IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB III

KEHIDUPAN SEHARI-HARI ETNIS TIONGHOA TAMBAK

BAYAN MASA ORDE BARU

3.1 Proses Adaptasi Etnis Tionghoa Tambak Bayan dalam Merespon Kebijakan

Pemerintah Orde Baru

Masa Orde Baru merupakan salah satu fase penting dalam eksistensi etnis

Tionghoa di , tidak terkecuali etnis Tionghoa Tambak Bayan. Orde Baru

merupakan sebutan terhadap masa pemerintahan Presiden Soeharto sebagai

presiden kedua Republik Indonesia.1 Sejak zaman kolonial, etnis Tionghoa

menghadapi berbagai perilaku rasialis dan diskriminatif yang terstruktur ataupun

individualis. Namun, dapat dikatakan bahwa Orde Baru merupakan momen puncak

perilaku rasialis dan diskriminatif yang pernah dialami etnis Tionghoa di Indonesia.

Sikap diskriminatif dan rasialis terhadap etnis Tionghoa era Orde Baru pada

dasarnya adalah diskriminasi politik dan administratif.2 Diskriminasi yang dialami

oleh etnis Tionghoa pada era Orde Baru merupakan turunan dari usaha Soeharto

untuk membersihkan segala hal yang berkaitan dengan Orde Lama. Salah satu yang

terdampak dalam pembersihan ini adalah etnis Tionghoa dengan segala aktifitas

1Orde Baru dimulai bukan ketika Soeharto dilantik menjadi presiden pada tahun 1968 sesuai hasil Sidang Umum MPRS (Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968) pada 27 Maret 1968. Tetapi Orde Baru dianggap sudah berjalan sejak diterbitkannya SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret) tahun 1966. Kewenangan penuh yang diberikan SUPERSEMAR pada Soeharto memposisikan dirinya setara presiden yang dapat mengambil keputusan-keputusan strategis. (Djurmawan, Dkk. “Politik Orde Baru: Studi Sikap Organisasi Islam Atas Kebijakan Pemerintah Soeharto” (: Universitas Negeri Yogyakarta, 2013), hlm. 15.) 2Kerusuhan dan huru-hara yang terjadi merupakan dampak dari kebijakan-kebijakan politik terkait etnis Tionghoa yang dibuat oleh pemerintah pusat maupun daerah.

51

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 52

yang berkaitan seperti politik, kebudayaan, keagamaan, kewarganegaraan dan

kemiliteran. Sebab utamanya ialah hubungan Soekarno dengan pemerintah RRT

serta kaitannya dengan paham komunis dan Partai Komunis Indonesia (PKI).3

Terutama dengan adanya peristiwa 30 September 1965 yang erat kaitannya dengan

paham komunis PKI, mengakibatkan pelarangan keterlibatan etnis Tionghoa dalam

kegiatan politik sehingga pada akhirnya mereka hanya bisa memasuki bidang

ekonomi.4

Meski demikian, diskriminasi terhadap etnis Tionghoa tersebut secara umum

memiliki dampak yang berbeda berkaitan dengan implementasi kebijakan Orde

Baru oleh perangkat pemerintah di tingkat daerah. Sikap warga pribumi dalam

menyambut kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap etnis Tionghoa juga berbeda

antara satu tempat dengan lainnya. Begitu pula respon dari etnis Tionghoa yang

cukup beragam.

Menjadi Tionghoa dan miskin pada masa Orde Baru boleh jadi merupakan

mimpi buruk bagi mereka yang bernasib demikian. Etnis Tionghoa miskin menjadi

kaum paling tersisihkan dalam pergulatan kehidupan pada masa Orde Baru. Etnis

3Salah satu peristiwa pembersihan segala hal yang terkait Orde Lama dan Etnis Tionghoa adalah peristiwa Mangkuk Merah. Peristiwa mangkuk merah merupakan tragedi berdarah yang terjadi di Barat pada masa Orde Baru terhadap etnis Tionghoa. Selepas konfrontasi dengan , tentara bentukan Orde Lama (Paraku-PGRS) yang didominasi oleh orang Tionghoa berbalik menjadi musuh bagi negara. Ratusan etnis Tionghoa anggota Paraku-PGRS dibunuh oleh TNI dan warga Dayak yang terprovokasi. Pada tahap selanjutnya, tidak hanya anggota Paraku-PGRS, kerusuhan berkembang menjadi pembunuhan bagi setiap warga Tionghoa. Sekitar 3000 etnis Tionghoa di Kalimantan Barat tewas dan 37.000 orang mengungsi ke kota-kota besar seperti dan . (“37.000 WNI keturunan Tjina& WNA Tjina mengungsi dari desa2 Kalbar Akibat Amukan Demonstrasi Rakjat Jang Ditunggangi oleh PGRS” Post, 24 November 1967.) 4M.D. La Ode, Etnis Cina Indonesia Dalam Politik, (: Yayasan Pustaka Obor, 2012), hlm. 132.

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 53

Tionghoa miskin mengalami diskriminasi ganda sebagai konsekuensi dari status

sosialnya sebagai Tionghoa dan sebagai masyarakat miskin kota. Dalam layanan

publik, mereka tetap mengalami diskriminasi karena stigma mapan secara ekonomi

yang dimiliki oleh etnis Tionghoa pada umumnya. Sebagai sesama warga miskin

mereka juga disisihkan dari berbagai program bantuan dan terkadang tidak terdata

sebagai penerima bantuan.5

Dampak akibat kebijakan diskriminatif Orde Baru langsung dirasakan

masyarakat Tionghoa Tambak Bayan. Ketika Komandan militer Jawa Timur,

Mayor Jenderal Soemitro, pada tanggal 31 Desember 1966 mengambil tindakan

sehingga menimbulkan masalah yang menyulitkan orang Tionghoa. Soemitro

dengan keputusannya yang bernomor 73-76/12/19666 bertindak tanpa

sepengetahuan dan koordinasi dengan pemerintah pusat (Jakarta).7

Keputusan Soemitro tersebut memantik orang-orang Tionghoa yang terdesak

untuk melakukan perlawanan pada Maret dan April 1967 dengan berdemonstrasi.

Demonstrasi tersebut tersebar di berbagai kota seperti , Situbondo,

5Iwan Santosa, Peranakan Tionghoa di Nusantara: Catatan Perjalanan Dari Barat ke Timur (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2012), hlm. 120. 6Soemitro mengeluarkan empat keputusan yang ditujukan kepada orang Tionghoa asing (termasuk orang Tionghoa tanpa kewarganegaraan maupun warga negara RRT). Keputusan tersebut adalah melarang orang Tionghoa asing melakukan perdagangan besar di kota-kota lain di Provinsi Jawa Timur selain di Kota Surabaya. Kedua, melarang orang Tionghoa asing mengganti tempat tinggal mereka dari satu bagian provinsi itu ke bagian yang lain. Keputusan ketiga, mengenakan pajak per kepala senilai Rp. 2.500 (waktu itu senilai kurang lebih $25). Keputusan keempat ialah melarang penggunaan huruf dan bahasa Tionghoa dalam perekonomian, keuangan, administrasi maupun telekomunikasi. Bahkan sebelumnya, Soemitro melarang segala bentuk penerbitan surat kabar Tionghoa di Jawa Timur termasuk surat kabar berbahasa Tionghoa milik pemerintah sendiri, Harian Indonesia. (Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 197. 7Ibid.

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 54

Bondowoso, Pasuruan, dan Surabaya. Demonstrasi ini kemudian

dibalas beberapa hari setelahnya dengan huru-hara anti Tionghoa. Huru-hara hebat

terjadi di Situbondo, Panarukan dan Besuki. Beribu-ribu pemuda Indonesia yang

dipimpin oleh anggota front aksi membakar sebuah pabrik milik orang Tionghoa,

menjarah toko dan rumah, membakar berbagai perabotan, dan memukuli setiap

orang Tionghoa yang ditemui apapun kewarganegaraannya.8

Huru-hara anti Tionghoa di Surabaya yang terjadi cenderung lebih terkendali.

Tidak ada kekerasan-kekerasan yang berarti selama periode tersebut karena

Surabaya merupakan ibu kota provinsi yang memiliki jaminan keamanan dan

ketertiban lebih baik dari pada kota-kota lainnya di Jawa Timur. Hanya saja para

pedagang etnis Tionghoa menutup toko-toko mereka dalam waktu yang tidak

ditentukan untuk menghindari kriminalitas di situasi yang tak menentu.

Etnis Tionghoa Tambak Bayan merespon kondisi tersebut dengan berbeda.

Berbanding terbalik dengan yang terjadi secara umum di Surabaya dan kota-kota

lain, suasana di Kampung Tambak Bayan cenderung lebih kondusif dan aman.

Kehidupan sehari-hari berjalan seperti biasa. Para tukang kayu tetap bekerja di

workshop mereka, tukang masak tetap berangkat menuju restoran tempat bekerja,

dan anak-anak tetap bersekolah seperti pada umumnya.

Walaupun begitu, etnis Tionghoa Tambak Bayan tetap siaga dalam menjaga

keamanan kampung. Mereka bersama warga etnis yang lain melakukan ronda

malam dan menerapkan sistem jaga kampung selama 24 jam bergiliran. Di Jalan

8Ibid, hlm. 202.

