JURNAL SENI TARI Analisis Gaya Slangit Tari Topeng Tumenggung Di Desa Slangit Cirebon

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

JURNAL SENI TARI Analisis Gaya Slangit Tari Topeng Tumenggung Di Desa Slangit Cirebon JST 8 (1) (2019) JURNAL SENI TARI Terakreditasi SINTA 5 http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jst Analisis Gaya Slangit Tari Topeng Tumenggung di Desa Slangit Cirebon Nur Indah Hidayani1, Restu Lanjari2 Jurusan Sendratasik, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, Indonesia Info Artikel Abstrak ________________ Sejarah Artikel Tari Topeng Tumenggung merupakan salah satu Tari Topeng Cirebon yang berada pada urutan Diterima : 28 Mei 2019 keempat mengisahkan tentang Tumenggung Magangdiraja yang diutus oleh Raja Bawarna untuk Disetujui : 22 Juni 2019 mencari Jinggananom yang telah lama tidak membayar upeti. Tujuan penelitian yakni Dipublikasikan : 23 Juli menganalisis bentuk penyajian Tari Topeng Tumenggung Gaya Slangit serta menganalisis Gaya 2019 Tari Topeng Tumenggung Slangit Cirebon. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan menggunakan pendekatan etnokoreologi. Teknik pengumpulan data yang digunakan yakni ________________ observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik keabsahan data menggunakan triangulasi sumber. Keywords: Hasil penelitian bentuk penyajian Tari Topeng Tumenggung Gaya Slangit meliputi gerak yang terdiri dari 3 tahap yakni dodoan, unggah tengah serta deder/kering tilu dengan iringan Mask Dance; Dance Style; musikTumenggungan, Waledan, dan Barlen, adapun pola lantai yang digunakan dalam pertunjukan presentation form. Tari Topeng Tumenggung Gaya Slangit tidak baku artinya setiap penari dapat mengkreasikan _________________ sendiri pola lantai saat menari. Rias yang digunakan yaitu rias korektif serta busana yang meniru atribut-atribut dari orang yang berstatus sosial tinggi seperti pemakaian kalung, dasi, dan topi, adapun properti yang digunakan yaitu Topeng Tumenggung. Tari Topeng Tumenggung Gaya Slangit Cirebon dipentaskan di ruang terbuka. Analisis gaya Tari Topeng Tumenggung Gaya Slangit Cirebon muncul melalui analisis postur, interpretasi dan kreativitas. Abstract Tumenggung Mask Dance is one of the Cirebon Mask Dance which is in fourth place tells about Tumenggung Magangdiraja who sent by Raja Bawarna to look for Jinggananom who have not paid tribute for a long time. The purpose of this research is to analyze the presentation formof Tumenggung Mask Dance in Slangit style and analyze the style of Tumenggung Slangit Cirebon Mask Dance. The research method used qualitative with etnochoreology approach. Data collection techniques used observation, interviews and documentation. Data validity used source triangulation. The results show that the form of Tumenggung Mask Dance Style Slangit include motion consisting of 3 stages namely dodoan, unggah tengah and deder/kering tilu with Tumenggungan, Waledan, and Barlen music, and floor design used in Tumenggung Mask Dance performances Slangit style can change it’s mean each dancer can create his own floor design when dancing. Makeup used is corrective makeup and costume like imitatethe attributes of people with high social status such as the use of necklace, tie and hats with Tumenggung mask for the property dance. Tumenggung Mask Dance of Slangit Style Cirebon is performed in an open space. Analysis style of Tumenggung Mask Dance appeared with posture analysis, interpretation and creativity. © 2019 Universitas Negeri Semarang Alamat korespondensi: ISSN 2503-2585 Gedung B2 Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 Email : 1. [email protected] 2. [email protected] 21 Nur Indah Hidayani / Jurnal Seni Tari 8 (1) (2019) PENDAHULUAN Magangdiraja meminta untuk membayar Tari Topeng Cirebon tumbuh dan upeti namun ditolak dan terjadilah berkembang pada masa pemerintahan perang, Jinggananom kalah. Raja Jenggala di Jawa Timur yaitu