil baik di kalangan wisatawan nusantara maupun pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. mancanegara. Masalah tersebut akan dicoba Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan dijelaskan dengan menjawab pertanyaan penelitian kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan yang diformulasikan sebagai berikut : 1. dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Bagaimanakah hubungan sanitasi rumah yang (Kemenkes RI, 2011). meliputi pencahayaan, kelembaban, suhu, ventilasi, Sejak lama telah diketahui bahwa timbulnya kepadatan hunian, dinding rumah dan lantai rumah penyakit tidak hanya disebabkan oleh kuman saja, dengan kejadian penyakit tuberkulosis di Kecamatan tetapi faktor lingkungan sangat berpengaruh Kuta ? 2. Seberapa jauh hubungan variabel sanitasi terhadap timbulnya suatu penyakit. Penyebaran rumah yang meliputi pencahayaan, kelembaban, penyakit tuberkulosis erat kaitannya dengan sanitasi suhu, ventilasi, dinding rumah, kepadatan hunian, lingkungan tempat tinggal seperti ; Pencahayaan, dan lantai rumah dengan kejadian penyakit kelembaban, suhu, ventilasi, kepadatan hunian, tuberkulosis di Kecamatan Kuta ? dinding rumah dan lantai rumah. Faktor kesehatan lingkungan rumah yang berhubungan dengan kejadian TB Paru adalah pencahayaan (OR = 4,214), 2. METODOLOGI ventilasi (OR = 4,932), kelembaban (OR = 2,571), suhu udara (OR = 2,674), jenis lantai (OR = 1,626), Berdasarkan jenisnya penelitian ini termasuk kepadatan hunian (OR = 0,820), status gizi (OR = penelitian analitik observasional, untuk menganalisis 2,737), (Fatimah, 2008). faktor sanitasi rumah terhadap kejadian penyakit Kabupaten Badung sebagai salah satu destinasi tuberkulosis paru di Kecamatan Kuta . Rancang pariwisata internasional di samping memperoleh bangun penelitian ini termasuk case control yaitu manfaat ekonomi yang signifikan dari penerimaan penelitian yang menghubungkan faktor risiko atau pajak hotel dan restoran (PHR), tetapi juga variabel bebas (sanitasi rumah) dengan kejadian dihadapkan dengan masalah kian meningkatnya penyakit tuberkulosis dengan cara membandingkan arus urbanisasi dan migrasi penduduk yang kelompok kasus (penderita tuberkulosis paru) dan disebabkan oleh berkembangnya sektor kelompok kontrol (bukan penderita). Jumlah sampel kepariwisataan di daerah ini. Fenomena ini yang diambil sebanyak 60 orang yang terdiri dari 30 membawa sejumlah dampak, di antaranya semakin kasus dan 30 kontrol. Data yang diperoleh diolah dan padatnya permukiman penduduk di daerah-daerah dianalisis dengan menggunakan komputer dengan kawasan pariwisata, terutama di Kawasan program SPSS . Sedangkan untuk analisis data yang Pariwisata Kuta. Meskipun di kawasan ini terdapat dilakukan meliputi analisis univariat, bivariat dan berbagai fasilitas pariwisata bertaraf internasional, multivariat (Yasril, 2009). namun di sisi lain juga ditemui adanya sejumlah permukiman penduduk dengan tingkat kepadatan yang tinggi dan terkesan kumuh. Kenyataan ini 3. HASIL DAN PEMBAHASAN dikhawatirkan berpotensi terjangkitnya berbagai penyakit, termasuk penyakit tuberkulosis. 3.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kecamatan Kuta secara administrasi terdiri dari Kabupaten Badung tentang penyakit TB dalam 3 5 desa/kelurahan dengan 33 banjar dengan luas tahun terakhir yaitu tahun (2013- 2015), diketahui wilayah 17,52 km2. Secara geografis Kecamatan Kuta bahwa jumlah kasus tuberkulosis pada tahun 2013 terletak antara 08043’32.6" Lintang Selatan dan tercatat 128 orang pada tahun 2014 tercatat 170 orang 115010’39.2" Bujur Timur. Wilayah Kecamatan Kuta dan tahun 2015 tercatat 275 orang (Dinas Kesehatan tergolong wilayah pesisir dengan letak ketinggian Badung, 2014, 2015, 2016). Jumlah kasus terletak 27 m di atas permukaan laut (Badung dalam tuberkulosis tersebut tersebar di masing – masing Angka, 2015). Di wilayah Kecamatan Kuta terdapat puskesmas yang berada di wilayah Kabupaten 2 puskesmas induk yang dimenfaatkan oleh Badung. Jumlah kasus penderita TB tertinggi masyarakat selain rumah sakit dan klinik yaitu terdapat di Kecamayan Kuta yang mewilayahi Puskesmas Kuta I dan Puskesmas Kuta II. Peta Puskesmas Kuta I tercatat 80 kasus dan Puskesmas Kecamatan Kuta dapat dilihat pada Gambar 1. Kuta II tercatat 20 kasus, sehingga total di Kecamatan Kuta mencapai 100 kasus. 3.2 Distribusi Frekuensi Kondisi Tingginya jumlah kasus penderita tuberkulosis Pencahayaan, Kelembaban, Suhu, di Kecamatan Kuta merupakan fenomena yang Ventilasi, Dinding Rumah, Kepadatan cukup menarik untuk dikaji, mengingat wilayah ini Hunian dan Lantai Rumah tergolong kawasan pariwisata yang cukup populer

56 Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis (TB) di Kecamatan Kuta [I Made Mudana, dkk.]

Gambar .1. Peta Kecamatan Kuta

Tabel 1. Hasil Pengukuran Sanitasi Rumah di Kecamatan Kuta 3.3 Hubungan Pencahayaan dengan Kejadian Penyakit TB Variabel Penelitian Jumlah(n=60) Persentase Hasil yang didapatkan dari analisis data Pencahayaan penelitian terhadap variable pencahayaan dengan Tidak memenuhi syarat 24 40 kejadian penyakit TB adalah seperti pada tabel 2. Memenuhi syarat 36 60 Berdasarkan Tabel 2, menunjukkan bahwa 70 Kelembaban Tidak memenuhi syarat 27 45 % kasus penghuni rumah dengan pencahayaan yang Memenuhi syarat 33 55 tidak memenuhi syarat kesehatan dan 30 % penghuni Suhu rumah dengan pencahayaan yang memenuhi syarat Tidak memenuhi syarat 0 0 Memenuhi syarat 60 100 kesehatan menunjukkan bahwa secara statistik Ventilasi terdapat hubungan yang bermakna pencahayaan Tidak memenuhi syarat 32 53,3 rumah terhadap kejadian penyakit TB. (p< 0,05) Memenuhi syarat 28 46,7 dengan nilai odd ratio 21. Hasil penelitian ini sesuai Dinding rumah Tidak memenuhi syarat 24 40 dengan hasil penelitian Ahmad dan Sulistyorini (2005) Memenuhi syarat 36 60 yang menemukan bahwa penerangan alami Kepadatan hunian memperoleh nilai p = 0,047 (p<0,05), hasil penelitian Tidak memenuhi syarat 32 53,3 Dewi, (2012) yang menemukan bahwa pencahayaa Memenuhi syarat 28 46,7 Lantai rumah alami memperoleh nilai p = 0,003 (p<0,05). Hal ini Tidak memenuhi syarat 14 23,3 berarti pencahayaan mempunyai pengaruh terhadap Memenuhi syarat 46 76,7 kejadian penyakit TB paru.

57 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

Tabel 2. Hubungan Pencahayaan Dengan Tingkat Kejadian Penyakit TB

Kejadian Penyakit TB Pencahayaan Odd Ratio (OR) P Kasus Kontrol F % F %

Tidak memenuhi syarat 21 70 3 10 21 0,00 Memenuhi syarat 9 30 27 90 Total 30 100 30 100

3.4 Hubungan Kelembaban dengan Kejadian diperoleh dari hasil penelitian Nindya dan Penyakit TB Sulistyorini (2005) bahwa kelembaban ruangan Berdasarkan Tabel 3, menunjukkan bahwa 76,7 berpengaruh terhadap ISPA pada balita. Hasil % kasus penghuni rumah dengan kelembaban yang penelitian Sujana, dkk (2013) juga diperoleh tidak memenuhi syarat kesehatan dan 23,3 % kelembaban ruangan mempunyai pengaruh terhadap penghuni rumah yang memenuhi syarat kesehatan. kejadian penyakit TB paru dengan nilai p = 0,00 Secara statistik terdapat hubungan yang bermakna (p< 0,05). antara kondisi kelembaban rumah dengan kejadian TB Paru (p< 0,05) dengan nilai odd ratio 21,36,. Hal 3.5 Hubungan Suhu dengan Kejadian Penyakit ini sesuai dengan hasil penelitian Maryani (2012) TB yang dilakukan di Kelurahan Bandarharjo Kota Berdasarkan Tabel.4, terlihat bahwa suhu tidak Semarang, bahwa kelembaban kamar memperoleh berpengaruh terhadap kejadian TB Paru dalam nilai sig p = 0,000 (p<0,05). Hasil yang sesuai juga penelitian ini. Rumah yang sehat harus mempunyai

Tabel 3. Hubungan Kelembaban Dengan Tingkat Kejadian Penyakit TB

Kejadian Penyakit TB Kelembaban Odd Ratio (OR) P Kasus Kontrol F % F %

Tidak memenuhi syarat 23 76,7 4 13,3 21,36 0,00 Memenuhi syarat 7 23,3 26 86,7 Total 30 100 30 100

Tabel 4. Hubungan Suhu dengan Tingkat Kejadian Penyakit TB

Kejadian Penyakit TB Suhu Odd Ratio (OR) P Kasus Kontrol F % F %

Tidak memenuhi syarat 0 0 0 0 Memenuhi syarat 30 100 30 100 Total 30 100 30 100

Tabel 5. Hubungan Ventilasi dengan Tingkat Kejadian Penyakit TB

Kejadian Penyakit TB Ventilasi Odd Ratio (OR) P Kasus Kontrol F % F %

Tidak memenuhi syarat 24 80 8 26,7 11 0,00 Memenuhi syarat 6 20 22 73,3 Total 30 100 30 100

58 Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis (TB) di Kecamatan Kuta [I Made Mudana, dkk.] suhu yang diatur sedemikian rupa sehingga suhu statistik terdapat hubungan yang bermakna antara badan dapat dipertahankan. Jadi suhu dalam kualitas dinding rumah dengan kemungkinan ruangan harus dapat diciptakan sedemikian rupa terjadinya TB (p < 0,05) dengan nilai odd ratio 8,64. sehingga tubuh tidak terlalu banyak kehilangan Ini berarti responden memiliki rumah tidak panas atau sebaliknya tubuh tidak sampai kepanasan memenuhi persyaratan dinding rumah memiliki (Azwar, 1996). kemungkinan 8,64 kali lebih besar terkena penyakit TB dibandingkan dengan responden yang memenuhi 3.6 Hubungan Ventilasi dengan Kejadian persyaratan dinding rumah. Penyakit TB Berdasarkan Tabel 5, menunjukkan bahwa 80% 3.8 Hubungan Kepadatan Hunian dengan kasus penghuni rumah dengan ventilasi rumah yang Kejadian Penyakit TB tidak memenuhi syarat kesehatan dan hanya 20 % Berdasarkan Tabel 7, menunjukkan bahwa 83,3 yang memenuhi syarat kesehatan. Secara statistik % kasus penghuni rumah dengan kepadatan hunian terdapat hubungan yang bermakna antara kondisi yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan 16,7 % ventilasi dengan kejadian penyakit TB (p< 0,05) kasus dengan kepadatan hunian yang memenuhi dengan nilai odd ratio 11. Ventilasi rumah syarat kesehatan. Secara statistik terdapat mempunyai fungsi (Azwar, 1999). Fungsi pertama hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam dengan kejadian penyakit TB (p < 0,05) dengan nilai rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti odd rationya 16,43. Ini berarti responden yang keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni memiliki rumah tidak memenuhi persyaratan rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi kepadatan hunian memiliki kemungkinan 16,43 kali akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah lebih besar untuk terkena penyakit TB dibandingkan yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi dengan responden yang memiliki rumah memenuhi penghuninya menjadi meningkat. persyaratan kepadatan hunian Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sugiharto (2004), yang 3.7 Hubungan Dinding Rumah dengan menemukan bahwa adanya hubungan yang Kejadian Penyakit TB bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian Berdasarkan Tabel 6, menunjukkan bahwa 63,3 TB paru dengan nilai OR = 2,716, sesuai pula hasil % untuk kasus penghuni rumah dengan didnding penelitian oleh Wiasa (2009) bahwa ada hubungan rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan yang bermakna antara kepadatan hunian dengan 36,7 % yang memenuhi syarat kesehatan. Secara kejadian penyakit dengan nilai OR = 11,76.

