BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Industri musik di Indonesia berubah pesat dalam 3 tahun terakhir. Penjualan album fisik kaset dan CD merosot drastis. Musisi dengan penjualan mencapai 6 digit pun tinggal sebuah legenda atau cerita belaka. Atas dasar situasi ekonomi yang tak menentu, pembajakan yang kian marak dan berubahnya perilaku konsumen akibat trend digital merupakan tiga faktor utama yang memaksa grafik penjualan album fisik terjun bebas.

Keterpurukan yang luar biasa ini tidak hanya dirasakan oleh Sony BMG

Indonesia, namun the big four – sebutan 4 perusahaan rekaman di Indonesia; Sony BMG

Indonesia, Universal Music Indonesia, Warner Music dan EMI sama-sama terkena imbasnya. Isyarat bakal ambruknya kuantitas penjualan fisik album rekaman sudah terlihat sejak 2007. Indikasinya adalah data resmi yang dikeluarkan oleh Asosiasi

Rekaman Indonesia (ASIRI). Pada tahun 2005, jumlah kaset dan CD yang beredar berjumlah 30.032.460 keping. Setahun kemudian menciut menjadi 23.736.355 keping atau 1,9 juta keping per bulan.

1 2

Tabel 1.1 Perbandingan Peredaran Produk Legal dan Bajakan Karya Rekaman Suara

Tahun Produk Legal Produk Bajakan

(dalam juta keping) (dalam juta keping)

1996 77,55 23,06 1997 67,35 112,83 1998 41,65 137,2 1999 64,46 181,5 2000 52,5 240,1 2001 44,03 290,81 2002 34,27 363,51 2003 35,83 356,51 2004 39,76 331,3 2005 30,03 359,2 2006 23,73 385,7 2007 19,39 443,55 *estimasi unit bajakan tahun 2007 naik 15% dibanding tahun 2006

Sumber : ASIRI

Pembajakan adalah faktor utama yang belum ada titik cerah penyelesaian masalahnya. Ketika CD mudah untuk digandakan, pembajakan semakin mudah pula.

Belum lagi harga CD bajakan sekarang ini lebih murah dibanding CD yang asli. Pasar

Indonesia yang mayoritas berasal dari kalangan menengah kebawah lebih memillih CD bajakan ketimbang kaset/CD asli dengan alasan harga yang lebih murah. Upaya pemerintah dengan membuat UU No. 19 Hak Cipta sebenarnya dapat membuat jera para pembajak di negeri ini. Namun, political action yang dilakukan pemerintah masih kurang mendukung political will yang dibuatnya itu. Wajar saja, kita mudah untuk mencari CD bajakan di Indonesia. Data dari ASIRI juga menunjukkan peningkatan 3 jumlah produk CD bajakan setiap tahunnya. Tahun 2006 saja meningkat hingga 8% dari tahun 2005. Dan dapat disimpulkan pula perbandingan produk legal dengan produk bajakan pada tahun 2007 adalah 1:22. ( Indonesia, 2008)

Tanpa disadari, perubahan tren menjadi tren digital merupakan salah satu ancaman penjualan album fisik ini. Penemuan pemutar musik format digital dan ponsel pemutar musik membuat perubahan perilaku konsumen. Musik menjadi lebih mudah didapat apalagi dengan perkembangan internet. Ketika musik digital berformat MP3 memasuki dunia internet melalui jaringan pertukaran peer-to-peer Napster.com pada tahun 1999, penggemar musik digital mulai menjamur hingga saat ini. Musik digital didefinisikan sebagai harmonisasi bunyi yang dibuat melalui perekaman konvensional maupun suara sintetis yang disimpan dalam media berbasis teknologi komputer. Musik

Digital menggunakan sinyal digital dalam proses reproduksi suaranya. Sebagai proses digitalisasi terhadap format rekaman musik analog, lagu atau musik digital mempunyai beraneka ragam format yang bergantung pada jenis piranti, yang biasa digunakan antara lain: MP3, WAV, WMA, dan AAC. (Wikipedia, 2008).