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 55

Tambak Bayan Tengah yang merupakan jalan utama kampung Tambak Bayan,

terdapat penjaga yang berjaga di tiap ujung jalan. Menariknya, selain mereka

berjaga dengan warga pribumi Tambak Bayan, mereka juga mendapatkan bantuan

penjagaan dari banser NU.9

Memang terdapat dampak-dampak minor yang dialami oleh etnis Tionghoa

Tambak Bayan terkait huru-hara yang terjadi. Namun, dampak tersebut hanya

merupakan reaksi individu dan tidak mencerminkan sikap kolektif kelompok dalam

merespon situasi yang terjadi. Beberapa individu memutuskan untuk kembali ke

RRT ketika sikap anti Tionghoa meluas. Terlebih, terdapat kabar burung akan

adanya pembunuhan terhadap etnis Tionghoa. Beberapa individu yang lain

memutuskan untuk mengungsi ke rumah sanak familinya di luar Tambak Bayan

sampai situasi kondusif.10

Dalam lingkup kelokalan Tambak Bayan, peristiwa krisis Jawa Timur secara

umum memang tidak memiliki dampak yang berarti. Apabila ditelaah, terdapat

beberapa faktor mengapa dampak seperti ini bisa terjadi. Pertama adalah

pembauran yang sudah terjadi sejak lama. Etnis Tionghoa Tambak Bayan telah

hidup berdampingan dengan warga pribumi bahkan sejak sebelum tahun 1900-an.

9Wawancara dengan warga Tambak Bayan, Bapak Gunawan (Go Siok Woung) pada tanggal 28 agustus 2017 pukul 20.00 di Kampung Tambak Bayan. 10Seperti ayah dari Ife (Tjiong Giok Fioe) yang memutuskan untuk pulang ke RRT pada tahun 1967 dikarenakan isu-isu persekusi terhadap etnis Tionghoa yang semakin kuat. (Wawancara dengan warga Tambak Bayan, Ibu Ife (Tjiong Giok Fioe) pada tanggal 17 Oktober 2019 pukul 20.00 di Kampung Tambak Bayan.

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 56

Hidup berdampingan cukup lama dengan warga pribumi tentu telah meruntuhkan

sekat-sekat eksklusifitas yang ada sebelumnya.

Hidup berdampingan dengan warga pribumi menghasilkan pembauran yang

berlangsung secara alami. Namun, bukan berarti pemerintah selaku regulator tidak

melakukan apa-apa. Pemerintah juga berusaha menyelenggarakan kegiatan-

kegiatan kebangsaan guna mempercepat proses terjadinya pembauran. Usaha

tersebut sebenarnya telah terlihat sejak Orde Lama, yaitu dengan mengadakan apel

siaga di Tugu Pahlawan pada tanggal 23 April 1964.11

Etnis Tionghoa Tambak Bayan berbeda dengan etnis Tionghoa di daerah lain

di Surabaya. Mereka membaur dengan masyarakat lokal namun tetap

mempertahankan identitas kebudayannya. Begitu juga dengan warga lokal Tambak

Bayan, mereka menerima keberadaan etnis Tionghoa dan memperlakukan layaknya

tetangga tanpa memandang suku, ras maupun budaya. Bahkan ketika terjadi huru-

hara anti Tionghoa pada tahun 1967, masyarakat lokal Tambak Bayan justru bahu-

membahu bekerjasama melindungi etnis Tionghoa Tambak Bayan dan

mengamankan kampung mereka dari potensi kerusuhan.

Salah satu faktor pemersatu etnis Tionghoa Tambak Bayan dengan

masyarakat pribumi adalah kemiskinan. Tidak dapat dipungkiri, kemiskinan yang

sama-sama dialami menjadi sebuah ikatan kuat satu sama lain. Rasa senasib

11Apel Siaga disisi lain menjadi upaya pemerintah untuk mengontrol ideologi etnis Tionghoa dengan memasukkan ideologi-ideologi kebangsaan Indonesia dalam materinya. Seperti pada apel siaga di Tugu Pahlawan pada tanggal 23 April 1964 yang diikuti oleh WNI keturunan Cina, tema apel siaga tersebut adalah “Kami Adalah Bangsa Indonesia”. (“Appel Siaga WNI ket. Tionghoa di Tugu Pahlawan S.baja”, Surabaya Post, 20 April 1964.)

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 57

sepenanggungan sama-sama terpupuk dalam menjalani sulitnya kehidupan.

Kemiskinan benar-benar menghapuskan segala batas-batas eksklusifitas dan

membangun nilai-nilai solidaritas tanpa batas dalam kehidupan bermasyarakat.12

Kemiskinan menjadi alasan lolosnya etnis Tionghoa Tambak Bayan dari

sasaran amukan massa anti Tionghoa di Surabaya selain karena hubungan baiknya

dengan warga pribumi. Pekerjaan mereka sebagai tukang kayu, tukang batu, tukang

masak dan tukang besi yang berpenghasilan kecil berimbas pada kepemilikan aset

berharga yang nihil. Sasaran amukan dan penjarahan massa rata-rata adalah para

pedagang Tionghoa atau pemilik pabrik Tionghoa yang memiliki kekaayaan dan

aset dalam jumlah besar. Kepemilikan aset berharga yang melimpah oleh etnis

Tionghoa dan perekonomian yang berbanding terbalik dengan kondisi

perekonomian rakyat pribumi pada umumnya memicu sterotip negatif yang

dialamatkan pada mereka.13

Kebijakan-kebijakan yang dimaksudkan untuk mempercepat proses

pembauran oleh pemerintah pusat nyatanya menyulitkan etnis Tionghoa Tambak

Bayan dalam kaitannya dengan administrasi. Salah satu kebijakan tersebut adalah

kebijakan pergantian nama Tionghoa menjadi nama berbau Indonesia. Pada tahun

1966 Soeharto mengeluarkan Keputusan Presidium Kabinet Ampera No.

127/U/Kep/12/1966 tentang prosedur pergantian nama Tionghoa menjadi nama

Indonesia. Keputusan tersebut ditindak lanjuti oleh Menteri Dalam Negeri Basuki

12Purnawan Basundoro, Merebut Ruang Kota (Serpong: CV Marjin Kiri, 2013), hlm. 313. 13Charles A. Coppel, op.cit., hlm. 203.

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 58

Rachmad dengan mengeluarkan instruksi No. 4 tahun 1967 tentang pelaksanaan

lebih lanjut ganti nama bagi warga negara Indonesia yang memakai nama Cina.

Dilanjutkan dengan instruksi No. 6 tahun 1967 tentang memberi briefing kepada

partai-partai politik, ormas dan sebagainya tentang ganti nama bagi warga negara

Indonesia yang memakai nama Cina.14

Akibat dari hal itu etnis Tionghoa Tambak Bayan harus melakukan proses

pergantian nama dengan biaya yang cukup tinggi. Hal itu membebani

perekonomian mereka sehingga tidak semua melakukan pergantian nama pada

tahun tersebut. Bahkan hingga tahun 1980an masih terdapat nama-nama Tionghoa

di beberapa Kartu Keluarga (KK) milik etnis Tionghoa Tambak Bayan.

Tetapi dalam kehidupan sehari-hari, mereka telah memiliki nama Indonesia

yang tidak dicatatkan karena masalah biaya. Mereka berusaha patuh terhadap

kebijakan pemerintah tersebut. Bagi mereka yang melakukan pergantian nama,

mereka menggunakan kombinasi yang menunjukkan identitas marga mereka dan

nama baru yang akan digunakan. Seperti pada Go Siok Wong. Ia mengganti

namanya menjadi Gunawan dimana ada unsur Gu (Go) di depan sebagai pertanda

bahwa ia marga Go. Atau pada Wong Sui King yang mengganti namanya menjadi

Sugita Wijaya.

Pergantian nama ini menjadi menarik karena etnis Tionghoa Tambak Bayan

yang secara kultural bukan merupakan orang Jawa atau orang Indonesia dipaksakan

14Bagian Administrasi Penduduk dan Catatan Sipil pada Biro Bina Pemerintahan, Himpunan Peraturan Perundangan tentang Kewarganegaraan, Asimilasi dan Orang Asing (Jakarta: Departemen Dalam negeri, 1978), hlm. 340-346.

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 59

menggunakan nama Indonesia. Hal ini kemudian menimbulkan kerancuan pada arti

nama sesungguhnya dalam bahasa Jawa ataupun Indonesia. Seperti Sugita Wijaya,

nama Sugita merupakan nama yang lazim digunakan untuk perempuan. Namun

nama tersebut digunakan untuk laki-laki. Kerancuan ini terjadi karena pergantian

nama ini diusahakan sedemikan rupa agar nama baru mereka masih memuat

identitas asli mereka yaitu nama marga.15

Namun berbeda halnya bagi generasi-generasi selanjutnya yang sejak lahir

telah memiliki nama Indonesia. Tidak ada kesedihan terkait dengan nama Indonesia

yang dimiliki. Penamaan Tionghoa dirasa tidak memiliki arti mendalam bagi

generasi setelahnya. Keterkaitan makna antara nama Indonesia dan Tionghoa pada

generasi sebelumnya juga tidak ada lagi. Sehingga, meski awalnya etnis Tionghoa

cukup terdampak akibat kebijakan tersebut, tetapi anak dan keturunannya sudah

tidak mempermasalahkannya lagi.

Masih di tahun 1967, setelah mengalami berbagai sikap diskriminasi terkait

kebijakan Soeharto, pemerintah Orde Baru kembali mengeluarkan Instruksi

Presiden No. 14 tanggal 6 Desember 1967 yang mengatur tentang agama,

kepercayaan dan adat istiadat Cina. Instruksi tersebut memuat empat poin yang

mengatur tentang prosedur pelaksanaan ibadah, adat, dan kegiatan-kegiatan

kebudayaan Cina. Instruksi tersebut dialamatkan kepada Menteri Agama, Menteri

15Seperti marga Liem yang kemudian mengganti nama menjadi Nursalim (Nursaliem). Nama Nursalim adalah nama yang identik dengan agama Islam, namun pemilik nama tersebut belum tentu beragama Islam. Atau nama Budi Mulya (marga Ya/Yo) yang mana nama tersebut lebih cocok sebagai nama sebuah perkumpulan atau yayasan dibanding digunakan sebagai nama orang. (Junus Jahja, Ganti Nama (Jakarta Pusat: Yayasan Tunas Bangsa, 1987), hlm. 28-32.)

