Katalog Hutan Di Titik Nol.Cdr

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Katalog Hutan Di Titik Nol.Cdr Art Exhibition “Hutan di Titik Nol” Katalog ini dibuat sebagai suplemen pada acara Climate Art Festival pada pameran seni berjudul: “Hutan di Titik Nol” Arahmaiani|Arya Pandjalu|Dwi Setianto|Setu Legi|Katia Engel Taring Padi|Sara Nuytemans|Natalie Driemeyer & Anna Peschke Pengarah Artistik Bram Satya 2-12 Oktober 2013 Sangkring Art Space Nitiprayan RT 01 RW 20 No. 88, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta Penulis Ade Tanesia Christina Schott Desain Wimbo Praharso Penerbit Jogja Interkultur © 2013 This Catalogue is published to accompany Climate Art Festival Event Art Exhibition: “GROUND ZERO FOREST” Arahmaiani|Arya Pandjalu|Dwi Setianto|Setu Legi|Katia Engel Taring Padi|Sara Nuytemans|Natalie Driemeyer & Anna Peschke Artistic Director Bram Satya Oct 2nd - 12th, 2013 Sangkring Art Space Nitiprayan RT 01 RW 20 No. 88 Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Writer Ade Tanesia Christina Schott Art Exhibition Design Wimbo Praharso “Hutan di Titik Nol” Publisher Jogja Interkultur © 2013 Cover: Katia Engel “Hujan Abu / Grey Rain“ Katalog ini dibuat sebagai suplemen pada acara Climate Art Festival pada pameran seni berjudul: “Hutan di Titik Nol” Arahmaiani|Arya Pandjalu|Dwi Setianto|Setu Legi|Katia Engel Taring Padi|Sara Nuytemans|Natalie Driemeyer & Anna Peschke Pengarah Artistik Bram Satya 2-12 Oktober 2013 Sangkring Art Space Nitiprayan RT 01 RW 20 No. 88, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta Penulis Ade Tanesia Christina Schott Desain Wimbo Praharso Penerbit Jogja Interkultur © 2013 This Catalogue is published to accompany Climate Art Festival Event Art Exhibition: “GROUND ZERO FOREST” Arahmaiani|Arya Pandjalu|Dwi Setianto|Setu Legi|Katia Engel Taring Padi|Sara Nuytemans|Natalie Driemeyer & Anna Peschke Artistic Director Bram Satya Oct 2nd - 12th, 2013 Sangkring Art Space Nitiprayan RT 01 RW 20 No. 88 Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Writer Ade Tanesia Christina Schott Art Exhibition Design Wimbo Praharso “Hutan di Titik Nol” Publisher Jogja Interkultur © 2013 Cover: Katia Engel “Hujan Abu / Grey Rain“ The Climate Art Festival tentang topik tersebut. pengetahuan yang dapat ditransfer, - Sebuah proyek seni lingkungan antar budaya - Sebagai salah satu negara industri pemahaman antar budaya dan jaringan terkaya, pemerintah Jerman memiliki sosial memainkan peran penting dalam Latar belakang tanggung jawab atas sejarah pada emisi hal ini . Sebagai negara kepulauan terbesar di karbon secara global. Dalam perjalanan dunia, Indonesia tentunya mengalami dari kesadaran ekologis yang tumbuh Implementasi dampak dari perubahan iklim paling inilah pemerintah Jerman Ide untuk Climate Art Festival ini muncul besar. Pemerintah Indonesia memang menerjemahkan pertanggung jawaban ini ketika brainstorming pada beberapa menandatangani semua perjanjian dengan mendukung negara-negara proyek antarbudaya yang menyampaikan internasional yang penting pada tindakan berkembang sebagai tujuan melindungi kebutuhan global untuk tindakan untuk melawan perubahan iklim, tetapi iklim saat ini. Juga dengan menjalin mengenai masalah lingkungan kepada langkah-langkah terkait belum mencapai prioritas kemitraan pada isu perubahan masyarakat