LAPORAN AKHIR

PENELITIAN DISERTASI DOKTOR

IMUNOHISTOKIMIA JARINGAN LARVA SPODOPTERA LITURA YANG TERINFEKSI SPODOPTERA LITURA MULTIPLE NUCLEAR POLYHEDROSIS VIRUS (SPlTMNPV) IN VITRO DALAM FORMULA FOTO- PROTEKTAN

Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun

Dra. Mahanani Tri Asri, M.Si NIDN: 0024076703

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

Desember, 2013 iii iv DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL i HALAMAN PENGESAHAN...... ii DAFTAR ISI...... iii DAFTAR GAMBAR...... v DAFRTAR TABEL ...... ix DAFTAR LAMPIRAN...... x RINGKASAN...... xi BAB I. PENDAHULUAN...... 1 1.1. Latar Belakang ...... 1 1.2. Rumusan Masalah ...... 8 BAB II. KAJIAN PUSTAKA 10 2.1. Spodoptera litura...... 10 2.2. Anatomi dan Histologi Larva Spodoptera litura ...... 15 2.3. Kultur Sel Insekta ...... 18 2.4. SpltMNPV (Spodoptera litura Nuclear Polyhedrosis Virus) Sebagai Bioinsektisida pada larva S. litura ...... 20 2.5. Potensi Agen Hayati SpltMNPV Sebagai Bioinsektisida ..... 28 2.6. Formulasi Bioinsektisida SpltMNPV...... 30 2.7. Bahan Pelindung SpltMNPV: Tabir Surya (Foto-Protektan) 32 2.8. Radiasi Sinar Matahari ...... 35 BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN...... 41 3.1. Tujuan penelitian ...... 41 3.2 Manfaat Penelitian...... 42 BAB IV. METODE PENELITIAN ...... 43 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian ...... 43 4.2. Definisi Operasional...... 43 4.3. Kerangka Operasional penelitian ...... 44 4.4. Bahan dan Alat Penelitian ...... 45 4.5. Prosedur Penelitian...... 46 a. Pemeliharaan dan Perbanyakan Larva S. litura...... 46 b. Perbanyakan SpltMNPV Secara in Vivo pada larva Spodoptera litura...... 47 c. Pemurnian SpltMNPV dari larva S. litura...... 48 d. Perhitungan konsentrasi SpltMNPV ...... 48

v e. Pembuatan Kultur Sel Epithel Midgut Larva S. 50 litura...... f. Perbanyakan Virus Secara In Vitro ...... 50 g. Ekstraksi EPMS dari Rimpang Kencur (Kaemferia galanga)...... 52 h. Tahap Formulasi ...... 52 i. Pembuatan Preparat Histologis dari SpltMNPV yang Menginfeksi Larva S. litura (Metode parafin dan imunohistokimia)...... 53 4.6 Analisi Data...... 55 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN...... 56 5.1. Histopatologi Larva S.litura yang terinfeksi SpltMNPV Dilihat Dengan Menggunakan Metode Parafin...... 56 5.2. Jaringan dan Organ Larva S. litura yang terinfeksi SpltMNPV Dalam Formula Foto-Protektan pada Tubuh 60 Larva S. litura...... 5.3. Gambar Histopatologis dari Berbagai Organ dan Jaringan yang Terinfeksi SpltMNPV In Vitro...... 64 5.4. Imunohistokimia Larva S. litura yang Terinfeksi SpltMNPV in Vitro Dalam Formula Foto-Protektan 76 5.5. Jaringan dan Organ larva S. litura yang terinfeksi 85 SpltMNPV dalam Formula Foto-Protektan pada tubuh larva S. litura dilihat dengan Imunohistokimia ...... BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...... 91 7.1. Kesimpulan ...... 91 7.2. Saran ...... 92 DAFTAR PUSTAKA ...... 93 LAMPIRAN...... 99

iv DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman 2.1. a Kumpulan telur Spodoptera litura Fabr. b).Neonate 14 (larva) kecil)…………..…………. ………………………......

2.2. b Larva Spodoptera litura instar 2, b) larva Spodoptera litura instar 3, c). Larva Spodoptera litura instar 4……………. 14

2.3. Pupa Spodoptera litura Fabr. …………………………………… 14

2.4. a) Imago S. litura jantan, b) Imago S. litura betina ……………… 15

2.5. Anatomi eksternal dari larva (Spodoptera litura) … 15

2.6 Anatomi internal dari larva Lepidoptera (Spodoptera litura) …… 16 2.7 Potongan melintang dari midgut larva Lepidoptera (Spodoptera 17 litura) ……………………………………………..……………...... 2.8 (A) Ekstrak Lemak tubuh (FBX) menyebabkan proliferasi sel di 18 epithel midgut, terbentuknya lapisan multiseluler (panah) dan terjadi hiperplasia sel induk (B) sel epithel midgut tanpa perlakuan (C). Pemotongan integumen thoraks secara melintang pada larva yang diberi perlakuan FBX menunjukkan adanya kutikula ganda dengan sintesis dari kutikula baru (Cu2) oleh sel-sel epidermis (Epid) di bawah ruang ecdysial (ES) dan kutikula lama (Cu1), FBX merangsang induksi molting / metamorphosis, (D) fase intermolt terlihat hanya ada satu kutikula (Cu1)......

2.9 Rumus molekul dari Ethyl P-metoksinamat (C12H13O3)……..… 34 2.10 Klasifikasi cahaya matahari …………………………………… 36 4.1 Kerangka Operasional Penelitian Efektivitas SpltMNPV in vitro 44 dalam formula Foto-protektan terhadap mortalitas larva Spodoptera litura ......

4.2. Kotak besar haemocytometer...... 49

v No Judul Halaman 5.1 Gambar histopatologi ulat sehat dan ulat terinfeksi virus pada 57 berbagai lama waktu infeksi SpltMNPV......

5.2. Organ yang potensial terinfeksi oleh SpltMNPV pada penampang 59 melintang larva S. litura......

5.3. Tubuh larva S.litura Kontrol (tanpa SpltMNPV) dipotong 64 melintang (40 x) : a. Lumen midgut, b. epithel midgut......

5.4. Trakhea (perbesaran 1000 x): (a) Saluran pernafasan ulat dengan bentukan seperti sisir yang teratur. (b) Lapisan sel epithel yang menyelimuti trakhea 65 (c) Sel trakhea mulai berlobang ( skala mikrometer 1 = 1 µm )......

5.5. Trakhea yang terinfeksi SpltMNPV (perbesaran 1000 kali) 65 (a) PIB SpltMNPV ditengah trakhea yang sel epithelnya telah lepas ( skala 1 mikrometer = 1 µm) ......

5.6. A dan B. Pembuluh darah/haemolimfa terinfekasi SpltMNPV (perbesaran 1000x). Anak panah menunjukkan Polyhedra 66 SpltMNPV pada pembuluh darah ( skala mikrometer 1 = 1 µm )......

5.7. Midgut larva S. litura. a. Lumen (a), membran peritrofik (b) dan epithel midgut (c) yang potensial terserang SpltMNPV (pada lumen terlihat banyak Polyhedra SpltMNPV) perbesaran 400 x b. Polyhedra SpltMNPV terlihat di dalam sel epithel midgut larva S. litura (panah hitam). Perbesaran 1000x ( skala mikrometer 1 = 1 µm berukuran selitar 1- 3 µm) . c. Membran peritrofik terbuka dan PIB SpltMNPV masuk ke membran basal (panah hitam) d. Lapisan sel epithel yang tidak terinfeksi SpltMNPV (a= sel 68 silindris/kolumner, b= sel goblet)......

5.8. a. Lemak tubuh di lumen midgut yang terinfeksi SpltMNPV 69 perbesaran 400x PIB SpltMNPV di membran basal perbesaran 1000x b. PIB SpltMNPV di lumen perbesaran 1000x ( skala mikrometer 1 untuk perbesaran 1000 x = 1 µm )......

5.9. a.Tubulus Malpighi dengan lapisan sel yang tebal, perbesaran 71 1000x b. Tubulus malpighi berisi PIB SpltMNPV (tanda panah hitam) Perbesaran 1000x (perbesaran 1000x, skala mikrometer 1 = 1 µm ) ......

vi No Judul Halaman 5.10. A. lemak tubuh yang normal (perbesaran 400x, skala mikrometer 71 1=2.5 µm ) B= Lemak tubuh terinfeksi SpltMNPV (perbesaran 400x)......

5.11. A dan B Lapisan kutikula perbesaran 1000x, Epi = epikutikula, 73 Bm = membran basal, Ep= Epidermis, a =pidermis yang rusak, b= Kutikula yang lobang dan perlihat ada polyhedra SpltMNPV ( skala mikrometer 1 = 1 µm )......

5.12. Sel syaraf pada larva S.litura (panah hitam) Perbesaran 1000x .... 74

5.13. Sel otot larva S. litura. 75 a. sel otot normal. b. Sel otot terinfeksi SpltMNPV(tanda panah hitam) Perbesaran 1000 kali. c. Sel otot lurik perbesaran 1000x. ( skala mikrometer 1 = 1 µm ) d. Sel otot lurik terinfeksi SpltMNPV (panah menunjukkan PIB SpltMNPV) perbesaran ......

5.14 Penampang melintang dari Midgut larva S. litura yang tidak 77 diinfeksi dengan SpltMNPV dipreparasi dengan imunohistokimia dengan pewarnaan DAB (Perbesaran 40 x) ......

5.15. Polyhedra inclution bodies dari SpltMNPV berwarna coklat tua 79 (berada dalam lingkaran yang ditunjuk dengan anak panah hitam), warna ini lebih gelap dibandingkan dengan sel yang ada disekitarnya. Perbesaran 1000 x......

5.16. Inti sel lemak berwarna biru ungu, tepi tidak beraturan, bebentuk 79 bulat. perbesaran 400 x ......

5.17 PIBs (Polyhedra inclution bodies ) dari SpltMNPV berwarna coklat 79 dengan tepi beraturan, berbentuk bulat (perbesaran 1000X)......

5.18. Berbagai organ larva S. litura A. Sel epithel midgut dengan inti 81 sel berwarna ungu. B. Sel Lemak dengan inti berwarna ungu . C. Sel Otot dengan inti berwarna ungu, perbesaran 1000x . D. Trachea diantara sel lemak dan sel otot......

5.19. A.PIB SpltMNPV berwarna coklat di sel lemak yang ada di 82 lumen dan B. PIB SpltMNPV berwarna coklat di lumen midgut. Perbesaran 1000x......

5.20. A .PIB SpltMNPV di sel epithel midgut (Perbesaran 1000x) 83 dan B. PIB SpltMNPV di dalam sel epithel Midgut (Perbesaran 400X) C dan D epithel midgut ungu belum memunculkan PIB tetapi polyhedrin nya sudah mulai dieksperesikan di membran sel sehingga berwarna coklat...... No Judul Halaman 5.21. PIB SpltMNPV berwarna Coklat tua diantara sel lemak yang 84 berwarna ungu (A.Perbesaran 400x dan B perbesaran 1000x) C dan D sel lemak normal dan beberapa selnya yang berwarna coklat sudah menunjukkan terinfeksi SpltMNPV (anak panah menunjukkan sel lemak yang terinfeksi. (Perbesaran 400x).

5.22 A dan B sel otot tidak terinfeksi dan sel lemak terinfeksi 85 SpltMNPV (Perbesaran 400x) a. Sel lemak terinfeksi SpltMNPV dan b. Sel otot tidak terinfeksi ...... 5.23. Trachea larva S. litura yang inti selnnya berwarna ungu (belum 86 terinfeks SpltMNPV(a). B. Trachea berwarna coklat menunjukkan selnya sudah lepas karena terinfeksi oleh SpltMNPV (a) dan b adalah sel epithel midgut yang berwarna ungu...... DAFTAR TABEL

No Judul Halaman 2.1 Spesifikasi sinar-sinar yang terdapat pada cahaya matahari 36 …..……...... 5.1 Jaringan dan Organ larva S. litura yang terinfeksi SpltMNPV 61 dengan Foto-protektan berupa kaolin dan EPMS 15% yang diradiasi 12 jam dipreparasi dengan metode parafin......

5.2 Jaringan dan Organ larva S. litura yang terinfeksi SpltMNPV 87 dengan Foto-protektan berupa kaolin dan EPMS 15% yang . diradiasi 12 jam dipreparasi dengan metode Imunohistokimia ......

. DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman .

1. Prosedur Kerja Imunohistokimia ...... 99

2. Publikasi Internasional...... 110 IMMUNOHISTOCHEMISTRY OF THE TISSUES OF THE SPODOPTERA LITURA LARVAE INFECTED BY SPODOPTERA LITURA MULTIPLE NUCLEAR PHOTO- PROTECTANT

By : Mahanani Tri Asri

Abtract Spodoptera litura Multiple Nucleopolyhedrosis Virus (SpltMNPV) is a very potential virus pathogen to control Spodoptera litura. This virus has been able to be propogated in vitro on midgut epithelial cells of S. litura larvae. This virus is effective to control Spodoptera litura with mortality of 80 – 90%. The presence of protein on virus outer layer (polyhedrin) in the tissues of S. litura can be detected through visualization of polyhedrin protein in the cells / tissues of the host by using immunohistochemistry method. Two types of preparation were used in this research, that is, one by paraffin method and one by immunohistochemistry. The preparations were made from the midgut of the larvae infected by virus within incubation of 0, 1,2 and 3 days for paraffin method, and to detect the presence of polyhedrin protein in the cells / tissues / organ of S. litura infected by SpltMNPV immunohistochemistry method was used. With treatment of virus dosage of kaolin 1: 4 and dosage of EPMS 20% for paraffin and that of infective virus dosage of kaolin 1: 4 and dosage of EPMS 15% for immunohistochemistry, the organ observed was midgut. The results of the research were 1) SpltMNPV could be detected on the larvae of S. litura by immunohistochemistry method. The shape was oval and the color was dark brown. 2) The virus infecting the larvae of S. litura belonged to the type of Spodoptera litura nuclear polyhedrosis virus because they can have specific connection between antigen of polyhedrin on the outer layer of SpltMNPV and the primary antibodies (anti-polyhedrin) administered during the process of immunohistochemistry. 3) histopatologic picture of the S. litura larvae infected by SpltMNPV resulted from the propogation through in vitro when observed using immunohistochemistry was of the prsence of Polyhedra inclution bodies with typical color (dark brown) spread in lumen, and midgut epithel. 4) The tissues and organ infected by SpltMNPV in vitro with the formula of photo-protectant within incubation period of 0, 1,2 and 3 days by paraffin method were lumen, midgut epitheli , skin epithel, trachea, blood vessels, muscle cells, and tubulus malpighi, whereas those not infected were kutikula dan nerve cells.

Keywords; Immunohistochemistry, Spodoptera litura multiple nuclear polyhedrosis virus (SpltMNPV), Photo-protectant IMUNOHISTOKIMIA JARINGAN LARVA SPODOPTERA LITURA YANG TERINFEKSI SPODOPTERA LITURA MULTIPLE NUCLEAR POLYHEDROSIS VIRUS (SpltMNPV) IN VITRO DALAM FORMULA FOTO-PROTEKTAN Oleh : Mahanani Tri Asri

Abstrak Spodoptera litura Multiple Nucleopolyhedrosis Virus (SpltMNPV). Merupakan patogen virus yang potensial untuk mengendalikan hama Spodoptera litura. Virus ini sudah dapat dibiakkan secara in vitro pada sel epithel midgut larva S. litura. Virus ini efektif untuk mengendalikan Spodoptera litura dengan mortalitas 80 – 90%. Keberadaan protein selubung luar virus (polyhedrin) dalam jaringan S. litura dapat diketahui melalui visualisasi protein polyhedrin di sel/jaringan inang dengan menggunakan metode imunohistokimia. Preparat imunohistokimia yang dibuat dalam penelitian ini ada 2 macam yaitu dengan metode parafin dan metode imunohistokimia. Pembuatan preparat tersebut dilakukan pada midgut larva yang terinfeksi virus pada inkubasi 0, 1,2 dan 3 hari untuk preparat parafin dan untuk deteksi adanya protein polyhedrin pada sel/jaringan/organ S. litura terinfeksi SpltMNPV dengan menggunakan metode imunohistokimia. Perlakuan berupa dosis infektif virus : kaolin 1: 4 dan dosis EPMS 20% untuk parafin dan dosis infektif virus : kaolin 1: 4 dan dosis EPMS 15% untuk imunohistokimia, dan organ yang dilihat adalah midgut. Hasil dari penelitian ini adalah 1) Virus SpltMNPV dapat dideteksi pada larva S. litura melalui metode imunohistokimia, berbentuk bulat-oval, berwarna coklat tua. 2) Virus yang menginfeksi larva S. litura merupakan jenis Spodoptera litura nuclear polyhedrosis virus karena dapat berikatan secara spesifik antara antigen polyhedrin yang ada pada selubung terluar SpltMNPV dengan antibodi primer (anti-polyhedrin) yang diberikan pada waktu proses imunohistokimia. 3) gambaran histopatologis larva S. litura yang terinfeksi SpltMNPV hasil perbanyakan secara in vitro apabila dilihat dengan menggunakan metode imunohistokimia berupa keberadaan Polyhedra inclution bodies berwarna khas (coklat tua) yang tersebar di lumen, dan epithel midgut. 4) Jaringan dan organ yang sudah terinfeksi oleh SpltMNPV in vitro dalam formula foto-protektan pada waktu inkubasi 0, 1,2 dan 3 hari dengan menggunakan metode parafin adalah lumen, epithel midgut, epithel kulit, trachea, pembuluh darah, sel otot, dan tubulus malpighi sedangkan yang tidak terinfeksi adalah kutikula dan sel syaraf.

Kata Kunci; Imunohistokimia, Spodoptera litura multiple nuclear polyhedrosis virus (SpltMNPV), Foto-protektan IMMUNOHISTOCHEMISTRY OF THE TISSUES OF THE SPODOPTERA LITURA LARVAE INFECTED BY SPODOPTERA LITURA MULTIPLE NUCLEAR POLYHEDROSIS VIRUS (SPlTMNPV) IN VITRO IN THE FORMULA OF PHOTO-PROTECTANT By: Mahanani Tri Asri

SUMMARY

Spodoptera litura Multiple Nucleopolyhedrosis Virus (SpltMNPV) is a very potential virus pathogen to control Spodoptera litura. This virus has been able to be propogated through in vitro using midgut epithelial cells of S. litura larvae. This virus is effective to control Spodoptera litura with mortality of 80 – 90% at concentration of 7,1 x107 PIBs/ml in greenhouse and in laboratory it is effective at concentration of 1 x107 PIBs/ml. The virus severity in kiliing the host can be detected through the visualization of the presence of the virus spreading / infecting the host tissues by parafin method application. However, by this method the visualization of the presence of the virus is still biased since the form and size of the virus is similar to cell nucleus split during cell lisis. Another method more appropriate to detect the presence of virus in the host tissue is IHC method (Immunohistochemistry). This method focuses on specific reaction between antigen (virus) and primary antibodies produced by the infected host. Once the antigen meets the primary antibodies, then such reaction is visualized by adding the secondary antibodies labelled with streptavidin biotin colored with brown kromogen with blue background color (of the cell and tissues) so that the virus looks contrast against the background and can be seen under a light microscope or an inverted microscope of 400 times enlargement. The virus used in this research was in the form of photo-protectant package functioning to protect the virus from sunlight so that the virus remained virulen when applied in the field under exposure to sunlight. The photo-protectant compound used was kaolin functioning as physcal protector and Ethyl p_metoksinamat (EPMS) as chemical protector. There were two types of preparation used in this research (to compare), that is, one by paraffin method and one by immunohistochemistry mehod. The preparations were made from the midgut larvae infected by virus within incubation period of 0,1,2 and 3 days for paraffin and within inbuation period of 0, 2, 4 and 6 days for immunohistochemistry. With the treatment of virus dosage of kaolin 1: 4 and dosage of EPMS 20% for paraffin and that of virus dosage of kaolin 1: 4 and dosage of EPMS 15% for immunohistochemistry, the organ observed was midgut. The results of the research were 1) SpltMNPV could be detected on the larvae of S. litura by immunohistochemistry method. The shape was oval and the color was dark brown. 2) The virus infecting the larvae of S. litura belonged to the type of Spodoptera litura nuclear polyhedrosis virus because they can have specific connection between antigen of polyhedrin on the outer layer of SpltMNPV and the primary antibodies (anti-polyhedrin) administered during the process of immunohistochemistry. 3) histopatologic picture of the S. litura larvae infected by SpltMNPV resulted from the propogation through in vitro when observed using immunohistochemistry was of the prsence of Polyhedra inclution bodies with typical color (dark brown) spread in lumen, and midgut epithel. 4) The tissues and organ infected by SpltMNPV in vitro with the formula of photo-protectant within incubation period of 0, 1,2 and 3 days by paraffin method were lumen, midgut epitheli , skin epithel, trachea, blood vessels, muscle cells, and tubulus malpighi, whereas those not infected were kutikula dan nerve cells. IMUNOHISTOKIMIA JARINGAN LARVA SPODOPTERA LITURA YANG TERINFEKSI SPODOPTERA LITURA MULTIPLE NUCLEAR POLYHEDROSIS VIRUS (SPlTMNPV) IN VITRO DALAM FORMULA FOTO-PROTEKTAN Oleh : Mahanani Tri Asri

RINGKASAN

Spodoptera litura Multiple Nucleopolyhedrosis Virus (SpltMNPV). Merupakan patogen virus yang potensial untuk mengendalikan hama Spodoptera litura. Virus ini sudah dapat dibiakkan secara in vitro pada sel epithel midgut larva S. litura (Asri dan Nur.D, 2006-2007). Berdasarkan penelitian Asri (2009) efektif mengendalikan Spodoptera litura dengan mortalitas 80 – 90% pada konsentrasi 7,1 x107 PIBs/ml di greenhouse dan di Laboratorium efektif pada konsentrasi 1 x107 PIBs/ml (Asri, 2007). Tingkat keganasan virus tersebut dalam membunuh inangnya dapat diketahui melalui visualisasi keberadaan virus tersebut saat menyebar/menginfeksi jaringan inang melalui metode parafin. Akan tetapi dengan metode ini visualisasi dari keberadaan virus masih bias dengan bentuk inti sel karena bentuk dan ukuran virus menyerupai inti sel yang lepas pada saat sel lisis. Metode lain yang lebih tepat untuk mengetahui keberadaan virus dalam jaringan inang adalah dengan menggunakan metode IHC (Immunohistokimia). Metode ini menekankan pada ketepatan reaksi (spesific reaction) antara antigen (virus) dan antibodi primer yang dihasilkan oleh inang yang terinfeksi. Apabila antigen sudah bertemu dengan antibodi primer maka reaksi ini divisualisasi dengan menambahkan antibodi sekunder yang diberi label streptavidin biotin dengan pewarna kromogen yang berwarna coklat dan pewarna latar belakang (sel dan jaringan) biru, sehingga virus akan nampak kontras dengan latar belakangnya dan dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop cahaya atau mikroskop inverted perbesaran 400 kali. Virus yang digunakan dalam penelitian ini sudah dikemas dalam kemasan foto-protektan, yang berfungsi untuk melindungi virus dari sinar matahari sehingga virus ini tetap virulen, apabila diterapkan di lapang yang terpapar sinar matahari. Senyawa fotoprotektan yang digunakan yaitu kaolin sebagai pelindung fisik dan Ethyl p_metoksinamat (EPMS) sebagai pelindung kimia. Preparat yang dibuat dalam penelitian ini ada 2 macam (untuk perbandingan) yaitu dengan metode parafin dan metode imunohistokimia. Pembuatan preparat tersebut dilakukan pada midgut larva yang terinfeksi virus pada inkubasi 0, 1,2 dan 3 hari untuk preparat parafin dan pada inkubasi 0, 2, 4 dan 6 hari untuk imunohistokimia. Dengan perlakuan dosis virus : kaolin 1: 4 dan dosis EPMS 20% untuk parafin dan dosis virus : kaolin 1: 4 dan dosis EPMS 15% untuk imunohistokimia, dan organ yang dilihat adalah midgut. Hasil dari penelitian ini adalah 1) Virus SpltMNPV dapat dideteksi pada larva S. litura melalui metode imunohistokimia, berbentuk bulat-oval, berwarna coklat tua. 2) Virus yang menginfeksi larva S. litura merupakan jenis Spodoptera litura nuclear polyhedrosis virus karena dapat berikatan secara spesifik antara antigen polyhedrin yang ada pada selubung terluar SpltMNPV dengan antibodi primer (anti-polyhedrin) yang diberikan pada waktu proses imunohistokimia. 3) gambaran histopatologis larva S. litura yang terinfeksi SpltMNPV hasil perbanyakan secara in vitro apabila dilihat dengan menggunakan metode imunohistokimia berupa keberadaan Polyhedra inclution bodies berwarna khas (coklat tua) yang tersebar di lumen, dan epithel midgut. 4) Jaringan dan organ yang sudah terinfeksi oleh SpltMNPV in vitro dalam formula foto-protektan pada waktu inkubasi 0, 1,2 dan 3 hari dengan menggunakan metode parafin adalah lumen, epithel midgut, epithel kulit, trachea, pembuluh darah, sel otot, dan tubulus malpighi sedangkan yang tidak terinfeksi adalah kutikula dan sel syaraf. BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Spodoptera litura sering disebut sebagai ulat grayak. Ulat ini merupakan salah satu hama pertanian yang banyak merugikan karena serangannya yang serentak dan dalam jumlah besar. Ulat ini merupakan hama penting pada tanaman kedelai (Kartohardjono dan Arifin, 2000). Di Jawa Timur, khususnya

Tulungagung selain populasi ulat grayak sudah tersebar luas, pada tanaman kedelai populasinya mencapai 59-64 ekor per 45 rumpun kedelai, di Kabupaten

Ponorogo mencapai 52 – 67 ekor (Bedjo et al., 2000). Serangan S. litura menyebabkan kerusakan sekitar 12,5% - >20% pada tanaman kedelai yang berumur lebih dari 20 hari setelah tanam (Adisarwanto dan Widianto, 1999).

Kehilangan hasil pada tanaman kedelai akibat serangan hama S. litura dapat mencapai 85%, bahkan dapat menyebabkan kegagalan panen (puso) (Bedjo,

2007).

Pengendalian terhadap S. litura pada tingkat petani pada umumnya masih menggunakan insektisida yang berasal dari senyawa kimia sintesis

(Laoh dkk, 2003). Penggunaan insektisida sintetis untuk mengatasi hama ini perlu dipertimbangkan lagi karena hama ini sudah mulai resisten terhadap beberapa jenis insektisida. Jenis insektisida tersebut misalnya klorpirifos, metomil, sihalotrin (Sutrisno et al, 1988), dan endosulfan serta monokrotofos.

Selain itu penggunaan insektisida juga menimbulkan kerugian misalnya terganggunya terhadap keseimbangan lingkungan, menurunkan keragaman jenis dan populasi parasitoid serta predator (Arifin, 1992; Bedjo, 2005), kemungkinan terjadinya serangan hama sekunder, kematian organisme yang 2

menguntungkan, dan timbulnya kekebalan organisme penganggu tanaman

(OPT) (Novizan, 2002). Penggunaan insektisida juga bisa menimbulkan pembesaran biologi yaitu makin tingginya konsentrasi insektisida dalam mata rantai makanan berikutnya serta dapat menyebabkan keracunan pada manusia.

Di lain pihak harga pestisida kimiawi di Indonesia cukup tinggi, sehingga dapat membebani biaya produksi pertanian. Untuk mengatasi masalah tersebut, sekarang telah dikembangkan alternatif pengendalian hama diantaranya dengan pengendalian secara biologi, yaitu dengan bioinsektisida. Bioinsektisida menggunakan musuh alami untuk mengendalikan hama, misalnya dari golongan bakteri, jamur dan virus.

Salah satu virus yang sedang dikembangkan sebagai bioinsektisida adalah SpltMNPV (Spodoptera litura multiple nucleopolyhedrosis virus).

Berdasarkan penelitian Asri (2005) SpltMNPV efektif mengendalikan S. litura dengan mortalitas 80 – 90% di laboratorium pada konsentrasi 106 PIBs/ml

(Polyhedra inclution bodies/ml) dan konsentrasi 107 PIBs/ml di greenhouse

(Asri, 2004). Menurut Ahmads (2000) virus ini menyebabkan 95% kematian larva dalam waktu 10 hari dengan dosis 1 x 106 PIBs/larva dan tidak menginfeksi larva Lepidoptera lain seperti retorta Clerck (Noctuidae) dan ulat bungkus, Pteroma pendulla Joannis (Psychidae).

Perbanyakan virus secara tradisional dilakukan secara in vivo yaitu menggunakan inang hidup ulat S. litura. Dengan metode perbanyakan tradisional ini ternyata banyak mengalami kendala yaitu sulitnya pemeliharaan inang S. litura secara terus menerus serta tingkat kematian larva yang cukup tinggi terutama pada saat rearing di laboratorium. Pembiakan secara in vitro sudah dapat dilakukan pada sel ephitel midgut larva S. litura instar 4, 5 dan 6 dalam medium Grace’s di laboratorium (Asri dan Nur. 2007). Sel epithel 3

merupakan sel yang banyak terdapat pada tubuh larva S. litura, terutama dilapisan midgut dan dibawah kutikula. Selain itu sel ini juga banyak mengalami diferensiasi menjadi organ-organ penting pada tubuh larva. Setiap organ terdiri atas 4 macam jaringan yaitu epithel, pengikat dan penunjang, otot serta syaraf.

