Etnis Tionghoa Tambak Bayan Surabaya 1966-1998
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB III KEHIDUPAN SEHARI-HARI ETNIS TIONGHOA TAMBAK BAYAN MASA ORDE BARU 3.1 Proses Adaptasi Etnis Tionghoa Tambak Bayan dalam Merespon Kebijakan Pemerintah Orde Baru Masa Orde Baru merupakan salah satu fase penting dalam eksistensi etnis Tionghoa di Indonesia, tidak terkecuali etnis Tionghoa Tambak Bayan. Orde Baru merupakan sebutan terhadap masa pemerintahan Presiden Soeharto sebagai presiden kedua Republik Indonesia.1 Sejak zaman kolonial, etnis Tionghoa menghadapi berbagai perilaku rasialis dan diskriminatif yang terstruktur ataupun individualis. Namun, dapat dikatakan bahwa Orde Baru merupakan momen puncak perilaku rasialis dan diskriminatif yang pernah dialami etnis Tionghoa di Indonesia. Sikap diskriminatif dan rasialis terhadap etnis Tionghoa era Orde Baru pada dasarnya adalah diskriminasi politik dan administratif.2 Diskriminasi yang dialami oleh etnis Tionghoa pada era Orde Baru merupakan turunan dari usaha Soeharto untuk membersihkan segala hal yang berkaitan dengan Orde Lama. Salah satu yang terdampak dalam pembersihan ini adalah etnis Tionghoa dengan segala aktifitas 1Orde Baru dimulai bukan ketika Soeharto dilantik menjadi presiden pada tahun 1968 sesuai hasil Sidang Umum MPRS (Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968) pada 27 Maret 1968. Tetapi Orde Baru dianggap sudah berjalan sejak diterbitkannya SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret) tahun 1966. Kewenangan penuh yang diberikan SUPERSEMAR pada Soeharto memposisikan dirinya setara presiden yang dapat mengambil keputusan-keputusan strategis. (Djurmawan, Dkk. “Politik Islam Orde Baru: Studi Sikap Organisasi Islam Atas Kebijakan Pemerintah Soeharto” (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2013), hlm. 15.) 2Kerusuhan dan huru-hara yang terjadi merupakan dampak dari kebijakan-kebijakan politik terkait etnis Tionghoa yang dibuat oleh pemerintah pusat maupun daerah. 51 SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 52 yang berkaitan seperti politik, kebudayaan, keagamaan, kewarganegaraan dan kemiliteran. Sebab utamanya ialah hubungan Soekarno dengan pemerintah RRT serta kaitannya dengan paham komunis dan Partai Komunis Indonesia (PKI).3 Terutama dengan adanya peristiwa 30 September 1965 yang erat kaitannya dengan paham komunis PKI, mengakibatkan pelarangan keterlibatan etnis Tionghoa dalam kegiatan politik sehingga pada akhirnya mereka hanya bisa memasuki bidang ekonomi.4 Meski demikian, diskriminasi terhadap etnis Tionghoa tersebut secara umum memiliki dampak yang berbeda berkaitan dengan implementasi kebijakan Orde Baru oleh perangkat pemerintah di tingkat daerah. Sikap warga pribumi dalam menyambut kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap etnis Tionghoa juga berbeda antara satu tempat dengan lainnya. Begitu pula respon dari etnis Tionghoa yang cukup beragam. Menjadi Tionghoa dan miskin pada masa Orde Baru boleh jadi merupakan mimpi buruk bagi mereka yang bernasib demikian. Etnis Tionghoa miskin menjadi kaum paling tersisihkan dalam pergulatan kehidupan pada masa Orde Baru. Etnis 3Salah satu peristiwa pembersihan segala hal yang terkait Orde Lama dan Etnis Tionghoa adalah peristiwa Mangkuk Merah. Peristiwa mangkuk merah merupakan tragedi berdarah yang terjadi di Kalimantan Barat pada masa Orde Baru terhadap etnis Tionghoa. Selepas konfrontasi dengan Malaysia, tentara bentukan Orde Lama (Paraku-PGRS) yang didominasi oleh orang Tionghoa berbalik menjadi musuh bagi negara. Ratusan etnis Tionghoa anggota Paraku-PGRS dibunuh oleh TNI dan warga Dayak yang terprovokasi. Pada tahap selanjutnya, tidak hanya anggota Paraku-PGRS, kerusuhan berkembang menjadi pembunuhan bagi setiap warga Tionghoa. Sekitar 3000 etnis Tionghoa di Kalimantan Barat tewas dan 37.000 orang mengungsi ke kota-kota besar seperti Pontianak dan Singkawang. (“37.000 WNI keturunan Tjina& WNA Tjina mengungsi dari desa2 Kalbar Akibat Amukan Demonstrasi Rakjat Jang Ditunggangi oleh PGRS” Surabaya Post, 24 November 1967.) 4M.D. La Ode, Etnis Cina Indonesia Dalam Politik, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2012), hlm. 132. SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 53 Tionghoa miskin mengalami diskriminasi ganda sebagai konsekuensi dari status sosialnya sebagai Tionghoa dan sebagai masyarakat miskin kota. Dalam layanan publik, mereka tetap mengalami diskriminasi karena stigma mapan secara ekonomi yang dimiliki oleh etnis Tionghoa pada umumnya. Sebagai sesama warga miskin mereka juga disisihkan dari berbagai program bantuan dan terkadang tidak terdata sebagai penerima bantuan.5 Dampak akibat kebijakan diskriminatif Orde Baru langsung dirasakan masyarakat Tionghoa Tambak Bayan. Ketika Komandan militer Jawa Timur, Mayor Jenderal Soemitro, pada tanggal 31 Desember 1966 mengambil tindakan sehingga menimbulkan masalah yang menyulitkan orang Tionghoa. Soemitro dengan keputusannya yang bernomor 73-76/12/19666 bertindak tanpa sepengetahuan dan koordinasi dengan pemerintah pusat (Jakarta).7 Keputusan Soemitro tersebut memantik orang-orang Tionghoa yang terdesak untuk melakukan perlawanan pada Maret dan April 1967 dengan berdemonstrasi. Demonstrasi tersebut tersebar di berbagai kota seperti Kediri, Situbondo, 5Iwan Santosa, Peranakan Tionghoa di Nusantara: Catatan Perjalanan Dari Barat ke Timur (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2012), hlm. 120. 