Prabu Tari Topeng Tumenggung Gaya Panji Dewa pada abad 10-11 M, Slangit Cirebon hingga kini masih kemudian Tari Topeng masuk ke Cirebon dilestarikan oleh salah satu sanggar yakni dan mengalami perpaduan dengan Sanggar Langgeng Saputra. Sanggar kesenian rakyat setempat seperti Tarling, Langgeng Saputra dikelola oleh Bapak Wayang Kulit, dan Gamelan. Pada tahun Sanija Wijaya selaku keturunan dari Alm 1479-1568, Cirebon menjadi pusat Ardja. Tari Topeng Cirebon seiring penyebaran agama Islam yang dipimpin dengan perkembangan zaman mengalami oleh Syekh Syarif Hidayatullah sebagai perbedaan khususnya pada Tari Topeng Sultan Cirebon bekerjasama dengan Tumenggung Gaya Slangit Cirebon yang Sunan Kalijaga memfungsikan Tari terlihat jelas pada pemakaian kostumnya Topeng dan 6 jenis kesenian lainnya serta durasi menari. seperti Wayang Kulit, Gamelan Renteng, Peneliti memilih Tari Topeng Brai, Angklung, Reog dan Berokan sebagai Tumenggung Gaya Slangit untuk diteliti bagian dari upaya penyebaran agama mengenai gaya dan bentuk penyajian Tari Islam. Topeng Tumenggung Gaya Slangit di Tari Topeng Cirebon kemudian Cirebon dengan berbagai alasan dan berkembang, sehingga memperoleh dan pertimbangan seperti diketahui bahwa memiliki bentuk penyajian yang spesifik, Tari Topeng yang ada di Cirebon yang selanjutnya dikenal dengan istilah berjumlah lima namun hanya Tari Topeng Babakan atau Dinaan karena dalam Topeng Tumenggung yang berbeda satu babak mewakili satu karakter dengan tari Topeng Panji, Topeng Samba, tertentu sesuai dengan kedok yang Topeng Rumyang, dan Topeng Klana. digunakan. Pertunjukan tari Topeng Tari Topeng Tumenggung dalam Cirebon terdiri dari 5 babak yang urutan kelengkapan kostum tidak menggunakan penyajiannya terdiri dari Topeng Klana, sobrah hanya menggunakan topi. Tari Topeng Tumenggung, Topeng Rumyang, Topeng Tumenggung dipilih karena Topeng Samba, dan diurutan pertama memiliki sifat dan karakter manusia yang ada Topeng Panji (Masunah dan Karwati bijaksana sehingga dapat menjadi 2003:31-39). gambaran kehidupan manusia yang lebih Tari Topeng Gaya Slangit baik, selain itu dalam setiap event atau diciptakan oleh dalang topeng Sudjana acara di Cirebon Tari Topeng Ardja di Desa Slangit. Dalang Topeng Tumenggung Gaya Slangit ini jarang Sudjana Ardja menafsirkan pertunjukan dipentaskan atau dilombakan sehingga tari Topeng Cirebon dalam tiga peneliti memilih Tari Topeng pandangan yaitu pertumbuhan jasmani Tumenggung Gaya Slangit Cirebon manusia dari bayi sampai dewasa, dengan menganalisis bentuk penyajian kebatinan dan keagamaan. Tari Topeng dan gaya agar tarian ini dapat dikenal Cirebon terdiri dari lima macam tarian oleh masyarakat luas khususnya yang biasanya disebut dengan “Panca masyarakat Cirebon. Wanda” atau lima macam yang terdiri Bentuk penyajian dalam tari dari Klana, Tumenggung, Rumyang, mempunyai pengertian cara penyajian Samba, dan Panji pada urutan pertama. atau cara menghidangkan suatu tari Tari Topeng Tumenggung secara menyeluruh meliputi unsur-unsur merupakan bentuk tarian keempat yang atau elemen pokok dan pendukung tari. mengisahkan sebuah kisah kecil dari Elemen-elemen itu ialah gerak tari, desain cerita Panji. Dikisahkan bahwa lantai, tata rias, kostum, tempat Tumenggung Magangdiraja diutus Raja pertunjukan, dan musik/iringan Bawarna untuk mencari Jinggananom (Soedarsono, 1978:23). yang hilang dan telah lama tidak Jazuli (2016:60) mengatakan membayar upeti. Ketika bertemu dengan bahwa tata rupa kelengkapan sajian tari Jinggananom,Tumenggung meliputi gerak, musik, tema, tata busana, 22 Nur Indah Hidayani / Jurnal Seni Tari 8 (1) (2019) tata rias, tempat pentas, tata wawancara dan dokumentasi. Observasi lampu/cahaya, dan properti. Penelitian dilakukan empat kali yang pertama yaitu mengacu pada teori Jazuli yang observasi lokasi Sanggar Langgeng mengatakan bahwa bentuk penyajian Saputra pada tanggal 13 Mei 2017, yang dapat diihat melalui gerak, musik, tema, kedua