lokal. Pekerja Seni, wartawan sebagian besar penduduk. Negara ini iklim Indonesia sebagai salah satu dari dan aktivis lingkungan yang kebetulan diklasifikasikan sebagai produser terbesar isu- isu dasar dalam pembangunan semuanya perempuan berasal dari ketiga penghasil gas rumah kaca di dunia kooperasi Jerman, terutama berfokus Indonesia dan Jerman, bekerja bersama- - terutama diakibatkan oleh kerusakan pada "Alam dan Perlindungan Iklim" , sama untuk menyatukan potongan demi yang cepat dari hutan hujan. Perubahan "Lalu Lintas Kota Pengurangan Emisi" dan potongan untuk rangkaian program ini. yang dihasilkan dari kondisi iklim ini "Hutan dan Perlindungan Iklim". Jogjakarta sebagai kota budaya membuat petani paling terpukul, atas metropolis paling penting di Indonesia kehilangan mata pencaharian mereka Tujuan dan kota pelajar terbesar dengan nuansa atau mengalami bencana alam akibat Climate Art Festival ini ingin mentransfer pedesaan tradisional sekitarnya tampak perbuatan manusia, seperti juga nelayan kerjasama Jerman - Indonesia dari tingkat ditakdirkan sebagai lokasi untuk acara ini. yang dihadapkan dengan perubahan politik - ilmiah ke tingkat budaya. Seni, Galeri lokal, studio dan pekerja seni dan yang tidak biasa dari laut dan kehidupan Musik dan Pertunjukan adalah media kelompok aktivis merespon dengan baik laut. yang mampu menjangkau publik yang terhadap gagasan dan berkat dukungan Namun kemudian penduduk perkotaan lebih luas dan membuka kemungkinan- dana dari Kedutaan Besar Jerman untuk dan industri juga semakin banyak kemungkinan baru untuk berkomunikasi Indonesia, Kerjasama Pembangunan menghadapi dampak dari perubahan mengenai hal ini dengan masyarakat Jerman (GIZ) , Goethe-Institut iklim, yaitu meningkatnya suhu dan tanpa keahlian khusus pada topik. Indonesien dan organisasi bantuan polusi di daerah metropolitan dan Lokakarya dapat menjadi proyek konkrit Misereor, Climate Art Festival dapat melonjaknya persoalan pada pasokan sebagai langkah awal yang bisa berlanjut direalisasikan. energi. Oleh karena itu - di samping kemudian setelah festival dan keputusan politik – sangat dibutuhkannya memberikan contoh bagi orang lain Christina Schott © 2013 ide-ide praktis, bagaimana masyarakat dengan cara yang berkelanjutan. umum dapat menangani masalah ini Targetnya adalah untuk menunjukkan dengan kehidupan sehari-hari mereka bahwa bahkan masyarakat kecil secara dan menyesuaikan kebiasaan mereka. aktif dapat bertindak melawan Sementara pemisahan sampah, hemat perubahan iklim dan kerusakan energi dan pertanian organik sudah lingkungan : dengan menggunakan menjadi rutinitas umum di negara-negara energi alternatif, pengelolaan sampah barat, kebanyakan masyarakat Indonesia kolektif atau mendesain ulang ruang bahkan belum pernah mendengar publik. Mengenai pentingnya Climate Art Festival | Pameran Seni | ”Hutan di Titik Nol” Climate Art Festival | Art Exhibition | ”Ground Zero Forest” The Climate Art Festival tentang topik tersebut. pengetahuan yang dapat ditransfer, - Sebuah proyek seni lingkungan antar budaya - Sebagai salah satu negara industri pemahaman antar budaya dan jaringan terkaya, pemerintah Jerman memiliki sosial memainkan peran penting dalam Latar belakang tanggung jawab atas sejarah pada emisi hal ini . Sebagai negara kepulauan terbesar di karbon secara global. Dalam