Tabel 6. Hubungan Dinding Rumah dengan Tingkat Kejadian Penyakit TB

Kejadian Penyakit TB Dinding rumah Odd Ratio (OR) P Kasus Kontrol F % F %

Tidak memenuhi syarat 19 63,3 5 16,7 8,64 0,00 Memenuhi syarat 11 36,7 25 83,3 Total 30 100 30 100

Tabel 7. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Tingkat Kejadian Penyakit TB

Kejadian Penyakit TB Kepadatan hunian Odd Ratio (OR) P Kasus Kontrol F % F %

Tidak memenuhi syarat 25 83,3 7 23,3 16,43 0,00 Memenuhi syarat 5 16,7 23 76,7 Total 30 100 30 100

59 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

3.9 Hubungan Lantai Rumah dengan Kejadian 3.10 Besar Hubungan Sanitasi Rumah dengan Penyakit TB Kejadian TB Berdasarkan Tabel 8, menunjukkan bahwa 30 Untuk mengetahui hubungan semua variable % kasus penghuni rumah dengan lantai rumah yang bebas secara bersamaan dengan variable terikat tidak memenuhi syarat kesehatan dan 70 % penghuni dilakukan analisis multivariate menggunakan rumah dengan lantai rumah yang memenuhi syarat uji regresi logistik. Variabel yang bisa dimasukkan kesehatan. Secara statistik terdapat hubungan yang ke dalam analisis regresi logistic adalah variable bermakna antara kualitas lantai rumah dengan yang nilainya (p< 0,25) yaitu: pencahayaan, tingkat kejadian TB (p < 0,05) dengan nilai odd ratio kelembaban, ventilasi, dinding rumah, kepadatan 2,143. Ini berarti jika memiliki rumah dengan hunian dan lantai rumah. Dalam penelitian ini kualitas lantai tidak memenuhi persyaratan digunakan uji regresi logistic karena dari hasil uji memiliki kemungkinan terkena penyakit TB 2,143 Hosmer-Lemeshow terhadap data hasil penelitian, kali lebih besar dibandingkan dengan yaang memiliki didapatkan nilai chi-squarenya 4,417 dengan lantai rumah memenuhi syarat. Untuk mencegah nilai signifikansi 0,491. Nilai signifikansi yang masuknya air ke dalam rumah, untuk rumah bukan didapat lebih besar dari 0,05, sehingga dapat panggung sebaiknya tinggi lantai ± 10 cm dari disimpulkan bahwa data kelompok hasil pekarangan dan 25 cm dari badan jalan (Adnani, observasi dikatakan fit dengan model regresi 2011). logistik.

Tabel 8. Hubungan Lantai Rumah dengan Tingkat Kejadian Penyakit TB

Kejadian Penyakit TB Ventilasi Odd Ratio (OR) P Kasus Kontrol F % F %

Tidak memenuhi syarat 9 30 5 16,7 2,143 0,22 Memenuhi syarat 21 70 25 83,3 Total 30 100 30 100

Tabel 9. Besar Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Penyakit TB

95% CI untuk OR Variabel Odd Ratio (OR) B P Low Upp

Step 1 Pencahayaan 5,130 1,635 0,212 124,084 0,314 Kelembaban 16,01 2,773 0,522 490,837 0,112 Ventilasi 16,32 2,792 1,543 172,555 0,020 Dinding rumah 0,858 -0,153 0,111 6,649 0,884 Kepadatan hunian 12,743 2,545 1,188 136,701 0,036 Lantai rumah 0,187 -1,674 0,010 3,630 0,268 Constant 0,014 -4,296 0,001 Step 2 Pencahayaan 5,075 1,624 0,318 0,209 123,422 Kelembaban 14,995 2,708 0,109 0,545 412,258 Ventilasi 16,007 2,773 0,020 1,543 166,081 Kepadatan hunian 11,677 2,458 0,019 1,494 91,285 Lantai rumah 0,2 -1,607 0,264 0,012 3,357 Constant 0,014 -4,287 0,001 Step 3 Kelembaban 53,896 3,987 0,003 4,058 715,868 Ventilasi 9,082 2,206 0,018 1,466 56,261 Kepadatan hunian 17,506 2,863 0,004 2,433 125,945 Lantai rumah 0,126 -2,073 0,141 0,008 1,990 Constant 0,017 -4,091 0,001 Step 4 Kelembaban 19,158 2,953 0,001 3,171 115,751 Ventilasi 6,408 1,858 0,030 1,199 34,236 Kepadatan 13,342 2,591 0,004 2,261 78,733 Constant 0,24 -3,718 0,000

60 Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis (TB) di Kecamatan Kuta [I Made Mudana, dkk.]

Berdasarkan Tabel 9, didapatkan hasil bahwa memberi masukan dalam melaksanakan terdapat tiga variable bebas yang secara statistik pembangunan/penataan perumahan khususnya berhubungan secara bermakna (p < 0,05) dengan masalah lingkungan dan rumah yang memenuhi variable terikat yaitu kelembaban (OR = 19,158, 95% standar kesehatan. CI 3,171 – 115,751), ventilasi (OR = 6,408, 95% CI = 1,199 – 34,236), kepadatan hunian (OR 13,342, 95% CI = 2,261 – 78,733) DAFTAR PUSTAKA Adnani, 2011. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta : Nuhu Medika. 4. SIMPULAN DAN SARAN Ahmad, Y.N, dan Lilis Sulistyorini. 2005. Hubungan Sanitasi Rumah Secara Fisik Dengan Kejadian 4.1 Simpulan ISPA Pada Balita. Jurnal Kesehatan Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan Lingkungan I (2) : 110-119. sanitasi rumah dengan kejadian penyakit Depkes R.I. 2011. Strategi Nasional Pengendalian tuberkulosis (TB) di Kecamatan Kuta, maka dapat TB di Indonesia. Jakarta : Ditjen PPM – PLP. disimpulkan sebagai berikut : Dewi, S. 2012.” Pengaruh Sanitasi Lingkungan 1. Terdapat hubungan antara sanitasi rumah Rumah Penghasilan Keluarga dan Pengendalian dengan kejadian penyakit tuberkulosis (TB) di Terhadap Kejadian Penyakit TB Paru Pada Ibu Kecamatan Kuta. Rumah Tangga di Puskesmas Mulyorejo Kab. 2. Variabel sanitasi rumah yang berhubungan Deli Serdang” (Tesis). Medan : Universitas dengan kejadian penyakit tuberkulosis (TB) di Sumatera Utara. Kecamatan Kuta adalah : pencahayaan, Dinas Kesehatan Kabupaten Badung. 2014. Laporan kelembaban, ventilasi, dinding rumah, Tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten kepadatan hunian dan lantai rumah. Sedangkan Badung2013. Mangupura : Dinas Kesehatan yang tidak berhubungan dengan kejadian Kabupaten Badung. penyakit tuberkulosis (TB) adalah suhu . Dinas Kesehatan Kabupaten Badung. 2015. Laporan 3. Dari hasil uji statistik probabilitas orang yang Tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Badung menempati rumah dengan sanitasi buruk 2014. Mangupura : Dinas Kesehatan Kabupaten (kelembaban, ventilasi dan kepadatan hunian) Badung. di Kecamatan Kuta untuk terkena tuberkulosis Dinas Kesehatan Kabupaten Badung. 2016. Laporan (TB) adalah 97,08%. Tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Badung 2015. Mangupura : Dinas Kesehatan Kabupaten 4.2 Saran Badung. Dari hasil kesimpulan untuk dapat menurunkan Fatimah,S. 2008. Faktor Kesehatan Lingkungan kejadian tuberkulosis (TB) di Kecamatan Kuta yang Rumah yang berhubungan dengan Kejadian TB berhubungan dengan sanitasi rumah, maka dapat paru di Kabupaten Cilacap. Tesis : Undip disarankan sebagai berikut: Semarang. 1. Kepada masyarakat yang tinggal di Kecamatan Pemerintah Kabupaten Badung. 2015. Badung Kuta agar dalam membangun atau menempati Dalam Angka 2014. Mangupura : rumah tinggal memperhatikan faktor sanitasi Pemerintah Kabupaten Badung dan standar rumah sehat. Untuk dapat Sugiharto, 2004. Hubungan Kepadatan Hunian memenuhi standar rumah sehat maka syarat Rumah dengan Kejadian Penyakit TB Paru di rumah sehat wajib untuk dipenuhi seperti : Puskesmas Jenggot. Tesis : Universitas pencahayaan, kelembaban, suhu, ventilasi, Diponegoro. Semarang kepadatan hunian, dinding rumah dan lantai Sujana, I.K, Patra, I.M, dan Mahayan, B. I, M, 2013. rumah. Pengaruh Sanitasi Rumah Terhadap Kejadian 2. Kepada Pemerintah / SKPD terkait agar Penyakit TB Paru di Wilayah Kerja UPT. memberikan pembinaan ataupun arahan kepada Puskesmas Mengwi I. Jurnal Kesehatan masyarakat supaya dalam membangun rumah Lingkungan 4 (1) : 93 – 98. memperhatikan tata ruang serta Wiasa, I. W, 2009. Hubungan Faktor Lingkungan memperhatikan rumah yang memenuhi syarat Fisik Rumah dengan Kejadian TB Paru di kesehatan sehingga masyarakat yang Kabupaten Tabanan. Tesis. Universitas Air menempati rumah tersebut merasa aman, Langga Surabaya. nyaman dan terhindar dari bahaya penyakit Yasril, Kasjono, S. H. 2009. Analisis Multivariat khususnya yang bersumber dari sanitasi rumah untuk Penelitian Kesehatan. Yogyakarta : Mitra yang buruk, seperti terjadinya kasus TB. Cendikia Offset. 3. Kepada Non Government Organization (NGO)/ LSM terkait supaya dapat menjadi pendamping/

61 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

EFEKTIVITAS PENERAPAN AMDAL DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP PADA PEMBANGKIT LISTRIK DI BALI – STUDI KASUS PLTD/G PESANGGARAN

Helga Margareta Hunter1*), Made Sudiana Mahendra2), I.G.B. Sila Dharma3)

1)PT General Energy Bali, Bali, Indonesia 2)Fakultas Pertanian Universitas Udayana 3)Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana *Email: [email protected]

ABSTRACT

The development and sustainability of power plant’s activity has a positive impact, such as the increased electricity energy which will indirectly boost the economy, but it also has negative impact, such as the rising pressure towards environment. One way to prevent it from damaging environment is to require stakeholders and industry actors to have the environment permit including EIA (Environment Impact Assessment). The objective of this study was to find out the effectiveness of EIA application on power plant on PLTD/G Pesanggaran. This study was conducted with a descriptive qualitative approach which used data from observations, interviews, questionnaires, and literatures. Location of this study was at PLT/D Pesanggaran. The data that were gathered is used to be the base for value determination from valuation categories, so that the value of effectiveness of EIA application in PLTD/G Pesanggaran is subsequently gained. The EIA implementation of PLTD/G Pesanggaran as a whole was sufficient and in accordance with the environmental document. Supervision of RKL-RPL implementation which was done by BLH had been carried out systematically and effectively. The effectiveness value of EIA implementation in PLTD/G Pesanggaran was 94%, which means that the EIA implementation was effective.

Keywords: EIA; power plant; effectiveness; management; supervision; environment

1. PENDAHULUAN Pembangunan dan keberlangsungan kegiatan power plant memberikan dampak positif yaitu Kebutuhan energi listrik pada era globalisasi bertambahnya pengadaan energi listrik yang secara menjadi kebutuhan pokok di seluruh dunia, tidak langsung meningkatkan perekonomian, termasuk Indonesia. Dengan meningkatnya tingkat namun juga memberikan dampak negatif berupa kesejahteraan masyarakat, maka kebutuhan akan meningkatnya tekanan terhadap lingkungan. energi listrik juga akan meningkat. Tekanan terhadap lingkungan dari pembangunan Seiring dengan semakin pesatnya perkem- yang kurang memperhatikan daya dukung dan daya bangan industri pariwisata dan tata kota, kebutuhan tampung lingkungan setempat, pada akhirnya akan energi listrik di Bali meningkat dengan pesat. menyebabkan kerusakan lingkungan (Wahyono, Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Timur dan dkk, 2012). Kerusakan lingkungan tersebut menjadi Bali Amin Subekti mengatakan (2016), kebutuhan tanggung jawab bersama seluruh pemangku energi listrik di Bali dari tahun ke tahun semakin kepentingan, termasuk masyarakat, pemerintah dan meningkat dan sekarang ini ketersediaan listrik di pemrakarsa. daerah ini hanya 1.300 megawatt (MW) dengan beban Sari, dkk, (2012) mengungkapkan bahwa salah puncak 834 MW, sedangkan menurut RUPTL PLN satu upaya preventif yang dilakukan untuk 2016-2025 (2016), kebutuhan energi listrik di menghindari kerusakan lingkungan tersebut adalah Indonesia akan meningkat 8,2% per tahun dan di dengan mewajibkan kepada setiap pelaku industri Bali sendiri akan meningkat sebesar 7,7% per tahun. untuk memiliki Izin Lingkungan dengan menyer- Pemadaman listrik yang sering terjadi setahun takan Analisis mengenai Dampak Lingkungan belakangan ini di Bali akibat rusaknya kabel (Amdal), Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan transmisi listrik bawah laut yang memasok Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL). kebutuhan listrik di Pulau Bali dari Jawa Kedua studi tersebut merupakan studi kelayakan menunjukan adanya ketergantungan pemasokan lingkungan yang harus dibuat oleh pemrakarasa energi listrik di Bali dari Jawa. Pembangunan kegiatan dan atau usaha yang baru atau belum beberapa pembangkit listrik (power plant) di Bali beroperasi, sehingga melalui dokumen ini dapat dilakukan untuk mengurangi ketergantungan akan diperkirakan dampak yang akan timbul dari suatu energi litrik yang disuplai dari Jawa. kegiatan kemudian bagaimana dampak tersebut