Jaringan epithel yang berada di organ, biasanya terletak di dekat saluran dan ditepi dari organ tersebut (apabila organ tersebut mempunyai rongga atau saluran misalnya pada saluran pencernaan) (Yatim, 1996).

Sel yang baru pertama kali dapat ditumbuhkan pada media secara in vitro sering disebut sebagai sel primer. Sel primer ini juga sudah berhasil direkultur dan mencapai pertumbuhan yang monolayer (pada permukaan dasar cawan petri ditumbuhi sel yang rapat sehingga membentuk satu lapisan) sampai 10 generasi. Tiap generasi sampai diperoleh sel monolayer dibutuhkan waktu 10 hari. Sel primer epithel usus ulat ini dapat digunakan untuk memperbanyak

SpltMNPV secara laboratorium yaitu kemampuan reproduksi SpltMNPV dalam tiap sel usus hasil kultur in vitro adalah 2,545 PIB’s /sel. Sel primer yang terbentuk dapat diinfeksi dengan SpltMNPV yang sudah dipecah polyhedranya dengan dosis 1,1 x 106 PIB’s/ml dan jumlah sel primer per ml sekitar 9,3 x 106 sel/ml, dalam waktu inkubasi 3 hari jumlah virus yang bisa di panen meningkat menjadi 2,367 x 107 sel/ml (Asri dan Nur, 2007). Sel primer epithel larva S. litura selain dapat di gunakan untuk memperbanyak virus juga dapat digunakan untuk menyimpan virus di dalam sel. SpltMNPV yang disimpan dalam sel akan terjaga kemurniannya. Menurut Zhang et all (2008) Sel Spodoptera litura Sl-zsu-1 yang telah direkultur berkali-kali (lebih dari 4 tahun) tidak mengalami apoptosis/lisis apabila dinfeksi dengan SpltMNPV (dalam bentuk polyhedra) tetapi mengalami apoptosis bila diinfeksi dengan DNA yang diekstrak dari Polyhedra SpLtMNPV. 4

Penggunaan kultur sel epithel untuk memperbanyak SpltMNPV bertujuan agar SpltMNPV lebih cepat mengenali sel epithel berikut derivatnya pada waktu virus menginfeksi inang. Hal ini disebabkan, SpltMNPV yang tumbuh dan memperbanyak diri di dalam sel epithel akan melisiskan sel epithel larva S. litura. SpltMNPV yang keluar dari sel ephitel akan mendapatkan selubungnya dari membran sel. Selubung SpltMNPV bertugas mengenali sel epithel lain yang akan digunakan sebagai sel target infeksi berikutnya.

SpltMNPV hasil perbanyakan in vitro yang diinfeksikan ketubuh ulat S. litura diharapkan dapat menginfeksi berbagai macam sel, jaringan dan organ sehingga menjadi rusak dan lisis serta menyebabkan kematian larva S. litura.

Oleh karena larva S. litura merupakan hama penting pada tanaman pertanian khususnya pada tanaman kedelai, yang dapat menimbulkan kerugian bahkan kegagalan panen maka hama ini perlu dikendalikan. Salah satu agen hayati yang dapat digunakan adalah SptMNPV yang dibiakkan secara in vitro.

Uji patogenesitas skala laboraorium pada virus hasil perbanyakan in vitro pada sel midgut tersebut dengan dosis 107 PIBs/ml dapat menyebabkan mortalitas larva S. litura instar 3 sebesar 80%. Pada uji patogenesitas skala green house diperoleh LD 80 pada dosis dosis 7,1 x 107 PIBs/ml dan waktu aplikasi terbaik adalah sore hari. Uji patogenesitas kombinasi antara SpltMNPV dengan insektisida kimia yaitu perfection 400 EC, Kanon 400 EC dan Pilarmax

400 EC dengan bahan aktif organophospat skala green house, diperoleh hasil bahwa campuran antara virus dan pilarmax 400 EC dapat mempercepat kematian Larva S. litura 1 hari lebih cepat dibanding campuran insektisida yang lain. Pada uji skala lapang, diperoleh hasil bahwa SpltMNPV tidak menyerang organisme non sasaran yaitu hama penghisap polong kedelai (Riptortus linearis

Fabricius), kepik warna warni (Harmonia axiridis) serta Nezara viridula dan yang 5

diserang adalah inang aslinya yaitu larva S. litura (Asri dan Nur, 2009). Riptortus linearis, dan Nezara viridula, merupakan hama kedelai yang berstatus sangat penting sedangkan Harmonia axiridis merupakan predator penting yang ada di agroekosoistem tanaman kedelai (Tengkano, dkk, 2007 )

Hal menguntungkan lain dari virus ini apabila diterapkan di lapang adalah ulat S. litura yang terinfeksi virus sampai 4 generasi tidak muncul kekebalan, artinya ulatnya mati sampai 4 generasi tanpa adanya penyemprotan virus berulang (Thamrin, Isnawati dan Asri, 2008).

Berdasarkan penelitian Kristiningsih, (2006) SpltMNPV hasil pembiakan secara in vivo di dalam tubuh larva S. litura yang diradiasi ultraviolet C/UV-C (di laboratorium) dan diradiasi Sinar matahari terlihat adanya penurunan patogenisitas seiring dengan lamanya radiasi ialah patogenisitas terendah pada radiasi sinar matahari selama 24 jam mencapai mortalitas 53% dan pada radiasi matahari 12 jam menyebabkan mortalitas 55%. Mortalitas larva S. litura ini turun sebesar 25 – 27 %. Berkurangnya efektivitas SpltMNPV karena sinar Ultra Violet dan sinar matahari dapat menyulitkan petani apabila akan diterapkan di lapang.

Hasil penelitian Arifin, 1988 dan Bedjo, 1997 menunjukkan bahwa penggunaan

SlNPV in vivo dengan dosis 1,5 x 1011 PIBs/ha dapat mematikan larva S. litura sebesar 73% pada 9 HSA di rumah kaca, sedangkan aplikasi di lapangan pada dosis yang sama hanya mencapai 33%. Penurunan kematian ulat tersebut diakibatkan NPV sangat rentan pada sinar matahari khususnya sinar ultra violet.

Sinar matahari merupakan faktor utama yang membatasi persistensi virus pada lingkungan. Inaktivasi Virus oleh sinar matahari terutama disebabkan oleh sinar ultraviolet (UV) (Young, 2000).

Usaha untuk melindungi infektifitas virus dari radiasi matahari telah dilakukan oleh Arifin, 1999 yaitu dengan menambahkan Kaolin pada 6

SpLtMNPV dengan dosis virus 4,8 x 109 PIBs/ml sebanyak 25 ml ditambah dengan 0,1% Triton x-100 dan 100 gr kaolin. Dengan formula tersebut dan pada dosis aplikasin 9 x 108 PIBs/ml di lapang, tingkat kematian ulat 70% dicapai pada hari ke-7. Hasil penelitian Bejo,1997: SlNPV dosis 1,5 x 10 11 PIBs/ml) yang ditambah Kaolin 5 % mortalitas di lapang 45%, kaolin 20% mortalitas 53%,

Kaolin 40% mortalitas 70 % .

Penambahan kaolin tidak bersifat antagonis terhadap SpltMNPV, tingkat kerusakan daun lebih rendah, daya absorbsi lebih besar sehingga PIB lebih mudah bercampur dengan kaolin. Kaolin mampu menekan populasi ulat S. litura dan H. armigera. Menurut Indrayani dkk,1998 pada perbandingan 1:2 antara

SlNPV dan kaolin, mortalitas 70% dicapai setelah 7 hsp di green house, dengan dosis 6 x 107 PIBs/ml).

Dari hasil penelitian Arifin,1999., Indrayani dkk., 1998 dan Bejo 1997., tersebut di atas terlihat bahwa penambahan kaolin dapat melindungi infektivitas

SpltMPV di lapang, akan tetapi perlindungan tersebut belum maksimal karena mortaliasnya masih tergolong rendah yaitu antara 45 – 70% yang dicapai pada hari ke-7 setelah aplikasi. Dari hasil tersebut kerusakan tanaman akibat serangan

S. litura masih cukup tinggi yaitu mencapai 45%.

Berdasarkan kekurangan tersebut dalam penelitian ini, peneliti ingin menambahkan senyawa pelindung virus dari sinar matahari atau disebut sebagai foto-protektan berupa Ethyl P-metoksinamat (EPMS) dan kaolin. EPMS merupakan senyawa yang mengandung cincin benzena dan gugus metoksi yang bersifat nonpolar (sukar larut air), memiliki rantai panjang dengan ikatan rangkap terkonjugasi yang akan mengalami resonansi selama terkena paparan ultra violet. EPMS melindungi SpltMNPV dari sinar matahari secara kimia dengan cara 7

memanfaatkan energi sinar matahari yang mengenai EPMS untuk melakukan reaksi berulang (resonansi) yaitu terputusnya ikatan rangkap menjadi tunggal.

Reaksi ini berlangsung terus menerus sehingga energi matahari tidak cukup untuk sampai ke material genetik. Dengan terlindunginya material genetik virus maka virulensi virus dapat dipertahankan. Selain perlindungan yang dilakukan terhadap biopestisida SpLtMNPV, perlindungan terhadap sinar matahari dilakukan juga pernah diberikan terhadap biopestisida mikrobia lain yaitu pada

Jamur Beauveria bassiana. Jamur B. bassiana peka terhadap radiasi sinar matahari. Aktifitas insektisidal jamur ini dapat dilindungi dengan penambahan tepung Gamblong 2% pada 108 konidia/ml B. bassiana (Affandi dan Siti

Rasminah Chaelani, 2010).

Kaolin melindungi virus secara fisik yaitu memantulkan sinar UV, menyerap oksigen radikal bebas (yang mungkin terbentuk karena ada penumpukan energi yang menyebabkan perubahan reaksi yang menghasilkan radikal bebas) (Sridhar, 2008), membentuk lapisan film yang melindungi tanaman dari hama, bahkan dapat mematikan serangga yang memakannya (Harjanto,

1987).

SpltMNPV yang digunakan dalam penelitian ini merupakan SpLtMNPV murni yang diisolasi dari larva S. litura di daerah Wonosobo. Jawa tengah.

Pemberian nama SpltMNPV berdasarkan studi tentang sequence/urutan nucleotida polyhedrin sehingga diperoleh pohon filogenetik yang telah dilakukan oleh Wahyuni, 2002. Pada pohon filogenetik tersebut SpltMNPV isolat Jawa diberi kode JT1 dimasukkan dalam kelompok SpltMNPV tipe C. SpltMNPV JT1 mempunyai kesamaan nucleotida polyhedrin dengan SpltMNPV isolat Palu sebesar 92,66%, dengan SpltMNPV1 dari India sebesar 92,83%, dengan isolat

Palu 22 sebesar 92,83%, dengan isolat Bali 30 sebesar 92,31% dengan isolat 8

Palu 98 sebesar 94.16 % dan dengan Borneo 56 sebesar 98,10% (Wahyuni,

2002).

Fragment/potongan DNA SpltMNPV JT1 yang mengandung gen polyhedrin diketahui dengan analisis hibridisasi Southern blot menggunakan 7 macam plasmid yaitu p123.70, p123.88, p123.148 (semua dari Bank Sacl), p114.38 (dari Bank Hindlll), dan p 106,9, 106,12 dan 106,17 (dari Bank BamHl).

Hasil hibridisasi menunjukkan bahwa fragmen 32 kb Pstl, fragmen 14 kb EcoRI, fragmen 15 kb dan 3,8 kb BamHl, fragmen 34 kb Hind III dan fragmen 7,9 kb sacl yang terhibridisasi kuat. Dua fragmen terpilih dimasukkan dalam plasmid p123.148 (fragmen 7,9 kb sacl dari gen yang mengandung terminal N) dan p106.12 (fragmen 3,8 kb BamHl dari gen yang mengandung terminal C). Dari kedua fragmen tersebut terbukti bahwa fragmen L (3,8 kb) BamHl adalah reverse dan fragmen H (7,9 kb) Sacl adalah ekstremity gen polyhedrin (Wahyuni, 2002)..

Pada Kerangka baca terbuka/ open reading frame (ORF) dari gen polyhedrin SpLtMNPV terdeteksi sejumlah 747 nukleotida. ORF Ini mengkode protein dari 249 asam amino. Dibandingkan dengan gen polyhedrin Spodoptera lain, S. littoralis dan gen polyhedrin S. litura memiliki asam amino terpanjang, 249 asam amino, sedangkan S. exigua dan S. frugiperda memiliki 246 asam amino

(Wahyuni, 2002).

Berdasarkan latar belakang tersebut, perlu dilakukan penelitian mengenai

“Efektivitas SpltMNPV in vitro dalam formula Foto-protektan (Kaolin dan

Ethyl p-metoksinamat/EPMS) terhadap mortalitas larva Spodoptera litura “ agar virus ini dapat stabil apabila diterapkan di lapang.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan permasalahannya ialah : 9

1. Apakah larva S. litura yang terinfeksi dengan gejala virus dapat dideteksi virusnya melalui metode imunohistokimia? 2. Apakah virus yang menginfeksi larva S. litura merupakan jenis Spodoptera litura nuclear polyhedrosis virus? 3. Bagaimanakah gambaran histopatologis larva S. litura yang terinfeksi SpltMNPV hasil perbanyakan secara in vitro apabila dilihat dengan menggunakan metode imunohistokimia? 4. Jaringan dan organ apa saja yang sudah terinfeksi oleh SpltMNPV in vitro dalam formula foto-protektan pada waktu inkubasi 0, 1, 2 dan 3 hari apabila dilihat dengan menggunakan metode parafin ? BAB II.

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Spodoptera litura

Ulat grayak (Spodoptera litura F.) (Lepidoptera, Noctuidae) merupakan salah satu hama daun yang penting karena mempunyai kisaran inang yang luas meliputi kedelai, kacang tanah, kubis, ubi jalar, kentang, dan lain-lain (Laoh, dkk., 2003). Kehilangan hasil akibat serangan hama S. litura dapat mencapai

85%, bahkan dapat menyebabkan kegagalan panen (puso). Kerusakan daun yang diakibatkan oleh serangan hama tersebut dapat mengganggu proses fotosintesis dan pada akhirnya dapat mengakibatkan kehilangan hasil panen

(Bedjo, 2005).

Spodoptera litura berpotensi menjadi hama yang serius, karena dapat menyerang daun tanaman kedelai sejak berumur 11-70 hari. Hama ini merupakan hama migran yaitu hama yang bukan berasal dari agroekosistem setempat tetapi datang dari luar agrosistem tersebut secara periodik yang dapat mengakibatkan kerusakan (Sukandi, 2006).

Biologi Spodoptera litura Fabr. Dalam sistematika klasifikasi, ulat grayak termasuk dalam. ordo Lepidoptera, familia Noctuidae, marga Spodoptera dan spesies litura. Hama ini mempunyai kisaran inang yang cukup luas atau banyak inang, sehingga sulit dikendalikan (Marwoto dan Suharsono, 2008).

Hama ini termasuk ke dalam jenis serangga yang mengalami metamorfosis sempurna yang terdiri dari 4 stadia hidup, yaitu telur, larva, kepompong/pupa, dan imago.

10 11

a. Telur

Telur S. litura dalam keadaan normal terhampar secara tidak teratur pada daun tanaman. Telur berbentuk bulat, warna putih kekuningan dengan garis tengah 0,25 mm atau 0,50 mm. Bagian datar melekat pada daun (kadang- kadang tersusun 2 lapis) (Sukandi, 2006). Imago betina sekali meletakkan telur

50-400 butir dalam satu kelompok (Tjahjadi, 1989 dalam Jannah, 2010). Telur akan menetas setelah 3 sampai 5 hari dan menjelang menetas berwarna cokelat kehitam-hitaman (Sukandi, 2006). Kumpulan telur S. litura dapat dilihat pada

Gambar 2.1a.

b. Larva

Setelah telur menetas menghasilkan larva kecil yang disebut

Neonate, sementara tinggal di sekitar kulit telur, memakan epidermis daun bagian bawah. Mula-mula larva merusak daun secara bergerombol atau berkelompok kemudian menyebar dengan menggunakan benang sutera dari mulutnya. Setelah daun-daun pada rumpun tersebut habis, larva akan berpencar untuk mendapatkan makanan pada rumpun sekitarnya (Sukandi, 2006).

Larva S. litura merupakan larva serangga yang bertipe Eruciform.

Bentuk tubuh larva silindris, kepala berkembang baik, antena pendek, thorax bertungkai, dan pada abdomen terdapat kaki semu (proleg atau pseudoleg)

(Natawigena, 1990). Larva ini berwarna hijau transparan, mempunyai titik hitam pada abdomen yang dapat berubah menjadi hitam kecokelatan, mempunyai kalung hitam (bulan sabit) pada segmen abdomen keempat dan kesepuluh, dan mempunyai sabuk transversal berwarna kuning pada kedua sisi tubuhnya

(Sukandi, 2006). 12

Stadia larva terdiri atas lima instar. Instar yang sangat berbahaya bagi tanaman adalah instar III dan IV. Larva muda berwarna kehijauan, pada umumnya mempunyai dua bintik hitam berbentuk bulan sabit pada ruas abdomen keempat dan kesepuluh. Bintik ini dibatasi oleh alur-alur lateral dan dorsal berwarna kuning yang memanjang sepanjang badan. Larva instar I dan II tinggal berkelompok di sekitar kulit telur dan memakan epidermis daun bagian bawah. Larva tua akan memakan helaian daun sehingga tinggal tulang-tulang daun saja. Di samping itu, larva juga memakan bunga dan polong muda. Lama stadia larva berkisar antara 20-26 hari. Stadia larva merupakan stadia yang paling merusak tanaman budidaya (Laoh dkk., 2003). Morfologi dari larva S. litura pada berbagai instar/stadia dapat dilihat pada Gambar 2.2. a,b dan c.

Menurut Wahyuni (2002), lama stadium larva 17-18 hari dengan 6 tahap instar, yang berbeda dengan pendapat Laoh dkk, 2003. yaitu: a. Instar 1, lamanya 2-4 hari, kepala berwarna hitam dan tubuh berwarna hijau

kekuningan, tubuhnya berubah menjadi kehijauan ketika mereka mulai

memakan daun dan panjang tubuhnya 3,5-5 mm. b. Instar 2, lamanya 2-3 hari, kepala berwarna kecoklatan, tubuhnya berwarna

hijau kekuningan kemudian berubah menjadi hijau kecoklatan, panjang

tubuhnya 5-10 mm. c. Instar 3, lamanya 2-4 hari, tubuhnya berwarna hijau kecoklatan dengan garis

putih dan coklat, memiliki bintik hitam disetiap segmen sepanjang tubuhnya,

panjang tubuhnya 10-20 mm. d. Instar 4, lamanya 2-3 hari, tubuhnya berwarna abu-abu dan terdapat 3 garis

berwarna kuning dibagian dorsal tubuhnya. Pada bagian atas dari garis

tersebut terdapat tanda seperti bulan sabit berwarna kuning pada setiap

segmen, panjang tubuhnya 20-25 mm. 13

e. Instar 5, lamanya 2-3 hari, warna tubuhnya gelap dengan garis merah

.terang pada bagian dorsal. Terdapat 2 bintik hitam pada segmen ke-2

dan ke-3 dari tubuhnya dengan garis merah terang dan putih pada bagian

lateral, panjang tubuhnya 25-30 mm. f. Instar 6, lamanya 2-3 hari, morfologinya sama seperti larva instar 5 tetapi

memiliki ukuran tubuh yang lebih besar. Larva instar akhir ini panjangnya

mencapai 30-40 mm.

b. Pupa

Masa prepupa merupakan stadia saat larva terhenti makan dan tidak

aktif bergerak, berkisar 1-2 hari. Pada stadium ini tubuh larva memendek

1,4-1,9 cm, sedangkan lebarnya 3,5-4 mm, larva membentuk jalinan benang.

Pupa S. litura diletakkan pada lapisan tanah bagian atas. Pupa berwarna

merah gelap, dengan panjang 15-20 mm (Mardiningsih dan Bariyah, 1995

dalam Setiawan, 2003). Tipe pupa S. litura adalah Obotect, yakni dengan

apendik melekat rapat pada tubuh dan tidak ditutup kokon (Natawigena,

1990). Morfologi pupa S. litura dapat dilihat pada Gambar 2.3.

c. Imago

Imago (Ngengat) berukuran panjang 22 mm. Imago berwarna cokelat

susu atau keperak-perakan. Pola sayap bagian depan komplek dan tak

teratur. Pada sayap belakang berwarna putih biru keabu-abuan dari ujung

sampai bagian dalam sayap depan. Lebar rentangan sayap sekitar 4 cm,

pada malam hari ngengat dapat terbang sejauh 5 kilometer (Sukandi, 2006).

Imago jantan dan betina dapat dibedakan melalui pola sayap yang

tidak sama, yaitu imago jantan memiliki pola sayap lebih jelas dibandingkan

pola sayap imago betina ( Indrayani, dkk. 2003). Perbedaan corak antara

imago jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 2.4. 14

a) b)

Gambar 2.1. a) Kumpulan telur Spodoptera litura Fabr. b) Neonate (larva kecil) (Sumber : Evans dan Crossley, 2008)

a) b) c)

Gambar 2.2. a) Larva Spodoptera litura instar 2; b) Larva Spodoptera litura instar 3; c) Larva Spodoptera litura instar 4. (Sumber: Zakaria, 2010)

Gambar 2.3. Pupa Spodoptera litura Fabr. (Sumber: Zakaria, 2010) 15

a) b) Gambar 2.4. a) Imago S. litura jantan, b) Imago S. litura betina (Sumber: Evans dan Crossley, 2008)

2.2. Anatomi dan Histologi Larva Spodoptera litura

Spodoptera litura merupakan salah satu anggota dari lepidoptera. S.

litura termasuk serangga holometabola yaitu serangga yang mempunyai

siklus metamorfosis sempurna. Siklus metamorfosis dari Serangga ini meliputi

: telur, larva, pupa dan imago (ngengat).

Pada Stadium larva tubuhnya terdiri atas kepala/head, thorak dan

abdomen. Secara rinci bagian-bagian dari tubuh larva dapat dilihat pada

Gambar 2.5.

Gambar 2.5. Anatomy ekternal dari larva lepidoptera (Spodoptera litura). (Sumber : Richard 2001) 16

Pada Gambar 2.6. diperlihatkan anatomi internal dari sadium larva lepidoptera. Pada gambar tersebut ditunjukkan secara rinci organ-organ tubuh bagian internal mulai dari organ yang ada di bagian kepala, thorak dan abdomen.

Gambar 2.6. Anatomy internal dari larva lepidoptera (Spodoptera litura). (Sumber : Richard 2001)

Pada penelitian ini kami lebih menekankan pada bagian abdomennya yaitu pada bagian midgut. Pada midgut ini SpLtMNPV pertama kalinya mengenal sel targetnya yaitu sel epithel midgut. Pada tahap inkubasi berikutnya SpLtMNPV akan menyebar keseluruh organ yang ada pada tubuh larva S. litura. Sehingga dalam tinjauan pustaka ini lebih ditekankan pada struktur anatomi midgut. Pada Gambar 2.7 berikut ini digambarkan penampang melintang dari midgut larva lepidoptera. 17

Gambar 2.7. Potongan melintang dari midgut larva lepidoptera (Spodoptera litura). (Sumber : Richard 2001)

Organ-organ yang terdapat pada tubuh larva S. litura secara garis besar terdiri atas adalah trachea, pembuluh darah, tubulus Malpighi, lapisan epithel pada midgut, membrane peritrofik, epithel kulit, jaringan lemak dan syaraf.

Berikut ini gambar histologis dari midgut larva Lepidoptera yang diinduksi dengan ekstrak fat body (Smagghe, et al. 2003) : 18

Gambar. 2.8. (A) Ekstrak Lemak tubuh (FBX) menyebabkan proliferasi sel di

epithel midgut, terbentuknya lapisan multiseluler (panah) dan terjadi

hiperplasia sel induk (B) sel epithel midgut tanpa perlakuan (C). Pemotongan

Integumen thoraks secara melintang pada larva yang diberi perlakuan FBX

menunjukkan adanya kutikula ganda dengan sintesis dari kutikula baru (Cu2)

oleh sel-sel epidermis (Epid) di bawah ruang ecdysial (ES) dan kutikula lama

(Cu1), FBX merangsang induksi molting / metamorphosis, (D) fase intermolt

terlihat hanya ada satu kutikula (Cu1).

2.3 Kultur sel Insekta

Kultur sel diperlukan dalam perbanyakan virus karena virus tidak dapat hidup di luar sel hidup. Pada tahun 1935 William Trager melaporkan untuk pertama kalinya berhasil mengkultur baculovirus dalam kultur sel primer ovarium serangga dari ulat sutera, Bombyx mori. Grace’s dalam Granados, et al., 2007, menyusun media yang ditambahkan dengan lima persen hemolymph yang 19

dipanaskan. Dengan media ini, Grace’s mampu membuat sel line jaringan ovarium dari Antheraea eucalypti, larva dari jaringan nyamuk Aedes aegypti dan jaringan ovarium B. mori menjadi konstan (Granados, et al., 2007). Komposisi media Grace’s yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada lampiran 1.

Kultur sel insekta tidak hanya untuk mempelajari sel insekta dengan kultivasi, tetapi juga untuk menumbuhkan dan mengembangkan virus sebagai bioinsektisida (Goosen et al., 1993). Menurut Granados et al., (2007) sejumlah perusahaan bioteknologi kecil sampai menengah di Amerika Utara dan Eropa saat ini menggunakan teknologi sel baculovirus-serangga untuk memproduksi protein rekombinan, reagen komersial, terapi, dan vaksin untuk kesehatan hewan dan manusia serta aplikasi komersial lainnya.

Penggunaan sel line untuk aplikasi komersial saat ini didominasi oleh sel line, Spodoptera frugiperda : SF21, isolat klonal/SF9, dan sel line Trichoplusia ni, BTI 5, B1-4, secara komersial dikenal sebagai Lima sel tertinggi “ High Five cells”. (Granados, et al., 2007). Midgley et al., 1998 telah berhasil mengkultur sel line (sf9) dari Spodoptera fungiperda sebagai inang untuk Baculovirus.

Metode kultur yang dikembangkan adalah monolayer dan suspensi.

Pertumbuhan sel tercepat diperoleh pada metode kultur suspensi. Dalam metode suspensi, sel ditumbuhkan secara kontinyu dalam botol kultur plastik.

Botol ini dilengkapi dengan sebuah batang magnet stirrer dan diputar pada kecepatan 80 rpm. Pada kecepatan ini tidak menimbulkan panas. sel diinkubasi pada suhu 27oC. Sel yang tumbuh dan melekat pada permukaan botol dapat dilepas untuk disubkultur. Media yang dipakai adalah media bebas serum.

Dengan metode ini populasi sel menjadi 2 kali lipat pada inkubasi 24 jam.

Inkubator yang dipakai adalah inkubator tanpa CO2. 20

Menurut Freshney, 2000. Studi biologi yang dapat dikaji dari kultur sel adalah : (1) Pertumbuhan sel secara natural di dalam media, sebagai monolayer pada botol plastik di dalam media gel atau agar atau di dalam media cair sebagai kultur suspensi. (2) Perubahan medium secara fisik maupun kimia. (3)

Perubahan fenotip sel di dalam kultur seperti : interaksi sel, adhesi sel, kemampuan melekat sel pada botol/cawan, proliferasi sel, kemampuan diferensiasi, dan perubahan morfologi struktur sel.

2.4 SpltMNPV (Spodoptera litura Multiple Nucleopolyhedrosis Virus) sebagai Bioinsektisida Pada Larva S. litura.

Sejarah NPV, NPV merupakan virus yang termasuk dalam famili

Baculoviridae terdiri dari berbagai kelompok virus DNA, yang spesifik menyerang arthropoda. Virus ini telah dilaporkan di seluruh dunia menyerang lebih dari 600 spesies inang, kebanyakan dari serangga ordo Lepidoptera tetapi juga dari ordo

Diptera, Hymenoptera, dan Krustasea ordo Decapoda. (Seufi, A. 2008; Gothama,

1994; Murphy et al., (1995). Selain itu virus ini juga dapat menginfeksi

Arthropoda yang mendiami ekosistem darat dan laut (Woo, 2001). Sedangkan akhir-akhir ini menurut Galal, (2009), Baculovirus hanya dapat menyerang ordo

Lepidoptera, Hymenoptera, dan Diptera.

Famili Baculoviridae saat ini dibagi menjadi dua genera berdasarkan beberapa kriteria yaitu NPV (nucleo polyhedrosis virus) dan GV (granulovirus).

Kriteria pembagian tersebut berdasarkan morfologi tubuh oklusi (OBs/Oclution bodies) dan mekanisme infeksi envelope nukleokapsid pada sel terinfeksi.

