Etnis Tionghoa Tambak Bayan Surabaya 1966-1998

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Etnis Tionghoa Tambak Bayan Surabaya 1966-1998 IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB III KEHIDUPAN SEHARI-HARI ETNIS TIONGHOA TAMBAK BAYAN MASA ORDE BARU 3.1 Proses Adaptasi Etnis Tionghoa Tambak Bayan dalam Merespon Kebijakan Pemerintah Orde Baru Masa Orde Baru merupakan salah satu fase penting dalam eksistensi etnis Tionghoa di Indonesia, tidak terkecuali etnis Tionghoa Tambak Bayan. Orde Baru merupakan sebutan terhadap masa pemerintahan Presiden Soeharto sebagai presiden kedua Republik Indonesia.1 Sejak zaman kolonial, etnis Tionghoa menghadapi berbagai perilaku rasialis dan diskriminatif yang terstruktur ataupun individualis. Namun, dapat dikatakan bahwa Orde Baru merupakan momen puncak perilaku rasialis dan diskriminatif yang pernah dialami etnis Tionghoa di Indonesia. Sikap diskriminatif dan rasialis terhadap etnis Tionghoa era Orde Baru pada dasarnya adalah diskriminasi politik dan administratif.2 Diskriminasi yang dialami oleh etnis Tionghoa pada era Orde Baru merupakan turunan dari usaha Soeharto untuk membersihkan segala hal yang berkaitan dengan Orde Lama. Salah satu yang terdampak dalam pembersihan ini adalah etnis Tionghoa dengan segala aktifitas 1Orde Baru dimulai bukan ketika Soeharto dilantik menjadi presiden pada tahun 1968 sesuai hasil Sidang Umum MPRS (Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968) pada 27 Maret 1968. Tetapi Orde Baru dianggap sudah berjalan sejak diterbitkannya SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret) tahun 1966. Kewenangan penuh yang diberikan SUPERSEMAR pada Soeharto memposisikan dirinya setara presiden yang dapat mengambil keputusan-keputusan strategis. (Djurmawan, Dkk. “Politik Islam Orde Baru: Studi Sikap Organisasi Islam Atas Kebijakan Pemerintah Soeharto” (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2013), hlm. 15.) 2Kerusuhan dan huru-hara yang terjadi merupakan dampak dari kebijakan-kebijakan politik terkait etnis Tionghoa yang dibuat oleh pemerintah pusat maupun daerah. 51 SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 52 yang berkaitan seperti politik, kebudayaan, keagamaan, kewarganegaraan dan kemiliteran. Sebab utamanya ialah hubungan Soekarno dengan pemerintah RRT serta kaitannya dengan paham komunis dan Partai Komunis Indonesia (PKI).3 Terutama dengan adanya peristiwa 30 September 1965 yang erat kaitannya dengan paham komunis PKI, mengakibatkan pelarangan keterlibatan etnis Tionghoa dalam kegiatan politik sehingga pada akhirnya mereka hanya bisa memasuki bidang ekonomi.4 Meski demikian, diskriminasi terhadap etnis Tionghoa tersebut secara umum memiliki dampak yang berbeda berkaitan dengan implementasi kebijakan Orde Baru oleh perangkat pemerintah di tingkat daerah. Sikap warga pribumi dalam menyambut kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap etnis Tionghoa juga berbeda antara satu tempat dengan lainnya. Begitu pula respon dari etnis Tionghoa yang cukup beragam. Menjadi Tionghoa dan miskin pada masa Orde Baru boleh jadi merupakan mimpi buruk bagi mereka yang bernasib demikian. Etnis Tionghoa miskin menjadi kaum paling tersisihkan dalam pergulatan kehidupan pada masa Orde Baru. Etnis 3Salah satu peristiwa pembersihan segala hal yang terkait Orde