PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

SENI JALANAN

TESIS Di ajukan kepada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Untuk memenuhi sebagian Persyaratan guna Memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) Dalam bidang Ilmu Religi dan Budaya Konsentrasi Budaya

Pembimbing: Dr Alb. Budi Susanto SJ. Drs M. Dwi Marianto MFA. PhD.

Oleh Syamsul Barry NIM: 036322008

MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2008

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam tesis ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 7 Januari 2008

Syamsul Barry

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Syamsul Barry Nomor Mahasiswa : 036322008

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata. Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

SENI JALANAN YOGYAKARTA beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me- ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk, pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun mem- berikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 12 April 2008 Yang Menyatakan

Syamsul Barry

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PERNYATAAN UCAPAN TERIMA KASIH DAFTAR ISI DAFTAR ILUSTRASI ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………….. 1 A. Latar Belakang……………………………………………….…….… 1 B. Rumusan Masalah ………………………………………….….…….. 5 C. Signifikasi Penelitian ……………………………………….……….. 7 D. Kerangka Teoritis ...... 9 E. Metodologi Penelitian ………………………...... 13 F. Sistematika Penulisan ……………………….………………………. 13

BAB II SENI BERJALAN? DI YOGYAKARTA ..…………………………….. 16 A. Seni Jalanan Yogyakarta……………...………………………...…… 17 B. Grafiti dan perkembangannya..……………………………………… 19 C. Seni Jalanan dan Komunitasnya………………………………...…… 34 D. Seni jalanan dan (Unjuk rasa) Komunitas Aktivis ………...…...…… 45 E. Seni Jalanan dan Tumbuhnya Alternatif Pasar…………...... ………. 49

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB III JALAN SENI GRAFITI DAN BAHASA POLITIK MURAL...... 53 A. Kota Yogyakarta, Hutan Visual Baru...... 54 B. Mural dan Apotik Komik...... 55 C. Fenomena Mural Yogyakarta...... 62 D. “Kromonisasi” Seni Jalanan Yogyakarta ...... 64 E. Seni Jalanan Yogyakarta (Siasat absurd) Kalah dan Menang...... 71

BAB IV MEREBUT JALAN(AN) SENI DI ...... 74 A. Perang Gerilya Tanda...... 74 B. Konteks Politik Kemunculan Seni Jalanan...... 80 C. Respon Pemerintah...... 88 D. Privat-nya Ruang Publik...... 93 E. Jalanan Potret Imajinasi (Demokrasi) Indonesia...... 96

BAB V PENUTUP: KERESAHAN JALAN(AN) DALAM PEMAKNAAN...... 105

DAFTAR PUSTAKA

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR ILUSTRASI

Gambar 1. Grafiti pada dinding gua. Lokasi: gua Jati Jajar, Gombong, Jawa Tengah (Foto: dok. penulis, 2005)……………………………………………….…..…… 20

Gambar 2. Grafiti pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia 1945. (Foto: Anderson, Ben. 1988.Revolusi Pemuda, :Sinar Harapan)……..... 22

Gambar 3. Grafiti saat reformasi 1998 (Foto: dok. penulis, 1998)…………………………………………..…..……… 25

Gambar 4. Poster, berbentuk Stiker yang beredar di jalanan beberapa kota besar Indonesia selama masa kampanye Pemilu 1999. (Foto dokumentasi penulis 1999)…………………………….……….………. 26

Gambar 5. Corat-coret jalanan. Lokasi: daerah Sagan, Yogyakarta (Foto: dokumentasi penulis, 12 Juni 2007)……………..…………..……………. 28

Gambar 6. Seni jalanan menggunakan teknik stensil. Lokasi: dekat jembatan Kewek, Yogyakarta (Foto: dokumentasi penulis, 2005)……………………………………………….. 29

Gambar 7. Poster yang dibuat dengan teknik woodcut print Lokasi: pintu gerbang Kejagung Jakarta. (Foto dokumentasi penulis 2002)…………………………………………………. 30

Gambar 8. Stiker grafiti pada plang kantor. Lokasi: Kota Baru, Yogyakarta (Foto: dokumentasi penulis, Oktober, 2006)...... 31

Gambar 9. Stiker Plesetan (Foto: Dok. Hestu Ardiyanto)………………………………….….……………… 33 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Gambar 10. Spanduk larangan mencorat-coret untuk pelajar. Oleh Angkatan Muda Muhammadiyah. (Foto: dokumentasi penulis, Juni 2007)………………………….………………. 35

Gambar 11. The Kid, Yogyakarta (Foto: dokumentasi penulis, 2007)…………………………………..…………... 36

Gambar 12. Dream Lokasi:Pertigaan Krapyak-Jl.Bantul, Yogyakarta (Foto: dokumentasi penulis, 2007)…………………………………..…………... 37

Gambar 13. Grafiti kolaborasi Lovehatelove dan Plus. Lokasi: Utara perempatan Tugu, Yogyakarta (Foto: dokumentasi penulis, 2007)…………………………………..…………... 39

Gambar 14. Battle, karya yang sudah ada ditumpuk dengan karya baru namun dipertanggungjawabkan. Lokasi: perempatan Taman Sari,Yogyakarta (Foto: dokumentasi penulis, 2007)……………………………………………….. 41

Gambar 15. Pengerjaan grafiti LHL di kolong jembatan Janti, malam hari (Foto: dokumentasi penulis, 2007)……………………………………………….. 42

Gambar 16. Karya seni pada Aksi Menolak Kekerasan 1989. Lokasi: Bundaran UGM, Yogyakarta (Foto: Dokumentasi SMID PRD)………………………………….…………….. 46

Gambar 17. Tolak RUU PKB/KKN. Unjuk rasa tahun 2000. Lokasi: Jln Malioboro, Yogyakarta (Foto: dokumentasi penulis)……………………………………….…………….. 47

Gambar 18. Grafiti, poster dan baliho pada aksi yang dilakukan LBKTP dan AFRA tahun 2000. Lokasi: depan kantor Kejagung Jakarta (Foto: dokumentasi penulis) ………………………………………….…………. 48

Gambar 19. Perubahan teks ke karakter Lokasi: Jembatan Kewek PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(Foto: Dok. penulis, 2008)……………………………………………………….. 50

Gambar 20. Melayang (3 x 6 m) oleh Apotik Komik, 1997. (Foto dari: Supangkat, Jim (ed), (2000) Outlet ,Yayasan Cemeti, Yogyakarta)..... 57

Gambar 21. Projek mural Sama-sama oleh Nano Warsono, 2002. Lokasi: jembatan layang Lempuyangan. (Foto : Dok. Yayasan Seni Cemeti)...... 58

Gambar 22. Seorang pembuat mural sedang memblok tembok yang sebelumnya berisi grafiti politik. Lokasi: Jl. Perwakilan, Yogyakarta (Foto dari: Dipublik, tabloid projek mural ”Sama-sama”, 12 Nov 2002) ...... 61

Gambar 23.Mural yang dibuat oleh masyarakat RW IV Demangan. Lokasi: Prapatan Jl.Munggur-Gejayan-Jl Solo, Yogyakarta (Foto: Dok. Dwi Marianto)...... 63

Gambar 24. Suasana ruang pamer Kedai Kebun Forum Yogyakarta pada event Re:Publik Art (Foto: Dok. Dwi Rahmanto, IVAA/YSC)...... 66

Gambar 25. Grafiti pada acara Re:Publik Art Lokasi: ruang pamer Kedai Kebun Forum Yogyakarta (Foto: Dok. Dwi Rahmanto, IVAA/YSC)...... 69

Gambar 26. Warning not for comercial space Lokasi Sagan (utara Galeria mal Yogyakarta). (Foto: Dok. pribadi, 2004)...... ……………………………….……………… 75

Gambar 27. Mural iklan produk tabungan sebuah bank yang dibuat2004. Lokasi: depan SMA “17” 1 Bumijo, Yogyakarta, (Foto: Dok. penulis, 2007)...... 76

Gambar 28. Mural PAN. Sketsa rancangan Ismail. Visualiser Eko S W. (Foto: Dok. pribadi, 2004)...... 78

Gambar 29. Poster-poster yang dibuat LBKTPi yang dicetak ribuan lembar. Pada tahun 1999-2003 ditempel di jalanan kota Yogyakarta, Jakarta dan . PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(Foto :Dok. penulis, 2001)………………………………………………………. 88

Gambar 30. Iklan di barisan mural. Lokasi: Kotabaru, Yogyakarta. (Foto: Dok. penulis, 2008)...... 92

Gambar 31. Semrawut (perebutan tanda) baliho iklan di depan mural. Lokasi; tembok Stadion Kridasono, Yogyakarta. (Foto: Dok.penulis, Juli,2007)…………………………….…………………….. 100

Gambar 32.Grafiti pada bak sampah. Lokasi; depan THR Gondomanan, Yogyakarta (Foto: Dok. penulis, 2004)………………………………………………………. 103

Gambar 33. Instalasi Rakyat 1992 Lokasi: Depan pasar hewan Kuncen Yogyakarta (Foto: Dok. Majalah Sani FSR ISI 1992)………………………….…………….. 107

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ABSTRAK

Seni jalanan merupakan suatu kecenderungan menciptakan karya seni (di jalanan) yang mulai marak muncul di Yogyakarta tahun 2000-an dan merupakan perkembangan dari grafiti. Kata “jalanan” pada seni jalanan mengandung arti tanpa aturan, vandal atau illegal, menang-menangan. Penempatannya yang tanpa ijin merupakan ciri khas seni ini. Beberapa upaya untuk menekan perkembangannya telah dilakukan oleh beberapa kelompok (seniman) masyarakat atas dukungan pemerintah. Namun usaha ini terlihat sia-sia karena sampai sekarang jumlah seni jalanan semakin banyak di Yogyakarta. Untuk memperdalam pemahaman mengenai hal ini, saya mempelajari tulisan Benedict Anderson, dalam bukunya Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (Kuasa Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia). Singkatnya saya menggunakan kerangka Anderson untuk membongkar seni jalanan yang dalam perkembangannya juga dipandang telah mengalami proses kromonisasi atau “penghalusan” dengan upaya memasukkan seni jalanan ke dalam ruang pameran yang khas konsumsi kalangan (seniman, kurator) masyarakat bukan dari kelas (sosial) bawah. Seni jalanan adalah ekspresi budaya jalanan yang sering dianggap sebagai simbol dari praktik sosial yang membedakan dirinya dari ekspresi budaya general (seni yang umum/mapan) yang jauh lebih mendapatkan pengakuan. Kemudian didalam praktik sosial yang berbeda itu ditemukan serangkaian nilai dan norma yang hidup dalam kelompok seni jalanan (tableg dan sketsa dalam black book). Nilai dan norma ini cenderung bersifat eksklusif karena menjadi tanda dari identitas kelompok yang berbeda dengan yang lain. Selain itu seni ini juga dapat dipandang sebagai hasil konstruksi sosial budaya, hasil dari masyarakat yang dikondisikan (pekewuh) untuk tidak menyuarakan segala sesuatu apa adanya secara terbuka serta dapat juga dilihat sebagai manifestasi spontan akibat dari pengendapan absurditas kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu seni jalanan Yogyakarta dapat dilihat pula sebagai sistem melupakan, meredam tekanan dan keramaian kehidupan jalanan Yogyakarta serta menertawai diri sendiri.

Kata kunci: seni, grafiti, kromonisasi, budaya jalanan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Persembahan Untuk Ayahanda A.Saubari (alm) Syaiful Barry (alm) Ibunda St Wasilatun Savitri Citra Budi Keluarga Besar H. Sudaryanto di Krapyak

Almamaterku Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Kalau baik dan buruk adalah ciptaan Tuhan, maka tidak ada manusia yang tidak berjalan di jalan-Nya Syamsul Barry

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keberadaan coret-coret di jalan yang kemudian dikenal sebagai grafiti selalu dianggap sebagai sesuatu yang mengganggu kebersihan dan ketertiban umum. Karenanya, pemerintah kemudian melakukan berbagai macam usaha untuk menekan perkembangan

“seni corat-coret” itu, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Grafiti tetap saja ada, malah terus berkembang di seluruh kota di Indonesia.

Tidak dapat dipungkiri, dalam konteks pembangunan modern, kota-kota besar di

Indonesia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sejumlah fasilitas infrastruktur seperti gedung, jalan raya, jalan bebas hambatan, bahkan jembatan layang tampak menghiasi hampir seluruh sudut wajah kota. Adapun untuk menjaga dan mengaturnya, pemerintah kemudian mengeluarkan sederet peraturan lewat departemen tertentu yang ditunjuk, misalnya Peraturan Daerah Tata Ruang Kota yang disahkan atas nama Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. Akan tetapi, hal tersebut ternyata belum bisa mengatasi persoalan yang ada. Salah satunya adalah semakin menjamurnya grafiti sehingga menutupi hampir sebagian wajah kota. Tidak ada lagi tembok pembatas atau sisi jembatan yang bebas dari coretan gambar atau teks aneka warna. Ruang kota seolah telah berubah menjadi ajang pamer seni untuk umum.

Seni jalanan (grafiti) dapat dikatakan pula sebagai seni kerakyatan (oleh rakyat, untuk rakyat), seni ini pada situasi tertentu digunakan oleh pemerintah. Misalnya, pada PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2

masa perang kemerdekaan Republik Indonesia, grafiti digunakan untuk membakar semangat rakyat mempertahankan kemerdekaan. Saat itu, corat-coret bertema perjuangan hampir ada di seluruh tembok kota. Meski pada perkembangan selanjutnya keberadaan grafiti menjadi tidak disukai karena dianggap mengotori lingkungan dan mengganggu keindahan, namun kebiasaan tersebut ternyata tidak pernah hilang. Hal ini menandai seni kerakyatan sangat rawan dan gampang rapuh dieksploitasi oleh penguasa.

Sejak Orde Baru pengembangan dan pembangunan fisik kota dilakukan oleh pemerintah dengan menerapkan sistem pembangunan yang menekankan pada percepatan laju pertumbuhan ekonomi.1 Penekanan pada percepatan laju pertumbuhan ekonomi ini terkadang mengabaikan pemikiran masyarakat khususnya dalam pengembangan kota. Hal ini sering menyebabkan timbulnya ketidaksetujuan terhadap kebijakan pemerintah yang terkadang diekspresikan oleh masyarakat dalam bentuk antara lain; demonstrasi, protes dan grafiti (bernuansa politik).

Kini grafiti lebih dikenal sebagai seni jalanan (street art). Bentuk visual seni jalanan pun semakin beragam. Grafiti tidak lagi berupa coretan teks, tetapi juga digabungkan dengan gambar yang dihasilkan dari penggunaan teknik yang beragam. Kata “jalanan” pada terminologi ini berkaitan dengan kegiatan yang tanpa ijin pemerintah atau ilegal.

Persoalan tanpa ijin inilah yang menyebabkan seni jalanan identik dengan vandalisme karena dianggap sebagai tindakan yang merusak properti orang lain atau bertentangan dengan kebijakan pemerintah tentang keindahan kota. Sementara jika dihubungkan dengan budaya, seni jalanan dianggap tidak merepresentasikan budaya Indonesia, sebaliknya dicap sebagai peniruan budaya kaum pinggiran yang ada di beberapa kota besar dunia dan peniruan ini sering dianggap sebagai dampak globalisasi di bidang budaya.

1 Y. Argo Twikromo.1999. Pemulung Jalanan Yogyakarta. Yogyakarta: Penerbit Media Presindo. p.3 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3

Seni jalanan, khususnya di Yogyakarta, merupakan wacana baru yang timbul ke permukaan setelah diskusi seni rupa publik yang diadakan pada tahun 2000. Perdebatan ini memperbincangkan ruang publik, seni rupa publik dan kesemrawutan visual jalan (kota sebagai rimba visual).2 Diskusi itu kemudian memacu beberapa seniman dan kelompok seniman di Yogyakarta untuk membuat mural (lukisan besar di dinding) dengan tujuan memperindah kota. Kegiatan ini mendapat respon dan dukungan dari Pemerintah Kota

(pemkot) Yogyakarta yang menganggap dapat mengurangi grafiti-grafiti yang memberi citra kota kotor.3

Memasuki tahun 2002, perkembangan grafiti di Yogyakarta memasuki tahap yang menentukan. Sebuah komunitas pekerja seni bernama Apotik Komik membuat projek mural kota bertema Sama-sama dengan tujuan menggunakan mural sebagai media untuk memperindah kota, disamping juga bermaksud mempersempit ruang dan menghapus grafiti yang ada, karena dianggap mengotori kota. Projek ini ternyata mendapat sambutan baik dari Pemkot Dati II Yogyakarta, sehingga sejak saat itu pembuatan mural (lukisan atau gambar pada dinding), menjadi lebih marak daripada sebelumnya. Lewat projek tersebut, selain membuat kota tampak lebih semarak, masyarakat pun mulai bisa melihat unsur estetik yang dimiliki oleh mural dan menerima keberadaannya sebagai bagian dari pemandangan ruang publik.

Seni jalanan kerap diidentikkan sebagai bentuk perlawanan generasi muda terhadap pemerintah—meski tidak semua tema yang diangkat oleh para pelaku seni jalanan mengandung unsur politis. Anehnya, meski suara-suara sumbang tentang seni jalanan,

2 Lihat: Ruang Publik: Dialog Antara Arsitektur Dengan Seni Rupa, http://www.karbonjournal.org (diakses tanggal 21 Mei 2006) dan FX. Harsono.(2000) Seni Rupa dalam Ruang Publik, http://www.karbonjournal.org (diakses 14 April 2007). Kedua naskah yang diterbitkan merupakan bahan diskusi yang diadakan oleh Ruang Rupa Jakarta yang memicu perdebatan antara Taring Padi dan Apotik Komik. 3 Pendapat ini banyak ditulis oleh media cetak, lihat: “Corat-Coret Bisa Diatasi dengan Mural”, Harian Kedaulatan Rakyat, 21 Juli 2003. “Memperindah Yogya dengan Mural”, Harian Kedaulatan Rakyat 5 Februari 2003. “Mural Kota Yogyakarta” Harian Bernas, 19 Maret 2003 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4

seperti yang dijelaskan di atas, bermunculan di tengah-tengah masyarakat, tetapi “seni corat-coret” ini malah semakin digemari oleh para generasi muda, yang kemudian membuat penyebarannya semakin cepat dan tak terhindarkan.

Melihat kenyataan yang menarik itu, maka perlu jeli dan waspada mencermati jejak langkah seni jalanan yang dapat dikatakan merupakan bagian dari seni kerakyatan dari masa lalu untuk cita-cita Indonesia kini. Berdasarkan hal ini penulis memutuskan untuk meneliti lebih jauh tentang seni jalanan, terutama yang ada di kota Yogyakarta. Seni jalanan (dalam hal ini grafiti) mempunyai catatan perkembangan yang sudah cukup lama antara lain: Pertama, seni ini pernah digunakan sebagai alat berjuang pada masa perjuangan kemerdekaan 1945 di beberapa kota Indonesia. Kedua, pada dekade 1980-an grafiti di Yogyakarta banyak digunakan sebagai pemberi tanda wilayah gank atau kumpulan “liar”(mis: Kisruh/Q-Zruh dan Joksin/JXZ). Ketiga, digunakan untuk menyampaikan tuntutan rakyat (masa reformasi 1998) di beberapa kota Indonesia

(termasuk Yogyakarta). Keempat, sebagai ekspresi estetika seniman/individu. Persamaan dari keempatnya ialah penempatannya yang tidak pakai ijin serta dapat dipandang sebagai perlawanan terhadap kemapanan sekaligus respon terhadap lingkungan dan kehidupan keseharian.

Alasan penelitian ini dilakukan di Yogyakarta berdasarkan beberapa pertimbangan.

Pertama, pada tahun 2002-2004, Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II (Pemkot Dati

II) Yogyakarta bersama-sama masyarakat melakukan kegiatan muralisasi kota Yogyakarta dengan tujuan mengurangi coret-coret (grafiti) kota. Kegiatan ini berawal dari projek mural bertema “Sama-sama” yang dikerjakan oleh Apotik Komik pada tahun 2002.

Kedua, banyak sekali pekerja seni yang bertempat tinggal di Yogyakarta (umumnya pernah studi di Institut Seni Indonesia Yogyakarta), yang hidup berbaur dengan warga PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

5

sekitar selama bertahun-tahun, sehingga menyebabkan masyarakat menjadi terbiasa dengan kehadiran karya seni.

Ketiga, di kota ini terdapat beberapa lembaga seni budaya yang menjadikan seni kontemporer sebagai fokus perhatiannya. Adapun kajian seni kontemporer yang masih menjadi perbincangan hingga saat ini adalah seni (ruang) publik. Sedangkan seni jalanan dianggap sebagai satu bagian dalam seni (ruang) publik.

Keempat, banyaknya grafiti yang tersebar di hampir setiap sudut kota Yogyakarta memberikan indikasi bahwa di kota ini terdapat banyak kelompok pekerja seni jalanan yang aktif.

B. Rumusan Masalah

Seni Jalanan yang penempatannya di luar ruang serta bersinggungan dengan masyarakat secara langsung, seringkali mengakibatkan diposisikan berlawanan dengan seni (ruang) publik. Seni jalanan bersinggungan dengan tata ruang kota (misalnya, Perda Rencana Tata

Ruang Kota oleh Pemkot Dati II Yogyakarta), arsitektur/ruang kota dan lingkungan. Proses penciptaan seni jalanan berbeda dengan seni (ruang) publik. Jika proses penciptaan seni

(ruang) publik dimulai dengan membelajari lingkungan lokasi dimana karya kelak akan ditempatkan, budaya setempat, lingkungan hidup serta tentunya berdasarkan ijin pihak berwenang, seni jalanan hanya membuat rencana sketsa karya dan mencari lokasi yang cocok dengan memanfaatkan ruang kosong/tembok yang berada di pojok-pojok jalan.

Ada beragam visual dari seni jalanan Yogyakarta, umumnya berbentuk teks huruf

(singkatan atau inisial) yang hanya diketahui maksudnya oleh kelompok/komunitas seni jalanan sendiri. Teks huruf (lazim disebut tag)4 terkadang menggunakan bahasa asing

4 The verb tagging has even become a popular verb today in other types of occasions that are non-graffiti- related. TAKI 183 is officially credited as the inventor of tags in modern graffiti, lihat: PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

6

(terbanyak bahasa Inggris), tidak terlalu jelas apa alasannya, apakah hanya gaya saja atau agar dianggap merepresentasikan modernitas dalam artian berbeda dengan yang tradisional. Hal ini mengindikasikan ada maksud tertentu si pembuatnya.

Beragam visual seni jalanan ini juga menunjukkan semakin banyak jumlah kelompok/komunitas seni jalanan yang berdiri. Banyaknya kelompok yang bermunculan kemudian menyebabkan timbul persaingan dan perluasan wilayah penyebaran seni jalanan yang tentunya merepotkan pemerintah (dalam hal ketertiban dan kebersihan).

Beberapa upaya menekan perkembangan coret-coret ini sudah pernah dilakukan oleh sekolah-sekolah misalnya dengan mengadakan lomba grafiti atau yang paling ekstrem dengan mempersempit ruang berkembang dengan menghapus dan menutupinya dengan mural seperti yang dilakukan Apotik komik dengan projek Mural Kota Yogyakarta ditahun

2002. Pada perkembangan terakhir ada upaya dari beberapa organisasi/lembaga seni di

Yogyakarta yang mengupayakan mengusung seni jalanan untuk dipamerkan pada ruang pamer galleri atau rumah seni. Upaya ini diduga sebagai penjinakan terhadap keliaran seni jalanan. Namun usaha-usaha itu terlihat tidak ada pengaruhnya, bahkan sekarang ini beberapa mural kota malah ditiban dan grafiti tidak hanya berbentuk teks tetapi juga berbentuk gambar (logos)5.

Perkembangan seni jalanan dapat dilihat pula sebagai keberanian rakyat kecil berbicara pada penguasa dengan cara merespon belantara visual kota, yang hampir di setiap ruang kosongnya (pinggir jalan atau tempat yang dianggap stategis) dimanfaatkan untuk pemasangan iklan. Pemerintah memberikan kemudahan mengurus perijinan tanpa memperhitungkan lokasi dimana iklan tersebut akan dipasang. Maka lihatlah apa yang http://www.ni9e.com/blog_images/taki_183.pdf First graffiti-related article from New York Times(diakses Selasa, 03 Oktober 2007, 16:16 WIB) 5 Street Art: Logos, tak Hanya Hiasi Tembok saja, 23 November 2006, http://www.trullyjogja.com (diakses 26 Desember 2006).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

7

terjadi kemudian; kota berubah jadi belantara visual yang liar dan tak terkendali.

Penempatan baliho, papan iklan, spanduk dan poster yang semrawut di sepanjang badan jalan perkotaan dapat dijadikan ukuran betapa banyaknya hal yang diabaikan oleh pemerintah. Suatu tindakan yang telah menindas hak masyarakat untuk mengatur ruang publiknya sendiri, seperti yang seharusnya terjadi.

C. Signifikasi Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk membahas seni jalanan Yogyakarta, suatu kecenderungan membuat karya seni di jalan dalam beragam teknis pembuatannya. Seni ini merupakan perkembangan dari grafiti yang mulai marak di Yogyakarta sejak tahun 1980-an dan berlangsung hingga sekarang. Seni jalanan Yogyakarta ini memiliki kemiripan dengan karya seni jalanan di kota lain, namun terdapat perbedaan pada pola perkembangannya.

Penelitian ini memberi perhatian pada faktor-faktor yang memiliki pengaruh signifikan dalam proses perkembangan seni jalanan yang membantunya tumbuh menjadi suatu seni jalanan (Yogyakarta) yang lain. Salah satu sumber kecenderungan yang membantunya tumbuh adalah kehidupan masyarakat di Yogyakarta itu sendiri. Sebagai contoh, ada ribuan seniman yang hidup berbaur pada masyarakat Yogyakarta, hal itu menyebabkan masyarakat terbiasa dengan kehadiran karya seni dan kehidupan keseharian seniman.

Perkembangan fisik kota Yogyakarta yang terjadi sampai sekarang ini, juga merupakan faktor signifikan yang ikut aktif membentuk seni jalanan Yogyakarta. Seperti halnya kota-kota besar di Indonesia, perkembangan fisik kota Yogyakarta juga mengalami kemajuan yang pesat. Sejumlah fasilitas infrastruktur yang telah dibangun di beberapa tempat seperti, jalan, jembatan layang, pusat perbelanjaan modern (mal) telah menyediakan lahan berupa tembok gedung, jalan, tiang penyangga jembatan layang yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

8

merupakan tempat-tempat karya seni jalanan dibuat dan diletakkan. Selain pembangunan fisik, ada banyak citra-citra visual (papan iklan, baliho besar, dan lain-lain) yang tidak teratur, seperti terlihat berebut ruang dan telah menjadi pemandangan umum di

Yogyakarta. Hal ini turut mendorong kreativitas para pelaku seni jalanan untuk turut memberi respon atas ketidakteraturan citra-citra visual tersebut.

Masyarakat Yogyakarta yang terlihat masih mempertahankan kehidupan tradisional ternyata mempunyai sifat yang terbuka atas kebaruan-kebaruan pemikiran. Berbagai produk modern dan pola budaya tradisional dalam realita kehidupan sehari-hari hadir secara bersama. Seni jalanan yang sering dipojokkan atau dianggap coret-coret yang mengganggu keindahan terkadang digunakan juga oleh sebagian masyarakat untuk menyampaikan aspirasi maupun protes. Sebagai contoh, peristiwa Pemilu Yogyakarta

1992, masyarakat dalam menyampaikan aspirasi ketidaksetujuan dengan kebijakan pemerintah atas larangan kampanye menggunakan kendaraan bermotor, dijawab dengan membuat seni instalasi maupun grafiti di jalan.

Dasar argumen penelitian yang dibangun dari uraian diatas bahwa seni jalanan

Yogyakarta adalah suatu cerminan kondisi sosial politik masyarakat. Seni jalanan

Yogyakarta dapat pula dikatakan sebagai salah satu cara untuk menyiasati keadaan yang mengondisikan orang untuk tidak mengatakan yang sebenarnya secara langsung dan tegas.

Dengan imaginasi dan logika yang dapat dikatakan absurd serta liar, seni jalanan

Yogyakarta dapat juga dilihat sebagai cara melupakan atau menciptakan ruang imajiner tempat orang bisa melepaskan diri dari kondisi-kondisi yang makin lama terasa makin menekan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

9

D. Kerangka Teoritis

Sebelum mulai membahas kerangka teoritis untuk mengetahui tentang seni jalanan secara lebih luas, perlu ditetapkan dulu bahwa seni jalanan (visualnya bisa berupa grafiti, poster, stiker, wheatpaste, atau stensil) dalam kajian ini akan diposisikan sebagai karya seni.

Karena itu, sebelum membahas lebih lanjut, terlebih dulu akan dibahas tentang masalah apresiasi seni.

Secara umum, mengapresiasi berarti mengerti serta menyadari sepenuhnya sehingga mampu menilai sebuah karya yang akan diapresiasi. Jika dihubungkan dengan seni maka mengapresiasi berarti mengerti dan menyadari sepenuhnya seluk-beluk suatu hasil seni, serta menjadi sensitif terhadap segi-segi estetisnya, sehingga mampu menikmati dan menilai karya itu.6 Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa mengapresiasi sama saja dengan menciptakan kembali (geniessen ist nachshaffen), yang berarti perlu juga untuk ikut merasakan apa yang dialami oleh pekerja seninya (sharing the artist’s experience). Dengan demikian jelaslah bahwa untuk mengapresiasi tidak cukup dengan sekedar mengerti— misalnya, menggambarkan apakah hasil seni itu—melainkan sampai kepada aspek- aspeknya yang lebih dalam.