Berdasarkan Komite International Taksonomi Virus ICTV yaitu Taksonomi NPV berdasarkan pengamatan menggunakan mikroskop biasa (optik) saat ini telah dihapus (Herniau, E. et al, 2004). 21

Nucleopolyhedrovirus (NPV) ditandai oleh adanya bentuk polyhedral virus (OBs/Oclution bodies), yang masing-masing mengandung beberapa virion yang terbentuk di dalam nukleus, sedangkan virus dari (GV)

Granulovirus yang membentuk OBs biasanya berbentuk bulat telur, dengan virion tunggal yang terbentuk di sekitar plasma inti sel.

Filogeni Baculovirus biasanya didasarkan pada urutan gen individu. Gen polyhedrin (polh)/granulin, yang mengkode protein matriks utama dari OBs, telah banyak digunakan, tapi gen lain, seperti polimer DNA-ase, egt, gp41, kitinase, cathepsin, dan lef2, juga telah digunakan. Menurut pohon filogenetik Robustness yang berdasarkan pada gen Lef-8 dan Ac22 ML serta mengelompokkan virus berdasarkan inangnya, diketahui bahwa SpLtMNPV termasuk ke dalam NPV lepidopterans Grup II, satu kelompok dengan WiceNPV 344 (Wiseana cervinata

NPV 344 ordo Lepidptera) (Herniau, E. et al, 2004).

Analisis kemiripan antar NPV (dari Mesir) berdasarkan gen Polh-cr menunjukkan bahwa gen polyhedrin Spodoptera litoralis SpLiNPV (Acc#D01017)

95% mirip dengan gen polyhedrin Spodoptera litura NPV (SlNPV)

(Acc#AY552474) dan 93% mirip dengan gen polyhedrin Spodoptera litura NPV

(SlNPV) (Acc#AY 549963, AF325155, AF037262 dan AF068189) (Seufi, A.

2008). Pada pohon filogenetik yang berdasarkan gen Polh-cr tersebut, menunjukkan bahwa Spodoptera litura NPV (SlNPV) berbeda gen polyhedrinnya dengan Spodoptera litura multicapsid nucleoplyderosis virus (SpLtMNPV), perbedaan tersebut terlihat pada pengelompokannya yaitu SlNPV sekelompok dengan SpLiMNPV dan SpLiNPV sedangkan SlNPV yang lain sekelompok dengan SpLtMNPV tetapi dengan presentase kemiripan gen Polh-cr yang berbeda (Seufi, A. 2008)

SpLtMNPV yang digunakan dalam penelitian ini merupakan SpLtMNPV murni yang diisolasi dari larva S. litura di daerah Wonosobo. Jawa Tengah. 22

Pemberian nama SpLtMNPV berdasarkan studi tentang sequence/urutan nucleotide polyhedrin sehingga diperoleh pohon filogenetik yang telah dilakukan oleh Wahyuni, 2002. Pada pohon filogenetik tersebut SpLtMNPV isolat Jawa diberi kode JT1 yang dimasukkan dalam kelompok SpLtMNPV tipe C. SpLtMNPV

JT1 mempunyai kesamaan nucleotida polyhedrin dengan SpLtMNPV isolat Palu sebesar 92,66%, dengan SpLtMNPV1 dari India sebesar 92,83%, dengan Isolat

Palu 22 sebesar 92,83%, dengan isolat Bali 30 sebesar 92,31% dengan isolat

Palu 98 sebesar 94.16 % dan dengan Borneo 56 sebesar 98,10% (Wahyuni,

2002).

Pada pohon filogenetik yang disusun oleh Wahyuni (2002) juga terlihat adanya group E yang berisi NPV single (SNPV) yaitu meliputi Helicoverpa armigera SNPV, Acotropis oblique SNPV, Orgya Pseudotsugata SNPV dan

Buzura suppressaria SNPV. Pada grup ini berbeda dengan group lain yaitu

Group D, SpLtMPV A, B dan C yang semuanya Multiple NPV. Morfologi S

(singglenucleocapsid) dan M (multiplenucleocapsid) adalah karakter yang stabil untuk setiap NPV, sehingga mendasari molekul genetik. Dasar dari pembedaan ini belum ditentukan. Type morfologi NPV yang Multiplenucleocapsid /MNPV hanya ada di virus yang diisolasi dari Lepidoptera. Pada serangga lain tampaknya hanya SNPVs saja. Kemungkinan MNPVs telah berevolusi dari leluhurnya yaitu SNPV kuno, ketika Lepidoptera muncul sebagai ordo yang berbeda (Rohrmann, 1986, Vlak dan Rohrmann, 1985). Pada pohon filogenetik yang disajikan, MNPV membentuk kelompok yang terpisah dengan SNPV, akan tetapi perbandingan berdasarkan morphotype MNPV dan SNPV tidak dapat dianggap sebagai penanda filogenetik dalam NPV lepidopteran (Wahyuni, 2002).

Zanotto et al., (1993) melaporkan bahwa morphotype SNPV bersifat plesiomorphik tapi tak terpolarisasi. Rasio bentuk S dan M tergantung pada organ yang terinfeksi (Watanabe, 1975) 23

Morfologi SpLtMNPV: Baculoviridae ditandai dengan bentuk nucleocapsid yang seperti batang. Nuceocapsid berisi DNA yang diselimuti oleh selubung protein yang disebut capsid. Beberapa nucleocapsid dibungkus lagi oleh selubung yang disebut envelope. Material genetik dan protein kapsid dinamakan virion. Virion ini yang bersifat infeksius. Virion SpLtMNPV berbentuk batang (O’Reilly, et al., 1992). Gabungan dari beberapa virion tersebut berbentuk kristal yang berisi protein polyhedrin sehingga disebut Polyhedra

Inclusion Bodies (PIB). Fungsi polihedra adalah sebagai pelindung DNA virus dari degradasi akibat sinar ultra violet matahari serta menjaga viabilitasnya di alam. Polyhedra ini apabila dilihat dengan menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 400 kali berbentuk bulat agak segi empat (Asri, 2005). Menurut

Ahmad, et al., (2000) Polihedra mempunyai banyak bentuk misalnya bulat, spherical, oval dan bersegi banyak (Samsudin, 2000). Polyhedra mengandung banyak virion dengan nukleopkapsid yang lebih dari satu pada tiap virionnya, mempunyai ukuran berkisar antara 1,9-2,8 mikrometer, sedangkan menurut

Samsudin (2000), virion mempunyai diameter 0.2 - 20 nm.

Virus yang menyerang Spodoptera litura diberi nama Spodoptera litura

Multiple Nucleopolyhedrosis Virus karena mempunyai banyak nucleocapsid dalam Polyhedra inklution bodies (PIB)nya sehingga disebut

Multiplenucleocapsid. (Wahyuni, 2002).

Molekuler SpLtMNPV; Baculoviruses mempunyai material genetik DNA double-stranded yang berbentuk lingkaran dengan ukuran antara 80-180 kb.

Polyhedrin terdiri dari protein dengan jumlah asam amino berkisar antara 245-

250 (Woo, 2001; Galal, 2009). Polyhedrin dari virus yang menyerang

Lepidoptera terdiri atas protein yang mengandung 245 asam amino dengan 24

massa molekul sekitar 29 kDa (Rohrmann, 1992). Menurut Samsudin (2000), polyhedrin berukuran antara 29-31 kDa.

Fragment/potongan DNA SpLtMNPV JT1 yang digunakan dalam penelitian ini, mengandung gen polyhedrin yang diketahui dengan analisis hibridisasi Southern blot menggunakan 7 macam plasmid yaitu p123.70, p123.88, p123.148 (semua dari Bank Sacl), p114.38 (dari Bank Hindlll), dan p

106,9, 106,12 dan 106,17 (dari Bank BamHl). Hasil hibridisasi menunjukkan bahwa fragmen 32 kb Pstl, fragmen 14 kb EcoRI, fragmen 15 kb dan 3,8 kb

BamHl, fragmen 34 kb Hind III dan fragmen 7,9 kb sacl yang terhibridisasi kuat.

Dua fragmen terpilih yaitu fragmen 7,9 kb sacl (mengandung terminal N dari gen) dimasukkan dalam plasmid p123.148 dan fragmen 3,8 kb BamHl (gen yang mengandung terminal C) dimasukkan dalam p106.12. Dari kedua fragmen tersebut terbukti bahwa fragmen L (3,8 kb) BamHl adalah reverse dan fragmen H

(7,9 kb) Sacl adalah ekstremity gen polyhedron (Wahyuni, 2002)..

Mekanisme Infeksi SpLtMNPV terhadap inang (secara in vivo) umumnya pada stadium larva yang masuk melalui saluran pencernaan (midgut), jadi inang harus menelan virus bersama pakannya. Bagian tubuh yang peka dan menjadi sasaran virion adalah lapisan epitel saluran pencernaan, trachea, hipodermis dan badan lemak (Tripujo, 2002). Setelah SpLtMNPV masuk,akan menyerang midgut tengah, PIB terurai oleh kondisi basa dari cairan pencernaan. Virion lepas dari

PIB dan menembus membran peritrofik saluran midgut tengah. Envelope virion ditinggal di membran dan nucleocapsidnya masuk melalui mikrovili kesel midgut tengah dan menuju ke inti sel . Di dalam inti sel nucleocapsid bergabung dengan

DNA inang dan mengambil alih sistem ekspresi genetik inang. Untuk membuat komponen virus. Setelah lengkap virus akan keluar dari sel dengan cara melisiskan sel (Kuzio dan Faulkner, 1987; Rohrmann, 2008 ). 25

Mekanisme infeksi SpLtMNPV dalam sel larva S. litura (Rohrmann, 2008), meliputi tahap: 1) penempelan MNPV (Multiple Nucleopolyhedrosis virus) pada sel inang; 2) penetrasi MNPV ke dalam sitoplasma; 3) biosintesis komponen virus; 4) perakitan komponen-komponen virus; 5) pelepasan SpLtMNPV dalam bentuk polyhedra. Tahapan dari mekanisme tersebut adalah

Tahap pelekatan virus pada sel inang

Multiple nucleocapside terlihat mulai mengenali membran sel inang dengan cara menempel pada tempat yang spesifik (reseptor) dan mengeluarkan senyawa yang dapat menyebabkan adanya perubahan pada membran sel sehingga terjadi perubahan konformasi senyawa yang ada di dalam membran sel, selanjutnya membran sel melekuk ke dalam (invaginasi) membawa MNPV

(multiple nucleocapsid). Pelekatan ini dapat terjadi karena virus membentuk vp91

(viral protein), P74, PIF-1 (per os (oral) infectivity factors) dan PIF-2 yang berikatan dengan tempat pengikatan kitin (chitin binding domains) pada sel penghasil kitin termasuk sel epithel kolumnar dari midgut serangga. Ada dua kemungkinan interaksi yang melibatkan pengikatan kitin yang mungkin terjadi selama infeksi di midgut yaitu: yang pertama kitin diikat oleh PIF-1 dan PIF-2, vp91 serta P74; yang kedua pengikatan juga dibantu oleh senyawa multiplenucleocapsid-E66 yang memiliki aktivitas enzimatik (lyase hyaluronan) yang dapat membantu dalam memulai infeksi (Rohrmann, 2008).

Tahap penetrasi dan pelepasan selubung di sitoplasma

Pada tahap kedua ini terlihat bahwa MPNV yang sudah menempel pada inang menyebabkan invaginasi membentuk saluran ke dalam sel. Setelah MNPV masuk ke dalam sel envelope dari MNPV akan dibuka dan isinya dilepas ke dalam sitoplasma sel. Penetrasi/masuknya virus diperantarai oleh GP64 26

(Glicoprotein 64) melalui proses endocytosis yang diperantarai oleh ‘chlatrin’

(clathrin-mediated), ‘clathrin’ menjadi terkonsentrasi di lekukan atau lubang pada permukaan membran plasma, (Rohrmann,2008) Lekukan ini menyerupai vesikula yang disebut vesikula endosome atau endocytic. Virus diasamkan di dalam vesikula yang menyebabkan protein fusi virus mengubah konformasi yang mengakibatkan penggabungan envelope virus dengan membran endosome.

Penggabungan ini mengakibatkan pori membran sel terbuka dan nucleocapsid dapat masuk ke dalam sitoplasma sel.

Tahap biosintesis komponen virus (stroma virogenik)

Pada tahap ini terbentuk stroma virogenik yang berisi material genetik yang menyerupai benang berbentuk batang yang tersebar dalam inti sel.

Membran inti sel terlihat melebar mendekati membran sel. Material genetik virus terlihat sudah memadat dan memendek ada yang berbentuk batang pendek, agak panjang dan ada juga yang melengkung, material genetik terlihat jelas berada dalam suatu rongga yang kosong yang natinya akan menjadi selubung virus. Pembentukan stroma virogenik diatur oleh protein virus yang disebut PP31

(Ac36) karena dengan ketiadaan Ac36 akan menurunkan tingkat transkripsi beberapa gen sampai semua transkripsi gen berakhir (transkripsinya berhenti)

(Rohrmann, 2008).

Tahap perakitan komponen virus

Mekanisme ini memperlihatkan bagaimana nucleocapsid tunggal berbentuk batang yang memasuki selubung proteinnya. Nucleocapsid tersebut melengkung dulu untuk menyesuaikan dengan bentuk envelope yang berbentuk bulat dan selanjutnya memasuki envelope. Nucleocapsid berikutnya juga mengikuti jejak yang pertama yaitu melengkung dulu baru masuk ke dalam 27

envelope. Mekanisme ini menyebabkan efisiensi tempat dapat tercapai. Protein selubung yang sempit ternyata bisa dimasuki oleh nucleocapsid yang jumlahnya lebih dari satu Pada SpLtMNPV yang menginfeksi sel ephitel usus larva S. litura.

Nucleocapsid-nya dalam bentuk melengkung yang saling bertumpuk di dalam envelope membentuk multiple nucleocapsid yang berbentuk oval/bulat memanjang. Hal ini berbeda dengan teori yang sudah ada yang menyatakan bahwa nucleocapsid terdapat dalam keadaan berjejer rapi tegak lurus satu dengan yang lain (Bilimoria, 1986 cit. Wahyuni, 2002).

Tahap pelepasan SpLtMNPV

Tahap terakhir yaitu tahap pelepasan SpLtMNPV dari sel epithel usus larva dilakukan dengan cara membentuk kuncup, selain itu juga terlihat adanya pergerakan multiple nucleocapsid menuju membran inti sel dan membran sel untuk mendapatkan selubung (polyhedra) selanjutnya membran sel membuka dan mengeluarkan polyhedra SpLtMNPV. Arah penguncupan tidak simetris dan tidak terpola yang disebabkan karena virus berada dalam kumpulan sel di dalam medium in vitro yang semua sel disekitarnya menjadi target infeksi berikutnya.

Pada virus yang menyerang sel in vivo penguncupan berada dalam ujung basal dan lateral yang menjauh ke lumen tetapi mendekat ke sel trakrea sebagai target infeksi berikutnya (Rohrmann, 2008).

Polyhedra Inclution bodies (PIB) dari SpLtMNPV berbentuk bulat dengan membran yang ganda. Membran dalam diperoleh dari ”membran” inti sel sedangkan membran yang kedua diperoleh dari membran sel. Pada membran yang terluar terlihat adanya fili seperti pada membran luar sel epithel usus larva

S. litura. Hal ini yang menyebabkan SpLtMNPV dapat bergerak. Gerakan ini terlihat lamban dan berputar-putar ditempat apabila dilihat dengan mikroskop 28

inverted perbesaran 400 kali. Hal ini disebabkan karena sel yang terinfeksi mengeluarkan vfgf (virus fibroblas growth factor) untuk menarik sel lain yang rentan menuju sel yang terinfeksi, adanya senyawa ini menjadikan sel sehat bergerak pelan mendekati sel yang terinfeksi dan PIB virus yang berada diantaranya menjadi terkena arus dari pergerakan sel tersebut sehingga virus menjadi terlihat bergerak. Vfgf ini kemungkinan di sandi dalam material genetik virus yang diekspresikan oleh inang yang terinfeksi agar virus mudah mencari inang berikutnya (Rohrmann, 2008). Gerakan dari virus ini bermanfaat dalam menyebaran virus di media. Bentuk virus tersebut berbeda dengan pendapat

Bilimoria (1986) cit. Wahyuni (2002) yang menyatakaan bahwa Polyhedral

Inclusion Body (PIB) umumnya membentuk kristal dan diliputi oleh matrik protein berbentuk segi banyak.

2.5 Potensi Agen Hayati SpltMPNV Sebagai Bioinsektisida

Keunggulan SpltMPNV sebagai agen pengendalian hayati (bioinsektisida) antara lain (1) selektif terhadap inang sasaran, oleh karena itu tidak berbahaya bagi vertebrata, termasuk manusia (2) persisten di alam artinya dapat menjadi sumber inokulan untuk generasi hama berikutnya, (3) sebagai bioinsektisida yang cocok dan dapat dikombinasikan dengan insektisida kimia dan entomopatogen yang lain, (4) tidak meninggalkan residu beracun di alam yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan, (5) biayanya murah jika dibandingkan dengan insektisida kimia (6) tahan terhadap faktor abiotik seperti kekeringan, kelembaban, tekanan udara, dan kondisi asam. Dari keunggulan tersebut maka SpltMNPV mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan dan dikombinasikan dengan insektisida yang lain untuk pengendalian hayati

(Gothama, 1994). 29

Patogenesitas SpLtMNPV terhadap larva S. litura instar 3 dengan dosis efektif (mampu mematikan ulat antara 80 – 90%) 2 x 106 PIBs/ml di laboratorium

(Asri, 2005) sedangkan untuk mengendalikan ulat yang sama pada tanaman jarak di greenhouse dosis efektifnya adalah 2 x 107 PIBs/ml. Oleh karena Virus ini efektif maka penelitian dilanjutkan dengan menguji ketahanannya terhadap radiasi UV terutama apabila akan diterapkan di lapang. Berdasarkan penelitian

Mulyani (2005) SpLtMNPV ternyata “toleran” terhadap radiasi UV tipe C (panjang gelombang 290 – 320 nm, yang mempunyai kemampuan merusak paling tinggi karena dapat mencapai gen virus), radiasi 17 jam hanya menurunkan patogenesitas sebesar 22,5% dan pada radiasi 13 jam patogenesitasnya turun

2,5% saja. Keuntungan lain dari terkenanya SpltMPNV oleh radiasi UV adalah dapat mempercepat waktu kematian ulat ( hari ke-1 setelah perlakuan mortalitas larva mencapai 37,5%, sehingga kerusakan tanaman akibat serangan ulat sedikit. Jumlah PIBs yang dapat dihasilkan oleh ulat S. litura yang terinfeksi

SpLtMNPV secara in vivo pada berbagai instar telah diteliti oleh Asri, (2004).

Pada instar 3 diperoleh jumlah SpLtMNPV sejumlah ± 6 x 108 – 31 x 108 PIBs/ml, pada instar 4 sejumlah 3 x 109 – 43 x 109 PIBs/ml dan pada instar 5 diperoleh 12 x 109 – 10 x 1010 PIBs/ml. SlNPV in vivo dosis 105 PIBs/ml yang disinari dengan ultraviolet A panjang gelombang 366 selama 0,3,6 dan 9 jam dapat menurunkan patogenesitas yaitu secara berurutan 68, 53,51,67 dan 51,67% (Setiawan, 2003).

Pada dosis SlNPV 50 000 PIB/larva S. litura instar ketiga dan kelima, selain menyebabkan mortalitas larva, juga mengurangi bobot pupa dan jumlah telur. Larva instar ketiga lebih peka terhadap infeksi SlNPV yang menyebabkan pupanya memiliki bobot terendah, yaitu 211.5 mg. Rendahnya bobot pupa berkorelasi positif dengan menurunnya jumlah telur imago, yaitu hanya mencapai 30% (502 butir) dari jumlah telur pada kontrol. Peningkatan dosis 30

virus juga meningkatkan persentase telur terkontaminasi polihedra, yaitu tertinggi 24% pada taraf dosis 500 000 PIB/larva, dan juga menurunkan daya tetas telur (Indrayani dkk, 2003). Nilai LC (lethal concentration )1,02 POB/mm2

(Polyhedral Oclution Bodies/mm2) terjadi pada S. litura terinfeksi virus yang diberi makan daun mawar diikuti oleh kacang tanah, kapas, kentang, dan kubis.

Dalam percobaan di atas pohon, nilai LC (lethal concentration) terendah pada kubis dan tertinggi di mawar.

2.6 Formulasi Bioinsektisida SpLtMNPV

Dalam percobaan di laboratorium, bahan pembawa berupa kaolin, talk, dan laktosum dalam formulasi SpLtMNPV memiliki kemampuan yang hampir sama dalam menstabilkan SpLtMNPV. Semua bahan pembawa dalam formulasi tersebut tidak bersifat antagonis terhadap bahan aktif yang dikandung.

Sedangkan percobaan di green house menunjukkan bahwa NPV (Nuclear

Polyhedrosis Virus) dengan bahan pembawa berupa kaolin dan talk masing- masing mampu menekan populasi ulat S. litura dan H. armigera rata-rata lebih banyak dibanding laktosum dan kontrol (Indrayani dkk, 1998). SlNPV

(Spodoptera litura nuclear polyhedrosis virus) dosis 9 X 108 PIBs/m2 yang berformulasi laktosum atau talk bersifat efektif dan efisien, sehingga cocok digunakan untuk mengendalikan ulat grayak pada kedelai. Aplikasi SlNPV pada kombinasi dosis dan bahan formulasi mengakibatkan tingkat kematian ulat setinggi 79-81%, saat kematian ulat 70% terjadi pada 9-10 hsa, dan tingkat kerusakan daun akibat infestasi ulat 10 ekor/rumpun setinggi 48% (Arifin, 1999).

Selain bahan pembawa tersebut dalam formulasi juga sering ditambahkan adjuvant berupa kombinasi antara molase (5,0%) + Tinopal (0,2%) + jelaga (0,1%) menunjukkan kematian larva tertinggi (94,2%). Namun pada gula kasar (5%) + 31

Tinopal (0,2%) dan molase (5,0%) + Tinopal (0,2%) juga menghasilkan kematian larva masing-masing 93,9 dan 93,8%, dibandingkan dengan kontrol yaitu virus yang diradiasi mortalitasnya hanya mencapai 52,3%. Hal ini menunjukkan bahwa campuran beberapa adjuvant tersebut dapat digunakan sebagai UV- protektan (pelindung ultraviolet) dan phagostimulan (perangsang napsu makan) yang dapat meningkatkan persistensi virus (Mehrvar, 2008).

Agensia hayati yang diformulasi dalam bentuk bubuk (wettable powder) lebih lama bertahan dalam penyimpanan, dan cenderung mengurangi kontaminasi akibat patogen lain, yang biasanya terjadi pada produk-produk hayati yang berbentuk cair. Kontaminasi dapat mengakibatkan NPV mudah rusak, sehingga efektivitasnya berkurang (Indrayani dkk, 1998).

Sebagai bahan pembawa seringkali digunakan atapulgit, selulose, laktosurn, talk dan kaolin (Indrayani dkk, 1998). Kaolin merupakan masa batuan yang tersusun dari material lempung dengan kandungan besi yang rendah, dan umumnya berwarna putih atau agak keputihan. Kaolin mempunyai komposisi alumunium silikat hidrat, Al2O32SiO2 2H2O disertai mineral penyerta memiliki banyak aplikasi di industry (Harjanto, 1987). Proses pembentukan kaolin

(kaolinisasi) dapat melalui proses pelapukan dan proses hidrotermal laterasi pada batuan beku. Endapan kaolin ada dua macam, yaitu: endapan residual dan sedimentasi,

Mineral yang termasuk dalam kelompok kaolin adalah kaolinit, nakrit, dikrit dan Halloisit (AL2(OH)4SiO5.2H2O), mempunyai kandungan air lebih besar dan umumnya membentuk endapan sendiri. Sifat-sifat mineral antara lain, kekerasan 2 – 2,5, berat jenis 2,6 – 2,63, plastis, mempunyai daya hantar panas dan listrik yang rendah, serta pH bervariasi. Potensi dan cadangan kaolin yang besar di Indonesia terdapat di Kalimantan barat, Kalimantan selatan, dan 32

kepulauan Bangka dan Belitung, serta potensi lainnya tersebar dipulau Sumatra,

Jawa dan Sulawesi utara.

Di bidang pertanian, kaolin sebagai pembasmi hama. Kaolin digunakan sebagai agen pengontrol hama pada tanaman anggur. Partikel kaolin dengan ukuran tertentu dicampurkan dengan cairan ‘sticker speader’, kemudian dalam penggunaannya cairan ini disemprotkan pada tanaman atau buah-buahan yang ingin terlindung dari hama. Kaolin yang disemprotkan akan menjadi semacam lapisan film yang melindungi tanaman atau buah-buahan tersebut dari hama sejenis serangga, bahkan dapat mematikan serangga yang memakannya

Harjanto, (1987).

2.7 Bahan Pelindung SpLtMNPV: Tabir Surya (foto-protektan)

Tabir surya merupakan senyawa yang dapat menyerap secara efektif sinar matahari terutama pada daerah emisi gelombang ultra violet. Berdasarkan penelitian Diffey (2001), 90% pengguna tabir surya bertujuan untuk menurunkan resiko terjadinya kanker kulit. Kanker kulit disebabkan karena radiasi ultraviolet matahari mampu mencapai inti sel dan merubah susunan nukleotida DNA pada asam nukleat. Kerusakan tersebut terjadi dengan cara pembentukan pirimidin

(timin) dimer, sehingga mengakibatkan pembentukan protein tertentu menjadi tidak tepat. Radiasi ultra violet dapat juga merusak asam nukleat hampir semua organism terutama yang mempunyai DNA. SpLtMNPV merupakan virus patogenik pada serangga Spodoptera litura yang mempunyai material genetik

DNA. Virus ini berpotensi untuk berubah material genetiknya bila terkena radiasi ultraviolet matahari sehingga virulensinya berkurang. Efektivitas patogen serangga dapat dimaksimalkan dengan: (1) penambahan protektan sinar 33

matahari (2) penggunaan adjuvant dan (3) secara genetis memodifikasi genom virus untuk meningkatkan kerentanan inang (Sridhar, 2008).

Salah satu protektan/pelindung sinar matahari adalah tabir surya.

Berdasarkan mekanisme kerja senyawa tabir surya dibagi menjadi dua yaitu senyawa yang melindungi secara fisik misalnya titanium oksida, seng oksida, dan kaolin. Senyawa ini mengandung partikel-partikel kecil yang tersebar dan memantulkan sinar UV. Partikel ini membantu penyerapan oksigen radikal bebas

(yang mungkin terbentuk dari sebagian energi yang diserap) (Sridhar, 2008).

Serta senyawa yang menyerap secara kimia misalnya turunan asam p- aminobensoat dan turunan ester p-metoksisinamat. Ciri senyawa tabir surya yang menyerap secara kimia adalah mempunyai inti bensena yang tersubtitusi pada posisi orto maupun para yang terkonjugasi dengan gugus karbonil. Selain itu senyawa yang memenuhi persyaratan sebagai tabir surya adalah tidak atau sukar larut air, misalnya turunan sinamat seperti isoamil p-metoksinamat

(IAPMS) (Shaath, 1990). Turunan sinamat digunakan sebagai komponen tabir surya, karena memiliki rantai panjang dan system ikatan rangkap terkonjugasi yang akan mengalami resonansi selama terkena paparan ultra violet

(Taufikurohmah, 2003).

Banyak bahan yang dapat dipergunakan sebagai tabir surya selain p- metoksinamat (IAPMS) misalnya oktil p-metoksisinamat dan EPMS (etil p- metoksinamat). EPMS termasuk golongan senyawa ester yang mengandung cincin benzena dan gugus metoksi yang bersifat nonpolar dan juga gugus karbonil yang mengikat etil yang bersifat sedikit polar sehingga dalam ekstraksinya dapat menggunakan pelarut-pelarut yang mempunyai variasi kepolaran yaitu etanol, etil asetat, metanol, air, dan heksan. Etil p- metoksisinamat (EPMS) adalah salah satu senyawa hasil isolasi rimpang kencur 34

(Kaempferia Galanga L) yang merupakan bahan dasar senyawa tabir surya yaitu pelindung kulit dari sengatan sinar matahari. Etil p-metoksisinamat merupakan kandungan terbesar dari rimpang kencur. Rumus molekul EPMS adalah

C12H13O3, dengan berat molekul 205. Senyawa ini berbentuk kristal jarum tidak berwarna, dengan titik lebur antara 47-48 o dapat diisolasi dengan berbagai pelarut. Pelarut yang paling sesuai adalah heksana pada suhu 50oC memberikan

% isolasi EPMS tertinggi yaitu 8,873% (Taufikurohmah, 2007)

EPMS termasuk ke dalam kelompok fenil propanoid yaitu Senyawa fenolat yang mempunyai aktivitas antioksidan (Bellevile and Nabet, 1994).

