<<

PEMULIAAN IKAN PATIN SIAM

Di Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Sungai Gelam - Jambi

Oleh :

Boyun Handoyo, Evi Rahayuni, Irwan, Mimid A. Hamid, Solaiman, Nofri Hendra, Evarianti, Upmal Deswira

BALAI PERIKANAN BUDIDAYA AIR TAWAR SUNGAI GELAM JAMBI DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

PEMULIAAN IKAN PATIN SIAM Di Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Sungai Gelam - Jambi

Penulis : Boyun Handoyo, Evi Rahayuni, Irwan, Mimid A. Hamid, Solaiman, Upmal Deswira, Nofri Hendra, Evarianti

ISBN :

Editor : Miftahul Jannah, Wahyu Budi Wibowo, Ma’in

Penyunting : Syu’ib, Defi Angraini Komalasari

Desain Sampul dan Tata Letak : Yudho Adhitomo, M. Dwiki Setiawan

Penerbit : Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Sungai Gelam – Jambi

Redaksi : Jl. Bumi Perkemahan Sungai Gelam – Muaro Jambi Telp. +62813 1595 1579 Email : [email protected]

Distributor Tunggal : Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Sungai Gelam – Jambi Jl. Bumi Perkemahan Sungai Gelam – Muaro Jambi Telp. +62813 1595 1579 Email : [email protected] Cetakan pertama, April 2021 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit.

ii

TIM PUSTINA SEJAK TAHUN 2008 S.D TAHUN 2020 HASIL PEMULIAAN IKAN PATIN SIAM BALAI PERIKANAN BUDIDAYA AIR TAWAR SUNGAI GELAM

Pengarah : Boyun Handoyo, S.Pi, M.Si Ketua : Irwan, S.Pi, M.Si Sekretariat : Miftahul Jannah, S.Pi Syu’ib, S.St.Pi Tim Ahli Tim Pemuliaan

1. Prof. Komar Sumantadinata 1. Boyun Handoyo S.Pi, M.Si 2. Dr. Odang Carman 2. Ir. Evi Rahayuni, MP 3. Dr. Rudhy Gustiano 3. Irwan, S.Pi, M.Si

4. Dr. Alimuddin 4. Ir. Mimid A. Hamid, M.Sc 5. Dr. Atmadja Hardjamulia 5. Solaiman, S.Pi 6. Dr. Ratu Siti Aliah 6. Upmal Deswira, S.Pi 7. Prof. Kamiso 7. Nofri Hendra, S.Pi 8. Dr. Asep Anang 8. Eva Rianti, S.St.Pi

Tim Pendukung Tim Teknis 1. Nofri Hendra, S.Pi 1. Ma’in, S.Pi, M.Si 2. Wahyu Budi Wibowo, S.St.Pi, MP 2. Tatang Purnama 3. Dafzel Day, S.Pi, M.Si 3. Solihin 4. Lilik Masrifah 4. Samlan 5. Nefa Yulia 5. Kemas Husaini 6. Arief Rahmat Noviandi 6. Upmal Deswira, S.Pi 7. Messi Susanti

iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah kami bersyukur atas tersusunnya Buku Pemuliaan Ikan Patin Siam di Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Sungai Gelam – Jambi ini. Shalawat kepada Nabi Besar Muhammad S.A.W. dan keluarganya. Buku ini diterbitkan sebagai panduan dan memberi gambaran tentang beberapa kegiatan yang kami lakukan sejak tahun 2008 yaitu ketika BPBAT Sungai Gelam - Jambi dicanangkan menjadi PUSTINA (Pusat Pengembangan Patin Nasional) dan koordinator jejaring pemuliaan ikan Patin. Pengumpulan populasi dasar (seluruh Indonesia, Kamboja dan Vietnam) telah dimulai sejak tahun 2009. Kegiatan pemuliaan Patin sampai tahun 2020 akhirnya kami telah menyelesaikan rangkaian kegiatan seleksi individu galur pertumbuhan sampai generasi ketiga (G3Ps), sehingga didapatkan respon seleksi yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan populasi dasar maupun ikan Patin yang telah dirilis sebelumnya.

Generasi ketiga galur pertumbuhan ikan Patin ini terbukti memiliki keunggulan yang cukup signifikan dari karakteristik pertumbuhan, daya tahan terhadap penyakit dan lingkungan, efisiensi penggunaan pakan, dan kelangsungan hidup. Pembuktian dilakukan dengan uji multilokasi dan uji tantang dibandingkan dengan strain lain yang telah dirilis sebelumnya. Dengan hasil tersebut BPBAT Sungai Gelam mengusulkan Rilis ikan Patin unggul ini. Ikan Patin unggul ini diusulkan untuk dirilis dengan nama Patin PUSTINA sesuai dengan sejarah BPBAT sebagai PUSTINA (Pusat Pengembangan Patin Nasional).

iv

Sebagai syarat untuk melakukan rilis ikan Patin PUSTINA ini maka disusunlah “Buku Pemuliaan Ikan Patin Siam di Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Sungai Gelam - Jambi” ini dalam bentuk buku sebagai syarat proses rilis tersebut. Buku ini juga dapat dijadikan pedoman bagi UPR dan pembudidaya Patin, Penyuluh, Akademisi, Peneliti, Perekayasa, Pengusaha, Produsen Pakan, Dinas Perikanan, serta seluruh stakeholder perikanan Indonesia yang ingin mengetahui tentang strain ikan ini.

Selanjutnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah bekerja keras dalam membantu kegiatan kami dalam bidang pemuliaan ikan Patin di BPBAT Sungai Gelam - Jambi, khususnya kepada Tim Ahli PUSTINA (Prof. Komar Sumantadinata, Prof. Kamiso, Dr. Asep Anang, Dr. Odang Carman, Dr. Allimudin, Dr. Rudy Gustiano, Dr. Atmaja Hardjamulia, Dr. Ratu Siti Aliah). Terima kasih juga diucapkan kepada Kepala Balai Sungai Gelam terdahulu yang ikut menginisiasi PUSTINA Ir. Supriyadi M.Si, Ir. Mimid Abdul Hamid, M.Sc. serta seluruh rekan-rekan di BPBAT Sungai Gelam - Jambi sejak tahun 2008 - 2021 telah bekerja keras menyukseskan kegiatan ini. Kami berharap kegiatan program seleksi ini terus berlanjut sejalan dengan kegiatan produksi untuk mendapatan induk yang lebih unggul lagi kedepan.

Jambi, Maret 2021 Kepala BPBAT Sungai Gelam

Boyun Handoyo, M.Si NIP. 198002262002121003

v

RINGKASAN

Ikan Patin Siam (Pangasianodon hypophthalmus) menjadi salah satu komoditas budidaya yang cukup penting di Indonesia. Volume produksi ikan Patin siam menempati urutan ke empat setelah ikan nila, mas dan lele dalam kelompok ikan air tawar. Benih merupakan salah satu mata rantai dalam bisnis akuakultur dan kualitasnya sangat menentukan keberhasilan usaha akuakultur. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menghasilkan benih yang berkualitas. Metode seleksi (selective breeding) merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk perbaikan mutu genetik dan sampai hari ini masih dominan digunakan pada banyak ikan budidaya. Bahkan di Eropa, 80-83% dari total produksi akuakultur menggunakan benih hasil program selective breeding. Heritabilitas yang cukup tinggi untuk sifat-sifat yang memiliki nilai ekonomis pada ikan jika dikombinasikan dengan fekunditas tinggi serta interval generasi yang relatif singkat (1-4 tahun) pada sebagian besar spesies ikan akan menghasilkan kemajuan genetik yang memadai. Selain itu perbaikan mutu genetik yang diperoleh dari program selective breeding dapat diwariskan kepada generasi berikutnya karena sifat produksi dikontrol oleh banyak gen (polygene) yang bersifat aditif. Karakter pertumbuhan (galur pertumbuhan) menjadi karakter yang paling banyak dimuliakan dalam program selective breeding diikuti karakter morfologi, tahan penyakit, kualitas daging, fillet dan efisiensi pakan. Karakter pertumbuhan menjadi penting karena siklus produksi menjadi lebih cepat atau mendapatkan ukuran ikan yang lebih besar dalam kurun waktu tertentu. Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Sungai Gelam (BPBAT Sungai Gelam) pada tahun 2009 telah mengumpulkan ikan Patin siam dari berbagai daerah (seluruh Indonesia, Kamboja, dan Vietnam) untuk membentuk populasi dasar yang digunakan dalam program seleksi (selective breeding). Kegiatan seleksi dimulai tahun 2013 dengan desain satu galur pertumbuhan (diseleksi berdasarkan bobot tubuh) dengan menggunakan metode seleksi individu dan satu galur daya tahan dengan metode seleksi famili. Untuk galur pertumbuhan, sampai tahun 2018 telah diperoleh generasi ketiga. Evaluasi performa induk dan benih G3Ps dilakukan dari 2018 sampai dengan 2019. Berdasarkan hasil evaluasi diperoleh akumulasi respons seleksi (tiga generasi) sebesar 42,30% atau per generasi sebesar 14,20% dibandingkan dengan populasi dasar. Uji banding dengan ikan Patin siam yang sudah dirilis (Perkasa) sudah dilakukan. Hasilnya menunjukkan G3Ps lebih unggul jika dibandingkan

vi

dengan Patin dengan selisih untuk karakter bobot tubuh rerata 17,31%, total biomas panen 22,76%, kelangsungan hidup 31,66% dan FCR 17,03%. Toleransi salinitas dan ketahanan penyakit Patin G3Ps juga lebih unggul dibandingkan dengan Patin Perkasa. Calon/induk Patin siam G3Ps telah tersedia di BPBAT Sungai Gelam dan beberapa UPT DJB di Pulau Jawa (BLUPPB Karawang dan BBPBAT Sukabumi). Program seleksi ikan Patin siam galur pertumbuhan di BPBAT Sungai Gelam terus dilanjutkan dan telah sampai pada generasi ke empat (G4Ps) per 7 September 2020 sehingga ke depan akan lebih unggul dengan bertambahnya generasi. Berdasarkan hasil- hasil pengujian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ikan Patin siam galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps) tumbuh dengan cepat dan memiliki ketahanan terhadap cekaman lingkungan serta ketahanan terhadap penyakit yang lebih baik dibandingkan dengan ikan Patin siam Perkasa. Dengan demikian, populasi ikan Patin siam G3Ps dipandang layak untuk diajukan untuk dilepas sebagai strain unggul ikan Patin siam tumbuh cepat, dengan usulan nama “PATIN PUSTINA”.

Kata Kunci : galur pertumbuhan, seleksi individu, respons seleksi, Patin Pustina

vii

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR……………………………………………………………………….. iv RINGKASAN……………………………………………………………………………………. vi DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………... viii DAFTAR TABEL……………………………………………………………………………… x DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………………….. xii DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………………………. xv

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang…………………………………………………………….. 2 1.2. Tujuan…………………………………………………………………………. 5 1.3. Sasaran………………………………………………………………………… 5

II BAHAN, PELAKSANAAN DAN METODE 2.1. Bahan awal program seleksi…………………………………………… 7 2.2 Pelaksanaan Program Seleksi………………………………………….. 12 2.3 Metode…………………………………………………………………………. 13

III METODE DAN HASIL PENGUJIAN JENIS IKAN BARU YANG AKAN DIBUDIDAYAKAN 3.1. Morfometrik………………………………………………………………… 19 3.2. Meristik……………………………………………………………………….. 21 3.3. Karakteristik Warna……………………………………………………… 22 3.4 Pertumbuhan……………………………………………………………….. 24 3.4.1. Fase Pembenihan………………………………………………….. 24 3.4.2. Fase Pembesaran…………………………………………………… 28 3.5. Nilai Toleransi Lingkungan……………………………………………. 30 3.5.1 Pengujian Toleransi Ph…………………………………………… 30 3.5.2 Pengujian Toleransi Salinitas…………………………………… 34 3.6 Kualitas Daging……………………………………………………………... 36 3.7 Jenis Dan Kebiasaan Makan…………………………………………… 37 3.8. Performa Reproduksi……………………………………………………. 39 3.8.1. Performa Induk Betina …………………………………………. 39 3.8.2. Performa Induk Jantan…………………………………………... 43 3.9. Ketahanan Terhadap Penyakit ………………………………………. 44 3.10. Produktivitas (Uji Banding) ……………………………………………… 50 3.11. Karakterisasi Genotipe………………………………………………… 54 3.12. Ketersediaan Induk…………………………………………………….. 56

viii

IV MANFAAT 4.1. Manfaat Teknologi……………………………………………………….. 59 4.2. Manfaat Ekonomi…………………………………………………………. 59 4.3. Manfaat Sosial………………………………………………………………. 60 4.4. Manfaat Lingkungan……………………………………………………… 60

V DESKRIPSI RINGKAS……………………………………………………… 63

VI PENUTUP………………………………………………………………………… 69

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………… 71

LAMPIRAN……………………………………………………………………………… 74

ix

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Minimum genetic distances antar populasi Patin siam (Nei's, 1972)…………………………………………………………………………………… 10 Tabel 2. Hasil pengukuran morfometrik Patin siam galur pertumbuhan

generasi ketiga (G3Ps) dan populasi dasar generasi kedua (G2Ds) di BPBAT Sungai Gelam………..………………………………………………… 20 Tabel 3. Hasil penghitungan karakteristik meristik galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps) dan Populasi dasar generasi kedua (G2Ds) di BPBAT Sungai Gelam……………………………………………………….. 22 Tabel 4. Karakteristik warna ikan Patin siam G3Ps dewasa dengan menggunakan aplikasi Color Grab Version 3.6.1. …………………….. 23 Tabel 5. Performa benih (rerata ± standar deviasi) galur pertumbuhangenerasi ketiga (G3Ps dan populasi dasar generasi kedua (G2Ds) sebagai kontrol yang diukur pada umur 14 dan 40 hari dari menetas………………………………………………...... 27 Tabel 6. Mortalitas ikan Patin siam G3Ps dibandingkan dengan ikan Patin Perkasa dalam uji tantang pH asam dan basa selama 96 jam………………………………………………………………………………………………. 33 Tabel 7. Sintasan ikan Patin siam G3Ps dibandingkan dengan ikan Patin Perkasa yang diuji tantang pada salinitas 6, 8, 10, 12 dan 14 gL–1 selama 48 jam……………………………………………………...... 35 Tabel 8. Persentase parameter kualitas daging terhadap bobot tubuh galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps) dan populasi dasar generasi kedua (G2Ds)………………………………………………………………………. 36 Tabel 9. Hasil uji proksimat daging ikan Patin galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps) di BPBAT Sungai Gelam……………………………………. 37 Tabel 10. Pergantian air, jumlah cyste artemia dan cacing Tubifex yang dibutuhkan untuk pemeliharan ikan Patin siam sebanyak 100.000 ekor di hatchery BPBAT Sungai Gelam. …………………………………. 38 Tabel 11. Kisaran dosis dan frekuensi pemberian pakan berdasarkan panjang dan bobot ikan Patin yang dilakukan di BPBAT Sungai Gelam…………………………………………………………………………………. 39 Tabel 12. Bobot tubuh, panjang dan parameter reproduksi galur

pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps) dan populasi dasar generasi

ketiga (G3Ps) pada umur 643 hari (20 bulan 3 minggu 5 hari) …………………………………………………………………………………………… 42

x

Tabel 13. Performa reproduksi (rerata ± standar deviasi) galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps dan populasi dasar generasi kedua (G2Ds) sebagai kontrol…………………………………………………………………….. 43 Tabel 14. Bobot tubuh induk rerata dan jumlah famili yang dipijahkan pada

tahap pertama (B1) dan kedua (B2) untuk masing-masing galur…… 44 Tabel 15. Sintasan/SR ikan Patin siam G3Ps dibandingkan dengan ikan Patin siam Perkasa dalam uji tantang infeksi bakteri Edwardsiella ictaluri pada dosis infeksi bakteri 0,2 x 105CFU/mL…………………… 48 Tabel 16. Sintasan ikan Patin siam G3Ps dibandingkan dengan ikan Patin siam Perkasa dalam uji tantang infeksi bakteri Aeromonas hydrophila pada dosis infeksi bakteri 0,2 x 105CFU/mL…………….. 49 Tabel 17. Hasil nilai heterozigositas ikan Patin siam galur pertumbuhan (G3Ps) dibandingkan dengan populasi dasar berdasarkan analisis RAPD PCR………………………………………………………………………….. 55 Tabel 18. Ketersediaan induk (distribusi dari BPBAT Sungai Gelam) di instansi lain dan Unit Pembenihan Rakyat………………………………… 57