62 ECOTROPHIC • 11 (1) : 62 - 69 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395 Efektvitas Penerapan AMDAL dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Pada Pembangkit Listrik di Bali ..... [Helga Margareta Hunter, dkk.] dikelola baik dampak negatif maupun dampak positif. Amdal belum semua berfungsi dengan baik dan Pasal 22 ayat (1) UUPLH menyebutkan bahwa lemahnya penegakan hukum lingkungan. “setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak Revitalisasi sistem Amdal dilakukan oleh penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki pemerintah pada tahun 2004 karena dirasakan Amdal” dan Pasal 34 ayat (1) bahwa “setiap usaha terdapat banyak hal yang kurang dalam pelaksanaan dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam Amdal. Hal ini diperkuat dengan masukan beberapa kriteria wajib Amdal, wajib memiliki dokumen UKL- pakar Amdal. Ada beberapa alasan mengapa program UPL”. Dokumen lingkungan ini digunakan sebagai revitalisasi dilakukan, antara lain (Wahyono, dkk, instrumen pencegahan pencemaran yang dibuat pada 2012): tahap perencanaan usaha dan/atau kegiatan. a. Efektivitas Amdal perlu ditingkatkan karena Dokumen Amdal memuat Dokumen Kerangka Amdal belum dilakukan sebagai perangkat Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA-Andal), pencegahan dampak lingkungan dan cenderung Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup hanya untuk memenuhi persyaratan (ANDAL), Dokumen RencanaPengelolaan administrasi saja. Lingkungan Hidup (RKL), dan Dokumen Rencana b. Kualitas Amdal masih sangat rendah. Hasil Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL). Pasal 2 ayat evaluasi pada tahun 2004 menunjukan hanya (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 22% dari sampel Amdal yang dievaluasi memiliki 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan menetapkan katagori baik dan sangat baik. setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki c. Pelaksanaan Amdal belum dilakukan dengan Amdal atau UKL-UPL wajib memiliki Izin serius dan konsisten. Lingkungan. Pasal 53 ayat (1) huruf b mengatakan d. Penaatan dan penegakan hukum Amdal belum setiap pemegang izin lingkungan memiliki kewajiban efektif atau persisnya tidak ada upaya pentaatan membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan hukum. terhadap persyaratan dan kewajiban dalam izin lingkungan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/ Menurut Wahyono, dkk. (2012), efektivitas walikota dan sesuai Pasal 53 ayat (2) laporan tersebut pelaksanaan Amdal juga perlu ditingkatkan karena disampaikan secara berkala setiap 6 (enam) bulan. beberapa fakta menunjukan bahwa pada Menurut Sabaruddin (2007), instansi yang kenyataannya: bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup a. Pemrakarsa baru menyusun Amdal setelah izin mempunyai kewenangan dalam pengendalian mulainya kegiatan dikeluarkan, artinya Amdal dampak lingkungan, pencemaran, dan kerusakan tidak berperan sebagai alat pembantu lingkungan serta pengawasan pelaksanaan UKL- pengambilan keputusan. UPL di daerahnya. Peran yang efektif dari b. Pemrakarsa masih memandang Amdal sebagai pemerintah diperlukan dalam dokumen lingkungan, tambahan biaya ketimbang alat pengelolaan agar dapat lebih meningkatkan kualitas dan lingkungan hidup. Pengelolaan lingkungan yang integritas dokumen lingkungan (Ross, et. al., 2006). terdapat dalam RKL-RPL belum berorientasi Koordinasi/hubungan dan mekanisme kerja antar pada langkah-langkah untuk penurunan biaya pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sangat produksi. diperlukan, sehingga terdapat kejelasan mandat, c. Perencanaan Amdal sebagai bahan studi untuk menghindarkan terjadinya kerancuan dan kelayakan masih lemah karena sering kali tumpang tindihnya wewenang dan tanggung jawab terlambat dilaksanakan setelah aspek ekonomi di bidang pengelolaan sumberdaya alam dan dan teknis dinyatakan layak. Dengan demikian lingkungan. Sosialisasi dan komunikasi menjadi rendah sekali kemungkinan bagi hasil studi kunci penting bagi implementasi pembangunan Amdal untuk memberikan masukan perbaikan berwawasan lingkungan (Sarbi, 2006). dan masukan alternatif bagi kegiatan. Pada kenyataannya, studi kelayakan lingkungan d. Amdal disusun dengan kualitas rendah dan baik dalam bentuk Amdal maupun UKL-UPL yang cenderung tidak fokus. dijadikan usaha preventif tidak selalu berjalan dan e. Penilai Amdal belum mampu mengarahkan berhasil optimal. Menurut Rosita dalam Sambutan agar kualitas Amdal dapat ditingkatkan, masih Rapat Kerja Amdal tahun 2009 (Wahyono, dkk, 2012), banyak dokumen yang berkualitas rendah sampai saat ini masih banyak dokumen Amdal yang diloloskan juga dengan berbagai alasan. berkualitas buruk, masih tingginya tingkat plagiasi diantara dokumen Amdal, dan sebagainya. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk Dilaporkan bahwa ada sekitar 9.000 lebih dokumen mengetahui tentang efektivitas penerapan Amdal Amdal telah disetujui oleh pemerintah, namun tidak dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup pada menjamin kerusakan lingkungan dapat pembangkit listrik di Bali - Studi Kasus PLTD/G diminimalkan. Penyebabnya antara lain komisi Pesanggaran.

63 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

2. METODOLOGI tanggal 25 November 2004 dan adendum surat persetujuan Kelayakan Lingkungan dari Gubernur 2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Bali nomor 660.1/1748/BLH/2015 tanggal 14 Agustus Penelitian ini dilakukan di PLTD/G 2015. Luas lahan yang dimiliki lebih kurang 71.970 Pesanggaran di Kota Denpasar, Bali. Alasan m2 (7,2 Ha) dan di atas lahan tersebut berdiri pemilihan lokasi penelitian ini adalah pembangkit bangunan gedung kantor, tangki induk BBM, tempat listrik tersebut telah memiliki dokumen Amdal. parkir, taman, mesin PLTD/G 12 unit, Pembangkit Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan, mulai dari Listrik Tenaga Gas (PLTG) sebanyak 4 unit dan 1 Bulan Juli sampai dengan Desember 2016. diantaranya menggunakan pemantauan Continous Emission Monitoring System (CEMS). Kapasitas 2.2 Prosedur Penelitian terpasang pada PLTG 125,45 MW dan PLTD/G 200 Sesuai dengan bentuk pendekatan penelitian MW yang bisa menggunakan dua metode bahan kualitatif dan sumber data yang akan digunakan, bakar yaitu Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Bahan maka teknik pengumpulan data yang digunakan Bakar Gas (BBG). adalah dengan teknik observasi, wawancara, Mesin-mesin pembangkit tersebut telah kuesioner, dan studi pustaka. dioperasikan sejak tahun 1974 sampai dengan sekarang dan didukung oleh 165 personil yang terdiri 2.3 Analisis Data dari 1 orang General Manager, 5 Manajer Bidang Data primer yang terkumpul melalui kuesioner dan 180 orang staf. dan wawancara dilakukan pengolahan dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Data 3.2 Pelaksanaan Pengelolaan dan Pemantauan berupa deskripsi, interpretasi maupun nilai kualitatif PLTD/G Pesanggaran dalam melakukan akan dikelompokan tersendiri sebagai data kegiatan pembangkit listrik menimbulkan dampak pendukung dalam penyusunan laporan. terhadap lingkungan, sehingga memerlukan upaya Efektivitas adalah suatu keadaan yang pengelolaan dan pemantauan lingkungan dan menunjukkan tingkat keberhasilan atau kegagalan pelaksanaannya dilakukan oleh perusahaan kegiatan dalam mencapai tujuan yang telah sebagaimana tertuang dalam dokumen RKL-RPL. ditetapkan terlebih dahulu. Dalam efektivitas Semua komponen lingkungan, baik komponen geo- penerapan Amdal dan pelaksanaan RKL-RPL dalam fisik kimia, biologi, sosial ekonomi, sosial budaya dan pengelolaan lingkungan hidup di Bali, Kriteria kesehatan masyarakat, telah dilakukan upaya efektivitas pengelolaan lingkungan yang dipakai pengelolaan, namun untuk pemantauan lingkungan adalah (Wahyono, 2012): ada beberapa parameter yang belum dipantau. 0 – 33% : belum efektif Pelaksana pengelolaan dan pemantauan lingkungan 34 – 66% : cukup efektif pada PLTD/G Pesanggaran dilakukan seluruhnya 67 – 100% : sudah efektif oleh perusahaan dengan bagian terkait. Pengawasan Hasil analisis data sesuai dengan permasalahan dari instansi/dinas mendorong pelaksanaan upaya dan tujuan penelitian disajikan dalam bentuk formal pengelolaan dan pemantauan lingkungan pada dan informal. Dalam bentuk informal, yakni berupa PLTD/G Pesanggaran. uraian kalimat secara deskriptif yang menjelaskan Seluruh responden merasakan manfaat semua aktivitas penelitian yang disusun secara pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan sistematis dalam bentuk bab-bab. Selanjutnya, dalam lingkungan pada PLTD/G Pesanggaran yang bentuk formal, yakni dapat berupa tabel, yaitu dilakukan. Menurut hasil penelitian, manfaat yang pendeskripsian tentang data hasil penelitian, baik didapat pemrakrsa dari pelaksanaan pengelolaan dan berupa angka maupun kata-kata; berupa gambar, pemantauan lingkungan adalah lingkungan tetap yaitu visualisasi yang melukiskan segala sesuatu bersih dan lingkungan tidak rusak dan tercemar. yang berkaitan dengan penelitian. Kendala dalam pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan pada PLTD/G Pesanggaran sebagian besar adalah karena sulitnya sosialisasi ke 3. HASIL DAN PEMBAHASAN masyarakat sekitar yang belum memahami kaidah lingkungan. Biaya, ketersediaan sumber daya 3.1 Deskripsi Kegiatan Perusahaan manusia dan tidak adanya teknologi juga menjadi PT. Indonesia Power UP Bali adalah sebuah salah satu kendala pelaksanaan pengelolaan dan perusahaan yang bergerak di bidang Pembangkit pemantauan lingkungan. Tenaga Listrik. yang terletak di Jalan Brigjen I Gusti PLTD/G Pesanggaran membuat laporan Ngurah Rai nomor 535, Kelurahan Pedungan, semester pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, lingkungan dan melakukan pelaporan setiap Provinsi Bali. Dokumen Amdal yang dimiliki sesuai semester atau dua kali setiap tahunnya dengan dengan SK Amdal yang disetujui No. 371 Tahun 2004 format yang telah memenuhi ketentuan peraturan.

64 Efektvitas Penerapan AMDAL dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Pada Pembangkit Listrik di Bali ..... [Helga Margareta Hunter, dkk.]

PLTD/G Pesanggaran juga telah memiliki BLH Kota Denpasar sebagai pengawas program Coorporate Social Responsibility (CSR) dan penerapan Amdal PLTD/G Pesanggaran menilai community development (comdev). Program CSR bahwa pengelolaan dan pemantauan yang dilakukan yang dilakukan antara lain penanaman 3500 pohon PLTD/G Pesanggaran sudah sesuai dan efektif. di sekitar Bali bekerja sama dengan BLH Kota Denpasar, budidaya kuda laut di Pulau Serangan 3.4 Efektivitas Pelaksanaan Amdal dan pemberian sepeda kepada masyarakat untuk Nilai efektivitas penerapan Amdal PLTD/G pengembangan Ekowisata Desa Pedungan. Untuk Pesanggaran didapat dari analisis deskriptif comdev yang dijalankan adalah mengembangkan kualitatif dari kategori penilaian efektivitas Koperasi dan Kelompok Usaha Kecil. penerapan Amdal (Wahyono, 2012) seperti terlihat dalam Lampiran 1. Seluruh data yang didapat dari 3.3 Pelaksanaan Pengawasan Pengelolaan dan observasi, kuesioner, dan wawancara menjadi dasar Pemantauan Lingkungan penilaian untuk 25 indikator yang dibagi menjadi 8 Pelaksanaan pengawasan pengelolaan dan bagian. pemantauan lingkungan pada PLTD/G Pesanggaran PLTD/G Pesanggaran telah memiliki cerobong dilakukan oleh instansi pemerintah pada bidang yang dilengkapi dengan tangga dan lubang sampling lingkungan dari pemerintah pusat sampai yang memenuhi syarat serta telah menggunakan pemerintah daerah. Instansi yang melakukan CEMS, sehingga untuk indikator pertama didapatkan pengawasan terhadap pengelolaan dan pemantauan nilai 4. Begitu juga untuk hasil uji laboratorium lingkungan PLTD/G Pesanggaran adalah BLH Kota emisi dan udara ambien dilakukan secara periodik Denpasar, BLH Provinsi Bali, dan Pusat untuk semua parameter dan hasilnya sesuai baku Pengendalian Pembangunan Ekoregion (P3E) Bali mutu yang ditetapkan, sehingga untuk indikator Nusra (Kementerian Lingkungan Hidup dan kedua didapat nilai 4. Kehutanan Republik Indonesia). Hasil penelitian ini Kebisingan tertinggi di PLTD/G Pesanggaran didapat dari penelitian yang dilakukan terhadap BLH hanya di sekitar mesin pembangkit. Alat peredam Kota Denpasar mengenai pengawasan pengelolaan sudah dipasang di mesin pembangkit dan areal mesin dan pemantauan lingkungan di PLTD/G pembangkit sehingga suara bising mesin tidak Pesanggaran. keluar. Penggunaan APD dan penanaman pohon Pengawasan BLH Kota Denpasar dimulai dari juga sudah dilakukan untuk mengurangi suara pembahasan penyusunan dokumen Amdal PLTD/G bising, sehingga untuk indikator ketiga dan keempat Pesanggaran. Kegiatan pengawasan penerapan mendapat nilai masing-masing 4. Amdal PLTD/G Pesanggaran dilaksanakan secara Indikator selanjutnya yaitu pengendalian sistematis dengan mekanisme sebagai berikut: pencemaran air juga mendapat angka 4 karena a. Melakukan kunjungan lapangan secara rutin PLTD/G Pesanggaran telah memiliki IPAL yang dan berkala. dilengkapi dengan pengukur debit di inlet dan outlet b. Membaca dan mencermati laporan pelaksanaan serta dilakukan uji lab berkala. Pemantauan intern RKL-RPL. untuk air juga dilakukan dan juga dilakukan c. Jika ada penyimpangan dari standar baku mutu, pencatatan setiap bulannya sehingga untuk indikator BLH akan memberikan saran kepada PLTD/G pemantauan intern mendapat nilai 4. Pesanggaran untuk melakukan perbaikan. Uji laboratorium untuk air sumur dilakukan d. Melakukan pengawasan secara terus menerus secara periodik, namun hasil uji laboratorium untuk hingga tercapai standar baku mutu yang beberapa parameter ada yang melebihi baku mutu ditetapkan. seperti paremeter seng pada bulan Juni 2015 Laporan pelaksanaan RKL-RPL secara rutin mencapai 0,110 mg/l sedangkan baku mutu yang setiap semester disampaikan PLTD/G Pesanggaran diperbolehkan hanya 0,05mg/l dan parameter sulfida kepada BLH Kota Denpasar. Dalam pelaksanaan mencapai 0,009 mg/l sedangkan baku mutu yang pengawasan yang dilakukan BLH Kota Denpasar, diperbolehkan hanya 0,002 mg/l (Laporan RKL-RPL tidak ada penyimpangan yang ditemukan baik PLTD/G Pesanggaran, 2015). Begitu pula parameter dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang besi pada bulan Juni 2016 mencapai 0,112 mg/l dilakukan PLTD/G Pesanggaran. Belum pernah ada sedangkan baku mutu yang diperbolehkan adalah sanksi administratif yang diberikan BLH Kota 0,1 mg/l (Laporan RKL-RPL PLTD/G Pesanggaran, Denpasar kepada PLTD/G Pesanggaran. 2016). Hal ini menyebabkan nilai untuk indikator Sempat ada informasi atau keluhan dari warga ketujuh mendapat nilai 3. sekitar PLTD/G ke BLH secara langsung atau tidak Uji laboratorium untuk air kali/sungai dan air langsung. Informasi atau keluhan tersebut antara laut dilakukan secara periodik, namun hasil uji lab lain permasalahan mengenai perluasan lahan dan untuk beberapa parameter air sungai melebihi baku juga suara bising dari mesin pembangkit, namun mutu seperti parameter amonia dan BOD pada bulan permasalahan tersebut telah diselesaikan. Juni 2015 (Laporan RKL-RPL PLTD/G Pesanggaran,