Berikut ini adalah rumus molekul dari EPMS:

Gambar 2.9. Rumus molekul dari Ethyl P-metoksinamat (C12H14O3) Sumber : Anonim ( 2003)

EPMS yang yang digunakan untuk melindungi virus dari sinar matahari, apabila terpapar sinar matahari akan mengalami reaksi berulang (resonansi) dengan cara memutus ikatan rangkap pada salah satu rantainya sehingga energy sinar matahari dihabiskan untuk melakukan reaksi berulang tersebut.

Akibat dari reaksi ini adalah energy matahari tidak dapat mencapai DNA Virus.

EPMS bila terkena radiasi matahari akan berubah menjadi Asam 35

parametoksinamat, asam karboksilat dan isoamil alkohol/iso pentanol/iso pentil alkohol.

Jumlah senyawa ini (Oktyl Metoksinamat) yang diperbolehkan untuk kosmetika maksimal 10% (Peraturan Badan POM Republik Indonesia No.

HK.00.05.42.1018. Tahun 2008) Mekanisme kerja bahan ini secara kimiawi adalah dengan mengabsorbsi sinar ultra violet (UV) sehingga menghambat penetrasi sinar UV ke dalam asam nukleat virus.

2.8 Radiasi Sinar Matahari

Spektrum sinar matahari terdiri dari sinar tampak dan tidak tampak.

Sinar tampak meliputi: merah, oranye, kuning, hijau dan ungu (diketahui sebagai warna pelangi). Sinar-sinar tidak tampak antara lain adalah: Sinar

Ultraviolet, Sinar-X, Sinar Gamma, Sinar Kosmik, Mikrowave, Gelombang listrik dan Sinar Inframerah. Berikut ini adalah klasifikasi berbagai macam cahaya yang ada pada cahaya matahari.

Sinar Inframerah (infrared ray - FIR) juga merupakan sinar tidak tampak yang berada pada spektrum warna merah, mendekati spektrum sinar tampak. Dapat dikatakan bahwa 80% cahaya matahari adalah sinar inframerah karena lebarnya jangkauan gelombang sinar ini (0,75-1000 micron) dengan panjang gelombang 800 nm sampai 1200 nm. Sinar infra merah dikelompokkan dalam 3 zone : near infrared ray (0,75-1,5 micron), middle infrared ray (1,5-4 micron) dan far infrared ray (FIR 4- 1000 micron). 36

Gambar 2.10. Klasifikasi cahaya matahari Sumber : Anonim, 2011

Tabel 2.1 Spesifikasi Sinar – Sinar yang Terdapat pada Cahaya Matahari Sumber : Anonim, 2011 37

Sinar matahari mempunyai spectrum sinar yang komplek salah satu sinar yang mempengaruhi patogenesitas SpLtMNPV adalah Sinar ultraviolet.

.Sinar Ultra violet adalah energi matahari yang berupa cahaya tidak tampak dan dikelompokkan menjadi tiga bagian besar berdasarkan panjang gelombangnya (Diffley, 1991). a. UV-A: 320 - 400 nm, terdiri dari UVA1: 340-400 nm dan UVA2: 320 - 340

nm, merupakan ultraviolet dengan kadar radiasi terendah. Walaupun

lemah, sinar ini terpancar sepanjang hari dan dapat merusak. UV ini

dapat menyebabkan penggelapan pigmen melanin, memproduksi

photoproducts dan menekan sistem kekebalan tubuh (Sridhar, 2008). b. UV-B: 290 - 320 nm, merupakan ultraviolet dengan kadar radiasi sedang

yang mempunyai kemampuan merusak lebih tinggi. Gelombang sinar ini

dapat menembus kulit serta mencapai gen dan DNA. Sinar ini

menyebabkan kulit terbakar, merangsang melanosit (sel sel pembentuk

melanin = senyawa penyebab warna coklat) untuk membuat

melanosomes baru yang menyebabkan kulit menjadi cokelat,

karsinogenesis (menyebabkan kanker) dan pembentukan katarak

(Sridhar, 2008), c. UV-C: 290-200 nm, merupakan sinar ultraviolet dengan kadar radiasi

tinggi, mempunyai efek yang berbahaya dan sangat merusak. UV ini

terutama diserap oleh lapisan ozon, apa bila mencapai bumi memiliki efek

germisidal (membunuh mikroba) (Sridhar, 2008).

Pengaruh utama sinar UV adalah mengakibatkan kerusakan DNA, yaitu menyebabkan pembentukan pirimidin dimer yaitu terjadinya ikatan silang antara pirimidin-pirimidin yang bersebelahan, terutama timin. Dimer ini menyebabkan terjadinya sistem abnormal (perubahan urutan basa pada 38

DNA) sehingga terjadi mutasi. Adanya mutasi tersebut memberikan hasil replikasi (proses pembentukan DNA baru dari DNA cetakannya) yang berbeda pada DNA asal sehingga mengakibatkan suatu mikroorganismne tersebut menjadi inaktif. Menurut Setiawan (2003), ultraviolet yang dikeluarkan oleh matahari di alam mempunyai daya rusak (khususnya pada virus), karena dapat mencapai asam nukleat misalnya DNA. DNA merupakan serangkaian gen yang dibutuhkan virus untuk bertahan hidup dan proses replikasi, apabila DNA virus rusak maka daya patogenesitasnya akan menurun.

Menurut Alatas, Z dan Y. Lusiyanti (2003) Sumber radiasi UV alam adalah matahari. Namun karena adanya serapan oleh atom oksigen yang kemudian membentuk lapisan ozon, maka radiasi matahari yang sampai ke bumi (terestrial) intensitasnya lebih rendah yang meliputi UV dengan panjang gelombang 290-400 nm sedangkan panjang gelombang yang lebih pendek diserap oleh lapisan atmosfer. Sebagai penyerap utama radiasi UV, lapisan gas ini berfungsi sebagai pelindung bumi dari pajanan sebagian radiasi UV yang lebih pendek dari 340 nm. Berkurangnya lapisan ozon akibat pelepasan chlorofluorocarbon (CFC) buatan manusia ke atmosfer akan mengurangi daya proteksi ozon terhadap sinar UV dan memperbesar tingkat kerusakan akibat pajanan radiasi UV. Dua sepertiga dari total UVR mencapai bumi antara jam 10 pagi dan 02:00 dengan jumlah radiasi UVB 10% dan

UVA 90%. Radiasi UV (300-400 nm) dari sinar matahari alam berkisar antara

4,0-29,3 W/m2 yang sebanding dengan 24,3-26,5 W/m2 di mesin suntest

(Mehrvar, 2008).

Efek akibat pajanan radiasi optik pada tubuh sangat bergantung pada panjang gelombang yang berhubungan dengan daya tembusnya pada jaringan tubuh. Secara biologik, panjang gelombang < 180 nm (Vacum UV) 39

tidak memberikan efek nyata karena telah terserap oleh udara. UV-C lebih aktif secara fotokimia karena diserap secara kuat oleh asam amino tertentu; dengan demikian oleh kebanyakan protein. UV-B kurang bersifat fotokimia

(energy cahaya mempengaruhi reaksi kimia pada sel) tetapi dapat menembus jaringan. UV-A sangat rendah sifat fotobiologiknya (energi cahaya mempengaruhi proses metabolisme makhluk hidup) tetapi mempunyai daya tembus lebih dari UVB. Sasaran utama pajanan radiasi ultra violet pada tubuh adalah kulit dan mata. Radiasi ultraviolet hanya diserap secara sangat superficial (hanya dibagian permukaan) dan kedalaman pada kulit dan kornea umumnya < l mm., dan untuk UV-C hanya beberapa lapisan sel.

Jumlah radiasi UV yang dapat diserap bergantung pada intensitas matahari, yang maksimum terjadi pada pukul 11.00 - 15.00 saat matahari berada di sekitar posisi tertingginya. Selain itu, intensitas matahari juga dipengaruhi oleh ketinggian karena berhubungan dengan ketebalan lapisan atmosfer yang berfungsi sebagai penahan sinar UV, diketahui bahwa refleksi

/pantulan sinar matahari dari salju dan tanah juga dapat meningkatkan intensitas radiasi.

Spektrum radiasi optik termasuk ultraviolet yang diserap secara maksimum oleh DNA adalah pada 260 nm dengan kemampuan menyerap

10-20 kali lebih besar dari protein. Dengan demikian, DNA memberikan kontribusi besar terhadap penyerapan total UV-C (200 - 280 nm) oleh sel.

Meskipun penyerapan oleh DNA terhadap UV-B pada sekitar 300 nm jauh lebih kecil dari UV-C (10-100 kali lebih rendah), pajanan matahari menyebabkan kerusakan nyata pada DNA yang dapat membunuh sel.

Kerusakan DNA akan mengalami proses perbaikan secara spontan.

Masalahnya adalah bahwa proses perbaikan dapat berlangsung tanpa 40

kesalahan (error-free repair) atau dengan kesalahan (error-prone repair), tergantung tingkat keparahannya. Pajanan radiasi UV-C dan UV-B terutama menimbulkan kerusakan pada pirimidin dengan terbentuknya dimer, seperti

Cyclobutane pyrimidine dimer (CPD), yang umumnya dapat diperbaiki tanpa kesalahan. Sedangkan UV-A (315 - 400 nm) walaupun yang terserap sangat sedikit tetapi dapat menginduksi DNA strand breaks (pemutusan rantai

DNA) pada frekuensi yang jauh lebih kecil dari UV-B dan biasanya proses perbaikan berlangsung dengan kesalahan; konsekuensinya, setelah terpajan relatif lama, kode genetik dapat mengalami tingkat perubahan yang sama baik oleh UV-A rnaupun UV-B. BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan virus dalam jaringan larva S. litura, ketepatan jenis virus yang menginfeksi dengan virus yang dideteksi, penyebaran SpltMNPV dalam jaringan ulat S. litura dan tingkat kerusakan jaringan dan organ yang terinfeksi virus dengan menggunakan metode imunohistokimia. Dengan diketahuinya keberadaan virus dalam jaringan, jenis virus yang menginfeksi, penyebaran virus dalam jaringan dan tingkat kerusakan jaringan maka kita dapat mengetahui tingkat patogenesitas/virulensi/keganasan virus dalam membunuh inangnya. Dapat memperkirakan lama hidup ulat yang terinfeksi. Selain itu dengan menggunkan metode iminohistokimia nantinya dapat digunakan untuk mendeteksi penyakit viral pada invertebrata dan hewan bermanfaat lain yang bertubuh lunak

(misalnya pada udang) dengan akurat.

Secara khusus tujuan penelitian ini adalah :

1). Mengetahui apakah Spodoptera litura terserang SpltMNPV atau tidak.

2. Mengetahui jenis virus yang menginfeksi larva S. litura secara tepat.

3). Mengetahui lokasi virus dalam sel dan jaringan sehingga bisa diketahui

tingkatan reproduksi virus maupun gejala penyakit yang ditimbulkan.

4). Mengetahui pola penyebaran virus pada jaringan ulat S. litura yang

terinfeksi virus

5). Mengetahui tingkat kerusakan jaringan ulat S. litura yang terinfeksi

SpLtMNPV.

41 42

3.2. Manfaat Penelitian

Metode imunohistokimia dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan virus dalam suatu makluk hidup, dapat mengidentifikasi jenis virus secara tepat yang menginfeksi suatu makluk hidup khususnya invertebrata (serangga) yang bertubuh lunak. Dapat mempermudah pengguna untuk mengetahui sel, jaringan atau organ apa saja yang terserang virus, menganalisis kerusakan jaringan atau organ ulat yang terinfeksi virus, serta untuk mengetahui pola penyebaran virus pada inang sehingga dapat diketahui tingkat keganasan virus. Dengan metode ini dapat dilakukan pengobatan yang tepat pada berbagai kasus penyakit yang disebabkan oleh virus. Metode ini juga dapat digunakan untuk membuktikan pada mahasiswa bahwa virus dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop biasa (mikroskop cahaya dengan perbesaran 400 kali) tanpa harus menggunakan mikroskop elektron. Yang tidak semua perguruan tinggi memiliki.

Selain itu hasil ini juga dapat merubah konsep yang selama ini dianut oleh siswa

SMA (Sekolah Menengah Atas) yaitu virus hanya dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop elektron. Walaupun yang terlihat adalah PIBnya

(polyhedra inclution bodies/kumpulan dari virion) dari SpltMNPV bukan virionnya.

Selain itu preparat imunohistokimia juga dapat digunakan sebagai media pembelajaran dalam mata kuliah virologi atau mikrobiologi. BAB IV. METODE PENELITIAN

4.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan setelah proposal penelitian disetujui untuk dilakukan.

Penelitian akan dilakukan di pusat veteriania Farma (Pusvetma) untuk kultur sel dan perbanyakan virus in vitro dan Laboratorium histologi Universitas Airlangga

Surabaya untuk pembuatan preparat paraffin dan imunohistokimia.

4.2. Devinisi Operasional

Pola Penyebaran Virus pada jaringan larva S. litura yang terinfeksi

SpltMNPV, merupakan daerah penyebaran virus dalam sel/jaringan larva yang terinfeksi SpltMNPV yang ditandai dengan ditemukannya PIB (Polyhedra

Inclution bodies) dari SpltMNPV untuk slide yang dibuat dengan metode parafin dan munculnya warna coklat tua pada berbagai sel/jaringan/organ dari larva S. litura yang terinfeksi dengan SpltMNPV. Warna coklat tua menunjukkan adanya protein polyhedrin dari SpltMNPV.

4.3. Kerangka Operasional Penelitian

Persiapan Penelitian

Pada tahap ini yang dipersiapkan pertama kali adalah kultur sel epithel midgut larva S. litura monolayer. Sel ini diinfeksi dengan SpltMNPV. SpltMNPV hasil perbanyakan in vitro ini digunakan untuk persiapan infeksi pada larva S. litura yang akan dibuat slide parafin dan imunohistokimia.

Pembuatan slide parafin dan Imunohistokima

Larva S. litura diinfeksi dengan SpltMNPV hasil perbanyakan in vitro ( kontrol, dan virus in vitro dalam formulasi kaolin dan EPMS 20%) yang diradiasi

Sinar matahari 12 jam) dan di inkubasi pada 0, 1, 2 dan 3 hari. Larva terinfeksi 43 44

1. Larva Spodoptera litura : dari tanaman kapas di Malang

2. Diambil sel epithel midgut : Bedah mikro

3. Dikultur pada media Grace’s + Fetal Bovine Serum secara in vitro

6. Pemecahan 7. . Kultur sel epithel larva S. 8.Penyimpa nan Polyhedrin: Na2CO3 litura diinfeksi dengan SpltMNPV tanpa Polyhedrin SpltMNPV: mengamati keberadaan 4.SpltMNPV isolat 8. Dilihat 9. Perbanyakan : SpltMNPV sel Jawa tengah Mekanisme infeksi Pemurnian dalam epithel (Wonosobo) SpltMNPV pada sel SpltMNPV in vitro: Wahyuni, 2002 epithel : TEM Sentrifugasi

5. Sequensing gen SpltMNPV 12. SpltMNPV murni 10.Penginfeksian (Wahyuni, 2002) hasil perbanyakan in pada larva S. vitro litura (dilihat sel/organ target dari SpltMNPV) : Metode parafin 15. Dikemas dalam 14. Dikemas dalam 13.Tidak berseri foto-protektan: Foto-protektan : dikemas Kaolin + Ethyl P- Kaolin 25 ml/100 metoksinamat gr (EPMS) 0,5,10,15,20% 11. Analisis antigen-antibodi SpltMNPV: Imunohistokimia 17.Uji efektivitas dan mekanisme infeksi 16. Radiasi Sinar SpltMNPV pada Larva S. Matahari 12 jam litura instar 3 (di laboratorium)

Gambar 4.1. Kerangka Operasional Penelitian Efektivitas SpltMNPV in vitro dalam formula Foto-protektan terhadap mortalitas larva Spodoptera litura 45

pada jam tersebut difixasi dengan larutan Gilson, kemudian dibuat preparat dengan menggunakan metode parafin sebagai pembanding sedangkan untuk persiapan imunohistokimia potongan jaringan difiksasi dengan buffer formalin dan diproses sampai pembuatan blok parafin kemudian diteruskan dengan proses imunohistokimia. Larva S. litura yang digunakan untuk imunohistokimia adalah larva yang dinfeksi dengan SpltMNPV in vitro dalam formula foto- protektan (Kaolin + EPMS 15%) yang diinkubasi selama 0. 2, 4 dan 6 hari.

Diagram kerangka operasional penelitian disajikan pada Gambar 4.1.

Bagian tubuh ulat yang dibuat preparat imunohistokimia meliputi midgut tengah yang dipotong secara melintang dan membujur. Setelah tubuh ulat terinfeksi SpltMNPV dan dibuat preparat dengan metode parafin, maka PIB

SpltMNPV akan dapat diamati diantara jaringan ulat S. litura yang terinfeksi.

Preparat yang terbentuk di amati dengan bantuan mikroskop cahaya dan mikroskop inverted untuk melihat sel /organ yang terinfeksi.

4.4. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini ialah :

Persiapan penelitian : SpLtMNPV stater (in vivo) hasil isolasi dari larva S. litura di Jawa (dari tanaman kapas Malang) , Larva S. litura, pakan buatan untuk larva

S. litura (tepung agar 20 gr, tepung kedelai 80 gr, yeast 10 gr, vitamin mix 9,5 gr, natrium bensoat 0,3 gr, asam ascorbat 1 gr, nipagin 1 gram, streptomycin 0,2 gr, dan formalin 2 ml. Air ± 935 ml , daun jarak kepyar, madu murni, bayclin, kultur sel epithel midgut S. litura, media Grace’s/media excel, antifungi/amfoterisin B dan penstrep, fetal bovine serum, enzim tripsin, PBS (posphat buffer saline),

Na2HCO3,

Pelaksanaan penelitian. SpltMNPV hasil perbanyakan in vitro, larva S. litura instar 3, larutan fixative (fixative Gilsonr/buffer formalin: Formalin 10%, sodium 46

phosphat monobasic, 4,5 gr, sodium hydroxide 3,6 gr (Munson, 2000), Xylol,

Alkohol bertingkat, Haematoksilin, akuades, parafin, entelan, PBS, Buffer Tris,

Triton X-100, antibody primer, antibody sekunder, Streptavidin-peroksidase,

H2O2, DAB-cromogen, LSAB+System-HRP dari Dako. SpltMNPV hasil perbanyakan in vitro, larva S. litura instar 3. kaolin, etil p-metoksi sinamat

(EPMS), 0,1% Triton x-100, akuades, bahan pensteril (formalin, KMNO4, alkohol

70%), DMSO (pelarut EPMS), sinar matahari.

Alat yang diperlukan ialah cawan Petri diameter 3 cm dan 8 cm, mikropipet, mikroscisor, autoclave, oven, laminar air flow, mikroskop inverted, mikroskop stereo, mikroskop cahaya, inkubator, mikrofilter, kain nilon, spuit, toples plastik 5 liter, botol vial diameter 3 cm, kuas, pinset, botol kultur, aluminium foil, kain kasa, kapas, tissue, label, obyek glass dan cover glass, staining jar, oven, microtom, pemanas paraffin, pipet, alat tulis dan alat dokumentasi.

4.5. Prosedur Penelitian

Sebelum dilakukan perbanyakan SpltMNPV secara in vivo langkah pertama yang harus dilakukan ialah perbanyakan inang dari SpltMNPV yaitu larva S. litura. a. Pemeliharaan dan Perbanyakan Larva S. litura

Pemeliharaan serangga uji diambil dari keturunan pertama (F0 ) di lapang (Malang). Induk diperoleh dari lapang berupa larva S. litura atau telur.

Telur atau larva tersebut dipelihara dengan pakan daun jarak dalam toples plastik secara berkelompok sampai instar 3 awal, selanjutnya pada instar 3 akhir larva dipindah dalam pakan buatan dan ditunggu sampai menjadi pupa.

Pupa dipanen dan dicuci dengan larutan bayclin 5% selama 2-5 menit dan dengan air sampai bau bayclinnya hilang dan dikeringkan di atas kertas 47

tissue. Pupa diletakkan dalam toples plastik yang di dalamnya di lampirkan kain tipis sebagai tempat imago hinggap dan bertelur apabila pupa menetas menjadi imago. Rasio jantan dan betina 1 : 2. Imago yang terbentuk diberi pakan larutan madu 10 %.

Imago dibiarkan kawin sampai bertelur. Telur yang diletakkan dipermukaan kain berwarna kehijauan, dipanen dan diletakkan dalam toples plastik yang didalamnya diberi daun jarak muda untuk pakan larva yang akan menetas. Larva instar 1 yang baru menetas dipindahkan dari kain kasa dan diletakkan di atas daun jarak muda. Larva instar 1 dibiarkan memakan daun jarak sampai instarnya menjadi intar 2 dan instar 3. Larva instar 3 yang berukuran kurang lebih 1 cm, akan digunakan sebagai inang untuk perbanyakan

SpLtMNPV.

b. Perbanyakan SpltMNPV secara in vivo pada Larva S. litura

SpltMNPV stater yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari

Jawa, dan diperbanyak dalam larva S. litura. Untuk memperbanyak SpltMNPV secara in vivo ini menggunakan metode celup pakan. Larva dipelihara dengan diberi pakan berupa pakan buatan menurut formula hasil penelitian dari Balitas

Malang.

Metode celup pakan dilakukan dengan cara SpltMNPV stater pada konsentrasinya 2 x 107 PIBs/ml, sebanyak 50 ml diletakkan dalam beker glass.

Pakan berukuran 1 x 1 cm dicelupkan dalam suspensi virus tersebut. Pakan diletakkan dalam botol vial berdiameter 3 - 5 cm. Larva S. litura instar 3 diletakkan di atas pakan tersebut serta dibiarkan larva S. litura memakan pakan yang terkontaminasi virus sampai larva mati virus. Larva yang mati virus dikumpulkan dan diletakkan dalam tabung reaksi (tabung kolektor) yang berisi akuadest serta disimpan dalam almari pendingin sebelum dimurnikan 48

c. Pemurnian SpltMNPV dari larva S. litura

SpltMNPV dalam tubuh larva S. litura yang mati virus dalam tabung kolektor dihomogenkan dengan cara diaduk-aduk. Setelah terlihat hancur, suspensi virus tersebut disaring dengan menggunakan kain sablon dengan ukuran mess T 100 untuk memisahkan virus dengan sisa-sisa jaringan ulat.

Suspensi hasil saringan disentrifuse dengan kecepatan 3500 rpm selama 15 menit. Supernatan yang masih keruh dibuang. Pelet yang terbentuk ditambah dengan akuades dan kembali disentrifuse dengan kecepatan dan waktu yang sama. Kegiatan ini dilakukan terus sampai supernatan terlihat jernih. Biasanya sekitar 3 - 4 kali sentrifugasi. Pelet yang terbentuk dilarutkan kembali dalam akuades dan dihitung konsentrasi virus dengan menggunakan Haemocytometer.

d. Perhitungan konsentrasi SpltMNPV

Perhitungan konsentrasi SpltMNPV dilakukan dengan menggunakan haemocytometer. Adapun caranya ialah sebagai berikut:

1). Menentukan 5 kotak dari 25 kotak sedang secara menyebar atau diagonal.

Masing-masing 1 kotak sedang terdapat 16 kotak kecil.

2). Menghitung jumlah PIB virus yang berada pada kelima kotak sedang atau

pada setiap 16 kotak kecil dari masing-masing kelima kotak sedang. Cara

menghitungnya ialah dari kotak paling kiri baris atas ke kanan, lalu turun 1

baris ke arah kiri. Kemudian turun 1 baris ke arah kanan, lalu turun 1 baris ke

arah kiri. PIB yang berada pada garis batas atas dan batas kiri kotak dihitung

masuk kotak tersebut, sedangkan PIB yang berada pada garis batas bawah

dan batas kanan kotak tidak dihitung. Perhitungan ini dilakukan pada 3

sampel dari masing-masing blok SpltMNPV dalam haemocytometer agar

konsentrasi yang didapatkan lebih akurat. 49

3). Menjumlahkan banyaknya PIB virus yang berada pada kelima kotak sedang.

Gambar 4.2. Kotak besar haemocytometer (Purbowati, 2005) Keterangan: Luas kotak besar (KB) = 1 mm2 Kedalaman = 0,1 mm Kotak yang bertanda hitam = kotak sedang (KS) 1 KB = 25 KS Luas 1 kotak sedang = (1/25) x 1 mm2 = 0,04 mm2

4). Menghitung konsentrasi PIB dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

K= t x d x 106

n x 0,25 Keterangan: K = Konsentrasi PIB stok t = Jumlah PIB dalam kotak sampel d = Tingkat pengenceran (d=1 jika tidak diencerkan, d=10 jika diencerkan 1 kali) n = Jumlah kotak sampel yang diamati 0,25 = Faktor koreksi

Adapun pembuatan konsentrasi SpltMNPV dilakukan dengan cara

pengenceran dari persediaan atau stok suspensi SpltMNPV dengan

menggunakan rumus:

M1 x V1 = M2 x V2

Keterangan:

V1 = Volume suspensi SpltMNPV yang diambil dari stok suspensi SpltMNPV M1 = Konsentrasi stok suspensi SpltMNPV V2 = Volume suspensi SpltMNPV yang diinginkan M2 = Konsentrasi suspensi SpltMNPV yang diinginkan 50

e. Pembuatan kultur Sel epithel midgut larva S. litura

Larva S.litura instar 5 yang sehat digunakan sebagai sumber sel. Sel yang akan dikultur ialah sel epithel midgut. Sebelum dibedah Larva S. litura instar 5 di puasakan terlebih dahulu selama 12 jam..

Dalam kondisi aseptik di laminar air flow, larva dibersihkan dengan posphat buffer saline (PBS)+ antibiotik (penstrep) + antifungi (amfoterisin B) dicampur dengan bayclin perbandingan 1:1, pencucian kedua dilakukan dalam larutan bayclin dan pencucian ketiga dalam larutan PBS dan bayclin dengan perbandingan 1:1. Setelah permukaan tubuh larva bersih, Larva dibedah di bagian perut dan jaringan epithel midgutnya diambil. Jaringan epithel midgut larva selanjutnya dipotong-potong dalam PBS sekecil mungkin agar selnya terpisah. Potongan midgut ditripsinasi dengan perbandingan 1 :

1 antara larutan tripsin (0,25%) dengan cairan PBS + midgut, sambil distirer selama 1 jam dalam suhu hangat. Hasil tripsinasi disentrifus dengan kecepatan 1000 rpm selama 10 menit, dengan tujuan untuk mengendapkan sel yang telah terdispersi. Supernatan dari hasil sentrifus di buang sebagian, endapan ditambahkan medium (Grace’s + fetal bovine serum + antibiotik dan antifungi) dan difilter dengan menggunakan penyaring nilon T 100. Sel-sel midgut ditanam pada cawan kultur dan diinkubasi dengan suhu 27 – 30 ºC.

Pengamatan dilakukan setiap hari dengan menggunakan mikroskop inverted perbesaran 450 kali sampai selnya tumbuh, berbiak dan membentuk monolayer. f. Perbanyakan virus secara in vitro f.1. Persiapan virus sebelum perbanyakan virus secara in vitro: Pemecahan Polyhedra SpltMNPV.

Virus hasil pemurnian secara in vivo, masih dalam bentuk PIB

(Polihedra Inclution Bodies) berukuran besar, sehingga harus dipecah. 51

PIB ini dapat diamati dengan menggunakan mikroskop inverted

perbesaran 450 kali atau dengan mikroskop cahaya perbesaran yang

sama. Pemecahan polyhedrin dari PIB SpltMNPV dilakukan dengan

6 cara: SpltMNPV konsentrasi 10 ditambah Na2HCO3 0,5 M dengan

perbandingan 1:2 diputar dalam magnetic stirer selama 1 jam. PIB

SpltMNPV yang telah pecah, ditandai dengan tidak terlihatnya virus

dengan menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 450 kali.

f.2 Teknik penginfeksian SpltMNPV tanpa polyhedrin dari PIB ke dalam

sel kultur

Kultur sel epithel larva S. litura monolayer ditetesi dengan 0,2 ml

SpltMNPV tanpa polyhedrin dari PIB murni. Kultur sel epithel larva S. litura monolayer yang telah terinfeksi virus diinkubasi ke dalam inkubator suhu 28-

30ºC, sampai terlihat semua selnya telah lisis dan diganti dengan munculnya

PIB yang berukuran lebih kecil dari sel. Pengamatan perkembangan sel kultur yang terinfeksi dilakukan dengan menggunakan mikroskop inverted perbesaran 450 kali. Untuk memastikan bahwa sel kultur benar-benar telah terinfeksi maka dilakukan pengamatan dengan menggunakan mikroskop inverted dan mikroskop elektron transmisi untuk melihat mekanisme dari proses infeksi tersebut. f.3 Teknik Pemurnian Virus dari Sel kultur

Sel kultur terinfeksi yang masih menempel pada cawan dilepas dengan cara flashing. Sel, virus dan media yang sudah tersuspensi dimasukkan dalam tabung sentrifus. Disentrifus dengan kecepatan 3500 rpm selama 15 menit, supernatan dan pelet sama-sama mengandung virus, sehingga dapat langsung diformulasikan dengan bahan pelindung virus dari 52

sinar matahari yang sebelumnya dihitung dulu konsentrasi PIB dari

SpltMNPV dengan menggunakan haemocytometer.

g. Isolasi etil p-metoksi sinamat (EPMS) dari rimpang kencur (Kaemferia

galanga)

Rimpang kencur (Kaemferia galanga) sebanyak 2 kg dicuci dengan air hingga bersih, ditiriskan lalu diiris-iris tipis agar mudah kering. Selanjutnya dikeringkan dengan sinar matahari tidak langsung, setelah kering dihaluskan menjadi serbuk dan direndam dalam perkolator dengan pelarut heksana selama

24 jam. Cairan perkolat ditampung dalam erlenmeyer dan residu direndam lagi sampai beberapa kali hingga diperoleh perkolat yang warnanya kuning pucat dengan total perkolat 5 liter tiap kg serbuk. Perkolat selanjutnya dipekatkan dengan rotary vacuum evaporator hingga diperoleh larutan pekat yang selanjutnya didinginkan dalam penangas es hingga terbentuk kristal. Kristal yang didapat masih kotor dan dicuci dengan pelarut heksana sedikit saja lalu direkristalisasi dengan metanol hingga didapat kristal jarum yang tidak berwarna. h. Tahap Formulasi

Suspensi SpltMNPV dengan dosis 2,7 x 109 PIBs/ml sebanyak 25 ml ditetesi dengan agensia 0,1% Triton x-100 untuk mempertahankan stabilitas dan persistensi SlNPV. Kemudian dicampur dengan tepung kaolin sebanyak 100 gr secara bertahap sambil diaduk sampai rata. Dengan cara tersebut diperoleh sediaan polyhedra berformulasi tepung kaolin dengan konsentrasi 1.2 X 108

PIBs/g (Arifin, 1999). Dosis SpltMNPV yang digunakan dalam penelitian ini adalah 7,8 x 107 PIBs/ml. Dalam formulasi tersebut ditambahkan EPMS dengan dosis 15 % dan 20% yang disinari dengan sinar matahari selama 12 jam.