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 60

Dalam Negeri dan segenap badan serta alat pemerintahan di pusat maupun daerah.16

Instruksi Presiden tersebut berbunyi:

1. Tanpa mengurangi jaminan keleluasaan memeluk agama dan menunaikan ibadatnya, tata cara ibadat Cina yang memiliki aspek affinitas kulturil yang berpusat pada negeri leluhurnya, pelaksanannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan. 2. Perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina dilakukan secara tidak menyolok didepan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga. 3. Penentuan kategori agama dan kepercayaan maupun pelaksanaan tata cara ibadat agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina diatur oleh Menteri Agama setelah mendengar pertimbangan Jaksa Agung (PAKEM). 4. Pengamanan dan penertiban terhadap kebijakan pokok ini diatur oleh Menteri Dalam Negeri bersama-sama Jaksa Agung.17 Soeharto mengungkapkan bahwa Instruksi Presiden ini merupakan salah satu

upaya pemberantasan paham komunisme di Indonesia. Instruksi tersebut

dikeluarkan dengan pertimbangan bahwa adat-istiadat, agama, dan kepercayaan

Tiongkok yang berpusat pada leluhurnya perlu ditempatkan dalam proporsi yang

wajar. Sebab dalam manifestasinya dapat memberikan pengaruh psikologis dan

moril kepada masyarakat Republik Indonesia sehingga menghambat proses

asimilasi yang berlangsung.

Instruksi Presiden ini berimbas pada ditutupnya sebagian klenteng-klenteng

dan perkumpulan-perkumpulan milik etnis Tionghoa.18 Sebagian yang lainnya

16“Instruksi Presiden RI ttg agama, kepertjajaan, adat-istiadat Tjina”, Surabaya Post, 18 Desember 1967. 17Ibid. 18Pada masa Orde Baru perkumpulan Dharma Warga juga ditutup dan gedung perkumpulan dialih fungsikan sebagai mess TNI AU. Praktis selama Orde Baru perkumpulan Dharma Warga tidak melakukan kegiatan apapun. Namun ternyata TNI AU masih memberikan kelonggaran terhadap pengurus perkumpulan Dharma Warga dengan mengizinkan salah satu ruangan di gedung perkumpulan untuk digunakan sebagai ruang praktek dokter guna melayani masyarakat yang sakit. (Wawancara dengan wakil ketua pengurus perkumpulan Dharma Warga

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 61

mengganti namanya menjadi nama-nama khas Indonesia. Perayaan-perayaan hari

besar Tionghoa seperti Imlek, Cap Go Meh dan lain-lain sudah tidak dapat

dirayakan secara meriah dan besar-besaran.

Etnis Tionghoa di Tambak Bayan dalam menyikapi kebijakan tersebut

cenderung pasrah dan menerima. Entah kenapa mereka memiliki kesadaran atas

kelemahan posisi mereka pada era Orde Baru. Jiwa kepasrahan mereka terbentuk

karena selain mereka adalah etnis Tionghoa, mereka juga tidak memiliki kekuatan

politik apapun untuk melawan karena berstatus sebagai orang miskin.

Sejatinya, etnis Tionghoa Tambak Bayan dalam merayakan dan

melaksanakan upacara keagamaan serta kebudayaan sudah cukup mengalami

kesulitan dengan atau tanpa adanya kebijakan tersebut. Perayaan kebudayaan dan

upacara keagamaan cenderung menelan biaya yang cukup besar dan kerap kali tidak

sesuai dengan kemampuan ekonomi mereka. Tetapi bagaimanapun juga, mereka

memiliki keyakinan untuk tetap melaksanakan kegiatan kegamaan dan perayaan

kebudayaan dalam kondisi apapun sebagai representasi penghormatan terhadap

leluhur.19

Berbeda dengan kelompok etnis Tionghoa lain seperti di Kapasan dan

Kembang Jepun, perayaan hari-hari besar seperti Imlek di Tambak Bayan tidak

terlalu terdampak Instruksi Presiden No. 14. Sebab perayaan Imlek etnis Tionghoa

Surabaya bapak Ken Kriswanto (Den Jian Kang) pada 2 Oktober 2019 pukul 11.00 WIB di kantor Perkumpulan Dharma Warga.) 19H.G Creel, Alam Pikiran Cina Sejak Confucius Sampai Mao Zedong, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1990), hlm. 275-277.

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 62

Tambak Bayan sejak sebelum era Orde Baru sudah dilaksanakan secara sederhana.

Kesederhanaan dalam tata-cara peleksanaan yang hanya dirayakan di dalam rumah

baik itu persembahyangan maupun pesta makan-makan tentu secara prinsip tidak

melanggar Instruksi Presiden No. 14.

Disamping upacara keagamaan lain, perayaan Imlek meski telah dibalut

dengan kesederhanaan ternyata masih membebani beberapa orang secara ekonomi.

Kesulitan menyelenggarakan upacara keagamaan dikarenakan mahalnya harga

properti dan perlengkapan upacara. Hal ini disikapi cukup ekstrim oleh beberapa

etnis Tionghoa Tambak Bayan dengan berpindah agama. Mayoritas perpindahan

agama adalah menuju agama Kristen.20 Perpindahan agama ini jelas

menggambarkan ciri oportunis dari etnis Tionghoa Tambak Bayan.

Mahalnya harga properti dan perlengkapan upacara pada dasarnya bukan

satu-satunya alasan perpindahan agama etnis Tionghoa Tambak Bayan.

Perpindahan agama dari Khonghucu ke Kristen juga terkait dengan tidak diakuinya

Khonghucu sebagai agama sesuai Instruksi Presiden Soeharto No.1470 Tahun

1978. Inpres ini diperkuat dengan Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri

No.477/740554/BA.01.2/4683/95 tanggal 18 November 1978.21 Hal ini kemudian

membuat etnis Tionghoa Tambak Bayan yang masih beragama Khonghucu tidak

20Wawancara dengan warga Tambak Bayan, Bapak Wijaya (Wong Sui King) pada tanggal 6 mei 2018 pukul 20.00 di Kampung Tambak Bayan. 21Rustono Farady Marta, “Polemik Kebhinnekaan Indonesia pada Informasi Instagram @Infia_Fact Terkait Patung Kwan Sing Tee Koen Tuban”, Jurnal Bricolage, Vol. 3 No. 2, hlm. 64.

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 63

mendapatkan fasilitas dari pemerintah terkait jaminan dan kemudahan dalam

menjalankan ajaran agamanya.

Namun, permasalahan muncul berkaitan dengan administrasi yang juga

berpengaruh terhadap pengamalan Agama Khonghucu. Aksara kitab-kitab

Khonghucu dilarang menggunakan huruf Mandarin dan harus diterjemahkan

kedalam bahasa Indonesia tanpa memperlihatkan aksara aslinya. Penulisan Agama

Khonghucu dalam kolom KTP maupun kartu keluarga pun tidak bisa dilakukan

karena tidak diakui oleh pemerintah. Apabila dipaksakan dituliskan, maka akan

mempersulit diri sendiri dan keluarga. Mereka akan dipersulit untuk mendapatkan

hak-haknya sebagai warga negara, seperti kesulitan dalam mendapatkan catatan

perkawinan di pencatatan sipil dan mendapatkan akte kelahiran bagi anak.22

Hal unik terjadi di Kampung Tambak Bayan yang menggambarkan reaksi

oportunis guna mendapatkan hak-hak mereka sebagai warga negara. Bagaimanapun

juga umat Khonghucu dihadapkan pada dilema. Di satu sisi apabila mencatatkan

agama yang berbeda pada kolom KTP atau kartu Keluarga sama saja dengan

membohongi nurani dan tuhannya, di sisi lain apabila tidak dilakukan maka hak-

hak mereka sebagai warga negara tidak bisa didapatkan. Pada akhirnya, mereka

memilih untuk mengisi kolom agama dengan agama lain namun tetap berkeyakinan

22Daud Ade Nur Cahyo,” Kebijakan Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa”, skripsi, (Yogyakarta: Universitas Sanata Dhrama, 2016), hlm. 59.

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 64

dan menjalankan ajaran agama Khonghucu dengan menyerahkan semuanya kepada

tuhan.23

Sekolah juga berperan penting dalam proses perpindahan agama etnis

Tionghoa Tambak Bayan. Tekanan-tekanan yang masif terhadap penganut agama

Khonghucu melandasi pemikiran dan kemungkinan berpindah agama bagi mereka.

Opsi paling mungkin saat itu adalah agama kristen. Diiringi dengan ditutupnya

sekolah-sekolah Baperki dan sekolah berbahasa Tionghoa pada tahun 1965-1966

membuat mereka memindahkan anaknya ke sekolah-sekolah Kristen.24

Ketertarikan mereka terhadap sekolah Kristen adalah selain murah dan memiliki

jenjang pendidikan tinggi, sekolah tersebut juga kerap memberikan bantuan

kebutuhan sehari-hari berupa beras kepada wali murid yang kurang mampu.

Pada dasarnya tidak ada bukti jelas bahwa sekolah-sekolah kristen berperan

besar dalam perpindahan agama anak-anak etnis Tionghoa Tambak Bayan yang

bersekolah disana. Namun, sekolah-sekolah kristen memiliki peran penting dalam

memperkenalkan anak-anak etnis Tionghoa Tambak Bayan menuju agama kristen.

Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu gerbang utama masuknya anak-anak etnis

Tionghoa Tambak Bayan ke agama kristen adalah dengan melalui sekolah.25

23“Beberapa dari mereka memang benar-benar berpindah agama dengan pergi ke gereja dan mengikuti peribadatan Kristen. Sedang yang lain hanya formalitas saja. Mereka juga melakukan sembahyangan terhadap leluhur di rumah dan juga merayakan perayaan kebudayaan Tiongkok.” (Wawancara dengan warga Tambak Bayan, Suseno Karja pada tanggal 22 Oktober 2019 pukul 20.00 di Kampung Tambak Bayan.) 24Charles A. Coppel, op.cit., hlm. 211. 25Secara umum terjadi peningkatan yang luar biasa terhadap pemeluk agama Kristen di Indonesia pada dalam rentang tahun 1933 hingga tahun 1980. Pada tahun 1933 hanya sekitar 2,8 persen rakyat Indonesia yang beragama Kristen. Pada sensus tahun 1971 tercatat sebanyak 7,4 persen rakyat Indonesia beragama Kristen dn pada tahun 1980 terdapat sekitar 8,8 persen. (M.C.

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 65

Salah satu pengurus sekolah di Surabaya dengan mayoritas murid Tionghoa

memberikan gambaran mengenai agama yang dianut muridnya. Pada tahun 1966

hingga 1968 terjadi penurunan signifikan terhadap penganut agama Khonghucu dan

kenaikan terhadap penganut agama kristen.26

Tabel 3. 1 Persentase Siswa Pemeluk Agama di Salah Satu Sekolah Mayoritas Tionghoa Surabaya

Tahun Tahun JUMLAH PENGANUT AGAMA 1966 1968 Khonghucu (termasuk beberapa orang dari agama Budha) 50% 35% Protestan 40% 50% Katolik 9% 14% Islam 1% 1% Sumber: Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis, (Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 209.

Di Kampung Tambak Bayan, tercatat dari total 108 etnis Tionghoa Tambak

Bayan pada tahun 1983-1998 terdapat 43 orang beragama Kristen, 29 orang

beragama Buddha, 18 orang beragama Khonghucu, 16 orang beragama Islam dan

2 orang beragama Katolik.27 Agama Kristen menjadi agama mayoritas yang dianut

oleh etnis Tionghoa Tambak Bayan. Mereka yang beragama Kristen sebelumnya

beragama Khonghucu atau Buddha. Perpindahan agama ini oleh sebagian besar

etnis Tionghoa Tambak Bayan tidak terlalu dipermasalahkan karena para

missionaris Kristen sendiri juga banyak membantu perekonomian mereka.

Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), hlm. 435- 536. 26Charles A. Coppel, op.cit., hlm. 209. 27Diolah dari 64 Kartu Keluarga etnis Tionghoa Tambak Bayan terbitan tahun 1983-1998.

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 66

Sebelum bersekolah di sekolah-sekolah Kristen, etnis Tionghoa Tambak

Bayan menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah Tionghoa yang tersebar di

Surabaya seperti sekolah Nan Hwa (setara SD) di Jalan Bunguran, sekolah Kachung

Siauw (setara SD) di jalan Sulung, sekolah Fu Chung (setara SMP & SMA) di Jalan

Indrapura dan sekolah-sekolah Tionghoa lainnya. Setelah sekolah-sekolah itu

ditutup mereka kemudian berpindah ke sekolah-sekolah Kristen seperti Petra dan

YPPI. Selama bersekolah disana mereka berkenalan dengan agama Kristen melalui

kultur sekolahan dan mata pelajaran agama Kristen.

Penutupan sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa berdampak pada tingkat

pendidikan etnis Tionghoa Tambak Bayan. Ketika sekolah-sekolah tersebut

ditutup, mereka sebenarnya ingin menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah

Indonesia. Namun, kuota di sekolah-sekolah tersebut terbatas dan prioritas

diutamakan kepada anak-anak warga pribumi sehingga beberapa warga Tambak

Bayan mengalami putus sekolah.28 Beberapa warga menamatkan sekolahnya pada

tingkat Sekolah Dasar (SD) dan beberapa yang lain dapat melanjutkan sekolah

kembali ke jenjang lebih tinggi setelah sekitar 2 tahun tidak mendapatkan

pendidikan.29

28Setelah instruksi presiden no. 14 tahun 1967, praktis sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa ditutup. Kemudian pemerintah mengeluarkan peraturan presiden No. B 12/Pres./1/1968 yang memberikan izin untuk mendirikan sekolah yang disponsori oleh golongan swasta dalam masyarakat Tionghoa. Sekolah itu dinamakan Sekolah Nasional Proyek Chusus (SNPC) yang berdiri pada tahun 1969. Selama interval 2 tahun antara tahun 1967 hingga didirikannya sekolah- sekolah SNPC pada tahun 1969 banyak etnis Tionghoa yang tidak mendapatkan akses pendidikan. (Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, (Jakarta: PT Grafiti Pers, 1984), hlm. 162). 29Prioritas terhadap warga pribumi berlanjut hingga tingkat pendidikan tinggi. Sugita Wijaya mengisahkan bahwa dirinya pada tahun 80an mendaftarkan diri ke Universitas Airlangga. Ia lulus tes tulis namun kemudian tidak lulus administrasi karena namanya, Wong Sui King,

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 67

Dari 64 Kartu Keluarga (KK) etnis Tionghoa Tambak Bayan terbitan tahun

1983-1998 didapatkan informasi bahwa mayoritas pendidikan terakhir etnis

Tionghoa Tambak Bayan pada waktu itu adalah Sekolah Dasar (SD). Dari total 103

orang penghuni kampung Tambak Bayan sejumlah 48 orang berpendidikan terakhir

SD, 26 orang berpendidikan terakhir SMP, 20 orang berpendidikan terakhir SMA

dan 9 orang tidak sekolah atau tidak tercatat. Dilihat dari tahun lahir mereka dan

usia normal anak-anak masuk SD, mereka rata-rata lulus SD pada tahun 1966-1970

dimana ketika itu pendidikan terhadap etnis Tionghoa masih vakum. Hal ini

membuktikan bahwa dampak dari penutupan sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa

berdampak paling besar pada etnis Tionghoa miskin.30

Etnis Tionghoa Tambak Bayan walaupun hidup dalam kemiskinan namun

memiliki kesadaran untuk menyekolahkan anaknya setinggi mungkin. Prinsip

hidup mereka adalah memperjuangkan segalanya dalam semua aspek kehidupan

untuk anak. Mereka menabung dan menyimpan sebagian besar pendapatannya dan

mengalokasikan untuk pendidikan anak-anak mereka.

“Kita ini walaupun miskin tetapi selalu bekerja keras. Untuk siapa? Untuk anak-anak kita. Kita memang miskin tapi kita mengusahakan bagaimana caranya agar anak-anak kita tidak miskin seperti orang tuanya. Kita bekerja selalu berhemat. Uang selalu disisihkan dan makan secukupnya. Sisa uang ditabung untuk sekolah anak-anak”31

merupakan nama Tionghoa (Wawancara dengan warga Tambak Bayan, Bapak Wijaya (Wong Sui King) pada tanggal 6 mei 2018 pukul 20.00 di Kampung Tambak Bayan). 30Diolah dari 64 Kartu Keluarga etnis Tionghoa Tambak Bayan terbitan tahun 1983-1998. 31Wawancara dengan warga Tambak Bayan, Bapak Wijaya (Wong Sui King) pada tanggal 6 mei 2018 pukul 20.00 di Kampung Tambak Bayan.

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 68

Merupakan sebuah kontradiksi bagaimana mereka pasrah dengan berbagai

stereotip yang dialamatkan pada mereka, pasrah dengan berbagai kebijakan rasial

yang dibuat oleh pemerintah, dan pasrah terhadap takdir kemiskinan yang mereka

alami, namun begitu militan dan berjuang habis-habisan untuk pendidikan anak-

anak mereka. Hal ini mengisyaratkan bahwa mereka ingin mengubah nasib menjadi

lebih baik dan mengupayakan itu sebisa mungkin. Setidaknya apabila nasib orang

tua tidak bisa berubah, maka nasib anak yang harus berubah menjadi lebih baik.

Dalam konteks pekerjaan, etnis Tionghoa Tambak Bayan terbilang cukup

aman dari dampak-dampak kebijakan pemerintah dan stereotip masyarakat

terhadap etnis Tionghoa secara umum. Hal yang mendasarinya adalah karena

mereka bekerja di sektor-sektor non-formal. Posisi pekerjaan mereka yang sejajar

dengan pekerjaan rata-rata masyarakat pribumi, baik dari segi penghasilan maupun

dari segi derajat pekerjaan beserta resiko yang mengikutinya memperkuat hal itu.32

Keahlian mereka dalam bidang-bidang pekerjaan tertentu seperti tukang kayu

membuat mereka mendapatkan posisi dan nilai tawar tersendiri di mata masyarakat

pribumi. Walaupun terdapat sterotip negatif terhadap etnis Tionghoa, namun

masyarakat pribumi tetap mengandalkan tukang kayu etnis Tionghoa untuk

masalah perkayuan guna mendapatkan hasil terbaik. Bahkan tidak jarang tukang

kayu pribumi meniru dan belajar kepada tukang kayu Tionghoa untuk

32Mulyanto Sumardi & Hans-Dieter Evers,ed. Kemiskinan dan kebutuhan pokok, (Jakarta: CV. RaJawali, 1982), hlm. 158-159.

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 69

mengembangkan dan memperluas pengetahuannya. Keahlian ini juga sebagai pintu

gerbang pembauran, pengakuan, dan penerimaan masyarakat pribumi terhadap

etnis Tionghoa Tambak Bayan ditengah gejolak yang ada.