Jika tindakan “mengapresiasi” dilakukankan terhadap visual seni jalanan, seperti tag atau inisial, yang umumnya disajikan berupa warna-warni indah yang menarik dan mencolok mata dalam tulisan yang terkadang dalam bahasa asing atau berupa singkatan, maka respon yang mungkin diterima dari “penonton” seni jalanan, yang kebanyakan adalah masyarakat awam, adalah ketidakpahaman maksud dari visual tersebut.

Kenyataannya, tag memang hanya bisa dimengerti oleh lingkungan atau komunitas

6 Soedarso Sp. 1990. Tinjauan Seni, Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni, Yogyakarta: Saku Dayar Sana.p.77

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

10

tertentu dalam lingkar para pekerja seninya saja. Dengan kata lain, untuk bisa mengerti hal tersebut maka dibutuhkan kedekatan dengan komunitas pembuatnya.

Pemahaman terhadap aspek-aspek yang mendalam sangat diperlukan untuk mengapresiasi seni Jalanan. Hal itu disebabkan tidak hanya penggambaran visual semata yang menjadi satu-satunya unsur penentu, tetapi juga pendapat umum masyarakat

(pro/kontra) tentang keindahan ruang kota, peraturan yang berlaku, gaya hidup anak muda pada masa itu, dan wacana seni rupa publik tentang seni rupa kontemporer (khususnya di

Indonesia). Selain itu, terdapat pula beberapa hal yang sering dianggap berkaitan dengan keberadaan seni jalanan, antara lain propaganda, subversif (seni perlawanan) dan kekuasaan antara pihak yang dominan dan tidak dominan, serta seni publik.

Selain itu yang juga menjadi sangat penting ialah memahami kerumitan sikap berbahasa di Yogyakarta, tempat orang memakai bahasa Jawa sebagai bahasa aslinya dan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional. Secara resmi bahasa Jawa memiliki tiga tingkatan bahasa yang ditata secara hierakhis (kromo, madya, ngoko). Penggunaan tiga tingkatan ini diatur menurut status sosial si pengucap dan orang yang diajak bicara, sedangkan bahasa Indonesia merupakan bahasa yang terbuka dan tidak mempunyai tingkatan. Dengan memperhatikan permasalahan bahasa dan besarnya kemungkinan- kemungkinan dengan mengkritisinya, dapat menemukan cara yang mempunyai potensi bagi terwujudnya pemahaman atas seni jalanan Yogyakarta secara baru, yang tentunya berbeda dengan pemahaman street art yang berasal dari budaya urban di daerah lain.

Untuk memperdalam pemahaman mengenai hal ini, saya mempelajari tulisan

Benedict Anderson, dalam bukunya Language and Power: Exploring Political Cultures in

Indonesia (Kuasa Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia) yang menggunakan praktik berbahasa di Indonesia sebagai alat untuk menganalisa pola-pola budaya politik. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

11

Anderson melihat bahwa bahasa Melayu pasar, yang telah lama menjadi lingua franca di kepulauan Nusantara, adalah basis bahasa baru Indonesia (Melayu revolusioner) yang pada hakekatnya adalah bahasa politik. Bahasa ini diwujudkan oleh perjuangan nasionalis, menampilkan dalam dirinya semangat murni perlawanan atas dominasi monopoli bahasa Belanda sebagai jembatan menuju “modernitas”. Bahasa Indonesia kontemporer dapat dipandang sebagai suatu kegiatan usaha (enterprise) bagi kepiawaian dari krisis budaya yang dahsyat, dan yang sebagian merupakan proyek bawah sadar yang muncul dari asumsi tentang “modernitas” dalam lingkup modalitas dari suatu tradisi sosial politik yang asli dan berdiri sendiri.7

Persamaan atas asumsi menuju “modernitas” juga terlihat dalam perkembangan seni di Indonesia khususnya di Yogyakarta. Seperti halnya bahasa Indonesia yang bersifat terbuka, perkembangan seni juga bersifat terbuka atas segala pengaruh dari mana saja bercampur baur dengan yang sudah ada (tradisional). Asumsi “modernitas” dalam perkembangan seni terlihat dengan digunakannya konsep seni modern “Barat” yang digunakan untuk mendefinisikan dan menggolong-golongkan seni yang ada di Indonesia, yang terlihat bertujuan agar dapat disamakan tingkatannya dengan seni di tempat lain yang dianggap modern.

Dalam kaitannya dengan pembahasan seni jalanan, saya terinspirasi oleh pendapat

Anderson terutama tentang “Kartun dan Monumen”.8 Menurut Anderson pada awal pembahasan sebelum “Kartun dan Monumen” ada dua modus (komunikasi dan ekspresi politik) yang penting dan dilupakan yang jika dianalisis akan memunculkan konsepsi- konsepsi dari orang Indonesia tentang politik orang Indonesia dengan agak berbeda. Dua

7 B.R.O.G. Anderson. 2000. Kuasa Kata, Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia. Tr. Revianto Budi Santosa .Yogyakarta: Penerbit Mata Bangsa. p. 265 8 Ibid. p.p.333-387. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

12

modus itu ialah “ucapan langsung” dan “ucapan simbolik”.9 Dengan dua modus itu akan didapat konsepsi politik yang khas Indonesia.

“Ucapan langsung” yang dimaksudkan Anderson ialah komunikasi politik pada setiap masyarakat: gosip, rumor, diskusi, argumen, interograsi, serta intrik yang dalam kenyataannya merupakan bagian terbesar dalam komunikasi politik di Indonesia. “Ucapan langsung” ini merupakan cara lain dari komunikasi politik dan dapat dipandang sebagai bermain “ngoko” dalam “krama”-nya politik Indonesia.

Pada perkembangan berikut terjadi kromonisasi dalam bahasa Indonesia dengan memasukkan banyak istilah yang berasal bahasa Jawa (yang dianggap lebih halus) agar dapat disejajarkan dengan kedudukan bahasa-bahasa lainnya. Singkatnya saya akan menggunakan kerangka Anderson untuk membongkar seni jalanan yang dalam perkembangannya juga dipandang telah mengalami proses kromonisasi atau “penghalusan” dengan upaya memasukkan seni jalanan ke dalam ruang pameran yang khas konsumsi kalangan (seniman, kurator) masyarakat bukan dari kelas (sosial) bawah.

Upaya ini membuat adanya perbedaan antara yang berada di jalanan dan di dalam ruang pamer, namun karena para pelaku yang di jalan maupun di ruang pamer adalah sama, usaha membedakan itu hanya terlihat sebagai ajang mencari popularitas saja.

Pembongkaran atas perkembangan seni jalanan Yogyakarta dalam tesis ini akan menunjukkan bahwa seni jalanan ala Indonesia tidak harus terbakukan pada perbedaan- perbedaan.

9 Ibid. p.p.327. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

13

E. Metode Penelitian

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini lebih terfokus pada metode pengamatan peran serta, mendengarkan apa yang dibicarakan oleh subjek penelitian, dan wawancara dengan beberapa informan kunci. Pada sejumlah wawancara yang tidak bisa dilakukan oleh penulis (saat sakit atau terlalu malam), penulis terkadang menunjuk Dwi Rahmanto dari

IVAA/Yayasan Seni Cemeti (YSC) dan Vembrianto, mahasiswa Universitas Atmajaya

Yogyakarta, sebagai pengumpul data pengganti. Kedua pengumpul data ini sudah terbiasa dengan kehidupan para pelaku seni jalanan, bahkan mengenal dekat kelompok-kelompok seni jalanan di Yogyakarta. Adapun data awal telah dikumpulkan penulis sejak tahun

1993-2002, ketika terlibat dalam pembuatan sejumlah karya seni di beberapa aksi unjuk rasa, dan sewaktu bekerja sebagai ketua Dewan Anggota Lembaga Budaya Kerakyatan

Taring Padi Yogyakarta (1999-2002).

Sifat penelitian ini adalah semi tertutup, yang berarti sebagian besar subjek tidak mengetahui bahwa mereka sedang diamati (misalnya, penelitian dilakukan sembari mengobrol sepintas lalu). Hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan agar penelitian dapat dilakukan dengan bebas dan lebih santai tanpa mengganggu aktivitas pelaku dalam berkarya di jalanan, juga untuk meminimalkan pemanipulasian data yang mungkin sengaja dilakukan oleh subjek untuk menutupi fakta tertentu. Selanjutnya, analisa data dilakukan melalui proses deskripsi dan interpretasi sesuai dengan transkip catatan lapangan yang terdiri dari pengamatan dan wawancara informal dengan informan kunci.

F. Sistematika Penulisan

Tesis yang mengangkat judul SENI JALANAN YOGYAKARTA sistematika penulisannya disusun sebagai berikut: PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

14

BAB I PENDAHULUAN

Membahas latar belakang kajian, rumusan masalah, signifikasi kajian, kerangka teoritik yang berisi hal-hal yang berhubungan dengan kajian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II SENI BERJALAN? DI YOGYAKARTA

Pada bab ini akan diuraikan pengertian seni jalanan dan beberapa aspek yang melingkupi serta mempengaruhi perkembangannya di Yogyakarta. Perkembangan itu meliputi grafiti, seni jalanan pada aksi unjuk rasa, perkembangan teknik grafiti (stiker, wheatpaste, poster, stensil) dan tumbuhnya komunitas-komunitas seniman jalanan serta bagaimana mereka berinteraksi.

BAB III JALAN SENI GRAFITI DAN BAHASA POLITIK MURAL

Bab ini memberikan suatu deskripsi langkah Apotik Komik yang mempelopori projek mural kota Sama-sama pada tahun 2002, yang kemudian diikuti oleh masyarakat dengan membuat mural di wilayahnya masing-masing atas dukungan Pemerintah Kotamadya

Daerah Tingkat II (Pemkot Dati II) Yogyakarta di sepanjang tahun 2002-2004. Tujuan dari kegiatan tersebut adalah mengurangi dan menghambat coret-coret di jalan melalui mural.

Konsep ini sejalan dengan tujuan Pemkot Dati II Yogyakarta untuk mewujudkan

Yogyakarta “Berhati Nyaman”. Selain itu juga akan dibahas tentang mural iklan dan politik, serta respon dari beberapa galeri/rumah seni yang memasukkan seni jalanan ke dalam kategori seni rupa publik dalam wacana seni kontemporer (dibelokkan menjadi

“komoditi” atau di “kromonisasi” dengan “nikmat rasional” khas konsumsi kalangan seniman dan kurator galeri yang bukan dari rakyat biasa dengan dipamerkan di galeri.), PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

15

yang cukup banyak memberikan pandangan baru bagi para pelaku seni jalanan untuk berani menjelajahi dunia kreativitas mereka dalam berkarya.

BAB IV MEREBUT JALAN(AN) SENI DI INDONESIA

Pada pembahasan bab ini, ruang dipahami sebagai fenomena tanda. Upaya untuk memahami ruang berarti menganggapnya sebagai bermuatan pesan-pesan sosial budaya.

Sebagai suatu fenomena tanda, ruang menjadi arena pertukaran tanda dan pesan-pesan sekaligus menjadi tempat perebutan tanda dan hegemoni kultural. Selain itu pada bab ini akan diuraikan bentuk-bentuk tanda atau visual yang ada di jalan termasuk kepentingan yang menyertainya, respon pemerintah terhadap keberadaan seni jalanan (juga mural) serta siasat para pelaku seni jalanan untuk mengatasi kondisi tersebut. Pada bab ini juga akan diungkap kembali, apa arti seni jalanan mengingat bagi kalangan rakyat kecil yang kebanyakan masih berjalan kaki, tentu mempunyai pola pandang yang berbeda dengan kelas sosial menengah ke atas yang rata-rata berkendaraan bermotor di jalanan.

BAB V PENUTUP: KERESAHAN JALAN(AN) DALAM PEMAKNAAN

Mengetengahkan ringkasan-ringkasan hasil penelitian, kesimpulan serta saran-saran untuk studi dan kebijakan yang berguna di masa mendatang.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB II

SENI BERJALAN? DI YOGYAKARTA

Pada bab ini akan diuraikan pengertian seni jalanan dan beberapa aspek yang melingkupi serta mempengaruhi perkembangannya di Yogyakarta. Perkembangan itu meliputi grafiti, seni jalanan pada aksi unjuk rasa, perkembangan teknik grafiti (stiker, wheatpaste, poster, stensil) dan tumbuhnya komunitas-komunitas seniman jalanan serta bagaimana mereka berinteraksi. Pada bagian akhir bab ini akan dibahas bagaimana seni jalanan dalam hubungannya dengan kebudayaan dengan memandang seni jalanan seperti halnya keberadaan bahasa Indonesia “masa lalu” yaitu untuk pembentukan kesadaran (komunitas) nasional dikalangan pemuda Indonesia yang bermasyarakat plural. Bahasa Indonesia diturunkan dari kenyataan yang tidak terelakkan sebagai pewaris dari tiga bahasa yang berbeda (Belanda, Jawa, Melayu revolusioner) dan dua tradisi budaya linguistik yang berbeda pula (Barat-Belanda dan Jawa). Bahasa Indonesia baru, berkembang sebagai alat komunikasi yang dapat mengekspresikan tidak hanya nasionalisme Indonesia, melainkan juga aspirasi Indonesia, tradisi-tradisi Indonesia dan realitas-realitas internasional.1 Seperti halnya bahasa Indonesia yang punya keterbukaan dalam pengembangannya, bidang seni juga mempunyai sifat terbuka. Pengaruh “luar” atau modern “Barat” maupun seni-seni tradisi semua bercampur baur dan berkembang. Percampuran ini terkadang menimbulkan

1 B.R.O.G Anderson. 2000. Kuasa Kata, Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia. Tr. Revianto Budi Santosa .Yogyakarta: Penerbit Mata Bangsa . pp. 266-267

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

17

polemik namun kesemuanya tetap berjalan dalam kehidupan masyarakat Indonesia hingga sekarang.

A. Seni jalanan Yogyakarta

Seni jalanan atau biasa juga disebut street art kemudian muncul menjadi istilah yang dipakai untuk membedakan dengan karya seni yang dibuat dan ditempatkan di jalanan dengan meminta ijin kepada pihak yang berwenang. Seni jalanan merupakan perkembangan dari grafiti yang biasanya dibuat dengan cat semprot (aerosol) kemudian berkembang menggunakan berbagai teknik pembuatan misalnya: stensil, stiker, tempelan kertas/ wheatpasting, poster atau campuran dari berbagai bentuk seni.2 Penempatannya dilakukan tanpa ijin dari pihak berwenang dan dilakukan dengan sengaja (misalnya:

Gerbong kereta, pos polisi, papan reklame dan lain-lain) terkadang memicu timbulnya perkara. Perkara inilah yang seringkali menyebabkan pelaku seni jalanan dianggap sebagai pelaku vandalism.

Kata “jalanan” pada seni jalanan bukan sekedar menunjukkan tempat tetapi lebih menekankan kepada kebebasan sebab jalanan memiliki sifat longgar yang memungkinkan kebebasan ekspresi berlangsung. Apakah itu dalam bentuk kebebasan berpendapat, seni, maupun kebebasan bertingkah laku. Jalanan telah menjadi tempat dimana orang-orang memiliki kesempatan untuk menunjukkan rasa kemanusiaan dan kebinatangannya yang tersembunyi. Di jalan raya, misalnya, pengendara kendaraan berubah menjadi “binatang” yang saling berebut kesempatan menyalip tanpa aturan, bahkan dapat mencelakakan orang

2 http://tembokbomber.com/blog/weblog.php, diakses 17 Oktober 2007, disebutkan dalam situsnya: Seni adalah ekspresi, Tembok adalah kanvas, jalanan adalah galeri. Kira-kira seperti itulah paham yang dianut pelaku street art. Sebagian orang mungkin menganggap apa yang mereka kerjakan sebagai vandalisme, sebagian lagi boleh saja menganggapnya seni. Seni jalanan (street art) adalah segala jenis seni yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

18

lain. Kepatuhan hanya terjadi jika polisi hadir disekitarnya, bukan karena kesadaran tentang keselamatan dirinya maupun orang lain.3 Menurut Abdullah, grafiti yang biasa ditemukan di jalan dan tembok-tembok kota merupakan bentuk lain dari ekspresi kebebasan yang muncul dengan cara yang sama juga.4

Hasil dari wawancara terhadap beberapa pelaku seni jalanan terungkap bahwa motivasi para pelaku seni jalanan sangat beragam, tergantung pada diri yang bersangkutan.

Misalnya, bagi pelaku yang berlatar belakang pendidikan seni rupa atau yang mengerti keilmuan seni rupa, maka alasan mereka menempatkan karya seni di jalanan atau ruang publik dianggap sebagai usaha mendekatkan karya dengan publik yang sesungguhnya.

Pandangan ini timbul karena menganggap kurangnya antusias masyarakat umum mengunjungi ruang pamer seni rupa (museum atau galeri). Pandangan ini sangat elitis jika dibandingkan dengan pelaku yang tidak mengerti sama sekali tentang ilmu seni rupa, alasan membuat grafiti biasanya hanya sekedar iseng atau untuk menunjukkan batas wilayah kekuasaan suatu kelompok atau semata-mata sebagai media kebebasan berunjuk diri.

Karya seni yang mereka hasilkan, sepositif apapun tujuan dan motivasinya, sering dipandang sebagai tindakan ilegal yang merusak dan mengotori keindahan lingkungan serta dikategorikan sebagai kegiatan liar yang tidak disukai oleh pemerintah. Namun dengan melihat semakin maraknya jumlah grafiti yang bermunculan di Yogyakarta saat ini,

dikembangkan di jalan dan ruang publik. Termasuk dalam kategori ini adalah grafiti alias corat-coret di tembok. Selain itu juga mencakup seni lain seperti stiker, stensil, patung, wheat-pasting, dan banyak lagi. 3 Gunawan. 2000.”Siasat dan Kuasa di Jalan Raya”, dalam PM Laksono et.al, Permainan Tafsir: Politik Makna di Jalan pada Penghujung Orde Baru. Yogyakarta: Insist dan Jerat Budaya p.7. 4 Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar p.198. Dijelaskan juga bahwa kebebasan telah menjadikan jalanan sebagai daya tarik yang hakiki dan sulit dibendung dengan cara melarang, membatasi, menghambat, mengusir dan menghukum karena jalanan merupakan simbol dari persoalan sosial yang jauh lebih kompleks. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

19

agaknya kegiatan tersebut tetap mendapat tempat di hati sebagian masyarakat, terutama anak muda.

Perkembangan seni jalanan, dengan bentuk dan media yang semakin variatif seperti sekarang, tentu saja tidak terlepas dari kebiasaan membuat grafiti yang telah ada di tengah masyarakat, termasuk pula upaya untuk mengurangi atau menekannya, serta kecepatan masuknya informasi tentang perkembangan street art diseluruh dunia yang mudah diakses melalui internet.

B. Grafiti dan Perkembangannya

Grafiti berasal dari bahasa Italia “graffito–grafiti” (bentuk plural/jamak) yang didefinisikan sebagai coretan atau gambar yang digoreskan pada dinding atau permukaan apa saja. Dalam dunia seni rupa, istilah ini diambil dari kata “graffito” yang merupakan nama teknik menggores pada keramik sebelum dibakar dan membuat desain pada suatu permukaan dengan benda tajam atau kapur (biasanya digunakan saat membuat mural atau fresco). Selain itu, graffito juga dianggap berkaitan dengan graphein (Yunani) yang berarti menulis.5

Di Indonesia, Menurut Soedarso, goresan gambar yang tertua ditemukan di dinding gua Pattae Kere, yang terletak di daerah Maros, Sulawesi Selatan (kebudayaan Toala,

Mesolitikum, c.4000 tahun yang lalu). Gambar pada gua itu sangat berbeda dari gambar hiasan dinding buatan jaman purba yang biasanya bertujuan untuk memperindah tempat

5 "Graffiti" is the plural of "graffito", which singular form has become relatively little-known in English. The term is applied in art history to art works made by scratching a design into a surface. A related term is "sgraffito" — a way of creating a design by scratching through one layer of pigment to reveal another beneath it. These English words come from Italian, most likely being descended from "graffiato" ("scratched"), as ancient graffitists — before the modern advent of spray-paint — scratched their work into walls using sharp objects, chalk or coal, as in murals or frescoes. All these terms derive in turn from the Greek "γράφειν" ("graphein"), meaning "to write" — most literally, "to inscribe" http://www.etymonline.com/index.php?search=paste&searchmode=none Online Etymology Dictionary (diakses 17 Oktober 2007). PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

20

tinggal manusia yang mendiaminya. Gambar tersebut bermakna lebih dalam, yaitu mengandung pesan pengharapan (wishful painting).6 Terlepas dari tujuan pembuatannya, jika diperhatikan dari cara atau teknik membuatnya (goresan) gambar pada gua itu dapat dikategorikan termasuk grafiti.

Gambar 1. Grafiti pada dinding gua. Lokasi: gua Jati Jajar, Gombong, Jawa Tengah (Foto: dok. penulis, 2005)

Goresan berbentuk tulisan yang berusia cukup tua dan masih dapat terbaca jelas dapat dilihat pada dinding gua Jati Jajar, yang merupakan objek wisata di Gombong, Jawa

Tengah. Menurut petugas jaga, tulisan tersebut merupakan coretan nama orang yang pernah berkunjung ke gua itu. Angka tahun tertua pada goresan itu tertulis tahun 1926, dan yang paling baru tahun 1981.

6 Soedarso Sp. 2006. Trilogi Seni, Penciptaan, Eksistensi dan Kegunaan Seni, Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta.p. 3. dijelaskan pengharapan yang dimaksud ialah agar jika berburu akan mendapat buruan sebagaimana tergambar. Maka menilik motivasi pembuatannya gambar itu bukan seni, karena dilahirkan atas maksud untuk memenuhi hasrat hidupnya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

21

Dari pengamatan yang dilakukan pada tulisan di gua Jati Jajar diperkirakan bahwa maksud orang pertama membuat goresan tersebut adalah agar keberadaannya pernah berkunjung di tempat itu diketahui. Namun tanpa disadari, tindakan itu ternyata menular dan ditiru oleh orang-orang yang berkunjung sesudahnya, dengan menuliskan nama mereka di atas nama yang terdahulu. Penularan ini tentu saja tanpa disadari oleh pembuat yang pertama karena terjadi begitu saja. Hampir serupa dengan kejadian di atas, pola penularan atau peniruan yang sama juga terjadi dalam perkembangan grafiti dimasa sekarang.

Gerakan membuat grafiti secara massal pernah terjadi di Indonesia. Gerakan tersebut terjadi bukan bertujuan untuk mengembangkan kesenian, melainkan untuk mengobarkan semangat juang rakyat mengusir penjajah Belanda di tahun 1945. Pada waktu itu, hampir semua sudut kota di Indonesia dipenuhi grafiti yang berisi pesan-pesan yang mampu mengobarkan semangat berjuang. Beberapa seniman yang tergabung dalam Persatuan Ahli

Gambar Indonesia (Persagi),7 bahu-membahu bersama para pejuang lain untuk mengangkat senjata sekaligus tetap berkarya.8

Di masa perjuangan kemerdekaan tahun 1945, penempelan poster-poster maupun gambar mural pada tembok luar ruang dilakukan dengan tujuan untuk menyampaikan propaganda perjuangan agar dapat dipahami dan diterima masyarakat luas. Selain seniman

Persagi, poster-poster juga dibuat oleh Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI) yang didirikan pada tahun 1945 oleh Djajengasmoro dan beberapa temannya. Kelompok ini membuat sejumlah poster dan spanduk dengan keyakinan bahwa ”Cat, pensil dan kertas

7 Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) didirikan tahun 1933. Pelopor: Soedjojono, Agus Djaya dan lain-lain. 8 FX Harsono (2002), “Kerakyatan dalam Seni Lukis Indonesia: Sejak Persagi hingga Kini” dalam: Politik dan Gender, Aspek-aspek Seni Visual Indonesia, Yayasan Seni Cemeti, Yogyakarta.p.60. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

22

akan bersama-sama dengan pelor-pelor dan kata-kata diplomasi mengusir sisa-sisa penjajahan”.9

Gambar 2. Grafiti pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia 1945. (Foto diambil dari: Anderson, Ben. 1988.Revolusi Pemuda, Jakarta :Sinar Harapan)

Di masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, pemerintahan Soekarno berkali-kali mengalami pergantian Undang-Undang Dasar, sistem politik, dan susunan kabinet.

Pergantian-pergantian ini terkadang memicu timbulnya aksi penolakan, atau sebaliknya dukungan, dari organisasi politik maupun militer. Dalam aksi tersebut, digunakanlah poster sebagai media yang berisi ajakan atau propaganda yang ditujukan kepada masyarakat.

Poster-poster tersebut ditempelkan pada tembok-tembok kota, terutama di tempat yang dianggap strategis. Hal ini dilakukan agar mampu menarik perhatian umum sehingga pesan yang dikandungnya bisa tersampaikan dengan lebih efektif. Hal yang sama juga dilakukan pada masa Orde Baru. Penempatan karya di ruang publik, berupa poster dan baliho berukuran raksasa, dilakukan untuk menyampaikan pesan propaganda politik atau pesan pembangunan yang ditetapkan pemerintah kepada masyarakat luas.

9 Perdjoeangan PTPI, Revolusi Pemoeda, 25 Desember 1945, dikutip dari Sanento Yuliman (1976) Seni

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

23

Di kota Yogyakarta, baliho-baliho raksasa tersebut sering diletakkan di depan kantor pos besar (dekat Alun-alun Kraton Yogyakarta) dan beberapa tempat strategis yang lain.

Baliho-baliho besar itu dibuat oleh beberapa sanggar seniman atas pesanan pemerintah.

Sanggar yang populer, sering mengerjakan baliho besar adalah Seniman Merdeka yang berlokasi di jl. Ontoseno, Wirobrajan. Beberapa pelukis yang tergabung adalah alumnus dan mahasiswa Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta yang terletak tidak begitu jauh dari lokasi studio. Tidak ada tujuan lain dari penempatan poster tersebut di ruang publik selain keinginan untuk menyampaikan pesan secara langsung dan sebagai pilihan media untuk menjangkau audience yang lebih luas.10 Dari perkembangan grafiti ini agaknya pemerintah menyadari bahwa gambar dapat digunakan sebagai alat propaganda yang cukup efisien untuk menyampaikan pesan kepada khalayak ramai, disisi lain hal ini juga menguntungkan pelukis karena mendapat pesanan pekerjaan.

Keberadaan grafiti dijalanan mulai marak di Indonesia memasuki tahun 1980-an, tepatnya seiring dengan merebaknya pengaruh tarian breakdance dan gank dikalangan anak muda. Hampir sama dengan yang terjadi di Indonesia, di Amerika pada tahun 1970- an grafiti dianggap sebagai bentuk seni baru (ekspresi visual) yang tumbuh pada kehidupan masyarakat urban dan dalam perkembangannya tidak terpisahkan dengan budaya hip-hop,

Master of Ceremony (MC), Disc Jockey (DJ) dan breakdance. Selain sebagai perwujudan ekspresi visual, grafiti juga dianggap sebagai simbol anti kemapanan oleh kelompok beraliran Punk yang juga tumbuh dimasa yang sama. Kepopuleran grafiti di Amerika semakin menanjak ketika tahun 1971, surat kabar New York Times menulis sebuah artikel tentang seseorang yang yang sering membuat grafiti di jalan-jalan kota New York dengan inisial “TAKI 183” (183rd adalah alamat rumah) bernama Demeritius (Demetraki). Artikel

Lukis Indonesia Baru, Dewan Kesenian Jakarta. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

24

ini berjudul TAKI183 Spawns Pen Pals. Meski Demeritius bukan seniman grafiti pertama di Amerika, tetapi dia dikenal sebagai seniman grafiti pertama yang dibicarakan oleh lingkungan di luar lingkar budaya hip-hop.11 Inisial “Taki” ini kemudian digunakan menjadi istilah tag dalam dunia grafiti yang berarti inisial atau singkatan nama. Sedangkan membuat inisial biasa disebut tagging.12

Di Jakarta, kelompok-kelompok breakdance dan gank mewabah hingga ke pelosok kampung. Kelompok-kelompok ini menunjukkan eksistensinya melalui festival breakdance dan grafiti yang memang banyak diadakan saat itu. Mewabahnya kelompok tersebut menyebabkan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta kerepotan dan memutuskan untuk menyediakan ruang khusus di parkir timur Senayan sebagai ajang breakdance setiap Sabtu malam. Perkembangan ini kemudian meluas juga ke kota-kota lainnya termasuk Yogyakarta.

Di Yogyakarta, pada masa Reformasi tahun 1998, penggunaan grafiti sebagai teknik penyampaian pesan politik kembali merebak. Aksi-aksi grafiti tersebut dipelopori oleh anggota dan simpatisan Partai Rakyat Demokratik (PRD).13 Grafiti-grafiti tersebut ditulis di sepanjang tembok jalan yang strategis gampang terlihat.