MP3 (MPEG, Audio Layer 3) menjadi format paling populer dalam musik digital. Hal ini dikarenakan ukuran filenya yang kecil dengan kualitas yang tidak kalah dengan CD audio dengan bitrate sebesar 128 kbps. WAV merupakan standar suara de- facto di Windows. Awalnya hasil ripping dari CD direkam dalam format ini sebelum dikonversi ke format lain. Namun sekarang tahap ini sering dilewati karena file dalam format ini biasanya tidak dikompresi dan karenanya berukuran besar. AAC adalah singkatan dari Advanced Audio Coding. Format ini merupakan bagian standar Motion

Picture Experts Group (MPEG), sejak standar MPEG-2 diberlakukan pada tahun 1997.

Sample rate yang ditawarkan sampai 96 KHz-dua kali MP3. Format ini digunakan Apple 4 pada toko musik online-nya, iTunes. Kualitas musik dalam format ini cukup baik bahkan pada bitrate rendah. Format yang ditawarkan Microsoft, Windows Media Audio (WMA) ini disukai para vendor musik online karena dukungannya terhadap Digital Rights

Management (DRM). DRM adalah fitur untuk mencegah pembajakan musik, hal yang sangat ditakuti oleh studio musik saat ini. Kelebihan WMA lainnya adalah kualitas musik yang lebih baik daripada MP3 maupun AAC. Format ini cukup populer dan didukung oleh peranti lunak dan peranti keras terbaru pada umumnya. (Wikipedia,

2008).

Pada tahun 2001, Apple Computer merilis piranti pemutar musik digital dengan format AAC bernama iPod. Sampai bulan Oktober 2004, iPod mendominasi penjualan perangkat pemain musik di Amerika Serikat, dengan meraih 92% dari pasaran perangkat hard drive dan lebih dari 65% dari pasaran jenis lainnya. iPod telah berhasil dijual dengan pesat, melebihi sepuluh juta unit dalam tiga tahun terakhir ini. Perangkat tersebut mempunyai pengaruh kebudayaan yang sangat besar di masyarakat bila dibanding dengan saat alat tersebut pertama kali diluncurkan. (Wikipedia, 2008). Dalam satu genggaman, seseorang dapat mendengarkan lebih dari 40 album tanpa harus direpotkan dengan membawa setumpuk CD.

Tidak mau ketinggalan, produsen telepon genggam pun mengejar teknologi yang dirilis oleh Apple, para produsen mulai merilis handphone dengan fitur untuk mendengarkan musik. Tidak hanya sebagai pemutar musik, belakangan ditemukan teknologi ring back tone. Ring back tone (RBT) adalah sebuah service yang memungkinkan kita mengganti nada tunggu konvensional dengan sebuah lagu yang dipilih oleh user. Sehingga pada saat user dipanggil, maka pemanggil tidak lagi mendengarkan nada tunggu konvensional melainkan mendengarkan suara lagu yang 5 dipilih oleh user yang dipanggil. RBT pertama kali ditemukan dan diperdagangkan di dunia adalah di Korea pada tahun 2002 oleh sebuah perusahaan kecil bernama

WiderThan yang bekerjasama dengan SK Telecom, salah satu operator seluler terbesar di Korea. Ringback tone berhasil meraih sukses di Korea, lebih dari sepertiga pemakai ponsel mendaftar layanan RBT dalam 1 bulan pertama. Untuk tahun 2005 saja, menurut analisa pasar RBT Korea, SK Telecom berhasil meraup keuntungan US$100 juta.

(Wikipedia, 2008).

Dengan adanya revolusi digital di industri musik, Sony BMG Indonesia mencari titik-titik lain agar tidak hanya mengandalkan penjualan di album fisiknya. Tahun 2003,

Telkomsel sebagai pionir yang memperkenalkan RBT pertama kali di Indonesia mengajak Sony BMG Indonesia untuk melakukan terobosan dalam memasarkan musik digital dalam format RBT. Cara penggunaan pun cukup mudah, hanya dengan mengirim

SMS ke nomer tertentu dengan tarif 9000 rupiah, pengguna handphone tersebut dapat mengganti nada tut tut tut-nya dengan satu lagu selama sebulan penuh. Ternyata strategi yang dijalankan oleh Telkomsel dan Sony BMG Indonesia ini langsung menjadi tren bagi para pecinta telepon genggam dan pencinta musik di tanah air. Dalam 3 tahun terakhir produk RBT menjadi primadona, bahkan majalah Rolling Stone Indonesia edisi

November 2006 pernah menganugrahi grup band Samsons sebagai Jutawan Nada

Tunggu 2006 karena mampu menghasilkan 18 milyar rupiah. RBT menjadi primadona bagi label seperti Sony BMG Indonesia karena dianggap dapat menggantikan penjualan album fisik yang terus merosot akibat pembajakan. Dan hingga saat ini, belum ada RBT yang dibajak. Menurut data dari Telkomsel, onset penjualan RBT terus menanjak dari tahun 2005 hingga 2007. Hari ini, industri musik di Indonesia sangat berharap pada RBT 6 yang dianggap sebagai juru selamat industri. Namun sampai kapan RBT tetap bisa menyelamatkan industri musik Indonesia?