Formulasi dengan SpltMNPV:Kaolin (1:4 ) + EPMS 20% digunakan pada 53

pembuatan prepararat parafin sedangkan Formulasi dengan SpltMNPV:Kaolin

(1:4 ) + EPMS 15% digunakan pada pembuatan preparat imunohistokimia. i. Pembuatan preparat Histologis dari SpltMNPV yang menginfeksi larva S. litura (metode parafin dan Imunohistokimia) Tahapan dari proses pembuatan preparat dengan menggunakan

metode parafin adalah :

1. Fiksasi: sampel ulat yang terinfeksi SpltMNPV difixasi dengan larutan

buffer formalin dan dibiarkan selama 24 jam, kemudian diletakkan

dalam kaset preparasi parafin (larva S. litura diikat pada bagian

punggung/di pita hitam dan dibagian posterior/antara kaki belakang dan

anus agar usus ulat tidak lepas pada waktu pencucian)

2. Sampel/ulat dipotong pada bagian midgutnya (jadi 2) dan dibungkus

dengan kertas saring agar epitel midgutnya tidak ikut lepas saat

pencucian) dalam kaset preparasi dicuci air mengalir selama 1 jam

3. Perendaman dalam larutan alkohol seri 70% ( 4 x 30 menit), 80% (2 x

30 menit), 96% (1 x 30menit) dan alkohol absolut (1x 30menit) semua

proses dilakukan di dalam aspirator (alat untuk mengeluarkan oksigen

yang ada dalam tubuh larva S. litura)

4. Perendaman dalam larutan Xylol 1 (15 menit) dan Xylol 2 (12 jam).

Oksigen yang keluar disekitar kulit (dari trachea) dihilangkan dengan

cara ditekan dengan menggunakan pinset dalam larutan Xylol)

Persiapan tahap 6. memanaskan parafin-xylol, parafin I, II dan III

pada suhu 60oC selama 1-3 jam

5. Sampel direndam dalam parafin-xylol cair suhu 60oC selama 30 menit

6. Perendaman sampel dalam parafin cair I, II dan III suhu 60oC masing –

masing selama 1 jam. 54

Slide dioven IMUNOHISTOKIMIA VIRUS DI ULAT overnight

j. Imunohistochemistry staining Deparanifisa Antigen si retrieval

Xylol : 2x3 Siapkan wadah Minimalisir buffer menit Celupkan pada Letakkan pd dengan tisu pada slide Ammonia akuades steril yang telah water 10x 2 menit Xylol &100% dibasahi air di Teteskan peroxide etanol 1:1 dalamnya. block pada selama 3 spesimen & 50% etanol 3 menit inkubasi 5 menit Bilas dgn menit Letakkan slide di akuades steril dalam wadah 100% etanol: Bilas dgn akuades 70% etanol 3 2x 3 menit & letakkan pada menit Tambahkan Counterstain PBS selama 5 dgn mayer Proteinase K menit 96% etanol: pada tiap hematoxylin 2 80% etanol 3 -5 menit menit 3menit spesimen Minimalisasi PBS sebanyak 50 µL. pada slide Bilas dgn 80% etanol 3 96% etanol Teteskan primer akuades steril menit masukkan ke 3menit antibody & dalam inkubator Inkubasi 30 menit selama 15 menit Teteskan 70% etanol 3 100% etanol dengan suhu substrat menit 2x 3 menit 370C Bilas dgn PBS 3x5 kromogen & menit Inkubasi 10 menit 50% etanol 3 Xylol 1 selama Minimalisir PBS menit 3 menit pada slide Minimalisasi PBS pada slide Bilas pada air Teteskan mengalir biotinilated link Bilas dgn PBS Xylol murni 3 pada spesimen 3x5 menit menit

Inkubasi 30 menit Inkubasi 30 entellan menit Bilas dgn PBS 3x 5 menit Teteskan streptavidin Minimalisasi PBS peroxidase di pada slide atas spesimen 55

7. Embeding (Sampel dimasukan dalam kotak berisi parafin cair) dengan

posisi untuk potongan midgut, posisis midgut tengah – posteririor

dibagian bawah dan potongan membujur pada potongan larva bagisn

midgut tengah-anus dengan posisi membujur. Dibiarkan sampai parafin

membeku.

8. Triming (kotak parafin dibentuk/dirapikan di atas holder di dalamnya ada

ulatnya)

9. Pemotongan dilakukan dengan menggunakan mikrotom dengan

ketebalan 5 µm

10. Hasil pemotongan ditempelkan pada obyek glass + lem Meyer albumin.

(Albumin + gliserin).

11. Di lewatkan di atas api spiritus agar mengembang atau diletakkan di

atas air hangat suhu 50oC agar mengembang dan menempel.

12. Langkah berikutnya adalah prosedur imunohistokimia (ada dalam bagan

berikut)

4.6. Analisis Data

Data penelitian berupa gambar mikroskopis diamati secara deskriptif. BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Histopatologi larva S. litura yang terinfeksi SpltMNPV dilihat dengan menggunakan metode Parafin

Pembuatan slide histopatologi dengan metode parafin yang dibuat dari ulat sehat dan ulat yang terinfeksi virus dilakukan untuk uji pendahuluan sebelum diteruskan ke pembuatan preparat imunohistokimia. Bagian awal dari proses imunohistokimia merupakan proses dari metode parafin. Sehingga pada penelitian ini slide dengan metode parafin dibuat terlebih dahulu untuk melihat apakah SpltMNPV dapat terlihat pada berbagai jaringan dan organ larva S. litura sebelum diteruskan ke imunohistokimia.

Gambar histopatologi dari tubuh larva S. litura yang terinfeksi SpltMNPV pada berbagai lama waktu infeksi dapat dilihat pada Gambar 5.1 dengan menggunakan metode parafin. Pada gambar 5.2 terlihat berbagai organ pada larva S. litura yang potensial terinfeksi oleh SpltMNPV. Pada Gambar 5.3. terlihat penampang melintang secara keseluruhan dari larva S. litura yang tidak diinfeksi

SpltMNPV (kontrol) dan yang dinfeksi dengan SpltMNPV pada inkubasi 24, 48 dan 72 jam. Pada kontrol (larva S. litura sehat) terlihat semua organnya masih utuh, tidak terlihat adanya organ yang rusak karena terserang SpltMNPV dan tidak terlihat adanya polyhedra di lumen midgutnya, selain itu membran peritrofiknya juga terlihat masih utuh. Hal ini sama seperti midgut larva S. litura yang diinfeksi dengan SlNPV hasil perbanyakan in vivo yang diperlihatkan oleh

Sanjaya et al, 2010. Pada kontrol membran peritrofiknya masih terlihat utuh.

Menurut Terra, 2001. Membran peritrofik berfungsi sebagai perlindungan midgut terhadap serangan patogen maupun partikel makanan.

Pada gambar histologis dari larva S. litura instar 3 terinfeksi SpltMNPV inkubasi 24 jam terlihat beberapa organ di bagian dorsal (punggung) terutama. 56 57

Penampang melintang Midgut larva S.litura yang diinfeksi dengan SpltMNPV inkubasi 24 jam (diwarnai dengan metode 100 µm 100 µm Parafin )

Penampang melintang Midgut larva S.litura yang diinfeksi dengan SpltMNPV inkubasi 48 jam (diwarnai dengan metode 100 µm Parafin ) perbesaran 100 100 µm x 100 µm

Penampang melintang Midgut larva S.litura diwarnai dengan metode Parafin (kontrol) Penampang melintang midgut larva S.litura yang diinfeksi dengan SpltMNPV 100µm inkubasi 72 jam (diwarnai dengan metode Parafin )

Gambar 5.1. Gambar histopatologi ulat sehat dan ulat terinfeksi virus pada berbagai lama waktu infeksi SpltMNPV 58

lemak tubuh, trakhea mulai berkurang dan midgutnya mulai lobang (dihancurkan oleh SpltMNPV). Membran peritrofik mulai berlubang. Dibagian lumen midgut terlihat ada titik-titik kecil yang kalau gambarnya diperbesar terlihat adanya polyhedra dari SpltMNPV

Pada gambar yang memperlihatkan penampang melintang dari larva S. litura instar 3 yang diinfeksi dengan SpltMNPV inkubasi 48 jam terlihat beberapa organ di bagian dorsal (punggung) yaitu pada lemak tubuh, trakhea dan pembuluh darah mulai berkurang (lebih banyak) midgutnya mulai lobang sehingga SpltMNPV dapat menyebar keorgan lain seperti trakhea, lemak tubuh dan pembuluh darah terutama yang terdapat pada bagian dorsal. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan yang dilakukan oleh Sanjaya, et al, 2010., yaitu pada pasca infeksi SlNPV 48 jam, sel midgut mulai degradasi dan rusak sehingga fungsi midgut sebagai penghasil enzim terganggu. Disebutkan bahwa salah satu enzim yang disekresikan oleh midgut adalah protease yang bertindak sebagai anti-virus (Bolognesi, et al, 2002). Oleh karena itu dengan adanya patogen

SpltMNPV maka proses metabolisme menjadi tidak lancar. Pada pengamatan morfologis terlihat aktifitas makan larva S. litura mulai berkurang. Pada lumen midgut juga terdapat polyhedra SpltMNPV (pada gambar di atas kurang jelas karena perbesarnnya kecil /100 kali). Pada Gambar 5.2 terlihat polyhedra

SpltMNPV sudah ada di dalam sel epithel midgut.

Pada gambar yang memperlihatkan penampang melintang dari larva S. litura instar 3 yang diinfeksi dengan SpltMNPV inkubasi 72 jam terlihat beberapa organ di bagian dorsal (punggung) yaitu pada lemak tubuh, trakhea dan pembuluh darah sudah kosong/tidak ada, epithel midgut juga sebagian sudah tidak ada. Hal disebabkan karena organ-organ tersebut sudah dihancurkan oleh SpltMNPV. SpltMNPV ini apabila menyerang sel, jaringan atau 59

organ maka sel, jaringan atau organ tersebut akan dihancurkan. Hal ini terlihat pada larva yang mati terinfeksi SpltMNPV akan menunjukkan tubuh yang lunak, bengkak dan bila disentuh semua cairan tubuhnya keluar beserta dengan debris organ yang hancur..

Gambar 5.2. Organ yang potensial terinfeksi oleh SpltMNPV pada penampang melintang larva S. litura

Hal ini sesuai dengan yang dimati oleh Prasad dan Yogita, 2006., bahwa larva S. litura yang mati karena terinfeksi SlNPV menunjukkan gejala patologis seperti tubuh lunak, bengkak, segmen tubuh menyusut di daerah midgut dan 60

kotorannya lembab. Cairan larva yang keluar ini mengandung polyhedra

SpltMNPV yang mengeluarkan bau busuk apabila tidak langsung diproses untuk pemurnian polyhedra

Selain itu lapisan epithel pada midgut juga sebagian sudah tidak nampak, sehingga SpltMNPV dapat menyebar keorgan lain seperti trakhea, lemak tubuh, bagian dorsal. Pada lumen midgut juga terdapat polyhedra SpltMNPV. Berikut ini adalah gambar dari beberapa organ larva S. litura yang potensial terinfeksi oleh

SpltMNPV.

5.2. Jaringan dan Organ larva S. litura yang terinfeksi SpltMNPV dalam formula foto-protektan pada tubuh larva S. litura

Berikut ini adalah tabel yang berisi informasi tentang jaringan/organ apa saja yang sudah terinfeksi oleh SpltMNPV hasil perbanyakan in vitro yang dilindungi dengan foto-protektan berupa Kaolin dan EPMS 20% pada tubuh larva

S. litura instar 3.

Pada Tabel 5.1, terlihat penyebaran SpltMNPV hasil perbanyakan in vitro yang dilindungi dengan Foto-protektan berupa Kaolin dan EPMS 20% pada beberapa jaringan dan organ. Suspensi SpltMNPV ini diletakkan pada permukaan pakan buatan ulat kemudian diradiasi dengan sinar matahari selama

12 jam. Larva S. litura diletakkan di atas pakan buatan tersebut dan diinkubasi selama 0, 24, 48 dan 72 jam. Pada ke 4 jam tersebut larva terinfeksi SpltMNPV tersebut difiksasi dengan larutan Gilson pada bagian midgut depan, tengah dan belakang kemudian dibuat preparat parafin. Preparat histologis diamati dengan menggunakan mikroskop inverted atau mikroskop cahaya pebesaran 400 x dan

1000 kali. 61

Tabel 5.1. Jaringan dan Organ larva S. litura yang terinfeksi SpltMNPV dengan Foto-protektan berupa kaolin dan EPMS 20% yang diradiasi 12 jam.

No Sampel Organ larva S.litura yang terserang SpltMNPV Lm MP EM Tr PD TM SS FB CT OT 1 Kontrol X X X X X X X X X X 2 a GDE 24 (1) V V V V X Ota Ott X X X (2) V V V V X Ota Ott X X X b. GTE 24 (1) V V V V X V Ott V X X (2) V V V V X V Ott V X X c. GBE 24 (1) V V V V V V Ott X X V (2) V V V V V V Ott X X V 3.a GDE 48 (1) V V V V V Ota Ott V X X (2) V V V V V Ota Ott V X V b GTE 48 (1) V V V V V V Ott V X V GTE 48 (2) V V V V V V Ott V X V c GBV 48 (1) V V V V V V Ott V X V (2) V V V V V V Ott V X V 4.a GDE 72 (1) V V V V V Ota Ott V X V (2) V V V V V Ota Ott V X V b GTE 72 (1) V V V V V V Ott V X V (2) V V V V V V Ott V X V c GBE 72 (1) V V V V V V Ott V X V 72 (2) V V V V V V Ott V X V

Keterangan: Lm = Lumen, TM = Tubulus Malpighi, MP = Membran Peritrofik, SS = Sel Syaraf, EM = Epithel Midgut, FB = lemak tubuh/Lemak tubuh, Tr = Trakhea, EC = Epithel cuticula, PD = Pembuluh Darah, Ct = Kutikula, X = tidak terserang virus, V = terserang virus, Ott = organ tidak terlihat, Ota = organ tidak ada, OT = Otot, G = Gilson, D= midgut depan, T = midgut tengah, B = midgut belakang, (1) dan (2) = ulangan, GDE= Fikatif Gilson midgut depan dengan SpltMNPV Formulasi Kaolin dan EPMS, GTE= Fikatif Gilson midgut tengah dengan SpltMNPV Formulasi Kaolin dan EPMS, GBE= Fikatif Gilson midgut Belakang SpltMNPV dengan SpltMNPV Formulasi Kaolin dan EPMS.

Pada inkubasi 0 jam (larva S. litura tidak diinfeksi dengan SpltMNPV)

terlihat semua organnya masih normal, tidak terlihat adanya PIB SpltMNPV.

Sel belum terinfeksi oleh SpltMNPV. Hal ini menunjukkan bahwa larva yang

digunakan dalam penelitian ini dalam keadaan tidak terinfeksi SpltMNPV.

Pada inkubasi 24 jam organ yang terinfeksi SpltMNPV sudah

mencapai lumen midgut baik depan, tengah maupun belakang. Membran

peritrofik yang merupakan penghalang masuknya SpltMNPV ke dalam sel

usus juga sudah mulai diserang sehingga virus dapat meluas ke lapisan

epithel midgut. Lapisan epithel midgut bocor dan virus bisa menyebar ke 62

lapisan yang lebih luar yaitu trachea, pembuluh darah, sel otot dan lemak tubuh. Organ pembuluh darah pada midgut depan dan otot pada midgut tengah belum terlihat adanya PIB SpltMNPV.

Pada midgut bagian belakang terlihat semua organ sudah terserang kecuali kutikula dan sel syaraf yang terletak di bagian paling ventral. Organ ini terutama sel syaraf sulit diamati karena sangat halus. Kutikulanya kebanyakan masih utuh karena memang tidak terinfeksi oleh SpltMNPV.

Penyabaran ini hampir sama dengan SpltMNPV yang tanpa diberi pelindung.

Bentuk kerusakan maupun bentuk PIB SpltMNPV masih sama yaitu bulat berukuran sekitar 1 – 3 µm. Hal ini disebabkan karena pelindung PIB yaitu kaolin dan EPMS telah larut dalam cairan midgut bersamaan dengan terdegradasinya polyhedrin SpltMNPV. Selanjutnya Envelope yang berisi nucleocapsid menyerang membran peritrofik dan menyebabkan membran peritrofik rusak serta berlobang. Nucleocapsid menuju membran basal dan sel epithel midgut. Beberapa epithel mulai rusak sehingga SpltMNPV dapat menyebar ke organ di bagian ventral dan dorsal terutama trakhea, pembuluh darah, otot dan lemak tubuh. Pada inkubasi 24 jam ini organ yang diserang masih sedikit sehingga larva masih tetap hidup.

Penyebaran SpltMNPV dengan pelindung foto-protektan yang dapat dibedakan dengan penyebaran SpltMNPV tanpa pelindung adalah; PIB

SpltMNPV berpelindung sudah mulai terlihat di pembuluh darah, tubulus malpighi dan lemak tubuh yaitu di midgut tengah dan belakang sudah, serta lemak tubuh, sedangkan pada sel otot PIB SpltMNPV mulai terlihat di midgut belakang. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan karena SpltMNPV yang diradiasi terkena Ultraviolet yang menyebabkan mutasi sehingga virus menjadi mudah menyebar ke seluruh tubuh. Hal ini terlihat pada uji patogenesitas bahwa SpltMNPV yang dilindungi foto-protektan dapat 63

mempertahankan patogenesitasnya bahkan dapat menyebabkan mortalitas

100% pada hari ke 5 sedangkan pada SpltMNPV yang tidak dilindungi mortalitasnya hanya mencapai 82,5% pada hari ke 5 (Penelitian pendahuluan)

Pada inkubasi SpltMNPV 48 jam di tubuh larva S.litura terlihat bahwa penyebaran virus sudah hampir mencapai seluruh organ utama kecuali kutikula. Banyak sel atau organ berkurang jumlahnya terutama pada dorsal bagian belakang, seperti sel saraf, lemak tubuh/lemak tubuh dan kutikula. Hal ini dimungkinkan organ ini sudah mulai terserang dan hancur sehingga tidak ikut terwarnai. Organ yang terlihat dibagian dorsal adalah sekumpulan virus dan serpihan-serpihan organ. Pada inkubasi 48 jam ini jumlah lemak tubuh yang terserang sudah mulai banyak, tetapi jumlah lemak tubuh yang masih utuh juga banyak. Hal ini disebabkan karena ulat masih aktif makan sehingga cadangan makanannya masih banyak walaupun ada beberapa yang mulai naik ke tabung pemeliharaan. Hal yang membedakan dengan infeksi SpltMNPV tanpa pelindung adalah pada otot. Pada midgut tengah sel otot dari larva yang diinfeksi dengan SpltMNPV berpelindung foto- protektan, sudah mulai terinfeksi. Jadi terlihat bahwa SpltMNPV yang dilindungi foto-protektan lebih mudah menyebar ke sel otot daripada

SpltMNPV yang tidak dilindungi. Hal ini disebabkan karena sel otot pada larva merupakan alat gerak. Pada larva ini ada beberapa larva pada hari kedua, mulai lamban makan/berhenti makan dan cenderung diam di ujung botol pemeliharaan. Hal ini yang menyebabkan sel ototnya mudah terinfeksi.

Pada inkubasi 72 jam, Penyebaran SpltMNPV in vitro berpelindung

Foto-protektan sama pada tubuh larva S. litura dengan SpltMNPV in vitro tanpa pelindung Foto-protektan hasilnya sama. Tubuh larva mulai berubah warna menjadi lebih pucat dan gerakannya sudah lamban. Karena larva 64

sudah malas makan maka cadangan makanan dalam lemak tubuh mulai

berkurang, daya tahan tubuh ulat mulai berkurang sehingga virus mudah

sekali untuk menyebar dan menghancurkan semua sel yang berada di

dekatnya. Hal ini terlihat pada Tabel 4.2 bahwa hampir semua organ di

midgut baik bagian depan, tengah maupun belakang sudah terserang virus.

Pada preparat terlihat hanya serpihan-serpihan organ dan sekumpulan virus

yang tersebar diseluruh tubuh larva, selaput membran peritrofik mulai tidak

terlihat, epithel midgut juga berlobang besar sehingga SpltMNPV dapat

mudah menyebar ke seluruh tubuh larvaekecuali kutikula. Pada hari ketiga ini

larva S. litura instar 2 yang diinfeksi SpltMNPV berpelindung foto-protektan

sudah mencapai mortalitas 60%, sedangkan pada infeksi SpltMNPV tanpa

pelindung di larva S.litura instar 2 mortalitasnya mencapai 40%.

5.3. Gambar histopatologis dari berbagai organ yang terinfeksi

SpltMNPV in vitro

Pada Gambar yang ada di bawah ini memperlihatkan beberapa organ yang terserang oleh SpltMNPV yang di mulai dari lumen kemudian menyebar ke seluruh organ tubuh larva S. litura dibandingkan dengan kontrol.

a Gambar 5.3. Tubuh larva S.litura Kontrol (tanpa SpltMNPV) dipotong melintang (40 x) : a. Lumen midgut, b. epithel midgut

b

, 65

Di bawah ini adalah organ dan jaringan ulat S. litura instar 3 hari pertama yang sehat dalam arti tidak terinfeksi oleh virus (SpltMNPV) (Gambar 5.3). Pada ulat yang sehat lumen usus terlihat bersih dari virus, demikian juga lapisan epithel midgut, trakhea dan pembuluh darah semuanya normal tidak menunjukkan adanya kelainan ataupun kerusakan. Infeksi SpltMNPV pada berbagai organ larva S. litura dapat dilihat pada gambar 5.2. yang secara detil terlihat pada gambar 5.4; 5.5; 5.6; dan 5.7 a.Trakhea

10 µm 10 µm 10 µm

Keterangan Gambar 5.4. Trakhea (perbesaran 1000 x): (c) Saluran pernafasan ulat dengan bentukan seperti sisir yang teratur. (d) Lapisan sel epithel yang menyelimuti trakhea (d) Sel trakhea mulai berlobang ( skala mikrometer 1 = 1 µm )

10 µm 10 µm a

a d

c Gambar 5.5. Trakhea yang terinfeksi SpltMNPV (perbesaran 1000 kali) (b)PIB SpltMNPV ditengah trakhea yang sel epithelnya telah lepas ( skala 1 mikrometer = 1 µm) 66

Pada Gambar 5.4 memperlihatkan organ trakhea yang dicirikan oleh adanya tonjolan kecil seperti rambut yang berjajar teratur seperti sisir di sepanjang lumen trakhea. Hal ini sesuai dengan gambar histologis yang ditemukan oleh Elazar, et al. (2001), trakhea mempunyai tonjolan kecil seperti rambut yang ditepinya terdapat epithel. Ditepi trakhea terdapat selapis sel epithel yang besar. Pada Gambar 5.5, di trakhea sudah terlihat adanya polyhedra SpltMNPV yaitu tengah trakhea, sel epithel trakhea juga sudah terlihat lobang yang kemungkinan sudah terinfeksi oleh SpltMNPV. Anonim, 2006, menyatakan bahwa trakhea merupakan salah satu organ penyedia oksigen dan organ yang bertugas mengeluarkan CO2. Organ ini dapat terinfeksi oleh BmNPV

(Bombyx mori Nuclear Polyhedrosis Virus) dan bertanggung jawab dalam menyebarkan BmNPV ke organ lain (Torquato, et al, 2006) b. Pembuluh darah/haemolimfa a b Pada Gambar 5.6 pembuluh darah/chaemolimfa mulai terinfeksi

SpltMNPV pada bagian lapisan selnya. Adanya polyhedra SpltMNPV di lapisan sel terlihat sebagai bentukan oval dan dapat teramati dengan jelas pada perbesaran 400x karena SpltMNPV ini membentuk polyhedra.

10 µm A B 10 µm

Gambar 5.6. A dan B. Pembuluh darah/haemolimfa terinfekasi SpltMNPV (perbesaran 1000x). Anak panah menunjukkan Polyhedra SpltMNPV pada pembuluh darah ( skala mikrometer 1 = 1 µm ) 67

Pada beberapa jenis serangga, hemolimf berisi hemosit yang beredar bebas dalam hemolimf dalam jumlah yang cukup besar (hingga 30%) dan dapat ditemukan berasosiasi dengan organ-organ internal seperti badan lemak, trakea atau sistem pencernaan (Kavanagh and Reeves, 2004) Hemosit berperan dalam sistem kekebalan seluler serangga. Hemosit berperan sebagai penghancur/penghambat proses infeksi dan replikasi AcNPV, dapat memperlambat atau menghentikan penyebaran virus dalam haemocoel (Rivkin et al., 2006). Apoptosis dari sel yang terinfeksi AcNPV juga dapat berfungsi sebagai respon sel terhadap virus (antivirus) (Clarke & Clem, 2003). Adanya IAP

(inhibitor apoptosis) pada sel dapat menghambat sel untuk melakukan apoptosis. Sel yang terinfeksi oleh virus tetapi tidak melakukan apoptosis dapat menyebabkan produksi virus dalam sel menjadi maksimal. Sel yang terinfeksi oleh virus kemudian melakukan apoptosis bertujuan agar replikasi virus terhambat. Selain IAP, protein lain yang berperan pada peristiwa apoptosis adalah P35. c. Midgut

Midgut adalah organ pencernaan serangga. Midgut terdiri dari beberapa bagian yang yaitu pada pada lumen, membran peritrofik, membran basal dan lapisan epithel. Menurut Pinheiro, et al, 2003, midgut menyerupai tabung sederhana yang teriri dari epithel berlapis tunggal tunggal yang membatasi lumen.. 68

a B 10 µm

a b

c 10 µm

20 µm a

b

10 µm C D

Gambar 5.7. Midgut larva S. litura.

e. Lumen (a), membran peritrofik (b) dan epithel midgut (c) yang potensial terserang SpltMNPV (pada lumen terlihat banyak Polyhedra SpltMNPV) perbesaran 400 x f. Polyhedra SpltMNPV terlihat di dalam sel epithel midgut larva S. litura (panah hitam). Perbesaran 1000x ( skala mikrometer 1 = 1 µm berukuran selitar 1- 3 µm) g. Membran peritrofik terbuka dan PIB SpltMNPV masuk ke membran basal (panah hitam) h. Lapisan sel epithel yang tidak terinfeksi SpltMNPV (a= sel silindris/kolumner, b= sel goblet)

Midgut mempunyai beberapa jenis sel yaitu sel kolumner. Sel piala dan sel regeneratif. Midgut merupakan organ yang pertama kali diserang oleh

SpltMNPV. Pada gambar 5.7, terlihat bahwa polyhedra sudah ada di lumen. Hal ini disebabkan karena SpltMNPV pertama kali masuk ketubuh larva S. litura melalui pakan (secara oral) sehingga masuk ke dalam lumen midgut. Hal ini sesuai dengan pendapat Santos, et al. (198). Di dalam lumen polyhedra 69

SpltMNPV akan terpecah polyhedrinnya oleh kondisi lumen yang alkalis. Pada e f kondisi alkalis ini envelope yang berisi beberapa nucleocapsid akan keluar dan menuju ke membran peritrofik.