perjalanan dunia, Indonesia tentunya mengalami dari kesadaran ekologis yang tumbuh Implementasi dampak dari perubahan iklim paling inilah pemerintah Jerman Ide untuk Climate Art Festival ini muncul besar. Pemerintah Indonesia memang menerjemahkan pertanggung jawaban ini ketika brainstorming pada beberapa menandatangani semua perjanjian dengan mendukung negara-negara proyek antarbudaya yang menyampaikan internasional yang penting pada tindakan berkembang sebagai tujuan melindungi kebutuhan global untuk tindakan untuk melawan perubahan iklim, tetapi iklim saat ini. Juga dengan menjalin mengenai masalah lingkungan kepada langkah-langkah terkait belum mencapai prioritas kemitraan pada isu perubahan masyarakat lokal. Pekerja Seni, wartawan sebagian besar penduduk. Negara ini iklim Indonesia sebagai salah satu dari dan aktivis lingkungan yang kebetulan diklasifikasikan sebagai produser terbesar isu- isu dasar dalam pembangunan semuanya perempuan berasal dari ketiga penghasil gas rumah kaca di dunia kooperasi Jerman, terutama berfokus Indonesia dan Jerman, bekerja bersama- - terutama diakibatkan oleh kerusakan pada "Alam dan Perlindungan Iklim" , sama untuk menyatukan potongan demi yang cepat dari hutan hujan. Perubahan "Lalu Lintas Kota Pengurangan Emisi" dan potongan untuk rangkaian program ini. yang dihasilkan dari kondisi iklim ini "Hutan dan Perlindungan Iklim". Jogjakarta sebagai kota budaya membuat petani paling terpukul, atas metropolis paling penting di Indonesia kehilangan mata pencaharian mereka Tujuan dan kota pelajar terbesar dengan nuansa atau mengalami bencana alam akibat Climate Art Festival ini ingin mentransfer pedesaan tradisional sekitarnya tampak perbuatan manusia, seperti juga nelayan kerjasama Jerman - Indonesia dari tingkat ditakdirkan sebagai lokasi untuk acara ini. yang dihadapkan dengan perubahan politik - ilmiah ke tingkat budaya. Seni, Galeri lokal, studio dan pekerja seni dan yang tidak biasa dari laut dan kehidupan Musik dan Pertunjukan adalah media kelompok aktivis merespon dengan baik laut. yang mampu menjangkau publik yang terhadap gagasan dan berkat dukungan Namun kemudian penduduk perkotaan lebih luas dan membuka kemungkinan- dana dari Kedutaan Besar Jerman untuk dan industri juga semakin banyak kemungkinan baru untuk berkomunikasi Indonesia, Kerjasama Pembangunan menghadapi dampak dari perubahan mengenai hal ini dengan masyarakat Jerman (GIZ) , Goethe-Institut iklim, yaitu meningkatnya suhu dan tanpa keahlian khusus pada topik. Indonesien dan organisasi bantuan polusi di daerah metropolitan dan Lokakarya dapat menjadi proyek konkrit Misereor, Climate Art Festival dapat melonjaknya persoalan pada pasokan sebagai langkah awal yang bisa berlanjut direalisasikan. energi. Oleh karena itu - di samping kemudian setelah festival dan keputusan politik – sangat dibutuhkannya memberikan contoh bagi orang lain Christina Schott © 2013 ide-ide praktis, bagaimana masyarakat dengan cara yang berkelanjutan. umum dapat menangani masalah ini Targetnya adalah untuk menunjukkan dengan kehidupan sehari-hari mereka bahwa bahkan masyarakat
Recommended publications
  • 8. E-Book BARA LAPAR JADIKAN PALU TARING