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Grafik bobot tubuh rerata ika Patin yang berasal dari tujuh daerah/populasi di Indonesia pada umur 23 bulan……………………… 8 Gambar 2. Grafik laju pertumbuhan harian Patin siam dari tujuh daerah/populasi di Indonesia……………………………………………………. 8 Gambar 3. Grafik perkembangan gonad Patin siam yang betina dari tujuh daerah/populasi di Indonesia. ………………………………………………….. 9 Gambar 4. Dendrogram Patin siam dari populasi Indonesia, Kamboja dan Vietnam…………………………………………………………………………………. 10 Gambar 5. Distribusi bobot tubuh populasi dasar (G1Ds) pada umur 16 bulan……………………………………………………………………………………… 12 Gambar 6. Diagram alur pembentukan galur pertumbuhan dengan metode seleksi individu……………………………………………………………………….. 14 Gambar 7. Karakter truss morphometric yang dilakukan pengukuran……………. 19 Gambar 8. Kegiatan pengukuran morfometrik dan meristik galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps) dan Populasi dasar generasi kedua (G2Ds) di BPBAT Sungai Gelam…………………………………………………………….. 21 Gambar 9. Perkembangan larva ikan Patin siam hasil seleksi di hatchery BPBAT Sungai Gelam Jambi…………………………………………………… 24 Gambar 10. Kegiatan uji performa benih ikan Patin galur pertumbuhan di BPBAT Sungai Gelam…………………………………………………………….. 27 Gambar 11. Wadah yang digunakan untuk kegiatan pembesaran ikan Patin siam galur pertumbuhan generasi ketiga dan populasi dasar (kontrol)………………………………………………………………………………… 28 Gambar 12. Performa ikan Patin siam hasil seleksi galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps) dibandingkan kontrol (populasi dasar) untuk karakter bobot tubuh, konversi pakan (FCR) dan sintasan (SR) …………………. 29

Gambar 13. Prosedur uji tantang nilai LC50 pH asam dan basa pada benih ikan

Patin siam G3Ps dibandingkan dengan benih ikan Patin Perkasa…….…………………………………………………………………………………… 31 Gambar 14. Grafik pola kematian ikan Patin siam G3Ps dan Perkasa pada pH asam selama 96 jam…………………………………………………………………. 32 Gambar 15. Grafik pola kematian ikan Patin siam G3Ps dan Perkasa pada pH basa selama 96 jam………………………………………………………………….. 32 Gambar 16. Grafik tingkat mortalitas 50% ikan Patin siam G3Ps dan Perkasa

pada paparan pH asam dan basa selama 96 jam (LC50 – 96 jam)…… 33

Gambar 17. Prosedur uji tantang salinitas pada benih ikan Patin siam G3Ps dibandingkan dengan benih ikan Patin Perkasa…………………………… 34

xii

Gambar 18. Pola mortalitas benih ikan Patin siam G3Ps dibandingkan dengan Perkasa pada uji tantang salinitas 6, 8, 10, 12 dan 14 gL–1 .selama 48 jam……………………………………………………………...... 35 Gambar 19. Pakan alami Artemia sp (kiri), cacing Tubifek sp (tengah) dan Moina sp kanan yang digunakan untuk pakan alami ikan Patin di BPBAT Sungai Gelam…………………………………………………………………………. 38 Gambar 20. Perkembangan gonad calon induk ikan Patin siam jenis kelamin jantan hasil seleksi yang dipelihara di BPBAT Sungai Gelam……………………………………………………………...... 41 Gambar 21. Gonado somatic index dari 5 ekor calon induk Patin siam galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps) dan populasi dasar generasi ketiga (G3Ds) pada umur 17 bulan……………………………………………. 41 Gambar 22. Perkembangan gonad calon induk ikan Patin siam jenis kelamin jantan hasil seleksi yang dipelihara di BPBAT Sungai Gelam……………………………………………………………...... 43 Gambar 23. Kegiatan uji ketahanan terhadap penyakit ikan Patin siam hasil seleksi di BPBAT Sungai Gelam………………………………………………. 45 Gambar 24. Prosedur pelaksanaan uji tantang pada benih ikan Patin siam tumbuh cepat (G3Ps) dibandingkan dengan benih ikan Patin siam Perkasa terhadap infeksi bakteri Edwardsiella ictaluri dan Aeromonas hydrophila…………………………………………………………….. 46 Gambar 25. Gejala klinis ikan Patin siam setelah diinfeksi E. ictaluri. (A) hemoragi; bercak merah; (B) dropsy; perut membengkak; (C) renang menggantung di permukaan air…………………………………………. 46 Gambar 26. Pola mortalitas ikan Patin siam G3Ps dibandingkan dengan ikan Patin siam Perkasa dalam uji tantang infeksi bakteri Edwardsiella ictaluri pada dosis infeksi bakteri 0,2 x 105CFU/mL selama 96 jam pasca infeksi……………………………………………………...... 47 Gambar 27. Gejala klinis dan perubahan tingkah laku ikan Patin siam setelah diinfeksi A. hydrophilai. (H) hemoragi; bercak merah; (B) pembengkakan hati……..………………………………………………………………… 48 Gambar 28. Grafik pola mortalitas ikan Patin siam G3Ps dibandingkan dengan ikan Patin siam Perkasa dalam uji tantang infeksi bakteri Aeromonas hydrophila pada dosis infeksi bakteri 0,2 x 105CFU/mL selama 96 jam pasca infeksi …………………………………………………………………………………………..…. 49 Gambar 29. Kegiatan uji banding/competitor produktivitas ikan Patin siam hasil seleksi (G3Ps) dengan ikan Patin Perkasa di BPBAT Sungai Gelam……………………………………………………………………………………. 51 Gambar 30. Grafik rerata bobot tubuh G3Ps dan Perkasa pada tahap pembesaran.. …………………………………………………………...... 53

xiii

Gambar 31. Grafik sintasan G3Ps dan Perkasa pada tahap pembesaran pada berbagai lokasi. ………………………………………………………………………. 54 Gambar 32. Dendrogram jarak genetik ikan Patin siam G3Ps (P) dibandingkan dengan populasi dasar (D) berdasarkan analisis RAPD (Based Nei's (1972) Genetic distance: Method = UPGMA) ………………………….. 55 Gambar 33. Produksi dan distribusi ikan Patin siam hasil seleksi galur pertumbuhan (G3Ps) pada Tahun 2019 s.d. Bulan Maret 2021 di BPBAT Sungai Gelam…………………………………………………………….. 56 Gambar 34. Daerah distribusi ikan Patin siam hasil seleksi galur pertumbuhan (G3Ps) pada Tahun 2019 s.d. Bulan Maret 2021 di BPBAT Sungai Gelam…………………………………………………………..……………………….. 57

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Gambar Patin PUSTINA………………………………….……………………… 75 Lampiran 2. PowerPoint…………………………………………………………………………….. 77

xv

Balai‘’ Perikanan Budidaya Air Tawar Sungai Gelam (BPBAT Sungai Gelam) pada tahun 2009 telah mengumpulkan ikan patin siam dari berbagai daerah untuk membentuk populasi dasar yang digunakan dalam program seleksi (selective breeding). Kegiatan seleksi dimulai tahun 2013 dengan desain satu galur pertumbuhan (diseleksi berdasarkan bobot tubuh) dengan menggunakan metode seleksi individu dan satu galur daya tahan dengan metode seleksi famili. Untuk galur pertumbuhan, sampai tahun 2017 telah diperoleh generasi ketiga. Induk patin siam galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps) dewasa pada bulan Desember 2017. Evaluasi performa induk dan benih G3Ps dilakukan dari 2018 sampai dengan 2019. ‘’

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Ikan Patin Siam (Pangasianodon hypophthalmus) bukanlah ikan endemik Indonesia yang diintroduksi pada tahun 1972 (Hardjamulia et al. 1981). Dalam kurun waktu lima dasawarsa Patin Siam telah menjadi salah satu komoditas budidaya yang cukup penting di Indonesia. Pada tahun 2016, volume produksi ikan Patin Siam menempati urutan ke empat setelah ikan nila, mas dan lele dalam kelompok ikan air tawar (DJPB 2016). Ikan Patin Siam termasuk komoditas program industrialisasi DJPB pada tahun 2008. Ikan Patin Siam dapat mengambil oksigen dari udara (Lefevre et al. 2011; 2013) sehingga mampu hidup dan tumbuh relatif baik pada lingkungan yang rendah oksigen (Phuong et al. 2017). Dengan demikian jutaan lahan marjinal seperti rawa atau rawa gambut di Indonesia (Mulyani dan Sarwani 2013) dapat dimanfaatkan untuk budidaya ikan Patin Siam. Selain itu, ikan Patin Siam dapat memanfaatkan pakan buatan dengan kandungan protein yang relatif rendah (Nguyen 2013), mengakibatkan biaya produksi relatif murah sehingga dapat dijadikan sumber protein hewani yang murah bagi masyarakat terutama kelas menengah ke bawah. Oleh karena itu usaha-usaha perbaikan dari sisi teknologi produksi, pakan maupun penyediaan benih yang unggul harus terus dilakukan untuk meningkatkan produktivitas ikan Patin Siam. Benih merupakan salah satu mata rantai dalam bisnis akuakultur dan kualitasnya sangat menentukan keberhasilan usaha akuakultur. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menghasilkan benih yang berkualitas. Menurut Gjedrem dan Baranski (2009) metode seleksi (selective breeding) merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk perbaikan mutu genetik dan sampai hari ini masih dominan digunakan pada banyak spesies akuakultur

2

(Gjedrem et al. 2012). Janssen et al. (2017) melaporkan bahwa dari total produksi akuakultur di Eropa, 80-83% menggunakan benih hasil program selective breeding. Heritabilitas yang cukup tinggi untuk sifat-sifat yang memiliki nilai ekonomis pada ikan jika dikombinasikan dengan fekunditas tinggi serta interval generasi yang relatif singkat (1-4 tahun) pada sebagian besar spesies ikan akan menghasilkan kemajuan genetik yang memadai (Gjedrem et al. 2012). Selain itu perbaikan mutu genetik yang diperoleh dari program selective breeding dapat diwariskan kepada generasi berikutnya karena sifat produksi dikontrol oleh banyak gen (polygene) yang bersifat aditif (Gjedrem dan Baranski 2009). Karakter pertumbuhan (galur pertumbuhan) menjadi karakter yang paling banyak dimuliakan dalam program selective breeding diikuti karakter morfologi, tahan penyakit, kualitas daging, fillet dan efisiensi pakan (Janssen et al. 2017). Karakter pertumbuhan menjadi penting karena memberikan banyak keuntungan. Manfaat ekonomi dari galur pertumbuhan yaitu siklus produksi menjadi lebih cepat atau mendapatkan ukuran ikan yang lebih besar dalam kurun waktu tertentu. Ikan yang tumbuh cepat membutuhkan lebih sedikit energi dan protein untuk pemeliharaan dibandingkan dengan yang tumbuh lebih lambat, sehingga meningkatkan efisiensi pakan yang merupakan penyumbang terbesar terhadap biaya produksi (Gjedrem dan Baranski 2009). Respons seleksi rerata dari berbagai spesies ikan yang telah dimuliakan untuk karakter pertumbuhan relatif tinggi yaitu sebesar 12.7% per generasi (Gjedrem dan Robinson 2014). Sementara Janssen et al. (2017) melaporkan bahwa respons seleksi komoditas ikan air laut untuk karakter pertumbuhan seperti pada ikan rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) berkisar antara 7-13%, Atlantik salmon (Salmo salar) 12%, sea bass Eropa (Dicentrarchus labrax) 20-25% dan seabream (Sparus aurata) sebesar 10-15% per generasi. Sedangkan pada ikan air tawar seperti ikan nila (Oreochromis niloticus) pada proyek GIFT,

3

diperoleh respons seleksi rerata per generasi sebesar 13.6% dengan kisaran 9.0- 20.1% (Bentsen et al. 2017), di China sebesar 11.4% dengan kisaran 7.4-18.7% (Thodesen et al. 2012) dan di Mesir sebesar 6.8% (Rezk et al. 2009). Program selective breeding pada ikan Patin Siam yang tercatat mulai dilakukan di Vietnam tahun 2001 oleh Research Institute for Aquaculture No.2 (RIA2) dan hasilnya dilaporkan pada tahun 2007 dengan respons seleksi generasi pertama untuk karakter bobot tubuh sebesar 13% (Nguyen et al. 2007). Populasi dasar yang digunakan berasal dari alam. Kemudian pada generasi berikutnya ada penambahan karakter seleksi yaitu hasil dan kualitas fillet. Vu et al. (2019) melaporkan pada tahun 2019 telah diperoleh generasi kelima untuk galur pertumbuhan dengan respons seleksi per generasi sebesar 9.3% dan perform pertumbuhan generasi kelima 16.4% lebih tinggi dibandingkan dengan populasi alam (wild population). Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Sungai Gelam (BPBAT Sungai Gelam) pada tahun 2009 telah mengumpulkan ikan Patin Siam dari berbagai daerah untuk membentuk populasi dasar yang digunakan dalam program seleksi (selective breeding). Kegiatan seleksi dimulai tahun 2013 dengan desain satu galur pertumbuhan (diseleksi berdasarkan bobot tubuh) dengan menggunakan metode seleksi individu dan satu galur daya tahan dengan metode seleksi famili. Untuk galur pertumbuhan, sampai tahun 2017 telah diperoleh generasi ketiga. Induk Patin Siam galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps) dewasa pada bulan Desember 2017. Evaluasi performa induk dan benih G3Ps dilakukan dari 2018 sampai dengan 2019. Berdasarkan hasil evaluasi diperoleh akumulasi respons seleksi (tiga generasi) yang cukup tinggi yaitu sebesar 42.30% dibandingkan dengan populasi dasar. Oleh karena itu berdasarkan Peraturan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Nomor 84/KEP-BALIBANGKP/2014 Patin Siam galur pertumbuhan generasi ketiga hasil pemuliaan di BPBAT Sungai Gelam dapat diajukan sebagai galur baru

4

untuk dirilis. Seluruh proses dan hasil kegiatan pemuliaan pembentukan ikan Patin Siam galur pertumbuhan dari mulai koleksi populasi founder, pembentukan populasi dasar dan pembentukan dan evaluasi galur pertumbuhan dituangkan dalam naskah akademik ini.

1.2. Tujuan Kegiatan pemuliaan (selective breeding) ini bertujuan untuk menghasilkan ikan Patin Siam yang memiliki pertumbuhan yang lebih baik dari populasi/generasi yang sudah ada.

1.3. Sasaran

Sasaran dari pelaksanaan kegiatan pemuliaan ini adalah terbentuknya ikan Patin Siam galur pertumbuhan yang memiliki keunggulan performa pertumbuhan minimal 30% lebih tinggi dibandingkan dengan populasi dasar.

5

Ikan Patin Siam yang diambil dari 7 daerah di Indonesia (Riau,‘’ Jambi, Lampung, Bekasi, Subang, Bogor, Mandiangin), Kamboja dan Vietnam yang selanjutnya disebut sebagai populasi founder. Selanjutnya populasi founder dipijahkan dan anaknya digabung untuk membentuk populasi dasar. Kegiatan ini dilaksanakan di BPBAT Sungai Gelam – Jambi, kolam tadah hujan dan KJA di Provinsi Jambi dan Jawa Barat, serta Laboratorium Genetik Departemen Budidaya Perairan FPIK, IPB. Sedangkan metode yang dilakukan mengacu pada Protokol Pemuliaan (Genetic Improvement) Ikan Patin Siam No. PO 01 Seleksi Individu dengan modifikasi. Kegiatan telah dilakukan sejak tahun 2009 sampai 2020 untuk mendapatkan generasi ketiga dengan performa yang dapat diandalkan. ‘’

II. BAHAN, PELAKSANAAN DAN METODE

2.1. Bahan Awal Program Seleksi Bahan awal program seleksi ini merupakan ikan Patin Siam yang diambil dari 7 daerah di Indonesia (Riau, Jambi, Lampung, Bekasi, Subang, Bogor, Mandiangin), Kamboja dan Vietnam yang selanjutnya disebut sebagai populasi founder. Selanjutnya populasi founder dipijahkan dan anaknya digabung untuk membentuk populasi dasar. Program seleksi untuk galur pertumbuhan diseleksi dari populasi dasar. Rincian mengenai populasi founder dan populasi dasar akan dijelaskan sebagai berikut.

▪ Populasi Awal (founder)

BPBAT Sungai Gelam telah mendatangkan benih Patin Siam ukuran 1.5- 2 inci dari tujuh daerah di Indonesia (Riau, Jambi, Lampung, Bekasi, Subang, Bogor, Mandiangin) antara bulan Januari sampai dengan Februari 2009. Dan pada bulan September 2009, juga mendatangkan benih Patin Siam ukuran 1.5- 2 inci dari Vietnam dan Kamboja. Daerah tersebut dipilih karena merupakan sentra produksi benih Patin Siam. Benih Patin Siam yang berasal dari Vietnam merupakan hasil produksi unit usaha pembenihan Patin Siam sedangkan benih yang dari Kamboja merupakan hasil tangkapan dari alam. Patin Siam dari tujuh daerah di Indonesia, Kamboja dan Vietnam selanjutnya akan disebut sebagai populasi founder. Populasi founder ini yang masih berukuran benih dibesarkan sampai dewasa dan dalam proses pembesarannya dilihat performa pertumbuhan dan perkembangan gonadnya. Performa populasi founder pada tahap pembesaran, perkembangan gonad dan hasil uji genotipe disajikan sebagai berikut.

7

▪ Uji Fenotipe Populasi Awal

Bobot tubuh rerata pada umur 23 bulan dari tujuh populasi dari Indonesia berkisar antara 2185.93-2542 gram per ekor untuk betina dan 1375.87-1796.60 gram per ekor untuk jantan. Gambar 1 menunjukkan ada perbedaan bobot tubuh rerata antara betina dengan yang jantan. Namun bila dilihat dari standar deviasi, tidak ada perbedaan bobot tubuh betina dan jantan antar populasi dari Indonesia. Sedangkan laju pertumbuhan harian Patin Siam dari tujuh populasi dari Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini. Laju pertumbuhan harian Patin Siam populasi Lampung paling tinggi yaitu sebesar 0.276% dan yang terendah dari populasi Bogor sebesar 0.212%.