Lama dan Etnis Tionghoa adalah peristiwa Mangkuk Merah. Peristiwa mangkuk merah merupakan tragedi berdarah yang terjadi di Kalimantan Barat pada masa Orde Baru terhadap etnis Tionghoa. Selepas konfrontasi dengan Malaysia, tentara bentukan Orde Lama (Paraku-PGRS) yang didominasi oleh orang Tionghoa berbalik menjadi musuh bagi negara. Ratusan etnis Tionghoa anggota Paraku-PGRS dibunuh oleh TNI dan warga Dayak yang terprovokasi. Pada tahap selanjutnya, tidak hanya anggota Paraku-PGRS, kerusuhan berkembang menjadi pembunuhan bagi setiap warga Tionghoa. Sekitar 3000 etnis Tionghoa di Kalimantan Barat tewas dan 37.000 orang mengungsi ke kota-kota besar seperti Pontianak dan Singkawang. (“37.000 WNI keturunan Tjina& WNA Tjina mengungsi dari desa2 Kalbar Akibat Amukan Demonstrasi Rakjat Jang Ditunggangi oleh PGRS” Surabaya Post, 24 November 1967.) 4M.D. La Ode, Etnis Cina Indonesia Dalam Politik, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2012), hlm. 132. SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 53 Tionghoa miskin mengalami diskriminasi ganda sebagai konsekuensi dari status sosialnya sebagai Tionghoa dan sebagai masyarakat miskin kota. Dalam layanan publik, mereka tetap mengalami diskriminasi karena stigma mapan secara ekonomi yang dimiliki oleh etnis Tionghoa pada umumnya. Sebagai sesama warga miskin mereka juga disisihkan dari berbagai program bantuan dan terkadang tidak terdata sebagai penerima bantuan.5 Dampak akibat kebijakan diskriminatif Orde Baru langsung dirasakan masyarakat Tionghoa Tambak Bayan. Ketika Komandan militer Jawa Timur, Mayor Jenderal Soemitro, pada tanggal 31 Desember 1966 mengambil tindakan sehingga menimbulkan masalah yang menyulitkan orang Tionghoa. Soemitro dengan keputusannya yang bernomor 73-76/12/19666 bertindak tanpa sepengetahuan dan koordinasi dengan pemerintah pusat (Jakarta).7 Keputusan Soemitro tersebut memantik orang-orang Tionghoa yang terdesak untuk melakukan perlawanan pada Maret dan April 1967 dengan berdemonstrasi. Demonstrasi tersebut tersebar di berbagai kota seperti Kediri, Situbondo, 5Iwan Santosa, Peranakan Tionghoa di Nusantara: Catatan Perjalanan Dari Barat ke Timur (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2012), hlm. 120. 6Soemitro mengeluarkan empat keputusan yang ditujukan kepada orang Tionghoa asing (termasuk orang Tionghoa tanpa kewarganegaraan maupun warga negara RRT). Keputusan tersebut adalah melarang orang Tionghoa asing melakukan perdagangan besar di kota-kota lain di Provinsi Jawa Timur selain di Kota Surabaya. Kedua, melarang orang Tionghoa asing mengganti tempat tinggal mereka dari satu bagian provinsi itu ke bagian yang lain. Keputusan ketiga, mengenakan pajak per kepala senilai Rp. 2.500 (waktu itu senilai kurang lebih $25). Keputusan keempat ialah melarang penggunaan huruf dan bahasa Tionghoa dalam perekonomian, keuangan, administrasi maupun telekomunikasi. Bahkan sebelumnya, Soemitro melarang segala bentuk penerbitan surat kabar Tionghoa di Jawa Timur termasuk surat kabar berbahasa Tionghoa milik pemerintah sendiri, Harian Indonesia. (Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 197. 