Para tukang kayu ini kemudian mengantarkan kampung Tambak Bayan

dikenal sebagai kampung tukang kayu sejak tahun 1950-an. Tukang kayu Tambak

Bayan fokus pada pembuatan perabot-perabot rumah seperti lemari, meja, kursi,

bahkan pigura.33 Di tahun 1960-1980an terdapat tiga workshop tukang kayu besar

di Kampung Tambak Bayan dan berpusat di sekitar istall kuda. Disamping itu,

terdapat puluhan workshop-workshop kecil milik tukang kayu yang kebanyakan

dikerjakan di dalam rumahnya atau di sekitar Istall Kuda.34

Walaupun begitu pekerjaan sebagai tukang kayu bukanlah sebuah pekerjaan

yang berpenghasilan tinggi. Mereka menekuni pekerjaan sebagai tukang kayu

karena memang hanya itu keahlian mereka disamping alasan historis dan kultural.

Salah satu pengrajin pigura, Ong Thian Tjo menceritakan bahwa omzetnya

perbulan pada tahun 60-an adalah sekitar lima belas ribu rupiah dengan keuntungan

bersih sekitar tiga ribu rupiah.35

Perjuangan untuk memperbaiki nasib lewat pendidikan mulai terlihat pada

tahun 1980an dimana salah satu indikatornya adalah komposisi para tukang kayu

33Pramoedya Ananta Toer, Hoakiau di Indonesia, (Jakarta: Garba Budaya, 1998), hlm. 192. 34Diolah dari Arsip Kotapraja Surabaya tahun 1958-1966 tentang Surat Izin Mendirikan Pertukangan Kayu di Jl. Tambak Bayan Gg VII/1-3 Surabaya a.n. Pang Khai Hien pada tanggal 30 Mei 1961. 35Ibid.

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 70

mulai berkurang. Perkembangan ekonomi di awal tahun 1980an terlihat dari

pekerjaan sebagai pegawai swasta sebanyak 32 orang, pekerjaan sebagai wirausaha

sebanyak 25 orang, dan pekerjaan sebagai tukang kayu sebanyak 4 orang dari total

61 kepala keluarga pada tahun 1983-1998.36

Dari statistik tersebut, telah terjadi perbaikan nasib yang cukup signifikan dari

20 tahun sebelumnya. Para pegawai swasta pada tahun tersebut merupakan para

anak-anak yang bersekolah di tingkat dasar dan menengah di tahun 1966-1970an.

Perjuangan mereka untuk mendapatkan pendidikan ditengah kesulitan pada tahun

tersebut berbuah pada pekerjaan yang cukup tinggi derajatnya dibanding pekerjaan

orang tua mereka sebagai tukang kayu.

Pekerjaan sebagai tukang kayu mulai ditinggalkan pada tahun 1990an.

Terdapat beberapa alasan yang membuat para etnis Tionghoa Tambak Bayan

meninggalkan pekerjaan tukang kayu yang merupakan pekerjaan turun temurun

bagi mereka. Alasan pertama adalah modernisasi. Para tukang kayu menggunakan

alat-alat manual tradisional sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama dalam

mengerjakan pesanan dan menghasilkan jumlah produksi tidak terlalu banyak.

Seiring perkembangan zaman, banyak diciptakan mesin-mesin pertukangan yang

bisa menghasilkan produksi lebih banyak dari pada hasil tangan manual dan

berbiaya lebih murah serta lebih efisien waktu.

36Pekerjaan sebagai pegawai swasta meliputi tukang masak, sales, pegawai bank, karyawan pabrik, dan karyawan toserba. Pekerjaan sebagai wirausaha meliputi berjualan kelontong, berjualan makanan, tukang besi, tukang kayu (pemilik workshop), PRT, tukang cuci dan lain sebagainya. (diolah dari 64 Kartu Keluarga etnis Tionghoa Tambak Bayan terbitan tahun 1983- 1998).

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 71

Alasan kedua adalah penghasilan. Tidak dapat dipungkiri, penghasilan

sebagai tukang kayu memanglah pas-pasan. Penghasilan sebagai tukang kayu

hanya cukup untuk menghidupi keluarga dan sangat sedikit sisa uang yang dapat

ditabung. Dengan penghasilan seperti itu ditambah dengan pesanan yang semakin

sedikit sebab modernisasi, mereka semakin terhimpit secara perekonomian.

Alasan ketiga adalah regenerasi. Pada tahun 1980 hingga 1990an merupakan

tahun-tahun regenerasi etnis Tionghoa Tambak Bayan. Generasi sebelumnya yang

banyak bekerja di sektor tukang kayu sudah memasuki masa pensiun. Anak-anak

generasi selanjutnya yang memasuki usia kerja memilih bekerja di menjadi pegawai

karena memiliki pendidikan yang cukup dan jaminan penghasilan yang tetap setiap

bulannya. Beberapa dari mereka bahkan ketika telah mendapatkan kestabilan

ekonomi memilih untuk pindah keluar dari kampung Tambak Bayan.

Generasi-generasi etnis Tionghoa Tambak Bayan yang lahir pada tahun 1940-

1950an dan mencapai kedewasaan pada tahun 1980-1990an mengidentifikasikan

dirinya sebagai orang Indonesia. Rasa nasionalisme mereka sama kuat bahkan

dalam beberapa aspek cenderung lebih kuat dari masyarakat pribumi itu sendiri.

Namun, mereka masih terganjal sikap-sikap dan peraturan pemerintah yang

diskriminatif sehingga kurang bisa leluasa dalam berkehidupan sehari-hari.

“Kami ini orang Indonesia. Kami lahir, hidup, bekerja dan tinggal di Indonesia. Memang kami keturunan orang Cina tetapi tanah air kami adalah Indonesia. Apa lagi pernah perdana menteri kami mengatakan bahwa kalian orang Tionghoa yang lahir di Indonesia,

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 72

kalian bukan orang RRT tetapi kalian orang Indonesia. Maka bekerja dan berkontribusilah lah untuk memajukan negara kalian.”37 Salah satu penghambat mereka dalam berkehidupan sehari-hari adalah proses

administrasi kewarganegaraan. Pada tahun 1979, kantor kejaksaan negeri

mengadakan pendaftaran ulang semua orang keturunan Tionghoa, baik yang asing

maupun yang berkewarganegaraan Indonesia. Prosedur ini sangat melukai perasaan

WNI keturunan Tionghoa. Mereka (bersama orang Tionghoa asing) tidak hanya

diharuskan mengisi formulir panjang dengan harga cukup mahal, tapi mereka juga

diperlakukan sama dengan Tionghoa asing.38

Tampaknya, pendaftaran orang asing Tionghoa itu merupakan suatu langkah

persiapan dalam dua perubahan besar kebijakan terhadap minoritas Tionghoa pada

tahun 1980. Pada tahun itu presiden mengeluarkan instruksi (Instruski Presiden no.

2 tahun 1980) mengenai pemindahan kewenangan penerbitan setifikat WNI yang

sebelumnya ada pada pengadilan negeri dilimpahkan pada camat setempat.

Tindakan kedua adalah diterbitkannya Keputusan Presiden no. 13 tahun 1980 yang

memberikan kesempatan kepada Tionghoa asing untuk menjadi warga negara

Indonesia. Kedua keputusan ini menyederhanakan syarat untuk menjadi WNI

dengan proses minimal tiga bulan dan maksimal tiga tahun. Proses tersebut juga

dikenakan biaya administrasi minimum Rp 30.000,00 dan maksimum Rp

37Wawancara dengan warga Tambak Bayan, Bapak Wijaya (Wong Sui King) pada tanggal 6 mei 2018 pukul 20.00 di Kampung Tambak Bayan. 38Charles A. Coppel, op.cit., hlm. 296.

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 73

100.000,00. Penentuan besaran biaya administrasi diusahakan tidak melebihi

penghasilan bulanan pemohon.39

Sekalipun usaha untuk mendapatkan status warga negara Indonesia telah

dipermudah, namun tetap saja hal itu sulit bagi etnis Tionghoa miskin Tambak

Bayan. Kesulitan tersebut terletak pada biaya yang dibebankan. Biaya sebesar itu

tentu melebihi kemampuan mereka sehingga pada tahun 1980an masih banyak etnis

Tionghoa Tambak Bayan yang berkebangsaan WNA.

Sebanyak 67 orang dari 101 etnis Tionghoa Tambak Bayan merupakan

Warga Negara Indonesia, sedangkan 34 sisanya masih berkebangsaan Cina.

Kewarganegaraan WNI biasanya didapat ketika terjadi perkawinan silang antara

etnis Tionghoa dan penduduk pribumi. Sedangkan mereka yang masih totok pada

akhirnya harus mengurus proses kependudukan dengan biaya tinggi sehingga

banyak dari mereka memilih tidak melakukannya dan tetap pada kewarganegaraan

Tiongkok.40

Seperti yang terjadi pada keluarga Go Liem Nio, ia dan ketujuh anaknya

tinggal di Kampung Tambak Bayan. Bahkan ia dan kesemua anaknya lahir di

Surabaya, namun pada tahun 1983 masih berkewarganegaraan Cina dan beragama

Khonghucu.41 Kasus yang sama terjadi pada keluarga Tjong Sia Hoo. Ia merupakan

kelahiran RRC tepatnya di daerah SinHwee dan mendapatkan istri Tionghoa

39Ibid. 40Diolah dari 64 Kartu Keluarga etnis Tionghoa Tambak Bayan terbitan tahun 1983-1998. 41Diolah Dari Kartu Keluarga Go Liem Nio terbitan tahun 1983.