    BARA LAPAR JADIKAN PALU COLOPHON TARING PADI Bara Lapar Jadikan Palu Editor I Gede Arya Sucitra Nadiyah Tunnikmah Penulis Bambang Witjaksono Mohamad Yusuf Aminudin TH Siregar Risa Tokunaga Desain & Tata Letak Kadek Primayudi Semua gambar dan foto diambil dari koleksi Taring Padi. Hak Cipta @ 2018 Galeri R.J. Katamsi ISI Yogyakarta Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotocopy, merekam atau dengan sistem penyimpanan lainnya, tanpa ijin tertulis dari penerbit. Penerbit: Galeri R.J. Katamsi, ISI Yogyakarta Jalan Parangtritis km 6,5 Sewon Bantul Yogyakarta www.isi.ac.id Cetakan Pertama, November 2018 Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan I Gede Arya Sucitra & Nadiyah Tunnikmah TARING PADI Bara Lapar Jadikan Palu Yogyakarta: Galeri R.J. Katamsi ISI Yogyakarta, 2018 128 hlm.; 15 cm x 21 cm ISBN: 978 - 602 - 53474 - 0 - 5 KPRP_Yustoni, Mereka yang Tanggung Jawab, Cat Genteng di atas Kain, 220 x 300 cm, 1998 4 7 Pengantar Kepala Galeri R.J. Katamsi ISI Yogyakarta 10 Pengantar Rektor ISI Yogyakarta 15 Bara Lapar Jadikan Palu, 20 Tahun Taring Padi Bambang Witjaksono 37 Taring Padi Berada Mohamad Yusuf 68 Deklarasi Taring Padi 71 Taring Padi Dalam Sejarah Seni Aminudin Th Siregar 87 The 20 Years of Taring Padi: Spirit of Solidarity and Political Imagination Crossing Borders Risa Tokunaga 106 Biodata Taring Padi 124 Tentang Penulis 126 Tim Kerja 128 Terima Kasih 5 Foto bersama di Gampingan, 2010 6 KPRP _Yustoni, Sedumuk Bhatuk, Cat Genteng di atas Kain, 220 x 300 cm, 1998 (Detail) 7 PENGANTAR Salam budaya, Puji syukur kita panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa pun Maha Karya atas dianugerahkannya kesehatan dan kreativitas seni berlimpah pada kita semua.
    [Show full text]
  • Painful Past, Fragile Future the Delicate Balance in the Western Balkans Jergović, Goldsworthy, Vučković, Reka, Sadiku Kolozova, Szczerek and Others
    No 2(VII)/2013 Price 19 PLN (w tym 5% VAT) 10 EUR 12 USD 7 GBP ISSN: 2083-7372 quarterly April-June www.neweasterneurope.eu Painful Past, Fragile Future The delicate balance in the Western Balkans Jergović, Goldsworthy, Vučković, Reka, Sadiku Kolozova, Szczerek and others. Strange Bedfellows: A Question Ukraine’s oligarchs and the EU of Solidarity Paweï Kowal Zygmunt Bauman Books & Reviews: Tadeusz Mazowiecki, Mykola Riabchuk, Robert D. Kaplan and Jan Švankmajer Seversk: A New Direction A Siberian for Transnistria? Oasis Kamil Caïus Marcin Kalita Piotr Oleksy Azerbaijan ISSN 2083-7372 A Cause to Live For www.neweasterneurope.eu / 13 2(VII) Emin Milli Arzu Geybullayeva Nominated for the 2012 European Press Prize Dear Reader, In 1995, upon the declaration of the Dayton Peace Accords, which put an end to one of the bloodiest conflicts in the former Yugoslavia, the Bosnian War, US President, Bill Clinton, announced that leaders of the region had chosen “to give their children and their grandchildren the chance to lead a normal life”. Today, after nearly 20 years, the wars are over, in most areas peace has set in, and stability has been achieved. And yet, in our interview with Blerim Reka, he echoes Clinton’s words saying: “It is the duty of our generation to tell our grandchildren the successful story of the Balkans, different from the bloody Balkans one which we were told about.” This and many more observations made by the authors of this issue of New Eastern Europe piece together a complex picture of a region marred by a painful past and facing a hopeful, yet fragile future.
    [Show full text]
  • Counter-Hegemony of the East Java Biennale Art Community Against the Domination of Hoax Content Reproduction Perlawanan Hegemoni
    Counter-hegemony of the East Java Biennale art community against the domination of hoax content reproduction Perlawanan hegemoni komunitas seni Biennale Jawa Timur terhadap dominasi reproduksi konten hoax Jokhanan Kristiyono1*, Rachmah Ida2, & Musta’in Mashud3 1Doctoral Program of Social Sciences, Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Airlangga 2Department of Communication, Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Airlangga 3Department of Sociology, Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Airlangga Address: Jalan Dharmawangsa Dalam, Airlangga, Surabaya, East Java 60286 E-mail: [email protected] Abstract This research analyses and describes in detail how the digital biennale activities that are a part of the Indonesian Digital arts community has become a form of criticism and silent resistance to the social hegemony. It refers to the ideology, norms, rules, and myths that exist in modern society in Indonesia, especially the reproduction of hoax content. Hoax refers to the logic people who live in a world of cyber media with all of its social implications. This phenomenon is a problem, and it is at the heart of the exploration of the art community in East Java Biennale. The critical social theory perspective of Gramsci’s theory forms the basis of this research analysis. The qualitative research approach used a digital ethnomethodology research method focused on the online and offline social movements in the Biennale Art Community. The data collection techniques used were observation and non-active participation in the process of reproduction-related to the exhibition of Indonesian Biennale digital artworks. It was then analyzed using Gramsci’s hegemony theory.
    [Show full text]
  • Sudandyo Widyo Aprilianto
    Sudandyo Widyo Aprilianto Date of Birth: April 19, 1980 Address: WR Supratman 35, Kauman Juwana Pati, Central Java 59185 Indonesia Telephone: +6285878961235 E-mail: [email protected] Education 1999-2005: Student of Fine Art and Sculpture at the Institute of Art Indonesia, Yogyakarta. 2007: Three-month English intensive at Lewis Adult School, Santa Rosa, CA U.S.A. 2007: Three-month English class at Santa Rosa Junior College, Santa Rosa, CA U.S.A. Experience October, 1999: Joined with group collective of artists, Sanggar Caping, Yogyakarta. December, 1999: First exhibition and performance with Sanggar Caping, at Gampingan Art Community, Yogyakarta. April, 2001: Earth Day street performance using body painting and expressive movement, with Sanggar Caping, at Malioboro Street, Yogyakarta. May, 2001: Joined with group collective of artists, Taring Padi, Yogyakarta. May, 2003: Workshop of drawing and painting with Ngijo village children, in Ngijo, Yogyakarta. September, 2003: Performance for the opening exhibition of Dialog Dua Kota (Dialogue of Two Cities) in Semarang. March, 2004: Workshop of puppet and banner-making, with Taring Padi, Yogyakarta. April, 2004: Performance and costume party, Earth Day Festival,Yogyakarta. September, 2005: Created an installation, Urban Culture, with Taring Padi, in CP Biennial, Jakarta. December, 2005, Facilitator of art and music workshops, Forest Art Festival, Blora, Central Java. March, 2006: Duo Exhibition of drawing and monoprint, Selamat Datang Hari Minggu (Welcome Sunday), Yogyakarta. April, 2006: Experimental performance, Terror and Reconciliation, with Taring Padi, Yogyakarta. May-August, 2006: Organizer and facilitator, taught and created art workshops with children who were victims of the earthquake in Yogyakarta with Taring Padi.
    [Show full text]
  • Engelenhovengerlov-2020-12-11.Pdf (1.651Mb)
    “WHEREOF ONE CANNOT SPEAK…” DECEPTIVE VOICES AND AGENTIVE SILENCES IN THE ARTICULATION OF IDENTITIES OF THE MOLUCCAN POSTCOLONIAL MIGRANT COMMUNITY IN THE NETHERLANDS Inaugural-Dissertation zur Erlangung des Doktorgrades der Philosophie des Fachbereiches 05 der Justus-Liebig-Universität Gießen vorgelegt von Gerrit Nicolaas Thomas Jacov van Engelenhoven aus Gießen 2020 Dekan: Prof. Dr. Thomas Möbius 1. Berichterstatterin: Prof. Dr. Greta Olson 2. Berichterstatter: Prof. Dr. Frans-Willem Korsten Tag der Disputation: ASSURANCE I hereby declare that I completed the submitted doctoral thesis independently and with only the help referred to in the thesis. All texts that have been quoted verbatim or by analogy from published and non-published writings and all details based on verbal information have been identified as such. CONTENTS ACKNOWLEDGMENTS 1 INTRODUCTION Whereof one cannot speak… My grandmother’s silence 4 Does the subaltern want to speak? 10 Rethinking voices 11 Rethinking silences 15 Deceptive voices and agentive silences 18 Overview of the chapters 19 PART ONE Anything you say can be used against you CHAPTER ONE Voices of history – The case of Martha Christina Tiahahu’s revolt and its historical reappropriations Introduction 26 Historical context of the 1817 revolt 29 Tiahahu according to Ver Huell 34 Tiahahu’s function for the justification of Dutch colonial rule 39 Tiahahu’s function for Indonesian nationalism 43 Ver Huell according to Dermoût 47 Conclusions 55 CHAPTER TWO Voices of their community? – The case of the Moluccan train
    [Show full text]
  • Seni Jalanan Yogyakarta
    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI SENI JALANAN YOGYAKARTA TESIS Di ajukan kepada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Untuk memenuhi sebagian Persyaratan guna Memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) Dalam bidang Ilmu Religi dan Budaya Konsentrasi Budaya Pembimbing: Dr Alb. Budi Susanto SJ. Drs M. Dwi Marianto MFA. PhD. Oleh Syamsul Barry NIM: 036322008 MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2008 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam tesis ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Yogyakarta, 7 Januari 2008 Syamsul Barry PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Syamsul Barry Nomor Mahasiswa : 036322008 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata. Dharma karya ilmiah saya yang berjudul: SENI JALANAN YOGYAKARTA beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me- ngalihkan dalam bentuk media lain,
    [Show full text]
  • Literatur Digital Koleksi Langka Indonesiana Di Internet
    LITERATUR DIGITAL KOLEKSI LANGKA INDONESIANA DI INTERNET Oleh: Maryono* Abstrak Sumber-sumber literatur koleksi langka Indonesiana berkembang secara dinamis, dan beberapa diantaranya telah terselenggara secara online dan menyediakan fullteks hasil proses alihmedia ke dalam bentuk digital. Dalam usaha membantu mendapatkan literatur digital koleksi langka Indonesiana yang relevan dan berkualitas, bisa dilakukan beberapa langkah diantaranya membuat panduan informasi sumber-sumber terseleksi, panduan literature terkini, indeks artikel beranotasi, kumpulan abstrak tesis dan disertasi dan sebagainya. Penelitian ini mengumpulkan informasi ketersediaan literatur digital koleksi langka Indonesiana di internet,yang mencakup fullteks buku digital, surat kabar, majalah, image, sumber terseleksi serta multimedia. Penelitian juga sekaligus memverifikasi internet address yang sering dipermasalahkan persistensinya sehubungan dengan karakter sumber elektronik yang mudah berubah, non-permanent dan atau menghilang dari internet (perishable citations), serta membuat panduan yang komprehensif. Kata kunci: informasi terseleksi, internet resources, literatur digital, koleksi langka, Indonesiana Pendahuluan Penjajahan Belanda selama 350 tahun di Indonesia meninggalkan banyak catatan sejarah berupa buku-buku yang membahas berbagai aspek kehidupan masyarakat dan alam wilayah Hindia Belanda. Politik devide et impera yang diterapkan Belanda, mengakibatkan berbagai konflik, perpecahan, menyisakan keterbelakangan, kemiskinan dan kebodohan. Setelah Raffles berkuasa,
    [Show full text]
  • Digitising Migration Heritage: a Case Study of a Minority Museum Randi
    MedieKultur | Journal of media and communication research | ISSN 1901-9726 Article Digitising migration heritage: A case study of a minority museum Randi Marselis MedieKultur 2011, 50, 84-99 Published by SMID | Society of Media researchers In Denmark | www.smid.dk The online version of this text can be found open access at www.mediekultur.dk Museums are increasingly digitising their collections and making them available to the public on-line. Creating such digital resources may become a means for social inclu- sion. For museums that acknowledge migration history and cultures of ethnic minority groups as important subjects in multiethnic societies, digitisation brings new possibili- ties for reaching source communities. This article presents Web projects conducted at Museum Maluku in Utrecht, the Netherlands. The article focuses on the museum’s experiences with cross-institutional Web projects, since digitisation of the museum’s collection was initiated through collaboration with major national heritage institutions. These collaborative projects furthermore have raised the visibility of Dutch-Moluccans as a part of Dutch national history. The article also discusses how source communities through digital participation can become involved in building cultural heritage. Based on the case study of the Museum Maluku, it is argued that in order to design an appro- priate mode of user participation as well as a sense of ownership, it is crucial to take memory politics of source communities into account. 84 Randi Marselis MedieKultur 50 Article: Digitising migration heritage: A case study of a minority museum Digital heritage and source communities Museums in Western Europe are challenged by increased cultural diversity within the pop- ulations that make up their potential audiences, and especially museums of cultural his- tory are now acknowledging cultures of ethnic minority groups as an important subject in multiethnic societies.
    [Show full text]
  • Socio-Political Criticism in Contemporary Indonesian Art
    SIT Graduate Institute/SIT Study Abroad SIT Digital Collections Independent Study Project (ISP) Collection SIT Study Abroad Spring 2019 Socio-Political Criticism in Contemporary Indonesian Art Isabel Betsill SIT Study Abroad Follow this and additional works at: https://digitalcollections.sit.edu/isp_collection Part of the Art and Design Commons, Art Practice Commons, Asian Studies Commons, Contemporary Art Commons, Graphic Communications Commons, Pacific Islands Languages and Societies Commons, Politics and Social Change Commons, Race, Ethnicity and Post-Colonial Studies Commons, Social Influence and Political Communication Commons, and the Sociology of Culture Commons Recommended Citation Betsill, Isabel, "Socio-Political Criticism in Contemporary Indonesian Art" (2019). Independent Study Project (ISP) Collection. 3167. https://digitalcollections.sit.edu/isp_collection/3167 This Unpublished Paper is brought to you for free and open access by the SIT Study Abroad at SIT Digital Collections. It has been accepted for inclusion in Independent Study Project (ISP) Collection by an authorized administrator of SIT Digital Collections. For more information, please contact [email protected]. SOCIO-POLITICAL CRITICISM IN CONTEMPORARY INDONESIAN ART Isabel Betsill Project Advisor: Dr. Sartini, UGM Sit Study Abroad Indonesia: Arts, Religion and Social Change Spring 2019 1 CONTEMPORARY INDONESIAN ART ABOUT THE COVER ART Agung Kurniawan. Very, Very Happy Victims. Painting, 1996 Image from the collection of National Heritage Board, Singapore Agung Kurniawan is a contemporary artist who has worked with everything from drawing and comics, to sculpture to performance art. Most critics would classify Kurniawan as an artist-activist as his art pieces frequently engages with issues such as political corruption and violence. The piece Very, Very happy victims is about how people in a fascist state are victims, but do not necessarily realize it because they are also happy.
    [Show full text]
  • Hugo Grotius Pioneer of Modern International Law
    The Netherlands in a Nutshell highlights from dutch history and culture Amsterdam University Press The Netherlands in a Nutshell The Netherlands in a Nutshell highlights from dutch history and culture Amsterdam University Press www.entoen.nu © 2008 Frits van Oostrom | Stichting entoen.nu isbn 978-90-8964-039-0 nur 688/840 Published by Amsterdam University Press, the Netherlands www.aup.nl Design: Kok Korpershoek, Amsterdam, the Netherlands All rights reserved. Without limiting the rights under copyright reserved above, no part of this book may be reproduced, stored in or introduced into a retrieval system, or transmitted, in any form or by any means (electronic, mechanical, photocopying, recording or otherwise) without the written permission of both the copyright owner and the author of the book. Contents 7 Foreword 9 The canon of the Netherlands 112 Main lines of the canon When we, as individuals, pick and mix cultural elements for ourselves, we do not do so indiscriminately, but according to our natures. Societies, too, must retain the ability to discriminate, to reject as well as to accept, to value some things above others, and to insist 6 on the acceptance of those values by all their members. [...] If we are to build a plural society on the foundation of what unites us, we must face up to what divides. But the questions of core freedoms and primary loyalties can’t be ducked. No society, no matter how tolerant, can expect to thrive if its citizens don’t prize what their citizenship means – if, when asked what they stand for as Frenchmen, as Indians, as Britons, they cannot give clear replies.
    [Show full text]
  • HALL- If Walls Could Talk
    !54 Malaysian Journal of Performing and Visual Arts, Vol. 3, Dec. 2017 If Walls Could Talk: The Collective Artist-Activist Role In Indonesian Street Art Abbey Hall, Art History and Visual Arts Department, Faculty of Fine Arts, University of Victoria, British Columbia, Canada [email protected] © 2017 University of Malaya. All rights reserved. Malaysian Journal of Performing and Visual Arts, Volume 3, 2017 Abstract In this article, I argue that the artistic development of Indonesian collectivist street art as an anonymous mode of socio-political activism is vitally important to the building of an awareness of current social issues in Indonesia. In analyzing artist-activist collective Taring Padi’s papering of posters and painting of murals in a city in which street art has been co-opted by the government, as well as their utilization of accessible, inexpensive materials and artistic practices to protest political and environmental wrongs, I will demonstrate the collective’s ability to provide what I will term an anarchist, non-authoritarian voice in order to educate the broader Indonesian populace. Additionally, with the development of an ever-expanding network of social media and awareness-enhancing events led by the Respecta Art Action Group (RSAG), the people of Indonesia are being given ever more information and outlets for action – particularly important in a nation where both have been so desperately needed. Keywords: Street art, artist-activist, database, Indonesia, collectivism Introduction This article revolves around the role of collectivist processes in Indonesian street art and artist-activists in Yogyakarta, while also examining how these artists use their work to revolt against the governing capitalist shackles of their country.
    [Show full text]
  • Sai Hua Kuan Solo Exhibitions Exhibition and Artist Film
    SAI HUA KUAN 1976 Born in Singapore 1997 Diploma in Fine Arts, Lasalle College of the Arts, Singapore 2007 Master of Fine Arts, Slade School of Fine Art, University College London, UK SOLO EXHIBITIONS 2016 Gone By, Just Before The Present Time, Sai Hua Kuan and Wang Ruobing, iPreciation, Singapore 2014 Space Drawing, OSAGE Gallery, Hong Kong 2012 Everything That Has A Point Makes A Circle, Yavuz Fine Art, Singapore 2009 Drawing between Nothing, The Slade School of Fine Art, London, UK EXHIBITION AND ARTIST FILM SCREENING 2016 ENVISION: Sculptures @ the Garden City, presented by iPreciation, Marina Bay Boulevard, Singapore 2014 Unearthed, Singapore Art Museum, Singapore Medium at Large, Singapore Art Museum 2013 If the World Changed, Singapore Biennale, Singapore Art Museum, Singapore Mostyn Open 18, Wales, United Kingdom The Realm in the Mirror, the Vision out of Image, Singapore Contemporary Art Exhibition, Suzhou Jinji Lake Art Museum, China Arte Laguna Prize, Finalists Artist Exhibition, Arsenale of Venice, Italy Drawing Now Paris / Le Salon Du Dessin Contemporain, Cattousel Du Louvre, Paris PARALLAX Between Borders: Singapore China, Institute of Contemporary Art, Singapore 2012 Panorama: Recent Art from Contemporary Asia, Singapore Art Museum, Singapore Mirror of Otherness, Gaodi Gallery, Shenyang, China 13 Steps, Concourse, Esplanade, Singapore CologneOFF 2012, BEFF06 - Bangkok Experimental Film Festival, Goethe Institute, Bangkok, Thailand 2011 Animal Talk, Jendela Art Space, Esplanade, Singapore Luleå Art Biennial, Luleå, Sweden
    [Show full text]