10 FX. Harsono,(2000) Seni Rupa dalam Ruang Publik, http://www.karbonjournal.org

11 http://www.ni9e.com/blog_images/taki_183.pdf First graffiti-related article from New York Times (scanned in PDF-format). Lebih lanjut lihat, Mengenal Aksi Seniman Urban, http://www.art-ysri.or.id/ senirupa.asp?xy=20, disebutkan juga menurut penulis Andrea Ruttan, Demetrius dianggap sebagai seniman pertama di bidang seni penulisan dinding yang mencerminkan faktor-faktor kedaerahan dan gaya individual tersebut. (diakses Selasa, 03 Oktober 2007, 16:16 WIB)

12 The verb tagging has even become a popular verb today in other types of occasions that are non-graffiti- related. TAKI 183 is officially credited as the inventor of tags in modern graffiti, lihat: http://www.ni9e.com/blog_images/taki_183.pdf First graffiti-related article from New York Times(diakses Selasa, 03 Oktober 2007, 16:16 WIB)

13 Wawancara dengan Kiswondo (38 tahun), seorang aktivis angkatan 1990-an. Wawancara dilakukan tanggal 21 Mei 2007. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

25

Pesan yang disampaikan pada tulisan tersebut lebih banyak berisi seruan perlawanan politik terhadap kekuasaan otoriter rezim Orde Baru, daftar tuntuan dan agenda politik, serta seruan perlawanan terhadap kapitalisme. Kini, aksi-aksi tersebut terus berlangsung dan tidak lagi hanya dilakukan oleh PRD, tetapi hampir sebagian besar organisasi, lembaga maupun individu dengan maksud dan tujuan masing-masing, baik secara terang-terangan

(dengan mencantumkan nama) atau anonim.

Gambar 3. Grafiti saat reformasi 1998, lokasi : Depan wisma MM UGM (Foto: dok. penulis, 1998)

Selain grafiti politik, juga bermunculan poster, baliho, dan stiker. Sebagai contoh pada saat menjelang Pemilu (Pemilihan Umum) tahun 1999, dibeberapa ruang kosong banyak ditemukan tempelan-tempelan poster maupun stiker yang terkadang berisikan tulisan yang memojokkan lembaga atau organisasi politik. Biasanya tempelan-tempelan seperti itu tidak tercantum siapa yang membuat.

Grafiti politik mempunyai muatan propaganda tentang hal yang diperjuangkan pembuatnya. Terlepas apakah efesien atau tidak, memperjuangkan tuntutan dengan cara PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

26

itu, propaganda dalam pandangan masyarakat mempunyai nilai negatif. Tertulis dalam banyak catatan sejarah bahwa propaganda telah dipakai oleh sejumlah negara dalam berperang melawan bermacam-macam ideologi demi kepentingannya masing-masing; fasisme di Italia (1922), Jerman (1933), Spanyol (1933), dan Jepang (1930-an). Pada situasi perang atau politik yang memanas, propaganda berfungsi seperti senjata, bahkan sering dijadikan strategi untuk menekan musuh atau saingan politik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.

Gambar 4. Poster, berbentuk Stiker yang beredar di jalanan beberapa kota besar Indonesia selama masa kampanye Pemilu 1999. (Foto dokumentasi penulis 1999)

Apa yang disajikan propaganda belum tentu sesuai kenyataan, atau malah sebuah kenyataan yang disampaikan bisa saja dianggap sebagai propaganda yang memojokkan pihak yang terpojok (black propaganda). Oleh media, propaganda sering digunakan untuk menyampaikan sesuatu yang berbeda dengan pandangan atau yang dirasakan masyarakat

(memutarbalikkan fakta). Cara ini biasanya ditunggangi oleh pihak ketiga yang mempunyai kepentingan tertentu. Kenyataan tersebut menyebabkan kata “propaganda” PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

27

cenderung lebih dikonotasikan negatif daripada positif (peyoratif).14 Propaganda membidik dengan cara atau metode untuk memengaruhi opini masyarakat, bukannya menyampaikan fakta yang sebenarnya tentang sesuatu. Misalnya, propaganda digunakan untuk mencapai kedudukan yang lebih tinggi (dalam kampanye), menawarkan sesuatu agar dibeli oleh masyarakat (dalam jual-beli), atau untuk mengenalkan produk baru pada calon konsumen melalui iklan (dalam pemasaran).

Grafiti, tag, poster, stiker yang bermuatan politik dan tidak, semua berkembang bersama di Yogyakarta hingga sekarang. Perkembangan ini mengikuti banyaknya individu pelaku seni jalanan, kelompok-kelompok aktivis dan komunitas seni jalanan yang semakin banyak tumbuh. Beragam karya seni jalanan saat ini semakin mudah ditemukan disetiap pojok sisa ruang di jalan. Hal ini mengindikasikan bahwa pelaku seni jalanan di

Yogyakarta berjumlah banyak dan dari bentuk visualnya dapat diketahui ada banyak

(beragam dan berbeda-beda) motivasinya.

Grafiti di Yogyakarta mulai marak pada tahun 1980-an. Menurut keterangan salah satu sumber bernama Marto (bukan nama sebenarnya), tulisan yang populer dan gampang ditemukan adalah QZR atau Qizruh, dan JXZ atau Joxzin (Joko Sinting). Menurutnya, tulisan-tulisan itu adalah inisial nama sebuah kelompok atau geng (QZR berbasis di

Yogyakarta bagian utara, JXZ berbasis di bagian selatan, terutama di daerah Kauman).

14 Nurudin. 2002.Komunikasi Propaganda, Penerbit Rosda, Bandung p.16. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

28

Gambar 5. Corat-coret jalanan. Lokasi: daerah Sagan, Yogyakarta (Foto: dokumentasi penulis, 12 Juni 2007)

Kelompok-kelompok ini saling bersaing dan suasana persaingan itu sangat jelas terasa lewat banyaknya grafiti kelompok yang satu dicoret atau ditumpuk oleh grafiti kelompok lain. Dijelaskan pula bahwa perkelahian antar anggota kelompok yang saling bersaing tersebut seringkali terjadi. Meski kini dua kelompok itu tidak lagi aktif, tapi grafiti bertuliskan inisial kelompok mereka entah mengapa masih tetap ada.

“Tidak jelas alasannya karena sekarang semua anggota kelompok sudah tua. Tidak jelas siapa yang punya kerjaan (mencorat-coret) itu. Mungkin saja anak muda sekarang sempat mendengar-dengar cerita tentang geng-geng di masa lalu yang dianggapnya legenda, dan kemudian melakukan corat-coret itu untuk sekedar ikut-ikutan.”15

Dulu, bentuk grafiti hanya sekedar tulisan atau singkatan kata. Namun perubahan jaman ternyata turut pula memicu perubahan bentuk grafiti. Kini, para pembuat grafiti semakin kreatif menciptakan berbagai bentuk baru. Mereka tidak ragu memadu-padankan

15 Transkip wawancara Marto Klewer (bukan nama sebenarnya). Wawancara dilakukan di bulan Januari 2007 di rumahnya, kawasan Sodagaran-Pakuncen Yogyakarta. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

29

beberapa teknik untuk mencapai bentuk yang diinginkan, seperti teknik stensil, sablon

(screen printing), atau cetak cukil kayu (woodcut). Teknik tersebut adalah teknik umum yang sering dipakai dalam pembuatan seni grafis.

Gambar 6. Seni jalanan menggunakan teknik stensil. Lokasi: dekat jembatan Kewek, Yogyakarta (Foto: dokumentasi penulis, 2005)

Jika menyangkut pengaplikasian, setiap teknik tentu saja berbeda caranya. Untuk teknik sablon, misalnya, gambar dibuat di atas kertas stiker atau kertas yang diberi lem, sebelum kemudian ditempel di permukaan bidang yang diinginkan. Sedangkan yang dimaksud dengan teknik stensil ialah teknik membuat rancang gambar atau tulisan pada kertas karton, yang kemudian bagian tengah rancangan tersebut dibuang (dilubangi).

Kertas karton berfungsi serupa cetakan gambar atau tulisan. Dalam pengaplikasiannya dibutuhkan cat semprot (aerosol), yang nantinya akan disemprotkan ke bagian karton yang berlubang untuk menghasilkan bentuk yang diinginkan sesuai cetak rancangan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

30

Gambar 7. Poster yang dibuat dengan teknik woodcut print Lokasi: pintu gerbang Kejagung Jakarta. (Foto dokumentasi penulis 2002)

Cetak cukil kayu (woodcut print) dilakukan untuk mencetak di pada kertas. Bahan yang dicukil biasanya berupa papan (hardboard) atau triplek. Sebelum melakukan pencukilan, rancangan lebih dulu dibuat di atas papan atau triplek dengan bentuk gambar terbalik (negatif). Adapun bagian yang dicukil nantinya adalah bagian yang tidak tercetak.

Setelah itu, dengan rool grafis, papan atau triplek tadi diberi tinta cetak. Langkah terakhir adalah mencetak di pada kertas dengan cara meletakkan kertas di atas papan lalu digosok dengan menggunakan sendok, atau diinjak-injak hingga rata. Penggunaan teknik sablon, stensil, dan cukil kayu ini membuat penggandaan karya menjadi mudah dilakukan, dan jumlahnya pun tidak terbatas.16

16 Ringkasan Bahan Workshop LBK TP tahun 2002. Wood cut print merupakan teknik yang biasa dipakai dalam seni garafis. Teknik ini berkembang di Jepang. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

31

Dalam dunia seni jalanan, penggunaan stiker disebut slap tagging.17 Cara penyampaian pesan atau tandanya dilakukan dengan mencetak desain di atas stiker, yang kemudian ditempelkan di berbagai tempat. Pola kerja peletakan atau penempelan stiker hampir sama dengan grafiti; di mana saja yang diinginkan dan tanpa ijin.

Gambar 8. Stiker grafiti pada plang kantor. Lokasi: Kota Baru, Yogyakarta (Foto: dokumentasi penulis, Oktober, 2006)

Stiker, dalam Macquarie Dictionary, berarti, “An adhesive label, usu. With an advertisement, publicity, slogan, or other massage printed on it.18 Yaitu, label atau etiket berperekat dengan iklan, publikasi, slogan atau pesan lain yang dicetak di atasnya. Pada awalnya, stiker biasa disebut sticky back atau melekat di belakang. Stiker berasal dari bahasa Inggris “stick” yang berarti memasang atau membubuhkan sesuatu yang disebabkan oleh adanya pelekatan.

17 Graffiti Terminologi, http://www.aftenposten.no/nyheter/iriks/article1260136.ece Norwegian newspaper article about acid tagging (foreign language). 18 National Library of Australia (1991), The Macquarie Dictionary, New Budget edition, Griffin Press Limited, Netley South Australia. p. 396 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

32

Wujudnya sangat sederhana; hanya terdiri dari dua lembar kertas yang saling menempel. Salah satu sisi kertas diberi bahan perekat, sementara sisi lainnya adalah kertas yang telah dilapisi bahan penunda perekat. Kedua kertas itu saling berhadapan satu sama lain dan bersifat saling bertentangan. Stiker ditemukan oleh R. Stanton Avery pada tahun

1935 di Los Angeles, Amerika Serikat. Penemuan itu terjadi karena didorong oleh keinginan Avery untuk membuat suatu bahan yang dapat memudahkannya melakukan proses pelabelan barang. 19

Di Indonesia, kertas stiker yang diberi gambar atau tulisan dikenal dengan nama

“gambar tempel”. Gambar tempel difungsikan sebagai hiasan yang diproduksi dengan berbagai teknik, salah satunya adalah dengan teknik sablon (screen printing) yang banyak digunakan pada industri kecil. Gambar tempel mudah ditemukan di warung-warung atau toko buku dalam bentuk, desain dan warna yang menarik, lucu dan unik. Pembeli gambar tempel biasanya menggunakannya sebagai hiasan tempelan pada tempat-tempat tertentu.

Pada akhir tahun 1990-an, gambar tempel bermotif plesetan sangat populer di

Yogyakarta. Awalnya, plesetan adalah bentuk komunikasi verbal yang mengandung unsur humor atau sejenis candaan. Namun selanjutnya, pengertian tersebut semakin berkembang ke bentuk lain, seperti tulisan, bahkan hingga ke media dan visual yang lebih beragam

(misalnya, media stiker). Stiker plesetan sering dijumpai tertempel pada body kendaraan

(jendela atau pintu). Sepintas, stiker ini akan terbaca sebagai merek dari produk industri tertentu yang sudah terkenal atau populer di masyarakat. Stiker plesetan, atau sering juga disebut stiker parodi, menandai adanya persimpangan antara kreasi dan rekreasi

(penciptaan ulang) serta invensi (penemuan baru) dan kritik.

19 George A. Stevenson (1968), Graphic Arts Encyclopedia, McGraw-Hill. Inc, New York. p, 29 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

33

Gambar 9. Stiker Plesetan (Foto: Dok. Hestu Ardiyanto)

“BMW”, adalah merek/brand kendaraan bermotor, yang berlokasi di Munich,

Jerman. Kendaraan dengan brand “BMW” dikenal sebagai jenis kendaraan yang berkualitas tinggi, sehingga image yang terbangun adalah gengsi, kualitas terbaik dan eksklusif. Hal ini adalah gambaran realitas produksi, bagi siapa saja yang mampu mengkonsumsi produk ini status sosialnya akan dianggap lebih dari yang lain. Sedangkan

BMW (Bikin Mabuk Wanita) memberikan suatu persoalan yang dianggap seksis. Stiker

BMW ini bisa saja dianggap memuakkan, lucu atau biasa-biasa saja. Kondisi realitas dan anggapan terhadap kedua makna memunculkan parodi.

Parodi juga akan dapat berarti sebagai komposisi yang mempermainkan atau meniru karya yang lain, biasanya yang bersifat serius dengan maksud melucu atau mencemoohkan.. Berger, menggolongkan parodi sebagai teknik humor dengan membandingkan bentuk humor yang lain, seperti lawak, atau teka-teki yang menggunakan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

34

teknik-teknik melucu, dengan mempermainkan kata, melebih-lebihkan dan kelucuan.20

Dari pendapat ini dapat dikatakan pula parodi adalah suatu upaya dalam bentuk dialogisme tekstual yaitu hubungan antara dua teks atau lebih yang bertemu dan berinteraksi satu sama lain dalam bentuk saling kritik humor serta selalu memperalat pihak lain.

Penggunaan teknis-teknis baru ini (sticker, sablon, wood cut, stensil) turut memacu penciptaan seni jalanan dalam beragam bentuk visual dan mempercepat proses pembuatannya. Hal itu disebabkan pengerjaannya secara teknis, dapat dipersiapkan terlebih dulu di rumah atau studio, yang menyebabkan pengerjaan seni jalanan menjadi lebih cepat (tinggal tempel atau sudah punya mal cetakan yang siap disemprot), dengan begitu resiko tertangkap sewaktu mengerjakan menjadi kecil.

C. Seni Jalanan dan Komunitasnya

Di Yogyakarta, membuat grafiti dengan nama sekolah tidak sebegitu populer di Jakarta.

Grafiti nama sekolah di Jakarta sangat berkaitan erat dengan maraknya perkelahian pelajar antar sekolah. Coretan berbentuk tulisan seperti Boedoet (STM 1, Jl. Boedi Utomo,

Lapangan Banteng-Jakarta Pusat), Basecamp 24 (SMA 24, Jl. Lapangan Tembak, Senayan

Jakarta Pusat), 7GBR (SMA 7 Gambir) dan banyak lagi lainnya adalah ragam grafiti yang marak dan mudah ditemukan di hampir setiap tembok jalanan Jakarta, di akhir tahun 1980- an. Mencoret atau menumpuk grafiti sekolah lain dengan grafiti sekolah sendiri biasanya langsung ditanggapi dengan penyerbuan atau pencegatan terhadap murid sekolah yang bersangkutan di jalanan21. Adapun di Yogyakarta, perkelahian pelajar antar sekolah jarang terjadi. Corat-coret menggunakan teknik cat semprot (aerosol) dilakukan oleh siswa

20 Arthur Asa Berger. 1976. “Laughing Mather: Anatomy of Joke”, dalam Jurnal Comunication, p. 114 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

35

sekolah di Yogyakarta, khususnya siswa sekolah menengah atas, saat merayakan kelulusan di setiap akhir tahun ajaran.

Kegiatan ini seolah menjadi “keharusan” bagi para siswa sekolah. Dengan penuh gembira, mereka membuat corat-coret pada baju seragam sekolah, yang biasanya diikuti dengan mencorat-coret tembok atau dinding di sepanjang jalan yang mereka lewati saat melakukan arak-arakan keliling kota.

Gambar 10. Spanduk larangan mencorat-coret untuk pelajar. Oleh Angkatan Muda Muhammadiyah. (Foto: dokumentasi penulis, Juni 2007)

Meski pihak sekolah telah melakukan berbagai macam cara untuk mengantisipasinya, namun kegiatan corat-coret itu masih terus berlangsung hingga sekarang. Beberapa organisasi masyarakat juga memberi arahan untuk dapat menekan kegiatan yang dianggap memboroskan serta membuat kotor kota.

21 Pengalaman penulis lahir dan bersekolah hingga lulus SMA di Jakarta. Selama SMA, perkelahian antar sekolah serupa kegiatan ekstra kurikuler, yang terjadi minimal seminggu sekali. Sedangkan grafiti nama sekolah terkadang juga dibuat hingga ke kota lain (biasanya saat liburan). PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

36

Memasuki tahun 2000, grafiti di Yogyakarta berkembang ke arah yang lebih beragam, baik dalam hal variasi kata, bentuk, dan permainan warna. Jika sebelumnya hanya berupa singkatan nama kelompok atau inisial, kini grafiti lebih bernuansa individu.

Organisasi, kelompok atau klub grafiti pun mulai banyak bermunculan di Yogyakarta.

Misalnya, Jogja Hip-hop Foundation (Yayasan Bernyanyi Cepat Jogja) yang terbentuk pada tahun 2001.

Gambar 11. The Kid, Yogyakarta. Teknis perwujudannya cukup rumit dilihat dari shadow dan pencampuran warnanya. (Foto: dokumentasi penulis, 2006)

Dari keterangan salah satu anggota Jogja Hip-hop Foundation, terdapat 25 grup dalam kelompok ini. Namun begitu, Jogja Hip-hop Foundation bukanlah sebuah organisasi formal yang memiliki aturan atau ketentuan yang mengikat. Mereka bahkan sama sekali tidak memiliki susunan organisasi. Jogja Hip-hop Foundation hanyalah sekedar nama perkumpulan informal yang dibentuk untuk mewakili kegiatan para PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

37

anggotanya dalam berbagai bidang seperti breakdance, Disc Jockey (DJ), Master of

Ceremony (MC), dan grafiti. 22

Grafiti masa kini sangat berbeda perwujudannya dengan grafiti dimasa lalu. Jika diperhatikan dari bentuk dan corak pencampuran warnanya, terkesan para pembuatnya selain menginginkan teksnya terbaca juga ingin menunjukkan kecanggihan teknis yang dikuasai. Hal ini terlihat dari penggunaan teknis shadow (bayangan) dan duotone yang memberi kesan volume atau kedalaman pada warna latar belakangnya. Grafiti yang semula berupa tulisan lambat-laun berubah menjadi gambar atau penggabungan gambar dan tulisan. Karya yang dihasilkan menjadi rapih dan bersih karena perencanaan yang matang.

Gambar 12. Dream Lokasi:Pertigaan Krapyak-Jl.Bantul, Yogyakarta (Foto: dokumentasi penulis, 2007)

Komunitas grafiti lainnya adalah Yogya Art Crime (YORC). YORC terbentuk setelah beberapa perkumpulan kecil para pembuat grafiti, yang ternyata memiliki hubungan

22 Wawancara Mohammad Marzuki (30 tahun) oleh Dwi Rahmanto (IVAA). Wawancara dilakukan tanggal

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

38

pertemanan atau sering mengerjakan grafiti bersama, memutuskan untuk membuat satu komunitas yang lebih besar untuk mewadahi sejumlah perkumpulan kecil antara lain:

AKA, ARTZ, ANS, BLANK, BURN, BAD, CHALK, DEKA, FUCK, HELTZ, HK, DIST,

IENT, LUPS, HEAT, MAPS, NASTI, PAWS, ROT, REST, OAK, BEST, SIC,

LOVEHATELOVE, OCS, REIDS, STALL, RUNE, NEST, ENPI, AGE, TAT, Sewon

Bomber, School Terror, Gelagat Buruk, Psycho, MYAC, Hallo, YSAC, Devil Crew,

Horny dan YKILC.

Kebanyakan dari mereka adalah alumni atau pernah mengenyam pendidikan seni rupa di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta, Sekolah Menengah Industri

Kerajinan Yogyakarta (SMIK), atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 5 Yogyakarta.

Ada pula yang masih terdaftar sebagai mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Serupa dengan Jogja Hip-hop Foundation, komunitas YORC tidak memiliki struktur organisasi yang baku atau sejenis garis koordinasi, melainkan hanya sekedar sebuah komunitas yang terbentuk karena para anggotanya memiliki kesamaan minat pada aktivitas tertentu.

YORC memiliki jadwal temu bersama setiap hari Jumat dan Minggu. Pertemuan ini dilakukan untuk merencanakan proyek grafiti baru bersama. Biasanya, sketsa dibuat pada pertemuan hari Jumat, adapun hari Minggu adalah waktunya menggarap sketsa. Namun tidak jarang sketsa yang dibuat bersama pada hari Jumat langsung digarap hari itu juga.

Menyangkut pemilihan tempat, YORC memilihnya berdasarkan referensi personal yang dimiliki masing-masing anggota. Referensi tempat sering juga disebut simpanan tempat.

Dalam komunitas YORC, ada yang dinamakan black book, yaitu buku seukuran folio yang berisi kumpulan sketsa grafiti. Umumnya, setiap pembuat grafiti mempunyai dua

11 Juni 2006, di Yogyakarta. Marzuki adalah seniman seni jalanan yang banyak berkarya di Jakarta dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

39

buku; satu berisi sketsa sendiri yang disimpan secara personal, satunya lagi adalah milik bersama yang disimpan secara bergilir antar anggota. Setiap kali black book milik bersama digilir, maka isinya akan bertambah satu sketsa grafiti yang dibuat oleh anggota yang menyimpan black book itu.

Gambar 13. Grafiti kolaborasi Lovehatelove dan Plus. Lokasi: Utara perempatan Tugu, Yogyakarta (Foto: dokumentasi penulis, 2007)

Dalam pengerjaannya tidak selalu dikerjakan sendiri, tetapi biasanya dibantu oleh beberapa orang yang biasa disebut crew, selain itu tidak jarang terjadi kolaborasi (berkarya bersama) dengan kelompok atau pelaku (individu) lain. Pada karya kolaborasi sering terlihat mereka saling menonjolkan kemampuan dan kreativitas yang dimiliki, bahkan terkesan seakan saling berlawanan/ bersaing. Secara teknis, cara yang digunakan dalam komunitas ini untuk membuat grafiti sama dengan yang digunakan pendahulunya, yaitu blocking dan spray. Adapun bahan persediaan yang digunakan untuk membuat grafiti yang

Yogyakarta (Cebolang, DJ) dan pernah mengikuti festival Street Art di Paris, Perancis. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

40

disebut logistik (misalnya, cat), disediakan bersama-sama secara patungan tanpa ada paksaan atau ketentuan.

Membuat grafiti di ruang publik ternyata mampu memberi kebanggaan tersendiri dan menciptakan kesan tertentu pada kelompok atau individu yang melakukannya, terutama di lokasi tertentu yang dianggap strategis. Namun hal itu dapat berubah menjadi kecewa ketika mendapati karya mereka ditutupi karya kelompok atau individu lain. Di sinilah persaingan kembali terjadi antara para pelaku seni jalanan dalam memperebutkan ruang publik, yang biasanya akan berakhir atau diselesaikan dengan menggunakan cara mereka sendiri.

Ada ritus menarik dalam komunitas YORC, yaitu tableg dan battle. Tableg adalah sebutan untuk grafiti yang menindih grafiti lain yang lebih dulu dibuat. Biasanya, hal ini terjadi karena si pembuat grafiti yang belakangan merasa tidak suka pada pemilik grafiti sebelumnya. Sebagai akibat dari tindakan itu, pemilik grafiti yang karyanya di-tableg

(ditutup) meminta pertanggungjawaban dari si penableg. Ritus yang menyusul dari tindakan tableg, sebagai bentuk pertanggungjawaban, disebut battle.

“Kalau antar geng grafiti biasanya bukan persaingan namanya. Persaingan eksistensi pasti, karena prinsip yang sebenarnya adalah mereka battle. Namun battle bukan untuk berantem, tapi cara perang mereka memang seperti itu. Grafiti ditutup dengan grafiti. Breakdance dibalas breakdance. Atau perang kata-kata untuk battle net atau battle MC. Memang begitulah prinsipnya. Maksudnya, gaya battle mereka memang seperti itu dan di situlah letak persaingannya. Spirit-nya memang seperti itu. Membesarkan kelompok mereka dengan cara begitu”.23

Battle adalah istilah yang disepakati sehubungan dengan cara menyelesaikan konflik yang muncul saat tableg terjadi. Battle biasanya diadakan melalui sebuah kompetisi. Dua pembuat grafiti yang terlibat konflik saling bersaing untuk menciptakan grafiti yang dapat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

41

menarik perhatian audiens, yaitu orang-orang yang diundang oleh masing-masing pihak untuk memberi dukungan. Pemenangnya adalah siapa yang lebih disukai dan mendapat sambutan meriah dari audiens. Namun biasanya sebelum battle diadakan, dua orang yang berkonflik itu akan menunjuk seorang penengah; sebab tak jarang keberadaan audiens tidak bisa menyelesaikan konflik. Sebagai hadiah bagi sang pemenang, pihak yang kalah akan memberikan sesuatu yang sebelumnya telah disepakati bersama sebelum battle berlangsung. Sesuatu itu bisa berupa logistik atau uang.

Meski battle jelas merugikan pihak yang kalah, namun pada kenyataannya hal tersebut seringkali terjadi. Dengan begitu, muncul dugaan bahwa tableg dilakukan dengan sengaja; terlepas dari perasaan suka atau tak suka si penableg terhadap pemilik grafiti yang di-tableg. Boleh jadi, kesengajaan itu didorong rasa ingin bersaing, baik dalam hal kekhasan atau daya tarik desain, pemilihan lokasi, atau persaingan artistik yang timbul karena penguasaan teknik pembuatan.

Gambar 14. Battle, karya yang sudah ada ditumpuk dengan karya baru namun dipertanggungjawabkan. Lokasi: perempatan Taman Sari,Yogyakarta (Foto: dokumentasi penulis, 2007)

23 ibid PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

42

Ada sejenis pengakuan “hebat” yang ditujukan pada si pembuat grafiti yang berhasil memenuhi beberapa syarat tertentu saat membuat karya, yaitu tingkat kesulitan dari sebuah tempat yang dipilih sebagai tempat berkarya, karakter serta ukuran grafiti. Di Yogyakarta, ada beberapa tempat yang sering menjadi rebutan para pembuat grafiti karena dianggap favorit. Di tempat itulah tableg sering terjadi. Misalnya, daerah di sebelah utara makam pahlawan Semaki.24

Gambar 15. Pengerjaan grafiti LHL di kolong jembatan Janti, malam hari (Foto: dokumentasi penulis, 2007)

Persaingan menyebabkan kelompok-kelompok anak muda itu terpicu untuk berkarya semakin banyak, termasuk pula semakin giat mencari lokasi baru. Persaingan diartikan sebagai hal yang positif karena mereka sadar dan paham bahwa mereka berada di jalanan yang merupakan milik umum, dan bahwa apa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang

24 Wawancara Nano Warsono (32 tahun) oleh Dwi Rahmanto (YSC). Wawancara dilakukan tanggal 14 Juni 2006, di Yogyakarta. Nano Warsono adalah seniman seni jalanan yang bermula dari kesenangannya membuat mural. Sekarang ia bekerja sebagai tenaga pengajar di FSR ISI Yogyakarta. Hal senada juga dikatakan oleh Tatang (30 tahun) pada wawancara dengan pertanyaan yang sama. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

43

ilegal. Hal itu menyebabkan perkelahian antar geng atau kelompok, seperti yang dulu terjadi hanya gara-gara masalah grafiti yang ditumpuk dengan grafiti lain, tidak lagi terjadi.

Jika grafiti biasanya dibuat pada malam hari, maka yang terjadi belakangan ini adalah sebaliknya; grafiti dibuat sebelum hari menjelang gelap. Hal tersebut terjadi karena sikap publik yang semakin terbuka dan permisif terhadap grafiti. Pendek kata, ilegalitas yang melekat pada grafiti mulai berubah. Situasi ini, menurut beberapa pembuat grafiti, diibaratkan sebagai keuntungan bagi mereka, karena membuat grafiti di saat hari masih terang jauh lebih mudah disebabkan mereka tidak kesulitan mengenali warna.

Adapun pihak berwenang, seperti polisi atau satpam, tidak sepermisif masyarakat dalam menangani kelompok ini. Menyadari hal tersebut, beberapa kelompok grafiti malah menganggapnya sebagai suatu tantangan yang memacu semangat mereka. Meski begitu, untuk membuat grafiti pada lokasi-lokasi tertentu yang mendapat penjagaan khusus, misalnya pertokoan atau perkantoran, tetap dibutuhkan tingkat kesabaran yang tinggi, mulai dari melakukan survei lokasi, mengamati dan mempelajari kebiasaan petugas keamanan, hingga menentukan waktu pengerjaan. Jika langkah-langkah tersebut diabaikan, kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, seperti tertangkap, menjadi semakin besar.

Main Corat-coret Gerbong Kereta Api: Lima ‘Pelukis’ Ditangkap Polisi adalah judul headline berita yang dimuat harian Kedaulatan Rakyat, edisi Minggu, 31 Agustus 2005.