pada saat persiapan pertunjukan tata busana, tata rias, tempat pentas, tata Tari Topeng Tumenggung Gaya Slangit lampu/cahaya, dan property. Cirebon pada tanggal 10 September 2017, Gaya secara kontekstual dapat yang ketiga pada saat pertunjukan Tari tersusun dari simbol, bentuk, dan orientasi Topeng Tumenggung Gaya Slangit nilai (tradisi) yang mendasari tari (Royce Cirebon tanggal 23 September 2017, dan dalam Jazuli 2016:47). Masunah dan yang keempat setelah pertunjukan Tari Karwati (2003:39) menjelaskan, istilah Topeng Tumenggung Gaya Slangit gaya merupakan ciri khas yang selalu Cirebon tanggal 24 September 2017. berulang ketika penari tampil. Gaya Wawancara dilakukan empat kali individu biasanya dipengaruhi oleh dengan narasumber yang berbeda. interpretasi dan kreativitas individu serta Wawancara pertama dilakukan di Balai postur atau wanda seseorang. Gaya Desa Slangit Cirebon pada tanggal 13 individu ini dapat dijadikan pula sebagai Mei 2017 kepada Bapak Anjoyo selaku gaya daerah atau sebaliknya. Interpretasi Kuwu di Desa Slangit Cirebon, dapat dilihat melalui karakter peran pembahasan wawancara mengenai letak Tumenggung yang ditarikan penari. geografis dan demografis Desa Slangit Kreativitas penari yang terlihat pada Cirebon, kemudan dilanjutkan dengan berbagai variasi gerak serta susunan sajian wawancara di Sanggar Langgeng Saputra tarinya dan postur atau wanda yang dapat kepada Bapak Sanija Wijaya selaku dilihat melalui cara penari menarikan Tari pimpinan Sanggar Langgeng Saputra, Topeng Tumenggung Gaya Slangit pembahasan wawancara mengenai Cirebon khususnya dalam pengolahan mengenai latar belakang Tari Topeng tenaga, ruang dan waktu. Tumenggung Gaya Slangit Cirebon. Wawancara kedua dilakukan di METODE Sanggar Langgeng Saputra kepada Adel Metode penelitian yang dianggap selaku penari Tari Topeng Tumenggung paling tepat dalam penelitian ini yaitu Gaya Slangit Cirebon pada tanggal 23 metode kualitatif dengan pendekatan
Recommended publications
  • Masyarakat Kesenian Di Indonesia
    MASYARAKAT KESENIAN DI INDONESIA Muhammad Takari Frida Deliana Harahap Fadlin Torang Naiborhu Arifni Netriroza Heristina Dewi Penerbit: Studia Kultura, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara 2008 1 Cetakan pertama, Juni 2008 MASYARAKAT KESENIAN DI INDONESIA Oleh: Muhammad Takari, Frida Deliana, Fadlin, Torang Naiborhu, Arifni Netriroza, dan Heristina Dewi Hak cipta dilindungi undang-undang All right reserved Dilarang memperbanyak buku ini Sebahagian atau seluruhnya Dalam bentuk apapun juga Tanpa izin tertulis dari penerbit Penerbit: Studia Kultura, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara ISSN1412-8586 Dicetak di Medan, Indonesia 2 KATA PENGANTAR Terlebih dahulu kami tim penulis buku Masyarakat Kesenian di Indonesia, mengucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkah dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan penulisan buku ini pada tahun 2008. Adapun cita-cita menulis buku ini, telah lama kami canangkan, sekitar tahun 2005 yang lalu. Namun karena sulitnya mengumpulkan materi-materi yang akan diajangkau, yakni begitu ekstensif dan luasnya bahan yang mesti dicapai, juga materi yang dikaji di bidang kesenian meliputi seni-seni: musik, tari, teater baik yang tradisional. Sementara latar belakang keilmuan kami pun, baik di strata satu dan dua, umumnya adalah terkonsentasi di bidang etnomusikologi dan kajian seni pertunjukan yang juga dengan minat utama musik etnik. Hanya seorang saja yang berlatar belakang akademik antropologi tari. Selain itu, tim kami ini ada dua orang yang berlatar belakang pendidikan strata dua antropologi dan sosiologi. Oleh karenanya latar belakang keilmuan ini, sangat mewarnai apa yang kami tulis dalam buku ini. Adapun materi dalam buku ini memuat tentang konsep apa itu masyarakat, kesenian, dan Indonesia—serta terminologi-terminologi yang berkaitan dengannya seperti: kebudayaan, pranata sosial, dan kelompok sosial.