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 74

kelahiran Surabaya bernama Njoo Fien Nio. Mereka berdua beserta keenam

anaknya berkewarganegaraan Cina karena mengikuti kewarganegaraan Tjong Sia

Hoo. Tjong Sia Hoo sendiri bekerja sebagai tukang kayu dan beragama Buddha.42

Selama masa Orde Baru, Kampung Tambak Bayan terutama bagian Istall

Kuda dihuni oleh etnis Tionghoa baik yang sudah berkewarganegaraan Indonesia

ataupun yang masih bekewarganegaraan asing. Mereka hidup bergotong rotong

satu sama lain. Warga Tambak Bayan memiliki ikatan yang kuat antar sesama etnis

Tionghoa dikarenakan semua hal terkait kondisi kampung mereka dilakukan

bersama-sama.

Tidak ada jaminan kesehatan dari pemerintah yang bisa dirasakan oleh

mereka sehingga apabila mereka jatuh sakit maka mereka akan mengandalkan

kerabat mereka untuk membantu merawat dan berhutang untuk sekedar membeli

obat. Ketiadaan jaminan kesehatan tersebut juga merupakan dampak dari

administrasi terkait status kewarganegaraan mereka. Poernomo Kasidi yang

menjabat sebagai Walikotamadya Surabaya menggalakkan kebijakan pembersihan

sungai-sungai dan kampung-kampung agar sehat dan asri, namun kampung

Tambak Bayan dan Istall Kuda sama sekali tidak tersentuh. Satu-satunya proyek

pemerintah adalah pengaspalan Jalan Tambak Bayan Tengah pada masa walikota

Moehadji Widjaja setelah sebelumnya hanya berupa jalan tanah (makadam).43

42Diolah Dari Kartu keluarga Tjong Sia Hoo terbitan tahun 1988. 43Wawancara dengan warga Tambak Bayan, Suseno Karja pada tanggal 6 mei 2018 pukul 20.00 di Kampung Tambak Bayan.

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 75

Pemerintah baru memberikan perhatiannya kepada kampung Tambak Bayan

terkait statusnya sebagai kampung kuno di Surabaya. Pemerintah kotamadya

Surabaya mengeluarkan Surat Keputusan terkait penetapan kawasan Cagar Budaya.

SK tersebut sebenarnya ditujukan untuk Kampung Kepatihan dikarenakan catatan

historisnya sebagai kampung yang telah berdiri sejak zaman Kadipaten. SK

bernomor 188.45/0004/402.1.04/1998 juga di klaim berlaku untuk Kampung

Tambak Bayan karena merupakan bagian dari Kampung Kepatihan secara historis

dan geografis.44 Hingga pada akhirnya SK ini diperkuat dengan penetapan istall

kuda di Tambak Bayan sebagai bangunan Cagar Budaya pada tahun 2012.45

Terdapat pula upaya pemerintah dalam usaha asimilasi dengan memberikan

Penataran P4 pola pendukung 25 jam kepada warga WNI keturunan sejumlah 125

orang di Kelurahan Kedungdoro selama 5 hari terhitung mulai hari senin 13 Maret

1989 hingga jum’at 17 Maret 1989.46 Penataran P4 ini diselenggarakan dalam

rangka Bulan Bakti LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa).47 Tidak hanya

di kelurahan Kedungdoro, etnis Tionghoa Tambak Bayan juga mendapatkan hal

44Surat keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 188.45/0004/402.1.04/1998. 45Surat Keputusan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya Nomor: 646/877/436.6.14/2012. 46Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) merupakan program nasional pemerintah Orde Baru dalam rangka upaya pembudayaan Pancasila di setiap sendi-sendi kehidupan berbangsa warga Indonesia. (Margono, Karakteristik Proses Belajar Mengajar Penataran P4 Pola 45 Jam Bagi Mahasiswa Baru: Studi Kualitatif Tentang Penataran P4 Pola 45 Jam Bagi Mahasiswa Baru di IKIP , Thesis, 2013, Universitas Pendidikan Indonesia. Hlm. 31.) 47“P4 Kedungdoro”, Surabaya Post, 15 Maret 1989.

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 76

yang sama. Hal ini dapat dibuktikan dengan sertifikat penataran P4 yang dimiliki

oleh beberapa dari mereka setelah mengikuti program tersebut.48

Etnis Tionghoa juga dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.

Salah satunya adalah pelantikan sebanyak 117 orang yang terdiri dari penduduk

WNI keturunan Cina di Kotamadya Surabaya. WNI keturunan Cina tersebut berasal

dari Kecamatan Semampir, Pabean Cantikan, Tandes dan Bubutan. Dalam pidato

sambutannya, walikotamadya Surabaya Moehadji Widjaja mengatakan bahwa

tidak ada hal yang istimewa dari pelantikan hansip keturunan Cina ini. Sebagai

warga negara Indonesia, mereka memiliki kewajiban yang sema dengan warga

pribumi. Moehadji juga memerintahkan setelah pelantikan ini agar mereka

membaurkan diri dengan anggota hansip yang lain.49

Permasalahan-permasalahan pembauran dan kependudukan yang dirasakan

oleh etnis Tionghoa berhulu pada permasalahan administrasi dalam kebijakan

pemerintah pusat. Pemerintah pusat juga melakukan upaya-upaya persuasif

terhadap etnis Tionghoa agar mau menerima kebijakan administratif yang terkesan

diskriminatif. Salah satunya adalah upaya wakil presiden Try Sutrisno yang

menghimbau agar warga Tionghoa tidak terjebak pada ganjalan administrasi dan

fokus pada kontribusi terhadap negara.50

48Diolah dari sertifikat penataran P4 milik warga Tambak Bayan Suseno Karja tahun 1990. 49“117 Hansip keturunan Cina Diliantik”, Surabaya Post, 7 Februari 1981. 50Try Sutrisno mengakui masih terdapat perbedaan yang terlihat dengan pemberian KTP bertanda khusus untuk warga keturunan. Namun ia mengatakan bahwa hal tersebut hanyalah untuk mempermudah proses administrasi saja. (“Warga Keturunan Cina Jangan Terjebak Ganjalan Administrasi”, Surabaya Post, 12 september 1991.)

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 77

Untuk mengatasi permasalahan perumahan, pemerintah kotamadya Surabaya

mengeluarkan Peraturan Daerah no. 08 tahun 1990. Perda tersebut mengatur

mekanisme tinggal warga Surabaya di rumah atau tempat yang statusnya dalam

pengawasan Kepala Daerah. Mayoritas bangunan-bangunan peninggalan Belanda

yang tak bertuan masuk dalam bangunan yang diawasi. Bangunan-bangunan

tersebut ditempati secara sporadis oleh warga Surabaya yang tergusur dan kalah

dalam perebutan ruang kota.51

Bangunan istall kuda di Kampung Tambak Bayan merupakan salah satu

bangunan yang masuk dalam pengawasan Kepala Daerah Kotamadya Surabaya

melalui Dinas Perumahan Daerah. Etnis Tionghoa yang tinggal didalamnya tentu

memerlukan legalitas dalam menempati tempat tersebut. Pemerintah kemudian

mengeluarkan SIP (Surat Izin Perumahan) berdasarkan perda tersebut. SIP ini

merupakan bukti legalitas atas hak mereka menempati bangunan tersebut. Tentu

saja dengan memiliki SIP ini etnis Tionghoa yang tinggal didalamnya memiliki

kewajiban untuk membayar sewa bulanan kepada Dinas Perumahan DAERAH.52

Pemerintah Kotamadya Surabaya selama Orde Baru melakukan beberapa

mekanisme dalam mengakomodir keberadaan etnis Tionghoa miskin di Surabaya

termasuk di Kampung Tambak Bayan. Upaya pemerintah daerah tersebut

meneruskan kebijakan-kebijakan pemerintah pusat terkait masalah etnis Tionghoa.

51Diolah dari Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 8 Tahun 1990 tentang Pelayanan Bidang Perumahan Dalam Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya. 52Diolah dari Surat Izin Perumahan (SIP) warga penghuni Istall Kuda Tambak Bayan Tio Hwa Hing (Hendrik Tumbelaka) yang diterbitkan tahun 1998 dan Surat Izin Perumahan (SIP) NY. JD. Tio. A Tjiong-Go Liem Nio yang diterbitkan tahun 1991.

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 78

Pemerintah juga melakukan upaya mengatasi ledakan penduduk dan masyarakat

urban dimana etnis Tionghoa miskin juga masuk dalam kategori tersebut.

3.2 Upaya Etnis Tionghoa Tambak Bayan dalam Mempertahankan Kebudayaan

Sebagai sebuah kelompok masyarakat, etnis Tionghoa Tambak Bayan tentu

memiliki nilai-nilai dan pandangan hidup berupa kebudayaan. Hal ini merupakan

perwujudan dari pengertian kebudayaan itu sendiri sebagai segala daya, upaya dan

aktifitas manusia untuk mengolah, beradaptasi dan mengubah alam. Aspek

kebudayaan menyangkut seluruh kehidupan manusia baik materil maupun non

materil.53

Etnis Tionghoa Tambak Bayan sangat menjunjung tinggi kebudayaan dan

adat-istiadat nenek moyang mereka. Hal ini terlihat bagaimana mereka tetap

berusaha untuk menjalankan dan menyelenggarakan upacara-upacara keagamaan

dan kebudayaan dalam kondisi apapun. Himpitan ekonomi dan tekanan politik tidak

membuat mereka serta-merta meninggalkan kebudayaan mereka. Bahkan walaupun

berganti agama, mereka tetap melaksanakan adat-istiadat nenek moyang mereka.

Himpitan ekonomi dan tekanan politik tersebut justru menghasilkan keunikan

dalam tata cara mereka beribadah. Berbagai penyesuaian dan modifikasi dilakukan

agar mereka tetap bisa menjalanan kegiatan tanpa mendapatkan tekanan dari

pemerintah.

53Elly M. Setiadi, Kama A. Hakam, Ridwan Effendi, Ilmu Sosial Budaya Dasar, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), hlm. 27-28.