7Ibid. SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 54 Bondowoso, Pasuruan, Probolinggo dan Surabaya. Demonstrasi ini kemudian dibalas beberapa hari setelahnya dengan huru-hara anti Tionghoa. Huru-hara hebat terjadi di Situbondo, Panarukan dan Besuki. Beribu-ribu pemuda Indonesia yang dipimpin oleh anggota front aksi membakar sebuah pabrik milik orang Tionghoa, menjarah toko dan rumah, membakar berbagai perabotan, dan memukuli setiap orang Tionghoa yang ditemui apapun kewarganegaraannya.8 Huru-hara anti Tionghoa di Surabaya yang terjadi cenderung lebih terkendali. Tidak ada kekerasan-kekerasan yang berarti selama periode tersebut karena Surabaya merupakan ibu kota provinsi yang memiliki jaminan keamanan dan ketertiban lebih baik dari pada kota-kota lainnya di Jawa Timur. Hanya saja para pedagang etnis Tionghoa menutup toko-toko mereka dalam waktu yang tidak ditentukan untuk menghindari kriminalitas di situasi yang tak menentu. Etnis Tionghoa Tambak Bayan merespon kondisi tersebut dengan berbeda. Berbanding terbalik dengan yang terjadi secara umum di Surabaya dan kota-kota lain, suasana di Kampung Tambak Bayan cenderung lebih kondusif dan aman. Kehidupan sehari-hari berjalan seperti biasa. Para tukang kayu tetap bekerja di workshop mereka, tukang masak tetap berangkat menuju restoran tempat bekerja, dan anak-anak tetap bersekolah seperti pada umumnya. Walaupun begitu, etnis Tionghoa Tambak Bayan tetap siaga dalam menjaga keamanan kampung. Mereka bersama warga etnis yang lain melakukan ronda malam dan menerapkan sistem jaga kampung selama 24 jam bergiliran. Di Jalan 8Ibid, hlm. 202. SKRIPSI ETNIS TIONGHOA TAMBAK ... HAIDAR MURTADHO IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 55 Tambak Bayan Tengah yang merupakan jalan utama kampung Tambak Bayan, terdapat penjaga yang berjaga di tiap ujung jalan. Menariknya, selain mereka berjaga dengan warga pribumi Tambak Bayan, mereka juga mendapatkan bantuan penjagaan dari banser NU.9 Memang terdapat dampak-dampak minor yang dialami oleh etnis Tionghoa Tambak Bayan terkait huru-hara yang terjadi. Namun, dampak tersebut hanya merupakan reaksi individu dan tidak mencerminkan sikap kolektif kelompok dalam merespon situasi yang terjadi. Beberapa individu memutuskan untuk kembali ke RRT ketika sikap anti Tionghoa meluas. Terlebih, terdapat kabar burung akan adanya pembunuhan terhadap etnis Tionghoa. Beberapa individu yang lain memutuskan untuk mengungsi ke rumah sanak familinya di luar Tambak Bayan sampai situasi kondusif.10 Dalam lingkup kelokalan Tambak Bayan, peristiwa krisis Jawa Timur secara umum memang tidak memiliki dampak yang berarti. Apabila ditelaah, terdapat beberapa faktor mengapa dampak seperti ini bisa terjadi. Pertama adalah pembauran yang sudah terjadi sejak lama. Etnis Tionghoa Tambak Bayan telah hidup berdampingan dengan warga pribumi bahkan sejak sebelum tahun 1900-an. 9Wawancara dengan warga Tambak Bayan, Bapak Gunawan (Go Siok Woung) pada tanggal 28 agustus 2017 pukul 20.00 di Kampung Tambak Bayan. 10Seperti ayah dari Ife (Tjiong Giok Fioe) yang memutuskan untuk pulang ke RRT pada tahun 1967 dikarenakan isu-isu persekusi terhadap etnis Tionghoa yang semakin kuat. (Wawancara dengan warga Tambak Bayan, Ibu Ife (Tjiong Giok Fioe) pada tanggal 17 Oktober
Recommended publications
  • The Thatung in Cap Ngo Meh (Lantern Festival) Ritual in Hakka