Tabel 1.2 Perkiraan Pendapatan Ring Back Tone (Rp Miliar)

Operator 20 2006 2007

05

PT. Telekomunikasi Selular – NSP 1212 42 583 776

3

Sumber: MAJALAH SWA NO 12 JUNI 2008 berdasarkan sumber di Telkomsel

Karena perubahan teknologi yang kian cepat, hari ini konsumen tidak perlu membeli 1 album untuk mendengarkan lagu favoritnya. Konsumen bisa mendapatkan sebuah lagu dengan berbagai cara. Mengunduh dari internet, mengunduh dari fitur handphone, meng-copy dari CD asli milik teman adalah cara mudah untuk mendapatnya

1 lagu tersebut. Hal seperti itulah yang menyebabkan penjualan album fisik turun.

Pelaku bisnis industri musik digital kian menjamur. Nama-nama yang mencuat di dalam bisnis ini antara lain adalah Equinox DMD, Digital Beat, dan IM:Port. Laiknya bisnis baru yang muncul, hingga kini aturan baku belum dirumuskan. Sehingga pelaku bisnis ini harus bersaing dengan pembajak digital yang memperjual belikan lagu format digital tanpa ijin di pusat-pusat perdagangan handphone.

Industri Musik

Menurut Wikipedia, musik didefinisikan sebagai bunyi yang diterima oleh individu dan berbeda-beda berdasarkan sejarah, lokasi, budaya dan selera musik 7 seseorang. Pada abad ke 18, komposer legendaris Wolfgang Amadeus Mozart memulai industri musik dunia dengan mengadakan konser musik secara komersial. Sepeninggal

Mozart, istrinya meneruskan proses komersialisasi musik yang dibuat oleh Mozart dengan menjual lagu dan biografinya. Seabad kemudian, komersialisasi musik tidak banyak berubah, masih menjual lagu dalam bentuk partitur atau sheet music dan pertunjukan hingga ditemukannya gramafon di tahun 1870. Awal abad ke 20, gramafon menjamur di Amerika Serikat dan Eropa khususnya para kaum kelas atas. Dengan menjamurnya gramafon ini, music publisher pertama; Tin Pan Alley dibentuk untuk melindungi hak cipta atas musik di Amerika Serikat. Setelah itu industri musik semakin menguat dengan adanya perusahaan rekaman atau yang disebut record label.

Menurut jurnal dengan judul “An Economist’s Guide to Digital Music” yang ditulis oleh Martin Peitz dan Patrick Waelbroeck perusahaan rekaman adalah perusahaan yang mengatur merek dan trademarks, mengkoordinasikan produksi, manufaktur, distribusi dan promosi, dan juga melindungi hak cipta karya seni musik dalam bentuk rekaman atau video suatu artis. Empat perusahaan rekaman terbesar di dunia disebut dengan istilah major label, saat ini yang disebut major label the big four adalah Warner

Music Group, EMI, Sony BMG, Universal Music Group. Sedangkan ada perusahaan rekaman kecil yang tidak mengikuti arus besar industri disebut independent label atau indie label. Diagram dibawah ini menunjukkan hubungan antara perusahaan rekaman, artis dan konsumen dan garis putus-putus menunjukkan fungsi-fungsi ekonomi yang terintegrasi satu dengan lain.

8

Diagram 1.1 Diagram Hubungan Antara Perusahaan Rekaman, Artis dan Konsumen

Sejarah Industri Musik di Indonesia

Diawali masuknya gramafon ke Indonesia yang dibawa oleh kaum Eropa di era penjajahan, kemudian di Surabaya muncul nama-nama perusahaan rekaman seperti

Odeon, Canary dan His Master yang memproduksi piringan hitam musik klasik dan .

