Bab 1 Pendahuluan
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri musik di Indonesia berubah pesat dalam 3 tahun terakhir. Penjualan album fisik kaset dan CD merosot drastis. Musisi dengan penjualan mencapai 6 digit pun tinggal sebuah legenda atau cerita belaka. Atas dasar situasi ekonomi yang tak menentu, pembajakan yang kian marak dan berubahnya perilaku konsumen akibat trend digital merupakan tiga faktor utama yang memaksa grafik penjualan album fisik terjun bebas. Keterpurukan yang luar biasa ini tidak hanya dirasakan oleh Sony BMG Indonesia, namun the big four – sebutan 4 perusahaan rekaman di Indonesia; Sony BMG Indonesia, Universal Music Indonesia, Warner Music dan EMI sama-sama terkena imbasnya. Isyarat bakal ambruknya kuantitas penjualan fisik album rekaman sudah terlihat sejak 2007. Indikasinya adalah data resmi yang dikeluarkan oleh Asosiasi Rekaman Indonesia (ASIRI). Pada tahun 2005, jumlah kaset dan CD yang beredar berjumlah 30.032.460 keping. Setahun kemudian menciut menjadi 23.736.355 keping atau 1,9 juta keping per bulan. 1 2 Tabel 1.1 Perbandingan Peredaran Produk Legal dan Bajakan Karya Rekaman Suara Tahun Produk Legal Produk Bajakan (dalam juta keping) (dalam juta keping) 1996 77,55 23,06 1997 67,35 112,83 1998 41,65 137,2 1999 64,46 181,5 2000 52,5 240,1 2001 44,03 290,81 2002 34,27 363,51 2003 35,83 356,51 2004 39,76 331,3 2005 30,03 359,2 2006 23,73 385,7 2007 19,39 443,55 *estimasi unit bajakan tahun 2007 naik 15% dibanding tahun 2006 Sumber : ASIRI Pembajakan adalah faktor utama yang belum ada titik cerah penyelesaian masalahnya. Ketika CD mudah untuk digandakan, pembajakan semakin mudah pula. Belum lagi harga CD bajakan sekarang ini lebih murah dibanding CD yang asli. Pasar Indonesia yang mayoritas berasal dari kalangan menengah kebawah lebih memillih CD bajakan ketimbang kaset/CD asli dengan alasan harga yang lebih murah. Upaya pemerintah dengan membuat UU No. 19 Hak Cipta sebenarnya dapat membuat jera para pembajak di negeri ini. Namun, political action yang dilakukan pemerintah masih kurang mendukung political will yang dibuatnya itu. Wajar saja, kita mudah untuk mencari CD bajakan di Indonesia. Data dari ASIRI juga menunjukkan peningkatan 3 jumlah produk CD bajakan setiap tahunnya. Tahun 2006 saja meningkat hingga 8% dari tahun 2005. Dan dapat disimpulkan pula perbandingan produk legal dengan produk bajakan pada tahun 2007 adalah 1:22. (Rolling Stone Indonesia, 2008) Tanpa disadari, perubahan tren menjadi tren digital merupakan salah satu ancaman penjualan album fisik ini. Penemuan pemutar musik format digital dan ponsel pemutar musik membuat perubahan perilaku konsumen. Musik menjadi lebih mudah didapat apalagi dengan perkembangan internet. Ketika musik digital berformat MP3 memasuki dunia internet melalui jaringan pertukaran peer-to-peer Napster.com pada tahun 1999, penggemar musik digital mulai menjamur hingga saat ini. Musik digital didefinisikan sebagai harmonisasi bunyi yang dibuat melalui perekaman konvensional maupun suara sintetis yang disimpan dalam media berbasis teknologi komputer. Musik Digital menggunakan sinyal digital dalam proses reproduksi suaranya. Sebagai proses digitalisasi terhadap format rekaman musik analog, lagu atau musik digital mempunyai beraneka ragam format yang bergantung pada jenis piranti, yang biasa digunakan antara lain: MP3, WAV, WMA, dan AAC. (Wikipedia, 2008). MP3 (MPEG, Audio Layer 3) menjadi format paling populer dalam musik digital. Hal ini dikarenakan ukuran filenya yang kecil dengan kualitas yang tidak kalah dengan CD audio dengan bitrate sebesar 128 kbps. WAV merupakan standar suara de- facto di Windows. Awalnya hasil ripping dari CD direkam dalam format ini sebelum dikonversi ke format lain. Namun sekarang tahap ini sering dilewati karena file dalam format ini biasanya tidak dikompresi dan karenanya berukuran besar. AAC adalah singkatan dari Advanced Audio Coding. Format ini merupakan bagian standar Motion Picture Experts Group (MPEG), sejak standar MPEG-2 diberlakukan pada tahun 1997. Sample rate yang ditawarkan sampai 96 KHz-dua kali MP3. Format ini digunakan Apple 4 pada toko musik online-nya, iTunes. Kualitas musik dalam format ini cukup baik bahkan pada bitrate rendah. Format yang ditawarkan Microsoft, Windows Media Audio (WMA) ini disukai para vendor musik online karena dukungannya terhadap Digital Rights Management (DRM). DRM adalah fitur untuk mencegah pembajakan musik, hal yang sangat ditakuti oleh studio musik saat ini. Kelebihan WMA lainnya adalah kualitas musik yang lebih baik daripada MP3 maupun AAC. Format ini cukup populer dan didukung oleh peranti lunak dan peranti keras terbaru pada umumnya. (Wikipedia, 2008). Pada tahun 2001, Apple Computer merilis piranti pemutar musik digital dengan format AAC bernama iPod. Sampai bulan Oktober 