    [Show full text]
  • Performance in Bali
    Performance in Bali Performance in Bali brings to the attention of students and practitioners in the twenty-first century a dynamic performance tradition that has fasci- nated observers for generations. Leon Rubin and I Nyoman Sedana, both international theatre professionals as well as scholars, collaborate to give an understanding of performance culture in Bali from inside and out. The book describes four specific forms of contemporary performance that are unique to Bali: • Wayang shadow-puppet theatre • Sanghyang ritual trance performance • Gambuh classical dance-drama • the virtuoso art of Topeng masked theatre. The book is a guide to current practice, with detailed analyses of recent theatrical performances looking at all aspects of performance, production and reception. There is a focus on the examination and description of the actual techniques used in the training of performers, and how some of these techniques can be applied to Western training in drama and dance. The book also explores the relationship between improvisation and rigid dramatic structure, and the changing relationships between contemporary approaches to performance and traditional heritage. These culturally unique and beautiful theatrical events are contextualised within religious, intel- lectual and social backgrounds to give unparalleled insight into the mind and world of the Balinese performer. Leon Rubin is Director of East 15 Acting School, University of Essex. I Nyoman Sedana is Professor at the Indonesian Arts Institute (ISI) in Bali, Indonesia. Contents List
    [Show full text]
  • Glossary.Herbst.Bali.1928.Kebyar
    Bali 1928 – Volume I – Gamelan Gong Kebyar Music from Belaluan, Pangkung, Busungbiu by Edward Herbst Glossary of Balinese Musical Terms Glossary angklung Four–tone gamelan most often associated with cremation rituals but also used for a wide range of ceremonies and to accompany dance. angsel Instrumental and dance phrasing break; climax, cadence. arja Dance opera dating from the turn of the 20th century and growing out of a combination of gambuh dance–drama and pupuh (sekar alit; tembang macapat) songs; accompanied by gamelan gaguntangan with suling ‘bamboo flute’, bamboo guntang in place of gong or kempur, and small kendang ‘drums’. babarongan Gamelan associated with barong dance–drama and Calonarang; close relative of palégongan. bapang Gong cycle or meter with 8 or 16 beats per gong (or kempur) phrased (G).P.t.P.G baris Martial dance performed by groups of men in ritual contexts; developed into a narrative dance–drama (baris melampahan) in the early 20th century and a solo tari lepas performed by boys or young men during the same period. barungan gdé Literally ‘large set of instruments’, but in fact referring to the expanded number of gangsa keys and réyong replacing trompong in gamelan gong kuna and kebyar. batél Cycle or meter with two ketukan beats (the most basic pulse) for each kempur or gong; the shortest of all phrase units. bilah Bronze, iron or bamboo key of a gamelan instrument. byar Root of ‘kebyar’; onomatopoetic term meaning krébék, both ‘thunderclap’ and ‘flash of lightning’ in Balinese, or kilat (Indonesian for ‘lightning’); also a sonority created by full gamelan sounding on the same scale tone (with secondary tones from the réyong); See p.