    M. Ikhsan Tanggok, Te Tatung in Cap Ngo Meh (Lantern Festival) Ritual in Hakka Society 655 Te Tatung in Cap Ngo Meh (Lantern Festival) Ritual in Hakka Society in Singkawang, West Kalimantan-Indonesia1 M. Ikhsan Tanggok Chin Kung Corner, Ciputat [email protected] Abstract: Cap Ngo Meh and Tatung are two things that cannot be sepa- rated from the life of Hakka people in Singkawang. In each Cap Ngo Meh festival, the performance of Tatung is a must. Cap Ngo Meh festival would not be completed if there was no performance of Tatung. Tatung can help humans and otherwise humans also have to give gifts to him. Terefore, Tatung is a special performance in Cap Ngo Meh festival in Singkawang. Te main purpose of this paper is to show the relationship between Tatung performance and Cap Ngo Meh festival in Singkawang. Te function of Tatung performance in Cap Ngo Meh festival in Singkawang is not only to repel evil spirits that may afect humans, but also to promote economics, improving of popularity himself and tourism in Singkawang. Keywords: Tatung, Cap Ngo Meh festival, Exchange, Soul, Gods, Belief. Abstrak: Cap Ngo Meh dan Tatung merupakan dua hal tak dapat dipisahkan dari kehidupan masayarakat Hakka di Singkawang. Dalam setiap perayaan Cap Ngo Meh, penampilan Tatung merupakan keha- rusan. Tanpa Tatung tidak ada Cap gho Meh, maka Tatung menjadi penampilan istimewa di Singkawang di setiap perayaan Cap Gho Meh. Fungsi penampilan Tatung ini ternyata bukan saja untuk mengusir ruh jahat yang akan memengaruhi manusia, tetapi juga memromosikan ke- pentingan ekomi, pluralitas, dan wisata di Singkawang.
    [Show full text]
  • Strategi Pengembangan Agribisnis Perikanan Tangkap Di Kota Singkawang Propinsi Kalimantan Barat
    STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PERIKANAN TANGKAP DI KOTA SINGKAWANG PROPINSI KALIMANTAN BARAT Oleh : K a r t o PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PERIKANAN TANGKAP DI KOTA SINGKAWANG PROPINSI KALIMANTAN BARAT Oleh : K a r t o Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Manajemen Pada Program Studi Magister Manajemen Agribisnis PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 Judul : Strategi Pengembangan Agribisnis Perikanan Tangkap di Kota Singkawang Propinsi Kalimantan Barat Nama : KARTO Nrp : P.056040231.32 Program Studi : MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing Pembimbing I Pembimbing II Prof. Dr. Ir. Syamsul Ma’arif, M.Eng Ir. Kirbrandoko, MSM 2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Arief Daryanto, MEc Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Ujian : Tanggal Lulus : SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul : STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PERIKANAN TANGKAP DI KOTA SINGKAWANG PROPINSI KALIMANTAN BARAT merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan arahan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar atau capaian akademik lainnya pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Juli 2006 Yang Membuat Pernyataan, K a r t o RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Sukabumi pada tanggal 12 April 1968. Merupakan anak kelima dari enam saudara dari pasangan suami istri Hasan dan Sukarsih. Pada tahun 1982, penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SDN Sumberjaya, pendidikan SMP diselesaikan pada tahun 1985 di SMPN Surade, kemudian melanjutkan pendidikan pada SMAN Jampangkulon Kabupaten Sukabumi selesai pada tahun 1988.