65 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

2015). Parameter amonia mencapai 2,767 mg/l, jabatan, sehingga untuk indikator kelima belas sedangkan baku mutu yang ditetapkan adalah 0,5 diberikan nilai 4. mg/l dan parameter BOD mencapai 32,04 mg/l, Keberadaan usaha kecil menengah (UKM) di sedangkan baku mutu yang ditetapkan adalah 12 sekitar PLTD/G seperti beberapa warung makan dan mg/l. Hal ini menyebabkan nilai untuk indikator warung yang menjual barang kebutuhan sehari-hari kedelapan dari kategori penilaian mendapat nilai 3. menunjukan adanya peningkatan kesempatan Uji laboratorium terhadap biota flora dan fauna berusaha. Meski tidak banyak, tetapi UKM tersebut air dilakukan secara periodik. Hasil yang ditunjukan tertata rapih. Indikator keenam belas tentang mengalami fluktuasi untuk jumlah jenis, jumlah peningkatan kesempatan berusaha diberi nilai 3. individu, dan indeks diversitas baik fauna maupun Untuk program CSR, perusahaan telah memiliki flora seperti terlihat pada Tabel 1. Hasil uji kebijakan dan secara rutin dilaksanakan sehingga laboratorium terakhir (Pemantauan Biologi, 2016) indikator ketujuh belas diberi nilai 4. menunjukan peningkatan jumlah jenis, jumlah Pengelolaan gangguan K3 dilakukan dengan individu, dan indeks diversitas sehingga untuk menyediakan APD dan mewajibkan para pekerja indikator kategori penilaian kesembilan mendapat untuk mengenakan APD sesuai dengan SOP masing- nilai 4. masing bagian, sehingga untuk indikator kedelapan Pengelolaan dan pemantauan limbah PLTD/G belas diberi nilai 4. Pengelolaan lalu lintas di sekitar Pesanggaran dilakukan dengan baik. Pengelolaan PLTD/G Pesanggaran dilakukan dengan pengadaan limbah cair dilakukan dengan IPAL yang lahan parkir, rambu lalu lintas, dan petugas dioperasikan secara rutin. Limbah cair juga diuji keamanan, sehingga nilai untuk indikator secara periodikdan hasilnya baik di bawah baku kesembilan belas adalah 4. mutu yang ditetapkan. Limbah B3 diletakan di Manajemen PLTD/G Pesanggaran memberikan Tempat Penyimpanan Sementara (TPS) Limbah B3 wewenang kepada divisi K3 Lingkungan (K3L) untuk yang telah memiliki ijin, setiap limbah B3 diberi label bertanggung jawab terhadap penerapan Amdal dan untuk setiap jenisnya, dan pengolahan limbah B3 pelaksanaan RKL-RPL. Divisi K3L akan melakukan akan dilakukan dengan bekerja sama dengan pihak sosialisasi dengan divisi lain dan melakukan ketiga yang telah memiliki ijin. Pengelolaan limbah koordinasi untuk pelaksanaan pengelolaan dan sampah/padat dilakukan dimulai dari penyediaan pemantauan lingkungan dengan divisi yang tempat sampah di beberapa titik untuk selanjutnya berkaitan. Karena pelaksanaan pengelolaan dan dibawa ke TPS untuk dipilah. Sampah organik akan pemantauan dilakukan secara periodik dan dijadikan pupuk dengan metode composting atau terintegrasi maka manfaat dari pelaksanaan bekerja sama dengan pihak ketiga. Sampah pengelolaan dan pemantauan agar lingkungan tidak anorganik akan dipilah untuk dimanfaatkan oleh tercemar dan rusak menjadi efisien dan mencapai pihak ketiga. Berdasarkan deskripsi tersebut, nilai 75-100%. Berdasarkan deskripsi tersebut, nilai untuk untuk indikator kesepuluh-ketigabelas masing- indikator kedua puluh dan dua puluh satu adalah masing 4. masing-masing 4. Berdasar hasil wawancara, perekrutan tenaga PLTD/G Pesanggaran secara rutin melaporkan lokal sudah dilakukan oleh perusahaan hanya sekitar kegiatan pengelolaan dan pemantauan kepada BLH 15-20% dan mayoritas oleh perusahaan outsource. Kota Denpasar dan BLH Provinsi Bali. Laporan yang Tenaga kerja lainnya berasal dari luar Bali karena dikumpulkan antara lain Laporan Pelaksanaan RKL- perekrutan dilakukan dari pusat. Perekrutan tenaga RPL yang dilakukan setiap semester, Laporan lokal masih berada dibawah 25% sehingga untuk Pemantauan Biologi yang dilakukan setiap 3 bulan, indikator keempatbelas diberi nilai 1. Pendapatan dan Laporan pengelolaan limbah B3. Pelaksanaan yang diberikan kepada tenaga kerja di PLTD/G pengelolaan dan pemantauan serta pelaporan sesuai dengan upah minimum regional (UMR). Para dilakukan secara rutin sehingga menciptakan pekerja juga diberikan asuransi serta tunjangan lingkungan yang baik sehingga tidak ada sanksi lainnya seperti tunjangan hari raya dan tunjangan adimistratif dari pemerintah setempat untuk PLTD/

Tabel 1. Data kuantitatif fauna dan flora air PLTD/G Pesanggaran periode 2015-2016

Fauna Flora No Parameter Juni 2015 Des 2015 Mar 2016 Juni 2015 Des 2015 Juni 2016

1 Jumlah jenis 17 14 15 15 11 13 2 Jumlah individu 134 74 102 635 594 605 3 Indeks diversitas 2,431 2,433 2,539 1,5421 1,5563 1,7794

Sumber: Pemantauan Biologi (Fauna Air dan Flora Air) di Lingkungan PLTD/G/U Pesanggaran-Bali (2016)

66 Efektvitas Penerapan AMDAL dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Pada Pembangkit Listrik di Bali ..... [Helga Margareta Hunter, dkk.]

G Pesanggaran. Aduan dari masyarakat tentang stack, dan pemeliharaan setiap mesin PLTD/G Pesanggaran juga tidak pernah diterima pembangkit dan mesin pendukung. Kualitas BLH Kota Denpasar. Kerja sama dengan instansi udara dan emisi sudah dipantau secara rutin. terkait pengelolaan lingkungan juga dilakukan Pengujian udara ambien sudah dilakukan antara lain kerja sama dengan BLH Kota Denpasar dengan uji laboratorium dan dilaporkan dalam untuk membuat 1000 biopori di sekitar Pesanggaran laporan RKL-RPL, untuk emisi sudah dilakukan dan kerja sama dengan PPLH untuk pemantauan menggunakan CEMS namun uji laboratorium biota. Berdasarkan deskripsi tersebut maka nilai emisi belum dilakukan. Kualitas udara ambien untuk indikator kedua puluh dua sampai dua puluh dan emisi di PLTD/G Pesanggaran masih berada lima masing-masing adalah 4. di bawah baku mutu yang ditetapkan peraturan Berdasarkan hasil analisa data dengan perundang-undanganan. menggunakan analisis deskriptif kualitatif, 2) Pengelolaan dampak pada kebisingan efektivitas penerapan Amdal PLTD/G Pesanggaran Pengendalian kebisingan dengan memasang alat adalah 94%. Sesuai kriteria efektifitas pengelolaan peredam suara pada alat dan gedung pembang- lingkungan yang dipakai Wahyono (2012), nilai kit, penggunaan APD, penanaman pohon di efektifitas penerapan Amdal PLTD/G Pesanggaran sekitar pembangkit, dan pemeliharaan mesin berada dalam kisaran 67-100% yaitu sudah efektif. pembangkit. Pengujian terhadap kebisingan sudah dilakukan dan sudah sesuai dengan baku 3.5 Evaluasi Pelaksanaan RKL-RPL PT mutu yang ditetapkan peraturan perundang- Indonesia Power UP Bali undanganan seperti ditampilkan pada Tabel 3. Berdasarkan hasil kajian pelaksanaan Hasil uji juga sudah dilaporkan kepada instansi pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang telah melalui laporan RKL-RPL setiap semester. dilaksanakan oleh PLTD/G Pesanggaran terlihat 3) Pengelolaan kualitas air pada Tabel 2. Pengelolaan untuk kualitas air dilakukan Dari Tabel 2. dapat diuraikan sebagai berikut: dengan membuat IPAL, membuat bak 1) Pengelolaan dampak pada kualitas udara penampungan limbah cair, dan pengolahan Pengelolaan dengan melakukan penghijauan, limbah cair. Pengujian untuk kualitas air pemasangan CEMS, pemasangan filter di setiap dilakukan secara rutin untuk air limbah, air tanah, dan air laut sekitar. Hasil uji Tabel 2. Evaluasi Pelaksanaan RKL-RPL PLTD/G Pesanggaran laboratorium untuk air sudah dilaporkan kepada instansi melalui laporan RKL-RPL setiap Pelaksanaan semester. Beberapa hasil uji laboratorium untuk No Komponen lingkungan Ket air sumur di Pesanggaran dan air sungai sekitar Ya Tidak PLTD/G Pesanggaran melebihi baku mutu yang 1 Kualitas udara V Belum sesuai ditetapkan peraturan perundang-undanganan. 2 Kebisingan V Hasil sesuai 4) Pengelolaan dampak pada limbah padat 3 Kualitas air V Hasil belum sesuai Pengelolaan limbah padat dilakukan antara lain 4 Limbah padat V Hasil sesuai dengan menyediakan tempat sampah terpisah, 5 Hidrologi V Hasil sesuai melakukan 3R, menyimpan limbah B3 di tempat 6 Pendapatan masyarakat V Hasil sesuai penyimpanan yang sudah disediakan dan 7 Kenyamanan hidup V Hasil sesuai bekerja sama dengan pihak lain yang memiliki 8 Persepsi masyarakat V Hasil sesuai izin untuk pengolahannya, dan melakukan 9 Kesehatan masyarakat V Hasil sesuai 10 Pola lalu lintas V Hasil belum sesuai composting untuk limbah padat organik. Laporan pengolahan limbah B3 juga telah Sumber: Analisis data (2016) dilaksanakan secara rutin.