A B

10 µm 10µm

C Gambar 5.8. A. Lemak tubuh di lumen midgut yang terinfeksi SpltMNPV perbesaran 400x. B. Membran basal yang terinfeksi SpltMNPV dan C, lumen yang mengandung SpltMNPV (A. perbesaran 400 x, B dan B 10 µm perbesaran 1000x

Dari lumen MNPV akan merusak membran peritrofik/PM. MNPV mempunyai enzim endopeptidase/metalloproteinase/enhancins yang bertugas mencerna musin, salah satu komponen dari PM, sehingga membran peritrofik bisa hancur (Rohrmann, 2008). MNPV selanjutnya masuk ke dalam membran basal midgut, kemudian menyerang sel epithel (Gambar 5.7 b) yang terdiri atas 3 macam sel yaitu sel kolumner, sel goblet dan stem sel. Sel epithel ini akan hancur dan SpltMNPV akan menyebar ke sel epithel yang ada pada organ disekitar midgut serangga seperti trakhea, pembuluh darah, sel syaraf, dan b. PIB SpltMNPV di membran basal perbesaran 1000x c. PIB SpltMNPV di lumen perbesaran 1000x

( skala mikrometer 1 untuk perbesaran 1000 x = 1 µm ) 70

tubulus malpighi. SpltMNPV yang keluar dari sel midgut dan menginfeksi sel trakhea diperantarai oleh protein yang disebut VP91 (viral protein 91)

(Rohrmann, 2008). Pengenalan SpltMNPV pada sel lain disekitar epithel midgut diperantarai oleh protein GP 64 dan Protein F yang dihasilkan oleh virus pada sel terinfeksi (sel midgut) dan ditempelkan di membran sel midgut tersebut. MNPV yang akan keluar dari sel midgut akan mendapatkan selubung luarnya

(polyhedra) dari membran sel inang yang sudah mengandung protein GP64 dan

Protein F. Dengan adanya protein tersebut virus dapat mengenali inang berikutnya (Rohrmann, 2008). GP64 merupakan protein selubung yang tugasnya untuk berfusi dengan sel inang, selain diperlukan untuk keluar dari sel, protein ini juga terlibat dalam memulai infeksi ke sel lain atau berfungsi untuk penyerangan. Selain itu virus ini juga mempunyai lyase Hyaluronan yang dapat memecahkan matriks ekstraselular yang mengaitkan antar sel (Rohrmann,

2008). Menurut Prasad dan Yogita (2006) bahwa SlNPV pertama kali masuk menuju lumen kemudian merusak membran peritrofik, lapisan epithel, lemak. tubuh, sistem peredaran darah, trakhea, sel otot dan integumen. Di dalam lumen midgut juga sering ditemukan adanya lemak tubuh seperti terlihat pada Gambar

5.8.a. d.Tubulus malpighi

Gambar 5.9, di bawah menunjukkan organ tubulus malpighi yang ditandai dengan adanya lapisan sel yang tebal dengan lumen yang sempit. Tubulus malpighi pada larva S. litura berfungsi sebagai organ ekskresi atau organ filtrasi sisa-sisa metabolisme utamanya protein yang terdapat di dalam darah (Anonim,

2006). Jadi organ ini dapat disamakan dengan ginjal pada tubuh kita. Pada larva yang terinfeksi oleh virus, organ ini juga mengalami kerusakan sehingga sisa metabolisme tidak dapat dikeluarkan dari tubuh ulat. Hal ini akan mengakibatkan keracunan pada serangga atau ulat tersebut. 71

10 µm b 10 µm 10 µm

Gambar 5.9. a.Tubulus Malpighi dengan lapisan sel yang tebal, perbesaran 1000x b. Tubulus malpighi berisi PIB SpltMNPV (tanda panah hitam) Perbesaran 1000x (perbesaran 1000x, skala mikrometer 1 = 1 µm ) e. Lemak tubuh

Gambar 5.10 memperlihatkan gambar lemak tubuh yang terdapat di bagian dorsal maupun ventral dari larva S. litura.

25 µm 10 µm

Gambar 5.10. A. lemak tubuh yang normal (perbesaran 400x, skala mikrometer 1 = 2.5 µm )B= Lemak tubuh terinfeksi SpltMNPV (imunohistokimia) (perbesaran 1000x) 72

Pada lemak tubuh terlihat adanya polyhedra SpltMNPV. SpltMNPV menyukai lemak tubuh karena pada lemak tubuh tempat menyimpan cadangan makanan, Selain itu lemak tubuh pada serangga juga berfungsi sebagai tempat pembuatan berbagai protein termasuk hormon dan beberapa enzim (Anonim,

2006)

Lemak tubuh juga dapat mensintesis peptida anti-mikroba seperti lisozim, proteinase, elastase dan cathepsin G, nucleases, dan saccharidases , enzim pemecah Fosfolipid bakteri dan lipopolysaccharides (LPS) (Kavanag dan Reever,

2004). Pada fase larva merupakan fase makan sehingga timbunan lemak tubuhnya cukup banyak dan tersebar diseluruh tubuh larva S. litura. Sehingga virus dengan mudah dapat menyerang sel ini.

f. Sel kulit (kutikula)

Pada insekta sel kulitnya terdiri atas kutikula yang terdiri dari fibril dan kitin yang tertanam dalam matriks protein. Menurut Prasad dan Yogita, 2006,

Kutikula terdiri atas epicuticle (epi), exocuticle (exc), endocuticle (enc) membran basal (bm), dan epidermis (Epi). Pada Gambar 5.11 terlihat epikutikula dan epidermis sudah pecah. Kutikula mencegah masuknya pathogen. Apabila kutikula terbuka/pecah karena luka atau degradasi maka berpeluang untuk meningkatkan infeksi (Kavanagh dan Reeves, 2004). Pada penelitian ini ada kemungkinan pada waktu inkubasi ulatnya luka, sehingga SpltMNPV dapat masuk ke tubuh ulat melalui luka tersebut. Akan tetapi di kutikula yaitu dikhitinya tidak terlihat adanya PIB SpltMNPV yang terinfeksi adalah pada sel epithel di bawah kutikula. Kutikula merupakan lapisan yang komplek. Pada lapisan ini sering mengelupas yaitu pada saat ganti kulit. Pada Larva S. litura yang terinfeksi oleh SpltMNPV seringkali proses ganti kulitnya tertunda sehingga lama hidup setiap instar larva menjadi semakin panjang. Hal ini disebabkan karena virus 73

menghasilkan enzim EGT (Glicosiltransferase UDP Pecdisteroid) yang menghambat aktifitas moulting. Kondisi ini diperlukan oleh virus agar larva tidak bertambah besar tetapi masih tetap makan. Apabila Larva mengalami muolting maka dapat menurunkan daya tahan tubuh larva dan meningkatkan stress yang dapat mengakibatnya infeksi sekunder yang tidak dikehendaki oleh virus

(Rohrman, 2008), selain itu pada kondisi larva yang daya tahan tubuhnya menurun, aktifitas makan menjadi berkurang maka reproduksi virus menjadi tidak maksimal karena larva menjadi cepat mati.

b epi 10 µm bm

a epit

A B

Gambar 5.11. A dan B Lapisan kutikula perbesaran 1000x, Epi = epikutikula, Bm = membran basal, Ep= Epidermis, a =pidermis yang rusak, b= Kutikula yang lobang dan perlihat ada polyhedra SpltMNPV ( skala mikrometer 1 = 1 µm )

g. Sel Syaraf

Sel saraf serangga berpangkal di otak terus ke sepanjang abdomen di bagian ventral rongga tubuh. Sistem saraf pusat ini mengawasi dan mengkoordinasi seluruh aktivitas tubuh serangga (Jumar, 2000). Pada Gambar

5.32. Sel saraf ditandai dengan adanya tonjolan sitoplasma panjang pada selnya dan adanya kaitan yang sambung menyambung antara sel saraf yang satu dengan lainnya. Pada Gambar 5.32 terlihat badan sel saraf yang besar dan tampak membulat disertai tonjolan sitoplasma yang panjang. Pada larva yang 74

terinfeksi virus, organ ini juga merupakan sasaran infeksi oleh virus. Virus yang menembus pembuluh darah dan masuk ke dalam lumennya akan bercampur dengan darah serangga dan dapat menyebar dengan cepat melalui aliran darah menuju jaringan dan organ lain di tubuh serangga. Pada preparat parafin ini tidak terlihat adanya polyhedra pada sel syaraf. Hal ini dimungkinkan karena pada waktu di buat preparat ini inkubasi hanya pada 24,48 dan 72 jam. Menurut

Torquato, et al, 2006., sistem saraf pusat serangga baru terinfeksi oleh

BmMNPV (Bombyx mori Multiple Nucleo Polyhedrosis Virus) pada inkubasi 5 hari (120 Jam)

Gambar 5.12. Sel syaraf pada larva S.litura (panah hitam) Perbesaran 1000x

. h. Sel Otot

Serangga hanya mempunyai otot lurik yang masing-masing serabutnya terdiri dari beberapa sel dengan membran plasma dan sarcolemma (lapisan luar) yang mempunyai lekukan ke dalam (invaginasi), serta berhubungan dengan trakhea (pemasok oksigen) dan serabut otot. Sel otot juga mempunyai myofibrils contractile yang tersusun sepanjang serabut otot dan terdiri dari silinder. Sel otot pada larva serangga bertubuh lunak berfungsi untuk bergerak dengan cara merayap.. 75

10 µm A 10 µm B

10 µm

C D

Gambar 5.13. Sel otot larva S. litura. A dan B sel otot lurik normal perbesaran 1000x C. Sel otot terinfeksi SpltMNPV(tanda panah hitam) Perbesaran 1000 kali. D. Sel otot lurik terinfeksi SpltMNPV (panah menunjukkan PIB SpltMNPV) perbesaran 400x

Pergerakan ini dimungkinkan karena adanya skeleton hidrostatik untuk perlekatan otot. Otot turgor berkontraksi dan relaksasi secara berurutan dari kepala ke ekor sehingga membentuk gelombang. Pada larva yang mempunyai kaki-kaki dada (thoracic legs), gelombang kontraksi dan relaksasi dari otot-otot turgor dari posterior ke anterior menyebabkan terangkatnya kaki dari substrat secara berurutan dan menyebabkan gerakan maju.

Pada penelitian ini terlihat bahwa sel otot larva S. litura yang terinfeksi

SpltMNPV terlihat pada sel ototnya mengandung polyhedra SpltMNPV. 76

Polyhedra ini terdapat di dalam sel otot dan membuat beberapa kerusakan pada sel otot, yaitu sel otot lepas satu dengan yang lain (Gambar 5.13).

5.4. Imunohistokimia larva S. litura yang terinfeksi SpltMNPV in Vitro

dalam Formula Foto-protektan

Pembuatan slide imunohistokimia dilakukan setelah uji coba dengan membuat preparat histologis metode parafin, karena bagian awal dari proses pembuatan slide imunohistokimia merupakan tahapan dari metode parafin.

Hambatan yang ditemukan pada waktu uji coba dengan menggunakan metode parafin adalah pada waktu penentuan larutan fiksatif. Larutan fiksatif yang disarankan pada umumnya untuk preparasi parafin adalah dengan menggunakan buffer formalin. Akan tetapi dengan menggunakan fiksatif ini midgut larva S. litura tidak bisa dipotong dengan mikrotom (potongan midgut larva hancur) sehingga pada uji pendahuluan ini digunakan fiksatif Gilson. Dengan menggunakan fiksatif gilson larva dapat dipotong dengan baik, akan tetapi dengan fiksatif Gilson ternyata mengandung Merkuri yang tidak bisa digunakan untuk prosesing imunohistokimia (merkuri dapat menyebabkan epitop/sisi aktif dari antigen polyhedrin tidak bisa berikatan dengan antibodi polyhedrin).

Untuk dapat melakukan imunohistokimia maka dilakukan uji coba lagi dengan memodifikasi berbagai prosedur agar fiksatif buffer formalin dapat digunakan dan menghasilkan potongan larva yang utuh. Dari berbagai uji coba akhirnya ditemukan metode baru yaitu beberapa tahapan prosesing (dehydrasi dan clearing) dilakukan dalam aspirator (ruang vakum). Metode ini dilakukan karena larva S. litura sistem pernafasannya berupa trakhea yang bentuknya menyerupai “sarang laba-laba” dan tersebar diseluruh tubuh. Keberadaan trachea ini menyebabkan seluruh tubuh larva mengandung oksigen yang tidak 77

dapat bereaksi dengan parafin. Sehingga pada waktu potongan midgut larva diisi dengan parafin maka parafinnya tidak mau masuk. Hal inilah yang menyebabkan midgut larva pada waktu dipotong dengan mikrotom hancur. Dengan melakukan proses dehydrasi dan clearing di dalam ruang hampa udara maka oksigen yang ada pada tubuh larva S. litura ditarik keluar.

Imunohistokimia dilakukan pada larva S. litura instar 3 akhir yang dinfeksi dengan SpltMNPV in vitro dalam formula foto-protektan (Kaolin dan Ethyl p_metoksinamat 15%). SpltMNPV yang akan diinfeksikan diradiasi terlebih dahulu dengan sinar matahari selama 12 jam. Larva terinfeksi diinkubasi dengan lama waktu 0, 2, 4 dan 6 jam. Pada ke 4 waktu inkubasi tersebut larva difiksasi dengan buffer formalin dan dipotong pada bagian midgutnya secara melintang dan membujur dari migut larva S. litura terinfeksi SpltMNPV in Vitro dalam

Formula Foto-protektan.

.

A B

Gambar 5.14. Penampang melintang (A) dan membujur (B) dari Midgut larva S. litura yang tidak diinfeksi dengan SpltMNPV dipreparasi dengan imunohistokimia dengan pewarnaan DAB (Perbesaran 40 x).

Gambar di atas merupakan midgut larva S. litura kontrol (tanpa diinfeksi dengan SpltMNPV) yang dipotong secara melintang dan membujur (Gambar

5.14) dengan menggunakan metode imunohistokimia. Pada Gambar ini, jaringan 78

dan organ larva S. litura terutama di lumen midgut tidak terlihat adanya PIBs dari

SpltMNPV. Pada kontrol tersebut terlihat lumen midgut berwarna coklat muda tanpa terlihat adanya PIBs dari SpltMNPV. Sel epithel dari midgut berwarna ungu kecoklatan dengan inti sel yang terlihat ungu tua. Dari warna tersebut terlihat bahwa anbodi primer yang diteteskan pada midgut tidak menemukan subtratnya yaitu polyhedrin yang hanya terdapat pada selubung terluar dari PIBs SpltMNPV.

Keberadaan Polyhedra inclution bodies dari SpltMNPV dapat dilihat melalui reaksi spesifik antara antigen polyhedrin (pada polyhedra SpltMNPV) dengan antibodi primer (anti-polyhedrin) yang diberikan pada waktu imunohistokimia, selanjutnya diwarnai dengan menggunakan pewarna DAB (substrat kromogen yang berwarna coklat) menunjukkan hasil yang khas berupa warna coklat yang lebih tua dibandingkan dengan sel disekitarnya (gambar 5.15). Dari gambar tersebut menunjukkan bahwa PIB dari SpltMNPV yang diinfeksikan mengandung senyawa polyhedrin, sehingga dapat disimpulkan bahwa virus yang diinfeksikan adalah virus SpltMNPV (Spodoptera litura Multiple nuclear polyhedrosis virus).

Nama panjang dari SpltMNPV berasal dari (a) Spodoptera litura didepan MNPV merupakan nama dari inang virus tersebut yaitu Spodoptera litura. Istilah Multiple berarti jumlah nucleocapsidnya (asam nukleat dan selubung kapsid) lebih dari satu Sedangkan nama nuclear polyhedrosis virus mempunyai makna bahwa virus tersebut berbentuk polyhedra (yang tersusun dari polyhedrin) dan menyerang nucleus/inti sel dari inang. Protein polyhedrin pada polyhedra ini yang digunakan sebagai indikator pada reaksi imunohistokimia, karena berada pada lapisan terluar dari SpltMNPV yang akan terdeteksi apabila diberi antibodi 79

spesifik (anti-polyhedrin) dari polyhedrin tersebut.

Gambar 5.15. Polyhedra inclution bodies dari SpltMNPV berwarna coklat tua (berada dalam lingkaran yang ditunjuk dengan anak panah hitam), warna ini lebih gelap dibandingkan dengan sel yang ada disekitarnya. Perbesaran 1000 x

Pada penelitian sebelumnya dengan menggunakan metode parafin terlihat adanya kemiripan bentuk dan ukuran antara PIBs dari SpltMNPV dengan inti sel yang lepas dari selnya karena selnya terinfeksi virus ini.

Gambar 5.17. PIBs (Polyhedra inclution bodies ) dari SpltMNPV berwarna coklat Gambar 5.16. Inti sel lemak dengan tepi beraturan, berwarna biru ungu, tepi tidak berbentuk bulat (perbesaran beraturan, berbentuk bulat. 1000X) Perbesaran 400x

. Dengan menggunakan metode imunohistokimia kemiripan tersebut yang dapat menyebabkan kesalahan dalam menganalisis dapat diatasi. Inti sel berwana ungu-kebiruan (terwarnai oleh counter staining/ pewarna lawan yaitu mayer hematoksilin) dengan bentuk bulat dan tepi tidak beraturan. Pada PIBs 80

dari SpltMNPV terlihat bentuknya bulat (apabila dilihat dengan mikroskop elektron berbentuk seperti polyheron/segi 6) berwarna coklat tua dengan tepi beraturan. Perbedaan antara inti sel dengan PIBs dari SpltMNPV dapat dilihat pada gambar 5.16.dan 5.17. Pada gambar imunohistokimia yang didapat terlihat ada beberapa kelemahan yaitu gambar selnya terlihat coklat muda. Dari studi literatur (pada sel-sel vertebrata) seharusnya warna sel ungu kecoklatan. Warna ini belum terlihat pada preparat kami, kami kesulitan mencari literatur imunohistokimia pada invertebrata terutama insekta (Spodoptera) yang terinfeksi oleh virus. Sehingga dalam penelitian ini selalu dilakukan uji coba untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Pada pembuatan preparat di atas, uji coba dilakukan pada tahap antigen retrieval yaitu dengan menggunakan proteinase K

(pada umumnya dengan perebusan sampai mendidih). Pada awalnya kami juga menggunakan perebusan tetapi dengan cara ini beberapa organ dari midgut larva lepas sehingga tidak utuh. Lepasnya beberapa organ larva ini disebabkan karena organ larva sangat rapuh sehingga mudah lepas dari obyek glass, walaupun obyek glassnya sudah dilapisi dengan Poly-L-lisin. Uji coba berikutnya adalah dengan mengganti antigen retrievalnya yaitu dengan menggunakan

Proteinase K. Protein ini berfungsi untuk membuka epitop/sisi aktif dari antigen polyhedrin yang tertutup oleh fiksatif buffer formalin. Kelemahan dari proteinase

K adalah bisa menyebabkan terbentuknya ikatan non spesifik dari antibodi primer

(anti-polyedrin) dengan senyawa lain yang ada di sel. Hal ini yang menyebabkan warna sel yang seharusnya ungu kecoklatan menjadi coklat muda. Slain itu proteinase juga dapat melarutkan polyhedrin. Sehingga pada tahapan berikutnya masih terus dicari metode yang tepat agar antibodi primer (anti-polyhedrin) dapat berikatan secara spesifik dengan antigen polyhedrin dan tidak berikatan dengan sel-sel lain yang ada pada midgut larva S. litura. 81

Pada percobaan berikutnya mencoba diganti H2O2 nya senyawa ini bertugas untuk mengeblok peroksidase endogen yang ada di dalam sel menjadi

H2+O2 yang apabila bereaksi dengan kromogen DAB menyebabkan sel tidak berwarna coklat (berwarna ungu kecoklatan seperti counter stainingnya yaitu mayer hematoksilin) dan yang berwarna coklat tua adalah Polyhedra/sel yang mengandung polyhedrin. Hasil dari uji coba ini diperoleh hasil seperti pada

Gambar 6.18.

10 µm

AA B

10 µm

C 10 µm D

Gambar 5.18. Berbagai organ larva S. litura A. Sel epithel midgut dengan inti sel berwarna ungu. B. Sel Lemak dengan inti berwarna ungu . C. Sel Otot dengan inti berwarna ungu, perbesaran 1000x . D. Trachea diantara sel lemak dan sel otot (perbesaran 400x), A.B dan C perbesaran 1000x

Pada larva S. litura yang diinfeksi dengan SpltMNPV, terlihat beberapa organnya sudah terinfeksi (Gambar 6.19). Organ yang terinfeksi diantaranya adalah midgut terutama pada lumen dan epithel midgut, sel lemak dan trachea. 82

Berikut ini adalah gambar dari organ yang terinfeksi SpltMNPV diamati dengan menggunakan metode imunohistokimia dengan pewarna DAB.

a. Polyhedra inclution bodies di lumen

A B

Gambar 5.19. A.PIB SpltMNPV berwarna coklat di sel lemak yang ada di lumen dan B. PIB SpltMNPV berwarna coklat di lumen midgut. Perbesaran 1000x

Di lumen terlihat PIB dari SpltMNPV yang mengandung polyhedrin berwarna coklat tua sedangkan lemaknya berwarna ungu. Pada lemak maupun lumen midgut terlihat masih ada yang berwarna coklat karena polyhedrin dari PIB virus bisa larut pada kondisi basa lumen.

b. Sel epithel Midgut yang terinfeksi SpltMNPV

PIB SpltMNPV di sel epithel midgut larva S.litura terlihat berwarna coklat tua sedangkan sel epithelnya coklat muda. Warna coklat muda yang ada pada sel epithel ini disebabkan karena sel epithel yang terinfeksi oleh SpltMNPV mempunyai polyhedrin. Pada waktu SpltMNPV bereproduksi dan membentuk protein polyhedrin maka protein tersebut ditempelkan pada membran sel. Tempat

SpltMNPV akan keluar dari sel, SpltMNPV akan mengambil membran sel yang berpolyhedrin sebagai selubung terluarnya. Hal ini bertujuan agar SpltMNPV yang baru keluar dari sel dapat mengenali sel epithel berikutnya. 83

10µm

25 µm

A B

Gambar 5.20. A .PIB SpltMNPV di sel epithel midgut (Perbesaran 1000x) dan B. PIB SpltMNPV di dalam sel epithel Midgut (Perbesaran 400X), C dan D epithel midgut ungu belum memunculkan PIB tetapi polyhedrin nya sudah mulai dieksperesikan di membran sel sehingga berwarna coklat

Pada Gambar 5.20 A dan B terlihat bahwa PIB (polyhedra inclution bodies) sudah terlihat pada epithel midgut yang rusak. PIB SpltMNPV ini berwarna coklat, juga pada sel epithel midgut yang rusak karena terinfeksi

SpltMNPV. Pada Gambar 5.20 C dan D, terlihat beberapa sel epithel midgutnya berwarna ungu pada bagian inti selnya sedangkan dibeberapa tepi (membran selnya) terlihat berwarna coklat. Hal ini menunjukkan bahwa membran sel epithel yang berwarna coklat sudah terdapat protein polyhedrinnya. 84

c. Sel Lemak (Fat Body) yang terinfeksi SpltMNPV

10 µm

25µm

A B

Gambar 5.21. A. dan B PIB SpltMNPV berwarna Coklat tua diantara sel lemak yang berwarna ungu (A.Perbesaran 400x dan B perbesaran 1000x) C dan D sel lemak normal dan beberapa selnya yang berwarna coklat sudah menunjukkan terinfeksi SpltMNPV (anak panah menunjukkan sel lemak yang terinfeksi (Perbesaran 400x).

Pada sel lemak terlihat morfologi SpltMNPV yang terlihat berbeda dengan sel lemak yaitu SpltMNPV berwarna coklat tua dan sel lemak berwarna ungu muda dengan inti yang berwarna ungu tua. Warna seperti inilah yang dikehendaki dalam proses imunohistokimia. Dengan hasil ini bisa dipastikan bahwa polyhedrin diekpresikan oleh SpltMNPV, sehingga antigen ini bisa tertangkap oleh antibodi primer anti-polyhedrin yang diperoleh dari chiken (ayam). Pertautan antara antigen polyhedrin dengan anti-polyhedrin (antibodi primer dari polyhedri) 85

yang kemudian diikat oleh biotinilated anti-chiken dan diblok dengan proksidase

(H202) menghasilkan H2 + 02 sehingga pada waktu diberi pewarna DAB menyebabkan SpltMNPV yang berpolyhedrin berwarna coklat tua dan sel lain yang tidak terinfeksi oleh SpltMNPV berwarna coklat-ungu sesuai dengan pewarna lawannya yaitu Mayer Hematoksilin yang berwarna ungu.

d. Sel Otot

Pada penelitian ini terlihat bahwa sel otot larva S. litura tidak terinfeksi oleh

SpltMNPV sehingga berwarna ungu (Gambar 6.22) dan sel lemak dari larva S. litura terinfeksi oleh SpltMNPV yang terlihat dari warna sel lemak yang berwarna coklat karena mengekspresikan protein polyhedrin yang ditempelkan dimembran sel lemak yang terinfeksi. 86

e. Trachea

a b

Gambar 5.23. A. Trachea larva S. litura yang inti selnnya berwarna ungu (belum terinfeks SpltMNPV(a). B. Trachea berwarna coklat menunjukkan selnya sudah lepas karena terinfeksi oleh SpltMNPV (a) dan b adalah sel epithel midgut yang berwarna ungu

Trachea pada larva S. litura yang dinfeksi dengan SpltMNPV pada berbagai inkubasi pada umumnya sudah terinfeksi oleh SpltMNPV. Hal ini disebabkan karena organ ini tersebar diseluruh tubuh larva dan mempunyai sel epithel yang mudah dikenali oleh SpltMNPV. Pada Gambar 6.23 terlihat bahwa sel epithel trachea yang belum teinfeksi inti selnya masih berwarna ungu, sementara trachea yang terinfeksi kebanyakan epithelnya sudah lepas sehingga tidak ada pada gambar yang tersisa hanya fili (rambut-rambut pendek) pada trachea yang berwarna coklat. Adanya warna coklat ini menunjukkan bahwa polyhedrin diekspresikan/ ditempelkan oleh fili trachea.

5.5. Jaringan dan organ larva S. litura yang terinfeksi SpltMNPV dalam formula foto-protektan pada tubuh larva S. litura.dilihat dengan imunohistokimia.

Berikut ini adalah tabel yang berisi informasi tentang jaringan/organ apa saja yang sudah terinfeksi oleh SpltMNPV hasil perbanyakan in vitro yang 87

dilindungi dengan foto-protektan berupa Kaolin dan EPMS 20% pada tubuh larva

S. litura instar 3 yang dipreparasi dengan metode imunohistokima

Pada Tabel 4.2, terlihat penyebaran SpltMNPV hasil perbanyakan in vitro yang dilindungi dengan Foto-protektan berupa Kaolin dan EPMS 15% pada beberapa jaringan dan organ.

Tabel 5.2. Jaringan dan Organ larva S. litura yang terinfeksi SpltMNPV dengan Foto-protektan berupa kaolin dan EPMS 15% yang diradiasi 12 jam dipreparasi dengan metode imunohistokima.

No Sampel Organ larva S.litura yang terserang SpltMNPV Lm MP EM Tr PD TM OT FB 1 Kontrol X X X X X X X X 2 a In Vivo 2 (ml) V V XV X X V X V (mbj) V V XV X X V X V b. In Vivo 4 (ml) V V XV V XV V X XV (mbj) V V XV V XV V X XV c. In Vivo 6 (ml) V V XV V XV XV X XV (mbj) V V XV V XV XV X XV 3.a In vitro 2 (ml) V V XV V X V X V (mbj) V V XV V X V X V b In vitro 4 (ml) V V XV V V V X XV (mbj) V V XV V V V X XV c In Vitro 6 (ml) Prepupa (organ berwarna ungu dan coklat kemerahan) (mbj) Prepupa (Organ berwarna ungu dan coklat kemerahan) 4.a E 15% 2 (ml) V V V V X X X V (mbj) V V V V TT X X V b E 15% 4 (ml) V V V V X V X V (mbj) V V V V X V X V c E 115%6 (ml) V V V V V V V XV (mbj) V V V V V V V XV

Keterangan: ml= melintang, mbj = membujur, E15% = formulasi dengan EPMS 15%, Lm = Lumen, TM = Tubulus Malpighi, MP = Membran Peritrofik, EM = Epithel Midgut, FB = lemak tubuh/Lemak tubuh, Tr = Trakhea, PD = Pembuluh Darah, X = tidak terserang virus, V = terserang virus, Ott = organ tidak terlihat, Ota = organ tidak ada, OT = Otot. 88

Pada inkubasi 0 jam (larva S. litura tidak diinfeksi dengan SpltMNPV)

terlihat semua organnya masih normal, tidak terlihat adanya PIB SpltMNPV.

Sel belum terinfeksi oleh SpltMNPV. Hal ini menunjukkan bahwa larva yang

digunakan dalam penelitian ini dalam keadaan tidak terinfeksi SpltMNPV.

a. Infeksi dengan SpltMNPV hasil perbanyakan in vivo

Pada inkubasi 48 jam (2 hari) organ yang terinfeksi SpltMNPV hasil

perbanyakan in vivo baik pada midgut yang dipotong melintang maupun

membujur, sudah mencapai lumen midgut dan membran peritrofik. Membran

peritrofik merupakan penghalang masuknya SpltMNPV ke dalam sel usus.

Membran ini sudah mulai diserang virus yang terlihat dari warna membran

peritrofik yang menjadi coklat, selanjutnya SpltMNPV meluas ke lapisan

epithel midgut. Pada gambar yang diperoleh dengan metode IHC ini

polyhedrin jelas terlihat pada membran sel epithel yang terinfeksi sementara

yang belum terinfeksi masih menunjukna warna ungu. Pada beberapa tempat

lapisan epithel midgut bocor sehingga virus bisa menyebar ke lapisan yang

lebih luar yaitu tubulus malpighi dan beberapa lemak tubuh. Organ trachea,

pembuluh darah dan otot midgut belum terlihat adanya ekpresi polyhedrin

SpltMNPV.

Pada inkubasi 4 hari terlihat hampir semua organ sudah terserang

kecuali sel otot. Pada pengamatan ini sel syaraf dan cutikula tidak diamati

karena pada pengamatan sebelumnya organ ini tidak terinfeksi oleh virus.

Organ yang menujukkan adanya ekpresi polyhedrin adalah lumen midgut

membran peritrofik, tubulus malpighi dan sebagian pada epithel midgut,

sebagian pembuluh darah dan sebagian lemak. Pada inkubasi 4 jam ini

organ yang diserang relatif sedikit sehingga larva masih tetap hidup dan

dapat melanjutkan ke instar berikutnya yaitu instar 5-6 (inkubasi 6 hari). Pada 89

inkubasi 6 hari ulatnya sudah menjadi besar, organ yang terinfeksi sama

dengan pada inkubasi 4 hari hanya pada tubulus malpighi masih ada

beberapa yang tidak terinfeksi. SpltMNPV dapat menghambat sel yang

terinfeksi untuk tetap hidup (tidak lisis) dengan mengekspresikan gen Egt

dengan tujuan agar ulatnya tidak mati dan tetap aktif makan sehingga meteri-

materi organik yang dibutuhkan virus untuk berbiak tetap tersedia dalam sel

inang.

b. Infeksi dengan SpltMNPV hasil perbanyakan in Vitro

Ekpresi gen polyhedrin dari SpltMNPV hasil perbanyakan secara in

vitro yang diradiasi dengan Sinar matahari 12 jam menunjukkan adanya

protein polyhedrin di lumen midgut, membran peritrofik, trachea, tubulus

malpighi dan lemak, sebagian epithel midgut membrannya sudah berwarna

coklat yang menujukkan adanya protein polyhedrindan yang tidak terlihat

adanya ekspresi gen polyhedrin adalah pada otot. Pada inkubasi 4 hari

ekpresi gen polyhedrin meluas sampai ke otot. Sedangkan pada inkubasi hari

ke 6 ulat S. litura sudah memasuki tahap prepupa. Sehingga protein

polyhedrinya sulit di deteksi, organ-organ pada prepupa mulai mengalami

modifikasi, midgutnya mengecil (berubah fungsi dari pencerna makanan

padat/daun menjadi makanan cair/madu) selain itu lemak yang berguna

untuk cadangan makanan mulai larut, dan tubulus malpighi rudimenter

(mengecil). Pada perlakuan ini ulat S. litura dapat mencapai tahap prepupa

karena SpltMNPV yang digunakan telah diradiasi dengan sinar matahari

sehingga patogenesitasnya menurun. Sinar matahari dapat menyebabkan

gen dari SpltMNPV mengalami mutasi sehingga patogenesitasnya berkurang. 90

c. Infeksi dengan SpltMNPV hasil perbanyakan in Vitro yang diformulasi dengan Foto-protektan (Kaolin dan EPMS/Ethyl-p- metoksinamat 15%)

Pada inkubasi SpltMNPV 48 jam (2 hari) di penampang melintang

dan membujur midgut larva S.litura terlihat bahwa ekspresi gen polyhedrin

sudah terlihat di lumen, membran peritrofik, epithel midgut, trachea, dan

lemak dan yang tidak terlihat protein polyhedrinya pada pembuluh darah, otot

dan tubulus malpighi. Kemudian pada inkubasi 4 hari infeksi SpltMNPV

meluas pada tubulus malpighi. Pada inkubasi 6 hari hampir semua organ

terserang kecuali beberapa sel lemak. Sel lemak ini ada yang tidak terserang

karena pada hari ke 6 ini ulatnya mencapai instar 5 yang ukurannya besar

sehingga cadangan makanannya yang berupa lemak juga banyak. Pada

larva yang diinfeksi dengan SpltMNPV ini menunjukkan banyak organ

terserang berarti SpltMNPV hasil perbanyakan in vitro yang dilindungi dengan

foto-protektan (kaolin dan EPMS dapat meningkatkan patogenesitas

SpltMNPV setelah terkena radiasi sinar matahari. VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah

1). Virus SpltMNPV dapat dideteksi pada larva S. litura melalui metode

imunohistokimia, berbentuk bulat-oval, berwarna coklat tua.

2) Virus yang menginfeksi larva S. litura merupakan jenis Spodoptera litura

nuclear polyhedrosis virus karena dapat berikatan secara spesifik antara

antigen polyhedrin yang ada pada selubung terluar SpltMNPV dengan

antibodi primer (anti-polyhedrin) yang diberikan pada waktu proses

imunohistokimia.

3) Gambaran histopatologis larva S. litura yang terinfeksi SpltMNPV hasil

perbanyakan secara in vitro apabila dilihat dengan menggunakan metode

imunohistokimia berupa keberadaan Polyhedra inclution bodies berwarna

khas (coklat tua) yang tersebar di lumen, dan epithel midgut.

4) Jaringan dan organ yang sudah terinfeksi oleh SpltMNPV in vitro dalam

formula foto-protektan pada waktu inkubasi 0, 1,2 dan 3 hari dengan

menggunakan metode parafin adalah lumen, epithel midgut, epithel kulit,

trachea, pembuluh darah, sel otot, dan tubulus malpighi sedangkan yang

tidak terinfeksi adalah kutikula dan sel syaraf. Pada larva S. litura yang

diinfeksi dengan SpltMNPV hasil perbanyakan in vitro dan diformulasi

dengan foto-protektan, ekpresi protein polyhedrin muncul di lumen, membran

peritrofik, epithel midgut, pembuluh darah, sel lemak, trachea dan tubulus

malpighi. Ekpresi protein polyhedrin di otot hanya muncul pada inkubasi hari

ke-6.

91 92

6.2. Saran

1). Berdasarkan pengalaman selama penelitian telah ditemukan metode baru

untuk melakukan imunohistokimia, akan tetapi metode ini diperlukan alat

Aspirator (dalam keadaan vakum) sehingga diperlukan ketelatenan. Pada

penelitian berikutnya perlu dilakukan pencarian metode baru yang lebih

mudah khususnya pada hama/insekta lain yang terinfeksi oleh patogen

(virus) sehingga diperoleh gambaran histopatologis yang bagus.

2). Berdasarkan pengalaman selama penelitian, kami kesulitan mencari antibodi

polyhedrin, antibodi yang langka ini merupakan hasil rekayasa genetika pada

Escherichia coli yang ditumbuhan pada Chiken/ayam sehingga antibodi

sekundernya juga khusus yaitu anti-chiken. Antibodi ini sangat sulit diperoleh

sehingga perlu dikembangkan pembuatan antibodi baik polyclonal maupun

monoclonal terutama antibodi terhadap patogen (Virus) yang diperlukan pada

proses imunohistokima. 93 DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto, T. dan Rini Widianto, 1999. Peningkatan Hasil Panen Kedelai di Lahan Sawah, Kering dan Pasang Surut. Jakarta : Penebar Swadaya

Afandhi, A., Siti Rasminah C.S. 2010. The Protectant Potential of a Gamblong Flour to Enhance Efficacy of Beauveria bassiana Fungi Used as a Foliar Treatment against Spodoptera litura. Procedings of abstract and Program. The 8 th International Symposium on Biocontrol and Biotechnology. King Mongkut’s Institute of Technology Ladkrabang and Khon Kaen University. Nong Khai Campus. Thailand. Pp.37

Ahmads. Sajapi., James. R. Kotulap., Mohamadd A. Bakir., Lau W. Hong., Norania A., Samad and Hussana A. Kadir. 2000. Pathogenicity and Characteristics of Spodoptera litura Nucleopolyhedrovirus from Peninsular Malaysia. Pertanika J. Trap. Agric. Sci. 23(1): 23 – 28. ISSN: 1511-3701

Alatas, Z dan Y. Zubaidah. 2003. Radiasi Non Pengion Pada Manusia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keselamatan Radiasi dan Biomedika Nuklir. Badan Tenaga Nuklir Nasional, Jakarta, Indonesia. Cermin Dunia kedokteran No. 138. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/10_EfekKesehatanRadiasiNonPengio n.pdf/10_EfekKesehatanRadiasiNonPengion.html.

Asri, M.T dan Isnawati, 2005. Efektivitas dan Karakterisasi SpltMPNV yang Telah Terpotong Material Genetiknya. Laporan Penelitian. Tidak di Publikasi. Unesa. Surabaya

Asri, M.T dan Fida. R, Yuliani, Evie R. dan Herlina. F., 2005. Pengaruh Beauveria bassiana dan SpLtMNPV Terhadap Larva S. litura Pada Tanaman Jarak. Laporan Penelitian DIPA Unesa. Tidak di Publikasi. Unesa. Surabaya..

Asri, M,T. 2004. Perbanyakan SpLtMNPV Secara in Vivo pada Larva S. litura. Laporan Penelitian. Tidak di Publikasi. Unesa. Surabaya

Asri, M.T. 2007. Efektivitas Spodoptera litura Multiple Nucleopolyhedrosis Virus (SlNPV) yang disinari dengan Sinar Matahari Dengan Berbagai Lama Waktu Penyinaran Terhadap Lama Hidup Larva. Makalah. Seminar Nasional. FMIPA Universitas Negeri Surabaya

Asri, M.T dan Nur Ducha. 2007. Upaya Perbanyakan Spodoptera litura Multiple Nucleopolyhedrosis Virus (SpLtMNPV) Sebagai Bioinsektisida Secara In Vitro Dengan Teknik Kultur Sel Insekta. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Tidak di Publikasi UNESA. Surabaya

Asri, M.T dan Nur Ducha. 2009. Patogenesitas SpLtMNPV Hasil Perbanyakan Sel line terhadap Larva S. litura di Green House dan Lapang Terbatas. Laporan Penelitian. Penelitian Strategis Nasional. Tidak di Publikasi. Unesa. Surabaya

93 94

Arifin, M., 1988. Pengaruh Konsentrasi dan Volume Nuclear Polyhedrosis Virus terhadap Kematian Ulat Grayak Kedelai (Spodoptera litura F.). Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 8(1):12-14.

Arifin, M., I. Villayanti, dan A. Alwi. 1999. Keefektifan SlNPV pada Berbagai Bahan Formulasi Terhadap Ulat Grayak, Spodoptera litura (F.) pada Kedelai, p. 149-158. Dalam I. Prasadja et al., Prosiding Seminar Nasional Peranan Entomologi dalam Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis. Bogor, 16 Februari 1999. PEI Cabang Bogor.

Bedjo. 1997. Uji Keefektifan SlNPV dan HaNPV dengan Bahan Pembawa untuk Pengendalian Hama Kedelai. Makalah Seminar Regional HPTI. Dalam W. Boedijono et al., (Eds.) Majalah Ilmiah Pembangunan UPN "Veteran" Surabaya. p.108-114.

Bedjo, M. Rahayu dan Sumartini, 2000. Laporan Teknis: Pemanfaatan NPV, B. thuringiensis, dan M. anisopliae Sebagai Biopestisida Untuk Mengendalikan Hama Terpadu. PAATP.

Bedjo. 2005. Potensi, Peluang, Dan Tantangan Pemanfaatan Spodoptera litura Nuclear Polyhedrosis Virus (SlNPV) Untuk Pengendalian Spodoptera litura Fabricius Pada Tanaman Kedelai. Jurnal Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Diakses dari : http://plasmanutfah.litbang.deptan.go.id pada 9 Januari 2010.

Bolongnesi R, Terra WR, Ferreira C. 2002. Function of peritrophic membrane. ESA-Entomological Sosiety ao America. Fort Launderdale. USA

Clarke, T. E. & Clem, R. J. 2003. In vivo induction of apoptosis correlating with reduced infectivity during baculovirus infection. J Virol 77, 2227–2232.

Diffey, B., 2001, Sunscreen isn’t Enough, J. Photochem. Photobiol., 64:105-108.

Diffley, B.L. 1991. Solar Ultraviolet Radiation Effects on Biological Systems. (Online). http://www.ciesin.columbia.edu/docs/001-503.html

Elazar, Menashe, Rafi Levi, and Eliahu Zlotkin. 2001. Targeting Of An Expressed Neurotoxin by Its Recombinant Baculovirus. Journal of Experimental Biology 204: 2637-2645

Evans, Don Herbison dan Stella Crossley. 2008. Spodoptera litura. http://austraianinsects.com/lepidoptera

Hunter-Fujita. P., Philip F. Entwistle., Huge F. Evans and Norman E. Crook. 1998. Insect Viruses and Pest Management. John Wiley & Sons. Chichester. New York. Weinheim. Brisbane. Singapore. Toronto. P.436 – 445

Goosen, M.F.A. Daugulis A.J. Faulkner, 1993. Insect Cell Culture Enginering. Marcel Dekker. Inc. New York. 95

Galal, F.H. 2009. Universal Primer for Early and Rapid Detection of Nucleopolyhedroviruses of Multiple Species Using Polymerase Chain Reaction. Egypt. Acad. J. Biolog. Sci., 1(1): 57-64 ISSN: 2090-0767 C. Physiology & Molecular Biology

Gothama, A.A.A, Indrayani, I.G.A.A., dan Subiyakto, S. 1994. Prospek Penggunaan NPV untuk Pengendalian Ulat Buah H. armigera dan Ulat Grayak S. litura. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. XII.(4): 106 – 110

Granados, R.R., Guoxun Li, and G.W Blissard,. 2007. Insect Cell Culture and Biotechnology. Virologica Sinica. China April 2007. 22 (2):83 – 93.

Harjanto, S. 1987. Lempung, Zeolit, Dolomit, dan Magnesit, Publikasi Khusus, Direktorat Sumber Daya Mineral:53-58.

Herniou, E.A., Julie A. Olsszewski., David R. O’Reilly., and Jenny S. Cory. 2004. Ancient Coevolution of baculovirus and Their Insect Host. Journal of Virology. P. 3244-3251

Indrayani, IGAA, Dwi Winarno dan Soebandrio. 1998. Efektivitas NPV Dengan Berbagai Bahan Pembawa Terhadap Spodoptera litura F. Dan Helicoverpa armigera Hubner Pada Kapas. Jurnal Littri 4 (1): 1-7

Indrayani, IG.A.A., T. Hadiastono, G.Mudjiono, 2003. Dosis Sub Letal SlNPV Dan Pengaruhnya Terhadap Transmisi Vertikal Pada Larva Spodoptera litura F. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 9 (2): 55-62

Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. Jakarta: Rineka Cipta.

Kavanagh Kevin and Emer P. Reever. 2004 . Exploiting the potential of insect for in vivo pathogenicity of microbial pathogen.FEMS Microbiology Reviews .pp.101-112.

Kartohardjono dan Arifin, 2000. Spesies Ulat Grayak dan Musuh Alaminya pada Kedelai. Hal: 371-376. Dalam E. Soenarjo, S. Sosromarsono, S. Wardojol. Prasadja (eds). Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Arthropoda, Cipayung. 16 – 18 Oktober 2000

Kuzio, j. and p. Faulkner. 1987. An Overview of The Molecular Biology and Aplications of Baculovirus. Queen’s University. Canada

Kristiningsih. Yuni. 2006, Perbandingan Efektivitas Spodoptera litura Nuclear Polyhedrosis Virus (SlNPV) yang Disinari Ultraviolet-c dan yang Disinari dengan Sinar Matahari dengan Lama Penyinaran yang Identik terhadap Lama Hidup Larva Spodoptera litura Fabr. Skripsi. Tidak Dipublikasikan. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

Laoh, J. Hennie, Fifi Puspita dan Hendra. 2003. Kerentanan Larva Spodoptera litura F. Terhadap Virus Nuklear Polyhedrosis. Jurnal Natur Indonesia, di akses dari: http://www.unri.ac.id/jurnal/jurnal_natur/ vol5%282%29/Henni.pdf, pada 04 Juli 2009. 96

Marwoto dan Suharsono. 2008. Strategi Dan Komponen Teknologi Pengendalian Ulat Grayak (Spodoptera litura Fabr.) Pada Tanaman Kedelai. Malang : Jurnal Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang, di akses dari : http://www.pustaka- deptan.go.id/publikasi/p3274083.pdf ,pada 04 Juli 2009.

Mehrvar, A., R.J. Rabindra, K. Veenakumari and G.B. Narabenchi, 2008. Evaluation of Adjuvants for Increased Efficacy of HearNPV Against Helicoverpa armigera (Hiibner) Using Suntest Machine Journal of Biological Sciences, ISSN 1727-3048

Mulyani, Ike. 2005. Pengaruh Lama Penyinaran Sinar Ultraviolet-C terhadap Patogenitas Spodoptera litura Nuclear Polyhedrosis Virus pada Larva Spodoptera litura Fabr. Skripsi tidak dipublikasikan. Surabaya: UNESA.

Murphy, F.A.; Fauquet, C.M.; Bishop, D.H.; Ghabrial, S.A.; Jarvis, A.W.; Martinelli, G.P.; Mayo, M.A. and Summers, M.D. 1995. Virus . Springer Verlag, Vienna.

Natawigena, Hidayat. 1990. Entomologi Pertanian. Bandung : Penerbit Orba Shakti

O, Reilly, D.R. Lois, L.M., Verne, A.L. 1992. Baculovirus Expression Vector. A Laboratory Manual. W.H. Freeman and Company. New York Prasad Arti dan Yogita Wardhwani, 2006, Pathogenic Virus and Insect Tissues : an Effective way of Pest Control. Current Science, Vol.91 No. 6.

Pinheiro D.O., Reinaldo J.S., Irani Q.G. and Elisa A.Gregorio., 2003. Systematics, Morphology and Physiology. Morphometric Study of The Midgut Epithelium in Larvae of Diatraea saccharalis Fabricius. (Lepidoptera:Pyralidae). Neotropical Entomology 32(3):453-459.

Richard. 2006. Introduction Calpodes ethlius Larva  Greater Canna Leafroller in Invertebrate Anatomy OnLine. Fox Lander University

Rohrmann, G. F. 1992. Baculovirus structure proteins. J. Gen. Virol. 73: 749- 761.

Rohrmann, G. F. 1986. Evolution of Occluded Baculovirus. in Granados. R.R. and Federici, B.A. (eds). The Biology of Baculovirus. Vol.1. CRC. Press, Boca Raton, FL. Pp.203-215

Sanjaya Y, Dadang M, Nanin D.K. 2010. Histological study of SlNPV infection on Body Weight and Peritrophic Membrane Damage of Spodoptera litura Larvae. Bioscience 3940. ISSN 2087- ISSN:2087-3956 Vol 2, No. 3 Pp. 135-140

Santos, C.D., A.F. Ribeiro, C. Ferreira & W.R. 1984. The Larval Midgut of The Cassava Hornworm (Erinnys ello). Ultrastructure, Fluid Fluxes, The Secretory activity in Relation to the Organization of Digestion. Cell Tissue Res. 237:565-574 97

Setiawan, Fadhil. 2003. Pengaruh Lama Penyinaran Ultraviolet A Terhadap Patogenesitas SlNPV (Spodoptera litura Nuclear Polyhedrosis Virus) Larva Spodoptera litura Fabr. (Skripsi tidak dipublikasikan). Malang: UNIBRAW

Seufi A.M. 2008. Characterization of an Egyptian Spodoptera littoralis Nucleopolyhedrovirus and a Possible Use of a Highly Conserved Region from Polyhedrin Gene for Nucleopolyherovirus Detection. Virology Journal 5:13

Shaath, N.A.1990. Sunscreen, Development, Evaluation, and Regulary Aspect. New York: Marcel Dekker. Inc.

Smagghe Guy j., kim elsen, Marcia j. Loeb, Dale b. Gelman and Michael Blackburn, 2003. Effects of a Fat Body Extract on Larval Midgut Cells and Growth of Lepidoptera. In Vitro Cell. Dev. Biol.— 39:8–12,

Sridhar, M. 2008. Photoprotection: a Public Awareness.Internet Journal of Medical Up Date 3 (1)

Sukandi, Herman. 2006. Ragam Kepadatan Trikoma Pada Daun Kedelai Dan Hubungannya Dengan Preferensi Oviposisi Hama Ulat Grayak (Spodoptera litura). Skripsi. Universitas Negeri Surabaya.

Taufikurohmah. T. 2003. Sintesis p- Metoksisinamil, p-Metoksisinamat dan p- Metoksisinamil Salisilat dari Material Awal Etil p-Metoksisinamat Hasil Isolasi Rimpang Kencur (Kaemferia galanga L) Sebagai Kandidat Tabir Surya. Tesis. Tidak dipublikasikan. Surabaya: Universitas Airlangga

Taufikurohmah T, 2007. Sintesis Etil P-metoksisinamil P-metoksisinamat dari Etil parametoksi sinamat hasil isolasi Rimpang Kencur, Penelitian Dosen Muda 2007. Lembaga Penelitian UNESA

Tengkano, W., Supriyatin, Suharsono, Bedjo, Yusmani,P. dan Purwantoro, 2007. Status Hama Kedelai dan Mmidguth Alami pada Agroekosistem Lahan Kering Masam lampung. IPTEK Tanaman Pangan No. 3

Thamrin H., Isnawati, dan Mahanani T.A. 2008. Kajian Tingkat Kerusakan Tanaman Jarak Akibat Inokulasi Beberapa Generasi Ulat Grayak (Spodoptera litura) yang Populasi Tetuanya Dikendalikan dengan SlNPV dan Fungi Beauveria bassiana. Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional Pendidikan IPA. Jur. Biologi FMIPA Surabaya. 13 Desember 2008). Surabaya

Torquato, E.F.B., Marcilio H. De Miranda Nito., and Rose M.C. Brancalhao, 2006. Systematic, Morphology and Physiology. Nucleopolyhedrovirus Infected Central Nervous System Cells of Bombyx mori (Lepidoptera:Bombycidae) Neotropical Entomology 32(1): 070-074 98

Tripujo, B. 2002. Pengaruh Ekstrak Biji Mimba (Azadiracta indica) dan NPV (Nuclear Polyhedrosis Virus) terhadap Larva Spodoptera litura Fabr. Skripsi (Tidak Dipublikasikan). Malang: Unibraw

Rohrmann, G. 2008. Baculovirus Molecular Biology. Chapter 3.The baculovirus replication cycle: effects on cells and . Department of Microbiology, Oregon State University, Corvallis. pp.33-43

Rivkin, H., Kroemer, J. A., Bronshtein, A., Belausov, E., Webb, B. A. & Chejanovsky, N. 2006. Response of immunocompetent and immunosuppressed Spodoptera littoralis larvae to baculovirus infection. J Gen Virol 87, 2217–2225.

Vlak, J.M. and G.F. Rohrmann, 1985. The nature of polyhedrin. in Marasmosh K. and K.E. Sherman. (Eds). Viral Insecticide for Biological Control. Academic Press. Orlando. Pp. 489 - 544

Wahyuni, E. 2002. Molecular Analysis of Spodoptera litura Multiple Nucleopolyhedrovirus (SpLtMNPV) From Different regions in Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University.

Woo. S. D. 2001. Rapid Detection of Multiple Nucleopolyhedroviruse Using Polymerase Chain Reaction. Mol. Cells, Vol. 11, No. 3, pp. 334-340

Yatim. Wildan.1996. Biologi Modern. Histologi. Penerbit TARSITO Bandung. P.374

Young, S.Y., 2000. Persistence of Viruses in the Environment (Online Review), www.agctr.lsu. edu/s265/ young.htm.

Zanoto, P.M. de A., B.D. Kessing and J.E. Maruniak. 1993. Phylogenetic Interrelationships among baculoviruses: Evolutionery rates and Host Association. J. Invertebr. Pathol. 62:147-164.

Zhang Xuping.,, Wenjie Lan., Yujie Deng., Yuan Ma., Kaiyu Liu., Jianxin., Peng Yi Li., Huazhu Hong., 2008. Highly passage of Spodoptera litura cell line causes its permissiveness to baculovirus infection. Cytotecnology, 57: 233-243. 99

LOG BOOK PENELITIAN HIBAH DOKTOR DAN LAMPIRANNYA

Judul : Imunohistokimia Jaringan Larva Spodoptera litura yang terinfeksi Spodoptera litura Multiple Nuclear Polyhedrosis Virus (SpltMNPV) in Vitro Dalam Formula Foto-Protektan Peneliti : Dra. Mahanani Tri Asri, M.Si

No Tanggal Kegiatan Lampiran (Foto, tabel, grafik dll) 1. 28 Pemesanan media kultur Februari dan antibod primer serta 2013 antibodi sekunder (indent 1- 3 bulan) di Surabaya dan Jakarta 2. 4-16 Pemesanan dan pembelian Maret pakan buatan untuk 2013 perbanyakan Larva S.litura di Malang 3. 17 Maret- Menanam tanaman jarak Juni 2013 untuk pakan alami larva S. litura yang masih muda

Tanaman Jarak kepyar di polybag

4. 18-30 Mengurus perijinan agar Maret dapat melakukan penelitian 2013 Laboratorium Pusvetma Surabaya 5. 1-5 April Membeli dan menyiapkan Alat: LAF, cawan kultur, lampu 2013 alat dan bahan yang akan spiritus dan peralatan gelas lain dipakai untuk kultur (sterilisasi dan pembuatan media kultur yang baru datang) 100

No Tanggal Kegiatan Lampiran (Foto, tabel, grafik dll)

bahan: media kultur dan larva S. litura 6. 8 April - 1.Mengkultur sel epidermis 24 Juli midgut larva S. litura 2013 sampai jumlah sel yang tumbuh, mencukupi untuk perbanyakan virus secara in vitro yaitu sebanyak 107 sel/ml (hasilnya sel epidermis tumbuh monolayer di dalam cawan kultur) Kultur sel epithel midgut larva S. litura dalam cawan kultur.