    [Show full text]
  • Development of Palangka Raya City Park in Accordance with Environmental Characteristics and Regulations
    Scope Database Link: https://scopedatabase.com/documents/00000006/00000-05153.pdf Article Link: https://www.iaeme.com/MasterAdmin/Journal_uploads/IJARET/VOLUME_11_ISSUE_5/IJARET_11_05_002.pdf Manuscript ID : 00000-05153 Source ID : 00000006 International Journal of Advanced Research in Engineering and Technology Volume 11, Issue 5, May 2020, Pages 7-13, Page Count - 7 DEVELOPMENT OF PALANGKA RAYA CITY PARK IN ACCORDANCE WITH ENVIRONMENTAL CHARACTERISTICS AND REGULATIONS Arniwaty (1) (1) Environmental Science Study Program, Post Graduate Study Program, University of Palangka Raya, Palangka Raya, Indonesia. Abstract This paper discusses the development of the Palangka Raya city park with new reviews following the characteristics of the area. Some existing studies are sufficient for the development of urban green open spaces, but none have focused on suitable plant species according to the environment and regulations. For this reason, this discussion describes important basics for achieving it. The function of public and private green open spaces has main ecological functions, and additional architectural, social and economic functions. Urban areas with these four main functions can be combined according to the needs, interests and sustainability of the city. Author Keywords city park, green open space, environment, regulations. ISSN Print: 0976-6480 ISSN Online: 0976-6499 Source Type: Journals Document Type: Journal Article Publication Language: English DOI: 10.34218/IJARET.11.5.2020.002 Abbreviated Journal Title: IJARET Access Type: Open
    [Show full text]
  • Volume 30, 1999
    BORNEO RESEARCH BULLETIN ISSN: 0006-7806 VOL 30 PAGE NOTES FROM THE EDITOR I MEMORIALS Roland (Ro) Bewsher, 0.B E Bill Smythies Tuton Kaboy RESEARCH NOTES A Bridge to the Upper World: Sacred Language of the Ngaju: Jani Sri Kuhnt-Saptodewo A Note on Native Land Tenure in Sarawak: M. B. Hooker State Law and lban Land Tenure. a Response to Hooker: Reed L. Wadley Conservation and the Orang Sungal of the Lower Sugut, Sabal?: Preliminary Notes: Lye Tuck-Po and Grace Wong Education and Research on Sustainable Land Use and Natural Resource Management: a New Danish- Malaysian University Program: Ole Mertz el al. Wet Rice Cultivation and the Kayanic Peoples of East Kalimantan: Some Possible Factors Explaining their Preference for Dry Rice Cult~vation:Mika Okushima Dayak Kings among Malay Sultans: Stephanus Djuweng The Kingdom of Ulu Are in Borneo's H~story:a Comment: Bernard Sellato The Brooke-Sarawak Archive at Rhodes House Library, Oxford: Bob Reece Papers of the Brookes of Sarawak Kept in Rhodes House Library, Oxford: P.A. Empson FIFTH BIENNIAL MEETINGS BRIEF COMMUNICATIONS ANNOUNCEMENTS BORNEO NEWS BOOK REVIEWS, ABSTRACTS AND BIBLIOGRAPHY The Borneo Researclr Bulletin is published by the Borneo Research Council. Please address all inquiries and contributions for publication to Clifford Sather, Editor, Borneo Research Bulletin, Cultural Anthropology, P.O. Box 59, FIN-00014 University of Helsinki, FINLAND.Single issues are available at US $20.00. I BOI-neoReseal-ch Bulletin Vol. 30 Vol. 30 Borneo Research Bulletin contributions to this superb collection, and, as an anthropologist, I would note that the held on 10-14 July 2000 at Crowne Plaza Riverside Hotel, Kuching, Sarawalc.
    [Show full text]
  • Sexual Behavior in Adolescent Courtship, Exposure to Pornography, and Parental Sexual Communication
    Anima, Indonesian Psychological Journal 2010, Vol. 25, No. 4, 257-264 Sexual Behavior in Adolescent Courtship, Exposure to Pornography, and Parental Sexual Communication Sri Lestari Faculty of Psychology, University of Muhammadyah Surakarta The aim of this study was to find out the correlation between parent–child communication about sexuality and exposure to pornography with adolescent’s sexual behavior in courtship. Participants were 551 adolescents (225 boys and 326 girls) who lived at Sukoharjo. Results show a correlation between parent–child communication about sexuality and Internet exposure to pornography and sexual behavior in dating. Implications of this study are discussed. Keywords : courtship behavior, parental sexual communication, exposure to pornography Penelitian ini bertujuan mengetahui korelasi komunikasi orangtua-anak tentang seksualitas dan paparan pornografi dan perilaku seksual remaja dalam berpacaran.Partisipan penelitian ini adalah 551 remaja (225 laki-laki; 326 perempuan) yang tinggal di Sukoharjo.Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi perilaku seksual dalam berpacaran dan komunikasi orang tua-anak tentang seksualitas dan paparan pornografi.Dibahas pula implikasi temuan ini. Kata kunci : perilaku pacaran, komunikasi orangtua-anak tentang seksualitas, paparan pornografi Dating is a normal behavior in teenagers. Youth dating Ideally, parents should take an active role in educating behavior can be found in public places like city garden, mall, their children about sex, but in fact not all of them take bus
    [Show full text]
  • Walikota Singkawang
    WALIKOTA SINGKAWANG PERATURAN WALIKOTA SINGKAWANG NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KOTA SINGKAWANG TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SINGKAWANG, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 3 ayat (3) Peraturan Gubernur Nomor 3 Tahun 2012 tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi Untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2012 mengamanatkan bahwa alokasi pupuk bersubsidi harus dirinci lebih lanjut menurut kecamatan, jenis, jumlah, sub sektor dan sebaran bulanan yang ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diatas, perlu menetapkan Peraturan Walikota tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi Untuk Sektor Pertanian di Kota Singkawang Tahun Anggaran 2012; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1106); 2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia 1992, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 42); 3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411); 4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 5.