Tabel 3. Data Pengujian Intensitas Kebisingan PLTD/G Pesanggaran (Juni 2016)

Hasil Pengujian Lokasi Pengukuran Satuan Baku Mutu Range Rerata

Depan Kantor Pertanian (BPTP) dB.A 54,3-59,2 55,96 70 Halaman Parkir dB.A 58,7-63,3 59,68 85 Timur Pembangkit dB.A 45,9-53,9 48,38 70 Barat Pembangkit dB.A 58,4-69,1 65,10 70 Perkantoran dB.A 58,4-69,1 65,10 70

Sumber: Laporan Pemantauan dan Pengelolaan Lingkungan PLTD/G Pesanggaran (2016)

67 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

5) Penurunan Biota air 3. Dari hasil penelitian diketahui bahwa PLTD/G Pengelolaan biota air dilakukan antara lain Pesanggaran memiliki nilai efektivitas sebesar dengan menyediakan waste water treatment dan 94% dan berada pada kelompok atas dengan nilai oil separator, penyediaan TPS limbah B3 untuk rentang 67–100% yang menunjukan bahwa oli dan sludge, dan melakukan treatment pada pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan air yang akan dibuang ke media lingkungan. lingkungan sudah efektif. Pemantauan dilakukan dengan melakukan penelitian biologi yang hasilnya dilaporkan secara 4.2 Saran rutin kepada instansi terkait. Berdasarkan penelitian yang dilakukan 6) Pengelolaan dampak pada sosial ekonomi dan terhadap penerapan Amdal pada PLTD/G budaya. Pesanggaran, saran yang dapat diberikan penulis Pengelolaan dilakukan antara lain dengan adalah pemrakarsa perlu melakukan kegiatan melakukan social mapping, membuat dan pengelolaan dan pemantauan lingkungan secara menjalankan program CSR dan comdev, dan tepat waktu sesuai dengan arahan dokumen RKL- berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat RPL, termasuk dalam hal penyampaian pelaporan setempat. pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan 7) Pengelolaan dampak kesehatan lingkungan, khususnya terkait dengan kualitas Pengelolaan lingkungan dilakukan berkaitan limbah, air dan emisi dengan bukti-bukti analisis dengan kecelakaan dan gangguan kesehatan dan dokumen pendukung lainnya, serta pemrakarsa antara lain dengan penggunaan APD, penetapan harus menaati peraturan perundangan sesuai dengan SOP, dan penanaman pohon untuk mengurangi kondisi terkini secara cermat. penyebaran polusi serta pelaksanaan jaminan asuransi kesahatan terhadap pekerja dan masyarakat yang terkena dampak. DAFTAR PUSTAKA 8) Pelaksanaan pendukung pengelolaan lingkungan lainnya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Selain pelaksanaan pengelolaan lingkungan yang Indonesia. 2016. Keputusan Menteri Energi dan sesuai dengan RKL-RPL, PLTD/G Pesanggaran Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor juga melaksanakan pelaksanaan pengelolaan 5899K/20/MEM/2016 tentang Pengesahan lingkungan yang didasarkan pada ISO Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listik PT 14001:2004 tentang Sistem Manajemen Perusahaan Listrik Negara (persero) Tahun 2016 Lingkungan dan Sistem Manajemen s.d. 20255. Indonesia. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3). Pemerintah Republik Indonesia. 2009. Undang- PLTD/G Pesanggaran juga telah ikut dalam undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun Program Penilaian Peringkat Kinerja 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Perusahaan (PROPER) yang merupakan salah Lingkungan Hidup. Lembaran Negara RI Tahun satu upaya Kementerian Negara Lingkungan 2009, No. 140. Sekretariat Negara, Indonesia. Hidup untuk mendorong penaatan perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup melalui Pemerintah Republik Indonesia. 2012. Peraturan instrumen informasi. Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. Lembaran Negara RI Tahun 2012, No. 48. Sekretariat 4. SIMPULAN DAN SARAN Negara, Indonesia. Ross, W.A., A.M. Saunders, and R. Marshall. 2006. 4.1 Simpulan Common Sense in Environmental Impact 1. Penerapan Amdal oleh PLTD/G Pesanggaran Assessment: It Is Not as Common as It Should secara keseluruhan sudah cukup sesuai dengan Be. Impact Assessment and Project Appraisal, dokumen lingkungan. Beberapa kegiatan volume 24 nomor 1. pengelolaan dan pemantauan khususnya kualitas limbah, air, dan emisi perlu Sabaruddin, A. K. 2007. Amdal dan Kewenangan ditingkatkan termasuk dalam hal pelaporan Bapedalda Dalam Menjaga Pelestarian Fungsi pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan. Lingkungan Hidup di Kota Balikpapan. Risalah 2. Pengawasan pelaksanaan RKL-RPL yang Hukum Fakultas Hukum Unmul. 3 (1):13-20. dilakukan oleh instansi melalui Badan Sarbi, S. 2006. Strategi Pengembangan Kapasitas Lingkungan Hidup dilaksanakan secara Pengelolaan Lingkungan Hidup di Era Otonomi sistematis dan sudah efektif. Daerah Kabupaten Polmas Sulawesi Barat. Jurnal Bumi Lestari, Volume 6 No. 2.

68 Efektvitas Penerapan AMDAL dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Pada Pembangkit Listrik di Bali ..... [Helga Margareta Hunter, dkk.]

Sari, Tri Fitri Puspita, Mochamad Makmur & Wahyono, Suntoro & Sutarno. 2012. Efektivitas Mochamad Rozikin. 2014. Efektivitas Pelaksanaan Dokumen Lingkungan Dalam Implementasi UKL-UPL dalam Mengurangi Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Kerusakan Lingkungan (Studi pada Badan Hidup Di Kabupaten Pacitan Tahun 2012. Jurnal Lingkungan Hidup Kabupaten Malang dan EKOSAINS. 4 (2): 43-52. Masyarakat Sekitar PT Tri Surya Plastik Kecamatan Lawang). Jurnal Administrasi Publik (JAP). 2 (1):161-168.

69 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

KERAGAMAN MIKOFLORA TANAH SUPRESIF DALAM MENGENDALIKAN PENYAKIT AKAR GADA PADA TANAMAN KUBIS (BRASSICA OLERACEA L.)

Ni Nengah Darmiati1) dan I Made Sudarma1*)

1)Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Udayana *email: [email protected].

ABSTRACT

Cabbage (Brassica oleracea L.) was a vegetable crops cultivated in the highlands to meet the needs of the community vegetable. The main obstacle was the cultivation of cabbage root disease outbreak mace (clubroot), which until now have not found an effective control techniques. Clubroot disease caused by organisms that resemble fungi: Plasmodiophora brassicae Wor. which was the soil inhibitant and soil borne pathogen. Therefore, there must be a way to control environmentally friendly by using suppressive soil, find microbes antagonists related to the cabbage plant habitat in the soil. The results showed that the index of diversity both on suppressive and conducive soil of 1.2304 and 1.2811 respectively, and the index of dominance on the suppressive and conducive soil were 0.6677 and 0.6838. Prevalence micoflora of the suppressive soil amounted to 44.22 % and 43.06 % conducive soil all dominated by Fusarium spp. Microbial antagonist as a potential control of P. brassicae was Trichoderma sp. Based on the analysis in the suppressive soil as much as 171 x 103 cfu /g soil, higher than on the conducive soil to 90 x 103 cfu /g soil.

Keywords: Cabbage (Brassica oleracea L.), supperessive and condussive soil, Palmodiophora brassicae, prevalence, and soil inhibitant.

1. PENDAHULUAN Conklin (2008) menyatakan dalam satu gram tanah terdapat bakteri 108-109 jenis. actinomycetes 107- Tanaman kubis (Brassica oleracea L.) telah lama 108 jenis per gram tanah, jamur terdapat 105-106 dibudidayakan sebagai tanaman sayuran dan propagul per gram tanah. Mikroba ini (bakteri, merupakan sumber vitamin, mineral dan serat actinomycetes dan jamur) jumlahnya cukup besar (Keinath et al., 2006). Di Bali tanaman kubis-kubisan dalam tanah. Kalia dan Gupta (2005) menyatakan banyak dibudidayakan didataran tinggi seperti bahwa perlu langkah konservasi apabila telah Baturiti-Tabanan, Candikuning-Buleleng dan mengetahui kegunaan dari keragaman mikroba Kintamani-Bangli. Menurut Semangun (1989) seperti : berperanan dalam biogeochemical dalam tanaman kubis-kubisan yang ditanam sekarang ini siklus nutrisi, penggunaan lahan berkelanjutan, telah menderita penyakit akar gada (clubroot) yang produk mikroba untuk pertanian, biodegradasi dari disebabkan oleh jamur Plasmodiophora brassicae xenobiotik dan pemanfaatan untuk industri. Wor.). Kerugian yang disebabkan oleh penyakit akar gada pada tanaman kubis-kubisan di Inggris, Jerman, Amerika Serikat, Asia dan Afrika Selatan 2. METODOLOGI mencapai 50-100%. Di Australia patogen ini menyebabkan kehilangan hasil sekitar 10% setiap 2.1.Tempat dan Waktu Penelitian tahun dengan kehilangan pendapatan sebesar US$ Penelitian dilaksanakan di dua tempat di 13 juta. Di Indonesia penyakit ini menyebabkan lapangan yaitu disentar produksi kubis Bali yakni kerusakan pada kubis-kubisan sekitar 88,60% dan di Candi Kuning, tabanan dan Panca Sari, Buleleng. pada tanaman caisin sekitar 5,42-64,81% (Cicu, Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret sampai 2006).Usaha pengendalian terhadap penyakit akar dengan Juni 2015. Setelah sampel diperoleh gada membutuhkan cara alternatif lain yang ramah dilanjutkan dengan analisis mikroba tanah di lingkungan, efisien dan efektif dibandingkan yang laoratorium Ilmu Penyakit Tumbuhan fakultas hanya bertumpu pada pestisida sintetis. Untuk itu Pertanian Universitas Udayana. pemanfaatan tanah supresif dengan peran mikroba yang adadi dalamnya diharapkan lebih menjanjikan 2.2. Penelitian di Lapangan untuk mengendalikan penyakit ini (Garbeva et al., Sampel tanah diperoleh dari habitat rizosfer 2004). Mikroba di dalam tanah jumlah dan jenisnya tanaman kubis sakit dan sehat yang diambil dari di sangat banyak, tergantung tingkat kesuburan tanah. areal sentra tanaman kubis di sentra produksi kubis

70 ECOTROPHIC • 11 (1) : 70 - 75 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395 Keragaman Mikoflora Tanah Supresif dalam Mengendalikan Penyakit Akar Gada pada Tanaman Kubis (Brassica Oleracea L.) [Nengah Darmiati, dkk.]

Bali. Tanaman kubis yang sakit diamati, banyaknya Pi = ni/N sebagai proporsi jenis ke i rumpun, jumlah tanaman sakit, sehingga dapat (ni = Jumlah total individu jenis mikroba total ditentukan serangan penyakit dengan menggunakan i, rumus yakni : jumlah tanaman sakit dibagi dengan N = Jumlah seluruh individu dalam total n) seluruh tanaman yang diamati kali 100%. Pengambilan data tanah diambil berdasarkan hasil Kriteria yang digunakan untuk menginter- survei pada sentra tanaman sehat dan sakit dengan prestasikan keragaman Shannon-Wiener mengambil tanah di dekat perakaran tanaman kubis (Ferianita-Fachrul et al., 2005) yakni: H’nilainya sehat dan sakit dengan kedalam kurang lebih 20 cm < 1, berarti keragaman rendah, H’ nilainya 1 – masing-masing sebanyak 100 gram, setiap tanaman 3 berarti keragaman tergolong sedang dan H’ diambil 4 kali kemudian dicampur merata. nilainya > 3 berarti keragaman tergolong tinggi.

2.3. Penelitian di Laboratorium 2) Indek dominasi Indek dominasi mikroba tanah dihitung A. Menentukan Populasi Mikoflora Tanah dengan menghitung indeks Simpson (Pirzan Tanah sampel satu gram dilarutkan dalam air dan Pong-Masak, 2008), dengan rumus sebagai steril kemudian dicampur dan divortek. Suspensi berikut :S C = “ Pi2 i=1 Keterangan : C = indek tanah diencerkan sampai mencapai volume 10 ml. Simpson S = Jumlah genus Pi = ni/N yakni Pengenceran bertingkat dilakukan 10-2 - 10-7 di proporsi individu jenis i dan seluruh individu (ni bawah kondisi steril. Suspensi diambil 1 ml = Jumlah total individu jenis i, N = Jumlah dituangkan ke dalam piring Petri bersama dengan seluruh individu dalam total n) Selanjutnya media biakan Media potato dextrose agar (PDA) indek dominasi spesies (D) dapat dihitung dengan campuran kentang 200 g, gula 15 g, agar 20 dengan formulasi 1- C (Rad et al.2009). g dalam aquades 1000 ml dan livoplosaxin (antibiotik Kreteria yang digunakan untuk menginter- antibakteri) dengan konsentrasi 0,1% (w/v) prestasikan dominasi jenis mikroba tanah digunakan untuk isolasi jamur. Lima cawan Petri yakni: mendekati 0 = indek rendah atau semakin disiapkan untuk setiap larutan. Biakan diinkubasi rendah dominasi oleh satu spesies mikroba atau pada ruang gelap pada suhu 27±2oC, selanjutnya tidak terdapat spesies yang secara ekstrim koloni dihitung sebagai colony forming unit (CFU). mendominasi spesies lainnya, mendekati 1 = Koloni tunggal dipindahkan ke dalam cawan Petri indek besar atau cendrung didomnasi oleh baru yang berisi media PDA dan diikubasi pada suhu beberapa spesies mikroba (Pirzan dan Pong- kamar. Isolat diidentifikasi secara makroskopis Masak, 2008). setelah berumur 3 hari untuk mengetahui warna koloni dan laju pertumbuhan, dan identifikasi secara 3) Analisis Chi kuadrat mikroskopis untuk mengetahui septa pada hifa, Keragaman mikroba tanah pada habitat bentuk spora/konidia dan sporangiofor (Samson et tanaman kubis dengan dan tanpa gejala sakit al., 1981; Pitt dan Hocking, 1997; Barnett dan lebih banyak atau sedikit dapat dibuktikan Hunter, 1998; Indrawati et al., 1999). dengan menggunakan analisis Chi kuadrat (X2), atau t test dengan rumus (Gomes dan Gomes, B. Menentukan Indek Keragaman dan Dominasi 2007; Sugiyono, 2009): Mikroba Tanah Keragaman dan dominasi mikroba tanah dapat (2) diketahui dengan menghitung indek keragaman Shannon-Wiener (Odum, 1971) dan dominasi mikroba tanah dihitung dengan menghitung indeks Keterangan : Simpson (Pirzan dan Pong-Masak, 2008). p = banyaknya kelas

ni = banyaknya satuan yang diamati yang 1) Indek keragaman mikroba termasuk kelas i