Peristiwa penangkapan itu, seperti yang dituturkan oleh salah satu saksi mata, sebenarnya terjadi tiga hari sebelumnya (27 Agustus 2005) sekitar jam 5 pagi. Aksi kelompok grafiti ini sebenarnya bukan pertama kali, tetapi sudah yang kelima.

“Dengan tidak menentukan tema, kita langsung membuat nickname sendiri- sendiri. Setelah itu ngebom nickname, bikin sket dulu. Sekitar jam 2-an selesai 90% dan tinggal nge-line. Akhirnya ketahuan satpam, tapi kita bisa lolos PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

44

semua. Tapi karena merasa tanggung kerjaan belum selesai, kita coba untuk ke sana lagi lewat pintu Barat. Ternyata, satpam sudah menunggu. Waktu subuh akhirnya kita tertangkap, setelah dua kali tembakan peringatan. Kita semua takut. Sebelum polisi datang, kepala Stasiun Lempuyangan dan seseorang yang mengaku pemilik gerbong datang dan terus meneror biaya pengecatan itu; habis dua ratus lima puluh juta satu gerbong. Akhirnya ya, diselesaikan dengan kekeluargaan”25

Dijelaskan pula oleh salah seorang pelaku bernama Tatang, yang juga anggota kelompok tersebut, bahwa sebenarnya rencana membuat grafiti itu sudah mereka persiapkan beberapa bulan sebelumnya. Persiapan tersebut antara lain mengumpulkan dana untuk membeli logistik hingga melakukan survei lokasi dua kali sehari: siang dan sore.

Peristiwa penangkapan yang dialami Tatang dan kelompoknya ternyata tidak membuat mereka kapok atau takut membuat grafiti lagi, malah sebaliknya semakin bersemangat dan berhati-hati. Menyadari kegiatan mereka tergolong ilegal, proses pembuatan grafiti pun hanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu yang dianggap aman.

Misalnya, antara pukul 22.00-24.00 malam.

Pengalaman yang sama juga dialami pembuat grafiti LoveHateLove. Tidak hanya sering berurusan dengan petugas keamanan, terkadang ia juga terpaksa berurusan dengan preman setempat.

“Resiko dari perbuatan ilegal memang tidak menyenangkan. Terkadang saat bikin grafiti, kami dikompasi preman yang nongkrong dekat tempat yang dipilih. Bekerja malam juga tepat dengan saat preman-preman itu mulai mabuk minuman. Persamaan waktu ini mirip botol ketemu tutup. Saat yang mirip tepat. Selain preman, kami pernah juga dimintai uang oleh polisi. Tapi bukan polisi berseragam, melainkan yang berpakaian preman. Polisi yang berseragam malah seperti membiarkan”26.

25 Wawancara Tatang (28 tahun), mahasiswa Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, oleh Dwi Rahmanto (YSC). Tatang menyukai dan membuat grafiti sejak masih bersekolah di SMA. Wawancara dilakukan tanggal 14 Juni 2006. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

45

Tidak jarang beberapa kelompok grafiti membuat kesepakatan kerja sama dengan kelompok grafiti dari kota lain untuk berkarya bersama. Adapun untuk meningkatkan kemampuan mendesain atau sekedar mencari referensi desain, mereka selalu memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Lewat internet pula mereka saling berinteraksi, bertukar informasi, berbagi ide dan pendapat, dengan menggunakan forum khusus yang sudah tersedia di beberapa situs komunitas seni grafiti.

D. Seni jalanan dan (Unjuk rasa) Komunitas Aktivis

Penggunaan karya seni pada unjuk rasa di jalanan, khususnya di Yogyakarta mulai marak dilakukan sejak tahun 1989. Karya seni tersebut biasanya berupa happening art, poster, seni instalasi, baliho (gambar besar), patung boneka, dan boneka wayang. Karya seni tersebut biasanya dibawa dalam arak-arakan, sebelum kemudian dipajang atau dibakar di lokasi aksi.

Memasuki tahun 1996 hingga 2000, penggunaan grafiti sebagai pelengkap aksi semakin sering dilakukan. Hampir di setiap aksi, para aktivis membuat coretan di atas aspal jalan yang berisi pesan daftar tuntutan. Perubahan yang paling menyolok adalah penggunaan strategi baru, yaitu karya seni yang difungsikan sebagai alat propaganda dengan menggunakan berbagai macam ekspresi seni.

Aksi unjuk rasa pun berubah serupa karnaval seni yang mampu menarik perhatian publik. Tentu saja, hal itulah yang diinginkan dan menjadi tujuan utama dari penggunaan strategi tersebut, yaitu merebut simpati masyarakat dan menanamkan kesadaran di hati mereka terhadap masalah dan kondisi sosial tertentu.

26 XX, seorang mahasiswa Seni Rupa Universitas Sarjanawiyata Yogyakarta berusia 20 tahun (atas permintaannya tidak dapat disebut nama aslinya). Wawancara dilakukan oleh Vembrianto, tanggal 3 Juli 2007, Yogyakarta. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

46

Gambar 16. Karya seni pada Aksi Menolak Kekerasan 1989. Lokasi: Bundaran UGM, Yogyakarta (Foto: Dokumentasi SMID PRD)

Beragam bentuk karya rupa yang dibawa pada unjuk rasa pun semakin variatif, bahkan tak jarang malah dijadikan sebagai senjata saat terjadi bentrok dengan polisi atau militer. Kini, unjuk rasa tidak lagi hanya monopoli para aktivis, tapi seniman dan mahasiswa seni progresif ikut pula bergabung dan bersatu merapatkan barisan demi meraih perubahan ke arah yang lebih baik.

Pada bulan Desember 1999, puluhan seniman progresif Yogyakarta, yang dipimpin

Yustoni Vollunterro, mendeklarasikan pendirian Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi

(LBK TP). Yaitu, suatu lembaga yang sebagian besar agendanya adalah memberi pendidikan politik kepada seluruh lapisan masyarakat lewat media seni. Deklarasi pendirian LBK TP dilakukan di halaman kantor LBH Yogyakarta. Setelah memasang baliho besar yang berisi gambar tuntutan masyarakat, mereka lalu membacakan pidato pernyataan sikap serta pernyataan Lima Iblis Budaya27 yang harus dimusuhi.

27 Taring Padi menyatakan statuta dan dengan tegas menyatakan perang terhadap "Lima Iblis Kebudayaan" yaitu: 1) L e m b a g a s e n i d a n b u d a y a y a n g menitikberatkan pada seni untuk seni; 2) Penguasa dengan lembaganya yang menjual eksotisme kebudayaan Indonesia demi kepentingan ekonomi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

47

Lima Iblis Budaya melingkupi dua pokok persoalan, yaitu menyikapi keadaan dunia seni Indonesia dan perlunya perubahan dalam sistem berpolitik di Indonesia. Lembaga ini, di sepanjang tahun 1999-2004, terkenal banyak menyelenggarakan pelatihan propaganda politik lewat media seni, juga membuat ribuan poster woodcut serta stiker propaganda politik yang ditempelkan di jalan-jalan Yogyakarta, Bandung, Solo dan Jakarta.

Gambar 17. Tolak RUU PKB/KKN. Unjuk rasa tahun 2000. Lokasi: Jln Malioboro, Yogyakarta (Foto: dokumentasi penulis)

Pada bulan Juni 2001, LBK TP memfasilitasi pertemuan Punk se-Jawa. Acara ini dihadiri oleh ratusan punker (sebutan untuk seseorang yang mengklaim diri sebagai penganut aliran punk) yang berasal dari berbagai kota, antara lain Jakarta, Bandung,

Semarang, Yogyakarta, Cilacap, , bahkan beberapa peserta datang dari Thailand,

dan kekuasaan; 3) Lembaga seni sebagai legitimator atas pekerja seni dan penentu a r a h perkembangan seni; 4) Sistem yang merusak moral pekerja seni, tanpa memikirkan kepentingan rakyat, bahkan mengeksploitasi penderitaan rakyat demi kepentingan individual; 5) Kurangnya pemahaman terhadap seni dalam masyarakat sebagai akibat politik Orde Baru yang menempatkan ekonomi sebagai panglima dan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) sebagai taktiknya. Lima Iblis Budaya ini disusun oleh Syamsul Barry berdasarkan hasil sejumlah rapat pra pembentukan LBK TP. Dokumen tulisan tangan ada pada penulis yang waktu itu bekerja sebagai ketua Dewan Anggota LBK TP bersama WY

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

48

Singapura dan Australia. Di bawah koordinator Heri Kangkung,28 acara ini diisi dengan berbagai kegiatan menarik seperti pentas musik, parade tato, dan pembuatan grafiti. Di sela-sela jadwal yang padat, pihak panitia tidak lupa menyisipkan acara diskusi tentang kondisi sosial masyarakat Indonesia, ideologi anarkis, serta pembuatan jaringan kerja.

Selepas acara, jaringan kerja yang sudah terbentuk langsung difungsikan dengan tujuan untuk memberikan kemudahan memperoleh informasi perkembangan dunia underground disetiap kota. Jaringan kerja ini juga menerbitkan news letter bulanan (Ajaib,

Jafnus), yang dijual dengan harga Rp. 1.500, sebagai ongkos ganti cetak. Untuk pendistribusiannya, news letter tersebut dititipkan di sejumlah distro (toko atribut underground) yang ada di beberapa kota.

Gambar 18. Grafiti, poster dan baliho pada aksi yang dilakukan LBK TP dan AFRA tahun 2000. Lokasi: depan kantor Kejagung Jakarta (Foto: dokumentasi penulis)

Haryanto dan Heidi Arbuckle. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

49

Salah satu kegiatan yang sering dilakukan para punker adalah membuat grafiti yang berisi slogan kesejahteraan sosial, lingkungan hidup, propaganda anarkis, atau tuntutan pada pemerintah. Seperti yang dilakukan oleh salah satu kelompok punk, AFRA, misalnya, di sepanjang tahun 2000-2003 mereka telah membuat banyak kegiatan aksi sebagai bentuk dukungan terhadap buruh dan mahasiswa. Kelompok ini dikenal sebagai kelompok yang anti kompromi, dan dalam berkegiatan biasanya sering terlibat bentrok dengan pihak keamanan. Lewat grafiti, mereka mengungkapkan berbagai hal yang menyangkut ketidakadilan dengan lugas dan tegas.29

Terlibatnya seni dalam kegiatan unjuk rasa semakin jelas terlihat begitu memasuki masa krisis ekonomi. Krisis tersebut menyebabkan kegiatan pameran seni di galeri atau museum menjadi terhambat, bahkan berkurang intensitasnya. Sementara itu, seni semakin merasuk dan menjadi bagian dari sejumlah kegiatan unjuk rasa yang dipelopori LBK TP.

Adapun seni dalam bentuk gerakan mural semakin gencar pula dilakukan oleh Apotik

Komik. Kemudian pada suatu waktu, dua jenis kegiatan organisasi besar itu saling bergesekan, yang akhirnya memunculkan wacana seni publik dalam dunia seni rupa kontemporer Indonesia pada tahun 2000.

E. Seni Jalanan dan Tumbuhnya Alternatif Pasar

Kebiasaan membuat grafiti berbentuk inisial (tag) berupa huruf mulai bergeser dan mengalami perubahan. Tag berganti dengan gambar karakter (street logos) disebabkan para pelaku seni jalanan merasa jenuh membuat tag. Pada tahun 2006, street logos menunjukkan perkembangan dalam hal pengaplikasan. Kini, street logos tidak saja

28 Heri Kangkung, seorang punker asal Bandung, yang bergabung dengan LBK TP sejak awal berdirinya lembaga itu. Dari catatan kegiatan LBK TP antara 2001-2002, tercatat LBK TP memfasilitasi kegiatan bersama punker dari berbagai daerah sebanyak 10 kali. Catatan kegiatan ada pada penulis. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

50

ditemukan di tembok jalan tapi ada pula di sejumlah benda keseharian, bahkan mulai dikomersilkan.

Perubahan ini bisa saja karena pengaruh perubahan pandangan masyarakat sebagai akibat dari kapitalisme dan pola hidup konsumtif. Namun juga bisa dilihat dari kesadaran dari pelaku seni jalanan tentang cara mengapresiasikan. Jika rakyat kalangan bawah hanya berjalan kaki tentunya dapat menikmati keindahan seni jalanan, sedangkan untuk kalangan bermobil tentunya hanya sekilas, bahkan mungkin tidak melihat sama sekali.

Gambar 19. Perubahan teks ke karakter Lokasi: Jembatan Kewek (Foto: Dok. penulis, 2008)

Pada tahun 2004, terlihat sejumlah perubahan pada visual grafiti. Perubahan tersebut antara lain visual teks atau inisial (tag) yang mulai berkurang, digantikan oleh visual berbentuk gambar yang disebut street logos. Beberapa kelompok dan indivudu pembuat

29 Ibid, catatan kegiatan LBK TP. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

51

grafiti yang semula sering membuat grafiti teks mulai meninggalkan gaya itu, salah satunya LoveHateLove, yang sering menuliskan LHL pada grafitinya. LHL adalah inisial samaran seorang laki-laki berusia 20-an tahun yang mulai membuat grafiti pada tahun

2000.

Bersama beberapa temannya, LHL mengusung nama komunitas Yogyakarta Ilegal

Crew (YKILC). Adapun inisial LHL baru dipakainya sejak tahun 2004, ketika mulai bekerja sendiri sebagai pembuat grafiti. Namun yang terjadi selanjutnya grafiti LHL mengalami perubahan, dengan penambahan simbol (+) atau plus di belakangnya.

Penambahan itu berarti grafiti tersebut dibuat LHL bersama temannya. Adapun jenis grafiti yang mereka buat berbentuk street logos, namun tetap menyisipkan inisial LHL di dalamnya, yang merupakan proses eksplorasi secara personal.

Street logos mulai populer di tahun 2006. Kepopuleran ini terlihat dari semakin beragamnya media pengaplikasian street logos; tak sebatas di tembok jalanan, tapi juga pada benda sehari-hari dan produk jual. Pada acara Sneakers Pimps- The World’s Largest

Touring Sneaker Exhibition yang diadakan di aula Gedung Semanggi Expo Center,

Jakarta, para pembuat grafiti mendapat tempat khusus untuk memamerkan karya mereka.30

Sepatu-sepatu dengan gambar street logos yang diaplikasikan dengan beragam teknik spray paint ternyata digemari para sneaker (sebutan untuk penggemar sepatu kanvas). Para sneaker menganggap street logos sebagai citra estetis seni jalanan, sementara sepatu kanvas sendiri sebagai “sepatu main” yang mencerminkan anak muda dan budaya jalanan.

Di Yogyakarta, pada tahun yang sama bulan September, juga diadakan sebuah acara yang khusus bertujuan untuk mengkomersilkan street logos. Acara yang dihadiri oleh sejumlah

30 Sihar Ramses Simatupang, Bravo “Sneakers Pimps”, Grafiti dan Seni Jalanan!, Kamis, 13 April 2006, , http://www.sinarharapan.co.id/berita/0604/13/hib03.html (diakses 12 Juli 2006). PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

52

pelaku seni jalanan ini mengaplikasikan street logos pada sepatu, yang kemudian dijual dengan harga berkisar dari Rp. 400.000 hingga Rp. 1.500.000.31

Street logos tidak mewakili suatu perusahaan atau logo merek dari sebuah produk tertentu. Logo ini semata-mata merupakan wujud keunikan dan kreativitas para pelaku seni jalanan dalam berkarya. Dengan begitu, maka dapat dikatakan bahwa street logos adalah ciri atau karakter ciptaan seniman jalanan, yang timbul akibat kejenuhan para pelaku itu sendiri terhadap bentuk karyanya. Street logos adalah suatu perubahan dari grafiti.32

Pengaplikasian street logos pada benda keseharian (misalnya sepatu dan tas) membuka peluang para kalangan menengah atas dapat menikmati karya seni jalanan bahkan memilikinya.

Perkembangan ini setidaknya kemudian mendukung para pelaku seni jalanan untuk dapat terus berkarya di jalanan. Selain itu dengan adanya kemajuan teknologi sistem informasi (internet), para pelaku seni jalanan dapat memasarkan secara langsung produknya serta bertukar informasi. Dengan memanfaatkan teknologi informasi juga diketahui banyaknya festival seni jalanan, workshop serta program residensi seniman jalanan yang banyak diadakan di berbagai negara.

31 Opi, Street Art: Logos, tak Hanya Hiasi Tembok saja, 23 November 2006, http://www.trullyjogja.com (diakses 26 Desember 2006). 32 ibid. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB III

JALAN SENI GRAFITI DAN BAHASA POLITIK MURAL

Bab ini memberikan suatu deskripsi tentang perkembangan seni jalanan dan fenomena mural di Yogyakarta. Pembahasan dimulai dengan memberikan paparan mengenai penampilan wajah kota dengan ilusi gemilangnya visual konstruksi sosial budaya Jawa, khususnya keberadaan grafiti yang dianggap sebagai suatu permasalahan yang berat untuk diselesaikan. Pembahasan berikutnya adalah langkah Apotik Komik yang mempelopori projek mural kota Sama-sama pada tahun 2002, yang kemudian diikuti oleh masyarakat dengan membuat mural di wilayahnya masing-masing atas dukungan Pemerintah

Kotamadya Daerah Tingkat II (Pemkot Dati II) Yogyakarta di sepanjang tahun 2002-2004.

Tujuan dari kegiatan Apotik Komik tersebut adalah mengurangi dan menghambat coret- coret di jalan melalui mural. Hal ini dianggap sejalan dengan tujuan Pemkot Dati II

Yogyakarta untuk mewujudkan Yogyakarta “Berhati Nyaman”.

Selain itu juga akan dibahas tentang mural iklan dan politik, serta respon dari beberapa galeri/rumah seni yang memasukkan seni jalanan ke dalam kategori seni rupa publik dalam wacana seni kontemporer, yang cukup banyak memberikan pandangan baru bagi para pelaku seni jalanan untuk berani menjelajahi dunia kreativitas mereka dalam berkarya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

54

A. Kota Yogyakarta, Hutan Visual Baru

Ada banyak predikat yang diberikan pada kota Yogyakarta antara lain: kota perjuangan, kota wisata, kota budaya dan kota pelajar. Suasana kota yang cenderung modern dan masih tetap menjaga kesan tradisional Jawa menyebabkan kota ini banyak menerima pujian.

Menurut Susanto, Yogyakarta dikonstruksikan sebagai sebuah kota nostalgia yang bisa dibayangkan (baca: dibuat secara artifisial) dan dianggap sebagai sesuatu yang laku untuk dijual, dimanfaatkan dan dieksploitasi oleh sekelompok orang yang mempunyai kepentingan tertentu.1 Ada beberapa tempat misalnya; kraton, alun-alun yang mencerminkan kesultanan dipertahankan keasliannya. Beberapa monumen tentang perjuangan dibangun sebagai tempat-tempat bernostalgia sekaligus sebagai monumen ingatan bagi golongan masyarakat tertentu.

Yogyakarta juga dikenal sebagai kota tujuan pariwisata kedua setelah pulau .

Wisatawan domestik maupun mancanegara dapat bernostalgia menikmati cerita-cerita perjuangan kemerdekaan, bernostalgia dalam paket wisata budaya, melihat alam atau sekedar mengingat masa pendidikan dulu—bagi yang pernah menimba ilmu di

Yogyakarta.

Yogyakarta “Berhati Nyaman” (Bersih, Sehat, Indah dan Nyaman) adalah bunyi slogan yang mulai populer setelah walikota dan legislatif Yogyakarta mensahkan Peraturan

Daerah (Perda) Kotamadya Yogyakarta No.1 tahun 1992, tentang Yogyakarta “Berhati

Nyaman”. Peraturan ini selain bertujuan mewujudkan suasana “Berhati Nyaman” dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Yogyakarta, juga menjadikannya sebagai tata nilai kehidupan lahir maupun batin bagi masyarakat Yogyakarta dalam hal bermasyarakat,

1 Budi Susanto 1992. “Yogya(kar)tamu: Berbudi-Bahasa Jawa dikaji Ulang” Pelba: Bahasa dan Budaya, Yogyakarta: Kanisius. p.42

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

55

berbangsa dan bernegara, yang bersumber pada nilai-nilai budaya daerah “Ngayogyakarta

Hadiningrat” sebagai bagian dari budaya nasional yang berakar pada falsafah Pancasila.

Setelah tahun 1992, terjadi usaha penyeragaman tampilan bentuk kota oleh pemerintah daerah. Usaha tersebut disebarkan melalui pesan pada plakat, poster atau monumen kecil bertuliskan Yogyakarta “Berhati Nyaman” yang ditempel atau dipasang di hampir semua tempat strategis, halaman kantor dan tepi jalan raya. Ketika Yogyakarta berhasil meraih penghargaan tahunan dari pemerintah pusat, Piala Adipura (penghargaan untuk kota yang dianggap memenuhi citra sebagai kota bersih dan indah) selama tiga tahun berturut-turut (1994, 1995, 1996) dan tahun 2007, monumen kecil maupun besar semakin banyak dibangun di berbagai tempat. Banyaknya tulisan dan monumen tentang piala Adipura ataupun slogan Yogyakarta “Berhati Nyaman” menimbulkan ilusi kehidupan yang fantastis bagi siapapun yang melihat. Namun begitu tetap tidak dapat dipungkiri bahwa di antara hingar-bingar monumen kesuksesan itu terselip visual-visual seni jalanan yang bersifat sebaliknya dan dianggap bertentangan.

Melalui dinas yang terkait, pemerintah daerah mulai melakukan berbagai usaha atau program untuk menjaga citra kota Yogyakarta sebagai kota Adipura. Salah satunya adalah dengan berusaha memberantas aksi corat-coret di jalanan. Karena kegiatan tersebut dianggap sebagai kegiatan khas anak muda (remaja), maka sejumlah sekolah kemudian berinisiatif membuat lomba corat-coret (grafiti) di sekolah. Langkah ini sebagai bentuk dukungan pihak sekolah terhadap program pemerintah.

Di sepanjang tahun 1993-1994, beberapa Sekolah Menengah Umum (SMU) di

Yogyakarta bekerja sama dengan Senat Mahasiswa Fakultas Seni Rupa, Institut Seni

Indonesia Yogyakarta, membuat lomba grafiti dengan berbagai tema yang mendukung PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

56

pendidikan.2 Namun usaha ini ternyata kurang berhasil karena belum bisa mengurangi jumlah corat-coret di jalanan. Adapun dampak yang terjadi malah sebaliknya; pelajar atau anak muda yang belum pernah mencorat-coret di jalan menjadi tergerak ingin mencoba.

Masyarakat Yogyakarta di sepanjang tahun 2002 – 2004 banyak membuat mural sebagai upaya mengurangi grafiti di tembok-tembok sekitar lingkungannya. Hal itu terjadi sebagai dampak dari sebuah projek mural kota yang dikembangkan oleh Apotik Komik dan Pemda Yogyakarta yang dimulai pada tahun 2002. Kegiatan ini dapat disebut sebagai fenomena hubungan kekuasaan yang kemudian mampu mendorong masyarakat secara massal mempunyai persepsi keindahan yang sama.

B. Mural dan Apotik Komik

Mural adalah gambar atau lukisan pada dinding, langit-langit ruang, atau tempat permanen dengan ukuran yang besar. Mural menjadi pembahasan yang serius dalam dunia seni rupa setelah adanya gerakan The Mexican Muralista Art Movement yang dipelopori oleh Diego Rivera, David Siqueiros dan Jose’ Orozco. Banyak teknik yang digunakan dalam perwujudan mural, tetapi yang paling terkenal adalah teknik fresco. Mural masa kini dilukis dengan berbagai macam variasi teknik yang menggunakan cat berbasis air atau minyak, bahkan ada pula yang memanfaatkan teknik digital komputer; sebuah foto bisa diolah lalu dicetak pada kertas stiker besar, sebelum akhirnya ditempel pada dinding.3

Perkembangan mural di Yogyakarta mengalami kemajuan yang cukup pesat setelah

Apotik Komik menjalankan sejumlah projek mural di beberapa ruang publik Yogyakarta.

Pada tahun 1997, Apotik Komik mulai mempelopori pembuatan mural. Karya mereka yang pertama adalah sebuah mural berukuran 3 x 6 meter yang berjudul Melayang. Mural

2 Arsip Kegiatan Sema FSR ISI Yogyakarta 1993-1995, waktu itu diketuai Satya Bramantyo. 3 http://rp murals:home.att.net/ (diakses 12 April 2007). PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

57

yang dibuat di daerah Nitiprayan, Yogyakarta, ini bertemakan komik dan dibuat dengan menggunakan paduan cat tembok dan akrilik.

Gambar 20. Melayang (3 x 6 m) oleh Apotik Komik, 1997. (Foto diambil dari buku: Supangkat, Jim (ed), (2000) Outlet ,Yayasan Cemeti, Yogyakarta)

Apotik Komik adalah sebuah organisasi seniman yang didirikan pada tahun 1997.

Sebagai penggagasnya adalah Samuel Indratma, Popok Tri Wahyudi, Bambang ‘Toko’

Witjaksono dan Arie Diyanto. Ide pembentukan organisasi ini berawal dari kegelisahan dan kejenuhan sejumlah seniman pada pendidikan formal mereka, juga pada kondisi penciptaan karya seni di luar kampus yang marak dengan performance art, instalasi dan karya lain yang dianggap terlalu serius.4

Dalam berkarya, Apotik Komik sering mengangkat komik sebagai tema lukisan untuk kemudian ditampilkan di ruang publik. Menurut Harsono, alasan yang mendorong para seniman Apotik Komik tampil di depan publik berawal dari kesulitan mereka menembus institusi seni yang mau menampilkan hasil karya mereka. Keterbatasan bernegoisasi dengan pemilik galeri dan untuk tampil serta berkomunikasi secara formal.

Hal itulah yang mendorong para seniman tersebut tampil di depan publik tanpa harus

4 FX Harsono. 2002. “Kerakyatan dalam Seni Lukis Indonesia: Sejak Persagi hingga Kini”, dalam: Politik dan Gender, Aspek-aspek Seni Visual Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti. p.81. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

58

melalui jalur formal, yaitu galleri.5 Dengan demikian, mereka berpendapat bahwa ruang pamer bukanlah satu-satunya tempat untuk memamerkan karya, melainkan bisa berpameran di mana saja.

Pada tahun 2002, Apotik Komik mengajukan proposal kerja sama kepada Pemkot

Dati II Yogyakarta untuk menghias dan memperindah kota melalui sebuah projek mural.

Dalam projek ini, mereka akan menghias sejumlah tembok kota di beberapa kawasan penting dengan mural, yang bertujuan untuk menghilangkan, mencegah, dan mengurangi corat-coret grafiti yang dianggap belum terlihat mempunyai kualitas visual dan tulisan yang menarik. Adapun hal yang melatarbelakangi dicetuskannya projek tersebut adalah kegelisahan para seniman Apotik Komik melihat wajah kota yang tampak kumuh karena berhias corat-coret liar.6

Gambar 21. Projek mural Sama-sama oleh Nano Warsono, 2002. Lokasi: jembatan layang Lempuyangan. (Foto : Dok. Yayasan Seni Cemeti)

5 Ibid. p.82 6 Lih. tulisan dari redaksi pada Tabloid Dipublik, 12 November 2002, diterbitkan oleh Apotik Komik pada Proyek Mural Kota Sama-sama. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

59

Pihak Pemda yang sudah lama merasa gerah dengan merebaknya grafiti, yang dalam bahasa mereka disebut tindakan vandalis karena mengotori dan mengganggu tampilan kota

Yogyakarta sebagai kota pelajar dan kota pariwisata, langsung menyambut baik proposal

Apotik Komik itu. Mereka percaya bahwa kehadiran mural mampu mengatasi vandalisme grafiti; hal yang sama juga banyak dipercaya masyarakat. Kepercayaan itu terlihat dari sejumlah opini yang ditulis di beberapa harian lokal.7

Perkembangan mural di Yogyakarta sepanjang tahun 2003-2004 semakin pesat, tidak heran kemudian predikat kota Yogyakarta bertambah satu lagi, yaitu kota mural—julukan yang diberi oleh para pekerja seni rupa, kalangan pers dan sebagian masyarakat umum.

Sayangnya, oleh masyarakat umum, projek mural yang telah banyak dilakukan di kota

Yogyakarta hingga saat ini dilihat tidak lebih dari sekedar projek untuk memperindah dan menjaga kebersihan kota semata. Padahal kenyataannya tidak demikian. Projek mural tersebut mendapatkan pemaknaan dalam wilayah retorika pemerintah daerah. Mural yang seharusnya tidak hanya menjadi seni dekoratif untuk kepentingan menghias dan menjaga kebersihan kota mengalami penurunan derajat, menjadi sekedar dekorasi pelengkap tampilan atau performance kota. Secara politis dapat dikatakan bahwa para pekerja seni jalanan—sadar atau tidak—telah difasilitasi, diadopsi dan dibuat sedemikian rupa hingga terjebak ke dalam permainan politik demi kepentingan program pemerintah daerah yang sudah dan sedang dijalankan; menjaga citra pembangunan, penataan tata kota, menjaga kebersihan kota.

7 - Opini M. Aulia Rahman (Kedaulatan Rakyat edisi 18 November 2003, halaman 10). - Opini Sri Wintala Achmad (Minggu Pagi edisi 17 November 2002, halaman 11). PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

60

Menanggapi persoalan ini, Mahatmanto, seorang praktisi arsitektur tata ruang kota, memandang bahwa idealnya mural sebagai projek puitisasi ruang.8 Kalaupun mural tidak berhasil memerankan fungsi sebagai puitisasi ruang dengan tujuan menciptakan kesan pelebaran dan perluasan ruang— sehingga lebih dari sekedar batas-batas pengertian fisik yang sempit mengurung—dan hanya merupakan suatu usaha menggambari atau melukisi tembok-tembok kosong demi menjaga kebersihan dan memperindah hasil pembangunan agar tidak dikotori grafiti, maka projek mural menjadi tidak signifikan kegunaannya.