    [Show full text]
  • The Poor Legacy of Sumatra
    CHAPTER IX The poor legacy of Sumatra The Capuchin friar Anthonius Brevoort opens his 1993 dissertation on the first decade of the Capuchin mission in Sumatra (1911-1923) with a chapter on the previous Catholic presence in Sumatra. The disputed Christian community of Fansur or Baros is mentioned as recorded by Saleh al-Armini around 1150-1171. Franciscans in Aceh who were the first martyrs around 1642 are mentioned, as well as the mission in Bengkulu in the early 1700s, when some 300 Catholics were counted. But after that time, only decline is recorded for the history of Catholicism in Sumatra. The nineteenth century did not bring much growth either. An earlier colleague of Brevoort, the Capuchin priest Gentilis Aster, thus started his history of the mission with the sad title De magere boedel, the poor legacy. ‘Catholics were late, had no proper strategy, and did not concentrate in their work on the vast island of Sumatra’ (Brevoort 1993, Aster 1961).1 The cultural, economic, and religious pattern of Sumatra around 1900 was much more diverse than that of any of the other large islands, Java, Kalimantan, Sulawesi, and perhaps even Papua. The diversity was not only evident among the inland regions, the people living in the mountains of the Bukit Barisan, and the inland tribes of Batak, Gayo, Minangkabau, Jambi, Lampung. There were and still are great differences among the coastal re- gions as well: the Malay sultanates of the east coast, Java-oriented Palembang, the proud and independent Aceh, just to mention a few of the important cultures.
    [Show full text]
  • The Case of Singkawang, West Kalimantan
    ISSUE: 2017 No. 19 ISSN 2335-6677 RESEARCHERS AT ISEAS-YUSOF ISHAK INSTITUTE ANALYSE CURRENT EVENTS Singapore | 27 March 2017 Decentralization and Chinese Indonesian Politics: The Case of Singkawang, West Kalimantan Hui Yew-Foong* EXECUTIVE SUMMARY Tjhai Chui Mie became the first Chinese woman to be elected mayor of an Indonesian city after winning comfortably with 42.6% of the votes in Singkawang, West Kalimantan. In this election, as with previous mayoral elections in Singkawang, candidates employ pairing strategies that capitalize on the ethno-religious composition of the voters. The Tjhai-Irwan winning pair managed to attract primarily Chinese votes and secondarily Dayak and Malay votes. The success of the Tjhai-Irwan team depended on their subtle navigation of ethno- religious politics, support from the Singkawang Chinese elite in Jakarta, and their ability to fend off smear campaigns that reveal deep-seated divisions in Indonesia. At the same time, the election reveals that alliances and issues that are pertinent on the national political stage may have limited currency in regional politics. The challenge of ethnic Chinese in Indonesian politics is to contribute to good governance while remaining sensitive to ethno-religious sentiments. *Hui Yew-Foong is Senior Fellow at ISEAS - Yusof Ishak Institute, and Associate Professor at Hong Kong Shue Yan University. 1 ISSUE: 2017 No. 19 ISSN 2335-6677 INTRODUCTION While all eyes were on Jakarta for the simultaneous election of regional leaders (pilkada) held on 15 February 2017, the municipality of Singkawang elected the first Chinese woman to be mayor of a city in Indonesia. Tjhai Chui Mie and running mate Irwan won comfortably with 42.6% of the votes, while the other three pairs of contenders trailed at 26.78%, 17.13% and 13.5% respectively.1 Admittedly, Tjhai’s campaign had a higher chance of success compared to ethnic Chinese candidates contesting in other parts of Indonesia, since Singkawang is the Indonesian city with the highest proportion of Chinese, at 36.52%, in its population (Arifin et al.