Indek keragaman mikroba tanah ditentukan Ei = banyaknya satuan yang diharapkan dengan indek keragaman Shannon-Wiener yaitu termasuk ke dalam kelas i dengan rumus (Odum, 1971): Selanjutnya nilai Chi kuadrat hitung (1) dibandingkan dengan Chi kuadrat tabel, bila Chi kuadrat hitung lebih kecil dari tabel, maka Ho diterima dan sebaliknya. Keterangan: H’ = indek keragaman Shannon-Wiener S = Jumlah genus

71 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

3. HASIL DAN PEMBAHASAN bertahan hidup ataupun pertumbuhan patogen. Setiap tanah diketahui menekan patogen atau 3.1. Populasi Jamur Tanah penyakit. Tanah supresif sangat ditentukan oleh Populasi jamur tanah di tiga lokasi baik di tanah keragaman mikroba tanah, sedangkan keragaman supresif maupun pada tanah kondusif (Gambar 1) mikroba tanah dipengaruhi oleh tiga hal utama: (a) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata. Pada tipe tanaman yang merupakan penentu utama lokasi I jumlah koloni yang dapat ditemukan pada struktur dari komunitas mikroba dalam tanah, tanah supresif sebanyak 22 x 103 cfu/g tanah, pada seperti tanaman penyedia utama karbon dan sumber tanah kondusif sebanyak 10 x 103 cfu/g tanah, pada energi, (b) tipe tanah merupakan penentu utama lokasi II tanah supresif sebanyak 90 x 103 cfu/g tanah komunitas mikroba, sperti kombinasi struktur dan dan tanah kondusif 49 cfu/g tanah, pada lokasi III tekstur tanah, bahan organik, stabilitas pada tanah supresif sebanyak 75 x 103 cfu/g tanah, mikroagregat, pH, dan keberadaan hara kunci dan pada tanah kondusif sebanyak 40 x 103 cfu/g seperti N, P, dan Fe menetukan habitat dalam tanah, tanah (Gambar 2). dan (c) cara mengelola pertanian yakni rotasi Hal ini menunjukkan bahwa pada tanah supresif tanaman, pengelohan tanah, herbisida, aplikasi terdapat banyak mikoflora tanah dibadingkan pada pemupukan dan irigasi juga menentukan struktur tanah kondusif. Berarti salah satu ada sebagai komunitas mikroba tanah (Nannipieri, et al., 2003; mikroga antagonis yang menekan perkembangan Garbeva et al., 2004). patogen penyebab penyakit akar gada di tiga lokasi Berdasarkan pengamatan selama penelitian tersebut. Tanah bagi patogen tanaman adalah sebuah ditemukan hanya 7 spesies jamur yang rumah sakit, melalui pembatasan baik lamanya mengkolonisasi habitat tanah supresif maupun tanah

Gambar 1. Perbedaan tanah supresif (A) dan kondusif (B) yang ditanami kubis (sumber: dokumen pribadi)

Gambar 2. Jumlah koloni mikoflora tanah pada tanah supresif dan tanah kondusif

72 Keragaman Mikoflora Tanah Supresif dalam Mengendalikan Penyakit Akar Gada pada Tanaman Kubis (Brassica Oleracea L.) [Nengah Darmiati, dkk.] kondusif. Ketujuh jamur tersebut antara lain: Ada beberapa mekanisme supresi biologi Aspergillus spp., Aspergillus flavus, Aspergillus penyakit tumbuhan meliputi: (1) antagonisme, niger, Fusarium spp., Penicillium spp., Rhizopus kemampuan dari mikroba spesifik yang spp., dan Trichoiderma spp. (Tabel 1). menguntungkan untuk menghasilkan antibiotic yang dapat membunuh organism petogen, (2) kompetisi 3.2. Indek Keragaman, Dominasi dan untuk nutrisi dan energy, yakni pada beberapa kasus Prevalensi Mikoflora Tanah Supresif dan organisme patogenik adalah competitor yang jelek Kondusif dalam hubungannya dengan mikroba yang Indek keragaman pada tanah supresif 1,2304 menguntungkan. Dalam nutrisi dan energy yang dalam kreteria rendah, dengan indek dominasi terlibat dalam substrat, (3) kompetisi untuk sebesar 0,6677, prevalensi tertinggi ditemukan pada kolonisasi akar, hal ini berhubungan dengan penyakit Fusarium spp. sebesar 44,22%, sedangkan pada akar. Beberapa mikroba berguna memeiliki tanah kondusif indek keragaman mencapai 1,2811, kemampuan untuk mengadakan kolonisasi pada dengan indek dominasi 0,6838. Prevalensi tertinggi akar tanaman sebelumpatogen dapat menginfeksi, dicapai oleh Fusarium spp. sebesar 43,06%. Indek sehingga akar terlindungi, (4) induced systemic keragaman menunjukkan variasi mikoflora yang resistence (ISR) atau systemic acquired resistence terdapat dalam habitat tanaman kubis di tiga lokasi. (SAR), adalah sebuah mekanisme dimana gen Indek keragaman 1,2304 dan 1,2811 menunjukkan supresif aktif bekerja untuk menghadap patogen indek yang rendah, yang ini diakibatkan ada penyebab penyakit, gen tanaman yang menyandi dominasi dari mikoflora lainnya yakni dalam hal ini senyawa ketahanan berkerja baik akibat rangsangan adalah Fusarium spp. sebesar 44,22% dan 43,06% mikroba berguna maupun patogen penyebab (Tabel 1). penyakit (McKellar dan Nelson, 2003; Alexander, Rendahnya indek keragaman disebabkan oleh 2006; Singh dan Singh, 2008). banyaknya jamur yang mendominasi pada tanah supresif maupun tanah kondusif, dalam hal ini 3.3. Uji Antagonistik adalah Fusarium spp., disamping Fusarium spp., ada Hasil uji antagonistik (spora jamur Trichoderma juga jamur Trichoderma spp. yang mendominasi sp. terhadap P. brassicae pada tanaman sawi putih) kedua pada tanah supresif sebesar 28,64. menunjukkan bahwa Trichoderma sp, dapat Trichoderma spp. dikenal sebagai jamur mikoparasit menekan pertumbuhan jamur patogen P. brassicae. yang antagonis terhadap jamur lainnya dalam tanah Uji antagonistik dilakukan dengan cara mengamati

Tabel 1. Indek keragaman, dominasi dan prevalensi mikoflora tanah supresif dan kondusif

Tanah supresif Tanah kondusif Nama jamur Populasi Prevalensi H’ Populasi Prevalensi H’ (x103cfu/g)** (%) (x103cfu/g) (%)

Aspergillus spp. 139 23,28 122 28,71 Aspergillus flavus 2 0,34 2 0,47 Aspergillus niger 3 0,50 1 0,24 Fusarium spp. 264 44,22 1,2304 183 43,06 1,2811 Penicillium spp. 9 1,51 25 5,88 Rhizopus spp. 9 1,51 2 0,47 Trichoderma spp. 171 28,64 90 21,18

Jumlah 597 425

**berbeda sangat nyata uji Chi kuadrat, H’ = indek keragaman

Tabel 2. Pengaruh pemberian spora jamur Trichoderma sp. sebagai jamur antagonsitik Plasmodiophora brassicae terhadap tinggi tanaman sawi putih

Perlakuan Tinggi tanaman (cm)

Tanpa Trichoderma sp. 15,50 d Pengenceran spora Trichoderma sp. 10 ml (47,5 x 108 spora/ml) 19,67 a Pengenceran spora Trichoderma sp. 30 ml (136 x 107 spora/ml) 18,37 b Pengenceran spora Trichoderma sp. 50 ml (95 x 107 spora/ml) 17,73 c

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada uji BNT taraf 5%

73 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395 pertumbuhan tinggi tanaman sawi dari awal tanam DAFTAR PUSTAKA sampai dengan tanaman kontrol menampakkan gejala akar gada. Hasil pengamatan uji antagonistik Alexander, R. 2006. Compost and disease suppression, dapat dilihat pada Tabel 2. R. Alexander Assiciates, Inc., a Copmany Pertumbuhan tinggi tanaman sawi putih pada specializing in organic recycled produkct and perlakuan dengan pemberian spora Trichoderma sp. market development, 1-5 p. 10 ml, menunjukkan pertumbuhan paling tinggi Barnett, H.L. and B.B. Hunter. 1998. Illustrated yaitu 19,67 cm, dan pada perlakuan tanpa Genera of Imperfect Fungi. APS Press. The Trichoderma sp. menunjukkan pertumbuhan yang American Phytopathological Sociey. St Paul, paling rendah yaitu 15,5 cm (Gambar 3). Dalam Minnesota. Pp. 218. analisis statistika menunjukkan pengaruh pemberian spora jamur Trichoderma sp. nyata Cicu. 2006. Penyakit akar gada (Plasmodiphora terhadap pertumbuhan tanaman sawi. Tanaman brassicae Wor.) pada tanaman kubis-kubisan dan kubis tanpa perlakuan pertumbuhannya paling upaya pengendaliannya. Jurnal Litbang rendah karena adanya serangan jamur P. brassicae Pertanian, 25(1): 16-21. yang menyebabkan pertumbuhan tanaman sawi atau Conklin, A.R. 2002. Soil Microorganisms. Soil kubis menjadi kerdil dan merana, karena adanya Sediment and Water. Http://www.aehsmag.com/ pembengkakan pada sistem perakaran dari tanaman issues/2002/januray/microorganisms.htm. kubis. AEHS Magazine. Disitir tanggal 10 Oktober 2008. 2h. 4. SIMPULAN DAN SARAN Ferianita-Fachrul, M., H. Haeruman, dan L.C. Sitepu. 2005. Komunitas Fitoplankton Sebagai 4.1. Simpulan Bio-Indikator Kualitas Perairan Teluk Jakarta. Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat FMIPA-Universitas Indonesia Depok. disimpulkan sebagai berikut: Indek keragaman baik Garbeva, P., J.A. van Veen and J.D. van Elas. 2004. pada tanah supresif maupun kondusif berturut Microbial diversity in soil: selection of microbial sebesar 1,2304 dan 1,2811, dan indek dominasi pada population by plant and soil type and implications tanah supresif dan kondusif berturut-turut sebesar for disease suppressiveness. Annu. Rev. 0,6677 dan 0,6838. Prevalensi mikoflora pada tanah Phytopathol. 42: 243-270. supresif sebesar 44,22% dan tanah kondusif 43,06% semuanya dikuasai oleh Fusarium spp. Mikroba antagonis yang potensial sebagai pengendalikan P. Gomes, K.A. dan A.A. Gomes, 2007. Prosedur brassicae adalah Trichoderma sp. Berdasarkan hasil Statistik untuk Penelitian Pertanian. Edisi 3 analisis pada tanah supresif sebanyak 171 x 10 cfu/ kedua. Penerbit Universitas Indonesia (UI- g tanah, lebih tinggi dibandingkan pada tanah Press). kondusif sebanyak 90 x 103 cfu/g tanah. Hasil uji antagonistik dengan spora Ttrichoderma sp. Indrawati. G., R.A. Samson, K. Van den Tweel- menunjukkan hasil yang signifikan dalam Vermeulen, A. Oetari dan I. Santoso. 1999. mengendalikan penyakit akar gada yang telah diuji Pengenalan Kapang Tropik Umum. Yayasan cobakan pada sawi putih. Obor Indonesia. Universitas Indonesia (University of Indonsia Culture Collection) Depok, 4.2. Saran Indonsia dan Centraalbureau voor Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat Schirmmelcultures, Baarn, The Netherlands. disarankan sebagai berikut: Sebaiknya dilakukan Kalia, A. And R.P. Gupta. 2005. Conservation and analisis tanah untuk menentukan kandungan Utilization of Microbial Diversity. NBA Scientific tekstur dan struktur tanah, biologi dan kimiawi Bulletin Number-1. National Biodiversity tanah dalam mendukung data tanah supresif. Authority. Chennai, Tamilnadu, India. Pp: 35. Mengingat patogen bersifat obligat, jadi agak kesulitan dalam uji antagonistik secara buatan, Keinath, A.P., M.A. Cubeta and D.B. Langston, Jr. sehingga diperlukan uji antagonistik langsung di 2006. Cabbage Diseases: Ecology and Control. lapangan. Encyclopedia of Pest Management DOI. Taylor and Francis.

74 Keragaman Mikoflora Tanah Supresif dalam Mengendalikan Penyakit Akar Gada pada Tanaman Kubis (Brassica Oleracea L.) [Nengah Darmiati, dkk.]