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 79

Salah satu budaya yang masih dilestarikan oleh etnis Tionghoa Tambak

Bayan adalah perayaan tahun baru Imlek. Imlek merupakan perayaan wajib dan

terpenting bagi seluruh etnis Tionghoa. Pada dasarnya, Hari Raya Imlek merupakan

hari raya pergantian tahun dalam penanggalan Cina. Perayaan Imlek dilakukan

secara meriah dan penuh kegembiraan dengan harapan kemakmuran dan

kebahagiaan yang akan didapat di tahun selanjutnya.

Perayaan Imlek pada masa Orde Baru praktis dilarang dilakukan secara

meriah dan di tempat umum. Maka etnis Tionghoa Tambak Bayan merayakan

Imlek dengan sederhana di kediaman masing-masing. Walaupun dilaksanakan

secara sederhana tetapi tidak mengurangi kesakralan dari perayaan tersebut.

Bahkan justru ketika Imlek dirayakan dengan penuh kesederhanaan, maka nilai-

nilai kekeluargaan dan kesakralan akan semakin kuat.

Etnis Tionghoa Tambak Bayan mayoritas adalah orang Hakka dimana

mereka memiliki kebiasaan yang berbeda dibanding suku lain di Tiongkok dalam

merayakan hari raya Imlek. Sehari sebelum hari raya Imlek, mereka melakukan

sembahyangan menghadap timur yang merupakan simbol rasa syukur terhadap

Dewa Langit atas segala berkah yang diberikan kepada keluarga mereka.

Sembayang juga dilakukan terhadap Dewa Bumi untuk mensyukuri berkah yang

sudah mereka terima.

Sebelum melakukan sembahyangan, mereka mempersiapkan altar di depan

rumah beserta perlengkapan sembahyangan atau sesajen. Terdapat tiga sesajen inti

yang wajib ada dalam upacara ini yaitu ayam, babi, dan ikan. Selain itu, terdapat

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 80

juga beberapa jenis buah-buahan dan sayur-mayur serta jajanan pasar untuk

sesajen. Sajian minuman berupa Yo Sua atau arak juga di persembahkan kepada

Dewa Langit.

Dalam prosesi tersebut, mereka berdoa dan membakar kertas yang merupakan

simbol uang. Pembakaran kertas ini merupakan simbol penghormatan mereka

terhadap para leluhur yang sedang hadir dalam ritual mereka. Tentu ritual

sembahyangan ini tidak semua bisa melakukannya dikarenakan keterbatasan

ekonomi dan tempat. Bagi mereka yang tidak dapat melakukan ritual tersebut, maka

cukup melakukan sembahyangan sederhana di altar keluarga masing-masing di

dalam rumah.

Salah satu etnis Tionghoa yang masih bisa melakukan ritual ini adalah Liang

Mie Yen. Ia adalah generasi kedua di keluarganya yang masih melakukan ritual

sembayangan secara runtut dan lengkap sesuai dengan ajaran para leluhurnya. Yen

masih mempertahankan tradisi ini dalam keluarganya karena didukung kondisi

ekonomi yang cukup dan juga kepeduliannya terhadap ritual-ritual yang diajarkan

oleh para leluhurnya. Yen mempercayai bahwa dengan melakukan sembayangan

secara lengkap dan benar, maka keberuntungan akan datang padanya.

Sembayangan ini dilakukan oleh Yen di ruang tamu rumahnya dengan menaruh

sebuah meja tepat di depan pintu.

Dalam perayaan Imlek orang Hakka, mereka memiliki ritual makan malam

bersama seluruh keluarga besar di hari kedelapan setelah Imlek berlangsung.

Momen ini merupakan momen reuni dan mengeratkan tali kekeluargaan kembali

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 81

setelah selama satu tahun terpisah.54 Etnis Tionghoa Tambak Bayan mengadakan

makan malam bersama keluarga besar di malam Tahun Baru Imlek. Seperti yang

terjadi pada keluarga besar Liong (marga Liong), mereka berkumpul di malam

tahun baru Imlek untuk makan bersama dan bersilaturahmi. Berbagai masakan

dihidangkan sebagai bentuk rasa syukur terhadap rezeki yang didapat pada tahun

ini. Selama prosesi makan malam, mereka menyalakan lilin di altar leluhur mereka

dengan harapan leluhur mereka juga hadir dan ikut menyantap sajian yang mereka

buat.

Altar leluhur tidak diletakkan di ruangan atau tempat khusus sebagaimana

mestinya. Mereka cukup menggantung altar leluhur di ruang tamu. Apabila akan

melakukan sembahyangan apapun, maka mereka akan menyalakan lilin yang sudah

diletakkan di altar tersebut dan juga membakar dupa. Dalam perayaan ritual-ritual

sembahyangan, mereka tidak menggunakan pakaian khusus. Mereka beranggapan

bahwa hal ini merupakan simbol kesederhanaan. 55

Kesederhanaan dalam merayakan Hari Raya Imlek membuat banyaknya

rangkaian ritual Imlek yang tidak dilakukan karena keterbatasan akses keramaian

dan keuangan. Tidak ada pesta Barongsai dan kembang api karena hal tersebut

dilarang pada Orde Baru. Pelarangan tersebut dan keterbatasan dana membuat

54Oktavia Sanjaya, “Fungsi dan Makna Penyambutan Hari Raya Imlek pada Masyarakat Etnis Tionghoa di Kota ”, skripsi, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Lampung Bandar Lampung, 2016, hlm 13. 55Selayaknya perayaan Imlek yang identik dengan pakaian merah, etnis Tionghoa Tambak Bayan tidak menggunakannya dan cukup dengan menggunakan pakaian sehari-hari. (Alfian Rizal Andre Ciputra, “PeCinan Tambak Bayan Surabaya Dalam fotografi Dokumenter”, skripsi, jurusan fotografi fakultas seni media rekam institut seni indonesia Yogyakarta 2018)

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 82

mereka mengesampingkan ritual-ritual pendukung lain dan fokus pada ritual inti

yaitu prosesi sembahyangan sebagai rasa syukur terhadap dewa dan leluhur serta

prosesi makan malam bersama keluarga besar sebagai ajang untuk mempererat tali

persaudaraan.

Hal unik terdapat pada pesta pernikahan orang Tionghoa Tambak Bayan.

Mereka menyelenggarakan pesta pernikahan di rumah makan bagi yang mampu

dan cukup dilakukan di rumah bagi yang kurang mampu. Perayaan pesta tersebut

dilakukan malam hari setelah diadakan prosesi pernikahan di klenteng. Pesta

pernikahan dihadiri oleh seluruh kelurga besar serta tetangga.

Etnis Tionghoa Tambak Bayan memiliki istilah khusus untuk

menganalogikan pesta pernikahan kelompoknya. Mereka menyebut pesta

pernikahan dengan istlah Kanton, Ngem HoLanSui yang berarti minum limun.

Sebutan Ngem HoLanSui merupakan sebuah anekdot bagi mereka karena limun

merupakan sajian wajib dalam pesta pernikahan etnis Tionghoa Tambak Bayan.56

Walaupun pesta pernikahan dilakukan di rumah makan, tetapi sajian dalam pesta

tersebut tergolong sederhana.

Sebuah akulturasi budaya terlihat jelas dari pilihan sajian yang disajikan

dalam pesta pernikahan mereka. Tidak ada jajanan khas Tiongkok seperti kue thok

atau kue bulan, tetapi justru mereka menyajikan lemper, apem, aneka gorengan dan

56Sehingga apabila ada etnis Tionghoa Tambak Bayan yang akan menghadiri pesta pernikahan sesamanya, mereka tidak menggunakan kata “akan menghadiri pesta pernikahan”. Mereka lebih memilih menggunakan anekdot “akan Ngem HoLanSui”. Lawan bicara dalam hal ini sudah mengetahui bahwa hal itu berarti mereka akan menghadiri pesta pernikahan.

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 83

makanan tradisional khas Jawa lainnya. Penyajian makanan tradisional khas Jawa

dalam pesta pernikahan yang sakral ini membuktikan satu hal yaitu, bahwa mereka

telah mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Surabaya dan bukan orang Cina.

Tradisi ini bertahan hingga tahun 1980an. Selepas tahun 1980an tradisi ini

tetap berjalan namun telah mengalami proses modernisasi disamping juga

perekonomian sebagian besar dari mereka yang membaik. Tidak hanya kue-kue

tradisional, mereka juga menyuguhkan makanan-makanan utama seperti Soto,

Rawon, Nasi Campur dan sebagainya. HoLanSui atau Limun kemudian lambat laun

digantikan dengan minuman-minuman bersoda yang baru seperti Sprite, Fanta,

maupun Coca-Cola. Pesta pernikahan juga merupakan ajang reuni keluarga besar

yang tinggal di tempat lain akan datang dan jumlahnya bisa mencapai ratusan dalam

satu marga.

Pemerintah masih memberikan kelonggaran terhadap pesta pernikahan etnis

Tionghoa Tambak Bayan. Selama masa Orde Baru tidak ditemui pembubaran atau

pelarangan perayaan pesta pernikahan etnis Tionghoa Tambak Bayan. Etnis

Tionghoa Tambak Bayan memaknainya sebagai sebuah kewajaran karena hal

tersebut menyangkut hak asasi manusia, sedangkan pemerintah menilai bahwa

pesta pernikahan yang dilakukan secara intern di rumah makan dan tidak

mengundang keramaian secara umum tidak melanggar Inpres No.14 tahun 1967.