6Soemitro mengeluarkan empat keputusan yang ditujukan kepada orang Tionghoa asing (termasuk orang Tionghoa tanpa kewarganegaraan maupun warga negara RRT). Keputusan tersebut adalah melarang orang Tionghoa asing melakukan perdagangan besar di kota-kota lain di Provinsi Jawa Timur selain di Kota Surabaya. Kedua, melarang orang Tionghoa asing mengganti tempat tinggal mereka dari satu bagian provinsi itu ke bagian yang lain. Keputusan ketiga, mengenakan pajak per kepala senilai Rp. 2.500 (waktu itu senilai kurang lebih $25). Keputusan keempat ialah melarang penggunaan huruf dan bahasa Tionghoa dalam perekonomian, keuangan, administrasi maupun telekomunikasi. Bahkan sebelumnya, Soemitro melarang segala bentuk penerbitan surat kabar Tionghoa di Jawa Timur termasuk surat kabar berbahasa Tionghoa milik pemerintah sendiri, Harian Indonesia. (Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 197. 7Ibid. SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 54 Bondowoso, Pasuruan, Probolinggo dan Surabaya. Demonstrasi ini kemudian dibalas beberapa hari setelahnya dengan huru-hara anti Tionghoa. Huru-hara hebat terjadi di Situbondo, Panarukan dan Besuki. Beribu-ribu pemuda Indonesia yang dipimpin oleh anggota front aksi membakar sebuah pabrik milik orang Tionghoa, menjarah toko dan rumah, membakar berbagai perabotan, dan memukuli setiap orang Tionghoa yang ditemui apapun kewarganegaraannya.8 Huru-hara anti Tionghoa di Surabaya yang terjadi cenderung lebih terkendali. Tidak ada kekerasan-kekerasan yang berarti selama periode tersebut karena Surabaya merupakan ibu kota provinsi yang memiliki jaminan keamanan dan ketertiban lebih baik dari pada kota-kota lainnya di Jawa Timur. Hanya saja para pedagang etnis Tionghoa menutup toko-toko mereka dalam waktu yang tidak ditentukan untuk menghindari kriminalitas di situasi yang tak menentu. Etnis Tionghoa Tambak Bayan merespon kondisi tersebut dengan berbeda. Berbanding terbalik dengan yang terjadi secara umum di Surabaya dan kota-kota lain, suasana di Kampung Tambak Bayan cenderung lebih kondusif dan aman. Kehidupan sehari-hari berjalan seperti biasa. Para tukang kayu tetap bekerja di workshop mereka, tukang masak tetap berangkat menuju restoran tempat bekerja, dan anak-anak tetap bersekolah seperti pada umumnya. Walaupun begitu, etnis Tionghoa Tambak Bayan tetap siaga dalam menjaga keamanan kampung. Mereka bersama warga etnis yang lain melakukan ronda malam dan menerapkan sistem jaga kampung selama 24 jam bergiliran. Di Jalan 8Ibid, hlm. 202. SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 55 Tambak Bayan Tengah yang merupakan jalan utama kampung Tambak Bayan, terdapat penjaga yang berjaga di tiap ujung jalan. Menariknya, selain mereka berjaga dengan warga pribumi Tambak Bayan, mereka juga mendapatkan bantuan penjagaan dari banser NU.9 Memang terdapat dampak-dampak minor yang dialami oleh etnis Tionghoa Tambak Bayan terkait huru-hara yang terjadi. Namun, dampak tersebut hanya merupakan reaksi individu dan tidak mencerminkan sikap kolektif kelompok dalam merespon situasi yang terjadi. Beberapa individu memutuskan untuk kembali ke RRT ketika sikap anti Tionghoa meluas. Terlebih, terdapat kabar burung akan adanya pembunuhan terhadap etnis Tionghoa. Beberapa individu yang lain memutuskan untuk mengungsi ke rumah sanak familinya di luar Tambak Bayan sampai situasi kondusif.10 Dalam lingkup kelokalan Tambak Bayan, peristiwa krisis Jawa Timur secara umum memang tidak memiliki dampak yang berarti. Apabila ditelaah, terdapat beberapa faktor mengapa dampak seperti ini bisa terjadi. Pertama adalah pembauran yang sudah terjadi sejak lama. Etnis Tionghoa Tambak Bayan telah hidup berdampingan dengan warga pribumi bahkan sejak sebelum tahun 1900-an. 9Wawancara dengan warga Tambak Bayan, Bapak Gunawan (Go Siok Woung) pada tanggal 28 agustus 2017 pukul 20.00 di Kampung Tambak Bayan. 10Seperti ayah dari Ife (Tjiong Giok Fioe) yang memutuskan untuk pulang ke RRT pada tahun 1967 dikarenakan isu-isu persekusi terhadap etnis Tionghoa yang semakin kuat. (Wawancara dengan warga Tambak Bayan, Ibu Ife (Tjiong Giok Fioe) pada tanggal 17 Oktober