McKellar, M.E., and E.B. Nelson, 2003. Compost- Rad, J.E., M. Manthey and A. Mataji. 2009. Induced Suppression of Pyhthium Damping-off Comparison of Plant Species Diversity with is Mediated by Fatty-Acid-Metabolizing Seed- Different Plant Communities in Deciduous Colonizing Mikrobial Communities. Applied and Forests. Int. J. Environ. Sci. Tech, 6(3): 389- Environemental Microbiology 69(1): 452-460. 394. Nannipieri, P., J. Ascher, M.T. Ceccherini, L. Landi, Samson, R.A., E.S. Hoekstra, and C. A.N. Van G. Pietramellara and G. Renella. 2003. Micronial Oorschot. 1981. Introduction to Food-Borne diversity and soil functions. Europe Journal od Fungi. Centraalbureau Voor-Schimmelcultures. Soil Science 54:655-670. Institute of The Royal Netherlands. Academic of Arts and Sciences. Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. Third Edition. W.B. Saunders Company.Philadelphia, Semangun, H. 1989. Penyakit-penyakit Penting Toronto, London. Toppan Company, Ltd. Tokyo, Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Japan. Mada Press. Yogyakarta. Pirzan, A.M., dan P. R. Pong-Masak. 2008. Sinh, D.P. and H.B. Singh. 2008. Microbial wealth Hubungan Keragaman Fitoplankton dengan regulate crop quality and soil health. Knowledge Kualitas Air di Pulau Bauluang, Kabupaten Treasure on ELISA. Departement of Mycology Takalar, Sulawesi Selatan. Biodiversitas, 9 (3) and Plant Pathology, Institute of Agriculture 217-221. Sciences, Baranas Hindu University, 25-26 p. Pitt, J.I. and A.D. Hocking. 1997. Fungi and Food Sugiyono, 2009. Statistika untuk Penelitian. Penerbit Spoilage. Blackie Avademic and Professional. Alfabeta. Bandung. Second Edition. London-Weinhein-New York- Tokyo-Melboune-Madras.

75 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

EVALUASI DAN PENETAPAN LAHAN PERTANIAN BERKELANJUTAN UNTUK PENCEGAHAN ALIH FUNGSI LAHAN DI KABUPATEN BANGLI

I Made Adnyana1*), I Nyoman Puja, 1) I Dewa Made Arthagama1)

1)Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Udayana *Email : [email protected]

ABSTRACT

The research was done in the area of paddy soil in Bangli District, Bangli Regency to identification, evaluation, and mapping the paddy soil area that have to maintain as a sustainable agriculture. To achieve these objectives, the research conducted through several activities, namely: soil survey and environment, physical and chemistry of soil analysis, and mapping the model of the prevented exchangeable paddy soil functions. Depend on plan lay out space (called RTRW) of Bangli regency, there were two models of sustainable agriculture decision at district of Bangli, where in each model, land (Subak) mapping as subak everlasting, subak buffer, and Subak convertion. Subak convertion was have opportunity to changing function. Subak convertion of Model I as 158,68 ha (2011 – 2021) and Model II as 78,14 ha (2021 – 2031) respectively.

Keyword: sustainable agriculture, changing land function, land (subak) mapping

1. PENDAHULUAN lansekap fisik tentu bukan hal yang mudah karena pembangunan akan selalu membawa perubahan Pemerintah Republik Indonesia sudah terhadap ekosistem (Reijntjes, at.al, 2006 ; Nguyen menghasilkan Undang Undang Republik Indonesia Van Bo, 2002; Adnyana, 2006, dan Adnyana, 2010) Nomor 41 Tahun 2009, tentang Perlindungan Lahan Pembangunan pariwisata harus memperhatikan Pertanian Berkelanjutan. Ruang lingkup perlin- kelestarian lingkungan, karena perkembangan dungan lahan pertanian mencakup perencanaan dan pariwisata menyebabkan kebutuhan keruangan penetapan, pengembangan, penelitian, pemanfaatan, untuk prasarana fisik dan aktifitas sosial budaya. pembinaan, pengendalian, pengawasan, system Kecenderungan terlalu mengedepankan sektor favorit informasi, pemberdayaan petani, pembiayaan, dan pariwisata telah terbukti diberbagai tempat lainnya peran serta masyarakat. Dalam pasal 11 Undang sebagai akar penyebab terjadinya lingkungan yang Undang tersebut diamanatkan perencanaan lahan tidak seimbang, keindahan dan estetika lingkungan pertanian berkelanjutan disusun baik di tingkat terancam, dan pembangunan yang tidak nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota; dengan berkelanjutan. Untuk itu, perlu dilakukan kajian tujuan untuk pencegahan alih fungsi lahan pertanian penentuan dan penetapan lahan pertanian yang tidak terkontrol. Persyaratan minimum berkelanjutan untuk kelestarian lingkungan pembangunan berkelanjutan adalah terpeliharanya Kabupaten Bangli. Kegiatan ini sangat penting, dengan baik segala sesuatu yang diberikan oleh alam karena berdasarkan hasil kajian yang akan (total natural capital stock) pada tingkat yang sama dilakukan akan teridentifikasi dan dapat dipetakan atau kalau bisa lebih tinggi dibandingkan dengan lahan-lahan pertanian yang harus dipertahankan keadaan sekarang (Saragih, 2002; dan Thuc Son, and sebagai lahan pertanian berkelanjutan, tidak boleh Quang Ha. 2002) dialihfungsikan dengan pertimbangan komprehensif Kabupaten Bangli dengan luas wilayah 520,81 mulai dari aspek geografis dan lokasinya strategis, km2 atau 9,25% dari luas wilayah Provinsi Bali sosial-ekonomi-budaya, potensi dan kesesuaian alam, memiliki lahan pertanian seluas 36.327 ha, terdiri estetika lingkungan, nice view, dan lain-lain. atas lahan sawah 2.886 ha dan lahan bukan sawah 33.441 ha (Bangli Dalam Angka 2016 dan Pasedahan Agung, 2013). Lahan sawah Kabupaten Bangli tidak 2. METODOLOGI hanya penting untuk produksi padi dan ketahanan pangan, tetapi nilai-nilai budaya agrarisnya dan 2.1. Survei Kondisi Sawah dan Lingkungan lahan dengan lansekap yang indah dan eksotik Penelitian dilakukan pada areal sawah yang merupakan faktor yang sangat penting bagi tersebar di Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, perkembangan pariwisata dan sektor-sektor lainnya. melalui metode survey yang dilakukan baik ke Dinas Upaya mempertahankan integritas budaya dan Pertanian, Perkebunan, dan Perhutanan, Bappeda

76 ECOTROPHIC • 11 (1) : 76 - 80 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395 Evaluasu dan Penetapan Lahan Pertanian Berkelanjutan Untuk Pencegahan Alih Fungsi Lahan di Kabupaten Bangli [I Made Adnyana, dkk.]

Dan PM Kabupaten Bangli, maupun ke kelian subak. dan nilai, kemudian diisi sesuai dengan data Pada setiap subak dikumpulkan informasi sebagai skoring parameter. beriut : (1) kesesuaian lokasi sawah dengan RTRW, 4. Melakukan proses Geoprcesing (overlay) dengan (2) penggunaan lahan, (3) posisi subak pada DAS dan jenis Intersect seluruh data spasial parameter. satuan administrasinya, (4) air irigasi, (5) curah 5. Kemudian hasil overlay di tambahkan kolom hujan, (6) bentuk wilayah, (7) elevasi, (8) kesesuaian skor total dan dihitung total dalin keseluruhan lahan, (9) produktivitas lahan, (10) jarak subak dari nilai parameter. pusat kota, (11) luas lahan, (11) view, dan (12) 6. Database hasil overlay dipindahkan kedalam keberadaan tempat suci. Semua informasi tersebut excel, kemudian dilakukan pencarian Ring diberi bobot, skor dan nilai sesuai metode strategi Populasi untuk mengetahui kelompok sebaran pengendalian alih fungsi lahan oleh Subadiyasa et data hasil overlay digital. al. (2013), yang telah dimodifikasi oleh penulis 7. Kemudian dari skor total dilakukan proses klasifikasi (pemodelan) dengan mencari data rata- 2.2. Analisis Karakterestik Tanah rata, jumlah data hasil overlay digital, standar Pengambilan contoh tanah dilakukan di seluruh deviasi. Klasifikasi dilakukan dengan beberapa Subak yang tersebar di Kecamatan Bangli, pemodelan dari data rata-rata dan standar Kabupaten Bangli. Tanah diambil pada lapisan olah deviasi. sedalam 30 cm, sehingga terkumpul 46 sampel. 8. Kemudian data –data klasifikasi di input Contoh tanah dikering-udarakan, ditumbuk dan kedalam database digital untuk dilakukan diayak dengan saringan 2 mm, selanjutnya dianalisis klasifikasi spasial di Qgis. Dan didapatkan karakterestik tanah seperti Tabel 1. Di samping itu Batas-batas Zonasi Subak dalam beberapa dicatat pula data pendukung seperti : lereng, pemodelan. kedalaman efektif, singkapan batuan, curah hujan, 9. Setelah itu dilakukan pengukuran luas untuk kondisi banjir, dan teknik budidaya yang dilakukan mendapatkan luas subak lestari, penyangga, petani. Selanjutnya, berdasarkan data tersebut, dan terkonversi dari setiap pemodelan zonasi dilakukan evaluasi kesesuaian lahan, menggunakan sawah. metode oleh Puslittanak, Bogor (1997). 10. Proses kartografi (layout) peta-peta (11 Peta Parameter + 4 Peta Pemodelan). Tabel 1. Analisis Laboratorim Karakterestik Tanah

No Macam Analisis Metode 3. HASIL DAN PEMBAHASAN

1 Tekstur tanah Pipet 3.1. Model Penetapan lahan Pertanian 2 Kapasitas Tukar Kation (KTK) Ekstrak NH Oac. pH 7 4 Berkelanjutan 3 Kejenuhan Basa Ekstrak NH4Oac. pH 7 4 pH tanah pH meter Kabupaten Bangli memiliki RTRW yang berlaku 5 Salinitas Tanah Conductometer mulai tahun 2011 dan berakhir pada tahun 2031. 6 N total Kjeldhal Model penetapan lahan pertanian berkelanjutan 7 P tersedia Bray 1 disusun selama periode berlakunya RTRW. Model I 8 K tersedia Bray 1 berlaku mulai tahun 2011 sampai 2021 yang terdiri 9 C organik Black and Walkley dari luas Subak Lestari = 115,53 ha; luas Subak Penyangga = 361,40 ha; dan luas Subak Terkonversi = 158,68 ha. Model II berlaku mulai 2021 sampai 2.3. Pemetaan model alih fungsi lahan 2031, yang terdiri dari luas Subak Lestari = 412,35 pertanian ha; luas Subak Penyangga = 145,13ha; dan luas Subak Terkonversi = 78,14ha. Data selengkapnya Langkah-langkah pemodelan : disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2 1. Penyiapan Software QGIS 2.10.01 dan ArcGis Berdasarkan citra satelit, luas lahan sawah di 10.3, Data Citra Quickbird Tahun 2013 Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli adalah 635,58 Kabupaten Bangli Liputan Tahun 2012 yang ha; sedangkan menurut RTRW, sawah yang berada telah di Orthoretrifikasi. di zone pertanian adalah 458,89 ha, sawah di luar 2. Penyiapan Data-data Spasial per parameter zone pertanian adalah 176,66 ha, dan non sawah di dengan format shp, kemudian di registrasi dan zone pertanian adalah 137, 99 ha. Sebaiknya alih disamakan system proyeksi koordinatnya fungsi lahan dilakukan pada areal sawah diluar zone menjadi UTM WGS 50 s. pertanian atau areal non sawah, sesuai aturan 3. Setelah itu masing-masing data parameter perundangan yang berlaku, serta sebaran dan digitas ditambahkan kolom keterangan, skor, luasnya di masing masing desa bervariasi (Tabel 2).

77 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

Gambar 1. Fungsi lahan, Model I

78 Evaluasu dan Penetapan Lahan Pertanian Berkelanjutan Untuk Pencegahan Alih Fungsi Lahan di Kabupaten Bangli [I Made Adnyana, dkk.]