Betina Jantan 3000 0,300 2500 0,250 2000 0,200 1500

(g) 0,150 1000 0,100 500

LPH (%) LPH 0,050

Bobot tubuh reratatubuh Bobot 0

0,000

Riau

Jambi

Bogor

Bekasi

Subang

Riau

Lampung

Jambi

Bogor

Bekasi

Subang

Mandiangin

Lampung M. Angin

Gambar 1. Grafik bobot tubuh rerata ika Gambar 2. Grafik laju pertumbuhan Patin yang berasal dari tujuh harian Patin Siam dari tujuh daerah/populasi di Indonesia daerah/populasi di pada umur 23 bulan. Indonesia

Gambar 3 memperlihatkan perkembangan gonad ikan Patin Siam yang betina dari tujuh populasi Indonesia. Nilai GSI (gonado somatic indexs) pada umur 15 sampai dengan 17 bulan masih sangat rendah (0.35-0.67%). Kenaikan GSI mulai terlihat pada umur 18 bulan dengan nilai tertinggi sebesar 6.95% dan

8

pada umur 22 bulan, GSI rerata tertinggi yaitu populasi Lampung sudah mencapai 10.59%, seperti ESI pada ikan Patin dewasa. Diameter oocyte pada umur 17 bulan sudah cukup besar seperti ikan Patin dewasa yaitu berkisar antara 1.08 – 1.18 mm.

BOGOR JAMBI MANDIANGIN LAMPUNG RIAU BEKASI SUBANG 12,00 10,00 8,00 6,00

GSI (%) GSI 4,00 2,00 0,00 15 16 17 18 19 20 21 22 Bulan Gambar 3. Grafik perkembangan gonad patin siam yang betina dari tujuh daerah/populasi di Indonesia

▪ Uji Genotipe Populasi Awal Uji genotipe terhadap populasi “awal” dilakukan pada tahun 2010 di LAPTIAB BPPT Serpong. Uji genotipe bertujuan untuk melihat tingkat kekerabatan antara populasi Patin Siam baik yang dari Indonesia maupun dari Kamboja dan Vietnam. Metoda yang digunakan yaitu dengan menganalisa gen microsatellite pada lokus Phy05-KUL dan lokus Phy01-KUL (Sumber : Volckaert et al, 1999). Hasil dari uji genotipe tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 4. Tabel 1 menunjukkan jarak genetik antar Patin Siam yang dikoleksi dari beberapa daerah Indonesia, Kamboja dan Vietnam. Jarak genetik terjauh yaitu antara populasi Lampung dan Jambi dengan nilai 0.4366. Sedangkan jarak yang terdekat yaitu antara populasi Bogor dengan Lampung dengan nilai 0.0541.

9

Tabel 1. Minimum genetic distances antar populasi Patin Siam (Nei's, 1972) Population 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 0.0541 ***** 3 0.3571 0.4366 ***** 4 0.3071 0.3866 0.3700 ***** 5 0.2534 0.3703 0.3537 0.2588 ***** 6 0.2751 0.3663 0.3731 0.2881 0.1819 ***** 7 0.2818 0.3508 0.3620 0.2745 0.1812 0.1450 ***** 8 0.2243 0.2428 0.3888 0.3350 0.2725 0.2719 0.1620 ***** 9 0.2571 0.3678 0.1300 0.3075 0.2087 0.2169 0.2106 0.2962 ***** Catatan: 1: Bogor, 2: Lampung, 3: Jambi, 4: Riau, 5: Bekasi, 6: Mandiangin, 7: Kamboja, 8: Vietnam, 9: Subang. Sedangkan Gambar 4. menunjukkan bahwa populasi Kamboja lebih dekat kekerabatannya dengan populasi Mandiangin dibandingkan dengan populasi lainnya. Kekerabatan populasi Vietnam lebih dekat dengan populasi Bogor dan Lampung. Sedangkan populasi Jambi lebih dekat dengan populasi Subang.

Gambar 4. Dendrogram patin siam dari populasi Indonesia, Kamboja dan Vietnam

2.1.1 Pembentukan Populasi Dasar (Ds) Populasi founder dewasa pada awal tahun 2011. Setelah populasi founder dewasa, dilakukan pemijahan untuk membentuk populasi dasar. Jumlah induk

10

betina yang dipijahkan dari masing-masing sub-populasi founder sebanyak 3 ekor yang dibuahi oleh gabungan sperma jantan dari seluruh sub-populasi founder. Kemudian larva dari masing-masing sub-populasi founder dicampur secara proporsional dan dipelihara hingga dewasa yang selanjutnya disebut sebagai populasi dasar yang diberi notasi GiDs (Gi: generasi ke i; Ds: populasi dasar). Populasi dasar inilah yang digunakan dalam program seleksi (selective breeding) ikan Patin Siam oleh BPBAT Sungai Gelam. Jumlah larva populasi dasar yang dipelihara sebanyak 425,000 ekor. Pakan larva untuk umur 30 jam s.d 7 hari yaitu naupli artemia dan dari 8-12 hari yaitu moina beku dan cacing tubifex. Sintasan rerata larva yang dipelihara di hatcheri selama 12 hari yaitu sebesar 56.7%. Setelah berumur 12 hari, larva didederkan di dalam kolam dengan dasar tanah. Luasan kolam yaitu 225 m2 dan kedalaman air 1 m. Jumlah larva yang didederkan di kolam yaitu sebanyak 150 ribu ekor yang dipelihara dalam tiga kolam. Sintasan benih yang didederkan di kolam selama 1.5 bulan yaitu berkisar antara 87.8-95%. Selanjutnya benih tersebut dibesarkan pada kolam pembesaran dengan luasan 500 m2 dan kedalaman air 1.5 m. Benih yang digunakan untuk pembentukan populasi dasar tidak dilakukan sortasi, namun diambil secara acak. Jumlah benih populasi dasar yang dipelihara sebanyak 9000 ekor yang dipelihara dalam dua unit kolam dengan luasan masing-masing 500 m2 dan ketinggian air 1.8 m. Pada umur 16 bulan dilakukan sampling terhadap 2317 ekor betina dan 1362 ekor jantan. Betina memiliki bobot rerata sebesar 1.010±0.356 kg ekor-1 dan CV (koefisien variasi) sebesar 35.25%. Jantan memiliki bobot tubuh rerata sebesar 0.867±0.248 kg ekor-1 dan CV sebesar 28.60%. Distribusi bobot tubuh betina dan jantan disajikan pada Gambar 5 di bawah ini. Selanjutnya populasi ini disebut sebagai populasi dasar generasi I dengan notasi G1Ds. G1Ds inilah yang digunakan sebagai populasi dasar yang akan digunakan dalam program seleksi (selective breeding) ikan Patin Siam di BPBAT Sungai Gelam. Sebanyak 250

11

ekor (200 betina dan 50 ekor jantan) diambil secara acak yang akan digunakan sebagai pembanding (kontrol) terhadap hasil pemuliaan dan juga untuk peremajaan populasi dasar.

Betina Jantan

Gambar 5. Distribusi bobot tubuh populasi dasar (G1Ds) pada umur 16 bulan.

2.2 Pelaksanaan Program Seleksi

▪ Lokasi Kegiatan seleksi, karakterisasi fenotipe, performa pertumbuhan ikan hasil seleksi, uji toleransi lingkungan, kualitas daging, karakterisasi reproduksi dan evaluasi ketahanan penyakit dilakukan di Balai perikanan Budidaya Air Tawar Sungai Gelam (BPBAT SG). Uji multilokasi dilakukan di Propinsi Jambi (media kolam tadah hujan dan karamba jaring apung yang ditempatkan di sungai) dan Jawa Barat (bak beton). Uji genotipe dengan metode RAPD dilakukan di Lab Genetik Departemen Budidaya Perairan FPIK IPB.

▪ Waktu Program seleksi (selective breeding) ikan Patin Siam dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama yaitu koleksi materi genetik dan pembentukan populasi

12

sintetik yang dilakukan dari Februari 2009 sampai dengan Mei 2013. Tahap kedua yaitu program seleksi untuk galur pertumbuhan yang dimulai pada tahun 2013 dan sampai tahun 2018 telah diperoleh galur pertumbuhan generasi ketiga. Uji mutu benih galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps) dilakukan pada tahun 2018-2019, sedangkan uji multilokasi dilakukan pada tahun 2020.

2.3. Metode

▪ Pembentukan Patin Siam Galur Pertumbuhan Pembentukan ikan Patin Siam galur pertumbuhan di BPBAT Sungai Gelam dilakukan dengan mengacu pada Protokol Pemuliaan (Genetic Improvement) Ikan Patin Siam Nomor PO. 01 Seleksi Individu dengan modifikasi. Diagram alur program seleksi pembentukan galur pertumbuhan disajikan pada Gambar 6. Metode seleksi yang digunakan yaitu seleksi individu (mass selection) dengan karakter yang diseleksi adalah bobot tubuh. Menurut Gjedrem (2005) nilai heritabilitas karakter bobot tubuh pada ikan cukup tinggi berkisar antara 0.2-0.40, dengan demikian metode seleksi individu dapat digunakan untuk pembentukan galur pertumbuhan. Generasi pertama galur pertumbuhan (G1Ps) diseleksi dari generasi pertama populasi dasar (G1Ds) berdasarkan karakter bobot tubuh, bentuk tubuh proporsional dan tidak cacat. G1Ps diseleksi dari 4500 ekor populasi dasar (G1Ds) dan diperoleh induk betina G1Ps sebanyak 149 ekor (proporsi terseleksi 6%) dan jantan sebanyak 84 ekor (proporsi terseleksi 6%). Seleksi dilakukan pada umur 16 bulan dengan nilai diferensial seleksi untuk betina sebesar 833 gram dan jantan sebesar 563 gram. Generasi kedua galur pertumbuhan (G2Ps) diseleksi dari 12000 ekor anakan hasil pemijahan 15 pasang induk G1Ps. Pemijahan dilakukan dalam dua tahap. Pemijahan tahap pertama terdiri dari tujuh pasang induk yang menetas pada tanggal 2 Oktober 2013 dan tahap kedua terdiri dari 8 pasang yang

13

menetas pada tangga 5 Oktober 2013. G2Ps diseleksi dari anakan G1Ps yang dilakukan dalam dua tahap. Seleksi tahap pertama pada umur 1 tahun dengan proporsi terseleksi 50% dan seleksi tahap kedua pada umur 22 bulan dengan proporsi terseleksi sebesar 10%. Diperoleh induk betina G2Ps sebanyak 92 ekor dan jantan sebanyak 35 ekor. Generasi ketiga galur pertumbuhan (G3Ps) diseleksi dari 7500 ekor anakan hasil pemijahan 20 pasang G2Ps yang menetas pada tanggal 30 Desember 2015. Seleksi dilakukan 2 tahap, tahap pertama pada umur 14 bulan dengan proporsi terseleksi sebesar 50% dan seleksi tahap kedua pada umur 24 bulan dengan proporsi terseleksi sebesar 20%. Diperoleh induk betina G3Ps sebanyak 150 ekor dan jantan sebanyak 50 ekor. Dengan demikian, sampai bulan Januari 2018 telah diperoleh 3 generasi untuk galur pertumbuhan sampai pada ukuran dewasa.

Populasi Dasar

Gambar 6. Diagram alur pembentukan galur pertumbuhan dengan metode seleksi individu

14

▪ Protokol kegiatan Rincian proses pemijahan induk sampai pembesaran calon induk yang mengacu pada protokol P01. Seleksi individu dengan modifikasi akan dijelaskan sebagai berikut: ➢ Pemijahan a. Dari semua pasangan induk yang dipijahkan, minimal sebanyak 10 pasang yang mempunyai derajat tetas > 30%. b. Larva dari pasangan induk yang memiliki derajat tetas < 30% tidak dilanjutkan ke tahap berikutnya. c. Bila pemijahan dilakukan dalam 2 kohort, interval waktu antara kohort pertama kedua maksimal 1 minggu. d. Telur dari masing-masing induk ditetaskan pada wadah/corong yang terpisah e. Larva yang digunakan untuk kegiatan seleksi individu adalah yang menetas 5 jam pertama f. Larva di ambil dari masing-masing induk dalam jumlah yang sama dan dicampurkan dalam suatu wadah yang sama. g. Selanjutnya larva dipelihara di dalam hatchery h. Prosedur pemijahan mengacu pada Protokol P 07

➢ Pemeliharaan larva a. Jumlah minimal larva yang dipelihara disesuaikan dengan wadah pemeliharaan atau minimal 200,000 ekor. b. Bila pemijahan dilakukan dalam 2 kohort, maka jumlah larva diambil secara proporsional dari kedua kohort tersebut c. Padat tebar larva 20 ekor per liter d. Pemeliharaan larva dilakukan selama 7 hari

15

e. Sintasan larva sampai umur 7 hari minimal 45% f. Selanjutnya larva didederkan di dalam kolam. g. Prosedur pemeliharaan larva sesuai dengan Protokol P 08 ➢ Pemeliharaan benih a. Larva umur 7 hari dipelihara di dalam kolam selama 45 hari b. Padat penebaran larva di kolam 200 ekor per m2 c. Setelah 45 hari, benih dipanen dan diambil secara acak minimal sebanyak 4.000 ekor yang selanjutnya masuk ke Pembesaran I d. Prosedur pendederan di kolam mengacu pada Protokol P 08

➢ Pembesaran I a. Pembesaran I dilakukan sampai ikan berumur 1 tahun. b. Pembesaran dilakukan di kolam dengan padat tebar 8 ekor per m2 c. Seleksi dilakukan secara terpisah terhadap jantan dan betina d. Betina dan jantan yang terseleksi dilanjutkan pada pembesaran tahap II e. Ikan diseleksi berdasarkan bobot tubuh dengan nilai cut-off sebesar 50% f. Prosedur pembesaran I mengacu pada Protokol P 09

➢ Pembesaran II a. Pembesaran II di lakukan di kolam dengan padat tebar 5 ekor m2 b. Pembesaran II dilakukan sampai ikan berumur 2 tahun c. Setelah berumur 2 tahun, dilakukan seleksi secara terpisah terhadap jantan dan betina d. Ikan diseleksi berdasarkan bobot tubuh dengan nilai cut - off sebesar 10% e. Induk yang terseleksi akan digunakan untuk kegiatan seleksi individu selanjutnya f. Jumlah induk jantan yang terseleksi minimal sebanyak 30 ekor sedangkan betina minimal sebanyak 90 ekor g. Pemeliharaan induk yang terseleksi mengacu pada Protokol P 07

16

h. Induk yang tidak terseleksi dapat digunakan untuk memproduksi benih sebar i. Prosedur pembesaran II mengacu pada Protokol P 09. j. Respons seleksi dari hasil seleksi individu dihitung menggunakan Protokol P 06. Uji mutu benih

17

Karakterisasi morfologis populasi ikan Patin Siam galur ‘’pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps) dan populasi dasar generasi dilakukan secara biometrik pada karakter morfometrik dan meristik terhadap ikan dewasa. Respon seleksi kumulatif Patin PUSTINA galur pertumbuhan sampai generasi ketiga sebesar 42,6% atau per – regenerasi sebesar 14,20% dibandingkan populasi dasar. Uji kompetitor dilakukan di beberapa lokasi menggunakan pembanding ikan Patin Perkasa (BRPI Sukamandi) sebagai produk rilis sebelumnya. Hasil menunjukkan bahwa Patin PUSTINA lebih unggul dibandingkan Patin Perkasa dalam produktivitas (biomassa dan SR). Selain itu, toleransi salinitas, pH dan ketahanan penyakit Patin PUSTINA juga lebih unggul. Program seleksi ikan Patin Siam galur pertumbuhan di BPBAT Sungai Gelam akan terus dilanjutkan sampai pada generasi keempat (G4PS) sehingga ke depan akan lebih unggul sejalan dengan kegiatan produksi. ‘’

III. METODE DAN HASIL PENGUJIAN JENIS IKAN BARU YANG AKAN DIBUDIDAYAKAN

3.1. Morfometrik Karakterisasi morfologis populasi ikan Patin Siam galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps) dan populasi dasar generasi dilakukan secara biometrik pada karakter morfometrik dan meristik terhadap ikan dewasa. Karakterisasi morfometrik dilakukan melalui pengukuran terhadap empat karakter truss morphometric (Gambar 7), sebagaimana yang disyaratkan dalam pedoman rilis. Data hasil pengukuran karakter-karakter morfometrik tersebut selanjutnya dinyatakan dalam nilai relatif (dalam %) terhadap panjang standar (PS).