Menurut tulisan Theodore KS di Kompas 5 November 2002, perusahaan rekaman ditemukan sekitar tahun 1954 ketika Irama Recordings berdiri di Surabaya disusul Dimita dan Remaco berdiri di . Di tahun 1956, Pemerintah Republik

Indonesia membentuk suatu badan usaha milik negara di bawah naungan Radio

Republik Indonesia yang bergerak dalam bidang rekaman dan industri musik. Badan usaha ini pada awalnya mendokumentasikan karya seni musik Indonesia dalam bentuk rekaman. Lagu-lagu nasional, perjuangan dan daerah adalah dokumentasi pertama badan usaha ini. Badan usaha milik pemerintah ini bernama Lokananta Recording, yang berdiri di atas 2,1 hektar tanah di kota Surakarta lengkap dengan studio rekaman lengkap 9 dengan ruangan kontrol dan ruangan pasca produksi, penduplikasian piringan hitam, percetakan, gudang hingga gedung pertunjukan. Pada masa itu hingga tahun 1960-an banyak artis lokal merilis piringan hitam dengan musik berjenis lagu daerah, keroncong, orkes, dan jazz.

Pada tahun 1975 juga berdiri APNI (Asosiasi Perekam Nasional Indonesia) yang diketuai Pungky Purwadi BA, beranggota perekam lagu Barat seperti Aquarius, Hins

Collection, Nirwana, Top, Eterna, Contessa, Perina, Saturn, King's Records, Atlantic

Records, Yess, Dan Golden Lion. Lagu-lagu barat semakin banyak masuk ke Indonesia menggeser lagu-lagu daerah dan keroncong. Pada era inilah Lokananta Recording dan perusahaan rekaman yang merilis lagu daerah dan keroncong mulai pailit.

Di era 80’an, cikal bakal perusahaan rekaman lokal terbesar didirikan oleh

Indrawati Widjaja. Perusahaan rekaman yang berdiri di Jakarta ini bernama Musica

Studio’s. yang berhasil menelurkan artis-artis besar seperti , Iwan Fals, hingga

Nidji dan Peterpan.

Perusahaan rekaman internasional seperti International, Warner

Music, BMG, Universal berbondong-bondong masuk di pertengahan tahun 90an. Dan konon menurut Direktur utama Sony BMG Indonesia, Jan Juhana, tahun 1997 dikatakan sebagai masa keemasan industri musik di Indonesia karena penjualan kaset yang dapat menembus hingga jutaan keping.

Ketika era digital datang di tahun 2000, perusahaan rekaman independent mulai menjamur, dengan bantuan media baru seperti internet, perusahaan rekaman independent seperti Aksara Records dan Fast Forward Records dapat menandingi penjualan album- album perusahaan rekaman raksasa. Lahan-lahan bisnis untuk menjual musik melalui internet pun semakin banyak seperti Equinox DMD, IM:Port dan Nu Buzz. 10

Perkembangan Format Musik

Sejak pertama kali piringan hitam masuk ke Indonesia, hingga saat ini media penyimpanan sebuah lagu telah melewati beberapa perubahan. Antara lain piringan hitam, kaset, CD dan digital.

• Piringan Hitam atau Vinyl

Piringan hitam harus diputar dengan sebuah alat yang disebut gramafon.

Gramafon memiliki sebuah pena jarum yang harus diletakkan di atas piringan hitam untuk menghasilkan sebuah bunyi. Gramafon dan piringan hitam dibawa ke Indonesia oleh kaum Eropa dan tetap digunakan setelah kemerdekaan Indonesia untuk memproduksi lagu-lagu nasional, daerah, keroncong, orkes dan jazz. Piringan hitam ini digunakan di Indonesia hingga tahun 1964.

• Kaset

Menurut Wikipedia, Compact audio cassette diperkenalkan oleh Philips sebagai media penyimpanan audio di Eropa pada tahun 1963. Kemudian pada tahun 1965 mulai diproduksi secara massal. Pada tahun 1971, Advent Corporation memperkenalkan

Model 201 tape deck yang mengkombinasikan Dolby Type B dan chromium dioxide

(Cr02). Inilah cikal bakal music cassette player. Tahun 1980an muncul Walkman dari

Sony sebagai media pemutar kaset portable. Pita kaset dapat merekam lagu dengan durasi hingga 1 jam di setiap sisinya. Kualitasnya cukup baik namun kerap kali terjadi penurunan kualitas suara yang dihasilkan ketika pita kaset mengalami gangguan, kotor atau rusak. Di Indonesia, kaset di produksi oleh Remaco di tahun 1967 karena permintaan pasar yang sangat luas. Di tahun 70’an, banyak kasus pembajakan terjadi.