Gambar 2. Fungsi Lahan, Model II

79 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

Tabel 2. Sebaran dan luas sawah terkonversi (alih fungsi) di Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli

Model 1 (ha) Model 2 (ha) No Desa Luas Sawah (ha) Lestari Penyangga Terkonversi Lestari Penyangga Terkonversi

1 Bunutin 110.97 0 100.56 10.41 78.40 18.87 13.70 2 Taman Bali 158.63 0 142.40 16.23 95.17 38.82 24.77 3 Bebalang 132.89 0.85 0 132.04 49.97 62.38 20.54 4 Kawan 107.41 35.82 71.59 0 73.79 14.35 19.27 5 Cempaga 125.72 78.87 46.85 0 115.02 10.70 0

Total 635.62 115.54 361.4 158.68 412.35 145.12 78.28

4. SIMPULAN DAN SARAN Lembaga Penelitian Universitas Udayana, Denpasar 4.1. Simpulan Nguyen Van Bo. 2002. The role of fertilizer in modern Terkait dengan masa berlakunya RTRW agriculture production in Vietnam. P 1-9. http:/ Kabupaten Bangli, terdapat dua model penetapan /www.fadinap.org/vietnam/fertilizer.html lahan pertanian berkelanjutan di Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, dimana pada masing masing Kabupaten Bangli Dalam Angka 2016. Badan Pusat model, lahan (subak) dirinci sebagai subak lestari, Statistik Kabupaten Bangli subak penyangga, dan subak terkonversi. Lahan Pasedahan Agung. 2013. Data Subak/Subak Abian pertanian (subak) terkonversi adalah lahan yang di Kabupaten Bangli. Dinas Pendapatan/ mempunyai peluang untuk beralih fungsi. Pada Pasedahan Agung Kabupaten Bangli model I (2011- 2021), lahan terkonversi adalah 158,68 ha, sedangkan model II, lahan terkonversi Reijntjes, C.; B. Haverkort and A. Water Bayer. menjadi 78,14 ha (2021- 2031). 2006. Farming for the future. An Introduction to low-external-input and sustainable 4.2. Saran agriculture. The MacMillan Press Ltd, London. Penetapan lahan pertanian berkelanjutan Cetakan ke 8, edisi Indonesia oleh Kanisius hendaknya dilakukan pada lahan pertanian lestari, Saragih, B. 2002. Kebijakan Pemberdayaan Lahan sedangakan alih fungsi lahan pertanian ke non Kering untuk Mendukung Pembangunan pertanian sebaiknya diprioritaskan pada lahan Pertanian Berkelanjutan.Lokakarya Kurikulum pertanian terkonversi Inti Facultas Pertanian se Indonesia. Mataram, 26-28 Mei 2002. DAFTAR PUSTAKA Thuc Son, and Quang Ha. 2002. Some feature of fertilizer need and fertilizer production in Adnyana, I.M. 2006. Teknologi Zone Agroekologi Vietnam. http://www.fadinap.org/vietnam/ dalam Pembangunan Pertanian Berwawasan fertilizer.html Lingkungan. Jurnal lingkungan hidup. Bumi Subadiyasa, N.N; I.Lanya; dan K. Sardiana. 2010. Lestari. (6) : 1. Pusat Penelitian Lingkungan Strategi pengendalian alih fungsi lahan subak Hidup Lembaga Penelitian Universitas berbasis masyarakat dan upaya peningkatan Udayana, Denpasar produktivitas lahan di kabupaten Tabanan, Bali. Adnyana, I.M. 2010.Peningkatan kualitas tanah Laporan penelitian. Universitas Udayana dalam mewujudkan produktivitas lahan Winarno, S. 2005. Kesuburan tanah. Dasar-dasar pertanian secara berkelanjutan.Bumi Lestari. kesehatan tanah dan kualitas tanah. Gava (11) : 1. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Media, Yogjakarta

80 PEDOMAN PENULISAN

JUDUL MANUSCRIPT Nama Penulis1*), Nama Penulis2), Nama Penulis3) 1)Insitusi penulis pertama, alamat 2)Insitusi penulis kedua, alamat 3)Insitusi penulis ketiga, alamat *)Email: [email protected]

ABSTRACT

Judul manuscript ditulis dengan huruf kapital times new roman ukuran 14 tebal, nama-nama penulis ditulis dengan jenis huruf times new roman 12, sedangkan institusi penulis dan email penulis pertama (correspondent author) ditulis dengan huruf times new roman 11. Abstrak ditulis dalam bahasa inggris, huruf times new roman ukuran 12. Setelah abstrak, ditulis kata kunci (Keywords) minumum 4 kata kunci yang dipisahkan oleh tanda titik koma (;).

Keywords: Kata Kunci; Kata Kunci; Kata Kunci; Kata Kunci

1. PENDAHULUAN Isi teks manuscript ditulis dengan jenis huruf Times New Roman dengan ukuran huruf 12 dan spasi 12 pt (1 spasi). Setiap paragraf baru baris pertama maju (first line) sebesar 0.25 inchi. Penulisan Bab Manuscript atau selevelnya (Abstrak, Pendahuuan, metodologi, hasil dan pembahasan dan daftar pustaka) ditulis dengan huruf times new roman kapital ukuran 12 dan bold, rata kiri, spasi sebelumnya (space before) 18 pt dan setelahnya (space after) adalah 6 pt. Penulisan kutipan dan daftar pustaka menggunakan Harvad style. Setiap penulis yang pendapatnya disitir dalam teks harus disebutkan namanya dalam teks dan dituliskan dalam daftar pustaka. Contoh penulisan dalam teks adalah: Komar (1983) menyatakan bahwa.... atau ..... (Komar, 1983; Eryani et al., 2009).

2. METODOLOGI

2.1. Sub Bab Penulisan sub bab ditulis dengan huruf times new roman ukuran 12 dan bold, spasi sebelum (space before) penulisan Sub-bab adalah 12 pt dan setelahnya (apace after) adalah 6 pt. Tabel ditulis dengan menggunakan sistem tabel pada MS Word. Judul tabel ditulis dengan huruf times new roman ukuran 12 dan diletakan di atas tabel dengan rata tengah. Garis pada tabel hanya diisi garis horizontal pada judul tabel dan akhir tabel (Tabel 1).

Tabel 1. Kondisi Terumbu Karang Nusa Penida Pada Kedalaman 3 Meter

Desa LCC H’ E D HC/LCC

Pajukutan 74,7 2,9 0,7 0,2 0,75 Batu Nunggul 81,3 2,2 0,6 0,4 0,84 Batu Madeg 78,7 3,0 0,8 0,2 0,81 Kutampi Kaler 60,0 2,9 0,8 0,2 0,78 Jungut Batu 83,7 2,3 0,6 0,3 0,96 Lembongan 78,3 2,8 0,7 0,2 0,94

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar dimasukan dalam teks dengan format *.jpg dan rata tengah. Gambar harus memiliki resolusi minimal 300 dpi. Judul gambar diletakan setelah gambar dan rata tengah dengan huruf times new roman ukuran 12 (Gambar 1). Persamaan ditulis dengan menggunakan fungsi MathType equationpada MS Word dengan rata tengah diikuti dengan nomor persamaan tersebut rata kanan, berupa angka yang diapit oleh kurung buka dan kurung tutup (Persaman 1).

81 ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

Gambar 1. Peta Satuan Wilayah Pengelolaan dan Titik Pengambilan Data LIT

(1)

4. SIMPULAN DAN SARAN Penulisan daftar pustaka ditulis dengan Harvad style seperti contoh dibawah. Penulisan daftar pustaka menggunakan huruf times new roman ukuran 12 dengan spasi setelah (after) adalah 6 pt.

DAFTAR PUSTAKA Chen, S., Chen, L., Liu, Q., Li, X., Tan, Q. 2005. Remote sensing and GIS based integrated analysis of coastal changes and their environmental impacts in LingdingBay, Pearl River Estuary, South China. Ocean and Coastal Management, 6 (48): 65–83. Eryani, I.G.A.P., Ardantha, I.M., Sinartha, I.N. 2009. Pengaruh Perubahan Iklim Global terhadap Karakteristik Kerusakan Pantai di Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Bali, Indonesia: Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, WarmadewaUniversity. Handoko, P. 2007. “Mediasi Konflik Penanganan Kerusakan Pantai: Studi kasus Penanganan Abrasi Pantai Kuta Bali” (thesis).Semarang: DiponegoroUniversity. Komar, P. D. 1983. Beach Processes and Erosion. In: Komar, P.D., Moore, J.R., editors. CRC Handbook of Coastal Processes and Erosion. 3rd Ed. Boca Raton, Florida: CRC Press Inc. p.1–20. Philander, S.G. 1990. El Niño, La Niña, and the Southern Oscillation. San Diego, CA: Academic Press. 289 pp. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. 8 Juli 2003. Jakarta, Indonesia: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 4301.

82 CARA BERLANGGANAN

Untuk berlangganan Jurnal ECOTROPHIC secara berkala, dimohon mengisi formulir (dapat di fotocopy) di bawah ini, setelah dilengapi dikirik ke alamat :

Redaksi ECOTROPHIC Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Udayana Jl. PB. Sudirman Denpasar 80232 Bali.

Harga langganan untuk satu tahun (dua volume) termasuk ongkos cetak dan kirim adalah Rp. 35.000,- untuk Pulau Bali, dan Rp. 45.000,- unhtuk luar Bali.

Pembayaran dapat dilakukan melalui : - Pos wesel - Pembayaran langsung

Kepada Yth. Redaksi ECOTROPHIC Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Progam Pascasarjana Universitas Udayana Jl. PB. Sudirman Denpasar 80232 Bali.

Nama : ......

Instansi : ......

Alamat : ......

Edisi : ......

Status : a. Individu b. Instansi/Lembaga

Pembayaran : a. Transfer b. Wesel C. Langsung

83 VOLUME 11 NO. 1 MEI 2017 p-ISSN: 1907-5626 e-ISSN: 2503-3395

ECOTROPHIC JURNAL ILMU LINGKUNGAN JOURNAL OF ENVIRONMENT SCIENCE

KETUA DEWAN REDAKSI Prof. Dr. I Wayan Nuarsa, MSi.

REDAKTUR PELAKSANA Prof. Sudiana Mahendra, Ph.D. Prof. Ir. I Wayan Arthana, MS, PhD. Prof. Dr. I Wayan Budiarsa Suyasa, MS. Prof. Dr. I Gede Mahardika, MS. Dr. Ir. I Made Adhika, MSP. Assoc. Prof. Dr. Takahiro Osawa Ir. I Gusti Bagus Sila Dharma, MT, Ph.D. Abd. Rahman As-syakur, SP,M.Si.

KESEKRETARIATAN Ni Putu Indah Rahadiyani I Made Karsika

KANTOR Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana UniversitasUdayana Gedung Pasca Lantai 1, Ruang 22 Jl. PB. Sudirman, 80232 phone: +62 361 261182. e-mail: [email protected]

Ecotrophic, Journal of Environmental Science atau yang disingkat EJES, merupakan media publikasi bagi hasil-hasil penelitian, artikel dan resensi buku dibidang ilmu lingkungan. EJES adalah peer-reviewed, diterbitkan oleh Program Studi Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana Universitas Udayana.

i VOLUME 11 NO. 1 MEI 2017 p-ISSN: 1907-5626 e-ISSN: 2503-3395 ECOTROPHIC JURNAL ILMU LINGKUNGAN JOURNAL OF ENVIRONMENT SCIENCE

DAFTAR ISI

ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI DANAU BUYAN KABUPATEN BULELENG, PROVINSI BALI I Wayan Rian Riki Saputra, I Wayan Restu, Made Ayu Pratiwi ...... 1-7

BIODEGRADASI REMAZOL BRILIANT BLUE DALAM SISTEM BIOFILTRASI VERTIKAL DENGAN INOKULUM BAKTERI DARI SEDIMEN SUNGAI MATI IMAM BONJOL DENPASAR Luh Putri Kriswidatari, I W Budiarsa Suyasa, dan I Made Siaka...... 8-14

STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG MANUCOCO BERBASIS MASYARAKAT DI KOTA ADMINISTRATIF ATAURO, DILI TIMOR-LESTE Ernesto Matos Soares, I Made Antara, I Made Adhika ...... 15-22

STATUS DAN STRATEGI PENGELOLAAN LINGKUNGAN PERHOTELAN DI KAWASAN KOTA MADYA DILI TIMOR - LESTE Adalgisa D.D.G. Alvares, Budiarsa Suyasa, Syamsul A. Paturusi ...... 23-28

PENGARUH JUMLAH BAKTERI METHANOBACTERIUM DAN LAMA FERMENTASI

TERHADAP PROPORSI GAS METANA (CH4) PADA PENGOLAHAN SAMPAH ORGANIK DI TPA SUWUNG DENPASAR I Putu Yudiandika, I Wayan Suarna dan I Made Sudarma ...... 29-33

RESIDU PESTISIDA GOLONGAN ORGANOFOSFAT KOMODITAS BUAH CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) PADA BERBAGAI LAMA PENYIMPANAN I G A Surya Utami Dewi, I Gede Mahardika, Made Antara ...... 34-39

BIODEGRADASI ZAT WARNA REMAZOL BLACK B SECARA AEROBIK- ANAEROBIK DALAM SISTEM BIOFILTRASI VERTIKAL DENGAN MENGGUNAKAN TANAMAN TALAS (Colocasia esculenta) Febby Hartesa W, I Wayan Budiarsa Suyasa, I Nengah Simpen ...... 40-46

DAMPAK KEGIATAN PERTANIAN TERHADAP TINGKAT EUTROFIKASI DAN JENIS – JENIS FITOPLANKTON DI DANAU BUYAN KABUPATEN BULELENG PROVINSI BALI Ni Putu Vivin Nopiantari, I Wayan Arthana dan Ida Ayu Astarini ...... 47-54

HUBUNGAN SANITASI RUMAH DENGAN KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS (TB) DI KECAMATAN KUTA I Made Mudana, Nyoman Adiputra, I.B.G. Pujaastawa ...... 55-61

EFEKTIVITAS PENERAPAN AMDAL DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP PADA PEMBANGKIT LISTRIK DI BALI – STUDI KASUS PLTD/G PESANGGARAN Helga Margareta Hunter, Made Sudiana Mahendra, I.G.B. Sila Dharma ...... 62-69

KERAGAMAN MIKOFLORA TANAH SUPRESIF DALAM MENGENDALIKAN PENYAKIT AKAR GADA PADA TANAMAN KUBIS (BRASSICA OLERACEA L.) Ni Nengah Darmiati dan I Made Sudarma ...... 70-75

EVALUAI DAN PENETAPAN LAHAN PERTANIAN BERKELANJUTAN UNTUK PENCEGAHAN ALIH FUNGSI LAHAN DI KABUPATEN BANGLI I Made Adnyana, I Nyoman Puja, I Dewa Made Arthagama ...... 76-80

Pedoman Penulisan ...... 81

ii