Gambar 7. Karakter truss morphometric yang dilakukan pengukuran Setelah dilakukan pengukuran diperoleh hasil yang parameter persentase fillet G3Ps lebih tinggi dibandingkan dengan G2Ds (Tabel 2). Persentase fillet merupakan salah satu parameter penting dalam aspek produktivitas dan

19

pemasaran produk ikan Patin Siam. Persentase fillet yang tinggi pada ikan Patin Siam akan memiliki keunggulan jika ikan ini akan dijadikan komoditas ekspor dan industri ke depan. Tabel 2. Hasil pengukuran morfometrik Patin Siam galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps) dan populasi dasar generasi kedua (G2Ds) di BPBAT Sungai Gelam

G3Ps G2Ds No Karakter Satuan Nilai Nilai StDev StDev rerata rerata 1 Panjang standar (PS) Cm 48.32 2.77 41.95 4.56 2 Panjang total (PT) Cm 58.52 3.05 49.45 4.43 3 Panjang kepala (PK) Cm 11.35 0.67 10.00 1.13 4 Bobot total (BT) G 1974.33 380.93 1203.80 395.35 5 Lingkar badan (LB) Cm 31.81 2.42 25.45 3.47 6 BBT tanpa kepala I (BTK) G 1316.51 513.26 900.10 311.05 7 Bobot tanpa kepala dan jeroan (BTKJ) G 1332.60 269.72 815.00 273.14 8 Karkas (K) G 1195.73 252.96 709.40 243.38 11 Fillet (F) G 796.37 176.61 453.70 153.38 12 Lemak fillet (LF) G 177.25 42.81 120.10 43.18 13 Gonad (G) G 66.14 70.19 38.60 46.51 14 Persentase filet % 40.16 2.12 37.55 1.89 15 Persentase karkas % 60.38 2.07 58.59 2.12 16 BT : PS g/cm 40.58 5.64 28.06 6.61 17 Persentase lemak % 8.95 1.02 9.96 1.21 18 Persentase PK terhadap PS % 23.50 0.91 23.84 0.83 19 Persentase BTKJ terhadap BT % 67.39 1.93 67.50 2.12

Pada kondisi yang sama hasil pengukuran karakter panjang standar, panjang total, panjang kepala, bobot total, lingkar badan, bobot tanpa kepala, bobot tanpa kepala dan jeroan, karkas, fillet, lemak fillet, gonad, presentase fillet, presentase karkas, BT : PS memiliki nilai yang lebih tinggi pada G3Ps dibandingkan G2Ds. Sedangkan pada karakter persentase lemak, persentase PK terhadap PS dan Persentase BTKJ terhada BT G3Ps memiliki karakter yang lebih rendah dibandingkan G2Ps. Kegiatan pengukuran morfometrik dan

20

meristik galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps) dan populasi dasar generasi kedua (G2Ds) yang dilakukan di BPBAT Sungai Gelam disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Kegiatan pengukuran morfometrik dan meristik galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps) dan Populasi dasar generasi kedua (G2Ds) di BPBAT Sungai Gelam

3.2. Meristik Karakterisasi meristik populasi ikan Patin Siam galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps) dan populasi dasar dilakukan melalui penghitungan terhadap jumlah jari-jari sirip dada (pectoral), sirip perut (ventral), sirip punggung (dorsal), sirip anus (anal) dan sirip ekor (caudal) (Arifin et al.2017; Radona et al, 2017). Data karakter meristik tersebut disajikan dalam bentuk modus dan nilai minimum dan maksimum (Tabel 3).

21

Tabel 3. Hasil penghitungan karakteristik meristik galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps) dan Populasi dasar generasi kedua (G2Ds) di BPBAT Sungai Gelam

G3Ps G2Ds Karakter Modus Min max Modus min Max

Jumlah jari-jari keras sirip dorsal 1 1 1 1 1 1 Jumlah jari-jari lunak sirip dorsal 7 6 10 7 7 9 Jumlah jari-jari keras sirip pectoral 1 1 1 1 1 1 Jumlah jari-jari lunak sirip pectoral 10 6 12 9 8 10 Jumlah jari-jari lunak sirip ventral 8 7 9 7 7 9 Jumlah jari-jari lunak sirip anal 32 30 35 28 21 32 Jumlah jari-jari lunak sirip caudal 27 23 30 26 23 31 Karakterisasi meristik populasi ukuran dewasa Patin Siam galur pertumbuhan generasi ketiga dibandingkan dengan kontrol memiliki persamaan pada jumlah jari-jari keras pada sirip dorsal dan pectoral. Sedangkan pada jari-jari sirip lunak memiliki perbedaan jumlah pada ikan yang diamati.

3.3. Karakteristik Warna Karakterisasi morfologis populasi ukuran dewasa Patin Siam galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps) dan populasi dasar juga dilakukan pada pola warna. Karakterisasi warna tersebut dilakukan menggunakan aplikasi Color Grab. Identifikasi warna pada aplikasi ini menggunakan rumus nilai RGB (Red Green Blue). Hasil karakterisasi pola warna disajikan pada Tabel 4 di bawah ini. Hasil karakterisasi warna ikan Patin Siam G3Ps tumbuh cepat yang dilakukan pada ikan dewasa betina dan ikan dewasa jantan ditunjukkan pada Tabel 4.

22

Tabel 4. Karakteristik warna ikan Patin Siam G3Ps dewasa dengan menggunakan aplikasi Color Grab Version 3.6.1.

Kepala Badan Sirip No. Anal Atas Bawah Atas Samping Bawah Ekor (pangkal) (pangkal) Grey Grey White Grey White White Light Grey Brown Red (RGB 107, (RGB 231, (RGB 98, (RGB 243, (RGB 245, (RGB 188, (RGB 134, 99, 105) 222, 220) 86, 88) 248, 253) 250, 249) 180, 183) 114, 110) Betina Grey White Grey White White Grey White Pink (RGB 134, (RGB 235, (RGB 131, (RGB 241, (RGB 251, Brown Red Red 130, 131) 230, 229) 133, 136) 248, 252) 253, 254) (RGB 150, (231, 128, 133) 251, 218) Black White Dark Grey White White Grey Light Grey (RGB 30, (RGB 233, (RGB 90, (RGB 254, (RGB 255, (RGB 162, (RGB 213, 29, 26) 231, 236) 78, 77) 255, 255) 255, 255) 154, 156) 209, 210) Jantan Grey White Grey White White Grey White Pink (RGB 126, (RGB 247, (RGB 96, (RGB 254, (RGB 238, (RGB 161, Red 128, 129 ) 241, 242) 95, 101) 255, 255) 239, 241) 149, 151) (RGB 219, 200, 203)

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ikan Patin Siam G3Ps dewasa betina memiliki warna yang relatif sama. Ikan Patin Siam G3Ps dewasa betina memiliki kepala bagian atas yang berwarna abu-abu (grey), dan kepala bagian bawahnya berwarna putih (white). Badan bagian atas berwarna abu-abu (grey), badan bagian sampingnya berwarna putih (white) begitu pula badan bagian bawahnya juga berwarna putih (white). Pangkal sirip anal berwarna abu-abu coklat kemerahan (grey brown red), sedangkan sirip ekornya berwarna abu-abu terang (light grey) hingga putih kemerahan(white pink red). Pengamatan pada ikan Patin Siam jantan dewasa juga menunjukkan bahwa seluruhnya memiliki warna yang relatif sama. Ikan jantan dewasa memiliki kepala bagian atas yang berwarna abu-abu (grey) hingga hitam (black) dan kepala bagian bawahnya berwarna putih (white). Badan bagian atas ikan G3Ps jantan dewasa berwarna abu-abu (grey) hingga abu-abu gelap (dark grey), badan bagian sampingnya berwarna putih (white) begitu pula dengan badan bagian bawahnya berwarna putih (white). Pangkal sirip anal ikan Patin Siam jantan dewasa berwarna abu- abu (grey), sedangkan sirip ekornya berwarna abu-abu terang (light grey) hingga putih kemerahan (white pink red).

23

3.4. Pertumbuhan

3.4.1. Fase Pembenihan Perkembangan larva ikan Patin Siam dari mulai menetas sampai umur 24 jam disajikan pada Gambar 9 di bawah ini.

Gambar 9. Perkembangan larva ikan Patin Siam hasil seleksi di hatchery BPBAT Sungai Gelam Jambi Pada perkembangan larva ikan Patin di BPBAT Sungai Gelam, kuning telur diserap sebagai nutrisi utama dan secara bertahap berubah untuk menggunakan pakan luar. Mulut terbuka sekitar 16 jam setelah menetas dan gigi terbentuk secara bertahap. Organ penglihatan (mata) dan organ perasa yang belum berkembang pada waktu menetas, kini berkembang. Saluran pencernaan juga berkembang, hal tersebut ditunjukkan dengan banyak lipatan dibagian dalam saluran pencernaan, untuk merealisasikan kemampuan mencerna dan pengambilan pakan luar.

24

Larva ikan Patin Siam mulai makan ketika berumur 30 – 40 jam setelah menetas (tergantung suhu media pemeliharaan). Larva Patin Siam yang baru menetas memiliki tubuh yang transparan dan panjang total sekitar 4 mm. Fungsi-fungsi untuk menangkap makanan, seperti mata, dan sirip belum berkembang. Mulut tidak terbuka dan saluran pencernaan belum berkembang. Oleh karena itu larva belum mampu memanfaatkan pakan dari luar. Larva baru menetas menggunakan kuning telur, yang terletak di bagian abdomen, sebagai pakan internal untuk mempertahankan hidupnya. Selama proses penyerapan kuning telur beberapa fungsi mulut untuk menangkap pakan terbentuk, dan saluran pencernaan dalam rangka merealisasikan kemampuan menggunakan pakan luar. Jika larva tidak dapat menangkap pakan setelah kuning telur habis, maka larva tidak bisa mengalami pertumbuhan dan perkembangan lebih lanjut dan akhirnya mati. Pemberian pakan pertama pada waktu yang tepat merupakan hal yang sangat mendasar pada pemeliharaan larva. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan maka pakan pertama harus diberikan sekitar 30 jam setelah menetas. Larva dari masing-masing famili dipelihara secara terpisah dalam hatchery menggunakan akuarium (volume air 100 L) dengan padat tebar 25 ekor L-1 selama 15 hari (Gambar 10). Larva diberi pakan naupli artemia sampai umur 6 hari, dengan frekuensi 5 kali sehari secara satiasi. Selanjutnya sampai umur 15 hari, larva diberi pakan cacing Tubifex sp dengan frekuensi 4 kali sehari secara satiasi. Pergantian air dari hari 5-7 sebanyak 50% per hari, selanjutnya sebanyak 100% per hari. Pada hari ke 15, dilakukan pemanenan untuk penjarangan dan dilanjutkan ke tahap pendederan tahap kedua. Kualitas air media pemeliharaan larva dipertahankan pada kisaran yang disyaratkan pada SNI 6483.4: 2016 (BSN 2016b). Pendederan merupakan lanjutan dari kegiatan pemeliharaan larva. Pendederan dilakukan pada tempat dan wadah yang sama dengan yang digunakan untuk pemeliharaan larva. Benih dipelihara selama 25 hari dengan

25

sistem air mengalir (debit 0.5-0.8 L menit-1) selama 24 jam. Jumlah benih yang dipelihara untuk tiap induk sebanyak 500 ekor dengan padat tebar 5 ekor L-1. Benih diberi pakan buatan dengan kandungan protein 40-42% dan frekuensi pemberian pakan dua kali sehari secara satiasi. Selama masa pemeliharaan, kualitas air dipertahankan pada kisaran yang telah disyaratkan oleh SNI 6483.4: 2016 (BSN 2016c). Parameter yang diukur pada tahap ini yaitu bobot tubuh, panjang standar, panjang total, sintasan, efisiensi pakan dan LC50 benih terhadap amonia (NH3).

LC50 terhadap amonia (NH3) merupakan konsentrasi amonia yang mengakibatkan kematian sebanyak 50% dari populasi dalam kurun waktu 48 jam. Metode yang digunakan untuk mengukur LC50 terhadap amonia mengacu pada metode yang digunakan oleh Li et al. (2016), namun secara ringkas akan dijelaskan yaitu sebagai berikut. Pengukuran LC50 terhadap amonia dilakukan pada ukuran benih (2-3 inci) yang berumur 60 hari. Sebanyak 10 ekor ikan dari masing-masing galur ditempatkan pada media dengan konsentrasi amonia 3.0, 3.7, 4.4 mg L-1 dan kontrol (air yang sama untuk perlakuan dan ditambahkan

-1 NaHCO3 dengan dosis 360 mg L ). Wadah uji yang digunakan yaitu bak fiber dengan volume air 600 liter yang disekat dengan jaring. Konsentrasi amonia diperoleh dengan melarutkan NH4Cl dan penambahan NaHCO3 (dosis 360 mg L-1) ke dalam media uji sehingga diperoleh konsentrasi amonia seperti yang telah disebutkan di atas. Selama pengujian, pH media dipertahankan mendekati 8, kandungan oksigen terlarut >3 mg L-1, suhu 26-28oC serta ikan tidak diberi pakan selama pengujian. Pengamatan dilakukan setiap 4 jam sekali untuk menghitung jumlah ikan yang mati. Ikan yang mati pada saat pengamatan dikeluarkan dari wadah dan dilakukan pencatatan terhadap jumlah dan waktu kematian. Berdasarkan data konsentrasi amonia dan jumlah ikan yang mati pada akhir pengujian (durasi pengujian 48 jam), dibuat persamaan regresi untuk menentukan nilai LC50 benih terhadap amonia.

26

Gambar 10. Kegiatan uji performa benih ikan Patin galur pertumbuhan di BPBAT Sungai Gelam

Performa G3Ps dan G2Ds pada fase benih disajikan pada Tabel 5. Pemeliharaan larva dilakukan selama 40 hari dari menetas. Bobot tubuh benih

G3Ps pada umur 40 hari lebih besar dibandingkan dengan kontrol (G2Ds) dengan nilai respons seleksi sebesar 32.25%. Sedangkan sintasan baik pada umur 14 hari maupun 40 hari tidak berbeda nyata.

Tabel 5. Performa benih (rerata ± standar deviasi) galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps dan populasi dasar generasi kedua (G2Ds) sebagai kontrol yang diukur pada umur 14 dan 40 hari dari menetas.

Karakter Kontrol (G2Ds) G3Ps Respons Seleksi (%) Bobot tubuh 14h (mg) 42.79±10.33a 50.70±8.12a 18.48 Bobot tubuh (g) 0.93±0.23a 1.23±0.30b 32.25 Sintasan 14h (%) 50.80±17.40a 50.84±13.38a 0.07 Sintasan (%) 83.85±21.66a 85.84±19.97a 2.37 Panjang standar (mm) 40.21±2.88a 45.95±3.66b 14.27 Panjang total (mm) 48.08±3.47a 55.01±4.39b 14.41 Efisiensi pakan (%) 177.46±51.02a 173.02±33.21a -2.50 Produksi jumlah benih (ekor/kg) 72,639 68,616 Koefisien variasi (%) : − Bobot tubuh 24.73 24.39 - − Panjang standar 7.16 7.96 - -1 a b LC50 NH3 (mg L ) 2.088±0.606 2.615±0.362 25.24 Angka dengan huruf superscript dan pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P> 0.05), huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P< 0.05). Karakter dengan superscript 14H diukur pada umur 14 hari dari menetas, selain itu diukur pada umur 40 hari. LC50 NH3: lethal concentration 50% terhadap NH3 dengan dalam waktu 48 jam.

Hasil pengamatan dari pemeliharaan benih ikan Patin Siam G3Ps memiliki performansi yang berbeda nyata pada bobot tubuh, panjang standar,

27

panjang total dan daya tahan terhadap tekanan Amoniak (NH3). Dalam hal ini performa G3Ps lebih unggul jika dibandingkan dengan populasi dasar. Pada karakter sintasan/SR dan FCR, jika dilakukan pengujian secara uji statistik belum menunjukkan perbedaan yang signifikan.

3.4.2. Fase Pembesaran Benih yang dibesarkan berasal dari dua blok (blok 1, pemijahan tahap pertama: B1 dan blok 2, pemijahan tahap kedua: B2). Setiap blok terdiri dari 5 ulangan (5 famili) untuk masing-masing galur. Benih dipelihara pada bak beton yang berada di luar ruangan (outdoor), tanpa pergantian air dan tidak dipasang aerasi dan selanjutnya disebut lingkungan buruk.

Gambar 11. Wadah yang digunakan untuk kegiatan pembesaran ikan Patin Siam galur pertumbuhan generasi ketiga dan populasi dasar (kontrol)

Wadah yang digunakan dua unit bak beton berukuran 5 m x 8 m x 1 m yang disekat menggunakan jaring sehingga menjadi 15 bagian, setiap bagian berukuran 2.6 m x 1 m x 1 m (Gambar 11). Jumlah benih yang ditebar untuk

28

semua perlakuan dan setiap unit ulangan sebanyak 50 ekor, kemudian dilakukan penjarangan setelah 70 hari masa pemeliharaan menjadi 35 ekor. Ikan diberi pakan buatan bersifat apung dengan kandungan protein 32-34%. Frekuensi pemberian pakan 2 kali sehari secara satiasi. Kegiatan pembesaran dilakukan selama 120 hari. Parameter yang diukur pada tahap ini yaitu bobot tubuh, panjang standar, sintasan dan efisiensi pakan. Secara keseluruhan hasil pengujian menunjukkan bahwa galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps) memiliki keunggulan pertumbuhan yang signifikan dibandingkan kontrol dengan akumulasi respons seleksi sebesar 42.6% atau per generasi sebesar 14.20% (Gambar 12). Selain itu G3Ps juga memiliki kelangsungan hidup/sintasan dan FCR yang lebih baik dibandingkan dengan populasi dasar/kontrol (Gambar 12).