    [Show full text]
  • Bonnie Simoa, Dance
    Applicant For Paid Sabbatical Application Information Name: Bonnie Simoa Department/Division: Dance/Arts Ext.: 5645 Email address: [email protected] FTE: 1.0 Home Phone: 541.292.4417 Years at Lane under contract: 17 (Since Fall 1999) Previous paid sabbatical leave dates (if applicable): 2 # of terms of paid sabbatical leave awarded in the past: 2 Sabbatical Project Title: Intangible Cultural Heritage: Legong and Beyond Term(s) requested for leave: Spring Leave Location(s): Bali, Indonesia Applicant Statement: I have read the guidelines and criteria for sabbatical leave, and I understand them. If accepted, I agree to complete the sabbatical project as described in my application as well as the written and oral reports. I understand that I will not be granted a sabbatical in the future if I do not follow these guidelines and complete the oral and written reports. (The committee recognizes that there may be minor changes to the timeline and your proposed plan.) Applicant signature: Bonnie Simoa Date: 2/1/16 1 Bonnie Simoa Sabbatical Application 2017 Intangible Cultural Heritage: Legong and Beyond 1. INTENT and PLAN This sabbatical proposal consists of travel to Bali, Indonesia to build on my knowledge and understanding of traditional Balinese dance. While my previous sabbatical in 2010 focused primarily on the embodiment and execution of the rare Legong Keraton Playon, this research focuses on the contextual placement of the dance in relation to its roots, the costume as a tool for transcendence, and the related Sanghyang Dedari trance-dance. The 200 year-old Legong Keraton Playon has been the focus of my research, for which I have gained international recognition.
    [Show full text]
  • The Origins of Balinese Legong
    STEPHEN DAVIES The origins of Balinese legong Introduction In this paper I discuss the origin of the Balinese dance genre of legong. I date this from the late nineteenth century, with the dance achieving its definitive form in the period 1916-1932. These conclusions are at odds with the most common history told for legong, according to which it first appeared in the earliest years of the nineteenth century. The genre Legong is a secular (balih-balihan) Balinese dance genre.1 Though originally as- sociated with the palace,2 legong has long been performed in villages, espe- cially at temple ceremonies, as well as at Balinese festivals of the arts. Since the 1920s, abridged versions of legong dances have featured in concerts organized for tourists and in overseas tours by Balinese orchestras. Indeed, the dance has become culturally emblematic, and its image is used to advertise Bali to the world. Traditionally, the dancers are three young girls; the servant (condong), who dances a prelude, and two legong. All wear elaborate costumes of gilded cloth with ornate accessories and frangipani-crowned headdresses.3 The core 1 Proyek pemeliharaan 1971. Like all Balinese dances, legong is an offering to the gods. It is ‘secu- lar’ in that it is not one of the dance forms permitted in the inner yards of the temple. Though it is performed at temple ceremonies, the performance takes place immediately outside the temple, as is also the case with many of the other entertainments. The controversial three-part classification adopted in 1971 was motivated by a desire to prevent the commercialization of ritual dances as tourist fare.
    [Show full text]
  • The Artistic Prominence and Tension of the Malat in Painting and Contemporary Balinese Performance Emily Austin SIT Study Abroad
    SIT Graduate Institute/SIT Study Abroad SIT Digital Collections Independent Study Project (ISP) Collection SIT Study Abroad Spring 2017 Panji's Present Predicament: the artistic prominence and tension of the Malat in painting and contemporary Balinese performance Emily Austin SIT Study Abroad Follow this and additional works at: https://digitalcollections.sit.edu/isp_collection Part of the Asian Studies Commons, Dance Commons, Other Arts and Humanities Commons, Other Classics Commons, Painting Commons, and the South and Southeast Asian Languages and Societies Commons Recommended Citation Austin, Emily, "Panji's Present Predicament: the artistic prominence and tension of the Malat in painting and contemporary Balinese performance" (2017). Independent Study Project (ISP) Collection. 2585. https://digitalcollections.sit.edu/isp_collection/2585 This Unpublished Paper is brought to you for free and open access by the SIT Study Abroad at SIT Digital Collections. It has been accepted for inclusion in Independent Study Project (ISP) Collection by an authorized administrator of SIT Digital Collections. For more information, please contact [email protected]. Austin !1 PAÑJI'S PRESENT PREDICAMENT: the artistic prominence and tension of the Malat in painting and contemporary Balinese performance Emily Austin Advised by Garrett Kam SIT Study Abroad Indonesia: Arts, Religion and Social Change Spring 2017 Austin !2 Table of Contents Table of Contents ..............................................................................................