Piringan hitam dibajak ke format kaset oleh para pembajak. Hingga akhir tahun 2000, kaset tetap menjadi primadona di industri musik Indonesia. Bahkan hingga saat ini, kaset 11 masih dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia khususnya masyarakat tingkat ekonomi menengah kebawah.

• Compact Disc

Compact Disc (CD) dibuat dalam usaha merampingkan media penyimpanan musik dengan memperbaiki kualitas suara yang dihasilkan. Pada November 1984, dua tahun setelah CD diproduksi secara massal, Sony mengeluarkan Discman sebagai media pemutar portable. Musik dalam format CD, VCD maupun DVD memiliki kualitas suara yang lebih baik tetapi tetap mengalami gangguan jika disc tersebut tergores, berdebu ataupun rusak. CD mulai populer di Indonesia pada akhir 90an terutama di kota-kota besar hingga saat ini.

• Digital

Musik Digital menggunakan sinyal digital dalam proses reproduksi suaranya.

Sebagai proses digitalisasi terhadap format rekaman musik analog, lagu atau musik digital mempunyai beraneka ragam format yang bergantung pada teknologi yang digunakan, yaitu :

o MP3

MP3 (MPEG, Audio Layer 3) menjadi format paling populer dalam musik

digital. Hal ini dikarenakan ukuran filenya yang kecil dengan kualitas yang tidak

kalah dengan CD audio. Format ini dikembangkan dan dipatenkan oleh

Fraunhofer Institute. Dengan bitrate 128 kbps, file MP3 sudah berkualitas baik.

Namun MP3 Pro-format penerus MP3-menawarkan kualitas yang sama dengan

bitrate setengah dari MP3. MP3 Pro kompatibel dengan MP3. Pemutar MP3

dapat memainkan file MP3 Pro-namun kualitas suaranya tidak sebagus peranti

yang mendukung MP3 Pro. 12 o WAV

WAV merupakan standar suara de-facto di Windows. Awalnya hasil ripping dari

CD direkam dalam format ini sebelum dikonversi ke format lain. Namun

sekarang tahap ini sering dilewati karena file dalam format ini biasanya tidak

dikompresi dan karenanya berukuran besar. o AAC

AAC adalah singkatan dari Advanced Audio Coding. Format ini merupakan

bagian standar Motion Picture Experts Group (MPEG), sejak standar MPEG-2

diberlakukan pada tahun 1997. Sample rate yang ditawarkan sampai 96 KHz-dua

kali MP3. Format ini digunakan Apple pada toko musik online-nya, iTunes.

Kualitas musik dalam format ini cukup baik bahkan pada bitrate rendah. iPod,

pemutar musik digital portabel dari Apple, adalah peranti terkemuka yang

mendukung format ini. o WMA

Format yang ditawarkan Microsoft, Windows Media Audio (WMA) ini disukai

para vendor musik online karena dukungannya terhadap Digital Rights

Management (DRM). DRM adalah fitur untuk mencegah pembajakan musik, hal

yang sangat ditakuti oleh studio musik saat ini. Kelebihan WMA lainnya adalah

kualitas musik yang lebih baik daripada MP3 maupun AAC. Format ini cukup

populer dan didukung oleh peranti lunak dan peranti keras terbaru pada

umumnya.

13

o Real Audio

Salah satu format yang biasa ditemukan pada bitrate rendah. Format dari

RealNetworks ini umumnya digunakan dalam layanan streaming audio. Pada

bitrate 128 kbps ke atas RealAudio menggunakan standar AAC MPEG-4.

o MIDI

Format audio satu ini lebih cocok untuk suara yang dihasilkan oleh synthesizer

atau peranti elektronik lainnya, tetapi tidak cocok untuk hasil konversi dari suara

analog karena tidak terlalu akurat. File dengan format ini berukuran kecil dan

sering digunakan dalam ponsel sebagai ringtone.