Hasil kultur berupa Sel epithel larva S. litura yang tumbuh pada hari ke 5 -10 dan membentuk monolayer 7. 21-22 Mencari telur/larva S. litura April sehat pada tanaman jarak di 2013 Malang dan Blitar

Tanamn jarak kepyar di kebun daerah Malang 101

No Tanggal Kegiatan Lampiran (Foto, tabel, grafik dll) 8. 23 April – 1.Memelihara telur/larva 5 Mei yang ditemukan dengan 2013 menggunakan pakan alami daun jarak sampai instar 3 (1 minggu) untuk perbanyakan stater virus in vivo dan yang instar 5 ( 2 minggu) untuk kultur Larva S. litura instar 3 dipelihara 2. Memesan dan membeli dalam pakan alami daun jarak pagar alat dan bahan untuk persiapan kultur sel

Larva S. litura instar 5 yang akan di kultur

9. 30 April- Perbanyakan virus secara in 10 Mei vivo pada larva S. litura 2013 yang akan digunakan untuk stater pada kultur secara in vitro (waktu inkubasi sekitar 10 hari)

Virus diperbanyak pada larva S. litura instar 3 dengan pakan alami daun jarak

Larva S. litura yang mati terinfeksi SpltMNPV 102

No Tanggal Kegiatan Lampiran (Foto, tabel, grafik dll) 10. 15-17 Pemurnian dan Mei-2013 penghitungan SpltMNPV in vivo serta pemecahan polyhedra dengan Na2HCO3

SpltMNPV tanpa polyhedra dalam berbagai konsentrasi

11. 20 -31 Penginfeksian SpltMNPV Mei 2013 pada sel kultur dengan dosis virus 1,1 x 106 MNPV/ml dan dosis sel 7,6 x 107 sel/ml

SpltMNPV + sel epithel larva S. litura

Kultur sel terinfeksi SpltMNPV

12. 1 Juli Pemurnian SpltMNPV 2013 dengan sentrifugasi dan penghitungan konsentrasi SpltMNPV dengan menggunakan haemocytometer

Pemurnian SpltMNPV dengan Sentrifugasi 103

No Tanggal Kegiatan Lampiran (Foto, tabel, grafik dll) 13 2-3 Juli Formulasi SpltMNPV 2013 dengan kaolin dan Ethyl P- metoksinamat (EPMS)

Formulasi SpltMNPV dengan kaolin dan EPMS 14 4 Juli Membeli ( telur /F0) di 2013 Ballitas Malang untuk persiapan perlakuan (beli larva dan pakan buatan) 15 5 - 14 Juli Membesarkan larva sampai 2013 instar 3 (1 minggu) untuk persiapan perlakuan 16. 15 Juli Radiasi SpltMPV dengan 2013 sinar matahari selama 12 jam dan diinfeksikan kelarva S. litura instar 3 hari ke 3

Radiasi SpltMNPV dengan Sinar matahari selama 12 jam 17. 18 - 24 Inkubasi larva S. litura yang Juli 2013 diinfeksi dengan SpltMNPV dan difiksasi pada inkubasi 0, 1,2 dan 3 untuk preparasi parafin dan inkubasi 0,2,4 dan 6 hari untuk preparasi imunohistokimia d1an disimpan dalam larutan Inkubasi larva S. litura terinfeksi fiksatif dalam pakan buatan

Fiksasi larva pada fiksatif buffer formalin pada inkubasi 1,2,3,4,5 dan 6 hari 104

No Tanggal Kegiatan Lampiran (Foto, tabel, grafik dll) 18 25 - 30 Pembelian dan penyiapan Juli 2013 alat dan bahan untuk Pembuatan preparat parafin untuk persiapan Imunohistokimia

Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan preparat parafin 19 1 -3 Pembuatan preparat parafin Agustus (sampai pembuatan Blok 2013 parafi)

Sampel dalam blok parafin 20 4-11 Libur hari raya idul fitri Agustus 2013 21. 12-13 Pemotongan blok parafin Agustus untuk pembuatan preparat 2013 parafin (sebagai pembanding)

Pemotongan blok parafin untuk IHC 23 16-20 Mengamati hasil ( berupa Agustus slide parafin) dengan 2013 mikroskop cahaya

Contoh gambar dari hasil preparasi dengan metode parafin 105

No Tanggal Kegiatan Lampiran (Foto, tabel, grafik dll) 24. 21-30 Pembelian dan persiapan Agustus alat dan bahan untuk Uji 2013 coba menggunakan metode imunohistokimia 1 (antigen retieval dengan perebusan) hasilnya beberapa preparat tidak lengkap dan selnya masih berwarna coklat)

Contoh gambar dari hasil preparasi dengan imunohistokimia (midgutnya tidak utuh) 25 1 - 8 Uji coba metode September imunohistostokimia (IHC) 2 2013 dengan antgen retrieval proteinase K dan jumlah antibodi primernya 1 ; 100 ( Hasilnya virusnya mulai terlihat coklat tetapi banyak sel yang coklat juga)

Virus terlihat coklat namun banyak sel yang berwarna coklat juga. 26 9- 22 Uji coba IHC ketiga dengan September mengganti peroksidase 2013 bloknya dengan yang baru (H2O2) (hasilnya virusnya coklat dan sel lain yang tidak terinfeksi sudah berwarna ungu) Virus berwarna coklat diantara sel lemak yang berwarna ungu

Kontrol (sel tidak terinfeksi berwarna ungu) 106

No Tanggal Kegiatan Lampiran (Foto, tabel, grafik dll)

Midgut terinfeksi virus in vitro inkubasi 2 hari ( yang berwarna coklat menunjukkan selnya terinfeksi)

Midgut terinfeksi virus in vivo inkubasi 2 hari (sel yang berwarna coklat menunjukkan selnya terinfeksi dan yang berwarna ungu selnya tidak terinfeksi ) 27 23 – 30 Melakukan IHC dengan September metode ke3 untuk semua 2013 sampel sisa ( inkubasi 2, 4 dan 6 hari) 28 1 – 27 Mengamati preparat dengan Oktober mikroskop cahaya serta 2013 dilanjutkan dengan menganalisis hasil dan membuat laporan kemajuan serta laporan akhir

Surabaya, 28 Oktober 2013 Peneliti,

Mahanani Tri Asri. 107

Lampiran 1

PROSEDUR IMUNOHISTOKIMIA (2)

 Tahap deparafinisasi 1. Slide berisi potongan jaringan dideparafinisasi dengan cara di oven pada suhu 50oC

1. Slide berisi potongan jaringan dalam parafin dideparafinisasi pada oven suhu 50oC semalam

2. Deparafinisasi dengan Xylol 2 x 3 menit 3. Dimasukkan ke xylol : ethanol 100% dengan perbandingan 1:1 selama 3 menit 4. Dimasukkan ke ethanol 100% : 2 x 3 menit 5. Dimasukkan ke ethanol 96% : 3 menit 6. Dimasukkan ke ethanol 80% : 3 menit 7. Dimasukkan ke ethanol 70% : 3 menit 8. Dimasukkan ke ethanol 50% : 3 menit

2-8: Deparafinisasi dengan Xylol dan ethanol selama 3 menit. Si 108

9. Dibilas dengan air mengalir

 Tahap Antigen retrieval (untuk menghilangkan penutup antigen akibat fiksasi dan perlakuan alkohol)

10. Slide pada rak slide di letakkan pada wadah yang berisi sodium sitrat buffer (slide sampai terendam) wadah bisa dari kaca (mangkok) yang tahan suhu 100oC, kemudian dimasukkan dalam mikrowave dan dipanaskan sampai mendidih, dalam keadaan mendidih waktunya selama 20 menit

10 a.Slide dalam sodium sitrat 10b. Slide dalam ssb ditutup buffer (ssb) aluminium foil'

Komposisi sodium sitrat buffer (10 mM sodium sitrat, 0,05% tween 20, pH 6) Cara ; Tri-sodium citrate (dihydrate) 2,94 gr + Aquadest 1000 ml (dicampur); diatur pHnya dengan menambah 1 M HCL; ditambahkan 0,5 ml (??) Tween 20 dan dihomogenkan; disimpan pada suhu ruang untuk 3 bulan atau pada suhu 4oC untuk penyimpanan yang lama

10c.Slide di mikrowave untuk 10d. Antigen retrieval dididihkan antigen retrieval 20 menit 109

11. Wadah + rak slide dipindahkan dalam air dingin (air kran) selama 10 menit

11a. Slide didinginkan dalam air 11b. Tutup wadah dibuka, slide kran direndam air dingin 10 menit

 Tahap pewarnaan imunohistokimia

a). Peroksidase block (menghambat enzim peroksidase yang ada dalam jaringan ) dengan cara:

12. Air pada slide diminimalisasi dengan kertas hisap melalui tepi slide, spesimen yang tidak perlu dibuang dengan silet

12a. Minimalisasi air dengan 12b. specimen yang tidak perlu tissue dibuang dengan silet 110

13. Peroksidase blok (H2O2 3%) diteteskan sebanyak 1 tetes dan dibiarkan selama 5 menit

13b. dibiarkan 5 menit di atas 13a. Ditetesi dengan rak tanpa goyang peroksidase blok dari LSAB 1 tetes

14. Slide dibilas dengan aquadest steril (sebentar saja, 5 menit), kemudian dibilas lagi dengan PBS selama 5 menit.

14a. Dibilas dengan akuades 14b. Dibilas dengan PBS selama steril sebentar 5 menit 111

 Tahap antibodi Primer dan negative kontrol

15. PBS pada slide diminimalisasi

Komposisi Phosphat buffer Saline: Aquadest 800 ml, NaCl 8

gr, Na2HPO4 1,44 gr, KH2PO4 0,24 gr Diukur pHnya berada pada kisaran 7,4 – 7,6. Dengan+ 200 ml aquadest (volumenya jadi 1 liter) dan disteril dengan autoclave pada suhu 121oC selama 15 menit. Cat: Apabila pH kurang dari 7,4 + 15. Minimalisasi PBS KOH dan apabila lebih dari 7,6 + HCL

16. Ditetesi dengan antibodi primer 1 tetes /spesimen nya terendam kurang lebih 40 µl (negative kontrol reagent)) selama 30 menit Catatan 1: antibodi primer diencerkan 1:100 dalam PBS untuk polyhedrin antibodi Catatan 2: Setelah ditetesi dengan antibodi primer, slide dapat disimpan selama semalam atau 2 malam dengan cara diletakkan di atas wadah yang dialasi dengan tissue basah kemudian ditutup (wadah kotak plastik) (apabila terpaksa disimpan)

16a. Tahap antibodi primer 16b. Ditetesi dengan antibodi primer 1 :200. Sebanyak 40 mikroliter 112

16c. Apabila akan disimpan diletakkan pada tissue basah dan dimasukan kulkas semalam/2 malam

17. Dibilas dengan PBS 3 x 5 menit dan diletakkan pada buffer bath (tempat PBS)

17. Dibilas dengan phosphat buffer saline 3x5 menit 113

 Tahap Biotinilated antibodi

18. PBS pada slide diminimalisasi (diserap dengan kertas hisap)

18. Diminimalisasi PBS

19. Ditetesi dengan biotinilated antibodi ( 1: 200 dalam PBS) di atas spesimen dan dibiarkan selama 30 menit

i 19.Di tetesi dengan biotinilated antibodi selama. 30 menit 114

20. Dibilas dengan TBS (Tris Buffer saline) selama 3 x 5 menit

Komposisi Tris Buffer Saline (TBS) : Tris- HCL 6,61 gr, Tris – base 0,97 gr, NaCl 8,71 gr, Aquadest 800 ml, pH diukur sampai 7,4 dan tambahkan ± 200 ml sampai 1 liter. Komposisi lain (IHC) : Tris 50 mM, 150 mM NaCl, pH 7,4 µ/1 liter, 1 x Tris buffered saline (1 x TBS)dicampur dalam 800 ml air suling 8 gr sodium cloride (NaCl) 0,2 gr Potasium cloride (KCl) 3 gr Tris base 20. Dibilas dengan TBS 3 x 5 Dicampur, pH 7,4 tambah HCl menit tambah Aquadest hingga 1 liter

 Tahap Streptavidin peroksidase

21. TBS (Tris Buffer Saline) pada slide diminimalisasi

21. Tbs diminimalisasi dengan tissue 115

22. Streptavidin peroksidase diteteskan di atas spesimen dan diinkubasi/dibiarkan selama 30 menit 23. Dibilas dengan TBS (tris buffer saline )selama 3 x 5 menit

22. Tahap streptavidin peroksidase 23.Dibilas dengan TBS 3x 5 menit selama 30 menit

 Tahap Substrat Kromogen

24. Substrat kromogen diteteskan di atas sample sebanyak (40 µl) selama 10 menit

24 a. Mengambil yellow tip steril 24b. Specimen ditetesi dengan untuk substrat kromogen substrat kromogen

Cara membuat subtrat kromogen: 1 tetes DAB kromogen + Buffer DAB (dari KIT) sampai 1 ml (DAB = 20 µL dalam 980 buffer DAB ( 1 tetes/ml) 116

25. Dibilas dengan Aquadest dan sisa aquadest diminimalisasi

25. Dibilas dengan akuadest 26. Minimalisasi akuadest dengan tissue

 Tahap Counter Stain

26. Diinkubasi/direndam dalam mayer Hematoksilin selama 2 menit

27. Dibilas dengan Aquadest

27. Tahap counterstain dengan 28. Dibilas dengan Aquadest hematoksilin selama 2 menit 117

28. Dicelupkan pada Amonia water sebanyak 10 kali (cepat) 29. Dibilas dengan aquadest/deionized water selama 2 menit

29. Dibilas dengan Aquadest

28. Dibilas dengan amonia water 10 kali

Komposisi Amonia Water:

 Tahap Dehidrasi

30. Slide dicelupka dalam Alkohol seri 50% = 2 menit, 70% selama 2 menit, 80% selama 2 menit, 96% selama 2 menit serta alkohol absolut 2 x 3 menit.

30. Dehidrasi dalam alkohol seri 118

31. Mounting (dicelup dalam Xylol) dan ditutup dengan cover glass

31a. Mounting (dicelup dalam Xylol) 31b. menutup slide dengan cover glass yang sebelumnya ditetesi dengan entelan

32. Hasil Imunohistokimia 119

Lampiran 2 IOSR Journal of Agriculture and Veterinary Science (IOSR-JAVS) e-ISSN: 2319-2380, p-ISSN: 2319-2372.Volume 3, Issue 4 (May. - Jun. 2013), PP 40-43 www.iosrjournals.org The Spreading Of Spodoptera litura Multiple Nucleopolyhedrosis Virus in Midgut of Third Instar of Spodoptera Litura Larvae Mahanani Tri Asri1,2, Siti Rasminah Ch. Sy1, Bambang Tri Rahardjo3, Sutiman B. Sumitro4 1Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, State University of Surabaya, Jl. Ketintang Surabaya, Indonesia 2Doctoral Program, Faculty of Agriculture, Brawijaya University, Indonesia 3Plant Pests and Diseases, Faculty of Agriculture, Brawijaya University, Indonesia 4Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Brawijaya University, Indonesia

Abstract: Analyses on the spreading of SpltMNPV (Spodoptera litura Multiple Nucleopolyhedrosis Virus) multiplied in midgut epithelium cell of in third instar of S. litura larvae has been done through histological studies. The aim of this study was to examine the distribution of SpltMNPV in S. litura larvae. The third instars of S. litura larvae that had been infected with SpltMNPV were incubated for 0, 24, 48, and 72 hours. Afterwards, the infected S. litura larvae were cut crosswise in the anterior, middle, and posterior of the midguts. The crosswise cuts at the midguts were fixed using Gilson solution, executed under the paraffin method, and cut as thick as of 4 µm, and then stained with Hematoxylin and eosin. The results of this study indicate that SpltMNPV (PIB, Polyhedral inclusion bodies) have infected various organs of the S. litura larvae, i.e. lumen, peritrophic membrane, midgut epithelial layers, trachea, blood vessels, malpigian tubules, muscle cells and adipocyte. The only organ which is not infected by SpltMNPV is the cuticle. Keyword: SpltMNPV, midgut epithelial cells, and Spodoptera litura

I. Introduction Spodopteralitura is often known as Tropical armyworm. This worm is an agricultural pest which is very harmful because its attack is simultaneous and in bulk (Kartohardjono and Arifin, 2000). S. litura attacks cause 12.5% to over 20% destruction in soybean plantation of over 20 days of age (Adisarwanto and Widianto, 1999). The damage can cause the loss of 85% of the yield, or even crop failure (Marwoto and Suharsono, 2008). One of the viruses being developed to control Spodoptera litura is SpltMNPV (Spodopteralitura Multiple Nucleo polyhdrosis Virus). According to Asri & Isnawati (2005), SpltMNPV in 106 PIBs/ml (Polyhedra inclusion bodies/ml) concentrations is effective to control S. litura as to increase mortality rate into 80-90% in a laboratory-based experiment and 107 PIBs/ml in a greenhouse-based experiment (Asri, 2004). The propagation of SpltMNPV is usually done using the S. litura worm. This method, however, faces many obstacles, i.e. the high rates of deaths of the larvae in the culturing process in laboratory. SpltMNPV cultured in an in vitro condition at the midgut epithelial cells of S. litura larvae is feasible (Asri and Nur, 2008). Usually SpltMNPV proliferates in epithelial cells or in their derivatives. Accordingly, this study examined the distribution of SpltMNPV in midgut of S. litura larvae.

II. Materials and Methods Multiplication of SpltMNPV in epithelial cell culture Multiplication of SpltMNPV in the epithelial cells of S. litura was done through an in vitro method. The SpltMNPV used in this study was isolated from S. litura larvae died infected by viruses in areas in Central Java, Indonesia (Wahyuni, 2002). The SpltMNPV was purified through a centrifugation method (Arifin, 1994), and the concentration was calculated using a Haemocytometer. Polyhedra of SpltMNPV (1.1 x 106 PIBs /ml) was broken using Na2CO3 0.5 M. The SpltMNPV without polyhedra was inoculated in midgut epithelial cell with a cell concentration of 7.6 x 107 cells/ml. The infected epithelial cells were grown in Grace’s medium enriched with fetal bovine serum 2.5% and incubated at the temperature of 28 – 30oC in three days. The SpltMNPV in Grace’s medium was harvested through a centrifugation method of 3500 rpm for about 15 minutes. The number of SpltMNPV in Supernatant was counted using a Haemocytometer.

Infection of SpltMNPV in S. litura larvae The amounts of SpltMNPV (7.8 x 107 PIBs/ml) were used to infect 30 of S. litura larvae through a feeding contamination method (Asri, 2009). These 30 infected larvae were grouped into three group, ie. 10 larvae were incubated for 24 hours, another 10 larvae were incubated for 48 hours, and the rest 10 larvae were

www.iosrjournals.org 40 | Page 120

The Spreading Of Spodopteralitura Multiple Nucleo Plyhedrosis Virus In The In Midgut Of Third incubated for 72 hours. In addition, 10 larvae were used as control group (given no treatment of SpltMNPV). During the incubation, the infected S. litura larvae were fed with artificial food and incubated at room temperature (28-30oC). The infected larvae were examined on morphological changes during the incubation.

Histology preparation The histological preparation was done using a modified paraffin method (Thamrin, et.al, 2012). The infected larvae incubated for 0, 24, 48, and 72 hours were fixed with Gilson solution. The larvae were cut crosswise at the anterior, middle, and posterior midgut. The midgut pieces were immersed in ethanol 70% for at least 24 hours. Dehydration was done in alcohol of 70% titration (4 x 20 minutes), 80% (2 x 20 minutes), 96% (1 x 20 minutes) and absolute alcohol (1 x 20 minutes). Clearing process was done in eugenol for 24 hours. Then, the samples were soaked in paraffin until they were frozen and were through the processes of Embedding, Trimming, and Cutting to 4 micron in size. The pieces were placed on glass objects which had been given Meyer albumin adhesive. The next step was HE coloring which was done by immersing in Xylol + Kl 1%, 15 minutes, absolute Xylol, alcohol series (absolute alcohol, 96%, 80%, 70%, each for 5 minutes); staining with Haematoxylin for 10 minutes, running water for 5 minutes, 100 ml of ethanol 70% + 5 drops of HCL for 10 seconds; distilling water for 5 minutes; staining with eosin, washed with distilled water and immersed in alcohol series (ethanol 705, 80%, 96%, and absolute alcohol), xylol 1 each for 5 minutes and xylol 2 for at least 20 – 30 minutes. Then, they were covered with a cover glass and glued with entellan.

Observation of SpltMNPV infection on S. litura larvae’s organs In this study, observation data were analyzed descriptively. The pieces of S. litura larvae were observed under a light microscope. The observation of the infected organs was done on the anterior, middle, and posterior midguts within 0, 24, 48, and 72 hours incubations. Determining the infected organs was based upon the discovery of polyhedral inclusion bodies of SpltMNPV at each organ.

III. Results and Discussion Table 1 shows the spreading of SpltMNPV in S. litura larvae’s bodies which had been incubated for 0, 24, 48, and 72 hours. In the 0-hour incubation (control), all the organs (the lumen and the midgut epithelial cells) were still free from viruses. This shows that larvae used in this incubation were uninfected with SpltMNPV. In the 24-hour incubation, the organs infected by SpltMNPV were the lumen, peritrophic membranes and midgut epithelia, fat body/fat cells (at the lumen midgut), trachea and blood vessels (only at the posterior midgut). These findings are correspond with the results of the study by Engelhard, et al. (1994) stating that after 24-hour incubation, AcMNPV (Autografa california Multiple Nucleopolyhedrosis Virus) has shown some infection signs on the epithelial midgut and tracheoblast. In this present study, there were some infection of PIB SpltMNPV on the posterior midgut of blood vessels. The findings in this study are rather different from Engelhard’s study (1994), in which AcMNPV infected hemocyte in blood vessels only after 36 hours of incubation. This means that the spread of SpltMNPV is faster than the spread of AcMNPV. In the 48-hour incubation of SpltMNPV, it can be seen in the larvae’s bodies that the virus had infected most of the organs (lumen, peritrophic membranes and midgut epithelia, fat body, trachea and blood vessels) except some muscle cells and the cuticles. This is in accordance with Prasad & Yogita (2006) which confirms that SlNPV attacks almost all organs (midgut, fat body, muscular layer, and basement membrane) at 48 hours post-infection. After 72-hour incubation, the worms had lost their appetite, their bodies started to change color and getting pale and slow in their movement. In this incubation, almost all organs in the midgut, anterior, middle, or posterior, were already infected, except the cuticles. In Engelhard’s study (1994), all of the organs (midgut, trachea, blood vessels, muscle cells, and epidermis in cuticles) have been infected by AcMPV after 70 hours of incubation. In this study, the epidermis of the cuticles was infected, but the cuticle layers (chitin) were free from SpltMNPV infection. The cuticles were the last layers which were not infected by the virus. The virus still needs the cuticles to collect the virus fromreproduction (Rohrmann, 2008). Based on Figure 1, the spread of SpltMNPV in various organs of S. litura larvae is noticeable. The organs of S. litura infected by SpltMNPV are midgut, trachea, blood vessels, malpighian tubules, fat cells/fat body, and muscle cells. The only organ uninfected by SpltMNPV was the cuticle. The organs infected by SpltMNPV could be indicated by the SpltMNPV PIB existence in the organs (Figure 1). The virus began to act only after being ingested through the food and getting activated in the alkaline pH of the midgut lumen. Midgut is the first organ targeted by the virus (Prasad & Yogita, 2006). Inside the lumen, SpltMNPV polyhedral will be split by alkaline pH, then the multiple nucleocapsid (MNPV) will break out and damage the peritrophic membranes by endopeptidase / metalloproteinase / enhancins enzyme. This causes much damage in the peritrofic membranes, so the peritrofic membranes are destroyed (Rohrmann, 2008). The next target cell is the midgut epithelial cells.The infection mechanism of SpltMNPV on midgut epithelial cell will begin by some multiple nucleocapsid of SpltMNPV, as to recognize the host cell membrane 121

by attaching to a specific place (receptor site) and release a particular compound that can change the cell membrane, so that the cell membrane invaginate and form a tunnel. According to Rohrmann (2008), multiple nucleocapsid is attached to larva midgut cells through the interaction between vp91 (virus protein 91) and midgut cells receptor. MNPV has sensitive receptor sites so that it can bind protein and change the conformation of the compounds in the epithelial cell membrane.

Table 1 The Spread of SpltMNPV in S. litura larvae Hour Histology LM PM ME Tr BV MT FB CE MC 0 h AM ------(Control) MM ------PM ------24 h AM + + + + - No - - - MM + + + + - - + - - PM + + + + + - - - - 48 h AM + + + + + No + - - MM + + + + + + + - - PM + + + + + + + - + 72 h AM + + + + + No + - + MM + + + + + + + - + PM + + + + + + + - + Note: Lm = Lumen, PM = Peritrophic Membrane, ME = Midgut Epithel, Tr = Trachea, BV = Blood Vessels, MT = Malpighian Tubules, FB = fat body/fat cells, CE = Cuticle Epithelia, MC = Muscle Cell. + = infected by virus, - = not infected by virus, NO = no organ, AM = Anterior Midgut, MM = Middle Midgut, PM = Posterior Midgut.

The next phase after the attachment of virus in a specific place on the host cell was penetration and releasing nucleocapsid in the envelope to the cytoplasm and, followed by biosynthesis of the virus components by forming virogenic stroma containing genetic materials and capsid protein (nucleocapsid). Virogenic stroma formation is regulated by a virus protein called PP31 (Rohrmann, 2008). The assembling of the virus components and the releasing of Polyhedra inclution bodies (PIBs) of SpltMNPV became the last phase. The epithelial cells were destroyed and SpltMNPV spread to the nearby organs such as trachea, blood vessels, and malpighian tubules. This is in accordance with the histo-micrograph figure obtained by Prasad & Yogita (2006), in which SpltMNPV first enters the midgut lumen then damaging the peritrophic, epithelial tissues, fat body, blood circulatory system/hemocoel, trachea, muscle cells, and integument.

Figure 1. Organ potential to be infected by SpltMNPV at the cross section of midgut of S. Litura larvae (the short black arrow in circle points at the Polihedra inclution bodies of SpltMNPV). The organs infected by SpltMNPV included lumen, peritrophic membrane, midgut epithelial layers, trachea, blood vessels, malpigian tubules, muscle cells and adipocyte. The only organ which is not infected by SpltMNPV was the cuticle. 122

Trachea is the second target of the virus infection (Engelhard, et al., 1994). The center of the trachea polyhedral inclusion bodies of SpltMNPV are already visible. According to Anonymous (2006), trachea is one of the organs in charge of supplying oxygen and excreting CO2. This organ can be infected by BmNPV (Bombyxmori Nuclear Polyhedrosis Virus) and is responsible for spreading BmNPV to other organs (Torquato, et al., 2006) by tracheal epidermal cell and cytoplasmic extension (Engelhard, et al., 1994). On the other hand, blood vessels in lumen also are infected by SpltMNPV, and polyhedron of SpltMNPV is shown to be oval in shape. By entering the blood vessels, it is easy for SpltMNPV to spread to the whole body. According to Keddie et al., (1989), systemic infection is mediated by free virus for some tissues, whereas infected hemocytes in blood vessels appears to spread virus to some other tissues. In this study, malpighian tubules lumen were infected by SpltMNPV which caused the destruction of the malpighian tubules which caused the metabolism waste not be excreted from the S. litura larvae’s bodies. This could cause poisoning in the S. litura larvae’s bodies. The skin in insects comprises of cuticles which are composed of fibrils and chitin planted in the protein matrix. Cuticles help prevent patogens from entering the body, but if the cuticles crack due to injury or degradation, it may cause infection (Kavanagh & Reeves, 2004). In this study the cuticles were not infected by SpltMNPV.SpltMNPV could not infect cuticles since cuticules do not have site receptor (vp91) for SpltMNPV (Rohrmann, 2008). Hence, the data showed that the S. litura larvae’s muscle cells have polyhedra of SpltMNPV.

IV. Conclusion S. litura larvae were infected by SpltMNPV in several organs, there are lumen, peritrophic membranes, trachea, blood vessels, malpighian tubules, muscle cells and fat cells. The only organ uninfected by the virus was the cuticle.

Acknowledgements Thanks are addressed to Directorate General of higher education, Ministry of Education and Culture, Republic of Indonesia for funding this study through a doctoral scholarship.

References [1]. Adisarwanto, T. and Rini Widianto, 1999. Improvement of soybean crops in wetland, dry and lowtide. Jakarta: Penebar Swadaya. pp. 4-10 (in Indonesia) [2]. Anonimous, 2006. Invertebrate Anatomy Online. Calpodesethlius Larva ©Greater Canna Leafroller Richard Fox. Lander University. http://lanwebs.lander.edu/faculty/rsfox/ invertebrates/calpodes.html [3]. Arifin, M. 1994. Utilization of SlNPV as biological control agents for army worm in soybean. Meeting of Utilization biological Agency and vegetable insecticide as a means of pests Population Control. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman. Pandaan, JawaTimur, 22-24 November 1994. pp. 10 (in Indonesia) [4]. Asri, M.T., N. Ducha, and Dian P. 2006. An attempt to multiply SpltMNPV through in vitro as bio-insecticide using insect’s cell culture techniques. Research report of Competitive Grants. State University of Surabaya.p.52-55(in Indonesia) [5]. Asri, M.T and Isnawati, 2005. Effectiveness and characterization SpltMNPV cut off genetic material. Research Report of Young Lecturer. State University of Surabaya. pp. 41 (in Indonesia) [6]. Engelhard, E.K., L.N.W. Kam-Morgan., J.O. Washburn, and L.E. Volkman. 1994. The insect tracheal system. A conduit for the systemic spread of Autographa california M nuclear polyhedrosis virus. Proc. Natl. Acad. USA. 91:3224-3227 [7]. Kaddie, B.A. Aponte, G.W. and Volkman, L.E. 1989.The pathway of infection of Autographa california nuclear polyhedrois virus in an insect host. Science. 243:1728-1730 [8]. Kartohardjono and Arifin, 2000.Army worm species and their natural enemies on soybean. Dalam E. Soenarjo, S. Sosromarsono, S. Wardojol. Prasadja (eds). Symposium proceeding the biodiversity of . Cipayung. pp: 371-376. (in Indonesia) [9]. Kavanagh Kevin and Emer P. Reever. 2004 . Exploiting the potential of insect for in vivo pathogenicity of microbial pathogen.FEMS Microbiology Reviews .pp.101-112. [10]. Marwoto and Suharsono. 2008. Strategy and component of control technology for army worm (Spodopteralitura Fabricius) in soybean plants. Jurnal Litbang Pertanian. 27(4): 131-136. [11]. Prasad Arti and Yogita Wardhwani. 2006. Pathogenic virus and insect tissues: an effective way of pest control. Current Science. 91 (6): 803-807 [12]. Rohrmann, G. 2008. Baculovirus Molecular Biology. Chapter 3.The baculovirus replication cycle: effects on cells and insects. Department of Microbiology, Oregon State University, Corvallis. pp.33-43 [13]. Thamrin, M., Isnawati and Djoko Budiono, 2012.Mechanism of infection Spodoptera litura multiple nucleopolyhedrosis virus (SpltMNPV) on midgut epithelial cell army worm (Spodoptera litura).Research Report of 2nd year fundamental. State University of Surabaya pp.23-25. (in Indonesia) [14]. Torquato, E.F.B., Marcilio H. De Miranda Nito., and Rose M.C. Brancalhao, 2006. Systematic, Morphology and Physiology. Nucleo polyhedrovirus Infected Central Nervous System Cells of Bombyxmori (Lepidoptera: Bombycidae) Neotropical Entomology32(1): 070-07 [15]. Wahyuni, E. 2002. Molecular analysis of Spodopteralitura Multiple Nucleopolyhedrosis virus (SpltMNPV) from different regions of Indonesia. Yogyakarta: GadjahMada University. p. 116