Perkumpulan Dharma Warga sebelum Orde Baru memiliki banyak kegiatan

baik sosial maupun budaya. Seperti dalam perayaan imlek, sebelum Orde Baru

mereka rutin mengadakan petunjukan Barongsai dan pesta kembang api. Ritual

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 84

sembahyangan pun dilakukan di dalam gedung perkumpulan Dharma Warga secara

meriah. Bahkan pada tahun 1960an, mereka memiliki kelompok band dan vokal

yang beranggotakan anggota perkumpulan Dharma Warga.

Gambar 3.1 Grup Band dan Vokal yang beranggotakan warga perkumpulan Dharma Warga pada tahun 1960an. Sumber: Koleksi foto pengurus perkumpulan Dharma Warga Surabaya.

Sebelum Orde Baru, anggota perkumpulan Dharma Warga cukup merata

mulai dari anak-anak hingga orang tua. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan-

kegiatan di perkumpulan Dharma Warga mampu mengakomodir kepentingan lintas

usia dari anggotanya. Terhentinya segala kegiatan perkumpulan Dharma Warga

secara tiba-tiba pada Orde Baru membuat terputusnya regenerasi dalam kegiatan-

kegiatan berbau kebudayaan dan sosial yang sebelumnya rutin dilakukan.

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 85

Gambar 3.2 Foto anggota perkumpulan Dharma Warga pada tahun 1950-an. Sumber: Koleksi foto pengurus perkumpulan Dharma Warga Surabaya.

Namun selama Orde Baru, tidak ada kegiatan berbau kebudayaan yang

dilakukan secara terbuka oleh etnis Tionghoa Tambak Bayan dan perkumpulan

Dharma Warga sebagai perkumpulan para tukang kayu. Hal ini praktis

menyebabkan terputusnya regenerasi dan pewarisan nilai-nilai kebudayaan serta

kegiatan-kegiatan kolektif serupa baik di Kampung Tambak Bayan maupun di

perkumpulan Dharma Warga.

Terhentinya segala kegiatan berdampak saat perkumpulan Dharma Warga

mulai beraktifitas kembali pada awal tahun 2000an. Kegiatan-kegiatan

perkumpulan tersebut didominasi dengan kegiatan yang diperuntukkan kepada para

lansia. Para anggota yang aktif saat ini juga didominasi oleh para lansia. para lansia

ini kebanyakan juga bukan merupakan anggota baru, namun mereka merupakan

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 86

anggota lama yang ingin bernostalgia dan berkumpul kembali dengan teman-teman

lama setelah puluhan tahun vakum berkegiatan.57

Sebagai wujud kepedulian pemerintah terhadap etnis Tionghoa di Surabaya

dan usaha untuk terus menggalakkan pembauran di kalangan etnis Tionghoa dan

pribumi, pemerintah kotamadya Surabaya menggunakan jalur kebudayaan sebagai

sarana untuk mencapai itu. Pemerintah mengadakan pertunjukan

pembauran di gedung Surabaya Indah pada sabtu, 11 Maret 1989. Pertunjukan

wayang itu akan dipentaskan oleh 53 orang WNI keturunan dan 47 seniman.58

Pagelaran tesebut terbukti sangat menarik antusiasme warga Surabaya untuk

menyaksikannya. Pada sabtu 4 Maret 1989 atau satu minggu sebelum acara

dilaksanakan, sebanyak 600 lembar dari total 1000 lembar tiket telah habis terjual.

Tiket tersebut dijual seharga Rp. 10.000,00 untuk kelas VIP dan utama dan Rp.

7.500,00 untuk kelas biasa. Bahkan tiket untuk kategori pelajar sudah habis terjual.

Pagelaran tersebut dilaksanakan untuk memperingati Supersemar. Oleh karena itu

lakon yang dipentaskan berjudul “Anoman Duta”, yaitu merupakan lakon yang

menceritakan pembauran situasi yang dimotori oleh anak-anak muda.59

57Para lansia yang aktif saat ini kebanyakan berusia 8-20 tahun ketika perkumpulan Dharma Warga berhenti berkegiatan. Mereka aktif kembali berkegiatan setelah lebih dari 30 tahun tidak berkegiatan di perkumpulan Dharma Warga. 58Pemilihan pagelaran kesenian wayang orang oleh pemerintah kota Surabaya didasari oleh kedekatan emosional etnis Tionghoa dengan kesenian wayang. Seperti wayang Potehi yang merupakan salah satu produk kebudayaan Tionghoa yang menarik dan sangat diminati, begitu juga dengan wayang orang. Salah satu perkumpulan Tionghoa yang sangat terkenal terkait pagelaran kesenian wayang orangnya adalah perkumpulan “Ang Hien Hoo” dari Malang. Salah satu pemainnya, Le Kiok Hwa (Nelly Lee) bahkan menarik perhatian presiden Soekarno hingga diberikan nama Ratna Djuwita. (Junus Jahja, op.cit., hlm. 296.)

59“Wayang Pembauran”, Surabaya Post, 4 Maret 1989.

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 87

Hal ini cukup menarik karena ketika terjadi pelarangan terhadap kegiatan

kebudayaan yang mengundang keramaian, pemerintah sendiri justru melakukan hal

sebaliknya. Tentu hal ini memiliki muatan politis di baliknya, tetapi tidak dapat

dipugkiri bahwa kegiatan ini sukses menyedot antusiasme masyarakat baik itu etnis

Tionghoa maupun warga pribumi.

Sebagai etnis Peranakan dan minoritas, etnis Tionghoa Tambak Bayan

berusaha membaur dengan baik terhadap sekitarnya dalam segala aspek termasuk

pola komunikasi. setidaknya terdapat tiga tingkatan bahasa yang digunakan oleh

etnis Tionghoa Tambak Bayan dalam berkomunikasi di lingkungannya baik dengan

warga pribumi maupun dengan sesamanya. Tiga tingkatan bahasa ini terbentuk

secara alami dalam kurun waktu yang lama sebagai turunan dari proses akulturasi

yang dilakukan oleh mereka sendiri.60

Tingkatan yang pertama adalah bahasa keakraban. Bahasa ini adalah bahasa

yang paling banyak digunakan oleh etnis Tionghoa Tambak Bayan dalam

berkomunikasi. Bahasa ini digunakan untuk berkomunikasi dengan sahabat dekat,

keluarga atau saudara. Mereka menggunakan bahasa keakraban apabila tidak ada

sekat terhadap lawan bicaranya. Bahasa keakraban etnis Tionghoa Tambak Bayan

adalah bahasa Jawa. mereka biasa berkomunikasi dengan penduduk pribumi yang

sudah menjadi sahabat bagi mereka dengan bahasa Jawa. penggunaan bahasa ini

60Jennifer Cushman & Wang Gungwu, Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggara (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1991), hlm. 133.

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 88

mencerminkan fakta bahwa mereka hanyalah minoritas kecil yang cepat

berakulturasi dengan budaya setempat.

Tingkatan yang kedua adalah bahasa solidaritas. Bahasa solidaritas

digunakan oleh mereka ketika berbicara satu sama lain tanpa memperdulikan sub

budaya. Bahasa solidaritas serupa dengan bahasa keakraban. Sehingga apabila

bahasa keakraban etnis Tionghoa Tambak Bayan adalah bahasa Jawa, maka bahasa

solidaritas juga mernggunakan bahasa Jawa. perbedaan terletak pada situasi

penggunaannya. Meeka menggunakan bahasa solidaritas sebagai sarana

berkomunikasi dengan warga pribumi yang tidak terlalu akrab atau tidak kenal

namun masih jelas asal-usulnya sehingga bahasa yang digunakan lebih halus dan

sopan. Disisi lain mereka juga menggunakan bahasa Mandarin sebagai bahasa

solidaritas ketika berkomunikasi dengan sesamanya karena kesamaan kultur dan

budaya.61

Tingkatan ketiga adalah bahasa untuk kalangan umum yang tentu saja dalam

hal ini adalah bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia digunakan dalam

kegiatan-kegiatan yang bersifat umum atau berbicara dengan pribumi dari lain

daerah. Penggunaan ketiga bahasa ini didsarkan pada waktu dan tempat yang

sesuai. Ketidak sesuaian waktu dan tempat dalam menggunakan bahasa ini terkdang

menimbulkan permasalahan yang bermuara pada tuduhan rasialis.62 Menariknya di

61Ibid. hlm, 136.

62Sepeti yang dialami oleh Wong Sui King (Sugita Wijaya) ketika menjemput rekannya dari Tiongkok yang baru pertama kali ke Indonesia di bandara internasional Juanda pada tahun 90an. Ketika bercakap-cakap menggunakan bahasa Mandarin Sugita Wijaya ditegur oleh petugas bandara untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. (Wawancara dengan warga Tambak

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 89

kampung Tambak Bayan dimana etnis Tionghoa merupakan mayoritas, penduduk

pribumi justru banyak menggunakan istilah-istilah Tionghoa dalam berkomunikasi.

Bahkan tidak sedikit penduduk pribumi yang fasih berbahasa Mandarin karena

perkawinan dengan etnis Tionghoa Tambak Bayan.

Dari aspek kebudayaan ini terlihat jelas bahwa dilihat dari sisi manapun etnis

Tionghoa Tambak Bayan telah melebur dan menjadi Jawa. berbagai aspek

kehidupan sehari-hari yang dijalani oleh mereka sudah tidak memiliki perbedaan

signifikan dengan yang dilakukan oleh penduduk pribumi. Perbedaan yang ada

hanya pada ritual-ritual kebudayaan dan keagamaan yang bermuara pada leluhur.

Sedangkan selebihnya sama-sekali tidak ada perbedaan sehingga dalam tingkatan

seperti ini mereka sukses dan layak untuk dianggap ekuivalen dengan warga

pribumi.

Bayan, Bapak Wijaya (Wong Sui King) pada tanggal 6 mei 2018 pukul 20.00 di Kampung Tambak Bayan.

SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO