E-PAPER PERPUSTAKAAN DPR-RI http://epaper.dpr.go.id

Judul : Menjaga Asa Operasi Pencarian dan Pertolongan KRI Nanggala Tanggal : Jumat, 23 April 2021 Surat Kabar : Kompas Halaman : 0 Operasi pencarian dan pertolongan KRI Nanggala-402 dan 53 awak kapal selam tersebut harus tetap maksimal. Kapal selam itu sebisa mungkin ditemukan dan para awak dievakuasi. Oleh AMBROSIUS HARTO , KOMPAS — Operasi pencarian dan pertolongan terhadap 53 awak KRI Nanggala-402 yang dinyatakan hilang telah memasuki hari ketiga. Pengerahan berbagai sumber daya serta bantuan mancanegara memelihara harapan yang terbaik untuk keselamatan seluruh awak kapal selam itu. ”Berharap yang terbaik untuk adik-adik saya di KRI Nanggala, kapal selam kebanggaan saya. Namun, sebaiknya juga bersiap untuk kemungkinan terburuk,” kata sesepuh Satuan Kapal Selam Komando Armada 2 dan mantan Kepala Kamar Mesin KRI Nanggara Laksamana Muda (Purn) Frans Wuwung di kediaman di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (23/4/2021) petang. Frans mengatakan, merasa perlu memberikan pandangan untuk meluruskan sejumlah informasi tentang KRI Nanggala agar publik dapat memahami insiden hilangnya kapal selam itu di perairan utara Pulau dengan komprehensif. Mengaitkan usia operasional Nanggala yang sudah 40 tahun dengan kesiapan kapal selam tersebut berlayar tidak tepat. Membuka ke publik tentang kemampuan maksimal menyelam Nanggala setara dengan membocorkan rahasia kekuatan alat utama sistem persenjataan TNI. ”Percayalah kepada negara pasti menempuh yang terbaik dan berbagai cara untuk menemukan kapal selam itu. Kemudian, bersimpatilah kepada keluarga awak Nanggala dengan tidak menyebarluaskan informasi yang membingungkan bahkan membawa tekanan psikologis kepada mereka,” kata Frans. Menurut Frans, Kepala Kamar Mesin (KKM) jabatan ketiga tertinggi dalam kapal selam. Sebagai mantan KKM, Frans amat paham bagaimana mempersiapkan, mengoperasikan, dan mengantisipasi kejadian selama penyelaman. Frans salah satu awak yang membawa KRI Cakra-401 dari Jerman ke pada 1981. Setelah betugas di Cakra, Frans ditugaskan ke Nanggala dalam kurun 1983-1985 dengan jabatan terakhir KKM di kapal selam tersebut. Usia operasional suatu alutsista, lanjut Frans, tidak dapat dikaitkan begitu saja apalagi dituding menjadi penyebab insiden. Untuk kapal selam, terutama Nanggala, sebelum operasional, ada pemeriksaan dan pemeliharaan menyeluruh terhadap kapal dan seluruh awak yang harus mencapai situasi sempurna. ”Ada sistem pemeliharaan terpadu sesuai dengan technical handbook yang wajib, sekali lagi, wajib dilaksanakan. Jika ada kekurangan sedikit saja tidak bisa ditoleransi. Secara umum, KRI Nanggala masih bisa beroperasi berarti membuktikan keandalan kita dalam pemeliharaan alutsista,” katanya. TNI Angkatan Laut mewajibkan suatu kapal selam, termasuk kapal perang, untuk lolos empat tahapan latihan. Dalam perjalanannya, Nanggala dinyatakan hilang kontak setelah mendapat izin menyelam dari Gugus Tempur Laut Komando Armada 2 untuk latihan penembakan pada Rabu (21/4/2021) sekitar pukul 03.00 WIB. Saat hilang kontak itu, Nanggala telah mencapai L4. ”Berarti Nanggala sudah melewati latihan satu sampai tiga di mana dalam setiap tahapan diperiksa oleh armada. Nanggala dan awak sebelum hilang sudah dalam kondisi siap dan mampu mengoperasikan alutsista itu. Jika tidak lolos di suatu tahapan, tidak mungkin penyelaman diizinkan,” ujar Frans. Lalu, bagaimana kemungkinan Nanggala yang masih dalam operasi pencarian dan pertolongan (SAR)? Menurut Frans, TNI telah mengumumkan adanya kemungkinan kapal selam itu mengalami blackout saat menyelam. Blackout berarti tidak ada energi untuk menggerakkan kapal selam itu selama menyelam. Kemungkinan besar Nanggala terus menyelam ke kedalaman sehingga TNI juga mengumumkan ada kemungkinan kapal selam tersebut terjebak di palung berkedalaman 700 meter. Kemungkinan terburuk Selain itu, TNI juga mengumumkan temuan tumpahan minyak di lokasi terakhir kapal selam sebelum menyelam. Jika bahan bakar itu memang berasal dari Nanggala, ada kemungkinan kapal selam mengalami gangguan, terus menyelam, dan belum muncul atau hilang. ”Saya cemas karena situasi itu berbahaya dan fatal sehingga kita perlu bersiap dengan kemungkinan terburuk,” kata Frans. Sebelumnya, pandangan senada tentang tidak eloknya mengaitkan usia operasional alutsista dengan insiden diutarakan oleh peneliti senior teknik kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Wisnu Wardhana. ”Tidak tepat jika menjadikan faktor usia alutsista sebagai penyebab suatu insiden. Meskipun tua, kapal perang selalu melewati berbagai tahapan yang rigid sebelum diizinkan beroperasi,” katanya. Wisnu mendorong agar Indonesia bisa mempercepat kehadiran bantuan mancanegara yang membawa wahana laut berteknologi canggih untuk menemukan Nanggala dan memastikan kondisi kapal itu. ”Setelah itu, evakuasi awak dan pengangkatan kapalnya,” ujarnya. Dari pengalaman pengangkatan kapal selam yang mengalami insiden di mancanegara, lanjut Wisnu, prosesnya bisa berbulan-bulan. Cepat tidaknya proses pengangkatan bergantung pada keberadaan sarana penunjang dan kecanggihan teknologinya. ”Insiden ini harus dijadikan pelajaran berharga bagi negara dalam menentukan prioritas kebijakan pengadaan dan pemeliharaan alutsista,” kata Wisnu.