Inovasi baru di bidang musik adalah musik digital. Dengan format MP3, OOG, atau WAV musik digital mulai mengeluarkan gaungnya. Banyaknya pemutar musik digital yang mendukung format ini membuat era baru musik digital. Misalnya kalau sebelumnya, musik di-ripped; istilah untuk ekstraksi audio digital dan terperangkap di

PC dan Mac dengan aplikasi semacam iTunes. Kini dengan hadirnya iPod sebagai peranti musik portable canggih yang pernah diciptakan, terjadi perpaduan kenyamanan web dengan portabilitas dan fungsi sebagai sebuah platform yang benar-benar universal.

Hal lain yang mendukung transformasi media sang musik adalah tindakan label-label besar yang meninggalkan sistem proteksi musik digital atau Digital Right Management

(DRM). Sampai tahun 2007 lalu, label-label besar masih tidak yakin penghapusan DRM akan mendongkrak penjualan album karena tanpa hal tersebut musik digital dengan bebas didisribusikan di antara konsumen yang berarti tak ada pemasukan untuk label.

14

Industri Musik Era Format Digital

Martin Peitz dan Patrick Waelbroeck dalam jurnalnya mengemukakan bahwa penjualan CD di Amerika Serikat menurun hingga 26 persen di tahun 2003 dari titik tertinggi mereka di tahun 2006. Salah satu penyebab hal ini terjadi dikarenakan oleh teknologi yang kian berkembang. Para konsumen mulai me-ripped CD dari kawan, mengunduh dari internet, tukar-menukar lagu berformat digital dengan kawan melalui sistem peer-to-peer dan file sharing seperti Napster dan Kazaa ketimbang membeli CD.

Namun setelah penutupan Napster di tahun 2002, Apple Computer membuka iTunes

Music Store, yaitu toko musik yang menjual lagu berformat digital secara on-line.

Konsumen di negara-negara maju mulai berubah dengan membeli lagu format digital secara online.

Perilaku Digital

Dalam penelitian yang dilakukan oleh PC Pitstop Research yang dimuat pada http://www.pcpitstop.com/research/musicsurvey.asp, penelitian yang dilakukan pada tahun 2006 di Amerika Serikat menunjukkan bahwa terjadi perubahan perilaku konsumen di industri musik. Pada gambar 1.1 bawah ini konsumen muda di bawah umur

20 tahun hingga umur 40 tahun mendapatkan informasi tentang musik dari internet, tidak lagi melalui radio. 15

Gambar 1.1 Perubahan Perilaku Konsumen di Industri Musik

Dan pada penelitian Digital Consumer Study yang dilakukan oleh Avenue | A

Razorfish (http://www.design.avenuea-razorfish.com) kepada 475 pengguna internet di

Amerika Serikat, ditemukan bahwa terjadi perubahan perilaku yang sangat signifikan terhadap media-media tradisional. 91% dari konsumen lebih memilih internet sebagai media informasi disbanding media tradisional seperti televisi, radio dan koran.

Hal diatas adalah indikasi perubahan perilaku yang terjadi dalam masyarakat dunia dalam beberapa tahun terakhir ini yang disebabkan oleh teknologi digital khususnya internet.

16

Perilaku Kaum Muda di Industri Musik

Secara selintas tidak terlihat perubahan perilaku kaum muda akan musik. Kaum muda secara emosional masih membelanjakan uangnya untuk membeli rekaman atau memorabilia artis favoritnya. Mereka juga merekomendasikan musik yang menurut mereka bagus kepada teman-temannya, mencari infornasi musik terbaru hingga pergi ke konser. Namun ternyata karena pengaruh teknologi, akses akan musik terbuka sangat lebar. Sehingga kita dapat memiliki musik apa pun dengan cuma-cuma.

Adam Webb dari University of Hertfordshire dalam jurnalnya Music Experiences and Behaviour in Young People Spring 2008 melakukan survey yang berkaitan dengan perubahan perilaku konsumen ini. Perubahan perilaku yang paling mudah terlihat adalah perubahan media pemutar musik. Media pemutar musik yang digemari saat ini adalah pemutar musik format digital atau MP3 Player. Umur 14-17 tahun hanya 8% yang tidak memiliki sedangkan untuk umur 18 – 24 tahun 16% tidak memiliki pemutar musik format digital. Ini menunjukkan bahwa konsumen saat ini telah menerima secara mutlak musik dengan format digital.

Gambar 1.2 Survey Pengguna MP3 Player

17

Kini musik tidak hanya dijual melalui CD saja, namun dijual dengan bentuk format digital dan berlangganan online. Dalam survey ini juga ditunjukkan akan perubahan perilaku konsumen yang tidak hanya membeli format CD saja. Para kaum muda umur 14-25 tahun membelanjakan uangnya untuk membeli musik dalam bentuk format digital secara online dan juga berlangganan online. Hal ini ditunjukkan dalam grafik dibawah ini

Gambar 1.3 Survey Pembeli Album Musik Rekaman

Latar Belakang Sony BMG Indonesia

Sony BMG Music Entertainment adalah salah satu perusahaan rekaman terbesar di dunia yang berdiri pada tahun 2004 atas joint venture antara Sony dengan

Bertelsmann Music Group. PT Sony BMG Music Entertainment Indonesia, yang selanjutnya disebutkan sebagai Sony BMG Indonesia telah merilis musisi-musisi besar antara lain: Gigi, Sheila on 7, Padi, /rif, Coklat, SID, The Groove, Gita Gutawa, Glenn 18

Fredly, The Changcuters dan masih banyak lagi. Sheila on 7 telah mencatat penjualan album fisik sebesar satu juta keping dengan 2 albumnya yaitu album Kisah Klasik Untuk

Masa Depan di tahun 2000 dan album 07 Des di tahun 2002.

Dengan penurunan produk format fisik yang dirasakan dalam industri ini, Sony

BMG Indonesia memberanikan diri untuk menjamah dunia new media. New media dapat diartikan sebagai media baru yang berbasis digital, komputer, teknologi mobile, dan internet. Di tahun 2004, Sony BMG Indonesia bekerja sama dengan Telkomsel memperkenalkan teknologi ring back tone kepada konsumen ponsel Indonesia. Ide penerapan ring back tone berawal dari pengembangan teknologi ponsel yang dipadukan dengan produk musik berformat digital. Ternyata, ring back tone mendapat sambutan yang baik dari masyarakat dan hingga kini ring back tone menjadi juru selamat industri karena format ini dianggap masih aman dari tangan pembajak. Sony BMG Indonesia berhasil menjadi pionir dalam teknologi ini, walaupun dalam industri musik di Indonesia peraih pendapatan terbesar ring back tone adalah grup band SamSons dari Universal

Music. Tahun 2007 lalu, Sony BMG Indonesia dengan grup band Vagetoz berhasil menjual 3 buahsingle-nya sebanyak 1,5 juta download. Penurunan penjualan produk musik format fisik, saat ini ditutupi dengan kenaikan penjualan produk musik format digital bentuk ring back tone.

19

1.2 Rumusan Permasalahan

Penjualan musik digital di Indonesia dan pada Sony BMG Indonesia masih bertumpu pada penjualan RBT karena dianggap paling aman dari pembajakan. Namun menurut artikel yang ditulis pada majalah Rolling Stone Indonesia edisi 19, RBT dapat diperkirakan hanyalah tren semata yang dapat sewaktu-waktu luntur. Yang akan populer nantinya adalah mengunduh full track di internet dan ponsel.

Penjualan musik digital dengan format MP3 di kios, website atau provider telepon selular masih belum difokuskan oleh Sony BMG Indonesia dan label-label lokal padahal tempat pelayanan penjualan musik digital di Indonesia semakin menjamur antara lain Digital Beat Store, IM:Port, Indigo, M-Stars, Equinox DMD, dan lain sebagainya. Masalah yang ada adalah:

• Belum diketahui secara persis perubahan perilaku konsumen yang disebabkan oleh

revolusi format musik digital.

1.3 Tujuan dan Manfaat

Tujuan secara keseluruhan dari studi penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan perilaku konsumen dalam era musik digital.

Manfaat yang bisa diambil dari hasil penelitian ini adalah suatu data kualitatif yang dapat digunakan oleh perusahaan untuk menentukan strategi pemasaran yang efektif bagi Sony BMG Indonesia dalam meningkatkan penjualan produk musik.

20

1.4 Ruang Lingkup

Penulisan thesis hanya dibatasi pada masalah-masalah seperti di bawah ini:

1. Penelitian ethnography berfokus pada segment kaum muda berumur antara 18 -

25 tahun, berdomisi di Jakarta, yang berjiwa modern, dan gemar online di

internet.

2. Penelitian netnography tidak dibatasi oleh wilayah tertentu, penelitian

netnography digunakan untuk keperluan stakeholder analysis.

3. Penelitian ini dibatasi hanya kepada peminat musik dan pembeli musik berformat

fisik dan digital