    [Show full text]
  • The Spirit-Mediums of Singkawang: Performing Peoplehood of West Kalimantan 1
    CORE Metadata, citation and similar papers at core.ac.uk Provided by Institutional Knowledge at Singapore Management University Singapore Management University Institutional Knowledge at Singapore Management University Research Collection School of Social Sciences School of Social Sciences 2013 The pirS it-mediums of Singkawang: Performing Peoplehood of West Kalimantan Margaret CHAN Singapore Management University, [email protected] Follow this and additional works at: https://ink.library.smu.edu.sg/soss_research Part of the Asian Studies Commons, and the Religion Commons Citation Chan, Margaret. 2013. "The pS irit-mediums of Singkawang: Performing ‘Peoplehood' of West Kalimantan." In Chinese Indonesians Reassessed: History, Religion and Belonging, edited by Sai Siew-Min and Hoon Chang-Yau, 138-158. New York: Routledge. This Book Chapter is brought to you for free and open access by the School of Social Sciences at Institutional Knowledge at Singapore Management University. It has been accepted for inclusion in Research Collection School of Social Sciences by an authorized administrator of Institutional Knowledge at Singapore Management University. For more information, please email [email protected]. Published in Chinese Indonesians Reassessed: History, Religion and Belonging, Edited by Sai Siew Min and Hoon Chang-Yau. New York: Routledge, 2013. The Spirit-mediums of Singkawang: 1 Performing Peoplehood of West Kalimantan Margaret CHAN Abstract: Chinese New Year in the West Kalimantan town of Singkawang is marked by a parade featuring hundreds of possessed spirit-mediums performing self-mortification and blood sacrifice. The event is a huge tourist draw, but beyond the spectacle, deeper meanings are enacted. The spirit-medium procession stages a fraternity of Dayak, Malay and Chinese earth gods united in the purpose of exorcising demons from the neighborhood.
    [Show full text]
  • Appendix A.1 List of Person for Interviews I
    Appendix A.1 List of Person for Interview Appendix A.1 List of Person for Interviews I. Ministry of Trade (MOT) Ardiansyah Parman Director General of Domestic Trade (DGDT) Hatanto Reksodipoetro Secretary General Suhartono Head of Planning Bureau Erfandi Tabrani Director of Goods and Service Inspection Prihata Head of Trade Data Center K Pangestuti Planning Bureau Rina Y Planning Bureau Elgetrisna Education and Training Center (Pusdiklat) Burhan Manurung Directorate of Goods and Services Inspection Jhonni Martha Directorate of Binus & PP Alexander MS Inspectorate General Joni K Manik Inspectorate General Lesman Sihombing Finance Bureau Sunarto Kafli Administration Section Pusdiklat Nur Hidayat Directorate of Export Import Facility Anita Silalahi Directorate of Consumer Protection Erwidodo Directorate of BPPP II. Directorate of Metrology (DOM) Amir Syaharuddin Sjahrial Director of Directorate of Metrology Bambang Setiadji Head of Sub-directorate of Supervision and Information Edi Syarifudin Head of Quality Guidance Section Djoni Nuzirwan Head of UTTP Testing Section Sawab Saleh Head of Measuring Unit National Standard Laboratory Office Hari Prawoko Head of Mesuring Standard and Metrological Laboratory Wahyu Hidayat Head of Measuring Instrument Testing Office Ngadi Hartono Head of Metrological Functional Manpower and Facilities Oke Nurwan Head of Sub-directorate Metrological Facility and Cooperation Hartobono G Head of Sub-directorate Metrological Human Resources Rusmin Amin Facility and Cooperation Section Novian Facility and Cooperation Section M Hendro Purnomo Facility and Cooperation Section Rifan Ardianto SKK Section Rumaksono Human Resources Section IGK Ketut Astawa Human Resources Section Usman SNSU Center Agus Permana PPK Section Arifin PPK Section Denny tresna Metrological Technique Section Priyo Syamsu Metrological Technique Section Ade Haryanto SULK Section III.
