BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa Remaja Merupakan
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan satu periode dalam kehidupan manusia yang batasan usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Pubertas yang dahulu dianggap sebagai tanda awal remaja ternyata tidak lagi valid sebagai patokan atau batasan untuk kategori remaja, sebab usia pubertas yang dahulu terjadi pada akhir usia belasan (15- 18 tahun) kini terjadi pada awal belasan bahkan dalam usia 11 tahun (Hurlock, 2004). Remaja yang telah meninggalkan masa kanak-kanak yang penuh dengan ketergantungan dan menuju masa pembentukan tanggung jawab. Masa remaja ditandai dengan pengalaman-pengalaman baru yang sebelumnya belum pernah terbayangkan dan dialami dalam bidang fisik, biologis maupun psikis atau kejiwaan. Pada masa remaja terjadi perkembangan yang dinamis dalam kehidupan individu yang ditandai dengan percepatan pertumbuhan fisik, emosional, dan sosial. Perubahan fisik yang terjadi di antaranya timbul proses pematangan organ reproduksi seperti menstruasi pertama bagi kaum wanita dan keluarnya sperma bagi kaum pria yang merupakan tonggak pertama dalam perjalanan usia remaja yang indah dan penuh tanda tanya. Perubahan yang terjadi pada remaja mengakibatkan perubahan sikap dan tingkah laku seperti mulai memperhatikan penampilan diri, mulai tertarik dengan lawan jenis, berusaha menarik perhatian dan muncul perasaan cinta yang kemudian akan timbul dorongan seksual (Santrock, 2007). Remaja Indonesia saat ini sedang mengalami perubahan sosial yang cepat dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern, yang juga mengubah norma- 1 2 norma, nilai-nilai dan gaya hidup mereka. Remaja yang dahulu terjaga secara kuat oleh sistem keluarga, adat budaya serta nilai-nilai tradisional yang ada, telah mengalami pengikisan yang disebabkan oleh urbanisasi dan industrialisasi yang cepat. Hal ini diikuti pula oleh adanya revolusi media yang terbuka bagi keragaman gaya hidup dan pilihan karir (Aji, 2009). Penelitian-penelitian mengenai kaum remaja di Indonesia pada umumnya menyimpulkan bahwa nilai-nilai hidup kaum remaja sedang dalam proses perubahan. Remaja Indonesia dewasa ini nampak lebih bertoleransi terhadap gaya hidup seksual pranikah. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh berbagai institusi di Indonesia selama kurun waktu tahun 1993-2002, menemukan bahwa wanita dan 18-30% pria muda berusia 16-24 tahun telah melakukan hubungan seksual pranikah dengan pasangan yang seusia mereka. Penelitian-penelitian lain di Indonesia juga memperkuat gambaran adanya peningkatan risiko pada perilaku seksual kaum remaja. Temuan-temuan tersebut mengindikasikan bahwa 5%-10% pria muda usia 15-24 tahun yang tidak/belum menikah, telah melakukan aktifitas seksual yang berisiko 6-9 kali. Selanjutnya hasil dari penelitian mengenai kebutuhan akan layanan kesehatan reproduksi di 12 kota di Indonesia pada tahun 1993, menunjukkan bahwa pemahaman mereka akan seksualitas sangat terbatas. Temuan dari berbagai penelitian tersebut menunjukkan bahwa peningkatan aktifitas seksual dikalangan kaum remaja, tidak diiringi dengan peningkatan pengetahuan tentang kesehatan seksual dan reproduksi termasuk HIV/AIDS, penyakit menular seksual (PMS) dan alat-alat kontrasepsi (Suryoputro , Nicholas & Zahroh, 2006). PKBI, United Nation Population Fund Ascosiation (UNFPA) dan BKKBN (2005) menyebutkan bahwa setiap tahun terdapat sekitar 15 juta remaja berusia 15-19 tahun melahirkan, sekitar 2,3 juta kasus aborsi juga terjadi di Indonesia dimana 20% 3 dilakukan oleh remaja. Fakta lain menunjukkan bahwa sekitar 15% remaja usia 10-24 tahun yang jumlahnya mencapai 52 juta telah melakukan hubungan seksual diluar nikah. Penelitian PKBI di kota Palembang, Kupang, Tasikmalaya, Cirebon, Singkawang tahun 2005 menyebutkan bahwa 9,1% remaja telah melakukan hubungan seks dan 85% nya melakukan hubungan seks pertama mereka pada usia 13-15 tahun di rumah mereka dengan pacar. Data United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) Desember 1997, menunjukkan bahwa secara global setiap tahun kira-kira 15 juta remaja usia 15-19 tahun melahirkan, 4 juta melakukan aborsi dan hampir 100 juta terinfeksi PMS. Bahkan 40% dari semua kasus infeksi HIV terjadi pada kaum muda usia 15-24 tahun. Perkiraan terakhir bahwa setiap hari ada 7000 remaja terinfeksi HIV. Romauli (2009) mengatakan, semua itu tentu sangat terkait dengan berbagai faktor yang salah satunya adalah soal akses informasi khususnya melalui internet (faktor enabling) mengenai kesehatan reproduksi. Survei Yayasan Kita dan Buah Hati tahun 2005 di Jabodetabek didapatkan hasil lebih dari 80 persen anak-anak usia 9-12 tahun telah mengakses materi pornografi dari sejumlah media termasuk internet. Perilaku seksual remaja yang tidak sesuai dengan norma agama, norma masyarakat, norma