    [Show full text]
  • Listening for the Suling in the Balinese Gamelan
    University of Tennessee, Knoxville TRACE: Tennessee Research and Creative Exchange Supervised Undergraduate Student Research Chancellor’s Honors Program Projects and Creative Work 5-2019 Listening for the Suling in the Balinese Gamelan Natalie Ann Gregg University of Tennessee, Knoxville, [email protected] Follow this and additional works at: https://trace.tennessee.edu/utk_chanhonoproj Part of the Ethnomusicology Commons, and the Musicology Commons Recommended Citation Gregg, Natalie Ann, "Listening for the Suling in the Balinese Gamelan" (2019). Chancellor’s Honors Program Projects. https://trace.tennessee.edu/utk_chanhonoproj/2245 This Dissertation/Thesis is brought to you for free and open access by the Supervised Undergraduate Student Research and Creative Work at TRACE: Tennessee Research and Creative Exchange. It has been accepted for inclusion in Chancellor’s Honors Program Projects by an authorized administrator of TRACE: Tennessee Research and Creative Exchange. For more information, please contact [email protected]. Listening for the Suling in the Balinese Gamelan ​ ​ Natalie Gregg [email protected] University of Tennessee, Knoxville Gregg 1 Deeply rooted in religion and tradition, Balinese music is a unique art form that contains rich musical variety. Popular in Bali, Indonesia, because of its key role in religious ceremonies ​ ​ and tourism, gamelan music developed into one of the most prominent art forms on the island. While an abundance of research exists concerning many aspects of music in Bali, notably on musical genres, types of instruments and their use, and performance settings, little research has been done concerning the suling, the Balinese flute, and its role in Balinese music. Due to an ​ ​ ​ ​ exceptional lack of information in the subject area, this important member of many Balinese gamelan ensembles is often left unnoticed in research.
    [Show full text]
  • Upaya Pelestarian Pertunjukan Kuda Lumping Pada Paguyuban Putra Kendalisodo Kabupaten Semarang
    UPAYA PELESTARIAN PERTUNJUKAN KUDA LUMPING PADA PAGUYUBAN PUTRA KENDALISODO KABUPATEN SEMARANG Skripsi diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Seni Tari Oleh Vina Nur Oktaviani 2501416002 PENDIDIKAN SENI DRAMA TARI DAN MUSIK FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2020 ii MOTTO DAN PERSEMBAHAN MOTTO: “Jika bisa kerjakan, jika tidak usahakan. Dibalik kesulitan pasti ada jalan. Berusaha dan berdoa adalah kunci utama” (Vina Nur Oktaviani) PERSEMBAHAN: 1. Universitas Negeri Semarang. 2. Paguyuban Putra Kendalisodo Kabupaten Semarang 3. Untuk Ayah, Ibu, dan Adik-Adik v PRAKATA Puji syukur peneliti panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan rahmatNya, sehingga peneliti dapat menyelesaikann skripsi dengan judul “Upaya Pelestarian Pertunjukan Kuda Lumping pada Paguyuban Putra Kendalisodo Kabupaten Semarang” ditulis untuk memenuhi persyaratan guna mencapai gelar sarjana dalam bidang Pendidikan Seni Tari di Jurusan Pendidikan Seni Drama, Tari, dan Musik Fakultas Bahasa dan Seni. Keberhasilan penelitian dengan judul Upaya Pelestarian Pertunjukan Kuda Lumping pada Paguyuban Putra Kendali Sada Kabupaten Semarang tidak lepas dari bimbingan, bantuan serta partisipasi dari berbagai pihak. Pada kesempatan yang sangat baik, penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum., Rektor Universitas Negeri Semarang, yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk menyelesaikan studi di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang. 2. Dr. Sri Rejeki Urip, M.Hum Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan fasilitas ijin penulis. 3. Dr. Udi Utomo, M.Si, Ketua Jurusan Pendidikan Sendratasik yang telah memberikan kemudahan administrasi dalam perijinan penelitian. 4. Dr. Wahyu Lestari M.Hum., Dosen Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing, memberi motivasi, dan membantu peneliti menyelesaikan skripsi.