    [Show full text]
  • Paleo-Channels of Singkawang Waters West Kalimantan and Its Relation to the Occurrences of Sub-Seabottom Gold Placers Based on Strata Box Seismic Record Analyses
    PALEO-CHANNELS OF SINGKAWANG WATERS WEST KALIMANTAN AND ITS RELATION TO THE OCCURRENCES OF SUB-SEABOTTOM GOLD PLACERS BASED ON STRATA BOX SEISMIC RECORD ANALYSES By : Hananto Kurnio1 2 and Noor Cahyo Dwi Aryanto1 3 (Manuscript received 16-March-2010 ABSTRACT Strata box seismic records were used to analyze sub-seabottom paleochannels in Singkawang Waters, West Kalimantan. Based on the analyses, it can be identified the distribution and patterns of paleochannels. Paleo channel at northern part of study area interpreted as a continuation of Recent coastal rivers; and at the southern part, the pattern radiates surround the cone-shaped morphology of islands, especially Kabung and Lemukutan Islands. Paleochannels of the study area belong to northwest Sunda Shelf systems that terminated to the South China Sea. A study on sequence stratigraphy was carried out to better understanding sedimentary sequences in the paleochannels. This study is also capable of identifying placer deposits within the channels. Based on criterias of gold placer occurrence such as existence of primary gold sources, intense chemical and physical weathering to liberate gold grains from their source rocks of Sintang Intrusive. Gravity transportation that involved water media, stable bed rock and surface conditions, caused offshore area of Singkawang fulfill requirements for gold placer accumulations. Chemical and physical whethering proccesses from Oligocene to Recent, approximately 36 million, might be found accumulation of gold placer on the seafloor. Based on grain size analyses, the study area consisted of sand 43.4%, silt 54.3% and clay 2.3%. Petrographic examination of the sample shows gold grains about 0.2%. Keywords: paleochannels, strata box seismic records, gold placer.
    [Show full text]
  • THE UNCERTAINTY of STRANGERS Reconfiguring the Ethno-Political Landscape on Nov , Two Elections Were Held In
    EPILOGUE THE UNCERTAINTY OF STRANGERS Reconfiguring the Ethno-Political Landscape On Nov , two elections were held in the province of West Kali- mantan. e first was the mayoral election in Singkawang, and the sec- ond, the gubernatorial election for the province of West Kalimantan. It was the first time that these regional leaders were to be elected directly by voters.1 In other words, it was the first time that candidates for these offices had to campaign publicly and appeal to the general electorate for support. Electoral strategies had to be changed, as demographics now played a key role in determining who could garner the major portion of the votes. In Singkawang, where Chinese made up of the population, Hasan Karman (Huang Shao Fan 黄少凡), with H. Edy R. Yacoub as his run- ning mate, won the election and became the first ethnic Chinese mayor of Singkawang.2 In the gubernatorial election, the Cornelis-Christiandy (Dayak-Chinese) pair won, and Sanjaya Christiandy (Huang Han Shan 黄汉山) became the first ethnic Chinese Deputy Governor of West Kali- mantan. e electoral strategy of concentrating both Dayak and Chinese votes had paid off.3 But on the other hand, the Malays had been denied representation in the highest offices of the province. On the evening of Dec , , a dispute broke out between a Malay and a Chinese over a purported accident in a residential area in Pontianak. Syarif Usmulyono was informed of a scratch on his BMW i and had accosted his Chinese neighbor over the matter. e quarrel attracted 1 Previously, these leaders were elected by members of the respective regional assem- blies.
    [Show full text]