Adapun yang sesungguhnya terjadi adalah kecenderungan mural dipandang sebagai aktivitas mengambar atau melukis pada dinding kosong kota semata—agar tidak dipenuhi coretan grafiti—dan sebagai pengimbang menjamurnya iklan yang dipasang sembarangan pada tembok.

Celakanya, menurut pengakuan salah seorang inisiator projek mural Yogyakarta,

Samuel Indratma, salah satu latar belakang pemikiran yang mendasari munculnya ide projek mural tersebut adalah karena “...merasa prihatin dengan kondisi Yogyakarta.

Sebagai kota pelajar dan mahasiswa dengan segala predikatnya, dan kota seni dan budaya, mengapa wajah Yogyakarta kotor dan tidak artistik sama sekali karena adanya corat- coret?”.9 Corat-coret yang dimaksud Samuel ialah tulisan teks-teks yang tidak jelas maksudnya.10

Dengan demikian, projek mural di Yogyakarta dapat dipahami hanya sebagai—tidak lebih dan tidak kurang—solusi terhadap kenyataan agar tembok tidak dicorat-coreti grafiti dan atau usaha untuk menjaga kebersihan dan keindahan tembok-tembok kota. Pernyataan

Samuel ini mendapatkan dukungan dari sebagian besar masyarakat awam non pekerja seni.

8 Pembahasan Mahatmanto, Harian Bernas, 18 Maret 2003, hal. 4. 9 Samuel Indratma, Masalah Kita Interaksi Dewan-Rakyat-Pakar-Birokrat, rubrik Masalah Kita, Harian Kedaulatan Rakyat, 22 Juli 2003 dan Harian Kedaulatan Rakyat 5 Februari 2003. 10 Wawancara Samuel Indratma oleh Dwi Rahmanto (IVAA). Wawancara dilakukan tanggal 11 Juni 2006, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

61

Rata-rata masyarakat, dosen seni rupa, birokrat, kalangan pers dan jurnalis memahami bahwa projek mural hanyalah usaha untuk melawan aksi para vandalis yang semakin sering “mengotori kebersihan dan keindahan kota Yogyakarta”.11

Gambar 22. Seorang pembuat mural sedang memblok tembok yang sebelumnya berisi grafiti politik. Lokasi: Jl. Perwakilan, Yogyakarta (Foto diambil dari: Dipublik, tabloid projek mural ”Sama-sama”, 12 November 2002)

Pada kenyataannya, jika karya mural yang banyak dipajang di tembok-tembok kota

Yogyakarta dibandingkan dengan grafiti atau corat-coret berbentuk stensil maka akan terlihat bahwa beberapa grafiti yang ada mengandung pesan yang bersifat politis; seruan penolakan terhadap kenaikan harga dasar BBM, Bank Dunia, IMF dan WTO, serta kampanye anti eksploitasi kapitalisme dan perdagangan bebas, atau kampanye lainnya. Di sini jelas terlihat bahwa kecenderungan pesan atau tema yang diangkat grafiti lebih lugas dan tegas daripada mural. Namun begitu tidak dapat dipungkiri bahwa ada pula grafiti

11 Pendapat sejumlah masyarakat di rubrik yang sama di harian yang sama: - Ny Anie Muqodis, Harian Kedaulatan Rakyat, 23 Juli 2003. - Dr Agus Burhan MHum, Harian Kedaulatan Rakyat, 23 Juli 2003. - C. Puspitasari, Mahasiswa UGM, Harian Kedaulatan Rakyat, 21 Juli 2003 - Dra. Noor S. Rahmani MSc, Psikolog, Harian Kedaulatan Rakyat, 21 Juli 2003. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

62

yang tidak membawa pesan sosial apapun, selain hanya layak dipandang sebagai kerja produksi seni rupa yang lebih mementingkan estetika dan artistik grafiti. Hampir mirip dengan grafiti, pesan yang disampaikan oleh beberapa karya stensil juga terkesan lebih lugas dan jelas daripada mural; disampaikan dengan bahasa visual yang mudah dicerna oleh kalangan awam.

C. Fenomena Mural Yogyakarta

Pada perkembangan selanjutnya, mural berhasil memikat hati masyarakat Yogyakarta. Hal itu terbukti dengan maraknya mural diperlombakan pada acara perayaan Hari

Kemerdekaan Republik Indonesia, baik tingkat kecamatan maupun kelurahan.

Setelah sukses dengan projek pertama, Apotik Komik kembali membuat projek mural kota kedua yang diberi judul Sama-sama, You’re Welcome dengan sengaja melibatkan enam seniman mural asal San Francisco, Amerika Serikat. Projek kedua ini semakin menginspirasi sejumlah besar masyarakat untuk ikut membuat mural di sepanjang tembok kampung di lingkungannya. Sebagai contoh, masyarakat RW.IV Demangan bersama kelompok Pengamen, yang didukung oleh Muspika kecamatan Gondokusuman dan Dinas

Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Yogyakarta, membuat mural di sepanjang jalan

Munggur, dekat perempatan jalan Solo-Gejayan, pada tanggal 20 Juli 2003. Kegiatan ini terinspirasi projek mural Apotik Komik yang dianggap cukup berhasil; selain dapat mempersempit tangan-tangan jahil yang suka melakukan coret-coret, juga dipandang sebagai ajang mendemonstrasikan bakat terpendam.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

63

Gambar 23. Mural yang dibuat oleh masyarakat RW IV Demangan. Lokasi: Prapatan Jl.Munggur-Gejayan-Jl Solo, Yogyakarta (Foto: Dok. Dwi Marianto)

Sehubungan dengan itu, Bambang “Toko” Witjaksono, dalam penelitian tesisnya, menyebutkan bahwa keberadaan mural diperlukan sebagai salah satu alternatif bagian dari elemen ruang publik di Yogyakarta. Hal tersebut mengingat fungsi ruang publik yang lebih sering digunakan untuk kepentingan iklan dan kampanye partai politik, padahal esensi ruang publik adalah milik publik. Dalam kasus tersebut, mural dipakai sebagai instrumen penetrasi otoritas. Selain itu, terbukti pula bahwa peran seniman sebagai representasi publik dapat dicapai lewat pembuatan mural. Fenomena mural di Yogyakarta merupakan sebuah inovasi perupa dalam menyikapi perkembangan wacana seni rupa; dimana seni rupa hadir langsung di tengah masyarakat Yogyakarta yang masih menggunakan simbol atau ikon yang berkaitan dengan kondisi sosio-kultural serta lingkungan Yogyakarta, sebagai bagian dari budaya Jawa pada umumnya. Fenomena mural di Yogyakarta juga menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan yang sehat dalam diri masyarakat Yogyakarta PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

64

secara gradual, karena pemerintah setempat menanggapi masyarakat yang semakin vokal dan berdaya.12

Menurut Samuel Indratma, lebih dari lima ratus karya mural telah dihasilkan oleh masyarakat Yogyakarta yang dapat dilihat sebagai salah satu trik menjauhkan masyarakat dari penyakit sosial, selain juga sebagai usaha yang bagus untuk mengajak berbagai lapisan masyarakat, mulai dari yang muda hingga tua, untuk bersama-sama menciptakan kondisi kota yang bersih dan indah.13

Kegiatan program mural di kota Yogyakarta untuk menekan perkembangan grafiti yang dianggap meresahkan dan membuat suasana lingkungan tidak nyaman ini, dalam pelaksanaannya dimanfaatkan oleh Pemkot Yogyakarta untuk sekalian mempropagandakan program kerja pemerintah yang berkaitan dengan masyarakat,

Misalnya, Gerakan Anti Narkoba, Program Jam Belajar Warga, dan sebagainya.

Kegiatan mural tidak sekedar memberi keuntungan seniman bisa membuat karya diluar ruang, keuntungan turut pula dirasakan pemerintah daerah dan masyarakat karena mendapat suntikan dana untuk menghias kampung.

D. “Kromonisasi” Seni Jalanan Yogyakarta

Setelah tembok-tembok di Yogyakarta dipenuhi oleh ragam karya seni jalanan yang mempertunjukkan variasi bentuk, teknik dan warna, perlahan-lahan seni ini mulai memasuki ruang-ruang pamer seni rupa di Yogyakarta. Dapat dikatakan bahwa masuknya seni jalanan ke ruang pamer ini terinspirasi oleh langkah Jean Michael Basquiat, seorang seniman jalanan Amerika, yang pada tahun 1980 mengusung gaya grafitinya untuk dipamerkan di ruang pamer seni rupa (atas dorongan Andy Warhol). Sebaliknya, hal itu

12 Bambang Witjaksono, (2006) Fenomena Mural di Yogyakarta Tahun 2002-2003, Bandung, Program Pascasarjana ITB. (tidak dipublikasikan-dengan ijin). 13 Obed Bima Wicandra. Street Art Menyapa Kota, Harian Jawa Pos, 5 Februari 2006. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

65

memberi inspirasi pula pada Keith Hearing, seorang seniman dan pelukis, untuk berkarya di jalan-jalan.14 Selain dipamerkan di galeri, kini seni jalanan telah dijadikan elemen hias pada produk, dengan cara memindah visual yang biasa dibuat di jalanan ke dalam produk keseharian. Misalnya pada t-shirt, celana dan sepatu.

Pembicaraan tentang seni jalanan di Yogyakarta, dalam perkembangan seni rupa, menjadi mengemuka setelah fenomena mural di Yogyakarta—yang mendorong para pelaku mengembangkan grafiti yang sudah ada menjadi bentuk yang lebih artistik dan terlepas dari fungsinya terdahulu, yaitu sebagai wacana geng (meski coretan inisial geng masih ada sampai sekarang). Hal ini rupanya menarik perhatian beberapa pemilik ruang pamer seni rupa untuk mengusung dan mendukung seni jalanan.

Rumah Seni Cemeti, misalnya, pada tahun 2005 mengadakan sebuah pameran bertajuk Counter Attract yang merupakan sebuah projek seni publik secara kolaboratif.

Pameran ini dilaksanakan dengan mengusung semangat dan bentuk seni jalanan (street art) yang sesungguhnya; dengan meminjam beberapa site spesifik di ruang pertemuan publik

Yogyakarta. Adapun tujuan projek tersebut sebagai sebuah counter attract terhadap otoritas yang dimunculkan oleh materi-materi publikasi yang ada di sejumlah ruang publik itu. Secara bentuk, projek ini akan merespon beberapa sudut kota Yogyakarta yang selama ini dipakai sebagai tempat pemasangan poster-poster yang menyampaikan informasi acara, produk komersial, maupun pesan layanan masyarakat, dengan mengkooptasi materi yang ada melalui penghadiran karya-karya seni publik (poster, stiker, stensil, foto kopi selebaran) yang tidak memiliki kecenderungan pesan atau informasi yang serupa—meski secara bentuk dapat dikatakan tidak berbeda.

14 http://www.aftenposten.no/nyheter/iriks/article1260136.ece Norwegian newspaper article about acid tagging (diakses 12 April 2007). Lebih lanjut lihat juga tulisan Sihar Ramses Simatupang, http://www.sinarharapan.co.id/berita/0604/13/hib03.html (diakses 12 Juli 2006). PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

66

Pemasangan poster karya para seniman dilakukan pada tanggal 29 Juni 2005, pukul

00.00, di sejumlah lokasi seperti: Perempatan Jokteng Timur, Perempatan Depan Mirota

Kampus, perlintasan K.A Stasiun Lempuyangan, depan Stasiun K.A Lempuyangan, perempatan Tugu, depan THR, perempatan Gayam, dan Jalan Cendana. Pameran yang berlangsung sejak tanggal 7-31 Juli 2005 ini merupakan seri dokumentasi proses dan catatan para seniman tentang jalan raya sebagai pertarungan kuasa.

Gambar 24. Suasana ruang pamer Kedai Kebun Forum Yogyakarta pada event Re:Publik Art (Foto: Dok. Dwi Rahmanto, IVAA/YSC)

Seniman-seniman yang terlibat dalam pameran ini antara lain, Decky “Leos”

Firmansyah, Hendra “Blangkon” Priyadhani, Fathurchman Alwathoni “Indun”, Danang

Catur Prastyawan, Daniel “Timbul” Cahya Krisna, M.Ali Rachman, Teguh Hariyanta,

Marfianto Sobirin, Gde Krisna Widiathama, Uji Handoko Eko.S, Toto Nugroho, Gintani

Nur Apresia Swastika, Mokomoki, Eko Didik S “Codit”, dan Yudha Sandy.15

15 http://www.cemetiarthouse.com/id/project/2005/counter-attract (diakses 10 Juni 2006) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

67

Setahun setelah acara yang diadakan Rumah Seni Cemeti, sebuah kafe yang mempunyai ruang pamer dan forum, Kedai Kebun, menggelar acara bertema Re:Publik

Art, Mencari Ruang Publik Lewat Seni Rupa Temporer, yang diadakan pada bulan Agustus hingga September 2006. Pada pengantarnya ditulis:

“Bagi masyarakat Indonesia, khususnya warga Yogyakarta, kata ‘mural’ bukan lagi sesuatu yang asing. Setelah projek mural kota Sama-Sama (Apotik Komik, 2002) berhasil menciptakan wabah mural di Yogya, hingga perusahaan-perusahaan besar ikut terjangkit wabah ini, kemudian muncul pertanyaan; masihkah sebuah projek mural perlu digerakan? Dengan berjubelnya advertising out-door yang sudah sangat polutif, bukankah sebaiknya dinding-dinding kota dibiarkan bersih dan kosong sebagai tempat istirahat mata publik?

Dalam niat yang sederhana, projek ini bertujuan untuk mempresentasikan karya- karya seni rupa publik para seniman Yogyakarta dan kota lainnya (Jakarta, Bandung, Bali, Paris) dalam bentuk mural dan artistic grafiti, signage dan iklan kampanye, yang diharapkan mampu mempresentasikan ekspresi-ekspresi baru yang lebih segar, juga mendefinisikan kembali bagaimana seharusnya seni rupa publik merespon lingkungan sosial dimana seni rupa publik itu ditempatkan.

Projek Re:PublicArt bagaimana pun berusaha meminimalisir eskalasi polusi visual dengan menghindari motif-motif lukisan ornamentif dan lebih menekankan pada respon sosial dimana karya-karya tersebut dikerjakan16.”

Acara ini berbentuk seminar, workshop, pameran dan aksi. Dimasukannya karya seni jalanan ke dalam ruang pamer sontak mengundang kontroversi di kalangan seniman jalanan, disebabkan Rumah Seni Cemeti dan Kedai Kebun menggunakan istilah seni rupa publik, sementara seni jalanan mempunyai kelebihan yaitu ke-vandal-an yang memicu andrenalin. Beberapa kelompok grafiti Yogyakarta menganggap Rumah Seni Cemeti dan

Kedai Kebun ingin mengkooptasi seni jalanan dengan membuat terminologi seni jalanan

16 Re:Publik Art, http://www.tembokbomber.com (diakses 10 Juni 2006) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

68

sebagai seni rupa publik untuk kepentingan seni rupa kontemporer, yang merupakan ruang lingkup kedua lembaga itu.17

Pernyataan dalam pengantar acara Re:Publik Art tidak lagi menyinggung grafiti sebagai visual pengotor, tetapi sebagai salah satu cara untuk mempresentasikan ekspresi- ekspresi yang lebih segar. Grafiti pada acara ini tidak lagi vandal, tetapi teratur dan mengikuti lokasi yang ditentukan. Karya yang dibuat dan ditampilkan dalam ruang pamer

Kedai Kebun sangat bagus dan mempunyai tingkat kreativitas dan teknik yang tinggi; berbeda dari grafiti atau seni jalanan yang dibuat secara ilegal. Namun jika merujuk pada sifat seni jalanan yang vandal, maka desain yang rumit dan tingkat teknik pembuatan yang tinggi sangat tidak cocok jika dipraktekkan langsung di jalanan. Ada beberapa unsur yang tidak memungkinkan seorang seniman jalanan melakukan hal tersebut, antara lain waktu pembuatan, suasana lokasi dimana karya akan dibuat, dan resiko yang harus ditanggung karena menggunakan ruang atau properti tanpa seijin sang pemilik.

Lewat acaranya, Kedai Kebun seakan menempatkan seni jalanan pada sejenis aliran atau karya visual yang bergaya jalanan, yang seolah memberikan pandangan baru pada kalangan seniman jalanan bahwa dengan cara seperti itu mereka mendapat pengakuan sebagai bagian seni rupa kontemporer yang lebih menjanjikan.

17 Wawancara Hmzt (nama disamarkan) 33 tahun, aktivis seni jalanan, banyak membuat grafiti politik di Yogyakarta. Wawancara dilakukan tanggal 14 Januari 2007 oleh penulis. Dikatakan bahwa gerakan mural adalah salah satu gerakan yang membungkam kemerdekaan bicara (lewat grafiti), upaya melakukan klasifikasi, pameran seni jalanan di ruang pamer, merupakan usaha kooptasi dari penyelenggara (cemeti dan kedai kebun) untuk kepentinngan seni rupa kontemporer bukan seni jalanan itu sendiri, hendaknya teman- teman seniman jalanan mengingat penggerak mural pernah berkolaborasi dengan pemda untuk menekan grafiti. Dia juga mengatakan tidak semua kelompok seni jalanan di Yogyakarta setuju dengan apa yang dilakukan Kedai Kebun, tetapi dia menghargai kegiatan tersebut. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

69

Gambar 25. Grafiti pada acara Re:Publik Art Lokasi: ruang pamer Kedai Kebun Forum Yogyakarta (Foto: Dok. Dwi Rahmanto, IVAA/YSC)

Selain mengadakan pameran, acara Re:Publik Art juga mengemas karya seni publik, seperti membuat halte tunggu jemputan di beberapa Sekolah Dasar (SD Jetis Harjo, SD

Samirono, SD Kanisius Wirobrajan) oleh Handoko, membuat zebra cross yang lengkap dengan beberapa nomor telepon penting (Polisi, Rumah Sakit, Pemadam Kebakaran) oleh

Sadat Laope, dan tentu juga membuat mural di daerah Gejayan oleh Iwan Effendi dan Iyok

Prayoga, serta sejumlah karya lainnya. Adapun pada sesi diskusi yang menghadirkan

Mahatmanto (staf pengajar Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Kristen Duta Wacana),

Samuel Indratma (seniman mural dan penggagas Apotik Komik) serta Kepala Dinas

Pertamanan dan Tata Ruang Kota Yogyakarta, terlontar banyak pertanyaan kritis dari para pengunjung.

Acara Re:Publik Art dapat dipandang sebagai usaha yang menjinakan nilai vandal pada seni jalanan. Upaya ini dapat disebut sebagai “kromonisasi” seni jalanan sebagaimana diterangkan oleh Anderson bahwa “kromonisasi” dapat dilihat sebagai sarana untuk PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

70

mengidentifikasi masa kini dengan masa lalu yang heroik dengan melakukan upaya pengagungan.18 Hal ini dapat dilihat pada perkembangan seni mural dan grafiti yang dipertentangkan (dihadap-hadapkan) dan di bawa masuk ke dalam ruang-ruang pameran sehingga dianggap sebagai suatu yang ideal serta dipandang menguntungkan. Makna

“jalanan” (liar) kemudian bergeser menjadi jalanan yang teratur.

Pada keseharian masyarakat Yogyakarta khususnya Jawa umumnya, masalah kromonisasi ini dapat dilihat sebagai suatu hal yang biasa terjadi dan bisa diterima. Pada upacara pernikahan misalnya, walaupun berasal dari keluarga biasa saja tetapi penyelenggaraannya selalu dibisa-bisakan menggunakan upacara kraton Jawa. Agaknya sistem kehidupan kraton dianggap kehidupan yang ideal sempurna dan baik. Contoh yang lain, pada setiap perayaan ritual satu Suro, benda pusaka dan kereta-kereta kuda kraton dicuci, masyarakat berduyun-duyun berebut berkah berupa air bekas cucian pusaka-pusaka tersebut, walaupun masyarakat tahu kereta-kereta kuda dan pusaka-pusaka itu banyak yang berasal dari Eropa. Contah-contoh ini dapat memberikan gambaran masyarakat Yogyakarta masa kini dalam memandang modernitas yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan tradisionalnya.

Seni jalanan dapat diumpamakan sebagai sebuah ucapan bebas (ngoko) dan langsung, sedangkan ruang pamer atau galeri adalah ucapan yang diatur dan dikumpulkan, sehingga mempunyai argumen simbolik atau alasan kuratorial (kromo). Memamerkan seni jalanan pada ruang pamer dapat diartikan sebagai upaya membuat lebih sopan ucapan karena mengikuti “tatakrama” aturan yang baku dalam mempertontonkan karya seni.19

18 B.R.O.G Anderson. 2000. Kuasa Kata, Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia. Tr. Revianto Budi Santosa .Yogyakarta: Penerbit Mata Bangsa. p.311

19 B.R.O.G Anderson. ibid. Disebutkan: Kromo dan ngoko, secara berurutan adalah tingkatan “tinggi” (sopan, formal) dan “rendah” (akrab, informal) pada bahasa Jawa. Untuk pembahasan lebih lanjut tentang bentuk-bentuk kromo dan ngoko dalam hubungan wacana politik di Indonesia lihat bab 4 dan lihat pula hal. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

71

Perubahan-perubahan ini mengidentifikasikan rentannya nilai-nilai kerakyatan dalam karya seni sebagai akibat “rayuan konsumtivisme kapitalistik” dengan nikmat rasional yang samar-samar.

E. Seni Jalanan Yogyakarta (Siasat absurd) Kalah dan Menang

Seni jalanan tumbuh dan berkembang tidak terlepas dari realitas keadaan sehari-hari yang keras dan bukan serta merta merupakan seni sebagai refleksi atas kehidupan, tetapi lebih merupakan cemoohan terhadap absurditas realitas kehidupan dalam gerakan yang dipandang illegal.

Absuditas realitas kehidupan di Indonesia dapat dilihat pada masa lalu (masa pemerintahan Orde Baru) kondisi yang menekan terlihat tegas, misalnya pelarangan terhadap ideologi tertentu, represi militer pada kesenian dalam bentuk pelarangan pentas dan pameran yang sering dilakukan atas nama stabilisasi keamanan, di masa sekarang kondisi-kondisi yang makin menekan terlihat samar-samar tetapi bertambah banyak.

Pada masa sekarang memang masyarakat mempunyai kebebasan berbicara yang agak lebih terbuka dibanding pada masa Orde Baru, namun terkadang timbul kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang bertentangan (misalnya tuduhan komunis untuk menstop demonstrasi buruh oleh Kelompok anti komunis tetapi tidak ada kelompok anti komunis yang mau terlibat membela buruh dengan cara “anti komunis”nya).

Pada penyelenggaraan CP Bienalle Jakarta (2006) yang dikuratori oleh Jim Supangkat ditutup setelah FPI (Front Pembela Islam) Jakarta menuduh adanya unsur pornografi pada salah satu karya seni yang dipamerkan. Seringnya terjadi persoalan macam ini telah

328-329 disebutkan bahwa ucapan langsung (ngoko) merupakan tipe ucapan yang agak jarang moralistic atau optimistic. Pengabaian atas tipe ucapan langsung ini memiliki akar dalam konvensi akademis. Pada “kromo” ucapan dikomunikasikan, diatur, dicetak, terlihat lebih permanent, lebih dapat diperbanyak, sehingga lebih terpercaya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

72

menyebabkan keadaan yang relatif sama tertekannya seperti pada masa Orde Baru dan memasung kreatifitas masyarakat.

Kesemrawutan di bidang hukum juga menjadikan masyarakat berusaha untuk melepaskan diri dari kesemrawutan, baik dengan tak acuh, melakukan hal yang sama atau diam saja. Kesemrawutan yang dimaksud ialah dilanggarnya undang-undang tetapi oleh pihak berwenang didiamkan, misalnya tidak menggenakan helm pada pawai suporter sepak bola, mengantar jenasah, serta knalpot keras pada pawai kampanye partai-partai politik dan yang lebih parah ialah lepasnya kuroptor dari jerat hukum. Sedangkan kesemrawutan yang terlihat dikeseharian ialah tata letak visual (iklan, rambu, bendera, spanduk dan sebagainya) di jalanan yang kacau.

Mengamati tata letak visual di jalan akan jelas terlihat, antara propaganda, faktual, kontekstual, masa lalu, masa sekarang yang muncul berdampingan. Situasi ini bersifat sosial, politis dan historis yang membingungkan karena semua muncul bersamaan. Pada situasi seperti itu, seni jalanan Yogyakarta dapat dikatakan sebagai cara para pelaku seni jalanan menyiasati keadaan secara langsung dan tegas dengan imaji-imaji teks serta logika yang absurd. Selain itu seni jalanan Yogyakarta bisa juga dilihat sebagai cara melupakan, atau sebentuk ruang imajiner tempat orang bisa melepaskan diri dari kondisi-kondisi yang makin lama makin menekan.

Setelah ruang gerak seni jalanan terutama grafiti dipersempit oleh gerakan mural dan usaha-usaha yang dilakukan pemerintah lewat sekolah-sekolah, hal ini kemudian malah semakin tidak menyurutkan perkembangan seni jalanan. Seni jalanan bentuknya malah semakin bervariasi, beragam teknis dan merambah keruang-ruang lain (misalnya internet).

Dimasukannya karya seni jalanan ke dalam ruang pamer, oleh Rumah Seni Cemeti dan Kedai Kebun, mengundang kontroversi di kalangan seniman jalanan. Hal itu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

73

disebabkan Rumah Seni Cemeti dan Kedai Kebun menggunakan istilah “seni rupa publik”, sementara pada kenyataannya seni jalanan identik dengan ke-vandal-an dan bersifat ilegal.

Beberapa kelompok grafiti di Yogyakarta menganggap Rumah Seni Cemeti dan Kedai

Kebun ingin mengkooptasi seni jalanan dengan cara membuat terminologi seni jalanan sebagai seni rupa publik untuk kepentingan seni rupa kontemporer. Pameran ini dapat dipandang sebagai upaya “penjinakan” atau “pencaplokan” dengan berupaya menempatkan serta menganggap perlu disetarakan dengan seni-seni visual lain (seni yang biasanya dipamerkan pada ruang pamer) yang tentunya dianggap telah mapan (konsumsi khas kalangan kurator dan seniman).

Kemudian wacana yang muncul sekitar seni jalanan, jika dikritisi lebih dalam, persinggungan antara seni ruang publik dan seni jalanan hanya terbatas pada persoalan karya yang ditempatkan di lokasi yang sama, yaitu ruang publik atau di jalan. Seni jalanan bisa saja dianggap sebagai seni ruang publik, tetapi hal itu tidak berarti sebaliknya. Seni ruang publik bukan seni jalanan.

Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah yang menganggap seni jalanan adalah kriminal dan sebagai aktivitas anak muda yang sulit diatur dengan berbagai macam usaha nampaknya hanya berhasil sesaat karena sampai saat ini seni jalanan semakin berkembang dan pelakunya semakin banyak. Hal ini menunjukan bahwa perkembangan seni jalanan

Yogyakarta bukan sekedar berangkat dari keisengan anak muda saja, tetapi berhubungan dengan banyak hal termasuk kebijakan pemerintah sendiri.

Kebijakan pemerintah dalam hal pengaturan tata kota tanpa melibatkan peran serta masyarakat telah mendorong pemikiran kritis di sebagian masyarakat (para pelaku seni jalanan) untuk merespon dan membuat seni jalanan (grafiti). Dapat dikatakan bahwa pemerintah, disadari atau tidak telah mendorong tumbuhnya seni jalanan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB IV

MEREBUT JALAN(AN) SENI DI INDONESIA

Seni seringkali dianggap sebagai gambaran budaya serta cerminan hidup masyarakat.

Anggapan ini memunculkan pertanyaan, budaya dan cerminan masyarakat yang mana? atau memang tidak mencerminkan apapun? Oleh karena itu pada pembahasan bab ini akan diuraikan bentuk-bentuk tanda atau visual yang ada di jalan termasuk kepentingan yang menyertainya, respon pemerintah terhadap keberadaan seni jalanan (juga mural) serta siasat para pelaku seni jalanan untuk mengatasi kondisi tersebut.

Selain itu pada bab ini, visual yang ada dijalan dipahami sebagai fenomena tanda.

Upaya untuk memahami ruang berarti menganggapnya sebagai bermuatan pesan-pesan sosial budaya. Sebagai suatu fenomena tanda, ruang menjadi arena pertukaran tanda dan pesan-pesan sekaligus menjadi tempat perebutan tanda dan hegemoni kultural.

Pada bab ini juga akan diungkap kembali apa arti seni jalanan mengingat bagi kalangan rakyat kecil yang kebanyakan masih berjalan kaki, tentu mempunyai pola pandang yang berbeda dengan kelas sosial menengah ke atas yang rata-rata berkendaraan bermotor di jalanan.

A. Perang Gerilya Tanda

Secara umum, bentuk-bentuk visual yang biasa ditemukan di jalan adalah hasil produksi pemerintah, perusahan iklan, kelompok atau individu pelaku seni jalanan. Umumnya, benda atau gambar visual milik pemerintah bertujuan memberikan pesan kepada masyarakat sehubungan program tertentu yang sedang dijalankannya. Perusahaan iklan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

75

memasang benda visual dengan tujuan untuk menggoda dan memikat hasrat konsumen

(memberikan informasi berupa penawaran beragam produk dan jasa). Sedangkan mural dan seni jalanan (grafiti) mengisi ruang-ruang kosong yang dijalan menawarkan

“keindahan” yang juga beragam.

Keberadaan mural di tembok-tembok kota Yogyakarta yang terawat baik telah memberikan gambaran bahwa masyarakat setempat telah dapat menerima bentuk seni mural dalam kehidupan keseharian mereka. Berdasarkan pengamatan di lapangan, fenomena mural ini juga diikuti dengan perubahan taktik perusahaan periklanan. Mereka mulai menggunakan mural sebagai corong produk (dan tembok sebagai ruang iklan).

Bahkan, beberapa di antara perusahaan tersebut turut mengadopsi teknik grafiti untuk mendesain iklan.

Gambar 26. Warning not for comercial space Lokasi Sagan (utara Galeria mal Yogyakarta). (Foto: Dok. pribadi, 2008)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

76

Gerakan mural di Yogyakarta memberikan inspirasi bagi para pengusaha dan beberapa organisasi/partai politik untuk turut memanfaatkannya. Dari keterangan Samuel bahwa ada ratusan mural di kota Yogyakarta, tentunya dalam menciptakannya membutuhkan pendanaan yang tidak sedikit. Keterlibatan perusahaan-perusahaan yang turut ambil bagian dalam gerakan mural Yogyakarta ini sangat membantu dalam hal pendanaannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gerakan mural Yogyakarta memberikan keuntungan terhadap banyak kalangan (Seniman, pemerintah, pihak swasta dan masyarakat yang terlibat).

Iklan berbentuk mural pun kian menjamur dan menghias tembok-tembok kota hingga dinding kolong jembatan layang. Terhitung cukup banyak perusahaan yang mau menjadi sponsor dalam pembuatan mural yang dilakukan oleh masyarakat, tetapi tentu saja disertai syarat. Syaratnya adalah perusahaan tersebut meminta logo perusahaan atau gambar produk mereka dijadikan bagian dari mural. Sebagai contoh, mural yang ada di tembok depan SMA “17” I Bumijo atau iklan pada mural di tembok stadion Kridasono-Kota Baru, yang kemudian tercatat dalam rekor MURI sebagai Iklan Terpanjang.

Gambar 27. Mural iklan produk tabungan sebuah bank yang dibuat tahun 2004. Lokasi: depan SMA “17” 1 Bumijo, Yogyakarta, (Foto: Dok. penulis, 2007)

Munculnya mural iklan di Yogyakarta membuat suasana jalan semakin ramai dengan beragam tampilan visual. Kota pun terkesan penuh tanpa ruang kosong. Terlebih lagi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

77

ketika billboard iklan semakin banyak terpasang di hampir setiap sudut perempatan dan batas kota, bahkan terkadang membelah jalan. Hal ini mengindikasikan ketatnya persaingan antara perusahaan periklanan, baik menyangkut pemilihan tempat, variasi bentuk iklan, hingga teknik pembuatannya. Di saat seperti itulah keberadaan mural ternyata dianggap sebagai salah satu pilihan yang patut dicoba.

Di dalam dunia ekonomi, iklan sering diartikan sebagai ujung tombak industri

(kapitalisme) tetapi juga tidak dipungkiri, iklan mampu memberikan kontribusi pemasukan yang cukup besar bagi pemerintah kota Yogyakarta, industri periklanan itu sendiri, bahkan masyarakat (misalnya pengadaan gerobak rokok atau biaya sewa tembok). Diterimanya keberadaan iklan oleh masyarakat dapat juga dilihat sebagai ciri dari kehidupan masyarakatnya. Mungkin saja persoalan mural iklan yang menggantikan mural seni dipandang sebagai masuknya “budaya global” yang merupakan dampak dari globalisasi ekonomi yang memberi pengaruh besar pada budaya—artinya, budaya global sebagai konsekuensi dari aktivitas ekonomi. Ekspresi budaya kemudian dibentuk berdasarkan landasan paradigma ekonomi, sehingga menciptakan sejumlah kategori baru di bidang budaya, yaitu kebudayaan yang diorganisir dan dibangun atas dasar prinsip industri

(kapitalisme) yang mendudukkan kebudayaan sebagai komponen komoditi. Hal ini mendorong semakin majunya budaya konsumerisme di kehidupan masyarakat.

Selain meramaikan dunia periklanan, banyak pula mural yang digunakan untuk menyampaikan pesan yang sarat muatan politis. Misalnya, mural yang wajib digambar oleh para peserta dalam suatu lomba mural dengan tema yang ditentukan oleh panitia penyelenggara. Tema-tema yang wajib digunakan oleh peserta telah ditentukan sedemikian rupa sehingga mural yang dihasilkan dapat menciptakan keseragaman, baik nuansa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

78

maupun makna dari mural tersebut secara keseluruhan.1 Mural yang identik dengan gambar berukuran besar, yang pada masa Orde Baru pernah dikembangkan oleh

Pemerintah dalam bentuk gambar besar yang biasa disebut baliho. Baliho tersebut berisi kampanye program-program kerja pemerintah yang sengaja disebarluaskan ke masyarakat.

Gambar 28. Mural PAN. Sketsa rancangan Ismail. Visualiser Eko S Widodo. (Foto: Dok. pribadi, 2004)

Keberadaan mural juga mewarnai masa kampanye Pemilu. Beberapa Partai Politik

(Parpol) mengembangkan mural sebagai sarana untuk menyampaikan pesan politik atau mengenalkan calon pemimpin yang dijagokan. Untuk mural jenis ini biaya pembuatan biasanya berasal dari Parpol, meski ada pula mural yang dibuat atas inisiatif warga sendiri, seperti yang terjadi di beberapa tempat di Yogyakarta.2

Di mata seorang perupa bernama Eko S Widodo, kampanye adalah peluang bisnis yang bagus. Menurutnya, dahulu parpol hanya mengandalkan percetakan untuk membuat media kampanye. Namun kini para seniman mural mulai bisa ikut merasakan panen rejeki

1 Banyak kampung di Yogyakarta, pada perayaan 17 Agustus 2003-2004, membuat even lomba mural dengan tema yang ditentukan. Hal ini dianggap biasa oleh sebagian masyarakat. 2 Wawancara dengan Agus Botol (30 tahun) warga Gampingan, “Gambar mural Megawati di Pasar Serangan adalah inisiatif warga dengan biaya sendiri.”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

79

lewat kampanye. Berkampanye lewat mural atau lukisan dinding dianggap sebagai strategi kampanye model baru, yang dianggap bisa menarik perhatian publik lebih banyak. Bagi

Eko, demi membiayai hidup keluarga, dia tidak terlalu peduli dengan perkembangan seni rupa ataupun tafsiran orang yang menganggap rendah pekerjaannya itu.3

Masyarakat sudah menerima keberadaan mural tanpa merasa perlu mempermasalahkan isi pesan yang dikandungnya—apakah mural seni, propaganda atau mural iklan. Mereka lebih melihat mural sebagai ornamen atau hiasan tembok semata.

Namun jika ditinjau lebih jauh, maka akan terlihat campur tangan kapitalisme dalam persoalan ini. Kapitalisme dengan kekuatan maha dahsyat yang mampu mencairkan segala sesuatu yang menghalanginya; dalam hal ini adalah kebebasan yang mengalir ke segala arah yang kemudian secara parsial memenuhi kehendak lewat berbagai bentuk produk dan pencitraan tanda—meski hanya bersifat sementara. Persoalan tersebut dapat pula dilihat sebagai ajang “perang gerilya tanda” antara sejumlah kepentingan yang dilakukan melalui cara saling berebut tanda dan memberi makna.

Inilah gambaran dari dunia konsumerisme, sebagai produk kapitalisme global yang menawarkan sebuah ruang dimana tanda, makna dan citra dapat mengalir bebas seiring mengalirnya kebebasan kapital dan komoditi. Salah satu gejala dari era kapitalisme yang jelas terlihat lewat bentuk visual iklan dan karya seni yang semakin sulit dibedakan, baik dari segi estetis atau teknik pembuatannya.

Penentuan tema (biasanya oleh kelurahan, kecamatan) yang dibuat pada saat lomba mural yang kerap dilakukan menjelang hari Kemerdekaan Republik Indonesia di kampung-kampung Yogyakarta menandakan adanya fenomena hubungan kekuasaan

3 Wawancara dengan Eko S Widodo (33 tahun), seniman lulusan FSR ISI Yogyakarta, pada tanggal 12 Maret 2004.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

80

pemerintah yang diterima begitu saja oleh masyarakat, dalam hal ini kampanye program pemerintah yang dijadikan tema mural.

B. Konteks Politik Kemunculan Seni Jalanan

Sejumlah kalangan mendeskripsikan seni jalanan sebagai bagian dari perkembangan seni rupa kontemporer yang mencoba membongkar batasan-batasan mapan seni rupa. Selama ini, seni rupa identik dengan karya di atas kanvas dan hanya dipamerkan di ruang-ruang galeri. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seni jalanan telah menyodorkan konvensi, pemahaman-pemahaman baru, metode dan perlengkapan teknis berkesenirupaan lainnya, pilihan alternatif media, model penghadiran seni rupa di ruang publik.

Seni jalanan dapat pula ditafsirkan sebagai suatu bentuk perlawanan terhadap seni modern yang sudah diproduksi, didistribusi dan dikonsumsi secara kapitalistis. Ketika seni rupa sudah masuk ke dalam sistem pasar masyarakat kapitalis, maka karya seni rupa akan diproduksi, didistribusi dan dikonsumsi sesuai budaya dominan yang ada di masyarakat tersebut (kapitalisme). Karya seni akan menjadi komoditi serupa barang hasil produksi manufaktur lainnya, yang diproduksi oleh produsen (para pekerja seni rupa) demi tujuan produksi kapitalis. Dengan menggunakan ide-ide individual si pekerja seni, karya seni rupa tercipta semata untuk memenuhi hukum ekonomi; kebutuhan, permintaan dan penawaran terhadap beragam jenis komoditi seni rupa yang sesuai tren di pasaran seni rupa.

Karya seni rupa hanya menjadi salah satu dari sejumlah besar komoditi pasar kapitalis yang diperjualbelikan demi meraup keuntungan. Karya seni rupa dianggap sederajat dengan barang suvenir atau kerajinan. Perbedaannya terletak hanya pada jumlah karya seni rupa yang terbatas, karena diproduksi satuan dan tidak secara masif.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

81

Sebagai produsen, pekerja seni rupa tidak punya kuasa untuk masuk begitu saja ke dalam jaringan distribusi ala kapitalisme yang berlapis-lapis. Di dalam jaringan itu ada pihak pedagang perantara (para kritikus dan kurator) yang berperan sebagai pembuat iklan sekaligus memberi penaksiran dan penilaian nilai jual, ada pula kolektor lokal dan internasional yang merupakan kalangan terbatas pemonopoli jalur jual-beli komoditi, juga pasar terbuka dan tertutup (museum pribadi, ruang pamer pribadi, galeri, ruang pamer umum, balai lelang seni) sebagai tempat memajang komiditi yang akan dijual. Akibatnya, karya seni rupa tidak bisa dinikmati secara bebas oleh semua lapisan masyarakat, melainkan terbatas untuk kalangan elit tertentu atau golongan pemilik kapital.

Sebagai komiditi pasar kapitalis, penciptaan karya seni–baik unsur artistik atau estetikanya, muatan tema atau isi pesannya—tidak terjadi begitu saja sesuai kehendak sang pekerja seni, melainkan diarahkan dan ditentukan oleh pihak ketiga4 sesuai pesanan. Lalu bagaimana halnya dengan fenomena seni jalanan yang merebak selama dekade 1990-an akhir hingga tahun 2000-an? Apakah gejala tersebut mengindikasikan adanya tendensi resistensi terhadap sistem pasar seni rupa yang kapitalistis?

Berkaitan dengan pertanyaan ini, A. Sujud Dartanto mensinyalir bahwa praktek seni rupa jalanan, khususnya mural, “...dipercakapkan oleh adanya resistensi terhadap praktek seni tinggi (high art) sebagaimana dalam tuturan sejarah seni rupa modern Barat.”5

Pendapat ini masih bisa dipertajam lagi dengan melontarkan dua pertanyaan. Resistensi yang bagaimana dan apa yang dimaksud dengan high art itu?

Dari tulisan yang sama, yang merupakan makalah yang disampaikan pada sebuah diskusi bertema Diskusi Mural Kota Yogya yang terselenggara sebagai hasil kerja sama antara Jogja Fine Art Community dan Harian Bernas (yang kemudian dipublikasikan

4 Pihak ketiga yang dimaksud adalah kepentingan jaringan pedagang seni rupa dan tuntutan pasar. 5 Harian Bernas, 17 Maret 2003, hal. 4.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

82

secara luas dalam Harian Bernas) tidak ada penjelaskan secara eksplisit mengenai pengertian resistensi dan seni tinggi (high art) yang dimaksudkan. Namun secara implisit dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud sebagai seni rupa tinggi (high art) adalah seni rupa yang terpisah dari publik luas6 (sekalipun dalam tulisan yang sama dia juga mempersoalkan tentang salah kaprah pengertian yang melihat galeri, museum, ruang pamer dan art shop bukan sebagai ruang publik). Terpisah dari publik luas dapat dikatakan juga sebagai tidak diarahkan untuk kepentingan membangun dialog dengan masyarakat tetapi lebih mengedepankan unsur estetik dan artistik yang diinginkan oleh individu pekerja seninya (lebih terkesan menjunjung tinggi seni untuk seni) dan tidak mengadvakoasi persoalan ekstra estetik. Sedangkan resistensi dimaksudkan sebagai usaha untuk melakukan pengeseran dari pengertian negatif seni rupa tinggi (high art) seperti yang tersebut di atas. Dimana, seni rupa mural memindahkan lokus seni rupa modern yang terkurung dalam ruang privat seniman ke ruang publik, mencoba membangun dialog dengan masyarakatnya dan memperkecil monolog pekerja seni dengan karyanya; mencoba mengadvokasi persoalan ekstra estetik berupa persoalan sosial politik yang berkembang di masyarakatnya.

Dari pernyataan ini terlihat bahwa kehadiran seni rupa pada umumnya, dan seni jalanan khususnya, mengindikasikan adanya jalinan sosial yang rumit. Jalinan sosial itu berupa keterlibatan dan keterkaitan seni rupa dengan unsur-unsur di luar dirinya, yang sebenarnya merupakan kaitan sosiologi dan seni. Pada asumsi Sudjud terasa adanya sedikit tendensi perlawanan seni jalanan terhadap dunia seni rupa mapan di era kapitalisme ini.

Pertanyaan di atas dapat ditinjau kembali lewat pertanyaan berikut; apakah boleh dikatakan kehadiran seni jalanan merupakan wujud resistensi terhadap dominasi tendensi

6 “… seni rupa modern makin terpisah jauh dari masyarakat; yang hanya dipajang atau terisolasi di ruangan privat seniman, yang diasumsikan sebagai bukan ruang publik. seperti galeri, museum, art shop.” (A. Sujud Dartanto, Harian Bernas, 17 Maret 2003, hal. 4).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

83

seni rupa kapitalis? Untuk itu, perlu dilakukan pengkajian terlebih dulu terhadap konteks sosial penyebab munculnya arus seni rupa jalanan.

Kemunculan seni jalanan dapat dikontekskan pada perkembangan nyata sosial historis masyarakatnya, yang bermula pada era 1990-an akhir dan terus berkembang pesat pada tahun 2000-an. Pada awal kemunculannya, yaitu ketika masa pemerintahan rezim

Orde Baru masih berada di puncak kekuasaan, seni jalanan masih berupa gerakan kecil- kecilan, sporadis, kurang masif dan hanya dikerjakan dengan cara “bergerilya”. Sebagai contoh, projek mural yang dilakukan komunitas Apotik Komik, atau lebih tepatnya projek

“menggambar komik”, di permukaan tembok atau kardus yang kemudian dipajang di luar ruangan pada tahun 1997.7

Pada dekade ini, situasi sosial masyarakat Indonesia berada dalam suatu formasi masyarakat kapitalis lanjut. Kapitalisme telah berhasil memenangkan pertarungan melawan musuh ideologisnya, yaitu sosialisme. Satu per satu negara yang mengaku menerapkan sosialisme mengalami collapse akibat gempuran politis, ekonomis, kultural dan ideologis yang masif dilakukan sejumlah negara kapitalis.

Perkembangan kapitalisme lanjut ditandainya dengan makin meluasnya pasar bebas secara global. Kapitalisme sudah menguasai seluruh formasi dan struktur sosial tatanan hidup di semua benua. Di era kapitalisme lanjut ini, yang berkembang tidak hanya industri manufaktur, jasa dan perbankan semata, melainkan juga produksi simbol, imajinasi dan citraan (decoding)—sebagai sesuatu yang maya—yang berkembang secara masif. Pada gilirannya, era estetifikasi hidup menjadikan tubuh dan kehidupan manusia sebagai komoditi estetik juga. Pada akhirnya, komodifikasi hidup dan tubuh pun meruak. Di sini,

7 Menggambar komik pada tembok adalah karya Apotik komik pada awal didirikan, sebelum mengerjakan projek mural kota Yogyakarta.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

84

seni rupa dan kesenian hanya menjadi komoditi yang dibutuhkan dalam rangka estetifikasi atau memperindah kehidupan.

Dalam era kapitalisme konvensional, komoditi diproduksi atau diciptakan karena adanya permintaan (demand). Sebaliknya, permintaan terhadap komoditi juga diciptakan secara masif. Dengan begitu dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu komoditi sebenarnya tidak dibutuhkan, namun karena adanya produksi simbol, imajinasi dan citraan yang terus menerus, maka keberadaan komoditi itu seolah benar-benar diperlukan sebagai pemuas kebutuhan.

Padahal kebutuhan tidak lagi muncul dari dorongan pemenuhan kebutuhan pokok untuk hidup, melainkan diciptakan melalui sejumlah rangsangan yang diproduksi secara masif. Dorongan pemenuhan hasrat terdalam atau nafsu manusia pun dieksploitasi, diproduksi dan direkayasa sedemikian rupa. Sebagai bentuk pemenuhan terhadap kebutuhan tersebut maka diproduksilah beragam simbol dan ikon yang menyertai barang- barang nyata. Pikiran sehat dan rasionalitas manusia dipaksa menepi, untuk kemudian diganti oleh naluri, hasrat dan nafsu yang terus dirangsang secara terus menerus. Di sinilah peran media massa sangat dominan, dan terus berkembang hingga menjadi salah satu sektor penting dalam industri kapitalisme.

Ditandai dengan gencarnya gempuran informasi dan budaya global yang masif, kegilaan masyarakat pada budaya konsumeris pun menggelegak hingga akhirnya mengkontaminasi seluruh tatanan kehidupan yang ada. Strategi kapitalisme adalah terus menerus memproduksi iklan, sebagai ujung tombak penggempur budaya, yang bertujuan memengaruhi perilaku masyarakat untuk mengkonsumsi citra tertentu yang diinginkan guna membangun sebuah identitas yang labil atau selalu berubah—seperti kecepatan sekuel perubahan tampilan gambar di layar televisi. Dalam kehidupan berbudaya, orang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

85

diarahkan untuk mengadopsi dan menciptakan citra (juga imagologi) semudah mengonsumsi komoditas kapitalis lainnya. Kesadaran dan imajinasi individu dirangsang, diarahkan dan dibentuk agar seragam.

Hal ini terjadi ketika rayuan visual dari citraan dan imajinasi tersebut lebih banyak ditentukan oleh terciptanya media pemuas kenikmatan terhadap pemenuhan hasrat mengonsumsi barang, nilai-nilai dan citraan yang diproduksi secara masif oleh kapitalisme lanjut. Maka tidak mengherankan jika ruang hidup manusia, baik ruang privat/domestik maupun ruang publik, dibanjiri oleh citraan iklan. Di ruang domestik keluarga, iklan dijejalkan melalui media cetak, audio visual dan multimedia. Sementara di ruang publik, iklan beragam bentuk dijejalkan di sepanjang badan jalan dan tembok-tembok kota, mulai dari yang berbentuk baliho, spanduk, poster, media elektronik dan multimedia, yang bertujuan mensubversif dan meneror kesadaran manusia.

Sementara itu, kondisi dalam negeri Indonesia didominasi oleh kekuasaan rezim

Soeharto, yang boleh dikatakan mampu mengontrol seluruh tatanan kehidupan masyarakat dengan menggunakan kekuatan politik militeristik dan senjata. Sedangkan seni rupa dan para pelakunya hanya suntuk dalam ruangan seni rupa tinggi yang sempit. Artinya, mereka hanya mengorientasikan seni untuk seni dan sibuk mengejar pencapaian estetika, artistik dan kemajuan tehnik berkesenirupaan semata; sibuk mengarahkan diri demi menangkap peluang ekonomi yang disediakan pasar seni rupa kapitalis; steril dari imperatif advokasi ekstra estetik dan terhadap persoalan sosial politik yang berkembang di masyarakatnya.

Pada fase berikutnya, ketika rezim Soeharto berakhir—setelah mendapatkan tekanan politik yang kuat dari negara kapitalisme (terutama Amerika Serikat) dan tekanan dari dalam negeri berupa rangkaian aksi massa yang dipelopori oleh mahasiswa dan kalangan

Pro Demokrasi lainnya—suasana kebebasan berekspresi dan berdemokrasi sedikit terkuak.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

86

Seiring dengan itu, kebebasan mengekspresikan ide-ide seni, termasuk seni rupa, turut menyeruak. Dalam situasi politik yang demikian, mulailah bermunculan sejumlah prakarsa untuk menggulirkan seni rupa ruang publik atau seni rupa jalanan. Suasana eforia kebebasan, demokratisasi dan reformasi, menyediakan peluang dan ruang yang relatif bebas kepada para pekerja seni untuk melakukan kerja atau praktek kesenian di ruang publik. Suatu hal yang tidak mungkin diperoleh di masa kekuasaan rezim Orde Baru.

Model berkesenian di ruang publik pun mulai banyak dilakukan. Berkaitan dengan itu, sebagian pihak yang berusaha menenggarai kehadiran seni jalanan sebagai upaya untuk memperebutkan kembali pemaknaan terhadap ruang publik justru dipandang sebagai usaha “perlawanan” terhadap kenyataan yang ada, bahwa semakin terampasnya ruang publik demi kepentingan ekonomi—karena pada kenyataannya ruang publik bisa pula dibeli untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Dalam usaha perebutan ruang publik ini, kepentingan ekonomi dan modal selalu menang dan dominan. Hal tersebut terlontar dalam acara talkshow bertema Sama-sama/You Are Welcome yang diadakan di Rumah

Seni Cemeti oleh seorang seniman mural asal San Fransisco, Amerika Serikat.8

Dikatakannya pula bahwa pada kondisi seperti itu mural menjadi senjata perlawanan seni terhadap peminggiran yang dilakukan politik terhadap penguasaan, dan pengaturan ruang publik demi kepentingan modal atau periklanan industri, serta perlawanan terhadap penindasan manusia.

Projek seni jalanan di Yogyakarta (seperti yang banyak dijalankan melalui projek mural) mulai tampak marak pada tahun-tahun setelah terjadinya reformasi; yang diawali dengan jatuhnya kekuasaan Soeharto. Fenomena menguatnya aksi seni jalanan pasca reformasi ini memiliki karakteristik eforia demokrasi. Meluasnya kebebasan berkreatif

8 Harian Kedaulatan Rakyat, 29 Juli 2003

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

87

tersebut mendorong para pekerja seni untuk mengekspresikan apa saja di ruang publik, meski seringkali hanya terkesan sebagai bentuk dorongan kebebasan individualnya semata.

Selain projek mural, di kota Yogyakarta juga mulai marak fenomena gerakan budaya yang digulirkan oleh komunitas Lembaga Budaya Kerakyatan (LBK) Taring Padi, yaitu gerakan pemasangan poster dan grafis, serta pagelaran panggung seni dan karnaval seni jalanan. Apotik Komik dan LBK Taring Padi adalah dua komunitas budaya yang tumbuh hampir bersamaan di masa akhir kekuasaan rezim Soeharto dan berkembang pesat pada masa pasca Orde Baru. Pada masa itu, eforia reformasi dan demokrasi merebak sedemikian rupa di tengah masyarakat, yang kemudian seolah memberi semangat baru pada kehidupan seni jalanan yang hampir padam. Seni jalanan pun mulai mengeliat.

Ada perbedaan yang menarik dari pola gerakan budaya yang dilakukan oleh LBK

Taring Padi dibandingkan projek seni rupa ruang publik (projek mural) milik Komunitas

Apotik Komik. Pola gerakan budaya LBK Taring Padi bersifat terbuka atau melibatkan kalangan luas; secara independen tidak menunggu atau mengusahakan adanya ijin dari pemegang otoritas kekuasaan; tidak hanya terbatas pada pengertian seni rupa lukis melainkan multimedia; ada unsur perayaan kebebasan secara bersama-sama dengan elemen lain (masyarakat); memiliki advokasi ekstra estetik yang kuat; secara radikal menolak politik pasar seni rupa kapitalis, bahkan secara naif menolak kurator, galeri dan jaringan kolektor. Sedangkan gerakan projek mural Apotik Komik bersifat sebaliknya.

Walaupun melibatkan para pekerja seni dan kalangan masyarakat, projek ini tidak menekankan aspek politis pada pesan-pesan mural yang diusungnya sehingga cenderung steril dari usaha advokasi ekstra estetik; tidak terlalu mengusung retorika tinggi resistensi terhadap sistem produksi, distribusi dan konsumsi seni rupa yang kapitalistik.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

88

Gambar 29. Poster-poster yang dibuat LBK Taring Padi dan dicetak ribuan lembar. Pada tahun 1999-2003 ditempel di jalanan kota Yogyakarta, Jakarta dan Bandung. (Foto :Dok. penulisi, 2001)

Namun demikian apa yang diciptakan oleh LBK Taring Padi dan Apotik Komik keduanya memberikan pengaruh yang cukup kuat pada perkembangan seni jalanan

Yogyakarta. Fenomena mural telah mendorong perkembangan seni jalanan menjadi semakin artistik, demikian pula ke-radikal-an LBK Taring Padi. Jika kita dalami lebih lanjut apapun bentuknya, isi tulisannya (tag atau logos), dan setinggi apapun artistiknya, seni jalanan akan tetap dianggap sebagai keliaran dan protes terhadap kemapanan karena cara-cara pembuatannya.

C. Respon Pemerintah

Kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua seni jalanan dapat menampilkan kesan indah, malah sebaliknya tidak sedikit juga yang menimbulkan kesan kotor. Selain itu, jika karya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

89

seni jalanan, apapun bentuknya, ditempatkan di suatu lokasi tanpa seijin pemilik tempat, maka perbuatan ini dikategorikan sebagai vandalisme karena merusak properti orang lain.

Oleh karena itu, keberadaan seni jalanan di berbagai kota di Indonesia-pun mulai dipertanyakan. Namun demikian, sejumlah orang berpendapat bahwa keberadaan grafiti atau mural di dinding ruang publik jauh lebih baik daripada deretan selebaran iklan, brosur atau poster yang saling tumpuk.

Tema grafiti dan mural yang dianggap menganggu (biasa berisi kritik) walaupun tampilannya menarik juga sering diberi label kotor oleh pemerintah. Sebagai contoh; pada tahun 2001, Pemerintah DKI Jakarta menghapus semua lukisan mural dengan cat putih. Alasannya, karya tersebut tidak berijin dan menimbulkan kesan kotor, apalagi jika melihat warna mural yang cenderung gelap, seperti yang banyak terpampang di bawah jembatan atau pinggir jalan. Namun jika dilihat dari temanya, kemungkinan besar alasan penghapusan mural itu karena Pemerintah DKI Jakarta merasa gerah dengan isi pesan yang disampaikan.

Pekerja seni yang membuat mural ini menyadari betul bahwa karena mural mempunyai sifat yang langsung berhadapan dengan publik, sehingga tentulah akan tidak menarik jika tema lukisan atau gambar yang disuguhkan sukar dimengerti. Hal inilah yang menjadi pemikiran beberapa pekerja seni yang sengaja mengangkat tema-tema kritik sosial dalam karya mural mereka. Misalnya, salah satu mural di kaki jembatan Jl. Rasuna Said yang bermuatan pesan anti kekerasan dan disajikan dalam bentuk visual yang menurut pejabat Pemda “mengandung pornografi” dan Pemerintah tidak menerima adanya lukisan

“yang tidak senonoh”.9 Padahal jika dilihat ke belakang, karya yang dihapus itu adalah

9 Harian Kompas, 14 Agustus 2001.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

90

bagian dari acara Jak@rt yang dipelopori oleh Institut Kesenian Jakarta, dan sudah mengantongi ijin penyelenggaraan acara.10

Persoalan penghapusan mural oleh Pemerintah DKI Jakarta menimbulkan perdebatan. Banyak yang menilai pemerintah seharusnya lebih luwes dan mencoba belajar dari apa yang berkembang di masyarakat. Namun tindakan Pemerintah DKI Jakarta itu ternyata tidak bisa mencegah munculnya kembali mural dan grafiti di jalanan kota Jakarta, yang dilakukan para pelakunya dengan cara sembunyi-sembunyi.

Jika ditinjau lebih jauh, kesan kotor pada tampilan wajah kota sebetulnya bukan hanya karena keberadaan grafiti atau mural semata, tetapi juga penempatan iklan besar

(billboard), poster, brosur yang sembarangan. Terlebih mendekati musim Pemilihan

Umum (Pemilu) atau pemilihan yang bersifat daerah (Pilkada), maka spanduk, tempelan poster atau atribut partai pun bermunculan di mana-mana menambah kesan kumuh kota.

Pada tahun 2004, berawal dari perang poster antara perusahaan periklanan dan partai politik di sejumlah dinding fondasi jembatan layang, Pemerintah DKI Jakarta yang merasa gerah karena persoalan itu akhirnya angkat bicara. Sebagai langkah lanjutan yang tampaknya berasal dari hasil pembelajaran pemerintah terhadap persoalan di tahun 2001,

Gubernur Pemerintah DKI Jakarta, Sutiyoso menegaskan bahwa dinding fondasi jembatan layang sebaiknya dihiasi mural saja., dengan syarat pemilihan gambar harus tidak menimbulkan kesan “kotor” (tema bukan kritik sosial). ”Saya memberikan kesempatan kepada seniman-seniman untuk memperindah kota ini dengan aneka lukisan. Tetapi, gambarnya harus bersifat mendidik,” ujar Sutiyoso. Mendidik yang dimaksud adalah,

”Gambar yang bernuansa flora dan fauna.” 11

10 Lebih lanjut dijelaskan, acara itu adalah acara seni urban yang diadakan secara berkala (tahunan) yang dipelopori oleh IKJ. Karya-karya yang ditampilkan merupakan watak dari seniman urban Jakarta pada umumnya.(Agung Puspito, Mengenal Aksi Seniman Urban, http://www.art-ysri.or.id/senirupa.asp?xy=20) 11 Kompas Cyber Media, 8 April 2004.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

91

Agaknya kebijakan Pemerintah DKI Jakarta ini memberikan pelajaran bagi pemerintah kota (Pemkot) Yogyakarta yang mempunyai persoalan kota yang hampir sama.

Pemkot Yogyakarta melihat kotornya tampilan kota adalah akibat dari banyaknya grafiti, untuk itu dipandang perlu untuk melibatkan semua elemen masyarakat untuk menyelesaikan persoalan itu. Pemkot Yogyakarta kemudian tertarik melihat perkembangan mural di Yogyakarta dan menganggap mural dapat menekan perkembangan grafiti yang dianggap kegiatan liar.

Pembuatan mural di Yogyakarta sebelum tahun 2002 masih sebatas gerakan sporadis beberapa seniman maupun kelompok seniman. Barulah pada tahun 2002–2003, pembuatan mural berkembang semakin pesat melebihi kota lainnya di Indonesia; tepatnya setelah

Apotik Komik membuat projek mural kota. Projek mural kota ini menginspirasi masyarakat untuk ikut membuat mural dengan mengadakan lomba, sehingga terciptalah

“fenomena mural” yang menjadikan tembok-tembok kota Yogyakarta dipenuhi lukisan dinding.

Melalui lomba tersebut pemerintah berharap dapat menumbuhkan minat warga terhadap karya seni dan meningkatkan kesadaran mereka terhadap pentingnya arti menjaga keindahan dan kebersihan lingkungan. Kegiatan semacam itu juga diharapkan dapat menjadi sarana untuk menyalurkan hobi seni lukis dan grafiti masyarakat setempat, sekaligus dapat mengurangi aksi corat-coret liar di dinding ruang publik.12

Walikota Yogyakarta H. Herry Zudianto mengatakan bahwa kehidupan kota

Yogyakarta yang kental dengan nuansa seni budaya telah memposisikan seni sedemikian rupa sehingga seolah-olah telah menjadi nafas bagi seluruh warga kota. Berkesenian bukan lagi aktivitas eksklusif yang dimiliki kalangan seniman profesional, tetapi merupakan hak

12 Mural bagi Keindahan Kota, http://upik.jogja.go.id/news/index.cfm, (diakses 12 September, 2006)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

92

seluruh individu. Karenanya, setiap individu dapat mengekspresikan ide, gagasan dan perasaannya melalui ragam bentuk seni, diantaranya seni lukis, termasuk mural,13 namun pada kenyataannya walaupun mural dipandang mampu memberikan ruang alternatif untuk mengaktualisasikan ide seni oleh siapapun dapat menjadi kontraproduktif bagi keindahan tampilan kota (semula positif berubah menjadi negatif), jika mural yang dibuat tidak terkonsep dan pembuatnya tidak menguasai teknik melukis dengan baik.

Gambar 30. Iklan di barisan mural. Lokasi: Kotabaru, Yogyakarta. (Foto: Dok. penulis, 2008)

Sementara itu di lain pihak, perusahaan biro iklan yang menyadari bahwa ruang publik sudah kembali ke masyarakat terpaksa harus mencari jalan untuk memasarkan produknya di ruang yang sama. Dengan pintar, biro iklan kemudian mencoba memanfaatkan mural dan fenomena yang sedang merebak itu. Maka muncullah mural jenis baru, yaitu mural iklan. Selain beriklan lewat muralnya sendiri, tidak jarang beberapa biro iklan menempatkan diri sebagai sponsor dalam projek pembuatan mural masyarakat, dan meminta agar produknya dijadikan bagian dari mural.

Menurut data yang dikumpulkan Samuel Indratma, penggagas mural di Yogyakarta sekaligus seniman Apotik Komik, telah lebih dari lima ratus karya mural yang dihasilkan

13 Dalam sambutan tertulis Walikota Yogyakarta, H.Herry Zudianto, yang dibacakan Drs M. Sudibyo, Kabid Seni-Budaya. Dinparsenibud Kota Yogyakarta, pada pembukaan lomba mural yang diadakan oleh masyarakat RT.03-04, RW 01, Kelurahan Ngampilan, pada hari Minggu, 10 September. Lomba tersebut mengambil lokasi di dinding Kantor Pertanian dan Kehewanan Kota Yogyakarta.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

93

masyarakat Yogyakarta. Hal tersebut mengindikasikan adanya usaha untuk menjauhkan masyarakat dari penyakit sosial, selain juga sebagai usaha yang bagus untuk mengajak berbagai lapisan masyarakat, mulai dari yang muda hingga tua, untuk bersama-sama menciptakan kondisi kota yang bersih dan indah.14

Pemkot Yogyakarta mendukung projek mural kota Yogyakarta karena motif yang mendasari projek mural Yogyakarta, yaitu untuk menjaga kebersihan dan keindahan kota dari aksi grafiti yang dianggap mengotori dan mengancam tampilan wajah kota, sejalan dengan kebijakan pembangunan Pemkot Yogyakarta; menjaga kebersihan, keindahan dan citra pembangunan. Selain itu, kebanyakan tema atau pesan yang diusung tidak berbentuk kritik sosial, bahkan terkesan sangat meminamalisir atau bahkan menjauhi isi pesan semacam itu (isu atau kritik sosial).

Mural kota Yogyakarta pada tahun 2002-2003 memang terbukti berhasil menekan perkembangan grafiti, tetapi tidak lama kemudian grafiti yang berkembang menjadi seni jalanan (street art) bermunculan kembali, bahkan dengan visual dan warna-warna yang lebih menarik. Respon pemerintah terhadap seni jalanan dengan berbagai cara untuk menghentikan agaknya tidak berhasil.

D. Privat-nya Ruang Publik

Dalam projek Re-Publik Art yang berlangsung di Yogyakarta pada tahun 2005, perbincangan mengenai konsep kota bagi publik mulai merebak. Kota dianggap telah menjadi ikon dagang bagi sejumlah merek produk global, yang dicurigai tidak memberi cukup ruang dalam menciptakan ruang publik. Ruang publik, dalam kategori spasial kota, adalah ruang yang ditujukan untuk kepentingan publik. Modernitas yang menghasilkan pesan-pesan komersial, seperti iklan, adalah pihak yang bertanggung jawab atas

14 Obed Bima Wicandra, Street Art Menyapa Kota, Harian Jawa Pos, 5 Februari 2006.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

94

dehumanisasi yang tercipta dalam ruang. Ruang publik merupakan salah satu jalan bagi anggota masyarakat untuk menemukan kembali ruang kemanusiaannya.

Yang terjadi kini adalah ruang publik dianggap telah hilang dan dipertanyakan keberadaannya. Anggapan ini muncul setelah melihat kenyataan bahwa kota telah berubah menjadi hutan rimba visual; yang dipenuhi beragam ungkapan visual yang tidak teratur dan saling berebut tempat. Namun di sisi lain, berkarya seni atau menampilkan karya di ruang seni bisa saja dipandang sebagai upaya menampilkan ekspresi pembuatnya, yang mempunyai sifat sangat individual. Sementara wilayah ruang publik sendiri adalah wilayah tanpa kepemilikan. Hal ini menyebabkan siapapun yang akan memasuki wilayah ruang publik diharapkan mempunyai kesadaran untuk membatasi atau menyesuaikan diri dengan sifat ruang publik yang dimasukinya.

Alasan seniman ingin menampilkan karyanya di ruang publik, atau memawacanakan ruang publik, adalah karena terdapat kerinduan mendasar di dalam diri si seniman untuk berinteraksi dengan khalayak. Sebuah hasrat dari seorang pencipta—yang esensial untuk kelangsungan pilihan hidupnya—untuk menghadapi tantangan dan menghadapi kecermatan khalayak yang lebih banyak. Inilah cara yang ia pilih untuk berkomunikasi lebih luas—yang tentu saja memerlukan ruang yang luas pula.

Semua aspek kehidupan mengambil tempat (terjadi) di dalam ruang, atau mengekspresikan dirinya di dalam ruang. Seni adalah aspek kehidupan yang sangat fundamental, sebab hanya mungkin dikembangkan oleh manusia untuk memenuhi rasa keindahan, renungan dan sikap kritisnya, yang mewacanakan kebersamaannya.

Meletakkan seni di dalam ruang publik bisa pula berarti “memperluas” keterjangkauan manusia terhadap keindahan. Usaha seniman memperluas audience-nya selalu diartikan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

95

sebagai keinginan untuk mencapai “khalayak” yang sifatnya serupa sebuah horizon yang utopis; bila didekati selalu menjauh, tidak pernah tercapai.

Secara umum, ruang publik adalah tempat pertemuan semua orang. Secara khusus, ruang publik adalah dialog antara arsitektur dan seni rupa pada proses penciptaannya; dalam menafsirkan masyarakat dan meminta perhatian mereka atas kualitas urbanitas dan seni budaya. Para pekerja seni jalanan yang menampilkan karyanya di tempat umum atau di ruang kota yang terbuka menyadari bahwa mereka memasuki wilayah publik yang juga wilayah penciptaan disiplin ilmu yang lain (arsitektur), serta persoalan masyarakat setempat. Namun begitu, karya yang dibuat di ruang publik tentunya tidak bisa begitu saja terlepas dari inspirasi dan tujuan egoistik para pelakunya.

Adanya kenyataan berupa tuntutan dari kalangan awam dan seniman pada pemerintah, tentang perlunya regulasi Pemda untuk mengatur tata cara memproduksi seni rupa di ruang publik dan aturan hukum untuk melindungi karya mural di jalanan, bagaimana pun juga tetap mengandung unsur negatif. Unsur negatif itu bisa berupa usaha sterilisasi pesan mural yang bermuatan politis dan kebebasan, demi alasan norma sosial, etika dan moralitas. Di sisi lain, regulasi tersebut juga akan bermakna negatif karena memungkinkan adanya sterilisasi terhadap pelaku seni; yang boleh memproduksi seni di jalanan hanyalah para pekerja seni. Sebagai dampak sterilisasi ini adalah terciptanya kesan mengekslusifkan para pekerja seni. Masyarakat awam (pembuat grafiti) tidak diberi peluang, atau dihambat, untuk mengekspresikan ide-ide seni dan kreativitas mereka dalam sebuah ruang.

Posisi mural yang ditempatkan sebagai solusi untuk mengurangi coret-coret di jalanan Yogyakarta, seperti yang banyak diwacanakan oleh media cetak, telah memunculkan kesan bahwa seni grafiti membawa pengaruh buruk bagi tampilan wajah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

96

kota yang sedang membangun kesan bersih, rapi dan tertata ini. Maka tidak mengherankan jika dalam setiap aksinya, kelompok grafiti kerap berurusan dengan Satpol Pamong Praja atau pihak Kepolisian. Sebuah kenyataan yang justru dianggap sebagai tantangan oleh para pembuat grafiti, dan memicu perkembangan grafiti yang terus meningkat sejak tahun

2000-an; seiring kecanggihan teknologi yang memberikan kemudahan mengakses referensi dan berinteraksi dengan komunitas sejenis lewat media internet. Hal ini berakibat visual yang dihadirkan oleh para pembuat grafiti semakin artistik pula; tidak lagi berupa coretan liar nama sekolah, nama kelompok, atau kata-kata yang tidak bermakna.

Berbeda dengan mural yang proses pengerjaannya lebih lama, seni grafiti maupun stensil bisa diselesaikan dalam waktu yang cukup singkat. Lamanya proses pengerjaan itu menyebabkan seniman mural mau tidak mau harus berkompromi dengan pihak pemegang otoritas. Selain itu, seni mural juga menuntut adanya relasi sosial antara seni itu sendiri dengan kondisi masyarakat sekitar.15 Sifat mural yang penuh ketelitian dalam pengerjaan memunculkan kesan sempurna, yang berbeda dari kesan yang dihasilkan grafiti atau bentuk street art lainnya. Namun terlepas dari semua itu, Pemda Kodya Yogyakarta tampaknya tidak terlalu mempersoalkan apakah karya seni yang menghias tembok dan sisi jalan di ruang publik itu mural atau grafiti. Yang penting bagi pemerintah adalah hasil karya tersebut tidak bertentangan dengan program pembangunan yang sedang mereka jalankan dan yang pasti dapat memperindah tampilan kota.

E. Jalanan Potret Imajinasi (demokrasi) Indonesia

Visual seni jalanan yang biasanya berupa teks (inisial/tag) sangat sulit dimengerti maksudnya, karena biasanya teks yang tertulis sering berupa rangkaian huruf dan bukan

15 ibid

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

97

merupakan kata. Huruf-huruf yang dirangkai sedemikian rupa dengan menggunakan banyak warna ini biasanyanya dibuat malam hari ketika jalanan telah sepi. Menurut keterangan Suratno (30 tahun) pedagang angkringan di sisi timur Jl. Gejayan (dekat Bank

Niaga), tepat di seberang jalan tempat ia berjualan, ada grafiti di rolling door sebuah dealer motor, yang bertuliskan YORC, dibuat dengan perpaduan warna hitam, putih dan biru. Ia mengaku tau, saat tulisan itu dibuat. Kira-kira pukul 00.00 oleh beberapa anak muda yang bersepeda BMX. Ia mengganggap sekumpulan anak muda itu adalah anggota gank. Kalau yang biasa, cukup menulis QZR, JXZ atau RGZ dengan satu warna, tetapi yang membuat YORC itu rada nyeni, begitu katanya. Warna dan jenis huruf yang dipakai beragam, dan juga gaya pakaian yang dikenakan sejumlah anak muda itu rada nyeleneh.

“Ada yang beli es teh di sini, anting-anting yang dipakai besar dan memakai topi mirip pelukis” kata pedagang angkring itu. Saat ditanya kesannya pada grafiti itu, ia malah balik bertanya, “Piye yo?” Ia menambahkan, “Mungkin kalau si pemilik dealer tau, bisa marah. Lha rolling door-nya dicorat-coret”. Saat ia diminta membayangkan kalau saja ia yang jadi pemilik dealer, ia bilang begini, “Aku minta mereka menggambar yang bagus sekalian”.16

Sedangkan Dian (21 tahun) mahasiswi, yang sesekali berkunjung ke diskotik atau kafe dan menggemari musik jenis techno, yang biasa disebut juga etnic rhythm dan hip hop, agak kebingungan saat ditanya bagaimana kesannya terhadap grafiti yang pernah dilihatnya. Ia bilang lupa dan tidak pernah melihat grafiti dengan jeli, hanya sepintas.

Pendapatnya: “...kan aku mesti konsentrasi memperhatikan jalan, rambu lalu lintas dan kendaraan-kendaraan yang lain. Kalau aku memperhatikan grafiti, bisa-bisa aku nabrak orang”. Ia menambahkan, tak merasa perlu memperhatikan sejumlah grafiti di ruas-ruas

16 Wawancara dilakukan pada tanggal 20 November di Yogyakarta.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

98

jalan yang ia lewati. 17 Menurutnya seni jalanan yang berkembang akhir-akhir ini kemudian hanya dapat dimengerti oleh masyarakat yang terlibat di dalamnya karena orang awam tidak terlalu mengerti maksud dari seni jalanan itu.

Suratno tentu berbeda dengan Dian, Suratno yang tidak berkendaraan tentunya akan bisa lebih lama memandang sebuah karya seni jalanan dibanding dengan Dian yang berkendaraan mobil. Bagi pelaku pembuat seni jalanan tentunya mempunyai bayangan karyanya akan dilihat orang, bisa dari dalam mobil yang ber “AC” atau siapapun berkendaraan atau tidak untuk melihat karyanya. Seharusnya prinsip-prinsip kepublikan harus dijadikan pertimbangan sewaktu membuat karya seni jalanan, karena seni jalanan mengambil ruang publik (tembok jalanan) dan agar juga mudah dimengerti maksudnya.

Ruang publik secara umum dapat diartikan sebagai sebuah ruang tempat pertemuan semua orang yang tidak dimiliki oleh siapapun, bersifat terbuka, sekuler dan non partisan.

Ketika berada di ruang publik, seseorang senantiasa sadar bahwa dia harus membatasi atau menyesuaikan diri dengan sifat ruang publik yang dimasuki.18 Ruang publik umumnya berbentuk taman, alun-alun (town square), jalanan dan tempat-tempat yang dapat dikunjungi secara bebas (tanpa batas waktu, tanpa ijin), dan tidak mengeluarkan biaya.

Ruang publik adalah bagian penting dari kota, sebab di tempat ini masyarakat saling bertemu dan berinteraksi, sekaligus merupakan simbol yang bisa digunakan untuk memahami kota beserta budayanya. Selain itu, dapat pula dikatakan bahwa ruang publik merupakan persepsi kolektif dan imajinasi masyarakat, yaitu tempat dimana mereka bisa berkumpul, berjalan-jalan, berkendaraan, ataupun berolahraga. Di tempat itu masyarakat bertemu, saling sapa, berinteraksi dan berpartisipasi dalam kehidupan keseharian komunal yang kemudian disebut kota. Pembangunan atau pemekaran kota tanpa

17 Wawancara dilakukan pada tanggal 20 November di Yogyakarta. 18 Marco Kusumawijaya. 2000, Ruang publik: dialog antara arsitektur dengan seni rupa, http://www.karbonjournal.org/?p=59&language=id (diakses 14 April 2007).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

99

mempertimbangkan publiknya menyebabkan ruang publik terlihat sebagai bagian dari sisa lahan pembangunan. Di ruang sisa inilah seringkali terjadi perebutan tempat antara individu atau kelompok yang mengusung berbagai kepentingan (poster iklan, seni jalanan, atribut propaganda partai, pedagang kaki lima dan preman). Tidak adanya kesadaran publik bahwa ruang tersebut milik mereka bersama menyebabkan ruang terbuka (sisa) kota ini menjadi sulit terawat.

Padahal ruang (publik) tidak dapat dipisahkan dari individu dan masyarakat yang mengisinya. Sedangkan dalam keseharian, individu dan masyarakat tersebut berhubungan dengan situasi, aksi, hukum dan kebiasaan sehari-hari yang mengikuti gaya hidup. Pierre

Bourdieu, seorang sosiolog Perancis, menggunakan istilah habitus untuk menggambarkan segmentasi dan permainan ruang dalam masyarakat. Habitus, menurut Bourdieu, berkaitan dengan situasi, aksi, prosedur, praktek-praktek keseharian yang mengikuti jenis dan gaya hidup tertentu. Habitus ini menentukan individu di dalam dunia kemasyarakatan (gender, kelas, ras, status dan sebagainya). Hal itulah yang kemudian menentukan pandangan seseorang dalam konsepsi ruang. Artinya, ruang itu diproduksi secara sosial oleh masyarakat, merupakan cermin tatanan sosial, dan dijadikan sebagai alat kontrol, dominasi dan kekuasaan.19

Ketika jaman memasuki era kapitalisme global, wajah ruang dan bentuk komunikasi di dalamnya semakin semrawut karena sangat bernuansa komersial, dengan gaya yang semakin bersifat global. Maka terjadilah apa yang disebut sebagai segmentasi ruang berdasarkan tujuan-tujuan komersil dan kepentingan politik tertentu, yang merupakan suatu bentuk penggunaan kekuasaan (politik dan ekonomi) dalam menentukan keputusan mengenai ruang dan ekspresi visual yang ada di dalamnya.

19 Henry Lefebvre, The Production of Space, Basil Blackwell, London, p.26.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

100

Gambar 31. Semrawut (perebutan tanda) baliho iklan di depan mural. Lokasi; tembok Stadion Kridasono, Yogyakarta. (Foto: Dok.penulis, Juli,2007)

Keputusan mengenai ruang tentunya harus memperhitungkan masyarakatnya dengan mempertimbangkan publicity (kepublikan) yang dapat dilihat sebagai salah satu instrumen keterlibatan peranan masyarakat dalam menentukan keputusan yang menyangkut masyarakat itu sendiri. Kepublikan merupakan gambaran dari hubungan komunikasi di dalam satu masyarakat. Semakin demokratis satu masyarakat semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat dalam menentukan keputusan yang menyangkut dirinya sendiri, khususnya keputusan mengenai ruang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepublikan berkaitan keadilan sosial, yakni persamaan hak masyarakat dalam berpartisipasi dan menentukan keputusan ruang.20

Penjarahan ruang oleh masyarakat (misalnya, pedagang kaki lima yang berjualan hingga memenuhi setengah badan jalan) atau keberadaan seni jalanan di sejumlah ruang

20 Yasraf Amir Piliang (1996) “Visual Art dan Public art” dalam Idi Subandi Ibrahim (ed), Lifestyle Ecstasy, Jalasutra: Yogyakarta p. 327

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

101

publik mencerminkan upaya perlawanan terhadap arogansi kekuasaan. Perlawanan ruang adalah perjuangan perebutan teritorial, baik fisik maupun simbolik. Selain itu, terjadi pula perebutan tanda (semiotic strugles) dan makna pada ruang, yang menunjukkan adanya indikasi bahwa ruang pun telah menjadi arena perebutan ideologi. Perebutan itu juga dapat disebut perebutan kultural, karena ada bentuk visual (tanda) dan makna yang mendapat posisi hegemoni dan ada pula yang mendapat posisi marjinal.21 Dalam wacana ruang, kode dapat dikatakan sebagai cara tertentu pengorganisasian ruang beserta ungkapan- ungkapan visual (khususnya seni publik) yang ada di dalamnya, sehingga menghasilkan makna-makna tertentu yang dipahami secara sosial.

Sedangkan yang dimaksud dengan seni publik (public art) adalah karya seni yang menempati ruang publik. Penempatan atau pembuatan karya seni di ruang publik ini biasanya disetujui oleh pihak berwenang dan pemberi sponsor. Karya seni yang dibuat dihadirkan dengan cara menyesuaikannya dengan lingkungan sekitar (alam, arsitektur) dan juga melalui sejumlah pertimbangan tertentu.22 Arsitektur memiliki peran yang khusus karena dianggap dapat memberikan ruang untuk seni umum kota. Sementara itu, kepublikan juga bukan monopoli genre kesenian tertentu.23 Kepublikan adalah sikap

21 Ibid 22 “The term public art properly refers to works of art in any media that has been planned and executed with the specific intention of being sited or staged in the public domain, usually outside and accessible to all. The term is especially significant within the art world, amongst curators, commissioning bodies and practitioners of public art, to whom it signifies a particular working practice, often with implications of site specificity, community involvement and collaboration. The term is sometimes also applied to include any art which is exhibited in a public space including publicly accessible buildings”, http://Urban Futures.org/publicart (diakses 14 April 2007). 23 “Seni sastra menjadi ‘public’ ketika kaum modernis awal Rusia mengarang cerpen yang mudah diperbanyak dan terjangkau oleh masyarakat luas. Seni lukis menjadi ‘public’ ketika dijadikan cetakan (sketsa, cukilan, dsbnya) sehingga dapat diperbanyak dan dinikmati orang banyak dengan murah. Seni patung menjadi ‘public’ ketika dipindahkan ke luar galeri. Henry Moore dan Barbara Hepworth, dua pematung utama Inggris, menjadikan seni patung bagian tidak terpisahkan dari ‘public space’ ketika memulai patung modern yang memang untuk maksud demikian. Seni instalasi, seni peristiwa, merayakan publicness itu sendiri sebagai bentuk kesenian. Seni teater dan tari menjadi umum ketika diperagakan secara merakyat di tempat umum. Seni musik menjadi ‘public’ ketika keluar dari ‘kamar’, melalui gedung pertunjukan, sampai ke panggung terbuka. Landscape design adalah seni yang sangat public, bahkan yang di halaman rumah orang per-orang sekalipun, apalagi yang di tengah-tengah ruang terbuka kota.” Marco Kusumawijaya,Ruang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

102

kesenian yang menginginkan keterjangkauan yang merakyat. (Kusumawijaya: 2000)

Namun seni publik sering dikerjakan dan dibuat berdasarkan pesanan pemodal atau pemerintah melalui sebuah departemen yang diserahi tanggung-jawab untuk mengaturnya, yaitu Departemen Kebudayaan. Karya-karya ini dipertunjukkan sebagai pembenaran legitimasi atas tujuan (politik) tertentu dan bersifat otoriter.

Seni (rupa) publik harus dibuktikan ada bukan saja secara fisik tetapi juga secara konsep, karena dilandasi oleh suatu rancangan penciptaan yang menuntut keberadaan seni yang direpresentasikan dalam ruang publik. Terdapat dua pengertian yang berbeda antara seni (rupa) dan publik. Seni (rupa) adalah media ekspresi para pekerja seni dan publik berarti orang banyak atau umum. Maka ketika dua pengertian tersebut disatukan akan diperoleh pemahaman atas aktivitas seni yang dipresentasikan melalui suatu media yang ditempatkan di sebuah ruang yang bersifat terbuka oleh para pekerja seni, dimana masyarakat bisa langsung berhubungan dengan karya seni tersebut. Bagaimana pun juga, ruang publik berbeda dengan kanvas sebagai media konvensional. Hal ini tentu saja membawa konsekuensi tersendiri yang tidak hanya berhubungan dengan media, materi, dan ukuran, namun pada sesuatu yang jauh lebih luas. Yaitu, konsekuensi yang berkaitan dengan konsep yang mendasari penciptaan seni dengan memakai ruang nyata sebagai tempat merepresentasikan karya tersebut sehingga bisa langsung berdialog dengan masyarakat luas.24

Publik: Dialog AntaraArsitektur Dengan Seni Rupa, http://www.karbonjournal.org (diakses tanggal 21 Mei 2006). 24 FX. Harsono. (2000) Seni Rupa dalam Ruang Publik, http://www.karbonjournal.org (diakses 14 April 2007).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

103

Gambar 32. Mural pada bak sampah. Lokasi; depan THR Gondomanan, Yogyakarta (Foto: Dok. penulis, 2004)

Pendapat ini mensyaratkan kepada bahwa untuk menciptakan sebuah karya seni publik para pekerja seni harus benar-benar memahami lingkungan, kondisi, ruang, dan budaya masyarakatnya, agar karya yang diletakkan di ruang publik tersebut tidak bertentangan atau dapat diterima oleh masyarakat setempat.

Ditegaskan oleh Philips bahwa seni publik dapat dianggap sebagai sebuah representasi visual yang diciptakan berdasarkan bingkai-bingkai ideologi, sosial dan politik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seni publik juga menentukan posisi ideologi dan kepercayaan suatu masyarakat.25 Terkait dengan apa yang diutarakan Philips, dan mengingat ruang publik yang telah dikuasai oleh komponen-komponen komersial, maka seni publik (visual) seharusnya dapat memperkaya pengalaman estetik, spiritual dan kemanusiaan dengan cara mengembangkannya menjadi alat yang dapat menggali kapasitas manusia yang paling dangkal, yaitu hasrat. Tantangan seni publik masa kini

25 Patricia Philips (tanpa tahun), Public Space, dalam Ine Gwvers (ed), Place, Position, Presentation, Public, Jan van Eyk Akademie, p.175

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

104

adalah bagaimana menyusun sebuah agenda untuk mengisi ruang publik dengan ekspresi- ekspresi visual yang tidak terperangkap oleh komersial yang bersifat kontradiktif.

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa telah terjadi pemodifikasian ruang berdasarkan komersialisasi. Hal itu mengindikasikan adanya perebutan ruang yang kerap terjadi, yang berhubungan erat dengan kekuasaan (kepentingan politik atau ekonomi tertentu). Dalam hal ini, ruang publik yang dimaksud adalah ruang sisa dari lahan pembangunan. Di ruang sisa itulah seni jalanan bersaing dengan ekspresi visual lain untuk saling berebut tempat.

Namun mengingat sifat seni jalanan yang identik dengan vandal, maka keberadaannya yang menyebar hampir di seluruh ruang publik dapat dianggap sebagai perlawanan terhadap hegemoni budaya yang mendominasi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB V

PENUTUP:

KERESAHAN JALAN(AN) DALAM PEMAKNAAN

Ada sebuah lagu yang diciptakan Iwan Fals dalam album Indonesia Dalam Berita, yang populer di tahun 1990-an, berjudul “Coretan Dinding”. Lagu ini setidaknya dapat memberikan gambaran bagaimana dinding kota (ruang publik) dimaknai oleh para pelaku seni jalanan dan coretan dinding (seni jalanan) dimaknai oleh pembaca (penguasa) yang menjadi resah, berikut cuplikannya:

Coretan di dinding membuat resah, resah hati pencoret mungkin ingin tampil, Tapi lebih resah pembaca coretannya, sebab coretan dinding adalah pemberontakan kucing hitam yang terpojok di tiap tempat sampah, di tiap kota. Cakarnya siap dengan kuku-kuku tajam, matanya menyala mengawasi gerak musuhnya, musuhnya adalah penindas yang menganggap remeh coretan dinding kota.... Coretan dinding terpojok di tempat sampah, kucing hitam dan penindas sama-sama resah

Gambaran keresahan dalam lagu Iwan Fals ini, menunjukan dua kepentingan yang bergesekan. Para pelaku yang mempunyai keresahan karena tekanan realitas kehidupan dan penguasa (pemerintah) yang seharusnya melayani dan mengurusi kehidupan masyarakat agar menjadi lebih baik, namun lebih tertarik untuk menjaga kekuasaannya agar tidak hilang.

Pada era yang sama (1990-an) banyak seniman (perupa) membuat karya seni instalasi dan performance art di Yogyakarta. Seperti halnya Iwan Fals dengan lagu-lagunya, seni PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

106

instalasi dan peformance art yang dibuat para seniman juga banyak menyuarakan realitas kehidupan. Bahkan seringnya realitas kehidupan diangkat dalam karya seni ini menyebabkan masyarakat menganggapnya sebagai “seni protes” dan sering membuat seni semacam itu dalam menyampaikan aspirasi.

Pada masa kampanye Pemilu tahun 1992 di Yogyakarta, saat pemerintah mengeluarkan pernyataan agar tidak menggunakan sepeda motor untuk kampanye

(mengendarai sepeda motor secara bergerombol mengelilingi desa atau kota selama kampanye adalah praktek yang sudah umum) yang disampaikan menggunakan pengeras suara yang dipasang di mobil yang berkeliling kota sebelum tengah malam, ketika rakyat tidur atau beranjak tidur. Dua hari kemudian, kedua partai non pemerintah PDI (Partai

Demokrasi Indonesia) dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan) menanggapi pernyataan dengan dengan mencopoti semua poster dan bendera mereka dari jalan-jalan serta mengumumkan “masa berkabung untuk matinya demokrasi” dengan cara mengibarkan bendera putih yang terbuat dari kain mori (kain kafan/pembungkus mayat). Sekelompok besar pemuda memanggul keranda di sepanjang jalan utama Yogyakarta dan meletakkannya di beberapa tempat sambil membakar kemenyan (dupa untuk sesaji roh halus dalam upacara keagamaan Jawa) dengan bau yang nyegrak dan asap yang mengingatkan pada “kematian”.1 Di beberapa tempat (di depan pasar hewan Kuncen, salah satunya) beberapa pemuda membuat seni instalasi yang berisikan protes.

Penyampaian jawaban atas peringatan pemerintah dengan aksi berupa pengibaran kain kafan, instalasi jalanan dan performance pembakaran kemenyan di jalanan menunjukkan masyarakat juga memiliki bahasa “lain” yang terpendam. Bahasa lain ini

1 Budi Susanto, 1993. Peristiwa Yogya 1992, Yogyakarta: Kanisius. pp.10-29

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

107

bisa dibilang sebagai bahasa “jalanan” yang tidak bisa dilihat secara hitam putih sebagai belahan lain bahasa (umum) general.

Gambar 33. Instalasi Rakyat 1992 Lokasi: Depan pasar hewan Kuncen Yogyakarta (Foto: Dok. Majalah Sani FSR ISI 1997)

Menurut Anderson, penyampaian dengan cara lain ini dapat pula disebut sebagai pengucapan simbolik. Pengucapan simbolik menghadirkan suatu cara komunikasi politik akan tetapi selain tata bahasanya boleh jadi membingungkan, hubungan antara bentuk dan isi adalah lebih menonjol dan sekaligus ambigu. Visual dari penyampaian terkadang membuat makna yang bergeser, membalik ataupun mengering, sejalan waktu.2 Protes yang dilakukan dengan pengibaran kain kafan itu bisa saja dimaknai sebuah ancaman “mati” yang justru menjadi tidak efisien karena bisa saja justru masyarakat malah menilai ada partai politik yang berada di belakang peristiwa itu berisikan orang jahat yang siap membunuh sehingga tidak memilihnya pada saat pemilu.

2 B.R.O.G Anderson. 2000. Kuasa Kata, Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia. Tr. Revianto Budi Santosa .Yogyakarta: Penerbit Mata Bangsa. p.382

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

108

Protes yang dilakukan masyarakat pada tahun 1992 itu tidak berbeda dengan kemunculan seni jalanan Yogyakarta yang merupakan respon atas realitas kehidupan dan kesemerawutan visual kota yang notabene diatur oleh pemerintah. Oleh karena itu istilah

“jalanan” tidak dapat dilihat dari prespektif tempat yang menunjuk pada dimana hal itu tumbuh dan dikembangkan oleh suatu sistem atau sebagian masyarakat. Karena sifatnya yang khas membedakannya dengan “seni” hasil budaya general masyarakat, seni jalanan dapat dipandang berasal dari budaya jalanan yang tumbuh pada sebagian masyarakat.

“Jalanan” harus dilihat sebagai budaya dengan sifat-sifatnya yang khas, membedakannya dengan konteks general dimana budaya itu menjadi bagian. Oleh karena itu, budaya jalanan tidak pernah ada jika budaya induknya tidak pernah ada. Di satu sisi, budaya jalanan merupakan anak turunan yang tidak diharapkan (unwanted childern) karena ia memiliki sifat-sifat yang tidak sama dengan induknya atau bahkan dianggap secara normatif menyimpang dari budaya induknya yang dianggap baku, formal, mapan dan sebagainya. Budaya jalanan merupakan sesuatu yang eksis dan established dengan sifat- sifatnya yang mandiri yang membentuk suatu sistem logika yang bagaimanapun harus mendapatkan pengakuan. Walaupun secara normatif ia tidak diakui sebanding dan koheren, budaya ini tetap memiliki koherensi internal di dalam dirinya dan lebih penting lagi, ia bersifat fungsional dan memiliki karakter yang terlegitimasi secara struktural.3

Dengan melihat dari sisi pelaku seni jalanan yang rata-rata pernah menempuh pendidikan bahkan tingkat perguruan tinggi, juga dengan mempertimbangkan biaya untuk pembuatannya membutuhkan biaya yang tidak sedikit, mengindikasikan bahwa seni yang merupakan ekspresi budaya jalanan ini dikembangkan oleh golongan masyarakat menengah-atas yang rata-rata berkehidupan cukup mapan. Hal ini menunjukkan budaya

3 Irwan Abdullah. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. p.194

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

109

jalanan bukanlah sekedar budaya yang tumbuh dijalan, tetapi kecenderungan sistem berpikir, nilai dan praktik sosial yang lepas menyimpang dari budaya induknya yang dianggap mapan. Oleh karena itu, budaya jalanan adalah budaya kita yang lepas atau melepaskan diri untuk menggugat hegemoni budaya general.

Seni jalanan adalah ekspresi budaya jalanan yang dianggap sebagai simbol dari praktik sosial yang membedakan dirinya dari ekspresi budaya general (seni yang umum/mapan) yang jauh lebih mendapatkan pengakuan. Kemudian didalam praktik sosial yang berbeda itu ditemukan serangkaian nilai dan norma yang hidup dalam suatu kelompok seni jalanan. Nilai dan norma ini cenderung bersifat eksklusif yang menjadi tanda dari identitas kelompok yang berbeda dengan yang lain. Sebagai contoh kelompok gank yang membuat coretan dijalan sangat berbeda dengan kelompok seni jalanan.

Menghapus, meniban coretan kelompok gank bisa menyebabkan perkelahian, sedangkan pada kelompok seni jalanan ada aturan yang disepakati untuk mengatur persoalan meniban karya seni yang telah ada sebelumnya. Sedangkan pada budaya general membuat coretan atau seni jalanan dianggap sebagai membuat kotor dan melanggar ketertiban.

Seni jalanan Yogyakarta dapat dilihat sebagai hasil konstruksi sosial budaya, hasil dari masyarakat yang dikondisikan untuk tidak menyuarakan segala sesuatu apa adanya.

Seni ini lahir dari kekritisan sebagian masyarakat pada persoalan-persoalan krusial tetapi tidak mampu atau pekewuh menyatakan secara terbuka. Seni jalanan Yogyakarta dapat juga dilihat sebagai manifestasi spontan akibat dari pengendapan absurditas kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu seni jalanan Yogyakarta dapat dilihat pula sebagai sistem melupakan, meredam tekanan dan keramaian jalanan kehidupan Yogyakarta.

Seni jalanan tumbuh semakin subur dan intensif sejalan dengan globalisasi yang menyebabkan perubahan ideologi produksi ke konsumsi. Perubahan ini telah melemahkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

110

kekuatan-kekuatan lokal yang dapat menjaga tatanan lama didalam sistem sosial masyarakat. Globalisasi muncul diawali dengan perubahan suatu tata ekonomi baru dipertengahan era 1970-an. Globalisasi terjadi karena adanya pengulangan tindakan mengglobal yang membentuk gugusan praktek global; kemudian berbagai praktek global itu membentuk struktur globalisasi seperti yang terlihat sekarang ini.4 Penjelasan di atas mengindikasikan bahwa sebenarnya globalisasi bukanlah suatu kondisi yang tidak terelakkan. Namun disebabkan kuatnya pengaruh (ekonomi/politik) negara pengusung globalisasi, maka negara lain yang lebih lemah terpaksa ikut mengalami gejala pengglobalan di hampir setiap aspek kehidupan (termasuk seni dan budaya). Gejala ini muncul dari interaksi perdagangan, transportasi, finansial, media, dan teknologi. Dalam perkembangannya, globalisasi juga melahirkan cara pandang (epistemologi) baru terhadap suatu persoalan.

Ketika globalisasi menyentuh bidang budaya, maka hasilnya adalah budaya global.

Sebagai aliran yang dinamis (tidak statis), kebudayaan hidup dan beradaptasi secara kreatif dan dialektis dengan dinamika masyarakat. Proses transmisi dan transformasi, pertukaran dan pengaruh-memengaruhi, silih-berganti terjadi di dalam kebudayaan sesuai dengan kondisi yang ada dan kemungkinan yang tersedia. Dalam hal ini, perkembangan seni jalanan Yogyakarta yang berkembang merupakan perpaduan dari kebiasaan sebagian masyarakat (anak muda) yang suka corat-coret di jalan dengan perkembangan gaya-gaya tertentu yang menyusup masuk ke dalam kehidupan masyarakat sebagai produk komoditi budaya asing, seiring perkembangan pasar bebas (kapitalisme mutakhir) yang sangat cepat.

Masuknya mode-mode pakaian (seperti mode punk), musik rap, dan tarian sejenis break dance, yang kemudian diperkuat oleh media dalam bentuk sebuah tayangan yang sengaja

4 B. Herry Priyono, (2003), “Sesudah Modal Lolos dari Tiras Economica”, dalam Bentara Esai-esai 2003, Penerbit Buku Kompas, Jakarta p.63

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

111

dikemas menarik dan membius, juga kemudahan mengakses informasi dari seluruh dunia melalui internet, menyebabkan budaya jalanan ini menjadi alternatif gaya hidup anak muda yang cenderung ingin bebas.

Seni jalanan dapat dikatakan sebagai seni perlawanan. Meski tidak bisa dianggap sama persis dengan seni aktivis (activist art), tetapi dalam soal isi tidak jauh beda. Seni jalanan menempatkan diri sebagai oposisi; ekspresi ketidakpuasan terhadap kuasa yang mendominasi. Posisi politik dalam seni jalanan memang tidak hadir secara nyata, tetapi ketidakhadiran itu tetap berarti dan bernilai. Sebagai oposisi, mereka tidak terlalu mengindahkan konsep estetika yang selama ini dicekokkan kapitalisme. Yang terpenting bagi mereka adalah mengaktualisasikan bentuk kekecewaan, kemuakan dan ketidakpuasan terhadap situasi yang berkembang di sekitar mereka. Mungkin saja, bentuk corat-coret mereka dicemooh oleh para pengikut estetika borjuis, sebagai sesuatu yang rendah secara estimologi maupun teori, tetapi mereka tidak peduli dengan anggapan itu karena menyadari bahwa estetika adalah produk dari kelas yang berkuasa (kapitalisme). Sedangkan sebagai karya seni, para pelaku seni jalanan mengabaikan nilai dan konsep berkesenian yang dianut para pendahulunya, dan cenderung bermain-main dengan teknik, serta lebih mandiri— menggunakan kreativitasnya untuk menciptakan suatu karya yang merupakan ekspresi dari pemaknaan diri sendiri dan lingkungan di sekelilingnya.

Perlawanan dan peniruan dapat diartikan sebagai tindakan untuk membuat hubungan baru dengan budaya dominan, namun tanpa melepas konsep-konsep yang berhubungan

(peraturan/ pembangkangan, protes/ setuju, perjuangan/ pemberontakan). Dalam konsep mimikri,5 hal ini mengandung dua arti, yaitu membentuk kewibawaan yang meniru kategori dominan yang dianggap cocok, dan menciptakan suatu permainan serta ejekan

5 Mimicry dapat pula dilihat sebagai isyarat suatu artikulasi ganda; strategi kompleks pengkonstruksian kembali, peraturan, dan disiplin yang sesuai dengan orang lain sebagaimana kekuasaan yang mereka bayangkan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

112

pada kategori dominan.6 Kesenangan anak muda dalam hal ini membuat seni jalanan dapat dipandang sebagai bentuk strategi yang muncul sebagai interaksi antara yang dominan

(budaya kota yang dijalankan pemerintah) dan budaya tidak dominan yang menghasilkan hubungan-hubungan baru.

Hubungan-hubungan baru ini dapat dibayangan seperti percakapan yang langsung dan simbolik yang merupakan cara-cara penting komunikasi politik di Indonesia. Terlepas dari moral yang berlaku, optimis dan ditandai dengan suatu kecenderungan untuk melihat masyarakat sebagai sesuatu yang tidak dibedakan.7 Desas-desus, isu, rumor maupun gosip politik dapat dikatakan sebagai percakapan langsung, sedangkan percakapan simbolik dapat dibayangkan dengan bentuk monumen, ritual publik, iklan-iklan. Keduanya bisa saja tidak jelas tata bahasanya maupun tujuannya namun dapat dilihat sebagai kreativitas “seni” dalam percakapan.

Padahal Kreativitas “seni” untuk pihak tertentu dilakukan dengan mengembangkan semua bentuk seni untuk lebih “modern” seringkali dibuat dengan mengaplikasikan bentuk seni dari luar “Barat”. Tanpa disadari budaya lokal menjadi agak tergusur, walaupun bentuk seni yang tradisional terkadang dicampur tetapi sering budaya tradisi ini hanya dijadikan klangenan (nostalgia) tanpa dihayati nilai-nilainya.

Upaya meredam perkembangan seni jalanan Yogyakarta dengan mengalihkan ke seni yang lain (mis.mural) atau membuat undang-undang (peraturan) yang melarang tidak cukup untuk menghentikan perkembangannya, karena perkembangan seni jalanan berhubungan (merupakan respon) dengan berbagai hal, antara lain: Pertama, masalah kepublikan pada tata visual ruang kota. Tata visual ruang kota yang tidak melibatkan masyarakat telah menyebabkan kesemrawutan visual. Banyaknya peletakan iklan dijalan,

6 Y. Argo Twikromo.1999. Pemulung Jalanan Yogyakarta. Yogyakarta: Penerbit Media Presindo.p.33. 7 Lihat, Anderson, ibid.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

113

umbul-umbul, spanduk secara serampangan menyebabkan hilangnya kepedulian orang terhadap ruang publik di jalanan. Kedua, pelaku yang rata-rata anak muda mempunyai jiwa yang menyukai tantangan dan selalu menyenangi suatu hal yang baru. Hal ini memicu lahirnya kritisme dan kreativitas baru. Walaupun berawal dari keisengan tetapi terpecahkannya kesulitan pembuatan (letak) memicu kebanggaan. Ketiga, melihat sejarah kemunculannya yang sudah cukup lama, hal ini menunjukan bahwa seni jalanan merupakan perkembangan dari cara menyampaikan pendapat dengan cara lain dan terkadang hanya bertujuan menunjukan keberadaan yang eksis. Keempat, globalisasi mendorong terintegrasinya budaya lokal kedalam suatu tatanan global. Nilai-nilai kebudayaan luar yang beragam menjadi basis dalam pembentukan subkebudayaan yang berdiri sendiri dengan kebebasan ekspresi. Globalisasi telah memacu dan mengintensifkan perubahan dan terjadinya mutasi dalam kelompok yang kemudian melahirkan berbagai bentuk diferensiasi.

Dalam tesis ini telah ditunjukan bahwa kita tidak dalam posisi menghakimi seni jalanan sebagai ekspresi budaya jalanan karena selain ia hadir sebagai bagian proses sejarah kehidupan yang sah dan normal (respon dari proses tranformasi). Seni jalanan sebagai ekspresi budaya jalanan dapat dipandang sebagai sesuatu yang meluas dan tidak terhindarkan yang merupakan konsekwensi logis dari dari kebudayaan yang terkontaminasi dengan berbagai sifat formal, organis, baku dan kaku. Seni jalanan adalah ekspresi simbolis dari sebagian masyarakat kecil yang tidak mempunyai ruang dalam kehidupan masyarakat yang besar. Kesalahan terjadi saat keabsahannya didefinisikan oleh norma- norma dan ukuran-ukuran yang disusun secara sepihak oleh kehidupan masyarakat yang besar.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

114

Sebagai catatan terakhir, agar seni jalanan tidak hanya menjadi sampah di tengah hutan visual kota dan banjir informasi global, sebaiknya seni jalanan diarahkan agar dapat menggunakan kelebihannya (sebagai penyampai pesan) menjadi kekuatan sosial yang dengan imajinasi yang dibayangkan demi suatu “bahasa bersama” aktif mendesak dengan kreatif mencari berbagai perubahan. Dibutuhkan strategi lebih dari sebuah corat-coret tanpa arti di dinding untuk bisa menjadi ujung tombak perlawanan demi meraih perubahan ke arah yang lebih baik.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anderson, B.R.O.G. 2000. Kuasa Kata, Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia. Tr. Revianto Budi Santosa .Yogyakarta: Penerbit Mata Bangsa.

------1988. Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944- 1946. Tr. Jiman Rumbo. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Barker, Chris. 2000. Culture Studies, Teori dan Praktek. Tr. Tim Kunci CS. Yogyakarta: Bentang.

Bourdieu, Pierre. 1991. Language and Symbolic Power, John B Thompson (ed). Cambridge: Polity Press.

Bramantyo, Satya, Laporan Kegiatan Sema FSR ISI Yogyakarta 1993-1995. (tidak dipublikasikan, dikutip dengan ijin)

George, Susan. 1999. A Short History of Neo-liberalism: Twenty Years of Elite Economics and Emerging Opportunities for Structural Change, Global Exchange.

H. Imam, Robert. 2004. Neoliberalisme, Era Baru dan Peradaban Pasar, Yogyakarta: Penerbit Cindelaras.

Halprin, L. 1981. “The Collective perception of cities, We are an image of The Landscape” dalam L. Taylor (ed). Urban Open Source. Washington: Smithsonian Institution.

Hardiman, F. Budi. 2002. “Massa dan Teror”, dalam Bentara Esai-esai 2002. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Harsono, FX. 2002. “Kerakyatan dalam Seni Lukis Indonesia: Sejak Persagi hingga Kini”, dalam: Politik dan Gender, Aspek-aspek Seni Visual Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti.

Haryatmoko. 2002. “Budaya Politik Santun dan Pluralitas”, dalam Bentara Esai-esai 2002, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Hebdige, Dick, 1979, Subculture: The meaning of Style, London: Routledge. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Holt, Claire.2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni Di Indonesia. RM Sudarsono (tr) Bandung: Penerbit MSPI (Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia).

Ibrahim, Idy Subandy (ed.). 2004. Lifestyle Ecstasy. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra.

I. Wibowo. 2003. “Globalisasi, Kapitalisme Global, dan Matinya Demokrasi”, dalam Bentara Esai-esai 2003, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

------2003."Emoh Negara" Neoliberalisme dan Kampanye Anti Negara”, dalam Bentara Esai-esai 2003. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

J. Spillane, S.J, James.2004. Industri Ringan Kaki: Neoliberalisme dan Investasi Global, Yogyakarta: Penerbit Cindelaras.

Lefebvre, Henry,( tanpa tahun) The Production of Space, London: Basil Blackwell.

Leksono-Supelli, Karlina.2002. “Sebuah Warisan Tanpa Wasiat”, dalam Bentara Esai-esai 2002, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Marianto, M Dwi. 2001. Surealisme Yogyakarta. Yogyakarta: Merapi.

Moelyono.1997. Seni Rupa Penyadaran, Yogyakarta: Penerbit Bentang Budaya.

Mossop, Elizabeth dan Paul Watson. 2001. City Space, art & design. Sydney: Craftman House.

National Library of Australia.1991. The Macquarie Dictionary, New Budget edition, Netley South Australia: Griffin Press Limited.

Nurudin, (2002) Komunikasi Propaganda, Penerbit Rosda, Bandung.

Patricia Philips (tanpa tahun), Public Space, dalam Ine Gwvers (ed), Place, Position, Presentation

Piliang, Yasraf Amir. 1998. Sebuah Dunia yang Dilipat. Bandung : Penerbit Mizan.

------2002. Nation-State, Identitas dan Tantangan Budaya Global dalam Aspek-aspek Seni Visual Indonesia, Identitas dan Budaya Massa, Yogyakarta:Penerbit Yayasan Cemeti.

------2004. “Neopluralisme: Belajar dari Pluralitas Kecil”, dalam Bentara Esai-esai 2004. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Polanyi, Karl (1957) The Great Transformation. The Political and Economic Origins of Our Time, Beracon Press, Boston.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Priyono, B.Herry, (2003), “Sesudah Modal Lolos dari Tiras Economica”, dalam Bentara Esai-esai 2003, Penerbit Buku Kompas, Jakarta

Read, Herbert., 1967, Art and Alienation: The Role of The Artist in Society. New York: Horizon Press.

------1970, Art and Society. New York: Sochen Book

------1970, Education through Art. London: Faber and Faber.

------1972, The Meaning of Art. New York, Washington: Praeger Publisher Inc.

Rohendi Rohidi, Tjetjep. 2000. Ekspresi Orang Miskin: Adaptasi Simbolik Terhadap Kemiskinan. Bandung: Penerbit Nuansa (Yayasan Nuansa Cendikia).

Sahal, Ahmad. 2002. “Culture Studies dan Tersingkirnya Estetika”, dalam Bentara Esai- esai 2002, Jakarta : Penerbit Buku Kompas.

Setiawan, Devi, Laporan Kegiatan LBK TP tahun 2002 (tidak dipublikasikan, dikutip dengan ijin)

Shraishi, Saya Sasaki. 2001. Pahlawan-pahlawan Belia Keluarga Indonesia dalam Politik, Jakarta : KPG bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation.

Soedarso Sp. 1990. Tinjauan Seni, Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni, Yogyakarta: Saku Dayar Sana.

------2006. Trilogi Seni, Penciptaan, Eksistensi dan Kegunaan Seni, Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta.

Soedjojono, S., 1946, Seni Lukis Kesenian dan Seniman, Jakarta: Penerbit Indonesia Sekarang.

Spivak, Gayatri Chakravorty. 1988. “Can the Subaltern Speak?” dalam Cary Nelson dan Lawrence Groosberg (ed). Marxism and the Interperetation of Culture. London: Macmillan Education, Ltd.

Supriyanto, Enin (ed.), 2000, Setengah Abad Seni Grafis Indonesia. Jakarta: KP Gramedia.

------2002. “Cultural Studies, Kritik Seni, dan Apresiasi”, dalam Bentara Esai-esai 2002, Jakarta : Penerbit Buku Kompas.

Stevenson, George A. 1968. Graphic Arts Encyclopedia, New York: McGraw-Hill Inc.

Sugiharto, Bambang. 2004. “Kebudayaan, Filsafat dan Seni”, dalam Bentara Esai-esai 2004. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Sumartono. 2003. “Politik Wacana dan Seni Rupa” dalam Politik dan Gender, Aspek-aspek Seni Visual Indonesia, Yogyakarta:Penerbit Yayasan Cemeti.

Supangkat, Jim (dkk). 2000. Outlet, Yogya dalam peta Seni Kontemporer Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Cemeti.

Supangkat, Jim (ed) .1979. Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia, Jakarta: Gramedia

------2002. “Bingkai Seni Konstekstual”, dalam Bentara Esai-esai 2002, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Sunardi, St. 2004. Semiotika Negativa, Yogyakarta: Penerbit Buku Baik.

Susanto, Budi.1992. “Yogya(kar)tamu: Berbudi-Bahasa Jawa dikaji Ulang” Pelba: Bahasa dan Budaya, Yogyakarta: Kanisius

------1993. Peristiwa Yogya 1992, Yogyakarta: Kanisius.

Twikromo, Y. Argo.1999. Pemulung Jalanan Yogyakarta. Yogyakarta: Penerbit Media Presindo.

Wicaksono, Adi, Dkk (ed).2002. Aspek-Aspek seni Visual Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Cemeti.

Witjaksono, Bambang. 2006. Fenomena Mural di Yogyakarta Tahun 2002-2003, Bandung: Program Pascasarjana ITB. (tidak dipublikasikan-dengan ijin).

Widaryanto, F.X..2004. “Ekspresi Seni Individual Versus Identitas Kolektif”, dalam Bentara Esai-esai 2004, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Wiyanto, Hendro. 2003. “Mencari Agenda Politik dan Budaya dalam Pameran “Mudik : Awas! “Recent Art from Indonesia”, dalam Bentara Esai-esai 2003, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Wolff, Janet., 1981, The Social Production of Art. London, Basingstoke: Macmillan Publisher Ltd.

Yulie Eko Saputro, Punk: Ideologi, Musik, Gaya dan Fashion, Jurnal Cyclo (edisi II/tahun II/April 2001).

Yuliman, Sanento (1976) Seni Lukis Indonesia Baru, Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

Media Cetak:

“Corat-Coret Bisa Diatasi dengan Mural”, Harian Kedaulatan Rakyat, 21 Juli 2003.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

“Corat-Coret, Ekspresi Mencari Identitas”, Harian Kedaulatan Rakyat, 23 Juli 2003.

”Ingin Aman, Libatkan Komunitas Sekeliling”, Harian Kedaulatan Rakyat, 31 Juli 2003.

”Karya Publik, Resiko Dirusak Tangan Jahil”, Harian Kedaulatan Rakyat, 30 Juli 2003.

“Masalah Kita Interaksi Dewan-Rakyat-Pakar-Birokrat” rubrik Masalah Kita, Harian Kedaulatan Rakyat, 22 Juli 2003.

“Membaca Proyek Mural, Membaca Perihal Visualitas”, Harian Bernas, 17 Maret 2003.

“Memperindah Yogya dengan Mural”, Harian Kedaulatan Rakyat 5 Februari 2003.

”Mural”, Harian Kedaulatan Rakyat, 18 November 2003.

“Mural dan Poetisasi Ruang Kota”, Harian Bernas, 18 Maret 2003.

“Mural Kota Imajinatif dan Rekreatif”, Minggu Pagi edisi 17 November 2002.

“Mural Kota Yogyakarta” Harian Bernas, 19 Maret 2003.

“Mural Untuk Komunikasi Publik”, Harian Bernas, 20 Maret 2003.

“Ruang Publik Selalu Diperebutkan”, Harian Kedaulatan Rakyat, 29 Juli 2003. “Street Art Menyapa Kota” Harian Jawa Pos, 5 Februari 2006.

”Tembok Kini Jadi Lukisan Raksasa”, Harian Kedaulatan Rakyat, 26 Juli 2003.

Harian Kompas, 14 Agustus 2001.

Artikel Internet:

Agung Puspito, Mengenal Aksi Seniman Urban, http://www.art-ysri.or.id/senirupa.asp (diakses 12 April 2007).

Data pameran http://www.art-ysri.or.id/senirupa.asp?xy=20) (diakses 10 Juni 2006).

FX. Harsono. (2000) Seni Rupa dalam Ruang Publik, http://www.karbonjournal.org (diakses 14 April 2007).

Grafiti Sebagai Karya Seni, Pikiran Rakyat Cyber Media, 28 May 2006.

Incidents of art vandalism, ”, http://www.cabinetmagazine.org, issue 3, March 22, 2006 (diakses 14 April 2007).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Mural bagi Keindahan Kota, http://upik.jogja.go.id/news/index.cfm, (diakses 12 September, 2006).

Opi, Street Art: Logos, tak Hanya Hiasi Tembok saja, 23 November 2006, http://www.trullyjogja.com (diakses 26 Desember 2006).

Projek seni publik, http://www.cemetiarthouse.com/id/project/2005/counter-attract (diakses 10 Juni 2006).

Re:Publik Art, http://www.tembokbomber.com (diakses 10 Juni 2006).

Ruang Publik: Dialog Antara Arsitektur Dengan Seni Rupa, http://www.karbonjournal.org (diakses tanggal 21 Mei 2006).

Sihar Ramses Simatupang, Bravo “Sneakers Pimps”, Grafiti dan Seni Jalanan!, Kamis, 13 April 2006, http://www.sinarharapan.co.id/berita/0604/13/ (diakses 12 Juli 2006).