2004, iPod mendominasi penjualan perangkat pemain musik di Amerika Serikat, dengan meraih 92% dari pasaran perangkat hard drive dan lebih dari 65% dari pasaran jenis lainnya. iPod telah berhasil dijual dengan pesat, melebihi sepuluh juta unit dalam tiga tahun terakhir ini. Perangkat tersebut mempunyai pengaruh kebudayaan yang sangat besar di masyarakat bila dibanding dengan saat alat tersebut pertama kali diluncurkan. (Wikipedia, 2008). Dalam satu genggaman, seseorang dapat mendengarkan lebih dari 40 album tanpa harus direpotkan dengan membawa setumpuk CD. Tidak mau ketinggalan, produsen telepon genggam pun mengejar teknologi yang dirilis oleh Apple, para produsen mulai merilis handphone dengan fitur untuk mendengarkan musik. Tidak hanya sebagai pemutar musik, belakangan ditemukan teknologi ring back tone. Ring back tone (RBT) adalah sebuah service yang memungkinkan kita mengganti nada tunggu konvensional dengan sebuah lagu yang dipilih oleh user. Sehingga pada saat user dipanggil, maka pemanggil tidak lagi mendengarkan nada tunggu konvensional melainkan mendengarkan suara lagu yang 5 dipilih oleh user yang dipanggil. RBT pertama kali ditemukan dan diperdagangkan di dunia adalah di Korea pada tahun 2002 oleh sebuah perusahaan kecil bernama WiderThan yang bekerjasama dengan SK Telecom, salah satu operator seluler terbesar di Korea. Ringback tone berhasil meraih sukses di Korea, lebih dari sepertiga pemakai ponsel mendaftar layanan RBT dalam 1 bulan pertama. Untuk tahun 2005 saja, menurut analisa pasar RBT Korea, SK Telecom berhasil meraup keuntungan US$100 juta. (Wikipedia, 2008). Dengan adanya revolusi digital di industri musik, Sony BMG Indonesia mencari titik-titik lain agar tidak hanya mengandalkan penjualan di album fisiknya. Tahun 2003, Telkomsel sebagai pionir yang memperkenalkan RBT pertama kali di Indonesia mengajak Sony BMG Indonesia untuk melakukan terobosan dalam memasarkan musik digital dalam format RBT. Cara penggunaan pun cukup mudah, hanya dengan mengirim SMS ke nomer tertentu dengan tarif 9000 rupiah, pengguna handphone tersebut dapat mengganti nada tut tut tut-nya dengan satu lagu selama sebulan penuh. Ternyata strategi yang dijalankan oleh Telkomsel dan Sony BMG Indonesia ini langsung menjadi tren bagi para pecinta telepon genggam dan pencinta musik di tanah air. Dalam 3 tahun terakhir produk RBT menjadi primadona, bahkan majalah Rolling Stone Indonesia edisi November 2006 pernah menganugrahi grup band Samsons sebagai Jutawan Nada Tunggu 2006 karena mampu menghasilkan 18 milyar rupiah. RBT menjadi primadona bagi label seperti Sony BMG Indonesia karena dianggap dapat menggantikan penjualan album fisik yang terus merosot akibat pembajakan. Dan hingga saat ini, belum ada RBT yang dibajak. Menurut data dari Telkomsel, onset penjualan RBT terus menanjak dari tahun 2005 hingga 2007. Hari ini, industri musik di Indonesia sangat berharap pada RBT 6 yang dianggap sebagai juru selamat industri. Namun sampai kapan RBT tetap bisa menyelamatkan industri musik Indonesia? Tabel 1.2 Perkiraan Pendapatan Ring Back Tone (Rp Miliar) Operator 20 2006 2007 05 PT. Telekomunikasi Selular – NSP 1212 42 583 776 3 Sumber: MAJALAH SWA NO 12 JUNI 2008 berdasarkan sumber di Telkomsel Karena perubahan teknologi yang kian cepat, hari ini konsumen tidak perlu membeli 1 album untuk mendengarkan lagu favoritnya. Konsumen bisa mendapatkan sebuah lagu dengan berbagai cara. Mengunduh dari internet, mengunduh dari fitur handphone, meng-copy dari CD asli milik teman adalah cara mudah untuk mendapatnya 1 lagu tersebut. Hal seperti itulah yang menyebabkan penjualan album fisik turun. Pelaku bisnis industri musik digital kian menjamur. Nama-nama yang mencuat di dalam bisnis ini antara lain adalah Equinox DMD, Digital Beat, dan IM:Port. Laiknya bisnis baru yang muncul, hingga kini aturan baku belum dirumuskan. Sehingga pelaku bisnis ini harus bersaing dengan pembajak digital yang memperjual belikan lagu format digital tanpa ijin di pusat-pusat perdagangan handphone. Industri Musik Menurut Wikipedia, musik didefinisikan sebagai bunyi yang diterima oleh individu dan berbeda-beda berdasarkan sejarah, lokasi, budaya dan selera musik 7 seseorang. Pada abad ke 18, komposer legendaris Wolfgang Amadeus Mozart memulai industri musik dunia dengan mengadakan konser musik secara komersial. Sepeninggal Mozart, istrinya meneruskan proses komersialisasi musik yang dibuat oleh Mozart dengan menjual lagu dan biografinya. Seabad kemudian, komersialisasi musik tidak banyak berubah, masih menjual lagu dalam bentuk partitur atau sheet music dan pertunjukan hingga ditemukannya gramafon di tahun 1870. Awal abad ke 20, gramafon menjamur di Amerika Serikat dan Eropa khususnya para kaum kelas atas. Dengan menjamurnya gramafon ini, music publisher pertama; Tin Pan Alley dibentuk