    [Show full text]
  • Laporan Individu Praktik Lapangan Terbimbing (Plt)
    LAPORAN INDIVIDU PRAKTIK LAPANGAN TERBIMBING (PLT) Lokasi SMP NEGERI 2 MUNTILAN TAHUN 2017 Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan dalam Mata Kuliah Praktik Lapangan Terbimbing Dosen Pembimbing Lapangan : Sri Hertanti Wulan S. Pd., M.Hum Oleh : Haryawan Dony Prasetya (14205241070) PROGAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA JAWA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAERAH FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2017 1 i KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan pelaksanaan dan penyusunan laporan PLT di SMP Negeri 2 Muntilan dengan lancar. Laporan ini merupakan catatan hasil pelaksanaan kegiaan PLT yang telah dilaksanakan pada tanggal 15 September sampai dengan 15 November 2017 di SMP Negeri 2 Muntilan. Setelah penerjunan pada tanggal 15 September 2017, penyusun bersama dengan kelompok PLT SMP Negeri 2 Muntilan melakukan observasi sebanyak dua kali di SMP Negeri 2 Muntilan yang terletak di Jalan Wates Muntilan untuk mengetahui kondisi SMP Negeri 2 Muntilan. Selama proses pelaksanaan PLT penyusun mendapatkan banyak bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak oleh karena itu penyusun mengucapkan terima kasih kepada : 1. Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya di setiap detik kehidupan 2. Bapak Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd selaku Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan fasilitas kepada mahasiswa berupa kegiatan PLT sebagai media mahasiswa untuk dapat mengaplikasikan dan mengabdikan ilmu di masyarakat pendidikan. 3. Bapak Satriyo Wibowo S.Pd selaku Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) Pamong yang telah banyak memberikan bimbingan dan dukungan sejak permulaan sampai penarikan PLT. 4. Ibu Sri Harti Wulan, M.Hum selaku Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) Jurusan Pendidikan Bahasa Jawa yang telah membimbing dalam pelaksanaan PLT.
    [Show full text]
  • “Mr. Tepis” to Balinese Topeng Masked Dance Theatre I Wayan
    71 I Wayan Dibia Experimenting the Modern Story “Mr. Tepis” to Balinese Topeng Masked Dance Theatre I Wayan Dibia, Taipei National University of the Arts, Taipei, Taiwan [email protected] © 2016 University of Malaya. All rights reserved. Malaysian Journal of Performing and Visual Arts, Volume 2, 2016 Abstract Topeng, one of Bali’s most important theatrical forms, has always been identified as a masked dance theatre enacting Balinese chronicles (babad). Some have perceived the babad story as the most essential element and the cultural identity of topeng more than the use of masks. Using the production of Topeng “Mr. Tepis” as a focus of discussion, this paper presents an artistic endeavor to experiment a modern story to Balinese topeng masked dance theatre. The primary goal of this paper is to show that introducing modern stories into traditional theatre such as topeng may change the old image of the art form without destroying its aesthetic principle and cultural identity. 1 The use of modern story may help topeng to maintain its popularity amidst the ever changing culture of Bali. Keywords: Wayang topeng, Topeng “Mr. Tepis”, Balinese theatre, masked dance, experimental theatre Introduction The island of Bali is home to various theatrical forms using masks. Presently, there are five major art forms featuring masks still actively performed on the island. This includes wayang wong (Ramayana masked dance drama), topeng masked dance theatre, barong dance drama, legong topeng dance, telek and jauk dance. Enacting stories derived from different resources, each form utilizes wooden masks representing different figures and characters, ranging from gods and spirits, to human beings, animals, and demons.
    [Show full text]
  • Tari Sanghyang, Ritus Tolak Bala Masyarakat Bali Oleh
    Tari Sanghyang, Ritus Tolak Bala Masyarakat Bali Oleh : Dr. Kadek Suartaya, S.SKar., M.Si Abstrak Alam pikiran masyarakat dinamistis Bali periode primitif memunculkan tari-tarian spiritual yang kental dengan rasa pengabdian yang tulus. Kepercayaan kuat pada totemisme itu diekspresikan dalam tari-tarian persembahan yang umumnya berunsur trance dalam sajian yang polos alamiah. Fungsi tarian-tarian itu sebagai ritual tolak bala adalah mohon keselamatan dan perlindungan kepada roh-roh dan dewa-dewa. Tari Sanghyang yang kini masih disakralkan oleh masyarakat Bali merupakan salah satu kesenian peninggalan zaman pra-Hindu itu. Tari Sanghyang dipercaya mampu mengusir wabah penyakit atau mencegah kehadiran roh-roh jahat yang ingin mencelakai desa. Di daerah-daerah pegunungan, kesenian ini sering ditampilkan bila misalnya ada wabah penyakit yang tiba-tiba berjangkit. Biasanya aktivitas pementasan sanghyang sampai lebih dari sebulan dan akan dihentikan untuk sementara bila epidemi itu sudah dianggap tertanggulangi. Kata kunci: sanghyang, ritual, tolak bala Masyarakat Bali memiliki tari tolak bala yang diakui sebagai warisan budaya dunia oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Oleh badan dunia UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization), tari sakral yang secara takzim disebut sanghyang itu, bersama delapan tari Bali yang lainnya (barong, wayang wong, gambuh, topeng sidakarya, baris upacara, rejang, legong, dan joged) ditetapkan sebagai warisan budaya dunia intangible (tak benda) berdasarkan hasil sidang UNESCO di Namibia, Afrika, pada 2 Desember 2015. Kelompok-kelompok masyarakat Bali mengenal beragam jenis tari sanghyang yang begitu diwingitkan. Aura wingit amat melekat pada tari sanghyang. Sebutan sanghyang bermakna suci nan mulia yang mengarah kepada spiritualitas transendental. Masyarakat Bali meyakini, melalui tari sanghyang para dewa melindungi umatnya dari segala malapetaka.
    [Show full text]
  • Mrĕdangga: Perubahan Dan Kelanjutannya
    i MRĔDANGGA: PERUBAHAN DAN KELANJUTANNYA Hendra Santosa Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar 2019 i Jika anda mendapatkan halaman terbalik bukan menjadi tanggungjawab penerbit ii MRĔDANGGA: PERUBAHAN DAN KELANJUTANNYA Hendra Santosa iii MRĔDANGGA: PERUBAHAN DAN KELANJUTANNYA © 2019 diterbitkan oleh Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar Cetakan I, 2019 Penulis : Hendra Santosa Layout dan Desain Cover : Rinto Widyarto Penerbit Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar Jln. Nusa Indah email : [email protected] ISBN : xiii + 214 iv MRĔDANGGA: PERUBAHAN DAN KELANJUTANNYA v SEKAPUR SIRIH Buku ini merupakan bagian dari hasil penelitian yang berjudul “Melacak Jejak Karawitan dalam Kesusastraan Jawa Kuna” (2015- 2016) dan juga merupakan pengembangan dari Bab IV yang berju-dul: Mrĕdangga: Perkembangan dan Kelanjutannya dari disertasi yang berjudul “Gamelan Perang di Bali Abad ke-10 Sampai Awal Abad ke- 21,” yang telah dipertahankan di UNPAD pada 12 Desember ta-hun 2017. Kemudian penulis kembangkan berdasarkan beberapa te-muan yang ada dalam penelitian dengan judul “Melacak Istilah-Istilah Seni Pertunjukan dalam Karya Kesusastraan Zaman Gelgel (1401-1678)”. Temuan-temuan tentang istilah Mrĕdangga dalam Kakawin Mayantaka dan juga istilah tambur dalam Hikayat Abdullah serta ke-lanjutan Mrĕdangga sebagai sebuah seni pertunjukan yang tersebar di seluruh Indonesia. Penulis sengaja memisahkan judul bab tersebut dari disertasinya untuk pemenuhan bahan ajar mata kuliah Literatur Karawitan yang banyak membahas
    [Show full text]