Gambar 12. Performa ikan Patin Siam hasil seleksi galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps) dibandingkan kontrol (populasi dasar) untuk karakter bobot tubuh, konversi pakan (FCR) dan sintasan (SR)

Pengamatan lebih detail lagi pada setiap generasi, didapatkan bahwa respons seleksi terhadap pertumbuhan diperoleh peningkatan yang positif dari setiap generasi ke generasi berikutnya. Hasil penghitungan heretabilitas ril berdasarkan respons seleksi generasi pertama diperoleh nilai sebesar 0.296. Nilai heretabilitas ini termasuk kategori sedang. Sebagai pembanding nilai

29

heretabilitas pada program seleksi ikan Patin Siam di Vietnam sebesar 0.34 (Nguyen et al, 2019) dan di BRPI Sukamadi sebesar 0.48 (Tahapari et al, 2018)

3.5. Nilai Toleransi Lingkungan Toleransi benih ikan Patin Siam G3Ps terhadap parameter lingkungan perlu dikarakterisasi. Beberapa parameter lingkungan kualitas air yang penting yaitu pH dan salinitas. Informasi toleransi terhadap parameter kualitas air tersebut dilakukan melalui pengujian skala laboratorium, terutama pada kondisi ekstrim (tertinggi dan terendah) secara buatan (terkontrol). Pengujian toleransi kualitas air juga dilakukan untuk mengetahui nilai parameter – parameter kualitas air yang bersifat letal atau dapat menyebabkan tingkat kematian sebesar 50% selama periode waktu tertentu. Proses uji tantang dilakukan dengan membandingkan ikan Patin Siam tumbuh cepat G3Ps dengan benih ikan Patin Perkasa sebagai strain unggul yang telah dirilis sebelumnya oleh Balai Pemuliaan Ikan (BPPI) Sukamandi tahun 2019.

3.5.1 Pengujian Toleransi pH

Pengujian toleransi benih ikan Patin Siam G3Ps terhadap pH dilakukan melalui perendaman dalam air dengan pH yang bersifat asam dan basa. Pengujian dilakukan dengan melakukan uji tantang pada rentang pH baik asam maupun basa diluar kondisi pH normal. Dalam uji tantang ini dibandingkan benih ikan Patin Siam G3Ps dengan benih ikan Patin Siam Perkasa. Nilai pH asam yang diujikan adalah 3.50; 4.00; 4.50 dan 5.00, sedangkan untuk nilai pH basa yang diujikan sebesar 9.00; 9.50; 10.00 dan 10.50 (Gambar 13). Air media pengujian dengan pH asam dibuat melalui penambahan HCl 15%, sedangkan air media pengujian dengan pH basa dibuat melalui penambahan larutan NaOH. Pengecekan kepastian nilai pH air media pengujian dilakukan dengan menggunakan alat ukur kualitas air (water quality checker). Wadah yang digunakan berupa akuarium berukuran 60×50×40 cm

30

yang diisi air media pengujian sebanyak 100 liter. Pengamatan terhadap kematian ikan dilakukan selama periode 48 jam atau sampai terjadinya kematian sebesar 50% (LC50).

Benih ikan patin siam G3Ps Benih ikan patin Perkasa

Perendaman

Air media pH asam: 3.50; 4.00; 4.50; 5.00 Air media pH basa: 9.00; 9.50; 10.00; 10.50 (dengan penambahan HCl) (dengan penambahan NaOH)

Pengamatan mortalitas selama 48 jam atau sampai terjadinya kematian 50% (LC50)

Nilai LC50 pH asam Nilai LC50 pH basa

Gambar 13. Prosedur uji tantang nilai LC50 pH asam dan basa pada benih ikan

Patin Siam G3Ps dibandingkan dengan benih ikan Patin Perkasa

Benih-benih yang digunakan dalam uji tantang ini berukuran panjang 3.0 – 5.0 inci dengan jumlah untuk masing-masing akuarium sebanyak 10 ekor. Masing-masing perlakuan pengujian diulang sebanyak tiga kali. Pengamatan mortalitas ikan Patin Siam G3Ps dan Perkasa terhadap paparan pH asam dan basa selama 96 jam menunjukkan adanya pengaruh pH baik asam maupun basa terhadap tingkat mortalitas ikan Patin Siam. Grafik pola mortalitas kedua populasi ikan Patin Siam yang dipapar pada pH asam tersaji pada Gambar 13 dan pH basa pada Gambar 14. Sementara pada Gambar 15 menunjukkan tingkat kematian 50% dari kedua populasi ikan Patin Siam pada paparan pH asam dan basa selama 96 jam.

31

Perkasa G3Ps 120

(%) 100 80

60 Mortalitas 40 y = -50x + 241,67 y = -58,333x + 291,67 20 R² = 0,7627 R² = 0,8909 0 3 3,5 4 4,5 5 5,5 -20 pH Asam Gambar 14. Grafik pola kematian ikan Patin Siam G3Ps dan Perkasa pada pH asam selama 96 jam.

Perkasa G3Ps 120,00 100,00 80,00 y = 36,667x - 290,83 R² = 0,9308

Mortalitas Mortalitas (%) 60,00 40,00 y = 43,333x - 360 20,00 R² = 0,9657 0,00 8,5 9,0 9,5 10,0 10,5 11,0 pH Basa Gambar 15. Grafik pola kematian ikan Patin Siam G3Ps dan Perkasa pada pH basa selama 96 jam. Hasil pengamatan mortalitas ikan Patin Siam G3Ps dan Perkasa pada pH asam dan basa disajikan pada Tabel 6 di bawah ini.

32

Tabel 6. Mortalitas ikan Patin Siam G3Ps dibandingkan dengan ikan Patin Perkasa dalam uji tantang pH asam dan basa selama 96 jam. Mortalitas (%) pH asam 3,5 4,0 4,5 5,0

Perkasa 100±0,00a 41,67±11,79a 25,00±11,79a 8,33±11,79a

G3Ps 83,33±0,00b 16,67±0,00b 16,67±0,00a 0,00±0,00a pH basa 9,00 9,50 10,00 10,50

Perkasa 33,33±11,79a 66,67±0,00a 75,00±0,00a 91,67±11,79a

G3Ps 25,00±0,00a 58,33±0,00a 75,00±11,79a 91,67±0,00a

Ket.: notasi huruf berbeda menunjukkan perbedaan signifikan (p<0,05)

Nilai LC 50 pada pH asam untuk G3Ps lebih rendah (3.83) dibandingkan Patin Perkasa (4.14) sedangkan pada pH basa G3Ps sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan Patin Perkasa (Gambar 16).

G3Ps Perkasa

10 9,46 9,30 9 8 7 6 NilaipH 5 3,83 4,14 4 3 2 1 0 Asam Basa

Gambar 16. Grafik tingkat mortalitas 50% ikan Patin Siam G3Ps dan Perkasa

pada paparan pH asam dan basa selama 96 jam (LC50 – 96 jam).

33

3.5.2 Pengujian Toleransi Salinitas

Pengujian toleransi benih ikan Patin Siam G3Ps terhadap salinitas dilakukan melalui perendaman dalam air media bersalinitas. Tingkat salinitas yang diujikan adalah 6, 8, 10, 12 dan 14 gL–1 (Gambar 17). Air media pengujian salinitas dibuat dengan menambahkan garam krosok. Pengecekan nilai salinitas dilakukan dengan menggunakan refraktometer. Wadah yang digunakan berupa akuarium berukuran 50×40×40 cm yang diisi air media pengujian sebanyak 60 liter. Pengamatan terhadap kematian ikan dilakukan selama periode 48 jam atau sampai terjadinya kematian sebesar 50% (LC50). Benih-benih yang digunakan dalam uji tantang ini berukuran panjang 2,0 – 3,0 inci dengan jumlah untuk masing-masing akuarium sebanyak 10 ekor. Masing-masing perlakuan pengujian diulang sebanyak tiga kali.

Benih ikan patin siam G3Ps Benih ikan patin Perkasa

Perendaman

Air media salinitas : 6, 8,10, 12 dan 14 gL–1

Pengamatan mortalitas selama 48 jam atau sampai terjadinya kematian 50% (LC50)

Gambar 17. Prosedur uji tantang salinitas pada benih ikan Patin Siam G3Ps dibandingkan dengan benih ikan Patin Perkasa.

Penebaran ikan dilakukan satu hari setelah pencampuran garam yang bertujuan agar media pemeliharaan sudah homogen dan kadar salinitas stabil. Ikan ditebar sebanyak 10 ekor per akuarium. Parameter yang diamati selama 48 jam pengujian adalah tingkat kelangsungan hidup/survival rate (SR) ikan Patin Siam.

34

Hasil pengamatan terhadap mortalitas selama 48 jam pada ikan Patin Siam G3PS dan Perkasa yang dipapar pada salinitas 6, 8, 10, 12 dan 14 gL–1 disajikan pada Gambar 18. Kematian ikan mulai terjadi pada salinitas 10 gL–1 dan terus meningkat dengan meningkatnya kadar salinitas.

Perkasa G3Ps 120,00

100,00 y = 5,2083x2 - 77,917x + 282,5 80,00 R² = 0,9818 10,8 60,00 11,5

Mortalitas Mortalitas (%) 40,00 20,00 2 0,00 y = 2,0238x - 26,476x + 82,857 R² = 0,9039 4 6 8 10 12 14 16 -20,00 Salinitas (gL–1 )

Gambar 18. Pola mortalitas benih ikan Patin Siam G3Ps dibandingkan dengan Perkasa pada uji tantang salinitas 6, 8, 10, 12 dan 14 gL–1 .selama 48 jam. Sintasan kedua populasi ikan Patin Siam pada paparan salinitas yang berbeda selama 48 jam tersaji pada Tabel 7. Pada salinitas 6 gL-1 dan 8 gL-1 kedua populasi ikan belum mengalami kematian. Pada salinitas yang lebih tinggi kematian mulai terjadi, yaitu pada salinitas 10 gL-1. Tabel 7. Sintasan ikan Patin Siam G3Ps dibandingkan dengan ikan Patin Perkasa yang diuji tantang pada salinitas 6, 8, 10, 12 dan 14 gL–1 selama 48 jam.

Salinitas Sintasan (%) (g L–1) G3Ps Perkasa 6 100,00±0,00a 100,00±0,00a 8 100,00±0,00a 100,00±0,00a 10 96,67±5,77a 83,33±5,77b 12 20,00±10,00a 0,00±0,00b 14 0,00±0, 00a 0,00±0,00a Ket.: notasi huruf berbeda menunjukkan perbedaaan signifikan (p<0,05)

35

Dari Tabel 7 terlihat bahwa ikan Patin Siam G3Ps menunjukkan ketahanan yang lebih tinggi terhadap paparan salinitas dibandingkan Patin Siam Perkasa.

3.6 Kualitas Daging Data proporsi termakan galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps) dan populasi dasar generasi kedua (G2Ds) disajikan pada Tabel 8. Jumlah ikan yang diukur sebanyak 30 ekor dengan umur 17 bulan. Hasil pengukuran menunjukkan persentase filet G3Ps lebih tinggi sebesar 6.95% dibandingkan dengan populasi dasar (G2Ds). Sementara proporsi kepala, sirip dan kulit, dan lemak G3Ps lebih kecil dibandingkan dengan populasi dasar/G2Ds.

Tabel 8. Persentase parameter kualitas daging terhadap bobot tubuh galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps) dan populasi dasar generasi kedua (G2Ds)

No Parameter Satuan G3Ps G2Ds Selisih 1974.33± 1 Bobot total g 1203.80± 395.35 380.93 64.01 Bobot tanpa g 2 1332.60±269.72 815.00± 273.14 kepala 63.93 3 Karkas g 1195.73±252.96 709.40± 243.38 68.56 4 Fillet g 796.37±176.61 453.70± 153.38 75.53 5 Lemak fillet g 177.25±42.81 120.10± 43.18 47.58 6 Gonad g 66.14±70.19 38.60± 46.51 71.35 Porsi bobot tanpa 7 % 74.66±2.46 74.32± 2.41 kepala 0.46 8 Persentase karkas % 60.38±2.07 58.59 ±2.12 3.06 9 Persentase filet % 40.16±2.12 37.55 ±1.89 6.95 10 Persentase kepala % 25.34±2.46 25.68± 2.41 -1.34 11 Persentase jeroan % 7.27±2.30 6.82± 2.46 6.61 Persentase sirip 12 % 7.02±0.88 8.92 ±1.09 dan kulit -21.31 Gonado somatic 13 % 3.37±3.32 3.02± 2.85 indeks (GSI) 11.53 14 Persentase lemak % 8.95±1.02 9.96± 1.21 -10.11

36

Pengujian terhadap kandungan gizi ikan Patin melalui uji proksimat juga telah dilakukan terhadap ikan Patin di BPBAT Sungai Gelam Jambi Tabel 9 berikut ini. Tabel 9. Hasil uji proksimat daging ikan Patin galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps) di BPBAT Sungai Gelam

3.7. Jenis dan Kebiasaan Makan Sifat makan ikan di alamnya dibagi dalam dua golongan, yaitu ikan yang pasif dan ikan yang agresif. Dalam hal ini ikan Patin termasuk keduanya, karena ikan Patin sering bermigrasi, dan kadang-kadang menetap di dasar kolam. Ketika diam di dasar kolam, ikan Patin akan memakan makanan yang mendekatinya, entah binatang air yang lewat, ataupun makanan lain yang terbawa arus. Pada saat ikan Patin bermigrasi dari satu tempat ke tempat lain. Ikan Patin merupakan ikan yang terbiasa makan di dasar. Namun hal ini tidak mutlak, ikan Patin juga sering dijumpai memakan ikan di tengah perairan, ataupun di permukaan. Ikan Patin Siam termasuk ikan omnivora, yang mana akan memakan segala termasuk tumbuh-tumbuhan maupun binatang hidup ataupun bangkai. kebiasaan makan ikan Patin tergantung dari habitat dimana dia hidup. Pada perairan umum seperti sungai ikan Patin akan memakan segala sesuatu diantaranya, segala macam pakan baik jasad-jasad hewani maupun nabati, misalnya macam-macam buah-buahan dari tumbuhan pinggir sungai, biji-bijian, udang (Crustacea), Molusca, Copepoda, Ostracoda, Cladosera, Isopoda, Amphipoda, cacing dan sisa-sisa organisme lainnya. Namun demikian, tidak

37

berarti ikan Patin tidak mau makan makanan lain, binatang yang hidup di air kerap menjadi makanan tambahan bagi ikan Patin. Pada pemeliharaan ikan Patin di BPBAT Sungai Gelam, ikan Patin diberikan pakan sesuai dengan fasenya. Pada fase larva, Ketika dalam hatchery ikan diberikan pakan berupa pakan alami Artemia sp (Tabel 10) dan cacing Tubifek sp dan Moina sp. (Gambar 19). Namun ketika pemeliharaan di kolam, ikan diberikan pakan alami yang tumbuh di kolam. Biasanya kolam diinokulasi moina untuk memacu pertumbuhan pakan alaminya.

Gambar 19. Pakan alami Artemia sp (kiri), cacing Tubifek sp (tengah) dan Moina sp kanan yang digunakan untuk pakan alami ikan Patin di BPBAT Sungai Gelam

Tabel 10. Pergantian air, jumlah cyste artemia dan cacing Tubifex yang dibutuhkan untuk pemeliharan ikan Patin Siam sebanyak 100,000 ekor di hatchery BPBAT Sungai Gelam.

38

Pada saat larva berumur diatas 12 hari di hatchery dan di atas 7 hari di kolam, larva ikan mulai dilatih menggunakan pakan buatan berupa tepung. Pakan tepung diberikan sampai ikan berukuran 2-3 cm. Selanjutnya pakan yang diberikan pada ikan Patin seperti disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Kisaran dosis dan frekuensi pemberian pakan berdasarkan panjang dan bobot ikan Patin yang dilakukan di BPBAT Sungai Gelam

Panjang Bobot Ukuran % Jumlah Frekuensi/ No Tubuh Tubuh Pakan Protein Pakan hari (cm) (g) (mm) (min) 1 2-5 1-2 0,5-0,7 5-7 34 3-4 2 5-7 2-4 0,7-1 4-5 32 3-4 3 7-10 4-20 1 3 30 3 4 10-15 20-50 2 3 30 3 5 15-20 50-100 3 2-3 28 2 6 20-25 100-200 4 2-3 28 2 7 25-30 200-400 5 2-3 26 2 8 30-35 400-600 6 2-3 26 2

Pemberian pakan tentunya sangat tergantung dari kondisi lingkungan, kondisi ikan, dan nafsu makan ikan. Ikan yang kondisi nafsu makannya kurang baik (misalnya setelah dilakukan penyortiran, pemindahan wadah, dan handling lainnya) biasanya dikurangi jumlah pakan yang diberikan pada ikan tersebut.

3.8. Performa Reproduksi

3.8.1. Performa Induk Betina Pemeliharaan induk populasi dasar generasi kedua (G2Ds) dipelihara dalam dua unit kolam dengan luasan masing-masing 240 m2 dan kedalaman air 1,2 m. Jumlah induk yang dipelihara sebanyak 85 ekor betina dan 25 ekor jantan untuk masing-masing kolam. Induk galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps) dipelihara pada dua kolam dengan ukuran 150 m2 dan kedalaman air 1.2 m. Jumlah induk G3Ps yang dipelihara sebanyak 75 ekor betina dan 25 ekor jantan untuk masing-masing kolam. Kualitas air kolam pemeliharaan induk

39

dipertahankan pada kisaran yang disyaratkan dalam SNI 6483.3: 2016 (BSN 20016a). Induk diberi pakan buatan berbentuk pellet dengan kandungan protein minimal 48% dan diperkaya dengan vitamin E (dosis 300 mg kg-1) dan minyak jagung (1.3%). Jumlah pakan yang diberikan sebesar 1.3% dari biomas induk yang dipelihara dengan frekuensi pemberian pakan 2 kali sehari yaitu pagi dan sore hari. Pada uji coba ini pemijahan dilakukan secara buatan dengan rangsangan hormonal dan dilakukan dalam dua tahap (blok) pemijahan (blok pertama: B1; blok kedua: B2) dengan interval waktu antara blok pertama dan kedua selama 7 hari. Penetasan telur dengan sistem corong yang mengacu SNI 7982:2014 (BSN 2014). Jumlah telur yang ditetaskan untuk setiap induk betina sebanyak 100 g yang ditempatkan pada corong yang terpisah. Kualitas air selama inkubasi induk dan penetasan telur dipertahankan pada kisaran yang telah disyaratkan dalam SNI 6483.4: 2016 (BSN 2016b). Parameter yang akan diamati pada tahap pemijahan yaitu egg somatic index (ESI), fekunditas, diameter telur yang diovulasikan, jumlah telur per gram, derajat pembuahan dan derajat penetasan. Diameter telur diukur menggunakan software ImageJ. Kriteria untuk menentukan umur ikan pertama kali dewasa menurut berdasarkan udin 2020, ikan Patin dewasa pada umur 2,5 tahun untuk yang betina, sedangkan yang jantan berumur 2 tahun

Berdasarkan hasil sampling calon induk G3Ps dan G3Ds pada umur 15 bulan menunjukkan satu dari lima calon induk G3Ps yang disampling memiliki gonado somatic index yang cukup besar dan mengandung oocyte dengan diameter seperti pada ikan dewasa (Gambar 20). Sedangkan sebagian calon induk betina G3Ps yang disampling memiliki gonad yang kecil dengan ukuran oocyte yang masih kecil di dalam gonad. Perkembangan gonad calon induk

G3Ds yang berumur 15 bulan sama dengan calon induk G3Ps yaitu satu ekor

40

dari lima ekor ikan yang disampling memiliki gonado somatic index yang cukup tinggi dengan ukuran oocyte seperti pada induk ikan Patin Siam (Gambar 21).

7 Bulan 11 Bulan 13 Bulan 15 Bulan

Gambar 20. Perkembangan gonad calon induk ikan Patin Siam jenis kelamin jantan hasil seleksi yang dipelihara di BPBAT Sungai Gelam.

9,0 8,14 8,0 7,0 6,0 5,0 3,91 4,0 3,0 2,0 1,0 0,48 0,37 0,29 0,40 0,40 0,29 0,36 0,38 Gonado Gonado somatic indeks (%) 0,0 G3Ds G3Ps

Gambar 21. Gonado somatic index dari 5 ekor calon induk Patin Siam galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps) dan populasi dasar generasi ketiga (G3Ds) pada umur 17 bulan.

Sampling kembali dilakukan pada umur 643 hari (20 bulan 3 minggu 5 hari). Parameter yang diukur bobot dan panjang tubuh, gonado somatic index (GSI), diameter telur, jumlah induk matang gonad dan persentase induk matang

gonad. Data sampling pada umur 643 hari untuk G3Ps dan G3Ds disajikan pada Tabel 12. Hasil sampling menunjukkan jumlah induk yang matang gonad

(perutnya membesar) untuk galur pertumbuhan (G3Ps) lebih banyak

dibandingkan dengan populasi dasarnya (G3Ds) dengan persentase sebesar

41

38.94% untuk G3Ps dan 3.19% untuk G3Ds. Hal ini menunjukkan ikan hasil seleksi pada generasi ketiga lebih cepat dewasa secara biologis. Hal ini tentu saja sangat menguntungkan karena produksi induk akan lebih cepat dan juga akan mempercepat kemajuan seleksi karena interval generasi akan semakin cepat.

Nilai GSI untuk G3Ps juga lebih tinggi dibandingkan dengan G3Ds. Sedangkan diameter telur antara G3Ps dengan G3Ds tidak berbeda nyata. Tabel 12. Bobot tubuh, panjang dan parameter reproduksi galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps) dan populasi dasar generasi ketiga (G3Ps) pada umur 643 hari (20 bulan 3 minggu 5 hari)

G3Ps G3Ds Parameter n Nilai Stdev n Nilai Stdev Bobot tubuh (kg) 10 2.25 0.27 3 2.19 0.63 Panjang standar (cm) 10 50.45 2.39 3 49.67 4.04 Panjang total (cm) 10 62.70 2.71 3 62.00 4.58 Gonado somatic index (%) 10 11.86 3.20 3 5.74 4.12 Diameter telur (mm) 10 1.04 0.03 3 0.95 0.07 Jumlah induk matang gonad (ekor) 113 44 - 94 3 - Persentase induk matang gonad (%) - 38.94 - 94 3.19 -

Setelah dilakukan pengujian, performa Egg Somatic Indeks, derajat pembuahan dan derajat penetasan ikan Patin G3Ps memiliki nilai yang tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan populasi dasar (kontrol). Pada karakteristik diameter telur, ikan G3Ps memiliki nilai yang lebih tinggi, meskipun juga tidak berbeda nyata jika dibandingkan kontrol. Data performa reproduksi disajikan pada Tabel 13.

42

Tabel 13. Performa reproduksi (rerata ± standar deviasi) galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps dan populasi dasar generasi kedua (G2Ds) sebagai kontrol Karakter reproduksi Kontrol G3Ps Egg somatic index ( %) 15.51±4.15a 14.29±4.13a Diameter telur (mm) 1.236±0.084a 1.263±0.066a Fekunditas (butir/kg induk) 240,083±53,229a 253,025±52,742a Jumlah telur per gram 1490±101a 1600±124b Bobot telur (mg) 0.674±0.049b 0.629±0.049a Derajat pembuahan (%) 71.03±17.36a 67.88±10.93a Derajat penetasan (%) 69.25±16.89a 62.14±13.58a Angka dengan huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P > 0.05), huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P < 0.05).

3.8.2. Performa Induk Jantan Ikan Patin Siam jantan lebih cepat dewasa dibandingkan dengan yang betina, begitu juga pada ikan Patin jantan hasil seleksi generasi ketiga. Pada umur 7 bulan sebagian dari populasi jantan sudah ada yang berkembang (besar, berwarna putih dan mengandung sperma) dan pada umur 15 bulan, gonad jantan semakin besar (Gambar 22).

7 Bulan 11 Bulan 13 Bulan 15 Bulan

Gambar 22. Perkembangan gonad calon induk ikan Patin Siam jenis kelamin jantan hasil seleksi yang dipelihara di BPBAT Sungai Gelam

Data jumlah famili, bobot tubuh rerata dan umur induk G3Ps dan G2Ds yang dipijahkan disajikan pada Tabel 14 di bawah ini. Pemijahan seharusnya dilakukan pada saat pertama kali dewasa yaitu pada umur 2 tahun untuk betina. Namun karena pengaruh musim kemarau, pada umur 2 tahun tidak berhasil

43 8

melakukan pemijahan. Pemijahan induk G3Ps baru dapat dilakukan pada umur 2 tahun 8 bulan. Tabel 14. Bobot tubuh induk rerata dan jumlah famili yang dipijahkan pada tahap pertama (B1) dan kedua (B2) untuk masing-masing galur ∑ Famili Bobot tubuh rerata (kg) Galur Umur B1 B2 Total Jantan Betina

Galur pertumbuhan 10 8 18 3.61±0.32 5.27±0.64 2 thn 8 bulan (G3Ps)

Populasi 8 8 16 3.22±0.33 4.51±0.80 3 thn 5 bulan dasar (G2Ds)

Performa reproduksi induk galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps) disajikan pada Tabel 13 di atas. Sebanyak tujuh karakter reproduksi yang diukur, lima karakter reproduksi tidak berbeda nyata antara induk hasil seleksi (G3Ps) dan populasi dasar (G2Ds). Sedangkan untuk karakter jumlah telur per gram dari induk G3Ps lebih banyak dibandingkan dengan populasi dasar (G2Ds). Hal ini menunjukkan bahwa bobot telur G3Ps lebih ringan dibandingkan dengan G2Ds. Namun perbedaan bobot telur antara G3Ps dan G2Ds tidak berdampak terhadap derajat pembuahan maupun derajat penetasan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seleksi yang dilakukan tidak berdampak negatif terhadap performa reproduksi galur pertumbuhan, paling tidak sampai generasi ketiga.

3.9. Ketahanan Terhadap Penyakit Evaluasi ketahanan (resistensi) ikan Patin Siam tumbuh cepat terhadap penyakit dilakukan melalui uji tantang terhadap infeksi bakteri penyebab penyakit utama pada budidaya ikan Patin Siam, yaitu bakteri Edwardsiella ictaluri dan Aeromonas hydrophila. Uji tantang tersebut dilakukan secara laboratoris sebagaimana disajikan pada Gambar 23.

44

Gambar 23. Kegiatan uji ketahanan terhadap penyakit ikan Patin Siam hasil seleksi di BPBAT Sungai Gelam

Masing-masing populasi ikan uji diasumsikan specific pathogen free (SPF) dari infeksi bakteri Edwardsiella ictaluri dan Aeromonas hydrophila berdasarkan hasil diagnosis secara bakteriologis yang dilakukan sebelum proses aklimatisasi. Evaluasi SPF dilakukan dengan cara mengecek masing-masing 10 ekor benih ikan Patin Siam tumbuh cepat (G3Ps) dan ikan Patin Siam Perkasa yang diambil secara acak kemudian dibedah dan dilakukan uji SPF pada media agar TSA (Triptic Soy Agar). Selanjutnya, dilakukan proses aklimatisasi selama dua minggu. Setelah seluruh ikan uji menunjukkan kondisi normal (tingkah laku, respon pakan dan status kesehatan), kemudian dilakukan plotting ke dalam akuarium pengujian, masing-masing sebanyak 10 ekor dengan 3 kali ulangan. Pakan komersial dengan kadar protein kasar sebesar 32–34% diberikan secara ad libitum pada pagi dan sore hari (Gambar 24). Uji tantang terhadap infeksi bakteri Edwardsiella ictaluri dan Aeromonas hydrophila dilakukan melalui injeksi intramuskular. Injeksi dilakukan kepada setiap individu ikan uji sebanyak 0.2 mL x 105 CFU/mL. Perubahan tingkah laku, gejala klinis dan kematian ikan diamati setiap 3-4 jam selama empat hari (96 jam).

45

Gambar 24. Prosedur pelaksanaan uji tantang pada benih ikan Patin Siam tumbuh cepat (G3Ps) dibandingkan dengan benih ikan Patin Siam Perkasa terhadap infeksi bakteri Edwardsiella ictaluri dan Aeromonas hydrophila. Hasil pengujian menunjukkan setelah ikan Patin Siam diinfeksi secara intramuscular dengan konsentrasi E. ictaluri 0.2 x105 cfu/mL menimbulkan gejala klinis antara lain: timbulnya bercak merah pada kulit, pembengkakan abdomen, dan ikan berenang dengan kepala di permukaan air/vertikal (Gambar 25).

Gambar 25. Gejala klinis ikan Patin Siam setelah diinfeksi E. ictaluri. (A) hemoragi; bercak merah; (B) dropsy; perut membengkak; (C) renang menggantung di permukaan air

Perubahan patologi anatomi pada ikan uji yang terinfeksi E. ictaluri yang teramati yaitu adanya kerusakan organ dalam antara lain hati pucat, membesar

46

dan terdapat bintik-bintik putih, ginjal menjadi merah kehitaman, adanya asites, atau timbunan cairan yang berwarna kuning keruh, atau bening. Hati yang membesar dan adanya asites mengakibatkan pembengkakan abdomen. Kondisi ini sama seperti hasil yang dilaporkan oleh Susanti et al, (2016) dan Hassan et al. (2012) bahwa ditemukan adanya asites pada ikan yang mati karena infeksi E. ictaluri. Gejala klinis dan perubahan patologi organ dalam terjadi pada kedua populasi ikan uji, baik pada ikan Patin Perkasa maupun G3Ps. Hasil pengamatan terhadap mortalitas selama 96 jam pasca infeksi 0.2 x105 cfu/mL bakteri E. ictaluri pada ikan Patin Siam G3PS dan Perkasa disajikan pada Gambar 26. Kematian menunjukkan tingkat yang cukup tinggi yaitu > 50%. Ikan Patin Siam G3Ps lebih tahan terhadap serangan penyakit dibandingkan dengan ikan Patin Perkasa.

100,00 y = -16,667x2 + 112x - 93,333 80,00 R² = 0,9849 33 jam 60,00

40,00 83 jam 20,00 y = 1,6667x2 + 16,333x - 18,333

Persentase mortalitas (%) 0,00 R² = 0,9993 24 48 72 96 -20,00 Waktu pengamatan (jam) Perkasa G3Ps

Gambar 26. Pola mortalitas ikan Patin Siam G3Ps dibandingkan dengan ikan Patin Siam Perkasa dalam uji tantang infeksi bakteri Edwardsiella ictaluri pada dosis infeksi bakteri 0,2 x 105CFU/mL selama 96 jam pasca infeksi.

Berdasarkan jumlah tingkat kematian ikan Patin Siam selama pasca infeksi baik pada ikan G3Ps maupun Perkasa, maka didapatkan nilai sintasan ikan Patin Siam sebagaimana tersaji pada Tabel 15.

47 4

Tabel 15. Sintasan/SR ikan Patin Siam G3Ps dibandingkan dengan ikan Patin Siam Perkasa dalam uji tantang infeksi bakteri Edwardsiella ictaluri pada dosis infeksi bakteri 0,2 x 105CFU/mL. Sintasan/SR (%) Jam ke- G3Ps Perkasa 24 100,00±0,00 100,00±0,00 48 80,00±20,00a 30,00±17,32b 72 53,33±15,28a 13,33±5,77b 96 26,67±5,77a 10,00±0,00b

Gejala klinis pada ikan Patin Siam pasca infeksi bakteri A. hydrophila ditandai dengan perubahan tingkah laku pada 10 jam setelah infeksi. Perubahan tingkah laku ditandai dengan ikan berenang abnormal, ikan berdiam diri di dasar akuarium, berenang mendekati aerasi dan nafsu makan menurun.

Gambar 27. Gejala klinis dan perubahan tingkah laku ikan Patin Siam setelah diinfeksi A. hydrophilai. (H) hemoragi; bercak merah; (B) pembengkakan hati;

Selain gejala klinis tingkah laku terdapat pula perubahan morfologi organ eksternal dan internal pada semua perlakuan yang muncul 24 jam pasca infeksi berupa adanya peradangan, kemerahan pada punggung, timbulnya luka pada bagian bekas suntikan dan pembengkakan pada organ internal ikan. Perubahan lainnya adalah ikan banyak mengeluarkan lendir (mucus) sehingga air media pemeliharaan menjadi keruh terutama pada media pemeliharaan ikan Patin Perkasa.

48 2

Hasil pengamatan terhadap mortalitas selama 96 jam pasca infeksi 0.2 x105 cfu/mL bakteri A. hydrophila pada ikan Patin Siam G3PS dan Perkasa disajikan pada Gambar 28. Kematian ikan sudah mulai terjadi pada 24 jam pertama pasca infeksi terutama pada ikan Patin Perkasa.

120,00 y = -18,333x2 + 118,33x - 83,334 100,00 R² = 0,9566 2 80,00 y = -10x + 69,333x - 58,333 R² = 0,9913 60,00 29 jam 40,00

20,00 61 0,00 jam

Prosentase mortalitas (%) 24 48 72 96 Waktu pengamatan (jam) Perkasa G3Ps Gambar 28. Pola mortalitas ikan Patin Siam G3Ps dibandingkan dengan ikan Patin Siam Perkasa dalam uji tantang infeksi bakteri Aeromonas hydrophila pada dosis infeksi bakteri 0,2 x 105CFU/mL selama 96 jam pasca infeksi.

Hasil analisis varian terhadap tingkat sintasan ikan Patin Siam G3Ps dan Perkasa disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Sintasan ikan Patin Siam G3Ps dibandingkan dengan ikan Patin Siam Perkasa dalam uji tantang infeksi bakteri Aeromonas hydrophila pada dosis infeksi bakteri 0.2 x 105 CFU/mL.

Sintasan/SR (%) Jam ke- G3Ps Perkasa 24 100.00±0.00 86.67±5.77 48 56.67±15.28a 10.00±10.00b 72 43.33±11.55a 3.33±5.77b 96 40.00±20.00a 0.00±0.00b

Ket.: notasi huruf berbeda pada baaris yang sama menunjukkan perbedaan signifikan (p<0,05)

Berdasarkan table diatas, sintasan pada kedua populasi ikan uji menunjukkan perbedaan yang signifikan (p < 0.05) antara Patin Siam G3Ps yang

49 2

lebih unggul jika dibandingkan Patin Perkasa terhadap infeksi bakteri A.hydrophila.

3.10. Produktivitas (uji banding/kompetitor) Uji banding hasil seleksi galur pertumbuhan G3Ps dilakukan dengan menggunakan pembanding ikan Patin hasil rilis sebelumnya, yaitu ikan Patin Perkasa. Ikan Patin Perkasa merupakan hasil pemuliaan melalui seleksi famili di BRPI Sukamandi generasi kedua pada tahun 2018. Respon seleksi kumulatif ikan Perkasa adalah sebesar 38,86%. Uji banding pada tahap pembesaran di BPBAT Sungai Gelam pembesaran benih G3Ps dan Perkasa menggunakan bak beton yang terletak di dalam ruangan dengan atap semi-transparan. Masing-masing galur (G3Ps dan Perkasa) dipelihara dalam sepuluh unit bak. Ukuran bak yang digunakan yaitu 3x2x0.9 m3. Jumlah benih yang dipelihara per bak sebanyak 60 ekor (10 ekor/m2). Pakan yang diberikan adalah pakan buatan yang bersifat terapung dengan kandungan protein 30-32%, ukuran pakan disesuaikan dengan ukuran ikan. Frekuensi pemberian pakan 2 kali sehari secara satiasi. Pembesaran dilakukan selama 5 bulan. Pergantian air selama masa pemeliharaan secara sistem air mengalir dengan debit 5-6 L menit-1. Setiap minggu diukur parameter kualitas air (suhu, pH, DO dan NH3) dan setiap bulan akan dilakukan sampling untuk mengukur bobot tubuh, panjang standar dan panjang total. Parameter yang akan dihitung pada tahap ini yaitu sintasan, biomas panen, bobot tubuh rerata dan efisiensi pakan. Uji banding di kawasan budidaya Patin Kumpeh wadah yang digunakan yaitu satu unit kolam tanah dengan luas 500 m2 yang disekat menjadi 6 unit, masing-masing galur dipelihara dalam 3 unit sekat tersebut. Padat tebar benih yaitu 10 ekor m-1 dan dipelihara selama 5 bulan. Ikan diberi pakan buatan apung dengan kandungan protein 30-32% yang diberikan dua kali sehari secara satiasi.

50 2

Setiap bulan dilakukan sampling untuk mengukur bobot tubuh, panjang total dan panjang standar. Pada masa akhir pemeliharaan dihitung jumlah ikan yang dipanen dan biomas dari masing-masing sekat. Parameter yang diukur pada tahap ini yaitu FCR, SR dan biomas panen. Uji banding di karamba Sungai Batanghari wadah yang digunakan karamba jaring apung dengan ukuran 3 x 3 meter dan kedalaman 1.5 yang terletak di sungai Batanghari tepatnya di Desa Sungai Duren, Kec. Jambi Luar Kota, Kab. Muaro Jambi. Jumlah karamba yang digunakan sebanyak 4 unit, 2 unit untuk G3Ps dan 2 unit untuk Perkasa. Jumlah benih yang ditebar untuk setiap karamba sebanyak 2000 ekor. Ikan diberikan pakan buatan bersifat apung dengan kandungan protein 32-34%. Frekuensi pemberian pakan 2 kali sehari secara satiasi. Kegiatan pembesaran dilakukan selama 150 hari. Parameter yang diukur pada tahap ini yaitu bobot tubuh, panjang standar, sintasan dan efisiensi pakan. Pada uji banding di UPR Empang Sahban Bogor, Provinsi Jawa Barat dilakukan menggunakan wadah bak beton berukuran 3x3x1,2 m. Parameter yang diukur pada tahap ini yaitu bobot tubuh, panjang standar dan sintasan. Beberapa foto kegiatan uji banding di beberapa lokasi disajikan pada Gambar 29.

Gambar 29. Kegiatan uji banding/kompetitor produktivitas ikan Patin Siam hasil seleksi (G3Ps) dengan ikan Patin Perkasa di BPBAT Sungai Gelam

51 2

Hasil uji banding antara Patin Siam galur pertumbuhan generasi ke tiga (G3Ps) hasil seleksi di BPBAT Sungai Gelam dengan Patin Perkasa ditampilkan pada Gambar 30 dan Gambar 31 di bawah ini. Gambar 30 menampilkan bobot tubuh rerata antara G3Ps dengan Perkasa yang diuji pada daerah/lokasi dan media yang berbeda. Lama pemeliharaan pada tahap pembesaran yaitu selama 5 bulan, namun umur ikan jika dihitung dari menetas berumur 7 bulan pada saat dilakukan pemanenan. Bobot tubuh rerata G3Ps yang dipelihara di fasilitas uji terbatas milik BPBAT Sungai Gelam dan kolam tadah hujan di kawasan budidaya ikan Patin Siam di Kec. Kumpeh lebih besar dibandingkan dengan Perkasa. Selisih bobot tubuh antara G3Ps dan Perkasa sebesar 14,04% untuk yang dipelihara di BPBAT Sungai Gelam dan 30,36% untuk yang dipelihara di Kumpeh. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh adanya interaksi antara genetik dari galur yang dipelihara dengan kondisi lingkungan dimana ikan tersebut dipelihara. Patin Perkasa yang merupakan hasil seleksi BRPI Sukamandi dipelihara pada lingkungan yang baik yaitu pergantian air cukup karena dekat saluran irigasi. Sedangkan Patin G3Ps diproduksi pada kolam tadah hujan. Perbedaan lingkungan ini menyebabkan gen-gen yang aktif dan ikut terseleksi berbeda (Saltz 2011; Nilsson et al. 2016). Patin G3Ps karena diproduksi di kolam tadah hujan, sehingga lebih adaptif ketika dipelihara pada kolam tadah hujan seperti di kawasan budidaya Patin di Kumpeh. Dengan demikian selisih antara G3Ps dengan Perkasa lebih besar pada yang dipelihara di Kumpeh dibandingkan pada fasilitas uji terbatas di BPBAT Sungai Gelam. Hal yang sama juga terjadi pada hasil program seleksi pada komoditas lain ikan nila (Ngo et al. 2016; Nguyen et al. 2017).

52

G3Ps Perkasa 1060,62 1.100 30.36% 900 697,55 813,63 700 14.04% 611,59 500 363,81 300 200,76 367,23 187,6 100

Rerata bobot tubuh (g) tubuh bobot Rerata (100) BPBAT SG Kumpeh Bogor Sungai batanghari

Gambar 30. Nilai rerata bobot tubuh G3Ps dan Perkasa pada tahap pembesaran Sedangkan selisih bobot tubuh antara G3Ps dan Perkasa yang dipelihara di fasilitas uji terbatas BPBAT Sungai Gelam hanya sebesar 14.04%. Perbedaan ini mungkin disebabkan perbedaan generasi antara G3Ps dengan Perkasa sedangkan lingkungan tidak mempengaruhi. G3Ps merupakan galur pertumbuhan generasi ketiga sedangkan Patin Perkasa merupakan generasi kedua. Perbedaan 14.04% untuk satu generasi merupakan angka yang wajar dalam program seleksi konvensional (Gjedrem and Robinson 2014). Selisih bobot tubuh rerata G3Ps dengan Perkasa yang dipelihara di Sungai Batanghari dan Bogor tidak berbeda nyata. Jika dilihat bobot tubuh rerata yang kurang dari 400 g/ekor dalam waktu 5 bulan pemeliharaan, menunjukkan pertumbuhan yang abnormal, karena umumnya ikan Patin Siam yang dipelihara selama 5 bulan dapat mencapai 500 – 800 g ekor-1 (Phan et al. 2009; Ali et al. 2013). Hal ini diduga disebabkan ada kendala non teknis dalam proses pemeliharaannya, sehingga G3Ps maupun Perkasa tidak tumbuh secara maksimal.

Sintasan G3Ps dan Perkasa yang dipelihara di berbagai lokasi dan wadah yang berbeda disajikan pada Gambar 31 di bawah ini. Sintasan G3Ps dan Perkasa yang dipelihara di BPBAT Sungai Gelam dan Kumpeh tidak berbeda

53

signifikan. Sedangkan sintasan G3Ps di Sungai Batanghari dan Bogor lebih tinggi dibandingkan dengan Patin Perkasa. Sintasan rerata dari semua lokasi uji banding untuk G3Ps sebesar 65.49% sedangkan Perkasa sebesar 45.08%. Dengan demikian, Patin G3Ps lebih tahan dibandingkan dengan Patin Perkasa. Sebagaimana penjelasan di atas, hal ini diduga disebabkan oleh lingkungan untuk memproduksi Patin G3Ps yaitu kolam tadah sehingga ikan-ikan yang terseleksi membawa gen-gen untuk beradaptasi dengan lingkungan yang buruk.

99,67 100 95,00 G3Ps Perkasa 80 66,63 64,43 65,49 60 46,38 45,08

40 31,2429,56

20 9,38 Sintasan Sintasan (%)

-

Gambar 31. Sintasan G3Ps dan Perkasa pada tahap pembesaran pada berbagai lokasi Berdasarkan hasil uji banding pembesaran di BPBAT Sungai Gelam dan Kumpeh dapat disimpulkan bahwa Patin Siam galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps) hasil seleksi di BPBAT Sungai Gelam lebih cepat tumbuh dengan selisih bobot tubuh berkisar 14,04% – 30,36% dan sintasan lebih tinggi dibanding dengan ikan Patin Siam yang sudah dirilis yaitu Patin Perkasa.

3.11. Karakterisasi Genotipe

Pengujian secara genotipe dilakukan menggunakan analisis RAPD PCR. Uji RPAD PCR menggunakan tiga primer: OPA11, OPB2, dan OPC3

54

menghasilkan 14 Locus polymorphic, yaitu OPA11-3, OPA11-6, OPA11-7, OPA11-8, OPB2-1 hingga OPB2-6, serta OPC3-1 hingga OPC3-4. Analisis heterozigositas kemudian dilakukan dari lokus polimorfik. Hasil uji genotype disajikan pada Tabel 17 di bawah ini.

Tabel 17. Hasil nilai heterozigositas ikan Patin Siam galur pertumbuhan (G3Ps) dibandingkan dengan populasi dasar berdasarkan analisis RAPD PCR

Diversitas pada populasi yang sama N Na Ne I He uHe Populasi G3Ps Mean 10.000 2.000 1.613 0.522 0.350 0.369 SE 0.000 0.000 0.093 0.048 0.040 0.042 Populasi Dasar Mean 10.000 2.000 1.694 0.577 0.394 0.415 SE 0.000 0.000 0.070 0.035 0.029 0.031

Diversitas antar kedua populasi N Na Ne I He uHe Total Mean 10.000 2.000 1.654 0.550 0.372 0.392 SE 0.000 0.000 0.058 0.030 0.025 0.026 Keterangan : Na = No. of Different Alleles; Ne = No. of Effective Alleles = 1 / (p^2 + q^2); I = Shannon's Information Index = -1* (p * Ln (p) + q * Ln(q)); He = Expected Heterozygosity = 2 * p * q; uHe = Unbiased Expected Heterozygosity = (2N / (2N-1)) * He; Where for Diploid Binary data and assuming Hardy-Weinberg Equilibrium, q = (1 - Band Freq.)^0.5 and p = 1 - q.

Hasil analisis menujukkan bahwa Nilai heterozigositas pada populasi P= 0.350 ± 0.04, Nilai heterozigositas pada populasi D= 0.394 ± 0.029, Nilai heterozigositas dari kedua populasi adalah 0.372 ± 0.025. Hasil analisis jarak genetis berdasarkan hasil analisis RAPD menjunjukkan bahwa ikan Patin hasil seleksi (G3Ps) memiliki jarak genetic yang sama dengan populasi dasar. Dendogram kekerabatan ikan Patin Siam berdasarkan jarak genetik ditunjukan pada Gambar 32 di bawah ini.

Gambar 32. Dendrogram jarak genetik ikan Patin Siam G3Ps (P) dibandingkan dengan populasi dasar (D) berdasarkan analisis RAPD (Based Nei's (1972) Genetic distance: Method = UPGMA)

55

3.12. Ketersediaan Calon Induk Produksi calon induk merupakan salah satu IKU (indikator kinerja utama) BPBAT Sungai Gelam. Jumlah induk/calon induk ikan Patin Siam yang diproduksi dan didistribusikan oleh BPBAT Sungai Gelam disajikan pada Gambar 33 di bawah ini. Calon induk/induk yang diproduksi tahun 2019 merupakan galur pertumbuhan generasi kedua (G2Ps), untuk tahun 2020 adalah galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps) dan untuk tahun 2021 merupakan calon induk galur pertumbuhan generasi keempat (G4Ps).

45.000 41500 40.000 35.000 30.000 Produksi 25.000 Distribusi 20.000

15.000 Jumlah Jumlah (Ekor) 10.000 6.000 7.500 5.000 1.839 1.880 861 - Tahun 2019 tahun 2020 Maret 2021

Gambar 33. Produksi dan distribusi ikan Patin Siam hasil seleksi galur pertumbuhan (G3Ps) pada Tahun 2019 s.d. Bulan Maret 2021 di BPBAT Sungai Gelam Induk Patin Siam yang diproduksi oleh BPBAT Sungai Gelam paling banyak didistribusikan ke Propinsi Jambi dan Riau (Gambar 34). Hal ini menunjukkan banyak UPR yang memproduksi benih ikan Patin Siam pada kedua propinsi tersebut. Kegiatan produksi benih di Sumatera Utara juga mulai berkembang, namun karena jaraknya yang cukup jauh dari BPBAT Sungai Gelam sehingga permintaan induk ikan Patin Siam sedikit.

56

1.000 900 861 800 735 695 700 Tahun 2019 610 Tahun 2020 600 Maret 2021 500 405 400 Jumlah (ekor) 309 330 260 300 225 200 150 100 - - - - Sumut Riau Jambi Sumsel Babel Lampung Gambar 34. Daerah distribusi ikan Patin Siam hasil seleksi galur pertumbuhan (G3Ps) pada Tahun 2019 s.d. Bulan Maret 2021 di BPBAT Sungai Gelam

UPR ikan Patin Siam banyak terdapat di pulau Jawa (Labuan Banten, Bogor, Depok, Bekasi) sehingga kesulitan distribusi calon induk Patin Siam karena jaraknya yang jauh. Oleh karena itu, BPBAT Sungai Gelam telah mengirimkan benih calon induk ke UPT DJPB yang ada di Pulau Jawa yaitu BLUPPB Karawang dan BBPBAT Sukabumi (Tabel 18) agar UPR Patin yang ada di pulau Jawa dapat mengakses dengan mudah jika membutuhkan.

Tabel 18. Ketersediaan induk (distribusi dari BPBAT Sungai Gelam) di instansi lain dan Unit Pembenihan Rakyat

Volume Penerima Ukuran Lokasi Tahun distribusi (ekor)

BBPBAT 600,000 Larva Sukabumi 2020 Sukabumi

UPR Sahban 2,000 2.5 – 3.0 inci Parung Bogor 2020 empang

BLUPPB Karawang 15,000 1.5 – 2.0 inci Karawang 2021

57

Hasil seleksi Individu dapat memberikan manfaat dalam‘’ pengembangan ikan Patin unggul. Manfaat ini dapat dilihat dari segi teknologi, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dilihat dari segi teknologi, BPBAT Sungai Gelam melakukan seleksi karakteristik hardiness (daya tahan) dengan metode seleksi family/individu dan seleksi uji tantang amoniak. Segi ekonomi memberikan manfaat kepada pembudidaya terhadap produksi yang lebih tinggi dan waktu panen yang cepat, sehingga akan meningkatkan nilai tambah berupa pendapatan yang lebih meningkat. Segi sosial memberikan manfaat dengan didistribusikannya ikan Patin Unggul kepada UPR atau Pembudidaya sebagai bantuan pemerintah melalui penjualan dan didiseminasikan ke masyarakat tentang keunggulannya. Sedangkan dilihat dari segi lingkungan, metode seleksi individu yang dilakukan merupakan metode yang ramah lingkungan, sehingga produk yang dihasilkan bisa dikembangkan secara luas ke masyarakat. ‘’

IV. MANFAAT

4.1. Manfaat Teknologi

Hasil seleksi Individu ini dari segi teknologi memberikan manfaat yang cukup menjanjikan dalam pengembangan ikan Patin unggul ke depan. BPBAT Sungai Gelam Jambi menjadi salah satu instansi yang ikut membantu pemuliaan ikan Patin, sehingga setidaknya ada dua instansi (dengan BRPI Sukamandi) yang secara konsen melakukannya sejak ditetapkan sebagai PUSTINA. Hasil pertumbuhan yang tinggi, sifat daya tahan terhadap lingkungan dan ketahanan terhadap penyakit yang lebih unggul (mortalitas rendah), konsumsi pakan yang lebih efisien (FCR rendah) dapat mendorong kemungkinan untuk pengembangan teknologi ikan Patin unggul lainnya. Kemungkinan pengembangan bisa dengan melakukan hibridisasi dengan Patin yang sudah ada ataupun melakukan seleksi untuk karakteristik lain. Seperti yang sedang dilakukan di BPBAT Sungai Gelam melakukan seleksi karakteristik hardiness (daya tahan) dengan metode seleksi family/individu di lingkungan budidaya yang buruk dan seleksi dengan uji tantang amoniak yang telah dilakukan sampai generasi kedua.

4.2. Manfaat Ekonomi Ikan Patin hasil seleksi galur pertumbuhan menunjukkan hasil yang positif (lebih unggul) jika dibandingkan dengan ikan Patin populasi dasar maupun ikan Patin hasil rilis sebelumnya. Hal ini tentunya akan memberikan manfaat dan dampak terhadap ekonomi pembudidaya ikan ke depan jika dirilis ke masyarakat luas. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup/sintasan yang lebih tinggi yang cepat akan memberikan manfaat terhadap produksi yang lebih tinggi dan waktu panen yang cepat, sehingga secara ekonomi akan meningkatkan nilai

59

tambah berupa pendapatan yang lebih meningkat. Pada parameter daya tahan terhadap lingkungan (secara langsung berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan) dan karakteristik efisiensi penggunaan pakan (FCR rendah) tentunya akan menekan biaya produksi sehingga secara ekonomi bisa meningkatkan keuntungan pembudidaya.

4.3. Manfaat Sosial Hasil seleksi ini akan memberikan manfaat secara sosial ke depan terhadap Unit Pembenihan Rakyat (UPR) maupun Pembudidaya ikan Patin di Indonesia. Ikan Patin unggul ini akan didistribusikan sebagai bantuan pemerintah, melalui penjualan, dan didesiminasikan ke masyarakat tentang keunggulannya. Strain baru ikan Patin Siam ini juga diharapkan akan mendukung program prioritas KKP untuk ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat mengingat banyaknya pelaku budidaya ikan ini. Program yang bisa menggunakan ikan unggul ini diantaranya program bantuan benih dan calon induk, program bantuan revitalisasi UPR ikan Patin, program pengembangan kampung ikan Patin, serta program-program lain yang secara langsung menyentuh ke masyarakat. Daya tahan yang lebih tinggi terhadap penyakit dan lingkungan juga secara sosial bisa membuka peluang bagi masyarakat untuk membudidayakan ikan ini dalam lingkungan yang lebih luas dan bisa mengurangi penderitaan pembudidaya ikan Patin di daerah-daerah yang sering terjangkit penyakit. Dirilisnya ikan Patin unggul ini diharapkan bisa memberikan dampak sosial yang positif terhadap pembenih dan pembudidaya ikan Patin di Indonesia.

4.4. Manfaat Lingkungan Efek ikan Patin hasil seleksi galur pertumbuhan ini terhadap lingkungan tentunya tidak memiliki pengaruh yang negatif. Hal tersebut dikarenakan ikan

60

Patin ini merupakan ikan yang sudah familiar dibudidayakan di masyarakat Indonesia, baik dalam wadah terkontrol maupun di perairan umum. Banyak pembudidaya yang membudidayakan ikan Patin di karamba di Sungai, waduk, dan beberapa perairan umum lainnya karena ikan ini memang bukan tergolong ikan yang invasive. Metode seleksi individu juga merupakan salah satu metode seleksi yang ramah lingkungan, sehingga produk yang dihasilkan juga bukan termasuk GMO (Genetically Modified Organism) sehingga bisa dikembangkan secara luas ke masyarakat. Produk ikan Patin unggul ini juga lebih efisien dalam penggunaan pakan (dilihat dari FCR) dibandingkan produk sebelumnya, sehingga secara tidak langsung bisa mengurangi pencemaran lingkungan akibat limbah pakan ikan jika produk ini disebarkan ke masyarakat.

61

V. DESKRIPSI RINGKAS

No. Deskripsi Keterangan/Nilai 1. Silsilah Induk 1.1 Waktu koleksi Tahun 2009 Riau, Jambi, Lampung, Bogor, Bekasi Subang, 1.2 Daerah asal koleksi Mandiangin, Kamboja dan Vietnam 1.3 Keunggulan Tumbuh cepat 1.4 Klasifikasi Kingdom Animalia Phylum Class Actinopterygii Order Siluriformes Family Pangasidae Pangasianodon Spesies Pangasianodon hypophthalmus, Sauvage, 1878) Nama ilmiah Pangasianodon hypophthalmus Sauvage, 1878 Pangasius hypophthalmus, Pangasius sutchi, Nama sinonim Helicophagus hypophthalmus Nama umum Strip catfish Inggris Nama Indonesia Patin Siam

2. Metode Pemuliaan Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Sungai Gelam - 2.1 Lokasi Jambi 2.2 Waktu Tahun 2009-2020

2.3 Metode Seleksi individu

63

3. Karakteristik Fenotipe

3.1 Morfometrik

3.2 Meristik

3.3 Warna

3.4 Pertumbuhan

Tahap Pembenihan

64

Tahap Pembesaran

3.5 Toleransi Lingkungan

− Ikan Patin pustina memiliki toleransi salinitas lebih tinggi dibandingkan dengan Patin Perkasa Toleransi pH − Mortalitas pada pH 3,5 ikan Patin pustina sebesar 83,33% sedangkan Patin Perkasa sebesar 100% − Ikan Patin pustina memiliki toleransi salinitas lebih tinggi dibandingkan dengan Patin Perkasa Toleransi salinitas − Mortalitas 100% pada ikan Patin pustina pada salinitas 14 g/L sedangkan Patin Perkasa pada salinitas 12 g/L

3.6 Kualitas Daging

− Ikan Patin di habitat asli sebagai pemakan segala (omnivora) yang lebih aktif pada malam hari Pakan dan 3.7 Kebiasaan Makan − Dalam kondisi budidaya ikan Patin Siam pada fase larva diberi pakan alami berupa naupli artemia/moina dan caing Tubifex sp. Sedangkan

65

pada fase benih-sampai dewasa dapat mengkonsumsi pakan buatan − Umur awal matang gonad, betina 20 bulan, jantan 10 bulan − Diameter telur sebelum diovulasikan 1.04±0.03 mm 3.8 Reproduksi − Diameter telur yang diovulasikan 1.263±0.066 mm − Fekunditas 253,025±52,742 butir/kg induk − Derajat pembuahan 67.88±10.93% − Derajat penetasan 62.14±13.58% 3.9 Ketahanan Penyakit − Kematian 50% terjadi pada waktu 33 jam untuk Patin Perkasa dan 85 jam untuk Patin Pustina Infeksi bakteri dengan dosis infeksi 0,2 x 105 CFU/ml Edwardsilla − Mortalitas uji tantang akhir pengujian (96 jam) untuk perkasa 100% dan Pustina 73,33% − Kematian 50% terjadi pada waktu 29 jam untuk Patin Perkasa dan 61 jam untuk Patin Pustina Infeksi bakteri dengan dosis infeksi 0,2 x 105 CFU/ml Aeromonas − Mortalitas uji tantang akhir pengujian (96 jam) untuk perkasa 100% dan Pustina 60,00% − Akumulasi respons seleksi sampai generasi ketiga sebesar 42.60% atau per generasi sebesar 14,20% Peningkatan untuk karakter bobot tubuh 3.10 Kualitas − Selisih antara Pustina dan Perkasa untuk karakter Pertumbuhan bobot tubuh rerata 17,31%, total biomas panen 22,76%, kelangsungan hidup 31,66% dan FCR 17,03%.

Karakteristik Heterozigositas G3Ps sebesar 0.350 dan populasi 4. − Genotipe dasar sebesar 0.394

Jumlah total calon induk betina sebanyak 21500 5. Ketersediaan Induk − ekor dan jantan sebanyak 20000 ekor

6. Manfaat − Indonesia memiliki strain ikan Patin Siam yang lebih unggul dibandingkan dengan strain 6.1 Aspek Teknologi sebelumnya − Mudah digunakan oleh masyarakat

66

− Keunggulan bersifat permanen karena diwariskan secara genetic − Pertumbuhan yang cepat dan kelangsungan hidup/sintasan yang tinggi akan meningkatkan 6.2 Aspek Ekonomi produktivitas para pembudidaya ikan Patin Siam

− Ikan Patin unggul ini akan didistribusikan sebagai bantuan pemerintah, melalui penjualan, dan didesiminasikan ke masyarakat tentang keunggulannya. 6.3 Aspek sosial − Strain baru ikan Patin Siam ini juga diharapkan akan mendukung program prioritas KKP untuk ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat mengingat banyaknya pelaku budidaya ikan ini − Metode seleksi individu juga merupakan salah satu metode seleksi yang ramah lingkungan, sehingga produk yang dihasilkan juga bukan termasuk GMO (Genetically Modified Organism) sehingga aman dikonsumsi. 6.4 Aspek lingkungan − Produk ikan Patin unggul ini juga lebih efisien dalam penggunaan pakan (dilihat dari FCR) dibandingkan produk sebelumnya, sehingga secara tidak langsung bisa mengurangi pencemaran lingkungan akibat limbah pakan ikan jika produk ini disebarkan ke masyarakat.

67

‘’Berdasarkan hasil-hasil pengujian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ikan Patin Siam galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps) tumbuh dengan cepat dan memiliki ketahanan terhadap cekaman lingkungan serta ketahanan terhadap penyakit yang lebih baik dibandingkan dengan ikan Patin Siam Perkasa. ‘’

VI. PENUTUP

Respons seleksi kumulatif ikan Patin Siam galur pertumbuhan sampai generasi ketiga (G3Ps) sebesar 42,6% atau per-generasi sebesar 14,20%. Patin G3Ps lebih unggul jika dibandingkan dengan Patin Perkasa (produk rilis sebelumnya) dengan selisih untuk karakter bobot tubuh rerata 17,31%, total biomas panen 22,76%, Kelangsungan Hidup 31,66% dan FCR 17,03%. Toleransi salinitas dan ketahanan penyakit Patin G3Ps juga lebih unggul dibandingkan dengan Patin Perkasa. Calon/induk Patin Siam G3Ps telah tersedia di BPBAT Sungai Gelam dan beberapa UPT DJB di Pulau Jawa (BLUPPB Karawang dan BBPBAT Sukabumi). Program seleksi ikan Patin Siam galur pertumbuhan di BPBAT Sungai Gelam terus dilanjutkan dan telah sampai pada generasi ke empat (G4Ps) per 7 September 2020 sehingga kedepan akan lebih unggul dengan bertambahnya generasi. Berdasarkan hasil-hasil pengujian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ikan Patin Siam galur pertumbuhan generasi ketiga (G3Ps) tumbuh dengan cepat dan memiliki ketahanan terhadap cekaman lingkungan serta ketahanan terhadap penyakit yang lebih baik dibandingkan dengan ikan Patin Siam Perkasa. Berdasarkan hasil-hasil pengujian tersebut, populasi ikan Patin Siam G3Ps dipandang layak untuk diajukan permohonannya agar dapat dilepas sebagai strain unggul ikan Patin Siam tumbuh cepat, dengan usulan nama “PATIN PUSTINA”.

69

DAFTAR PUSTAKA

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2016a. SNI 6483.3:2016. Ikan Patin Siam (Pangasianodon hypophthalmus, Sauvage 1878)- Bagian 3: Produksi induk. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2016b. SNI 6483.4:2016. Ikan Patin Siam (Pangasianodon hypophthalmus, Sauvage 1878)-Bagian 4 : Produksi benih. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2016c. SNI 6483.2:2016. Ikan Patin Siam (Pangasianodon hypophthalmus, Sauvage 1878) - Bagian 2 : Benih. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2014. SNI 7982:2014. Sarana penetasan telur ikan Patin Siam (Pangasianodon hypophthalmus) dengan sistem corong. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional Ali H, Haque MM, Belton B. 2013. Striped catfish (Pangasianodon hypophthalmus, Sauvage, 1878) aquaculture in Bangladesh: An overview. Aquac. Res. 44:950–965. doi:10.1111/j.1365-2109.2012.03101.x. Bentsen HB, Gjerde B, Eknath AE, Palada MS, Vera D, Velasco RR, Danting JC, Dionisio EE, Longalong FM, Reyes RA et al. 2017. Genetic improvement of farmed tilapias: Response to five generations of selection for increased body weight at harvest in Oreochromis niloticus and the further impact of the project. Aquaculture. 468: 206-217. doi:10.1016/j.aquaculture.2016.10.018. [DJPB] Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2016. Laporan kinerja tahun 2016. Jakarta (ID): DJPB. Gjedrem T, Baranski M. 2009. Selective Breeding in Aquaculture: An Introduction. Nielsen JL, editor. Dordrech (NL): Springer. 221 hlm. Gjedrem T, editor. 2005. Selection and Breeding Programs in Aquaculture. Springer. Gjedrem T, Robinson N. 2014. Advances by Selective Breeding for Aquatic : A Review. :1152–1158. Gjedrem T, Robinson N, Rye M. 2012. The importance of selective breeding in aquaculture to meet future demands for protein : a review. Aquaculture. 350-353: 117-129. doi:10.1016/j.aquaculture.2012.04.008. Janssen K, Chavanne H, Berentsen P, Komen H. 2017. Impact of selective breeding on European aquaculture. Aquaculture. 472: 8–16. doi:10.1016/j.aquaculture.2016.03.012. Lefevre S, Do TTH, Nguyen TKH, Wang T, Nguyen TP, Bayley M. 2011. A telemetry study of swimming depth and oxygen level in a Pangasius pond in the Mekong Delta. Aquaculture. 315:410–413. Lefevre S, Wang T, Do TTH, Nguyen TKH, Bayley M. 2013. Partitioning of

71

oxygen uptake and cost of surfacing during swimming in the air-breathing catfish Pangasianodon hypophthalmus. J. Comp. Physiol. B. 183: 215- 221. doi:10.1007/s00360-012-0701-8. Mulyani A, Sarwani M. 2013. Karakteristik dan potensi lahan sub optimal untuk pengembangan pertanian di Indonesia. J. Sumberd. Lahan 7:47-55. doi: org/10.2018/jsdl.v7i1.6429. Ngo PT, Nguyen HN, Nguyen TH, Knibb W, Nguyen HD, Nguyen HN. 2016. Additive genetic and heterotic effects in a 4x4 complete diallel cross- population of Nile tilapia (Oreochromis niloticus, Linnaeus, 1758 ) reared in different water temperature environments in Northern Vietnam. Aquac. Res. 47:708–720. doi:10.1111/are.12530. Nguyen NH, Hamzah A, Thoa NP. 2017. Effects of Genotype by Environment Interaction on Genetic Gain and Genetic Parameter Estimates in Red Tilapia ( Oreochromis spp .). Front. Genet. 8. Nguyen TP. 2013. On-farm feed management practices for striped catfish in Mekong River Delta, Viet Nam. On-farm Feed. Feed Manag. Aquac. FAO Fish. Aquac. Tech. Pap. No. 583. Rome, FAO. pp 241–267. Nilsson J, Backström T, Stien LH, Carlberg H, Jeuthe H, Magnhagen C, Brännäs E. 2016. Effects of age and rearing environment on genetic parameters of growth and body weight and heritability of skin pigmentation in Arctic charr ( Salvelinus alpinus L .). Aquaculture 453:67–72. Phan LT, Bui TM, Nguyen TTT, Gooley GJ, Ingram BA, Nguyen H V., Nguyen PT, De Silva SS. 2009. Current status of farming practices of striped catfish, Pangasianodon hypophthalmus in the Mekong Delta, Vietnam. Aquaculture 296:227–236. doi:10.1016/j.aquaculture.2009.08.017. Phuong LM, Huong DTT, Nyenggaard JR, Bayley M. 2017. Gill remodelling and growth rate of striped catfish Pangasianodon hypophthalmus under impacts of hypoxia and temperature. Comp. Biochem. Physiol. Part A. 203:288–296. doi:10.1016/j.cbpa.2016.10.006. Rezk MA, Ponzoni RW, Ling H, Kamel E, Dawood T, John G. 2009. Selective breeding for increased body weight in a synthetic breed of Egyptian Nile tilapia, Oreochromis niloticus: Response to selection and genetic parameters. Aquaculture. 293:187–194. Saltz JB. 2011. Natural genetic variation in social environment choice: Context- dependent gene-environment correlation in Drosophila melanogaster. (N. Y). 65:2325–2334. doi:10.1111/j.1558-5646.2011.01295.x. Tahapari E, Darmawan J, Suharyanto. 2018. Genetic improvement of growth trait in Siamese catfish (Pangasianodon hypophthalmus ( Sauvage , 1878 )) through family selection. Bioflux 11:1648–1657. Thodesen J, Rye M, Wang YX, Bentsen HB, Gjedrem T. 2012. Genetic

72

improvement of tilapias in China: Genetic parameters and selection responses in fillet traits of Nile tilapia (Oreochromis niloticus) after six generations of multi-trait selection for growth and fillet yield. Aquaculture. 366–367:67–75. doi:10.1016/j.aquaculture.2012.08.028.

Vu NU, Huynh TG, Truong QP, Morales J, Nguyen TP. 2016. Assessment of water quality in catfish (Pangasianodon hypophthalmus) production systems in the Mekong delta. Can Tho Univ. J. Sci. 3:71–78. doi:10.22144/ctu.jen.2016.107.Wee NLJ, Tng YYM, Cheng HT, Lee SML, Chew SF, Ip YK. 2007. Ammonia toxicity and tolerance in the brain of the African sharptooth catfish, Clarias gariepinus. Aquat. Toxicol. 82:204–213. doi:10.1016/j.aquatox.2007.02.015.

73

LAMPIRAN 1. GAMBAR PATIN PUSTINA

Gambar Patin PUSTINA jantan

Gambar Patin PUSTINA betina

75

Gambar Patin PUSTINA jantan (atas) dan betina (bawah)

76

LAMPIRAN 2. POWERPOINT

77

78

79

80

81

82

83

84

85

86

87

88

89

90

91

92

93

94

95