asusila dan tahap perkembangan usia remaja cenderung tinggi terjadi di berbagai belahan daerah di Indonesia. Hasil laporan media massa Jawa Timur menyatakan bahwa kehidupan seksual di Kota Surabaya memprihatinkan, karena 50% remaja mengaku telah melakukan hubungan seksual pranikah. Data ini didukung dengan hasil penelitian yang melibatkan 900 ribu jiwa remaja yang menjadi responden bahwa sebesar 60% telah melakukan aborsi (Ervandini, 2012). Studi pendahuluan terdahulu yang dilakukan oleh Depari (2013) dengan menyebarkan kuesioner pada 1777 responden tentang perilaku seks pada remaja di 8 4 SMP sekota Batu. Hasil penelitian tersebut 21.8% siswa kelas VII mengaku menonton film khusus orang dewasa dalam 1 minggu kurang dari 3 kali, 17.2% melakukan sentuhan melebihi berpegangan tangan ketika berpacaran, 9.9% melakukan ciuman pipi dan bibir, 12.4% menonton video porno, dan 0.4% melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Angka yang lebih tinggi ditunjukkan oleh kelas VII yakni sebesar 14.9% siswa/siswi mengakses situs porno, 28.3% menonton film khusus untuk dewasa, 14.8% melakukan sentuhan lebih dari berpegangan tangan, 11.4% menonton video porno, dan 0.5% pernah melakukan hubungan seksual pranikah. Hasil studi terdahulu yang dilakukan Depari (2013) pada SMP Muhammadiyah 8 Batu dengan responden 183 yang terdiri dari 56 orang kelas VII dan 127 orang kelas VIII menunjukkan hasil yang mengarah pada remaja beresiko tinggi untuk melakukan hubungan seks pranikah. 41.7% kelas VIII kadang-kadang mengakses situs porno, dan 4.7% sering mengakses situs porno. Sebesar 24.4% remaja kelas VIII kadang-kadang menonton film khusus untuk orang dewasa, 0.8% remaja sering menonton film khusus untuk orang dewasa, 14.2% remaja kadang- kadang menonton video porno, dan 1.6% mengaku sering menonton video porno. Remaja yang mengaku melakukan ciuman bibir dan pipi sebesar 22.8% remaja yang mengaku melakukan sentuhan melebihi pasangan tangan ketika berpacaran 0.8%, dan remaja mengaku melakukan hubungan seksual pranikah sebesar 0.0%. Risiko kesehatan reproduksi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berhubungan meliputi kebersihan alat-alat genital, akses terhadap pendidikan kesehatan, hubungan seksual pranikah, penyalahgunaan NAPZA, penyakit menular seksual (PMS), pengaruh media massa, akses terhadap pelayanan kesehatan 5 reproduksi, dan hubungan yang harmonis antara remaja dengan keluarganya.(PATH, 2001). Program kesehatan reproduksi remaja seperti yang tertera dalam program pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku positif remaja tentang kesehatan reproduksi dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan reproduksinya dan mempersiapkan kehidupan berkeluarga guna mendukung upaya peningkatan kualitas generasi mendatang (Depkes RI, 2005). Lawrence Green (1980, dalam Notoatmodjo, 2007) menyebutkan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi perilaku salah satunya adalah faktor predisposisi (predisposing factor), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, self efficacy, nilai-nilai dan sebagainya. Self efficacy adalah keyakinan manusia pada kemampuan mereka untuk melatih sejumlah ukuran pengendalian terhadap fungsi diri mereka dan kejadian-kejadian dilingkungannya (Feist & Feist 2008). Mustaqim (2008) mengatakan bahwa sekolah merupakan faktor pembentuk kemampuan yang sangat penting dalam masa perkembangan. Sekolah juga merupakan tempat untuk mengembangkan kompetensi diri, baik kognitif, afektif dan psikomotorik. Self efficacy dalam komunitas sekolah dibentuk melalui banyak cara yaitu melalui penanaman kompetensi intelektual, melalui modeling terhadap guru, melalui interaksi dengan teman-teman sebayanya, mempelajari bagaimana teman-teman sebayanya mendapatkan kesuksesan dan kegagalan. Seorang remaja perlahan-lahan mempelajari kemampuan untuk menilai dirinya sendiri. Hasil wawancara secara informal dengan sepuluh siswa SMP 8 Muhammadiyah Kota Batu yang telah mengikuti seminar, 70% siswa mengatakan yakin bahwa dirinya mampu untuk mencapai perilaku kesehatan reproduksi yang diharapkan, sedangkan 6 30% lainnya ragu-ragu untuk mencapai perilaku kesehatan reproduksi yang diharapkan. Pengetahuan yang didapatkan remaja dapat digunakan untuk menentukan self efficacy mereka sebagai penuntun perilaku yang akan mereka lakukan di setiap situasi. Menuju masa remaja, mereka mempelajari banyak masalah yang datang untuk mencapai tujuan hidup yang diinginkan. Remaja mendapatkan peningkatan dan penguatan self efficacy melalui pengalaman, mereka menggunakan pengalaman dan pengetahuan mereka untuk mengontrol diri mereka ketika berada dalam situasi yang penuh resiko (Steinberg, 2002) Bandura (2001) yakin bahwa manusia (human agency) adalah makhluk yang sanggup mengatur dirinya, proaktif, reflektif, dan mengorganisasikan dirinya. Selain itu, mereka juga memiliki